Ching Ching 1
Ching Ching Karya ??? Bagian 1
Di sebuah hutan kecil dua orang gadis cilik tampak berlari-lari di antara
pepohonan. Keduanya sedang mengejar kupu-kupu. Yang seorang tampak lebih tua
dari yang lain. Itulah Lan Siu Yin, anak dari Lan Man Fung. Umurnya baru tujuh
tahun. Sikapnya lemah lembut, namun agak cengeng seperti kebanyakan bocah
lainnya. Sayang, dalam usianya yang masih muda ia sudah yatim piatu sehingga
kini diasuh saudara seperguruan ayahnya, Lie Chung Yen.
Seorang lagi adalah Lie Mei Ching, sepupu Lan Siu Yin. Selisih umrunya hanya
setahun lebih muda. Berbeda dengan Siu Yin, Ching-ching lincah sifatnya,
periang, dan pemberani. Kuncir rambutnya tak pernah diam, selalu
bergoyang-goyang. Bibirnya yang mungil selalu berceloteh sambil sesekali melirik
piauw-cienya (kakak sepupu perempuan).
"Ching-moay (Adik Ching)," kata Siu Yin beberapa waktu setelah mereka berjalan
mengelilingi hutan, "baiknya kita pulang saja. Aku sudah cape, lagipula sebentar
lagi kita harus belajar. Sian-seng (Guru pelajaran sekolah) tentu sudah menunggu
kita." "Ah, Yin Cie-cie (Kakak Yin) selalu begitu. Kecapean setiap kali jalan-jalan.
Kita belum sampai di sungai kecil di sana itu. Aku ingin menangkap ikan," kata
Ching-ching cemberut merajuk. Gadis manja itu menarik lengan baju sang
piauw-cie. "Ayolah, mumpung kita dikasih izin keluar rumah."
Tanpa menunggu jawaban lagi, Ching-ching berlari mendului. Ia tahu piauw-cienya
akan terpaksa mengikuti. Dan memang itulah yang terjadi. Sambil menghela napas
Siu Yin mengikuti. Ia tak berani pulang sendiri sekalipun rumah mereka tak
seberapa jauh dari sana. Begitu sampai di sungai kecil, Ching-ching segera melepas sepatu dan menggulung
lengan baju serta ujung celananya. Ia pun segera masuk ke air. Di tepi sungai,
Siu Yin berteriak-teriak mengingatkan,
"Ching-moay, hati-hati. Nanti bajumu basah. Kau bisa sakit. Sudah, kalau mau
ikan, beli saja di pasar."
"Ah, tidak enak. Lebih enak ikan tangkapan sendiri. Nanti dibakar dan kita makan
berdua," sahut Ching-ching. "Cie-cie, kau tidak ikut turun" Di sini asyik,
sejuk. Airnya dingin."
Siu Yin menggeleng. "Tidak, ah, nanti bajuku basah."
"Alaa, basah sedikit tidak apa-apa," kata Ching-ching seraya mencipratkan air
Ching Ching 1 sungai pada Siu Yin. Piauw-cienya menjerit dan menjauh, kemudian duduk di bawah
pohon mengawasi piauw-moaynya (adik sepupu perempuan) menangkap ikan.
Ching-ching mencoba menangkap ikan-ikan besar. Tapi betapa sulitnya. Beberapa
kali ia sempat memegang beberapa ikan yang besar, namun selalu terlepas lagi.
"Heran, kenapa sih badan ikan itu licin bukan main" Jadi sulit menangkapnya,"
gumam Ching-ching kesal. Ching-ching tidak putus asa. Ia masih mencoba menangkap beberapa ekor ikan yang
lewat di dekatnya. Nah, itu ada seekor yang besar sekali! Ching-ching
mengendap-endap mendekati. Lalu dengan sangat cepat, tangannya terulur menangkap
ikan itu! Dapat! "Cie-cie, lihatlah! Aku dapat! Aku dapat! Besar sekali!"
Siu Yin cepat-cepat mendekati. Ching-ching mengangkat ikan itu tinggi-tinggi,
mencengkeram kuat-kuat dengan kedua tangannya yang kecil. Ikan gemuk yang berat
itu menggelepar-gelepar. Ching-ching kerepotan jadinya. Tapi, anak bandel itu
tak berniat melepaskan lagi.
"Lihat, Cie-cie," katanya pada Siu Yin. "Cepat cari kayu. Wah, makan besar kita.
Cepat, ambil kayu bakar - "
Tiba-tiba saja Ching-ching terpeleset. Badannya terjengkang ke belakang. Dengan
suara berdebur, ia jatuh ke dalam air.
Byur! Suara ceburan terdengar lagi. Siu Yin nekat mencebur untuk menolong
adiknya. Tapi, alih-alih mau menolong, ia sendiri tergelincir. Siu Yin panik. Ia
tak pernah masuk ke sungai sebelumnya, sekarang malah terseret arus sungai yang
cukup deras. Gelagapan, Siu Yin mencengkeram apa saja yang ada di dekatnya.
Ching-ching berdiri. Air sungai memang tak sampai sepinggangnya. Ia tertawa
gembira. "Cie-cie, kau pun ikut basah jadinya."
Namun, melihat gerakan-gerakan Siu Yin yang tak terkendali, gadis kecil yang
cerdas itu segera mengerti. Diraihnya lengan Siu Yin dan diseretnya ke tepi.
Berat juga, apalagi pakaian Siu Yin basah kuyup semua.
Ching-ching membaringkan piauw-cienya di tanah. Ia ketakutan melihat Siu Yin
yang pucat dan diam tak bergerak.
"Cie-cie, bangunlah. Cie-cie, ayo bangun, jangan diam saja. Kau belum mati, kan"
Ayolah, jangan kau takuti aku."
Siu Yin masih diam saja. Ching-ching makin mengguncangkan badannya.
"Cie-cie, ayo bangun. Kita pulang saja. Bukankah Sian-seng menunggu kita"
Ayolah, katanya takut diomeli Thia-thia (Ayah) kalau terlambat."
Ching-ching semakin ketakutan melihat Siu Yin tak bergerak. Tanpa terasa air
matanya mengalir. Kemudian ia mendapat akal. Dicipratkannya air sungai ke wajah
Siu Yin. Benar saja. Kelopak mata Siu Yin bergerak. Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan air
yang sempat membikin kembung perutnya. Ching-ching cepat-cepat membantunya duduk
dan mengurut-urut punggung piauw-cienya.
Setelah memuntahkan air yang tertelan, Siu Yin merasa lebih enakan. Dibantu
Ching-ching, ia berdiri. "Ching-moay, kita pulang saja sekarang."
Ching-ching mengangguk. Tanpa sengaja ia melihat tangan kanan Siu Yin yang
mengepal. "Yin Cie-cie, apa yang kau genggam itu?"
Siu Yin membuka genggaman tangannya. Dengan mata terbelalak ia menatap benda di
tangannya. "Ih!" serunya jijik seraya melemparkan benda yang ternyata seekor ikan kecil
yang mati kehabisan napas. Rupanya ketika kelelep tadi, tanpa sadar ia
mencengkeram ikan kecil yang lewat di dekatnya.
Ching Ching 2 "Yin Cie-cie, kau menangkap ikan ini?" Ching-ching mengambil ikan itu dengan
menjepit ekornya dengan jari telunjuk dan jempol. "Hei, kita bawa pulang saja.
Pasti lucu jadinya kalau ikan ini kita masukkan ke dalam baju Sian-seng."
Ching-ching tergelak-gelak membayangkan hal itu.
Siu Yin menggeleng-geleng. "Ching-moay, jangan keterlaluan. Kau ingat waktu kau
iseng menggunting kumis Sian-seng kemarin dulu" Siok-siok (Paman) marah sekali.
Dan kau dihukum rotan 12 kali sampai tak dapat duduk berhari-hari lamanya.
Masakan kau belum kapok juga?"
Ching-ching meringis. Walaupun hukulan itu sudah tak berbekas lagi, tapi kalau
ingat, sakitnya masih tak terasa. Tidak, ia tak mau dihukum lagi. Lebih baik
dibuangnya saja ikan itu. "Aku pun tak mau dirotan lagi," kata anak itu.
"Baiknya kita pulang saja sebelum Thia-thia mencari. Tapi ... Cie-cie, jangan
bilang-bilang, kalau aku main air di sungai."
Siu Yin mengangguk. Tak terpikir olehnya bahwa bajunya yang basah akan
menyatakan kebenaran. Sambil bergandengan tangan, kedua anak itu berjalan
pulang. Lie Chung Yen sedang berbincang-bincang dengan Meng Sian-seng. Ia ingin tahu,
sampai di mana tingkat pelajaran anaknya.
Meng Sian-seng menghela napas sebelum menjawab. "Lan Sio-cia anak yang baik. Dia
sangat menyukai sastera, lukis, dan sejarah."
"Bagaimana dengan anakku Ching-ching?"
"Ching-ching sebenarnya amat pandai. Ia anak yang cerdas. Daya ingatnya kuat. Ia
mudah menangkap apa yang diajarkan. Tapi ... sering kali konsentrasinya tidak pada
pelajaran. Kelihatannya ia lebih tertarik kepada ilmu silat daripada pelajaran.
Saat belajar, ia lebih sering memperhatikan murid-murid yang berlatih di ruang
belajar daripada apa yang kukatakan."
"Kalau begitu mulai besok aku akan menyuruh murid-muridku berlatih di kebun
belakang saja." "Sebenarnya itu tak perlu," kata Meng Sian-seng sungkan.
"Tidak apa-apa," potong Lie Chung Yen. "Ini demi anakku juga, bukan" Ah, ya.
Bukankah ini waktu anak-anak belajar" Kalau begitu aku tak akan mengganggu lagi
Meng Sian-seng." Lie Chung Yen minta diri. Ia melangkah ke luar dan hampir saja
ia bertubrukan dengan anak dan kemenakannya.
"Thia-thia!" Ching-ching berseru kaget.
"Ching-ching, Siu Yin, dari mana kalian?"
"Dari ... dari ...," Siu Yin menjawab terbata.
"Kami habis bermain layangan," jawab Ching-ching.
Lie Chung Yen menatap Siu Yin yang cepat-cepat menunduk dengan wajah memerah.
Melihat gelagatnya, tentu Ching-ching telah berbohong. Belum lagi rambut Siu Yin
yang basah sekalipun pakaiannya kering. "Siu Yin, dari mana kalian?"
"Dari bermain - " Ching-ching menjawab lagi.
"Thia-thia tidak tanya kau!" bentak ayahnya.
Ching-ching langsung mengkeret. Siu Yin ngeri juga. Seperti biasa, air matanya
langsung mengalir. Chung Yen iba melihatnya. Namun ia tak berkata apa-apa. "Kenapa rambutmu basah?"
tanyanya dengan nada lunak.
Siu Yin tidak berani berbohong lagi. Dengan terisak-isak ia menceritakan apa
adanya. Ching-ching meringis. Keringat dingin mengalir. Ia tahu sebentar lagi pasti ia
dihukum. Thia-thianya pernah bilang, sekalipun tidak berbahaya, ia tak boleh
Ching Ching 3 main ke sungai kecil. Di sana sepi. Kalau ada apa-apa, tentu tak ada yang bisa
menolong. Lie Chung Yen melirik anaknya. Anak itu mesti diajar adat supaya jadi orang
baik-baik kelak. Sebenarnya Chung Yen tidak tega. Ia sangat sayang pada anaknya.
Dan setiap hukuman yang diterima Ching-ching seolah-olah dia sendiri yang
merasakan. "Siu Yin, pergilah ke kamarmu," katanya setelah mendengar penuturan anak itu.
Siu Yin segera berlari, tapi diam-diam ia bersembunyi di balik tembok untuk
mengetahui apa hukuman yang akan diterima moay-moaynya.
Lie Chung Yen mengetahui hal ini, tapi tak apa pun dibuatnya. Ia tak pernah tega
menghukum Siu Yin. Anak itu penurut. Kalau tidak karena Ching-ching, tentu tak
akan berbuat nakal. Sifatnya lembut, dibentak sedikit saja air matanya mengalir
tak terhenti. Melihat anak itu menangis, Chung Yen selalu teringat akan pesan
soe-hengnya (kakak seperguruan laki-laki) yang terakhir untuk menjaga Siu Yin.
Ching-ching memandang kepergian piauw-cienya dengan lega. Rasanya ia tabah
menerima hukuman apa saja asal tak ada Siu Yin di sana. Siu Yin selalu menangis
kalau melihat ia dihukum. Hal ini menyebabkan ia ikut menangis juga. Bukan
karena hukumannya, tapi melihat Siu Yin menangis, siapa pun akan teriris
hatinya. Lie Chung Yen menggendong anaknya dengan sayang. Ching-ching melingkarkan tangan
ke leher ayahnya. Ia tahu sekalipun sering dihukum, itu adalah karena salahnya
sendiri, bukan karena Thia tidak sayang padanya. Ibunya pernah mengatakan bahwa
justeru karena sayang maka ia dihukum.
"Kenapa Yin Cie-cie tak pernah dihukum?" tanya Ching-ching waktu itu. "Apakah
Thia-thia tak sayang padanya?"
"Yin Cie-cie itu anak penurut. Kalau tidak karena kamu, mana mau ia melanggar
kata-kata thia-thiamu," jawab ibunya sambil tertawa.
Lie Chung Yen membawa anaknya ke ruang baca. Ada suara langkah kaki-kaki kecil
di belakangnya. Namun, berlagak tidak mendengar, ia berjalan terus.
"Berlutut!" perintah Chung Yen pada anaknya begitu sampai di ruang baca. "Jangan
berdiri sebelum kuijinkan."
Ching-ching menurut walaupun ia tahu bahwa hukuman berlutut akan berlanjut.
Paling tidak sampai matahari terbenam nanti.
Di luar Siu Yin berlari-lari menjauh. Dengan pandangan kabur karena air mata, ia
mencari siok-bonya (bibi) untuk minta ampunan bagi Ching-ching walaupun biasanya
Lie Chung Yen tetap pada pendiriannya.
"Tahu apa kesalahanmu?" tanya Chung Yen pada anaknya.
Ching-ching mengangguk. "Karena main ke sungai kecil, melanggar larangan
Thia-thia," jawabnya.
"Tahu kesalahanmu yang lain?"
Ching-ching menggeleng. Ia mengerutkan kening, berpikir.
"Kau nyaris mencelakakan cie-ciemu. Kau tahu?" Chung Yen menghela napas.
"Ching-ching, dalam setiap perbuatanmu, jangan sampai kau mencelakakan orang
lain, mengerti?" Dalam usianya yang enam tahun, Ching-ching sulit mencerna kata-kata ayahnya.
Tapi dengan pikiran anak-anaknya, ia dapat mengerti inti kalimat itu.
"Oh ya," kata ayahnya lagi. "Meng Sian-seng bilang kau sulit konsentrasi pada
pelajaranmu. Katanya, kau lebih tertarik pada murid-murid yang sedang berlatih.
Betul begitu?" Ching-ching mengangguk lagi.
Ching Ching 4 "Kau mau belajar silat?" tanya Chung Yen lagi.
Ching-ching menatap ayahnya tak percaya. Ia membelalak dengan pandangan
bertanya. Ketika ia lihat ayahnya mengangguk dengan wajah sungguh, barulah ia
menjawab. "Tentu mau, Thia-thia," katanya bersemangat.
"Sebetulnya kau terlalu kecil untuk itu," gumam ayahnya pelan. "Baiklah. Kau
boleh belajar silat, tetapi dengan satu syarat."
"Apa syaratnya, Thia?"
"Kau harus bisa membagi antara pelajaran silat dengan apa-apa yang diajarkan
Meng Sian-seng. Kau tak boleh meninggalkan salah satunya. Kau sanggup?"
"Sanggup, Thia."
"Mau berjanji?"
"Tentu." "Seorang pendekar selalu menepati janji," kata Chung Yen. "Kalau pelajaranmu
minggu ini baik, Thia-thia akan mengajarimu silat minggu depan."
Lie Chung Yen bangkit. Ia melangkah keluar. Ching-ching masih harus menjalani
hukumannya. Namun, anak itu tidak lagi peduli. Yang ada di otaknya hanyalah
silat dan silat. Ia akan menjadi sehebat ayahnya kelak. Mungkin ia akan
mendirikan perguruan sendiri. Atau meneruskan perguruan ayahnya. Ah, hebat
sekali nampaknya. Lie Chung Yen tersenyum melihat anaknya begitu bersemangat. Namun ia tahu,
Ching-ching cepat sekali bosan akan sesuatu. Mungkin nantinya ia akan menganggap
pelajaran lebih menyenangkan daripada silat sebab berlatih silat, selain teori,
dibutuhkan pula kesabaran dan ketekunan. Apalagi pada tingkat permulaan.
Pelan-pelan Chung Yen meninggalkan kamar itu.
Di luar, Han Mei Lin menghampiri. "Suamiku, apa lagi yang dibuat anak kita hari
ini?" tanyanya. "Ia main ke sungai kecil dan hampir-hampir mencelakakan Siu Yin."
"Ooo, pantas barusan Siu Yin berkali-kali menyalahkan dirinya atas hukuman
Ching-ching." "Siu Yin bercerita kepadamu?"
"Ya, ia mencariku supaya memintakan ampunan bagi Ching-ching. Tapi ceritanya
terputus-putus, sehingga aku hanya dapat mengira-ngita saja apa yang terjadi."
"Dia lakukan itu" Padahal aku menyuruhnya tinggal di kamar. Ah, rupanya ia juga
ketularan bandelnya Ching-ching."
Istrinya tertawa. "Melihat mereka berdua, aku ingat akan kau dan soe-hengmu
selagi muda. Kalian begitu akur. Semua pekerjaan dikerjakan bersama,
susah-senang ditanggung berdua. Padahal sifat kalian berbeda sekali. Sekarang
Ching-ching mewarisi kenakalan ayahnya. Itu bukan salahnya."
Chung Yen tersenyum. Sewaktu kecil ia memang sebandel anaknya. Lebih malah.
Karena itu ia sering dihukum oleh gurunya. Dan tiap kali ia dihukum,
soe-hengnya, ayah Lan Siu Yin, menemani sekalipun kesalahan jelas-jelas ada
padanya. Sayang, sekarang Lan Man Fung sudah tiada. Tapi ia menitipkan Siu Yin padanya.
Maka dari itu, ketika mendengar Siu Yin hampir celaka, ia menjadi gusar. Dalam
pikirnya, andaikan Siu Yin tidak tertolong, entah bagaimana ia menghadap
soe-hengnya kelak. Chung Yen menghela napas. "Lin-moay, aku ada urusan sedikit. Aku harus pergi ke
pertemuan para pendekar. Barangkali baru besok pagi bisa pulang. Ching-ching ada
di dalam. Begitu aku pergi, boleh kau lepaskan dia."
Han Mei Lin mengantar suaminya keluar. Lalu ia pergi mendapati anaknya yang
Ching Ching 5 masih berlutut di ruang baca. "Ching-ching," panggilnya.
Ching-ching menoleh. "Nio (Ibu)!"
"Ching-ching, apa yang kau buat hingga Thia-thia menghukummu?"
"Aku mengajak Yin Cie-cie ke sungai kecil untuk menangkap ikan. Waktu dapat ikan
besar, tiba-tiba saja terpeleset. Yin Cie-cie mau menolong, tapi ikut
tergelincir dan tercebur ke sungai."
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ching-ching, kalau cuma menangkap ikan, buat apa jauh-jauh. Di kolam belakang
kan ada. Lebih besar dan gemuk pula."
"Ikan-ikan di kolam itu gemuk dan lamban, Nio. Menangkapnya terlalu mudah. Di
sungai kecil ikannya langsing dan gesit. Biarpun lebih sulit, tapi lebih
menyenangkan." "Baiklah, baiklah," ibunya mengakui. "Sekarang bangkitlah. Ini waktumu belajar,
bukan" Hayo, jangan biarkan Sian-seng menunggu terlalu lama."
"Tidak, Nio, aku tidak boleh berdiri sampai Thia-thia mengijinkan."
"Thia-thia sudah mengampunimu. Ia sudah katakan pada Nio untuk melepaskanmu."
"Tapi ... tapi ...."
"Kenapa" Kau tidak percaya pada Nio?"
"Bukan, bukan begitu," jawab Ching-ching buru-buru. "Tentu saja aku percaya pada
Nio. Tapi orang yang berbuat salah mesti dihukum. Dan hukuman itu harus sesuai
kesalahan. Kalau Thia-thia bilang berlutut, aku akan berlutut sampai Thia-thia
ijinkan Ching-ching berdiri."
Han Mei Lin menatap dalam-dalam mata anaknya. "Ini bukan akalmu untuk menghindar
dari pelajaran, bukan?" katanya curiga.
"Nio, kalau Nio tidak percaya, biarlah Meng Sian-seng mengajar di kamar baca ini
supaya aku bisa ikut belajar."
"Ching-ching, kau benar-benar tidak akan berdiri sebelum thia-thiamu pulang"
Mungkin thia-thiamu pulang esok pagi, apakah kau tahan?"
Ching-ching mengangguk tegas. Paling-paling kakinya pegal-pegal nantinya.
Ibunya pun tidak dapat lagi membujuk anaknya. "Kau betul-betul keras kepala
seperti ayahmu," gumamnya. "Baiklah, biar Nio panggil Meng Sian-seng supaya
mengajar di sini." Siang itu Meng Sian-seng boleh bergembira. Lie Mei Ching menjadi anak terbaik
yang pernah dilihatnya. Sekalipun sambil berlutut sekian lama, anak itu dapat
belajar dengan baik. Sekali dengar saja, apa yang dikatakan gurunya dapat
diulangi dengan tepat. Siu Yin yang belajar bersamanya pun merasa senang. Kalau tiap hari Ching-ching
seperti hari ini, tentu piauw-moaynya itu tak akan lagi dihukum dan mereka dapat
bermain bersama seharian.
Sampai malam menjelang, Ching-ching tak bergeser dari tempatnya. Ia menolak
ketika ibunya datang membujuk untuk tidur di kamarnya. Padahal, saat itu rasa
kantuk sudah menyerang Ching-ching. Tak berapa lama ia pun tertidur dalam
keadaan berlutut hingga tak tahu ketika ibunya datang menyelimuti dan meniup
padam lilin. Pagi-pagi keesokan harinya Ching-ching merasa seluruh tubuhnya pegal dan kaku,
tapi ia tak merasakan apa-apa pada kakinya. Dan ketika ia membuka mata, ternyata
thia-thianya sedang duduk membaca.
"Thia-thia," panggilnya, "kapan Thia-thia pulang?"
"Baru saja," jawab ayahnya tersenyum. Ching-ching, kau tidak turuti kata ibumu
kemarin." "Kemarin aku tidak ke mana-mana, Thia. Sungguh. Bahkan belajar dan makan pun,
Ching Ching 6 aku berlutut," Ching-ching cepat membela diri.
"Thia-thia tahu, tapi bukankah ibumu menyuruhmu berdiri kemarin?"
"Tapi ... Thia-thia bilang .... "
"Sudahlah, sekarang kau boleh berdiri."
Ching-ching mencoba berdiri. Dirasanya kakinya sakit sekali. Bertumpu pada meja
di dekatnya, ia berhasil berdiri. Namun, kakinya seolah tidak menapak tanah. Ia
pun terjatuh. Sebelum tubuh anaknya menyentuh lantai, Lie Chung Yen sudah melompat dan
menyambar. Sebelum disadari oleh Ching-ching, gadis itu sudah berada dalam
gendongan ayahnya. "Kakimu sakit sekali, bukan" Tapi tak apa. Besok pagi kau akan pulih kembali.
Anggap saja sebagai latihan permulaan perlajaran silatmu. Dan hari ini kau boleh
beristirahat seharian di kamar."
"Tidak usah belajar?" tanya Ching-ching.
"Senang, ya, tidak usah belajar?" kata Chung Yen sambil memijit hidung gadis
ciliknya. Ching-ching tertawa dan menyandarkan kepala di pundak ayahnya.
Ching-ching sudah memulai pelajaran silatnya. Kini ia tak pernah bermain ke luar
rumah. Setiap ada kesempatan, ia berlatih silat. Pada permulaannya ia dan Siu
Yin belajar bersama-sama. Tapi Siu Yin yang lembut tidak menyukai
latihan-latihan yang berat. Padahal waktu itu mereka baru mempelajari kuda-kuda.
Tapi Ching-ching bertahan. Ia memang bosan belajar memperko-koh kuda-kuda yang
mengesalkan. Kaki direntang, lutut ditekuk hingga paha lurus. Punggung dan
kepala tegak. Lengan dan siku tegak lurus. Siku menempel di pinggang. Tangan
mengepal. Dan ia harus berdirid dengan sikap demikian berjam-jam.
Bagi gadis cilik yang lincah itu, latihan demikian amatlah berat. Dia yang
biasanya tak pernah diam, kini harus tegak bagai batu dengan konsentrasi penuh.
Kadang-kadang Ching-ching meminta murid ayahnya untuk mengawasi atau melatih,
tapi murid pemula ayahnya yang berumur antara 12-17 tahun malah lebih sering
menggoda. Untunglah dengan kebulatan tekadnya, dengan cepat Ching-ching dapat
menguasai kuda-kuda yang ko-koh.
Bahkan ia sudah dapat menguasai pukulan-pukulan yang berbahaya dalam waktu
singkat. Walaupun pukulan-pukulan itu tidak dibarengi lwee-kang (tenaga dalam),
tetapi sudah cukup terarah.
Bebareng dengan itu kemajuannya dalam pelajaran cukup pesat. Hampir-hampir
melampaui piauw-cienya yang rajin. Hal ini membuat Meng Sian-seng menyayanginya
dan guru itu dengan senang hati menuruti beberapa permintaan Ching-ching.
Misalnya melukis wajah Ching-ching, mengajarnya bermain suling dan memetik khim
(kecapi), dan kadang-kadang membebaskan muridnya dari pelajaran dengan bercerita
tentang pendekar-pendekar masa lampau.
Tetapi kehidupan demikian lama-lama membuat jenuh. Seperti hari ini, kebandelan
Ching-ching nampak kembali.
"Sian-seng, hari ini tak usah belajar sajalah."
"Baik, kalau begitu aku akan bercerita tentang pendekar - "
"Hari ini aku tak berminat mendengarkan cerita," potong Ching-ching cepat-cepat.
"Sian-seng, hari ini aku ingin bermain-main di luar. Boleh, ya?"
Meng Sian-seng ragu-ragu. Semalam ia keasyikan membaca buku sampai larut
sehingga hari ini merasa tidak bersemangat. Kalau ia dapat tidur sejenak,
barangkali akan lebih segar ketika bangun nanti.
"Baiklah," katanya kemudian. "Tapi jangan lama-lama. Setelah bermain nanti,
kalian harus belajar lagi."
Ching Ching 7 Ching-ching dan Siu Yin berlari keluar.
"Ching-moay," kata Siu Yin, "akan main apa kita sekarang?"
"Tidak tahu," jawab Ching-ching. "Aku akan berlatih silat saja, ah."
Ching-ching menggerakkan tangan dan kaki seperti yang diajarkan ayahnya. Siu Yin
memandangnya dengan kagum.
"Siauw-sio-cia (Nona Kecil), latihanmu sungguh baik," seseorang tiba-tiba
berkata. Ialah Sie Ling Tan, salah satu murid Pek-eng-pay (Partai Elang Putih)
pimpinan Lie Chung Yen, yang cukup berbakat, berumur 12 tahun.
"Tan Ko-ko (Abang Tan)," sapa Ching-ching. "Tumben kau tidak berlatih, biasanya
paling rajin." "Siauw-sio-cia, aku mau menghadiahkan ini pada Toasiocia (Nona Besar)," kata
Ling Tan sambil menyodorkan beberapa kuntum bunga kepada Siu Yin.
"Terima kasih," kata Siu Yin lirih.
"Untukku mana?" tanya Ching-ching.
"Siauw-sio-cia, aku tak tahu kau suka bunga juga."
"Memang tidak. Tapi kalau Yin Cie-cie diberi, aku juga mau."
"Wah, aku tidak membawa. Aku hanya sempat memetik selembar daun ini saja."
"Daun" Aku tak mau daun," Ching-ching cemberut, merajuk.
"Tapi daun ini istimewa."
"Apa istimewanya" Daun di mana-mana juga sama."
"Yang ini lain. Lihat!" Ling Tan membawa daun kecil itu ke mulutnya. Terdengar
suatu siulan merdu. Ling Tan menyiulkan lagu yang gembira. Siu Yin dan
Ching-ching bertepuk tangan.
"Tan Ko-ko, ajari aku, ajari aku," pinta Ching-ching.
"Bukankah kau cuma ingin bunga" Biar kucarikan," kata Ling Tan. Anak laki-laki
itu berbalik. Ching-ching menarik bajunya. "Tan Ko-ko, jangan begitu. Kau tahu aku tak peduli
pada bunga." Ling Tan tersenyum. Sekali lagi suatu siulan terdengar.
"Biar kucoba," kata Ching-ching. Pfff, pfff. Ia meniup-niup, namun tak berhasil.
"Marilah kuajari." Ling Tan membeli contoh. "Lihat, jepit ujung-ujung daun ini
dengan telunjuk dan jempol. Lalu pegang di depan bibir, melintang. Tiup begini
...." Ching-ching mencoba berkali-kali. Setelah beberapa lama, sebuah siulan sumbang
berhasil keluar. "Huh, daunnya sudah jelek," katanya. "Tan Ko-ko, di mana kau
dapatkan daun ini. Aku ingin juga memetiknya banyak-banyak."
"Di hutan kecil," jawab Ling Tan.
"Antar aku ke sana!" kata Ching-ching bersemangat.
"Ching-moay, jangan," cegah Siu Yin. "Kita tak boleh main lama-lama. Kalau Lie
Siok-siok tahu kita tak belajar, bisa-bisa diomeli."
"Tidak apa-apa," Ching-ching bersikeras. "Sudah lama aku tidak diomeli. Kalau
sekarang mesti diomeli, ya tak apa."
"Tan Ko-ko," Siu Yin ganti memohon pula pada Ling Tan. "Jangan bawa Ching-moay
main jauh-jauh." "Siauw-sio-cia," kata Ling Tan, "kau tunggulah di sini. Biar kuambilkan beberapa
lembar untukmu." "Tidak mau, aku mau ambil sendiri."
"Kau kan tidak tahu tempatnya."
"Karena itu Tan Ko-ko harus tunjukkan padaku."
Ling Tan berdiri dengan bingung di tempatnya.
Ching Ching 8 Melihat itu, Ching-ching jadi kesal. "Kalau begitu biar kucari sendiri."
"Eh, kau bisa tersesat, Siauw-sio-cia."
"Makanya kau antar aku."
Ling Tan terpaksa menuruti kehendak Ching-ching. Siu Yin ragu-ragu sejenak. Tapi
akhirnya ia ikut juga. Di hutan kecil, Ling Tan menunjukkan tempat daun itu tumbuh. Ia juga memilihkan
bagi Siu Yin dan Ching-ching. Berlatih beberapa kali, Ching-ching sudah dapat
meniup dengan betul. Sementara Siu Yin sedari tadi sudah menyerah.
"Tan Ko-ko, ajari aku lagu yang lucu," pinta Ching-ching.
Ling Tan mengajarinya sebuah lagu riang. Mendengar sekali saja Ching-ching sudah
dapat mengikuti. "Lagunya bagus," kata Siu Yin yang memang menyukai musik. "Siapa yang
mengajari?" "Kukarang sendiri," kawab Ling Tan bangga. "Tapi Toa-sio-cia jangan bilang
kawan-kawanku, ya. Bisa-bisa aku ditertawakan."
Siu Yin tersenyum, memandang kagum. Anak sekecil ini bisa mengarang lagu" Hebat
betul. "Tan Ko-ko, tolong petikkan beberapa helai daun di dahan yang tinggi itu!" kata
Ching-ching. Ling Tan bangkit membantu. "Banyak amat, Siauw-sio-cia. Untuk apa?"
"Untuk persediaan. Supaya aku tak perlu bolak-balik kalau mau memainkan daun
ini. Ling Tan tertawa. "Siauw-sio-cia, asal kau tahu saja, daun yang sudah layu tak
bisa lagi dimainkan."
"Kenapa?" "Karena daun yang layu itu lemas. Kalau ditiup, getarannya tidak pas, maka tak
dapat mengeluarkan bunyi."
"Kalau begitu daun ini kutanam saja di kebun di rumah."
"Mana bisa daun ditanam?" Siu Yin menyela.
"Habis bagaimana?" Ching-ching balas bertanya.
"Siauw-sio-cia, kalau mau menanam, ambil saja tumbuhan yang masih kecil." Seraya
berkata demikian, Ling Tan mencabut tanaman yang masih kecil. "Tapi kau harus
menunggu cukup lama untuk mencabuti daunnya.
