Pencarian

Badik Buntung 17

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 17


kau kejar demi masa depanmu, apakah hidupmu ini melulu cuma demi menuntut balas saja.
Kalau demikian saja pandangan dan pendapatmu, rasanya terlalu kecil kau menilai norma2 hidup
manusia ini.... Apa pula yang perlu kau kejar dan kau capai, kukira hanya kau sendiri yang
tahu!" Hun Thian-hi tertunduk, ia bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah aku hidup demi
menuntut balas dendam" Rasanya bukan, dan masa itu sudah silam, kalau tidak tiada
manfaatnya aku hidup lebih lanjut dalam dunia ini!"
Sekarang ia mulai menyelusuri kembali pengalamannya selama ia terjun ke
gelanggang percaturan dunia persilatan, segala sepak terjangnya memang bukan melulu untuk
mengejar musuh dan menuntut balas dendam. Mo-bin Suseng sudah mampus sediki tpun tidak
terasa senang dalam hatinya, bukan saja tidak gembira iapun tidak merasa bahwa ia sudah
menang dan berhasil menunaikan tugas.
Kata Ah-lam Cuncia lagi, "Kau harus tahu, Mo-bin Suseng bukan seorang durjana
yang teramat jahat, jangan kau pandang rendah martabatnya. Pesannya sebelum ajal semua ia
curahkan dari lubuk hatinya yang paling dalam dan itu benar-benar, tiada terkandung maksud-
maksud jahat. Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-im tentu tidak akan salahkan kau, bahwasanya
memang Mo-bin Suseng yang berbuat kesalahan, ia melakukan perbuatan yang sebenar-benarnya tak
perlu ia lakukan!" Hun Thian-hi tersenyum, katanya, "Sekarang sedikitpun Wanpwe tidak punya angan2
untuk menuntut balas apa segala, cuma masih tersekam suatu perasaan aneh, tapi aku
sendiri tidak dapat mengatakan perasaan aneh apakah itu!"
"Itu tidak perlu dibuat heran," ujar Ah-lam Cuncia, "adalah jamak kejadian itu
bagi manusia. Dikala seseorang mengejar sesuatu benda umpamanya, sangkanya setelah ia
memperoleh benda itu pasti hatinya akan puas dan kegirangan. Jikalau Mo-bin Suseng sekarang
muncul di hadapanmu, dan dia belum lagi meninggal, pasti kau tidak akan hiraukan nasehat
atau bujukan orang lain dan melabraknya mati-matian, setelah kau berhasil mencapai kemenangan
maka kau sendiri tidak akan merasakan kemenangan itu, tak lain sama seperti biasa saja."
Thian-hi bungkam dan merenung, memang begitulah keadaannya sekarang, tanyanya
kepada Ah-lam Cuncia, "Taysu, lalu bagaimana aku harus menempatkan diri supaya tidak
terbelenggu oleh semua itu?" "Jangan ceroboh dan jangan serampangan bertindak setelah kau memperoleh hasil!"
demikian ujar Ah-lam Cuncia sambil merangkap tangan di depan dada.
Tersadar benak Thian-hi, cepat ia menjura, serunya, "Terima kasih akan petunjuk
Taysu." Sesaat lamanya mereka berdiam diri, akhirnya Ah-lam membuka suara pula, "Ni-hay-
siang-kiam punya hubungan yang sangat mendalam dengan Jing-san-khek, ada beberapa persoalan
adalah urusan intern rumah tangga mereka, kita sebagai orang luar tidak perlu turut
campur, begitu juga soal kuda hijau itu tidak perlu kau terlalu mendesak pada mereka, Tapi Ma Gwat-
sian dan gurunya adalah ahli waris dari Tay-seng-ci-kou, kau harus menolong mereka keluar, tapi
rasanya Ni-haysiang- kiam tidak begitu gampang mau menyerahkan mereka padamu!"
"Taysu apakah kau punya cara memasuki barisan ini?"
"Aku juga punya hubungan erat sekali dengan pencipta barisan ini, biarlah
kucoba-coba, tapi belum tentu aku bisa berhasil."
Timbul setitik harapan dalam benak Thian-hi, bahwa ucapan Ah-lam jelas memberi
tahu bahwa beliau mampu memecahkan barisan ini, cuma kami berdua sama masuk kesana ataukah
dia sendiri yang akan menjebolnya.
Rada lama Ah-lam Cuncia meneliti keadaan barisan kembang ini, raut mukanya
semakin kelam, Hun Thian-hi menjadi heran, tapi ia sungkan untuk bertanya, dalam hati ia
bertanya-tanya entah hubungan apa adanya pencipta barisan ini dengan Ah-lam Cuncia.
Tak lama kemudian terdengar Ah-lam Cuncia berkata, "Mari kuberi petunjuk, coba
kau masuk ke dalam barisan." Thian-hi rada kaget dibuatnya, pikirnya, "Bahwasanya aku tidak tahu menahu
tentang seluk beluk barisan ini, beberapa patah kata-katamu biia dibanding kedatangan Goan
Liang berdua rasanya terpaut antara bumi dan langit, bukankah sia-sia saja aku masuk ke dalam
barisan sana, sekali kena dirintangi, masa aku mampu melarikan diri!"
Ah-lam dapat melihat sikap ragu-ragu Hun Thian-hi, ia jadi geli dan berkata,
"Kau dengar dulu petunjukku! Coba kau lihat!"
Sembari berkata ia menunjuk ke arah sebuah pohon kenari lalu tambahnya, "Kau
boleh menuju ke arah pohon kenari itu, setelah di bawah pohon kekiri tiga kekanan dua dan
terus kau tempuh cara yang sama, dengan mudah kau bisa masuk dan menerobos keluar dari barisan!"
Thian-hi memandang ke arah pohon kenari itu, disekitar pohon sana terdapat
banyak sekali batu gunung-gunungan dan liku2 aliran sungai kecil yang serba rumit, selayang
pandang lantas menimbulkan kejerihan hatinya. Tapi justru Ah-lam Cuncia menghendaki dirinya
menerobos ke tempat yang paling rumit itu, serta merta semakin ciut nyalinya, tapi perintah
Ah-lam Cuncia tidak bisa tidak harus dituruti dan anjuran orang pasti tidak akan salah, jalan itu
pasti benar-benar dan tidak perlu disangsi lagi.
Cuma masih terkandung kesangsian dalam benaknya, apakah mungkin barisan kembang
yang sangat rumit ini dapat begitu gampang dipecahkan". Segera Thian-hi melayang
turun di bawah pohon kenari itu, ternyata Goan Tiong dan Goan Liong tidak muncul mencegat jalan
lagi, mau tak mau terhiburlah hatinya. Tanpa ayal lagi Thian-hi melangkah lebih jauh ke depan
pohon kenari, dan belum lagi ia beranjak lebih lanjut tiba-tiba Goan Tiong berdua muncul
mengadang di depannya sambil menyoreng pedang. Menghadapi gunung2an batu yang berserakan
tidak genak dan kilauan batang pedang yang menyilaukan mata, serta merta hati Thian-hi
menjadi keder, kalau ia nekad maju lebih lanjut entah apa yang akan diperbuat oleh Goan Tiong
berdua, tapi pesan Ah-lam Cuncia harus dipatuhi dan itu berarti bahwa dia harus maju lebih
lanjut. Tiba-tiba tergerak hatinya sebat sekali ia melejit enteng beberapa inci di atas
tanah, laksana air menglir bagai awan mengembang badannya melayang seringan asap berkelebat ke arah
kiri terus membelok kekanan pula dengan luncuran yang cepat seperti membresut lewat di atas
salju. Tepat disaat Thian-hi bergerak Goan Tiong dan Goan Liang juga menggerakan kedua
pedangnya menyilang ke arah yang berlawanan, terus menerjang ke depan, tapi
Thian-hi keburu sudah melesat menyingkir sehingga daya serangan mereka menjadi susut, maka dalam
detik lain Hun Thian-hi sudah berhasil menerobos lewat dari kilauan samberan pedang mereka
terus meluncur lagi ke arah kiri tapi saat itu ia sudah berada di belakang mereka.
Sudah tentu Goan Tiong berdua merasa diluar dugaan, selamanya belum pernah
mereka mengalami kejadian begini aneh, sejenak mereka melengak dilain saat mulut mereka
membentak2 dan berkaok mencaci maki.
Kedatangan Ah-lam Cuncia sebetulnya sudah diketahui oleh mereka, percakapan Hun
Thian-hi berdua juga sudah mereka dengar dengan cermat, cuma mereka jadi semakin heran
dan kaget bahwa Ah-lam bisa begitu cepat memberi petunjuk ke arah pintu hidup dari barisan
yang rumit ini, tapi betapa pun mereka tidak mau percaya dengan langkah tiga kanan dua kiri
orang akan berhasil menerjang masuk dan bebas tanpa kena rintangan ke dalam barisan.
Begitu permainan langkahnya yang aneh membawa hasil seketika berkobar semangat
Thian-hi, semakin besar pula keyakinan hatinya, begitulah ia bergerak lebih lanjut
menuruti petunjuk yang didengarnya tadi, dilain saat ia sudah masuk semakin dalam ke dalam barisan,
bayangan Goan Tiong berdua kadang-kadang kelihatan di lain saat sudah lenyap pula di sebelah
belakangnya, selama itu mereka masih mengejar terus dengan kencang rangsakan pedang mereka
tetap bersilang kekanan kiri dan membabat bergantian, tapi dalam jarak cuma serambut
saja selalu Thian-hi dapat meluputkan diri dari aambaran pedang yang ganas ini. Tanpa
hiraukan dua orang pengejar dibelakangnya Thian-hi lari sipat kuping menuju ke arah gedung besar.
Bahwa serangan mereka berulang kali selalu gagal mau tak mau membuat Ni-hay-
siang-kiam menjadi uring-uringan dan mencelos hatinya, sungguh tidak pernah terpikir oleh
mereka bahwa dengan kerja sama ilmu pedang mereka yang begitu serasi masih belum mampu
mencapai sasarannya, cukup dengan langkah tiga kiri dan kanan koq dapat mengobrak abrik
barisan kembang ini. "Hai, berhenti dulu!" akhirnya Goan Tiong berteriak.
Sekarang Thian-hi sudah tidak takut dan percaya benar-benar akan kemampuannya,
maka segera ia menghentikan langkahnya, dengan tersenyum penuh arti ia pandang kedua
orang tua kurus kecil ini. Dengan mendelik Ni-hay-siang-kiam sama melotot kepada Thian-hi, lalu Goan Tiong
berpaling ke arah Ah-lam Cuncia. dan bertanya, "Siapakah kau sebenar-benarnya, dari mana
kau dapat tahu rahasia dari barisan ini?"
Ah-lam Cuncia tersenyum manis, ujarnya, "Lo-ceng Ah-lam, tentang barisan ini
sejak kecil memang pernah kupelajari!"
Goan Tiong menjengek bibir, ejeknya, "Kau bergelar Ah-lam Cuncia aku sudah tahu,
cuma aku ingin tahu asal usulmu yang sebenar-benarnya. Ketahuilah bahwa barisan ini
diciptakan oleh Huisim Sin-ni dari Ngo-bi-pay, kalau mau dikata kau sejak kecil sudah kenal akan
barisan ini, bukanlah kau sengaja hendak meng-olok2 kami. Mungkin hanya beberapa orang saja
yang kenal barisan ini di seluruh kolong langit ini...."
Ah-lam tetap tersenyum lebar, ujarnya, "Sebagai orang beribadat aku tidak suka
membual, adalah benar-benar sejak kecil aku sudah pernah mempelajari barisan ini, karena
aku kenal dan bersahabat kental dengan penciptanya, apakah hal ini perlu dibuat heran?"
"Kau kenal dengan pencipta barisan ini sejak kecil?" jengek Goan Tiong tidak
percaya, jelas ia sudah mulai marah dan dongkol.
"Bila sedikit kujelaskan mungkin kau mau percaya," demikian tutur Ah-lam Cuncia,
"Sebetulnya kamu berdua pun sejak kecil sudah kukenal." sampai disini ia tertawa lebar penuh
arti. Adalah Thian-hi menjadi semakin keheranan. Benar-benarkah Ah-lam Cuncia punya hubungan
yang begitu kental pula dengan Ni-hay-siang-kiam" Kalau hal ini benar-benar, buat apa
lagi ia susah2 bertempur menghabiskan tenaga dan waktu"
Goan Tiong melenggong, bahwasanya ia tidak percaya akan ucapan Ah-lam Cuncia.
Namun jelas bahwa Ah-lam Cuncia memang merupakan seorang beribadat yang agung dan
mencapai tingkat yang tinggi, semua nasehat dan petuahnya terhadap Hun Thian-hi tadi
seakan-akan masih terkiang juga dipinggir telinganya, sungguh ia merasa tunduk dan patuh benar-
benar akan petunjuknya itu, apalagi sikap Ah-lam sekarang adalah begitu serius begitu
sungguh-sungguh, sedikit pun tiada kelihatan berpura-pura atau bermuka2, hati kecilnya menjadi
goyah dan terketuk, mau tak mau ia harus percaya pada ucapan Ah-lam Cuncia.
Setelah merenung, akhirnya Goan Tiong berkata, "Siapakan kau sebenar-benarnya,
coba kau jelaskan mungkin aku memang tahu siapakah kau adanya!"
"Waktu mudaku pernah aku bersikap teramat baik terhadap seorang teman perempuan,
demikian juga dia sangat baik terhadapku, sampai kami pernah bersumpah sehidup
semati. Tapi suatu ketika aku harus keluar pintu masuk perguruan, sekali pergi sampai dua
puluh tahun lamanya baru aku bisa kembali, tapi perempuan itu ternyata sudah meninggal
sekian lamanya." Goan Tiong mendengarkan dengan cermat, ucapan Ah-lam Cuncia ini kedengarannya
memang sangat sepele, secara cekak aos saja mengisahkan pengalamannya dulu, namun hal
ini sudah

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup melimpahkan perasaan hatinya. Sekarang Goan Tiong sudah dapat mereka
siapakah orang dihadapannya ini. Goan Tiong masih termangu-mangu, baru saja ia hendak membuka mulut, Goan Liong
sudah keburu berseru lantang, "Jadi kaulah Ing Su-hing dari keluarga Ing itu!"
"Benar-benar," Ah-lam Cuncia manggut-manggut, "Akulah Ing Su-hing adanya!"
Goan Liong tertawa ejek, katanya, "Kukira siapa yang begitu apal dan dapat
memecahkan barisan ini, ternyata kaulah orangnya!" nadanya kedengarannya mengundang rasa
penasaran dan amarah yang berlimpah2. Jantung Hun Thian-hi berdebar semakin keras mengikuti perkembangan yang semakin
gawat ini, semula ia mengira bahwa Ah-lam Cuncia bakal berbesanan dengan Goan Tiong
berdua, tak nyana ternyata adalah dua keluarga yang saling bermusuhan.
"Urusan sudah berlalu sekian lamanya, meski kesalahanku itu tidak disengaja,
tapi kenyataan sudah terjadi, aku yakin diapun tidak akan menyalahkan aku."
Muka Goan Liong merah padam, "Apa?" teriaknya gusar, "Kau bicara seenak udelmu
sendiri, kalau toh kau sudah punya janji sepuluh tahun kenapa harus terlambat sepuluh
tahun pula baru kembali, dan yang terang kami tidak pernah melihat kau pula, mana kami tahu
apakah benarbenar kau pernah pulang tidak?"
Ah-lam Cuncia tersenyum tanpa bersuara.
Bujuk Goan Tiong dengan suara kalem pada Goan Liang, "Jite jangan begitu kasar,
betapa pun dia adalah angkatan tua kita, kenapa kau mengumbar adat saja, apakah kau sudah
melupakan pesan bibi yang terakhir sebelum ajal?"
