Kubah 2
Kubah Karya Ahmad Thohari Bagian 2
belakang merah. Namun orang segera mendapat kesan; si pemilik perpustakaan itu
seorang yang gemar membaca. Tak kelihatan sebuah buku pun yang masih bersih.
Semuanya sudah berminyak karena sering dijamah oleh tangan pemiliknya.
Brosur-brosur stensilan tertumpuk di sebelah bawah, kelihatan sudah lecek.
Dua orang berada di dalam ruangan itu. Margo sedang memberikan laporan rutin
kepada atasannya. Sekali ini laporan yang menyangkut Karman menjadi titik pusat
pembicaraan. Laki-laki bergigi besi itu seperti biasanya, jarang tersenyum. Ia
tidak bergembira meskipun laporan yang sedang dibacanya memuaskan. Bahkan sekali
pun ia belum pernah memberi pujian kepada Margo.
Sesungguhnya Margo layak mendapat pujian itu. Karena sebagai kader partai, hasil
kerjanya dapat diukur pada peristiwa Pemilihan Umum tahun 1955. Pada saat itu di
Pegaten hanya ada tujuh suara yang memilih partainya. Tetapi pada pemilihan
untuk penentuan anggota konstituante yang diadakan setahun kemudian, jumlah 45
pemilih partainya menjadi tiga ratus lima puluh tiga. Kenaikan lebih dari lima
puluh kali. "Belum genap dua tahun Kawan Margo membina anak muda itu, dan Kawan telah merasa
yakin?" "Ya, saya sudah merasa yakin. Sudah saatnya Karman disumpah menjadi anggota
partai," kata Margo.
"Tidak terlalu tergesa-gesa?"
"Oh, itu hanya usul saya. Akhirnya Kawan yang akan memutuskan."
"Nanti dulu," ujar si Gigi Besi lagi. "Kawan Margo belum melaporkan kelemahan-
kelemahan yang ada pada diri Karman. Nah, Bung bisa menyebutkannya sekarang."
Margo tersenyum teringat keteledorannya. Kemudian ia mengusap dahinya yang
lebar. "Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang terpengaruh, dan
sewaktu-waktu bisa marah."
"Kecakapannya?"
"Dia sangat berbakat. Otaknya boleh."
"Saat ini umurnya menjejang dua puluh dua tahun?"
"Benar." Laki-laki itu diam. Urat nadi yang melentang pada dahinya menegang. Sambil
menyalakan rokok ia meneruskan, "Masih terlalu muda. Apalagi dengan watak-watak
yang kaukatakan tadi. Karman belum bisa kita sumpah. Yang penting, kendalikan
selalu anak itu. Dan. ."
Si Gigi Besi menjadi bersungguh-sungguh untuk memberi tekanan kepada kalimat
yang akan dikatakannya, "Kawan Margo masih ingat Rifah?"
"Ya, dia bekas pacar Karman," jawab Margo sungguh-sungguh.
"Suaminya meninggal sebulan yang lalu, bukan" Kudengar Harley-nya menabrak
pohon." "Memang begitu."
"Sekali lagi Kawan kurang teliti, dan teledor. Triman mengatakan kepadaku bahwa
terlihat gejala cinta Karman kepada Rifah kambuh kembali. Bagaimana pendapat
Kawan?" "Terlalu riskan membiarkan Karman berhubungan kembali dengan bekas pacarnya.
Memang, partai bisa mengambil keuntungan apabila Karman mampu memberi warna
merah pada keluarga Haji Bakir. Tetapi tampaknya mustahil."
"Bila demikian Kawan telah siap mencegahnya, bukan?"
"Maafkan saya, belum!"
"Oh ya, saya lupa Kawan bujangan. Barangkali Triman lebih cocok untuk menangani
masalah ini. Tetapi dengarlah, seorang yang menginginkan sate kambing, 46
keinginannya agak berkurang bila kepadanya kita sodorkan sesuatu sebagai
gantinya. Sate daging sapi misalnya. Kawan bisa mengerti apa yang saya maksud?"
Margo tertawa. "Dan partai mempunyai seorang perempuan yang punya bakat menjadi sate sapi
seperti itu." * * * Kematian Abdul Rahman tidak pernah mengusik hati Karman. Tetapi akibatnya, Rifah
menjadi janda. Dan itulah masalahnya.
Sudah dua tahun Karman berusaha keras melupakan anak Haji Bakir itu. Hampir
berhasil. Karman sudah mengenal gadis lain yang bila sekaya Rifah pasti ia lebih
cantik. Marni mempunyai lekuk di sudut bibir yang amat menarik. Selalu jantung
Karman terpacu bila terpandang kelebihan gadis yang ramping, berlengan kecil
serta bening suaranya itu. Marni selalu tampak tenang dan lembut.
Karman tidak memutuskan segera mengawini Marni, sebab ia takut mengalami
kegagalan untuk kali yang kedua. Atau kalau Karman mau berkata sejujur-jujurnya,
ia belum bisa melupakan Rifah sama sekali.
Tetapi bekas pacarnya itu kini menjadi janda. Garis waktu yang dilalui Karman
terasa mundur dua tahun. Kenangan dan harapan yang hampir terkubur itu perlahan-
lahan tumbuh kembali. Rifah masih tetap menarik meskipun sedang hamil, bahkan
kelihatan lebih matang. Karman dapat melihat dengan pasti ketika ia datang
melayat almarhum Abdul Rahman. Memang Karman tetap merasa enggan atau malu
terhadap keluarga Haji Bakir, sehingga ia tidak mengambil peran apa pun dalam
kesibukan merawat jenazah. Namun ia sempat melihat, bahkan berdekatan dengan
Rifah, yang berpakaian acak-acakan dan menangis. Pinggulnya rata karena janin
yang dikandungnya sudah berusia lima bulan. Tangisnya menyebabkan pipi dan ujung
hidungnya merah. Pokoknya pesona masih terkesan kuat pada tiap bagian tubuh
Rifah. "Akan terjadi banyak pemuda berebut melamar janda muda itu," kata Karman dalam
hati. "Lalu, mengapa aku harus diam" Tak ada harta yang dapat kubanggakan
memang, tetapi aku dapat memberi kesempatan kepada Rifah bergaul dengan kalangan
terhormat. Bila mau jadi istriku, Rifah akan duduk bersama Bu Camat, Bu Wedana,
Bu Penilik dalam resepsi tujuh belasan misalnya. Tidak mustahil pada suatu
ketika Rifah akan kugandeng sampai ke pendopo Kabupaten untuk ikut menghadiri
resepsi para pegawai pamongpraja."
Kemudian Karman tersenyum sendiri ketika teringat Rifah hanya melirik genit bila
dicubit tengkuknya. Itu dulu.
47 Tetapi lamunan Karman yang melangit selalu dibuat tawar oleh kenyataan yang
terpapar di depannya. Bagaimana pun sudah tergelar padang perbedaan di antara
dirinya dengan keluarga Haji Bakir. Karman sadar, sudah lama ia membenci
keluarga itu. Bukan mengada-ada bila ia menganggap Haji Bakir sebagai orang kaya
yang telah menguasai satu setengah hektar sawah orangtuanya secara tidak sah.
Seorang tuan tanah yang jahat, penuh kemunafikan. "Contoh nyata dari kelas
penindas," pikir Karman mengulangi ajaran gurunya, Margo.
Berhari-hari Karman terombang-ambing oleh pikiran sendiri. Pergulatan batinnya
semakin seru. Namun sampai kelopak matanya cekung karena kurang tidur, Karman
belum bisa memutuskan apakah ia akan melamar kembali Rifah atau tidak. Yang
jelas, ingatannya kepada anak Haji Bakir itu bukannya semakin surut. Malah
sebaliknya. Pada hari-hari yang membingungkan itu, Triman datang. Sikapnya khas, senyumnya
khas, seperti seorang ayah yang sangat bijaksana, yang selalu memahami suasana
hati anaknya. Melihat keadaan Karman, Triman tertawa kecil.
"Wah, kau kelihatan amat letih, Karman. Kukira apa yang kauperlukan sekarang
adalah istirahat barang beberapa hari. Rupanya kau terlalu banyak melek, bukan"
Yah. . janda muda itu bekas pacar pula! Aku tahu karena aku pun pernah jadi anak
muda." Merasa tertebak isi hatinya, Karman tersipu. Ia tertawa meskipun hambar
kedengarannya. "Rupanya tak berguna lagi saya berpura-pura," katanya.
"Memang kau tak perlu berpura-pura. Masalahnya, mengapa kau sampai membiarkan
dirimu menjadi kurus seperti itu. Tenang dan bersabarlah. Kulihat tak ada laki-
laki di Pegaten ini yang berani melamar Rifah. Jadi sekali lagi, bersabarlah.
Kau takkan ketinggalan kereta!"
"Kesulitan yang saya hadapi bukan hanya masalah sabar atau tidak," jawab Karman.
Mukanya beku. "Ya, saya mengerti. Justru dengan bersikap sabar persoalannya menjadi agak
ringan. Jangan paksakan dirimu, sakit kau nanti. Sekarang dengarlah usulku.
Ambil cuti tahunanmu supaya kau dapat pergi berlibur bersamaku. Ada sebuah jip
pinjaman yang bisa kita bawa ke Semarang. Gunakan kesempatan ini untuk
menenangkan pikiranmu. Langkah apa yang akan kauambil terhadap Rifah dapat
kautentukan sesudah badan serta pikiranmu segar, sepulang kita dari Semarang.
Bagaimana?" Terlalu mendadak tawaran yang menyenangkan itu schingga Karman memerlukan waktu
sesaat untuk memikirkannya. Sementara itu ia bangkit mengambil minuman ke
belakang. Bu Mantri mempunyai kecakapan istimewa dalam membuat tepung kopi,
seakan-akan ia menyimpan resep rahasia. Triman 48
selalu puas atas hidangan segelas kopi di rumah Karman. Setelah duduk kembali,
malah Triman yang menyambung pembicaraan.
"Saya tahu kau hanya mengenal ibu kota propinsi lewat lagu Gambang Semarang,
bukan" Seorang pegawai pamongpraja selayaknya mempunyai pengalaman yang nyata
atas keadaan pusat pemerintahan Jawa Tengah ini."
"Besok saya sudah dapat memberi jawaban yang pasti. Mari kita minum kopi ini
dulu, nanti dingin."
Apa yang mendorong Karman memutuskan ikut berlibur ke Semarang, ia sendiri tidak
dapat memastikan. Boleh jadi ia benar-benar ingin melihat kota itu, atau karena
ia selama ini tidak mampu menolak kehendak Triman.
Jip itu milik Tan Oen Sok, orang Baperki, organisasi kelompok Cina yang
prokomunis. Tan mempunyai dua pabrik tapioka dalam wilayah Kecamatan Kokosan.
Kegiatan perdagangan serta cadangan modal yang beredar di daerah itu sebagian
besar berada di tangan Tan, yang ternyata bisa kebal terhadap peraturan
Pemerintah. Tan tetap mempertahankan kewarganegaraan Cina, berarti melanggar
ketentuan Pemerintah yang melarang Cina asing tinggal di kota kecamatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1958 dilangkahinya. Kelak akan terbukti,
beberapa bulan sebelum terjadi geger Oktober 1965, Tan melakukan kegiatan
perdagangan yang aneh. Ia membeli mancung dalam jumlah besar dari para penduduk.
Bunga kelapa yang belum mekar itu hampir memenuhi gudangnya.
Selain bunga kelapa, Tan juga mau membeli jantung pisang yang belum mekar.
Pen-duduk memang terlalu bodoh untuk berpikir apa yang dikehendaki oleh Cina itu
sebenarnya. Belakangan saja orang sadar bahwa kegiatan tokoh Baperki itu
sebenarnya bermakna politis. Dengan membeli mancung dalam jumlah sangat banyak,
maka penduduk yang sebagian besar bergantung kepada produksi gula kelapa, akan
kehilangan sumber penghasilan. Itulah, Tan ingin melaksanakan politik
memiskinkan rakyat agar gampang dihasut. Hebatnya ia mampu hidup di segala
zaman. Setelah peristiwa tahun 1965, ia lari ke Bandung dengan meninggalkan
banyak harta. Tak apa, pokoknya ia sejahtera di tempatnya yang baru sampai
matinya kelak. Hari Minggu, pagi sekali Karman dijemput. Selain sopirnya, hanya ada Triman di
dalam jip itu. Tetapi di luar desa Pegaten, Margo naik bersama seorang
perempuan. Karman sudah mengenal Suti, perempuan yang dekat dengan kelompok Margo dan
lumayan istimewa. Artinya perempuan itu dikenal pandai menjinakkan suami.
Sering suami Suti tinggal di dapur selagi istrinya sibuk berdiskusi dengan para
kamerad. Selalu ada acara lain sesudah diskusi itu selesai. Kalaulah Suti bukan
perempuan istimewa, tentu suaminya akan membawa pentungan, masuk ke kamar dan
menangkap basah istrinya yang sering melayani orang-orang seperti Triman, konon
demi partai. 49 Jadi antara Suti dan suaminya telah terjadi keseimbangan yang aneh. Mereka
mempertahankan status quo dalam rumah tangga mereka. Yang tidak tahan melihat
maksiat semacam itu adalah mertua Suti sendiri. Perempuan tua itu mati lantaran
tekanan batin. Dalam perjalanan itu Margo dan Triman mengambil tempat di belakang. Di depan
Suti mendampingi Karman yang mabuk. Perempuan itu mengolesi tengkuk, dada, serta
perut Karman dengan balsem cap Macan. Rabaannya menunjukkan keahliannya.
Terkadang ia mencubit paha Karman.
"Ayolah, bocah bagus, jangan mabuk terus."
Sebelum matahari terbenam rombongan itu tiba di Semarang. Mereka mencari losmen.
Malam pertama di kota im tidak menyenangkan Karman. Badannya lesu.
Pusing. Lemas. Dan urat-uratnya kaku. Karman masuk angin. Suti menjadi perawat,
menyediakan air hangar untuk menyeka dan membelikan Aspirin. "Buka bajumu, kau
perlu kerokan." Pada malam kedua Karman merasa sehat kembali. Margo memimpin rombongannya
menghadiri suatu pertemuan kecil. Diskusi. Kemudian Karman diperkenalkan kepada
pengurus partai tingkat propinsi. Agak terkejut juga dia ketika pagi-pagi
berikutnya Margo dan Triman pulang ke Pegaten dengan jip itu.
"Kau sebaiknya mengenal kota Semarang ini dengan lebih baik. Suti akan
menemanimu," kata mereka sebelum berangkat.
Suti berusia tigga puluh dua tahun. Di sebuah losmen yang hanya mementingkan
banyaknya tamu, ia mendapat mainan sebuah boneka. Segar dan perjaka pula. Suti
menggunakan partai untuk berahinya, atau ia menyalurkan berahi demi partai.
Sama saja. Sebatang pohon kopi yang tumbuh di belakang rumah Karman sudah berbunga.
Warnanya putih. Harumnya menyebar ke mana-mana, terutama pada pagi dan malam
hari. Inilah pertanda awal kemarau. Rumpun bambu menguning, kemudian meranggas.
Kebanyakan orang Pegaten mulai bekerja membuat oyek. Panenan baru akan tiba
sepuluh bulan kemudian. Anak-anak pergi ke sawah yang telah kerontang.
Mereka menangkap belalang, kemudian dibakar dalam bara yang terbuat dari tai
sapi kering yang dinyalakan. Atau mereka menaikkan layang-layang daun gadung
kering yang diberi kerangka lidi. Talinya serat batang pisang.
Sepulang dari Semarang, kekalutan di hati Karman mereda. Hanya sebentar.
Begitu ia menghirup udara Pegaten, ingatannya terhadap Rifah mengusik kembali.
Apa yang pernah dikatakan oleh laki-laki bergigi besi itu tentang "sate kambing"
tidak mutlak benar. Bahkan Karman tidak bisa mengatakan apa-apa tentang
pengalamannya bersama Suti di Semarang kecuali apa lagi kalau bukan berahi
semata-mata. 50 Sudah tiga kali Karman mencoba memberanikan diri menghadap Haji Bakir, dan
selalu dibatalkannya. Pada saat seperti itu ia bingung karena menemukan dirinya
telah lama memusuhi ayah Rifah itu.
Dan sampailah Karman pada puncak kegelisahannya. Malam itu bulan muda hanya
sebentar memberikan sinar temaram. Tetapi rasi Bima Sakti tampak jelas seperti
gugusan pasir yang bercahaya, menyebar di langit, membujur dari selatan ke
utara. Karman tetap duduk sendiri di beranda meskipun malam telah larut dan
dingin. Harum bunga kopi tercium oleh pemuda yang sedang resah itu.
Kelembutannya memancing perasaan halus Karman. Ia bangkit. Ia mendengar
nalurinya berbisik, makin lama makin nyata: "Temui Rifah, temui Rifah! Sekarang,
sekarang!" Karman termangu, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Dipakainya kain sarung,
dicarinya kopiah yang sudah lama tersimpan di rak lemari paling bawah. Tiba-tiba
ia berhenti bergerak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Kemudian diambilnya
sebuah pulpen dan sehelai kertas, dan keluar.
Pegaten sedang tidur lelap. Seekor kampret mengirapkan sayapnya di antara daun-
daun jambu. Burung bence melintas dari utara. Suaranya nyaring. Seorang tetangga
terbatuk dalam tidurnya. Karman mengangkat ujung kain sarungnya, lalu berjalan. Sandal yang berlapis
karet mentah membuat langkah-langkah Karman hampir tak bersuara.
Tetapi hatinya terasa demikian kacau ketika kakinya mulai menginjak pekarangan
rumah Haji Bakir. Karman berhenti, hampir berbalik. Ketika itulah suara dalam
dirinya kembali terdengar dengan jelas: "Terus, terus! Kau harus bertemu Rifah
sekarang!" Dan Karman kembali melangkah.
Sampai dekat serambi mesjid Karman berhenti, duduk di jenjang tangga. Masa
kanak-kanak sebagian besar dilewatkannya di tempat itu. Namun sudah hampir dua
tahun ia tidak menginjaknya. "Bagaimanapun mesjid ini adalah tempat yang netral.
Misalnya aku kepergok seseorang, aku masih dapat berdalih hendak bersembahyang."
Lama sekali Karman terdiam di tempat itu. Dari dalam serambi mesjid ia mendengar
dengkur anak-anak yang sudah lama lelap dalam tidur mereka.
Semenjak kematian suaminya, Rifah kembali ke rumah orangtuanya. Karman tahu
betul letak kamar tidur Rifah. Ya. Dan Karman bangkit perlahan-lahan, berjalan
berjingkat menuju arah samping rumah Haji Bakir dari sisi mana ia dapat
mendekati kamar itu. Karman harus melewati emper gudang padi dan tempat
penimbunan kelapa. Andaikan Hafi Bakir terbangun dan memergokinya, Karman sudah
menyediakan jawaban yang gila: ingin bertemu Rifah!
Jadilah. Karman yang sudah nekat kini mencapai jendela kamar bekas pacar yang
sedang digilainya. Ia berhenti untuk mengamati keadaan sekeliling. Terdengar
ribut-ribut kecil di kandang ayam, dan jantung Karman berdenyut lebih cepat.
51 Nanum suasana jadi lengang kembali. Karman ingin mengintip tetapi ia tidak
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menemukan seberkas sinar pun yang keluar dari celah jendela. Ah, Karman mujur
karena kamar itu masih tetap berdinding papan jati tebal, ciri khas rumah orang
kaya di Pegaten. Oh, Karman harus berterima kasih kepada serangga-serangga halus
yang telah mengikis sebuah celah sambungan dua buah papan. Hati-hati sekali mata
kanan dipasangnya pada celah kecil itu. Napasnya dikendalikan agar tidak
menimbulkan suara. Tidak gampang menemukan kalimat yang pantas untuk melukiskan
perasaan Karman ketika ia melihat pemandangan di dalam sana. Seorang perempuan
muda sedang duduk berdoa di atas sajadah yang digelar di lantai. Rifah masih
dalam pakaian sembahyang.
Wajah itu dibatasi oleh kain putih yang melingkari wajahnya dengan ketat. Mata
itu setengah terpejam. Bibir kecil itu meruncing di kedua ujungnya, bergerak-
gerak menggetarkan doa. Wajah yang damai, alami, nyaris tanpa ekspresi apa pun.
Tetapi ada sepasang intan air mata yang membiaskan sinar lampu di depannya.
Hingga beberapa saat lamanya Karman memasang sebelah matanya pada celah itu.
Lalu tegak kembali, bersedekap. Kesejukan terasa mengguyur hatinya, setidaknya
untuk sementara. Dan setelah detak jantungnya kembali normal, sadarlah ia bahwa
sesuatu yang agak luar biasa baru saja dilihatnya. Pasti waktu itu sudah lewat
tengah malam, dan Rifah masih duduk berdoa. Karman dapat merasakan kesedihan
seorang istri yang ditinggal suami buat selama-lamanya, dengan kandungan lima
bulan pula. Kesedihan, doa, dan keheningan tengah malam.
Hubungan antara ketiga hal itu terasa begitu kudus dan alami. Karman pun dapat
merasakannya, tetapi ia sudah lama tidak berdoa.
Untuk kedua kalinya Karman mengintip. Ia masih melihat pemandangan yang sama.
Bahkan ia sekarang merasakan pantulan keikhlasan dan kedamaian dari wajah Rifah.
Jiwa Karman tergetar. Kalau boleh rasanya ia mau menangis. Pelan-pelan ia
mundur. Terbayang olehnya seorang perempuan lain, Suti. Liarnya. Berahinya.
"Kalau Rifah dan Suti sama-sama perempuan, apanya yang beda?" pikir Karman.
Ia melihat dan merasakan perbedaan antara keduanya, tetapi ia takkan
memperincinya satu-satu. Terlalu banyak.
Akhirnya Karman mengeluarkan pulpen dan kertas. Ditulisnya: Rif, aku Karman.
Tolong, bukalah jendelamu, sedikit saja. Aku hanya ingin melihatmu dengan nyata.
Percayalah, aku hanya ingin melihatmu. Aku amat rindu padamu.
Tulisan yang dibuat hanya dengan bantuan seberkas sinar itu pasti acak-acakan.
Lalu Karman menjepitkan kertas itu pada pulpen Parker-nya. Melalui celah antara
lantai dan dinding papan, surat itu diselorokkan ke dalam. Sebelum berbuat
demikian Karman menirukan bunyi seekor kucing. Lirih saja. Mudah-mudahan Rifah
ingat semasa kecil Karman sering menggodanya dengan suara seperti itu.
Hening. Karman dapat mendengar suara napasnya sendiri. Karman dapat merasakan
denyut jantungnya sendiri. Ia hampir jatuh lemas ketika mengintip ke 52
dalam. Rifah tak bergerak sedikit pun, meski ia melihat sesuatu yang
diselorokkan ke hadapannya. Rifah juga mendengar suara kucing. Nalurinya sudah
memberitahu bahwa Karman ada di luar kamarnya.
Seandainya tidak malu kepada dirinya sendiri, tentu Karman akan berdoa, "Ya
Tuhan, suruhlah Rifah memungut surat itu. Mati aku kalau ia diam saja."
Ternyata Rifah bergerak mengambil surat itu. Dibacanya sejenak, lalu ditatapnya
satu-satunya celah yang pasti digunakan Karman untuk mengintip. Walaupun
dibatasi oleh dinding kayu jati yang tebal, jantung Karman berdebar keras ketika
melihat bola mata Rifah diarahkan kepadanya. Tenang dan sayu.
Kemudian Rifah bangkit dan menulis jawaban. Kertas dan pulpen itu kembali
menerobos tampat yang sama di baw
Masih dengan bantuan sinar seberkas, Karman membaca tulisan Rifah: Tuhan hanya
menyuruhku menghormati tamu yang datang dengan cara baik-baik. Bertamulah besok
pagi kepada Ayah. Insya Allah aku akan menemuimu juga. Sekarang jangan kauganggu
aku. Pulanglah, atau kubangunkan Ayah!
Tiba-tiba Karman merasa dirinya susut menjadi binatang kecil. Malu dan sedih.
Anehnya, Karman masih mampu menangkap keanggunan sikap Rifah. Untuk sekian lama
Karman termangu. Namun akhirnya ia merasa tak punya pilihan lain kecuali pulang.
Di luar, udara makin dingin mencekam. Burung bence kembali melintas di udara
malam sambil berteriak-teriak. Kampret-kampret masih mengirapkan sayap mereka di
antara daun-daun jambu. Terdengar suara tangis bayi. Barangkali orok itu
kedinginan oleh udara musim kemarau atau oleh kencingnya sendiri.
Sampai ke kamarnya Karman tidak segera tidur. Dibacanya kembali tulisan Rifah
itu, diciumnya. Sebenarnya ia mengharapkan bau wangi. Tetapi yang masuk ke
hidungnya adalah uap tinta yang apek.
Dalam tidurnya yang hanya sesaat, Karman digeluti mimpi yang melelahkan, seakan-
akan ia berkelahi dengan kambing Haji Bakir. Bedanya, dalam mimpi itu ada Margo,
Triman, dan Suti. Mereka mengepalkan tinju sambil berteriak-teriak seperti orang
gila. Mereka tidak datang menolong. Juga dalam mimpi itu Rifah tidak berterima
kasih sama sekali. Ketika terbangun dada Karman terasa sakit, sakit sekali.
Peringatan seratus hari meninggalnya Abdul Rahman sudah lewat. Kandungan Rifah
makin besar, makin besar. Ia berharap bulan depan akan melahirkan anaknya yang
pertama. "Andaikata anakku lahir laki-laki, tentu ia gagah seperti ayahnya.
Hidungnya manis, matanya galak," demikian harapan calon ibu yang masih amat muda
itu. Bila malam tiba Rifah sudah tidak menangis lagi. Ia sudah dapat menerima
ketentuan Tuhan dengan hati ikhlas. Ayahnya selalu berkata, "Takdir Tuhan adalah
53 hal yang paling baik bagimu, betapapun getir rasanya. Bertakwa kepada-Nya akan
membuat segala penderitaan ringan."
Tetapi lepas dari nasihat ayahnya, Rifah merasa ada kekosongan dalam hatinya.
Ada sesuatu yang hilang, bukan hanya hilangnya Abdul Rahman dari sisinya. Oh ya,
lama-lama Rifah dapat menemukan apa yang hilang itu: suara laki-laki. Jenuh
rasanya selalu mendengar kata-kata ibunya, "Hati-hatilah, Nak, ingat
kandunganmu." Atau, "Zamannya Ibu dulu, perempuan hamil harus sangat teliti.
Jangan sampai menaruh sesuatu terbalik. Nanti bayi yang dikandung lahir
sungsang." Tetapi Rifah tidak pernah mendengar suara laki-laki kecuali suara ayahnya, Itu
pun jarang. Haji Bakir tidak biasa bercakap-cakap dengan anaknya, apalagi
setelah Rifah bersuami. Dulu ketika Rifah masih kanak-kanak, Karman selalu melayani apa pun yang
diinginkannya. Dan mana laki-laki itu sekarang" Mengapa setelah mengintipku ia
tidak muncul juga" Karman, aku belum pernah memikirkan kau bakal menjadi suamiku
yang baru. Aku belum membutuhkan seorang suami. Tetapi semenjak kecil kau
menjadi kawanku, bukan" Selagi aku kecil kau mau pergi ke hutan mencari daun
kemangi untuk mengobati kutil di jariku. Sekarang mengapa kau tidak datang
melihatku yang ditinggal sendiri dengan perut besar" Kukira tak mengapa kita
bercakap-cakap sesaat. Aku ingin mendengar suaramu, suara laki-laki. Abdul
Rahman sudah tidak mungkin mengajakku berbicara, bukan?"
Andaikata Karman dapat mendengar keluhan Rifah ini, cerita pun habis.
Barangkali ia akan berbaik kembali dengan Haji Bakir meskipun harus berpisah
dengan ideologi dan kawan-kawan separtai. Pokoknya demi Rifah, Karman mau
melakukan apa saja. Ia tidak akan keberatan kembali menjadi jamaah mesjid.
Selesai. Tetapi kenyataan yang terjadi tidak demikian. Karman ternyata tidak cukup berani
bertamu ke rumah Haji Bakir. Ia tidak pernah berhasil mengatasi keraguan yang
menggeluti dirinya. Di rumah, di jalan, di kantor, ia selalu bingung. Padahal ia
merasa kerinduannya pada Rifah ada pada setiap tarikan napasnya.
Dalam keadaan seperti itu lagi-lagi Karman tidak tahu bahwa seorang yang bergigi
besi siap menggerakkan pionnya.
Suti sering berkunjung ke rumah Karman. Memang, bisa saja tidak terjadi
kemaksiatan di rumah Bu Mantri itu. Kelompok Margo tidak menghendaki hiruk-
pikuk, sebab rumah Bu Mantri dekat mesjid, dekat rumah Haji Bakir. Mereka hanya
ingin memberi kesan yang baru tentang diri Karman, terutama kepada keluarga Haji
Bakir. Sekali pernah, di hadapan banyak orang Suti mencubit pipi Karman.
Pernah juga Suti datang sebelum fajar, dan keluar lagi ketika para tetangga
Karman pulang dari mesjid. Tak ayal lagi orang-orang menuduh Karman telah
menempuh hidup yang berwarna perzinahan. Walaupun Karman membela diri sekuat
tenaga ketika Paman Hasyim menuduhnya demikian, namun sia-sia. Martabat Karman
telah jatuh di mata para tetanaga, juga di mata keluarga Haji Bakir.
54 Tidaklah sekali-sekali Margo menjadi kader partai bila otaknya tidak gemilang.
Dalam kemelut ini ia melihat keuntungan yang bisa diperolehnya, dengan menyuruh
Karman langsung melamar Rifah! Margo dengan cermat telah menghitung apa jawaban
Haji Bakir. "Wah, Nak Karman," kata Haji Bakir memulai jawabannya atas lamaran yang diajukan
Karman. "Sulit sekali rasanya. Tetapi aku mempunyai pedoman yang teguh; aku
hanya rela menjodohkan Rifah dengan laki-laki yang dapat membimbing Rifah di
dunia sampai ke akhirat. Kulihat keadaanmu telah jauh berubah. Kini rasanya kau
bukan laki-laki yang cocok dengan persyaratan yang kumaksud. Bagiku setiap orang
sama derajatnya selagi penilaian itu tidak menyangkut iman dan takwa kepada
Tuhan. Orang-orang Pegaten, termasuk diriku, menganggap kau pemuda yang baik.
Masih muda dan berpangkat. Tetapi marilah, kita tetap berhubungan baik seperti
dahulu, tanpa melalui ikatan perkawinan antara dirimu dengan Rifah. Aku percaya
kau dapat menemukan calon istri lain."
Itulah jawaban Haji Bakir yang telah diramalkan dengan tepat oleh Margo. Dua
kali batin Karman dihancurkan oleh orang yang sama. Sempurnalah kebenciannya
terhadap Haji Bakir, hal mana sangat diinginkan oleh Margo dan kelompoknya.
Dalam perkembangannya nanti, Karman bukan hanya benci kepada ayah Rifah, tetapi juga terhadap para haji dan orang-orang kaya lainnya.
Dulu Karman telah diberi buku-buku teori pertentangan kelas. Sekarang Margo
ingin memperagakan pertentangan-pertentangan itu dalam kehidupan nyata.
* * * Dalam wilayah Kecamatan Kokosan, desa Pegaten letaknya paling terpencil. Di
sebelah selatan terdapat hutan jati yang luas. Sementara bagian barat dibatasi
oleh perkebunan karet dan rawa-rawa. Tanah sawah serta ladangnya subur. Kalaulah
sebagian penduduknya hidup miskin, pastilah bukan keadaan tanah Pegaten yang
menyebabkannya. Salah satu kenyataan yang telah menyebarkan kesengsaraan di
daerah itu adalah pergolakan-pergolakan yang diawali oleh masuknya tentara
Jepang. Kemudian menyusul perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang praktis
berlangsung sampai awal tahun lima puluhan. Kehidupan yang tenteram hanya
berlangsung beberapa tahun, menjelang akhir dasawarsa itu.
Orang yang teliti dan cukup berbesar jiwa, bisa memahami pada saat itu sedang
terjadi persaingan antara tiga kekuatan. Masing-masing memiliki laskar
bersenjata, masing-masing menaruh kepentingan atas wilayah Pegaten dan
sekitarnya. Salah satu kekuatan sedang surut, yaitu kekuatan laskar yang
dipimpin oleh Ahmad Juhdi.
Pada dasarnya kekuatan itu sudah mundur menyeberang Sungai Citanduy, ke wilayah
Jawa Barat. Tetapi topeng Ahmad Juhdi sering dipakai oleh kekuatan kedua yang
sedang tumbuh. Kekuatan itu secara rahasia dikendalikan oleh seorang laki-55
taki ubanan yang bergigi besi. Perampok-perampok itu, yang sering menjarah harta
atau membunuh penduduk Pegaten selalu mengaku anak buah Ahmad Juhdi.
