Pencarian

Suling Pusaka Kumala 10

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


hati. Dia masih belum yakin apakah sikap Sian Hwa Sian-li
dengar kerling memikat dan senyum manisnya itu benar-benar
jatuh cinta kepadanya"
Dia tidak ingin terjebak.
Tak lama kemudian tibalah mereka di puncak Bukit Merak
dan Ki Seng melihat sebuah rumah besar yang agaknya belum
lama dibangun di puncak itu. Bangunan ini seluruhnya dari
kayu. Kokoh dan indah, selain dicat beraneka warna, juga
banyak terdapat ukir-ukiran yang indah. Bangunan itu cukup
besar dan dikelilingi oleh sebuah taman bunga yang
terpelihara rapi, penuh dengan bunga-bunga beraneka warna.
Di bagian luar dari taman bunga itu terdapat pagar yang
mengitari, pagar bambu runcing dan di bagian depan terdapat
pintu gapura yang lebar. Begitu mereka memasuki pintu gapura, dari bangunan itu
datang berlarian sembilan orang wanita menyambut. Ki Seng
memandang penuh perhatian dan dia merasa heran sekali.
Sembilan orang wanita itu masih muda-muda, paling tinggi
dua puluh lima tahun usianya dan pakaian mereka dari sutera
indah beraneka warna, bentuk tubuh mereka juga
menggairahkan, akan tetapi wajah mereka semuanya buruk!
Ketika sembilan orang wanita itu menyambut kedatangan Sian
Hwa Sian-li mereka merubungnya dan seperti dikomando
mereka mengeluarkan ucapan riuh rendah.
"Selamat datang, Sian-li yang mulia"
Sian Hwa Sian-li tertawa-tawa dan dirubung oleh sembilan
orang wanita yang berwajah buruk itu, kecantikannya semakin
menonjol. Ia bagaikan seolah seekor burung Hong di antara
sembilan ekor burung gagak.
Sambil tersenyum Sian Hwa Sian-melambaikan tangannya
dan berkata "Sudah, cepat kalian mempersiapkan pesta besar untuk menjamu tamuku
ini. Dia ini adalah pangcu dari Bantok-pang!"
Mendengar ucapan ini, sembilan oran wanita itu lalu
menghadap Ki Seng, memberi hormat dengan membungkuk
sampai dalam dan dari mulut mereka terdenga salam merdu,
"Selamat datang, pangcu!"
Setelah mengucapkan selamat denga sikap hormat,
sembilan orang wanita it sambil tertawa-tawa lalu berlarian
masuk kembali ke dalam rumah itu. Merek bagaikan sembilan
orang gadis remaja yang lincah dan gembira, dan melihat dari
gerakan mereka Ki Seng dapat menilai bahwa mereka semua
memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
"Hemm, engkau mempunyai pelayan-pelayan yang lincah,
Sian-li." katanya sambil menoleh dan memandang wajah Sian Hwa Sian-li. Wanita
itu kini menutup payungnya dan juga
menatap wajah Ki Seng sambil tersenyum.
"Jangan pandang rendah mereka, Ouw pangcu. Biarpun
mereka itu hanya merupakan pelayan dan pembantuku, akan
tetapi kalau mereka membentuk Kiu-seng-tin (Barisan
Sembilan Bintang), akan sukarlah untuk memecahkan dan
mengalahkan barisan mereka. Dan mereka juga merupakan
orang-orang yang setia sampai mati kepadaku!" kata Sian
Hwa Sian-li dengan bangga.
"Hebat sekali," Ki Seng memuji. "Tentu engkau yang melatih mereka."
"Memang. Mereka merupakan murid-murid pula yang baik
dan berbakat. Engkau hendak melihat bukti kelihaian dan
kesetiaan mereka" Lihat!" Sian Hwa
Sian-li bertepuk tangan tiga kali di segera tampak sembilan
orang wanita datang berloncatan dan mereka sudah
memegang sebatang pedang dan tanpa diperintah mereka
sudah mengepung Ki Seng. Gerakan mereka gesit, rapi dan
agaknya merupakan barisan pedang yang tangguh. Wajah
mereka dingin seperti arca dan mereka agaknya hanya
menanti perintah Sian Hwa Sian-li untuk bergerak menyerang
Ki Seng! Melihat ini, dengan sendirinya Ki Seng juga bersiap
siaga untuk melawan mereka dan mengira bahwa Sian Hwa
Sian-li memang sengaja hendak menjebaknya dengan barisan
pedang ini. Akan tetapi ternyata tidak demikian, Sian Hwa Sian-li
menggerakkan tangan memberi isarat dan berseru,
"Kembalilah kalian ke rumah dan cepat persiapkan hidangan untuk pesta itu.
Potong ayam bebek dan kelenci yang paling
gemuk dan muda. Pergilah!" Sembilan orang itu tanpa berkata apapun segera
berloncat pergi. "Bukan main!" Ki Seng memuji. "En kau memang hebat, Sian-li."
"Hemm, engkau belum melihat kemampuan-kemampuanku
yang lain. Mari kita masuk ke rumah."
Dengan gembira dan bebas wanita itu menyambar tangan
Ki Seng, dan menariknya memasuki rumah. Merasa betapa
ringannya digandeng tangan yang berkulit halus dan hangat
itu, Ki Seng tersipu dan jantungnya berdebar. Akan tetapi dia
membiarkannya saja dan ikut memasuki rumah itu. Setelah
melangkahi ambang pintu, Ki Seng terbelalak. Rumah yang
terbuat dari kayu itu ternyata dalamnya mewah bukan main!
Prabot-prabot rumah yang serba indah dan mahal, permadani
yang tebal dan beraneka warna, hiasan dinding berupa lukisan
dan tulisan yang luar biasa dan mahal, digantungi tirai-tirai
sutera. Seperti ruangan rumah hartawan atau bangsawan
seperti yang pernah dia dengar diceritakan orang.
Melihat pemuda itu terkagum-kagum, Sian Hwa Sian-li
menjadi girang dan ia menarik tangan pemuda itu diajak
duduk di atas kursi berukir. Mereka duduk berhadapan,
terhalang sebuah meja bundar.
"Inilah rumahku, baru tiga bulan aku tinggal di sini. Telah bosan aku merantau
dan melihat kesuburan dan keindahan
Bukit Merak ini, aku lalu mengambil keputusan untuk tinggal di sini bersama
sembilan orang pelayanku yang setia. Bagaimana
pendapatmu tentang rumahki ini" Mari kita melihat-lihat
sebelum duduk mengobrol!" Ia bangkit lagi dan kembali
menggandeng tangan Ki Seng Mereka berdua lalu berjalanjalan
dalam rumah itu, memeriksa setiap ruangan. Ki Seng
semakin kagum. Rumah itu memiliki dua kamar induk yang
amat indah dan luas, memiliki kamar mandi yang lengkap, dan
dapur yang memiliki prabot serba lengkap pula. Di bagian
belakang terdapat lima buah kamar yang menjadi kamar
sembilan orang pelayan tadi. Ki Seng melihat sembilan orang
pelayan itu sedang sibuk bekerja di dapur dan tercium bau
masakan yang sedap. "Hebat! Rumahmu bagus dan menyenangkan sekali!" Ki
Seng memuji. Sian Hwa Sian-li tersenyum. Mereka sudah duduk kembali
di ruangan tengah. "Bagian mana yang kau anggap paling indah
menyenangkan, pangcu?"
"Hemm......., semua bagian indah," Ki seng mengingatingat dan memandang ke
sekeliling, "akan tetapi yang paling
menyenangkan adalah kamar tidur itu. Begitu indah
menyenangkan dan berhawa sejuk, jendelanya menghadap
taman bunga sehingga udaranya segar dan berbau harum." Ki Seng memuji dengan
sejujurnya tanpa mengandung maksud
tertentu. Sian Hwa Sian-li tertawa sehingga mulutnya terbuka.
Wanita ini memang manis sekali kalau tertawa. Muncul lesung
pipit di pipi kirinya. "Kita berpesta dulu, makan minum,
kemudian kita akan bersenang-senang dalam kamar itu." Ia
menatap wajah Ki Seng dan pemuda itu melihat Sian Hwa
Sian-li memandangnya dengan sepasang mata hampir
terpejam. Jantungnya berdebar aneh dan dia merasa mukanya
menjadi panas. Dia tidak tahu bahwa mukanya menjadi merah
sekali dan melihat ini, Sian Hwa Sian-tersenyum. Ki Seng
makin tersipu karena dia merasakan sesuatu yang asing
baginya, namun dia tahu bahwa dia amat tertarik kepada
wanita ini. "Ouw-pangcu, sekarang kita harus mempererat
persahabatan antara kita dengan mengenal riwayat diri
masing masing. Aku ingin sekali mengetahui riwayatmu, siapa
orang tuamu dan bagaimana engkau yang semuda ini sudah
dapat menjadi pangcu dari Ban-tok-pang dan telah memiliki
ilmu kepandaian demikian hebat. Siapa pula gurumu" Aku
melihat tadi totokanmu itu luar biasa sekali. Apakah itu yang
dinamakan It yang-ci" Aku hanya pernah cerita tentang ilmu
itu, akan tetapi belum pernah menyaksikannya."
Ki Seng merasa bahwa sudah sewajarnya kalau mereka
saling mengenal lebih dekat dengan menceritakan keadaan
masing-masing. Akan tetapi, dia merasa tidak kalah tinggi
kedudukannya sehingga kalau mereka saling menceritakan
keadaan masing-masing, sepatutnya Sian Hwa Sian-li yang
lebih dulu menceritaka keadaannya. Diapun ingin sekali
mengetahui riwayat hidup wanita cantik yang memikat hatinya
itu. "Usulmu baik sekali dan aku dapat menerimanya, Sian-li.
Akan tetapi, riwayatku tidak menarik, karena itu akan
kuceritakan kepadamu setelah lebih dulu Engkau bercerita
tentang dirimu." "Ah, tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku,
Ouw-pangcu." kata wanita itu dengan sikap manja.
"Segala sesuatu tentang dirimu amat menarik hatiku, Sianli."
kata Ki Seng terus terang.
Sian Hwa Sian-li membelalakkan matanya dan wajahnya
berseri. "Benarkah, Pangcu" Benarkah engkau tertarik
kepadaku?" "Aku amat tertarik kepadamu, Sian-li. Engkau seorang
wanita yang memiliki daya tarik yang kuat dan aku ingin sekali mengetahui
riwayatmu." "Aihhh.......! Aku menjadi khawatir...."
"Apa yang kaukhawatirkan?"
"Aku khawatir kalau isteri atau tunanganmu menjadi
cemburu kepadaku!" mata Sian Hwa Sian-li mengerling tajam.
Ki Seng tertawa dan pada saat itu, seorang pelayan datang
membawa seguci arak dan dua buah cawan. Setelah mengisi
kedua cawan dan meletakkannya di depan Sian Hwa Sian-li
dan Ki Seng, dai menaruh guci di atas meja, pelayan itu lalu
pergi lagi. Semua dilakukannya dengan cekatan dan tanpa
kata-kata. "Engkau tidak perlu khawatir, Sian li. Aku belum beristeri dan juga tidak
mempunyai tunangan." kata Ki Seng.
"Bagus sekali kalau begitu. Girang aku mendengarnya dan
mari kita minum untuk memberi selamat kepadaku!" Ia
mengangkat cawan. "Memberi selamat kepadamu" Untuk apa?" tanya Ki Seng yang juga mengangkat
cawannya. "Ya, memberi selamat kepadaku karena aku dapat
berkenalan dengan engkau yang masih perjaka, belum
beristeri di belum bertunangan. Mari kita minum demi
persahabatan kita!" Keduanya lalu minum arak dan suasana menjadi semakin
akrab. "Nah, ceritakanlah tentang dirimu, Sian-li."
Sebelum menceritakan riwayatnya, Sian Hwa Sian-li
mengajak minum lagi sampai mereka menghabiskan arak tiga
cawan. Lidahnya menjadi ringan oleh pengaruh arak dan
iapun mulai bercerita dengan sikap dan gaya yang genit dan
manja. "Aku berasal dari selatan, jauh di selatan, di Propinsi
Yunnan. Aku hidup sebatang kara, orang tuaku telah tewas
ketika terjadi perang di daerah selatan. Semenjak berusia lima belas tahun aku
hidup di bawah asuhan seorang pamanku,
yaitu adik ibuku. Akan tetapi dia jahat dan aku dijualnya untuk menjadi budak
pada sebuah keluarga hartawan. Di sana aku
bekerja sebagai budak, akan tetapi hartawan itu mempunyai
niat untuk mengambil aku menjadi selirnya. Aku merasa takut
dan pada suatu malam aku berhasil melarikan diri. Karena
khawatir dikejar, aku berlari terus sampai memasuki sebuah
hutan. Pakaianku koyak-koyak terkait duri, perutku lapar dan
tubuhku lemas dan pada saat menjelang senja itu, para
pengejar, para tukang pukul hartawan itu dapat menyusulku
di dalam hutan itu......"
"Kasihan sekali engkau, Sian-li." kat Ki Seng yang
mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian.
"Ki Seng, kita telah menjadi sahabat Lupakan saja sebutan Sian-li dan pangcu
itu, ya" Nama kecilku adalah Kim Goat
panggil saja aku dengan nama itu dan akupun memanggil
engkau dengan nama mu saja."
Ki Seng tersenyum dan merasa lebih akrab. Wanita ini
sungguh menyenangkan pikirnya.
"Baiklah, Kim Goat. Nama yang bagus Kim Goat (Bulan
Emas)." "Akan tetapi nasib dan peruntunganku tidak sebagus itu.
Ketika aku dapat di kejar dan disusul, tubuhku sudah begitu
lemah sehingga aku tidak dapat berlari lagi. Tukang pukul
yang lima orang jumlahnya itu sudah mengepungku, siap
untuk menangkapku. Pada saat itu muncul ah seorang laki-laki
berusia sekita enam puluh tahun. Dia menyelamatkanku dan
membunuh lima orang tukang pukul it dan setelah mengetahui
bahwa aku hidup sebatang kara, dia lalu mengajakku pergi.
semenjak hari itu aku menjadi muridnya sampai lima tahun
aku menjadi muridnya dan selanjutnya, aku bukan saja
menjadi muridnya, akan tetapi juga menjadi isterinya."
"Hemmmm......." Ki Seng mengerutkan alisnya, terasa
sesuatu yang tidak enak dalam hatinya mendengar wanita itu
menjadi isteri gurunya sendiri.
"Ya, aku tidak mempunyai pilihan lain, Ki Seng. Dialah satusatunya orang di
dunia di mana aku bergantung, menjadi
sandaranku, menjadi pengganti orang tuaku, juga guruku,
juga suamiku. Akan tetapi setahun kemudian, dia tewas di
tangan seorang musuh. Aku hidup sebatang kara lagi. Hatiku
dipenuhi dendam. Karena itu aku selalu berusaha untuk
memperdalam ilmu silatku dan setelah aku merasa mampu,
aku lalu membunuh hartawan yang pernah menyuruh para
tukang pukulnya mengejar dan menangkapku, aku mencari
pamanku dan membunuhnya pula. Dan akhirnya aku berhasil
membunuh musuh besar yang telah menewaskan guruku.
Nah, semenjak itulah aku malang melintang seorang diri di
dunia kang-ouw dan mendapatkan julukan Sian Hwa Sian-li,
karena aku selalu meninggalkan bunga setiap melakukan
sesuatu sebagai tanda."
"Dan selama itu engkau tidak pernah bersuami lagi" Juga
sekarang tidak?" Sian Hwa Sian-li menggeleng kepalanya sambil tersenyum.
"Aku lebih senang hidup sendiri, bebas dan dapat memilih


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawan sesuka hatiku, bergaul dengan siapa saja yang kusukai.
