5 Jagoan 5 Raja 6
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng Bagian 6
tahu Ayahku tanpa Li Ki pasti tidak enak makan dan tidak enak tidur," kata Sin Seng dengan
suara berduka. "Jika aku melawan dalam masalah ini dan aku tidak bisa menang, pasti dosaku jadi
semakin besar, dan jika aku beruntung bisa menjelaskan masalah yang sebenarnya terjadi,
dan Li Ki harus dihukum mati. Maka kebencian Ayahku padaku tidak akan reda. O Tuhan,
sungguh malang nasibku. Lebih baik mati saja aku!"
"Bagaimana jika kau kabur saja ke negeri lain dan menunggu kesempatan yang baik,
baru muncul kembali?" kata Touw Goan Koan.
"Ayahku yang tanpa memeriksa dengan teliti kesalahanku langsung melabrakku,"
kata Sin Seng sambil menangis. "Jika aku kabur ke negeri lain, niscaya namaku jadi cacat
benar-benar. Orang akan mengira, aku memang berniat jahat! Sekalipun aku bisa menerangkan
panjang- lebar, dan menimpakan kesalahan pada Ayahku. Ini malah akan merusak nama baik
Ayahku. Bahkan menurunkan pamor Kerajaan Chin. Setahuku, seorang bijaksana tidak akan
memburukkan rajanya sendiri. Orang pandai tidak sudi menanggung kesengsaraan.
Sedang orang gagah tidak takut mati. Sudahlah, aku sudah mengambil ketetapan, cara
paling baik aku harus mati!" Sesudah berkata begitu, Sin Seng menulis surat balasan buat Ho Tut, yang
bunyinya kira-kira demikian: "Sin Seng dianggap berdosa, maka tidak sayang jiwa untuk menghindari kematian.
Meski begitu, ayahku sudah tua, He Ce dan Tok Cu masih terlalu muda, pasti negara akan
mendapat banyak kesusahan. Karena itu harap Pe-hu dengan segenap tenaga membantu mengurus
urusan negara, sekalipun Sin Seng harus mati, tetapi tetap menjunjung tinggi
budi Pe-hu." Setelah surat dikirim, Sin Seng menghadap ke arah kota raja Chin, lalu memberi
hormat, kemudian baru mengambil kain sutra dan menjeret lehernya sendiri hingga mati.
Bukan main sedihnya Tong Goan Koan waktu itu, sambil menangis dia urus jenazah Sin Seng.
Esok harinya........ Tong Koan Ngo dan tentaranya telah sampai, karena dia sudah mengetahui Sin Seng
sudah mati, dia tangkap Touw Goan Koan dan dia masukkan ke dalam kerangkeng terus
dibawa ke kota raja Chin. Tatkala dorna itu menghadap pada Chin Hian Kong, ia bilang.
"Karena Pangeran Sin Seng sadar akan dosanya, dia telah bunuh diri dengan
menjerat lehernya," kata Tong Koan Ngo. "Sekarang hamba bawa Touw Goan Koan menghadap
pada Tuanku." Ketika Touw Goan Koan dihadapkan, oleh Raja Chin dia dipaksa supaya mengakui
bahwa Sin Seng telah berniat jahat.
"O Tuhan! Sungguh ini masalah pelik dan sangat penasaran...." kata Touw Goan
Koan. "Hamba tidak ikut bunuh diri bersama Pangeran, karena hamba ingin menjelaskan
sesuatu kepada Tuanku. Pangeran Sin Seng hatinya bersih. Harap Tuanku ketahui, makanan
yang dikirimkan oleh Pangeran, sudah lewat enam hari dan berada di istana. Jika bukan
ditaruhi racun di istana ini, tidak mungkin itu dilakukan oleh Pangeran Sin Seng. Hamba
berani bersumpah!" Karena Raja Chin tahu benar Touw Goan Koan tidak pernah berbohong, Raja Chin
terperanjat. Dia jadi ragu-ragu. Tapi Li Ki yang berdiri di belakang tirai,
langsung berbisik. "Goan Koan-lah yang mengajari Pangeran Sin Seng berbuat jahat. Mengapa Tuanku
tidak segera memerintahkan algojo membunuhnya?" kata Li Ki.
Dengan tidak berpikir panjang lagi karena hasutan Li Ki Raja Chin Hian Kong
segera memerintahkan pada algojo supaya memukul kepala Touw Goan Koan dengan sebuah
martil besar hingga binasa. Menyaksikan kekejaman di mata mereka, banyak menteri merasa
ngeri dan sangat terharu menyaksikan Touw harus mati secara mengenaskan.
Sesudah itu persidangan ditutup dan semua menteri pun bubar. Dorna Liang Ngo dan
Tong Koan Ngo menemui Yu Si. Begitu sampai mereka bilang pada Yu Si.
"Beri tahu Permaisuri Li Ki karena Pangeran Tiong Ji dan Pangeran I Gouw masih
sanak Pangeran Sin Seng, mereka harus segera disingkirkan." kata dorna itu.
Dengan tidak membuang waktu ketika ada kesempatan Yu Si diam-diam menemui Li Ki.
Dia menyampaikan saran kedua dorna itu. Malamnya kembali Li Ki merayu Raja Chin dan
mengatakan, bahwa Pangeran Sin Seng saat melakukan kejahatan dibantu oleh
Pangeran I Gouw dan Pangeran Tiong Ji.
"Jadi mereka juga termasuk orang berbahaya," kata Li Ki pada Raja Chin."Mungkin
sesudah tahu Pangeran Sin Seng binasa, mereka akan datang menyerang ke negara Chin."
Mendengar desakan itu Raja Chin agak ragu. Dia tahu benar kedua putranya itu
sangat baik. Tidak mungkin dia berniat jahat kepadanya. Maka dia abaikan saja masalah itu.
Esok harinya datang laporan pada Raja Chin, bahwa dua pangeran yaitu Pangeran I Gouw dari
kota Kut dan Pangeran Tiong Ji dari kota Po akan datang; tetapi ketika mengetahui masalah
yang terjadi atas Pangeran Sin Seng, mereka membatalkan niat mereka datang.
Sekarang mereka kembali ke masing-masing negaranya. Khabar itu membuat Chin Hian
Kong marah, dia menduga boleh jadi kedua pangeran itu pun bersekongkol dengan
Pangeran Sin Seng. Hari itu juga Raja Chin mengirim panglima Pu Te menangkap dua
puteranya itu di masing-masing negaranya. Mendengar kabar itu Ho Tut kaget. Dia panggil putranya yang bernama Ho Yan
menghadap. Ketika Ho Yan sudah menghadap ayahnya, sang ayah bilang.
"Pangeran Tiong Ji tulang iganya menjadi satu; sedang anak-anakan pada bola
matanya ada dua," kata Ho Tut. "Parasnya cakap dan angker, berbeda dengan orang kebanyakan.
Ditambah lagi dia terkenal seorang yang sangat budiman. Di kemudian hari pasti dia bisa
menjadi orang besar. Sekarang Pangeran Sin Seng sudah meninggal, menurut aturan dialah
penggantinya. Sekarang lekas kau pergi ke Po, kau ajak dia melarikan diri ke lain negeri. Kau
bersama Kandamu, Ho Mo, bantu dia sungguh-sungguh."
"Baik, Ayah," kata Ho Yan berjanji.
Sesudah pamit pada ayahnya Ho Yan langsung berangkat ke Po akan menemui Pangeran
Tiong Ji. Kedatangan Ho Yan danHo Mo membuat Tiong Ji jadi sangat terkejut. Dari
Ho Yan-lah dia mendapat kabar tentang adanya bahaya atas dirinya.
Saat Tiong Ji bersama Ho Mo dan Ho Yan sedang berunding untuk melarikan diri;
tidak diduga pasukan Put Te sudah keburu datang. Ketika prajurit Po hendak menutup
pintu kota untuk mencegah pasukan Chin masuk; tetapi dicegah oleh Pangeran Tiong Ji sambil
berkata: "Titah Raja tidak boleh dilawan."
Put Te dengan leluasa bersama pasukannya masuk ke dalam kota Po dan langsung
mengepung gedung Pangeran Tiong Ji. Pangeran Tiong Ji bersama Ho Mo dan Ho Yan
melarikan diri lewat kebun belakang. Put Te yang menerobos masuk sempat melihat
mereka, kabur. Dia cabut pedangnya lalu mengejar. Ho Mo dan Ho Yan melompat lebih dulu
ke atas tembok, dari sana mereka menaikan Tiong Ji. Put Te sempat menjamret Pangeran
Tiong Ji, tetapi yang kena hanya bajunya, namun karena kuatnya tarikan dua bersaudara Ho,
sehingga baju itu robek. Beruntung Tiong Ji luput dari bahaya maut.
Karena tidak yakin bisa menyususul korbannya, apa boleh buat Put Te menyimpan
sehelai kain baju Pangeran Tiong Ji. Kemudian memimpin tentaranya pulang dan akan
memberi laporan pada Raja Chin. Tiong Ji bersama Ho Mo dan Ho Yan melarikan diri menuju ke negeri Ek, dan
kedatangan mereka diterima oleh Raja Ek dengan senang hati. Tidak berapa lama di bawah kota
terdengar suara derap kaki kuda dan riuhnya teriakan orang yang minta dibukakan pintu.
Mereka ada yang naik kuda dan banyak yang naik kereta perang.
Tiong Ji kaget dan curiga kalau-kalau yang datangi itu balatentara Chin yang
sedang mengejar. Maka dia segera memerintahkan tentara melepaskan panah dari atas kota.
Tetapi orang-orang yang ada di bawah kota segera berseru: "Jangan, jangan memanah kami!
Dengarlah Kong-cu, kami bukan bala-tentara yang hendak mengejarmu, sebenarnya
kami ini pembesar dari negeri Chin yang hendak ikut pada Kong-cu!"
Bab 19 Mendengar ucapan itu Tiong Ji segera naik ke atas kota untuk melihat sendiri
orang itu. Di antara mereka dia mengenali pemimpinnya, yaitu seorang she Tio bernama Swe alias
Cu I, dia adik Tio Wi. "Karena Cu I datang, aku tidak merasa khawatir lagi!" kata Tiong Ji dengan
girang, Maka dia perintahkan orang membukakan pintu kota dan menyuruh semua orang masuk
ke dalam kota. Menteri-menteri yang ikut bersama Tio Swe, di antaranya Tan Sin, Gui Cun, Ho Sia
Kouw, Tian Kiat, Kai Cu Cui, Sian Cin dan beberapa puluh pengikutnya.
"Kalian para pegawai istana, mengapa kalian datang kemari?" tanya Tiong Ji
dengan sangat terkejut. "Lantaran Cu-kong salah, ia mencintai Li-ki, perempuan siluman itu,
sehingga Cu- kong telah membunuh pangeran, maka kami yakin tidak lama lagi di negeri Chin
akan kacau! Kami tahu kau pandai dan berbudi, maka kami kabur dari istana mau ikut
denganmu!" Sementara itu raja Ek dengan budi bahasa yang manis segera menyilakan semua
orang masuk ke dalam kota. Memang Kong-cu Tiong Ji sejak masih kecil telah berkelakuan manis
dan mau merendah dan hormat pada orang. Ketika dia sudah berusia tujuh belas tahun,
terhadap Ho Yan, dia memperlakukannya seperti memperlakukan ayahnya. Tio Swe dia anggap
sebagai gurunya, dan terhadap Ho Sia Kouw, ia bersikap seperti kepada kandanya.
Saat itu orang terpelajar dan ternama, baik yang di istana, maupun yang di luar
istana, semua simpatik kepada Pangeran Tiong Ji. Maka tidak heran, ketika Tiong Ji minggat
dari negeri Chin, dan keselamatannnya terancam pun, banyak orang yang ingin mengabdi
kepadanya. Mereka tidak takut bahaya maupun akan hidup sengsara. Hanya Kiok Peng dan Lu I
Seng yang merasa lebih suka kepada Kong-cu I Gouw, sedang Kek Sia memang saudara ibu
Pangeran I Gouw, hingga mereka kabur ke negeri Kut dan membela I Gouw.
Tatkala mereka itu sudah bertemu dengan I Gouw, mereka memberi tahu, bahwa tidak
berapa lama lagi Ke Hoa dan tentaranya bakal datang menyerang. Kabar ini membuat I Gouw
sangat kaget, segera dia perintah orang mengatur bala-tentaranya untuk melakukan
penjagaan ketat terhadap kotanya. Beruntung Ke Hoa baik hati, dia tidak tega untuk menangkap I Gouw, maka waktu
tentaranya sudah sampai di Kut, dia sengaja bertindak lambat ketika mengepung kota. Malah
dengan secara rahasia dia suruh orang membari tahu pada I Gouw, agar I Gouw segera
melarikan diri, sebab jika ayal sedikit saja, tentara Chin sudah ditambah pasti akan bertambah
susah untuk bisa lolos. Begitu mendapat kabar, I Gouw segera berunding.
"Kong-cu Tiong Ji ada di negri Ek, apakah tidak lebih baik kita juga pergi ke
sana?" kata I Gouw. "Oh, jangan, Pangeran tidak boleh ke sana," kata Kiok Peng mencegah. "Cu-kong
memang menyangka dua Pangeran ikut berkhianat. Jika sekarang Pangeran ke sana berkumpul
dengan pangeran Tiong Ji, niscaya Li-ki punya alasan yang bagus sekali, sehingga pasti
tentara Chin akan datang ke negeri Ek. Maka paling benar Pangeran lari ke negeri Liang,
karena negeri Liang dekat dengan negeri Cin, sedang negeri Cin saat ini sangat maju dan kuat!
Apalagi Rajanya masih famili Pangeran, maka di kemudian hari Pangeran bisa meminjam
tentara negeri Cin agar bisa kembali ke negeri Chin!"
I Gouw setuju pada saran tersebut, segera dia berangkat ke negeri Liang. Ke Hoa
pura-pura mengejar, tetapi tentu saja dia sengaja agar tidak bisa mengejar, lalu ia pulang
ke Kota-raja Chin dan memberi laporan pada Chin Hian Kong. Karena kedua Kong-cu tidak satu
yang
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertangkap, Chin Hian-kong marah sekali. Dia akan membunuh Ke Hoa. Tetapi untung
Pi The Hu yang mencegahnya dengan alasan karena dua pangeran berkuasa atas angkatan
perang, mereka mampu melawan Ke Hoa. Chin Hoan Kong tidak berdaya terpaksa menurut. Ke
Hoa diampuni. Kemudian atas usul Liang Ngo, Raja Chin memberi perintah pada Put Te membawa
pasukan perang pergi menyerang ke negeri Ek untuk menangkap Pangeran Tiong Ji.
Tetapi raja Ek tidak tinggal diam, dia mengatur tentaranya di Cay-song (batas
negeri Chin) siap menangkis serangan dari negeri Chin.
Keduanya tidak berani bergerak lebih dulu, hingga keduanya cuma menunggu hingga
dua bulan lebih tanpa bertempur. Keadaan seperti ini membuat Pi The Hu jadi girang,
dia menyarankan pada Chin Hian Kong, agar Raja Chin ini menarik mundur pasukannya.
"Jika kita berperang dengan negeri Ek, belum tentu kita menang. Ditambah lagi
ini akan kurang baik di mata para Raja-muda, masakan Tuanku sebagai seorang ayah begitu
kejam ingin membunuh kedua anak kandungnya. Malah ini akan membuahkan bahan lelucon di
mata umum!" kata Pi Te Hu pada Chin Hian Kong.
Nasihat Pi The Hu dituruti juga oleh Chin Hian-kong, yang segera memanggil Put
Te untuk menarik mundur tentaranya. He Ce diangkat menjadi Si-cu (Putra Mahkota). Semua
pembesar kecuali dua Ngo dan Sun Sit, tidak seorang pun yang jengkel. Maka banyak yang
beralasan sakit mereka minta berhenti. Pada tahun pertama dari bertahtanya Baginda Tiu
Siang Ong, waktu itu Chin Hian-kong sudah bertahta selama 26 tahun.
Pada tahun itu dalam musim Ciu, Cee Hoan-kong dan para Raja-muda mengadakan
pertemuan di Kui-kiu. Chin Hian-kong akan hadir, tetapi terlambat. Saat dia
pulang di tengah jalan dia jatuh sakit. Sesampai di negerinya, penyakit Chin Hian-kong bertambah parah. Melihat
andalannya bakal lenyap Li-ki merasa khawatir sekali. Dia duduk di dekat pembaringan Raja Chin
sambil menangis. Melihat tingkah Li-ki Raja Chin merasa kasihan sekali pada Li-ki.
Ketika Chin Hian-kong merasakan penyakitnya makin parah dan bakal meninggal, dia memanggil
Sun Sit datang menghadap. Dia berpesan pada Sun Sit. "Hati-hati kau harus membela He Ce dan Li-ki." kata
Raja Chin. Sun Sit berjanji akan memperhatikan benar pesan junjungannya itu. Selang
beberapa hari kemudian, Chin Hian-kong menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Li-ki segera memondong He Ce yang waktu itu baru berusia sebelas tahun, lalu dia
serahkan kepada Sun Sit. Karena Sun Sit ingat telah menerima pesanan dari Chin Hian-kong
yang paling penghabisan, dia angkat He Ce untuk memimpin upacara duka cita. Semua
pembesar berkumpul akan menyatakan berduka-cita atas wafatnya raja mereka. Saat itu Li-ki
mengangkat Sun Sit menjadi Siang-kong (Perdana Mentri), Liang Ngo dan Tong Koan
Ngo dinaikan pangkatnya menjadi Co Yu Su Ma.
Tatkala semua urusan sudah selesai dan semua pembesar sudah bubar, diam-diam Li
Kek mengunjungi rumah Pi The Hu untuk mengadakan pembicaraan rahasia.
"Anak kecil itu bakal jadi raja, sekarang bagaimana sebaiknya kita menolong
Pangeran yang menanggung sengsara di luar?" kata Li Kek pada temannya.
"Semua urusan tergantung pada Sun Sit seorang, mari kita temui dia apa yang akan
dilakukannnya?" sahut Pi The Hu.
Li Kek setuju dengan pendapat itu. Mereka berdua berkunjung ke gedung Sun Sit.
Kedatangan mereka disambut oleh Sun Sit dengan manis, mereka diajak masuk ke
ruang dalam. "Cu-kong telah wafat, tetapi Pangeran Tiong Ji dan Pangeran I Gouw semua ada di
luar negeri," kata Li Kek pada Sun Sit, "Siok Hu menjadi pembesar di negeri ini.
Mengapa Tuan tidak mengundang mereka, malah mengangkat anak-anak pendengki untuk memimpin
upacara berkabung. Apa ini bisa membuat semua orang puas?"
"Aku telah menerima pesan Cu-kong almarhum," kata Sun Sit, "Maka kuanggap He Ce-
lah junjunganku. Aku tidak bisa mengingkari pesan Cu-kong kita, kecuali aku mati!"
"Kalau mati secara demikian tidak ada gunanya, apa lebih baik kau ubah saja
putusan Cu- kong itu?" kata Pi The Hu.
"Oh, tidak bisa!" sahut Sun Sit. "Aku sudah berjanji hendak memperhatikan pesan
itu! Sekalipun aku harus mati tidak ada gunanya, aku tidak mau melangggar pesan Cu-
kong." Sekalipun kedua orang ini membujuknya berulang-ulang, tetapi Sun Sit tetap
kukuh. Pendiriannya keras sekali seperti besi. Sadar bujukan mereka tidak akan
berhasil, kedua orang itu pamit pada Sun Sit dan pergi.
"Sun Sit keras tidak mau mengubah pendiriannya, sekarang bagaimana?" tanya Li
Kek. "Ia bekerja untuk He Ce, kita untuk Pangeran Tiong Ji, masing-masing punya
junjungan sendiri. Mau apa lagi?" kata Pi The Hu.
"Ya, itu betul," sahut Li Kek.
Segera mereka perintahkan orang kepercayaannya, dengan menyamar. Mereka masuk ke
istana pura-pura menjaga Pangeran He Ce. Anak buah Li Kek dan Pi The Hu akhirnya
berhasil membunuh pangeran He Ce, saat pangeran ini sembahyang.
Waktu itu Yu Si ada di samping Pangeran He Ce, melihat He Ce terbunuh dia segera
mencabut pedangnya hendak menolong, tetapi tidak terduga dia sendiri pun
terbunuh. Saat itu di pertengahan keraton menjadi ribut sekali. Sun Sit menangisi jenazah Cu-kong-
nya dan waktu akan mundur dari tempat duka itu, tiba-tiba dia mendengar suara ribut,
dengan sangat kaget dia lari masuk ke tengah. Di situ ia melihat dua mayat tergeletak. Ia
merasakan semangatnya seperti terbang, dia peluk mayat He Ce, dan sambil menangis dia
berkata, "Aku terima pesan Cu-kong yang penghabisan untuk melindungi pangeran He Ce. Sekarang
aku tidak bisa menjaga dengan baik, ini dosaku!". Sehabis berkata begitu, Sun Sit
mendekati tiang akan membenturkan kepalanya.
"Tahan: Sun Tay-hu jangan berpikir pendek!" kata Li Ki mencegah. "Apa Tay-hu
lupa jenazah Tuanku belum diurus beres" Sekalipun He Ce binasa, masih ada Tok Cu yang
bisa menggantikannya!" Mendengar nasihat itu, Sun Sit membatalkan niatnya, lalu dia bunuh beberapa
puluh orang penjaga di tempat itu. Hari itu juga dia mengadakan pertemuan dengan semua
pembesar. Dia membicarakan pengangkatan Tok Cu sebagai pengganti Pangeran He Ce yang terbunuh.
Tok Cu ketika itu baru berumur sembilan tahun. Li Kek dan Pi The Hu berlagak kurang
sehat dan tidak mau datang dalam pertemuan itu.
Liang Ngo mengusulkan supaya Li Kek dan Pi The Hu dihukum, karena menurut
dugaannya kematian Pangeran He Ce pasti perbuatan mereka. Ini dibuktikan dengan tidak mau
hadir dalam pertemuan para pembesar. Tetapi Sun Sit tidak setuju pada saran Liang Ngo
tersebut. "Jangan sembarangan, kelompok mereka kuat dan banyak, tidak gampang
menyingkirkan mereka. Lebih baik kita urus dulu soal perkabungan ini. Sesudah Tok Cu menjadi
raja, dan kita sudah berserikat dengan negeri lain, baru kita bertindak!" kata Sun Sit.
Maka diambil putusan Tok Cu diangkat menjadi pengganti He Ce, dan ditetapkan
harinya akan mengubur jenazah Chin Hian Kong. Sesudah itu persidangan ditutup, Liang Ngo
dan Toan Koan Ngo segera mengadakan pertemuan rahasia. Mereka menganggap Sun Sit
kurang cekatan mengurus pekerjaan dan terlalu lamban. Maka diputuskan mereka akan
melakukan pembalasan terhadap Li Kek dan Pi The Hu.
"Sekarang penguburan sudah dekat," kata Liang Ngo, "jika kita perintahkan orang
bersembunyi di pintu kota sebelah timur, saat Li atau Pi mengantar jenazah Cu-
kong, mereka serang si jahanam itu, pasti mereka tidak bisa lolos!"
"Bagus, aku setuju!" kata Tong Koan Ngo dengan girang. "Aku punya seorang
sahabat, namanya Touw Gan I, tenaganya kuat sekali, bila kita janjikan padanya pangkat,
pasti dia bersedia melakukan pekerjaan ini."
Tong Koan Ngo memanggil Touw Gan I untuk membicarakan rencananya. Ternyata Touw
Gan I setuju. Touw Gan I bersahabat kekal dengan Tay-hu Tiauw Coan, diam-diam
dia memberi tahu niat kedua Ngo pada Tiauw Coan, Touw Gan I minta pendapat
sahabatnya ini. "O, jangan kau lakukan, itu keliru sekali jika kau bunuh Li atau Pi!" kata Tiauw
Coan mencegah. "Kematian He Ce memang mengenaskan. Tetapi semua itu gara-gara Li Ki,
ibunya sendiri yang serakah. Saat ini Li dan Pi berniat menyingkirkan Li Ki dan
konco- konconya. Aku tahu mereka akan mengangkat pangeran Tiong Ji yang sah! Ini aku
pikir usaha yang mulia. Bila kau membantu yang jahat dan memusuhi yang setia, kau
berbuat keji hingga kau akan dijauhi sahabat-sahabatmu sendiri!"
Touw Gan I membenarkan ucapan Tiauw Coan.
"Baik, akan kutolak ajakan jahat itu!" kata Touw Gan I.
"Kalau kau tolak pasti mereka akan menyuruh orang lain," kata Tiauw Coan. "lebih
baik kau pura-pura menerima perintah itu, tetapi kau segera balikkan senjata itu untuk
menghantam kaum durhaka itu. Nanti kalau raja yang budiman sudah duduk di istana, aku nanti
pujikan kau punya pahala, pasti kau bakal dapat ganjaran yang besar."
"Terima kasih Tay-hu atas petunjukmu, akan kulaksanakan saran itu!" kata Touw
Gan I. Tiauw Coan pura-pura tidak percaya, sehingga Touw Gan I segera bersumpah.
Sesudah itu Touw Gan I pulang, Tiauw Coan segera mengabari Pi The Hu, dan Pi The Hu pun
memberi tahu Li Kek. Maka mereka segera mengatur anak buahnya masing-masing, mereka
sepakat saat mengantar mengubur jenazah Chin Hian-kong mereka akan bergerak secara
berbareng. Begitu sampai waktu mengubur jenazah Raja Chin, Li Kek memberi kabar, karena
sakit tidak bisa ikut mengantar mengubur jenazah Raja Chin. Touw Gan I segera meminta Tong
Koan Ngo mengerahkan tiga ratus tentara akan mengepung rumah Li Kek, permintaan itu
segera dikabulkan. Ketika rumahnya dikepung, Li Kek sengaja memerintahkan orang pergi ke pekuburan
untuk memberi tahu telah timbul huru-hara. Mendengar kabar itu, Sun Sit terkejut, dia
minta keterangan. "Kabarnya Li Kek hendak menggunakan kesempatan penguburan yang baik akan membuat
huru-hara," kata Tong Koan Ngo, sebelum orang Li Kek memberi keterangan. "Sebab
aku curiga pada Li Kek, maka aku sudah perintahkan Touw Gan I menyiapkan tentara
untuk menjaga rumahnya, boleh jadi telah terjadi pertarungan antara Touw Gan I dengan
anak buahnya. Jika urusan ini bisa beres, itu keuntungan buat Tay-hu, bila tidak
beres, Tay-hu pun tidak kerembet-rembet."
Hat Sun Sit merasa sangat tidak enak, segera dia menyelesaikan upacara
penguburan. Kemudian dia perintahkan kedua Ngo memimpin tentaranya untuk membantu melabrak
Li Kek, sedang dia sendiri mengantarkan Tok Cu pulang ke istana untuk menunggu
kabar baik. Tong Koan Ngo dan tentaranya sampai di tengah pasar sebelah timur, justru saat
itu dia berpapasan dengan Touw Gan I. Gesit luar biasa Touw Gan I mencekal leher Tong
Koan Ngo yang terus dia patahkan hingga binasa, sedang tentaranya jadi kalang-kabut.
"Pangeran Tiong Ji bersama tentara Cin dan Ek sudah ada di luar kota!" teriak
Touw Gan I pada semua tentara Chin. "Aku terima perintah Li Tay-hu untuk membalas penasaran
hati almarhum Pangeran Sin Seng! Basmi seluruh konco orang-orang jahat, sambut Kong-
cu Tiong Ji untuk menjadi raja! Kalian jika mau membantu, ikut bersamaku! Jika
tidak silakan pergi!" Mendengar Pangeran Tiong Ji bakal jadi raja, semua gembira dan akan ikut
membantu. Liang Ngo yang mendapat kabar itu mengajak Sun Sit membawa lari Pangeran Tok Cu.
Tetapi begitu melihat dorna itu lari, Touw Gan I segera mengejarnya. Sementara
Li Kek, Pi The Hu dan Tiauw Coan, masing-masing sudah membawa orangnya datang ke tempat
itu. Melihat gelagat tidak baik, Liang Ngo pikir pasti dia juga tidak akan bisa
meloloskan diri, segera mencabut pedangnya dan gorok lehernya sendiri, tetapi sebelumnya, Touw
Gan I keburu menubruk dan menangkapnya. Ketika itu Li Kek sampai di situ, segera dia
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angkat goloknya dan menebas dorna itu hingga jadi dua potong.
Waktu itu Tay-hu Kiong Hoa juga memimpin orangnya datang membantu Li Kek. Semua
orang dengan berbareng menerjang masuk ke pintu istana. Li Kek sambil memegang
pedang jalan duluan, sedang yang lain-lain ikut dengannya. Pembesar yang ada di istana
semua jadi kaget dan bubar, hanya Sun Sit yang tidak berubah parasnya, tangan kirinya
memeluk Tok Cu, sedang tangan kanannya mengangkat tangan bajunya untuk menghalangi raja yang
masih kecil itu. Tok Cu ketakutan dan menangis.
"Anak kecil ini apa dosanya?" kata Sun Sit pada Li Kek. "Lebih baik bunuh saja
aku, harap kalian sisakan putra raja almarhum!"
"Sin Seng bagaimana" Dia juga anak raja almarhum!" sahut Li Kek, yang segera
lirik Touw Gan I dan berkata, "Lekaslah turun tangan!"
Touw Gan I segera merampas Tok Cu dari tangan Sun Sit, lalu dia lemparkan ke
bawah tangga istana. "Gubral!" Saat itu juga Tok Cu telah binasa. Sun Sit jadi sangat
marah, dia mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya akan menyerang Li Kek. Tetapi
kembali dia kena dibunuh oleh Touw Gan I.
Semua orang segera menerjang masuk ke dalam keraton. Li Ki jadi sangat
ketakutan, dengan tergopoh-gopoh dia lari ke keraton Ke Kun. Tetapi Ke Kun menutup pintu tidak mau
menerima. Sebab sudah putus harapan, dengan badan gemetar perempuan dengki itu
lari ke kebun belakang, dari atas jembatan dia menceburkan diri ke dalam air, dan segera
mati. Li Kek masih penasaran, dia perintahkan orangnya mengangkat mayat perempuan
dengki itu dan dicincang sampai jadi hancur lebur. Adik perempuan Li Ki, meski pun dia yang
melahirkan Tok Cu, tetapi sebab tidak begitu jahat seperti kakaknya Li Ki, dia
diampuni tidak dibunuh, melainkan dipenjara di salah satu kamar di istana. Sementara keluarga
dua Ngo dan Yu Si semua dibunuh. Sesudah melakukan pembalasan pada orang-orang durhaka itu, Li Kek segera
memanggil semua pembesar mengadakan rapat di istana. Li Kek usul hendak mengangkat
Pangeran Tiong Ji menjadi raja. Tetapi Pi The Hu bilang lebih baik tanya dulu pendapat Ho
Tut, seorang pembesar Chin yang paling tua. Karena itu segera diutus seseorang untuk
mengundang Ho Tut. Tetapi Ho Tut menolak hadir, dia berkata, "Aku sudah tua, aku
setuju saja apa keputusan para Tay-hu!"
Ketika itu suruhan itu kembali dan memberitahukan ucapan Ho Tut, semua pembesar
segera mengambil keputusan hendak mengangkat Pangeran Tiong Ji menjadi raja. Segera
disebar surat udangan yang ditandatangani oleh Li Kek. Pi The Hu, Kiong Hoa, Ke Hoa,
Tiauw Coan dan yang lain-lain. Semua berjumlah tiga puluh orang lebih. Touw Gan I segera
diutus membawa surat undangan itu ke negeri Ek, akan meminta Kongcu Tiong Ji pulang ke
negeri Chin untuk menjadi raja. Ketika Tiong Ji menerima undangan itu, dia melihat nama Ho Tut tidak tercantum
di sana, sehingga dia jadi curiga. Sedang Ho Yan juga memberi saran.
"Lebih baik jangan pergi, sebab baru kematian ayahanda Tuanku dan lagi dalam
keadaan kalut, apabila tuanku menerima menjadi raja, bukan saja nama jadi buruk.
Ditambah, khawatir kaum orang-orang durhaka akan melakukan pembalasan secara rahasia." kata Ho Yan.
Tiong Ji memberi tahu pada Touw Gan I, dia tidak bersedia menerima untuk menjadi
raja, biarlah supaya diangkat saja pangeran yang lain. Touw Gan I segera kembali
memberitahukan hal itu, Li Kek masih penasaran, dia hendak memerintahkan utusan lain mengundang
Tiong Ji. Tetapi Tay-hu Nio Yu Bi segera mencegah.
