Pencarian

Memanah Burung Rajawali 19

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 19


Auwyang Kongcu menggunai tipu silat seperti tadi. Ia memutar balik kepalannya,
untuk mengulangi serangan susulan. Tapi kali ini Kwee Ceng melenggaki kepalanya,
tangan kanannya berbareng dipakai menolak ke depan.
Menurut aturan, sambil berlenggak tidak dapat orang pun menyerang. Tapi Kwee
Ceng adalah lain daripada yang lain. Ia sudah dapat mewariskan kepandaiannya Ciu
Pek Tong, ia bisa berkelahi dengan dua tangannya seperti tangan dua orang, kedua
tangannya dapat digeraki menurut rasa hatinya. Maka itu celakalah keponakannya
Auwyang Hong, yang tidak mengetahui kebiasaan orang itu. Tangan kanannya itu,
yang dipakai menyerang ke muka, kena ditangkis hebat, sedetik itu juga tangan
itu patah! Dalam ilmu silat, Auwyang Kongcu tidak ada dibawahan Ma Giok, Ong Cie It atau
See Thong Thian atau lainnya lagi, maka itu dibandingkan sama Kwee Ceng, ia
menang segala-galanya, hanya kali ini ia kebentur sama ilmu silat yang istimewa,
yang asing untuknya, dari itu robohlah dia!
Selagi lawannya itu roboh, hingga Oey Yong terlepas dari pelukan tangan kirinya,
Kwee Ceng pun tidak menggubris, pemuda ini lebih memerlukan berlompat kepada
pacarnya, yang rebah tak bergeming. Sekarang ia mengerti si nona kena tertotok,
lantas saja ia menotok untuk membebaskannya.
Syukur Auwyang Kongcu menggunai totokan yang umum, dengan begitu Kwee Ceng dapat
menyadarkan nona itu. "Lekas bantu suhu!" berteriak Oey Yong yang sesadarnya dia.
Kwee Ceng sudah lantas berpaling kepada gurunya. Ia melihat gurunya itu dan
Auwyang Hong tengah berkelahi mati-matian. Suara beletak-beletok dari bekerjanya
api seperti menambah serunya pertarungan itu.
Yang hebat ialah terlihatnya badan perahu mulai karam.
Maka itu juga Kwee Ceng menyambar pengayuh, untuk memajukan perahunya datang
dekat ke perahu besar itu.
Di dalam pertempuran itu, suasana menjadi terbalik. Sudah lama sejak Ang Cit
Kong kerendam air, sekarang pakaiannya sudah kering semua, pakaian itu gampang
tersambar api dan terbakar, hawa api pun membikin tubuh panas. Di pihak lain,
tubuhnya Auwyang Hong basah kuyup, ia tidak takut api, bahkan bekas nyebur, ia
menjadi seperti mendapat tambahan tenaga dan semangat. Tapi hebat si Pak Kay,
Pengemis dari Utara itu, walaupun ia terdesak, ia memaksakan diri untuk
bertahan. Mendadak sebatang tiang layar jatuh dengan apinya yang berkobar, jatuh di
tengah-tengah kedua jago itu. Mau atau tidak, mereka itu sama-sama berlompat
mundur, hingga selanjutnya mereka terpisahkan kayu menyala-nyala itu.
Auwyang Hong penasaran, dengan tongkat ular-ularannya dia menyerang pula.
Ang Cit Kong tidak diam saja, ia mencabut tongkatnya dari pinggangnya, guna
menangkis. Kalau tadi mereka bertarung dengan tangan kosong, sekarang mereka menggunai
genggaman. Tentu sekali, sekarang ini mereka berkelahi semakin hebat.
Kwee Ceng terus mengayuh perahunya. Ia terus bergelisah untuk gurunya. Hanya
ketika ia menyaksikan pertempuran dua orang itu, perhatiannya jadi tertarik, ia
menghela napas saking kagumnya.
Di dalam kalangan persilatan ada kata-kata, "Belajar golok seratus hari, belajar
tombak seratus hari, belajar pedang selaksa hari". Itulah bukti yang ilmu silat
pedang paling sukar dipelajarinya. Demikian pada duapuluh tahun yang lalu, dalam
pertempuran di Hoa San terlihat nyata sempurnanya tetapi pun sulitnya ilmu
pedang, maka juga dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong masih menukar senjata
mereka. Ang Cit Kong memakai tongkatnya yang ia senantiasa bawa-bawa, ialah
tongkat warisan Kay Pang atau tanda tertua dari Partai Pengemis itu. Tongkat itu
lebih panjang satu kaki daripada pedang sebatang dan sifatnya lemas, tetapi di
tangan Cit Kong, satu ahli luar, gwa kee, tongkat itu menjadi tegar sekali.
Tongkat ular-ularan dari Auwyang Hong pun suatu senjata istimewa. Dan See Tok
menggunainya itu dengan campuran gerak-gerik toya dan tongkat. Di ujung kepala
tongkat ada ukiran kepala orang yang mulutnya terbuka tertawa, yang kedua baris
giginya terpentang dengan semua giginya tajam serta gigi itu dipakaikan racun
ular, maka diwaktu dipakai bersilat, kepala orang-orangan itu bergerak-gerak
bagaikan hantu mengangga. Pula, asal pesawat rahasianya dikasih bergerak, dari
dalam mulut itu bakal tersemburkan senjata rahasia yang beracun juga. Yang lebih
lihay lagi ialah itu dua ekor ular yang melilit di batang tongkat, yang bisa
memagut orang secara tiba-tiba....
Hebat pertempuran ini karena mereka sama-sama lihaynya. Tongkat Auwyang Hong
terlebih unggul, tetapi Cit Kong adalah kepala Pengemis di seluruh Tionggoan dan
sebagai kepala pengemis, dialah penakluk ular yang nomor satu. Demikian
tongkatnya bergerak-gerak, bukan cuma menyerang lawan tetapi juga menghamtam
kedua ular berbisa itu. Hanya dengan kelicikannya, Auwyang Hong saban-saban
dapat menolongi ularnya itu. Ia menjadi sengit, diam-diam ia mengutuk pangcu
dari Kay Pang itu, yang kelihayannya mesti ia akui.
Kwee Ceng menonton dengan pikirannya bingung. Mau ia membantu gurunya tetapi ia
tidak mempunyakan kesanggupannya. Bukankah musuh itu sangat lihay" Mana dapat ia
menyelak di antara mereka berdua.
Tapi juga Auwyang Hong insyaf untuk bahaya yang mengancam. Perlahan-lahan ia
merasakan tubuhnya berhawa panas. Yang hebat hanya ia merasakan badan perahu,
yang tinggal sebelah itu, mulai tenggelam. Penyerangan lawan dahsyat sekali,
kalau ia tidak keluarkan kepandaiannya, bisa-bia ia terbinasa di tangan si
pengemis tua ini. Maka ia lantas menukar siasat. Tangan kanannya, yang memegang
tongkat, ia tarik, dann tangan kirinya dipakai menyapu.
Dengan tongkatnya Ang Cit Kong mengejar tongkat lawan, dengan tangan kirinya ia
menangkis sapuan tangan kiri lawannya itu. Atau mendadak tangan kiri Auwyang
Hong dikelitkan, diputar, untuk secepat kilat dipakai menyerang pula ke arah
pelipis kanan dari musuhnya!
See Tok menggunai tipu silat Kim Coa Kun atau Kuntauw Ular Emas. Itulah siasat
ilmu silatnya yang istimewa. Bahkan ia hendak mengandalkan ini ilmu pada
pertemuan yang kedua kali nanti di Hoa San, untuk menunduki semua lawannya.
Keistimewaannya ialah selagi dipakai menyerang, tangannya dapat diputar balik,
untuk dipakai menyerang pula secara dahsyat diluar dugaan lawan. Begitulah, ia
menggunai tipu silatnya ini terhadap Pak Kay. Ia percaya si pengemis tidak kenal
ilmu silatnya itu. Memang, mulanya Ang Cit Kong tidak kenal Kim Coa Kun, ia pun melihatnya secara
kebetulan, yaitu di Poo-eng, Auwyang Kongcu menggunai itu terhadap Kwee Ceng.
Sebabnya Cit Kong tidak menghadari pestanya Lee Seng beramai itulah karena ia
lagi memikir keras tipu silat untuk memecahkan ilmu Kim Coa Kun itu. Maka, kali
ini, melihat Auwyang Hong menggunai tipu ilmu silat ini lagi, Cit Kong sudah
siap sedia. Dengan menggunai tipu silat Kim-na-ciu, menangkap tangan, ia
mengulur tangannya untuk menjambret.
Inilah Auwyang Hong tidak sangka, ia terkejut sambil berlompat mundur. Justru
itu ada jatuh segumpal api, yang menyambar kepadanya.
Cit Kong juga terkejut, dia terus melompat mundur. Sekarang dia dapat melihat
tegas, yang jatuh itu adalah kain layar yang termakan api.
Di dalam keadaan biasa, tidak nanti Auwyang Hong kena ketungkup, tetapi barusan
ia sedang kaget dan heran sebab ilmu silatnya kena dipecahkan lawan, ia juga
baru menaruh kaki, sedang jatuhnya layar secara tiba-tiba, maka tidak berdayalah
ia untuk menyingkir. Dalam kagetnya itu, Auwyang Hong tidak menjadi gugup atau bingung. Ia lantas
menggunai tongkatnya, akan menyingkap kain layar itu. Lacur untuknya, tongkatnya
itu terhalang tiang layar, tidak dapat ia geraki. Baru setelah itu ia menghela
napas dan mengeluh: "Habis sudah, hari ini aku mesti pulang ke langit..."
Sekonyong-konyong ia menampak sinar terang. Tadinya ia berada dalam gelap
gulita. Ketika ia awasi, ia melihat Ang Cit Kong tengah menggunai tongkatbya
menyontek menyingkap layar.
Pak Kay adalah seorang yang berperangai halus dan murah hati, walaupun ia sangat
benci See Tok untuk kelicikan dan keganasannya, ia masih tidak tega menonton
orang mampus terbakar. Maka tanpa banyak pikir, ia memberikan pertolongan itu.
Auwyang Hong telah terbakar pakaiannya, rambutnya dan alisnya. Ia berlompat,
terus ia menjatuhkan diri, bergulingan di lantai perahu. Dengan caranya ini ia
hendak membikin api padam. Selagi ia bergulingan itu, mendadak perahu miring,
lalu rantai jankar jatuh menimpa ke arahnya.
Cit Kong kaget hingga ia menjerit, terus ia berlompat akan menyambar jangkar
itu. Celaka untuknya, jangkar itu merah marong bekas terbakar, ketika kena
terpegang, kontan tangannya terbakar hangus dengan mengeluarkan suara
terbakarnya, tetapi ia masih sempat melemparkannya ke laut. Hanya, selagi
menolong ini dan hendak lompat ke laut, mendadak ia merasakan punggungnya
berikut pundaknya menjadi kaku. Untuk sesaat ia melengak, tak tahu ia apa
sebabnya itu. Atau tiba-tiba ia ingat suatu apa, yang berkelebat di otaknya.
Segera ia menoleh ke belakang. Di dalam hatinya ia berkata: "Aku telah tolongi
See Tok, mustahilkah ia menggunai tongkat ularnya mencelakai aku?" Ia berpaling,
justru tongkat bambu berkelebat di depan matanya, kedua mulutnya ular penuh
darah hidup, kepalanya sedang digoyang-goyang. Bukan main murkanya Ang Cit Kong,
kedua tangannya segera melayang ke arah Auwyang Hong.
See Tok dapat berkelit, maka itu, sebatang tiang layar dibelakangnya terhajar
keras, menjadi patah dan roboh karenanya.
Cit Kong tidak berhenti sampai di situ, ia menyerang terus.
Auwyang Hong melihat orang seperti kalap, ia tidak mau melawan berkelahi, ia
lebih banyak berkelit sambil berlompatan.
"Suhu! Suhu!" Kwee Ceng berteriak-teriak melihat kelakuan gurunya itu. Ia pun
merayap naik ke perahu besar.
Adalah di saat itu, Ang Cit Kong terhuyung-huyung. Ia merasakan kepalanya
pusing, hingga ia tak ingat suatu apa.
Auwyang Hong berlompat maju, dengan sebelah tangannya ia menghajar punggung si
raja pengemis. Hebat serangannya ini.
Dalam keadaanya seperti itu, Ang Cit Kong tidak bisa mempertahankan dirinya. Ia
lantas saja roboh sambil muntahkan darah hidup.
Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong sangat kesohor kegagahannya, Auwyang Hong ketahui
dengan baik, hajarannya ini tidak dapat segera menghabiskan jiwa orang, dan ia
ketahui juga, kalau nanti Ang Cit Kong sembuh dari lukanya ini, pembalasannya
tak akan ada habisnya, maka itu, sudah kepalang, ia mengambil sikap: "Berkasihan
tidak menurunkan tangan, menurunkan tangan tidak berkasihan". Ia lantas
berlompat maju, dengan kakinya ia menjejak punggung orang!
Kwee Ceng baru saja naik dari perahunya ketika ia menyaksikan keganasan See Tok
terhadap gurunya itu, tidak sempat ia maju lebih jauh untuk menolongi, karena
tidak ada jalan lain, ia menyerang dengan kedua tangannya dengan pukulan
"Sepasang naga mengambil air". Ia menyerang ke punggung bagian pinggang.
Auwyang Hong tahu si bocah lihay, ia tidak memandang hebat. Ia geraki tangan
kiri untuk menangkis, dengan tangan kanannya ia membalas menyerang. Di sebelah
itu, kakinya terus menginjak Ang Cit Kong!
Kwee Ceng kaget hingga ia melupakan segala apa, ia berlompat menubruk Auwyang
Hong, batang leher siapa ia rangkul. Tapi justru ini, ia membuat dirinya kosong,
maka enak saja rusuknya kena dihajar si Bisa dari Barat.
Dalam keadaan rapat seperti ini, tidak leluasa Auwyang Hong menyerang, tetapi
dasar ia lihay, serangan itu hebat, hanya syukur untuk Kwee Ceng, tenaga
dalamnya telah mempunyakan dasar, maka ia tidak segera roboh, dia cuma merasakan
sakit sekali dan separuh tubuhnya hampir kaku. Karena ini dia menjadi nekat, ia
perkeras rangkulannya, untuk mencekik leher orang.
Oleh karena perlawannan Kwee Ceng ini, tendangan Auwyang Hong kepada Ang Cit
Kong menjadi batal, sebab untuk membela diri, ia mesti segera menarik pulang
kakinya itu. Tapi ia tidak sanggup menggunakan kuntauw Kodok atau Ular Emas,
untuk itu mereka ada terlalu rapat, maka ia cuma dapat menyerang muka orang.
Kwee Ceng berkelit setiap kali ia dipukul. Untuk menangkis, ia tidak mampu,
lantaran kedua tangannya lagi digunakan dengan sekuat tenaganya. Ia bisa
berkelit di atas kepalanya - tidak bisa ia dibawah - yaitu rusuknya. Maka lagi-
lagi See Tok menyikut. Kwee Ceng mesti berkelit ke kanan, dengan begitu ia terpaksa melepaskan tangan
kirinya, tetapi ia tidak berhenti berdaya, dengan lekas ia menggunai ilmu gulat
bangsa Mongolia. Tangannya itu ditelesupkan ke antara iga dan lengan musuh,
diulur untuk membangkol batang leher.