Seandainya aku bersuami, tentu aku tidak dapat
mengundangmu menjadi tamuku dan kita mengobrol berdua
sesantai ini, bukan?"
Ki Seng mengangguk-angguk dan tersenyum pula.
"Beruntung sekali aku karena engkau tidak bersuami sehingga aku dapat menjadi
tamumu. Riwayatmu amal menarik hati
dan aku percaya bahwa selama bertualang di dunia kang-ouw
engkau tentu telah memiliki banyak pengalaman. Pantas saja
ilmu kepandaianmu demikian hebat sehingga Ciang-pangcu
dari Pek-eng-pang tidak mampu menandingimu."
"Akan tetapi kenyataannya, aku tidak dapat menandingimu
padahal engkau masih begini muda, Ki Seng."
"Usiaku tidak berselisih jauh dengan usiamu, Kim Goat.
Engkaupun masih amat muda."
"Hemm, berapa sih usiamu, Ki Seng?"
"Aku sudah berusia dua puluh satu tahun."
"Ah, masih amat muda."
"Tentu tidak jauh selisihnya denganmu, kalau tidak dapat
dikatakan bahwa engkau lebih muda lagi."
Sian Hwa Sian-li tertawa. "Hi-hik, biarpun aku sendiri tidak tahu berapa
sesungguhnya usiaku, akan tetapi sudah pasti
lebih dari dua puluh satu tahun."
"Akan tetapi engkau kelihatan masih muda sekali, paling
banyak dua puluh tahun!"
"Sesungguhnyakah?" Sian Hwa Sian-li tersenyum gembira.
Tidak ada pujian yang lebih menyenangkan bagi seorang
wanita daripada pujian bahwa ia masih tampak muda!
"Sekarang ceritakanlah riwayatmu, Ki Seng."
Pemuda itu menghela napas panjangi "Riwayatku tidak
menarik dan menyedihkan, Kim Goat. Sebetulnya, nama Owh
Ki Seng adalah nama samaranku. Aku... tidak dapat
kuceritakan rahasia tentang diriku, Kim Goat. Kita baru saja
berkenalan." Kim Goat atau Sian Hwa Sian-li mengerutkan alisnya yang
kecil panjang dari hitam. "Akan tetapi, bukankah kita telah menjadi sahabat
baik" Ah, sudahlah! Kalau engkau hendak
merahasiakan dirimu, terserah. Akan tetapi setidaknya
ceritakan siapa orang tuamu, gurumu dari bagaimana semuda
ini engkau sudah menjadi ketua Ban-tok-pang."
"Siapa orang tuaku belum dapat kuceritakan. Guruku
berjuluk Cheng Hian Hwesio dan bertahun-tahun waktuku
kuhabiskan untuk belajar ilmu silat. Setelah aku tamat belajar aku berkunjung ke
Ban tok-pang dan karena para pimpinan
Ban tok-pang takluk kepadaku, maka setelah pimpinannya
meninggal dunia, lalu aku diangkat menjadi ketua Ban-tokpang.
Sampai sekarang, baru kurang lebih satu bulan aku
menjadi ketua Ban-tok-pang."
"Dan hubunganmu dengan Pek-eng-pang?"
"Tadinya aku datang untuk menalukkan Pek-eng-pang dan
menariknya menjadi bawahan perkumpulanku. Aku sudah
mengalahkan mereka dan pada saat para Piauwsu
mengabarkan betapa kereta mereka kau rampas, aku masih
berada di sana sebagai tamu. Maka aku lalu membantu
mereka menghadapimu."
"Dan aku girang sekali kau lakukan itu karena dengan
begitu maka kini kita saling berkenalan dan menjadi sahabat
baik." Para pelayan berdatangan membawa hidangan yang masih
mengepul. Sian Hwa Sian-li lalu mengajak tamunya untuk
makan minum, dilayani para pelayan wanita yang sembilan
orang jumlahnya itu. Hidangan itu mewah sekali dan Ki Seng
juga tidak malu atau sungkan lagi. Pia makan minum dengan
lahap dan gembiranya, apalagi karena Sian Hwa Sian-li
melayaninya dengan ramah dan manis.
Malam telah tiba ketika mereka berdua akhirnya merasa
kenyang dan menyudahi perjamuan berdua itu. Ketika diajak
bangkit dari kursinya, Ki Seng merasa kepalanya ringan dan
perasaannya mengapung. Dia tidak biasa minum arak
sedemikian banyaknya, maka pengaruh arak membuatnya
agak mabok. Sian Hwa Sian-li membimbingnya dani mempersilakannya
untuk mandi. Ki Seng merasa diperlakukan sebagai raja!
Bahkan Sian Hwa Sian-li sudah menyediakan pakaian
pengganti untuknya, pakaian pria yang amat bagus, terbuat
dari sutera halus, pakaian yang biasa dipakai oleh seorang
bangsawan atau hartawan dan pakaian itu masih baru!
Setelah mandi dan berganti pakaian baru, Ki Seng keluar
dari kamar mandi dan dia tertegun, terpesona ketika melihat
Sian Hwa Sian-li telah berdiri di depan kamar mandi
menyambutnya. Wanita itu agaknya juga sudah habis mandi
dan mengenakan pakaian yang amat indah, wajahnya cantik
jelita berseri-seri pun tersenyum kepadanya! Ki Seng menelan
ludah sendiri, tidak dapat berkata-kata dan juga tidak menolak ketika Sian Hwa
Sian-li menghampirinya dan menggandeng
tangannya. Sian Hwa Sian-li yang sudah berpengalaman itu tersenyum
geli ketika merasa betapa tangan Ki Seng yang digandengnya
itu gemetar. Maklumlah wanita ini bahwa Ki Seng adalah
seorang pemuda yang mungkin belum pernah bergaul dengan
wanita. Tanpa berkata apapun ia lalu menggandeng pemuda
itu memasuki kamarnya yang luas dan indah.
Bagaikan seekor kerbau yang jinak, Ki Seng membiarkan
dirinya dituntun ke dalam kamar itu. Dalam diri Sian Hwa Sianli dia menemukan
seorang guru yang amat pandai yang
mengajarnya berenang dalam lautan nafsu berahi. Dia segera
terbuai dalam kemesraan yang memabokkan dan lupa segalagalanya.
Nafsu memegang peran penting dalam kehidupan manusia.
Nafsu memiliki pengaruh yang amat kuat. Manusia, betapa
pun kuatnya dia, seringkali menjadi lemah menghadapi
nafsunya sendiri, kalau nafsu itu telah berubah menjadi
majikan yang mencengkeram dan menguasainya, Nafsu
menawarkan kenikmatan dan kesenangan jasmani,
menyuguhkan kepuasan. Oleh karena itu maka tidak mengherankan kalau manusia
jatuh olehnya. Bagi seorang yang sudah dicengkeram oleh
nafsu, hidup ini merupakan medan untuk mengejar
kesenangan duniawi, kesenangan jasmani dan dalam
pengejaran kesenangan inilah manusia sanggup melakukan
apa saja, melanggar peraturan apa saja. Nafsu membuatnya
mabok dan lupa daratan. Nafsu bagaikan nyala api, makin
diturut makin diberi umpan, akan menjadi semakin besar yang
akhirnya akan membakar segalanya termasuk dirinya pribadi.
Nafsu bagaikan kuda yang kalau dibiarkan meliar akan
kabur dan menyeret kita sendiri ke dalam jurang. Akan tetapi
kalau kita dapat mengendalikan dan menguasai api dapat
mengendalikan dan menguasai kuda maka kita akan dapat
memanfaatkan dan mempergunakan untuk kepentingan hidup
Ini. Begitu kuat pengaruh nafsu yang mencengkeram hati akal
pikiran kita sehingga semua pengetahuan dan kepandaian kita
tidak ada artinya sama sekali untuk menentangnya karena
pusat pengetahuannya dan kepandaian itu, ialah hati akal
pikiran kita, sudah dicengkeramnya dan menjadi budaknya.
Satu-satunya jalan bagi kita untuk dapat terbebas dari
pengaruh nafsu kita sendiri yang demikian kuat hanyalah
dengan selalu ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan Maha
Pencipta dengan penuh keimanan dan kepasrahan lahir batin,
kepasrahan yang penuh ketawakalan dan keikhlasan. Dan
waspada terhadap diri kita sendiri, terhadap kiprahnya hati
akal pikiran kita sehingga kita akan selalu dapat mengamati
ulah nafsu kita sendiri. Hanya dengan penyerahan kepada
Tuhan, maka Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita
menundukkan nafsu kita sendiri.
Ki Seng adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam
pengalaman dengan wanita. Dia belum pernah bergaul
dengan wanita. Dan memang pada dasarnya pemuda ini
sudah membiarkan dirinya takluk terhadap nafsunya sendiri
sehingga bertemu dengan Sian Hwa Sian-li, dia mudah terjun
dan menyelam dalam gairah nafsu berahinya. Mabok oleh
kemesraan yang dinikmatinya. Sian Hwa Sian-li merasa
gembira bukan main mendapatkan seorang pemuda yang
selain masih perjaka, juga seorang pemuda yang memiliki ilmu
kepandaian silat tinggi, seorang pemuda yang boleh
diandalkan sebagai rekan dan sahabat karena kesaktiannya,
seorang pemuda yang amat menyenangkan dijadikan kekasih
barunya. Dan keduanya ternyata memiliki watak yang cocok!
Jilid XVIII TIGA HARI tiga malam itu mereka isi dengan pesta pora,
mabok-mabokan minum anggur cinta berahi. Tentu saja
hubungan mereka menjadi semakin akrab. Pada pagi hari ke
empat, ketika mereka berdua terbangun dari tidur dalam
keadaan lelah dan puas, Sian Hwa Sian-li melihat sebatang
suling berbentuk naga kecil menggeletak di tempat tidur,
tadinya tersembunyi di bawah bantal kepala Ki Seng. Ia
segera mengambil suling itu dan berkata, "Indah sekali suling ini.....!"
Ki Seng menggeliat bangkit dan melihat Suling Pusaka
Kemala itu berada di tangan Sian Hwa Sian-li, secepat kilat
tangannya menyambar dan suling itu telah dirampasnya.
"Eh, kenapakah, Ki Seng" Aku hanya ingin melihat!" seru Sian Hwa Sian-li
terkejut. Ki Seng menyadari bahwa perbuatannya itu terlalu kasar.
"Maaf, aku hanya tidak ingin kehilangan benda ini, karena benda ini merupakan
pusaka yang teramat penting bagiku.
Nah, engkau boleh melihat dan memeriksanya sekarang." Di
menyerahkan kembali suling itu kepada Sian Hwa Sian-li yang
menerimanya dengan hati lega karena tadi ia menyangka
pemuda itu marah kepadanya. Ia meneliti suling itu dan
memuji dengan kagum. "Suling yang indah sekali. Terbuat dari batu kemala murni dan ukirannya amat
indah. Sebuah benda yang langka sekali,
Ki Seng. Dari mana engkau memperoleh benda selangka ini?"
Ia mengembalikan suling kemala itu kepada Ki Seng yang
menerimanya dan meletakkannya di atas meja dekat
pembaringan. "Suling itu peninggalan ibuku yang tadinya menerima dari
ayahku. Suling pusaka itulah yang menjadi pertanda siapa
diriku sebenarnya." Sian Hwa Sian-li tertarik sekali dan ia merangkul Ki Seng.
"Ki Seng, kukira sekarang sudah waktunya engkau membuka
rahasia tentang dirimu kepadaku. Kita telah menjalin
hubungan yang amat erat, kita saling mencinta dan saling
menjadi kekasih hati. Perlukah lagi engkau merahasiakan
siapa adanya dirimu dariku?"
Ki Seng menghela napas dan berkata. "Baiklah, bagiku
engkau adalah satu-satunya orang yang boleh mengetahui
rahasia ini. Akan tetapi harap engkau tetap menyimpannya
sebagai rahasia sampai tiba waktunya rahasia ini dibuka untuk
umum." "Ceritakanlah, kekasihku dan aku akan menyimpannya
seperti rahasiaku sendiri dan akan kulindungi dengan taruhan
nyawaku." "Akupun kelak mengharapkan bantuanmu pada waktu aku
menuntut hakku. Ibuku telah meninggal dunia, Kim Goat.
Nama ibuku adalah Chai Li dan ia masih keponakan dari
seorang kepala suku Mongol yang bernama Kapokai Khan.
Pada waktu ibuku masih seorang gadis, menjadi puteri
tercantik di daerahnya, Kapokai Khan berhasil menawan Kaisar
Cheng Tung yang sedang melakukan perjalanan di utara.
Kaisar Cheng Tung menjadi tawanan di daerah yang dikuasai
Kapokai Khan sebagai tawanan terhormat. Bertemulah ibu
Chai Li dengan Kaisar Cheng Tung dan mereka saling jatuh
cinta, lalu Puteri Chai Li menjadi isteri Kaisar Cheng Tung, dan lahirlah aku."
"Ahhh.......!" Sian Hwa Sian-li lalu melepaskan
rangkulannya dan cepat ia melompat turun dari pembaringan
dan berlutut di atas lantai. "Kiranya paduka adalah seorang pangeran! Harap
ampunkan hamba yang telah bersikap tidak
hormat karena tidak mengetahui.....!"
Ouw Ki Seng tertawa. Tangannya menyambar ke depan
dan sekali tarik, tubuh wanita itu telah terangkat ke atas
pembaringan dan dipangkunya.
"Hushh, jangan begitu. Sebelum aku diterima dengan resmi
menjadi seorang pangeran, bagimu aku tetap Ouw Ki Seng
dan jangan sekali-kali memperlihatkan sikap seperti tadi
karena dengan begitu engkau akan membuka rahasiaku!"
"Baik, hamba....... eh, aku akan bersikap biasa, Ki Seng.
Kalau begitu, siapakah nama aselimu?" tanya Sian Hwa Sian-li, di dalam hatinya
ia merasa berbahagia sekali karena orang
yang menjadi kekasih barunya ini ternyata seorang pangeran!
Pikirannya melayang-layang dan membayangkan betapa ia
akan menjadi isteri seorang pangeran, dan bahkan mungkin
kelak kalau sang pangeran menjadi kaisar, ia akan menjadi
permaisuri! "Namaku adalah Cheng Lin. Ketika Kaisar Cheng Tung
meninggalkan ibu Chai Li untuk kembali ke selatan, ibuku itu
sedang mengandung aku sehingga aku belum pernah bertemu
dengan ayah kandungku. Kaisar Cheng Tung meninggalkan
suling kemala ini kepada ibuku dan suling inilah yang menjadi
pertanda bahwa aku benar adalah putera Kaisar Cheng Tung.
sebelum ibuku meninggal dunia, ia memberikan suling ini
kepadaku dengan pesan agar aku mencari ayah kandungku ke
kota raja kerajaan Beng. Akan tetapi, aku belajar ilmu silat
dengan tekun lebih dulu sehingga aku memiliki bekal
kepandaian sebelum mencari ayah kandungku. Demikianlah
riwayatku, Kim Goat."
"Jadi, engkau belum pergi menemui ayah kandungmu itu?"
"Belum, aku hendak menyusun kekuatan lebih dulu
sebelum melakukan hal itu Karena itu, untuk menyusun
kekuatan agar kedudukanku cukup kuat dan terpandang,
setelah aku menjadi ketua Ban-tok-pang, aku ingin
menundukkan perkumpulan-perkumpulan lain. Aku telah
berhasil menundukkan dan menguasai Hek-houw-pang, dan
sebetulnya aku ingin pula menundukkan dan menguasai Pekeng-
pang." "Akan tetapi, mengapa engkau ingin menguasai dua
perkumpulan itu?" "Selain agar kedudukanku kuat, juga aku menginginkan
penghasilan mereka, terutama Pek-eng-pang dengan hasil
piawkiok mereka, dan Hek-houw-pang dengar hasil rumahrumah
pelesir dan rumah judi mereka."
