Misteri Kehadiran Arwah 2
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois Bagian 2
"Kenapa, Ayah" Kenapa?" Rani kembali bertanya.
Branden tampak menatap Rani seraya memegang
kedua bahunya. "Maaf, Sayang...! Ayah tidak bisa
menjelaskannya padamu," jawab Branden menutup
keingintahuan putrinya. Sejenak Branden melihat keluar, kemudian
meminta putrinya agar masuk ke kamar dan
106 beristirahat. Branden sendiri segera melangkah ke
teras muka dan duduk merenung di tempat itu. Pada
saat yang sama, Rani sudah berada di kamarnya, kini
dia sedang menangis di atas tempat tidur. Sungguh
dia benar-benar tidak mengerti kenapa ayahnya tega
mengusir Jodi, dan dia pun mulai berprasangka yang
tidak-tidak mengenai hal itu.
"Hmm... apakah semua kejadian tadi perbuatan
Ayah yang ingin memisahkan aku dengan Jodi" Tapi
kenapa" Padahal, semula beliau sangat gembira
bertemu dengannya. Aku benar-benar tidak mengerti,
apa sebenarnya yang beliau inginkan?"
Rani terus bertanya-tanya, sedangkan air matanya
tak henti-hentinya mengalir membasahi pipinya yang
pucat. Sementara itu di sebuah jalan yang gelap dan
sepi, sebuah sedan mewah tampak melaju dengan
kecepatan tinggi. Di kiri-kanannya tampak berjajar
pepohonan rindang yang membuat jalan itu kian
bertambah seram. Jodi, si pengemudi mobil mewah
itu tampak kalut, pikirannya masih terbayang peristiwa
di rumah Rani. 107 "Hmm... mungkinkah Branden tahu kalau aku
akan berbuat jahat" Kalau begitu, benar juga kata si
Burhan kalau Branden itu memang mempunyai ilmu
sihir. Tidak mustahil kalau dia bisa membaca
pikiranku. Padahal, pada mulanya aku tidak percaya
sama sekali kalau Branden itu orang yang demikian.
Selama ini dia tampak begitu baik, dan tidak ada
sedikitpun yang membuatnya tampak sebagai penyihir. Namun, sekarang aku yakin sekali, kalau dia
memang mempunyai ilmu sihir. Sebab, aku sendiri
sudah merasakannya. Kurang ajar Branden! Beraninya dia menjauhkanku dari Rani!!!" makinya
setengah berteriak. "Bukan dia, Jo...." tiba-tiba terdengar suara parau
dari jok belakang. Seketika Jodi melirik ke kaca spion tengah.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat seorang wanita
cantik dengan wajah yang begitu pucat tampak
sedang duduk menyeringai. Jodi pun merinding
seraya menginjak pedal rem dalam-dalam, akibatnya
mobil yang dikemudikannya hampir saja tergelincir
108 hingga keluar jalan raya. Kini pemuda itu sudah
bersiap-siap untuk melarikan diri. Namun ketika dia
menoleh ke belakang, ternyata wanita tadi sudah
menghilang. Jodi tampak menarik nafas panjang, "Huff!
syukurlah... mungkin tadi itu cuma hayalanku saja,"
gumamnya merasa lega. Begitu pandangannya
kembali ke depan, pemuda itu tampak terkejut bukan
kepalang. Dilihatnya sosok wanita tadi tampak berdiri
di depan mobilnya dengan gaun putih yang berkibar-
kibar. Sosok wanita itu menatap Jodi. Wajahnya yang
pucat tampak begitu menyeramkan. Sebagian
wajahnya yang pucat itu tertutup oleh darah yang
mengering, dan sebelah bola matanya tampak
mencuat ke luar. Melihat itu Jodi tampak ketakutan, kemudian
dengan segera pemuda itu mencoba menghidupkan
mesin mobilnya. Namun sungguh disayangkan, mesin
mobilnya tak kunjung hidup. Berkali-kali dia mencoba,
namun tetap gagal. Sementara itu, sosok wanita
menyeramkan tadi tampak mulai menghampiri.
109 Melihat itu, Jodi semakin panik, lalu dengan segera
dia keluar mobil dan berlari tunggang-langgang.
Jodi terus berlari dan berlari, hingga akhirnya dia
melihat sebuah rumah yang cukup megah. Sungguh
betapa senangnya dia saat itu. Lantas, dengan nafas
yang masih terengah-engah, pemuda itu segera
berlari menghampiri. Kini pemuda itu sedang membuka pintu gerbang
yang ternyata tidak dikunci, kemudian dengan segera
dia berlari memasuki pekarangan. Saat itu hatinya
betul-betul lega, karena tak lama lagi dia sudah bisa
meminta bantuan. Namun sungguh disayangkan,
ketika sudah hampir tiba di teras, tiba-tiba kaki
pemuda itu tersandung sesuatu. Tak ayal, pemuda itu
langsung tersungkur mencium tanah. "Aggh...!" Jodi
tampak meringis kesakitan, sebagian tubuhnya
dirasakan nyeri dan ngilu.
Kini pemuda itu mencoba menengadah ke arah
rumah yang dilihatnya tadi. "A-apa!!!" serunya dengan
matanya terbelalak dan mulut yang menganga lebar.
Ternyata rumah yang dilihatnya tadi, kini sudah
110 menghilang, dan yang ada di hadapannya sekarang
adalah sebuah makam dengan nisan yang persis di
depan matanya. "Di-di-di mana rumah tadi" Bu-bu-
bukankah tadi berada di depanku," ucap pemuda itu
terbata seraya membaca tulisan yang ada di nisan
tersebut. "Ya-Yana...!" serunya terkejut.
Jodi mengucek-ngucek kedua matanya, kemudian
kembali memperhatikan nisan itu sekali lagi. "Tidak
salah lagi. Ini memang nisan Yana," ucapnya seakan
tidak percaya. Seketika Jodi merinding, sungguh dia tidak
menduga kalau dirinya ternyata sedang tertelungkup
di depan makam Yana. Kini pemuda itu tampak
memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dan betapa
terkejutnya dia ketika menyadari sedang berada di
tengah-tengah pemakaman umum yang begitu sepi
dan menyeramkan. Tak ayal, saat itu wajahnya
langsung pucat dengan tubuh yang gemetar hebat.
Lantas dengan terus diselimuti rasa takut, pemuda
itu berusaha bangkit. Dan tak lama kemudian dia
sudah berdiri tegak dan siap melangkah pergi. Namun
111 baru saja dia membalikkan badan, tiba-tiba dihadapannya sudah berdiri sesosok tubuh wanita
yang sedang menyeringai seram. Saat itu, wajah
wanita itu tampak begitu pucat dan menyeramkan,
bahkan dari tubuhnya tercium bau busuk yang begitu
menyengat. Kini sosok wanita itu tampak menatap
Jodi dengan penuh kebencian. Melihat itu, Jodi
langsung terpekik dengan tubuh yang terasa lemas.
Hingga akhirnya, dia pun jatuh duduk tak berdaya
sama sekali. "Jangan kau permainkan dia Jooo...!!!" seru sosok
wanita itu dengan suara serak.
"A-a-apa, ma-ma-maksudmu" Bu-bu-bukankah
selama ini a-aku begitu menyayangi putrimu," ucap
Jodi dengan terbata-bata.
"Jangan bohong, Jo!!! Aku tahu kau telah
mempunyai istri di Tokyo," kata sosok wanita itu
dengan nada marah. "Ja-ja-jadi kau tahu... ba-ba-bahwa aku su-su-
sudah mempunyai istri?"
112 "Kau benar, Jo! Masih ingatkah ketika kaubicara
lewat HP di ruang tunggu terminal" Waktu itu aku
sempat mendengarkan pembicaraanmu," cerita Yana
mengingatkan kembali akan peristiwa yang telah
lewat. "Waktu itu ketika hendak menemuimu, aku
sempat mendengar kau yang menyebut kata 'istri'.
Dan karena penasaran, aku pun mendengarkan
percakapan itu lebih lanjut. Hingga akhirnya aku bisa
mengetahui siapa dirimu sebenarnya. Ternyata kau
telah mempunyai istri di Tokyo," lanjut Yana
menjelaskan. Seketika Jodi teringat dengan kata-katanya waktu
itu, yaitu ketika dia sedang berbicara dengan istrinya.
"Kau ini bagaimana, sih" Aku kan sudah bilang akan
pulang secepatnya. Kaupikir di Jakarta ini aku sedang
main-main, di sini aku sedang mengurusi perusahaan
ayahku, dan aku baru bisa kembali ke Tokyo besok
pagi. Dengar, Sayang...! Jika kau ingin tetap menjadi
istriku, kau harus bisa memahami hal itu." Dan kalimat
itulah yang terus terngiang di telinga Yana hingga
akhir hayatnya. 113 "Bagaimana, Jo?" tanya Yana lagi.
"Ba-ba-baiklah! A-a-aku akan me-me-menjauhi
putrimu," janji Jodi dengan suara yang masih saja
terbata-bata. "Pegang ucapanmu itu, Jo!" ucap Yana seraya
melesat pergi. Jodi tidak berkata apa-apa, dia cuma mengangguk penuh ketakutan, bahkan dari celananya
tampak mengalir air seni yang cukup banyak. Kini
pemuda itu berusaha bangkit, kemudian dengan kaki
yang terpincang-pincang pemuda itu bergegas ke
mobilnya. Saat itu Jodi benar-benar tidak habis pikir, kenapa
dia bisa mengarahkan mobilnya ke daerah dekat
pemakaman" Padahal pada mulanya, dia yakin sekali
kalau telah mengemudikan mobil pada jalan yang
benar. Sungguh saat itu Jodi telah dibuat bingung oleh
kejadian yang baru dialaminya.
Setelah mesin dihidupkan, Jodi segera memacu
mobilnya meninggalkan tempat tersebut. Sementara
itu di tempat lain, Branden masih saja termenung di
114 teras depan rumahnya. Wajahnya yang kusut terlihat
begitu murung, sedangkan kedua matanya tampak
berkaca-kaca. "Sebenarnya apa yang telah terjadi"
Kenapa Yana tega merusak kebahagiaan Rani" Apa
yang sebenarnya dia inginkan?" tanya Branden dalam
hati. Namun belum sempat lelaki itu berpikir lebih jauh,
tiba-tiba angin yang sangat kencang berhembus di
tempat itu. Suaranya terdengar menderu-deru.
Bersamaan dengan itu, daun-daun dan debu tampak
berterbangan. Lalu dari samping rumah terdengar
gemeretak dahan pohon yang patah, kemudian
disusul dengan derak suara pohon yang tumbang.
Saat itu Branden tampak heran dibuatnya. Belum
hilang rasa herannya, tiba-tiba dia melihat seorang
wanita yang sedang berdiri di muka rumah. Kini wanita
itu sedang berjalan menghapirinya. Pada saat yang
sama, Branden tampak berdiri dan maju selangkah,
kedua matanya tampak memperhatikan wanita itu
dengan seksama. Betapa terkejutnya dia ketika
115 mengetahui bahwa wanita itu adalah sosok istrinya
yang sudah meninggal hampir sebulan yang lalu.
Wanita itu terus melangkah mendekati Branden,
sedangkan Branden tampak sedikit gugup melihat
sosok istrinya sudah kian mendekat. Namun begitu,
dia mencoba untuk tetap tenang. Kini sosok wanita itu
sudah berdiri di hadapan Branden, sedangkan
Branden sudah siap untuk meluapkan amarahnya
yang sudah sejak tadi terpendam. Lantas, dengan
tajam dia menatap mata wanita itu seraya berkata
lantang, "Yana!!!" serunya kepada sosok mendiang
istrinya itu. "Kenapa kau mengganggu Jodi, Yan"
Kenapa?"" Apakah kau tidak senang melihat putri kita
bahagia bersamanya" Jawablah, Yana...! Jawab!!!"
"Kau tidak mengerti Braannn..." kata sosok
istrinya dengan suara yang terdengar parau.
Belum tuntas sosok wanita itu menjawab, tiba-tiba
"Ayah... Ayah....!" terdengar teriakan Rani memanggil. Seketika Branden menoleh ke arah pintu,
dilihatnya Rani tengah berlari menghampirinya. "Ayah!
116 Apakah Ayah mendengar suara-suara tadi?" tanyanya
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penuh ketakutan. Branden tidak menjawab, dia malah menoleh ke
tempat sosok Yana berdiri. Saat itu sosok Yana itu
sudah menghilang. Kini Branden menghampiri Rani
yang terlihat sangat ketakutan, kemudian memeluknya
erat. "Iya Sayang... Ayah juga mendengarnya. Tapi
kau tidak perlu takut, tadi itu cuma suara pohon
tumbang yang tertiup angin besar barusan," jelas
Branden seraya membelai rambut putrinya.
"Angin besar?" tanya Rani seraya melepaskan diri
dari pelukan ayahnya. "Iya, Sayang... barusan memang ada angin yang
begitu besar," jelas Branden lagi.
"Itu juga yang terjadi ketika Rani dan Jodi sedang
berada di ruang tamu, Yah. Jadi, bukan Ayah yang
melakukannya?" tanya Rani seraya menatap mata
ayahnya. Branden memegang bahu putrinya, kemudian
menatapnya dengan prihatin, "Bukan, Sayang... bukan
117 Ayah yang melakukannya. Itu semua ulah..." Branden
tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ulah siapa, Ayah?" tanya Rani penasaran.
"Sebaiknya kita masuk saja, Sayang...! Udara di
sini cukup dingin." Ajak Branden yang tidak mau
menjawab pertanyaan putrinya.
Akhirnya keduanya segera melangkah masuk dan
beristirahat di kamar masing-masing. Kini Rani
tampak sedang berbaring di tempat tidurnya, dia
masih saja memikirkan kejadian barusan. "Jangan-
jangan, Ayah sengaja menciptakan peristiwa barusan
cuma untuk menutupi perbuatannya. Seakan-akan,
peristiwa yang waktu itu aku dan Jodi alami bukanlah
perbuatannya?" Rani menduga-duga.
Kini Rani teringat ketika ayahnya pernah
mempelajari ilmu sihir guna mencari kekayaan. Waktu
itu usia Rani masih 12 tahun. Setelah ayahnya
bertobat dan meninggalkan semua kekayaan yang
didapat dari cara yang tidak halal, mereka pun pindah
ke sebuah rumah yang sederhana. Sejak saat itulah
Branden bercocok tanam sampai akhirnya dia
118 mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan.
Hingga akhirnya dia bisa kembali hidup mapan seperti
sekarang. "Hmm... apakah Ayah memang masih memiliki
ilmu itu" Jika benar demikian, kenapa beliau
menggunakannya untuk memisahkan hubungan
kami?" Rani terus bertanya-tanya, hingga akhirnya
dia terlelap karena kantuk yang tak tertahankan.
119 Enam ehari setelah kejadian itu. Teman Jodi yang
S bernama Yuli terlihat baru saja keluar dari
pintu Mal sambil menenteng banyak belanjaan. Dialah
gadis yang waktu itu menelepon Jodi ketika berada di
halaman parkir kantor Branden. Kini gadis itu sedang
melangkah ke mobil yang diparkir tak jauh dari pintu
masuk. Dalam waktu singkat dia sudah tiba di mobil
dan langsung membuka bagasinya. Ketika hendak
memasukkan barang belanjaannya, tiba-tiba sebuah
bungkusan yang dibawanya terjatuh. Menyadari itu,
Yuli pun segera berjongkok. "Apa itu?" tanya Yuli
dalam hati ketika melihat sebuah benda mengkilat
tampak tergeletak persis di sebelah bungkusan
miliknya. Yuli segera memungut benda itu, kemudian
memperhatikannya dengan seksama. Sebuah koin
emas yang sudah tidak mulus lagi tampak berkilau di
120 telapak tangannya, pada permukaannya melingkar
tulisan kuno dengan Huruf Palawa. "Hmm... sepertinya ini koin kuno. Tapi kenapa koin ini bisa ada
di sini" Apa mungkin seseorang telah menjatuhkannya?" tanya Yuli dalam hati seraya
memasukkan koin itu ke dalam saku celananya,
kemudian bergegas mengambil bungkusan yang
terjatuh tadi dan meletakkannya ke dalam bagasi.
Ketika hendak menutup pintu bagasi, tiba-tiba dia
melihat Jodi sedang memasuki pintu utama. Pemuda
itu tampak mengenakan T-Shirt hitam dengan jeans
warna putih. "Jodiii!!!" teriak Yuli seraya menutup
bagasi dan bergegas mengejar pemuda itu.
Kini Yuli sudah berada di dalam Mal dan sedang
mencari-cari Jodi, kedua matanya tampak menatap
hampir ke segala arah. "Aduuuh! Ke mana sih dia?"
tanya Yuli dalam hati. "Anda mencari siapa?" tiba-tiba terdengar seorang
bertanya dengan suara yang berat.
Yuli segera berpaling. Betapa terkejutnya dia
ketika menyadari kalau orang yang bertanya itu
121 adalah seorang satpam yang terlihat angker. Pada pipi
kirinya terlihat bekas luka yang cukup parah,
kumisnya pun tampak tebal dan hampir menutupi
sebagian bibir atasnya, sedangkan kedua matanya
tampak besar dan menatap dengan tajam.
"Ma-maaf, Pak! Sa-saya mencari teman saya,"
jawab Yuli tergagap. Satpam itu tersenyum, "Begini Nona, sebaiknya
Nona langsung ke bagian informasi. Di sana petugas
kami akan memanggilnya lewat pengeras suara,"
saran Pak Satpam itu ramah.
Yuli tidak menduga akan perkataan itu, sebuah
perkataan yang dianggapnya sangat kontras dengan
tampangnya yang angker. "Terima kasih, Pak!" ucap gadis itu seraya berlari
ke bagian informasi yang tidak begitu jauh.
Usai menyampaikan pesan, Yuli segera melangkah ke pintu utama dan menunggu Jodi di
tempat itu. Lama dia menunggu, namun pemuda itu
tak kunjung tiba. Kini gadis itu mulai sedikit resah,
dalam hati dia ingin sekali pergi, namun keinginannya
122 untuk berjumpa Jodi membuatnya tetap bersabar.
Kemudian sambil mendengar tembang cinta yang
mengalun merdu, gadis itu tetap setia menunggu dan
berharap Jodi akan segera muncul. Benar saja, dalam
waktu singkat Jodi sudah menampakkan batang
hidungnya. Melihat itu, Yuli pun tampak senang sekali.
Kemudian dengan segera dia berlari menghampiri
Jodi dan memeluknya erat.
"Jo, aku kangen sekali, sudah lama ya kita tidak
bertemu," kata Yuli dengan wajah berseri-seri seraya
melepaskan pelukannya. "Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... kau
mau belanja atau sudah belanja?" tanya Jodi.
"Sebenarnya aku sudah mau pulang. Tapi ketika
melihatmu memasuki pintu utama, aku pun berniat
menemuimu," jawab Yuli.
"Benarkah! Kalau begitu, lebih baik kita ngobrol di
cafetaria saja! Terus terang aku masih kangen
denganmu," ajak Jodi.
123 Tak lama kemudian, keduanya tampak menuju ke
sebuah kafetaria untuk berbincang-bincang di tempat
itu sambil menikmati es teler yang menyegarkan.
Di sebuah ruang perkantoran, seorang pria
tampak sibuk di depan meja kerjanya. Dialah Branden
yang kini sedang serius menyelesaikan tugas-
tugasnya. Tak lama kemudian, seorang rekan
wanitanya datang menghampiri. "Permisi, Pak! Ini ada
surat buat Bapak," katanya seraya menyerahkan
sepucuk surat kepada Branden.
"O, terima kasih, Bu!" ucap Branden seraya
mengambil surat itu dan mengamatinya.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak!" pamit
rekannya. "O, silakan!" ucap Branden.
Setelah rekannya pergi, Branden pun segera
membaca isi surat itu. 124 Rahasia perusahaan, keputusan direktur utama
No:xxx/22.B3/kep/Dir.utama/dokumen.
Kabar Gembira: Sesuai dengan kerja keras dan
kejujuran Bapak Banden selama ini, kami dari pihak
perusahaan telah memutuskan untuk memberikan
kenaikan gaji kepada saudara dan akan diperbarui
mulai bulan ini, terhitung sejak dikeluarkannya surat
keputusan ini. Keputusan ini adalah sah dan sangat
rahasia, tentunya demi kepuasan saudara sebagai
pegawai kami, terima kasih.
Branden sangat gembira mengetahui hal itu.
Ternyata kerja keras dan kejujurannya selama ini
telah membuahkan hasil sehingga perusahaan
memberikan penghargaan atas semua jerih- payahnya. Sejenak dia menoleh ke arah rekan-
rekannya yang masih tampak serius dengan
pekerjaannya masing-masing.
Setelah menyimpan surat tadi, Branden kembali
bekerja dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, Bu Siska datang menghampiri. Kini dia
125 sudah berdiri di depan meja kerja Branden sambil
bertolak pinggang. Branden yang saat itu sedang
serius membaca sebuah berkas sama-sekali tidak
menyadari kedatangannya. "Ahem...!" ucap wanita itu tiba-tiba.
Branden tersentak seraya mengangkat kepalanya,
betapa terkejutnya dia ketika melihat Bu Siska tampak
memandangnya dengan sorot mata yang berapi-api.
"A-ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Branden
tergagap. Bu Siska tidak menjawab, dia justru balik
bertanya. "Kenapa Bapak berani berbuat lancang?"
tanya wanita itu dengan nada marah.
"Ma-maaf, Bu! Saya tidak mengerti maksud Ibu,"
jawab Branden sopan. "Alaaah... Bapak kan yang melaporkan perihal
berkas itu kepada Ibu Direktur," tuduh Bu Siska
kecewa. "Apa!" seru Branden kaget. Kemudian dia berdiri
seraya menatap mata wanita itu, "Sumpah, Bu. Saya
126 sama sekali tidak melapor. Beliau sendiri yang
mengetahuinya," ucap Branden sungguh-sungguh.
"Lho, bukankah Bapak yang tadi memberitahukan
saya untuk menghadap Ibu direktur."
"Itu memang benar, Bu. Tapi... itu kan atas
permintaan beliau." "Sudahlah, anda tidak usah berkelit! Tidak
mungkin beliau tahu jika anda tidak melapor," tuduh
Bu Siska lagi. "Asal Bapak tahu saja, di ruangan
beliau saya dimarahi habis-habisan, dan beliau telah
memberikan peringatan keras kepada saya," jelas Bu
Siska geram. "Sungguh, Bu... Saya sama sekali tidak melaporkan hal itu."
"Lalu siapa... kan cuma anda yang saya tugasi,"
kata Bu Siska ketus. "Baiklah, sekarang akan saya jelaskan duduk
perkaranya. Kalau begitu silakan duduk dulu!" tawar
Branden ramah. "Tidak perlu! Sekarang juga saya akan melaporkan masalah ini kepada Pak Heru. Permisi!"
127 pamit Bu Siska seraya melangkah pergi dengan
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amarah yang meluap-luap. Saat itu Branden cuma terpaku memperhatikan
kepergiannya, kemudian dia segera duduk kembali.
Karena konsentrasinya terganggu, Branden merasa
kesulitan untuk melanjutkan pekerjaan. Kini dia cuma
bisa termenung sambil terus memikirkan kejadian
yang baru dialaminya. Sementara itu, Rekan-rekannya
yang berada di ruangan itu tampak saling berpandangan, mereka tampak prihatin melihat
Branden diperlakukan seperti itu. Kini mereka kembali
melanjutkan pekerjaannya masing-masing, tampaknya mereka tidak mau turut campur dengan
persoalan yang dihadapi pria itu.
Sejenak Branden memperhatikan rekan-rekannya,
dia benar-benar merasa malu atas peristiwa tadi.
Ketika Branden memandang ke sudut ruangan, tiba-
tiba dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang berdiri di
tempat itu. Dia melihat sosok wanita itu sedang
memandangnya sambil tersenyum tipis.
128 "Yanaaa!" seru Branden dengan suara yang agak
keras. Mendengar itu, rekan-rekannya spontan memperhatikan Branden, saat itu mereka benar-benar
heran dengan ucapan Branden yang memanggil nama
istrinya. Pada saat yang sama, sosok Yana sudah
berdiri di hadapan Branden dan sedang bercakap-
cakap dengannya. "Kau harus tetap bersabar,
Branden!" kata sosok istrinya itu.
"Yana... apakah kau..." belum sempat Branden
menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sosok istrinya itu
menghilang dari pandangan.
Branden terkejut seraya menatap ke penjuru
ruangan, kepalanya tampak menoleh kiri-kanan
mencari-cari sosok sang Istri. Sementara itu, rekan-
rekannya yang melihat tingkah-laku Branden saat itu
semakin heran, lalu salah seorang dari mereka segera
datang menghampiri. "Ada apa, Pak" Kalau boleh
saya tahu, sebenarnya Bapak sedang mencari apa?"
tanya rekan Branden prihatin.
129 "Eh, sa-saya sedang... eh, tidak. Tidak ada apa-
apa kok," jawab Branden tergagap.
Rekan kerja Branden tampak mengerutkan
kening, "Bapak yakin tidak ada apa-apa?" tanyanya
kemudian. "Benar kok, tidak ada apa-apa. Saya cuma sedikit
lelah," jawab Branden meyakinkan.
Sejenak rekan kerjanya itu memperhatikan
Branden, kemudian dengan segera dia kembali ke
meja kerjanya. Sementara itu di ruangan lain, sosok
wanita berpakaian putih tampak sedang memperhatikan Bu Siska yang saat ini sedang
menerima telepon. Kini sosok wanita itu tampak
menghampirinya, wajah yang pucat tampak begitu
marah. Pada saat yang sama, atasan Bu Siska yang
bernama Pak Heru sedang sibuk di meja kerjanya.
"Aduh!" teriak Bu Siska seraya menoleh ke arah
Pak Heru. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Bu
Siska seraya menatap Pak Heru yang masih bingung
karena teriakan sekretarisnya.
130 "Apa! Aku tidak melakukan apa-apa. Aku justru
mau bertanya, kenapa tiba-tiba saja kau berteriak?"
"Sudahlah, Pak. Mengaku saja! Lagi pula, saya
tidak mungkin marah sama Bapak. Saya tahu Bapak
lagi pusing, dan semua ini memang gara-gara
kesalahan saya," kata Bu Siska seraya menghampiri
Pak Heru dan duduk di depan meja kerjanya.
"Kau ini bicara apa, Sis" Aku benar-benar jadi
tambah bingung." "Ya sudah, kalau begitu kita lupakan saja! Eh,
Pak. Ngomong-ngomong, kenapa Pak Branden berani
memberitahukan hal ini ke pada Ibu Direktur ya?" kata
Bu Siska dengan nada kecewa.
"Entahlah, Sis.... Mungkin Branden memang telah
berkata jujur kalau Ibu Direktur tanpa sengaja telah
mengetahuinya," ujar Pak Heru.
"Ah, tidak mungkin, Pak! Setahu saya, Beliau
hampir tidak pernah ke tempat kerjanya. Aku rasa,
Branden memang sengaja mengadukan hal itu karena
ingin cari muka. O ya, Pak. Saya dengar dia baru
131 menerima kenaikan gaji, bukankah itu suatu bukti,"
tuduh Bu Siska dengan raut wajah yang begitu kesal.
"Kamu tahu dari siapa?" tanya Pak Heru.
"Ratna yang memberitahuku," jelas Bu Siska.
