Pencarian

Bayangan Darah 4

Bayangan Darah Karya Pho Bagian 4


Hung dan Lauw Nen berdua menjadi pucat lebih duluan.
Teriaknya : "Bagaimana kau tahu?"
Thian Auw Siang Jin berpaling : "Bukan kamu, buat apa
akui?" ucapannya ini lebih mengherankan Lauw Hung dan
Lauw Nen lagi. Tetapi keheranan mereka itu hanya
berlangsung sekejap saja, lalu mereka mengertilah sudah.
Ucapan Thian Auw Siang Jin itu ditujukan pada Lauw Jok
Hong dan Lauw Hwie berdua. Kini, Lauw Jok Hong sendiri
yang berada disitu, sedangkan Lauw Hwie telah keluar. Maka
pandangan ketiga orang itu tertumpuk pada wajah Lauw Jok
Hong. Paras muka Lauw Jok Hong menunjukkan perasaan
yang sangat terperanjat, lalu berkata sambil menggoyanggoyangkan
kedua tangannya : "Bukan... bukan... urusan aku!"
Thian Auw Siang Jin membentak: "Berani berbuat, harus
berani bertanggung jawab. Biarlah So Beng Hiat In itu datang,
aku memang mau mencarinya, buat apa kau takut" ucapan itu
diucapkan dengan suara menggeledek. Setelah perkataannya
berlalu, terdengar sebuah suara yang sangat menyeramkan
mengalun dari balik batang pohon di dekat pintu : "Ya" Tidak
takut padaku" Mendengar sauranya, tapi tidak melihat
orangnya, tetapi perkataan 'tidak takut padaku' itu bagai
halilintar, membuat semua orang yang berada disitu berubah.
Walaupun Thian Auw Siang Jin tadi masih membentak dengan
keras, tapi kini, wajahnya pucat pasi dan Kim besi dalam
tangannya itu bersuara lemah. Pada saat begini, tentu saja ia
tidak berniat untuk memainkan Kim-na. Suara yang lemah itu
adalah disebabkan karena tubuhnya bergemetar, hingga Kim
besinya pun turut bergemetar, dan membunyikan suara
lemah. Lauw Nen merintih dan tidak dapat berdiri dengan tegap.
Ia mundur setindak memegang tembok untuk menahan
tubuhnya supaya tidak jatuh, hampir saja ia membuang air
seninya. Lauw Hung ternganga, seperti seekor ikan yang
megap kehilanganair. Janggut Lauw Thian Hauw yang telah
memutih bergoyang-goyang seakan ditiup topan, untuk sesaat
ia terdiam, selang beberapa saat, ia baru memberanikan
dirinya bicara : "Si... siapa?"
Pertanyaan ini memang sia-sia belaka, tetapi dalam
keadaan yang begitu kaget, ia tidak pula dapat mengatakan
apa-apa, maka ia terpaksa bertanya demikian. Dari pohon itu
mengalun lagi suara yang menyeramkan : "Buat apa bertanya
lagi, kecuali aku, siapa lagi?"
Bersamaan dengan perkataan itu, dari belakang pohon
berkelebat sesosok bayangan manusia. Semua orang menjadi
mematung, melihat orang tua berjubah merah darah yang
sangat menyilaukan mata. Dalam jubah itupun merah, dan
mukanya mengenakan sebuah topeng merah pula. Sekujur
tubuhnya, dari atas hingga ke bawah tidak sedikit yang tidak
merah, warna itu persis seperti warna darah segar, hingga
membawakan bau amis. Bayangan itu baru menampakkan
diri, Lauw Nen telah berteriak : "So Beng Hiat In!"
Berbarengan dengan teriakannya, tubuhnya terkulai dan
berjatuh di atas tanah. Kata Lauw Hung : "Kau... kau..." Ia ternganga sesaat dan
tidak dapat melanjutkan perkataannya. Begitu melihat orang
itu, hati Lauw Thian Hauw pun sangat terperanjat. Namun
memang jahe tua yang lebih pedas, lantas ia teringat akan
Thian Auw Siang Jin disini. Jangan Thian Auw Siang Jin bisa
menang, siapa tahu" Tetapi pada detik itu juga, ia teringat
suatu hal lain, dan tak tertahan lagi tubuhnya menjadi dingin,
seakan direndam dalam air es, hampir saja ia tak sadarkan
diri. Setelah Lauw Thian Hauw tahu bahwa orang tua itu adalah
Thian Auw Siang Jin dan mengagumi ketenaran namanya, ia
hanya memikirkan dirinya mendapat seorang pembantu, dan
tidak memikirkan yang lainnya. Tetapi kini, ketika ia melihat
Thian Auw Siang Jin, dilihatnya wajah Thian Auw Siang Jin
pun menjadi pucat pasi. Tiba-tiba ia teringat desas desus dari
dunia Bu lim, bahwa Pek Touw Cit Ji bertemu So Beng Hiat In
di Telaga besar, semenjak itu tidak ada lagi kabar berita
mengenai Pek Touw Cit Ji. Hingga saat ini, ia baru melihat
Thian Auw Siang Jin, yang matanya telah menjadi buta.
Melihat paras Thian Auw Siang Jin, betul saja seakan ia
memendam dendam yang sangat dalam pada So Beng Hiat In.
Kalau begitu, desas desus kang ouw itu ada benarnya, dan
bukan kabar angin belaka. Tetapi buat apa pula merasa
gembira, bantuan apa yang dapat diberikan pada diri sendiri"
Karena ketidak-munculan Pek Touw Cit Ji itu, justeru
disebabkan karena mereka telah mengalami kerugian besar
ketika melawan So Beng Hiat In di Telaga besar tempo hari,
mungkin juga Thian Auw Siang Jin menjadi buta pada ketika
itu. Diri sendiri masih mengimpikan mengandalkan ketenaran
namanya untuk sama-sama melawan So Beng Hiat In,
bukankah ini adalah suatu hal yang sangat menggelikan"
Berpikir sampai disini, hati Lauw Thian Hauw menjadi kaget
sekejap saja, di punggungnya seakan dirayapi oleh beribu-ribu
ulat panjang yang dingin, tentu saja itu adalah keringat
dinginnya. Sementara itu, setiap orang berdiri mematung. Hanya
orang aneh yang berpakaian merah itu saja yang melangkah
setindak demi setindak. Seketika ia melangkah maju itu,
tubuhnya melonjak-lonjak, persis seperti sebuah bayangan
darah yang membeku, hingga membuat suasana menjadi
sangat gaib sekali dan membuat hati setiap orang berdebar,
tidak berani menghela napas, sedangkan bayangan merah
yang aneh itu, setiap melangkah satu tindak ia mengeluarkan
suara tertawa yang aneh pula. Ia mendekat langkah demi
langkah, akhirnya sampai di hadapan Lauw Thian Hauw. Lauw
Thian Hauw ingin mundur, tetapi kedua kakinya seakan telah
terpaku di atas tanah, tidak dapat bergerak sedikitpun.
Keadaan begini boleh dikatakan belum pernah dijumpainya
selama ia mengembara berpuluh-puluh tahun di kalangan
kang ouw. Telinganya mendengung-dengung karena saking
kaget, otaknya tidak dapat memikirkan apa-apa lagi. Ia hanya
memikirkan satu hal : "Apakah aku akan tamat begini saja"
Apakah aku akan binasa di bawah tangan So Beng Hiat In?"