Goan Liong mendengus, sahutnya, "Justru watakku memang tidak sealim bibi!"
Biji mata Ah-lam Cuncia kelihatan berkilat m-mancarkan sinar terang. Hun Thian-
hi mengawasinya diam-diam, ia tahu dari sorot mata Ah-lam Cuncia dapatlah diketahui
bahwa perasaannya sedang bergejolak, kelihatan pula sikapnya yang tenang berusaha
menekan dan mengendalikan perasaannya sendiri, dapat pula terasakan dari mimik wajahnya
betapa derita sanubarinya, Thian-hi menjadi heran, kenapa sinar pancaran biji mata Ah-lam Cuncia
menyorotkan cahaya gelap dan kabur, hal ini terlalu janggal bagi seorang tokoh silat macam Ah-lam
Cuncia yang sudah punya dasar Lwekang yang kokoh dan dalam, sungguh ia tidak mengerti.
Goan Tiong tidak hiraukan Goan Liang lagi, katanya pada Ah-lam Cuncia, "Semua
itu adalah kejadian yang sudah lampau, tidak perlu kami singgung dan ungkap2 lagi, yang
terang diantara kita tiada sesuatu hubungan yang mengikat, cuma ingin aku tanya pada kau, untuk
apa pula kau sekarang datang kemari" Apakah mau memusuhi kami berdua?"
"Ah-lam Cuncia tertawa, ujarnya, "Sebenar-benarnyalah aku tiada maksud
demikian...." "Kalau tidak bermaksud demikian boleh silahkan kau pergi secepatnya," demikian
tukas Goan Liong yang aseran, "kalau tidak kami tidak akan bersikap sungkan-sungkan lagi
terhadap kau, kami sama ratakan kau terhadap orang-orang lain yang menjadi musuh kami!"
"Goan Tiong," ujar Ah-lam Cuncia, "tidak patut kau bersikap begitu kasar, bila
bibimu masih hidup beliau tidak akan membiarkan kau begini pongah. Ma Gwat-sian dan gurunya
adalah ahli waris dari Tay-seng-ci-lou, mana boleh kau menyekap mereka" Untuk urusan inilah
aku meluruk kemari!" Goan Liong tetap bandel, dengan ejek dingin ia bertanya, "Konon kabarnya kau
terkena bisa Ban-lian-ceng (muda abadi), kau berusaha mendapatkan kuda hijau untuk menemui
Jeng-sankhek mohon petunjuk dan pengobatannya untuk menyambung jiwamu?"
"Kenapa begitu dipastikan?" sahut Ah-lam Cuncia tertawa getir, "Apakah Jing-san-
khek benarbenar mampu memunahkan bisa Ban-lian-ceng itu" Kau harus tahu bahwa racun itu sudah
enam puluh tahun mengeram dalam tubuhku!"
Goan Liong mengejek pula, "Aku tidak percaya, siapa tahu apa yang terpikir dalam
benakmu!" "Apa?" Goan Tiong berteriak kejut, "sudah enam puluh tahun lamanya kau terkena
bisa Banlian- ceng itu?" Segera Goan Liangpun merasakan sesuatu yang tidak beres, tanpa merasa ia
bergidik dan merinding sendiri, sudah enam puluh tahun lamanya, jadi hal ini terjadi sepuluh
tahun sebelum bibinya wafat, jadi jelaslah bukan Ah-lam Cuncia yang tidak menepati janji soalnya
karena dia sudah keracunan Ban-lian-ceng itulah.
"Ya. sudah enam puluh tahun," Ah-lam Cuncia menjelaskan lebih lanjut, "Kalian
tahu sejak dilahirkan aku sudah diambil murid oleh perguruan Thay-i-sin-ceng, tapi sampai
dua puluh tahun kemudian baru aku diangkat sebagai murid secara resmi, maka meskipun Ka-yap
terhitung lebih lama masuk perguruan, tapi dia terhitung menjadi suteku. Enam puluh tahun yang
lalu karena persoalan dengan Sin-chiu-mo-kay itu, sehingga Suhu mangkat dan saat itu pula
aku terkena bisa Ban-lian-ceng itu!" - ia coba tersenyum lagi, tapi mimik wajahnya kelihatan
masam dan gelap. Agaknya Goan Liang menjadi haru dan terketuk hatinya, sikapnya tidak sekasar
tadi, katanya, "Paling tidak seharusnya kau kembali atau memberi kabar!"
Ah-lam Cun-cia memejamkan mata, ujarnya, "Sebelumnya aku tidak menduga urusan
bakal berlarut sampai sedemikian jauh, sebelum Suhu mangkat beliau mencukur gundul
kepalaku dan minta aku berpikir masak2, tapi aku sudah berkeputusan dan aku berpendapat cuma
jalan inilah yang harus kutempuh demi bibi kalian berdua, bahwasanya racun Ban-lian-ceng
dalam tubuhku sudah mulai bekerja, jangan kata berjalan, bergerak saja aku tidak mampu, mana
aku bisa kembali kesini." Goan Tiong dan Goan Liang tertunduk, akhirnya Goan Tiong menutur, "Setiap saat
bibi selalu menanti dan meng-harap2 kedatanganmu, tapi para kerabat dalam keluarganya dan
guru bibi yaitu Hui-sim Sinni dari Ngo-bi mendesaknya untuk menikah dengan Jing-san-khek!"
Ah-lam memejamkan mata, ia bungkam saja!
Goan Tiong tahu bahwa Ah-lam Cuncia tentu ingin tahu pula keadaan bibinya Ceng-i
Siancu waktu itu, tuturnya lebih lanjut, "Tapi bibi menolak mentah-mentah, entah berapa
lama berselang desakan dan ancaman datang berulang-ulang, hampir saja beliau mau bunuh diri
karena putus asa!" - sampai disini Goan-liong tertawa getir, lalu sambungnya, "Kau juga tahu,
Jing-san-khek merupakan tokoh yang kenamaan dan disegani dalam Bulim pada masa itu, sedang
kabar beritamu tiada seolah-olah tenggelam dalam lautan, meski kau sebagai murid Thay-
i-sin-ceng, tapi kabar yang tersiar diluar mengatakan bahwa kalian guru dan murid sudah gugur
bersama. Dan bila kau benar-benar sudah mati maka calon satu-satunya tinggal Jing-san-khek
seorang!" Ah-lam menengadah, terlongong memandang angkasa tanpa bersuara.
"Akhirnya," Goan Tiong meneruskan, "Orang tuanya berkeputusan menjodohkan bibi
dengan Jeng-san-khek, akibatnya...." sampai disini Goan Tiong tertawa menyengir, suaranya
sedih dan pilu, "Bibi meninggal dengan merana!"
Mata Ah-lam Cuncia berkedip2 mengembeng air mata, Hun Thian-hi juga ikut
bersedih. Setelah batuk2 Goan Tiong melanjutkan, "Sejak kecil bibi paling sayang pada kami
berdua, kami benci kepada kau, bila kami tahu kaulah Ah-lam adanya, sejak lama dulu
tentu kami sudah mencarimu. Masih ada seorang lagi yaitu Jing-san-khek, dia mendesak begitu
keterlaluan, bila dia seorang Kuncu seorang sastrawan, punya sikap dan pambek sebagai seorang yang
terpelajar, bibi tidak akan meninggal begitu menyedihkan!"
Ah-lam berdiri diam dan mendengarkan cerita Goan Tiong, orang menyangka dirinya
tidak tahu kejadian itu, sebetulnyalah apa yang dia ketahui jauh lebih banyak lebih jelas
dari apa yang diketahui oleh Goan Tiong berdua. Dia tahu kenapa Jing-san-khek begitu kukuh,
dan iapun tahu cara kematian Ceng-i Siancu serta sebab musababnya, dan semua kejadian ini
pernah membuat hatinya haru, gegetun dan pilu.
"Sekarang baru aku tahu bahwa kau tidak salah," demikian Goan Tiong menyambung,
"tapi kuda hijau adalah satu-satunya benda peninggalan bibi, malah kau pula yang
memberikan kepadanya, betapapun kami tidak rela memberikan kepada Jeng-san-khek, kecuali
kau sendiri yang punya maksud demikian!"
Ah-lam Cuncia menghela napas panjang, katanya sambil menunduk, "Apa kalian tahu
kenapa hari ini aku kemari?" - ia menghela napas pula lalu sambungnya, "Jeng-san-khek
diapun akan kemari!" Goan Tiong dan Goan Liang menggeram bersama, serunya, "Dia juga datang kemari!"
Kata Ah-lam pelan-pelan, "Walaupun dia pernah berbuat salah, bagaimana juga dia
termasuk tokoh dari kalangan lurus, aku ada omongan yang hendak kusampaikan padanya, aku
harap kalian suka memberi hak kuasa kepadaku untuk kali ini."
Goan Tiong bungkam saja pikirannya bekerja. Hun Thian-hi menyangka kali ini
pasti Goan Tiong suka memberi muka dan melulusi, tak nyana dengan tegas ia menggeleng dan
sahutnya, "Uhtuk urusan lain boleh saja, untuk urusan ini aku tidak setuju!"
Thian-hi melengak, tak diketahui olehnya alasan apa Goan Tiong tidak setuju,
tapi kenyataan memang begitu. "Bagaimana juga beliau adalah bibi kami berdua," demikian Goan Tiong
menjelaskan, "Sebagian tanggung jawab urusan ini perlu pertimbangan kami pula, maka
keputusannya kami juga perlu tahu, mana boleh kau sendiri yang pegang kuasa."
"Segala urusan yang kalian tahu, akupun tahu semua," demikian ujar Ah-lam
Cuncia, "Memang Jing-san-khek salah, tapi urusan sudah lampau sedemikian lamanya, sang waktu
sudah cukup berkelebihan memberi hukuman padanya, apalagi dia pun sudah sangat menyesal!"
"Sekarang tak perlu kami persoalkan hal ini, nanti kita bicarakan lagi bila dia
sudah tiba. Bila kau dapat menyelesaikan dengan sempurna, sudah semestinya aku memberikan
persetujuan kami!" Ah-lam tidak banyak kata lagi, pelan-pelan ia menghela napas.
Pada saat itulah tampak sesosok bayangan hijau muncul di kejauhan sana, meluncur
berlompatan dengan enteng bagaikan burung bangau, sekejap saja tahu-tahu sudah
mendekat. Tampak oleh Thian-hi pendatang ini mengenakan jubah hijau, tahu ia bahwa orang
ini pasti Jing-san-khek adanya, usia Jeng-san-khek agaknya sudah lanjut, rambut
dikepalanya serta alis dan jenggotnya sudah ubanan, sorot matanya juga guram, orang yang tidak
mengenalnya tidak akan mau percaya bahwa orang tua yang kelihatan lemah ini ternyata adalah Jing-
san-khek, tokoh aneh nomor satu dari Bulim di daerah selatan.
Begitu Jeng-san-khek hinggap di atas tembok ganti berganti ia pandang para
hadirin lalu berhenti pada muka Ah-lam Cuncia.
Ah-lam Cuncia juga tidak bersuara. sesaat kemudian mereka berdua sama-sama
lompat turun terus langsung menuju ke dalam gedung besar itu....
Hun Thian-hi bersama Goan Tiong dan Goan Liang sama mengintil di belakang
mereka. Seolah-olah tidak menemui rintangan apapun Ah-lam Cuncia dan Jeng-san,khek
beranjak ke depan dengan lenggang kangkung dengan mudah dalam waktu singkat mereka sudah
tiba di dalam gedung dan terus masuk ke dalam. Dengan cara tiga kiri dua kanan menurut
petunjuk itu Hun Thian-hi pun berhasil sampai masuk ke dalam gedung besar itu.
Ah-lam Cuncia berdua langsung memasuki sebuah pendopo yang amat luas. kira-kira
empat lima puluh meter persegi luasnya, mereka duduk berhadapan ditengah-tengah
pendopo, sama memejamkan mata tanpa bergerak dan membuka suara.
Dalam kejap lain Goan Tiong dan Goan Liang juga sudah tiba di dalam pendopo itu.
mereka mencari duduk disebelah kiri dan kanan-
Jang paling dikuatirkan Hun Thian-hi cuma keselamatan Ma Gwat-sian dan gurunya,
tengah ia celinguk, kebeulan Ma Gwat-sian bersama gurunya sedang melongok ke dalam pendopo
ini dari sebuah pintu disebelah pojokan sana.
Sudah tentu girang Thian-hi bukan main, bergegas ia bangkit terus menghampiri ke
arah sana, begitu melihat Hun Thian-hi kelihatannya Ma Gwat-sian sangat kaget, sesaat ia


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melenggong lalu menyurut mundur dengan tersipu-sipu. Poci menyingkir kesamping mengawasi Ma
Gwat-sian tanpa bersuara. Sambil tunduk Ma Gwat-sian mundur pelan-pelan. Cepat Hun Thian-hi menjura hormat
kepada Poci, tanpa menanti balasan hormat orang lekas-lekas ia memburu ke arah Ma Gwat-
sian, panggilnya lirih tertahan:
"Gwat-sian!" "Ada urusan apa kau mencari aku?" akhirnya Ma Gwat-sian berhenti dan bertanya.
Sekejap itu Thian-hi tak kuasa bicara, terpaksa meng-ada2, "Jeng-san-khek dan
Ah-lam Cuncia sama-sama berada di dalam sana, marilah kita masuk kesana dulu?"
Ma Gwat-sian kelihatannya rada bimbang, namun akhirnya manggut-manggut, beriring
mereka lantas masuk kependopo dan duduk mengelilingi mereka berempat, selama ini Ma
Gwat-sian selalu menundukkan kepala. Dalam waktu dekat ini Thian-hi harus menyampingkan urusannya ingin ia tahu
bagaimana perkembangan urusan Jeng-san-khek dengan Ah-lam serta Goan Tiong dan Goan Liang.
Kira-kira seperminum teh kemudian baru Jeng-san-khek membuka mata dan berkata
kepada Ah-lam Cuncia, "Sudah lama sekali aku mencari kau sampai yang terakhir ini baru
kudengar tentang kabar beritamu."
Pelan-pelan Ah-lam juga membuka mata, sahutnya, "Aku tahu kau sedang mencari
aku, kalau tidak masa aku bisa mengundang kau, untuk berkumpul disini!"
"Kalau begitu berarti hubungan persahabatan kami sudah sejak lama berselang...."'
Ah-lam tersenyium manis, tidak berkata-kata lagi.
Kata Jeng-san-khek lagi, "Urusan tempo duiu sungguh aku merasa bersalah kepada
kau!" Ah-lam Cuncia tertawa wajar, ujarnya, "Itu urusan yang sudah lampau, kenapa
disinggung lagi sekarang" Urusan yang sudah lampau. tak perlu diungkat2 lagi."
"Itu hanya pendapatmu sendiri," tiba-tiba Goan Tiong menyela, "Adalah kami
bersaudara justru akan memperpanjang persoalan itu, betapa pun kami tidak rela peristiwa itu
menjadi silam ditelan sang waktu." Jeng-san-khek tertawa getir, katanya, "Sekarang akupun tidak mampu memutar balik
kenyataan, jika kalian merasa tidak senang terhadapku! boleh aku pasrah diri
pada kalian terserah bagaimana kalian hendak bertindak atas diriku!"
"Marilah kita berdua coba membicarakan urusan kita dulu?" demikian, ajak Ah-lam.
Goan Tiong berjingkrak bangun sambil mengebut lengan bajunya, serunya gusar,
"Kalau urusan dulu kalian anggap himpas dan selesai sampai disini saja, aku tidak mau terima,
bagaimana juga pembicaraan kalian nanti jangan sekali2 menyinggung tentang permohonan sesuatu
kepada kami!" Ah-lam Cuncia dan Jeng-san-khek sama-sama pejamkan mata tak bersuara lagi.
