Pencarian

Badik Buntung 15

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 15


terbuka. Terdengar Hun Thian-hi tiba-tiba bergelak tawa lantang, "Kalau kita berdua
berhantam. disini bukankah menguntungkan Tok-sim-sin-mo malah?"
Diam-diam Tok-sim-sin-mo mengumpat dalam hati, secara tidak langsung ucapan
Thian-hi memutar balik mengadu domba antara dirinya dengan Ham Gwat. dan memang itulah
tujuan Toksim- sin-mo, terpaksa ia menjengek dengan gusar, "Apa kau takut?"
Ham Gwat tahu bahwa maksud Thian-hi mendesak supaya Tok-sim-sin-mo memberi
peluang pada mereka untuk bertempur keluar gua. Ia diam-diam saja, biji matanya berputar
mengawasi To-sim-sin-mo. Bercekat hati Tok-sim-sin-mo, ia menjadi gentar bila Ham Gwat sampai berbalik
memusuhi dirinya, Dalam Jian-hud-tong di mana-mana tempat banyak dipasang berbagai alat rahasia
yang bisa menembus kesegala penjuru, cuma kamar batu tempat tahanan Coh Jian-jo inilah
yang terkecuali, bila disini dipasang pula pintu2 rahasia tentu sejak lama Coh Jian-jo sudah
merat menghilang. "Jikalau kalian kurang lega," demikian kata Tok-sim-sin-mo, "Mari kuantar kalian
keluar, lapangan diluar gua sana cukup besar."
"Sepanjang jalan ini ada terpasang berbagai alat2 dan pintu rahasia, cara
bagaimana kita harus berjaga-jaga dari akal licikmu?" demikian jengek Thian-hi
Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, ujarnya, "Kalian mengharap berhantam diluar gua,
tapi tidak berani keluar, apakah kau punya cara lain yang lebih sempurna?"
"Benar-benar," sahut Thian-hi lantang, "Kau ingin kami bertarung maka kau
sendiri pun perlu mempertaruhkan dirimu sebagai sandera, marilah kau saja yang melindungi kita
beramai sampai di luar gua?" Usul Thian-hi ini cukup pelit, bila dirinya tidak mau menandakan bahwa dirinya
tidak tulus hati, bila sebaliknya menyetujui seakan-akan sengaja hendak mengadu mereka bertempur
mati-matian, apalagi sekarang dirinya di bawah belenggu Thian-hi, siapa tahu peristiwa apa
pula yang bakal terjadi selanjutnya" Akibatnya itulah yang menyulitkan untuk dipikirkan, dengan
terlongong ia menepekur, ia menemui kesulitan untuk menjawab.
'Kau takut apa?" ejek Thian-hi, "Bila aku mau bertindak terhadap kau sejak tadi
aku sudah turun tangan, seumpama sekarang aku bertindak pada kau apa pula yang dapat kau
lakukan?" Ucapan Thian-hi memang bukan bualan, bila Thian-hi sekarang turan tangan. Ham
Gwat pasti tinggal berpeluk tangan menjadi penonton saja. Sesaat ia terbungkam.
Adalah hati Ham Gwat bercekat malah, baru sekarang ia menyadari bahwa kamar batu
ini ternyata tiada terpasang alat2 rahasia, jadi sejak tadi bahwasanya Tok-sim-sin-
mo sudah menjadi bulus yang terkurung di dalam gentong, hampir saja tadi dirinya melepasnya
keluar, Berkilat biji mata Tok-sim-sin-mo, ia semakin merasa situasi semakin buruk dan
tidak menguntungkan bagi dirinya. Ia insaf bila Ham Gwat dan Thian-hi sampai bergabung
mengeroyok dirinya, jelas jiwanya takkan tertolong lagi, lapat-lapat teraba olehnya bahwa
permusuhan antara Ham Gwat dengan Thian-hi tidaklah begitu mendalam seperti yang dia bayangkan
sebelumnya. malah secara tidak langsung kelihatannya ada terjalin perjanjian yang tidak
mengikat diantara mereka berdua. Sekarang dia insaf cara mengadu domba kepada kedua lawannya ini terang tiada
membawa manfaat, akhirnya ia tertawa lebar. katanya kepada Hun Thian-hi, "Begitupun
baiklah. kalian sama adalah keturunan dari aliran kenamaan, Bu-bing Loni selamanya tidak pernah
menjilat ludahnya sendiri. Lam-siau pun merupakan tokoh pendekar yang budiman, untuk sementara ini
baiklah terpaksa aku mempercayai ucapan kalian sekali ini!"
Semula Thian-hi yakin bahwa Tok-sim-sin-mo tidak akan menyetujuj usulnya itu,
diluar dugaan ia telah setuju, mau tak mau hatinya berdegup dan melengak, diam-diam iapun
kagum akan perubahan sikap Tok-sim-sin-mo yang pintar melihat angin memutar haluan dengan
cara memuji guru mereka menjadi seperti dipantek supaya tidak berbuat curang.
Sebaliknya Ham Gwat yang cerdik dan cermat itu dapat menangkap kemana juntrungan
maksud Tok-sim-sin-mo, ia merasa lebih baik ia membekuk Tok-sim-sin-mo walaupun
kehilangan kepercaan, ini lebih penting, segera ia mengerling ke arah Su Giok-lan, dengan
sebuah kedipan ia beri tanda padanya supaya siap menghadapi musuh.
Pelan-pelan Su Giok-lan melolos pedang dari punggungnya, dengan menyoreng pedang
ia berdiri siaga. Tok-sim-sin-mo menjadi tegang, terasa olehnya keadaan yang rada ganjil ini,
segera ia mengajukan pertanyaan kepada Ham Gwat, "Bagaimana pendapatmu terhadap usulnya?"
"Usul kami sama supaya secepatnya membunuh kau. Bila kami biarkan umurmu
berkepanjangan menimbulkan bencara di Kangouw, bukankah dosa2 kami yang patut
diberi hukuman berat!" Baru sekarang Tok-sim-sin-mo mendadak tersadar akan sikap berlainan dan luar
biasa dari Thian-hi dan Ham Gwat, kontan ia bergelak tawa, ia berpaling ke arah Bing-tiong-
mo-tho dan kawan2nya, anak buahnya itu kira-kira cukup kuat untuk menghadapi Hun Thian-hi
dan Ham Gwat berdua, bila memang bukan tandingannya terpaksa menerjang keluar saja meloloskan
diri. Beruntun ia menengadah tertawa kering dua kali, serunya, "Kalian selalu
mengagulkan diri sebagai kaum pendekar yang pegang janji dan kebenar-benaran, kiranya sedemikian
rendah sampai sifat2 keadilan kebijaksanaan pun kalian injak2 menjiiat ludah sendiri,
perbuatan dan kelakuan kalian sungguh hina dan memalukan, bahwasanya kalian sekomplotan kenapa
main tipu dan pura-pura bermusuhan dihadapanku?"
Ia menyeringai dingin, lalu sambungnya pula, "Tahukah kalian" Inilah penipuan!"
Dari samping Hun Thian-hi menyela, "Tidak boleh kehilangan kepercayaan demi
untuk memperkosa kebenar-benaran atau keadilan, sejak jaman dulu kala soal ini sudah
menjadikan ajaran yang tersurat di dalam setiap ejaan buku. Demikianlah keadaan sekarang,
tidak boleh karena kehilangan kepercaan lantas kami melepas kau, apalagi bila sampai kau
mengganas dan menimbulkan banyak malapetaka di Kangouw!"
Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, ia insaf bahwa Ham Gwat dan Hun Thian-hi akan
bergabung menumpas dirinya, sungguh dia sangat menyesal, kenapa tadi ia melepas Coh Jian-
jo dan cucunya, harapan untuk hidup menjadi semakin kecil.
Tiba-tiba biji matanya memancarkan sinar tajam menghijau seperti mata binatang
jalang yang kelaparan, hanya menerjang dengan kekerasan jalan satu-satunya yang harus
ditempuh, asal dapat keluar dari kamar batu ini, diluar sana sekali tangannya bergerak
mengerahkan alat2 rahasianya, dalam sekejap saja ia akan dapat meloloskan diri bersama seluruh
anak buahnya. Sejenak Tok-sim-sin-mo berpikir, tiba-tiba tangannya kanan diulapkan. Serempak
Bing-tiongmo- tho, Biau-biau-cu, Lam-bing-it-hiong dan lain-lain menggerakkan senjata masing-
masing menyerbu ke arah Ham Gwat.
Ham Gwat tahu Tok-sim-sin-mo sudah kepepet orang pasti menerjang keluar dengan
kekerasan, sedang tenaga dalam sendiri belum pulih seluruhnya, sembari melolos
keluar pedangnya kakinya menyurut selangkah. ia berdiri jajar bersama Su Giok-lan, dua
jalur sinar pedangnya memetakkan segundukan cahaya gemerdek yang rapat tak tertembuskan
membendung terjangan para musuhnya.
Hwesio jenaka segera menyingkir kesamping, sambil menggendong tangan ia menonton
saja sambil berseri tawa. Hun Thian-hi juga tahu Tok-sim-sin-mo pasti akan menjadi nekad dan berontak, Ham
Gwat berdua pasti akan menghadapi banyak kesulitan dikeroyok para musuhnya, sejak
tadi ia sudah bersiap, begitu Lam-bing-it-hiong melolos pedang, bersamaan waktunya seruling
jadenya segera menutuk dan mengetuk kepunggung Lam-bing-it-hiong dan lain-lain.
Sementara itu Tok-sim-sin-mo sudah memperhitungkan, bahwa Hun Thian-hi pasti
tidak tinggal diam, begitu melihat Thian-hi bergerak iapun cepat bertindak, langsung ia
menyergap ke arah Coh Jian-jo berdua. Thian-hi tahu bahwa Coh Jian-jo berdua berada dalam lindungan Pek-tok Lojin ia
percaya dengan kepandaian Pek-tok Lojin akan mampu mengatasi Tok sim-sin-mo maka ia
diam-diam saja tanpa menghiraukan lawan, sebaliknya serulingnya dimainkan secepat kilat
menyerang Bing-tiongho- tho dan lain-lain dari belakang.
Adalah diluar perhitungannya bahwa Tok-sim-sin-mo sendiri juga punya pengangan
yang cukup mantep, kalau tidak sekali2 ia tidak akan mengambil banyak resiko menempuh
bahaya besar melaksanakan niatnya. Begitu ia menerjang ke arah Coh Jian-jo, Pek-tok Lojin lantas menyeringai
dingin, pikirnya aku belum lagi mencari kau malah kau sudah meluruk datang sendiri, sungguh kebetulan
malah. Gesit sekali ia bergerak melancarkan ilmu pukulannya yang beracun dikombinasikan
dengan langkah kakinya yang aneh gentayangan, tahu-tahu telapak tangannya sudah
menyelonong tiba di depan dada musuh, sekali tepuk pasti dapat menamatkan jiwa musuh besarnya ini.
Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo tertawa dingin, di saat telapak tangan Pek-tok Lojin
hampir saja mengenai sasarannya sekonyong-konyong selarik sinar putih kemilau melesat datang
langsung menusuk ke tenggorokan Pek-tok Lojin.
Keruan bukan kepalang kaget Pek-tok Lojin, bila telapak tangannya diteruskan
menepuk ke dada musuh, Tok-sim-sin-mo jelas bakal mampus, tapi dirinya sendiri juga pasti
menjadi korban tusukan pedang lawan, sudah tentu ia tidak mengira bahwa Tok-sim-sin-mo masih
punya simpanan sebilah pedang tajam, secara reflek cepat luar biasa ia mencelat
mundur, batal menyerang sekaligus menyelamatkan diri.
Begitu ia mundur cukup setindak saja Tok-sim-sin-mo sudah melintangkan pedang
pendeknya dileher Coh Jian-jo, sembari tertawa besar ia berseru, "Semua berhenti!"
Waktu ia berpaling pergolakan angin samberan senjata mereka yang bertempurpun
sudah mereda, tapi kesudahan pertempuran itu sungguh sangat mengejutkan hatinya.
Tampak Lambing- it-hiong dan lain-lain sudah kena tertutuk oleh seruling Hun Thian-hi, mereka
berdiri kaku mematung. Sedetik dalam waktu yang bersamaan dari hasil seruling Thian-hi menutuk para
musuhnya mendadak ia mendengar seruan Tok-sim-sin-mo waktu ia membalik tubuh, iapun
dibikin kaget, diam-diam ia gegetun kenapa tadi terlalu mengentengkan penilaiannya pada lawan,
sekarang menyesal pun sudah kasep, Coh Jian-jo terjatuh pula ke tangan Tok-sim-sin-mo.
Coh Jian-jo memejamkan mata tak bergerak atau bersuara. Pedang pendek Tok-sim-
sin-mo mengancam tenggorokannya, nalurinya merasa bahwa pedang Pek-bong-kiam bikinannya
yang paling dibanggakan sekarang ternyata dibuat mengancam jiwa penciptanya sendiri,
betapa pedih hatinya sungguh seperti diiris-iris pisau.
"Bagus!" seru Thian-hi terlongong, "Sungguh aku kagum akan kecerdikanmu, baiklah
hari ini kami mengampuni jiwamu sekali ini!"
"Ya, Coh Jian-jo berada ditanganku, apa yang kuperintah pada kalian harus segera
dilaksanakan, kalau tidak bagaimana akibatnya kukira kalian cukup paham!"
"Benar-benarkah ucapanmu itu" Meski Coh Jian-jo berada di tanganmu, tapi apa
yang berani kau lakukan terhadapnya?"
"Bebaskan tutukan jalan darah anak buahku!" seru Tok-sim-sin-mo, nadanya
meninggi dan dingin. Perang batin sedang bergejolak dalam benak Hun Thjan-hi, ia berdiri tegak
mengawasi Toksim- sin-mo kelihatannya tekanan Tok-sim-sum-mo bisa berhasil dengan gemilang, bila
aku tidak menuruti perintahnya mungkin jiwa Coh Jian-jo bisa terancam atau piaing ringan
mendapat siksaan yang cukup membuatnya menderita, apakah yang harus dilakukan"
Mengorbankan Coh Jian-jo atau menuruti perintah Tok-sim-sin-mo yang berarti bertekuk lutut
padanya"

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, bentaknya. "Bagaimana kau tidak patuh?"
Dalam hati Thian-hi masih rada bimbang, serunya mendengus, "Apa yang berani kau
lakukan pada Cih Jian-jo silakan kau laksanakan. Tapi sekali kau salah bertindak awaslah
kau, seumpama harus mengorbankan dia seorang kita tidak akan memberi ampun kepada kau.... Kau
harus tahu semakin keji dan telengas cara turun tanganmu mungkin kau sendiri nanti pun
tidak akan tahan menerima pembalasannya!"
Tok-sim-sin-mo mengertak gigi, baru saja ia siap bertindaj mendadak terkilas
dalam pikirannya bahwa betapapun seluruh jerih payahnya ini akhirnya bakal sia-sia, Hun Thian-hi
cukup hebat, betapa pun ia tidak mau mengalah sehingga ia mati kutu, Memang ia tidak akan
berani bertindak apa-apa kepada Coh Jian-jo, akhirnya ia mengalah dengan penuh kekecewaan,
serunya, "Baiklah, kalian minggir. mari kuantar keluar sampai dipintu Jian-hud-tong, nanti
kuserahkan dia kepada kalian!" - Besar harapannya sepanjang menuju keluar gua sana, banyak kesempatan
dapat digunakan untuk mengubah keadaannya yang terdesak ini menjadi orang yang dipihak
unggul. Thian-hi tahu bahwa perjalanan ini teramat berbahaya, namun kecuali cara ini
tiada penyelesaian yang lebih baik. Betapapun Tok-sim-sin-mo tidak akan sudi mengalah
pula. Tapi jika ia menyetujui prakasa ini. lalu cara bagaimana ia harus bersikap dan berjaga-
jaga dari segala kemungkinan" Dasar Tok-sim-sin-mo memang seorang licik dan licin yang sulit
dihadapi, apalagi Coh Jian-jo berada ditangannya lagi, maka dia akan lebih pongah dan takabur,
untuk menghindari segala tipu muslihatnya sungguh sulit sekali.