Orang merah itu berhenti di muka Lauw Thian Hauw, lalu
tertawa dingin tiga kali. Setiap kali ia tertawa, tubuh Lauw
Thian Hauw turut bergetar. Kemudian ia baru berkata dengan
dingin : "Lauw Thian Hauw, apakah kau telah tahu dosamu?"
Lauw Thian Hauw memaksa dirinya tenang : "Rupanya kau
keliru, selama hayatku ini, hanya membela kebenaran, ada
kesalahan apa yang ku perbuat hingga mengundang engkau
datang kemari?" Orang merah itu tertawa nyaring : "Kalau kau tidak
mengakui kesalahanmu, aku akan membinasakan seluruh
orang rumahmu!" Lauw Thian Hauw dengar, hatinya berdetak. Kini bukan
saja Lauw Thian Hauw dapat mendengar nada ucapan orang
itu sangat marah, bahkan Lauw Hung dan Lauw Nen pun tahu.
Lauw Hung memberanikan diri berkata : "Kalau mengaku
bagaimana?" "Mungkin masih boleh dirundingkan," kata orang aneh itu.
Hati Lauw Thian Hauw agak tenang, suaranya pun tidak
gemetar lagi. Ia mengumpat dalam hatinya. Walaupun ia
belum pernah mendengar cerita orang yang mengatakan So
Beng Hiat In memberikan kesempatan pada orang untuk
mengakui dosanya, dan masih dapat berunding, tetapi
mungkin selama ia tidak muncul di kalangan Bu lim, ia telah
merubah sifat-sifatnya. Siapa tahu" Kalau memang begini,
orang rumahnya masih ada harapan untuk hidup. Ketika orang
aneh yang bertubuh merah itu menampakkan dirinya dari balik
pohon, Lauw Thian Hauw hampir saja putus asa. Kini, dalam
keputusasaannya, muncullah suatu harapan, hatinya gembira
bukan kepalang tanggung. Ia berpikir sejenak, lalu katanya :
"Kalau anda berkata begitu, kami... akan menurut apa
kehendak anda." Orang merah itu tertawa terbahak-bahak : "Baik, Lauw
Thian Hauw, kabarnya engkau memiliki sebuah kita Lwe kang,
yang disebut... Thian Cing 24 jurus, kau pertunjukkan kita
padaku, aku akan lepaskan engkau!"
Kini hati Lauw Thian Hauw merasa sangat heran karena
Thian Cing 24 jurus itu walaupun adalah suatu ilmu silat yang
tidak dapat dianggap enteng. Namun dibandingkan dengan
ilmu So Beng Hiat In, tidak dapat pula disejajarkan. Kenapa So
Beng Hiat In ini justeru menghendaki kitab Thian Cing 24
jurus itu" Ia adalah orang lama di kalangan kang ouw, maka
ia berkata sambil tertawa : "Jangan-jangan Thian cing 24
jurus itu tidak ada seperseribu dari ilmu silat anda yang sangat
tinggi itu!" Orang merah itu membentak marah : "Jangan banyak
rewel, tentu saja ilmu silatku berada di atas apa yang tertera
di atas Thian Cing 24 jurus itu. Ttapi kalau mau maju lebih
tinggi lagi, harus mengambil sari kepandaian orang, kau
mengerti" Kalau kau tidak keluarkan, jangan heran kalau aku
turun tangan secara kejam. Perkataannya yang terakhir ini,
diucapkannya dengan tajam sekali. Ia berkata sambil
membentangkan tangannya. Pakaian yang dikenakan di
tubuhnya itu istimewa sekali, lengan bajunya lebar sekali,
ketika ia membentangkan kedua tangannya seakan di bawah
ketiaknya telah tumbuh sepasang sayap merah, yang sangat
mengerikan orang yang melihatnya.
Walaupun hati Lauw Thian Hauw bercuriga melihat
keadaan ini, hatinya pun menjadi terperanjat. Buru-buru ia
mundur setindak : "Tentu saja aku percaya, silahkan anda
menunggu disini sebentar, aku pergi ambil."
Orang merah itu tertawa dingin : "Ini baru bijaksana."
Lauw Thian Hauw membalik badan mau pergi,tapi ketika
baru ia mengangkat kakinya, terdengar suara Thian Auw Siang
Jin yang berat : "Tunggu dulu!"
Lauw Thian Hauw bukan orang sembarangan, mendengar
perkataan Thian Auw Siang Jin itu, buru-buru ia berhenti dan
membalikkan kembali tubuhnya dan orang merah itu berpaling
memandang TASK : "Siapa kau?"
Daging di muka Thian Auw Siang Jin bergoyang-goyang tak
hentinya, tampaknya perasaannay sangat tegang. Terdengar
ia berkata dengan suara yang tertekan : "Masa kau sudah
tidak mengenali aku lagi."
ORang merah itu mendehem : "Selama hidupku, entah
telah berapa banyak yang ku jumpai, mana aku bisa ingat
kau?" Thian Auw Siang Jin mengacungkan Kim besinay, dan
kelima jarinya melayang di atasnya dan menimbulkan suara
"cring, cring, cring" tiga kali, lalu bentaknya : "Kau tidak
mengenali aku siapa, masa kau tidak menganli Kim ini?"
Orang merah itu marah : "Siapa kau, lekas katakan, jangan
banyak rewel disini, bagaimana aku ingat siapa kau ini?"
"Thian Auw Siang Jin menengadah, tiba-tiba ia melontarkan
suara tertawa yang menggetarkan bumi : "Hiat In, betul tidak
ingat lagi padaku, atau pura-pura tidak ingat" Tidak ada orang
yang lolos dari bawah tanganmu, tapi akulah satu-satunya
yang bisa lolos, betul kau tidak ingat lagi?"
Ketika Thian Auw Siang Jin bertanya, dijawab dengan
orang merah itu, Lauw Thian Hauw dengan sangat seksama
mengamat-amati wajah kedua orang itu. Dilihatnya nafsu
membunuh di wajah Thian Auw Siang Jin makin lama makin
tebal. Perasaan ketakutannya telah berangsur-angsur hilang,
tampak sekali kebenciannya terhadap lawannya kian lama kian
mendalam, dan membulatkan tekadnya untuk siap mengadu
jiwa. Melihat keadaan ini, hati Lauw Thian Hauw mengumpat.
Ia mengharapkan Thian Auw Siang Jin yang turun tangan
dulu, biar dirinya dapat melihat sampai dimana ketinggian ilmu
silat SBHi. Kemudian baru membuat suatu keputusan, paling
banyak ia akan kehilangan Thian Cing 24 jurus itu, tidak ada
hal lain yang dapat menguatirkan lagi. Maka hatinya menjadi
tenang. Ketika Thian Auw Siang Jin mengatakan dirinya
adalah satu-satunya yang lolos dari tangan So Beng Hiat In,
tubuh orang merah itu bergetar sekali dan tertegun sejenak
tidak bersuara. Kemudian baru berkata : "Kau, kau pernah
lolos, dan aku sekarang berada di hadapanmu, kenapa kau
tidak mau kabuar?" Thian Auw Siang Jin dengar, tiba-tiba ia tertawa lagi,
suaranya nyaring sekali : "Kabur" Apakah aku belum cukup"
Aku kabur kesana kemari, sampai ke ujung langit, dan telah
kabur berapa tahun" Aku telah cukup." Tiba-tiba ia berhenti,
dan melangkah maju setindak, lalu tertawa lagi; kemudian
sambungnya : "Aku sudah cukup kabur kemana-mana, aku
tidak mau kabur lagi, aku lebih suka orang-oran gtahu aku
Thian Auw Siang Jin lebih baik mati di bawah tangan So Beng
Hiat In, karena kepandaianku tidak cukup untuk melawan So
Beng Hiat In, dan aku tidak mau orang-orang mengatakan aku
pengecut, melihat So Beng Hiat In lalu kabur!"
