Pencarian

Tanah Warisan 1

Tanah Warisan Karya Sh Mintardja Bagian 1


http://kangzusi.com Gambar Kulit: Herry Wibowo b.a
Serial Bersambung Diambil Dari Situs Kedaulatan Rakyat (www.kr.co.id)
(07-08-2001 - 02-06-2002)
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
AWAN yang kelabu mengalir dihanyutkan oleh angin yang kencang ke Utara. Segumpal
bayangan yang kabur melintas di atas sebuah halaman rumah yang besar. Kemudian
kembali sinar matahari memancar seolah-olah menghanguskan tanaman yang liar di
atas halaman yang luas itu.
Seorang perempuan tua berjalan tertatih menuruni tangga pendapa rumahnya.
Kemudian memungut beberapa batang kayu yang dijemurnya di halaman. Sekali-kali ia menggeliat
sambil menekan punggungnya. Dengan telapak tangannya yang kisut dihapusnya keringat yang menitik di
keningnya. "Hem," perempuan itu berdesah.
"Kalau saja mereka masih ada di rumah ini." perempuan itu kini berdiri tegak.
Ditengadahkan wajahnya kelangit, dan dilihatnya matahari yang telah melampaui di
atas kepalanya. Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Keningnya berkerut
ketika dilihatnya halaman rumahnya yang menjadi liar karena tidak terpelihara.
Rumah besar yang kotor dan rusak.
Kandang yang kosong dan lumbung yang hampir roboh.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kembali ia membungkukkan
punggungnya, memungut beberapa batang kayu bakar yang dijemurnya di halaman. Ketika perempuan
itu melihat seseorang berjalan di lorong depan regol halamannya, maka ia mencoba
menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Tetapi orang itu memalingkan wajahnya, dan berjalan semakin cepat.
"Hem," sekali lagi perempuan tua itu berdesah. Di pandanginya orang itu sampai
hilang dibalik dinding halaman rumah sebelah. Sejenak kemudian dengan langkah
yang berat perempuan itu melangkah
masuk ke rumahnya yang kotor dan rusak, langsung pergi ke dapur.
Perlahan-lahan ia berjongkok di depan perapian. Sebuah belanga berisi air
terpanggang di atas api. Satu-satu dimasukannya batang-batang kayu bakar yang kering ke dalam lidah api
yang menjilat-jilat. "Kalau anak-anak itu ada di rumah," sekali lagi ia berdesah. Seleret kenangan
meloncat ke masa lampaunya. Kepada anak-anaknya. Dua orang anak laki-laki.
Tetapi keduanya tidak ada disampingnya.
Tetapi perempuan tua itu mencoba menerima nasibnya dengan tabah. Kesulitan demi
kesulitan, penderitaan demi penderitaan lahir dan batin telah dilampauinya. Namun seolah-
olah seperti sumber air yang tidak kering-keringnya. Terus menerus datang silih
berganti. "Hukuman yang tidak ada habisnya," desahnya. Namun kemudian ia mencoba
menempatkan dirinya untuk menerima segalanya dengan ikhlas.
"Semua adalah akibat dari kesalahanku sendiri."
Perempuan itu tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar langkah beberapa orang
berlari-lari. Semakin lama semakin dekat. Perlahan-lahan ia berdesis. "Apakah
mereka datang lagi?"
Ia bangkit berdiri ketika langkah-langkah itu semakin banyak berderap di jalan
dimuka regol halaman bahkan ada di antaranya yang meloncat memotong melintasi
halaman rumahnya. "Tidak ada gunanya mereka berlari-lari," gumam perempuan tua itu sambil
melangkah ke pintu. Ketika kepalanya menjenguk keluar, dilihatnya beberapa orang
yang terakhir melintas di bawah pohon-pohon 1
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
liar dihalaman rumahnya. Sejenak kemudian perempuan tua itu mendengar derap
beberapa ekor kuda mendatang. Semakin lama semakin dekat.
"Mereka benar-benar datang," desisnya. Dan perempuan itu benar-benar melihat
orang berkuda melintas cepat di jalan di muka rumahnya. Cepat-cepat perempuan
tua itu menutup pintu rumahnya.
Sambil menahan nafasnya ia bergumam.
"Apalagi yang akan mereka lakukan di kademangan ini?" Dan ia tidak berani
membayangkan, apa saja yang telah dilakukan oleh orang-orang berkuda itu.
Sementara itu, orang-orang berkuda itupun telah memasuki beberapa buah rumah
sambil berteriak-teriak kasar. Seorang yang berkumis lebat dengan sebuah parang
di tangan berteriak-teriak.
"Ayo serahkan permintaanku sebulan yang lalu."
Orang berkumis lebat itu turun di sebuah halaman yang bersih dari sebuah rumah
yang bagus. Beberapa orang kawannya pun turun pula sambil mengacung-acungkan
senjata masing-masing. "Jangan sembunyi," teriaknya.
Tetapi pintu rumah itu masih tertutup rapat.
"Buka pintunya," ia berteriak lagi. "Kalau tidak, aku bakar rumah ini. Cepat."
Perlahan-lahan pintu rumah itu terbuka. Seorang laki-laki tua menjengukkan
kepalanya dengan tangan gemetar. "Ha, kau ada di rumah. Jangan mencoba
bersembunyi ya?" "Tidak," jawabnya dengan suara yang bergetar aku tidak bersembunyi."
"Tetapi kau tidak mau membuka pintu rumah ini."
"Aku berada dibelakang."
"Jangan banyak bicara. Sekarang serahkan permintaanku sebulan yang lalu."
Laki-laki tua itu terdiam sejenak. Tetapi tubuhnya yang gemetar menjadi semakin
gemetar. "Ayo jangan banyak tingkah."
"Tetapi, tetapi," suaranya tergagap. "Aku sudah menyerahkan pajak itu kepada Ki
Demang yang akan membawanya ke Pajang bersama upeti yang lain."
"Aku tidak bertanya tentang upeti. Kau jangan mengigau lagi tentang Pajang,
Demak atau kerajaan iblis sekalipun. Dengar. Sekarang sengketa antara Pajang dan
Mataram menjadi semakin tajam. Kedua
pasukan berhadapan di daerah Prambanan. Mereka tidak akan sempat mengurus pajak
dan upeti. Karena itu, maka tugas mereka itu pun telah kami ambil alih. Kalian tidak usah
menyerahkan apapun lagi kepada Ki Demang, sebab ia tidak akan menyerahkannya
kepada Sultan Hadiwijaya yang sedang sibuk berkelahi melawan puteranya sendiri
itu. Yang berperang biarlah berperang. Aku ingin melakukan tugas-tugas yang
lain. Misalnya memungut pajak."
Orang tua itu menjadi semakin gemetar. Kini orang berkumis itu telah berdiri
didepannya. Ketika sekali 2
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
tangannya disentakkan kemuka, orang tua itu terpelanting keluar.
"Berlakulah agak sopan sedikit menerima tamu," berkata orang berkumis itu.
Tertatih-tatih orang tua itu mencoba berdiri. Kemudian katanya, "Tetapi, tetapi,
semuanya telah terlanjur aku serahkan kepada Ki Demang."
Namun belum selesai ia berkata, tangan orang berkumis itu telah menarik leher
bajunya. "Apa kau bilang" Bukankah sebulan yang lalu aku telah berkata kepadamu, bahwa
kau harus menyerahkannya kepadaku, kepada kami" Kepada Panembahan Sekar Jagat?"
"Tetapi, tetapi....... suaranya terputus ketika sebuah pukulan menyentuh pipinya
yang telah berkerut. "Ampun, ampun," teriaknya sambil tertatih-tatih. Sejenak kemudian laki-laki tua
itu terbanting jatuh terlentang.
"Berikan kepadaku seperti permintaanku. Kalau tidak, maka aku mengambilnya
sendiri ke dalam rumahmu. Ingat, aku adalah Wanda Geni, utusan terpercaya Panembahan Sekar Jagat
mengerti?" Orang tua itu kini telah mengigil. Matanya dibayangi oleh perasaan takut tiada
terhingga. "Cepat," teriak orang yang menamakan dirinya Wanda Geni.
"Tetapi..........," sekali lagi suaranya terpotong. Kini bukan saja ujung parang
orang berkumis itu telah menyentuh dadanya. "Apakah kau masih akan
berkeberatan." Orang tua itu tidak dapat ingkar lagi. Kepalanya kemudian tertunduk lesu. Dengan
suara gemetar ia menjawab. "Baiklah, aku akan menyerahkan apa yang masih ada
padaku." "Bagus. Cepat. Aku masih banyak pekerjaan. Hari ini aku harus memasuki sepuluh
pintu rumah." Orang tua yang malang itu kemudian menyeret kakinya yang lemah masuk kedalam
rumahnya diikuti oleh Wanda Geni. Beberapa orang kawannya tersebar dihalaman
dengan senjata masing-masing siap ditangan mereka. Betapa pun beratnya, orang
tua itu terpaksa menyerahkan sebuah pendok emas yang selama ini disimpannya
baik-baik. Tetapi ia masih lebih sayang kepada umurnya yang tinggal sedikit
daripada kepada pendok emas itu.
"Ini adalah satu-satunya miliknya yang paling berharga," berkata orang tua itu.
Wanda Geni tertawa. Suaranya berkepanjangan seolah-olah menelusur atas. Katanya,
"Kau sangka aku dapat mempercayaimu" Kau sangka aku tidak tahu bahwa kau
menyimpan pula pendok emas yang lain, yang justru kau tretes dengan intan dan
berlian. Kemudian sebuah timang emas bermata berlian pula"
Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kau telah berhasil memeras orang-orang melarat
disekitar ini dengan segala macam cara" Huh, jangan mencoba membohongi aku. Kau
tahu, bahwa orang-orangku sebagian adalah orang-orang Kademangan ini. Orang-
orang yang mengerti betul, apa yang tersimpan disetiap rumah disini."
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia merasa, bahwa lebih baik diam daripada membuat
Wanda Geni itu marah. "Baiklah," berkata Wanda Geni kemudian. "Aku akan minta diri. Kali ini aku sudah
cukup dengan pendok 3 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
emas ini." Laki-laki tua itu tidak menyahut. Kedipan matanya sajalah yang seolah-olah
berteriak menyuruh orang-orang itu pergi segera dari rumahnya.
"Jangan terlampau kikir." kata Wanda Geni kemudian.
"Semua harta bendamu itu tidak akan dapat kau bawa mati. Bukankah umurmu sudah
menjelang enampuluh lima tahun."
Laki-laki tua itu mengangguk.
"Nah, seharusnya kau sudah tidak memikirkan harta benda lagi. Kau buang sajalah
semua kekayaanmu, supaya tidak membuat jalanmu menjadi gelap."
Sekali lagi Wanda Geni tertawa. Kemudian direbutnya pendok yang masih dipegang
oleh laki-laki tua itu. Dengan suara menggelegar Wanda Geni kemudian berkata. "Baik-baiklah di rumah.
Aku minta diri." Tanpa menunggu jawaban, orang berkumis itu segera melangkah keluar, turun
kehalaman dan langsung meloncat ke punggung kudanya.
Sejenak kemudian terdengarlah ledakan cambuk disusul dengan derap kuda menjauh.
Tetapi kuda-kuda itu akan segera berhenti lagi, memasuki halaman rumah yang lain
dan memeras penghuni-penghuninya sambil menakut-nakutinya dengan ujung
parangnya. Sepeninggal orang-orang berkuda itu, barulah istri laki-laki tua yang kehilangan
pendoknya bersama anak gadisnya berani keluar dari persembunyiannya. Dengan
tubuh gemetar mereka bertanya, apa saja yang telah dibawa oleh orang- orang
berkuda itu. "Syukurlah," berkata isterinya. "Kalau hanya sebuah pendok, kita akan
merelakannya. Seribu kali rela."
"Huh," potong laki-laki tua itu. "Aku menabung sejak aku masih muda."
"Tetapi masih ada yang lain yang tinggal di rumah ini," berkata isterinya.
"Lihat, kelak mereka akan kembali dan kembali lagi. Semua kekayaan kita akan
dikurasnya sampai habis."
"Tetapi itu lebih baik daripada nyawa kita yang diambilnya."
Laki-laki tua itu menarik nafas dalam. "Tetapi ini tidak dapat berlangsung terus
menerus," geramnya. "Lalu, apakah yang dapat kita lakukan" Apakah kita akan mengungsi saja?"
"Tidak ada tempat lagi di kolong langit ini. Orang-orang besar saling berebut
kekuasaan, maka kita kehilangan perlindungan. Orang-orang yang merasa dirinya
kuat, berbuat sewenang-wenang untuk kepentingan diri mereka sendiri. Seperti apa
yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat."
Laki-laki itu berhenti sejenak, lalu, "Sepanjang umurku baru sejak Pajang
menjadi kisruh itulah aku mendengar nama Panembahan Sekar Jagat. Kalau keadaan
tidak segera menjadi baik, maka akan timbul pula ditempat lain orang-orang
serupa itu, yang dapat saja menyebut dirinya Ajang Sekar Langit, atau Kiai Ageng
Sekar Langit atau apa saja."
4 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Istri dan anak gadisnya tidak menyahut. Namun ketakutan yang sangat telah
membayang di wajah mereka. Dengan suara tertahan-tahan isterinya berkata sekali
lagi, "Kita mengungsi dari tempat ini. Kita mencari tempat yang paling aman.
Kita akan dapat hidup tentram meskipun tidak sebaik ditempat ini."
"Sudah aku katakan, tidak ada tempat yang baik saat di Bumi Pajang telah menjadi
panas. Sebentar lagi Pajang akan meledak, dan Mataram akan menjadi bara yang
terlampau panas. Semua tempat akan
mengalami gangguan serupa. Tidak ada seorang prajuritpun yang sempat melindungi
rakyatnya dari gangguan orang-orang gila macam Panembahan Sekar Jagat itu."
Isterinya tidak segera menyahut. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimanakah
bentuk harapan suaminya itu. Karena itu, maka ia hanya dapat menundukkan kepalanya sambil
memeluk anaknya. "Sudahlah nyai," berkata laki-laki tua itu.
"Sementara ini kita tidak akan diganggu lagi, sampai saatnya iblis itu datang
dibulan depan. Aku kira mereka akan memerlukan sesuatu lagi dari padaku dan
orang-orang lain yang dianggapnya cukup di Kademangan ini. Sekarang
beristirahatlah. Berlakulah seperti biasa. Tidak ada apa-apa. Setidak-tidaknya
untuk sebulan mendatang."
Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bersama anaknya mereka pergi
ke ruang belakang. Di serambi belakang beberapa orang pembantu dan pelayan, menggigil ketakutan
tanpa dapat berbuat sesuatu.
Demikianlah maka sepanjang hari itu, Wanda Geni memasuki beberapa rumah untuk
mengambil apa saja yang dianggapnya berharga. Setelah kerja itu dianggapnya selesai, maka
kuda-kuda mereka pun segera berderap pergi meninggalkan desa itu di dalam
ketakutan dan kecemasan. Sepeninggal orang-orang berkuda itu, beberapa orang
laki-laki yang bersembunyi bertebaran di gerumbul-gerumbul liar, saling
bermunculan. Dengan tergesa-gesa mereka pulang ke rumah-rumah masing-masing.
