Asmara Dibalik Dendam 1
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
ASMARA DIBALIK DENDAM MEMBARA
Kho Ping Hoo Budhi, engkau hendak kemanakah" Kulup?"Wanita berusia tiga puluh tahun yang
cantik jelita itu bertanya dengan suara lembut.
Anak berusia sepuluh tahun bernama Budhi itu menahan langkahnya, lalu
membalikkan tubuh memandang ibunya. "Aku hendak memetik dawegan (kelapa muda) di
tepi anak sungai itu, ibu. Dan juga buah-buah sawo di dekat sawah itu sudah
banyak yang tua dan masak. Kalau tidak diambil, tentu akan didahului kelelawar,
ibu." Ni Sawitri, ibu muda yang cantik jelita itu tersenyum dan memandang kepada
puteranya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih sayang. Puteranya itu
rajin sekali dan baru berusia sepuluh tahun tubuhnya sudah nampak berisi, jelas
memperlihatkan hasil penggemblengan ayahnya dalam ilmu kanuragan.
"Kalau begitu, kau sekalian bantu ibumu, Budhi. Di dusun Gedangan di bawah itu
terdapat beberapa orang anak yang sedang menderita penyakit murus. Aku harus
mengobati mereka karena keadaan mereka gawat. Kau carikan pupus daun jambu biji,
adas pulosari, kunyit dan temulawak secukupnya."
Budhi membelelekkan matanya yang bersinar tajam, lalu menggelengkan kepalanya
dan tertawa. "Wah, ibu. Aku khawatir tidak dapat mencarikan itu semua. Selain
terlalu banyak dan aku lupa lagi namanya, juga aku tidak mengenal rempah-rempah
itu. Sebaiknya ibu ikut agar dapat memilih sendiri di ladang yang ibu tanami
penuh dengan rempa-rempa itu."
Ni Sawitri tertawa. "Ih, engkau ini membikin malu ibu saja.Ibumu seorang ahli
jamu akan tetapi puteranya tidak mengenal adas pulosari! Baiklah, aku pergi
bersamamu agar engkau dapat belajar mengenal rempa-rempa itu. Akan tetapi kita
pamit dulu kepada ayahmu."
Budhidarma, anak itu, yang sudah berada di ambang pintu depan, masuk kembali
mengikuti ibunyamenuju ke sebuah ruangan di bagian belakang yang menjadi sanggar
pamujan di mana ayah- nya melakukan puja semadhi.
Ni Sawitri mengetuk pintu kamar itu dan tak lama kemudian terdengar helaan napas
panjang disambung suara seorang pria, "Engkaukah itu, Diajeng?"
"Benar, kakang Margono. Aku dan Budhi hendak pamit karena kami hendak pergi
mencari rempa-rempa dan buah-buahan."
"Masuklah dulu, diajeng. Dan engkau juga,Budhi, aku ingin melihat kalian."
Sepasang alis Sawitri agak berkerut karena ia merasa heran sekali mendengar
ucapan itu.Ia segera menggandeng tangan puteranya dan didorongnya pintu kamar
itu lalu keduanya masuk ke dalam. Mereka melihat Ki Margono sedang duduk bersila
di atas tikar di lantai. Ada apakah, kangmas" Ni Sawitri juga duduk bersimpuh di depan suaminya dan
Budhidarma juga duduk bersila di samping ibunya dan memandang kepada ayahnya.
Ki Margono adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh lima tahun, akan tetapi
wajahnya kelihatan lebih tua dari usianya. Pada wajah yang tampan itu terdapat
goresan-goresan penderitaan bathin dan sinar matanya sayu.
Melihat betapa isterinya memandang kepadanya dengan khawatir, dia mencoba
tersenyum. Tidak apa-apa, diajeng.Aku hanya ingin melihat kalian. Hatiku merasa tidak
nyaman, karena itu jangan lama-lama kalian pergi.
Ah, kalau begitu aku tidak jadi pergi saja! kata Ni Sawitri.
Pergilah, diajeng. Engkau hendak mencari rempa-rempa untuk mengobati anak-anak
di dusun Gedangan itu,bukan" Jangan sia-siakan tugasmu,diajeng.
Akan tetapi aku khawatir.......
Apa yang dikhawatirkan " Di atas semua kekusaan masih ada kekuasaan tunggal yang
tertinggi, yang menentukan segala yang akan terjadi di dunia ini. Aku telah
memasrahkan diriku kepada kekuasaan Hyang Widhi, maka apapun yang terjadi akan
kuterima sebagai kehendaknya. Apapun yang terjadi menimpa diri kita, yang baik
maupun yang buruk bukan lain hanyalah buah hasil perbuatan kita sendiri, karena
itu aku sudah siap dan rela menerimanya, diajeng. Perasaan khawatir akan
terjadinya sesuatu yang akan menimpa diri kita hanya menunjukkan bahwa kita
masih ragu dan kurang teguh iman kita kepada kekuasaan Hyang Widhi. Nah,
pergilah, diajeng, pergilah melaksanakan tugas suci itu.
Ni Sawitri mengangguk, akan tetapi ketiak ia hendak meninggalkan kamaritu, ia
berpesan. Kakangmas,aku pergi takkan lama.Tinggallah di dalam kamar saja, kakangmas,
jangan pergi kemana-mana dan tunggu sampai kami kembali.
Ki Margono tersenyum dan mengangguk. Tentu, aku takkan pergi ke manapun. Dan
engkau tahu bahwa aku cukup mampu menjaga diriku sendiri andaikata ada
marabahaya. Nah,pergilah isteriku dan anakku yang terkasih.
Ibu dan anak itu meninggalkan pondok mereka yang sederhana. Keluarga ini tinggal
di pondok yang berdiri di lereng bukit itu, tanpa tetangga karena mereka memang
sengaja hidup menyendiri di lereng bukit dekat anak sungai. Dusun yang menjadi
tetangga mereka adalah dusun Gedangan yang nampak dari lerang itu,sebuah dusun
kecil dengan hanya sekitar tiga puluh rumah.
Sudah lima tahun keluarga yang terdiri dari tiga orang ini tinggal di lereng
bukit itu, di ujung timur daerah Kerajaan Daha. Para penduduk dusun di sekitar
tempat itu tidak ada yang tahu dari mana keluarga ini berasal, akan tetapi tidak
ada yang berani bertanya karena suami isteri dengan seorang itu jelas bukan
orang dusun. Hal ini jelas nampak dari sikap dan cara mereka bicara yang halus.
Juga keterbukaan tangan mereka untuk menolong penduduk dusun, terutama sekali
mengobati mereka yang sedang menderita sakit, membuat mereka sungkan dan menaruh
hormat. Setelah meninggalkan rumahnya, Ni Sawitri merasa gelisah. Entah mengapa ia
sendiri tidak tahu, akan tetapi jantungnya seringkali berdebar. Apakah sudah
waktunya mereka harus berpindah tempat lagi" Selama sepuluh tahun ini, ia dan
suaminya berpindah-pindah tempat.
Baru sekarang ini mereka tinggal menetap di sebuah tempat sampai lima tahun
lamanya. Biasanya mereka berpindah-pindah dan tidak pernah tinggal di suatu tempat lebih
lama dari setahun.Mereka hanya pindah lagi! Ia mengambil keputusan. Ia akan
mengajak suaminya pergi dari situ dan pindah ke lain tempat lagi. Siapa tahu
para pengejar itu telah berhasil menemukan tempat tinggal mereka. Ia bergidik.
"Budhi.......!" Ia memanggil puteranya.
Budhi yang sedang memanjat pohon sawo dan mencari buahnya yang sudah
tua,menjawab dari atas pohon. "Ada apakah ibu?"
"Turunlah kita pulang sekarang!"
"Tapi aku baru mendapatkan sedikit......"
"Turunlah, nanti kita cari lagi. Kita harus pulang sekarang juga!" Suara ibunya
bergitu mendesak sehingga Budhidharma lalu turun dan mengumpulkan dawegan dan
sawo yang telah dipetiknya. Kemudian dia memanggul keranjang berisi buah-buahan
itu, dan bersama ibunya yang membawa rempa-rempa dia pulang.
Ni Sawitri melangkah dengan cepat sekali sehingga puteranya harus setengah
berlari agar tidak tertinggal. Tak lama kemudian sampailah mereka di pondok
mereka. Sunyi saja di sekitar pondok seolah tidak terjadi sesuatu. Ni Sawitri
menghela napas lega.Akan tetapi ketika mereka tiba di halaman depan pondok
mereka, Ni Sawitri melihat banyak jejak kaki di atas tanah. Wajahnya seketika
menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan berbisik, penuh kakhawatiran dan
bisikannya gemetar, "Kakang Margono.........!" kemudian berlarilah ia ke arah pintu depan pondoknya
lalu menerjang daun pintu yang tertutup. Daun pintu terbuka dan ia melompat ke
dalam. Budhidharma tercengang dan anak ini hanya berdiri memandang ibunya, tidak
mengerti mengapa ibunya demikian gelisah.
"Kakang Margono........!!" Teriakan melengking suara ibunya itu membuat Budhi
melonjak kaget dan dia melepaskan keranjanganya lalu berlari memasuki pondok.
Begitu melangkahi ambang pintu, Budhi tertegun terbelalak memandang ke dalam.
Dia melihat ayahnya mandi darah, kepalanya di atas pangkuan ibunya yang
merangkulnya sambil menangis. Saking terkejut dan bingungnya, dia hanya berdiri
seperti patung, tidak mampu mengeluarkan suara, juga tidak tahu harus berbuat
apa. Akan tetapi dia memandang penuh perhatian. Dilihatnya ayahnya menggerakkan
tangan kanannya yang yang berlumuran darah, merangkul dan menarik leher ibunya
sehingga kepala ibunya menunduk, lalu terdengar suara ayahnya yang parau, seolah
suara itu hanya sampai di lehernya
"...... me.....mereka .....datang ....Gagak Seto......ahhhh........" tangan itu
jatuh kembali, kepala itu terkulai diatas pangkuan.
"Kakang Margono ......! Kakang .......!! Ni Sawitri memekik, suaranya melengking
tinggi kemdian tubuhnya terkulai lemas, pingsan sambil merangkul suaminya!
Melihat ini, Budhi berlari dan berlutut di dekat ayah ibunya, menangis.
"Ibu.......ayah.....!" Dia mengguncang-guncang pundak ibunya dan dengan hati
ngeri dia melihat betapa darah membasahi seluruh tubuh ayahnya.
"Ibu......bangunlah, ibu.......!" Ibuuu........! "Budhi berteriak-teriak sambil
menangis. Ni Sawitri bergerak, membuka mata dan terbelalak memndang suaminya, akan tetapi
ketika ia melihat puteranya, ia kelihatan ketakutan, memandang liar ke kanan
kiri, kemudian ia memegang kedua pundak Budhi sehingga pundak yang tak berbaju
itu belepotan darah pula. "Cepat, engkau harus cepat pergi dari sini! Budhi,
engkau larilah, tinggalkan tempat ini!" katanya dengan suara gemetar.
"Akan tetapi, kenapa, ibu......?" Budhi memandang bingung.
Ni Sawitri mengambil seluruh benda dari balik kembennya dan menyerahkannya
kepada Budhi, "Ini.... bawa ini......kalau engkau tertangkap, perlihatkan ini
dan mereka tidak akan berani membunuhmu."
"Mereka siapakah ibu yang telah membunuh ayah dan membuat ibu ketakutan?"
"Orang-orang perkumpulan Gagak Seto dari Gua Tengkorak di Gunung
Anjasmoro......sudahlah, pergi sekarang, tinggalkan rumah ini cepat!"
Karena Budhi masih juga meragu, Ni Sawitri lalu menyambar lengannya dan
menariknya k eluar.Setelah tiba di halaman depan, wanita itu mendorang pundak Budhi.
"Cepat lari......!"
"Tapi,ibu......!" Budhi menangis, kebingungan.
Pada saat itu, terdengar bunyi burung gagak yang parau dan
nyaring."Goak,goak,goaaaak...!"
Ni Sawitri terbelalak dan ia sudah mencabut sebatang keris dari ikat
pinggangnya. "Budhi, cepat lari ! Taatilah ibumu!" Ia membentak dan sekali ini Budhi tidak
berani membantah lagi. Dia meloncat dan melarikan diri, benda pemberian ibunya
itu masih di gengamnya. Akan tetapi belum jauh ia lari.terdengar suara tawa bergelak dan ketika dia
menengok ke belakang, dia melihat belasan orang berpakaian serba hitam
berloncatan ke halaman pondoknya.
Melihat ibunya dikepung belasan orang itu, Budhi tidak melanjutkan larinya. Dia
mendekam di balik semak-semak yang rimbun dan mengintai dengan jantung berdebar.
Ni Sawitri dengan keris di tangan menghadapi mereka dan memandang kepada seorang
pria tinggi besar yang menjadi pimpinan gerombolan orang itu. Seperti juga anak
buahnya, pria tinggi besar ini juga memakai pakaian serba hitam dan di bagian
dadanya, baju itu terdapat gambar seekor burung gagak putih.Hanya bedanya, kalau
semua anak buahnya memakai ikat pinggang berwarna putih, pria ini mengenakan
ikat pinggang berwarna kuning gading.
"Hemmm, kiranya andika yang datang bersama pasukan Gagak Seto, kakang
Klabangkoro!" kata Ni Sawitri dan sepasang mata wanita ini berkilat penuh
kemarahan. "Tidak perlu kutanyakan lagi, tentu andika yang pula yang telah
membunuh kakang Margono!"
"Ha-ha-ha-ha! Selama sepuluh tahun lebih engkau dapt menyembunyikan diri bersama
kekasihmu itu dan baru sekarang kami temukan tempat persembunyianmu.
Benar, kami yang membunuh Margono si penghianat itu, atas perintah bapa Guru,
pimpinan kami. Dan atas perintah beliau pula kami harus membunuhmu,
Sawitri."pria tinggi besar yang berusia empat puluh tahun itu tertawa bergelak
dan memandang kepada Sawitri dengan matanya yang besar.
"Berani andiaka bersikap begini terhadap aku, Klabangkoro!" Ni Sawitri membentak
marah. "Ha-ha-ha-ha! Dahulu engkau menjadi adi-seperguruanku, kemudian menjadi ibu-
guruku. Akan tetapi sekarang tidak lagi, Sawitri. Engkau bukan apa-apa bahkan engkau
seorang pengkhianatyang sudah sepantasnya dihukum berat. Bapa guru memerintahkan
aku untuk membunuhmu pula.Akan tetapi .......hemmm,setelah sepuluh tahun
lamanya, engkau tidak kelihatan semakin tua bahkan menjadi semakin denok,
semakin ayu manis. Sayang kalau dibunuh begitu saja,ha-ha-ha!"
"Keparat Klabangkoro! Engkau telah membunuh kakang Margono. Aku tidak dapat
mengampunimu. Engkau atau aku yang akan mengeletak di sini tanpa nyawa.
Heiiiiiiittt.........!" Dengan tangkas sekali Ni Sawitri menerjang ke depan
sambil menusukkan kerisnya ke arah dada yang bidang itu. Klabangkoro tidak
berani menganggap rendah lawannya. Ni Sawitri pernah menjadi murid terkasih dari
ketua perkumpulan Gagak Seto, dan biarpun dia pernah menjadi kakang seperguruan
wanita itu, belum pernah dia dapat menandingi ilmu kesaktiannya. Bahkan
dibandingkan Margono, tingkat kepandaian Ni Sawitri masih lebih tinggi. Akan
tetapi selama ini Klabangkoro juga telah diberi ilmu baru oleh gurunya, yaitu
ilmu cambuk yang disebut Pecut Dahono(Cambuk api). Biasanya dia bersenjata
golok, dan sekarang pun dia memegang golok dan menghadapi tusukan keris di
tangan Ni Sawitri, dia mengelak sambil memutar goloknya melindungi dirinya.
"Trang-trang-trang.......!!" Tiga kali keris di tangan Ni Sawitri bertemu dengan
tangkisan golok tergetar dan panas. Tahukah dia bahwa sampai sekarang dia masih
kalah kuat, maka dia lalu berseru kepada anak buahnya.
"Kepung dan tangkap! Akan tetapi jangan membunuhnya, tangkap hidup-hidup!"
Tujuh belas orang anak buah gagak Seto itu lalu mengepung dengan senjata golok
di tangan kanan.Mereka mengelilingi wanita itu dengan sikap mengancam. Akan
tetapi Ni Sawitri tidak merasa takut, bahkan ia menjadi semakin marah dan
bertekat untuk memmbunuh semua orang yang telah menewaskan suaminya itu.
Majulah kalian semua,keparat-keparat busuk, manusia-manusia kejam berhati
binatang. Akan kubasmi kalian semua!" Ni Sawitri berdiri tegak dengan kaki
terpentang, keris di depan dada dan tangan kirinya diankat ke atas dengan jari
tangan terbuka, siap untuk melancarkan tamparan maut.
Karena belasan orang itu masih meragu dan jerih untuk maju menangkap wanita yang
mereka tahu amat perkasa itu,Ni Sawitri mendahului mereka, menerjang maju dan
kerisnya berkelebatan menyambar-nyambar dan dalam beberapa gebrakan saja, dua
orang roboh terkena tamparan dan seorang roboh berkelejotan dengan dada terluka
tusukan keris! "Tar-tar-tar.....!"Cambuk panjang di tangan Klabangkoro meledak-ledak dan
mematuk ke arah Ni Sawitri yang sedang menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Gagak Seto.Ia
berusaha untuk mengelak, namun karena perhatiannya terbagi dan serangan cambuk
itu cepat sekali, tetap saja tubuhnya dua kali disengat ujung cambuk dan kainnya
terobek di dua tempat, juga kulitnya terasa panas seperti terbakar! Kain nya
robek di bagian paha kiri dan pinggang kanan sehingga nampak kulit tubuhnya yang
putih mulus. "Ha-ha-ha! Menyerahlah saja, Wong ayu, dari pada tubuhmu menderita nyeri!" kata
Klabagkoro sambil tertawa bergelak. Ni Sawitri marah sekali dan menerjang ke
arah pria tinggi besar itu, akan tetapi kembali anak buah Gagak Seto
mengepungnya sehingga terpaksa ia menyambut mereka dan kembali merobohkan dua
orang di antara mereka. Akan tetapi selagi ia mengamuk kembali cambuk di tangan Klabangkoro meledak dan
melecut-lecut sehingga kain yang menutupi tubuh Ni Sawitri menjadi compang-
camping, robek di sana sini membuatnya hampir telanjang.
Tiba-tiba cambuk itu menyambar ke bawah dan tanpa dapat terhindarkan lagi,cambuk
yang panjang itu sudah melibat kedua kaki Ni Sawitri, dari mata kaki sampai
ujung lutut. Wanita itu terkejut,mencoba untuk meloncat, akan tetapi karena
kedua kakinya terlibat kuat, iapun terpelanting dan roboh!
"Ha-ha-ha, cepat ringkus ia. Ikat kaki tangannya ! Ha-ha-ha!"
Melihat banyak tangan yang berotot kasar dijulurkan ke arahnya, tahulah Ni
Sawitri bahwa perlawanannya telah berakhir.Tak mungkin ia mampu meloloskan diri
dari tangan mereka dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertangkap hidup-hidup oleh
Klabangkoro ia akan mengalami malapetaka yang lebih mengeriakn dari pada maut.
Sejak lama Klabangkoro menaruh hati kepadanya, akan tetapi ia selalu menjauhkan
diri. Tentu Klabangkoro mendendam sakit hati dan iri ketika ia melarikan diri
bersama Margono dan kalau ia tertangkap hidup-hidup, tentu ia akan diperkosadan
menderita penghinaan yang hebat.
"Kakang Margono, Tunggu aku, kakang.......!" wanita itu memekik lantang,
kemudian cepat sekali kerisnya sudah menghujam dadanya sendiri! Peristiwa itu
cepat sekali terjadi sehingga tidak keburu dicegah oleh Klabangkoro dan anak
buahya. Tahu-tahu tubuh Ni Sawitri sudah terkulai miring dan keris itu menancap di dada
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai ke gagangnya. Ibuuuu.....!! Budhidhama yang sejak tadi mengintai dengan jantung berdebar
tegang,ketika melihat ibunya roboh kemudian terkulai mandi darah, tak dapat
menahan diri lagi, meloncat keluar dari balik semak belukar dan lari menghampiri
ibunya. Melihat ibunya rebah miring dengan pakaian koyak-koyak dan tubuh bagian atas
bersimbah darah, Budhi menubruk dan merangkul tubuh ibunya.
"Ibu..... ibu....!" Dia menangis sambil memanggil-manggil ibunya.
Ni Sawitri membuka matanya dan menggerakkan lengan kanan dengan lemah, merangkul
anaknya.Suaranya terdengar lirih dan lemah ketika ia berkata,seperti berbisik
saja. "... anakku.... Budhidharma ...Larilah dan.... jangan.... jangan membalas
dendam...." Mata itu terpejam kembali dan napasnyapun berhenti. Budhi menjerit dan merangkul
jenazah ibunya. "Heiii, ini anaknya! Bunuh saja! Terdengar bentakan di atasnya dan ketika
mengangkat mukanya, dia melihat pria tinggi besar bernama Klabangkoro yang
membunuh ibunya.Diapun meloncat berdiri dan dengan air mata masih bercucuran,
dia menudingkan telunjuk tangan kananya ke arah muka Klabngkoro.
"Kau........kau .....Jahanam! Kau membunuh ayah ibuku!" Setelah berkata
demikian, dengan nekat Budhidharma menerjang ke arah Klabangkoro dengan kedua
tangan terkepal. Biarpun dia hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, kalau
hanya orang dewasa biasa saja belum tentu akanmmampu menandinginya, Akan tetapi
kini ia melawan Klabangkoro. Ibu dan ayahnya sendiri saja roboh dan tewas oleh
raksasa ini, apalagi dia.
Menghadapi serangan pukulan anak itu, Klabangkoro tertawa tergelak dan dengan
mudah saja dia menagkis semua pukulan Budhi. Tangkisan itu membuat tangan Budhi
terpental dan nyeri, akan tetapi anak ini sudah nekat dan terus menerus
menyerang dengan kedua tangannya.
"Ha-ha-ha, setan cilik! Engkau sudah bosan hidup, ya?" Kaki yang besar itu
mencuat dalam tendangan. "Dukkk!" Tubuh Budhidharma terlepar sampai tiga meter jauhnya dan terguling-
guling. Akan tetapi anak itu meloncat bangun lagi, dan lari ke depan untuk
menyerang lagi,sama sekali tidak memperdulikan dadanya yang tersa nyeri sehingga
napasnya sesak. Ketika Budhi memukul perutnya, Klabangkoro tidak menangkis dan menerima pukulan-
pukulan itu dengan kekebalannya. Kedu tangan anak itu terasa nyeri seperti
memukul batu ketika bertemu dengan perut itu. Merasa betapa pukualannya tidak
mempan, Bhudhi lalu menggigit kulit perut itu dan sekali ini Klabangkoro
berteriak dengan kesakitan. Raksasa ini dengan marahnya lalu mengangkat lututnya
kuat sekali. "Desss.....!" Dada Budhi di hantam lutut seperti dihantam palu godam. Serasa
pecah dada itu dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Saking nyeri rasa
pada dadadnya, anak ini tidak mampu berdiri lagi, hanya bangkit dududk dan
matanya saja yang melotot penuh kebencian memandang Klabangkoro.
Melihat ketahanan dan kebandelan anak ini, Klabangkoro bergidik. Anak ini kelak
akan berbahaya sekali kalau tidak dibunuh, pikirnya. Dia menyeringai buas lalu
mencabut pecut Dahono yang terselip di ikat pinggangnya. "Bocah setan keparat !
Akan kubikin lumat tubuhmu!" Dia lalu menggerakkan cambuk itu di udara.
Kemudian sambil mengeluarkan suara ledakan, cambuk itu menyambar turun dan
melucuti tubuh Budhidharma.
"Tar-tar-tar-tar......!" Ujung cambuk itu bagaikan moncong ular mematuk dan
mematuk lagi ke arah tubuh Budhi yang sudah tidak mampu mengelak. Setiap kali
ujung cambuk mematuk, tubuh itu tersentak dan bagian yang terpantuk itu
bercucuran darah. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan anak itu. Agaknya
Klabangkoro membatasi tenaganya sehingga cambuknya tidak sampai membunuh,
melainkan mendatangkan luka yang panasdan pedih. Kedua paha, lambung, dada dan
pundak Budhi sudah terluka, kulit dan dagingnya pecah sehingga mengeluarkan
banyak darah. Dia hanya menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu di atas
tanah itu.Akan tetapi, sedikitpun ia tidak mengeluh, bahkan menangispun tidak
dan sianr matanya masih berapi-api di tujukan kepada penyiksanya.
Melihat ini, Klabnagkoro merasa ngeri dan diapun membentak, "Bocah setan,
sekarang akan kuhancurkan kepalamu. Mampuslah kau!" Dengan sekuat tenaga dia
mengayun cambuknya yang akan dipukulkan ke arah kepala anak itu.
"Siuuuuuuuuuttt..................plakk!"
Klabangkoro terkejut sekali ketika cambuknya tertahan di belakangnya . Dia cepat
memutar tubuhnya dan melihat bahwa ujung cambuk itu dipegang oleh seorang kakek
tua berpakaian serba putih yang entah kapan telah berdiri di situ.
"Sadhu-sadhu-sadhu.........seorang gagah perkasa menyiksa seorang anak kecil
sungguh tidak tahu malu!" Suara kakek itu lirih, akan tetapi jelas terdengar
oleh mereka semua dan di dalam suara yang lembut itu terkandung wibawa yang
kuat. "Keparat, siapa andika, seorang tua bangka hendak mencampuri urusan kami!"
Klabangkoro membentak dan tanpa menanti jawaban lagi dia sudah merenggut
cambuknya dan dengan buas diapun mengayun cambuk itu menghantam ke arah kepala
kakek yang rambutnya sudah putih itu.
Akan tetapi kakek itu tidak membuat gerakan mengelak atau menangkis, melainkan
tangan kirinya mendorong ke arah Klabangkoro dan tubuh yang tinggi besar itu
terlempar bagaikan sehelai daun kering terbawa angin.
Melihat ini, anak buah Gagak Seto menjadi marah dan belasan orang itu sudah
menggerakkan golok masing-masing dan menerjang dari empat jurusan. Akan tetapi,
kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan ujung bagian bajunya mengeluarkan
angin yang kuat sekali dan belasan orang itupun berpelantingan terdorong oleh
kebutan angin yang kuat itu.Tentu saja semua orang menjadi terkejut sekali. Akan
tetapi Klabangkoro adalah seorang yang sudah terbiasa di taati dan ditakuti
orang, maka setelah ia dapat meloncat bangun kembali, dia sudah menggenggam
cambuknya dengan erat dan dia lalu menerjang maju, memukul dengan pengerahan
tenaga sekuatnya.Cambuk itu menyambar dengan dahsyat, mengancam kepala kakek
itu. Hemm, manusia budak nafsu yang berwatak kejam!" Dia berseru lirih dan tangan
kirinya menyambut cambuk yang meluncur ke arah kepalanya itu.
Wuuuuttt...........setttt........!" Cambuk itu telah ditangkap oleh tangan kiri
dan dengan marah Klabangkoro berusaha untuk menarik senjatanya lepas dari
pegangan tangan kiri lawan. Akan tetapi, betapapun dia berusaha sekuat tenaga,
cambuk itu tidak dapat terlepas. Bahkan sekali renggut saja dengan perlahan,
cambuk itu sudah terlepas dari pegangan Klabangkoro dan dapat dirampas kakek
baju putih. masih tidak mau melihat kenyataan dan dia kini mencabut goloknya dan menerjang
dengan ganas. Golok itu membacok ke arah ke arah leher kakek itu. Akan tetapi
kakek itu menggerakkan cambuk rampasannya menangkis dan golok itupun terpental
lepas dari tangan miliknya.Kini kakek itu memutar-mutar tubuhnya sambil
mengembangkan kedua lengannya. Klabangkoro dan belasan orang anak buahnya tak
mampu bertahan lagi,mereka terdorong roboh bergelimpangan dan barulah
Klabangkoro mengakui bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti. Dia
melarikan diri diikuti belasan orang itu, berlari cepat seperti dikejar setan.
Kakek itu tidak mengejar, melainkan membuang cambuk rampasan dan memutar
tubuhnya memandang ke arah Budhidharma yang masih tak mampu berdiri. Anak itu
berhasil menggunakan sisa tenaga untuk dapat duduk dan dengan tubuh lemas dan
nyeri,kepala pening, dia masih dapat mengikuti peristiwa pengeroyokan atas diri
kakek berbaju putih itu. Tubuh Budhi sudah berlepotan darahnya yang keluar dari
luka-luka dari paha dan pundaknya. Akan tetapi anak itu tidak menagis, bahkan
tidak mengeluh sedikitpun juga dan hal ini membuat kakek itu memandang dengan
sianr mata kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang
bocah berusia kurang lebih sepuluh tahun yang seberani dan sekuat itu menahan
nyeri. Setelah semua penjahat pergi, Budhi teringat lagi kepada ayah ibunya. Dia
menoleh dan melihat jenazah ibunya masih menggeletak mandi darah, tiba-tiba dia
seperti memperoleh tenaga baru. Dia bangkit berdiri, bahkan dapat berlari
menghampiri jenazah ibunya, menubruk dan menangis.
"Ibuu........!" Setelah memanggil-manggil ibunya sambil menangis, dia teringat
ayahnya dan kembali dia bangkit dan lari memasuki pondok, menubruk jenazah
ayahnya yang mengegletak di lantai pondok.