"Akan tetapi kenapa engkau bukannya menundukkan Pekeng-


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pang, bahkan membantu mereka untuk menentangku?"
tanya pula Sian Hwa Sian-li.
"Apakah engkau menyesal, Kim Goat" Bukankah dengan
demikian kita dapat saling bertemu seperti sekarang ini?" Ki Seng menggoda.
Sian Hwa Sian-li tersenyum. "Tentu saja aku tidak
menyesal, bahkan merasa senang sekali. Aku hanya ingin tahu
mengapa engkau tidak menundukkan dan menguasai Pekeng-
pang." "Justeru aku mengharapkan bantuanmu untuk ini, Kim
Goat." "Bantuanku" Hi-hik, jangan berkelakar, Ki Seng. Mereka itu tidak mampu
menandingiku, sedangkan aku kalah olehmu.
Apa sukarnya kalau engkau hendak menundukkan mereka"
Tidak ada yang akan mampu menandingimu dan dengan
mudah engkau akan dapat menundukkan mereka dan
menguasai Pek-eng-pang."
Ki Seng menghela napas dan tersenyum. Terbayang wajah
Mei Ling dan agaknya sekarang bayangan wajah itu lebih
menarik lagi. "Soalnya, mereka itu Menyambutku sebagai
tamu dan sikap mereka terhadap aku baik sekali. Pula..... aku
tidak tega terhadap Ciang Mei Ling..."
"Ah-ah......" Sian Hwa Sian-li mencubit paha Ki Seng, kemudian ia merangkul dan
berkata manja, "kalau begitu
engkau tertarik dan mencinta kepada gadis itu"
"Terus terang saja aku suka sekali kepadanya, Kim Goat.
Karena itu bantulah aku untuk menguasai Pek-eng-pang
sekaligus mendapatkan Mei Ling."
"Dan kalau engkau sudah mendapatkan Mei Ling, engkau
lalu akan lupa kepadaku dan mencampakkan aku?" Suara
wanita itu terdengar sedih.
Ki Seng merangkulnya. "Tentu saja tidak, Kim Goat. Engkau adalah wanita pertama
yang pernah kugauli, aku tidak akan
melupakanmu selama hidupku. Pula bukankah mulai saat ini
engkau bersedia untuk menjadi kekasihku dan pembantuku"
Aku mengharapkan pula bantuanmu kelau kalau aku menuntut
hakku kepada Kaisar sebagai puteranya. Engkau tentu suka
membantuku untuk menguasai Pek-eng pang tanpa
mengganggu Mei Ling, bukan?" Ki Seng membujuk.
Sian Hwa Sian-li menghela napas panjang dan menatap
wajah Ki Seng. "Baiklah, aku akan membantumu dalam segala hal yang
kaukehendaki sampai kelak engkau menjadi seorang
Pangeran. Akan tetapi kalau engkau sudah menjadi pangeran
dan mungkin menggantikan kedudukan Kaisar, harap jangan
melupakan aku. Nah, bagaimana aku dapat membantumu
untuk menguasai Pek-eng-pang?"
"Sebaiknya diatur begini....." Ki Seng lalu berbisik-bisik mengatur rencana apa
yang harus mereka lakukan terhadap
Pek-eng-pang. Pada pagi nari itu, setelah tiga hari tiga malam Ki Seng
tinggal di rumah Sian Hwa Sian-li di puncak Bukit Merak
seperti yang telah dijanjikan, dia menuruni bukit mengendarai
sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Semua isi kereta itu masih lengkap.
Sian Hwa Sian-Li mengantar sampai keluar
halaman dan kereta bergerak ke depan menuruni bukit.
Metelah tiba di kaki bukit, kereta itu terus menuju ke
perkampungan Pek-eng-pang, tidak pernah berhenti dan tiba
di perkampungan itu setelah hari menjadi malam.
Ciang Hok dan Ciang Mei Ling yang sejak pagi menunggununggu,
menjadi girang sekali dan segera menyambut
kedatangan Ki Seng. Juga para piauwsu menyambut dan
merasa gembira melihat betapa kereta dan semua isinya
lengkap telah kembali dengan selamat. Mereka bersorak
gembira dan Ciang Hok bersama Mei Ling segera menyambut
Ki Seng dengan wajah berseri.
Tentu saja ayah dan anak ini menjari girang bukan main.
Mereka menyambut Ki Seng dengan pesta yang memang
sudah disediakan untuk menyambutnya! bergantian Cian Hok
dan Mei Ling mengangkat cawan arak untuk mengucapkan
selamat dan terima kasih kepada Ki Seng, yang disambut oleh
pemuda itu dengan gembira pula.
"Kami telah berhutang budi besar sekali kepadamu, Ouwpangcu.
Engkau telah menyelamatkan bukan saja nama dari
kehormatan Pek-eng-pang, akan tetapi juga nyawa kami. Oleh
karena itu, kami mengharap dengan sangat sukalah engkau
menerima uluran tangan kami untuk mengekalkan
perhubungan di antara kami dengan perjodohan. Dengan
segala kerelaan hati kami ingin menjodohkan Mei Ling, anak
tunggal kami, denganmu, Ouw-Pangcu." kata Ciang Hok dan
isterinya-pun mengangguk-angguk. Mendengar ucapan
ayahnya ini, Mei Ling menundukkan mukanya yang menjadi
merah sekali. Ia tersipu, akan tetapi tidak meninggalkan
kursinya dan hanya sekali ia mengerling Ke arah Ki Seng
dengan wajah tersipu. Ki Seng tersenyum dan diapun mengerling ke arah Mei
Ling. Tiga hari yang lalu, mungkin dia tidak berani mengerling atau memandang
kepada gadis itu karena merasa sungkan
dan malu. Akan tetapi, setelah dia bertemu dengan Sian Hwa
Sian-li yang menjadi gurunya dalam permainan asmara, kini
dia tidak lagi merasa sungkan atau malu. Hubungannya
selama tiga hari tiga malam dengan Sian Hwa Sian-li seolah
membangkitkan seekor binatang buas dalam dirinya, yang
membuat dia memandang wanita cantik seperti seekor singa
kelaparan memancing seekor domba atau memandang sebuah
permainan yang amat indah menyenangkan untuk
dipermainkan ! "Terima kasih atas maksud baik dani kepercayaan Paman
Ciang kepadaku," jawabnya. "Tentu saja aku menerima baik uluran tangan paman
ini, karena aku sendiri merasa amat
kagum dan suka kepada nona Ciang Mei Ling. Akan tetapi
karena pernikahan merupakan urusan keluarga maka aku
harus mendapat ijin lebih dulu dari ayahku."
"Ah, tentu saja, di mana tempat tinggal ayahmu?" tanya Ciang Hok.
"Ayah tinggal di kota raja dan aki akan minta
persetujuannya untuk menikah dengan nona Ciang Mei Ling."
"Ki Seng, di antara kita sudah ada ikatan keluarga,
bagaimana engkau masih memanggil Mei Ling dengan nona?"
kata Nyonya Ciang Hok sambil tersenyum.
"Baiklah, aku akan memanggilnya Ling-moi (adik Ling)!"
kata pula Ki Seng sambil tersenyum dan Mei Ling tersipu
sambil tersenyum manis. Pesta perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana yang lebih
gembira dan akrab dan malam itu Ki Seng bermalam di
sebuah kamar yang disediakan oleh keluarga Ciang.
Malam itu sunyi. Seluruh penghuni rumah keluarga Ciang
sudah tidur karena mereka lelah dan kekenyangan setelah
pesta perjamuan sore tadi. juga para anak buah Pek-eng-pang
sudah tidur. Merekapun kelelahan setelah merayakan
kembalinya kereta berikut isinya dengan minum-minum
sepuasnya. Lewat tengah malam, tiga sosok bayangan hitam
berkelebat di atas genteng tumah Ciang-pangcu. Mereka
memakai pakaian serba hitam dan muka mereka pun tertutup
kain hitam. Mereka itu adalah Sian Hwa Sian li dan dua orang
temannya. Dua orang itu adalah dua orang perampok yang
memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, pernah ditalukkan Sian
Hwa Sian-li dan kini menjadi kawan yang menaati semua
perintah Sian Hwa Sian-li. Karena itu ketika Sian Hwa Sian-li
mengajak mereka untuk membantunya menyerbu rumah
ketua Pek-eng-pang, mereka segera menyanggupi.
Di atas wuwungan rumah itu mereka berhenti dan
mendekam untuk melihat keadaan di bawah. Di bawah sana
sunyi sekali, tanda bahwa semua orang di perkampungan Pekeng-
pang itu sudah tidur, bahkan tidak tampak penjaga
malam atau peronda. "Ingat, tugas kalian hanya memasuki kamar gadis itu dan
menangkapnya, lalu membawanya lari, Hati-hati, ia cukup lihai
dan jangan sekali-kali kalian melukainya, apalagi
membunuhnya. Biar aku yang menghadapi ketua Pek-engpang."
Dua orang perampok itu mengangguk. "Jangan khawatir,
kalau hanya menangkap seorang gadis, tentu kami sanggup!"
kata seorang dari mereka.
Setelah meneliti benar keadaan di bawah, Sian Hwa Sian-li
lalu memberi isarat kepada dua orang kawannya dan mereka
lalu melayang turun ke dalam taman bunga di belakang
bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ciang Hok,
ketua Pek-eng-pang, dan keluarganya. Dalam penyamaran ini
Sian Hwa Sian-li tidak membawa payung merahnya. Ia lelah
mendengar dari Ki Seng tentang keadaan rumah ketua Pekeng-
pang itu dan dari atas genteng tadi iapun sudah
mempelajari di mana letak kamar Ciang Hok dan kamar Ciang
Mei Ling. "Kalian lakukanlah, itu kamarnya." Ia menunjuk ke arah kamar gadis puteri ketua
Pek-eng-pang itu, sedangkan ia
sendiri menuju ke kamar besar di mana Ciang Hok dan
isterinya tidur. Dengan mudah saja ia dapat menggunakan
tenaga sinkangnya untuk membuka daun jendela dengan
paksa lalu melompat masuk ke dalam kamar yang gelap itu.
Hanya sedikit sinar dari lampu di luar kamar yang menerobos
masuk melalui jendela yang sudah terbuka.
Biarpun terbukanya jendela itu hanya menimbulkan sedikit
saja suara, namun agaknya sudah cukup untuk membuat
Ciang Hok terbangun. Apalagi ada cahaya masuk dari luar
jendela. Dia terkejut dan cepat meloncat turun dari atas
pembaringan. Akan tetapi pada saat itu sinar kilat meluncur
dan menusuk ke arah dadanya. Ciang Hok tidak sempat
mengelak dan menggunakan lengannya untuk menangkis.
Ternyata yang menusuk adalah sebatang pedang yang
dipegang oleh seorang yang mukanya tertutup kain hitam.
"Crakkk!" Lengannya terluka oleh pedang yang tajam itu sehingga Ciang Hok
mengaduh kesakitan. Akan tetapi dia
tidak diberi kesempatan lagi dan pedang itu kembali
menyambar. Serangan itu amat hebat. Cepat sekali dan
mengandung tenaga yang kuat. Ciang Hok tidak sempat lagi
untuk menghindarkan diri dan pedang itu menusuk dan
memasuki lambungnya. Dia berteriak dan roboh terpelanting.
Dalam keadaan terluka parah itu kembali pedang berkelebat
menyambar lehernya dan tewaslah ketua Pek-Eng-pang itu
dalam keadaan menyedihkan, berlumur darahnya sendiri.
Nyonya Ciang terkejut dan terbangun pula dari tidurnya. Ia
turun dari pembaringan, akan tetapi segera disambut bacokan
pedang yang mengenai lehernya dan tanpa dapat berteriak
lagi nyonya inipun roboh di samping mayat suaminya dan
tewas pada saat itu juga. Setelah membunuh suami isteri itu,
Sian Hwa Sian-li cepat melompat keluar dari jendela dan terus
melompat ke atas genteng dan melarikan diri, sengaja
meninggalkan dua orang pembantunya yang ditugaskan untuk
menangkap dan menculik Mei Ling. Tidak seperti ayah dan
ibunya, malan itu Mei Ling masih belum pulas benar
Pikirannya masih melayang-layang membayangkan wajah Ki
Seng, pemuda yang dijodohkan kepadanya itu. Ia merasa
tegang dan juga senang karena ia memang sudah tertarik
kepada Ki Seng semenjak pertama kali bertemu dengan
pemuda itu. Maka ketika daun jendelanya dipaksa terbuka dari
luar, iapun sudah terjaga dan cepat melompat turun dari atas
pembaringan, tepat pada saat dua sosok bayangan melompat
memasuki kamarnya dari jendela yang sudah terbuka lebar.
Dari sinar yang memasuki kamar melalui jendela yang
terbuka, ia melihat dua sosok bayangan hitam berlompatan
memasuki kamarnya. Karena pedangnya ter-gantung di
dinding, Mei Ling tidak sempat mengambilnya dan ia sudah
menerjang maju menyerang orang terdepan dengan pukulan
tangan kanannya. Akan tetapi yang dipukulnya itu cepat
mengelak lalu menjulurkan tangan hendak meringkusnya. Mei
Ling miringkan tubuhnya dan menampar.
"Plakk......!" Orang itu terkena tamparan pada lehernya dan hampir terpelanting.
Akan tetapi ternyata dia cukup kuat
karena tamparan itu tidak merobohkannya dan pada saat itu
orang kedua sudah menubruk dan memegang lengan tangan
Mei Ling. Mei Ling meronta akan tetapi ia belum ia sempat
melepaskan diri, orang pertama tadi sudah memegangi tangan
yang sebelah lagi. Karena keadaan di kamar itu gelap, Mei
Ling tidak dapat berbuat sesuatu selain meronta-ronta dan
mengerahkan tenaga untuk membebaskan diri dari pegangan
kedua orang itu. Akan tatapi dua orang itu ternyata kuat
sekali. Mereka sudah dapat menyeret Mei Ling keluar dari
kamar itu melalui jendela dan setibanya di luar jendela baru
Mei Ling dapat melihat bahwa dua orang yang menangkapnya
itu adalah dua orang tinggi besar berpakaian serba hitam dan
mukanya tertutup kain hitam pula.
Setelah kini berada di tempat yang tidak begitu gelap
sehingga ia dapat melihat, Mei Ling mempergunakan kakinya
menendang. Seorang di antara kedua orang penangkapnya itu
tertendang perutnya dan dia berseru kesakitan sambil
melepaskan pegangan. Setelah sebelah tangannya bebas, Mei
Ling menghantam ke-arah orang kedua. Orang itu dapat
menangkis, akan tetapi terpaksa harus melepaskan
pegangannya. Kini Mei Ling bebas dan iapun mengamuk,
menggunakan kaki tangannya, bersilat dengan ilmu silat Pekeng
Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih) menyerang kedua orang
bertopeng itu. Akan tetapi ternyata kedua orang itupun cukup
lihai. Mereka mampu mengelak atau menangkis dan terus
mendesak Mei Ling untuk dapat meringkus gadis itu.
Dalam keadaan terdesak itu, Mei Ling teringat akan Ki Seng
yang tidur di ka-mar sebelah, kamar tamu. "Seng-ko,
tolong......!" Ia berteriak sambil menangkis empat buah
tangan yang berusaha untuk menangkapnya itu.