Berkata orang merah itu : "Kini kau berhadapan dengan
aku, persis sebuah telur menghantam batu..." ia baru berkata
sepatah tubuhnya telah bergetar, katanya dengan terlepas :
"Kau bilang kau adalah Thian Auw Siang Jin?"
Kata Thian Auw Siang Jin : "Tidak slah, kau sudah ingat" Di
Telaga Besar, kau membuat kami bertujuh..." tiba-tiba ia
berteriak, Kim besi dalam tangannya itu menimbulkan tenaga
angin yang sangat dahsyat, dari bawah ke atas menghantam
orang merah itu. Kecepatannya sukar dilukiskan, apalagi
serangannya itu dilakukan ketika ucapannya tiba-tiba berhenti,
tampaknya serangannya itu lebih dahsyat lagi! Tentu saja ia
teringat kembali akan pertempuran di Telaga Besar tempo
hari, dan tak dapat menahan amarahna, maka ia menerang
secara mendadak. Tubuh orang merah itu tiba-tiba mundur
mengelak. Dan ketika ia mundur itu, Lauw Thian Hauw telah
melihat kesalahannya! Kini, betapa dahsyatnya serangan
Thian Auw Siang Jin, taruhlah orang merah itu ingin mundur,
seterusnya ia mundur dengan cepat, namun ia mundur
dengan pelan sekali, dan terhuyung-huyung ke samping kena
sambaran angin Kim besi. Andaikata ilmu dikatakan ilmu yang
aneh, Lauw Thian Hauw boleh menyesalkan dirinya kurang
pengetahuan. Walaupun sepasang mata Thian Auw Siang Jin
buta, tapi ia dapat mendengar ketika orang merah itu mundur,
langkahnya sangatlah besar, bukan seperti orang yang
mempunyai ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi, maka ia
menarik kembali Kim besinya. Jurusan kedua sementara
ditahannya, bentaknya : "Siapa kau?"


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang merah itu pun balas membentak : "Tua bangka buta
yang tidak tahu mati, siapa lagi aku ini" Kalau masih tidak
berlutut mengaku kesalahan, aku pasti menyuruh kau mati
hingga tidak ada tempat untuk dikubur."
Thian Auw Siang Jin tertawa : "Masa ya?" Ucapan 'ya' baru
keluar, mendadak Kim besinya telah menyerang lagi. Kali ini,
serangannya lebih dahsyat lagi. Sebuah aliran angin yang
sangat dahsyat mendengung membuat setengah lingkaran,
dan menyambar ke depan, bersamaan dengan itu tangan
kirinya membuat suatu lingkaran, dan didorongnya ke depan.
Sampai di tengah jalan, kelima jarinya melengkung membuat
kaitan menyambar ke depan. Kedua jurus itu, tampaknya
dikeluarkan pada waktu yang sama. Jurus pertama angin
dahsyat yang ditimbulkan oleh babatan Kim besinya membuat
tubuh orang merah itu terhuyung-huyung, sambaran
tangannya lebih hebat lagi. Sekejap saja, kaitan tangannya
telah menangkap bahu orang merah itu.
Kalau mengatakan perubahan itu di luar dugaan Lauw
Thian Hauw, itu pun belum tentu, karena ketika orang merah
itu mundur, beberapa orang yang berada disitu telah melihat
kaitan Thian Auw Siang Jin itu pasti dapat menangkap
sasarannya. Karena ketika Kim besi itu dikebas, kaki orang
merah itu tidak mantap lagi, orang berpengalaman dapat
melihat, orang itu pasti akan kalah. Tetapi hati mereka tidak
dapat tidak heran, dalam satu jurus saja So Beng Hiat In telah
kalah di tangan Thian Auw Siang Jin. Bagaimana tidak
membuat orang merasa heran" Ketika mereka masih terheranheran,
terdenar suara orang merah telah berubah menjadi
suara yang sangat dikenal mereka : "Siang Jin, ampunilah
saya." "Dia adalah Then Seng!" teriak Lauw Nen pertama-tama.
Orang lainnya pun telah mengetahui adalah penjaga
rumahnya Then Seng, si Macan tutul merah, dan mereka pun
telah mengerti kenapa Then Seng menyamar ssebagai So
Beng Hiat In. Ia hanya ingin menggunakan kesempatan itu
untuk mendapatkan Thian Cing 24 jurus saja, lalu kabur jauhjauh.
Ia tahu bahwa orang-orang Bu lim takut pada So Beng
Hiat In. Ia pun telah tahu hati Lauw Thian Hauw was-was,
maka ia menjalankan siasat itu. Andaikata Thian Auw Siang Jin
tidak ada disitu, ia pasti telah berhasil!
Thian Auw Siang Jin yang muncul dengan tiba-tiba itu,
sama sekali tidak terduga oleh Then Seng. Ini hanya dapat
dikata ia bernasib jelek! Kini ia berteriak melengking, lalu
dibentak Thian Auw Siang Jin : "Siapa kau?"
"Aku adalah Then Seng, penjaga rumah Lauw. Aku
menyamar sebagai Hiat In hanya untuk menyerakahi Thian
Cing 24 jurus itu. Ampun, ampun, Siang Jin ampun."
Tangan kiri Thian Auw Siang Jin mencekal bahu Then Seng,
meletakkan Kim besinya ke bawah ketiaknya, mengosongkan
tangan kanannya dan mengusap-usap kepala Then Seng
berkali-kali. Kepala Then Seng itu ditutup dengan kain merah,
setelah diusap-usap Thian Auw Siang Jin, penutup itu menjadi
berkeping-keping dan melayang-layang ke-empat penjur bagai
kupu-kupu yang sedang menari-nari. Sekejap saja, penutup
itu telah hilang dan memperlihatkan muka Then Seng yang
seperti mayat itu, lalu teriaknya : "Tuan, cobalah bicara,
saya... rela menjadi kuda atau sapi, dan tidak berani lagi
berniat jahat!" Sementara ini hati Lauw Thian Hauw memang sangat
gusar, mana ia dapat bertahan dengan permainan Then Seng
itu" Ia jadi tambah marah lagi, katanya sambil tertawa dingin
: "Then Seng, dulu kau didesak oleh musuhmu hingga tidak
bisa kabur. Pada waktu itu aku yang menolong kau, kini kau
mengeruk di air keruh, apakah kau masih ada muka untuk
minta tolong lagi padaku?"