Sebetulnya Goan Tiong dan Goan Liang sudah sama berdiri dan berniat tinggal
pergi, tapi entah teringat sesuatu atua akhirnya mereka batal dan duduk kembali.
Jeng-san-khek angkat kepala memandang Ah-lam Cuncia, katanya, "Kabarnya kau
terkena racun Ban-lian-ceng, semula aku belum tahu bahwa Ah-lam adalah duplikatmu,
seharusnya sejak dulu kau datang mencariku, urusan tentu tidak berlarut sampai sekarang."
Ah-lam Cuncia cuma tersenyum saja tak menjawab.
Setelah menarik napas Jeng-san-khek berkata pula perlahan-lahan, "Tapi aku
sendiri juga ada salah, seharusnya aku tahu kecuali kau seorang di seluruh kolong langit ini
tiada setorang pun yang pantas terkena racun Ban-lian-ceng itu!"
Ah-lam tertawa-tawa, ujarnya, "Agaknya kau terhanyut oleh perasaanmu sendiri."
Jeng-san-khek manggut-manggut, katanya, "Kita sudah sama tua. tulang dan urat2
kita sudah kaku sudah tiba saatnya sinar guram dan minyak habis."
Ah-lam Cuncia tidak bicara, ia sudah tahu kemana harus menempatkan diri, namun
sedikitpun ia tidak takut atau gentar, ia anggap kematian seperti pulang ke tempat asal,
kalau bisa istirahat dengan tentram dan aman itulah memang kehendaknya.
Thian-hi semakin bingung dibuatnya, jelas kedua orang ini saling bermusuhan
dalam asmara, tapi dalam nada bercakap-cakap kok seperti sahabat lama yang sudah lama tidak
jumpa. Waktu ia melirik dilihatnya Ma Gwat-sian sudah angkat kepala, dengan penuh perhatian ia
mendengar percakapan orang, tapi begitu Thian-hi melirik ke arahnya seakan-akan ia
mempunyai indra keenam lekas-lekas ia pejamkan mata menunduk kepala.
Selama itu Poci diam saja mengawasi kedua anak muda ini, akhirnya iapun
memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam.
Berselang agak lama kemudian terdengar Jeng-san-khek membuka kesunyian, katanya,
"Kau masih ada urusan apa yang perlu kubantu kerjakan?"
Pelan-pelan Ah-lam Cuncia berpaling kepada Hun Thian-hi, katanya kepada Jeng-
san-khek, "Bocah ini adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, bagaimana menurut
penilaianmu?" Dengan seksama Jeng-san-khek mengamati Thian-hi, katanya kalem, "Cukup bagus,
tulang muda berbakat baik merupakan tunas harapan masa mendatang, tapi Wi-thian-cit-
ciat-sek merupakan ilmu pedang dari aliran Lwekeh yang paling tinggi dan dalam, entahlah
apakah dia mampu menyelami intisari dari kemujijatan ilmu itu" Kalau tidak tak berguna ia
pelajari ilmu pedang yang tiada taranya itu!"
Kata Ah-lam Cuncia kepada Hun Thian-hi, "Hun-sicu sudikah kiranya kau tunjukan
ilmu pedang Wi-thian-cit-ciat-sek itu, supaya Jeng-san-khek Cianpwe memberi penilaian dan
petunjuk yang berharga!" Thian-hi maklum bahwa Ah-lam memang hendak memupuk dirinya, tanpa diminta lagi
segera ia bangkit lalu menjura terus mundur beberapa tindak sambil melolos seruling
jadenya. Goan Tiong dan Goab Liang sama mendengus dan menjebir bibir, mereka tidak
bicara, tapi dari sikap mereka ini kelihatan bahwa mereka merasa tidak senang akan tingkah laku
Hun Thian-hi. Setelah mengkonsentrasikan pikiran dan semangat pelan-pelan tumit kaki Thian-hi
terangkat naik lalu turun lagi, sementara serulingnya sudah teracung miring, maka dilain
kejap tubuhnya sudah melambung ke tengah udara berbareng seruling ditangannya bergetar dalam
pergeseran antara jarak yang cuma beberapa mili itu lantas kekuatan dari jurus Wi thian-
clt-ciat-sek ini sudah melandai keluar dengan dahsyatnya, dari batang seruling jade itu memancarkan
cahaya gemilang yang berkilauan seperti kabut perak menerpa ke arah depan, hawa dalam pendopo
seketika seperti bergolak, terdengarlah suara gemericik dari desiran deru angin yang
hebat itu. Wi-thian-cit-ciat-sek ini cukup dilancarkan dalam waktu sekejap, dikala Thian-hi
meluncur tiba di tanah iapun sudah merubah gaya dan berdiri pula seperti semula. Goan Tiong
berdua diamdiam bercekat dalam hati, Wi-thian-cit-ciat-sek yang dipamerkan Hun Thian-hi ini
benar-benar tidak boleh dipandang rendah, dengan daya kekuatannya yang begitu dahsyat jelas
satu persatu mereka tidak akan kuasa melawan, meski bergabung pun belum tentu dapat menyambut
gelombang tenaga yang begitu dahsyat.
Setelah Thian-hi berhenti Jeng-san-khek termenung sebentar, tanya Ah-lam Cuncia,
"Bagaimana menurut penilaianmu akan latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya?"
Jeng-san-khek menyahut tawar, "Tidak lebih cuma dapat menggertak orang belaka,
tiada manfaaatnya yang dapat diketengahkan!"
Hun Thian-hi menjadi melongo, pikirnya seumpapama Jeng-san-khek tidak memberi
pujian tidak mungkin beliau mencercah dan menilai sedemikian rendah akan latihan Wi-
thian-cit-ciat-sek yang dapat ia lakukan dengan sempurna sekali, sedemikian memalukan cuma
dikatakan peranti menggertak orang, sudah tentu terketuk perasaannya, dengan terlongong ia pandang
Jeng-sankhek, ingin ia mendapat teguran lebih lanjut.
Agaknya Goan Tiong dan Goan Liang juga merasa terpukul oleh kritikan Jeng-san-
khek, sombong dan takabur benar-benar kau ini, jurus pedang yang begitu dahsyat
laksana gugur gunung koq dikatakan permainan untuk menggertak orang belaka, demikian batin
mereka. Ma Gwat-sian pun angkat kepala memandang ke arah Jeng-san-khek dengan penuh
tanda tanya. Demikian juga Poci punya perasaan yang sama. Pelan-pelan Jeng-san-khek pandang
semua hadirin satu persatu lalu berhenti pada muka Ah-lam Cuncia. dilihatnya rona
wajah Ah-lam tiada menunjukkan perubahan apa-apa, mimiknya tetap wajar, kelihatannya ia sudah tahu
apa yang bakal diucapkan tadi. mau tak mau, ia merasa kagum dan memuji akan ketenangan
orang. Dari balik punggungnya ia turunkan sebilah pedang bersama serangkanya, lalu
berkata pada Hun Thian-hi, "Mungkin kau tidak percaya, namun boleh dicoba, silahkan kau
gunakan serulingmu menyerang sekuatmu kepadaku!"
Semula Thian-hi rada bimbang tapi terpikir olehnya, kalau orang berkata demikian
tentu punya maksud-maksud tertentu dan hal ini tentu ada manfaatnya yang cukup bernilai,
orang tentu punya pegangan sehingga tidak kuatir apa-apa, begitulah pelan-pelan ia angkat pula
serulingnya, begitu tenaga disalurkan langsung ia menyerang kepada Jeng-san-khek.
Belum lagi getaran serulingnya yang berpindah tempat dalam jarak beberapa mili
itu sebanyak tujuh kali, ujung pedang Jeng-san-khek sudah menutul tiba yang diarah adalah
ketiak sebelah kanan, mulut Thian-hi bersuit panjang tubuhnya mencelat naik ke tengah udara,
berbareng ia kembangkan lebih lanjut jurus Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat itu menungkrup ke
atas batok kepala Jeng-san-khek. Sebelum seruling Hun Thian-hi sempurna melancarkan serangannya, tiba-tiba Jeng-
san-khek menarik balik pedangnya, keruan Hun Thian-hi melengak, tak duga olehnya bahwa
tusukan pedang lawan cuma gertakan sambel belaka. Tapi serulingnya sudah kebacut
melancarkan Withian- cit-ciat-sek, tenaga sudah dikerahkan sampai puncaknya, maka terlihat Jing-san-
khek lagilagi menggerakkan pedangnya, beruntun tiga macam gerakan ia melancarkan tiga ilmu
pedang yang sangat dahsyat mengancing dan menutup jalan luncuran seruling lawan,
seketika Hun Thianhi mati kutu dan tidak mampu menyelesaikan permainan Wi-thian-ciat-seknya karena
tenaga dalamnya seolah-olah membentur jalan buntu tak mampu dikerahkan pula.
Setelah berdiri tegak sekian lamanya ia menjublek di tempatnya, sebaliknya Jing-
san-khek duduk tenang seperti tak terjadi apa-apa, pedang panjangnya melintang di atas
pangkuannya, tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan tanpa menggerakkan tubuhnya dengan cara
yang sederhana dan mudah sekali ia sudah memecahkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek yang
ampuh, sirnalah perbawa kekuatannya yang teramat dahsyat itu.
Hun Thian-hi sendiri baru sekarang menyadari bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek yang
dilancarkan tadi masih terdapat lobang kelemahannya, cuma ia sendiri tidak tahu dimana letak
kelemahannya sendiri, adalah sebaliknya Jing-san-khek dapat sekali serang mengarah titik
kelemahannya sendiri untuk mematikan ilmu yang tiada taranya ini.
Goan Tiong dan Goan Liang juga terlongong, mereka sudah saksikan sendiri betapa
dahsyat permainan Hun Thian-hi yang hebat tadi, namun akhirnya toh gagal juga ditengah
jalan karena tidak mampu lagi melansir tenaga dalamnya untuk menyambung kekuatan pondasi yang
diperlukan dalam melancarkan ilmu pedang yang tiada taranya ini.
Terdengar Jing-san-khek membuka suara, katanya kepada Hun Thian-hi, "Tahukah kau
dimana letak kelemahan sendiri?"
Hun Thian-hi tenggelam dalam pikirannya, tiba ia berlutut dan menyembah,
serunya, "Harap Cianpwe suka memberi petunjuk!"
Sekilas Jing-san-khek melirik ke arah Ah-lam Cuncia lalu berkata pula kepada Hun
Thian-hi, "Coba kutanya dulu, jurus apakah yang kau lancarkan tadi?"
Hun Thian-hi jadi bingung, entah apa maksud Jing-san-khek menanyakan hal ini,
tapi ia menyahut, "Wanpwe menggunakan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek bukan?"
"Masa benar-benar?" balas tanya Jing-san-khek, "Benar-benarkah kau tadi
melancarkan Withian- cit-ciat-sek?" Thian-hi tertegun, ia tidak tahu kemana juntrungan kata-kata Jing-san-khek.
Kata Jing-san-khek, "Dikala kau melancarkan permainanmu itu apakah tidak pernah
terpikir

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

olehmu jurus permainan apakah Wi-thian-cit-ciat-sek itu" Itulah jurus ilmu
pedang, mana boleh kau gunakan dalam permainan serulingmu, maka daya kekuatannya paling sedikit
menjadi berkurang lima puluh persen!"
Hun Thian-hi mendengarkan dengan cermat, akhirnya ia jadi sadar bahwa pedang dan
seruling merupakan dua macam senjata yang berlainan bentuk dan berlainan pula guna dan
manfaatnya, apalagi dalam penggunaan pada ilmu tingkat tinggi dari aliran Lwekeh yang
teramat dalam, betapapun kurang mencocoki selera, terutama Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu
pedang yang tiada taranya, memang Wi-thian-cit-ciat-sek diciptakan khusus dalam permainan
dengan senjata pedang. Berkatalah Jing-san-khek lebih lanjut, "Bukan itu saja inti-sarinya, kaupun
harus tahu, setiap kau melancarkan seranganmu tujuannya adalah menyerang musuh. Kalau kau lancarkan
permainanmu secara serampangan dan tanpa dilandasi keyakinan yang besar lebih
baik kau berpeluk tangan saja jangan bergerak mandah digorok lehermu. Bagi tokoh silat
tingkat tinggi setiap melancarkan permainan tipu-tipu silatnya sekali tidak mengenai
sasarannya, pasti harus pula memikirkan akibat dari kegagalan serangan itu, resikonya teramat besar
sekali, ini merupakan pantangan paling besar dan lagi dikala kau lancarkan tipu-tipu silatmu kau harus
dapat membuat suatu tekanan paling besar bagi musuhmu untuk merasakan bahwa seranganmu itu
merupakan maut bagi jiwa musuhmu baru kau dihitung berhasil."
Hun Thian-hi insaf bahwa segala kegagalannya selama ini karena permainan ilmu
pedangnya tidak sempurna sesuai dengan dua persoalan yang jang ditunjuk tadi, sekarang
baru ia sadari bahwa ia terlalu gegabah dalam melancarkan tipu silatnya, demikian juga
latihannya memang belum cukup matang benar-benar.
Tiba-tiba Jing-san-khek angsurkan pedangnya panjang kepada Hun Thian-hi serta
berkata, "Kulihat kau belum punya pedang, pedang ini sudah lama s-kali menyertai aku,
sekarang kuberikan kepada kau, kuharap kau menyimpannya baik-baik!"
Dengan hidmat Thian-hi maju menerima serta menyatakan terima kasih pada Jing-
san-khek. Kata Jing-san-khek, "Sebetulnya pengetahuanku dalam ilmu silat juga sangat
cetek, sebaliknya ilmu silatmu memang sudah mencapai titik kesempurnaannya, sudah tiba saatnya kau
dapat mencapai puncak tertinggi yang cukup gemilang, tapi jurus permainanmu harus
dapat kau mainkan dalam sekali gebrak permainan jangan dipetel2 dan jangan diberikan
terlalu banyak variasi!" Maka terbayanglah oleh Thian-hi akan jurus-jurus permainan Wi-thian-cit-ciat-sek
itu, jurus demi jurus Wi-thian-cit-ciat-sek ia renungkan secermat-cermatnya, akhirnya
parasnya menjadi terang dan berseri kegirangan.
Setelah bicara sedemikian panjang lebar kelihatannya Jing-san-khek menjadi
kelelahan, pelanpelan ia pejamkan mata dan duduk diam pula.
Demikian juga sejak tadi Ah-lan Cuncia sudah pejamkan matanya, mereka duduk
berhadapan pula, sambil menenteng pedangnya Thian-hi kembali ke tempat duduknya semula.
"Adakah urusan lain yang perlu kubantu?" agak lama kemudian Jeng-san-khek
membuka kesunyian pula. Ah-lam Cuncia tersenyum, katanya, "Apakah kau tahu tentang Tay-seng-ci-lou?"