Auwyang Hong lihay tetapi sekarang ia pun merasakan sakit. Ia mengerti si anak
muda menggunai tiou silat apa, hanya celakanya untuk dia, ia tidak mengerti
caranya untuk menolongi diri, dari itu ia cuma bisa menggunai kepalan tangannya
meninju ke belakang. Melihat ini Kwee Ceng menjadi sangat girang. Segera ia melepaskan cekikannya,
dengan tangan kanan itu, tangan ditelesupkan seperti tangan kiri taidi - kalau
tadi di sebelah kiri, sekarang di sebelah kanan. Kembali ia membangko leher
orang, berbareng dengan mana ia berseru mengerahkan tenaganya. Dengan menggunai
dua tangan berbareng, ia menjadi berbahaya sekali. Ini dia yang dinamakan tipu
"Menjirat mematahkan gunung". Dalam halnya Auwyang Hong, dia terancam patah
leher.... Cerdik sekali Auwyang Hong. Ia pun bertindak dengan sebat. Ia mengasih turun
kepalanya, untuk nelusup ke selangkangan si anak muda sembari berbuat begitu ia
juga meninju dengan kepalan kiri. Ia tidak mau mengasih ketika orang sempat
mengerahkan tenaganya. Sebelum ia kena ditinju, Kwee Ceng telah menyambar tangan kiri si jago yang
berbisa itu. Ia tetap merapatkan tubuhnya kepada tubuh musuh, ia mencoba terus
menggunai ilmu gulatnya. Ia menginsyafi, satu kali mereka renggang, ia bisa
susah. Pula, dengan berkelahi rapat, ia dapat mencegah musuh mencelaki gurunya.
Oey Yong bingung sekali. Di satu pihak ia tampak Ang Cit Kong rebah di pinggir
perahu, separuh tubuhnya berada di luar perahu, di lain pihak terlihat Kwee Ceng
lagi bergulat mati-matian terhadap Auwyang Hong, keduanya bergulingan, tubuh
mereka sudah tererap api. Karena ini dengan pengayuh ia mengahajar Auwyang
Kongcu. Walaupun dia telah terluka tangan kirinya, pemuda she Auwyang ini tetap kosen.
Ia berkelit ke kiri, sambil berkelit, tangannya menyambar lengan si nona.
Oey Yong berkelit sambil menekan perahu, hingga perahu itu menjadi miring.
Auwyang Kongcu tidak bisa berenang, miringnya perahu membikin tubuhnya
terhuyung. Untuk menetapkan diri, ia batal menyerang terus kepada si nona.
Menggunai saat perahu miring itu, Oey Yong terjun ke air. Ia pandai berenang, ia
tidak takut. Hanya dengan beberapa kali menggunakan tangannya, tubuhnya sudah
nyelosor ke perahu besar. Perahu itu tinggal separuh, sekarang separuh tubuh itu
sudah kelam separuhnya lagi. Dengan gampang si nona naik ke parhu besar itu. Di
situ ada sebuah tempuling, ia sambar itu hendak ia membantu Kwee Ceng.
Auwyang Hong dan si anak muda masih berkutat bergulingan, bergantian di bawah
dan di atas, akan kemudian, karena ia terlebih hilay, Auwyang Hong terus berada
di sebelah atas. Dalam keadaan seperti itu, Kwee Ceng terus mengendalikan kedua
tangan musuh, supaya musuh tidak dapat menyerang kepadanya.
Adalah di saat itu, Oey Yong berlompat maju sambil menikam.
Hebat Auwyang Hong. Ia mendapat tahu ada serangan di belakangnya, ia berkelit
seraya mengerahkan tenaganya mengangkat tinggi tubuh Kwee Ceng, memakai si anak
muda sebagai tameng. Oey Yong mengubah serangannya, kali ini kepala See Tok.
Jago tua itu bisa berkelit, bahkan terus-terusan ia mengegos ke kiri dan ke
kanan, menyingkir dari ujung tempuling.
Tiga kali oey Yong menikam dengan sia-sia, yang keempat kalinya, tempulingnya
nancap di lantai perahu, hingga abunya mengepul naik mengenai matanya, hingga ia
kelilipan dan matanya mengeluarkan air. Ia mengucak matanya itu. Justru itu ia
merasakan kakinya sakit, tubuhnya limbung, malah terus ia roboh. Sebab Auwyang
Hong telah sapu kakinya selagi ia tidak melihat.
Si nona roboh untuk terus menggulingkan diri, buat berlompat bangun. Karena
robohnya itu, rambutnya kena kesambar api. Ia maju pula, untuk mengulangi
serangannya. Atau mendadak Kwee Ceng berseru-seru: "Tolongi suhu dulu! Tolongi
suhu dulu!" Oey Yong mengerti tugasnya, ia lantas lari kepada Ang Cit Kong, ia tubruk tubuh
orang, untuk dipeluk, setelah mana ia terjun ke air. Dengan menyeburkan diri, ia
lantas merasakan tubuhnya adem, tak sepanasnya lagi seperti tadi. Ia berenang
sambil menggendong gurunya, ia menuju ke perahu kecil.
Auwyang Kongcu berdiri di atas perahu kecil itu, sebelah tangannya mengangkat
pengayuh. "Lepaskan si pengemis tua! Cuma kau sendiri yang boleh naik!" demikian teriaknya
dengan mengancam. Sebelah tangan Oey Yong masih memegangi tempulingnya.
"Baiklah, mari kita bertempur di dalam air!" ia pun berseru, menjawab ancaman
itu. Ia menyambar pinggiran perahu, ia menggoyangnya.
Auwyang Kongcu kaget dan ketakutan melihat perahu tergoncang keras. Kalau perahu
itu terbalik dan karam, celakalah dia.
"Jangan, jangann goncang!" ia berteriak-teriak seraya keras memegangi perahu.
"Nanti perahu ini karam..."
Oey Yong tertawa. "Lekas tarik guruku naik!" ia menitah. "Hati-hati! Jikalau kau main gila, aku
nanti lelapkan kau di dalam air selama tiga jam!"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Auwyang Kongcu tidak berdaya, terpaksa ia memegang bebokongnya Ang Cit Kong,
untuk mengangkatnya naik ke perahu.
"Nah, beginilah baru anak manis!" berkata Oey Yong tertawa.
Sebenarnya Oey Yong hendak kembali ke perahu besar, untuk menolongi Kwee Ceng,
atau mendadak ia mendengar satu suara nyaring sekali, lalu melihat gelombang
besar dan tinggi medampar ke arahnya. Ia lantas memutar tubuhnya, habis itu ia
berbalik pula, rambutnya di depan mukanya tersingkap ke belakang. Ia berdiri
tercengang kapan ia sudah memandang ke depan.
Gelombang barusan berputar seperti usar-usaran air, di situ tidak terlihat lgi
perahu besar yang tinggal separuh tadi, dengan begitu, lenyap juga Kwee Ceng dan
Auwyang Hong yang tengah bergulat itu.
Oey Yong baru sadar ketika air asin menyambar masuk ke dalam mulutnya. Tadinya
ia seperti lupa akan dirinya sebab hatinya mencelos mendapatkan pemuda pujaannya
lenyap, lenyap dibawa air. Ia lantas melihat ke sekelilingnya. Di situ ia tidak
nampak apa juga kecuali si perahu kecil. Rupanya semuanya sudah ditelan sang
laut......................
Bab 42. Di pulau terpencil
Bab ke-42 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Oey Yong selulup, ia berenang ke arah air berputar itu. Ia tidak jeri untuk
tenaga besar dari usar-usaran air itu, ia dapat mempertahankan diri dari sedotan
yang keras. Di situ ia selulup ubak-ubakan, untuk mencari Kwee Ceng. Lama ia
berputaran, Kwee Ceng tidak nampak, Auwyang Hong pun tidak ada. Maka maulah ia
menduga, kedua orang itu telah kena terbawa perahu sampai di dasar
laut............ Lama-lama lelah juga Oey Yong. Tapi ia masih belum putus asa, ia bahkan
penasaran. Maka ia mencari terus. Sangat ia mengharap-harapkan nanti dapat
menemukan si anak muda. Diam-diam ia mengharapi bantuan Thian, mengasihani dia.
Tapi masih sia-sia belaka usahanya itu. Saking letih, ia muncul ke muka air. Ia
berenang ke perahu kecil. Di dalam hatinya ia berjanji, sebentar ia akan selulup
pula, untuk mencari terlebih jauh.
Auwyang Kongcu melihat si nona menghampirkan, ia mengulur tangannya untuk
membantui dia naik ke perahu. Ia pun sangat berkhawatir atas lenyapnya pamannya
itu. "Apakah kau melihat pamanku" Apakah kau melihat pamanku?" demikian pertanyaannya
berulang-ulang. Oey Yong tidak menyahuti, bahkan ia tak sadarkan diri sebab begitu lekas juga ia
merasai matanya gelap....
Beberapa lama si nona pingsan, inilah ia tidak ketahui. Ketika ia mendusin, ia
merasakan tubuhnya enteng, bagaikan melayang-layang di antara mega, kupingnya
pun mendengar suara angin mendesir-desir. Lekas-lekas ia memusatkan pikirannya,
kemudian ia menggeraki tubuhnya, untuk berduduk. Maka sekarang bisalah ia
melihat ke sekitarnya. Ia masih berada di atas perahu kecil, perahu itu hanyut mengikuti lairan
gelombang. Auwyang Kongcu tidak mengerti urusan mengemudikan perahu, maka itu ia
membiarkan perahunya berlayar sendirinya....
Pula, entah berapa jauh sudah terpisahnya perahu dengan tempat karamnya perahu
besar itu. Bukan main berduka dan sakitnya hati Oey Yong. Ia percaya ia tidak bakal bertemu
pula dengan Kwee Ceng. Mendadak saja ia pingsan lagi.
Auwyang Kongcu duduk diam dengan sebelah tangannya keras-keras memegangi perahu,
yang terombang-ambing itu.
Lewat sekian lama, Oey Yong sadar sendirinya. Ia benar-benar putus asa, hingga
tawar untuk hidup lebih lama pula. Ketika ia menoleh kepada Auwyang Kongcu
timbullah rasa muak dan bencinya. Pemuda itu lagi memperlihatkan roman
ketakutan. "Mana bisa aku mati bersama-sama binatang ini?" pikir si nona sesaat kemudian.
Maka ia segera berlompat bangun.
"Lekas lompat ke laut!" ia membentak bengis.
Auwyang Kongcu kaget bukan main.
"Apa"!" dia menanya.
"Lompat ke laut!" sahut Oey Yong dengan bentakannya. "Kau tidak mau lompat"
Baik! Akan aku terbaliki perahu ini!"
Lantas si nona lompat ke kanannya, maka kontan perahu itu miring ke kanan, dari
situ ia lompat pula ke kiri, membuatnya perahu turut miring ke kiri itu, bahkan
miringnya terlebih hebat.
Auwyang Kongcu ketakutan, ia menjerit keras.
Senang Oey Yong mendengar teriakan itu, sengaja ia menggoncang pula kenderaan
itu lagi. Dalam takutnya itu, Auwyang Kongcu masih dapat berpikir. Biar bagaimana, ia pun
seorang lihay. Terpaksa ia mengambil tindakan. Setiap kali si nona lompat ke
kanan, ia lompat ke kiri, demikian sebaliknya. Ia senantiasa mengimbangi nona
itu. Oey Yong kewalahan, tidak dapat ia menggoda terlebih jauh.
"Baik!" katanya kemudian. "Hendak aku membocorkan perahu, ingin aku lihat, kau
bisa bikin apa!" Ia menghunus pisau belatinya, ia lompat ke tengah-tengah perahu
itu. Justru itu, Oey Yong melihat Ang Cit Kong lagi rebah tengkurup tanpa bergerak.
Ia menjadi kaget sekali. Baru sekarang ia ingat pula akan gurunya itu. Segera ia
mendekati, akan memasang kupingnya. Ia mendengar suara napas perlahan, hatinya
menjadi sedikit lega. Ia lantas mengangkat bangun tubuh orang, untuk dibalik,
hingga ia dapat melihat wajah gurunya itu.
Mukanya Cit Kong sangat pucat, dadanya bergerak turun naik perlahan-lahan,
jantungnya berdenyutan perlahan juga, tanda dari kelemahannya.
Keras keinginan si nona untuk menolongi gurunya, ia tak pedulikan lagi Auwyang
Kongcu. Ia lantas membukai baju gurunya, untuk memeriksa lukanya.
Tiba-tiba saja perahu itu bergerak keras.
"Tepian! Tepian!" Auwyang Kongcu pun berseru-seru kegirangan.
Oey Yong segera menoleh. Ia melihat pepohonan yang lebat. Perahunya sudah
berhenti bergerak. Kenderaan air kandas di tepian pulau yang berpasir. Masih
jauh akan tiba di darat, tetapi air ke arah sana dangkal sekali, dasarnya
tampak. Mungkin dalamnya air tak sebatas dada.
Dalam girangnya Auwyang Kongcu lompat turun dari perahu. Ia lantas jalan
beberapa tindak. Tiba-tiba ia berpaling kepada Oey Yong, terus ia berjalan
kembali. Oey Yong melihat pada tulang belikat kanan dari gurunya ada tapak tangan yang
hitam, tapak itu dalam membekas di daging, seperti bekas dibakar. Di sekitar itu
ada tanda hangus. Ia kaget sekali.
"Kenapa sehebat ini tangannya See Tok?" ia menanya di dalam hatinya.
Ia melihat punggung sebelah kanan dan leher, di sana ada dua lubang kecil
sekali, hampir tak terlihat. Ia meraba dengan jari tangannya, ia merasakan sakit
seperti terkena hawa panas, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu.
"Suhu, bagaimana?" ia menanya.
Ang Cit Kong bersuara, "Hm!" perlahan, ia tidak menyahuti.
"Eh, mari keluarkan obat pemunahmu!" Oey Yong tegur Auwyang Kongcu.
Pemuda itu menggeraki kedua tangannya, tanda putus asa.
"Semua obat ada di tangan pamanku," sahutnya.
"Aku tidak percaya!" berkata si noa.
"Kau geledah saja!" Auwyang Kongcu menyerah. Ia buka bajunya, ia keluarkan semua
isi sakunya. Oey Yong mengawasi dengan melongo.
"Nah, mari bantu aku mengangkat guruku ke darat!" ia berkata kemudian.
Auwyang Kongcu menurut. Maka Ang Cit Kong lantas dikasih bangun, untuk dapat
didukung. Kedua muda-mudi itu memasang pundak masing-masing, untuk menahan si
orang tua. Kemudian Oey Yong memegang tangan kirinya Auwyang Kongcu untuk tangan
mereka saling disilang, hingga si orang tua dapat duduk di tangan mereka yang
terpalang melintang. Hati Oey Yong cemas sekali. Ia merasakan tubuh gurunya gemetar.
Auwyang Kongcu sebaliknya girang. Ia merasakan tangan yang halus dan empuk
memegang erat-erat tangannya. Ini ada kejadian yang sekalipun di dalam mimpinya
ia tidak berani mengharapkannya. Maka ia amat menyesal yang cepat sekali mereka
sudah tiba di darat. Sambil berdongko dan membungkuk, Oey Yong menurunkan gurunya.
"Lekas ambil papan perahu!" ia menitahkan Auwyang Kongcu. "Jaga jangan basah!"
Habis menurunkan Ang Cit Kong, Auwyang Kongcu membawa tangannya ke bibirnya, ia
berdiri menjublak. Itulah bagian tangan yang sejak tadi dipegang erat-erat oleh
tangan yang halus dan empuk dari si nona. Karena itu, ia seperti tidak mendengar
perkataan si nona. Syukur untuknya, Oey Yong tidak menyangka jelek terhadapnya,
cuma sambil mendelik si nona mengulangi perintahnya.