Mereka ingin segera tahu, apakah rumah-rumah mereka pun telah didatangi pula
oleh Wanda Geni. Terutama yang merasa mempunyai simpanan sesuatu di dalam
rumahnya. Ketika orang-orang berkuda itu berpacu lewat dimuka regol rumah tua, tempat
perempuan tua itu tinggal, terdengar salah seorang dari mereka sempat berteriak.
"He Nyai Pruwita, kenapa kau tidak menyambut kedatangan kami?"
Perempuan tua, penghuni rumah yang kotor dan rusak, yang dipanggil Nyai Pruwita,
menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak berani keluar dari rumahnya, meskipun ia
tahu bahwa orang-orang berkuda itu tidak akan memasuki rumahnya karena tidak ada
sesuatu yang akan dapat mereka ambil. Meskipun demikian, berita yang didengarnya
sedikit-sedikit tentang orang-orang berkuda itu telah membuatnya menjadi ngeri.
"Sebenarnya lebih baik bagiku untuk tidak melihat apa saja yang terjadi di
Kademangan ini," desisnya.
Tetapi perempuan tua itu tidak dapat pergi dari rumahnya. Apapun yang terjadi di
desa itu, apapun yang dialaminya, baik yang ditimbulkan oleh ketakutannya
tentang orang-orang berkuda, maupun sikap orang-orang Kademangan itu sendiri
tidak terlampau baik kepadanya, juga betapapun rumahnya telah menjadi onggokan
kayu bakar yang tidak berarti, ia akan tetap tinggal di rumah itu.
5

Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Di halaman yang luas itu. Karena rumah itu adalah rumah peninggalan.
Tanah yang didiaminya itu adalah Tanah Warisan.
"Aku ingin mati di dalam rumah ini," desisnya setiap kali.
"Meskipun seandainya aku akan tertimbun oleh atapnya yang roboh karena hujan
atau angin." Panggilan orang-orang berkuda itu ternyata telah menumbuhkan kebanggaannya
kepada orang yang bernama Pruwita. Seorang laki-laki tampan, tegap dan berani.
Tetapi laki-laki itu telah mati. Laki-laki itu di masa hidupnya adalah suaminya.
Kemudian dikenangnya kedua anaknya laki-laki. Kedua anaknya telah pergi
meninggalkannya ketika mereka masih terlampau muda. Bahkan masih kanak-kanak.
Tanpa diketahuinya kemana mereka itu pergi.
Kini, ia hidup sendiri menunggui sebuah halaman yang luas di rumah yang besar.
Namun keadannya tidak lagi seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Rumah itu
sudah tidak lagi memancarkan sesuatu, selain wajah perempuan tua yang cekung dan
dalam. Tetapi meskipun perempuan yang bernama Nyai Pruwita itu, seakan-akan
hidup terpisah dari orang-orang disekitarnya, namun ia dapat merasakan
kegelisahan yang sangat telah membakar Kademangannya.
Orang-orang yang paling penting, yang dianggapnya paling kuat diseluruh
Kademangan, tidak berdaya untuk melindungi rakyatnya dari sentuhan jari-jari
orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat.
Demikianlah perempuan tua yang bernama Nyai Pruwita itu hidup terasing di dalam
masyarakat yang sedang dibayangi oleh ketakutan, kengerian dan kecemasan.
Sehingga dengan demikian, maka terasa hidupnya menjadi semakin sepi. Rumahnya
yang besar dan halamannya yang luas menjadi semakin
lama semakin suram. Tetapi tanah itu tidak akan ditinggalkannya, sampai maut
merabanya. Tanah warisan itu akan ditungguinya sampai akhir hayatnya.
"Kalau saja, anak-anak itu ingat kembali kepada Tanah ini," katanya setiap kali
di dalam hatinya. "Mereka pasti akan datang. Mudah-mudahan umurku masih sempat melihat salah
seorang atau bahkan kedua-duanya kembali ke rumah ini."
Dan setiap kali perempuan itu berdoa sambil menyesali segala kesalahan yang
pernah dilakukannya. Dalam pada itu, orang-orang berkuda yang dipimpin oleh Wanda Geni telah menjadi
semakin jauh dari Kademangan yang telah dijadikan korbannya. Kademangan Candi
Sari. Dengan gembira mereka kembali kepada pimpinan tertinggi mereka yang menyebut
dirinya Panembahan Sekar langit, karena mereka merasa bahwa perjalanan mereka
kali ini cukup memberi harapan untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih besar
lagi dari Panembahan Sekar Jagat.
Dengan demikian, maka mereka tidak menaruh perhatian sama sekali ketika mereka
melihat seseorang berdiri tegak di atas pematang sawah di pinggir jalan yang
mereka lalui. Hanya sekali Wanda Geni melihat seorang anak muda dengan pakaian yang kusut,
memandang orang-orang berkuda itu dengan penuh keheranan. Selebihnya, anak muda
itu tidak menarik sama sekali.
Namun sebaliknya, orang-orang berkuda itulah yang telah menarik perhatian anak
muda itu. Berbagai 6 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
macam pertanyaan telah menyentuh dinding hatinya. Tetapi ia sama sekali tidak
berbuat sesuatu selain memandanginya sampai hilang di belakang debu putih yang
mengepul dari bawah kaki-kaki kuda
mereka. Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dipandanginya langit
yang telah menjadi kemerah-merahan. Matahari telah menjadi semakin rendah di
arah barat. "Kademangan itu hampir tidak berubah," desisnya.
TANPA sesadarnya anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
bergumam lagi. "Pohon preh itu adalah pohon kira-kira sepuluh tahun yang lampau."
Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk.Kemudian kakinya yang kotor oleh debu,
mulai bergerak-gerak terayun selangkah mendekati padukuhan induk Kademangan
Candi Sari. Tetapi anak muda itu tidak segera masuk ke dalam pedukuhan itu.
Sejenak ia masih dibayangi oleh keragu-raguan.
Karena itu, maka kemudian, sambil beristirahat ia ingin melihat, apakah ia masih
berhak untuk memasuki desa itu kembali. Perlahan-lahan diletakkannya dirinya,
duduk di bawah pohon preh
disimpang tiga, beberapa patok dari desa yang terbentang dihadapannya.
Diikutinya setiap gerak yang tertangkap oleh matanya. Anak-anak yang berlari
sambil membawa binatang yang baru saja
digembalakannya. Orang-orang tua yang pulang dari sawah, dan anak-anak muda yang
kembali, setelah mereka bersembunyi digubug-gubug dipategalan mereka.
Tiba-tiba dadanya berdesir ketika ia melihat seorang gadis lewat beberapa
langkah didepannya sambil menjinjing sebuah wakul. Agaknya ia baru pulang dari
sawahnya, memetik lembayung. Sekilas anak muda itu merasa bahwa ia pernah
mengenal gadis itu. Tentu saja semasa kanak-kanak. Hampir sepuluh tahun yang
lampau. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia berdiri dan melangkah mengikutinya. Dan
hampir tanpa sesadarnya pula ia memanggil. "Ratri."
Gadis itu terkejut, sehingga langkahnya pun terhenti. Ketika ia berpaling
dilihatnya seorang anak muda berdiri tegak dibelakangnya. Sejenak gadis yang
bernama Ratri itu berdiri dengan tegangnya. Ia tidak segera dapat mengenal,
siapakah yang telah memanggilnya itu. "Kau tentu saja tidak mengenal aku lagi
bukan Ratri"," bertanya anak muda itu.
Ratri mencoba mengingat-ingat. Namun akhirnya bibirnya yang tipis itu bergerak
menyebut sebuah nama, "Panggiring."
Tetapi sekali lagi Ratri terkejut ketika ia melihat wajah itu benar-benar
berkerut-kerut. Bahkan tampaklah bahwa anak muda itu menjadi kecewa. Sambil
menggelengkan kepalanya ia menjawab,
"Bukan Ratri. Aku bukan Panggiring anak setan itu."
"Oh," Ratri menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, "Jadi kau, adiknya.
Bramanti." Kepala anak muda itu terangguk lemah. Terdengar suaranya parau. "Ya, aku
Bramanti." "Aku hampir tidak dapat mengenalmu lagi Bramanti," berkata Ratri sambil
melangkah mendekat. "Kau sudah sedemikian besar dan gagah. Kemanakah kau selama ini" Kau dan kakakmu
Panggiring telah hilang dari Pedukuhan kami lebih dari sepuluh tahun yang
lampau. Wajahmu benar-benar mirip dengan wajah kakakmu. Dimana kita masih kanak-
kanak, tidak terlampau sulit membedakan, yang manakah Panggiring dan yang
manakah Bramanti, karena umurmu terpaut agak banyak dari kakakmu. Tetapi 7
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
wajah itu sukar dibedakan kini."
"Apakah kau pernah melihat Panggiring akhir-akhir ini?" bertanya Bramanti.
Ratri menggeleng, "Tidak. Tetapi menurut bayangan angan-anganku, wajahnya tidak
terpaut banyak dengan wajahmu. Apalagi kau tampak jauh lebih tua dari umurmu".
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya. Aku bekerja berat selama ini.
Tetapi bukankah Panggiring pergi jauh lebih dahulu dari kepergianku."
Ratri mengingat-ingat sebentar. Jawabannya kemudian. "Ya. Aku ingat sekarang.
Panggiring memang pergi lebih dahulu dari padamu. Waktu itu aku masih terlampau
kecil. Karena itulah maka aku tidak begitu ingat lagi akan wajah itu. Tetapi
wajah itu benar-benar seperti wajahmu sekarang. Bahkan semasa kecil wajahmu itu
tidak seperti wajahmu kini."
Bramanti menjadi semakin tunduk. Terbayang sekilas di rongga matanya wajah
kakaknya, Panggiring yang kini sama sekali tidak diharapkannya untuk bertemu
lagi. "Dan sekarang," terdengar suara Ratri, "Apakah kau akan pulang ke rumah yang
sudah kira-kira sepuluh tahun kau tinggalkan itu?"
Bramanti mengangguk lemah. Jawabnya, "Ya, aku akan pulang ke rumah itu. Ibuku
masih ada di dalam rumah itu."
Namun tiba-tiba Bramanti mengangkat wajahnya, "Bukankah ibuku masih ada di rumah
itu?" Ratri mengangguk. Jawabnya, "Ya, ibumu masih tinggal di rumah itu."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ibu pasti sudah menjadi tua."
"Seperti kau Bramanti. Ibumu tampak jauh lebih tua dari umurnya yang
sebenarnya." "Aku dapat membayangkan. Betapa berat beban hidupnya. Sementara sumber
penghasilannya sudah habis sama sekali." Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kedatanganmu pasti akan menjadi obat
keprihatinannya selama ini." "Ya, aku mengharap demikian."
"Tentu, sudah tentu," potong Ratri.
Tetapi yang Ratri masih akan berbicara terus itu tertegun. Didengarnya seorang
memanggilnya, "Ratri, he apa yang sedang kau lakukan?"
Barulah gadis itu sadar, bahwa ia bukan Ratri yang dahulu. Yang masih pantas
bermain berkejaran dengan Bramanti. Dan Bramanti itu pun bukan Bramanti yang
dahulu pula. Ia kini seorang anak muda yang sudah dewasa. Karena itu, maka tiba-
tiba wajahnya menjadi merah. Sambil menundukkan
kepalanya ia berkata, "Maaf Bramanti. Aku dipanggil ayah."
8 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Ayahmu datang ke mari Ratri."
"Oh," Ratri mengangkat wajahnya memandang ke ayahnya yang dengan tergesa-gesa
mendekatinya. "Dengan siapa kau berbicara he"," bertanya ayahnya.
"Anak yang sudah lama hilang dari permainan dipadukuhan kami ayah. Kini ia
kembali." "Siapa," orang tua itu mencobanya mengamat-amati wajah Bramanti, tetapi ia tidak
segera dapat mengenalnya. "Aku tidak mengenal anak ini."
"Tentu ayah mengenalnya. Tetapi agaknya ayah tidak punya waktu untuk mengenal
wajah anak-anak waktu itu. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu."
"Oh, sepuluh tahan yang lalu."
"Ya ayah. Inilah Bramanti putera paman Pruwita".
"He?" orang tua itu mundur selangkah. "Jadi kau anak Pruwita?"
"Ya paman," sahut anak muda yang bernama Bramanti itu.
"Oh, anak Pruwita sudah sebesar kau ini?"
"Ya paman," anak muda itu mengangguk pula.
Bramanti menjadi heran ketika wajah orang tua itu semakin tegang. Tiba-tiba ia
meraih tangan anak perempuannya dan menariknya sambil berkata. "Marilah. Jangan
berhubungan lagi dengan anak muda itu," Lalu kepada Bramanti ia berkata, "Aku
tidak mempunyai sangkut paut dengan Pruwita."
"Ayah," potong Ratri, "Kenapa dengan ayah?"
Tetapi orang tua itu menarik tangan Ratri, "Marilah. Marilah."
Ratri tidak dapat membantah lagi. Sambil berlari-lari ia mengikuti langkah
ayahnya, karena tangannya masih juga ditarik oleh ayahnya itu.
Bramanti berdiri kebingungan. Kenapa ayah Ratri itu bersikap demikian
terhadapnya" Anak muda itu kemudian menundukkan kepalanya. Ia mencoba mengerti
akan sikap itu. Dicobanya untuk mengenang, apa saja yang pernah dilakukan oleh
ayahnya di masa kecilnya. "Ayah memang bukan seorang yang terlampau baik,"
katanya di dalam hati. "Tetapi ia dahulu seorang yang kaya, seorang yang disegani, diluluti oleh
tetangga. Namun ketika ayah menjadi miskin, serentak mereka menjauhkan dirinya.
Dan bahkan ayah harus mati dalam keadaan yang paling menyedihkan."
Bramanti menggeram. Diangkatnya wajahnya. Dengan sorot mata yang berapi-api ia
memandang padukuhan yang terbentang dihadapannya. Semakin lama menjadi semakin kabur,
karena cahaya matahari menjadi semakin suram dan bahkan kemudian menjadi merah kehitam-
hitaman. "Aku akan pulang. Apapun yang akan terjadi," geramnya.
Tiba-tiba langkahnya justru menjadi tegap. Dadanya tengadah dan matanya
memandang lurus ke 9 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
depan. Dengan tidak menghiraukan apapun lagi ia berjalan kemulut lorong desanya.
Satu dua ia masih bertemu dengan orang-orang yang terlambat pulang dari sawah.
Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak memperhatikannya. Orang-orang itu pada
umumnya sudah tidak dapat mengenalnya lagi. Tetapi langkahnya kemudian tertegun
pula ketika ia sudah berdiri diregol halaman rumahnya yang rusak.
Terasa sesuatu menyangkut dikerongkongannya. Rumah ini seolah-olah telah menjadi
rumah hantu. Gelap dan mengerikan. Halamannya pun sudah tidak ubahnya lagi dengan sebuah hutan kecil yang pekat
dengan berbagai macam pepohonan liar.
Bramanti menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dipaksanya kakinya melangkah memasuki halaman yang kotor ini.
Yang pertama-tama disentuhnya, adalah sarang labah-labah yang menyangut
diwajahnya. Perlahan-lahan Bramanti melangkah menunju ke tangga pendapa. Pendapa
itu masih juga berdiri, diatas tiang yang kokoh kuat. Saka guru yang hampir
sepemeluk besarnya, kemudian tiang-tiang yang lain masih juga tampak kuat.