Jing-san-khek berpaling ke arah Ma Gwat-sian dan gurunya, katanya, "Apakah kedua
orang ini ahli waris dari Tay-seng-ci-lou?" - sejenak ia menggeleng kepala lalu
sambungnya, "Sekali ini aku
tidak mampu membantu, psnyaMt Liok-im-ciat-tin itu sudah tidak mungkin dapat
diobati lagi!" Tergetar badan Thian-hi. waktu Ah-lam menunjuk Ma Gwat-sian ia sudah tahu kemana
maksud pembicaraan ini, ternyata Jing-san-khek sendiri juga tidak mampu menolong
seketika ia menjadi terlongong hampa. Dengan sorot mata yang penuh kejut dan ngeri Ma Gwat-sian angkat kepala, ia
sendiri tahu bahwa badannya dihinggapi suatu penyakit, cuma tidak terpikir olehnya bahwa
Liok-im-ciat-tin kalau itu benar-benar berarti jiwanija tinggal hidup ratusan hari lagi. Sungguh
ia tidak pernah membayangkan bahwa kenyataan ternyata lebih kejam dan lebih mengerikan dari apa
yang pernah dibayangkan. Poci Berdiri juga hampir berjingkrak bangun saking kaget waktu mendengar Jing-
san-khek membeber rahasia ini, soal penyakit itu Ma Gwat-sian sendiri tidak tahu mana
boleh rahasia ini dibeber secara terus terang"
Sekejap itu Jing-san-khek juga merasakan akan keganjilan ini, ia menjadi
menyesal dan haru. tapi ia sudah kebacut buka mulut betapapun tak mungkin ditarik kembali.
Ma Gwat-sian merasa sorot mata semua orang sedang tertuju kepada dirinya.
sekonyongkonyong benaknya merasa kepedihan yang tak terbendung lagi, timbullah kekerasan jiwanya
dalam menghadapi pukulan batin yang amat berat ini, pelan-pelan ia bangkit
berdiri lalu keluar pintu. Bercekat hati Hun Thian-hi, ia berpaling ke arah Poci lalu bergegas bangkit
mengejar ke arah Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian tahu bahwa Hun Thian-hi telah mengejar tiba. tapi ia tidak
berpaling, kakinya melangkah terus dengan langkah halus dan cepat.
Ah-lam Cuncia pandang Jing-san-khek sambil menghela napas panjang, ia menunduk
lalu geleng-geleng kepala lagi, sekecap pun ia tidak bersuara lagi.
Gwat-sian!" sepu Thian-hi lirih diibelakangnya.
"Ada apa kau kemari?" tanya Ma Gwat-sian.
Dalam lubuk hatinya yang dalam ia merasa bahwa pandangan semua orang memancarkan
rasa iba dan kasihan terhadap nasibnya. tapi ia tidak mau menerima segala rasa
kasihan atau sayang, termasuk pula Hun Thian-hi.
"Gwat-sian, jangan kau bersikap begitu terhadapku, bukankah hubungan kami baik-
baik saja" Kenapa, kau berubah sedemikian cepat?"
Badan Ma Gwat-sian gemetar, agaknya ia menahan perasaan hatinya, namun air mata
tak tertahan lagi meleleh keluar, katanya, sesenggukan, "Kalau tidak ada urusan
jangan kau ganggu, aku tidak suka ada orang mengganggu usikku sekarang!"
"Sudah sering dan banyak kali kau pernah bantu aku, sungguh aku sangat terima
kasih dan sayang pada kau, apalagi dengan engkohmu akupun bersahabat baik, aku tahu kau
akan paham akan diriku!" Ma Gwat-sian tahu ucapan Thian-hi menyinggung tentang hubungannya dengan Ham
Gwat, setelah diam sebentar ia berkata dingin, "Aku tidak perlu rasa ibamu, soal
engkohku itu urusan kalian berdua tiada sangkut paut dengan aku. Kalau kau suka menuruti
permintaanku, harap cepat
kau tinggalkan aku seorang diri, aku hendak mencari tempat yang sunyi dan tenang
untuk menenteramkan hatiku!"
Ma Gwat-sian sendiri tidak tahu kenapa ia bisa punya keyakinan untuk melawan
segala kehendak orang lain, dalam kesimpulannya, betapapun baik dan besar cinta Hun
Thian-hi terhadapnya, semua itu tidak lebih karena dilandasi rasa kasihan belaka,
sebaliknya ia sendiri menyadari bahwa ia tidak perlu akan segala2nya itu.
"Gwat-sian!" berselang agak lama baru Hun Thian-hi berkata pula setelah berpikir
secara masak, "Aku dapat memaklumi perasaammu sekarang, tapi tahukah kau betapa
perasaanku pula" Bagaimana jalan pikiranku mengenai dirimu" Banyak sekali isi hatiku yang perlu
kulimpahkan kepada kau!" Ma Gwat-sian menunduk diam, hati kecilnya memang mengharap apa yang hendak
dikatakan Hun Thiani-hi, apakah sebenar-benarnya isi hatinya!
"Marilah bicara diisebelah sana saja!" demikian ajak Hun Thian-hi, lalu mereka
duduk di bawah sebuah pohon yang rindang.
Sekian lama mereka membungkam diri, agaknya Hun Thian-hi sedang memusatkan
pikiran, akhirnya ia tertawa-tawa katanya, "Menurut hemadku bila seseorang ingin
mengerjakan pekerjaan yang dia cita-citakan, mengucapkan kata-kata yang ingin dia limpahkan, meski
apapun akibatnya sanubarinya pasti bakal menjadi terang dan tentram."
Ma Gwat-sian menunduk diam, tangannya mempermainkan ujung bajunya.
Berhenti sebentar Thian-hi melanjutkan pula, "Kedatanganku di Thian-bi-kok
adalah atas perintah Ka-yap Cuncia, semula aku diharuskan menyembunyikan diri, apalagi
mengenai kepandaian ilmu silat harus dirahasiakan." Sampai disini ia tertawa lalu
sambungnya, "Hal ini kau
sendiri juga sudah tahu! Sampai terakhir baru aku sadar kenapa Ka-yap Cuncia
menyuruh aku sembunyi di Thian-bi-kok, kenapa pula melarang aku menggunakan ilmu silat!
Tujuannya adalah supaya aku bisa melatih kesabaran dan tahan uji! Disana. waktu pertama kali aku
melihat kau, seolah-olah seperti melihat bidadari dalam sekelebatan saja, namun cukup sekilas
melihat bentuk tubuhmu saja kesannya teramat mendalam dilubuk hatiku. sampai sekarang masih
segar dalam ingatanku betapa perasaan hatiku tatkala itu kau muncul secara tidak terduga".
memhuat aku rada takut dan was-was, sebab kukenal kau sebagai ahli waris dari Tay-seng-ci-
lou, sehingga seolah-olah aku merasa berdosa besar, disamping ada pula perasaan aneh yang
menyekam dalam sanubariKU, besar hasratku melihat paras wajahmu yang asli, sebetulnya siapakah
kau adanya yang menjaj ahliwaris Tay-seng-ci-lou ini! Sebagai murid Lam-siau betapa besar
hasratku untuk mengetahui rahasia ini."
Alam pikiran Ma Gwat-sian terbawa kembali oleh uraian Hun Thian-hi pada masa
pertemuan mereka pertama kali dulu, waktu itu. Ia-pun rada gelisah dan Kaget bahwa
seseorang telah mengenal akan Tay-seng-ci-lou. Terasakan oleh Ma Gwat-sian perasaan apa yang
terkandung dari ucapan Thian-hi dari nada kata-katanya ini, sejak mula memang Hun Thian-hi sudah
sangat mengharap berkenalan dengan dirinya, dan ini adalah jamak.
"Akhirnya" aku bisa berhadapan muka dengan kau!" demikian sambung Hun Thian-hi.
"Biasanya aku tidak pernah berbohong, sebenar-benarnyalah sekali pandang lantas
hati kecilku tertarik amat kepadamu, tapi kau pun tahu bahwa lama sebelum pertemuan kita aku
sudah bersua dengan Ham Gwat, aku tidak suka perasaan hatiku tercerai berai, besar harapanku
supaya dia mempunyai masa depan yang cukup gemilang! Tatkala itu sungguh aku merasa hampa
dan terombang ambing oleh keadaan. Ham Gwat adalah murid Bu-bing Loni, apalagi dia
menyangka akulah musuh besar pembunuh ayahnya, kalau aku ingin mengikat persshabatan
dengan dia adalah mustahil. Tahukah kau pernah aku ingin melimpahkan perasaan macam itu
kepada kau. cuma soalnya kau sendiri tidak menghendaki hal ini!"
Ma Gwat-sian yang berdiam sejak tadi kelihatannya seperti terkejut. memang
jatungnya berdebar-debar, ia tahu dan maklum akan perasaan Thian-hi pada waktu dulu, cuma
ia tidak pernah menyangka bila seseorang terlebih dulu sudah mengetuk kalbunya. Dulu ia
sangat bangga, pada pribadinya sendiri, anggapannya Thian-hi tidak akan mungkin bisa punya
teman yang setaraf lebih unggul dari segala kepintaran dan kecerdikan otaknya, maka sikapnya waktu
itu cuma acuh tak acuh tanpa ambil sedikitpun perhatian khusus dalam persoalan ini, tidak
pernah ia memperhatikan atau melimpahkan pikirannya pada perasaan Hun Thian-hi ini. Masa2
itu ia sangat bangga dan terlalu jumawa menghadapi Hun Thian-hi, karena ia menganggap bahwa
Hun Thian-hi akan menetap selama hidupnya di Thian-bi-kok, tapi setelah ia sadar bahwa
kenyataan tidak seperti apa yang pernah ia bayangkan semula, segalanya sudah kebacut dan
terlambat, tak mungkin dirubah pula. Uraian Hun Thian-hi pelan-pelan dan cukup terang, perasaan Ma Gwat-sian semakin
tertekan dan menyesal sekali, bilamana waktu itu ia tidak bersikap tahan harga, akan
menghadapinya dengan sikap yang simpatik, sejak lama ia sudah menang dalam kompetisi yang
jujur ini. Tapi sekarang hidup jiwanya cuma tinggal ratusan hari lagi, kenapa aku berpikir


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muluk2 ataukah memang jalan yang kutempuh ini sebenar-benarnya tidak salah. pikir punya
pikir ia jadi tertawa ewa, katanya, "Tiada, sesuatu yang perlu diperbincangkan pula, kejadian
selanjutnya aku jelas mengetahui. demikian juga persoalanmu aku tahu juga, dalam berbagai bidang
memang Ham Gwat tiici mempunyai ciri2 yang jauh lebih kuat dan menang dari aku, kau
harus mencari dia!" Thian-hi tidak menanggapi langsung ucapan Ma Gwat-sian ini, cuma ia menambahkan.
"Apa yang kukatakan adalah limpahan dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak
perlu main sembunyi dan menutup-nutupii hal ini, aku harap kau bisa memahami diriku!"
"Apakah Ham Gwat Cici yang menyuruhmu mengajak aku kembali?" tanya Ma Gwat-sian.
Hun Thian-hi manggut-manggut sambil mengiakan.
"Kalau begitu baiklah aku ikut kau pulang!" - sekarang hatinya sudah longgar
rada terhibur dan cukup puas. Betapapun Hun Thian-hi pernah mencurahkan perhatiannya terhadap
diriku, sebelum ajal aku harus melaksanakan sesuatu demi kepentingan Hun Thian-hi dan ia
pasti suka dan rela menerima uluran bantuan ini.
Kejut2 girang pula hati Hun Thian-hi, sungguh diluar dugaan bahwa Ma Gwat-sian
suka kembali ikut dirinya, sesaat ia terlongong mengawasi paras Ma Gwat-sian nan elok
rupawan, tak tahu apa pula yang harus dia ucapkan.
Dalam kejap lain mereka sudah masuk kembali ke dalam pendopo, tampak Jing-san-
khek dan Ah-lam Cuncia. masih bersimpuh berhadapan. Setelah mereka duduk kembali, Jing-
san-khek membuka mata serta berkata kepada Ah-lam Cuncia, "Kau tidak punya urusan lain,
kini tiba giliranku minta bantuan kau!"
Sahut Ah-lam Cuncia sambil membuka mata, "Kalau urusanmu itu menyangkut paut
diriku, sudah tentu aku suka membantu sekuat kemampuanku."
"Sudah tertu sangat erat sangkut pautnya dengan kau!" ujar Jing-san-khek
tersenyum. "Sebelum ajal Ceng-i Siancu sudah membakar seluruh benda-benda peninggalannya,
cuma kuda hijau itu yang masih ketinggalan, tapi sekarang sudah bukan menjadi milikku
lagi, aku tidak punya hak akan binatang itu," demikian Ah-lam Cuncia memberi penjelasan lebih
dulu. Bab 33 Jing-san-khek tertawa seraya manggut-manggut, ujarnya, "Cuma di tempat inilah
baru aku bisa mendapatkan kuda hijau itu."
"Tapi cuma akulah yang berhak memutuskan persoalan ini," demikian sela Goan
Tiong. Jing-san-khek meliriknya tanpa bicara, akhirnya ia berkata, "Tahukah kau kenapa
aku harus memperoleh kuda hijau itu" Pernahkah kau pikirkan sebab musababnya?"
GoaK Tiong geleng-geleng kepala, sahutnya tegas, "Aku tidak peduli apa
alasannya, selamanya aku tidak akan sudi menyerahkannya kepada kau!"
"Kuda itu sangat mahir dan teramat cerdik," demikian ujar Jing-san-khek,
"Setelah bibimu bunuh diri jazatnya dibawa menghilang oleh kuda hijau, kalau kita bisa mendapat
petunjuknya, mungkin bibimu tidak sampai meninggal!"
Hoan Tiong mendengus, jengeknya, "Sejak lama sudah kutahu akan polahmu ini,
sebelum ajal bibi ada berpesan bahwa dilarang seseorang pun yang melihat jazatnya, sudah
tentu tiada kekecualian pada dirimu untuk diperbolehkan menemukannya."
Jing-san-khek kewalahan, ujarnya, "Tapi jikalau dapat menemukan dia, semakin
cepat semakin baik, mungkin bisa tertolong hidup kembali!"
"Jelas sekarang tidak mungkin lagi," demikian jengek Goan Tiong pula, "Kami
sendiri tidak rela menyerahkan kuda hijau itu kepada kau!"
Pelan-pelan Jing-san-khek berkata, "Jangan kau anggap kuda hijau itu seperti
kuda umumnya, aku sudah merasa curiga mungkin bibimu masih belum meninggal sunguh2, sekarang
sudah sembuh dan hidup mengasingkan diri."
Muka Goan Tiong menjadi masam katanya, "Agaknya kau terlalu kukuh pada hasratmu
ini, baiklah biar kutunjukan kepadamu supaya kau tidak banyak rewel lagi."
Cepat-cepat ia bangkit lalu melangkah kepinggir tembok sebelah samping sana
menarik sebuah daun pintu besar, maka terlihatlah seekor kuda hijau sedang bertengger di dalam
petak kecil itu, kuda hijau ini sudah lama sekali mati.
Beruhah pucat paras Jing-san-khek, mulutnya mengumam, "Tiada harapan lagi! Kalau
ini menjadi kenyataan segala sesuatunya tiada harapan lagi!"
Goan Tiong mandah mendengus lalu duduk kembali pada tempatnya semula.
Badan Jing-san-khek tampak gemetar, keringat dingin membasahi selebar mukanya,
ia duduk diam terlongong, sinar matanya semakin guram. Pelan-pelan ia menunduk sambil berkata,
"Selama ini aku masih yakin bahwa dia belum meninggal, kalau dia masih hidup, tapi...."
"Segala perubahan kejadian dalam dunia ini tak mungkin dapat diraba lebih dulu
oleh tangan manusia, urusan inipun tidak perlu dibuat duka!" demikian ujar Ah-lam Cuncia.
Jing-san-khek tersenyum ewa, pelan-pelan ia menggeleng kepala, sesaat baru
bicara pula, "Aku selalu berdoa, kuharap dia belum meninggal! Atau ingin aku bertemu sekali lagi,
ini sudah cukup menghibur sanubariku, tapi sekarang sudah menjadi hampa" - pelan-pelan ia
pejamkan mata. Ah-lam Cuncia menghela napas ringan, keduanya menunduk diam.