Bibir Then Seng bergerak ingin bicara tapi suaranya tidak
dapat keluar, sedangkan tangan Thian Auw Siang Jin tak
henti-hentinya mengusap kepala Then Seng, hinggga
rambutnya terpotong-potong dan terbang ke udara. Sekejap
saja kepalanya telah menjadi botak, tidak ada sebatang
rambut pun yang tertinggal, persis seperti baru dicukur. Thian
Auw Siang Jin terus mengusap-usap seraya tertawa dingin.
Tiba-tiba Then Seng menjerit seakan seekor hewan yang
dijagal. Kini, semua orang yang melihat menjadi terpaku,
rupanya kulit kepala Then Seng telah copot, darah segarnya
menetes setetes demi setetes, h ingga membuat suatu
pemandangan yang sangat menyeramkan!
ORang-orang yang melihatnya, mukanya menjadi pucat
pasi. Lauw Hung berkata dengan terlepas : "Siang Jin,
musnahkan saja dengan pukulanmu."
Segera Thian Auw Siang Jin mendelikkan matanya yang
putih itu melotot pada Lauw Hung, hingga Lauw Hung menjadi
kaget dan memalingkan mukanya, tidak berani bersuara lagi.
Tiba-tiba Thian Auw Siang Jin menggerakkan tangannya
mengangkat tubuh Then Seng. Kini Then Seng telah menjadi
lemas, suara rintihannya pun telah hilang. Setelah
mengangkat Then Seng, Thian Auw Siang Jin membalikkan
tangannya memutar tubuh Then Seng hingga membuat kepala
Then Seng berada di bawah, kakinya di atas, lalu
membantingkan kepala Then Seng itu ke atas tanah,
terdengar suara 'buk', kepala Then Seng telah menancap di
dalam tanah tapi dia tidak lantas mati, kaki dan tangannya
masih terus meronta-ronta.
Ketika Thian Auw Siang Jin membenturkan kepala Then
Seng ke atas tanah, ia menggunakan ilmu 'Di balik gunung
memukul sapi'. Maka waktu kepala Then Seng menancap ke
dalam tanah, namun tidak mengalami cidera yang berarti,
hanya kepalanya telah berpendam di bawah tanah, tidak
dapat menarik napas dengan leluasa, maka kaki dan
tangannya masih terus meronta-ronta. Ini sama kejamnya
dengan mengubur orang hidup-hidup. Semua orang yang
berada disitu bukanlah orang baik-baik, entah telah berapa
banyak kejahatan yang dilakukan mereka, tetapi melihat
tangan Then Seng makin meronta makin marah. Sampai
kemudian sepasang tangannya telah menjadi warna ungu, dan
Thian Auw Siang Jin masih terus tertawa dengan nada yang
sangat menyeramkan, hati mereka pun sangat ngeri.
Setelah berselang beberapa saat, rontaan Then Seng baru
menjadi lambat. Thian Auw Siang Jin berteriak menyekal kaki
Then Seng lalu mengangkat kembali tubuh Then Seng dan
Then Seng masih sempat menjerit.
Kemudian Thian Auw Siang Jin menggoyangkan tangannya
melemparkan tubuh Then Seng ke udara. Dari ketinggian lima
tombak, Then Seng menjerit-jerit lagi. Kaki dan tangannya
terputus, darahnya bercucuran. Ketika tubuhnya terjatuh ke
bawah, tubuhnya telah bercerai berai menjadi empat lima
potong. Rupanya ketika Thian Auw Siang Jin melemparkan
tubuhnya ke udara tadi, ia telah menggunakan ilmu silatnya
hingga membuat tulang temulang Then Seng terpotongpotong,
sangat mengerikan! Thian Auw Siang Jin terus tertawa, hingga menyerikan
setiap orang. Setelah Lauw Thian Hauw menenangkan
hatinya, ia mengumpat dalam hatinya, ilmu silat Thian Auw
Siang Jin memang sungguh hebat, melihat parasnya seakan ia
akan senewen, biar dia menjadi tenang dulu; maka ia berkata
dengan suara yang tegas : "Ilmu Siang Jin memang hebat
sekali, kalau So Beng Hiat In betul-betul datang, kita jangan
takut lagi!" Ucapan ini hanyalah untuk mengambil hati Thian
Auw Siang Jin, selanjutnya baru benar-benar merundingkan
persoalan So Beng Hiat In itu. Namun tidak disangka, ketika ia
mendengar Lauw Thian Hauw berkata begitu, tiba-tiba ia
berhenti tertawa dan memasamkan mukanya, lalu berkata
dengan dingin : "Apa maksudnya kau berkata begitu?"
Karuan saja Lauw Thian Hauw menjadi tertegun. Ia telah
berkelana begitu lama di dunia kang ouw, persoalan aneh apa
yang belum pernah dilihatnya. Seperti sekarang, ia ingin
mengambil hati lawannya, malah lawannya menjadi marah,
hal seperti ini memang belum pernah dijumpainya. Kemudian
katanya : "Maksudku..."
Belum habis ucapannya, Thian Auw Siang Jin telah
memotongnya : "Maksudmu, aku hanya bisa menghadapi So
Beng Hiat In yang palsu. Kalau menghadapi yang tulen, aku
tidak berdaya, begitu?"
"Begitu" nya itu dikatakannya keras sekali, rupanya ia ingin
mencari ribu. Dalam hati Lauw Thian Hauw merasa geli
bercampur marah, ia mengumpat dalam hatinya, mana pernah
aku bermaksud demikian" TAdinya ia boleh menjelaskan pada
Thian Auw Siang Jin, supaya yang disebut belakangan tidak
salah paham. Tetapi justru ia adalah jago silat dan
berkedudukan tinggi di kalangan dunia persilatan. Kini
sebenarnya Thian Auw Siang Jin telah salah paham,
bagaimana ia mau merengek" Ketika itu, suaranya pun tidak
begitu gembira, hanya berkata dengan dingin : "Siang Jin
telah salah tangkap maksud saya."
Tapi Thian Auw Siang Jin belum mau berubah, tubuhnya
maju setindak dan mendelikan mata putihnya yang
menyeramkan itu. "Lalu apa maksudmu, ayo lekas katakan!"
Ia terus mendesak sambil menudingkan tangan yang hampir
menyentuh hidung Lauw Thian Hauw.
*** BAGIAN TUJUH Hati Lauw Thian Hauw terperanjat dan marah. Walaupun ia
sama sekali tidak bermaksud menyakiti Thian Auw Siang Jin,
malah sebaliknya ingin menggunakannya untuk menghadapi
So Beng Hiat In, namun dalam keadaan begini ia pun tidak
dapat bersabar lagi. Katanya dengankasar : "Saya
mengatakan ilmu Siang Jin sangat tinggi, apakah salah
perkataan itu?" Thian Auw Siang Jin tertawa terbahak-bahak : "Perkataan
itu tidak salah, cuma ketika aku membunuh seorang Hian In
palsu, kau berkata begitu. Bukankah itu menjadi suatu
ejekan?" Lauw Thian Hauw sama sekali tidak menduga bahwa Thian
Auw Siang Jin yang sangat tersohor dan berilmu sangat tinggi
itu, namun bertabiat bertele-tele. Lalu ia pun turut menjadi
berangasan, kakinya mundur setindak, tangannya memegang
gagang pedangnya.Katanya : "Kalau begitu, malah aku harus
mengatakan ilmu silatmu tidak becus, kau baru..." Ucapan itu
belum habis, terdengar Thian Auw Siang Jin telah berteriak
sekali.Kim besi dalam tangannya itu telah melayang
menghantam kepala Lauw Thian Hauw. Angin yang timbul
karena pukulan Kim besinya itu sangat dahsyat sekali, hingga
memaksa Lauw Hung dan adik-adiknya mundur. Dan angin itu
menggetar senar Kim, sekejap saja terdengar suara "Cring,
cring" dan "Deng, deng" berbunyi terus menerus bercampur
dengan deruan angin dahsyat tadi, seakan ada seseorang
yang sedang masuk di bawah deruan angin, dan menunjukkan
jurusnya itu hebat dan aneh sekali.