"Nah, aku sudah puas memetiknya. Ayo kita pulang sekarang."
"Baiklah." Mereka melangkah pulang. "A-hoa, A-hoa!" Tiba-tiba terdengar suara keras menggema.
Ketiga anak kecil itu berhenti mendadak. Dari kejauhan di balik pepohonan tampak
bayangan yang cepat sekali mendekat. Tiba-tiba saja di depan mereka telah
berdiri seorang laki-laki berumur 40-an yang tinggi besar. Rambut orang itu
acak-acakan. Kumis dan jenggotnya lebat. Alisnya tebal dan ia membawa pedang
besar di punggunggnya. Siu Yin gemetar ketakutan. Ia merapatkan diri pada Ling Tan. Ching-ching
sebaliknya dari takut, malah maju menghampiri orang itu dan memperhatikan dari
dekat. "A-hoa, ayo pulang," kata orang itu seraya menarik lengan Ching-ching.
"Aku bukan A-hoa," kata gadis cilik itu. "Namaku Lie Mei Ching."
"Kau bukan A-hoa" Tidak, kau pasti A-hoa anakku. A-hoa, pulanglah. Ibumu sudah
lama menanti di rumah."
Ching-ching mulai ketakutan. Ia menoleh pada Ling Tan. Anak laki-laki itu tak
Ching Ching 9 tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi ketika orang aneh itu menggendong
Ching-ching, ia segera menyerang bertubi-tubi.
Ching-ching juga tak tinggal diam. Ia berontak, memukul, menendang, menggigit,
tapi seolah tak dirasakan orang itu. Sementara Ling Tan sudah dibikin
jungkir-balik beberapa kali. Kemudian dengan satu gebrakan saja anak itu
tergolek pingsan. Siu Yin yang sedari tadi ketakutan menjadi panik. Sambil menangis ia menghampiri
orang aneh itu. "Lo-peh (Paman Tua), lepaskanlah Ching-moay. Aku mohon padamu,
lepaskanlah piauw-moayku."
"Huh" Siapa piauw-moaymu" A-hoa bukan piauw-moaymu. A-hoa anakku. Dan akan
kubawa pulang sekarang." Laki-laki itu melesat pergi.
"Ching-moay!" Siu Yin menjerit memanggil.
"Yin Cie-cie! Yin Cie-cie, tolong aku!" Dalam gendongan orang itu, Ching-ching
pun menangis menjerit-jerit. Tapi ia dibawa pergi cepat, cepat sekali. Sebentar
saja Siu Yin tak dapat melihatnya lagi.
Siu Yin jatuh terduduk di tanah. Ia masih menangis memanggil-manggil nama piauw-
moaynya. Beberapa saat kemudian pandangannya menjadi kabur. Pepohonan di
sekitarnya nampak berputar. Siu Yin ketakutan. Sekali lagi ia memanggil nama
Ching-ching lalu pingsan di samping Ling Tan.
Meng Sian-seng terjaga dari tidurnya. Ia bermimpi seram sekali. Ada siluman
hijau membawa Ching-ching pergi. Dan siluman itu ingin menghisap darah Meng
Sian-seng juga. Tanpa terasa ia bergidik ngeri. Namun hatinya merasa kuatir. Entah sudah berapa
lama ia tertidur. Ching-ching dan Siu Yin tidak membangunkannya. Ia memandang ke
luar jendela. Hari sudah gelap. Astaga! Rupanya ia tertidur berjam-jam. Pantas
saja mimpinya seram. Meng Sian-seng melangkah ke luar kamar. Di kebun dilihatnya Lie Hoe-jin (Nyonya
Lie) menatap ke kejauhan.
"Ah, Meng Sian-seng. Hari ini mengajar lama sekali. Apakah tidak lelah"
Bagaimana Ching-ching" Tidak bosankah ia?"
Muka Meng Sian-seng memerah. Ia seolah disindir. Tapi jawabnya, "Ching-ching
baik. Ia belajar rajin."
"Ah, ya. Sejak ayahnya bersedia mengajari silat, ia menjadi anak yang patuh,
bukan?" "Ya." Kedua orang itu terdiam. Tak tahu apa lagi yang harus dibicarakan.
"Soe-nio (Istri guru)," tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka.
Keduanya menoleh dan terkejut. Ling Tan membopong Siu Yin yang masih pingsan.
Siu Yin sendiri tampaknya tidak apa-apa, tapi anak laki-laki itu kelihatan memar
di sekujur tubuhnya. "Astaga, Ling Tan! Kenapa?" Han Mei Lin menghampiri. "A-hung," katanya pada
pelayan, "bawa Toa-sio-cia ke kamarnya! Ling Tan, kau ikut aku ke kamar obat."
Ling Tan mengikuti soe-nionya dari belakang. Di depan kamar obat mereka
berpapasan dengan Lie Chung Yen.
"Ling Tan, kenapa mukamu" Berkelahi dengan saudara seperguruanmu?"
"Suamiku, biarlah luka-lukanya diobati dulu, baru kau tanyakan sebab-sebabnya.
Tadi ia pulang membawa Siu Yin yang pingsan."
"Bagaimana Siu Yin?" tanya Chung Ten pada istrinya yang mulai mengobati Ling
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tan. "Tidak apa-apa, cuma pingsan."
Ching Ching 10 "Ching-ching?" "Bukankah ada di kamar belajar?"
"Tadi kutengok ke sana, tidak ada siapa pun."
"Di kamar baca?"
"Aku malah baru dari sana. Tidakkah Ching-ching pulang bersama Siu Yin" Biasanya
kedua anak itu bermain bersama."
"Soe-hoe (Guru)," Ling Tan berkata sambil menangis. "Siauw-sio-cia ...
Siauw-sio-cia dibawa kabur orang!"
"Dibawa kabur?" Chung Yen dan istrinya membelalak terkejut. "Apa maksudmu?"
Tersendat-sendat Ling Tan menceritakan segala yang terjadi di hutan kecil. Han
Mei Lin hampir-hampir pingsan ketika mendengar semua itu. Untung ia masih dapat
menguasai perasaannya. Sekalipun demikian, sedu-sedan tak dapat ditahannya.
Chung Yen sendiri terpekur beberapa saat. "Aku akan mencari Ching-ching,"
katanya dengan suara bergetar. "Biar kubawa beberapa orang murid. Mudah-mudahan
ia selamat. Mendengar cerita Ling Tan, kelihatannya orang asing itu tidak
bermaksud jahat." Chung Yen menghela napas. "Lin-jie, kau uruslah Siu Yin dan
Ling Tan aku pergi dulu."
Lie Chung Yen membawa murid-muridnya mencari Ching-ching. Bukan saja hutan kecil
yang mereka jelajahi, tetapi juga sampai ke pelosok-pelosok desa di sekitar
tempat itu. Berhari-hari mereka mencari, namun jejaknya saja pun tidak
diketemukan. Pada hari kedua belas, Lie Chung Yen memutuskan untuk pulang sekalipun dengan
hati remuk. Ia tak mau memikirkan diri sendiri. Masih banyak tugas yang harus ia
lakukan. Pek-eng-pay tak boleh terbengkalai. Apalagi ia masih harus bertanggung
jawab atas Siu Yin. Karena itu ia merelakan Ching-ching walaupun dalam hati ia
menjerit. Ching-ching dibawa orang aneh itu dengan cepat, melewati hutan dan gunung.
Saking cepatnya, Ching-ching tak dapat melihat apa yang dilewati. Hanya
samar-samar saja sesekali ia mengenali batang-batang pohon yang berjajar.
Kadang-kadang mereka bermalam di tepi sungai. Pada saat-saat demikian,
Ching-ching boleh makan ikan sepuasnya. Bila melewati hutan, orang itu menangkap
ayam liar atau burung untuk dipanggang. Rasanya lezat. Ching-ching belum pernah
makan makanan seperti itu di rumahnya.
Setelah beberapa hari, Ching-ching tidak takut lagi pada orang itu. Ia malah
senang dibawa menjelajahi hutan-hutan sekalipun kadang-kadang menangis bila
teringat orang tua dan piauw-cienya. Namun, orang aneh di sampingnya selalu
menghibur. Dari percakapannya, Ching-ching mengerti kalau orang itu menganggapnya sebagai
anak. Entah apa sebabnya. Orang itu pun menyuruh Ching-ching memanggil A-thia
kepadanya. Meskipun heran, Ching-ching menurut. Ia tak mempedulikan panggilan.
Yang penting orang itu baik kepadanya, ia tak keberatan disuruh panggil apa
saja. Malam itu mereka berhenti di sebuah hutan. Hari itu hari kesembilan. Mereka
membakar seekor ayam hutan yang ditangkap sore harinya.
"A-hoa," kata orang itu. "Ini ayamnya sudah matang. Nih, kau ambillah pahanya
yang berdaging empuk."
Ching-ching mengambil daging yang disodorkan. Ditiup-tiupnya sebentar, lalu
digigit sedikit-sedikit. Selesai makan, mereka berbaring berdampingan, menatap
bintang yang bertebaran di langit.
"A-thia," panggil Ching-ching takut-takut.
Ching Ching 11 "Hmmm," jawab yang dipanggil tanpa berpaling dari bintang yang tergantung jauh
di sana. "A-thia, sudah berhari-hari kita berjalan. Ke manakah tujuannya?"
"Anak tolol, tentu saja pulang menemui ibumu!"
"Pulang ke mana?"
"Ke puncak Gunung Leng-yi. Kau lupa" Kita dulu hidup bersama-sama di sana. Ah,
tentu saja kau lupa. Kan sudah lama sekali kau tidak pulang ke rumah."
"A-thia," kata Ching-ching lagi. "Jauhkah Leng-yi-san dari sini?"
"Tidak, tidak jauh lagi. Dari sini pun kau sudah dapat melihatnya. Tuh, kau
lihat bayangan hitam yang besar di sana" Itulah Leng-yi-san."
"Berapa hari perjalanankah untuk sampai di sana, A-thia?"
"Paling-paling tiga hari lagi kau sudah dapat bertemu ibumu. Sudahlah, sudah
malam. Kau tidurlah. Jangan bertanya-tanya lagi."
Tak berapa lama a-thianya sudah mendengkur, Ching-ching masih belum tidur. Ia
memikirkan tentang dirinya. Entah apa lagi yang akan terjadi nanti.
Sedang apa, ya, Yin Cie-cie sekarang" Pasti sudah meringkuk di bawah selimut.
Nio mungkin sedang menyulam, sementara Thia-thia sedang membaca, pikirnya.
Ching-ching tidak tahu, saat itu thia-thianya sendan mencari ke sana ke mari. Ia
mengira thia-thianya mungkin akan merasa kuatir beberapa hari, tapi tidak selama
itu. Tapi Siu Yin mungkin akan sangat kehilangan dan ibunya akan menghibur
piauw-cienya dengan kasih sayang.
Berpikir hal-hal demikian, Ching-ching merasa rindu akan rumahnya. Tanpa terasa
air matanya mengalir. Ia terisak pelan sampai akhirnya tertidur kelelahan.
Hari kedua telah lewat. Mereka tiba di sebuah desa di kaki Leng-yi-san.
Ching-ching dibawa ke sebuah rumah makan di desa itu. A-thianya segera memesan
macam-macam makanan dan dua guci arak.
"A-hoa, makanlah kenyang-kenyang. Perjalanan ke rumah nanti cukup panjang dan A-
thia tidak akan berhenti di jalan supaya kita bisa sampai di rumah sebelum hari
menjadi gelap." "A-thia, ceritakan padaku, apakah Ibu itu baik orangnya?"
"Tentu saja. Ibumu adalah wanita yang terbaik di dunia. Dulu ibumu adalah
seorang pendekar. Semua orang segan padanya. A-thiamu juga."
Ching-ching mendengarkan sambil sibuk mengunyah makanan. "Kalau begitu Ibu hebat
sekali, ya." "Ya, ia seorang yang baik budi. Banyak orang-orang jahat yang bertobat karena
dia. Karena itu, selain disegani, ibumu juga dihormati dan mempunyai banyak
sahabat yang hebat. Padahal waktu itu ia baru berumur 20 tahun."
"Bagaimana Ibu bertemu dengan A-thia?"
"Waktu itu a-thiamu berumur 25 tahun dan sedang melewati sebuah hutan. Tiba-tiba
terdengar suara senjata beradu. A-thia cepat-cepat mendekat. Di sana A-thia
lihat seorang gadis sedang bertempur melawan seorang nenek jelek - "
"Dan gadis itu adalah Ibu, betulkah?"
"Anak pintar, aku benar. Dia ibumu."
"Bagaimana akhirnya, A-thia?" tanya Ching-ching tak sabar seperti biasanya.
"Siapa yang menang" Ibu atau nenek itu?"
"Tentu saja ibumu. Nenek tua jelek itu seudah terdesak. Tapi, dasar nenek licik,
pada saat hampir mati di ujung pedang, ia lemparkan puluhan jarum beracun ke
arah ibumu. Sekalipun ibumu cukup lihay, namun beberapa jarum beracun itu sempat
menancap di tubuhnya. Dan nenek tua itu kabur. A-thia mencoba menolong ibumu.
Namun racun jarum-jarum itu amat kuat. A-thia tidak dapat mengeluarkan semua
Ching Ching 12 racun. Akibatnya kelihayan ibumu lenyap. Dan sampai sekarang racun-racun itu
masih sering dirasanya."
Ching-ching mengerutkan kening. Setahunya jarum adalah logam tipis yang
digunakan untuk menyulam atau menjahit. Bagaimana bisa berpengaruh begitu hebat"
Ching-ching terkejut ketika A-thia menepuk pundaknya.
"A-hoa, nanti kau harus urus ibumu baik-baik. Jangan bikin sedih hatinya, ya?"
"A-thia jangan kuatir. Aku akan layani Ibu sebaik-baiknya," kata Ching-ching.
"A-hoa, ini, kau minum juga arak, temani A-thia minum."
Ching-ching membelalak. Minum arak" Apa boleh" Ibunya bilang, anak kecil tidak
boleh minum arak. Apalagi perempuan. Karenanya Ching-ching diam saja.
"Ayo minum. A-thiamu jago minum. Anaknya pun harus begitu juga."
Ragu-ragu Ching-ching mengambil cawan araknya yang penuh terisi.
"Jangan ragu," kata a-thianya. "Lihatlah a-thiamu." Sekali teguk, cawan araknya
sudah licin. Ching-ching tak ragu lagi. Sambil memejamkan mata, ia menghabiskan isi cawannya.
"Bagaimana" Enak bukan?"
Ching-ching bersiap untuk mengangguk. Tetapi tiba-tiba saja lehernya terasa
panas. "Aduh, aduh, panas," keluhnya.
"Anak bodoh, masa sebegitu saja kepanasan" Nih, minum lagi."
Ching-ching tak berani menolak walaupun setiap menghabiskan satu cawan,
kepalanya terasa semakin berat. Akhirnya ia tak tahan lagi. Belum habis setengah
guci, kepalanya sudah terkulai lemas. Tak didengar a-thianya berkata,
"A-hoa, bukan maksud A-thia memaksamu minum arak. Tapi perjalanan ke puncak
Leng-yi-san masih jauh dan dingin hawanya. Arak itu akan membuatmu pulas dan
tubuhmu akan terasa hangat. Dengan demikian A-thia akan lebih leluasa
membawamu." Dan orang itu memondong Ching-ching di pundaknya. Setelah membayar, ia melesat
pergi dengan sangat cepat diiringi pandangan kagum orang-orang di kedai itu.
Ching-ching membuka mata. Ia mendapati dirinya tidur di sebuah kamar yang
sederhana. Kamar itu dikelilingi tembok batu yang disusun rapi berjajar. Di sana
terdapat sebuah ranjang dari batu yang sedang ia tiduri. Ada juga sebuah meja
dan empat kursi. Semuanya dari batu.
Ching-ching mencoba untuk duduk. Uh, kepalanya masih puyeng. Ia bersandar ke
dinding. Ih, dingin betul dinding itu. Tapi kok ranjangnya hangat"
Dilongoknya kolong tempat tidur. Oh, pantas. Di bawah tempat tidur itu terdapat
pendiangan dan apinya dinyalakan.
Ia melompat turun dari tempat tidur. Barangkali di luar A-thia menunggunya. Tapi
begitu turun dari tempat tidur dirasanya dingin yang luar biasa. Merasuk sampai
ke tulang. Bibirnya gemetar. Badannya menggigil dan giginya saling beradu
menimbulkan suara bergemerutuk.
Ia cepat-cepat kembali ke ranjang dan duduk di sana. Nah, sekarang sudah
mendingan! Tapi Ching-ching tidak berani turun lagi, takut kalau-kalau ia beku
kedinginan. Karenanya ia duduk saja termenung di tempat tidur.
Tapi tak berapa lama, ia kedinginan juga. Sekalipun tempat tidurnya hangat, tapi
tak dapat mengusir dinginnya hawa di kamar itu. Ching-ching meringkuk di sudut.
Beberapa kali ia bersin-bersin. Hidungnya mampat dan matanya berair.
Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka orang. Seorang wanita melangkah masuk sambil
membawa dua buah baki. Baki yang satu berisi mangkuk, di atas baki yang lain
terdapat sesuatu yang kelihatannya seperti kulit binatang berbulu tebal.
Ching-ching memandang wanita itu dengan mata terbelalak. Cantik sekali wanita
Ching Ching 13 ini! Jauh lebih cantik daripada ibunya sendiri yang selama ini diketahuinya
sebagai wanita tercantik yang pernah ia lihat. Sekarang, di hadapannya tiba-tiba
ada yang lebih jelita. Ching-ching menjadi kagum. Ia bahkan tak berkedip karena
takut. Kalau-kalau wanita itu hanya bayangan dan akan menghilang begitu matanya
dikedipkan. Melihat Ching-ching yang terbengong-bengong, wanita itu merasa geli dan
tersenyum. "Kenapa" Adakah sesuatu yang menakutkanmu pada diriku?"
Ching-ching memandang wanita itu dari ubun-ubun sampai ke kaki. Wajahnya bulat
telur, hidungnya mancung, alisnya terbentuk indah, matanya bening, bibirnya
mungil, merah sekalipun tanpa gincu, kulitnya putih halus bagai pualam. Ada
sesuatu yang membuat Ching-ching merasa aneh. Sesuatu yang membedakan dari
wanita-wanita lainnya. Tapi tidak ada sesuatu yang menakutkan. Karenanya
Ching-ching menggeleng. "Tidak, rasanya tidak ada yang perlu kutakuti."
"Lalu kenapa kau melihatku seperti itu?"
Ching-ching segera menjawab, "Karena aku belum pernah melihat orang lain yang
secantik ... secantik ...." Sejenak Ching-ching bingung hendak menyebut apa dia
pada wanita itu. Menilik umurnya, paling-paling yak beda jauh dengan ibunya. Mau
panggil nyonya, bagaimana kalau ternyata belum menikah. Mau panggil nona,
rasanya tidak pantas. "Secantik apa?" tanya wanita itu tersenyum.
"Secantik Kouw-kouw (Bibi)," kata Ching-ching.
"Ah, gadis cilik, rupanya kau pandai mengambil hati pada orang lain."
"Sungguh, aku tidak bohong," sanggah Ching-ching.
"Sudahlah. Ini kubawakan sop dan baju untukmu. Kau kedinginan, bukan?"
Saat itu Ching-ching merasakan lagi hawa dingin di kamarnya. Padahal waktu
bercakap-cakap sebentar tadi hawa dingin itu tidak terasa.
"Ini, pakai dulu," kata wanita itu seraya menyodorkan pakaian di atas baki.
Ching-ching mengambilnya dan meraba-raba baju dari kulit binatang itu dengan
heran. Setahunya pakaian biasa dibuat dari kain, bukan dari bulu.
"Ayo pakai!" desak wanita itu lagi. "Nanti kau beku karena kedinginan." Dan ia
membantu Ching-ching mengenakannya sebagai baju luar. "Nah, sekarang makanlah
sop ini supaya badanmu hangat terus."
Ching-ching menurut. Dihirupnya sop hangat itu. Lezat sekali dan dari sop yang
mengalir lewat tenggorokan itu sirasanya sesuatu yang menghangatkan. Dari leher,
ke dada, lalu ke perut. Akhirnya seluruh tubuh. Dan ia tidak kedinginan lagi.
"Hmm, enak sekali," katanya memuji. "Kouw-kouwkah yang memasaknya?"
Wanita itu mengangguk. "Kouw-kouw harus mengajarkan aku caranya. Nanti kalau sudah besar, aku juga
ingin membuat sop selezat ini," kata Ching-ching lagi sambil menyodorkan mangkuk
yang telah licin. "Ya, ya, kau boleh belajar nanti," kata wanita itu seraya tertawa dan berjalan
ke pintu." "Kouw-kouw," panggil Ching-ching, teringat sesuatu. "Adakah melihat a-thiaku?"
Wanita itu mengerutkan kening. Lalu tiba-tiba tersenyum. "Ia ada di luar. Kau
mau menemuinya?" Ching-ching melompat dari tempat tidur. "Kouw-kouw mau antarkan aku?"
"Baiklah. Tapi aku harus membawa dulu mangkok ini ke dapur."
Wanita itu menuntun Ching-ching. Bersama mereka pergi keluar kamar. Ching-ching
diajaak melewati beberapa lorong yang pendek namun berbelok-belok. Mereka tiba
di dapur yang tidak terlalu besar, namun rapi dan bersih. Ching-ching menunggu
Ching Ching 14 wanita itu sambil memperhatikan keadaan di luar.
Gumpalan-gumpalan salju mulai turun membuat Ching-ching keheranan. Ini baru
bulan tujuh, bagaimana mungkin turun salju" Untuk memastikannya, Ching-ching
menadahkan tangan menampung gumpalan putih yang berjatuhan itu.
Benar! Salju. Salju di bulan ketujuh! Ching-ching tak habis pikir. Ia termenung
memperhatikan salju yang mulai bertumpuk di tanak.
Tiba-tiba natanya menangkap suatu gerakan. Ada benda putih yang bergoyang-goyang
di sela-sela pagar. Ching-ching mendekat menghampiri. Dan ia mengenali benda
itu. Kelinci. Seekor kelinci putih dengan mata yang merah lucu.
Diulurkannya tangan untuk menangkap. Kelinci itu lari. Ching-ching mengejar.
Sebentar saja ia sudah tertinggal jauh. Kelinci itu berhenti. Seolah menunggu.
Tapi begitu jarak di antara mereka mengecil, ia mulai lari lagi dengan gerakan
yang lincah luar biasa. Ching-ching mulai cape, tetapi ia tak putus asa. Kelinci itu terus dikejarnya,
sekalipun beberapa kali ia sempat terjerembab di atas salju yang lunak.
Lama-lama ia tak tahan lagi. Tanpa peduli akan sekitarnya, ia duduk di atas
tanah berlapis salju itu.
"Kelinci putih, aku tak sanggup lagi, Napasku habis," katanya tersengal-sengal.
Kelinci yang dikejarnya berhenti berlari juga. Ia memandang nona kecil yang
kelelahan itu kemudian maju beberapa tindak, berhenti lagi. Telinganya
bergerak-gerak seolah menanyakan kenapa mereka berhenti bermain.
Ching-ching menjadi gemas. Ia bangkit dan menubruk kelinci itu. Sekali lagi ia
jatuh terjerembab, namun hanya salju yang berhasil ia pegang. Ching-ching
mengejar lagi. "Aku akan menangkapmu, kelinci kecil," katanya penuh tekad.
Tiba-tiba ia berhenti berlari. Seseorang bertubuh tinggi-besar telah terlebih
dulu menghadang dan menangkap kelinci itu.
"A-thia," panggil Ching-ching girang.
"A-hoa, kau takkan bisa mengejar kelinci ini. Larinya jauh lebih cepat darimu,"
kata ayahnya. "Aku tahu," kata anak itu, "tapi aku tak mau menyerah. Aku yakin suatu saat aku
bisa menangkapnya." "Ya, suatu saat, tapi tidak sekarang. Kau harus mempelajari gin-kang (ilmu
mengentengkan badan) dulu, baru dapat menangkap kelinci kumala ini."
"A-thia, ajari aku gin-kang itu."
"A-thia akan ajari mulai besok," kata a-thianya tertawa sambil memberikan
kelinci itu dan menggendong Ching-ching sekalian.
"A-thia, kenapa kelinci ini disebut kelinci kumala?"
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena warnanya putih, bulunya tebal dan halus, larinya sangat cepat. Sulit
bagi orang yang ilmunya tidak tinggi untuk menangkap. Kau tahu, A-hoa, ketika
bermain denganmu barusan, dia sudah berlari sangat-sangat pelan" Oh ya, kau
bertemu ibumu?" Ching-ching menggeleng. "Belum."
"Kalau begitu dari mana kau dapatkan baju ini?"
"Kouw-kouw yang memberikannya padaku."
"Kouw-kouw?" "Iya, Kouw-kouw yang cantik sekali. Itu orangnya." Ching-ching menunjuk wanita
cantik yang bergegas menghampiri. "Kouw-kouw!" serunya. "Lihat, aku punya
kelinci putih yang lucu."
"A-hoa, itu bukan kouw-kouw, itu ibumu."
Ching Ching 15 "Ibu?" "Dia boleh memanggil apa saja padaku," kata wanita itu, yang sudah datang
mendekat. "Tidak bisa. Ia anakmu, maka ia harus memanggil ibu padamu."
Wanita itu terdiam. Ia memandang suaminya dengan sedih.
"A-hoa, ayo panggil ibumu!"
"Ibu," kata Ching-ching tanpa ragu lagi.
"Ha-ha-ha, anak baik, anak baik," a-thianya memuji.
"Sudahlah," kata wanita itu. "Hari mulai gelap, mari kita pulang."
"Baik," jawab suaminya.
Ching-ching telah tidur di kamar batunya. Ia tak tahu ketika ibunya masuk dan
duduk di tepi ranjang, memperhatikan.
"Kau memang mirip A-hoa," gumamnya, teringat akan anaknya. Akan hari-hari yang
pernah mereka lewati bertiga suaminya.
A-hoa memang serupa anak yang dibawa suaminya itu. Tak heran kalau laki-laki itu
salah mengenali orang. Tetapi berbeda dari anak ini, A-hoa adalah seorang
pemalu. Anak itu lemah lembut dan sangat mereka sayangi. Umurnya pun ada selisih
tiga tahun. Hanya saja, ketika tiga tahun lalu anaknya meninggal karena sakit,
umurnya memang sebaya anak ini.
Sejak itu, suaminya jadi seorang yang ada terganggu pikirannya. Suatu waktu ia
tampak normal, tapi di lain saat tiba-tiba berlari turun gunung dan mengatakan
ia akan mencari anaknya yang hilang. Beberapa kali ia pergi dan mengatakan
berjumpa anaknya di jalan. Tapi belum pernah ia culik anak orang lain dan
membawanya pulang. Wanita itu menghela napas. Tak disangka, Chow Han Wei suaminya bisa jadi seorang
yang demikian. Seandainya saja ilmunya tidak hilang, mungkin mereka masih dapat
hidup seperti orang-orang lain. Tak perlu takut akan balas dendam orang lain
sampai harus menyingkir ke gunung.
Ia mengingat kehidupannya sendiri. Mengingat ketika pertama kali pergi dari
negerinya dan melancong ke Tiong-goan dan jatuh cinta pada negeri yang begitu
besar. Dan bagaimana dengan kemahirannya bersilat, ia malang-melintang di dunia
Kang-ouw (dunia persilatan). Dikenal sebagai Sat-kauw-sian-lie (Bidadari
Penjagal Anjing) dikarenakan ia tak tahan melihat kezaliman merajalela.
Sampai akhirnya ia dibokong seorang nenek kejam dengan jarum beracunnya yang
jahat. Kalau tidak ada suaminya yang menolong dan merawat dia, barangkali takkan
sempat ia menikmati dunia lebih lama lagi. Namun, sekalipun nyawanya tak jadi
melayang, ia harus kehilangan ilmunya. Memang ia masih dapat melakukan
gerakan-gerakan silat. Namun, tanpa dibarengi tenaga dalam, silat itu adalah
seperti tarian indah, tidak berbahaya.
"Lung Yin, sungguk jelek nasibmu," katanya pada diri sendiri. Ia menghela napas
kemudian meniup lilin di kamar itu hingga padam.
Ching-ching termenung di depan kamarnya sambil mengelus-elus kelinci kemala.
Sekarang ke mana pun dan secepat apa pun kelinci itu lari, Ching-ching akan
dapat mengejar dan menangkapnya. Ia juga tak pernah kedinginan lagi sejak
ayahnya mengajarkan cara mengatur hawa dalam tubuhnya supaya tetap merasa
hangat. Apalagi A-thia juga mengalirkan tenaga dalam padanya.
"A-hoa." "Ibu," Ching-ching menoleh.
"Kenapa" Kau ingat akan keluargamu di kota?"
Ching-ching mengangguk. Ching Ching 16 "Kau rindu pada mereka?"
"Sedikit." Lung Yin menghela napas. "Kau salahkan A-thia karena membawamu ke sini?"
Buru-buru Ching-ching menggeleng. "Tidak, tentu saja tidak. Hanya saja aku
merasa kesepian. Teman mainku hanya seekor kelinci. Lagi di sini tiap hari yang
kulakukan itu-itu melulu. Makan, tidur, main. Untung A-thia mengajari ilmu
ringan tubuh. Kalau tidak, uuuh, bosan."
"Sebenarnya di sini pun banyak yang bisa kau lakukan. Belajar menjahit, memasak,
menyulam." "Menjahit dan memasak Ibu akan ajari aku, kan?"
"Kau mau?" "Tentu. Daripada bosan. Tapi ... nanti kalau semua sudah kupelajari, apa lagi yang
harus kulakukan?" "Mungkin kau bisa belajar silat pada a-thiamu. Ibu juga dapat mengajarkan
padamu. Kau mau?" "Mau, mau. Waktu di kota, ayahku juga mengajarkan silat padaku."
"Oh ya" Coba kau perlihatkan pada Ibu."
Dengan senang hati Ching-ching memamerkan apa yang sudah ia pelajari dari
ayahnya. "Bagus, bagus," kata ibunya begitu Ching-ching selesai. "Rupanya kau anak
berbakat. Ibu akan senang mengajarmu. Tapi sekarang lebih baik kita siapkan dulu
makanan untuk ayahmu sebelum ia pulang menangkap ikan. Ayo, aku kan mau belajar
masak?" "Tentu mau, Ibu," Ching-ching berlari mendului ibunya. Di belakang, Lung Yin
mengikuti sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak itu.
"Ingat, A-hoa. Pusatkan seluruh tenaga dan pikiran pada pukulanmu. Ayunkan
tangan kanan dan kiri sambung-menyambung seperti ini .... Inilah Cian-lan-hoa
Lian-hoan-ciang (Pukulan berantai seribu anggrek) yang pernah begitu disegani di
Kang-ouw. Nah, kau cobalah."
Ching-ching meniru gerakan itu. Lung Yin mengangguk-angguk puas. Apalagi
Ching-ching baru melihat satu kali, sudah meniru tepat.
"Bagus. Tak percuma Ibu mengajarimu. Kelak, kalau lwee-kangmu sudah cukup, kau
harus hati-hati dengan pukulan ini sebab dapat membuat orang mati seketika."
"Mati?" tanya Ching-ching ngeri. "Aku tak mau bikin orang mati." Ia
menggeleng-geleng tegas. "A-hoa dalam Kang-ouw cepat atau lambat kau harus bikin mati orang," tiba-tiba
Chow Han Wei, a-thianya, telah berdiri di belakang mereka.
"Kenapa begitu, A-thia?"
"Karena di masyarakat orang biasa saling bunuh. Kalau kau mau tetap hidup, kau
harus bunuh orang lain lebih dulu."
Ching-ching bergidik. "Kalau begitu aku tak mau turun gunung. Lebih enak di
sini. Tenang dan damai bersama Ibu dan A-thia," katanya.
"Kau tidak bosan?" tanya ibunya. "Beberapa bulan yang lalu kau bilang kesepian
di sini." "Sekarang tidak lagi," jawab Ching-ching. "Di sini aku bisa belajar masak,
menjahit, silat, meniup suling, memetik khim, dan macam-macam."
"Nio-coe (Istriku), kau sudah ajarkan A-hoa memetik khim dan meniup seruling
juga?" Lung Yin mengangguk. "A-hoa, coba perlihatkan pada A-thia apa lagu yang sudah kau pelajari dari Ching
Ching 17 ibumu!" "Baiklah, A-thia. Tunggu sebentar, ya. Aku ambil khimnya dulu." Ching-ching
berlari masuk ke dalam rumah.
"Dia anak yang pintar bukan?" kata Chow Han Wei pada istrinya. "Aku bangga punya
anak seperti dia. Oh ya, Nio-coe, sudah sampai manakah tingkat pelajaran yang
sudah kau berikan padanya?"