Goan Tiong dan Hun Thian-hi serta yang lain-lain juga bersimpuh diam saja,
tunggu punya tunggu sekian lamanya tiada tampak perubahan apa-apa, akhirnya Goan Tiong berdua
merasa urusan rada ganjil, cepat mereka maju mendekat meraba badan mereka, ternyata
sudah kaku mulai dingin, jelas mereka sudah mangkat bersama!
Hun Thian-hi berjingkrak bangun saking kaget, ia menjublek ditempatnya, urusan
terjadi diluar dugaan, sungguh ia tidak habis mengerti kenapa kedua orang angkatan tua ini
meninggal begitu saja, Sebenar-benarnyalah hal ini itidak perlu dibuat heran, soalnya mereka berdua
sudah berusia amat lanjut, selama ini mereka menguatkan diri untuk bertahan, terutama Ah-lam
Cuncia yang terkena racun Ban-lian-ceng, betapapun ia tidak mungkin bisa hidup lebih lama
lagi, kalau toh ilmu silatnya mendadak pulih lagi itu tidak lain karena tunjangan dari kekuatan
batinnya, meminjam kekuatan Lwekang dan latihan ilmunya selama puluhan tahun untuk memperpanjang
hidupnya belaka. Demikian juga Jing-san-khek sudah puluhan tahun duduk diam tidak bergerak dan
tidak bicara. pikirannya sudah linglung, seperti orang setengah gila, sekarang kena pukulan
batin yang besar ini sudah tentu tak kuat memepertahankan diri lagi, syukurlah ia meninggal dengan
tenang. Goan Tiong Goan Liang sama menghela napas gegetun, sungguh tidak kira Jing-san-
khek bakal meninggal dengan cara yang demikian ini, setelah Jing-san-khek tiada baru mereka
mau percaya pada ucapannya tadi, sayang sudah terlambat menyesal pun sudah kasep.
Hun Thian-hi saling berpandangan dengan Ma Gwat-sian dan Poci tanpa bersuara,
kejadian ini benar-benar sangat mendadak dan diluar dugaan.
Selesai mengurus penguburan jenazah kedua tokoh angkatan tua ini, Hun Thian-hi
bertiga lalu menempuh perjalanan menuju ke Tionggoan pula.
Sungguh betapa besar hati Thian-hi, segala urusan yang harus dikerjakan boleh
dikata sudah diselesaikan semua dengan sempurna kalau hari2 selanjutnya tiada kejadian lain,
sejak saat ini ia bisa kembali ke tempat istirahat gurunya untuk hidup tentram dan bahagia.
Berhari2 mereka menempuh perjalanan yang jauh ini, semakin dekat perasaan mereka
semakin longgar, tapi diluar tahu mereka bahwa kejadian yang mengejutkan justru sudah
menanti kedatangan mereka, dan saat itu sudah mulai berlangsung.
Kejadian yang selalu dikhawatirkan dalam benak Hun Thian-hi ternyata betul-betul
menjadi kenyataan. Secara kebetulan ia menemukan jejak Tok-sim-sin-mo yang disangkanya
sudah mati di dalam istana sesat itu, bukan saja durjana ini belum mati malah sekarang meluruk
datang! Sudah sekian lama ia menguntit mereka bertiga, kadang-kadang kelihatan tapi cepat-
cepat menghilang pula. Meski Hun Thian-hi melihat jejak Tok-sim-sin-mo tapi cuma sekelebatan saja
lantas menghilang lagi, selamanya belum pernah berhenti pada titik yang tertentu pula jaraknya
cukup jauh, Hun Thian-hi menjadi was-was, entahlah apa pula tujuan Tok-sim-sin-mo, sebelum ia
tahu maksud hati orang ia tidak berani sembarangan bergerak, apa lagi mengejar dan membekuknya,
siapa tahu bila orang sengaja memancing dirinya meninggalkan dua orang seperjalanan di
bawah perlindungannya ini. Tiga hari sudah berlalu tetapi masih belum dapat kepastian jejak Tok-sim-sin-mo
yang sebenarbenarnya, curiga dan was-was pula hati Thian-hi, cara bagaimana Tok-sim-sin-mo dapat lolos
keluar dengan selamat, apakah ia sudah memperoleh Ni-hay-ki-tin itu"
Hari keempat pagi2 benar-benar mereka sudah melanjutkan perjalanan, Ma Gwat-sian
merasa adanya gejala2 yang tidak wajar, memang ia tidak terlalu persoalkan Tok-sim-sin-
mo tapi ia melihat tindak tanduk Thian-hi yang tidak tentram. ia maklum dan menyadari bahwa
sesuatu kejadian yang luar biasa bakal mereka hadapi. kalau tidak Thian-hi tidak akan
mengunjuk tingkah laku yang kurang wajar. Sepanjang jalan Thian-hi selalu celingukan kekanan kiri. Tok-sim-sin-mo sudah
menemukan Nihay- ki-tin atau tidak ia harus bersiap dan waspada mendiaga sergapannya.
Benar-benar juga dugaannya, sekonyong-konyong dari arah hutan sebelah depan sana
terdengar gelak tawa yang menggila lantang menusuk telinga, hati Thian-hi jadi
tegang beberapa hari lamanya Tok-sim-sin-mo belum berani mengunjuk diri berhadapan langsung
dengan mereka, sekarang dia berani mengunjukkan diri dengan sikap yang begitu takabur tentu
sebelumnya mempunyai persiapan yang cukup matang, pertempuran seru tidak bisa dihindari
lagi. Melihat Hun Thian-hi menjadi tegang, biji mata berkilat mendelik Ma Gwat-sian
jadi heran, tanyanya, "Siapa yang datang?"
"Tok-sim-sin-mo!" sahut Thian-hi singkat sambjl tersenyum.
"Tak asah kuatir." Poci ikut menimbrung, "Bila kita bertiga selalu bersama dia
tidak akan berani turun tangan. mari lanjutkan perjalanan, coba dia berani berbuat apa!"
Thian-hi manggut-manggut membenar-benarkan, mereka maju lebih lanjut Tak
seberapa jauh kemudian dari dalam hutan melangkah enteng sesosok bayangan orang. tahu-tahu
Tok-sim-sinmo sudah muncul dihadapan mereka bertiga tanpa mengunjuk rasa takut sedikitpun,
sepasang biji matanya yang berkilat dingin memutih seperti mata dracula. mendelik ke arah
mereka. mulutnya mengulum senyum sinis. Bahwa Tok-sim-sin-mo berani muncul dan berhadapan secara terang-terangan membuat
kekuatiran Thian-hi himpas sebagian besar, soalnya bukan karena gentar
menghadapi ilmu silat orang, cuma sepak terjang lawan yang banyak menggunakan akal muslihat licik dan
licin itulah yang perlu ditakuti. Tatkala mana mereka sudah mencapai sebuah belokan, daerah itu dikeliliingi hutan
bambu, hembusan angin pagi yang cukup keras membuat daun-daun bambu mengeluarkan suara
geresekan menambah ketegangan hati semakin memuncak.
Dilain kejap terdengar Tok-sim-sin-mo menyeringai tawa, katanya, "Jangan kau
berusaha melarikan diri dan kau tidak akan mampu lolos dari pengawasanku. Kalau toh aku
berani menghadapimu secara berhadapan tentu aku punya cara untuk menghadapi kau!"
Hun Thian-hi bersikap tenang, ujarnya pelan, "Sudah lama kutahu akan jejakmu,
kalau aku takut masak berani melanjutkan perjalanan ini!"
"Kalian sama mengira aku sudah terkurung di dalam istana sesat dan tak mungkin
dapat keluar lagi, tapi kenyataan sekarang aku sudah muncul dihadapanmu, hatimu takut bukan!"
"Takut" Haha, walau aku tidak tahu cara bagaimana kau dapat keluar dari istana
sesat, maka dapatlah disimpulkan bahwa hakikatnya kau tidak masuk ke dalam istana sesat itu
sungguhsungguh ja, bukan?" "Terserah bagaimana kau ambil kesimpulan yang terang segala dugaanmu meleset
sama sekali, ketahuilah gambar peta yang berada di dalam serangka Badik buntung sudah dapat


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kukeluarkan!" Mau tidak mau terkejut juga hati Thian-hi. ia menyangsikan kebenar-benaran
obrolan orang. Ujung mulut Tok-sim-sin-mo mengunjUk senyum dikulum yang penuh arti, tiba-tiba
ia melesat mundur beberapa meter jauhnya serta berkata, "Kalian harus hati-hati, dalam
jangka sepuluh li di depan sana kau akan takluk terhadap kelihayanku." Selesai memberi ancaman ia
unjuk tawa misterius lalu berkelebat terbang menghilang jdalam hutan bambu.
Bergejolak hati Thian-hi. sesaat lamanya ia menjublek ditempatnya.
"Thian-hi Toako." setelah menanti sekian lamanya akhirnya Ma Gwat-sian
menegurnya, "Menurut hematku lebih baik kami pulang ke Thian-bi-kok saja lebih baik."
Thian-hi tersentak sadar, namun serta mendengar ucapan Ma Gwat-sian ia tertegun
pula. pikirannya sedang kacau dalam waktu singkat ia belum dapat menangkap juntrungan
kata-kata orang, secara spontan ia bertanya, "Kenapa?"
"Apa kau tadi tidak dengar" Tok-sim-sinmo sendiri tidak punya pegangan dapat
mengalahkan kau. tapi dia pasti menggunakan akal muslihatnya yang jahat, aku cuma menjadi
beban beratmu belaka, lebih baik pulang ke Thian-bi-kok saja, kukira jalan ini sempurna
daripada menambah rasa kuatirmu." Thian-hi jadi geli mendengar alasan Ma Gwat-sian ini, katanya, "Gwat.sian. kau
tidak perlu kuatir, aku percaya aku cukup berkelebihan menghadapi Tok-sim. Kalian pun tahu
setelah mendapat petunjuk langsung dari Jing-san-khek Cianpwe Wi-thian-cit-ciat-sek
latihanku sudah setapak lebih maju!"
Demikian Hun Thian-hi menghibur, karena dia sendiripun ingin lekas-lekas kembali
keutara dengan tertawa lalu menambahkan, "Marilah lekas jalan. Jangan takut pada
ancamannya!" Justru tanpa disadari dengan melanjutkan perjalanan ini malah dia mengalami
berbagai rintangan dan kesulitan, hampir saja Ma Gwat-sian menemui ajalnya ditangan Tok-
sim-sin-mo. sedang dia sendiripun menghadapi persoalan lain yang cukup rumit pula.
Poci sendiri sependapat dengan Hun Thian-hi, mengandal kehebatan ilmu silat Hun
Thian-hi kenapa gentar menghadapi Tok-sim-sin-mo, bila mereka selalu bersama tak perlu
takut menghadapi akal licik musuh.
Mereka maju lebih lanjut, dimulut Thian-hi memang takabur dan ini cuma untuk
menghibur Ma Gwat-sian, sebenar-benarnyalah hati kecilnya tidak berani memandang ringan Tok-
sim-sin-mo. Beberapa jauh kemudian mendadak puluhan batang bambu melintang berserakan
ditengah jalan merintangi perjalanan mereka. Thian-hi menggeram rendah, diam-diam ia
mengumpat akan perbuatan rendah Tok-sim-sin-mo ini, sebagai tokoh yang kenamaan di Bulim
kiranya membuat permainan rendah yang memalukan ini.
Setelah dekat ia berhenti dan memeriksa sekelilingnya. empat penjuru sekitarnya
sunyi senyap tak kelihatan sesuatu yang bergerak.
Sekonyong-konyong desiran angin lirih menerjang kepunggungnya dari sebelah
belakang, siang-siang Thian-hi sudah waspada sigap sekali ia membalikkan badan di atas
tunggangan berbareng sebelah tangannya menyimpok ke belakang.
Terdengar tawa, aneh yang lantang, tampak selembar daun bambu melayang jatuh di
atas tanah, berkilat tajam biji mata Hun Thian-hi, sekejap saja gelak tawa itu lenyap
tak keruan parannya. Thian-hi mendengus ejek, hatinya gusar namun ia harus berlaku hati-
hati supaya tidak terjebak oleh muslihat Tok-sim-sin-mo, akhirnya ia melompat turun menyingkirkan
bambu2 yang berserakan ditengah jalan itu.
Hun Thian-hi sudah berada di atas punggung kuda, otaknya juga sedang menerawang,
tak habis herannya tujuan apa yang sedang diperbuat Tok-sim-sih-mo, paling-paling ia
cuma bisa menerka2 bahwa Tok-sim-sin-mo pasti belum mendapatkan Ni-hay-ki-tin itu dan
tujuan kali ini semata2 cuma hendak mengelabui dirinya dan membalas dendam belaka.
Ma Gwat-sian tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Thian-hi. cuma ia maklum
tujuan Tok-simsin- mo membuat rintangan dan tipu muslihat ini hanya untuk memancing kemarahan Hun
Thianhi, meski sekarang Hun Thian-hi belum dibuat gusar tapi bukan mustahil lama kelamaan
ia akan marah juga, jelas sekali dari raut mukanya yang gemas dan gegetun bahwa dia
merasa penasaran akan tingkah polah musuh.
Sejak kecil Hun Thian-hi diasuh dan dibimbing oleh Lam-siau Kongsun Hong,
dididik untuk berbuat jujur dan bajik, cuma dasar pembawaan sifatnya keras kepala dan tinggi
hati, kalau sekarang dia, cuma seorang diri tentu Tok-sim-sin-mo sudah dilabraknya habis2an,
soalnya ia mengutirkan keselamatan Ma Gwat-sian dan Poci.
Beberapa li kemudian lagi-lagi mereka dihalangi oleh dahan2 pohon yang malang
melintang ditengah jalan, berjengkit alis Thian-hi, hawa amarah sudah mulai terbakar dalam
rongga dadanya, laknat benar-benar Tok-sim-sin-mo itu anggapnya aku bisa dipermainkan
dengan permainan liciknya ini" Ingin aku tahu betapa tinggi ilmu silat yang kau miliki.
Setelah meneliti keadaan dengan luncuran lempang ke depan ia lompat turun dari
tunggangannya sekali kakinya menyapu ke arah dahan2 pohon, yang malang melintang
bertumpukan itu. Kontan semua aral rintang itu kena disapu bersih. Dan tepat
saat itu pula tampak Tok-sim-sin-mo meluncur keluar dari hutan sebelah kiri sana. Setelah
berdiri ia unjuk senyum lebar kepada Hun Thian-hi, senyum yang menganduug ejekan dan memandang
rendah dan hina. Tok-sim-sin-mo terkekeh dua kali lalu serunya, "Hebat, kepandaian cakar ajam
begitu tidak lebih cuma pertunjukan pasaran belaka. Sudah kukatakan dalam jarak sepuluh li,
sekarang kan belum sampai menempuh setengahnya!"
"Kepintaran apa yang kau miliki silakan pamer dihadapanku permainan mengelabui
anak2 macam ini juga kau tunjukkan dihadapanku, sungguh memalukan!" demikian jengek
Thian-hi. "Hahahaha. jangan kau takabur!" ejek Tok-sim-sin-mo sambil terbahak-bahak,
"Agaknya kau salah menilai tumpukan bambu dan dahan2 pohon yang berserakan itu- ketahuilah
jangan kau harap bisa lewat jarak sepuluh li ini dengan leluasa!"
"Aku tidak takut menghadapi segala muslihatmu, silakan kau atur segala tipu dan
akal busukmu, bambu dan dahan2 pohon ini tidak berarti menghalangi aku! Jangan kau
bermimpi disiang hari bolong!"
Tok-sim-sin-mo terloroh-loroh. sekali berkelebat ia menghilang pula ke dalam
hutan. Hun Thian-hi naik ke atas kudanya pula, maka Gwat-sian lantas berkata, "Thian-hi
Toako, kau harus lebih hati-hati, jangan kau pandang rendah Tok-sim-sin-mo yang busuk itu,
sepak terjangnya, teramat licik, bukankah dulu kau pun pernah menghadapinya?"