Dengan cepat Auwyang Kongcu mengambil papan. Itu waktu Oey Yong telah
tengkurapkan tubuh gurunya di rumput yang empuk, ia mencoba akan meringankan
sakitnya. Maka diam-diam pemuda ini dapat lari ke tanjakan yang tinggi. Sembari
lari ia menanya dirinya sendiri: "Tempat apakah ini?" Ketika ia sudah melihat ke
sekelilingnya, ia kaget berbareng girang. Itulah sebuah pulau kecil, yang lebat
dengan pepohonan, hingga ia tidak tahu, pulau itu ada penghuninya atau tidak. Ia
kaget kapan ia mengingat, kalau pulau itu kosong, darimana mereka dapat makanan
dan pakaian, dimana mereka bisa bernaung" Ia girang tempo ia ingat bahwa ia
berada berduaan sama si nona manis, sedang si pengemis tua, ia percaya sukar
dapat ditolongi lagi. "Sama si cantik aku berdiam di sini, pulau kosong pun bagaikan sorga!" pikirnya.
"Kalau toh aku mesti mati dalam sehari atau semalam, aku puas..."
Seking girangnya, ia berjingkrakan seperti orang menari. Hanya ia kaget tatkala
ia angkat tangan kanannya. Baru sekarang ia ingat lengannya itu telah patah.
Karena ini lekas-lekas ia menggunai lengan kirinya mematahkan dua cabang pohon,
ia pun merobek ujung bajunya. Maka dilain saat ia sudah dapat menggantung
tangannya itu. Oey Yong sendiri telah memencet keluar darah hitam dari luka gurunya. Itulah
darah bercampur racun. Habis itu, ia tidak tahu harus berbuat apalagi. Di situ
tidak ada obat. Ia cuma bisa pindahkan gurunya ke tempat di mana ada dua potong
batu besar, untuk gurunya beristirahat.
"Coba kau lihat tempat ini tempat apa!" kemudian si nona teriaki Auwyang Kongcu.
"Coba cari tahu kalau-kalau dekat sini ada rumah orang atau pondokan..."
"Inilah sebuah pulau," menyahut Auwyang Kongcu sambil tertawa. "Terang sadah
disini tidak ada pondokan. Tentang rumah orang, lihat saja peruntungan kita..."
Oey Yong terperanjat. "Pergilah kau periksa!" ia menitah pula.
Senang si anak muda menerima titah si nona manis, ia lantas pergi. Ia masih
dapat menggunai ilmunya ringan tubuh walaupun tangannya sakit. Mulanya ia lari
ke timur di mana temapt lebat dengan pepohonan dan oyot berduri. Ia tidak
mendapatkan apa-apa, maka ia putar ke utara. Di sini pun ia tidak melihat rumah
orang atau gubuk, hanya dengan menggunai batu ia berhasil menimpuk roboh dua
ekor kelinci, yang ia lantas bawa kembali.
"Benar-benar sebuah pulau kosong!" katanya.
Oey Yong melihat orang tersenyum, ia mendongkol.
"Pulau kosong" Habis, apanya yang lucu"!" ia menegur.
Pemuda itu mengulur lidahnya, ia tidak berani banyak omong, terus ia mengeset
kulit kelinci, setelah mana, ia menyerahkannya kepada si nona.
Oey Yong merogoh sakunya, mengeluarkan terkesannya. Syukur ia menyimpannya
dengan dibungkus dengan kertas minyak, alat penyala api itu tidak basah, maka
dilain saat, ia sudah menyalakan api dengan apa dua ekor kelinci itu dipanggang.
Sesudah matang, yang seekor ia lemparkan itu kepada si anak muda, yang seekor
lagi ia beset sebelah pahanya, untuk diberikan kepada gurunya.
Ang Cit Kong terluka parah, ia masih belum sadar betul, tetapi begitu ia memcium
bau daging, segera terbangun napsu daharnya. Memangnya ia penggemar gegares.
Segera juga ia sudah mulai mengerogoti dan mengunyah daging kelinci itu. Habis
sepaha, ia menunjuk sikap masih ingin pula, maka muridnya, yang hatinya girang,
memberikan pula ia sepaha yang lain.
Setelah makan habis dua paha, Cit Kong menjadi lemah, malah dilain saat ia terus
tidur pulas. Oey Yong melihat cuaca mulai remang-remang, tandanya sang malam sudah tiba, dari
itu lekas-lekas ia pergi mencari lubang gua, untuk memernahkan gurunya itu.
Auwyang Kongcu membantui tanpa diperintah atau diminta. Ia mencari rumput kering
guna diampar sebagai kasur. Ia pun membantu memodong orang tua itu. Kemudian ia
mencari rumput lagi, guna mengampar dua tempat, buat dia sendiri dan si nona.
Selama itu Oey Yong melainkan melirik saja, ia tidak ambil peduli pemuda itu,
hanya disaat orang telah selesai bekerja dan lagi mengulet, untuk merebahkan
diri, mendadak ia menghunus pisau belatinya.
"Pergi keluar!" ia mengusir.
Pemuda itu tertawa. "Aku tidur disini toh tidak mengganggumu?" katanya. "Kenapa kau begini galak?"
"Kau pergi atau tidak"!" si nona menegaskan, alisnya bangkit.
"Akan aku tidur baik-baik, kau jangan takut," berkata pula si anak muda
tersenyum. Oey Yong habis sabar, ia berbangkit untuk mengambil puntung api, ia bawa itu ke
tempat si anak muda, ia bakar orang punya rumput amparan, maka sebentar saja
habislah itu menjadi abu.
Auwyang Kongcu menyeringai, dengan terpaksa ia mengeloyor keluar dari gua itu.
Di pulau seperti itu ia tidak takut ada binatang beracun atau buas, ia berlompat
naik ke atas sebuah pohon di mana ia mencari cabang untuk memernahkan tubuhnya.
Tapi tak gampang untuk tidur pulas, ia bergelisah, maka belasan kali ia naik
turun, di pohon itu. Saban-saban ia menoleh ke arah gua di mana ada cahaya
tabunan. Ia telah memikir untuk menyerbu ke dalam gua, senantiasa ia gagal,
hingga ia mengatakan dirinya, kenapa ia demikian bernyali kecil. Biasanya
pekerjaan mencuri, atau memaksa kesenangan seperti itu, sudah umum baginya,
hanya terhadap nona ini, ia segan-segan. Sebenarnya, walaupun hanya dengan
sebelah tangan, dapat ia melawan nona itu. Bukankah tak ada halangannya Ang Cit
Kong berada bersama sebab si raja pengemis sudah tidak berdaya" Entah bagaimana,
ia jerih sendirinya.... Dengan mata mendoleng, Auwyang Kongcu mengawasi Oey Yong merebahkan diri. Cahaya
tabunan membuatnya ia dapat melihat. Ia cuma memandang, lain tidak.
Oey Yong sendiri rebah dengan mata meram tetapi tidak pernah ia pulas. Ia tidak
mempercayai keponakannya Auwyang Hong itu, yang ia khawatir nanti menyerbu
selagi ia tidur. Ia juga keras memikirkan lukanya Ang Cit Kong, yang belum tentu
bisa diobati. Maka lega hatinya ketika sang pagi muncul. Baru sekarang ia berani
tidur hingga lamanya satu jam. Ia mendusin ketika ia bermimpi gurunya itu
merintih. "Suhu, bagaimana?" ia menanya seraya ia melompat bangun, untuk berduduk.
Cit Kong mengangkat tangannya, menunjuki mulutnya, yang pun berkelemak-kelemik.
Si nona mengerti gurunya lapar, ia lantas memberika sisa daging semalam.
Habis dahar, agaknya Cit Kong memperoleh tenaga. Ia bisa bergerak untuk duduk,
maka itu terus ia bersemadhi, akan membikin lurus jalan napasnya.
Oey Yong mengawasi. Ia tidak berani membuka mulut, khawatir mengganggu pemusatan
pikiran gurunya itu. Beberapa kali ia melihat sinar dadu di muka yang pucat dari
sang guru, lalu itu terganti dengan pucat pasi pula. Perubahan itu terjadi
berulangkali. Itulah tandanya bekerjanya pemusatan pikiran. kemudian embun-embun
si jago tua mengeluarkan hawa seperti asap, disusul sama mengucurnya peluh
dingin di dahinya. Banyak peluh yang ekluar itu. Diakhirnya tubuh orang tua ini
bergemetaran seperti menggigil.
Disaat itu di mulut gua terlihat berkelebatnya satu bayangan orang. Itulah
Auwyang Kongcu, yang melongok untuk masuk ke dalam.
Oey Yong mengerti saat penting dari gurunya, kalau ia kena dibikin kaget,
mungkin gagal pemusatan pikirannya itu, maka ia lantas membentak perlahan:
"Lekas pergi!" Pemuda itu tertawa. "Aku ingin berdamai sama kau, bagaimana kita harus melewati hari di pulau kosong
ini," katanya. Ia tidak lantas menyingkir, hanya bertindak maju.
Ang Cit Kong membuka matanya. Ia rupanya dapat mendengar perkataan orang.
"Pulau kosong apa ini?" ia menanya.
"Kau berlatih terus, suhu!" Oey Yong memegat. "Jangan pedulikan dia!" Ia
berpaling kepada si anak muda sambil ia berbangkit. "Mari turut aku, kita pergi
keluar!" katanya. Auwyang Kongcu menjadi girang, ia turut pergi.
Pagi itu cuaca terang sekali. Oey Yong memandang ke sekitarnya, ia mendapatkan
laut biru, langit seperti nempel dengan air itu. Ia melihat beberapa gumpal awan
putih bagaikan tergantung di udara. Sama sekali tak nampak daratan lainnya.
Ia bertindak ke tempat di mana kemarin mereka mendarat. Mendadak ia terjaga.
"Mana perahu kita"!" ia menanya sambil berseru.
"Ah ya, ke mana perginya, ya?" balik tanya si pemuda. "Ah, tentu juga kena
didampar air pasang.........."
Oey Yong mengawasi muka orang, yang tak kaget dan merasa aneh seperti dia, maka
maulah ia menduga, tentulah tadi malam pemuda ini yang emndorong perahu itu


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dibikin hanya terbawa gelombang. Dengan begitu si anak muda hendak
membikin mereka tidak dapat berlalu dari pulau kosong ini.
"Sungguh dia jahat!" katanya dalam hatinya. Ia menjadi tidak takut. Ia memang
sudah memikir sulit untuk kembali dengan masih bernyawa. Laginya perahu kecil
itu tak mungkin dapat membawa orang ke darat. Hanya sekarang ia memikirkan
gurunya, yang tentunya pun tak dapat pulang lagi ke Tionggoan...
Kembali si nona mengawasi Auwyang Kongcu dengan bersikap tenang. Ia tidak
mengentarakan sesuatu. Pemuda itu tidak berani bentrok sama sinar mata si nona,
lekas-lekas ia tunduk. Oey Yong lompat naik ke atas sebuah batu tinggi, di situ ia bercokol sambil
memeluk dengkul, matanya memandang jauh ke depan.
Auwyang Kongcu mengawasi, hatinya bekerja.
"Kalau tidak sekarang aku mencoba membaiki dia, hendak aku menanti sampai kapan
lagi?" pikirnya. Maka ia pun berlompat naik ke batu itu, untuk berduduk dekat si
nona. Oey Yong berdiam saja, ia tidak gusar, ia pun tidak menggeser tubuhnya.
Menampak demikian, si anak muda menjadi mendapat hati. Diam-diam ia memindahkan
tubuhnya, untuk datang lebih dekat kepada si nona.
"Adikku," katanya, perlahan. "Kita berdua bakal hidup bersama di sini hingga di
hari tua, hidup sebagai dewa-dewi. Aku tidak tahu, di penitisan yang sudah,
kebaikan apa itu yang telah aku lakukan..."
Oey Yong tidak gusar, sebaliknya, ia tertawa geli.
"Di pulau ini, bersama guruku kita cuma bertiga. Tidakkah itu sepi?"
Lega hatinya si anak muda melihat orang tertawa.
"Ada aku yang menemani kau, mana bisa sepi?" katanya. "Laginya, kalau kemudian
kita mendapat anak, bukankah itu menjadi lebih-lebih tak sepi?"
"Siapa toh yang melahirkan anak?" si nona tanya, tertawa. "Aku sendiri tak
bisa..." Auwyang Kongcu tertawa. "Nanti aku ajari kau!" katanya. Ia lantas mengulur tangannya yang kiri, untuk
merangkul si nona. Tiba-tiba ia merasakan hawa yang hangat di tangannya. Sebab, tahu-tahu si nona
sudah menyodorkan tangannya sendiri, untuk mencekal tangannya itu. Tanpa merasa,
hatinya jadi berlompatan. Inilah ia tak sangka, hingga ia lupa akan dirinya.
Oey Yong menyenderkan tubuhnya di dada orang, sembari berbuat begitu tangannya
yang kiri berkisar ke nada orang itu.
"Ada yang bilang," katanya perlahan, "Kehormatannya enci Bok Liam Cu dirusak
kau, benarkah itu?" Pemuda itu tertawa lebar.
"Perempuan she Bok itu tak tahu diri!" sahutnya. "Dia tidak sudi ikut padaku.
Aku Auwyang Kongcu, kau tahu aku orang macam apa" Mustahil aku sudi memaksa
dia?" Si nona menghela napas. "Kalau begitu, nyata orang keliru mempersalahkan kau," katanya.
"Anak itu terlalu besar kepalanya, sayang, sayang!" Auwyang Kongcu bilang.
Mendadak Oey Yong berpaling ke laut, tangannya menunjuk.
"Eh, apakah itu"!" katanya, agak terperanjat.
Auwyang Kongcu memandang ke arah yang ditunjuk itu, ia tidak melihat apa juga,
maka ia berpaling lagi, untuk menanya, atau mendadak ia rasakan tangannya
tercekal keras dan sakit, sampai ia tidak dapat berkutik. Ia justru mengandalkan
tangan kirinya itu. Tangan Oey Yong yang sebelah lagi memegang tempuling, ia ayunkan itu ke
belakang, untuk menikam perut si anak muda.
Mereka berada sangat dekat satu dengan lain, si anak muda pun tercengang, sedang
tangan kanannya mati, tentu saja ia tidak dapat menangkis, bahkan untuk
berkelitpun susah. Tapi ialah murid seorang pandai, tak percuma ia berlatih
silat duapuluh tahun di Pek To San, maka di saat seujung rambut itu, ia masih
ingat untuk membela diri. Bukan ia menangkis atua berkelit, justru dengan
dadanya ia membentur punggungnya si nona.
Oey Yong tidak menyangka, maka begitu kena dibentur, tubuhnya terpelanting jatuh
dari atas batu. Saking kagetnya, cekalan kepada tangan orang telah terlepas.
Tikamannya juga melesat, cuma tidak sampai kosong. Sebagai ganti perutnya,
tempuling nyempret di paha kanan si anak muda.
Auwyang Kongcu sudah lantas lompat turun juga dari batu itu, ketika menghadapi
si nona, ia dapatkan nona itu lagi berdiri mengawasi ia sambil tertawa haha-
hihi, tangannya tetap memegang tempulingnya. Ia pun lantas merasakan sakit pada
dadanya yang dipakai membentur itu. Ia lantas mengerti, walaupun berusan ia
lolos dari bahaya maut, ia tidak bebas dari durinya baju lapis joan-kwie-kah
dari nona itu. "Kau aneh!" nona itu menegur. "Selagi enak-enak kita bicara, kenapa kau
membentur aku" Sudah masa bodoh!" Dan dia memutar tubuhnya untuk mengangkat
kaki. Auwyang Kongcu berdiri bengong. Ia mendongkol berbareng ketarik hatinya kepada
si nona, ia kaget berbareng girang. Ia tidak dapat menyelami hati non aitu.
Sampai sekian lama, masih ia menjublak saja.
Oey Yong balik ke gua, ia menyesal bukan main. Ia menyesal yang ilmu silatnya
belum sempurna. Bukankah ia telah membikin hilang satu ketika yang sangat baik"
Ia tiba di dalam akan mendapatkan gurunya lagi rebah dengan disampingnya
melulahan darah bekas muntah. Ia menjadi sangat kaget.