Mungkin benar, tetapi naiflah orang yang memastikan kebenaran itu.
Rumah Haji Bakir pernah dirampok sampai dua kali. Nyawanya selamat karena Tuhan
membutakan mata orang-orang buas itu. Ironisnya keesokan harinya Haji Bakir
ditahan dengan tuduhan bersekongkol dengan para perampok itu. Kejadian malam itu
didakwakan sebagai semacam permainan sabun. Kelak orang tahu bahwa orang yang
mengusulkan penahanan terhadap Haji Bakir adalah seorang pegawai kecamatan yang
bernama Karman. Lebih dari sebulan Haji Bakir tinggal dalam tahanan. Sementara itu terjadi
perampokan di tempat lain. Polisi bertindak cepat dan berhasil menguasai para
pelaku penggarongan tersebut, yang ternyata dipimpin oleh Riwut. Semua orang
tahu siapa Riwut itu. Dia adalah orang yang sangat dekat dengan Margo.
Kekuatan yang ketiga adalah alat-alat keamanan milik negara, polisi, dan
tentara. Jiwa-jiwa yang dewasa, yang berani melihat kesalahan masa lalu demi perbaikan
masa yang akan datang, akan mampu dengan kepala dingin membicarakan keadaan
polisi dan tentara pada waktu itu, terbatas di daerah Pegaten dan sekitarnya.
Kepentingan-kepentingan amat bersimpang-siur. Di tempat yang terencil itu,
urusan golongan, urusan politik bahkan urusan perorangan dapat mempengaruhi
sikap-sikap para petugas keamanan. Urusan semacam itu sering terbaur dalam hutan
jati dan hutan karet. Siapa menembak siapa, siapa menuduh siapa, amat sering
terjadi. Kisah-kisah ini akan memperjelas gambaran desa Pegaten pada sekitar tahun 1958
sampai dengan tahun 1960.
Penduduk desa itu, semuanya, pernah menjadi orang-orang kurungan.
Sesungguhnya! Untuk mencegah perampok masuk ke Pegaten, desa itu pernah ditutup
rapat dengan pagar bambu yang berlapis-lapis. Tingginya tiga meter. Setiap mata
pagar merupakan bambu runcing yang tajam. Pada malam hari, seregu OPR
atau Organisasi Pertahanan Rakyat menjaga tiap-tiap pintu.
Namum entah bagaimana, tak urung terjadi lagi perampokan di rumah Haji Bakir.
Delapan orang anggota OPR yang dipimpin oleh Lurah Pegaten menyiapkan
pencegatan. Mereka bersiap di sebuah lorong yang menurut perhitungan harus
dilewati para perampok. Benar, beberapa waktu kemudian terdengar letupan-letupan
yang ramai. Di pagi hari orang melihat selongsong peluru bertebaran di tempat
itu. Kebun kedelai rusak hebat. Tetapi tidak terlihat darah setetes pun, kecuali
seekor kambing mati terkena peluru nyasar. Orang Pegaten yang berotak paling
degil pun seharusnya mengatakan: mustahil! Pencegatan yang dilakukan di tempat
yang sesungguhnya menguntungkan, dengan sembilan batang bedil, tanpa mengena
atau dikenai" Namun orang Pegaten segera puas oleh cerita Lurah: "Para perampok
itu adalah anak buah Ahmad Juhdi. Mereka mempunyai kekuatan sakti, dapat 56
melompati pagar bambu setinggi tiga meter. Pasti mereka juga kebal terhadap
peluru!" Di lain waktu, dua orang polisi berpatroli malam hari di luar desa Pegaten.
Kemudian mereka beristirahat di sebuah rumah yang telah dikosongkan oleh
penghuninya. Pemilik rumah itu menyingkir ke Pegaten yang telah dikelilingi
pagar bambu. Kedua orang petugas itu sedang memeriksa lampu senter yang macet
ketika terdengar beberapa orang yang mengucapkan salam dalam bahasa Arab secara
fasih. Tetapi kemudian terdengar suara takbir yang disusul dengan ledakan bedil.
Kedua polisi itu tewas seketika.
Seorang tentara anggota BR atau Banteng Raiders mendengar suara tembakan-
tembakan itu. Ia lari melalui jalan pintas menuju tepi hutan jati, seorang diri.
Beberapa orang yang ingin menemani, ditolaknya. Hasil pencegatan yang dilakukan
oleh tentara yang berani itu mengungkapkan siapa yang telah membunuh dua orang
polisi. Mereka anggota-anggota OPR desa Cilangit. Dalam kehidupan sehari-hari,
mereka tidak pernah mengucapkan uluk salam. Apalagi takbir. Mereka adalah orang-
orang komunis. Walaupun dalam keadaan surut, laskar-laskar Ahmad Juhdi bukan tidak membutuhkan
makanan dan peluru. Untuk memperoleh persediaan makanan mereka tidak mempunyai
cara yang lebih mudah daripada menjarah harta penduduk. Rupanya Ahmad Juhdi
sudah tidak dapat mengendalikan pasukannya.
Jadilah mereka gerombolan-gerombolan yang kehilangan tujuan perjuangan. Sama
sekali liar. Pada tahun 1959 mereka mengalami kesulitan besar. Cadangan amunisi
habis. Mereka harus mengumpulkan emas permata. Kekerasan meningkat kembali
karena laskar Ahmad Juhdi ingin merampas lebih banyak emas milik penduduk.
Satu gram emas berarti sebutir peluru. Begitulah para perampok melakukan barter.
Emas yang berhasil mereka rampas ditukar dengan peluru. Kepada siapa para
petualang itu menyerahkan emas" Kepada siapa saja yang mau memberi mereka
peluru. Kata seorang bekas anggota laskar Ahmad Juhdi, "Kemudian terjadilah
pertempuran seru antara kami dengan Kompi P, dari batalyon QRS Divisi T. Kami
memenangkan pertempuran. Berpeti-peti peluru serta berpuluh-puluh senapan kami
dapat, seorang korban pun tak ada, baik di pihak kami atau pihak mereka."
Bila ada yang bertanya tentang kebenaran cerita bekas anak buah Ahmad Juhdi itu,
jawabannya sudah tersedia pada hati sendiri, yang harus rela membiarkan sejarah
menulis menurut kehendaknya. Kerelaan pula yang diperlukan bila sejarah telanjur
mencatat kisah ini: Letnan D dan Letnan L, yang berperan sangat aktif pada peristiwa Lubang Buaya,
Oktober 1965, tentu sudah menjadi anggota tentara pada tahun 1959 itu. Di mana
mereka bertugas saat itu, arsip tentara bisa memberi jawaban. Di Pegaten.
Karman menjadi sekretaris Partindo mendampingi Triman. Tentu hanya kalangan
mereka yang tahu bahwa hal itu hanya sebuah samaran. Huhungan antara 57
Margo dan Karman tetap terselubung. Orang Pegaten tak ada yang tahu bahwa Karman
sering terlibat dalam diskusi-diskusi dengan Margo dan kawan-kawannya.
Di kamar Karman tersusun buku-buku yang hampir semuanya didapat secara cuma-
cuma. Tiga orang menjadi pemberi bacaan teratur: Triman, Margo, atau orang yang
bergigi besi itu. Sementara itu secara pasti Marni telah mendapat tempat di hati Karman. Pemuda
itu tahu sekarang, dunia perempuan ternyata tidak hanya Rifah. Kalau Rifah
dibesarkan dalam kalangan yang memanjakannya, tak demikian halnya dengan Marni.
Ia anak orang kebanyakan, dan tidak bisa menamatkan SKP karena kekurangan biaya.
Ada keuntungan bagi Marni, karena dengan keadaan yang demikian ia bahkan
memiliki sikap dewasa. Sepanjang hubungan antara Karman dan Marni, kelompok
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-orang partai itu tidak merasa perlu berbuat sesuatu.
Mereka tahu keluarga Marni dalam segala hal tidak sekokoh keluarga Rifah. Karman
pasti mampu membuat keluarga Marni menjadi orang-orang yang berpikiran
"maju". Perkawinan dilangsungkan. Kehampaan di hati Karman cepat terisi oleh sikap
istrinya yang mantap, penuh pengertian. Seperti mendapat tempat berteduh,
setelah lama berjalan di bawah matahari, demikian perasaan Karman. Karman tidak
tahu mengapa Marni mencoba membahagiakan suami dengan menganggapnya sebagai
ayah, suami, bahkan anaknya sekaligus. Tidak berbeda dengan garis fitrah setiap
laki-laki yang merasa kecil apabila berhadapan dengan kepribadian seorang istri
yang matang, Karman tidak hanya mencintai Marni, bahkan menghormatinya.
Pada tahun pertama perkawinan mereka, Rudio lahir. Kehidupan keluarga muda itu
mantap. Sebidang tanah dapat mereka beli. Di atas tanah itu, setahun kemudian
mereka mendirikan rumah. Yang tidak bersesuaian di antara mereka hanya satu hal. Sementara Marni merasa
tidak bisa meninggalkan ibadahnya, Karman bahkan terang-terangan mengaku sebagai
seorang ateis. Maka apabila Marni merasa kebahagiaannya kurang utuh, itulah dia.
Sering ia memohon kepada Tuhan agar keberuntungannya disempurnakan. Tidak heran
kalau Marni sering bermimpi bersembahyang berjamaah bersama suaminya.
Sekali pernah ketika jiwa dan badan Marni amat berdekatan dengan Karman, ia
bertanya, "Apakah kau tak tahu bahwa apabila kau tidak melupakan kewajiban terhadap Tuhan
aku akan sangat bahagia?"
Karman sudah menduga pada suatu ketika pasti istrinya akan bertanya seperti itu.
Walaupun begitu ia tidak segera menjawab, bahkan berbalik bertanya, "Jadi dengan
keadaanku yang demikian kau merasa kurang beruntung?"
"Tidak sedemikian jauh maksudku, Kak, tetapi. ."
58 "Cukuplah. Cukup bila kukatakan agama adalah urusan pribadi. Seharusnya kau
senang aku tidak melarangmu beribadah."
Marni diam meskipun ada rasa kecewa di hatinya. Tanpa mengurangi kelembutan
kata-katanya, ia meneruskan, "Tetapi kau tidak mempunyai maksud pada suatu saat
akan memaksaku memutuskan hubungan dengan Tuhan, bukan?"
Suami itu makin kikuk karena istrinya makin rapat memeluknya.
"Oh. ." Dan begitu. Karman tidak pernah melarang istrinya beribadah, meskipun hal yang
demikian bertentangan dengan ajaran partainya. Bukan Karman juga tidak ingin
mengajak istrinya ingkar, bukan! Karman tidak berani melakukannya! Dari
kepribadian Marni, ketenangannya, terpancar wibawa. Seorang revolusioner muda
seperti Karman ternyata mandul ketika berhadapan dengan keanggunan istrinya.
Karena kelemahan Karman ini, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh banyak
orang, Margo pernah menyindirnya dengan tajam.
"Kita heran. Mengapa di antara kita ada yang membiarkan istrinya menjadi
pengisap candu, suatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh kaum reaksioner!"
Karman tersentak. Ia tahu apa yang dimaksud dengan mengisap candu seperti yang
diucapkan Margo. Ia masih ingat bahwa bagi kaum Marxis, agama adalah candu untuk
meninabobokkan kaum tertindas agar tertidur dari rasa ingin menuntut hak-hak
mereka. Merah padam mukanya. Karman bangkit menggedor meja. Bangkit untuk
membela seorang perempuan yang baginya adalah kesejukan hidup. Bangkit untuk
membela seorang perempuan yang mempunyai lekuk ujung bibir paling bagus di
dunia. Karman bukan menggedor meja karena ingin berpihak pada kaum reaksioner.
Tetapi demi Marni, hanya Marni.
"Kawan Margo! Perjuangan kita belum sampai ke taraf habis-habisan. Itu
kenyataan. Apabila Kawan menganggap kehidupan pribadi sebagai kemunafikan
terhadap sikap hidup revolusioner, kita semua munafik! Kuakui, istriku tetap
taat kepada agamanya hingga kini. Tetapi ingat, Kawan sendiri mempunyai saudara
yang jadi tengkulak gula kelapa. Kita semua tahu praktek apa yang dijalankan
oleh tengkulak semacam itu. Praktek-praktek kapitalisme murni! Kita tahu juga,
bahkan saudara kandung Marx, bapak ideologi komunis, ternyata tinggal di negara
kampiun kapitalis: Amerika. Karl Marx sendiri tidak meninggalkan wasiat agar
tulang-belulangnya kelak dipindahkan ke negara yang telah menjalankan semua
doktrinnya, Rusia misalnya. Ia dikubur di negara cikal bakal imperialisme dan
kapitalisme, Inggris!"
"Ya!" jawab Margo tidak kalah keras. "Kawan tidak lupa revolusi akan selalu
melalap anak-anaknya?"
"Ingat betul. Siapa yang menjamin kita sendiri tidak akan ditelan oleh revolusi
yang ingin kita kobarkan?"
59 Karman tetap menggigil karena amarah. Tetapi Margo segera sadar debat semacam
itu tidak bisa dilanjutkan. Kader partai itu juga amat terkejut karena dibantah
dengan cara yang ia sendiri ajarkan. Alis Lenin-nya turun-naik. Jidatnya
berkerut-kerut. Kemudian ia tersenyum. Sekali lagi terbukti bahwa ia tidak hanya
licik, tetapi juga sabar.
"Kawan-kawan," kata Margo kemudian. "Kita lihat Kawan Karman telah memiliki
kecakapan berdiskusi yang luar biasa. Kepandaian semacam itu amat penting. Apa
yang baru saja kulakukan hanya sekadar ujian. Ternyata Kawan Karman memang
gemilang. Hadiah untuk Karman kali ini adalah tepuk tangan bersama. Mari!"
Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan, sama seperti yang terjadi
di mana-mana. Boleh jadi orang tidak senang mengingat masa itu kembali karena
kepahitan hidup yang terjadi waktu itu.
Orang Pegaten tidak tahu apa arti inflasi. Mereka hanya bisa merasakan akibatnya
yang sangat pahit. Penghidupan sehari-hari pada umumnya dirasakan amat berat.
Minyak tanah dijatah, gula pasir diantrekan. Keadaan alam sendiri menambah
penderitaan penduduk. Kemarau sering amat panjang. Hama tikus dan walang sangit
menggagalkan panen. Tidak sedikit penduduk Pegaten yang terpaksa mengisi perut
mereka dengan gaber. Ampas singkong itu dikukus, dan dimakan dengan daun-daunan.
Busung lapar berjangkit di Pegaten.
Pencuri-pencuri menjadi sangat berani. Hutan jati di sebelah selatan Pegaten
rusak hebat oleh penduduk sekelilingnya. Bahkan para pekerja perkebunan karet
mulai melancarkan kerusuhan-kerusuhan. Tanaman karet ditebangi, tanahnya digarap
menurut kemauan mereka. Terpaksa polisi didatangkan, tetapi mereka malah melawan
para petugas itu sampai ada yang tewas. Di hutan jati, seorang mandor juga
meninggal tertindih balok kayu yang besar. Ketika peristiwa itu sampai ke
pengadilan, yang menjadi hakim adalah politik. Keputusannya berbunyi: Mandor
jati itu sudah menerima hukuman yang patut, karena tidak berpihak pada "rakyat".
Akibatnya, nasib hutan jati itu makin menyedihkan. Penduduk yang termakan
hasutan politik membakar hutan milik negara itu.
Ironis memang, dalam keadaan penghidupan yang sulit orang Pegaten sering
meninggalkan pekerjaan guna menghadiri rapat-rapat umum. Pawai-pawai sering
diadakan dan memakan waktu sehari penuh. Panasnya politik saat itu juga
memanggang desa terpencil, Pegaten.
Pada suatu rapat yang penuh hiruk-pikuk, Margo menganjurkan semua orang makan
tikus. Memang, saat itu jumlah tikus di sawah-sawah Pegaten puluhan kali lebih
banyak daripada jumlah penduduk desa itu. Dari atas mimbar rapat itu, Margo
berbicara tentang gizi yang terkandung dalam daging tikus.
"Apa pun yang dapat mengenyangkan perut kita, jadilah! Dan tikus-tikus itu!
Rakyat harus tangguh, berbadan sehat, dan kuat untuk memenangkan revolusi!"
60 Sesungguhnya Margo tidak bermaksud membuat penduduk Pegaten menjadi sehat dengan
menyuruh mereka makan tikus. Ia sekadar ingin menghancurkan nilai yang telah
mapan. Orang Pegaten mengharamkan tikus. Jadi Margo hanya ingin mengajari orang
Pegaten menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Tidak lebih.
Margo sendiri ternyata lebih suka gulai kambing daripada panggang daging
binatang yang menjijikkan itu.
Seperti biasa sehabis rapat orang-orang berpawai. Mereka berteriak-teriak.
Dentuman drumband serasa hendak meledakkan telinga. Untung, barangkali tidak ada
orang tahu bahwa mars yang dilagukan oleh barisan drumband itu adalah mars-mars
marinir. . Amerika, sebuah nama yang selalu diteriakkan sebagai musuh urutan
pertama. Hampir dua tahun keadaan demikian berlangsung di Pegaten. Segala hiruk-pikuk itu
ternyata berakhir dengan diselenggarakannya sebuah pasar malam di lapangan desa.
Kalau bisa dikatakan sebagai pasar malam. Ada pementasan wayang kulit yang
menggelar lakon-lakon gubahan baru yang revolusioner, misalnya si jelata Petruk
mengganyang si feodal Dwipayana, dan sebagainya.
Anak gadis Tan Liong Pek menjadi ledhek. Oey Fen Mai malah menjadi ronggeng,
mengajak pemuda-pemuda Pegaten berjoget. Tariannya tidak bagus, yang penting
erotis. Pegaten panas, dan anehnya Pegaten juga terlena. Ketika terjaga, Pegaten
terkejut luar biasa. Sesuatu yang dahsyat telah terjadi pada dini hari menjelang
1 Oktober 1965. * * * Marni baru tiga bulan melahirkan Tono, anaknya yang ketiga. Tubuhnya sudah segar
kembali. Bayinya sehat. Apa yang didambakannya sekarang adalah kemesraan
suaminya yang baru berumur tiga puluh tahun dan kuat. Sungguh, Marni tidak ingin
yang lain. Ia tidak mau tahu bahwa kabar yang besar dan membingungkan telah
tersebar ke mana-mana, tak terkecuali di Pegaten. Ia hanya ingin pagi-pagi
menyediakan sarapan, lalu melepas suaminya di pintu. Setelah menyiapkan makan
siang enam jam kemudian, ia akan duduk membopong Tono sambil menunggu Karman
pulang. Biasanya Karman lebih dulu menyentil si Buyung sebelum menaruh sepeda di
tempatnya. Atau Karman akan mencubit tengkuk ibu si Buyung.
Tetapi keinginan Marni tinggal menjadi harapan khayali. Sejak tersiar kabar yang
dahsyat itu Karman berubah menjadi pendiam. Tampaknya ia tidak tertarik kepada
hal apa pun; Tono tidak pernah lagi dibopongnya, senyum Marni tidak lagi
dibalasnya. Bahkan sudah tiga kali hidangan makan siang dibiarkan sampai sore.
Karman menjadi mudah terkejut. Sebuah sendok yang jatuh dari atas meja sudah 61
cukup membuatnya terperanjat. Pohing yang datang mengetuk pintu hampir saja
membuat Karman pingsan ketakutan.
Marni berpikir. Memang sudah banyak orang yang ditangkap. Bahkan ia mendengar
ada pula yang dibunuh. Margo dan tiga orang lainnya dikubur dekat jembatan Kali
Benda. "Lalu mengapa suamiku menjadi begitu ketakutan?" pikir Marni.
Marni teringat beberapa bulan sebelum terjadi perubahan pada Karman, suaminya
itu pernah membuat poster-poster. Merah, dan ada gambar palu- arit.
Setahu Marni, suaminya menjadi anggota Partindo. Di saku Karman selalu terdapat
kartu tanda anggota partai ini. Maka ia meminta penjelasan.
"Memang. Dan poster-poster itu kukerjakan karena aku senang membuat gambar-
gambar." "Mendapat upah kalau begitu."
"Wah, tidak." "Aku jadi tidak mengerti. Cobalah terangkan dengan jujur."
Karman merasa terdesak. Ia ingin tetap bersandiwara, tetapi kemudian didapatnya
cara mengelak yang lebih baik.
"Marni, kau pernah mendengar samen bundeling van alle revolutionaire krachten?"
"Oh ya, anak-anak sekolah sering berucap demikian."
"Itulah. Semua kekuatan revolusioner mesti bersatu. Meskipun aku jelas anggota
Partindo, tetapi aku juga seorang revolusioner. Jadi aku wajib membantu semua
orang yang secita-cita. Yang sedang kukerjakan itu tidak lain kecuali poster-
poster revolusioner."
Marni percaya. Jadi bagaimanapun suamiku seorang Partindo. Tentu ia tidak tersangkut paut
dengan penyebab hura-hara, yang beritanya tersiar sekarang, pikir Marni.
Apabila Karman ikut bergabung dengan orang-orang Pegaten yang tiba-tiba belajar
bersembahyang kembali, hal itu pun tidak dapat menghilangkan kegelisahannya.
Tetapi Marni merasa bersyukur melihat perubahan suaminya.
Bayangkan, Karman bersembahyang - satu hal yang telah lama sekali diinginkan
Marni. Namun Marni tidak pernah tahu persis apa yang menyebabkan suaminya tiba-
tiba melempar keenganannya datang ke mesjid Haji Bakir. Entahlah, yang jelas
Marni senang melihat Karman bersembahyang.
Sementara penangkapan terhadap orang-orang komunis yang telah mendalangi makar
berdarah terus berlanjut. Dan polisi serta tentara ternyata tidak bodoh. Yang
mereka tangkap bukan hanya orang-orang yang resmi terdaftar menjadi anggota
partai komunis seperti Margo dan si Gigi Besi. Tan Cie Hong yang menjadi anggota
Baperki dikubur bersama-sama dengan Riwut di pinggir desa Pegaten. Tetapi
kakaknya, Tan Oen Sok, lari ke Bandung.
62 Kegelisahan Karman tidak mungkin tertahan lebih lama. Sudah beberapa malam ia
tidak bisa tidur. Bila malam tiba, ia bersembunyi di rumah ibunya atau
berkerumun dengan orang lain di mesjid Haji Bakir. Pada saat ia merasa sesuatu
yang mengerikan bakal tiba, ia menemui istrinya. Pukul delapan malam saat itu.
Suaranya serak, terbata-bata ketika mengatakan, "Marni, aku mau pergi ke rumah
Triman. Bila sesuatu terjadi pada diriku, Marni, jagalah dirimu sendiri bersama
anak-anak. Kupercayakan Radio, Tini, dan Tono padamu."
Marni terbelalak sebentar, kemudian tertunduk dan menangis. Ia pun sudah
mendapat firasat: sesuatu bakal terjadi. Hatinya kosong dan mengambang. Di dada
suaminya ia menghabiskan air mata tanpa sepatah kata pun dapat diucapkan.
Sebelum melepas dekapannya, Karman mencium kening Marni. Tangannya bergetar
ketika mengusap kedua belah pipi istrinya, "Cobalah tersenyum, aku ingin melihat
lekuk bibirmu." Kemudian Karman keluar, naik sepeda.
Marni terkesima, lalu lari ke kamar merangkaki ketiga anaknya sambil menangis.
Rumah Triman satu kilometer jauhnya. Karman harus melewati bulak sebelum sampai
ke sana. Ketika Karman membelok ke jalan yang lurus, menuju tujuannya, ia
terbelalak. Dari jauh, ia melihat empat-lima lampu senter menyala berganti-
ganti. Laki-laki yang berjalan paling depan membawa lampu pompa.
Cepat Karman menuntun sepedanya ke sebuah pekarangan kosong, lalu mencari tempat
yang baik untuk bersembunyi sambil mengintip. Rombongan kecil itu lewat.
Bunyi langkah sepatu lars. Telinga Karman berdenging. Sesudah dekat benar,
Karman melihat jelas siapa yang berjalan di belakang lampu pompa itu. Kepala
tertunduk. Tangannya terikat ke belakang. Bajunya bergaris-garis, jalannya
bungkuk. Triman! Karman sungguh-sungguh menggigil. Ingin kencing. Tengkuk berkeringat.
Matanya nanar berkunang-kunang. Akhirnya Karman lunglai, terduduk di bawah
pohon. Ia berada dalam keadaan antara pingsan dan sadar.
Lengang. Dari jauh terdengar kambing mengembik di kandangnya. Lalu, rentetan
tembakan. Seekor gangsir jantan bernyanyi memanggil betinanya, dan diam apabila
yang diundang telah tiba. Mereka kemudian masuk ke dalam liangnya untuk
bercinta. Sepi. Seekor kelabang merambat ke kaki Karman. Laki-laki itu terkejut
dan mengibaskan kakinya. Kesadarannya kembali, tetapi segera melayang pula.
Dalam otaknya, segala macam gambaran jungkir-balik, tumpang-tindih tidak keruan,
Pertama Karman melihat seolah-olah Paman Hasyim muncul, berkopiah dan berkain
sarung. Ia menudingkan tangannya lurus-lurus. "Rasakan, anak durhaka! Kau akan
mati seperti matinya seekor kucing!"
Kemudian muncul ingatan itu, ketika ia sendiri menghancurkan bambu pancuran air
sembahyang. Bayangan Rifah menyusul. Seakan-akan Karman sedang mengintip melalui
celah dinding papan. Wajah Rifah ayu, saleh. Cantik luar biasa.
63 Tiba-tiba Karman siap berlari ketika bayangan Margo datang sambil berteriak,
"Revolusi memakan anak kandungnya! Revolusi melalap anak kandungnya sendiri!
Revolusi. .!" Terakhir muncul halimun yang membawa gambar Suti. Perempuan budak berahi itu
cantik juga, tetapi dalam puncak syahwatnya ia mengerikan! Menjijikkan!
Kemudian Karman benar-benar pingsan ketika dalam khayalannya Marni datang sambil
menggendong Tono yang masih bayi. Tini dan Rudio dituntunnya sambil berlari
pontang-panting. Nama istrinyalah yang pertama terlontar dari mulut Karman ketika ia tersadar
kembali, "Oh, Marni, pastilah polisi dan tentara sedang menanyaimu di mana aku
berada sekarang. Rumah kita digeledah. Marni, barangkali kau sekarang sedang
bersimpuh di tanah. Menangis dan digelayuti oleh tiga anak kecil yang belum tahu
apa-apa. Katakanlah sejujur-jujurnya. Bahwa aku baru sesaat yang lalu keluar
menuju rumah Triman. Katakanlah begitu, karena aku tahu kau adalah perempuan
yang paling jujur. Dengar, Marni. Supaya polisi dan tentara tidak usah berlaku
kasar kepadamu, jangan kaubela aku, jangan kaututup-tutupi aku. Mungkin dengan
demikian aku tertangkap, tak mengapa, asal mereka memperlakukanmu dengan baik."
Para petugas itu tidak menemukan Karman di rumahnya. Mereka tahu Karman
meninggalkan rumah dengan sepeda. Pengejaran mereka lakukan di jalan-jalan yang
meninggalkan Pegaten. Larut malam Karman bangkit dari persembunyiannya. Celananya basah.
Sepedanya dituntun melalui jalan setapak yang membelah pekarangan kosong itu.
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba ia sadar, sepeda yang dituntunnya tidak ada gunanya lagi. Tetapi
dengan meninggalkannya begitu saja, barang ini akan menjadi petunjuk bagi para
petugas yang sedang mengejarnya. Karman melihat sebuah sumur. Tentulah milik
penghuni rumah yang terdekat itu. Diam-diam ia ke sana. Dengan bantuan tali
timba, sepeda Karman tersembunyi di dasar sumur, jaub di bawah permukaan air.
Karman meninggalkan tempat itu menurut arah yang makin menjauhi jalan umum. Ya,
Karman sadar dirinya kini jadi manusia buruan, sebuah sebutan yang amat rendah
dan tak pernah terbayangkan bisa terjadi atas dirinya. Buruan. Dan pelarian yang
harus ditempuhnya kini akan menembus kebun singkong, parit-parit kering, dan
tanah-tanah kosong yang penuh belukar. Naluri menuntun Karman pergi menuju Lubuk
Waru. Lubuk itu terletak dekat hutan jati dan di sana ada makam yang
dikeramatkan. Pohon-pohon tua yang besar dan sangat rimbun tumbuh mengelilingi
cungkup makam itu. "Aku akan bersembunyi di Lubuk Waru, paling tidak untuk
sementara waktu," pikir Karman sambil terus berjalan.
Setelah berjalan hampir dua jam, Karman sampai ke tujuan. Tenaganya hampir
habis. Maka Karman segera merebahkan diri di atas bantaran berpasir di tepi
Lubuk Waru. Ia tergeletak menengadah berbantalkan tangan. Malam terasa begitu
dingin. 64 Bintang-bintang bertebaran hampir merata di langit. Lengang, sehingga suara
berbagai serangga amat jelas terdengar. Juga suara burung celepuk dari atas
pohon besar di dekat makam. "Ya, beginilah aku sekarang. Di sinilah aku
sekarang," ujar Karman demi menghayati kesadaran akan dirinya. "Tentara, polisi,
apakah kalian sedang mencari seorang yang bernama Karman" Datanglah kemari, ke
Lubuk Waru. Aku, Karman, sekretaris Partindo yang sebenarnya anggota partai komunis, ada di
sini, terkulai di atas hamparan pasir."
Mungkin karena kepatuhannya terhadap doktrin partai, Karman ternyata mampu
bertahan dua hari dua malam dalam kelebatan tetumbuhan di sekitar Lubuk Waru.
Untuk bertahan hidup, Karman makan pisang mentah, jagung, atau apa saja yang
bisa dicuri dari ladang penduduk. Bila hendak tidur, Karman keluar dari semak
menuju bantaran berpasir di tepi sungai. Di sana ia menggali lubang sedalam tiga
jengkal, memanjang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Karman memendam dirinya
sendiri dalam pasir yang kering dan hangat, hanya kepalanya yang muncul ke
permukaan. Dengan cara itu Karman bisa lelap karena terbebas dari udara dingin
serta gigitan nyamuk. Pengetahuan tentang cara tidur yang ganjil itu
diperolehnya ketika Karman sering menggembala kambing Haji Bakir pada masa
kanak-kanak. Namun pada malam kedua Karman memperoleh pengalaman yang amat mengesankan.
Ketika sedang tidur dalam pelukan pasir yang hangat itu Karman merasa ada tiupan
napas pada wajahnya. Karman membuka mata dan melihat moncong anjing hanya
beberapa senti dari ujung hidungnya. Untung, hanya dengan dengan cara
membentaknya anjing liar itu lari menjauh.
Dua hari dua malam. Itulah saat-saat yang paling berkesan dalam hidup Karman.
Dalam usianya yang tiga puluhan tahun Karman belum pernah merasa begitu dekat
dengan dirinya sendiri seperti saat itu. Demikian, di tempat terpencil sekitar
Lubuk Waru pada saat-saat yang lengang, Karman dapat melihat dirinya sendiri
dengan jujur dan telanjang. Karman melihat pemutaran rekaman riwayat hidupnya;
sejak anak-anak, kemudian ikut menjadi bagian keluarga Haji Bakir, disekolahkan
oleh Paman Hasyim, lain ditampik ketika hendak mengawini Rifah, terakhir,
menggabungkan diri dengan kelompok orang-orang komunis yang dipimpin Margo.
Ya, lintasan panjang dan berliku itu kini berujung di sekitar Lubuk Waru;
terpencil, diburu, dan entah apa yang akan terjadi atas dirinya besok atau lusa.
Yang jelas, ketika berada dalam persembunyian itu Karman sering mendengar bunyi
letusan senjata. Dan mengapa air sungai ini berbau agak anyir" Darah" Apakah
semua kawan-kawan separtai seperti Margo, Triman, dan si Gigi Besi sudah dihukum
mati" "Dan sesungguhnya aku kini sedang menunggu giliran menyusul mereka?"
Tiba-tiba tiba Karman merasa pertanyaan ini berubah menjadi hantu besar yang
amat mengerikan, Karman merinding dan merasakan dirinya susut menjadi makhluk
kecil yang tak berguna. Atau malah menyusahkan masyarakat dan karenanya harus
diburu dan dihukum" 65 Atau entahlah. Yang pasti, pada ujung kebimbangannya Karman bertemu dan
berhadap-hadapan dengan bayangan dirinya sendiri. Bayangan itu menuding Karman
dan kata-katanya sangat jelas terdengar:
"Apa yang terjadi atas diri kamu sekarang merupakan dialektika sejarah, dalam
hal ini adalah sejarah politik. Kamu tidak mungkin bisa lari dari
cengkeramannya. Kamu akan habis dikoyaknya."
