Pencarian

5 Jagoan 5 Raja 2

5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng Bagian 2


keluarlah seorang budak istana. Dia memberi tahu Tiang Ban.
"Pangeran Yu sudah dibinasakan oleh tentara para pangeran!" kata si pelapor.
Tiang Ban kaget seperti orang terkesima. Berulang-ulang ia menghela napas
panjang-pendek. Dia merasa putus harapan. Kemudian dia berpikir di antara semua negeri hanya
negeri Tan yang tidak akrab dengan negeri Song. Dia hendak melarikan diri ke negeri Tan.
Tetapi tiba- tiba ia ingat pada rumahnya. Di sana masih ada ibunya yang sudah berusia 80
tahun lebih. Dia tidak tega meninggalkan ibunya.Maka pulanglah diakerumahnya.
Sesampai di rumahnya, buru-buru dia dukung ibunya. Kemudian ia naikkan ke
gerobak kecil. Dengan tangan kanan mendorong gerobak. Sedangkan tangan kirinya memegang tian-
keknya. Kemudian Tiang Ban menerjang keluar dari pintu kota. Semua orang sudah tahu
tenaga Tiang Ban sangat kuat, sehingga tidak seorang pun yang berani mencegah atau
menghalanginya. Dari negeri Song ke negeri Tan jauhnya kira-kira 200 li lebih, ini bukan jarak
yang dekat, malah sebuah perjalanan yang sangat jauh. Tetapi aneh sekali tenaga Tiang Ban
begitu luar biasa. Dia mendorong kereta itu hanya dalam sehari saja sudah sampai di negeri
Tan. ** Ketika semua pangeran sudah membunuh Pangeran Yu, mereka mengangkat Pangeran Gi
Wat menjadi raja bergelar Song Hoan Kong. Begitu naik tahta, Raja Song Hoan Kong
mengangkat Tay Siok Pi menjadi Tay-hu, serta memilih orang yang pandai di istana
itu dari kaum keluarganya. Mereka diangkat menjadi Kong-ciok Tay-hu. Sedang Siao-siok Tay
Sin diperintahkan menjaga kota Siao. Raja Song Hoan Kong mengirim utusan pergi ke
negeri We untuk minta izin menangkap Beng Hek. Selain itu Song Hoan Kong juga mengutus
orang ke negeri Tan akan menangkap Lam-kiong Tiang Ban.
Pangeran Bak I, putera almarhum Raja Song Soan Kong dari isteri muda baginda,
waktu itu usianya baru lima tahun. Dia berdiri di samping Raja Song Hoan Kong. Mendengar
Raja Song Hoan Kong mengeluarkan titah tersebut, sambil tertawa dia berkata, "Wah,
jika putusannya begitu pasti Tiang Ban tidak akan datang!"
Raja Song Hoan Kong terheran-heran mendengar kata-kata Bok I, ia bertanya, "He,
anak kecil, kenapa kau berkata begitu?"
"Kegagahan, ialah sesuatu yang orang paling kagumi," kata Bak I. "Padahal
kegagahan Tiang Ban sangat luar biasa, Song malah membuangnya. Pasti negeri Tan yang akan
menerima dia. Pendeknya jika kita pergi dengan tangan kosong, bagaimana Raja Tan mau meladeni
kita?" Mendengar ucapan anak kecil yang cerdik itu, Raja Song Hoan Kong baru sadar.
Segera dia perintahkan utusan yang akan pergi ke negeri Tan membawa barang bingkisan
berharga untuk menyuap Raja Tan. Ketika utusan Song sudah sampai di negeri We, utusan itu menyampaikan maksud
kedatangannya pada Raja We Hui Kong.
Raja We segera mengumpulkan semua pejabat negara. Kemudian dia bertanya, "Mana
yang lebih baik, menyerahkan Beng Hek pada negeri Song, atau tidak menyerahkannya?"
Sebagian besar menteri-menterinya memberi saran lebih baik melindungi Beng Hek
dan menolak permintaan dari Raja Song. Tetapi seorang menteri segera maju ke hadapan
Raja We. "Tidak, kita tidak boleh berbuat begitu!" kata Tay-hu Kong-sun Ji.
Dia tidak sepakat dengan menteri-menteri yang lain. Kemudian Kong-sun Ji
melanjutkan pendapatnya. "Di dunia ini kejahatan di mana pun sama saja;" kata Kong-sun Ji. "Kejahatan di
negeri Song dan kejahatan di negeri We sama saja! Jika membiarkan seseorang berbuat jahat,
apa faedahnya bagi negeri We" Apalagi negeri We dan negeri Song bersahabat sudah
lama; jika kita tidak menyerahkan Beng Hek kepada mereka, pasti Raja Song akan gusar. Jika
hanya untuk menyelamatkan seorang penjahat dan tidak menghiraukan persahabatan yang
sudah dijalin lama. Itu bukan suatu kebijakan yang harus dijalankan."
"Ya, itu baru betul!" kata Raja We yang menyetujui saran dari Kong-sun Ji,
Kemudian Raja We memerintahkan orangnya segera mengikat Beng Hek untuk
diserahkan kepada raja di negeri Song.
** Tatkala utusan Song yang satu lagi sudah sampai di negeri Tan, untusan ini pun
menyerahkan barang antaran sebagai suap kepada Raja Tan Soan Kong. Untusan memberitahu bahwa
Raja Song meminta tolong untuk menangkap Tiang Ban. Dengan girang Raja Tan menerima
barang bingkisan tersebut, dia berjanji akan mengantarkan Tiang Ban ke negeri
Song. UtusanSongmengucapkanterima kasihkemudiankembali ke negerinya.
Sepulang utusan Song itu Raja Tan Soan Kong berpikir.
"Tenaga Lam-kiong Tiang Ban kuat sekali, pasti sulit untuk ditangkap. Dia bakal
melawan jika tidak menggunakan tipu-muslihat." pikir Raja Tan.
Sesudah berpikir cukup lama, dia panggil Pangeran Kiat. Sambil berbisik Tan Soan
Kong bertanya. "Bagaimana cara yang harus kita jalankan untuk menangkap Tiang Ban tersebut?"
kata Raja Tan. Pangeran Kiat berjanji akan memperhatikan pesan Raja Tan itu. Begitu selesai
bicara Pangeran Kiat pergi ke tempat Tiang Ban. Dengan segala hormat Pangeran Kiat
disambut baik oleh Tiang Ban. Pangeran Kiat dipersilakan duduk dan disuguhi air teh yang
harum. "Terus terang aku mau katakan, Rajaku mendapatkan Ciang-kun (Jenderal), sama
dengan telah mendapatkan sepuluh buah kota saja," kata Pangeran Kiat dengan manis.
"Pendeknya sekalipun orang Song datang dan mereka meminta sampai ratusan kali agar kami
menyerahkanmu, Pasti Rajaku tidak akan mau meluluskannya. Karena Rajaku khawatir
Ciang-kun curiga, maka beliau memerintahkan aku untuk menyampaikan pikirannya
kepada Ciang-kun. Tetapi, apabila Ciang-kun berpendapat negeri Tan terlalu kecil, dan
Ciang-kun berniat hendak tinggal di negeri yang lebih besar, Rajaku tidak keberatan.
Beliau berharap Ciang-kun mau bersabar sampai beberapa bulan lagi. Karena Rajaku sedang
membuatkan sebuah kereta untuk perjalanan Ciang-kun."
"Oh, aku mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan Maha Raja Tan kepadaku!"
kata Tiang Ban dengan air mata berlinang-linang. "Jika Tuanku bisa memakaiku, buat
apa aku mencari negeri lain?"
"Jika Ciang-kun sudi tinggal di sini, pasti Rajaku akan merasa sangat
beruntung!" kata Pangeran Kiat dengan pura-pura girang. Dia segera mengambil arak dan
menyuguhkannya kepada Tiang Ban sebagai ucapan selamat. Tiang Ban tidak hentinya mengucap
terima kasih. Hatinya sangat girang. Dia minum arak itu dengan sepuas-puasnya. Sebentar-bentar
dia tertawa terbahak-bahak. Akhirnya Pangeran Kiat pura-pura mengangkat saudara dengan Tiang Ban. Sesudah
minum arak beberapa saat lagi, barulah Pangeran Kiat permisi pulang.
Bab 3 Esok harinya..... Tiang Ban pergi berkunjung ke rumah Pangeran Kiat. Ini sebagai balasan atas
kunjungan pangeran itu untuk menghaturkan terima kasihnya.
Waktu itu Pangeran Kiat sudah mengatur siasat untuk menerima kedatangan Tiang
Ban. Dia sengaja membuat pesta kehormatan untuk saudara angkatnya itu. Sesudah makan minum sampai setengah mabuk, Pangeran Kiat menyuruh beberapa
perempuan cantik keluar untuk membujuk dan merayu supaya Tiang Ban minum arak
lebih banyak. Tiang Ban dengan senang hati terus minum hingga mabuk keras. Tanpa terasa dia
tertidur lelap di tempat duduknya. Begitu melihat Tiang Ban tertidur, dan ini suatu
kesempatan yang baik. Pangeran Kiat tidak ayal lagi, segera memerintahkan beberapa orang gagah
memborgol dan membungkus Lam-kiong Tiang Ban. Dia diikat dengan tali dari kulit kerbau.
Ibu Tiang Ban yang sudah tua pun dimasukkan ke dalam kerangkeng. Kemudian dia perintahkan
orang mengawal tawanan tersebut untuk dibawa ke negeri Song.
Hasil tipu-muslihat Raja Tan yang dijalankan oleh Pangeran Kiat telah berhasil
menangkap Tiang Ban yang gagah perkasa. Seperti pepatah mengatakan: semut mati di gudang
gula, orang mati karena tertipu!
Tatkala sampai di tengah perjalanan, Tiang Ban baru sadar dari pingsannya. Dia
kaget sekali karena dirinya sudah terikat keras sekali. Tetapi perlahan-lahan dia segera
mengerti. Apa yang telah terjadi. Bahwa dia sudah tertipu oleh Raja Tan. Sekarang pasti dia sedang
dikirim ke negeri Song. Dia berusaha berontak mengerahkan tenaganya. Tetapi karena kulit
kerbau itu sangat keras dan tubuhnya terlibat oleh tali kulit yang kuat, dia tidak bisa
meloloskan diri. Akhirnya setelah hampir sampai di kota raja negeri Song, karena usaha keras dari
Tiang Ban kulit kerbau itu bisa dia putuskan sebahagian. Sekarang tangan dan kakinya bisa
lolos. Melihat kaki dan tangan raksasa itu nongol, semua jadi ketakutan. Buru-buru
mereka mengambil martil besar untuk dipakai memukul tangan Tiang Ban. Pukulan yang
keras itu membuat tulang kaki dan tangannya patah. Dengan demikian dia tidak bisa berontak
lagi. Ketika Raja Cee Hoan Kong mendengar khabar bahwa Tiang Ban telah tertawan, bukan
main senang hatinya. Dia perintahkan orangnya untuk mengikat Tiang Ban dan dijadikan
satu dengan Beng Hek. Mereka dibawa ke tempat terbuka untuk dipertontonkan kepada
orang banyak. Kemudian mereka berdua segera menjalankan hukuman cingcang hingga
anggota tubuhnya hancur. Sedang ibu Tiang Ban yang sudah berusia 80 tahun lebih pun
dihukuman mati. Raja Song Hoan Kong ingat pada Hoa Tok yang meninggal lantaran membela raja.
Raja Song mengangkat anak Hoa Tok menjadi Su-ma. Sejak saat itu keluarga Hoa Hoa menjadi
menteri turun temurun di negeri Song.
** Dikisahkan di negeri Cee....
Sejak kalah perang di Cang-ciak, Raja Cee Hoan Kong menyesal sekali. Dia begitu
lancang mengerahkan angkatan perangnya. Dengan demikian dia mendapat kenyataan, bahwa
Koan Tiong lebih pintar dari padanya. Maka dia serahkan semua urusan militer kepada
Perdana Menterinya itu. Sesudah tidak memikirkan urusan negara, Raja Cee Hoan Kong sekarang hidup
tenang. Tiap hari dia bersenang-senang saja. Dia bermesraan dengan perempuan-perempuan
cantik. Jika orang memperingatkan agar dia mau mengurus negara, ia selalu menjawab, "Mengapa
urusan itu tidak kau serahkan kepada Tiong-hu saja?"
Salah seorang di antara budak Raja Cee Hoan Kong, Si Tiao namanya. Ia ingin
bekerja di dalam istana, tetapi tidak bisa, karena ia seorang lelaki. Kemudian ia mengebiri
dirinya sendiri. Sesudah itu ia memohon kepada Raja Cee supaya bisa bekerja di istana.
Raja Cee merasa kasihan kepadanya. Permintaannya diluluskan. Si Tiao pandai sekali
bermuka-muka. Raja Cee Hoan Kong semakin sayang kepadanya. Karena dipercaya Si Tiao selalu
berada di samping baginda. Ada lagi seorang budak yang berasal dari Yong-ip. Namanya Bu alias Ek Ge. Dia
sering dipanggil dengan sebutan Yong Bu. Ek Ge. Orang ini banyak akalnya, ia pandai
bekerja. Dia juga pandai memanah dan berkendaraan. Dia juga paham sekali perihal masak-masak.
Pada suatu hari..... Permaisuri We-ki sakit keras. Buru-buru Ek Ge membuatkan makanan dan


5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyuguhkannya kepada Permaisuri We-ki. Setelah We-ki makan masakan itu, ajaib sekali, penyakit
langsung baik.Karena itu PermaisuriWe-ki sangatsayangkepada EkGe
Ek Ge sering menyediakan makanan enak untuk Si Tiao. Ek Gi tahu benar Si Tiao
sangat disayang oleh Raja Cee. Jika Si Tiao mau bicara pada raja, maka di kemudian hari
ia bakal hidup beruntung. Apa yang diharapkan oleh Ek Ge menjadi kenyataan.
Pada suatu hari...... Si Tiao memuji kepandaian Ek Ge di depan Raja Cee. Terutama tentang kepandaian
Ek Ge dalam memasak makanan lezat. Raja Cee Hoan Kong memerintahkan agar Ek Ge segera
dipanggil menghadap. "Apa betul kau pandai masak?" tanya Raja Cee.
"Ya, hamba mengerti juga," sahut Ek Ge.
"Bermacam-macam daging binatang buruan, semua sudah aku coba makan. Cuma daging
manusia yang belum pernah aku coba. Apa kau bisa mendapatkan masakan daging
itu?" kata Hoan-kong sambil tersenyum.
Raja Cee sengaja berkata begitu karena hendak mengganggu tukang masak yang
dikatakan pandai masak itu. "Ya, baiklah! Nanti hamba buatkan makanan serupa, supaya Tuanku bisa
mencicipinya," kata Ek Ge. Kemudian dia pamit dan berlalu dari hadapan Raja Cee.
Raja Cee Hoan Kong kemudian tertawa terpingkal-pingkal. Dia anggap tukang masak
itu barangkali otaknya sudah miring. Mustahil dia begitu gila berani masak daging
manusia. Pada waktu Raja Cee Hoan Kong makan tengah hari, Ek Ge mengantarkan sepiring
daging matang yang begitu empuk seperti susu kambing. Sedang rasanya begitu enak dan
manis sekali. Sehabis makan makanan yang lezat, Raja Cee bertanya kepada Ek Ge.
"Hei, daging apa yang kau masak, enak sekali?" tanya Raja Cee.
Ek Ge berlutut dan berkata, "Itulah daging manusia, tuanku." jawab Ek Ge.
Raja Cee Hoan Kong terkejut. Sambil menggebrak meja dia berkata, "Ach, kau gila
barangkali! Dari mana kau dapat daging itu" Apa kau sudah membunuh orang?"
"Tidak tuanku, mana hamba berani sembarangan membunuh orang di istana tuanku,"
sahut Ek Ge dengan sabar. "Anak sulung hamba baru berusia tiga tahun. Hamba pikir jika
seorang hamba yang setia pada rajanya, ia tidak memperdulikan rumah tangganya. Asalkan
bisa memenuhi keinginan dan perintah rajanya. Karena tuanku belum pernah makan daging
manusia, maka hamba bunuh anak sulung hamba itu Kemudian dagingnya hamba masak
untuk disuguhkan kepada tuanku."