"Sudah pada tahap ketiga, pukulan berantai. Pada tahap ketujuh nanti, ia akan
menguasai seluruh ilmuku!"
"Ya, kelak ia akan secantik dan sehebat ibunya."
Lung Yin tersipu. "Sayang, tenaga dalamku kini sudah hilang. Kalau tidak tentu
perkembangan ajaran itu akan lebih pesat," katanya.
"Jangan terburu-buru. Belum sampai setahun ia sudah kuasai tahap ketiga tingkat
akhir, itu sudah cukup, bukan" Paling sedikit tiga tahun lagi ia sudah kuasai
seluruh ilmumu." "Aku takut tak cukup waktu untuk itu," gumam Lung Yin.
"Nio-coe, apa katamu?"
"Ah, tidak. Emh, ajaran Wei Ko-ko sendiri sudah sampai mana" Cukup cepatkah A-
hoa menerima?" "Pertama-tama, A-hoa harus punya gin-kang yang baik dulu, baru aku bisa ajar
dia. Kau tahu, bukan, ilmu silatku mengandalkan tenaga dan kecepatan" Tanpa gin-
kang, sulit untuk mempelajarinya. Ah, Nio-coe, seharusnya kau saja yang mengajar
gin-kang pada A-hoa. Walau lwee-kangmu sudah hilang, tapi ilmu ringan tubuhmu
masih lebih tinggi daripadaku," kata Han Wei.
"Wei Ko-ko janganlah kuatir. Begitu pukulan berantai A-hoa lancar nanti, aku
akan ajarkan tahap keempat yang memperdalam gin-kang. Setelah itu A-hoa bisa
belajar darimu." Han Wei mengangguk-angguk.
"A-thia, tolong aku membawa khim ini," kata Ching-ching sambil memeluk khim kayu
yang berat. A-thianya membantu meletakkan alat musik itu di atas sebuah batu
besar yang datar. "Nah, coba kau mainkan sebuah lagu untuk A-thia."
Ching-ching mulai memetik khim mengalunkan sebuah lagi. Jari-jarinya yang kecil
agak kerepotan memetik senar, namun masih dapat bergerak lincah.
Chow Han Wei dan Lung Yin saling berpandangan. Lagu itu membawa mereka ke masa
lampau. Ke masa muda mereka.
Lan Siu Yin merenungi daun kecil dalam genggamannya. Hati ini tepat setahun ia
berpisah dengan Ching-ching, piauw-moaynya. Ia ingat, hari terakhir itu
Ching-ching mengajak ia dan Ling Tan memetik daun ini di hutan kecil.
Masih segar dalam ingatannya betapa girang Ching-ching ketika berhasil meniupkan
sebuah lagu. Ia sendiri sampai saat ini tak dapat melakukannya. Bukan apa-apa.
Tetapi setiap kali melihat daun itu, ia ingat piauw-moaynya dan kemudian segera
saja pandangannya kabur oleh air mata dan terisak-isak. Dengan demikian,
bagaimana mungkin ia dapat lakukan hal itu"
Ia menghela napas dan menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Sejak
Ching-ching pergi, Siok-siok dan Siok-bo menjadi amat sayang padanya. Mereka
memanjakan dia lebih daripada Ching-ching. Namun beberapa lama kemudian
siok-sioknya menyibukkan diri dengan urusan partai. Tinggal siok-bonya yang
masih sempat memperhatikan.
Sehari-hari ia bermain dengan Ling Tan. Mulanya memang menyenangkan. Ling Tan
selalu menuruti kemauannya. Tapi lama-lama bosan juga. Ia jauh lebih menyukai
Ching Ching 18 Ching-ching yang selalu memaksakan kehendak tapi sekali-sekali mengikuti
keinginan piauw-cienya. Tapi yang cuma sekali-sekali itu rasanya lebih
menyenangkan daripada setiap kali.
"Toa-sio-cia, ada apakah" Mengapa mengangis?"
"Oh, Tan Ko-ko," buru-buru Siu Yin mengusap air matanya. "Tidak ada apa-apa."
"Tapi mengapa menangis?" Ling Tan yang mengejutkan Siu Yin bertanya, "Apakah ada
orang yang mengganggumu" Katakan, siapa orang itu, akan kuhajar dia!"
"Tidak, tidak ada yang menggangguku. Aku cuma ingat pada ... pada Ching-moay." Siu
Yin mulai menangis lagi. Wajah Ling Tan menjadi keruh. Ia sering menyalahkan dirinya atas kejadian di
hutan kecil itu. Siu Yin mengetahui hal ini. Ia cepat-cepat alihkan pembicaraan.
"Ling Tan Ko-ko, aku ingin memetik bunga."
"Aku antar," kata Ling Tan dengan wajah cerah kembali.
Ching-ching memperhatikan ikan-ikan yang berkejaran di bawah lapisan es yang
bening. Ia sedang berada di tengah danau yang membeku. Hari ini ibunya akan
mengajarkan tingkat akhir tahap keempat, Sui-ciang-heng (Berjalan di atas air).
"A-hoa, jangan ke mana-mana. Ibu akan pulang untuk mengambil tali pelindung
tubuhmu yang ketinggalan," ibunya berteriak.
"Ya, Bu, aku akan menunggumu di sini."
Ching-ching kembali memperhatikan ikan-ikan tersebut. Warnanya bagus-bagus. Ada
yang kuning, merah, biru, ungu, hitam, belang-belang, dan macam-macam. Sekalipun
demikian warna-warna itu agak mengerikan. Ikan-ikan yang ia lihat biasanya
berwarna merah, kuning, atau hitam. Ada pula yang jingga. Tapi yang biru dan
ungu" Uh, baru sekarang ia lihat yang macam demikian.
Tapi ikan yang bergerombol itu nampak tidak membeda-bedakan warna. Kelihatannya
mereka sedang mengobrol dengan mulut yang selalu membuka-menutup. Eh, tunggu
dulu. Menurut Meng Sian-seng, ketika ia dan piauw-cienya dulu menanyakan mengapa
ikan selalu mengobrol, katanya ikan-ikan itu sedang bernapas, bukan
bercakap-cakap. Tapi kata Meng Sian-seng juga, untuk bernapas dibutuhkan hawa
(udara). Apakah di bawah es juga terdapat udara"
Selagi Ching-ching berpikir demikian, tiba-tiba matanya menangkap suatu bayang
putih yang meluncur cepat di bawahnya. Bayangan itu membuat gerombolan ikan tadi
buyar. Ketika bayangan itu diam, barulah Ching-ching dapat jelas melihat bentuknya. Tak
lain adalah seekor ikan berwarna putih bersih laksana salju. Tapi bentuk ikan
itu aneh. Matanya menonjol keluar. Di atas kepalanya terdapat semacam jengger
berbentuk bunga putih yang selalu bergerak-gerak. Memiliki dua kumis panjang di
sisi atas mulutnya. Badannya tidak aneh, sama seperti ikan-ikan yang lain.
Tetapi ekornya lebaaar sekali - untuk ukuran seekor ikan tentunya.
Ikan itu menggerak-gerakkan ekor dan jenggernya dengan angguk kemudian berenang
pelan-pelan menuju ke tengah-tengah danau. Tiba-tiba sebuah bayangan keperakan
menabraknya. Kemudian kelebatan-kelebatam warna putih dan perak silih berganti
membuat Ching-ching yang melihat pusing dibuatnya. Tapi ia menduga kalau ikan
putih dan makhluk perak tersebut sedang berkelahi.
Bayangan ikan yang sedang bertempur itu bergerak ke tengah diiringi gerombolan
ikan yang lain. Ching-ching menjadi tertarik. Pelan-pelan ia mengikuti arah
gerak ikan-ikan itu sampai ke tengah danau yang esnya nampak lebih bening dan
licin. Beberapa saat ia perhatikan ikan yang bertempur itu. Tiba-tiba ia rasakan es
yang dipijaknya bergerak. Ia kehilangan keseimbangan dan terperosok ke air yang
Ching Ching 19 dingin, tepat menuju ikan yang sedang berkelahi itu.
Ching-chign merasakan sesuatu yang dingin berlendir menggores pipinya. Tapi ia
tak sempat memikirkan makhluk apakah itu. Tubuhnya seolah tersedot ke bawah. Dan
gerakan air - mungkin karena ikan-ikan yang berenang serabutan - membuatnya terseret
beberapa saat ke pinggir.
Dirasanya dada yang sesak. Air sempat masuk ke perutnya lewat mulut dan hidung.
Ia cepat menutup jalan pernapasan dan mencari lubang tempat ia terperosok tadi.
Tapi, setelah berenang berputar-putar beberapa saat, tak ditemukannya juga
tempat itu. Dadanya semakin sesak. Matanya mulai berkunang-kunang. Nekat, ia mendorong es di
atas kelapanya dengan kedua tangan. Tapi, betapa kerasnya. Barangkali di sebalah
sini es lebih tebal daripada lapisan es yang amblas tadi.
Ia mulai kedinginan. Cepat-cepat dia lakukan ajaran a-thianya yang membuat suhu
tubuh panas. Tapi napasnya sudah habis. Paru-parunya seolah akan meledak. Panik,
dipukul-pukulnya es dengan kedua tangan. Namun beberapa lama kemudian tenaganya
habis. Ia memejamkan mata pasrah.
Lung Yin berlari menghampiri suaminya yang sedang berlatih. "Wei-ko, adakah kau
melihat anak kita?" "Bukankah ia bersamamu tadi?"
"Ya, tadi ia memang bersamaku. Namun kemudian kutinggal sebentar di danau untuk
mengambil tali. Waktu balik lagi, A-hoa sudah tak ada. Kupikir ia kemari minta
kau temani." "Tidak, ia tidak kemari. Aduh, jangan-jangan ada orang menculiknya." Chow Han
Wei menghunus pedang besarnya. "A-hoa, tunggu! A-thia akan menolongmu!"
Ia berlari ke arah danau. Lung Yin mengikuti dari belakang.
"Wei-ko, barangkali orang tua A-hoa yang membawa dia pergi," kata Lung Yin
begitu mereka tiba di tepi danau.
"Nio-coe, kau ini bagaimana" Orang tua A-hoa kan kita sendiri. Eh, kau lihatlah
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lubang di tengah danau itu! Astaga, jangan-jangan A-hoa terjeblos ke sana."
Chow Han Wei melompat ke tengah danau dan mendarat tepat di samping lubang itu.
Namun es di bawah kakinya retak. Cepat-cepat ia melompat lagi ke tempat lain.
Tapi didengarnya bunyi keretakan yang lain. Terpaksa ia melompat lagi. Demikian
beberapa kali sampai akhirnya ia berdiri di lapisan es yang cukup tebal, jauh
dari lubang tempat Ching-ching terperosok.
"Brengsek!" Aku tak dapat mencapai tempat itu!" Dengan kesal ia membanting kaki
membuat es di bawahnya berderak untuk kesekian kali.
"Wei-ko, biar aku saja yang ke sana. Badanku lebih ringan darimu. Kau ke
pinggirlah." Lung Yin melompat-lompat ringan di atas es itu. Ia berhenti di tempat es-es yang
retak tanpa kuatir terperosok. Gin-kangnya memang tinggi. Selain gurunya
sendiri, tak ada manusia lain yang dapat menandingi dia.
Wanita itu melihat ke sekeliling tempat kakinya menapak. Agak jauh di sebelah
sana - di bawah permukaan es - dilihatnya sebuah bayangan biru. Cepat-cepat ia
hampiri. Ya, itu baju A-hoa anaknya.
"Wei-ko, Wei-ko! Ini, di sini!" katanya terbata.
Chow Han Wei begegas benghampiri. Dengan menghampiri. Dengan menggunakan seluruh
kemampuannya meringankan badan, dapat juga ia sampai di tempat itu.
"Nio-coe, kau minggirlah. Biar kuhancurkan es ini dengan pedangku."
Lung Yin menyingkir ke tepian. "Kau sendiri bagaimana, Wei-ko?"
"Aku bisa menjaga diri."
Ching Ching 20 Han Wei mengayunkan pedangnya. Es itu terbelah-belah menjadi potongan kecil.
Cepat-cepat disambarnya tubuh Ching-ching dan melompat ke pinggir, menyusul
istrinya. Dibaringkannya anak itu di tanah. Lung Yin ketakutan melihat betapa pucat wajah
anaknya. Wajah yang biasanya berseri kemerahan kini dingin, putih kebiruan. Tak
terasa air matanya mengalir.
"Apakah ... apakah dia ... sudah mati?" tanya wanita itu pada suaminya yang
memeriksa nadi Ching-ching.
"Aku takut ...," jawab Han Wei. "Paru-parunya sudah banyak kemasukan air. Ia pasti
kedinginan di bawah sana. Darahnya ... darahnya mungkin membeku!"
Lung Yin meletakkan dua jarinya di depan hidung Ching-ching untuk mengetahui
sudah matikah anak itu. "Napasnya sudah tak ada lagi!" jeritnya panik. Ia menubruk anak itu sambil
menangis tersedu-sedu. A-hoa mati! Ia mati untuk kedua kalinya. Sekali lagi ia
kehilangan anak, tapi kali ini ia sendirilah penyebabnya. Seandainya saja ia tak
membawa anak itu ke danau, kalau saja ia tak terburu-buru mengajarkan ilmunya
pada anak itu, pasti sekarang A-hoa masih hidup, mungkin sedang berkejaran
dengan kelinci putihnya. "Dia mati," desah wanita itu. "Aku penyebabnya. Aku tak akan bisa ampuni diriku
sendiri." "Tidak!" tiba-tiba suaminya berdiri dan berteriak. "A-hoa tidak boleh mati.
Anakku tak boleh mati." Ia memondong anaknya dan berlari pulang.
Ching-ching dibaringkannya di ranjang batu. Pendiangan di bawahnya dinyalakan.
Chow Han Wei duduk di dekatnya sambil memegangi tangan mungil yang dingin.
"A-hoa kau istirahatlah," katanya. "Besok A-thia akan mengajakmu menangkap ikan.
Besok kau bangun pagi-pagi, ya" Kita pergi sama-sama."
Lung Yin memperhatikan di pintu kamar. Dulu waktu anak kandung mereka meninggal,
begitu juga kelakuan suaminya. Berhari-hari ia mengajak bicara jenazah anak
mereka sampai-sampai untuk menguburnya Lung Yin harus menipu suaminya lebih
dulu. "Wei-ko, A-hoa sedang beristirahat. Janganlah kau ganggu dia. Bukankah kau
sendiri harus beristirahat juga?" katanya menegur di antara isak-tangisnya.
"Hari masih sore, matahari belum lagi terbenam. Biarlah aku menunggui A-hoa di
sini." Lung Yin tidak berkata apa-apa lagi. Ia keluar berlari ke kamarnya sendiri dan
menumpahkan tangisnya di sana.
Malam ini adalah malam ketiga A-hoa terbujur kaku di ranjang batu. Lung Yin
duduk di sampingnya memandangi wajah anak itu.
Hari-hari terasa sepi tanpa celoteh manja gadis kecil ini, tanpa derap kakinya
yang kecil, tiada lagi tawanya yang riang yang membuat orang lain ingin tertawa
juga. Takkan terlihat lagi mata yang bening bercahaya dan pipi yang montok
kemerahan. Yang tinggal hanyalah sosok yang dingin, terbaring, tak bergerak!
Dua malam Chow Han Wei menunggui kamar ini. Tidak makan, tidak minum, tidak
tidur. Dalam waktu yang singkat itu wajahnya menjadi bertambah tua. Sering ia
menanyakan mengapa A-hoa tidak mau bangun. Tingkah suaminya bagaikan seorang
anak yang polos, lugu, tak mengenal arti kematian. Hal ini membuat Lung Yin
semakin berduka. Hanya malam ini Han Wei berhasil dibujuk untuk makan. Dan dalam makanan itu Lung
Yin membubuhkan sedikit obat tidur supaya suaminya dapat beristirahat. Ia
sendiri ganti menjagai A-hoa.
Ching Ching 21 "A-hoa, betapa sayang aku dan A-thia padamu," gumam Lung Yin. Ia dan suaminya
memang sangat sayang pada anak itu. Memang A-hoa yang sekarang berbeda dengan A-
hoa yang dulu, namun setelah kehilangan yang pertama, mereka menjadi lebih
sayang pada A-hoa yang baru. Apalagi pembawaannya yang lincah cepat sekali
merebut kasih sayang mereka.
Lung Yin sadar. A-hoa yang sekarang bukanlah anak kandungnya. Bahkan nama anak
itu yang sesungguhnya ia tak tahu. Tetapi hatinya sedih. Bahkan lebih dari
kematian anaknya yang pertama. Baru setahun A-hoa membawa kegembiraan kepada
mereka. Ia dan suaminya. Mengapa maut begitu cepat merenggutnya" Tidakkan dapat
menunggu beberapa tahun lagi" Lung Yin bahkan rela mnukar sisa hidupnya dengan
nyawa anak itu. Wanita itu mulai tersedu. Ia memeluk A-hoa dan meletakkan kepalanya di atas dada
anak itu. Ia menangis beberapa lama sampai akhirnya tertidur.
Lung Yin terjaga. Sesaat ia tak tahu apa yang membuatnya terbangun. Dibukanya
mata. Apakah suaminya datang" Tidak, tak ada suatu suara pun di luar. Lung Yin
menajamkan telinganya yang sudah terlatih. Tapi suasana sunyi. Tak ada suara
seekor binatang malam sekalipun. Ia bahkan dapat mendengar detak jantungnya
sendiri yang berdebar lemah.
Tunggu! Ia dapat merasakan degup cepat jantungnya. Jadi, apa yang sesungguhnya
ia dengar" A-hoa! Lung Yin baru tersadar kepalanya beralaskan tubuh anak itu. Rupanya ia
tertidur dalam posisi duduk. Berarti ....
"A-hoa belum mati, ia belum mati!"
Lung Yin hampir tak percaya. Untuk memastikan, ia perhatikan anak itu. Tubuhnya
masih sebeku dan sedingin kemarin. Napasnya pun tidak terasa. Barangkali suara
detak jantung itu hanya khayalan saja. Tapi Lung Yin benar-benar ingin percaya
bahwa anaknya masih hidup. Ia menempelkan lagi telinganya ke dada A-hoa Dan
detak itu terdengar lagi.
Bukan main gembiranya Lung Yin. Beberapa saat ia hanya bisa duduk
terlongong-longong. Tettapi saat berikutnya ia belari secepat mungkin. Ia
berlari mendapati suaminya yang masih tertidur di kamar lain.
"Wei-ko! Wei-ko! Bangun!" Diguncangnya badan laki-laki itu dengan keras. Tapi
biarpun ia menjerit-jerit, suaminya belum bangun juga. Rupanya perngaruh obat
yang diberikan tadi masih kuat. Sebagai usah terakhir Lung Yin menyambar secawan
teh dan menyiramkannya ke wajah Chow Han Wei.
Laki-laki itu gelagapan terbangun. "Nio-coe, ada apakah" Kau mimpi menyiram
tanaman, ya?" "Wei-ko, kau bangunlah. Cepat!"
"Ada apa" Aku masih ngantuk."
"A-hoa. Dia - "
Begitu mendengar nama anaknya disebut, bagai terbang Han Wei pergi ke kamar A-
hoa. "Tidak kenapa-kenapa," katanya.
"Dia ... dia masih hidup."
"Ya, dia hidup. Hanya tidurnya lama sekali."
Lung Yin bingung bagaimana cara menyampaikan berita itu. "Maksudku ... maksudku
...," ia mencari kata-kata yang tepat, "maksudku dia ... dia hampir bangun."
"Hampir bangun, hampir bangun" Horeee!" Chow Han Wei memegang tangan istrinya
dan melompat-lompat girang. Lung Yin ikut larut. Keduanya bertingkah laku bagai
dua anak kecil yang kesenangan.
Tahu-tahu Han Wei berhenti. Ia meraba tubuh A-hoa. "Badannya dingin. Dia
Ching Ching 22 kedinginan! Nio-coe, cepat sediakan air panas untuk merebusnya."
"Me ... me ... merebus?" Lung Yin membelalak. Sudah sampai begitu gawatkah
kesintingan suaminya"
"Iya, merebus. Ayo, cepat, Nio-coe. Mungkin kemarin-kemarin darahnya beku
sehingga tidur tidak bangun-bangun. Sekarang kita harus bikin darahnya lancar
lagi." Lung Yin baru mengerti. Ya, ya, barangkali suaminya benar. Ia sangat sayang pad
A-hoa. Tak mungkin berniat mencelakakan. Cepat-cepat ia ke dapur mengambil ember
besar dan kayu bakar. Segalanya ia persiapkan demi anaknya. Demi A-hoa.
Hampir empat hari A-hoa 'direbus'. Lung Yin nyaris putus asa lagi. Tapi semalam
napas anaknya mulai teratur. Cepat-cepat ia diangkat dari air panas sebelum
'matang' di sana. Hari selebihnya Han Wei yang berusaha melancarkan jalan darah gadis kecil itu
dengan tenaga dalamnya. Setelah lewat sehari, A-hoa dibiarkan terbaring. Han Wei dan istrinya menunggui.
Kini A-hoa benar-benar seperti tidur. Suhu badannya normal, pipinya mulai
memerah. Tinggal menunggu ia tersadar.
Ching-ching membuka mata. Samar-samar dilihatnya kedua orang yang menunggui. Ia
tersenyum. A-thianya tersenyum juga. Ching-ching menoleh ke arah Lung Yin Ibu
angkatnya itu tersenyum manis sekali tapi air matanya juga mengalir deras. Ingin
Ching-ching menanyakan mengapa wanita itu menangis. Tapi, uh, tak ada suara yang
keluar dari tenggorokannya.
Lung Yin melihat bibir anak itu bergerak-gerak. Ia tidak dapat menangkap
kata-kata yang ingin diucapkan.
"A-hoa, kau haus" Biar Ibu ambilkan minum."
Ching-ching dibantu minum. Setelah itu barulah ia dapat keluarkan suara. Itu pun
masih serak. "Ibu, kenapa menangis" Apakah karena A-hoa lakukan kesalahan?"
Lung Yin menggeleng. "Kalau begitu pasti A-thia. A-thia ganggu Ibu, ya. A-thia jangan nakal, lihat,
Ibu jadi menangis. Kata A-thia, orang menangis itu jelek. Makanya A-thia jangan
bikin Ibu jadi jelek."
Chow Han Wei tertawa. "Tidak, lain kali A-thia tidak nakal lagi."
"A-thia, kemarin, di danau, kulihat seekor ikan putih yang aneh ...."
Ching-ching berceloteh. Lung Yin senang anaknya sudah begitu bergembira. Ia
sendiri pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.
"A-hoa, kau tahu, tidak," kata Han Wei selesai Ching-ching bercerita, "kau tidur
selama sepuluh hari" A-thia dan ibumu sampai kuatir sekali."
"Aku tidur selama sepuluh hari?" Ching-ching terlompat duduk. "Rasanya sebentar.
Kalau begitu ternyata aku anak malas. A-thia, siapakah yang membantu Ibu ketika
aku tidur?" "Ibumu mengerjakan segala sesuatunya sendiri."
Pintu terbuka. Lung Yin masuk membawa makanan. "Ayo, makan dulu. Hari ini kita makan di kamarmu, A-hoa."
Ching-ching bersorak girang.
"A-hoa," kata a-thianya. "Kau makanlah yang banyak supaya cepat sehat."
Ching-ching mengangguk dengan mulut penuh makanan.
Sejak itu Lung Yin dan suaminya semakin sayang pada Ching-ching. Sekalipun
demikian mereka tidak kapok memberi ilmu serta latihan yang berat. Terutama Lung
Yin yang berambisi menurunkan seluruh ilmu yang pernah ia pelajari.
Ching Ching 23 Kini Ching-ching hampir menguasai semua jurus gin-kang ibunya. Tinggal tiga
jurus lagi - Lian-hoa-sui-siang (Teratai di atas air), Yap-siang-hui (Terbang di
atas daun), dan Lan-hoa-hui-hong-ciu (Anggrek melayang tertiup angin).
Hari ini mereka tak dapat berlatih. Salju turun begitu lebat. Ching-ching
sendiri tidak berkeberatan berlatih di antara gumpalam-gumpalan putih itu, tapi
ibunya melarang. Karena itu mereka menghabiskan waktu dengan bermain musik di depan jendela. Lung
Yin memetik kecapi, Ching-ching meniup seruling. Lagu yang mereka mainkan
menyatu dengan angin yang bertiup. Lung Yin menjadi terharu sendiri. Lagu itu
adalah lagu asal negerinya yang jauh. Negeri yang begitu lama ia tinggalkan.
Lung Yin menghentikan permainannya. Ching-ching ikut berhenti juga. Mulutnya
terbuka untuk bertanya, tapi melihat wajah ibunya yang keruh, bibirnya terkatup
lagi. "A-hoa, pernahkah kau rindu akan rumahmu, keluargamu, atau teman-temanmu yang
dulu?" tanya Lung Yin.
"Kadang-kadang."
"Lalu apa yang kau lakukan kalau rindu pada mereka?"
"Kubayangkan aku sedang bermain dan bercanda dengan mereka."
"Lalu apakah rasa rindu itu hilang?"
"Tidak, malah bertambah."
Jawaban Ching-ching membuat Lung Yin terkejut. "Bukankah kau akan bertambah
sedih nantinya?" tanya wanita itu heran.
"Bukan, hanya bertambah rindu. Dan rindu itu akan kukumpulkan sampai banyaaaak
sekali supaya nanti kalau bertemu dengan mereka, senangnya juga banyak sekali."
Lung Yin tertawa. Ia tak dapat mengerti jalan pikiran Ching-ching, tapi ucapan
anak itu dirasanya lucu. "A-hoa - ah, bukan, bukan A-hoa. Namamu yang sebenarnya
bukan A-hoa, kan" Siapa namamu?"
"Ching-ching. Lie Mei Ching."
"Kau tidak keberatan kalau kami panggil A-hoa?"
"Tidak, aku tidak peduli orang mau panggil apa. Asal orang baik padaku, aku
sudah senang." "A-hoa, dengarlah. Nanti kalau kau pergi dari sini, gunakanlah namamu yang
sebenarnya." "Mengapa begitu, Bu?"
"Orang tuamu memberi nama, artinya mereka sayang padamu. Karenanya hargailah
kasih sayang mereka dengan menjaga nama baikmu."
"Tapi, Bu, supaya nama mereka tidak rusak kalau aku berbuat salah, bukankah
lebih baik menggunakan nama lain?"
"Kau belum mengerti. Nanti kalau kau sudah besar, kau akan tahu."
"Tapi aku tidak akan pergi. Aku sudah berjanji pada A-thia untuk menjaga Ibu."
"Suatu saat kau harus pergi juga. Sudahlah, kita siapkan saja makanan untuk a-
thiamu. Ibu akan buatkan sop ikan yang enak untuk makan siang kita."
Dalam mengajarkan jurus-jurus terakhir gin-kangnya, Lung Yin harus meminta
bantuan suaminya yang bertenaga besar supaya menjagai Ching-ching dalam latihan.
Pinggang Ching-ching dililit sebuah selendang yang ditenun dari serat tipis yang
kuat dan panjang. Sisa lilitan itu dipegangi ayahnya sementar Lung Yin memberi
contoh. Untuk jurus Lian-hoa-sui-siang, mereka berlatih di danau beku yang esnya telah
agak mencair. Berkali-kali Ching-ching kecebur, tapi ia menanggapi dengan
gembira sehingga ibu dan ayahnya tidak kuatir. Setelah berlatih sembilan hari
Ching Ching 24 Ching-ching dapat menguasai dengan baik.
Jurus berikutnya adalah Yap-siang-hui. Kali ini mereka berlatih di hutan.
Selendang tipis masih melilit Ching-ching. Han Wei terpaksa ikut melompat-lompat
dengan meringankan tubuh.
Mula-mula Ching-ching melompati pohon-pohon kecil, melompat dari satu pohon ke
pohon lain dengan cara menjejak ujung pohon menggunakan ujung depan alas
kakinya. Semakin lama pohon yang dilompati semakin tinggi. Hari ini Ching-ching
harus berlatih menggunakan daun-daun di pohon-pohon yang tertinggi di hutan.
"Ingat, A-hoa, pusatkan seluruh konsentrasi pada ujung jari kakinya. Jangan
sampai kau menjejak angin. Kau belum sampai pada tahap itu."
Ching-ching mencoba menuruti ajaran ibunya. Ia meringankan tubuhnya mencoba
mencapai puncak tertinggi. Yang pertama dan kedua gagal. Tapi ia tidak cedera
karena a-thianya selalu siap melompat menyelamatkan. Kali yang ketiga ia
berhasil. Setelah itu mudah saja baginya untuk melompat ke beberapa pohon lain.
Pohon-pohon di sebelah utara hutan agak gundul. Ching-ching harus menengok ke
bawah supaya pijakannya tepat.
Ching-ching melihat betapa jauh ia dari tanah. Kalau jatuh .... Ia bergidik.
Konsentrasinya buyar. Dengan cepat tubuhnya melayang ke bawah.
Chow Han Wei terkejut. Cepat-cepat ditariknya selendang. Tapi angin bertiup.
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arah selendang yang tegang melenceng, membuat Ching-ching tersangkut di pohon.
Lung Yin memburu ke pohon itu. Han Wei menyusul. Ia pun ikut melompat ke atas.
Ching-ching pingsan. Wajahnya pucat, kemungkinan akibat keterkejutan jatuh dari
tempat yang tinggi. Pelajaran tertunda. Kaki Ching-ching terkilir. Bulan kedua barulah ia berhasil
menguasai jurus tersebut.
Jurus terakhir dipelajarinya dalam waktu tiga bulan. Kini ia dapat melayang lama
di udara. Dengan sedikit latihan lagi ia akan dapat melebihi a-thianya dalam
gin-kang. Selain latihan dari ibunya, Ching-ching juga belajar dari a-thianya.
Kadang-kadang ia bingung sendiri dengan ajaran ibunya yang lambat-gemulai dan
dengan ajaran a-thianya yang cepat dan keras. Tapi dengan cepat ia dapat
menyesuaikan diri. Hari masih pagi benar. Ching-ching dan a-thianya berjalan menuju danau. Mereka
akan menangkap ikan. Lung Yin tinggal sendirian di rumah. Ia membuka lemari dan
mengambil sehelai pakaian yang setengah jadi dari dalamnya. Pakaian itu ia buat
untuk Ching-ching. Pakaian dari sutra yang mahal dengan model pakaian negeri
asal wanita itu. Ia kasihan melihat Ching-ching. Ketika datang kemarin dulu, pakaiannya halus dan
indah. Kini gadis kecil itu hanya memakai pakaian dari kulit binatang yang
dijahit kasar dan sederhana.
Sengaja ia buatkan pakaian model begitu supaya anaknya berbeda dari anak-anak
lain. Di samping itu dengan cara demikian kerinduan akan tanah airnya sedikit
terhapus. Lung Yin menjahit sambil mengenangkan masa kecilnya.
Tiba-tiba saja dadanya terasa sakit. Tangannya gemetar. Jarum dan kain yang ia
pegang meluncur ke tanah.
"Sialan, rupanya racun si nenek jahat Kim-hoa-po-po (Nenek Bunga Mas) sudah
sampai di jantungku," Lung Yin mengumpat. "Rupanya aku sudah harus mati."
Ia menyeret badannya ke ranjang dan berbaring. Pingsan.
"Ibu. Ibu, aku bawa pulang ikan yang besar sekali," Ching-ching berlari ke
dapur. Tapi yang dicarinya tidak ada di sana. Ching-ching keluar. "Ibu, Ibu
Ching Ching 25 bersembunyi di mana?" Anak itu meletakkan ikan yang dibawanya. "A-thia, lihat
Ibu?" katanya ketika Chow Han Wei menghampiri.
"Tidak ada di dapur" Di kamar barangkali."
Ching-ching segera menuju kamar. Benar, ibunya ada di situ. Terbaring dan
wajahnya pucat bukan main.
"Ibu, bangun, Ibu," kata Ching-ching kuatir. "Ibu sakit, ya" Biar kubuatkan sop
ikan untukmu. "Ibu, jawab aku, Ibu."
Tapi Lung Yin diam saja. "A-thiaaaa!" Ching-ching berteriak memanggil.
Chow Han Wei segera datang tergopoh-gopoh. "Ada apa?"
"Itu, Ibu." Han Wei segera memeriksa keadaan istrinya. "Celaka, racun di tubuhnya sudah
sampai ke jantung!" Han Wei membantu istrinya duduk. Ia sendiri bersila dan mulai menyalurkan lwee-
kang untuk mengeluarkan racun. Ching-ching ingin bertanya, racun apa yang
mengeram dalam tubuh ibunya. Tapi dengan melihat kelakuan a-thianya saja pun ia
sudah tahu, pasti racun yang sangat jahat menyebabkan ibu angkatnya menderita.