Terpaksa akhirnya ia manggut-manggut, "Baik! Tapi jangan kau main curang, kalau
tidak kau tidak akan bakal lolos dalam lima tindak cukup lima langkah aku dapat
membereskan jiwamu dengan seluruh tubuhmu hancur lebur!"
Tok-sim-sin-mo menyeringai leoar, hatinya melonjak kegirangan, ia pernah melihat
kepandaian silat Hun Thian-hi, naga-naganya memang rada lebih unggul dari kemampuannya,
tapi alat2 rahasia dalam Jian-hud-tong ini teramat banyak dan sulit diraba, betapa pun
tinggi ilmu silatnya, juga sulit mengembangkan dengan sempurna. Lima langkah" Hanya tiga langkah saja
dirinya dapat menghilang, kenapa harus lima langkah"
Sampai berpikir2 dalam hati diam-diam ia tertawa geli, sungguh senang dan
bersorak hatinya, tak perlu disangsikan bahwa kali ini ia bakal gagal lagi, menang atau kalah
merupakan babak yang menentukan, maka jangan sekali2 menyia-nyiakan kesempatan ini, Begitulah sembari
tertawa dingin Tok-sim-sin-mo beranjak keluar sambil menyeret Coh Jian-jo. Rona wajah
Coh Jian-jo yang sedih dan lesu mendadak lenyap sama sekali, biji matanya memancarkan cahaya
berkilat yang terang, terunjuk keteguhan hati pada air mukanya, ia mandah saja diseret oleh
Tok-sim-sin-mo keluar dari kamar batu itu.
Sebelum berangkat Hun Thian-hi melirik ke arah Bing-tiong mo-tho dan lain-lain,
sesaat ia kehilangan akal, mereka sama adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, kalau dilepas
bakal menambah beban kalau tidak dilepas tak bisa digusur keluar, sesaat ia menjadi
kebingungan. Kebetulan Pek-tok Lojin maju mendekat, berturut-turut ia amat-amati orang-orang
itu lalu satu persatu membuka tutukan jalan darah mereka. Semula Hun Thian-hi rada
terperanjat, tapi karena Pek-tok Lojin yang melakukan ia tahu pasti perbuatannya punya alasannya sendiri.
Setelah dapat bebas Lam-bing-it-hiong dan lain-lain tanpa kuasa sama bergidik
dan gemetar. hati semua orang sama mendelu. mereka tahu bahwa Pek-tok Lojin sudah menaruh
racun pada tubuh mereka, entah kapan racun itu bakal kumat dan tibalah ajal mereka.
Pek-tok Lojin merupakan tokoh tertinggi dan terlihay dari Pek-tok-bun. cara
buatan dan permainannya dalam menggunakan racun punya kepandaian khusus yang amat lihay,
bagi korban yang kena racunnya sulit dapat diobati sendiri.
Sudah tentu Tak-sim-sin-mo samgat gusar, namun ia dapat berpikir panjang, nanti
bila dapat membekuk Hun Tnian-hi dan lain-lain, pertama-tama ia harus menekan Pek-tok Lojin
untuk menyerahkan obat pemunahnya.
Setelah mengerjain para korbannya Pek-tok Lojin lantas berkata, "Sekarang kalian
sudah terkena racunku, dimana kusimpan obat pemunahnya tiada seorang pun yang tahu." -
Habis berkata ia tertawa dingin.
Kejadian ini merupakan suatu tekanan pula bagi sepak terjang Tok-sim-sin-mo
selanjutnya, soalnya orang-orang ini masih sangat diperlukan tenaganya untuk menghadapi Ang-
hwat-lo-mo kelak, tapi urusan sudah lanjut maka ia harus dapat bertindak secara tepat dan
tegas. Begitulah segera ia berseru, "Marilah kita berangkat!"
Sambil menenteng serulingnya Hun Thian-hi memburu dibelakangnya, Su Giok-lan
menggandeng Coh Siau-ceng berada dibelakangnya, sedang Lam-bing-it-hiong dan
lain-lain berada ditengah, sedang Ham Gwat berada dipaling belakang.
Begitu berada diluar kamar. Coh Jian-jo lantas bersuara, "Hun-sauhiap hati-
hatilah, di depan sebelah kiri ada sabuah pintu rahasia, malah ada jebakannya pula!"
Mendengar peringatan ini lekas-lekas Hun Thian-hi melangkah dua tindak lebih
dekat, sudah tentu Tok-sim-sin-mo gusar bukan main, tapi apa yang dapat ia perbuat pada Coh
Jian-jo. Tibatiba ia menghentikan langkahnya. dan menyeringai kepada Coh Jian-jo. Sungguh diluar
dugaannya bahwa Coh Jian-jo dapat menunjuk tempat-tempat rahasia itu sedemikian'hapal
dengan cara yang sepele lagi kalau keadaan ini berlangsung lebih lanjut, mana dirinya dapat
menjebak dan meringkus Hun Thian-hi dan lain-lain. Kecuali menggunakan akal licik lainnya,
begitulah otaknya berputar memikirkan cara yang lebih bagus dan lebih licik.
Dari belakang Hun Thian-hi mengejek, "Jangan kau mengatur tipu dayamu yang lain,
aku berani bertaruh kau tidak akan mendapat keuntungan apa-apa, mungkin malah
mempercepat keruntuhan cita-citamu yang gila2an itu!"
Sebagai seorang ahli bangunan dengan kepandaian tehniknya yang luar biasa,
adalah mustahil kalau mau mengelabui Coh Jian-jo akan segala peralatan rahasia di dalam Jian-
hud-tiong ini, tapi justru Tok-sim-sin-mo harus mencari akal cara bagaimana ia harus menghilangkan
duri yang merupakan ancaman langsung bagi tindakan dirinya selanjutnya. Sedikit berpikir
akhirnya ia seret pula Coh Jian-jo melanjutkan ke depan.
Sepanjang jalan ini sering Coh Jian-jo memberi peringatan dimana ada dipasang
alat2 rahasia, tapi kelihatannya Tok-sim-sin-mo sudah tidak terpengaruh akan hal-hal ini, ia
terus gusur Coh Jian-jo dengan pelan-pelan.
Lambat laun tekanan batin Hun Thian-hi semakin kendor, dengan adanya Coh Jian-jo
disitu menjadi banyak lega dan tidak perlu kuatir lagi akan segala lintangan alat2
rahasia itu. Berselang agak lama perjalanan itu terus dilanjutkan dengan situasi yang sama
Hun Thian-hi semakin lega tapi mendadak Coh Jian-jo berseru keheranan, seakan-akan ia
menemukan sesuatu keganjilan yang menarik perhatiannya. Thian-hi menjadi tegang mendengar
seruannya itu, cepat ia mendekat dua langkah. Terdengar Coh Jian-jo berkata, "Sepanjang jalan ini bukankah tadi sudah pernah
kita lalui?" "Apakah kau tidak salah lihat, Jian-hud-tong ini seperti istana sesat di
belakang sana, cara bangunannya sangat mirip dan serupa!"
Dalam percakapan itu mereka beranjak terus ke depan, Hun Thian-hi menjadi was-
was, sebagai seorang ahli pasti Coh Jian-jo punya alasan mengucapkan kata-katanya. Tapi Tok-
sim-sin-mo tidak peduli apa yang terpikir oleh Hun Thian-hi, ia seret terus Coh Jian-jo ke depan.
Memang Coh Jian-jo punya pandangannya sendiri. ia tahu siapapun meski ia seorang
ahli dalam bidangnya, tak mungkin dapat menciptakan dua barang yang sangat mirip bentuk dan
rupanya. Sekarang Tok-simsin-mo berputar-putar dalam gua yang rumit dan menyeramkan ini,
entah apakah tujuannya. Sementara Tok-sim-sin-mo sendiri belum tahu bahwa akal liciknya ini sudah diraba
oleh Coh Jian-jo tapi dia harus bertindak secepat mungkin sebelum Hun Thian-hi dan lain-
lain tahu kemana tujuannya lantas melaksanakan tindakan selanjutnya itulah yang bakal menjadi
kunci penentuan. Tiba-tiba ia menyeret Coh Jian-jo melangkah lebih cepat mencapai sebuah serambi
panjang tiba di sebuah pengkolan lalu secepat kilat menyusup ke dalam belokan itu.
Ham Gwat lebih dulu dapat meraba permainan licik Tok-sim-sin-mo ini. Orang
sengaja membawa mereka putar kayun sehingga ketegangan semakin mengendor dan
perhatianpun tidak terhimpun lagi. lalu dengan caranya yang kilat ia berkelebat menghilang ke dalam
jalan rahasia. Tangkas sekali tubuh Ham Gwat. Tiba-tiba melambung tinggi terus menukik turun
menubruk ke arah Tok-sim-sin-mo. Tetapapun Tok-sim-sin-mo merupakan seorang yang licik dan licin punya pengalaman
luas, langkah permainan ini sudah dipersiapkan begitu rapi dan sulit diketahui
sebelumnya, begitu cepat ia bergerak sampai Coh Jian-jo tidak sempat berteriak, tahu-tahu badannya ikut
terseret masuk ke jalan rahasia itu. Cepat sekali jalan rahasia itu sudah tertutup kembali, sedikit terlambat sedetik
Ham Gwat sudah tercegat di depan pintu, pedangnya panjang membacok di atas pintu batu yang
keras itu, sehingga memercikkan lelatu api.
Sesaat semua orang sama berdiri terlongong, Ham Gwat menghela napas dengan
kecewa, Hun Thian-hi sendiri yang paling menyesal akan kelalaiannya, otaknya diperas dengan
keras memikirkan cara meloloskan diri, tiba-tiba ia dapat firasat betapa berbahayanya
mereka tetap tinggal di tempat itu, segera ia berseru, "lekas! Kita tinggalkan tempat ini
dulu!" Tapi Lam-bing-it-hiong dan kawan2nya tegap berdiri tak bergerak, melihat Tok-
sim-sin-mo dapat lolos, terang Hun Thian-hi terjatuh pula dalam belenggu majikannya,
harapan mereka untuk hidup lebih besar, asal mereka tidak mau pergi, apa yang Hun Thian-hi dapat
perbuat pada mereka, bagaimana juga Hun Thian-hi masih memerlukan lindungan mereka.
Hun Thian-hi menjadi gemes dan gegetun, ia paham akan situasi yang berbahaya ini
bakal digunakan Tok-sim-sin-mo untuk mengatur tipu daya yang lebih keji sekali ia
menggerakkan alat2 rahasianya, mereka pasti menjadi korbannya yang pertama.
Maka Lam-bing-it-hiong dan lain tidak boleh ketinggalan, segera ia mengancam,
"Hayo jalan! Kalau tidak kubunuh kalian, kalian sudah kena racun, masa dapat hidup berapa
lama lagi!" "Justru karena tidak dapat hidup lebih lama lantas kau berani berbuat apa
terhadap kami, bila kami mati kau pun bakal modar dengan tiada tempat kubur kalian!" demikian jengek
Bing-tiongmo- tho. Sekilas Ham Gwat pandang Siang Bu-ki dan lain-lain, lalu berkata tawar, "Biar
mereka tinggal disini, mari kita tinggal pergi saja!"
Sesaat Hun Thian-hi beragu, akhirnya ia manggut-manggut bersama Pek-tok Lojin
dan lain-lain mereka maju ke depan. Ia insaf sebagai manusia durjana Tok-sim-sin-mo tidak akan
melepas mereka hanya karena Bing-ting-mo-tho dan lain-lain berada bersama mereka.
Sebagai musuh besar rasanya. Tok-sim-sin-mo tidak akan lega sebelum mereka sama dilenyapkan.
Baru saja mereka mulai bergerak, tiba-tiba diempat penjuru sekelilingnya
terdengar suara gemuruh, tampak dua lembar papan batu tebal pelan-pelan maju menghimpit dari dua
samping mereka, jadi mereka terkurung di tengah lorong gelap itu.
Hun Thian-hi tertegun, menurut perkiraannya setiap lembar papan batu ini paling
ringan ada ribuan kati beratnya, tenaga manusia tidak akan mungkin kuasa menjebolnya
keluar. Jelas mereka terkurung rapat dan tinggal menunggu waktu untuk ajal belaka. Untung Tok-sim-
sin-mo masih memerlukan tenaga Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain, sehingga mereka masih punya.
setitik harapan. kalau dapat bertindak secepat-cepat dan tepat mungkin nanti ada


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan untuk meloloskan diri meskipun cuma satu atau dua diantara mereka.
Selama itu Hwesio jenaka tinggal berdiri diam menggendong tangan. Melihat orang
teringat oleh Hun Thian-hi akan Siau-bin-mo-in, serta merta hatinya terharu dan pedih
rasanya. Semua orang sama melayangkan alam pikirannya masing-masing, tapi mereka sama
pula harus meronta untuk hidup sebelum ajal mendatang.
Lapat-lapat terdengar gema gelak tawa Tok-sim-sin-mo yang menggila kesenangan
dalam gua sebelah dalam sana, begitu lantang dan bergelombang suara tawa itu, bagi
pendengaran Hun Thian-hi sangat menusuk perasaan.
Dari tempat yang agaknya sangat jauh itu Tok-sim-sin-mo berteriak, "Bagaimana,
sebenarbenarnyalah siapa yang menang dan siapa yang kalah?" suara begitu bangga dan mendengung,
"Syarat apa yang hendak kau ajukan, lekas katakan!" Lalu terdengar pula tawanya
terbahakbahak. Dengan pandangan dingin Thian-hi pandang Bing-tieng-mo-tho dan lain, katanya,
"Lepaskan kami keluar nanti kami serahkan anak buahmu ini."
Tok-sim-sin-mo tergelak-gelak menggila, serunya, "Begitu saja."
Thian-hi menjadi gusar, serunya, "Cukup begitu saja, hanya itulah syarat yang
dapat kuajukan!" "Kalau hanya itu syaratmu aku tidak bisa terima, kau kan paham, akupun ingin
ajukan syaratku yang tidak boleh dibantah lagi, kau, Ham Gwat dan Pek-tok bertiga tetap tinggal
disana, tiga orang yang lain boleh silakan pergi untuk mengganti jiwa mereka!"
"Jadi syarat yang kuajukan tidak dipertimbangkan sama sekali."
"Jangan kau tekan aku dengan alasan seenak udel-mu sendiri, sekarang kaulah yang
meminta2 kepadaku, tidak menjadi soal bagi aku sembarang waktu dapat ku turun tangan
tanpa pedulikan mati hidup mereka! coba kau berpikir kembali!"
"Kaum persilatan bukan melulu beberapa orang seperti kami ini, seumpama kami
mati semua, bulu sayapmu juga bakal dipreteli, akibat ini teramat fatal bagi kau sendiri
ingat Ang-hwat-lo-mo akan semudah membalikKan tangan menumpas kau serakang. Kau memutar balik
persoalan, coba kau pikir lebih lanjut adalah kepentinganku terhadapmu" Cobalah kau pikirkan
dengan seksama!" Gelak tawa Tok-sim-sin-mo terdengar semakin menjauh dan akhirnya sirna tiada
terdengar suaranya pula. Sementara dua papan batu dikiri kanan itu pelan-pelan pula
bergerak menggeser ke tengah menggencet mereka.