"Percuma saja kita undang dia, pasti Kong-cu Tiong Ji akan tetap menolak, supaya
tidak buang waktu, undang saja Kong-cu I Gouw." kata Nio Yu Bi.
"I Gouw orangnya serakah dan kejam," kata Li Kek kurang senang. "Lantaran tamak
maka dia tidak bisa dipercaya, dan lantaran kejam pasti dia tidak punya rasa cinta
pada rakyat." "Tetapi daripada mengangkat pangeran lain, lebih pantas angkat Kongcu I Gouw,
bukan?" kata Nio Yu Bi. "Ya, itu betul!" seru orang banyak.
Li Kek karena kalah suara, apa boleh buat segera memerintahkan Touw Gan I ikut
Nio Yu Bi pergi menjemput Kong-cu I Gouw di negeri Liang. Memang benar adat I Gouw
berlainan jauh dengan Tiong Ji, sedangkan Tiong Ji manis budi, sebaliknya I Gouw dia tamak
dan kejam, seperti kata Li Kek.
Ketika I Gouw melarikan diri ke negeri Liang, raja Liang menikahkan putrinya
dengan I Gouw, dan dari pernikahan itu mereka berputra seorang diberi nama Gi. Begitu
mendapat kabar ayahnya telah wafat, I Gouw segera memerintahkan Lu I Seng pergi merampas
kota Kut. Kemudian setelah mendengar kabar He Ce dan Tok Cu dibunuh dan semua
pembesar mengundang Tiong Ji, dengan tidak ayal lagi dia segera berunding dengan Kek Shia
dan Kiok Peng untuk merebut kedudukan jadi raja. Tetapi sebelum putusan diambil datang
Nio Yu Bi dan Touw Gan I mengundangnya, hingga bukan alang kepalang girangnnya Pangeran I
Gouw. Kiok Peng segera menyatakan pendapatnya.
"Jika Tiong Ji sudah tidak mau menjadi raja, pasti dia masih curiga di dalam
negeri masih terlalu banyak komplotan jahat. Jika sekarang seumpama I Gouw mau masuk ke
lubang macan, Tuan harus sedia dulu senjata tajam, supaya apabila timbul bencana, Tuan
sudah siaga. Setahuku kelompok yang terkuat adalah yang dipimpin oleh Li Kek dan Pi
The Hu, maka kedua Tay-hu itu harus diberi suap yang besar. Selain itu kita juga harus
menyuap negeri Cin, sebab Cin sangat kuat dan bertetangga dengan Chin, maka dengan
meminjam tenaga negeri kuat serta dekat itu, pasti mereka bisa masuk ke negeri Chin
dengan gampang dan tidak ada yang berani menghalanginya." kata Kiok Peng.
I Gouw jadi girang, lalu dia terima saran dari Kiok Peng ini. Ia memberi
keterangan pada Touw Gan I dan disuruh pulang lebih dulu. I Gouw berjanji akan memberi hadiah
pada Li Kek seribu petak sawah di Hun-yang, dan Pi The Hu tujuh ratus petak sawah di Hu-
kiu. Sedang Nio Yu Bi diutus ke negeri Cin, untuk memberi tahu pada raja Cin bahwa
semua pembesar di negeri Chin telah mengundang I Gouw untuk dijadikan raja di negeri
Chin. Maka I Gouw minta dukungan dari raja Cin, tentara untuk mengantarkan dia kembali ke
negeri Chin. Untuk rasa terima kasihnya, I Gouw menjanjikan hendak menyerahkan lima
buah kota di sebelah luar Sungai Huang-hoo (Sungai Kuning).
Cin Bok Kong meluluskan permohonan I Gouw, lalu memerintahkan pada Kong-sun Ci
memimpin tiga ratuskeretaperang dantentara untukmengantar I
Gouw. Sementara itu Cee Hoan Kong ketika mendapat kabar di negeri Chin terjadi huru-
hara, dia mengumpulkan raja-raja muda untuk berunding. Tetapi waktu dia sampai di tanah
Ko-liang, dia mendapat kabar negeri Cin sudah membawa tentaranya untuk mengantarkan I
Gouw. Baginda Ciu Siang Ong memerintahkan pada Ong-cu Tong membawa tentara datang ke
negeri Chin, dan hanya mengutus Sek Peng memimpin pasukan tentara berkumpul
dengan tentara Cin dan Ciu untuk bersama-sama mengantarkan I Gouw.
Lu I Seng dan Pi The Hu mengundang Ho Tut untuk memimpin upacara penyambutan di
perbatasan negeri Chin. Begitulah Kong-cu I Gouw telah masuk ke kota Kang-touw dan menjadi raja yang
bergelar Chin Hui Kong. Waktu itu adalah tahun Ciu Siang Ong ke-2. Chin Hui Kong
mengangkat putranya, Kongcu Gi menjadi Si Cu (putra mahkota), Ho Tut dan Kek Shia menjadi
Siang Tay-hu, yang lain-lain semua tetap dalam jabatannya yang lama. Juga dia perintah
Nio Yu Bi ikut Ong-cu Tong pergi ke negeri Ciu, Han Kan ikut Sek Peng pergi ke negeri Cee,
untuk menghaturkan terima kasih atas budi mereka yang sudah mengantarkan dia pulang ke
negerinya. Angkatan perang negeri lain sudah pulang, hanya tinggal Kong-sun Ci yang hendak
mengambil lima kota sesuai janji I Gouw pada mereka. Maka itu mereka masih
tinggal menunggu di negeri Chin. Rupanya Chin Hui Kong merasa sayang untuk melepaskan lima kota, segera dia
mengumpulkan semua menterinya untuk berunding. "Ketika tuanku mau menyerahkan
lima kota kepada raja Cin," kata Lu I Seng, "ketika itu tuanku belum menjadi raja,
jadi negeri ini bukan milik tuanku. Tetapi sekarang negeri ini sudah menjadi milik tuanku.
Sekarang tuanku sudah menjadi raja Chin! Menurut pendapatku, meskipun kita tidak menyerahkan
kota-kota itu, pasti Cin tidak bisa berbuat apa-apa."
"Aku rasa tidak baik jika Tuanku berbuat begitu," kata Li Kek membantah, "karena
tuanku baru menjadi raja, lalu tuanku ingkar dan menghilangkan kepercayaan orang kepada
tuanku! Ditambah negeri Cin sangat kuat dan mereka tetangga kita pula. Lebih baik tuanku
serahkan saja!" "Kehilangan lima kota, sama dengan kehilangan separuh dari negeri Chin," kata
Kiok Peng yang tidak setuju pada saran Li Kek. "Meskipun negeri Cin menghabiskan
tentaranya, tidak gampang mereka bisa mengambil lima kota kita dengan begitu mudah! Ingat raja
kita almarhum, begitu sulitnya mendapatkan negeri ini. Masa dengan gampang kita
serahkan lima buah kota pada mereka?"
"Sudah tahu ini milik almarhum raja kita, mengapa kau janjikan akan diserahkan
kepadanya" Sudah janji tetapi tidak ditepati, apa itu tidak akan membuat raja Cin gusar?"
kata Li Kek dengan keras. "Ingat waktu raja kita almarhum mendirikan negeri Kiok-ah,
tanahnya sangat kecil, lantaran beliau bisa mengurus beres pemerintahan, sehingga bisa merampas
negeri- negeri kecil untuk memperbesar daerahnya! Manakala tuanku bisa mengatur betul
pemerintahan dan rukun pada tetangga negeri, buat apa merasa khawatir dengan
lenyapnya lima kota itu?" "Kata-kata Li Kek hanya untuk kepentingan negeri Cin!" teriak Kiok Peng dengan
sangat marah. "Karena dia khawatir tuanku tidak jadi memberinya seribu petak sawah di
Hun-yang yang telah dijanjikan kepadanya, maka dia hendak bersandar pada raja Cin!"
Melihat gelagat kurang baik, Pi The Hu dengan sikutnya dia senggol Li Kek.
Akhirnya Chin Hui Kong mengeluarkan putusan menurut saran Lu I Seng dan Kiok
Peng. Dia perintahkan Lu I Seng menulis surat untuk dikirim pada raja Cin. Surat itu
berbunyi demikian: "Bukan aku mungkir janji, karena sebagian besar pembesar Chin tidak
setuju menyerahkan lima kota itu, maka aku Chin Hui Kong minta waktu dulu untuk
penyerahan lima kota itu, sebab aku mau berunding lebih jauh."
Kemudian Chin Hui Kong bertanya siapa yang bersedia membawa surat ke negeri Cin.
Pi The Hu menyatakan bersedia pergi, dan diizinkan oleh Chin Hui Kong. Pi The Hu pergi
ikut bersama Kong-sun Ci ke negeri Cin.
Ketika Cin Bok Kong sudah menerima surat dan sudah membaca surat itu, dia jadi
marah sekali, karena dia yakin raja Chin hendak membohonginya, dia segera mau membunuh
Pi The Hu. "Menteri-menteri negeri Chin tidak ada yang tidak ingat pada budi tuanku,
semua suka menyerahkan tanah tersebut," kata Pi The Hu memberi keterangan. "Tetapi lantaran
Lu I Seng dan Kiok Peng, dua orang itu, mencegah dengan keras, ditambah rajaku yang baru
pun rupanya berniat begitu, maka lima kota itu tidak diserahkan kepada Cin. Sekarang
sebaiknya tuanku dengan baik-baik panggil dua orang itu, sesampai di sini segera bunuh
mereka, kemudian tuanku antarkan Kong-cu Tiong Ji, aku dan Li Kek akan mengusir I Gouw
dan menyambut kedatangan tuanku dari dalam, pasti Kong-cu Tiong Ji bisa naik menjadi
raja Chin. Jika ini perkara sudah beres, pasti Tiong Ji suka menurut kepada tuanku,
apakah ini bukan akan lebih baik?"
Cin Bok Kong memang suka pada Kong-cu Tiong Ji, dia jadi girang sekali setelah
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar ucapan Pi The Hu, maka segera dia perintahkan Tay-hu Leng Ci ikut Pi The Hu
pergi membawa bingkisan ke negeri Chin, dengan maksud hendak memikat Lu I Seng dan
Kiok Peng. Ketika Pi The Hu diutus ke negri Cin, Kiok Peng memberi saran pada Raja Chin Hui
Kong, supaya Raja Chin membunuh Li Kek, karena dia mendapat laporan Li Kek berniat
mengangkat Tiong Ji menjadi Raja.
"Jika benar dan Tiong Ji menyerang dari luar sedang Li Kek menyambut dari dalam,
pasti berbahaya sekali bagi kedudukan Tuanku!" kata Kiok Peng menghasut.
Tanpa pikir lagi Chin Hui-Kong menyatakan setuju akan membunuh Li Kek, dan dia
menyuruh Kiok Peng melakukan pembunuhan itu.
Kiok Peng segera mengunjungi Li Kek. Kepada Li Kek, Kiok Peng bilang,"karena kau
membinasakan He Ce, Tok Cu dan Sun Sit, maka sekarang Chin Hui-Kong hendak
menghukumanmu!" kata Kiok Peng. "Aku singkirkan ketiga orang itu untuk
kepentingan Cu- kong! Sekarang Cu-kong sudah menjadi Raja, mengapa bukan diberi hadiah malah mau
dihukum?" kata Li Kek membela diri.
"Cu-kong juga bilang, jika bukan kau yang membantu pasti dia tidak akan menjadi
Raja. Maka itu beliau juga tidak melupakan jasamu itu," sahut Kiok Peng. "Tetapi . . .
tetapi kau dengan Cu-kong itu urusan pribadimu! Sekarang kau boleh pilih mau mati dengan
cara apa, agar jangan sampai algojo yang melaksanakannya!"
Li Kek sadar sekalipun mau adu bicara bagaimana pun, pasti tidak akan berhasil,
maka dia segera cabut pedang di pinggangnya terus bunuh diri. Meninggalnya Li Kek telah
membuat semua pembesar tidak senang, terlebih Ki Ki, Kiong Hoa, Ke Hoa, Tiauw Coan dan
yang lain. Mereka mencaci dan menista Raja Chin kejam dan biadab. Ketika Chin Hui- Kong
tahu, dia berniat membinasakan mereka. Tetapi Kiok Peng mencegahnya,
"Lebih baik cari dulu kesalahannya." kata Kiok Peng.
Sementara itu Pi The Hu telah pulang, dia menghadap Chin Hui- Kong untuk
melaporkan hasil pekerjaannya. Kemudian baru dia ajak Leng Ci menghadap, untuk menyerahkan
surat balasan dan barang bingkisan dari Raja Cin.
Chin Hui-Kong membuka dan melihat surat itu, isinya menggembirakan hatinya.
Karena Raja Cin dengan sangat manis tidak membicarakan panjang masalah lima kota itu. Hanya
dalam surat itu Raja Cin minta agar Kiok Peng dan Lu I Seng datang ke negeri Cin untuk
diajak berunding. Bukan main girangnnya Chin Hui- Kong, segera dia perintahkan Lu I Seng dan Kiok
Peng pergi ke negeri Cin untuk berunding dengan Raja Cin. Tetapi dua pembesar ini
cerdik, sebelum menyatakan siap memenuhi perintah atasannnya, mereka berunding dulu
dengan rekannnya. "Kedatangan utusan Cin ini sangat mencurigakan, aku rasa mereka
bermaksud kurang baik," kata Kiok Peng. "Bingkisan mereka banyak dan ucapan manis, boleh
jadi mereka hendak memancing kita, maka jika kita pergi ke Cin, niscaya kita akan
dapat susah." "Ya, aku duga Cin baik pada Chin tidak akan sampai begini," sahut Lu I Seng
sambil manggut. "Ah, ini pasti ulah Pi The Hu yang sudah mendengar kematian Li Kek,
maka dia khawatir dirinya juga tidak akan luput dari kematian, maka dia mengatur siasat
ini dengan Raja Cin, supaya Raja Cin membunuh kita, kemudian dia mengadakan huru-hara."
"Betul, dugaan sangat tepat!" kata Kiok Peng. "Pi The Hu dan Li Kek satu
kelompok, jika Kek dibunuh, bagaimana The Hu tidak ketakutan" Tetapi sekarang semua pembesar
sebagian besar konco-konco Li dan Pi, maka kita harus menyelidik dengan hati-hati
gerakkan mereka. Sekarang kita minta utusan Cin itu pulang lebih dulu, bilang saja kita akan
menyusul belakangan, yaitu begitu kita sudah beres dengan urusan pemerintahan."
Lu I Seng setuju dengan pendapat rekannnya. Begitulah mereka berdua diam-diam
menemui Raja Chin untuk berunding.
Sesudah mendengar laporan Lu dan Kiok, Raja Chin Hui-kong langsung setuju, lalu
mempersilakan Leng Ci pulang duluan ke negeri Cin,untuk memberi kabar pada Raja
Cin. Dengan lasan urusan di negeri Chin belum beres, dia minta tempo sedikit . Baru
Raja Chin akan mengutus Lu dan Kiok datang ke negeri Cin.
Leng Ci tidak bisa memaksa, apa boleh buat dia pamit dan kembali ke negeri Cin.
Dengan diam-diam Lu dan Kiok memerintahkan orangnya yang dapat dipercaya, supaya
setiap malam bersembunyi di dekat gedung Pi The Hu untuk mengintai gerak-
geriknya. Sekian lama Pi The Hu melihat Lu dan Kiok masih belum juga mau pergi ke negeri
Cin, dengan diam-diam dia undang Ki Ki, Kiong Hoa, Ke Hoa, Tiauw Coan. Mereka
berkumpul dan entah apa yang dibicarakan, sampai pukul 5 pagi orang-orang itu baru pulang.
Mata-mata Kiok Peng segera melaporkan hal itu pada tuannya, seperti yang telah
dilihatnya. Kiok Peng menduga pembicaraan mereka pasti mengenai pengkhianatan, maka tidak
ayal lagi dia pergi dan berunding dengan Lu I Seng. Sesudah berunding seketika lamanya,
mereka mengambil putusan segera mengeluarkan perintah untuk mengundang Touw Gan I.
Tidak berapa lama Touw Gan I sudah datang menghadap.
"Bahaya sedang mengancammu, bagaimana kau tenang-tenang saja?" kata Kiok Peng.
Touw Gan I terkejut, dengan wajah pucat dia bertanya:, "Bahaya apa,Tay-hu?"
"Dulu kau telah membantu Li Kek membinasakan dua raja yang masih kecil, sekarang
Li Kek sudah dihukum mati, kau juga pasti akan mendapat giliran. Tetapi karena kami
ingat kau berjasa, kami tidak tega melihat kau mendapat bencana, maka kami segera
memberitahumu." Touw Gan I jadi ketakutan. Dia minta tolong supaya bisa luput dari hukuman.
"Kemarahan Cu-Kong sulit dicegah, kami tidak yakin bisa memintakan ampun
untukmu," kata Kiok Peng. "Cuma satu cara, mungkin kau bisa bebas...."
Touw Gan I segera berlutut dan bertanya. "Bagaimana caranya?" tanya Gan I.
Kiok Peng dengan suara perlahan berkata, "Kau harus menyingkirkan konco Li Kek,
yaitu Pi The Hu. Kami dengar dia berniat hendak membuat huru-hara. Dia mau menyingkirkan
Cu- Kong dan mengangkat Tiong Ji menjadi raja. Kau pura-pura ketakutan, dan minta
diajak bersekongkol dalam gerakan mereka. Jika kau sudah memperoleh rahasia mereka, kau
siarkan tentang kejahatannnya. Bukan saja dosamu akan diampuni kau juga akan dinaikan
pangkat dan diberi hadiah!" Hasutan Kiok Peng menarik hati Touw Gan I, yang tadi begitu ketakutan, sekarang
girang sekali, "Karena pertolongan Tay-hu, aku selamat, aku siap melaksanakan tugas
itu. Tetapi aku tak pandai bicara...." kata Touw Gan I.
"Jangan khawatir, akan aku ajari," kata Lu I Seng.
Kemudian Lu I Seng mengajari apa yang harus dikerjakan oleh Tuw I Gan,
Malam itu juga Touw Gan I pergi menemui Pi The Hu dan mengatakan dia akan
menyampaikan pesan rahasia.
Pi The Hu menyuruh orangnya memberi tahu Touw, karena sedang mabuk arak dan
sudah tidur, Pi tak mau menemuinya. Touw Gan I tidak percaya, dengan pura-pura sedang
punya urusan penting, dia masuk ke dalam. Terpaksa Pi The Hu menerimanya. Touw Gan I
berlutut di depan Pi The Hu, dan berkata seperti orang yang ketakutan, "Tay-hu tolong
selamatkan selembar jiwaku ini."
Bab 20 Pi The Hu jadi terkejut. "Eh ada apa ini, mengapa kau berkata begitu?" tanya Pi.
"Cu-Kong menyangka aku membantu Li Kek membinasakan He Ce dan Tok Cu, dia hendak
menjatuhkan hukuman padaku, sekarang bagaimana baiknya?"
"Lu dan Kiok yang memegang kekuasaan, mengapa kau tidak minta pertolongan
mereka?" kata Pi The Hu. "Aku hendak dihukum, semua itu ulah kedua jahanam itu!" kata Youw Gan I. Jika
bisa aku ingin menelannya, apa gunanya minta tolong pada mereka?"
"Lalu apa maumu?"
"Pangeran Tiong Ji sangat baik, orang terpelajar semua suka membantu dia, semua
rakyat negeri pun ingin dia yang menjadi raja. Selain itu Raja Cin juga benci pada raja
yang sekarang. Karena dia melanggar janji. Jika mau apa saja boleh Tay-hu perintahkan
aku, misalnya menemui Pangeran Tiong Ji. Untuk membujuk Kong-cu Tiong Ji melawan
dengan kekuatan dari dua negeri Cin dan Ek mengusir Chin Hui-kong!"
Mendengar ucapan Touw, Pi The Hu kaget. Tetapi dia tetap tidak segera
mempercayai kata- kata Touw. Tetapi Touw Gan I terus berusaha meyakinkan Pi The Hu yang akhirnya
terjebak juga. "Apa benar kau punya niat seperti itu?" kata Pi The Hu dengan hati berdebar.
Touw Gan I gigit salah satu jari tangannya, sehingga mengeluarkan darah, dia mengangkat
sumpah. "Jika aku berhati serong, biarlah seluruh kaum keluargaku habis seluruhnya!"
kata Touw Gan I. Melihat sikap Touw Gan I yang sungguh-sungguh, Pi The Hu baru yakin.
"Besok aku akan mengadakan pertemuan," kata Pi The Hu akhirnya. "Nanti masalah
ini akan kami putuskan." Pada esok malamnya, Touw Gan I pergi kembali ke rumah Pi The Hu, di sana dia
melihat Ki Ki, Kiong Hoa, Ke Hoa dan Tiauw Coan sudah sampai lebih dulu, dan ada lagi Siok
Kian, Lu Hu, Tek Kiong dan Tian Ki, yaitu kerabat Pangeran Sin Seng, dengan Pi The Hu dan Touw
Gan I jumlahnya sepuluh orang. Di situ mereka mengatur meja sembayang dengan
minum darah mengangkat sumpah, bahwa sama-sama akan mengangkat Pangeran Tiong Ji
menjadi raja. Sesudah mengangkat sumpah, Pi The Hu mengajak kawan-kawannnya minum arak, sampai
semuanya mabuk baru berpisah pulang ke masing-masing rumahnya. Kejadian ini
diam-diam oleh Touw Gan I dilaporkan pada Kiok Peng. Kiok Peng jadi girang, dengan muka
manis dia berkata. "Kalau cuma kau punya omongan saja tidak ada buktinya, maka kau harus
mendapatkan surat Pi The Hu, dengan demikian baru bisa jatuhkan hukuman
kepadanya." Esok malamnya Touw Gan I datang lagi ke rumah Pi The Hu. Kebetulan Pi ingin
mengirim surat untuk Pangeran Tiong Ji. Surat itu memang sudah lama disediakan oleh Pi
The Hu. Dalam itu sudah dicantumkan sepuluh nama, dan sembilan orang sudah membubuhkan
tanda tangannya, cuma tinggal Touw Gan I seorang yang belum menanda tangani surat itu.
Touw Gan I mengambil pit dan membubuhkan tanda tangannya. Pi The Hu segera
memasukkan surat itu ke dalam sampul dan segera ditutup dengan rapih, kemudian
diserahkan pada Touw Gan I, serta dipesan harus berhati-hati jangan sampai
rahasia itu bocor. Touw Gan I girang karena sekarang dia telah mendapatkan bukti yang diinginkan.
"Mampuslah kalian!" pikir Touw Gan I.
Begitulah, sekeluarnya dari rumah Pi The Hu, Touw segera menuju ke rumah Kiok
Peng dan dia serahkan surat itu. Setelah Kiok Peng membuka dan memeriksa surat itu, dia
menjadi girang sekali, lalu dia suruh Touw Gan I bersembunyi di dalam rumahnya, sedang
surat itu ditaruh di dalam tangan bajunya. Dengan tidak ayal lagi dia temui Lu I Seng.
Mereka pergi menemui Kok-kiu Kek Shia, untuk melaporkan adanya gerakan rahasia itu.
"Jika tidak segerea menyingkirkan orang-orang yang hendak berkhianat itu, maka
negara akan kacau!" kata Lu I Seng.
Malam hari itu juga Kek Shia pergi mengetuk pintu istana, setelah berjumpa
dengan Raja Chin Hui- Kong, dia segera menceritakan bahwa Pi The Hu dan kelompoknya hendak
berkhianat, maka ia minta besok pagi jika Chin Hui-Kong bersidang di istana
boleh langsung menjatuhkan hukuman pada mereka. Buktinya adalah surat itu.
Esok harinya, Chin Hui- Kong mengadakan sidang di istana, sedang Kiok Peng dan
Lu I Seng sudah menyembunyikan beberapa orangnya di bagian dalam istana. Sesudah semua
pembesar memberi hormat, Chin Hui Kong segera memanggil Pi The Hu menghadap.
"Aku tahu kau hendak menyingkirkan aku untuk mengangkat Pangeran Tiong Ji!"
begitu kata Chin Hui-Kong dengan geram. "Sekarang aku mau tanya hukuman apa kau inginkan?"
Ketika Pi The Hu mau menyahut, Kiok Peng sudah segera mencabut pedangnya dan
berteriak. "Kau memerintahkan Touw Gan I membawa surat untuk mengundang Tiong Ji, untung
rejeki Rajaku besar, Touw Gan I sudah tertangkap di luar kota dan kami mendapatkan
surat itu! Orang yang ikut berkhianat berjumlah sepuluh orang! Sekarang Touw Gan I sudah
mengaku, kau tidak usah banyak bicara lagi!"
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chin Hui-kong segera melemparkan surat itu di atas meja. Lu I Seng segera
mengambilnya maka sesuai yang namanya tertulis di situ, dibacakan satu persatu. Secara
serempak diadakan penangkapan besar-besaran. Di antara para penanda tangan hanya Kiong Hoa yang
tinggal di rumah tidak datang ke istana, tetapi dia juga disuruh ditangkap.
Delapan menteri yang ada di situ jadi saling pandang dan kaget tidak mengira
rahasia mereka telah bocor. Mereka sudah tidak punya harapan akan lolos dari kematian.
Chin Hui-Kong segera memanggil algojo untuk mengggiring delapan orang itu dibawa
keluar istana untuk ditebas batang lehernya. Sementara itu Kiong Hoa yang ada di
rumahnya setelah mendengar Pi The Hu dan yang lain-lain sudah dihukum mati, dia segera datang ke
istana untuk menerima hukuman mati, sehingga tanpa ditangkap lagi dia menyerahkan diri.
Chin Hui-Kong yang memang kejam segera mengeluarkan perintah untuk menghukum
mati Kiong Hoa. Anak Pi The Hu, Pi Pa namanya, ketika mendengar ayahnya sudah
dibunuh, dengan tidak ayal lagi dia segera pergi ke negeri Cin. Rupanya Chin Hui-Kong
masih penasaran, segera hendak membasmi kaum Li, Pi dan lain-lain kaum keluarganya.
Tetapi untung kekejaman Chin Hui-Kong bisa dicegah oleh Kiok Peng, sehingga Chin Hui-
Kong membatalkan niatnya. Ia mengangkat Touw Gan I menjadi Tiong-tay-hu serta diberi
hadiah sawah di Hui-kui tiga ratus petak.
Pi Pa yang lari ke negeri Cin lalu menghadap pada Raja Cin Bok-kong, dia
ceritakan apa yang sudah terjadi, dan dia minta supaya Raja Cin Bok-kong mengerahkan pasukan perang
menyerang ke negeri Chin. Tetapi Kian Siok dan Pek Li He menyatakan tidak
setuju. "Jangan Tuanku, jika Tuanku memerangi Chin, sama juga Tuanku membantu menteri
memerangi rajanya. Ini jadi kurang baik di mata para raja. Kita tunggu saja
sampai di negeri Chin timbul kekacauan. Saat itu baru kita serang mereka!" kata Kian Siok.
Raja Cin Bok- Kong menurut dia tidak setuju pada usul Pi Pa, tetapi Pi Pa
dipakai dan bekerja menjadi menteri di negeri Cin.
*** Pada tahun itu, Ong-cu Tay, yaitu saudara tiri Baginda Siang-ong, telah memberi
suap pada bangsa Jiong, yang disuruh menyerang ke Kota-raja, karena ia berniat hendak
merebut tahta kerajaan. Tetapi Baginda Siang-ong segera minta bantuan pada semua Raja muda.
Cin Bok-kong, Chin Hui-kong dan Raja-muda yang lain datang menolong, sedang Cee
Hoa- kong juga memerintahkan pada Koan Tiong supaya mengerahkan pasukan perang untuk
melabrak bangsa Jiong. Raja Jiong takut pada tentara Cee yang sangat kuat, juga terhadap para Raja-muda
yang datang membantu, lalu mereka mundur dan minta ampun pada Baginda Siang-ong. Raja
bangsa Jiong pun menjelaskan kedatangannnya atas anjuran dari Ong-cu Tay.
Baginda mengampuni Raja bangsa Jiong, tetapi Ong-cu Tay segera diusir keluar
dari daerah Ciu. Baginda ingat pada Koan Tiong yang berpahala dan telah menetapkan kedudukannya
dan sekarang kembali berjasa sudah menalukkan bangsa Jiong, maka segera diadakan
pesta besar untuk menghormati Koan Tiong.
Tetapi Koan Tiong tidak berani menerima kehormatan itu, Koan Tiong memberi
alasan, dia tidak mau melebihi pangkat dua pejabat negara. Sesudah Baginda memaksa sampai
berulang- ulang, apa boleh buat Koan Tiong cuma terima saja aturan He-keng yang dijalankan
untuk menghormatinya. Sehabis pesta dirayakan, Koan Tiong segera pamit pada Baginda dan terus pulang
ke negri Cee. Pada musim Tang pada tahun juga, Koan Tiong sakit. Waktu itu Leng Cek dan
Pin Si Bu semua sudah meninggal dunia.
Cee Hoan-kong merasa sangat berduka, dia sendiri pergi menengok Koan Tiong yang
sedang sakit, dia lihat perdana mentri itu kurus sekali.
"Tiong-hu, mengapa sakitmu sampai begini hebat?" ratap Cee Hoan-kong sambil
memegang tangan Koan Tiong, "seandainya kau sampai tiada, harus diserahkan pada siapa
pemerintahan di negeri Cee?" "Pada Leng Cek," sahut Koan Tiong sambil menghela napas.
"Selain Leng Cek, siapa lagi yang boleh dipakai" aku pikir hendak memakai Pauw
Siok Gee, apa kau pikir boleh?"
"Pauw Siok Gee memang seorang yang budiman, cuma sayang dia jangan diberi
kedudukan di pemerintahan. Dia seorang yang terlalu menilai kebaikan dan kejahatan terlalu
tegas. Jika suka pada kebaikan memang bagus, tetapi jika membenci kejahatan keterlaluan,
siapakah yang akan taat kepadanya" Tegasnya, sekali saja dia melihat kejahatan orang,
seumur hidupnya dia tidak lupakan. Ini keburukan tabiatnya." kata Koan Tiong.
"Kalau Sek Peng, bagaimana?"
"Hampir boleh. Ia tidak malu untuk bertanya pada bawahan, meskipun sedang di
rumah dia tidak melupakan pekerjaan negeri."
Sehabis berkata begitu, Koan Tiong menghela napas, lalu berkata pula.
"Cuma sayang Allah menghidupkan Sek Peng, cuma untuk menjadi lidahnya I Gouw.
Jika badannya sudah mati, di manalah lidahnya bisa tinggal tetap, maka aku khawatir
jika Tuanku memakai Sek Peng tidak bisa lama."
"Kalau begitu, apakah Ek Ge boleh dipakai?"
"Tuanku meski tidak bertanya pun, hamba hendak mengatakan begini. Ek Ge, Si
Tiauw dan Kay Hong, tiga orang itu, harus Tuanku jauhi mereka."
"Ek Ge memasak daging anaknya untuk disuguhkan kepadaku, jelas dia mencintaiku
terlebih dari kepada anaknya, apakah orang ini masih harus dicurigai?"
"Sifat orang biasanya lebih menyayangi anaknya, jika anaknya saja tega dia
korbankan, bagaimana dengan Tuanku?" kata Koan Tiong.
"Si Tiauw rela menyerahkan gedungnya dan merawat aku dengan telaten, jelas dia
mencintaku lebih dari kepada dirinya, apakah dia juga masih harus dicurigai?"
tanya Cee Hoan-kong. "Semangat orang lebih diperlukan untuk dirinya sendiri, manakala dirinya sendiri
tak dihiraukannnya, bagaimanakah sikapnya terhadap Tuanku nanti?" kata Koan Tiong.
"We Kong-cu Kay Hong telah meninggalkan gelar Si-cu (Putera Mahkota) dan
berhamba kepadaku, sehingga ayah dan ibunya meninggal dunia, dia tidak pergi
menjenguknya. Ini jelas sekali dia mencintaiku terlebih dari kepada ayah dan ibunya, apakah ia juga
harus dicurigai?" *** Raja Cin Bok-kong setuju pada saran itu, segera dia keluarkan perintah untuk
memberi izin menjual beras pada orang Chin. Beberapa laksa karung beras segera diangkut di
sungai Wi- sui dan dibawa masuk ke negeri Chin. Atas izin Raja Cin Bok-kong yang murah
hati, rakyat negeri Chin tidak ada yang tidak bersyukur dan berterima kasih.