"Bapa.......ahh, bapaaaa......!" Diapun menangis mengangguk dan bingung apa yang
harus dilakukannya. Ayah dan ibunya mati dengan menyedihkan,dibunuh orang di
depan matanya! Setelah dia menangis beberapa lamanya, terdengar suara yang lembut,"Kulup, sudah
cukup engkau menangisi kematian ayah dan ibumu.Akan tetapi mereka telah kembali
ke alam asal, di panggil pulang oleh Yang Maha Kuasa dan tak seorangpun dapat
menghidupkan mereka kembali.
Tangis dan kesedihan anak mereka hanya akan menjadi penghalang bagi perjalanan
mereka. Karena itu, hentikanlah tangismu dan marialh kita menghadapi kenyataan."
Mendengar ucapan itu, Budhi menengok dan ternyata kakek yang menolongnya tadi
telah berdiri di belakangnya.Karena dia sudah kehilangan segala-galanya, tidak
adalagi manusia yang yang dapat menjadi teman hidupnya,maka kehadiran kakek itu
membuka saluran baginya untuk mencurahkan perasaan hatinya. Dia menubruk ke arah
kaki orang tua itu dan menangis.
Aduh, eyang............!" Bagaimana saya tidak akan berduka dan merasa hacur
hati saya" Di dunia ini saya hanya mempunyai ayah dan ibu berdua dan sekarang
tiba-tiba mereka dibunuh orang. Saya tidak mempunyai seorangpun keluarga lagi,
tidak mempunyai siapa-siapa lagi....."
"Tidak ada orang yang hidup sebatang kara di dunia ini. Bukankah jutaan manusia
lain inipun menjadi saudaramu" Sudahlah, nanti kita bicara lagi tentang diri dan
masa depanmu.Sekarang yang terpenting adalah menyempurnakan jenazah ayah dan
ibumu." "Eyang katakanlah apa yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu harus berbuat
apa." "Hemm, jenazah ayah dan ibumu perlu mendapat perawatan sebagaimana mestinya ke-
mudian diperbukan. Apakah engkau tidak mempunyai kenalan atau tetangga yang
sekiranya dapat membantu kita?"
"Tetangga kami hanyalah penduduk dusun di sebelah bawah lereng di sana itu,
eyang." "Bagus. Nah,pergilah engkau ke dusun itu dan beritahu mereka bahwa ayah ibumu
terbunuh gerombolan penjahat dan mintalah bantuan mereka untuk mengurus jenazah
ayah ibumu." "Baik, eyang........" Budhi lalu bangkit berdiri dan hendak berlari pergi. Akan
tetapi baru belasan langkah dia berlari, dia mengeluh dan terguling roboh.
Melihat ini kakek berbaju putih itu segera menghampiri Melihat anak itu pingsan,
dia lalu membawa anak itu ke bawah sebatang pohon di samping pondok.Dia
memeriksa tubuh anak itu dan menggeleng-geleng kepalanya dengan kagum.Tubuh anak
ini mengalami siksaan yang hebat.Matang biru dan bengkak-bengkak, kedua paha dan
pundak terluka. Kakek itu lalu menggunakan kedua tanganya untuk memijit-mijit menekan dan
mengurut tubuh Budhi. Tak lama kemudian, Budhi mengeluh dan dia siuman. Ajaib,
setelah dipijit dan diurut oleh kakek itu, Budhi merasa tubuhnya sehat kembali
dan tidak terasa nyeri lagi. Bahkan luka-luka lecutan cambuk yang tadinya terasa
pedih dan amat panas, kini tidak merasa nyeri lagi. Dia lalu bangkit duduk
bersimpuh di depan kakek itu.
"Bagaimana rasanya sekarang, kulup" Apakah masih nyeri rasa tubuhmu"
"Terima kasih, eyang. Nyeri-nyeri pada tubuh saya tidak terasa nyeri."
"Nah, kalau begitu, pergilah memberi tahu kkepada penduduk dusun di bawah.Akan
tetapi, katakanlah dulu kepadaku siapakah namamu?"
"Nama saya Budhidharma, eyang."
kakek itu tersenyum mengangguk-angguk. "Bagus, bagus! Mudah-mudahan saja kelak
sepak terjangmu akan sesuai dengan namamu. Nah, pergilah, kulup!"
Budhi lalu berlari pergi dari situ, menuruni lereng menuju dusun Gedangan.
Ingatannya penuh lagi dengan bayangan ayah ibunya yang menggeletak mandi darah,
maka tak tertahankannya lagi air matanya bercucuran ketika dia berlari itu.
Penduduk dusun Gedangan terheren-heren melihat Budhi datang dengan berlari-lari
sambil bercucran air mata.Biasanya anak ini selalu kelihatan cerah, bahkan suka
berkelakar dan sifatnya periang. Segera mereka merubung Budhi dan bertanya-
tanya. Ketua dusun yang sudah mengenal baik ayah ibu Budhi, bahkan pernah disembuhkan
dari penyakit berat oleh Ni Sawitri, segera maju dan memegang pundak Budhi.
"Anakmas Budhidharma, apakah yang telah terjadi" Kenapa andika menangis?"
"Paman......ah, paman.....tolonglah merawat ...... jenazah bapa dan ibu......
mereka terbunuh gerombolan penjahat."
Terdengar seruan di sana sini dan semua terbelalak dengan muka pucat. Kemudian
berbondong-bondong mereka mengikuti Budhidharma menuju rumah yang terpencil di
lereng itu. Setelah tiba di tempat tinggal anak itu. Mereka semua merasa ngeri
melihat jenazh Ni Sawitri dan Margono yag mandi darah. Dan merekapun bertanya-
tanya siapa adanya kakek yang berada di situ.
"Eyang ini yang menyelamatkan aku dari tangan penjahat itu, kalau tidak ada
eyang ini, aku tentu tewas pula seperti kedua orang tuaku." Setelah mendapatkan
keterangan dari Budhi, penduduk dusun bersikap hormat dan tidak lagi mencurigai
kakek berpakaian serba putih itu.
Atas permintaan Budhi sendiri, jenazah kedua orang tuanya tidak diperabukan
melainkan dikubur di dalam tanah, di halaman depan rumah itu. "Saya sudah tidak
memiliki apa-apa lagi, eyang.
Biarlah kedua kuburan ini menjadi sisa peringatan bagi kedua orang tua
saya."katanya. "Hal ini boleh saja, Budhi. Jasmani ini memang terbentuk sebagian besar dari
tiga zat itu,tanah,air,dan api. Oleh karena itu, setelah ditinggalkan rohnya,
jasad dapat dikembalikan kepada salah satu di antaranya. Dibakar, dikubur, atau
di larung ke samudera. Hanya saja, kalau dikubur dalam tanah, maka masih ada
ikatan antara keluarganya dengan yang mati." kata kakek itu.
Setelah Penguburan selesai dilakukan dan semua penduduk dusun sudah kembali ke
Gedangan, Budhidharma masih saja berlutut di depan mamamayah ibunya.Kesedihan
membuat anak ini lemas lunglai seperti kehilangan semangat dan biarpun dia sudah
tidak menangis lagi,namun matanya masih selalu basah.
Kakek itu duduk di atas batu besar, di lereng Budhi yang bersimpuh di depan
makam. Dia membiarkan anak itu menenggelamkan diri dalam lamunan kesediahn beberapa
lamanya, kemudian tiba-tiba tubuhnya melayang ke arah pohon di tepi halaman.
Dipegangnya batang pohon sebesar tubuh orang dewasa itu dengan kedua tangannya,
lalu diguncangnya pohon itu. Pohon bergoyang dan tergoncang keras seperti ditiup
badai mengeluarkan bunyi yang berisik dan daun-daun rontok berterbangan.
Budhi terkejut mendengar ini dan ketika dia memandang, diapun terbelalak
keheranan. Sampai beberapa lamanya kakek itu menggoncang pohon.Budhi bangkit
berdiri, menghampiri dan bertanya dengan suara mengandung keheranan. "Eyang, apa
yang eyang lakukan ini" Kenapa menggoncang pohon ini?"
Kakek itu tertawa dan menghentikan perbuatannya, lalu menggandeng tangan Budhi
diajaknya anak itu duduk di atas batu besar.
"Budhi, lihatlah hati dan pikiranmu sekarang, saat ini. Apakah engkau masih
berduka" Apakah engkau masih berduka" Apakah engkau masih ingin menangisi orang
tuamu?" Budhi adalah seorang anak yang cerdik. Dia segera mendapat kenyataan bahwa
kedukaan itu sama sekali tidak adalagi, atau sudah terlupa olehnya.Yang ada
hanyalah keheranan. "Tidak, eyang. Saya hanya merasa heran dan sudah melupakan kedukaan saya. Akan
tetapi eyang mengingatkan dan ........."
"Nah, kalau begitu engkau sudah mengerti sekarang bahwa kedukaan itu hanyalah
per- mainan dari ingatan sendiri saja.Ingatan mengunyah-ngunyah keadaanmu yang
kehilangan orang tua, seperti si rakus melahap makanan yang enak dan ahtimupun
seperti ditusuk-tusuk rasanya. Hal itu menimbulkan duka. Begitu pikiran dikuasai
oleh keadaan lain, duka yang tadinya membuat orang seperti kehilangan semangat
hidup itupun akan lenyap tanpa bekas lagi.Kalau hati akal pikiran itu selalu
ditujukan kepada apa yang terjadi saat demi saat, tidak mengingat-ingat hal yang
telah lalu, maka orang tidak akan dicengkeram duka. Mengertilah engkau, kulup?"
Biarpun masih belum jelas benar, namun Budhi dapat mengerti. Memang kedukaan
hatinya timbul lagi kalau dia kembali kepada alam ingatan, mengingat-ingat hal
yang telah berlalu.Dan semua itu sudah tidak berguan lagi.Biarpun dia menangis
air mata darah, ayah dan ibunya taidak dapt hidup lagi.Yang terpenting ialah
sekarang, saat ini, apa yang haryus dialakukan setelah ia hidup seorang diri.Dan
dia meliaht betapa kakek itu seorang yang sakti, seorang yang bijaksana dan baik
budi, maka dia segera menghampiri dan berlutut menyembah ke arah kaki orang tua
itu. "Eh, ada apakah, Budhi" Apa artinya penghormatan ini dan engkau hendak bicara
apa?" Kakek itu menjulurkan tangannya,menarik lengan anak itu ke atas dan menyuruhnya
duduk di dekatnya. "Eyang, saya hidup seorang diri di dunia ini, bahkan kalau eyang tadi tidak
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meyelamatkan saya,sekarangpun saya tidak ada lagi di dunia ini. Karena itu,
kalau eyang sudi menerimanya, satya mohon agar eyang mengijinkan saya ikut,
menjadi murid eyang,saya akan melakukan pekerjaan apa saja untuk membantu
eyang." Kakek itu tersenyum mengelus jenggot putihnya yang tipis dengan tangan kiri dan
menganguk-angguk. "Baiklah, Budhi. Agaknya memang sudah ditentuakn oleh Hyang Widhi bahwa engakau
berjodoh untuk menjadi muridku. Akan tetapi jangan dikira enak menjadi murid
seorang tua miskin seperti aku. Aku berjuluk Bhagawan Tejolelono, pekerjaanku
hanya berkelana, tidak memiliki kekayaan apapun. Tempat tinggalku tidak menentu.
Langit atapku,bumi lantaiku dan pohon-pohon merupakan dindingku.
Engkau akan menderita kelaparan kalau tidak mencari makan sendiri.Nah, kalau
engakau ikut aku menjadi muridku, engkau harus rajin sekali, bukan saja untuk
mempelajari ilmu dariku tetapi juga untuk bekerja mencari makan. Sanggupkah
engkau, Budhi?" Eyang, sejak kecil saya sudah biasa bekerja keras karena kami bukanlah keluarga
kaya. Harap eyang tidak khawatir, saya akan bekerja keras dan rajin. Dan saya
berjanji akan mentaati semua perintah dan petunjuk eyang."
Tejoleleono mengangguk-angguk dan hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi dia
merasa sudah mengambil keputusan untuk mengangkat bocah ini menjadi muridnya.Dia
meliaht betapa Budhi memiliki keberanian, ketabahan dan kegagahan yang luar
biasa.Selain hatinya yang teguh keras, anak inipun memiliki bakat yang maat baik
untuk menjadi orang yang sakti mandraguna.
Ketika jari-jari tangannyamemijit tubuh anak itu, dia mendapat kenyataan bahwa
Budhi memiliki tulang yang baik.
"Nah, kalau begitu berkemaslah, Budhi. Kumpulkan barang yang akan kau bawa
karena kta akan pergi sekarang juga." Akhirnya kakek itu berkata.
Mendengar ini Budhidharma berpikir sejenak lalu berkata dengan hormat, "Eyang,
saya merasa sayang kalau rumah dan semua isinya ini saya tinggalkan begitu saja
tidak terawat dan digunakan. Oleh karena itu, kalau eyang mengijinkan, saya
hendak memasrahkan rumah ini dan semua isinya kepada seorang kenalan yang
tinggal di dusun Gedangan. Dengan demikian, maka ruamh ini akan terpelihara, dan
juga dapat bermanfaat baginya."
Bhagawan Tejolelono mengangguk-angguk. Seorang bocah yang berpikir panjang.
"Baik, pergilah engkau ke dusun Gedangan.Aku akan menantimu di sini, Budhi."
Budhi lalu pergi ke dusun Gedangan dan menemui seorang kenalan dan sahabat
ayahnya bernama Karyosikun.Karyosiku hidup berdua dengan isterinya dan mereka
tidak mempunyai ruamh, hanya tinggal mondok di ruamah seorang janda. Budhi sudah
mengenal baik suami isteri yang miskin ini karena biasanya ayah dan ibunya kalau
sedang repot membutuhkan tenaga bantuan, selalu menggunakan tenaga suami isteri
ini. Tentu saja kunjungan Budhi disambut dengan heran oleh Kayosikun dan isterinya
yang bernama Sawiji. Suami isteri inipun tadi ikut pula datang melayat. Ketiak
meliaht mereka Budhi segera mengutaraka kehendaknya.
"Paman Karyosikun dan bibi Sawiji. Hari ini aku akan pergi mengikuti Eyang
Bhagawan Tejolelono dan menjadi muridnya.Karena itu, lebih dulu aku ingin
menyerahkan rumah kami dan semua isinya, juga kebun dan ladang kepada paman
berdua." "Eh, eh, apa maksudmu, Gus?" tanya Karyosikun heran dan tidak mengerti.
"Begini,paman. Aku tidak ingin rumah itu kosong dan tidak terpelihara. Oleh
karena itu, selama aku pergi, paman berdua tinggallah di rumahku. Sawah dan
ladang kerjakanlah dan hasilnya untuk paman berdua. Rumah dan semua isinya
pergunakanlah untuk keperluan hidup paman. Aku hanya ingin agar rumah itu,
terpelihara dan rumah itu,beserta sawah ladangnya, baru paman kembaliakn kalau
aku membutuhkannya."
Wah.......,ini......bagaimana kami berani......" Karyosikun berseru gugup.
"Siapa yang mau percaya kepada kami" Jangan-jangan kami akan dituduh merampas
rumahmu,Bagus Budhi!"
"Jangan khawatir, paman karyo, marilah kita pergi ke rumah kepala dusun. Saya
akan menyerahkan rumah dan sawah ladang kepadamu,disaksikan oleh kepala dusun."
Melihat Karyosikun dan isterinya masih meragu, Budhi lalu memegang tangan oarang
itu dan diajaknya pergi ke rumah kepala dusun.
Kepala dusun Gedangan mengerti dan bahkan memuji tindakan Budhidharma itu.Memang
sebaiknya kalau anak itu hendak pergi mengikuti gurunya, rumah itu dan sawah
ladangnya diserahkan kepada seorang yang dapat dipercaya untuk mengurusnya,
menikmati hasil sawah ladang dan memelihara rumah agar tidak menjadi rusak. Dan
Karyosikun adalah orang yang dapat dipercaya untuk hal itu.
"Baiklah, kami yang menjadi saksinya dan engkau jangan khawatir kalau ada yang
men- uduhmu yang bukan-bukan, Karyosikun ."Kata kepala dusun itu.
Suami isteri itu langsung saja diajak oleh Budhi untuk ikut dia ke rumahnya.
Setelah menyerahkan segala harta milik peninggalan orang tuanya, Budhi lalu
pergi bersama Bhagawan Tejolelono, diantar sampai ke luar halaman oleh
Karyosikun dan Sawiji.Anak itu hanya membawa pakaian, dibuntal sehelai kain
milik ibunya. Dan diapun membawa keris milik ibunya. Keris itulah yang oleh
ibunya dipakai melakukan perlawanan terhadap gerombolan Gagak Seto kemudian
dipakai membunuh diri karena ia tidak mau tertangkap hidup-hidup oleh
Klabangkoro. Sambil melangkah di belakang Bhagawan tejolelono yang berjalan tanpa menoleh dan
tanpa ragu-ragu bermacam kenangan menyelinap dalam kepala Budhidharma.
Bayangan rumahnya, lalu ayah ibunya, memenuhi benaknya.Membayangkan kedua orang
tuanya terkapar dengan mandi darah, membuat dia mengatupkan kedua bibirnya dan
menggigit gigi sendiri. Kemudian terbayanglah wajah yang amat dibencinya itu,
wajah klabangkoro yang tinggi besar seperti raksasa bermuka hitam.
Selama hidupnya dia tidak akan pernah dapat melupakan wajah raksasa pembunh
ibunya itu.Akan tetapi hatinya lebih sakit kalau dia mengingat bahwa Klabangkoro
itu hanyalah seorang utusan saja dan pembunuh yang sebenarnya dari orang tuanya
adalah yang mengutus Klabangkoro, yaitu ketua perkumpulan Gagak Seto setelah dia
dewasa dan kuat, dia pasti akan mencari perkumpulan di Gunung Anjasmoro itu,
membunuh ketuanya dan membasmi perkumpulan itu sampai ke akar-akarnya.
Akan tetapi, teringat akan pesan yang terakhir, dia mengerutkan alisnya. Sebelum
ibunya menghembuskan napas terakhir, dalam rangkulannya, ibunya berpesan agar
dia tidak membalas dendam. Tidak membalas dendam" Bagaimana mungkin itu" Dia
teringat ketika ibunya memberi sebuah benda kepadanya. Selama ini, benda itu
disimpannya dan hampir dia melupakan benda itu.Kini teriangat akan semua itu,
dia mengambil benda itui dari kantung bajunya dan mengamatinya, sebuah benda
kecil,dari perak, berbentuk seekor burung Gagak Putih! "Perlihatkan ini kalau
engkau tertangkap dan mereka tidak akan berani membunuhmu!" Benda apakah ini"
Agaknya ada hubungannya dengan mereka yang menyerang dan membunuh ayah
bundanya.Akan tetapi mengapa ibunya memiliki benda itu daqn mengapa ibunya tidak
mempergunakannya untuk meyelamatkan nyawanya" Dia menjadi bingung.
Tidak mengerti. Kemudian dia menghela napas dan menyimpan kembali benda itu.
"Biarlah aku harus bersabar. Kelak kalau akan mencari perkumpulan Gagak Putih di
Gua Tengkorak gunung anjasmoro, tetu akan mengetahui semua rahasia ini."
Budhidharma harus mengikuti Bhagawan Tejolelono, melakukan perjalan jauh menuju
ke Gunung Kawi. Setelah mendaki gunung itu akhirnya mereka tiba di sebuah di
antara puncak-puncak di gunung itu, terdapat sebuah rumah kediaman Bhagawan
Tejolelono di mana dia hidup sebagai seorang pertapa.
Mulai hari itu, tinggallah Budhidharma bersama Bhagawan Tejolelono di puncak
Gunung Kawi Dengan tekun anak itu mulai mempelajari ilmu-ilmu dari pertapa yamh
sakti itu, dan seperti biasa ketiak masih tinggal dengan ayah ibunya, anak ini
dengan rajin sekali bekerja di ladang untuk kebutuhan makan mereka berdua. Sang
Bhagawan merasa suka sekali kepada anak yang tahu diri dan amat rajin itu. Makin
berkembanglah perasaan sayang di hatinya terhadap anak itu dan diapun
mencurahkan segala kemampuannya untuk mendidik Budhidharma dengan semua ilmu
yang dikuasainya. *** Di Puncak GunungAnjasmoro terdapat sebuah perkumpulan orang gagah bernama
Perkumpulan Gagak Seto. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan orang gagah
disegani orang-orang gagah senusantara, dan ditakuti orang-orang yang biasa
melakukan kejahatan seperti para perampok, bajak sungai dan pencuri. Orang-orang
gagah dari Gagak Seto tidak pernah memberi ampun kepada mereka yang melakukan
kejahatan. Apa yang membuat perkumpulan Gagak Seto menjadi perkumpulan kuat yang disegani
kawan ditakuti lawan" Yalah karena ketuanya orang yang gagah perkasa, berilmu
tinggi dan berwatak keras, adil dan pembasmi kejahatan.Ketua itu seorang laki-
laki tionggi besar yang sekarang telah berusia limapuluh tahun. Seorang pria
yang tidak dapat disebut tampan, bahkan segala yang ada padanya serba kasar dan
besar. Namun dia memiliki watak yang jantan dan ghagah perkasa.
Mula-mula dia membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Gagak Seto,
diambil dari julukannya sendiri karena sejak muda rambutnya yang panjang
berwarna putih sehingga dia mendapat julukan Gagak Seto. Lama-kelamaan
perkumpulan silat ini menjadi semakin besar dan menjadi perkumpulan orang gagah
yang ternama, dengan anak buah atau murid tidak kurang dari 500 orang jumlahnya.
Ketua ini bernama Sudibyo, akan tetapi orang lebih mengenal nama julukannya,
yaitu Gagak Seto. Dia tinggal di sebuah bangunan besar dan dikelilingi banyak
bangunan-bangunan kecil yang menjadi tempat tinggal para muridnya. Puncak
Anjasmoro yang menjadi pusat perkumpulan Gagak Seto ini sudah menjadi
perkampungan yang cukup besar.
Pada suatu hari, Sudibyo meneriam kedatangan kembali Klabnagkoro, seorang di
antara para muridnya yang paling tangguh. Karena pentingnya tugas yang
dilaksanakan oleh Klabangkoro, maka kedatangannya merupakan peristiwa penting
bagi ketua Gagak Seto. Dia menyuruh para murid lain menyingkkir sehingga tinggal
dia sendiri yang berhadapan dengan muridnya itu. Kedua orang pria yang bertubuh
sama tinggi besarnya ini saling pandang dan dengan penuh ketegangan Sudibyo
menegur muridnya. "Bagaimana baritannya, Klabangkoro" Bagaimana hasil tugas yang kau laksanakan?"
"Bapa guru, sukar bukan main mengikuti jejek mereka karena mereka itu selalu
berpindah-pindah. Akan tetapi, akhirnya dapat juga saya menemukan tempat
persembunyian mereka di Bukit Batok dekat dengan dusun Gedangan."
Mendengar ini, Sudibyo terbelalak dan mencondongkan tubuhnya ke depan, memandang
muridnya dengan sinar mata seolah hendak menelannya. "Sudah dapat"
Bagus! Lalu bagaimana.....bagaimana selanjutnya" Berhasilkah engkau membunuh si
keparat Margono?" Dengan wajahnya yang hitam itu berseri gembira Klabangkoro berkata, "Berkat
pengestu paduka saya telah berhasil membikin mampus keparat Margono itu, Bapa
guru." "Plakk.......!" Tangan yang lebar itu menepuk pahanya sendiri sehingga terdengar
suara nyaring. "Bagus! HA-ha-ha-ha, bagus sekali! Keparat Margono itu memang
sudah layak mampus. Dia seoarang yang tidak mengenak budi, tidak mengenal susila
dan merusak pagar ayu! Dan bagimana dengan ia" Bagaimana dengan Sawitri "
Kenapa engkau tidak mengajak ia pulang bersamamu" Aku siap mengampuninya dan
melupakan semua yang telah terjadi, di mana ia?"
"Ampun, Bapa. Ia.......Ni Sawitri .......ia juga tewas ...." kata Klabangkoro
dengan suara agak gugup. Sepasang mata yang besar itu terbelalak, sehingga sinarnya berapi, dan wajahnya
yang gagah perkasa itu nampak pucat sekali. " Apa ......"Andika.......Andika
telah membunuh Ni Sawitri?"
"Tidak, Bapa, Mana saya berani membunuhnya" Seperti perintah Bapa, saya
melaksanakan tugas, yaitu membunuh Margono dan membawa Ni Sawitri pulang.
Saya, dibantu teman-teman, berhasil membunuh Margono. Ni Sawitri marah dan
menyerang kami, akan tetapi kami berhasil meringkusnya. Saya telah merobohkannya
dengan Pecut Dahono, akan tetapi ketika teman-teman hendak meringkusnya, Ni
Sawitri menggunakan kerisnya sendiri untuk suduk sarira (bunuh diri dengan
keris).Hamba tidak keburu mencegahnya dan iapun tewas di ujung kerisnya sendiri,
Bapa Guru, Ampunkan saya karena saya sama sekali tidak menyangka ia akan
melakukan suduk sarira sehingga tidak dapat mencegahnya."
Kepala yang rambutnya sudah putih itu menunduk dalam-dalam, agaknya untuk
menyembunyikan air mata yang mengalir menuruni pipinya, Klabangkoro melanjutkan
ceritanya, merasa lega bahwa gurunya tidak melanjutkan kemarahnnya.
Pada waktu itu, seorang bocah berusia sepuluh tahun menyerang kami. Bocah itu
adalah putera Ni Sawitri. Karena kami tidak ingin kelak anak itu menimbulkan
keributan, maka kami hendak membunuhnya pula. Akan tetapi, muncul seorang kakek
yang sakti dan kami tak mampu menandinginya.Terpaksalah kami meninggalkan
mereka. Akan tetapi agaknya Sudibyo tidak mendengarkan lagi, bahkan tubuhnya terkulai
dan dia tergelimpang, roboh dari kursinya! Tentu saja Klabangkoro terkejut bukan
main. Dia meneriaki anak buah Gagak Seto yang berlarian masuk dan beramai-ramai mereka
mengangkat tubuh sang guru ke dalam. Sejak saat itu Sudibyo jatuh sakit-sakitan
dan dia selalu menyendiri dalam kamarnya. Dia mengusir semua orang yang mencoba
mendekati dan menghiburnya.
Sudibyo, ketua perkumpulan Gagak Seto dapat menguasai dirinya dan bangkit lagi
dari tempat tidurnya. Akan tetapi semenjak hari ia mendengar bahwa Ni Sawitri
telah tewas, dia menjadi sakit-sakitan.Tubuhnya yang tinggi besar itu menjadi
kurus, mikanya semakin pucat dan tubuhnya lemah. Dia tidak lagi bersemangat
mengurus perkumpulan dan mengangkat Klabangkoro dan seorang murid lain bernama
Mayangmurko untuk mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan perkumpulan
Gagak Seto. Ki Sudibyo sendiri lebih sering duduk bersemadhi di dalam kamarnya atau duduk
termenung mengenangkan semua peristiwa masa lalu ketika Ni Sawitri masih menjadi
isterinya.Semua yang terjadi sepuluh tahun yang lalu itu terbayang seolah baru
terjadi kemarin saja. Ketika itu, sudah lama dia mendirikan perkumpulan Gagak Seto dan sudah menerima
banyak murid yang mempelajari ilmu kanuragan. Para muridnya bukan hanya kaum
pria, karena ada pula beberapa orang murid wanita. Pada waktu itu Ki Sudibyo
adalah seorang pria yang berusia empatpuluh tahun yang gagah perkasa ini memang
belum pernah jatuh cinta. Akan tetapi setelah dia menjadi guru dan juga ketua
perkumpulan Gagak Seto. Dia jatuh hati setengah mati kepada seorang muridnya
sendiri dan waktu itu bukan lain adalah Ni Sawitri yang ketika itu berusia
delapanbelas tahun. Bagaikan setangkai bunnga mawar, Ni Sawitri sedang mekar
semerbak mengharum dan Ki Sudibyo menjadi seorang di antara para pria yang
tergila-gila kepada Ni Sawitri.
Ki Sudibyo tidak membuang banyak waktu dan dia lalu meminang Ni Sawitri kepada
ibu gadis itu yang sudah menjadi janda.Ibu janda itu tentu saja menjadi girang
dan meneriama pinangan itu dengan tangan terbuka. Ki Sudibyo terkenal sebagai
seorang pria yang gagah perkasa dan suak menolong orang,disegani dan dihormati.
Tentu saja ia meneriam pinangan itu dengan bangga. Pernikahan dilangsungkan
dengan meriah.Akan tetapi, kalau pengantin pria merasa berbahagia sekali dengan
pernikahan itu, sebaliknya pengantin wanitanya merasa berduak walaupun ia tidak
berani memperlihatkan kedukaan hatinya di depan gurunya yang kini menjadi
suaminya itu. Hal ini bukan karena pengantin pria itu kurang gagah atau kurang baik ,sama
sekali tidak. Hnya karena Ni Sawitri telah menjalin hubungan dengan seorang
saudara seperguruan yang bernama Margono, maka tentu saja pernikahannya itu
menghancurkan hatinya.Akan tetapi Ni Sawitri tidak berdaya. Ibunya telah
meneriama pinangan itu dan yang meminang adalah gurunya yang amat dihormatinya.
Mulailah Ni Sawitri hidup dalam keadaan tersiksa hatinya. Ia menjadi isteri yang
terhormat. Semua murid menganggap nya sebagai ibu guru yang patut dihormati.
Akan tetapi, setiap hari ia bertemu dengan Margono, bahkan berlatih ilmu
kanuragan bersama pemuda yang dikasihinya itu.
Dan terjadilah peristiwa itu. Setelah tiga bulan menjadi isteri Ki Sudibyo, pada
suatu senja ketika secara kebetulan Ki Sudibyo berjalan-jalan memasuki taman,
dia meliaht dari jauh betapa isteriny menangis terisak-isak bersandar di dada
yang bidang dari Ki Margono yang merangkulnya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Ki Sudibyo ketika melihat isterinya yang
tercinta ber- pelukan dengan seorang muridnya. Serasa akan meledak dadanya, dan
seperti dibakar rasa hatinya.Akan tetapi Ki Sudibyo adalah guru perkumpulan
Gagak Seto dan dia menjaga kehormatannya. Dia menahan diri sekuat mungkin, lalu
dengan terhuyung seperti menderita luka hebat dia kembali ke dalam ruamahnya.