Bercekat hati Thian-hi. kelihatannya Tok-sim-sin-mo punya pegangan yang sudah
matang, pertanyaan Thian-hi ia jawab dengan reaksi yang kenyataan ini, kelihatannya
sedikitpun ia tidak ragu-ragu lagi mengambil keputusannya.
Semula Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya memang mengemban setitik harapan, tapi
dalam keadaan yang sudah gawat dan kenyataan ini, mau tak mau mereka menjadi mencelos
hatinya. ternyata Tok-sim-sin-mo begitu tega membuang mereka seumpama membuang sampah,
dan yang lebih celaka mereka bakal ikut menjadi korban keganasannya bersama
musuh2nya. Hwesio dienaka yang jarang buka bicara itu, tiba-tiba berseru kepada Tok-sim-
sin-mo, "Tadi kau hendak melepas aku keluar, apakah kau tahu siapa aku sebenar-benarnya,
begitu rendah kau menilai diriku?" Dari jauh terdengar jawaban Tok-sim-sin-mo, "Persetan siapa kau, setelah
kubereskan kau siapa kau adanya tak berguna lagi!"
Berkilat-kilat mata Hwesio jenaka, serunya, "Akulah saudara Lam Im!"
Agaknya Tok-sim-sin-mo tersentak kaget. kedua papan batu itu segera berhenti"
bergerak, sebenar-benarnya ia hanya ingin menggertak dan menakut2i Hun Thian-hi dan lain-
lain, demi mendegar ucapan Hwesio jenaka, segera ia berhenti menggerakkan alat2 rahasianya.
Hatinya berpikir2, apakah benar-benar" Benar-benarkah Lam Im punya saudara" Ia
jelas sekali akan watak dan tabiat Lam Im, bila smpai membikin dia gusar, urusan pasti sulit
diselesaikan, cuma soalnya apakah benar-benar Lam Im punya saudara sedikitpun ia tidak tahu,
maka ia pun tidak berani segera mengambii kepastian.
Hwesio jenaka mengunjuk seri kegirangan. waktu pertama kali melihat tampang Pek-
tok Lojin lantas ia pernah mimikirkan ke arah itu, orang yang dapat mengulupas kulit
manusia dengan cara yang begitu rapi dan bagus mungkin hanya Sin-jiu-mo-ih Lam Im seorang. Kalau
benar-benar dia, betapapun Tok-sim-sin-mo pasti merasa segan turun tangan kepadanya.
Begitu Hwesio jenaka buka bicara lantas Hun Thian-hi maklum kemana
juntrungannya. dikolong langit ini mungkin memang hanya Sin-jiu-mo-ih seorang yang dapat mengoperasi
muka orang dengan begitu sempurnanya.
Adalah Tok-sim-sin-mo ragu-ragu dan bimbang, raut wajah dan bentuk tubuh Hwesio
jenaka jauh berbeda dengan Lam Im, apalagi sesudah keadaan mendesak baru Hwesio jenaka
mengajukan persoalan ini, kemana juntrungannya, sungguh mencurigakan.
Tapi iapun heran dari mana Hwesio jenaka kenal akan Lam Im, pikirannya; bila hal
ini sampai tersiar luas dikalangan Kangouw, pasti besar akibatnya, sebentar ia berpikir
lalu serunya kepada Hwesio jenaka, "Seumpama benar-benar kau adik kandungnya pun tak berguna,
ketahuilah dia sudah meninggal!" Hwesio jenaka melengak, tapi bukan kesana tujuannya, segera ia menyahut tertawa,
"Aku hanya ingin tahu siapakah orangnya yang begitu pintar dapat mencari jenazah
Giok-yap Cinjin, setelah sekian lama aku mereka-reka baru sekarang kuteringat pada beliau!"
Tok-sim-sin-mo tertawa dingin., ia insyaf akan akibatnya terlalu fatal bila hal
ini sampai diketahul orang luar kalau sampai geger pasti Lam Im tidak mau keluar pula
membantu dirinya. Begitu hwesio jenaka selesai mengucapkan kata-katanya. papan batu itu pelan-
pelan bergerak lagi, bercekat hati Hwesio jenaka, serunya, "Kenapa begitu sempit pikiranmu,
bila kau ketemu dia harap bertanya kepadanya bahwa orang yang ingin dia cari sekarang sudah datang,
nama gelaranku adalah Ceng Gwat!"
Tek-sim-sin-mo berjingkrak mundur saking kaget, matanya terbelalak, ucapan
Hwesio jenaka terakhir ini bukan main-main, Ceng Gwat adalah murid Siau-bin-kim-hud yang
berhubungan kental dengan Lam Im! Tapi dalam keadaan yang kontras ini ia tak bisa banyak pikir
lagi, ia harus tetap bertindak menurut keputusan terakhir, cuma Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain cukup
disayangkan. Dinding batu itu bergerak terus semakin dekat hati semua orang sudah sama
diliputi pikiran gelap dan bayangan kematian, mereka insaf bahwa dewa elmaut sudah dekat dan siap
mencabut nyawa mereka bersama. Sekonyong-konyong, sebuah batu bergeser disebelah samping depan sana dan
terbukalah sebuah lobang yang cukup besar, tampak Pek Si-kiat seperti melayang turun dari
kajangan bagai dewa penyelamat saja layaknya berdiri diambang lobang besar itu,
Hun Thian-hi sampai tersurut kaget, dilain saat ia berjingkrak kegirangan,
sebenar-benarnya ia sudah siap begitu dinding batu itu bergerak semakin dekat Ia hendak kerahkan
seluruh kekuatan gabungan semua orang untuk berontak bersama, apakah dinding batu setebal itu
mampu bertahan terhadap pukulan bersama dari sepuluh lebih tokoh-tokoh kelas wahid.
Pek Si-kiat segera menggapai tangan ke arah Hun Thian-hi, bergegas Thian-hi
seret Ham Gwat dan lain-lain memburu kelorong rahasia sebelah sana, katanya sembari berlari.
"Paman Pek, kenapa kau mendadak muncul disini?"
Pek Si-kiat tertawa, ujarnya, "Empat puluh tahun lamanya aku bersemajam dalam
gua ini, daerah mana saja sudah pernah kujelajahi!"
Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain jadi serba runyam. Untung segera Pek Si-kiat
berkata, "Aku jauh lebih mendalami sifat Tok-sim. Kalian harus sadar, sesuatu yang bergabung
demi kepentingan pribadi akhirnya pasti akan bujar pula karena kepentingan itu pula.
Dan ini kenyataan, disaat dia tidak lagi meimerlukan tenaga kalian, atau dia tidak akan
ragu-ragu lagi untuk meninggalkan kalian tetap hidup!"
Dalam pad itu begitu Tok-sim-sin-mo menggerakkan alat2 rahasianya lantas tinggal
pergi, tapi meski ia sudah tak hadir di tempat itu, ia tahu bahwa urusan sudah menyimpang
atau telah terjadi sesuatu perubahan. yang jelas bahwa Hun Thian-hi dan lain-lain sudah berhasil
meloloskan diri dan menghilang dilorong yang lain. Keruan kejut dan murka pula hatinya, siapakah
orang yang datang menolong, begitu pintar dia mampu menolong keluar Hun Thian-hi dan lain-
lain. Sementara itu Pek Si-kiat membawa Thian-hi dan lain-lain menyusuri lorong2
panjang yang belak belok, dia jauh lebih apal akan segala seluk beluk lorong2 itu dari Tok-
sim-sin-mo. Ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo pasti juga sudah tahu bahwa seseorang telah datang
membebaskan para tawanannya, mungkin tindakan selanjutnya segera bakal terjadi, sejenak ia
menerawang sekelilingnya, lalu berkata, "Menyelusuri sepanjang lorong ini bila tidak
terjadi suatu perubahan kita bakal tiba diluar gua, Thian-hi harus cepat putar balik bersama aku untuk
mengejar Tok-simsin- mo. kalau terlambat, mungkin dia sudah menghilang!"
Thian-hi merasa diluar dugaan akan tekad Pek Si-kiat yang teguh itu. Apakah dia
akan menurut usul orang, samar-samar ia merasa rada berat untuk meninggalkan sesuatu tapi mau
tak mau harus segera mengintil di belakang Pek Si-kiat, beberapa langkah kemudian ia
berpaling memandang ke arah Ham Gwat wajah orang kelihatan tetap dingin kaku, sedikitpun
tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Mencelos hati Thian-hi, cepat ia memburu di
belakang Pek Sikiat. Pek Si-kiat juga tahu akan tindak tanduknya, tapi saat ini lebih penting dari
persoalan asmara muda mudi, segera ia bawa Hun Thian-hi menyusup kesebuah jalan rahasia disebelah
samping. Beberapa kejap kemudian, Pek Si-kiat membalik tubuh dan berkata lirih kepada Hun
Thian-hi, "Perlahan-lahan sedikit. kalau tidak salah dia semestinya berada disekitar
sini!" Perasaan Hun Thian-hi menjadi tegang, berulang kali Tok-sim-sin-mo dapat
berinisiatif mengambil kedudukan yang menguntungkan dari posisi yang terdesak, ini merupakan
hal yang tidak terlalu enteng dan mudah, mau tak mau ia harus memuji dan kagum akan
kecerdikan otaknya, kini ia harus berhadapan pUla, dengan Tok-sim-sin-mo lawannya yang
setimpal, sedang Ling-lam-kiam-ciang berada ditangannya pula, bukan saja ia harus berhadapan
secara kekerasan bila perlu iapun harus mengadu kecerdikan otak dan kepintaran.
Dengan seksama Pek Si-kiat meneliti keadaan sekelilingnya, iapun merasa bahwa
musuhnya sulit dihadapi, kalau tidak ia tidak perlu minta bantuan Hun Thian-hi.
Pek Si-kiat sendiri juga merasa was-was apakah Tok-sim-sin-mo dapat mengetahui
akan kedatangannya, yang jelas dia pasti sudah tahu bahwa Jian-hud-tong telah
kedatangan seseorang tamu yang tak diundang, malah bisa menggunakan alat2 rahasia dalam gua ini untuk
menolong para tawanannya, entahlah dimanakah Tok-sim sekarang berada.
Sebelum melihat jejak dan orangnya Pek Si-kiat sulit menentukan dimana kedudukan
Tok-simsin- mo sekarang, ia tidak perlu takut Tok-sim-sin-mo bakal menggunakan alat2 rahasia
dalam gua mengurung dirinya, soalnya seluk-beluk mengenai alat2 rahasia dalam gua ini ia
jauh lebin matang dari Tok-sim-sin-mo sendiri malah mungkin lebih jelas dan menyeluruh, tapi
bagaimana juga ia harus berjaga-jaga dari segala muslihat musuh, seumpama Tok-sim-sin-mo menyergap
dengan caranya yang licik, bukan mustahil dalam kalapnya ia gunakan segala daya
upayanya untuk menyerang mereka kalau itu terjadi mereka bisa terdesak dalam bahaya.
Setelah menyelusuri sebuah serambi panjang, mendadak terdengar jengekan dingin
dari tempat yang gelap disebelah sana, mereka berpaling bersama, tampak sepasang biji
mata yang terang kemilau berkelap kelip di kegelapan sana, Tok-sim-sin-mo beranjak keluar
dari sebuah jalan rahasia yang lain katanya, "Jite! Sungguh tak kuduga Kau adanya. Ternyata kau
jauh lebih apal keadaan seluruh Jian-hud-tong ini dari aku!"
"Benar-benar atau tidak, kau sendiri paham," sahut Pek Si-kiat masam, "Empat


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puluh tahun lamanya kita tersekam bersama dalam gua ini, kalau kau dibelenggu tak mampu
bergerak sebaliknya aku dapat bebas bergerak kemana aku suka, sudah tentu aku jauh lebih
jelas segala seluk beluk dalam gua ini."
"Marilah sekarang kita bicara secara gamblang, segala peralatan dalam gua ini
aku tidak sepaham kau, untuk melawan kau, jangan kata dua lawan satu, apalagi aku sudah
terluka, satu lawan satu diantara kalianpun aku bukan tandingan lagi. Tapi perlu kuingatkan
Coh Jian-jo masih berada di tanganku, kalau kau ingin dia tetap hidup kalian harus dengar
ucapanku, aku masih mampu untuk melaksanakan rencanaku yang terakhir!"
Thian-hi ikut beragu, ia rasakan juga situasi sekarang yang menyulitkan, secara
gamblang Toksim- sin-mo gunakan Coh Jian-jo untuk menekan dan mengancam mereka, terpaksa ia ikut
bicara, "Kau punya permintaan apa silakan katakan saja."
"Yang terang aku tidak akan bebaskan dia sebelum Ni-hay-ki-tin dapat kucapai.
Tatkala itu aku pasti punya caraku sendiri untuk meloloskan diri!"
"Menanti kau memperoleh Ni-hay-ki-tin" Bukankah terlalu ngelantur dan jauh
persoalannya" Seumpama kau tidak mampu memperoleh Ni-hay-ki-tin itu lalu bagaimana?"
"Coh Jian-jo tidak akan kubebaskan. Begitulah keputusanku!"
"Syarat yang kau tawarkan ini terlalu tinggi, begitu besar hasratmu untuk
mendapatkan Ni-hayki- tin, tapi kenyataan kau tidak akan mungkin memperolehnya!"
"Kau kan belum tahu akan kemampuanku!"
"Bilamana kau mampu mencapainya, sejak lama orang lainpun sudah mengambilnya.
Bukti menunjukkan selama sepuluh tahun Pek-tok Lojin masuk kesana, akhirnya ia kembali
dengan bertangan kosong, agaknya kau menilai urusan ini menurut pandanganmu yang
sempit, ketahuilah banyak aral rintangan yang tidak mungkin dapat kau jebol atau dapat kau atasi
menurut akal sesatmu yang cupat itu. Jikalau kau mengukuhi pendapatmu, betapapun kami tidak
akan tinggal diam!" Bab 29 "Ucapanku cukup sampai disini saja. Terserah apa yang hendak kalian lakukan!"
"Begitu pun baiklah," ujar Hun Thian-hi sambil mengeluarkan seruling jadenya,
"sebelum kau lepas kan Coh Jian-jo, kau pun takkan kulepaskan, Ingin kulihat apa yang berani
kau perbuat atas dirinya." "Begitupun baik, akupun tidak perlu takut apa yang bakal kau lakukan terhadap
diriku, memangnya kalau tidak bisa memperoleh Ni-hay-ki-tin aku sudah bertekad untuk
mati. Tapi kau perlu berpikir dua belas kali, seumpama kau yang melakukan hal-hal itu dapatkah
kau mengambil keuntungan" Jiwa Coh Jian-jo masih tergenggam dalam tanganku." Habis berkata ia
mandah bergelak tawa dengan sikap acuh tak acuh.
Hun Thian-hi jadi mati kutu. kalau orang sudah pasrah pada nasib dan menyerah
dengan cara demikian, apa pula yang dapat aku perbuat atas dirinya, tapi bukan mustahil ia
hanya pura-pura.... Hanya sebuah kemungkinan saja untuk menghadapi sikap Tok-sim-sin-mo ini, tapi
betapapun ia tidak bisa mempertaruhkan jiwa Coh Jian-jo dalam langkah-langkah perhitungannya
yang berbahaya ini, dia perlu menyelidiki dan main sandiwara pula seumpama Tok-sim-
san-mo memang berpura-pura muka belum terlambat ia bertindak selanjutnya. Sebaliknya bila
tindak tanduknya ini memang kenyataan tiada soal kali ini ia membahayakan jiwanya. Biarlah situasi
lebih matang dan jalan lebih lapang bagi dia, tapi menurut anggapannya adalah sebaliknya bagi
dirinya. Sejenak menerawang Thian-hi lantas bertanya pada Tok-sim-sin-mo, "Apakah kau
tahu benarbenar bahwa Ni-hay-ki-tin berada di dalam sana?"