Pada lain tahun di musim Tang, di negri Cin dilanda musim paceklik, tetapi di
negeri Chin, tanaman gandumnya sangat subur. Raja Cin Bok-kong segera memerintahkan Leng Ci
untuk minta membeli gandum pada Chin. Semula Raja Chin Hui-kong hendak memerintahkan
mengeluarkan gandum yang ada di Hoa-say untuk dijual pada negeri Cin, tetapi
niat itu segera dicegah oleh Kiok Peng. "Tuanku menjual makanan pada Raja Cin, apakah Tuanku juga hendak menyerahkan
tanah kepadanya?" kata Kiok Peng yang dengki ini.
"Tidak, aku cuma mau menjual makanan saja," jawab Chin Hui-kong. "Aku tidak mau
memberikan tanah." "Apa sebabnya Tuanku menjual makanan pada mereka?" kata Kiok Peng.
"Untuk membalas kebaikan Raja Cin."
"Tuanku menjual makanan dengan anggapan Cin sudah berbuat kebaikan pada Tuanku,
sedang dulu dia mengantarkan Tuanku masuk ke negeri Chin, itu juga kebaikannya
malah sangat besar, lalu apa gunanya Tuanku melupakan yang lebih besar dan membalas
yang kecil?" "Tetapi kita harus ingat tahun lalu, ketika negeri kita ditimpa paceklik, dan
Tuan memerintahkan hamba membeli beras pada Cin," kata Keng The, "Raja Cin segera
setuju dan tidak menolak menjual makanannya pada kita. Tindakan mereka sangat bijaksana
sekali. Sekarang jika kita tidak mengizinkan mereka membeli makanan dari kita, niscaya
orang Cin akan sakit hati kepada kita."
"Ketika Cin menjual makanannya pada kita, bukan maksud baik. Tetapi mereka
mengharap kita menyerahkan lima kota yang kita janjikan pada mereka!" kata Lu I Seng.
"Jika dulu mereka tidak mengizinkan kita membeli beras, Chin akan sakit hati
pada Cin. Memberi makanan dan tidak menyerahan tanah, maka tetap Cin akan membenci pada
kita! Maka apa gunannya kita jual makanan pada mereka?"
"Merasa beruntung atas kecelakaan orang lain, bukan suatu kebajikan, sehingga
budi kebaikan mereka dulu jadi sia-sia saja," kata Keng The. "Jika kita tidak punya
kebajikan dan keadilan, apa dasar kita mengatur negara ini?"
"Ucapan Keng The benar!" kata Han Kan. "Seandainya tahun lalu Cin tidak izinkan
kita membeli beras, apa jadinya kita, Tuanku?"
"Tahun lalu Allah menjatuhkan bahaya kelaparan pada negeri Chin, untuk memberi
kesempatan yang baik pada negeri Cin," kata Kek Shia dengan suara nyaring,
"tetapi Cin sudah tidak menggunakannya. Sebaliknya mereka malah mengizinkan kita membeli
beras mereka. Jelas mereka bodoh! Sekarang Allah menurunkan bahaya kelaparan kepada
negeri Cin untuk memberikan kesempatan baik pada negeri Chin. Mengapa bolehnya negeri
Chin melanggar kehendak Allah, dan tidak mau bergerak" Maka menurut pendapat hamba,
lebih baik kita membuat perjanjian dengan Raja Liang. Dengan menggunakan kesempatan
yang baik ini kita serang negeri Cin, kemudian kita bagi daerahnya dengan Raja Liang,
ini hamba rasa jalan yang paling menguntungkan bagi kita."
Akhirnya Raja Chin Hui-kong mengambil keputusan menuruti usul Kek Shia, dia
menolak menjual bahan makanan pada negeri Cin, dia katakan pada Leng Ci, utusan Cin
dengan alasan beras dan makanan hanya cukup untuk dipakai di negeri Chin, maka dia tidak bisa
menjual kepada Cin. Dengan sangat mendongkol Leng Ci pulang ke negeri Cin, dia laporkan pada
rajanya, bukan saja Chin tidak mau menjual makanan mereka, bahkan Chin malah akan berserikat
dengan negeri Liang, hendak mengerahkan angkatan perang menyerang ke negeri Cin.
"O, mengapa orang sampai begitu tidak tahu aturan!" kata Raja Cin Bok-kong
dengan sangat marah. "Aku harus melabrak lebih dahulu negeri Liang, kemudian baru membasmi
negeri Chin!" Pek Li He memberi saran sebelum pasukan Chin datang menyerang, lebih baik
didahului diserang. "Apa alasan Tuan?" tanya Ci Bok-kong.
"Karena negeri Chin sebuah negeri besar sedangkan negeri Liang negeri kecil,
apabila yang besar sudah dikalahkan, pasti yang kecil dengan gampang bisa dijatuhkan." kata
Pek Li He. Raja Cin Bok-kong setuju pada saran Pek Li He, lalu dia tinggalkan Kian Siok dan
Yu I untuk membantu Pangeran Eng menjaga negeri Cin. Dia memerintahkan Beng Beng Si
memimpin tentara maju meronda di perbatasan negeri, untuk menjaga apabila ada kaum Jiong
yang datang menyerang, sedang Raja Cin Bok-kong sendiri dengan mengajak Pek Li He
memimpin pasukan induk, dan didampingi oleh Se Kip Sut dan Pek It Peng. Kong-sun
Ci memimpin pasukan kanan, Kong-cu Ci memimpin pasukan kiri, dengan membawa empat
ratus kereta perang menyerang ke negeri Chin.
Pembesar negeri Chin yang menjaga tempat di sebelah Barat, segera mengirim
laporan kepada Raja Chin Hui-kong tentang adanya serangan dari negeri Cin ini. Raja Chin
Hui-kong segera mengerahkan enam ratus kereta perang, dan memerintahkan Kiok Pouw Yang,
Ke Pok Touw, Keng The dan Ngo Sek memimpin pasukan kiri dan kanan, sedang Raja Chin
Hui- kong sendiri bersama Kek Shia memimpin pasukan induk, Touw Gan I menjadi Sian-
hong (Pemimpin Pasukan Pelopor), berangkat dari kota Kang-ciu menuju ke jurusan
Barat. Sementara itu pasukan Cin telah menyeberangi sungai dan menyerang dari arah
Timur, tiga
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali mereka berperang tiga kali juga mereka menang, semua panglima Chin telah
kabur karena tidak sanggup mempertahankan tempat yang mereka jaga, sehingga tentara
Cin maju terus sampai ke Han-goan dan mendirikan pesinggahan di sana.
Ketika Raja Chin Hui-kong mendapat kabar pasukan Cin sudah maju begitu jauh, dia
jadi kaget dan khawatir, sekira sepuluh li lagi ke Hangoan, dia perintahkan
pasukannnya mendirikan peristirahatan dan menyuruh Han Kan pergi mencari keterangan berapa
besar pasukan Cin itu. Selang tidak berapa lama Han Kan sudah kembali, dia memberi tahu. "Meskipun
pasukan Cin cuma terdiri dari tiga ratus kereta perang, tetapi pasukan itu sangat tangguh
dan angker kelihatannya.: kata Han Kan.
Raja Chin Hui-kong segera memerintahkan Han Kan maju ke depan barisan Cin untuk
menantang perang, dengan kekuatan 600 kereta perangnnya, pasukan Chin menyerbu.
Menurut perkiraan jika pasukan Cin tidak segera mundur, mereka akan menderita
kerusakan berat. Ancaman ini sedikit pun tidak membuat Raja Cin Bok-kong jadi takut, malah dia
tertawa terbahak-bahak. Dia perintah Kong-sun Ci segera menghadapi tantangn musuh itu.
"Apa yang kau inginkan, ketika minta diantar untuk menjadi raja, kami turuti.
Ketika paceklik mau membeli beras kami ladeni. Sekarang kalian ingin berperang, masakan tak kami
lawan!" kata Kong-sun Ci. Ucapan Kong-sun Ci membuat Han Kan malu bukan main, segera dia mundur dan
melapor pada Raja Chin Hui-kong. Mendengar laporan itu Chin Hui-kong menjadi marah, dia
majukan pasukan perangnya untuk menghadapi pasukan Cin.
Waktu Pek Li He sedang ada di tempat yang tinggi, dari sana dia mendapat
kenyataan sesungguhnya jumlah tentara Chin sangat banyak. Pek Li He memberi saran.
"Lebih baik jangan dilawan perang dulu." kata Pek Li He.
Tetapi Cin Bok-kong tidak setuju, dia atur barisannya di kaki gunung Liong-bun-
san untuk menunggu kedatangan pasukan Chin. Tidak lama pasukan Chin sudah datang dan juga
segera mengatur barisannya. Kedua barisan sudah langsung berhadapan, dari masing-masing
pasukan bagian tengah segera membunyikan tambur perang dan memajukan
balatentaranya. Touw Gan I mengeluarkan kegagahannya, dengan di tangan memegang tombak yang
beratnya beberapa ratus kati, dia menerjang masuk ke dalam barisan Cin, setiap
bertemu orang Cin dia langsung tusuk dan dibinasakan. Serangan Touw Gan I begitu hebat,
sehingga tentara Cin tidak tahan dan lari simpang-siur. Tetapi sesaat kemudian justru
Touw Gan I yang berpapasan dengan Pek It Peng, yang dengan sengit menangkis serangan Gan I,
sekarang Gan I baru ketemu tandingannya yang setimpal.
Kedua pihak sudah berperang lima puluh jurus lebih belum ada yang merasa lelah,
malah masing-masing jadi geram, lalu melompat turun dari kereta perang dan bertempur
dengan hebat. Akhirnya Touw Gan I segera menahan senjata Pek It Peng dan berkata, "Aku hendak
bertarung denganmu sampai salah satu ada yang mati! Siapa yang minta bantuan
bukan seorang gagah!" "Baik!" sahut Pek It Peng dengan gagah. "Memang aku hendak menangkapmu dengan
tangan kosong, dengan begitu baru boleh disebut orang gagah."
Masing-masing segera memberitahu anak buahnya, agar mereka jangan ikut membantu.
Sesudah menyingkirkan senjatanya, kedua orang itu segera berkelahi dengan
kepalan, dan jadi bergumul hebat di tengah barisan belakang.
Waktu itu Raja Chin Hui-kong melihat Touw Gan I sudah masuk ke dalam barisan
musuh, segera dia perintah Han Kan dan Nio Yu Bi maju memimpin sebagian pasukan
perangnya untuk menerjang ke barisan musuh yang di sebelah kiri, sedang dia sendiri dengan
mengajak Ke Pok Touw dan yang lain-lain menerjang barisan musuh yang di sebelah kanan,
dan berjanji nanti berkumpul di tengah pasukan musuh.
Raja Cin Bok-kong ketika itu melihat tentara Chin di pecah dua, ia pun segera
membagi tentaranya menjadi dua untuk menyambut kedatangan musuh tersebut. Ketika kereta
perang Raja Chin Hui-kong masuk ke dalam barisan Cin, justru ketemu dengan Kong-sun Ci,
dan Chin Hui-kong segera memberi perintah pada Ke Pok Touw melawan berperang.
Tetapi Ke Pok Touw bukan tandingan Kong-sun Ci, baru bertempur belum berapa
lama, Ke Pok Touw sudah sangat kepayahan. Raja Chin Hui-kong yang melihat keadaan kurang
baik, lalu memerintahkan Kiok Pouw Yang agar berhati-hati memegang kendali kereta
perangnya, karena ia sendiri hendak pergi membantu berperang.
Sedikit pun Kong-sun Ci tidak merasa keder, malah dengan suara keras dia
berteriak, "Ayo! Siapa yang pandai berperang boleh maju semuanya!"
Teriakan Kong-sun Ci yang keras bagaikan guntur membuat Kek Shia semangatnya
seolah terbang, dia tengkurap di dalam kereta perang tidak berani menyembulkan
kepalanya. Sedang kuda yang menarik kereta perang Chin Hui-kong pun jadi kaget, dengan tidak
mempedulikan kendali kusir lagi langsung kabur sekencang-kencangnya dan akhirnya kejeblos ke
dalam lumpur. Meski Kiok Pouw Yang mencambuk kudanya dengan sengit, kuda itu tetap tidak bisa
bergerak di lumpur, tidak bisa angkat kakinya. Saat Chin Hui-kong sedang
terancam bahaya, justru dia melihat kereta perang Keng The mendatangi, dia teriaki. "Keng The,
lekas tolong aku!" teriak Chin Hui-kong. "Kek Shia di mana, mengapa kau memanggil hamba?"
tanya Keng The menyindir. "Lekas kemarikan keretamu itu!" teriak Chin Hui-kong dengan tubuh gemetar. Keng
The tidak meladeninnya, lalu membelokkan keretanya dan pergi ke lain jurusan. Kiok
Pouw Yang hendak pergi mencari kendaraan lain, tetapi karena tentara Cin sudah mengepung
sangat rapat, sehingga dia tidak bisa keluar. Di sini Raja Chin Hui-kong sedang
terancam bahaya, sedang di pasukan perang Chin yang lain, Han Kan yang memimpin pasukan perang
menerjang masuk di dalam barisan Cin. Han Kan bertemu dengan Raja Cin Bok-kong
yang dikawal oleh Se Kip Sut, yang segera serang-menyerang.
Setelah bertarung tiga puluh jurus lebih dan belum ketahuan siapa menang dan
kalah, sekonyong-konyong datang Ngo Sek yang memimpin pasukan perang, dan segera
mengeroyok Se Kip Sut. Se Kip Sut tidak sanggup menangkis serangan dua panglima itu, sehingga dia
tertusuk oleh Han Kan dan lantas roboh ke bawah kereta perangnya Melihat hal itu Nio Yu Bi
segera berseru, "Panglima yang roboh sudah tidak berguna! Mari kita orang tangkap Raja
Cin itu!" Han Kan tidak memperdulikan Se Kip Sut lagi, dia mengeluarkan perintah pada
tentaranya untuk mengepung Raja Cin Bok-kong.
Ketika Raja Cin Bok-kong sedang terancam bahaya, dari jurusan Barat segera
kelihatan mendatangi satu barisan orang gagah yang jumlahnya kira-kira tiga ratus orang
lebih, dengan suara keras mereka berseru-seru.
"Jangan ganggu Raja kami!"
Orang-orang itu rambutnya riap-riapan, badannya telanjang, kakinya memakai kasut
rumput, tetapi jalannya begitu cepat sehingga seperti terbang, di tangan mereka semua
memegang golok besar, di pinggang mereka tergantung busur dan anak panah, sehingga mirip
seperti tentara iblis. Begitu mereka sampai, mereka menyerang membuat kalang-kabut
tentara Chin. Panglima Han Kan dan Nio Yu Bi dengan tergopoh-gopoh segera menyambut kedatangan
musuh baru tersebut. Tetapi tidak lama dari jurusan Utara datang seorang yang
melarikan kereta perangnya seperti terbang, orang itu adalah Keng The. Dia menghampiri
pasukan Chin dan berteriak, "Jangan berperang lagi, sebab Cu-kong sudah terkepung oleh
tentara Cin di gunung Liong-bun-san dan sudah terjerumus di tengah lumpur! Ayo, segera tolong
beliau!" Mendengar kabar itu Han Kan dan yang lain-lain tidak ada yang bernapsu lagi
untuk berperang. Mereka meninggalkan kawanan orang gagah itu, lari ke gunung Liong-
bun-san. Tetapi kedatangan mereka sudah terlambat, waktu itu Raja Chin Hui-kong sudah
tertawan oleh Kong-sun Ci, begitu pun Ke Pok Touw, Kek Shia, Kiok Pouw Yang dan yang
lainnya. Mereka semua sudah diikat dan digiring masuk ke dalam pesanggrahan besar.
Alangkah jengkel dan penasarannnya Han Kan dan Nio Yu Bi, mereka buang senjata mereka
menyerahkan diri pada Cin.
Tiga ratus orang gagah sesudah menolong Raja Cin Bok-kong dan Se Kit Sut mereka
pergi. Sementara tentara Cin membasmi tentara Chin, hingga mayat manusia berserakan di
kaki gunung Liong-bun-san seperti gunung, enam ratus kereta perang hanya tinggal dua
bagian saja. Keng The setelah mendengar Raja Chin Hui-kong sudah tertangkap, buru-buru dia
keluar dari barisan Cin, kebetulan dia bertemu dengan Ngo Sek yang tergeletak di tanah
dengan luka berat. Lalu dia angkat dan dinaikan di kretanya dan terus dibawa pulang ke
negeri Chin Sementara itu Raja Cin Bok-kong telah pulang di pesanggrahan besar, setelah
bertemu dengan Pek Li He dia berkata, "Karena aku tidak mendengarkan nasihat Tuan, hampir saja
aku celaka di tangan orang Chin."
Ketika itu 300 orang gagah itu menghadap pada Raja Cin Bok-kong.
"Kalian orang mana" Mengapa kalian bersungguh-sungguh membantuku?" kata Raja
Cin. "Apa Tuanku sudah lupa ketika Tuanku kehilangan kuda?" kata salah seorang di
antara orang gagah itu. "Sebenarnya kami adalah orang yang makan daging kuda itu."
Raja Cin Bok-kong baru ingat, betul dulu dia pernah keluar berburu di gunung
Liang-san, malam harinya dia telah kehilangan beberapa ekor kuda bagus, dia perintahkan
menterinya pergi mencari kuda itu. Ketika itu menteri mencari sampai di kaki gunung Ki-san, di situ terdapat 300
orang pengebun sedang berkumpul makan daging kuda. Tetapi pembesar ini tidak berani
menegur. Dia pulang untuk melapor pada Cin Bok-kong, agar memerintahkan tentara menangkap
mereka. Tetapi Raja Cin Bok-kong segera menghela napas dan berkata, "Kuda-kuda itu sudah
mati, jika karena itu kita membuat orang celaka, niscaya rakyat negeri akan mengatakan
aku lebih menghargai binatang dan merendahkan martabat manusia."
Sesudah itu dia perintahkan orangnya untuk mengambil arak yang baik beberapa
guci dan diperintahkan pergi mengantarkan ke kaki gunung Ki-san untuk dihadiahkan pada
orang desa itu. Semua orang itu merasa kagum sekali atas kebaikan Cin Bok-kong, padahal mereka
mencuri kudanya, bukan dihukum, malah dihadiahi arak bagus untuk menambah kelezatan
daging kuda itu. Sehingga mereka sangat bersyukur dan mengingat budi ini.
Ketika mereka mendengar kabar Raja Cin Bok-kong sedang berperang dengan orang
Chin, mereka datang membantu. Kebetulan waktu itu Cin Bok-kong sedang terkepung musuh.
Cin Bok-kong menghela napas terharu mendengar kisah para petani itu.
"Lihat, petani saja masih punya ingatan untuk membalas kebaikan orang, cuma Raja
Chin saja yang tidak bisa dikatakan manusia!" kata Raja Cin Bok-kong. Raja Cin Bok-kong
bertanya. "Apakah kalian ingin bekerja di pemerintahan?" kata Raja Cin.
"Tidak, Tuanku," jawab mereka.
Raja Cin lalu memberi mereka hadiah uang dan kain sutera. Tetapi orang-orang itu
menolak hadiah itu. Kemudian Raja Cin Bok-kong mengucapkan terima kasih, dan mereka pun
bubar kembali ke tempat mereka.
Ketika Raja Cin Bok-kong memeriksa panglima perangnya, dia hanya kehilangan Pek
It Peng seorang, dia perintahkan beberapa anak buahnya mencarinya. Di suatu tempat dari
dalam sebuah lubang terdengar suara orang merintih, maka mereka memeriksa lubang itu.
Di situ mereka menemukan Pek It Peng dan Touw Gan I, kedua orang gagah itu semula
berkelahi dengan tangan kosong, tidak diduga mereka terjerumus ke dalam lubang. Waktu itu
masing-
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masing sudah kehabisan napas, tetapi tangannya masih saling cengkeraman tidak
mau terlepas. Tentara Cin segera mengangkat mengeluarkan kedua orang itu dan memisahkan
pelukan mereka yang kencang, lalu mereka digotong dan masing-masing diletakkan di atas
sebuah gerobak, terus dibawa pulang ke pesanggrahan besar.
Raja Cin Bok-kong melihat keadaan kedua orang itu terluka parah, Raja Cin
bertanya pada Pek It Peng. "Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Raja Cin.
Tetapi Pek It Peng sudah tidak bisa bicara dan diam saja. Ada orang yang melihat
ketika mereka berdua bertarung, lalu orang itu maju ke hadapan Raja Cin Bok-kong dan
menceritakan dengan jelas, bagaimana hebatnya mereka berdua berkelahi.
"O, ternyata kedua orang ini kuat sekali!" kata Cin Bok-kong memuji. Cin Bok-
kong memandang pada menteri-menterinya dan bertanya.
"Apakah di antara kalian ada yang kenal pada panglima Chin ini?" tanya Raja Cin.
Kong-cu Ci segera menghampiri kereta yang membawa Touw Gan I.
"Dia panglima Touw Gan I namanya." kaya Kong-cu Ci.
"Apakah orang bisa kita pakai?" tanya Cin Bok-kong.
"Dialah yang membunuh Tok Cu dan membinasakan Pi The Hu," sahut Kong-cu Ci.
"Hari ini dia harus dihukum mati!"
Raja Cin Bok-kong setuju pada saran Kong-cu Ci, dia perintahkan algojo menebas
kepala Touw Gan I Kemudian Raja Cin membuka baju sulamnya untuk menutupi tubuh Pek It
Peng, dan diperintah agar Pek Li He membawa panglima itu ke kereta kurung untuk dibawa
pulang duluan ke negeri Cin. Sesudah membongkar pesanggrahan, Cin Bok-kong perintah Kong-cu Ci memimpin
seratus kereta perang mengiringkan Chin Hui-kong, sedang Kek Shia, Han Kan, Nio Yu Bi,
Ke Pok Touw, Kiok Pouw Yang, Kwee Yan dan Kiok Kip, semua rambut acak-acakan dan
berjalan kaki mengikuti rajanya, seperti orang yang sedang mengantar peti jenazah.
Setelah tentara Cin berjalan pulang sampai di batas tanah Yong-ciu (negeri Cin),
Cin Bok- kong segera memerintahkan berhenti dulu, dia kumpulkan semua panglimanya untuk
berunding. "Sesuai kehendak Tuhan aku berbuat kebaikan," kata Cin Bok-kong, "aku berhasil
menaklukan Raja Chin, aku telah mengangkat I Gouw menjadi raja di negeri Chin.
Sekarang itu raja Chin telah melupakan kebaikanku, sama saja dia berdosa kepada Allah.
Maka aku menurut pendapatku hendak membunuh Raja Chin untuk sembahyang. Bagaimana
pendapat kalian?" "Ucapan Tuanku benar sekali!" kata Kong-cu Ci menyatakan setuju.
"Jangan, jangan Tuanku bunuh dia," kata Kong-sun Ci. "Chin ada negeri besar,
kita tawan rajanya pasti rakyatnya jadi benci kepada kita, apalagi jika kita bunuh rajanya,
pasti rakyatnya jadi bertambah gemas pada kita, boleh jadi Chin akan membalas pada Cin, akan
terlebih hebat dari pada pembalasan Cin pada Chin."
"Maksudku bukan hanya membunuh Chin Hui-kong, tetapi kita juga angkat Kong-cu
Tiong Ji menggantikannya," kata Kong-cu Ci pada Cin Bok-kong. "Jika kita bunuh yang jahat
dan menggantinya dengan yang baik, pasti rakyat Chin akan bersyukur kepada kita.
Mengapa mereka harus dendam pada kita?"
"Kong-cu Tiong Ji seorang yang bijaksana, Ayah dan sanaknya dia sayangi. Ketika
Ayahnya meninggal pun, dia tak mengharapkan apa-apa. Aku ragu, apakah dia mau menerima
menjadi Raja Chin, padahal kita membunuh adiknya I Gouw" Tidak ada beda siapapun yang
kita angkat di sana. Seandainya Tiong Ji mau menjadi Raja Chin, pasti dia juga akan
memusuhi kita, negeri Cin karena saudaranya mati di tangan kita. Malah Tuanku membuat
jasa baik Tuanku dulu lenyap." kata yang lain.
"Kalau begitu, usir dia, penjarakan dia atau kembalikan dia ke negerinya, di
antara tiga pilihan itu, yang manakah yang lebih baik?" tanya Cin Bok-kong.
"Memenjarakan dia cuma menyiksa seseorang, untuk kebaikan negeri Cin, apa
gunanya" Mengusir dia pasti akan ada panglima atau menterinya yang akan menyambut
kembali. Hamba rasa, lebih baik kembalikan dia ke negerinya."
"Dengan demikian tidak membuat sia-sia jika waktu dan tenaga kita terbuang sia-
sia saja." "Maksud hamba bukan mengembalikan dia dengan percuma saja. Lebih dulu kita minta
dia menyerahkan lima buah kotamu yang ada di sebelah Timur sungai Hoang-ho, dan
minta puteranya, Pangeran Gi, dijadikan jaminan di negeri kita. Baru kita buat
perjanjian. Dengan demikian seumur-umur Chin Hui-kong tidak berani berbuat macam-macam pada Cin.
Sudah lumrah kerajaan jatuh pada anaknya. Kita baiki Pangeran Gi, hingga turtun-
menurun Raja Chin tunduk pada Cin!" kata Cu Song.
"Pendapat Cu Song sungguh bagus!" kata Cin Bok-kong sambil tertawa.
Segera dia perintahkan orangnya membawa Chin Hui-kong dan ditempatkan di istana
di gunung Leng-tay-san, dengan dijaga oleh seribu orang.
Ketika perintah Raja Cin Bok-kong hendak dijalankan, mendadak kelihatan
mendatangi sekelompok budak istana mengenakan pakaian berkabung. Raja Cin Bok-kong
terkejut, dia mengira terjadi apa-apa pada permaisurinya. Baru saja dia ingin bertanya, itu
budak keraton sudah keburu buka suara. Baru saja Raja Cin Bok-kong hendak bertanya. Budak-
budak itu sudah berkata. "Atas perintah Hu-jin kami disuruh menemui Tuanku!" kata budak-budak itu. "Hu-
jin bilang Thian telah menurunkan bencana, hingga Raja Chin dan Cin bermusuhan. Sekarang
Raja Chin telah ditawan, Hu-jin merasa malu. Jika Tuanku tidak mengampuni Raja Chin,
maka dia ingin mati saja. Semua terserah Tuanku saja!"
Mendengar keterangan itu bukan main kagetnya Raja Cin Bok-kong.
"Sekarang apa yang dilakukan oleh Hu-jin?" tanya Cin Bok-kong.
"Sejak mendengar kabar Raja Chin tertangkap, dia segera berpakaian berkabung"
sahut budak itu, "dia jalan kaki keluar istana, naik ke loteng Cong-tay dan tinggal di sana.
Di kaki loteng dia tumpukkan kayu-kayu bakar kering. Ketika Hu-jin dan puteranya naik maupun
turun, mereka lewat tumpukan kayu kering itu. Jika Raja Chin tiba, Hujin bersama
putranya akan bunuh diri. Ini katanya demi cintanya pada saudaranya, Raja Chin!"
"O, untung Cu Song melarang membunuh Raja Chin!" kata Cin Bok-kong. "jika tidak,
Hu-jin pasti sudah binasa."
Segera dia perintahkan budak membuka pakaian berkabungnya, dia suruh mereka
pulang, "Beri tahu pada Hu-jin Bok-ki, tidak lama lagi akan kuantarkan Raja Chin." kata
Cin Bok- kong. Maka pulanglah para budak itu hendak melapor. Raja Chin Hui-kong ditahan di
gunung Leng Tay-san belum lama, pada suatu hari Kong-sun Ci menemuinya, dia menanyakan
kesehatan Raja Chin. "Tidak lama lagi Anda akan diantarkan pulang ke negerimu!" kata Kong-sun Ci.
"Sebenarnya pembesar Cin ingin membunuh Anda, tetapi karena Permaisuri Rajaku
ingin bunuh diri jika Anda mati, maka Anda dibebaskan. Tetapi dengan syarat kau harus
menyerahkan lima kota yang Anda janjikan dulu, dan jaminkan Pangeran Gi pada
kami. Kau boleh pulang!" Raja Chin Hui-kong girang, dia menghaturkan terima kasih pada Raja Cin yang
murah hati, segera dia perintahkan Kiok Kip pulang ke Chin, untuk memberitahu Lu I Seng
mengenai syarat pemulangannnya. Begitu menerima kabar itu, Lu I Seng datang ke negeri Cin menemui Raja Chin Bok-
kong, dia serahkan peta lima kota serta dilampiri data penduduk, bangunan dan bahan
makanan yang ada di lima kota itu, juga Pangeran Gi diserahkan sebagai jaminan.
"Tetapi mengapa Pangeran Gi tidak ikut datang?" tanya Raja Cin Bok-kong.
"Karena di anatara pembesar Chin belu sepakat semua, maka sementara Pangeran Gi
tinggal dulu di Chin," kata Lu I Seng. "Begitu Rajaku kembali, Pangeran Gi akan segera
kemari!" Ketika Raja Bok-kong menanyakan ketidak cocokan di antara pembesar Chin, oleh Lu
I Seng dijawab. "Atas masalah ini ada dua pendapat, ada yang ingin mengangkat Pangeran Gi
sebagai pengganti Raja Chin, ada yang berharap Raja Chin dibebaskan," kata Lu I Seng.
Chin Bok-kong mengangguk mengerti. Segera dia perintahkan Beng Beng Si
menetapkan batas-batas lima kota, dan menempatkan panglima serta tentara untuk menjaganya.
Kemudian Raja Chin ditempatkan di perbatasan dengan status sebagai Tamu Agung. Sesudah
semua beres Raja Cin Bok-kong memerintahkan Kong-sun Ci mengantarkan Lu I Seng dan
Raja Chin Hui-kong pulang ke negerinya.
Dua bulan lamanya Chin Hui-kong menjadi tawanan di negeri Cin. Di antara
menteri- menterinya yang ikut sengsara semua ikut pulang, kecuali Kek Sia yang karena
sakit telah meninggal di negeri Cin. Tatkala Chin Hui-kong hampir sampai di kota Kang-ciu, Pangeran Gi dengan
mengajak Ho Tut, Kiok Peng, Keng The, Ngo Sek, Su-ma Swat dan Put Te keluar untuk menyambut.
Raja Chin Hui-kong ketika melihat Keng The segera menjadi marah sekali, dia
ingat saat keretanya terperosok di lumpur, Keng The tidak mau menolonginya, sehingga dia
tertangkap, Segera dia panggil Keng The menghadap, sesudah dia damprat dengan sengit Keng
The akan dihukum mati. Ngo Sek dan Kek Pouw Touw meminta ampun, tetapi Nio Yu Bi yang juga jengkel pada
Keng The, karena ketika hampir Raja Cin Bok-kong hampir terangkap, Keng The
menyuruh dia menolong Raja Chin Hui-kong, sehingga Raja Cin lolos. Chin Hui-kong
memutuskan Keng The harus dihukum mati.
Sesudah Chin Hui-kong ada di istana, dia memerintahkan pada pangeran Gi agar
ikut bersama Kong-sun Ci ke negeri Cin, Raja Chin minta agar jenazahnya Touw Gan I dikirim ke
negeri Chin untuk dikuburkan. Pada suatu hari...... Raja Chin Hui-kong memberitahu Kiok Peng, bahwa dia khawatir Tiong Ji menyerang
ke negerinya, "Kalau begitu lebih baik kita bunuh saja Tiong Ji," usul Kiok Peng.
"Siapa yang diperintah untuk tugas membunuh dia?" tanya Raja Chin Hui-kong.
"Put Te saja," kata Kiok Peng.
Raja Chin Hui-kong segera memanggil Put Te dan diam-diam diperintah membunuh
Tiong Ji. "Tiong Ji sudah dua belas tahun lamanya menetap di negeri Ek," kata Put Te.
"Dulu Raja Ek memerangi bangsa Kiu-ji, berhasil menangkap dua perempuan bernama Siok-kui dan
Kui-kui, keduanya berparas elok. Kemudian Raja Ek menikahkan Kui-kui dengan Tiong Ji,
sedangkan Siok-kui dinikahkan dengan Tio Swi. Masing-masing melahirkan anak lelaki. Maka
menurut hamba karena Tiong Ji sudah hidup tentram, dia pasti tidak bermaksud mengganggu
kita lagi. Jika Tuanku tetap ingin membunuhnya, jangan gunakan angkatan perang. Jika kita
serang dia, pasti Raja Ek akan membantu dia. Kita kirim saja pembunuh bayaran untuk
membunuhnya!", kata Put Te. Raja Chin Hui-kong setuju, Put Te dihadiahi uang emas dan diperintahkan mencari
pembunuh bayaran, jika berhasil akan diberi hadiah besar. Pribahasa mengatakan jika tidak
mau ada yang mengetahui, jangan lakukan perbuatan itu, jika tidak mau ada yang
mendengar, jangan bicarakan masalah itu. Sekalipun Raja Chin Hui-kong cuma menyuruh Put Te
seorang, ternyata ada juga budak yang tahu rahasia ini.