Dia merasa bingung sendiri. Apa yang akan dilakukannya.
Sudah jelas bahwa Sawitri mengkhianatinya, menyeleweng. Dan tahulah dia bahwa
tentu sejak dahulu Ni Sawitri menjalin cinta kasih dengan Margono dan itulah
yang membuatnya menyesal dan marah sekali. Kalau saja Ni Sawitri menolak
pinangannya karena sudah mempunyai seorang pilihan hati, tentu dia dapat
memakluminya dan tidak akan memaksanya menjadi isterinya. Akan tetapi sekarang,
Sawitri telah menjadi isterinya, kenapa masih melanjutkan hubungan dengan pria
lain" Itu penyelewengan namanya, pengkhianatan dan merupakan dosa yang besar.
Dan Margono" Si keparat itu telah berani menghina gurunya, menginjak-injak
kehormatan gurunya! Padahal, Sawitri dan Margono adalah murid-murid
kesayangannya, merupakan dua orang murid yang terpandai di antara semua
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muridnya. Hati Ki Sudibyo terbakar hangus! Kebahagiaan yang baru dia nikmati selama tiga
bulan itu kini telah hancur, bukan saja kebahagiaan itu lenyap, bahkan berubah
bentuk menjadi siksaan batin yang hampir membuatnya menjadi gial. Kalau menuruti
panasnya hati, ingin dia seketiaka itu membunuh dua orang manusia yang
dianggapnya tidak mengenal budi, rendah budi dan kotor itu .Akan tetapi dia
menjaga namanya, dan pula dia masih menaruh harapan tipis,harap-harap cemas
barangkali Ni Sawitri akan memyadari kesalahannya dan dapat mengubah jalan
hidupnya. Tak lama kemudian dia melihat isterinya melangkah masuk. Demikian lemah gemulai
langkahnya ketiak memasuki ambang pntu. Rambut yang hitam panjang itu yang dia
tahu pasti harum semerbak dengan harum melati, keliahatan mengkilap dalam cuaca
senja yang remang-remang itu. Kulitnya yang lembut dan hangat itu juga nampak
berkilauan. Akan tetapi segera terbayang olehnya betapa rambut itu kusut karena
bersandar di dalam rangkulan pria lain! Dia merasa seolah mukanya dicoreng-
moreng, perasaannya diinjak-injak. Dadanya terasa panas sekali dan dia tidak
mampu bertahan lagi. "Diajeng Sawitri.........!" dia memanggil dan suara panggilannya itu mengejutkan
hati Sawitri. Biasanya, guru nya yang kini menjadi suaminya itu kalau memanggil namanya, halus
lembut dan penuh kasih sayang. Akan tetapi mengapa panggilan itu sekarang
terdengar demikian kaku dan nyaring"
"Ya, kakang mas.........!" Ia menjawab dan dan memasuki kamar itu dengan jantung
berdebar. Ia melihat suaminya duduk bersila, tak bergerak seperti patung di atas lantai,
di depan kedua kakinya, nampak sebatang keris telanjang. Dalam keremangan di
kamar itu, keris telanjang itu nampak mengeluarkan cahaya. Inilah keris pusaka
milik suaminya yang disebut Sang Megantoro! Kenapa suaminya duduk bersama dengan
keris pusaka itu telanjang di depannya"
Rasa takut meayap ke dalam hati Ni Sawitri ketiak perlahan-lahan ia duduk
bersimpuh di dekat ki Sudibyo, di atas tikar yang digelar di lantai itu.
"Kakang mas memanggil aku......?" tanyanya lirih.
Sampai lama tidak terdengar jawaban. Suasana semakin menegangkan sehingga Ni
Sawitri seolah dapat mendengar degup jantungnya sendiri yang menembus kembennya.
Kemudian terdengar suara suaminya, suara yang dingin dan kaku sekali.
"Diajeng, sudah bertahun-tahun kau menjadi murid Ggak Seto selain ilmu kanuragan
engkau juga mempelajari tentang nilai-nilai kegagahan.Katakan, diajeng, apa
hukumannya bagi pengkhianat yang mengkhianati kepercayaan orang orang kepadanya"
Apa hukumannya bagi seorang yang menginjak-injak kehormatan kita, seorang yang
membalas madu kebaikan kita dengan racun kebusukan" Jawablah, diajeng."
Ni Sawitri merasa jantungnya berdebar tegang dan seluruh tubuhnya terasa
gemetar. "Kita .......kita harus membunuhnya, kakangmas Sudibyo........"
"Bagus,engkau masih ingat akan nilai kehormatan itu. Dan sekarang, jawablah
sejujur- nya.Apakah engkau mencintai aku?"
Sawitri terkejut sekali dan memandang ke arah wajah suaminya. Suaminya tidak
mem- andang kepadanya, akan tetapi melihat wajah suaminya itu dari samping saja
sudah cukup menimbulkan kengerian di hatinya.Wajah itu kaku dan dingin seperti
arca besi, penuh kemarahan terpendam.
"Aku.....tentu saja mencintaimu, kakangmas. Kenapa engkau tanyakan" Aku sudah
menjadi isterimu, bukan" Itu saja sudah menandakan bahwa aku mencintaimu,
kakangmas." "Tidak ada madu semanis kata-kata bercumbu yang keluar dari bibir seorang wanita
cantik, namun sayang, di situ pula bersarang kebohongan dan pengkhianatan."Kata
ki Sudibyo lirih tanpa menoleh.
"Kakangmas..........! Apa .....apa .....maksudmu......?" Sawitri bertanya dengan
suara gemetar. "Sudahlah, pergilah ke kamarmu, diajeng. Jangan terlalu lama di sini ! Pergi,
cepat!!" Ni Sawitri menjadi pucat wajahnya. Belum pernah ia mendengar suara suaminya
membentak- bentak seperti itu, penuh kemarahan dan kebencian. Sambil menahan
tangisnya, iapun keluar dari kamar itu.
Perang hebat terjadi di hati akal pikiran Ki Sudibyo.Segala macam perasaan
teraduk menjadi satu dalam pikirannya. Ada rasa kecewa, sedih, marah,dan
cinta.Kalau menuruti dorongan nafsu kemarahannya karena dia merasa ditipu,
dikhianati, dilanggar kehormatannnya, ingin rasanya dia membunuh orang itu. Akan
tetapi perasaan cintanya kepada isterinya menjadi penghalang besar. Dia terlalu
mecintai osterinya dan tidak ingin membunuh isterinya, tidak ingin melihat
isterinya menderita sengsara. Setelah perang itu berkecamuk dalam hatinya selama
semalam suntuk.Menjelang pagi barulah dia mengambil keputusan yang harus
dipilihnya pada saat terakhir nanti. Dua keputusan itui adalah pertama :
Memaafkan mereka dengan menyadari bahwa Ni Sawitri tidak mencintainya melainkan
mencintai Margono, maka lebih tepat kalau mereka menjadi suami isteri dan
meninggalkan Anjasmoro. Keputusan kedua, membunuh mereka berdua sebagai pelanggar-pelanggar kesusilaan
dan pengkhianat. Dia bangkit dari duduknya, menyarungkan keris pusaka Megantoro,
lalu melangkah keluar dari dal;am sanggar pamujan. Karena merasa dadanya sesak,
dia lalu keluar dari dalam rumah. Setibanya di halaman depan, dia merasa betapa
angin sejuk menerpa wajah dan dadanya. Segar rasanya seperti disiram air dingin.
Dia mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup hawa sejuk itu sebanyaknya.
Kepalanya ditengadahkan. Pagi masih remang-remang, bintang-bintang diangkasa
masih tanpak.Ayam jantan sedang berkokok dan dia mengenal suara Si Jagal, ayam
jagonya. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat. "Siapa itu!" Bentak Ki Sudibyo sambil
memutar tubuh ke kiri. Bayangan laki-laki tinggi besar berusia tiga puluh tahun
menghampirinya. "Ah, Bapa Guru. Kebetulan sekali, saya memang sedangencari Bapa Guru untuk
melaporkan sesuatu." Katanya sambil memberi hormat.
" Hemm, kiranya engkau, Klabangkoro. Sepagi ini, apa yang hendak kaulaporkan
kepadaku" "Bapa, tadi saya melihat bayangan orang dua menyelinap keluar dari perkampungan
kita. Karena curiga, saya lalu menghampiri, akan tetapidua bayangan itu bukan
lain adalah adi Margono bersama........bersama......" Raksasa tinggi besar itu
agaknya takut untuk melanjutkan laporannya.
Api kemarahan yang tadinya sudah hampir padam itu mulai menyala lagi di dalam
dada dan kepala Ki Sudibyo. Tidak perlu dijelaskan lagi siapa yang melarikan
diri bersama Margono itu. Akan tetapi untuk mendapatkan keyakinan, dia
membentak, "Hayo cepat katakan, bersama siapa Mrgono melarikan diri!"
"Saya...... saya takut.........kalau bapa marah......"
"Kalau tidak kau katakan, aku bahkan akan marah sekali dan menghancurka
kepalamu!" bentak Ki Sudibyo.
"Saya melihat dia bersama .........Ni Sawitri, bapa....."
"Keparat !!" Sudibyo melompat ke dalam rumah, mencari isterinya di dalam kamar-
kamar rumah itu. Tentu saja isterinya tidak ada, seperti yang sudah diduganya,
dan diapun hanya inginmendapat kepastian saja. Dia lari lagi keluar dan melihat
Klabangkoro masih berdiri di depan pintu.
"Di mana kau melhat mereka " Tanyanya dengan suara tegas.
"Di sana , bapa. Mereka lari ke utara!"
Tubuh ketua Gagak Seto itu melesat ke arah utara dan kini keris Pusaka Megantoro
telah terselip di pinggangnya. Pusaka itu diambil ketika mencari isterinya k
dalam rumah tadi. Klabangkoro berdiri sambil menyeringai. Hatinya juga terasa sakit ketika melihat
Ni Sawiti bergandengan tangan dengan Margono dan keduanya berlari ke utara.
Sejak dahulupun dia tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu saling
mencintai.Akan tetapi Ni Sawitri ditarik menjadi isteri guru mereka. Dan dia
hanya menjadi penonton yang iri hati. Sudah lama dia menaruh hati kepada Ni
Sawitri, namun tak pernah ditanggapi gadis itu sampai akhirnya ia diambil isteri
oleh Ki Sudibyo. Sekarang rasakanlah kalian semua! Hatinya bersorak, karena bukan dia seoranglah
yang menderita karena gadis itu.
Dengan hati panas terbakar Sudibyo melakukan pengejaran ke utara, namun dia
tidak menemukan jejak dua orang yang melarikan diri itu.Setelah mencari dan
melakukan pengejaran sehari lamanya, akhirnya dia pulang denagn tangan dan hati
hampa. Dia mengutus Klabangkoro dan belasan orang murid lain untuk melakukan
pengejaran dan pencarian, namun sampai bertahun-tahun mereka tidak pernah
berhasil. Ki Margono dan Ni Sawitri seperti lenyap ditelan bumi. Kalau ada
berita bahwa mereka berada di suatu tempat, cepat melakukan pengejaran, akan
tetapi mereka sudah pergi lebih dulu. Sepasang burung itu telah terbang pergi
meninggalkan pohon sewaktu para pemburunya berindap datang dengan busur dan anak
panah di tangan! Bertahun-tahun pengejaran itu dilakukan dan akhirnya, pada hari itu Klabangkoro
melaporkan bahwa muridnya telah berhasil membunuh Ki Margono. Bahkan Ni Sawitri
juga telah tewas membunuh diri!
Semua kenangan itu muncul dalam ingatan Ki Sudibyo seperti nonton sandiwara.
Berulang kali dia menghela napas.Sebetulnya, dia tiadak menghendaki terbunuhnya
Ki Margono, apa lagi sampai Ni Sawitri membunuh diri pula. Akan tetapi perbuatan
mereka berdua itu sungguh menyakitkan hatinya, memadamkan semua gairah hidup dan
kegembiraannya,melenyapkan semua kebahagiaannya. Dan kini setelah kedua orang
itu tewas, tidak ada sedikitpun kepuasan terasa di hatinya. Dia tidak menjadi
bahagia karenanya, bahkan sebaliknya, dia menjadi semakin bersedih.
Kalau dia teringat akan saat-saat mesra penuh kasih sayang bersama isterinya,
walaupun hanya sekitar tiga empat bulan yaitu sejak mereka menikah, hatinya
seperti ditusuk-tusuk rasanya, Dia amat mencintai Ni Sawitri dan menurut
perasaannya, Ni Sawitri juga amat mencintainya. Mengapa lalu timbul persoalan
dengan Ki Margono itu" Dia merasa menyesal sakali harus membunuh mereka.
Penyesalan yang ditebusnya dengan kesehatannya yang makin memburuk.
Hanya demi kepentingan perkumpulan Gagak Seto, Ki Sudibyo masih mau hidup dan
berusah mengatasi gangguan kesehatannya untuik memimpin perkumpulan itu. Akan
tetapi, semua urusan keluar dia serahkan kepada ua orang murid kepercayaannya,
Yaitu Klabangkoro dan Mayangmurko. Kalau saja dia mempunyai pandangan siapa yang
pantas menggantikan kedudukannya sebagai ketua Gagak Seto, tentu hatinya akan
terasa tenang. Akan tetapi dia belum melihat adanya pengganti itu. Klabangkoro
terlalu kasar, sedangkan Mayangmurko memiliki kecondongan untuk berbuat culas
dan licik. Demikianlah, semenjak Klabangkoro memberitakan tentang kematian Margono dan
Sawitri, kehidupan Ki Sudibyo seperti kosong dan tidak ada artinya lagi. Dia
telah banyak mengurung diri di dalam kamarnya, bersamadhi. Usianya baru
limapuluh tahun, akan tetapi rambutnya sudah putih semua dan wajahnya yang penuh
keriputan mambuat dia nampak jauh lebih tua. Urusan Gagak Seto dia serahkan
kepada Klabangkoro dan Mayangmurko.
Sudibyo sama sekali tidak tahu bahwa setelah kini dia tidak lagi langsung
memegang kemudi perkumpulannya,perkumpulan Gagak Seto mulai meninggalkan garis-
garis yang telah di ditentukan.Tadinya, perkumpulan Gagak Seto adalah
perkumpulan orang gagah yang di segani prkumpulan orang gagah lainnya, dan
ditakuti gerombolan-gerombolan yang menyusahkan rakyat.Akan tetapi kini, tidak
jarang anak buah Gagak Seto bahkan melakukan perbuatan jahat dan sewenang-
wenang, mengambil milik orang yang kebetulan lewat dengan paksa, bahkan menculik
wanita-wanita cantik. Bukan para anak buahnya saja yang melakukan perbuatan maksiat, bahkan dua orang
pemimpin mereka, Klabangkoro dan Mayangmurko, menerima ketika ada pendekatan
dilakukan para pimpinan perkumpulan Jambuka Sakti ( srigala sakti ), sebuah
perkumpulan lama dan besar dari segerombolan penjahat yang terkenal buas dan
kejam. Dan semua peristiwa yang terjadi di luar kamarnya ini sama sekali tidak
diketahui oleh Ki Sudibyo yang hanya membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka
nestapa. Tidak jauh dari perkampungan Gagak Seto, kurang lebih sepuluh kilometer jauhnya,
terdapat sebuah air terjun yang airnya jernih sekali dan air terjun itu
membentuk sebuah telaga kecil sebelum air mengalir menjadi anak sungai dan
menuruni dusun di kaki bukit.
Air terjun ini oleh rakyat setempat dinamakan Grojokan Kluwung (Air Terjun
Pelangi )karena di situ sering muncul pelangi ketika uap air yang terjun
ditembusi sinar matahari. Pada suatu hari yang sunyi, Ki Sudibyo meninggalkan
pondoknya dan seperti orang yang kehilangan semangat akhirnya tibalah ia di tepi
gerojokan kluwung itu. Sampi lama dia berdiri memandangi air yang terjun dan
menimpa telaga dan dia membayangkan betapa dahulu, ketiak masih brepengantin,
dia sering mandi di telaga itu bersama isterinya Ni Sawitri.
Seolah ada sesuatu yang mendatangkan rasa nyaman di hatinya ketika dia berada di
tempat itu dan sejak hari itu, kurang lebih dua tahun semenjak ia menerima
berita tentang kematian isterinya, Ki Sudibyo menemukan tempat baru untuk
menghibur hatinya. Hampir setiap hari dia pergi ke tempat itu dan duduk dekat
air terjun, melamun dan menenggelamkan semangatnya bersama air yang terjun.
Sudah lebih dari satu bulan Ki Sudibyo ssetiap hari pergi keair terjun itu,
bahkan pernah dia bermalam di situ, duduk bersila setengah tidur di bawah pohon
beringin yang tumbuh di dekat air terjun.
Pada suatu pagi, ketiak dia sedang duduk melamun di bawah pohon, dua pasang mata
mengintainya. Pandang kedua pasang mata itu buas dan tajam, dan ternyata itu
adalah dua pasang mata milik dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun
yang sedang mengintai dari balik semak-semak. Dua orang laki-laki yang membawa
keris telanjang di tangan dan kini setelah saling memberi isyarat dengan kedipan
mata , keduanya bergerak perlahan menuju ke arah bawah pohon beringin di mana Ki
Sudibyo masih duduk bersila.
Setelah dekat, seorang yang matanya agak juling bergerak lebih dulu. Dengan
tangan kanan memegang keris, dia melompat keluar dari balik semak-semak dan lari
menghampiri Ki Sudibyo yang masih bersila dan seolah tidak tahu bahwa dirinya
diserang orang.Akan tetapi tentu saja ketua Gagak Seto itu sudah tahu dari tadi.
Seorang yang sudah dapat menangkap suaraning asepi (suara kesunyian )tentusaja
suadh dapat membedakan suara yang tidak lajim dan Ki Sudibyo tadi sudah
mendengar gerakan kedua orang ini ketika mengintai mendekatinya.
Ketika si mata juling menubruk dan menyerangnya dari belakang, mengjunjamkan
keris ke arah punggungnya Ki Sudibyo merendahkan tubuh dengan membungkuk
sehingga serangan tusukan keris itupun luput. Dan ketiak tubuh orang itu
terdorong hempir menabraknya, Ki Sudibyo cepat mengangkat tangan kanannya,
menangkis lengan yang memegang keris dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh si
mata juling itu telah mencelat ke depan! Akan tetapi si mat juling kiranya
bukian penjahat sembarangan. Tubuhnya yang terlontar itu membuat gerakn jungkir
balik beberapa kali sehingga dia dapat turun ke atas kedua kakinya tidak sampai
terbanting. Sementar itu orang ke dua juga sudah menubruk dengan kerisnya, Akan tetapi, Ki
Sudibyo kini sudah siap siaga. Kaki yang tadinya di lipat bersila kini telah di
bukanya dan sebelum penyerang itu mampu mendekat, kakinya sudah mencuat mengirim
tendangan. "Dukk!" Orang yang kumisnya tebal itu menangkis tendangan dengan lengan kirinya,
akan tetapi kekuatan tendang itu membuat dia terhuyung ke belakang.
Kini Ki Sudibyo bangkit berdiri dengan tenang dia memandang ke kanan kiri, ke
arah kedua orang penyerang itu. Dia tidak mengenal mereka, maka merasa heran
mengapa mereka itu hendak membunuhnya.
"Ki sanak, kalian siapakah dan mengapa pula kalian menyerang saya tanpa
sebab?"tanyanya dengan suara yang tenang berwibawa.
Dua orang itu melangkah maju dari kanan kiri dan memainkan keris dengan
sigapnya. Melihat gerakan keris mereka, Ki Sudibyo sebagai seorang pendekar
besar yang berpengalaman lalu tersenyum. "Hemm, kalau tidak salah kalian ini
tentu Sepasang Keris Maut dari Nusa Barung. Kabarnya kalian pembunuh bayaran
yang mahal. Siapakah sekali ini yang menyuruh kalian membunuh aku, dan dengan
bayaran berapa mahalnya?"
Ketua Gagak Seto, bersiaplah untuk mampus di tangan kami! Haiiiit..........!" Si
mata juling sudah menerjang pula dari kanan. Serangan mereka memang hebat
sekali, gerakan mereka cepat dan keris yang menusukkan itu mengeluarkan bunyi
mencicit tanda bahwa tangan yang menggerakkannya mengandung tenaga yang dasyat.
Namun dengan sigap pula Ki Sudibyo telah siap siaga. Tidak lari dari serangan
kanan kiri itu , akan tetapi setelah kedua penyerangnya tiba dekat, tubuhnya
meloncat ke atas dan kedua kakinya di kembangkan menendang ke kanan kiri.
"Duuuk! Dukk!" Kedua kaki itu dengan tepatnya mengenai ulu hati kedua orang
penyerang- nya sehingga dua orang itu terjengkang keras dan merasa dada mereka
seperti ditumbuk alu besi dengan amat kuatnya.
Dua orang itu ternyata kebal juga. Hanya sejenak mereka terjengkang dan
terbanting terengah-engah akan tetapi mereka segera dapat bangkit kembali dan
keduany menyerang lagi lebih buas. Ki Sudibyo tahu bahwa dua orang itu hanya
menjalankan tugas demi mencari upah besar, maka diapun tidak ingin membunuh
mereka. Ketika mereka datang dekat, dengan berapa langkah kaki saja dia telah
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat tusukan-tusukan keris mereka mengenai tempat kosong,kemudian kedua
tangannya bergerak cepat sekali bagaikan sambaran kilat,ke arah kedua orang
pengeroyoknya.Akan tetapi dia membatasi tenaganya, hanya kurang lebih seperempat
bagian tenaga saja yang dia pergunakan, akan tetapi dia menampar dengan aji
Hasta Bajra {Tangan Kilat}. Ilmu pukulan hasta bajra ini merupakan ilmu simpanan
yang ampuh dari Ki Sudibyo dan biarpunhanya sebagian kecil saja dari aji ini
dipergunakan,akan tetapi ketika tampatannya mengenai muka kedua orang lawannya,
mereka terpelanting keras dan mengaduh-aduh.
"Aduhhh.......tobatttt........!!" keduanya merangkak bangun lalu melarikan diri
tanpa berani menoleh pula. Ki Sudibyo menggosok kedua telapak tangannya yang
mengandung hawa panas, lalu mengusap sedikit peluh dari lehernya dan duduk
kembali bersila di dekat air mancur seolah tidak pernah terjadi sesuatu
kepadanya. Akan tetapi setelah duduk bersila kembali, Ki Sudibyo mengatur pernapasannya.
Makin yakinlah dia bahwa cara hidupnya yang terendam duka dan semenjak mendengar
berita tentang tewasnya Sawitri mendatangkan pukulan yang amat hebat di dalam
dadanya dan membuatnya lemah sekali.Kemudian teringatlah dia. Melihat tubuhnya
yang lemah itu, agaknya dia tidak dapat mempertahankan nyawanya berusia panjang.
Dia tidak memikirkan diri sendiri.Kematian bukan apa-apa baginya, bahkan
membebaskannya dari pada duka. Akan tetapi yang dipikirkan adalah perkumpulan
Gagak Seto. Siapa yang akan menggantikannya"Dia tidak mempunyai keturunan dan
juga tidak ada seorangpun muridnya, pria maupun wanita, yang pantas untuk
dijadikan penggantinya. Kalau Gagak Seto kelak dipimpin oleh seorang yang tidak luhur budinya, tentu
akan berbahaya sekali dan dapat dibawa menyeleweng.
Tiba-tiba, ada gerakan di seberang danau kecil itu menarik perhatiannya. Tadinya
disangka seekor binatang yang bergerak di sana. Akan tetapi ketika dia
mengamati, ternyata bukan binatang, melainkan seorang anak perempuan. Anak
perempuan itu berpakaian compang-camping. Tubuhnya hanya tertutup sehelai kain
berkemben yang sudah roberk-robek, rambutnya yang panjang terurai lepas dan di
bagian pundaknya kelihatan berlepotan darah.Usia anak itu sekitar sepuluh
tahun.Jantung Ki Sudibyo berdebar tegang. Anak itu berada di tebing, di atas
danau yang berada di depannya itu.
Tidak kurang dari lima belas meter tingginya dan tebing-tebing itu8 penuh dengan
batu-batu yang tajam. Anak itu kini merangkak-rangkak, sikapnya ketakutan
seperti hendak melarikan diri dari suatu yang ditakutinya.
"Heiii, hati-hati, engkau bisa jatuh!" teriak Ki Sudibyo. Akan tetapi peringatan
itu terlambat sudah. Terdengar anak itu menjerit dan tubuhnya tergelincir jatuh
ke bawah! "Byuuurrr........!!!" Air telaga muncrat ke atas dan tubuh anak perempuan itu
tertelan lenyap. "Celaka .........!" Ki Sudibyo sudah cepat bangkit dan meloncat ketelaga, lalu
berenang secepatnya ke arah jatuhnya anak tadi. Di situ dia menyelam dan tak
lama kemudian dia sudah muncul kembali sambil mengangkat tubuh anak perempuan
itu dengan sebelah tangannya, sedangkan sedangkan dengan kakinya dan sebelah
tangannya dia cepat berenang ke tepi danau.
Anak itu tidak terluka parah, keadaannya tidak berbahaya, hanya pingsan. Setelah
dirawat sebentar, anak itu siuman lalu menangis ketakutan.
"Diamlah, nini, jangan menangis. Jangan takut, aku bukan orang jahat. Aku yang telah menolongmu dari
dalam telaga tadi. Tenaglah."
Anak itu memang tadinya menangis karena takut. Mendengar ucapan itu, ia berhenti
me- nangis, menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan kini sepasang mata
memandang wajah Ki Sudibyo baru melihat kenyataan bahwa anak perempuan ini
cantik sekali. Kulitnya halus kuning, rambutnya panjang hitam subu, matanya
bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora. Hidungnya kecil mancung,
bibirnya mungil dan manis sekali, seperti wajah puteri bangsawan.
"Benarkah, paman" Engkau.......engkau bukan seperti mereka yang jahat. Mereka
yang membunuh.....ayahku......" "Gadis cilik itu agaknya baru teringat akan ayah
ibunya. Ia lalu menangis memanggil-manggil nama ayah ibunya.
"Tenangkan hatimu, nini. Aku bukan orang jahat dan aku akan membantu ayah ibumu
kalau mereka terancam bahaya. Apakah yang telah terjadi dengan ayah ibumu"
Siapakah mereka dan di mana mereka sekarang?"
Kembali anak itu berhenti menangis dan kini memandang kepada Ki Sudibyo dengan
sinar mata penuh permohonan dan harapan.
"Paman, namaku adalah Niken Sasi"
Ki Sudibyo mendengarkan sambil mengobati luka di pundak anak itu dengan daun
picisan dan widoro upas, karena hanya dua macam rempa-rempa itu yang bisa
didapatkan di situ. Akan tetapi obat ini cukup mujarap, menghentikan keluarnya
darah dan mendatangkan rasa dingin sejuk pada bagian yang terluka.
Akan tetapi ketika anak itu melanjutkan penuturannya. Ki Sudbyo makin tertarik,
bahkan kini dia memandang dengan mata terbelalak.
"Ayahku adalah Raden Mas Rangsang dan ibuku Dewi Muntari dan kami tinggal di
kota raja........." "Ayahmu Raden Mas Ramsang, mantu sang Prabu?" Tanya Ki Sudibyo dengan hati kaget
bukan main. Anak itu mengangguk. "Ayah dan ibu mengadakan tamasya di sekitar gunung
Anjasmoro, diiringkan belasan orang pengawal. Akan tetapi di lerenga gunung kami
diserang oleh puluhan orang penjahat.......aku melihat ayah roboh mandi
darah.......dan ibu.......ibuku dilarikan penjahat....." Anak itu menangis lagi,
teringat kepada orang tuanya.
"Jagat dewo Bathoro .....!" Ki Sudibyo berseru. "Siapa berani mengganggu
keluarga kerajaan Daha" Gusti Puteri, bagimana hal itu bisa terjadi" Bukankah
ada belasan orang pengawal yang melinduangi paduka sekeluarga?"
"Entahlah, para pengawal itu juga memberikan perlawanan, akan tetapi mereka
segera melarikan diri meninggalkan ayah seorang diri melawan penjahat. Akan
tetapi sebelum itu, ibuku menyuruh aku melarikan diri. Aku turun naik jurang,
tubuhku luka-luka, pernah aku terguling ke dalam jurang. Untung tidak sampai
mati.....dan dan aku tiba di sini, tergelincir masuk danau .....untung ada
andika yang menyelamatkan aku, paman."
"Jangan khawatir, Gusti Puteri Paduka akan hamba antarkan kembali ke kotaraja
dan tentu keluarga kerajaan akan mengirim pasukan untuk mencari ibunda paduka
dan......" "Jangan.......! Ah, paman, kasihanilah aku, jangan bawa aku ke istana. Setelah
ayah meninggal dan ibuku lenyap, aku tidak berani kembali ke istana. Jangan bawa
aku ke sana, paman. Dan biarkan aku tinggal disini bersama paman .......!"Anak
itu memegang tangan Ki Sudibyo dengan tangan gemetar ketakutan.
Ki Sudibyo memandang heran. "Harap paduka jangan takut, tidak akan ada orang
yang berani mengganggu paduka, selama ada hamba di sini. Gusti puteri."
"Tidak, biarkan aku mati saja menyusul ayahku kalau engkau akan mengantar akau
kembali ke istana!" Tentu saja Ki Sudibyo terkejut dan heran bukan main. Seorang cucu Sang Prabu
Jayabaya tidak mau diantar kembali ke istana! Sungguh aneh sekali.