Sudah kira-kira sepertanak nasi, Lung Yin membuka mata. Ia tersenyum ketika
melihat Ching-ching memandang kuatir. Ia berkata juga pada suaminya, "Wei-ko,
sudahlah, aku sudah baikan."
Hen Wei menghentikan penyaluran tenaganya dan membaringkan istrinya.
"Wei, ko, aku ingin berdua saja dengan A-hoa."
Tanpa berkata-kata Han Wei meninggalkan kamar. Lung Yin memandang Ching-ching.
Matanya mulai berkaca-kaca.
"Ibu, jangan menangis. Apakah sakit sekali?"
"A-hoa sebenar Ibu akan pergi, jauuh sekali."
"Ke manakah itu?"
"Ke langit." Wajah Ching-ching memucat. Dulu ia punya nenek yang sering sakit-sakitan. Lalu
suatu ketika ia dapati neneknya tidur tak bangun lagi. Ibu kandungnya bilang,
nenek pergi ke langit menjadi sian-lie (dewi). Lalu apakah ibu angkatnya ini
akan tidur juga dan tak bangun-bangun lagi seterti thia-thianya bilang ... mati"
"Kau sudah tahu kan tentang Kim-hoa-po-po?" tanya Lung Yin. Ching-ching
mengangguk pelan. "Racun nenek jahat itu sudah sampai ke jantungku. Jadi aku
...." "Tidak, Ibu tak akan mati, pasti ada pemunahnya, Kim-hoa-po-po pasti punya, Ibu
tenang saja, aku dan A-thia akan cari dia sampai ketemu, kalau dia tak mau beri,
kita bisa paksa, Ibu pasti sembuh, Ibu takkan ...."
Ching-ching mengatakan semua itu dengan cepat tanpa jeda dalam satu tarikan
napas panjang. Suaranya gemetar. Tapi ia akhirnya berhenti dan menangis karena
sadar, apa yang dikatakannya tak akan terjadi.
"A-hoa, kau haris tabahkan hatimu. Kalau tidak, siapa yang akan urusi a-thiamu"
Aku tahu kau rindu keluargamu, tapi a-thiamu tak punya siapa-siapa lagi. Kau
harus janji ...." Langsung saja Ching-ching mengangguk-anggukkan kepala.
Lung Yin mengambil pakaian yang sedang dikerjakannya. "Ah, aku harus cepat-cepat
menyelesaikan ini," katanya sambil tersenyum pahit. Ia tak tahu itu bakal
terlaksana atau tidak. "A-hoa, kau jangan bilang apa-apa tentang ini kepada a-
thiamu. Kau tahu sendiri dia seperti apa."
Setelah itu ia langsung sibuk menjahit, jadi Chign-ching pun keluar kamar. Baru
Ching Ching 26 pintunya dibuka, Han Wei masuk.
"Wei-ko, ada apa?" tanya Lung Yin. Ia takut suaminya mendengar percakapan tadi.
"Nio-coe, kau sudah baik lagi, jadi aku hendak turun gunung. A-hoa akan temani
kau di sini," kata Han Wei.
Lung Yin merasa lega mendengar itu, tapi heran juga. "Wei-ko, kau hendak ke
mana?" "Aku mau cari Kim-hoa-po-po. Nio-coe, kau sudah cukup menderita. Aku ingin dia
rasakan juga sedikit penderitaanmu." Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Wei
meninggalkan kamar. Hari itu juga ia turun gunung, meninggalkan Ching-ching dan Lung Yin berdua.
Ching-ching merawat Lung Yin dengan penuh kasih sayang.
Lewat beberapa hari, pada suatu pagi, Ching-ching seperti biasa mengantarkan
sarapan ke kamar Lung Yin. Ia heran ketika melihat ibunya duduk di tempat
tidurnya, tidak menjahit atau membaca buku seperti biasa.
"A-hoa, kemari sebentar," katanya perlahan.
Ching-ching menaruh makanan di meja lalu mendekati ibunya dengan hati
berdebar-debar. Lung Yin menepuk sisi ranjangnya dan Ching-ching duduk di situ.
Lung Yin mengambil sehelai pakaian dan sebuah batu giok putih yang tadi terletak
di sampingnya. "A-hoa, aku ingin memberikan ini kepadamu."
Ching-ching menerima kedua barang itu. Pakaiannya bagus sekali, kainnya halus,
warnanya pun ceria. Batu giok putih itu juga indah bukan main. Kalau biasa,
Ching-ching sudah berterima kasih bolak-balik dan parasnya jadi berseri-seri.
Tapi sekarang ia hanya membisikkan terima kasih singkat dengan suara serak.
Matanya sudah mulai merah.
"Cuma ini yang dapat kuberikan. Kuharap kau akan menyimpannya selalu," kata Lung
Yin. Dari suaranya, kedengaran bahwa ia sedang menahan sakit.
Ching-ching hanya mengangguk saja.
"Aku ingin kau mengurus a-thiamu seperti yang pernah kubilang. Aku tahu akan
makan waktu untuk cari dia. Tapi aku akan selalu bersamamu. Dengan batu giok itu
kau bisa selalu ingat aku dan rindui aku. Jadi kalau kita bertemu lagi di
kehidupan yang akan datang, kau akan senang bertemu denganku karena tentu rindu
yang kau kumpulkan sudah banyaaak sekali."
Mau tak mau Ching-ching tersenyum mendengar kata-kata itu. Tapi kemudian Lung
Yin meringis kesakitan. "Ibu ... kau ...."
"A ... hoa ... ku ... rasa ... Ibu ...."
Perkataan itu diucapkan sepatah-sepatah, Ching-ching, yang terus memandangi
barang pemberian ibunya, harus menunggu sejenak untuk mendengar patahan
berikutnya. Tapi setelah kata Ibu, ia menunggu lama, tapi tak terdengar lagi
suara Lung Yin. Takut-takut ia menoleh.
"Ibu!" serunya, melihat Lung Yin sudah menutup mata. Ia menggoncang-goncang
tubuh orang, tapi ibunya tak bereaksi. Ching-ching menaruh jarinya di depan
hidung Lung Yin. Dia sudah tak bernapas. Dia sudah tidak bernapas! Dia sudah m -
Tidak, dia belum mati. Ching-ching kan bukan tabib, tahu dari mana ia bahwa
ibunya sudah mati" Masa hanya karena tak ada napas jadi mati" Tidak, ibunya
belum mati. Ching-ching memeriksa denyut nadi Lung Yin ... tidak terasa apa-apa. Dicobanya
mendengar detak jantung ... tidak terdengar apa-apa.
Tapi ia belum yakin. Ia tak mau ibunya mati. Ia harus tunggu sampai a-thianya
datang. Baru ia bisa pastikan. A-thia pasti dapat tentukan mati-hidup.
Ching Ching 27 Ching-ching keluar kamar, keluar rumah, lalu duduk menunggu Han Wei meskipun di
luar terasa dingin. Baru ketika salju turun, ia masuk ke dalam dan menunggu di
depan jendela. Karena sudah kebiasaan, tanggan menggapai mengambil seruling dan mulutnya
meniup, memainkan lagu yang sudah dikenalnya, telinganya menikmati harmonisnya
suara suling dan khim - Tapi kali ini tak ada suara khim yang menemani. Ching-ching diam mendengarkan,
menunggu. Tapi tetap tak ada suara khim yang datang ke telinganya.
Diam-diam air matanya meleleh di pipinya. Ia sadar sekarang, ia tak akan pernah
mendengar suara khim itu lagi. Karena yang memainkannya pun sudah tak ada, pergi
... untuk selamanya. Untuk selamanya ... lama sekali.
Perlahan ia bangkit dan pergi ke kamar Lung Yin. Dibawanya jenazah ibunya ke
luar, dibaringkannya rapi-rapi. Lalu ia mulai menggali. Menggali lubang untuk
tempat peristirahatan terakhir wanita itu. Setelah selesai, ia menghormat tiga
kali di depan makam itu. Dan selama itu, air matanya tak pernah berhenti mengalir.
Sekarang ia harus mencari a-thianya. Ching-ching segera bersiap untuk pergi.
Pakaian dan batu giok dari Lung Yin disimpannya baik-baik di dalam buntelannya.
Hari itu, Lie Mei Ching turun dari gunung Leng-yi yang sudah menjadi rumahnya
selama ... untuk mencari Chu Han Wei.
Ching-ching menuruni gunung. Ia mengenakan pakaian yang dibuat oleh ibunya dan
tentu saja giok putih dari ibunya harus juga dia bawa yang lain tak perlu lah.
Ia tak mau bikin badannya penuh dengan segala macam barang yang membuatnya
kesulitan sewaktu berjalan.
Ching-ching sampai di desa di kaki gunung Leng-yi. Ia segera menuju ke sebuah
rumah makan dan masuk ke dalamnya. Barangkali ada A-thia di sana. Biasanya A-
thia pergi ke sini untuk membeli arak.
"Bocah kecil, mencari siapakah?" tanya pemilik rumah makan.
"Mencari A-thiaku," jawab Ching-ching.
"Bagaimanakah rupa A-thiamu itu?"
"Tinggi-besar, berjenggot lebat, dan membawa sebuah pedang besaaar," Ching-ching
membentangkan tangan untuk menunjukkan sebagaimana besarnya pedang itu.
"Apakah pedangnya digantung di punggung?" tanya seorang pelayan.
"Ya betul! Ada di sinikah dia?"
"Tidak," jawab pelayan itu. Wajah Ching-ching berubah keruh. "Tetapi beberapa
hari yang lalu ia lewat ke sini dan membeli dua guci arak. Kemudian pergi ke
arah sana." Pelayan itu menunjuk.
Ching-ching segera lari ke arah itu. Pemilik rumah makan dan pelayanannya
bengong. Apalagi ketika anak itu memutar arahnya dan kembali ke rumah makan
tersebut dan berhenti tepat di depan si pelayan.
"Terima kasih," kata Ching-ching, membuat kedua orang itu bertambah
terheran-heran. Kemudian ia kembali berlari mengerahkan gin-kang supaya dapat
dengan cepat mengejar A-thianya.
Sepanjang perjalanan Ching-ching bertanya pada setiap orang yang ia jumpai.
Banyak yang menjawab dengan ramah, tapi tidak sedikit pula yang cuma
terbengong-bengong menatapnya. Terutama pada bajunya yang tidak seperti orang
kebanyakan. Ching-ching tidak punya uang. Ia bahkan tidak tahu nilai uang. Tapi ia mengerti
bahwa segala sesuatu di desa harus ditukar dengan sesuatu. Karenanya, setiap
Ching Ching 28 kali merasa lapar, Ching-ching mencari hutan atau sungai di mana ia dapat
memperoleh binatang atau ikan untuk dimakan.
Berhari-hari gadis kecil itu berjalan. Semakin lama badannya semakin lemah.
Sekarang bahkan tidak kuat ia mengerahkan gin-kang. Apalagi hujan tak pernah
turun beberapa hari ini. Matahari bersinar terik. Udaara menjadi pengap dan
panas. Tapi Ching-ching berjalanterus dengant abah.
Hari kedelapan, Ching-ching tiba di sebuah perbukitan yang tandus. Tidak ada
sungai di sekitar tempat itu. Tidak ada tumbuhan, tidak ada binatang dan tak
seorang pun berpapasan dengannya. Padahal Ching-ching sudah kelaparan. Ia tak
makan sejak kemarin siang. Semalam pun tidur dengan perut keroncongan.
Panas matahari semakin menyengat. Ching-ching berjalan tertatih-tatih di atas
tanah kering yang berdebu. Lehernya semakin kering. Perutnya melilit. Cahaya
matahari berubah menjadi warna-warna aneh. Jingga - merah - kelabu - dan akhirnya
hitam. Ching-ching tidak ingat apa-apa lagi.
* * * "Kong-kong, kemarilah cepat. Ada anak mati di sini. Kasihan sekali," Yuk Lau
memanggil-manggil. Orang tua yang berjalan di belakangnya bergegas menghampiri. "Anak ini tidak
mati, Yuk Lau. Cuma pingsan karena kepanasan dan tidak makan semalaman," kata
orang tua itu. "Baiknya kita bawa pulang saja dan dirawat di rumah."
Anak yang dipanggil Yuk Lau menggandong bocah yang pingsan itu di punggungnya.
Si kakek sendiri menggendong keranjang besar bertudung yang isinya obat-obatan.
Kakek tersebut tak laina dalah Yuk Fung, seorang sin-she yang terkenal dengan
gelar Yok-ong-phoa. Hari itu ia kebetulan lewat di tempat itu sepulang mengambil
jamur obat tak jauh dari sana bersama cucunya.
Yuk Lau, anak laki-laki berumur dua belas tahun yang bersama si tabib adalah
cucu dari anak angkatnya sendiri. Ia tinggal bersama orang tuanya tak jauh dari
rumah si Dewa Obat sehingga sering ikut pergi bersama kakeknya.
"Kong-kong kenal anak ini?"
"Tidak," jawab Yuk Fung. "Tapi wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Seseorang
yang pernah menolongku. Apalagi dengan baju macam ini."
"Baju apa sih ini" Kok tidak seperti baju yang dipakai teman-temanku."
"Ini baju ala negeri Sha-ie di dekat Tibet. Modelnya memang berbeda dengan
pakaian di negeri kita."
"Kong-kong pernah ke sana?"
"Sekali, itu pun tidak sengaja. Waktu itu Kong-kong sednag berlayar ke See-tok
untuk mempelajari beberapa macam racun yang berhasal dari negeri tersebut. Di
jalan, tiba-tiba badai mengamuk, memecahkan kapal yang ditumpangi. Entah berapa
hari aku terapung-apung di laut, sampai seorang putri raja negeri Sha-ie yang
sedang berlayar menolong dan membawaku pulang ke negerinya."
"Apakah wajah anak ini mirip dengan yang menolong kakek itu?" tebak Yuk Lau.
"Ya, sangat mirip. Hanya saja saat itu putri tersebut sudah berumur kira-kira 17
tahun. Anak iini paling-paling baru delapan atau sembilan tahun."
"Kong-kong, apakah ada dua orang yang tidak punya hubungan darah tapi bisa
sangat mirip satu sama lain?"
"Di kolong langit banyak hal bisa terjadi. Sudahlah. Kita cepat-cepat saja
berjalan supaya tidak kemalaman."
* * * Ching-ching siuman. Yang pertama ia rasakan adalah leher yang kering. "Haus,"
gumamnya serak. Ching Ching 29 Seseorang meminumkan air kepadanya. Setelah lehernya dialiri air dingin yang
segar, Ching-ching merasa enakan. Ia membuka mata. Seorang kakek tua duduk di
smaping tempat tidurnya. "Di manakah aku?" tanya Ching-ching. "Kenapa bisa ke sini?"
"Kau ada di Bukit Giok-lam. Kami temukan kau di kaki bukit dalam keadaan
pingsan." Ching-ching bangkit duduk dan menyoja. "Terima kasih Loo-peh-peh sudah
menolongku." "Jangan sungkan. Kita sesama orang memang tugasnya untuk saling menolong."
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang anak lelaki masuk ke kamar itu. "Kong-kong, ini obatnya." Tapi, melihat
Ching-ching sudah siuman ia sodorkan obat langsung pada anak itu. Ching-ching
langsung meneguk habis. "Istirahatlah, Kouw-nio ... eh ... Kouw-nio ...."
"Namaku Ching-ching," kata Ching-ching. "Tidak pakai kouw-nio."
Yuk Fung tersenyum. "Baiklah, Ching-ching, kau istirahatlah. Yuk Fung mengajak
cucunya keluar. Ching-ching merebahkan kepala dan terlelap lagi.
*** Beberapa hari Ching-ching dirawat di sana. Dengan cepat ia menjadi akrab dengan
Yuk Lau. Ching-ching sudah menceritakan bahwa ia mencari ayahnya. Yuk Fung
merasa tidak tega. Ia menahan Ching-ching lebih lama. Ching-ching tidak menolak.
Ia senang bermain dengan Yuk Lau. Ia juga senang membantu Yuk Fung - yang
dipanggilnya Kong-kong - menyembuhkan orang-orang.
Setiap hari, banyak orang datang minta diobati. Kadang sampai tidak cukup satu
hari untuk memeriksa. Ching-ching sering membantu sambils esekali menanyakan
ini-itu. Dalam satu bulan ia sudah memahami beberapa macam penyakit dan
pengobatannya sekalian. Suatu hari Yuk Lau datang berlari-lari ke tempat kediaman kakeknya.
"Ching-ching!" panggilnya pada teman main yang sedang membantu kakeknya menjemur
obat. "Coba tebak apa yang kubawa hari inI!"
Ching-ching mencoba mengintip apa yang dibawa Yuk Lau di balik punggungnya, tapi
tak berhasil. Terpaksa ia menebak-nebak. "Ikan," terkanya.
"Salah." "Jangkrik," Yuk Lau memang suka membawa jangkrik untuk diadu.
"Bukan." "Kue barangkali."
"Bukan juga." "Nyerah deh." Yuk Lau tertawa. Ia mengulurkan kedua tangannya yang membawa layang-layang dan
benangnya. "Layangan!" seru Ching-ching. Sudah lama sekali ia tidak main layangan, sejak
dibawa ke gunung Leng-yi oleh A-thianya.
"Thia-thia membelikannya di kota," kata Yuk Lau. "Ayo kita main di lapangan."
"Ayo!" kata Ching-ching. Tapi kemudian ia ingat akan pekerjaannya. "Tidak bisa
sekarang," katanya lagi. "Aku sedang membantu Kong-kong."
Yuk Lau tampak kecewa. "Padahal hari begini paling bagus-bagusnya main
layangan." "Ching-ching, kau pergilah. Semua ini sudah cukup," kata Yuk Fung. "Sisanya
tinggal sedikit. Kong-kong bisa lakukan sendiri."
Yuk Lau bersorak. "Kong-kong, pergi dulu," kata Ching-ching dan Yuk Lau bebareng
seraya berlari pergi sambil berpegangan tangan.
Ching Ching 30 Di lapangan ternyata ada beberapa pasang anak lain yang sudah lebih dulu datang.
"Yuk Lau, Ching-ching, mau bermain juga?"
"Ya, kemarin Thia-thia membawa layangan untukku."
"Hei, bagaimana kalau kita mengadu?" tanya seorang anak.
"Nanti saja," jawab Yuk Lau. "Aku tidak ingin cepat-cepat kehilangan layangan.
Ching-ching, mari kita main di tempat yang agak sepi di sebelah sana."
Mereka memisahkan diri dan mulai bermain. Mula-mula Ching-ching memegangi
layangan, sementara Yuk Lau menerbangkannya, lalu Ching-ching memegangi golongan
benang. Mereka bergantian menerbangkan layangan. Ketika hari menjelang sore,
hampir semua anak kehilangn layangan. Mereka semua pulang kecuali seorang anak
bersama temannya yang masih memiliki layang-layang.
"Yuk Lau, yang tersisa tinggal layangan kita. Bagaimana kalau kita adu
sekarang?" kata A-fuk, anak yang memiliki layangan itu.
Yuk Lau memandang Ching-ching minta persetujuan. Ching-ching mengangkat bahu.
"Terserah," katanya.
"Baik," kata Yuk Lau kemudian. "Adu tinggi atau adu benang?"
"Dua-duanya. Mula-mula adu tinggi dulu. Ayo turunkan layanganmu."
Mereka mulai mengadu lagi. Layangan Yuk Lau yang berbentuk capung meliuk-liuk di
angkasa. Semakin tinggi dan semakin tinggi. Angin bertiup kencang. Lawannya tak
dapat mengejar, takut kalau-kalau benangnya putus. Semetara layangan Yuk Lau
sudah berada di atas awan.
"A-fuk," kata Yuk Lau memanggil kawannya. "Layanganku sudah menang. Kau menyerah
tidak?" "Ya, ya, aku menyerah. Ayo kita adu sekarang."
"Baik!" Yuk Lau merendahkan layangannya. Ching-ching menggulung benang dengan
cepat. Dua layangan di angkasa seolah bertempur. Saling mematuk, saling melilit dan
berputar mengejar lawannya. Ching-ching sudah sering main layangan. Ia dapat
mengimbangi gerak Yuk Lau dengan menggulung atau mengulur benang. Suatu ketika,
benang Yuk Lau hampir melilit layangan A-fuk. A-fuk gugup. Ia cepat-cepat
mengulur benangnya. "Ulur, ulur!" perintah A-fuk kepada A-yong yang memegang benang.
"Aduh, tidak bisa. Benangnya kusut," jawab kawannya itu.
A-fuk menggeram kesal. Tapi layangannya sudah menukik jatuh di antara pepohonan
besar, tak jauh dari tempat bermain itu.
"Kau cari sana!" bentak A-fuk lagi. "Biar benangnya aku yang uraikan."
A-yong lari terbirit-birit mencari layangan itu. Yuk Lau tertawa-tawa. Ia
menurunkan layangannya. "Aku penasaran," kata A-fuk. "Kenapa sih aku selalu kalah darimu kalau main
layangan" Padahal dengan teman-teman yang lain, aku selalu menang."
"Entah, ya," jawab Yuk Lau. "Barangkali karena kau kurang cekatan daripada aku
soal memainkan benang. Dan jangan lupa, kawanmu harus tahu juga kapan waktu
mengulur dan menggulung benang. Kalau tidak main bersama Ching-ching, barangkali
hari ini aku yang kalah."
Ching-ching jadi bangga dipuji begitu.
"Ya, ya, kalau benangku tidak kusut tadi, semestinya aku dapat melepaskan
layanganku dari punyamu. Ching-ching, lain kali kau main denganku, ya."
"Baik, tapi kalau Lau Koko tidak keberatan."
"Lain kali boleh kaucoba," sahut Yuk Lau.
A-fuk kembali menekuni benang kusutnya. Tapi semakin diurai, tampaknya semakin
Ching Ching 31 kusut saja benang itu. "Huh, benang sialan!" umpatnya sambil mencoba melepaskan
benang yang melilit kakinya. Ching-ching dan Yuk Lau tertawa melihat A-fuk yang
berjingkrakan sambil mengomel-omel.
"Sini, biar aku yang kerjakan." Ching-ching menolong A-fuk melepaskan diri dari
lilitan benang. Sesudahnya, malah dia luruskan juga benang kusut itu.
"Yuk Lau," bisik A-fuk pada temannya, "beruntung benar kau, tahu-tahu punya adik
yang bisa diajak main macam-macam. Sabar, cekatan, dan, kata Fei-fei adikku,
Ching-ching pintar masak juga, ya."
"Iya sih. Masakannya memang enak. Belakangan ini, aku malah lebih sering makan
di rumah Kong-kong daripada di rumah sendiri. Ibuku sampai iri pada Ching-ching.
Tapi kau belum tahu. Ching-ching itu, kalau tidak suka sama orang, bisa galak
dan tidak sabaran." "Ah, masa iya?" A-fuk menyangsikan.
"Suatu saat kau akan lihat."
"Tolong ... tolong ...!" Tiba-tiba A-yong lari dari balik pepohonan. Ketiga anak
yang lain menoleh. "Ada apa?" Yuk Lau mencegat.
A-yong menghindari tabrakan dengan Yuk Lau, tapi ia malah tersandung Ching-ching
yang masih berjongkok. Gulungan benang yang sudah rapi tertendang sampai terurai
lagi dan melilit kedua anak yang terguling di rumput.
Keduanya duduk di rumput dengan badan terlilit benang. Ching-ching kesal sekali.
Benang yang susah payah diurainya kini kusut lagi. Melilit badannya pula.
Dicobanya berdiri, tapi benang yang melilit kaki membuat dia terduduk kembali.
"Sial!" umpatnya. "Kenapa sih kau lari-lari tidak lihat-lihat jalan! Benangnya
kusut lagi tu. Padahal, tadi sudah rapi kugulung. Heran, sudah lari-lari tanpa
sebab, membuat orang terguling lagi. Kalau mau jungkir-balik, ya
jungkir-baliklah sendiri. Tak perlu ajak-ajak orang lain."
A-yong bengong, disemprot dengan omelan yang tidak karuan itu. Wajahnya yang
pias makin pucat. A-fuk nyengir memandang Yuk Lau.
Yuk Lau meringis. "Tuh, apa kubilang" Betul kan" Soalnya, aku juga pernah
dimarahi waktu itu."
Keduanya menghampiri Ching-ching yang sibuk melepaskan diri, dan ikut membantu
tanpa peduli pada A-yong yang duduk tak bergerak. Tetapi, setelah beberapa saat,
belitan benang itu tak mau lepas juga.
"Putuskan saja," kata A-fuk tak sabar.
"Tak sayang?" tanya Ching-ching. "Benang panjang begini?"
"Kalau kau senang duduk di situ sampai besaok, aku sih tidak keberatan."
Ching-ching diam. Tentu saja dia tak mau duduk semalaman di lapangan itu.
Apalagi kalau malam, tempat itu sepi sekali. Hiy! Tidak, dia tak mau menginap di
situ. Maka, ia diam saja waktu A-fuk mulai memutuskan benang dengan giginya,
dibantu Yuk Lau. Tak berapa lama, lilitan benang terlepas. A-yong juga bebas.
Anak itu sudah agak tenang sekarang.
"Nah, katakan pada kami. Apa yang kaulihat di sana?" tanya Yuk Lau.
"Ada ... ada tangan," jawab A-yong.
"Tangan apa?" "Tangan besar. Berdarah! Hiii!" A-yong bergidik ngeri membayangkan apa yang
dilihatnya. "Tangan siapa" Mengapa berdarah?" tanya Ching-ching.
"Mana aku tahu?" sahut A-yong. "Aku belum sempat bertanya pada yang punya
tangna. Bahkan tak sempat melihatnya."
Ching Ching 32 "Jangan-jangan cma tangan doang. Buntung. Siapa tahu?" kata A-fuk.
"Sudah," Ching-ching mulai tak sabar lagi. "Daripada pusing-pusing, bagusan kita
lihat sendiri ke sana." A-fuk dan Ching-ching belari ke arah dari mana A-yong
datang tadi. Yuk Lau memandangi A-yong. "Mau ikut ke sana lagi?"
"Aku ... aku mau pulang saja," kata A-yong, terbirit-birit lari ke rumahnya.
Ching-ching dan A-fuk celingukan mencari tangan yang disebut-sebut A-yong.
"Itu tuh!" A-fuk menunjuk.
Ching-ching mengikuti arah tunjukannya. Ia melihat seekor burung terkapar dengan
sayapnya yang terbentang. Sayap kanannya luka. "Itu sih burung."
"Tangannya luka."
"Bukan tangan. Sayap."
"Sama saja," A-fuk ngotot, dan menghampiri burung tersebut. "Sudah mati!"
Ching-ching menggeleng. "Yang kita cari, tangan manusia."
"Kata siapa" A-yong cuma bilang tangan, begitu."
"Iya, tapi besar. Ingat" Sayap burung ini kecil."
A-fuk mengangkat bahu, lalu berdiri dan celingkukan lagi.
"Sudah ketemu?" tanya Yuk Lau yang menyusul belakangan.
"Belum," serentang kedua anak lain menggeleng.
"Pencar saja, supaya cepat. Sebentar lagi gelap."
Mereka berpencar ke arah yang berlainan. Beberapa saat kemudian, terdengar A-fuk
berteriak. "Horeee! Kutemukan!"
Ching-ching dan Yuk Lau berlari mendekat. "Mana" Mana?"
"Ini!" A-fuk menyodorkan benda di tangannya. Sebuah layangan!
"Heeey! Kita ini sedang mencar tangan, bukan layangan!" teriak Ching-ching
jengkel. Yuk Lau hanya mendengus saja dan berbalik, kembali mencari. Ching-ching juga. Ia
mengawasi semak-semak sambil menggerundeng. Tiba-tiba dilihatnya genangan merah
kehitaman. Darah! Ia menoleh ke sekeliling. "Darahnya ada, tapi mana tangannya?"
Dicarinya di antara semak-semak, tapi tetap tak ditemukan. Ching-ching mengawasi
sekeliling genangan darah itu. Tak ada setetes jejak darah lain di sana. Sesuatu
jatuh dari atas pohon tepat ke genangan darah itu, membuat riak-riak kecil.
Ching-ching melihat ke atas.
"Aaaaaaa!" tahu-tahu ia menjerit sampai kaget sendiri. Dia melihat tangan besar,
penuh darah, menggelantung di antara rimbunnya daun, tak jauh di atas kepalanya.
Ching-ching memejamkan mata untuk menentramkan hati. Didengarnya Yuk Lau dan A-
fuk mendekat. "Di mana?" tanya mereka langsung.
Ching-ching menunjuk ke atas. Yuk Lau dan A-fuk tidak bersuara lagi. Ching-ching
memberanikan diri membuka sebelah matanya. Ternyata kedua anak lelaki itu sedang
melotot dengan mulut ternganga!"
"Wah, besar betul," kata A-fuk setelah tercengan beberapa lama. "Bahkan lebih
besar dari tangan ayahku." A-fuk berjingkat dan menyentil tangan besar itu
dengan telunjuknya. Gedubrak! Tangan itu jatuh dengan suara keras, bersama tubuh yang empunya,
tentu. Ching-ching membuka mata yang satunya. Gawan, patah tulang-tulangnya nanti,
pikir anak itu. Orang itu laki-laki. Umurnya paling aru 17 tahun. Wajahnya lumayan tampan. Aneh,
warnanya sebelah pucat sebelah lagi kehitaman. Tangannya begitu juga. Yang tidak
Ching Ching 33 berdarah warnanya pucat. "Keracunan!" kata Yuk Lau, yang mengetahui ciri-ciri orang keracunan dari
kakeknya. "Kita bawa saja ke tempat kakekmu. Aduh!" A-fuk memegangi jarinya yang tiba-tiba
sakit. "Kenapa?" "Entah, jariku tiba-tiba sakit." A-fuk memperlihatkan jarinya yang seperti
melepuh. "Padahal, tadi tidak apa-apa."
"Tai tadi kau menyentuh tangan orang ini," kata Yuk Lau agak panik. "Darah orang
ini beracun rupanya. Ayo, cepat pulang ke rumah kakekku."
Yuk Lau melepas bajunya, membungkus tangan yang berdarah, kemudian menyeret
orang itu. A-fuk membantu mendorong kakinya, sambil sesekali mendesis kesakitan.
Ching-ching berjalan mendahului, membawa layangan mereka.
*** "Orang ini terkena Racun Pemunah Jiwa," kata Tabib Yuk Fung. "Susah dicari
obatnya." "Apakah dia akan mati?" tanya A-fuk.
"Ya, ia akan mati kehabisan darah. Lihat, darah dari ujung jarinya mengucur tak
berhenti." "Tidakkah Kong-kong dapat menyembuhkannya?" Ching-ching bertanya penuh harap.
"Kelihatannya orang ini baik. Sayang, kalau mesti cepat-cepat mati."
"Ya, entah bagaimana ia dapat terkena racun ini. Jangan-jangan
Toat-beng-kim-sian (Dewa emas pencabut nyawa) sesungguhnya belum mati."
"Aduh, aduh!" Tiba-tiba A-fuk menjerit dan terguling di lantai, kemudian diam
tak bergerak. "Tangannya hitam!" jerit Ching-ching yang berdiri paling dekat dengan A-fuk.
Yuk Fung cepat-cepat mendekat dan mengamati. "Dia terkena racun yang sama!" seru
tabib sakti terkejut. "Pasti telah disentuhnya darah orang itu."
"Oy ya, tadi memang disentuhnya tangan orang itu."
"Seharusnya kalian bilang sejak tadi." Tabib Yuk Fung mengeluarkan sebuah pil
bulat putih bagai mutiara dan memasukkannya ke mulut A-fuk. "Sekarang keadaannya
malah lebih berbahaya dari orang yang kalian tolong. Orang itu akan mati sekitar
lima hari lagi. Tapi A-fuk ... kalau kita tidak cepat-cepat cari obat, dalam tiga
hari ia akan kehilangan nyawanya."
"Bagaimana bisa begitu?" Ching-ching tertarik.
"Orang yang kalian tolong telah terpukul oleh pukulan Hoan-beng-ciang (Pukulan
pengantar nyawa) yang berhawa racun. Sejak hari ia terpukul, darahnya akan
mengucur dari ujung jari dan tak akan berhenti sampai darahnya habis. Hal itu
makan waktu sepuluh hari. Jadi, orang ini sudah lima hari tergantung di pohon.