Tetapi ketika ia menengadah, maka atap rumah itu sudah dipenuhi oleh lubang-
lubang sebesar kelapa. "Selama ini ibu tinggal seorang diri di rumah ini," desisnya. Apabila ketika
diingatnya sikap ayah Ratri terhadapnya. Maka desisnya, "Apakah demikian pula
sikapnya terhadap ibu?"
Pertanyaan itu telah mendorongnya semakin cepat menaiki tangga pendapanya dan
langsung menunju pintu pringgitan. Dari lubang-lubang dinding gebyog yang retak
ia melihat seleret sinar yang kemerah-merahan menerangi ruangan dalam rumah itu.
Dengan tangan gemetar ia mengetuk pintu rumahnya. Perlahan-lahan, kemudian
semakin lama semakin keras.
"Siapa di luar?" terdengar suara parau seorang perempuan.
Bramanti akan menyahut. Tetapi sesuatu terasa menyumbat kerongkongan, sehingga
ia harus mendehem beberapa kali. "Siapa di luar?" terdengar suara itu sekali lagi.
"Aku, aku," suara Bramanti pun gemetar pula.
"Aku siapa?" "Aku ibu, Bramanti."
"He," perempuan tua yang sudah berbaring dipembaringannya itu terloncat berdiri.
Tetapi ia tidak segera percaya kepada pendengarannya. Sekali lagi ia bertanya,
"Siapa di luar?"
"Bramanti ibu."
"Bramanti, Bramanti," perempuan itu kemudian berlari sehingga hampir saja ia
jatuh terjerembab ketika 10
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
kakinya menyentuh sudut pembaringannya. Dengan tergesa-gesa dibukanya selarak
pintu rumahnya. Ketika pintu rumah itu terbuka, sepercik cahaya lampu minyak meloncat keluar,
mengusap wajah anak muda yang berdiri dengan kaki gemetar di muka pintu yang
sudah sepuluh tahun ditinggalkannya.
"Bramanti," suara perempuan itu seolah-olah menyangkut dikerongkongannya pula.
Anak muda itu tidak sempat menjawab, ketika tiba-tiba saja perempuan tua itu
memeluknya. Menciumnya seperti masa kanak-kanaknya dahulu. Terasa setitik air mata hingga
dipundaknya yang bidang. "Kau akhirnya pulang ngger."
"Ya ibu. Aku harus pulang. Tidak ada tempat lain yang paling baik buatku
daripada tanah ini. Daripada rumah ini dan halaman ini."
"Ya, ya ngger. Aku memang sudah menyangka bahwa kau akan pulang. Karena itu,
betapa hatiku pedih, aku tetap tinggal di rumah ini sambil menunggumu".
"Sekarang aku sudah pulang. Ibu tidak akan sendiri lagi. Aku akan membantu ibu
dalam kerja sehari-hari. Aku akan membersihkan halaman. Memperbaiki rumah kita
yang rusak".

Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu. Tentu Bramanti. Kau tidak boleh pergi lagi. Kau harus tinggal dirumah
ini apapun yang terjadi. Karena rumah ini, halaman ini, adalah rumah kita. Tanah ini adalah Tanah Warisan
yang tidak akan dapat dimiliki oleh orang lain. Meskipun aku hampir mati
kelaparan, tetapi tanah ini tidak akan aku serahkan kepada siapapun dengan ganti
apapun lagi." Bramanti tidak menjawab. Yang terdengar kemudian adalah isak tangis ibunya
sambil menariknya masuk. Dengan suara yang patah-patah perempuan tua itu
berkata. "Marilah Bramanti. Masuklah.
Jangan kau tinggalkan lagi rumah kita ini".
Bramanti pun kemudian masuk ke dalam ruang yang sudah lama ditinggalkannya itu.
Setelah menutup pintu dan memasang selaraknya kembali, Bramanti mengamat-amati
setiap sudut ruangan. Tiang-tiang itu masih juga berdiri dengan kokohnya. Kayu-
kayu nangka yang kekuning-kuningan. Gebyog yang masih kuat meskipun kotor.
Seperti pendapa rumah itu, yang paling parah adalah atapnya.
"Tetapi tidak sulit untuk memperbaikinya," desisnya di dalam hati. Aku akan
mencari ijuk, kemudian untuk sementara, sebelum sempat membuat atap kayu,
biarlah aku sulami saja dengan ijuk."
Bramanti terkejut ketika ia mendengar suara ibunya. "Duduklah ngger. Inilah
rumahmu sekarang." "Biarlah bu," jawab Bramanti, "Besok aku akan memperbaikinya. Aku akan membuat
rumah ini seperti rumah kita beberapa puluh tahun yang lampau."
"Oh," perempuan itu mengangkat wajahnya, namun kesan yang dengan tiba-tiba
membayang, segera lenyap. Bahkan ia pun kemudian tersenyum, "Ya ngger. Kau harus
memperbaiki rumah ini. Betapapun kesan orang-orang disekitar kita."
Sekali lagi lewat sekilas ingatannya tentang sikap ayah Ratri kepadanya. Tetapi
tidak bijaksana baginya apalagi ia segera bertanya. Ia tidak akan merusak
suasana pertemuan yang membuat dadanya serasa menjadi retak.
Ketika ibunya kemudian pergi ke dapur menjerang air, maka Bramanti berjalan
berputaran di dalam setiap ruang rumahnya. Tidak ada yang berubah, selain
menjadi kotor dan rusak. Tetapi sesuatu telah mengembang di dalam hatinya. Aku
akan menjadikan rumah ini seperti beberapa puluh tahun yang 11
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
lampau. Semasa ayah masih seorang yang kaya raya.
Setelah minum beberapa teguk dan mandi di sumur di belakang rumah, maka Bramanti
kemudian berceritera tentang dirinya. Pengalamannya selama ia meninggalkan rumah ini.
"Orang tua itu sangat baik bu," katanya.
"Aku tinggal di rumahnya seperti aku tinggal di rumah sendiri. Aku dianggapnya
sebagai anaknya. Apalagi orang tua itu memang tidak mempunyai seorang anakpun".
"Tuhan menuntun jalanmu sampai ke rumah yang baik itu ngger."
"Ya ibu," jawab Bramanti.
"Aku diketemukannya di pinggir sungai ketika aku beristirahat. Hampir-hampir aku
mati kelaparan. Tetapi Tuhan masih melindungi aku."
"Bersyukurlah ngger," sahut ibunya.
"Lalu apakah katamu ketika kau bermaksud pulang ke rumah ini?"
"Aku berkata terus terang. Aku rindu kepada ibu, kepada rumah ini dan kepada
tanah ini." "Apa ia tidak berkeberatan?"
"Tidak ibu. Sama sekali tidak. Ia tidak menganggapku hilang, sebab setiap saat
aku dapat pergi kepadanya atau ia pergi kepadaku, ke rumah ini."
"Oh, apakah kau masih akan pergi kepadanya?"
"Maksudku, aku dapat menengoknya untuk sehari dua hari. Lebih baik aku pergi
bersama ibu pada suatu ketika."
"Senang sekali Bramanti."
"Tetapi lebih daripada itu ibu, aku telah dipercaya olehnya untuk mewarisi
ilmunya." "Ya, ilmu kanuragan. Aku telah mendapat pelajaran tata bela diri sebaik-baiknya.
Aku sangat berterima kasih kepadanya. Kepada kepercayaan itu."
"Oh," tiba-tiba wajah perempuan tua itu menjadi cemas.
"Kenapa kau pelajari ilmu semacam itu ngger?"
"Apa salahnya?"
Perempuan itu tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi suram, dilemparkannya
pandangan matanya yang sayu ke sudut yang gelap. Kemudian terdengar suaranya
parau. "Ayahmu juga mempelajari ilmu semacam itu dahulu."
Bramanti tidak segera menjawab. Ia melihat ibunya justru menjadi kecewa.
12 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Dengan demikian maka sejenak mereka dicekam dalam kesenyapan. Masing-masing
membiarkan anganangannya meloncat ke saat-saat yang lampau. Bramanti yang masih
kecil saat itu tidak dapat mengerti lebih banyak lagi, kenapa ayahnya mati
terbunuh dalam perkelahian yang tidak adil. Beberapa orang telah mengeroyoknya
beramai-ramai. Betapapun tinggi ilmu ayahnya itu, namun untuk menghadapi
beberapa orang yang berilmu pula, agaknya ia tidak mampu. Kekuatan lawan-
lawannya berada di luar kemungkinan perlawanannya. Sehingga akhirnya ia harus
terkapar mati berlumuran darah.
Dan Bramanti yang kecil itu sudah tidak tahu bahwa di antara mereka yang
membunuh ayahnya adalah orang-orang padukuhan ini sendiri. Tetapi ibunya sudah
dapat menangkap lebih banyak persoalan daripada Bramanti yang kecil. Perempuan
itu tahu benar, bahwa perselisihan itu timbul di lingkaran judi.
Dalam perselisihan yang demikian, maka tidak ada seorang pun yang mampu menahan
hatinya lagi. Dan terjadilah akibat yang mengerikan itu. Suaminya terbunuh.
Masih terbayang di rongga matanya, apa yang terjadi saat itu, seperti baru
kemarin malam. Darah yang merah mengalir dari kening dan pelipis suaminya. Tiga
buah tusukan melubangi dada dan lambungnya.
Yang paling pedih adalah, geremang orang-orang yang melihat peristiwa itu.
"Tidak ada yang dapat disalahkan. Setelah Pruwita menjadi miskin, maka sifatnya
tidak lebih baik dari seekor serigala".
Dan ternyata kemudian, bahwa akibat yang timbul tidak hanya terhenti sampai
sekian. Meskipun Nyai Pruwita itu telah merasakan, bahwa orang-orang di
sekitarnya, para tetangganya, telah mulai menjauhi keluarganya, namun sejak
meninggalnya suaminya sikap itu menjadi semakin nyata. Hanya dalam soal-soal
yang sangat penting, orang-orang disekitarnya bersedia menghubunginya. Mereka
berbicara kadang-kadang sekali, sekadar satu dua patah kata.
Dengan demikian maka hidupnya kemudian menjadi terasing. Justru setelah ia
menjadi miskin. Setelah semua kekayaannya satu-satu mengalir kelingkaran judi.
Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ditatapnya wajah anaknya
yang masih tunduk. "Ilmu itu akan selalu membawa malapetaka ngger," desisnya kemudian.
Bramanti menggeleng. "Tidak selalu ibu. Aku tahu, bahwa orang-orang yang
memiliki ilmu tata bela diri, sering menyalahgunakan ilmunya. Orang-orang yang
demikian itulah yang akan tersesat dalam
kegelapan dan bahkan malapetaka.
Perempuan itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah
mendekati anaknya yang duduk terpekur. "Bramanti, apakah kau menyimpan dendam
dihatimu atas kematian ayahmu?"
Bramanti terperanjat. Diangkatnya wajahnya dan ditatapnya mata ibunya yang sayu.
Kemudian dengan suara yang mantap ia berkata, "Tidak ibu. Aku tidak menyimpan
dendam didalam hati. Apapun yang telah terjadi atas ayah, biarlah itu terjadi.
Aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Ini bukan berarti aku tidak berbakti
kepada orang tuaku. Tetapi tidak dengan cara itu aku akan menjunjung nama ayah
dan keluargaku. Seleret cahaya memancar dari sepasang mata yang tua itu. Tiba-tiba perempuan tua
itu sekali lagi memeluk anaknya dan mencium keningnya. "Kau anak baik ngger. Kau
benar. Bukan begitu cara yang sebaik-baiknya untuk berbakti kepada orang tua.
Dendam tidak akan menumbuhkan ketentraman
didalam hati dan di dalam keseluruhan hidup ini.
"Ya ibu, begitu jugalah pesan orang yang memungutku menjadi anaknya dan
sekaligus muridnya."
"Apa pesannya?"
"Aku harus berbuat sebaik-baiknya. Aku harus mengembalikan kewibawaan ayah
dengan cara yang baik. Aku harus bekerja keras, memberikan suasana yang demikian, akan terhapuslah nama
yang kurang baik dari ayah dan keluargaku. Seandainya ayah memang pernah berbuat
salah, maka aku harus menebus 13
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
kesalahan itu." "Oh," ibu yang tua itu membelai rambut anaknya yang panjang. "Kau akan memenuhi
idamanku ngger. Kau adalah anak yang terlampau baik. Dengan demikian akan hilanglah coreng
moreng dikening kita. "Mudah-mudahan aku berhasil ibu."
"Mudah-mudahan," dan ibu yang tua itu kemudian melepaskan anaknya, sambil
menghapus air matanya yang meleleh di pipinya yang sudah mulai berkeriput.
Katanya sejenak kemudian, "Baristirahatlah nak.
Kau tentu lelah setelah menempuh perjalanan sehari ini."
"Ya, aku memang lelah. Tetapi aku belum ingin tidur."
"O," ibunya menyahut. "Kalau begitu, aku harus merebus air lagi. Kita duduk-
duduk sambil berbicara apapun. Namun kita harus menyediakan minum."
"Ibulah yang nanti menjadi lelah. Bukan aku. Karena itu, biarlah. Aku tidak
terlalu haus." "Ah," desis ibunya. "Biarlah aku merebuskannya untukmu. Untuk kedatanganmu."
Tetapi ketika perempuan tua itu berdiri, maka langkahnya menjadi urung. Bahkan
dadanya menjadi berdebar-debar karena ia mendengar langkah kaki memasuki halaman
dan naik ke pendapa rumahnya.
Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang.
Bramanti pun telah mendengarnya pula. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
Hanya sorot matanya sajalah yang seolah-olah bertanya kepada ibunya, "Siapa
mereka?" Tetapi ibunya masih berdiri diam mematung.
Sejenak kemudian terdengarlah pintu rumah itu diketuk orang. Sekali, dua kali,
kemudian berkali-kali dan semakin lama semakin keras.
Nyai Pruwita, bukalah pintu rumahmu," terdengar seseorang berteriak di luar
pintu. "Siapakah kalian?" bertanya Nyai Pruwita.
"Bukalah pintu, kau akan mengenal siapa kami."
Nyai Pruwita menjadi ragu-ragu. Baru siang tadi orang-orang berkuda memasuki
Kademangan ini. "Cepat Nyai, supaya kami tidak usah merusak pintu rumahmu yang hampir roboh
ini." Dalam keragu-raguan Nyai Pruwita memandangi wajah anaknya. Seolah-olah ia minta
pertimbangannya, apakah yang sebaiknya dilakukannya.
Sejenak Bramanti menjadi ragu-ragu. Namun kemudian dianggukkannya kepalanya.
Tetapi ibunya tidak melangkah menuju ke pintu rumahnya, tetapi ia meraih kepala
anaknya sekali lagi sambil berbisik, "Jangan Bramanti. Jangan berbuat apa-apa
atas mereka. Aku kira mereka bukan orang-orang jahat yang siang tadi memasuki
Kademangan ini. Tetapi mereka adalah tetangga-tetangga kita yang baik, apapun
yang akan dilakukannya."