Memang Thian-hi tidak berani gegabah, waktu di Jian-hud-tong tempo hari kalau
Pek Si-kiat tidak keburu datang mungkin ia sudah lama ajal disana. teringat pengalaman yang
lalu ia lebih meningkatkan kewaspadaan, pahit getir di dalam gua seribu Budha merupakan
pelajaran yang sangat berkesan dalam sanubarinya, kalau dulu ia menghadapi berbagai alat
rahasia yang serba rumit kenapa sekarang aku harus takut, sekali aku kena digertak akibatnya pasti
fatal. Maka dengan tertawa ia berkata, "Gwat-sian jangan gentar, kalau kau tidak berpisah
dengan aku dia tidak akan dapat berbuat apa-apa!"
Girang hati Ma Gwat-sian. ujarnya, "Benar-benar kau tidak berpisah lagi dengan
aku!" - bila Thian-hi tidak meninggalkan mereka berdua seratus persen keselamatan mereka
pasti terjamin. Hun Thian-hi mengiakan sambil manggut-manggut, mereka melanjutkan perjalanan
tanpa bicara lagi. Sementara itu, mereka sudah menempuh sejauh tujuh delapan li. hutan bambu dikiri
kanan mereka jang tumbuh subur dengan daun-daunnya yang hijau mulus kini berganti dengan
bambu kuning ke-merah2an. diam-diam bercekat hati Thian-hi, sungguh tak diketahui olehnya
bahwa di tempat ini ada tumbuh bambu kuning, sepanjang jalan ini mereka dapat menempuh sejauh
ini dengan sejamat, bukan mustahil dalam hutan bambu kuning inilah Tok-sim-sin-mo sudah
mengatur muslihatnya. Thian-hi dibesarkan di daerah Thian-lam, ia tahu bambu kuning jarang didapat di
daerah selatan, bambu kuning yang umumnya tumbuh dilaut kidul jauh lebih kuat dan keras
punya daya pegas yang lebih besar pula dibanding bambu umumnya, sedemikian kerasnya tidak
mudah dibacok kutung oleh alat senjata umumnya.
Beberapa kejap kemudian mereka sudah jauh menjelajah di dalam hutan bambu kuning
itu. lagi-lagi mereka dihalangi oleh batang2 bambu yang malang melintang ditengah
jalan dari kanan kiri, tapi batangan bambu kali ini tidak berserakan dan bertumpukan di tanah
tapi sama meliuk ke tengah jalan dari kedua pinggir jalan.
Thian-hi mandah tersenyum ejek, segala muslihatmu; jangan harap dapat
menghalangi perjalananku" Segera ia keprak kudanya menerjang ke depan, ia maklum akan
kekuatan bambu kuning ini tapi ia percaya akan kepandaian sendiri, masa menyingkirkan bambu2
yang sepele ini tidak mampu, demikian batinnya.
Kuatir Tok-sim-sin-mo ada mengatur muslihat lain. Poci dan Ma Gwat-sian juga
keprak kudanya mengintil di belakang Thian-hi. Baru saja Thian-hi kerahkan tenaga hendak
memukul ke depan dengan kekuatan hantamannya menjjngkirkan bambu2 itu, tiba-tiba kuda
tunggangannya meringkik keras, keruan kagetnya bukan kepalang, belum lagi ia menyadari apa
yang sudah terjadi, kuda tunggangan Ma Gwat-sian dan Poci juga sama meringkik kesakitan
terus roboh terjungkal, sudah tentu lebih kejut pula hatinya.
Tanpa menghiraukan segalanya tersipu-sipu Thian-hi memburu maju menolong Ma
Gwat-sian. Maka terdengarlah gelak tawa yang lantang kumandang di dalam hutan, entah kapan
Tok-sim-sinmo sudah muncul pula dipinggir hutan.
Dengan teliti Thian-hi memeriksa ketiga kuda tunggangan mereka, kiranya masing-
masing kakinya kena tertusuk duri2 yang amat tajam dan runcing, keruan bukan kepalang
amarahnya, tiba-tiba ia jejakkan kakinya terus menerjang ke arah Tok-sim-sin-mo.
Kalau gerakan Thian-hi gesit tapi kaki Tok-sim. sin-mo pun tidak kalah cepatnya.
menghilang ke dalam hutan. Hun Thian-hi meragu. kejar atau tidak, kalau kejar kuatirnya kena
dipancing dan terjebak muslihat musuh. tapi kalau tidak membekuk Tok-sim-sin-mo rasa
penasarannya tidaklah terlampias. Rasa benci terhadap Tok-sim-sin-mo sampai ketulang sungsumnya, Tok-sim-sin-mo
cuma seorang diri, kalau aku dapat selalu mengamati geral geriknya'masa mampu dia
menjebak aku, apalagi kepandaian silat Poci juga sebagian besar sudah pulih kembali, agaknya
ia cukup kuat bertahan beberapa kejap melawan Tok-sim-sin-mo. Dengan dasar pertimbangan ini
Thian-hi tidak bimbang lagi, secepat kilat badannya melenting laksana anak panah menerjang ke
dalam hutan. Baru saja ia masuk tampak disebelah kirinya berkelebat sebuah bayangan terus
menghilang, Thian-hi tercengang, tiba-tiba sejalur angin keras menerjang ke arah dirinya,
kiranya sebatang bambu yang meliuk sekarang membal lembang ke atas dan tepat menyapu kedua kaki
Hun Thianhi. Untung Thian-hi cukup waspada sambil menggantak, kedua telapak tangannya.
menepuk bersama dengan dilandasi kekuatan Pan-yok-hian-kang, alhasil usahanya dan malah
menimbulkan samberan angin keras yang memberondong ke arah dirinya dari berbagai penjuru,
kiranya banyak bambu2 yang membal bagaikan pegas sama bergoyang gontai menyabat ke arah dirinya
bergantian. Thian-hi insaf bahwa dirinya sudah terjebak masuk ke dalam tipu
daya, Tok-sim-sinmo yang licin. sungguh ia menyesal kenapa begitu gegabah sembarangan bertindak
sampai kena dipermainkan. Hun Thian-hi menggembor sekeras-kerasnya, kaki tangannya bergerak bersama,


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantam dan menendang balik semua bambu2 yang menyerang dirinya, tapi ia merasakan
betapa besar daya pegas bambu2 kuning yang besar2 itu, kiranya tidak lebih rendah dari
kekuatan. pukulan seorang tokoh silat kelas tinggi.
Begitu terpental mundur bambu2 itu semakin keras pula daya pegasnya membal
kembali, ciut nyali Thian-hi, diam-diam ia mengumpat akan kebodohannya sendiri, kalau ia main
kekerasan dirinya bakal mati konyol kehabisan tenaga, apalagi bambu kuning disekitarnya
tumbuh subur dan rapat sekali tiada jalan untuk lolos keluar. Dalam keadaan tidak berdaya kedua
telapak tangannya bekerja lebih lanjut untuk menjaga diri. jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
diri cuma memberantas kutung semua bambu2 kuning ini. Maka teringat olehrja akan pedang
pemberian Jing-san-khek, tanpa ayal cepat ia melolos keluar. dimana cahaya merah melambung
tinggi terus membabat silang turun naik bambu2 kuning sekelilingnya sama rontok berhamburan....
Girang dan terpesona pula Thian-hi dibuatnya, sungguh ia tidak nyana pedang
pemberian Jingsan- khek itu merupakan sebilah pedang pusaka. waktu ia memunduk meng-amat-amati
batang pedang didapati dua huruf yang terbunyi "Cu-hong" (pelangi darah).
Tiada waktu ia membuang waktu memeriksa pedangnya lagi, sebat sekali ia meleaat
keluar memburu ke tempat semula. Dari jarak yang cukup jauh tepat dilihat Tok-sim-sin-
mno sedang berlari sipat kuping, di bawah ketiaknya masing-masing mengempit satu orang.
Keruan bukan kepalang gugup Thian-hi, sambil menggertak dan bersuit panjang laksana burung
bangau badannya terbang mengejar.
Tok-sim-sin-mo terkial-kial, serunya sambil berpaling, "Kau mengaku kalah tidak"
Tiada gunanya kau kejar aku, kuanjurkan kau pulang saja, atau datanglah ke Jian-hud-
tong untuk mengambil dua orang ini!"
Kejut dan teramat gusar hati Thian-hi, gugup lagi, bagaimana ia harus
menjelaskan duduk persoalannya kepada ham Gwat bahwa Ma Gwat-sian sampai tertawan oleh Tok-sim-
sin-mo sikeparat itu. Nada ucapan TOk-sim-sin-mo cukup mengancam kalau aku mengejar
jejaknya keselamatan Ma Gwat-sian bisa terancam bahaya, setelah ragu-ragu sebentar ia
bertekad untuk mengejar lebih lanjut. Dalam pada itu bayangan Tok-sim-sin-mo sedang menerobos kian kemari diantara
tumbuhan bambu yang lebat itu, dengan ketajaman pedangnya Thian-hi membabat kekanan kiri,
sementara kakinya terus menerjang ke depan memburu ke arah Tok-sim-sin-mo, tapi setelah ia
berhasil membabat segala rintangannya sementara itu bayangan Tok-sim-sin-mo sudah
menghilang, sesaat ia jadi menjublek lemas putus asa.
Bagaimana ia harus bertindak selanjutnya" Kalau tadi ia tidak meninggalkan Ma
Gwat-sian berdua tentu mereka tidak sampai dibekuk musuh, baru sekarang ia menyesal, tapi
sudah kasep. Bagaimana ia harus menceriterakan hal ini kepada Ham Gwat"
Sungguh ia menjadi kehilangan akal sehatnya.
Dengan penuh putus asa akhirnya ia melenggong keluar hutan. Tiba-tiba
pandangannya seperti kabur, entah kapan tahu-tahu dihadapannya berdiri seorang Nikoh pertengahan
umur. Nikoh ini mengenakan jubah hijau kelam, wajahnya putih halus, tangan kanannya
menggembol sebuah kebutan, kedua biji matanya hitam kelam dan putih jenuh, tapi dalam
penglihatannya selayang pandang seperti samar-samar, Thian-hi seperti merasa seolah-olah ia
menghadapi seorang manusia suci dari luar dunia.
Thian-hi tertegun, serta merta ia merasa bahwa telah muncul seorang orang aneh,
orang ini muncul dalam kejap yang tidak bisa dirasakan, jelas ilmu silatnya tentu sudah
mencapai tingkat yang tidak bisa diukur lagi, tapi entah siapa yang membekal ilmu silat yang
begitu tinggi, selamanya belum pernah ia dengar adanya seseorang tokoh kosen macam Ini.
Pendatang ini entah kawan atau lawan, demikian ia meraba-raba, kalau kawan
itulah untung, kalau musuh tidak berani ia membayangkan akibat apa yang akan dihadapinya.
Dengan segala ketenangan hatinya ia masukan pula pedangnya ke dalam karangkanya.
Dengan mendelong Nikoh itu mengawasi pedangnya, pelan-pelan lalu berkata, "Kedua
kawanmu kena diculik orang, apakah kau perlu bantuan untuk menolong mereka?"
Berdetak jantung Thian-hi, sejenak ia berpikir, tiba-tiba terasa bahwa
kedatangan si Nikoh terlalu aneh dan mendadak, urusan apakah begitu gampang diselesaikan karena
keraguannya ini cepat ia menjura hormat serta sahutnya, "Entah siapakah nama Cian-pwe yang
mulia?" Nikoh itu menggeleng kepala, sahutnya kalem, "Aku sedang tanya kau, masih ada
urusan penting yang harus segera kuselesaikan, siapa namaku kau tidak perlu tahu dan
tiada sangkutpautnya dengan kau!" Siapa Nikoh ini Thian-hi tidak tahu, tapi jelas ilmu silatnya tinggi luar biasa,
belum pernah ia menyaksikan kepandaian begitu hebat, mengandal Ginkangnya yang diperlihatkan
tadi sungguh hatinya takjub dan kagum sekali, apa yang harus ia lakukan sekarang"
Kata si Nikoh pula, "Kalau mereka tidak ditolong mungkin jiwa mereka terancam
oleh kekejamam Tok-sim-sin-mo, jelas tujuannya akan tercapai karena kau harus
menyusul ke Jianhud- tong!" Thian-hi mengakui kebenar-benaran kata-kata si Nikoh, kalau ia terlambat datang
menolongnya, bila mereka mati, masa ada muka ia memenuhi Ham Gwat kelak"
Tapi....mendadak terpikir olehnya, dari nada ucapan si Nikoh jelas ia tidak
membantuku secara gratis, mungkin iapun akan mengajukan syarat imbalannya. Maka dengan lantang ia
bertanya, "Entah Cianpwe ada petunjuk apa lagi?"
"Agaknya kau dapat memaklumi maksud hatiku." demikian ujar si Nikoh,
"permintaanku mungkin sulit dapat kau setujui, tapi hal itu ada manfaatnya bagi kau!"
"Silahkan Cianpwe katakan saja, biar Wanpwe mempertimbangkan!"
"Tiada yang perlu kau pertimbangkan! Mau atau tidak kau harus mematuhi pesanku,
mengandal kemampuanmu sekarang kau belum berdaya menolong mereka berdua!"
Thian-hi jadi kurang senang, ucapan si Nikoh rada meragukan kemampuannya, ini
berarti merendahkan gengsinya seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada dirinya,
meski ilmu silatnya setinggi langit, tidak sepantasnya ia begitu menghina orang.
"Apa yang sedang kau pikirkan aku tahu," demikian kata si Nikoh pula, "Mungkin
kau tidak terima, marilah kita coba-coba. cabutlah pedangmu, seranglah aku tiga jurus, aku
tidak akan melawan, jikalau kaki tanganku sampai bergerak anggaplah aku yang kalah, maka
secara sukarela tanpa syarat aku membebaskan kedua temanmu. kalau sebaliknya maka kau harus
patuh pada perintahku!" "Seumpama kepandaianmu setinggi langit masa kuasa menandingi tiga jurus
seranganku tanpa menggerakkan kaki tangan, Nikoh ini sungguh jenaka main kelakar dengan aku."
demikian batin Hun Thian-hi. "Hayo lekas, waktu sangat mendesak!" si Nikoh mendesak tidak sabaran.
Thian-hi melolos pedang lalu menjura serta katanya, "Kalau begitu maaf Wanpwe
akan berlaku kurang ajar!" Nikoh pertengahan umur manggut-manggut, sambil tersenyum ia memberi tanda supaya
Thian-hi mulai menyerang.
Thian-hi menghirup hawa segar, kakinya melangkah ringan mengitari si Nikoh satu
putaran, dari nada ucapan si Nikoh tadi agaknya ia cukup mampu untuk menang, mungkin si
Nikoh tadi sudah menyaksikan permainan silatku maka berani besar mulut tapi sekali-kali aku
pantang jual lagak, betapa pun aku harus hati-hati bertindak.
Tampak Cu-hong-kiam mulai bergerak. dengan jurus Liu-si-jian-tiu (benang sutra
beribu utas), cahaya merah sinar pedangnya mentiung seperti lembayung terus menerjang ke arah
si Nikoh. Diam-diam Thian-hi berpikir; 'ingin kulihat tanpa menggerakan kaki tangan cara
bagaimana kau menghadapi jurus pedangku ini!'
Pandangan si Nikoh mengikuti gerak Cu-hong-kiam ditangan Thian-hi, begitu pedang
menyambar tiba entah dengan gerakan apa tiba-tiba seringan angin tubuhnya
melayang naik mundur ke belakang, benar-benar juga kaki tangannya sedikitpun tidak bergerak.