A-fuk yang menyentuh darah orang ini akan mati dalam tiga hari sebab darah
beracunnya masuk lewat pori-pori ke pembuluh darah. Racun itu akan menjalar
pelan-pelan bersama darah. Setelah tiga hari, racun sampai ke jantung dan A-fuk
akan mati." Ching-ching dan Yuk Lau berpandangan. "Mestinya kita tidak usah menolong orang
Tiga Maha Besar 20 Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 18
Di sebuah hutan kecil dua orang gadis cilik tampak berlari-lari di antara
pepohonan. Keduanya sedang mengejar kupu-kupu. Yang seorang tampak lebih tua
dari yang lain. Itulah Lan Siu Yin, anak dari Lan Man Fung. Umurnya baru tujuh
tahun. Sikapnya lemah lembut, namun agak cengeng seperti kebanyakan bocah
lainnya. Sayang, dalam usianya yang masih muda ia sudah yatim piatu sehingga
kini diasuh saudara seperguruan ayahnya, Lie Chung Yen.
Seorang lagi adalah Lie Mei Ching, sepupu Lan Siu Yin. Selisih umrunya hanya
setahun lebih muda. Berbeda dengan Siu Yin, Ching-ching lincah sifatnya,
periang, dan pemberani. Kuncir rambutnya tak pernah diam, selalu
bergoyang-goyang. Bibirnya yang mungil selalu berceloteh sambil sesekali melirik
piauw-cienya (kakak sepupu perempuan).
"Ching-moay (Adik Ching)," kata Siu Yin beberapa waktu setelah mereka berjalan
mengelilingi hutan, "baiknya kita pulang saja. Aku sudah cape, lagipula sebentar
lagi kita harus belajar. Sian-seng (Guru pelajaran sekolah) tentu sudah menunggu
kita." "Ah, Yin Cie-cie (Kakak Yin) selalu begitu. Kecapean setiap kali jalan-jalan.
Kita belum sampai di sungai kecil di sana itu. Aku ingin menangkap ikan," kata
Ching-ching cemberut merajuk. Gadis manja itu menarik lengan baju sang
piauw-cie. "Ayolah, mumpung kita dikasih izin keluar rumah."
Tanpa menunggu jawaban lagi, Ching-ching berlari mendului. Ia tahu piauw-cienya
akan terpaksa mengikuti. Dan memang itulah yang terjadi. Sambil menghela napas
Siu Yin mengikuti. Ia tak berani pulang sendiri sekalipun rumah mereka tak
seberapa jauh dari sana. Begitu sampai di sungai kecil, Ching-ching segera melepas sepatu dan menggulung
lengan baju serta ujung celananya. Ia pun segera masuk ke air. Di tepi sungai,
Siu Yin berteriak-teriak mengingatkan,
"Ching-moay, hati-hati. Nanti bajumu basah. Kau bisa sakit. Sudah, kalau mau
ikan, beli saja di pasar."
"Ah, tidak enak. Lebih enak ikan tangkapan sendiri. Nanti dibakar dan kita makan
berdua," sahut Ching-ching. "Cie-cie, kau tidak ikut turun" Di sini asyik,
sejuk. Airnya dingin."
Siu Yin menggeleng. "Tidak, ah, nanti bajuku basah."
"Alaa, basah sedikit tidak apa-apa," kata Ching-ching seraya mencipratkan air
Ching Ching 1 sungai pada Siu Yin. Piauw-cienya menjerit dan menjauh, kemudian duduk di bawah
pohon mengawasi piauw-moaynya (adik sepupu perempuan) menangkap ikan.
Ching-ching mencoba menangkap ikan-ikan besar. Tapi betapa sulitnya. Beberapa
kali ia sempat memegang beberapa ikan yang besar, namun selalu terlepas lagi.
"Heran, kenapa sih badan ikan itu licin bukan main" Jadi sulit menangkapnya,"
gumam Ching-ching kesal. Ching-ching tidak putus asa. Ia masih mencoba menangkap beberapa ekor ikan yang
lewat di dekatnya. Nah, itu ada seekor yang besar sekali! Ching-ching
mengendap-endap mendekati. Lalu dengan sangat cepat, tangannya terulur menangkap
ikan itu! Dapat! "Cie-cie, lihatlah! Aku dapat! Aku dapat! Besar sekali!"
Siu Yin cepat-cepat mendekati. Ching-ching mengangkat ikan itu tinggi-tinggi,
mencengkeram kuat-kuat dengan kedua tangannya yang kecil. Ikan gemuk yang berat
itu menggelepar-gelepar. Ching-ching kerepotan jadinya. Tapi, anak bandel itu
tak berniat melepaskan lagi.
"Lihat, Cie-cie," katanya pada Siu Yin. "Cepat cari kayu. Wah, makan besar kita.
Cepat, ambil kayu bakar - "
Tiba-tiba saja Ching-ching terpeleset. Badannya terjengkang ke belakang. Dengan
suara berdebur, ia jatuh ke dalam air.
Byur! Suara ceburan terdengar lagi. Siu Yin nekat mencebur untuk menolong
adiknya. Tapi, alih-alih mau menolong, ia sendiri tergelincir. Siu Yin panik. Ia
tak pernah masuk ke sungai sebelumnya, sekarang malah terseret arus sungai yang
cukup deras. Gelagapan, Siu Yin mencengkeram apa saja yang ada di dekatnya.
Ching-ching berdiri. Air sungai memang tak sampai sepinggangnya. Ia tertawa
gembira. "Cie-cie, kau pun ikut basah jadinya."
Namun, melihat gerakan-gerakan Siu Yin yang tak terkendali, gadis kecil yang
cerdas itu segera mengerti. Diraihnya lengan Siu Yin dan diseretnya ke tepi.
Berat juga, apalagi pakaian Siu Yin basah kuyup semua.
Ching-ching membaringkan piauw-cienya di tanah. Ia ketakutan melihat Siu Yin
yang pucat dan diam tak bergerak.
"Cie-cie, bangunlah. Cie-cie, ayo bangun, jangan diam saja. Kau belum mati, kan"
Ayolah, jangan kau takuti aku."
Siu Yin masih diam saja. Ching-ching makin mengguncangkan badannya.
"Cie-cie, ayo bangun. Kita pulang saja. Bukankah Sian-seng menunggu kita"
Ayolah, katanya takut diomeli Thia-thia (Ayah) kalau terlambat."
Ching-ching semakin ketakutan melihat Siu Yin tak bergerak. Tanpa terasa air
matanya mengalir. Kemudian ia mendapat akal. Dicipratkannya air sungai ke wajah
Siu Yin. Benar saja. Kelopak mata Siu Yin bergerak. Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan air
yang sempat membikin kembung perutnya. Ching-ching cepat-cepat membantunya duduk
dan mengurut-urut punggung piauw-cienya.
Setelah memuntahkan air yang tertelan, Siu Yin merasa lebih enakan. Dibantu
Ching-ching, ia berdiri. "Ching-moay, kita pulang saja sekarang."
Ching-ching mengangguk. Tanpa sengaja ia melihat tangan kanan Siu Yin yang
mengepal. "Yin Cie-cie, apa yang kau genggam itu?"
Siu Yin membuka genggaman tangannya. Dengan mata terbelalak ia menatap benda di
tangannya. "Ih!" serunya jijik seraya melemparkan benda yang ternyata seekor ikan kecil
yang mati kehabisan napas. Rupanya ketika kelelep tadi, tanpa sadar ia
mencengkeram ikan kecil yang lewat di dekatnya.
Ching Ching 2 "Yin Cie-cie, kau menangkap ikan ini?" Ching-ching mengambil ikan itu dengan
menjepit ekornya dengan jari telunjuk dan jempol. "Hei, kita bawa pulang saja.
Pasti lucu jadinya kalau ikan ini kita masukkan ke dalam baju Sian-seng."
Ching-ching tergelak-gelak membayangkan hal itu.
Siu Yin menggeleng-geleng. "Ching-moay, jangan keterlaluan. Kau ingat waktu kau
iseng menggunting kumis Sian-seng kemarin dulu" Siok-siok (Paman) marah sekali.
Dan kau dihukum rotan 12 kali sampai tak dapat duduk berhari-hari lamanya.
Masakan kau belum kapok juga?"
Ching-ching meringis. Walaupun hukulan itu sudah tak berbekas lagi, tapi kalau
ingat, sakitnya masih tak terasa. Tidak, ia tak mau dihukum lagi. Lebih baik
dibuangnya saja ikan itu. "Aku pun tak mau dirotan lagi," kata anak itu.
"Baiknya kita pulang saja sebelum Thia-thia mencari. Tapi ... Cie-cie, jangan
bilang-bilang, kalau aku main air di sungai."
Siu Yin mengangguk. Tak terpikir olehnya bahwa bajunya yang basah akan
menyatakan kebenaran. Sambil bergandengan tangan, kedua anak itu berjalan
pulang. Lie Chung Yen sedang berbincang-bincang dengan Meng Sian-seng. Ia ingin tahu,
sampai di mana tingkat pelajaran anaknya.
Meng Sian-seng menghela napas sebelum menjawab. "Lan Sio-cia anak yang baik. Dia
sangat menyukai sastera, lukis, dan sejarah."
"Bagaimana dengan anakku Ching-ching?"
"Ching-ching sebenarnya amat pandai. Ia anak yang cerdas. Daya ingatnya kuat. Ia
mudah menangkap apa yang diajarkan. Tapi ... sering kali konsentrasinya tidak pada
pelajaran. Kelihatannya ia lebih tertarik kepada ilmu silat daripada pelajaran.
Saat belajar, ia lebih sering memperhatikan murid-murid yang berlatih di ruang
belajar daripada apa yang kukatakan."
"Kalau begitu mulai besok aku akan menyuruh murid-muridku berlatih di kebun
belakang saja." "Sebenarnya itu tak perlu," kata Meng Sian-seng sungkan.
"Tidak apa-apa," potong Lie Chung Yen. "Ini demi anakku juga, bukan" Ah, ya.
Bukankah ini waktu anak-anak belajar" Kalau begitu aku tak akan mengganggu lagi
Meng Sian-seng." Lie Chung Yen minta diri. Ia melangkah ke luar dan hampir saja
ia bertubrukan dengan anak dan kemenakannya.
"Thia-thia!" Ching-ching berseru kaget.
"Ching-ching, Siu Yin, dari mana kalian?"
"Dari ... dari ...," Siu Yin menjawab terbata.
"Kami habis bermain layangan," jawab Ching-ching.
Lie Chung Yen menatap Siu Yin yang cepat-cepat menunduk dengan wajah memerah.
Melihat gelagatnya, tentu Ching-ching telah berbohong. Belum lagi rambut Siu Yin
yang basah sekalipun pakaiannya kering. "Siu Yin, dari mana kalian?"
"Dari bermain - " Ching-ching menjawab lagi.
"Thia-thia tidak tanya kau!" bentak ayahnya.
Ching-ching langsung mengkeret. Siu Yin ngeri juga. Seperti biasa, air matanya
langsung mengalir. Chung Yen iba melihatnya. Namun ia tak berkata apa-apa. "Kenapa rambutmu basah?"
tanyanya dengan nada lunak.
Siu Yin tidak berani berbohong lagi. Dengan terisak-isak ia menceritakan apa
adanya. Ching-ching meringis. Keringat dingin mengalir. Ia tahu sebentar lagi pasti ia
dihukum. Thia-thianya pernah bilang, sekalipun tidak berbahaya, ia tak boleh
Ching Ching 3 main ke sungai kecil. Di sana sepi. Kalau ada apa-apa, tentu tak ada yang bisa
menolong. Lie Chung Yen melirik anaknya. Anak itu mesti diajar adat supaya jadi orang
baik-baik kelak. Sebenarnya Chung Yen tidak tega. Ia sangat sayang pada anaknya.
Dan setiap hukuman yang diterima Ching-ching seolah-olah dia sendiri yang
merasakan. "Siu Yin, pergilah ke kamarmu," katanya setelah mendengar penuturan anak itu.
Siu Yin segera berlari, tapi diam-diam ia bersembunyi di balik tembok untuk
mengetahui apa hukuman yang akan diterima moay-moaynya.
Lie Chung Yen mengetahui hal ini, tapi tak apa pun dibuatnya. Ia tak pernah tega
menghukum Siu Yin. Anak itu penurut. Kalau tidak karena Ching-ching, tentu tak
akan berbuat nakal. Sifatnya lembut, dibentak sedikit saja air matanya mengalir
tak terhenti. Melihat anak itu menangis, Chung Yen selalu teringat akan pesan
soe-hengnya (kakak seperguruan laki-laki) yang terakhir untuk menjaga Siu Yin.
Ching-ching memandang kepergian piauw-cienya dengan lega. Rasanya ia tabah
menerima hukuman apa saja asal tak ada Siu Yin di sana. Siu Yin selalu menangis
kalau melihat ia dihukum. Hal ini menyebabkan ia ikut menangis juga. Bukan
karena hukumannya, tapi melihat Siu Yin menangis, siapa pun akan teriris
hatinya. Lie Chung Yen menggendong anaknya dengan sayang. Ching-ching melingkarkan tangan
ke leher ayahnya. Ia tahu sekalipun sering dihukum, itu adalah karena salahnya
sendiri, bukan karena Thia tidak sayang padanya. Ibunya pernah mengatakan bahwa
justeru karena sayang maka ia dihukum.
"Kenapa Yin Cie-cie tak pernah dihukum?" tanya Ching-ching waktu itu. "Apakah
Thia-thia tak sayang padanya?"
"Yin Cie-cie itu anak penurut. Kalau tidak karena kamu, mana mau ia melanggar
kata-kata thia-thiamu," jawab ibunya sambil tertawa.
Lie Chung Yen membawa anaknya ke ruang baca. Ada suara langkah kaki-kaki kecil
di belakangnya. Namun, berlagak tidak mendengar, ia berjalan terus.
"Berlutut!" perintah Chung Yen pada anaknya begitu sampai di ruang baca. "Jangan
berdiri sebelum kuijinkan."
Ching-ching menurut walaupun ia tahu bahwa hukuman berlutut akan berlanjut.
Paling tidak sampai matahari terbenam nanti.
Di luar Siu Yin berlari-lari menjauh. Dengan pandangan kabur karena air mata, ia
mencari siok-bonya (bibi) untuk minta ampunan bagi Ching-ching walaupun biasanya
Lie Chung Yen tetap pada pendiriannya.
"Tahu apa kesalahanmu?" tanya Chung Yen pada anaknya.
Ching-ching mengangguk. "Karena main ke sungai kecil, melanggar larangan
Thia-thia," jawabnya.
"Tahu kesalahanmu yang lain?"
Ching-ching menggeleng. Ia mengerutkan kening, berpikir.
"Kau nyaris mencelakakan cie-ciemu. Kau tahu?" Chung Yen menghela napas.
"Ching-ching, dalam setiap perbuatanmu, jangan sampai kau mencelakakan orang
lain, mengerti?" Dalam usianya yang enam tahun, Ching-ching sulit mencerna kata-kata ayahnya.
Tapi dengan pikiran anak-anaknya, ia dapat mengerti inti kalimat itu.
"Oh ya," kata ayahnya lagi. "Meng Sian-seng bilang kau sulit konsentrasi pada
pelajaranmu. Katanya, kau lebih tertarik pada murid-murid yang sedang berlatih.
Betul begitu?" Ching-ching mengangguk lagi.
Ching Ching 4 "Kau mau belajar silat?" tanya Chung Yen lagi.
Ching-ching menatap ayahnya tak percaya. Ia membelalak dengan pandangan
bertanya. Ketika ia lihat ayahnya mengangguk dengan wajah sungguh, barulah ia
menjawab. "Tentu mau, Thia-thia," katanya bersemangat.
"Sebetulnya kau terlalu kecil untuk itu," gumam ayahnya pelan. "Baiklah. Kau
boleh belajar silat, tetapi dengan satu syarat."
"Apa syaratnya, Thia?"
"Kau harus bisa membagi antara pelajaran silat dengan apa-apa yang diajarkan
Meng Sian-seng. Kau tak boleh meninggalkan salah satunya. Kau sanggup?"
"Sanggup, Thia."
"Mau berjanji?"
"Tentu." "Seorang pendekar selalu menepati janji," kata Chung Yen. "Kalau pelajaranmu
minggu ini baik, Thia-thia akan mengajarimu silat minggu depan."
Lie Chung Yen bangkit. Ia melangkah keluar. Ching-ching masih harus menjalani
hukumannya. Namun, anak itu tidak lagi peduli. Yang ada di otaknya hanyalah
silat dan silat. Ia akan menjadi sehebat ayahnya kelak. Mungkin ia akan
mendirikan perguruan sendiri. Atau meneruskan perguruan ayahnya. Ah, hebat
sekali nampaknya. Lie Chung Yen tersenyum melihat anaknya begitu bersemangat. Namun ia tahu,
Ching-ching cepat sekali bosan akan sesuatu. Mungkin nantinya ia akan menganggap
pelajaran lebih menyenangkan daripada silat sebab berlatih silat, selain teori,
dibutuhkan pula kesabaran dan ketekunan. Apalagi pada tingkat permulaan.
Pelan-pelan Chung Yen meninggalkan kamar itu.
Di luar, Han Mei Lin menghampiri. "Suamiku, apa lagi yang dibuat anak kita hari
ini?" tanyanya. "Ia main ke sungai kecil dan hampir-hampir mencelakakan Siu Yin."
"Ooo, pantas barusan Siu Yin berkali-kali menyalahkan dirinya atas hukuman
Ching-ching." "Siu Yin bercerita kepadamu?"
"Ya, ia mencariku supaya memintakan ampunan bagi Ching-ching. Tapi ceritanya
terputus-putus, sehingga aku hanya dapat mengira-ngita saja apa yang terjadi."
"Dia lakukan itu" Padahal aku menyuruhnya tinggal di kamar. Ah, rupanya ia juga
ketularan bandelnya Ching-ching."
Istrinya tertawa. "Melihat mereka berdua, aku ingat akan kau dan soe-hengmu
selagi muda. Kalian begitu akur. Semua pekerjaan dikerjakan bersama,
susah-senang ditanggung berdua. Padahal sifat kalian berbeda sekali. Sekarang
Ching-ching mewarisi kenakalan ayahnya. Itu bukan salahnya."
Chung Yen tersenyum. Sewaktu kecil ia memang sebandel anaknya. Lebih malah.
Karena itu ia sering dihukum oleh gurunya. Dan tiap kali ia dihukum,
soe-hengnya, ayah Lan Siu Yin, menemani sekalipun kesalahan jelas-jelas ada
padanya. Sayang, sekarang Lan Man Fung sudah tiada. Tapi ia menitipkan Siu Yin padanya.
Maka dari itu, ketika mendengar Siu Yin hampir celaka, ia menjadi gusar. Dalam
pikirnya, andaikan Siu Yin tidak tertolong, entah bagaimana ia menghadap
soe-hengnya kelak. Chung Yen menghela napas. "Lin-moay, aku ada urusan sedikit. Aku harus pergi ke
pertemuan para pendekar. Barangkali baru besok pagi bisa pulang. Ching-ching ada
di dalam. Begitu aku pergi, boleh kau lepaskan dia."
Han Mei Lin mengantar suaminya keluar. Lalu ia pergi mendapati anaknya yang
Ching Ching 5 masih berlutut di ruang baca. "Ching-ching," panggilnya.
Ching-ching menoleh. "Nio (Ibu)!"
"Ching-ching, apa yang kau buat hingga Thia-thia menghukummu?"
"Aku mengajak Yin Cie-cie ke sungai kecil untuk menangkap ikan. Waktu dapat ikan
besar, tiba-tiba saja terpeleset. Yin Cie-cie mau menolong, tapi ikut
tergelincir dan tercebur ke sungai."
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ching-ching, kalau cuma menangkap ikan, buat apa jauh-jauh. Di kolam belakang
kan ada. Lebih besar dan gemuk pula."
"Ikan-ikan di kolam itu gemuk dan lamban, Nio. Menangkapnya terlalu mudah. Di
sungai kecil ikannya langsing dan gesit. Biarpun lebih sulit, tapi lebih
menyenangkan." "Baiklah, baiklah," ibunya mengakui. "Sekarang bangkitlah. Ini waktumu belajar,
bukan" Hayo, jangan biarkan Sian-seng menunggu terlalu lama."
"Tidak, Nio, aku tidak boleh berdiri sampai Thia-thia mengijinkan."
"Thia-thia sudah mengampunimu. Ia sudah katakan pada Nio untuk melepaskanmu."
"Tapi ... tapi ...."
"Kenapa" Kau tidak percaya pada Nio?"
"Bukan, bukan begitu," jawab Ching-ching buru-buru. "Tentu saja aku percaya pada
Nio. Tapi orang yang berbuat salah mesti dihukum. Dan hukuman itu harus sesuai
kesalahan. Kalau Thia-thia bilang berlutut, aku akan berlutut sampai Thia-thia
ijinkan Ching-ching berdiri."
Han Mei Lin menatap dalam-dalam mata anaknya. "Ini bukan akalmu untuk menghindar
dari pelajaran, bukan?" katanya curiga.
"Nio, kalau Nio tidak percaya, biarlah Meng Sian-seng mengajar di kamar baca ini
supaya aku bisa ikut belajar."
"Ching-ching, kau benar-benar tidak akan berdiri sebelum thia-thiamu pulang"
Mungkin thia-thiamu pulang esok pagi, apakah kau tahan?"
Ching-ching mengangguk tegas. Paling-paling kakinya pegal-pegal nantinya.
Ibunya pun tidak dapat lagi membujuk anaknya. "Kau betul-betul keras kepala
seperti ayahmu," gumamnya. "Baiklah, biar Nio panggil Meng Sian-seng supaya
mengajar di sini." Siang itu Meng Sian-seng boleh bergembira. Lie Mei Ching menjadi anak terbaik
yang pernah dilihatnya. Sekalipun sambil berlutut sekian lama, anak itu dapat
belajar dengan baik. Sekali dengar saja, apa yang dikatakan gurunya dapat
diulangi dengan tepat. Siu Yin yang belajar bersamanya pun merasa senang. Kalau tiap hari Ching-ching
seperti hari ini, tentu piauw-moaynya itu tak akan lagi dihukum dan mereka dapat
bermain bersama seharian.
Sampai malam menjelang, Ching-ching tak bergeser dari tempatnya. Ia menolak
ketika ibunya datang membujuk untuk tidur di kamarnya. Padahal, saat itu rasa
kantuk sudah menyerang Ching-ching. Tak berapa lama ia pun tertidur dalam
keadaan berlutut hingga tak tahu ketika ibunya datang menyelimuti dan meniup
padam lilin. Pagi-pagi keesokan harinya Ching-ching merasa seluruh tubuhnya pegal dan kaku,
tapi ia tak merasakan apa-apa pada kakinya. Dan ketika ia membuka mata, ternyata
thia-thianya sedang duduk membaca.
"Thia-thia," panggilnya, "kapan Thia-thia pulang?"
"Baru saja," jawab ayahnya tersenyum. Ching-ching, kau tidak turuti kata ibumu
kemarin." "Kemarin aku tidak ke mana-mana, Thia. Sungguh. Bahkan belajar dan makan pun,
Ching Ching 6 aku berlutut," Ching-ching cepat membela diri.
"Thia-thia tahu, tapi bukankah ibumu menyuruhmu berdiri kemarin?"
"Tapi ... Thia-thia bilang .... "
"Sudahlah, sekarang kau boleh berdiri."
Ching-ching mencoba berdiri. Dirasanya kakinya sakit sekali. Bertumpu pada meja
di dekatnya, ia berhasil berdiri. Namun, kakinya seolah tidak menapak tanah. Ia
pun terjatuh. Sebelum tubuh anaknya menyentuh lantai, Lie Chung Yen sudah melompat dan
menyambar. Sebelum disadari oleh Ching-ching, gadis itu sudah berada dalam
gendongan ayahnya. "Kakimu sakit sekali, bukan" Tapi tak apa. Besok pagi kau akan pulih kembali.
Anggap saja sebagai latihan permulaan perlajaran silatmu. Dan hari ini kau boleh
beristirahat seharian di kamar."
"Tidak usah belajar?" tanya Ching-ching.
"Senang, ya, tidak usah belajar?" kata Chung Yen sambil memijit hidung gadis
ciliknya. Ching-ching tertawa dan menyandarkan kepala di pundak ayahnya.
Ching-ching sudah memulai pelajaran silatnya. Kini ia tak pernah bermain ke luar
rumah. Setiap ada kesempatan, ia berlatih silat. Pada permulaannya ia dan Siu
Yin belajar bersama-sama. Tapi Siu Yin yang lembut tidak menyukai
latihan-latihan yang berat. Padahal waktu itu mereka baru mempelajari kuda-kuda.
Tapi Ching-ching bertahan. Ia memang bosan belajar memperko-koh kuda-kuda yang
mengesalkan. Kaki direntang, lutut ditekuk hingga paha lurus. Punggung dan
kepala tegak. Lengan dan siku tegak lurus. Siku menempel di pinggang. Tangan
mengepal. Dan ia harus berdirid dengan sikap demikian berjam-jam.
Bagi gadis cilik yang lincah itu, latihan demikian amatlah berat. Dia yang
biasanya tak pernah diam, kini harus tegak bagai batu dengan konsentrasi penuh.
Kadang-kadang Ching-ching meminta murid ayahnya untuk mengawasi atau melatih,
tapi murid pemula ayahnya yang berumur antara 12-17 tahun malah lebih sering
menggoda. Untunglah dengan kebulatan tekadnya, dengan cepat Ching-ching dapat
menguasai kuda-kuda yang ko-koh.
Bahkan ia sudah dapat menguasai pukulan-pukulan yang berbahaya dalam waktu
singkat. Walaupun pukulan-pukulan itu tidak dibarengi lwee-kang (tenaga dalam),
tetapi sudah cukup terarah.
Bebareng dengan itu kemajuannya dalam pelajaran cukup pesat. Hampir-hampir
melampaui piauw-cienya yang rajin. Hal ini membuat Meng Sian-seng menyayanginya
dan guru itu dengan senang hati menuruti beberapa permintaan Ching-ching.
Misalnya melukis wajah Ching-ching, mengajarnya bermain suling dan memetik khim
(kecapi), dan kadang-kadang membebaskan muridnya dari pelajaran dengan bercerita
tentang pendekar-pendekar masa lampau.
Tetapi kehidupan demikian lama-lama membuat jenuh. Seperti hari ini, kebandelan
Ching-ching nampak kembali.
"Sian-seng, hari ini tak usah belajar sajalah."
"Baik, kalau begitu aku akan bercerita tentang pendekar - "
"Hari ini aku tak berminat mendengarkan cerita," potong Ching-ching cepat-cepat.
"Sian-seng, hari ini aku ingin bermain-main di luar. Boleh, ya?"
Meng Sian-seng ragu-ragu. Semalam ia keasyikan membaca buku sampai larut
sehingga hari ini merasa tidak bersemangat. Kalau ia dapat tidur sejenak,
barangkali akan lebih segar ketika bangun nanti.
"Baiklah," katanya kemudian. "Tapi jangan lama-lama. Setelah bermain nanti,
kalian harus belajar lagi."
Ching Ching 7 Ching-ching dan Siu Yin berlari keluar.
"Ching-moay," kata Siu Yin, "akan main apa kita sekarang?"
"Tidak tahu," jawab Ching-ching. "Aku akan berlatih silat saja, ah."
Ching-ching menggerakkan tangan dan kaki seperti yang diajarkan ayahnya. Siu Yin
memandangnya dengan kagum.
"Siauw-sio-cia (Nona Kecil), latihanmu sungguh baik," seseorang tiba-tiba
berkata. Ialah Sie Ling Tan, salah satu murid Pek-eng-pay (Partai Elang Putih)
pimpinan Lie Chung Yen, yang cukup berbakat, berumur 12 tahun.
"Tan Ko-ko (Abang Tan)," sapa Ching-ching. "Tumben kau tidak berlatih, biasanya
paling rajin." "Siauw-sio-cia, aku mau menghadiahkan ini pada Toasiocia (Nona Besar)," kata
Ling Tan sambil menyodorkan beberapa kuntum bunga kepada Siu Yin.
"Terima kasih," kata Siu Yin lirih.
"Untukku mana?" tanya Ching-ching.
"Siauw-sio-cia, aku tak tahu kau suka bunga juga."
"Memang tidak. Tapi kalau Yin Cie-cie diberi, aku juga mau."
"Wah, aku tidak membawa. Aku hanya sempat memetik selembar daun ini saja."
"Daun" Aku tak mau daun," Ching-ching cemberut, merajuk.
"Tapi daun ini istimewa."
"Apa istimewanya" Daun di mana-mana juga sama."
"Yang ini lain. Lihat!" Ling Tan membawa daun kecil itu ke mulutnya. Terdengar
suatu siulan merdu. Ling Tan menyiulkan lagu yang gembira. Siu Yin dan
Ching-ching bertepuk tangan.
"Tan Ko-ko, ajari aku, ajari aku," pinta Ching-ching.
"Bukankah kau cuma ingin bunga" Biar kucarikan," kata Ling Tan. Anak laki-laki
itu berbalik. Ching-ching menarik bajunya. "Tan Ko-ko, jangan begitu. Kau tahu aku tak peduli
pada bunga." Ling Tan tersenyum. Sekali lagi suatu siulan terdengar.
"Biar kucoba," kata Ching-ching. Pfff, pfff. Ia meniup-niup, namun tak berhasil.
"Marilah kuajari." Ling Tan membeli contoh. "Lihat, jepit ujung-ujung daun ini
dengan telunjuk dan jempol. Lalu pegang di depan bibir, melintang. Tiup begini
...." Ching-ching mencoba berkali-kali. Setelah beberapa lama, sebuah siulan sumbang
berhasil keluar. "Huh, daunnya sudah jelek," katanya. "Tan Ko-ko, di mana kau
dapatkan daun ini. Aku ingin juga memetiknya banyak-banyak."
"Di hutan kecil," jawab Ling Tan.
"Antar aku ke sana!" kata Ching-ching bersemangat.
"Ching-moay, jangan," cegah Siu Yin. "Kita tak boleh main lama-lama. Kalau Lie
Siok-siok tahu kita tak belajar, bisa-bisa diomeli."
"Tidak apa-apa," Ching-ching bersikeras. "Sudah lama aku tidak diomeli. Kalau
sekarang mesti diomeli, ya tak apa."
"Tan Ko-ko," Siu Yin ganti memohon pula pada Ling Tan. "Jangan bawa Ching-moay
main jauh-jauh." "Siauw-sio-cia," kata Ling Tan, "kau tunggulah di sini. Biar kuambilkan beberapa
lembar untukmu." "Tidak mau, aku mau ambil sendiri."
"Kau kan tidak tahu tempatnya."
"Karena itu Tan Ko-ko harus tunjukkan padaku."
Ling Tan berdiri dengan bingung di tempatnya.
Ching Ching 8 Melihat itu, Ching-ching jadi kesal. "Kalau begitu biar kucari sendiri."
"Eh, kau bisa tersesat, Siauw-sio-cia."
"Makanya kau antar aku."
Ling Tan terpaksa menuruti kehendak Ching-ching. Siu Yin ragu-ragu sejenak. Tapi
akhirnya ia ikut juga. Di hutan kecil, Ling Tan menunjukkan tempat daun itu tumbuh. Ia juga memilihkan
bagi Siu Yin dan Ching-ching. Berlatih beberapa kali, Ching-ching sudah dapat
meniup dengan betul. Sementara Siu Yin sedari tadi sudah menyerah.
"Tan Ko-ko, ajari aku lagu yang lucu," pinta Ching-ching.
Ling Tan mengajarinya sebuah lagu riang. Mendengar sekali saja Ching-ching sudah
dapat mengikuti. "Lagunya bagus," kata Siu Yin yang memang menyukai musik. "Siapa yang
mengajari?" "Kukarang sendiri," kawab Ling Tan bangga. "Tapi Toa-sio-cia jangan bilang
kawan-kawanku, ya. Bisa-bisa aku ditertawakan."
Siu Yin tersenyum, memandang kagum. Anak sekecil ini bisa mengarang lagu" Hebat
betul. "Tan Ko-ko, tolong petikkan beberapa helai daun di dahan yang tinggi itu!" kata
Ching-ching. Ling Tan bangkit membantu. "Banyak amat, Siauw-sio-cia. Untuk apa?"
"Untuk persediaan. Supaya aku tak perlu bolak-balik kalau mau memainkan daun
ini. Ling Tan tertawa. "Siauw-sio-cia, asal kau tahu saja, daun yang sudah layu tak
bisa lagi dimainkan."
"Kenapa?" "Karena daun yang layu itu lemas. Kalau ditiup, getarannya tidak pas, maka tak
dapat mengeluarkan bunyi."
"Kalau begitu daun ini kutanam saja di kebun di rumah."
"Mana bisa daun ditanam?" Siu Yin menyela.
"Habis bagaimana?" Ching-ching balas bertanya.
"Siauw-sio-cia, kalau mau menanam, ambil saja tumbuhan yang masih kecil." Seraya
berkata demikian, Ling Tan mencabut tanaman yang masih kecil. "Tapi kau harus
menunggu cukup lama untuk mencabuti daunnya.