"Suhu!" ia memanggil seraya ia berdongko. "Kau kenapa suhu" Apa kau merasa
baikan?" Guru itu menghela napas perlahan.
"Aku ingin minum arak..." sahutnya.
Sakit Oey Yong merasakan hatinya. Di mana bisa mendapatkan arak di pulau kosong
ini" Terpaksa ia mesti menghibur gurunya itu. Maka ia menyahuti: "Nanti aku
dayakan suhu. Bagaimana kau rasakan lukamu, apakah tidak ada halangannya?" Tanpa
merasa ia mengucurkan air mata.
Menghadapi kemalangan lebih besar, belum pernah Oey Yong menangis, tetapi
sekarang ia bersedih bukan main. Ia mendekam di dada gurunya itu, ia menangis
menggerung-gerung. Cit Kong mengusap-usap rambut orang serta punggungnya juga, I apun bingung. Ia
lah seorang tua, sudah puluhan tahun ia malang melintang dalam dunia kangouw,
segala macam bahaya pernah ia menempuhnya, tidak ia habis daya seperti sekarang
menghadapo murid disayanginya ini.
"Jangan menangis, anak yang baik," katanya. "Gurumu sangat menyayangi kau. Anak
yang baik tidak menangis. Ya, gurumu tidak mau minum arak..."
Oey Yong tetap bersedih, ia menangis terus, tetap selang sesaat, tangisannya itu
membuat hatinya lega. Ia angkat kepalanya. Ia lihat dada gurunya basah dengan
air matanya. Tiba-tiba ia tertawa. Ia menyingkap rambut di mukanya.
"Tadi aku telah tikam itu jahanaman, sayang gagal," katanya. Terus ia menuturkan
apa yang ia barusan lakukan terhadap keponakannya Auwyang Hong itu.
Cit Kong tunduk, ia tidak membilang suatu apa.
"Gurumu sudah tidak berguna lagi," katanya. "Bangsat jahat itu jauh lebih menang
daripadaku. Untuk melawan dia tak dapat kita menggunai tenaga tetapi harus
dengan kecerdikan..."
"Suhu," berkata sang murid, yang hatinya cemas, "Baiklah suhu beristirahat
beberapa hari, untuk memelihara dirimu. Kalau suhu sudah sehat, tidakkah baik
apabila suhu menghajar dia satu kali saja, membikin dia habis?"
"Aku telah dipagut ular dua kali, aku juga terkena pukulan kuntauw Kodok dari
See Tok," katanya berduka, "Dengan menghabiskan seluruh tenaga dalamku, dapat
aku mengusir racun itu, mana aku masih bisa menyambung jiwaku beberapa tahun
lagi, hanya karena aku mesti mengerahkan semua tenagaku, musnahlah ilmu silatku
dari beberapa puluh tahun, musnah dalam satu hari saja. Gurumu adalah seorang
yang bercacad, telah habis semua kebisaannya..."
Oey Yong kaget dan bingung.
"Tidak, suhu, tidak!" serunya. "Itulah tidak bisa jadi!"
Cit Kong tertawa. "Aku si pengemis tua benar bersemangat akan tetapi sekarang, setelah sampai di
akhirnya, tidak dapat aku tidak melegakan hati," katanya. Ia berhenti sebentar,
lalu ia memperlihatkan roman sungguh-sungguh. Ia menambahkan: "Anak, gurumu
terpaksa meminta kau melakukan sesuatu yang sulit sekali. Itulah permintaan yang
bertentangan dengan rasa hatimu. Dapatkah kau melakukannya?"
"Dapat, dapat, Suhu!" si nona menjawab cepat. "Silahkan suhu sebutkan!"
Cit Kong menghela napas. "Sayang berkumpulnya kita guru dan murid sangat pendek harinya," berkata ia
masgul. "Aku menyesal ynag aku tidak dapat memberikan pelajaran apa-apa kepadamu
sedang sekarang aku hendak memaksakan hal yang sulit untumu, suatu tanggung
jawab yang berat hendak aku bebankan di pundakmu. Sebenarnya di dalam hal ini
hati gurumu tak tentram...."
Oey Yong heran untuk sikap ragu-ragu guru ini, sedang biasanya Pak Kay paling
terbuka dan paling cepat mengambil keputusan. Maka maula ia percaya, tugas itu
masti penting dan berat sekali. Tapi ia tidak jeri.
"Silahkan bilang, Suhu!" ia mendesak. "sekarang Suhu terluka pun disebabkan
untukku karena kau mendatangi pulau Tho Hoa To, untuk budimu itu, meskipun
tubuhku hancur lebur, belum dapat aku membalasnya. Hanya muridmu khawatir
sekali, khawatir usianya yang masih muda, ia tidak sanggup menjalankan pesanmu
ini." Mendengar begitu, Ang Cit Kong memperlihatkan roman girang.
"Dengan begitu kau jadinya telah menerima baik?" ia menegaskan.
Oey Yong mengangguk. "Silahkan Suhu menitahkan," sahutnya.
Dengan tiba-tiba Ang Cit Kong berbangkit bangun, untuk berdiri tegar. Ia
rangkapkan kedua tangannya, bersilang di depan dadanya, lalu ia menjura dalam ke
arah utara. Lantas ia berkata," Cauwsu-ya, kau telah membangun Kay Pang hingga
sekarang ini telah diwariskan kepada muridmu ini, sayang sekali muridmu tidak
mempunyakan kemampuan hingga tak dapat ia membuatnya Partai kita jadi semakin
besar dan bercahaya. Hari ini keadaan ada sangat mendesak, mau tidak mau,
muridmu mesti melepaskan tanggungjawabnya, maka itu dengan berkah pelindungan
Cauwsu-ya, muridmu mohon supaya anak ini dijagai hingga kalau toh ada bahaya
bisalah ia terbebas dan memperoleh keselamatan karenanya, supaya selanjutnya ia
dapat berbuat kebaikan untuk orang-orang Partai kita yang bersengsara." Habis
mengucap begitu, kembali ia menjura.
Selama mendengari, Oey Yong bengong saja, kemudian barulah ia tercengang.
"Anak, kau berlutut," berkata Cit Kong kemudian.
Oey Yong menurut, ia menekuk lutut.
Ang Cit Kong mengambil tongkatnya, yang dinamakan Lek-tiok-thung, atau Tongkat
Bambu Hijau, ia angkat itu tinggi melewati kepalanya, kedua tangannya dirangkap,
lalu ia menyerahkan itu ke dalam tangannya si nona.
Oey Yong terbenam dalam keragu-raguan.
"Suhu, kau menyuruh aku menjadi...menjadi..." tanyanya gugup.
"Benar!" Cit Kong menjawab. "Aku angkat kau sebagai Pangcu, kepala dari Kay
Pang, Partai Pengemis. Akulah Pangcu yang kedelapan belas, mak aturun kepada
kau, kau menjadi Pangcu yang kesembilanbelas. Sekarang mari kita menghanturkan
terima kasih kepada Couwsu-ya."
Hati Oey Yong tidak tentram akan tetapi ia menyilangkan kedua tangannya, ia
menelad Cit Kong untuk menjura ke arah utara.
Pak Kay menghela napas panjang, dari wajahnya nampak ia letih sekali, tetapi ia
bersemangat, tanda dari riangnya hatinya.
Oey Yong mempepayang, untuk membantu gurunya itu merebahkan diri.
"Sekarang kau menjadi Pangcu, dengan begitu aku menjadi tianglo," kata Cit Kong.
"Tianglo masih dihormati oleh Pangcu tetapi di dalam urusan besar dan penting,
tianglo tunduk kepada titah pangcu. Inilah aturan yang menjadi pesan Couwsu-ya,
yang sekali-sekali tak dapat disangkal. Asal tongkat Lek-tiok-thung ini berada
di tanganmu, begitu kau memberikan titahmu maka semua pengemis di dalam negeri
kita ini mesti menerima dan menurut segala titah itu."
Oey Yong masgul berbareng gugup, ia bingung. Apa artinya gurunya ini dengan
tiba-tiba mewariskan kedudukan raja pengemis padanya" Mana ada alasannya" Tapi
gurunya tengah terluka parah, ia pun sudah memberikan janjinya, tidak dapat ia
menampik. Penampikan berarti menambah susah hati gurunya itu. Ia juga memikir:
"Kita sekarang berada di pulau kosong ini...di bulan dan tahun kapan kita dapat
kembali ke tanah Tionggoan" Laginya, engko Ceng sudah meninggal dunia, aku tidak
ingin hidup lebih lama...Sekarang suhu menyuruh aku mengepalai pengemis dari
seluruh negeri..." Maka ia menjadi berdiam saja.
Ang Cit Kong berkata pula; "Tahun ini tanggal limabelas bulan tujuh ada tanggal
rapat besar setahun sekali yang bakal diadakan di kota Gakyang di tepinya telaga
Tong Teng Ouw, di sana akan berkumpul semua kepala pengemis dari pelbagai
tempat. Rapat itu diutamakan untuk semua pemimpin mendengar aku menunjuk bakal
gnatiku sebagai Pangcu, siapa sangka sekarang aku terbengkalai di sini. Kau
telah menjadi penggantiku, kau dapat pergi ke sana untuk memegang pemimpin.
Dengan kau mencekal dan membawa tongkat ini, semua saudara akan segera mengerti
maksudku. Di dalam urusan Kay Pang, keempat tianglo lainnya akan membantu
padamu, maka tak usahlah aku memesan banyak. Hanya aku menyesal sekali, tanpa
sebab dan secara begini mendadak aku memaksakan kau, satu nona yang manis,
merendahkan diri masuk ke dalam kalangan bangsa pengemis...."
Walaupun ia mengucap demikian, Pak Kay toh tertawa girang. Tapi, karena
tertawanya itu, ia merasakan lukanya nyeri, setelah meringis, ia batuk-batuk tak
henti-hentinya. Oey Yong mengusap-usap punggung gurunya itu.
"Aku si pengemis tua benar-benar sudah tak punya gua," kata Cit Kong setelah
berhenti batuk-batuk. "Karena aku tidak tahu kapan aku bakal berpulang ke alin
dunia, mesti aku lekas-lekas menurunkan ilmu silat Pa-kauw-pang kepadamu...!"
Sudah puluhan macam ilmu silat didapat Oey Yong dari gurunya ini, belum pernah
ia mendengar Pa-kauw-pang, yang berarti ilmu silat pentungan menghajar anjing.
Ia memikir-mikir, kenapa tak enak sekali disebutnya nama ilmu silat itu -
mementung anjing.... "Bagaimana galaknya seekor anjing, dia dapat dihajar mampus dengan sebuah
kepalan," ia berpikir pula, "Maka itu, untuk apa mesti mempelajari pula ilmu
silat menemplang anjing" Tapi suhu bicara dengan sikap begini sungguh-sungguh,
baiklah aku menurut..."
Maka mengangguklah ia, bersedia menerima warisan ilmu silat yang ia anggap aneh
itu. Ang Cit Kong mengawasi muridnya, ia tertawa.
"Meskipun kau menjadi Pangcu, kau tak usah mengubah macam atau dandanmu, tak
usah mengubah tabiat atau sifatmu," berkata ia, menjelaskan. "Kau doyan guyon
bergurau, tetap kau boleh berpesta pora dengan kenakalanmu itu! Kami bangsa
pengemis, kami justru paling kemaruk sama kemerdekaan dan kebebasan, sebab tanpa
kebebasan, tak dapat kami menjadi pengemis. Kalau tidak demikian, kenapa kita
tidak menjadi saja pembesar negeri atau seoarng hartawan" Nampaknya kau tidak
puas dengan Pa-kauw-pang, benarkah" Kau bilanglah terus terang!"
Oey Yong tersenyum. "Muridmu sebenarnya memikirkan berapa ketangguhannya seekor anjning.." ia
menyahut. "Muridmu memikir untuk apa mesti diciptakan semacam ilmu silat.."
"Sekerang kau telah menjadi kepala pengemis, kau harus memikir sebagai pengemis
juga!" katanya. "Tapi pakaianmu indah, romanmu mentereng sebagai satu nona
hartawan, kalau ada anjing melihat padamu, mestinya anjing itu mengangguk-angguk
dan menggoyang-goyang ekor terhadapmu. Dengan begitu, apa perlunya menghajar
anjing itu" Tetapi kalau si pengemis tulen bertemu sama anjing, hebatlah
akibatnya, sungguh menyedihkan! Bukankah pepatah kuno ada membilang, 'Seorang
miskin melarat tanpa pentungan dia diperhina oleh anjing'" Kau belum pernah
menjadi seorang miskin, kau tidak mengerti kesengsaraannya si miskin."
Mendengar itu Oey Yong tertawa seraya bertepuk tangan.
"Suhu, kali ini kau keliru!" katanya gembira.
Cit Kong heran, ia melengak.
"Kenapa keliru?" tanyanya.
"Ketika pada bulan ketiga yang baru lalu ini aku minggat dari Tho Hoa To dan aku
pergi ke Utara, di sana aku telah menyamar sebagai pengemis!" sahut si nona.
"Disepanjang jalan ada saja anjing yang menggonggong dan mengikuti aku, hendak
menggigit, selalu aku hajar dia dengan dupakan, lantas dia lari sambil
menggoyang-goyang ekornya!"
"Ya, itulah benar," berkata Ang Cit Kong. "Hanya kalau anjing sangat galak
hingga sukar ditendang, tidak dapat tidak, tongkat harus dipakai untuk
mementungnya!" Si nona menjadi berpikir.
"Di mana ada anjing demikian galak dan hebat?" Tapi hanya sejenak, lantas ia
insyaf. Maka ia menambahkan: "Benar! Manusia jahat pun ada sama dengan anjing
galak!" Cit Kong tersenyum. "Kau sungguh cerdas!" pujinya. "Jikalau...."
Ia sebenarnya hendak menyebutnya Kwee Ceng pasti tidak dapat menebak, tetapi ia
berduka, ia batal melanjutinya. Ia bahkan terus berdiam.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oey Yong dapat menerka hati orang, ia berpura-pura tidak tahu. ia pun sangat
berduka. "Pa-kauw-pang terdiri dari tigapuluh enam jurus," kemudian Cit Kong berkata
pula, memberi penjelasan. "Itulah ilmu silat yang diciptkan sendiri oleh Couwsa-
ya. Sampai sebegitu jauh, menurut aturan dan kebiasaan, ilmu silat ini cuma
diajari dan diwariskan kepada Pangcu, tidak kepada orang yang kedua. Katanya
dulu Pangcu yang nomor sebelas, tempo ia berada di gunung Pak Kouw San, ia telah
dikepung banyak orang kosen, dengan sepasang kepalannya, ia telah menghajar mati
lima di antaranya. Ketika itu, ia menggunai ilmu silat Pa-kauw-pang."
Oey Yong tertarik, tetapi ia menghela napas.
"Suhu," tanyanya, "Ketika di perahu besar itu kau menempur See Tok Auwyang Hong,
kenapa kau tidak menggunai ilmu silatmu itu?"
"Menggunai ilmu silat itu adalah urusan besar dari Partai kita," menyahut sang
guru. "Sekalipun aku tidak menggunai, tidak nanti See Tok dapat mengalahkan aku!
Siapa sangka dia ada sangat hina dina, aku sudha tolongi dia, dia justru
membokong menyerang punggungku..."
Diwaktu mengucap demikian, wajahnya Pak Kay muram. Oey Yong dapat menduga
kemendongkolan dan kemasgulan gurunya itu, hendak ia menyimpang pembicaraan.
"Suhu," ia berkata, "Sekarang kau ajarkanlah ilmu silat tongkat itu kepada Yong-
jie, sesudah Yong-jie bisa, nanti Yong-jie pakai untuk membunuh See Tok guna
membalaskan sakit hati suhu!"