Walaupun Lauw Thian Hauw telah menekan gagang
pedangnya, tapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa Thian
Auw Siang Jin bisa lantas menyerangnya. Ketika ia sadar, Kim
besi hampir menghantam batok kepalanya. Buru-buru ia
memendekkan tubuhnya,dan pada saat inilah pedang
panjangnya berbunyi dan telah terhunus dari sangkurnya, lalu
dikerahkannya tenaganya. Terdengar suara "ces", pedangnya
mulai main. Setelah itu suara "ces, ces" terus berlangsung,
dalam sekejap saja tenaga pedangnya telah menjadi hebat
sekali, kilatan pedangnya berkilau-kilauan menerjang ke atas.
Pukulan Kim besi Thian Auw Siang Jin seakan segumpal awan
hitam sedangkan tenaga pedang Lauw Thian Hauw bagai
sebuah halilintar di tengah-tengah awan hitam. Dalam
sekelebatan saja terdengar suara "cring, cring, cring" tiga kali.
Pedang panjang itu telah mengenai Kim besi tiga kali.
Setelah tiga suara cring itu berlalu, tiba-tiba Lauw Thian
Hauw memutar tubuhnya berputar keluar, setelah tubuhnya
berputar keluar baru ia berdiri tegak. Thian Auw Siang Jin
berteriak : "Bagus!" tubuhnya mendesak, Kim besinya pun
telah menyapu lagi. Kali ini Lauw Thian Hauw telah bersiaga,
tidak kewalahan seperti tadi. Tangannya bergoyang, satu
jurusan 'Ang Jit Se Cen' (matahari merah terbenam di ufuk
barat), pedang panjangnya melayang ke atas lalu ke bawah,
dengan cepat sekali membuat setengah lingkaran. Ujung
pedangnya melayang dardi atas terus menyambar leher Thian
Auw Siang Jin. Jurus pedang ini boleh dikatakan sangat pedas. Andaikata
Thian Auw Siang Jin tertusuk pedang Lauw Thian Hauw,
nyawanya tentu saja akan melayang. Tapi kalau Lauw Thian
Hauw kena pukulan besi Kim Thian Auw Siang Jin,ia pun tidak
dapat hidup. Kini Lauw Thian Hauw tidak bermaksud mau
mengadu jiwa dengan Thian Auw Siang Jin. Dalam keadaan
begini, ia menggunakan jurus itu hanyalahuntuk
menghentikanserangan Thian Auw Siang Jin. Kalau
membicarakan soal ilmu silat, Lauw Thian Hauw tidak mungkin
berada di atas Thian Auw Siang Jin, tetapi jurusnya 'Ang Jit Se
Cen' ini adalah suatu ilmu yang sukar sekali melukiskan
kedalamannya, ditambah lagi dengan tenaga Lwe kang-nya,
walaupun ujung pedang itu masih berjarak jauh dari
sasarannya, tetap tenaga pedangnya telah tiba dulu.
Thian Auw Siang Jin tiba-tiba merasakan ada sebuah aliran
dingin yang menyerang lehernya dengan mendadak, hatinya
menjadi sangat terperanjat. Dalam sekejap saja ia mundur
dengan tiba-tiba, tentu saja serangan Kim besinya pun turut
mundur. Lauw Thian Hauw melihat lawannya mundur, ia pun
tidak menyerang lagi lalu berdiri dengan memegang
pedangnya seraya berkata : "Siang Jin, musuh kita hampir
tiba, apakah kita masih mau saling hantam?"
Thian Auw Siang Jin berdiri mematung, tidak bersuara.
Ketika Lauw Thian Hauw belum dapat meraba apakah
Thian Auw Siang Jin masih mau saling hantam atautidak, tibatiba
dari tempat tidak jauh mengalun sebuah suara yang
sangat jelas : "Silat kamu berdua sangat menakjubkan, hingga
melebarkan pandangan mataku, kalian berdua berilmu sangat
tinggi, kenapa masih mau meniru orang biasa yang suka
rebut-rebutan?" Tadi ketika Lauw Thian Hauw dan Thian Auw Siang Jin
berhantam, hati mereka masing-masing telah mengetahui ilmu
lawantidak dapat diremehkan dan tidak boleh diabaikan, harus
memusatkan seluruh konsentrasi, itu tidak perlu dikatakan
lagi. Lauw Hung dan adik-adiknya pada merasa sangat
terperanjat. Mereka sama sekali tidak memperhatikan siapa


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang telah datang itu. Ketika orang itu membuka suara,
semua orang menjadi terperanjat. Reaksi Thian Auw Siang Jin
yang paling cepat, walaupun sepasang maatanya buta tapi
telah membalikkan tubuhnya, mengangkat Kim besinya
melindungi tubuhnya. Orang-orang lainnya pada melihat
memandang ke depan, dan melihat sesosok bayangan kurus
setengah baya sedang berdiri di bawah pohon. Orang
setengah baya itu mengenakan pakaian yang berwarna hijau,
yang melambai-lambai ditiup angin, membuat orang yang
melihatnya merasa bahwa dia adalahs seorang suci. Wajahnya
serius, membuat orang merasa hormat melihatnya. Tetapi kini
wajahnya diliputi dengan kesedihan, di tubuhnya tidak
bersenjata apa-apa. Yang aneh adalah di dalamnnya
tergenggam sebuah pisau buntung, pisau itu tipis kurus,
rupanya pisau Liu Yap (daun pohon Liu) yang biasa digunakan
oleh kaum wanita, sedangkan orang ini adalah seorang lelaki.
Kenapa ia menggenggam sebuah pisau Liu Yap, bukankah hal
ini sangat mengherankan" Tetapi itu adalah perasaan Lauw
Hung dan Lauw Nen belaka, Lauw Hwie dan Lauw Jok Hong
berdua hampir saja menjadi pingsan ketika melihat pisau Liu
Yap yang buntung itu. Lauw Jok Hong telah terhuyung terjatuh ke atas tanah
ketika dikebas oleh lengan jubah Thian Auw Siang Jin di luar
tembok tadi. Waktu itu Thian Auw Siang Jin tidak bermaksud
untuk membunuh orang, maka ia tidak menggunakan tenaga
dalamnya. Kalau tidak biarpun ada sepuluh Lauw Jok Hong,
pasti telah binasa semuanya. Lauw Jok Hong merangkak
hingga ke depan pintu dantelah kaget berkali-kali, hampir saja
ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Kini, begitu melihat Liu
Yap yang telah hilang ujungnya itu, kedua lututnya telah
menjadi lemas, hampir saja terkulai di atas tanah.Malah Lauw
Hwie lebih gagah daripada kakaknya, walau dalam hatinya
pun merasa sangat terperanjat melihat keadaan Lauw Jok
Hong yang kurang beres; tiba-tiba terkulai di atas tanah, pasti
membangkitkan perasaan curiga pada orang-orang lain. Maka
buru-buru ia mencekal lengan Lauw Jok Hong dan
menahannya sekuat tenaga supaya tidak terjatuh. Mereka
berdua tadinya memang berdiri berdampingan, maka tidak
ada orang yang memperhatikan mereka.