"Nah, aku sudah puas memetiknya. Ayo kita pulang sekarang."
"Baiklah." Mereka melangkah pulang. "A-hoa, A-hoa!" Tiba-tiba terdengar suara keras menggema.
Ketiga anak kecil itu berhenti mendadak. Dari kejauhan di balik pepohonan tampak
bayangan yang cepat sekali mendekat. Tiba-tiba saja di depan mereka telah
berdiri seorang laki-laki berumur 40-an yang tinggi besar. Rambut orang itu
acak-acakan. Kumis dan jenggotnya lebat. Alisnya tebal dan ia membawa pedang
besar di punggunggnya. Siu Yin gemetar ketakutan. Ia merapatkan diri pada Ling Tan. Ching-ching
sebaliknya dari takut, malah maju menghampiri orang itu dan memperhatikan dari
dekat. "A-hoa, ayo pulang," kata orang itu seraya menarik lengan Ching-ching.
"Aku bukan A-hoa," kata gadis cilik itu. "Namaku Lie Mei Ching."
"Kau bukan A-hoa" Tidak, kau pasti A-hoa anakku. A-hoa, pulanglah. Ibumu sudah
lama menanti di rumah."
Ching-ching mulai ketakutan. Ia menoleh pada Ling Tan. Anak laki-laki itu tak
Ching Ching 9 tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi ketika orang aneh itu menggendong
Ching-ching, ia segera menyerang bertubi-tubi.
Ching-ching juga tak tinggal diam. Ia berontak, memukul, menendang, menggigit,
tapi seolah tak dirasakan orang itu. Sementara Ling Tan sudah dibikin
jungkir-balik beberapa kali. Kemudian dengan satu gebrakan saja anak itu
tergolek pingsan. Siu Yin yang sedari tadi ketakutan menjadi panik. Sambil menangis ia menghampiri
orang aneh itu. "Lo-peh (Paman Tua), lepaskanlah Ching-moay. Aku mohon padamu,
lepaskanlah piauw-moayku."
"Huh" Siapa piauw-moaymu" A-hoa bukan piauw-moaymu. A-hoa anakku. Dan akan
kubawa pulang sekarang." Laki-laki itu melesat pergi.
"Ching-moay!" Siu Yin menjerit memanggil.
"Yin Cie-cie! Yin Cie-cie, tolong aku!" Dalam gendongan orang itu, Ching-ching
pun menangis menjerit-jerit. Tapi ia dibawa pergi cepat, cepat sekali. Sebentar
saja Siu Yin tak dapat melihatnya lagi.
Siu Yin jatuh terduduk di tanah. Ia masih menangis memanggil-manggil nama piauw-
moaynya. Beberapa saat kemudian pandangannya menjadi kabur. Pepohonan di
sekitarnya nampak berputar. Siu Yin ketakutan. Sekali lagi ia memanggil nama
Ching-ching lalu pingsan di samping Ling Tan.
Meng Sian-seng terjaga dari tidurnya. Ia bermimpi seram sekali. Ada siluman
hijau membawa Ching-ching pergi. Dan siluman itu ingin menghisap darah Meng
Sian-seng juga. Tanpa terasa ia bergidik ngeri. Namun hatinya merasa kuatir. Entah sudah berapa
lama ia tertidur. Ching-ching dan Siu Yin tidak membangunkannya. Ia memandang ke
luar jendela. Hari sudah gelap. Astaga! Rupanya ia tertidur berjam-jam. Pantas
saja mimpinya seram. Meng Sian-seng melangkah ke luar kamar. Di kebun dilihatnya Lie Hoe-jin (Nyonya
Lie) menatap ke kejauhan.
"Ah, Meng Sian-seng. Hari ini mengajar lama sekali. Apakah tidak lelah"
Bagaimana Ching-ching" Tidak bosankah ia?"
Muka Meng Sian-seng memerah. Ia seolah disindir. Tapi jawabnya, "Ching-ching
baik. Ia belajar rajin."
"Ah, ya. Sejak ayahnya bersedia mengajari silat, ia menjadi anak yang patuh,
bukan?" "Ya." Kedua orang itu terdiam. Tak tahu apa lagi yang harus dibicarakan.
"Soe-nio (Istri guru)," tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka.
Keduanya menoleh dan terkejut. Ling Tan membopong Siu Yin yang masih pingsan.
Siu Yin sendiri tampaknya tidak apa-apa, tapi anak laki-laki itu kelihatan memar
di sekujur tubuhnya. "Astaga, Ling Tan! Kenapa?" Han Mei Lin menghampiri. "A-hung," katanya pada
pelayan, "bawa Toa-sio-cia ke kamarnya! Ling Tan, kau ikut aku ke kamar obat."
Ling Tan mengikuti soe-nionya dari belakang. Di depan kamar obat mereka
berpapasan dengan Lie Chung Yen.
"Ling Tan, kenapa mukamu" Berkelahi dengan saudara seperguruanmu?"
"Suamiku, biarlah luka-lukanya diobati dulu, baru kau tanyakan sebab-sebabnya.
Tadi ia pulang membawa Siu Yin yang pingsan."
"Bagaimana Siu Yin?" tanya Chung Ten pada istrinya yang mulai mengobati Ling
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tan. "Tidak apa-apa, cuma pingsan."
Ching Ching 10 "Ching-ching?" "Bukankah ada di kamar belajar?"
"Tadi kutengok ke sana, tidak ada siapa pun."
"Di kamar baca?"
"Aku malah baru dari sana. Tidakkah Ching-ching pulang bersama Siu Yin" Biasanya
kedua anak itu bermain bersama."
"Soe-hoe (Guru)," Ling Tan berkata sambil menangis. "Siauw-sio-cia ...
Siauw-sio-cia dibawa kabur orang!"
"Dibawa kabur?" Chung Yen dan istrinya membelalak terkejut. "Apa maksudmu?"
Tersendat-sendat Ling Tan menceritakan segala yang terjadi di hutan kecil. Han
Mei Lin hampir-hampir pingsan ketika mendengar semua itu. Untung ia masih dapat
menguasai perasaannya. Sekalipun demikian, sedu-sedan tak dapat ditahannya.
Chung Yen sendiri terpekur beberapa saat. "Aku akan mencari Ching-ching,"
katanya dengan suara bergetar. "Biar kubawa beberapa orang murid. Mudah-mudahan
ia selamat. Mendengar cerita Ling Tan, kelihatannya orang asing itu tidak
bermaksud jahat." Chung Yen menghela napas. "Lin-jie, kau uruslah Siu Yin dan
Ling Tan aku pergi dulu."
Lie Chung Yen membawa murid-muridnya mencari Ching-ching. Bukan saja hutan kecil
yang mereka jelajahi, tetapi juga sampai ke pelosok-pelosok desa di sekitar
tempat itu. Berhari-hari mereka mencari, namun jejaknya saja pun tidak
diketemukan. Pada hari kedua belas, Lie Chung Yen memutuskan untuk pulang sekalipun dengan
hati remuk. Ia tak mau memikirkan diri sendiri. Masih banyak tugas yang harus ia
lakukan. Pek-eng-pay tak boleh terbengkalai. Apalagi ia masih harus bertanggung
jawab atas Siu Yin. Karena itu ia merelakan Ching-ching walaupun dalam hati ia
menjerit. Ching-ching dibawa orang aneh itu dengan cepat, melewati hutan dan gunung.
Saking cepatnya, Ching-ching tak dapat melihat apa yang dilewati. Hanya
samar-samar saja sesekali ia mengenali batang-batang pohon yang berjajar.
Kadang-kadang mereka bermalam di tepi sungai. Pada saat-saat demikian,
Ching-ching boleh makan ikan sepuasnya. Bila melewati hutan, orang itu menangkap
ayam liar atau burung untuk dipanggang. Rasanya lezat. Ching-ching belum pernah
makan makanan seperti itu di rumahnya.
Setelah beberapa hari, Ching-ching tidak takut lagi pada orang itu. Ia malah
senang dibawa menjelajahi hutan-hutan sekalipun kadang-kadang menangis bila
teringat orang tua dan piauw-cienya. Namun, orang aneh di sampingnya selalu
menghibur. Dari percakapannya, Ching-ching mengerti kalau orang itu menganggapnya sebagai
anak. Entah apa sebabnya. Orang itu pun menyuruh Ching-ching memanggil A-thia
kepadanya. Meskipun heran, Ching-ching menurut. Ia tak mempedulikan panggilan.
Yang penting orang itu baik kepadanya, ia tak keberatan disuruh panggil apa
saja. Malam itu mereka berhenti di sebuah hutan. Hari itu hari kesembilan. Mereka
membakar seekor ayam hutan yang ditangkap sore harinya.
"A-hoa," kata orang itu. "Ini ayamnya sudah matang. Nih, kau ambillah pahanya
yang berdaging empuk."
Ching-ching mengambil daging yang disodorkan. Ditiup-tiupnya sebentar, lalu
digigit sedikit-sedikit. Selesai makan, mereka berbaring berdampingan, menatap
bintang yang bertebaran di langit.
"A-thia," panggil Ching-ching takut-takut.
Ching Ching 11 "Hmmm," jawab yang dipanggil tanpa berpaling dari bintang yang tergantung jauh
di sana. "A-thia, sudah berhari-hari kita berjalan. Ke manakah tujuannya?"
"Anak tolol, tentu saja pulang menemui ibumu!"
"Pulang ke mana?"
"Ke puncak Gunung Leng-yi. Kau lupa" Kita dulu hidup bersama-sama di sana. Ah,
tentu saja kau lupa. Kan sudah lama sekali kau tidak pulang ke rumah."
"A-thia," kata Ching-ching lagi. "Jauhkah Leng-yi-san dari sini?"
"Tidak, tidak jauh lagi. Dari sini pun kau sudah dapat melihatnya. Tuh, kau
lihat bayangan hitam yang besar di sana" Itulah Leng-yi-san."
"Berapa hari perjalanankah untuk sampai di sana, A-thia?"
"Paling-paling tiga hari lagi kau sudah dapat bertemu ibumu. Sudahlah, sudah
malam. Kau tidurlah. Jangan bertanya-tanya lagi."
Tak berapa lama a-thianya sudah mendengkur, Ching-ching masih belum tidur. Ia
memikirkan tentang dirinya. Entah apa lagi yang akan terjadi nanti.
Sedang apa, ya, Yin Cie-cie sekarang" Pasti sudah meringkuk di bawah selimut.
Nio mungkin sedang menyulam, sementara Thia-thia sedang membaca, pikirnya.
Ching-ching tidak tahu, saat itu thia-thianya sendan mencari ke sana ke mari. Ia
mengira thia-thianya mungkin akan merasa kuatir beberapa hari, tapi tidak selama
itu. Tapi Siu Yin mungkin akan sangat kehilangan dan ibunya akan menghibur
piauw-cienya dengan kasih sayang.
Berpikir hal-hal demikian, Ching-ching merasa rindu akan rumahnya. Tanpa terasa
air matanya mengalir. Ia terisak pelan sampai akhirnya tertidur kelelahan.
Hari kedua telah lewat. Mereka tiba di sebuah desa di kaki Leng-yi-san.
Ching-ching dibawa ke sebuah rumah makan di desa itu. A-thianya segera memesan
macam-macam makanan dan dua guci arak.
"A-hoa, makanlah kenyang-kenyang. Perjalanan ke rumah nanti cukup panjang dan A-
thia tidak akan berhenti di jalan supaya kita bisa sampai di rumah sebelum hari
menjadi gelap." "A-thia, ceritakan padaku, apakah Ibu itu baik orangnya?"
"Tentu saja. Ibumu adalah wanita yang terbaik di dunia. Dulu ibumu adalah
seorang pendekar. Semua orang segan padanya. A-thiamu juga."
Ching-ching mendengarkan sambil sibuk mengunyah makanan. "Kalau begitu Ibu hebat
sekali, ya." "Ya, ia seorang yang baik budi. Banyak orang-orang jahat yang bertobat karena
dia. Karena itu, selain disegani, ibumu juga dihormati dan mempunyai banyak
sahabat yang hebat. Padahal waktu itu ia baru berumur 20 tahun."
"Bagaimana Ibu bertemu dengan A-thia?"
"Waktu itu a-thiamu berumur 25 tahun dan sedang melewati sebuah hutan. Tiba-tiba
terdengar suara senjata beradu. A-thia cepat-cepat mendekat. Di sana A-thia
lihat seorang gadis sedang bertempur melawan seorang nenek jelek - "
"Dan gadis itu adalah Ibu, betulkah?"
"Anak pintar, aku benar. Dia ibumu."
"Bagaimana akhirnya, A-thia?" tanya Ching-ching tak sabar seperti biasanya.
"Siapa yang menang" Ibu atau nenek itu?"
"Tentu saja ibumu. Nenek tua jelek itu seudah terdesak. Tapi, dasar nenek licik,
pada saat hampir mati di ujung pedang, ia lemparkan puluhan jarum beracun ke
arah ibumu. Sekalipun ibumu cukup lihay, namun beberapa jarum beracun itu sempat
menancap di tubuhnya. Dan nenek tua itu kabur. A-thia mencoba menolong ibumu.
Namun racun jarum-jarum itu amat kuat. A-thia tidak dapat mengeluarkan semua
Ching Ching 12 racun. Akibatnya kelihayan ibumu lenyap. Dan sampai sekarang racun-racun itu
masih sering dirasanya."
Ching-ching mengerutkan kening. Setahunya jarum adalah logam tipis yang
digunakan untuk menyulam atau menjahit. Bagaimana bisa berpengaruh begitu hebat"
Ching-ching terkejut ketika A-thia menepuk pundaknya.
"A-hoa, nanti kau harus urus ibumu baik-baik. Jangan bikin sedih hatinya, ya?"
"A-thia jangan kuatir. Aku akan layani Ibu sebaik-baiknya," kata Ching-ching.
"A-hoa, ini, kau minum juga arak, temani A-thia minum."
Ching-ching membelalak. Minum arak" Apa boleh" Ibunya bilang, anak kecil tidak
boleh minum arak. Apalagi perempuan. Karenanya Ching-ching diam saja.
"Ayo minum. A-thiamu jago minum. Anaknya pun harus begitu juga."
Ragu-ragu Ching-ching mengambil cawan araknya yang penuh terisi.
"Jangan ragu," kata a-thianya. "Lihatlah a-thiamu." Sekali teguk, cawan araknya
sudah licin. Ching-ching tak ragu lagi. Sambil memejamkan mata, ia menghabiskan isi cawannya.
"Bagaimana" Enak bukan?"
Ching-ching bersiap untuk mengangguk. Tetapi tiba-tiba saja lehernya terasa
panas. "Aduh, aduh, panas," keluhnya.
"Anak bodoh, masa sebegitu saja kepanasan" Nih, minum lagi."
Ching-ching tak berani menolak walaupun setiap menghabiskan satu cawan,
kepalanya terasa semakin berat. Akhirnya ia tak tahan lagi. Belum habis setengah
guci, kepalanya sudah terkulai lemas. Tak didengar a-thianya berkata,
"A-hoa, bukan maksud A-thia memaksamu minum arak. Tapi perjalanan ke puncak
Leng-yi-san masih jauh dan dingin hawanya. Arak itu akan membuatmu pulas dan
tubuhmu akan terasa hangat. Dengan demikian A-thia akan lebih leluasa
membawamu." Dan orang itu memondong Ching-ching di pundaknya. Setelah membayar, ia melesat
pergi dengan sangat cepat diiringi pandangan kagum orang-orang di kedai itu.
Ching-ching membuka mata. Ia mendapati dirinya tidur di sebuah kamar yang
sederhana. Kamar itu dikelilingi tembok batu yang disusun rapi berjajar. Di sana
terdapat sebuah ranjang dari batu yang sedang ia tiduri. Ada juga sebuah meja
dan empat kursi. Semuanya dari batu.
Ching-ching mencoba untuk duduk. Uh, kepalanya masih puyeng. Ia bersandar ke
dinding. Ih, dingin betul dinding itu. Tapi kok ranjangnya hangat"
Dilongoknya kolong tempat tidur. Oh, pantas. Di bawah tempat tidur itu terdapat
pendiangan dan apinya dinyalakan.
Ia melompat turun dari tempat tidur. Barangkali di luar A-thia menunggunya. Tapi
begitu turun dari tempat tidur dirasanya dingin yang luar biasa. Merasuk sampai
ke tulang. Bibirnya gemetar. Badannya menggigil dan giginya saling beradu
menimbulkan suara bergemerutuk.
Ia cepat-cepat kembali ke ranjang dan duduk di sana. Nah, sekarang sudah
mendingan! Tapi Ching-ching tidak berani turun lagi, takut kalau-kalau ia beku
kedinginan. Karenanya ia duduk saja termenung di tempat tidur.
Tapi tak berapa lama, ia kedinginan juga. Sekalipun tempat tidurnya hangat, tapi
tak dapat mengusir dinginnya hawa di kamar itu. Ching-ching meringkuk di sudut.
Beberapa kali ia bersin-bersin. Hidungnya mampat dan matanya berair.
Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka orang. Seorang wanita melangkah masuk sambil
membawa dua buah baki. Baki yang satu berisi mangkuk, di atas baki yang lain
terdapat sesuatu yang kelihatannya seperti kulit binatang berbulu tebal.
Ching-ching memandang wanita itu dengan mata terbelalak. Cantik sekali wanita
Ching Ching 13 ini! Jauh lebih cantik daripada ibunya sendiri yang selama ini diketahuinya
sebagai wanita tercantik yang pernah ia lihat. Sekarang, di hadapannya tiba-tiba
ada yang lebih jelita. Ching-ching menjadi kagum. Ia bahkan tak berkedip karena
takut. Kalau-kalau wanita itu hanya bayangan dan akan menghilang begitu matanya
dikedipkan. Melihat Ching-ching yang terbengong-bengong, wanita itu merasa geli dan
tersenyum. "Kenapa" Adakah sesuatu yang menakutkanmu pada diriku?"
Ching-ching memandang wanita itu dari ubun-ubun sampai ke kaki. Wajahnya bulat
telur, hidungnya mancung, alisnya terbentuk indah, matanya bening, bibirnya
mungil, merah sekalipun tanpa gincu, kulitnya putih halus bagai pualam. Ada
sesuatu yang membuat Ching-ching merasa aneh. Sesuatu yang membedakan dari
wanita-wanita lainnya. Tapi tidak ada sesuatu yang menakutkan. Karenanya
Ching-ching menggeleng. "Tidak, rasanya tidak ada yang perlu kutakuti."
"Lalu kenapa kau melihatku seperti itu?"
Ching-ching segera menjawab, "Karena aku belum pernah melihat orang lain yang
secantik ... secantik ...." Sejenak Ching-ching bingung hendak menyebut apa dia
pada wanita itu. Menilik umurnya, paling-paling yak beda jauh dengan ibunya. Mau
panggil nyonya, bagaimana kalau ternyata belum menikah. Mau panggil nona,
rasanya tidak pantas. "Secantik apa?" tanya wanita itu tersenyum.
"Secantik Kouw-kouw (Bibi)," kata Ching-ching.
"Ah, gadis cilik, rupanya kau pandai mengambil hati pada orang lain."
"Sungguh, aku tidak bohong," sanggah Ching-ching.
"Sudahlah. Ini kubawakan sop dan baju untukmu. Kau kedinginan, bukan?"
Saat itu Ching-ching merasakan lagi hawa dingin di kamarnya. Padahal waktu
bercakap-cakap sebentar tadi hawa dingin itu tidak terasa.
"Ini, pakai dulu," kata wanita itu seraya menyodorkan pakaian di atas baki.
Ching-ching mengambilnya dan meraba-raba baju dari kulit binatang itu dengan
heran. Setahunya pakaian biasa dibuat dari kain, bukan dari bulu.
"Ayo pakai!" desak wanita itu lagi. "Nanti kau beku karena kedinginan." Dan ia
membantu Ching-ching mengenakannya sebagai baju luar. "Nah, sekarang makanlah
sop ini supaya badanmu hangat terus."
Ching-ching menurut. Dihirupnya sop hangat itu. Lezat sekali dan dari sop yang
mengalir lewat tenggorokan itu sirasanya sesuatu yang menghangatkan. Dari leher,
ke dada, lalu ke perut. Akhirnya seluruh tubuh. Dan ia tidak kedinginan lagi.
"Hmm, enak sekali," katanya memuji. "Kouw-kouwkah yang memasaknya?"
Wanita itu mengangguk. "Kouw-kouw harus mengajarkan aku caranya. Nanti kalau sudah besar, aku juga
ingin membuat sop selezat ini," kata Ching-ching lagi sambil menyodorkan mangkuk
yang telah licin. "Ya, ya, kau boleh belajar nanti," kata wanita itu seraya tertawa dan berjalan
ke pintu." "Kouw-kouw," panggil Ching-ching, teringat sesuatu. "Adakah melihat a-thiaku?"
Wanita itu mengerutkan kening. Lalu tiba-tiba tersenyum. "Ia ada di luar. Kau
mau menemuinya?" Ching-ching melompat dari tempat tidur. "Kouw-kouw mau antarkan aku?"
"Baiklah. Tapi aku harus membawa dulu mangkok ini ke dapur."
Wanita itu menuntun Ching-ching. Bersama mereka pergi keluar kamar. Ching-ching
diajaak melewati beberapa lorong yang pendek namun berbelok-belok. Mereka tiba
di dapur yang tidak terlalu besar, namun rapi dan bersih. Ching-ching menunggu
Ching Ching 14 wanita itu sambil memperhatikan keadaan di luar.
Gumpalan-gumpalan salju mulai turun membuat Ching-ching keheranan. Ini baru
bulan tujuh, bagaimana mungkin turun salju" Untuk memastikannya, Ching-ching
menadahkan tangan menampung gumpalan putih yang berjatuhan itu.
Benar! Salju. Salju di bulan ketujuh! Ching-ching tak habis pikir. Ia termenung
memperhatikan salju yang mulai bertumpuk di tanak.
Tiba-tiba natanya menangkap suatu gerakan. Ada benda putih yang bergoyang-goyang
di sela-sela pagar. Ching-ching mendekat menghampiri. Dan ia mengenali benda
itu. Kelinci. Seekor kelinci putih dengan mata yang merah lucu.
Diulurkannya tangan untuk menangkap. Kelinci itu lari. Ching-ching mengejar.
Sebentar saja ia sudah tertinggal jauh. Kelinci itu berhenti. Seolah menunggu.
Tapi begitu jarak di antara mereka mengecil, ia mulai lari lagi dengan gerakan
yang lincah luar biasa. Ching-ching mulai cape, tetapi ia tak putus asa. Kelinci itu terus dikejarnya,
sekalipun beberapa kali ia sempat terjerembab di atas salju yang lunak.
Lama-lama ia tak tahan lagi. Tanpa peduli akan sekitarnya, ia duduk di atas
tanah berlapis salju itu.
"Kelinci putih, aku tak sanggup lagi, Napasku habis," katanya tersengal-sengal.
Kelinci yang dikejarnya berhenti berlari juga. Ia memandang nona kecil yang
kelelahan itu kemudian maju beberapa tindak, berhenti lagi. Telinganya
bergerak-gerak seolah menanyakan kenapa mereka berhenti bermain.
Ching-ching menjadi gemas. Ia bangkit dan menubruk kelinci itu. Sekali lagi ia
jatuh terjerembab, namun hanya salju yang berhasil ia pegang. Ching-ching
mengejar lagi. "Aku akan menangkapmu, kelinci kecil," katanya penuh tekad.
Tiba-tiba ia berhenti berlari. Seseorang bertubuh tinggi-besar telah terlebih
dulu menghadang dan menangkap kelinci itu.
"A-thia," panggil Ching-ching girang.
"A-hoa, kau takkan bisa mengejar kelinci ini. Larinya jauh lebih cepat darimu,"
kata ayahnya. "Aku tahu," kata anak itu, "tapi aku tak mau menyerah. Aku yakin suatu saat aku
bisa menangkapnya." "Ya, suatu saat, tapi tidak sekarang. Kau harus mempelajari gin-kang (ilmu
mengentengkan badan) dulu, baru dapat menangkap kelinci kumala ini."
"A-thia, ajari aku gin-kang itu."
"A-thia akan ajari mulai besok," kata a-thianya tertawa sambil memberikan
kelinci itu dan menggendong Ching-ching sekalian.
"A-thia, kenapa kelinci ini disebut kelinci kumala?"
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena warnanya putih, bulunya tebal dan halus, larinya sangat cepat. Sulit
bagi orang yang ilmunya tidak tinggi untuk menangkap. Kau tahu, A-hoa, ketika
bermain denganmu barusan, dia sudah berlari sangat-sangat pelan" Oh ya, kau
bertemu ibumu?" Ching-ching menggeleng. "Belum."
"Kalau begitu dari mana kau dapatkan baju ini?"
"Kouw-kouw yang memberikannya padaku."
"Kouw-kouw?" "Iya, Kouw-kouw yang cantik sekali. Itu orangnya." Ching-ching menunjuk wanita
cantik yang bergegas menghampiri. "Kouw-kouw!" serunya. "Lihat, aku punya
kelinci putih yang lucu."
"A-hoa, itu bukan kouw-kouw, itu ibumu."
Ching Ching 15 "Ibu?" "Dia boleh memanggil apa saja padaku," kata wanita itu, yang sudah datang
mendekat. "Tidak bisa. Ia anakmu, maka ia harus memanggil ibu padamu."
Wanita itu terdiam. Ia memandang suaminya dengan sedih.
"A-hoa, ayo panggil ibumu!"
"Ibu," kata Ching-ching tanpa ragu lagi.
"Ha-ha-ha, anak baik, anak baik," a-thianya memuji.
"Sudahlah," kata wanita itu. "Hari mulai gelap, mari kita pulang."
"Baik," jawab suaminya.
Ching-ching telah tidur di kamar batunya. Ia tak tahu ketika ibunya masuk dan
duduk di tepi ranjang, memperhatikan.
"Kau memang mirip A-hoa," gumamnya, teringat akan anaknya. Akan hari-hari yang
pernah mereka lewati bertiga suaminya.
A-hoa memang serupa anak yang dibawa suaminya itu. Tak heran kalau laki-laki itu
salah mengenali orang. Tetapi berbeda dari anak ini, A-hoa adalah seorang
pemalu. Anak itu lemah lembut dan sangat mereka sayangi. Umurnya pun ada selisih
tiga tahun. Hanya saja, ketika tiga tahun lalu anaknya meninggal karena sakit,
umurnya memang sebaya anak ini.
Sejak itu, suaminya jadi seorang yang ada terganggu pikirannya. Suatu waktu ia
tampak normal, tapi di lain saat tiba-tiba berlari turun gunung dan mengatakan
ia akan mencari anaknya yang hilang. Beberapa kali ia pergi dan mengatakan
berjumpa anaknya di jalan. Tapi belum pernah ia culik anak orang lain dan
membawanya pulang. Wanita itu menghela napas. Tak disangka, Chow Han Wei suaminya bisa jadi seorang
yang demikian. Seandainya saja ilmunya tidak hilang, mungkin mereka masih dapat
hidup seperti orang-orang lain. Tak perlu takut akan balas dendam orang lain
sampai harus menyingkir ke gunung.
Ia mengingat kehidupannya sendiri. Mengingat ketika pertama kali pergi dari
negerinya dan melancong ke Tiong-goan dan jatuh cinta pada negeri yang begitu
besar. Dan bagaimana dengan kemahirannya bersilat, ia malang-melintang di dunia
Kang-ouw (dunia persilatan). Dikenal sebagai Sat-kauw-sian-lie (Bidadari
Penjagal Anjing) dikarenakan ia tak tahan melihat kezaliman merajalela.
Sampai akhirnya ia dibokong seorang nenek kejam dengan jarum beracunnya yang
jahat. Kalau tidak ada suaminya yang menolong dan merawat dia, barangkali takkan
sempat ia menikmati dunia lebih lama lagi. Namun, sekalipun nyawanya tak jadi
melayang, ia harus kehilangan ilmunya. Memang ia masih dapat melakukan
gerakan-gerakan silat. Namun, tanpa dibarengi tenaga dalam, silat itu adalah
seperti tarian indah, tidak berbahaya.
"Lung Yin, sungguk jelek nasibmu," katanya pada diri sendiri. Ia menghela napas
kemudian meniup lilin di kamar itu hingga padam.
Ching-ching termenung di depan kamarnya sambil mengelus-elus kelinci kemala.
Sekarang ke mana pun dan secepat apa pun kelinci itu lari, Ching-ching akan
dapat mengejar dan menangkapnya. Ia juga tak pernah kedinginan lagi sejak
ayahnya mengajarkan cara mengatur hawa dalam tubuhnya supaya tetap merasa
hangat. Apalagi A-thia juga mengalirkan tenaga dalam padanya.
"A-hoa." "Ibu," Ching-ching menoleh.
"Kenapa" Kau ingat akan keluargamu di kota?"
Ching-ching mengangguk. Ching Ching 16 "Kau rindu pada mereka?"
"Sedikit." Lung Yin menghela napas. "Kau salahkan A-thia karena membawamu ke sini?"
Buru-buru Ching-ching menggeleng. "Tidak, tentu saja tidak. Hanya saja aku
merasa kesepian. Teman mainku hanya seekor kelinci. Lagi di sini tiap hari yang
kulakukan itu-itu melulu. Makan, tidur, main. Untung A-thia mengajari ilmu
ringan tubuh. Kalau tidak, uuuh, bosan."
"Sebenarnya di sini pun banyak yang bisa kau lakukan. Belajar menjahit, memasak,
menyulam." "Menjahit dan memasak Ibu akan ajari aku, kan?"
"Kau mau?" "Tentu. Daripada bosan. Tapi ... nanti kalau semua sudah kupelajari, apa lagi yang
harus kulakukan?" "Mungkin kau bisa belajar silat pada a-thiamu. Ibu juga dapat mengajarkan
padamu. Kau mau?" "Mau, mau. Waktu di kota, ayahku juga mengajarkan silat padaku."
"Oh ya" Coba kau perlihatkan pada Ibu."
Dengan senang hati Ching-ching memamerkan apa yang sudah ia pelajari dari
ayahnya. "Bagus, bagus," kata ibunya begitu Ching-ching selesai. "Rupanya kau anak
berbakat. Ibu akan senang mengajarmu. Tapi sekarang lebih baik kita siapkan dulu
makanan untuk ayahmu sebelum ia pulang menangkap ikan. Ayo, aku kan mau belajar
masak?" "Tentu mau, Ibu," Ching-ching berlari mendului ibunya. Di belakang, Lung Yin
mengikuti sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak itu.
"Ingat, A-hoa. Pusatkan seluruh tenaga dan pikiran pada pukulanmu. Ayunkan
tangan kanan dan kiri sambung-menyambung seperti ini .... Inilah Cian-lan-hoa
Lian-hoan-ciang (Pukulan berantai seribu anggrek) yang pernah begitu disegani di
Kang-ouw. Nah, kau cobalah."
Ching-ching meniru gerakan itu. Lung Yin mengangguk-angguk puas. Apalagi
Ching-ching baru melihat satu kali, sudah meniru tepat.
"Bagus. Tak percuma Ibu mengajarimu. Kelak, kalau lwee-kangmu sudah cukup, kau
harus hati-hati dengan pukulan ini sebab dapat membuat orang mati seketika."
"Mati?" tanya Ching-ching ngeri. "Aku tak mau bikin orang mati." Ia
menggeleng-geleng tegas. "A-hoa dalam Kang-ouw cepat atau lambat kau harus bikin mati orang," tiba-tiba
Chow Han Wei, a-thianya, telah berdiri di belakang mereka.
"Kenapa begitu, A-thia?"
"Karena di masyarakat orang biasa saling bunuh. Kalau kau mau tetap hidup, kau
harus bunuh orang lain lebih dulu."
Ching-ching bergidik. "Kalau begitu aku tak mau turun gunung. Lebih enak di
sini. Tenang dan damai bersama Ibu dan A-thia," katanya.
"Kau tidak bosan?" tanya ibunya. "Beberapa bulan yang lalu kau bilang kesepian
di sini." "Sekarang tidak lagi," jawab Ching-ching. "Di sini aku bisa belajar masak,
menjahit, silat, meniup suling, memetik khim, dan macam-macam."
"Nio-coe (Istriku), kau sudah ajarkan A-hoa memetik khim dan meniup seruling
juga?" Lung Yin mengangguk. "A-hoa, coba perlihatkan pada A-thia apa lagu yang sudah kau pelajari dari Ching
Ching 17 ibumu!" "Baiklah, A-thia. Tunggu sebentar, ya. Aku ambil khimnya dulu." Ching-ching
berlari masuk ke dalam rumah.
"Dia anak yang pintar bukan?" kata Chow Han Wei pada istrinya. "Aku bangga punya
anak seperti dia. Oh ya, Nio-coe, sudah sampai manakah tingkat pelajaran yang
sudah kau berikan padanya?"