Ketika Ho Tut mengetahui Put Te dengan menghambur-hamburkan uang mencari orang
gagah, Ho Tut jadi curiga. Diam-diam dia menyelidikinya. Ho Tut ipar raja
almarhum, dia banyak kenal dengan para budak istana. Tidak heran keterangan yang dia cari
segera didapatkan. "Alangkah kagetnya Ho Tut ketika mengetahui rencana pembunuhan terhadap Tiong Ji
tersebut. Maka segera dia menulis surat rahasia dan mengirimkannya kepada Tiong
Ji di negeri Ek. Ho Tut ketakutan setengah mati. Pada hal di negeri Ek, Tiong Ji
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
santai dan sedang berburu binatang liar. Pada suatu hari....... Tiong Ji bersama Raja Ek sedang berburu di tepi sungai Wi-sui, datanglah
seseorang minta bertemu dengan dua saudara Ho. Orang itu mengaku sebagai utusan Ho Tut dari
negeri Chin. Mendengar kabar itu Ho Mo dan Ho Yan terkejut.
"Biasanya Ayah belum pernah mengirim kabar, sekarang mendadak mengirim surat,
pasti ada unrusan penting. " kata Ho Mo.
Segera utusan itu dipanggil menghadap dan dia terima surat dari Ho Tut. Lalu
membuka dan membacanya. "Cu-kong hendak membinasakan Kong-cu Tiong Ji, dia sudah memerintahkan Put Te;
dalam tiga hari mendatang sudah berangkat ke negri Ek dengan mengajak pembunuh bayaran
mereka. Kau berdua, segera beri tahu pada Kong-cu supaya segera menyingkir ke
lain negeri, jika terlambat sedikit saja, niscaya bisa mendapat bencana."
Ho Mo dan Ho Yan sangat terperanjat sesudah membaca surat itu, mereka
memberitahu Tiong Ji. Tapi Tiong Ji merasa sangsi.
"Anak-istriku semua ada di sini, maka di sinilah rumah tanggaku berada, lalu aku
mau pergi ke mana lagi?" kata Tiong Ji.
"Kedatangan kami ke sini, bukan untuk mencari rumah supaya Kong-cu menetap di
sini, tetapi hendak berikhtiar untuk mendapatkan negara," kata Ho Yan. "Karena belum
ada kesempatan, terpaksa menumpang di negeri Ek. Di sini kita sudah terlalu lama dan
sekarang Pu Te datang, seolah dia diutus oleh Allah untuk memaksa Kong-cu pergi ke negara
yang lebih besar!" "Jika kita pergi dari sini, kita mau pergi ke negeri mana?" tanya Tiong Ji.
"Raja Cee meskipun sudah tua, tetapi dia masih menjadi yang terkuat sekarang
ini," kata Ho Yan. "Dia baik pada semua Raja-muda sekalipun Koan Tiong dan Sek Peng sudah
meninggal, di istananya kurang orang yang pandai. Jika Kong-cu ke sana kita tunggu sampai
saatnya tiba untuk kembali ke negeri Chin. Mungkin kita dibantu oleh Raja Cee!"
Tiong Ji setuju atas saran itu. Maka dia pulang untuk memberitahu keluarganya.
"Raja Chin menyuruh orang hendak membunuhku," kata Tiong Ji dengan sedih. "Maka
aku berniat pergi ke negeri besar untuk menyingkirkan diri. Kelak jika ada rejeki,
aku akan berserikat dengan Raja Cin untuk pulang ke negeri Chin. Kau rawat anak kita,
jika sudah 25 tahun aku tidak kembali, kau boleh ikut orang lain."
"Aku tidak dapat menghalangi niatmu," kata Kui-kui. "Jangankan baru 25 tahun,
sekalipun harus seratus tahun, akan kutunggu jika aku ada umur."
Sedang Tiong Ji berkata pada isterinya, Kui-kui, Tio Swi pun meninggalkan pesan
pada Siok- kui. Betapa sedihnya mereka karena harus berpisah.
Esok paginya...... Tiong Ji perintahkan Ouw Siok menyiapkan kereta dan siap akan berangkat.
Saat Tiong Ji sedang mengatur anak buahnya, tiba-tiba datang utusan dari Ho Tut
menyampaikan kabar pada Ho Yan dan Ho Mo, bahwa Pu Te sudah berangkat dan sedang
menuju tempat Tiong Ji. Bukan main kagetnya Tiong Ji, dengan tidak tukar pakaian
lagi bersama dua saudara Ho segera berangkat.
Ouw Siok yang hanya membawa kereta kecil segera menyusul Tiong Ji, dan dia minta
mereka berangkat. Tio Swi dan yang lainnya sudah tidak keburu naik kendaraan, semua
berjalan kaki untuk menyusul. Setelah semua orang berkumpul, Tiong Ji segera bertanya.
"Mengapa Tauw Si tidak ikut?" tanya Tiong Ji.
Di antara anak buah Tiong Ji melapor bahwa Tauw Si telah kabur entah ke mana.
Tiong Ji jadi sangat berduka, karena semua barang berharga miliknya hilang
dibawa kabur oleh Tauw Si. Sesudah berjalan setengah hari lamanya Tiong Ji bersama rombongannya berangkat,
Raja Ek baru mengetahuinya. Dia akan membekali uang pada Tiong Ji, tetapi sudah tidak
sempat. Raja Ek mencari tahu, kenapa Tiong Ji pergi dari negerinya. Sesudah tahu, Raja
Ek melakukan penjagaan keras di negerinya.
Ketika Put Te sampai di negeri Ek, Put Te ditahan dan diperiksa. Karena tidak
bisa memberi keterangan yang jelas, Pu Te tidak diizinkan masuk ke negeri Ek. Terpaksa Put Te
kembali ke negeri Chin dan memberitahu hal itu pada Raja Chin Hui-kong. Raja Chin tidak
bisa bilang apa-apa, melainkan cuma menyesal dan penasaran.
Tatkala Tiong Ji dan menteri-menterinya sudah keluar dari perbatasan negeri Ek,
karena tidak punya ongkos di perjalanan, mereka sangat menderita sekali. Selang beberapa
hari, mereka sampai di perbatasan negeri We.
Pembesar negeri We yang menjaga perbatasan negerinya segera menahan Tiong Ji dan
rombongannnya. "Kalian semua mau ke mana?" tanya si penjaga.
"Ini majikan hamba, Pangeran Tiong Ji. Karena ada bahaya, maka kami ingin
mencari tempat aman." jawab Tio Swi. "Tujuan kami ke negeri Cee maka kami mohon diberi jalan."
Penjaga perbatasan tidak keberatan, Tiong Ji dan rombongannya diizinkan masuk ke
negeri We. Sedang dia langsung melapor pada rajanya. Perdana menteri Leng Siok dari
negeri We, berkata pada Raja We Bun-kong.
"Sebaiknya Tuanku menyambut kedatangan Pangeran Tiong Ji dengan manis," kata
Leng Siok. Tetapi Raja We Bun-kong tidak setuju, dia berkata, "Negeriku bertetangga dengan
negeri Couw, sedikit pun aku tidak berhutang budi pada negeri Chin. Sekalipun Raja We
dan Raja Chin satu she (marga), tetapi belum berserikat.
"Sekalipun dia melarat, sebagai tamu kita harus menjamunya. Hal itu buang waktu
dan biaya saja. Lebih baik kita usir saja dia dari sini!"
Sehabis berkata begitu, Raja We mengeluarkan perintah, agar Tiong Ji dilarang
masuk ke negeri We. Tiong Ji tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa menahan sabar dan meneruskan
perjalanan. Tetapi Gui Cun dan Tian Kiat menjadi gusar, mereka merasa geram sekali pada
penghinaan Raja We ini. "Raja We tidak punya aturan!" kata Gui Cun pada Tiong Ji.
"Akh, biarkan saja, jangan ambil pusing," kata Tio Swi. "Ular besar atau naga,
jika hilang pengaruhnya seumpama seekor cacing saja. Kong-cu harus tahan sabar saja, meski
orang sudah tidak punya aturan, kita sedang tak berdaya."
"Karena Raja We sebagai Tuan rumah tidak punya aturan, bagaimana kita rampok
saja rakyatnya?" kata Tian Kiat.
"Orang yang merampok namanya penjahat," kata Tiong Ji dengan air mata berlinang-
linang. "biarlah aku sengsara menanggung lapar, aku tidak sudi menjalankan pekerjaan
penjahat." Mendengar ucapan Pangeran Tiong Ji semua anak buahnya terharu bukan main.
Pangeran Tiong dan anak buahnya semuanya belum makan pagi, dengan menanggung
lapar mereka berjalanperlahan-lahan. Tidaklama pagipunsudahmenjadi
siang. Waktu itu mereka sudah sampai di suatu tempat yang disebut Ngo-lok, di sana
mereka melihatsekelompokpetanisedangberkumpulmakannasidi
atasgili-gili. Karena sangat kelaparan, Pangeran Tiong Ji segera memerintahkan pada Ho Yan
menemui para petani itu minta dibagi sedikit makanan.
"Sobat datang dari mana?" tanya salah seorang petani itu.
"Kami dari negeri Chin, itu orang yang ada di atas kereta majikan kami," kata Ho
Yan sambil menunjuk pada Tiong Ji. "Karena kami hendak berjalan jauh dan di sini kami
kekurangan ransum, maka ingin minta sedikit makanan pada kalian."
"Ha, ha, ha! He, he, he!" para petani tertawa semua.
Di antaranya ada yang berkata, "Mengapa seorang laki-laki tidak mampu mencari
makanan sendiri, malah menumpang makan pada kami orang miskin! Kami petani pedusunan,
kami kerja keras baru bisa makan. Mana kami punya makanan lebih?"
Ho Yan jadi sangat mendongkol dan malu, tetapi seberapa bisa dia tahan sabar dan
berkata lagi, "Kendati tidak dapat makanan, bisakah kami diberi alat masak."
Salah seorang petani itu mengambil sebongkah tanah sambil tertawa cengar-cengir
dia berikan pada Ho Yan sambil berkata, "Nah, tanah ini kau bikin alat masak."
Gui Cun yang sudah sangat mendongkol atas kekurangajaran petani itu, sudah tidak
bisa menahan sabar lagi. "Setan dusun! Kau kurang ajar sekali! Mengapa kau begitu berani menghina kami?"
dia memaki. Gui Cun merebut alat masak terbuat dari tanah milik petani yang dia
banting sampai hancur. Tiong Ji pun sangat murka, segera mengambil cambuk hendak menghajar petani-
petani itu. Tetapi Ho Yan segera mencegah tindakan Tiong Ji it.
"Mendapatkan nasi gampang, tetapi mendapatkan tanah susah. Tanah adalah modal
utama sebuah negara. Allah telah meminjam tangan petani untuk menyerahkan tanah kepada
Kong- cu, ini adalah alamat Kong-cu bakal mendapat negeri. Mengapa marah" Sebaiklah
Kong-cu turun dari kereta terima tanah itu."
Tiong Ji menuruti saran dari Ho Yan, dia turun dari keretanya, dengan hormat dia
sambut tanah itu. Petani-petani itu keheranan menyaksikan sikap Tiong Ji ini. Mereka
lalu berkumpul dengan kawan-kawannya dan tertawa terbahak-bahak. Mereka pikir mereka telah
bertemu dengan serombongan orang kurang waras. Tiong Ji dan semua pengikutnya tidak
menghiraukannnya. Mereka meneruskan perjalanan mereka.
Setelah berjalan kira-kira sepuluh li lebih, saking laparnya banyak yang tidak
bisa meneruskan perjalanannya. Mereka segera berhenti dan istirahat di bawah sebuah
pohon. Ketika itu Tiong Ji merasakan sangat kelaparan, sehingga sekujur badannya
menjadi lemas, dia rebahkan kepalanya di lutut Ho Mo sambil tiduran.
"Cu I masih membawa sedikit bubur encer," kata Ho Mo terharu, "ia berjalan di
belakang, sebaiknya tunggu dia."
"Bubur encer itu," kata Gui Cun, "untuk Cu I sediri pun tidak akan cukup,
barangkali malah sudah tidak tersisa!"
Semua berebut mencari rumput dan akar yang bisa mereka masak untuk dimakan.
Tetapi Tiong Ji tidak bisa makan makanan itu. Tiba-tiba datang Kai Cu Cui membawa
semangkok daging rebus yang dia suguhkan kepada Tiong Ji, yang segera dimakannya dengan
lahap sekali. Sesudah selesai makan Tiong Ji segera bertanya, "Di tempat seperti ini, dari
manakah kau bisa mendapatlan daging selezat itu?" tanya Pangeran Tiong Ji.
"Itu daging paha hamba, Tuanku," jawab Kaij Cu Cui, "karena hamba mendengar
pepatah begini : anak yang berbakti mengorbankan dirinya untuk membela orang tuanya,
sedang hamba yang setia berkorban untuk membela majikannya. Sekarang Kong-cu kebetulan
kekurangan makanan, maka hamba sengaja memotong paha hamba untuk Tuanku makan."
"Ya, Allah, telah menyusahkanmu sungguh keterlaluan, di kemudian hari entah aku
bisa membalas budimu entah tidak?" kata Tiong Ji sambil menangis.
"Biarlah hamba doakan supaya Kong-cu bisa segera pulang ke negeri Chin," jawab
Kai Cu Cui. "Kalau hamba telah melakukan kewajiban hamba, dan memotong paha hamba. Itu
bukan karena hamba mengharapkan untuk mendapatkan balasan, maka jangan Kong-cu pikiran
soal itu." Bab 21 Sementara itu Tio Swi yang berjalan belakangan baru sampai di tempat itu. Semua
bertanya mengapa Tio Swi berjalan demikian lambat.
"Aku terlambat sampai, karena kakiku tertusuk duri, aku tidak bisa berjalan
cepat," sahut Tio Swi. Kemudian dia keluarkan bekalnya dari dalam bungbung bambu, dia suguhkan kepada
Pangeran Tiong Ji. "Apakah kau tidak merasa kepayahan karena lapar" Mengapa kau tidak mau makan
sendiri bekal itu?" tanya Tiong Ji dengan terharu. "Meskipun hamba sangat lapar, mana
hamba berani melupakan Tuanku yang juga pasti lapar seperti hamba," sahut Tio Swi.
Ho Mo sengaja bergurau pada Gui Cun.
"Coba jika bekal ini ada di tangan Gui Cun, barangkali sudah jadi hancur di
dalam perutnya." kata Ho Mo sambil tertawa. Gui Cun jadi malu segera dia membuang muka.
Pangeran Tiong Ji membagi bubur encer itu pada Tio Swi, tetapi Tio Swi tidak
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tega memakannya sendiri, segera dia tambahi air dan dimasak lagi, kemudian dia bagi
rata dengan semua orang. Melihat hal itu, Tiong Ji jadi menghela napas dan merasa kagum pada Tio Swi yang
demikian baik hati itu. Sesudah masing-masing selesai makan, barulah mereka meneruskan
perjalanan. Di sepanjang jalan mereka mencari makanan, begitulah dengan menanggung lapar dan
kelelahan akhirnya mereka sampai di negeri Cee. Raja Cee Hoan-kong memang sudah
mendengar Kong-cu Tiong Ji adalah seorang bangsawan yang budiman, setelah
mengetahui Tiong Ji telah sampai di perbatasan negaranya, Raja Cee segera mengirim utusan
pergi keluar kota, untuk menyambut tamu itu untuk diajak masuk ke dalam kota dan diberi
sebuah gedung tempat tamu-tamu itu istirahat.
Kemudian Raja Cee Hoan-kong segera mengatur pesta untuk menghormati Pangeran
Tiong Ji dan menteri-menterinya itu. Di tengah pesta sedang berlangsung, sesudah
membicarakan berbagai masalah, akhirnya Raja Hoan-kong bertanya pada Tiong Ji:
"Apakah Kong-cu membawa famili dan keluargamu?" tanya Raja Cee.
"Untuk membawa diri sendiri saja rasanya susah bukan main, bagaimana hamba bisa
membawa keluarga hamba?" sahut Tiong Ji.
"Jika aku tidur sendiri saja dalam satu malam, rasanya sama lamanya seperti
setahun," kata Cee Hoan-kong sambil tersenyum, "Kong-cu dalam pengembaraan, dan tidak ada orang
mengurus, sungguh kasihan sekali."
Segera Cee Hoan-kong memilih di antara kaum keluarga perempuannya yang berparas
cantik, lalu dia serahkan kepada Pangeran Tiong Ji, serta dia hadiahkan kuda dua puluh
pasang. Tiong Ji menghaturkan terima kasih untuk kebaikan Raja Cee ini. Sejak saat itu,
jika Tiong Ji berpergian keluar, semua pengikutnya naik kuda. Kebaikan Raja Cee Hoan-kong
kepada Pangeran Tiong Ji luar biasa, dia selalu mengirim makanan dan kebutuhannnya
setiap saat. Mengetahui Raja Cee Hoan-kong begitu baik budi, Tiong Ji jadi sangat terharu dan
girang, dengan menghela napas dia berkata, "Dulu aku cuma mendengar saja tentang
kebaikannnya. Sekarang aku membuktikan sendiri."
Pada tahun Ciu Siang-ong ke-8, saat itu Raja Cee Hoan-kong sudah bertahta yang
ke-42-nya. Setelah Koan Tiong dan Sek Peng meninggal dunia, Raja Cee Hoan-kong menyerahkan
urusan pemerintahan kepada Pauw Siok Gee. Tetapi Raja Cee selalu ingat pada
pesanan Koan Tiong almarhum. Sejak dia mengangkat Pauw Siok Gee menjadi Perdana Menteri, dia
usir Si Tiauw, Ek Ge dan Kong-cu Kay Hong. Akan tetapi sejak saat itu, ketiga orang Raja
Cee selalu bimbang dan berduka. Segalanya seolah jadi serba salah dan dia jarang
tertawa atau gembira. Tiang-we-ke, salah satu di antara permaisuri Raja Cee Hoan-kong, karena melihat
sikap suaminya begitu, lalu menyarankan agar Raja Cee memanggil kembali ketiga orang
itu. Diberi saran oleh isterinya, Raja Cee Hoan-kong senang. Karena dia selalu
memikirkan ketiga orang yang dia sayang itu. Lalu mereka diberi pekerjaan kembali seperti dulu.
Setelah Pauw Siok Gee mengetahui hal ini, segera dia temui Raja Cee Hoan-kong.
Dia coba mencegah agar ketiga orang itu jangan dipakai lagi. Tetapi Raja Cee tidak
menghiraukannya. Dengan kesal dan penasaran Pauw Siok Gee pulang. Karena kesal Pauw Siok Gee
sakit, tidak berapa lama meninggal dunia.
Sejak Pauw Siok Gee meninggal dunia, Si Tiauw, Ek Gee dan Kong-cu Kay Hong jadi
berpengaruh sangat besar, sekarang tidak seorang pun yang mereka takutkan lagi.
Waktu itu Raja Cee Hoan-kong sudah tua dan mulai malas mengurus pemerintahan, sehingga
ketiga dorna itu bisa mengatur semua urusan di dalam dan luar negeri sesuka mereka.
Siapa yang mau menurut kemauan mereka, maka hidupnya akan sejahtera. Jika bukan berpangkat
tinggi pasti dia menjadi seorang hartawan.Orang yang menentang kalau tidak dihukum
mati, dia diusir atau dipenjarakan.
Raja Cee Hoan-kong mempunya tiga orang nyonya, yaitu yang disebut Ong-ki, Ci-ki
dan Coa-ki, tetapi semuanya tidak punya anak. Sedang Ong-ki dan Ci-ki sudah
meninggal dunia. Sekarang tinggal Coa-ki, tetapi karena kurangajar dia dikembalikan ke negeri
Coa. Di samping itu Raja Cee punya enam orang selir yang sangat disayang. Mereka
diperlakukan tak beda dengan permaisuri saja.
Dari keenam selirnya itu masing-masing melahirkan seorang putra. Pertama Tiang-
we-ki melahirkan Pangeran Bu Kui, yang ke dua, Siauw-we-ki melahirkan Pangeran Goan,
yang ke tiga, The-ki melahirkan Pangeran Ciauw, yang ke empat, Kat-eng melahirkan
Pangeran Poan, yang ke lima, Bit-ki melahirkan Pangeran Siang Jin, dan yang ke enam, Song-hoa-
cu melahirkan Pangeran Yong.
Di antara ke-enam selirnya, hanya Tiang-we-ki yang paling lama mengurus Raja Cee
Hoan- kong. Di antara ke-enam pangeran, juga cuma Bu Kui yang usianya paling tua.
Pembesar paling di sayang oleh Raja Cee Hoan-kong, yaitu Si Tiauw dan Ek Ge,
semuanya baik pada Tiang-we-ki. Karena Raja Cee Hoan-kong selalu mendengarkan kedua dorna ini, maka dia
menyatakan setuju hendak mengangkat Pangeran Bu Kui menjadi ahli warisnya. Tetapi kemudian
karena merasa sayang oleh kepandaian Pangeran Ciauw, ditambah lagi Raja Cee pun sudah
pernah minta saran dari Koan Tiong almarhum. Bahkan Koan Tiong setuju Pangeran Ciauw
yang akan menjadi ahli warisnya. Hal itu pun sudah disampaikan pada Raja Xong Siang-
kong, kakek Pangeran Ciauw. Pangeran Kay Hong sangat baik pada Kong-cu Poan, maka dia hendak berikhtiar
supaya Poan yang menjadi pengganti Raja Cee. Sedangkan Pangeran Siang Jin senang mempelajari
ilmu perang dan menarik perhatian rakyat, karena sikapnya yang ramah. Sedang ibunya
disayang oleh Raja Cee. Maka tidak heran dia juga ingin menggantikan ayahnya. Hanya
Pangeran Yong yang pasrah dan tidak terlalu berharap, dia sadar ibunya hanya seorang anak
menteri negeri Song, sebaliknya ibu lima saudaranya semua anak raja.
Ketika ibu mereka mengajukan usul pada Raja Cee agar putra mereka menjadi ahli
waris kerajaan, Raja Cee yang tidak mau pusing mengiakan semua permintaan keenam
selirnya itu. Ketika Cee Hoan-kong jatuh sakit dan sakitnya parah, Si Tiauw dan Ek Ge segera
mengatur siasat. Mereka memasang papan larangan, siapapun dilarang masuk menemui Raja Cee
yang sedang sakit. Hanya Pangeran Bu Kui dan ibunya, Tiang-we-ki yang boleh ada di istana. Siapa
pun dilarang menemui Raja Cee. Ketika penyakit Raja Cee semakin parah dan sudah tidak ada
harapan akan sembuh, maka Si Tiauw dan Ek Ge menganggap sudah tiba saatnya yang baik.
Segera Si Tiauw dan Ek Ge mengusuir semua pelayan istana, dan pintu istana ditutup rapat.
Bahkan Ek Ge dan Si Tiauw memerintahkan membuat tembok, agar orang tidak bisa masuk. Di
tembok itu dibuat sebuah lubang untuk anak kecil masuk ke dalam melihat keadaan Raja
Cee, yang lainnya tak boleh masuk. Penjagaan di sekitar istana pun diperketat. Juga mereka mengerahkan pasukan
untuk memantau, siapa tahu ada pangeran yang menggerakan pasukannnya untuk membuat
ulah. Mereka akan dihajar habis-habisan.
Selang tiga hari, penyakit Hoan-kong semakin berat, hingga tidak ada harapan
bisa hidup lama lagi. Dua dorna itu merasa sudah hampir sampai waktu yang baik, mereka lalu
usir semua budak lelaki atau perempuan yang jaga Hoan-kong dan tutup rapat pintu
keraton. Sedang kamar tidur Hoan-kong dan sekitarnya didirikan tembok kira-kira tiga
tumbak tinginya, memutus perhubungan di dalam dan di luar. Cuma di bawah tembok ada
dibikin satu lubang anjing, perlunya setiap pagi dan sore dorna itu memerintah budak kecil
menerobos ke dalam untuk memeriksa apa Hoan-kong sudah mati atau belum. Juga dorna mengatur
balatentara keraton, menjaga apabila Kong-cu menggerakkan pemberontakan.
Demikian keadaan di istana Raja Cee yang semula menjadi Raja Jagoan, sekarang nasibnya
demikian buruknya. *** Sesudah demikian lama Raja Cee Hoan-kong rebah saja di atas pembaringannya,
pada suatu hari karena perutnya merasa lapar dia hendak bangun, tetapi tidak
kuat, lalu ia berteriak memanggil pelayan, tetapi tidak ada yang datang. Saat Raja Cee membuka
matanya dia jadi keheranan, tiba-tiba dia mendengar ada orang yang jatuh dari atas,
ketika dia perhatikan, orang itu adalah An Ngo Ji, perempuan yang kurang disukainya.
"Aku lapar, aku ingin makan bubur, coba kau pergi ambilkan," kata Raja Cee Hoan-
kong pada gundiknya itu. "Tuanku tidak akan memperoleh bubur, " sahut Ngo Ji.
"Kalau tidak ada bubur, ambilkan saja aku air hangat."
"Air hangat juga tidak ada."
"Eh, mengapa begitu?" tanya Raja Cee Hoan-kong dengan heran.
"Ek Ge dan Si Tiauw telah membuat huru-hara, mereka telah menjaga keras pintu
keraton, dan mendirikan tembok yang tingginya tiga tombak untuk memutuskan bagian dalam
dan luar istana. Maka dari manakah kita bisa mendapatkan makanan?"
"Tetapi mengapa kau bisa datang ke sini?" tanya Raja Cee dengan lebih heran.
"Aku tahu Cu-kong tidak begitu cinta kepadaku," kata gundik yang baik hati itu
dengan melelehkan air matanya, "Meskipun cuma sekali saja Cu-kong membuat aku
beruntung, tetapi aku tidak bisa melupakan Cu-kong. Maka dengan tidak menghiraukan bahaya dan
keselamatan jiwaku, aku telah naik ke tembok dan datang ke sini, karena aku
ingin menunggui Cu-kong hingga sampai ajal."
"Pangeran Ciauw ada di mana?"
"Karena penjagaan oleh dua dorna itu sangat ketat, dia tidak bisa masuk istana!"
kata gundiknya. Raja Cee Hoan-kong menghela napas dan berkata, "Ya Allah, ternyata omongan
Tiong-hu benar-benar omongan seorang Nabi. Apa yang dikatakan, tidak meleset sedikit pun!
Lantaran aku bodoh, patut hari ini aku harus menerima nasib seperti ini."
Sesudah itu dari mata Raja Cee mengucur air matanya deras sekali, dan sesaat
kemudian dia berteriak pula. "Oh Allah! Apakah memang ini sudah takdir Siauw Pek hari ini harus menemui
ajalnya!" kata Raja Cee yang dulu bernama Siauw Pek ini.
Sesudah beberapa kali berteriak, akhirnya dia muntah darah. Gundik yang baik hati itu lalu memeluk Raja Cee Hoan-kong dan mengusap-ngusap
punggung Raja Cee, sedang air matanya berlinang-linang, karena dia merasa
terharu sekali atas nasib raja jago ini.
"Aku ada punya enam Ji-hu-jin (nyonya kedua) yang aku cintai dan enam Kong-cu
(Pangeran) yang aku paling sayang," kata Raja Cee sambil menangis. "Tetapi
sekarang tidak seorang pun yang ada di depan mataku, melainkan kau . . .ya kau seorang saja
yang mengantar kematianku! Ya, nona, sesungguhnya aku merasa menyesal sekali, dulu
aku tidak memperhatikanmu!" "Sudah! Harap Cu-kong jaga baik-baik dirimui," ratap An Ngo Ji. "Seandainya
sampai tidak beruntung, akupunikhlasuntuk ikut matibersama-sama denganmu."
Raja Cee Hoan-kong menggelengkan kepala, kemudian dia tutup mukanya dengan
tangan bajunya, sesudah itu dia menghela napas beberapa kali, akhirnya meninggal.
Ketika meninggal usia Raja Cee sudah 73 tahun.
Melihat junjungannya sudah meninggal, An Ngo Ji menangis sedih sekali. Dia
hendak berteriak memanggil orang, tetapi dia ingat, tembok begitu tinggi dan kuat,
teriakannya tidak akan terdengar. Ketika dia ingin memanjat akan keluar, tidak ada tangga maupun
alat untuk dipakai memanjat. Tiba-tiba dia ingat ucapannya tadi, bahwa dia ingin mati
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama junjungannya. Sesudah menutupi tubuh Raja Cee dengan bajunya, dia menghampiri
tiang, lalu membenturkan kepalanya hingga binasa.
Malam harinya.... Budak kecil yang ditugaskan masuk lewat lubang untuk melihat keadaan Raja Cee,
kaget saat mengetahui Raja Cee telah meninggal dan otaknya sudah berhamburan. Buru-buru dia
menerobos dan melapor pada Ek Ge dan Si Tiauw tentang kejadian itu. Mendengar
kabar itu mereka yakin saja, lalu menyuruh orang-orangnnya membobol tembok. Kedua dorna
pun masuk untuk melihat sendiri. Mereka kaget karena di sana ada dua mayat yang
kepalanya hancur, sedang Raja Cee tetap menggeletak di atas pembaringan meninggal dunia.
Dua dorna itu keheranan, tetapi budak istana ada yang mengenali mayat perempuan
itu. Dia memberitahu dua dorna yang mengangguk dan terheran-heran. Sesudah melakukan
pemeriksaan, kedua dorna jadi sangat girang, lalu mereka berunding mengenai
pengangkatan raja pengganti. Mereka kemudian mengambil putusan sebelum mengurus jenazah Cee Hoan-kong, lebih
dulu mereka akan membinasakan Kong-cu Ciauw, supaya Pangeran Bu Kui dengan mudah bisa
naik tahta. Mereka segera memimpin pasukan pergi menyerang Tang-kiong (Istana
Tengah) kediaman Pangeran Ciauw. Untung di antara budak istana ada yang merasa kasihan pada Kong-cu itu, sebelum
Ek Ge alias Yong Bu dan Si Tiauw mengerahkan tentaranya, budak itu buru-buru memberi
tahu kabar jelek itu kepada Pangeran Ciauw.
Pangeran Ciauw kaget mendapat kabar itu, malam itu juga dia pergi ke rumah Kho
Houw untuk minta nasihat bagaimana sebaiknya dia bertindak. Perdana Mentri itu
memberi saran. "Lebih baik Cu-kong menyingkirkan diri ke negeri Song, sebab dulu Raja Cee Hoan-
kong sudah pernah berpesan pada Raja Song Siang-kong untuk membantu Tuanku, jika ada
bahaya." kata KHo Kho Houw.
Dengan menyamar Pangeran Ciauw pergi lewat pintu kota Timur, di situ, Cui Yauw
yang menjaga, famili dari KHo Houw. Maka dengan mudah Pangeran Ciauw bisa keluar,
malah Cui Yauw juga ikut dengan Pangeran Ciauw melarikan diri ke negeri Song.
Ketika Yong Bu dan Si Tiauw datang, mereka langsung mengepung gedung Pangeran
Ciauw, tetapi gedung itu sudah kosong. Mereka mencarinya dan tidak ada hasilnya.
Menjelang fajar, dua dorna yang sudah putus harapan itu, kembali bersama
pasukannya. Sebelum sampai di istana, mereka melihat pintu istana sudah terbuka dan di sana
banyak menteri yang sudah berkumpul. Mereka mendengar dua dorna mengerahkan pasukan,
maka menteri-menteri itu mengira ada kekacauan di istana, itu sebabnya mereka datang.
Di istana mereka akhirnya tahu bahwa Raja Cee Hoan-kong telah meninggal dunia.
Tidak heran mereka jadi tidak puas, apalagi mendengar Istana Tengah dikepung. Hingga
mereka segera menduga kedua dorna itu telah membuat huru-hara.
"Cu-kong sebenarnya mengangkat Pangeran Ciauw menjadi penggantinya. Sekarang
Pangeran Ciauw tidak ada, bagiamana ini?" kata seorang menteri.
Mereka jadi kebingungan bukan main. Saat mereka kebingungan datanglah dua dorna
bersama pasukannya. Begitu dua dorna itu sampai, mereka bertanya.
"Mana Pangeran Ciauw?" kata mereka.
"Kami tidak tahu, sedang yang pantas menjadi pengganti Cu-kong adalah Bu Kui,"
begitu mereka menjawab. "Tidak, yang pantas adalah Pangeran Ciauw!" kata para menteri.