Cit Kong tertawa secara tawar. Ia menumput sebatang cabang kering, setelah mana
mulutnya membaca, tangannya digerak-geraki. Ia tetap rebah tetapi ia dapat
menjalankan tigapuluh enam jurus dari Pa-kauw-pang itu. Yang mana kurang jelas,
ia menambahkan dengan keterangannya. Dengan cara itu ia menurunkan ilmu silat
peranti mementung anjing itu. Ia tahu Oey Yonng cerdas sekali, ia mengajari
dengan sungguh-sungguh. Dilain pihak ia khawatir yang umurnya tidak panjang
lagi..... Nama ilmu silat pentungan itu tak sedap didengarnya, tetapi ilmu silatnya
sendiri lihay, banyak perubahannya, kalau tidak, tidak nanti ilmu itu menjadi
ilmu istimewa dalam Kay Pang dan diwariskan secara turun temurun. Maka itu,
mesti Oey Yong cerdas luar biasa dan ia dapat menjalankan, tak semuanya segera
ia dapat menangkap maksudnya.
Habis memberi pelajaran, Cit Kong menghela napas, ia bermandikan keringat.
"Aku mengajari kau terlalu singkat," ia berkata, "Itulah tidak bagus.
Sebenarnya, tidak dapat aku mengajari lebih jauh..." Mendadak ia menjerit, "Aduh!"
dan tubuhnya roboh rebah.
Oey Yong kaget, ia berlompat menubruk.
"Suhu!" ia memanggil. Ia pun mengasih bangun.
Tangan dan kaki Cit Kong dingin, napasnya jalan sangat perlahan. Nampaknya ia
tidak dapat ditolong pula...
Selama beberapa hari ini hebat penderitaannya si nona, maka itu ia mendekam di
tubuh gurunya itu, ia menangis tanpa dapat mengeluarkan suara. Ia masih dapat
mendengar denyutan jantung dari gurunya itu. Lantas ia menggunai kedua
tangannya, ia memegang kedua bagian rusuk, untuk membantu sang guru bernapas.
Adalah di itu saat genting untuk gurunya, ia mendengar satu suara perlahan di
belakangnya. lantas sebuah tangan diangsurkan ke lengannya.
Dalam kedukaan dan kekhawatiran, Oey Yong cuma ingat menolongi gurunya, maka itu
tahu ia kapannya Auwyang Kongcu masuk ke dalam gua, hingga ia seperti lupa yang
di belakangnya ada seekor anjing yang galak.
"Berat sakitnya suhu, lekas kau pikirkan daya untuk menolongi," ia berkata pada
pemuda itu. Ia berpaling, mengawasi dengan air mata berlinang-linang.
Melihat roman orang yang sangat menyedihakan itu, Auwyang Kongcu merasa kasihan.
Ia berjongkok untuk melihat Ang Cit Kong, kulit muka siapa pucat dan kedua
matanya terbalik. Melihat keadaan orang itu, ia justru menjadi girang sekali. Ia
berdampingan sama si noa, ia mendapat cium baru harum dari tubuh si nona itu,
sedang mukanya kena kebentur rambut orang. Betapa menyenangkan itu"
Kembali pemuda ini tidak dapat mengendalikan diri. Kalau tadi ia cuma menyentuh
lengan si nona, sekarang ia mengulur tangan kirinya untuk merangkul pinggang
orang. Oey Yong terkejut, ia menyikut dengan meninju, tempo si anak muda berkelit, ia
berlompat bangun. Auwyang Kongcu jeri kepada Ang Cit Kong, sekarang ia mendapatkan orang tengah
rebah sebagai mayat, hatinya menjadi besar sekali. Kalau tadinya ia takut
menggunai kekerasan terhadap Oey Yong, sekarang ia berani. Hendak ia memaksa.
Maka ia berlompat ke mulut gua, untuk menghalang. Ia tertawa.
"Adik yang baik," katanya manis, "Terhadap lain orang aku tak biasanya menggunai
kekerasan, tetapi kau begini cantik manis, kau botoh sekali, tidak dapat aku
menguati hati lagi. Marilah, adik, kau mengasihkan aku satu cium..."
Sembari mengucap demikian, pemuda itu mementang tangan kirinya, ia maju setindak
demi setindak. Hatinya Oey Yong bergoncang keras.
"Ancaman bencana atas diriku hari ini berlipat sepuluh kali daripada ancamana
bahaya semasa aku berada di istana Chao Wang," berpikir si nona ini. "Kalau
tidak dapat membinasakan dia, aku mesti membunuh diri. Hanya, mana aku puas...?"
Hanya dengan satu kali menggeraki tangannya, Oey Yong sudah siap dengan
tempuling dan jarumnya. Auwyang Kongcu lantas tersenyum. Ia lantas meloloskan bajunya, untuk dipakai
sebagai cambuk lemas. Kembali ia maju dua tindak.
Oey Yong berdiri diam, matanya mengawasi tajam. Ia menanti orang mengangkat
kaki. Belum lagi kaki itu diturunkan ke tanah, tiba-tiba ia melompat ke kiri.
Menampak itu, Auwyang Kongcu meneruskan berlompat ke kiri juga, untuk merintangi
si nona itu. Tapi justru itu Oey Yong mengayunkan tangannya. Lihay si anak muda,
dia menggeraki sabuk bajunya, untuk menangkis serangan jarum itu. Tapi si nona
pun lihay, ia memang menggunai siasat, maka tengah pemuda itu membeli diri, ia
berlompat, melesat ke luar gua!
Auwyang Kongcu benar-benar lihay, walaupun dia repot, dia toh dapat berlaku
gesit luar biasa. Dia berlompat untuk menyusul, maka itu tengah lari, Oey Yong
mendengar desiran angin di belakangnya. Itulah desirannya pukulan ke arah
punggung. Ia tidak takut, sebaliknya, ia menjadi girang. Bukankah ia memakai
baju lapis berduri" Bukankah ia pun sudah nekat" Ia tidak takut mati, asal ia
dapat melukai musuh. Maka itu, ia tidak mau menangkis, hanya ia memutar tubuhnya
untuk membarengi menyerang!
Auwyang Kongcu tidak berniat membinasakan si nona, kalau ia menyerang, ia
melainkan mengancam, ia hendak menggoda saja, maka ketika serangan itu datang,
ia batal menyerang terus, ia menangkis serangan itu, lalu ia melompat lebih
jauh, untuk mendahului tiba di mulut gua.
Oey Yong berkelehai seperti kalap. Ia menyerang tanpa mengingat pembelaan diri.
Dengan begini, kegagahannya seperti tambah satu kali lipat.
Adalah maksudnya Auwyang Kongcu membuat si nona itu letih, tetapi sekarang ia
mesti menghadapi serangan bertubi-tubi, terpaksa ia mesti melayani juga. Di
dalam keadaan seperti itu, walaupun ia lebih kosen, ia toh kewalahan juga,
kesatu ia memang tidak berniat mengambil nyawa si noa, kedua ia mesti berkelahi
dengan sebelah tangan, sedang tangan yang lain lagi sakit.
Pertempuran telah berlangsung kira enampuluh jurus ketika mendadak Oey Yong
menubruk, sambil menubruk, ia menimpuk dengan jarumnya.
Auwyang Kongcu repot menangkis jarum itu, untuk itu ia mesti mengebas dengan
sabuk bajunya. Disamping itu, hebat tubrukkannya Oey Yong, yang menikam ke arah
tangan kanannya yang sakit itu. Hendak ia menangkis pula dengan tangan kirinya
tetapi sudah tidak keburu, ujung tempuling telah mengenai lukanya itu.
Tapi juga Oey Yong tidak dapat bergirang karena hasil tikamannya itu. Baru ia
menikam atau ia merasakan tangannya kesemutan, terus senjatanya terlepas jatuh
ke tanah. Sebab di luar sangkaannya, walaupun dia kena ditikam, Auwyang Kongcu
mengubah tangkisannya menjadi totokan kepada lengan nona itu dan tepat
totokannya itu. Si nona kaget, ia berlari terus. Ia lari sembari membungkuk.
Auwyang Kongcu tidak hendak melepaskan bakal mangsanya ini. Ia berlompat dengan
pesat, ia juga membungkuk, tangan kirinya dilonjorkan ke depan, untuk menotok
kaki orang, yang lagi diangkat untuk berlari. Ia berhasil, dua kali ia dapat
menotok jitu, mulanya di jalan darah koanciong-hiat di kaki kiri si nona,
kemudian di jalan darah tiongtouw-hiat di kaki kanan. Maka tak tempo lagi, baru
bertindak dua kali, nona itu sudah lantas terguling roboh!
Lagi sekali Auwyang Kongcu berlompat, bahkan dia mendahului, untuk membeber
bajunya, hingga si nona terjatuh di atas hamparan baju itu. Pemuda itu pun
menggoda, sembari tertawa ia berkata: "Ah, jangan sampai kau merasa nyeri!"
Oey Yong mendapat pelajaran langsung dari ayahnya, Auwyang Kongcu mewariskan
kepandaian pamannya, yang menyayang ia sebagai anak sendiri, maka itu mereka
sama-sama mempunyai kepandaian yang lihay. Oey Yok Su gagah, begitu juga dengan
Auwyang Hong, bahkan mereka berdua ini berimbang. Dengan demikian, pemuda dan
pemudi ini seharusnya sama kosennya juga. Tapi toh Oey Yong kalah! Kenapa" Pada
itu ada terselip selisih usia mereka dan temponya latihan. Oey Yong baru berumur
limabelas tahun, Auwyang Kongcu sudah lebih dari tigapuluh tahun, maka itu,
perbedaan waktu belajar mereka ada kira-kira duapuluh tahun. Benar Oey Yong
mendapat pelajaran juga dari Ang Cit Kong tetapi belum lama dan latihannya belum
sempurna. Karenanya, walaupun si pemuda terluka tangannya, ia tetap lebih
unggul. Oey Yong kaget karena robohnya itu tetapi pikirannya tidak kacau. Begitu ia
jatuh, begitu ia berbalik sambil menimpuk dengan jarumnya. Kemudian ia geraki
tubuhnya untuk berlompat bangun. Tidak beruntung untuknya, kedua kakinya tidak
mau menurut perintah, maka juga tidak dapat ia berlompat bangun untuk berlari.
Ia baru bergerak sedikit atau ia terguling pula.
Ketika itu Auwyang Kongcu mengulur sebelah tangan dengan maksud mengasih bangun.
Dalam murkanya, Oey Yong meninju dengan tangan kirinya. Tapi si anak muda dapat
melihat serangan itu, dengan leluasa ia menyambuti dengan tangan kirinya, dengan
totokan, maka matilah tangan kiri si nona, seperti tangan kanannya yang erus
ditotok juga, hingga kaki tangannya tak dapat bergerak semua. Ia mirip orang
yang dibelenggu kaki tangannya itu.
Bukan main panasnya hati nona ini, ia sangat menyesal yang barusan ia tidak
membunuh diri saja, hingga sekarang ia jadi kena tertawan. Ia ada begitu murka
dan mendongkol. Mendadak ia merasai matanya gelap dan kepalanya pusing, seketika
itu juga ia rebah tak sadarkan dirinya.
"Jangan takut, jangan takut," berkata Auwyang Kongcu sambil tertawa, suaranya
halus. Ia bertindak seraya mengulur tangan, berniat memondong nona itu. Atau
mendadak "Kau mau hidup atau mati"!" demikian satu suara keras dan kejam, suara dingin
yang disusul sama tertawa ejekan.
Pemuda itu terperanjat, dengan cepat ia menoleh. Untuk kagetnya, ia melihat Ang
Cit Kong berdiri di mulut gua, tangannya memegang tongkat, matanya melirik
tajam. Disaat itu pada otaknya berkelebat penuturannya pamannya dulu hari halnya
Ong Tiong Yang berpura-pura mati untuk mengalahkan lawannya.
"Hai, kiranya si pengemis tua ini berpura-pura mampus!" pikirnya. "Ah, habislah
aku hari ini!" Ia ketahui baik sekali kegagahannya Ang Cit Kong, ia putus asa.
Tanpa berpikir lagi, ia menekuk kedua kakinya sambil berlutut ia berkata: "Aku
cuma bermain-main saja sama adik Oey ini, tidak ada niatku untuk berbuat jahat
terhadapnya...." "Hm!" Pak Kay mengasih dengar suara bengis. "Bangsat bau, masih kau tidak hendak
menotok bebas jalan darahnya" Apakah aku si orang tua harus turun tangan?"
Auwyang Kongcu jeri. "Ya, ya," ia menyahuti seraya terus menotok kaki tangannya si nonya.
"Lagi satu kali kau menginjak gua ini, jangan kau sesalkan aku!" Ang Cit Kong
mengancam. "Lekas pergi!"
Sembari berkata begitu, jago tua itu bertindak ke samping.
Keponakan See Tok bagaikan menerima putusan pengampunan, cepat-cepat ia ngeloyor
pergi. Oey Yong tak tahu apa yang sudah terjadi, ketika ia sadar, ia sadar dengan
perlahan-lahan. Ia membuka kedua matanya seraya merasa bagaikan tengah bermimpi.
Ang Cit kOng tidak dapat berdiri lama-lama, ia roboh sendirinya.
Melihat gurunya jatuh, Oey Yong kaget. Lupa ia pada tangan atau kakinya bekas
ditotok, ia menekan tanah untuk berlompat bangun, guna menghampirkan gurunya,
yang segera ia pegangi untuk dikasih bangun. Ia melihat mulut guru itu
berlumuran darah, sebab ternyata tiga buah giginya sudah copot bekas kebentur
tanah. Ia menjadi sangat berduka.
"Suhu!" ia memanggil.
Ang Cit Kong sadar, ia pegang ketiga buah giginya itu, terus ia tertawa.
"Gigiku, gigiku!" katanya. "Kau tidak mensia-siakan aku! Kau telah membuatnya
aku si pengemis tua telah dapat mencicip segala macam barang hidangan paling
lezat dan sedap di kolong langit ini! Sekarang aku si pengemis sudah sampai pada
usiaku, kau telah mendahului meninggalkan aku...!"
Memang hebat sekali lukanya Pak Kay kali ini, cuma saking kuatnya tubuhnya, ia
tidak mati lantas di bawah tangan jahat dari Auwyang Hong. Celaka untuk ia, ia
tidak dapat obat untuk mengobati luka-lukanya itu, luka racun ular dan gempuran
kuntauw Kodok yang dahsyat.
Cit Kong melihat kedukaan muridnya.
"Selama napasku masih ada, jahanam itu tidak nanti berani datang pula mengganggu
padamu," ia menghibur si nona.
Tapi Oey Yong memikir lain.
"Kita berada di dalam gua, memang jahanam itu tidak berani masuk ke mari,"
demikian pikirnya. "Tetapi bagaimana dengan makan dan minum kita?"
Cit Kong pun sudah merasakan lapar. Ia melihat si nona tunduk saja.
"Bukankah kau sedang memikirkan daya mencari barang makanan?" ia menanya. Oey
Yong tidak menjawab, ia melainkan mengangguk.
"Mari kau pepayang aku ke pesisir untuk menjemur di matahari," menyuruh orang
tua itu. Oey Yong cerdik sekali, ia lantas dapat mengerti maksud orang.
"Bagus!" serunya kegirangan. Ia pun tertawa. "Kita menangkap ikan!"
Maka bukan lagi ia pepayang gurunya itu, ia hanya menggendong, cuma jalannya
dengan perlahan-lahan. Hari ini cuaca terang berderang, angin meniup halus. Begitu terjodoh sinar
matahari, begitu Ang Cit Kong merasa segar, hingga semangatnya jadi terbangun.