Akan tetapi kenapa, Gusti" Kenapa paduka tidak mau kembali ke istana ?"
"Di sana tempat orang-orang jahat yang membenciku, yang membenci kami. Tidak,
aku lebih senang tinggal di sini bersamamu, paman. Boleh, ya, paman Boleh , Ya?"
Suara anak itu demikian merengek manja sehingga Ki Sudibyo merasa tidak tega
untuk membantah. " Dn harap jangan sebut aku gusti puteri, jangan memberitahu
kepada siapapun juga bahwa aku adalah cucu Eyang Prabu. Paman, aku ingin ikut
paman, menjadi anak dusun biasa."
Ki Sudibyo mengangguk-angguk. Tentu anak itu mempunyai alasan kuat sekali
mengapa me- ngajukan permintaan aneh itu. Biarlah untuk sementara dia tidak
membantah karena anak ini agaknya menalami guncangan batin yang hebat.
"Baiklah, Niken Sasi, mari engkau kuantar pulang dulu. Engkau perlu beristirahat
di rumah kami dan aku akan mencoba mencari ibumu."
Karena anak ini masih gemetar tubuhnya dan masih amat lemah, Ki Sudibyo lalu
memon- dongnya dan membawanya pulang. Tentu saja para anggota dan murid Gagaki
Seto merasa heran bukan main melihat ketua mereka pulang sambil memondong
seorang anak perempuan yang agaknya pingsan atau tidur dalam pondongannya.
"Anak ini terpisah dari orang tuanya dan terjatuh ke dalam telaga. Coba tolong
memberi kain kering kepadanya." Ktanya kepada beberapa orang murid wanita.Anak
itu segera dibaringkan ke atas dipan dan mendapat perawatan para murid wanita.
Setelah Niken Sasi terbangun. Ki Sudibyo berkata dengan lembut kepadanya. "Niken
Sasi, engkau istirahat dulu bersama para muridku. Engkau akan aman di sini. Aku
akan mencoba mencari ibumu."
Anak perempuan itu mengangguk-angguk, memandang kepada empat wanita yang gagah
yang berada di situ, lalu memegang tangan KI Sudibyo.
"Paman, janagn lama-lama, ya paman. Aku .........aku takut kalau ditinggal
paman............" Ki Sudibyo merasa hatinya tertusuk rasa haru. Gadis cilik ini agaknya jarang
mendapatkan kasih sayang orang sehingga ia takut menghadapi orang-orang yang
belum di kenalnya. Gadis itu percaya kepadanya karena sudah terbukti tadi bahwa
dia menolongnya. "Jangan khawatir, Niken Sasi. Aku pergi takkan lama,dan tidak ada seorangpun di
sini yang berani mengganggumu. "katanya sambil mengelus rambut kepala anak itu.
Niken Sasi memandang kepadanya dengan mata yang bersinar-sinar kemudian
mengangguk dengan punuh kepasrahan dan kepercayaan.
Ki Sudibyo melupakan keadaan tubuhnya yang tidak sehat, bahkan ketika dia
menuruni lereng bukit Anjas noro, dia merasakan sesuatu kegembiraan baru dalam
hatinya. Dia seolah merasa seperti dahulu, di waktu kedukaan belum melanda
hatinya, di waktu dia masih belum jatuh hati kepada Ni Sawitri, masih menjadi
seorang pendekar yang suka melakukan perjalanan merantau seorang diri, menentang
kejahatan dan membela kebenaran dan keadailan.
Dengan melakukan perjalanan cepat, sambil berlari cepat, akhirnya tibalah dia di
tempat yang diceritakan Niken Sasi tadi, di atas sebuah diantara lereng-lereng
gunung Anjasmoro. Dan tidak sukar baginya menemukan jenazah ayah anak perempuan
itu. Hanya ada satu saja jenazah menggeletak di situ, maka tidak ragu lagi bahwa ini
tentunya jenazah Raden Mas Ramsang, mantu Sang Prabu Jayabaya di daha. Seorang
laki-laki yang tampan dan matinya juga gagah, dengan tubuh penuh luka.Dia merasa
heran sekali bagaimana bangsawan muda ini dapat mati dikeroyok sedangkan para
pengawalnya yang belasan orang banyaknya itu tidak seorangpun tewas. Dan mengapa
pula para pengawal yang melarikan diri itu lupa menyingkirkan jenazah bangsawan
itu" Melihat jenazah orang muda itu menggeletak di tempat sunyi, Ki Sudibyo merasa
iba. Kalau tidak diurusnya jenazah itu, tentu akan membusuk atau dimakan
binatang buas. Dia lalu menggali lubang di bawah pohon kenanga, dan dikuburnya
jenazah itu dengan sederhana. Kemudian, dia meletakkan sebuah batu sebesar
gentong di atas kuburan sebagai tanda kalau-kalau kelak puteri Raden Mas
Rangsang itu akan mencari kuburan ayahnya.
Setelah selesai mengubur jenazah Raden Mas Rangsang dan hendak meninggalkan
tempat itu, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap gerakan orang. Ki
Sudibyo berdiri tegak dengan kaki terpentang. Dia tadi menanggalkan bajunya
ketika menggali lubang dan menguburkan jenazah itu, dan kini bajunya itu masih
belum dipakainya kembali, masih tergantung di pundak kirinya.Dia hanya memakai
celana hitam sebatas lutut dan kain yang dipakainya dicincangkan ke atas. Rambut
yang panjang dan bercampur putih itu diikatnya dengan kain hitam pula dan
selebihnya, badannya tidak mengenakan pakaian lain. Tubuh itu nampak jangkung
dan agak kurus, namun ketika di berdiri, dai nampak kokoh dan anggun penuh
wibawa. Keris pusaka Sang Megantoro terselip di ikat pinggangnya. Tubuhnya yang
berdiri tegak itu sama sekali tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang
bergerak perlahan, melirik ke kanan kiri penuh kewaspadaan. Dia bagaikan Sang
Bima sena sedang menghadapi bahaya, begitu tenang, santai penuh kepercayaan
kepada diri sendiri. Tak lama kemudian nampak bermunculan belasan orang yang rata-rata bertubuh
tinggi besar dan mereka memegang sebatang golok telanjang yang berkilauan saking
tajamnya. Bentuk golok ini semua sama, melengkung dan gagangnya terukir kepala
anjing srigala, dengan ronce merah sebagai lidah kepala srigala itu. Dengan
sikap beringas dan penuh ancaman, tigabelas orang itu sudah mengepung dan
mengitari kI Sudibyo. "Keparat"terdengar Ki Sudibyo berkata dengan suaranya yang dalam parau dan
berpengaruh. "Gerombolan anjing dari mana berani mengacau daerah Anjasmoro yang
di kuasai Gagak Seto?"
Tigabelas orang itu, seperti menanti sebuah komando,tertawa bergelak mendengar
ucapan Ki Sudibyo itu. Dan berkat dengan suara garang."Bagus Ki Sudibyo. Engkau
hendak menggertak kami dengan dengan nama Gagak Seto yang sebentar lagi akan
kami hancurkan" Kami memang membiarkan engkau mengburkan jenazah itu, setelah
itu engkau sendiri yang akan menggantikan jenazah itu, menggeletak di sini
menanti datangnya binatang buas yang akan memangsamu, ha-ha-ha!"
Wajah Ki Sudibyo menjadi merah karena marahnya. "Bukankah kalian ini anak buah
kelom- pok Jembuka Sakti (Srigala Sakti) dari Lereng Bromo" Setahuku ketua
kalian, Brotokeling, tidak pernah memusuhi Gagak Seto! Apa yang kalian
kehendaki?" "Kami menghendaki nyawamu"bentak tigabelas orang itu dan mereka sudah menerjang
maju dari segala jurusan, menyerang dengan golok mereka.
Ki Sudibyo merasa heran, akan tetapi juga marah sekali. Baru saja, dia juga
diserang oleh dua orang yang dikenalnya sebagai Sepasang Keris Maut dari Nusa
barung, diserang tanpa sebab oleh dua orang tokoh yang dikenalnya sebagai
pembunuh-pembunuh bayaran itu. Jelasa ada orang yang menghendaki kematiannya dan
kenyewa dua orang itu. Untung dia dapat menandingi mereka dan membuat mereka
melarikan diri. Dan sekarang tahu-tahu geroembolan. Jambuka Sakti dari lereng
Bromo mengepung dan menyerangnya. Padahal, walaupun mungkin ketua mereka ,
Brotokeling yang terkenal jagoan, menganggap dia sebagai saingan. Dia tidak
pernah bergaul dengan kelompok seperti Jambuka Sakti itu, karena dia tahu bahwa
perkumpulan itu adalh perkumpulan para penjahat yang tidak segan melakukan
segala macam kejahatan. Akan tetapi, biarpun jalan mereka bersimpang, KI Sudibyo
merasa belum pernah bentrok dengan mereka.
Melihat gerakan tigabelas orang itu ketika memainkan golok, diam-diam Ki Sudibyo
terkejut. Ternyat bukan anak buah rendahan yang datang menyerangnya, tentu
merupakan murid-murid pilihan karena gerakan golok mereka cukup tangkas, cepat
dan bertenaga sehingga terdengar suara berdesing berbisik ketika mereka semua
menggerakkan golok. Tiga batang golok menyerang dari arah belakang. Ki Sudibyo menggerakkan tangan
kirinya yang memegang baju hitamnya sambil memutar tubuh. Baju itu terkembang
dan dan menangkis tiga batang golok. Para penyerang itu terkejut bukan main
karena tangkisan baju itu membuat golok mereka terpental dan kalau mereka tidak
cepat melompat ke belakang, tentu mereka akan kena hantaman baju yang ketika
digerakkan oleh Ki Sudibyo berubah menjadi senjata yang amat kuat. Belasan orang
itu menjadi marah dan menyerang serentak. Ki Sudibyo maklum bahwa dirinya berada
dalam bahaya, maka sambil memutar baju hitamnya dengan tangan kiri, diapun
mencabut keris pusakanya. Ketika dia menggerakkan keris, nampak seperti ada awan
aatau uap putih menyambar dan terdengar pekik seorang pengeroyok yang roboh
dengan tangan berdarah. Kiranya Goloknya tadi patah dan terlempar ketika bertemu
dengan keris dan tangannyapun terluka. KI Sudibyo terus mengamuk dengankeris.
Sepak terjangnya mengerikan sekali. Dia seperti Bimasena mengamuk dengan
Pancanaka-nya. Setiap kali ada kilatan keris Megantoro menyambar, tentu ada
seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu tak lama, sudah ada enam orang
pengeroyok yang roboh, baik oleh kerisnya, maupun hantaman baju hitamnya. Para
pengeroyok itu agaknya maklum bahwa mereka tidak akan menang, maka sambil
menyeret tubuh kawan-kawan yang terluka merekapun melarikan diri dari situ.
Ki Sudibyo masih berdiri tegak membiarkan mereka pergi melarikan diri.Tubuhnya
mengkilap oleh keringat dan biarpun nampaknya dia tenag saja akan tetapi dari
dadanya yang kembang kempis, perutanya yang naik turun dapat diketahui bahwa
pendekar perkasa ini terengah-engah melalui hidungnya. Dia memejamkan kedua
matanya dan setelah pernapasannya biasa kembali, barulah dia mengebut-ngebutkan
bajunya dan mengenakan baju itu setelah menempelkan keris pada dahi dan dadanya
lalu menyarungkannya. Dia menahan rasa nyeri pada dadanya. Aku harus menjauhkan
diri dari perkelahian, pikirnya. Kalau dia bertemu dan bertanding dengan lawan
tangguh, dia bisa celaka. Padahal dalam keadaan biasa belasan orang tadi sama
sekali tidak ada arti baginya. Tubuhnya lemah sekali. Setiap kali mengerahkan
tenaga sakti, tentu dadanya terasa nyeri dan pernapasannya memburu dan tertekan.
Akan tetapi Ki Sudibyo masih mempertahankan diri dan dia melanjutkan usahanya
mencari Dewi Muntari, ibu Niken Sasiyang menurut anak perempuan itu katanya
ditangkap dan dialrikan diri penjahat. Akan tetapi sampai hari menjadi sore, dia
tidak berhasil menemukan jejak wanita itu. Apakah Dewi Muntari ditangkap oleh
gerombolan Jambul Sakti" Aku akan mengirim utusan dan minta dengan hormat kepada
Ki Brotokeling agar membebaskannya, kalau benar wanita itu ditawannya.
Tentu Brotokeling masih mau memandang kepadanya untuk memnuhi permintaannya.
Kalau permintaannya ditolak, hemm, bagaimana nanti sajalah.
Akhirnya dia kembali ke Anjasmoro. Kalau menuruti kata hatinya, andaikat dia
seperti dahulu yang berwatak penuh semangat dan tubuhnnya tidak selemah ini, dia
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentu langsung saja pergi mengunjungi Brotokeling dilereng Bromo!
Setibanya di Anjasmoro, dia disambut oleh Niken Sasi yang berlari keluar
menyambutnya. Diam-diam Ki Sudibyo kagum sekali. Anak itu kini sudah penuh
semangat, tidak seperti ketika ditinggalkan. Ia sudah meniru dandanan para murid
Gagak Seto, ringkas dengan celana, kain dan baju hitam, rambutnya diikat sutera
merah. Nampak cantik manis dan gagah sekali.
"Paman, bagaimana, paman" Sudahkah paman dapat menemukan ibuku?"
Ki Sudibyo memegang tangan kanan anak itu dan hatinya sendiri merasa
tertegun.Kenapa jantungnya berdebar begini tegang dan mengapa ada perasaan
gembira dan bahagia menyelinap di hatinya ketiak melihat anak itu datang
menyambutnya dan ketika tanganya memgang dan menggandeng tangan kecil itu"
Dia menarik Niken Sasi ke dalam rumah sambil berkata singkat, "Niken mari kita
bicara di dalam." Anak ini rupanya cerdik pula. I teringat bahwa ia ingin menyembunyikan siapa
dirinya yang sebetulnya, oleh karena itu, iapun tidak bertanya lagi dan
mengikuti ketua Gagak Seto itu masuk ke ruangan dalam. Setelah tiba di ruanan
dalam, kI Sudibyo membiarkan para muridnya yang bertugas melayaninya,
menyediakan minum dan mengganti pakaiannya. Setelah selesai, dia lalu memberi
isyarat kepada mereka untuk meninggalkan dia berdua saja dengan Niken Sasi.
"Niken Sasi, aku telah menemukan jenazah ayahmu dan telah menguburkannya dengan
baik. Kuberi tanda dengan batu agar kelak engkau dapat mencari kuburan ayahmu
itu." Pendekar itu lalu diam biarpun dia maklum betapa anak itu menanti
kelanjutan ceritanya, terutama mengenai ibunya.
Setelah agak lama Ki Sudibyo berdiam diri, Niken lalu bertanya dengan suara yang
bening. "Dan bagaimana dengan ibuku, paman " Sudahkah paman menemukannya dan
bagimana keadaan ibuku?"
Ki Sudibyo menghela napas panjang lalu memandang kepada anak itu dan menggeleng
kepalanya. "Sayang sekali aku tidak berhasil menemukan jejak ibumu, Niken." Dia
melihat betapa sinar penuh duka dan kecewa menyelubungi pandangan mata nak itu,
maka dia cepat berkat, "Akan tetapi jangan putus asa dan jangan khawatir, Niken.
Sekarang juga aku akan mengutus anak buahku untuk mencari di seluruh pelosok
Anjasmoro ini. "Mudah-mudahan saja anak buahku akan berhasil menemukan ibumu."
Ah, terima kasih, paman!" kata Niken dengan girang. "Aku telah menyusahkan
paman. Aku hanya ingin memperoleh kepastian tentang keadaan ibuku paman."
"Aku mengerti, Niken." Ki Sudibyo segera bertepuk tangan dan dua orang muridnya
muncul."Panggil Klabangkoro dan Mayangmurko ke sini."
Murid-murid wanita itu keluar dan taklama kemudian muncullah dua orang laki-laki
yang selain menjadi murid juga menjadi wakil ketua itu selama bertahun-tahun
ini. Selain orang-orang muda dari dusun yang masuk menjadi murid Gagak Seto
mempelajari ilmu kanuragan juga terdapat banyak sekali gerombolan penjahat yang
telah ditaklukan Gagak Seto kemudian menggabungkan diri dengan perkumpulan ini
setelah bersumpah untuk mengubah jalan hidup mereka.Di antara para gerombolan
itu terdapat Klabangkoro dan Mayangmurko ini. Dan Ki Sudibyo merasa puas melihat
keduanya karena selama ini memperlihatkan sikap yang baik, taat dan setia
kepadanya. Karena itu, mengingat bahwa di antara para muridnya, kedua orang ini
yang paling tangguh ilmunya, dia mengangkat keduanya menjadi wakilnya.
Setelah dua orang itu masuk ke ruangan itu, mereka memberi hormat kepada Ki
Sudibyo dan Klabangkoro bertanya, "bapa guru memanggil kami" Ada petunjuk
apakah, Bapa guru?" "Klabangkoro dan Mayangmurko, engkau bawalah anak buah secukupnya dan carilah
seorang wanita, ibu anak ini yang kabarnya ditangkap penjahat. Carilah ia sampai
ketemu atau setidaknya sampai mendengar di mana ia berada dan bagaimana keadaan.
Juga, perlu kalian ke lereng Bromo, menemui Ki Brotokeling."
"Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Bapa guru?" Klabangkoro bertaya dan matanya
yang lebar itu terbelalak.
"Benar. Kalian pergilah menghadap Brotokeling dan berikan suratku kepadanya,
minta balasan." "Baik, Bapa guru. Kapan kami berdua berangkat?"
"Sekarang juga. Bawa perbekalan secukupnya. "
Dua orang pembantu itu memberi hormat dan keluar dari rumah itu untuk
melaksanakan tugas mereka. Setelah kedua orang itu pergi Ki Sudibyo menoleh
kepada Niken Sasi sambil tersenyum.
"Nah, engkau mendengar sendiri . Niken .Aku sudah menyuruh anak buahku untuk
mencari ibummu." Niken Sasi tiba-tiba berlutut dan menyembah kepada pendekar itu. Ki Sudibyo
terkejut sekali dan cepat-cepat dia mengangkat anak itu bangun. Anak perempuan
itu adalah seorang puteri cucu Sang Prabu Jayabaya, bagaimana boleh
menyembahnya" "Ahhh, Niken! Apa yang kau lakukan ini" Engkau tidak boleh memberi hormat
seperti itu kepadaku. Ingat, engkau seorang puteri!"
"Paman. Harap jangan sebut itu lagi. Paman sudah berjanji akan merahasiakan
asal-usul dariku." kata anak itu memperingatkan. "Biarlah aku menjadi muridmu,
paman. Perkenankan aku menyebut paman sebagai bapa guru,seperti para kakak yang berada
di sini. Aku ingin mempelajari ilmu kanuragan agar kelak kemudian hari aku
dapat....." "Membalas dendam?" Ki Sudibyo menyambung.
"Tidak, Bapa. Membalas kepad siapa " Aku akan mempergunakan kepandaianku untuk
menentang para penjahat, membela kaum lemah tertindas, mempertahankan kebenaran
dan keadilan!" Sudibyo tersenyum. Dia memang sudah merasa suka sekali kepada anak perempuan
ini. Merasa iba dan juga kagum dan dua perasaan ini berkembang menjadi rasa
kasih sayang. Kemudian dia teringat. Sudah lama dia merindukan seorang murid
yang baik, seorang murid yang dapat dia wariskan seluruh ilmunya, seorang murid
yang kelak akan menggantikan dia memimpin Gagak Seto, yang akan mengangkat
tinggi namanya dan nama Gagak Seto. Mengapa tidak" Agaknya Niken Sasi memiliki
bakat yang baik dan anak ini memiliki ketabahan, keberanian dan semangat. Hal
ini tidak mengherankan karena di dalam tubuhnya masih mengalir darah bangsawan
tinggi, tarahing kusumo rembesing madu. Keturunan Sang Prabu Jayabaya, seorang
raja yang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Tentun saja keturunannya, biarpun
wanita, bukan orang biasa!
"Baiklah, Nini! Baiklah, dengan bangga dan girang sekali aku menerima
permintaanmu dan mulai saat ini, engkau menjadi muridku! Engkau rajinlah belajar
dan bersiaplah, niken, karena aku, gurumu akan mengajarkan semua ilmu yang
kukuasai kepadamu, yang tak pernah kuajarkan kepada murid lain. Akan tetapi, ada
satu hal yang ingin sekali kuketahui. Mengapa engkau tidak ingin kembali ke
istana, di mana terdapat keluarga istana ,keluargamu" Padahal, semestinya, aku
membawamu ke istana dan di sana engkau akan diteriam dengan baik, bahkan Gusti
Prabu tentu akan berusaha mencari ibumu. Nah ceritakanlah kenapa engkau hendak
menyembunyikan dirimu dan tidak ingin kembali ke istana ?"
Anak itu mengerutkan alisnya, menghela napas beberapa kali kemudian berkata,
"Sebetulnya tidak baik aku menceritakan semua ini kepadamu, paman. Akan tetapi
kalau tidak aku ceritakan tentu paman bertanya-tanya. Baiklah, terus terang saja
aku benci hidup di dalam istana, paman!"
"Eh, kenapa" Bukankah eyangmu Sang Prabu Jayabaya adalah seorang raja yang agung
biantara dan sakti mandraguna, juga arif bijaksana?"
"Memang benar, akan tetapi beliau selalu sibuk dengan pekerjaan dan dikelilingi
oleh para penjilat yang kesemuanya memakai bermacam-macam kedok."
"Ehh", Memakai kedok?"
"Benar, paman. Memang tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Aku melihatnya
betapa muka mereka selau dipasangi kedok kalau mereka menghadap Eyang Prabu.
Dan dengan kedok itu mereka bersikap manis dan baik, dan bermuka-muka menjilat-
jilat. Kautahu, paman, di istana aku selalu menerima penghinaan dan cemohan. Aku
dikatakan gadis dusun, darah petani sama sekali tidak mempunyai darah bangsawan.
Katanya, eyang puteri hanya anak pendeta, sedangkan ayahku juga hanya seorang
biasa, bukan bangsawan, hanya seorang perwira muda yang karena jasa-jasanya lalu
dinikahkan dengan ibuku. Katanya aku bocah dusun. Tidak, aku tidak sudi kembali
ke istana. Bahkan sebelum meninggal dunia, ayah seringkali bicara dengan ibu
tentang keinginannya pindah keluar istana. Aku lebih suka di isni, menjadi gadis
petani, paman." Ki Sudibyo menghela napas panjang. Gadis ini masih kecil akan tetapi sudah
mempunyai perasaan yang halus, memiliki harga diri yang tinggi dan dia pun diam-
diam terkejut, tidak mengira bahwa di dalam istana, di mana tinggal keluarga
bangsawan tertinggi yang penuh dengan tata-susila dan kebudayaan, ternyata
terdapat perasaan iri hati dan persaingan, bahkan seperti kata Niken Sasi,
menjadi sarangnya para penjilat yang memakai topeng palsu!
Dan murid barunya ini, Niken Sasi yang baru berusia sepuluh tahun, ternyata
telah mampu melihat topeng-topeng palsu yang dipakai manusia. Hal ini sungguh
merupakan suatu kewaspadaan yang luar biasa bagi seorang anak sekecil itu.
Maka mulai hari itu dia menggembleng anak itu dengan penuh kesunguhan hati,
dengan tekun dan rahasia sehingga para murid lain tidak tahu bahwa baru sekali
ini guru mereka menurunkan ilmu-ilmunya yang hebat ke-pada seorang murid. Karena
mengira bahwa Niken sasi juga hanya menerima pelajaran ilmu kanuragan seperti
yang mereka pelajari pula, maka bahkan Klabangkoro dan Mayangmurko tidak terlalu
memperdulikan bocah itu. *** Apa sesungguhnya yang terjadi dengan Dewi Muntari, isteri Raden Mas Rangsang dan
ibu Niken Sasi itu" Dewi Muntari adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun
yang cantik jelita dan nampak jauh lebih muda dari usia yang sebnarnya. Bagaikan
buah, ia sedang masak-masaknya. Wajahnya yang bulat telur itu berdagu runcing
manis. Kulit nya putih kemerahan seperti kulit bayi. Rambutnya hitam lebat dan
panjang iakl mayang, ngandan-andan. Alisnya hitam kecil melengkung menjaga
sepasang mata yang pandanganya sayu, sepasang mata yang jeli dan kedua ujung
pelupuk mata agak menjungkat ke atas sehingga mata itu nampak indah
menggairahkan. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya juga kecil, lebar sedikit
saja dari hidungnya, dengan bibir yang selalu segar merah basah. Sungguh Dewi
Muntari adalah seorang wanita muda yang cantik jelita.
Kecantikan selalu mendatangkan berkah.Sejak masih perawan tanggung, Dewi Muntari
sudah menderita karena kecantikan wajahnya. Para puteri istana lainnya merasa
iri hati kepadanya. Padahal Dewi Muntari berwatak baik, rendah hati dan juga
pandai membawa diri.Iapun menyadari bahwa dari pihak ibu, ia hanyalah keturunan
sorang pertapa sederhana yang hidup melarat di puncak gunung.Ibu kandungnya
puteri seorang pertapa, bahkan ibunya tidak sempat diboyong sebagai selir oleh
Sang Prabu Jayabaya. Ibunya telah meninggal dunia di tempat pertapaan kakeknya,
dan ketika dia berusia limabelas tahun, ia diantar kakeknya menghadap Sang Prabu
Jayabaya. Ia lalau diakui oleh Sribaginda dan mulai saat itulah ia hidup di
istana sebagai puteri raja. Akan tetapi, hal ini mendatangkan iri dalam hati
para puteri lainnya. Apa lagi Dewi Muntari demikian cantik sehingga hampir semua
pria muda di lingkungan istana memuji-muji kecantikannya.
Empat tahun saja Muntari hidup sebagai puteri raja. Seorang perwira muda bernama
Rangsang berjasa membasmi gerombolan pengacau di sebelah barat kota raja.
Ramsang menerima anugerah dan di jodohkan dengan Dewi Muntari. Hal inipun
merupakan hasil siasat para saingan Muntari yang melalui penasihat raja
melaksanakan dendamnya kepada Muntari agar gadis ini menikah dengan Ramsang dan
tidak lagi menjadi saingan dalam istana!
Dewi Muntari adalah seorang puteri yang setia dan taaat kepada Sribaginda Raja.
Ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang ketika soal perjodohan
disampaikan padanya. Ia percaya sepenuhnya kepada ayahnya dan ia yakin tentu
selalu ayahnyamenghendaki hal yang terbaik baginya. Dan kenyataannya memang
demikianlah. Ternyata suaminya yang kini mendapat sebutan Raden Mas Rangsang itu
adalah seorang pemuda yang baik hati, berwajah tampan dan gagah perkasa.
Pendeknya seorang satria sejati! Dengan mudah Muntari dapat jatuh cinta kepada
suaminya dan mereka hidup berbahagia. Sang Prabu Jayabaya yang suka menyayang
Muntari kerena puterinya ini sudah kehilangan ibu dan sejak kecil hidup sebagai
bocah petani di pegunungan, menahan puterinya itu dan membolehkan menempati
beberapa ruangan di dalam istana bersama suaminya.
Suami isteri yang saling mencintai itu setahun kemudian mendapatkan seorang anak
perempuan yang mereka beri nama Niken Sasi. Penderitaan yang dirasakan Dewi
Muntari karena kecantikannya, ternyata dirasakan pula oleh Niken Sasi yang sejak
kecil sudah dapat merasakan hal ini. Anak yang mungil ini disayang oleh
kakeknya, dan banyak pula yang menyayangnya, dan hal ini mendatangkan rasa iri
dan dengki kepada mereka yang membenci Dewi Muntari. Inilah sebabnya Niken Sasi
merasa tidak kerasan tinggal di dalam istana. Ia seringkali mendapat makian dan
ejekan yang menghina dari para puteri lain.
Dewi Muntari memang merencanakan untuk pindah dan meninggalkan istana, akan
tetapi rencana ini tidak pernah dapat terlaksana karena Sang Prabu Jayabaya
menyayang keluarga ini dan menahannya. Suami isteri ini tentu saja tidak berani
berterus terang kepada Sang Prabu Jayabaya tentang permusuhan yang mereka
hadapi, karena pelaporan seperti ini akan mendatangkan kesan buruk kepada mereka
sendiri. Demikianlah, uantuk menghibur hati mereka ketika Niken Sasi sudah berusia
sepuluh tahun, Raden Mas Rangsang mohon ijin kepada Sang Prabu Jayabaya untuk
berpesiar bersama anak isterinya. Dia diijinkan dan disuruh membawa pasukan
pengawal. Akan tetapi, agar tidak menimbulkan iri kepada pangeran lainnya yang
juga memandang rendah kepadanya, Raden Mas Ramsang hanya membawa duabelas orang
perajurit pengawal. Ketika pada pagi hari itu mereka tiba di penggunungan Anjasmoro, mereka
menikmati keindahan gunung itu. Tiba-tiba bermunculan puluhan orang. Tidak
kurang dari lima puluh orang mengepung mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka
menyerang Raden Mas Ramsang. Tentu saja panglima muda ini mengamuk untuk
mempertahankan diri dan membela anak isterinya. Juga selosin orang pengawalnya
nampak menyambut serangan puluhan orang itu. Mungkin karena terdesak oleh jumlah
lawan yang jauh lebih banyak, dua belas perajurit dah inipun mundur dan akhirnya
melarikan diri. Tinggal Raden Mas Rangsang yang masih mengamuk dengan kerisnya.
Hebat memang sepak terjang panglima muda ini. Bagaikan seekor singa yang membela
anak isterinya dia berloncatan dan berkelebatan dengan cepat dan tangkas. Tidak
Pusara Keramat 2 Pendekar Rajawali Sakti 184 Kembang Lembah Darah Bayangan Kematian 2
ASMARA DIBALIK DENDAM MEMBARA
Kho Ping Hoo Budhi, engkau hendak kemanakah" Kulup?"Wanita berusia tiga puluh tahun yang
cantik jelita itu bertanya dengan suara lembut.