Akhirnya mereka bertengkar dan terjadilah perkelahian hebat. Sayang para menteri
Pendekar Aneh Naga Langit 21 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Hancurnya Samurai Cabul 1
tahu Ayahku tanpa Li Ki pasti tidak enak makan dan tidak enak tidur," kata Sin Seng dengan
suara berduka. "Jika aku melawan dalam masalah ini dan aku tidak bisa menang, pasti dosaku jadi
semakin besar, dan jika aku beruntung bisa menjelaskan masalah yang sebenarnya terjadi,
dan Li Ki harus dihukum mati. Maka kebencian Ayahku padaku tidak akan reda. O Tuhan,
sungguh malang nasibku. Lebih baik mati saja aku!"
"Bagaimana jika kau kabur saja ke negeri lain dan menunggu kesempatan yang baik,
baru muncul kembali?" kata Touw Goan Koan.
"Ayahku yang tanpa memeriksa dengan teliti kesalahanku langsung melabrakku,"
kata Sin Seng sambil menangis. "Jika aku kabur ke negeri lain, niscaya namaku jadi cacat
benar-benar. Orang akan mengira, aku memang berniat jahat! Sekalipun aku bisa menerangkan
panjang- lebar, dan menimpakan kesalahan pada Ayahku. Ini malah akan merusak nama baik
Ayahku. Bahkan menurunkan pamor Kerajaan Chin. Setahuku, seorang bijaksana tidak akan
memburukkan rajanya sendiri. Orang pandai tidak sudi menanggung kesengsaraan.
Sedang orang gagah tidak takut mati. Sudahlah, aku sudah mengambil ketetapan, cara
paling baik aku harus mati!" Sesudah berkata begitu, Sin Seng menulis surat balasan buat Ho Tut, yang
bunyinya kira-kira demikian: "Sin Seng dianggap berdosa, maka tidak sayang jiwa untuk menghindari kematian.
Meski begitu, ayahku sudah tua, He Ce dan Tok Cu masih terlalu muda, pasti negara akan
mendapat banyak kesusahan. Karena itu harap Pe-hu dengan segenap tenaga membantu mengurus
urusan negara, sekalipun Sin Seng harus mati, tetapi tetap menjunjung tinggi
budi Pe-hu." Setelah surat dikirim, Sin Seng menghadap ke arah kota raja Chin, lalu memberi
hormat, kemudian baru mengambil kain sutra dan menjeret lehernya sendiri hingga mati.
Bukan main sedihnya Tong Goan Koan waktu itu, sambil menangis dia urus jenazah Sin Seng.
Esok harinya........ Tong Koan Ngo dan tentaranya telah sampai, karena dia sudah mengetahui Sin Seng
sudah mati, dia tangkap Touw Goan Koan dan dia masukkan ke dalam kerangkeng terus
dibawa ke kota raja Chin. Tatkala dorna itu menghadap pada Chin Hian Kong, ia bilang.
"Karena Pangeran Sin Seng sadar akan dosanya, dia telah bunuh diri dengan
menjerat lehernya," kata Tong Koan Ngo. "Sekarang hamba bawa Touw Goan Koan menghadap
pada Tuanku." Ketika Touw Goan Koan dihadapkan, oleh Raja Chin dia dipaksa supaya mengakui
bahwa Sin Seng telah berniat jahat.
"O Tuhan! Sungguh ini masalah pelik dan sangat penasaran...." kata Touw Goan
Koan. "Hamba tidak ikut bunuh diri bersama Pangeran, karena hamba ingin menjelaskan
sesuatu kepada Tuanku. Pangeran Sin Seng hatinya bersih. Harap Tuanku ketahui, makanan
yang dikirimkan oleh Pangeran, sudah lewat enam hari dan berada di istana. Jika bukan
ditaruhi racun di istana ini, tidak mungkin itu dilakukan oleh Pangeran Sin Seng. Hamba
berani bersumpah!" Karena Raja Chin tahu benar Touw Goan Koan tidak pernah berbohong, Raja Chin
terperanjat. Dia jadi ragu-ragu. Tapi Li Ki yang berdiri di belakang tirai,
langsung berbisik. "Goan Koan-lah yang mengajari Pangeran Sin Seng berbuat jahat. Mengapa Tuanku
tidak segera memerintahkan algojo membunuhnya?" kata Li Ki.
Dengan tidak berpikir panjang lagi karena hasutan Li Ki Raja Chin Hian Kong
segera memerintahkan pada algojo supaya memukul kepala Touw Goan Koan dengan sebuah
martil besar hingga binasa. Menyaksikan kekejaman di mata mereka, banyak menteri merasa
ngeri dan sangat terharu menyaksikan Touw harus mati secara mengenaskan.
Sesudah itu persidangan ditutup dan semua menteri pun bubar. Dorna Liang Ngo dan
Tong Koan Ngo menemui Yu Si. Begitu sampai mereka bilang pada Yu Si.
"Beri tahu Permaisuri Li Ki karena Pangeran Tiong Ji dan Pangeran I Gouw masih
sanak Pangeran Sin Seng, mereka harus segera disingkirkan." kata dorna itu.
Dengan tidak membuang waktu ketika ada kesempatan Yu Si diam-diam menemui Li Ki.
Dia menyampaikan saran kedua dorna itu. Malamnya kembali Li Ki merayu Raja Chin dan
mengatakan, bahwa Pangeran Sin Seng saat melakukan kejahatan dibantu oleh
Pangeran I Gouw dan Pangeran Tiong Ji.
"Jadi mereka juga termasuk orang berbahaya," kata Li Ki pada Raja Chin."Mungkin
sesudah tahu Pangeran Sin Seng binasa, mereka akan datang menyerang ke negara Chin."
Mendengar desakan itu Raja Chin agak ragu. Dia tahu benar kedua putranya itu
sangat baik. Tidak mungkin dia berniat jahat kepadanya. Maka dia abaikan saja masalah itu.
Esok harinya datang laporan pada Raja Chin, bahwa dua pangeran yaitu Pangeran I Gouw dari
kota Kut dan Pangeran Tiong Ji dari kota Po akan datang; tetapi ketika mengetahui masalah
yang terjadi atas Pangeran Sin Seng, mereka membatalkan niat mereka datang.
Sekarang mereka kembali ke masing-masing negaranya. Khabar itu membuat Chin Hian
Kong marah, dia menduga boleh jadi kedua pangeran itu pun bersekongkol dengan
Pangeran Sin Seng. Hari itu juga Raja Chin mengirim panglima Pu Te menangkap dua
puteranya itu di masing-masing negaranya. Mendengar kabar itu Ho Tut kaget. Dia panggil putranya yang bernama Ho Yan
menghadap. Ketika Ho Yan sudah menghadap ayahnya, sang ayah bilang.
"Pangeran Tiong Ji tulang iganya menjadi satu; sedang anak-anakan pada bola
matanya ada dua," kata Ho Tut. "Parasnya cakap dan angker, berbeda dengan orang kebanyakan.
Ditambah lagi dia terkenal seorang yang sangat budiman. Di kemudian hari pasti dia bisa
menjadi orang besar. Sekarang Pangeran Sin Seng sudah meninggal, menurut aturan dialah
penggantinya. Sekarang lekas kau pergi ke Po, kau ajak dia melarikan diri ke lain negeri. Kau
bersama Kandamu, Ho Mo, bantu dia sungguh-sungguh."
"Baik, Ayah," kata Ho Yan berjanji.
Sesudah pamit pada ayahnya Ho Yan langsung berangkat ke Po akan menemui Pangeran
Tiong Ji. Kedatangan Ho Yan danHo Mo membuat Tiong Ji jadi sangat terkejut. Dari
Ho Yan-lah dia mendapat kabar tentang adanya bahaya atas dirinya.
Saat Tiong Ji bersama Ho Mo dan Ho Yan sedang berunding untuk melarikan diri;
tidak diduga pasukan Put Te sudah keburu datang. Ketika prajurit Po hendak menutup
pintu kota untuk mencegah pasukan Chin masuk; tetapi dicegah oleh Pangeran Tiong Ji sambil
berkata: "Titah Raja tidak boleh dilawan."
Put Te dengan leluasa bersama pasukannya masuk ke dalam kota Po dan langsung
mengepung gedung Pangeran Tiong Ji. Pangeran Tiong Ji bersama Ho Mo dan Ho Yan
melarikan diri lewat kebun belakang. Put Te yang menerobos masuk sempat melihat
mereka, kabur. Dia cabut pedangnya lalu mengejar. Ho Mo dan Ho Yan melompat lebih dulu
ke atas tembok, dari sana mereka menaikan Tiong Ji. Put Te sempat menjamret Pangeran
Tiong Ji, tetapi yang kena hanya bajunya, namun karena kuatnya tarikan dua bersaudara Ho,
sehingga baju itu robek. Beruntung Tiong Ji luput dari bahaya maut.
Karena tidak yakin bisa menyususul korbannya, apa boleh buat Put Te menyimpan
sehelai kain baju Pangeran Tiong Ji. Kemudian memimpin tentaranya pulang dan akan
memberi laporan pada Raja Chin. Tiong Ji bersama Ho Mo dan Ho Yan melarikan diri menuju ke negeri Ek, dan
kedatangan mereka diterima oleh Raja Ek dengan senang hati. Tidak berapa lama di bawah kota
terdengar suara derap kaki kuda dan riuhnya teriakan orang yang minta dibukakan pintu.
Mereka ada yang naik kuda dan banyak yang naik kereta perang.
Tiong Ji kaget dan curiga kalau-kalau yang datangi itu balatentara Chin yang
sedang mengejar. Maka dia segera memerintahkan tentara melepaskan panah dari atas kota.
Tetapi orang-orang yang ada di bawah kota segera berseru: "Jangan, jangan memanah kami!
Dengarlah Kong-cu, kami bukan bala-tentara yang hendak mengejarmu, sebenarnya
kami ini pembesar dari negeri Chin yang hendak ikut pada Kong-cu!"
Bab 19 Mendengar ucapan itu Tiong Ji segera naik ke atas kota untuk melihat sendiri
orang itu. Di antara mereka dia mengenali pemimpinnya, yaitu seorang she Tio bernama Swe alias
Cu I, dia adik Tio Wi. "Karena Cu I datang, aku tidak merasa khawatir lagi!" kata Tiong Ji dengan
girang, Maka dia perintahkan orang membukakan pintu kota dan menyuruh semua orang masuk
ke dalam kota. Menteri-menteri yang ikut bersama Tio Swe, di antaranya Tan Sin, Gui Cun, Ho Sia
Kouw, Tian Kiat, Kai Cu Cui, Sian Cin dan beberapa puluh pengikutnya.
"Kalian para pegawai istana, mengapa kalian datang kemari?" tanya Tiong Ji
dengan sangat terkejut. "Lantaran Cu-kong salah, ia mencintai Li-ki, perempuan siluman itu,
sehingga Cu- kong telah membunuh pangeran, maka kami yakin tidak lama lagi di negeri Chin
akan kacau! Kami tahu kau pandai dan berbudi, maka kami kabur dari istana mau ikut
denganmu!" Sementara itu raja Ek dengan budi bahasa yang manis segera menyilakan semua
orang masuk ke dalam kota. Memang Kong-cu Tiong Ji sejak masih kecil telah berkelakuan manis
dan mau merendah dan hormat pada orang. Ketika dia sudah berusia tujuh belas tahun,
terhadap Ho Yan, dia memperlakukannya seperti memperlakukan ayahnya. Tio Swe dia anggap
sebagai gurunya, dan terhadap Ho Sia Kouw, ia bersikap seperti kepada kandanya.
Saat itu orang terpelajar dan ternama, baik yang di istana, maupun yang di luar
istana, semua simpatik kepada Pangeran Tiong Ji. Maka tidak heran, ketika Tiong Ji minggat
dari negeri Chin, dan keselamatannnya terancam pun, banyak orang yang ingin mengabdi
kepadanya. Mereka tidak takut bahaya maupun akan hidup sengsara. Hanya Kiok Peng dan Lu I
Seng yang merasa lebih suka kepada Kong-cu I Gouw, sedang Kek Sia memang saudara ibu
Pangeran I Gouw, hingga mereka kabur ke negeri Kut dan membela I Gouw.
Tatkala mereka itu sudah bertemu dengan I Gouw, mereka memberi tahu, bahwa tidak
berapa lama lagi Ke Hoa dan tentaranya bakal datang menyerang. Kabar ini membuat I Gouw
sangat kaget, segera dia perintah orang mengatur bala-tentaranya untuk melakukan
penjagaan ketat terhadap kotanya. Beruntung Ke Hoa baik hati, dia tidak tega untuk menangkap I Gouw, maka waktu
tentaranya sudah sampai di Kut, dia sengaja bertindak lambat ketika mengepung kota. Malah
dengan secara rahasia dia suruh orang membari tahu pada I Gouw, agar I Gouw segera
melarikan diri, sebab jika ayal sedikit saja, tentara Chin sudah ditambah pasti akan bertambah
susah untuk bisa lolos. Begitu mendapat kabar, I Gouw segera berunding.
"Kong-cu Tiong Ji ada di negri Ek, apakah tidak lebih baik kita juga pergi ke
sana?" kata I Gouw. "Oh, jangan, Pangeran tidak boleh ke sana," kata Kiok Peng mencegah. "Cu-kong
memang menyangka dua Pangeran ikut berkhianat. Jika sekarang Pangeran ke sana berkumpul
dengan pangeran Tiong Ji, niscaya Li-ki punya alasan yang bagus sekali, sehingga pasti
tentara Chin akan datang ke negeri Ek. Maka paling benar Pangeran lari ke negeri Liang,
karena negeri Liang dekat dengan negeri Cin, sedang negeri Cin saat ini sangat maju dan kuat!
Apalagi Rajanya masih famili Pangeran, maka di kemudian hari Pangeran bisa meminjam
tentara negeri Cin agar bisa kembali ke negeri Chin!"
I Gouw setuju pada saran tersebut, segera dia berangkat ke negeri Liang. Ke Hoa
pura-pura mengejar, tetapi tentu saja dia sengaja agar tidak bisa mengejar, lalu ia pulang
ke Kota-raja Chin dan memberi laporan pada Chin Hian Kong. Karena kedua Kong-cu tidak satu
yang
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertangkap, Chin Hian-kong marah sekali. Dia akan membunuh Ke Hoa. Tetapi untung
Pi The Hu yang mencegahnya dengan alasan karena dua pangeran berkuasa atas angkatan
perang, mereka mampu melawan Ke Hoa. Chin Hoan Kong tidak berdaya terpaksa menurut. Ke
Hoa diampuni. Kemudian atas usul Liang Ngo, Raja Chin memberi perintah pada Put Te membawa
pasukan perang pergi menyerang ke negeri Ek untuk menangkap Pangeran Tiong Ji.
Tetapi raja Ek tidak tinggal diam, dia mengatur tentaranya di Cay-song (batas
negeri Chin) siap menangkis serangan dari negeri Chin.
Keduanya tidak berani bergerak lebih dulu, hingga keduanya cuma menunggu hingga
dua bulan lebih tanpa bertempur. Keadaan seperti ini membuat Pi The Hu jadi girang,
dia menyarankan pada Chin Hian Kong, agar Raja Chin ini menarik mundur pasukannya.
"Jika kita berperang dengan negeri Ek, belum tentu kita menang. Ditambah lagi
ini akan kurang baik di mata para Raja-muda, masakan Tuanku sebagai seorang ayah begitu
kejam ingin membunuh kedua anak kandungnya. Malah ini akan membuahkan bahan lelucon di
mata umum!" kata Pi Te Hu pada Chin Hian Kong.
Nasihat Pi The Hu dituruti juga oleh Chin Hian-kong, yang segera memanggil Put
Te untuk menarik mundur tentaranya. He Ce diangkat menjadi Si-cu (Putra Mahkota). Semua
pembesar kecuali dua Ngo dan Sun Sit, tidak seorang pun yang jengkel. Maka banyak yang
beralasan sakit mereka minta berhenti. Pada tahun pertama dari bertahtanya Baginda Tiu
Siang Ong, waktu itu Chin Hian-kong sudah bertahta selama 26 tahun.
Pada tahun itu dalam musim Ciu, Cee Hoan-kong dan para Raja-muda mengadakan
pertemuan di Kui-kiu. Chin Hian-kong akan hadir, tetapi terlambat. Saat dia
pulang di tengah jalan dia jatuh sakit. Sesampai di negerinya, penyakit Chin Hian-kong bertambah parah. Melihat
andalannya bakal lenyap Li-ki merasa khawatir sekali. Dia duduk di dekat pembaringan Raja Chin
sambil menangis. Melihat tingkah Li-ki Raja Chin merasa kasihan sekali pada Li-ki.
Ketika Chin Hian-kong merasakan penyakitnya makin parah dan bakal meninggal, dia memanggil
Sun Sit datang menghadap. Dia berpesan pada Sun Sit. "Hati-hati kau harus membela He Ce dan Li-ki." kata
Raja Chin. Sun Sit berjanji akan memperhatikan benar pesan junjungannya itu. Selang
beberapa hari kemudian, Chin Hian-kong menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Li-ki segera memondong He Ce yang waktu itu baru berusia sebelas tahun, lalu dia
serahkan kepada Sun Sit. Karena Sun Sit ingat telah menerima pesanan dari Chin Hian-kong
yang paling penghabisan, dia angkat He Ce untuk memimpin upacara duka cita. Semua
pembesar berkumpul akan menyatakan berduka-cita atas wafatnya raja mereka. Saat itu Li-ki
mengangkat Sun Sit menjadi Siang-kong (Perdana Mentri), Liang Ngo dan Tong Koan
Ngo dinaikan pangkatnya menjadi Co Yu Su Ma.
Tatkala semua urusan sudah selesai dan semua pembesar sudah bubar, diam-diam Li
Kek mengunjungi rumah Pi The Hu untuk mengadakan pembicaraan rahasia.
"Anak kecil itu bakal jadi raja, sekarang bagaimana sebaiknya kita menolong
Pangeran yang menanggung sengsara di luar?" kata Li Kek pada temannya.
"Semua urusan tergantung pada Sun Sit seorang, mari kita temui dia apa yang akan
dilakukannnya?" sahut Pi The Hu.
Li Kek setuju dengan pendapat itu. Mereka berdua berkunjung ke gedung Sun Sit.
Kedatangan mereka disambut oleh Sun Sit dengan manis, mereka diajak masuk ke
ruang dalam. "Cu-kong telah wafat, tetapi Pangeran Tiong Ji dan Pangeran I Gouw semua ada di
luar negeri," kata Li Kek pada Sun Sit, "Siok Hu menjadi pembesar di negeri ini.
Mengapa Tuan tidak mengundang mereka, malah mengangkat anak-anak pendengki untuk memimpin
upacara berkabung. Apa ini bisa membuat semua orang puas?"
"Aku telah menerima pesan Cu-kong almarhum," kata Sun Sit, "Maka kuanggap He Ce-
lah junjunganku. Aku tidak bisa mengingkari pesan Cu-kong kita, kecuali aku mati!"
"Kalau mati secara demikian tidak ada gunanya, apa lebih baik kau ubah saja
putusan Cu- kong itu?" kata Pi The Hu.
"Oh, tidak bisa!" sahut Sun Sit. "Aku sudah berjanji hendak memperhatikan pesan
itu! Sekalipun aku harus mati tidak ada gunanya, aku tidak mau melangggar pesan Cu-
kong." Sekalipun kedua orang ini membujuknya berulang-ulang, tetapi Sun Sit tetap
kukuh. Pendiriannya keras sekali seperti besi. Sadar bujukan mereka tidak akan
berhasil, kedua orang itu pamit pada Sun Sit dan pergi.
"Sun Sit keras tidak mau mengubah pendiriannya, sekarang bagaimana?" tanya Li
Kek. "Ia bekerja untuk He Ce, kita untuk Pangeran Tiong Ji, masing-masing punya
junjungan sendiri. Mau apa lagi?" kata Pi The Hu.
"Ya, itu betul," sahut Li Kek.
Segera mereka perintahkan orang kepercayaannya, dengan menyamar. Mereka masuk ke
istana pura-pura menjaga Pangeran He Ce. Anak buah Li Kek dan Pi The Hu akhirnya
berhasil membunuh pangeran He Ce, saat pangeran ini sembahyang.
Waktu itu Yu Si ada di samping Pangeran He Ce, melihat He Ce terbunuh dia segera
mencabut pedangnya hendak menolong, tetapi tidak terduga dia sendiri pun
terbunuh. Saat itu di pertengahan keraton menjadi ribut sekali. Sun Sit menangisi jenazah Cu-kong-
nya dan waktu akan mundur dari tempat duka itu, tiba-tiba dia mendengar suara ribut,
dengan sangat kaget dia lari masuk ke tengah. Di situ ia melihat dua mayat tergeletak. Ia
merasakan semangatnya seperti terbang, dia peluk mayat He Ce, dan sambil menangis dia
berkata, "Aku terima pesan Cu-kong yang penghabisan untuk melindungi pangeran He Ce. Sekarang
aku tidak bisa menjaga dengan baik, ini dosaku!". Sehabis berkata begitu, Sun Sit
mendekati tiang akan membenturkan kepalanya.
"Tahan: Sun Tay-hu jangan berpikir pendek!" kata Li Ki mencegah. "Apa Tay-hu
lupa jenazah Tuanku belum diurus beres" Sekalipun He Ce binasa, masih ada Tok Cu yang
bisa menggantikannya!" Mendengar nasihat itu, Sun Sit membatalkan niatnya, lalu dia bunuh beberapa
puluh orang penjaga di tempat itu. Hari itu juga dia mengadakan pertemuan dengan semua
pembesar. Dia membicarakan pengangkatan Tok Cu sebagai pengganti Pangeran He Ce yang terbunuh.
Tok Cu ketika itu baru berumur sembilan tahun. Li Kek dan Pi The Hu berlagak kurang
sehat dan tidak mau datang dalam pertemuan itu.
Liang Ngo mengusulkan supaya Li Kek dan Pi The Hu dihukum, karena menurut
dugaannya kematian Pangeran He Ce pasti perbuatan mereka. Ini dibuktikan dengan tidak mau
hadir dalam pertemuan para pembesar. Tetapi Sun Sit tidak setuju pada saran Liang Ngo
tersebut. "Jangan sembarangan, kelompok mereka kuat dan banyak, tidak gampang
menyingkirkan mereka. Lebih baik kita urus dulu soal perkabungan ini. Sesudah Tok Cu menjadi
raja, dan kita sudah berserikat dengan negeri lain, baru kita bertindak!" kata Sun Sit.
Maka diambil putusan Tok Cu diangkat menjadi pengganti He Ce, dan ditetapkan
harinya akan mengubur jenazah Chin Hian Kong. Sesudah itu persidangan ditutup, Liang Ngo
dan Toan Koan Ngo segera mengadakan pertemuan rahasia. Mereka menganggap Sun Sit
kurang cekatan mengurus pekerjaan dan terlalu lamban. Maka diputuskan mereka akan
melakukan pembalasan terhadap Li Kek dan Pi The Hu.
"Sekarang penguburan sudah dekat," kata Liang Ngo, "jika kita perintahkan orang
bersembunyi di pintu kota sebelah timur, saat Li atau Pi mengantar jenazah Cu-
kong, mereka serang si jahanam itu, pasti mereka tidak bisa lolos!"
"Bagus, aku setuju!" kata Tong Koan Ngo dengan girang. "Aku punya seorang
sahabat, namanya Touw Gan I, tenaganya kuat sekali, bila kita janjikan padanya pangkat,
pasti dia bersedia melakukan pekerjaan ini."
Tong Koan Ngo memanggil Touw Gan I untuk membicarakan rencananya. Ternyata Touw
Gan I setuju. Touw Gan I bersahabat kekal dengan Tay-hu Tiauw Coan, diam-diam
dia memberi tahu niat kedua Ngo pada Tiauw Coan, Touw Gan I minta pendapat
sahabatnya ini. "O, jangan kau lakukan, itu keliru sekali jika kau bunuh Li atau Pi!" kata Tiauw
Coan mencegah. "Kematian He Ce memang mengenaskan. Tetapi semua itu gara-gara Li Ki,
ibunya sendiri yang serakah. Saat ini Li dan Pi berniat menyingkirkan Li Ki dan
konco- konconya. Aku tahu mereka akan mengangkat pangeran Tiong Ji yang sah! Ini aku
pikir usaha yang mulia. Bila kau membantu yang jahat dan memusuhi yang setia, kau
berbuat keji hingga kau akan dijauhi sahabat-sahabatmu sendiri!"
Touw Gan I membenarkan ucapan Tiauw Coan.
"Baik, akan kutolak ajakan jahat itu!" kata Touw Gan I.
"Kalau kau tolak pasti mereka akan menyuruh orang lain," kata Tiauw Coan. "lebih
baik kau pura-pura menerima perintah itu, tetapi kau segera balikkan senjata itu untuk
menghantam kaum durhaka itu. Nanti kalau raja yang budiman sudah duduk di istana, aku nanti
pujikan kau punya pahala, pasti kau bakal dapat ganjaran yang besar."
"Terima kasih Tay-hu atas petunjukmu, akan kulaksanakan saran itu!" kata Touw
Gan I. Tiauw Coan pura-pura tidak percaya, sehingga Touw Gan I segera bersumpah.
Sesudah itu Touw Gan I pulang, Tiauw Coan segera mengabari Pi The Hu, dan Pi The Hu pun
memberi tahu Li Kek. Maka mereka segera mengatur anak buahnya masing-masing, mereka
sepakat saat mengantar mengubur jenazah Chin Hian-kong mereka akan bergerak secara
berbareng. Begitu sampai waktu mengubur jenazah Raja Chin, Li Kek memberi kabar, karena
sakit tidak bisa ikut mengantar mengubur jenazah Raja Chin. Touw Gan I segera meminta Tong
Koan Ngo mengerahkan tiga ratus tentara akan mengepung rumah Li Kek, permintaan itu
segera dikabulkan. Ketika rumahnya dikepung, Li Kek sengaja memerintahkan orang pergi ke pekuburan
untuk memberi tahu telah timbul huru-hara. Mendengar kabar itu, Sun Sit terkejut, dia
minta keterangan. "Kabarnya Li Kek hendak menggunakan kesempatan penguburan yang baik akan membuat
huru-hara," kata Tong Koan Ngo, sebelum orang Li Kek memberi keterangan. "Sebab
aku curiga pada Li Kek, maka aku sudah perintahkan Touw Gan I menyiapkan tentara
untuk menjaga rumahnya, boleh jadi telah terjadi pertarungan antara Touw Gan I dengan
anak buahnya. Jika urusan ini bisa beres, itu keuntungan buat Tay-hu, bila tidak
beres, Tay-hu pun tidak kerembet-rembet."
Hat Sun Sit merasa sangat tidak enak, segera dia menyelesaikan upacara
penguburan. Kemudian dia perintahkan kedua Ngo memimpin tentaranya untuk membantu melabrak
Li Kek, sedang dia sendiri mengantarkan Tok Cu pulang ke istana untuk menunggu
kabar baik. Tong Koan Ngo dan tentaranya sampai di tengah pasar sebelah timur, justru saat
itu dia berpapasan dengan Touw Gan I. Gesit luar biasa Touw Gan I mencekal leher Tong
Koan Ngo yang terus dia patahkan hingga binasa, sedang tentaranya jadi kalang-kabut.
"Pangeran Tiong Ji bersama tentara Cin dan Ek sudah ada di luar kota!" teriak
Touw Gan I pada semua tentara Chin. "Aku terima perintah Li Tay-hu untuk membalas penasaran
hati almarhum Pangeran Sin Seng! Basmi seluruh konco orang-orang jahat, sambut Kong-
cu Tiong Ji untuk menjadi raja! Kalian jika mau membantu, ikut bersamaku! Jika
tidak silakan pergi!" Mendengar Pangeran Tiong Ji bakal jadi raja, semua gembira dan akan ikut
membantu. Liang Ngo yang mendapat kabar itu mengajak Sun Sit membawa lari Pangeran Tok Cu.
Tetapi begitu melihat dorna itu lari, Touw Gan I segera mengejarnya. Sementara
Li Kek, Pi The Hu dan Tiauw Coan, masing-masing sudah membawa orangnya datang ke tempat
itu. Melihat gelagat tidak baik, Liang Ngo pikir pasti dia juga tidak akan bisa
meloloskan diri, segera mencabut pedangnya dan gorok lehernya sendiri, tetapi sebelumnya, Touw
Gan I keburu menubruk dan menangkapnya. Ketika itu Li Kek sampai di situ, segera dia
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angkat goloknya dan menebas dorna itu hingga jadi dua potong.
Waktu itu Tay-hu Kiong Hoa juga memimpin orangnya datang membantu Li Kek. Semua
orang dengan berbareng menerjang masuk ke pintu istana. Li Kek sambil memegang
pedang jalan duluan, sedang yang lain-lain ikut dengannya. Pembesar yang ada di istana
semua jadi kaget dan bubar, hanya Sun Sit yang tidak berubah parasnya, tangan kirinya
memeluk Tok Cu, sedang tangan kanannya mengangkat tangan bajunya untuk menghalangi raja yang
masih kecil itu. Tok Cu ketakutan dan menangis.
"Anak kecil ini apa dosanya?" kata Sun Sit pada Li Kek. "Lebih baik bunuh saja
aku, harap kalian sisakan putra raja almarhum!"
"Sin Seng bagaimana" Dia juga anak raja almarhum!" sahut Li Kek, yang segera
lirik Touw Gan I dan berkata, "Lekaslah turun tangan!"
Touw Gan I segera merampas Tok Cu dari tangan Sun Sit, lalu dia lemparkan ke
bawah tangga istana. "Gubral!" Saat itu juga Tok Cu telah binasa. Sun Sit jadi sangat
marah, dia mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya akan menyerang Li Kek. Tetapi
kembali dia kena dibunuh oleh Touw Gan I.
Semua orang segera menerjang masuk ke dalam keraton. Li Ki jadi sangat
ketakutan, dengan tergopoh-gopoh dia lari ke keraton Ke Kun. Tetapi Ke Kun menutup pintu tidak mau
menerima. Sebab sudah putus harapan, dengan badan gemetar perempuan dengki itu
lari ke kebun belakang, dari atas jembatan dia menceburkan diri ke dalam air, dan segera
mati. Li Kek masih penasaran, dia perintahkan orangnya mengangkat mayat perempuan
dengki itu dan dicincang sampai jadi hancur lebur. Adik perempuan Li Ki, meski pun dia yang
melahirkan Tok Cu, tetapi sebab tidak begitu jahat seperti kakaknya Li Ki, dia
diampuni tidak dibunuh, melainkan dipenjara di salah satu kamar di istana. Sementara keluarga
dua Ngo dan Yu Si semua dibunuh. Sesudah melakukan pembalasan pada orang-orang durhaka itu, Li Kek segera
memanggil semua pembesar mengadakan rapat di istana. Li Kek usul hendak mengangkat
Pangeran Tiong Ji menjadi raja. Tetapi Pi The Hu bilang lebih baik tanya dulu pendapat Ho
Tut, seorang pembesar Chin yang paling tua. Karena itu segera diutus seseorang untuk
mengundang Ho Tut. Tetapi Ho Tut menolak hadir, dia berkata, "Aku sudah tua, aku
setuju saja apa keputusan para Tay-hu!"
Ketika itu suruhan itu kembali dan memberitahukan ucapan Ho Tut, semua pembesar
segera mengambil keputusan hendak mengangkat Pangeran Tiong Ji menjadi raja. Segera
disebar surat udangan yang ditandatangani oleh Li Kek. Pi The Hu, Kiong Hoa, Ke Hoa,
Tiauw Coan dan yang lain-lain. Semua berjumlah tiga puluh orang lebih. Touw Gan I segera
diutus membawa surat undangan itu ke negeri Ek, akan meminta Kongcu Tiong Ji pulang ke
negeri Chin untuk menjadi raja. Ketika Tiong Ji menerima undangan itu, dia melihat nama Ho Tut tidak tercantum
di sana, sehingga dia jadi curiga. Sedang Ho Yan juga memberi saran.
"Lebih baik jangan pergi, sebab baru kematian ayahanda Tuanku dan lagi dalam
keadaan kalut, apabila tuanku menerima menjadi raja, bukan saja nama jadi buruk.
Ditambah, khawatir kaum orang-orang durhaka akan melakukan pembalasan secara rahasia." kata Ho Yan.
Tiong Ji memberi tahu pada Touw Gan I, dia tidak bersedia menerima untuk menjadi
raja, biarlah supaya diangkat saja pangeran yang lain. Touw Gan I segera kembali
memberitahukan hal itu, Li Kek masih penasaran, dia hendak memerintahkan utusan lain mengundang
Tiong Ji. Tetapi Tay-hu Nio Yu Bi segera mencegah.