"Aku tidak akan berbuat apa-apa ibu. Sudah aku katakan, aku tidak menyimpan
dendam di dalam hatiku. Nyai Pruwita melepaskan kepala anaknya. Kemudian melangkah perlahan-lahan
menunju ke pintu pringgitan. Perlahan-lahan pula tangannya yang lemah meraih selarak pintu dan
membukanya kembali. Begitu pintu rumah itu terbuka, maka beberapa orang laki-laki yang tegap dan
beberapa orang anak-anak muda berloncatan masuk. Bahkan beberapa orang di antara
mereka membawa senjata ditangannya. "Nyai," berkata salah seorang dari mereka, "Aku dengar, anakmu pulang kembali ke
rumah ini." Nyai Pruwita mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling ke arah
Bramanti yang masih duduk ditempatnya.
"O," orang itu menyambungnya. "Itukah anakmu yang bernama Bramanti" Ia sudah
cukup dewasa. Tubuhnya kekar dan utuh. Ia sudah pantas mewakili ayahnya untuk melepaskan
dendamnya kepada kami." Nyai Pruwita terperanjat mendengar kata-kata itu. Bramanti pun tidak kalah
terperanjat pula. Tetapi segera ia menekan perasaan itu. Sehingga ia sama sekali
tidak beringsut dari tempat duduknya.
"Kalian salah," Nyai Pruwita hampir berteriak. "Anakku sama sekali tidak membawa
dendam. Ia pulang oleh kerinduannya kepada ibunya, kepada rumah dan halamannya
dan kepada tanah kelahiran. Ia
14 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
pulang karena ia mencintai semuanya itu. Sama sekali bukan diseret oleh perasaan
dendam.". Seorang anak muda melangkah maju sambil tertawa. Dipandanginya wajah
Bramanti yang kemerah-merahan
oleh sinar lampu minyak yang redup. Kau banyak berubah Bramanti. Tetapi aku
masih tetap mengenalimu. Tetapi bukan saja kau yang tumbuh menjadi besar, tetapi anak-anak
yang sebaya dengan kau, kawan-kawanmu bermain di Kademangan ini pun telah tumbuh
pula sebesar kau." Bramanti berpaling. Dilihatnya wajah anak muda itu sekilas. Kemudian perlahan-
lahan ia berdiri sambil menjawab, "Ya, kalian telah menjadi besar pula. Bahkan
lebih besar dari aku."
"Dan orang-orang tua kami disini sudah menjadi bertambah tua. Tetapi jangan kau
sangka bahwa kau akan dapat membalas dendam kepada mereka. Sebab pada umumnya
mereka pun mempunyai anak
laki-laki seperti ayahmu mempunyai anak laki-laki."
"Maksudmu, kalau aku ingin membalas dendam, maka aku akan berhadapan dengan
anak-anak muda kawanku bermain dahulu?"
"Ya." "Kau keliru. Ibuku sudah mengatakan, bahwa aku sama sekali tidak pulang karena
didorong oleh perasaan dendam. Apa yang dapat aku lakukan atas kalian disini.
Aku hanya seorang diri. Bahkan seperti katamu, bahwa anak-anak muda disinipun
telah tumbuh pula menjadi dewasa.
Apakah yang dapat aku lakukan" Pembalasan dendam bukan suatu penyelesaian
bagiku. Aku tidak ingin hidup dalam kegelisahan seperti ayah. Aku ingin hidup
tenteram bersama ibuku yang telah tua. Aku ingin berbuat sesuatu yang baik
bagiku, bagi keluargaku dan apabila mungkin bagi Kademangan ini.
Tiba-tiba anak muda itu tertawa. Katanya, "Setiap anak yang menyadari dirinya,
ingin berbakti kepada orang tuanya. Apakah kau tidak akan berbuat demikian"
Apakah kau tidak ingin membuat ayahmu
tenteram di alam baka dengan melepaskan sakit hatinya?"
"Aku tidak berpendirian demikian. Aku berpendapat bahwa arwah ayahku tidak akan
dapat disucikan dengan darah. Tidak. Darah hanya akan menambah bebannya di alam
baka. Karena itu, aku tidak akan berbuat bakti dengan cara demikian.
"Ada dua kemungkinan," tiba-tiba seorang setengah umur berkata, "Bramanti
seorang anak durhaka, yang tidak merasa perlu berbakti kepada orang tuanya, tahu
ia mencoba menipu kami. Ia akan mencari kesempatan supaya kami menjadi lengah.
Dalam kelengahan itulah ia akan dapat berbuat menurut kehendaknya."
"Yang kedualah yang paling mungkin," sahut suara yang lain. "Kalau ia benar-
benar anak durhaka, yang tidak merasa perlu berbakti kepada ayahnya, ia tidak
akan datang kembali ke Kademangan ini. Ia akan tetap tinggal di rantau, apapun
yang akan terjadi atasnya."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mencoba menjelaskan, "Aku
mencintai ibuku. Aku mencintai kampung halaman. Karena itu aku kembali."
"Ah," seorang yang tinggi berkumis melintang berkata, "Kita tidak perlu
mendengarkan kicauannya. Kita mendapat tugas menangkapnya. Melawan atau tidak
melawan. Kita bawa saja anak ini menghadap Ki Demang. Terserah, apa yang akan
dilakukannya atas anak ini."
"Ya, itulah yang baik," kata yang lain.


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Marilah, kita tangkap anak ini."
Orang yang berkumis itu maju mendekati Bramanti sambil berkata. "Kita harus
menangkapmu nak. Apakah kau akan melawan?"
Bramanti memandang orang yang tinggi dan berkumis itu dengan sorot mata yang
aneh. Bagi Bramanti orang yang tinggi dan berkumis ini memang aneh. Sikapnya
agak lain dengan kawan-kawannya,
meskipun pada dasarnya, ia akan menangkapnya pula.
Sejenak Bramanti tidak dapat menjawab. Namun kemudian terasa tangan ibunya
meraba pundaknya, 15 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Bukankah kau tidak mendendam?"
Bramanti mengangguk, "Ya, aku memang tidak mendendam," Kemudian kepada orang
yang tinggi berkumis itu ia berkata, "Aku tidak akan melawan. Aku sama sekali tidak akan
mampu melawan kalian."
Belum lagi Bramanti selesai bicara, seorang anak muda yang berkulit kekuning-
kuningan, bermata tajam dan berwajah tampan menarik tangannya kemudian
mendorongnya, "Ayo, kita pergi ke Ki Demang."
Bramanti terdorong beberapa langkah ke depan. Ketika ia berpaling, maka
terdengar ia berdesis. "Kau Temunggul."
"Hem," anak muda itu menggeram, "kau masih ingat kepadaku."
"Tentu. Aku dapat ingat hampir setiap anak disini."
"Kau ingat peristiwa yang telah terjadi?"
"Ya." "Nah, karena itulah, maka kami akan menangkapmu. Jangan mencoba melawan. Ayo,
berjalanlah sendiri tanpa kami dorong-dorong. Bukankah kau masih ingat jalan ke
Kademangan?" Bramanti memandang sekeliling. Disambarnya setiap wajah dengan sorot matanya.
Kemudian dipandanginya wajah ibunya yang kecemasan. "Tenanglah ibu," berkata Bramanti.
"Aku percaya bahwa orang-orang Kademangan Candi Sari adala orang yang baik, yang
dapat membedakan antara yang jahat dan yang lurus. Karena itu, ibu jangan cemas
tentang diriku. Aku akan segera kembali."
Dengan wajah yang suram ibunya mengangguk. Namun tampaklah betapa ia menyandang
kecemasan di dalam hatinya.
"Ayo pergi," sentak anak muda yang bernama Temunggul.
Bramanti tidak menjawab. Dengan kepala tunduk ia pun kemudian berjalan diiringi
oleh beberapa orang dan anak-anak muda yang di antaranya membawa senjata di
tangan mereka. Di Kademangan, ternyata beberapa orang telah bersedia menerimanya. Selain Ki
Demang sendiri, beberapa orang perabot yang lain telah hadir pula.
Ketika mereka melihat Bramanti memasuki halaman, maka sejenak mereka saling
berpandangan. Kemudian, Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi besar dan bermata tajam, berdiri dan
melangkah perlahan-lahan menuruni tangga pendapa.
"Hem," ia menggeram dalam nada yang berat, "Kau Bramanti."
Bramanti menundukkan kepalanya, "Ya Ki Jagabaya". "Naiklah. Ki Demang
menunggumu." Bramanti pun kemudian naik ke pendapa dan duduk di atas sehelai tikar pandan
yang kasar, menghadap Ki Demang yang duduk sambil memilin kumisnya.
"Aku tidak ingin Kademangan ini menjadi kisruh," tiba-tiba terdengar suara Ki
Demang berat. Bramanti tidak segera menjawab. Kepalanya masih menunduk dalam.
"Aku tahu, ayahmu mati terbunuh di Kademangan ini," berkata Ki Demang kemudian.
"Setelah kau hilang beberapa tahun, maka tiba-tiba kau datang lagi. Seorang
telah melihatmu dan melaporkannya kepadaku."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan serupa telah didengarnya lagi.
Dendam. Orang-orang Kademangan ini pasti akan bertanya dan bahkan menuduhnya,
bahwa ia menyimpan dendam di dalam hatinya. Bahwa kedatangannya itu telah
didorong oleh perasaan dendamnya atas kematian ayahnya.
Untuk kesekian kalinya ia terpaksa menjawab. Jawaban serupa pula. Seperti yang
dikatakannya kepada ibunya, kepada orang-orang yang datang ke rumahnya. Dan kini
kepada mereka yang berada di
Kademangan itu. Ternyata di antara sekian banyak orang, hanya ibunyalah yang dapat
mempercayainya dengan tulus.
Hampir setiap orang memandangnya dengan penuh curiga, seolah-olah ia adalah
orang yang paling jahat yang pernah ditangkap oleh orang-orang Kademangan itu.
Bahkan Ki Demang pun menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Kau bercerita
tentang sesuatu yang tidak kau mengerti sendiri. Karena itu, maka ceriteramu
seperti ceritera mimpi. Bramanti pun tidak menjawab. Apalagi yang dapat dikatakan, apabila orang-orang
itu bersikap mutlak. 16 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Atau," tiba-tiba Ki Jagabaya menyambung. "Kau termasuk salah seorang dari
murid-murid orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?"
Bramanti terkejut mendengar pertanyaan itu sehingga kepalanya menengadah,
memandang wajah Ki Jagabaya yang tegang.
"Jawablah," desak Ki Jagabaya. "Sekar Jagat baru saja mengirimkan orang-orangnya
kemari untuk memeras. Mereka seakan-akan tahu pasti, siapa-siapa yang memiliki
benda-benda berharga disini.
Apakah kau termasuk petugas sandinya yang harus menyelidiki Kademangan ini, dan
kau mempergunakannya sebagai suatu cara untuk membalas sakit hatimu."
Dahi Bramanti berkerut ketika diingatnya orang berkuda yang dijumpainya di
pinggir Kademangan ini, pada saat ia datang. Namun ia tidak segera bertanya. Dan
didengarnya Ki Jagabaya berkata terus,
"Karena kau tidak mampu melakukan balas dendam itu sendiri, maka kau telah
memperguakan cara yang kotor itu."
Bramanti tidak segera menjawab. Kini kembali kepalanya menunduk. Di cobanya
untuk mengingat-ingat, berapa orang dan siapa sajakah mereka yang telah menyebut
dirinya murid-murid Panembahan Sekar Jagat itu.
Tetapi Bramanti terkejut ketika tiba-tiba sebuah tangan yang kasar telah
merenggut bajunya, "Ayo, katakan tentang dirimu."
Ketika sekali lagi Bramanti mengangkat wajahnya, maka dilihatnya wajah Ki
Jagabaya yang menyeramkan. "Bukankah kau angota dari perampok itu?"
Tergagap Bramanti menjadwab, "Tidak Ki Jagabaya. Sama sekali tidak."
"Lebih baik kau mengaku," Ki Jagabaya mengguncang baju Bramanti, sehingga anak
muda itu ikut terguncang pula.
"Tidak Ki Jagabaya. Aku tidak mengenal Panembahan Sekar Jagat."
"Jangan bohong," ternyata Ki Demang pun membentaknya.
"Tidak Ki Demang. Aku berkata sebenarnya. Aku baru saja datang dari jauh. Kalau
yang Ki Demang maksudkan orang-orang berkuda, maka aku memang menjumpai mereka
itu di pinggir Kademangan ini."
"Aku tidak bertanya tentang orang-orang berkuda itu. Kami di sini melihat sampai
jemu. Bahkan di antara kami dipaksa untuk menyerahkan harta benda kami. Yang
ingin kami ketahui, apakah kau
termasuk dalam lingkungan mereka?"
"Tidak. Aku bersumpah," jawab Bramanti. "Tetapi katanya kemudian, "Apakah Ki
Demang tidak berhasil menangkap mereka."
"Apa kau bilang" Menangkap?" Ki Jagabaya berteriak, "Apa kau kira kami terlampau
bodoh untuk menyerahkan leher kami karena sepotong benda yang kami anggap
berharga." "Tetapi mereka hanya beberapa orang saja. Sedang aku lihat beberapa kuatnya
kemampuan setiap laki-laki di Kademangan ini.
"Apakah kau ingin menjebak kami he?"
"Sama sekali tidak Ki Jagabaya."
"Apa kau kira, aku tidak ada kekuatan lain kecuali mereka yang datang kemari
itu" Kau kira kami akan dapat melawan seandainya Panembahan Sekar Jagat itu
marah dan turun ke Kademangan ini untuk
menghukum kami?" "Siapa Panembahan Sekar Jagat itu?"
"Pertanyaan yang bodoh. Tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya."
"Kenapa kita tidak berani melawannya" Kita belum pernah mengenalnya. Dari siapa
kita tahu, bahwa kita tidak akan dapat melawan kekuatan mereka. Apalagi kita
mempertahankan hak kita sendiri."
Ki Jagabaya tidak segera menyahut. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah Ki
Demang yang tegang. Namun sejenak kemudian Ki Demang itu berkata, "Kau mengigau. Yang ingin kami
ketahui, apakah kau salah seorang dari mereka?"
17 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Tidak Ki Demang."
"Dan kau datang benar-benar tidak akan membuat onar Kademangan yang sedang
dicengkam ketakutan ini?"
"Tidak Ki Demang. Aku tidak akan berani melakukan."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Setelah memandangi setiap wajah yang ada di
pendapa Kademangan itu, maka kemudian ia berkata, "Aku akan memberi kau kesempatan.
Tetapi apabila kau membuat onar, maka kami tidak akan mengampuninya. Supaya kau
tidak akan dapat mengganggu kami lagi untuk seterusnya, maka hukuman yang akan
kami berikan adalah hukuman yang seberat-beratnya."
Ki Demang berhenti sejenak, lalu, "Nah kau boleh pulang. Tetapi ingat, jangan
berbuat sesuatu yang dapat mengantarmu ke lubang kubur. Kami tidak segan-segan
bertindak terhadap siapapun yang
melanggar tata tertib kehidupan di Kademangan ini.
"Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata,
"Terima kasih Ki Demang. Aku akan mencoba mempergunakan kesempatan ini sebaik-
baiknya. Aku akan membuktikan,
bahwa aku tidak mempunyai maksud sama sekali untuk mempersoalkan lagi apa yang
telah terjadi. Apalagi menuntut balas. "Aku tidak perlu mendengar igauan itu. Aku hanya ingin melihat apa yang akan kau
lakukan di sini. Sekarang pergilah." "Terima kasih Ki Demang. Aku minta diri."