"O, Ratna sahabatmu yang di bagian keuangan
itu?" Bu Siska mengangguk, kemudian dia kembali
bicara. "Pak, saya benar-benar kecewa dengan
Branden. Karena ulahnya, saya sempat ditegur oleh
Ibu Direktur," keluhnya seraya bangkit dari tempat
duduk. "Pak, di sini kan kedudukan Bapak lebih tinggi,
sebaiknya Bapak segera bertindak!" sarannya dengan
semangat yang berapi-api.
"Lalu... apa yang harus saya lakukan?" tanya Pak
Heru seraya merapatkan kedua alisnya.
"Hmm... apa ya?" Bu Siska tampak berpikir keras,
kemudian dia mulai berjalan berputar-putar. "Nah...
saya punya ide yang bisa membuat Branden
menyesali perbuatannya," katanya lagi seraya duduk
di atas meja kerja atasannya dengan mata yang
berbinar-binar. 132 "Maksudmu?" tanya Pak Heru seraya menatap
sekretarisnya yang kini tampak tersenyum.
"Begini, Pak... Saya akan berusaha menggagalkan laporan periklanan satu semester yang
dipersiapkan Branden. Saya akan melakukannya
berturut-turut selama tiga semester. Dengan demikian
reputasinya akan menjadi buruk, dan kemungkinannya dia pasti akan dipecat. Untuk
mewujudkan rencana ini, Bapak harus berani
menggunakan wewenang Bapak diluar ketentuan
yang berlaku. Demi reputasi kita, Pak," jelas Bu Siska
seraya kembali duduk di kursi yang ada di depan meja
kerja atasannya. "Kau jangan gila, kalau ada yang tahu justru kita
yang bisa dipecat," kata Pak Heru khawatir.
"Jangan khawatir, Pak! Saya akan mengerjakannya dengan sebersih mungkin, dan saya
yakin, tidak seorang pun yang akan mengetahuinya,"
kata Bu Siska penuh keyakinan.
"Kalau begitu... baiklah. Kita akan atur rencana
itu. Tapi ingat, jangan sampai Pak Santoso
133 mengetahui hal ini! Jika beliau sampai mengetahuinya, tentu beliau tidak akan terima. Dan
yang pasti, beliau akan marah besar karena kita
sudah mengaduk-aduk pekerjaan anak buahnya,"
jelas Pak Heru. "Baik, Pak. Saya akan berhati-hati. Pak Santoso
pasti tidak akan menyadarinya," kata Bu Siska seraya
tersenyum puas. "Kapan kau akan menjalankan rencana itu?" tanya
Pak Heru. "Tentu saja setelah Bapak memberitahu saya
tentang hasil rapat para manajer nanti. Kalau tidak
salah, minggu depan kan?" tanya Bu Siska seraya
berdiri dari tempat duduknya.
"Ya, itu Betul. Kalau begitu, minggu depan saya
akan memberitahukan hasilnya. O ya, sekarang tolong
kau atur jadwal saya untuk besok!" pinta Pak Heru
seraya membuka sebuah map yang berada dihadapannya. "Baik, Pak," kata Bu Siska seraya berjalan ke
meja kerjanya. 134 Kini keduanya sudah kembali sibuk dengan tugas
masing-masing. Sementara itu, sosok Yana tampak
begitu marah, sorot matanya terlihat tajam memperhatikan kedua orang itu. Akhirnya sosok
waniti tu pergi dari ruangan setelah menjatuhkan
sebuah vas bunga yang ada di atas kabinet.
Di tempat terpisah, Yuli baru saja tiba di rumah.
Kini dia sedang memarkir mobilnya di depan garasi.
Tak lama kemudian, dia tampak keluar mobil dan
bergegas membuka pintu bagasi. "Mang!" teriaknya
memanggil si Pembantu yang baru saja menutup pintu
gerbang. Mendengar itu, si Pembantu pun buru-buru
menghampiri, "Iya Non... ada apa?" tanyanya sopan.
"Eh, malah pakai tanya-tanya! Cepat kaubawa
masuk semua barang-barang ini!" perintah Yuli
dengan mata melotot. 135 Melihat wajah tuannya yang tampak begitu galak,
si Pembantu segera melaksanakan perintah itu. Dia
tampak mengangkat semua barang-barang itu
sekaligus. Namun baru saja dia hendak melangkah,
tiba-tiba, "Sebentar, Mang! Ada lagi nih," tahan Yuli
seraya menambah tumpukan itu dengan sebuah
bungkusan berpita merah yang baru diambilnya dari
jok belakang. "Apa masih ada lagi, Non?" tanya si pembantu
menunggu. "Sudah, sudah semuanya. Sekarang cepat kau
bawa masuk!" "Baik, Non..." ucap si pembantu seraya melangkah pergi. Kini Yuli tampak mengambil majalah yang masih
tergeletak di jok depan mobilnya. Setelah itu, dia
segera melangkah masuk. Sementara itu di ruang
tengah, si pembantu terlihat baru saja meletakkan
barang-barang yang dibawanya di atas meja panjang.
"Aduuuh, pasti habis deh barang-barang di Mal,"
celoteh si pembantu sambil geleng-geleng kepala,
136 melihat belanjaan yang baginya tampak begitu
banyak. "Bawel! Ini cuma sedikit tahu," celetuk Yuli yang
tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya.
Si Pembantu tampak terkejut, "I-ini banyak Non..."
ucapnya tergagap. Kemudian dia tampak garuk-garuk
kepala, "Me-memangnya habis ngeborong di mana,
Non?" tanyanya kemudian.
"Aaah... sudahlah! Tidak usah tanya-tanya! Sana
ambilkan aku minum!" perintah Yuli seraya duduk di
sofa dan mulai membuka-buka majalahnya.
Sementara itu, si Pembantu langsung bergegas ke
dapur. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan
membawa segelas sirup berwarna merah. "Ini Non
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minumannya," ucapnya ramah.
"Terima kasih, Mang!" ucap Yuli seraya meneguk
minuman itu. Seketika dia merasakan sirup manis
yang begitu segar mulai membasahi kerongkongannya. "Hmm... nikmat sekali," katanya
dalam hati seraya meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas meja. "Mang, tolong bantu aku
137 membuka bungkusan-bungkusan ini!" pintanya kemudian. Kini mereka mulai membuka bungkusan- bungkusan itu satu per satu. Pada saat yang sama,
Yuli tampak mengamatinya dengan seksama. "Mang,
yang ini tolong dibawa ke kamar!" pintanya seraya
menyerahkan dua stel pakaian yang sedang
dipegangnya. Si Pembantu menurut, dia segera membawanya
ke kamar. Tak lama kemudian dia sudah kembali dan
siap menjalankan perintah selanjutnya.
"Nah... Mang. Sekarang bawa semua barang-
barang ini ke kamar!" pinta Yuli.
Kali ini si Pembantu tidak segera melaksanakan
perintah itu, dia tampak masih berdiri dengan wajah
mesam-mesem. Melihat itu, Yuli tampak begitu kesal.
"Eh, kok masih berdiri di situ?" tanyanya dengan alis
yang tampak merapat. "Maaf Non...! Kok dibawa ke kamar semua,
bagian saya mana, Non?" tanya si pembantu dengan
wajah yang masih saja mesam-mesem.
138 Yuli tidak menjawab, dia malah berdiri dengan
santainya, kemudian menatap si Pembantu dengan
mata melotot. "Eh... kalau tidak bisa diam, nanti akan
kujahit mulutmu. Sekarang cepat bawa barang-barang
itu ke kamar!" seru Yuli marah. "O ya, setelah itu
tolong siapkan air hangat di bak mandi! Jangan lupa
dengan aroma terapinya! " lanjutnya kemudian.
Tanpa menunggu lagi, si pembantu segera
membawa barang-barang itu, sedangkan Yuli tampak
sudah duduk kembali dan mulai membaca majalahnya. "Maaf, Mang! Selama ini aku selalu
berkata kasar padamu, habis kau selalu membuatku
kesal sih," ucap Yuli dalam hati.
Seketika gadis itu teringat dengan koin emas yang
ditemukannya, lalu dengan serta-merta gadis itu
mengamatinya dengan penuh seksama. "Hmm... apa
ya arti tulisan ini" Kalau dilihat dari hurufnya,
sepertinya menggunakan huruf palawa" Dan sepertinya berasal dari jaman Kerajaan. Tapi,
Kerajaan apa ya?" 139 Yuli terus memperhatikan koin itu, "Hmm... apa
sebaiknya hal ini kutanyakan pada kakekku"
Bukankah dia paham betul dengan hal-hal yang
seperti ini. Baiklah, Besok pagi aku akan berangkat
menemuinya." Setelah berkata begitu, Yuli segera
menyimpan koinnya, kemudian bergegas ke kamar
mandi dan berendam menikmati aroma terapi.
Malam harinya, sekitar pukul sembilan, di dalam
sebuah kamar yang bersih dan tertata rapi. Seorang
wanita baru saja mengenakan pakaian tidurnya.
Dialah sekretaris Pak Heru yang bernama Bu Siska.
Kini dia tampak memandang ke arah lukisan yang
tergantung di dinding, sepertinya dia benar-benar
mengagumi keindahannya yang begitu menyejukkan
mata. Lukisan dengan objek wanita cantik itu memang
belum lama dia beli, dan dia sangat bangga
memilikinya. Wanita di lukisan itu mengenakan gaun
hijau dan memakai perhiasan yang begitu cantik, dia
140 sedang tersenyum sambil memegang setangkai
mawar merah. Setelah puas menikmati lukisan itu, Bu Siska
langsung duduk di depan meja rias yang dipenuhi
dengan peralatan make up dan produk perawatan
kulit. Kini dia mulai berkaca sambil mengenakan
cream malam yang berguna untuk menjaga kelembapan kulit, setelah itu merebahkan diri di
tempat tidur untuk melepaskan segala rasa letihnya.
Tempat tidurnya sangat indah, modelnya berbentuk
klasik dengan sentuhan warna emas yang menawan.
Baru saja Bu Siska memejamkan mata, tiba-tiba
terdengar alunan nada indah yang dimainkan begitu
apik, iramanya pun terdengar sangat menyayat hati.
Rupanya suara merdu denting piano itu terdengar dari
ruang tengah rumahnya. "Hmm... siapa yang bermain
piano seindah ini, apakah Bapak yang memainkannya?" tanya Bu Siska dalam hati.
Kemudian wanita itu duduk di tepi tempat tidurnya.
"Hmm... bukankah Bapak akan kembali besok.
Tapi, kenapa sekarang sudah kembali?" Bu Siska
141 kembali bertanya. Kemudian wanita itu segera berdiri
dan melangkah ke pintu kamar.
Ketika baru membuka pintu, mendadak alunan
nada yang terdengar merdu itu berhenti. Betapa
terkejutnya Bu Siska ketika melihat di depan piano
tidak ada siapa-siapa. "Pak! ...Pak!" Panggilnya
dengan suara yang agak keras. Bu Siska tampak
mencari suaminya sampai ke semua ruangan, namun
dia tidak menjumpainya. Kini wanita itu duduk di sofa ruang tengah dengan
wajah yang sedikit bingung. "Aku heran, siapa
sebenarnya yang memainkan piano tadi?" tanya Bu
Siska dalam hati. Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba lampu di
ruangan itu tampak bergoyang-goyang. Bu Siska pun
segera memalingkan pandangannya ke arah bola
lampu yang kini semakin keras bergoyang. Bu Siska
tampak terpaku - wajahnya yang cantik tampak begitu
tegang. "A-ada apa ini. Kenapa dengan lampu itu?"
tanyanya penuh keheranan.
142 Tiba-tiba suara piano kembali berbunyi, kemudian
diikuti dengan bergeraknya benda-benda yang ada di
ruangan itu. Tak ayal, Bu Siska ketakutan bukan
kepalang, kemudian berteriak histeris sambil menutup
kedua telinganya. Tak lama kemudian, suasana
menjadi tenang kembali. Pada saat yang sama, Bu
Siska segera berlari memasuki kamar dan mengunci
pintunya rapat-rapat. Kini Bu Siska tampak bersandar di daun pintu
sambil menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan dengan sangat cepat. Baru saja
ketegangannya mereda, tiba-tiba lukisan wanita cantik
yang tergantung di kamarnya tampak bergerak-gerak.
Seketika Bu Siska terkejut seraya memandang ke
arah lukisan itu, kemudian lukisan itu mendadak
kembali terdiam. Lantas dengan penuh rasa
penasaran, Bu Siska melangkah mendekati lukisan
itu. Dengan perasaan was-was, Bu Siska terus
melangkah. Dan ketika dia sudah bengitu mendekat,
tiba-tiba lukisan itu berbicara kepadanya. "Siskaaa,
143 kenapa kau tegaaa?" tanya wanita di lukisan itu
dengan suara yang terdengar begitu parau.
Lagi-lagi Bu Siska terkejut bukan kepalang,
seketika itu juga bulu kuduknya langsung berdiri.
Kantas dengan serta-merta dia berlari ke pintu dan
langsung memutar anak kuncinya. Namun ketika
hendel pintu ditarik, ternyata pintu itu tak bisa dibuka.
Mengetahui itu, Bu Siska langsung panik, dia pun
berusaha menariknya dengan sekuat tenaga. Tapi
sayangnya perbuatan itu sia-sia belaka, pintu tersebut
tetap tidak bisa dibuka. Kini Bu Siska kembali bersandar di daun pintu,
matanya kembali memandang ke arah lukisan. Pada
saat itu, tiba-tiba saja wanita yang ada di lukisan tadi
kembali bicara, "Siskaaa... kenapa kau begitu jahat?"
tanyanya dengan suara yang lebih keras, dan tiba-tiba
semua benda yang ada di ruangan itu tampak mulai
bergerak-gerak. Tak ayal, saat itu wajah Bu Siska tampak semakin
pucat, bibirnya bergetar dan jantung kian berdegup
144 kencang. "Si-si-siapa kau?" tanya Bu Siska dengan
terbata-bata. "Aku Yanaaa Sisss, aku Yana - istri Brandeeen."
"Ja-ja-jadi ka-ka-kau, Yana?" Bu Siska tampak
semakin ketakutan, dia benar-benar tidak menyangka
kalau yang sedang berbicara kepadanya adalah
Yana - mendiang istri pria yang ingin ia celakai. Saat
itu juga tubuh Bu Siska langsung lemas, dia terduduk
di lantai dengan tubuh masih bersandar di daun pintu.
"Siska, ketahuilah! Aku datang cuma untuk
memperingatkanmu. Jika kau masih meneruskan niat
jahatmu itu, aku tidak segan-segan untuk membunuhmu," ancam Yana tidak main-main.
Bu Siska tidak berkata-kata, dia tampak diam
seribu bahasa. Tak lama kemudian, lukisan itu
kembali seperti wujudnya semula. Suasana di kamar
itu pun akhirnya mulai tenang kembali. Pada saat itu,
Bu Siska tampak belum juga bangkit dari duduknya,
dia masih tak kuasa untuk berdiri, semua persendiannya terasa lemas dan tak bertenaga.
145 Sementara itu di tempat lain, Pak Heru tampak
sedang sendirian di rumahnya. Dia sedang beristirahat
di ruang tengah sambil menyaksikan pertandingan
sepak bola. Sejenak lelaku itu melirik ke arah jam
dinding, dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul
11.00 WIB. Tak lama kemudian, dia sudah kembali
menyaksikan pertandingan yang tampaknya begitu
seru. Ketika sedang seru-serunya menyaksikan pertandingan antara Intermilan melawan Manchester
United, tiba-tiba lampu di ruangan itu tampak
berkedip-kedip, seperti mau putus. Pak Heru agak
merasa terganggu dengan kejadian itu, matanya
tampak memperhatikan bola lampu yang kini masih
saja berkedip-kedip. Tak lama kemudian, lampu itu
menyala seperti sediakala. Kini mata Pak Heru
kembali tertuju ke layar televisi.
"Goaaal, goaaal..." teriaknya, menyoraki sang
bintang favorit yang mempecundangi pertahanan
lawan dengan tendangan yang begitu indah.
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
146 Di layar kaca, sang Bintang favorit tampak berlari
ke tepi lapangan dan bergaya atas keberhasilannya
itu. Sorak-sorai penonton tampak riuh menyambutnya
dengan suka-cita. Saat itu Pak Heru begitu gembira
akan keberhasilan tim favoritnya yang sudah
menduduki score 2-1. Tayangan gerak lambat pun
segera diputar - disaat sang bintang beraksi ketika
menjebol pertahanan lawan. Namun ketika sedang
menyaksikan detik-detik indahnya sang Bintang
beraksi, tiba-tiba televisinya padam dengan sendirinya. Pak Heru merasa kesal sekali, dia
menduga yang baru saja terjadi dikarenakan sleep
mode yang dalam keadaan aktif. Lalu dengan segera
dia mengambil remote untuk menyalakannya kembali.
Namun ketika tombol power ditekan, ternyata
televisinya masih tidak mau menyala. Pak Heru
semakin kesal, dia tampak menekan tombol itu
berkali-kali. Namun sayangnya usaha itu sia-sia
belaka, televisinya tak kunjung bisa menyala.
Kini Pak Heru melangkah mendekati televisi dan
menekan tombol power-nya, namun televisi itu masih
147 juga tak mau menyala. "Sial... kenapa dengan
televisiku?" gerutunya kesal seraya kembali ke tempat
duduk. Begitu dia hendak duduk, tiba-tiba lampu di
ruangan itu kembali berkedip-kedip. Seketika Pak
Heru berpaling, memperhatikan bola lampu yang
masih berkedip-kedip. "Hmm... Ada apa ya" Apakah
bola lampu itu memang sudah mau putus?" tanya
lelaki itu dalam hati seraya melangkah untuk
melihatnya dari dekat. Ketika sedang mengamatinya, mendadak bola
lampu itu menyala terang dan semakin terang.
Sampai akhirnya bola lampu itu meledak dengan
diiringi suara yang cukup keras, sebagian pecahannya
tampak mengenai wajah Pak Heru.
Saat itu Pak Heru sangat terkejut, dan tiba-tiba
saja dia merasakan perih di wajahnya. Lantas dengan
segera dirabanya bagian wajah yang terasa perih itu,
"Oh tidak, wajahku..." ucap Pak Heru yang melihat
darah tampak menempel di telapak tangannya.
148 Mengetahui itu, Pak Heru buru-buru ke kamar
mandi. Kini dia sedang bercermin, mengamati luka-
lukanya yang tampak tidak begitu parah. Beberapa
goresan kecil tampak menghiasi wajahnya yang putih
bersih. Ketika sedang serius mengamati luka-lukanya,
tiba-tiba saja sesosok wajah mengerikan tampak
muncul di cermin tersebut. Wajah itu tampak begitu
pucat, kedua matanya tampak melotot disertai gigi
runcing yang menyeringai kepadanya. Tak ayal,
seketika itu juga Pak Heru langsung mundur ke
belakang, jantungnya berdebar kencang, bersamaan
dengan bulu kuduknya yang berdiri seketika. Tiba-tiba
wajah menyeramkan itu kembali menghilang. Kini Pak
Heru hanya melihat dirinya sendiri yang tampak begitu
tegang. "A-apakah yang kulihat tadi itu hantu" Atau itu
cuma hayalanku saja?" tanya Pak Heru sambil terus
memandang ke cermin dan sesekali mengucek-
ngucek kedua matanya. "Hmm... mungkin itu memang cuma hayalanku
saja. Semua ini akibat aku terlalu banyak nonton film
149 horror," duga Pak Heru seraya kembali maju ke depan
cermin dan mulai membasuh wajahnya di wastafel.
Bersamaan dengan itu, air yang sejuk terasa
meredakan ketegangannya. Pak Heru terus membasuh wajahnya, hingga
akhirnya, "Da-da-darah..." ucapnya penuh ketakutan.
Saat itu air yang digunakannya tiba-tiba telah berubah
menjadi darah yang begitu kental.
Tak ayal, jantung Pak Heru kembali berdegup
kencang, nafasnya pun tampak tersengal-sengal.
"Tidak, ini bukan hayalan, ini benar-benar nyata," kata
lelaki itu seraya berlari ke arah pintu dan
membukanya lebar-lebar. Ketika daun pintu itu terbuka lebar, dilihatnya
sesosok wanita yang tadi ada di cermin kini tengah
menghadang jalannya. Saat itu Pak Heru tampak
terpaku, matanya terbelalak dengan mulut yang
menganga lebar. Sungguh dia tidak mengerti dengan
apa yang ada dihadapannya.
Kini sosok wanita itu tampak memandangnya
dengan penuh amarah, giginya yang runcing tampak
150 menyeringai seram. Tak ayal, saat itu tubuh Pak Heru
langsung gemetar menyaksikan sosok menyeramkan
yang kini mulai menghampirinya.
"Pak Heruuu!" seru sosok menyeramkan itu
dengan suara yang begitu parau.
"Ti-ti-tidaaak!!! Pergi kau!" teriak Pak Heru seraya
melangkah mundur. Sosok menyeramkan itu terus melangkah mendekati Pak Heru, sedangkan kedua tangannya
tampak dijulurkan ke depan. Saat itu Pak Heru terus
mundur hingga ke dalam kamar mandi, namun sosok
wanita menyeramkan itu terus mengikutinya. Hingga
akhirnya, Pak Heru sudah tidak bisa kemana-mana,
langkahnya sudah terhalang oleh tembok kamar
mandi. "Ke-ke-kenapa kauganggu aku" Si-si-siapa kau
sebenarnya?" tanya Pak Heru dengan suara yang
terbata-bata. "Aku Yana... istri Branden yang sudah meninggal
dunia. Aku kemari untuk memperingatimu agar
151 menghentikan niat jahatmu itu," jelas Yana dengan
suara serak yang datar. Seketika Pak Heru merasakan hawa dingin di
sekujur tubuhnya, lalu dari celananya tampak mengalir
air seni yang membasahi lantai. "Ba-ba-baik, a-a-aku
tidak akan melaksanakan niat ja-ja-jahatku ke-ke-
kepada Branden," janjinya dengan ucapan yang kian
terbata-bata dan dengan wajah yang tampak begitu
pucat. Setelah Pak Heru berjanji, sosok wanita itu
mendadak lenyap dari pandangan. Pada saat itu, Pak
Heru tampak masih terduduk di lantai, tubuhnya
terasa lemas dengan nafas yang tak beraturan.
"Kenapa jadi begini!!!" teriaknya penuh penyesalan.
152 Tujuh sok harinya, Rani yang baru pulang sekolah
E tampak memasuki pekarangan rumahnya
dengan agak tergesa-gesa. Maklumlah, cuaca
memang terasa cukup panas, sinar matahari yang
tidak bersahabat terasa begitu menyengat kulit. Hal
itulah yang membuat gadis itu ingin cepat tiba di
rumah, berada di bawah naungan atapnya yang teduh.
Kini gadis itu sudah berada di ruang tamu, kakinya
yang semampai tampak diselonjorkan di atas meja,
santai sekali. Rani terus melepas lelah sambil
menikmati es kelapa muda yang dibelinya di warung
Bu Ijah. Setelah rasa lelahnya hilang, Rani pun segera
ke ruang makan untuk menikmati makan siang yang
dibelinya dari rumah makan langganannya.
Selesai makan, Rani tampak kembali ke ruang
tamu. Kini dia sedang duduk di tempat itu sambil
membaca sebuah majalah. Beberapa menit 153 kemudian, dia tampak melangkah ke kamar ayahnya.
Ketika sedang membersihkan dan merapikan ruangan
itu, tiba-tiba saja matanya tertuju pada sepucuk surat
berwarna biru yang tergeletak di atas meja kecil. Lalu
dengan serta-merta diambilnya surat itu dan diamati
dengan penuh seksama. Surat itu sama sekali tidak
mencantumkan identitas pengirim. Selain itu, surat
tersebut juga tidak menggunakan prangko.
"Aneh!" kata Rani dalam hati seraya mengeluarkan isi surat itu. Tak lama kemudian, dia
sudah duduk di tepi tempat tidur sambil mulai
membacanya. "Jangan takut... aku bukan mau
mengganggumu. Aku cuma mau memberitahumu
perihal Jodi. Begini Sayang... sebenarnya pemuda
yang kau bangga-bangga itu tak lebih hanya pemuda
busuk yang seharusnya mati di tanganku. Tapi aku
tidak melakukan itu, aku cuma memberinya pelajaran
dan memperingatinya agar tidak mendekati Rani lagi.
Seandainya dia berani coba-coba untuk melanggar,
aku tidak segan-segan untuk membunuhnya. Mulai
154 sekarang, awasi putrimu itu dan jangan biarkan dia
menemui Jodi." Begitulah isi surat yang dibaca Rani. Dan hal itu
membuatnya merinding ketakutan. Dengan perasaan
yang masih diselimuti rasa takut, Rani segera
memasukkan surat itu ke amplopnya lagi, kemudian
meletakkannya kembali di atas meja.
Sejenak Rani menatap surat itu, lalu dengan
segera beranjak ke teras depan. Kini dia merasa takut
jika harus berada di dalam rumah. Hal itu dikarenakan
surat yang baru dibacanya, ditambah lagi dengan
bayang-bayang kejadian dua hari yang lalu -
serentetan peristiwa yang selalu membuat Rani
merinding bila mengingatnya.
Kini gadis itu sudah duduk di kursi teras sambil
memikirkan isi surat yang baru dibacanya, kemudian
mencoba menghubungkannya dengan peristiwa malam itu. "Hmm... apakah kejadian malam itu ulah
orang yang mengirim surat pada Ayah" Sebenarnya
siapa dia, kenapa dia menyuruh ayahku untuk
menjauhkanku dari Jodi" Apakah dia wanita yang
155 waktu itu menemui Ayah" Hmm... mungkinkah Ayah
mempunyai hubungan khusus dengannya" Kalau
begitu, benar juga yang dikatakan Jodi waktu itu. Tapi
kenapa...?" Rani terus bertanya-tanya dalam hati.
Kini Rani teringat ketika Jodi mengatakan perihal
sesuatu yang tidak beres di rumahnya, dan semua itu
karena ulah tukang sihir yang tidak mau menghendaki
hubungan mereka. Rani tampak semakin bingung, dia
terus berpikir di dalam rasa takut yang kian
menyelimuti. Sesekali dia menatap ke sekelilingnya,
bahkan dia sudah siap lari jika terjadi sesuatu di
rumah itu. Rani masih memikirkan semua peristiwa yang
membingungkan itu, hingga akhirnya dia mendengar
langkah kaki di dalam rumahnya. Lantas dengan
serta-merta dia memusatkan pendengarannya, namun
suara itu tak terdengar lagi. Karena penasaran, Rani
segera mengitip ke dalam rumah melalui kaca depan
yang gordennya sedikit terbuka, kedua matanya
tampak dibuka lebar-lebar - mencari siapa yang ada
di dalam. 156 "Hmm... sepertinya, tadi memang ada orang,"
gumam Rani seraya terus memperhatikan ke dalam
rumah. Mendadak dia melihat sekelebat bayangan putih
yang melayang cepat memasuki kamar ayahnya.
Mengetahui itu, seketika bulu kuduk Rani berdiri,
kemudian dengan serta-merta dia berlari ke jalan raya
tanpa berani menengok ke belakang sedikitpun.
Kini gadis itu sudah berada di tepi jalan dengan
wajah yang sangat ketakutan, saat itu dia sudah tidak
berani kembali ke rumah. Pada saat yang sama,
sebuah angkot tampak melintas di jalan tersebut.
Melihat itu, wajah Rani tampak berseri-seri, dia
menduga ayahnya pasti berada di angkot tersebut.
Namun dugaannya itu ternyata meleset, angkot itu
terus berlalu dan akhirnya menghilang di kejauhan.