Anak berusia sepuluh tahun bernama Budhi itu menahan langkahnya, lalu
membalikkan tubuh memandang ibunya. "Aku hendak memetik dawegan (kelapa muda) di
tepi anak sungai itu, ibu. Dan juga buah-buah sawo di dekat sawah itu sudah
banyak yang tua dan masak. Kalau tidak diambil, tentu akan didahului kelelawar,
ibu." Ni Sawitri, ibu muda yang cantik jelita itu tersenyum dan memandang kepada
puteranya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih sayang. Puteranya itu
rajin sekali dan baru berusia sepuluh tahun tubuhnya sudah nampak berisi, jelas
memperlihatkan hasil penggemblengan ayahnya dalam ilmu kanuragan.
"Kalau begitu, kau sekalian bantu ibumu, Budhi. Di dusun Gedangan di bawah itu
terdapat beberapa orang anak yang sedang menderita penyakit murus. Aku harus
mengobati mereka karena keadaan mereka gawat. Kau carikan pupus daun jambu biji,
adas pulosari, kunyit dan temulawak secukupnya."
Budhi membelelekkan matanya yang bersinar tajam, lalu menggelengkan kepalanya
dan tertawa. "Wah, ibu. Aku khawatir tidak dapat mencarikan itu semua. Selain
terlalu banyak dan aku lupa lagi namanya, juga aku tidak mengenal rempah-rempah
itu. Sebaiknya ibu ikut agar dapat memilih sendiri di ladang yang ibu tanami
penuh dengan rempa-rempa itu."
Ni Sawitri tertawa. "Ih, engkau ini membikin malu ibu saja.Ibumu seorang ahli
jamu akan tetapi puteranya tidak mengenal adas pulosari! Baiklah, aku pergi
bersamamu agar engkau dapat belajar mengenal rempa-rempa itu. Akan tetapi kita
pamit dulu kepada ayahmu."
Budhidarma, anak itu, yang sudah berada di ambang pintu depan, masuk kembali
mengikuti ibunyamenuju ke sebuah ruangan di bagian belakang yang menjadi sanggar
pamujan di mana ayah- nya melakukan puja semadhi.
Ni Sawitri mengetuk pintu kamar itu dan tak lama kemudian terdengar helaan napas
panjang disambung suara seorang pria, "Engkaukah itu, Diajeng?"
"Benar, kakang Margono. Aku dan Budhi hendak pamit karena kami hendak pergi
mencari rempa-rempa dan buah-buahan."
"Masuklah dulu, diajeng. Dan engkau juga,Budhi, aku ingin melihat kalian."
Sepasang alis Sawitri agak berkerut karena ia merasa heran sekali mendengar
ucapan itu.Ia segera menggandeng tangan puteranya dan didorongnya pintu kamar
itu lalu keduanya masuk ke dalam. Mereka melihat Ki Margono sedang duduk bersila
di atas tikar di lantai. Ada apakah, kangmas" Ni Sawitri juga duduk bersimpuh di depan suaminya dan
Budhidarma juga duduk bersila di samping ibunya dan memandang kepada ayahnya.
Ki Margono adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh lima tahun, akan tetapi
wajahnya kelihatan lebih tua dari usianya. Pada wajah yang tampan itu terdapat
goresan-goresan penderitaan bathin dan sinar matanya sayu.
Melihat betapa isterinya memandang kepadanya dengan khawatir, dia mencoba
tersenyum. Tidak apa-apa, diajeng.Aku hanya ingin melihat kalian. Hatiku merasa tidak
nyaman, karena itu jangan lama-lama kalian pergi.
Ah, kalau begitu aku tidak jadi pergi saja! kata Ni Sawitri.
Pergilah, diajeng. Engkau hendak mencari rempa-rempa untuk mengobati anak-anak
di dusun Gedangan itu,bukan" Jangan sia-siakan tugasmu,diajeng.
Akan tetapi aku khawatir.......
Apa yang dikhawatirkan " Di atas semua kekusaan masih ada kekuasaan tunggal yang
tertinggi, yang menentukan segala yang akan terjadi di dunia ini. Aku telah
memasrahkan diriku kepada kekuasaan Hyang Widhi, maka apapun yang terjadi akan
kuterima sebagai kehendaknya. Apapun yang terjadi menimpa diri kita, yang baik
maupun yang buruk bukan lain hanyalah buah hasil perbuatan kita sendiri, karena
itu aku sudah siap dan rela menerimanya, diajeng. Perasaan khawatir akan
terjadinya sesuatu yang akan menimpa diri kita hanya menunjukkan bahwa kita
masih ragu dan kurang teguh iman kita kepada kekuasaan Hyang Widhi. Nah,
pergilah, diajeng, pergilah melaksanakan tugas suci itu.
Ni Sawitri mengangguk, akan tetapi ketiak ia hendak meninggalkan kamaritu, ia
berpesan. Kakangmas,aku pergi takkan lama.Tinggallah di dalam kamar saja, kakangmas,
jangan pergi kemana-mana dan tunggu sampai kami kembali.
Ki Margono tersenyum dan mengangguk. Tentu, aku takkan pergi ke manapun. Dan
engkau tahu bahwa aku cukup mampu menjaga diriku sendiri andaikata ada
marabahaya. Nah,pergilah isteriku dan anakku yang terkasih.
Ibu dan anak itu meninggalkan pondok mereka yang sederhana. Keluarga ini tinggal
di pondok yang berdiri di lereng bukit itu, tanpa tetangga karena mereka memang
sengaja hidup menyendiri di lereng bukit dekat anak sungai. Dusun yang menjadi
tetangga mereka adalah dusun Gedangan yang nampak dari lerang itu,sebuah dusun
kecil dengan hanya sekitar tiga puluh rumah.
Sudah lima tahun keluarga yang terdiri dari tiga orang ini tinggal di lereng
bukit itu, di ujung timur daerah Kerajaan Daha. Para penduduk dusun di sekitar
tempat itu tidak ada yang tahu dari mana keluarga ini berasal, akan tetapi tidak
ada yang berani bertanya karena suami isteri dengan seorang itu jelas bukan
orang dusun. Hal ini jelas nampak dari sikap dan cara mereka bicara yang halus.
Juga keterbukaan tangan mereka untuk menolong penduduk dusun, terutama sekali
mengobati mereka yang sedang menderita sakit, membuat mereka sungkan dan menaruh
hormat. Setelah meninggalkan rumahnya, Ni Sawitri merasa gelisah. Entah mengapa ia
sendiri tidak tahu, akan tetapi jantungnya seringkali berdebar. Apakah sudah
waktunya mereka harus berpindah tempat lagi" Selama sepuluh tahun ini, ia dan
suaminya berpindah-pindah tempat.
Baru sekarang ini mereka tinggal menetap di sebuah tempat sampai lima tahun
lamanya. Biasanya mereka berpindah-pindah dan tidak pernah tinggal di suatu tempat lebih
lama dari setahun.Mereka hanya pindah lagi! Ia mengambil keputusan. Ia akan
mengajak suaminya pergi dari situ dan pindah ke lain tempat lagi. Siapa tahu
para pengejar itu telah berhasil menemukan tempat tinggal mereka. Ia bergidik.
"Budhi.......!" Ia memanggil puteranya.
Budhi yang sedang memanjat pohon sawo dan mencari buahnya yang sudah
tua,menjawab dari atas pohon. "Ada apakah ibu?"
"Turunlah kita pulang sekarang!"
"Tapi aku baru mendapatkan sedikit......"
"Turunlah, nanti kita cari lagi. Kita harus pulang sekarang juga!" Suara ibunya
bergitu mendesak sehingga Budhidharma lalu turun dan mengumpulkan dawegan dan
sawo yang telah dipetiknya. Kemudian dia memanggul keranjang berisi buah-buahan
itu, dan bersama ibunya yang membawa rempa-rempa dia pulang.
Ni Sawitri melangkah dengan cepat sekali sehingga puteranya harus setengah
berlari agar tidak tertinggal. Tak lama kemudian sampailah mereka di pondok
mereka. Sunyi saja di sekitar pondok seolah tidak terjadi sesuatu. Ni Sawitri
menghela napas lega.Akan tetapi ketika mereka tiba di halaman depan pondok
mereka, Ni Sawitri melihat banyak jejak kaki di atas tanah. Wajahnya seketika
menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan berbisik, penuh kakhawatiran dan
bisikannya gemetar, "Kakang Margono.........!" kemudian berlarilah ia ke arah pintu depan pondoknya
lalu menerjang daun pintu yang tertutup. Daun pintu terbuka dan ia melompat ke
dalam. Budhidharma tercengang dan anak ini hanya berdiri memandang ibunya, tidak
mengerti mengapa ibunya demikian gelisah.
"Kakang Margono........!!" Teriakan melengking suara ibunya itu membuat Budhi
melonjak kaget dan dia melepaskan keranjanganya lalu berlari memasuki pondok.
Begitu melangkahi ambang pintu, Budhi tertegun terbelalak memandang ke dalam.
Dia melihat ayahnya mandi darah, kepalanya di atas pangkuan ibunya yang
merangkulnya sambil menangis. Saking terkejut dan bingungnya, dia hanya berdiri
seperti patung, tidak mampu mengeluarkan suara, juga tidak tahu harus berbuat
apa. Akan tetapi dia memandang penuh perhatian. Dilihatnya ayahnya menggerakkan
tangan kanannya yang yang berlumuran darah, merangkul dan menarik leher ibunya
sehingga kepala ibunya menunduk, lalu terdengar suara ayahnya yang parau, seolah
suara itu hanya sampai di lehernya
"...... me.....mereka .....datang ....Gagak Seto......ahhhh........" tangan itu
jatuh kembali, kepala itu terkulai diatas pangkuan.
"Kakang Margono ......! Kakang .......!! Ni Sawitri memekik, suaranya melengking
tinggi kemdian tubuhnya terkulai lemas, pingsan sambil merangkul suaminya!
Melihat ini, Budhi berlari dan berlutut di dekat ayah ibunya, menangis.
"Ibu.......ayah.....!" Dia mengguncang-guncang pundak ibunya dan dengan hati
ngeri dia melihat betapa darah membasahi seluruh tubuh ayahnya.
"Ibu......bangunlah, ibu.......!" Ibuuu........! "Budhi berteriak-teriak sambil
menangis. Ni Sawitri bergerak, membuka mata dan terbelalak memndang suaminya, akan tetapi
ketika ia melihat puteranya, ia kelihatan ketakutan, memandang liar ke kanan
kiri, kemudian ia memegang kedua pundak Budhi sehingga pundak yang tak berbaju
itu belepotan darah pula. "Cepat, engkau harus cepat pergi dari sini! Budhi,
engkau larilah, tinggalkan tempat ini!" katanya dengan suara gemetar.
"Akan tetapi, kenapa, ibu......?" Budhi memandang bingung.
Ni Sawitri mengambil seluruh benda dari balik kembennya dan menyerahkannya
kepada Budhi, "Ini.... bawa ini......kalau engkau tertangkap, perlihatkan ini
dan mereka tidak akan berani membunuhmu."
"Mereka siapakah ibu yang telah membunuh ayah dan membuat ibu ketakutan?"
"Orang-orang perkumpulan Gagak Seto dari Gua Tengkorak di Gunung
Anjasmoro......sudahlah, pergi sekarang, tinggalkan rumah ini cepat!"
Karena Budhi masih juga meragu, Ni Sawitri lalu menyambar lengannya dan
menariknya k eluar.Setelah tiba di halaman depan, wanita itu mendorang pundak Budhi.
"Cepat lari......!"
"Tapi,ibu......!" Budhi menangis, kebingungan.
Pada saat itu, terdengar bunyi burung gagak yang parau dan
nyaring."Goak,goak,goaaaak...!"
Ni Sawitri terbelalak dan ia sudah mencabut sebatang keris dari ikat
pinggangnya. "Budhi, cepat lari ! Taatilah ibumu!" Ia membentak dan sekali ini Budhi tidak
berani membantah lagi. Dia meloncat dan melarikan diri, benda pemberian ibunya
itu masih di gengamnya. Akan tetapi belum jauh ia lari.terdengar suara tawa bergelak dan ketika dia
menengok ke belakang, dia melihat belasan orang berpakaian serba hitam
berloncatan ke halaman pondoknya.
Melihat ibunya dikepung belasan orang itu, Budhi tidak melanjutkan larinya. Dia
mendekam di balik semak-semak yang rimbun dan mengintai dengan jantung berdebar.
Ni Sawitri dengan keris di tangan menghadapi mereka dan memandang kepada seorang
pria tinggi besar yang menjadi pimpinan gerombolan orang itu. Seperti juga anak
buahnya, pria tinggi besar ini juga memakai pakaian serba hitam dan di bagian
dadanya, baju itu terdapat gambar seekor burung gagak putih.Hanya bedanya, kalau
semua anak buahnya memakai ikat pinggang berwarna putih, pria ini mengenakan
ikat pinggang berwarna kuning gading.
"Hemmm, kiranya andika yang datang bersama pasukan Gagak Seto, kakang
Klabangkoro!" kata Ni Sawitri dan sepasang mata wanita ini berkilat penuh
kemarahan. "Tidak perlu kutanyakan lagi, tentu andika yang pula yang telah
membunuh kakang Margono!"
"Ha-ha-ha-ha! Selama sepuluh tahun lebih engkau dapt menyembunyikan diri bersama
kekasihmu itu dan baru sekarang kami temukan tempat persembunyianmu.
Benar, kami yang membunuh Margono si penghianat itu, atas perintah bapa Guru,
pimpinan kami. Dan atas perintah beliau pula kami harus membunuhmu,
Sawitri."pria tinggi besar yang berusia empat puluh tahun itu tertawa bergelak
dan memandang kepada Sawitri dengan matanya yang besar.
"Berani andiaka bersikap begini terhadap aku, Klabangkoro!" Ni Sawitri membentak
marah. "Ha-ha-ha-ha! Dahulu engkau menjadi adi-seperguruanku, kemudian menjadi ibu-
guruku. Akan tetapi sekarang tidak lagi, Sawitri. Engkau bukan apa-apa bahkan engkau
seorang pengkhianatyang sudah sepantasnya dihukum berat. Bapa guru memerintahkan
aku untuk membunuhmu pula.Akan tetapi .......hemmm,setelah sepuluh tahun
lamanya, engkau tidak kelihatan semakin tua bahkan menjadi semakin denok,
semakin ayu manis. Sayang kalau dibunuh begitu saja,ha-ha-ha!"
"Keparat Klabangkoro! Engkau telah membunuh kakang Margono. Aku tidak dapat
mengampunimu. Engkau atau aku yang akan mengeletak di sini tanpa nyawa.
Heiiiiiiittt.........!" Dengan tangkas sekali Ni Sawitri menerjang ke depan
sambil menusukkan kerisnya ke arah dada yang bidang itu. Klabangkoro tidak
berani menganggap rendah lawannya. Ni Sawitri pernah menjadi murid terkasih dari
ketua perkumpulan Gagak Seto, dan biarpun dia pernah menjadi kakang seperguruan
wanita itu, belum pernah dia dapat menandingi ilmu kesaktiannya. Bahkan
dibandingkan Margono, tingkat kepandaian Ni Sawitri masih lebih tinggi. Akan
tetapi selama ini Klabangkoro juga telah diberi ilmu baru oleh gurunya, yaitu
ilmu cambuk yang disebut Pecut Dahono(Cambuk api). Biasanya dia bersenjata
golok, dan sekarang pun dia memegang golok dan menghadapi tusukan keris di
tangan Ni Sawitri, dia mengelak sambil memutar goloknya melindungi dirinya.
"Trang-trang-trang.......!!" Tiga kali keris di tangan Ni Sawitri bertemu dengan
tangkisan golok tergetar dan panas. Tahukah dia bahwa sampai sekarang dia masih
kalah kuat, maka dia lalu berseru kepada anak buahnya.
"Kepung dan tangkap! Akan tetapi jangan membunuhnya, tangkap hidup-hidup!"
Tujuh belas orang anak buah gagak Seto itu lalu mengepung dengan senjata golok
di tangan kanan.Mereka mengelilingi wanita itu dengan sikap mengancam. Akan
tetapi Ni Sawitri tidak merasa takut, bahkan ia menjadi semakin marah dan
bertekat untuk memmbunuh semua orang yang telah menewaskan suaminya itu.
Majulah kalian semua,keparat-keparat busuk, manusia-manusia kejam berhati
binatang. Akan kubasmi kalian semua!" Ni Sawitri berdiri tegak dengan kaki
terpentang, keris di depan dada dan tangan kirinya diankat ke atas dengan jari
tangan terbuka, siap untuk melancarkan tamparan maut.
Karena belasan orang itu masih meragu dan jerih untuk maju menangkap wanita yang
mereka tahu amat perkasa itu,Ni Sawitri mendahului mereka, menerjang maju dan
kerisnya berkelebatan menyambar-nyambar dan dalam beberapa gebrakan saja, dua
orang roboh terkena tamparan dan seorang roboh berkelejotan dengan dada terluka
tusukan keris! "Tar-tar-tar.....!"Cambuk panjang di tangan Klabangkoro meledak-ledak dan
mematuk ke arah Ni Sawitri yang sedang menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Gagak Seto.Ia
berusaha untuk mengelak, namun karena perhatiannya terbagi dan serangan cambuk
itu cepat sekali, tetap saja tubuhnya dua kali disengat ujung cambuk dan kainnya
terobek di dua tempat, juga kulitnya terasa panas seperti terbakar! Kain nya
robek di bagian paha kiri dan pinggang kanan sehingga nampak kulit tubuhnya yang
putih mulus. "Ha-ha-ha! Menyerahlah saja, Wong ayu, dari pada tubuhmu menderita nyeri!" kata
Klabagkoro sambil tertawa bergelak. Ni Sawitri marah sekali dan menerjang ke
arah pria tinggi besar itu, akan tetapi kembali anak buah Gagak Seto
mengepungnya sehingga terpaksa ia menyambut mereka dan kembali merobohkan dua
orang di antara mereka. Akan tetapi selagi ia mengamuk kembali cambuk di tangan Klabangkoro meledak dan
melecut-lecut sehingga kain yang menutupi tubuh Ni Sawitri menjadi compang-
camping, robek di sana sini membuatnya hampir telanjang.
Tiba-tiba cambuk itu menyambar ke bawah dan tanpa dapat terhindarkan lagi,cambuk
yang panjang itu sudah melibat kedua kaki Ni Sawitri, dari mata kaki sampai
ujung lutut. Wanita itu terkejut,mencoba untuk meloncat, akan tetapi karena
kedua kakinya terlibat kuat, iapun terpelanting dan roboh!
"Ha-ha-ha, cepat ringkus ia. Ikat kaki tangannya ! Ha-ha-ha!"
Melihat banyak tangan yang berotot kasar dijulurkan ke arahnya, tahulah Ni
Sawitri bahwa perlawanannya telah berakhir.Tak mungkin ia mampu meloloskan diri
dari tangan mereka dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertangkap hidup-hidup oleh
Klabangkoro ia akan mengalami malapetaka yang lebih mengeriakn dari pada maut.
Sejak lama Klabangkoro menaruh hati kepadanya, akan tetapi ia selalu menjauhkan
diri. Tentu Klabangkoro mendendam sakit hati dan iri ketika ia melarikan diri
bersama Margono dan kalau ia tertangkap hidup-hidup, tentu ia akan diperkosadan
menderita penghinaan yang hebat.
"Kakang Margono, Tunggu aku, kakang.......!" wanita itu memekik lantang,
kemudian cepat sekali kerisnya sudah menghujam dadanya sendiri! Peristiwa itu
cepat sekali terjadi sehingga tidak keburu dicegah oleh Klabangkoro dan anak
buahya. Tahu-tahu tubuh Ni Sawitri sudah terkulai miring dan keris itu menancap di dada
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai ke gagangnya. Ibuuuu.....!! Budhidhama yang sejak tadi mengintai dengan jantung berdebar
tegang,ketika melihat ibunya roboh kemudian terkulai mandi darah, tak dapat
menahan diri lagi, meloncat keluar dari balik semak belukar dan lari menghampiri
ibunya. Melihat ibunya rebah miring dengan pakaian koyak-koyak dan tubuh bagian atas
bersimbah darah, Budhi menubruk dan merangkul tubuh ibunya.
"Ibu..... ibu....!" Dia menangis sambil memanggil-manggil ibunya.
Ni Sawitri membuka matanya dan menggerakkan lengan kanan dengan lemah, merangkul
anaknya.Suaranya terdengar lirih dan lemah ketika ia berkata,seperti berbisik
saja. "... anakku.... Budhidharma ...Larilah dan.... jangan.... jangan membalas
dendam...." Mata itu terpejam kembali dan napasnyapun berhenti. Budhi menjerit dan merangkul
jenazah ibunya. "Heiii, ini anaknya! Bunuh saja! Terdengar bentakan di atasnya dan ketika
mengangkat mukanya, dia melihat pria tinggi besar bernama Klabangkoro yang
membunuh ibunya.Diapun meloncat berdiri dan dengan air mata masih bercucuran,
dia menudingkan telunjuk tangan kananya ke arah muka Klabngkoro.
"Kau........kau .....Jahanam! Kau membunuh ayah ibuku!" Setelah berkata
demikian, dengan nekat Budhidharma menerjang ke arah Klabangkoro dengan kedua
tangan terkepal. Biarpun dia hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, kalau
hanya orang dewasa biasa saja belum tentu akanmmampu menandinginya, Akan tetapi
kini ia melawan Klabangkoro. Ibu dan ayahnya sendiri saja roboh dan tewas oleh
raksasa ini, apalagi dia.
Menghadapi serangan pukulan anak itu, Klabangkoro tertawa tergelak dan dengan
mudah saja dia menagkis semua pukulan Budhi. Tangkisan itu membuat tangan Budhi
terpental dan nyeri, akan tetapi anak ini sudah nekat dan terus menerus
menyerang dengan kedua tangannya.
"Ha-ha-ha, setan cilik! Engkau sudah bosan hidup, ya?" Kaki yang besar itu
mencuat dalam tendangan. "Dukkk!" Tubuh Budhidharma terlepar sampai tiga meter jauhnya dan terguling-
guling. Akan tetapi anak itu meloncat bangun lagi, dan lari ke depan untuk
menyerang lagi,sama sekali tidak memperdulikan dadanya yang tersa nyeri sehingga
napasnya sesak. Ketika Budhi memukul perutnya, Klabangkoro tidak menangkis dan menerima pukulan-
pukulan itu dengan kekebalannya. Kedu tangan anak itu terasa nyeri seperti
memukul batu ketika bertemu dengan perut itu. Merasa betapa pukualannya tidak
mempan, Bhudhi lalu menggigit kulit perut itu dan sekali ini Klabangkoro
berteriak dengan kesakitan. Raksasa ini dengan marahnya lalu mengangkat lututnya
kuat sekali. "Desss.....!" Dada Budhi di hantam lutut seperti dihantam palu godam. Serasa
pecah dada itu dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Saking nyeri rasa
pada dadadnya, anak ini tidak mampu berdiri lagi, hanya bangkit dududk dan
matanya saja yang melotot penuh kebencian memandang Klabangkoro.
Melihat ketahanan dan kebandelan anak ini, Klabangkoro bergidik. Anak ini kelak
akan berbahaya sekali kalau tidak dibunuh, pikirnya. Dia menyeringai buas lalu
mencabut pecut Dahono yang terselip di ikat pinggangnya. "Bocah setan keparat !
Akan kubikin lumat tubuhmu!" Dia lalu menggerakkan cambuk itu di udara.
Kemudian sambil mengeluarkan suara ledakan, cambuk itu menyambar turun dan
melucuti tubuh Budhidharma.
"Tar-tar-tar-tar......!" Ujung cambuk itu bagaikan moncong ular mematuk dan
mematuk lagi ke arah tubuh Budhi yang sudah tidak mampu mengelak. Setiap kali
ujung cambuk mematuk, tubuh itu tersentak dan bagian yang terpantuk itu
bercucuran darah. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan anak itu. Agaknya
Klabangkoro membatasi tenaganya sehingga cambuknya tidak sampai membunuh,
melainkan mendatangkan luka yang panasdan pedih. Kedua paha, lambung, dada dan
pundak Budhi sudah terluka, kulit dan dagingnya pecah sehingga mengeluarkan
banyak darah. Dia hanya menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu di atas
tanah itu.Akan tetapi, sedikitpun ia tidak mengeluh, bahkan menangispun tidak
dan sianr matanya masih berapi-api di tujukan kepada penyiksanya.
Melihat ini, Klabnagkoro merasa ngeri dan diapun membentak, "Bocah setan,
sekarang akan kuhancurkan kepalamu. Mampuslah kau!" Dengan sekuat tenaga dia
mengayun cambuknya yang akan dipukulkan ke arah kepala anak itu.
"Siuuuuuuuuuttt..................plakk!"
Klabangkoro terkejut sekali ketika cambuknya tertahan di belakangnya . Dia cepat
memutar tubuhnya dan melihat bahwa ujung cambuk itu dipegang oleh seorang kakek
tua berpakaian serba putih yang entah kapan telah berdiri di situ.
"Sadhu-sadhu-sadhu.........seorang gagah perkasa menyiksa seorang anak kecil
sungguh tidak tahu malu!" Suara kakek itu lirih, akan tetapi jelas terdengar
oleh mereka semua dan di dalam suara yang lembut itu terkandung wibawa yang
kuat. "Keparat, siapa andika, seorang tua bangka hendak mencampuri urusan kami!"
Klabangkoro membentak dan tanpa menanti jawaban lagi dia sudah merenggut
cambuknya dan dengan buas diapun mengayun cambuk itu menghantam ke arah kepala
kakek yang rambutnya sudah putih itu.
Akan tetapi kakek itu tidak membuat gerakan mengelak atau menangkis, melainkan
tangan kirinya mendorong ke arah Klabangkoro dan tubuh yang tinggi besar itu
terlempar bagaikan sehelai daun kering terbawa angin.
Melihat ini, anak buah Gagak Seto menjadi marah dan belasan orang itu sudah
menggerakkan golok masing-masing dan menerjang dari empat jurusan. Akan tetapi,
kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan ujung bagian bajunya mengeluarkan
angin yang kuat sekali dan belasan orang itupun berpelantingan terdorong oleh
kebutan angin yang kuat itu.Tentu saja semua orang menjadi terkejut sekali. Akan
tetapi Klabangkoro adalah seorang yang sudah terbiasa di taati dan ditakuti
orang, maka setelah ia dapat meloncat bangun kembali, dia sudah menggenggam
cambuknya dengan erat dan dia lalu menerjang maju, memukul dengan pengerahan
tenaga sekuatnya.Cambuk itu menyambar dengan dahsyat, mengancam kepala kakek
itu. Hemm, manusia budak nafsu yang berwatak kejam!" Dia berseru lirih dan tangan
kirinya menyambut cambuk yang meluncur ke arah kepalanya itu.
Wuuuuttt...........setttt........!" Cambuk itu telah ditangkap oleh tangan kiri
dan dengan marah Klabangkoro berusaha untuk menarik senjatanya lepas dari
pegangan tangan kiri lawan. Akan tetapi, betapapun dia berusaha sekuat tenaga,
cambuk itu tidak dapat terlepas. Bahkan sekali renggut saja dengan perlahan,
cambuk itu sudah terlepas dari pegangan Klabangkoro dan dapat dirampas kakek
baju putih. masih tidak mau melihat kenyataan dan dia kini mencabut goloknya dan menerjang
dengan ganas. Golok itu membacok ke arah ke arah leher kakek itu. Akan tetapi
kakek itu menggerakkan cambuk rampasannya menangkis dan golok itupun terpental
lepas dari tangan miliknya.Kini kakek itu memutar-mutar tubuhnya sambil
mengembangkan kedua lengannya. Klabangkoro dan belasan orang anak buahnya tak
mampu bertahan lagi,mereka terdorong roboh bergelimpangan dan barulah
Klabangkoro mengakui bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti. Dia
melarikan diri diikuti belasan orang itu, berlari cepat seperti dikejar setan.
Kakek itu tidak mengejar, melainkan membuang cambuk rampasan dan memutar
tubuhnya memandang ke arah Budhidharma yang masih tak mampu berdiri. Anak itu
berhasil menggunakan sisa tenaga untuk dapat duduk dan dengan tubuh lemas dan
nyeri,kepala pening, dia masih dapat mengikuti peristiwa pengeroyokan atas diri
kakek berbaju putih itu. Tubuh Budhi sudah berlepotan darahnya yang keluar dari
luka-luka dari paha dan pundaknya. Akan tetapi anak itu tidak menagis, bahkan
tidak mengeluh sedikitpun juga dan hal ini membuat kakek itu memandang dengan
sianr mata kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang
bocah berusia kurang lebih sepuluh tahun yang seberani dan sekuat itu menahan
nyeri. Setelah semua penjahat pergi, Budhi teringat lagi kepada ayah ibunya. Dia
menoleh dan melihat jenazah ibunya masih menggeletak mandi darah, tiba-tiba dia
seperti memperoleh tenaga baru. Dia bangkit berdiri, bahkan dapat berlari
menghampiri jenazah ibunya, menubruk dan menangis.
"Ibuu........!" Setelah memanggil-manggil ibunya sambil menangis, dia teringat
ayahnya dan kembali dia bangkit dan lari memasuki pondok, menubruk jenazah
ayahnya yang mengegletak di lantai pondok.
"Bapa.......ahh, bapaaaa......!" Diapun menangis mengangguk dan bingung apa yang
harus dilakukannya. Ayah dan ibunya mati dengan menyedihkan,dibunuh orang di
depan matanya! Setelah dia menangis beberapa lamanya, terdengar suara yang lembut,"Kulup, sudah
cukup engkau menangisi kematian ayah dan ibumu.Akan tetapi mereka telah kembali
ke alam asal, di panggil pulang oleh Yang Maha Kuasa dan tak seorangpun dapat
menghidupkan mereka kembali.