"O, kalau begitu benar-benar kau sangat mencintaku!" kata Raja Cee Hoan Kong
dengan terharu. "Nah mulai sekarang kau boleh bekerja bersama-sama Si Tiao menjadi
pengikutku." Dengan girang Ek Ge menghaturkan terima kasih.
Karena Raja Cee mengira Ek Ge sangat cinta kepadanya, ditambah lagi Permaisuri
We-ki pun senantiasa memuji kepandaiannya. Akhirnya Ek Ge dipercaya dan disayang oleh Raja
Cee. Sejak saat itu Si Tiao dan Ek Ge mendapat kekuasaan besar untuk mengurus
pekerjaan di istana. Sifat manusia pada umumnya tidak mengenal puas. Mereka sekarang merasa
iri kepada Koan Tiong. *** Pada suatu hari...... Si Tiao dan Ek Ge menghasut dan memburuk-burukan Koan Tiong kepada Raja Cee Hoan
Kong. Mereka bilang. "Menurut hamba seorang raja memberi perintah. Sedang
hambanya yang menjalankan perintah itu. Tetapi sekarang keadaannya terbalik, tuanku.
Tuanku terlalu mempercayai Koan Tiong!" kata Si Tiao.
"Ini semua artinya sama saja bahwa negeri Cee sudah tidak punya Raja lagi!" kata
Ek Ge. "Ha, ha, ha!" Raja Cee Hoan Kong tertawa. "Kalau begitu kalian belum tahu,
bagaimana hubunganku dengan Tiong-hu Koan Tiong!"
Raja Cee Hoan Kong mengerti kedua orang itu hendak menghasut Koan Tiong.
"Jika kalian ingin tahu, aku dengan Tiong-hu seperti tubuh dengan anggota tubuh.
Ada paha baru bisa disebut tubuh. Ada Tiong-hu baru aku bisa menjadi Raja. Kalian berdua
dari golongan rendah, kalian dilarang ikut campur urusan Tiong-hu!" kata Raja Cee.
Mendengar penjelasan dari Raja Cee, Raja Cee pun tahu apa maksud ucapan mereka.
Kedua orang itu diam bagai orang terkesima. Mereka tidak bisa berkata-kata lagi.
Sesudah Cee Hoan Kong mengandalkan Koan Tiong mengurus pemerintahan di negeri
Cee kira-kira tiga tahun lamanya, negeri tersebut telah menjadi sangat aman dan
makmur. Pada masa itu keadaan di negeri Couw sedang jayanya. Mereka telah mengalahkan
negeri Teng, membasmi negeri Koan, menaklukan negeri Sui. Sesudah mengalahkan negeri
In, kemudian berserikat dengan negeri Sit. Dengan demikian seluruh negeri-negeri
kecil yang terletak di sebelah timur sungai Han-sui, tidak ada yang tidak takluk di bawah
perintah negeri Couw. Raja-raja kecil itu terpaksa harus mengantar upeti ke negeri Couw. Dari
semua negara, kecuali negeri Coa yang sangat mengandalkan kehebatan negeri Cee. Sebab Raja Coa
berbesan dengan Raja Cee. Raja Coa pun berserikat dengan Raja-raja Muda di
Tiongkok. Itu sebabnya mereka belum mau mengalah kepada negeri Couw. Sampai pada masa Raja Hin
Cu yang menjadi raja di negeri Couw dengan gelar Bun Ong,
Raja Coa belum mau mengalah juga. Kehebatan Raja Couw Bun Ong ini, lantaran dia
dibantu oleh beberapa orang pandai yang bekerja padanya, seperti Touw Ki, Kut Tiong,
Touw Pek Pi, Wan Ciang, Touw Liam dan Yo Koan. Dengan demikian keadaan negeri Couw menjadi
semakin jaya saja. Kekuatannya itu telah membuat Raja Couw Bun Ong punya niat
hendak menyerang ke daerah Tiong-goan (Tiongkok).
Ketika itu raja di negeri Coa dengan raja di negeri Sit bagai bersaudara. Mereka
sama-sama mengawini puteri negeri Tan. Tetapi raja dari negeri Coa telah kawin lebih
dahulu. Sedang raja dari negeri Sit kawin belakangan.
Permaisuri Sit yang disebut Kui-si atau Sit-kui, parasnya sangat cantik luar
biasa. Pada suatu saat karena hendak menjenguk ayah-bundanya, Sit-kui pulang ke negeri
Tan. Kebetulan mereka harus melwati jalan di negeri Coa.
Sementara itu Coa Ai-houw yang mendapat khabar Ie-nya (ipar perempuannya), bakal
lewat di negerinya, ia merasa kurang pantas jika tidak menyilakan Ie-nya itu singgah
dulu di negerinya. Dia memerintahkan orangnya pergi menyambut Sit-kui dan diajak datang
di istananya. Karena Sit-kui pikir ia masih famili dengan Coa Ai-houw, karena Ta-ci (saudara
perempuan yang tertua) menjadi permaisuri raja negeri Coa, maka dia menerima baik undangan
itu. Dengan sikap hormat Raja Coa menerima kedatangan Sit-kui. Hari itu diadakan
perjamuan di dalam istana. Ketika sudah duduk bersantap, karena melihat paras Sit-kui yang
elok sekali, timbul birahi di hati Raja Coa. Kemudian dia bertingkah ceriwis dan mengucapkan
kata-kata cabul di hadapamn Ie-nya ini. Dia mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh dan
sedikit pun tidak menghormati tamunya.
Melihat kelakuan Raja Coa yang gila, tidak ada basa-basi dan ceriwis itu, Sit-
kui jadi sangat murka. Dengan tidak permisi lagi dia pergi, hingga Raja Coa jadi malu sekali.
Ketika Sit-kui atau Ratu Sit sudah kembali dari negeri Tan dan akan kembali lagi
ke negeri Sit. Nyonya Kui yang cantik manis in,i tidak mau singgah lagi di istana Raja
Coa. Dia khawatir diganggu lagi oleh raja yang ceriwis itu.
Suatu hari ketika Raja Sit mengetahui Raja Coa telah kurang ajar pada istrinya,
dia sangat gusar. Sebisanya dia mencari akal hendak melakukan pembalasan pada Raja Coa.
Beberapa hari lamanya Raja Sit memutar otak mencari akal. Akhirnya dia mendapat
suatu ide yang bagus. Sesudah itu dia mengirim utusan pergi mengantar barang upeti ke negeri Couw.
Kepada utusan itu Raja Coa mengirim surat. Bunyinya demikian:
"Karena negeri Coa sangat bersandar kepada Tiongkok, ia angkuh dan tidak mau
takluk kepada tuanku. Dengan ini kami sarankan agar tuanku serang saja negeri Coa
tersebut. Gunakan siasat, seolah-olah Couw akan menyerang negeri kami. Nanti kami pura-
pura minta bantuan. Jika Raja Coa datang membantu. Saat itu ia harus diserang. Saat itu
Raja Coa akan tertangkap, dan terpaksa dia akan takluk kepada tuanku.
Tertanda Raja Sit." Ketika utusan dari negeri Sit sampai. Dia sampaikan surat dari Raja Sit kepada
Raja Couw Bun Ong. Membaca saran itu Raja Couw sepakat akan menggunakan siasat itu. Bahkan
dia sangat girang atas saran itu. Saran dari Raja Sit tersebut suatu keuntungan
baginya. Raja Couw segera mengerahkan angkatan perangnya. Sesuai rencana Raja Couw berpura-
pura hendak menyerang ke negeri Sit. Ketika angkatan perang negeri Couw sudah dekat
ke perbatasan negeri Sit, sesuai rencana Raja Sit buru-buru mengirim utusan untuk
minta pertolongan kepada negeri Coa.
Mendengar negara saudara iparnya mendapat bahaya, Raja Coa Ai-houw tanpa ragu
memimpin pasukan perang. Mereka datang akan menolong. Tetapi pada saat pasukan
negeri Coa sedang membangun asrama tentaranya dan sebelum perkemahannya rampung, tiba-
tiba tentara Couw datang menyerang mereka.
Tentara Coa tidak sanggup menahan serangan yang hebat dari pasukan Couw. Raja
Coa buru- buru kabur ke kota negeri Sit. Tetapi Raja Sit yang sangat kesal oleh ulah Raja
Coa yang pernah menggoda isterinya, sengaja menutup pintu kota dan tidak mau menyambut
kedatangan Raja Coa tersebut. Maka tentara Coa akhirnya mendapat kerusakan
besar. Coa Ai- houw sendiri melarikan kudanya untuk menyelamatkan diri.
Tentara Couw mengejar mereka. Setelah sampai di Sin-ya (tanah kerajaan Coa).
Tentara Couw berhasil menangkap Coa Ai-houw hidup-hidup. Dia dibawa menghadap pada Raja
Couw Bun Ong. Raja Sit mengadakan pesta besar untuk mengucapkan selamat atas kemenangan
tentara Couw itu. Sesudah perjamuan selesai, Raja Sit mengantarkan Couw Bun Ong keluar dari
negerinya. Waktu itu Raja Coa baru sadar, dia telah ditipu oleh Raja Sit. Tentu saja dia
amat sakit hati. Setelah Raja Couw pulang ke negerinya. Raja Couw mengeluarkan perintah untuk
membunuh Raja Coa. Dagingnya akan dimasak untuk menyembahyangi klenteng leluhur Raja
Couw. "Jangan! Harap baginda jangan bunuh dia," kata Yo Koan. Dia mencegah kehendak
Couw Bun Ong. "Bukankah baginda saat ini menginginkan Tiongkok. Jika tuanku bunuh
Raja Coa, maka Raja Muda yang lain jadi ketakutan. Dengan demikian mereka tidak mau
takluk. Lebih baik kembalikan dia ke negerinya. Biarkan dia takluk di bawah perintah tuanku."
"O, tidak! Tidak bisa begitu!" kata Raja Couw. "Kau sendiri tahu, karena Raja
Coa berlindung kepada Tiongkok, dia begitu bersikap kepala batu, maka sekarang harus
dibinasakan!" Yo Koan berusaha mencegah niat rajanya itu, tetapi Raja Couw tetap menolak
sarannya; dengan begitu sehingga tiga sampai empat kali Yo Koan memberi nasihat. Tetapi
Raja Couw selalu tidak mau menurut, sehingga Yo Koan jadi mendongkol dan sengit sekali.
Dengan tangan kirinya dia pegang lengan baju Raja Couw. Sedang dengan tangan kanannya
dia cabut pedangnya. Dia mengancam sang junjungan seraya berkata, "Hamba lebih suka mati
bersama- sama baginda. Tetapi hamba tidak tega melihat baginda kehilangan Raja-raja
Muda!" "Ya, baik . .Baik . . . aku ikuti nasihatmu. . aku turuti kehendakmu!" kata Raja
Couw Bun Ong dengan ketakutan. Kemudian dia memerintahkan orangnya membebaskan Raja Coa dari hukuman mati.
"Nah, jika baginda bersedia mendengar omongan hamba, ini adalah rejeki dari
negeri Couw," kata Yo Koan sambil melepaskan kembali cengkeramannya pada tangan baju Couw Bun
Ong. "Tetapi salah seorang hamba tuanku telah berani memaksa pada rajanya, karena
dosanya maka ia harus dihukuman mati. Maka hamba mohon supaya baginda menjatuhkan
hukuman kepada hamba ini!" "O, tidak! Kau tidak bersalah," kata Raja Couw. "Aku tahu betul hatimu dan kau
memang seorang menteri yang setia. Maka atas sikapmu tadi, aku tidak menganggap kau


5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdosa." "Meskipun baginda mengampuni hamba, tetapi hamba tidak berani mengampuni diri
hamba!" kata Yo Koan dengan suara keras, ia lantas angkat pedangnya dan membacok kakinya
sendiri. "Lihatlah!" kata Yo Koan pada sekalian pembesar. "Orang yang jadi hamba tidak
memegang aturan rajanya. Ini boleh menjadi contoh!"
Menyaksikan kejadian itu Raja Couw menggoyangkan kepalanya, ia merasa kagum pada
kejujuran hati Yo Koan. Kemudian ia perintahkan orangnya menyimpan kaki Yo Koan
di gudang negara, sebagai tanda bahwa Raja Couw telah bersalah karena tidak mau
mendengar nasihat menterinya yang setia, dan memerintahkan tabib mengobati Yo Koan.
Di kemudian hari sekalipun Yo Koan sudah sembuh, ia tidak bisa berjalan lagi.
Raja Couw mengangkat dia menjadi Tay-hu untuk memegang kekuasaan di pintu kota dan memberi
gelar kehormatan kepada Yo Koan yang disebut Tay-pek.
Kemudian Raja Couw mengizinkan Raja Coa kembali ke negerinya. Tetapi sebelum
Raja Coa berangkat; Raja Couw mengadakan perjamuan untuk mengucapkan selamat jalan kepada
Raja Coa. Di ruang pesta Raja Coa dilayanin oleh perempuan-perempuan cantik, di antaranya
ada seorang yang memainkan tetabuhan pi-pe (gitar Tionghoa), parasnya sangat elok
sekali. Sambil menunjuk ke arah perempuan elok yang main pi-pe itu Raja Couw berkata
pada Raja Coa. "Perempuan itu parasnya paling elok di antara semua perempuan di istanaku ini.
Aku rasa sangat pantas dia menyuguhi secawan arak pada Kun-houw (Raja-muda)." Kata Raja
Couw. Sesudah berkata begitu Raja Couw memberi perintah pada perempuan cantik itu,
supaya ia mengantarkansecawanbesararakuntukdisu"guhkankepadaRaja
Coa. Raja Coa menyambut arak itu dengan gembira dan meminumnya sampai cawannya
kering. Kemudian ia membalas menuangkan secawan besar arak, dengan sikap hormat
menyuguhkannya kepada Raja Couw.
Raja Couw Bun Ong segera menenggak kering cawan araknya; ia tertawa terbahak-
bahak menyatakan kegirangannya. Kemudian saking senang hatinya ia bertanya kepada Raja
Coa Ai-houw. "Apakah selama ini Kun-houw sudah pernah melihat kecantikan perempuan yang luar
biasa atau belum?" kata Raja Couw Bun Ong.
Pertanyaan itu telah membangkitkan pikiran Coa Ai-houw. Dia ingat pada Raja Sit
musuh besarnya. Dia sakit hati karena Raja Sit telah menipu dirinya. Akhirnya dia
ditangkap oleh Raja Couw. Dia sangat sakit hati. Sekarang Raja Couw mengajukan pertanyaan
tentang perempuan cantik. Dia pikir ini saatnya untuk membalas dendam pada Raja Sit.
"Jika tuanku mau membicarakan soal keelokan seorang perempuan," kata Ai-houw,
"Harus kuakui, sejak aku menjadi manusia, belum pernah aku melihat ada perempuan
secantik Sit- kui. Terus terang kukatakan, dia lebih cantik dari bidadari dari kayangan!"
"Eh! Benarkah begitu?" kata Raja Couw penasaran. "Coba kau ceritakan
kecantikannya itu?" "Matanya seperti air kencana," kata Raja Coa, "mukanya serupa dengan bulan
purnama, perawakannya tinggi dan bentuk tubuhnya sedang, gerak-geriknya ayu sekali, . . .
wah! . . . aduh! . . . sudahlah! . . . pendeknya untuk dilihat kecantikannya tidak ada
duanya!" "Kalau aku bisa melihat sekali saja Sit Hu-jin, sekalipun aku harus mati pun,
aku tidak penasaran!" kata Raja Couw dengan sangat kagum.
"Ha, ha, ha, kenapa harapan Sri Baginda begitu kecil!" kata Raja Coa menghasut.
"Buat keangkeran dan keagungan baginda dan negeri Couw, sekalipun puteri Raja Cee dan
negeri Song, tidak sulit baginda mendapatkannya. Apalagi hanya perempuan yang tinggal
di bawah pengaruh baginda seperti negeri Sit?"
Mendengar umpan dan pujian dari Raja Coa, raja Couw Bun Ong girang sekali. Hari
itu dia meneruskan pesta sampai puas. Sesudah perjamuan selesai, Raja Coa Ai-houw pamit
pada Couw Bun Ong. Dia pulang ke negeri Coa.
Sepulang tamunya, Raja Couw ingat terus omongan Raja Coa, sehingga ia ingin
sekali bisa mendapatkan Sit-kui, isteri Raja Sit itu.
Pada suatu hari...... Raja Couw pura-pura mengatakan hendak jalan-jalan memeriksa ke negeri
jajahannya. Sesudah berkunjung ke tempat-tempat lain, ia juga berkunjung ke negeri Sit.