Ki Seng memang tidak tidur di malam itu. Dia menanti
karena memang dia sudah berunding dengan Sian Hwa Sian-li
bahwa malam itu Sian Hwa Sian-li akan bergerak mengajak
dua orang perampok yang dikenalnya. Ki Seng tadi tentu saja
mendengar gerakan Sian Hwa Sian-li yang menyerbu ke dalam
kamar Ciang Hok, akan tetapi dia mendiamkannya saja. Juga
dia yang mengintai dari jendela kamarnya melihat Sian Hwa
Sian-li yang memakai topeng, dia mengenalnya dari bentuk
tubuhnya, melompat keluar dari kamar Ciang Hok dan
melarikan diri melalui genteng. Ketika dia mendengar ributribut di kamar Mei
Ling, dia segera keluar dari kamarnya dan
hanya bersiap. Setelah terdengar seruan Mei Ling minta tolong kepadanya,


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barulah Ki Seng meloncat dan dia membentak, "Jahanam dari mana berani membuat
keributan di sini?" Cepat sekali dia
menyerang dan sekali tangannya bergerak, langsung saja dia
sudah menyerang dengan ilmu It-yang-ci. Totokan-totokannya
demikian cepat dan hebat, tak dapat dielakkan atau ditangkis
oleh dua orang perampok itu dan berturut-turut mereka roboh
terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena sudah
tewas seketika. Totokan It-yang-ci dari Ki Seng memang dahsyat sekali,
juga amat kejam karena totokan itu telah dicampurnya
dengan ilmu pukulan beracun Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa
Racun). Dua orang itu tewas dengan muka berubah menjadi
kehitaman. Pada saat itu, para anak buah Pek eng-pang berdatangan
sambil membawa senjata karena mereka mendengar suara
ribut-ribut. Ada pula yang membawa lampu gantung sehingga
keadaan di situ menjadi terang. Ki Seng menunjuk ke arah
kamar Ciang Hok sambil berseru "Itu kamar Paman Ciang
jendelanya terbuka, mari kita lihat!"
Mendengar ini, Ciang Mei Ling menjadi terkejut dan dengan
hati penuh kekhawatiran ia lalu melompat ke dalam kamar itu
di kuti oleh Ki Seng dan para murid Pek-eng-pang yang
membawa lampu gantung. Daun pintu ternyata juga tidak
terkunci dan dapat didorong terbuka dari luar. Begitu daun
pintu terbuka dan sinar banyak lampu gantung yang dibawa
para anggauta Pek-eng-pang menyorot ke dalam, semua
orang terbelalak melihat tubuh Ciang Hok dan isterinya sudah
menggeletak di atas lantai, berlumur darah mereka sendiri.
"Ayahhh...... ibu.....!!" Ciang Mei Ling menjerit dan terkulai pingsan. Ki Seng
cepat menyambut tubuh gadis itu sehingga
tidak sampai terjatuh ke atas lantai, Kemudian dipondongnya
Mei Ling dan dibawanya masuk ke dalam kamar gadis itu,
di kuti oleh para pelayan wanita yang sudah berkumpul dan
merekapun bertangisan. Sementara itu, para anggauta Pek-rng-pang ketika melihat
bahwa ketua dan nyonya ketua mereka tewas, menjadi marah
sekali dan mereka melampiaskan kemarahan mereka kepada
dua orang perampok bertopeng yang tewas di tangan Ki Seng
tadi. Mereka menghujankan senjata pada tubuh kedua orang
itu. "Tahan dulu!" tiba-tiba terdengar bentakan dan melihat bahwa yang membentak itu
adalah Ouw Ki Seng, para murid
itu menghentikan amukan mereka dan mundur. "Kita harus
melihat dulu siapa mereka ini yang telah membunuh ketua
dan isterinya!" kata, Ki Seng dan dia lalu merenggut lepas kain hitam yan
menutupi sebagian muka dua orang tinggi besar itu.
Setelah penutup muka mereka itu dibuka, beberapa orang
murid Pek eng-pang yang biasa mengawal barang kiriman,
berseru. "Twa-to Siang-houw (Sepasang Harimau Golok Besar)!"
"Siapakah Twa-to Siang-houw?" tanya Ki Seng.
"Mereka adalah sepasang perampok yang biasa bergerak
tanpa anak buah dan mengganas di daerah Pegunungan Thai
san sebelah timur. Akan tetapi selama ini mereka bersikap
baik dengan kami tidak pernah mengganggu, hanya cukup
menerima hadiah dari ketua kami."
"Hemm, nyatanya mereka telah membunuh ketua kalian
dan hampir saja menculik nona Ciang Mei Ling." kata Ki Seng.
Pada saat itu terdengar jerit tangis Mei Ling.
"Ayah....... ibu......!!" Gadis itu berlari keluar dari kamarnya, dan para
pelayan wanita mencoba untuk mencegahnya. Akan
tetapi gadis itu mendorong para pelayan wanita sehingga
mereka roboh saling tindih dan dengan rambut awut-awutan
dan sambil menangis gadis itu berlari menuju kamar ayahnya
yang masih dirubung oleh para anggauta Pek-Eng-pang.
Setibanya di depan pintu kamar itu, Ki Seng menangkap
lengannya. "Ling-moi, tenanglah. Kuasailah perasaanmu dan
bersabarlah." "Tenang" Sabar" Seng-ko, ayah ibuku dibunuh orang dan
engkau minta aku tenang dan sabar?" Gadis itu menjerit dan meronta.
Ki Seng tetap memegangi tangannya bahkan lalu
merangkul pundaknya. "Ling-moi, di mana kegagahanmu" Ayah ibumu memang
telah dibunuh orang, akan tetapi para pembunuhnya sudah
kubunuh pula. Mereka berdua itulah pembunuh ayah ibumu."
Mei Ling menoleh ke arah yang ditunjuk Ki Seng, yaitu dua
mayat perampok yang tadi hendak menculiknya. "Mereka yang membunuh ayah dan
ibu"!" tanyanya ragu.
"Benar, Ling-moi. Tidak ada yang mengacau rumah ini
kecuali mereka berdua."
"Apakah tidak ada orang lain yang memasuki kamar ayah
dan melakukan pembunuhan itu?" tanya Mei Ling.
Ki Seng menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak. Tentu kedua
orang penjahat itu yang lebih dulu memasuki kamar ayahmu
dan membunuh ayah ibumu yang masih tidur, baru kemudian
mereka memasuki kamarmu."
"Jahanam keparat! Siapakah mereka"!"
"Menurut keterangan para anggauta Pek-eng-pang, mereka
adalah Twa-to Siang-houw."
Mei Ling teringat lagi kepada ayah ibunya. Ia memandang
ke dalam kamar dan menjatuhkan diri berlutut dan menangis
tersedu-sedu. "Ling-moi, sebaiknya sekarang kita rawat jenazah kedua
orang tuamu baik-iaik, kasihan kalau mereka dibiarkan lebih
lama lagi di lantai." kata Ki Seng. Mei Ling masih terisak dan hanya mengangguk.
Ki Seng lalu memimpin para anak buah
Pek-eng-pang untuk mengurus dua jenazah Ciang Hok dan
isterinya. Ki Seng menyuruh A Kiu untuk memimpin para anak buah
Pek-eng-pang mengurusi kedua jenazah itu. Para anak buah
Pek-eng-pang bertanya, apa yang harus mereka lakukan
terhadap dua mayat perampok Twa-to Siang-houw.
"Lemparkan mayat-mayat itu ke dalam Jurang biar dimakan
binatang buas!" kata ki Seng dan semua anak buah Pek-engpang bergidik melihat
sinar mata yang dingin dari pemuda itu.
juga Mei Ling merasa ngeri. Ia tahu betul bahwa kalau
ayahnya masih hidup, tentu ayahnya melarang untuk
membuang mayat-mayat itu ke dalam jurang dan tentu
ayahnya akan menyuruh para anak buah untuk mengubur
mereka. Akan tetapi karena ia masih tenggelam ke dalam
kedukaan, maka iapun diam saja.
Malamnya, ketika Mei Ling duduk dan menangis seorang
diri di depan peti jenazah ayah dan ibunya, Ki Seng
menhampirinya dan berlutut di samping gadis itu. Melihat
sikap Ki Seng seperti hendak menghiburnya, Mei Ling
menghentikan tangisnya terisak lalu berkata dengal pilu.
"Seng-ko, aku...... sekarang...... telah menjadi yatim
piatu...... hidup sebatang kara di dunia ini....."
"Ling-moi, tidak perlu engkau berkecil hati. Bukankah di sini ada aku yang
selalu akan menjagamu dan melindungimu
dengan taruhan nyawaku" Mendiang ayahmu telah berpesan
sebelum meninggal dunia. Beliau ingin menjodohkan kita,
berarti itu merupakan pesan agar aku melindungimu.
Bagaimana, Ling-moi, apakah engkau setuju untuk berjodoh
denganku, menjadi isteriku sehingga aku dapat melindungi
selama hidupmu?" Mei Ling menyusut air matanya dam dengan mata
kemerahan ia memandang kepada pemuda itu. "Seng-ko,
engkau telah menyelamatkan Pek-eng-pang, dan engkau telah
dipilih oleh ayah untuk menjadi suamiku, bahkan malam tadi
engkau telah menyelamatkan aku dari tangan dua orang
penjahat itu. Aku hanya menyerahkan segalanya kepadamu,
Seng-ko. Aku menurut saja. Akan tetapi pernikahan itu baru
dilaksanakan setelah setahun aku berkabung, kecuali kalau
dilaksanakan di depan peti mati ayah ibuku......" Mei Ling menahan tangisnya dan
terisak sehingga kedua pundaknya
terguncang. Ki Seng tidak berniat mengikatkan diri dengan sebuah
pernikahan sekarang. Masih banyak yang harus dilakukan dan
diperjuangkan, dan pernikahan hanya akan mengikatnya.
Biarpun dia amat merindukan dan menginginkan Mei Ling,
akan tetapi dia tidak ingin menikah dulu sekarang, sebelum
tercapai cita-citanya, yaitu menjadi seorang pangeran!
"Tidak, Ling-moi. Aku tidak tergesa-gesa, bagiku sudah
cukup bahagia kalau berdekatan selalu denganmu dan kita
menikah nanti kalau engkau sudah lepas berkabung saja."
katanya dan hal ini melegakan hati Mei Ling karena iapun
merasa tidak enak kalau harus menikah selagi ia berada dalam
kedukaan yang amat besar.
Kematian Ciang-pangcu segera diketahui banyak orang
karena berita itu tersebar luas. Banyak orang datang melayat.
Para penduduk dusun di sekitar perkampungan Pek-eng-pang
datang melayat, Juga para saudagar yang suka mengirim
barangnya dikawal oleh Pek-eng Piauw kok datang melayat.
Bahkan beberapa golongan penjahat yang berhubungan baik
dengan Pek-eng-pang berdatangan. Dan pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Sian Hwa Sian-li juga datang melayat.
Kedatangannya diterima baik oleh Ciang Mei Ling dan para
anggauta Pek-eng pang karena bagaimanapun juga wanita ini
telah mengembalikan kereta berikut isinya kepada Pek-engpang
melalui Ouw Ki Seng. Semua urusan di Pek-eng-pang selama perkabungan ini,
praktis diurus dan dikuasai oleh Ki Seng karena Mei Ling
menyerahkan segalanya kepada pemuda itu. Ki Seng lalu
menyerahkannya kepada A kiu sehingga A Kiu-lah yang
memimpin para anak buah Pek-eng-pang. Karena A Kiu
menjadi orang kepercayaan Ki Seng, maka semua anak buah
Pek-eng-pang menaatinya. Ketika Ki Seng bersama Mei Ling menyambut kedatangan
Sian Hwa Sian-li, hanya Ki Seng dan wanita itulah yang tahu
akan rahasia kematian Ciang Hok dan isterinya. Pertukaran
pandang yang mesra antara keduanya tidak tampak oleh
orang lain, dan dalam mata Ki Seng terpancar rasa sukur dan
terima kasih kepada kekasihnya itu karena Sian Hwa Sian-li
benar-benar telah membantunya sehingga dia dapat
menguasai Pek-eng-pang tanpa ada rasa permusuhan dengan
Mei Ling. Bahkan di mata Mei Ling, dia merupakan penolong
besar ketika gadis itu hendak diculik oleh Twa-to Siang-houw.
Sepasang perampok yang sial itu sampai matipun tidak tahu
bahwa mereka memang sengaja dikorbankan. Mereka oleh
Sian Hwa Sian-li disuruh menculik Me Ling dan sengaja
dibunuh oleh Ki Seng agar pembunuhan terhadap Ciang Hok
dan isterinya itu seolah-olah dilakukan oleh Twa-to Sianghouw.
Padahal yang melakukan pembunuhan itu adalah Sian Hwa
Sian-li sendiri. Kalau Twa-to Siang houw yang diserahi tugas
membunuh Ciang Hok, kiranya hal itu tidak akan terlalu
mudah dilakukan oleh dua orang penjahat itu. Semua telah
diatur dengan rapi oleh Ki Seng dan Sian Hwa Sian li!
"Aku sungguh ikut merasa berduka dengan kematian
Ciang-pangcu,". kau Sian Hwa Sian-li ketika disambut oleh Ki Seng dan Mei Ling
dan mereka duduk di ruangan depan, tak
jauh dari dua peti mati yang ditaruh berjajar. "Padahal baru saja aku menganggap
Ciang-pangcu sebagai sahabat baru.
Siapakah yang telah melakukan pembunuhan terhadap ayah
dan ibumu, nona Ciang Mei Ling?"
"Pembunuhnya adalah Twa-to Siang houw, akan tetapi
merekapun telah dibunuh oleh Seng-ko." kata Mei Ling.
"Ahhh! Aku tahu siapa mereka itu! Dua orang perampok
ganas. Tentu mereka datang untuk mencuri dan ketahuan
oleh Ciang-pangcu. Akan tetapi sukurlah kalau mereka sudah
terbunuh. Seandainya belum, tentu aku sendiripun akan suka
mencari dan menghajar mereka sampai mampus!"
Setelah bercakap-cakap beberapa lamanya, Sian Hwa Sianli
berpamit dan dengan suara sewajarnya ia berkata kepada Ki
Seng, "Ouw-pangcu, kalau urusan di sini sudah selesai,
kuharap engkau suka berkunjung ke tempatku. Bukankah di
antara kita telah terjalin persahabatan" Engkau juga, nona
Ciang Mei Ling." Ki Seng mengangguk. "Baiklah, aku akan berkunjung ke
rumahmu, Sian-li." Ki Seng mengatur semua perkabungan dan penguburan
Ciang Hok dan isterinya sehingga Mei Ling merasa berterima
kasih sekali. Setelah penguburan selesai Ki Seng lalu
mengajak gadis itu bercakap-cakap di ruangan dalam.
"Sekarang bagaimana, Ling-moi" Setelah ayahmu
meninggal, siapakah yang akan mengatur semua pekerjaan,
baik perusahaan pengawalan barang maupun perguruan?"
Mei Ling menghela napas, barulah terasa olehnya bahwa
secara tiba-tiba ia harus memikul kewajiban yang teramat
berat. Akan tetapi ia teringat kepada Ki Seng. Bukankah
pemuda itu telah berjanji akan menikah dengannya"
Walaupun belum diresmikan karena keburu ayah ibunya
meninggal, akan tetapi bukankah Ki Seng telah menjadi
tunangannya, calon suaminya" Dan pemuda itu juga memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekali, dapat di percaya sepenuhnya
untuk menguasai dan mengelola Pek-eng-pang.
"Seng-ko, aku menyerahkan Pek-eng pang kepadamu
untuk mengaturnya. Terserah kepadamu bagaimana baiknya."
"Baiklah, mulai sekarang aku akan mengatur Pek-eng-pang.