Ki Demang menganggukkan kepalanya dengan acuh tak acuh. Ia sama sekali tidak
memperhatikan lagi ketika Bramanti melangkah surut, kemudian berdiri
meninggalkan pertemuan yang mendebarkan itu.
Setelah memandang berkeliling, menembus kesuraman malam, maka ia pun segera
turun ke halaman. Perlahan-lahan ia berjalan menyeberangi halaman yang luas. Sekali-kali ia
berpaling. Dilihatnya, di pendapa para pemimpin kademangan masih duduk
melingkari lampu minyak. Tanpa sadar tiba-tiba dadanya berdesir ketika dilihatnya beberapa anak-anak muda
berdiri di regol halaman Kademangan. Setiap mata mereka memandanginya dengan
tajamnya. Seolah-olah ingin
melihat langsung ke pusat jantungnya.
Di bawah cahaya lampu di regol yang kemerah-merahan Bramanti melihat Tumenggul
berdiri bertolak pinggang.
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu kenapa sikap Temunggul itu
kini sangat menyinggung perasaannya. Temenggul adalah kawan bermain yang baik di masa kanak-
kanak. Langkah Bramanti pun menjadi semakin lambat. Tetapi ia tidak berhenti. Dengan
dada berdebar-debar ia maju semakin dekat.
Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Bahkan ia
berkata di dalam hatinya, "Mungkin aku terlampau berprasangka."
Karena itu, maka Bramanti pun melangkah terus. Berjalan di antara anak-anak muda
yang berdiri tanpa beranjak sejengkal dari tempatnya. Sedang Bramanti pun sama
sekali tidak berpaling pula. Bahkan kepalanya semakin menunduk ketika ia
melangkah di depan Temunggul yang bertolak pinggang itu.
Bramanti tidak sempat berbuat apapun juga, ketika hal itu terjadi dengan tiba-
tiba. Ia merasa tangan Temunggul mendorong punggungnya. Sedang kakinya
disilangkannya di hadapannya. Dengan demikian, maka Bramanti itu pun terdorong
ke depan, namun karena kakinya terkait, maka ia pun terbanting jatuh
tertelungkup. Bramanti masih mendengar anak-anak muda di regol itu serentak tertawa
berkepanjangan. Beberapa di antara mereka tidak dapat menahan air matanya yang
membasahi pelupuk. Yang lain lagi terpaksa memegangi perutnya yang berguncang-
guncang. "Ayo cepat, cepat bangun anak manis," terdengar Temunggul berdesis. "Ayo
bangunlah, meskipun belum pagi."
Bramanti mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sebagai seorang anak muda maka
darahnya segera mendidih. Namun kemudian dikenangnya kata-kata gurunya dan bahkan ibunya.
"Jangan mendendam 18 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
ngger." "Tetapi ini bukan soal dendam," katanya di dalam hati. "Aku telah dihinanya.
Apakah aku akan tetap menundukkan kepala saja."
Yang kemudian diingatnya adalah kata-kata Ki Demang. "Tetapi apabila kau berbuat
sesuatu yang menyakitkan hati kami, apalagi membuat onar, maka kami tidak akan
mengampunimu." Bramanti menggigit bibirnya untuk menahan hatinya yang bergolak. Suara tertawa
anak-anak muda di sekitarnya masih terdengar. Dan Temunggul masih juga berkata,
"Ayo bangun anak manis."
Bramanti bangkit perlahan-lahan bertelekan pada kedua tangannya. Kemudian ia
berdiri pula pada lututnya. Sekilas dipandanginya anak-anak muda yang berdiri di
sekitarnya. Mereka bergembira karena mereka merasa mendapat permainan yang
mengasyikkan. Ketika terpandang wajah-wajah anak-anak muda itu, maka ia berkata di dalam
hatinya. "Anak-anak itu juga. Anak-anak yang kini seolah-olah menjadi liar"
Kalau ayahku terbunuh karena ayahku dianggap oleh orang-orang Kademangan ini
sebagai seorang yang liar, seharusnya akulah yang menjadi liar melampaui ayah
dan melampaui keliaran anak-anak muda itu."
Tetapi sekali lagi ia seolah-olah mendengar kata-kata gurunya. "Ayahmu memang
bersalah. Karena itu jangan kau selusuri jalan hidupnya. Kau harus mencari jalan
sendiri. Jalan yang baik. Kau harus membuktikan, bahwa tidak selalu tabiat orang
tua yang kurang baik itu dapat menurun kepada anaknya.
Dengan jalan itulah kau berbakti kepada orang tuamu."
Namun sekali lagi dadanya bergolak. "Tetapi ini adalah soal yang lain. Aku
dihinanya tanpa sebab."
Belum lagi ia menemukan jalan yang akan ditempuhnya, terasa punggungnya
terdorong oleh telapak kaki sambil didengarnya lagi suara Temunggul, "He, apakah
kau masih terlampau lelah."
"Sekali lagi Bramanti terdorong jatuh tertelungkup. Wajahnya yang basah oleh
keringat, menyentuh tanah berdebu, sehingga menjadi keputih-putihan.
Oleh cahaya pelita, wajahnya menjadi tampak terlampau acuh, sehingga anak-anak
muda disekitarnya tertawa semakin keras lagi.
Bramanti tidak dapat lagi menahan hatinya. Betapa pun ia mengingat segala macam
nasehat, tetapi darah mudanya telah mendidih sampai ke ubun-ubun.
Namun sebelum ia berbuat sesuatu, didengarnyalah suara keras di antara anak-anak
muda itu. "He, siapa yang berbuat ini?"
Anak-anak muda itu saling berpandangan. Suara tertawa mereka telah lenyap
ditelan kecemasannya melihat wajah yang berdiri di antara mereka dengan
marahnya. "Kalian selalu membuat kisruh saja."
Bramanti kemudian mengangat wajahnya. Ditatapnya orang yang sedang marah-marah
itu. "Ki Jagabaya," desisnya.


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan-lahan ia pun segera bangkit. Sambil membenahi pakaiannya ia berdiri
termangu-mangu melihat sikap Ki Jagabaya itu.
"Kenapa kalian lakukan hal itu" Ki Jagabaya membentak.
Anak-anak muda itu menundukkan kepalanya. Tidak seorang pun yang berani
memandang wajah yang seram dan kemerah-merahan karena merah dan karena cahaya
pelita yang jatuh di atas garis-garis yang keras di wajah itu.
Tetapi anak-anak muda itu mengangkat wajah-wajah mereka ketika mereka mendengar
suara yang lain, "Biar sajalah Ki Jagabaya. Begitulah adat anak-anak muda. Bukankah kita berbuat
seperti itu pula ketika masih seumur dengan mereka."
Ternyata suara itu adalah suara Ki Demang Candi Sari. Dan Ki Demang berkata
seterusnya, "Suatu cara perkenalan yang bai bagi Bramanti. Ia harus berusaha
menyesuaikan dirinya di sini."
"Aku mengenalnya sejak kanak-kanak," sahut Temunggul.
"O. Kalau begitu kau bertemu dengan sahabat lama" Pantaslah kalau kau dapat
bergurau begitu meriah." Anak-anak muda itu kini mulai tertawa.
"Tetapi perbuatan itu sudah keterlaluan," geram Ki Jagabaya.
19 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Ki Demang tertawa. Katanya kemudian, "Pulanglah Bramanti. Jangan kamu pikirkan
lagi apa yang terjadi. Setelah lama kalian tidak saling bertemu, maka anak-anak
itu merasa kangen bergurau dengan kau lagi."
BRAMANTI tidak segera beranjak dari tempatnya. Ditatapnya saja wajah Ki Demang
dan Ki Jagabaya berganti-ganti.
Tetapi dadanya berdesir ketika ia mendengar Ki Demang berkata, "Tidak ada tempat
bagi anak-anak cengeng di Kademangan Candi Sari. Jangan menangis. Pulanglah dan
lainkali, bersikaplah seperti seorang laki-laki."
Sekali lagi jantung Bramanti serasa tergores oleh sembilu. Tetapi dihadapan Ki
Demang dan Ki Jagabaya ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab kalau ia menuruti
perasaannya, maka akibatnya pasti akan berkepanjangan. Melawan Ki Demang dan Ki
Jagabaya berarti melawan seluruh Kademangan Candi Sari.
"He, kenapa kau berdiri saja membatu," terdengar Ki Jagabaya membentak, sehingga
Bramanti terperanjat karenanya. "Ayo pergi, cepat, pergi," Ki Jagabaya berteriak.
Bramanti menganggukkan kepalanya sambil berkata. "Aku minta diri."
Baik Ki Jagabaya maupun Ki demang tidak menjawab. Anak-anak muda yang berdiri di
regol itu pun tidak mentertawakannya lagi meskipun ia terkejut mendengar
bentakan Ki Jagabaya sehingga ia hampir terlonjak.
Bramanti itu pun kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan regol Kademangan.
Sekali-kali ia berpaling. Dilihatnya di bawah cahaya pelita di regol halaman,
anak-anak muda itu masih saja berada ditempatnya.
"Aneh," Bramanti berdesis.
Sebenarnya bagi Bramanti sikap Ki Jagabaya dan Ki Demang merupakan sikap yang
aneh. Ki Jagabaya meskipun bersikap kasar, namun terasa kelurusannya. Ia
bersikap kasar dan keras terhadap siapapun.
Terhadap dirinya, tetapi juga terhadap siapapun. Terhadap dirinya, tetapi juga
terhadap anak-anak muda itu. Berbeda dengan Ki Demang. Meskipun Ki Demang tidak
sekasar Ki Jagabaya, namun terasa dalam sikapnya, bahwa ia kurang jujur
menghadapi persoalan. "Sebuah bahan yang harus aku ingat-ingat," gumamnya.
Sementara itu kaki Bramanti melangkah terus menyusuri jalan-jalan desa. Jalan-
jalan yang pernah dikenalnya dengan baik beberapa waktu yang lampau semasa ia
masih kanak-kanak. Di jalan-jalan inilah ia dahulu berlari-lari berkejaran.
Bermain sembunyi-sembunyian. Bermain hantu-hantuan dan di halaman rumahnya yang
luas itulah anak-anak bermain nini Towok. Terutama anak-anak perempuan,
sementara anak-anak laki-laki bermain kejar-kejaran.
Tetapi semuanya telah berubah sama sekali. Tidak seperti jalan yang dilampauinya
itu. Jalan ini seolah-olah masih jalan yang dahulu, tanpa perubahan sama sekali.
Pohon nyamplung di pinggir sungai, pohon cangkring dan pohon gayam yang berdiri
berjajar, pohon randu alas di samping kuburan dan pohon pucang berjajar empat.
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia berkata, "Aku ternyata
harus berusaha menyesuaikan diriku. Sikap anak-anak Candi Sari sekarang adalah
sikap yang tidak menyenangkan."
Namun kemudian tumbuh pertanyaan di dalam hatinya, "Tetapi kenapa tidak seorang
pun yang berani berbuat sesuatu atas orang-orang yang menyebut dirinya
Panembahan Sekar Jagat?"
Tetapi Bramanti tidak dapat menemukan jawabannya. Untuk sementara ia menganggap
bahwa sikap orang-orang berkuda yang menjadi kepercayaan Panembahan Sekar Jagat itu
terlampau menakutkan bagi orang-orang Candi Sari, sehingga kesannya terhadap
Panembahan Sekar Jagat menjadi terlampau berlebih-lebihan.
Sambil merenung Bramanti melangkah terus. Dilaluinya regol demi regol. Semakin
lama semakin jauh dari halaman Kademangan.
Tetapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang berdesir di balik dinding batu di
tepi jalan. Telinganya yang 20
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
tajam segera mengenal, agaknya seorang telah mengikutinya dengan diam-diam.
"Siapa orang itu," ia bertanya di dalam hatinya.
Namun Bramanti tidak berhenti. Ia pura-pura tidak mengetahuinya. Bahkan
langkahnya semakin dipercepatnya. Dengan demikian, maka ia akan segera memancing orang itu untuk
segera melakukan maksudnya apabila memang itulah yang dimaksudkannya.
Ternyata usahanya itu berhasil. Ketika Bramanti lewat ditikungan, disebelah
halaman yang kosong dan gelap, maka meloncatlah sesosok tubuh langsung berdiri
dihadapannya. Bramanti terkejut, bukan karena kehadiran itu dengan tiba-tiba, tetapi ia
terkejut setelah ia mengenal orang itu. Temunggul.
"Hem," ia berdesah di dalam hatinya. "Apakah anak itu masih saja akan membuat
persoalan." Bramanti terpaksa menghentikan langkahnya karena Temunggul berdiri bertolak
pinggang di tengah jalan.
"Hem, kau beruntung hari ini Bramanti," terdengar Temunggul berdesis.
Bramanti tidak segera mengerti maksud kata-kata itu. Karena itu, maka untuk
sejenak ia berdiam diri. Karena Bramanti tidak menjawab, maka Temunggul berkata lebih lanjut, "Seandainya
Ki Jagabaya tidak ikut campur, maka kau akan tahu, bahwa kedatanganmu sama
sekali tidak kami sukai. Dan kau akan tahu, seandainya kau ingin melepaskan
dendammu, maka kau tidak akan mendapat kesempatan sama sekali."
Bramanti masih tetap membatu.
"Sayang," berkata Temunggul selanjutnya, "Ki Jagabaya yang kasar itu telah
menyelamatkanmu." Bramanti masih belum menyahut.
"Nah," berkata Temunggul pula, "Seperti kau berjanji kepada Ki Demang, maka kau
pun harus berjanji kepadaku."
Orang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat itu terlampau menakutkan bagi orang-
orang Candi Sari, sehingga kesannya terhadap Panembahan Sekar Jagat menjadi
terlampau berlebih-lebihan.
Sambil merenung Bramanti melangkah terus. Dilaluinya regol demi regol. Semakin
lama semakin jauh dari halaman Kademangan.
Tetapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang berdesir di balik dinding batu di
tepi jalan. Telinganya yang tajam segera mengenal, agaknya seorang telah
mengikutinya dengan diam-diam.
BRAMANTI mengerutkan keningnya.
"Ayo, berjanjilah. Kalau tidak, maka kau kini tidak akan dapat mengharapkan
bantuan siapapun juga."
"Apakah yang harus aku janjikan?" bertanya Bramanti.
"Berjanjilah, bahwa kau tidak akan berhubungan dengan Ratri.
Bramanti terperanjat mendengar permintaan itu. Sejenak ia terbungkam. Namun
dalam pada itu, segera ia mengetahui, bahwa inilah sumber persoalannya, kenapa
Temunggul bersikap demikian kasar
terhadapnya. "Berjanjilah," geram Temunggul. Terasa bahwa di dalam nada kata-katanya itu
tersimpan sebuah ancaman.
"Aku tidak mempunyai sangkut paut apapun dengan Ratri," jawab Bramanti.
"Bohong," potong Temunggul. "Pada saat kau menginjakkan kakimu kembali di
Kademangan ini, yang pertama-tama kau temui adalah Ratri. Jangan bohong. Aku
melihat sendiri apa yang telah terjadi itu."
"Itu hanya suatu kebetulan saja. Aku melihat Ratri berjalan beberapa langkah
daripadaku. Bahkan Ratri sendiri sudah tidak dapat mengenal aku lagi."
"Memang. Mungkin Ratri sudah tidak mengenalmu dan sama sekali tidak mengharapkan
pertemuan ini. Tetapi agaknya kaulah yang dengan sengaja menemuinya."