"Kenapa Ayah belum pulang?" tanya Rani sambil
memberanikan diri memandang ke arah rumahnya
yang tampak begitu sepi. Saat itulah, tiba-tiba dia
merasakan sebuah sentuhan pada pundaknya. Tak
ayal, Rani langsung terpekik sambil membalikkan
157
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
badannya. "Aduh, Ayah...! Ayah membuatku kaget
saja," ucap Rani sambil menepuk-nepuk dadanya
perlahan. "Sedang apa kau di sini, Nak?" tanya sang Ayah.
Rani tidak menjawab, dia tampak tersenyum lebar
karena ayahnya sudah pulang. "Ayah pulang jalan
kaki ya?" tanyanya kemudian.
"Tidak. Ayah pulang naik angkot."
"Angkot yang barusan lewat itu?"
"Iya... memangnya kenapa?"
"Kok Rani tidak melihat Ayah."
"O... itu karena Ayah memang tidak turun di sini.
Tadi Ayah sengaja turun di depan warung Bu Ijah
untuk membeli rokok."
"O, begitu..." ucap Rani mengangguk-angguk.
Pada saat itu Branden tampak menggandeng
lengan Rani, "Ayo, Nak. Kita masuk!" ajaknya
kemudian. Saat itu Rani tampak enggan, dia menatap
ayahnya dengan penuh rasa cemas, kemudian
158 pandangannya beralih ke arah rumah yang tampak
begitu sepi. Mengetahui tingkah putrinya yang demikian,
Branden tampak heran, kemudian dia menduga pasti
yang tidak beres di rumah itu - sesuatu yang
membuat Rani takut. Sejenak Branden menatap ke
arah rumahnya, melihat apa yang sedang diperhatikan
putrinya. "Hmm... tidak ada yang mencurigakan.
Sebenarnya apa yang membuatnya takut?" tanya
Branden dalam hati. Kini Branden tampak memperhatikan putrinya
yang sedang menatap ke ujung jalan. "Ayo Rani.
Kenapa kau masih berdiri di situ" Bukankah
sebaiknya kita masuk ke dalam!" ajaknya sekali lagi.
Rani menggeleng. "Biar Rani di sini saja Ayah,"
ucapnya pelan. "Kau ini bagaimana sih" Lihatlah! Hari sudah
semakin gelap. Apa kau mau terus berdiri di tempat
ini?" tanya Branden.
Lagi-lagi Rani menggeleng.
159 "Nah, kalau begitu ayo kita masuk!" ajak Branden
lagi. Rani tampak menatap ayahnya. "Baiklah, Ayah.
Tapi, biarkan Rani berjalan di belakang Ayah!"
pintanya berharap. Branden setuju. Dia segera melangkah ke teras
dengan hati-hati, sementara itu Rani tampak
mengekor di belakangnya. Kini lelaki itu sedang membuka pintu rumah
dengan sangat perlahan, kemudian melongok ke
dalam dengan was-was. "Hmm... tidak ada apa-apa,"
kata Branden dalam hati seraya mulai melangkah
masuk. Sementara itu, Rani yang masih mengekor di
belakangnya tampak mengamati ruangan itu dengan
penuh rasa cemas. "Ayah...!" serunya tiba-tiba.
Branden agak terkejut mendengar suara Rani.
"Ada apa, Sayang...?" tanya lelaki itu seraya menoleh
ke belakang - memandang wajah putrinya yang
terlihat begitu cemas. "Sebenarnya ada apa denganmu, Nak" Tidak biasanya kau seperti ini. "
160 "Rani takut, Ayah. Rani takut."
"Takut...?" Branden tampak mengerutkan keningnya, kemudian duduk bersantai di sofa. "Ya
sudah, kalau begitu kenapa kau masih berdiri di situ"
Mari sini, duduk dekat Ayah!" sambungnya kemudian.
Rani menurut, dia segera melangkah dan duduk di
sisi ayahnya. "Ayah, surat itu dari siapa?" tanya Rani
tiba-tiba. "Su-surat... surat yang mana?" tanya Branden
tidak mengerti. "Itu, Yah... Surat yang tergeletak di meja kecil di
kamar Ayah," jelas Rani.
"Ja-jadi kau sudah membacanya"'
Rani mengangguk. "Ayo, Yah. Lekas katakan!"
desaknya kemudian. Branden memandang putrinya, raut wajahnya
seperti sedang berpikir. "Tidak! Aku tidak boleh
mengatakannya, dia belum siap untuk mengetahui
semua hal yang telah terjadi di rumah ini," kata
Branden dalam hati. 161 "Siapa yang mengirim surat itu, Ayah...?" tanya
Rani sekali lagi. "Begini Sayang... sebaiknya kau lupakan saja
perihal surat itu. Ayah sendiri juga tidak tahu siapa
pengirimnya. Semula Ayah juga bingung ketika
membacanya, apa lagi sampai membawa-bawa nama
Jodi segala. Tapi sekarang, Ayah sudah tidak
memikirkannya lagi. Ayah menganggap semua itu
merupakan pekerjaan orang iseng yang mau merusak
ketenteraman keluarga kita," jawab Branden. "O ya,
apa kau sudah makan?" tanya lelaki itu kemudian,
mencoba mengalihkan pembicaraan.
Rani tidak menjawab, dia tampak menunduk
sambil meremas jemari di pangkuannya.
"O ya, bagaimana tentang Jodi. Apa kau sudah
bertemu dengannya?" tanya Branden lagi.
Rani tetap membisu, dia tidak mau menjawab
pertanyaan ayahnya selama sang Ayah belum
menjawab pertanyaannya dengan jujur. Saat itu dia
menduga ayahnya telah berbohong, sehingga dia
162 tidak mau menerima penjelasan yang baginya
terkesan menutup-nutupi. Kini Rani kembali melemparkan kalimat-kalimat
yang disangkanya bisa membuat sang Ayah
menyerah dan akhirnya mau menjelaskan semua
kejadian aneh yang selama ini dialaminya. Tapi Rani
salah duga, ternyata sang Ayah selalu memberikan
jawaban yang sama. Karena tak juga mendapatkan
jawaban yang memuskan, akhirnya Rani menyerah,
dia tampak melangkah ke teras depan dengan
perasaan kecewa. Pada saat yang sama, Branden
tampak beranjak bangun dan mengikutinya.
Kini keduanya sudah duduk di kursi teras dan
saling membisu. Setelah cukup lama membisu,
akhirnya Rani mulai bersuara, dia segera menceritakan kejadian yang membuatnya bersikeras
ingin mengetahui penjelasan dari ayahnya.
"Ayah... Tadi, ketika Rani sedang membersihkan
kamar Ayah, Rani melihat surat itu dan membaca
isinya. Isi surat itu telah membuat Rani begitu
merinding. Orang yang menulis surat itu mengancam
163 akan membunuh Jodi jika dia berhubungan dengan
Rani, dan ketika Rani sedang duduk memikirkan
masalah itu di sini, tiba-tiba Rani mendengar langkah
kaki di dalam rumah. Ketika Rani mengintip ke dalam,
Rani sempat melihat ada sekelebat bayangan yang
melesat memasuki kamar Ayah. Kontan saja Rani
ketakutan dan melarikan diri ke jalan raya," cerita Rani
dengan sedikit takut karena mengingat kejadian yang
dialaminya. Setelah mendengar cerita itu, Branden langsung
merenung. Di hatinya ada perasaan kecewa yang
sangat mendalam, kekecewaan terhadap sosok
istrinya yang selalu datang menghantui mereka.
Hingga saat ini Branden masih belum mengerti,
kenapa mendiang istrinya itu selalu datang mengganggu Rani, kenapa belakangan ini dia selalu
membebani pikiran putrinya dengan membuat keganjilan-keganjilan di rumah itu. Walaupun sebenarnya Branden masih kurang yakin kalau itu
adalah arwah istrinya, sebab baru-baru ini dia
mengetahui tentang adanya jin pendamping yang
164 biasanya suka menyerupai orang yang sudah
meninggal. Karenanyalah Branden masih saja
bingung dengan semua perkara itu sehingga dia tidak
berani memastikan apakah itu memang arwah Yana
atau cuma Jin pendampingnya.
Kini Branden menatap putrinya dengan penuh
perhatian, kemudian menggenggam tangannya lembut. "O ya, Sayang. Tadi Ayah dapat surat dari
Jodi," ucapnya seraya mengambil surat yang di
maksud dan memberikannya kepada Rani.
"Terima kasih, Ayah!" ucap Rani senang karena
menerima surat dari kekasihnya. "O ya, Ayah. Apakah
Ayah berjumpa dengan dia?" tanya Rani bersemangat. "Tidak, surat itu dititipkan lewat teman kerja Ayah."
Rani tampak mengangguk-angguk. "O ya, Ayah.
Sekarang Rani mau ke kamar untuk membaca surat
ini," katanya kemudian.
"Iya, Sayang..." ucap Branden seraya memperhatikan kepergian putrinya.
165 Kini Rani sudah berada di dalam kamarnya. Dia
sedang duduk di tepi tempat tidur sambil membuka
surat dari Jodi. Saat itu dia merasa begitu senang,
bahkan wajahnya yang semula murung kini tampak
berseri-seri, sepertinya dia sudah lupa dengan segala
kejadian yang telah membuatnya takut. Namun ketika
dia membaca isi surat itu, mendadak raut wajahnya
berubah sedih. Kemudian di susul dengan air mata
yang berderai melewati pipinya yang mulus.
"Jo kenapa kau tega memutuskanku. Apa benar
semua itu karena orang tuaku yang tidak merestui
hubungan kita?" Rani terus menangis dan menangis. Sungguh dia
sangat kecewa dengan keputusan itu dan tidak bisa
menerimanya begitu saja. Setelah meletakkan surat
yang baru dibacanya, Rani segera beranjak bangun.
Kemudian melangkah ke sebuah meja kecil dan
mengambil foto Jodi yang terpajang di meja itu.
Sesaat dia pandangi foto itu dengan air mata yang
terus berderai. 166 Kini gadis itu sudah kembali ke tempat tidur,
tubuhnya tampak tertelungkup dengan kedua tangan
yang memegang bingkai foto. Matanya yang basah
terus memandangi foto Jodi yang sedang tersenyum,
"Jodi...maafkan ayahku! Aku sama sekali tidak
mengerti mengapa Ayah tidak merestui hubungan
kita" Padahal, semula beliau sangat merestuinya.
Belakangan ini sikap beliau memang agak aneh,
sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Jo... terus terang aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku
benar-benar menyesal karena kita harus berpisah
dengan cara seperti ini, dan yang aku sangat
sesalkan, semua ini adalah lantaran ulah ayahku.
Beliau pasti melakukannya atas permintaan orang
misterius yang hingga kini masih membuatku
bingung." Rani terus membatin dengan segala duka-laranya,
air matanya selalu berderai jikalau mengingat kembali
masa-masa indah bersama Jodi, sepertinya dia tidak
sanggup untuk berpisah dengan pria yang begitu
dicintainya. 167
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rani membaca surat Jodi sekali lagi, kemudian
kembali memandangi foto kekasihnya dengan tangis
yang tak kunjung henti. Hingga akhirnya Rani tertidur
sambil memegang foto Jodi di dadanya.
Esok harinya, Rani seperti enggan ke sekolah.
Harapan akan masa depannya yang gemilang telah
sirna seketika. Semenjak menerima surat itu, Rani
memang tidak mempunyai gairah untuk hidup.
Bahkan di benaknya terbayang sudah kehidupannya
yang terasa begitu hampa, sehingga dia pun merasa
tidak mungkin sanggup untuk melaluinya. Namun,
bisikan nuraninya terus meminta untuk melupakan
semua itu, memintanya untuk tetap menjalani
kehidupan seperti apa adanya. Hingga akhirnya, Rani
mau mendengarkan kata hatinya itu. Walau terasa
berat, dia mau juga berangkat ke sekolah.
Di sekolah, Rani masih saja terlihat murung.
Semua pelajaran sama sekali tak bisa diserapnya,
168 semua telah terkubur oleh kuatnya kekecewaan yang
mendalam. Setelah pulang sekolah, gadis itu tidak
langsung pulang ke rumah. Dengan berjalan kaki, dia
terus melangkah tanpa tujuan. Di benaknya terus
terbayang akan kemalangan yang telah menimpanya.
Setelah jauh melangkah, akhirnya Rani sampai di
sebuah rel kereta api dua jalur. Tiba-tiba Rani
menghentikan langkahnya, di kejauhan terlihat sebuah
KRL (kereta rel listrik) yang akan melintas.
Rani tampak terpaku ketika Ular besi itu melintas
di hadapannya, hembusan anginnya terasa keras
menerpa. Ular besi itu memang tampak perkasa,
kokoh dan begitu kuat. Berdiri di sampingnya saja
sudah sangat menggetarkan jiwa, apa lagi jika berada
dihadapannya. Begitulah yang ada di benak Rani akan
keperkasaan si Ular besi, dan mendadak dia tersadar,
dilihatnya KRL sudah pergi menjauh. Kini Rani
melanjutkan langkahnya untuk menyeberang, namun
ketika dia berada di tengah-tengah rel, tiba-tiba
langkahnya terhenti. Kini segala keperkasaan tentang
si Ular besi kembali hadir di benaknya, kemudian
169 timbullah sebuah niat untuk melepaskan segala
penderitaannya. Lantas dengan langkah gontai namun pasti, Rani
mulai berjalan menyusuri rel kereta api, dia berjalan
searah dengan KRL yang baru saja melintas. Rani
terus melangkah dan melangkah, sedang di hatinya
terus merasakan penderitaan yang teramat sangat.
Seolah pikirannya tak mau lepas dari bayang-bayang
masa lalu, masa-masa indah ketika bersama sang
Kekasih, masa-masa yang tidak mungkin akan
terulang lagi. Rani terus melangkah menyusuri rel yang lurus.
Saat itu dia berharap sebuah KRL akan muncul di
belakangnya dan menabraknya hingga hancur
berkeping-keping, kemudian berakhirlah segala penderitaannya yang teramat pedih. Berakhir dengan
cepat, secepat lepasnya nyawa dari raga. Tak lama
kemudian, sebuah KRL datang dari arah belakang,
klaksonnya terdengar meraung-raung - memperingati
akan keperkasaan si Ular besi yang tidak main-main
dengan segala yang ada di depannya. Rani sadar
170 akan hal itu, tapi dia justru merasa senang karena
sebentar lagi semua penderitaannya akan berakhir
dengan cepat. KRL terus melaju mendekati Rani, hingga
akhirnya jarak kematian tinggal satu meter lagi. Di
saat detik-detik kematian itu, tiba-tiba sesosok tubuh
tegap melompat cepat dan menyambar tubuh Rani
hingga akhirnya keduanya tampak bergulingan di atas
kerikil, sedangkan si Ular besi terus melintas dengan
segala keperkasaannya - dia terus menjauh seakan
tidak peduli dengan semua itu. Pada saat yang sama,
Rani terlihat sudah berdiri sambil membersihkan
kotoran yang menempel di tubuhnya, sedangkan
orang yang mendorongnya tampak berdiri di
sampingnya dengan raut wajah yang begitu serius.
"Dasar manusia tidak berakal! Jika kau ingin mati
jangan di hadapan aku dong!" maki orang itu. "Terus
terang, aku sudah pernah melihat orang mati tertabrak
kereta. Tubuhnya hancur berkeping-keping, sungguh
mengenaskan. Aku tidak mau melihat hal seperti itu
171 untuk yang kedua kalinya," cerita orang itu dengan
nada marah. Rani tidak berkata-kata, dia hanya mendengarkan
orang itu terus berbicara, sedangkan kedua matanya
tampak menatap wajah tampan yang masih saja
terlihat serius. Dia benar-benar tidak menduga kalau
usahanya itu telah membuat pemuda itu begitu gusar.
"Paham kau?" tanya pemuda itu mengakhiri
omelannya. "Maaf kalau tadi aku telah merepotkanmu!" ucap
Rani menyesal. Mendengar itu, Pemuda tadi segera meredakan
nada bicaranya. "Kenapa kau ingin bunuh diri?"
tanyanya prihatin. Rani tidak menjawab, dia justru meneteskan air
matanya. Melihat itu, si pemuda kembali bicara, "Maaf
kalau pertanyaanku tadi membuatmu sedih! Terus
terang, sebenarnya aku tidak mau mencampuri
masalahmu. Namun karena perbuatanmu tadi,
rasanya aku perlu membantumu. Tapi kalau kau
merasa aku ini bukan orang yang pantas, aku tidak
172 akan memaksa. Aku sarankan, carilah orang yang
bisa membantumu untuk menyelesaikan masalahmu.
Bunuh diri bukanlah cara menyelesaikan masalah, hal
itu justru akan membuatmu semakin menderita di
alam sana. Mengerti?" tanya pemuda itu kepada Rani
yang masih saja tertunduk sedih. "Baiklah... kalau
begitu aku pergi sekarang," pamit pemuda itu seraya
melangkah pergi. "Tunggu, Kak!" tahan Rani tiba-tiba.
Mendengar itu, si pemuda langsung menoleh dan
segera menghampiri Rani. "Ada apa?" tanyanya
pelan. "Begini Kak. Sebenarnya..." Rani menggantung
kalimatnya. Pemuda itu segera menggenggam tangan Rani
seraya berkata, "Ayo katakan saja! Kau tidak perlu
sungkan padaku. Aku sungguh-sungguh akan
membantumu, percayalah!"
"Begini Kak. Se-sebenarnya aku sedang patah
hati. Aku merasa kehidupanku begitu berat dan penuh
173 dengan penderitaan, sepertinya aku sudah tidak
sanggup lagi hidup di dunia ini," cerita Rani lirih.
"Hmm... begitu. Jadi kaupikir dengan bunuh diri
bisa menghilangkan penderitaanmu, begitu?"
Rani mengangguk. "O ya, kenalkan. Namaku 'Bobby'. Siapa
namamu?" tanya pemuda itu lagi.
"Aku 'Rani'." "Hmm... 'Rani' nama yang bagus," puji Bobby. "O
ya, bagaimana kalau kita bicara di warung itu" Di sana
kita bisa bicara sambil menikmati es kelapa muda."
Rani tertunduk, sepertinya dia enggan mengikuti
keinginan pemuda itu. "Ayolah! Kau tidak perlu sungkan. Bukankah akan
lebih enak kalau kita bicara sambil duduk dan minum
es kelapa muda," desak Bobby.
Rani menatap pemuda itu, lalu mengangguk
pelan. Tak lama kemudian, mereka sudah melangkah
ke warung yang dimaksud. Kini mereka sedang duduk
di warung sambil menikmati es kelapa muda yang
begitu segar. Pada saat itu, Bobby mulai menanyakan
174 kembali perihal keinginan Rani untuk bunuh diri, kali
ini Rani menceritakannya dengan lebih rinci.
"Rani... dengar ya! Sebenarnya bunuh diri itu tidak
akan mengakhiri penderitaanmu. Hal itu justru akan
membuatmu semakin menderita. Di akhirat nanti, kau
pasti akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketahuilah, kalau setiap manusia yang hidup pasti
akan mempunyai masalah, dan masalah itulah yang
akan membuatnya semakin mengerti akan arti
kehidupan. Sebagai manusia, kita dituntut untuk
menyelesaikan segala masalah dengan cara yang
baik, dan itulah hidup yang sesungguhnya. Kita
sebagai manusia sengaja dikaruniai perangkat yang
begitu kompleks karena untuk merasakan kehidupan.
Apalah jadinya jikalau hidup tanpa mempunyai
masalah, tentunya akan terasa hambar bukan" Kita
merasa bahagia karena ada sedih, kita merasa
mudah karena ada susah. Coba renungkan,
seseorang yang ditinggal pergi oleh kekasihnya tentu
akan sedih sekali, namun begitu dia bertemu kembali,
kebahagiaan pun tak kan terelakkan. Satu lagi,
175 seseorang yang mendapat sesuatu dengan cara
bersusah payah pasti hasilnya akan dirasakan
berbeda jika dibandingkan dengan orang yang
mendapatkannya dengan cara mudah. Orang yang
bersusah payah akan mendapatkan kepuasan
tersendiri daripada yang mendapatkannya dengan
cara mudah. Sebenarnya masih banyak lagi liku-liku
kehidupan yang sebenarnya akan membuat kita lebih
menghargai hidup itu sendiri, dan itulah yang
dinamakan asam garam kehidupan yang akan
membuat kehidupan kita menjadi lebih nikmat," jelas
Bobby panjang lebar. Rani terdiam, sepertinya dia sedang merenungi
segala ucapan pemuda itu. Hingga akhirnya, Rani pun
bisa menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya
memang salah, kenapa hanya karena ditinggal
kekasih dia menjadi lemah dan berpikir pendek begitu.
Bahkan dia merasa benar-benar bodoh lantaran telah
melakukan tindakan yang justru akan membuatnya
semakin menderita. 176 "Kau benar Kak, aku memang telah salah
bertindak!" ucap Rani menyesal. "Terus terang, aku
sangat berterima kasih karena kau telah menyadarkanku!" sambungnya kemudian.
"Sudahlah...! Kau tidak perlu berterima kasih
padaku. Karena semua ini memang sudah kehendak-
Nya. O ya, bagaimana jika kau kuantar sampai ke
rumah?" "Terima kasih Kak! Saya tidak mau merepotkan.
Lagi pula, saya bisa pulang sendiri kok," tolak Rani.
"Rani... izinkanlah aku untuk mengantarmu! Aku
ingin memastikan kau tiba di rumah dengan selamat,"
desak Bobby. Rani tidak menjawab. Dia memandang Bobby
dengan pandangan yang penuh suka cita.
"Bagaimana..." Kau mau kan?" tanya Bobby.
Rani tersenyum, kemudian dia menganggukkan
kepalanya. "Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajak Bobby.
Tak lama kemudian, keduanya tampak melangkah
menuju ke sebuah sepeda motor besar yang di parkir
177 di samping warung. Ternyata sepeda motor itu
kepunyaan Bobby yang memang sudah diparkir
sebelum peristiwa itu terjadi. Setelah menghidupkan
sepeda motornya, Bobby segera memacunya menyusuri jalan yang mulai macet. Dalam perjalanan,
mereka tampak asyik berbincang-bincang. Sesekali
Bobby menghibur Rani dengan banyolan-banyolan
yang membuat Rani tertawa terpingkal-pingkal. Untuk
sesaat Rani bisa melupakan segala kepedihannya,
wajahnya tampak begitu ceria. Setelah cukup lama
menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di
tempat tujuan. Rani yang baru saja turun dari motor tampak
tersenyum kepada Bobby, "Ayo Kak, silakan mampir
dulu!" tawarnya ramah.
"Terima kasih! Lain kali saja. Kali ini aku harus
cepat-cepat pulang," tolak Bobby. "Sudah ya, aku
pergi sekarang!" pamitnya kemudian.
"O ya, Kak. Sekali lagi aku ucapkan banyak terima
kasih!" "Sudahlah...!" ucap Bobby sambil tersenyum.
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
178 Rani tersenyum, kemudian dia tampak memperhatikan Bobby yang kembali melaju dengan
sepeda motornya, tak lama kemudian sepeda motor
itu sudah tak terlihat lagi. Pada saat yang sama, Rani
segera melangkah memasuki rumah. Kini dia terlihat
sedang membersihkan diri dari segala kotoran yang
melekat, dan setelah itu dia bergegas menuju ke
kamarnya. Setibanya di kamar, Rani langsung menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Kini gadis
itu kembali teringat dengan Jodi, teringat akan
keputusan Jodi yang begitu menyakitkan, dan dia
menduga semua itu lantaran ulah ayahnya yang
mengusir Jodi malam itu. Dia ingat betul ketika
ayahnya membentak Jodi dengan begitu kasar, dan
saat itu Jodi terlihat begitu gusar.
Kini Rani kembali murung, menghapus semua
keceriaan yang semula menghias wajahnya. Tiba-tiba
air matanya tampak berderai, mengalir melewati
pipinya yang mulus, kemudian menetes membasahi
bantalnya yang berwarna biru. Rani terus menangis,
179 isak tangisnya terdengar begitu lirih. Selirih gesekan
dawai biola yang mengalun panjang.
Di tempat terpisah, di sebuah gedung perkantoran. Branden tampak sibuk dengan tugas-
tugasnya. Ketika sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba
telepon yang ada di meja kerjanya berdering dengan
keras sekali. Lalu dengan segera lelaki itu
mengangkatnya, "Hallo!" sapa Branden kepada orang
yang menelepon. "Hallo, Pak Branden! Ini saya, Pak Heru. Saya
mohon Bapak segera ke ruangan saya!"
"Baik, Pak. Secepatnya saya akan ke sana," ucap
Branden seraya menutup telepon itu.
Dengan agak tergesa-gesa, Branden tampak
meninggalkan ruangannya. Tak lama kemudian, dia
sudah sampai di ruangan Pak Heru. "Selamat sore,
Pak!" ucap Branden sopan.
"Silakan duduk, Pak!" pinta Pak Heru sambil
tersenyum. "Terima kasih, Pak!" ucap Branden seraya duduk
di hadapan Pak Heru. 180 Di sudut lain, terlihat Bu Siska yang terus
memperhatikan Branden dari meja kerjanya.
"Sebenarnya ada apa, Pak?" tanya Branden
sopan. "Begini, Pak... keperluan saya memanggil Bapak
adalah untuk meminta maaf," ucap Pak Heru berterus
terang. "Mi-minta maaf" Maksud Bapak?" tanya Branden
heran. "Saya mohon, Bapak mau memaafkan saya,"
ucap Pak Heru tulus. "Pak, saya benar-benar tidak mengerti" Bapak
kan tidak punya salah sama saya?"
Tiba-tiba Bu Siska beranjak dari tempat duduknya,
kemudian dia melangkah menghampiri Branden.
"Saya juga minta maaf, Pak!" ucapnya tulus.
"O, jadi ini semua karena kejadian tempo hari.
Bukan begitu, Bu?" Bu Siska tidak menjawab, dia tampak menundukkan kepalanya. Melihat itu Branden kembali
bicara, "Sebenarnya kejadian tempo hari sudah saya
181 lupakan. Saya benar-benar maklum kalau saat itu Ibu
marah sama saya." "Sebenarnya bukan cuma itu, Pak. Kami telah..."
Belum sempat Bu Siska menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Branden sudah memotong.
"Sudahlah Bu, lupakan saja peristiwa itu! Sebenarnya
saya sudah memaafkannya sejak lama. Kalau pun
ada kesalahan lain, Bapak dan Ibu sudah saya
maafkan," kata Branden terus terang.
Bu Siska dan Pak Heru tampak saling
berpandangan. Kemudian Pak Heru kembali bicara,
"Pak Branden, hati anda sangat mulia. Saya benar-
benar tidak menduga kalau Bapak akan berbesar hati
mau memaafkan kami. Kami sungguh menyesal
karena telah berlaku tidak layak terhadap Bapak, dan
kami sangat berterima kasih karena Bapak mau
memaafkan kami." "Betul, Pak Branden. Kami sangat berterima kasih
atas kemuliaan hati Bapak yang mau memaafkan
kami," timpal Bu Siska.
182 Branden tidak berkata-kata. Dia memandang
wajah Pak Heru dan sekretarisnya silih berganti.
"Sudahlah...! Bukankah sudah sepantasnya, kita
sesama manusia untuk saling memaafkan," katanya
sungguh-sungguh, "O ya, kalau Bapak sudah tidak
ada keperluan lagi, sebaiknya saya permisi dulu.
Sebab, masih banyak pekerjaan yang harus saya
selesaikan," sambungnya kemudian.