Dengan sangat hormat Raja Sit menyambut kedatangan Raja Couw di tengah jalan. Raja Couw
dipersilakan datang ke istana Raja Sit. Di istana Raja Sit mengadakan pesta besar. Ketika
semua sudah mulai duduk bersantap, Raja Sit mengangkat secawan arak untuk disuguhkan kepada
Raja Couw sebagai ucapan selamat.
Raja Couw menyambut cawan arak itu, tetapi sambil tersenyum ia berkata, "Tempo
hari aku sudah berjasa membalaskan saakit hati isteri anda. Sekarang kebetulan aku sampai
di sini. Apa boleh aku minta isterimu datang menemuiku untuk menyuguhkan secawan arak
kepadaku?" Raja Sit Tetapi karena ia sangat takut pada pengaruh Raja Couw yang besar
kuasanya, sekalipun merasa keberatan untuk meluluskan permintaannya, ia tidak berani
membantah. Apa boleh buat ia perintahkan orangnya pergi memberitahukan hal itu kepada
isterinya. Selang tidak berapa lama kedengaran suara anting-anting dan gelang beradu. Itu
menandakan seorang perempuan berpakaian rebo sedang berjalan mendatangi. Tidak lama
terlihat Nyonya Sit-kui maju ke hadapannya untuk mengucapkan terima kasih. Raja Couw Bun Ong
membalas hormatnya, tetapi matanya terus mengawasi dengan tajam ke arah Sit-kui
yang elok itu. Kemudian Sit Kui mengambil cawan batu giok yang ia isi dengan arak. Dengan
sangat hormat ia suguhkan arak itu kepada Raja Couw. Waktu itu kelihatan putihnya tangan Sit-
kui serupa dengan warna cawan batu giok arakyang ada di tangannya itu. Melihat kecantikan
Nyonya Sit-kui begitu luar biasa, Raja Couw merasakan semangatnya bagaikan terbang ke
angkasa. Dengan hati kebat-kebit ia berpikir.
"Astaga! Betul-betul omongan Raja Coa tidak salah sedikitpun. Perempuan yang
begini cantik aku cuma bisa melihatnya di dalam sebuah lukisan puteri kahyangan. Aku tidak
menyangka ternyata bisa juga ada di antara manusia. Akh, ini perkara yang ganjil sekali!"
pikir Raja Couw. Dia akan menyambut cawan arak itu dari tangan Sit-kui. Sebaliknya Sit-kui
kelihatan tenang dan tidak bingung atawa gugup sedikitun. Dia serahkan cawan arak itu kepada
budak istana untuk disampaikan kepada Raja Couw, yang terus diminum kering araknya oleh sang
raja. Nyonya Sit-kui memberi hormat lagi, lalu minta permisi akan masuk kembali ke
dalam keraton.Raja Couw meluluskan permohonannya itu, tapi mata Raja Couw terus
mengincar pada wanita manis yang berjalan begitu elok dan masuk ke dalam keraton. Ketika
itu kelakukan Raja Couw mirip seekor luak atau musang sedang mengincar seekor ayam
yang gemuk. Perbuatan ini tentu saja membuat gondok hati Raja Sit. Tetapi dia tidak
berani berkata apa-apa lantaran sangat takut.
Setelah pesta selesai, Raja Couw dengan diatar oleh Raja Sit pergi ke gedung
tamu yang memang sudah dirapikan buat tempat dia bermalam.
Malam itu Raja Couw Bun Ong tidak bisa tidur pulas. Paras Nyonya Sit-kui yang
botoh dan manis terbayang terus di matanya. Dia putar otaknya mencari akal untuk bisa
mendapatkan si wanita manis itu. AKhirnya dia mengambil pusan hendak merebut dengan paksa saja
dari tangan Raja Sit. Begitulah esok harinya Raja Couw mengatur meja perjamuan di gedong tamu dengan
alasan untuk membalas penghormatan Raja Sit kepadanya. Dia undang Raja Sit, tetapi
dengan diam- diam dia mengatur tentara yang disembunyikannya di suatu tempat.
Mendapat undangan itu Raja Sit dengan tergopoh-gopoh pergi mengunjungai ruang
pesta. Dengan senang Raja Cow mengajak Raja Sit mengadakan pesta makan minum, tetapi
sesudah minum sampai setengah mabuk, Raja Couw berpura-pura mabuk dan berkata kepada
Raja Sit. "Aku telah berjasa besar kepada isteri Kunhouw, sekarang tiga pasukan tentaraku
ada di sini. Apakah isteri anda bisa menolong menyuguhi mereka arak?"kata Raja Couw.
"Isteriku seorang perempuan yang lemah," kata Raja Sit, "aku rasa dia tidak akan
mampu untuk melayani mereka yang demikian banyak. Hamba harap baginda mau berkasihan
kepadanya," "Hei, apa kau bilang" Kau berani melupakan kewajibanmu dan berani membantah
kehendakku!" kata Raja Couw dengan gusar sambil menggebrak mejda. "Ayo, mana
orang- orangku, mengapa kalian tidak segera menangkap raja durhaka ini!"
Ketika Raja Sit hendak bicara untuk membela diri, tentara Couw yang bersembunyi
sudah keburu keluar. Wan Ciang dan Touw Tan, dua panglima Couw yang gagah perkasa itu,
sudah menangkap dan mengikat Raja Sit.
Kemudian Raja Couw memimpin tentaranya masuk ke dalam keraton Raja Sit untuk
mencari Sit-kui. Ketika Sit-kui mendapat khabar telah terjadi kerusuhan di kediaman tamu
negara, dengan menghela napas dia berkata. "Suamiku telah memimpin seekor macan buas
masuk ke dalam rumahnya, sekarang kita yang jadi korbannya!" kata Nyonya Sit-kui. Sehabis
berkata begitu buru-buru Nyonya Sit-kui lari ke dalam kebun di belakang istana dia
hendak menceburkan diri ke dalam sumur.
Waktu itu Touw Tan keburu sampai di tempat itu. Melihat Sit-kui akan berbuat
nekat, dengan cepat dia kejar. Dia pegang baju Sit-kui dan berkata, "Hu-jin apakah kau tidak
mau menolong Sit-houw" Mengapa kalian suami isteri mau mati semuanya?". Sit-kui tertegun
sejenak tidak bisa berkata apa-apa. Touw Tan segera membawa kembang dunia itu menghadap pada Raja Couw. Dengan
perkataan lemah-lembut Raja Couw Bun Ong menghibur nyonya manis itu. Dia
berjanji tidak akan membunuh Raja Sit dan tidak akan merusak rumah abu leluhur Raja Sit. Di
saat itu juga dia angkat Sit-kui menjadi permaisurinya. Sit-kui dinaikin ke kereta dan terus
dibawa pulang ke negeri Couw. Karena paras Sit-kui seperti kembang To, maka orang memberinya gelar To Hoa Hu-
jin (Nyonya Bunga To). Kemudian Raja Couw menempatkan Raja Sit di tanah Ji-sui. Dia
diberi sepuluh buah rumah dan tanah perusahaan untuk penghidupannya juga untuk merawati
rumah abu leluhurnya. Tapi karena Raja Sit telah kehilangan mustika berjiwanya, dia
senantiasa menanggung kesal dan mendongkol serta terus berduka. Selang tidak berapa lama
dia terserang penyakit hebat dan meninggal dunia. Ya, sungguh kasihan!
Pada tahun pertama sejak bertahtanya Kaisar Ciu yang bernama Baginda Ciu Li Ong
pada musim Cun (Semi) bulan Chia-gwe (bulan satu Imlek). Raja Cee Hoan Kong
mengadakan sidang di istananya. Sesudah semua menteri sipil dan militer menjalankan
penghormatan, Raja Cee Hoan Ong berkata pada Koan Tiong.
"Nasihat Tiong-hu sudah aku jalankan dengan baik. Aku sudah menjalankan
pemerintahan di negeri Cee dengan baik. Juga sudah sesuai dengan ajaran dari Tiong-hu. Sekarang
angkatan perang di negeri Cee sudah baik. Prajuritnya terlatih semuanya; ransum untuk
angkatan perang sudah tersedia cukup. Rakyat negeri Cee pun semuanya sudah mengerti adat-
istiadat dan mereka tahu kewajibannya. Aku pikir ada baiknya aku mengadakan perserikatan
dengan Raja-raja Muda untuk menetapkan sebagai jago di daratan Tiongkok. Apakah Tiong-
hu rasa ini sudah saatnya atau belum?" kata Raja Cee Hoan Ong.
"Keadaan Raja-raja Muda pada masa ini, yang negaranya paling kuat dari negeri
Cee masih

5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak," kata Koan Tiong. "Di selatan masih ada negeri Couw, di barat ada negeri
Cin dan Chin. Mereka semua semata-mata hanya mengandalkan kegagahan mereka belaka.
Mereka tidak mau tunduk kepada Kaisar Ciu. Maka sulit untuk menjadi jagoan di antara
mereka. Kerajaan Ciu, sekalipun sekarang sudah mulai lemah, tetapi sebenarnya Kerajaan
Ciu menjadi pemimpin di benua ini. Hanya karena mereka telah salah memindahkan Ibukota
mereka ke sebelah timur, (menjadi Tong Ciu), sehingga Raja-raja Muda tidak mau datang
menyatakan kepatuhan mereka. Banyak yang tidak mau mengantar upeti lagi. Terutama sejak
Raja The berhasil memanah bahu Kaisar Ciu Hoan Ong, Raja-raja Muda semakin tidak
mengindahkan kekuasaan Kerajaan Ciu. Bahkan Raja Couw mengangkat dirinya menjadi Kaisar.
Menteri dari negeri Song dan The telah membunuh raja mereka. Jelasnya telah banyak
terjadi perkara yang tidak patut, tetapi tidak ada kerajaan yang berani memerangi mereka.
Sekarang Kaisar Ciu Cong Ong baru saja wafat dan Kaisar yang baru telah menggantikannya. Baru-
baru ini di negeri Song telah terjadi kekacauan. Panglima Lam-kiong Tiang Ban telah membuat
huru- hara. Sekalipun panglima yang berkhianat itu sudah terbunuh, tetapi kedudukan
Raja Song masih belum mantap. Sekarang sebaiknya Tuanku mengirim utusan menghadap ke
istana Ciu. Tuanku boleh memohon kepada Kaisar Ciu supaya beliau mengeluarkan firman memberi
izin kepada kita untuk membuat perhimpunan besar. Kita kumpulkan seluruh Raja-raja
Muda serta menetapkan kedudukan Raja Song. Jika kedudukan Raja Song telah disahkan,
kemudian baru kita muliakan Kaisar Ciu. Minta semua Raja-raja Muda menaruh hormat kembali
kepada Dewan Kerajaan Ciu. Jika di antara negeri-negeri ada yang lemah, kita harus
membantunya. Negara yang kuat kita ajak berserikat. Bagi raja yang membuat huru-hara dan
tidak menuruti perintah kita, maka kita ajak semua Raja Muda untuk memeranginya. Apabila
seluruh negeri sudah mengetahui masalah ini, maka masing-masing Raja Muda akan mengajak teman-
temannya datang menghadap ke istana Cee. Dengan demikian, kita tidak usah sering
mengeluarkan kereta perang kita, tetapi usaha untuk menjadi jago segera akan
terbukti." Alangkah girangnya Raja Cee Hoan Kong mendengar ucapan Koan Tiong tersebut. Dia
setuju pada saran yang dikatakan Perdana Menterinya itu. Raja Cee segera memerintahkan
seorang utusan pergi ke kota Lok untuk mengucapkan selamat kepada Baginda Ciu Li Ong.
Sekaligus memohon supaya dia diberi izin untuk menghimpun Raja-raja Muda dan menetapkan
kedudukan Raja Song. Utusan itu pamit pergi ke kota Kaisar Ciu. Sesampai di Lok-yang dia menyampaikan
pesan Raja Cee Hoan Kong kepada Kaisar Ciu. Utusan itu menceritakan keinginan Raja Cee
Hian Kong.. "Siao Pek ternyata tidak lupa kepada Dewan Kerajaan Ciu, ini keberuntungan
kami," kata Kaisar Ciu Li Ong. "Kami tahu Raja-raja Muda yang tinggal di sebelah hulu sungai
Su-sui, bisa dikatakan Siao Pek menjadi kepalanya. Bagaimana kami tidak meluluskan
permohonannya?" kata Kaisar Ciu.
Kaisar Ciu Li Ong segera mengeluarkan firman seperti yang diminta oleh Raja Cee.
Firman itu dia serahkan kepada utusan itu. Utusan negeri Cee mengucapkan terima kasih,
dia pamit pulang. Setelah sampai di negeri Cee, dia sampaikan hasil kerjanya kepada Raja
Cee. Raja Cee Hoan Kong girang. Dia memerintahkan orangnya menberi kabar ke negeri
Song, Louw, Tan, Coa, We, The, Co dan Ti. Dia menyatakan atas perintah Kaisar Ciu, dia
hendak membuat perhimpunan Raja-raja Muda dan akan diadakan pada awal bulan Sha-gwe
(bulan tiga Imlek) di tanah Pak-heng (tanah negeri Cee).
Tatkala hampir sampai waktu yang ditentukan, Raja Cee Hoan Kong bertanya kepada
Koan Tiong. "Untuk pergi ke tempat persidangan, kita harus membawa kereta perang dan tentara
berapa banyak?" kata Raja Cee Hoan Kong.
"Tuanku tidak perlu membawa tentara," sahut Koan Tiong. "Karena Tuanku menerima
titah Kaisar Ciu untuk menemui semua Raja-raja Muda. Mana pantas membawa kereta perang
dan tentara" Karena perhimpunan ini diadakan dalam keadaan aman."
Raja Cee Hoan Kong membenarkan ucapan Koan Tiong. Dia perintahkan tentaranya
mendirikan panggung tiga tingkat. Panggung itu tingginya tiga tombak, di kiri
digantungkan lonceng, di sebelah kanan diletakan genderang, di atas panggung diatur tempat
duduk kaisar. Tetapi kursi ini dikosongkan. Sedang di tepi panggung disediakan tempat duduk
untuk Raja- raja Muda. Batu giok, kain sutera dan lain-lain perhiasan diatur rapih sekali.
Di tempat itu disediakan beberapa rumah untuk istirahat para tamu.
Ketika tiba saatnya, Raja Song Hoan Kong datang lebih dulu. Dia menemui Raja Cee
Hoan Kong. Raja Song mengucapkan terima kasih kepada Cee Hoan Kong, karena ditolong
menetapkan kedudukannya sebagai Raja Muda.
Dengan manis budi Raja Cee melayani Raja Song bicara.
Pada esok harinya...... Raja Tan Soan Kong dan Tio Cu, dua raja telah sampai. Sedang Coa Ai-houw
sekalipun merasa sakit hati kepada Raja Couw, sudah takluk kepada Raja Couw, tetapi dia
datang ke pertemuan para Raja Muda itu.
Empat Raja Muda yang melihat Raja Cee datang tidak membawa angkatan perangnya,
mereka segera mengundurkan kereta perang mereka kira-kira dua puluh li jauhnya.
Waktu itu akhir bulan Ji-gwe (bulan dua Imlek), tetapi Raja-raja Muda yang
diundang belum kumpul seluruhnya. Raja Cee jadi kurang senang, dia berunding dengan Koan Tiong.
"Raja-raja Muda yang diundang banyak yang belum datang," kata Raja Cee Hoan
Kong, "apa tidak lebih baik kita ubah waktu pertemuannya. Kita harus menunggu sampai mereka
kumpul semua?" "Peribahasa mengatakan: Tiga orang saja bisa menjadi perserikatan. Sekarang
sudah ada empat Raja Muda yang datang. Jumlah ini tidak bisa dikatakan sedikit," kata Koan
Tiong dengan sabar. "Jika Tuanku mengubah waktu pertemuannya, ini melanggar janji dan
menghilangkan kepercayaan mereka. Apalagi jika sudah ditunggu tetapi masih belum
datang juga. Itu artinya melalaikan perintah Kaisar Ciu! Jika sejak awal Raja muda
tidak taat pada perintah ini. Bagaimana nanti?"
"Bagaimana baiknya, apa kita langsung membuat perserikatan atau cuma membuat
pertemuan saja?" tanya Cee Hoa Kong.