Bramanti menggeleng. "Tidak, Aku sama sekali tidak sengaja."
"Aku melihat sorot matamu, ketika kau menatap wajah Ratri."
"Sudah kira-kira sepuluh tahun aku tidak bertemu dengan anak itu. Perpisahan itu
terjadi ketika kami 21 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
masih kanak-kanak. Di dalam diri kami sama sekali tidak tersangkut perasaan
apapun di dalam usia kami saat itu."
"Tetapi sekarang kau adalah seorang anak muda yang gagah. Tanggapanmu terhadap
anak-anak perempuan yang masih kanak-kanak pada saat kau tinggalkan pasti mengalami
perubahan pula." "Tetapi aku belum siap untuk menilai seseorang karena aku baru saja melihatnya
saat itu." "Mungkin kau benar. Tetapi aku minta kau berjanji, bahwa untuk seterusnya kau
tidak akan mengganggu Ratri." Bramanti termenung sejenak. Sebenarnya ia sama sekali tidak menaruh perhatian
terhadap anak perempuan itu. Namun justru karena permintaan Temunggul itu, ia mulai
membayangkan, wajah gadis yang bernama Ratri itu.
"Ia memang cantik," katanya di dalam hati. "Mungkin ia bakal istri Temunggul.
Tetapi sikap Temunggul itu memang agak keterlaluan."
"Barjanjilah," Temunggul mendesaknya.
Bramanti kemudian menganggukkan kepalanya. Ia tidak melihat kemungkinan lain
daripada memenuhi permintaan itu supaya tidak terjadi keributan.
"Baik," katanya, "Aku tidak akan mengganggunya sama sekali."
"Ingat-ingatlah janjimu itu," suara Temunggul menjadi berat. "Jangan mencoba
mengelabuhi aku. Sikapmu akan selalu ku awasi. Bukan saja soal Ratri, tetapi juga soal-soal lain
yang menyangkut ketentraman Kademangan ini."
"Aku sama sekali tidak berkeberatan," sahut Bramanti.
"Berkeberatan atau tidak, kau tidak wenang memilih. Kau harus menerima keadaan
ini. Kau akan diawasi. Aku memberitahukan hal itu kepadamu. Aku sama sekali
tidak minta pertimbanganmu, apalagi minta ijinmu."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, begitulah," katanya. "Bukan
maksudku untuk menyatakan hal itu."
"Nah, untuk sementara aku percaya kepadamu. Tatapi apabila kau ingkar akan janji
itu, maka kau akan menyesal untuk sepanjang umurmu."
Sekali lagi Bramanti mengangguk. "Baiklah."
"Sekarang pergilah. Pulanglah ke rumahmu yang hampir roboh itu. Lebih baik
bagimu untuk mengurusi rumah itu. Kau dapat menenggelamkan waktumu dengan
memperbaikinya." "Ya aku akan berbuat demikian."
"Baik. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Keadaan Kademangan ini dan
keadaanmu sendiri. Sekarang pergilah." Bramanti itu mengangguk. Kemudian dilanjutkannya langkahnya, menyusuri jalan-
jalan pedesaan pulang kerumahnya. Namun pertemuannya dengan Temunggul itu telah
memberikan jawaban, meskipun baru
sebagian kenapa Temunggul bersikap terlampau kasar kepadanya.
BRAMANTI itu mengangguk. Kemudian dilanjutkannya langkahnya, menyusuri jalan-
jalan pedesaan pulang kerumahnya. Namun pertemuannya dengan Temunggul itu telah memberikan
jawaban, meskipun baru sebagian kenapa Temunggul bersikap terlampau kasar kepadanya.
Kalau saja tidak terjadi sesuatu dengan ayahku," katanya di dalam hati. "Maka
aku tidak akan tersudut dalam kesulitan serupa ini. Segala langkahku pasti akan
diseret kepada persoalan ayah.
Persoalan dendam dan segala macam. Meskipun soal yang sebenarnya tidak ada
sangkut pautnya sama sekali dengan soal dendam dan kematian ayah, misalnya soal
Ratri, namun bagiku, seolah-olah lubang itu telah disediakan. Dendam, menuntut
balas, dengki, bikin onar dan bahkan akan ditarik garis lurus menuju ke
gerombolan Panembahan Sekar Jagat."
Bramanti mengeluh di dalam hati. Tetapi terngiang lagi kata-kata gurunya.
"Kaulah yang akan dapat menebus segala cacat orang tuamu."
"Itu adalah caraku untuk berbakti kepada orang tuaku," desisnya. Dan Bramanti
pun bersyukur, bahwa 22 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
ia masih mampu mengendalikan dirinya meskipun ia mengalami perlakuan yang tidak
sewajarnya. Ketika ia kemudian mengetuk pintu rumahnya, terdengar suaranya ibunya, "Siapa?"
"Aku ibu." "Oh," kemudian terdengar langkah kecil tersuruk-suruk menuju ke pintu. Sejenak
kemudian terdengar gerik selarak terbuka dan pintu pun segera menganga.
"Kau baik-baik saja bukan?" pertanyaan itulah yang pertama-tama diucapkan oleh
ibunya. Bramanti melangkah masuk. Dengan nada yang dalam ia menjawab, "Baik bu. Tidak
ada apa-apa yang terjadi."
"Tetapi," ibunya mengerutkan keningnya sambil mengamat-amati wajah Bramanti yang
kotor. "Oh," Bramanti segera mengerti, bahwa ibunya melihat debu yang melekat
diwajahnya ketika ia jatuh terjerembab, karena kakinya menyentuh kaki Temunggul.
"Aku terperosok di tempat sampah itu. Aku tidak melihatnya."
Tetapi ibunya menjadi heran, "Dimana ada tempat sampah itu?"
"Oh, maksudku pawuhan itu."
"Ya, dimana pawuhan itu?"
"Di Kademangan," jawab Bramanti sekenanya. "Tetapi sudahlah. Aku tidak apa-apa.
Aku hanya menjadi kotor sedikit."
Ibunya menganggukkan kepalanya. Meskipun ia belum puas terhadap jawaban anaknya
itu, tetapi ia tidak bertanya lagi.
"Aku merebus air lagi Bramanti. Minumlah."
"Oh, terima kasih. Ibu menjadi lelah."
"Tidak. Aku tidak menjadi lelah. Aku sudah terlampau biasa bekerja apapun.
Bahkan membelah kayu dan mengambil air untuk mengisi genthong di dapur."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayanglah betapa berat hidup ibunya
seorang diri. Seorang perempuan tua yang harus mengambil air sendiri, membelah kayu, mengisi
lampu-lampu minyak dan kadang-kadang mengambil dedaunan dan buah-buahan.
"Hem," Bramanti menarik nafas dalam-dalam.
"Tidurlah bu," berkata anak muda itu.
"Apakah kau belum akan tidur?"
Bramanti mengangguk, "Ya, aku pun akan tidur. Besok aku akan mulai memperbaiki
rumah ini." Perempuan tua itu pun kemudian pergi ke pembaringannya dan memberikan sehelai
tikar pandan yang sudah kekuning-kuningan kepada anaknya. "Disitulah kau nanti
tidur." "Baik bu. Aku dapat tidur dimana saja. Aku dapat tidur di atas tikar, dilantai
tanpa alas, bahkan aku dapat tidur di pepohonan."
"Ah," ibunya tidak menyahut selain berdesah perlahan-lahan, kemudian


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditinggalkannya Bramanti yang sedang membentangkan tikar dan kemudian berbaring
di atasnya. Namun, karena pikirannya yang ngelambrang, maka Bramanti tidak dapat segera
tidur. Berbagai angan-angan hilir mudik di kepalanya, diselingi oleh segala
macam kenangan dalam warna yang berbeda-beda.
Anak muda itu mengerinyitkan alisnya ketika ia mendengar ayam jantan berkokok
untuk yang ketiga kalinya. Tanpa sesadarnya ia berdesis. "Fajar."
Tetapi Bramanti pura-pura memejamkan matanya ketika kemudian ibunya terbangun.
Perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih menuju ke dapur dengan lampu
ditangannya. Sejenak kemudian perapian pun telah menyala.
"Hem, kasihan," setiap kali Bramanti itu berdesis.
Bramanti bangkit dari pembaringannya ketika matahari mulai mewarnai langit
dengan sinarnya yang kemerah-merahan. Perlahan-lahan ia pergi keluar, menuruni
pendapa rumahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat lebih jelas lagi, betapa
halamannya telah menjadi seperti hutan yang liar. Rumpun-rumpun bambu yang
lebat, pohon perdu yang tersebar di segala sudut.
Pepohonan yang menjalar dan sejenis ubi-ubian yang rimbun.
Semua itu telah mendorong Bramanti untuk melepaskan bajunya. Dicarinya cangkul
dan parang yang 23 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
masih tersisa di rumahnya itu. Dengan langkah yang pasti, maka mulailah ia
membersihkan halaman rumahnya. Mula-mula dibersihkannya rerumputan liar di muka
tangga pendapanya. Kemudian sebelah menyebelah sebelum ia mulai menjamah perdu
yang tersebar di mana-mana.
Ketika ibunya menjengukkan kepalanya dari pintu dapur, maka perempuan tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anaknya bekerja dengan sepenuh hati.
"Minumlah dahulu Bramanti," berkata ibunya dari ambang pintu.
BRAMANTI berhenti sejenak sambil berpaling memandangi ibunya, "Terima kasih,"
jawabnya, "Sebentar lagi. Nanti aku akan masuk dan minum. Sekarang aku ingin
membersihkan halaman ini dulu sebelum aku memanjat ke atas atap nanti setelah
embun menjadi kering."
"Jangan terlampau memeras tenagamu Bramanti. Waktu masih cukup panjang. Kau
dapat mulai dengan bagian-bagian yang kecil selagi kau belum sembuh dari
kelelahanmu setelah berjalan sekian lamanya."
"Ya ibu. Tetapi aku tidak lelah."
Ibunya tidak menyahut lagi. Diawasinya sejenak Bramanti yang sudah mulai bekerja
lagi. Namun kemudian ditinggalkannya anak muda itu masuk ke dalam.
Demikianlah Bramanti telah mulai berbuat sesuatu untuk halaman dan rumahnya.
Tidak hanya halamannya, tetapi kemudian dijamahnya juga rumahnya. Bagian demi bagian
dilihatnya, apa saja yang harus digantinya.
Di hari berikutnya Bramanti telah menebang berpuluh batang bambu. Kemudian
dibersihkannya ranting-rantingnya dan diikatnya menjadi beberapa ikat.
Dipanggulnya bambu-bambu itu ke sungai disebelah desanya dan dibenamkannya ke
dalam air. Bambu yang demikian akan menjadi bahan perumahan yang sangat baik.
Sementara ia menunggu sampai setahun, maka diperbaikinya rumahnya untuk
sementara dengan bambu-bambu yang baru saja ditebangnya.
Dengan rajinnya Bramanti bekerja dari pagi sampai petang dihari-hari berikutnya.
Dicarinya ijuk dilereng-lereng pegunungan. Kamudian dibersihkannya tepasnya dan
dijemurnya sebelum dipasang sebagai penyulam atas rumahnya yang berlubang-
lubang. Pada pekan ketiga setelah Bramanti ada di rumahnya, halaman rumah itu telah
mulai tampak bersih. Pagar-pagar petamanan telah mulai dianyam, sedang pagar-pagar batu halamannya
pun telah dibersihkannya dari lumut-lumut yang hijau.
Regol halamannya kini sudah tidak miring lagi, meskipun beberapa bagian hanya
disulamnya dengan bambu. "Kau membuat rumah ini hidup kembali Bramanti," desis ibunya disuatu petang.
"Kuwajibanku ibu."
Dan kuwajiban itu dilakukannya setiap hari. Sedikit demi sedikit bagian-bagian
rumahnya telah menjadi baik kembali, meskipun belum pulih seperti ketika ayahnya
masih seorang yang kaya raya.
Namun karena itu, karena ia tenggelam dalam kesibukannya, ia tidak banyak keluar
dari halaman rumahnya kecuali membawa bambu ke sungai, mencari ijuk dan sekali-
kali mencari ikan untuk melepaskan ketegangan kerjanya.
"Barangkali hal ini lebih baik bagiku untuk sementara," katanya di dalam
hatinya. "Dengan demikian aku akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dapat
mendorong aku ke dalam kesulitan."
Kadang-kadang, apabila kawan-kawannya bermain semasa kanak-kanak lewat di lorong
di depan rumahnya, ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Tetapi hanya satu
dua saja dari mereka yang membalas anggukan kepala itu. Bahkan ada di antara
mereka yang pura-pura tidak
melihatnya meskipun ia berdiri di depan regol halamannya.
Meskipun demikian Bramanti tidak jemu-jemunya. Tidak saja menganggukkan kepala,
pada saat berikutnya, diberanikannya dirinya menegor satu dua di antara mereka.
Ternyata ada juga yang menjawab tegoran itu meskipun hanya sepatah dua patah
kata. Tetapi bagi Bramanti, semuanya itu merupakan harapan baik baginya dimasa
mendatang. Ia merasa bahwa pada saatnya ia akan menemukan tempatnya kembali di
dalam pergaulan anak-anak muda di Kademangan
24 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
ini. Namun ketika pada suatu pagi ia berdiri di regol halaman, dadanya tiba-tiba
berdesir. ia tidak mendapat kesempatan lagi untuk menghindar, ketika tanpa
disadarinya, di antara beberapa orang gadis yang membawa cucian ke sungai,
terdapat seorang yang harus dijauhinya, Ratri.
"Hem," katanya di dalam hati. "Pertemuan ini kurang menguntungkan bagiku."
Tetapi ia tidak dapat menghindar.
Ketika gadis-gadis itu lewat dimuka regol rumahnya, dan ia mencoba menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum, agaknya tidak seorang pun yang memperhatikannya,
kecuali Ratri. Agaknya gadis-gadis itu telah mendengar dari kawan-kawan mereka,
bahwa anak-anak muda Candi Sari tidak menyenangi
kehadiran Bramanti. Sehingga dengan demikian, mereka pun tidak mau berhubungan
dengan anak muda yang telah sekian lamanya hilang dari pergaulan mereka.
Ratri yang berjalan di paling belakang menganggukkan kepalanya pula. Meskipun
hanya itu, hanya mengangguk, namun dada Bramanti telah menjadi berdebar-debar
karenanya. Anggukan kepala itu
telah cukup menjadi alasan bagi Temunggul untuk membuat persoalan.
"Temunggul terlampau cemburu," katanya di dalam hati.
Tanpa sesadarnya tiba-tiba Bramanti mengangkat wajahnya mengikuti langkah Ratri.
Sekali ia berdesis. "Hem, gadis ittu memang cantik. Pantaslah kalau Temunggul takut kehilangan."
Bramantipun kemudian melangkah masuk halaman, sambil berkata kepada diri
sendiri, "Mudah- mudahan tidak seorang pun yang melihatnya. Dan dengan demikian tidak akan ada
persoalan yang dapat mengungkat kebencian Temunggul kepadaku."
Meskipun demikian pertemuan yang tidak disengajanya itu telah membuatnya
gelisah. Bukan ia tidak dapat menjawab ketika ia bertanya kepada diri sendiri.
"Kenapa gadis itu mengambil jalan ini" Bukan kebiasaan mereka melalui jalan ini
menuju ke bendungan."