"Aku tidak ingin membantah kata-katamu. Ya, apa yang sedang kurasakan adalah
wujud dialektika sejarah. Tetapi nanti dulu. Sekarang aku sedang bimbang, apakah
benar kehidupan ini sepenuhnya berjalan menurut garis dialektika itu.
Tentang diriku misalnya; apakah ketakutan yang sedang kurasakan bukan karena
kesalahanku juga?" "Jadi kamu menyesal" Kalau begitu kamu patut mendapat sebutan kader yang tidak
bertanggung jawab dan pengecut."
"Pengecut atau bukan, kini bukan saat yang patut untuk memikirkannya. Aku,
Karman, adalah manusia seperti manusia-manusia lain di dunia. Selain punya
keyakinan ideologis, aku juga punya rasa, punya ikatan keluarga, punya naluri,
dan akal budi. Ya, akal budi. Kini aku ingin mendengar suara akal budiku
sendiri." "Kini jelas, kamu seorang kader partai yang munafik."
"Aku tak peduli."
"Tetapi sejarah telanjur mencatat, kamu adalah pengikut Margo. Kenapa bisa
begitu?" "Pertama, karena sakit hati. Aku jengkel karena Haji Bakir tak rela anaknya
kukawini. Kedua, aku jengkel karena sawah orangtuaku dikuasai oleh Haji Bakir
dengan cara yang tidak adil. Dengan masuk ke dalam lingkaran Margo aku bermaksud
membalaskan sakit hatiku. Atau kalau bisa, aku mendapatkan kembali sawah itu.
Ah, aku tidak mengerti bahwa akhirnya aku harus terbawa dalam situasi yang
sangat menakutkan ini. Aku tak mengerti. Atau kamu bisa menerkanya?"
Hening. Karman tidak mendengar apa pun dari bayangannya sendiri. Malah dalam
rongga matanya Karman melihat Marni berlari kian kemari sambil menangis
ketakutan. Sambil bergerak pontang-panting Marni membimbing ketiga anaknya yang
juga menjerit dengan wajah penuh kengerian. Karman menangis. Tetapi kelengangan
Lubuk Waru tak peduli. Apabila bilik sempit yang bertutup atap ilalang dan tertopang oleh empat tiang
bambu itu bisa disebut rumah, maka Kastagethek pernah memilikinya. Rumah kecil
yang lebih pantas disebut gubuk itu terletak di tempat terpencil di bantaran
Kali Sikura di kampung Pangkalan. Kastagethek menempuh hidup dengan caranya
sendiri. Lelaki berperawakan kecil dan berkulit gelap itu mempunyai keahlian
membawa puluhan, bahkan ratusan batang bambu yang diikat menjadi gethek, semacam
rakit darurat. Dari kampung Pangkalan, lelaki itu menghanyutkan rakit bambunya
mengikuti aliran Kali Sikura menuju desa Muara, puluhan kilometer 66
jauhnya di pantai Selatan. Perjalanan di atas air itu bisa ditempuh selama dua
hari dua malam. Maka Kastagethek selalu menyediakan perapian di atas rakitnya,
lengkap dengan kuali untuk menanak nasi. Sampai di tujuan, rakit dibongkar
kembali dan dijual sebagai bambu batangan. Tetapi Kastagethek tak perlu
mengurusi penjualannya karena bambu-bambu itu bukan miliknya. Kasta hanya
memburuh membawakan dagangan itu dari kampung Pangkalan sampai ke Muara.
Dari Muara, Kastagethek pulang ke Pangkalan dengan berjalan kaki menyusuri
bantaran Kali Sikura. Perjalanan itu bisa menghabiskan waktu sampai dua hari.
Tetapi sambil berjalan pulang itu Kastagethek melakukan pekerjaan lain, menjala
ikan. Menarik rakit bambu dan menjala ikan adalah dua pekerjaan yang telah
ditekuninya turun-temurun. Demikian, maka ayah Kasta yang bernama Wirya dan
kakeknya yang bernama Truna, semuanya punya sebutan tambahan gethek. Sayang,
garis keturunan dinasti gethek tidak akan berlanjut karena Kasta tak punya anak.
Air Kali Sikura sudah lama surut. Inilah masa sulit bagi Kastagethek karena ia
tak bisa menghanyutkan lebih dari satu rakit bambu. Perjalanan ke hilir sering
mengalami kesulitan ketika rakitnya harus melewati bagian sungai yang dangkal.
Tidak jarang Kastagethek harus terjun ke sungai dan mendorong rakitnya yang
kandas. Tetapi pada sisi lain musim kemarau juga memberi keuntungan kepada anak
Kali Sikura itu. Pada musim ini beberapa jenis ikan mengalami masa-kawin.
Menjebak ikan-ikan yang sedang berahi beramai-ramai di malam hari adalah
keahlian lain yang dimiliki Kastagethek. Dan hasilnya bisa mencapai belasan kilo
ikan segar. Kehidupan Kastagethek terus bergulir, hilir-mudik sepanjang Kali Sikura antara
Pangkalan dan Muara. Demikian, maka hampir semua orang yang tinggal pada
lintasan kehidupan Kastagethek mengenalnya. Bagi orang-orang yang gemar mengail
di Kali Sikura, Kastagethek pun bukan lelaki asing bagi mereka. Bahkan anak-anak
selalu berteriak gembira apabila mereka melihat rakit bambu lewat.
Mereka terjun ke sungai dan ramai-ramai naik ke atas rakit. Kasta akan menyambut
mereka dengan keramahan seorang ayah yang telah lama merindukan anak. Ya, bagi
Kasta, anak-anak adalah manusia-manusia kecil yang manis dan lucu.
Tengah malam, akhir tahun 1965. Bulan yang pucat dan kesepian telah mencapai
pertengahan juring langit sebelah barat. Malam yang sepi mencekam. Hampir tak
terasa pertanda kehidupan kecuali suara kentongan yang dibunyikan di pos-pos
jaga setiap jam. Atau suara langkah-langkah berat para peronda, polisi, dan
tentara. Kadang terdengar juga lolongan anjing dan suara burung hantu. Namun di tengah
malam yang nyaris mati itu sebuah rakit bambu meluncur lambat mengikuti arus
Kali Sikura. Ada perapian berkelap-kelip di atasnya. Dan ada Kastagethek yang
sedang duduk mencangkung dan sesekali bangkit untuk mengatur arah rakitnya.
Ketika sampai ke Lubuk Waru, Kastagethek menghentikan rakitnya. Sebatang bambu
pengayuh dibuatnya sebagai tambatan. Kasta memang biasa berhenti di 67
tempat itu untuk beristirahat. Namun selama kemarau, Kasta punya acara lain di
tempat itu; menjebak gerombolan ikan yang tengah kawin, yang biasanya
berlangsung menjelang fajar.
Selesai menambatkan rakitnya Kasta turun ke hilir, agak menjauh dari Lubuk Waru.
Pada bagian sungai yang agak dangkal tukang rakit itu menyusun batu-batu kali
menjadi pematang yang melingkar dengan garis tengah lima atau enam meter.
Masing-masing pada bagian hulu dan hilirnya dibuat pintu-pintu. Dasar sungai
yang sudah terkalang itu diratakan. Kemudian Kasta naik ke darat. Dicarinya
bongkahan-bongkahan tanah kering, dihancurkan lalu ditebarkan ke tengah kalangan
tadi. Entahlah, ikan-ikan mempunyai naluri yang aneh. Mereka lebih tertarik
melakukan perkawinan di dalam air yang lapisan dasarnya baru terkena sinar
matahari. Pekerjaan membuat jebakan selesai. Sebelum naik kembali ke rakitnya, Kasta
membersihkan badan. Air yang begitu dingin sudah terbiasa baginya. Sebuah lampu
kecil dinyalakan. Kini Kasta tinggal menanti fajar setelah bulan tenggelam. Pada
saat inilah, seperti telah dialami Kasta selama bertahun-tahun, ikan-ikan akan
keluar dan mencari tempat yang baik untuk kawin. Dan Kasta telah menyediakan
tempat itu. Dari kampung, jauh di seberang sungai, terdengar kentongan dipukul dua kali.
Fajar akan menjelang dua jam lagi. Bulan hampir tenggelam. Bumi dan seisinya
seakan sedang tidur. Langit pun sepi, tak ada sesuatu yang bergerak. Tetapi di
atas rakitnya, Kastagethek masih sibuk. Setelah berganti pakaian, Kasta
menggelar tikar kecil, lalu berdiri menghadap ke barat. Di puncak malam yang
amat hening, seorang diri Kastagethek menegakkan shalat. Zikirnya khusyuk.
Dipandang dari ketinggian langit, Kasta larut dalam tasbih semesta. Bersama
dengan air Kali Sikura yang mengalir hening, bersama dengan bebatuan yang
membisu di tebing lubuk, dan bersama serangga yang berderik hampir tak
terdengar, Kastagethek menyekutukan pujian terhadap Gusti Kang Akarya Jagat,
Tuhan yang mencipta semesta alam; Gusti, Engkaulah yang terpuji dan suci dari
segala prakira dan syak-wasangka.
Masih dalam keheningan yang pekat, di barat bulan sudah menyentuh cakrawala.
Tiba-tiba angin bertiup lemah dan hanya mampu menggoyang pucuk-pucuk ilalang di
sekitar Lubuk Waru. Dari kesunyian yang temaram, seekor burung hantu muncul
tanpa bunyi dan hinggap di pucuk dahan tepat di atas jebakan yang dibuat
Kastagethek. Seperti Kasta, burung malam itu datang untuk menangkap ikan. Tetapi
karena melihat ada manusia di sana ia terbang kembali dan lenyap dalam
kegelapan. Sesaat kemudian terdengar suaranya yang berat dan bergaung seperti
hendak menyadarkan alam sekitar Lubuk Waru yang sedang lelap.
Dari tempat persembunyiannya yang hanya terpisah jarak beberapa belas meter,
Karman dapat melihat seluruh kegiatan Kastagethek. Karman memang tak bisa tidur
meskipun malam hampir menjelang fajar. Perutnya terasa sangat lapar dan 68
hatinya amat gelisah. Namun dalam kegelisahan itu Karman merasa terkesan ketika
diam-diam ia memperhatikan Kasta bersujud kepada Tuhan. Seorang anak manusia,
sendiri di tengah alam terbuka yang sedang lelap dan sunyi, merunduk di hadapan
Gusti. Entahlah, kesan itu terasa sangat mendalam. Padahal sebagai orang komunis
seharusnya Karman berseru, "Kang Kasta, buat apa kamu lakukan semua itu" Kamu
selalu menyembah Tuhan yang konon Mahaadil; tetapi mengapa kamu tetap miskin
karena dicengkeram oleh ketidakadilan?"
Tidak. Pada malam yang hening itu Karman tidak bisa bilang apa-apa. Jiwanya
telah terguncang oleh peristiwa yang terjadi pada hari-hari terakhir ini;
tentang makar berdarah di Jakarta; tentang teman-teman separtai yang dihukum
mati; tentang rumah-rumah yang dibakar; atau tentang air Kali Sikura yang bau
anyir darah. Demikian dahsyat guncangan itu sehingga Karman tidak bisa lain
kecuali justru mempertanyakan nasib dirinya; Apakah ajaran partai akan
membawanya juga ke depan regu tembak seperti yang dialami Triman" Karman
merinding karena jawaban yang muncul di hati sendiri adalah "Ya" yang amat
niscaya. Dan di sana, Kastagethek masih duduk dengan khusyuk. Dalam kesadaran ketika
bayangan regu tembak sudah muncul di depan mata, Karman merasa sangat iri
terhadap Kastagethek dengan segala perilakunya yang amat tenang, mengalir, dan
pasrah. Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kastagethek berkaitan
dengan shalatnya, dengan zikirnya, dengan tasbihnya. "Ah, ketiga ritus itu telah
lama kuingkari dan kucampakkan."
Kastagethek tampak bangkit kemudian menghidupkan perapian. Panci dijerang karena
Kasta hendak merebus air untuk kemudian menanak nasi. Perapian di atas rakit itu
telah menyala dan di tempat persembunyiannya, Karman menegakkan kepala karena
mendengar Kastagethek melantunkan kidung Sangkan-paraning dumadi; dari mana dan
mau ke mana segala keterjadian.
Aku mbiyen ora ana Saiki dadi ana Mbesuk maneh ora ana Padha bali marang rahmatullah
Dulu aku tiada Kini aku meng-ada Kelak aku lagi tiada Kembali ke rahmat ilahi Hanya sebuah syair yang biasa dilantunkan anak-anak ketika menunggu saat
sembahyang tiba. Hampir semua anak di Pegaten bisa menyanyikannya. Ketika kecil
Karman pun tiap menjelang magrib ramai-ramai melantunkan syair yang menurut Haji
Bakir merupakan saduran atas adagium yang berbunyi innalillahi wa innailaihi
raji'un. 69 Ya. Semasa kecil Karman beriman penuh terhadap ajaran bahwa segala yang maujud
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan pula. Namun setelah menjadi
orang partai, keimanan semacam itu dibuang jauh atas pengaruh Margo dan kawan-
kawan. Bagi Margo, yang kemudian diikuti Karman, segala yang maujud-
mengada-memang harus ada, dan sama sekali tak perlu dipertanyakan dari mana
datang dan mau ke mana mereka kembali. "Segala sesuatu jadi ada dan kemudian
jadi tiada, semuanya karena dialektika sejarah." Begitu pernah dikatakan Margo.
Tetapi malam ini hati dan jiwa Karman terbang kembali ke masa lalu, ketika
bersama teman-teman sebaya melantunkan syair itu di mesjid Haji Bakir. Bahkan
pada masa anak-anak Karman dapat merasakan kedamaian dan keteguhan hati setiap
kali mengucapkan syair pendek itu. Ya, masa-masa indah dan penuh kenangan; dunia
damai yang penuh keimanan tetapi telah lama ditinggalkannya dan rasanya sudah
terlambat untuk kembali. Sesungguhnya Karman sudah tidak tahan, ingin segera keluar dari persembunyiannya
dan berbicara dengan Kastagethek. Oh, berhari-hari menyembunyikan diri dan tidak
berbicara dengan siapa pun sungguh terasa amat menyiksa. Lagi pula perut Karman
kosong. Tetapi setiap kali hendak bangkit, rasa takut menahan dia tetap membeku
di tempat. Di atas perapian, air yang direbus Kastagethek telah mendidih. Kasta
mengeluarkan sebuah cangkir kaleng. Kemudian Karman mencium bau kopi diseduh.
Usus-ususnya terasa menggeliat. Liurnya bangkit. Namun Karman hanya bisa menelan
ludah. Karman juga hanya bisa menatap dari jauh ketika Kastagethek memanggang
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikan lele di atas perapian. Bau ikan bakar benar-benar menggoda perut Karman
yang sudah beberapa hari hanya berisi singkong atau pisang mentah.
Dan ketika melihat Kastagethek membuka periuk berisi nasi, Karman tak tahan
lagi. Ia bangkit dan berjalan perlahan dalam keremangan. Makin dekat ke rakit
yang tertambat itu sosok Karman makin jelas karena tertangkap cahaya lampu.
Karman mengeluarkan aba-aba dengan suara seperti orang terbatuk.
"Kastagethek di situ?" tanya Karman dengan suara ragu dan parau, Kasta menoleh.
Lelaki itu menatap arah datangnya suara yang menyerunya. Tetapi sebelum dekat
benar Kastagethek tak bisa mengenali siapa yang datang. Ya, meski tidak tinggal
sekampung, tetapi siapa yang tidak kenal pegawai kantor Keeamatan yang bernama
Karman" "Lho, Pak Karman" Tengah malam begini sampeyan berada di sini."
"Biasa, Kang Kasta, mengail ikan moa," jawab Karman. Entahlah, tiba-tiba rasa
lega menyiram hatinya. Karena dari tatapan mata dan gayanya bicara, Kastagethek
sama sekali tidak tampak curiga. Ah, seorang penarik rakit bambu seperti
Kastagethek mungkin tidak tahu bahwa Karman adalah komunis yang kini harus
diburu. Rakit bambu itu sedikit oleng ketika Karman melompat dan naik. Kini ada
dua lelaki di atas rakit bambu yang tertambat itu.
70 "Ya, Pak. Ikan moa memang hanya keluar dan cari makan pada malam hari, terutama
pada saat magrib dan menjelang fajar."
"Itulah, maka saat ini saya berada di sini. Tetapi kali ini sedang sial. Tali
kail saya tersangkut dan macet di tengah lubuk. Sudah satu jam saya berusaba
mendapatkannya kembali tetapi gagal."
Cerita rekaan Karman termakan sepenuhnya oleh Kasta. Maka kemudian dia
menawarkan jasa. "Itu gampang, Pak. Nanti bisa saya selami. Siapa tahu ikan moa yang membawa kail
sampeyan berukuran besar."
"Wah, tidak usah, Kang. Saya sudah rela kail saya hilang. Dan, Kang Kasta, Lubuk
Waru kini seram, bukan?"
"Maksud Pak Karman, mungkin banyak mayat mengendap di dasar lubuk?"
"Ah, kamu pasti lebih tahu."
"Memang, Pak. Sungai ini sekarang jadi seram. Untung, saya sudah terbiasa.
Eh, Pak Karman mau dengar cerita soal hantu?"
"Kang, saya tidak percaya bahwa hantu memang ada."
"Itu terserah pada sampeyan. Yang jelas kemarin malam saya melihatnya. Kemarin
ada sesuatu yang tiba-tiba melompat dari air dan mendarat di rakit ini. Saya
kira ikan gabus karena ikan itu memang biasa melompat-lompat seperti itu. Eh,
Pak Karman ingin tahu ternyata apa?"
"Apa?" "Potongan kaki manusia. Darah masih menetes pada bekas potongannya."
Ketika menceritakan pengalaman itu Kasta tampak tetap tenang, amat tenang.
Tetapi Karman mengerutkan kening. Ketakutan muncul jelas pada layar wajahnya.
"Tetapi, Pak, potongan kaki manusia yang semula tampak begitu nyata itu tiba-
tiba gaib. Anehnya, kemudian muncul kepala manusia. Hanya kepala dan giginya
menyeringai persis orang tertawa. Dan kepala itu tiba-tiba gaib pula. Nah, mau
dibilang apa benda-benda tadi kecuali hantu. Iya, kan, Pak?"
Karman membisu dan napasnya tertahan-tahan. Apabila bisa memandang dengan
saksama, maka Kastagethek akan melihat wajah Karman yang makin pucat.
Tetapi Kasta memang lugu. Kata-kata yang kemudian diucapkan membuktikan Kasta
tidak menangkap perubahan pada wajah lawan bicaranya.
"Eh, Pak. Ada untungnya juga di Kali Sikura ini sekarang banyak mayat. Semua
ikan jadi tambah gemuk."
Kastagethek tertawa ringan. Karman juga tertawa, tetapi kemudian tertegun.
Aneh, siapa menertawakan siapa"
Kemudian sepi. Mulut Karman bergerak-gerak, namun suaranya tak kunjung keluar.
71 "Kang Kasta, kamu punya nasi, bukan?" ujar Karman mengalihkan pokok pembicaraan
dengan sangat hati-hati. Tiba-tiba lambungnya terasa perih. Kasta menegakkan
kepala, mungkin karena merasa ada sesuatu yang mengejutkan dia.
"Oh, nasi" Di atas rakit ini selalu tersedia nasi. Tetapi apakah Pak Karman sudi
makan nasi seorang tukang rakit?"
Karman hanya mengangguk dan tersenyum. Lambungnya kembali perih. Rasa lapar
menggerus usus-ususnya. Dan Kastagethek sibuk menyiapkan nasi dengan piring
seng. "Dan ini, panggang lele. Sayang bumbunya hanya garam dan cabe. Mari. Wah, tak
saya sangka ada priyayi mau dijamu di atas rakit di tengah malam seperti ini.
Dan kopi panas, Pak?"
Sekali lagi Karman hanya mengangguk. Kini ada nasi dengan panggang lele serta
secangkir kopi di hadapannya. Mula-mula Karman meneguk kopi panas itu.
Terasa ada tenaga mengalir ke dalam lambungnya. Kemudian tanpa malu-malu Karman
makan nasi yang disuguhkan Kastagethek. Lahap seperti itik dua hari tak diberi
makan dan menyerbu jemuran gabah.
Selesai makan, wajah Karman terlihat lebih segar. Lelaki itu berkali-kali
mengucapkan terima kasih sehingga Kastagethek merasa sikap Karman berlebihan.
"Yang baru sampeyan santap hanya nasi dan panggang lele. Itulah hidangan yang
biasa saya makan karena memang paling mudah diolah di atas rakit ini. Jadi
sampeyan tidak perlu merasa berutang budi. Lagi pula sampeyan mungkin lupa, air
yang saya rebus untuk menyeduh kopi dan untuk menanak nasi saya ciduk begitu
saja dari Kali Sikura ini."
"Maksudmu, Kali Sikura yang kini sering mengapungkan mayat, bukan" Ah, aku tak
peduli. Karena saya lapar dan masakanmu memang enak."
Bulan sudah tenggelam dan langit hanya diterangi cahaya gemintang. Karman dan
Kasta masih asyik bercakap. Mereka menggulung tembakau. Sebenarnya Karman bukan
jenis manusia yang pandai bersandiwara. Tetapi entahlah, malam itu Karman bisa
menyembunyikan perasaannya dengan baik. Ia bisa mengajak Kastagethek bicara soal
macam-macam. "Kang, bila kamu sedang menjalankan rakit seperti ini, bersama siapa istrimu di
rumah" Apakah dia sendiri?"
"Ah, tentu tidak, Pak. Bila istriku tinggal sendiri di rumah, mana mungkin saya
bisa pergi berhari-hari dengan tenang."
"Tetapi kudengar kamu tak punya anak, bukan?"
"Benar." "Lalu?" "Di rumah, istriku selalu tinggal berdua."
"Sama?" 72 "Sama Tuhan," jawab Kasta sambil tersenyum. "Kutitipkan dia kepada Tuhan
sehingga saya bisa pergi cari makan dengan perasaan enak."
Karman diam dan menelan ludah. Hatinya rasa tersodok.
"Ya, ya. Tetapi bagaimana andai kata istrimu merasa kesepian?"
Kastagethek tertawa. Karman juga tertawa tetapi suaranya hambar.
"Lho bagaimana, Kang?"
"Ah, saya sendiri sering merasa kesepian. Namun saya tidak berbuat macam-macam.
Saya menerima keadaan saya ini apa adanya. Lho, kalau nyatanya saya harus jadi
tukang rakit, ya, saya menerimanya. Nrimo ing pandum. Dengan cara begitu saya
selalu merasa tenang. Dan. ."
Tiba-tiba Kastaaethek berhenti, menegakkan kepala dan memasang telinga.
Samar-samar terdengar suara air berkecipak. Kastagethek tersenyum dan siap
bangkit. "Pak Karman bisa mendengar suara itu" Ikan-ikan yang kutunggu sudah datang dan
mulai ramai-ramai kawin. Saya akan menangkap mereka dengan jala, sampeyan
menunggu di sini." Kasta bergerak cekatan. Kain sarung dilepas lalu disambarnya jala. Bagaimana
ahlinya dia terbukti dari caranya melangkah dalam air; tak sedikit pun
menimbulkan suara. Sunyi. Dan sesaat kemudian terdengar suara jala ditebarkan.
Ditinggal seorang diri di atas rakit, Karman tiba-tiba diamuk rasa takut.
Tengkuknya terasa dingin. Suara tikus busuk yang berlari di atas daun kering
terdengar sebagai langkah sepatu tentara. Ya, siapa tahu tiba-tiba muncul orang-
orang bersenjata; "Angkat tangan!"
Ketika rasa takut masih mencengkeram hatinya, Karman sempat berpikir tentang
Kastagethek. Ketenangannya. Dan keikhlasannya menjalani hidup. Karman iri. Dulu,
dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh partai, orang seperti
Kastagethek sering dipakai sebagai contoh manusia yang tertidas oleh kelas
pengisap. Aku dapat mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami Kasta dan jutaan
orang seperti dia disebabkan oleh sistem kemasyarakatan yang tidak adil. Karena
miskin, mereka jadi lemah dan bodoh. Selanjutnya, kebodohan kembali melahirkan
kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan, kebodohan, serta kelemahan telah membentuk rantai
tertutup sehingga terjadilah lingkaran setan yang tidak bisa lagi dilihat ujung-
pangkalnya. Dan kelas penindas menggunakan agama sebagai candu untuk
meninabobokkan orang-orang tertindas agar terlena dan tidak menuntut hak-hak
sosial mereka. "Aku juga sudah mempelajari teori-teori yang membicarakan bagaimana cara
menghapus kemiskinan di tengah masyarakat. Kuncinya, keadilan harus ditegakkan.
Dan caranya, menurut ajaran partai, masyarakat miskin harus bersatu dan merebut
kendali atas sistem yang mengatur mekanisme kehidupan masyarakat. Dan, kira-73
kira itulah yang telah dilakukan oleh kawan-kawan separtai di Jakarta awal
Oktober lalu. Aku tahu, meskipun untuk mencapai tujuannya partai membenarkan
segala cara, namun usaha itu ternyata gagal. Dan penggunaan cara yang tidak
mempertimbangkan harkat kemanusiaan itu, sebenarnya kesadaranku tak bisa
menerimanya. Andaikan sejak semula aku menyadari bahwa partai bisa melakukan
makar yang begitu berlumuran darah seperti yang terjadi kemarin, sekali-kali aku
tak ingin jadi anggota."
"Ah, aku mengerti kesadaran ini datang terlambat. Masalahnya aku takut
menghadapi regu tembak. Aku. ."
"Alhamdulillah, Pak Karman," tiba-tiba suara Kastagethek menghancurkan lamunan
Karman. Kasta muncul dengan jala penuh ikan. "Tuhan bermurah dengan rezeki-Nya
malam ini. Lihat, paling tidak tiga kilo ikan yang saya dapat. Nah, Pak Karman
tidak mendapat seekor pun ikan moa, bukan" Tak usah takut dimarahi istri.
Bawalah barang beberapa ekor ikan yang saya jala ini, yang besar-besar. Itu
rezeki Pak Karman." Karman terdiam karena bingung. Dan juga terkejut. Untung Kastagethek sedang
sibuk membenahi ikan-ikannya, sehingga ia tidak melihat perubahan pada wajah
Karman. Tetapi Karman hampir gagal menguasai diri ketika Kastagethek berkata,
"Pak Karman, kukira sebentar lagi akan terdengar ayam berkokok. Maaf, sebaiknya
Pak Karman segera pulang. Tentu istri Pak Karman sudah menunggu. Saya sendiri
akan tidur sebentar di sini sampai subuh. Selanjutnya saya akan meneruskan
perjalanan ke Muara. Nah, sarapan Pak Karman besok pagi pasti enak. Pasti istri
Pak Karman pintar membuat pecak ikan kuah santan, bukan?"
Tanpa kesadaran penuh, Karman menerima lima ekor ikan yang direnteng dengan
tali. Mulutnya bergumam. Barangkali Karman bermaksud mengucapkan terima kasih,
tetapi suara yang keluar tidak jelas. Kemudian Karman menjabat tangan tukang
rakit itu, lalu berbalik. Tetapi baru beberapa langkah menjauh Karman kembali.
"Dengar, Kasta. Kamu tahu, aku seorang pegawai kantor Kecamatan. Malulah rasanya
bila sampai ada orang tahu aku mengail ikan sampai hampir pagi seperti ini. Jadi
kuminta kamu rahasiakan perjumpaan kita. Ingat, ini amanat yang kupercayakan
kepadamu!" "Oh, ya. Setiap amanat, bagaimanapun kecilnya harus ditunaikan dengan sempurna.
Begitu perintah Tuhan. Percayalah."
Selagi tubuh Karman masih terkena sinar lampu kecil di atas rakit, sosoknya
masih tampak. Lama-lama lenyap. Kastagethek bernapas lega. "Malam ini aku telah
membagi rezekiku dengan seorang priyayi. Semoga istri Pak Karman dapat
menyenangkan suaminya dengan membuat sarapan pagi yang hebat besok. Oh, memang
tidak pantas seorang seperti Pak Karman mencari ikan sampai dini hari.
74 Dan aku bersyukur telah membuat Pak Karman tidak pulang dengan tangan hampa."
Lepas dari pandangan Kasta, Karman berhenti termangu-mangu. Ia sudah mendengar
ayam jantan berkokok. Karman makin termangu. "Mau ke mana aku sekarang?"
Untuk sekian lama tetap terpaku di tempatnya. Kokok ayam makin ramai. Ketika
menengok ke timur, Karman melihat langit mulai terang. Dan ia merasa ada sesuatu
yang amat mengerikan sedang mengejarnya.
Waktu sudah amat mendesak, maka Karman harus segera memutuskan ke mana ia harus
bersembunyi lagi. Astana Lopajang. Sebuah makam yang dikeramatkan dan terletak di atas sebuah
bukit kecil yang dikelilingi hutan puring. Cungkup nya tidak pernah dibuka orang
kecuali setahun sekali pada bulan Maulud. Pada bulan tersebut, makam dan tanah
di sekelilingnya dibersihkan. Kelambu yang mengelilingi pesarean diganti atau
hanya dicuci. Karman teringat tempat yang sangat baik untuk bersembunyi itu, dan bergegas ke
sana. Kalau ia berjalan cepat, dalam waktu satu jam saja ia akan sampai ke
tujuan. Kunci cungkup selamanya ada pada juru kunci. Oh, Karman tidak akan mencoba
merusak kunci itu. Dengan tenaga tangannya ia dapat membuka dinding bambu bagian
belakang cungkup makam. Menutupnya kembali baik-baik, dan masuk. Yang pertama
dikerjakannya di dalam cungkup itu adalah menyalakan geretan. Seekor tikus lari
ketakutan. Disingkapnya kelambu dan: ini dia! "Kukira aku tidak akan lagi sempat
tidur di suatu tempat dengan kelambu," pikir Karman.
Di samping depan batu nisan sebelah selatan, bekas kemenyan menggumpal sebesar
kelapa. Tetapi di dekat nisan sebelah utara, seekor ular sanca sebesar lengan
sedang bergelung nyenyak. Dengan kakinya Karman mengusir binatang itu yang
kemudian menggeliat pergi. "Jangan jauh-jauh! Besok atau lusa bila aku masih
hidup kau akan kupanggang," ujar Karman dalam hati.
Tidak terpikirkan sebelumnya, ternyata Karman dapat bersembunyi di tempat itu
selama tiga puluh empat hari. Ia hanya keluar di waktu malam untuk mencari
makanan dan air. Kadang-kadang mandi. Di siang hari ia tidur atau memikirkan
cara untuk melarikan diri lebih lanjut. Atau lagi, berperang dengan sekuat
tenaga untuk mengusir kenangan pada istri dan ketiga anaknya. Hal ini yang
dirasakan amat berat olehnya, karena dalam mimpinya Marni selalu hadir,
tersenyum. Lekuk ujung bibirnya masih tetap indah.
Lari ke kota besar adalah rencana yang sudah dipikirkannya dengan sungguh-
sungguh. Beberapa cara untuk sampai ke kota dipelajarinya, dengan tidak
melupakan teori-teori yang telah diterimanya dari Margo almarhum. Sekarang
Karman hanya tinggal menunggu saat yang baik. "Satu atau dua bulan lagi tentulah
keadaan sudah agak mereda. Aku bisa berjalan mengikuti bantaran Kali Sikura, 75
sepanjang malam. Di Muara ada truk-truk yang selalu mengangkut buah kelapa ke
Bandung atau Jakarta. Bila aku mau mencuci ban-ban kendaraan itu, sopir tentu
bisa kumintai tolong. Wah, pelarian menjadi aman bila aku dapat memiliki kartu
bukti diri palsu. Tetapi siapa yang tahu aku akan memperolehnya."
Rencana pelarian Karman terus dikembangkan dengan penuh optimisme. Tetapi
sejarah menuntut lain. Karman tidak pernah bisa melaksanakan rencana
pelariannya. Keadaan hidupnya selama tinggal di cungkup itu amat buruk. Apa yang dimakan,
diminum, semuanya kotor dan mentah.
Mula-mula Karman terserang malaria. Masih untung, malam hari ia dapat menemukan
buah oyong yang kering. Bijinya bisa menggantikan pil kina, bahkan rasanya lebih
pahit. Hilang penyakit yang pertama, datang penyakit lainnya. Karman terkena
sakit perut. Diare. Suatu ketika di siang hari Karman diamuk rasa haus.
Tetapi air yang biasa ditampungnya dengan daun keladi telah habis. Haus, sangat
haus. Maka dikumpulkan sisa kekuatannya, lalu ia keluar merangkak menuruni
bukit. Sampai di tepi Kali Sikura ia minum seperti kambing.
Dan tamat sudah kisah pelariannya, karena seorang gembala kerbau melihat segala
gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang pamong desa datang ke Astana
Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena
keadaannya itulah orang tidak tega menghabisi nyawanya.