"Kalau begitu, silakan Pak! Dan saya mohon maaf
karena sudah menyita waktu Bapak," ucap Pak Heru.
Branden tersenyum, kemudian dia segera melangkah untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Dalam hati, Branden masih merasa bingung. Dia tidak
mengerti apa sebenarnya yang sudah diperbuat oleh
Pak Heru dan Bu Siska terhadapnya. Jikalau Bu Siska
pernah mencaci-maki dirinya, hal itu dianggap hal
yang wajar bagi seorang pegawai rendahan seperti
dia. Namun permintaan maaf Pak Heru dan Bu Siska
yang dinilainya agak berlebihan sempat membuatnya
sedikit penasaran. Pada akhirnya, sosok istrinya
datang dan menjelaskan semua hal yang 183 membuatnya penasaran, hingga akhirnya dia pun bisa
memaklumi keduanya. Esok siangnya udara terasa panas sekali, teriknya
sinar mentari terasa begitu menyengat kulit. Di teras
sebuah rumah, seorang gadis berseragam abu-abu
tampak sedang membuka pintu depan dengan agak
tergesa-gesa. Dialah Rani yang baru saja pulang
sekolah, saat itu dia terlihat begitu lelah.
Kini Rani sudah melangkah masuk dan sedang
meletakkan tasnya di atas meja, kemudian dia juga
meletakkan kantong plastik hitam berisi nasi bungkus
yang baru dibelinya. Dengan santai dia duduk di sofa,
kemudian melepaskan sepatu dan kaos kakinya.
Suasana di rumah itu tampak begitu hening, sehening
suasana makam di malam hari. Pada saat seperti
itulah segala bayang-bayang masa lalu selalu
menghantuinya, menteror dengan segala kenangan
184 manis yang semakin membuat hatinya kian tersayat-
sayat. "Tidak! Aku tidak boleh memikirkan hal itu terus.
Sebab, semakin aku mengingatnya, semakin pedih
hati ini. Biar bagaimanapun, aku harus bisa
melupakannya," kata Rani dalam hati seraya bangkit
dari tempat duduk dan segera melangkah ke dapur. Di
tangannya terlihat kantong plastik hitam yang
diambilnya dari atas meja.
Rupanya Rani akan menyiapkan makan siangnya,
sekaligus mengambil minum untuk melegakan
kerongkongannya yang begitu kering. Belum sempat
gadis itu tiba di dapur, tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya. Saat itu, matanya memandang ke arah
dapur yang tampak begitu sepi. Sungguh suasana
saat itu telah membuatnya sedikit takut. Lalu dia pun
teringat dengan peristiwa waktu itu, dimana perabotan
yang berada ruang dapurnya bergerak sendiri,
kemudian disusul dengan pecahnya piring dan gelas
yang hancur berantakan. Rani tampak menarik nafas
panjang untuk menenangkan diri, kemudian berusaha
185 untuk mengendalikan semua rasa takut yang telah
merasuki pikirannya. "Tidak! Aku tidak boleh takut, ini
kan rumahku sendiri," ungkapnya memberanikan diri.
Keinginan untuk melepas dahaga semakin
membangkitkan keberaniannya, kemudian dengan
mantap dia segera melangkah kembali. Rani terus
melangkah, sedangkan jantungnya mulai berdegup
kencang. Tiba-tiba dia teringat kembali dengan
kejadian malam itu. Bersamaan dengan itu, lagi-lagi
Rani menghentikan langkahnya.
Kini gadis itu tampak berdiri di depan tirai yang
menjadi pemisah ruang dapur. Entah kenapa, tiba-tiba
dia merasakan suasana di rumah itu terasa kian
mencekam, bahkan jantungnya pun semakin berdebar
kencang. Namun begitu, Rani berusaha memberanikan diri. Dengan perlahan dia mulai
menyibak tirai itu. Begitu tirai terbuka, tiba-tiba
sesosok tubuh hitam tampak melompat dari atas
sebuah lemari kecil. Melihat itu, seketika Rani terkejut
dan berteriak sejadi-jadinya.
186 Mendadak teriakan gadis itu terhenti, bersamaan
dengan seekor kucing yang dilihatnya sedang
mengeong-ngeong di dekat kakinya. Kucing itu terus
mengeong-ngeong, kemudian berputar di kaki Rani
sambil mengeluskan tubuhnya.
"Aduh, kau mengagetkanku saja," kata Rani
seraya menggendong kucing itu dan membelainya
dengan penuh kasih sayang. "Hmm... ini kucing siapa
ya?" tanyanya dalam hati. "Pus, kau lapar ya" Kasihan
sekali, rupanya tuanmu tidak memberimu makan ya?"
Lantas dengan santai Rani membuka nasi
bungkusnya, kemudian mengambil kepala ikan dan
memberikan kepada si kucing.
Rani kembali membelai kucing itu, saat itu hatinya
terasa betul-betul damai. Sejenak dia memperhatikan
si kucing yang tampak begitu rakus melahap kepala
ikan yang cukup besar. Sesekali dia menggeram,
takut jika makanannya diambil oleh Rani. Saat itu Rani
cuma tersenyum, menyaksikan prilaku hewan yang
tampaknya tidak tahu berterima kasih.
187 Kini Rani sedang menuang air bening ke dalam
gelas yang baru saja diambilnya, kemudian meneguknya dengan segera. Seketika rasa dingin
terasa melewati kerongkongannya, bersamaan dengan itu rasa dahaganya pun sirna dengan
sendirinya. Setelah itu dia segera menyiapkan makan
siangnya. Pada saat yang sama, sosok mendiang
ibunya tampak sedang memperhatikan. Saat itu dia
ingin sekali menampakkan diri di hadapan Rani,
namun entah kenapa dia tak kuasa melakukannya.
Rani yang baru saja selesai makan segera menuju
ke kamarnya, pada saat itu sosok mendiang ibunya
sudah melesat pergi. Kini Rani sedang memasuki
kamarnya. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui
tempat tidurnya yang tadi pagi tidak sempat dia
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirapikan kini sudah tertata rapi. Bukan cuma itu,
buku-bukunya yang tidak sempat dirapikan juga telah
tertata rapi. Saat itu Rani benar-benar sudah dibuat
bingung, "Hmm... siapa yang telah melakukan semua
ini?" tanya Rani dalam hati. "Tidak mungkin Ayah yang
melakukannya" Tadi pagi kan aku bangun kesiangan,
188 dan ketika aku sedang sarapan beliau justru sudah
berangkat lebih dulu. Hmm... apa mungkin Ayah
kembali lagi setelah aku pergi, beliau kembali karena
melupakan sesuatu. Ah, sepertinya itu juga tidak
mungkin. Selama ini justru akulah yang selalu
merapikan tempat tidurnya. Aneh... sebenarnya siapa
yang telah melakukan semua ini?"
Akhirnya Rani memutuskan untuk tidak mempedulikan semua itu, bahkan dia berusaha
berprasangka baik kalau ayahnyalah yang telah
melakukan semua itu. Kini Rani sedang melepas
pakaian sekolahnya, kemudian menggantinya dengan
pakaian santai yang diambilnya dari dalam lemari.
Setelah itu, dia segera melangkah ke kamar ayahnya.
Setibanya di dalam kamar, lagi-lagi Rani terkejut.
Hal serupa yang terjadi di kamarnya juga terlihat di
ruangan itu, semuanya sudah benar-benar rapi.
Padahal, selama ini dialah yang biasanya merapikan
tempat itu sepulang sekolah.
Karena semua sudah benar-benar rapi, akhirnya
Rani kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Kini
189 gadis itu sudah merebahkan diri di atas tempat tidur
dan sedang memejamkan kedua matanya. Karena
merasa lelah, akhirnya gadis itu tertidur pulas.
Ketika terjaga, Rani tampak terkejut. Dilihatnya
sang Ayah sudah berada di sisi tempat tidur dan
sedang memandangnya. "Sayang... Ayah ingin
menyampaikan sesuatu tentang Jodi," kata Branden
sambil terus memandang wajah putrinya.
"Apa itu, Ayah?" tanya Rani penasaran.
"Sesuatu kebenaran tentang Jodi, Sayang..."
jawab Branden. "O ya, apakah selama ini kau masih
mengharapkan dia?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja, Ayah. Rani kan sangat mencintainya,"
jawab Rani terus terang. "Sebaiknya kau lupakan dia, Sayang...!" pinta
Branden. "Kenapa Ayah menghendaki demikian?" tanya
Rani lagi dengan alis tampak merapat.
"Bu-bukan apa-apa, Sayang... sebenarnya selama
ini Jodi cuma mempermainkanmu. Dia sama sekali
tidak mencintaimu." 190 Mendengar itu, Rani langsung duduk di atas
tempat tidurnya. "Bohong! Ayah bohong! Kenapa Ayah
tega berbuat begitu?" tanya Rani seraya menatap
sang Ayah dengan mata yang berkaca-kaca.
Branden tak kuasa memandang wajah putrinya,
dia tampak memalingkan wajahnya ke arah pintu.
"Ayah tidak berbohong, Sayang... terus terang, Ayah
tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya padamu,"
kata Branden menyangkal. "Kenapa, Yah" Kenapa waktu itu Ayah mengusir
Jodi" Sebenarnya apa salah Jodi sehingga Ayah tidak
menyetujui hubungan kami" Jawab, Ayah. Jawab!"
desak Rani lirih. "Kau salah paham, Sayang... semua itu karena..."
Branden tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak
bingung dan tidak tahu harus berkata apa untuk
menjelaskan kejadian waktu itu. kemudian dia kembali
berkata, "Nak, sebaiknya sekarang kau mandi, lalu
setelah itu kita makan sama-sama!" saran Branden
seraya membelai kepala Rani dan mengecupnya
191 dengan penuh kasih sayang. Setelah itu dia tampak
melangkah ke kamarnya sendiri.
Kini Branden sudah berada di dalam kamar dan
sedang mengganti pakaiannya. Ketika baru saja
selesai, tiba-tiba "Bagaimana, Bran?" terdengar suara
orang yang bertanya kepadanya.
"Ya-yana...!" seru Branden kaget ketika melihat
sosok Yana yang sudah berdiri di sampingnya.
"Bagaimana, Bran" Apa kau sudah menceritakannya?" tanya sosok Yana lagi.
"Belum sepenuhnya, Sayang... saat itu Rani sama
sekali tidak mempercayaiku. Aku sendiri bingung,
bagaimana caranya agar dia mau percaya," jawab
Branden. "O ya, bagaimana kalau kita cari orang yang
bisa menjelaskan siapa Jodi sebenarnya!" sarannya
kemudian. "Baiklah kalau begitu, aku tahu siapa orang yang
bisa menyampaikannya," jelas sosok Yana.
"Siapa?" tanya Branden.
"Jodi sendiri," ucap sosok Yana seraya menghilang dari pandangan.
192 Branden agak kecewa dengan kepergian sosok
Yana yang begitu tiba-tiba, padahal dia masih ingin
berbicara banyak dengan mendiang istrinya itu.
Lantas dengan perasaan yang masih kecewa,
Branden segera pergi ke meja makan untuk
menikmati makan malam bersama putrinya.
193 Delapan sok paginya mentari bercahaya dengan
E cerahnya, sinarnya yang hangat tampak
membias menerangi seantero kota. Sementara itu di
sepanjang jalan raya tampak lalu-lalang kendaraan
yang merambat pelan, terjebak dalam kemacetan
yang memang sudah menjadi rutinitas Ibu Kota. Pada
saat yang sama, di sebuah perempatan lampu merah,
para pedagang asongan tampak ramai menjajakan
dagangannya. Beberapa orang polantas tampak sibuk
mengatur lalu lintas di tempat itu.
Lampu lalu lintas silih berganti berubah warna,
namun lampu itu tidak berguna sama sekali karena
petugas polantaslah yang menggantikannya. Petugas
polantas itu lebih mengutamakan antrian kendaraan
dari jalur yang lebih padat untuk jalan lebih dulu,
sedangkan dari jalur yang tampak sepi dibiarkan
menunggu agak lama. 194 Yuli yang sedang duduk di depan kemudi tampak
kesal, sebab gilirannya melaju terasa begitu lama.
Suara bising terus terdengar dari mesin-mesin
kendaraan yang meraung-raung menunggu giliran,
sekaligus membuang energinya dengan percuma.
Yuli masih terus menunggu. Sesaat dia memperhatikan seorang gadis kecil yang berdiri di
samping mobilnya, pakaian tampak kumal dan begitu
lusuh. Rambutnya pun tampak kotor dan begitu kusut,
menutupi sebagian wajahnya yang masih tampak
polos. Kini gadis kecil itu tampak membunyikan
kecrekannya yang terbuat dari tutup minuman,
kemudian disusul dengan suaranya yang terdengar
sumbang. Melihat itu, Yuli merasa iba, lalu dengan
segera dia membuka kaca mobil dan menyodorkan
selembar uang lima ribuan. Seketika nyanyian gadis
kecil itu terhenti, bersamaan dengan jemari mungil
yang bimbang meraih uang itu. Si Gadis kecil tampak
ragu, baru kali ini dia disodorkan uang sebesar itu.
195 "Maaf Kak! Saya tidak punya uang kembaliannya,"
katanya polos. "Terimalah! Semuanya untukmu," kata Yuli
meyakinkan. Gadis kecil itu tampak begitu senang, kemudian
dia segera mengambil uang itu dan memasukkannya
ke dalam saku roknya yang lusuh. "Terima kasih,
Kak!" ucapnya pelan.
Kini gadis kecil itu tampak tersenyum kepada Yuli
yang dianggapnya sebagai bidadari cantik yang baik
hati. Yuli pun membalas senyuman itu, kedua
matanya tak berpaling - terus memperhatikan si gadis
kecil yang kini sudah melangkah ke mobil yang ada di
belakangnya. Dalam hati Yuli membatin, "Aku tidak
habis pikir, kenapa anak sekecil itu bergelut dengan
kerasnya Ibu Kota, seharusnya kan gadis sekecil itu
sedang menikmati masa kecilnya - bermain dan
belajar." Kini Yuli kembali memperhatikan petugas polantas
yang masih juga belum mengizinkannya melaju.
Ketika menengok ke samping, dilihatnya seorang
196 pedagang asongan tampak sedang berdiri menjajakan
dagangannya, "Permen, Non?" tawarnya sambil
menyodorkan sebungkus permen ukuran sedang.
Yuli segera mengambil permen itu dan membayarnya dengan uang sepuluh ribuan. Ketika si
pedagang sedang menyiapkan uang kembaliannya,
tiba-tiba Pak Polantas sudah mengizinkannya untuk
melaju. Melihat itu, Yuli segera menurunkan rem
tangan dan mulai melaju bersama mobilnya.
"Tunggu, Non! Ini kembaliannya," tahan si
pedagang tiba-tiba. "Ambil saja untukmu!" teriak Yuli seraya mempercepat laju mobilnya.
Yuli terus melaju. Hari ini dia berniat mengunjungi
kakek dan neneknya yang berada di luar kota,
tepatnya di daerah Sukabumi. Setelah menempuh
perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya dia tiba
di pekarangan rumah neneknya yang tampak begitu
asri. Sejenak Yuli memperhatikan keadaan di sekitar
tempat itu, dipandangnya rumah mungil yang sudah
197 berumur puluhan tahun. Walau begitu, rumah itu tetap
terawat dengan baik. Kemudian dilihatnya sang nenek
yang lagi sibuk merajut di teras depan rumahnya.
Lantas dengan segera Yuli keluar mobil dan
menghampiri sang Nenek. Sang nenek yang mengetahui kedatangannya
tampak begitu senang, dia segera berdiri dan
memeluknya dengan penuh kerinduan. "Aduh, cucu
nenek semakin cantik saja," pujinya seraya mengecup
kening Yuli dengan penuh kasih sayang. "Ayo...
masuk, Cu!" ajaknya kemudian.
Yuli menuruti ajakan neneknya, dia melangkah
masuk mengikuti sang Nenek yang masuk lebih dulu.
Kini Yuli sudah berada di ruang tamu sambil menatap
ke sekeliling ruangan dengan penuh rasa kagum,
matanya hampir tak berkedip memperhatikan setiap
bagian yang menjadi ornamen di rumah itu. Walaupun
sudah kelihatan tua, namun masih terlihat menarik,
semuanya begitu unik dan antik.
"Semuanya tidak berubah ya, Nek. Semuanya
Masih seperti dulu," kata Yuli mengomentari.
198 "Iya, Cu. Kakek dan nenek memang tidak mau
merubahnya, sebab semua ini merupakan sejarah
yang penuh dengan kenangan yang tiada ternilai
harganya," jelas sang Nenek. "O ya, Cu. Silakan
duduk! Nenek mau membuatkan minum dulu,"
lanjutnya kemudian. Yuli segera duduk, sedangkan sang Nenek
tampak melangkah ke dapur hendak membuatkan
secangkir teh. Tak lama kemudian, Yuli beranjak
menyusul neneknya ke dapur. Kini gadis itu sedang
berada di samping neneknya yang tampak sibuk
membuatkan minum, "Kakek ke mana, Nek?"
tanyanya kepada sang Nenek.
"Kakekmu lagi pergi. Nenek juga tidak tahu ke
mana perginya," jawab sang Nenek sambil terus
mengaduk gula yang baru dimasukkannya. "O ya, Cu.
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ngomong-ngomong... kenapa kau tidak kasih kabar
dulu kalau mau datang kemari?" tanya sang Nenek
kemudian. 199 "Yuli sengaja, Nek. Soalnya, Yuli mau memberi
kejutan. O ya, Nek..." Yuli tampak berpikir, kemudian
dia mulai melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Kau mau ke mana, Cu?" tanya neneknya tiba-
tiba. "Sebentar, Nek...! Aku akan kembali," jawab Yuli
seraya mempercepat langkah kakinya.
Sang Nenek tampak mengerutkan keningnya,
kemudian dia segera melangkah meninggalkan dapur.
Di tangannya terlihat secangkir teh yang dialasi piring
kecil bermotifkan bunga. Tak lama kemudian, sang
Nenek sudah tiba di ruangan tamu dan langsung
meletakkan teh yang dibawanya ke atas meja.
Sementara itu, Yuli sedang mengambil dua buah
bungkusan dari dalam mobilnya, kemudian dengan
segera dia membawanya masuk.
"Ini, Nek...! Yuli bawakan buat Nenek, dan yang
ini untuk Kakek," ucap Yuli seraya menyerahkan
kedua bungkusan yang dibawanya.
Sang Nenek tampak mengambil bungkusan itu
dari tangan Yuli. "Apa ini, Cu?" tanya sang Nenek
200 sambil mengamati kedua bungkusan yang ada di
tangannya. "Itu oleh-oleh dari Ibu Kota, Nek. Yuli yakin, Nenek
dan Kakek pasti suka," jawab Yuli seraya duduk di
kursi yang ada di ruangan itu.
Sang Nenek tampak tersenyum, kemudian ikut
duduk seraya meletakkan bungkusan yang ada di
tangannya. Setelah itu dia mengambil cangkir
minuman dan menyodorkannya kepada Yuli, "Ini
diminum tehnya, nanti keburu dingin!" kata sang
Nenek ramah. Yuli segera menyambut minuman itu dan
meminumnya sedikit. "Enak sekali teh ini, Nek!" puji
Yuli seraya kembali menghirup teh itu sekali lagi.
"Itu teh spesial, Cu. Nenek sendiri yang
meraciknya. Di dalamnya bukan hanya pucuk teh, tapi
juga ada bunga-bungaan dan beberapa daun obat-
obatan," jelas sang Nenek.
"Pantas rasa teh ini lain sekali, dan yang pasti
betul-betul enak, Nek," puji Yuli sekali lagi seraya
meletakkan cangkir tehnya.
201 Sang Nenek tampak tersenyum mengetahui
cucunya suka dengan teh racikannya. Sementara itu
tak jauh dari rumah, sang Kakek terlihat sedang
mengendarai sepeda tuanya - menyusuri jalan tanah
yang menuju ke rumah. Walaupun sudah tua, sang
Kakek mampu mengayuhnya dengan begitu cekatan.
Tak lama kemudian, dia sampai di tempat tujuan.
Kini sang Kakek sedang memperhatikan sedan
mewah yang diparkir di pekarangannya, "Wah, itu
pasti mobil menantuku. Dia pasti datang bersama
anak dan cucuku," duganya dengan raut wajah yang
begitu gembira. Lalu tanpa buang waktu, sang Kakek segera
memarkir sepedanya dan melangkah masuk. "Assalamu'alaikum...!" ucapnya seraya mengamati
orang-orang yang duduk di ruang tamu.
"Waaahhh... Yuliii...!" seru sang Kakek seraya
menghampiri cucunya tersayang.
Bersamaan dengan itu, Yuli segera berdiri dan
langsung memeluknya erat. Setelah itu sang Kekek
tampak memandangnya dengan penuh suka cita,
202 "Waduh-waduuuh... cucu kakek sudah jadi gadis
dewasa rupanya, tambah cantik lagi... you are so
beautiful and montok, you look pretty with this baju to,"
puji sang Kakek sambil terus memandangi wajah
cucunya. Yuli hanya tersipu mendengarnya, apalagi sang
Kakek memujinya dengan bahasa Inggris yang
dicampur aduk. Sang Nenek cuma tersenyum saja
mendengar Kakek berbicara begitu, dan tak lama
kemudian Yuli sudah duduk kembali di kursinya.
Bersamaan dengan itu, sang Kakek ikut duduk di
sebelahnya. Sementara itu, sang Nenek justru beranjak dari
tempat duduknya. "Kalian ngobrol saja dulu! Sekarang
Nenek mau menyiapkan makan siang," ucapnya
seraya melangkah pergi. "Masak yang enak ya, Nek!" teriak sang Kakek,
kemudian dia mulai bicara kepada cucunya tersayang,
"Kau datang sendiri, Cu?" tanyanya agak kecewa.
"Iya, Kek," jawab Yuli singkat.
203 "Kenapa kedua orang tuamu tidak ikut ke mari?"
tanya sang Kakek lagi. "Mereka sibuk, Kek," jawab Yuli singkat.
"Huh, dari dulu mereka selalu begitu - terlalu sibuk
dengan urusan dunia. Mereka sama sekali tidak
peduli, kalau selama ini Kakek dan nenek sudah
sangat merindukan mereka."
"Kakek benar, Yuli juga kurang setuju dengan
sikap mereka. Selama ini, Yuli pun kurang
diperhatikan. Selama ini mereka cuma memanjakan
Yuli dengan materi, padahal bukan itu saja yang Yuli
butuhkan. Yuli kan juga butuh perhatian dan kasih
sayang, Kek." "Sudahlah, Cu...! Sebenarnya mereka melakukan
itu dengan maksud ingin membahagiakanmu, namun
mereka tidak menyadari kalau hal itu justru
membuatmu kesepian. Sebagai anak, kau harus terus
berbakti kepada mereka, walaupun selama ini mereka
kurang memperhatikanmu. O ya, ngomong-ngomong
bagaimana kabar mereka?"
"Baik, Kek - mereka sehat-sehat saja."
204 "Baguslah kalau begitu, terus... bagaimana
dengan keadaan di sana?" tanya sang Kakek yang
ingin mengetahui perkembangan Jakarta.
"Yaaa... kehidupannya tambah keras saja, Kek.
Tidak seperti di sini, semua terasa sejuk dan damai,
sedangkan di sana... semakin panas, penuh polusi,
dan kejahatan pun semakin merajalela," jawab Yuli.
"O ya, masa sih," kata sang Kakek seakan tidak
percaya. "O ya, Cu. Ngomong-ngomong bagaimana
dengan kuliahmu?" tanyanya kemudian.
"Lancar, Kek," jawab Yuli singkat. " O ya, Kek.
Ngomong-ngomong, Kakek dari mana?" tanyanya
kemudian. "Yes yes yes... Kakek is baru jalan-jalan and
looking-looking," jawab sang Kakek yang lagi-lagi sok
berbicara dengan bahasa Inggris.
"Ah kakek bercanda saja," ucap Yuli dengan
wajah cemberut. "Aduh, Cu. Kau jangan ngambek seperti itu dong,
nanti kau bisa cepat keriput kayak nenekmu. Masa
205 masih mudah sudah keriput, nanti tidak ada yang mau
loh." "Habis... Kakek kalau ditanya serius selalu
menjawab asal. Bagaimana Yuli tidak kesal."
"Iya, Iya... sekarang akan kakek jawab dengan
serius. Begini, Cu... sebenarnya kakek baru pulang
dari pasar. Tadinya sih kakek mau beli burung, tapi
karena harganya terlalu mahal, kakek tidak jadi
membelinya. Karenanyalah Kakek terpaksa pulang
dengan tangan hampa," jawab sang Kakek polos.
"Memangnya Kakek ingin memelihara burung,
ya?" tanya Yuli. "Tidak, kakek cuma mau memelihara monyet."
"Tuh kan, mulai lagi deh," keluh Yuli.
"Iya, anak Manis... tentu saja kakekmu ini mau
memelihara burung. Kan sebelumnya Kakek sudah
bilang mau beli burung, bukannya mau beli monyet.
Sebenarnya sih sudah lama Kakek ingin memelihara
burung. Tapi karena nenekmu pelit, terpaksa kakek
harus mencari uang sendiri untuk membelinya."
206 "Jadi, uang yang diberikan oleh ayah selama ini,
nenek yang pegang?" Sang Kakek mengangguk, "Benar, Cu. Kata
nenekmu, uang itu cuma untuk keperluan sehari-hari.
Tapi Kakek tahu, bukan hal itu yang membuat
nenekmu jadi pelit, namun karena beliau tidak mau
aku memelihara burung. Kakek menduga, beliau takut
kalau Kakek akan kembali lagi dengan perbuatan
Kakek yang sudah lampau,"
"Memangnya perbuatan apa itu, Kek"' tanya Yuli
penasaran. "Begini, Cu... pada masa muda dulu, kakekmu ini
adalah seorang yang gemar mencari ilmu kebatinan.
Sampai pada suatu ketika, Kakek mendapat wangsit
yang mengharuskan memelihara burung tertentu.
Menurut wangsit, Kakek harus memelihara burung itu
hingga bersuara merdu, dan setelah burung itu
bersuara merdu, Kakek diharuskan menelan hatinya
mentah-mentah. Dengan demikian, Kakek akan
mempunyai suara yang merdu, semerdu suara burung
itu. Bukan cuma itu saja, Cu. Kakek pun akan
207 mempunyai lidah yang setajam pedang, maksudnya
setiap yang berbicara dengan Kakek akan menjadi
luluh hatinya." "Terus... apa yang terjadi kemudian" Kenapa
Nenek sampai tidak menyukainya?"
"Itulah, Cu. Karena ilmu tersebut, kakekmu ini
banyak yang menyukai. Terutama gadis-gadis cantik,
dan hal itu membuat nenekmu cemburu buta - beliau
mengancam akan meninggalkan Kakek, seandainya
Kakek masih memiliki ilmu tersebut. Karena Kakek
sangat mencintai nenekmu, makanya Kakek lebih
mengutamakan beliau dari pada ilmu tersebut, dan
akhirnya Kakek mencari orang pintar yang mampu
menghilangkan ilmu itu sampai tidak tersisa lagi."
"Kakek sih, bukannya mempelajari ilmu yang
bermanfaat untuk kepentingan orang banyak, tapi
justru memperlajari ilmu yang seperti itu."
"Iya, Cu. Kakek memang telah menyesali
perbuatan itu, dan setelah mendapat bimbingan dari
orang pintar yang menolong Kakek itu, akhirnya
Pedang Langit Dan Golok Naga 39 Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan Payung Sengkala 8
"Kenapa, Ayah" Kenapa?" Rani kembali bertanya.