Ia pun melihat Auwyang Kongcu lagi berdiri di tempat jauh dari mereka, ketika
pemuda itu mendapatkan mereka keluar dan mengawasi padanya, dia bertindak pergi
lebih jauh sedikit. Rupanya ia jeri. Dari tempat jauh itu ia terus mengawasi.
Dua-dua Cit Kong dan Oey Yong berduka, hati mereka berpikir: "Jahanam itu sangat
cerdas, lama-lama pasti dia dapat mengetahui keadaan kita yang tidak berdaya..."
Karena itu, mereka pun membawa sikap tenang.
Auwyang Kongcu pun agaknya lega melihat ia tidak dihampirkan.
Oey Yong sudah lantas bekerja. Lebih dulu ia pernahkan Ang Cit Kong, supaya guru
ini dapat duduk sambil menyender pada sebuah batu besar, kemudian ia mencari
cabang pohon yang panjang untuk dijadikan joran panjang. Untuk talinya, ia
mencari babakan pohon dan untuk panjangnya, ia menekuk sebatang jarumnya hingga
ujungnya bengkok. Sebagai umpan, ia mencari udang di tepian. Maka tak lama
kemudian, ia sudah mulai memancing.
Satu jam tempo dipakai untuk memancing itu, akhirnya si nona memperoleh tiga
ekor ikan, yang mana cukuplah untuk mereka berdua menangsal perut. Ikan itu
dipanggang seperti biasanya kaum pengemis memanggang ayam.
Setelah beristirahat sebentar, Cit Kong mengajari Pak-kauw-pang. Ia memberi
petunjuk sambil ia duduk menyender terus cuma tangannya digerak-geraki. Tapi ini
pun menolong banyak untuk si nona yang otaknya terang, hingga dia dapat mengerti
lebih banyak. Demikian mendekati sore, Oey Yong telah dapat menjalankan ilmu
tongkat itu dengan baik, hingga tinggal dia berlatih terus untuk memahirkan itu.
Sesudah hilang letihnya, Oey Yong membuka baju luarnya, terus ia nyebur ke laut
untuk membersihkan tubuh. Ia berenang pergi datang hingga ia ingat suatu cerita
dongeng jaman Tong katanya di dalam laut ada istana raja naga serta putrinya
yang elok sekali. "Mungkin engo Ceng telah pergi ke sana?" ia ngelamun.
Karena ini ia lantas menyelam. Tiba-tiba ia merasakan kakinya sakit, lekas-lekas
ia menarik pulang. Ia mendapat kenyataan kakinya itu dijepit sesuatu. Ia tidak
kaget, ia menduga kepada simpling atau kerang besar. Ia lantas membungkuk, untuk
melihat. Baru sekarang ia terkejut juga. Kakinya dijempit simping yang besar
sekali, yang beratnya mungkin duaratus kati. Sia-sia ia menarik akkinya, sia-sia
ia mencoba memengkang membuka kedua batok simping itu. Bahkan kakinya dijepit
semakin keras, sampai ia merasakan sakit sekali. Saking kerasnya ia berkutatan,
dua kali ia kena menenggak air laut asin.
Tentu sekali nona ini menjadi sangat penasaran. Tidak ikhlas ia mati di
tangannya binatang laut itu, walaupun sebenarnya ia bersedia mati-mati bersama
gurunya andaikata tetap mereka tak berdaya untuk berlalu dari pulau kosong itu.
Ia memikir akal. Ia mencoba memungut batu dengan apa ia ketoki batok simping
itu. Ini pun tidak memberi hasil. Batoknya simping telalu keras dan batunya
terlalu kecil. Lagi sekali ia menenggak air. Baru sekarang ia ingat suatu akal. Maka ia


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lepaskan batunya, sebagai gantinya ia meraup pasir, yang mana ia kasih masuk di
sela-sela mulut simping itu.
Nyata binatang laut itu takut sekali pasir, begitu dia merasakan pasir masuk ke dalam mulutnya,
dia pentang mulutnya itu.
Begitu ia merasakan jepitan kendor, begitu lekas juga Oey Yong menarik keras
kakinya. Kali ini bebaslah ia, maka terus saja ia berenang untuk muncul di muka
air. Paling dulu, ia membuang napas, untuk melegakan diri.
Cit kong di darat berkhawatir melihat si nona menyelam demikian lama, ia menduga
muridnya itu menghadapi bahaya. Ia menyesal yang ia sendiri tidak dapat bergerak
hingga tak bisa ia menolongi. Ia melainkan bisa mengawasi ke laut dengan
jantungnya berdenyutan. Akhir-akhirnya muncul juga si nona, maka legalah hatinya guru ini, sampai ia
bersorak. Oey Yong tidak naik ke darat, sesudah mengulapkan tangan kepada gurunya itu, ia
selulup pula. Ia telah mendapat satu pikiran. Ia pergi ke tempat tadi, tapi
sekarang dengan sudah bersiap. Ia turun di dekat simping itu tanpa si simping
dapat mencakop padanya. Nyata binatang itu nempel batoknya dengan batu karang,
dia jadi tidak bisa berenang pergi. Si nona mencoba menggempur karang itu,
setelah berhasil, ia memegang simping dari bawah, terus ia bawa naik ke atas. Ia
menampah seraya kakinya menjejak dasar laut, terus ia berenang ke tempat yang
dangkal. Di sini simping itu tak berdaya lagi. Hanya saking beratnya binatang
laut itu, tidak kuat Oey Yong mengangkat buat dibawa ke gua, maka ia mengambil
saja batu besar yang mana ia pakai mennghajar batoknya. Hanya dengan beberapa
kali hajaran, remuklah batok simping itu.
Puas hatinya si nona, yang kakinya sakit bekas dijepit. Bahkan malam itu bersama
gurunya ia bisa menangsal perut secara memuaskan karena adanya daging simping
itu yang lezat sekali. Besok paginya, begitu mendusin, Ang Cit Kong merasai sakit pada tubuhnya
berkurang. Ia mencoba memainkan napasnya, ia merasakan lega. Tanpa merasa ia
berseru bahna girangnya. Oey Yong mendusin untuk segera bangun berduduk.
"Suhu, kenapa?" ia menanya, kaget.
"Setelah tidur semalaman, aku merasai lukaku mendingan," sahut sang guru.
"Sakitnya tidak sehebat kemarin."
Oey Yong menjadi girang. "Mungkin ini disebabkan guru makan daging simping!" katanya. Maka berlari-
larilah ia keluar guanya, ke tepi laut, untuk memotong sisa daging simping itu.
Saking kegirangan, ia sampai melupai Auwyang Kongcu. Ia baru memotong dua keping
tatkala ia melihat bayangan orang mendekati perlahan-lahan ke arahnya. Ia kaget
tetapi ia mengerti ancaman bahaya. Baru sekarang ia ingat keponakannya See Tok
itu. Diam-diam ia memungut batok simping, lalu dengan sekonyong-konyong ia
menimpuk ke belakang, tubuhnya sendiri terus berlompat setombak lebih hingga ia
berada di pinggiran air. Auwyang Kongcu dapat berkelit. Dia tidak gusar, sebaliknya ia tertawa.
Sekian lama pemuda ini tidak pergi jauh dari itu orang tua dan nona, terutama ia
memperhatikan gerak-geriknya Ang Cit Kong, hingga timbullah kecurigaannya bahwa
raja pengemis itu tidak berdaya, tak dapat berjalan karena lukanya yang hebat.
Meski begitu, ia tidak mempunyai nyali yang cukup besar untuk menyerbu ke dalam
gua. Maka ia terus memasang mata. Pagi itu ia melihat Oey Yong keluar sendirian,
pergi ke pasir, ia mengikuti. Ia girang bukan main, ia anggap ia dkaruniai
ektika yang baik sekali oleh Thian. Maka ia menghampirkan si nona sambil
berindap-indap. Hanya sayang, bayangannya telah menggagalkan maksudnya.
"Adik yang baik, jangan pergi!" ia berkata dengan manis. "Aku hendak bicara
denganmu!" "Orang tidak menggubrismu, apa perlunya kau menggerembengi orang?" si nona
menanya. "Apakah kau tidak tahu malu?"
Melihat orang tidak gusar, senang hatinya Auwyang Kongcu. Ia jadi semakin
berani. Ia mendekati pula dua tindak. Lagi-lagi ia tertawa.
"Semuanya dasar kau!" katanya. "Siapa suruh kau ada begini cantik dan manis,
hingga kau membikinnya hati orang terbetot keras?"
Oey Yong tertawa. "Aku bilang tidak menggubrismu, tetp aku tidak mau memperdulikan!" kata ia.
"Percuma saja kau mengambil-ambil hatiku, membaiki padaku!"
Pemuda itu maju ppula satu tindak.
"Ah, aku tidak percaya!" katanya, tertawa. "Hendak aku mencobanya!"
Tiba-tiba si nona memperlihatkan roman keren.
"Lagi satu tindak kau maju, akan aku minta suhu menghajar padamu!" ia mengancam.
"Sudahlah!" tertawa si anak muda, membelar. "Apakah si pengemis tua masih dapat
berjalan" Apakah tidak baik jikalau aku menggendong dia?"
Oey Yong terkejut, hingga ia mundur dua tindak. Inilah yang ia khawatirkan. Ia
takut kalau pemuda ceriwis ini mengetahui gurunya sudah tidak berdaya.
Auwyang Kongcu tertawa pula.
"Jikalau kau ingin terjun ke laut, nah terjunlah!" katanya. "Akan aku menunggui
kau di darat! Marilah kita lihat, kau yang dapat berdiam lebih lama di dalam air
atau aku yang di daratan."
"Baiklah!" si nona berseru. "Kau menghina aku, untuk selamanya aku tidak sudi
bergaul denganmu!" Nona ini lantas menutar tubuhnya, untuk lari, atau baru tiga tindak, ia roboh
terguling seraya menjerit "Aduh!" karena kakinya kena menginjak batu dan
terpeleset. Keponakan Auwyang Hong ini benar-benar licin. Ia khawatir si nona hanya
menggunakan tipu untuk menyerangnya dengan jarumnya tatkala ia berlompat
menubruk, maka juga sebelumnya maju ia membuka dulu baju luarnya, untuk dipakai
sebagai senjata pelindung diri. Ia bertindak perlahan-lahan.
"Jangan datang mendekat!" membentak si nona. Ia bangun, untuk bertindak pula,
atau baru satu tindak, ia roboh kembali. Bahkan kali ini ia terguling hingga
separuh tubuhnya rebah di air, ia bagaikan pingsan. Tubuhnya itu tidak bergerak
lagi. "Budak, kau sangat licik tidak nanti aku kasih diriku diperdayakan!" kata
Auwyang Kongcu dalam hatinya. Ia berdiri seraya mengawasi.
Ada seketika sehirupan the, masih si nona tidak berkutik, tubuhnya dari kepala
sampai di dada masuk ke dalam air.
"Ah, dia benar-benar telah pingsan," pikir si kongcu kemudian. "Jikalau aku
tidak tolongi dia, mungkin dia mati kelelap, sayang begini cantik dan manis...."
Ia lantas bertindak maju, ia memegang kaki orang. Ia terperanjat ketika ia sudah
menarik, sebab ia merasakan nona itu dingin sekali seperti membeku. Ia lekas-
lekas membungkuk, untuk memeluk tubuh orang, niatnya untuk diangkat ke darat.
Baru saja ia merangkul ketika kedua tangan si nona memeluk kedua kakinya seraya
nona itu membentak, "Turunlah kau!"
Dalam keadaan seperti itu, Auwyang Kongcu tidak berdaya lagi, maka terceburlah
ia ke laut bersama-sama si nona, yang berseru sambil membetot membuang dirinya
ke laut. Bukan kepalang kagetnya Auwyang Kongcu, hatinya terkesiap. Biarpun ia ada
terlebih kosen daripada si nona, di dalam air, habislah dayanya. Ia menyesal
yang walaupun ia sangat berhati-hati, masih ia kena diperdayakan si nona yang
cerdik itu. Maka pikirnya: "Habislah aku kali ini..."
Oey Yong yang telah berhasil dengan tipu dayanya itu, dengan hati sangat
bernafsu ia menarik orang ke tengah, ke tempat yang terlebih dalam. Percuma si
anak muda mencoba berontak, ia kena teseret ke tengah. Ia telah dijambak pada
kepalanya, kepala itu dibeleseki di dalam air.
Berulang-ulang pemuda itu menenggak air laut, mulanya masih terdengar suara
gelogokan di tenggorokannya, habis itu ia mati daya, cuma tangan dan kakinya
yang menjambret-jambret dan menendang-nendang, rupanya untuk menjambret atau
menendang si nona tetapi ia tidak berhasil. Sebab Oey Yong tahu diri, dia sudah
menjauhkan dirinya. Selang sesaat, Auwyang Kongcu merasakan kakinya menginjak tanah. Ia sudah minum
banyak air tetapi ia belum pingsan, ia masih ingat akan dirinya. Dasar ia lihay,
pikirannya tidak menjadi kacau. Selama di tengah air, karena ia tidak bisa
berenang ia tidak dapat berbuat apa-apa, akan tetapi selekasnya merasa menginjak
dasar laut, mendadak ia membungkuk, untuk memegang dasar laut itu, sambil
berbuat mana, ia menahan napas. Ia berhasil mengerahkan tenaga dalamnya. Ia
lantas menduga-duga yang maa arah darat, tetapi di dalam air, ia tidak dapat
mengenali timur atau barat, selatan atau utara. Ia mencoba berjalan juga,
tangannya mencekal sebuah batu besar. Ia bertindak cepat ke arah dasar laut yang
tinggi, yang menanjak. Oey Yong melepaskan cekalannya sesudah orang kena dilelapkan dan kelabakan tidak
karuan, ia muncul di muka air, akan tetapi menanti sekian lama ia tidak melihat
orang timbul, ia menjadi heran. Lekas-lekas ia selulup pula.
Ia dapat menentang matanya di dalam iar, dari itu ia dapat melihat orang sedang
bertindak ke arah darat. Ia terperanjat saking heran dan kagumnya. Tak ayal lagi
ia berenang, menyusul. Ia menggerakkan tangan dan kakinya tanpa bersuara,
setelah datang dekat, ia menikam dengan tempulingnya.
Kebetulan Auwyang Kongcu lagi mempercepat tindakannya, ia lolos dari tikaman
itu. Sementara itu, ia sudah tiba di tempat yang dangkal, ia dapat berdiri
dengan kepalanya di luar air. Ia melepaskan pegangannya, ia membuka kedua
matanya, dan menghela napas, melegakan hatinya.
Oey Yong pun menghela napas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap anak
muda itu, terpaksa ia selulup pergi.
Auwyang Kongcu merayap naik ke darat, ia merasakan kupingnya pengang dan matanya
kaburm, tetapi ia masih ingat untuk lekas rebah tengkurap di tanah, untuk
mengundal ke luar air dari dalam perutnya. Habis itu ia merasakan lemah sekali,
seperti juga ia baru sembuh dari semacam penyakit yang berat. Terus ia
beristirahat. Tentu sekali, hatinya menjadi mendongkol dan panas, hingga
muncullah niatnya yang kejam.
"Biar aku mampusi dulu si pengemis bangkotan!" demikian keputusannya. "Hendak
aku lihat, budak itu nanti menurut padaku atau tidak!"
Bab 43. Melawan batu besar
Bab ke-43 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Walaupun ia telah berkeputusan demikian, Auwyang Kongcu tidak segera turun
tangan untuk mewujudkan itu. Ia masih sangat lelah maka ia beristirahat terus.
Ia menjalankan napasnya, untuk meluruskan pernapasannya.