Dari dulu desa itu bernama Pegaten, juga pada bulan Agustus 1977 dan entah
sampai kapan lagi. Tadi malam ada hujan walaupun sebentar. Cukuplah untuk
melunturkan debu yang melapisi dedaunan. Tanah berwarna cokelat kembali setelah
beberapa bulan memutih karena tiada kandungan air.
Tini bersama Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Mereka baru menjemput Karman
dari kota. Ayah Tini yang baru pulang dari Pulau B itu sekarang berada di rumah
Bu Mantri, nenek Tini. "Pantas ada gadis manis di Pegaten ini," kata Jabir memulai urakannya. "Ternyata
ayahmu gagah juga." Tini tersenyum ketika mendengar pujian Jabir. Namun ia tetap menunduk.
Jalannya diperlambat. "Nah, kamu sekarang tahu ayahku seorang bekas tahanan. Kamu tidak malu
menghadapi kenyataan ini?"
"Kok kamu bertanya seperti itu" Malah aku senang dan harus berterima kasih
kepada ayahmu. Tetapi tadi mulutku sulit dibuka."
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berterima kasih?"
"Iya, bukankah karena ayahmu itu maka lahir si manis yang bernama Tini?"
"Ah, kamu terlalu. Eh, tetapi benar juga, ya" Bila tak ada Ayah, aku juga tidak
akan pernah ada." 76 "Yang kedua; aku merasa malu kepada ayahmu karena sebuah cerita lama.
Dengar, kamu tidak melupakan nama calon ibu mertua kamu?"
Yang ditanya diam sebentar, malu dan gondok. Calon mertua"
"Nggak pakai sebutan calon mertua; pokoknya saya tahu nama ibu kamu.
Syarifah." "Betul. Lain kamu juga tahu dulu ibuku hampir jadi istri ayahmu?"
Tini tertawa lirih. Jabir gemas, karena tawa itu membuat Tini tambah manis saja.
"Kira-kira aku tahu juga. Mengapa?"
"Keterlaluan kalau kamu tidak mengerti ada hal yang lucu. Bukankah kita mau
kawin" Kalau kelak ibuku bertemu dengan ayahmu, apa mereka tidak akan salah
tingkah?" Kedua anak muda itu tertawa.
"Ah, mereka sudah tua. Kita menganjurkan agar ibumu dan ayahku sama-sama merasa
malu kepada kita." "Kalau mereka tidak malu kepada kita, kita akan berpura-pura malu kepada
mereka," sambung Jabir.
Tini menghentikan pembicaraan itu. Perubahan wajahnya membuktikan ada sesuatu
yang mengganjal pikirannya. Ia berjalan sambil menggigit sapu tangan.
Ketika Jabir bertanya mengapa, Tini terisak. Jabir jadi kikuk.
"Ibuku," kata Tini akhirnya. "Kamu dapat membayangkan perasaan ibuku sekarang.
Ibu sering berkata kepadaku bahwa sesungguhnya ia belum pernah bercerai dengan
Ayah dalam arti yang lumrah. Orangtuaku bercerai karena keadaan yang memaksa.
Ibu juga mengaku dengan jujur, sesungguhnya ia tidak bisa melupakan Ayah.
Tetapi, oh Ibu, ketika Ayah pulang sekarang ini, Ibu telah bersuami. Bahkan
sudah beranak dua orang."
Jabir membisu dan membiarkan Tini melangkah sambil menghapus air matanya.
Mereka mencoba kekuatan akal masing-masing untuk memahami masalah yang rumit
itu. Jabir menggeleng-gelengkan kepala.
"Tini, aku bisa mengira-ngira bagaimana perasaan ibumu. Tetapi kita tidak bisa
berbuat apa-apa. Siapa pun tak bisa berbuat apa-apa. Jadi biarlah apa yang telah
terjadi." "Tak salah kamu berkata demikian. Tetapi lain halnya denganku. Apa ada anak yang
tidak menginginkan kedua orangtuanya bersatu dalam sebuah rumah tangga yang
rukun dan utuh" Mana mungkin aku tega melihat Ibu berperang dengan perasaan
sendiri ketika ia meladeni suami baru sementara ia masih selalu teringat kepada
suami pertama, ayahku. Ketika Ayah tidak tampak di mata, masalahnya mungkin
lain. Tetapi sekarang?"
"Apakah ayahmu juga masih ingin kembali kepada ibumu?"
77 "Tadi, Ayah tidak terang-terangan berkata demikian. Tidak akan pernah. Namun
dapat kita duga apa yang paling diinginkan oleh seorang yang pulang dari
pengasingan selama dua belas tahun. Atau, tak tahulah. Boleh jadi Ayah telah
dapat menguasai perasaannya, dengan demikian ia tabah."
"Bukan main, kalau begitu. Namun, Tini, paling tidak aku berani minta kepadamu;
janganlah memaksakan keinginanmu agar ayah dan ibumu bersatu kembali."
"Yah, aku sendiri bisa mengerti masalahnya sudah sulit. Aneh pula, aku merasa
kasihan kepada kedua adik tiriku. Mereka manis-manis, mereka anak-anak ibuku
juga. Jadi sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk mendesak Ibu bercerai
dengan suami yang sekarang. Rumit?"
"Ya, rumit. Sebaiknya kita jadi penonton saja."
"Hanya menonton?" tanya Tini bersungguh-sungguh.
"Habis mau apa lagi?"
"Maksudku, paling tidak kita harus mengambil pelajaran dari kisah kedua
orangtuaku ini. Supaya hal yang sama tidak terjadi pada kita. Kau setuju?"
"Hm, seperti seorang ibu yang arif kau ini, tapi. ." Jabir merasa sulit
meneruskan kata-katanya. "Tapi apa?" desak Tini.
"Kalau aku yang mengalami nasib seperti ayahmu?"
"Oh, aku tahu. Seandainya kamu harus pergi selama dua belas tahun atau seratus
tahun, aku. . Atau sebaliknya tak usah berkhayal yang bukan-bukan. Aku takut."
Dalam hati Jabir tersenyum. Ketika mengucapkan aku takut, Tini menggoyangkan
kedua pundaknya. Gerakan yang biasa saja seandainya Jabir tidak sedang dirayapi
rasa cinta. Ternyata gerak sederhana yang dilakukan Tini telah membuat ombak
besar dalam jantung Jabir.
Mereka sampai ke depan rumah Tini. Atau persisnya rumah Parta, tempat Tini ikut
tinggal bersama ibunya. Gadis itu menghambur meninggalkan Jabir di belakang.
Sampai di dalam Tini terus memeluk dan mencium ibunya. Kata-katanya berhambur
seperti buah duku tumpah dari keranjang.
"Ibu. Benar Ayah telah pulang! Sekarang Ayah ada di rumah Nenek. Wah, Bu.
Orangnya tegap dan gagah meski agak kurus. Ada kumis, ada jenggot, ada cambang.
Pokoknya banyak bulunya. Pokoknya aku senang, ternyata aku mempunyai seorang
ayah yang gagah. Dan tidak setua seperti yang kuduga semula. Eh, Bu, kapan Ibu
bisa menemui Ayah?" Marni tegak terpaku. Pandangannya menerawang dan kosong. Ia tetap diam meskipun
Tini menggoyang-goyangkan tangannya. Kemudian Tini sadar, ia tak boleh terus
mendesak ibunya yang sedang bimbang. Apalagi kemudian ia melihat ada genangan di
mata ibunya. 78 "Tini, aku pasti menengok ayahmu. Besok atau lusa, sekarang aku belum bisa."
"Wah, besok atau lusa, Bu" Tidak pantas. Semua orang sudah kelihatan datang ke
rumah Nenek. Bahkan Haji Bakir suami-istri sudah di sana. Ibu sebaiknya ke sana
sekarang." Marni termangu lagi. "Kalau begitu, kau bisa tinggal di rumah menjaga adik-adik?"
"Wah, aku harus ikut, Bu. Di sana banyak orang dan tak ada yang mengurus
minuman. Masa Nenek yang setua itu seorang diri harus mengurus para tamu?"
"Tetapi kamu kan sedang punya tamu?"
"Oh, tak mengapa, Bu," kata Jabir dari ruang tamu. "Saya hanya mengantar Tini.
Sekarang saya siap pulang."
Marni masih ragu-ragu juga, sehingga Tini merasa perlu meyakinkannya.
"Ayolah, Bu, anak-anak kita bawa."
Akhirnya Marni bergerak masuk ke kamarnya. Di sana Parta terbaring lemah karena
bengeknya kambuh. Kata orang, pengidap sakit bengek seperti Parta pantang
mengalami tekanan perasaan. Memang tak ada orang yang sengaja menekan perasaan
laki-laki itu, tidak juga Karman. Bahwa kedatangan Karman di Pegaten membuat
Parta gelisah dan sangat tertekan adalah perkara lain.
Ketika Marni minta izin hendak menengok bekas suaminya, Parta diam. Melihat pun
tidak. Namun ketika ia mendengar Marni terisak, Parta menoleh. Kemudian dengan
aba-aba anggukan yang lemah, Parta mengabulkan permintaan Marni.
Masih dengan mata basah, Marni berganti pakaian. Kerudungnya biru muda.
Tetapi kalung dan giwang dilepasnya. Sekali lagi ia minta diri kepada suaminya,
lalu berangkat bersama Tini dan kedua anaknya. Mereka tidak tahu bahwa beberapa
saat kemudian Parta turun dari tempat tidur. Pelan-pelan ia juga berganti
pakaian dan menyusul istrinya. Sepanjang jalan ia bersusah payah menata
napasnya. Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangga
yang sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-
orang Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersaudara, dan yang
penting: gampang melupakan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat
dikhawatirkan oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang mungkin
diterimanya begitu ia muncul kembali di Pegaten. Haji Bakir datang berdua dengan
istrinya meski-pun ia harus dibantu dengan tongkat yang menopang tubuhnya yang
sudah bungkuk. Apabila Karman menyambut tamu-tamu yang lain secara wajar, tidak
demikian halnya ketika ia menerima kedatangan haji yang sudah sangat tua itu.
Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya,
lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk 79
orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang
merasa tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya.
Marni yang muncul bersama Tini dan kedua adik tirinya sudah sampai ke halaman
rumah Bu Mantri. Ia berjalan menunduk. Marni segera menjadi pusat perhatian.
Semua orang yang berada di sana diam. Hening. Dan suasana tiba-tiba berubah
mencekam. Seolah-olah mereka menunggu sesuatu yang luar biasa akan terjadi.
Di pintu Marni mengucapkan salam. Pelan sekali. Kemudian matanya berkeliling
mencari laki-laki yang baru pulang dari pengasingan di Pulau B itu. Karman
bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang saja, tetapi nyata sekali tangannya
bergetar. Perempuan yang selama dua belas tahun dirindukan sekarang berada di hadapannya.
Yang selama itu pula menjadi angan-angannya. Yang tanpa dia Karman hampir
bertekad memusnahkan dirinya sendiri. Di mata Karman Marni tetap cantik, atau
bahkan lebih cantik karena kini sudah matang.
Apa yang sedang menyapu perasan Karman demikian pula yang dirasakan oleh Marni.
Dan apabila Karman berhasil menguasai perasannya, Marni tidak.
Bagaimana juga ia seorang perempuan. Ada sesuatu yang terasa mendidih dan meluap
dalam dada Marni. Tubuhnya bergoyang. Lalu ia bergerak ke arah Karman.
Mulutnya terbuka. Tetapi ada kekuatan yang mencegahnya bergerak lebih lanjut.
Dari mulut Marni terdengar suara tertahan, "Mas. . Mmmmas Karman!"
Hanya itu. Karena kemudian Marni tidak lagi bergerak. Ia berhenti dalam keadaan
yang ganjil. Tangannya seakan-akan hendak menggapai ke depan, tetapi tubuhnya
condong ke belakang. Beberapa detik Marni tetap demikian. Lama-lama tubuhnya
goyang. Karman cepat menangkap tubuh Marni sebelum perempuan itu roboh ke tanah.
Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena yang kemudian terjadi
memang sulit dilukiskan dengan bahasa. Perempuan-perempuan yang menahan isak.
Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana yang mendadak bisu tetapi
penuh haru-biru. Tubuh Marni diangkat ke atas balai-balai. Banyak perempuan yang tak tahan
melihat adegan itu, lain menangis dan menyingkir ke belakang, lebih-lebih Tini.
Gadis itu menelungkupi tubuh ibunya sambil menjerit-jerit. Tangis kedua adik
tirinya menambah suasana di rumah Bu Mantri itu makin membingungkan. Seorang
perempuan melonggarkan pakaian yang dikenakan Marni, dan ia mengalami kesulitan
ketika berusaha melepas setagen.
Yang pingsan belum siuman ketika Parta tiba di tempat itu. Dari jarak beberapa
langkah orang sudah mendengar suara napasnya. Kedua bahunya turun-naik dengan
berat. Sebelum masuk ia berhenti, bertelekan pada daun pintu. Siapa pun tidak
dipedulikannya. Parta sedang berusaha agar tidak kehabisan udara. Wajahnya sudah
merona biru. Tetapi ketika mendengar ribut-ribut di dalam, Parta masuk.
80 Tergagap-gagap manakala ia tahu siapa yang tergeletak tak sadarkan diri.
Suaranya terputus-putus antara tarikan napasnya.
"Oh. . kenapa istriku" Diapakan dia" Kenapa. .?"
"Bersabarlah Parta, sabar," sela Haji Bakir. "Istrimu pingsan. Nanti ia segera
siuman." Tetapi orang tua itu tidak berhasil menahan Parta yang terus berkata-kata
seperti orang kesurupan. "Marni itu istriku. Bagaimana juga ia istriku. Sah! Kami menik. . ah di hadap. .
an penghu. . lu." "Yah, Marni adalah istrimu tentu saja," kata Karman. "Tetapi bersabarlah sampai
dia siuman kembali."
"Tetapi diapakan dia" Diapakan" Marni. . Mmmmmari pulang! Ini buk. . an rumahmu.
Mmmmmari pulang!" Seorang laki-laki bangkit dan memaksa Parta duduk di sebuah kursi.
Sesungguhnya laki-laki itu tidak perlu bertindak sekasar itu. Parta sudah lemas
kehabisan tenaga. Ia terkulai, hanya bola matanya yang bergulir-gulir melihat
kesibukan yang sedang terjadi.
Melihat Marni tidak juga siuman, Karman mengambil sebaskom air hangat.
Kaki Marni direndamnya. Kemudian perlahan-lahan mata Marni terbuka.
Berangsur-angsur napasnya normal kembali.
"Astaghfirullah," desis Marni. Orang-orang yang merubungnya menarik napas lega.
"Syukurlah, Marni sudah siuman," ujar seorang perempuan.
Sambil duduk kembali, Marni membenahi pakaiannya. Meskipun air matanya menetes
kembali, tetapi ia kelihatan lebih tenang. Dipandangnya Karman yang masih
berdiri di ujung dipan. Keduanya saling tatap dengan mata, dengan hati masing-
masing. Pada saat seperti itu baik Karman maupun Marni, tak mungkin berbohong
dan memungkiri perasan masing-masing. Namun keduanya hanya bisa menekan perasaan
yang tiba-tiba menusuk dada. Dan menelan ludah.
Melalui tatapan dan air matanya, sejuta pesan hendak disampaikan Marni kepada
Karman. "Oh, kau laki-laki yang pernah mengisi kesejukan di waktu mudaku. Dulu
ketika aku menyerahkan diri-ku padamu, kamu telah membayarnya dengan kehangatan
hidup yang membuatku merasa sangat beruntung. Kauikatkan diriku kepadamu dengan
tiga orang anak, dengan tawa riang, dengan kedamaian. Oh, Karman, aku tahu kau
tak pernah menginginkan perpisahan. Aku pun tidak, tetapi kita telah berpisah
sekarang. Bahkan aku tidak bisa menyambut kepulanganmu kecuali dengan keadaanku
yang memalukan, yang hanya menambah kegetiran hatimu. Maafkan aku, Karman,
seperti dulu kau selalu berlaku demikian kepadaku.
Maafkan aku." 81 Sekali lagi Marni menatap bekas suaminya. Meskipun jantung Karman terpacu,
tetapi ia dapat menangkap ucapan Marni.
"Kau baik-baik saja, Paknya Tini?"
"Hm" Yah seperti yang kaulihat, aku sehat. Oh ya, kau keliliatan awut-awutan.
Pergilah sebentar ke sumur, bersihkan dirimu."
Karman terkejut sendiri. Mengapa ia bisa memberi perintah kepada Marni yang
bukan lagi istrinya. Ia lupa dirinya sudah tidak berhak mengatur perempuan itu.
Tetapi Karman tidak meralat tindakannya, malah mengikuti Marni dengan tatapan
matanya. Kepanikan sudah mereda. Marni sudah bercakap-cakap dengan Bu Mantri di ruang
tengah. Ia menoleh kepada bekas suaminya yang datang mendekat.
"Marni, kulihat suamimu sakit. Tidak baik ia terus berada di tempat yang banyak
orang seperti ini. Kukira lebih baik bila ia kauantarkan pulang dulu. Kapan-kapan aku akan datang ke rumahmu."
*** Sudah tiga bulan desa Pegaten menerima kembali seorang warganya yang selama dua
belas tahun tinggal di pengasingan. Pegaten yang lugu, Pegaten yang tidak
mengenal rasa kesumat. Dia membuka pintu yang lapang bagi Karman untuk menata
kembali martabat dirinya di tengah pergaulan sesama warga desa. Dalam upaya ini
Karman hampir tak mendapat kesulitan. Apalagi Haji Bakir, orang yang terpandang
di Pegaten, tidak berubah sikap.
Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan tiap gerak kehidupan di
Pegaten. Ia tampak pada tiap kenduri yang diadakan orang, ia ikut kerja bakti
membersihkan saluran irigasi yang sudah dibangun di desa itu. Dan Karman merasa
bangga sekali ketika ia diberi kesempatan memperbaiki sumur masjid Haji Bakir.
Ada sebuah berita yang makin lama makin makin santer diterima Karman. Tini,
anaknya yang dulu baru berusia lima tahun ketika ditinggal ke tanah pengasingan,
akan dilamar oleh Jabir. Bukan karena Jabir adalah cucu Haji Bakir yang membuat
Karman termenung-menung. Tetapi karena Jabir adalah anak Syarifah dengan
almarhum Abdul Rahman. Sesungguhnya Karman ingin memperoleh penjelasan.
Setidak-tidaknya ia dapat menanyakan hal itu kepada bekas istrinya. Namun ia
malu. Di Pegaten, pihak calon pengantin perempuan hanya layak menunggu berita
dari pihak laki-laki. Ketika orang-orang Pegaten selesai panen, kepastian yang ditunggu-tunggu Karman
datang juga. Suatu malam Marni datang ke rumah Bu Mantri bersama Tini dan kedua
adiknya. Agak terkejut juga Karman menerima kedatangan mereka.
Namun Marni segera menerangkan.
82 "Tadi siang Haji Bakir menyuruh seseorang ke rumahku. Malam ini kami dimintanya
berkumpul di rumah Bu Mantri ini. Sebentar lagi beliau menyusul kemari. Paknya
Tini, kamu mau menata kursi-kursi?"
"Soal menata kursi adalah pekerjaan gampang. Masalahnya. ."
Karman tidak meneruskan kata-katanya. Naluri menyuruhnya melihat anak gadisnya
yang sudah menginjak usia delapan belas tahun. Tini menunduk, di punggung ibunya
ia menangis. Mengertilah Karman sekarang. Mendadak ia merasa umurnya maju
puluhan tahun ke depan. Marni memandang bekas suaminya yang sedang terpana.
Perempuan itu merasa ada kekuatan batin yang mendekatkan dirinya dengan Karman.
Walaupun ia berusaha keras, tak urung air matanya menetes juga.
"Ya, ya. Baiklah, kita tunggu kedatangan mereka. Tini yang harus pergi ke dapur.
Oh ya, harus tersedia kopi yang enak untuk Haji Bakir. Kalau tak salah, beliau
gemar kopi pahit. Di sini belum tersedia apa pun."
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku telah membawa segala keperluan." kata Marni.
"Juga sirih dan pinang?" tanya Bu Mantri kepada bekas menantunya.
"Ya, Bu." Kesibukan kecil terjadi di rumah itu. Karman masuk ke kamar. Ia merasa perlu
bertukar pakaian yang agak pantas. Mana" "Untung istri Gono memberiku baju dan
kain sarung, meskipun bekas, tetapi lumayan."
Marni membersihkan meja. Karman menata kursi-kursi. Dan yang paling bingung
adalah Tini. Memang ia sudah berdiri di dapur, namun ia ragu-ragu.
Akhirnya ia mengambil seikat daun kelapa kering untuk menyalakan tungku.
Tangannya yang gemetaran menumpahkan minyak tanah.
Seandainya Haji Bakir masih setia dengan terompah kayunya, kehadirannya dapat
segera dikenali. Tetapi sudah lama terompah ber- bungkul kuningan yang dibubut
halus itu tergeletak di bawah lumbung padi. Sepasang sandal jepit yang terbuat
dari karet menggantikannya. Maka langkah-langkah Haji Bakir bersama istrinya tak
dapat didengar sebelum ia mengucapkan,
"Assalamualaikum."
Seisi rumah menghentikan pekerjaan masing-masing. Karman dan Marni keluar
menjemput tamunya. Bu Mantri masih berdiam diri. Nenek itu sedang mengingat-
ingat bagaimana sikap yang anggun yang harus dilakukannya. "Tak pernah
kulupakan, bagaimana juga aku bekas istri seorang mantri," bisik Bu Mantri
meyakinkan diri sendiri.-
Ternyata Paman Hasyim beserta istrinya menyusul di belakang Haji Bakir.
Rupanya dia juga diundang oleh Haji Bakir. Maka makin sibuklah keadaan di rumah
Bu Mantri. 83 Di dapur, dekat tungku api, Tini duduk diam menggigit bibir. Matanya basah.
Ia mendengar kedatangan para tamu, dan tahu betul maksud kedatangan mereka.
Jadi Tini gemetar. Denyut nadinya cepat. Dan berkeringat. Keringat di pipi,
keringat di ujung hidung. Pokoknya Tini gerah. Se-cangkir kopi telah tumpah.
Sebelumnya, secara tak sadar Tini memegang cuping panci yang panas.
Di ruang depan, Haji Bakir dihadapi olah Karman dan Paman Hasyim. Mereka
berbincang-bincang dari masalah panen yang kurang menguntungkan sampai ke cerita
ketika Haji Bakir masih muda. Dengan gaya berseloroh Hasyim bertanya kepada Haji
Bakir apa syaratnya agar orang dapat mencapai usia setua dia. "Soal umur semata-
mata urusan Tuhan. Usiaku pasti sudah lewat delapan puluh tahun sekarang, karena
ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 1901 aku sudah ingat.
Cicitku sudah empat orang. Boleh jadi Jabir sebentar lagi akan menambah jumlah
cicitku." Percakapan mereka terhenti sojenak ketika Tini keluar membawa makanan dan
minuman. Sesungguhnya ia sudah sering menghadapi Haji Bakir. Tetapi saat itu
Tini menganggap Haji Bakir seorang kaisar yang sedang membawa pesan cucunya,
seorang pangeran. Tini merasa dirinya menjadi sebutir debu di hadapan kakek
Jabir itu. "Jangan-jangan kopi itu berbau sangit karena kuseduh dengan air panas
yang kumasak dengan api daun kelapa. Jangan-jang-an tempe goreng itu terlalu
kering, terlalu keras bagi Haji Bakir. Jangan-jangan. ."
Bila kemudian Haji Bakir mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasa lama, itu
karena ia tidak tahu cara yang lain. Ia hanya tahu begitulah bahasa yang dipakai
orang Pegaten sejak dulu bila hendak melamar seorang gadis. Kalimat-kalimatnya
berbumbu, bersayap di samping, beremper di depan, dan berekor di belakang.
Karman sendiri pasti tidak bisa menirukan gaya bahasa Haji Bakir yang digunakan
malam itu. "Tuan rumah sekalian, serta segenap yang hadir di sini. Adalah kami berdua telah
berjalan terlunta-lunta meninggalkan gubuk kami demi hendak menghadap Tuan-Tuan
sekalian. Di tempat yang penuh hikmah ini, di hadapan Tuan-Tuan sekalian, kami
ingin mengutarakan maksud kandungan kami. Benarlah, kami bukan seorang lurah apa
pula seorang mantri juru periksa. Tetapi bolehlah kami bertanya mengapa pagar
pekarangan di rumah ini dibiarkan rusak-rusak. Atau mengapa dinding lumbung itu
dibiarkan menjadi lapuk dan tidak diganti. Apakah belum ada seorang bujang yang
datang meminta atau menawarkan diri hendak membereskan semua yang tampak kurang
rapi itu" Bilamana belum ada bujang yang datang, bilamana Tuan-Tuan berkenan di
hati, kami ada mempunyai seorang cucu yang buruk rupa, Jabir namanya. Dapatlah
kiranya cucu kami itu Tuan jadikan bujang di rumah ini. Dia sudah menginjak usia
dua puluh dua tahun, Selasa Wage adalah hari kelahirannya. Demikian, kami telah
sampaikan maksud kehadiran kami.
84 Maka sekarang giliran kami yang menanti kata apa yang hendak Tuan jatuhkan
kepada kami." Sepi. Karman kelihatan tegang. Paman Hasyim senyum-senyum. Bu Mantri dalam
posisi duduknya yang anggun kelihatan menghitung dengan cara melipat-lipat
jemarinya. Dicegahnya Karman yang tampak ingin berkata sesuatu. Lalu Bu Mantri
menoleh kepada Paman Hasyim, adiknya. "Wah, baik sekali hasil perhitungannya.
Ketemu pendaringan penuh. Jabir sangat cocok buat Tini."
Semua yang hadir tersenyum melihat tingkah Bu Mantri. Karman menegakkan punggung
dan siap menjawab lamaran yang diucapkan Haji Bakir.
"Terima kasih atas segala hal yang telah disampaikan oleh Pak Haji. Selanjutnya,
karena yang mewakili pihak lelaki adalah kakek Jabir, maka pihak kami akan
diwakili Paman Hasyim. Dia kakek Tini juga."
"Kok saya?" kata Paman Hasyim agak terkejut.
"Memang harus Paman Hasyim. Kalau tidak, siapa?"
"Baiklah. Tetapi saya tidak bisa berbicara dalam bahasa tinggi. Bagaimana kalau
saya bicara seperti biasa?"
"Jangan!" potong Bu Mantri. "Kamu harus mengimbangi tata cara yang sudah
dilakukan oleh Pak Haji."
"Baik, akan saya coba sebisa-bisanya. Bapak dan Ibu Haji, adalah sudah tersedia
pada kami: kayu dan bambu, serta segala alat pertukangannya. Tetapi keadaan di
rumah ini masih kacau-balau, sebab belum ada seorang anak muda yang datang untuk
membereskan segala yang tidak rapi itu. Kami sedang menanti ibarat orang
memasang bubu, ikan apa gerangan yang bakal masuk. Itulah keadaan kami yang
sebenarnya." "Wah, syukurlah," timpal Haji Bakir, "Apabila demikian maka cucuku si Jabir yang
akan datang, bila Tuan-Tuan sudi menerimanya. Suruhlah anak gadis di rumah ini
menyediakan makan dan minumnya. Kami melihat anak gadis itu sudah cukup usia dan
cantik pula." "Sesungguhnya tiada keberatan pada pihak kami. Masalahnya, apakah sudah
diketahui bahwa tidak ada anak gadis di rumah ini kecuali dia yang lahir dari
kedua orangtua yang tidak bermilik tanah barang sejengkal atau padi barang
seikat" Lagi pula, rupanya anak gadis itu belum pandai masak-memasak bahkan
mencuci periuk-belanga?"
Tengah malam perundingan itu berakhir. Semua pihak bangkit dari tempat duduk
dengan rasa lega dan puas. Sebelum meninggalkan rumah Bu Mantri, Ibu Haji Bakir
menyerahkan kain kebaya untuk diberikan kepada Tini sebagai tanda pengikat.
Telah disepakati pula hari dan bulan untuk melaksanakan perkawinan antara Tini
dan Jabir. 85 Setelah semua tamu pergi, Karman tidak segera masuk ke kamar tidur. Ia duduk
seorang diri dengan perasaan yang galau. Karman merasa senang karena anak
gadisnya akan menikah dengan perjaka dari keluarga baik-baik. Tetapi Karman juga
merasa gelisah. Ia teringat masa belasan tahun lalu ketika ia bersama ajaran
partainya menganggap Haji Bakir adalah manusia penindas yang jahat, sekaligus
menjadi musuh kaum progresif-revolusioner. Dan kini ternyata orang tua itu akan
menjadi besannya. Dan lebih dari itu, Karman sungguh tidak lagi bisa melihat
sesuatu pada Haji Bakir yang membuatnya pantas dibenci. Bahkan Karman merasa kecil dan hina ketika
kelak, sesudah perkawinan itu diselenggarakan, Haji Bakir memberi hadiah kepada
Tini. "Tini, untuk bekal hidupmu bersama Jabir, kuberikan kepadamu sawah yang terletak
di sebelah utara Kali Mundu itu. Luasnya satu setengah hektar. Peliharalah baik-
baik pemberianku itu. Barangkali engkau tidak tahu bahwa dahulu sawah itu adalah
milik nenekmu." Mesjid Haji Bakir makin tua seperti usia pemiliknya. Temboknya rapuh dan tampak
retak-retak di sana-sini. Ubin di serambi banyak yang lepas. Langit-langit yang
terbuat dari bilik bambu banyak yang sudah kendur, keropos oleh air yang menetes
dari genting yang pecah. Serta kubah mesjid itu. Bila angin bertiup, akan
terdengar suara derit seng yang saling bergesekan. Rupanya seng yang membentuk
kubah banyak yang lepas dari patrinya, atau aus termakan karat.
Para jamah sepakat hendak memugar mesjid itu. Pikiran demikian makin mendesak
karena jumlah jamaah terus bertambah hanyak.
Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat
bagian menurut kecakapan masing-masing. Karman memberanikan diri meminta
bagiannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan dan
perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah belajar mematri dan
mengelas. Keinginan Karman mendapat sambutan. Hasyim menjual tiga ekor kambing untuk
membeli bahan-bahan pembuat kubah serta biaya sewa alat-alat las dan patri.
Hanya membuat sebuah kubah yang tidak terlalu besar. Berkerangka besi pelat,
berkulitkan seng tebal. Semua orang tahu bagaimana bentuk sebuah kubah. Dengan
upah tak seberapa besar, seorang las di pinggir jalan dapat menyelesaikan
pekerjaan itu. Bilamana upah yang diterimanya lebih banyak, ia akan bekerja
lebih hati-hati, lebih saksama. Jika kubah itu sudah dipasang menjadi mahkota
mesjid, habislah segala urusan. Orang tak akan membicarakannya lagi, tidak juga
tukang las itu. Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang
istimewa. Sesen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi
pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari
pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali
86 bagian yang hilang itu. Bila ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada
orang-orang Pegaten, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang itu. Atau
setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik
seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu!
Maka Karman bekerja dengan sangat hati-hati. Ia menggabungkan kesempurnaan
teknik, keindahan estetika, serta ketekunan. Hasilnya adalah sebuah mahkota
mesjid yang sempurna. Tidak ada kerutan-kerutan. Setiap sambungan terpatri rapi.
Kerangkanya kokoh dengan pengelasan saksama. Leher kubah dihiasi kaligrafi
dengan teralis. Empat ayat terakhir dari Surat Al Fajr terbaca di sana: Hai jiwa
yang tentram, yang telah sampai kepada kebenaran hakiki. Kembalilah engkau
kepada Tuhanmu. Maka masuklah engkau ke dalam barisan hamba-hamba-Ku. Dan
masuklah engkau ke dalam kedamaian abadi, di surga-Ku.
"Luar biasa bagusnya," kata seseorang ketika kubah mesjid hasil kerja Karman
selesai dipasang menjadi puncak bangunan mesjid.
"Beruntung," sambung yang lain, "kita mendapatkan Karman kembali. Kalau tidak,
niscaya kita tidak bisa bersembahyang di dalam mesjid sebagus ini."
Karman mendengar puji-pujian itu. Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak berhak
menerima semua pujian itu. Tetapi wajah orang-orang Pegaten yang berhias senyum,
sikap mereka yang makin ramah, membuat Karman merasa sangat bahagia.
Karman sudah melihat jalan kembali menuju kebersamaan dan kesetaraan dalam
pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa mengucilkan dirinya. Oh, kubah
yang sederhana itu. Dalam kebisuannya, mahkota mesjid itu terasa terus
mengumandangkan janji akan memberikan harga asasi kepada setiap manusia yang
sadar akan kemanusiaannya. Dan Karman merasa tidak terkecuali.