"Sudah pada tahap ketiga, pukulan berantai. Pada tahap ketujuh nanti, ia akan
menguasai seluruh ilmuku!"
"Ya, kelak ia akan secantik dan sehebat ibunya."
Lung Yin tersipu. "Sayang, tenaga dalamku kini sudah hilang. Kalau tidak tentu
perkembangan ajaran itu akan lebih pesat," katanya.
"Jangan terburu-buru. Belum sampai setahun ia sudah kuasai tahap ketiga tingkat
akhir, itu sudah cukup, bukan" Paling sedikit tiga tahun lagi ia sudah kuasai
seluruh ilmumu." "Aku takut tak cukup waktu untuk itu," gumam Lung Yin.
"Nio-coe, apa katamu?"
"Ah, tidak. Emh, ajaran Wei Ko-ko sendiri sudah sampai mana" Cukup cepatkah A-
hoa menerima?" "Pertama-tama, A-hoa harus punya gin-kang yang baik dulu, baru aku bisa ajar
dia. Kau tahu, bukan, ilmu silatku mengandalkan tenaga dan kecepatan" Tanpa gin-
kang, sulit untuk mempelajarinya. Ah, Nio-coe, seharusnya kau saja yang mengajar
gin-kang pada A-hoa. Walau lwee-kangmu sudah hilang, tapi ilmu ringan tubuhmu
masih lebih tinggi daripadaku," kata Han Wei.
"Wei Ko-ko janganlah kuatir. Begitu pukulan berantai A-hoa lancar nanti, aku
akan ajarkan tahap keempat yang memperdalam gin-kang. Setelah itu A-hoa bisa
belajar darimu." Han Wei mengangguk-angguk.
"A-thia, tolong aku membawa khim ini," kata Ching-ching sambil memeluk khim kayu
yang berat. A-thianya membantu meletakkan alat musik itu di atas sebuah batu
besar yang datar. "Nah, coba kau mainkan sebuah lagu untuk A-thia."
Ching-ching mulai memetik khim mengalunkan sebuah lagi. Jari-jarinya yang kecil
agak kerepotan memetik senar, namun masih dapat bergerak lincah.
Chow Han Wei dan Lung Yin saling berpandangan. Lagu itu membawa mereka ke masa
lampau. Ke masa muda mereka.
Lan Siu Yin merenungi daun kecil dalam genggamannya. Hati ini tepat setahun ia
berpisah dengan Ching-ching, piauw-moaynya. Ia ingat, hari terakhir itu
Ching-ching mengajak ia dan Ling Tan memetik daun ini di hutan kecil.
Masih segar dalam ingatannya betapa girang Ching-ching ketika berhasil meniupkan
sebuah lagu. Ia sendiri sampai saat ini tak dapat melakukannya. Bukan apa-apa.
Tetapi setiap kali melihat daun itu, ia ingat piauw-moaynya dan kemudian segera
saja pandangannya kabur oleh air mata dan terisak-isak. Dengan demikian,
bagaimana mungkin ia dapat lakukan hal itu"
Ia menghela napas dan menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Sejak
Ching-ching pergi, Siok-siok dan Siok-bo menjadi amat sayang padanya. Mereka
memanjakan dia lebih daripada Ching-ching. Namun beberapa lama kemudian
siok-sioknya menyibukkan diri dengan urusan partai. Tinggal siok-bonya yang
masih sempat memperhatikan.
Sehari-hari ia bermain dengan Ling Tan. Mulanya memang menyenangkan. Ling Tan
selalu menuruti kemauannya. Tapi lama-lama bosan juga. Ia jauh lebih menyukai
Ching Ching 18 Ching-ching yang selalu memaksakan kehendak tapi sekali-sekali mengikuti
keinginan piauw-cienya. Tapi yang cuma sekali-sekali itu rasanya lebih
menyenangkan daripada setiap kali.
"Toa-sio-cia, ada apakah" Mengapa mengangis?"
"Oh, Tan Ko-ko," buru-buru Siu Yin mengusap air matanya. "Tidak ada apa-apa."
"Tapi mengapa menangis?" Ling Tan yang mengejutkan Siu Yin bertanya, "Apakah ada
orang yang mengganggumu" Katakan, siapa orang itu, akan kuhajar dia!"
"Tidak, tidak ada yang menggangguku. Aku cuma ingat pada ... pada Ching-moay." Siu
Yin mulai menangis lagi. Wajah Ling Tan menjadi keruh. Ia sering menyalahkan dirinya atas kejadian di
hutan kecil itu. Siu Yin mengetahui hal ini. Ia cepat-cepat alihkan pembicaraan.
"Ling Tan Ko-ko, aku ingin memetik bunga."
"Aku antar," kata Ling Tan dengan wajah cerah kembali.
Ching-ching memperhatikan ikan-ikan yang berkejaran di bawah lapisan es yang
bening. Ia sedang berada di tengah danau yang membeku. Hari ini ibunya akan
mengajarkan tingkat akhir tahap keempat, Sui-ciang-heng (Berjalan di atas air).
"A-hoa, jangan ke mana-mana. Ibu akan pulang untuk mengambil tali pelindung
tubuhmu yang ketinggalan," ibunya berteriak.
"Ya, Bu, aku akan menunggumu di sini."
Ching-ching kembali memperhatikan ikan-ikan tersebut. Warnanya bagus-bagus. Ada
yang kuning, merah, biru, ungu, hitam, belang-belang, dan macam-macam. Sekalipun
demikian warna-warna itu agak mengerikan. Ikan-ikan yang ia lihat biasanya
berwarna merah, kuning, atau hitam. Ada pula yang jingga. Tapi yang biru dan
ungu" Uh, baru sekarang ia lihat yang macam demikian.
Tapi ikan yang bergerombol itu nampak tidak membeda-bedakan warna. Kelihatannya
mereka sedang mengobrol dengan mulut yang selalu membuka-menutup. Eh, tunggu
dulu. Menurut Meng Sian-seng, ketika ia dan piauw-cienya dulu menanyakan mengapa
ikan selalu mengobrol, katanya ikan-ikan itu sedang bernapas, bukan
bercakap-cakap. Tapi kata Meng Sian-seng juga, untuk bernapas dibutuhkan hawa
(udara). Apakah di bawah es juga terdapat udara"
Selagi Ching-ching berpikir demikian, tiba-tiba matanya menangkap suatu bayang
putih yang meluncur cepat di bawahnya. Bayangan itu membuat gerombolan ikan tadi
buyar. Ketika bayangan itu diam, barulah Ching-ching dapat jelas melihat bentuknya. Tak
lain adalah seekor ikan berwarna putih bersih laksana salju. Tapi bentuk ikan
itu aneh. Matanya menonjol keluar. Di atas kepalanya terdapat semacam jengger
berbentuk bunga putih yang selalu bergerak-gerak. Memiliki dua kumis panjang di
sisi atas mulutnya. Badannya tidak aneh, sama seperti ikan-ikan yang lain.
Tetapi ekornya lebaaar sekali - untuk ukuran seekor ikan tentunya.
Ikan itu menggerak-gerakkan ekor dan jenggernya dengan angguk kemudian berenang
pelan-pelan menuju ke tengah-tengah danau. Tiba-tiba sebuah bayangan keperakan
menabraknya. Kemudian kelebatan-kelebatam warna putih dan perak silih berganti
membuat Ching-ching yang melihat pusing dibuatnya. Tapi ia menduga kalau ikan
putih dan makhluk perak tersebut sedang berkelahi.
Bayangan ikan yang sedang bertempur itu bergerak ke tengah diiringi gerombolan
ikan yang lain. Ching-ching menjadi tertarik. Pelan-pelan ia mengikuti arah
gerak ikan-ikan itu sampai ke tengah danau yang esnya nampak lebih bening dan
licin. Beberapa saat ia perhatikan ikan yang bertempur itu. Tiba-tiba ia rasakan es
yang dipijaknya bergerak. Ia kehilangan keseimbangan dan terperosok ke air yang
Ching Ching 19 dingin, tepat menuju ikan yang sedang berkelahi itu.
Ching-chign merasakan sesuatu yang dingin berlendir menggores pipinya. Tapi ia
tak sempat memikirkan makhluk apakah itu. Tubuhnya seolah tersedot ke bawah. Dan
gerakan air - mungkin karena ikan-ikan yang berenang serabutan - membuatnya terseret
beberapa saat ke pinggir.
Dirasanya dada yang sesak. Air sempat masuk ke perutnya lewat mulut dan hidung.
Ia cepat menutup jalan pernapasan dan mencari lubang tempat ia terperosok tadi.
Tapi, setelah berenang berputar-putar beberapa saat, tak ditemukannya juga
tempat itu. Dadanya semakin sesak. Matanya mulai berkunang-kunang. Nekat, ia mendorong es di
atas kelapanya dengan kedua tangan. Tapi, betapa kerasnya. Barangkali di sebalah
sini es lebih tebal daripada lapisan es yang amblas tadi.
Ia mulai kedinginan. Cepat-cepat dia lakukan ajaran a-thianya yang membuat suhu
tubuh panas. Tapi napasnya sudah habis. Paru-parunya seolah akan meledak. Panik,
dipukul-pukulnya es dengan kedua tangan. Namun beberapa lama kemudian tenaganya
habis. Ia memejamkan mata pasrah.
Lung Yin berlari menghampiri suaminya yang sedang berlatih. "Wei-ko, adakah kau
melihat anak kita?" "Bukankah ia bersamamu tadi?"
"Ya, tadi ia memang bersamaku. Namun kemudian kutinggal sebentar di danau untuk
mengambil tali. Waktu balik lagi, A-hoa sudah tak ada. Kupikir ia kemari minta
kau temani." "Tidak, ia tidak kemari. Aduh, jangan-jangan ada orang menculiknya." Chow Han
Wei menghunus pedang besarnya. "A-hoa, tunggu! A-thia akan menolongmu!"
Ia berlari ke arah danau. Lung Yin mengikuti dari belakang.
"Wei-ko, barangkali orang tua A-hoa yang membawa dia pergi," kata Lung Yin
begitu mereka tiba di tepi danau.
"Nio-coe, kau ini bagaimana" Orang tua A-hoa kan kita sendiri. Eh, kau lihatlah
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lubang di tengah danau itu! Astaga, jangan-jangan A-hoa terjeblos ke sana."
Chow Han Wei melompat ke tengah danau dan mendarat tepat di samping lubang itu.
Namun es di bawah kakinya retak. Cepat-cepat ia melompat lagi ke tempat lain.
Tapi didengarnya bunyi keretakan yang lain. Terpaksa ia melompat lagi. Demikian
beberapa kali sampai akhirnya ia berdiri di lapisan es yang cukup tebal, jauh
dari lubang tempat Ching-ching terperosok.
"Brengsek!" Aku tak dapat mencapai tempat itu!" Dengan kesal ia membanting kaki
membuat es di bawahnya berderak untuk kesekian kali.
"Wei-ko, biar aku saja yang ke sana. Badanku lebih ringan darimu. Kau ke
pinggirlah." Lung Yin melompat-lompat ringan di atas es itu. Ia berhenti di tempat es-es yang
retak tanpa kuatir terperosok. Gin-kangnya memang tinggi. Selain gurunya
sendiri, tak ada manusia lain yang dapat menandingi dia.
Wanita itu melihat ke sekeliling tempat kakinya menapak. Agak jauh di sebelah
sana - di bawah permukaan es - dilihatnya sebuah bayangan biru. Cepat-cepat ia
hampiri. Ya, itu baju A-hoa anaknya.
"Wei-ko, Wei-ko! Ini, di sini!" katanya terbata.
Chow Han Wei begegas benghampiri. Dengan menghampiri. Dengan menggunakan seluruh
kemampuannya meringankan badan, dapat juga ia sampai di tempat itu.
"Nio-coe, kau minggirlah. Biar kuhancurkan es ini dengan pedangku."
Lung Yin menyingkir ke tepian. "Kau sendiri bagaimana, Wei-ko?"
"Aku bisa menjaga diri."
Ching Ching 20 Han Wei mengayunkan pedangnya. Es itu terbelah-belah menjadi potongan kecil.
Cepat-cepat disambarnya tubuh Ching-ching dan melompat ke pinggir, menyusul
istrinya. Dibaringkannya anak itu di tanah. Lung Yin ketakutan melihat betapa pucat wajah
anaknya. Wajah yang biasanya berseri kemerahan kini dingin, putih kebiruan. Tak
terasa air matanya mengalir.
"Apakah ... apakah dia ... sudah mati?" tanya wanita itu pada suaminya yang
memeriksa nadi Ching-ching.
"Aku takut ...," jawab Han Wei. "Paru-parunya sudah banyak kemasukan air. Ia pasti
kedinginan di bawah sana. Darahnya ... darahnya mungkin membeku!"
Lung Yin meletakkan dua jarinya di depan hidung Ching-ching untuk mengetahui
sudah matikah anak itu. "Napasnya sudah tak ada lagi!" jeritnya panik. Ia menubruk anak itu sambil
menangis tersedu-sedu. A-hoa mati! Ia mati untuk kedua kalinya. Sekali lagi ia
kehilangan anak, tapi kali ini ia sendirilah penyebabnya. Seandainya saja ia tak
membawa anak itu ke danau, kalau saja ia tak terburu-buru mengajarkan ilmunya
pada anak itu, pasti sekarang A-hoa masih hidup, mungkin sedang berkejaran
dengan kelinci putihnya. "Dia mati," desah wanita itu. "Aku penyebabnya. Aku tak akan bisa ampuni diriku
sendiri." "Tidak!" tiba-tiba suaminya berdiri dan berteriak. "A-hoa tidak boleh mati.
Anakku tak boleh mati." Ia memondong anaknya dan berlari pulang.
Ching-ching dibaringkannya di ranjang batu. Pendiangan di bawahnya dinyalakan.
Chow Han Wei duduk di dekatnya sambil memegangi tangan mungil yang dingin.
"A-hoa kau istirahatlah," katanya. "Besok A-thia akan mengajakmu menangkap ikan.
Besok kau bangun pagi-pagi, ya" Kita pergi sama-sama."
Lung Yin memperhatikan di pintu kamar. Dulu waktu anak kandung mereka meninggal,
begitu juga kelakuan suaminya. Berhari-hari ia mengajak bicara jenazah anak
mereka sampai-sampai untuk menguburnya Lung Yin harus menipu suaminya lebih
dulu. "Wei-ko, A-hoa sedang beristirahat. Janganlah kau ganggu dia. Bukankah kau
sendiri harus beristirahat juga?" katanya menegur di antara isak-tangisnya.
"Hari masih sore, matahari belum lagi terbenam. Biarlah aku menunggui A-hoa di
sini." Lung Yin tidak berkata apa-apa lagi. Ia keluar berlari ke kamarnya sendiri dan
menumpahkan tangisnya di sana.
Malam ini adalah malam ketiga A-hoa terbujur kaku di ranjang batu. Lung Yin
duduk di sampingnya memandangi wajah anak itu.
Hari-hari terasa sepi tanpa celoteh manja gadis kecil ini, tanpa derap kakinya
yang kecil, tiada lagi tawanya yang riang yang membuat orang lain ingin tertawa
juga. Takkan terlihat lagi mata yang bening bercahaya dan pipi yang montok
kemerahan. Yang tinggal hanyalah sosok yang dingin, terbaring, tak bergerak!
Dua malam Chow Han Wei menunggui kamar ini. Tidak makan, tidak minum, tidak
tidur. Dalam waktu yang singkat itu wajahnya menjadi bertambah tua. Sering ia
menanyakan mengapa A-hoa tidak mau bangun. Tingkah suaminya bagaikan seorang
anak yang polos, lugu, tak mengenal arti kematian. Hal ini membuat Lung Yin
semakin berduka. Hanya malam ini Han Wei berhasil dibujuk untuk makan. Dan dalam makanan itu Lung
Yin membubuhkan sedikit obat tidur supaya suaminya dapat beristirahat. Ia
sendiri ganti menjagai A-hoa.
Ching Ching 21 "A-hoa, betapa sayang aku dan A-thia padamu," gumam Lung Yin. Ia dan suaminya
memang sangat sayang pada anak itu. Memang A-hoa yang sekarang berbeda dengan A-
hoa yang dulu, namun setelah kehilangan yang pertama, mereka menjadi lebih
sayang pada A-hoa yang baru. Apalagi pembawaannya yang lincah cepat sekali
merebut kasih sayang mereka.
Lung Yin sadar. A-hoa yang sekarang bukanlah anak kandungnya. Bahkan nama anak
itu yang sesungguhnya ia tak tahu. Tetapi hatinya sedih. Bahkan lebih dari
kematian anaknya yang pertama. Baru setahun A-hoa membawa kegembiraan kepada
mereka. Ia dan suaminya. Mengapa maut begitu cepat merenggutnya" Tidakkan dapat
menunggu beberapa tahun lagi" Lung Yin bahkan rela mnukar sisa hidupnya dengan
nyawa anak itu. Wanita itu mulai tersedu. Ia memeluk A-hoa dan meletakkan kepalanya di atas dada
anak itu. Ia menangis beberapa lama sampai akhirnya tertidur.
Lung Yin terjaga. Sesaat ia tak tahu apa yang membuatnya terbangun. Dibukanya
mata. Apakah suaminya datang" Tidak, tak ada suatu suara pun di luar. Lung Yin
menajamkan telinganya yang sudah terlatih. Tapi suasana sunyi. Tak ada suara
seekor binatang malam sekalipun. Ia bahkan dapat mendengar detak jantungnya
sendiri yang berdebar lemah.
Tunggu! Ia dapat merasakan degup cepat jantungnya. Jadi, apa yang sesungguhnya
ia dengar" A-hoa! Lung Yin baru tersadar kepalanya beralaskan tubuh anak itu. Rupanya ia
tertidur dalam posisi duduk. Berarti ....
"A-hoa belum mati, ia belum mati!"
Lung Yin hampir tak percaya. Untuk memastikan, ia perhatikan anak itu. Tubuhnya
masih sebeku dan sedingin kemarin. Napasnya pun tidak terasa. Barangkali suara
detak jantung itu hanya khayalan saja. Tapi Lung Yin benar-benar ingin percaya
bahwa anaknya masih hidup. Ia menempelkan lagi telinganya ke dada A-hoa Dan
detak itu terdengar lagi.
Bukan main gembiranya Lung Yin. Beberapa saat ia hanya bisa duduk
terlongong-longong. Tettapi saat berikutnya ia belari secepat mungkin. Ia
berlari mendapati suaminya yang masih tertidur di kamar lain.
"Wei-ko! Wei-ko! Bangun!" Diguncangnya badan laki-laki itu dengan keras. Tapi
biarpun ia menjerit-jerit, suaminya belum bangun juga. Rupanya perngaruh obat
yang diberikan tadi masih kuat. Sebagai usah terakhir Lung Yin menyambar secawan
teh dan menyiramkannya ke wajah Chow Han Wei.
Laki-laki itu gelagapan terbangun. "Nio-coe, ada apakah" Kau mimpi menyiram
tanaman, ya?" "Wei-ko, kau bangunlah. Cepat!"
"Ada apa" Aku masih ngantuk."
"A-hoa. Dia - "
Begitu mendengar nama anaknya disebut, bagai terbang Han Wei pergi ke kamar A-
hoa. "Tidak kenapa-kenapa," katanya.
"Dia ... dia masih hidup."
"Ya, dia hidup. Hanya tidurnya lama sekali."
Lung Yin bingung bagaimana cara menyampaikan berita itu. "Maksudku ... maksudku
...," ia mencari kata-kata yang tepat, "maksudku dia ... dia hampir bangun."
"Hampir bangun, hampir bangun" Horeee!" Chow Han Wei memegang tangan istrinya
dan melompat-lompat girang. Lung Yin ikut larut. Keduanya bertingkah laku bagai
dua anak kecil yang kesenangan.
Tahu-tahu Han Wei berhenti. Ia meraba tubuh A-hoa. "Badannya dingin. Dia
Ching Ching 22 kedinginan! Nio-coe, cepat sediakan air panas untuk merebusnya."
"Me ... me ... merebus?" Lung Yin membelalak. Sudah sampai begitu gawatkah
kesintingan suaminya"
"Iya, merebus. Ayo, cepat, Nio-coe. Mungkin kemarin-kemarin darahnya beku
sehingga tidur tidak bangun-bangun. Sekarang kita harus bikin darahnya lancar
lagi." Lung Yin baru mengerti. Ya, ya, barangkali suaminya benar. Ia sangat sayang pad
A-hoa. Tak mungkin berniat mencelakakan. Cepat-cepat ia ke dapur mengambil ember
besar dan kayu bakar. Segalanya ia persiapkan demi anaknya. Demi A-hoa.
Hampir empat hari A-hoa 'direbus'. Lung Yin nyaris putus asa lagi. Tapi semalam
napas anaknya mulai teratur. Cepat-cepat ia diangkat dari air panas sebelum
'matang' di sana. Hari selebihnya Han Wei yang berusaha melancarkan jalan darah gadis kecil itu
dengan tenaga dalamnya. Setelah lewat sehari, A-hoa dibiarkan terbaring. Han Wei dan istrinya menunggui.
Kini A-hoa benar-benar seperti tidur. Suhu badannya normal, pipinya mulai
memerah. Tinggal menunggu ia tersadar.
Ching-ching membuka mata. Samar-samar dilihatnya kedua orang yang menunggui. Ia
tersenyum. A-thianya tersenyum juga. Ching-ching menoleh ke arah Lung Yin Ibu
angkatnya itu tersenyum manis sekali tapi air matanya juga mengalir deras. Ingin
Ching-ching menanyakan mengapa wanita itu menangis. Tapi, uh, tak ada suara yang
keluar dari tenggorokannya.
Lung Yin melihat bibir anak itu bergerak-gerak. Ia tidak dapat menangkap
kata-kata yang ingin diucapkan.
"A-hoa, kau haus" Biar Ibu ambilkan minum."
Ching-ching dibantu minum. Setelah itu barulah ia dapat keluarkan suara. Itu pun
masih serak. "Ibu, kenapa menangis" Apakah karena A-hoa lakukan kesalahan?"
Lung Yin menggeleng. "Kalau begitu pasti A-thia. A-thia ganggu Ibu, ya. A-thia jangan nakal, lihat,
Ibu jadi menangis. Kata A-thia, orang menangis itu jelek. Makanya A-thia jangan
bikin Ibu jadi jelek."
Chow Han Wei tertawa. "Tidak, lain kali A-thia tidak nakal lagi."
"A-thia, kemarin, di danau, kulihat seekor ikan putih yang aneh ...."
Ching-ching berceloteh. Lung Yin senang anaknya sudah begitu bergembira. Ia
sendiri pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.
"A-hoa, kau tahu, tidak," kata Han Wei selesai Ching-ching bercerita, "kau tidur
selama sepuluh hari" A-thia dan ibumu sampai kuatir sekali."
"Aku tidur selama sepuluh hari?" Ching-ching terlompat duduk. "Rasanya sebentar.
Kalau begitu ternyata aku anak malas. A-thia, siapakah yang membantu Ibu ketika
aku tidur?" "Ibumu mengerjakan segala sesuatunya sendiri."
Pintu terbuka. Lung Yin masuk membawa makanan. "Ayo, makan dulu. Hari ini kita makan di kamarmu, A-hoa."
Ching-ching bersorak girang.
"A-hoa," kata a-thianya. "Kau makanlah yang banyak supaya cepat sehat."
Ching-ching mengangguk dengan mulut penuh makanan.
Sejak itu Lung Yin dan suaminya semakin sayang pada Ching-ching. Sekalipun
demikian mereka tidak kapok memberi ilmu serta latihan yang berat. Terutama Lung
Yin yang berambisi menurunkan seluruh ilmu yang pernah ia pelajari.
Ching Ching 23 Kini Ching-ching hampir menguasai semua jurus gin-kang ibunya. Tinggal tiga
jurus lagi - Lian-hoa-sui-siang (Teratai di atas air), Yap-siang-hui (Terbang di
atas daun), dan Lan-hoa-hui-hong-ciu (Anggrek melayang tertiup angin).
Hari ini mereka tak dapat berlatih. Salju turun begitu lebat. Ching-ching
sendiri tidak berkeberatan berlatih di antara gumpalam-gumpalan putih itu, tapi
ibunya melarang. Karena itu mereka menghabiskan waktu dengan bermain musik di depan jendela. Lung
Yin memetik kecapi, Ching-ching meniup seruling. Lagu yang mereka mainkan
menyatu dengan angin yang bertiup. Lung Yin menjadi terharu sendiri. Lagu itu
adalah lagu asal negerinya yang jauh. Negeri yang begitu lama ia tinggalkan.
Lung Yin menghentikan permainannya. Ching-ching ikut berhenti juga. Mulutnya
terbuka untuk bertanya, tapi melihat wajah ibunya yang keruh, bibirnya terkatup
lagi. "A-hoa, pernahkah kau rindu akan rumahmu, keluargamu, atau teman-temanmu yang
dulu?" tanya Lung Yin.
"Kadang-kadang."
"Lalu apa yang kau lakukan kalau rindu pada mereka?"
"Kubayangkan aku sedang bermain dan bercanda dengan mereka."
"Lalu apakah rasa rindu itu hilang?"
"Tidak, malah bertambah."
Jawaban Ching-ching membuat Lung Yin terkejut. "Bukankah kau akan bertambah
sedih nantinya?" tanya wanita itu heran.
"Bukan, hanya bertambah rindu. Dan rindu itu akan kukumpulkan sampai banyaaaak
sekali supaya nanti kalau bertemu dengan mereka, senangnya juga banyak sekali."
Lung Yin tertawa. Ia tak dapat mengerti jalan pikiran Ching-ching, tapi ucapan
anak itu dirasanya lucu. "A-hoa - ah, bukan, bukan A-hoa. Namamu yang sebenarnya
bukan A-hoa, kan" Siapa namamu?"
"Ching-ching. Lie Mei Ching."
"Kau tidak keberatan kalau kami panggil A-hoa?"
"Tidak, aku tidak peduli orang mau panggil apa. Asal orang baik padaku, aku
sudah senang." "A-hoa, dengarlah. Nanti kalau kau pergi dari sini, gunakanlah namamu yang
sebenarnya." "Mengapa begitu, Bu?"
"Orang tuamu memberi nama, artinya mereka sayang padamu. Karenanya hargailah
kasih sayang mereka dengan menjaga nama baikmu."
"Tapi, Bu, supaya nama mereka tidak rusak kalau aku berbuat salah, bukankah
lebih baik menggunakan nama lain?"
"Kau belum mengerti. Nanti kalau kau sudah besar, kau akan tahu."
"Tapi aku tidak akan pergi. Aku sudah berjanji pada A-thia untuk menjaga Ibu."
"Suatu saat kau harus pergi juga. Sudahlah, kita siapkan saja makanan untuk a-
thiamu. Ibu akan buatkan sop ikan yang enak untuk makan siang kita."
Dalam mengajarkan jurus-jurus terakhir gin-kangnya, Lung Yin harus meminta
bantuan suaminya yang bertenaga besar supaya menjagai Ching-ching dalam latihan.
Pinggang Ching-ching dililit sebuah selendang yang ditenun dari serat tipis yang
kuat dan panjang. Sisa lilitan itu dipegangi ayahnya sementar Lung Yin memberi
contoh. Untuk jurus Lian-hoa-sui-siang, mereka berlatih di danau beku yang esnya telah
agak mencair. Berkali-kali Ching-ching kecebur, tapi ia menanggapi dengan
gembira sehingga ibu dan ayahnya tidak kuatir. Setelah berlatih sembilan hari
Ching Ching 24 Ching-ching dapat menguasai dengan baik.
Jurus berikutnya adalah Yap-siang-hui. Kali ini mereka berlatih di hutan.
Selendang tipis masih melilit Ching-ching. Han Wei terpaksa ikut melompat-lompat
dengan meringankan tubuh.
Mula-mula Ching-ching melompati pohon-pohon kecil, melompat dari satu pohon ke
pohon lain dengan cara menjejak ujung pohon menggunakan ujung depan alas
kakinya. Semakin lama pohon yang dilompati semakin tinggi. Hari ini Ching-ching
harus berlatih menggunakan daun-daun di pohon-pohon yang tertinggi di hutan.
"Ingat, A-hoa, pusatkan seluruh konsentrasi pada ujung jari kakinya. Jangan
sampai kau menjejak angin. Kau belum sampai pada tahap itu."
Ching-ching mencoba menuruti ajaran ibunya. Ia meringankan tubuhnya mencoba
mencapai puncak tertinggi. Yang pertama dan kedua gagal. Tapi ia tidak cedera
karena a-thianya selalu siap melompat menyelamatkan. Kali yang ketiga ia
berhasil. Setelah itu mudah saja baginya untuk melompat ke beberapa pohon lain.
Pohon-pohon di sebelah utara hutan agak gundul. Ching-ching harus menengok ke
bawah supaya pijakannya tepat.
Ching-ching melihat betapa jauh ia dari tanah. Kalau jatuh .... Ia bergidik.
Konsentrasinya buyar. Dengan cepat tubuhnya melayang ke bawah.
Chow Han Wei terkejut. Cepat-cepat ditariknya selendang. Tapi angin bertiup.
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arah selendang yang tegang melenceng, membuat Ching-ching tersangkut di pohon.
Lung Yin memburu ke pohon itu. Han Wei menyusul. Ia pun ikut melompat ke atas.
Ching-ching pingsan. Wajahnya pucat, kemungkinan akibat keterkejutan jatuh dari
tempat yang tinggi. Pelajaran tertunda. Kaki Ching-ching terkilir. Bulan kedua barulah ia berhasil
menguasai jurus tersebut.
Jurus terakhir dipelajarinya dalam waktu tiga bulan. Kini ia dapat melayang lama
di udara. Dengan sedikit latihan lagi ia akan dapat melebihi a-thianya dalam
gin-kang. Selain latihan dari ibunya, Ching-ching juga belajar dari a-thianya.
Kadang-kadang ia bingung sendiri dengan ajaran ibunya yang lambat-gemulai dan
dengan ajaran a-thianya yang cepat dan keras. Tapi dengan cepat ia dapat
menyesuaikan diri. Hari masih pagi benar. Ching-ching dan a-thianya berjalan menuju danau. Mereka
akan menangkap ikan. Lung Yin tinggal sendirian di rumah. Ia membuka lemari dan
mengambil sehelai pakaian yang setengah jadi dari dalamnya. Pakaian itu ia buat
untuk Ching-ching. Pakaian dari sutra yang mahal dengan model pakaian negeri
asal wanita itu. Ia kasihan melihat Ching-ching. Ketika datang kemarin dulu, pakaiannya halus dan
indah. Kini gadis kecil itu hanya memakai pakaian dari kulit binatang yang
dijahit kasar dan sederhana.
Sengaja ia buatkan pakaian model begitu supaya anaknya berbeda dari anak-anak
lain. Di samping itu dengan cara demikian kerinduan akan tanah airnya sedikit
terhapus. Lung Yin menjahit sambil mengenangkan masa kecilnya.
Tiba-tiba saja dadanya terasa sakit. Tangannya gemetar. Jarum dan kain yang ia
pegang meluncur ke tanah.
"Sialan, rupanya racun si nenek jahat Kim-hoa-po-po (Nenek Bunga Mas) sudah
sampai di jantungku," Lung Yin mengumpat. "Rupanya aku sudah harus mati."
Ia menyeret badannya ke ranjang dan berbaring. Pingsan.
"Ibu. Ibu, aku bawa pulang ikan yang besar sekali," Ching-ching berlari ke
dapur. Tapi yang dicarinya tidak ada di sana. Ching-ching keluar. "Ibu, Ibu
Ching Ching 25 bersembunyi di mana?" Anak itu meletakkan ikan yang dibawanya. "A-thia, lihat
Ibu?" katanya ketika Chow Han Wei menghampiri.
"Tidak ada di dapur" Di kamar barangkali."
Ching-ching segera menuju kamar. Benar, ibunya ada di situ. Terbaring dan
wajahnya pucat bukan main.
"Ibu, bangun, Ibu," kata Ching-ching kuatir. "Ibu sakit, ya" Biar kubuatkan sop
ikan untukmu. "Ibu, jawab aku, Ibu."
Tapi Lung Yin diam saja. "A-thiaaaa!" Ching-ching berteriak memanggil.
Chow Han Wei segera datang tergopoh-gopoh. "Ada apa?"
"Itu, Ibu." Han Wei segera memeriksa keadaan istrinya. "Celaka, racun di tubuhnya sudah
sampai ke jantung!" Han Wei membantu istrinya duduk. Ia sendiri bersila dan mulai menyalurkan lwee-
kang untuk mengeluarkan racun. Ching-ching ingin bertanya, racun apa yang
mengeram dalam tubuh ibunya. Tapi dengan melihat kelakuan a-thianya saja pun ia
sudah tahu, pasti racun yang sangat jahat menyebabkan ibu angkatnya menderita.