Sesudah berselang lama, baru ia berbangkit bangun, akan mencari sebatang pohon
yang kuat, yang ia patahkan, untuk dipakai sebagai senjata, untuk menotok jalan
darah. Tiba di dekat gua, ia bertindak dengan hati-hati. Biar bagaimana, ia
masih jeri terhadap pengemis tua itu. Di mulut gua ia memasang kupingnya. Ia
tidak dapat mendengar suara apa juga. Ia masih menanti beberapa saat, baru ia
bertindak masuk. Tidak berani ia masuk langsung, ia mepet-mepet di pinggiran,
majunya setindak demi setindak. Sekarang ia bisa melihat Pak Kay lagi duduk
bersila menghadap matahari, orang tua itu lagi berlatih dengan ilmu dalamnya,
dilihat dari air mukanya yang segar, ia seperti tidak tengah menderita luka
parah. "Baiklah aku mencoba dulu, untuk mengetahui dia dapat berjalan atau tidak,"
berpikir si anak muda, yang sangat berhati-hati. Setelah diperdayakan Oey Yong,
ia menjadi semakin cerdik.
"Paman Ang!" ia berseru. "Celaka! celaka...!"
Ang Cit Kong dapat mendengar teriakan itu, ia sudah lantas membuka matanya.
"Ada apa?" ia menanya.
"Adik Oey mengejar kelinci, dia terjatuh ke dalam jurang...!" ia menyahut,
suaranya dibikin tak lancar. "Dia terluka parah, sampai ia tak dapat bangun!"
Nampaknya Ang Cit Kong kaget.
"Lekas tolongi dia!" dia berseru.
Mendengar perkataan orang itu, girangnya Auwyang Kongcu bukan kepalang. Ia
mengerti, kalau bukannya pengemis tua itu tidak dapat berjalan, mestinya ia
sendiri sudah berlompat bangun dan berlari pergi, guna menolong nona itu. Maka
ia bertindak maju di mulut gua seraya sembari tertawa lebar ia berkata: "Dia
telah menggunakan seribu satu akal untuk mencelakai aku, mana sudi aku menolongi
dia" Pergi kau sendiri yang menolonginya"!"
Ang Cit Kong terperanjat. Kata-katanya si anak muda dan sikapnya itu menandakan
bahwa orang tak jeri lagi kepadanya.
"Rupanya ia telah mendapat ketahui kepandaianku sudah musnah," pikirnya. "Inilah
tandanya telah habis lelakon hidupku...!"
Tapi Pak Kay tidak hendak menyerah dengan begitu saja, maka ia bersiap sedia
untuk mati bersama. Diam-diam ia mencoba mengumpul tenaganya di tangan, untuk
menghajar dengan sekali pukul. Kesudahannya ia kaget sekali. Begitu bertenaga,
ia merasakan luka si punggungnya sakit, semua tulang-tulangnya seperti hendak
buyar belarakan. Sementara itu ia melihat mendatangi sambil memperlihatkan muka
menyeringai. Tanpa merasa ia menghela napas panjang, lantas ia meramkan kedua
matanya untuk menantikan kebinasaannya....
Ketika itu Oey Yong di dalam air telah berpikir, menduga bahwa selanjutnya makin
sukar melayani Auwyang Kongcu, yang mestinya jadi semakin licin. Ia selulup
beberapa tombak jauhnya, baru ia muncul di muka air. Ketika ia melihat daratan,
itulah bukan tempat dimana tadi ia telah bergulat sama Auwyang Kongcu. Di sini
pepohonannya lebih lebat. Tiba-tiba saja ia dapat ingat pulaunya sendiri, maka
ia berpikir: "Alangkah baiknya kalau aku dapat cari suatu tempat bersembunyi,
untuk aku berdiam bersama suhu sambil merawati suhu, tentulah si bangsat tidak
gampang-gampang dapat mencari kita..."
Habis berpikir, si nona mendarat. Ia tidak berani lantas jalan begitu saja, ia
berjalan di sepanjang tepian. Ia khawatir nanti ketemu sama keponakannya Auwyang
Hong itu. "Coba dulu aku tidak terlalu gemar memain dan aku pelajari ilmu Kie-bun Ngo-
heng, sekarang tentulah dapat aku melayani bangsat itu," pikirnya pula. Ia
seperti ngelamun. "Ah, sayang ayah telah menyerahkan peta Tho Hoa To kepadanya!
Jahanam itu sangat cerdas, tentulah ia pun dapat memahamkan peta itu...
Berjalan seperti melamun, Oey Yong kurang memperhatikan jalanan yang dilalui.
Tiba-tiba ia keserimpat oyot rotan dan terhuyung karenanya. Berbareng dengan itu
di kepalanya terdengar bunyi apa-apa yang disusul sama meluruk jatuhnya butir-
butir tanah keras seperti batu. Segera ia lompat nyamping, terus ia angkat
kepalanya, memandang ke atas. Apa yang ia saksikan membuatnya kaget sekali,
hingga jantungnya berdenyutan.
Di atas itu, yang merupakan lamping, ada sebuah batu besar. Batu itu seperti
merongkong sebelah, nampaknya seperti bergoyangan, hingga sembarang waktu bisa
jatuh ke bawah. Pelurukan batu barusan datangnya dari bawah batu besar itu. Di
batu itu pun ada melibat banyak pohon rotan, satu di antaranya ialah yang
meroyot ke bawah, yang barusan kena ia injak sehingga ia keserimpat. Hancur
remuk tubuhnya, andaikata batu itu jatuh dan menimpa padanya....
Masih Oey Yong dongak mengawasi, sampai kagetnya lenyap. Ia heran atas
keletakannya batu itu. Itulah pengaruh sang alam. Hanya dengan disentil sekali
saja mungkin batu itu jatuh ambruk. Entah sudah berapa puluh tahun batu itu
bercokol di tepi jurang itu.
Sampai di situ, batal Oey Yong maju terus. Ia sekarang berjalan kembali. Ingin
ia melihat gurunya. Ia belum berjalan jauh ketika mendadak ia mendapat satu
pikiran. "Yang Maha Kuasa hendak membinasakan jahanam itu maka juga telah diciptakan ini
batu luar biasa," demikian pikirnya. "Kenapa aku jadi setolol ini?"
Girang luar biasa nona ini hingga ia berjingkrakan jungkir balik dua kali. Ia
lantas lari kembali ke tempat batu tadi, ia memasang mata untuk memperhatikan
keletakannya. Di samping itu ada banyak pohon yang besar dan tinggi. Kalau orang
berlompat menyingkir, paling jauh juga orang dapat berlompat empat atau lima
kaki. Kalau batu jatuh, burung sekalipun tak keburu terbang menyingkir....
Segera nona ini mengeluarkan pisau belatinya, yang panjang empat dim kira-kira.
Itulah pisau peranti menyembelih ayam atau memotong daging. Ia cekal itu di
tangan kanan, lantas ia bertindak turun ke lembah. Ia perdatakan tujuh atau
delapan oyot rotan yang melibat batu besar itu, ia tidak mengganggunya, hanya ia
memotong putus beberapa puluh oyot lainnya. Ia bekerja cepat, saban-saban ia
menahan napas dan menghela. Ia pun berlaku hati-hati, supaya ia tidak usah
membikin batu itu kena tertarik. Karena ia mesti mengutungi puluhan oyot, ia
menjadi mandi keringat. Kemudian, setelah mengumpulkan semua oyot itu, agak tak
kentara sudah diputuskan, baru ia bertindak pergi. Ia mencoba mengingati baik-
baik tempat ini. Ia berjalan sambil bernyanyi dengan perlahan, suatu tanda ia
merasa puas sekali. Selagi mendekati gua, si nona tidak melihat Auwyang Kongcu. Ia berjalan terus.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara tertawa panjang dan nyaring yang keluar
dari dalam gua. Ia kenali suaranya si anak muda, yang mana disusul sama kata-
katanya yang nyaring: "Kau sombongkan kepandaianmu yang lihay, sekarang kau
roboh di tangan kongcumu" Kau takluk tidak" Baiklah, karena aku berkasihan untuk
usiamu yang sudah lanjut, aku menyerah untuk kau menyerang dulu tiga kali!
Bagaimana?" Takutnya Oey Yong bukan main. Ia insyaf bahaya yang mengancam gurunya itu. Ia
tapinya cerdik luar biasa. Disaat berbahya seperti itu, ia mendapat akal.
"Ayah, ayah!" ia berteriak-teriak. "Kenapa kau datang ke mari" Eh, kau juga


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Auwyang Peehu" Kenapa kau pun datang?"
Nyaring suaranya si nona, suara itu terdengar sampai di dalam gua.
Auwyang Kongcu tengah mempermainkan Ang Cit Kong, yang ia hendak
membinasakannya, dia menjadi kaget sekali mendengar suara si nona.
"Ah, kenapa pamanku bisa datang bersama-sama Oey Lao Shia?" pikirnya. Ia sangat
bersangsi, hingga ia memikir pula: "Jangan ini pun main gilanya si budak cilik.
Ia hendak menolongi pengemis bangkotan ini, dia menipu aku supaya aku keluar....
Tapi tak apa, baik aku melihat dulu, pengemis ini toh tak bakal lolos dari
tanganku!" Maka ia bertindak keluar dari gua.
Oey Yong berada di tepian, di pasir.
"Ayah! Ayah!" suaranya terdengar, tangannya di ulap-ulapkan.
Auwyang Kongcu memandang jauh, di sekitarnya juga. Ia tidak melihat siapa juga
di antara mereka apa pula Oey Yok Su atau pamannya. Maka ia tertawa terbahak-
bahak. "Adikku, kau memancing aku supaya aku menemani kau?" katanya. "Kau lihat,
bukankah aku sudah keluar?"
Si nona menoleh, ia tertawa, matanya pun memain.
"Siapa kesudian mendustai kau?" katanya manis. Dan ia lari di sepanjang pasir.
Auwyang Kongcu tertawa. "Kali ini aku telah bersiaga," katanya. "Jikalau kau memikir untuk menyeret pula
aku ke laut, marilah kita mencoba-coba!"
Sembari berkata, pemuda ini lari untuk mengejar. Hebat ilmunya ringan tubuh,
sebentar saja dia sudah datang dekati si nona.
"Celaka..." mengeluh Oey Yong. "Kalau aku tidak keburu sampai di batu itu, pasti
dia bakal dapat menawan aku..." Maka ia lari terus sekuatnya.
Lagi beberapa puluh tombak, Auwyang Kongcu telah datang semakin dekat.
Oey Yong lari ke kiri, mendekati laut, tinggal lagi beberapa kaki.
Benar-benar Auwyang Kongcu telah menjadi cerdik, tidak mau ia mendekati.
"Baiklah, mari kita main perak umpat!" katanya tertawa. Ia maju pula, ia terus
waspada. Oey Yong menghentikan tindakannya, ia juga tertawa.
"Di depan sana ada seekor harimau galak," katanya, "Jikalau kau tetap menyusul
aku, kau nanti diterkam dan digegares olehnya!"
"Aku sendiri pun harimau!" tertawa si anak muda. Ia tidak percaya perkataan
orang. "Aku pun hendak mencplok padamu!"
Oey Yong tertawa, tanpa menyahuti ia lari pula.
Demikian mereka main lari-larian atau kejar-kejaran hingga mereka datang dekat
ke batu separuh tergantung itu. Di sini Oey Yong lari makin keras. Ia harus
menang tempo. "Mari!" ia menantang. Dan ia berlompat pesat ke arah depan batu.
Hanya sekelebatan, ia merasa melihat bayangan orang di pesisir. Tapi ia lagi
menghadapi saat tegang itu, biar pun ia heran,ia tidak sempat mencari tahu. Ia
lari terus sampai di tempat oyot rotan tadi. Dengan tiga kali lompatan, tibalah
ia di lembah. "Mana si harimau?" tanya Auwyang Kongcu mengejek. Ia pun menambah pesatnya
larinya, sehingga ia juga tiba di depan lembah.
Sekonyong-konyong pemuda ini mendengar suara berkeresek di atasan kepalanya,
suaranya itu disusul sama sambaran angin. Ia lantas menagangkat kepalanya,
dongak untuk melihat. Bukan main kagetnya ia. Ia menampak sebuah batu besar
justru jatuh ke arahnya. Tidak ada jalan lain. Ia berlompat ke samping. Ia
lompat tanpa melihat lagi arahnya. Ia terkejut ketika ia merasakan tubuhnya
membentur sebuah pohon, yang terus patah dan bagian patahannya melukai
punggungnya. Lupa ia pada rasa sakit, ia cuma ingat menyingkir, menyingkir.... Ia
mencoba berlompat pula....
Disaat seperti itu, Auwyang Kongcu sudah seperti pingsan, tetapi ia masih
merasakan ada tangan yang kuat yang menyambar menjambak batang lehernya, terus
ia ditarik. Meski begitu, jatuhnya batu cepat luar biasa, ia masih ketimpa juga,
maka robohlah ia dibarengi jeritannya yang hebat sekali, debu dan batu pun
muncrat! Debu itu mengepul bagaikan uap.
Oey Yong melihat jebakannya telah memberi hasil, ia girang berbareng kaget. Ia
tidak menyangka bahwa jatuhnya batu demikian hebat. Ia menjatuhkan diri ke
tanah, untuk duduk menumprah seraya meletaki kedua tangannya di atasan
kepalanya. Ia baru mengangkat kepala dan membuka matanya ketika ia mendengar
sirapnya suara nyaring dan berisik. Samar-samar ia menampak dua tubuh orang
berdiri di sisi batu besar itu. Seperti orang lagi bermimpi, ia mengucak-ucak
kedua matanya. Lalu ia mengawasi pula, dengan perhatian dipusatkan. Tidak salah,
di situ ada dua orang lain, bahkan orang itu ialah Auwyang Hong dan Kwee Ceng!
Si anak muda yang ia seperti tidak tak dapat melupakannya....
"Engko Ceng!" akhirnya ia berseru seraya ia berlompat bangun.
Kwee Ceng juga tidak menyangka di tempat itu dapat menemui kekasihnya itu, ia
juga berlompat menubruk, untuk merangkul erat-erat si nona. Hingga keduanya lupa
bahwa di samping mereka berada musuh besar mereka!
* * * Auwyang Hong dan Kwee Ceng tenggelam terbawa perahu mereka yang masuk ke dasar
laut terbawa oleh usar-usaran air. Memangnya perahu itu, yang tinggal sebelah,
telah kemasukan banyak air. Segera juga mulult dan hidung mereka menyedot air
asin, hingga keduanya menjadi kaget. Mereka menginsyafi bahaya. Karena itu
mereka tidak berkutat terlebih jauh, sama-sama mereka melepaskan tangan mereka,
untuk sebaliknya dipakai menekap hidung dan kuping. Mereka pun terbawa arus
hingga jauh. Ketika Kwee Ceng timbul di muka air, untuk bernapas, ia melihat
jagat gelap, perahu kecil entah pergi ke mana. Ia menjerit-jerit, tidak ada yang
menyahuti, meskipun sebenarnya Oey Yong tengah mencari-cari padanya. Damparan
gelombangan sangat berisik, angin juga tak kurang ributnya.
Selagi Kwee Ceng berteriak-teriak pula, ia merasa ada yang menarik kakinya yang
kiri, atau dilain saat muncullah Auwyang Hong di sisinya. Dia ini tidak pandai
berenang, maka itu, kecebur di laut, ia habis daya. Syukur dia dapat mencekal
kakinya si anak muda, dia terus tidak mau melepaskannya, bahkan ia memegang juga
kaki yang kanan. Sia-sia Kwee Ceng meronta-ronta.
Mereka berkutat pula, hingga mereka tenggelam kembali. Tak lama, keduanya
mengambang lagi. "Lepaskan tanganmu!" Kwee Ceng berseru. "Aku tidak akan tinggalkan kau!"