Terkejut Thian-hi dibuatnya, cepat ia menubruk maju, jurus pedangnya dirobah
dengan tipu Sibiau- liau-loan (sutra terbang dahan liu berantakan), sinar pedangnya silang menyilang
simpang siur tak menentu arah, merangsak begitu cepat dari berbagai arah ketubuh si
Nikoh. Si Nikoh kelihatannya seperti tidak punya berat badan, seenteng asap dapat
melayang naik turun di tengah udara, seiring dengan kiblatan sinar pedang Hun Thian-hi
badannya ikut terombang ambing selulup timbul, jelas jurus kedua inipun tidak mampu menyentuh
ujung bajunya. Apa boleh buat Hun Thian-hi menarik pedang menghentikan serangan
selanjutnya. Sementara Nikoh itu juga melayang turun dihadapannya.
Heran dan tidak habis mengerti Thian-hi dibuatnya meski kedUa jurus
rangsakkannya dapat dilancarkan sekaligus dalam gerakan berantai, jadi baru terhitung satu jurus,
tapi sisa dua jurus selanjutnya jurUs permainan apa pula yang perlu dilancarkan" Ginkang Nikoh ini
sungguh luar biasa bagusnya, begitu hebat sampai sukar dibayangkan keindahannya.
Bagaimana jurus selanjutnya" Agaknya Nikoh itu juga tenggelam pikirannya,
agaknya ia sedang mereka-reka jurus permainan apa yang hendak dilancarkan Hun Thian-hi, bagaimana
pula ia harus menghadapinya. Setelah direnungkan akhirnya Hun Thian-hi tersenyum lebar, pedangnya digerakkan
lagi, kali ini ia gunakan jurus pertama dari ilmu pedang Gin-ho-sam-sek yaitu Tam-lian-hun-in-
hap, cahaya merah yang menyolok mata beterbangan membentuk gugusan gunung yang memuncak
semakin runcing, nyata sinar pedangnya mulai membabat dan menusuk dari arah atas dan
bawah bergantian, batinnya; 'kali ini dapatkah badan si Nikoh berkelebat mundur
menghindar, sementara tajam pedang Hun Thian-hi sudah menindih turun dari atas, naga-naganya si Nikoh
seperti sudah menduga Hun Thian-hi bakal menggunakan permainan pedangnya ini, secepat kilat ia
melesat mundur, sebelum sinar pedang Hun Thian-hi menukik turun. siang-siang ia sudah
berhasil meloloskan diri dan menghindar kesamping.
Lagi-lagi Thian-hi takjup dan terkesima dibuatnya, sungguh diluar dugaannya
bahwa gerakgerik si Nikoh begitu sigap dan cekatan, begitu cepat sampai ia tidak mampu melayani
permainan orang, sekian lama ia menjublek lalu pelan-pelan membalik badan.
Nikoh itu manggut-manggut lagi, agaknya ia menyuruh Thian-hi meneruskah
serangannya terakhir. Inilah jurus terakhir, kalah atau menang jurus inilah yang bakal menentukan, dua
jurus yang terdahulu ia telah gagal, kegagalan ini banyak mempengaruhi semangat tempur
Thian-hi, keyakinannya mencapai kemenangan menjadi gugur dan lenyap sama sekali, dalam
keputusasaannya ini teringatlah akan Wi-thian-cit-ciat-sek, cuma Wi-thian-cit-ciat-sek lah satu-
satunya harapan untuk mencapai kemenangan itu. Begitulah ia berkeputusan, soalnya cara
lain sudah buntu. Setelah pikirannya mantap Thian-hi menggentakkan tangan kanan, pedang teracung
miring ke atas terus bergerak menyerang ke arah si Nikoh, Kelihatannya Si Nikoh sudah siap
siaga dan punya pegangan mengatasi serangan hebat ini, melihat serangan pedang Wi-thian-
cit-ciat-sek. Thian-hi melandai tiba, sedikit pun tidak menjadi gugup, sekarang ia tidak
bergerak juga tidak berusaha berkelit atau menghindar dengan tajam matanya mengikuti gerak ujung
pedang ditangan Thian-hi. Hati Thian-hi jadi bimbang, tapi seranggan pedang sudah dilancarkan tak mungkin
dibatalkan, dalam kejap itu ujung pedangnya sudah mengancam tubuh si Nikoh malah sudah
menyentuh jubah hijau orang, Berbagai pertimbangan berkelebat dalam benak Thian-hi, kekuatan Wi-thian-cit-
ciat-sek belum lagi ia kerahkan, kalau itu terjadi betapapun tinggi ilmu silat si Nikoh jiwanya
tentu amblas.

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah hatinya ragu-ragu dan gerak tangannya pun jadi kendor, kenapa si Nikoh
tidak mau berkelit" Apakah dia tidak mengenal jurus yang dilancarkan ini adalah Wi-thian-
cit-ciat-sek yang hebat ini" Keraguan ini melintas cepat di dalam benaknya, sang waktu tidak memberi
kesempatan bagi Thian-hi untuk banyak pikir, serta merta secara reflek ia menarik mundur ujung
pedangnya. Biji mata si Nikoh memancarkan sorot yang aneh dengan suara datar ia bertanya,
"Kenapa kau menarik pedang membatalkan seranganmu?"
"Kau tidak berkelit aku tidak tega untuk melanjutkan seranganku!" demikian jawab
Thian-hi, suaranya datar rendah. Mata si Nikoh memancarkan cahaya aneh yang sulit dijajaki juntrungannya,
suaranya tetap tawar, katanya, "Tapi kau sudah melancarkan tiga jurus serangan. Kau sudah
kalah!" Memang Thian-hi sudah melancarkan tiga jurus serangan, meski serangan terakhir
ia batalkan sendiri, tapi sudah masuk hitungan juga, terpaksa ia menyahut, "Silakan Cianpwe
katakan perintah apa yang harus kulaksanakan!"
Si Nikoh manggut-manggut, ujarnya, "Tidak malu kau sebagai ahli waris Wi-thian-
cit-ciat-sek, sekarang akan ketolong mereka, tapi setelah berhasil kuselamatkan mereka ikut
aku! Hal ini akan lebih baik dan tiada jeleknya!" - habis kata-katanya lenyap pula bayangannya,
sekali mencelat ia menghilang ke dalam hutan.
Thian-hi terlongong-longong, sekian lamanya ia termenung-menung, tak tahu dia
bagaimana perasaan hatinya saat itu, ia tidak bisa menyangkal kebenar-benaran ini, kalau
si Nikoh membawa Ma Gwat-sian pergi tentu dia punya akal untuk menyembuhkan penyakitnya itu, cuma
ia tidak tahu siapakah sebenar-benarnya Nikoh itu"
Akhirnya ia menghela napas gegetun, Nikoh itu pasti dari kalangan lurus, hal ini
tidak perlu disangsikan, namun kapan baru dia bisa bertemu lagi dengan Ma Gwat-sian"
Sekarang apa pula yang harus dikerjakan" Setelah dipikir2 akhirnya ia berkeputusan untuk meluruk
ke Jian-hud-tong untuk menyelidiki apakah Ma Gwat-sian berdua benar-benar sudah tertolong keluar.
Meski ia harus menerjang sarang harimau dan gua naga, apalagi Tok-sim-sin-mo belum lagi mampus,
Badik buntung pun masih berada di tangannya.
Tengah ia terombang-ambing dalam pikiran, sekonyong-konyong didengarnya suara
percakapan yang lirih tapi berisi, dapatlah diraba bahwa pendatang ini pasti
tokoh kaum Bulim. Bergegas ia melejit menyembunyikan diri. di dalam hutan, dalam hati ia berpikir2
siapakah yang sedang mendatangi. Tak lama kemudian dari arah depan sana mendatangi dua orang, begitu melihat
jelas kedua pendatang itu, Thian-hi melengak heran, kiranya mereka bukan lain adalah Bun Cu-
giok beserta gurunya, sungguh tidak habis mengerti untuk apa Bun Cu-giok meluruk kemari dari
barat daya yang berjarak begitu jauh.
Paras Bun Cu-giok dan Ce-hun Totiang tampak kecut, agaknya ada sesuatu peristiwa
yang mengganggu pikiran mereka, diam-diam Thian-hi heran, entah kejadian apa pula
yang telah mereka alami. Ce-hun Totiang sebagai tokoh kosen angkatan Bulim yang kenamaan,
entah kenapa raut wajahnya kok mengunjuk rasa duka dan masam.
Thian-hi diam saja mengawasi kedua orang ini semakin dekat, pikirnya setelah
mereka lewat segera ia hendak menyusul ke Jian-hud-tong.
Mendadak didengarnya Ce-hun Totiang menghela napas panjang, katanya kepada Bun
Cu-giok, "Kalau Hun-siauhiap ada disini tentu lebih baik, mengandal ilmu silatnya, urusan
ini pasti dapat diselesaikan dengan mudah," habis berkata ia berkeluh kesah lagi.
Terdengar Bun Cu-giok ikut bicara, "Belum tentu dia sudi membantu kita, mungkin
dia mambenci kami setengah mati!"
"Cu-giok, jiwamu tertalu sempit Hun-siauhiap bukan orang macam itu!"
Thian-hi mendengarkan percakapan mereka, ia sedang mempertimbangkan diri,
perlukah ia keluar mengunjukkan diri, sementara itu Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sudah
semakin dekat. Akhirnya Thian-hi ambil putusan, serunya, "Totiang tunggu sebentar!"
Rupanya Ce-hun Totiang tidak mengira di tempat itu ada orang, cepat ia memutar
tubuh serta berteriak tanya, "Siapakah itu?" - tapi serta melihat yang muncul adalah Thian-
hi ia jadi kememek, akhirnya ia berseru kegirangan, "Kau!", namun begitu teringat peristiwa
dulu yang memalukan itu ia jadi menyesal dan menunduk, rasanya ingin ia menyembunyikan
mukanya. Thian-hi cepat maju sapanya kepada Bun Cu-giok, "Cu-giok, bagaimana keadaanmu
selama berpisah?" - lalu ia pun bertanya kepada Ce-hun Totiang, "Kudengar Totiang
mencariku untuk sesuatu urusan, entah untuk keperluan apakah?"
Muka Ce-hun berubah serius, katanya tegas, "Sungguh Pinto tidak mengira bakal
bertemu Hunsiauhiap di tempat ini, sungguh kebetulan!", sebetulnya ia rikuh untuk menjelaskan cuma
urusan sudah ketelanjur terpaksa ia harus memberi penjelasan, "Sudah lama kami guru dan
murid ingin mohon ampun akan dosa2 yang lalu, tapi selama ini belum ketemu dengan Hun-
siauhiap!" Thian-hi menjadi rikuh sendiri, sahutnya tertawa ewa, "Kejadian dulu cuma karena
kesalahan paham belaka tak usah diungkat2 lagi, apalagi dulu akupun pernah mendapat
pertolongan jiwa dari Cu-giok ke-beberapa kali, budi pertolongan inipun belum semua kubalas!"
Sungguh malu dan menyesal pula hati Bun Cu-giok serta mendengar ucapan Thian-hi
ini.... Perbuatan dirinya yang terakhir begitu tercela dan hina, bukan saja tidak
dinista malah orang bicara begitu sungkan, maka dengan penuh haru dan menyesal ia berkata, "Hun-
siauhiap bicara sungkan, betapa hina dina aku Bun Cu-giok ini, cuma aku harap Hun-siau-hiap suka
memaafkan! Betapa cupat dan sempit jiwaku, tapi kau tak dendam akan kesalahanku yang
memalukan itu, sungguh aku Bun Cu-giok berhutang budi dan banyak terima kasih!"
"Saudara Cu-giok main kelakar saja, soalnya dulu terdesak oleh keadaan tidak
bisa aku bekerja menurut situasi, mana bisa menyalahkan kau!"
Lalu Hun Thian-hi bertanya lebih lanjut kepada Ce-hun Totiang, "Totiang sebenar-
benarnya apakah yang telah terjadi, bolehkah beri penjelasan kepada Wanpwe?"
Ce-hun Totiang menghela napas, ujarnya, "Dikata soal besar ya besar, dianggap
soal kecil yang sepele. Ciok Yan kena diculik orang, Hoan-hu popo juga terluka oleh orang itu."
"O," seru Thian-hi heran, tanyanya pula, "Siapa penculiknya?"
"Kalau orang lain sih mending, soalnya penculik itu adalah Bian-hok Lojin (situa
kelelawar)", Thian-hi bercekat, serunya kejut, "Situa kelelawar maksudmu!" - sungguh ia tidak
menduga, karena si tua Kelelawar merupakan tokoh aneh yang disegani pula di Bulim,
seorang diri ia menempati sebuah gedung besar, tiada seorangpun yang pernah melihat ia keluar
dari sarangnya, tapi tiada seorangpun juga yang berani memasUki gedungnya itu, orang yang pernah
masuk kesana, tiada seorangpun yang bisa keluar dengan selamat. Cuma tiada seorangpun
kaum persilatan yang menanam permusuhan atau berhutang budi terhadapnya, maka ia
tidak menduga orang yang disegani dan diindahkan ini justru telah menculik seorang gadis
remaja. "Bagaimana bisa terjadi hal ini?"' tanya Thian-hi minta penjelasan.
Pelan-pelan Ce-hun Totiang menggeleng kepala, katanya, "Aku sendiri juga kurang
jelas, sudah sekian lamanya Hoan-hu popo belum sadar waktu peristiwa ini terjadi kebetulan kami tidak ada
dirumah!" Tidak habis heran Thian-hi kenapa situa Kelelawar meluruk jauh kegurun utara,
melukai berat Hoan-hu popo serta menculik Ciok Yan. Tempat tinggal situa Kelelawar tidak jauh
dari sini setelah berpikir masak segera ia berkata, "Mari kuiringi Cianpwe meluruk kesarangnya!"
Tanpa minta bantuannya Hun Thian-hi sudah menyatakan diri bersedia ikut mengurus
persoalan ini, keruan bukan kepalang senang dan haru hatinya. ujarnya, "Kalau
begitu bikin susah Siauhiap saja!" "Marilah kita berangkat!" demikian ajak Hun Thian-hi, lantas ia mendahului lari
ke arah tenggara. Sebelum cuaca menjadi gelap mereka sudah tiba diluar sebidang hutan lebat, Hun
Thian-hi menghentikan langkahnya seraya membalik badan, katanya, "Sarang situa Kelelawar
berada di dalam hutan inikah!" - langsung mereka menerobos masuk hutan berapa jauh di
hadapan mereka berdiri tegak sebuah gedung menjulang tinggi keangkasa, bangunan yang
sudah setengah rusak tidak terpelihara berdiri dikegelapan malam seolah-olah seperti bayang2
jin raksasa. Selayang pandang seluruh rumah sudah hampir terbungkus oleh tanaman rotan yang
merambat subur ke-mana-mana, suasana sunyi senyap seperti tiada kehidupan insan
manusia, mungkin selama ratusan tahun gedung ini tidak pernah dihuni manusia.
Melihat keadaan yang seram ini mau tak mau hati Thian-hi menjadi tegang, selama
puluhan tahun tiada seorang pun yang tahu orang macam apakah yang tinggal di dalam
gedung raksasa yang bobrok ini, jelasnya seorang tua berusia lanjut, Tidak seorang pun yang
tahu betapa tinggi ilmu silat situa Kelelawar itu. Karena siapa saja yang pernah masuk ke dalam
gedung tiada yang bisa keluar dengan masih bernyawa.
Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sampai tidak berani bernapas keras-keras, mereka
berdiri diam di belakang Hun Thian-hi, jantung mereka berdebar keras menanti
perkembangan yang bakal terjadi. Akhirnya Hun Thian-hi membuka suara, "Mari kita masuk bersama!"