Branden tampak menatap Rani seraya memegang
kedua bahunya. "Maaf, Sayang...! Ayah tidak bisa
menjelaskannya padamu," jawab Branden menutup
keingintahuan putrinya. Sejenak Branden melihat keluar, kemudian
meminta putrinya agar masuk ke kamar dan
106 beristirahat. Branden sendiri segera melangkah ke
teras muka dan duduk merenung di tempat itu. Pada
saat yang sama, Rani sudah berada di kamarnya, kini
dia sedang menangis di atas tempat tidur. Sungguh
dia benar-benar tidak mengerti kenapa ayahnya tega
mengusir Jodi, dan dia pun mulai berprasangka yang
tidak-tidak mengenai hal itu.
"Hmm... apakah semua kejadian tadi perbuatan
Ayah yang ingin memisahkan aku dengan Jodi" Tapi
kenapa" Padahal, semula beliau sangat gembira
bertemu dengannya. Aku benar-benar tidak mengerti,
apa sebenarnya yang beliau inginkan?"
Rani terus bertanya-tanya, sedangkan air matanya
tak henti-hentinya mengalir membasahi pipinya yang
pucat. Sementara itu di sebuah jalan yang gelap dan
sepi, sebuah sedan mewah tampak melaju dengan
kecepatan tinggi. Di kiri-kanannya tampak berjajar
pepohonan rindang yang membuat jalan itu kian
bertambah seram. Jodi, si pengemudi mobil mewah
itu tampak kalut, pikirannya masih terbayang peristiwa
di rumah Rani. 107 "Hmm... mungkinkah Branden tahu kalau aku
akan berbuat jahat" Kalau begitu, benar juga kata si
Burhan kalau Branden itu memang mempunyai ilmu
sihir. Tidak mustahil kalau dia bisa membaca
pikiranku. Padahal, pada mulanya aku tidak percaya
sama sekali kalau Branden itu orang yang demikian.
Selama ini dia tampak begitu baik, dan tidak ada
sedikitpun yang membuatnya tampak sebagai penyihir. Namun, sekarang aku yakin sekali, kalau dia
memang mempunyai ilmu sihir. Sebab, aku sendiri
sudah merasakannya. Kurang ajar Branden! Beraninya dia menjauhkanku dari Rani!!!" makinya
setengah berteriak. "Bukan dia, Jo...." tiba-tiba terdengar suara parau
dari jok belakang. Seketika Jodi melirik ke kaca spion tengah.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat seorang wanita
cantik dengan wajah yang begitu pucat tampak
sedang duduk menyeringai. Jodi pun merinding
seraya menginjak pedal rem dalam-dalam, akibatnya
mobil yang dikemudikannya hampir saja tergelincir
108 hingga keluar jalan raya. Kini pemuda itu sudah
bersiap-siap untuk melarikan diri. Namun ketika dia
menoleh ke belakang, ternyata wanita tadi sudah
menghilang. Jodi tampak menarik nafas panjang, "Huff!
syukurlah... mungkin tadi itu cuma hayalanku saja,"
gumamnya merasa lega. Begitu pandangannya
kembali ke depan, pemuda itu tampak terkejut bukan
kepalang. Dilihatnya sosok wanita tadi tampak berdiri
di depan mobilnya dengan gaun putih yang berkibar-
kibar. Sosok wanita itu menatap Jodi. Wajahnya yang
pucat tampak begitu menyeramkan. Sebagian
wajahnya yang pucat itu tertutup oleh darah yang
mengering, dan sebelah bola matanya tampak
mencuat ke luar. Melihat itu Jodi tampak ketakutan, kemudian
dengan segera pemuda itu mencoba menghidupkan
mesin mobilnya. Namun sungguh disayangkan, mesin
mobilnya tak kunjung hidup. Berkali-kali dia mencoba,
namun tetap gagal. Sementara itu, sosok wanita
menyeramkan tadi tampak mulai menghampiri.
109 Melihat itu, Jodi semakin panik, lalu dengan segera
dia keluar mobil dan berlari tunggang-langgang.
Jodi terus berlari dan berlari, hingga akhirnya dia
melihat sebuah rumah yang cukup megah. Sungguh
betapa senangnya dia saat itu. Lantas, dengan nafas
yang masih terengah-engah, pemuda itu segera
berlari menghampiri. Kini pemuda itu sedang membuka pintu gerbang
yang ternyata tidak dikunci, kemudian dengan segera
dia berlari memasuki pekarangan. Saat itu hatinya
betul-betul lega, karena tak lama lagi dia sudah bisa
meminta bantuan. Namun sungguh disayangkan,
ketika sudah hampir tiba di teras, tiba-tiba kaki
pemuda itu tersandung sesuatu. Tak ayal, pemuda itu
langsung tersungkur mencium tanah. "Aggh...!" Jodi
tampak meringis kesakitan, sebagian tubuhnya
dirasakan nyeri dan ngilu.
Kini pemuda itu mencoba menengadah ke arah
rumah yang dilihatnya tadi. "A-apa!!!" serunya dengan
matanya terbelalak dan mulut yang menganga lebar.
Ternyata rumah yang dilihatnya tadi, kini sudah
110 menghilang, dan yang ada di hadapannya sekarang
adalah sebuah makam dengan nisan yang persis di
depan matanya. "Di-di-di mana rumah tadi" Bu-bu-
bukankah tadi berada di depanku," ucap pemuda itu
terbata seraya membaca tulisan yang ada di nisan
tersebut. "Ya-Yana...!" serunya terkejut.
Jodi mengucek-ngucek kedua matanya, kemudian
kembali memperhatikan nisan itu sekali lagi. "Tidak
salah lagi. Ini memang nisan Yana," ucapnya seakan
tidak percaya. Seketika Jodi merinding, sungguh dia tidak
menduga kalau dirinya ternyata sedang tertelungkup
di depan makam Yana. Kini pemuda itu tampak
memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dan betapa
terkejutnya dia ketika menyadari sedang berada di
tengah-tengah pemakaman umum yang begitu sepi
dan menyeramkan. Tak ayal, saat itu wajahnya
langsung pucat dengan tubuh yang gemetar hebat.
Lantas dengan terus diselimuti rasa takut, pemuda
itu berusaha bangkit. Dan tak lama kemudian dia
sudah berdiri tegak dan siap melangkah pergi. Namun
111 baru saja dia membalikkan badan, tiba-tiba dihadapannya sudah berdiri sesosok tubuh wanita
yang sedang menyeringai seram. Saat itu, wajah
wanita itu tampak begitu pucat dan menyeramkan,
bahkan dari tubuhnya tercium bau busuk yang begitu
menyengat. Kini sosok wanita itu tampak menatap
Jodi dengan penuh kebencian. Melihat itu, Jodi
langsung terpekik dengan tubuh yang terasa lemas.
Hingga akhirnya, dia pun jatuh duduk tak berdaya
sama sekali. "Jangan kau permainkan dia Jooo...!!!" seru sosok
wanita itu dengan suara serak.
"A-a-apa, ma-ma-maksudmu" Bu-bu-bukankah
selama ini a-aku begitu menyayangi putrimu," ucap
Jodi dengan terbata-bata.
"Jangan bohong, Jo!!! Aku tahu kau telah
mempunyai istri di Tokyo," kata sosok wanita itu
dengan nada marah. "Ja-ja-jadi kau tahu... ba-ba-bahwa aku su-su-
sudah mempunyai istri?"
112 "Kau benar, Jo! Masih ingatkah ketika kaubicara
lewat HP di ruang tunggu terminal" Waktu itu aku
sempat mendengarkan pembicaraanmu," cerita Yana
mengingatkan kembali akan peristiwa yang telah
lewat. "Waktu itu ketika hendak menemuimu, aku
sempat mendengar kau yang menyebut kata 'istri'.
Dan karena penasaran, aku pun mendengarkan
percakapan itu lebih lanjut. Hingga akhirnya aku bisa
mengetahui siapa dirimu sebenarnya. Ternyata kau
telah mempunyai istri di Tokyo," lanjut Yana
menjelaskan. Seketika Jodi teringat dengan kata-katanya waktu
itu, yaitu ketika dia sedang berbicara dengan istrinya.
"Kau ini bagaimana, sih" Aku kan sudah bilang akan
pulang secepatnya. Kaupikir di Jakarta ini aku sedang
main-main, di sini aku sedang mengurusi perusahaan
ayahku, dan aku baru bisa kembali ke Tokyo besok
pagi. Dengar, Sayang...! Jika kau ingin tetap menjadi
istriku, kau harus bisa memahami hal itu." Dan kalimat
itulah yang terus terngiang di telinga Yana hingga
akhir hayatnya. 113 "Bagaimana, Jo?" tanya Yana lagi.
"Ba-ba-baiklah! A-a-aku akan me-me-menjauhi
putrimu," janji Jodi dengan suara yang masih saja
terbata-bata. "Pegang ucapanmu itu, Jo!" ucap Yana seraya
melesat pergi. Jodi tidak berkata apa-apa, dia cuma mengangguk penuh ketakutan, bahkan dari celananya
tampak mengalir air seni yang cukup banyak. Kini
pemuda itu berusaha bangkit, kemudian dengan kaki
yang terpincang-pincang pemuda itu bergegas ke
mobilnya. Saat itu Jodi benar-benar tidak habis pikir, kenapa
dia bisa mengarahkan mobilnya ke daerah dekat
pemakaman" Padahal pada mulanya, dia yakin sekali
kalau telah mengemudikan mobil pada jalan yang
benar. Sungguh saat itu Jodi telah dibuat bingung oleh
kejadian yang baru dialaminya.
Setelah mesin dihidupkan, Jodi segera memacu
mobilnya meninggalkan tempat tersebut. Sementara
itu di tempat lain, Branden masih saja termenung di
114 teras depan rumahnya. Wajahnya yang kusut terlihat
begitu murung, sedangkan kedua matanya tampak
berkaca-kaca. "Sebenarnya apa yang telah terjadi"
Kenapa Yana tega merusak kebahagiaan Rani" Apa
yang sebenarnya dia inginkan?" tanya Branden dalam
hati. Namun belum sempat lelaki itu berpikir lebih jauh,
tiba-tiba angin yang sangat kencang berhembus di
tempat itu. Suaranya terdengar menderu-deru.
Bersamaan dengan itu, daun-daun dan debu tampak
berterbangan. Lalu dari samping rumah terdengar
gemeretak dahan pohon yang patah, kemudian
disusul dengan derak suara pohon yang tumbang.
Saat itu Branden tampak heran dibuatnya. Belum
hilang rasa herannya, tiba-tiba dia melihat seorang
wanita yang sedang berdiri di muka rumah. Kini wanita
itu sedang berjalan menghapirinya. Pada saat yang
sama, Branden tampak berdiri dan maju selangkah,
kedua matanya tampak memperhatikan wanita itu
dengan seksama. Betapa terkejutnya dia ketika
115 mengetahui bahwa wanita itu adalah sosok istrinya
yang sudah meninggal hampir sebulan yang lalu.
Wanita itu terus melangkah mendekati Branden,
sedangkan Branden tampak sedikit gugup melihat
sosok istrinya sudah kian mendekat. Namun begitu,
dia mencoba untuk tetap tenang. Kini sosok wanita itu
sudah berdiri di hadapan Branden, sedangkan
Branden sudah siap untuk meluapkan amarahnya
yang sudah sejak tadi terpendam. Lantas, dengan
tajam dia menatap mata wanita itu seraya berkata
lantang, "Yana!!!" serunya kepada sosok mendiang
istrinya itu. "Kenapa kau mengganggu Jodi, Yan"
Kenapa?"" Apakah kau tidak senang melihat putri kita
bahagia bersamanya" Jawablah, Yana...! Jawab!!!"
"Kau tidak mengerti Braannn..." kata sosok
istrinya dengan suara yang terdengar parau.
Belum tuntas sosok wanita itu menjawab, tiba-tiba
"Ayah... Ayah....!" terdengar teriakan Rani memanggil. Seketika Branden menoleh ke arah pintu,
dilihatnya Rani tengah berlari menghampirinya. "Ayah!
116 Apakah Ayah mendengar suara-suara tadi?" tanyanya
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penuh ketakutan. Branden tidak menjawab, dia malah menoleh ke
tempat sosok Yana berdiri. Saat itu sosok Yana itu
sudah menghilang. Kini Branden menghampiri Rani
yang terlihat sangat ketakutan, kemudian memeluknya
erat. "Iya Sayang... Ayah juga mendengarnya. Tapi
kau tidak perlu takut, tadi itu cuma suara pohon
tumbang yang tertiup angin besar barusan," jelas
Branden seraya membelai rambut putrinya.
"Angin besar?" tanya Rani seraya melepaskan diri
dari pelukan ayahnya. "Iya, Sayang... barusan memang ada angin yang
begitu besar," jelas Branden lagi.
"Itu juga yang terjadi ketika Rani dan Jodi sedang
berada di ruang tamu, Yah. Jadi, bukan Ayah yang
melakukannya?" tanya Rani seraya menatap mata
ayahnya. Branden memegang bahu putrinya, kemudian
menatapnya dengan prihatin, "Bukan, Sayang... bukan
117 Ayah yang melakukannya. Itu semua ulah..." Branden
tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ulah siapa, Ayah?" tanya Rani penasaran.
"Sebaiknya kita masuk saja, Sayang...! Udara di
sini cukup dingin." Ajak Branden yang tidak mau
menjawab pertanyaan putrinya.
Akhirnya keduanya segera melangkah masuk dan
beristirahat di kamar masing-masing. Kini Rani
tampak sedang berbaring di tempat tidurnya, dia
masih saja memikirkan kejadian barusan. "Jangan-
jangan, Ayah sengaja menciptakan peristiwa barusan
cuma untuk menutupi perbuatannya. Seakan-akan,
peristiwa yang waktu itu aku dan Jodi alami bukanlah
perbuatannya?" Rani menduga-duga.
Kini Rani teringat ketika ayahnya pernah
mempelajari ilmu sihir guna mencari kekayaan. Waktu
itu usia Rani masih 12 tahun. Setelah ayahnya
bertobat dan meninggalkan semua kekayaan yang
didapat dari cara yang tidak halal, mereka pun pindah
ke sebuah rumah yang sederhana. Sejak saat itulah
Branden bercocok tanam sampai akhirnya dia
118 mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan.
Hingga akhirnya dia bisa kembali hidup mapan seperti
sekarang. "Hmm... apakah Ayah memang masih memiliki
ilmu itu" Jika benar demikian, kenapa beliau
menggunakannya untuk memisahkan hubungan
kami?" Rani terus bertanya-tanya, hingga akhirnya
dia terlelap karena kantuk yang tak tertahankan.
119 Enam ehari setelah kejadian itu. Teman Jodi yang
S bernama Yuli terlihat baru saja keluar dari
pintu Mal sambil menenteng banyak belanjaan. Dialah
gadis yang waktu itu menelepon Jodi ketika berada di
halaman parkir kantor Branden. Kini gadis itu sedang
melangkah ke mobil yang diparkir tak jauh dari pintu
masuk. Dalam waktu singkat dia sudah tiba di mobil
dan langsung membuka bagasinya. Ketika hendak
memasukkan barang belanjaannya, tiba-tiba sebuah
bungkusan yang dibawanya terjatuh. Menyadari itu,
Yuli pun segera berjongkok. "Apa itu?" tanya Yuli
dalam hati ketika melihat sebuah benda mengkilat
tampak tergeletak persis di sebelah bungkusan
miliknya. Yuli segera memungut benda itu, kemudian
memperhatikannya dengan seksama. Sebuah koin
emas yang sudah tidak mulus lagi tampak berkilau di
120 telapak tangannya, pada permukaannya melingkar
tulisan kuno dengan Huruf Palawa. "Hmm... sepertinya ini koin kuno. Tapi kenapa koin ini bisa ada
di sini" Apa mungkin seseorang telah menjatuhkannya?" tanya Yuli dalam hati seraya
memasukkan koin itu ke dalam saku celananya,
kemudian bergegas mengambil bungkusan yang
terjatuh tadi dan meletakkannya ke dalam bagasi.
Ketika hendak menutup pintu bagasi, tiba-tiba dia
melihat Jodi sedang memasuki pintu utama. Pemuda
itu tampak mengenakan T-Shirt hitam dengan jeans
warna putih. "Jodiii!!!" teriak Yuli seraya menutup
bagasi dan bergegas mengejar pemuda itu.
Kini Yuli sudah berada di dalam Mal dan sedang
mencari-cari Jodi, kedua matanya tampak menatap
hampir ke segala arah. "Aduuuh! Ke mana sih dia?"
tanya Yuli dalam hati. "Anda mencari siapa?" tiba-tiba terdengar seorang
bertanya dengan suara yang berat.
Yuli segera berpaling. Betapa terkejutnya dia
ketika menyadari kalau orang yang bertanya itu
121 adalah seorang satpam yang terlihat angker. Pada pipi
kirinya terlihat bekas luka yang cukup parah,
kumisnya pun tampak tebal dan hampir menutupi
sebagian bibir atasnya, sedangkan kedua matanya
tampak besar dan menatap dengan tajam.
"Ma-maaf, Pak! Sa-saya mencari teman saya,"
jawab Yuli tergagap. Satpam itu tersenyum, "Begini Nona, sebaiknya
Nona langsung ke bagian informasi. Di sana petugas
kami akan memanggilnya lewat pengeras suara,"
saran Pak Satpam itu ramah.
Yuli tidak menduga akan perkataan itu, sebuah
perkataan yang dianggapnya sangat kontras dengan
tampangnya yang angker. "Terima kasih, Pak!" ucap gadis itu seraya berlari
ke bagian informasi yang tidak begitu jauh.
Usai menyampaikan pesan, Yuli segera melangkah ke pintu utama dan menunggu Jodi di
tempat itu. Lama dia menunggu, namun pemuda itu
tak kunjung tiba. Kini gadis itu mulai sedikit resah,
dalam hati dia ingin sekali pergi, namun keinginannya
122 untuk berjumpa Jodi membuatnya tetap bersabar.
Kemudian sambil mendengar tembang cinta yang
mengalun merdu, gadis itu tetap setia menunggu dan
berharap Jodi akan segera muncul. Benar saja, dalam
waktu singkat Jodi sudah menampakkan batang
hidungnya. Melihat itu, Yuli pun tampak senang sekali.
Kemudian dengan segera dia berlari menghampiri
Jodi dan memeluknya erat.
"Jo, aku kangen sekali, sudah lama ya kita tidak
bertemu," kata Yuli dengan wajah berseri-seri seraya
melepaskan pelukannya. "Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... kau
mau belanja atau sudah belanja?" tanya Jodi.
"Sebenarnya aku sudah mau pulang. Tapi ketika
melihatmu memasuki pintu utama, aku pun berniat
menemuimu," jawab Yuli.
"Benarkah! Kalau begitu, lebih baik kita ngobrol di
cafetaria saja! Terus terang aku masih kangen
denganmu," ajak Jodi.
123 Tak lama kemudian, keduanya tampak menuju ke
sebuah kafetaria untuk berbincang-bincang di tempat
itu sambil menikmati es teler yang menyegarkan.
Di sebuah ruang perkantoran, seorang pria
tampak sibuk di depan meja kerjanya. Dialah Branden
yang kini sedang serius menyelesaikan tugas-
tugasnya. Tak lama kemudian, seorang rekan
wanitanya datang menghampiri. "Permisi, Pak! Ini ada
surat buat Bapak," katanya seraya menyerahkan
sepucuk surat kepada Branden.
"O, terima kasih, Bu!" ucap Branden seraya
mengambil surat itu dan mengamatinya.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak!" pamit
rekannya. "O, silakan!" ucap Branden.
Setelah rekannya pergi, Branden pun segera
membaca isi surat itu. 124 Rahasia perusahaan, keputusan direktur utama
No:xxx/22.B3/kep/Dir.utama/dokumen.
Kabar Gembira: Sesuai dengan kerja keras dan
kejujuran Bapak Banden selama ini, kami dari pihak
perusahaan telah memutuskan untuk memberikan
kenaikan gaji kepada saudara dan akan diperbarui
mulai bulan ini, terhitung sejak dikeluarkannya surat
keputusan ini. Keputusan ini adalah sah dan sangat
rahasia, tentunya demi kepuasan saudara sebagai
pegawai kami, terima kasih.
Branden sangat gembira mengetahui hal itu.
Ternyata kerja keras dan kejujurannya selama ini
telah membuahkan hasil sehingga perusahaan
memberikan penghargaan atas semua jerih- payahnya. Sejenak dia menoleh ke arah rekan-
rekannya yang masih tampak serius dengan
pekerjaannya masing-masing.
Setelah menyimpan surat tadi, Branden kembali
bekerja dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, Bu Siska datang menghampiri. Kini dia
125 sudah berdiri di depan meja kerja Branden sambil
bertolak pinggang. Branden yang saat itu sedang
serius membaca sebuah berkas sama-sekali tidak
menyadari kedatangannya. "Ahem...!" ucap wanita itu tiba-tiba.
Branden tersentak seraya mengangkat kepalanya,
betapa terkejutnya dia ketika melihat Bu Siska tampak
memandangnya dengan sorot mata yang berapi-api.
"A-ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Branden
tergagap. Bu Siska tidak menjawab, dia justru balik
bertanya. "Kenapa Bapak berani berbuat lancang?"
tanya wanita itu dengan nada marah.
"Ma-maaf, Bu! Saya tidak mengerti maksud Ibu,"
jawab Branden sopan. "Alaaah... Bapak kan yang melaporkan perihal
berkas itu kepada Ibu Direktur," tuduh Bu Siska
kecewa. "Apa!" seru Branden kaget. Kemudian dia berdiri
seraya menatap mata wanita itu, "Sumpah, Bu. Saya
126 sama sekali tidak melapor. Beliau sendiri yang
mengetahuinya," ucap Branden sungguh-sungguh.
"Lho, bukankah Bapak yang tadi memberitahukan
saya untuk menghadap Ibu direktur."
"Itu memang benar, Bu. Tapi... itu kan atas
permintaan beliau." "Sudahlah, anda tidak usah berkelit! Tidak
mungkin beliau tahu jika anda tidak melapor," tuduh
Bu Siska lagi. "Asal Bapak tahu saja, di ruangan
beliau saya dimarahi habis-habisan, dan beliau telah
memberikan peringatan keras kepada saya," jelas Bu
Siska geram. "Sungguh, Bu... Saya sama sekali tidak melaporkan hal itu."
"Lalu siapa... kan cuma anda yang saya tugasi,"
kata Bu Siska ketus. "Baiklah, sekarang akan saya jelaskan duduk
perkaranya. Kalau begitu silakan duduk dulu!" tawar
Branden ramah. "Tidak perlu! Sekarang juga saya akan melaporkan masalah ini kepada Pak Heru. Permisi!"
127 pamit Bu Siska seraya melangkah pergi dengan
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amarah yang meluap-luap. Saat itu Branden cuma terpaku memperhatikan
kepergiannya, kemudian dia segera duduk kembali.
Karena konsentrasinya terganggu, Branden merasa
kesulitan untuk melanjutkan pekerjaan. Kini dia cuma
bisa termenung sambil terus memikirkan kejadian
yang baru dialaminya. Sementara itu, Rekan-rekannya
yang berada di ruangan itu tampak saling berpandangan, mereka tampak prihatin melihat
Branden diperlakukan seperti itu. Kini mereka kembali
melanjutkan pekerjaannya masing-masing, tampaknya mereka tidak mau turut campur dengan
persoalan yang dihadapi pria itu.
Sejenak Branden memperhatikan rekan-rekannya,
dia benar-benar merasa malu atas peristiwa tadi.
Ketika Branden memandang ke sudut ruangan, tiba-
tiba dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang berdiri di
tempat itu. Dia melihat sosok wanita itu sedang
memandangnya sambil tersenyum tipis.
128 "Yanaaa!" seru Branden dengan suara yang agak
keras. Mendengar itu, rekan-rekannya spontan memperhatikan Branden, saat itu mereka benar-benar
heran dengan ucapan Branden yang memanggil nama
istrinya. Pada saat yang sama, sosok Yana sudah
berdiri di hadapan Branden dan sedang bercakap-
cakap dengannya. "Kau harus tetap bersabar,
Branden!" kata sosok istrinya itu.
"Yana... apakah kau..." belum sempat Branden
menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sosok istrinya itu
menghilang dari pandangan.
Branden terkejut seraya menatap ke penjuru
ruangan, kepalanya tampak menoleh kiri-kanan
mencari-cari sosok sang Istri. Sementara itu, rekan-
rekannya yang melihat tingkah-laku Branden saat itu
semakin heran, lalu salah seorang dari mereka segera
datang menghampiri. "Ada apa, Pak" Kalau boleh
saya tahu, sebenarnya Bapak sedang mencari apa?"
tanya rekan Branden prihatin.
129 "Eh, sa-saya sedang... eh, tidak. Tidak ada apa-
apa kok," jawab Branden tergagap.
Rekan kerja Branden tampak mengerutkan
kening, "Bapak yakin tidak ada apa-apa?" tanyanya
kemudian. "Benar kok, tidak ada apa-apa. Saya cuma sedikit
lelah," jawab Branden meyakinkan.
Sejenak rekan kerjanya itu memperhatikan
Branden, kemudian dengan segera dia kembali ke
meja kerjanya. Sementara itu di ruangan lain, sosok
wanita berpakaian putih tampak sedang memperhatikan Bu Siska yang saat ini sedang
menerima telepon. Kini sosok wanita itu tampak
menghampirinya, wajah yang pucat tampak begitu
marah. Pada saat yang sama, atasan Bu Siska yang
bernama Pak Heru sedang sibuk di meja kerjanya.
"Aduh!" teriak Bu Siska seraya menoleh ke arah
Pak Heru. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Bu
Siska seraya menatap Pak Heru yang masih bingung
karena teriakan sekretarisnya.
130 "Apa! Aku tidak melakukan apa-apa. Aku justru
mau bertanya, kenapa tiba-tiba saja kau berteriak?"
"Sudahlah, Pak. Mengaku saja! Lagi pula, saya
tidak mungkin marah sama Bapak. Saya tahu Bapak
lagi pusing, dan semua ini memang gara-gara
kesalahan saya," kata Bu Siska seraya menghampiri
Pak Heru dan duduk di depan meja kerjanya.
"Kau ini bicara apa, Sis" Aku benar-benar jadi
tambah bingung." "Ya sudah, kalau begitu kita lupakan saja! Eh,
Pak. Ngomong-ngomong, kenapa Pak Branden berani
memberitahukan hal ini ke pada Ibu Direktur ya?" kata
Bu Siska dengan nada kecewa.
"Entahlah, Sis.... Mungkin Branden memang telah
berkata jujur kalau Ibu Direktur tanpa sengaja telah
mengetahuinya," ujar Pak Heru.
"Ah, tidak mungkin, Pak! Setahu saya, Beliau
hampir tidak pernah ke tempat kerjanya. Aku rasa,
Branden memang sengaja mengadukan hal itu karena
ingin cari muka. O ya, Pak. Saya dengar dia baru
131 menerima kenaikan gaji, bukankah itu suatu bukti,"
tuduh Bu Siska dengan raut wajah yang begitu kesal.
"Kamu tahu dari siapa?" tanya Pak Heru.
"Ratna yang memberitahuku," jelas Bu Siska.