"Pikiran para Raja Muda belum bersatu, biar kita lihat jika mereka sudah
berkumpul semua. Jika mereka tidak bubar, baru saat itu boleh diadakan perserikatan," sahut Koan
Tiong. Raja Cee menyatakan setuju. Dia berjanji akan melakukan apa yang dikatakan oleh Koan
Tiong. Pada awal bulan Sha-gwe (bulan tiga Imlek), waktu itu udara cerah sekali. Dengan
gembira Raja Muda lima negara itu berkumpul di panggung bagian bawah. Begitu mereka
sudah menjalankan hormat satu sama lain, Raja Cee Hoan Kong mulai angkat bicara.
"Karena Dewan Pemerintah Kaisar Ciu sudah lama tidak diindahkan lagi oleh para
Raja Muda, maka terjadi banyak kekacauan dan pemberontakan. Sekarang aku telah
menerima titah Kaisar Ciu untuk mengumpulkan semua Raja Muda. Maksudnya untuk
mengembalikan wibawa "Dewan Kerajaan Ciu". Maka hari ini aku usulkan agar diangkat seseorang
untuk menjadi pemimpin semua Raja Muda. Dia yang akan memegang kekuasaan besar untuk
mengurus pemerintahan yang harus dijalankan di seluruh negeri ini."
Sesudah Raja Cee berkata begitu, di tempat itu segera diadakan perundingan.
Tetapi Raja-raja Muda itu merasa sangsi. Mereka bingung semua. Jika mereka mengangkat Raja Cee,
tetapi keturunan Raja Song bergelar Kong (hertog), sedang Raja Cee cuma bergelar Houw
(graaf/pangeran). Menurut aturan semestinyam Raja Song yang derajatnya lebih
tinggi dan berhak jadi pemimpin. Sebaliknya jika mereka mengangkat Raja Song, tetapi Raja
Song baru saja jadi raja. Sedang kedudukan yang diperolehnya justru berkat bantuan Raja
Cee. Maka Raja Song pasti tidak berani menduduki posisi lebih tinggi dari Raja Cee,
penolongnya. Begitulah sesudah ditimbang pergi datang sekian lamanya, Raja Tan Soan Kong
bangkit dari tempat duduknya dan berkata, "Tentang titah Baginda Ciu Li Ong untuk
mengumpulkan Raja-raja Muda, Baginda telah menyerahkan masalah ini kepada Cee-houw, karena
itu harus Cee-houw yang diangkat menjadi kepala perserikatan?"
Semua Raja Muda membenarkan ucapan Raja Tan, tidak ada yang membantah pendapat
Raja Tan. Raja Cee Hoan Kong berulang-ulang hendak mengalah, tetapi tidak urung dia
diangkat menjadi pemimpin mereka. Kemudian para Raja Muda masuk ke panggung tingkat atas.
Raja Cee menjadi kepala, yang ke-dua Raja Song-kong, ke-tiga Raja Tan-houw, ke-empat
Raja Coa-houw dan yang ke-lima Raja Ti-cu. Sesudah berbaris tertib dan tetap, lonceng
dan genderang dibunyikan. Pertama-tama mereka menjalankan upacara adat. Mereka
menghadap ke arah tempat tinggal Kaisar Ciu. Kemudian satu sama lain memberi hormat
seperti sesama saudara tercinta. Sementara itu Tiong Sun Ciu datang membawa sepucuk surat perjanjian. Dia
berlutut membacakan surat perjanjian yang bunyinya kira-kira begini:
"Pada hari ini, Cee-houw Siao Pek, Song-kong Gi Wat, Tan-houw Ci Kiu, Coa-houw
Hian Bu dan Ti-cu Kek, dengan mentaati titah Sri Baginda Ciu Li Ong telah berhimpun di
Pak-heng, dan satu sama lain berjanji hendak bersama-sama menunjang pada Dewan Kerajaan
Ciu, menolong negeri yang lemah dan mengangkat negeri yang jatuh; apabila ada yang
melanggar perjanjian ini, semua negeri akan bersama-sama memerangi padanya."
Bab 4 Sesudah surat perjanjian itu dibaca habis, semua Raja Muda mengangkat tangan
memberi hormat. Kemudian mereka menerima surat perjanjian itu sebagai pegangan mereka.
Tiba-tiba sesudah semua Raja Muda menjalankan upacara itu, Koan Tiong naik ke
atas panggung, "Louw, We, The, dan Co telah membantah titah Baginda Kaisar tidak mau
datang ke pertemuan ini; hal ini tidak boleh dibiarkan. Mereka harus diajar adat." Kata
Koan Tiong. "Aku menyesal di tempatku kereta perang sangat sedikit, " kata Raja Cee Hoan
Kong. "Aku berharap para raja mau bekerja sama denganku."
Raja dari negeri Tan, Coa dan Ti berjanji akan membantu. Hanya Raja Song yang
tercengang dan diam saja tidak menyahut.
Waktu sudah sore, persidangan pun segera ditutup. Masing-masing Raja Muda pulang
ke gedung tempat mereka bermalam.
Raja Song Hoan Kong tidak setuju pada niat Raja Cee Hoan Kong. Pada malam itu
dia mengadakan pertemuan rahasia dengan Tay-hu Tay Siok Pi.
"Raja Cee mengangkat dirinya menjadi yang dipertuan," kata Raja Song Hoan Kong,
"baru saja dia diangkat, dia sudah minta kita mengerahkan angkatan perang kita untuk
membantu dia! Jika begini caranya aku takut tentara negeri kita akan kelelahan untuk
menjalankan perintahnya." "Raja-raja Muda yang berserikat dibanding dengan yang menetang, sama banyaknya.
Aku berpendapat Kerajaan Cee belum kuat!" kata Tay Siok Pi. "Tetapi jika bisa
mengalahkan Raja Louw dan The sampai takluk, ia akan berhasillah menjadi jago di dunia. Jika
negeri Cee menjadi jagoan, itu bencana bagi negeri Song. Di antara ke-empat negeri yang
datang berserikat, hanya negeri Song yang paling besar. Jika Song tidak ikut mengirim
tentara, tiga negeri yang lain pun ikut ambruk. Apalagi kedatangan kita ini, cuma hendak
mendapat izin Kaisar. Sekarang aku sudah punya hak berdiri dalam Dewan Kerajaan Ciu. Apa yang
mau ditunggulagi" Paling baikmalam inijuga diam-diam kita pulang saja."
Raja Song setuju pada saran Tay Siok Pi tersebut. Malam itu juga mereka naik
kereta perang

5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat pulang. ** Esok harinya...... Setelah Raja Cee Hoan Kong mendapat khabar Raja Song sudah meninggalkan
persidangan pulang ke negaranya. Raja Cee gusar sekali. Ketika itu juga mau menyuruh Tiong
Sun Ciu mengejar Raja Song. "Sudah, biarkan saja dia pulang," kata Koan Tiong. Koan Tiong mencegah kehendak Raja Cee.
"Mereka tidak perlu dikejar, itu bukan kewajiban kita. Kita harus minta tentara
dulu kepada Kaisar Ciu untuk menghajar mereka! Dengan demikian baru benar aturannya.
Sebaiknya masalah ini kita tunda dulu, karena ada urusan yang lebih penting!" kata Koan
Tiong. "Urusan apa itu" Sehingga Tiong-hu katakan lebih penting dari masalah ini?"
tanya Raja Cee Hoan Kong heran. "Negeri Song letaknya cukup jauh dibanding dengan negeri Louw. Ditambah lagi
negeri Louw masih keluarga Kerajaan Ciu," kata Koan Tiong. "Lebih baik kutaklukan dulu
negeri Louw. Mengapa harus negeri Song dulu?"
"Jika akan menyerang ke negeri Louw kita harus mengambil jalan mana?" tanya Raja
Cee. "Di bagian Timur-laut sungai Cee ada negeri Sui. Tanah itu jajahan negeri Louw.
Negrinya kecil serta lemah. Rajanya baru berkuasa empat turunan. Jika dengan pasukan
besar kita menyerang ke negeri Sui, dalam sekejap negeri itu pasti musnah. Jika negeri Sui
telah jatuh ke tangan kita, negeri Louw akan jadi keder. Kemudian baru kita kirim utusan untuk
menegor Raja Louw. Tanyakan mengapa dia tidak mau datang ke pertemuan yang kita adakan
ini. Perintahkan orang kita memberi khabar kepada Louw Hu-jin. Karena Louw Hu-jin
adalah puteri Raja Cee almarhum, pasti dia menginginkan puteranya tetap hidup kekal
bersama keponakan luarnya. Aku yakin Louw Hujin akan membujuk Raja Louw supaya tidak
berperang melawan negeri Cee. Dengan demikian dari dalam Raja Louw akan dipaksa
oleh pemintaan ibunya, dan dari luar terancam oleh serangan tentara musuh. Boleh
dipastikan dia terpaksa akan minta berdamai. Jika Raja Louw sudah minta berdamai, kita luluskan
permohonannya. Sesudah membereskan negeri Louw, baru kita pindahkan tentara kita
menyerang ke negeri Song. Minta pada Sri Baginda Ciu supaya mengirim panglimanya
untuk membantu kita. Dengan demikian untuk menjatuhkan negeri Song tidak ubahnya
seperti membelah bambu gampangnya."
"O, bagus!" kata Raja Cee Hoan Kong girang.
RajaCeesegeramengerahkantentaranya berangkatkekotaSui-shia.
Benar saja dengan sekali gebrak Raja Cee Hoan Kong sudah berhasil mendapatkan
kota Sui- shia. Dia tempatkan tentaranya di pinggir sungai Cee-sui.
Mendengar khabar kota Sui-shai telah jatuh ke tangan Raja Cee, benar saja Raja
Louw jadi jerih. Dia kumpulkan sekalian menterinya untuk diajak berunding menghadapi
serangan musuh. "Tentara Cee sudah dua kali datang ke negeri kita," kata Pangeran Keng Hu.
"Tetapi mereka selalu bisa kita pukul mundur. Kali ini mereka berani datang lagi, biar hamba
yang memimpin pasukan perang untuk melabraknya!"
"O, tidak boleh! . . . tidak boleh!" seru seorang di antara kumpulan para
menteri. Raja Louw Cong Kong segera mengawasi orang yang berseru itu. Dia adalah Si Pek.
"Menteriku, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?" tanya Raja Louw.
"Ada tiga hal yang menjadi penghalang, Tuanku," sahut Si Pek. "Seperti dulu
hamba sudah bilang, Koan Tiong kepandaiannya luar biasa. Sekarang dia memegang pemerintahan
di negeri Cee. Maka jelas angkatan perang Cee kuat sekali. Jauh sekali bedanya
dengan pasukan Cee yang dulu. Ini penghalang pertama.
Ketika mengadakan pertemuan di Pak-heng, dia menggunakan alasan telah menerima
perintah Kaisar Ciu; dengan tujuan untuk memuliakan "Dewan Kerajaan Ciu", karena kita
tidak ikut hadir dalam pertemuan itu, sekarang dia mengatakan kita telah melanggar titah
Baginda. Segala kejelekan dijatuhkan kepada kita. Ini penghalang yang ke-dua. Tatkala
kita membunuh Pangeran Kiu, Tuanku telah berjasa kepadanya, ketika dia menikahi Puteri Ong-hi,
Tuanku juga berjasa kepada Raja Cee. Sekarang dia melupakan semua jasa Tuanku itu! Dia
sengaja ingin bermusuhan dengan kita. Ini penghalang yang ke-tiga! Tegasnya sekarang
demi kebaikan kita, sebaiknya Tuanku minta berdamai saja dengannya. Dengan demikian
kita tidak perlu berperang dan tentara Cee pasti akan segera ditarik mundur."
"Itu benar, hamba pun berpendapat begitu," kata Co We. Co We sependapat dengan
Si Pek. Pada saat sedang berunding, tiba-tiba datang pelapor.
"TuankuRajaCeemengirim suratuntukTuanku,"katasipelapor..
Raja Louw menyambut surat itu dan membuka sampulnya. Bunyi surat itu kira-kira
begini: "Dengan hormat, Aku persembahkan surat ini ke hadapan Louw Cong-kong yang mulia. Sudah lama kita
berdua bersama-sama menjungjung Dewan Kerajaan Ciu dengan taat, kita seperti
saudara yang saling mencintai, apalagi memang Cee dan Louw berbesan. Tetapi sungguh aku
kecewa sekali, ketika diadakan pertemuan di Pak-heng, Kun-houw tidak datang, maka
dengan menyesal aku mengambil keberanian mohon bertanya, apa sebabnya" Seandainya Kun-
houw punya hati bercabang, terpaksa aku harus menjunjung titah Baginda Kaisar.
Tertanda, Cee Hoan Kong."
Setelah membaca surat ini, Raja Louw Cong Kong kurang senang. Berbareng dengan
itu, Raja Cee pun mengirim surat kepada Louw Hu-jin Bun-kiang. Sesudah Bun-kiang
membaca surat Raja Cee, dia langsung memanggil Raja Louw Cong Kong yang segera datang
menghadap. "Cee dan Louw turun temurun menjadi famili," begitu kata Louw Hu-jin
mengingatkan anaknya, "kendati dia benci kepada kita, toh kita harus baik kepadanya. Apalagi
jika dia mau mengamankan dunia, tentu saja kita harus membantunya."
"Ya, baik, aku menurut pesan Ibu," kata Raja Louw Cong Kong dengan hormat.
RajaLouw memerintahkanSiPekmenulissuratbalasan buat
RajaCee. Si Pek lantas menulis surat yang bunyinya kira-kira demikian:
"Oleh karena kebetulan aku kurang sehat badan, sehingga aku belum bisa ikut
titahnya Baginda. Sekarang Kun-houw mengirim surat menegur hamba, aku menerima salah.
Tetapi jika aku harus berdamai di bawah kota Louw, sesungguhnya aku jadi sangat malu,
apabila Kun-houw suka mengundurkan tentaramu sampai ke daetah Kun Houw sendiri, sudah
pasti dengan membawa batu mustika giok dan kain sutera aku akan datang ke sana untuk
minta ampun." Begitu Raja Cee menerima surat dari Raja Louw, dia jadi girang sekali.Kemudian
menarik mundur tentaranya sampai le tanah Ko (tanah milik negeri Cee).
Ketika Raja Louw hendak pergi menemui Raja Cee, dia bertanya pada semua
menterinya. "Siapa di antara kalian yang bersedia ikut denganku?" kata Raja Louw.
"Hamba bersedia ikut dengan Tuanku," kata Co Moay.
"Hau, kau sudah tiga kali kalah berperang dengan tentara Cee, apakah kau tidak
khawatir orang negeri Cee menertawakanmu?" kata Raja Louw Cong Kong sambil tersenyum.
"Justru lantaran mendapat malu, sekarang hamba ingin pergi. Hamba yakin hamba
bisa membalas kekalahan hamba pada mereka!" kata Co Moay.
"Bagaimana caranya kau hendak membalas pada mereka?" tanya Raja Couw.
"Tuanku boleh berurusan dengan Raja Cee, sedang hamba akan berhitungan dengan
menterinya." jawab Co Moay.
"Aku pergi ke perbatasan negeri untuk minta berdamai, seumpama aku telah kalah
perang, apabila kau bisa membalas membuat malu mereka, aku senang sekali mengajakmu."
kata Raja Couw. Sesudah berdandan untuk persiapan di perjalanan, Raja Louw Cong Kong mengajak Co
Moay berangkat menuju ke tanah Ko.
Raja Cee memang sudah lebih dulu membuat panggung untuk menunggu kedatangan Raja
Louw. Ketika Raja Louw hampir sampai ke tanah Ko, Raja Louw memerintahkan
orangnya memberi khabar kepada Raja Cee tentang kedatangannya. Sementara Raja Cee pun
membalas mengirimorangnyauntuk menentukansaatperundinganakan diadakan.
Begitu sampai pada waktu yang sudah ditentukan, dengan menuruti ajaran Koan
Tiong, Raja Cee memerintahkan tentaranya berbaris di bawah panggung.
Tentara Cee diatur menjadi empat barisan, mereka membawa bendera hijau, merah,
hitam dan putih. Mereka berbaris di bagian timur, selatan, barat dan utara. Masing-masing
dikepalai oleh seorang panglima perang. Panglima tertingginya adalah Tiong Sun Ciu.