"Percuma saja kita undang dia, pasti Kong-cu Tiong Ji akan tetap menolak, supaya
tidak buang waktu, undang saja Kong-cu I Gouw." kata Nio Yu Bi.
"I Gouw orangnya serakah dan kejam," kata Li Kek kurang senang. "Lantaran tamak
maka dia tidak bisa dipercaya, dan lantaran kejam pasti dia tidak punya rasa cinta
pada rakyat." "Tetapi daripada mengangkat pangeran lain, lebih pantas angkat Kongcu I Gouw,
bukan?" kata Nio Yu Bi. "Ya, itu betul!" seru orang banyak.
Li Kek karena kalah suara, apa boleh buat segera memerintahkan Touw Gan I ikut
Nio Yu Bi pergi menjemput Kong-cu I Gouw di negeri Liang. Memang benar adat I Gouw
berlainan jauh dengan Tiong Ji, sedangkan Tiong Ji manis budi, sebaliknya I Gouw dia tamak
dan kejam, seperti kata Li Kek.
Ketika I Gouw melarikan diri ke negeri Liang, raja Liang menikahkan putrinya
dengan I Gouw, dan dari pernikahan itu mereka berputra seorang diberi nama Gi. Begitu
mendapat kabar ayahnya telah wafat, I Gouw segera memerintahkan Lu I Seng pergi merampas
kota Kut. Kemudian setelah mendengar kabar He Ce dan Tok Cu dibunuh dan semua
pembesar mengundang Tiong Ji, dengan tidak ayal lagi dia segera berunding dengan Kek Shia
dan Kiok Peng untuk merebut kedudukan jadi raja. Tetapi sebelum putusan diambil datang
Nio Yu Bi dan Touw Gan I mengundangnya, hingga bukan alang kepalang girangnnya Pangeran I
Gouw. Kiok Peng segera menyatakan pendapatnya.
"Jika Tiong Ji sudah tidak mau menjadi raja, pasti dia masih curiga di dalam
negeri masih terlalu banyak komplotan jahat. Jika sekarang seumpama I Gouw mau masuk ke
lubang macan, Tuan harus sedia dulu senjata tajam, supaya apabila timbul bencana, Tuan
sudah siaga. Setahuku kelompok yang terkuat adalah yang dipimpin oleh Li Kek dan Pi
The Hu, maka kedua Tay-hu itu harus diberi suap yang besar. Selain itu kita juga harus
menyuap negeri Cin, sebab Cin sangat kuat dan bertetangga dengan Chin, maka dengan
meminjam tenaga negeri kuat serta dekat itu, pasti mereka bisa masuk ke negeri Chin
dengan gampang dan tidak ada yang berani menghalanginya." kata Kiok Peng.
I Gouw jadi girang, lalu dia terima saran dari Kiok Peng ini. Ia memberi
keterangan pada Touw Gan I dan disuruh pulang lebih dulu. I Gouw berjanji akan memberi hadiah
pada Li Kek seribu petak sawah di Hun-yang, dan Pi The Hu tujuh ratus petak sawah di Hu-
kiu. Sedang Nio Yu Bi diutus ke negeri Cin, untuk memberi tahu pada raja Cin bahwa
semua pembesar di negeri Chin telah mengundang I Gouw untuk dijadikan raja di negeri
Chin. Maka I Gouw minta dukungan dari raja Cin, tentara untuk mengantarkan dia kembali ke
negeri Chin. Untuk rasa terima kasihnya, I Gouw menjanjikan hendak menyerahkan lima
buah kota di sebelah luar Sungai Huang-hoo (Sungai Kuning).
Cin Bok Kong meluluskan permohonan I Gouw, lalu memerintahkan pada Kong-sun Ci
memimpin tiga ratuskeretaperang dantentara untukmengantar I
Gouw. Sementara itu Cee Hoan Kong ketika mendapat kabar di negeri Chin terjadi huru-
hara, dia mengumpulkan raja-raja muda untuk berunding. Tetapi waktu dia sampai di tanah
Ko-liang, dia mendapat kabar negeri Cin sudah membawa tentaranya untuk mengantarkan I
Gouw. Baginda Ciu Siang Ong memerintahkan pada Ong-cu Tong membawa tentara datang ke
negeri Chin, dan hanya mengutus Sek Peng memimpin pasukan tentara berkumpul
dengan tentara Cin dan Ciu untuk bersama-sama mengantarkan I Gouw.
Lu I Seng dan Pi The Hu mengundang Ho Tut untuk memimpin upacara penyambutan di
perbatasan negeri Chin. Begitulah Kong-cu I Gouw telah masuk ke kota Kang-touw dan menjadi raja yang
bergelar Chin Hui Kong. Waktu itu adalah tahun Ciu Siang Ong ke-2. Chin Hui Kong
mengangkat putranya, Kongcu Gi menjadi Si Cu (putra mahkota), Ho Tut dan Kek Shia menjadi
Siang Tay-hu, yang lain-lain semua tetap dalam jabatannya yang lama. Juga dia perintah
Nio Yu Bi ikut Ong-cu Tong pergi ke negeri Ciu, Han Kan ikut Sek Peng pergi ke negeri Cee,
untuk menghaturkan terima kasih atas budi mereka yang sudah mengantarkan dia pulang ke
negerinya. Angkatan perang negeri lain sudah pulang, hanya tinggal Kong-sun Ci yang hendak
mengambil lima kota sesuai janji I Gouw pada mereka. Maka itu mereka masih
tinggal menunggu di negeri Chin. Rupanya Chin Hui Kong merasa sayang untuk melepaskan lima kota, segera dia
mengumpulkan semua menterinya untuk berunding. "Ketika tuanku mau menyerahkan
lima kota kepada raja Cin," kata Lu I Seng, "ketika itu tuanku belum menjadi raja,
jadi negeri ini bukan milik tuanku. Tetapi sekarang negeri ini sudah menjadi milik tuanku.
Sekarang tuanku sudah menjadi raja Chin! Menurut pendapatku, meskipun kita tidak menyerahkan
kota-kota itu, pasti Cin tidak bisa berbuat apa-apa."
"Aku rasa tidak baik jika Tuanku berbuat begitu," kata Li Kek membantah, "karena
tuanku baru menjadi raja, lalu tuanku ingkar dan menghilangkan kepercayaan orang kepada
tuanku! Ditambah negeri Cin sangat kuat dan mereka tetangga kita pula. Lebih baik tuanku
serahkan saja!" "Kehilangan lima kota, sama dengan kehilangan separuh dari negeri Chin," kata
Kiok Peng yang tidak setuju pada saran Li Kek. "Meskipun negeri Cin menghabiskan
tentaranya, tidak gampang mereka bisa mengambil lima kota kita dengan begitu mudah! Ingat raja
kita almarhum, begitu sulitnya mendapatkan negeri ini. Masa dengan gampang kita
serahkan lima buah kota pada mereka?"
"Sudah tahu ini milik almarhum raja kita, mengapa kau janjikan akan diserahkan
kepadanya" Sudah janji tetapi tidak ditepati, apa itu tidak akan membuat raja Cin gusar?"
kata Li Kek dengan keras. "Ingat waktu raja kita almarhum mendirikan negeri Kiok-ah,
tanahnya sangat kecil, lantaran beliau bisa mengurus beres pemerintahan, sehingga bisa merampas
negeri- negeri kecil untuk memperbesar daerahnya! Manakala tuanku bisa mengatur betul
pemerintahan dan rukun pada tetangga negeri, buat apa merasa khawatir dengan
lenyapnya lima kota itu?" "Kata-kata Li Kek hanya untuk kepentingan negeri Cin!" teriak Kiok Peng dengan
sangat marah. "Karena dia khawatir tuanku tidak jadi memberinya seribu petak sawah di
Hun-yang yang telah dijanjikan kepadanya, maka dia hendak bersandar pada raja Cin!"
Melihat gelagat kurang baik, Pi The Hu dengan sikutnya dia senggol Li Kek.
Akhirnya Chin Hui Kong mengeluarkan putusan menurut saran Lu I Seng dan Kiok
Peng. Dia perintahkan Lu I Seng menulis surat untuk dikirim pada raja Cin. Surat itu
berbunyi demikian: "Bukan aku mungkir janji, karena sebagian besar pembesar Chin tidak
setuju menyerahkan lima kota itu, maka aku Chin Hui Kong minta waktu dulu untuk
penyerahan lima kota itu, sebab aku mau berunding lebih jauh."
Kemudian Chin Hui Kong bertanya siapa yang bersedia membawa surat ke negeri Cin.
Pi The Hu menyatakan bersedia pergi, dan diizinkan oleh Chin Hui Kong. Pi The Hu pergi
ikut bersama Kong-sun Ci ke negeri Cin.
Ketika Cin Bok Kong sudah menerima surat dan sudah membaca surat itu, dia jadi
marah sekali, karena dia yakin raja Chin hendak membohonginya, dia segera mau membunuh
Pi The Hu. "Menteri-menteri negeri Chin tidak ada yang tidak ingat pada budi tuanku,
semua suka menyerahkan tanah tersebut," kata Pi The Hu memberi keterangan. "Tetapi lantaran
Lu I Seng dan Kiok Peng, dua orang itu, mencegah dengan keras, ditambah rajaku yang baru
pun rupanya berniat begitu, maka lima kota itu tidak diserahkan kepada Cin. Sekarang
sebaiknya tuanku dengan baik-baik panggil dua orang itu, sesampai di sini segera bunuh
mereka, kemudian tuanku antarkan Kong-cu Tiong Ji, aku dan Li Kek akan mengusir I Gouw
dan menyambut kedatangan tuanku dari dalam, pasti Kong-cu Tiong Ji bisa naik menjadi
raja Chin. Jika ini perkara sudah beres, pasti Tiong Ji suka menurut kepada tuanku,
apakah ini bukan akan lebih baik?"
Cin Bok Kong memang suka pada Kong-cu Tiong Ji, dia jadi girang sekali setelah
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar ucapan Pi The Hu, maka segera dia perintahkan Tay-hu Leng Ci ikut Pi The Hu
pergi membawa bingkisan ke negeri Chin, dengan maksud hendak memikat Lu I Seng dan
Kiok Peng. Ketika Pi The Hu diutus ke negri Cin, Kiok Peng memberi saran pada Raja Chin Hui
Kong, supaya Raja Chin membunuh Li Kek, karena dia mendapat laporan Li Kek berniat
mengangkat Tiong Ji menjadi Raja.
"Jika benar dan Tiong Ji menyerang dari luar sedang Li Kek menyambut dari dalam,
pasti berbahaya sekali bagi kedudukan Tuanku!" kata Kiok Peng menghasut.
Tanpa pikir lagi Chin Hui-Kong menyatakan setuju akan membunuh Li Kek, dan dia
menyuruh Kiok Peng melakukan pembunuhan itu.
Kiok Peng segera mengunjungi Li Kek. Kepada Li Kek, Kiok Peng bilang,"karena kau
membinasakan He Ce, Tok Cu dan Sun Sit, maka sekarang Chin Hui-Kong hendak
menghukumanmu!" kata Kiok Peng. "Aku singkirkan ketiga orang itu untuk
kepentingan Cu- kong! Sekarang Cu-kong sudah menjadi Raja, mengapa bukan diberi hadiah malah mau
dihukum?" kata Li Kek membela diri.
"Cu-kong juga bilang, jika bukan kau yang membantu pasti dia tidak akan menjadi
Raja. Maka itu beliau juga tidak melupakan jasamu itu," sahut Kiok Peng. "Tetapi . . .
tetapi kau dengan Cu-kong itu urusan pribadimu! Sekarang kau boleh pilih mau mati dengan
cara apa, agar jangan sampai algojo yang melaksanakannya!"
Li Kek sadar sekalipun mau adu bicara bagaimana pun, pasti tidak akan berhasil,
maka dia segera cabut pedang di pinggangnya terus bunuh diri. Meninggalnya Li Kek telah
membuat semua pembesar tidak senang, terlebih Ki Ki, Kiong Hoa, Ke Hoa, Tiauw Coan dan
yang lain. Mereka mencaci dan menista Raja Chin kejam dan biadab. Ketika Chin Hui- Kong
tahu, dia berniat membinasakan mereka. Tetapi Kiok Peng mencegahnya,
"Lebih baik cari dulu kesalahannya." kata Kiok Peng.
Sementara itu Pi The Hu telah pulang, dia menghadap Chin Hui- Kong untuk
melaporkan hasil pekerjaannya. Kemudian baru dia ajak Leng Ci menghadap, untuk menyerahkan
surat balasan dan barang bingkisan dari Raja Cin.
Chin Hui-Kong membuka dan melihat surat itu, isinya menggembirakan hatinya.
Karena Raja Cin dengan sangat manis tidak membicarakan panjang masalah lima kota itu. Hanya
dalam surat itu Raja Cin minta agar Kiok Peng dan Lu I Seng datang ke negeri Cin untuk
diajak berunding. Bukan main girangnnya Chin Hui- Kong, segera dia perintahkan Lu I Seng dan Kiok
Peng pergi ke negeri Cin untuk berunding dengan Raja Cin. Tetapi dua pembesar ini
cerdik, sebelum menyatakan siap memenuhi perintah atasannnya, mereka berunding dulu
dengan rekannnya. "Kedatangan utusan Cin ini sangat mencurigakan, aku rasa mereka
bermaksud kurang baik," kata Kiok Peng. "Bingkisan mereka banyak dan ucapan manis, boleh
jadi mereka hendak memancing kita, maka jika kita pergi ke Cin, niscaya kita akan
dapat susah." "Ya, aku duga Cin baik pada Chin tidak akan sampai begini," sahut Lu I Seng
sambil manggut. "Ah, ini pasti ulah Pi The Hu yang sudah mendengar kematian Li Kek,
maka dia khawatir dirinya juga tidak akan luput dari kematian, maka dia mengatur siasat
ini dengan Raja Cin, supaya Raja Cin membunuh kita, kemudian dia mengadakan huru-hara."
"Betul, dugaan sangat tepat!" kata Kiok Peng. "Pi The Hu dan Li Kek satu
kelompok, jika Kek dibunuh, bagaimana The Hu tidak ketakutan" Tetapi sekarang semua pembesar
sebagian besar konco-konco Li dan Pi, maka kita harus menyelidik dengan hati-hati
gerakkan mereka. Sekarang kita minta utusan Cin itu pulang lebih dulu, bilang saja kita akan
menyusul belakangan, yaitu begitu kita sudah beres dengan urusan pemerintahan."
Lu I Seng setuju dengan pendapat rekannnya. Begitulah mereka berdua diam-diam
menemui Raja Chin untuk berunding.
Sesudah mendengar laporan Lu dan Kiok, Raja Chin Hui-kong langsung setuju, lalu
mempersilakan Leng Ci pulang duluan ke negeri Cin,untuk memberi kabar pada Raja
Cin. Dengan lasan urusan di negeri Chin belum beres, dia minta tempo sedikit . Baru
Raja Chin akan mengutus Lu dan Kiok datang ke negeri Cin.
Leng Ci tidak bisa memaksa, apa boleh buat dia pamit dan kembali ke negeri Cin.
Dengan diam-diam Lu dan Kiok memerintahkan orangnya yang dapat dipercaya, supaya
setiap malam bersembunyi di dekat gedung Pi The Hu untuk mengintai gerak-
geriknya. Sekian lama Pi The Hu melihat Lu dan Kiok masih belum juga mau pergi ke negeri
Cin, dengan diam-diam dia undang Ki Ki, Kiong Hoa, Ke Hoa, Tiauw Coan. Mereka
berkumpul dan entah apa yang dibicarakan, sampai pukul 5 pagi orang-orang itu baru pulang.
Mata-mata Kiok Peng segera melaporkan hal itu pada tuannya, seperti yang telah
dilihatnya. Kiok Peng menduga pembicaraan mereka pasti mengenai pengkhianatan, maka tidak
ayal lagi dia pergi dan berunding dengan Lu I Seng. Sesudah berunding seketika lamanya,
mereka mengambil putusan segera mengeluarkan perintah untuk mengundang Touw Gan I.
Tidak berapa lama Touw Gan I sudah datang menghadap.
"Bahaya sedang mengancammu, bagaimana kau tenang-tenang saja?" kata Kiok Peng.
Touw Gan I terkejut, dengan wajah pucat dia bertanya:, "Bahaya apa,Tay-hu?"
"Dulu kau telah membantu Li Kek membinasakan dua raja yang masih kecil, sekarang
Li Kek sudah dihukum mati, kau juga pasti akan mendapat giliran. Tetapi karena kami
ingat kau berjasa, kami tidak tega melihat kau mendapat bencana, maka kami segera
memberitahumu." Touw Gan I jadi ketakutan. Dia minta tolong supaya bisa luput dari hukuman.
"Kemarahan Cu-Kong sulit dicegah, kami tidak yakin bisa memintakan ampun
untukmu," kata Kiok Peng. "Cuma satu cara, mungkin kau bisa bebas...."
Touw Gan I segera berlutut dan bertanya. "Bagaimana caranya?" tanya Gan I.
Kiok Peng dengan suara perlahan berkata, "Kau harus menyingkirkan konco Li Kek,
yaitu Pi The Hu. Kami dengar dia berniat hendak membuat huru-hara. Dia mau menyingkirkan
Cu- Kong dan mengangkat Tiong Ji menjadi raja. Kau pura-pura ketakutan, dan minta
diajak bersekongkol dalam gerakan mereka. Jika kau sudah memperoleh rahasia mereka, kau
siarkan tentang kejahatannnya. Bukan saja dosamu akan diampuni kau juga akan dinaikan
pangkat dan diberi hadiah!" Hasutan Kiok Peng menarik hati Touw Gan I, yang tadi begitu ketakutan, sekarang
girang sekali, "Karena pertolongan Tay-hu, aku selamat, aku siap melaksanakan tugas
itu. Tetapi aku tak pandai bicara...." kata Touw Gan I.
"Jangan khawatir, akan aku ajari," kata Lu I Seng.
Kemudian Lu I Seng mengajari apa yang harus dikerjakan oleh Tuw I Gan,
Malam itu juga Touw Gan I pergi menemui Pi The Hu dan mengatakan dia akan
menyampaikan pesan rahasia.
Pi The Hu menyuruh orangnya memberi tahu Touw, karena sedang mabuk arak dan
sudah tidur, Pi tak mau menemuinya. Touw Gan I tidak percaya, dengan pura-pura sedang
punya urusan penting, dia masuk ke dalam. Terpaksa Pi The Hu menerimanya. Touw Gan I
berlutut di depan Pi The Hu, dan berkata seperti orang yang ketakutan, "Tay-hu tolong
selamatkan selembar jiwaku ini."
Bab 20 Pi The Hu jadi terkejut. "Eh ada apa ini, mengapa kau berkata begitu?" tanya Pi.
"Cu-Kong menyangka aku membantu Li Kek membinasakan He Ce dan Tok Cu, dia hendak
menjatuhkan hukuman padaku, sekarang bagaimana baiknya?"
"Lu dan Kiok yang memegang kekuasaan, mengapa kau tidak minta pertolongan
mereka?" kata Pi The Hu. "Aku hendak dihukum, semua itu ulah kedua jahanam itu!" kata Youw Gan I. Jika
bisa aku ingin menelannya, apa gunanya minta tolong pada mereka?"
"Lalu apa maumu?"
"Pangeran Tiong Ji sangat baik, orang terpelajar semua suka membantu dia, semua
rakyat negeri pun ingin dia yang menjadi raja. Selain itu Raja Cin juga benci pada raja
yang sekarang. Karena dia melanggar janji. Jika mau apa saja boleh Tay-hu perintahkan
aku, misalnya menemui Pangeran Tiong Ji. Untuk membujuk Kong-cu Tiong Ji melawan
dengan kekuatan dari dua negeri Cin dan Ek mengusir Chin Hui-kong!"
Mendengar ucapan Touw, Pi The Hu kaget. Tetapi dia tetap tidak segera
mempercayai kata- kata Touw. Tetapi Touw Gan I terus berusaha meyakinkan Pi The Hu yang akhirnya
terjebak juga. "Apa benar kau punya niat seperti itu?" kata Pi The Hu dengan hati berdebar.
Touw Gan I gigit salah satu jari tangannya, sehingga mengeluarkan darah, dia mengangkat
sumpah. "Jika aku berhati serong, biarlah seluruh kaum keluargaku habis seluruhnya!"
kata Touw Gan I. Melihat sikap Touw Gan I yang sungguh-sungguh, Pi The Hu baru yakin.
"Besok aku akan mengadakan pertemuan," kata Pi The Hu akhirnya. "Nanti masalah
ini akan kami putuskan." Pada esok malamnya, Touw Gan I pergi kembali ke rumah Pi The Hu, di sana dia
melihat Ki Ki, Kiong Hoa, Ke Hoa dan Tiauw Coan sudah sampai lebih dulu, dan ada lagi Siok
Kian, Lu Hu, Tek Kiong dan Tian Ki, yaitu kerabat Pangeran Sin Seng, dengan Pi The Hu dan Touw
Gan I jumlahnya sepuluh orang. Di situ mereka mengatur meja sembayang dengan
minum darah mengangkat sumpah, bahwa sama-sama akan mengangkat Pangeran Tiong Ji
menjadi raja. Sesudah mengangkat sumpah, Pi The Hu mengajak kawan-kawannnya minum arak, sampai
semuanya mabuk baru berpisah pulang ke masing-masing rumahnya. Kejadian ini
diam-diam oleh Touw Gan I dilaporkan pada Kiok Peng. Kiok Peng jadi girang, dengan muka
manis dia berkata. "Kalau cuma kau punya omongan saja tidak ada buktinya, maka kau harus
mendapatkan surat Pi The Hu, dengan demikian baru bisa jatuhkan hukuman
kepadanya." Esok malamnya Touw Gan I datang lagi ke rumah Pi The Hu. Kebetulan Pi ingin
mengirim surat untuk Pangeran Tiong Ji. Surat itu memang sudah lama disediakan oleh Pi
The Hu. Dalam itu sudah dicantumkan sepuluh nama, dan sembilan orang sudah membubuhkan
tanda tangannya, cuma tinggal Touw Gan I seorang yang belum menanda tangani surat itu.
Touw Gan I mengambil pit dan membubuhkan tanda tangannya. Pi The Hu segera
memasukkan surat itu ke dalam sampul dan segera ditutup dengan rapih, kemudian
diserahkan pada Touw Gan I, serta dipesan harus berhati-hati jangan sampai
rahasia itu bocor. Touw Gan I girang karena sekarang dia telah mendapatkan bukti yang diinginkan.
"Mampuslah kalian!" pikir Touw Gan I.
Begitulah, sekeluarnya dari rumah Pi The Hu, Touw segera menuju ke rumah Kiok
Peng dan dia serahkan surat itu. Setelah Kiok Peng membuka dan memeriksa surat itu, dia
menjadi girang sekali, lalu dia suruh Touw Gan I bersembunyi di dalam rumahnya, sedang
surat itu ditaruh di dalam tangan bajunya. Dengan tidak ayal lagi dia temui Lu I Seng.
Mereka pergi menemui Kok-kiu Kek Shia, untuk melaporkan adanya gerakan rahasia itu.
"Jika tidak segerea menyingkirkan orang-orang yang hendak berkhianat itu, maka
negara akan kacau!" kata Lu I Seng.
Malam hari itu juga Kek Shia pergi mengetuk pintu istana, setelah berjumpa
dengan Raja Chin Hui- Kong, dia segera menceritakan bahwa Pi The Hu dan kelompoknya hendak
berkhianat, maka ia minta besok pagi jika Chin Hui-Kong bersidang di istana
boleh langsung menjatuhkan hukuman pada mereka. Buktinya adalah surat itu.
Esok harinya, Chin Hui- Kong mengadakan sidang di istana, sedang Kiok Peng dan
Lu I Seng sudah menyembunyikan beberapa orangnya di bagian dalam istana. Sesudah semua
pembesar memberi hormat, Chin Hui Kong segera memanggil Pi The Hu menghadap.
"Aku tahu kau hendak menyingkirkan aku untuk mengangkat Pangeran Tiong Ji!"
begitu kata Chin Hui-Kong dengan geram. "Sekarang aku mau tanya hukuman apa kau inginkan?"
Ketika Pi The Hu mau menyahut, Kiok Peng sudah segera mencabut pedangnya dan
berteriak. "Kau memerintahkan Touw Gan I membawa surat untuk mengundang Tiong Ji, untung
rejeki Rajaku besar, Touw Gan I sudah tertangkap di luar kota dan kami mendapatkan
surat itu! Orang yang ikut berkhianat berjumlah sepuluh orang! Sekarang Touw Gan I sudah
mengaku, kau tidak usah banyak bicara lagi!"
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chin Hui-kong segera melemparkan surat itu di atas meja. Lu I Seng segera
mengambilnya maka sesuai yang namanya tertulis di situ, dibacakan satu persatu. Secara
serempak diadakan penangkapan besar-besaran. Di antara para penanda tangan hanya Kiong Hoa yang
tinggal di rumah tidak datang ke istana, tetapi dia juga disuruh ditangkap.
Delapan menteri yang ada di situ jadi saling pandang dan kaget tidak mengira
rahasia mereka telah bocor. Mereka sudah tidak punya harapan akan lolos dari kematian.
Chin Hui-Kong segera memanggil algojo untuk mengggiring delapan orang itu dibawa
keluar istana untuk ditebas batang lehernya. Sementara itu Kiong Hoa yang ada di
rumahnya setelah mendengar Pi The Hu dan yang lain-lain sudah dihukum mati, dia segera datang ke
istana untuk menerima hukuman mati, sehingga tanpa ditangkap lagi dia menyerahkan diri.
Chin Hui-Kong yang memang kejam segera mengeluarkan perintah untuk menghukum
mati Kiong Hoa. Anak Pi The Hu, Pi Pa namanya, ketika mendengar ayahnya sudah
dibunuh, dengan tidak ayal lagi dia segera pergi ke negeri Cin. Rupanya Chin Hui-Kong
masih penasaran, segera hendak membasmi kaum Li, Pi dan lain-lain kaum keluarganya.
Tetapi untung kekejaman Chin Hui-Kong bisa dicegah oleh Kiok Peng, sehingga Chin Hui-
Kong membatalkan niatnya. Ia mengangkat Touw Gan I menjadi Tiong-tay-hu serta diberi
hadiah sawah di Hui-kui tiga ratus petak.
Pi Pa yang lari ke negeri Cin lalu menghadap pada Raja Cin Bok-kong, dia
ceritakan apa yang sudah terjadi, dan dia minta supaya Raja Cin Bok-kong mengerahkan pasukan perang
menyerang ke negeri Chin. Tetapi Kian Siok dan Pek Li He menyatakan tidak
setuju. "Jangan Tuanku, jika Tuanku memerangi Chin, sama juga Tuanku membantu menteri
memerangi rajanya. Ini jadi kurang baik di mata para raja. Kita tunggu saja
sampai di negeri Chin timbul kekacauan. Saat itu baru kita serang mereka!" kata Kian Siok.
Raja Cin Bok- Kong menurut dia tidak setuju pada usul Pi Pa, tetapi Pi Pa
dipakai dan bekerja menjadi menteri di negeri Cin.
*** Pada tahun itu, Ong-cu Tay, yaitu saudara tiri Baginda Siang-ong, telah memberi
suap pada bangsa Jiong, yang disuruh menyerang ke Kota-raja, karena ia berniat hendak
merebut tahta kerajaan. Tetapi Baginda Siang-ong segera minta bantuan pada semua Raja muda.
Cin Bok-kong, Chin Hui-kong dan Raja-muda yang lain datang menolong, sedang Cee
Hoa- kong juga memerintahkan pada Koan Tiong supaya mengerahkan pasukan perang untuk
melabrak bangsa Jiong. Raja Jiong takut pada tentara Cee yang sangat kuat, juga terhadap para Raja-muda
yang datang membantu, lalu mereka mundur dan minta ampun pada Baginda Siang-ong. Raja
bangsa Jiong pun menjelaskan kedatangannnya atas anjuran dari Ong-cu Tay.
Baginda mengampuni Raja bangsa Jiong, tetapi Ong-cu Tay segera diusir keluar
dari daerah Ciu. Baginda ingat pada Koan Tiong yang berpahala dan telah menetapkan kedudukannya
dan sekarang kembali berjasa sudah menalukkan bangsa Jiong, maka segera diadakan
pesta besar untuk menghormati Koan Tiong.
Tetapi Koan Tiong tidak berani menerima kehormatan itu, Koan Tiong memberi
alasan, dia tidak mau melebihi pangkat dua pejabat negara. Sesudah Baginda memaksa sampai
berulang- ulang, apa boleh buat Koan Tiong cuma terima saja aturan He-keng yang dijalankan
untuk menghormatinya. Sehabis pesta dirayakan, Koan Tiong segera pamit pada Baginda dan terus pulang
ke negri Cee. Pada musim Tang pada tahun juga, Koan Tiong sakit. Waktu itu Leng Cek dan
Pin Si Bu semua sudah meninggal dunia.
Cee Hoan-kong merasa sangat berduka, dia sendiri pergi menengok Koan Tiong yang
sedang sakit, dia lihat perdana mentri itu kurus sekali.
"Tiong-hu, mengapa sakitmu sampai begini hebat?" ratap Cee Hoan-kong sambil
memegang tangan Koan Tiong, "seandainya kau sampai tiada, harus diserahkan pada siapa
pemerintahan di negeri Cee?" "Pada Leng Cek," sahut Koan Tiong sambil menghela napas.
"Selain Leng Cek, siapa lagi yang boleh dipakai" aku pikir hendak memakai Pauw
Siok Gee, apa kau pikir boleh?"
"Pauw Siok Gee memang seorang yang budiman, cuma sayang dia jangan diberi
kedudukan di pemerintahan. Dia seorang yang terlalu menilai kebaikan dan kejahatan terlalu
tegas. Jika suka pada kebaikan memang bagus, tetapi jika membenci kejahatan keterlaluan,
siapakah yang akan taat kepadanya" Tegasnya, sekali saja dia melihat kejahatan orang,
seumur hidupnya dia tidak lupakan. Ini keburukan tabiatnya." kata Koan Tiong.
"Kalau Sek Peng, bagaimana?"
"Hampir boleh. Ia tidak malu untuk bertanya pada bawahan, meskipun sedang di
rumah dia tidak melupakan pekerjaan negeri."
Sehabis berkata begitu, Koan Tiong menghela napas, lalu berkata pula.
"Cuma sayang Allah menghidupkan Sek Peng, cuma untuk menjadi lidahnya I Gouw.
Jika badannya sudah mati, di manalah lidahnya bisa tinggal tetap, maka aku khawatir
jika Tuanku memakai Sek Peng tidak bisa lama."
"Kalau begitu, apakah Ek Ge boleh dipakai?"
"Tuanku meski tidak bertanya pun, hamba hendak mengatakan begini. Ek Ge, Si
Tiauw dan Kay Hong, tiga orang itu, harus Tuanku jauhi mereka."
"Ek Ge memasak daging anaknya untuk disuguhkan kepadaku, jelas dia mencintaiku
terlebih dari kepada anaknya, apakah orang ini masih harus dicurigai?"
"Sifat orang biasanya lebih menyayangi anaknya, jika anaknya saja tega dia
korbankan, bagaimana dengan Tuanku?" kata Koan Tiong.
"Si Tiauw rela menyerahkan gedungnya dan merawat aku dengan telaten, jelas dia
mencintaku lebih dari kepada dirinya, apakah dia juga masih harus dicurigai?"
tanya Cee Hoan-kong. "Semangat orang lebih diperlukan untuk dirinya sendiri, manakala dirinya sendiri
tak dihiraukannnya, bagaimanakah sikapnya terhadap Tuanku nanti?" kata Koan Tiong.
"We Kong-cu Kay Hong telah meninggalkan gelar Si-cu (Putera Mahkota) dan
berhamba kepadaku, sehingga ayah dan ibunya meninggal dunia, dia tidak pergi
menjenguknya. Ini jelas sekali dia mencintaiku terlebih dari kepada ayah dan ibunya, apakah ia juga
harus dicurigai?" *** Raja Cin Bok-kong setuju pada saran itu, segera dia keluarkan perintah untuk
memberi izin menjual beras pada orang Chin. Beberapa laksa karung beras segera diangkut di
sungai Wi- sui dan dibawa masuk ke negeri Chin. Atas izin Raja Cin Bok-kong yang murah
hati, rakyat negeri Chin tidak ada yang tidak bersyukur dan berterima kasih.
Pada lain tahun di musim Tang, di negri Cin dilanda musim paceklik, tetapi di
negeri Chin, tanaman gandumnya sangat subur. Raja Cin Bok-kong segera memerintahkan Leng Ci
untuk minta membeli gandum pada Chin. Semula Raja Chin Hui-kong hendak memerintahkan
mengeluarkan gandum yang ada di Hoa-say untuk dijual pada negeri Cin, tetapi
niat itu segera dicegah oleh Kiok Peng. "Tuanku menjual makanan pada Raja Cin, apakah Tuanku juga hendak menyerahkan
tanah kepadanya?" kata Kiok Peng yang dengki ini.