"O, Ratna sahabatmu yang di bagian keuangan
itu?" Bu Siska mengangguk, kemudian dia kembali
bicara. "Pak, saya benar-benar kecewa dengan
Branden. Karena ulahnya, saya sempat ditegur oleh
Ibu Direktur," keluhnya seraya bangkit dari tempat
duduk. "Pak, di sini kan kedudukan Bapak lebih tinggi,
sebaiknya Bapak segera bertindak!" sarannya dengan
semangat yang berapi-api.
"Lalu... apa yang harus saya lakukan?" tanya Pak
Heru seraya merapatkan kedua alisnya.
"Hmm... apa ya?" Bu Siska tampak berpikir keras,
kemudian dia mulai berjalan berputar-putar. "Nah...
saya punya ide yang bisa membuat Branden
menyesali perbuatannya," katanya lagi seraya duduk
di atas meja kerja atasannya dengan mata yang
berbinar-binar. 132 "Maksudmu?" tanya Pak Heru seraya menatap
sekretarisnya yang kini tampak tersenyum.
"Begini, Pak... Saya akan berusaha menggagalkan laporan periklanan satu semester yang
dipersiapkan Branden. Saya akan melakukannya
berturut-turut selama tiga semester. Dengan demikian
reputasinya akan menjadi buruk, dan kemungkinannya dia pasti akan dipecat. Untuk
mewujudkan rencana ini, Bapak harus berani
menggunakan wewenang Bapak diluar ketentuan
yang berlaku. Demi reputasi kita, Pak," jelas Bu Siska
seraya kembali duduk di kursi yang ada di depan meja
kerja atasannya. "Kau jangan gila, kalau ada yang tahu justru kita
yang bisa dipecat," kata Pak Heru khawatir.
"Jangan khawatir, Pak! Saya akan mengerjakannya dengan sebersih mungkin, dan saya
yakin, tidak seorang pun yang akan mengetahuinya,"
kata Bu Siska penuh keyakinan.
"Kalau begitu... baiklah. Kita akan atur rencana
itu. Tapi ingat, jangan sampai Pak Santoso
133 mengetahui hal ini! Jika beliau sampai mengetahuinya, tentu beliau tidak akan terima. Dan
yang pasti, beliau akan marah besar karena kita
sudah mengaduk-aduk pekerjaan anak buahnya,"
jelas Pak Heru. "Baik, Pak. Saya akan berhati-hati. Pak Santoso
pasti tidak akan menyadarinya," kata Bu Siska seraya
tersenyum puas. "Kapan kau akan menjalankan rencana itu?" tanya
Pak Heru. "Tentu saja setelah Bapak memberitahu saya
tentang hasil rapat para manajer nanti. Kalau tidak
salah, minggu depan kan?" tanya Bu Siska seraya
berdiri dari tempat duduknya.
"Ya, itu Betul. Kalau begitu, minggu depan saya
akan memberitahukan hasilnya. O ya, sekarang tolong
kau atur jadwal saya untuk besok!" pinta Pak Heru
seraya membuka sebuah map yang berada dihadapannya. "Baik, Pak," kata Bu Siska seraya berjalan ke
meja kerjanya. 134 Kini keduanya sudah kembali sibuk dengan tugas
masing-masing. Sementara itu, sosok Yana tampak
begitu marah, sorot matanya terlihat tajam memperhatikan kedua orang itu. Akhirnya sosok
waniti tu pergi dari ruangan setelah menjatuhkan
sebuah vas bunga yang ada di atas kabinet.
Di tempat terpisah, Yuli baru saja tiba di rumah.
Kini dia sedang memarkir mobilnya di depan garasi.
Tak lama kemudian, dia tampak keluar mobil dan
bergegas membuka pintu bagasi. "Mang!" teriaknya
memanggil si Pembantu yang baru saja menutup pintu
gerbang. Mendengar itu, si Pembantu pun buru-buru
menghampiri, "Iya Non... ada apa?" tanyanya sopan.
"Eh, malah pakai tanya-tanya! Cepat kaubawa
masuk semua barang-barang ini!" perintah Yuli
dengan mata melotot. 135 Melihat wajah tuannya yang tampak begitu galak,
si Pembantu segera melaksanakan perintah itu. Dia
tampak mengangkat semua barang-barang itu
sekaligus. Namun baru saja dia hendak melangkah,
tiba-tiba, "Sebentar, Mang! Ada lagi nih," tahan Yuli
seraya menambah tumpukan itu dengan sebuah
bungkusan berpita merah yang baru diambilnya dari
jok belakang. "Apa masih ada lagi, Non?" tanya si pembantu
menunggu. "Sudah, sudah semuanya. Sekarang cepat kau
bawa masuk!" "Baik, Non..." ucap si pembantu seraya melangkah pergi. Kini Yuli tampak mengambil majalah yang masih
tergeletak di jok depan mobilnya. Setelah itu, dia
segera melangkah masuk. Sementara itu di ruang
tengah, si pembantu terlihat baru saja meletakkan
barang-barang yang dibawanya di atas meja panjang.
"Aduuuh, pasti habis deh barang-barang di Mal,"
celoteh si pembantu sambil geleng-geleng kepala,
136 melihat belanjaan yang baginya tampak begitu
banyak. "Bawel! Ini cuma sedikit tahu," celetuk Yuli yang
tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya.
Si Pembantu tampak terkejut, "I-ini banyak Non..."
ucapnya tergagap. Kemudian dia tampak garuk-garuk
kepala, "Me-memangnya habis ngeborong di mana,
Non?" tanyanya kemudian.
"Aaah... sudahlah! Tidak usah tanya-tanya! Sana
ambilkan aku minum!" perintah Yuli seraya duduk di
sofa dan mulai membuka-buka majalahnya.
Sementara itu, si Pembantu langsung bergegas ke
dapur. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan
membawa segelas sirup berwarna merah. "Ini Non
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minumannya," ucapnya ramah.
"Terima kasih, Mang!" ucap Yuli seraya meneguk
minuman itu. Seketika dia merasakan sirup manis
yang begitu segar mulai membasahi kerongkongannya. "Hmm... nikmat sekali," katanya
dalam hati seraya meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas meja. "Mang, tolong bantu aku
137 membuka bungkusan-bungkusan ini!" pintanya kemudian. Kini mereka mulai membuka bungkusan- bungkusan itu satu per satu. Pada saat yang sama,
Yuli tampak mengamatinya dengan seksama. "Mang,
yang ini tolong dibawa ke kamar!" pintanya seraya
menyerahkan dua stel pakaian yang sedang
dipegangnya. Si Pembantu menurut, dia segera membawanya
ke kamar. Tak lama kemudian dia sudah kembali dan
siap menjalankan perintah selanjutnya.
"Nah... Mang. Sekarang bawa semua barang-
barang ini ke kamar!" pinta Yuli.
Kali ini si Pembantu tidak segera melaksanakan
perintah itu, dia tampak masih berdiri dengan wajah
mesam-mesem. Melihat itu, Yuli tampak begitu kesal.
"Eh, kok masih berdiri di situ?" tanyanya dengan alis
yang tampak merapat. "Maaf Non...! Kok dibawa ke kamar semua,
bagian saya mana, Non?" tanya si pembantu dengan
wajah yang masih saja mesam-mesem.
138 Yuli tidak menjawab, dia malah berdiri dengan
santainya, kemudian menatap si Pembantu dengan
mata melotot. "Eh... kalau tidak bisa diam, nanti akan
kujahit mulutmu. Sekarang cepat bawa barang-barang
itu ke kamar!" seru Yuli marah. "O ya, setelah itu
tolong siapkan air hangat di bak mandi! Jangan lupa
dengan aroma terapinya! " lanjutnya kemudian.
Tanpa menunggu lagi, si pembantu segera
membawa barang-barang itu, sedangkan Yuli tampak
sudah duduk kembali dan mulai membaca majalahnya. "Maaf, Mang! Selama ini aku selalu
berkata kasar padamu, habis kau selalu membuatku
kesal sih," ucap Yuli dalam hati.
Seketika gadis itu teringat dengan koin emas yang
ditemukannya, lalu dengan serta-merta gadis itu
mengamatinya dengan penuh seksama. "Hmm... apa
ya arti tulisan ini" Kalau dilihat dari hurufnya,
sepertinya menggunakan huruf palawa" Dan sepertinya berasal dari jaman Kerajaan. Tapi,
Kerajaan apa ya?" 139 Yuli terus memperhatikan koin itu, "Hmm... apa
sebaiknya hal ini kutanyakan pada kakekku"
Bukankah dia paham betul dengan hal-hal yang
seperti ini. Baiklah, Besok pagi aku akan berangkat
menemuinya." Setelah berkata begitu, Yuli segera
menyimpan koinnya, kemudian bergegas ke kamar
mandi dan berendam menikmati aroma terapi.
Malam harinya, sekitar pukul sembilan, di dalam
sebuah kamar yang bersih dan tertata rapi. Seorang
wanita baru saja mengenakan pakaian tidurnya.
Dialah sekretaris Pak Heru yang bernama Bu Siska.
Kini dia tampak memandang ke arah lukisan yang
tergantung di dinding, sepertinya dia benar-benar
mengagumi keindahannya yang begitu menyejukkan
mata. Lukisan dengan objek wanita cantik itu memang
belum lama dia beli, dan dia sangat bangga
memilikinya. Wanita di lukisan itu mengenakan gaun
hijau dan memakai perhiasan yang begitu cantik, dia
140 sedang tersenyum sambil memegang setangkai
mawar merah. Setelah puas menikmati lukisan itu, Bu Siska
langsung duduk di depan meja rias yang dipenuhi
dengan peralatan make up dan produk perawatan
kulit. Kini dia mulai berkaca sambil mengenakan
cream malam yang berguna untuk menjaga kelembapan kulit, setelah itu merebahkan diri di
tempat tidur untuk melepaskan segala rasa letihnya.
Tempat tidurnya sangat indah, modelnya berbentuk
klasik dengan sentuhan warna emas yang menawan.
Baru saja Bu Siska memejamkan mata, tiba-tiba
terdengar alunan nada indah yang dimainkan begitu
apik, iramanya pun terdengar sangat menyayat hati.
Rupanya suara merdu denting piano itu terdengar dari
ruang tengah rumahnya. "Hmm... siapa yang bermain
piano seindah ini, apakah Bapak yang memainkannya?" tanya Bu Siska dalam hati.
Kemudian wanita itu duduk di tepi tempat tidurnya.
"Hmm... bukankah Bapak akan kembali besok.
Tapi, kenapa sekarang sudah kembali?" Bu Siska
141 kembali bertanya. Kemudian wanita itu segera berdiri
dan melangkah ke pintu kamar.
Ketika baru membuka pintu, mendadak alunan
nada yang terdengar merdu itu berhenti. Betapa
terkejutnya Bu Siska ketika melihat di depan piano
tidak ada siapa-siapa. "Pak! ...Pak!" Panggilnya
dengan suara yang agak keras. Bu Siska tampak
mencari suaminya sampai ke semua ruangan, namun
dia tidak menjumpainya. Kini wanita itu duduk di sofa ruang tengah dengan
wajah yang sedikit bingung. "Aku heran, siapa
sebenarnya yang memainkan piano tadi?" tanya Bu
Siska dalam hati. Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba lampu di
ruangan itu tampak bergoyang-goyang. Bu Siska pun
segera memalingkan pandangannya ke arah bola
lampu yang kini semakin keras bergoyang. Bu Siska
tampak terpaku - wajahnya yang cantik tampak begitu
tegang. "A-ada apa ini. Kenapa dengan lampu itu?"
tanyanya penuh keheranan.
142 Tiba-tiba suara piano kembali berbunyi, kemudian
diikuti dengan bergeraknya benda-benda yang ada di
ruangan itu. Tak ayal, Bu Siska ketakutan bukan
kepalang, kemudian berteriak histeris sambil menutup
kedua telinganya. Tak lama kemudian, suasana
menjadi tenang kembali. Pada saat yang sama, Bu
Siska segera berlari memasuki kamar dan mengunci
pintunya rapat-rapat. Kini Bu Siska tampak bersandar di daun pintu
sambil menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan dengan sangat cepat. Baru saja
ketegangannya mereda, tiba-tiba lukisan wanita cantik
yang tergantung di kamarnya tampak bergerak-gerak.
Seketika Bu Siska terkejut seraya memandang ke
arah lukisan itu, kemudian lukisan itu mendadak
kembali terdiam. Lantas dengan penuh rasa
penasaran, Bu Siska melangkah mendekati lukisan
itu. Dengan perasaan was-was, Bu Siska terus
melangkah. Dan ketika dia sudah bengitu mendekat,
tiba-tiba lukisan itu berbicara kepadanya. "Siskaaa,
143 kenapa kau tegaaa?" tanya wanita di lukisan itu
dengan suara yang terdengar begitu parau.
Lagi-lagi Bu Siska terkejut bukan kepalang,
seketika itu juga bulu kuduknya langsung berdiri.
Kantas dengan serta-merta dia berlari ke pintu dan
langsung memutar anak kuncinya. Namun ketika
hendel pintu ditarik, ternyata pintu itu tak bisa dibuka.
Mengetahui itu, Bu Siska langsung panik, dia pun
berusaha menariknya dengan sekuat tenaga. Tapi
sayangnya perbuatan itu sia-sia belaka, pintu tersebut
tetap tidak bisa dibuka. Kini Bu Siska kembali bersandar di daun pintu,
matanya kembali memandang ke arah lukisan. Pada
saat itu, tiba-tiba saja wanita yang ada di lukisan tadi
kembali bicara, "Siskaaa... kenapa kau begitu jahat?"
tanyanya dengan suara yang lebih keras, dan tiba-tiba
semua benda yang ada di ruangan itu tampak mulai
bergerak-gerak. Tak ayal, saat itu wajah Bu Siska tampak semakin
pucat, bibirnya bergetar dan jantung kian berdegup
144 kencang. "Si-si-siapa kau?" tanya Bu Siska dengan
terbata-bata. "Aku Yanaaa Sisss, aku Yana - istri Brandeeen."
"Ja-ja-jadi ka-ka-kau, Yana?" Bu Siska tampak
semakin ketakutan, dia benar-benar tidak menyangka
kalau yang sedang berbicara kepadanya adalah
Yana - mendiang istri pria yang ingin ia celakai. Saat
itu juga tubuh Bu Siska langsung lemas, dia terduduk
di lantai dengan tubuh masih bersandar di daun pintu.
"Siska, ketahuilah! Aku datang cuma untuk
memperingatkanmu. Jika kau masih meneruskan niat
jahatmu itu, aku tidak segan-segan untuk membunuhmu," ancam Yana tidak main-main.
Bu Siska tidak berkata-kata, dia tampak diam
seribu bahasa. Tak lama kemudian, lukisan itu
kembali seperti wujudnya semula. Suasana di kamar
itu pun akhirnya mulai tenang kembali. Pada saat itu,
Bu Siska tampak belum juga bangkit dari duduknya,
dia masih tak kuasa untuk berdiri, semua persendiannya terasa lemas dan tak bertenaga.
145 Sementara itu di tempat lain, Pak Heru tampak
sedang sendirian di rumahnya. Dia sedang beristirahat
di ruang tengah sambil menyaksikan pertandingan
sepak bola. Sejenak lelaku itu melirik ke arah jam
dinding, dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul
11.00 WIB. Tak lama kemudian, dia sudah kembali
menyaksikan pertandingan yang tampaknya begitu
seru. Ketika sedang seru-serunya menyaksikan pertandingan antara Intermilan melawan Manchester
United, tiba-tiba lampu di ruangan itu tampak
berkedip-kedip, seperti mau putus. Pak Heru agak
merasa terganggu dengan kejadian itu, matanya
tampak memperhatikan bola lampu yang kini masih
saja berkedip-kedip. Tak lama kemudian, lampu itu
menyala seperti sediakala. Kini mata Pak Heru
kembali tertuju ke layar televisi.
"Goaaal, goaaal..." teriaknya, menyoraki sang
bintang favorit yang mempecundangi pertahanan
lawan dengan tendangan yang begitu indah.
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
146 Di layar kaca, sang Bintang favorit tampak berlari
ke tepi lapangan dan bergaya atas keberhasilannya
itu. Sorak-sorai penonton tampak riuh menyambutnya
dengan suka-cita. Saat itu Pak Heru begitu gembira
akan keberhasilan tim favoritnya yang sudah
menduduki score 2-1. Tayangan gerak lambat pun
segera diputar - disaat sang bintang beraksi ketika
menjebol pertahanan lawan. Namun ketika sedang
menyaksikan detik-detik indahnya sang Bintang
beraksi, tiba-tiba televisinya padam dengan sendirinya. Pak Heru merasa kesal sekali, dia
menduga yang baru saja terjadi dikarenakan sleep
mode yang dalam keadaan aktif. Lalu dengan segera
dia mengambil remote untuk menyalakannya kembali.
Namun ketika tombol power ditekan, ternyata
televisinya masih tidak mau menyala. Pak Heru
semakin kesal, dia tampak menekan tombol itu
berkali-kali. Namun sayangnya usaha itu sia-sia
belaka, televisinya tak kunjung bisa menyala.
Kini Pak Heru melangkah mendekati televisi dan
menekan tombol power-nya, namun televisi itu masih
147 juga tak mau menyala. "Sial... kenapa dengan
televisiku?" gerutunya kesal seraya kembali ke tempat
duduk. Begitu dia hendak duduk, tiba-tiba lampu di
ruangan itu kembali berkedip-kedip. Seketika Pak
Heru berpaling, memperhatikan bola lampu yang
masih berkedip-kedip. "Hmm... Ada apa ya" Apakah
bola lampu itu memang sudah mau putus?" tanya
lelaki itu dalam hati seraya melangkah untuk
melihatnya dari dekat. Ketika sedang mengamatinya, mendadak bola
lampu itu menyala terang dan semakin terang.
Sampai akhirnya bola lampu itu meledak dengan
diiringi suara yang cukup keras, sebagian pecahannya
tampak mengenai wajah Pak Heru.
Saat itu Pak Heru sangat terkejut, dan tiba-tiba
saja dia merasakan perih di wajahnya. Lantas dengan
segera dirabanya bagian wajah yang terasa perih itu,
"Oh tidak, wajahku..." ucap Pak Heru yang melihat
darah tampak menempel di telapak tangannya.
148 Mengetahui itu, Pak Heru buru-buru ke kamar
mandi. Kini dia sedang bercermin, mengamati luka-
lukanya yang tampak tidak begitu parah. Beberapa
goresan kecil tampak menghiasi wajahnya yang putih
bersih. Ketika sedang serius mengamati luka-lukanya,
tiba-tiba saja sesosok wajah mengerikan tampak
muncul di cermin tersebut. Wajah itu tampak begitu
pucat, kedua matanya tampak melotot disertai gigi
runcing yang menyeringai kepadanya. Tak ayal,
seketika itu juga Pak Heru langsung mundur ke
belakang, jantungnya berdebar kencang, bersamaan
dengan bulu kuduknya yang berdiri seketika. Tiba-tiba
wajah menyeramkan itu kembali menghilang. Kini Pak
Heru hanya melihat dirinya sendiri yang tampak begitu
tegang. "A-apakah yang kulihat tadi itu hantu" Atau itu
cuma hayalanku saja?" tanya Pak Heru sambil terus
memandang ke cermin dan sesekali mengucek-
ngucek kedua matanya. "Hmm... mungkin itu memang cuma hayalanku
saja. Semua ini akibat aku terlalu banyak nonton film
149 horror," duga Pak Heru seraya kembali maju ke depan
cermin dan mulai membasuh wajahnya di wastafel.
Bersamaan dengan itu, air yang sejuk terasa
meredakan ketegangannya. Pak Heru terus membasuh wajahnya, hingga
akhirnya, "Da-da-darah..." ucapnya penuh ketakutan.
Saat itu air yang digunakannya tiba-tiba telah berubah
menjadi darah yang begitu kental.
Tak ayal, jantung Pak Heru kembali berdegup
kencang, nafasnya pun tampak tersengal-sengal.
"Tidak, ini bukan hayalan, ini benar-benar nyata," kata
lelaki itu seraya berlari ke arah pintu dan
membukanya lebar-lebar. Ketika daun pintu itu terbuka lebar, dilihatnya
sesosok wanita yang tadi ada di cermin kini tengah
menghadang jalannya. Saat itu Pak Heru tampak
terpaku, matanya terbelalak dengan mulut yang
menganga lebar. Sungguh dia tidak mengerti dengan
apa yang ada dihadapannya.
Kini sosok wanita itu tampak memandangnya
dengan penuh amarah, giginya yang runcing tampak
150 menyeringai seram. Tak ayal, saat itu tubuh Pak Heru
langsung gemetar menyaksikan sosok menyeramkan
yang kini mulai menghampirinya.
"Pak Heruuu!" seru sosok menyeramkan itu
dengan suara yang begitu parau.
"Ti-ti-tidaaak!!! Pergi kau!" teriak Pak Heru seraya
melangkah mundur. Sosok menyeramkan itu terus melangkah mendekati Pak Heru, sedangkan kedua tangannya
tampak dijulurkan ke depan. Saat itu Pak Heru terus
mundur hingga ke dalam kamar mandi, namun sosok
wanita menyeramkan itu terus mengikutinya. Hingga
akhirnya, Pak Heru sudah tidak bisa kemana-mana,
langkahnya sudah terhalang oleh tembok kamar
mandi. "Ke-ke-kenapa kauganggu aku" Si-si-siapa kau
sebenarnya?" tanya Pak Heru dengan suara yang
terbata-bata. "Aku Yana... istri Branden yang sudah meninggal
dunia. Aku kemari untuk memperingatimu agar
151 menghentikan niat jahatmu itu," jelas Yana dengan
suara serak yang datar. Seketika Pak Heru merasakan hawa dingin di
sekujur tubuhnya, lalu dari celananya tampak mengalir
air seni yang membasahi lantai. "Ba-ba-baik, a-a-aku
tidak akan melaksanakan niat ja-ja-jahatku ke-ke-
kepada Branden," janjinya dengan ucapan yang kian
terbata-bata dan dengan wajah yang tampak begitu
pucat. Setelah Pak Heru berjanji, sosok wanita itu
mendadak lenyap dari pandangan. Pada saat itu, Pak
Heru tampak masih terduduk di lantai, tubuhnya
terasa lemas dengan nafas yang tak beraturan.
"Kenapa jadi begini!!!" teriaknya penuh penyesalan.
152 Tujuh sok harinya, Rani yang baru pulang sekolah
E tampak memasuki pekarangan rumahnya
dengan agak tergesa-gesa. Maklumlah, cuaca
memang terasa cukup panas, sinar matahari yang
tidak bersahabat terasa begitu menyengat kulit. Hal
itulah yang membuat gadis itu ingin cepat tiba di
rumah, berada di bawah naungan atapnya yang teduh.
Kini gadis itu sudah berada di ruang tamu, kakinya
yang semampai tampak diselonjorkan di atas meja,
santai sekali. Rani terus melepas lelah sambil
menikmati es kelapa muda yang dibelinya di warung
Bu Ijah. Setelah rasa lelahnya hilang, Rani pun segera
ke ruang makan untuk menikmati makan siang yang
dibelinya dari rumah makan langganannya.
Selesai makan, Rani tampak kembali ke ruang
tamu. Kini dia sedang duduk di tempat itu sambil
membaca sebuah majalah. Beberapa menit 153 kemudian, dia tampak melangkah ke kamar ayahnya.
Ketika sedang membersihkan dan merapikan ruangan
itu, tiba-tiba saja matanya tertuju pada sepucuk surat
berwarna biru yang tergeletak di atas meja kecil. Lalu
dengan serta-merta diambilnya surat itu dan diamati
dengan penuh seksama. Surat itu sama sekali tidak
mencantumkan identitas pengirim. Selain itu, surat
tersebut juga tidak menggunakan prangko.
"Aneh!" kata Rani dalam hati seraya mengeluarkan isi surat itu. Tak lama kemudian, dia
sudah duduk di tepi tempat tidur sambil mulai
membacanya. "Jangan takut... aku bukan mau
mengganggumu. Aku cuma mau memberitahumu
perihal Jodi. Begini Sayang... sebenarnya pemuda
yang kau bangga-bangga itu tak lebih hanya pemuda
busuk yang seharusnya mati di tanganku. Tapi aku
tidak melakukan itu, aku cuma memberinya pelajaran
dan memperingatinya agar tidak mendekati Rani lagi.
Seandainya dia berani coba-coba untuk melanggar,
aku tidak segan-segan untuk membunuhnya. Mulai
154 sekarang, awasi putrimu itu dan jangan biarkan dia
menemui Jodi." Begitulah isi surat yang dibaca Rani. Dan hal itu
membuatnya merinding ketakutan. Dengan perasaan
yang masih diselimuti rasa takut, Rani segera
memasukkan surat itu ke amplopnya lagi, kemudian
meletakkannya kembali di atas meja.
Sejenak Rani menatap surat itu, lalu dengan
segera beranjak ke teras depan. Kini dia merasa takut
jika harus berada di dalam rumah. Hal itu dikarenakan
surat yang baru dibacanya, ditambah lagi dengan
bayang-bayang kejadian dua hari yang lalu -
serentetan peristiwa yang selalu membuat Rani
merinding bila mengingatnya.
Kini gadis itu sudah duduk di kursi teras sambil
memikirkan isi surat yang baru dibacanya, kemudian
mencoba menghubungkannya dengan peristiwa malam itu. "Hmm... apakah kejadian malam itu ulah
orang yang mengirim surat pada Ayah" Sebenarnya
siapa dia, kenapa dia menyuruh ayahku untuk
menjauhkanku dari Jodi" Apakah dia wanita yang
155 waktu itu menemui Ayah" Hmm... mungkinkah Ayah
mempunyai hubungan khusus dengannya" Kalau
begitu, benar juga yang dikatakan Jodi waktu itu. Tapi
kenapa...?" Rani terus bertanya-tanya dalam hati.
Kini Rani teringat ketika Jodi mengatakan perihal
sesuatu yang tidak beres di rumahnya, dan semua itu
karena ulah tukang sihir yang tidak mau menghendaki
hubungan mereka. Rani tampak semakin bingung, dia
terus berpikir di dalam rasa takut yang kian
menyelimuti. Sesekali dia menatap ke sekelilingnya,
bahkan dia sudah siap lari jika terjadi sesuatu di
rumah itu. Rani masih memikirkan semua peristiwa yang
membingungkan itu, hingga akhirnya dia mendengar
langkah kaki di dalam rumahnya. Lantas dengan
serta-merta dia memusatkan pendengarannya, namun
suara itu tak terdengar lagi. Karena penasaran, Rani
segera mengitip ke dalam rumah melalui kaca depan
yang gordennya sedikit terbuka, kedua matanya
tampak dibuka lebar-lebar - mencari siapa yang ada
di dalam. 156 "Hmm... sepertinya, tadi memang ada orang,"
gumam Rani seraya terus memperhatikan ke dalam
rumah. Mendadak dia melihat sekelebat bayangan putih
yang melayang cepat memasuki kamar ayahnya.
Mengetahui itu, seketika bulu kuduk Rani berdiri,
kemudian dengan serta-merta dia berlari ke jalan raya
tanpa berani menengok ke belakang sedikitpun.
Kini gadis itu sudah berada di tepi jalan dengan
wajah yang sangat ketakutan, saat itu dia sudah tidak
berani kembali ke rumah. Pada saat yang sama,
sebuah angkot tampak melintas di jalan tersebut.
Melihat itu, wajah Rani tampak berseri-seri, dia
menduga ayahnya pasti berada di angkot tersebut.
Namun dugaannya itu ternyata meleset, angkot itu
terus berlalu dan akhirnya menghilang di kejauhan.