"Memang aku belum tahu pasti, tapi itu soal waktu saja bila kutanyakan pasti
segera dapat kuketahui. Ingat Coh Jian-jo pasti tahu, menurut Pek-tok katanya berada di dalam
sana, tapi itu menurut. dugaan belaka, aku justru tidak sepaham akan pendapatnya itu, mana
mungkin Ni-hayki- tin berada dalam Jian-hud-tong ini?"
"Apakah kau sudah pasti bahwa Coh Jian-jo benar-benar mengetahui rahasia Ni-hay-
ki-tin itu, mengandal apa dia bisa tahu?"
Tok-sim-sin-mo menyerihgai lebar, katanya, "Rahasia Ni-hay-ki-tin adalah rahasia
turun temurun dari kakek mojangnya, masa perlu disangsikan lagi?"
Hun Thian-hi tertawa, ujarnya, "Belum tentu bukan" Warisan keluarganya cuma
Badik buntung, yang dia ketahui melulu bahwa tempat rahasia penyimpanan harta benda itu
tersembunyi di dalam serangka pedang, sebelum dia berhasil mengeluarkan gambar rahasia itu dari
serangka pedang itu takkan seorangpun yang dapat tahu!"
Tok-sim-sin-mo mendengus tanpa bicara, diapun tidak bisa menyangkal akan
kebenar-benaran analisa Thian-hi ini, jikalau tiada gambar petanya, ia percaya Coh Jian-jo
sendiri juga tidak akan mampu menunjukkan tempatnya.
Kata Hun Thian-hi pula, "Katamu tadi setelah berhasil mendapatkan Ni-hay-ki-tin
kau punya caramu sendiri untuk meloloskan diri, jadi jelasnya seorang diri cukup kau dapat
bekerja, kenapa pula Coh Jian-jo harus menyertai kau?"
"Pendek kata begitulah syarat yang kuajukan, terserah kau setuju atau tidak."
"Tapi kau harus berpikir dua belas kali, perbuatanmu ini tidak bakal
mendatangkan keuntungan bagi kedua belah fihak, malah mungkin ada manfaat bagi kau, bagaimanapun aku
tidak setuju!" ToK-sim-sin-mo mengawasi sekelilingnya lalu berkata pula" "Kalau begitu tiada
kompromi lagi, silakan kalian maju aku tidak akan mundur setapakpun juga!"
Berkilat biji mata Hun Thian-hi, ia tahu bahwa sikap Tok-simsin-mo ini hanya
pura-pura belaka, aku harus bertindak secara cermat dan mencobanya secara untung2an. Sudah lama
Tok-sim-sinmo mengatur segala sesuatunya dalam rencana mendapatkan Ni-hay-ki-tin, betapapun ia
tidak akan nekad dan rela rencananya sampai gagal, jalan satu-satunya aku mau mencoba
dengan main gertak saja. "Kalau begitu apa boleh buat, demikian ujar Hun Thian-hi sambil menggeser
kakinya melangkah kehadapan Tok-sim-sin-mo, sementara itu mulutnya bicara lebih lanjut,
"Kalau begitu seumpama kami setuju juga tiada gunanya, sebaliknya bila kami berhasil meringkus
kau, buat Coh Jian jo pasti lebih melegakan" .
"Umpama kalian bisa menawan aku. Coh Jian-jo pasti segera mampus!"
Thian-hi tertawa lebar, katanya, "Kalau itu benar-benar maka cara kematianmu
bakal lebih mengenakan, tidak percaya marilah kita coba!"
Tok-sim-sin-mo berdiri tegak dan siaga, biji matanya lekati mengawasi gerak
gerik Hun Thanhi. Sementara itu Hun Thian-hi sudah melolos seruling jadenya, sesaat lamanya mereka
beradu pandang tanpa bergerak. Pek Si-kiat mundur selangkah kesamping, ia tahu menghadapi orang macam Tok-sim-
sin-mo harus menabahkan hati dan berani bertindak dengan segala resiko, dengan mundur
selangkah ia memberi peluang pada mereka berdua untuk mengadu kekuatan, disamping itu sengaja
iapun ingin mepet dinding untuk mengendalikan alat2 rahasia supaya dapat merintangi
Tok-sim-sin-mo melarikan diri. Sekilas Tok-sim-sin-mo melirik kesamping, lambat laun timbul rasa gentar dalam
sanubarinya, jelas ia sudah punya langkah-langkah yang sempurna untuk jalan mundurnya, diam-
diam ia menerawang apakah perlu ia main gertak dan main ancam terhadap musuhnya, kalau
langkah itu bisa mempermudah dirinya mencapai tujuannya paling tidak bisa mengurangi tekanan
batin yang terasa gentar dan takut ini.
Pikir punya pikir akhirnya ia berkata, "Jikalau Coh Jian-jo mau bantu aku
memperoleh gambar peta rahasia Ni-hay-ki-tin serta sudah dapat kuselami, tiada halangannya kulepas
dia."' "Begitu sederhana" Apa kau tidak kuatir tempat rahasia itupun dapat kita
ketahui" Bukankah kau memperoleh saingan malah?"
"Itu, urasanku sendiri. kenapa kau kuatir malah. Aku punya caraku sendiri untuk
mengetahui pul rahasia gambar peta, kukira tidak semudah seperti kalian duga!"
"BaiKlah, aku tidak perlu kuatir lagi. Tapi aku masih sangsi cara bagaimana kau
dapat menemukan Ni-hay-ki-tin itu seorang diri" Bila berita ini sampai bocor, bukan
saja kami berdua, mungkin para tokoh-tokoh persilatan semua bakal meluruk datang mengikuti
jejakmu. Tatkala itu cara bagaimana kau akan menghadapi mereka?"
Memangnya Tok-sim-sin-mo sudah merasa jeri terhadap Hun Thian-hi, serta
mendengar ucapan Thian-hi mau tak mau ia merasa kuatir pula. Bukan tidak beralasan ucapan
Hun Thian-hi yang mengandung kebenar-benaran ini.
Kata Hun Thian-hi pula, "Hendaklah Pek-tok Lo-jin dijadikan contoh, sepuluh
tahun ia meluruk masuk ke dalam Jian-hud-tong dan istana sesat baru bisa keluar, sekarang masih
berusaha untuk keluar. Dengan berani menempuh bahaya tentu diapun punya pegangan dan yakin akan
tekadnya. Siapa tahu bahwa Ni-hay-ki-tin benar-benar berada di Jian-hud-tong, kalau itu
benar-benar bukankah banyak menghemat tenaga dan pikiran malah."'
Dengan sorot mata yang mengandung pertanyaan dan curiga Tok-sim-sin-mo pandang
Thian-hi lekat-lekat, ia jadi sangsi kenapa Hun Thian-hi begitu baik hati mau memberri
saran dan jalan sempurna kepada dirinya, mau tidak mau ia harus meningkatkan kewaspadaan,
bagaimana juga Thian-hi merupakan musuh besarnya yang utama. pikir punya pikir akhirnya ia
mendengus, mulutnya bicara tawar, "Betulkah begitu?"
"Jangan kau terlalu curiga terhadapku," demikian Thian-hi tersenyum, "Kuharap
urusan ini lekas selesai supaya tidak membawa buntut yang berkepanjangan dan membawa manfaat bagi
dua belah pihak. Apalagi aku percaya umpama kau tahu jelas dimana letak simpanan Ni-
hay-ki-tin itu belum tentu kau mampu mengambilnya.
"Berani kau berkata begitu, lalu bagaimana menurut maksudmu" Adakah cara lain
yang lebih sem purna?" Sebelum menjawab Thian-hi berpaling ke arah Pek Si-kiat seraya mengedipkan
matanya, ia memberi isyarat supaya Pek Si-kiat memperhatikan segala gerak gerik Tok-sim-sin-
mo, lalu ia berpaling kemuka pula dan berkata kepada Tok-sim-sin-mo, "Aku punya usul.
Silakan kau bawa Coh Jian-jo kemari, bila kau yang tanya belum tentu dia sudi memberi tahu,
sebaliknya, bila kami yang mengajukan pertanyaan mungkin dia mau menjelaskan, sesudah itu kita
berunding lebih lanjut. Seumpama Ni-hay-ki-tin benar-benar berada di dalam Jian-hud-tong ini,
urusan menjadi lebih mudah, kau lari masuk pun kami tidak akan berani mengejar. Sebaliknya
seandainya tidak berada dalam Jian-hud-tong kita pun boleh mencari jalan lainnya yang lebih
sempurna!" Mendengar uraian ini Tok-sim-sin-mo beranggapan bahwa Hun Thian-hi teramat
goblok dan ceroboh, urusan selanjutnya bakal lebih menguntungkan bagi dirinya. Maka sambil
menyeringai dingin baru saja badannya bergerak mendadak hati kecilnya merasakan bahwa urusan
tidaklah begitu gampang, masakan benar-benar Hun Thian-hi begitu baik hati memberi
kelonggaran kepada dirinya, bukankah perbuatannya ini demi keselamatan Coh Jian-jo. Bilamana
urusan belum mencapai titik penyelesaiannya lantas mempertemukan mereka sama Coh Jian-jo,
situasi pasti akan semakin menyulitkan dirinya. Serta terpikir hal ini ia merandek dan putar
balik, wajahnya mengulum senyum dingin, naga-naganya ia bersyukur bahwa dirinya belum sampa,
kena tipu. Tapi tanpa disadarinya perbuatannya ini justru telah memperlihatkan tanda2 yang
mencurigakan, cuma tidak diketahui olehnya.
Selama itu Pek Si-kiat selalu mengawasi gerak gerik Tok-sim-sin-mo, begitu orang
bergerak hendak memutar tubuh ia lebih memperhatikan, meskipun badan Tok-sim-sin-mo belum
seluruhnya berputar tapi sudah membalik sebagian besar, di bawah pengawasan Pek
Si-kiat dapatlah diketahui kemana tujuan pandangan kedua biji matanya, serta merta
lantas tersimpul

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam benaknya, bukan mustahil disanalah Coh Jian-jo disembunyikan. Bukankah
tadi dia mengatakan bahwa Coh Jian-jo ada disekitar sini.
Agak lama Tok-sim-sin-mo mandah menyeringai dingin tanpa bicara, matanya
mengawasi Thian-hi Sekian lamanya baru berkata, "Usulmu tadi tidak dapat kulaksanakan,
biar aku sendiri yang tanya padanya." Tita2 Hun Thian-hi memberi tanda kepada Pek Si-kat,
serempak mereka bergerak bersama, Pek Si-kiat langsung terbang miring kesamping berbareng kedua
telapak tangannya memukul ke arah dinding samping, kontan dinding batu itu pecah
berhamburan dan munculah dua pintu dari dua kamar kurungan. Benar-benar juga Coh Jian-dio ada di
dalam salah satu kamar itu. Sementara dalam waktu yang sama Hun Thian-hi menubruk ke arah Tok-sim-sin-mo
sambil berusaha mencegat jalan mundurnya.
Begitu melihat Hun Thian-hi memberi tanda kepada Pek Si-kiat lantas ToK-sim-sin-
mo mendapat firasat jelek. seketika dilihatnya Pek Si-kiat mencelat terbang
menerjang ke arah kamar tahanan Coh Jian-jo, keruan kejutnya bukan kepalang, tahu dia bahwa urusan
semakin mendesak dan tidak mungkin tertolong lagi, hari ini dirinya kena dikalahkan dan gagal
total, terpaksa harus lari untuk menyelamatkan diri.
Maka tanpa ayal iapun bergerak teramat gesit dan cepat, kedua telapak tangan
bergerak kedua jurusan, tangan kanan menghantam ke arah Thian-hi merintangi tubrukan lawan,
sedang sebelah tangan yang lain menggempur dinding di sebelah belakangnya membuka sebuah jalan
rahasia terus melesat masuk dan menghilang.
Tanpa banyak pikir Hun Thian-hi menerjang masuk mengejar, demikian juga Pek Si-
kiat tak mau ketinggalan, mereka. mengejar dengan kencang. Diam-diam bercekat hati Pek
Si-kiat, Toksim- sin-mo lari ke arah lorong2 sempit dibagian gua paling belakang dimana merupakan
jalanjalan yang paling rumit dan penuh terpasang alat rahasia, bila Tok-sim-sin-mo sampai
mencapai daerah itu untuk membekuknya tentu sukar sekali .
Begitulah kejar mengejar berlangsung sekian lamanya, mereka keluar masuk lorong2
panjang mengejar Tok-sim-sin-mo. Meski Pek Si-kiat jauh lebih apal jalan-jalan lorong
itu, soalnya gerakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerik Tok-sim-sin-mo sulit diduga sebelumnya, kemana ia hendak menuju, maka
jarak mereka bertahan sekian jauhnya, kelihatan bayangannya. tapi tak kuasa meringkusnya.
Sembari lari kencang seperti dikejar setan diam-diam Tok-sim-sin-mo berpikir,
"Pek Si-kiat bersama Hun Thian-hi mengejar terus seperti bayangan tubuh sendiri, betapapun
akhirnya dirinya takkan kuasa lolos, kalau hal ini berlangsung lama, luka dalamnya bisa kambuh
dan semakin berat, beberapa kejap lagi pasti dirinya akan kehabisan tenaga dan terima
dibekuk saja." Begitulah
sembari lari ia mencari akal cara bagaimana ia harus meloloskan diri.
Namun Hun Thian-hi berdua sudah semakin dekat, jarak mereka tinggal sepuluh
tombak, keruan kejut dan gugup pula hatinya, tiba-tiba tergerak hatinya biji matanyapun
berkilat terang, mendadak ia membelok memasuki sebuah lorong rahasia.
Hun Thian-hi berdua terus mengejar masuk ke sana. Jalanan dalam lorong itu
menjurus ke arah tempat yang semakin rendah dan lembab, jadi semakin lama semakin menurun. Tok-
sim-sin-mo tidak hiraukan keadaan sekelilingnya, ia lari terus turun kebawah. Sebaliknya
Hun Thian-hi berdua menjadi kaget, lorong jalan ini justru yang menjurus ke arah istana sesat itu.
Bila Tok-sim-sin-mo sampai menerjang masuk kesana, betapapun mereka berdua tidak akan mampu
mencapainya. Cepat ia menyedot napas tiba-tiba tubuhnya melayang seringan asap secepat anak
panah melesat ke depan. Tok-sim-sin-mo sendiri juga insaf bila ingin hidup satu-satunya jalan hanyalah
masuk ke dalam istana sesat, Thian-hi berdua takkan berani mengejar kesana. Kalau Pek-tok Lojin
sepuluh tahun tidak mampus di sana, kenapa aku harus takut" Apalagi aku menggembol serangka
Badik buntung, Ni-hay-ki-tin pasti dapat kutemukan, demikian pikirnya.
Dalam pada itu suara, pernapasan Hun Thian-hi seakan terdengar begitu dekat
jbelakangnya, cepat ia mengempol semangat dan menyedot napas dalam-dalam. tubuhnya segere
melejit tinggi terus meluncur turun laksana meteor jatuh langsung melayang masuk ke dalam
istana sesat. Hampir saja Hun Thian-hi sudah dapat menyandak tinggal kurang sejangkauan
tangan, namun Tok-sim-sin-mo berhasil pula meloloskan diri dari kejarannya, sungguh hatinya
teramat menyesal tak terperikan. Dalam detik lain Pek Si-kiat juga sudah mengejar datang, sejenak ia terlongong.
lalu katanya kepada Hun Tnian-hi, "Sudahlah! Mari kami pulang. Jalan selanjutnya tiada pintu.
untuk dapat kembali, tak usah dikejar ke dalam sana!"