Tangis dan kesedihan anak mereka hanya akan menjadi penghalang bagi perjalanan
mereka. Karena itu, hentikanlah tangismu dan marialh kita menghadapi kenyataan."
Mendengar ucapan itu, Budhi menengok dan ternyata kakek yang menolongnya tadi
telah berdiri di belakangnya.Karena dia sudah kehilangan segala-galanya, tidak
adalagi manusia yang yang dapat menjadi teman hidupnya,maka kehadiran kakek itu
membuka saluran baginya untuk mencurahkan perasaan hatinya. Dia menubruk ke arah
kaki orang tua itu dan menangis.
Aduh, eyang............!" Bagaimana saya tidak akan berduka dan merasa hacur
hati saya" Di dunia ini saya hanya mempunyai ayah dan ibu berdua dan sekarang
tiba-tiba mereka dibunuh orang. Saya tidak mempunyai seorangpun keluarga lagi,
tidak mempunyai siapa-siapa lagi....."
"Tidak ada orang yang hidup sebatang kara di dunia ini. Bukankah jutaan manusia
lain inipun menjadi saudaramu" Sudahlah, nanti kita bicara lagi tentang diri dan
masa depanmu.Sekarang yang terpenting adalah menyempurnakan jenazah ayah dan
ibumu." "Eyang katakanlah apa yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu harus berbuat
apa." "Hemm, jenazah ayah dan ibumu perlu mendapat perawatan sebagaimana mestinya ke-
mudian diperbukan. Apakah engkau tidak mempunyai kenalan atau tetangga yang
sekiranya dapat membantu kita?"
"Tetangga kami hanyalah penduduk dusun di sebelah bawah lereng di sana itu,
eyang." "Bagus. Nah,pergilah engkau ke dusun itu dan beritahu mereka bahwa ayah ibumu
terbunuh gerombolan penjahat dan mintalah bantuan mereka untuk mengurus jenazah
ayah ibumu." "Baik, eyang........" Budhi lalu bangkit berdiri dan hendak berlari pergi. Akan
tetapi baru belasan langkah dia berlari, dia mengeluh dan terguling roboh.
Melihat ini kakek berbaju putih itu segera menghampiri Melihat anak itu pingsan,
dia lalu membawa anak itu ke bawah sebatang pohon di samping pondok.Dia
memeriksa tubuh anak itu dan menggeleng-geleng kepalanya dengan kagum.Tubuh anak
ini mengalami siksaan yang hebat.Matang biru dan bengkak-bengkak, kedua paha dan
pundak terluka. Kakek itu lalu menggunakan kedua tanganya untuk memijit-mijit menekan dan
mengurut tubuh Budhi. Tak lama kemudian, Budhi mengeluh dan dia siuman. Ajaib,
setelah dipijit dan diurut oleh kakek itu, Budhi merasa tubuhnya sehat kembali
dan tidak terasa nyeri lagi. Bahkan luka-luka lecutan cambuk yang tadinya terasa
pedih dan amat panas, kini tidak merasa nyeri lagi. Dia lalu bangkit duduk
bersimpuh di depan kakek itu.
"Bagaimana rasanya sekarang, kulup" Apakah masih nyeri rasa tubuhmu"
"Terima kasih, eyang. Nyeri-nyeri pada tubuh saya tidak terasa nyeri."
"Nah, kalau begitu, pergilah memberi tahu kkepada penduduk dusun di bawah.Akan
tetapi, katakanlah dulu kepadaku siapakah namamu?"
"Nama saya Budhidharma, eyang."
kakek itu tersenyum mengangguk-angguk. "Bagus, bagus! Mudah-mudahan saja kelak
sepak terjangmu akan sesuai dengan namamu. Nah, pergilah, kulup!"
Budhi lalu berlari pergi dari situ, menuruni lereng menuju dusun Gedangan.
Ingatannya penuh lagi dengan bayangan ayah ibunya yang menggeletak mandi darah,
maka tak tertahankannya lagi air matanya bercucuran ketika dia berlari itu.
Penduduk dusun Gedangan terheren-heren melihat Budhi datang dengan berlari-lari
sambil bercucran air mata.Biasanya anak ini selalu kelihatan cerah, bahkan suka
berkelakar dan sifatnya periang. Segera mereka merubung Budhi dan bertanya-
tanya. Ketua dusun yang sudah mengenal baik ayah ibu Budhi, bahkan pernah disembuhkan
dari penyakit berat oleh Ni Sawitri, segera maju dan memegang pundak Budhi.
"Anakmas Budhidharma, apakah yang telah terjadi" Kenapa andika menangis?"
"Paman......ah, paman.....tolonglah merawat ...... jenazah bapa dan ibu......
mereka terbunuh gerombolan penjahat."
Terdengar seruan di sana sini dan semua terbelalak dengan muka pucat. Kemudian
berbondong-bondong mereka mengikuti Budhidharma menuju rumah yang terpencil di
lereng itu. Setelah tiba di tempat tinggal anak itu. Mereka semua merasa ngeri
melihat jenazh Ni Sawitri dan Margono yag mandi darah. Dan merekapun bertanya-
tanya siapa adanya kakek yang berada di situ.
"Eyang ini yang menyelamatkan aku dari tangan penjahat itu, kalau tidak ada
eyang ini, aku tentu tewas pula seperti kedua orang tuaku." Setelah mendapatkan
keterangan dari Budhi, penduduk dusun bersikap hormat dan tidak lagi mencurigai
kakek berpakaian serba putih itu.
Atas permintaan Budhi sendiri, jenazah kedua orang tuanya tidak diperabukan
melainkan dikubur di dalam tanah, di halaman depan rumah itu. "Saya sudah tidak
memiliki apa-apa lagi, eyang.
Biarlah kedua kuburan ini menjadi sisa peringatan bagi kedua orang tua
saya."katanya. "Hal ini boleh saja, Budhi. Jasmani ini memang terbentuk sebagian besar dari
tiga zat itu,tanah,air,dan api. Oleh karena itu, setelah ditinggalkan rohnya,
jasad dapat dikembalikan kepada salah satu di antaranya. Dibakar, dikubur, atau
di larung ke samudera. Hanya saja, kalau dikubur dalam tanah, maka masih ada
ikatan antara keluarganya dengan yang mati." kata kakek itu.
Setelah Penguburan selesai dilakukan dan semua penduduk dusun sudah kembali ke
Gedangan, Budhidharma masih saja berlutut di depan mamamayah ibunya.Kesedihan
membuat anak ini lemas lunglai seperti kehilangan semangat dan biarpun dia sudah
tidak menangis lagi,namun matanya masih selalu basah.
Kakek itu duduk di atas batu besar, di lereng Budhi yang bersimpuh di depan
makam. Dia membiarkan anak itu menenggelamkan diri dalam lamunan kesediahn beberapa
lamanya, kemudian tiba-tiba tubuhnya melayang ke arah pohon di tepi halaman.
Dipegangnya batang pohon sebesar tubuh orang dewasa itu dengan kedua tangannya,
lalu diguncangnya pohon itu. Pohon bergoyang dan tergoncang keras seperti ditiup
badai mengeluarkan bunyi yang berisik dan daun-daun rontok berterbangan.
Budhi terkejut mendengar ini dan ketika dia memandang, diapun terbelalak
keheranan. Sampai beberapa lamanya kakek itu menggoncang pohon.Budhi bangkit
berdiri, menghampiri dan bertanya dengan suara mengandung keheranan. "Eyang, apa
yang eyang lakukan ini" Kenapa menggoncang pohon ini?"
Kakek itu tertawa dan menghentikan perbuatannya, lalu menggandeng tangan Budhi
diajaknya anak itu duduk di atas batu besar.
"Budhi, lihatlah hati dan pikiranmu sekarang, saat ini. Apakah engkau masih
berduka" Apakah engkau masih berduka" Apakah engkau masih ingin menangisi orang
tuamu?" Budhi adalah seorang anak yang cerdik. Dia segera mendapat kenyataan bahwa
kedukaan itu sama sekali tidak adalagi, atau sudah terlupa olehnya.Yang ada
hanyalah keheranan. "Tidak, eyang. Saya hanya merasa heran dan sudah melupakan kedukaan saya. Akan
tetapi eyang mengingatkan dan ........."
"Nah, kalau begitu engkau sudah mengerti sekarang bahwa kedukaan itu hanyalah
per- mainan dari ingatan sendiri saja.Ingatan mengunyah-ngunyah keadaanmu yang
kehilangan orang tua, seperti si rakus melahap makanan yang enak dan ahtimupun
seperti ditusuk-tusuk rasanya. Hal itu menimbulkan duka. Begitu pikiran dikuasai
oleh keadaan lain, duka yang tadinya membuat orang seperti kehilangan semangat
hidup itupun akan lenyap tanpa bekas lagi.Kalau hati akal pikiran itu selalu
ditujukan kepada apa yang terjadi saat demi saat, tidak mengingat-ingat hal yang
telah lalu, maka orang tidak akan dicengkeram duka. Mengertilah engkau, kulup?"
Biarpun masih belum jelas benar, namun Budhi dapat mengerti. Memang kedukaan
hatinya timbul lagi kalau dia kembali kepada alam ingatan, mengingat-ingat hal
yang telah berlalu.Dan semua itu sudah tidak berguan lagi.Biarpun dia menangis
air mata darah, ayah dan ibunya taidak dapt hidup lagi.Yang terpenting ialah
sekarang, saat ini, apa yang haryus dialakukan setelah ia hidup seorang diri.Dan
dia meliaht betapa kakek itu seorang yang sakti, seorang yang bijaksana dan baik
budi, maka dia segera menghampiri dan berlutut menyembah ke arah kaki orang tua
itu. "Eh, ada apakah, Budhi" Apa artinya penghormatan ini dan engkau hendak bicara
apa?" Kakek itu menjulurkan tangannya,menarik lengan anak itu ke atas dan menyuruhnya
duduk di dekatnya. "Eyang, saya hidup seorang diri di dunia ini, bahkan kalau eyang tadi tidak
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meyelamatkan saya,sekarangpun saya tidak ada lagi di dunia ini. Karena itu,
kalau eyang sudi menerimanya, satya mohon agar eyang mengijinkan saya ikut,
menjadi murid eyang,saya akan melakukan pekerjaan apa saja untuk membantu
eyang." Kakek itu tersenyum mengelus jenggot putihnya yang tipis dengan tangan kiri dan
menganguk-angguk. "Baiklah, Budhi. Agaknya memang sudah ditentuakn oleh Hyang Widhi bahwa engakau
berjodoh untuk menjadi muridku. Akan tetapi jangan dikira enak menjadi murid
seorang tua miskin seperti aku. Aku berjuluk Bhagawan Tejolelono, pekerjaanku
hanya berkelana, tidak memiliki kekayaan apapun. Tempat tinggalku tidak menentu.
Langit atapku,bumi lantaiku dan pohon-pohon merupakan dindingku.
Engkau akan menderita kelaparan kalau tidak mencari makan sendiri.Nah, kalau
engakau ikut aku menjadi muridku, engkau harus rajin sekali, bukan saja untuk
mempelajari ilmu dariku tetapi juga untuk bekerja mencari makan. Sanggupkah
engkau, Budhi?" Eyang, sejak kecil saya sudah biasa bekerja keras karena kami bukanlah keluarga
kaya. Harap eyang tidak khawatir, saya akan bekerja keras dan rajin. Dan saya
berjanji akan mentaati semua perintah dan petunjuk eyang."
Tejoleleono mengangguk-angguk dan hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi dia
merasa sudah mengambil keputusan untuk mengangkat bocah ini menjadi muridnya.Dia
meliaht betapa Budhi memiliki keberanian, ketabahan dan kegagahan yang luar
biasa.Selain hatinya yang teguh keras, anak inipun memiliki bakat yang maat baik
untuk menjadi orang yang sakti mandraguna.
Ketika jari-jari tangannyamemijit tubuh anak itu, dia mendapat kenyataan bahwa
Budhi memiliki tulang yang baik.
"Nah, kalau begitu berkemaslah, Budhi. Kumpulkan barang yang akan kau bawa
karena kta akan pergi sekarang juga." Akhirnya kakek itu berkata.
Mendengar ini Budhidharma berpikir sejenak lalu berkata dengan hormat, "Eyang,
saya merasa sayang kalau rumah dan semua isinya ini saya tinggalkan begitu saja
tidak terawat dan digunakan. Oleh karena itu, kalau eyang mengijinkan, saya
hendak memasrahkan rumah ini dan semua isinya kepada seorang kenalan yang
tinggal di dusun Gedangan. Dengan demikian, maka ruamh ini akan terpelihara, dan
juga dapat bermanfaat baginya."
Bhagawan Tejolelono mengangguk-angguk. Seorang bocah yang berpikir panjang.
"Baik, pergilah engkau ke dusun Gedangan.Aku akan menantimu di sini, Budhi."
Budhi lalu pergi ke dusun Gedangan dan menemui seorang kenalan dan sahabat
ayahnya bernama Karyosikun.Karyosiku hidup berdua dengan isterinya dan mereka
tidak mempunyai ruamh, hanya tinggal mondok di ruamah seorang janda. Budhi sudah
mengenal baik suami isteri yang miskin ini karena biasanya ayah dan ibunya kalau
sedang repot membutuhkan tenaga bantuan, selalu menggunakan tenaga suami isteri
ini. Tentu saja kunjungan Budhi disambut dengan heran oleh Kayosikun dan isterinya
yang bernama Sawiji. Suami isteri inipun tadi ikut pula datang melayat. Ketiak
meliaht mereka Budhi segera mengutaraka kehendaknya.
"Paman Karyosikun dan bibi Sawiji. Hari ini aku akan pergi mengikuti Eyang
Bhagawan Tejolelono dan menjadi muridnya.Karena itu, lebih dulu aku ingin
menyerahkan rumah kami dan semua isinya, juga kebun dan ladang kepada paman
berdua." "Eh, eh, apa maksudmu, Gus?" tanya Karyosikun heran dan tidak mengerti.
"Begini,paman. Aku tidak ingin rumah itu kosong dan tidak terpelihara. Oleh
karena itu, selama aku pergi, paman berdua tinggallah di rumahku. Sawah dan
ladang kerjakanlah dan hasilnya untuk paman berdua. Rumah dan semua isinya
pergunakanlah untuk keperluan hidup paman. Aku hanya ingin agar rumah itu,
terpelihara dan rumah itu,beserta sawah ladangnya, baru paman kembaliakn kalau
aku membutuhkannya."
Wah.......,ini......bagaimana kami berani......" Karyosikun berseru gugup.
"Siapa yang mau percaya kepada kami" Jangan-jangan kami akan dituduh merampas
rumahmu,Bagus Budhi!"
"Jangan khawatir, paman karyo, marilah kita pergi ke rumah kepala dusun. Saya
akan menyerahkan rumah dan sawah ladang kepadamu,disaksikan oleh kepala dusun."
Melihat Karyosikun dan isterinya masih meragu, Budhi lalu memegang tangan oarang
itu dan diajaknya pergi ke rumah kepala dusun.
Kepala dusun Gedangan mengerti dan bahkan memuji tindakan Budhidharma itu.Memang
sebaiknya kalau anak itu hendak pergi mengikuti gurunya, rumah itu dan sawah
ladangnya diserahkan kepada seorang yang dapat dipercaya untuk mengurusnya,
menikmati hasil sawah ladang dan memelihara rumah agar tidak menjadi rusak. Dan
Karyosikun adalah orang yang dapat dipercaya untuk hal itu.
"Baiklah, kami yang menjadi saksinya dan engkau jangan khawatir kalau ada yang
men- uduhmu yang bukan-bukan, Karyosikun ."Kata kepala dusun itu.
Suami isteri itu langsung saja diajak oleh Budhi untuk ikut dia ke rumahnya.
Setelah menyerahkan segala harta milik peninggalan orang tuanya, Budhi lalu
pergi bersama Bhagawan Tejolelono, diantar sampai ke luar halaman oleh
Karyosikun dan Sawiji.Anak itu hanya membawa pakaian, dibuntal sehelai kain
milik ibunya. Dan diapun membawa keris milik ibunya. Keris itulah yang oleh
ibunya dipakai melakukan perlawanan terhadap gerombolan Gagak Seto kemudian
dipakai membunuh diri karena ia tidak mau tertangkap hidup-hidup oleh
Klabangkoro. Sambil melangkah di belakang Bhagawan tejolelono yang berjalan tanpa menoleh dan
tanpa ragu-ragu bermacam kenangan menyelinap dalam kepala Budhidharma.
Bayangan rumahnya, lalu ayah ibunya, memenuhi benaknya.Membayangkan kedua orang
tuanya terkapar dengan mandi darah, membuat dia mengatupkan kedua bibirnya dan
menggigit gigi sendiri. Kemudian terbayanglah wajah yang amat dibencinya itu,
wajah klabangkoro yang tinggi besar seperti raksasa bermuka hitam.
Selama hidupnya dia tidak akan pernah dapat melupakan wajah raksasa pembunh
ibunya itu.Akan tetapi hatinya lebih sakit kalau dia mengingat bahwa Klabangkoro
itu hanyalah seorang utusan saja dan pembunuh yang sebenarnya dari orang tuanya
adalah yang mengutus Klabangkoro, yaitu ketua perkumpulan Gagak Seto setelah dia
dewasa dan kuat, dia pasti akan mencari perkumpulan di Gunung Anjasmoro itu,
membunuh ketuanya dan membasmi perkumpulan itu sampai ke akar-akarnya.
Akan tetapi, teringat akan pesan yang terakhir, dia mengerutkan alisnya. Sebelum
ibunya menghembuskan napas terakhir, dalam rangkulannya, ibunya berpesan agar
dia tidak membalas dendam. Tidak membalas dendam" Bagaimana mungkin itu" Dia
teringat ketika ibunya memberi sebuah benda kepadanya. Selama ini, benda itu
disimpannya dan hampir dia melupakan benda itu.Kini teriangat akan semua itu,
dia mengambil benda itui dari kantung bajunya dan mengamatinya, sebuah benda
kecil,dari perak, berbentuk seekor burung Gagak Putih! "Perlihatkan ini kalau
engkau tertangkap dan mereka tidak akan berani membunuhmu!" Benda apakah ini"
Agaknya ada hubungannya dengan mereka yang menyerang dan membunuh ayah
bundanya.Akan tetapi mengapa ibunya memiliki benda itu daqn mengapa ibunya tidak
mempergunakannya untuk meyelamatkan nyawanya" Dia menjadi bingung.
Tidak mengerti. Kemudian dia menghela napas dan menyimpan kembali benda itu.
"Biarlah aku harus bersabar. Kelak kalau akan mencari perkumpulan Gagak Putih di
Gua Tengkorak gunung anjasmoro, tetu akan mengetahui semua rahasia ini."
Budhidharma harus mengikuti Bhagawan Tejolelono, melakukan perjalan jauh menuju
ke Gunung Kawi. Setelah mendaki gunung itu akhirnya mereka tiba di sebuah di
antara puncak-puncak di gunung itu, terdapat sebuah rumah kediaman Bhagawan
Tejolelono di mana dia hidup sebagai seorang pertapa.
Mulai hari itu, tinggallah Budhidharma bersama Bhagawan Tejolelono di puncak
Gunung Kawi Dengan tekun anak itu mulai mempelajari ilmu-ilmu dari pertapa yamh
sakti itu, dan seperti biasa ketiak masih tinggal dengan ayah ibunya, anak ini
dengan rajin sekali bekerja di ladang untuk kebutuhan makan mereka berdua. Sang
Bhagawan merasa suka sekali kepada anak yang tahu diri dan amat rajin itu. Makin
berkembanglah perasaan sayang di hatinya terhadap anak itu dan diapun
mencurahkan segala kemampuannya untuk mendidik Budhidharma dengan semua ilmu
yang dikuasainya. *** Di Puncak GunungAnjasmoro terdapat sebuah perkumpulan orang gagah bernama
Perkumpulan Gagak Seto. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan orang gagah
disegani orang-orang gagah senusantara, dan ditakuti orang-orang yang biasa
melakukan kejahatan seperti para perampok, bajak sungai dan pencuri. Orang-orang
gagah dari Gagak Seto tidak pernah memberi ampun kepada mereka yang melakukan
kejahatan. Apa yang membuat perkumpulan Gagak Seto menjadi perkumpulan kuat yang disegani
kawan ditakuti lawan" Yalah karena ketuanya orang yang gagah perkasa, berilmu
tinggi dan berwatak keras, adil dan pembasmi kejahatan.Ketua itu seorang laki-
laki tionggi besar yang sekarang telah berusia limapuluh tahun. Seorang pria
yang tidak dapat disebut tampan, bahkan segala yang ada padanya serba kasar dan
besar. Namun dia memiliki watak yang jantan dan ghagah perkasa.
Mula-mula dia membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Gagak Seto,
diambil dari julukannya sendiri karena sejak muda rambutnya yang panjang
berwarna putih sehingga dia mendapat julukan Gagak Seto. Lama-kelamaan
perkumpulan silat ini menjadi semakin besar dan menjadi perkumpulan orang gagah
yang ternama, dengan anak buah atau murid tidak kurang dari 500 orang jumlahnya.
Ketua ini bernama Sudibyo, akan tetapi orang lebih mengenal nama julukannya,
yaitu Gagak Seto. Dia tinggal di sebuah bangunan besar dan dikelilingi banyak
bangunan-bangunan kecil yang menjadi tempat tinggal para muridnya. Puncak
Anjasmoro yang menjadi pusat perkumpulan Gagak Seto ini sudah menjadi
perkampungan yang cukup besar.
Pada suatu hari, Sudibyo meneriam kedatangan kembali Klabnagkoro, seorang di
antara para muridnya yang paling tangguh. Karena pentingnya tugas yang
dilaksanakan oleh Klabangkoro, maka kedatangannya merupakan peristiwa penting
bagi ketua Gagak Seto. Dia menyuruh para murid lain menyingkkir sehingga tinggal
dia sendiri yang berhadapan dengan muridnya itu. Kedua orang pria yang bertubuh
sama tinggi besarnya ini saling pandang dan dengan penuh ketegangan Sudibyo
menegur muridnya. "Bagaimana baritannya, Klabangkoro" Bagaimana hasil tugas yang kau laksanakan?"
"Bapa guru, sukar bukan main mengikuti jejek mereka karena mereka itu selalu
berpindah-pindah. Akan tetapi, akhirnya dapat juga saya menemukan tempat
persembunyian mereka di Bukit Batok dekat dengan dusun Gedangan."
Mendengar ini, Sudibyo terbelalak dan mencondongkan tubuhnya ke depan, memandang
muridnya dengan sinar mata seolah hendak menelannya. "Sudah dapat"
Bagus! Lalu bagaimana.....bagaimana selanjutnya" Berhasilkah engkau membunuh si
keparat Margono?" Dengan wajahnya yang hitam itu berseri gembira Klabangkoro berkata, "Berkat
pengestu paduka saya telah berhasil membikin mampus keparat Margono itu, Bapa
guru." "Plakk.......!" Tangan yang lebar itu menepuk pahanya sendiri sehingga terdengar
suara nyaring. "Bagus! HA-ha-ha-ha, bagus sekali! Keparat Margono itu memang
sudah layak mampus. Dia seoarang yang tidak mengenak budi, tidak mengenal susila
dan merusak pagar ayu! Dan bagimana dengan ia" Bagaimana dengan Sawitri "
Kenapa engkau tidak mengajak ia pulang bersamamu" Aku siap mengampuninya dan
melupakan semua yang telah terjadi, di mana ia?"
"Ampun, Bapa. Ia.......Ni Sawitri .......ia juga tewas ...." kata Klabangkoro
dengan suara agak gugup. Sepasang mata yang besar itu terbelalak, sehingga sinarnya berapi, dan wajahnya
yang gagah perkasa itu nampak pucat sekali. " Apa ......"Andika.......Andika
telah membunuh Ni Sawitri?"
"Tidak, Bapa, Mana saya berani membunuhnya" Seperti perintah Bapa, saya
melaksanakan tugas, yaitu membunuh Margono dan membawa Ni Sawitri pulang.
Saya, dibantu teman-teman, berhasil membunuh Margono. Ni Sawitri marah dan
menyerang kami, akan tetapi kami berhasil meringkusnya. Saya telah merobohkannya
dengan Pecut Dahono, akan tetapi ketika teman-teman hendak meringkusnya, Ni
Sawitri menggunakan kerisnya sendiri untuk suduk sarira (bunuh diri dengan
keris).Hamba tidak keburu mencegahnya dan iapun tewas di ujung kerisnya sendiri,
Bapa Guru, Ampunkan saya karena saya sama sekali tidak menyangka ia akan
melakukan suduk sarira sehingga tidak dapat mencegahnya."
Kepala yang rambutnya sudah putih itu menunduk dalam-dalam, agaknya untuk
menyembunyikan air mata yang mengalir menuruni pipinya, Klabangkoro melanjutkan
ceritanya, merasa lega bahwa gurunya tidak melanjutkan kemarahnnya.
Pada waktu itu, seorang bocah berusia sepuluh tahun menyerang kami. Bocah itu
adalah putera Ni Sawitri. Karena kami tidak ingin kelak anak itu menimbulkan
keributan, maka kami hendak membunuhnya pula. Akan tetapi, muncul seorang kakek
yang sakti dan kami tak mampu menandinginya.Terpaksalah kami meninggalkan
mereka. Akan tetapi agaknya Sudibyo tidak mendengarkan lagi, bahkan tubuhnya terkulai
dan dia tergelimpang, roboh dari kursinya! Tentu saja Klabangkoro terkejut bukan
main. Dia meneriaki anak buah Gagak Seto yang berlarian masuk dan beramai-ramai mereka
mengangkat tubuh sang guru ke dalam. Sejak saat itu Sudibyo jatuh sakit-sakitan
dan dia selalu menyendiri dalam kamarnya. Dia mengusir semua orang yang mencoba
mendekati dan menghiburnya.
Sudibyo, ketua perkumpulan Gagak Seto dapat menguasai dirinya dan bangkit lagi
dari tempat tidurnya. Akan tetapi semenjak hari ia mendengar bahwa Ni Sawitri
telah tewas, dia menjadi sakit-sakitan.Tubuhnya yang tinggi besar itu menjadi
kurus, mikanya semakin pucat dan tubuhnya lemah. Dia tidak lagi bersemangat
mengurus perkumpulan dan mengangkat Klabangkoro dan seorang murid lain bernama
Mayangmurko untuk mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan perkumpulan
Gagak Seto. Ki Sudibyo sendiri lebih sering duduk bersemadhi di dalam kamarnya atau duduk
termenung mengenangkan semua peristiwa masa lalu ketika Ni Sawitri masih menjadi
isterinya.Semua yang terjadi sepuluh tahun yang lalu itu terbayang seolah baru
terjadi kemarin saja. Ketika itu, sudah lama dia mendirikan perkumpulan Gagak Seto dan sudah menerima
banyak murid yang mempelajari ilmu kanuragan. Para muridnya bukan hanya kaum
pria, karena ada pula beberapa orang murid wanita. Pada waktu itu Ki Sudibyo
adalah seorang pria yang berusia empatpuluh tahun yang gagah perkasa ini memang
belum pernah jatuh cinta. Akan tetapi setelah dia menjadi guru dan juga ketua
perkumpulan Gagak Seto. Dia jatuh hati setengah mati kepada seorang muridnya
sendiri dan waktu itu bukan lain adalah Ni Sawitri yang ketika itu berusia
delapanbelas tahun. Bagaikan setangkai bunnga mawar, Ni Sawitri sedang mekar
semerbak mengharum dan Ki Sudibyo menjadi seorang di antara para pria yang
tergila-gila kepada Ni Sawitri.
Ki Sudibyo tidak membuang banyak waktu dan dia lalu meminang Ni Sawitri kepada
ibu gadis itu yang sudah menjadi janda.Ibu janda itu tentu saja menjadi girang
dan meneriama pinangan itu dengan tangan terbuka. Ki Sudibyo terkenal sebagai
seorang pria yang gagah perkasa dan suak menolong orang,disegani dan dihormati.
Tentu saja ia meneriam pinangan itu dengan bangga. Pernikahan dilangsungkan
dengan meriah.Akan tetapi, kalau pengantin pria merasa berbahagia sekali dengan
pernikahan itu, sebaliknya pengantin wanitanya merasa berduak walaupun ia tidak
berani memperlihatkan kedukaan hatinya di depan gurunya yang kini menjadi
suaminya itu. Hal ini bukan karena pengantin pria itu kurang gagah atau kurang baik ,sama
sekali tidak. Hnya karena Ni Sawitri telah menjalin hubungan dengan seorang
saudara seperguruan yang bernama Margono, maka tentu saja pernikahannya itu
menghancurkan hatinya.Akan tetapi Ni Sawitri tidak berdaya. Ibunya telah
meneriama pinangan itu dan yang meminang adalah gurunya yang amat dihormatinya.
Mulailah Ni Sawitri hidup dalam keadaan tersiksa hatinya. Ia menjadi isteri yang
terhormat. Semua murid menganggap nya sebagai ibu guru yang patut dihormati.
Akan tetapi, setiap hari ia bertemu dengan Margono, bahkan berlatih ilmu
kanuragan bersama pemuda yang dikasihinya itu.
Dan terjadilah peristiwa itu. Setelah tiga bulan menjadi isteri Ki Sudibyo, pada
suatu senja ketika secara kebetulan Ki Sudibyo berjalan-jalan memasuki taman,
dia meliaht dari jauh betapa isteriny menangis terisak-isak bersandar di dada
yang bidang dari Ki Margono yang merangkulnya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Ki Sudibyo ketika melihat isterinya yang
tercinta ber- pelukan dengan seorang muridnya. Serasa akan meledak dadanya, dan
seperti dibakar rasa hatinya.Akan tetapi Ki Sudibyo adalah guru perkumpulan
Gagak Seto dan dia menjaga kehormatannya. Dia menahan diri sekuat mungkin, lalu
dengan terhuyung seperti menderita luka hebat dia kembali ke dalam ruamahnya.