PERTANYAAN itu ternyata telah mengganggunya. Ia menganggap hal itu tidak wajar.
Karena itu, maka Bramanti tidak dapat menahan hati lagi untuk mencari jawab atas
pertanyaan itu. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pinggir desa menyusuri jalan yang memanjang di
pinggir parit induk pedesaannya. Jalan itulah yang biasanya dilalui oleh gadis-
gadis itu. "Oh," Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata beberapa bagian dari jalan
itu menjadi longsor."
Inilah agaknya sebabnya. Sukurlah, kalau tidak ada sebab yang lain."
Bramanti menjadi berlega hati. Tidak ada alasan untuk menjadi heran, kenapa
gadis-gadis itu lewat jalan di depan rumahnya.
Tetapi, ternyata sesuatu masih juga menyangkut dihatinya. Pertemuannya yang
tidak disengaja dengan Ratri itu telah menumbuhkan persoalan di dalam dirinya.
Sebenarnya ia tidak akan banyak menaruh perhatian atas gadis itu seperti atas
gadis-gadis yang lain. Namun karena ancaman Temunggul, justru ia selalu berusaha
mengenang wajah itu. "Ratri," ia berdesis. "Mungkin Ratri itu akan menjadi isteri Temunggul kelak.
Mungkin mereka berdua telah berjanji dan mungkin orang tua mereka telah sepakat
pula." Dan tanpa sesadarnya itu bergumam, "Beruntunglah Temunggul itu. Ia akan mendapat
seorang isteri yang cantik, ramah dan agaknya mempunyai kelainan dari kawan-
kawannya yang angkuh."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia sudah berada di rumahnya
kembali, maka tanpa disadarinya ia selalu mengharap agar gadis-gadis itu lewat
jalan itu juga, apabila mereka nanti kembali setelah mencuci. Karena itu, ketika
ibunya memanggilnya untuk makan, Bramanti menjawab, "Nanti sebentar ibu. Kerja
ini hampir selesai."
Tetapi Bramanti tidak melakukan apa-apa. Ia hanya sekadar meraut bambu yang
telah dibelahnya untuk gapit dinding bambu di bagian dapur rumahnya. Tetapi
bambu itu sebenarnya telah cukup halus.
Tiba-tiba Bramanti menjadi gelisah. Setiap kali ia mengangkat wajahnya,
memandang ke jalan di depan rumah itu. Tetapi ia tidak seorang pun yang lewat.
Kalau sekali-kali ia mendengar desir langkah seseorang, kemudian diamatinya
lewar regolnya yang terbuka, maka yang lewat adalah satu dua orang 25
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
yang dengan tergesa-gesa pergi ke sawah mengantar makan dan minum.
"Apakah mereka tidak pulang," Bramanti itu bergumam sambil menengadahkan
wajahnya memandang matahari yang semakin hampir sampai ke puncak langit.
Akhirnya Bramanti itu pun menggeliat sambil berdiri. Agaknya harapannya untuk
melihat sekali lagi wajah Ratri hari ini, tidak akan terpenuhi.
Tetapi baru saja ia melangkah meninggalkan kerjanya, tiba-tiba ia mendengar
suara tertawa. Suara gadis-gadis yang sedang bergurau.
"Itukah mereka," desis Bramanti. Tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Ia tidak
dapat menghindarkan diri dari suatu keinginan untuk melihat gadis-gadis itu
lewat. Tetapi ia tidak dapat dengan sengaja keluar regol untuk menunggu mereka.
"Karena itu, maka Bramanti itu pun menjadi gelisah. Ia berjalan saja hilir mudik
tanpa tujuan. Sekali-kali ia berdiri di muka regol masih di dalam halaman, namun
kemudian ia melangkah pergi.
Dalam kebingungan itu tiba-tiba Bramanti meraih parangnya. Dengan cekatan ia
memanjat sebatang pohon kelapa.
"Aku dapat pura-pura memetik buah kepala," desisnya. Namun Bramanti itu kemudian
terse-nyum sendiri. "Siapakah yang akan bertanya kepadaku, kenapa aku memanjat pohon
kelapa?" Untunglah, bahwa ketika ia mencapai pertengahan pohon kelapa itu, dan melihat
gadis yang berjalan sambil bergurau, mereka sama sekali tidak memperhatikannya.
Tidak seorang pun dari mereka yang melihat, bahwa ia tengah memanjat semakin
tinggi. Ketika Bramanti itu sudah sampai ke puncaknya, dan kemudian duduk di atas
pelepah, hatinya menjadi agak tenang. Dari tempatnya ia dapat melihat gadis yang
sedang berjalan semakin dekat.
Dari tempatnya Bramanti melihat dengan jelas gadis-gadis baru pulang dari
bendungan sambil menjinjing bakul cucian. Mereka bergurau sambil berdesa-desakan, dorong-
mendorong dan ganggu-mengganggu.
Agaknya yang menjadi pusat perhatian gadis-gadis itu adalah Ratri. Kawan-
kawannya menggelinginginya. Ketika salah seorang berpaling tertawa, maka tanpa disengaja,
mata Ratripun mengikuti arah pandangnya.
"Hem," Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata beberapa langkah di
belakangnya, Temunggul berjalan bersama tiga orang kawan-kawannya.
Sekali lagi dada Bramanti berdesir. Ia tidak tahu, kenapa ia menjadi tidak
senang melihatnya. Melihat gadis-gadis dan kawan Ratri mengganggunya, dan
sekali-kali mereka berpaling ke arah Temunggul.
"Ah," Bramanti berdesah, "Mereka benar-benar telah mengikat diri. Kawannya pun
telah mengetahuinya. Bramanti menarik nafas. Tanpa disadarinya, ditatapnya wajah Ratri yang sedang
tersipu-sipu. Semburat warna merah di wajah itu, membuat Ratri menjadi semakin
cantik. Sekali-kali gadis itu terpekik apabila salah seorang kawannya
mencubitnya. Kemudian ia berlari-lari kecil mendahului. Tetapi beberapa orang
kawannya mengejarnya dan menarik kain panjangnya sambil berkata, "Tunggu aku
Ratri. Tunggu." "Bukan kami yang ditungguinya," salah seorang dari gadis-gadis itu menyahut.
"Tetapi itulah. Burung bangau tonthong yang telah menolong mencuci periuk sampai
mengkilat seperti emas."
"AH," Ratri berdesah. Ia mencoba berjalan semakin cepat. Tetapi langkahnya
selalu tertahan-tahan. Kawan-kawannya masih saja memegangi kainnya.
Ketika pada suatu ketika Ratri dapat melepaskan diri, maka segera ia berlari
menghambur mendahului kawan-kawannya sambil berkata, "Jangan ganggu. Aku tidak
mau." Yang terdengar adalah gelak tawa gadis-gadis itu, sehingga beberapa orang yang
tinggal disebelah menyebelah jalan itu, menjengukkan kepala mereka dari pintu-
pintu rumahnya, termasuk ibu Bramanti.
"Ada apa he?", bertanya seorang perempuan setengah tua yang berpapasan dengan
gadis-gadis itu. "Bertanyalah kepada Ratri bibi," jawab salah seorang dari mereka sambil tertawa.
"Ah kau," perempuan itu pun tersenyum ketika ia melihat Temunggul bersama kawan-
kawannya 26 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
tersembul dari tikungan. "Itulah sebabnya."
"He, darimana bibi tahu?"
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya. "Bukankah anakku kawan bermain Ratri
dan kawan bermain kalian" Baru kali ini ia tidak keluar rumah karena sakit
perut." "O," gadis-gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, pasti ia bercerita
kepada bibi." "Ya. Kepadaku, kepada ayahnya, kepada adik-adiknya."
"Dan mereka masing-masing pun bercerita pula bukan bibi?"
"Tentu, tentu."
Gadis-gadis itu tertawa. Perempuan tua itu pun tertawa pula.
"Sst," desis salah seorang gadis itu. "Itu dia. Nanti ia marah."
"Mana mungkin ia marah. Ia mengharap kita mengganggunya terus. Semakin sering,
semakin menyenangkan hatinya."
"Tetapi Ratri telah lari mendahului kita."
"Anak itu malu mengakuinya."
Sekali lagi terdengar mereka tertawa bergelak-gelak. Sehingga perempuan setengah
tua itu berdesis. "Sst, tidak pantas gadis-gadis tertawa sampai memperlihatkan giginya. Apalagi di
jalan seperti kalian sekarang. Ayo. Cepat pulang. Tertawalah di dalam bilik
masing-masing. "Apakah bibi tidak pernah tertawa selagi masih gadis?"
"Tentu pernah, tetapi tanpa memperlihatkan gigi."
"Sst, itu. Ia akan melampaui kita."
Tiba-tiba gadis itu berhenti tertawa. Mereka tidak beranjak dari tempat mereka.
Meskipun mereka berpura-pura tidak melihat Temunggul dan kawan-kawannya, tetapi
mereka menahan tertawa mereka di dalam mulut. Sedang perempuan setengah tua itu
telah meneruskan perjalanannya pergi ke sawah mengantar makan dan minum bagi


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suaminya. "Kenapa kalian berhenti?" bertanya Temunggul.
"Jangan kau cari disini," sahut salah seorang gadis-gadis itu.
"Siapa?" "Uh, kau masih pura-pura bertanya?" sahut yang lain.
"Aku tidak tahu. Siapakah yang kalian maksud itu?"
"Keleting Kuning. Kenapa Ande-Ande Lumut masih juga bertanya?"
"Ah," desis Temunggul.
Tetapi sebelum ia sempat berkata lebih lanjut, tiba-tiba mereka terkejut ketika
beberapa butir kelapa berjatuhan hampir bersamaan. Dengan serta merta Temunggul,
kawan-kawannya dan gadis-gadis itu menengadahkan kepalanya. Merekapun kemudian
melihat Bramanti masih berada di puncak pohon
kelapa di halaman rumahnya.
Agaknya Temunggul merasa terganggu. Wajahnya yang cerah tiba-tiba berkerut.
Dengan nada datar ia bergumam, "Anak itu agaknya sudah gila."
Tanpa berpaling lagi ia melangkah memasuki regol halaman Bramanti. Dengan wajah
yang buram ia berteriak, "He, Bramanti. Apakah kau sudah menjadi gila?"
Bramanti tidak menyahut. "Turun," teriak Temunggul.
Gadis-gadis menjadi ketakutan melihat sikap Temunggul. Maka merekapun segera
meninggalkan tempat itu, pulang ke rumah masing-masing.
"Turun," sekali lagi Temunggul berteriak.
Bramanti kini menyadari. Ketika ia melihat gadis-gadis itu mengganggu Temunggul,
tanpa diketahui sebab-sebabnya ia merasa terganggu pula. Karena itulah, maka
tiba-tiba saja ia memotong sejanjang buah kelapa yang masih belum tua benar.
Karena Bramanti belum juga turun, dan tidak menjawab sepatah katapun, maka
sekali lagi Temunggul berteriak lebih keras, "Turun, kau dengar. Atau aku akan
merobohkan pohon kelapa ini."
Hampir saja Bramanti menjawab tantangan itu. Tetapi untunglah, bahwa ia segera
berhasil menahan 27 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
dirinya. Karena itu, maka perlahan-lahan ia merayap turun. (
BELUM lagi Bramanti sampai di tanah, terdengar ibunya bertanya, "Angger
Temunggul, kenapa dengan Bramanti?"
Temunggul berpaling. Dilihatnya seorang perempuan tua dalam kecemasan. Namun ia
sama sekali tidak mengacuhkannya lagi. Perhatiannya telah tercurah kepada
Bramanti, yang menjadi semakin marah.
"He, Bramanti. Apakah maksudmu dengan memanjat pohon kelapa itu he" Apakah kau
sengaja mengejutkan aku?" Bramanti menggeleng sareh. "Tidak Temunggul. Aku tidak mempunyai kesengajaan
apapun untuk tujuan apapun."
Kini Bramanti telah berdiri ditanah, berhadapan dengan Temunggul. Keduanya
adalah anak-anak muda yang sedang mekar. Keduanya dahulu adalah kawan
sepermainan yang akrab. "Apakah kau berbuat demikian bukan sekadar untuk mengganggu gadis-gadis itu."
"Aku tidak begitu memperhatikannya," jawab Bramanti. "Dan aku tidak tahu,
katakanlah tidak memperhatikan, bahwa ada beberapa orang gadis di jalan itu."
"Gila kau," Temunggul berteriak, "Sekarang hati-hatilah apabila kau ingin
berbuat sesuatu. Mungkin kelapamu itu dapat jatuh di atas kepala seseorang,
kalau caramu demikian. Dimanapun juga tidak lazim memetik buah kelapa sejanjang
sekaligus seperti yang kau lakukan itu."
"Tetapi aku tahu benar, bahwa pohon kelapa itu tidak berada di pinggir jalan
Temunggul, sehingga dengan demikian buahnya tidak akan mungkin jatuh ke jalan
itu." "Diam," bentak Temunggul. "Sekarang memang demikian. Kebetulan pohon kelapa itu
tidak ada di pinggir jalan. Tetapi lain kali, dalam kegilaanmu, kau akan berbuat
lain." Bagaimana juga Bramanti adalah seorang anak muda. Karena itu, sebenarnya
terlampau sulit baginya untuk menahan diri. Apalagi ketika ia melihat anak-anak
muda kawan Temunggul berdiri berjajar di depan regol sambil bertolak pinggang.
Namun sebelum ia menjawab terdengar suara ibunya. "Bramanti, mintalah maaf. Kau
telah membuat suatu kesalahan."
Dada Bramanti berdebar. Tetapi ketika dilihatnya wajah ibunya yang kecemasan,
maka kemudian wajahnyapun tunduk. Dengan nada yang berat ia berkata, "Aku minta maaf
Temunggul." "Kali ini aku maafkan kau. Tetapi lain kali, aku akan berbuat sesuatu untuk
menghajarmu." "Terima kasih ngger," terdengar suara perempuan tua yang ketakutan itu.
Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ditatapnya tubuh Bramanti
dari ujung ubun-ubun sampai ke ujung dari kakinya. Sejenak kemudian terdengar
Temunggul berdesis. "Tubuhmu sempurna Bramanti. Kalau kau tidak gila, kau dapat
menjadi anggota anak-anak muda pengawal
Kademangan ini." "Kalau saja diperkenankan, aku akan senang sekali," jawab Bramanti.
"Tetapi anggota pengawal Kademangan seharusnya bukan laki-laki cengeng."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam, "Aku, akan mencoba."
"Tetapi penerimaan itu harus melalui pendadaran. Tidak setiap orang dapat
diterima." Bramanti tidak segera menyahut.
"Nah, di dalam pendadaran itulah kita akan melihat, apakah seorang pantas untuk
diterima menjadi anggota pengawal kademangan."
"Apakah aku juga diperkenankan Temunggul?" bertanya Bramanti kemudian.
"Kau masih dalam pengawasan. Kalau kau ternyata tidak melanggar segala janji
yang pernah kau ucapkan di muka Ki Demang dan kepadaku, maka kau akan mendapat
kesempatan. Tetapi sebelum kau ikut dalam pendadaran, kau dapat melihatnya.
Berapa hari lagi akan ada pendadaran serupa itu. Dua orang telah menyatakan
keinginannya untuk menjadi anggota pengawal.