Tangga panggung dibuat tujuh tingkat, setiap tingkat dijaga oleh tentara yang
gagah memegang bendera kuning. Pada bendera itu terlukis dua huruf "Hong Pek". Di
samping bendera diletakan sebuah genderang besar; untuk menjaga genderang ditugaskan
Ong-cu Seng Hu. Di tengah panggung diatur meja sembahyang, di sana ditaruh piring merah dan
mangkuk batu giok. Mangkuk itu untuk tempat darah. Pengurus di bagian ini dipegang oleh Sek
Peng. Di kedua tepi panggung ditempatkan tempat duduk. Pengurus di sini dipercayakan
kepada Si Tiao. Di panggung sebelah barat ada dua buah tiang batu. Di sana terikat seekor kerbau
hitam dan kuda putih, sedang algojonya bersiap akan memotong binatang itu. Pengawasan
tempat ini diserahkan kepada tukang masak Ek Ge.
Tong Kok Ge menjadi petunjuk jalan, berdiri di bawah tangga untuk menyambut
tamu. Koan Tiong yang jadi Perdana Menteri, berdandan rapi sekali.
Sesudah segala keperluan selesai diatur beres, Raja Cee baru mengeluarkan
perintah untuk menyilakan Raja Louw datang menghadap; tetapi hanya raja dan seorang menterinya
saja yang boleh naik ke atas panggung, yang lainnya harus menunggu di bawah.
Co Moay berpakian sipil dan mengenakan pakaian perang di balik pakaian sipilnya.
Pada tangan kanan Co Moay memegang sebilah pedang yang tajam. Sekali pun hanya
sekejap dia tidak mau berjauhan dengan Raja Louw Cong Kong.
Waktu itu Raja Louw sambil berjalan tubuhnya gemetar karena ngeri; tetapi Co
Moay sedikit pun tidak kelihatan jerih.
Setelah mereka berjalan hampir sampai di tangga ke-dua, Tong Kok Ge maju ke
hadapan Raja Louw dan dia berkata, "Hari ini dua orang Raja hendak mengadakan pertemuan.
Begitu juga menterinya. Sudah tentu semua harus memegang adat-istiadat dengan baik. Mana
boleh membawa senjata tajam" Untuk kebaikan kedua pihak, pedang itu harus ditaruh
dahulu!" Co Moay tidak menyahut, tetapi dengan mata mendelik dia awasi Tong Kok Gee. Biji
mata Co Moay seolah mau melompat keluar.
Melihat demikian Tong Kok Ge jadi mengkirik, dia mundur beberapa langkah.
Raja Louw Cong Kong dan Co Moay berjalan terus. Mereka naik ke atas panggung.
Setelah dua orang raja itu bertemu muka, masing-masing menyatakan kegembirannya. Sesudah
itu genderang dibunyikan sebanyak tiga kali. Mereka menghadapi meja sembahyang dan
menjalankan upacara adat.
Sek Peng menuang darah hewan ke dalam mangkuk batu giok, sambil berlutut dia
suguhkan darah itu supaya dua orang raja itu segera meminumnya. Suatu tanda mereka sedang
membuat perserikatan yang kekal. Sebelum dua Raja Muda itu minum darah tersebut, Co Moay dengan wajah gusar
bergerak. Tangan kiri Co Moay menjambak lengan baju Raja Cee Hoan Kong. Sedang tangan
kanannya memegang pedang tajam dan mengancam.
Koan Tiong segera melindungi Raja Cee Hoan Kong dengan tubuhnya. Dengan sikap
hormat, "Apa yang hendak Tay-hu lakukan?" tanya Koan Tiong.
"Secara beruntun Raja Louw beberapa kali didatangi bala-tentara negeri Cee,
sehingga

5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

negerinya hampir musnah!" kata Co Moay dengan keras. "Sedang Kun-houw
mengabaikan pertemuan dengan maksud hendak menolong yang lemah dan mengangkat yang sedang
jatuh. Apakah Tuan tidak ingat pada negeriku yang bernasib jelek?"
"Kalau begitu, apa yang Tay-hu hendak minta?" tanya Koan Tiong dengan sabar.
"Negeri Cee terlalu mengandalkan kekuatan dan telah menghina negeri yang lebih
lemah. Negeri Cee telah merebut sawah-sawah milik negeri Louw di Bun-yang," kata Co
Moay dengan sengit. "Maka hari ini aku mohon apa yang telah dirampas supaya
dikembalikan kepada Rajaku! Kalau sudah begitu baru boleh minum darah itu!"
Koan Tiong berpaling ke arah Raja Cee Hoan Kong.
"Apa Tuanku suka meluluskan permohonannya?" kata Koan Tiong.
"Baik, Tay-hu, aku luluskan permohonanmu itu," kata Cee Hoan Kong pada Co Moay.
Mendengar Raja Cee bersedia mengembalikan milik negeri Couw, Co Moay baru
melepaskan cengkeramannya. Kemudian dia menggantikan Sek Peng memegang mangkuk batu giok
berisi darah. Menyuguhkannya pada ke-dua raja tersebut.
Sesudah kedua raja minum darah, Co Moay berkata, "Tiong-hu memegang pemerintahan
di negeri Cee, hamba suka minum bersama-sama Tiong-hu!"
"Mengapa harus Tiong-hu" Aku siap bersumpah di hadapanmu!" kata Raja Cee.
Raja Cee menghadap ke langit menunjuk ke arah matahari seraya berkata, "Allah
Yang Maha Kuasa! Jika aku ingkar, dan tidak mengembalikan sawah-sawah di Bun-yang pada
negeri Louw, biarlah aku binasa seperti tenggelamnya matahari!"
Co Moay menjadi sangat girang, dia minum darah tersebut. Dengan sikap hormat dia
mengucapkan terima kasih. Setelah urusan itu selesai dan Raja Louw Cong Kong
sudah pergi ke gedung tempat bermalamnya. Ong-cu Seng Hu dan lain panglima merasa sangat
penasaran. Mereka minta izin pada Raja Cee Hoan Kong hendak membunuh Raja Louw
Cong Kong. Ini untuk membalas penghinaan Co Moay kepada raja mereka.
"Jangan, tidak boleh begitu! Aku sudah meluluskan permohonan Co Moat!" kata Hoan
Kong. "Ingat! Meski pun yang bersumpah itu cuma orang biasa, dia tidak boleh
mengabaikan kepercayaan dan janji! Apalagi janji aku seorang Raja!" Karena Raja Cee melarang, semua panglima diam tidak berani membantah.
** Esok harinya..... Raja Cee mengadakan perjamuan lagi di gedung tamu, maksudnya untuk mengucapkan
selamat berpisah kepada Raja Louw.
Dengan sikap hormat Raja Louw menghaturkan terima kasih atas budi kecintaan Raja
Cee. Kemudian sesudah makan minum, Raja Louw pamit dan berangkat pulang ke negrinya.
Raja Cee memerintahkan para pembesar negeri Cee untuk segera mengembalikan
sawah- sawah negeri Louw di Bun-yang kepada pemiliknya.
Tatkala Raja-raja Muda mendengar tentang Raja Cee dan Raja Louw telah mengadakan
perserikatan di tanah Ko, mereka semua sangat kagum. Mereka pikir Raja Cee Hoan
Kong ternyata jujur. Dia memegang betul kepercayaan dan janjinya. Karena itu raja
negeri We dan raja negeri Co segera mengirim utusan untuk menerima salah dan minta ikut
berserikat. Pada suatu hari Raja Cee Hoan Kong mengirim utusan pergi ke negeri Ciu. Dia akan
memberitahu bahwa Raja Song tidak mengindahkan perintah Kaisar Ciu. Raja Cee
dalam suratnya memohon supaya Baginda mengerahkan angkatan perang dan bersama-sama
pasukan Cee pergi untuk menegur Raja Song.
Setelah utusan Cee itu menyampaikan surat dari Raja Cee, Kaisar Ciu Li Ong
mengerti maksud surat itu. Segera Kaisar Ciu memerintahkan Tay-hu Tan Biat memimpin
pasukan perang pergi ke negeri Cee untuk membantu melabrak negeri Song.
Ketika pasukan Ciu telah sampai di negeri Cee, angkatan perang ini disambut oleh
Raja Cee dengan girang sekali. Tidak lama juru khabar datang memberi laporan.
"Negeri Tan dan negeri Co datang membawa pasukan perangnya dan siap maju di
depan. Khabar itu membuat Raja Cee menjadi bertambah girang. Dia perintahkan Koan Tiong
menggabungkan tentaranya dengan tentara dari negeri Tan dan Co. Mereka akan
segera berangkat lebih dahulu. Sedang Raja Cee mengajak Sek Peng, Ong-cu Seng Hu, Tong
Kok Ge dan lain panglimanya, bergabung dengan tentara dari negeri Ciu. Kemudian
mereka berangkat menyusul dari belakang.
Waktu itu musim Cun (Semi) pada tahun ke-dua dari bertahtanya Kaisar Ciu Li Ong.
Dalam perjalanan itu Koan Tiong membawa gundiknya yang sangat dia cintai. Gundiknya
bernama Ceng. Gundik Koan Tiong ini berasal dari kota Ciong-li. Dia mengerti surat dan
banyak kepandaiannya. Raja Cee Hoan Kong sangat suka pada keelokan seorang perempuan. Tidak heran
setiap kali Raja Cee pergi, ke mana pun dia pergi, pasti selirnya yang bernama Ki Pin yang
cantik diajaknya. Kebiasaan Raja Cee ini telah ditiru oleh Koan Tiong. Dia juga selalu
mengajak gundiknya, yaitu nona Ceng yang pintar itu.
Pada hari Koan Tiong dan tentaranya sudah berjalan menuju ke selatan, setelah
berjalan kira- kira 30 li lebih, Koan Tiong sampai di gunung Niu-san (Gunung Kerbau). Di tempat
itu melihat seorang dusun yang berpakaian buntung, bercelana pendek, topi rombeng
dan kaki telanjang. Orang itu sedang menggembalakan kerbau di kaki gunung. Sambil duduk
di atas punggung kerbau ia menyanyi.
Koan Tiong di atas kereta perangnya mengawasi kelakuan orang dusun itu. Dia
lihat orang dusun itu bukan orang sembarangan. Buru-buru Koan Tiong menyuruh anak buahnya
menyuguhi arak dan makanan pada orang dusun itu. Koan Tiong meneruskan
perjalanannya. Sesudah makan orang dusun itu berkata pada pesuruh Koan Tiong, "Aku ingin
bertemu dengan Tiong-hu yang baik hati itu!" .
"O, sudah terlambat," kata si pesuruh. "Kereta Siang-kok (Menteri Negara) sudah
berjalan jauh!" "Ya, sudahlah! Tetapi aku ingin bicara dengan beliau," kata orang dusun itu.
"Harap kau sampaikan saja kepada Siang-kok."
"Mengenai apa?" tanya pesuruh itu.
"Sungguh besarlah air yang putih itu!" kata orang dusun itu.
"Baiklah," sahut pesuruh itu.
Pesuruh itu segera mengejar kereta Koan Tiong, setelah tersusul dia sampaikan
pesan orang dusun penggembala kerbau itu kepada Koan Tiong. Mendengar pesan gembala kerbau
itu Koan Tiong bingung, karena dia tidak mengerti maksud ucapan gembala itu;
kemudian Koan Tiong bertanya kepada isteri mudanya.
"Tahukah kau maksud ucapan orang dusun itu?" kata Koan Tiong.
"Memang aku sudah pernah mendengar," kata nona Ceng menyahut dengan suara merdu,
"zaman dulu ada syair - Air yang putih - yang katanya: - Sungguh besarlah air
yang putih itu, ikan li-liu bermain kian kemari, Tuan panggil padaku ini, aku akan membuat
senang yang menempatinya. - Kalau begitu rupanya orang itu mau minta pekerjaan."
Mendengar keterangan Nyonya Ceng tersebut, Koan Tiong sangat girang. Segera dia
perintahkan kusirnya menghentikan keretanya. Dia menyuruh orang memanggil orang
dusun itu. Setelah mendapat panggilan dari Koan Tiong, orang dusun itu menitipkan kerbaunya
ke rumahorang,lalu ikutpesuruhKoanTingpergimenemuiKoan
Tiong. Ketika sudah berjumpa dengan Koan Tiong, dia cuma manggut saja.
"Kau orang mana, she apa dan siapa namamu?" tanya Koan Tiong. Dia awasi orang
dusun itu dengan teliti. "Aku orang dusun dari negeri We, she Leng. Namaku Cek," sahut orang itu dengan
suara mantap. "Aku mendengar khabar Siang-kun suka pada orang pandai. Katanya juga
menaruh hormat pada orang terpelajar. Karena aku tidak beruntung dan tidak punya
kesempatan yang baik, maka aku bekerja menjadi penggembala kerbau pada orang di dusun ini."
Koan Tiong mengajukan berbagai macam pertanyaan untuk menguji kepandaian Leng
Cek. Semua dijawab dengan lancar sekali oleh yang bersangkutan.
Melihat Leng Cek seorang yang berpengetahuan banyak; dengan menghela napas Koan
Tiong berkata, "Ah, sayang sekali seorang yang bijaksana telah merendahkan diri di
tempat kotor; jika tidak ada yang memimpin, bagaimana dia bisa menunjukkan dirinya" Sekarang
Rajaku dengan pasukan besar berada di belakang kami. Tidak sampai beberapa hari lagi
pasti bakal lewat di tempat ini. Akan aku buatkan sebuah surat untukmu. Jika surat itu kau
serahkan kepada Rajaku, pasti beliau akan memakaimu."
Leng Cek berdiri diam tidak berkata apa-apa. Koan Tiong segera menulis sepucuk
surat, kemudian diserahkan kepada Leng Cek. Dengan hormat Leng Cek menyambut surat itu
dan dia ucapkan terima kasih.
Sesudah Leng Cek pamit, satu sama lain lalu berpisah. Leng Cek kembali lagi
menggembalakan kerbaunya di kaki Gunung Niu. Tiga hari kemudian, Raja Cee Hoan
Kong dengan angkatan perangnya sampai di kaki Gunung Niu itu. Waktu itu dandanan Leng Cek masih seperti dulu, berbaju buntung, celana pendek,
topi rombeng dan kaki telanjang. Dia berdiri di tepi jalan, sedikit pun tidak
kelihatan takut atau gentar. Ketika kereta Raja Cee sudah dekat, Leng Cek memukul tanduk kerbau sambil
bernyanyi demikian: "Di air sungai Ciang-long ada batu putih yang bercahaya gilang-gemilang,
"Di dalamnya hidup ikan Le yang satu kaki setengah panjangnya,
"Seumur hidup tidak bertemu Raja Giauw atau Sun yang suka pada kepandaian
seseorang, "Cuma berpakaian baju buntung dan celana pendek yang hanya sampai tulang betis,
"Dari pagi menggembala kerbau sampai tengah malam yang gelapnya bukan kepalang,
"Panjangnya malam begitu jauh sampai kapan baru datang pagi yang terang?"
Mendengar nyanyian itu Raja Cee Hoan Kong jadi keheranan, dia perintahkan
orangnya memanggil Leng Cek dan dibawa menghadap ke depan keretanya.
"Hei, gembala kerbau! She apa kau dan siapa namau?" tanya Raja Cee Hoan Kong.
"Hamba she Leng nama hamba Cek," sahut Leng Cek dengan hormat.
"Kau penggembala kerbau, mengapa berani sekali bernyanyi menyindir pemerintah?"
kata Raja Cee. "Hamba orang rendahan, mana berani hamba menyindir Pemerintah?"
"Aku adalah bawahan Kaisar Ciu. Aku membawa angkatan perangku akan menaklukkan
Raja Muda yang menentang kami. Pada saat rakyat hidup senang, rerumputan dan pohon
tumbuh subur. Aku kira di zaman Raja Giauw dan Sun pun tidak seperti sekarang! Tetapi
kau bilang tak sehebat di zaman Giauw dan Sun. Kau bilang malam yang panjang tak segera
jadi pagi. Apa itu bukan namanya menyindir?" kata Raja Cee.