"Kenapa Ayah belum pulang?" tanya Rani sambil
memberanikan diri memandang ke arah rumahnya
yang tampak begitu sepi. Saat itulah, tiba-tiba dia
merasakan sebuah sentuhan pada pundaknya. Tak
ayal, Rani langsung terpekik sambil membalikkan
157
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
badannya. "Aduh, Ayah...! Ayah membuatku kaget
saja," ucap Rani sambil menepuk-nepuk dadanya
perlahan. "Sedang apa kau di sini, Nak?" tanya sang Ayah.
Rani tidak menjawab, dia tampak tersenyum lebar
karena ayahnya sudah pulang. "Ayah pulang jalan
kaki ya?" tanyanya kemudian.
"Tidak. Ayah pulang naik angkot."
"Angkot yang barusan lewat itu?"
"Iya... memangnya kenapa?"
"Kok Rani tidak melihat Ayah."
"O... itu karena Ayah memang tidak turun di sini.
Tadi Ayah sengaja turun di depan warung Bu Ijah
untuk membeli rokok."
"O, begitu..." ucap Rani mengangguk-angguk.
Pada saat itu Branden tampak menggandeng
lengan Rani, "Ayo, Nak. Kita masuk!" ajaknya
kemudian. Saat itu Rani tampak enggan, dia menatap
ayahnya dengan penuh rasa cemas, kemudian
158 pandangannya beralih ke arah rumah yang tampak
begitu sepi. Mengetahui tingkah putrinya yang demikian,
Branden tampak heran, kemudian dia menduga pasti
yang tidak beres di rumah itu - sesuatu yang
membuat Rani takut. Sejenak Branden menatap ke
arah rumahnya, melihat apa yang sedang diperhatikan
putrinya. "Hmm... tidak ada yang mencurigakan.
Sebenarnya apa yang membuatnya takut?" tanya
Branden dalam hati. Kini Branden tampak memperhatikan putrinya
yang sedang menatap ke ujung jalan. "Ayo Rani.
Kenapa kau masih berdiri di situ" Bukankah
sebaiknya kita masuk ke dalam!" ajaknya sekali lagi.
Rani menggeleng. "Biar Rani di sini saja Ayah,"
ucapnya pelan. "Kau ini bagaimana sih" Lihatlah! Hari sudah
semakin gelap. Apa kau mau terus berdiri di tempat
ini?" tanya Branden.
Lagi-lagi Rani menggeleng.
159 "Nah, kalau begitu ayo kita masuk!" ajak Branden
lagi. Rani tampak menatap ayahnya. "Baiklah, Ayah.
Tapi, biarkan Rani berjalan di belakang Ayah!"
pintanya berharap. Branden setuju. Dia segera melangkah ke teras
dengan hati-hati, sementara itu Rani tampak
mengekor di belakangnya. Kini lelaki itu sedang membuka pintu rumah
dengan sangat perlahan, kemudian melongok ke
dalam dengan was-was. "Hmm... tidak ada apa-apa,"
kata Branden dalam hati seraya mulai melangkah
masuk. Sementara itu, Rani yang masih mengekor di
belakangnya tampak mengamati ruangan itu dengan
penuh rasa cemas. "Ayah...!" serunya tiba-tiba.
Branden agak terkejut mendengar suara Rani.
"Ada apa, Sayang...?" tanya lelaki itu seraya menoleh
ke belakang - memandang wajah putrinya yang
terlihat begitu cemas. "Sebenarnya ada apa denganmu, Nak" Tidak biasanya kau seperti ini. "
160 "Rani takut, Ayah. Rani takut."
"Takut...?" Branden tampak mengerutkan keningnya, kemudian duduk bersantai di sofa. "Ya
sudah, kalau begitu kenapa kau masih berdiri di situ"
Mari sini, duduk dekat Ayah!" sambungnya kemudian.
Rani menurut, dia segera melangkah dan duduk di
sisi ayahnya. "Ayah, surat itu dari siapa?" tanya Rani
tiba-tiba. "Su-surat... surat yang mana?" tanya Branden
tidak mengerti. "Itu, Yah... Surat yang tergeletak di meja kecil di
kamar Ayah," jelas Rani.
"Ja-jadi kau sudah membacanya"'
Rani mengangguk. "Ayo, Yah. Lekas katakan!"
desaknya kemudian. Branden memandang putrinya, raut wajahnya
seperti sedang berpikir. "Tidak! Aku tidak boleh
mengatakannya, dia belum siap untuk mengetahui
semua hal yang telah terjadi di rumah ini," kata
Branden dalam hati. 161 "Siapa yang mengirim surat itu, Ayah...?" tanya
Rani sekali lagi. "Begini Sayang... sebaiknya kau lupakan saja
perihal surat itu. Ayah sendiri juga tidak tahu siapa
pengirimnya. Semula Ayah juga bingung ketika
membacanya, apa lagi sampai membawa-bawa nama
Jodi segala. Tapi sekarang, Ayah sudah tidak
memikirkannya lagi. Ayah menganggap semua itu
merupakan pekerjaan orang iseng yang mau merusak
ketenteraman keluarga kita," jawab Branden. "O ya,
apa kau sudah makan?" tanya lelaki itu kemudian,
mencoba mengalihkan pembicaraan.
Rani tidak menjawab, dia tampak menunduk
sambil meremas jemari di pangkuannya.
"O ya, bagaimana tentang Jodi. Apa kau sudah
bertemu dengannya?" tanya Branden lagi.
Rani tetap membisu, dia tidak mau menjawab
pertanyaan ayahnya selama sang Ayah belum
menjawab pertanyaannya dengan jujur. Saat itu dia
menduga ayahnya telah berbohong, sehingga dia
162 tidak mau menerima penjelasan yang baginya
terkesan menutup-nutupi. Kini Rani kembali melemparkan kalimat-kalimat
yang disangkanya bisa membuat sang Ayah
menyerah dan akhirnya mau menjelaskan semua
kejadian aneh yang selama ini dialaminya. Tapi Rani
salah duga, ternyata sang Ayah selalu memberikan
jawaban yang sama. Karena tak juga mendapatkan
jawaban yang memuskan, akhirnya Rani menyerah,
dia tampak melangkah ke teras depan dengan
perasaan kecewa. Pada saat yang sama, Branden
tampak beranjak bangun dan mengikutinya.
Kini keduanya sudah duduk di kursi teras dan
saling membisu. Setelah cukup lama membisu,
akhirnya Rani mulai bersuara, dia segera menceritakan kejadian yang membuatnya bersikeras
ingin mengetahui penjelasan dari ayahnya.
"Ayah... Tadi, ketika Rani sedang membersihkan
kamar Ayah, Rani melihat surat itu dan membaca
isinya. Isi surat itu telah membuat Rani begitu
merinding. Orang yang menulis surat itu mengancam
163 akan membunuh Jodi jika dia berhubungan dengan
Rani, dan ketika Rani sedang duduk memikirkan
masalah itu di sini, tiba-tiba Rani mendengar langkah
kaki di dalam rumah. Ketika Rani mengintip ke dalam,
Rani sempat melihat ada sekelebat bayangan yang
melesat memasuki kamar Ayah. Kontan saja Rani
ketakutan dan melarikan diri ke jalan raya," cerita Rani
dengan sedikit takut karena mengingat kejadian yang
dialaminya. Setelah mendengar cerita itu, Branden langsung
merenung. Di hatinya ada perasaan kecewa yang
sangat mendalam, kekecewaan terhadap sosok
istrinya yang selalu datang menghantui mereka.
Hingga saat ini Branden masih belum mengerti,
kenapa mendiang istrinya itu selalu datang mengganggu Rani, kenapa belakangan ini dia selalu
membebani pikiran putrinya dengan membuat keganjilan-keganjilan di rumah itu. Walaupun sebenarnya Branden masih kurang yakin kalau itu
adalah arwah istrinya, sebab baru-baru ini dia
mengetahui tentang adanya jin pendamping yang
164 biasanya suka menyerupai orang yang sudah
meninggal. Karenanyalah Branden masih saja
bingung dengan semua perkara itu sehingga dia tidak
berani memastikan apakah itu memang arwah Yana
atau cuma Jin pendampingnya.
Kini Branden menatap putrinya dengan penuh
perhatian, kemudian menggenggam tangannya lembut. "O ya, Sayang. Tadi Ayah dapat surat dari
Jodi," ucapnya seraya mengambil surat yang di
maksud dan memberikannya kepada Rani.
"Terima kasih, Ayah!" ucap Rani senang karena
menerima surat dari kekasihnya. "O ya, Ayah. Apakah
Ayah berjumpa dengan dia?" tanya Rani bersemangat. "Tidak, surat itu dititipkan lewat teman kerja Ayah."
Rani tampak mengangguk-angguk. "O ya, Ayah.
Sekarang Rani mau ke kamar untuk membaca surat
ini," katanya kemudian.
"Iya, Sayang..." ucap Branden seraya memperhatikan kepergian putrinya.
165 Kini Rani sudah berada di dalam kamarnya. Dia
sedang duduk di tepi tempat tidur sambil membuka
surat dari Jodi. Saat itu dia merasa begitu senang,
bahkan wajahnya yang semula murung kini tampak
berseri-seri, sepertinya dia sudah lupa dengan segala
kejadian yang telah membuatnya takut. Namun ketika
dia membaca isi surat itu, mendadak raut wajahnya
berubah sedih. Kemudian di susul dengan air mata
yang berderai melewati pipinya yang mulus.
"Jo kenapa kau tega memutuskanku. Apa benar
semua itu karena orang tuaku yang tidak merestui
hubungan kita?" Rani terus menangis dan menangis. Sungguh dia
sangat kecewa dengan keputusan itu dan tidak bisa
menerimanya begitu saja. Setelah meletakkan surat
yang baru dibacanya, Rani segera beranjak bangun.
Kemudian melangkah ke sebuah meja kecil dan
mengambil foto Jodi yang terpajang di meja itu.
Sesaat dia pandangi foto itu dengan air mata yang
terus berderai. 166 Kini gadis itu sudah kembali ke tempat tidur,
tubuhnya tampak tertelungkup dengan kedua tangan
yang memegang bingkai foto. Matanya yang basah
terus memandangi foto Jodi yang sedang tersenyum,
"Jodi...maafkan ayahku! Aku sama sekali tidak
mengerti mengapa Ayah tidak merestui hubungan
kita" Padahal, semula beliau sangat merestuinya.
Belakangan ini sikap beliau memang agak aneh,
sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Jo... terus terang aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku
benar-benar menyesal karena kita harus berpisah
dengan cara seperti ini, dan yang aku sangat
sesalkan, semua ini adalah lantaran ulah ayahku.
Beliau pasti melakukannya atas permintaan orang
misterius yang hingga kini masih membuatku
bingung." Rani terus membatin dengan segala duka-laranya,
air matanya selalu berderai jikalau mengingat kembali
masa-masa indah bersama Jodi, sepertinya dia tidak
sanggup untuk berpisah dengan pria yang begitu
dicintainya. 167
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rani membaca surat Jodi sekali lagi, kemudian
kembali memandangi foto kekasihnya dengan tangis
yang tak kunjung henti. Hingga akhirnya Rani tertidur
sambil memegang foto Jodi di dadanya.
Esok harinya, Rani seperti enggan ke sekolah.
Harapan akan masa depannya yang gemilang telah
sirna seketika. Semenjak menerima surat itu, Rani
memang tidak mempunyai gairah untuk hidup.
Bahkan di benaknya terbayang sudah kehidupannya
yang terasa begitu hampa, sehingga dia pun merasa
tidak mungkin sanggup untuk melaluinya. Namun,
bisikan nuraninya terus meminta untuk melupakan
semua itu, memintanya untuk tetap menjalani
kehidupan seperti apa adanya. Hingga akhirnya, Rani
mau mendengarkan kata hatinya itu. Walau terasa
berat, dia mau juga berangkat ke sekolah.
Di sekolah, Rani masih saja terlihat murung.
Semua pelajaran sama sekali tak bisa diserapnya,
168 semua telah terkubur oleh kuatnya kekecewaan yang
mendalam. Setelah pulang sekolah, gadis itu tidak
langsung pulang ke rumah. Dengan berjalan kaki, dia
terus melangkah tanpa tujuan. Di benaknya terus
terbayang akan kemalangan yang telah menimpanya.
Setelah jauh melangkah, akhirnya Rani sampai di
sebuah rel kereta api dua jalur. Tiba-tiba Rani
menghentikan langkahnya, di kejauhan terlihat sebuah
KRL (kereta rel listrik) yang akan melintas.
Rani tampak terpaku ketika Ular besi itu melintas
di hadapannya, hembusan anginnya terasa keras
menerpa. Ular besi itu memang tampak perkasa,
kokoh dan begitu kuat. Berdiri di sampingnya saja
sudah sangat menggetarkan jiwa, apa lagi jika berada
dihadapannya. Begitulah yang ada di benak Rani akan
keperkasaan si Ular besi, dan mendadak dia tersadar,
dilihatnya KRL sudah pergi menjauh. Kini Rani
melanjutkan langkahnya untuk menyeberang, namun
ketika dia berada di tengah-tengah rel, tiba-tiba
langkahnya terhenti. Kini segala keperkasaan tentang
si Ular besi kembali hadir di benaknya, kemudian
169 timbullah sebuah niat untuk melepaskan segala
penderitaannya. Lantas dengan langkah gontai namun pasti, Rani
mulai berjalan menyusuri rel kereta api, dia berjalan
searah dengan KRL yang baru saja melintas. Rani
terus melangkah dan melangkah, sedang di hatinya
terus merasakan penderitaan yang teramat sangat.
Seolah pikirannya tak mau lepas dari bayang-bayang
masa lalu, masa-masa indah ketika bersama sang
Kekasih, masa-masa yang tidak mungkin akan
terulang lagi. Rani terus melangkah menyusuri rel yang lurus.
Saat itu dia berharap sebuah KRL akan muncul di
belakangnya dan menabraknya hingga hancur
berkeping-keping, kemudian berakhirlah segala penderitaannya yang teramat pedih. Berakhir dengan
cepat, secepat lepasnya nyawa dari raga. Tak lama
kemudian, sebuah KRL datang dari arah belakang,
klaksonnya terdengar meraung-raung - memperingati
akan keperkasaan si Ular besi yang tidak main-main
dengan segala yang ada di depannya. Rani sadar
170 akan hal itu, tapi dia justru merasa senang karena
sebentar lagi semua penderitaannya akan berakhir
dengan cepat. KRL terus melaju mendekati Rani, hingga
akhirnya jarak kematian tinggal satu meter lagi. Di
saat detik-detik kematian itu, tiba-tiba sesosok tubuh
tegap melompat cepat dan menyambar tubuh Rani
hingga akhirnya keduanya tampak bergulingan di atas
kerikil, sedangkan si Ular besi terus melintas dengan
segala keperkasaannya - dia terus menjauh seakan
tidak peduli dengan semua itu. Pada saat yang sama,
Rani terlihat sudah berdiri sambil membersihkan
kotoran yang menempel di tubuhnya, sedangkan
orang yang mendorongnya tampak berdiri di
sampingnya dengan raut wajah yang begitu serius.
"Dasar manusia tidak berakal! Jika kau ingin mati
jangan di hadapan aku dong!" maki orang itu. "Terus
terang, aku sudah pernah melihat orang mati tertabrak
kereta. Tubuhnya hancur berkeping-keping, sungguh
mengenaskan. Aku tidak mau melihat hal seperti itu
171 untuk yang kedua kalinya," cerita orang itu dengan
nada marah. Rani tidak berkata-kata, dia hanya mendengarkan
orang itu terus berbicara, sedangkan kedua matanya
tampak menatap wajah tampan yang masih saja
terlihat serius. Dia benar-benar tidak menduga kalau
usahanya itu telah membuat pemuda itu begitu gusar.
"Paham kau?" tanya pemuda itu mengakhiri
omelannya. "Maaf kalau tadi aku telah merepotkanmu!" ucap
Rani menyesal. Mendengar itu, Pemuda tadi segera meredakan
nada bicaranya. "Kenapa kau ingin bunuh diri?"
tanyanya prihatin. Rani tidak menjawab, dia justru meneteskan air
matanya. Melihat itu, si pemuda kembali bicara, "Maaf
kalau pertanyaanku tadi membuatmu sedih! Terus
terang, sebenarnya aku tidak mau mencampuri
masalahmu. Namun karena perbuatanmu tadi,
rasanya aku perlu membantumu. Tapi kalau kau
merasa aku ini bukan orang yang pantas, aku tidak
172 akan memaksa. Aku sarankan, carilah orang yang
bisa membantumu untuk menyelesaikan masalahmu.
Bunuh diri bukanlah cara menyelesaikan masalah, hal
itu justru akan membuatmu semakin menderita di
alam sana. Mengerti?" tanya pemuda itu kepada Rani
yang masih saja tertunduk sedih. "Baiklah... kalau
begitu aku pergi sekarang," pamit pemuda itu seraya
melangkah pergi. "Tunggu, Kak!" tahan Rani tiba-tiba.
Mendengar itu, si pemuda langsung menoleh dan
segera menghampiri Rani. "Ada apa?" tanyanya
pelan. "Begini Kak. Sebenarnya..." Rani menggantung
kalimatnya. Pemuda itu segera menggenggam tangan Rani
seraya berkata, "Ayo katakan saja! Kau tidak perlu
sungkan padaku. Aku sungguh-sungguh akan
membantumu, percayalah!"
"Begini Kak. Se-sebenarnya aku sedang patah
hati. Aku merasa kehidupanku begitu berat dan penuh
173 dengan penderitaan, sepertinya aku sudah tidak
sanggup lagi hidup di dunia ini," cerita Rani lirih.
"Hmm... begitu. Jadi kaupikir dengan bunuh diri
bisa menghilangkan penderitaanmu, begitu?"
Rani mengangguk. "O ya, kenalkan. Namaku 'Bobby'. Siapa
namamu?" tanya pemuda itu lagi.
"Aku 'Rani'." "Hmm... 'Rani' nama yang bagus," puji Bobby. "O
ya, bagaimana kalau kita bicara di warung itu" Di sana
kita bisa bicara sambil menikmati es kelapa muda."
Rani tertunduk, sepertinya dia enggan mengikuti
keinginan pemuda itu. "Ayolah! Kau tidak perlu sungkan. Bukankah akan
lebih enak kalau kita bicara sambil duduk dan minum
es kelapa muda," desak Bobby.
Rani menatap pemuda itu, lalu mengangguk
pelan. Tak lama kemudian, mereka sudah melangkah
ke warung yang dimaksud. Kini mereka sedang duduk
di warung sambil menikmati es kelapa muda yang
begitu segar. Pada saat itu, Bobby mulai menanyakan
174 kembali perihal keinginan Rani untuk bunuh diri, kali
ini Rani menceritakannya dengan lebih rinci.
"Rani... dengar ya! Sebenarnya bunuh diri itu tidak
akan mengakhiri penderitaanmu. Hal itu justru akan
membuatmu semakin menderita. Di akhirat nanti, kau
pasti akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketahuilah, kalau setiap manusia yang hidup pasti
akan mempunyai masalah, dan masalah itulah yang
akan membuatnya semakin mengerti akan arti
kehidupan. Sebagai manusia, kita dituntut untuk
menyelesaikan segala masalah dengan cara yang
baik, dan itulah hidup yang sesungguhnya. Kita
sebagai manusia sengaja dikaruniai perangkat yang
begitu kompleks karena untuk merasakan kehidupan.
Apalah jadinya jikalau hidup tanpa mempunyai
masalah, tentunya akan terasa hambar bukan" Kita
merasa bahagia karena ada sedih, kita merasa
mudah karena ada susah. Coba renungkan,
seseorang yang ditinggal pergi oleh kekasihnya tentu
akan sedih sekali, namun begitu dia bertemu kembali,
kebahagiaan pun tak kan terelakkan. Satu lagi,
175 seseorang yang mendapat sesuatu dengan cara
bersusah payah pasti hasilnya akan dirasakan
berbeda jika dibandingkan dengan orang yang
mendapatkannya dengan cara mudah. Orang yang
bersusah payah akan mendapatkan kepuasan
tersendiri daripada yang mendapatkannya dengan
cara mudah. Sebenarnya masih banyak lagi liku-liku
kehidupan yang sebenarnya akan membuat kita lebih
menghargai hidup itu sendiri, dan itulah yang
dinamakan asam garam kehidupan yang akan
membuat kehidupan kita menjadi lebih nikmat," jelas
Bobby panjang lebar. Rani terdiam, sepertinya dia sedang merenungi
segala ucapan pemuda itu. Hingga akhirnya, Rani pun
bisa menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya
memang salah, kenapa hanya karena ditinggal
kekasih dia menjadi lemah dan berpikir pendek begitu.
Bahkan dia merasa benar-benar bodoh lantaran telah
melakukan tindakan yang justru akan membuatnya
semakin menderita. 176 "Kau benar Kak, aku memang telah salah
bertindak!" ucap Rani menyesal. "Terus terang, aku
sangat berterima kasih karena kau telah menyadarkanku!" sambungnya kemudian.
"Sudahlah...! Kau tidak perlu berterima kasih
padaku. Karena semua ini memang sudah kehendak-
Nya. O ya, bagaimana jika kau kuantar sampai ke
rumah?" "Terima kasih Kak! Saya tidak mau merepotkan.
Lagi pula, saya bisa pulang sendiri kok," tolak Rani.
"Rani... izinkanlah aku untuk mengantarmu! Aku
ingin memastikan kau tiba di rumah dengan selamat,"
desak Bobby. Rani tidak menjawab. Dia memandang Bobby
dengan pandangan yang penuh suka cita.
"Bagaimana..." Kau mau kan?" tanya Bobby.
Rani tersenyum, kemudian dia menganggukkan
kepalanya. "Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajak Bobby.
Tak lama kemudian, keduanya tampak melangkah
menuju ke sebuah sepeda motor besar yang di parkir
177 di samping warung. Ternyata sepeda motor itu
kepunyaan Bobby yang memang sudah diparkir
sebelum peristiwa itu terjadi. Setelah menghidupkan
sepeda motornya, Bobby segera memacunya menyusuri jalan yang mulai macet. Dalam perjalanan,
mereka tampak asyik berbincang-bincang. Sesekali
Bobby menghibur Rani dengan banyolan-banyolan
yang membuat Rani tertawa terpingkal-pingkal. Untuk
sesaat Rani bisa melupakan segala kepedihannya,
wajahnya tampak begitu ceria. Setelah cukup lama
menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di
tempat tujuan. Rani yang baru saja turun dari motor tampak
tersenyum kepada Bobby, "Ayo Kak, silakan mampir
dulu!" tawarnya ramah.
"Terima kasih! Lain kali saja. Kali ini aku harus
cepat-cepat pulang," tolak Bobby. "Sudah ya, aku
pergi sekarang!" pamitnya kemudian.
"O ya, Kak. Sekali lagi aku ucapkan banyak terima
kasih!" "Sudahlah...!" ucap Bobby sambil tersenyum.
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
178 Rani tersenyum, kemudian dia tampak memperhatikan Bobby yang kembali melaju dengan
sepeda motornya, tak lama kemudian sepeda motor
itu sudah tak terlihat lagi. Pada saat yang sama, Rani
segera melangkah memasuki rumah. Kini dia terlihat
sedang membersihkan diri dari segala kotoran yang
melekat, dan setelah itu dia bergegas menuju ke
kamarnya. Setibanya di kamar, Rani langsung menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Kini gadis
itu kembali teringat dengan Jodi, teringat akan
keputusan Jodi yang begitu menyakitkan, dan dia
menduga semua itu lantaran ulah ayahnya yang
mengusir Jodi malam itu. Dia ingat betul ketika
ayahnya membentak Jodi dengan begitu kasar, dan
saat itu Jodi terlihat begitu gusar.
Kini Rani kembali murung, menghapus semua
keceriaan yang semula menghias wajahnya. Tiba-tiba
air matanya tampak berderai, mengalir melewati
pipinya yang mulus, kemudian menetes membasahi
bantalnya yang berwarna biru. Rani terus menangis,
179 isak tangisnya terdengar begitu lirih. Selirih gesekan
dawai biola yang mengalun panjang.
Di tempat terpisah, di sebuah gedung perkantoran. Branden tampak sibuk dengan tugas-
tugasnya. Ketika sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba
telepon yang ada di meja kerjanya berdering dengan
keras sekali. Lalu dengan segera lelaki itu
mengangkatnya, "Hallo!" sapa Branden kepada orang
yang menelepon. "Hallo, Pak Branden! Ini saya, Pak Heru. Saya
mohon Bapak segera ke ruangan saya!"
"Baik, Pak. Secepatnya saya akan ke sana," ucap
Branden seraya menutup telepon itu.
Dengan agak tergesa-gesa, Branden tampak
meninggalkan ruangannya. Tak lama kemudian, dia
sudah sampai di ruangan Pak Heru. "Selamat sore,
Pak!" ucap Branden sopan.
"Silakan duduk, Pak!" pinta Pak Heru sambil
tersenyum. "Terima kasih, Pak!" ucap Branden seraya duduk
di hadapan Pak Heru. 180 Di sudut lain, terlihat Bu Siska yang terus
memperhatikan Branden dari meja kerjanya.
"Sebenarnya ada apa, Pak?" tanya Branden
sopan. "Begini, Pak... keperluan saya memanggil Bapak
adalah untuk meminta maaf," ucap Pak Heru berterus
terang. "Mi-minta maaf" Maksud Bapak?" tanya Branden
heran. "Saya mohon, Bapak mau memaafkan saya,"
ucap Pak Heru tulus. "Pak, saya benar-benar tidak mengerti" Bapak
kan tidak punya salah sama saya?"
Tiba-tiba Bu Siska beranjak dari tempat duduknya,
kemudian dia melangkah menghampiri Branden.
"Saya juga minta maaf, Pak!" ucapnya tulus.
"O, jadi ini semua karena kejadian tempo hari.
Bukan begitu, Bu?" Bu Siska tidak menjawab, dia tampak menundukkan kepalanya. Melihat itu Branden kembali
bicara, "Sebenarnya kejadian tempo hari sudah saya
181 lupakan. Saya benar-benar maklum kalau saat itu Ibu
marah sama saya." "Sebenarnya bukan cuma itu, Pak. Kami telah..."
Belum sempat Bu Siska menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Branden sudah memotong.
"Sudahlah Bu, lupakan saja peristiwa itu! Sebenarnya
saya sudah memaafkannya sejak lama. Kalau pun
ada kesalahan lain, Bapak dan Ibu sudah saya
maafkan," kata Branden terus terang.
Bu Siska dan Pak Heru tampak saling
berpandangan. Kemudian Pak Heru kembali bicara,
"Pak Branden, hati anda sangat mulia. Saya benar-
benar tidak menduga kalau Bapak akan berbesar hati
mau memaafkan kami. Kami sungguh menyesal
karena telah berlaku tidak layak terhadap Bapak, dan
kami sangat berterima kasih karena Bapak mau
memaafkan kami." "Betul, Pak Branden. Kami sangat berterima kasih
atas kemuliaan hati Bapak yang mau memaafkan
kami," timpal Bu Siska.
182 Branden tidak berkata-kata. Dia memandang
wajah Pak Heru dan sekretarisnya silih berganti.
"Sudahlah...! Bukankah sudah sepantasnya, kita
sesama manusia untuk saling memaafkan," katanya
sungguh-sungguh, "O ya, kalau Bapak sudah tidak
ada keperluan lagi, sebaiknya saya permisi dulu.
Sebab, masih banyak pekerjaan yang harus saya
selesaikan," sambungnya kemudian.