"Tidak, aku cuma mau menjual makanan saja," jawab Chin Hui-kong. "Aku tidak mau
memberikan tanah." "Apa sebabnya Tuanku menjual makanan pada mereka?" kata Kiok Peng.
"Untuk membalas kebaikan Raja Cin."
"Tuanku menjual makanan dengan anggapan Cin sudah berbuat kebaikan pada Tuanku,
sedang dulu dia mengantarkan Tuanku masuk ke negeri Chin, itu juga kebaikannya
malah sangat besar, lalu apa gunanya Tuanku melupakan yang lebih besar dan membalas
yang kecil?" "Tetapi kita harus ingat tahun lalu, ketika negeri kita ditimpa paceklik, dan
Tuan memerintahkan hamba membeli beras pada Cin," kata Keng The, "Raja Cin segera
setuju dan tidak menolak menjual makanannya pada kita. Tindakan mereka sangat bijaksana
sekali. Sekarang jika kita tidak mengizinkan mereka membeli makanan dari kita, niscaya
orang Cin akan sakit hati kepada kita."
"Ketika Cin menjual makanannya pada kita, bukan maksud baik. Tetapi mereka
mengharap kita menyerahkan lima kota yang kita janjikan pada mereka!" kata Lu I Seng.
"Jika dulu mereka tidak mengizinkan kita membeli beras, Chin akan sakit hati
pada Cin. Memberi makanan dan tidak menyerahan tanah, maka tetap Cin akan membenci pada
kita! Maka apa gunannya kita jual makanan pada mereka?"
"Merasa beruntung atas kecelakaan orang lain, bukan suatu kebajikan, sehingga
budi kebaikan mereka dulu jadi sia-sia saja," kata Keng The. "Jika kita tidak punya
kebajikan dan keadilan, apa dasar kita mengatur negara ini?"
"Ucapan Keng The benar!" kata Han Kan. "Seandainya tahun lalu Cin tidak izinkan
kita membeli beras, apa jadinya kita, Tuanku?"
"Tahun lalu Allah menjatuhkan bahaya kelaparan pada negeri Chin, untuk memberi
kesempatan yang baik pada negeri Cin," kata Kek Shia dengan suara nyaring,
"tetapi Cin sudah tidak menggunakannya. Sebaliknya mereka malah mengizinkan kita membeli
beras mereka. Jelas mereka bodoh! Sekarang Allah menurunkan bahaya kelaparan kepada
negeri Cin untuk memberikan kesempatan baik pada negeri Chin. Mengapa bolehnya negeri
Chin melanggar kehendak Allah, dan tidak mau bergerak" Maka menurut pendapat hamba,
lebih baik kita membuat perjanjian dengan Raja Liang. Dengan menggunakan kesempatan
yang baik ini kita serang negeri Cin, kemudian kita bagi daerahnya dengan Raja Liang,
ini hamba rasa jalan yang paling menguntungkan bagi kita."
Akhirnya Raja Chin Hui-kong mengambil keputusan menuruti usul Kek Shia, dia
menolak menjual bahan makanan pada negeri Cin, dia katakan pada Leng Ci, utusan Cin
dengan alasan beras dan makanan hanya cukup untuk dipakai di negeri Chin, maka dia tidak bisa
menjual kepada Cin. Dengan sangat mendongkol Leng Ci pulang ke negeri Cin, dia laporkan pada
rajanya, bukan saja Chin tidak mau menjual makanan mereka, bahkan Chin malah akan berserikat
dengan negeri Liang, hendak mengerahkan angkatan perang menyerang ke negeri Cin.
"O, mengapa orang sampai begitu tidak tahu aturan!" kata Raja Cin Bok-kong
dengan sangat marah. "Aku harus melabrak lebih dahulu negeri Liang, kemudian baru membasmi
negeri Chin!" Pek Li He memberi saran sebelum pasukan Chin datang menyerang, lebih baik
didahului diserang. "Apa alasan Tuan?" tanya Ci Bok-kong.
"Karena negeri Chin sebuah negeri besar sedangkan negeri Liang negeri kecil,
apabila yang besar sudah dikalahkan, pasti yang kecil dengan gampang bisa dijatuhkan." kata
Pek Li He. Raja Cin Bok-kong setuju pada saran Pek Li He, lalu dia tinggalkan Kian Siok dan
Yu I untuk membantu Pangeran Eng menjaga negeri Cin. Dia memerintahkan Beng Beng Si
memimpin tentara maju meronda di perbatasan negeri, untuk menjaga apabila ada kaum Jiong
yang datang menyerang, sedang Raja Cin Bok-kong sendiri dengan mengajak Pek Li He
memimpin pasukan induk, dan didampingi oleh Se Kip Sut dan Pek It Peng. Kong-sun
Ci memimpin pasukan kanan, Kong-cu Ci memimpin pasukan kiri, dengan membawa empat
ratus kereta perang menyerang ke negeri Chin.
Pembesar negeri Chin yang menjaga tempat di sebelah Barat, segera mengirim
laporan kepada Raja Chin Hui-kong tentang adanya serangan dari negeri Cin ini. Raja Chin
Hui-kong segera mengerahkan enam ratus kereta perang, dan memerintahkan Kiok Pouw Yang,
Ke Pok Touw, Keng The dan Ngo Sek memimpin pasukan kiri dan kanan, sedang Raja Chin
Hui- kong sendiri bersama Kek Shia memimpin pasukan induk, Touw Gan I menjadi Sian-
hong (Pemimpin Pasukan Pelopor), berangkat dari kota Kang-ciu menuju ke jurusan
Barat. Sementara itu pasukan Cin telah menyeberangi sungai dan menyerang dari arah
Timur, tiga
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali mereka berperang tiga kali juga mereka menang, semua panglima Chin telah
kabur karena tidak sanggup mempertahankan tempat yang mereka jaga, sehingga tentara
Cin maju terus sampai ke Han-goan dan mendirikan pesinggahan di sana.
Ketika Raja Chin Hui-kong mendapat kabar pasukan Cin sudah maju begitu jauh, dia
jadi kaget dan khawatir, sekira sepuluh li lagi ke Hangoan, dia perintahkan
pasukannnya mendirikan peristirahatan dan menyuruh Han Kan pergi mencari keterangan berapa
besar pasukan Cin itu. Selang tidak berapa lama Han Kan sudah kembali, dia memberi tahu. "Meskipun
pasukan Cin cuma terdiri dari tiga ratus kereta perang, tetapi pasukan itu sangat tangguh
dan angker kelihatannya.: kata Han Kan.
Raja Chin Hui-kong segera memerintahkan Han Kan maju ke depan barisan Cin untuk
menantang perang, dengan kekuatan 600 kereta perangnnya, pasukan Chin menyerbu.
Menurut perkiraan jika pasukan Cin tidak segera mundur, mereka akan menderita
kerusakan berat. Ancaman ini sedikit pun tidak membuat Raja Cin Bok-kong jadi takut, malah dia
tertawa terbahak-bahak. Dia perintah Kong-sun Ci segera menghadapi tantangn musuh itu.
"Apa yang kau inginkan, ketika minta diantar untuk menjadi raja, kami turuti.
Ketika paceklik mau membeli beras kami ladeni. Sekarang kalian ingin berperang, masakan tak kami
lawan!" kata Kong-sun Ci. Ucapan Kong-sun Ci membuat Han Kan malu bukan main, segera dia mundur dan
melapor pada Raja Chin Hui-kong. Mendengar laporan itu Chin Hui-kong menjadi marah, dia
majukan pasukan perangnya untuk menghadapi pasukan Cin.
Waktu Pek Li He sedang ada di tempat yang tinggi, dari sana dia mendapat
kenyataan sesungguhnya jumlah tentara Chin sangat banyak. Pek Li He memberi saran.
"Lebih baik jangan dilawan perang dulu." kata Pek Li He.
Tetapi Cin Bok-kong tidak setuju, dia atur barisannya di kaki gunung Liong-bun-
san untuk menunggu kedatangan pasukan Chin. Tidak lama pasukan Chin sudah datang dan juga
segera mengatur barisannya. Kedua barisan sudah langsung berhadapan, dari masing-masing
pasukan bagian tengah segera membunyikan tambur perang dan memajukan
balatentaranya. Touw Gan I mengeluarkan kegagahannya, dengan di tangan memegang tombak yang
beratnya beberapa ratus kati, dia menerjang masuk ke dalam barisan Cin, setiap
bertemu orang Cin dia langsung tusuk dan dibinasakan. Serangan Touw Gan I begitu hebat,
sehingga tentara Cin tidak tahan dan lari simpang-siur. Tetapi sesaat kemudian justru
Touw Gan I yang berpapasan dengan Pek It Peng, yang dengan sengit menangkis serangan Gan I,
sekarang Gan I baru ketemu tandingannya yang setimpal.
Kedua pihak sudah berperang lima puluh jurus lebih belum ada yang merasa lelah,
malah masing-masing jadi geram, lalu melompat turun dari kereta perang dan bertempur
dengan hebat. Akhirnya Touw Gan I segera menahan senjata Pek It Peng dan berkata, "Aku hendak
bertarung denganmu sampai salah satu ada yang mati! Siapa yang minta bantuan
bukan seorang gagah!" "Baik!" sahut Pek It Peng dengan gagah. "Memang aku hendak menangkapmu dengan
tangan kosong, dengan begitu baru boleh disebut orang gagah."
Masing-masing segera memberitahu anak buahnya, agar mereka jangan ikut membantu.
Sesudah menyingkirkan senjatanya, kedua orang itu segera berkelahi dengan
kepalan, dan jadi bergumul hebat di tengah barisan belakang.
Waktu itu Raja Chin Hui-kong melihat Touw Gan I sudah masuk ke dalam barisan
musuh, segera dia perintah Han Kan dan Nio Yu Bi maju memimpin sebagian pasukan
perangnya untuk menerjang ke barisan musuh yang di sebelah kiri, sedang dia sendiri dengan
mengajak Ke Pok Touw dan yang lain-lain menerjang barisan musuh yang di sebelah kanan,
dan berjanji nanti berkumpul di tengah pasukan musuh.
Raja Cin Bok-kong ketika itu melihat tentara Chin di pecah dua, ia pun segera
membagi tentaranya menjadi dua untuk menyambut kedatangan musuh tersebut. Ketika kereta
perang Raja Chin Hui-kong masuk ke dalam barisan Cin, justru ketemu dengan Kong-sun Ci,
dan Chin Hui-kong segera memberi perintah pada Ke Pok Touw melawan berperang.
Tetapi Ke Pok Touw bukan tandingan Kong-sun Ci, baru bertempur belum berapa
lama, Ke Pok Touw sudah sangat kepayahan. Raja Chin Hui-kong yang melihat keadaan kurang
baik, lalu memerintahkan Kiok Pouw Yang agar berhati-hati memegang kendali kereta
perangnya, karena ia sendiri hendak pergi membantu berperang.
Sedikit pun Kong-sun Ci tidak merasa keder, malah dengan suara keras dia
berteriak, "Ayo! Siapa yang pandai berperang boleh maju semuanya!"
Teriakan Kong-sun Ci yang keras bagaikan guntur membuat Kek Shia semangatnya
seolah terbang, dia tengkurap di dalam kereta perang tidak berani menyembulkan
kepalanya. Sedang kuda yang menarik kereta perang Chin Hui-kong pun jadi kaget, dengan tidak
mempedulikan kendali kusir lagi langsung kabur sekencang-kencangnya dan akhirnya kejeblos ke
dalam lumpur. Meski Kiok Pouw Yang mencambuk kudanya dengan sengit, kuda itu tetap tidak bisa
bergerak di lumpur, tidak bisa angkat kakinya. Saat Chin Hui-kong sedang
terancam bahaya, justru dia melihat kereta perang Keng The mendatangi, dia teriaki. "Keng The,
lekas tolong aku!" teriak Chin Hui-kong. "Kek Shia di mana, mengapa kau memanggil hamba?"
tanya Keng The menyindir. "Lekas kemarikan keretamu itu!" teriak Chin Hui-kong dengan tubuh gemetar. Keng
The tidak meladeninnya, lalu membelokkan keretanya dan pergi ke lain jurusan. Kiok
Pouw Yang hendak pergi mencari kendaraan lain, tetapi karena tentara Cin sudah mengepung
sangat rapat, sehingga dia tidak bisa keluar. Di sini Raja Chin Hui-kong sedang
terancam bahaya, sedang di pasukan perang Chin yang lain, Han Kan yang memimpin pasukan perang
menerjang masuk di dalam barisan Cin. Han Kan bertemu dengan Raja Cin Bok-kong
yang dikawal oleh Se Kip Sut, yang segera serang-menyerang.
Setelah bertarung tiga puluh jurus lebih dan belum ketahuan siapa menang dan
kalah, sekonyong-konyong datang Ngo Sek yang memimpin pasukan perang, dan segera
mengeroyok Se Kip Sut. Se Kip Sut tidak sanggup menangkis serangan dua panglima itu, sehingga dia
tertusuk oleh Han Kan dan lantas roboh ke bawah kereta perangnya Melihat hal itu Nio Yu Bi
segera berseru, "Panglima yang roboh sudah tidak berguna! Mari kita orang tangkap Raja
Cin itu!" Han Kan tidak memperdulikan Se Kip Sut lagi, dia mengeluarkan perintah pada
tentaranya untuk mengepung Raja Cin Bok-kong.
Ketika Raja Cin Bok-kong sedang terancam bahaya, dari jurusan Barat segera
kelihatan mendatangi satu barisan orang gagah yang jumlahnya kira-kira tiga ratus orang
lebih, dengan suara keras mereka berseru-seru.
"Jangan ganggu Raja kami!"
Orang-orang itu rambutnya riap-riapan, badannya telanjang, kakinya memakai kasut
rumput, tetapi jalannya begitu cepat sehingga seperti terbang, di tangan mereka semua
memegang golok besar, di pinggang mereka tergantung busur dan anak panah, sehingga mirip
seperti tentara iblis. Begitu mereka sampai, mereka menyerang membuat kalang-kabut
tentara Chin. Panglima Han Kan dan Nio Yu Bi dengan tergopoh-gopoh segera menyambut kedatangan
musuh baru tersebut. Tetapi tidak lama dari jurusan Utara datang seorang yang
melarikan kereta perangnya seperti terbang, orang itu adalah Keng The. Dia menghampiri
pasukan Chin dan berteriak, "Jangan berperang lagi, sebab Cu-kong sudah terkepung oleh
tentara Cin di gunung Liong-bun-san dan sudah terjerumus di tengah lumpur! Ayo, segera tolong
beliau!" Mendengar kabar itu Han Kan dan yang lain-lain tidak ada yang bernapsu lagi
untuk berperang. Mereka meninggalkan kawanan orang gagah itu, lari ke gunung Liong-
bun-san. Tetapi kedatangan mereka sudah terlambat, waktu itu Raja Chin Hui-kong sudah
tertawan oleh Kong-sun Ci, begitu pun Ke Pok Touw, Kek Shia, Kiok Pouw Yang dan yang
lainnya. Mereka semua sudah diikat dan digiring masuk ke dalam pesanggrahan besar.
Alangkah jengkel dan penasarannnya Han Kan dan Nio Yu Bi, mereka buang senjata mereka
menyerahkan diri pada Cin.
Tiga ratus orang gagah sesudah menolong Raja Cin Bok-kong dan Se Kit Sut mereka
pergi. Sementara tentara Cin membasmi tentara Chin, hingga mayat manusia berserakan di
kaki gunung Liong-bun-san seperti gunung, enam ratus kereta perang hanya tinggal dua
bagian saja. Keng The setelah mendengar Raja Chin Hui-kong sudah tertangkap, buru-buru dia
keluar dari barisan Cin, kebetulan dia bertemu dengan Ngo Sek yang tergeletak di tanah
dengan luka berat. Lalu dia angkat dan dinaikan di kretanya dan terus dibawa pulang ke
negeri Chin Sementara itu Raja Cin Bok-kong telah pulang di pesanggrahan besar, setelah
bertemu dengan Pek Li He dia berkata, "Karena aku tidak mendengarkan nasihat Tuan, hampir saja
aku celaka di tangan orang Chin."
Ketika itu 300 orang gagah itu menghadap pada Raja Cin Bok-kong.
"Kalian orang mana" Mengapa kalian bersungguh-sungguh membantuku?" kata Raja
Cin. "Apa Tuanku sudah lupa ketika Tuanku kehilangan kuda?" kata salah seorang di
antara orang gagah itu. "Sebenarnya kami adalah orang yang makan daging kuda itu."
Raja Cin Bok-kong baru ingat, betul dulu dia pernah keluar berburu di gunung
Liang-san, malam harinya dia telah kehilangan beberapa ekor kuda bagus, dia perintahkan
menterinya pergi mencari kuda itu. Ketika itu menteri mencari sampai di kaki gunung Ki-san, di situ terdapat 300
orang pengebun sedang berkumpul makan daging kuda. Tetapi pembesar ini tidak berani
menegur. Dia pulang untuk melapor pada Cin Bok-kong, agar memerintahkan tentara menangkap
mereka. Tetapi Raja Cin Bok-kong segera menghela napas dan berkata, "Kuda-kuda itu sudah
mati, jika karena itu kita membuat orang celaka, niscaya rakyat negeri akan mengatakan
aku lebih menghargai binatang dan merendahkan martabat manusia."
Sesudah itu dia perintahkan orangnya untuk mengambil arak yang baik beberapa
guci dan diperintahkan pergi mengantarkan ke kaki gunung Ki-san untuk dihadiahkan pada
orang desa itu. Semua orang itu merasa kagum sekali atas kebaikan Cin Bok-kong, padahal mereka
mencuri kudanya, bukan dihukum, malah dihadiahi arak bagus untuk menambah kelezatan
daging kuda itu. Sehingga mereka sangat bersyukur dan mengingat budi ini.
Ketika mereka mendengar kabar Raja Cin Bok-kong sedang berperang dengan orang
Chin, mereka datang membantu. Kebetulan waktu itu Cin Bok-kong sedang terkepung musuh.
Cin Bok-kong menghela napas terharu mendengar kisah para petani itu.
"Lihat, petani saja masih punya ingatan untuk membalas kebaikan orang, cuma Raja
Chin saja yang tidak bisa dikatakan manusia!" kata Raja Cin Bok-kong. Raja Cin Bok-kong
bertanya. "Apakah kalian ingin bekerja di pemerintahan?" kata Raja Cin.
"Tidak, Tuanku," jawab mereka.
Raja Cin lalu memberi mereka hadiah uang dan kain sutera. Tetapi orang-orang itu
menolak hadiah itu. Kemudian Raja Cin Bok-kong mengucapkan terima kasih, dan mereka pun
bubar kembali ke tempat mereka.
Ketika Raja Cin Bok-kong memeriksa panglima perangnya, dia hanya kehilangan Pek
It Peng seorang, dia perintahkan beberapa anak buahnya mencarinya. Di suatu tempat dari
dalam sebuah lubang terdengar suara orang merintih, maka mereka memeriksa lubang itu.
Di situ mereka menemukan Pek It Peng dan Touw Gan I, kedua orang gagah itu semula
berkelahi dengan tangan kosong, tidak diduga mereka terjerumus ke dalam lubang. Waktu itu
masing-
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masing sudah kehabisan napas, tetapi tangannya masih saling cengkeraman tidak
mau terlepas. Tentara Cin segera mengangkat mengeluarkan kedua orang itu dan memisahkan
pelukan mereka yang kencang, lalu mereka digotong dan masing-masing diletakkan di atas
sebuah gerobak, terus dibawa pulang ke pesanggrahan besar.
Raja Cin Bok-kong melihat keadaan kedua orang itu terluka parah, Raja Cin
bertanya pada Pek It Peng. "Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Raja Cin.
Tetapi Pek It Peng sudah tidak bisa bicara dan diam saja. Ada orang yang melihat
ketika mereka berdua bertarung, lalu orang itu maju ke hadapan Raja Cin Bok-kong dan
menceritakan dengan jelas, bagaimana hebatnya mereka berdua berkelahi.
"O, ternyata kedua orang ini kuat sekali!" kata Cin Bok-kong memuji. Cin Bok-
kong memandang pada menteri-menterinya dan bertanya.
"Apakah di antara kalian ada yang kenal pada panglima Chin ini?" tanya Raja Cin.
Kong-cu Ci segera menghampiri kereta yang membawa Touw Gan I.
"Dia panglima Touw Gan I namanya." kaya Kong-cu Ci.
"Apakah orang bisa kita pakai?" tanya Cin Bok-kong.
"Dialah yang membunuh Tok Cu dan membinasakan Pi The Hu," sahut Kong-cu Ci.
"Hari ini dia harus dihukum mati!"
Raja Cin Bok-kong setuju pada saran Kong-cu Ci, dia perintahkan algojo menebas
kepala Touw Gan I Kemudian Raja Cin membuka baju sulamnya untuk menutupi tubuh Pek It
Peng, dan diperintah agar Pek Li He membawa panglima itu ke kereta kurung untuk dibawa
pulang duluan ke negeri Cin. Sesudah membongkar pesanggrahan, Cin Bok-kong perintah Kong-cu Ci memimpin
seratus kereta perang mengiringkan Chin Hui-kong, sedang Kek Shia, Han Kan, Nio Yu Bi,
Ke Pok Touw, Kiok Pouw Yang, Kwee Yan dan Kiok Kip, semua rambut acak-acakan dan
berjalan kaki mengikuti rajanya, seperti orang yang sedang mengantar peti jenazah.
Setelah tentara Cin berjalan pulang sampai di batas tanah Yong-ciu (negeri Cin),
Cin Bok- kong segera memerintahkan berhenti dulu, dia kumpulkan semua panglimanya untuk
berunding. "Sesuai kehendak Tuhan aku berbuat kebaikan," kata Cin Bok-kong, "aku berhasil
menaklukan Raja Chin, aku telah mengangkat I Gouw menjadi raja di negeri Chin.
Sekarang itu raja Chin telah melupakan kebaikanku, sama saja dia berdosa kepada Allah.
Maka aku menurut pendapatku hendak membunuh Raja Chin untuk sembahyang. Bagaimana
pendapat kalian?" "Ucapan Tuanku benar sekali!" kata Kong-cu Ci menyatakan setuju.
"Jangan, jangan Tuanku bunuh dia," kata Kong-sun Ci. "Chin ada negeri besar,
kita tawan rajanya pasti rakyatnya jadi benci kepada kita, apalagi jika kita bunuh rajanya,
pasti rakyatnya jadi bertambah gemas pada kita, boleh jadi Chin akan membalas pada Cin, akan
terlebih hebat dari pada pembalasan Cin pada Chin."
"Maksudku bukan hanya membunuh Chin Hui-kong, tetapi kita juga angkat Kong-cu
Tiong Ji menggantikannya," kata Kong-cu Ci pada Cin Bok-kong. "Jika kita bunuh yang jahat
dan menggantinya dengan yang baik, pasti rakyat Chin akan bersyukur kepada kita.
Mengapa mereka harus dendam pada kita?"
"Kong-cu Tiong Ji seorang yang bijaksana, Ayah dan sanaknya dia sayangi. Ketika
Ayahnya meninggal pun, dia tak mengharapkan apa-apa. Aku ragu, apakah dia mau menerima
menjadi Raja Chin, padahal kita membunuh adiknya I Gouw" Tidak ada beda siapapun yang
kita angkat di sana. Seandainya Tiong Ji mau menjadi Raja Chin, pasti dia juga akan
memusuhi kita, negeri Cin karena saudaranya mati di tangan kita. Malah Tuanku membuat
jasa baik Tuanku dulu lenyap." kata yang lain.
"Kalau begitu, usir dia, penjarakan dia atau kembalikan dia ke negerinya, di
antara tiga pilihan itu, yang manakah yang lebih baik?" tanya Cin Bok-kong.
"Memenjarakan dia cuma menyiksa seseorang, untuk kebaikan negeri Cin, apa
gunanya" Mengusir dia pasti akan ada panglima atau menterinya yang akan menyambut
kembali. Hamba rasa, lebih baik kembalikan dia ke negerinya."
"Dengan demikian tidak membuat sia-sia jika waktu dan tenaga kita terbuang sia-
sia saja." "Maksud hamba bukan mengembalikan dia dengan percuma saja. Lebih dulu kita minta
dia menyerahkan lima buah kotamu yang ada di sebelah Timur sungai Hoang-ho, dan
minta puteranya, Pangeran Gi, dijadikan jaminan di negeri kita. Baru kita buat
perjanjian. Dengan demikian seumur-umur Chin Hui-kong tidak berani berbuat macam-macam pada Cin.
Sudah lumrah kerajaan jatuh pada anaknya. Kita baiki Pangeran Gi, hingga turtun-
menurun Raja Chin tunduk pada Cin!" kata Cu Song.
"Pendapat Cu Song sungguh bagus!" kata Cin Bok-kong sambil tertawa.
Segera dia perintahkan orangnya membawa Chin Hui-kong dan ditempatkan di istana
di gunung Leng-tay-san, dengan dijaga oleh seribu orang.
Ketika perintah Raja Cin Bok-kong hendak dijalankan, mendadak kelihatan
mendatangi sekelompok budak istana mengenakan pakaian berkabung. Raja Cin Bok-kong
terkejut, dia mengira terjadi apa-apa pada permaisurinya. Baru saja dia ingin bertanya, itu
budak keraton sudah keburu buka suara. Baru saja Raja Cin Bok-kong hendak bertanya. Budak-
budak itu sudah berkata. "Atas perintah Hu-jin kami disuruh menemui Tuanku!" kata budak-budak itu. "Hu-
jin bilang Thian telah menurunkan bencana, hingga Raja Chin dan Cin bermusuhan. Sekarang
Raja Chin telah ditawan, Hu-jin merasa malu. Jika Tuanku tidak mengampuni Raja Chin,
maka dia ingin mati saja. Semua terserah Tuanku saja!"
Mendengar keterangan itu bukan main kagetnya Raja Cin Bok-kong.
"Sekarang apa yang dilakukan oleh Hu-jin?" tanya Cin Bok-kong.
"Sejak mendengar kabar Raja Chin tertangkap, dia segera berpakaian berkabung"
sahut budak itu, "dia jalan kaki keluar istana, naik ke loteng Cong-tay dan tinggal di sana.
Di kaki loteng dia tumpukkan kayu-kayu bakar kering. Ketika Hu-jin dan puteranya naik maupun
turun, mereka lewat tumpukan kayu kering itu. Jika Raja Chin tiba, Hujin bersama
putranya akan bunuh diri. Ini katanya demi cintanya pada saudaranya, Raja Chin!"
"O, untung Cu Song melarang membunuh Raja Chin!" kata Cin Bok-kong. "jika tidak,
Hu-jin pasti sudah binasa."
Segera dia perintahkan budak membuka pakaian berkabungnya, dia suruh mereka
pulang, "Beri tahu pada Hu-jin Bok-ki, tidak lama lagi akan kuantarkan Raja Chin." kata
Cin Bok- kong. Maka pulanglah para budak itu hendak melapor. Raja Chin Hui-kong ditahan di
gunung Leng Tay-san belum lama, pada suatu hari Kong-sun Ci menemuinya, dia menanyakan
kesehatan Raja Chin. "Tidak lama lagi Anda akan diantarkan pulang ke negerimu!" kata Kong-sun Ci.
"Sebenarnya pembesar Cin ingin membunuh Anda, tetapi karena Permaisuri Rajaku
ingin bunuh diri jika Anda mati, maka Anda dibebaskan. Tetapi dengan syarat kau harus
menyerahkan lima kota yang Anda janjikan dulu, dan jaminkan Pangeran Gi pada
kami. Kau boleh pulang!" Raja Chin Hui-kong girang, dia menghaturkan terima kasih pada Raja Cin yang
murah hati, segera dia perintahkan Kiok Kip pulang ke Chin, untuk memberitahu Lu I Seng
mengenai syarat pemulangannnya. Begitu menerima kabar itu, Lu I Seng datang ke negeri Cin menemui Raja Chin Bok-
kong, dia serahkan peta lima kota serta dilampiri data penduduk, bangunan dan bahan
makanan yang ada di lima kota itu, juga Pangeran Gi diserahkan sebagai jaminan.
"Tetapi mengapa Pangeran Gi tidak ikut datang?" tanya Raja Cin Bok-kong.
"Karena di anatara pembesar Chin belu sepakat semua, maka sementara Pangeran Gi
tinggal dulu di Chin," kata Lu I Seng. "Begitu Rajaku kembali, Pangeran Gi akan segera
kemari!" Ketika Raja Bok-kong menanyakan ketidak cocokan di antara pembesar Chin, oleh Lu
I Seng dijawab. "Atas masalah ini ada dua pendapat, ada yang ingin mengangkat Pangeran Gi
sebagai pengganti Raja Chin, ada yang berharap Raja Chin dibebaskan," kata Lu I Seng.
Chin Bok-kong mengangguk mengerti. Segera dia perintahkan Beng Beng Si
menetapkan batas-batas lima kota, dan menempatkan panglima serta tentara untuk menjaganya.
Kemudian Raja Chin ditempatkan di perbatasan dengan status sebagai Tamu Agung. Sesudah
semua beres Raja Cin Bok-kong memerintahkan Kong-sun Ci mengantarkan Lu I Seng dan
Raja Chin Hui-kong pulang ke negerinya.
Dua bulan lamanya Chin Hui-kong menjadi tawanan di negeri Cin. Di antara
menteri- menterinya yang ikut sengsara semua ikut pulang, kecuali Kek Sia yang karena
sakit telah meninggal di negeri Cin. Tatkala Chin Hui-kong hampir sampai di kota Kang-ciu, Pangeran Gi dengan
mengajak Ho Tut, Kiok Peng, Keng The, Ngo Sek, Su-ma Swat dan Put Te keluar untuk menyambut.
Raja Chin Hui-kong ketika melihat Keng The segera menjadi marah sekali, dia
ingat saat keretanya terperosok di lumpur, Keng The tidak mau menolonginya, sehingga dia
tertangkap, Segera dia panggil Keng The menghadap, sesudah dia damprat dengan sengit Keng
The akan dihukum mati. Ngo Sek dan Kek Pouw Touw meminta ampun, tetapi Nio Yu Bi yang juga jengkel pada
Keng The, karena ketika hampir Raja Cin Bok-kong hampir terangkap, Keng The
menyuruh dia menolong Raja Chin Hui-kong, sehingga Raja Cin lolos. Chin Hui-kong
memutuskan Keng The harus dihukum mati.
Sesudah Chin Hui-kong ada di istana, dia memerintahkan pada pangeran Gi agar
ikut bersama Kong-sun Ci ke negeri Cin, Raja Chin minta agar jenazahnya Touw Gan I dikirim ke
negeri Chin untuk dikuburkan. Pada suatu hari...... Raja Chin Hui-kong memberitahu Kiok Peng, bahwa dia khawatir Tiong Ji menyerang
ke negerinya, "Kalau begitu lebih baik kita bunuh saja Tiong Ji," usul Kiok Peng.
"Siapa yang diperintah untuk tugas membunuh dia?" tanya Raja Chin Hui-kong.
"Put Te saja," kata Kiok Peng.
Raja Chin Hui-kong segera memanggil Put Te dan diam-diam diperintah membunuh
Tiong Ji. "Tiong Ji sudah dua belas tahun lamanya menetap di negeri Ek," kata Put Te.
"Dulu Raja Ek memerangi bangsa Kiu-ji, berhasil menangkap dua perempuan bernama Siok-kui dan
Kui-kui, keduanya berparas elok. Kemudian Raja Ek menikahkan Kui-kui dengan Tiong Ji,
sedangkan Siok-kui dinikahkan dengan Tio Swi. Masing-masing melahirkan anak lelaki. Maka
menurut hamba karena Tiong Ji sudah hidup tentram, dia pasti tidak bermaksud mengganggu
kita lagi. Jika Tuanku tetap ingin membunuhnya, jangan gunakan angkatan perang. Jika kita
serang dia, pasti Raja Ek akan membantu dia. Kita kirim saja pembunuh bayaran untuk
membunuhnya!", kata Put Te. Raja Chin Hui-kong setuju, Put Te dihadiahi uang emas dan diperintahkan mencari
pembunuh bayaran, jika berhasil akan diberi hadiah besar. Pribahasa mengatakan jika tidak
mau ada yang mengetahui, jangan lakukan perbuatan itu, jika tidak mau ada yang
mendengar, jangan bicarakan masalah itu. Sekalipun Raja Chin Hui-kong cuma menyuruh Put Te
seorang, ternyata ada juga budak yang tahu rahasia ini.