"Meski hamba orang dusun dan belum mengalami Zaman Kaisar Goiauw dan Sun yang
katanya, salam sepuluh hari ada angin sekali, setiap lima hari turun hujan
sekali. Sehingga rakyat bisa bekerja di sawah dengan tenang. Tetapi pada masa ini peraturan tidak
beres. Pengetahuan tidak terpakai. Jika dikatakan lebih baik dengan zaman Giauw dan
Sun, tentu saja hamba tidak mengerti. Sepengetahuan hamba, pada zaman Raja Giauw dan Sun
membereskan para menteri dan pejabat, semua Raja Muda takluk. Orang-orang jahat
disingkirkan, hingga negara aman sentausa. Tidak banyak bicara tetapi hukum
berjalan sempurna. Dengan tidak usah marah keagungan nyata. Sekarang Tuanku ditinggalkan
oleh Raja Song, Raja Louw pun bisa mendapatkan kembali tanahnya. Keadaan keuangan
payah, tentara harus terus berperang. Bagaimana dikatakan rakyat tenteram" Hamba dengar
Raja Giauw menyisihkan puteranya Tan Cu, tahtanya dia serahkan pada Sun. Tetapi Sun
menolak dan bersembunyi di Lam-hoo. Akhirnya rakyat menyusulnya. Mengangkat dia menjadi
Raja. Sebaliknya Tuanku membunuh kakak sendiri untuk menjadi raja. Menggunakan nama
besar Kaisar Ciu untuk menundukkan semua Raja Muda. Mana bisa Tuanku dibandingkan
dengan Raja Giauw dan Sun?" kata Leng Cek.
"Hm, kurang ajar betul orang dusun ini! Mengapa kau begitu berani menghinaku!"
sentak

5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja Cee Hoan Kong karena gusar.
Kemudian ia perintahkan orangnya membunuh Leng Cek. Pengikut Raja Cee Hoan Kong
yang ada di sebelah kiri dan kanannya segera menangkap Leng Cek, lalu mereka
ikat. Ketika hukuman atas Leng Cek hendak dijalankan. Wajah Leng Cek tidak berubah
atau ketakutan. Malah dia menengadah ke langit sambil menghela napas dia berkata,
"Baginda Kiat membunuh Liong Hong, Baginda Tiu membunuh Pi Kan, sekarang Leng Cek akan
dibunuh, cukup sudah jumlahnya menjadi tiga orang!"
Melihat kelakuan Leng Cek bukan seperti orang sembarangan, Sek Peng berkata pada
Raja Cee, "Orang ini sekali pun menghadapi maut, tidak gentar! Takut pun tidak. Pasti
dia bukan pengembala biasa. Harap Tuanku ampuni dia!"
Mendengar Sek Peng berkata begitu, Raja Cee Hoan Kong diam sejenak. Dia mencoba
menahan amarahnya. Kemudian dia perintahkan orangnya membukakan ikatan Leng Cek.
"Aku harap kau tidak menjadi kecil hati," kata Cee Hoan Kong dengan muka manis.
"Aku cuma mau menguji sampai di mana keberanianmu" Sekarang aku tahu sesungguhnya kau
seorang terpelajar yang pandai."
Leng Cek merogoh ke dalam saku bajunya. Dia persembahkan sepucuk surat kepada
Raja Cee. Cee Hoan-kong segera membuka dan melihat surat itu, bunyinya kira-kira
begini: "Hamba telah terima titah akan memimpin pasukan perang, ketika di tengah jalan
sampai di gunung Niu San, hamba bertemu dengan seorang dari negeri We she Leng namanya
Cek. Orang ini bukan pengembala kerbau sewajarnya, tetapi seseorang yang mempunyai
kepandaian yang bisa dipakai di zaman ini, maka baiklah Tuanku pakai padanya
untuk membantu. Jika kita melepaskannya sehingga terpakai oleh lain negeri, niscaya di
kemudian hari kita akan menyesal. Hormat dari, KOAN TIONG."
Sehabis membaca surat itu Cee Hoan Kong memandang ke arah Leng Cek dan berkata:
"Kau sudah mendapat sepucuk surat dari Tiong-hu, mengapa tadi tidak mau kau tunjukan
kepadaku?" "Setahu hamba, Raja yang adil memilih orang untuk pembantunya, sedang seorang
hamba yang pandai juga mencari majikan yang bersedia membelanya," sahut Leng Cek.
"Andai kata Tuanku benci karena kata-kata hamba yang jujur dan Tuanku cuma suka pada puji-
pujian saja. Karena gusar Tuanku menghukum mati hamba. Sekali pun hamba harus mati
tidak akan hamba keluarkan surat dari Siang-kok ini."
Mendengar ucapan Leng Cek, Raja Cee Hoan Kong kagum bukan main, dia suruh Leng
Cek naik kereta di belakang Raja Cee.
Ketika hari sudah sore, tentara Cee segera mendirikan perkemahan untuk tempat
mengaso Di kemah Raja Cee Hoan Kong minta disedikan pakaian dan sebuah kopiah. Dengan
sangat terburu-buru. Si Tiao yang mengerti tanda rahasia dari rajanya, langsung
bertanya, "Tuanku minta pakaian dan kopiah, apakah Tuanku hendak memberi pangkat kepada Leng Cek?"
"Ya, betul," sahut Cee Hoan Kong.
"Hamba rasa sebaikmya Tuanku jangan terburu nafsu," kata Si Tiao "Dari negeri
Cee ke negeri We tidak seberapa jauhnya. Mengapa Tuanku tidak menyuruh orang mencari
tahu dulu asal-usulnya" Seandainya benar dia pandai dan terpelajar, hamba rasa masih belum
terlambat memberinya pangkat."
"Orang ini punya kepandaian, tetapi adatnya sangat keras. Boleh jadi di negeri
We dia punya masalah," kata Raja Cee Hoan Kong. "Jika kita menyelidikinya dan bisa mengusut
kesalahannya, tetapi kita beri juga dia pangkat. Sungguh sayang sekali, maka aku
rasa tidak perlu mencari tahu lagi asal-usulnya."
Diterangi oleh api lilin yang terang Raja Cee Hoan Kong mengangkat Leng Cek
menjadi Tay- hu dan disuruh mengurus pemerintahan negeri Cee bersama-sama dengan Koan Tiong.
Leng Cek segera bertukar pakaian dan mengenakan kopiah kebesaran. Sesudah
berdandan rapi dia menghaturkan terima kasih kepada Raja Cee Hoan Kong.
*** Pada esok harinya...... Angkatan perang Cee itu berangkat meneruskan perjalanan. Tatkala pasukan Raja
Cee sampai di perbatasan negeri Song, di sana pasukan Raja Tan Song Kong dan Raja Co Cong
Kong telah menunggu kedatangan mereka. Di belakang mereka, panglima Ciu dan
tentaranya juga sudah datang. Sehingga mereka berkumpul di satu tempat. Sesudah menjalankan
adat-istiadat, mereka segera membuka persidangan membahas rencana penyerangan ke ibukota Song.
"Tuanku telah menerima perintah Baginda membuat perserikatan dengan Raja-raja
Muda. Menurut hamba daripada Tuanku menang dengan kekuatan tentara, lebih baik dengan
kebijaksanaan." kata Leng Cek. "Menurut hamba, tentara jangan dimajukan dulu.
Sekalipun hamba ini bukan seorang yang pandai, hamba mohon izin akan menemui Raja Song.
Hamba akan menggunakan lidah hamba untuk bicara, supaya Raja Song bersedia berdamai."
Semua pembesar menyatakan setuju pada usul Leng Cek tersebut, Raja Cee Hoan Kong
pun akhirnya setuju. Dia perintahkan Leng Cek menemui Raja Song. Dengan menaiki
sebuah kereta kecil dan mengajak beberapa pengikut, Leng Cek pergi ke kota Ci-yang akan
menemui Raja Song. Ketika Raja Song diberitahu bahwa Raja Cee mengirim utusan, Raja Song bertanya
kepada Tay Siok Pi, "Apa kau tahu Leng Cek itu orang dari mana?"
"Hamba dengar dia orang dusun, seorang penggembala kerbau," kata Tay Siok Pi,
"Raja Cee baru mengangkatnya menjadi Tay-hu. Setahu hamba ia pandai bicara, lebih pandai
dari orang kebanyakan. Maka hamba yakin kedatangannya itu untuk mengajak kita adu bicara.."
"Sekarang apa yang harus kita lakukan terhadapnya?" tanya Raja Song.
"Tuanku boleh panggil dia masuk, tetapi jangan menghormatinya. Kita lihat apa
yang hendak dia lakukan?" kata Tay Siok Pi. "Jika dia bicara tidak pantas, akan hamba angkat
angkin sebagai tanda. Tuanku boleh perintahkan orang menangkap dan memenjarakannya.
Dengan semikian tipu-muslihat Raja Cee jadi gagal."
Raja Song mengangguk, dia memerintahkan tentaranya yang gagah mengatur
persiapan. Baru kemudian dia izinkan Leng Cek menghadap.
Leng Cek datang memakai pakaian kebesaranya dan memakai angkin lebar. Dia
berjalan perlahan-lahan masuk, lalu memberi hormat di hadapan Raja Song. Raja Song duduk
diam saja mengawasinya. Leng Cek menengadah ke langit, sambil menghela napas dia berkata, "Sungguh
berbahaya sekali keadaan negeri Song ini!"
Mendengar ucapan Leng Cek itu Raja Song tekejut, dia berkata: "Aku bergelar
Kong, rakyatku lebih banyak dari Raja Muda yang lain, dari mana datangnya bahaya itu?"
"Aku mohon bertanya, jika Tuanku dibandingkan dengan Kaisar Ciu yang mana lebih
pandai?" kata Leng Cek dengan suara angkuh.
"Barangkali kau orang gila!" bentak Raja Song dengan suara nyaring. "Kaisar Ciu
bagaikan nabi, bagaimana aku bisa dibandingkan dengannya?"
"Kaisar Ciu memerintah di Kerajaan Ciu yang sedang jaya," kata Leng Cek sambil
mesem, "Meskipun keadaan dunia sedang aman sekali dan bangsa Ie di empat penjuru semua
sudah takluk, toh selalu bersikap murah hati dan manis budi bahasanya pada orang-orang
pandai dan terpelajar. Sekarang Tuanku boleh dikatakan menjadi raja dari sisa negeri yang
sudah mau musnah. Di zaman Raja-raja Muda sedang mengadu kekuatan. Sekalipun Tuanku bisa
meneladani Kaisar Ciu mau merendah kepada orang-orang terpelajar, toh masih
dikhawatirkan, orang-orang itu tidak akan datang. Apalagi jika Tuanku bertingkah
sombong dan merasa diri sendiri sangat kuat, dan Tuanku tidak memandang sebelah mata
pada orang pandai. Tuanku menghina kepada seorang tamu" Kalau begini, kendati pun ada orang
mau bicara jujur, bagaimana bisa sampai ke hadapan Tuanku" Ke mana mukanya jika
bukan mendapat bahaya" Setelah mendengar ucpan Leng Cek yang demikian tajam, Raja Song jadi tercengang
dan pucat. Dia bangkit dari tempat duduknya seraya berkata, "Aku menjadi Raja
beberapa hari, sehingga aku belum mendengar pelajaran dari orang budiman seperti anda, aku
harap Sian- seng (Tuan) suka memaafkan aku."
Melihat rajanya telah tergerak hatinya oleh Leng Cek, Tay Siok Pi sebentar-
bentar mengangkat angkinnya. Tetapi Raja Song sekali pun tahu tanda apa yang dimaksud
oleh Tay SiokPi,dia tidakpeduli. Malahdiamintapelajarankepada Leng
Cek. "Atas kedatangan Sian-seng ini, pelajaran apa yang berguna bagiku?" kata Raja
Song. "Kaisar Ciu telah kehilangan kekuasaannya, sehingga semua Raja Muda jadi
berantakan," kata Leng Cek mulai menjalankan siasatnya. "Karena itu raja dan hambanya jadi
tidak menentu kedudukannya. Mana yang tinggi dan mana yang rendah" Hampir setiap hari
terdengar tentang pengkhianatan. Raja Cee karena tidak tega melihat kekalutan
ini, dia menerima perintah Baginda buat memimpin perserikatan orang Tiongkok. Dulu nama
Tuanku sudah ditetapkan oleh Kaisar Ciu. Tetapi sayang Tuanku meninggalkan
perserikatan, hingga Kaisar Ciu marah besar. Memerintahkan angkatan perang dan menyerang negeri Song.
Semua karena Tuanku dianggap pembangkang!"
Mendengar ucapan Leng Ceng wajah Raja Song jadi semakin pucat, dengan hati
berdebar- debar dia berkata, "Menurut pendapat Sian-seng bagaimana sebaiknya?"
"Menurut pendapatku, jangan sayang mengantar sedikit barang bingkisan untuk
minta berdamai kepada Raja Cee. Dengan berbuat demikian, ke atas Tuanku tidak kehilang
hak menjadi hamba Kerajaan Ciu, ke bawah bisa menyenangkan hati raja-raja yang
tergabung dalam perserikatan. Karena tidak harus mengerahkan angkatan perang, negeri Song
tetap selamat tidak terganggu."
"Karena aku kurang berpkir jauh, sehingga aku berbuat keliru." kata Raja Song.
"Aku sangat menyesal meninggalkan acara sebelum selesai. Sekarang jika aku mengantar
bingkisan, padahal Raja Cee sedang marah. Dia telah mengerahkan angkatan perangnya. Masakan
dia akan mau menerima bingkisan dariku?"
"Raja Cee seorang yang sabar dan bijaksana. Dia tidak pernah mendendam pada
orang yang berbuat salah. Bahkan dia tidak mau mencari kesalahan orang lain. Seperti
contohnya Raja Louw yang tidak hadir di pertemuan itu. Tapi Raja Louw mau mengakui
kesalahannya. Dia juga bersedia bertemu di tanah Ko. Sawah-sawah yang telah dirampas oleh Raja
Cee, kemudian dikembalikan semuanya. Apalagi Tuanku hadir pada pertemuan pertamanya,
mustahil dia tidak mau berdamai?"
"Barang apa yang pantas untuk bingkisan?" tanya Raja Song.
Bab 5 "Raja Cee sangat rukun pada tetangga negerinya, dia suka memberi hadiah, tetapi
menerima bingkisan sedikit sekali. Dengan hanya sedikit barang bingkisan sudah cukup,
tidak perlu sampai harus mengeluarkan seluruh isi gudang negara."
Raja Song sangat girang, dia mengirim utusan ikut dengan Leng Cek pergi ke
perkemahan Raja Cee untuk minta berdamai.
Ketika itu wajah Tay Siok Pi menjadi merah sekali, dia merasa sangat malu karena
akalnya tidak berjalan dengan baik.
Begitu utusan Song berjumpa dengan Raja Cee, dan menyerahkan sepuluh pasang batu
giok dan seribu potong emas murni, serta memberi penjelasan bahwa Raja Song minta
berdamai dan mohon berserikat. Raja Cee tersenyum puas.
"Menyerang negeri Song, adalah atas perintah Kaisar Ciu, bagaimana aku berani
mengambil putusan sendiri," kata Raja Cee Hoan Kong pada utusan Song itu. "Masalah ini
terpaksa aku harus minta bantuan panglima Ciu untuk menyampaikannya kepada Kaisar Ciu, baru
masalahnya beres." Raja Cee membawa emas dan batu giok itu yang dia serahkan kepada panglima Tan
Biat, kepada panglima itu Raja Cee menerangkan bahwa Raja Song minta berdamai.
"Jika Kun-houw bersedia memaafkannya," kata Tan Biat, "aku bisa segera
mengabarkannya kepada Baginda, aku rasa Baginda tidak akan keberatan."
"Baiklah," kata Raja Cee.
Raja Cee memerintahkan utusan Song itu pulang dulu untuk menunggu putusan dari
Sri

5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baginda Ciu. Ketika Baginda Ciu sudah memberi putusan dan permohonan Raja Song telah diterima
baik, Raja Cee segera mengadakan pertemuan dengan Raja Song untuk menetapkan
perdamaian. Sesudah semua urusan selesai, Tan Biat pamit dan terus memimpin pasukan perang
Ciu pulang ke negaranya. Sedang Raja Cee, Tan dan Co, masing-masing membawa pasukan
perangnya pulang ke negerinya sendiri.
Setelah Raja Cee Hoan Kong kembali ke negaranya.......
Pada suatu hari Raja Cee Hoan Kong mengadakan persidangan, ketika itu Koan Tiong
mengajukan usul agar Raja Cee menyerang ke negeri The.