Lauw Thian Hauw masih tetap berdiri tidak bergerak,
matanya yang tajam itu telah menyapu tubuh orang setengah
baya berkali-kali. Dilihatnya orang yang berdiri itu walaupun
bermuka murung, seakan dalam hatinya ada sesuatu hal yang
memilukan hatinya, tapi wajahnya berwibawa dan gagah.
Sekali pandang Lauw Thian Hauw telah tahu bahwa orang itu
ahli silat yang tinggi. Tetapi untuk sesaat Lauw Thian Hauw tidak dapat menerka
asal usul orang. Ia terus memandang orang itu sambil terus
tersenyum pahit dalam hatinya, karena dalam satu hari ini
saja, kesukaran yang dihadapinya sudah cukup banyak dan ia
tidak mau menyakiti siapa-siapa lagi. Maka ia berkata dengan
tegas : "Saya dengan sahabat ini, karena sedikit salah paham
lalu berantam hingga ditertawakan anda. Semoga anda tidak
turut campur dan berlalulah!"
Ucapannya cukup ramah, tapi ia telah mengusir tamunya.
Namun orang setengah baya itu tidak marah : "Tapi ilmu silat
kamu berdua hebat sekali, maka saya mau tidak mau berhenti
melihatnya. Di sepanjang jalan sya selalu mendengar orangorang
pada menyebut-nyebut nama Lauw Thian Hauw, saya
kira anda pastilah Lauw Toa Hiap itu."
Lauw Thian Hauw hanya menginginkan orang itu cepatcepat
berlalu, maka ia membuka suara lantas mengusir tamu
itu. Tapi tidak diduganya, bukan saja tidak pergi, malah telah
menyebutkan namanya. Biasanya Lauw Thian Hauw pasti
merasa sangat gembira karena dengan demikian ia telah
menambah seorang kawan lagi. Tapi kini ia lebih suka berbuat
sebaliknya. Ia hanya berkata dingin : "Saya memang she
Lauw, dan nama besar kamu" Apakah saya boleh tahu?"
Orang setengah baya itu menghela napas. Ia tidak
menyebutkan siapa dirinya, hanya berkata : "Nama Lauw Toa
Hiap tenar dimana-mana. Betul saja berilmu sangat tinggi,
andaikata saya tidak ada urusan yang penting, tentu saya
senang minta petunjuk."
Lauw Thian Hauw berkata dingin : "Rupanya anda masih
ada keperluan, silahkan saja."
Orang itu membalikkan tubuhnya ingin melanjutkan
perjalannya. Baru saja ia melangkah setengah tindak, ia telah
membalikkan kembali tubuhnya : "Lauw Toa Hiap, tadi saya
dengar Lauw Toa Hiap mengatakan ada musuh besar, saya
kira musuh besar yang disebut Toa Hiap itu pastilah sebuah
setan iblis yang sangat hebat.Kalau saya dapat dipakai, saya
takkan menolak." Hati Lauw Thian Hauw telah mengomel, kenapa di dunia ini
ada orang yang bertele-tele seperti dia ini" Tetapi orang itu
baik hati. Andaikata ia betul dimarahi, jangan-jangan ia akan
menjadi musuh lagi. Maka ia menahan marahnya dan berkata
dengan sabar : "Bukan pula musuh yang maha besar, saya
sendiri dapat menghadapinya. Silahkan saja anda berlalu."
"Oh," kata orang setengah baya itu,lalu ia membalikkan
tubuhnya dengan pelan. Ketika ia membalikkan tubuhnya,
kebetulan berpapasan pandangan Lauw Jok Hong dan Lauw
Hwie berdua. Tiba-tiba ia tertegun dan pandangannya
berhenti di tubuh Lauw Jok Hong. "Ih," katanya : "Siauw Ko
(kakak kecil) ini siapa namamu" "Boleh kasih tahu?"
Lauw Thian Hauw bersusah payah menunggu orang itu
mau pergi, tiba-tiba oran gitu bertanya lagi pada Lauw Jok
Hong. Kalau begini terus, kapan ia baru bisa pergi" Lalu
katanya dengan tidak sabar : "Dia adalah anakku, tentu anda
juga mengenalinya. Buat apa bertanya lagi?"
Andaikata orang lain, kalau bukan ngeloyor pergi pastilah
marah. Tapi orang setengah itu tidak. Ia hanya berkata : "Oh,
rupanya anak anda." Ia berkata sambil tak henti-hentinya
memandang Lauw Jok Hong. Hati Lauw Jok Hong bergidik dipandang orang dengan cara
begitu dan tidak dapat bersuara.
Terpaksa Lauw Hwie yang bertanya : "Eh, buat apa kamu
melihatnya terus?" "Aku melihat paras muka Lauw kong cu ini persis dengan
apa yang diuraikan seorang yang hampir putus nyawanya
maka aku memandangnya agak banyak."
Hati Lauw Hwie berdetak, katanya : "Apa yang kau ocehkan
disini?" Orang setengah baya itu geleng-geleng kepala dengan
pelan-pelan tetapi sepasang matanya masih tetap memandang
pada Lauw Jok Hong. Katanya : "Bukan sembarangan ngoceh,
orang yang diuraikan oleh orang yang hampir mati itu ialah
berwajah cerah, mukanya agak pucat, umurnya sekitar dua
puluhan, di atas alis kirinya ada sebuah bintikan merah,
bibirnya tipis, bukankah kesemuanya itu sama dengan
wajahnya?" Orang setengah baya itu berkata sambil mengulurkan
tangannya menunjuk-nunjuk ke muka Lauw Jok Hong, setiap
kali ia menunjuk ke arah Lauw Jok Hong, daging di muka
Lauw Jok Hong turut bergoyang-goyang. Lauw Hwie yang
berada di sampingnya itu pun sangat kaget hingga tidak dapat
berkata apa-apa. Lauw Hung yang paling berangasan, ia dulu y ang tidak
sabar, bentaknya : "Orang ini rupanya gila."
Orang setengah baya itu menghela napas, menyodorkan
tangannya, lalu pelan-pelan membalikkan tubuhnya, dan
berkata pada Lauw Hung : "Toa kouw nio, kau tahu orang
hampir mati itu siapa?"
Amarah Lauw Hung telah memuncak lagi, katanya : "Biar
nenek moyang kau pun bukan urusan aku! Kau masih belum
mau pergi?" Lauw Thian Hauw yang berdiri di sebelah itu pun sudah
melotot, dalam keadaan ini, siapa saja akan angkat kaki
seribu. Orang setengah baya itu malah betul-betul seekor ular
berkulit lembut, bukan saja ia tidak pergi, malah ia gelenggeleng
kepala : "Dia bukan nenek moyangku, kau salah terka.