Sudah kira-kira sepertanak nasi, Lung Yin membuka mata. Ia tersenyum ketika
melihat Ching-ching memandang kuatir. Ia berkata juga pada suaminya, "Wei-ko,
sudahlah, aku sudah baikan."
Hen Wei menghentikan penyaluran tenaganya dan membaringkan istrinya.
"Wei, ko, aku ingin berdua saja dengan A-hoa."
Tanpa berkata-kata Han Wei meninggalkan kamar. Lung Yin memandang Ching-ching.
Matanya mulai berkaca-kaca.
"Ibu, jangan menangis. Apakah sakit sekali?"
"A-hoa sebenar Ibu akan pergi, jauuh sekali."
"Ke manakah itu?"
"Ke langit." Wajah Ching-ching memucat. Dulu ia punya nenek yang sering sakit-sakitan. Lalu
suatu ketika ia dapati neneknya tidur tak bangun lagi. Ibu kandungnya bilang,
nenek pergi ke langit menjadi sian-lie (dewi). Lalu apakah ibu angkatnya ini
akan tidur juga dan tak bangun-bangun lagi seterti thia-thianya bilang ... mati"
"Kau sudah tahu kan tentang Kim-hoa-po-po?" tanya Lung Yin. Ching-ching
mengangguk pelan. "Racun nenek jahat itu sudah sampai ke jantungku. Jadi aku
...." "Tidak, Ibu tak akan mati, pasti ada pemunahnya, Kim-hoa-po-po pasti punya, Ibu
tenang saja, aku dan A-thia akan cari dia sampai ketemu, kalau dia tak mau beri,
kita bisa paksa, Ibu pasti sembuh, Ibu takkan ...."
Ching-ching mengatakan semua itu dengan cepat tanpa jeda dalam satu tarikan
napas panjang. Suaranya gemetar. Tapi ia akhirnya berhenti dan menangis karena
sadar, apa yang dikatakannya tak akan terjadi.
"A-hoa, kau haris tabahkan hatimu. Kalau tidak, siapa yang akan urusi a-thiamu"
Aku tahu kau rindu keluargamu, tapi a-thiamu tak punya siapa-siapa lagi. Kau
harus janji ...." Langsung saja Ching-ching mengangguk-anggukkan kepala.
Lung Yin mengambil pakaian yang sedang dikerjakannya. "Ah, aku harus cepat-cepat
menyelesaikan ini," katanya sambil tersenyum pahit. Ia tak tahu itu bakal
terlaksana atau tidak. "A-hoa, kau jangan bilang apa-apa tentang ini kepada a-
thiamu. Kau tahu sendiri dia seperti apa."
Setelah itu ia langsung sibuk menjahit, jadi Chign-ching pun keluar kamar. Baru
Ching Ching 26 pintunya dibuka, Han Wei masuk.
"Wei-ko, ada apa?" tanya Lung Yin. Ia takut suaminya mendengar percakapan tadi.
"Nio-coe, kau sudah baik lagi, jadi aku hendak turun gunung. A-hoa akan temani
kau di sini," kata Han Wei.
Lung Yin merasa lega mendengar itu, tapi heran juga. "Wei-ko, kau hendak ke
mana?" "Aku mau cari Kim-hoa-po-po. Nio-coe, kau sudah cukup menderita. Aku ingin dia
rasakan juga sedikit penderitaanmu." Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Wei
meninggalkan kamar. Hari itu juga ia turun gunung, meninggalkan Ching-ching dan Lung Yin berdua.
Ching-ching merawat Lung Yin dengan penuh kasih sayang.
Lewat beberapa hari, pada suatu pagi, Ching-ching seperti biasa mengantarkan
sarapan ke kamar Lung Yin. Ia heran ketika melihat ibunya duduk di tempat
tidurnya, tidak menjahit atau membaca buku seperti biasa.
"A-hoa, kemari sebentar," katanya perlahan.
Ching-ching menaruh makanan di meja lalu mendekati ibunya dengan hati
berdebar-debar. Lung Yin menepuk sisi ranjangnya dan Ching-ching duduk di situ.
Lung Yin mengambil sehelai pakaian dan sebuah batu giok putih yang tadi terletak
di sampingnya. "A-hoa, aku ingin memberikan ini kepadamu."
Ching-ching menerima kedua barang itu. Pakaiannya bagus sekali, kainnya halus,
warnanya pun ceria. Batu giok putih itu juga indah bukan main. Kalau biasa,
Ching-ching sudah berterima kasih bolak-balik dan parasnya jadi berseri-seri.
Tapi sekarang ia hanya membisikkan terima kasih singkat dengan suara serak.
Matanya sudah mulai merah.
"Cuma ini yang dapat kuberikan. Kuharap kau akan menyimpannya selalu," kata Lung
Yin. Dari suaranya, kedengaran bahwa ia sedang menahan sakit.
Ching-ching hanya mengangguk saja.
"Aku ingin kau mengurus a-thiamu seperti yang pernah kubilang. Aku tahu akan
makan waktu untuk cari dia. Tapi aku akan selalu bersamamu. Dengan batu giok itu
kau bisa selalu ingat aku dan rindui aku. Jadi kalau kita bertemu lagi di
kehidupan yang akan datang, kau akan senang bertemu denganku karena tentu rindu
yang kau kumpulkan sudah banyaaak sekali."
Mau tak mau Ching-ching tersenyum mendengar kata-kata itu. Tapi kemudian Lung
Yin meringis kesakitan. "Ibu ... kau ...."
"A ... hoa ... ku ... rasa ... Ibu ...."
Perkataan itu diucapkan sepatah-sepatah, Ching-ching, yang terus memandangi
barang pemberian ibunya, harus menunggu sejenak untuk mendengar patahan
berikutnya. Tapi setelah kata Ibu, ia menunggu lama, tapi tak terdengar lagi
suara Lung Yin. Takut-takut ia menoleh.
"Ibu!" serunya, melihat Lung Yin sudah menutup mata. Ia menggoncang-goncang
tubuh orang, tapi ibunya tak bereaksi. Ching-ching menaruh jarinya di depan
hidung Lung Yin. Dia sudah tak bernapas. Dia sudah tidak bernapas! Dia sudah m -
Tidak, dia belum mati. Ching-ching kan bukan tabib, tahu dari mana ia bahwa
ibunya sudah mati" Masa hanya karena tak ada napas jadi mati" Tidak, ibunya
belum mati. Ching-ching memeriksa denyut nadi Lung Yin ... tidak terasa apa-apa. Dicobanya
mendengar detak jantung ... tidak terdengar apa-apa.
Tapi ia belum yakin. Ia tak mau ibunya mati. Ia harus tunggu sampai a-thianya
datang. Baru ia bisa pastikan. A-thia pasti dapat tentukan mati-hidup.
Ching Ching 27 Ching-ching keluar kamar, keluar rumah, lalu duduk menunggu Han Wei meskipun di
luar terasa dingin. Baru ketika salju turun, ia masuk ke dalam dan menunggu di
depan jendela. Karena sudah kebiasaan, tanggan menggapai mengambil seruling dan mulutnya
meniup, memainkan lagu yang sudah dikenalnya, telinganya menikmati harmonisnya
suara suling dan khim - Tapi kali ini tak ada suara khim yang menemani. Ching-ching diam mendengarkan,
menunggu. Tapi tetap tak ada suara khim yang datang ke telinganya.
Diam-diam air matanya meleleh di pipinya. Ia sadar sekarang, ia tak akan pernah
mendengar suara khim itu lagi. Karena yang memainkannya pun sudah tak ada, pergi
... untuk selamanya. Untuk selamanya ... lama sekali.
Perlahan ia bangkit dan pergi ke kamar Lung Yin. Dibawanya jenazah ibunya ke
luar, dibaringkannya rapi-rapi. Lalu ia mulai menggali. Menggali lubang untuk
tempat peristirahatan terakhir wanita itu. Setelah selesai, ia menghormat tiga
kali di depan makam itu. Dan selama itu, air matanya tak pernah berhenti mengalir.
Sekarang ia harus mencari a-thianya. Ching-ching segera bersiap untuk pergi.
Pakaian dan batu giok dari Lung Yin disimpannya baik-baik di dalam buntelannya.
Hari itu, Lie Mei Ching turun dari gunung Leng-yi yang sudah menjadi rumahnya
selama ... untuk mencari Chu Han Wei.
Ching-ching menuruni gunung. Ia mengenakan pakaian yang dibuat oleh ibunya dan
tentu saja giok putih dari ibunya harus juga dia bawa yang lain tak perlu lah.
Ia tak mau bikin badannya penuh dengan segala macam barang yang membuatnya
kesulitan sewaktu berjalan.
Ching-ching sampai di desa di kaki gunung Leng-yi. Ia segera menuju ke sebuah
rumah makan dan masuk ke dalamnya. Barangkali ada A-thia di sana. Biasanya A-
thia pergi ke sini untuk membeli arak.
"Bocah kecil, mencari siapakah?" tanya pemilik rumah makan.
"Mencari A-thiaku," jawab Ching-ching.
"Bagaimanakah rupa A-thiamu itu?"
"Tinggi-besar, berjenggot lebat, dan membawa sebuah pedang besaaar," Ching-ching
membentangkan tangan untuk menunjukkan sebagaimana besarnya pedang itu.
"Apakah pedangnya digantung di punggung?" tanya seorang pelayan.
"Ya betul! Ada di sinikah dia?"
"Tidak," jawab pelayan itu. Wajah Ching-ching berubah keruh. "Tetapi beberapa
hari yang lalu ia lewat ke sini dan membeli dua guci arak. Kemudian pergi ke
arah sana." Pelayan itu menunjuk.
Ching-ching segera lari ke arah itu. Pemilik rumah makan dan pelayanannya
bengong. Apalagi ketika anak itu memutar arahnya dan kembali ke rumah makan
tersebut dan berhenti tepat di depan si pelayan.
"Terima kasih," kata Ching-ching, membuat kedua orang itu bertambah
terheran-heran. Kemudian ia kembali berlari mengerahkan gin-kang supaya dapat
dengan cepat mengejar A-thianya.
Sepanjang perjalanan Ching-ching bertanya pada setiap orang yang ia jumpai.
Banyak yang menjawab dengan ramah, tapi tidak sedikit pula yang cuma
terbengong-bengong menatapnya. Terutama pada bajunya yang tidak seperti orang
kebanyakan. Ching-ching tidak punya uang. Ia bahkan tidak tahu nilai uang. Tapi ia mengerti
bahwa segala sesuatu di desa harus ditukar dengan sesuatu. Karenanya, setiap
Ching Ching 28 kali merasa lapar, Ching-ching mencari hutan atau sungai di mana ia dapat
memperoleh binatang atau ikan untuk dimakan.
Berhari-hari gadis kecil itu berjalan. Semakin lama badannya semakin lemah.
Sekarang bahkan tidak kuat ia mengerahkan gin-kang. Apalagi hujan tak pernah
turun beberapa hari ini. Matahari bersinar terik. Udaara menjadi pengap dan
panas. Tapi Ching-ching berjalanterus dengant abah.
Hari kedelapan, Ching-ching tiba di sebuah perbukitan yang tandus. Tidak ada
sungai di sekitar tempat itu. Tidak ada tumbuhan, tidak ada binatang dan tak
seorang pun berpapasan dengannya. Padahal Ching-ching sudah kelaparan. Ia tak
makan sejak kemarin siang. Semalam pun tidur dengan perut keroncongan.
Panas matahari semakin menyengat. Ching-ching berjalan tertatih-tatih di atas
tanah kering yang berdebu. Lehernya semakin kering. Perutnya melilit. Cahaya
matahari berubah menjadi warna-warna aneh. Jingga - merah - kelabu - dan akhirnya
hitam. Ching-ching tidak ingat apa-apa lagi.
* * * "Kong-kong, kemarilah cepat. Ada anak mati di sini. Kasihan sekali," Yuk Lau
memanggil-manggil. Orang tua yang berjalan di belakangnya bergegas menghampiri. "Anak ini tidak
mati, Yuk Lau. Cuma pingsan karena kepanasan dan tidak makan semalaman," kata
orang tua itu. "Baiknya kita bawa pulang saja dan dirawat di rumah."
Anak yang dipanggil Yuk Lau menggandong bocah yang pingsan itu di punggungnya.
Si kakek sendiri menggendong keranjang besar bertudung yang isinya obat-obatan.
Kakek tersebut tak laina dalah Yuk Fung, seorang sin-she yang terkenal dengan
gelar Yok-ong-phoa. Hari itu ia kebetulan lewat di tempat itu sepulang mengambil
jamur obat tak jauh dari sana bersama cucunya.
Yuk Lau, anak laki-laki berumur dua belas tahun yang bersama si tabib adalah
cucu dari anak angkatnya sendiri. Ia tinggal bersama orang tuanya tak jauh dari
rumah si Dewa Obat sehingga sering ikut pergi bersama kakeknya.
"Kong-kong kenal anak ini?"
"Tidak," jawab Yuk Fung. "Tapi wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Seseorang
yang pernah menolongku. Apalagi dengan baju macam ini."
"Baju apa sih ini" Kok tidak seperti baju yang dipakai teman-temanku."
"Ini baju ala negeri Sha-ie di dekat Tibet. Modelnya memang berbeda dengan
pakaian di negeri kita."
"Kong-kong pernah ke sana?"
"Sekali, itu pun tidak sengaja. Waktu itu Kong-kong sednag berlayar ke See-tok
untuk mempelajari beberapa macam racun yang berhasal dari negeri tersebut. Di
jalan, tiba-tiba badai mengamuk, memecahkan kapal yang ditumpangi. Entah berapa
hari aku terapung-apung di laut, sampai seorang putri raja negeri Sha-ie yang
sedang berlayar menolong dan membawaku pulang ke negerinya."
"Apakah wajah anak ini mirip dengan yang menolong kakek itu?" tebak Yuk Lau.
"Ya, sangat mirip. Hanya saja saat itu putri tersebut sudah berumur kira-kira 17
tahun. Anak iini paling-paling baru delapan atau sembilan tahun."
"Kong-kong, apakah ada dua orang yang tidak punya hubungan darah tapi bisa
sangat mirip satu sama lain?"
"Di kolong langit banyak hal bisa terjadi. Sudahlah. Kita cepat-cepat saja
berjalan supaya tidak kemalaman."
* * * Ching-ching siuman. Yang pertama ia rasakan adalah leher yang kering. "Haus,"
gumamnya serak. Ching Ching 29 Seseorang meminumkan air kepadanya. Setelah lehernya dialiri air dingin yang
segar, Ching-ching merasa enakan. Ia membuka mata. Seorang kakek tua duduk di
smaping tempat tidurnya. "Di manakah aku?" tanya Ching-ching. "Kenapa bisa ke sini?"
"Kau ada di Bukit Giok-lam. Kami temukan kau di kaki bukit dalam keadaan
pingsan." Ching-ching bangkit duduk dan menyoja. "Terima kasih Loo-peh-peh sudah
menolongku." "Jangan sungkan. Kita sesama orang memang tugasnya untuk saling menolong."
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang anak lelaki masuk ke kamar itu. "Kong-kong, ini obatnya." Tapi, melihat
Ching-ching sudah siuman ia sodorkan obat langsung pada anak itu. Ching-ching
langsung meneguk habis. "Istirahatlah, Kouw-nio ... eh ... Kouw-nio ...."
"Namaku Ching-ching," kata Ching-ching. "Tidak pakai kouw-nio."
Yuk Fung tersenyum. "Baiklah, Ching-ching, kau istirahatlah. Yuk Fung mengajak
cucunya keluar. Ching-ching merebahkan kepala dan terlelap lagi.
*** Beberapa hari Ching-ching dirawat di sana. Dengan cepat ia menjadi akrab dengan
Yuk Lau. Ching-ching sudah menceritakan bahwa ia mencari ayahnya. Yuk Fung
merasa tidak tega. Ia menahan Ching-ching lebih lama. Ching-ching tidak menolak.
Ia senang bermain dengan Yuk Lau. Ia juga senang membantu Yuk Fung - yang
dipanggilnya Kong-kong - menyembuhkan orang-orang.
Setiap hari, banyak orang datang minta diobati. Kadang sampai tidak cukup satu
hari untuk memeriksa. Ching-ching sering membantu sambils esekali menanyakan
ini-itu. Dalam satu bulan ia sudah memahami beberapa macam penyakit dan
pengobatannya sekalian. Suatu hari Yuk Lau datang berlari-lari ke tempat kediaman kakeknya.
"Ching-ching!" panggilnya pada teman main yang sedang membantu kakeknya menjemur
obat. "Coba tebak apa yang kubawa hari inI!"
Ching-ching mencoba mengintip apa yang dibawa Yuk Lau di balik punggungnya, tapi
tak berhasil. Terpaksa ia menebak-nebak. "Ikan," terkanya.
"Salah." "Jangkrik," Yuk Lau memang suka membawa jangkrik untuk diadu.
"Bukan." "Kue barangkali."
"Bukan juga." "Nyerah deh." Yuk Lau tertawa. Ia mengulurkan kedua tangannya yang membawa layang-layang dan
benangnya. "Layangan!" seru Ching-ching. Sudah lama sekali ia tidak main layangan, sejak
dibawa ke gunung Leng-yi oleh A-thianya.
"Thia-thia membelikannya di kota," kata Yuk Lau. "Ayo kita main di lapangan."
"Ayo!" kata Ching-ching. Tapi kemudian ia ingat akan pekerjaannya. "Tidak bisa
sekarang," katanya lagi. "Aku sedang membantu Kong-kong."
Yuk Lau tampak kecewa. "Padahal hari begini paling bagus-bagusnya main
layangan." "Ching-ching, kau pergilah. Semua ini sudah cukup," kata Yuk Fung. "Sisanya
tinggal sedikit. Kong-kong bisa lakukan sendiri."
Yuk Lau bersorak. "Kong-kong, pergi dulu," kata Ching-ching dan Yuk Lau bebareng
seraya berlari pergi sambil berpegangan tangan.
Ching Ching 30 Di lapangan ternyata ada beberapa pasang anak lain yang sudah lebih dulu datang.
"Yuk Lau, Ching-ching, mau bermain juga?"
"Ya, kemarin Thia-thia membawa layangan untukku."
"Hei, bagaimana kalau kita mengadu?" tanya seorang anak.
"Nanti saja," jawab Yuk Lau. "Aku tidak ingin cepat-cepat kehilangan layangan.
Ching-ching, mari kita main di tempat yang agak sepi di sebelah sana."
Mereka memisahkan diri dan mulai bermain. Mula-mula Ching-ching memegangi
layangan, sementara Yuk Lau menerbangkannya, lalu Ching-ching memegangi golongan
benang. Mereka bergantian menerbangkan layangan. Ketika hari menjelang sore,
hampir semua anak kehilangn layangan. Mereka semua pulang kecuali seorang anak
bersama temannya yang masih memiliki layang-layang.
"Yuk Lau, yang tersisa tinggal layangan kita. Bagaimana kalau kita adu
sekarang?" kata A-fuk, anak yang memiliki layangan itu.
Yuk Lau memandang Ching-ching minta persetujuan. Ching-ching mengangkat bahu.
"Terserah," katanya.
"Baik," kata Yuk Lau kemudian. "Adu tinggi atau adu benang?"
"Dua-duanya. Mula-mula adu tinggi dulu. Ayo turunkan layanganmu."
Mereka mulai mengadu lagi. Layangan Yuk Lau yang berbentuk capung meliuk-liuk di
angkasa. Semakin tinggi dan semakin tinggi. Angin bertiup kencang. Lawannya tak
dapat mengejar, takut kalau-kalau benangnya putus. Semetara layangan Yuk Lau
sudah berada di atas awan.
"A-fuk," kata Yuk Lau memanggil kawannya. "Layanganku sudah menang. Kau menyerah
tidak?" "Ya, ya, aku menyerah. Ayo kita adu sekarang."
"Baik!" Yuk Lau merendahkan layangannya. Ching-ching menggulung benang dengan
cepat. Dua layangan di angkasa seolah bertempur. Saling mematuk, saling melilit dan
berputar mengejar lawannya. Ching-ching sudah sering main layangan. Ia dapat
mengimbangi gerak Yuk Lau dengan menggulung atau mengulur benang. Suatu ketika,
benang Yuk Lau hampir melilit layangan A-fuk. A-fuk gugup. Ia cepat-cepat
mengulur benangnya. "Ulur, ulur!" perintah A-fuk kepada A-yong yang memegang benang.
"Aduh, tidak bisa. Benangnya kusut," jawab kawannya itu.
A-fuk menggeram kesal. Tapi layangannya sudah menukik jatuh di antara pepohonan
besar, tak jauh dari tempat bermain itu.
"Kau cari sana!" bentak A-fuk lagi. "Biar benangnya aku yang uraikan."
A-yong lari terbirit-birit mencari layangan itu. Yuk Lau tertawa-tawa. Ia
menurunkan layangannya. "Aku penasaran," kata A-fuk. "Kenapa sih aku selalu kalah darimu kalau main
layangan" Padahal dengan teman-teman yang lain, aku selalu menang."
"Entah, ya," jawab Yuk Lau. "Barangkali karena kau kurang cekatan daripada aku
soal memainkan benang. Dan jangan lupa, kawanmu harus tahu juga kapan waktu
mengulur dan menggulung benang. Kalau tidak main bersama Ching-ching, barangkali
hari ini aku yang kalah."
Ching-ching jadi bangga dipuji begitu.
"Ya, ya, kalau benangku tidak kusut tadi, semestinya aku dapat melepaskan
layanganku dari punyamu. Ching-ching, lain kali kau main denganku, ya."
"Baik, tapi kalau Lau Koko tidak keberatan."
"Lain kali boleh kaucoba," sahut Yuk Lau.
A-fuk kembali menekuni benang kusutnya. Tapi semakin diurai, tampaknya semakin
Ching Ching 31 kusut saja benang itu. "Huh, benang sialan!" umpatnya sambil mencoba melepaskan
benang yang melilit kakinya. Ching-ching dan Yuk Lau tertawa melihat A-fuk yang
berjingkrakan sambil mengomel-omel.
"Sini, biar aku yang kerjakan." Ching-ching menolong A-fuk melepaskan diri dari
lilitan benang. Sesudahnya, malah dia luruskan juga benang kusut itu.
"Yuk Lau," bisik A-fuk pada temannya, "beruntung benar kau, tahu-tahu punya adik
yang bisa diajak main macam-macam. Sabar, cekatan, dan, kata Fei-fei adikku,
Ching-ching pintar masak juga, ya."
"Iya sih. Masakannya memang enak. Belakangan ini, aku malah lebih sering makan
di rumah Kong-kong daripada di rumah sendiri. Ibuku sampai iri pada Ching-ching.
Tapi kau belum tahu. Ching-ching itu, kalau tidak suka sama orang, bisa galak
dan tidak sabaran." "Ah, masa iya?" A-fuk menyangsikan.
"Suatu saat kau akan lihat."
"Tolong ... tolong ...!" Tiba-tiba A-yong lari dari balik pepohonan. Ketiga anak
yang lain menoleh. "Ada apa?" Yuk Lau mencegat.
A-yong menghindari tabrakan dengan Yuk Lau, tapi ia malah tersandung Ching-ching
yang masih berjongkok. Gulungan benang yang sudah rapi tertendang sampai terurai
lagi dan melilit kedua anak yang terguling di rumput.
Keduanya duduk di rumput dengan badan terlilit benang. Ching-ching kesal sekali.
Benang yang susah payah diurainya kini kusut lagi. Melilit badannya pula.
Dicobanya berdiri, tapi benang yang melilit kaki membuat dia terduduk kembali.
"Sial!" umpatnya. "Kenapa sih kau lari-lari tidak lihat-lihat jalan! Benangnya
kusut lagi tu. Padahal, tadi sudah rapi kugulung. Heran, sudah lari-lari tanpa
sebab, membuat orang terguling lagi. Kalau mau jungkir-balik, ya
jungkir-baliklah sendiri. Tak perlu ajak-ajak orang lain."
A-yong bengong, disemprot dengan omelan yang tidak karuan itu. Wajahnya yang
pias makin pucat. A-fuk nyengir memandang Yuk Lau.
Yuk Lau meringis. "Tuh, apa kubilang" Betul kan" Soalnya, aku juga pernah
dimarahi waktu itu."
Keduanya menghampiri Ching-ching yang sibuk melepaskan diri, dan ikut membantu
tanpa peduli pada A-yong yang duduk tak bergerak. Tetapi, setelah beberapa saat,
belitan benang itu tak mau lepas juga.
"Putuskan saja," kata A-fuk tak sabar.
"Tak sayang?" tanya Ching-ching. "Benang panjang begini?"
"Kalau kau senang duduk di situ sampai besaok, aku sih tidak keberatan."
Ching-ching diam. Tentu saja dia tak mau duduk semalaman di lapangan itu.
Apalagi kalau malam, tempat itu sepi sekali. Hiy! Tidak, dia tak mau menginap di
situ. Maka, ia diam saja waktu A-fuk mulai memutuskan benang dengan giginya,
dibantu Yuk Lau. Tak berapa lama, lilitan benang terlepas. A-yong juga bebas.
Anak itu sudah agak tenang sekarang.
"Nah, katakan pada kami. Apa yang kaulihat di sana?" tanya Yuk Lau.
"Ada ... ada tangan," jawab A-yong.
"Tangan apa?" "Tangan besar. Berdarah! Hiii!" A-yong bergidik ngeri membayangkan apa yang
dilihatnya. "Tangan siapa" Mengapa berdarah?" tanya Ching-ching.
"Mana aku tahu?" sahut A-yong. "Aku belum sempat bertanya pada yang punya
tangna. Bahkan tak sempat melihatnya."
Ching Ching 32 "Jangan-jangan cma tangan doang. Buntung. Siapa tahu?" kata A-fuk.
"Sudah," Ching-ching mulai tak sabar lagi. "Daripada pusing-pusing, bagusan kita
lihat sendiri ke sana." A-fuk dan Ching-ching belari ke arah dari mana A-yong
datang tadi. Yuk Lau memandangi A-yong. "Mau ikut ke sana lagi?"
"Aku ... aku mau pulang saja," kata A-yong, terbirit-birit lari ke rumahnya.
Ching-ching dan A-fuk celingukan mencari tangan yang disebut-sebut A-yong.
"Itu tuh!" A-fuk menunjuk.
Ching-ching mengikuti arah tunjukannya. Ia melihat seekor burung terkapar dengan
sayapnya yang terbentang. Sayap kanannya luka. "Itu sih burung."
"Tangannya luka."
"Bukan tangan. Sayap."
"Sama saja," A-fuk ngotot, dan menghampiri burung tersebut. "Sudah mati!"
Ching-ching menggeleng. "Yang kita cari, tangan manusia."
"Kata siapa" A-yong cuma bilang tangan, begitu."
"Iya, tapi besar. Ingat" Sayap burung ini kecil."
A-fuk mengangkat bahu, lalu berdiri dan celingkukan lagi.
"Sudah ketemu?" tanya Yuk Lau yang menyusul belakangan.
"Belum," serentang kedua anak lain menggeleng.
"Pencar saja, supaya cepat. Sebentar lagi gelap."
Mereka berpencar ke arah yang berlainan. Beberapa saat kemudian, terdengar A-fuk
berteriak. "Horeee! Kutemukan!"
Ching-ching dan Yuk Lau berlari mendekat. "Mana" Mana?"
"Ini!" A-fuk menyodorkan benda di tangannya. Sebuah layangan!
"Heeey! Kita ini sedang mencar tangan, bukan layangan!" teriak Ching-ching
jengkel. Yuk Lau hanya mendengus saja dan berbalik, kembali mencari. Ching-ching juga. Ia
mengawasi semak-semak sambil menggerundeng. Tiba-tiba dilihatnya genangan merah
kehitaman. Darah! Ia menoleh ke sekeliling. "Darahnya ada, tapi mana tangannya?"
Dicarinya di antara semak-semak, tapi tetap tak ditemukan. Ching-ching mengawasi
sekeliling genangan darah itu. Tak ada setetes jejak darah lain di sana. Sesuatu
jatuh dari atas pohon tepat ke genangan darah itu, membuat riak-riak kecil.
Ching-ching melihat ke atas.
"Aaaaaaa!" tahu-tahu ia menjerit sampai kaget sendiri. Dia melihat tangan besar,
penuh darah, menggelantung di antara rimbunnya daun, tak jauh di atas kepalanya.
Ching-ching memejamkan mata untuk menentramkan hati. Didengarnya Yuk Lau dan A-
fuk mendekat. "Di mana?" tanya mereka langsung.
Ching-ching menunjuk ke atas. Yuk Lau dan A-fuk tidak bersuara lagi. Ching-ching
memberanikan diri membuka sebelah matanya. Ternyata kedua anak lelaki itu sedang
melotot dengan mulut ternganga!"
"Wah, besar betul," kata A-fuk setelah tercengan beberapa lama. "Bahkan lebih
besar dari tangan ayahku." A-fuk berjingkat dan menyentil tangan besar itu
dengan telunjuknya. Gedubrak! Tangan itu jatuh dengan suara keras, bersama tubuh yang empunya,
tentu. Ching-ching membuka mata yang satunya. Gawan, patah tulang-tulangnya nanti,
pikir anak itu. Orang itu laki-laki. Umurnya paling aru 17 tahun. Wajahnya lumayan tampan. Aneh,
warnanya sebelah pucat sebelah lagi kehitaman. Tangannya begitu juga. Yang tidak
Ching Ching 33 berdarah warnanya pucat. "Keracunan!" kata Yuk Lau, yang mengetahui ciri-ciri orang keracunan dari
kakeknya. "Kita bawa saja ke tempat kakekmu. Aduh!" A-fuk memegangi jarinya yang tiba-tiba
sakit. "Kenapa?" "Entah, jariku tiba-tiba sakit." A-fuk memperlihatkan jarinya yang seperti
melepuh. "Padahal, tadi tidak apa-apa."
"Tai tadi kau menyentuh tangan orang ini," kata Yuk Lau agak panik. "Darah orang
ini beracun rupanya. Ayo, cepat pulang ke rumah kakekku."
Yuk Lau melepas bajunya, membungkus tangan yang berdarah, kemudian menyeret
orang itu. A-fuk membantu mendorong kakinya, sambil sesekali mendesis kesakitan.
Ching-ching berjalan mendahului, membawa layangan mereka.
*** "Orang ini terkena Racun Pemunah Jiwa," kata Tabib Yuk Fung. "Susah dicari
obatnya." "Apakah dia akan mati?" tanya A-fuk.
"Ya, ia akan mati kehabisan darah. Lihat, darah dari ujung jarinya mengucur tak
berhenti." "Tidakkah Kong-kong dapat menyembuhkannya?" Ching-ching bertanya penuh harap.
"Kelihatannya orang ini baik. Sayang, kalau mesti cepat-cepat mati."
"Ya, entah bagaimana ia dapat terkena racun ini. Jangan-jangan
Toat-beng-kim-sian (Dewa emas pencabut nyawa) sesungguhnya belum mati."
"Aduh, aduh!" Tiba-tiba A-fuk menjerit dan terguling di lantai, kemudian diam
tak bergerak. "Tangannya hitam!" jerit Ching-ching yang berdiri paling dekat dengan A-fuk.
Yuk Fung cepat-cepat mendekat dan mengamati. "Dia terkena racun yang sama!" seru
tabib sakti terkejut. "Pasti telah disentuhnya darah orang itu."
"Oy ya, tadi memang disentuhnya tangan orang itu."
"Seharusnya kalian bilang sejak tadi." Tabib Yuk Fung mengeluarkan sebuah pil
bulat putih bagai mutiara dan memasukkannya ke mulut A-fuk. "Sekarang keadaannya
malah lebih berbahaya dari orang yang kalian tolong. Orang itu akan mati sekitar
lima hari lagi. Tapi A-fuk ... kalau kita tidak cepat-cepat cari obat, dalam tiga
hari ia akan kehilangan nyawanya."
"Bagaimana bisa begitu?" Ching-ching tertarik.
"Orang yang kalian tolong telah terpukul oleh pukulan Hoan-beng-ciang (Pukulan
pengantar nyawa) yang berhawa racun. Sejak hari ia terpukul, darahnya akan
mengucur dari ujung jari dan tak akan berhenti sampai darahnya habis. Hal itu
makan waktu sepuluh hari. Jadi, orang ini sudah lima hari tergantung di pohon.
A-fuk yang menyentuh darah orang ini akan mati dalam tiga hari sebab darah
beracunnya masuk lewat pori-pori ke pembuluh darah. Racun itu akan menjalar
pelan-pelan bersama darah. Setelah tiga hari, racun sampai ke jantung dan A-fuk
akan mati." Ching-ching dan Yuk Lau berpandangan. "Mestinya kita tidak usah menolong orang
Tiga Maha Besar 20 Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 18