- - the end - - Collected by. Ismahfudi MH
87 Pedang Golok Yang Menggetarkan 12 Wiro Sableng 027 Khianat Seorang Pendekar Bara Naga 7
belakang merah. Namun orang segera mendapat kesan; si pemilik perpustakaan itu
seorang yang gemar membaca. Tak kelihatan sebuah buku pun yang masih bersih.
Semuanya sudah berminyak karena sering dijamah oleh tangan pemiliknya.
Brosur-brosur stensilan tertumpuk di sebelah bawah, kelihatan sudah lecek.
Dua orang berada di dalam ruangan itu. Margo sedang memberikan laporan rutin
kepada atasannya. Sekali ini laporan yang menyangkut Karman menjadi titik pusat
pembicaraan. Laki-laki bergigi besi itu seperti biasanya, jarang tersenyum. Ia
tidak bergembira meskipun laporan yang sedang dibacanya memuaskan. Bahkan sekali
pun ia belum pernah memberi pujian kepada Margo.
Sesungguhnya Margo layak mendapat pujian itu. Karena sebagai kader partai, hasil
kerjanya dapat diukur pada peristiwa Pemilihan Umum tahun 1955. Pada saat itu di
Pegaten hanya ada tujuh suara yang memilih partainya. Tetapi pada pemilihan
untuk penentuan anggota konstituante yang diadakan setahun kemudian, jumlah 45
pemilih partainya menjadi tiga ratus lima puluh tiga. Kenaikan lebih dari lima
puluh kali. "Belum genap dua tahun Kawan Margo membina anak muda itu, dan Kawan telah merasa
yakin?" "Ya, saya sudah merasa yakin. Sudah saatnya Karman disumpah menjadi anggota
partai," kata Margo.
"Tidak terlalu tergesa-gesa?"
"Oh, itu hanya usul saya. Akhirnya Kawan yang akan memutuskan."
"Nanti dulu," ujar si Gigi Besi lagi. "Kawan Margo belum melaporkan kelemahan-
kelemahan yang ada pada diri Karman. Nah, Bung bisa menyebutkannya sekarang."
Margo tersenyum teringat keteledorannya. Kemudian ia mengusap dahinya yang
lebar. "Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang terpengaruh, dan
sewaktu-waktu bisa marah."
"Kecakapannya?"
"Dia sangat berbakat. Otaknya boleh."
"Saat ini umurnya menjejang dua puluh dua tahun?"
"Benar." Laki-laki itu diam. Urat nadi yang melentang pada dahinya menegang. Sambil
menyalakan rokok ia meneruskan, "Masih terlalu muda. Apalagi dengan watak-watak
yang kaukatakan tadi. Karman belum bisa kita sumpah. Yang penting, kendalikan
selalu anak itu. Dan. ."
Si Gigi Besi menjadi bersungguh-sungguh untuk memberi tekanan kepada kalimat
yang akan dikatakannya, "Kawan Margo masih ingat Rifah?"
"Ya, dia bekas pacar Karman," jawab Margo sungguh-sungguh.
"Suaminya meninggal sebulan yang lalu, bukan" Kudengar Harley-nya menabrak
pohon." "Memang begitu."
"Sekali lagi Kawan kurang teliti, dan teledor. Triman mengatakan kepadaku bahwa
terlihat gejala cinta Karman kepada Rifah kambuh kembali. Bagaimana pendapat
Kawan?" "Terlalu riskan membiarkan Karman berhubungan kembali dengan bekas pacarnya.
Memang, partai bisa mengambil keuntungan apabila Karman mampu memberi warna
merah pada keluarga Haji Bakir. Tetapi tampaknya mustahil."
"Bila demikian Kawan telah siap mencegahnya, bukan?"
"Maafkan saya, belum!"
"Oh ya, saya lupa Kawan bujangan. Barangkali Triman lebih cocok untuk menangani
masalah ini. Tetapi dengarlah, seorang yang menginginkan sate kambing, 46
keinginannya agak berkurang bila kepadanya kita sodorkan sesuatu sebagai
gantinya. Sate daging sapi misalnya. Kawan bisa mengerti apa yang saya maksud?"
Margo tertawa. "Dan partai mempunyai seorang perempuan yang punya bakat menjadi sate sapi
seperti itu." * * * Kematian Abdul Rahman tidak pernah mengusik hati Karman. Tetapi akibatnya, Rifah
menjadi janda. Dan itulah masalahnya.
Sudah dua tahun Karman berusaha keras melupakan anak Haji Bakir itu. Hampir
berhasil. Karman sudah mengenal gadis lain yang bila sekaya Rifah pasti ia lebih
cantik. Marni mempunyai lekuk di sudut bibir yang amat menarik. Selalu jantung
Karman terpacu bila terpandang kelebihan gadis yang ramping, berlengan kecil
serta bening suaranya itu. Marni selalu tampak tenang dan lembut.
Karman tidak memutuskan segera mengawini Marni, sebab ia takut mengalami
kegagalan untuk kali yang kedua. Atau kalau Karman mau berkata sejujur-jujurnya,
ia belum bisa melupakan Rifah sama sekali.
Tetapi bekas pacarnya itu kini menjadi janda. Garis waktu yang dilalui Karman
terasa mundur dua tahun. Kenangan dan harapan yang hampir terkubur itu perlahan-
lahan tumbuh kembali. Rifah masih tetap menarik meskipun sedang hamil, bahkan
kelihatan lebih matang. Karman dapat melihat dengan pasti ketika ia datang
melayat almarhum Abdul Rahman. Memang Karman tetap merasa enggan atau malu
terhadap keluarga Haji Bakir, sehingga ia tidak mengambil peran apa pun dalam
kesibukan merawat jenazah. Namun ia sempat melihat, bahkan berdekatan dengan
Rifah, yang berpakaian acak-acakan dan menangis. Pinggulnya rata karena janin
yang dikandungnya sudah berusia lima bulan. Tangisnya menyebabkan pipi dan ujung
hidungnya merah. Pokoknya pesona masih terkesan kuat pada tiap bagian tubuh
Rifah. "Akan terjadi banyak pemuda berebut melamar janda muda itu," kata Karman dalam
hati. "Lalu, mengapa aku harus diam" Tak ada harta yang dapat kubanggakan
memang, tetapi aku dapat memberi kesempatan kepada Rifah bergaul dengan kalangan
terhormat. Bila mau jadi istriku, Rifah akan duduk bersama Bu Camat, Bu Wedana,
Bu Penilik dalam resepsi tujuh belasan misalnya. Tidak mustahil pada suatu
ketika Rifah akan kugandeng sampai ke pendopo Kabupaten untuk ikut menghadiri
resepsi para pegawai pamongpraja."
Kemudian Karman tersenyum sendiri ketika teringat Rifah hanya melirik genit bila
dicubit tengkuknya. Itu dulu.
47 Tetapi lamunan Karman yang melangit selalu dibuat tawar oleh kenyataan yang
terpapar di depannya. Bagaimana pun sudah tergelar padang perbedaan di antara
dirinya dengan keluarga Haji Bakir. Karman sadar, sudah lama ia membenci
keluarga itu. Bukan mengada-ada bila ia menganggap Haji Bakir sebagai orang kaya
yang telah menguasai satu setengah hektar sawah orangtuanya secara tidak sah.
Seorang tuan tanah yang jahat, penuh kemunafikan. "Contoh nyata dari kelas
penindas," pikir Karman mengulangi ajaran gurunya, Margo.
Berhari-hari Karman terombang-ambing oleh pikiran sendiri. Pergulatan batinnya
semakin seru. Namun sampai kelopak matanya cekung karena kurang tidur, Karman
belum bisa memutuskan apakah ia akan melamar kembali Rifah atau tidak. Yang
jelas, ingatannya kepada anak Haji Bakir itu bukannya semakin surut. Malah
sebaliknya. Pada hari-hari yang membingungkan itu, Triman datang. Sikapnya khas, senyumnya
khas, seperti seorang ayah yang sangat bijaksana, yang selalu memahami suasana
hati anaknya. Melihat keadaan Karman, Triman tertawa kecil.
"Wah, kau kelihatan amat letih, Karman. Kukira apa yang kauperlukan sekarang
adalah istirahat barang beberapa hari. Rupanya kau terlalu banyak melek, bukan"
Yah. . janda muda itu bekas pacar pula! Aku tahu karena aku pun pernah jadi anak
muda." Merasa tertebak isi hatinya, Karman tersipu. Ia tertawa meskipun hambar
kedengarannya. "Rupanya tak berguna lagi saya berpura-pura," katanya.
"Memang kau tak perlu berpura-pura. Masalahnya, mengapa kau sampai membiarkan
dirimu menjadi kurus seperti itu. Tenang dan bersabarlah. Kulihat tak ada laki-
laki di Pegaten ini yang berani melamar Rifah. Jadi sekali lagi, bersabarlah.
Kau takkan ketinggalan kereta!"
"Kesulitan yang saya hadapi bukan hanya masalah sabar atau tidak," jawab Karman.
Mukanya beku. "Ya, saya mengerti. Justru dengan bersikap sabar persoalannya menjadi agak
ringan. Jangan paksakan dirimu, sakit kau nanti. Sekarang dengarlah usulku.
Ambil cuti tahunanmu supaya kau dapat pergi berlibur bersamaku. Ada sebuah jip
pinjaman yang bisa kita bawa ke Semarang. Gunakan kesempatan ini untuk
menenangkan pikiranmu. Langkah apa yang akan kauambil terhadap Rifah dapat
kautentukan sesudah badan serta pikiranmu segar, sepulang kita dari Semarang.
Bagaimana?" Terlalu mendadak tawaran yang menyenangkan itu schingga Karman memerlukan waktu
sesaat untuk memikirkannya. Sementara itu ia bangkit mengambil minuman ke
belakang. Bu Mantri mempunyai kecakapan istimewa dalam membuat tepung kopi,
seakan-akan ia menyimpan resep rahasia. Triman 48
selalu puas atas hidangan segelas kopi di rumah Karman. Setelah duduk kembali,
malah Triman yang menyambung pembicaraan.
"Saya tahu kau hanya mengenal ibu kota propinsi lewat lagu Gambang Semarang,
bukan" Seorang pegawai pamongpraja selayaknya mempunyai pengalaman yang nyata
atas keadaan pusat pemerintahan Jawa Tengah ini."
"Besok saya sudah dapat memberi jawaban yang pasti. Mari kita minum kopi ini
dulu, nanti dingin."
Apa yang mendorong Karman memutuskan ikut berlibur ke Semarang, ia sendiri tidak
dapat memastikan. Boleh jadi ia benar-benar ingin melihat kota itu, atau karena
ia selama ini tidak mampu menolak kehendak Triman.
Jip itu milik Tan Oen Sok, orang Baperki, organisasi kelompok Cina yang
prokomunis. Tan mempunyai dua pabrik tapioka dalam wilayah Kecamatan Kokosan.
Kegiatan perdagangan serta cadangan modal yang beredar di daerah itu sebagian
besar berada di tangan Tan, yang ternyata bisa kebal terhadap peraturan
Pemerintah. Tan tetap mempertahankan kewarganegaraan Cina, berarti melanggar
ketentuan Pemerintah yang melarang Cina asing tinggal di kota kecamatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1958 dilangkahinya. Kelak akan terbukti,
beberapa bulan sebelum terjadi geger Oktober 1965, Tan melakukan kegiatan
perdagangan yang aneh. Ia membeli mancung dalam jumlah besar dari para penduduk.
Bunga kelapa yang belum mekar itu hampir memenuhi gudangnya.
Selain bunga kelapa, Tan juga mau membeli jantung pisang yang belum mekar.
Pen-duduk memang terlalu bodoh untuk berpikir apa yang dikehendaki oleh Cina itu
sebenarnya. Belakangan saja orang sadar bahwa kegiatan tokoh Baperki itu
sebenarnya bermakna politis. Dengan membeli mancung dalam jumlah sangat banyak,
maka penduduk yang sebagian besar bergantung kepada produksi gula kelapa, akan
kehilangan sumber penghasilan. Itulah, Tan ingin melaksanakan politik
memiskinkan rakyat agar gampang dihasut. Hebatnya ia mampu hidup di segala
zaman. Setelah peristiwa tahun 1965, ia lari ke Bandung dengan meninggalkan
banyak harta. Tak apa, pokoknya ia sejahtera di tempatnya yang baru sampai
matinya kelak. Hari Minggu, pagi sekali Karman dijemput. Selain sopirnya, hanya ada Triman di
dalam jip itu. Tetapi di luar desa Pegaten, Margo naik bersama seorang
perempuan. Karman sudah mengenal Suti, perempuan yang dekat dengan kelompok Margo dan
lumayan istimewa. Artinya perempuan itu dikenal pandai menjinakkan suami.
Sering suami Suti tinggal di dapur selagi istrinya sibuk berdiskusi dengan para
kamerad. Selalu ada acara lain sesudah diskusi itu selesai. Kalaulah Suti bukan
perempuan istimewa, tentu suaminya akan membawa pentungan, masuk ke kamar dan
menangkap basah istrinya yang sering melayani orang-orang seperti Triman, konon
demi partai. 49 Jadi antara Suti dan suaminya telah terjadi keseimbangan yang aneh. Mereka
mempertahankan status quo dalam rumah tangga mereka. Yang tidak tahan melihat
maksiat semacam itu adalah mertua Suti sendiri. Perempuan tua itu mati lantaran
tekanan batin. Dalam perjalanan itu Margo dan Triman mengambil tempat di belakang. Di depan
Suti mendampingi Karman yang mabuk. Perempuan itu mengolesi tengkuk, dada, serta
perut Karman dengan balsem cap Macan. Rabaannya menunjukkan keahliannya.
Terkadang ia mencubit paha Karman.
"Ayolah, bocah bagus, jangan mabuk terus."
Sebelum matahari terbenam rombongan itu tiba di Semarang. Mereka mencari losmen.
Malam pertama di kota im tidak menyenangkan Karman. Badannya lesu.
Pusing. Lemas. Dan urat-uratnya kaku. Karman masuk angin. Suti menjadi perawat,
menyediakan air hangar untuk menyeka dan membelikan Aspirin. "Buka bajumu, kau
perlu kerokan." Pada malam kedua Karman merasa sehat kembali. Margo memimpin rombongannya
menghadiri suatu pertemuan kecil. Diskusi. Kemudian Karman diperkenalkan kepada
pengurus partai tingkat propinsi. Agak terkejut juga dia ketika pagi-pagi
berikutnya Margo dan Triman pulang ke Pegaten dengan jip itu.
"Kau sebaiknya mengenal kota Semarang ini dengan lebih baik. Suti akan
menemanimu," kata mereka sebelum berangkat.
Suti berusia tigga puluh dua tahun. Di sebuah losmen yang hanya mementingkan
banyaknya tamu, ia mendapat mainan sebuah boneka. Segar dan perjaka pula. Suti
menggunakan partai untuk berahinya, atau ia menyalurkan berahi demi partai.
Sama saja. Sebatang pohon kopi yang tumbuh di belakang rumah Karman sudah berbunga.
Warnanya putih. Harumnya menyebar ke mana-mana, terutama pada pagi dan malam
hari. Inilah pertanda awal kemarau. Rumpun bambu menguning, kemudian meranggas.
Kebanyakan orang Pegaten mulai bekerja membuat oyek. Panenan baru akan tiba
sepuluh bulan kemudian. Anak-anak pergi ke sawah yang telah kerontang.
Mereka menangkap belalang, kemudian dibakar dalam bara yang terbuat dari tai
sapi kering yang dinyalakan. Atau mereka menaikkan layang-layang daun gadung
kering yang diberi kerangka lidi. Talinya serat batang pisang.
Sepulang dari Semarang, kekalutan di hati Karman mereda. Hanya sebentar.
Begitu ia menghirup udara Pegaten, ingatannya terhadap Rifah mengusik kembali.
Apa yang pernah dikatakan oleh laki-laki bergigi besi itu tentang "sate kambing"
tidak mutlak benar. Bahkan Karman tidak bisa mengatakan apa-apa tentang
pengalamannya bersama Suti di Semarang kecuali apa lagi kalau bukan berahi
semata-mata. 50 Sudah tiga kali Karman mencoba memberanikan diri menghadap Haji Bakir, dan
selalu dibatalkannya. Pada saat seperti itu ia bingung karena menemukan dirinya
telah lama memusuhi ayah Rifah itu.
Dan sampailah Karman pada puncak kegelisahannya. Malam itu bulan muda hanya
sebentar memberikan sinar temaram. Tetapi rasi Bima Sakti tampak jelas seperti
gugusan pasir yang bercahaya, menyebar di langit, membujur dari selatan ke
utara. Karman tetap duduk sendiri di beranda meskipun malam telah larut dan
dingin. Harum bunga kopi tercium oleh pemuda yang sedang resah itu.
Kelembutannya memancing perasaan halus Karman. Ia bangkit. Ia mendengar
nalurinya berbisik, makin lama makin nyata: "Temui Rifah, temui Rifah! Sekarang,
sekarang!" Karman termangu, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Dipakainya kain sarung,
dicarinya kopiah yang sudah lama tersimpan di rak lemari paling bawah. Tiba-tiba
ia berhenti bergerak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Kemudian diambilnya
sebuah pulpen dan sehelai kertas, dan keluar.
Pegaten sedang tidur lelap. Seekor kampret mengirapkan sayapnya di antara daun-
daun jambu. Burung bence melintas dari utara. Suaranya nyaring. Seorang tetangga
terbatuk dalam tidurnya. Karman mengangkat ujung kain sarungnya, lalu berjalan. Sandal yang berlapis
karet mentah membuat langkah-langkah Karman hampir tak bersuara.
Tetapi hatinya terasa demikian kacau ketika kakinya mulai menginjak pekarangan
rumah Haji Bakir. Karman berhenti, hampir berbalik. Ketika itulah suara dalam
dirinya kembali terdengar dengan jelas: "Terus, terus! Kau harus bertemu Rifah
sekarang!" Dan Karman kembali melangkah.
Sampai dekat serambi mesjid Karman berhenti, duduk di jenjang tangga. Masa
kanak-kanak sebagian besar dilewatkannya di tempat itu. Namun sudah hampir dua
tahun ia tidak menginjaknya. "Bagaimanapun mesjid ini adalah tempat yang netral.
Misalnya aku kepergok seseorang, aku masih dapat berdalih hendak bersembahyang."
Lama sekali Karman terdiam di tempat itu. Dari dalam serambi mesjid ia mendengar
dengkur anak-anak yang sudah lama lelap dalam tidur mereka.
Semenjak kematian suaminya, Rifah kembali ke rumah orangtuanya. Karman tahu
betul letak kamar tidur Rifah. Ya. Dan Karman bangkit perlahan-lahan, berjalan
berjingkat menuju arah samping rumah Haji Bakir dari sisi mana ia dapat
mendekati kamar itu. Karman harus melewati emper gudang padi dan tempat
penimbunan kelapa. Andaikan Hafi Bakir terbangun dan memergokinya, Karman sudah
menyediakan jawaban yang gila: ingin bertemu Rifah!
Jadilah. Karman yang sudah nekat kini mencapai jendela kamar bekas pacar yang
sedang digilainya. Ia berhenti untuk mengamati keadaan sekeliling. Terdengar
ribut-ribut kecil di kandang ayam, dan jantung Karman berdenyut lebih cepat.
51 Nanum suasana jadi lengang kembali. Karman ingin mengintip tetapi ia tidak
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menemukan seberkas sinar pun yang keluar dari celah jendela. Ah, Karman mujur
karena kamar itu masih tetap berdinding papan jati tebal, ciri khas rumah orang
kaya di Pegaten. Oh, Karman harus berterima kasih kepada serangga-serangga halus
yang telah mengikis sebuah celah sambungan dua buah papan. Hati-hati sekali mata
kanan dipasangnya pada celah kecil itu. Napasnya dikendalikan agar tidak
menimbulkan suara. Tidak gampang menemukan kalimat yang pantas untuk melukiskan
perasaan Karman ketika ia melihat pemandangan di dalam sana. Seorang perempuan
muda sedang duduk berdoa di atas sajadah yang digelar di lantai. Rifah masih
dalam pakaian sembahyang.
Wajah itu dibatasi oleh kain putih yang melingkari wajahnya dengan ketat. Mata
itu setengah terpejam. Bibir kecil itu meruncing di kedua ujungnya, bergerak-
gerak menggetarkan doa. Wajah yang damai, alami, nyaris tanpa ekspresi apa pun.
Tetapi ada sepasang intan air mata yang membiaskan sinar lampu di depannya.
Hingga beberapa saat lamanya Karman memasang sebelah matanya pada celah itu.
Lalu tegak kembali, bersedekap. Kesejukan terasa mengguyur hatinya, setidaknya
untuk sementara. Dan setelah detak jantungnya kembali normal, sadarlah ia bahwa
sesuatu yang agak luar biasa baru saja dilihatnya. Pasti waktu itu sudah lewat
tengah malam, dan Rifah masih duduk berdoa. Karman dapat merasakan kesedihan
seorang istri yang ditinggal suami buat selama-lamanya, dengan kandungan lima
bulan pula. Kesedihan, doa, dan keheningan tengah malam.
Hubungan antara ketiga hal itu terasa begitu kudus dan alami. Karman pun dapat
merasakannya, tetapi ia sudah lama tidak berdoa.
Untuk kedua kalinya Karman mengintip. Ia masih melihat pemandangan yang sama.
Bahkan ia sekarang merasakan pantulan keikhlasan dan kedamaian dari wajah Rifah.
Jiwa Karman tergetar. Kalau boleh rasanya ia mau menangis. Pelan-pelan ia
mundur. Terbayang olehnya seorang perempuan lain, Suti. Liarnya. Berahinya.
"Kalau Rifah dan Suti sama-sama perempuan, apanya yang beda?" pikir Karman.
Ia melihat dan merasakan perbedaan antara keduanya, tetapi ia takkan
memperincinya satu-satu. Terlalu banyak.
Akhirnya Karman mengeluarkan pulpen dan kertas. Ditulisnya: Rif, aku Karman.
Tolong, bukalah jendelamu, sedikit saja. Aku hanya ingin melihatmu dengan nyata.
Percayalah, aku hanya ingin melihatmu. Aku amat rindu padamu.
Tulisan yang dibuat hanya dengan bantuan seberkas sinar itu pasti acak-acakan.
Lalu Karman menjepitkan kertas itu pada pulpen Parker-nya. Melalui celah antara
lantai dan dinding papan, surat itu diselorokkan ke dalam. Sebelum berbuat
demikian Karman menirukan bunyi seekor kucing. Lirih saja. Mudah-mudahan Rifah
ingat semasa kecil Karman sering menggodanya dengan suara seperti itu.
Hening. Karman dapat mendengar suara napasnya sendiri. Karman dapat merasakan
denyut jantungnya sendiri. Ia hampir jatuh lemas ketika mengintip ke 52
dalam. Rifah tak bergerak sedikit pun, meski ia melihat sesuatu yang
diselorokkan ke hadapannya. Rifah juga mendengar suara kucing. Nalurinya sudah
memberitahu bahwa Karman ada di luar kamarnya.
Seandainya tidak malu kepada dirinya sendiri, tentu Karman akan berdoa, "Ya
Tuhan, suruhlah Rifah memungut surat itu. Mati aku kalau ia diam saja."
Ternyata Rifah bergerak mengambil surat itu. Dibacanya sejenak, lalu ditatapnya
satu-satunya celah yang pasti digunakan Karman untuk mengintip. Walaupun
dibatasi oleh dinding kayu jati yang tebal, jantung Karman berdebar keras ketika
melihat bola mata Rifah diarahkan kepadanya. Tenang dan sayu.
Kemudian Rifah bangkit dan menulis jawaban. Kertas dan pulpen itu kembali
menerobos tampat yang sama di baw
Masih dengan bantuan sinar seberkas, Karman membaca tulisan Rifah: Tuhan hanya
menyuruhku menghormati tamu yang datang dengan cara baik-baik. Bertamulah besok
pagi kepada Ayah. Insya Allah aku akan menemuimu juga. Sekarang jangan kauganggu
aku. Pulanglah, atau kubangunkan Ayah!
Tiba-tiba Karman merasa dirinya susut menjadi binatang kecil. Malu dan sedih.
Anehnya, Karman masih mampu menangkap keanggunan sikap Rifah. Untuk sekian lama
Karman termangu. Namun akhirnya ia merasa tak punya pilihan lain kecuali pulang.
Di luar, udara makin dingin mencekam. Burung bence kembali melintas di udara
malam sambil berteriak-teriak. Kampret-kampret masih mengirapkan sayap mereka di
antara daun-daun jambu. Terdengar suara tangis bayi. Barangkali orok itu
kedinginan oleh udara musim kemarau atau oleh kencingnya sendiri.
Sampai ke kamarnya Karman tidak segera tidur. Dibacanya kembali tulisan Rifah
itu, diciumnya. Sebenarnya ia mengharapkan bau wangi. Tetapi yang masuk ke
hidungnya adalah uap tinta yang apek.
Dalam tidurnya yang hanya sesaat, Karman digeluti mimpi yang melelahkan, seakan-
akan ia berkelahi dengan kambing Haji Bakir. Bedanya, dalam mimpi itu ada Margo,
Triman, dan Suti. Mereka mengepalkan tinju sambil berteriak-teriak seperti orang
gila. Mereka tidak datang menolong. Juga dalam mimpi itu Rifah tidak berterima
kasih sama sekali. Ketika terbangun dada Karman terasa sakit, sakit sekali.
Peringatan seratus hari meninggalnya Abdul Rahman sudah lewat. Kandungan Rifah
makin besar, makin besar. Ia berharap bulan depan akan melahirkan anaknya yang
pertama. "Andaikata anakku lahir laki-laki, tentu ia gagah seperti ayahnya.
Hidungnya manis, matanya galak," demikian harapan calon ibu yang masih amat muda
itu. Bila malam tiba Rifah sudah tidak menangis lagi. Ia sudah dapat menerima
ketentuan Tuhan dengan hati ikhlas. Ayahnya selalu berkata, "Takdir Tuhan adalah
53 hal yang paling baik bagimu, betapapun getir rasanya. Bertakwa kepada-Nya akan
membuat segala penderitaan ringan."
Tetapi lepas dari nasihat ayahnya, Rifah merasa ada kekosongan dalam hatinya.
Ada sesuatu yang hilang, bukan hanya hilangnya Abdul Rahman dari sisinya. Oh ya,
lama-lama Rifah dapat menemukan apa yang hilang itu: suara laki-laki. Jenuh
rasanya selalu mendengar kata-kata ibunya, "Hati-hatilah, Nak, ingat
kandunganmu." Atau, "Zamannya Ibu dulu, perempuan hamil harus sangat teliti.
Jangan sampai menaruh sesuatu terbalik. Nanti bayi yang dikandung lahir
sungsang." Tetapi Rifah tidak pernah mendengar suara laki-laki kecuali suara ayahnya, Itu
pun jarang. Haji Bakir tidak biasa bercakap-cakap dengan anaknya, apalagi
setelah Rifah bersuami. Dulu ketika Rifah masih kanak-kanak, Karman selalu melayani apa pun yang
diinginkannya. Dan mana laki-laki itu sekarang" Mengapa setelah mengintipku ia
tidak muncul juga" Karman, aku belum pernah memikirkan kau bakal menjadi suamiku
yang baru. Aku belum membutuhkan seorang suami. Tetapi semenjak kecil kau
menjadi kawanku, bukan" Selagi aku kecil kau mau pergi ke hutan mencari daun
kemangi untuk mengobati kutil di jariku. Sekarang mengapa kau tidak datang
melihatku yang ditinggal sendiri dengan perut besar" Kukira tak mengapa kita
bercakap-cakap sesaat. Aku ingin mendengar suaramu, suara laki-laki. Abdul
Rahman sudah tidak mungkin mengajakku berbicara, bukan?"
Andaikata Karman dapat mendengar keluhan Rifah ini, cerita pun habis.
Barangkali ia akan berbaik kembali dengan Haji Bakir meskipun harus berpisah
dengan ideologi dan kawan-kawan separtai. Pokoknya demi Rifah, Karman mau
melakukan apa saja. Ia tidak akan keberatan kembali menjadi jamaah mesjid.
Selesai. Tetapi kenyataan yang terjadi tidak demikian. Karman ternyata tidak cukup berani
bertamu ke rumah Haji Bakir. Ia tidak pernah berhasil mengatasi keraguan yang
menggeluti dirinya. Di rumah, di jalan, di kantor, ia selalu bingung. Padahal ia
merasa kerinduannya pada Rifah ada pada setiap tarikan napasnya.
Dalam keadaan seperti itu lagi-lagi Karman tidak tahu bahwa seorang yang bergigi
besi siap menggerakkan pionnya.
Suti sering berkunjung ke rumah Karman. Memang, bisa saja tidak terjadi
kemaksiatan di rumah Bu Mantri itu. Kelompok Margo tidak menghendaki hiruk-
pikuk, sebab rumah Bu Mantri dekat mesjid, dekat rumah Haji Bakir. Mereka hanya
ingin memberi kesan yang baru tentang diri Karman, terutama kepada keluarga Haji
Bakir. Sekali pernah, di hadapan banyak orang Suti mencubit pipi Karman.
Pernah juga Suti datang sebelum fajar, dan keluar lagi ketika para tetangga
Karman pulang dari mesjid. Tak ayal lagi orang-orang menuduh Karman telah
menempuh hidup yang berwarna perzinahan. Walaupun Karman membela diri sekuat
tenaga ketika Paman Hasyim menuduhnya demikian, namun sia-sia. Martabat Karman
telah jatuh di mata para tetanaga, juga di mata keluarga Haji Bakir.
54 Tidaklah sekali-sekali Margo menjadi kader partai bila otaknya tidak gemilang.
Dalam kemelut ini ia melihat keuntungan yang bisa diperolehnya, dengan menyuruh
Karman langsung melamar Rifah! Margo dengan cermat telah menghitung apa jawaban
Haji Bakir. "Wah, Nak Karman," kata Haji Bakir memulai jawabannya atas lamaran yang diajukan
Karman. "Sulit sekali rasanya. Tetapi aku mempunyai pedoman yang teguh; aku
hanya rela menjodohkan Rifah dengan laki-laki yang dapat membimbing Rifah di
dunia sampai ke akhirat. Kulihat keadaanmu telah jauh berubah. Kini rasanya kau
bukan laki-laki yang cocok dengan persyaratan yang kumaksud. Bagiku setiap orang
sama derajatnya selagi penilaian itu tidak menyangkut iman dan takwa kepada
Tuhan. Orang-orang Pegaten, termasuk diriku, menganggap kau pemuda yang baik.
Masih muda dan berpangkat. Tetapi marilah, kita tetap berhubungan baik seperti
dahulu, tanpa melalui ikatan perkawinan antara dirimu dengan Rifah. Aku percaya
kau dapat menemukan calon istri lain."
Itulah jawaban Haji Bakir yang telah diramalkan dengan tepat oleh Margo. Dua
kali batin Karman dihancurkan oleh orang yang sama. Sempurnalah kebenciannya
terhadap Haji Bakir, hal mana sangat diinginkan oleh Margo dan kelompoknya.
Dalam perkembangannya nanti, Karman bukan hanya benci kepada ayah Rifah, tetapi juga terhadap para haji dan orang-orang kaya lainnya.
Dulu Karman telah diberi buku-buku teori pertentangan kelas. Sekarang Margo
ingin memperagakan pertentangan-pertentangan itu dalam kehidupan nyata.
* * * Dalam wilayah Kecamatan Kokosan, desa Pegaten letaknya paling terpencil. Di
sebelah selatan terdapat hutan jati yang luas. Sementara bagian barat dibatasi
oleh perkebunan karet dan rawa-rawa. Tanah sawah serta ladangnya subur. Kalaulah
sebagian penduduknya hidup miskin, pastilah bukan keadaan tanah Pegaten yang
menyebabkannya. Salah satu kenyataan yang telah menyebarkan kesengsaraan di
daerah itu adalah pergolakan-pergolakan yang diawali oleh masuknya tentara
Jepang. Kemudian menyusul perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang praktis
berlangsung sampai awal tahun lima puluhan. Kehidupan yang tenteram hanya
berlangsung beberapa tahun, menjelang akhir dasawarsa itu.
Orang yang teliti dan cukup berbesar jiwa, bisa memahami pada saat itu sedang
terjadi persaingan antara tiga kekuatan. Masing-masing memiliki laskar
bersenjata, masing-masing menaruh kepentingan atas wilayah Pegaten dan
sekitarnya. Salah satu kekuatan sedang surut, yaitu kekuatan laskar yang
dipimpin oleh Ahmad Juhdi.
Pada dasarnya kekuatan itu sudah mundur menyeberang Sungai Citanduy, ke wilayah
Jawa Barat. Tetapi topeng Ahmad Juhdi sering dipakai oleh kekuatan kedua yang
sedang tumbuh. Kekuatan itu secara rahasia dikendalikan oleh seorang laki-55
taki ubanan yang bergigi besi. Perampok-perampok itu, yang sering menjarah harta
atau membunuh penduduk Pegaten selalu mengaku anak buah Ahmad Juhdi.