Ketika Ho Tut mengetahui Put Te dengan menghambur-hamburkan uang mencari orang
gagah, Ho Tut jadi curiga. Diam-diam dia menyelidikinya. Ho Tut ipar raja
almarhum, dia banyak kenal dengan para budak istana. Tidak heran keterangan yang dia cari
segera didapatkan. "Alangkah kagetnya Ho Tut ketika mengetahui rencana pembunuhan terhadap Tiong Ji
tersebut. Maka segera dia menulis surat rahasia dan mengirimkannya kepada Tiong
Ji di negeri Ek. Ho Tut ketakutan setengah mati. Pada hal di negeri Ek, Tiong Ji
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
santai dan sedang berburu binatang liar. Pada suatu hari....... Tiong Ji bersama Raja Ek sedang berburu di tepi sungai Wi-sui, datanglah
seseorang minta bertemu dengan dua saudara Ho. Orang itu mengaku sebagai utusan Ho Tut dari
negeri Chin. Mendengar kabar itu Ho Mo dan Ho Yan terkejut.
"Biasanya Ayah belum pernah mengirim kabar, sekarang mendadak mengirim surat,
pasti ada unrusan penting. " kata Ho Mo.
Segera utusan itu dipanggil menghadap dan dia terima surat dari Ho Tut. Lalu
membuka dan membacanya. "Cu-kong hendak membinasakan Kong-cu Tiong Ji, dia sudah memerintahkan Put Te;
dalam tiga hari mendatang sudah berangkat ke negri Ek dengan mengajak pembunuh bayaran
mereka. Kau berdua, segera beri tahu pada Kong-cu supaya segera menyingkir ke
lain negeri, jika terlambat sedikit saja, niscaya bisa mendapat bencana."
Ho Mo dan Ho Yan sangat terperanjat sesudah membaca surat itu, mereka
memberitahu Tiong Ji. Tapi Tiong Ji merasa sangsi.
"Anak-istriku semua ada di sini, maka di sinilah rumah tanggaku berada, lalu aku
mau pergi ke mana lagi?" kata Tiong Ji.
"Kedatangan kami ke sini, bukan untuk mencari rumah supaya Kong-cu menetap di
sini, tetapi hendak berikhtiar untuk mendapatkan negara," kata Ho Yan. "Karena belum
ada kesempatan, terpaksa menumpang di negeri Ek. Di sini kita sudah terlalu lama dan
sekarang Pu Te datang, seolah dia diutus oleh Allah untuk memaksa Kong-cu pergi ke negara
yang lebih besar!" "Jika kita pergi dari sini, kita mau pergi ke negeri mana?" tanya Tiong Ji.
"Raja Cee meskipun sudah tua, tetapi dia masih menjadi yang terkuat sekarang
ini," kata Ho Yan. "Dia baik pada semua Raja-muda sekalipun Koan Tiong dan Sek Peng sudah
meninggal, di istananya kurang orang yang pandai. Jika Kong-cu ke sana kita tunggu sampai
saatnya tiba untuk kembali ke negeri Chin. Mungkin kita dibantu oleh Raja Cee!"
Tiong Ji setuju atas saran itu. Maka dia pulang untuk memberitahu keluarganya.
"Raja Chin menyuruh orang hendak membunuhku," kata Tiong Ji dengan sedih. "Maka
aku berniat pergi ke negeri besar untuk menyingkirkan diri. Kelak jika ada rejeki,
aku akan berserikat dengan Raja Cin untuk pulang ke negeri Chin. Kau rawat anak kita,
jika sudah 25 tahun aku tidak kembali, kau boleh ikut orang lain."
"Aku tidak dapat menghalangi niatmu," kata Kui-kui. "Jangankan baru 25 tahun,
sekalipun harus seratus tahun, akan kutunggu jika aku ada umur."
Sedang Tiong Ji berkata pada isterinya, Kui-kui, Tio Swi pun meninggalkan pesan
pada Siok- kui. Betapa sedihnya mereka karena harus berpisah.
Esok paginya...... Tiong Ji perintahkan Ouw Siok menyiapkan kereta dan siap akan berangkat.
Saat Tiong Ji sedang mengatur anak buahnya, tiba-tiba datang utusan dari Ho Tut
menyampaikan kabar pada Ho Yan dan Ho Mo, bahwa Pu Te sudah berangkat dan sedang
menuju tempat Tiong Ji. Bukan main kagetnya Tiong Ji, dengan tidak tukar pakaian
lagi bersama dua saudara Ho segera berangkat.
Ouw Siok yang hanya membawa kereta kecil segera menyusul Tiong Ji, dan dia minta
mereka berangkat. Tio Swi dan yang lainnya sudah tidak keburu naik kendaraan, semua
berjalan kaki untuk menyusul. Setelah semua orang berkumpul, Tiong Ji segera bertanya.
"Mengapa Tauw Si tidak ikut?" tanya Tiong Ji.
Di antara anak buah Tiong Ji melapor bahwa Tauw Si telah kabur entah ke mana.
Tiong Ji jadi sangat berduka, karena semua barang berharga miliknya hilang
dibawa kabur oleh Tauw Si. Sesudah berjalan setengah hari lamanya Tiong Ji bersama rombongannya berangkat,
Raja Ek baru mengetahuinya. Dia akan membekali uang pada Tiong Ji, tetapi sudah tidak
sempat. Raja Ek mencari tahu, kenapa Tiong Ji pergi dari negerinya. Sesudah tahu, Raja
Ek melakukan penjagaan keras di negerinya.
Ketika Put Te sampai di negeri Ek, Put Te ditahan dan diperiksa. Karena tidak
bisa memberi keterangan yang jelas, Pu Te tidak diizinkan masuk ke negeri Ek. Terpaksa Put Te
kembali ke negeri Chin dan memberitahu hal itu pada Raja Chin Hui-kong. Raja Chin tidak
bisa bilang apa-apa, melainkan cuma menyesal dan penasaran.
Tatkala Tiong Ji dan menteri-menterinya sudah keluar dari perbatasan negeri Ek,
karena tidak punya ongkos di perjalanan, mereka sangat menderita sekali. Selang beberapa
hari, mereka sampai di perbatasan negeri We.
Pembesar negeri We yang menjaga perbatasan negerinya segera menahan Tiong Ji dan
rombongannnya. "Kalian semua mau ke mana?" tanya si penjaga.
"Ini majikan hamba, Pangeran Tiong Ji. Karena ada bahaya, maka kami ingin
mencari tempat aman." jawab Tio Swi. "Tujuan kami ke negeri Cee maka kami mohon diberi jalan."
Penjaga perbatasan tidak keberatan, Tiong Ji dan rombongannya diizinkan masuk ke
negeri We. Sedang dia langsung melapor pada rajanya. Perdana menteri Leng Siok dari
negeri We, berkata pada Raja We Bun-kong.
"Sebaiknya Tuanku menyambut kedatangan Pangeran Tiong Ji dengan manis," kata
Leng Siok. Tetapi Raja We Bun-kong tidak setuju, dia berkata, "Negeriku bertetangga dengan
negeri Couw, sedikit pun aku tidak berhutang budi pada negeri Chin. Sekalipun Raja We
dan Raja Chin satu she (marga), tetapi belum berserikat.
"Sekalipun dia melarat, sebagai tamu kita harus menjamunya. Hal itu buang waktu
dan biaya saja. Lebih baik kita usir saja dia dari sini!"
Sehabis berkata begitu, Raja We mengeluarkan perintah, agar Tiong Ji dilarang
masuk ke negeri We. Tiong Ji tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa menahan sabar dan meneruskan
perjalanan. Tetapi Gui Cun dan Tian Kiat menjadi gusar, mereka merasa geram sekali pada
penghinaan Raja We ini. "Raja We tidak punya aturan!" kata Gui Cun pada Tiong Ji.
"Akh, biarkan saja, jangan ambil pusing," kata Tio Swi. "Ular besar atau naga,
jika hilang pengaruhnya seumpama seekor cacing saja. Kong-cu harus tahan sabar saja, meski
orang sudah tidak punya aturan, kita sedang tak berdaya."
"Karena Raja We sebagai Tuan rumah tidak punya aturan, bagaimana kita rampok
saja rakyatnya?" kata Tian Kiat.
"Orang yang merampok namanya penjahat," kata Tiong Ji dengan air mata berlinang-
linang. "biarlah aku sengsara menanggung lapar, aku tidak sudi menjalankan pekerjaan
penjahat." Mendengar ucapan Pangeran Tiong Ji semua anak buahnya terharu bukan main.
Pangeran Tiong dan anak buahnya semuanya belum makan pagi, dengan menanggung
lapar mereka berjalanperlahan-lahan. Tidaklama pagipunsudahmenjadi
siang. Waktu itu mereka sudah sampai di suatu tempat yang disebut Ngo-lok, di sana
mereka melihatsekelompokpetanisedangberkumpulmakannasidi
atasgili-gili. Karena sangat kelaparan, Pangeran Tiong Ji segera memerintahkan pada Ho Yan
menemui para petani itu minta dibagi sedikit makanan.
"Sobat datang dari mana?" tanya salah seorang petani itu.
"Kami dari negeri Chin, itu orang yang ada di atas kereta majikan kami," kata Ho
Yan sambil menunjuk pada Tiong Ji. "Karena kami hendak berjalan jauh dan di sini kami
kekurangan ransum, maka ingin minta sedikit makanan pada kalian."
"Ha, ha, ha! He, he, he!" para petani tertawa semua.
Di antaranya ada yang berkata, "Mengapa seorang laki-laki tidak mampu mencari
makanan sendiri, malah menumpang makan pada kami orang miskin! Kami petani pedusunan,
kami kerja keras baru bisa makan. Mana kami punya makanan lebih?"
Ho Yan jadi sangat mendongkol dan malu, tetapi seberapa bisa dia tahan sabar dan
berkata lagi, "Kendati tidak dapat makanan, bisakah kami diberi alat masak."
Salah seorang petani itu mengambil sebongkah tanah sambil tertawa cengar-cengir
dia berikan pada Ho Yan sambil berkata, "Nah, tanah ini kau bikin alat masak."
Gui Cun yang sudah sangat mendongkol atas kekurangajaran petani itu, sudah tidak
bisa menahan sabar lagi. "Setan dusun! Kau kurang ajar sekali! Mengapa kau begitu berani menghina kami?"
dia memaki. Gui Cun merebut alat masak terbuat dari tanah milik petani yang dia
banting sampai hancur. Tiong Ji pun sangat murka, segera mengambil cambuk hendak menghajar petani-
petani itu. Tetapi Ho Yan segera mencegah tindakan Tiong Ji it.
"Mendapatkan nasi gampang, tetapi mendapatkan tanah susah. Tanah adalah modal
utama sebuah negara. Allah telah meminjam tangan petani untuk menyerahkan tanah kepada
Kong- cu, ini adalah alamat Kong-cu bakal mendapat negeri. Mengapa marah" Sebaiklah
Kong-cu turun dari kereta terima tanah itu."
Tiong Ji menuruti saran dari Ho Yan, dia turun dari keretanya, dengan hormat dia
sambut tanah itu. Petani-petani itu keheranan menyaksikan sikap Tiong Ji ini. Mereka
lalu berkumpul dengan kawan-kawannya dan tertawa terbahak-bahak. Mereka pikir mereka telah
bertemu dengan serombongan orang kurang waras. Tiong Ji dan semua pengikutnya tidak
menghiraukannnya. Mereka meneruskan perjalanan mereka.
Setelah berjalan kira-kira sepuluh li lebih, saking laparnya banyak yang tidak
bisa meneruskan perjalanannya. Mereka segera berhenti dan istirahat di bawah sebuah
pohon. Ketika itu Tiong Ji merasakan sangat kelaparan, sehingga sekujur badannya
menjadi lemas, dia rebahkan kepalanya di lutut Ho Mo sambil tiduran.
"Cu I masih membawa sedikit bubur encer," kata Ho Mo terharu, "ia berjalan di
belakang, sebaiknya tunggu dia."
"Bubur encer itu," kata Gui Cun, "untuk Cu I sediri pun tidak akan cukup,
barangkali malah sudah tidak tersisa!"
Semua berebut mencari rumput dan akar yang bisa mereka masak untuk dimakan.
Tetapi Tiong Ji tidak bisa makan makanan itu. Tiba-tiba datang Kai Cu Cui membawa
semangkok daging rebus yang dia suguhkan kepada Tiong Ji, yang segera dimakannya dengan
lahap sekali. Sesudah selesai makan Tiong Ji segera bertanya, "Di tempat seperti ini, dari
manakah kau bisa mendapatlan daging selezat itu?" tanya Pangeran Tiong Ji.
"Itu daging paha hamba, Tuanku," jawab Kaij Cu Cui, "karena hamba mendengar
pepatah begini : anak yang berbakti mengorbankan dirinya untuk membela orang tuanya,
sedang hamba yang setia berkorban untuk membela majikannya. Sekarang Kong-cu kebetulan
kekurangan makanan, maka hamba sengaja memotong paha hamba untuk Tuanku makan."
"Ya, Allah, telah menyusahkanmu sungguh keterlaluan, di kemudian hari entah aku
bisa membalas budimu entah tidak?" kata Tiong Ji sambil menangis.
"Biarlah hamba doakan supaya Kong-cu bisa segera pulang ke negeri Chin," jawab
Kai Cu Cui. "Kalau hamba telah melakukan kewajiban hamba, dan memotong paha hamba. Itu
bukan karena hamba mengharapkan untuk mendapatkan balasan, maka jangan Kong-cu pikiran
soal itu." Bab 21 Sementara itu Tio Swi yang berjalan belakangan baru sampai di tempat itu. Semua
bertanya mengapa Tio Swi berjalan demikian lambat.
"Aku terlambat sampai, karena kakiku tertusuk duri, aku tidak bisa berjalan
cepat," sahut Tio Swi. Kemudian dia keluarkan bekalnya dari dalam bungbung bambu, dia suguhkan kepada
Pangeran Tiong Ji. "Apakah kau tidak merasa kepayahan karena lapar" Mengapa kau tidak mau makan
sendiri bekal itu?" tanya Tiong Ji dengan terharu. "Meskipun hamba sangat lapar, mana
hamba berani melupakan Tuanku yang juga pasti lapar seperti hamba," sahut Tio Swi.
Ho Mo sengaja bergurau pada Gui Cun.
"Coba jika bekal ini ada di tangan Gui Cun, barangkali sudah jadi hancur di
dalam perutnya." kata Ho Mo sambil tertawa. Gui Cun jadi malu segera dia membuang muka.
Pangeran Tiong Ji membagi bubur encer itu pada Tio Swi, tetapi Tio Swi tidak
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tega memakannya sendiri, segera dia tambahi air dan dimasak lagi, kemudian dia bagi
rata dengan semua orang. Melihat hal itu, Tiong Ji jadi menghela napas dan merasa kagum pada Tio Swi yang
demikian baik hati itu. Sesudah masing-masing selesai makan, barulah mereka meneruskan
perjalanan. Di sepanjang jalan mereka mencari makanan, begitulah dengan menanggung lapar dan
kelelahan akhirnya mereka sampai di negeri Cee. Raja Cee Hoan-kong memang sudah
mendengar Kong-cu Tiong Ji adalah seorang bangsawan yang budiman, setelah
mengetahui Tiong Ji telah sampai di perbatasan negaranya, Raja Cee segera mengirim utusan
pergi keluar kota, untuk menyambut tamu itu untuk diajak masuk ke dalam kota dan diberi
sebuah gedung tempat tamu-tamu itu istirahat.
Kemudian Raja Cee Hoan-kong segera mengatur pesta untuk menghormati Pangeran
Tiong Ji dan menteri-menterinya itu. Di tengah pesta sedang berlangsung, sesudah
membicarakan berbagai masalah, akhirnya Raja Hoan-kong bertanya pada Tiong Ji:
"Apakah Kong-cu membawa famili dan keluargamu?" tanya Raja Cee.
"Untuk membawa diri sendiri saja rasanya susah bukan main, bagaimana hamba bisa
membawa keluarga hamba?" sahut Tiong Ji.
"Jika aku tidur sendiri saja dalam satu malam, rasanya sama lamanya seperti
setahun," kata Cee Hoan-kong sambil tersenyum, "Kong-cu dalam pengembaraan, dan tidak ada orang
mengurus, sungguh kasihan sekali."
Segera Cee Hoan-kong memilih di antara kaum keluarga perempuannya yang berparas
cantik, lalu dia serahkan kepada Pangeran Tiong Ji, serta dia hadiahkan kuda dua puluh
pasang. Tiong Ji menghaturkan terima kasih untuk kebaikan Raja Cee ini. Sejak saat itu,
jika Tiong Ji berpergian keluar, semua pengikutnya naik kuda. Kebaikan Raja Cee Hoan-kong
kepada Pangeran Tiong Ji luar biasa, dia selalu mengirim makanan dan kebutuhannnya
setiap saat. Mengetahui Raja Cee Hoan-kong begitu baik budi, Tiong Ji jadi sangat terharu dan
girang, dengan menghela napas dia berkata, "Dulu aku cuma mendengar saja tentang
kebaikannnya. Sekarang aku membuktikan sendiri."
Pada tahun Ciu Siang-ong ke-8, saat itu Raja Cee Hoan-kong sudah bertahta yang
ke-42-nya. Setelah Koan Tiong dan Sek Peng meninggal dunia, Raja Cee Hoan-kong menyerahkan
urusan pemerintahan kepada Pauw Siok Gee. Tetapi Raja Cee selalu ingat pada
pesanan Koan Tiong almarhum. Sejak dia mengangkat Pauw Siok Gee menjadi Perdana Menteri, dia
usir Si Tiauw, Ek Ge dan Kong-cu Kay Hong. Akan tetapi sejak saat itu, ketiga orang Raja
Cee selalu bimbang dan berduka. Segalanya seolah jadi serba salah dan dia jarang
tertawa atau gembira. Tiang-we-ke, salah satu di antara permaisuri Raja Cee Hoan-kong, karena melihat
sikap suaminya begitu, lalu menyarankan agar Raja Cee memanggil kembali ketiga orang
itu. Diberi saran oleh isterinya, Raja Cee Hoan-kong senang. Karena dia selalu
memikirkan ketiga orang yang dia sayang itu. Lalu mereka diberi pekerjaan kembali seperti dulu.
Setelah Pauw Siok Gee mengetahui hal ini, segera dia temui Raja Cee Hoan-kong.
Dia coba mencegah agar ketiga orang itu jangan dipakai lagi. Tetapi Raja Cee tidak
menghiraukannya. Dengan kesal dan penasaran Pauw Siok Gee pulang. Karena kesal Pauw Siok Gee
sakit, tidak berapa lama meninggal dunia.
Sejak Pauw Siok Gee meninggal dunia, Si Tiauw, Ek Gee dan Kong-cu Kay Hong jadi
berpengaruh sangat besar, sekarang tidak seorang pun yang mereka takutkan lagi.
Waktu itu Raja Cee Hoan-kong sudah tua dan mulai malas mengurus pemerintahan, sehingga
ketiga dorna itu bisa mengatur semua urusan di dalam dan luar negeri sesuka mereka.
Siapa yang mau menurut kemauan mereka, maka hidupnya akan sejahtera. Jika bukan berpangkat
tinggi pasti dia menjadi seorang hartawan.Orang yang menentang kalau tidak dihukum
mati, dia diusir atau dipenjarakan.
Raja Cee Hoan-kong mempunya tiga orang nyonya, yaitu yang disebut Ong-ki, Ci-ki
dan Coa-ki, tetapi semuanya tidak punya anak. Sedang Ong-ki dan Ci-ki sudah
meninggal dunia. Sekarang tinggal Coa-ki, tetapi karena kurangajar dia dikembalikan ke negeri
Coa. Di samping itu Raja Cee punya enam orang selir yang sangat disayang. Mereka
diperlakukan tak beda dengan permaisuri saja.
Dari keenam selirnya itu masing-masing melahirkan seorang putra. Pertama Tiang-
we-ki melahirkan Pangeran Bu Kui, yang ke dua, Siauw-we-ki melahirkan Pangeran Goan,
yang ke tiga, The-ki melahirkan Pangeran Ciauw, yang ke empat, Kat-eng melahirkan
Pangeran Poan, yang ke lima, Bit-ki melahirkan Pangeran Siang Jin, dan yang ke enam, Song-hoa-
cu melahirkan Pangeran Yong.
Di antara ke-enam selirnya, hanya Tiang-we-ki yang paling lama mengurus Raja Cee
Hoan- kong. Di antara ke-enam pangeran, juga cuma Bu Kui yang usianya paling tua.
Pembesar paling di sayang oleh Raja Cee Hoan-kong, yaitu Si Tiauw dan Ek Ge,
semuanya baik pada Tiang-we-ki. Karena Raja Cee Hoan-kong selalu mendengarkan kedua dorna ini, maka dia
menyatakan setuju hendak mengangkat Pangeran Bu Kui menjadi ahli warisnya. Tetapi kemudian
karena merasa sayang oleh kepandaian Pangeran Ciauw, ditambah lagi Raja Cee pun sudah
pernah minta saran dari Koan Tiong almarhum. Bahkan Koan Tiong setuju Pangeran Ciauw
yang akan menjadi ahli warisnya. Hal itu pun sudah disampaikan pada Raja Xong Siang-
kong, kakek Pangeran Ciauw. Pangeran Kay Hong sangat baik pada Kong-cu Poan, maka dia hendak berikhtiar
supaya Poan yang menjadi pengganti Raja Cee. Sedangkan Pangeran Siang Jin senang mempelajari
ilmu perang dan menarik perhatian rakyat, karena sikapnya yang ramah. Sedang ibunya
disayang oleh Raja Cee. Maka tidak heran dia juga ingin menggantikan ayahnya. Hanya
Pangeran Yong yang pasrah dan tidak terlalu berharap, dia sadar ibunya hanya seorang anak
menteri negeri Song, sebaliknya ibu lima saudaranya semua anak raja.
Ketika ibu mereka mengajukan usul pada Raja Cee agar putra mereka menjadi ahli
waris kerajaan, Raja Cee yang tidak mau pusing mengiakan semua permintaan keenam
selirnya itu. Ketika Cee Hoan-kong jatuh sakit dan sakitnya parah, Si Tiauw dan Ek Ge segera
mengatur siasat. Mereka memasang papan larangan, siapapun dilarang masuk menemui Raja Cee
yang sedang sakit. Hanya Pangeran Bu Kui dan ibunya, Tiang-we-ki yang boleh ada di istana. Siapa
pun dilarang menemui Raja Cee. Ketika penyakit Raja Cee semakin parah dan sudah tidak ada
harapan akan sembuh, maka Si Tiauw dan Ek Ge menganggap sudah tiba saatnya yang baik.
Segera Si Tiauw dan Ek Ge mengusuir semua pelayan istana, dan pintu istana ditutup rapat.
Bahkan Ek Ge dan Si Tiauw memerintahkan membuat tembok, agar orang tidak bisa masuk. Di
tembok itu dibuat sebuah lubang untuk anak kecil masuk ke dalam melihat keadaan Raja
Cee, yang lainnya tak boleh masuk. Penjagaan di sekitar istana pun diperketat. Juga mereka mengerahkan pasukan
untuk memantau, siapa tahu ada pangeran yang menggerakan pasukannnya untuk membuat
ulah. Mereka akan dihajar habis-habisan.
Selang tiga hari, penyakit Hoan-kong semakin berat, hingga tidak ada harapan
bisa hidup lama lagi. Dua dorna itu merasa sudah hampir sampai waktu yang baik, mereka lalu
usir semua budak lelaki atau perempuan yang jaga Hoan-kong dan tutup rapat pintu
keraton. Sedang kamar tidur Hoan-kong dan sekitarnya didirikan tembok kira-kira tiga
tumbak tinginya, memutus perhubungan di dalam dan di luar. Cuma di bawah tembok ada
dibikin satu lubang anjing, perlunya setiap pagi dan sore dorna itu memerintah budak kecil
menerobos ke dalam untuk memeriksa apa Hoan-kong sudah mati atau belum. Juga dorna mengatur
balatentara keraton, menjaga apabila Kong-cu menggerakkan pemberontakan.
Demikian keadaan di istana Raja Cee yang semula menjadi Raja Jagoan, sekarang nasibnya
demikian buruknya. *** Sesudah demikian lama Raja Cee Hoan-kong rebah saja di atas pembaringannya,
pada suatu hari karena perutnya merasa lapar dia hendak bangun, tetapi tidak
kuat, lalu ia berteriak memanggil pelayan, tetapi tidak ada yang datang. Saat Raja Cee membuka
matanya dia jadi keheranan, tiba-tiba dia mendengar ada orang yang jatuh dari atas,
ketika dia perhatikan, orang itu adalah An Ngo Ji, perempuan yang kurang disukainya.
"Aku lapar, aku ingin makan bubur, coba kau pergi ambilkan," kata Raja Cee Hoan-
kong pada gundiknya itu. "Tuanku tidak akan memperoleh bubur, " sahut Ngo Ji.
"Kalau tidak ada bubur, ambilkan saja aku air hangat."
"Air hangat juga tidak ada."
"Eh, mengapa begitu?" tanya Raja Cee Hoan-kong dengan heran.
"Ek Ge dan Si Tiauw telah membuat huru-hara, mereka telah menjaga keras pintu
keraton, dan mendirikan tembok yang tingginya tiga tombak untuk memutuskan bagian dalam
dan luar istana. Maka dari manakah kita bisa mendapatkan makanan?"
"Tetapi mengapa kau bisa datang ke sini?" tanya Raja Cee dengan lebih heran.
"Aku tahu Cu-kong tidak begitu cinta kepadaku," kata gundik yang baik hati itu
dengan melelehkan air matanya, "Meskipun cuma sekali saja Cu-kong membuat aku
beruntung, tetapi aku tidak bisa melupakan Cu-kong. Maka dengan tidak menghiraukan bahaya dan
keselamatan jiwaku, aku telah naik ke tembok dan datang ke sini, karena aku
ingin menunggui Cu-kong hingga sampai ajal."
"Pangeran Ciauw ada di mana?"
"Karena penjagaan oleh dua dorna itu sangat ketat, dia tidak bisa masuk istana!"
kata gundiknya. Raja Cee Hoan-kong menghela napas dan berkata, "Ya Allah, ternyata omongan
Tiong-hu benar-benar omongan seorang Nabi. Apa yang dikatakan, tidak meleset sedikit pun!
Lantaran aku bodoh, patut hari ini aku harus menerima nasib seperti ini."
Sesudah itu dari mata Raja Cee mengucur air matanya deras sekali, dan sesaat
kemudian dia berteriak pula. "Oh Allah! Apakah memang ini sudah takdir Siauw Pek hari ini harus menemui
ajalnya!" kata Raja Cee yang dulu bernama Siauw Pek ini.
Sesudah beberapa kali berteriak, akhirnya dia muntah darah. Gundik yang baik hati itu lalu memeluk Raja Cee Hoan-kong dan mengusap-ngusap
punggung Raja Cee, sedang air matanya berlinang-linang, karena dia merasa
terharu sekali atas nasib raja jago ini.
"Aku ada punya enam Ji-hu-jin (nyonya kedua) yang aku cintai dan enam Kong-cu
(Pangeran) yang aku paling sayang," kata Raja Cee sambil menangis. "Tetapi
sekarang tidak seorang pun yang ada di depan mataku, melainkan kau . . .ya kau seorang saja
yang mengantar kematianku! Ya, nona, sesungguhnya aku merasa menyesal sekali, dulu
aku tidak memperhatikanmu!" "Sudah! Harap Cu-kong jaga baik-baik dirimui," ratap An Ngo Ji. "Seandainya
sampai tidak beruntung, akupunikhlasuntuk ikut matibersama-sama denganmu."
Raja Cee Hoan-kong menggelengkan kepala, kemudian dia tutup mukanya dengan
tangan bajunya, sesudah itu dia menghela napas beberapa kali, akhirnya meninggal.
Ketika meninggal usia Raja Cee sudah 73 tahun.
Melihat junjungannya sudah meninggal, An Ngo Ji menangis sedih sekali. Dia
hendak berteriak memanggil orang, tetapi dia ingat, tembok begitu tinggi dan kuat,
teriakannya tidak akan terdengar. Ketika dia ingin memanjat akan keluar, tidak ada tangga maupun
alat untuk dipakai memanjat. Tiba-tiba dia ingat ucapannya tadi, bahwa dia ingin mati
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama junjungannya. Sesudah menutupi tubuh Raja Cee dengan bajunya, dia menghampiri
tiang, lalu membenturkan kepalanya hingga binasa.
Malam harinya.... Budak kecil yang ditugaskan masuk lewat lubang untuk melihat keadaan Raja Cee,
kaget saat mengetahui Raja Cee telah meninggal dan otaknya sudah berhamburan. Buru-buru dia
menerobos dan melapor pada Ek Ge dan Si Tiauw tentang kejadian itu. Mendengar
kabar itu mereka yakin saja, lalu menyuruh orang-orangnnya membobol tembok. Kedua dorna
pun masuk untuk melihat sendiri. Mereka kaget karena di sana ada dua mayat yang
kepalanya hancur, sedang Raja Cee tetap menggeletak di atas pembaringan meninggal dunia.
Dua dorna itu keheranan, tetapi budak istana ada yang mengenali mayat perempuan
itu. Dia memberitahu dua dorna yang mengangguk dan terheran-heran. Sesudah melakukan
pemeriksaan, kedua dorna jadi sangat girang, lalu mereka berunding mengenai
pengangkatan raja pengganti. Mereka kemudian mengambil putusan sebelum mengurus jenazah Cee Hoan-kong, lebih
dulu mereka akan membinasakan Kong-cu Ciauw, supaya Pangeran Bu Kui dengan mudah bisa
naik tahta. Mereka segera memimpin pasukan pergi menyerang Tang-kiong (Istana
Tengah) kediaman Pangeran Ciauw. Untung di antara budak istana ada yang merasa kasihan pada Kong-cu itu, sebelum
Ek Ge alias Yong Bu dan Si Tiauw mengerahkan tentaranya, budak itu buru-buru memberi
tahu kabar jelek itu kepada Pangeran Ciauw.
Pangeran Ciauw kaget mendapat kabar itu, malam itu juga dia pergi ke rumah Kho
Houw untuk minta nasihat bagaimana sebaiknya dia bertindak. Perdana Mentri itu
memberi saran. "Lebih baik Cu-kong menyingkirkan diri ke negeri Song, sebab dulu Raja Cee Hoan-
kong sudah pernah berpesan pada Raja Song Siang-kong untuk membantu Tuanku, jika ada
bahaya." kata KHo Kho Houw.
Dengan menyamar Pangeran Ciauw pergi lewat pintu kota Timur, di situ, Cui Yauw
yang menjaga, famili dari KHo Houw. Maka dengan mudah Pangeran Ciauw bisa keluar,
malah Cui Yauw juga ikut dengan Pangeran Ciauw melarikan diri ke negeri Song.
Ketika Yong Bu dan Si Tiauw datang, mereka langsung mengepung gedung Pangeran
Ciauw, tetapi gedung itu sudah kosong. Mereka mencarinya dan tidak ada hasilnya.
Menjelang fajar, dua dorna yang sudah putus harapan itu, kembali bersama
pasukannya. Sebelum sampai di istana, mereka melihat pintu istana sudah terbuka dan di sana
banyak menteri yang sudah berkumpul. Mereka mendengar dua dorna mengerahkan pasukan,
maka menteri-menteri itu mengira ada kekacauan di istana, itu sebabnya mereka datang.
Di istana mereka akhirnya tahu bahwa Raja Cee Hoan-kong telah meninggal dunia.
Tidak heran mereka jadi tidak puas, apalagi mendengar Istana Tengah dikepung. Hingga
mereka segera menduga kedua dorna itu telah membuat huru-hara.
"Cu-kong sebenarnya mengangkat Pangeran Ciauw menjadi penggantinya. Sekarang
Pangeran Ciauw tidak ada, bagiamana ini?" kata seorang menteri.
Mereka jadi kebingungan bukan main. Saat mereka kebingungan datanglah dua dorna
bersama pasukannya. Begitu dua dorna itu sampai, mereka bertanya.
"Mana Pangeran Ciauw?" kata mereka.
"Kami tidak tahu, sedang yang pantas menjadi pengganti Cu-kong adalah Bu Kui,"
begitu mereka menjawab. "Tidak, yang pantas adalah Pangeran Ciauw!" kata para menteri.
Akhirnya mereka bertengkar dan terjadilah perkelahian hebat. Sayang para menteri
Pendekar Aneh Naga Langit 21 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Hancurnya Samurai Cabul 1