Pelan-pelan Hun Thian-hi manggut-manggut, bersama Pek Si-kiat ia putar balik ke
tempat semula dimana Coh Jian-jo masih menunggu. Setelah dapat bergerak bebas Coh Jian-
jo bertanya, "Kemana Tok-sim-sin-mo" lari masuk ke dalam istana sesat bukan?"
Perlahan-lahan Thian-hi manggut sebagai jawaban, lalu katanya, "Apakah Coh-
cianpwe tahu bahwa Ni-hay-ki-tin benar-benar berada di dalam istana sesat sana" Atau mungkin
merupakan lagenda belaka?" "Sebenar-benarnyalah bahwa Ni-hay-ki-tin memang berada, di dalam istana sesat
itu," demikian ujar Coh Jian-jo kalem, "Tapi mungkin tiada seorang pun yang bakal
mampu menjangkaunya. Demikian juga Tok-sim-sun-mo akan sia-sia masuk kesana!"
"Kenapa begitu?" tanya Thian-hi tidak mengerti.
Coh Jian-jo menghela napas panjang seraya menggeleng kepala, agaknya ia segan
bicara, sesaat setelah merenung baru ia buka suara pula, "Istana sesat memang punya
sangkut paut yang sangat erat dengan leluhurku. Dulu kala pernah terjadi gelombang pertikaian
dalam dunia Kangouw, seorang-orang gembong iblis yang berkepandaian tinggi entah dari mana
dapat memperoleh sejilid buku Ni-hay-pit-kip, kemudian kepandaian silatnya teramat
tinggi dan sukar diukur, tiada seorangpun tokoh-tokoh persilatan dalam Bu-lim yang menjadi
tandingannya, entah berapa banyak yang sudah menjadi korban keganasannya. Tapi akhirnya, ia insaf
dan sadar akan kelalimannya. ingin ia membakar Ni-hay-pit-kip itu, tapi merasa sayang dan
eman2. Belakangan ia memperoleh suatu ilham, bersama seluruh benda-benda mestika koleksinya yang tak
ternilai itu ia suruh leluhurku membuat istana sesat itu. seluruh miliknya ia pendam dan simpan
di dalam istana sesat itu, harapannya supaya segaia milik yang bakal ditinggalkan itu akan
selalu terpendam dan tidak bisa muncul pula dialam semesta ini." sampai disini ia menghela napas,
lalu menunduk diam, sesaat kemudian baru melanjutkan pula, "Tapi tak lupa ia meninggalkan sebuah
peta bergambar yang teramat rahasia."
Thian-hi maklum kemana arah tujuan ucapan Coh Jian-jo ini. Kalau tokoh lihay itu
tidak suka mewariskan seluruh miliknya kepada generasi mendatang, jadi leluhur Coh Jian-jo
itulah yang secara sembunyi dan terahasia mewariskan gambar peta itu, maka tidaklah heran
jika Coh Jian-jo sukar membuka mulut. Sekali lagi Coh Jian-jo menghela napas, ujarnya, "Menurut ajaran dan pesan
leluhur kami turun temurun supaya jangan timbul sifat tamak dan mengincar Ni-hay-ki-tin itu, malah
dilarang pula untuk membicarakannya. Pek Si-kiat tertawa tawar, timbrungnya, "Kalau begitu Ni-hay-ki-tin akan lebih
memincut perhatian khalayak ramai. Kalau toh dia menyimpannya di dalam istana sesat dan
tidak menghancurkan benda-benda itu, ini berarti bahwa dia sengaja memang hendak
mewariskan kepada generasi mendatang."
Coh Dian-jo tertawa getir. ujarnya, "Biarlah aku bicara terus terang saja,
Leluhurku itu memang akhirnya timbul sifat tamaknya, dengan nekad ia masuk ke dalam istana sesat itu
hendak mengambilnya keluar, tapi sekali masuk selamanya tidak pernah keluar lagi.
Putranya menunggunya sampai sepuluh tahun dan diapun menyusul masuk kesana, setelah
kembali saketika pun ia tidak bicara dan tidak pernah menyinggung persoalan ini. Gambar
peta itu ia simpan ke dalam kerangka Badik buntung itu, dan untuk selanjutnya persoalan Ni-
hay-ki-tin ini menjadi terpendam dan dilupakan orang. dan untuk selanjutnya pula beliau
menegakkan undang2 keluarga itu." Pek Si-kiat tak bicara lagi. Sebaliknya Hun Thian-hi membatin, "urusan ini rada
ganjl, istana sesat yang dibangunnya sendiri kenapa setelah dia masuk kesana tidak bisa keluar
pula, entah peristiwa apa yang telah terjadi?"
Begitulah dengan langkah tenang dan mantap mereka beranjak keluar beriringan.
Dari saku bajunya Pek Si-kiat merogoh keluar buntalan kantong obat diangsurkan kepada Hun
Thian-hi, katanya, "Obat pemunahnya semua dapat kurampas!"
Sebenar-benarnya hati Thian-hi juga sedang memikirkan obat pemunah racun ini, ia
merasa sangat kebetulan serta ujarnya tertawa, "Untuk selanjutnya hakikatnya Tok-sim-
sin-imo tidak akan punya pegangan untuk mengancam dan menekan kami. Lam-bing-it-hiong dan lain-lain
selanjutnya juga bisa merubah haluan kejalan lurus. Persengketaan Bu-lim utk
selanjutnya mencapai titik penyelesaiannya, semoga selanjutnya semua orang dapat hidup
sejahtera dan sentosa!" Tak lama kemudian mereka sudah tiba diambang mulut gua, Ham Gwat dan lain-lain
sedang menunggu dengan hati kebat kebit. Begitu mereka keluar Coh Siau-ceng lantas
berpekik kegirangan dan memburu maju ke dalam pelukan Coh Jian-jo, mereka menangis
berpelukan. Sekilas Thian-hi pandang Ham Gwat lalu menghampiri ke arah Hwesio jenaka,
katanya tergagap, "Siau-suhu...." tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, kepala tertunduk.
Berkilat biji mata Hwesio jenaka, katanya tertawa lebar, "Tak perlu diungkat
lagi, soal itu aku sudah tahu seluruhnya. Sebab musahabab persoalan ini kelak kau akan tahu jelas.
Bila kau ketemu Ah-lam Cuncia, beliau bisa memberi penjelasan kepadamu hal-hal yang ingin
kau ketahui, sekarang jangan kau risaukan persoalan ini."
Thian-hi tidak paham akan kata-kata Hwesio jenaka.
Dalam pada itu, Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain maju ke depan Hun Thian-hi serta
kata mereka, "Sekakarang kami sudah sadar, untuk selanjutnya kami tidak akan turun
gunung dan berkecimpung di Kang-ouw. Hun-siauhiap kami mohon diri!"
"Ah kenapa para Ciaupwe begitu sungkan!" cepat Thian-hi menyahut
Lam-bing-it-hiong berkata sambil menghela napas, "Kelak bila Hun-siauhiap
memerlukan tenaga kami silakan panggil saja, kami pasti bantu sekuat tenaga, Hun-siauhiap
tidak usah rikuh!" "Memang tidak lama lagi mungkin aku perlu bantuan kalian, biarlah lain waktu
kita bicara lagi, bila ada waktu aku pasti bertandang ke tempat Cianpwe masing-masing."
Be-ramai-ramai Lam-bing-it-hiong dan lain-lain lantas ambil berpisah.
Sekarang ganti Ham Gwat yang maju kehadapan Hun Thian-hi katanya perlahan,
"Hunsiauhiap. Gwat-sian sudah berangkat pulang ke Thian-bi-kok!"
Thian-hi jadi melongo, tahu dia bahwa Ham Gwat pasti sudah bertemu dan bicara
dengan Gwat-sian, dan yang jelas bahwa hubungan mereka adalah begitu intim.
Melihat sikap Thian-hi itu Ham Gwat melanjutkan berkata, "Dia adalah adik
angkatku, kuharap kau tidak me~nyia-nyiakan cintanya. Bagaimana keadaannya kau kan sudah jelas,
sekarang juga kau harus cepat menyusul kesana."
Sekian lama Thian-hi terlongong, bicara menurut sanubarinya memang ia harus
segera menyusul ke selatan, apalagi jiwa hidup Ma Gwat-sian tinggal tiga bulan lagi,
betapapun ia tidak tega meninggalkan kesan buruk kepada gadis remaja yang lemah lembut. Soalnya
adalah katakata ini terucapkan oleh Ham Gwat maka kepentingan ini menjadi lain pula artinya,
seolah-olah ia dibayangi kekuatiran lain, bahwa dia tidak sepantasnya melakukan hal itu,


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak terasa olehnya bilamana ia melakukan hal ini, berarti dia telah menipu
Ma Gwat-sian, dapatkah dibenar-benarkan kelakuanku ini. Begitulah perang bathin berkecamuk
dalam benaknya, entahlah sesaat ia sulit mengambil kepastian.
Kata Ham Gwat lagi, "Kuharap kau segera Berangkat, tapi bila kau tidak sudi
menyusul kesana akupun tidak memaksa, tapi dapatkah kau mempertanggung jawabkan kepada
sanubarimu?" Thian-hi mengertak gigi, ia menunduk penuh penderitaan batin, bayangan Gwat-sian
selalu terbayang dalam benaknya. Tapi sekarang dia menghadapi Ham Gwat. sedang Ham Gwat
minta dia segera pergi, bila benar-benar dia melaksanakan kehendaknya, entah bagaimana
akibatnya kelak. Tak berani ia memikirkan lebih lanjut, apalagi kedengarannya Ham Gwat
menggunakan nada yang ganjil bicara padanya. serta merta timbul rasa sungkan dalam hatinya
untuk menampik permintaannya itu, tapi ia tidak kuasa menampilkan rasa hatinya itu dengan kata-
kata, seolah-olah dadanya menjadi sesak dan sulit terlampias.
Dengan lekat Ham Gwat pandang Thian-hi agaknya iapun dapat memaklumi perasaan
Thian-hi, pelan-pelan ia menambahkan, "Ajahku pergi mencari ibuku, sengaja kukemari
memberitahu akan hal ini!" lalu ia menunduk serta sambungnya, suaranya lebih lirih, "Kecuali itu
aku tiada cara lain untuk mengatasi persoalan ini! Gwat-sian adalah anak angkat ayah, hubungan kami
sangat baik, aku tidak tega melihat ia pulang dengan hati yang hancur dan putus asa, ini akan
membawa akibat yang lebih fatal bagi kesehatan badannya yang lemah itu."
Thian-hi menjadi haru, katanya angkat kepala, "Biarlah kuajak dia kembali, nanti
kubawa ke Bu-lu-si untuk mencari kalian bagaimana?"
Ham Gwat manggut-manggut dengan tersenyum.
Thian-hi berdiri kesima, matanya mengawasi Ham Gwat tanpa bicara, sejak ia
melihat Ham Gwat dulu selamanya belum pernah melihat orang unjuk tawanya. Baru pertama kali
ini ia melihat senyum dan tawa orang. Senyum laksana sekuntum bunga mekar berpeta di wajahnya
nan aju elok, hatinya menjadi hangat dan terhibur, segala kerisauan hatinya seketika
tersapu lenyap. Dikejap lain senyum Ham Gwat hilang dan matanya mengawasi tajam memancarkan
sorot aneh, seketika Thian-hi seperti dibuat sadar, mukanya menjadi panas, katanya
cepat, "Sekarang juga aku berangkat menyusul ke Thian-bi-kok!"
"Hun-toako," segera Su Giok-lan maju menghampiri, "Aku sudah pergi ke tempat
Suhu dan lain-lain, malah ayahku juga berada disana. Bersama Ham Gwat Cici kami menuju ke
Bu-la-si lalu membawa ibunya tinggal di Jian-hong-kok, kau langsung kesana saja menunggu
kami!" Thian-hi manggut-manggut, tanyanya, "Apakah Suhu dan lain-lain baik-baik saja?"
"Mereka ada berpesan setelah ketemu kau supaya kau tidak usah kuatir pada mereka
malah keadaanmu yang serba sulit ini harus hati-hati."
Thian-hi manggut-manggut.
"Untuk menyusul ke selatan pasti sulit dapat menemukan jejak mereka, dan belum
tentu bisa kecandak, lebih baik kau naik burung dewata saja lebih cepat." demikian usul
Giok-lan. Thian-hi mengiakan sambil tertawa.
Su Giok-lan segera memanggil burung dewata, cepat Thian-hi naik ike atas
punggungnya terus ambil berpisah sama Ham Gwat dan lain-lain, kejap lain burung dewata sudah
pentang sayap dan langsung terbang ke arah selatan.
Begitulah selama satu hari satu malam Thian-hi diajak bertamasya di atas udara,
hari itu burung dewata menukik turun dan masuk ke dalam hutan mencari buah2an, menurut
perhitungan Thian-hi dimana. sekarang dia berada sudah termasuk wilajah Thian-tom, tak lama
lagi pasti ia dapat menyusul Ma Gwat-sian. Thian-hi duduk di bawah sebuah pohon rindang untuk
istirahat. Begitulah tengah ia menepekur mengawasi awan yang berbondong-bondong di atas
langit, mendadak sebuah suara lirih berkeresek di belakangnya.
Sebagai seorang persilatan lantas Thian-hi tahu bahwa seorang tokoh lihay telah
muncul berada di belakangnya, ia pura-pura duduk tenang, pikirnya; 'dalam hutan belukar
begini tokohtokoh persilatan macam apakah yang muncul disini.'
Suara keresekan itu semakin dekat dan jelas, tak tahan lagi secepat kilat Thian-
hi mencelat berputar, tubuhnya melayang ke depan, waktu ia berdiri menginjak tanah dalam
jarak setombak lebih badannya sudah berputar ke arah hutan.
Terdengarlah gelak tawa yang menggila, tampak Ang-hwat-lo-mo muncul dari dalam
hutan. Bercekat hati Thian-hi, pikirnya, "Keparat kenapa ketemu dia lagi, apakah dia
memang sedang menguntit aku" Tidak mungkin!" - alisnya segera terangkat tinggi, jengeknya,
"Kukira siapa, ternyata kau!" Thian-hi heran waktu di Siong-san Ang-hwat-lo-mo mengadu domba sebelum melarikan
diri kenapa sekarang berani muncul pula di hadapannya, pasti dia punya pegangan untuk
menghadapi dirinya. Serta merta Thian-hi meningkatkan kewaspadaannya.
Setelah puas dengan gelak tawanya, Ang-hwat-lo-mo membuka kata, "Aku tahu kau
pasti datang, maka kutunggu kau disini!"
Thian-hi tatap orang dengan pandangan curiga, ia tidak percaya bahwa Ang-hwat-
lo-mo bisa tahu bahwa dirinya bakal datang, sesaat kemudian baru ia membuka kata pula,
"Begitukah" Aku
sendiri tidak tahu sebelumnya bahwa aku akan kemari."
"Sebaliknya aku tahu pasti bahwa kau akan datang," demikian ujar Ang-hwat-lo-mo,
"Demi Ma Gwat-sian masakah kau tidak kemari?" lalu ia menyeringai dengan sinis.
Tersentak sanubari Thian-hi, serta merta terasa olehnya bahwa Ma Gwat-sian pasti
sudah mengalami kesulitan, kalau tidak mustahil Ang-hwat-lo-mo bisa menyinggung dan
mengetahui persoalan ini, sedapat mungkin ia kendalikan gejolak hatinya, sesaat baru
berkata, "Ma Gwat-sian
yang kau maksudkan" Sekarang aku sedang mencarinya!"