Dia merasa bingung sendiri. Apa yang akan dilakukannya.
Sudah jelas bahwa Sawitri mengkhianatinya, menyeleweng. Dan tahulah dia bahwa
tentu sejak dahulu Ni Sawitri menjalin cinta kasih dengan Margono dan itulah
yang membuatnya menyesal dan marah sekali. Kalau saja Ni Sawitri menolak
pinangannya karena sudah mempunyai seorang pilihan hati, tentu dia dapat
memakluminya dan tidak akan memaksanya menjadi isterinya. Akan tetapi sekarang,
Sawitri telah menjadi isterinya, kenapa masih melanjutkan hubungan dengan pria
lain" Itu penyelewengan namanya, pengkhianatan dan merupakan dosa yang besar.
Dan Margono" Si keparat itu telah berani menghina gurunya, menginjak-injak
kehormatan gurunya! Padahal, Sawitri dan Margono adalah murid-murid
kesayangannya, merupakan dua orang murid yang terpandai di antara semua
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muridnya. Hati Ki Sudibyo terbakar hangus! Kebahagiaan yang baru dia nikmati selama tiga
bulan itu kini telah hancur, bukan saja kebahagiaan itu lenyap, bahkan berubah
bentuk menjadi siksaan batin yang hampir membuatnya menjadi gial. Kalau menuruti
panasnya hati, ingin dia seketiaka itu membunuh dua orang manusia yang
dianggapnya tidak mengenal budi, rendah budi dan kotor itu .Akan tetapi dia
menjaga namanya, dan pula dia masih menaruh harapan tipis,harap-harap cemas
barangkali Ni Sawitri akan memyadari kesalahannya dan dapat mengubah jalan
hidupnya. Tak lama kemudian dia melihat isterinya melangkah masuk. Demikian lemah gemulai
langkahnya ketiak memasuki ambang pntu. Rambut yang hitam panjang itu yang dia
tahu pasti harum semerbak dengan harum melati, keliahatan mengkilap dalam cuaca
senja yang remang-remang itu. Kulitnya yang lembut dan hangat itu juga nampak
berkilauan. Akan tetapi segera terbayang olehnya betapa rambut itu kusut karena
bersandar di dalam rangkulan pria lain! Dia merasa seolah mukanya dicoreng-
moreng, perasaannya diinjak-injak. Dadanya terasa panas sekali dan dia tidak
mampu bertahan lagi. "Diajeng Sawitri.........!" dia memanggil dan suara panggilannya itu mengejutkan
hati Sawitri. Biasanya, guru nya yang kini menjadi suaminya itu kalau memanggil namanya, halus
lembut dan penuh kasih sayang. Akan tetapi mengapa panggilan itu sekarang
terdengar demikian kaku dan nyaring"
"Ya, kakang mas.........!" Ia menjawab dan dan memasuki kamar itu dengan jantung
berdebar. Ia melihat suaminya duduk bersila, tak bergerak seperti patung di atas lantai,
di depan kedua kakinya, nampak sebatang keris telanjang. Dalam keremangan di
kamar itu, keris telanjang itu nampak mengeluarkan cahaya. Inilah keris pusaka
milik suaminya yang disebut Sang Megantoro! Kenapa suaminya duduk bersama dengan
keris pusaka itu telanjang di depannya"
Rasa takut meayap ke dalam hati Ni Sawitri ketiak perlahan-lahan ia duduk
bersimpuh di dekat ki Sudibyo, di atas tikar yang digelar di lantai itu.
"Kakang mas memanggil aku......?" tanyanya lirih.
Sampai lama tidak terdengar jawaban. Suasana semakin menegangkan sehingga Ni
Sawitri seolah dapat mendengar degup jantungnya sendiri yang menembus kembennya.
Kemudian terdengar suara suaminya, suara yang dingin dan kaku sekali.
"Diajeng, sudah bertahun-tahun kau menjadi murid Ggak Seto selain ilmu kanuragan
engkau juga mempelajari tentang nilai-nilai kegagahan.Katakan, diajeng, apa
hukumannya bagi pengkhianat yang mengkhianati kepercayaan orang orang kepadanya"
Apa hukumannya bagi seorang yang menginjak-injak kehormatan kita, seorang yang
membalas madu kebaikan kita dengan racun kebusukan" Jawablah, diajeng."
Ni Sawitri merasa jantungnya berdebar tegang dan seluruh tubuhnya terasa
gemetar. "Kita .......kita harus membunuhnya, kakangmas Sudibyo........"
"Bagus,engkau masih ingat akan nilai kehormatan itu. Dan sekarang, jawablah
sejujur- nya.Apakah engkau mencintai aku?"
Sawitri terkejut sekali dan memandang ke arah wajah suaminya. Suaminya tidak
mem- andang kepadanya, akan tetapi melihat wajah suaminya itu dari samping saja
sudah cukup menimbulkan kengerian di hatinya.Wajah itu kaku dan dingin seperti
arca besi, penuh kemarahan terpendam.
"Aku.....tentu saja mencintaimu, kakangmas. Kenapa engkau tanyakan" Aku sudah
menjadi isterimu, bukan" Itu saja sudah menandakan bahwa aku mencintaimu,
kakangmas." "Tidak ada madu semanis kata-kata bercumbu yang keluar dari bibir seorang wanita
cantik, namun sayang, di situ pula bersarang kebohongan dan pengkhianatan."Kata
ki Sudibyo lirih tanpa menoleh.
"Kakangmas..........! Apa .....apa .....maksudmu......?" Sawitri bertanya dengan
suara gemetar. "Sudahlah, pergilah ke kamarmu, diajeng. Jangan terlalu lama di sini ! Pergi,
cepat!!" Ni Sawitri menjadi pucat wajahnya. Belum pernah ia mendengar suara suaminya
membentak- bentak seperti itu, penuh kemarahan dan kebencian. Sambil menahan
tangisnya, iapun keluar dari kamar itu.
Perang hebat terjadi di hati akal pikiran Ki Sudibyo.Segala macam perasaan
teraduk menjadi satu dalam pikirannya. Ada rasa kecewa, sedih, marah,dan
cinta.Kalau menuruti dorongan nafsu kemarahannya karena dia merasa ditipu,
dikhianati, dilanggar kehormatannnya, ingin rasanya dia membunuh orang itu. Akan
tetapi perasaan cintanya kepada isterinya menjadi penghalang besar. Dia terlalu
mecintai osterinya dan tidak ingin membunuh isterinya, tidak ingin melihat
isterinya menderita sengsara. Setelah perang itu berkecamuk dalam hatinya selama
semalam suntuk.Menjelang pagi barulah dia mengambil keputusan yang harus
dipilihnya pada saat terakhir nanti. Dua keputusan itui adalah pertama :
Memaafkan mereka dengan menyadari bahwa Ni Sawitri tidak mencintainya melainkan
mencintai Margono, maka lebih tepat kalau mereka menjadi suami isteri dan
meninggalkan Anjasmoro. Keputusan kedua, membunuh mereka berdua sebagai pelanggar-pelanggar kesusilaan
dan pengkhianat. Dia bangkit dari duduknya, menyarungkan keris pusaka Megantoro,
lalu melangkah keluar dari dal;am sanggar pamujan. Karena merasa dadanya sesak,
dia lalu keluar dari dalam rumah. Setibanya di halaman depan, dia merasa betapa
angin sejuk menerpa wajah dan dadanya. Segar rasanya seperti disiram air dingin.
Dia mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup hawa sejuk itu sebanyaknya.
Kepalanya ditengadahkan. Pagi masih remang-remang, bintang-bintang diangkasa
masih tanpak.Ayam jantan sedang berkokok dan dia mengenal suara Si Jagal, ayam
jagonya. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat. "Siapa itu!" Bentak Ki Sudibyo sambil
memutar tubuh ke kiri. Bayangan laki-laki tinggi besar berusia tiga puluh tahun
menghampirinya. "Ah, Bapa Guru. Kebetulan sekali, saya memang sedangencari Bapa Guru untuk
melaporkan sesuatu." Katanya sambil memberi hormat.
" Hemm, kiranya engkau, Klabangkoro. Sepagi ini, apa yang hendak kaulaporkan
kepadaku" "Bapa, tadi saya melihat bayangan orang dua menyelinap keluar dari perkampungan
kita. Karena curiga, saya lalu menghampiri, akan tetapidua bayangan itu bukan
lain adalah adi Margono bersama........bersama......" Raksasa tinggi besar itu
agaknya takut untuk melanjutkan laporannya.
Api kemarahan yang tadinya sudah hampir padam itu mulai menyala lagi di dalam
dada dan kepala Ki Sudibyo. Tidak perlu dijelaskan lagi siapa yang melarikan
diri bersama Margono itu. Akan tetapi untuk mendapatkan keyakinan, dia
membentak, "Hayo cepat katakan, bersama siapa Mrgono melarikan diri!"
"Saya...... saya takut.........kalau bapa marah......"
"Kalau tidak kau katakan, aku bahkan akan marah sekali dan menghancurka
kepalamu!" bentak Ki Sudibyo.
"Saya melihat dia bersama .........Ni Sawitri, bapa....."
"Keparat !!" Sudibyo melompat ke dalam rumah, mencari isterinya di dalam kamar-
kamar rumah itu. Tentu saja isterinya tidak ada, seperti yang sudah diduganya,
dan diapun hanya inginmendapat kepastian saja. Dia lari lagi keluar dan melihat
Klabangkoro masih berdiri di depan pintu.
"Di mana kau melhat mereka " Tanyanya dengan suara tegas.
"Di sana , bapa. Mereka lari ke utara!"
Tubuh ketua Gagak Seto itu melesat ke arah utara dan kini keris Pusaka Megantoro
telah terselip di pinggangnya. Pusaka itu diambil ketika mencari isterinya k
dalam rumah tadi. Klabangkoro berdiri sambil menyeringai. Hatinya juga terasa sakit ketika melihat
Ni Sawiti bergandengan tangan dengan Margono dan keduanya berlari ke utara.
Sejak dahulupun dia tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu saling
mencintai.Akan tetapi Ni Sawitri ditarik menjadi isteri guru mereka. Dan dia
hanya menjadi penonton yang iri hati. Sudah lama dia menaruh hati kepada Ni
Sawitri, namun tak pernah ditanggapi gadis itu sampai akhirnya ia diambil isteri
oleh Ki Sudibyo. Sekarang rasakanlah kalian semua! Hatinya bersorak, karena bukan dia seoranglah
yang menderita karena gadis itu.
Dengan hati panas terbakar Sudibyo melakukan pengejaran ke utara, namun dia
tidak menemukan jejak dua orang yang melarikan diri itu.Setelah mencari dan
melakukan pengejaran sehari lamanya, akhirnya dia pulang denagn tangan dan hati
hampa. Dia mengutus Klabangkoro dan belasan orang murid lain untuk melakukan
pengejaran dan pencarian, namun sampai bertahun-tahun mereka tidak pernah
berhasil. Ki Margono dan Ni Sawitri seperti lenyap ditelan bumi. Kalau ada
berita bahwa mereka berada di suatu tempat, cepat melakukan pengejaran, akan
tetapi mereka sudah pergi lebih dulu. Sepasang burung itu telah terbang pergi
meninggalkan pohon sewaktu para pemburunya berindap datang dengan busur dan anak
panah di tangan! Bertahun-tahun pengejaran itu dilakukan dan akhirnya, pada hari itu Klabangkoro
melaporkan bahwa muridnya telah berhasil membunuh Ki Margono. Bahkan Ni Sawitri
juga telah tewas membunuh diri!
Semua kenangan itu muncul dalam ingatan Ki Sudibyo seperti nonton sandiwara.
Berulang kali dia menghela napas.Sebetulnya, dia tiadak menghendaki terbunuhnya
Ki Margono, apa lagi sampai Ni Sawitri membunuh diri pula. Akan tetapi perbuatan
mereka berdua itu sungguh menyakitkan hatinya, memadamkan semua gairah hidup dan
kegembiraannya,melenyapkan semua kebahagiaannya. Dan kini setelah kedua orang
itu tewas, tidak ada sedikitpun kepuasan terasa di hatinya. Dia tidak menjadi
bahagia karenanya, bahkan sebaliknya, dia menjadi semakin bersedih.
Kalau dia teringat akan saat-saat mesra penuh kasih sayang bersama isterinya,
walaupun hanya sekitar tiga empat bulan yaitu sejak mereka menikah, hatinya
seperti ditusuk-tusuk rasanya, Dia amat mencintai Ni Sawitri dan menurut
perasaannya, Ni Sawitri juga amat mencintainya. Mengapa lalu timbul persoalan
dengan Ki Margono itu" Dia merasa menyesal sakali harus membunuh mereka.
Penyesalan yang ditebusnya dengan kesehatannya yang makin memburuk.
Hanya demi kepentingan perkumpulan Gagak Seto, Ki Sudibyo masih mau hidup dan
berusah mengatasi gangguan kesehatannya untuik memimpin perkumpulan itu. Akan
tetapi, semua urusan keluar dia serahkan kepada ua orang murid kepercayaannya,
Yaitu Klabangkoro dan Mayangmurko. Kalau saja dia mempunyai pandangan siapa yang
pantas menggantikan kedudukannya sebagai ketua Gagak Seto, tentu hatinya akan
terasa tenang. Akan tetapi dia belum melihat adanya pengganti itu. Klabangkoro
terlalu kasar, sedangkan Mayangmurko memiliki kecondongan untuk berbuat culas
dan licik. Demikianlah, semenjak Klabangkoro memberitakan tentang kematian Margono dan
Sawitri, kehidupan Ki Sudibyo seperti kosong dan tidak ada artinya lagi. Dia
telah banyak mengurung diri di dalam kamarnya, bersamadhi. Usianya baru
limapuluh tahun, akan tetapi rambutnya sudah putih semua dan wajahnya yang penuh
keriputan mambuat dia nampak jauh lebih tua. Urusan Gagak Seto dia serahkan
kepada Klabangkoro dan Mayangmurko.
Sudibyo sama sekali tidak tahu bahwa setelah kini dia tidak lagi langsung
memegang kemudi perkumpulannya,perkumpulan Gagak Seto mulai meninggalkan garis-
garis yang telah di ditentukan.Tadinya, perkumpulan Gagak Seto adalah
perkumpulan orang gagah yang di segani prkumpulan orang gagah lainnya, dan
ditakuti gerombolan-gerombolan yang menyusahkan rakyat.Akan tetapi kini, tidak
jarang anak buah Gagak Seto bahkan melakukan perbuatan jahat dan sewenang-
wenang, mengambil milik orang yang kebetulan lewat dengan paksa, bahkan menculik
wanita-wanita cantik. Bukan para anak buahnya saja yang melakukan perbuatan maksiat, bahkan dua orang
pemimpin mereka, Klabangkoro dan Mayangmurko, menerima ketika ada pendekatan
dilakukan para pimpinan perkumpulan Jambuka Sakti ( srigala sakti ), sebuah
perkumpulan lama dan besar dari segerombolan penjahat yang terkenal buas dan
kejam. Dan semua peristiwa yang terjadi di luar kamarnya ini sama sekali tidak
diketahui oleh Ki Sudibyo yang hanya membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka
nestapa. Tidak jauh dari perkampungan Gagak Seto, kurang lebih sepuluh kilometer jauhnya,
terdapat sebuah air terjun yang airnya jernih sekali dan air terjun itu
membentuk sebuah telaga kecil sebelum air mengalir menjadi anak sungai dan
menuruni dusun di kaki bukit.
Air terjun ini oleh rakyat setempat dinamakan Grojokan Kluwung (Air Terjun
Pelangi )karena di situ sering muncul pelangi ketika uap air yang terjun
ditembusi sinar matahari. Pada suatu hari yang sunyi, Ki Sudibyo meninggalkan
pondoknya dan seperti orang yang kehilangan semangat akhirnya tibalah ia di tepi
gerojokan kluwung itu. Sampi lama dia berdiri memandangi air yang terjun dan
menimpa telaga dan dia membayangkan betapa dahulu, ketiak masih brepengantin,
dia sering mandi di telaga itu bersama isterinya Ni Sawitri.
Seolah ada sesuatu yang mendatangkan rasa nyaman di hatinya ketika dia berada di
tempat itu dan sejak hari itu, kurang lebih dua tahun semenjak ia menerima
berita tentang kematian isterinya, Ki Sudibyo menemukan tempat baru untuk
menghibur hatinya. Hampir setiap hari dia pergi ke tempat itu dan duduk dekat
air terjun, melamun dan menenggelamkan semangatnya bersama air yang terjun.
Sudah lebih dari satu bulan Ki Sudibyo ssetiap hari pergi keair terjun itu,
bahkan pernah dia bermalam di situ, duduk bersila setengah tidur di bawah pohon
beringin yang tumbuh di dekat air terjun.
Pada suatu pagi, ketiak dia sedang duduk melamun di bawah pohon, dua pasang mata
mengintainya. Pandang kedua pasang mata itu buas dan tajam, dan ternyata itu
adalah dua pasang mata milik dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun
yang sedang mengintai dari balik semak-semak. Dua orang laki-laki yang membawa
keris telanjang di tangan dan kini setelah saling memberi isyarat dengan kedipan
mata , keduanya bergerak perlahan menuju ke arah bawah pohon beringin di mana Ki
Sudibyo masih duduk bersila.
Setelah dekat, seorang yang matanya agak juling bergerak lebih dulu. Dengan
tangan kanan memegang keris, dia melompat keluar dari balik semak-semak dan lari
menghampiri Ki Sudibyo yang masih bersila dan seolah tidak tahu bahwa dirinya
diserang orang.Akan tetapi tentu saja ketua Gagak Seto itu sudah tahu dari tadi.
Seorang yang sudah dapat menangkap suaraning asepi (suara kesunyian )tentusaja
suadh dapat membedakan suara yang tidak lajim dan Ki Sudibyo tadi sudah
mendengar gerakan kedua orang ini ketika mengintai mendekatinya.
Ketika si mata juling menubruk dan menyerangnya dari belakang, mengjunjamkan
keris ke arah punggungnya Ki Sudibyo merendahkan tubuh dengan membungkuk
sehingga serangan tusukan keris itupun luput. Dan ketiak tubuh orang itu
terdorong hempir menabraknya, Ki Sudibyo cepat mengangkat tangan kanannya,
menangkis lengan yang memegang keris dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh si
mata juling itu telah mencelat ke depan! Akan tetapi si mat juling kiranya
bukian penjahat sembarangan. Tubuhnya yang terlontar itu membuat gerakn jungkir
balik beberapa kali sehingga dia dapat turun ke atas kedua kakinya tidak sampai
terbanting. Sementar itu orang ke dua juga sudah menubruk dengan kerisnya, Akan tetapi, Ki
Sudibyo kini sudah siap siaga. Kaki yang tadinya di lipat bersila kini telah di
bukanya dan sebelum penyerang itu mampu mendekat, kakinya sudah mencuat mengirim
tendangan. "Dukk!" Orang yang kumisnya tebal itu menangkis tendangan dengan lengan kirinya,
akan tetapi kekuatan tendang itu membuat dia terhuyung ke belakang.
Kini Ki Sudibyo bangkit berdiri dengan tenang dia memandang ke kanan kiri, ke
arah kedua orang penyerang itu. Dia tidak mengenal mereka, maka merasa heran
mengapa mereka itu hendak membunuhnya.
"Ki sanak, kalian siapakah dan mengapa pula kalian menyerang saya tanpa
sebab?"tanyanya dengan suara yang tenang berwibawa.
Dua orang itu melangkah maju dari kanan kiri dan memainkan keris dengan
sigapnya. Melihat gerakan keris mereka, Ki Sudibyo sebagai seorang pendekar
besar yang berpengalaman lalu tersenyum. "Hemm, kalau tidak salah kalian ini
tentu Sepasang Keris Maut dari Nusa Barung. Kabarnya kalian pembunuh bayaran
yang mahal. Siapakah sekali ini yang menyuruh kalian membunuh aku, dan dengan
bayaran berapa mahalnya?"
Ketua Gagak Seto, bersiaplah untuk mampus di tangan kami! Haiiiit..........!" Si
mata juling sudah menerjang pula dari kanan. Serangan mereka memang hebat
sekali, gerakan mereka cepat dan keris yang menusukkan itu mengeluarkan bunyi
mencicit tanda bahwa tangan yang menggerakkannya mengandung tenaga yang dasyat.
Namun dengan sigap pula Ki Sudibyo telah siap siaga. Tidak lari dari serangan
kanan kiri itu , akan tetapi setelah kedua penyerangnya tiba dekat, tubuhnya
meloncat ke atas dan kedua kakinya di kembangkan menendang ke kanan kiri.
"Duuuk! Dukk!" Kedua kaki itu dengan tepatnya mengenai ulu hati kedua orang
penyerang- nya sehingga dua orang itu terjengkang keras dan merasa dada mereka
seperti ditumbuk alu besi dengan amat kuatnya.
Dua orang itu ternyata kebal juga. Hanya sejenak mereka terjengkang dan
terbanting terengah-engah akan tetapi mereka segera dapat bangkit kembali dan
keduany menyerang lagi lebih buas. Ki Sudibyo tahu bahwa dua orang itu hanya
menjalankan tugas demi mencari upah besar, maka diapun tidak ingin membunuh
mereka. Ketika mereka datang dekat, dengan berapa langkah kaki saja dia telah
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat tusukan-tusukan keris mereka mengenai tempat kosong,kemudian kedua
tangannya bergerak cepat sekali bagaikan sambaran kilat,ke arah kedua orang
pengeroyoknya.Akan tetapi dia membatasi tenaganya, hanya kurang lebih seperempat
bagian tenaga saja yang dia pergunakan, akan tetapi dia menampar dengan aji
Hasta Bajra {Tangan Kilat}. Ilmu pukulan hasta bajra ini merupakan ilmu simpanan
yang ampuh dari Ki Sudibyo dan biarpunhanya sebagian kecil saja dari aji ini
dipergunakan,akan tetapi ketika tampatannya mengenai muka kedua orang lawannya,
mereka terpelanting keras dan mengaduh-aduh.
"Aduhhh.......tobatttt........!!" keduanya merangkak bangun lalu melarikan diri
tanpa berani menoleh pula. Ki Sudibyo menggosok kedua telapak tangannya yang
mengandung hawa panas, lalu mengusap sedikit peluh dari lehernya dan duduk
kembali bersila di dekat air mancur seolah tidak pernah terjadi sesuatu
kepadanya. Akan tetapi setelah duduk bersila kembali, Ki Sudibyo mengatur pernapasannya.
Makin yakinlah dia bahwa cara hidupnya yang terendam duka dan semenjak mendengar
berita tentang tewasnya Sawitri mendatangkan pukulan yang amat hebat di dalam
dadanya dan membuatnya lemah sekali.Kemudian teringatlah dia. Melihat tubuhnya
yang lemah itu, agaknya dia tidak dapat mempertahankan nyawanya berusia panjang.
Dia tidak memikirkan diri sendiri.Kematian bukan apa-apa baginya, bahkan
membebaskannya dari pada duka. Akan tetapi yang dipikirkan adalah perkumpulan
Gagak Seto. Siapa yang akan menggantikannya"Dia tidak mempunyai keturunan dan
juga tidak ada seorangpun muridnya, pria maupun wanita, yang pantas untuk
dijadikan penggantinya. Kalau Gagak Seto kelak dipimpin oleh seorang yang tidak luhur budinya, tentu
akan berbahaya sekali dan dapat dibawa menyeleweng.
Tiba-tiba, ada gerakan di seberang danau kecil itu menarik perhatiannya. Tadinya
disangka seekor binatang yang bergerak di sana. Akan tetapi ketika dia
mengamati, ternyata bukan binatang, melainkan seorang anak perempuan. Anak
perempuan itu berpakaian compang-camping. Tubuhnya hanya tertutup sehelai kain
berkemben yang sudah roberk-robek, rambutnya yang panjang terurai lepas dan di
bagian pundaknya kelihatan berlepotan darah.Usia anak itu sekitar sepuluh
tahun.Jantung Ki Sudibyo berdebar tegang. Anak itu berada di tebing, di atas
danau yang berada di depannya itu.
Tidak kurang dari lima belas meter tingginya dan tebing-tebing itu8 penuh dengan
batu-batu yang tajam. Anak itu kini merangkak-rangkak, sikapnya ketakutan
seperti hendak melarikan diri dari suatu yang ditakutinya.
"Heiii, hati-hati, engkau bisa jatuh!" teriak Ki Sudibyo. Akan tetapi peringatan
itu terlambat sudah. Terdengar anak itu menjerit dan tubuhnya tergelincir jatuh
ke bawah! "Byuuurrr........!!!" Air telaga muncrat ke atas dan tubuh anak perempuan itu
tertelan lenyap. "Celaka .........!" Ki Sudibyo sudah cepat bangkit dan meloncat ketelaga, lalu
berenang secepatnya ke arah jatuhnya anak tadi. Di situ dia menyelam dan tak
lama kemudian dia sudah muncul kembali sambil mengangkat tubuh anak perempuan
itu dengan sebelah tangannya, sedangkan sedangkan dengan kakinya dan sebelah
tangannya dia cepat berenang ke tepi danau.
Anak itu tidak terluka parah, keadaannya tidak berbahaya, hanya pingsan. Setelah
dirawat sebentar, anak itu siuman lalu menangis ketakutan.
"Diamlah, nini, jangan menangis. Jangan takut, aku bukan orang jahat. Aku yang telah menolongmu dari
dalam telaga tadi. Tenaglah."
Anak itu memang tadinya menangis karena takut. Mendengar ucapan itu, ia berhenti
me- nangis, menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan kini sepasang mata
memandang wajah Ki Sudibyo baru melihat kenyataan bahwa anak perempuan ini
cantik sekali. Kulitnya halus kuning, rambutnya panjang hitam subu, matanya
bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora. Hidungnya kecil mancung,
bibirnya mungil dan manis sekali, seperti wajah puteri bangsawan.
"Benarkah, paman" Engkau.......engkau bukan seperti mereka yang jahat. Mereka
yang membunuh.....ayahku......" "Gadis cilik itu agaknya baru teringat akan ayah
ibunya. Ia lalu menangis memanggil-manggil nama ayah ibunya.
"Tenangkan hatimu, nini. Aku bukan orang jahat dan aku akan membantu ayah ibumu
kalau mereka terancam bahaya. Apakah yang telah terjadi dengan ayah ibumu"
Siapakah mereka dan di mana mereka sekarang?"
Kembali anak itu berhenti menangis dan kini memandang kepada Ki Sudibyo dengan
sinar mata penuh permohonan dan harapan.
"Paman, namaku adalah Niken Sasi"
Ki Sudibyo mendengarkan sambil mengobati luka di pundak anak itu dengan daun
picisan dan widoro upas, karena hanya dua macam rempa-rempa itu yang bisa
didapatkan di situ. Akan tetapi obat ini cukup mujarap, menghentikan keluarnya
darah dan mendatangkan rasa dingin sejuk pada bagian yang terluka.
Akan tetapi ketika anak itu melanjutkan penuturannya. Ki Sudbyo makin tertarik,
bahkan kini dia memandang dengan mata terbelalak.
"Ayahku adalah Raden Mas Rangsang dan ibuku Dewi Muntari dan kami tinggal di
kota raja........." "Ayahmu Raden Mas Ramsang, mantu sang Prabu?" Tanya Ki Sudibyo dengan hati kaget
bukan main. Anak itu mengangguk. "Ayah dan ibu mengadakan tamasya di sekitar gunung
Anjasmoro, diiringkan belasan orang pengawal. Akan tetapi di lerenga gunung kami
diserang oleh puluhan orang penjahat.......aku melihat ayah roboh mandi
darah.......dan ibu.......ibuku dilarikan penjahat....." Anak itu menangis lagi,
teringat kepada orang tuanya.
"Jagat dewo Bathoro .....!" Ki Sudibyo berseru. "Siapa berani mengganggu
keluarga kerajaan Daha" Gusti Puteri, bagimana hal itu bisa terjadi" Bukankah
ada belasan orang pengawal yang melinduangi paduka sekeluarga?"
"Entahlah, para pengawal itu juga memberikan perlawanan, akan tetapi mereka
segera melarikan diri meninggalkan ayah seorang diri melawan penjahat. Akan
tetapi sebelum itu, ibuku menyuruh aku melarikan diri. Aku turun naik jurang,
tubuhku luka-luka, pernah aku terguling ke dalam jurang. Untung tidak sampai
mati.....dan dan aku tiba di sini, tergelincir masuk danau .....untung ada
andika yang menyelamatkan aku, paman."
"Jangan khawatir, Gusti Puteri Paduka akan hamba antarkan kembali ke kotaraja
dan tentu keluarga kerajaan akan mengirim pasukan untuk mencari ibunda paduka
dan......" "Jangan.......! Ah, paman, kasihanilah aku, jangan bawa aku ke istana. Setelah
ayah meninggal dan ibuku lenyap, aku tidak berani kembali ke istana. Jangan bawa
aku ke sana, paman. Dan biarkan aku tinggal disini bersama paman .......!"Anak
itu memegang tangan Ki Sudibyo dengan tangan gemetar ketakutan.
Ki Sudibyo memandang heran. "Harap paduka jangan takut, tidak akan ada orang
yang berani mengganggu paduka, selama ada hamba di sini. Gusti puteri."
"Tidak, biarkan aku mati saja menyusul ayahku kalau engkau akan mengantar akau
kembali ke istana!" Tentu saja Ki Sudibyo terkejut dan heran bukan main. Seorang cucu Sang Prabu
Jayabaya tidak mau diantar kembali ke istana! Sungguh aneh sekali.