Auwyang Hong tidak mau melepaskannya, baru sesaat kemudian, ia melepaskan kaki
yang sebelah. Rupanya ia ingat, dengan bergulat terus, mereka bakal mati
bersama. Kwee Ceng lantas berenang, sembari berenang ia mengangkat sedikit rusuk jago tua
itu. Untung untuk mereka, tidak lama mereka membentur sepotong balok, maka si
anak muda berpegang pada balok itu. Dengan begitu tak usah ia memakai banyak
tenaga lagi. "Lekas peluki balok ini!" ia berteriak. "Jangan lepas!"
Auwyang Hong menurut. Bukan main girangnya pemuda ini.
Mereka terombang-ambing di laut sehingga sang fajar datang. Sekarang ternyata
balok itu ada patahan tiang layar mereka. Hanya melihat kelilingan, mereka tak
nampak perahu. Auwyang Hong sangat berduka. Tongkatnya pun sudah lenyap, hingga ia menjadi
sangat berkhawatir. "Kalau ada ikan cucut di sini, mana bisa aku melawan seperti Ciu Pek Thong...?"
pikirnya. "Ketika itu ada aku yang menolongi dia, tetapi sekarang, siapa yang
menolongi aku...?" Mereka lapar dan berdahaga. Syukur, untuk dahar mereka bisa mengunyah ikan
mentah. Kalau ada ikan yang lewat disampingnya, Kwee Ceng menikam dengan piasu
belatinya, dan Auwyang Hong menhajar dengan tangannya. Hebat rasanya untuk
menggerogoti ikan mentah itu.
Sekarangb mereka tidak bergulat lagi. Maka itu hari, sampailah mereka di tepian
pulau di mana Cit Kong, Oey Yong dan Auwyang Kongcu telah tiba. Mereka mendarat
untuk beristirahat. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berbicara sambil
tertawa-tawa. Keduanya heran, Auwyang Hong yang berlompat paling dulu untuk
melihat orangnya. Tepat ia melihat batu lagi jatuh turun dan keponakannya lagi
terancam, maka ia melesat akan menyambar keponakannya itu. Ia masih terlambat,
sebab kesudahannya kedua kaki Auwyang Kongcu kena tertindih juga batu raksasa
itu, anak muda itu menjerit untuk terus pingsan.
Untuk sejenak Auwyang Hong memandang keliligan, setelah merasa pasti tidak ada
ancaman bahaya lainnya, ia menghampirkan keponakannya itu. Ia mendapat kenyataan
sang keponakan cuma pingsan, maka hatinya menjadi sedikit lega. Ketika mencoba
mendorong batu, ia tidak berhasil, tidak peduli tenaganya besar luar biasa.
"Paman..." memanggil keponakan itu perlahan, setelah ia sadar, sedang pamannya
lagi membungkuk. "Tahan sakit," menyahut paman itu. Ia lalu memeluk, untuk menarik.
Auwyang Kongcu menjerit, kembali pingsan. Hebat tarikan itu sedang kaki tidak
bergeming. Paman itu menjublak. "Mana suhu?" tanya Kwee Ceng, yang menarik tangan Oey Yong. Ia seperti tidak
ingat itu paman dan keponakannya.
"Di sana," sahut si nona, tangannya menunjuk.
Lega hatinya si anak muda. Selagi ia mau minta si nona mengajak dia pergi kepada
gurunya, justru ia mendengar jeritannya Auwyang Kongcu itu. Dasar hatinya mulia,
ia menjadi tidak tega. "Mari aku bantu padamu!" ia berkata kepada Auwyang Hong.
Oey Yong menarik tangan pemuda itu.
"Mari kita lihat suhu!" ia mengajak. "Kita jangan pedulikan manusia jahat!"
Auwyang Hong tidak tahu bahwa batu besar itu jatuh karena ulahnya si nona, meski
begitu ia gusar mendengar perkataan orang itu. Ia pun mengingat suatu apa akan
mendengar Ang Cit Kong masih hidup serta berada di tempat itu. Ia membiarkan
orang pergi, kepada keponakannya, ia berbisik. "Kau tahan sabar, aku nanti cari
akal untuk menolongmu." Ia berlompat naik ke atas pohon, mengawasi ke arah mana
muda-mudi itu pergi. Panas hatinya menyaksikan orang jalan rapat asyik sekali.
"Jikalau aku tidak dapat menyiksa kamu berdua bangsat cilik hingga kau mati
tidak hiudp juga tidak, percuma aku disebut See Tok!" katanya dalam hatinya
dengan sengit sekali. Habis itu ia lomat turun dari pohon, untuk menguntit.
Kwee Ceng berdua bersama Oey Yong berjalan terus sampai di mulut gua. Mereka
tidak tahu bahwa mereka ada yang membayangi.
"Suhu!" memanggil si anak muda memasuknya ia di dalam gua.
Cit Kong kelihatan lagi menyender di batu, matanya tertutup rapat, mukanya
sangat pucat. Karena di ganggu Auwyang Kongcu, penyakitnya yang baru baikan
kumat pula. Karena itu ia berdiam saja mendengar panggilan muridnya.
Dua-duanya Kwee Ceng dan Oey Yong menghampirkan, yang satunya membukai kancing
bajunya, yang lainnya menguruti tangan dan kakinya.
Akhirnya Ang Cit Kong membuka matanya. Melihat Kwee Ceng, yang ia segera
mengenalinya, ia girang. Ia tersenyum.
"Anak Ceng, kau pun datang!" katanya lemah.
Kwee Ceng hendak menyahuti gurunya itu tatkala ia terkejut mendengar suara
nyaring dibelakangnya: "Pengemis tua, aku juga datang!"
Itulah suaranya Auwyang Hong, yang telah menguntit sampai di luar gua.
Kwee Ceng bangun untuk memutar tubuh dan berlompat maju, ia menghalang di pintu
dengan sikapnya "Sin liong pa bwee" atau "Naga sakti menggoyang ekornya". Oey
Yong sendiri menyambar tongkat gurunya terus ia berlompat ke samping pemudanya.
Auwyang Hong tertawa "Pengemis bangkotan, keluar!" katanya nyaring. "Jikalau kau tidak keluar, nanti
aku yang masuk ke dalam!"
Kwee Ceng menoleh kepada Oey Yong dan mengedipi mata, maksudnya memberitahu, apa
juga bakal terjadi, hendak ia membela gurunya.
Auwyang Hong tidak memperoleh jawaban, ia tertawa lalu ia mju. Atas itu tanpa
bersangsi lagi, Kwee Ceng menyerang. Inilah See Tok telah duga, malah ia menerka
juga orang akan menggunai Hang Liong Sip-pat Ciang, dari itu ia sudah bersiaga
untuk itu. Ia berkelit dengan berlompat ke kanan. Tapi di sini ia dipapaki
tongkat, kelihatannya tongkat menyontek ke atas, tidak tahunya menyapu ke bawah
berulang-ulang, hingga ia tidak dapat menduga tepat arah serangan orang. Diam-
diam hatinya terkesiap. Ia lantas melindungi dirinya, untuk mencegah serangan
apa juga. Tapi hebat tongkat itu, ialah tongkatnya Oey Yong. paling akhir ujung tongkat
mencari jalan darah di pinggang.
Saking kaget, Auwyang Hong berlompat mundur, segera ia melirik. Ia tidak
menyangka si nona menjadi begini lihay.
Oey Yong mendapat hati melihat musuh mundur.. Ia telah menggunai tipu-tipu dari
Pa-kauw-pang, yang ia belum dapat menguasai dengan mahir. Sebaliknya See Tok
belum pernah melihat ilmu silat itu.
"Hm!" berseru si Bisa dari Barat sambil ia berlompat maju, tangannya diulur
untuk merampas tongkat si nona.
Oey Yong dapat berkelit, ketika ia dirangsak, masih ia bisa menyingkir dari
pelbagai serangan. Kwee Ceng girang berbareng heran menyaksikan ilmu silat kawannya itu. Ia tidak
menonton lebih lama, ia lantas maju, untuk menyerang dari samping.
Auwyang Hong menjadi sangat gusar, ia berlompat mundur, lalu ia berdongko,
menyusul itu kedua tangannya menyerang dengan berbareng hingga anginnya
berdesir. Hebat serangan itu, ialah serangan menurut Kuntauw Kodok. Debu pun sampai kena
dibikin terbang. Kwee Ceng melihat ancaman bahaya, dengan cepat ia menolak pundaknya Oey Yong -
orang yang diserang itu - hingga si nona terhuyung, tetapi dengan begitu ia
terhindar dari bahaya. Auwyang Hong penasaran, ia maju dua tindak, kembali ia menolak dengan sepasang
tangannya. Memang hebat Kuntauw Kodok dari See Tok ini, sebagaimana ternyata, Ang Cit Kong
yang begitu lihay cuma bisa bertarung seri dengannya.
Segera juga Kwee Ceng dan Oey Yong kena didesak mundur, sebab mereka main
berkelit saja. Auwyang Hong dapat memasuki gua. Ketika ia menyerang gagal ke
kiri, ia menghantam pinggiran gua hingga batu dan tanahnya gugur. Setelah itu ia
menyerang dengan tangan kanannya ke arah Ang Cit Kong.
Pak Kay sedang menutup mata ketika ia mendengar desiran angin dari pukulan-
pukulan yang dahsyat itu, lantas ia membuka matanya.
"Ilmu silat yang bagus sekali!" pujinya. "Tangan yang hebat!"
Mukanya Auwyang Hong menjadi merah, ia merasa diejek. Bukankah ia sedang
melayani segala bocah" Maka tangannya itu tak dapat diteruskan.
"Guruku menolongi jiwamu, kau sekarang hendak mencelakai guruku" Oey Yong
berteriak. "Sungguh kau tidak mempunyai muka"!"
Batal menyerang, Auwyang Hong menolak dengan perlahan tubuhnya si Pengemis dari
Utara. Ia merasakan dada dan daging yang lembek, hingga dada itukentop.
Biasanya, ditekan begitu, tubuh seorang ahli silat mesti membal untuk melawan,
tapi ini sebaliknya, maka tahulah See Tok bahwa kepandaian orang telah lenyap.
Ia lantas membungkuk, berniat mengangkat tubuhnya si pengemis.
"Kamu membantui aku menolongi keponakanku, nanti aku beri ampun jiwanya ini
penegemis tua!" ia berkata bengis. Ia mengancam si pemuda dan pemudi.
"Thian yang menurunkan batu itu menindih dia, kau melihatnya dengan matamu
sendiri!" berkata Oey Yong, menyahuti. "Siapa sanggup menolongi dia" Jikalau kau
berbuat jahat, nanti Thian pun melemparkan batu besar itu untuk menindih padamu
sampai mampus!" Auwyang Hong angkat tubuhnya Ang Cit Kong tinggi-tinggi, ia mengancam hendak
melemparkannya. Kwee Ceng sangat mulia hatinya, ia tidak tahu bahwa orang lagi menggertak.
"Lekas turunkan guruku!" ia berseru. "Nanti kita bantui kau!"
Sebenarnya Auwyang Hong ingin lekas-lekas menolongi keponakannya itu, tetapi ia
tidak sudi kentarakan itu, ia justru membawa aksi. Kemudian ia menurunkan tubuh
Cit Kong dan meletakinya dengan baik.
"Untuk membantui kau menolongi dia tidaklah sukar!" berkata Oey Yong. Ia masih
penasaran, ia menyebutnya Auwyang Kongcu dengan "dia". Tetapi kita harus membuat
dulu tiga perjanjian!"
"Eh, budak perempuan, kesulitan apa lagi kau hendak mengajukannya"!" See Tok
mendongkol. "Sesudah kami membantu kau menolongi keponakanmu itu, kita tinggal bersama-sama
di pulau ini," menjawab Oey Yong. "Selama itu kau tidak boleh mengganggu pula
kami guu dan murid bertiga!"
Auwyang Hong terus mengangguk, karena ia sudah lantas ingat dia dan keponakannya
tidak bisa berenang, untuk dapat pulang ke daratan, mereka mengandal bantuannya
tiga orang itu. "Baik!" ia memberikan janjinya. "Selama berada di pulau ini, aku pasti tidak
akan turun tangan terhadap kamu, tetapi nanti di daratn, itulah sukar untuk atau
membilangnya..." "Sampai itu waktu, biarnya kau tidak turun tangan, kami yang bakal turun tangan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadapmu!" kata Oey Yong menantang. "Sekarang yang kedua. Ayahku telah
menjodohkan aku dengan dia, kau melihatnya sendiri, kau mendengarnya sendiri
juga, maka itu kalau di belakang hari keponakanmu itu menggerembengi pula
padaku, ia lah binatang yang tak mirip-miripnya sekalipun dengan anjing babi!"
"Hm!" terdengar suara tawar dari See Tok. "Baiklah, tetapi ini pun terbatas
selama kita berada di pulau ini, seberlalunya kita dari sini, kita lihat saja
nanti!" Oey Yong tersenyum. "Sekarang syarat yang ketiga!" ia berkata pula. "Kami akan membantu kau dengan
sungguh-sungguh akan tetapi umpama kata Thian hendak mengantarkan jiwa
keponakanmu itu pulang ke alam baka, itulah bukannya tenaga manusia yang dapat
mencegahnya, maka itu kau tidak boleh menimbulkan lain urusan lagi!"
Kedua mata Auwyang Hong mendelik dan berputar.
"Jikalau keponakanku sampai mati, si pengemis tua jangan harap dapat hidup lebih
lama!" katanya bengis. "Budak cilik, jangan kau ngaco belo lebih lama! lekas kau
tolongi keponakanku itu!"
Habis berkata, jago dari Barat ini lantas lompat keluar dari gua, untuk berlari-
lari keras ke arah lembah.
Kwee Ceng hendak lompat menyusul tetapi si nona tarik tangannya.
"Engko Ceng," ia berkata, memesan, "Kalau sebentar See Tok membantu mendorong
batu besar itu, kau gunai ketikamu untuk membokong dia untuk membikin habis
jiwanya!" "Cara membokong itu bukan cara terhormat," berkata Kwee Ceng.
"Dia bikin celaka suhu, adalah itu caranya terhormat?" tanya si nona. Agaknya ia
mendelu. "Tetapi kita telah mengeluarkan kata-kata, harus kita pegang itu," Kwee Ceng
mengasih mengerti. "Sekarang kita tolongi dulu keponakannya itu, nanti di
belakang hari kita mencari jalan untuk membuat pembalasan."
Mendengar itu, si nona tertawa.
"Baiklah," katanya. "Kau seorang nabi, suka aku mendengar katamu!"
Setelah memesan gurunya untuk menanti, kedua muda-mudi ini lari ke lembah. Di
sana mereka mendengar Auwyang Kongcu merintih, suaranya sangat mengenaskan,
menandakan ia menderita sangat.
"Lekas, lekas!" Auwyang Hong memanggil seraya membentak.
Kwee Ceng dan Oey Yong lantas mendekati batu, untuk memasang kuda-kuda. Auwyang
Hong sendiri sudah bersiap terlebih dulu. Dengan satu tanda, dengan berbareng
enam buah tangan memegang batu dan menolaknya. Auwyang Hong adalah yang berseru;
"Angkat!" Ditolak oleh enam tangan yang kuat, batu itu tergerak, tetapi cuma sebentar,
sehabisnya tenaga orang, batu itu jatuh pula, pulang ke tempat asalnya.
"Aduh!" menjerit Auwyang Kongcu yang tak sempat menarik kedua kakinya. Ia
ketimpa pula, lantas ia pingsan kembali.
Auwyang Hong kaget, ia berdongkol melihat keponakannya itu, napas siapa empas-
empis selekasnya dia sadar pula, dia menahan sakit hingga ia menggigit keras
bibirnya, sampai bibirnya mengeluarkan darah.
See Tok menjadi sangat bingung. Terang sudah tenaga mereka betiga tidak cukup
Si Rase Hitam 3 Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa Ki Ageng Tunggul Akhirat 3
^