Mungkin benar, tetapi naiflah orang yang memastikan kebenaran itu.
Rumah Haji Bakir pernah dirampok sampai dua kali. Nyawanya selamat karena Tuhan
membutakan mata orang-orang buas itu. Ironisnya keesokan harinya Haji Bakir
ditahan dengan tuduhan bersekongkol dengan para perampok itu. Kejadian malam itu
didakwakan sebagai semacam permainan sabun. Kelak orang tahu bahwa orang yang
mengusulkan penahanan terhadap Haji Bakir adalah seorang pegawai kecamatan yang
bernama Karman. Lebih dari sebulan Haji Bakir tinggal dalam tahanan. Sementara itu terjadi
perampokan di tempat lain. Polisi bertindak cepat dan berhasil menguasai para
pelaku penggarongan tersebut, yang ternyata dipimpin oleh Riwut. Semua orang
tahu siapa Riwut itu. Dia adalah orang yang sangat dekat dengan Margo.
Kekuatan yang ketiga adalah alat-alat keamanan milik negara, polisi, dan
tentara. Jiwa-jiwa yang dewasa, yang berani melihat kesalahan masa lalu demi perbaikan
masa yang akan datang, akan mampu dengan kepala dingin membicarakan keadaan
polisi dan tentara pada waktu itu, terbatas di daerah Pegaten dan sekitarnya.
Kepentingan-kepentingan amat bersimpang-siur. Di tempat yang terencil itu,
urusan golongan, urusan politik bahkan urusan perorangan dapat mempengaruhi
sikap-sikap para petugas keamanan. Urusan semacam itu sering terbaur dalam hutan
jati dan hutan karet. Siapa menembak siapa, siapa menuduh siapa, amat sering
terjadi. Kisah-kisah ini akan memperjelas gambaran desa Pegaten pada sekitar tahun 1958
sampai dengan tahun 1960.
Penduduk desa itu, semuanya, pernah menjadi orang-orang kurungan.
Sesungguhnya! Untuk mencegah perampok masuk ke Pegaten, desa itu pernah ditutup
rapat dengan pagar bambu yang berlapis-lapis. Tingginya tiga meter. Setiap mata
pagar merupakan bambu runcing yang tajam. Pada malam hari, seregu OPR
atau Organisasi Pertahanan Rakyat menjaga tiap-tiap pintu.
Namum entah bagaimana, tak urung terjadi lagi perampokan di rumah Haji Bakir.
Delapan orang anggota OPR yang dipimpin oleh Lurah Pegaten menyiapkan
pencegatan. Mereka bersiap di sebuah lorong yang menurut perhitungan harus
dilewati para perampok. Benar, beberapa waktu kemudian terdengar letupan-letupan
yang ramai. Di pagi hari orang melihat selongsong peluru bertebaran di tempat
itu. Kebun kedelai rusak hebat. Tetapi tidak terlihat darah setetes pun, kecuali
seekor kambing mati terkena peluru nyasar. Orang Pegaten yang berotak paling
degil pun seharusnya mengatakan: mustahil! Pencegatan yang dilakukan di tempat
yang sesungguhnya menguntungkan, dengan sembilan batang bedil, tanpa mengena
atau dikenai" Namun orang Pegaten segera puas oleh cerita Lurah: "Para perampok
itu adalah anak buah Ahmad Juhdi. Mereka mempunyai kekuatan sakti, dapat 56
melompati pagar bambu setinggi tiga meter. Pasti mereka juga kebal terhadap
peluru!" Di lain waktu, dua orang polisi berpatroli malam hari di luar desa Pegaten.
Kemudian mereka beristirahat di sebuah rumah yang telah dikosongkan oleh
penghuninya. Pemilik rumah itu menyingkir ke Pegaten yang telah dikelilingi
pagar bambu. Kedua orang petugas itu sedang memeriksa lampu senter yang macet
ketika terdengar beberapa orang yang mengucapkan salam dalam bahasa Arab secara
fasih. Tetapi kemudian terdengar suara takbir yang disusul dengan ledakan bedil.
Kedua polisi itu tewas seketika.
Seorang tentara anggota BR atau Banteng Raiders mendengar suara tembakan-
tembakan itu. Ia lari melalui jalan pintas menuju tepi hutan jati, seorang diri.
Beberapa orang yang ingin menemani, ditolaknya. Hasil pencegatan yang dilakukan
oleh tentara yang berani itu mengungkapkan siapa yang telah membunuh dua orang
polisi. Mereka anggota-anggota OPR desa Cilangit. Dalam kehidupan sehari-hari,
mereka tidak pernah mengucapkan uluk salam. Apalagi takbir. Mereka adalah orang-
orang komunis. Walaupun dalam keadaan surut, laskar-laskar Ahmad Juhdi bukan tidak membutuhkan
makanan dan peluru. Untuk memperoleh persediaan makanan mereka tidak mempunyai
cara yang lebih mudah daripada menjarah harta penduduk. Rupanya Ahmad Juhdi
sudah tidak dapat mengendalikan pasukannya.
Jadilah mereka gerombolan-gerombolan yang kehilangan tujuan perjuangan. Sama
sekali liar. Pada tahun 1959 mereka mengalami kesulitan besar. Cadangan amunisi
habis. Mereka harus mengumpulkan emas permata. Kekerasan meningkat kembali
karena laskar Ahmad Juhdi ingin merampas lebih banyak emas milik penduduk.
Satu gram emas berarti sebutir peluru. Begitulah para perampok melakukan barter.
Emas yang berhasil mereka rampas ditukar dengan peluru. Kepada siapa para
petualang itu menyerahkan emas" Kepada siapa saja yang mau memberi mereka
peluru. Kata seorang bekas anggota laskar Ahmad Juhdi, "Kemudian terjadilah
pertempuran seru antara kami dengan Kompi P, dari batalyon QRS Divisi T. Kami
memenangkan pertempuran. Berpeti-peti peluru serta berpuluh-puluh senapan kami
dapat, seorang korban pun tak ada, baik di pihak kami atau pihak mereka."
Bila ada yang bertanya tentang kebenaran cerita bekas anak buah Ahmad Juhdi itu,
jawabannya sudah tersedia pada hati sendiri, yang harus rela membiarkan sejarah
menulis menurut kehendaknya. Kerelaan pula yang diperlukan bila sejarah telanjur
mencatat kisah ini: Letnan D dan Letnan L, yang berperan sangat aktif pada peristiwa Lubang Buaya,
Oktober 1965, tentu sudah menjadi anggota tentara pada tahun 1959 itu. Di mana
mereka bertugas saat itu, arsip tentara bisa memberi jawaban. Di Pegaten.
Karman menjadi sekretaris Partindo mendampingi Triman. Tentu hanya kalangan
mereka yang tahu bahwa hal itu hanya sebuah samaran. Huhungan antara 57
Margo dan Karman tetap terselubung. Orang Pegaten tak ada yang tahu bahwa Karman
sering terlibat dalam diskusi-diskusi dengan Margo dan kawan-kawannya.
Di kamar Karman tersusun buku-buku yang hampir semuanya didapat secara cuma-
cuma. Tiga orang menjadi pemberi bacaan teratur: Triman, Margo, atau orang yang
bergigi besi itu. Sementara itu secara pasti Marni telah mendapat tempat di hati Karman. Pemuda
itu tahu sekarang, dunia perempuan ternyata tidak hanya Rifah. Kalau Rifah
dibesarkan dalam kalangan yang memanjakannya, tak demikian halnya dengan Marni.
Ia anak orang kebanyakan, dan tidak bisa menamatkan SKP karena kekurangan biaya.
Ada keuntungan bagi Marni, karena dengan keadaan yang demikian ia bahkan
memiliki sikap dewasa. Sepanjang hubungan antara Karman dan Marni, kelompok
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-orang partai itu tidak merasa perlu berbuat sesuatu.
Mereka tahu keluarga Marni dalam segala hal tidak sekokoh keluarga Rifah. Karman
pasti mampu membuat keluarga Marni menjadi orang-orang yang berpikiran
"maju". Perkawinan dilangsungkan. Kehampaan di hati Karman cepat terisi oleh sikap
istrinya yang mantap, penuh pengertian. Seperti mendapat tempat berteduh,
setelah lama berjalan di bawah matahari, demikian perasaan Karman. Karman tidak
tahu mengapa Marni mencoba membahagiakan suami dengan menganggapnya sebagai
ayah, suami, bahkan anaknya sekaligus. Tidak berbeda dengan garis fitrah setiap
laki-laki yang merasa kecil apabila berhadapan dengan kepribadian seorang istri
yang matang, Karman tidak hanya mencintai Marni, bahkan menghormatinya.
Pada tahun pertama perkawinan mereka, Rudio lahir. Kehidupan keluarga muda itu
mantap. Sebidang tanah dapat mereka beli. Di atas tanah itu, setahun kemudian
mereka mendirikan rumah. Yang tidak bersesuaian di antara mereka hanya satu hal. Sementara Marni merasa
tidak bisa meninggalkan ibadahnya, Karman bahkan terang-terangan mengaku sebagai
seorang ateis. Maka apabila Marni merasa kebahagiaannya kurang utuh, itulah dia.
Sering ia memohon kepada Tuhan agar keberuntungannya disempurnakan. Tidak heran
kalau Marni sering bermimpi bersembahyang berjamaah bersama suaminya.
Sekali pernah ketika jiwa dan badan Marni amat berdekatan dengan Karman, ia
bertanya, "Apakah kau tak tahu bahwa apabila kau tidak melupakan kewajiban terhadap Tuhan
aku akan sangat bahagia?"
Karman sudah menduga pada suatu ketika pasti istrinya akan bertanya seperti itu.
Walaupun begitu ia tidak segera menjawab, bahkan berbalik bertanya, "Jadi dengan
keadaanku yang demikian kau merasa kurang beruntung?"
"Tidak sedemikian jauh maksudku, Kak, tetapi. ."
58 "Cukuplah. Cukup bila kukatakan agama adalah urusan pribadi. Seharusnya kau
senang aku tidak melarangmu beribadah."
Marni diam meskipun ada rasa kecewa di hatinya. Tanpa mengurangi kelembutan
kata-katanya, ia meneruskan, "Tetapi kau tidak mempunyai maksud pada suatu saat
akan memaksaku memutuskan hubungan dengan Tuhan, bukan?"
Suami itu makin kikuk karena istrinya makin rapat memeluknya.
"Oh. ." Dan begitu. Karman tidak pernah melarang istrinya beribadah, meskipun hal yang
demikian bertentangan dengan ajaran partainya. Bukan Karman juga tidak ingin
mengajak istrinya ingkar, bukan! Karman tidak berani melakukannya! Dari
kepribadian Marni, ketenangannya, terpancar wibawa. Seorang revolusioner muda
seperti Karman ternyata mandul ketika berhadapan dengan keanggunan istrinya.
Karena kelemahan Karman ini, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh banyak
orang, Margo pernah menyindirnya dengan tajam.
"Kita heran. Mengapa di antara kita ada yang membiarkan istrinya menjadi
pengisap candu, suatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh kaum reaksioner!"
Karman tersentak. Ia tahu apa yang dimaksud dengan mengisap candu seperti yang
diucapkan Margo. Ia masih ingat bahwa bagi kaum Marxis, agama adalah candu untuk
meninabobokkan kaum tertindas agar tertidur dari rasa ingin menuntut hak-hak
mereka. Merah padam mukanya. Karman bangkit menggedor meja. Bangkit untuk
membela seorang perempuan yang baginya adalah kesejukan hidup. Bangkit untuk
membela seorang perempuan yang mempunyai lekuk ujung bibir paling bagus di
dunia. Karman bukan menggedor meja karena ingin berpihak pada kaum reaksioner.
Tetapi demi Marni, hanya Marni.
"Kawan Margo! Perjuangan kita belum sampai ke taraf habis-habisan. Itu
kenyataan. Apabila Kawan menganggap kehidupan pribadi sebagai kemunafikan
terhadap sikap hidup revolusioner, kita semua munafik! Kuakui, istriku tetap
taat kepada agamanya hingga kini. Tetapi ingat, Kawan sendiri mempunyai saudara
yang jadi tengkulak gula kelapa. Kita semua tahu praktek apa yang dijalankan
oleh tengkulak semacam itu. Praktek-praktek kapitalisme murni! Kita tahu juga,
bahkan saudara kandung Marx, bapak ideologi komunis, ternyata tinggal di negara
kampiun kapitalis: Amerika. Karl Marx sendiri tidak meninggalkan wasiat agar
tulang-belulangnya kelak dipindahkan ke negara yang telah menjalankan semua
doktrinnya, Rusia misalnya. Ia dikubur di negara cikal bakal imperialisme dan
kapitalisme, Inggris!"
"Ya!" jawab Margo tidak kalah keras. "Kawan tidak lupa revolusi akan selalu
melalap anak-anaknya?"
"Ingat betul. Siapa yang menjamin kita sendiri tidak akan ditelan oleh revolusi
yang ingin kita kobarkan?"
59 Karman tetap menggigil karena amarah. Tetapi Margo segera sadar debat semacam
itu tidak bisa dilanjutkan. Kader partai itu juga amat terkejut karena dibantah
dengan cara yang ia sendiri ajarkan. Alis Lenin-nya turun-naik. Jidatnya
berkerut-kerut. Kemudian ia tersenyum. Sekali lagi terbukti bahwa ia tidak hanya
licik, tetapi juga sabar.
"Kawan-kawan," kata Margo kemudian. "Kita lihat Kawan Karman telah memiliki
kecakapan berdiskusi yang luar biasa. Kepandaian semacam itu amat penting. Apa
yang baru saja kulakukan hanya sekadar ujian. Ternyata Kawan Karman memang
gemilang. Hadiah untuk Karman kali ini adalah tepuk tangan bersama. Mari!"
Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan, sama seperti yang terjadi
di mana-mana. Boleh jadi orang tidak senang mengingat masa itu kembali karena
kepahitan hidup yang terjadi waktu itu.
Orang Pegaten tidak tahu apa arti inflasi. Mereka hanya bisa merasakan akibatnya
yang sangat pahit. Penghidupan sehari-hari pada umumnya dirasakan amat berat.
Minyak tanah dijatah, gula pasir diantrekan. Keadaan alam sendiri menambah
penderitaan penduduk. Kemarau sering amat panjang. Hama tikus dan walang sangit
menggagalkan panen. Tidak sedikit penduduk Pegaten yang terpaksa mengisi perut
mereka dengan gaber. Ampas singkong itu dikukus, dan dimakan dengan daun-daunan.
Busung lapar berjangkit di Pegaten.
Pencuri-pencuri menjadi sangat berani. Hutan jati di sebelah selatan Pegaten
rusak hebat oleh penduduk sekelilingnya. Bahkan para pekerja perkebunan karet
mulai melancarkan kerusuhan-kerusuhan. Tanaman karet ditebangi, tanahnya digarap
menurut kemauan mereka. Terpaksa polisi didatangkan, tetapi mereka malah melawan
para petugas itu sampai ada yang tewas. Di hutan jati, seorang mandor juga
meninggal tertindih balok kayu yang besar. Ketika peristiwa itu sampai ke
pengadilan, yang menjadi hakim adalah politik. Keputusannya berbunyi: Mandor
jati itu sudah menerima hukuman yang patut, karena tidak berpihak pada "rakyat".
Akibatnya, nasib hutan jati itu makin menyedihkan. Penduduk yang termakan
hasutan politik membakar hutan milik negara itu.
Ironis memang, dalam keadaan penghidupan yang sulit orang Pegaten sering
meninggalkan pekerjaan guna menghadiri rapat-rapat umum. Pawai-pawai sering
diadakan dan memakan waktu sehari penuh. Panasnya politik saat itu juga
memanggang desa terpencil, Pegaten.
Pada suatu rapat yang penuh hiruk-pikuk, Margo menganjurkan semua orang makan
tikus. Memang, saat itu jumlah tikus di sawah-sawah Pegaten puluhan kali lebih
banyak daripada jumlah penduduk desa itu. Dari atas mimbar rapat itu, Margo
berbicara tentang gizi yang terkandung dalam daging tikus.
"Apa pun yang dapat mengenyangkan perut kita, jadilah! Dan tikus-tikus itu!
Rakyat harus tangguh, berbadan sehat, dan kuat untuk memenangkan revolusi!"
60 Sesungguhnya Margo tidak bermaksud membuat penduduk Pegaten menjadi sehat dengan
menyuruh mereka makan tikus. Ia sekadar ingin menghancurkan nilai yang telah
mapan. Orang Pegaten mengharamkan tikus. Jadi Margo hanya ingin mengajari orang
Pegaten menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Tidak lebih.
Margo sendiri ternyata lebih suka gulai kambing daripada panggang daging
binatang yang menjijikkan itu.
Seperti biasa sehabis rapat orang-orang berpawai. Mereka berteriak-teriak.
Dentuman drumband serasa hendak meledakkan telinga. Untung, barangkali tidak ada
orang tahu bahwa mars yang dilagukan oleh barisan drumband itu adalah mars-mars
marinir. . Amerika, sebuah nama yang selalu diteriakkan sebagai musuh urutan
pertama. Hampir dua tahun keadaan demikian berlangsung di Pegaten. Segala hiruk-pikuk itu
ternyata berakhir dengan diselenggarakannya sebuah pasar malam di lapangan desa.
Kalau bisa dikatakan sebagai pasar malam. Ada pementasan wayang kulit yang
menggelar lakon-lakon gubahan baru yang revolusioner, misalnya si jelata Petruk
mengganyang si feodal Dwipayana, dan sebagainya.
Anak gadis Tan Liong Pek menjadi ledhek. Oey Fen Mai malah menjadi ronggeng,
mengajak pemuda-pemuda Pegaten berjoget. Tariannya tidak bagus, yang penting
erotis. Pegaten panas, dan anehnya Pegaten juga terlena. Ketika terjaga, Pegaten
terkejut luar biasa. Sesuatu yang dahsyat telah terjadi pada dini hari menjelang
1 Oktober 1965. * * * Marni baru tiga bulan melahirkan Tono, anaknya yang ketiga. Tubuhnya sudah segar
kembali. Bayinya sehat. Apa yang didambakannya sekarang adalah kemesraan
suaminya yang baru berumur tiga puluh tahun dan kuat. Sungguh, Marni tidak ingin
yang lain. Ia tidak mau tahu bahwa kabar yang besar dan membingungkan telah
tersebar ke mana-mana, tak terkecuali di Pegaten. Ia hanya ingin pagi-pagi
menyediakan sarapan, lalu melepas suaminya di pintu. Setelah menyiapkan makan
siang enam jam kemudian, ia akan duduk membopong Tono sambil menunggu Karman
pulang. Biasanya Karman lebih dulu menyentil si Buyung sebelum menaruh sepeda di
tempatnya. Atau Karman akan mencubit tengkuk ibu si Buyung.
Tetapi keinginan Marni tinggal menjadi harapan khayali. Sejak tersiar kabar yang
dahsyat itu Karman berubah menjadi pendiam. Tampaknya ia tidak tertarik kepada
hal apa pun; Tono tidak pernah lagi dibopongnya, senyum Marni tidak lagi
dibalasnya. Bahkan sudah tiga kali hidangan makan siang dibiarkan sampai sore.
Karman menjadi mudah terkejut. Sebuah sendok yang jatuh dari atas meja sudah 61
cukup membuatnya terperanjat. Pohing yang datang mengetuk pintu hampir saja
membuat Karman pingsan ketakutan.
Marni berpikir. Memang sudah banyak orang yang ditangkap. Bahkan ia mendengar
ada pula yang dibunuh. Margo dan tiga orang lainnya dikubur dekat jembatan Kali
Benda. "Lalu mengapa suamiku menjadi begitu ketakutan?" pikir Marni.
Marni teringat beberapa bulan sebelum terjadi perubahan pada Karman, suaminya
itu pernah membuat poster-poster. Merah, dan ada gambar palu- arit.
Setahu Marni, suaminya menjadi anggota Partindo. Di saku Karman selalu terdapat
kartu tanda anggota partai ini. Maka ia meminta penjelasan.
"Memang. Dan poster-poster itu kukerjakan karena aku senang membuat gambar-
gambar." "Mendapat upah kalau begitu."
"Wah, tidak." "Aku jadi tidak mengerti. Cobalah terangkan dengan jujur."
Karman merasa terdesak. Ia ingin tetap bersandiwara, tetapi kemudian didapatnya
cara mengelak yang lebih baik.
"Marni, kau pernah mendengar samen bundeling van alle revolutionaire krachten?"
"Oh ya, anak-anak sekolah sering berucap demikian."
"Itulah. Semua kekuatan revolusioner mesti bersatu. Meskipun aku jelas anggota
Partindo, tetapi aku juga seorang revolusioner. Jadi aku wajib membantu semua
orang yang secita-cita. Yang sedang kukerjakan itu tidak lain kecuali poster-
poster revolusioner."
Marni percaya. Jadi bagaimanapun suamiku seorang Partindo. Tentu ia tidak tersangkut paut
dengan penyebab hura-hara, yang beritanya tersiar sekarang, pikir Marni.
Apabila Karman ikut bergabung dengan orang-orang Pegaten yang tiba-tiba belajar
bersembahyang kembali, hal itu pun tidak dapat menghilangkan kegelisahannya.
Tetapi Marni merasa bersyukur melihat perubahan suaminya.
Bayangkan, Karman bersembahyang - satu hal yang telah lama sekali diinginkan
Marni. Namun Marni tidak pernah tahu persis apa yang menyebabkan suaminya tiba-
tiba melempar keenganannya datang ke mesjid Haji Bakir. Entahlah, yang jelas
Marni senang melihat Karman bersembahyang.
Sementara penangkapan terhadap orang-orang komunis yang telah mendalangi makar
berdarah terus berlanjut. Dan polisi serta tentara ternyata tidak bodoh. Yang
mereka tangkap bukan hanya orang-orang yang resmi terdaftar menjadi anggota
partai komunis seperti Margo dan si Gigi Besi. Tan Cie Hong yang menjadi anggota
Baperki dikubur bersama-sama dengan Riwut di pinggir desa Pegaten. Tetapi
kakaknya, Tan Oen Sok, lari ke Bandung.
62 Kegelisahan Karman tidak mungkin tertahan lebih lama. Sudah beberapa malam ia
tidak bisa tidur. Bila malam tiba, ia bersembunyi di rumah ibunya atau
berkerumun dengan orang lain di mesjid Haji Bakir. Pada saat ia merasa sesuatu
yang mengerikan bakal tiba, ia menemui istrinya. Pukul delapan malam saat itu.
Suaranya serak, terbata-bata ketika mengatakan, "Marni, aku mau pergi ke rumah
Triman. Bila sesuatu terjadi pada diriku, Marni, jagalah dirimu sendiri bersama
anak-anak. Kupercayakan Radio, Tini, dan Tono padamu."
Marni terbelalak sebentar, kemudian tertunduk dan menangis. Ia pun sudah
mendapat firasat: sesuatu bakal terjadi. Hatinya kosong dan mengambang. Di dada
suaminya ia menghabiskan air mata tanpa sepatah kata pun dapat diucapkan.
Sebelum melepas dekapannya, Karman mencium kening Marni. Tangannya bergetar
ketika mengusap kedua belah pipi istrinya, "Cobalah tersenyum, aku ingin melihat
lekuk bibirmu." Kemudian Karman keluar, naik sepeda.
Marni terkesima, lalu lari ke kamar merangkaki ketiga anaknya sambil menangis.
Rumah Triman satu kilometer jauhnya. Karman harus melewati bulak sebelum sampai
ke sana. Ketika Karman membelok ke jalan yang lurus, menuju tujuannya, ia
terbelalak. Dari jauh, ia melihat empat-lima lampu senter menyala berganti-
ganti. Laki-laki yang berjalan paling depan membawa lampu pompa.
Cepat Karman menuntun sepedanya ke sebuah pekarangan kosong, lalu mencari tempat
yang baik untuk bersembunyi sambil mengintip. Rombongan kecil itu lewat.
Bunyi langkah sepatu lars. Telinga Karman berdenging. Sesudah dekat benar,
Karman melihat jelas siapa yang berjalan di belakang lampu pompa itu. Kepala
tertunduk. Tangannya terikat ke belakang. Bajunya bergaris-garis, jalannya
bungkuk. Triman! Karman sungguh-sungguh menggigil. Ingin kencing. Tengkuk berkeringat.
Matanya nanar berkunang-kunang. Akhirnya Karman lunglai, terduduk di bawah
pohon. Ia berada dalam keadaan antara pingsan dan sadar.
Lengang. Dari jauh terdengar kambing mengembik di kandangnya. Lalu, rentetan
tembakan. Seekor gangsir jantan bernyanyi memanggil betinanya, dan diam apabila
yang diundang telah tiba. Mereka kemudian masuk ke dalam liangnya untuk
bercinta. Sepi. Seekor kelabang merambat ke kaki Karman. Laki-laki itu terkejut
dan mengibaskan kakinya. Kesadarannya kembali, tetapi segera melayang pula.
Dalam otaknya, segala macam gambaran jungkir-balik, tumpang-tindih tidak keruan,
Pertama Karman melihat seolah-olah Paman Hasyim muncul, berkopiah dan berkain
sarung. Ia menudingkan tangannya lurus-lurus. "Rasakan, anak durhaka! Kau akan
mati seperti matinya seekor kucing!"
Kemudian muncul ingatan itu, ketika ia sendiri menghancurkan bambu pancuran air
sembahyang. Bayangan Rifah menyusul. Seakan-akan Karman sedang mengintip melalui
celah dinding papan. Wajah Rifah ayu, saleh. Cantik luar biasa.
63 Tiba-tiba Karman siap berlari ketika bayangan Margo datang sambil berteriak,
"Revolusi memakan anak kandungnya! Revolusi melalap anak kandungnya sendiri!
Revolusi. .!" Terakhir muncul halimun yang membawa gambar Suti. Perempuan budak berahi itu
cantik juga, tetapi dalam puncak syahwatnya ia mengerikan! Menjijikkan!
Kemudian Karman benar-benar pingsan ketika dalam khayalannya Marni datang sambil
menggendong Tono yang masih bayi. Tini dan Rudio dituntunnya sambil berlari
pontang-panting. Nama istrinyalah yang pertama terlontar dari mulut Karman ketika ia tersadar
kembali, "Oh, Marni, pastilah polisi dan tentara sedang menanyaimu di mana aku
berada sekarang. Rumah kita digeledah. Marni, barangkali kau sekarang sedang
bersimpuh di tanah. Menangis dan digelayuti oleh tiga anak kecil yang belum tahu
apa-apa. Katakanlah sejujur-jujurnya. Bahwa aku baru sesaat yang lalu keluar
menuju rumah Triman. Katakanlah begitu, karena aku tahu kau adalah perempuan
yang paling jujur. Dengar, Marni. Supaya polisi dan tentara tidak usah berlaku
kasar kepadamu, jangan kaubela aku, jangan kaututup-tutupi aku. Mungkin dengan
demikian aku tertangkap, tak mengapa, asal mereka memperlakukanmu dengan baik."
Para petugas itu tidak menemukan Karman di rumahnya. Mereka tahu Karman
meninggalkan rumah dengan sepeda. Pengejaran mereka lakukan di jalan-jalan yang
meninggalkan Pegaten. Larut malam Karman bangkit dari persembunyiannya. Celananya basah.
Sepedanya dituntun melalui jalan setapak yang membelah pekarangan kosong itu.
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba ia sadar, sepeda yang dituntunnya tidak ada gunanya lagi. Tetapi
dengan meninggalkannya begitu saja, barang ini akan menjadi petunjuk bagi para
petugas yang sedang mengejarnya. Karman melihat sebuah sumur. Tentulah milik
penghuni rumah yang terdekat itu. Diam-diam ia ke sana. Dengan bantuan tali
timba, sepeda Karman tersembunyi di dasar sumur, jaub di bawah permukaan air.
Karman meninggalkan tempat itu menurut arah yang makin menjauhi jalan umum. Ya,
Karman sadar dirinya kini jadi manusia buruan, sebuah sebutan yang amat rendah
dan tak pernah terbayangkan bisa terjadi atas dirinya. Buruan. Dan pelarian yang
harus ditempuhnya kini akan menembus kebun singkong, parit-parit kering, dan
tanah-tanah kosong yang penuh belukar. Naluri menuntun Karman pergi menuju Lubuk
Waru. Lubuk itu terletak dekat hutan jati dan di sana ada makam yang
dikeramatkan. Pohon-pohon tua yang besar dan sangat rimbun tumbuh mengelilingi
cungkup makam itu. "Aku akan bersembunyi di Lubuk Waru, paling tidak untuk
sementara waktu," pikir Karman sambil terus berjalan.
Setelah berjalan hampir dua jam, Karman sampai ke tujuan. Tenaganya hampir
habis. Maka Karman segera merebahkan diri di atas bantaran berpasir di tepi
Lubuk Waru. Ia tergeletak menengadah berbantalkan tangan. Malam terasa begitu
dingin. 64 Bintang-bintang bertebaran hampir merata di langit. Lengang, sehingga suara
berbagai serangga amat jelas terdengar. Juga suara burung celepuk dari atas
pohon besar di dekat makam. "Ya, beginilah aku sekarang. Di sinilah aku
sekarang," ujar Karman demi menghayati kesadaran akan dirinya. "Tentara, polisi,
apakah kalian sedang mencari seorang yang bernama Karman" Datanglah kemari, ke
Lubuk Waru. Aku, Karman, sekretaris Partindo yang sebenarnya anggota partai komunis, ada di
sini, terkulai di atas hamparan pasir."
Mungkin karena kepatuhannya terhadap doktrin partai, Karman ternyata mampu
bertahan dua hari dua malam dalam kelebatan tetumbuhan di sekitar Lubuk Waru.
Untuk bertahan hidup, Karman makan pisang mentah, jagung, atau apa saja yang
bisa dicuri dari ladang penduduk. Bila hendak tidur, Karman keluar dari semak
menuju bantaran berpasir di tepi sungai. Di sana ia menggali lubang sedalam tiga
jengkal, memanjang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Karman memendam dirinya
sendiri dalam pasir yang kering dan hangat, hanya kepalanya yang muncul ke
permukaan. Dengan cara itu Karman bisa lelap karena terbebas dari udara dingin
serta gigitan nyamuk. Pengetahuan tentang cara tidur yang ganjil itu
diperolehnya ketika Karman sering menggembala kambing Haji Bakir pada masa
kanak-kanak. Namun pada malam kedua Karman memperoleh pengalaman yang amat mengesankan.
Ketika sedang tidur dalam pelukan pasir yang hangat itu Karman merasa ada tiupan
napas pada wajahnya. Karman membuka mata dan melihat moncong anjing hanya
beberapa senti dari ujung hidungnya. Untung, hanya dengan dengan cara
membentaknya anjing liar itu lari menjauh.
Dua hari dua malam. Itulah saat-saat yang paling berkesan dalam hidup Karman.
Dalam usianya yang tiga puluhan tahun Karman belum pernah merasa begitu dekat
dengan dirinya sendiri seperti saat itu. Demikian, di tempat terpencil sekitar
Lubuk Waru pada saat-saat yang lengang, Karman dapat melihat dirinya sendiri
dengan jujur dan telanjang. Karman melihat pemutaran rekaman riwayat hidupnya;
sejak anak-anak, kemudian ikut menjadi bagian keluarga Haji Bakir, disekolahkan
oleh Paman Hasyim, lain ditampik ketika hendak mengawini Rifah, terakhir,
menggabungkan diri dengan kelompok orang-orang komunis yang dipimpin Margo.
Ya, lintasan panjang dan berliku itu kini berujung di sekitar Lubuk Waru;
terpencil, diburu, dan entah apa yang akan terjadi atas dirinya besok atau lusa.
Yang jelas, ketika berada dalam persembunyian itu Karman sering mendengar bunyi
letusan senjata. Dan mengapa air sungai ini berbau agak anyir" Darah" Apakah
semua kawan-kawan separtai seperti Margo, Triman, dan si Gigi Besi sudah dihukum
mati" "Dan sesungguhnya aku kini sedang menunggu giliran menyusul mereka?"
Tiba-tiba tiba Karman merasa pertanyaan ini berubah menjadi hantu besar yang
amat mengerikan, Karman merinding dan merasakan dirinya susut menjadi makhluk
kecil yang tak berguna. Atau malah menyusahkan masyarakat dan karenanya harus
diburu dan dihukum" 65 Atau entahlah. Yang pasti, pada ujung kebimbangannya Karman bertemu dan
berhadap-hadapan dengan bayangan dirinya sendiri. Bayangan itu menuding Karman
dan kata-katanya sangat jelas terdengar:
"Apa yang terjadi atas diri kamu sekarang merupakan dialektika sejarah, dalam
hal ini adalah sejarah politik. Kamu tidak mungkin bisa lari dari
cengkeramannya. Kamu akan habis dikoyaknya."