"Sejak Kerajaan Ciu dipindahkan ke sebelah timur Tiongkok, di antara negeri-
negeri kecil tidak ada yang sekuat negeri The," kata Koan Tiong. "Apalagi sejak negeri The
mengalahkan negeri Tong Kek dan ibukotanya selesai dibangun. Sekarang kedudukan negeri The
jadi semakin teguh. Ini disebabkan negara itu terlindung oleh gunung, bagian belakang
terlindung oleh sungai. Di kiri dan kanan terapit oleh jurang yang dalam. Singkatnya negara
The itu sama dengan sebuah goa macan, sangat berbahaya. Dulu Raja The hanya mengandalkan
geografi negaranya yang strategis itu. Mereka melabrak negeri Song, menyerang
negeri Khouw. Dia juga membangkang kepada Kaisar Ciu. Ditambah lagi sekarang negeri The
menjadi famili negeri Couw. Sedangkan negeri Couw sangat besar tentaranya, kuat.
Beberapa negara yang terletak di daerah Han-yang, berhasil mereka caplok. Karena itu
negeri The jadi semakin angkuh dan besar kepala saja. Jika Tuanku hendak membela Kerajaan Ciu
dan menjadi jago di antara Raja-raja Muda, Tuanku harus membasmi negeri Couw dulu.
Tetapi ingin membasmi negeri Couw; Tuanku harus merebut negeri The dulu."
"Betul, aku setuju," kata Raja Cee Hoan Kong. "Aku tahu negeri The seperti
cahaya Tiongkok. Sudah lama aku berniat menaklukannya.Tetapi sayang sudah sekian lama
belum mendapat kesempatan yang baik."
"Sekaranglah saat yang tepat untuk mendapatkan negeri The," kata Leng Cek.
"Pangeran Tut yang bergelar The Le Kong ketika dua tahun menjadi raja, diusir oleh Tay Ciok.
Dia mengangkat Pangeran Hut menjadi penggantinya. Tetapi Kho Ki Bi telah membunuh
Pangeran Hut. "Dia mengangkat Pangeran Bi. Raja Cee Siang Kong almarhum, membunuh Pangeran Bi.
Tay Ciok segera mengangkat Pangeran Gi. Sebagai menteri Tay Ciok telah mengusir
rajanya. Pangeran Gi, adik raja yang diusir merampas tahta kandanya. Jelas mereka sudah
sangat keterlaluan! Mereka melanggar aturan. Alasan ini sangat bagus buat kita melabrak
mereka. Sekarang Pangeran Tut ada di tanah Lek. Setiap hari dia berusaha ingin merebut
kembali tahtanya. Sekarang Tay Ciok sudah meninggal. Di negeri The tidak punya orang
pandai. Jika Tuanku mengirim panglima ke tanah Lek untuk membantu Pangeran Tut, maka dia bisa
menjadi raja kembali. Karena ingat kebaikan Tuanku, niscahya dia mau tunduk dan
berserikat dengan negeri Cee." Raja Cee Hoan Kong setuju pada saran Leng Cek. Dia memerintahkan Pin Si Bu
membawa 200 kereta perang pergi ke negeri The. Pin Si Bu memimpin tentaranya berangkat
ke negeri The. Tatkala Pin Si Bu sampai di tanah Lek, dia membangun kemah 20 li di luar kota
Lek-shia. Kemudian memberi khabar kepada The Le Kong tentang maksud kedatangannya.
Sesudah Raja The Le Kong mengetahui Tay Ciok telah meninggal, diam-diam dia
perintahkan orang kepercayanya pergi menyelidiki keadaan di negeri The. Tiba-
tiba dia mendapat khabar Raja Cee mengirim tentara untuk membantu dia. Dia girang sekali.
Kemudian keluar kotauntukmenyambutdan mengaturpestabesar.
Saat The Le Kong dan Pin Si Bu sedang asyik bicara, juru kabar yang pergi ke
kota raja The telah kembali. Orang itu memberi kabar.
"Benar Tay Ciok telah meninggal dunia. Sekarang Siok Ciam yang menjadi Siang
Tay-hu (Perdana Menteri) di sana." kata si pelapor.
"Siapa Siok Ciam itu?" tanya Pin Si Bu.
"Dia seorang yang baik dan hanya pandai mengurus negara, tetapi bukan seorang
panglima perang yang pandai," sahut The Le Kong sambil tertawa girang.
Pin Si Bu mengucapkan selamat kepada The Le Kong.
"Kalau begitu teguhlah kedudukan Kun-houw!" kata Pin Si Bu.
"Jika bisa jadi raja lagi," kata The Le Kong, "seumur hidup aku tidak akan
melupakan budi negeri Cee!" Pin Si Bu dan The Le Kong mengatur siasat yang akan mereka
jalankan. Malamnya The Le Kong memimpin tentaranya menyerang kota Tay-leng. Penjaga kota
Tay- leng bernama Pok He, dia kerahkan pasukannya untuk menghadapi serangan tentara
The Le Kong. Tidak lama terjadilah peperangan sangat hebat. Saat kedua belah pihak
sedang asyik bertempur, tidak diduga pasukan Pin Si Bu membokong dari belakang. Maka jatuhlah
kota Tay-leng ke tangan pasukan Cee, sehingga kota jatuh ke tangan Pin Si Bu.
Mengetahui kota yang dijaganya telah direbut musuh, Jenderal Pok He insyaf tidak
akan mampu melawan lagi. Dia turun dari kereta perangnya dan menyerah. Tetapi The Le
Kong yang sakit hati kepadanya, tidak mau terima. Karena selama 17 tahun Pok He
selalu berhasil mengalahkan The Le Kong. The Le Kong menyuruh menangkap dan menghukum mati Pok
He. "Mengapa Tuanku hendak membunuhku?" teriak Pok He. "Apakah Tuanku tidak ingin
merebut Ibukota The?"
"Orang durhaka! Untuk apa kau dibiarkan hidup?" sentak Le Kong.
"Jika Tuanku mengampuni hamba, maka hamba akan memenggal kepala Pangeran Gi,"
kata Pok He sambil meratap. "Kau punya kepandaian apa bisa membunuh Cu Gi!" bentak The Le Kong. "Aku tahu
kau hendak membohongiku, kau mau kabur bukan?"
"Sekarang urusan negara ada di tangan Siok Ciam, hamba sahabat baikmya. Jika
Tuanku mengampuni hamba, akan hamba temui Siok Ciam supaya bergabung. Hamba jamin
Pangeran Gi bisa hamba bawa kemari!"
"O, maling tua, dorna pendusta! Bagus benar akalmu. Kau mau menipuku! Jika aku
bebaskan kau, maka kau bersama Siok Ciam akan menentangku!" kata The Le Kong.
"Aku bisa mencegah Pok He menipu Tuanku," kata Pin Si Bu. "Aku dengar sanak
famili Pok He ada di kota Tay-leng, Anda tahan mereka di kota Lek-shia sebagai jaminan."
"Ya, Anda benar," kata Pok He, "jika hamba ingkar janji, Tuanku boleh membunuh
sanak famili hamba." "Nah, kalau begitu baiklah! Aku setuju begitu," sahut The Le Kong. "Jika ingkar
sanak familimu akan kuhabisi!"
Pok He pamit langsung ke Ibu kota raja The. Malamnya dia pergi menemui Siok
Ciam. Melihat Pok He datang, Siok Ciam terkejut.
"Kau sedang menjaga kota Tay-leng, mengapa kau ada di sini?" tanya Siok Ciam.
"Raja Cee hendak menaklukkan negeri The," kata Pok He dengan suara perlahan,
"dia memerintahkan Tay-ciang (Panglima Besar) Pin Si Bu membawa pasukan besar hendak
mengantarkan Pangeran Tut kembali ke negeri The. Sekarang kota Tay-leng sudah
jatuh ke tangan mereka. Malam ini aku datang untuk menyelamatkan diri. Tidak lama lagi
tentara Cec sampai kemari. Jika kau bisa membunuh Pangeran Gi dan membuka pintu kota
menyambut mereka, bukan saja kita bisa selamat, juga kekayaan dan kemuliaanmu ada pada
kita. Tetapi jika tidak bisa, kita celaka!"
Siok Ciam diam berpikir. "Dulu aku yang menyarankan The Le Kong jadi Raja,
tetapi ditentang oleh Tay Ciok. Sekarang Tay Ciok sudah meninggal, ini takdir Allah.
The Le Kong harus jadi Raja. Tetapi bagaimana kita harus mengatur masalah ini?" kata Siok
Ciam. "Pertama beri kabar pada The Le Kong di kota Lek-shia, minta pada mereka agar
menyerang ibukota The," kata Pok He dengan girang. "Nanti kau keluar untuk pura-pura
menangkis serangan musuh. Waktu itu pasti Pangeran Gi akan datang ke pintu kota untuk
melihat peperangan. Sesudah kuberi isyarat kau habisi Pangeran Gi dan persilakan The Le
Kong masuk kota. Dengan demikian beres sudah urusan besar itu!"
Siok Ciam setuju pada rencana tersebut. Diam-diam dia perintahkan utusan
menyampaikan suratnya kepada The Le Kong. Dia menulis bahwa dia dan Pok He akan me-ngadakan
pemberontakan terhadap Pangeran Gi.
** Pada esok harinya...... Jenderal Pok He pergi menemui Pangeran Gi. Dia memberitahu bahwa tentara Cee
datang akan membantu Pangeran Tut.
"Bahkan mereka sudah menduduki kota Tay-leng." kata Pok He.
Mendengar kabar itu Pangeran
Gi kaget,wajahnya pucat. "Kalau begitu kita harus menyuap pada raja negeri Couw untuk minta bantuannya.
Jika pasukan Couw sudah datang, kita labrak pasukan Cee dari luar dan dalam!" kata
Pangeran Gi. Pangeran Gi memerintahkan Siok Ciam untuk mengatur masalah itu. Tetapi sengaja
Perdana Menteri Siok Ciam memperlambat mengurusnya. Sudah lewat dua hari Siok Ciam belum
mengutus orang ke negeri Couw.
Waktu itu juru kabar datang memberi laporan.
"Angkatan perang dari tanah Lek telah sampai di depan Ibukota," kata juru kabar
itu. Pangeran Gi terkejut. Tapi Siok Ciam malah menghiburnya.
"Tuanku jangan khawatir, hamba akan mengusir mereka! Tuanku dan Jenderal Pok He
silakan naik ke atas kota untuk mengatur penjagaan dengan ketat." Siok Ciam.
Raja The (Pangeran Gi) percaya saja. Dia mengira Siok Ciam masih setia
kepadanya. Begitu pasukan Siok Ciam keluar kota, segera mereka diserang oleh tentara The Le
Kong. Terjadilah pertempuran hebat di luar kota. Tetapi baru bertarung beberapa jurus,
Pin Si Bu datang membantu The Le Kong. Tidak berselang beberapa lama, Siok Ciam telah
membalikkan kereta perangnya melarikan diri. Jenderal Pok He di atas kota
berteriak. "Wah, celaka, pasukan The mendapat kerusakan berat!" kata Pok He.
Pangeran Gi yang memang penakut, mendengar Jenderal Pok He berkata begitu. Dia
gugup sekali dan akan turun dari atas kota hendak kabur. Saat yang baik itu tidak
disia-siakan oleh Jenderal Pok He, dia langsung menikam punggung Pangeran Gi hingga tewas.
Melihat Pok He sudah memberi tanda, Siok Ciam minta dibukakan pintu kota.
Begitu pintu kota terbuka, Siok Ciam mengundang The Le Kong dan Pin Si Bu masuk
ke dalam kota. Jenderal Pok He masuk ke istana Ceng-kiong, di sana dia bunuh dua putera
Pangeran Gi. Kemudian The Le Kong dinobatkan menjadi Raja di negeri The. Rakyat negeri The
merasa bersyukur karena raja yang mereka cintai telah kembali. Pin Si Bu yang sangat
berjasa diberi hadiah juga anak buahnya. The Le Kong juga berjanji akan berkunjung menemui Raja
Cee. Pin Si Bu mengucapkan terima kasih. Kemudian Pin Si Bu mengucapkan selamat
tinggal dan memimpin tentaranya pulang ke negeri Cee. Baru beberapa hari The Le Kong duduk
bertahta, rakyat negeri The hidup tentram seperti biasa.
Pada suatu hari..... Ketika Raja The Le Kong mengadakan pertemuan semua menterinya, dia menegur
Jenderal Pok He. "Semakin kuingat perbuatanmu, hatiku semakin panas!" kata The Le Kong dengan
keras. "Dalam 17 tahun kau menjaga kota Tay-leng, setiap kali aku maju kau selalu
mengusir kami. Jelas kau sangat setia kepada Pangeran Gi. Sekarang karena kau takut mati dan
serakah, kau berkhianat dan memihak kepadaku. Jelas kau tidak setia dan tidak bisa dipercaya!
Malah kau bunuh Pangeran Gi dan keluarganya tanpa belas kasihan lagi. Padahal Pangeran Gi
adalah adikku Sekarang aku akan membalas dendam adikku."
Sehabis berkata begitu, dengan tidak memberi kesempatan sampai Pok He menyahut
lagi, The Le Kong sudah memerintahkan algojo menyeret Pok He. Dia dibawa ke tengah pasar
dan ditebas kepalanya. Tetapi anak dan isterinya diberi ampun.
Sedang Goan Hoan, salah seorang menteri negeri The, dulu pernah mengusulkan
supaya Pangeran Gi diangkat menjadi raja. Dia jadi khawatir The Le Kong akan menghukum
dia. Dengan alasan sakit dia minta berhenti. Tetapi The Le Kong sudah mengerti ke
mana maksud dan tujuan permohonan Goan Hong tersebut. The Le Kong memerintahkan orang


5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menegur Goan Hoan. Saking kaget dan takut, Goan Hong menjerat lehernya sendiri hingga
mati. The Le Kong menghukum mereka yang dulu membantu mengusir dia. Pangeran Bun
dibunuh. Kiang Thi minta perlindungan di rumah Siok Ciam; karena Siok Ciam dia
hanya dipotong kakinya. Pangeran Teng Siok karena ketakutan melarikan diri ke negeri
We. Karena Tay Ciok sudah meninggal dia bebas dari hukuman. Siok Ciam menjadi Perdana
Menteri, Touw Siok dan Su Siok diangkat jadi Tay-hu. Siok Ciam, Touw Siok dan Su Siok
bekerja di bawah perintah The Le Kong, hingga mereka terkenal disebut "Sam Liang" (Tiga
Orang Budiman). ** Sesudah The Le Kong sudah menjadi raja kembali di negerinya, dan raja negeri We
dan Co bersedia berserikat, Raja Cee Hoan Kong akan mengadakan pertemuan untuk
mengukuhkan perserikatan para Raja Muda.
"Tuanku baru mulai berkuasa, jadi Tuanku harus mentramkan rakyat dulu," kata
Koan Tiong." "Bagaimana caranya?" tanya Raja Cee Hoan Kong.
"Negeri Tan, negeri Coa dan negeri Ti sejak pertemuan di Pak-leng mereka takluk
pada Tuanku. " kata Koan Tiong. "Raja Co sekalipun tidak ikut berserikat, tetapi ia
ikut kita menyerang ke negeri Song. Ke-empat negeri itu jangan diganggu. Tetapi negeri
Song dan We yang belum kita ketahui apa maunya" Kita harus mengawasi mereka. Sesudah semua
Raja Muda bersatu, baru kita adakan pertemuan pengukuhan."
Sebelum Koan Tiong selesai bicara, datang laporan.
"Kaisar Ciu memerintahkan Tan Biat untuk membalas budi Raja Song. Panglima Tan
Biat sudah sampai di negeri We," kata si pelapor.
Mendengar kabar itu, Koan Tiong girang sekali.
"Kalau begitu Raja Song kelak bisa tunduk benar! Negeri We letaknya di tengah
perjalanan, sebaiknya Tuanku pergi ke negeri We untuk mengadakan pertemuan dengan semua Raja
Muda." Raja Cee Hoan Kong sepakat pada rencana Koan Tiong tersebut, segera dia kirim
kabar ke negeri Song, We dan The. Mereka diminta datang berkumpul di tanah Yan (tanah
milik negeri We). Tatkala sampai saat yang ditentukan, Raja Cee, Song Kong, We Houw, The Pek dan
Tan Biat sudah berkumpul di tanah Yan. Sesudah bertemu dan saling memberi hormat mereka
bubar dengan gembira. Waktu itu kelihatan semua Raja Muda sangat girang.
Raja Cee senang karena semua Raja Muda suka di bawah kekuasaannya. Kemudian baru
dia membuat perhimpunan besar dengan Raja Song, Louw, Tan, We, The, Khouw dan lain-
lain di tanah Yu, tanah milik negeri Song. Di sana mereka minum darah untuk menetapkan
perserikatan mereka. Di situ Cee Hoan Kong diangkat menjadi Beng-cu (Kepala
Perserikatan) yang sah. ** Dikisahkan keadaan di negeri Couw......