"Selamanya aku teramat kagum dan simpatik terhadap kau, Dalam keadaan yang
terpaksa baru aku ambil sikap yang bermusuhan dengan kau. Seperti peristiwa di Siong-san tempo
hari, kenyataan mendesak aku untuk berbuat menurut tuntutan nuraniku. Kalau tidak masa
aku suka bersikap berlawanan dengan kalian!"
Mendengar orang tidak mau menyinggung persoalan Ma Gwat-sian hati Hun Thian-hi
menjadi gundah, namun ia pendam dalam batin, supaya Ang-hwat-lo-mo tidak bersikap
terlalu takabur dan main paksa terhadap dirinya.
Dengan tawar ia berkata, "Apa gunanya kau kagum atau simpatik terhadapku. yang
terang justru aku sangat benci padamu, terutama sepak terjangmu terlalu memualkan."
Dengan cercahannya ini ia berusaha memancing kemarahan Ang-hwat-lo-mo supaya orang suka
memberitahu sampai dimana keadaan bahaya yang dialami Ma Gwat-sian. Dengan
demikian ia bisa mempersiapkan diri mencari daya untuk menolongnya.
Tapi Ang-hwat-lo-mo adalah seorang yang licik dan pintar juga, ia mandah tertawa
tawar saja, ujarnya, "Meski kau membenci aku, tapi ada kalanya kau harus bekerja sama dengan
aku, betul tidak?" "Bisa saja kau berkesimpulan begitu, tapi mungkin pula selamanya aku tidak akan
sudi kerjasama dengan kau!"
"Jangan kau bicara begitu pasti. kerja sama yang kumaksudkan bukan dalam arti
yang sesungguhnya, adalah kau yang harus melaksanakan sesuatu kepentingan untukku." -
lalu ia angkat pundak dan melebarkan tangannya, sambungnya, "Anak muda jangan mengumbar
adat, sesuatu peristiwa kadang kala terjadi diluar dugaan, maka jangan kau terlalu
yakin akan dirimu, benar-benar tidak?" Hun Thian-hi mendengus tanpa bersuara.
"Bukankah kau sedang mencari Ma Gwat-sian" Aku dapat mempertemukan kau dengan
dia, baiklah kujanjikan besok pagi2 di Bik-hiat-kok terletak di depan yang tak jauh
sana boleh kau ke sana untuk menemuinya." - habis berkata ia tersenyum penuh arti, tubuhnya
mendadak berkelebat dan berlari pergi sekencang angin.
Thian-hi melenggong, akibat ini sudah sejak tadi terpikir olehnya, namun mau tak
mau ia berkuatir juga bahwa Ma Gwat-sian terjatuh ke tangan Ang-hwat-lo-mo.
Meski ilmu silat Ang-hwat-lo-mo menurut ukuran Thian-hi sekarang tidak begitu
tinggi, namun dia lebih sukar dilayani dan lebih licin dari Tok-sim-sin-mo, bukan saja lebih
pintar dia pun jauh lebih sabar dan tahan uji, benar-benar sulit untuk menghadapi persoalan rumit
ini.... Pikiran Thian-hi semakin gundah dan kusut, berbagai persoalan sama menumpuk di
dalam benaknya, bagaimana karakter Ang-hwat-lo-mo ia paham benar-benar, dialah manusia
telengas dan kejam. mampu melaksanakan segala kekejian tanpa pandang bulu dan tidak
hiraukan akibatnya, entah rencana apakah jaug hendak diatur oleh Ang-hwat-lo-mo untuk
menyambut kedatangannya di Bik-hiat-kok besok pagi.
Apakah aku pantang kesana" Tidak mungkin, Ma-Gwat-sian berada di tangan Ang-
hwat-lo-mo entah akibat apa yang bakal menimpa dirinya.
Begitulah Thian-hi merenung dan berpiklr bolak-balik, terasa bahwa selama ia
belajar silat kepada gurunya dan terjun di dunia persilatan belum pernah ia hidup sehari pun
dalam ketenangan, setiap waktu selalu menghadapi berbagai ancaman dan kesulitan yang
melibatkan diri sehingga selalu terancam elmaut, dan yang lebih celaka bahwa setiap persoalan
itu semua memeras keringat dan daya pikirnya sehingga akhirnya tentu tele2 kehabisan
tenaga. Mendadak terdengar suara lirih dibelakangnya, bercekat hati Thian-hi, pengalaman
mengetuk nalarnya bahwa disebelah belakang ada seorang tokoh persilatan kelas wahid,
suara lirih itu adalah pertanda orang memberitahu kepada dirinya akan kehadirannya.
Hati-hati sekali Thian-hi berpaling ke belakang, sesosok bayangan abu-abu
mencelat tinggi terus menerobos masuk ke dalam hutan laksana segulung asap, gerakannya begitu
gesit dan seenteng burung walet. Melihat gerak-gerik orang Thian-hi menjadi ragu-ragu entah pendatang ini kawan
atau lawan, yang terang ia memberi tanda supaya dirinya mengejar kesana, sedikit berpikir
tanpa ayal segera ia melejit terbang-mengejar dengan kencang pula.
Kepandaian silat bayangan abu-abu itu ternyata cukup hebat, kejar mengejar ini
tetap berlangsung dalam jarak antara beberapa tombak, meski lari mereka cukup pesat
tapi Thian-hi tahu bahwa orang belum menggunakan seluruh tenaganya, yang terang memang ia
sengaja memancing supaya Thian-hi mengikuti jejaknya.
Dalam kejap lain mereka sudah menempuh jarak lima li lebih, bayangan orang itu
mendadak menyelinap hilang ke dalam hutan disebelah depan. Diam-diam Thian-hi merasa
heran, kalau toh orang itu memancing dirinya kemari kenapa dia menyembunyikan diri tidak mau
memberi petunjuk seperlunya" Adakah persoalan lainnya"
Karena pikirannya serta merta timbul kecurigaannya larinya pun diperlambat,
namun ia maju terus sampai tiba di depan hutan, keadaan sekelilingnya hening lelap tak
kelihatan lagi jejak orang
itu." Tanpa sangsi sedikitpun Thian-hi langsung menerobos masuk ke dalam hutan, di
atas sebuah dahan terlihat olehnya tergantung secarik kertas, Thian-hi lantas meraihnya,
tampak kertas itu tertulis demikian, "Tidak begitu menakutkan seperti yang dihebohkan." Tulisan
ini tiada tanda tangan dan juga tidak dibubuhi nama terang, Thian-hi mandah tertawa tawar saja
lalu melempitnya dan disimpan di dalam sakunya sementara matanya menjelajah
kesekitarnya. Disebelah kanan diujung hutan sana tampak sebuah aliran sungai yang mengalir
keluar. Tahutahu jantungnya berdetak dan menjadi tegang, karena secara mendadak didapatinya bahwa
sekarang dirinya sudah tiba diambang mulut Bik-hiat-kok yang dijanjikan Ang-
hwat-lo-mo itu dalam mengejar bayangan abu-abu tadi. Entah Ang-hwat-lo-mo sudah tahu belum akan
kedatangannya ini. Baru saja pikiran ini berkelebat dalam benaknya, ternyata
Ang-hwat-lo-mo

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba muncul dimulut lembah darah kemala.
Ang-hwat-lo-mo tertawa-tawa, serunya, "Agaknya kau terburu nafsu, kujanjikan kau
datang besok pagi, ternyata malam2 begini kau sudah meluruk kemari, apakah kau tidak
merasa terlalu berbahaya?" Thian-hi terpikir, "Menemui Ma Gwat-sian lebih pagi agak baik, apalagi Ang-hwat-
lo-mo tentu belum selesai mengatur tipu muslihatnya, siapa tahu aku dapat mengambil sekedar
keuntungan" - maka Thian-hi lantas berkata, "Dapatkah sekarang juga aku menemui dia?"
"Kenapa tidak boleh?" ujar Ang-hwat-lo-mo, "Mari ikut aku!" -Lalu ia bawa Hun
Thian-hi masuk ke dalam lembah. Sambil berjalan Ang-hwat-lo-mo berkata dengan tertawa, "Dulu tiga puluh enam
tokoh-tokoh Bulim dari kelas wahid yang masuk kemari tiada seorang pun yang ketinggalan
hidup. Maka lembah ini lantas dinamakan Bik-hiat.kok (lembah darah kemala), setiap langkah
dalam lembah ini merupakan pertaruhan jiwa bagi setiap manusia, maka kau harus berlaku hati-hati,
kalau tidak dapat kau masuk takkan mampu keluar pula"
Sikapnya wajar dan tertawa-tawa, sedikitpun tidak unjuk permusuhan.
Diam-diam Thian-hi meningkatkan kewaspadaannya, kalau Ang-hwat-lo-mo berani
membeberkan rahasia ini tentu dia sendiri punya pegangan untuk mengatasi
keadaan, bagaimana watak dan karakter Ang-hwat-lo-mo ia tahu. meskipun bicara ilmu silat dia belum
memadai ToKsim- sin-mo tapi daya pikirannya jauh lebih luas dan cermat serta jauh lebih licik
dan licin dari Toksim- sin-mo, maka tidaklah tanggung2 bila kaum persilatan mengangkatnya sebagai tokoh
sesat nomor satu dikolong langit ini pada jamannya dulu.
Begitu berada di dalam semakin jauh, Thian-hi lantas celingukan kian kemari
empat penjuru sekelilingnya membentang rumput-rumput kemilau hijau pupus, kelihatan segar dan
hidup subur. sedikitpun tiada kelihatan bercahaya, jauh di depan ditengah-tengah lembah sana
lapat-lapat kelihatan sebentuk bangunan rumah batu.
Setelah dekat Ang-hwat-lo-mo berkata, "Ma Gwat-sian dan gurunya tinggal dalam
rumah batu itu, kau boleh masuk menemui mereka." - Dalam berkata-kata ini biji matanya
menyorotkan sinar kilat yang tajam, katanya pula, "Sudah beberapa kali selalu aku gagal dalam
tanganmu. selama hidup ini boleh dikata belum pernah aku kena dikalahkan secara total, kuharap
kali ini aku bisa sukses." Thian-hi tersenyum tawar. ujarnya, "Kau akan gagal atau bakal sukses secara
kenyataan akan segera kau ketahui. Kenapa pula kau risaukan antara gagal dan sukses ini?"
Ang-hwat-lo-mo mandah tertawa lebar tak bersuara. segera ia mengundurkan diri.
D engan cermat Thian-hi jelajahkan pandangannya keempat penjuru, tak dilihatnya
dimana ada tersembunyi jebakan yang berbahaya atau bisa mengancam jiwanya. tapi Ang-hwat-
lo-mo tidak akan menipu dirinya. Pikir punya pikir akhirnya ia melangkah ke depan, matanya
dengan seksama menyapu keadaan sekelilingnya.
Baru puluhan langkah Thian-hi ke depan, mendadak ia melihat suatu yang sangat
mengejutkan hatinya. didapatinya sekarang bahwa rumput-rumput kemilau hijau pupus yang
dinamakan rumput kemala ini sebenar-benarnyalah bukan rumput sembarang rumput, bagaikan ular-ular
kecil ternyata kakinya sekarang sudah kena gubat oleh rumput disekitar kakinya.
Hati Thian-hi rada bercekat. namun mengandal kepandaiannya ia tidak perlu jeri
terhadap rumput ular ini, sekali menyedot hawa ya kerahkan hawa murni terus disalurkan
kekedua kakinya, semakin gubat rumput-rumput ular itu semakin kencang, begitu tenaga Thjan-hi
dikerahkan mendadak ia menggentak keras, anggapnya dengan sekali sendal cukup dapat memutus
hancurkan rumput-rumput ular itu, tapi kenyataan jauh diluar perhitungannya,
rumput-rumput itu cuma mengendor sebentar lalu menggubat lagi lebih kencang.
Baru sekarang Thian-hi benar-benar terkejut. seumpama rumput-rumput ini dibuat
dari besi juga pasti putus oleh gentakan tenaganya yang hebat itu, tapi kenyataan
sedikitpun tidak goyah, tidaklah berkelebihan bila hatinya terperanjat.
Baru saja Thian-hi merasa kewalahan. suatu kejadian lain yang lebih mengejutkan
muncul pula. Dari sela-sela rumput-rumput ular itu mendadak berbondong-bondong keluar banyak
sekali labalaba putih kehijauan yang mengeluarkan sinar kemilau, warna dari laba-laba ini hampir
sama dengan warna rumput ular sehingga Thian-hi semula tidak melihat karena kurang
memperhatikan, maka munculnya laba-laba yang sekian banyak ini mau tak mau membuat hati Thian-
hi mencelos dan panik ketakutan.... Waktu Thian-hi berpaling ke arah sekelilingnya, di atas rumput-rumput kemilau
itu tampak bermunculan laba-laba yang tak terhitung banyaknya, yang lebih mengejutkan bahwa
setiap labalaba itu sebesar telapak tangan manusia, sekali pandang saja cukup menyedot nyali
orang. Thian-hi maklum bahwa laba-laba ini tentu mengandung racun yang teramat
berbahaya, kedua kakinya sudah dibelit tak mampu berkutik, ia jadi kurang leluasa untuk
menghadapi serangan labalaba
ini. Mendadak laba-laba itu terbang menyerang secara serempak, semua meluruk ke arah
badan Thian-hi seperti binatang serigala yang kelaparan untuk gegares mangsanya.
Thian-hi jadi mengkirik, tanpa ayal seruling jadenya segera diputar secepat
kitiran, dimana sapuan tenaga murninya melandai, banyak sekali laba-laba kehijauan yang tersapu
jatuh, tapi serangan laba-laba ini tidak kenal putus asa, roboh satu bangkit dua sehingga
mau tak mau Thianhi terpaksa melancarkan jurus-jurus Wi-thian-cit-ciat-sek, dimana serulingnya
teracung miring terus bergerak sedikit saja hawa udara lantas bergolak dan berputar-putar di
sekitar badannya, tiada seekorpun dari laba-laba hijau itu yang niampu mendekat ke arah badannya.
Tangan bekerja otak Thian-hipun bekerja dengan cepat, tak tahu cara bagaimana ia
harus menghadapi dan mengatasi kesulitannya ini, Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus
ilmu pedang tingkat tinggi, setiap kali dilancarkan pasti hanyak menguras tenaga dalam, dia
takkan mampu bertahan terus sekian lamanya, bila gerak-geriknya sedikit lamban, kontan lantas
ia merasakan betapa ancaman laba-laba hijau ini terhadap jiwa raganya.
Sekejap saja setengah jam sudah berlalu, mendadak terpikir oleh Thian-hi cara
bagaimana Ma Gwat-sian dan gurunya bisa dikurung orang di dalam lembah ini" Lalu siapakah
yang membangun gubuk batu itu" Tentu ada jalan rahasia lain yang dapat menembus ke gubuk batu
itu dengan aman, atau ada cara lain pula untuk mengatasi rumput-rumput ular dan laba-laba
berbisa ini, Begitulah pikiran Thian-hi menjelajah mencari daya untuk menghadapi kesulitan
yang dihadapinya, yang paling penting adalah ia harus menolong dirinya sendiri keluar
dari ancaman bahaya ini. Sungguh ia rada menyesal kenapa tadi tidak dipikirkan dulu secara
cermat baru menerjang ke dalam lembah ini, maka cara satu-satunya untuk menyelamatkan diri
ia harus secepatnya mundur dan keluar dari lembah.