Karena aku adalah ketua Ban-tok-pang, maka Pek-eng-pang
menjadi semacam cabang dari Ban tok-pang. Aku akan
mengatur agar perusahaan pengawalan barang dari Pek-eng
pang menjadi semakin besar dan kuat sehingga para
pedagang tidak akan ragu lagi mengirim barang di bawah
pengawalan kita. Aku akan menunjuk A Kiu untuk menjadi
ketua baru Pek-eng-pang karena dia adalah orang
kepercayaanku dan ilmu kepandaiannya juga cukup tinggi dan
boleh diandalkan." "Aku hanya menurut saja, Seng-ko." kata gadis itu. "Akan tetapi aku mengharap
engkau tidak segera meninggalkan aku.
Aku..... aku masih belum siap hidup seorang diri......"
"Jangan khawatir, Ling-moi. Aku akan memimpin di sini dan memberi petunjuk
selama beberapa bulan kepada A Kiu
sebelum aku meninggalkan tempat ini."
Beberapa hari kemudian, Ki Seng dan Mei Ling memanggil
seluruh anggauta Pek-eng-pang untuk berkumpul di ruangan
besar. Semua anggauta hadir karena merekapun ingin
mengetahui perkembangan perkumpulan mereka setelah
ketua mereka meninggal dunia. Hampir semua dari mereka


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah mendengar bahwa Ciang Mei Ling akan dijodohkan
dengan Ouw Ki Seng dan mereka semua merasa setuju karena
mengetahui betapa lihainya pemuda itu yang telah
menyelamatkan nama baik Pek-eng-pang, bahkan telah
menyelamatkan pula Mei Ling dari tangan penjahat. Selain itu,
juga Ki Seng telah membunuh dua orang pembunuh Ciang
pangcu. Jasa pemuda itu sudah terlalu besar dan mereka
semua juga mengharapkan bahwa pemuda itu yang akan
memimpin Pek-eng-pang. Setelah semua orang berkumpul dan para murid kepala
yang dianggap sebagai anggauta atau murid yang dipercaya
oleh mendiang Ciang-pangcu sebagai kepala kepala piauwkiok
duduk di deretan depan, Ciang Mei Ling lalu membuka
pertemuan itu. "Para saudara, kalian semua tentu mengerti bahwa setelah
ayahku sebagai ketua Pek-eng-pang meninggal duni. tentu
kita harus mengangkat seorang ketua baru untuk memimpin
Pek-eng-pang kita. Aku sendiri merasa tidak ada kemampuan
untuk memimpin perkumpulan Kita yang kadang menghadapi
tantangan dan persoalan yang rumit, karena itu mengingat
bahwa saudara Ouw Ki Seng ini telah berjasa besar kepada
kita, juga bahwa dia mempunyai kemampuan itu, maka saya
menyerahkan kepemimpinan Pek-eng-pang ini ke tangannya.
Bagaimana, apakah saudara-saudara dapat menyetujui
pendapatku ini?" Para murid kepala yang berjumlah lima belas orang itu
yang pertama-tama menjawab serentak, "Kami setuju!" dan jawaban ini tentu saja
diturut oleh para anggauta lainnya.
Menghadapi sambutan ini, Ouw Ki seng tersenyum dan
diapun bangkit kedepan. "Saudara sekalian, terima kasih atas kepercayaan saudara
sekalian kepadaku. Perlu kiranya
saudara sekalian ketahui bahwa mendiang Ciang Pangcu telah
meninggalkan pesan agar aku dan Ling-moi menjadi suami
isteri. Pernikahan akan ini lakukan setelah masa berkabung
setahun lewat." Para anggauta menyambutnya dengan tepuk tangan
gembira walaupun beberapa orang di antara mereka merasa
terpukul dan kecewa hati mereka karena diam diam beberapa
orang pemuda anggauta Pek-eng-pang jatuh cinta kepada
puteri ketua itu. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorangpun
yang berani membantah. Ki Seng mengangkat kedua tangan
menyuruh mereka tenang. "Karena itu sudah menjadi kewajibanku untuk menjaga
kelangsungan dan kebesaran Pek eng-pang. Akan tetapi
karena aku sendiri sudah menjadi ketua dari Ban-tok-pang,
kiranya tidak mungkin seseorang menjadi ketua dari dua buah
perkumpulan. Oleh karena itu, aku menunjuk orang
kepercayaanku, A Kiu, untuk menjadi ketua Pek eng-pang
yang baru." Ki Seng memberi isarat kepada pembantunya itu dan A Kiu segera
bangkit dari tempat duduknya agar tampak
oleh semua anak buah Pek eng-pang. Sekali ini, para
anggauta Pek eng-pang, terutama para murid kepala
mengerutkan alis mereka. Kemudian seorang tinggi besar yang usianya kurang lebih
tiga puluh lima tahun, yang merupakan murid pertama di
antara mereka, bangkit berdiri dan berkata.
"Kalau Ouw-pangcu sendiri yang menggantikan kedudukan
mendiang Ciang-pangcu dan memimpin kami, kami merasa
senang dan sama sekali tidak berkeberatan karena kami
semua sudah mengetahui benar akan kemampuan Ouwpangcu.
Akan tetapi kalau Ouw-pangcu menunjuk orang lain
untuk menjadi ketua Pek-eng-pang, kami merasa keberatan
karena belum melihat sampai di mana kemampuan orang itu!"
Semua anggauta Pek-eng-pang serentak membenarkan
pernyataan murid kepala pertama itu.
Ouw Ki Seng tersenyum. Dia maklum bahwa para anggauta
Pek-eng-pang itu belum mengenal A Kiu dan belum tahu akan
kemampuan pembantunya itu. Maka ia lalu berkata, "Siapa di antara anggauta Pek-
eng-pang yang paling tinggi
kepandaiannya, harap maju ke sini. Aku akan membuktikan
bahwa A Kiu adalah seorang yang boleh diandalkan
kepandaiannya dan patut untuk menjadi ketua Pek-eng-pang."
Anggauta Pek-eng-pang yang tadi bicara segera melangkah
maju menghampiri Ki Seng. "Sayalah yang menjadi kepala dari semua piauwsu di
sini dan di angkat sebagai murid pertama
Pek-eng pang, Ouw-pangcu." katanya.
"Bagus! Sekarang kuminta murid kepala ke dua dan ke tiga
juga maju ke sini." Dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun
berloncatan maju. Ki Seng menoleh kepada Mei Ling dan
bertanya, "Ling-moi, benarkah merek bertiga ini merupakan murid-murid yang
paling tinggi tingkat kepandaiannya?"
Mei Ling mengangguk. "Benar, Seng ko. Mereka bertigalah
yang mewakili ayah untuk membimbing para murid lain dalam
pelajaran ilmu silat."
"Baik sekali kalau begitu. Nah, sekarang, untuk
membuktikan bahwa A Kiu pantas menjadi ketua Pek-engpang,
kalian bertiga boleh maju bersama mengeroyok A Kiu
untuk menguji kemampuannya. A Kiu, layani mereka!" kata Ki Seng.
A Kiu mengangguk dan dia lalu meninggalkan kursinya dan
pergi ke tengah ruangan yang kosong, berdiri dan siap
menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Akan tetapi sebelum
tiga orang anggauta Hek-eng-pang itu maju, Ciang Mei Ling
bangkit dan berkata lantang.
"Pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian, oleh
karena itu aku minta agar kalian tidak mempergunakan
senjata, melainkan mengandalkan kaki tangan saja!"
Tiga orang anggauta Pek-eng-pang itu memberi hormat
dan mengangguk kepada Mei Ling, bahkan lalu melepaskan
pedang masing-masing dari punggung dan meninggalkannya
di atas kursi mereka. "A Kiu, engkau juga sama sekali tidak kuperkenankan
mempergunakan senjata!" kata Ki Seng kepada pembantunya
itu. A Kiu mengangguk. "Baik, pangcu."
Kini A Kiu sudah berhadapan dengan tiga orang murid
kepala dari Pek-eng-pang. Tiga orang yang merasa penasaran
itu lalu mengepung A Kiu dari tiga jurusan membentuk barisan
segi tiga. A Kiu yang terkepung di tengah-tengah bersikap
tenang. Diapun maklum bahwa dia berhadapan dengan tiga
murid kepala Pek eng-pang, maka dia bersikap hati-hati. Dia
percaya akan pandangan dan perhitungan Ouw Ki Seng yang
tentu telah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian para
murid Pek-eng-pang itu sehingga disuruh mengeroyoknya. A
Kiu yang sudah berusia lima puluh tahun itu merupakan tokoh
dari Ban-tok-pang dan tingkat kepandaiannya hanya di bawah
tingkat mendiang Ouw Kian dan Ouw Sian ketua dan wakil
ketua Ban-tok-pang. "Paman A Kiu, awas terhadap serangan kami!" Orang
pertama dari para murid kepala Pek-eng-pang berseru dan
diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan ke
arah dada A Kiu. Sementara itu, kedua orang kawannya juga
sudah menyerang dari kanan dan kiri. Menghadapi serangan
tiga orang itu, A Kiu memperlihatkan kegesitannya. Dia
melangkah ke belakang dan menggerakkan kedua lengannya
diputar ke depan kanan kiri. Pukulan orang pertama dapat
dielakkan dengan langkah mundur, sedangkan pukulan dari
kanan kiri ditangkisnya dengan kedua lengannya.
"Dukk! Dukk!" Dua orang penyerang dari kanan kiri itu terpental ke belakang
ketika lengan mereka bertemu dengan
lengan A Kiu yang kuat. Akan tetapi mereka sudah membalik
dan menyerang lagi. Tiga orang itu bersilat dengan ilmu silat
Pek-eng Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih). Gerakan mereka
cepat dan juga setiap pukulan mengandung tenaga sin-kang
yang cukup kuat. Akan tetapi ternyata A Kiu memiliki gerakan
yang lebih cepat dan kedua tangannya selalu dapat menangkis
pukulan tiga orang pengeroyoknya yang datang bagaikan
hujan. Akan tetapi ternyata ilmu silat Pek-eng Sin-kun
memang hebat. Tiga orang murid kepala Pek-eng-pang itu
menyerang bagaikan tiga ekor garuda yang menyambarnyambar.
Oleh karena itu, setelah lewat tiga puluh jurus,
mulailah A Kiu terdesak dan dia hanya mampu mengelak dan
menangkis saja, sama sekali tidak memperoleh kesempatan
untuk membalas. Dia merasa khawatir juga karena kalau hal
itu dibiarkan berlanjut, akhirnya dia akan terkena pukulan dan kalau demikian
hal-nya, berarti dia kalah!
Diam-diam ia lalu mengerahkan tenaga sakti dari ilmu Bantok-
ciang (Tangan Selaksa Racun) dari tanpa diketahui oleh
tiga orang lawannya! kedua lengannya berubah menjadi
kehitaman. Ketika tenaga Ban-tok-ciang sudah menjalar ke
dalam kedua lengannya! A Kiu terdengar mengeluarkan
bentakan bentakan nyaring sambil menangkisi lengan lawan.
"Dukk-dukk-dukkk!" Tiga orang itu terpental ke belakang dan ketiganya mengaduh
dan meringis, memegangi lengan
yang tadi beradu dengan lengan A Kiu. Ketika mereka
memandang lengan yang terasa nyeri luar biasa itu, panas
dari pedih, mereka terkejut karena pada lengan mereka
terdapat tanda menghitam. Sebagai ahli-ahli silat yang sudah
berpengalaman, maklumlah mereka bahwa mereka telah
terkena serangan tenaga beracun! Maka mereka berloncatan
kebelakang dan tidak berani melanjutkan pertandingan.
Ki Seng lalu bangkit dan menghampiri mereka. "Apakah
kalian sudah merasa kalah" Lihat, lengan kalian itu sudah
kemasukan hawa beracun dan kalau tidak cepat disembuhkan,
hawa beracun itu akan menjalar ke dalam dan nyawa kalian
tidak dapat dipertahankan lagi."
Tiga orang itu terkejut dan ketakutan, segera mereka
menjatuhkan diri berlutut di depan Ki Seng. "Harap OuwTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ pangcu menaruh kasihan kepada kami dan sudi mengobati
kami." "Mudah saja mengobati karena A Kiu juga tidak berniat
membunuh kalian. Akan tetapi apakah kalian sudah yakin
bukan kemampuan. A Kiu dan menerima dia sebagai ketua
Pek-eng-pang?" "Kami sudah mengaku kalah dan memang Paman A Kiu
pantas menjadi ketua Pek-eng-pang." kata tiga orang itu yang merasa betapa nyeri
pada lengan mereka semakin
menghebat, rasanya panas seperti membakar.
"Nah, tahan napas kalian!" kata Ki seng dan dia
menggunakan It-yang-ci untuk menotok pundak dan lengan
tiga orang itu berturut-turut. Setelah itu, dia mengurut bagian yang kulitnya
berwarna hitam dan sebentar saja warna hitam
pada kulit lengan itu lenyap dan rasa nyeripun lenyap pula.
Tiga orang murid kepala Pek-eng-pang itu mengucapkan
terima kasih dan Ki Seng tersenyum.
"Kalau kalian bersikap baik terhadap ketua kalian yang
baru, tentu dia akan suka mengajarkan kalian ilmu pukulan
yang amat lihai itu. Dengan demikian kepandaian para murid
Pek-eng-pang akan meningkat dan nama Pek-eng-pang akan
menjadi semakin terkenal."
"Akan tetapi, siapakah nama lengkap dari Paman Kiu"
Bagaimana kami harus memanggilnya?" tanya murid kepala
sambil memandang kepada A Kiu.
A Kiu tersenyum. "Aku memang she Kiu, maka kalian boleh
menyebutku Kiu pangcu."
Semua orang merasa puas dan Mei Ling juga tidak
berkeberatan dengan pilihan Ki Seng karena ia sudah percaya
sepenuhnya kepada pemuda yang menjadi calon suaminya itu.
Beberapa hari kemudian, Ki Seng pergi berkunjung ke Bukit
Merak. Dia mengatakan terus terang kepada Mei Ling bahwa
dia pergi berkunjung ke tempat tinggal Sian Hwa Sian-li. "Ia merupakan seorang
sahabat yang dapat diandalkan dan kelak
tentu akan dapat membantu kita." kata Ki Seng. Biarpun
hatinya merasa tidak enak bahwa tunangannya berkunjung ke
rumah wanita cantik yang genit itu, akan tetapi tentu saja Mei Ling merasa malu
untuk menyatakan keberatan dan
kecemburuannya. Tentu saja kedatangan Ki Seng disambut dengan gembira
oleh Sian Hwa hian-Li yang memang sudah merindukan
kekasih barunya itu. Ketika dengan terus terang Ki Seng
menceritakan keadaan pek-eng-pang, betapa dia sudah
menguasai Pek-eng-pang dan mengangkat pembantunya, A
Kiu, menjadi ketua Peng-eng-pang, Sian Hwa Sian-li tertawa.
"Hi-hik, usahamu berhasil baik,. Ki Seng-"
Ki Seng merangkul. "Berkat bantuanmu yang amat besar,
Kim Goat. Kalau tidak mendapat bantuan malam itu dan
mengorbankan dua orang pembantumu, mana bisa aku
berhasil sebaik ini. Ciang pangcu dan isterinya tewas, Mei Ling selamat dan ia
bahkan berterima kasih kepadaku. Engkau
memang hebat dan pantas menjadi kekasihku yang setia dan
baik." "Asal saja engkau tidak akan cepat melupakan aku,
terutama setelah engkau menjadi seorang pangeran kelak,"
kata Sian Hwa Sian-li sambil menyandarkan kepalanya di atas
dada Ki Seng dengan manja.
"Mana mungkin aku dapat melupakanmu, Kim Goat."
"Dan bagaimana dengan Mei Ling?"
"Aku dan ia sudah terikat dengan pertunangan, akan tetapi aku menangguhkan
pernikahan sampai sehabis berkabung
selama satu tahun." "Dan setelah setahun engkau akan mengawininya?"
Ki Seng menggeleng kepalanya. "Sebelum aku menjadi
seorang pangeran, aku tak mau menikah!"