"Aku tidak ingin membantah kata-katamu. Ya, apa yang sedang kurasakan adalah
wujud dialektika sejarah. Tetapi nanti dulu. Sekarang aku sedang bimbang, apakah
benar kehidupan ini sepenuhnya berjalan menurut garis dialektika itu.
Tentang diriku misalnya; apakah ketakutan yang sedang kurasakan bukan karena
kesalahanku juga?" "Jadi kamu menyesal" Kalau begitu kamu patut mendapat sebutan kader yang tidak
bertanggung jawab dan pengecut."
"Pengecut atau bukan, kini bukan saat yang patut untuk memikirkannya. Aku,
Karman, adalah manusia seperti manusia-manusia lain di dunia. Selain punya
keyakinan ideologis, aku juga punya rasa, punya ikatan keluarga, punya naluri,
dan akal budi. Ya, akal budi. Kini aku ingin mendengar suara akal budiku
sendiri." "Kini jelas, kamu seorang kader partai yang munafik."
"Aku tak peduli."
"Tetapi sejarah telanjur mencatat, kamu adalah pengikut Margo. Kenapa bisa
begitu?" "Pertama, karena sakit hati. Aku jengkel karena Haji Bakir tak rela anaknya
kukawini. Kedua, aku jengkel karena sawah orangtuaku dikuasai oleh Haji Bakir
dengan cara yang tidak adil. Dengan masuk ke dalam lingkaran Margo aku bermaksud
membalaskan sakit hatiku. Atau kalau bisa, aku mendapatkan kembali sawah itu.
Ah, aku tidak mengerti bahwa akhirnya aku harus terbawa dalam situasi yang
sangat menakutkan ini. Aku tak mengerti. Atau kamu bisa menerkanya?"
Hening. Karman tidak mendengar apa pun dari bayangannya sendiri. Malah dalam
rongga matanya Karman melihat Marni berlari kian kemari sambil menangis
ketakutan. Sambil bergerak pontang-panting Marni membimbing ketiga anaknya yang
juga menjerit dengan wajah penuh kengerian. Karman menangis. Tetapi kelengangan
Lubuk Waru tak peduli. Apabila bilik sempit yang bertutup atap ilalang dan tertopang oleh empat tiang
bambu itu bisa disebut rumah, maka Kastagethek pernah memilikinya. Rumah kecil
yang lebih pantas disebut gubuk itu terletak di tempat terpencil di bantaran
Kali Sikura di kampung Pangkalan. Kastagethek menempuh hidup dengan caranya
sendiri. Lelaki berperawakan kecil dan berkulit gelap itu mempunyai keahlian
membawa puluhan, bahkan ratusan batang bambu yang diikat menjadi gethek, semacam
rakit darurat. Dari kampung Pangkalan, lelaki itu menghanyutkan rakit bambunya
mengikuti aliran Kali Sikura menuju desa Muara, puluhan kilometer 66
jauhnya di pantai Selatan. Perjalanan di atas air itu bisa ditempuh selama dua
hari dua malam. Maka Kastagethek selalu menyediakan perapian di atas rakitnya,
lengkap dengan kuali untuk menanak nasi. Sampai di tujuan, rakit dibongkar
kembali dan dijual sebagai bambu batangan. Tetapi Kastagethek tak perlu
mengurusi penjualannya karena bambu-bambu itu bukan miliknya. Kasta hanya
memburuh membawakan dagangan itu dari kampung Pangkalan sampai ke Muara.
Dari Muara, Kastagethek pulang ke Pangkalan dengan berjalan kaki menyusuri
bantaran Kali Sikura. Perjalanan itu bisa menghabiskan waktu sampai dua hari.
Tetapi sambil berjalan pulang itu Kastagethek melakukan pekerjaan lain, menjala
ikan. Menarik rakit bambu dan menjala ikan adalah dua pekerjaan yang telah
ditekuninya turun-temurun. Demikian, maka ayah Kasta yang bernama Wirya dan
kakeknya yang bernama Truna, semuanya punya sebutan tambahan gethek. Sayang,
garis keturunan dinasti gethek tidak akan berlanjut karena Kasta tak punya anak.
Air Kali Sikura sudah lama surut. Inilah masa sulit bagi Kastagethek karena ia
tak bisa menghanyutkan lebih dari satu rakit bambu. Perjalanan ke hilir sering
mengalami kesulitan ketika rakitnya harus melewati bagian sungai yang dangkal.
Tidak jarang Kastagethek harus terjun ke sungai dan mendorong rakitnya yang
kandas. Tetapi pada sisi lain musim kemarau juga memberi keuntungan kepada anak
Kali Sikura itu. Pada musim ini beberapa jenis ikan mengalami masa-kawin.
Menjebak ikan-ikan yang sedang berahi beramai-ramai di malam hari adalah
keahlian lain yang dimiliki Kastagethek. Dan hasilnya bisa mencapai belasan kilo
ikan segar. Kehidupan Kastagethek terus bergulir, hilir-mudik sepanjang Kali Sikura antara
Pangkalan dan Muara. Demikian, maka hampir semua orang yang tinggal pada
lintasan kehidupan Kastagethek mengenalnya. Bagi orang-orang yang gemar mengail
di Kali Sikura, Kastagethek pun bukan lelaki asing bagi mereka. Bahkan anak-anak
selalu berteriak gembira apabila mereka melihat rakit bambu lewat.
Mereka terjun ke sungai dan ramai-ramai naik ke atas rakit. Kasta akan menyambut
mereka dengan keramahan seorang ayah yang telah lama merindukan anak. Ya, bagi
Kasta, anak-anak adalah manusia-manusia kecil yang manis dan lucu.
Tengah malam, akhir tahun 1965. Bulan yang pucat dan kesepian telah mencapai
pertengahan juring langit sebelah barat. Malam yang sepi mencekam. Hampir tak
terasa pertanda kehidupan kecuali suara kentongan yang dibunyikan di pos-pos
jaga setiap jam. Atau suara langkah-langkah berat para peronda, polisi, dan
tentara. Kadang terdengar juga lolongan anjing dan suara burung hantu. Namun di tengah
malam yang nyaris mati itu sebuah rakit bambu meluncur lambat mengikuti arus
Kali Sikura. Ada perapian berkelap-kelip di atasnya. Dan ada Kastagethek yang
sedang duduk mencangkung dan sesekali bangkit untuk mengatur arah rakitnya.
Ketika sampai ke Lubuk Waru, Kastagethek menghentikan rakitnya. Sebatang bambu
pengayuh dibuatnya sebagai tambatan. Kasta memang biasa berhenti di 67
tempat itu untuk beristirahat. Namun selama kemarau, Kasta punya acara lain di
tempat itu; menjebak gerombolan ikan yang tengah kawin, yang biasanya
berlangsung menjelang fajar.
Selesai menambatkan rakitnya Kasta turun ke hilir, agak menjauh dari Lubuk Waru.
Pada bagian sungai yang agak dangkal tukang rakit itu menyusun batu-batu kali
menjadi pematang yang melingkar dengan garis tengah lima atau enam meter.
Masing-masing pada bagian hulu dan hilirnya dibuat pintu-pintu. Dasar sungai
yang sudah terkalang itu diratakan. Kemudian Kasta naik ke darat. Dicarinya
bongkahan-bongkahan tanah kering, dihancurkan lalu ditebarkan ke tengah kalangan
tadi. Entahlah, ikan-ikan mempunyai naluri yang aneh. Mereka lebih tertarik
melakukan perkawinan di dalam air yang lapisan dasarnya baru terkena sinar
matahari. Pekerjaan membuat jebakan selesai. Sebelum naik kembali ke rakitnya, Kasta
membersihkan badan. Air yang begitu dingin sudah terbiasa baginya. Sebuah lampu
kecil dinyalakan. Kini Kasta tinggal menanti fajar setelah bulan tenggelam. Pada
saat inilah, seperti telah dialami Kasta selama bertahun-tahun, ikan-ikan akan
keluar dan mencari tempat yang baik untuk kawin. Dan Kasta telah menyediakan
tempat itu. Dari kampung, jauh di seberang sungai, terdengar kentongan dipukul dua kali.
Fajar akan menjelang dua jam lagi. Bulan hampir tenggelam. Bumi dan seisinya
seakan sedang tidur. Langit pun sepi, tak ada sesuatu yang bergerak. Tetapi di
atas rakitnya, Kastagethek masih sibuk. Setelah berganti pakaian, Kasta
menggelar tikar kecil, lalu berdiri menghadap ke barat. Di puncak malam yang
amat hening, seorang diri Kastagethek menegakkan shalat. Zikirnya khusyuk.
Dipandang dari ketinggian langit, Kasta larut dalam tasbih semesta. Bersama
dengan air Kali Sikura yang mengalir hening, bersama dengan bebatuan yang
membisu di tebing lubuk, dan bersama serangga yang berderik hampir tak
terdengar, Kastagethek menyekutukan pujian terhadap Gusti Kang Akarya Jagat,
Tuhan yang mencipta semesta alam; Gusti, Engkaulah yang terpuji dan suci dari
segala prakira dan syak-wasangka.
Masih dalam keheningan yang pekat, di barat bulan sudah menyentuh cakrawala.
Tiba-tiba angin bertiup lemah dan hanya mampu menggoyang pucuk-pucuk ilalang di
sekitar Lubuk Waru. Dari kesunyian yang temaram, seekor burung hantu muncul
tanpa bunyi dan hinggap di pucuk dahan tepat di atas jebakan yang dibuat
Kastagethek. Seperti Kasta, burung malam itu datang untuk menangkap ikan. Tetapi
karena melihat ada manusia di sana ia terbang kembali dan lenyap dalam
kegelapan. Sesaat kemudian terdengar suaranya yang berat dan bergaung seperti
hendak menyadarkan alam sekitar Lubuk Waru yang sedang lelap.
Dari tempat persembunyiannya yang hanya terpisah jarak beberapa belas meter,
Karman dapat melihat seluruh kegiatan Kastagethek. Karman memang tak bisa tidur
meskipun malam hampir menjelang fajar. Perutnya terasa sangat lapar dan 68
hatinya amat gelisah. Namun dalam kegelisahan itu Karman merasa terkesan ketika
diam-diam ia memperhatikan Kasta bersujud kepada Tuhan. Seorang anak manusia,
sendiri di tengah alam terbuka yang sedang lelap dan sunyi, merunduk di hadapan
Gusti. Entahlah, kesan itu terasa sangat mendalam. Padahal sebagai orang komunis
seharusnya Karman berseru, "Kang Kasta, buat apa kamu lakukan semua itu" Kamu
selalu menyembah Tuhan yang konon Mahaadil; tetapi mengapa kamu tetap miskin
karena dicengkeram oleh ketidakadilan?"
Tidak. Pada malam yang hening itu Karman tidak bisa bilang apa-apa. Jiwanya
telah terguncang oleh peristiwa yang terjadi pada hari-hari terakhir ini;
tentang makar berdarah di Jakarta; tentang teman-teman separtai yang dihukum
mati; tentang rumah-rumah yang dibakar; atau tentang air Kali Sikura yang bau
anyir darah. Demikian dahsyat guncangan itu sehingga Karman tidak bisa lain
kecuali justru mempertanyakan nasib dirinya; Apakah ajaran partai akan
membawanya juga ke depan regu tembak seperti yang dialami Triman" Karman
merinding karena jawaban yang muncul di hati sendiri adalah "Ya" yang amat
niscaya. Dan di sana, Kastagethek masih duduk dengan khusyuk. Dalam kesadaran ketika
bayangan regu tembak sudah muncul di depan mata, Karman merasa sangat iri
terhadap Kastagethek dengan segala perilakunya yang amat tenang, mengalir, dan
pasrah. Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kastagethek berkaitan
dengan shalatnya, dengan zikirnya, dengan tasbihnya. "Ah, ketiga ritus itu telah
lama kuingkari dan kucampakkan."
Kastagethek tampak bangkit kemudian menghidupkan perapian. Panci dijerang karena
Kasta hendak merebus air untuk kemudian menanak nasi. Perapian di atas rakit itu
telah menyala dan di tempat persembunyiannya, Karman menegakkan kepala karena
mendengar Kastagethek melantunkan kidung Sangkan-paraning dumadi; dari mana dan
mau ke mana segala keterjadian.
Aku mbiyen ora ana Saiki dadi ana Mbesuk maneh ora ana Padha bali marang rahmatullah
Dulu aku tiada Kini aku meng-ada Kelak aku lagi tiada Kembali ke rahmat ilahi Hanya sebuah syair yang biasa dilantunkan anak-anak ketika menunggu saat
sembahyang tiba. Hampir semua anak di Pegaten bisa menyanyikannya. Ketika kecil
Karman pun tiap menjelang magrib ramai-ramai melantunkan syair yang menurut Haji
Bakir merupakan saduran atas adagium yang berbunyi innalillahi wa innailaihi
raji'un. 69 Ya. Semasa kecil Karman beriman penuh terhadap ajaran bahwa segala yang maujud
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan pula. Namun setelah menjadi
orang partai, keimanan semacam itu dibuang jauh atas pengaruh Margo dan kawan-
kawan. Bagi Margo, yang kemudian diikuti Karman, segala yang maujud-
mengada-memang harus ada, dan sama sekali tak perlu dipertanyakan dari mana
datang dan mau ke mana mereka kembali. "Segala sesuatu jadi ada dan kemudian
jadi tiada, semuanya karena dialektika sejarah." Begitu pernah dikatakan Margo.
Tetapi malam ini hati dan jiwa Karman terbang kembali ke masa lalu, ketika
bersama teman-teman sebaya melantunkan syair itu di mesjid Haji Bakir. Bahkan
pada masa anak-anak Karman dapat merasakan kedamaian dan keteguhan hati setiap
kali mengucapkan syair pendek itu. Ya, masa-masa indah dan penuh kenangan; dunia
damai yang penuh keimanan tetapi telah lama ditinggalkannya dan rasanya sudah
terlambat untuk kembali. Sesungguhnya Karman sudah tidak tahan, ingin segera keluar dari persembunyiannya
dan berbicara dengan Kastagethek. Oh, berhari-hari menyembunyikan diri dan tidak
berbicara dengan siapa pun sungguh terasa amat menyiksa. Lagi pula perut Karman
kosong. Tetapi setiap kali hendak bangkit, rasa takut menahan dia tetap membeku
di tempat. Di atas perapian, air yang direbus Kastagethek telah mendidih. Kasta
mengeluarkan sebuah cangkir kaleng. Kemudian Karman mencium bau kopi diseduh.
Usus-ususnya terasa menggeliat. Liurnya bangkit. Namun Karman hanya bisa menelan
ludah. Karman juga hanya bisa menatap dari jauh ketika Kastagethek memanggang
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikan lele di atas perapian. Bau ikan bakar benar-benar menggoda perut Karman
yang sudah beberapa hari hanya berisi singkong atau pisang mentah.
Dan ketika melihat Kastagethek membuka periuk berisi nasi, Karman tak tahan
lagi. Ia bangkit dan berjalan perlahan dalam keremangan. Makin dekat ke rakit
yang tertambat itu sosok Karman makin jelas karena tertangkap cahaya lampu.
Karman mengeluarkan aba-aba dengan suara seperti orang terbatuk.
"Kastagethek di situ?" tanya Karman dengan suara ragu dan parau, Kasta menoleh.
Lelaki itu menatap arah datangnya suara yang menyerunya. Tetapi sebelum dekat
benar Kastagethek tak bisa mengenali siapa yang datang. Ya, meski tidak tinggal
sekampung, tetapi siapa yang tidak kenal pegawai kantor Keeamatan yang bernama
Karman" "Lho, Pak Karman" Tengah malam begini sampeyan berada di sini."
"Biasa, Kang Kasta, mengail ikan moa," jawab Karman. Entahlah, tiba-tiba rasa
lega menyiram hatinya. Karena dari tatapan mata dan gayanya bicara, Kastagethek
sama sekali tidak tampak curiga. Ah, seorang penarik rakit bambu seperti
Kastagethek mungkin tidak tahu bahwa Karman adalah komunis yang kini harus
diburu. Rakit bambu itu sedikit oleng ketika Karman melompat dan naik. Kini ada
dua lelaki di atas rakit bambu yang tertambat itu.
70 "Ya, Pak. Ikan moa memang hanya keluar dan cari makan pada malam hari, terutama
pada saat magrib dan menjelang fajar."
"Itulah, maka saat ini saya berada di sini. Tetapi kali ini sedang sial. Tali
kail saya tersangkut dan macet di tengah lubuk. Sudah satu jam saya berusaba
mendapatkannya kembali tetapi gagal."
Cerita rekaan Karman termakan sepenuhnya oleh Kasta. Maka kemudian dia
menawarkan jasa. "Itu gampang, Pak. Nanti bisa saya selami. Siapa tahu ikan moa yang membawa kail
sampeyan berukuran besar."
"Wah, tidak usah, Kang. Saya sudah rela kail saya hilang. Dan, Kang Kasta, Lubuk
Waru kini seram, bukan?"
"Maksud Pak Karman, mungkin banyak mayat mengendap di dasar lubuk?"
"Ah, kamu pasti lebih tahu."
"Memang, Pak. Sungai ini sekarang jadi seram. Untung, saya sudah terbiasa.
Eh, Pak Karman mau dengar cerita soal hantu?"
"Kang, saya tidak percaya bahwa hantu memang ada."
"Itu terserah pada sampeyan. Yang jelas kemarin malam saya melihatnya. Kemarin
ada sesuatu yang tiba-tiba melompat dari air dan mendarat di rakit ini. Saya
kira ikan gabus karena ikan itu memang biasa melompat-lompat seperti itu. Eh,
Pak Karman ingin tahu ternyata apa?"
"Apa?" "Potongan kaki manusia. Darah masih menetes pada bekas potongannya."
Ketika menceritakan pengalaman itu Kasta tampak tetap tenang, amat tenang.
Tetapi Karman mengerutkan kening. Ketakutan muncul jelas pada layar wajahnya.
"Tetapi, Pak, potongan kaki manusia yang semula tampak begitu nyata itu tiba-
tiba gaib. Anehnya, kemudian muncul kepala manusia. Hanya kepala dan giginya
menyeringai persis orang tertawa. Dan kepala itu tiba-tiba gaib pula. Nah, mau
dibilang apa benda-benda tadi kecuali hantu. Iya, kan, Pak?"
Karman membisu dan napasnya tertahan-tahan. Apabila bisa memandang dengan
saksama, maka Kastagethek akan melihat wajah Karman yang makin pucat.
Tetapi Kasta memang lugu. Kata-kata yang kemudian diucapkan membuktikan Kasta
tidak menangkap perubahan pada wajah lawan bicaranya.
"Eh, Pak. Ada untungnya juga di Kali Sikura ini sekarang banyak mayat. Semua
ikan jadi tambah gemuk."
Kastagethek tertawa ringan. Karman juga tertawa, tetapi kemudian tertegun.
Aneh, siapa menertawakan siapa"
Kemudian sepi. Mulut Karman bergerak-gerak, namun suaranya tak kunjung keluar.
71 "Kang Kasta, kamu punya nasi, bukan?" ujar Karman mengalihkan pokok pembicaraan
dengan sangat hati-hati. Tiba-tiba lambungnya terasa perih. Kasta menegakkan
kepala, mungkin karena merasa ada sesuatu yang mengejutkan dia.
"Oh, nasi" Di atas rakit ini selalu tersedia nasi. Tetapi apakah Pak Karman sudi
makan nasi seorang tukang rakit?"
Karman hanya mengangguk dan tersenyum. Lambungnya kembali perih. Rasa lapar
menggerus usus-ususnya. Dan Kastagethek sibuk menyiapkan nasi dengan piring
seng. "Dan ini, panggang lele. Sayang bumbunya hanya garam dan cabe. Mari. Wah, tak
saya sangka ada priyayi mau dijamu di atas rakit di tengah malam seperti ini.
Dan kopi panas, Pak?"
Sekali lagi Karman hanya mengangguk. Kini ada nasi dengan panggang lele serta
secangkir kopi di hadapannya. Mula-mula Karman meneguk kopi panas itu.
Terasa ada tenaga mengalir ke dalam lambungnya. Kemudian tanpa malu-malu Karman
makan nasi yang disuguhkan Kastagethek. Lahap seperti itik dua hari tak diberi
makan dan menyerbu jemuran gabah.
Selesai makan, wajah Karman terlihat lebih segar. Lelaki itu berkali-kali
mengucapkan terima kasih sehingga Kastagethek merasa sikap Karman berlebihan.
"Yang baru sampeyan santap hanya nasi dan panggang lele. Itulah hidangan yang
biasa saya makan karena memang paling mudah diolah di atas rakit ini. Jadi
sampeyan tidak perlu merasa berutang budi. Lagi pula sampeyan mungkin lupa, air
yang saya rebus untuk menyeduh kopi dan untuk menanak nasi saya ciduk begitu
saja dari Kali Sikura ini."
"Maksudmu, Kali Sikura yang kini sering mengapungkan mayat, bukan" Ah, aku tak
peduli. Karena saya lapar dan masakanmu memang enak."
Bulan sudah tenggelam dan langit hanya diterangi cahaya gemintang. Karman dan
Kasta masih asyik bercakap. Mereka menggulung tembakau. Sebenarnya Karman bukan
jenis manusia yang pandai bersandiwara. Tetapi entahlah, malam itu Karman bisa
menyembunyikan perasaannya dengan baik. Ia bisa mengajak Kastagethek bicara soal
macam-macam. "Kang, bila kamu sedang menjalankan rakit seperti ini, bersama siapa istrimu di
rumah" Apakah dia sendiri?"
"Ah, tentu tidak, Pak. Bila istriku tinggal sendiri di rumah, mana mungkin saya
bisa pergi berhari-hari dengan tenang."
"Tetapi kudengar kamu tak punya anak, bukan?"
"Benar." "Lalu?" "Di rumah, istriku selalu tinggal berdua."
"Sama?" 72 "Sama Tuhan," jawab Kasta sambil tersenyum. "Kutitipkan dia kepada Tuhan
sehingga saya bisa pergi cari makan dengan perasaan enak."
Karman diam dan menelan ludah. Hatinya rasa tersodok.
"Ya, ya. Tetapi bagaimana andai kata istrimu merasa kesepian?"
Kastagethek tertawa. Karman juga tertawa tetapi suaranya hambar.
"Lho bagaimana, Kang?"
"Ah, saya sendiri sering merasa kesepian. Namun saya tidak berbuat macam-macam.
Saya menerima keadaan saya ini apa adanya. Lho, kalau nyatanya saya harus jadi
tukang rakit, ya, saya menerimanya. Nrimo ing pandum. Dengan cara begitu saya
selalu merasa tenang. Dan. ."
Tiba-tiba Kastaaethek berhenti, menegakkan kepala dan memasang telinga.
Samar-samar terdengar suara air berkecipak. Kastagethek tersenyum dan siap
bangkit. "Pak Karman bisa mendengar suara itu" Ikan-ikan yang kutunggu sudah datang dan
mulai ramai-ramai kawin. Saya akan menangkap mereka dengan jala, sampeyan
menunggu di sini." Kasta bergerak cekatan. Kain sarung dilepas lalu disambarnya jala. Bagaimana
ahlinya dia terbukti dari caranya melangkah dalam air; tak sedikit pun
menimbulkan suara. Sunyi. Dan sesaat kemudian terdengar suara jala ditebarkan.
Ditinggal seorang diri di atas rakit, Karman tiba-tiba diamuk rasa takut.
Tengkuknya terasa dingin. Suara tikus busuk yang berlari di atas daun kering
terdengar sebagai langkah sepatu tentara. Ya, siapa tahu tiba-tiba muncul orang-
orang bersenjata; "Angkat tangan!"
Ketika rasa takut masih mencengkeram hatinya, Karman sempat berpikir tentang
Kastagethek. Ketenangannya. Dan keikhlasannya menjalani hidup. Karman iri. Dulu,
dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh partai, orang seperti
Kastagethek sering dipakai sebagai contoh manusia yang tertidas oleh kelas
pengisap. Aku dapat mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami Kasta dan jutaan
orang seperti dia disebabkan oleh sistem kemasyarakatan yang tidak adil. Karena
miskin, mereka jadi lemah dan bodoh. Selanjutnya, kebodohan kembali melahirkan
kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan, kebodohan, serta kelemahan telah membentuk rantai
tertutup sehingga terjadilah lingkaran setan yang tidak bisa lagi dilihat ujung-
pangkalnya. Dan kelas penindas menggunakan agama sebagai candu untuk
meninabobokkan orang-orang tertindas agar terlena dan tidak menuntut hak-hak
sosial mereka. "Aku juga sudah mempelajari teori-teori yang membicarakan bagaimana cara
menghapus kemiskinan di tengah masyarakat. Kuncinya, keadilan harus ditegakkan.
Dan caranya, menurut ajaran partai, masyarakat miskin harus bersatu dan merebut
kendali atas sistem yang mengatur mekanisme kehidupan masyarakat. Dan, kira-73
kira itulah yang telah dilakukan oleh kawan-kawan separtai di Jakarta awal
Oktober lalu. Aku tahu, meskipun untuk mencapai tujuannya partai membenarkan
segala cara, namun usaha itu ternyata gagal. Dan penggunaan cara yang tidak
mempertimbangkan harkat kemanusiaan itu, sebenarnya kesadaranku tak bisa
menerimanya. Andaikan sejak semula aku menyadari bahwa partai bisa melakukan
makar yang begitu berlumuran darah seperti yang terjadi kemarin, sekali-kali aku
tak ingin jadi anggota."
"Ah, aku mengerti kesadaran ini datang terlambat. Masalahnya aku takut
menghadapi regu tembak. Aku. ."
"Alhamdulillah, Pak Karman," tiba-tiba suara Kastagethek menghancurkan lamunan
Karman. Kasta muncul dengan jala penuh ikan. "Tuhan bermurah dengan rezeki-Nya
malam ini. Lihat, paling tidak tiga kilo ikan yang saya dapat. Nah, Pak Karman
tidak mendapat seekor pun ikan moa, bukan" Tak usah takut dimarahi istri.
Bawalah barang beberapa ekor ikan yang saya jala ini, yang besar-besar. Itu
rezeki Pak Karman." Karman terdiam karena bingung. Dan juga terkejut. Untung Kastagethek sedang
sibuk membenahi ikan-ikannya, sehingga ia tidak melihat perubahan pada wajah
Karman. Tetapi Karman hampir gagal menguasai diri ketika Kastagethek berkata,
"Pak Karman, kukira sebentar lagi akan terdengar ayam berkokok. Maaf, sebaiknya
Pak Karman segera pulang. Tentu istri Pak Karman sudah menunggu. Saya sendiri
akan tidur sebentar di sini sampai subuh. Selanjutnya saya akan meneruskan
perjalanan ke Muara. Nah, sarapan Pak Karman besok pagi pasti enak. Pasti istri
Pak Karman pintar membuat pecak ikan kuah santan, bukan?"
Tanpa kesadaran penuh, Karman menerima lima ekor ikan yang direnteng dengan
tali. Mulutnya bergumam. Barangkali Karman bermaksud mengucapkan terima kasih,
tetapi suara yang keluar tidak jelas. Kemudian Karman menjabat tangan tukang
rakit itu, lalu berbalik. Tetapi baru beberapa langkah menjauh Karman kembali.
"Dengar, Kasta. Kamu tahu, aku seorang pegawai kantor Kecamatan. Malulah rasanya
bila sampai ada orang tahu aku mengail ikan sampai hampir pagi seperti ini. Jadi
kuminta kamu rahasiakan perjumpaan kita. Ingat, ini amanat yang kupercayakan
kepadamu!" "Oh, ya. Setiap amanat, bagaimanapun kecilnya harus ditunaikan dengan sempurna.
Begitu perintah Tuhan. Percayalah."
Selagi tubuh Karman masih terkena sinar lampu kecil di atas rakit, sosoknya
masih tampak. Lama-lama lenyap. Kastagethek bernapas lega. "Malam ini aku telah
membagi rezekiku dengan seorang priyayi. Semoga istri Pak Karman dapat
menyenangkan suaminya dengan membuat sarapan pagi yang hebat besok. Oh, memang
tidak pantas seorang seperti Pak Karman mencari ikan sampai dini hari.
74 Dan aku bersyukur telah membuat Pak Karman tidak pulang dengan tangan hampa."
Lepas dari pandangan Kasta, Karman berhenti termangu-mangu. Ia sudah mendengar
ayam jantan berkokok. Karman makin termangu. "Mau ke mana aku sekarang?"
Untuk sekian lama tetap terpaku di tempatnya. Kokok ayam makin ramai. Ketika
menengok ke timur, Karman melihat langit mulai terang. Dan ia merasa ada sesuatu
yang amat mengerikan sedang mengejarnya.
Waktu sudah amat mendesak, maka Karman harus segera memutuskan ke mana ia harus
bersembunyi lagi. Astana Lopajang. Sebuah makam yang dikeramatkan dan terletak di atas sebuah
bukit kecil yang dikelilingi hutan puring. Cungkup nya tidak pernah dibuka orang
kecuali setahun sekali pada bulan Maulud. Pada bulan tersebut, makam dan tanah
di sekelilingnya dibersihkan. Kelambu yang mengelilingi pesarean diganti atau
hanya dicuci. Karman teringat tempat yang sangat baik untuk bersembunyi itu, dan bergegas ke
sana. Kalau ia berjalan cepat, dalam waktu satu jam saja ia akan sampai ke
tujuan. Kunci cungkup selamanya ada pada juru kunci. Oh, Karman tidak akan mencoba
merusak kunci itu. Dengan tenaga tangannya ia dapat membuka dinding bambu bagian
belakang cungkup makam. Menutupnya kembali baik-baik, dan masuk. Yang pertama
dikerjakannya di dalam cungkup itu adalah menyalakan geretan. Seekor tikus lari
ketakutan. Disingkapnya kelambu dan: ini dia! "Kukira aku tidak akan lagi sempat
tidur di suatu tempat dengan kelambu," pikir Karman.
Di samping depan batu nisan sebelah selatan, bekas kemenyan menggumpal sebesar
kelapa. Tetapi di dekat nisan sebelah utara, seekor ular sanca sebesar lengan
sedang bergelung nyenyak. Dengan kakinya Karman mengusir binatang itu yang
kemudian menggeliat pergi. "Jangan jauh-jauh! Besok atau lusa bila aku masih
hidup kau akan kupanggang," ujar Karman dalam hati.
Tidak terpikirkan sebelumnya, ternyata Karman dapat bersembunyi di tempat itu
selama tiga puluh empat hari. Ia hanya keluar di waktu malam untuk mencari
makanan dan air. Kadang-kadang mandi. Di siang hari ia tidur atau memikirkan
cara untuk melarikan diri lebih lanjut. Atau lagi, berperang dengan sekuat
tenaga untuk mengusir kenangan pada istri dan ketiga anaknya. Hal ini yang
dirasakan amat berat olehnya, karena dalam mimpinya Marni selalu hadir,
tersenyum. Lekuk ujung bibirnya masih tetap indah.
Lari ke kota besar adalah rencana yang sudah dipikirkannya dengan sungguh-
sungguh. Beberapa cara untuk sampai ke kota dipelajarinya, dengan tidak
melupakan teori-teori yang telah diterimanya dari Margo almarhum. Sekarang
Karman hanya tinggal menunggu saat yang baik. "Satu atau dua bulan lagi tentulah
keadaan sudah agak mereda. Aku bisa berjalan mengikuti bantaran Kali Sikura, 75
sepanjang malam. Di Muara ada truk-truk yang selalu mengangkut buah kelapa ke
Bandung atau Jakarta. Bila aku mau mencuci ban-ban kendaraan itu, sopir tentu
bisa kumintai tolong. Wah, pelarian menjadi aman bila aku dapat memiliki kartu
bukti diri palsu. Tetapi siapa yang tahu aku akan memperolehnya."
Rencana pelarian Karman terus dikembangkan dengan penuh optimisme. Tetapi
sejarah menuntut lain. Karman tidak pernah bisa melaksanakan rencana
pelariannya. Keadaan hidupnya selama tinggal di cungkup itu amat buruk. Apa yang dimakan,
diminum, semuanya kotor dan mentah.
Mula-mula Karman terserang malaria. Masih untung, malam hari ia dapat menemukan
buah oyong yang kering. Bijinya bisa menggantikan pil kina, bahkan rasanya lebih
pahit. Hilang penyakit yang pertama, datang penyakit lainnya. Karman terkena
sakit perut. Diare. Suatu ketika di siang hari Karman diamuk rasa haus.
Tetapi air yang biasa ditampungnya dengan daun keladi telah habis. Haus, sangat
haus. Maka dikumpulkan sisa kekuatannya, lalu ia keluar merangkak menuruni
bukit. Sampai di tepi Kali Sikura ia minum seperti kambing.
Dan tamat sudah kisah pelariannya, karena seorang gembala kerbau melihat segala
gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang pamong desa datang ke Astana
Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena
keadaannya itulah orang tidak tega menghabisi nyawanya.