Sejak Couw Bun Ong yang bernama Him Cu mendapatkan Nyonya Sit-kui yang cantik,
dia mengangkat Sit-kui menjadi permaisuri. Raja Couw sangat mencintai nyonya manis
itu. Selang tiga tahun Sit-kui melahirkan dua orang putera; yang sulung oleh Raja
Couw diberi nama Him Pi, dan yang ke-dua diberi nama Him Tan. Sekali pun sudah tiga tahun
Sit-kui tinggal di istana Couw, dia belum pernah bicara sepatah kata pun. Raja Couw
heran sekali melihat kelakuan jantung hatinya itu.
Pada suatu hari dia bertanya dengan lemah lembut pada Sit-kui. Dia minta agar
Sit-kui mau berterus terang, kenapa dia tidak mau bicara. Sit-kui tidak mau menyahut,
melainkan menangis saja. Berulang-ulang raja bertanya dengan sangat dan memaksa. Tetapi
Sit-kui tetap bungkam. Tetapi karena terus dipaksa dan didesak, akhirnya apa boleh buat Sit-kui bicara
juga. "Aku perempuan hina yang diperisteri oleh dua orang suami. Ini bukti bahwa aku tidak
bisa menjaga kehormatanku! Bagaimana aku mau bicara dan bertemu dengan orang-orang?"
kata Sit-kui sambil menangis. Mendengar pengakuan Sit-kui Raja Couw ikut terharu. Sambil mewek dia berkata,
"Jangan menangis, jantung hatiku. Diamlah, nyonya manis. Jika kau menangis aku jadi
jengkel sekali. Ini semua gara-gara Raja Coa! Tetapi jangan kesal aku akan membalaskan sakit
hatimu!" Pada suatu hari Raja Couw mengerahkan angkatan perangnya menyerang ke negeri
Coa. Bahkan dia sampai ke istana Raja Coa. Raja Coa Ai-houw dengan kaki telanjang
berlutut di tanah minta-minta ampun. Dia keluarkan seluruh keklayaannya untuk dihadiahkan
kepada Raja Couw. Dengan senang Raja Couw mengambil harta tersebut. Kemudian Raja Couw
kembali ke negaranya. Waktu itu Raja The Le Kong mengirim utusan ke negeri Couw. Maksudnya memberi
tahu bahwa Raja The Le Kong telah menjadi raja kembali di negerinya.
"Hm, Raja Tut sudah dua tahun kembali ke negerinya, tetapi baru meberitahuku
sekarang!" kata Couw Bun Ong dengan gusar. "Dia benar-benar kurang ajar sekali. Dia sangat
besar kepala!" Raja Couw mengusir utusan Raja The itu, kemudian dia kerahkan kembali angkatan
perangnya untuk menyerang ke negeri The. Mendengar laporan Raja Couw datang
menyerang, Raja The ketakutan. Buru-buru Raja The minta maaf, untung Raja Couw
menerima permintaan maafnya.
Karena Raja The takut pada pengaruh Raja Couw, terpaksa dia memutuskan
hubungannya dengan Raja Cee. Tetapi Raja Cee tidak tinggal diam. Dia kirim utusan untuk
menegur Raja The. Dengan hati berduka Raja The memerintahkan Siang-kok (Menteri Negara) Siok Ciam
pergi ke negeri Cee untuk memberi tahu Raja Cee Hoan Kong. Begitu Siok Ciam sampai dia
bertemu dengan Raja Cee. "Raja kami takut pada Raja Couw. Jika Tuanku bisa mengalahkan Couw, maka Raja
kami akan setia pada Tuanku." kata Siok Ciam.
Mendengar keterangan itu, Cee Hoan Kong jadi mendongkol, dia masukan Siok Ciam
ke dalam penjara. Tetapi Siok Ciam berhasil kabur dan pulang ke negeri The. Sejak
saat itu negeri The putus hubungan dengan negeri Cee karena Raja The menakluk pada Raja
Couw. ** Kaisar Ciu Li Ong sesudah menjadi kaisar selama 5 tahun, dia meninggal.
Puteranya Liang menggantikan ayahnya dengan gelar Ciu Hui Ong.
Pada tahun ke-dua dari pemerintahan Baginda Ciu Hui Ong, ketika itu Raja Couw
Bun Ong memerintah dengan sangat buruk dan dia sangat senang berperang. Beberapa tahun
yang lalu Raja Couw Bun Ong pernah bersama Raja Pa menyerang ke negeri Sin. Raja Couw
membuat ulah mengganggu tentara negara Pa. Karena itu Raja Pa yang merasa dicurangi jadi
gusar. Maka itu dia serang tanah milik Couw. Panglima Couw yang menjaga di tanah
tersebut, bernama Giam Go. Karena kalah perang melawan Raja Pa panglima Giam Go kabur
lewat sungai. Karena dianggap lalai oleh Raja Couw ditangkap dia dihukum mati.
Sanak-famili Giam Go sakit hati kepada Raja Couw. Mereka mengadakan hubungan
rahasia dengan Raja Pa. Mereka menghasut Raja Pa supaya menyerang ke negeri Couw. Mereka
berjanji akan membantu Raja Pa dari dalam kota. Tatkala tentara Pa datang
menyerang ke negeri Couw, Raja Couw memimpin sendiri pasukan perangnya. Diam-diam kaum famili
Giam yang berjumlah ratusan orang itu, menyusup ke dalam pasukan Couw. Sebelum
angkatan perang Couw berperang dengan angkatan perang Raja Pa, pasukan Couw
sudah kacau. Ini akibat serangan dan dikacaukan dari dalam oleh famili Giam.
Melihat tentara Couw kalut, tentara Pa menggunakan kesempatan itu untuk melabrak
pasukan Couw. Dalam serangan itu pasukan Couw mendapat kerusakan besar. Raja Couw Bun
Ong sendiri wajahnya terkena anak panah. Dengan tersipu-sipu Couw Bun Ong melarikan
diri. Raja Pa tidak berani mengejar Raja Couw yang kabur itu, dia tarik kembali
tentaranya. Sedang kaum famili Giam ikut dengan tentara Pa dan menjadi rakyat negeri Pa.
Setelah Raja Couw pulang ke negaranya, waktu Couw Bun Ong sampai, pintu kota
sudah ditutup karena hari sudah malam. Couw Bun Ong berteriak minta dibukakan pintu.
"Apa Tuanku mendapat kemenangan?" tanya Yo Koan yang menjaga pintu kota saat
itu. "Kalah!" sahut Raja Couw dengan kesal.
"Sejak Raja Couw almarhum, sampai sekarang, tentara Couw setiap kali keluar
berperang, belum pernah kalah!" kata Yo Koan dengan perasaan dan kurang senang. "Padahal
negeri Pa sebuah negeri kecil, tetapi Tuanku dikalahkan oleh mereka! Apa ini tidak
memalukan sekali" Sudah lama negara Ui tidak mengirim upeti, mereka mau membangkang. Sebaiknya
Tuanku serang mereka untuk menebus kekalahan kali ini. Baru perasaan malu itu lenyap!"
Sekalipun Couw Bun Ong memaksa, Yo Koan tetap tidak mau membukakan pintu kota
untuknya. Raja Couw sangat mendongkol sekali, lalu dia berkata pada tentaranya.
"Mari kita pergi melabrak negeri Ui, jika kita tidak bisa mengalahkan mereka,
aku tidak akan pulang!" kata Raja Couw.
Dia memimpin tentaranya menyerang ke negeri Ui, di sana dia mengalahkan pasukan
negeri Ui di Cek-leng (tanahnya Uij). Tetapi karena terlalu bekerja keras luka di wajah
Raja Couw bekas terkena anak panah telah terbuka lebar. Darahnya mengucur tidak berhenti-
hentinya. Dengan sangat kesakitan Raja Couw pulang; tetapi baru sampai di tanah Ciu (tanah
milik negeri Couw), pada tengah malam karena tidak tahan lagi Couw Bun Ong dia
meninggal. Mendengar Raja Couw Bun Ong meninggal, Yo Koan kaget. Dia menyambut kedatangan
peti jenazah Raja Couw. Mereka buru-buru mengangkat putera mahkota, Him Pi, menjadi
raja. Seusai upacara penguburan jenazah Raja Couw, Yo Koan dengan penuh sesal berkata
seorang diri, "Aku sudah dua kali berbantah dengan Baginda Couw. Sekarang aku enak-
enakan tinggal hidup" Akh, sudahlah. Lebih baik aku ikut bermasa Baginda masuk ke dalam
tanah." kata Yo Koan. Begitu tetap pikirannya itu, Yo Koan lalu mengumpulkan keluarganya. Kepada
mereka Yo Koan berkata, "Kalau aku sudah mati, kalian harus menguburkan jenazahku di pintu
kota Tiat-hong. Maksudnya supaya anak cucuku mengetahui bahwa aku menjaga pintu kota
itu!" Sehabis berkata begitu dengan kegesitannya yang luar biasa, Yo Koan menggorok
lehernya sendiri hingga binasa. Mendengar kabar Yo Koan telah bunuh diri, raja yang baru Him Pi merasa kasihan
kepada Yo Koan, dia mengangkat anak cucu Yo Koan turun-temurun memegang pangkat Tay-hu di
negeri Couw. ** Mendengar khabar Raja Couw Bun Ong telah meninggal dunia, dengan girang The Le
Kong berkata, "Sekarang baru kita tidak akan jengkel lagi."
"Menurut pendapat hamba, jika kita terlalu bersandar pada orang lain sangat
berbahaya. Jika kita tetap menghamba pada orang lain, malu," kata Siok Ciam. "Karena negeri kita
berada di antara negeri Cee dan negeri Couw, kita jadi serba susah. Tetapi Raja The
almarhum, sejak Raja Hoan, Raja Bu sampai Raja Cong, tiga turunan, semua menjabat pangkat Keng-
su di Dewan Kerajaan Ciu. Derajatnya lebih agung dari lain-lain negeri dan membuat
tunduk semua Raja Muda. Sekarang Baginda telah memegang pemerintahan. Raja dari negeri
Kek dan Chin telah memberi selamat. Tuanku harus mengadakan pesta, usahakan Tuanku
mengirim upeti ke Kerajaan Ciu. Jika Kaisar Ciu ingat jasa Tuanku maka pangkat
Keng-hu akan dikembalikan kepada Tuanku. Lalu siapa yang harus kita takutkan?"
"Ya, kau benar," kata Raja The dengan girang.
Kemudian Raja The memerintahkan Su Siok pergi ke negeri Ciu; dia berharap diberi
pangkat Keng-su (Pembesar Kerajaan) oleh Kaisar Ciu. Tetapi malang saat Su Siok kembali
dari negeri Ciu dia melaporkan kedaan di sana.
"Ternyata dalam Dewan Kerajaan Ciu telah terjadi kekacauan," kata Su Siok.
Mendengar laporan tersebut The Le Kong terkejut, dia minta keterangan lebih


5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh. "Bagaimana terjadinya huru-hara itu?" kata The Lee Kong.
"Baginda Ciu Li Ong mempunyai saudara tiri yang bernama Ong Cu Tui," kata Su
Siok mulai menceritakan pengetahuannya, "ia membuat persekutuan rahasia dengan Kui Kok,
Pian Kek, Cu Kim, Ciok Kui dan Ciam Hu. Mereka berjumlah lima orang Tay-hu, kemudian dia
membuat huru-hara. Tetapi beruntung Ciu Kong Ki Hu, Siao Pek Liauw dan beberapa
pejabat negara yang bijaksana berhasil melabrak mereka. Sehingga para pengkhianat itu
melarikan diri ke negeri Souw. Dengan bantuan dari negeri Souw dan We para pengkhianat itu
menyerang ke kota raja. Sayang Ciu Kong Ki Hu, Siao Pek Liauw dan kawan-kawannya
kalah perang dengan mereka. Kemudian mereka mengajak Baginda melarikan diri ke
tanah Yan. Tay-hu itu lalu mengangkat Ong Cu Tui menjadi Kaisar. Tetapi orang-orang
tidak mau menyerah kepada Kaisar yang baru itu."
"Wah celaka, bagaimana sekarang?" kata Raja The.
"Sekarang sebaiknya Tuanku mengerahkan tentara menjemput dan antarkan Kaisar ke
Ibukota. Dengan demikian Tuanku jadi berjasa, dan akan mendapat pahala besar!"
kata Su Siok. "Ya, itu benar," kata The Le Kong. "Tetapi sebelum kita menyerang, bagaimana
jika kita beri peringatan dulu mereka" Barangkali saja mereka mau menyesali kesalahan dan
mengubah kelakuannya." Semua menteri membenarkan ucapan Raja The. Raja The segera mengirim utusan ke
negeri Yan untuk menyambut Kaisar dan diminta sementara tinggal di kota Lek-ip. Raja
The pun mengirim utusan yang membawa surat untuk Ong Cu Tui. Bunyi suratnya kira-kira
begini: "Dengan segala hormat,
Tut persembahkan surat ini ke hadapan Ong Cu yang mulia.
Tut dengar, orang yang menjadi hamba dan melawan kepada Rajanya disebut tidak
setia, sedang yang menjadi adik berkhianat kepada kandanya, disebut kurang ajar, bila
orang yang tidak setia dan kurang ajar, sudah pasti akan mendapat kutukan dari Allah. Ong
Cu sangat keliru mau mendengarkan hasutan meneteri dorna, sehingga Ong Cu sudah mengusir
Baginda, atau mengikat tangan sendiri buat menerima dosa itu, masih belum
terlambat untuk meraih kekayaan dan kemuliaan. Tut minta agar Ong Cu mengerti dan suka menyerah.
Tetapi jika tidak mau, harap mundur ke suatu tempat. Di sana Ong Cu bisa hidup
sederhana dan senang. Dengan demikian Ong Cu akan terhindar dari bencana dan dosa besar."
Ketika Ong Cu Cui menerima surat itu dan membacanya, dia jadi bingung dan tak
tahu harus bagaimana. Di antara kelima Tay-hu itu ada yang berkata begini.
"Tuanku, seumpama orang ada di atas punggung harimau, tidak mungkin bisa turun
tanpa menghadapi bahaya, begitu kata pepatah, bukan" Maka apa patut orang yang sudah
menjadi Kaisar disuruh menjadi meneteri lagi" Ucapan Raja The itu terlalu menghina pada
Tuanku, harap Baginda jangan mempedulikannya!"
Mendengar hasutan itu Ong Cu Tui jadi sangat gusar, dia usir utusan The
tersebut. Utusan itu pulang ke negerinya, dan menyampaikan laporannya pada rajanya. Raja The menemui
Baginda Ciu di Lek-ip atau Lek-shia. Kemudian Raja The mengejar Baginda ke ibu
kota negeri The. Sesudah diadakan pesta besar dan Raja The menyerahkan berbagai
hadiah pada Baginda, baru Baginda kembali ke kota Lek-shia.
Waktu itu tahun ke-tiga pemerintahan Baginda Ciu Hui Ong. Pada musim Tang
(gugur) Raja The mengirim utusan ke negeri Kek untuk mengajak Raja Kek bersama-sama
mengerahkan angkatan perang mereka menolong Baginda; ajakan tersebut diterima baik oleh Raja
Kek. Pada tahun ke-empat dari pemerintahan Baginda Hui Ong, Raja The mengumpulkan
tentaranya di tanah Ji (tanah negeri The). Pada bulan Si-gwe (bulan empat
Imlek), mereka mengiring Baginda dan mengerahkan tentaranya menyerang ke kota raja Ciu.
Kui Kok, Pian Kek, Cu Kim, Ciok Ku dan Ciam Hu dengan susah payah mengatur
penjagaan di kota raja. Tetapi rakyat negeri Ciu yang kurang senang pada Ong Cu Tui,
mendengar Baginda Hui Ong datang mereka bersorak-sorak gembira. Suaranya gemuruh bagaikan
suara guntur. Mereka berebutan membukakan pintu kota dan menyambut kedatangan Baginda
Ciu Hui Ong tersebut. Waktu itu Kui Kok sedang menulis surat untuk minta bantuan ke negeri We. Sebelum
surat selesai, terdengar suara lonceng dan genderang dibunyikan. Kemudian datang
laporan. "Baginda Ciu Hui Ong sudah kembali dan menjadi raja."
Wanita Iblis 8 Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa Tumbal Cemburu Buta 2
^