"Kenapa engkau tidak berterus terang saja kepadanya
tentang keadaan dirimu" bukankah ia calon isterimu?"
"Tidak! Hanya engkau yang boleh mengetahui rahasiaku.
Dan akupun tidak berniat untuk menjadikan Mei Ling sebagai
isteriku." "Kalau begitu, kenapa tidak engkau tolak saja ikatan
perjodohan itu?" "Aku..... aku menginginkan ia, Kim Goat. Ia cantik jelita dan menarik hatiku.
aku ingin memilikinya sekarang juga, akan
tetapi bagaimana?" "Hi-hi-hik!" Sian Hwa Sian-li tertawa dan mencubit paha pemuda itu lalu berkata.
"Apa sukarnya bagimu" Kalau engkau memaksanya, iapun tidak akan dapat mengelak
dan melawan." "Aku tidak ingin secara itu, Kim Goat. Aku tidak ingin
memilikinya dengan cara memperkosa. Dapatkah engkau


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantuku agar ia suka menyerahkan dirinya kepadaku
dengan sukarela tanpa paksaan walaupun kami belum
menikah?" "Hi-hi-hik!" Kembali Sian Hwa Sian-li mencubit. "Engkau nakal, Ki Seng. Kalau
engkau sudah mendapatkan yang baru,
engkau akan melupakan yang lama. Kalau engkau sudah
berhasil memiliki Mei Ling, engkau tentu tidak akan ingat lagi kepadaku!"
"Sungguh mati aku tidak akan melupakanmu, Kim Goat.
Aku bahkan akan berterima kasih sekali kepadamu dan aku
semakin sayang padamu."
"Hemm, engkau sekarang sudah pandai merayu. Akan
tetapi bagaimana aku akan dapat mempercayaimu begitu
saja?" "Baiklah, aku bersumpah. Biar hidupku akan sengsara kalau aku sampai
melupakanmu!" "Aku percaya kepadamu, pangeran, Tidak perlu engkau
bersumpah, akan tetapi sebelum aku membantumu dalam hal
itu yang kutanggung pasti berhasil engkau harus tinggal di sini selama tiga hari
tiga malam lagi!" Ki Seng tersenyum. Tidak perlu wanita itu mengajukan
syarat seperti itu, karena memang kunjungannya adalah untuk
melampiaskan rasa rindunya kepada wanita yang pandai
mengambil hatinya itu. Kembali Ki Seng seperti mabok,
berenang dalam lautan cinta berahi di bawah bimbingan Sian
Hwa Sian-li yang berpengalaman sehingga nafsu dalam dirinya
semakin berkobar, semakin kuat mencengkeramnya sehingga
tanpa ia sadari, dia telah menjadi budak dari pada nafsunya
sendiri. Nafsu yang hanya menuntut kesenangan dan
kepuasan yang tiada batasnya.
Pada hari ke empat, ketika Ki Seng akan meninggalkan
kediaman Sian Hwa Sian-li untuk kembali ke perkampungan
Pek-eng-pang, wanita itu memberinya sebotol kecil benda cair
berwarna merah. "Campurkan ini ke dalam arak, tidak akan
terasa apa-apa bahkan membuat arak menjadi lebih harum
dan ia tentu akan menuruti segala kehendakmu. Akan tetapi
sekali lagi, jangan engkau melupakan aku, Ki Seng!"
"Terima kasih, Kim Goat. Bagaimana aku dapat melupakan
engkau yang begini cantik dan menggairahkan, juga sudah
banyak menolongku" Tidak, aku masih membutuhkan banyak
sekali bantuanm dan kelak kita akan menikmati hidup penuh
kemuliaan bersama." Dengan hati girang dan penuh harapan menikmati apa
yang ia bayangkan dalam usahanya mendapatkan diri Mei
Ling, Ki Seng berlari cepat kembali ke Pek-eng-pang. Dia
disambut oleh Mei Ling dengan wajah agak muram. Gadis ini
memang merasa cemburu dan tidak enak hati sekali menanti
Ki Seng yang tidak kunjung datang dari tempat kediaman Sia
Hwa Sian-li. Senja telah mendatang ketika dia tiba di
perkampungan Pek-eng-pang Melihat Mei Ling menyambutnya
denga wajah yang agak muram, Ki Seng segera berkata
dengan wajah gembira. "Ah, senang sekali aku sudah dapat kembali ke sini, Lingmoi.
Selama tiga hari ini hatiku kesal karena setiap hari Sian
Hwa Sian-li dan kawan-kawannya hanya membicarakan
tentang ilmu silat dan dunia kang-ouw. Malam ini aku ingin
sekali mengadakan perjamuan kecil bersamamu, makan
minum dan bercakap-cakap dengan santai berdua saja. Kita
mengadakan perjamuan di mana enaknya, Ling-moi" Di
ruangan dalam atau di taman bunga?"
Mendengar cerita Ki Seng bahwa pemuda itu merasa kesal
hatinya berada di tempat tinggal Sian Hwa Sian-li dan kini
mengajaknya makan minum, lenyap sudah rasa tidak senang
dari hati Mei Ling, dan ia terseret oleh kegembiraan pemuda
pujaan hatinya itu. "Sebaiknya di taman bunga saja, Seng-ko. Di sana
hawanya sejuk dan kita dapat makan minum di gardu dekat
kolam ikan. Engkau mandi dan mengasolah dulu, Seng-ko.
Aku akan membantu para pelayan menyediakan hidangan
untuk kita." Dengan gembira Ki Seng lalu pergi mandi dan berganti
pakaian bersih. Setelah hidangan siap dan malam sudah tiba,
Mei Ling sendiri mengetuk pintu kamar Ki Seng dan
memanggilnya dari luar. Pemuda itu lalu keluar dari kamarnya
dan ternyata Mei Ling juga sudah mandi, tampak segar
dengan pakaian yang rapi.
"Seng-ko, hidangan telah dipersiapkan di taman bunga.
Mari kita makan, Sen ko."
Kedua orang itu jalan beriringan memasuki taman bunga.
Malam itu bulan separuh memberi cahaya redup yang
menyejukkan suasana. Akan tetapi di taman bunga itu tampak
indah karena Mei Ling menyuruh para pelayan memasang
lampu lampu gantung beraneka warna di sana sini. Ketika
mereka tiba di sebuah bangunan tanpa dinding, semacam
gardu di tepi kolam ikan, di sana sudah dihidangkan masakanmasakan di atas
sebuah meja dengan dua buah kursi dan
lampu gantung di bangunan itu cukup terang. Suasananya
menyenangkan sekali dan setibanya di situ, hidung Ki Seng
disambut bau masakan yang sedap, membuat perutnya terasa
lapar sekali. Melihat di situ tersedia seguci arak dengan dua cawan yang
cukup besar, Ki Seng girang sekali. Dia lalu mengambil tempat
duduk dekat guci arak itu, dan segera menuangkan arak ke
dalam dua buah cawan di depan mereka, masing masing
setengah cawan saja. "Mari minum, Ling-moi, untuk
pembangkit nafsu makan."
Gadis itu tidak membantah dan mereka minum arak itu
dengan satu tegukan. Kemudian mulailah mereka makan.
Dengan sikap manis Mei Ling melayani Ki Seng, mengambil
dan memilihkan daging-daging terbaik untuk ditaruh ke dalam
mangkok pemuda itu. "Malam ini kita harus minum sepuasnya, Ling-moi. Ah,
lampu itu sinarnya terlalu cerah menyilaukan mata. Tolong,
Ling-moi, tolong pindahkan lampu itu agar tidak menyilaukan
mata!" kata Ki heng sambil menuding ke arah lampu yang
tergantung dekat tempat itu. Mei Ling segera bangkit dan
menghampiri lampu gantung itu, memindahkannya ke
belakang serumpun bunga. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Ki Seng untuk menuangkan cairan merah dari botol kecil yang
diperolehnya dari Sian Hwa Sian-li. Setelah Mei Ling kembali
ke kursinya, ia melihat Ki Seng memenuhi kawannya dengan
arak, kemudian menuangkan arak ke cawannya sendiri. Sama
sekali Mei Ling tidak tahu bahwa sebagian dari arak dalam
cawannya dalam dari botol kecil itu.
"Ling-moi, silakan minum untuk merayakan kegembiraan
malam ini!" kata Ki Seng sambil mengangkat cawannya ke
depan mulut. "Ah, aku telah menghabiskan tiga cawan arak, Seng-ko.
Kiranya sudah cukup, aku takut kalau mabok."
"Tidak, Ling-moi. Secawan lagi saja hayolah, temani aku
bergembira! Secawan ini lagi saja dan aku tidak akan minta
engkau minum lagi!" Dalam suara pemuda itu terkandung
permintaan yang sangat membujuk. Mei Ling merasa tidak
tega untuk menolak, maka iapun mengangkat cawan araknya
dan menempelkan di bibirnya yang merah. Arak itu berbau
harum dan karena khawatir mabok ia minum arak itu dengan
nekat sambil memejamkan mata. Ia minum arak itu sampai
habis dan menaruh cawan kosong ke atas meja sambil
memandang kepada Ki Seng dengan senyum gembira. Hatinya
lega karena ia tidak mabok, tidak merasa pening.
"Terima kasih, Ling-moi. Engkau benar-benar seorang gadis yang baik hati, telah
suka menemani aku minum dan
bergembira. Aku benar-benar merasa senang dan gembira
sekali. Hayo minum lagi, Ling-moi. Makanmu kulihat sedikit
sekali." "Sedikit" Heh-heh-heh!" Tawanya kini terdengar lepas dan ringan. "Makan sebegini
kau bilang sedikit" Biasanya aku tidak makan sebanyak ini, Seng-ko. Aku sudah
kekenyangan nih!" Ki Seng tersenyum, hatinya girang melihat sikap gadis itu
mulai terlepas dan tawanya begitu bebas. Dia memandang
wajah gadis itu penuh harap.
"Aku juga sudah kenyang, Ling-moi." Dia melihat betapa wajah gadis itu di bawah
sinar lampu kini tampak merah
sekali, matanya redup seperti orang mengantuk memandang
kepadanya dengan aneh. "Ling-moi, engkau kenapakah?" Ki Seng bertanya.
Tiba-tiba Mei Ling tertawa, tawanya merdu dan bebas.
"Heh-heh-hi-hi-hik."
"Ling-moi, kenapa engkau tertawa?" tanya Ki Seng yang belum menyadari apa yang
terjadi pada gadis itu. "Hi-hi-hik, engkau tampak lucu sekali, Seng-ko......"
"Lucu?" Ki Seng bertanya heran.
"Lucu dan menyenangkan sekali...." Mal Ling bangkit
berdiri, tubuhnya bergoyang goyang seperti pohon cemara
tetiup angin. Ki Seng juga bangkit berdiri dan mulailah dia dengan hati
berdebar menduga bahwa ini tentu pengaruh ramuan yang di
campurkan dengan arak dalam cawan Mei Ling tadi. Ramuan
obat yang diterimanyA dari Sian Hwa Sian-li rupanya mulai
bekerja! Maka dengan berani dia lalu memutari meja
mendekati Mei Ling dan merangkulnya. Begitu dirangkul, Mei
Ling balas merangkul dan menyandarkan mukanya di dada Ki
Seng. "Ling-moi, aku cinta padamu....." bisik Ki Seng.
"Ah, aku juga, Seng-ko....." Mei Ling berbisik sambil menekan mukanya di dada
pemuda itu. Ki Seng menjadi
girang sekali. "Mari kita kembali ke rumah, Ling-moi. Di sini dingin
sekali." katanya sambil menggandeng tangan Mei Ling dan
mengajaknya pergi meninggalkan taman bunga sambil
bergandengan tangan. Para pelayan melihat sepasang orang
muda itu pergi sambil bergandengan tangan. Mereka saling
pandang dan tersenyum, akan tetapi tidak ada yang berani
membuka suara. Selain mereka takut, juga mereka sudah
mendengar bahwa sepasang orang muda itu telah ditentukan
untuk menjadi calon suami isteri. Mereka hanya sibuk
membersihkan meja di mana Ki Seng dan Mei Ling tadi makan
minum. Ki Seng membawa Mei Ling yang seperti orang mengantuk,
berjalan sambil bersandar kepadanya itu bukan ke kamar
gadis itu melainkan ke kamarnya sendiri, Hal ini menunjukkan
kecerdikannya. Kalau dia membawa Mei Ling ke kamar gadis
itu, seolah-olah dia mendatangi kamar Mei Ling. Akan tetapi
kalau dia membawa gadis itu ke kamarnya, Mei Ling yang
mendatangi kamarnya, dan gadis itu yang menghendaki
pertemuan itu, bukan dia!
Mei Ling sama sekali tidak menolak ketika ia dibawa masuk
ke kamar Ki Seng, juga hanya memandang pemuda itu
dengan mata setengah terpejam ketika Ki Seng menutup dan
memalang pintu kamarnya. Ketika Ki Seng kemudian
merangkulnya, iapun membalas merangkul dengan penuh
gairah, seperti orang mabok. Ia seperti sudah kehilangan
kesadarannya,, tidak ingat apa-apa lagi kecuali hanya menurut
saja apa yang dilakukan Ki Seng terhadap dirinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mei Ling terbangun
dari tidurnya. Pengaruh ramuan obat perangsang yan
diminumnya sudah lenyap dan tiba-tiba ia teringat akan apa
yang terjadi semalam seperti orang mimpi.
"Ohhh...... tidak.....!" Ia cepat bangkit duduk dan matanya terbelalak. Bukan
mimpi! Ia berada di atas pembaringan dan
Ki Seng masih rebah di sampingnya masih tidur. Ia telah tidur
di dalam kamar Ki Seng! Dan pakaian mereka....
"Ahhhh..... bagaimana dapat terjadi semua ini.....?" Ia berseru dan Ki Seng
terbangun dari tidurnya. Diapun bangkit
duduk dan memandang wajah Mei Ling sambil tersenyum.
"Ada apakah, Ling-moi" Sepagi ini engkau sudah
terbangun?" Mei Ling melompat turun dari atas pembaringan dan
membetulkan letak pakaiannya. Kemudian ia memandang Ki
Seng dengan alis berkerut. "Seng-ko! Apa yang telah kau
lakukan terhadap diriku?"
Ki Seng juga turun dari pembaringan dan hendak
merangkul Mei Ling. Akan tetapi gadis itu mengelak dan
melangkah mundur, "Seng-ko! Kenapa aku tidur di sini" Apa yang telah
kaulakukan?" -00dw00kz00- Jilid XIX "LING-MOI, kurasa pertanyaanmu itu terbalik. Semestinya
engkau bertanya apa yang telah kaulakukan! Lihatlah, engkau
yang telah tidur bersamaku di dalam kamarku, bukan aku
yang tidur di kamarmu."
Mei Ling memandang bingung dan tangan kirinya diangkat
memijat-mijat keningnya. "Kita makan minum dalam taman,
setelah itu....." Ki Seng menyambung, "Setelah itu engkau kuantar kembali
ke kamarmu, akan tetapi engkau tidak mau dan memaksa
ingin tidur bersamaku dalam kamarku ini. Engkau yang
menghendakinya, Ling-moi. Aku hanya memenuhi apa yang
kau kehendaki." "Ah.....!" Mei Ling mengangkat kedua tangannya dan
ditutupkan pada mukanya. "Apa yang telah kulakukan" Apa
yang telah kita lakukan, Seng-ko" Kita..... kita masih belum
menikah....." Gadis itu tidak dapat menahan penyesalan dan kesedihan hatinya. Ia
menangis sesenggukan. Ki Seng maju dan merangkul gadis itu. "Sudahlah, jangan
menangis, Ling moi. Apa yang telah kita lakukan bukan
kesalahanmu, juga bukan kesalahan kita. Kita saling mencinta
dan bukankah kita ini kelak akan menjadi suami isteri" Kita
kini telah menjadi suami isteri, hanya tinggal menanti
pengesahan saja, kalau masa berkabung sudah lewat. Tidak
perlu disesalkan, Ling-moi, bukankah engkau mencintaku
seperti aku mencintamu?"