Akan tetapi kenapa, Gusti" Kenapa paduka tidak mau kembali ke istana ?"
"Di sana tempat orang-orang jahat yang membenciku, yang membenci kami. Tidak,
aku lebih senang tinggal di sini bersamamu, paman. Boleh, ya, paman Boleh , Ya?"
Suara anak itu demikian merengek manja sehingga Ki Sudibyo merasa tidak tega
untuk membantah. " Dn harap jangan sebut aku gusti puteri, jangan memberitahu
kepada siapapun juga bahwa aku adalah cucu Eyang Prabu. Paman, aku ingin ikut
paman, menjadi anak dusun biasa."
Ki Sudibyo mengangguk-angguk. Tentu anak itu mempunyai alasan kuat sekali
mengapa me- ngajukan permintaan aneh itu. Biarlah untuk sementara dia tidak
membantah karena anak ini agaknya menalami guncangan batin yang hebat.
"Baiklah, Niken Sasi, mari engkau kuantar pulang dulu. Engkau perlu beristirahat
di rumah kami dan aku akan mencoba mencari ibumu."
Karena anak ini masih gemetar tubuhnya dan masih amat lemah, Ki Sudibyo lalu
memon- dongnya dan membawanya pulang. Tentu saja para anggota dan murid Gagaki
Seto merasa heran bukan main melihat ketua mereka pulang sambil memondong
seorang anak perempuan yang agaknya pingsan atau tidur dalam pondongannya.
"Anak ini terpisah dari orang tuanya dan terjatuh ke dalam telaga. Coba tolong
memberi kain kering kepadanya." Ktanya kepada beberapa orang murid wanita.Anak
itu segera dibaringkan ke atas dipan dan mendapat perawatan para murid wanita.
Setelah Niken Sasi terbangun. Ki Sudibyo berkata dengan lembut kepadanya. "Niken
Sasi, engkau istirahat dulu bersama para muridku. Engkau akan aman di sini. Aku
akan mencoba mencari ibumu."
Anak perempuan itu mengangguk-angguk, memandang kepada empat wanita yang gagah
yang berada di situ, lalu memegang tangan KI Sudibyo.
"Paman, janagn lama-lama, ya paman. Aku .........aku takut kalau ditinggal
paman............" Ki Sudibyo merasa hatinya tertusuk rasa haru. Gadis cilik ini agaknya jarang
mendapatkan kasih sayang orang sehingga ia takut menghadapi orang-orang yang
belum di kenalnya. Gadis itu percaya kepadanya karena sudah terbukti tadi bahwa
dia menolongnya. "Jangan khawatir, Niken Sasi. Aku pergi takkan lama,dan tidak ada seorangpun di
sini yang berani mengganggumu. "katanya sambil mengelus rambut kepala anak itu.
Niken Sasi memandang kepadanya dengan mata yang bersinar-sinar kemudian
mengangguk dengan punuh kepasrahan dan kepercayaan.
Ki Sudibyo melupakan keadaan tubuhnya yang tidak sehat, bahkan ketika dia
menuruni lereng bukit Anjas noro, dia merasakan sesuatu kegembiraan baru dalam
hatinya. Dia seolah merasa seperti dahulu, di waktu kedukaan belum melanda
hatinya, di waktu dia masih belum jatuh hati kepada Ni Sawitri, masih menjadi
seorang pendekar yang suka melakukan perjalanan merantau seorang diri, menentang
kejahatan dan membela kebenaran dan keadailan.
Dengan melakukan perjalanan cepat, sambil berlari cepat, akhirnya tibalah dia di
tempat yang diceritakan Niken Sasi tadi, di atas sebuah diantara lereng-lereng
gunung Anjasmoro. Dan tidak sukar baginya menemukan jenazah ayah anak perempuan
itu. Hanya ada satu saja jenazah menggeletak di situ, maka tidak ragu lagi bahwa ini
tentunya jenazah Raden Mas Ramsang, mantu Sang Prabu Jayabaya di daha. Seorang
laki-laki yang tampan dan matinya juga gagah, dengan tubuh penuh luka.Dia merasa
heran sekali bagaimana bangsawan muda ini dapat mati dikeroyok sedangkan para
pengawalnya yang belasan orang banyaknya itu tidak seorangpun tewas. Dan mengapa
pula para pengawal yang melarikan diri itu lupa menyingkirkan jenazah bangsawan
itu" Melihat jenazah orang muda itu menggeletak di tempat sunyi, Ki Sudibyo merasa
iba. Kalau tidak diurusnya jenazah itu, tentu akan membusuk atau dimakan
binatang buas. Dia lalu menggali lubang di bawah pohon kenanga, dan dikuburnya
jenazah itu dengan sederhana. Kemudian, dia meletakkan sebuah batu sebesar
gentong di atas kuburan sebagai tanda kalau-kalau kelak puteri Raden Mas
Rangsang itu akan mencari kuburan ayahnya.
Setelah selesai mengubur jenazah Raden Mas Rangsang dan hendak meninggalkan
tempat itu, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap gerakan orang. Ki
Sudibyo berdiri tegak dengan kaki terpentang. Dia tadi menanggalkan bajunya
ketika menggali lubang dan menguburkan jenazah itu, dan kini bajunya itu masih
belum dipakainya kembali, masih tergantung di pundak kirinya.Dia hanya memakai
celana hitam sebatas lutut dan kain yang dipakainya dicincangkan ke atas. Rambut
yang panjang dan bercampur putih itu diikatnya dengan kain hitam pula dan
selebihnya, badannya tidak mengenakan pakaian lain. Tubuh itu nampak jangkung
dan agak kurus, namun ketika di berdiri, dai nampak kokoh dan anggun penuh
wibawa. Keris pusaka Sang Megantoro terselip di ikat pinggangnya. Tubuhnya yang
berdiri tegak itu sama sekali tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang
bergerak perlahan, melirik ke kanan kiri penuh kewaspadaan. Dia bagaikan Sang
Bima sena sedang menghadapi bahaya, begitu tenang, santai penuh kepercayaan
kepada diri sendiri. Tak lama kemudian nampak bermunculan belasan orang yang rata-rata bertubuh
tinggi besar dan mereka memegang sebatang golok telanjang yang berkilauan saking
tajamnya. Bentuk golok ini semua sama, melengkung dan gagangnya terukir kepala
anjing srigala, dengan ronce merah sebagai lidah kepala srigala itu. Dengan
sikap beringas dan penuh ancaman, tigabelas orang itu sudah mengepung dan
mengitari kI Sudibyo. "Keparat"terdengar Ki Sudibyo berkata dengan suaranya yang dalam parau dan
berpengaruh. "Gerombolan anjing dari mana berani mengacau daerah Anjasmoro yang
di kuasai Gagak Seto?"
Tigabelas orang itu, seperti menanti sebuah komando,tertawa bergelak mendengar
ucapan Ki Sudibyo itu. Dan berkat dengan suara garang."Bagus Ki Sudibyo. Engkau
hendak menggertak kami dengan dengan nama Gagak Seto yang sebentar lagi akan
kami hancurkan" Kami memang membiarkan engkau mengburkan jenazah itu, setelah
itu engkau sendiri yang akan menggantikan jenazah itu, menggeletak di sini
menanti datangnya binatang buas yang akan memangsamu, ha-ha-ha!"
Wajah Ki Sudibyo menjadi merah karena marahnya. "Bukankah kalian ini anak buah
kelom- pok Jembuka Sakti (Srigala Sakti) dari Lereng Bromo" Setahuku ketua
kalian, Brotokeling, tidak pernah memusuhi Gagak Seto! Apa yang kalian
kehendaki?" "Kami menghendaki nyawamu"bentak tigabelas orang itu dan mereka sudah menerjang
maju dari segala jurusan, menyerang dengan golok mereka.
Ki Sudibyo merasa heran, akan tetapi juga marah sekali. Baru saja, dia juga
diserang oleh dua orang yang dikenalnya sebagai Sepasang Keris Maut dari Nusa
barung, diserang tanpa sebab oleh dua orang tokoh yang dikenalnya sebagai
pembunuh-pembunuh bayaran itu. Jelasa ada orang yang menghendaki kematiannya dan
kenyewa dua orang itu. Untung dia dapat menandingi mereka dan membuat mereka
melarikan diri. Dan sekarang tahu-tahu geroembolan. Jambuka Sakti dari lereng
Bromo mengepung dan menyerangnya. Padahal, walaupun mungkin ketua mereka ,
Brotokeling yang terkenal jagoan, menganggap dia sebagai saingan. Dia tidak
pernah bergaul dengan kelompok seperti Jambuka Sakti itu, karena dia tahu bahwa
perkumpulan itu adalh perkumpulan para penjahat yang tidak segan melakukan
segala macam kejahatan. Akan tetapi, biarpun jalan mereka bersimpang, KI Sudibyo
merasa belum pernah bentrok dengan mereka.
Melihat gerakan tigabelas orang itu ketika memainkan golok, diam-diam Ki Sudibyo
terkejut. Ternyat bukan anak buah rendahan yang datang menyerangnya, tentu
merupakan murid-murid pilihan karena gerakan golok mereka cukup tangkas, cepat
dan bertenaga sehingga terdengar suara berdesing berbisik ketika mereka semua
menggerakkan golok. Tiga batang golok menyerang dari arah belakang. Ki Sudibyo menggerakkan tangan
kirinya yang memegang baju hitamnya sambil memutar tubuh. Baju itu terkembang
dan dan menangkis tiga batang golok. Para penyerang itu terkejut bukan main
karena tangkisan baju itu membuat golok mereka terpental dan kalau mereka tidak
cepat melompat ke belakang, tentu mereka akan kena hantaman baju yang ketika
digerakkan oleh Ki Sudibyo berubah menjadi senjata yang amat kuat. Belasan orang
itu menjadi marah dan menyerang serentak. Ki Sudibyo maklum bahwa dirinya berada
dalam bahaya, maka sambil memutar baju hitamnya dengan tangan kiri, diapun
mencabut keris pusakanya. Ketika dia menggerakkan keris, nampak seperti ada awan
aatau uap putih menyambar dan terdengar pekik seorang pengeroyok yang roboh
dengan tangan berdarah. Kiranya Goloknya tadi patah dan terlempar ketika bertemu
dengan keris dan tangannyapun terluka. KI Sudibyo terus mengamuk dengankeris.
Sepak terjangnya mengerikan sekali. Dia seperti Bimasena mengamuk dengan
Pancanaka-nya. Setiap kali ada kilatan keris Megantoro menyambar, tentu ada
seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu tak lama, sudah ada enam orang
pengeroyok yang roboh, baik oleh kerisnya, maupun hantaman baju hitamnya. Para
pengeroyok itu agaknya maklum bahwa mereka tidak akan menang, maka sambil
menyeret tubuh kawan-kawan yang terluka merekapun melarikan diri dari situ.
Ki Sudibyo masih berdiri tegak membiarkan mereka pergi melarikan diri.Tubuhnya
mengkilap oleh keringat dan biarpun nampaknya dia tenag saja akan tetapi dari
dadanya yang kembang kempis, perutanya yang naik turun dapat diketahui bahwa
pendekar perkasa ini terengah-engah melalui hidungnya. Dia memejamkan kedua
matanya dan setelah pernapasannya biasa kembali, barulah dia mengebut-ngebutkan
bajunya dan mengenakan baju itu setelah menempelkan keris pada dahi dan dadanya
lalu menyarungkannya. Dia menahan rasa nyeri pada dadanya. Aku harus menjauhkan
diri dari perkelahian, pikirnya. Kalau dia bertemu dan bertanding dengan lawan
tangguh, dia bisa celaka. Padahal dalam keadaan biasa belasan orang tadi sama
sekali tidak ada arti baginya. Tubuhnya lemah sekali. Setiap kali mengerahkan
tenaga sakti, tentu dadanya terasa nyeri dan pernapasannya memburu dan tertekan.
Akan tetapi Ki Sudibyo masih mempertahankan diri dan dia melanjutkan usahanya
mencari Dewi Muntari, ibu Niken Sasiyang menurut anak perempuan itu katanya
ditangkap dan dialrikan diri penjahat. Akan tetapi sampai hari menjadi sore, dia
tidak berhasil menemukan jejak wanita itu. Apakah Dewi Muntari ditangkap oleh
gerombolan Jambul Sakti" Aku akan mengirim utusan dan minta dengan hormat kepada
Ki Brotokeling agar membebaskannya, kalau benar wanita itu ditawannya.
Tentu Brotokeling masih mau memandang kepadanya untuk memnuhi permintaannya.
Kalau permintaannya ditolak, hemm, bagaimana nanti sajalah.
Akhirnya dia kembali ke Anjasmoro. Kalau menuruti kata hatinya, andaikat dia
seperti dahulu yang berwatak penuh semangat dan tubuhnnya tidak selemah ini, dia
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentu langsung saja pergi mengunjungi Brotokeling dilereng Bromo!
Setibanya di Anjasmoro, dia disambut oleh Niken Sasi yang berlari keluar
menyambutnya. Diam-diam Ki Sudibyo kagum sekali. Anak itu kini sudah penuh
semangat, tidak seperti ketika ditinggalkan. Ia sudah meniru dandanan para murid
Gagak Seto, ringkas dengan celana, kain dan baju hitam, rambutnya diikat sutera
merah. Nampak cantik manis dan gagah sekali.
"Paman, bagaimana, paman" Sudahkah paman dapat menemukan ibuku?"
Ki Sudibyo memegang tangan kanan anak itu dan hatinya sendiri merasa
tertegun.Kenapa jantungnya berdebar begini tegang dan mengapa ada perasaan
gembira dan bahagia menyelinap di hatinya ketiak melihat anak itu datang
menyambutnya dan ketika tanganya memgang dan menggandeng tangan kecil itu"
Dia menarik Niken Sasi ke dalam rumah sambil berkata singkat, "Niken mari kita
bicara di dalam." Anak ini rupanya cerdik pula. I teringat bahwa ia ingin menyembunyikan siapa
dirinya yang sebetulnya, oleh karena itu, iapun tidak bertanya lagi dan
mengikuti ketua Gagak Seto itu masuk ke ruangan dalam. Setelah tiba di ruanan
dalam, kI Sudibyo membiarkan para muridnya yang bertugas melayaninya,
menyediakan minum dan mengganti pakaiannya. Setelah selesai, dia lalu memberi
isyarat kepada mereka untuk meninggalkan dia berdua saja dengan Niken Sasi.
"Niken Sasi, aku telah menemukan jenazah ayahmu dan telah menguburkannya dengan
baik. Kuberi tanda dengan batu agar kelak engkau dapat mencari kuburan ayahmu
itu." Pendekar itu lalu diam biarpun dia maklum betapa anak itu menanti
kelanjutan ceritanya, terutama mengenai ibunya.
Setelah agak lama Ki Sudibyo berdiam diri, Niken lalu bertanya dengan suara yang
bening. "Dan bagaimana dengan ibuku, paman " Sudahkah paman menemukannya dan
bagimana keadaan ibuku?"
Ki Sudibyo menghela napas panjang lalu memandang kepada anak itu dan menggeleng
kepalanya. "Sayang sekali aku tidak berhasil menemukan jejak ibumu, Niken." Dia
melihat betapa sinar penuh duka dan kecewa menyelubungi pandangan mata nak itu,
maka dia cepat berkat, "Akan tetapi jangan putus asa dan jangan khawatir, Niken.
Sekarang juga aku akan mengutus anak buahku untuk mencari di seluruh pelosok
Anjasmoro ini. "Mudah-mudahan saja anak buahku akan berhasil menemukan ibumu."
Ah, terima kasih, paman!" kata Niken dengan girang. "Aku telah menyusahkan
paman. Aku hanya ingin memperoleh kepastian tentang keadaan ibuku paman."
"Aku mengerti, Niken." Ki Sudibyo segera bertepuk tangan dan dua orang muridnya
muncul."Panggil Klabangkoro dan Mayangmurko ke sini."
Murid-murid wanita itu keluar dan taklama kemudian muncullah dua orang laki-laki
yang selain menjadi murid juga menjadi wakil ketua itu selama bertahun-tahun
ini. Selain orang-orang muda dari dusun yang masuk menjadi murid Gagak Seto
mempelajari ilmu kanuragan juga terdapat banyak sekali gerombolan penjahat yang
telah ditaklukan Gagak Seto kemudian menggabungkan diri dengan perkumpulan ini
setelah bersumpah untuk mengubah jalan hidup mereka.Di antara para gerombolan
itu terdapat Klabangkoro dan Mayangmurko ini. Dan Ki Sudibyo merasa puas melihat
keduanya karena selama ini memperlihatkan sikap yang baik, taat dan setia
kepadanya. Karena itu, mengingat bahwa di antara para muridnya, kedua orang ini
yang paling tangguh ilmunya, dia mengangkat keduanya menjadi wakilnya.
Setelah dua orang itu masuk ke ruangan itu, mereka memberi hormat kepada Ki
Sudibyo dan Klabangkoro bertanya, "bapa guru memanggil kami" Ada petunjuk
apakah, Bapa guru?" "Klabangkoro dan Mayangmurko, engkau bawalah anak buah secukupnya dan carilah
seorang wanita, ibu anak ini yang kabarnya ditangkap penjahat. Carilah ia sampai
ketemu atau setidaknya sampai mendengar di mana ia berada dan bagaimana keadaan.
Juga, perlu kalian ke lereng Bromo, menemui Ki Brotokeling."
"Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Bapa guru?" Klabangkoro bertaya dan matanya
yang lebar itu terbelalak.
"Benar. Kalian pergilah menghadap Brotokeling dan berikan suratku kepadanya,
minta balasan." "Baik, Bapa guru. Kapan kami berdua berangkat?"
"Sekarang juga. Bawa perbekalan secukupnya. "
Dua orang pembantu itu memberi hormat dan keluar dari rumah itu untuk
melaksanakan tugas mereka. Setelah kedua orang itu pergi Ki Sudibyo menoleh
kepada Niken Sasi sambil tersenyum.
"Nah, engkau mendengar sendiri . Niken .Aku sudah menyuruh anak buahku untuk
mencari ibummu." Niken Sasi tiba-tiba berlutut dan menyembah kepada pendekar itu. Ki Sudibyo
terkejut sekali dan cepat-cepat dia mengangkat anak itu bangun. Anak perempuan
itu adalah seorang puteri cucu Sang Prabu Jayabaya, bagaimana boleh
menyembahnya" "Ahhh, Niken! Apa yang kau lakukan ini" Engkau tidak boleh memberi hormat
seperti itu kepadaku. Ingat, engkau seorang puteri!"
"Paman. Harap jangan sebut itu lagi. Paman sudah berjanji akan merahasiakan
asal-usul dariku." kata anak itu memperingatkan. "Biarlah aku menjadi muridmu,
paman. Perkenankan aku menyebut paman sebagai bapa guru,seperti para kakak yang berada
di sini. Aku ingin mempelajari ilmu kanuragan agar kelak kemudian hari aku
dapat....." "Membalas dendam?" Ki Sudibyo menyambung.
"Tidak, Bapa. Membalas kepad siapa " Aku akan mempergunakan kepandaianku untuk
menentang para penjahat, membela kaum lemah tertindas, mempertahankan kebenaran
dan keadilan!" Sudibyo tersenyum. Dia memang sudah merasa suka sekali kepada anak perempuan
ini. Merasa iba dan juga kagum dan dua perasaan ini berkembang menjadi rasa
kasih sayang. Kemudian dia teringat. Sudah lama dia merindukan seorang murid
yang baik, seorang murid yang dapat dia wariskan seluruh ilmunya, seorang murid
yang kelak akan menggantikan dia memimpin Gagak Seto, yang akan mengangkat
tinggi namanya dan nama Gagak Seto. Mengapa tidak" Agaknya Niken Sasi memiliki
bakat yang baik dan anak ini memiliki ketabahan, keberanian dan semangat. Hal
ini tidak mengherankan karena di dalam tubuhnya masih mengalir darah bangsawan
tinggi, tarahing kusumo rembesing madu. Keturunan Sang Prabu Jayabaya, seorang
raja yang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Tentun saja keturunannya, biarpun
wanita, bukan orang biasa!
"Baiklah, Nini! Baiklah, dengan bangga dan girang sekali aku menerima
permintaanmu dan mulai saat ini, engkau menjadi muridku! Engkau rajinlah belajar
dan bersiaplah, niken, karena aku, gurumu akan mengajarkan semua ilmu yang
kukuasai kepadamu, yang tak pernah kuajarkan kepada murid lain. Akan tetapi, ada
satu hal yang ingin sekali kuketahui. Mengapa engkau tidak ingin kembali ke
istana, di mana terdapat keluarga istana ,keluargamu" Padahal, semestinya, aku
membawamu ke istana dan di sana engkau akan diteriam dengan baik, bahkan Gusti
Prabu tentu akan berusaha mencari ibumu. Nah ceritakanlah kenapa engkau hendak
menyembunyikan dirimu dan tidak ingin kembali ke istana ?"
Anak itu mengerutkan alisnya, menghela napas beberapa kali kemudian berkata,
"Sebetulnya tidak baik aku menceritakan semua ini kepadamu, paman. Akan tetapi
kalau tidak aku ceritakan tentu paman bertanya-tanya. Baiklah, terus terang saja
aku benci hidup di dalam istana, paman!"
"Eh, kenapa" Bukankah eyangmu Sang Prabu Jayabaya adalah seorang raja yang agung
biantara dan sakti mandraguna, juga arif bijaksana?"
"Memang benar, akan tetapi beliau selalu sibuk dengan pekerjaan dan dikelilingi
oleh para penjilat yang kesemuanya memakai bermacam-macam kedok."
"Ehh", Memakai kedok?"
"Benar, paman. Memang tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Aku melihatnya
betapa muka mereka selau dipasangi kedok kalau mereka menghadap Eyang Prabu.
Dan dengan kedok itu mereka bersikap manis dan baik, dan bermuka-muka menjilat-
jilat. Kautahu, paman, di istana aku selalu menerima penghinaan dan cemohan. Aku
dikatakan gadis dusun, darah petani sama sekali tidak mempunyai darah bangsawan.
Katanya, eyang puteri hanya anak pendeta, sedangkan ayahku juga hanya seorang
biasa, bukan bangsawan, hanya seorang perwira muda yang karena jasa-jasanya lalu
dinikahkan dengan ibuku. Katanya aku bocah dusun. Tidak, aku tidak sudi kembali
ke istana. Bahkan sebelum meninggal dunia, ayah seringkali bicara dengan ibu
tentang keinginannya pindah keluar istana. Aku lebih suka di isni, menjadi gadis
petani, paman." Ki Sudibyo menghela napas panjang. Gadis ini masih kecil akan tetapi sudah
mempunyai perasaan yang halus, memiliki harga diri yang tinggi dan dia pun diam-
diam terkejut, tidak mengira bahwa di dalam istana, di mana tinggal keluarga
bangsawan tertinggi yang penuh dengan tata-susila dan kebudayaan, ternyata
terdapat perasaan iri hati dan persaingan, bahkan seperti kata Niken Sasi,
menjadi sarangnya para penjilat yang memakai topeng palsu!
Dan murid barunya ini, Niken Sasi yang baru berusia sepuluh tahun, ternyata
telah mampu melihat topeng-topeng palsu yang dipakai manusia. Hal ini sungguh
merupakan suatu kewaspadaan yang luar biasa bagi seorang anak sekecil itu.
Maka mulai hari itu dia menggembleng anak itu dengan penuh kesunguhan hati,
dengan tekun dan rahasia sehingga para murid lain tidak tahu bahwa baru sekali
ini guru mereka menurunkan ilmu-ilmunya yang hebat ke-pada seorang murid. Karena
mengira bahwa Niken sasi juga hanya menerima pelajaran ilmu kanuragan seperti
yang mereka pelajari pula, maka bahkan Klabangkoro dan Mayangmurko tidak terlalu
memperdulikan bocah itu. *** Apa sesungguhnya yang terjadi dengan Dewi Muntari, isteri Raden Mas Rangsang dan
ibu Niken Sasi itu" Dewi Muntari adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun
yang cantik jelita dan nampak jauh lebih muda dari usia yang sebnarnya. Bagaikan
buah, ia sedang masak-masaknya. Wajahnya yang bulat telur itu berdagu runcing
manis. Kulit nya putih kemerahan seperti kulit bayi. Rambutnya hitam lebat dan
panjang iakl mayang, ngandan-andan. Alisnya hitam kecil melengkung menjaga
sepasang mata yang pandanganya sayu, sepasang mata yang jeli dan kedua ujung
pelupuk mata agak menjungkat ke atas sehingga mata itu nampak indah
menggairahkan. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya juga kecil, lebar sedikit
saja dari hidungnya, dengan bibir yang selalu segar merah basah. Sungguh Dewi
Muntari adalah seorang wanita muda yang cantik jelita.
Kecantikan selalu mendatangkan berkah.Sejak masih perawan tanggung, Dewi Muntari
sudah menderita karena kecantikan wajahnya. Para puteri istana lainnya merasa
iri hati kepadanya. Padahal Dewi Muntari berwatak baik, rendah hati dan juga
pandai membawa diri.Iapun menyadari bahwa dari pihak ibu, ia hanyalah keturunan
sorang pertapa sederhana yang hidup melarat di puncak gunung.Ibu kandungnya
puteri seorang pertapa, bahkan ibunya tidak sempat diboyong sebagai selir oleh
Sang Prabu Jayabaya. Ibunya telah meninggal dunia di tempat pertapaan kakeknya,
dan ketika dia berusia limabelas tahun, ia diantar kakeknya menghadap Sang Prabu
Jayabaya. Ia lalau diakui oleh Sribaginda dan mulai saat itulah ia hidup di
istana sebagai puteri raja. Akan tetapi, hal ini mendatangkan iri dalam hati
para puteri lainnya. Apa lagi Dewi Muntari demikian cantik sehingga hampir semua
pria muda di lingkungan istana memuji-muji kecantikannya.
Empat tahun saja Muntari hidup sebagai puteri raja. Seorang perwira muda bernama
Rangsang berjasa membasmi gerombolan pengacau di sebelah barat kota raja.
Ramsang menerima anugerah dan di jodohkan dengan Dewi Muntari. Hal inipun
merupakan hasil siasat para saingan Muntari yang melalui penasihat raja
melaksanakan dendamnya kepada Muntari agar gadis ini menikah dengan Ramsang dan
tidak lagi menjadi saingan dalam istana!
Dewi Muntari adalah seorang puteri yang setia dan taaat kepada Sribaginda Raja.
Ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang ketika soal perjodohan
disampaikan padanya. Ia percaya sepenuhnya kepada ayahnya dan ia yakin tentu
selalu ayahnyamenghendaki hal yang terbaik baginya. Dan kenyataannya memang
demikianlah. Ternyata suaminya yang kini mendapat sebutan Raden Mas Rangsang itu
adalah seorang pemuda yang baik hati, berwajah tampan dan gagah perkasa.
Pendeknya seorang satria sejati! Dengan mudah Muntari dapat jatuh cinta kepada
suaminya dan mereka hidup berbahagia. Sang Prabu Jayabaya yang suka menyayang
Muntari kerena puterinya ini sudah kehilangan ibu dan sejak kecil hidup sebagai
bocah petani di pegunungan, menahan puterinya itu dan membolehkan menempati
beberapa ruangan di dalam istana bersama suaminya.
Suami isteri yang saling mencintai itu setahun kemudian mendapatkan seorang anak
perempuan yang mereka beri nama Niken Sasi. Penderitaan yang dirasakan Dewi
Muntari karena kecantikannya, ternyata dirasakan pula oleh Niken Sasi yang sejak
kecil sudah dapat merasakan hal ini. Anak yang mungil ini disayang oleh
kakeknya, dan banyak pula yang menyayangnya, dan hal ini mendatangkan rasa iri
dan dengki kepada mereka yang membenci Dewi Muntari. Inilah sebabnya Niken Sasi
merasa tidak kerasan tinggal di dalam istana. Ia seringkali mendapat makian dan
ejekan yang menghina dari para puteri lain.
Dewi Muntari memang merencanakan untuk pindah dan meninggalkan istana, akan
tetapi rencana ini tidak pernah dapat terlaksana karena Sang Prabu Jayabaya
menyayang keluarga ini dan menahannya. Suami isteri ini tentu saja tidak berani
berterus terang kepada Sang Prabu Jayabaya tentang permusuhan yang mereka
hadapi, karena pelaporan seperti ini akan mendatangkan kesan buruk kepada mereka
sendiri. Demikianlah, uantuk menghibur hati mereka ketika Niken Sasi sudah berusia
sepuluh tahun, Raden Mas Rangsang mohon ijin kepada Sang Prabu Jayabaya untuk
berpesiar bersama anak isterinya. Dia diijinkan dan disuruh membawa pasukan
pengawal. Akan tetapi, agar tidak menimbulkan iri kepada pangeran lainnya yang
juga memandang rendah kepadanya, Raden Mas Ramsang hanya membawa duabelas orang
perajurit pengawal. Ketika pada pagi hari itu mereka tiba di penggunungan Anjasmoro, mereka
menikmati keindahan gunung itu. Tiba-tiba bermunculan puluhan orang. Tidak
kurang dari lima puluh orang mengepung mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka
menyerang Raden Mas Ramsang. Tentu saja panglima muda ini mengamuk untuk
mempertahankan diri dan membela anak isterinya. Juga selosin orang pengawalnya
nampak menyambut serangan puluhan orang itu. Mungkin karena terdesak oleh jumlah
lawan yang jauh lebih banyak, dua belas perajurit dah inipun mundur dan akhirnya
melarikan diri. Tinggal Raden Mas Rangsang yang masih mengamuk dengan kerisnya.
Hebat memang sepak terjang panglima muda ini. Bagaikan seekor singa yang membela
anak isterinya dia berloncatan dan berkelebatan dengan cepat dan tangkas. Tidak
Pusara Keramat 2 Pendekar Rajawali Sakti 184 Kembang Lembah Darah Bayangan Kematian 2