Ce-hun manggut-manggut, sambil menggandeng Bun Cu-giok pelan-pelan mereka
memasuki gedung besar itu. Sepasang mata Hun Thian-hi dengan tajam meneliti setiap tempat
yang mencurigakan, tapi keadaan sekelilingnya hening lelap, mereka maju lebih lanjut
sampai diambang pintu. Setelah dekat di ambang pintu Thian-hi memburu dua langkah ke depan. kedua
telapak tangannya mengerahkan tenaga mendorong pelan-pelan ke arah pintu besar itu baru
saja kedua daun pintunya terbuka sebagian segulung angin dingin dan gerombolan kelelawar
yang tidak terhitung banyaknya beterbangan menerjang keluar....
Thian-hi bertiga dibuat terkejut oleh keributan suara dari kelelawar besar2 yang
berbau amis dan busuk, hampir saja arwah mereka copot dari badan kasarnya. mereka tahu bahwa
situa kelelawar pasti sudah mengetahui jejak kedatangan mereka.
Dengan membesarkan hati Ce-hun Totiang mendahului melangkah masuk. dengan
seksama ia amat-amati keadaan gedung besar itu, lalu berpaling bertanya kepada Hun Thian-
hi, "Entah bagaimana keadaan dalam gedung sana, maksud Hun-siauhiap kita langsung terjang
ke dalam saja atau mengundang situa kelelawar keluar?"
"Maksud Cianpwe...."
"Menurut hematku keadaan di dalam kita tidak jelas. kalau masuk kesana mungkin
terjebak, lebih baik kita pancing situa kelelawar keluar saja!"
Thian-hi manggut-manggut sahutnya, "Cuma apakah ia sudi keluar!"
Cepat Ce-hun Totiang menarik napas lalu berseru lantang ke arah gedung, "Pinto
Ce-hun, dari jauh sengaja memburu datang harap penghuni gedung ini suka keluar untuk bicara!"
- karena ia mengerahkan Lwekang suaranya mengguntur seperti gema genta yang bertalu2,
sengaja ia hendak menunjuk kepandaian Lwekangnya untuk memancing situa kelelawar keluar.
Tapi setelah gema suaranya sirap, dari dalam gedung tidak terdengar reaksi apa-
apa. Ce-hun, menggeram dongkol. teriaknya pula, "Kalau toh berani menculik orang, kenapa main
sembunyi2. silakan keluar berhadapan!"
Sebuah tawa dingin yang menusuk kuping mandengung dari dalam gedung, keruan
Thian-hi bertiga berjingkrak kaget dibuatnya, terdengar orang dalam gedung berseru,
"Kalau kau bernyali besar, silakan masuk saja!"
Ce-hun Totiang menjadi gusar. sambil menggerung murka ia siap menerjang ke
dalam. Buruburu Thian-hi berseru mencegah, "Totiang, nanti dulu!"
Dari suara tawa dingin, yang menusuk kuping itu Thian-hi tahu bahwa Lwekang
situa kelelawar setingkat lebih tinggi dari kepandaian Ce-hun Totiang, apalagi musuh di tempat
gelap, kalau

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secara serampangan Ce-hun Totiang meluruk ke dalam mungkin kena dikerjain musuh.
Ce-hun Totiang membatalkan niatnya. tanyanya, "Ada urusan apa lagi Hun-
siauhiap?" "Musuh di tempat gelap kita jadi makanan empuk. Sangat berbahaya kalau kita
langsung menerjang masuk tanpa perhitungan, menurut pendapat Wanpwe lebih baik Totiang
dan saudara Cu-giok tunggu diluar saja, biar aku masuk membuat penyelidikan dulu!"
Ce-hun Totiang maklum akan tujuan Thian-hi. Iapun tahu situa Kelelawar bukan
sembarangan tokoh yang dapat dibuat main-main, dengan tertawa tawar ia, berkata, "Seharusnya
kami patuh pada petunjuk Hun-siauniap, tapi soal ini adalah urusan kami dua orang mana bisa
membiarkan Hun-siauhiap masuk seorang diri menempuh ancaman elmaut, sebaliknya silakan Hun-
siauhiap yang tunggu diluar saja, biar aku sama Cu-giok yang masuk ke dalam."
Hun Thian-hi terbungkam, ia maklum sebagai tokoh kosen yang kenamaan di Bulim
adalah aib bagi Ce-hun untuk membiarkan orang lain berkorban demi kepencngan sendiri sedang
jiwa sendiri berat dikorbankan. Meski kepandaian sendiri tidak becus betapa pun cdak boleh
kehilangan gengsi sebagai laki-laki sejati. meski harus menempuh bahaya sampai jiwa melayang,
betapapun ia pantang mundur. "kalau begitu maksud Totiang sebetulnya Wanpwe tidak bisa menolak," demikian
kata Thian-hi setelah berpikir, "Soalnya kita datang bersama, ada lebih baik kita masuk
bersama pula, bagaimana pendapat Totiang?"
"Begitupun baik", sahut Ce-hun Totiang manggut-manggut. Ia maklum cuma bersama
Cu Giok menempuh bahaya ini, harapan untuk menang dan berhasil sangat kecil.
Agaknya gedung besar ini berlapis2, mereka dihadang pula oleh sebuah pintu besar
yang tertutup rapat. Ce-hun Totiang meng-usap2 pintu itu, alisnya terangkat tinggi,
mendadak ia menghardik keras, kakinya rada menyurut mundur tenaga dikerahkan pada kedua
telapaknya terus mendorong ke depan, "blang" daun pintu yang tebal dan berat seketika
semplak dan terbang terpental jauh kena hantaman Ce-hun Totiang yang hebat itu, begitu jatuh di
dalam pendopo mengeluarkan suara gedubrakan.
Seketika suasana dalam pendopo menjadi ribut, kelelawar yang tidak terhitung
banyaknya segera terbang keluar serabutan, cepat mereka mundur tiga langkah, berselang
agak lama baru kelelawar terbang keluar semuanya, keadaan pendopo hening lelap lagi.
Ce-hun mendengus hidung. dengan langkah lebar ia mendahului bertindak masuk.
Namun baru saja setindak ia maju agaknya Ce-hun menghadapi sergapan yang mendadak, tubuhnya
kelihatan mencelat berkelit berbareng tangan kanannya mencakar ke depan sedang tangan kiri
merogoh gagang pedang sendiri, tapi belum lagi pedang sempat terlolos ia sudah keburu
melompat mundur. Kejut dan tegang puia Thian-hi dibuatnya, cepat ia memburu maju. Tampak tangan
kiri Ce-hun mendekap pundak kanannya, bersuara dengan suara berat, "Awas dalam rumah ada
yang membokong! Lihay sekalj!" - suaranya kedengaran gemetar dan jeri.
Thian-hi merasa kaget, pundak kanan Ce-hun seperti terkena oleh senjata tajam,
mengandal Lwekang Ce-hun Totiang ternyata kena disergap sebelum ia maju lebih lanjut,
cukup segebrak saja sudah terluka, apalagi pedang sendiri belum sempat pula dilolos. maka
dapatlah dibayangkan musuh dalam rumah ini pasti tokoh lihay yang kuat, mau tidak mau ia harus
meningkatkan kewaspadaan. Dalam pada itu Bun Cu-giok juga memburu maju, cepat Hun Thian-hi berseru,
"Saudara, Cugiok! Kau tolong obati gurumu dulu, biar aku yang coba-coba, akan kulihat apa yang
terdapat di dalam sana!" Terpaksa Bun Cu-giok mengiakan. Ce-hun Totiang menambahi pesannya dengan suara
tertekan, "Hun-siauhiap, hati-hati1ah!"
Sekilas Thian-hi periksa dua samping daun pintu. lalu pelan-pelan maju ke dalam.
Dan baru saja langkah kaki Thian-hi yang pertama masuk diambang pintu, tiba-tiba dari
depan belakang dan sebelah kiri tiga jurusan terasa samberan tajam dari senjata pedang menusuk dan
membabat secepat kilat ke arahnya. secara reflek ia berkelit ke arah kanan, berbareng
tangan kanan membalik hendak melolos pedang. Sekonyong-konyong ia merasa juga sebatang pedang
tahutahu sudah menyentuh punggungnya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, ujung pedang
ini bukan menusuk maju, sebaliknya ia sendiri yang membiarkan punggumg menggelendot
ke belakang, berarti sengaja membiarkan punggungnya tertusuk pedang.
Thian-hi terkejut namun ia cukup cekatan, sekejap mata ia sudah paham kenapa
dalam segebrak saja Ce-hun Totiang sudah terjungkal oleh musuh, waktu tidak memberi
kesempatan untuk banyak pikir lagi. harapan satu-satunya dalam keadaan yang kepepet dan
gawat ini ia harus berhasil meluputkan diri dari tusukan pedang ini.
Dalam keadaan waktu sependek ini tiada kesempatan bagi Thian-hi untuk berpikir
lebih cermat, tak perlu disangsikan bahwa tusukan pedang dibelakangnya ini jelas sekali akan
menusuk punggungnya lebih dulu dari pada samberan pedang dari tiga jurusan yang lajn.
sebat sekali ia miringkan tubuhnya, tapi kejadian selanjutnya sungguh sangat mengejutkan
hatinya, kiranya tusukan pedang disebelah belakang cuma gertakan belaka, sedikit pun pedang itu
tidak bergerak sesuai dugaannya. Baru sekarang Thian-hi menyadari dirinya telah ditipu mentah-mentah. tepat pada
saat itulah serangan dari tiga jurusan sudah bergabung tiba mencapai satu titik penyerangan
yang hebat sekali menusuk kedadanya sebelah kiri, begitu kuat dan deras sekali tusukan
pedang ini sampai batang pedangnya mendengung mengeluarkan deru angin yang keras.
Tak sempat Thian-hi mengeluarkan pedang, gesit sekali ia mendakkan tubuh sambil
miring kebawah berbareng kaki menjejak tanah melesat miring kesamping, dalam jarak cuma
serambut beruntung ia dapat terhindar dari serangan telak yang berbahaya itu. samentara
ditengah jalan tubuhnya berputar setengah lingkaran, begitu kakinya mencapai tanah, sementara
pedang sudah terlolos terus menusuk miring dari samaping ke arah musuh.
Dari kegelapan terdengar orang itu berseru memuji, "Kepandaian yang hebat!"
Dimana sinar merah berkelebat Cu-hong-kiam sudah menukik turun menusuk tiba,
agaknya orang itu tahu diri. tak berani melawan lekas-lekas ia memutar tubuh teruS lari
terbirit2 ke arah tangga loteng. Begitu menemukan jejak musuh sudah tentu Thian-hi tidak membiarkan musuh
melarikan diri cepat ia membentak keras, "Lari kemana kau!" seiring dengan suara badannya
mencelat terbang di belakang orang. Terpaksa orang itu membalik tubuh sambil lancarkan serangan pedang yang cukup
ganas, laksana kepala ular mematuk langsung menusuk kedada Hun Thian-hi.
Tergerak hati Thian-hi, dalam hati ia sudah berkepastian betapapun orang ini
jangan sampai lolos, keadaan dalam ruang pendopo sangat gelap, waktu orang ini membalik tubuh,
Thian-hi dapat melihat jelas perawakan dan muka asli dari orang yang membokong ini. Orang
ini kira-kira berusia lima puluhan, perawakannya tinggi besar, raut mukanya tumbuh jambang
bauk yang lekat biji matanya berkilat terang.
Pedang Thian-hi juga kebetulan menusuk ke depan terus dipuntir kesamping, tapi
orang tua itu agaknya juga seorang ahli pedang, terdengar hidungnya mendengus, cepat ia
menarik mundur pedangnya seraya mencelat kesamping, serunya, "Lebih penting kau rawatlah dulu
kawan2mu itu!" - selesai berkata terus melesat naik dan menghilang.
Thian-hi terkejut, mungkinkah dalam gedung ini masih ada orang lain" Karena
kuatir cepat ia lari keluar, tampak Bun Cu-giok dan Ce-hun masih berdiri ditempatnya, ia jadi
melengak, batinnya, aku kena ditipu pula oleh orang itu, hatinya jadi gemas dan dongkol.
Bun Cu-giok bersama Ce-hun Totiang melangkah masuk, kata Ce-hun Totiang,
"Siauhiap apa sudah melihat Bian-hok Lojin?"
"Cuma kulihat seorang tua, entah siapa dia, dia lari ke atas loteng, ilmu
silatnya tidak rendah!"
"Tak nyana Bian-hok Lojin serasi dengan nama. Kelelawar tidak punya nyali dan
penakut, melihat orang lantas lari atau main bokong tidak berani berhadapan secara
langsung." Thian-hi sendiri sedang bertanya-tanya kenapa tanpa bertempur sampai menang atau
kalah si orang tua itu lantas merat, apakah dia memang kerjanya membokong dan mencelakai
jiwa orang dengan akal licik" Rasanya tidak mungkin, didengar dari lengking tawanya yang
menusuk pendengaran tadi, tokoh Bulim yang mampu mengalahkan dia rasanya boleh dihitung
dengan jari, mana bisa dia mengandal akal liciknya dengan berbagai jebakan mengalahkan musuh!
Soalnya orang tadi belum gebrak sungguh-sungguh dengan dirinya, apakah dia
benar-benar Bian-hok Lojin belum ada kepastian.
Kata Bun Cu-giok kepada Ce-hun Totiang, "Biar aku naik kesana memeriksa,
sebenar-benarnya apa yang sedang dia lakukan!"
Ce-hun menghela napas, ia geleng kepala, katanya, "Tidak perlu, tak berguna
meski kau ketemukan dia." lalu ia berpikir sebentar dan berseru keras ke dalam rumah,
"Bian-hok Lojin, kalau kau tidak berani keluar, kita akan membakar habis seisi gedungmu ini!"
Terdengar tawa ejek dari dalam rumah, sahutnya, "Boleh kau coba-coba, kalian
bertiga jangan harap bisa keluar dengan masih hidup."
"Kenapa kan main sembunyi dan longak-longok tak berani berhadapan." ejek Ce-hun.
Jawab orang dalam rumah itu, "Orang yang pernah datang kemari selamanya tiada
seorang pun yang keluar dengan masih hidup, harapan hidup kalian bertiga sudah nihil,
kenapa putar bacot selalu, menyebalkan!"
Thian-hi jadi getol, serunya, "Kau anggap gampang menghabisi jiwa kami bertiga,
soalnya kami terpaksa harus meluruk kemari, urusan gampang diselesaikan asal kau lepaskan
nona Ciok Yan, kami bertiga segera keluar dari sini."
Keadaan sunyi senyap, tak terdengar penyahutan. Bertaut alis Thian-hi, katanya,
"Harap kalian tunggu disini, biar aku naik melihatnya!" -sekali lejit tubuhnya terbang lempang
ke atas, baru saja sampai di tengah jalan, tahu-tahu ujung sebilah pedang panjang sudah menutuk
dekat di depan mukanya mengarah tengah-tengah kedua alisnya.
Thian-hi menyedot napas lalu bersuit nyaring, di tengah udara badannya berputar
jumpalitan, sementara pedangnya ikut berputar menyelonong keluar miring menyampok turun
terus memapas naik membabat ke tubuh Bian-hok Lojin.
Agaknya Bian-hok Lojin juga tidak sungkan-sungkan lagi. sengaja ia hendak jajal
Lwekang dan kepandaian Thian-hi yang sejati, begitu kedua batang pedang saling sentuh
miring, yang satu masih terapung ditengah udara, sedang yang lain berdiri tegak di atas papan
loteng dengan cara yang cukup aneh ini mereka sudah saling mengadu kekuatan dalam.
Hilangnya Pusaka Kerajaan 1 Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka Suling Emas Dan Naga Siluman 29
^