Mei Ling yang tadinya merasa menyesal dan hendak marah
kepada Ki Seng, tidak jadi marah melihat kenyataan bahwa
ialah yang tidur di kamar Ki Seng. Walaupun ia tidak ingat lagi mengapa begitu,
akan tetapi kenyataannya, memang berada
di kamar itu maka tidak dapat ia menyalahkan Ki Seng. Dan
kata-kata Ki Seng dapat menghibur hatinya akan apa yang
telah mereka lakukan. ia lalu merangkul Ki Seng dan menangis
didada pemuda itu. Ki Seng diam-diam tersenyum penuh
kemenangan!

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau hati akal pikiran telah menjadi rimba nafsu, maka hati
akal pikiran akan melakukan segala usaha dan daya upaya
untuk memuaskan nafsu yang telah menjadi majikannya.
Nafsu sex bukanlah sesuatu yang kotor, buruk atau jahat,
sebaliknya malah. Nafsu ini, seperti se-macam nafsu lainnya,
merupakan pembawaan sejak kita lahir, menjadi peserta kita
yang amat bermanfaat bagi kehidupan kita. Bahkan nafsu ini
menjadi sarana perkembang-biakan manusia di dunia. Selama
nafsu ini menjadi peserta ini kita menguasai dan
mengendalikannya, maka nafsu ini mendatangkan
kebahagiaan dan kebaikan dalam kehidupan kita. Akan tetapi
sebaliknya, kalau kita membiarkan nafsu sex ini merajalela
dan menguasai kita, menjadi majikan kita, naka kita akan
diseretnya. Hati akal pikiran kita akan berdaya upaya untuk
mendirikan kepuasan bagi nafsu itu. Akibatnya, terjadilah
perjinaan, perkosaan, dan pelacuran.
Ki Seng sudah menjadi hamba nafsu berahinya sendiri. Dia
selalu menurut dorongan nafsunya dan untuk memuaskannya
dia kini telah mendapat korban, yaitu Mei Ling yang percaya
penuh kepadanya dan semenjak malam itu, gadis itu menuruti
segala kehendak Ki Seng. Bukan akhirnya rahasia itu tidak
dapat ditutup-tutup lagi dan semua anggauta Pek-eng-pang
tahu bahwa kedua orang muda itu sudah melakukan
hubungan seperti suami isteri. Sering mereka tidur sekamar.
Akan tetapi tentu saja tidak seorangpun dari mereka yang
berani memberi komentar mengenai hal ini.
Ki Seng memenuhi janjinya kepada Sian Hwa Sian-li. Dia
tidak melupakan wanita itu dan seringlah dia datang
berkunjung dan bermalam di rumah wanita ini. Dia
memuaskan nafsunya dengan Mei Ling dan dengan Kim Goat.
Akan ini tapi makin dipuaskan, nafsu akan semakin murka,
akan semakin kuat dan menuntut lebih banyak, lagi!
Kini Ban-tok-pang yang diketuai Ki Seng tidak kekurangan
penghasilan dari Hek-houw-pang, dia dapat memungut hasil
dari rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelacuran yang tidak
sedikit jumlahnya. Dari Pek-eng-pang, dia dapat memperoleh
hasil dari perusahan pengawal kiriman barang. Setelah semua
perkumpulan yang kini dipimpin oleh A Kiu dan A Hok berjalan
lancar, dan dia bersenang-senang selama beberapa bulan
dengan Mei Ling dan Sian Hwa Sian-Li, akhirnya Ki Seng
mengambil keputusan bahwa waktunya sudah tiba baginya
untuk pergi ke kota raja, menemui "ayahnya", yaitu Kaisar Cheng Tung sebagai
putera kaisar itu yang bernama Cheng
Lin dan terlahir didaerah Mongol di utara. Sudah tiba
waktunya pula untuk membuka "rahasia" dirinya itu kepada Mei Ling agar wanita
itu tidak banyak rewel dan menuntutnya
untuk segera menikahinya setelah masa berkabung lewat.
Pada suatu malam, setelah mempertimbangkan baik-baik,
diapun bercakap-cakap dengan Mei Ling di dalam kamarnya.
"Ling-moi, dalam beberapa hari ini, aku akan pergi dari sini.
Aku akan pergi ke kota raja."
Mei Ling terbelalak. "Ke kota raja, Aku ikut, Seng-ko."
"Jangan, Ling-moi. Aku sedang menghadapi urusan besar.
Engkau tidak boleh ikut dan tinggal ah saja di sini."
"Urusan apakah itu, Seng-ko" Untuk urusan apakah engkau
hendak pergi ke kota raja, seorang diri pula?"
"Ini merupakan rahasia besar, Ling moi. Akan tetapi karena engkau sekarang telah
menjadi isteriku, biarlah engkau
mengetahui rahasia besar ini sebelum aku pergi. Ketahuilah,
aku akan pergi ke kota raja, menghadap Kaisar untuk
menuntut hakku." "Menuntut hakmu" Hak apakah itu Seng-ko?"
"Akan kuceritakan kepadamu, akan tetapi aku minta agar
engkau untuk sementara merahasiakan keadaanku ini sampai
aku memperoleh hakku. Berjanjilah"
Mei Ling memandang heran dan mengangguk. "Aku
berjanji, Seng-ko." "Begini ceritanya. Dua puluh tahun yang lalu, Kaisar Cheng Tung yang pada waktu
itu masih muda, tertawan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh kepala suku Mongol
bernama Kapokai Khan dan dibawa ke utara, ke daerah
Mongol. Ditempat tawanan itu dia diperlakukan dengan baik
dan hormat dan di perkampungan Mongol itu Kaisar Cheng
Tung bertemu dengan keponakan Kapokai Khan yang
bernama Chai Li. Mereka saling jatuh cinta dan Puteri Chai Li
lalu diperistri oleh Kaisar Cheng Tung.
Ketika Pu-U-ri Chai Li mengandung, Kaisar Cheng Tung
dibebaskan dan kembali ke selatan. Puteri Chai Li ditinggalkan dengan janji
bahwa kelak akan dijemput. Puteri Chai Li
melahirkan seorang putera, akan tetapi Kaisar Cheng Tung tak
kunjung datang menjemput sampai akhirnya Puterti Chai Li
tewas di tangan penjahat dan anak itu menjadi besar dalam
keadaan terlunta-lunta. Akan tetapi anak itu akhirnya dapat
mempelajari ilmu silat yang cukup tinggi sehingga dia dapat
mengangkat dirinya sendiri memperoleh kedudukan yang
cukup baik. Nah, sekarang anak itu telah dewasa dan dia
hendak menuntut agar diterima oleh ayah kandungnya dan
diakui sebagai seorang pangeran, keturunan Kaisar Cheng
Tung." Mei Ling terbelalak memandang wajah Ki Seng.
"Maksudmu..... engkau adalah..... putera Kaisar Cheng Tung itu...."
Ki Seng tersenyum dan mengangguk sambil mengeluarkan
suling kemala dari balik bajunya. "Benar. Akulah Cheng Lin putera Kaisar Cheng
Tung dan benda ini adalah peninggalan
ayah kandungku itu kepada mendiang ibuku, menjadi tanda
bahwa aku adalah puteranya yang terlahir di daerah Mongol."
"Ohhh.....!!" Mei Ling berseru dengan kaget, heran dan juga amat girang
mendengar bahwa kekasihnya, calon suaminya,
adalah seorang pageran! Ia cepat menjatuhkan dirinya
berlutut dan memberi hormat kepada pemuda itu. "Ampunkan
saya, karena tidak tahu saya....."
"Husssh....., bangkitlah, Mei Ling." kata Ki Seng sambil merangkul pundak wanita
itu. "Sudah kukatakan bahwa
engkau harus merahasiakan keadaanku ini. kalau engkau
bersikap seperti ini dan ketahuan orang lain tentu akan
terbuka rahasiaku. Bersikaplah wajar dan seperti biasanya
saja. Setelah aku secara resmi menjadi pangeran, boleh
engkau bersikap lain,"
"Baik...... Seng-ko....." kata Mei Ling dengan suara gemetar karena ketegangan
hatinya. Masih berdebar keras jantungnya
mendengar bahwa tunangan yang secara belum resmi telah
menjadi suaminya itu adalah seorang pangeran, putera Kaisar!
"Nah, engkau tahu sekarang mengapa aku hendak pergi ke
kota raja dan seorang diri pula. Engkau tinggal ah di sini dan kalau ada sesuatu
yang penting, ajaklah A Hok dan A Kiu
untuk berunding. Untuk sementara ini, kau pimpinlah Pek-Engpang dan A Kiu biar
memimpin Ban-tok-pang."
"Baik, Seng-ko." kata Mei Ling dan dalam suaranya
terkandung kepatuhan harus terhadap laki-laki itu. Dalam
pandangan Mei Ling, laki-laki itu bukan hanya menjadi calon
suaminya, melainkan juga seorang pangeran yang harus
dipatuhi perintahnya. Beberapa hari kemudian, Ki Seng meninggalkan Pek-engpang,
diantarkan sampai keluar dari perkampungan oleh Mei
Ling. Mei Ling melihat Ki Seng pergi dan mengira bahwa lakilaki itu akan
langsung pergi ke kota raja. Akan tetapi Ki Seng
mengambil jalan lain karena dia akan pergi dulu ke Bukit
Merak di markas Sian Hwa Sian-li telah menunggu. Dia
mengajak wanita itu untuk menemaninya ke kota raja, selain
untuk menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan, juga
dapat menjadi pembantu kalau-kalau dia menghadapi
rintangan dalam usahanya menjadi seorang pangeran!
Setelah tiba di rumah Sian Hwa Sian li, wanita itu telah siap
dan mereka berdua segera berangkat meninggalkan Bukit
Merak yang ditinggalkan untuk diatur oleh sembilan orang
pelayan wanita. Mereka berdua melakukan perjalanan dengan
gembira, masing-masing membawa sebuah buntalan pakaian
di punggung. Sian Hwa Sian-li tidak lupa membawa
payungnya karena selain benda ini dapat menjadi senjatanya
yang ampuh, juga ia memerlukannya untuk melindungi kulit
wajahnya yang halus dan putih mulus itu dari sengatan sinar
matahari. ooo00d00w0ooo Dua orang pemuda itu mendaki kaki pegunungan Tai-hangsan.
Mereka adalah dua orang pemuda yang berwajah tampan
dan usia mereka masih muda sekali. Yang seorang baru
berusia paling banyak dua puluh satu tahun, tubuhnya sedang
tegap dengan dada yang bidang, matanya mencorong penuh
semangat, hidungnya mancung dan bibirnya yang berbentuk
indah itu selalu tersenyum ramah, langkahnya tegap seperti
langkah harimau dan pakaiannya sederhana seperti seorang
petani. Pemuda ke dua lebih muda lagi. Paling banyak enam belas
tahun usianya. Wajahnya tampan sekali, lebih tampan dari
pemuda pertama. Tubuhnya sedikit agak kecil dengan
pinggang kecil. Matanya lebar dan kocak, dan senyumnya
membuat wajah itu cerah dan segar. Rambutnya hitam dan
lebat, digelung ke atas dan sebagian kepalanya tertutup kain
pengikat rambut yang lebar. Pakaiannya juga sederhana
namun tidak mengurangi ketampanannya. Seperti pemuda
pertama, diapun membawa sebuah buntan pakaian berwarna
kuning di punggungnya. Mereka melangkah dengan tegak
sambil bercakap-cakap dengan sikap lincah dan gembira.
Kita sudah mengenal baik dua orang pemuda ini. Yang
pertama adalah Han Lin dan pemuda ke dua bukan lain adalah
Suma Eng yang menyamar sebagai seorang pemuda bernama
Eng-ji. Sebetulnya Suma Eng adalah seorang yang usianya
sudah hampir sembilan belas tahun, akan tetapi setelah
menyamar sebagai seorang pemuda, ia tampak masih muda
sekali, seperti seorang pemuda remaja berusia enam belas
tahun! Setelah melakukan perjalanan berdua selama belasan hari,
hubungan di antara mereka makin akrab saja. Dan Han Lin,
seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita
kecuali dengan Tan Kiok Hwa yang dicintanya, akan tetapi
itupun hanya sebentar saja, sama sekali tidak pernah
dibayangkan bahwa pemuda menjadi sahabat yang amat
menyenangkan dan bernama Suma Eng-ji itu sebetulnya
adalah seorang gadis yang setengah mati jatuh cinta
kepadanya! Sikap Eng-ji amat baik kepadanya sehingga Han Lin
terkadang lupa bahwa pemuda remaja ini adalah putera Suma
Kiang, musuh besarnya. kadang-kadang kalau dia teringat
akan kenyataan ini, hatinya merasa tidak enak sekali. Suma
Kiang begitu jahat terhadap dirinya dan ibu kandungnya, akan
tetapi puteranya, Suma Eng-ji ini, begitu baik kepadanya.
Akan tetapi kebaikan sikap Eng-ji kepadanya kadang
terganggu kalau ia teringat bahwa pemuda remaja ini jatuh
cinta kepada Tan Kiok Hwa, gadis berpakaian serba putih yang
berhati emas, yang setiap saat siap menolong siapa saja
dengan pengobatan tanpa pandang bulu. Akan tetapi kalau
dia melihat sikap dan watak Eng-ji yang aneh dan kadang
ugal-ugalan itu, teringatlah bahwa Eng-ji adalah seorang
pemuda yang masih mentah.
Cintanya terhadap Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Berbaju
Putih) Tan Kiok Hwa tentu hanya menrupakan cinta monyet
yang tidak akan tahan lama! Teringat akan ini, legala hatinya
dan Han Lin senyum-senyum sendiri.
"Ehh, Lin-ko, apanya sih yang lucu?" Eng-ji menegur kawan seperjalanannya itu.
"Apa yang lucu?" balas tanya Han Lin, tidak mengerti.
"Kulihat engkau senyum-senyum sendiri, tentu ada yang
lucu!" "Ah, itukah" Aku tersenyum melihat engkau, Eng-ji."
Eng-ji berhenti melangkah, matanya yang lebar menatap
wajah Han Lin penuh selidik dan mulutnya cemberut. "Engkau tersenyum melihatku"
Engkau menertawakan aku" Apaku
yang lucu dan harus ditertawakan?" Eng-ji menuntut, marah karena ia merasa
ditertawakan. "Tenang dan sabarlah, Eng-ji, dan jangan marah dulu. Aku
tersenyum melihatmu karena sikapmu yang aneh-aneh.
Engkau mengajak aku untuk membelokkan arah perjalanan ke
kota raja dan menuju ke pegunungan ini. Mau apakah engkau
sebenarnya" Apakah sekadar pesiar ke pegunungan"
Bukankah dalam perjalanan kita selalu melewati gununggunung?"
"Itukah yang membuatmu tersenyum" Kukira engkau
menertawakan aku. Aku mengajakmu ke sini untuk mencari
dusun tempat tinggal mendiang ibuku, Lin-ko. Aku ingin sekali
bersembahyang di depan makam ibu kandungku yang tidak
pernah kulihat atau kuingat. Aku rindu sekali kepada ibu!"
Suara Eng-ji agak gemetar karena hatinya terharu, teringat
akan ibunya yang menurut cerita ayahnya telah meninggal
dunia. Ayahnya tidak pernah mau bercerita tentang ibunya
sehingga dia amat merindukan ibunya.
"Ibumu sudah meninggal di dusun yang berada di
pegunungan ini, Eng-ji" Ah, maaf, aku tidak tahu akan maksud
dan tujuan perjalananmu ke sini. Jadi ibumu telah meninggal
dunia sejak engkau masih kecil?"