Pikiran Thian-hi semakin gundah, mendadak serulingnya bergerak semakin gencar
dari bertahan sekarang ia ganti menyerang. serombongan laba-laba yang terbang menyerang sekaligus
kena disapunya hancur luluh, dimana serulingnya bergerak lebih lanjut berturut-
turut tiga jurus berantai menggasak seluruh laba-laba yang serabutan menerjang ke arah dirinya,
sedikit peluang saja lantas serulingnya menukik kebawah berputar menggores ke arah rumput-rumput
ular yang membelit kedua kakinya. Kontan rumput-rumput ular itu lantas mengendor dan layu, meringkel kebawah,
Thian-hi tidak mengira bahwa usaha untung2an ini justru membawa hasil di luar dugaan, keruan
betapa girang hatinya, seiring dengan muluthja bersuit panjang, kakinya lantas dijejakkan,
badanpun melambung tinggi terbang keluar dari arena rumput-rumput ular yang berbahaya
ini. Suasana lembah menjadi hening dan lelap kembali, begitu kehilangan sasaran laba-
laba hijau itu lantas sama menyelinap masuk pula ke dalam rumput-rumput ular. Dengan cermat
Thian-hi masih dapat melihat dengan jelas bahwa di bawah sela-sela rumput-rumput itu ada
sembunyi entah berapa banyak laba-laba hijau beracun.
Rumput yang tadi kena diketok dan menjadi layu sekarang sudah tumbuh segar dan
berdiri tegak pula bergoyang2 terhembus angin seperti tak terjadi apa-apa.
Thian-hi celingukan sekian saat menerawang keadaan lembah ini, bila tidak
melalui mulut lembah mungkin belakang lembah ada jalan, ancaman rumput-rumput ular ini pasti jauh
lebih ringan, bukan saja mengurangi kesulitan juga menyingkat waktu.
Pikir punya pikir Thian-hi tidak memperoleh kesimpulan yang lebih baik, maka
setelah dipertimbangkan segera ia melesat ke depan langsung menuju ke puncak gunung.
Baru saja kakinya menginjak puncak gunung, ia tersentak kaget pula, sedemikian
luas puncak ini tapi selayang pandang dimana-mana terdapat ular besar kecil berkelompok2,
sedemikian luas dan rapatnya sehingga setiap tindak kakinya harus menginjak ular-ular itu,
dengan serulingnya Thian-hi menjungkit beberapa ekor ular di sekitar kakinya, tak lupa ia berpikir
lagi mencari jalan lain. Kenyataan terpapar di hadapannya, keadaan puncak gunung tidak lebih baik dari
dalam lembah sana, apalagi ini baru dimulai, apakah nanti masih ada rintangan lain yang jauh
lebih berbahaya belum dapat diperhitungkan.
Heran Thian-hi kenapa dalam lembah ini bisa terdapat begitu banyak binatang2
berbisa. Baru saja Thian-hi berpikir2 tiba-tiba rombongan ular di depannya sama lari serabutan
sembunyi masuk ke dalam lobang atau sela-sela batu, dimana pandangan Thian-hi tertuju tampak di
depannya sana muncul seekor ular yang berbentuk sangat aneh, ular ini panjang lima enam
kaki, badannya panjang dan lencir, kepalanya gepeng dan besar melebar, sekilas pandang seperti
sebentuk papan, kulitnya berwarna kuning luju.
Begitu muncul ular aneh ini langsung legat-legot menghampiri ke arah Thian-hi.
Thian-hi belum pernah melihat ular aneh macam ini. diam-diam ia meningkatkan kewaspadaann,
sedikitpun tak berani lena. Ular aneh itu melata semakin dekat, Thian-hi menggerakkan seruling jadenya
berputar satu lingkaran ditengah udara lalu mengetuk ditengah kepala diantara kedua matanya.
Pikir Thian-hi setiap makluk dalam dunia ini pasti punya kelemahan ditengah diantara kedua
matanya, kecuali berkelit kalau tidak pasti lawan harus mundur menghindar.
Tapi ular aneh itu mengebaskan ekornya, sedikit bergerak saja badannya lantas
melejit ke atas terus melesat ke depan langsung menerjang ke arah Thian-hi, badannya yang
panjang itu membelesut lewat di bawah ketukan seruling jade Thian-hi terpaut serambut saja.
Thian-hi tidak menduga bahwa ular aneh ini mampu meluputkan diri sedemikian
gampang dari serangannya, malah menggunakan kesempatan itu pula balas menyerang, kelihatannya
gerakgerikhja memang lamban dan tidak pandang sebelah mata pada Thian-hi, tapi
sebenarbenarnyalah ular ini begitu lincah dan seperti punya bekal yang cukup sempurna untuk
menghadapi Hun Thian-hi. Thian-hi menjadi sengit, sedikitpun ia tidak mau unjuk kelemahan, beruntun
serulingnya menutuk dan menyapu, tahu-tahu ujung serulingnya menegak ke atas menjojoh perut
si ular aneh itu, pikirnya kali ini cara bagaimana kau hendak menghindar. Agaknya ular aneh
itu cukup waspada, tiba-tiba badannya menggeliat, entah bagaimana mudah sekali ia
meluputkan diri lalu tubuhnya melenting ke depan, mulutnya terpentang mematuk ketenggorokan Thian-hi.
Thian-hi tahu bahwa serangan serulingnya Ini pasti tidak akan membawa hasil,
tapi sedetik ia mendapat peluang disaat siular menekuk tubuh dan sedikit bergerak lamban Itu
tangan kirinya dirangkapkan dan ketiga jarinya menyanggah ke atas hendak mencengkeram leher
siular. Ular aneh melejit ke tengah udara dan menyerang tenggorokannya, kelihatan ia
sudah tidak

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mampu berkelit dari cengkeraman tiga jari Thianhi, namun secara mendadak
badannya menggetar dengan ekornya menyapu turun ke depan, langsung menepuk dan menangkis
tiga jari tangan kirl Thian-hi itu.
Posisi Thian-hi lebih menguntungkan, dengan mendapat angin mana dia mau menyia-
nyiakan kesempatan ini, cepat ia tarik tangannya kiri, berbareng seruling ditangan kanan
juga ditarik balik serempak kaki pun mundur selangkah, dengan mundur selangkah ini dia menjadi
lebih leluasa mengetukan pula serulingnya ke atas kepala siular yang diarah adalah ditengah
kedua matanya pula. Agaknya siular juga dapat meraba cara serangan Thian-hi ini tidak meuggunakan
jurus tipunya dengan sungguh-sungguh, kuatir menghadapi perobahan serangan yang lebih rumit ia
tidak berani sembarangan menyerbu pula, cepat ia menarik diri meluncur mundur dan jatuh di
atas tanah. Thian-hi sama-sama mundur bersama siular aneh, dua belah pihak sama dapat
menjelajahi kekuatan dan kemampuan lawannya, untuk selanjutnya mereka menjadi berhati-hati
untuk melancarkan serangannya lebih duiu.
Setelah berada di tanah ular aneh itu berputar kayun seperti jalan-jalan,
sikapnya wajar dan acuh tak acuh seperti tidak terjadi suatu apa. Thian-hi tahu dia sedang mencari
siasat untuk melakukan penyerangan lebih lanjut.... Demikian juga Thian-hi harus berpikir
mencari jalan cara2 mengatasinya. Sebagai seorang tokoh kosen dari dunia persilatan, sebagai ahli
waris Wi-thian-ciciat- sek pula, masa tidak mampu mengatasi seekor ular belaka.
Tapi cara bagaimana baru serangannya bisa telak mengenai sasarannya" Berbagai
bayangan berkelebat dalam benaknya, tapi semua cara yang tersimpul itu tiada satupun yang
menyocoki seleranya. Sekonyong-konyong ular aneh itu menerjang pula dengan lejitan tubuhnya yang
lebih keras, yang diserang adalah pergelangan tangan Hun Thian-hi. Terpaksa Thian-hi menekan
pergelangan berbareng serulingnya mengetuk pula kebatok kepala lawan.... ia tahu bahwa
serangan balasan ini tidak akan mengenai sasarannya.
Benar-benar juga siular menggerakan kepalanya mendak kebawah terus menerjang ke
depan dengan nekad, agaknya ia tidak hiraukan keselamatan diri sendiri, yang terang
mulutnya terpentang hendak menggigit pergelangan tangan kanan Thian-hi.
Mendadak timbul rasa curiga Thian-hi akan gerak-gerik siular aneh ini, sunguh
sukar dipercaya seekor ular berbisa yang ganas bisa melakukan serangan yang begitu ceroboh,
kecuali dia sendiri punya rencana lain lebih lanjut, betapapun sulit untuk melaksanakan pertempuran
adu kekuatan secara keras, bilamana Thian-hi cukup dengan sejurus dapat memukul mundur
siular, lalu merangsak lebih lanjut dengan gencar, pasti ia dapat mengambil posisi yang
sangat menguntungkan. Tapi kenyataan menghambat jalan pikiran Thian-hi untuk menerawang keadaan
dirinya, gesit sekali serulingnya melintang miring lalu menyapu keras dari samping ke atas.
Kebetulan siular menggerakan ekornya, lincah sekali mendadak ia berhasil
membelit batang seruling Thian-hi, seiring dengan itu badannya lantas meneguk, laksana ujung
anak panah yang melesat. dari busurnya mulutnya yang bertaring runcing itu melesat ketenggorokan
Thian-hi. Keruan Thian-hi terkejut setengah mati, untuk menyelamatkan diri terpaksa ia
harus melempar serulingnya. Tapi ia insaf bila serulingnya lepas dari tangannya pasti dirinya
bakal kalah total. Maka bagaimana juga ia harus berusaha tanpa membuang-buang waktu untuk
melepaskan serulingnya, mendadak ia menggentakan serulingnya dengan sepenuh tenaga,
pikirnya hendak menggetar lepas belitan ekor siular aneh dari batang serulingnya
Siular aneh hanya gemetar sedikit oleh getaran tenaga dalam Thian-hi, tapi
belitan ekornya tetap kencang dan tak sampai tergetar jatuh, tahu-tahu malah kepalanya menegak
kembali dengan mulut terpentang lebar, yang diarah tetap adalah tenggorokan.
Saat mana kebetulan tangan kiri Thian-hi sudah terangkat ke atas, langsung kedua
jarinya secepat kilat lantas menyelentik ke arah batok kepala siular.
Betapa sulit siular mendapat kesempatan ini, sudah tentu ia tidak menyia-nyiakan
begitu saja, tapi selentikan jari Thian-hi yang hebat ini mau tak harus dihindari kalau tidak
mau konyol. Terpaksa mulutnya berdesis gusar dan memiringkan kepala meluputkan diri.
Namun dengan berkelit ini ia menjadi kehilangan kesempatan yang paling baik
tadi, begitu jarijari Thian-hi menjelentik keluar langsung ketiga jarinya menyongsong seiring dengan
gerakan lanjutan tangannya mencengkeram tempat terlemah yang terletak tujuh senti di
bawah kepala siular. Apa boleh buat siular harus membatalkan rencananya mematuk tenggorokan
Thian-hi, begitu menundukkan kepala menyusuri batang seruling lawan taringnya yang tajam
mengancam jari-jari Thian-hi yang menggenggam seruling.
Thian-hi menjadi serba sulit, ia tahu keadaan memaksa ia harus melepaskan
serulingnya, namun bagaimana juga ia tidak rela membuang serulingnya begitu saja, sekonyong-
konyong ia mengempos hawa murni dalam pusarnya, mulut lantas bersuit panjang dan nyaring
melengking, serulingnya lantas diayun dan dilempar ke tengah udara laksana roket menjulang
tinggi ke angkasa. Waktu ia melontarkan serulingnya ini diam-diam ia kerahkan Lwekangnya dibatang
serulingnya untuk menggetar lukai siular aneh, pikirnya meski tidak sampai menggetar lepas
dan menjatuhkan sang musuh, paling tidak pasti tergetar luka parah.
Seruling itu menjulang tinggi seperti hampir lenyap ditelan mega, setelah
mencapai tick ketinggian akhirnia menukik balik meluncur turun lebih pesat. Belum lagi
seruling itu jatuh di tanah, sekonyong-konyong siular aneh itu melenting miring menerjang ke arah
Thian-hi, yang diarah lagi-lagi adalah tenggorokannya.
SunggUih takjup dan jeri pula hati Thian-hi, sungguh diluar dugaannya bahwa
siular aneh ini begitu lihay jauh lebih hebat dari perhitungannya semula, bukan saja tidak
terluka oleh getaran tenaga dalamnya, malah masih mampu balas menyerang lagi dengan gerakan yang
begitu lincah. Tapi tidak diketahui olehnya bahwa sebenar-benarnyalah siular seperti sibisu
menelan biji teratai yang pahit getir. menderita tapi tak kuasa bicara, begitu ia dibawa naik
turun oleh lontaran seruling yang sangat tinggi itu kalau ia tidak segera melepaskan gubatannya di
atas batang seruling dan hanya menggunakan ekornya mennggantol. kalau tidak entah bagaimana
kesudahan dirinya saat itu, meski demikian tak urung iapun tak kuasa menahan diri lagi.
Begitu meluncur turun dengan kegusaran yang berlimpah2 kontan ia serang Thian-hi lebih ganas.
Thian-hi sudah bersiap, cepat ia kerahkan Pan-yok-hianJ-kang mendorong kedua
telapak tangannya menyongsong ke depan. siular aneh kena dipukul terpental kesamping.
Begitu jatuh di tanah gesit sekali siular legal-legot berputar mengelilingi Thian-hi.
Posisi Thiar-hi semakin sulit lambat-laun ia terdesak di bawah angin, jelas
melihat serulingnya jatuh disebelah sampingnya. tapi ia tidak berani membongkok badan menjemputnya,
sementara siular aneh itu dengan garang mengancam dirinya.
Setelah ular aneh mengitari Thian-hi satu putaran, tanpa gentar sedikitpun
pelan-pelan ia maju mendekat dari arah depan Thian-hi. Dengan tanpa membekal senjata untuk menang
adalah mustahil bagi Thian-hi. Apalagi ular aneh ini cukup cerdik dan cekatan, sukar
dihadapi lagi, soalnya keadaan memaksa sehingga ia harus menguras tenaga untuk mempertahankan diri
belaka. Disamping itu otak Thian-hi pun diperas untuk mencari jalan keluar, kesempatan
satu-satunya supaya dapat mengambil kemenangan dengan sekali serang secara telak mengenai
tempat kelemahan siular, soalnya dengan bersenjata saja ia tidak mampu menang, apalagi
sekarang bertangan kosong mana mungkin melaksanakan keinginannya ini, teorinya gampang
namun prakteknya sulit. Tiba-tiba terbayang oleh Thian-hi adegan di dalam Jian-hud-tong waktu ia ketemu
Pek-tok Lojin dan Siau-pek-mo dengan Ling-coa-pounya yang lihay itu, bilamana iapun bisa Ling-
coa-pou, adalah sangat tepat untuk menghapi ular aneh ini.
Maka terbayanglah akan garak-gerik Pek-tok Lojin waktu menyerbu dirinya dengan
gerak langkah yang aneh itu, soalnya waktu itu ia terlalu tegang sehingga tidak
terlalu menaruh perhatian sehingga ingatannya sekarang rada samar-samar. Sementara itu si ular
aneh dihadapannya ini secepot kilat sudah merangsak datang pula.