Dari dulu desa itu bernama Pegaten, juga pada bulan Agustus 1977 dan entah
sampai kapan lagi. Tadi malam ada hujan walaupun sebentar. Cukuplah untuk
melunturkan debu yang melapisi dedaunan. Tanah berwarna cokelat kembali setelah
beberapa bulan memutih karena tiada kandungan air.
Tini bersama Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Mereka baru menjemput Karman
dari kota. Ayah Tini yang baru pulang dari Pulau B itu sekarang berada di rumah
Bu Mantri, nenek Tini. "Pantas ada gadis manis di Pegaten ini," kata Jabir memulai urakannya. "Ternyata
ayahmu gagah juga." Tini tersenyum ketika mendengar pujian Jabir. Namun ia tetap menunduk.
Jalannya diperlambat. "Nah, kamu sekarang tahu ayahku seorang bekas tahanan. Kamu tidak malu
menghadapi kenyataan ini?"
"Kok kamu bertanya seperti itu" Malah aku senang dan harus berterima kasih
kepada ayahmu. Tetapi tadi mulutku sulit dibuka."
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berterima kasih?"
"Iya, bukankah karena ayahmu itu maka lahir si manis yang bernama Tini?"
"Ah, kamu terlalu. Eh, tetapi benar juga, ya" Bila tak ada Ayah, aku juga tidak
akan pernah ada." 76 "Yang kedua; aku merasa malu kepada ayahmu karena sebuah cerita lama.
Dengar, kamu tidak melupakan nama calon ibu mertua kamu?"
Yang ditanya diam sebentar, malu dan gondok. Calon mertua"
"Nggak pakai sebutan calon mertua; pokoknya saya tahu nama ibu kamu.
Syarifah." "Betul. Lain kamu juga tahu dulu ibuku hampir jadi istri ayahmu?"
Tini tertawa lirih. Jabir gemas, karena tawa itu membuat Tini tambah manis saja.
"Kira-kira aku tahu juga. Mengapa?"
"Keterlaluan kalau kamu tidak mengerti ada hal yang lucu. Bukankah kita mau
kawin" Kalau kelak ibuku bertemu dengan ayahmu, apa mereka tidak akan salah
tingkah?" Kedua anak muda itu tertawa.
"Ah, mereka sudah tua. Kita menganjurkan agar ibumu dan ayahku sama-sama merasa
malu kepada kita." "Kalau mereka tidak malu kepada kita, kita akan berpura-pura malu kepada
mereka," sambung Jabir.
Tini menghentikan pembicaraan itu. Perubahan wajahnya membuktikan ada sesuatu
yang mengganjal pikirannya. Ia berjalan sambil menggigit sapu tangan.
Ketika Jabir bertanya mengapa, Tini terisak. Jabir jadi kikuk.
"Ibuku," kata Tini akhirnya. "Kamu dapat membayangkan perasaan ibuku sekarang.
Ibu sering berkata kepadaku bahwa sesungguhnya ia belum pernah bercerai dengan
Ayah dalam arti yang lumrah. Orangtuaku bercerai karena keadaan yang memaksa.
Ibu juga mengaku dengan jujur, sesungguhnya ia tidak bisa melupakan Ayah.
Tetapi, oh Ibu, ketika Ayah pulang sekarang ini, Ibu telah bersuami. Bahkan
sudah beranak dua orang."
Jabir membisu dan membiarkan Tini melangkah sambil menghapus air matanya.
Mereka mencoba kekuatan akal masing-masing untuk memahami masalah yang rumit
itu. Jabir menggeleng-gelengkan kepala.
"Tini, aku bisa mengira-ngira bagaimana perasaan ibumu. Tetapi kita tidak bisa
berbuat apa-apa. Siapa pun tak bisa berbuat apa-apa. Jadi biarlah apa yang telah
terjadi." "Tak salah kamu berkata demikian. Tetapi lain halnya denganku. Apa ada anak yang
tidak menginginkan kedua orangtuanya bersatu dalam sebuah rumah tangga yang
rukun dan utuh" Mana mungkin aku tega melihat Ibu berperang dengan perasaan
sendiri ketika ia meladeni suami baru sementara ia masih selalu teringat kepada
suami pertama, ayahku. Ketika Ayah tidak tampak di mata, masalahnya mungkin
lain. Tetapi sekarang?"
"Apakah ayahmu juga masih ingin kembali kepada ibumu?"
77 "Tadi, Ayah tidak terang-terangan berkata demikian. Tidak akan pernah. Namun
dapat kita duga apa yang paling diinginkan oleh seorang yang pulang dari
pengasingan selama dua belas tahun. Atau, tak tahulah. Boleh jadi Ayah telah
dapat menguasai perasaannya, dengan demikian ia tabah."
"Bukan main, kalau begitu. Namun, Tini, paling tidak aku berani minta kepadamu;
janganlah memaksakan keinginanmu agar ayah dan ibumu bersatu kembali."
"Yah, aku sendiri bisa mengerti masalahnya sudah sulit. Aneh pula, aku merasa
kasihan kepada kedua adik tiriku. Mereka manis-manis, mereka anak-anak ibuku
juga. Jadi sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk mendesak Ibu bercerai
dengan suami yang sekarang. Rumit?"
"Ya, rumit. Sebaiknya kita jadi penonton saja."
"Hanya menonton?" tanya Tini bersungguh-sungguh.
"Habis mau apa lagi?"
"Maksudku, paling tidak kita harus mengambil pelajaran dari kisah kedua
orangtuaku ini. Supaya hal yang sama tidak terjadi pada kita. Kau setuju?"
"Hm, seperti seorang ibu yang arif kau ini, tapi. ." Jabir merasa sulit
meneruskan kata-katanya. "Tapi apa?" desak Tini.
"Kalau aku yang mengalami nasib seperti ayahmu?"
"Oh, aku tahu. Seandainya kamu harus pergi selama dua belas tahun atau seratus
tahun, aku. . Atau sebaliknya tak usah berkhayal yang bukan-bukan. Aku takut."
Dalam hati Jabir tersenyum. Ketika mengucapkan aku takut, Tini menggoyangkan
kedua pundaknya. Gerakan yang biasa saja seandainya Jabir tidak sedang dirayapi
rasa cinta. Ternyata gerak sederhana yang dilakukan Tini telah membuat ombak
besar dalam jantung Jabir.
Mereka sampai ke depan rumah Tini. Atau persisnya rumah Parta, tempat Tini ikut
tinggal bersama ibunya. Gadis itu menghambur meninggalkan Jabir di belakang.
Sampai di dalam Tini terus memeluk dan mencium ibunya. Kata-katanya berhambur
seperti buah duku tumpah dari keranjang.
"Ibu. Benar Ayah telah pulang! Sekarang Ayah ada di rumah Nenek. Wah, Bu.
Orangnya tegap dan gagah meski agak kurus. Ada kumis, ada jenggot, ada cambang.
Pokoknya banyak bulunya. Pokoknya aku senang, ternyata aku mempunyai seorang
ayah yang gagah. Dan tidak setua seperti yang kuduga semula. Eh, Bu, kapan Ibu
bisa menemui Ayah?" Marni tegak terpaku. Pandangannya menerawang dan kosong. Ia tetap diam meskipun
Tini menggoyang-goyangkan tangannya. Kemudian Tini sadar, ia tak boleh terus
mendesak ibunya yang sedang bimbang. Apalagi kemudian ia melihat ada genangan di
mata ibunya. 78 "Tini, aku pasti menengok ayahmu. Besok atau lusa, sekarang aku belum bisa."
"Wah, besok atau lusa, Bu" Tidak pantas. Semua orang sudah kelihatan datang ke
rumah Nenek. Bahkan Haji Bakir suami-istri sudah di sana. Ibu sebaiknya ke sana
sekarang." Marni termangu lagi. "Kalau begitu, kau bisa tinggal di rumah menjaga adik-adik?"
"Wah, aku harus ikut, Bu. Di sana banyak orang dan tak ada yang mengurus
minuman. Masa Nenek yang setua itu seorang diri harus mengurus para tamu?"
"Tetapi kamu kan sedang punya tamu?"
"Oh, tak mengapa, Bu," kata Jabir dari ruang tamu. "Saya hanya mengantar Tini.
Sekarang saya siap pulang."
Marni masih ragu-ragu juga, sehingga Tini merasa perlu meyakinkannya.
"Ayolah, Bu, anak-anak kita bawa."
Akhirnya Marni bergerak masuk ke kamarnya. Di sana Parta terbaring lemah karena
bengeknya kambuh. Kata orang, pengidap sakit bengek seperti Parta pantang
mengalami tekanan perasaan. Memang tak ada orang yang sengaja menekan perasaan
laki-laki itu, tidak juga Karman. Bahwa kedatangan Karman di Pegaten membuat
Parta gelisah dan sangat tertekan adalah perkara lain.
Ketika Marni minta izin hendak menengok bekas suaminya, Parta diam. Melihat pun
tidak. Namun ketika ia mendengar Marni terisak, Parta menoleh. Kemudian dengan
aba-aba anggukan yang lemah, Parta mengabulkan permintaan Marni.
Masih dengan mata basah, Marni berganti pakaian. Kerudungnya biru muda.
Tetapi kalung dan giwang dilepasnya. Sekali lagi ia minta diri kepada suaminya,
lalu berangkat bersama Tini dan kedua anaknya. Mereka tidak tahu bahwa beberapa
saat kemudian Parta turun dari tempat tidur. Pelan-pelan ia juga berganti
pakaian dan menyusul istrinya. Sepanjang jalan ia bersusah payah menata
napasnya. Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangga
yang sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-
orang Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersaudara, dan yang
penting: gampang melupakan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat
dikhawatirkan oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang mungkin
diterimanya begitu ia muncul kembali di Pegaten. Haji Bakir datang berdua dengan
istrinya meski-pun ia harus dibantu dengan tongkat yang menopang tubuhnya yang
sudah bungkuk. Apabila Karman menyambut tamu-tamu yang lain secara wajar, tidak
demikian halnya ketika ia menerima kedatangan haji yang sudah sangat tua itu.
Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya,
lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk 79
orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang
merasa tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya.
Marni yang muncul bersama Tini dan kedua adik tirinya sudah sampai ke halaman
rumah Bu Mantri. Ia berjalan menunduk. Marni segera menjadi pusat perhatian.
Semua orang yang berada di sana diam. Hening. Dan suasana tiba-tiba berubah
mencekam. Seolah-olah mereka menunggu sesuatu yang luar biasa akan terjadi.
Di pintu Marni mengucapkan salam. Pelan sekali. Kemudian matanya berkeliling
mencari laki-laki yang baru pulang dari pengasingan di Pulau B itu. Karman
bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang saja, tetapi nyata sekali tangannya
bergetar. Perempuan yang selama dua belas tahun dirindukan sekarang berada di hadapannya.
Yang selama itu pula menjadi angan-angannya. Yang tanpa dia Karman hampir
bertekad memusnahkan dirinya sendiri. Di mata Karman Marni tetap cantik, atau
bahkan lebih cantik karena kini sudah matang.
Apa yang sedang menyapu perasan Karman demikian pula yang dirasakan oleh Marni.
Dan apabila Karman berhasil menguasai perasannya, Marni tidak.
Bagaimana juga ia seorang perempuan. Ada sesuatu yang terasa mendidih dan meluap
dalam dada Marni. Tubuhnya bergoyang. Lalu ia bergerak ke arah Karman.
Mulutnya terbuka. Tetapi ada kekuatan yang mencegahnya bergerak lebih lanjut.
Dari mulut Marni terdengar suara tertahan, "Mas. . Mmmmas Karman!"
Hanya itu. Karena kemudian Marni tidak lagi bergerak. Ia berhenti dalam keadaan
yang ganjil. Tangannya seakan-akan hendak menggapai ke depan, tetapi tubuhnya
condong ke belakang. Beberapa detik Marni tetap demikian. Lama-lama tubuhnya
goyang. Karman cepat menangkap tubuh Marni sebelum perempuan itu roboh ke tanah.
Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena yang kemudian terjadi
memang sulit dilukiskan dengan bahasa. Perempuan-perempuan yang menahan isak.
Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana yang mendadak bisu tetapi
penuh haru-biru. Tubuh Marni diangkat ke atas balai-balai. Banyak perempuan yang tak tahan
melihat adegan itu, lain menangis dan menyingkir ke belakang, lebih-lebih Tini.
Gadis itu menelungkupi tubuh ibunya sambil menjerit-jerit. Tangis kedua adik
tirinya menambah suasana di rumah Bu Mantri itu makin membingungkan. Seorang
perempuan melonggarkan pakaian yang dikenakan Marni, dan ia mengalami kesulitan
ketika berusaha melepas setagen.
Yang pingsan belum siuman ketika Parta tiba di tempat itu. Dari jarak beberapa
langkah orang sudah mendengar suara napasnya. Kedua bahunya turun-naik dengan
berat. Sebelum masuk ia berhenti, bertelekan pada daun pintu. Siapa pun tidak
dipedulikannya. Parta sedang berusaha agar tidak kehabisan udara. Wajahnya sudah
merona biru. Tetapi ketika mendengar ribut-ribut di dalam, Parta masuk.
80 Tergagap-gagap manakala ia tahu siapa yang tergeletak tak sadarkan diri.
Suaranya terputus-putus antara tarikan napasnya.
"Oh. . kenapa istriku" Diapakan dia" Kenapa. .?"
"Bersabarlah Parta, sabar," sela Haji Bakir. "Istrimu pingsan. Nanti ia segera
siuman." Tetapi orang tua itu tidak berhasil menahan Parta yang terus berkata-kata
seperti orang kesurupan. "Marni itu istriku. Bagaimana juga ia istriku. Sah! Kami menik. . ah di hadap. .
an penghu. . lu." "Yah, Marni adalah istrimu tentu saja," kata Karman. "Tetapi bersabarlah sampai
dia siuman kembali."
"Tetapi diapakan dia" Diapakan" Marni. . Mmmmmari pulang! Ini buk. . an rumahmu.
Mmmmmari pulang!" Seorang laki-laki bangkit dan memaksa Parta duduk di sebuah kursi.
Sesungguhnya laki-laki itu tidak perlu bertindak sekasar itu. Parta sudah lemas
kehabisan tenaga. Ia terkulai, hanya bola matanya yang bergulir-gulir melihat
kesibukan yang sedang terjadi.
Melihat Marni tidak juga siuman, Karman mengambil sebaskom air hangat.
Kaki Marni direndamnya. Kemudian perlahan-lahan mata Marni terbuka.
Berangsur-angsur napasnya normal kembali.
"Astaghfirullah," desis Marni. Orang-orang yang merubungnya menarik napas lega.
"Syukurlah, Marni sudah siuman," ujar seorang perempuan.
Sambil duduk kembali, Marni membenahi pakaiannya. Meskipun air matanya menetes
kembali, tetapi ia kelihatan lebih tenang. Dipandangnya Karman yang masih
berdiri di ujung dipan. Keduanya saling tatap dengan mata, dengan hati masing-
masing. Pada saat seperti itu baik Karman maupun Marni, tak mungkin berbohong
dan memungkiri perasan masing-masing. Namun keduanya hanya bisa menekan perasaan
yang tiba-tiba menusuk dada. Dan menelan ludah.
Melalui tatapan dan air matanya, sejuta pesan hendak disampaikan Marni kepada
Karman. "Oh, kau laki-laki yang pernah mengisi kesejukan di waktu mudaku. Dulu
ketika aku menyerahkan diri-ku padamu, kamu telah membayarnya dengan kehangatan
hidup yang membuatku merasa sangat beruntung. Kauikatkan diriku kepadamu dengan
tiga orang anak, dengan tawa riang, dengan kedamaian. Oh, Karman, aku tahu kau
tak pernah menginginkan perpisahan. Aku pun tidak, tetapi kita telah berpisah
sekarang. Bahkan aku tidak bisa menyambut kepulanganmu kecuali dengan keadaanku
yang memalukan, yang hanya menambah kegetiran hatimu. Maafkan aku, Karman,
seperti dulu kau selalu berlaku demikian kepadaku.
Maafkan aku." 81 Sekali lagi Marni menatap bekas suaminya. Meskipun jantung Karman terpacu,
tetapi ia dapat menangkap ucapan Marni.
"Kau baik-baik saja, Paknya Tini?"
"Hm" Yah seperti yang kaulihat, aku sehat. Oh ya, kau keliliatan awut-awutan.
Pergilah sebentar ke sumur, bersihkan dirimu."
Karman terkejut sendiri. Mengapa ia bisa memberi perintah kepada Marni yang
bukan lagi istrinya. Ia lupa dirinya sudah tidak berhak mengatur perempuan itu.
Tetapi Karman tidak meralat tindakannya, malah mengikuti Marni dengan tatapan
matanya. Kepanikan sudah mereda. Marni sudah bercakap-cakap dengan Bu Mantri di ruang
tengah. Ia menoleh kepada bekas suaminya yang datang mendekat.
"Marni, kulihat suamimu sakit. Tidak baik ia terus berada di tempat yang banyak
orang seperti ini. Kukira lebih baik bila ia kauantarkan pulang dulu. Kapan-kapan aku akan datang ke rumahmu."
*** Sudah tiga bulan desa Pegaten menerima kembali seorang warganya yang selama dua
belas tahun tinggal di pengasingan. Pegaten yang lugu, Pegaten yang tidak
mengenal rasa kesumat. Dia membuka pintu yang lapang bagi Karman untuk menata
kembali martabat dirinya di tengah pergaulan sesama warga desa. Dalam upaya ini
Karman hampir tak mendapat kesulitan. Apalagi Haji Bakir, orang yang terpandang
di Pegaten, tidak berubah sikap.
Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan tiap gerak kehidupan di
Pegaten. Ia tampak pada tiap kenduri yang diadakan orang, ia ikut kerja bakti
membersihkan saluran irigasi yang sudah dibangun di desa itu. Dan Karman merasa
bangga sekali ketika ia diberi kesempatan memperbaiki sumur masjid Haji Bakir.
Ada sebuah berita yang makin lama makin makin santer diterima Karman. Tini,
anaknya yang dulu baru berusia lima tahun ketika ditinggal ke tanah pengasingan,
akan dilamar oleh Jabir. Bukan karena Jabir adalah cucu Haji Bakir yang membuat
Karman termenung-menung. Tetapi karena Jabir adalah anak Syarifah dengan
almarhum Abdul Rahman. Sesungguhnya Karman ingin memperoleh penjelasan.
Setidak-tidaknya ia dapat menanyakan hal itu kepada bekas istrinya. Namun ia
malu. Di Pegaten, pihak calon pengantin perempuan hanya layak menunggu berita
dari pihak laki-laki. Ketika orang-orang Pegaten selesai panen, kepastian yang ditunggu-tunggu Karman
datang juga. Suatu malam Marni datang ke rumah Bu Mantri bersama Tini dan kedua
adiknya. Agak terkejut juga Karman menerima kedatangan mereka.
Namun Marni segera menerangkan.
82 "Tadi siang Haji Bakir menyuruh seseorang ke rumahku. Malam ini kami dimintanya
berkumpul di rumah Bu Mantri ini. Sebentar lagi beliau menyusul kemari. Paknya
Tini, kamu mau menata kursi-kursi?"
"Soal menata kursi adalah pekerjaan gampang. Masalahnya. ."
Karman tidak meneruskan kata-katanya. Naluri menyuruhnya melihat anak gadisnya
yang sudah menginjak usia delapan belas tahun. Tini menunduk, di punggung ibunya
ia menangis. Mengertilah Karman sekarang. Mendadak ia merasa umurnya maju
puluhan tahun ke depan. Marni memandang bekas suaminya yang sedang terpana.
Perempuan itu merasa ada kekuatan batin yang mendekatkan dirinya dengan Karman.
Walaupun ia berusaha keras, tak urung air matanya menetes juga.
"Ya, ya. Baiklah, kita tunggu kedatangan mereka. Tini yang harus pergi ke dapur.
Oh ya, harus tersedia kopi yang enak untuk Haji Bakir. Kalau tak salah, beliau
gemar kopi pahit. Di sini belum tersedia apa pun."
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku telah membawa segala keperluan." kata Marni.
"Juga sirih dan pinang?" tanya Bu Mantri kepada bekas menantunya.
"Ya, Bu." Kesibukan kecil terjadi di rumah itu. Karman masuk ke kamar. Ia merasa perlu
bertukar pakaian yang agak pantas. Mana" "Untung istri Gono memberiku baju dan
kain sarung, meskipun bekas, tetapi lumayan."
Marni membersihkan meja. Karman menata kursi-kursi. Dan yang paling bingung
adalah Tini. Memang ia sudah berdiri di dapur, namun ia ragu-ragu.
Akhirnya ia mengambil seikat daun kelapa kering untuk menyalakan tungku.
Tangannya yang gemetaran menumpahkan minyak tanah.
Seandainya Haji Bakir masih setia dengan terompah kayunya, kehadirannya dapat
segera dikenali. Tetapi sudah lama terompah ber- bungkul kuningan yang dibubut
halus itu tergeletak di bawah lumbung padi. Sepasang sandal jepit yang terbuat
dari karet menggantikannya. Maka langkah-langkah Haji Bakir bersama istrinya tak
dapat didengar sebelum ia mengucapkan,
"Assalamualaikum."
Seisi rumah menghentikan pekerjaan masing-masing. Karman dan Marni keluar
menjemput tamunya. Bu Mantri masih berdiam diri. Nenek itu sedang mengingat-
ingat bagaimana sikap yang anggun yang harus dilakukannya. "Tak pernah
kulupakan, bagaimana juga aku bekas istri seorang mantri," bisik Bu Mantri
meyakinkan diri sendiri.-
Ternyata Paman Hasyim beserta istrinya menyusul di belakang Haji Bakir.
Rupanya dia juga diundang oleh Haji Bakir. Maka makin sibuklah keadaan di rumah
Bu Mantri. 83 Di dapur, dekat tungku api, Tini duduk diam menggigit bibir. Matanya basah.
Ia mendengar kedatangan para tamu, dan tahu betul maksud kedatangan mereka.
Jadi Tini gemetar. Denyut nadinya cepat. Dan berkeringat. Keringat di pipi,
keringat di ujung hidung. Pokoknya Tini gerah. Se-cangkir kopi telah tumpah.
Sebelumnya, secara tak sadar Tini memegang cuping panci yang panas.
Di ruang depan, Haji Bakir dihadapi olah Karman dan Paman Hasyim. Mereka
berbincang-bincang dari masalah panen yang kurang menguntungkan sampai ke cerita
ketika Haji Bakir masih muda. Dengan gaya berseloroh Hasyim bertanya kepada Haji
Bakir apa syaratnya agar orang dapat mencapai usia setua dia. "Soal umur semata-
mata urusan Tuhan. Usiaku pasti sudah lewat delapan puluh tahun sekarang, karena
ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 1901 aku sudah ingat.
Cicitku sudah empat orang. Boleh jadi Jabir sebentar lagi akan menambah jumlah
cicitku." Percakapan mereka terhenti sojenak ketika Tini keluar membawa makanan dan
minuman. Sesungguhnya ia sudah sering menghadapi Haji Bakir. Tetapi saat itu
Tini menganggap Haji Bakir seorang kaisar yang sedang membawa pesan cucunya,
seorang pangeran. Tini merasa dirinya menjadi sebutir debu di hadapan kakek
Jabir itu. "Jangan-jangan kopi itu berbau sangit karena kuseduh dengan air panas
yang kumasak dengan api daun kelapa. Jangan-jang-an tempe goreng itu terlalu
kering, terlalu keras bagi Haji Bakir. Jangan-jangan. ."
Bila kemudian Haji Bakir mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasa lama, itu
karena ia tidak tahu cara yang lain. Ia hanya tahu begitulah bahasa yang dipakai
orang Pegaten sejak dulu bila hendak melamar seorang gadis. Kalimat-kalimatnya
berbumbu, bersayap di samping, beremper di depan, dan berekor di belakang.
Karman sendiri pasti tidak bisa menirukan gaya bahasa Haji Bakir yang digunakan
malam itu. "Tuan rumah sekalian, serta segenap yang hadir di sini. Adalah kami berdua telah
berjalan terlunta-lunta meninggalkan gubuk kami demi hendak menghadap Tuan-Tuan
sekalian. Di tempat yang penuh hikmah ini, di hadapan Tuan-Tuan sekalian, kami
ingin mengutarakan maksud kandungan kami. Benarlah, kami bukan seorang lurah apa
pula seorang mantri juru periksa. Tetapi bolehlah kami bertanya mengapa pagar
pekarangan di rumah ini dibiarkan rusak-rusak. Atau mengapa dinding lumbung itu
dibiarkan menjadi lapuk dan tidak diganti. Apakah belum ada seorang bujang yang
datang meminta atau menawarkan diri hendak membereskan semua yang tampak kurang
rapi itu" Bilamana belum ada bujang yang datang, bilamana Tuan-Tuan berkenan di
hati, kami ada mempunyai seorang cucu yang buruk rupa, Jabir namanya. Dapatlah
kiranya cucu kami itu Tuan jadikan bujang di rumah ini. Dia sudah menginjak usia
dua puluh dua tahun, Selasa Wage adalah hari kelahirannya. Demikian, kami telah
sampaikan maksud kehadiran kami.
84 Maka sekarang giliran kami yang menanti kata apa yang hendak Tuan jatuhkan
kepada kami." Sepi. Karman kelihatan tegang. Paman Hasyim senyum-senyum. Bu Mantri dalam
posisi duduknya yang anggun kelihatan menghitung dengan cara melipat-lipat
jemarinya. Dicegahnya Karman yang tampak ingin berkata sesuatu. Lalu Bu Mantri
menoleh kepada Paman Hasyim, adiknya. "Wah, baik sekali hasil perhitungannya.
Ketemu pendaringan penuh. Jabir sangat cocok buat Tini."
Semua yang hadir tersenyum melihat tingkah Bu Mantri. Karman menegakkan punggung
dan siap menjawab lamaran yang diucapkan Haji Bakir.
"Terima kasih atas segala hal yang telah disampaikan oleh Pak Haji. Selanjutnya,
karena yang mewakili pihak lelaki adalah kakek Jabir, maka pihak kami akan
diwakili Paman Hasyim. Dia kakek Tini juga."
"Kok saya?" kata Paman Hasyim agak terkejut.
"Memang harus Paman Hasyim. Kalau tidak, siapa?"
"Baiklah. Tetapi saya tidak bisa berbicara dalam bahasa tinggi. Bagaimana kalau
saya bicara seperti biasa?"
"Jangan!" potong Bu Mantri. "Kamu harus mengimbangi tata cara yang sudah
dilakukan oleh Pak Haji."
"Baik, akan saya coba sebisa-bisanya. Bapak dan Ibu Haji, adalah sudah tersedia
pada kami: kayu dan bambu, serta segala alat pertukangannya. Tetapi keadaan di
rumah ini masih kacau-balau, sebab belum ada seorang anak muda yang datang untuk
membereskan segala yang tidak rapi itu. Kami sedang menanti ibarat orang
memasang bubu, ikan apa gerangan yang bakal masuk. Itulah keadaan kami yang
sebenarnya." "Wah, syukurlah," timpal Haji Bakir, "Apabila demikian maka cucuku si Jabir yang
akan datang, bila Tuan-Tuan sudi menerimanya. Suruhlah anak gadis di rumah ini
menyediakan makan dan minumnya. Kami melihat anak gadis itu sudah cukup usia dan
cantik pula." "Sesungguhnya tiada keberatan pada pihak kami. Masalahnya, apakah sudah
diketahui bahwa tidak ada anak gadis di rumah ini kecuali dia yang lahir dari
kedua orangtua yang tidak bermilik tanah barang sejengkal atau padi barang
seikat" Lagi pula, rupanya anak gadis itu belum pandai masak-memasak bahkan
mencuci periuk-belanga?"
Tengah malam perundingan itu berakhir. Semua pihak bangkit dari tempat duduk
dengan rasa lega dan puas. Sebelum meninggalkan rumah Bu Mantri, Ibu Haji Bakir
menyerahkan kain kebaya untuk diberikan kepada Tini sebagai tanda pengikat.
Telah disepakati pula hari dan bulan untuk melaksanakan perkawinan antara Tini
dan Jabir. 85 Setelah semua tamu pergi, Karman tidak segera masuk ke kamar tidur. Ia duduk
seorang diri dengan perasaan yang galau. Karman merasa senang karena anak
gadisnya akan menikah dengan perjaka dari keluarga baik-baik. Tetapi Karman juga
merasa gelisah. Ia teringat masa belasan tahun lalu ketika ia bersama ajaran
partainya menganggap Haji Bakir adalah manusia penindas yang jahat, sekaligus
menjadi musuh kaum progresif-revolusioner. Dan kini ternyata orang tua itu akan
menjadi besannya. Dan lebih dari itu, Karman sungguh tidak lagi bisa melihat
sesuatu pada Haji Bakir yang membuatnya pantas dibenci. Bahkan Karman merasa kecil dan hina ketika
kelak, sesudah perkawinan itu diselenggarakan, Haji Bakir memberi hadiah kepada
Tini. "Tini, untuk bekal hidupmu bersama Jabir, kuberikan kepadamu sawah yang terletak
di sebelah utara Kali Mundu itu. Luasnya satu setengah hektar. Peliharalah baik-
baik pemberianku itu. Barangkali engkau tidak tahu bahwa dahulu sawah itu adalah
milik nenekmu." Mesjid Haji Bakir makin tua seperti usia pemiliknya. Temboknya rapuh dan tampak
retak-retak di sana-sini. Ubin di serambi banyak yang lepas. Langit-langit yang
terbuat dari bilik bambu banyak yang sudah kendur, keropos oleh air yang menetes
dari genting yang pecah. Serta kubah mesjid itu. Bila angin bertiup, akan
terdengar suara derit seng yang saling bergesekan. Rupanya seng yang membentuk
kubah banyak yang lepas dari patrinya, atau aus termakan karat.
Para jamah sepakat hendak memugar mesjid itu. Pikiran demikian makin mendesak
karena jumlah jamaah terus bertambah hanyak.
Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat
bagian menurut kecakapan masing-masing. Karman memberanikan diri meminta
bagiannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan dan
perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah belajar mematri dan
mengelas. Keinginan Karman mendapat sambutan. Hasyim menjual tiga ekor kambing untuk
membeli bahan-bahan pembuat kubah serta biaya sewa alat-alat las dan patri.
Hanya membuat sebuah kubah yang tidak terlalu besar. Berkerangka besi pelat,
berkulitkan seng tebal. Semua orang tahu bagaimana bentuk sebuah kubah. Dengan
upah tak seberapa besar, seorang las di pinggir jalan dapat menyelesaikan
pekerjaan itu. Bilamana upah yang diterimanya lebih banyak, ia akan bekerja
lebih hati-hati, lebih saksama. Jika kubah itu sudah dipasang menjadi mahkota
mesjid, habislah segala urusan. Orang tak akan membicarakannya lagi, tidak juga
tukang las itu. Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang
istimewa. Sesen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi
pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari
pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali
86 bagian yang hilang itu. Bila ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada
orang-orang Pegaten, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang itu. Atau
setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik
seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu!
Maka Karman bekerja dengan sangat hati-hati. Ia menggabungkan kesempurnaan
teknik, keindahan estetika, serta ketekunan. Hasilnya adalah sebuah mahkota
mesjid yang sempurna. Tidak ada kerutan-kerutan. Setiap sambungan terpatri rapi.
Kerangkanya kokoh dengan pengelasan saksama. Leher kubah dihiasi kaligrafi
dengan teralis. Empat ayat terakhir dari Surat Al Fajr terbaca di sana: Hai jiwa
yang tentram, yang telah sampai kepada kebenaran hakiki. Kembalilah engkau
kepada Tuhanmu. Maka masuklah engkau ke dalam barisan hamba-hamba-Ku. Dan
masuklah engkau ke dalam kedamaian abadi, di surga-Ku.
"Luar biasa bagusnya," kata seseorang ketika kubah mesjid hasil kerja Karman
selesai dipasang menjadi puncak bangunan mesjid.
"Beruntung," sambung yang lain, "kita mendapatkan Karman kembali. Kalau tidak,
niscaya kita tidak bisa bersembahyang di dalam mesjid sebagus ini."
Karman mendengar puji-pujian itu. Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak berhak
menerima semua pujian itu. Tetapi wajah orang-orang Pegaten yang berhias senyum,
sikap mereka yang makin ramah, membuat Karman merasa sangat bahagia.
Karman sudah melihat jalan kembali menuju kebersamaan dan kesetaraan dalam
pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa mengucilkan dirinya. Oh, kubah
yang sederhana itu. Dalam kebisuannya, mahkota mesjid itu terasa terus
mengumandangkan janji akan memberikan harga asasi kepada setiap manusia yang
sadar akan kemanusiaannya. Dan Karman merasa tidak terkecuali.
- - the end - - Collected by. Ismahfudi MH
87 Pedang Golok Yang Menggetarkan 12 Wiro Sableng 027 Khianat Seorang Pendekar Bara Naga 7