"Menurut ayah, ibu meninggal sejak aku berusia tiga
tahun." "Ibumu masih muda, mengapa meninggal dunia" Karena
sakit atau apa?" "Ayahku tidak pernah mau menceritakan tentang kematian
ibu. Bahkan kalau aku bertanya tentang ibu, dia marah marah.
Agaknya ayahku amat mencintai ibu dan kematian ibu amat
menghancurkan hatinya. Bahkan nama ibupun tidak pernah
diberitahukan kepadaku" kata Eng-ji dengan suara
mengandung kekecewaan dan kesedihan.
Han Lin membayangkan watak Suma Kiang yang amat
jahat itu. Dia sangsi apakah seorang manusia berwatak iblis
seperti itu dapat mencinta seorang wanita sedemikian
besarnya. "Kalau engkau tidak ingat akan wajah ibumu dan tidak tahu namanya, bagaimana
engkau akan dapat mencari keterangan
tentang ibumu itu?" "Ayah hanya memberitahu bahwa ibu berasal dari dusun
Cia-lim-bun di pegunungan Tai-hang-sang ini. Karena itulah
aku mengajakmu untuk singgah di pegunungan ini untuk
mencari dusun Cia-lim-bun. Barangkali di dusun itu aku akan
dapat mencari keterangan tentang ibu dan dapat menemukan
makamnya, bahkan siapa tahu akan dapat kutemukan


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga ibu, kakek dan nenek misalnya, atau saudarasaudara
dari mendiang ibuku."
Han Lin merasa iba kepada Eng-ji. "Marilah, kita mencari di depan, kalau bertemu
dusun, kita mencari keterangan tentang
dusun Cia-lim-bun." katanya dan pereka melanjutkan
perjalanan. Tak lama kemudian, masih di kaki gunung, mereka
memasuki sebuah dusun Kecil. Kepada seorang petani yang
mencangkul sawahnya, Eng-ji bertanya, "Paman, dapatkah
engkau menunjukkan dimana adanya dusun Cia-lim-bun?"
Petani itu menunda pekerjaannya. "Cia-lim-bun" Itu di
sana, di lereng pertama. Dusun itu dapat tampak dari sini."
katanya sambil menuding ke arah lereng bukit. Han Lin dan
Eng-ji melihat dan benar saja. Di lereng bukit itu terdapat
sebuah dusun. Genteng-genteng rumah dusun itu sudah dapat
terlihat dari situ. "Mari, Lin-ko!" kata Eng-ji sambil menarik tangan Han Lin diajak berlari.
Agaknya pemuda itu lupa untuk mengucapkan
terima kasih kepada petani saking girang hatinya.
"Terima kasih, paman!" kata Han Lin kepada petani. Dia harus mengikuti Eng ji
yang berlari cepat mendaki lereng bukit itu.
Karena mereka berdua berlari cepat, sebentar saja mereka
telah tiba di dusun itu. "Eng-ji, sebaiknya kalau kita menemui kepala dusun
saja. Dari dia tentu kita akan memperoleh
keterangan lebih lengkap dan lebih banyak."
Eng-ji mengangguk. "Kukira sebaiknya begitu, Lin-ko."
Suara Eng-ji agak gemetar dan jelas tampak betapa hatinya
berdebar gelisah dan harap-harap cemas menghadapi
keterangan tentang ibu kandungnya dan mungkin ia dapat
bertemu dengan keluarga ibunya.
"Akan tetapi bagaimana cara menanyakannya" Aku tidak
tahu nama ibuku." "Tenanglah, Eng-ji. Biar aku yang akan bertanya kalau
engkau merasa gugup. Nama ayahmu Suma Kiang, bukan"
Nama ibumu engkau tidak tahu. Mungkin kepala dusun itu
mengenal nama ayahmu atau teringat akan namamu."
Eng-ji hanya mengangguk karena ia merasa bingung, tidak
tahu harus bertanya secara bagaimana. Dari petunjuk
beberapa orang dusun, dengan mudah mereka menemukan
rumah kepala dusun Cia-lim-bun.
Kepala dusun itu masih muda. Usianya sekitar tiga puluh
lima tahun dan melihat kepala dusun yang masih muda itu,
Han Lin mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena kepala
dusun itu menyambut mereka dengan ramah, diapun bersikap
hormat. "Ji-wi (anda berdua) silakan duduk dan apa yang dapat
kami bantu untuk ji-wi?" kata kepala dusun itu setelah
mempersilakan mereka duduk.
"Maafkan kalau kami mengganggu kesibukan, chung-cu
(lurah)." kata Han Lin. "Kedatangan kami menghadap ini untuk minta keterangan
tentang suami istri dan anaknya yang
tinggal di dusun cia lim-bun ini kira-kira lima belas tahun yang lalu."
"Lima belas tahun yang lalu" Ah, ketika itu kami belum
menjadi lurah di sini, bahkan belum tinggal di dusun ini. Kami baru sekitar
sepuluh tahun tinggal di sini, dan baru lima tahun menjadi kepala dusun." jawab
lurah itu dengan ramah. Eng-ji kecewa sekali mendengar ini dan dengan suara
penuh harapan ia bertanya, "Chung-cu, apakah sekiranya kami boleh bertanya
kepada orang yang sudah tinggal di sini pada
lima belas tahun lebih yang lalu?"
"O, itu mudah saja. Seorang paman kami telah puluhan
tahun tinggal di sini, mungkin dia mengetahui. Tunggu dulu,
kami memanggilnya." Kepala dusun itu lalu masuk ke ruangan belakang dan tak lama
kemudian dia kembali lagi bersama
seorang laki-laki tua berusia enam puluh tahun lebih.
"Inilah, paman, dua orang muda yang ingin bertanya
tentang suami isteri dan anaknya yang pernah tinggal di sini
lima belas tahun yang lalu." kata kepala dusun itu kepada pamannya.
Laki-laki tua itu memandang kepada Han Lin sampai
beberapa lamanya, lalu da menggeleng kepala. Setelah itu dia
memandang kepada Eng-ji dan mengamati pemuda remaja itu
penuh perhatian. Agaknya perhatiannya tertarik kepada Eng-ji
dan dia bergumam. "Ya, aku pernah melihat wajah ini..... kenapa yang akan
dapat melupakan peristiwa mengerikan itu" Orang muda,
kalau saja engkau seorang wanita, wajahmu persis dengan
wanita yang malang itu."
Mendengar ucapan itu, Eng-ji merasa jantungnya berdebar.
"Paman, apakah maksudmu" Siapa wanita yang malang itu,
yang wajahnya mirip wajahku?"
"Nanti dulu, orang muda. Laki-laki dan wanita itu, suami
isteri dan anaknya yang kau cari itu, siapakah nama mereka?"
tanya kakek itu. "Suaminya bernama Suma Kiang sedangkan isterinya aku
tidak tahu namanya. Anaknya bernama Suma Eng-ji." kata
Eng-ji penuh harapan Akan tetapi laki-laki itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal nama itu.
Akan tetapi, tentang wanita yang malang
itu, ada yang lebih mengetahuibta karena dialah saksi
peristiwa yang mengerikan itu. Sebaiknya kita panggil saja dia karena kami semua
mendengar tentang peristiwa itu darinya.
Dia yang lebih tahu." Kakek itu lalu menyuruh keponakannya, kepala dusun itu
untuk memanggil seseorang.
"Panggil A-lok ke sini, biar dia bercerita sendiri." katanya.
Kepala dusun lalu menyuruh orangnya untuk memanggil
orang bernama A-lok itu dan sambil menanti datangnya orang
yang dipanggil, dia mempersilakan Han Lin dan Eng-ji duduk
sambil menghidangkan minuman teh.
Tak lama kemudian orang yang bernama A-lok itupun
datang di situ. Laki-laki ini berusia sekitar lima puluhan tahun dan jalannya
terpincang-pincang, agaknya mengalami cacat
pada kaki kanannya. "Paman A-lok, silakan duduk," kata kepala dusun dan
setelah A-lok mengambil tempat duduk dia berkata, "Dua
orang muda ini datang untuk mencari keterangan tentang
suami isteri dan anaknya yang tinggal di sini kurang lebih lima belas tahun yang
lalu. Dan menurut pamanku, saudara muda
ini wajahnya mirip sekali dengan seorang wanita yang pernah
kau ceritakan tertimpa nasib yang mengerikan."
A-lok memandang kepada Eng-ji dan matanya terbelalak,
seolah dia baru melihat kemiripan yang disebut kakek paman
kepala dusun tadi. "Ya Al ah! Benar sekali!"
"Nah, apa kataku?" kata kakek yang menjadi paman kepala dusun. "Pemuda ini
wajahnya mirip sekali dengan wajah
mendiang Siu Lin, bukan?"
"Siapa itu Siu Lin?" Eng-ji bertanya dengan jantung
berdebar. "Paman yang baik, apakah engkau mengenal suami
isteri dan anaknya itu" Suaminya bernama Suma Kiang, dan
anaknya bernama Suma Eng-ji."
A-lok menggeleng kepalanya. "Tidak cocok. Suami Siu Lin
bernama Lo Kiat yang kini telah meninggal dunia dan mereka
memiliki seorang anak perempuan bernama Lo Sian Eng."
Setelah memandang Eng-ji sesaat dan mengerutkan alisnya,
diapun melanjutkan. "Apakah mereka itu benar-benar tinggal di dusun ini, kongcu
(tuan muda)?" Eng-ji hampir putus harapan, akan tetapi dia mencoba
untuk menerangkan. "Wanita itu berasal dari dusun Cia lim-bun ini. Ia meninggal dunia dan suaminya
yang bernama Suma Kiang lalu membawa
pergi anak mereka yang bernama Suma Eng-ji dan ketika itu
baru berusia tiga tahun."
A-lok mengerutkan alisnya semakin dalam sambil menatap
wajah Eng-ji "Nanti dulu! Apakah laki-laki bernama Suma
Kiang itu usianya ketika itu sekitar empat puluh lima tahun,
bertubuh tinggi kurus, mukanya merah dahinya lebar,
matanya sipit, jenggotnya panjang, di punggungnya terdapat
sepasang pedang dan tangannya memegang sebatang tongkat
yang mengerikan karena tongkat itu mirip seekor ular?"
Eng-ji menahan diri untuk tidak terlonjak kegirangan.
Betapa tepat gambaran itu! Itulah ayahnya!
"Benar! Benar sekali!" teriaknya. "Paman yang baik, ceritakan tentang mereka,
terutama tentang sang isteri yang
telah meninggal itu!"
A-lok menggeleng-geleng kepalanya dan bergumam.
"Sungguh aneh sekali. Agaknya ada kesalahan paham di sini.
Akan tetapi baiklah, akan kuceritakan apa yang telah kami
lihat. Aku tidak akan pernah melupakan peristiwa itu selama
hidupku, dan kau lihat, cacat di kaki kananku ini menjadi bukti kebenaran
ceritaku." Dia berhenti dan menghela napas
panjang. "Ceritakanlah, paman yang baik. Ceritakanlah segalanya
tentang wanita itu dan apa yang telah terjadi!" Eng-ji sudah tidak sabar lagi
dan ucapannya mengandung desakan
sehingga Han Lin menyentuh lengannya memberi isarat agar
kawannya itu bersabar dan membiarkan A lok menceritakan
dengan tenang. A-lok minum air teh yang disuguhkan. tampaknya tidak
tergesa-gesa, penuh keyakinan bahwa ceritanya akan menarik
sekali. Kemudian dia mulai bercerita "Wanita bernama Teng Siu Lin itu memang
seorang yang cantik sekali. Ketika itu
usianya sekitar dua puluh satu tahun dan memang sejak
masih gadis ia menjadi kembang di dusun ini. Ia menikah
dengan seorang sasterawan bernama Lo Kiat yang datang dari
kota, akan tetapi setelah menikah, Lo Kiat tinggal di dusun ini dan mengajarkan
ilmu baca-tulis kepada anak-anak di dusun
ini dan sekitarnya. Ketika itu, mereka telah mempunyai
seorang anak perempuan yang diberi nama Lo Sian Eng yang
ketika peristiwa terjadi berusia kurang lebih tiga tahun,"
Kembali dia berhenti dan minum air teh-nya. Dia agaknya
menikmati ceritanya sendiri karena maklum bahwa kedua
orang muda yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu
menanti kelanjutan ceritanya dengan tak sabar.
"Lalu bagaimana tentang kematian wanita itu" Apakah
karena sakit?" Eng-ji mendesak. Ia meragu dan tidak yakin apakah wanita yang
diceritakan itu benar Ibunya, walaupun
katanya berwajah mirip dia karena wanita itu isteri seorang
sastrawan bernama Lo Kiat.
"Pada suatu pagi, aku bersama tiga orang kawan, berjalan
keluar dari dusun Ini mendaki bukit. Suasananya amat sunyi
ketika itu dan tiba-tiba kami mendengar jerit suara wanita.
Kami cepat pergi ke arah suara itu dan ketika kami tiba di
sana, kami tercengang menyaksikan pemandangan yang
mendirikan bulu roma dan membuat kami tercengang dan
ngeri. Seorang laki-laki agaknya baru saja memperkosa wanita
yang bukan lajn adalah Teng Siu Lin! Dalam keadaan marah
telanjang, wanita malang itu melompat dan membenturkan
kepalanya pada sebuah batu sehingga ia tewas seketika.
Anaknya, Lo Sian Eng yang baru berusia tiga tahun itu
menangis di atas rerumputan. Tentu saja kami terkejut dan
marah. Kami segera berlari untuk bertindak terhadap laki-laki
laknat itu. Akan tetapi dia lihai bukan main. Dia lalu mengamuk dan
kami berempat dia robohkan dengan tongkat ularnya. Tiga
orang kawanku tewas dan aku sendiri mengalami cedera berat
pada kaki kananku, akan tetapi aku masih sadar dan aku pura
pura mati sehingga laki-laki iblis itu tidak menyerangku lagi.
Aku melihat betapa laki-laki itu memondong Sian Eng dan
dibawanya anak itu pergi dari situ."
Han Lin melihat betapa wajah Eng ji menjadi pucat sekali
dan pemuda remaja itu menggerakkan bibirnya yang
menggigil, "Lalu.... laki-laki jahanam iblis itu.... siapakah dia......?"
A-lok berkata. "Laki-laki itu tidak meninggalkan nama, akan tetapi dia adalah
orang yang kugambarkan tadi, tinggi kurus,
membawa sepasang pedang di punggungnya, tangannya
membawa tongkat ular, mukanya merah dan...."
"Aihhhhh......!!" Eng-ji mengeluh dan ia terkulai pingsan dan tentu akan roboh
dari kursinya kalau saja Han Lin tidak
dengan cepat menyambar tubuhnya.
"Eh, kenapa dia.....?" Kepala dusun, pamannya, dan A-lok bertanya heran.
Han Lin memangku Eng-ji. "Dia pingsan, agaknya masuk
angin." "Orang muda, bawa dia ke kamar, biarkan dia rebah di
pembaringan." kata kepala dusun yang ramah itu. Han Lin
menurut karena memang dia perlu meredakan Eng-ji untuk
disembuhkan. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu mengalami
guncangan batin yang hebat mendengar akan kejahatan Suma
Kiang, ayahnya itu. Dia memondong tubuh Eng-ji dan membawanya masuk ke
dalam kamar yang ditunjukkan oleh kepala dusun. Dengan
hormat dia minta agar mereka semua keluar dari kamar.
"Saya akan menyadarkannya, harap paman sekalian keluar
dulu." katanya. Kepala dusun dan dua orang itupun keluar dari dalam kamar,
bahkan kepala dusun menutupkan pintu kamar
Kitab Lorong Zaman 1 Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur Hianat Empat Datuk 2
^