Tanpa punya kesempatan berpikir lagi. tersipu-sipu Thian-hi ayun telapak
tangannya menampar ke arah siular. Badan siular melengkung lalu melenting laksana pegas yang keras,
badannya melengkung ditengah udara berputar ke belakang terus mematuk kepunggung Thain-
hi. Sekonyong-konyong terbayang oleh Thian-hi akan serangan Siau-pek-mmo waktu ia
menerjang keluar dari dalam gua dengan jelas sekali, tanpa ayal segera kakinya menggeliat
kesamping, berbareng tubuhnya membelesut kepinggir, gerak geriknya seperti Ling-coa (ular
sakti) dalam jarak serambut saja ia berhasil menghindari pagutan siular yang lihay dan
berbisa ini, bersama itu dua jari tangan kanannya laksana jepitan besi mengarah tujuh senti di bawah
lehernya. Agaknya ular aneh ini tidak menduga bahwa Thianhi bisa melancarkan langkah aneh.
seketika ia mundur dengan jeri. Cukup sejurus saja Thian-hi mendapat hasil diluar
dugaannya, situasi menjadi banyak berubah, mengandal ingatannya ia gunakan pula Ling-coa-pou
mendesak maju lebih lanjut. Agaknya ular aneh ini mengenal juga Ling-coa-pou dan jeri, begitu Thian-hi
semakin dekat tibatiba ia berteriak ketakutan terus mundur ke belakang kira-kira satu tombak jauhnya
lalu melingkar dan menegakkan kepala siap bertahan, tak berani pula ia sembarangan bergerak.
kalau tadi bersikap acuh tak acuh adalah sekarang kelihatan sangat tegang dan ketakutan.
Melihat si ular membentuk pertahanan yang agaknya cukup kuat Thian-hi juga tidak
berani sembarang menyerang. Ia tahu lawan menggunakan ketenangan untuk mengatasi
pergerakan, apalagi kesan-nya mengenai Ling-coa-pou samar-samar dan yang dilan-carkan tadi
tidak lebih cuma kulitnya saja, bila ia bergerak terlalu banyak seandainya menunjukkan
lobang kelemahan sendiri pasti celaka akibatnya nanti!
Bab 30 Karena kekuatirannya. ini maka Thian-hi tidak maju lebih lanjut, pelan-pelan ia
membungkuk menjemput serulingnya. Dengan nanar ular aneh itu mengawasi Thian-hi sambil
memainkan lidahnya, setelah mengalami kekalahan tak berani ia menerjang pula dengan nekad.
Ia tak tahu apakah tingkah laku Thian-hi ini merupakan pancingan belaka, bila pertahanan
dirinya kendor dan Thian-hi lantas menyerang pasti runyam akibatnya. Maka ia mendelong saja
mengawasi Thian-hi menjemput serulingnya, tak bergerak dan tak berani menyerang pula.
Setelah seruling berada di tangan, Thian-hi melirik ke arah si ular, dia tak
bisa terlalu lama berada di tempat ini, Ma Gwat-sian yang terkurung di dalam lembah sana perlu
segera ditolongnya, maka ia harus cepat-cepat menerjang masuk.
Tengah ia berpikir2 mendadak dari jauh sana terdengar lengking suara panjang,
ular aneh itu seketika menegakkan badannya tinggi2, kepalanya celingak-celinguk, seperti
tengah mendengarkan apa. Beruntun suara lengking itu semakin dekat dan keras, si ular menjadi bersitegang
leher, cepatcepat ia putar balik ke arah datangnya semula dan merajap cepat sekali sekejap saja
sudah menghilang dari pandangan mata.
Thian-hi terheran-heran, sesaat ia menjadi kesengsam dan lupa melancarkan
serangan, sementara itu si ular aneh sudah pergi dengan cepat.


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-hi bertanya-tanya dalam hati; 'peristiwa apakah yang telah terjadi disana,
kenapa begitu tegang, ia celingukan ke empat penjuru, sedemikian banyak ular yang tersebar
dimana-mana itu sekarang sudah lenyap sama sekali.
Baru saja Thian-hi berniat memburu ke arah depan, sekonyong-konyong hidungnya
dirangsang bau harum semerbak terbawa angin, bau harum ini begitu merangsang membuat ia
seperti hampir mabuk, disadari oleh Thian-hi bahwa mungkin disekitar sini terdapat sesuatu
rumput sakti yang sudah tiba saatnya masak.
Waktu Thian-hi berpaling memandang kebawah lembah, kejadian yang lebih aneh
seketika terbentang di depan matanya, dimana bau harum itu tersiar terbawa angin, rumput-
rumput ular di bawah sana seketika menjadi lemas dan rebah semua.
Thian-hi heran dan bertanya-tanya, cepat ia melayang turun begitu berada di
dalam lembah didapati semua rumput-rumput ular itu seperti lumpuh sama sekali, tak bergerak
lagi rebah dengan lemas lunglai. Demikian juga laba-laba hijau itu semua sama menggeletak
seperti sudah mati semua. Semakin besar rasa heran Thian-hi, entah benda apakah yang dapat. menundukkan
rumput dan laba-laba berbisa ini" Begitu lihay, sedikit merandek cepat ia melayang
masuk ke dalam lembah sebelah dalam sana terus menerjang ke arah gubuk batu itu.
Belum lagi ia mencapai gubuk batu itu, di tengah jalan sekonyong-konyong
didengarnya suara aneh di sebelah depan samping, tiba-tiba seekor laba-laba warna merah darah
merangkak keluar dari sela-sela rumput lebat, sepasang matanya yang besar dengan garang menatap
ke arah Thianhi. Kejut Thian-hi bukan kepalang, selamanya belum pernah dilihatnya makhluk aneh
sebesar ini, serta merta ia menyurut mundur dengan gentar.
Laba-laba yang teramat besar seperti gantang merangkak maju ke arah Thian-hi,
kelihatannya sembarang waktu ia sudah siap menyerang. Dengan menenteng serulingnya Thian-hi
siap waspada, segala gerak-gerik si laba-laba besar ini tak lepas dari pandangan
matanya. Setelah maju dua langkah pula laba-laba merah besar itu mendadak mencelat
menubruk, ditengah udara mulutnya lantas menyemburkan gelagasi warna merah yang bertaburan
seperti hendak menggubat seluruh badan Thian-hi.
Thian-hi mendengus hidung, gesit sekali ia melompat menyingkir, sambil mengertak
gigi serulingnya ia jojohkan menutuk kelambung laba-laba yang gendut besar. Sementara
Laba-laba besar itu meluncur turun hinggap di belakang Thian-hi, bersama gelagasinya yang
disemburkan semakin banyak berusaha mengepung Thian-hi.
Terpaksa Thian-hi melejit ke atas. Agaknya si laba-laba merah ini sudah tahu
bahwa Thian-hi tentu akan menghindar dengan jalan mencelat ke atas, cepat iapun melejit tinggi
pula, gelagasinya laksana jala bertaburan di tengah angkasa menungkrup ke badan Thian-
hi. Thian-hi sudah waspada bila ia tidak cepat-cepat lolos dari kepungan, gebrak
selanjutnya tentu lebih sukar untuk menerjang keluar dari kepungan gelagasi ini, jelas pula bahwa
gelagasi itu pasti mengandung racun yang teramat jahat, sedikit mengenai kulit badannya jiwa pasti
melayang. Tanpa ragu-ragu mulutnya menggertak nyaring, serempak serulingnya ditaburkan
dengan jurus Bangau terbang menembus awan mega, selarik sinar putih kemilau menembus tinggi
menerjang ke berbagai penjuru, sementara itu hawa murni Thian-hi pun sudah dikerahkan
untuk melindungi badannya yang turut menerjang pula.
Seketika hawa udara bergolak seperti terjadi angin ribut, laba-laba merah itu
kena terpental mundur terdesak oleh kehebatan kekuatan permainan tenaga Thian-hi. Thian-hi jadi
mendapat kesempatan terbang melesat keluar, di tengah udara ia jumpalitan setengah
lingkaran terus terbang lurus ke depan. Laba-laba merah itu mengeluarkan jerit aneh, kelihatan badannya kembang kempis,
secepat kilat tiba-tiba melesat maju, gelagasi menyembur pula dari mulutnya merintangi
jalan mundur Thian-hi. Bau harum itu semakin tebal memenuhi udara dalam lembah agaknya laba-laba merah
itu terpengaruh oleh bau harum ini, serangannya semakin gencar, seolah-olah ia ingin
menelan Thian-hi bulat2. Karena kena dihalangi terpaksa Thian-hi putar balik melawan lagi. Sementara
laba-laba merah sudah melejit tiba pula dihadapan Thian-hi, badannya seperti gentong, terutama
perutnya semakin membesar menyedot gelagasi ke dalam perutnya, matanya yang besar madelik ke arah
Thian-hi. Dalam keadaan genting dan saling bertahan ini tiba-tiba kuping Thiah-hi
mendengar gelak tawa yang nyaring, tampak Ang-hwat-lo-mo tengah lari mendatangi bagai terbang.
Diam-diam Thian-hi meningkatkan kewaspadaan, benar-benar diluar dugaannya bahwa
Anghwat- lo-mo bakal muncul pula dalam situasi yang gawat ini, entah apakah maksud
tujuannya, kalau dia bersikap memusuhi dirinya tentu sulit dihadapi bagaimana pun aku harus
lebih hati-hati. Demikian batinnya. Sambil bergelak tawa Ang-hwat-lo-mo berseru ke arah Thian-hi, "Sungguh beruntung
kau, tepat kedatanganmu!"
Tergerak hati Thian-hi, tahu dia bahwa dalam lembah ini pasti terdapat sesuatu
rahasia yang tersembunyi, mungkin Ang-hwat menyusul datang karena mengendus bau harum itu,
dapatlah diterka kemana tujuan kedatangannya ini. pasti karena sesuatu benda mestika
itulah. Adalah sebaliknya tujuan dirinya bukan kesana. tujuannya hanyalah ingin menolong
Ma-Gwatsian yang terkurung di dalam gubuk batu itu, sejenak ia merenung lalu katanya kepada
Ang-hwatlo- mo, "Dengan cara apa laba-laba merah ini dapat ditaklukkan?"
Ang-hwat-lo-mo menggeram, serunya, "Tiga puluh tokoh-tokoh Kangouw dulu semua
sama menemui ajal oleh keganasannya, menurut hemadku tiada sesuatu benda yang kuasa
menundukkan binatang ini."
Sekilas laba-laba merah melirik ke arah Ang-hwat-lo-mo, badannya sudah bergerak
hendak menyerang tapi diurungkan.
Thian-hi tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo pasti membual belaka, kalau benar-benar kata-
katanya kenapa pula dia harus muncul pula disini" Jelas bahwa diapun punya tujuan
tertentu, sedang dirinya cuma diperalat belaka.
Kata Ang-hwat-lo-mo, "Ma Gwat-sian berada di dalam gubuk batu itu, coba kau
pikir kenapa dia bisa. masuk kesana. dari sini mungkin kau dapat menyimpulkan sesuatu."
Thian-hi tidak tahu maksud kata-kata Ang-hwat-lo-mo dia bungkam tak bersuara
lagi. Dalam hati ia menerawang cara bagaimana ia harus bertindak lebih lanjut.
Tahu-tahu sesosok bayangan manusia meluncur turun pula dalam lembah, sedikit
mengerlingkan mata hati Thian-hi lantas bercekat, pendatang baru ini bukan lain adalah Bok-pak-it-koay
(sianeh dari gurun utara) yang dulu berebutan buah ajaib dengan Hwesio jenaka. Lama tak
ketemu tak duga beliau mendadak muncul di tempat ini, entah apa pula tujuannya kemari.
Begitu menginjak tanah Bok-pak-it-koay menyapu pandang ke arah Thian-hi berdua,
ujung mulutnya mengulum senyum sinis, agaknya ia tidak pandang sebelah mata mereka
berdua. Ang-hwat-lo-mo mendelik ke arah. Bok-pak-it-koay, hatinya rada gusar dan kejut,
diam-diam ia kagum akan kepandaian orang yang dengan cepat dapat mendengar kabar ini lantas
meluruk datang, agaknya kedatangannya ini memang punya tujuan tertentu, dari rona
wajahnya dapatlah diandalkan bahwa dia punya cara untuk mengatasi laba-laba merah ini. Dugaannya
ini bukanlah tidak beralasan karena sebenar-benarnya Bok-pak-it-koay juga kenal dirinya kalau
tidak punya andalan tidak mungkin ia bersikap begitu memandang rendah dirinya.
Dasar licik dengan tertawa cengar-cengir ia menyapa lebih dulu, "Tak duga kaupun
menyusul datang!" Dengan sikap congkak dan menengadah Bok-pak-it-koay melirik ke arahnya, ia
menggendong tangan tanpa mengeluarkan suara, anggap tak mendengar sapaan Ang-hwat-lo-mO.
Sudan tentu bukan kepalang terbakar hati Ang-hwat-lo-mo tak nyana bahwa Bok-pak-
it-koay begitu congkak berani memandang rendah dirinya, hampir saja ia sudah tak kuasa
menahan gejolak amarahnya hendak melabrak Bok-pak-it-koay, tapi niatnya ia urungkan
karena. ia berpikir, "Kenapa aku begitu goblok mencari perkara padanya. Lebih baik kutonton saja cara
bagaimana ia menghadapi laba-laba merah itu, bila ia berhasil membunuhnya, belum terlambat
aku turun tangan kepadanya. Seumpama ia tidak kuasa melawan laba-laba merah itupun tiada
jeleknya bagiku." Dalam pada itu Bok-pak-it-koay sudah menghampiri dekat ke arah laba-laba merah
itu. Agaknya laba-laba merah menjadi murka, ia delikkan matanya semakin besar.
kakinya bergerakgerak siap menyerang. Kelihatannya Bok-pak-it-koay tidak gugup dan tidak gentar,
agaknya ia yakin benar-benar akan kepandaiannya, kakinya beranjak semakin dekat.
Tiba-tiba laba-laba merah menubruk maju dengan kecepatan kilat, mulutnya
menyemburkan gelagasi warna merah yang bertaburan laksana benang sutra, seluruhnya
beterbangan menggubat keseluruh badan Bok-pak-it-koay.
Mulut Bok-pak-it-koay mengeluarkan suara aneh, nadanya rendah dan serak, tiba-
tiba tubuhnya melambung tinggi ke tengah udara lantas berputar satu lingkaran terus
melesat melampaui atas kepala laba-laba merah, dan berlari bagai terbang ke arah lembah
yang sebelah dalam sana. Agaknya laba-laba merah sudah siaga, seperti sudah tahu bahwa Bok-pa-it-koay
bakal bertindak begitu licik menerobos lewat dari penjagaannya, maka begitu serangan
luput, badannya lantas berputar terbang mengejar dengan kencang, puluhan jalur gelagasi laksana
rantai disemburkan menungkrup ke badan Bok-pak-it-koay.
Mulut Bok-pak-it-koay menggerang rendah, tangan kanannya diayun seketika
bertaburanlah bubuk-bubuk putih laksana kabut pagi menerpa ke arah laba-laba merah.
Agaknya laba-laba merah sangat takut dan terkejut, cepat-cepat ia mencelat
mundur sejauh mungkin. Sementara Bok-pak-it-koay merandek sejenak, ia berpaling ke arah Ang-hwat-lo-mo
dan Hun Thian-hi sambil unjuk seringai dingin lalu berlari bagai terbang ke dalam
lembah. Belum lagi Bok-pak-it-koay memutar tubuh Ang-hwat-lo-mo juga sudah melejit
dengan kecepatan bagai anak panah meluncur ke depan langsung menerjang dengan pukulan
berat ke punggung Bok-pak-it-koay.
Bok-pak-it-koay menggertak gusar, tanpa membalik tubuh dengan kaki masih berlari
ke depan sebelah telapak tangannya menepuk ke belakang. Ia tahu seorang lawan Ang-hwat-
lo-mo saja sudah terlalu berat baginya, apalagi ada Hun Thian-hi pula jelas dirinya bukan
Alap Alap Laut Kidul 10 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Geger Pulau Es 1
^