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya bertanya, "Siapakah
pemimpin anak-anak muda anggota pengawal di Kademangan ini."
28 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Aku," jawab Temunggul sambil mengangkat dadanya.
Bramanti menarik nafas dalam-dalam.
"Nah, cobalah melihat pendadaran itu. Kalau kau merasa sanggup juga, dan
ternyata bahwa kau tidak akan melenggar segala janjimu, maka kau akan diterima
kembali dalam pergaulanmu di masa kanak-kanak.
"Aku berharap demikian Temunggul."
"Siapkan dirimu sejak sekarang. Kau harus dapat mempergunakan salah satu jenis
senjata. Kau harus mempunyai ketahanan tubuh dan tekad. Kemampuan membela diri
dan mengatasi segala macam
kesulitan." "Aku akan mencoba."
"Mudah-mudahan kau mendapat kesempatan." Temunggul tersenyum aneh. Melihat
senyum itu, dada Bramanti menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak bertanya
apapun. "Hati-hatilah dengan segala macam kegilaannmu itu," berkata Temunggul kemudian.
Lalu, "Tetapi kau perlu tahu, ada kalanya seseorang gagal dalam pendadaran, dan
bahkan mendapat cidera. Pernah seorang anak muda menjadi cacad ketika ia
mendapat cara pendadaran yang menarik. Menangkap kuda binal dan menundukkannya.
Ia terlempar dan jatuh di atas tanah berbatu-batu. Tangannya patah sebelah, dan
wajahnya menjadi cacad pula."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mungkin disaat mendatang aku akan mendapat cara yang lebih menarik. Kau pernah
mendengar bahwa banyak ternak yang hilang akhir-akhir ini" Ternyata seekor
harimau tua telah kehilangan kesempatan mencari makan di hutan sebelah. Nah, itu
juga merupakan cara yang baik untuk melihat, siapakah di antara mereka yang
menyatakan keinginannya menjadi anggota pengawal, yang paling baik."
Bramanti masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir saja ia berkata tentang
orang-orang berkuda yang menyebut dirinya utusan Panembahan Sekar Jagat. Kenapa bukan itu
yang dipergunakan sebagai suatu cara pendadaran" Tetapi ia menyadari keadaannya.
Orang-orang Kademangan ini masih diliputi oleh kecurigaan terhadapnya. Karena
itu ia tidak berkata apapun tentang Panembahan Sekar Jagat.
Sepeninggalan Temunggul, Bramanti berjalan perlahan-lahan dengan kepala tunduk,
masuk ke dapur. Ibunya telah menyediakan makan untuknya sejak lama, sehingga nasi telah menjadi
dingin. "Hati-hatilah dengan anak muda itu Bramanti," berkata ibunya. "Dia mempunyai
pengaruh yang kuat di Kademangan ini."
"Ya bu. Ia adalah pemimpin anak-anak muda anggota pengawal Kademangan."
"Temunggul adalah seorang anak muda yang sakti."
Bramanti mengangkat wajahnya. Kemudian ia bertanya seolah-olah kepada dirinya
sendiri. "Kenapa mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk melindungi
Kademangan ini dari tangan Panembahan Sekar Jagat. Kenapa" Itu adalah suatu
sikap pengecut." Ibunya yang mendengar gumam itu menyahut, "Terlampau parah akibatnya Bramanti.
Di Kademangan yang lain pun, mereka dapat berbuat sekehendak hati. Satu dua
orang yang mencoba melawannya, dibinasakannya."
"Ya bu," jawab Bramanti. "Kalau satu dua orang saja yang melawan mereka, pasti
akan dengan mudah dapat mereka binasakan. Tetapi apabila Kademangan bangkit
bersama-sama, maka mereka tidak akan mungkin dapat melawan."
Tetapi ibunya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak ada yang berani mencoba
berbuat demikian. Taruhannya terlampau mahal Bramanti. Kalau usaha ini gagal, maka seluruh
Kademangan akan mereka binasakan."
Bramanti tidak menyahut lagi. Ia tidak mau berbantah dengan ibunya, karena ia
mengerti, betapa orang-orang Kademangan ini telah dicengkam oleh ketakutan yang
tidak terkendali. "Aku ingin melihat, siapakah yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat itu,"
berkata Bramanti di 29 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
dalam hatinya. Tetapi ia tidak mengucapkannya di depan ibunya. Hal itu pasti
akan membuatnya terlampau cemas.
"Aku harus menunda sampai suatu saat aku mendapat kesempatan," katanya kepada
dirinya sendiri. "Sementara itu, Bramanti masih saja mengisi waktunya sehari-hari dengan kerja di
halaman rumahnya. Ada-ada saja yang dilakukan. Namun ibunya pun berbangga melihat hasil kerja
anaknya, sehingga kini rumahnya telah menjadi rapat kembali, bersih dan tidak
berbahaya. Perempuan tua itu tidak perlu lagi selalu menengadahkan kepalanya,
melihat kalau-kalau ada bagian atap rumahnya yang akan runtuh.
Selagi Bramanti sibuk dengan rumah dan halamannya, maka Kademangannyapun sibuk
mempersiapkan sebuah pendadaran bagi dua anak-anak muda yang ingin menyatakan
dirinya menjadi anggota pengawal Kademangan. Beberapa hari lagi mereka harus menunjukkan kemampuan mereka di arena. Mereka
harus dapat melakukan beberapa macam permainan yang meyakinkan. Kemudian mereka harus
bersedia melawan siapa saja yang ingin mengetahui kemampuan mereka, selain yang telah diterima
dengan resmi, sebagai anggota pengawal. Kalau dalam perlawanannya itu ia dapat
dikalahkan oleh seseorang, maka apabila dikehendaki, orang yang dapat
mengalahkannya itulah yang akan menjadi calon seterusnya, sedang yang
dikalahkannya dengan sendirinya harus menarik diri.
Pendadaran itu sangat menarik perhatian Bramanti. Ia ingin melihat, sampai
dimana jauh kemajuan yang dicapai oleh anak-anak muda sebayanya di Kademangan
ini. Tetapi apabila ia menyadari dirinya, ia menjadi ragu-ragu. Apakah
kehadirannya di tempat pendadaran tidak akan menumbuhkan persoalan"
"TEMUNGGUL telah memberitahukan hal ini kepadaku, dan ia mengajak aku untuk
melihatnya," katanya di dalam hati. Namun kemudian timbul pertanyaan, "Apakah ia
bersungguh-sungguh."
Selagi Bramanti masih belum menemukan jawaban, tiba-tiba tangannya yang sedang
meraut sepotong bambu terhenti. Ia mendengar seseorang memanggil namanya. Dan
ketika ia berpaling, maka dilihatnya sebuah kepala menjenguk dari balik pintu
regol halamannya, Temunggul.
Bramanti meletakkan parang dan sepotong bambu di tangannya. Kemudian iapun
berdiri dan melangkah ke regol.
"Tidak sepantasnya seorang anak muda tidak berani melangkahi tlundak pintu regol
halaman," tegur Temunggul yang masih menjengukkan kepalanya.
Bramanti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Hanya langkahnya
sajalah yang masih tetap membawanya mendekati Temunggul. Bahkan matanya pun
lurus-lurus memandang wajah anak
muda yang kini telah berdiri tepat di pintu.
"Kenapa kau berubah menjadi terlampau jinak sekarang Bramanti," berkata
Temunggul kemudian, "O, pada masa kecilmu kau termasuk anak yang paling liar di
desa kita." Bramanti masih belum menjawab. Ketika ia kemudian berhenti beberapa langkah di
depan Temunggul, ia menarik nafas dalam-dalam.
"Nah, Bramanti," berkata Temunggul kemudian, "Apakah kau tidak tertarik untuk
melihat pendadaran besok?"
Hati Bramanti terlonjak melihat kesempatan itu, sehingga dengan serta-merta ia
menjawab, "Tentu, Temunggul, aku ingin melihat."
"Pergilah ke halaman banjar. Kau akan melihat betapa kawan-kawanmu semasa kanak-
kanak telah mendapat kesempatan untuk maju. Jauh lebih baik dari anak-anak muda
di Kademangan ini semasa kita kecil. Kau akan dapat mengukur dirimu sendiri,
apakah kau akan dapat menempatkan dirimu di antara kami. Seandainya kau
mempunyai niat apapun, kau akan dapat melihat kemungkinan apakah yang
dapat kau lakukan." Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menjawab, "Baiklah Temunggul. Aku
akan melihat besok. Mudah-mudahan aku dapat melihat betapa kecilnya aku berada
di antara kalian." "Kau memang terlampau cengeng, tidak menyangka, bahwa hatimu, anak yang liar di
masa kecil itu, kini menjadi sekecil biji kemangi."
30 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Bramanti menggigit bibirnya. Namun ia tidak menjawab. Dicobanya menekan gelora
yang mengguncang dadanya. Di dalam hati ia berkata, "Terlampau berat. Terlampau
berat untuk menahan hati di antara anak-anak gila ini."
"Sudahlah," berkata Temunggul. "Aku baru saja pergi ke bendungan. Aku sengaja
singgah kemari untuk memberitahukan kepadamu, bahwa kami seluruh Kademangan
selalu bergerak maju. Karena itu kau
jangan tidur saja di dalam bilikmu."
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab supaya
Temunggul tidak mendengar bahwa suaranya menjadi gemetar.
Sejenak kemudian maka Temunggul itupun meninggalkan regol halamannya. Sedangkan
Bramanti masih saja berdiri membatu di tempatnya. Ia merasakan hubungan yang
aneh antara dirinya dengan
Temunggul, hanya karena kebetulan pada saat ia datang kembali di kampung
halamannya, ia bertemu dengan Ratri.
"Tidak hanya sekadar itu," katanya kemudian perlahan-lahan sekali. "Riwayat
keluarganya ikut juga menentukan sikapnya dan sikap anak-anak muda di Kademangan
ini," sejenak ia terdiam, lalu "Tetapi besok aku akan datang. Mudah-mudahan
tidak terjadi sesuatu."
Sebenarnyalah, di hari berikutnya Bramanti berkemas-kemas untuk pergi ke halaman
Banjar Kademangan, meskipun ia menjadi ragu-ragu ketika ia minta diri kepada ibunya.
"Kau lebih baik tinggal di rumah hari ini Bramanti," berkata ibunya.
"Temunggul mengundang aku untuk melihat ibu," jawab Bramanti.
"Banyak kemungkinan dapat terjadi. Kau masih belum diterima sepenuhnya oleh
keluarga Kademangan ini."
"Karena itu aku harus banyak menerjunkan diri ke dalam pertemuan-pertemuan
seperti dalam kesempatan ini. Aku akan mendapat kesempatan untuk memperlihatkan,
bahwa aku benar-benar ingin terjun kembali dalam pergaulanku di masa lalu


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepuluh tahun yang lampau. Sudah tentu dengan segala perkembangan yang telah
terjadi." Ibunya tidak menjawab. Tetapi di wajahnya yang telah berkerut merut,
membayangkan kecemasan. "Ibu jangan cemas. Aku tidak akan berbuat apa-apa."
Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Hati-hatilah
Bramanti. Kau akan bertemu dengan berbagai macam tabiat. Kau harus berusaha
menempatkan dirimu."
"Baik ibu." Dan Bramanti itu pun pergi ke halaman banjar Kademangan dengan keragu-raguan
yang masih saja mengganggunya. Namun kemudian ia mencoba memutuskan, "Aku akan
berbuat sebaik-baiknya. Aku tidak akan menjerumuskan diriku sendiri ke dalam
kesulitan dan keharusan untuk berbuat sesuatu yang akan mendorong aku semakin
jauh dari pergaulan di Kademangan ini."
KETIKA Bramanti kemudian sampai di lorong induk Kademangan, ia mulai bertemu
dengan anak-anak muda dan bahkan orang-orang tua yang akan pergi ke halaman
banjar untuk melihat pendadaran
tingkat anggota pengawal Kademangan. Mereka datang berbondong-bondong dalam
kelompok- kelompok. Bramanti menjadi berdebar-debar melihat anak-anak muda itu. Satu dua dari mereka
memandangnya dengan penuh curiga. Tetapi satu dua yang lain berdesis,
"Bramanti." Bramanti berjalan perlahan-lahan. Setiap kali ia mencoba menganggukkan
kepalanya, meskipun anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu untuk membalas anggukan
kepalanya itu. Tetapi satu dua ada pula yang bertanya, "Apakah kau akan pergi ke
banjar juga Bramanti?"
"Ya," sahut Bramanti sambil menganggukkan kepalanya. Untuk memperkuat alasan
kehadirannya itu, ia berkata, "Temunggullah yang memberitahukan kepadaku, bahwa
hari ini ada pendadaran di halaman banjar itu."
"Ya. Kami pun akan melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh kedua anak-anak
itu." Sebelum Bramanti menyahut, anak-anak muda itu telah meninggalkannya. Namun
meskipun demikian 31 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Bramanti merasa, bahwa tidak semua orang menganggap bahwa dirinya adalah hantu
jadi-jadian yang bangkit dari kubur ayahnya, yang harus diasing-asingkan, dan
dibenci. Dengan langkah yang pasti, Bramanti kemudian menyelusur lorong itu di antara
orang-orang lain yang pergi ke halaman banjar. Ketika ia memasuki halaman yang
luas, ternyata di halaman itu telah banyak sekali orang-orang yang telah lebih
dahulu datang, laki-laki, perempuan, tua, muda dan bahkan anak-anak.
"Dahulu pendadaran itu tidak pernah dengan cara terbuka seperti ini," desis
Bramanti didalam hatinya.
"Pada masa kanak-kanak, belum pernah melihat satu kalipun pendadaran serupa
ini." Tetapi Bramanti tidak bertanya kepada siapapun. Ia mengambil tempat yang tidak
terlampau banyak pencampuran dengan anak-anak muda sebayanya, apalagi yang sudah
dikenalnya dengan baik. Ia lebih senang memilih tempat di antara orang-orang tua
yang kurang mengenalnya, sehingga dengan
demikian, ia telah berusaha mengurangi persoalan yang dapat timbul atas dirinya.
Ketika matahari sudah naik setinggi bumbungan, maka pendadaran itupun akan
segera dimulai. Yang mula-mula tampil ke arena adalah Ki Demang, Ki Jagabaya,
seorang pengawal dari golongan orang-orang tua dan kemudian pemimpin anggota
pengawal Kademangan dari anak-anak muda, Temunggul.
Beberapa saat Ki Demang berbicara di depan rakyatnya, kemudian mulailah
Temunggul memanggil kedua pemuda yang akan mengalami pendadaran.
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia melihat kedua anak-anak muda
itu. Tanpa sesadarnya ia berdesis. "Suwela dan Panjang." Tetapi Bramanti tidak mengucapkan
apapun lagi. Apalagi ketika ia melihat satu dua orang berpaling ke arahnya
setelah mereka mendengar ia menyebut kedua nama itu.
Namun di dalam hatinya ia berkata terus. "Agaknya kedua anak-anak itu terlambat.
Temunggul telah lebih dahulu masuk menjadi anggota, bahkan kini ia memegang
pimpinan." Perhatian Bramanti itupun kemudian terpusat kepada kedua anak-anak yang kini
telah berada di tengah-tengah arena itu pula. Sedang Ki Demang dan Ki Jagabaya,
Tantangan Anak Haram 1 Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka Pendekar Sakti Suling Pualam 14
^