"Kalau begitu, silakan Pak! Dan saya mohon maaf
karena sudah menyita waktu Bapak," ucap Pak Heru.
Branden tersenyum, kemudian dia segera melangkah untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Dalam hati, Branden masih merasa bingung. Dia tidak
mengerti apa sebenarnya yang sudah diperbuat oleh
Pak Heru dan Bu Siska terhadapnya. Jikalau Bu Siska
pernah mencaci-maki dirinya, hal itu dianggap hal
yang wajar bagi seorang pegawai rendahan seperti
dia. Namun permintaan maaf Pak Heru dan Bu Siska
yang dinilainya agak berlebihan sempat membuatnya
sedikit penasaran. Pada akhirnya, sosok istrinya
datang dan menjelaskan semua hal yang 183 membuatnya penasaran, hingga akhirnya dia pun bisa
memaklumi keduanya. Esok siangnya udara terasa panas sekali, teriknya
sinar mentari terasa begitu menyengat kulit. Di teras
sebuah rumah, seorang gadis berseragam abu-abu
tampak sedang membuka pintu depan dengan agak
tergesa-gesa. Dialah Rani yang baru saja pulang
sekolah, saat itu dia terlihat begitu lelah.
Kini Rani sudah melangkah masuk dan sedang
meletakkan tasnya di atas meja, kemudian dia juga
meletakkan kantong plastik hitam berisi nasi bungkus
yang baru dibelinya. Dengan santai dia duduk di sofa,
kemudian melepaskan sepatu dan kaos kakinya.
Suasana di rumah itu tampak begitu hening, sehening
suasana makam di malam hari. Pada saat seperti
itulah segala bayang-bayang masa lalu selalu
menghantuinya, menteror dengan segala kenangan
184 manis yang semakin membuat hatinya kian tersayat-
sayat. "Tidak! Aku tidak boleh memikirkan hal itu terus.
Sebab, semakin aku mengingatnya, semakin pedih
hati ini. Biar bagaimanapun, aku harus bisa
melupakannya," kata Rani dalam hati seraya bangkit
dari tempat duduk dan segera melangkah ke dapur. Di
tangannya terlihat kantong plastik hitam yang
diambilnya dari atas meja.
Rupanya Rani akan menyiapkan makan siangnya,
sekaligus mengambil minum untuk melegakan
kerongkongannya yang begitu kering. Belum sempat
gadis itu tiba di dapur, tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya. Saat itu, matanya memandang ke arah
dapur yang tampak begitu sepi. Sungguh suasana
saat itu telah membuatnya sedikit takut. Lalu dia pun
teringat dengan peristiwa waktu itu, dimana perabotan
yang berada ruang dapurnya bergerak sendiri,
kemudian disusul dengan pecahnya piring dan gelas
yang hancur berantakan. Rani tampak menarik nafas
panjang untuk menenangkan diri, kemudian berusaha
185 untuk mengendalikan semua rasa takut yang telah
merasuki pikirannya. "Tidak! Aku tidak boleh takut, ini
kan rumahku sendiri," ungkapnya memberanikan diri.
Keinginan untuk melepas dahaga semakin
membangkitkan keberaniannya, kemudian dengan
mantap dia segera melangkah kembali. Rani terus
melangkah, sedangkan jantungnya mulai berdegup
kencang. Tiba-tiba dia teringat kembali dengan
kejadian malam itu. Bersamaan dengan itu, lagi-lagi
Rani menghentikan langkahnya.
Kini gadis itu tampak berdiri di depan tirai yang
menjadi pemisah ruang dapur. Entah kenapa, tiba-tiba
dia merasakan suasana di rumah itu terasa kian
mencekam, bahkan jantungnya pun semakin berdebar
kencang. Namun begitu, Rani berusaha memberanikan diri. Dengan perlahan dia mulai
menyibak tirai itu. Begitu tirai terbuka, tiba-tiba
sesosok tubuh hitam tampak melompat dari atas
sebuah lemari kecil. Melihat itu, seketika Rani terkejut
dan berteriak sejadi-jadinya.
186 Mendadak teriakan gadis itu terhenti, bersamaan
dengan seekor kucing yang dilihatnya sedang
mengeong-ngeong di dekat kakinya. Kucing itu terus
mengeong-ngeong, kemudian berputar di kaki Rani
sambil mengeluskan tubuhnya.
"Aduh, kau mengagetkanku saja," kata Rani
seraya menggendong kucing itu dan membelainya
dengan penuh kasih sayang. "Hmm... ini kucing siapa
ya?" tanyanya dalam hati. "Pus, kau lapar ya" Kasihan
sekali, rupanya tuanmu tidak memberimu makan ya?"
Lantas dengan santai Rani membuka nasi
bungkusnya, kemudian mengambil kepala ikan dan
memberikan kepada si kucing.
Rani kembali membelai kucing itu, saat itu hatinya
terasa betul-betul damai. Sejenak dia memperhatikan
si kucing yang tampak begitu rakus melahap kepala
ikan yang cukup besar. Sesekali dia menggeram,
takut jika makanannya diambil oleh Rani. Saat itu Rani
cuma tersenyum, menyaksikan prilaku hewan yang
tampaknya tidak tahu berterima kasih.
187 Kini Rani sedang menuang air bening ke dalam
gelas yang baru saja diambilnya, kemudian meneguknya dengan segera. Seketika rasa dingin
terasa melewati kerongkongannya, bersamaan dengan itu rasa dahaganya pun sirna dengan
sendirinya. Setelah itu dia segera menyiapkan makan
siangnya. Pada saat yang sama, sosok mendiang
ibunya tampak sedang memperhatikan. Saat itu dia
ingin sekali menampakkan diri di hadapan Rani,
namun entah kenapa dia tak kuasa melakukannya.
Rani yang baru saja selesai makan segera menuju
ke kamarnya, pada saat itu sosok mendiang ibunya
sudah melesat pergi. Kini Rani sedang memasuki
kamarnya. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui
tempat tidurnya yang tadi pagi tidak sempat dia
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirapikan kini sudah tertata rapi. Bukan cuma itu,
buku-bukunya yang tidak sempat dirapikan juga telah
tertata rapi. Saat itu Rani benar-benar sudah dibuat
bingung, "Hmm... siapa yang telah melakukan semua
ini?" tanya Rani dalam hati. "Tidak mungkin Ayah yang
melakukannya" Tadi pagi kan aku bangun kesiangan,
188 dan ketika aku sedang sarapan beliau justru sudah
berangkat lebih dulu. Hmm... apa mungkin Ayah
kembali lagi setelah aku pergi, beliau kembali karena
melupakan sesuatu. Ah, sepertinya itu juga tidak
mungkin. Selama ini justru akulah yang selalu
merapikan tempat tidurnya. Aneh... sebenarnya siapa
yang telah melakukan semua ini?"
Akhirnya Rani memutuskan untuk tidak mempedulikan semua itu, bahkan dia berusaha
berprasangka baik kalau ayahnyalah yang telah
melakukan semua itu. Kini Rani sedang melepas
pakaian sekolahnya, kemudian menggantinya dengan
pakaian santai yang diambilnya dari dalam lemari.
Setelah itu, dia segera melangkah ke kamar ayahnya.
Setibanya di dalam kamar, lagi-lagi Rani terkejut.
Hal serupa yang terjadi di kamarnya juga terlihat di
ruangan itu, semuanya sudah benar-benar rapi.
Padahal, selama ini dialah yang biasanya merapikan
tempat itu sepulang sekolah.
Karena semua sudah benar-benar rapi, akhirnya
Rani kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Kini
189 gadis itu sudah merebahkan diri di atas tempat tidur
dan sedang memejamkan kedua matanya. Karena
merasa lelah, akhirnya gadis itu tertidur pulas.
Ketika terjaga, Rani tampak terkejut. Dilihatnya
sang Ayah sudah berada di sisi tempat tidur dan
sedang memandangnya. "Sayang... Ayah ingin
menyampaikan sesuatu tentang Jodi," kata Branden
sambil terus memandang wajah putrinya.
"Apa itu, Ayah?" tanya Rani penasaran.
"Sesuatu kebenaran tentang Jodi, Sayang..."
jawab Branden. "O ya, apakah selama ini kau masih
mengharapkan dia?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja, Ayah. Rani kan sangat mencintainya,"
jawab Rani terus terang. "Sebaiknya kau lupakan dia, Sayang...!" pinta
Branden. "Kenapa Ayah menghendaki demikian?" tanya
Rani lagi dengan alis tampak merapat.
"Bu-bukan apa-apa, Sayang... sebenarnya selama
ini Jodi cuma mempermainkanmu. Dia sama sekali
tidak mencintaimu." 190 Mendengar itu, Rani langsung duduk di atas
tempat tidurnya. "Bohong! Ayah bohong! Kenapa Ayah
tega berbuat begitu?" tanya Rani seraya menatap
sang Ayah dengan mata yang berkaca-kaca.
Branden tak kuasa memandang wajah putrinya,
dia tampak memalingkan wajahnya ke arah pintu.
"Ayah tidak berbohong, Sayang... terus terang, Ayah
tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya padamu,"
kata Branden menyangkal. "Kenapa, Yah" Kenapa waktu itu Ayah mengusir
Jodi" Sebenarnya apa salah Jodi sehingga Ayah tidak
menyetujui hubungan kami" Jawab, Ayah. Jawab!"
desak Rani lirih. "Kau salah paham, Sayang... semua itu karena..."
Branden tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak
bingung dan tidak tahu harus berkata apa untuk
menjelaskan kejadian waktu itu. kemudian dia kembali
berkata, "Nak, sebaiknya sekarang kau mandi, lalu
setelah itu kita makan sama-sama!" saran Branden
seraya membelai kepala Rani dan mengecupnya
191 dengan penuh kasih sayang. Setelah itu dia tampak
melangkah ke kamarnya sendiri.
Kini Branden sudah berada di dalam kamar dan
sedang mengganti pakaiannya. Ketika baru saja
selesai, tiba-tiba "Bagaimana, Bran?" terdengar suara
orang yang bertanya kepadanya.
"Ya-yana...!" seru Branden kaget ketika melihat
sosok Yana yang sudah berdiri di sampingnya.
"Bagaimana, Bran" Apa kau sudah menceritakannya?" tanya sosok Yana lagi.
"Belum sepenuhnya, Sayang... saat itu Rani sama
sekali tidak mempercayaiku. Aku sendiri bingung,
bagaimana caranya agar dia mau percaya," jawab
Branden. "O ya, bagaimana kalau kita cari orang yang
bisa menjelaskan siapa Jodi sebenarnya!" sarannya
kemudian. "Baiklah kalau begitu, aku tahu siapa orang yang
bisa menyampaikannya," jelas sosok Yana.
"Siapa?" tanya Branden.
"Jodi sendiri," ucap sosok Yana seraya menghilang dari pandangan.
192 Branden agak kecewa dengan kepergian sosok
Yana yang begitu tiba-tiba, padahal dia masih ingin
berbicara banyak dengan mendiang istrinya itu.
Lantas dengan perasaan yang masih kecewa,
Branden segera pergi ke meja makan untuk
menikmati makan malam bersama putrinya.
193 Delapan sok paginya mentari bercahaya dengan
E cerahnya, sinarnya yang hangat tampak
membias menerangi seantero kota. Sementara itu di
sepanjang jalan raya tampak lalu-lalang kendaraan
yang merambat pelan, terjebak dalam kemacetan
yang memang sudah menjadi rutinitas Ibu Kota. Pada
saat yang sama, di sebuah perempatan lampu merah,
para pedagang asongan tampak ramai menjajakan
dagangannya. Beberapa orang polantas tampak sibuk
mengatur lalu lintas di tempat itu.
Lampu lalu lintas silih berganti berubah warna,
namun lampu itu tidak berguna sama sekali karena
petugas polantaslah yang menggantikannya. Petugas
polantas itu lebih mengutamakan antrian kendaraan
dari jalur yang lebih padat untuk jalan lebih dulu,
sedangkan dari jalur yang tampak sepi dibiarkan
menunggu agak lama. 194 Yuli yang sedang duduk di depan kemudi tampak
kesal, sebab gilirannya melaju terasa begitu lama.
Suara bising terus terdengar dari mesin-mesin
kendaraan yang meraung-raung menunggu giliran,
sekaligus membuang energinya dengan percuma.
Yuli masih terus menunggu. Sesaat dia memperhatikan seorang gadis kecil yang berdiri di
samping mobilnya, pakaian tampak kumal dan begitu
lusuh. Rambutnya pun tampak kotor dan begitu kusut,
menutupi sebagian wajahnya yang masih tampak
polos. Kini gadis kecil itu tampak membunyikan
kecrekannya yang terbuat dari tutup minuman,
kemudian disusul dengan suaranya yang terdengar
sumbang. Melihat itu, Yuli merasa iba, lalu dengan
segera dia membuka kaca mobil dan menyodorkan
selembar uang lima ribuan. Seketika nyanyian gadis
kecil itu terhenti, bersamaan dengan jemari mungil
yang bimbang meraih uang itu. Si Gadis kecil tampak
ragu, baru kali ini dia disodorkan uang sebesar itu.
195 "Maaf Kak! Saya tidak punya uang kembaliannya,"
katanya polos. "Terimalah! Semuanya untukmu," kata Yuli
meyakinkan. Gadis kecil itu tampak begitu senang, kemudian
dia segera mengambil uang itu dan memasukkannya
ke dalam saku roknya yang lusuh. "Terima kasih,
Kak!" ucapnya pelan.
Kini gadis kecil itu tampak tersenyum kepada Yuli
yang dianggapnya sebagai bidadari cantik yang baik
hati. Yuli pun membalas senyuman itu, kedua
matanya tak berpaling - terus memperhatikan si gadis
kecil yang kini sudah melangkah ke mobil yang ada di
belakangnya. Dalam hati Yuli membatin, "Aku tidak
habis pikir, kenapa anak sekecil itu bergelut dengan
kerasnya Ibu Kota, seharusnya kan gadis sekecil itu
sedang menikmati masa kecilnya - bermain dan
belajar." Kini Yuli kembali memperhatikan petugas polantas
yang masih juga belum mengizinkannya melaju.
Ketika menengok ke samping, dilihatnya seorang
196 pedagang asongan tampak sedang berdiri menjajakan
dagangannya, "Permen, Non?" tawarnya sambil
menyodorkan sebungkus permen ukuran sedang.
Yuli segera mengambil permen itu dan membayarnya dengan uang sepuluh ribuan. Ketika si
pedagang sedang menyiapkan uang kembaliannya,
tiba-tiba Pak Polantas sudah mengizinkannya untuk
melaju. Melihat itu, Yuli segera menurunkan rem
tangan dan mulai melaju bersama mobilnya.
"Tunggu, Non! Ini kembaliannya," tahan si
pedagang tiba-tiba. "Ambil saja untukmu!" teriak Yuli seraya mempercepat laju mobilnya.
Yuli terus melaju. Hari ini dia berniat mengunjungi
kakek dan neneknya yang berada di luar kota,
tepatnya di daerah Sukabumi. Setelah menempuh
perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya dia tiba
di pekarangan rumah neneknya yang tampak begitu
asri. Sejenak Yuli memperhatikan keadaan di sekitar
tempat itu, dipandangnya rumah mungil yang sudah
197 berumur puluhan tahun. Walau begitu, rumah itu tetap
terawat dengan baik. Kemudian dilihatnya sang nenek
yang lagi sibuk merajut di teras depan rumahnya.
Lantas dengan segera Yuli keluar mobil dan
menghampiri sang Nenek. Sang nenek yang mengetahui kedatangannya
tampak begitu senang, dia segera berdiri dan
memeluknya dengan penuh kerinduan. "Aduh, cucu
nenek semakin cantik saja," pujinya seraya mengecup
kening Yuli dengan penuh kasih sayang. "Ayo...
masuk, Cu!" ajaknya kemudian.
Yuli menuruti ajakan neneknya, dia melangkah
masuk mengikuti sang Nenek yang masuk lebih dulu.
Kini Yuli sudah berada di ruang tamu sambil menatap
ke sekeliling ruangan dengan penuh rasa kagum,
matanya hampir tak berkedip memperhatikan setiap
bagian yang menjadi ornamen di rumah itu. Walaupun
sudah kelihatan tua, namun masih terlihat menarik,
semuanya begitu unik dan antik.
"Semuanya tidak berubah ya, Nek. Semuanya
Masih seperti dulu," kata Yuli mengomentari.
198 "Iya, Cu. Kakek dan nenek memang tidak mau
merubahnya, sebab semua ini merupakan sejarah
yang penuh dengan kenangan yang tiada ternilai
harganya," jelas sang Nenek. "O ya, Cu. Silakan
duduk! Nenek mau membuatkan minum dulu,"
lanjutnya kemudian. Yuli segera duduk, sedangkan sang Nenek
tampak melangkah ke dapur hendak membuatkan
secangkir teh. Tak lama kemudian, Yuli beranjak
menyusul neneknya ke dapur. Kini gadis itu sedang
berada di samping neneknya yang tampak sibuk
membuatkan minum, "Kakek ke mana, Nek?"
tanyanya kepada sang Nenek.
"Kakekmu lagi pergi. Nenek juga tidak tahu ke
mana perginya," jawab sang Nenek sambil terus
mengaduk gula yang baru dimasukkannya. "O ya, Cu.
Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ngomong-ngomong... kenapa kau tidak kasih kabar
dulu kalau mau datang kemari?" tanya sang Nenek
kemudian. 199 "Yuli sengaja, Nek. Soalnya, Yuli mau memberi
kejutan. O ya, Nek..." Yuli tampak berpikir, kemudian
dia mulai melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Kau mau ke mana, Cu?" tanya neneknya tiba-
tiba. "Sebentar, Nek...! Aku akan kembali," jawab Yuli
seraya mempercepat langkah kakinya.
Sang Nenek tampak mengerutkan keningnya,
kemudian dia segera melangkah meninggalkan dapur.
Di tangannya terlihat secangkir teh yang dialasi piring
kecil bermotifkan bunga. Tak lama kemudian, sang
Nenek sudah tiba di ruangan tamu dan langsung
meletakkan teh yang dibawanya ke atas meja.
Sementara itu, Yuli sedang mengambil dua buah
bungkusan dari dalam mobilnya, kemudian dengan
segera dia membawanya masuk.
"Ini, Nek...! Yuli bawakan buat Nenek, dan yang
ini untuk Kakek," ucap Yuli seraya menyerahkan
kedua bungkusan yang dibawanya.
Sang Nenek tampak mengambil bungkusan itu
dari tangan Yuli. "Apa ini, Cu?" tanya sang Nenek
200 sambil mengamati kedua bungkusan yang ada di
tangannya. "Itu oleh-oleh dari Ibu Kota, Nek. Yuli yakin, Nenek
dan Kakek pasti suka," jawab Yuli seraya duduk di
kursi yang ada di ruangan itu.
Sang Nenek tampak tersenyum, kemudian ikut
duduk seraya meletakkan bungkusan yang ada di
tangannya. Setelah itu dia mengambil cangkir
minuman dan menyodorkannya kepada Yuli, "Ini
diminum tehnya, nanti keburu dingin!" kata sang
Nenek ramah. Yuli segera menyambut minuman itu dan
meminumnya sedikit. "Enak sekali teh ini, Nek!" puji
Yuli seraya kembali menghirup teh itu sekali lagi.
"Itu teh spesial, Cu. Nenek sendiri yang
meraciknya. Di dalamnya bukan hanya pucuk teh, tapi
juga ada bunga-bungaan dan beberapa daun obat-
obatan," jelas sang Nenek.
"Pantas rasa teh ini lain sekali, dan yang pasti
betul-betul enak, Nek," puji Yuli sekali lagi seraya
meletakkan cangkir tehnya.
201 Sang Nenek tampak tersenyum mengetahui
cucunya suka dengan teh racikannya. Sementara itu
tak jauh dari rumah, sang Kakek terlihat sedang
mengendarai sepeda tuanya - menyusuri jalan tanah
yang menuju ke rumah. Walaupun sudah tua, sang
Kakek mampu mengayuhnya dengan begitu cekatan.
Tak lama kemudian, dia sampai di tempat tujuan.
Kini sang Kakek sedang memperhatikan sedan
mewah yang diparkir di pekarangannya, "Wah, itu
pasti mobil menantuku. Dia pasti datang bersama
anak dan cucuku," duganya dengan raut wajah yang
begitu gembira. Lalu tanpa buang waktu, sang Kakek segera
memarkir sepedanya dan melangkah masuk. "Assalamu'alaikum...!" ucapnya seraya mengamati
orang-orang yang duduk di ruang tamu.
"Waaahhh... Yuliii...!" seru sang Kakek seraya
menghampiri cucunya tersayang.
Bersamaan dengan itu, Yuli segera berdiri dan
langsung memeluknya erat. Setelah itu sang Kekek
tampak memandangnya dengan penuh suka cita,
202 "Waduh-waduuuh... cucu kakek sudah jadi gadis
dewasa rupanya, tambah cantik lagi... you are so
beautiful and montok, you look pretty with this baju to,"
puji sang Kakek sambil terus memandangi wajah
cucunya. Yuli hanya tersipu mendengarnya, apalagi sang
Kakek memujinya dengan bahasa Inggris yang
dicampur aduk. Sang Nenek cuma tersenyum saja
mendengar Kakek berbicara begitu, dan tak lama
kemudian Yuli sudah duduk kembali di kursinya.
Bersamaan dengan itu, sang Kakek ikut duduk di
sebelahnya. Sementara itu, sang Nenek justru beranjak dari
tempat duduknya. "Kalian ngobrol saja dulu! Sekarang
Nenek mau menyiapkan makan siang," ucapnya
seraya melangkah pergi. "Masak yang enak ya, Nek!" teriak sang Kakek,
kemudian dia mulai bicara kepada cucunya tersayang,
"Kau datang sendiri, Cu?" tanyanya agak kecewa.
"Iya, Kek," jawab Yuli singkat.
203 "Kenapa kedua orang tuamu tidak ikut ke mari?"
tanya sang Kakek lagi. "Mereka sibuk, Kek," jawab Yuli singkat.
"Huh, dari dulu mereka selalu begitu - terlalu sibuk
dengan urusan dunia. Mereka sama sekali tidak
peduli, kalau selama ini Kakek dan nenek sudah
sangat merindukan mereka."
"Kakek benar, Yuli juga kurang setuju dengan
sikap mereka. Selama ini, Yuli pun kurang
diperhatikan. Selama ini mereka cuma memanjakan
Yuli dengan materi, padahal bukan itu saja yang Yuli
butuhkan. Yuli kan juga butuh perhatian dan kasih
sayang, Kek." "Sudahlah, Cu...! Sebenarnya mereka melakukan
itu dengan maksud ingin membahagiakanmu, namun
mereka tidak menyadari kalau hal itu justru
membuatmu kesepian. Sebagai anak, kau harus terus
berbakti kepada mereka, walaupun selama ini mereka
kurang memperhatikanmu. O ya, ngomong-ngomong
bagaimana kabar mereka?"
"Baik, Kek - mereka sehat-sehat saja."
204 "Baguslah kalau begitu, terus... bagaimana
dengan keadaan di sana?" tanya sang Kakek yang
ingin mengetahui perkembangan Jakarta.
"Yaaa... kehidupannya tambah keras saja, Kek.
Tidak seperti di sini, semua terasa sejuk dan damai,
sedangkan di sana... semakin panas, penuh polusi,
dan kejahatan pun semakin merajalela," jawab Yuli.
"O ya, masa sih," kata sang Kakek seakan tidak
percaya. "O ya, Cu. Ngomong-ngomong bagaimana
dengan kuliahmu?" tanyanya kemudian.
"Lancar, Kek," jawab Yuli singkat. " O ya, Kek.
Ngomong-ngomong, Kakek dari mana?" tanyanya
kemudian. "Yes yes yes... Kakek is baru jalan-jalan and
looking-looking," jawab sang Kakek yang lagi-lagi sok
berbicara dengan bahasa Inggris.
"Ah kakek bercanda saja," ucap Yuli dengan
wajah cemberut. "Aduh, Cu. Kau jangan ngambek seperti itu dong,
nanti kau bisa cepat keriput kayak nenekmu. Masa
205 masih mudah sudah keriput, nanti tidak ada yang mau
loh." "Habis... Kakek kalau ditanya serius selalu
menjawab asal. Bagaimana Yuli tidak kesal."
"Iya, Iya... sekarang akan kakek jawab dengan
serius. Begini, Cu... sebenarnya kakek baru pulang
dari pasar. Tadinya sih kakek mau beli burung, tapi
karena harganya terlalu mahal, kakek tidak jadi
membelinya. Karenanyalah Kakek terpaksa pulang
dengan tangan hampa," jawab sang Kakek polos.
"Memangnya Kakek ingin memelihara burung,
ya?" tanya Yuli. "Tidak, kakek cuma mau memelihara monyet."
"Tuh kan, mulai lagi deh," keluh Yuli.
"Iya, anak Manis... tentu saja kakekmu ini mau
memelihara burung. Kan sebelumnya Kakek sudah
bilang mau beli burung, bukannya mau beli monyet.
Sebenarnya sih sudah lama Kakek ingin memelihara
burung. Tapi karena nenekmu pelit, terpaksa kakek
harus mencari uang sendiri untuk membelinya."
206 "Jadi, uang yang diberikan oleh ayah selama ini,
nenek yang pegang?" Sang Kakek mengangguk, "Benar, Cu. Kata
nenekmu, uang itu cuma untuk keperluan sehari-hari.
Tapi Kakek tahu, bukan hal itu yang membuat
nenekmu jadi pelit, namun karena beliau tidak mau
aku memelihara burung. Kakek menduga, beliau takut
kalau Kakek akan kembali lagi dengan perbuatan
Kakek yang sudah lampau,"
"Memangnya perbuatan apa itu, Kek"' tanya Yuli
penasaran. "Begini, Cu... pada masa muda dulu, kakekmu ini
adalah seorang yang gemar mencari ilmu kebatinan.
Sampai pada suatu ketika, Kakek mendapat wangsit
yang mengharuskan memelihara burung tertentu.
Menurut wangsit, Kakek harus memelihara burung itu
hingga bersuara merdu, dan setelah burung itu
bersuara merdu, Kakek diharuskan menelan hatinya
mentah-mentah. Dengan demikian, Kakek akan
mempunyai suara yang merdu, semerdu suara burung
itu. Bukan cuma itu saja, Cu. Kakek pun akan
207 mempunyai lidah yang setajam pedang, maksudnya
setiap yang berbicara dengan Kakek akan menjadi
luluh hatinya." "Terus... apa yang terjadi kemudian" Kenapa
Nenek sampai tidak menyukainya?"
"Itulah, Cu. Karena ilmu tersebut, kakekmu ini
banyak yang menyukai. Terutama gadis-gadis cantik,
dan hal itu membuat nenekmu cemburu buta - beliau
mengancam akan meninggalkan Kakek, seandainya
Kakek masih memiliki ilmu tersebut. Karena Kakek
sangat mencintai nenekmu, makanya Kakek lebih
mengutamakan beliau dari pada ilmu tersebut, dan
akhirnya Kakek mencari orang pintar yang mampu
menghilangkan ilmu itu sampai tidak tersisa lagi."
"Kakek sih, bukannya mempelajari ilmu yang
bermanfaat untuk kepentingan orang banyak, tapi
justru memperlajari ilmu yang seperti itu."
"Iya, Cu. Kakek memang telah menyesali
perbuatan itu, dan setelah mendapat bimbingan dari
orang pintar yang menolong Kakek itu, akhirnya
Pedang Langit Dan Golok Naga 39 Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan Payung Sengkala 8