Ia, matinya sangat menyedihkan."
Lauw Hung dan Lauw Thian Hauw melihat orang setengah
baya itu terus ngoceh tak habis-habisnya, seakan bukan
sungguh-sungguh tapi bukan pula main-main. Tampangnya
seperti seorang jago silat dari rimba persilatan, tapi ucapannya
seperti ucapan bajingan, sungguh tidak dapat menduganya
dari mana orang ini. Siap-siap mengusirnya dengan kekerasan,
amarah dalam hatinya pun telah memuncak. Tiba-tiba
mendengar ucapan terakhir orang itu 'matinya sangat
menyedihkan' hatinya tak tertahan lagi bergidik. Karena ketika
orang setengah baya itu mengucapkan perkataan itu, nadanya
sangat menyeramkan, membuat bulu roma orang yang
mendengarnya berdiri. Lauw Thian Hauw adalah seorang jago silat yang
berpengalaman, pengetahuannya luas. Ia telah dapat
merasakan persoalan itu agak lain, karena hati seseorang
kalau bukan betul-betul menerima suatu pukulan yang sangat
hebat, sekali-kali tidak mungkin berkata dengan suara yang
sangat menyeramkan itu. Lalu Lauw Thian Hauw melangkah
setindak : "Siapa anda yang telah mati?"
Orang setengah baya itu menengadahkan mukanya yang
sangat murung : "Hari demi hari aku membesarkannya, coba
kau bilang, siapa dia itu?"
Lauw Thian Hauw menganggup : "Kalau begitu, dia
anakmu?" Orang setengah baya itu berkata dengan nada pahit : "Ya,
hari demi hari aku pelihara dia. Selama 20 tahun kalau dia
sakit, atau kulitnya pecah sedikit, hatiku sangat sedih. Kini ia
telah mati, matinya sangat menyedihkan!"
Hati Lauw Thian Hauw ingin mengusir orang itu lebih cepat
lebih baik, namun ia tahu, kalau ia ingin orang yang seperti
permen karet itu segera pergi ia harus menggunakan sedikit
akal. Maka ia berkata dengan sabar : "Betul, di dunia ini tidak
ada hal yang lebih sedih lagi daripada kepala putih
mengantarkan kepala hitam. Tapi anak anda telah mati dan
tidak mungkin hidup kembali, apa gunanya kau cerita di
hadapan kami?" Tiba-tiba orang setengah baya itu tertawa dengan suara
yang sangat tajam : "Kalau tidak memang aku sudah harus
pergi, sebelum anakku mati, ia telah bertemu dengan aku dan
napasnya belum putus. Lalu ia menguraikan orang yang
membunuhnya, katanya : "Orang yang membunuhnya itu
adalah sepasang muda mudi, seperti kakak beradik, rupa
pemuda itu persis seperti Siauw Ko ini. Sebelum sempat
mengatakan rupa pemudi itu, napasnya telah putus. Ha, ha,
memang hal-hal di dunia ini sangat kebetulan sekali, bukankah
begitu?" Pertanyaan yang terakhir ini, sekalilagi mengagetkan
orang-orang yang berada disitu. Lauw Thian Hauw berpaling
memandang Thian Auw Siang Jin, dilihatnya Thian Auw Siang
Jin telah duduk di bawah pohon dengan tenang, seakan tidak
mau turut campur dengan persoalan yang terjadi di
hadapannya. Lalu Lauw Thian Hauw berpaling kembali : "Apa maksud
perkataan anda ini?"
Orang setengah baya itu berkata : "Waktu itu aku berpikir
dimana aku harus mencari orang itu" Anakku mati konyol,
dendam ini pasti tidak terbalas. Siapa tahu ketika aku sampai
disini, kebetulan sekali aku menemuinya!" Orang setengah
baya itu berkata panjang lebar, tapi tiba-tiba ucapannya
berbalik terus menganggap Lauw Jok Hong adalah pembunuh
anaknya." Lauw Hung dengar sampai disini, ia tidak dapat bersabar
lagi, bentaknya : "Sialan anak kau mati apa hubungannya
dengan orang lain, malah kau datang kemari sembarangan
memfitnah orang. Kalau kau tidak pergi lagi, pasti aku
membuat kau tidak dapat bergerak lagi."
Orang setengah baya itu melirik pada Lauw Hung dengan
pandangan hina. Betapa berangasannya sifat Lauw Hung,
mana ia dapat menahannya" Tidak menunggu oran gitu
berkata lagi, ia telah membentak; memendekkan tubuhnya
"hur' tangannya telah menghantam ke depan. Bagi Lauw Hung
itu adalah sangat ramah karena ia tidak menggunakan
senjata. Tubuh orang setengah baya itu masih tetap tidak
bergerak, dalam sekejap saja 'bum'. Pukulan tangan Lauw
Hung itu tepat mengenai dada orang setengah baya itu. Suara
yang timbul seperti suaranya gendang kulit sapi.
Pukulan tangan Lauw Hung itu, ketika hampir menyentuh
dada orang setengah baya itu, ia telah merasakan tenaga
dalamnya telah menembus ke dalam tubuh orang setengah
baya itu. Walaupun suara itu kedengarannya agak aneh, tapi
lawannya pasti akan roboh ke tanah. Betul saja, tepat seperti
apa yang diduganya, setelah menerima pukulannya, orang
setengah baya itu terhuyung-huyung ke belakang. Setelah
mundur tiga tindak baru berhenti. Tiba-tiba tubuhnya berbalik,
cepat sekali telah berada di hadapan Lauw Jok Hong. Kini ia
menghadapi Lauw Jok Hong dengan punggungnya, tetapi tibatiba
ia mengulurkan tangannya berbalik menyambar dada
Lauw Jok Hong, kelima jarinya bagai sebuah kaitan, dan telah
mencengkeram dada Lauw Jok Hong.
Perubahan itu sungguh di luar dugaan orang-orang disitu.
Dengan dadanya tercengkeram, Lauw Jok Hong merintih-rintih
: "Aku... aku..." ia baru mengucapkan dua kali 'aku', orang
setengah baya itu telah menggoyangkan tangannya
mengangkat Lauw Jok Hong ke hadapannya. Kini kebetulan
sekali Lauw Thian Hauw telah menyerang dengan pedang
yang terhunus, tiba-tiba Lauw Jok Hong terseret di hadapan
orang setengah baya itu. Kalau pedang panjang Lauw Thian
Hauw ditusukkan terus, nyawa Lauw Jok Hong pasti
melayang. Untung ilmu silat Lauw Thian Hauw sangat tinggi, ia dapat
menahan pedangnya tepat pada waktunya, tapi ujung pedang
itu hanya berjarak dua tiga inci dari punggung Lauw Jok Hong.
Melihat wajah orang setengah baya itu, seakan tidak terjadi
apa-apa. Ia mencengkeram dada Lauw Jok Hong, kelima
jarinya telah masuk ke dalam daging Lauw Jok Hong. Tapi kini
suara yang dikeluarkannya itu menjadi sangat lunak sekali.
Berkata orang setengah baya itu : "Kau yang
melakukannya, ya" Kau sendiri tahu, kau yang melakukan
perbuatan itu, ya?"

Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lauw Jok Hong terasa dadanya ditekan oleh suatu tenaga
yang sangat dahsyat. Hampir saja ia tidak dapat menarik
napas, taruhlah ia mau bicara namun sangat sulit
diucapkannya. Apalagi ia sangat kaget, sungguh ia tidak dapat
berkata apa-apa. Ia hanya berteriak dalam tenggorokannya,
entah apa yang harus dilakukannya, kaki dan tangannya terus
menari-nari, lucu sekali tampangnya itu. Setelah Lauw Thian
Hauw menahan serangan pedangnya, tiba-tiba tubuhnya
memiring. Ujung pedangnya telah menuding tenggorokan
orang setengah baya itu, tetapi orang setengah baya itu masih
saja menganggap sepi, seakan tidak ada apa-apa yang terjadi.
Ia terus bertanya pada Lauw Jok Hong : "Kau yang
melakukannya, ya" KIni, kau tidak perlu akui lagi!"
Lauw Thian Hauw berteriak, tangannya diulurkannya lagi,
ujung pedang itu telah menyentuh tenggorokan orang
setengah baya itu hingga membuat kulit orang setengah baya
itu terbenam sedikit ke dalam lalu Lauw Thian Hauw berteriak
: "Lekas lepaskan!"
Orang setengah baya itu menengadahkan kepalanya, lalu
geleng-geleng kepalanya. Andaikata lehernya tidak bergerak,
walaupun ujung pedang Lauw Thian Hauw telah menyentuh
kulit lehernya, tapi ia takkan luka. Kini ia geleng-geleng
kepalanya, lehernya bergoyang ke kanan dan ke kiri lalu
kulitnya tergores mengeluarkan darah. Namun orang setengah
baya itu masih tetap seakan tidak merasakan apa-apa,
katanya : "Kau suruh aku lepaskan" Ha, Ha, kau kira kau
menudingkan ujung pedang itu pada leherku, lalu aku bisa
lepaskan" Terus terang ku katakan, biarpun kau menindah
kepalaku dengan sebuah gunung, aku pun takkan lepaskan!"
Ujung pedang Lauw Thian Hauw telah maju lagi, dan
sedikit masuk ke daging, darahnya telah menetes keluar.
Bentak Lauw Thian Hauw : "Kalau kau masih tidak lepaskan,
aku takkan berlaku sungkan lagi!" Tenaga yang digunakannya
di atas pedang itu adalah ilmu berpuluh-puluh tahun, dankini
pedang itu telah masuk ke daging lawannya sedikit, dalam
pikirannya, hidup mati lawannya adalah suatu hal sekelebatan
saja. Orang setengah baya itu berkata dengan perlahan : "Aku
tidak lepaskan, kaupun tidak dapat mematikan aku!"
Lauw Thian Hauw tertegun, entah apa maksudnya orang
setengah baya itu berkata demikian. Terdengar suara 'krok',
kepala orang itu telah memanjang ke atas. Ketika kepalanya
memanjang ke atas, kepalanya telah meninggi sekali lipat,
lehernya pun menjadi kurus. Lehernya mengurus, pedang
yang tadinya menancap sedikit di dagingnya kini tidak lagi
menyentuh lehernya. Perubahan ini, boleh dikatakan sama
sekali tidak pernah diduga oleh Lauw Thian Hauw. Ketika
Lauw Thian Hauw tertegun, orang setengah baya itu telah
melesat dengan mengapit Lauw Jok Hong.
Sementara itu bukan saja Lauw Thian Hauw, bahkan Thian
Auw Siang Jin pun berdiri dengan tiba-tiba. Itu berarti
walaupun ia tak dapat melihat tapi dalam sekejap saja ia pun
telah mengetahui perubahan antara Lauw Thian Hauw dengan
orang setengah baya itu,dan tahu apa yang telah terjadi dan
sangat kagum atas kepandaian luar biasa dari orang setengah
baya itu. Tubuh Lauw Thian Hauw berputar lagi, 'ces', pedang telah
menyerang kembali. Orang setengah baya itu menggoyangkan tangannya dan
mengangkat tubuh Lauw Jok Hong untuk menahan serangan
pedang Lauw Thian Hauw. Lauw Thian Hauw melancarakan serangannya bagaikan
kilat, 'ser ser ser ser', dalam sekejap saja ia telah menyerang
empat kali. Namun keempat serangan itu, walaupun
serangannya sangat keras, tapi setelah ditarik kembali di
tengah jalan. Itu karena disebabkan setiap kali ia menyerang,
orang setengah baya itu selalu menangkisnya dengan tubuh
Lauw Jok Hong hingga memaksa Lauw Thian Hauw mau tidak
mau menarik kembali serangannya. Setelah menyerang empat
kali, Lauw Thian Hauw tahu, dalam keadaan begitu, andaikata
mau menjaga Lauw Jok Hong, ia takkan mendapat
keuntungan sedikit pun, maka dalam hatinya sangat
terperanjat dan marah. Lalu mengacungkan tangannya :
"Kamu masih tinggal diam saja?"
Dari tadi Lauw Hung sudah mau turun tangan, tapi karena
serangan Lauw Thian Hauw terlalu cepat, ia tidak ada
kesempatan untuk menyerang. Mendengar teriakan Lauw
Thian Hauw itu, ia dulu yang telah menyerang dengan
pedangnya. Tetapi baru mau turun tangan, orang setengah
baya itu berteriak. Tubuhnya telah terangkat ke atas dengan
Lauw Jok Hong masih tetap terapit, di atas udara setinggi dua
tombak itu, tubuhnya terus berputar seperti sebuah roda,
dalam sekejap saja ia telah berada sejauh enam tujuh tombak.
Gerakannay itu cepat sekali, tidak ada orang yang dapat
menandinginya. Baru jatuh di tanah, tubuhnya telah terbang
kembali hingga membingungkan orang yang melihatnya.
Ketika Lauw Thian Hauw menjadi tenang dan ingin menguber,
dalam sekejap itulah orang setengah baya telah berada sejauh
belasan tombak dengan membawa Lauw Jok Hong. Lauw
Thian Hauw berteriak panjang : "Mau kabur kemana?"
Tubuhnya beranjak ingin menguber, tetapi baru melangkah
setindak, Thian Auw Siang Jin telah berkata dengan dingin :
"Sudahlah, jangan diuber. Kau takkan dapat mengubernya."
Lauw Thian Hauw membentak marah : "Apa katamu?"
Perkataan Thian Auw Siang Jin lebih dingin lagi, ia
mendehem : "Itulah ilmu mengentengkan tubuh In Pan Ban Li
(awan bergulung sepuluh li) yang sangat tinggi dari pulau Lam
Hai Thian In. Kau tidak tahu?"
Begitu mendengar ucapan Thian Auw Siang Jin, Lauw Thian
Hauw terpaku. Dan kini, orang setengah baya itu telah hilang
dengan membawa Lauw Jok Hong. Lauw Thian Hauw berdiri
mematung. 'In Pan Ban Li' dari pulau Thian In. Kalau begitu...
orang itu adalah Thian In Tau Cu (pemilik pulau Thian In)?"
"Tidak disangka pengetahuanmu sangat sempit. Thian In
Tau Cu telah berusia lebih dari seratus tahun, itu adalah
anaknya." Tiba-tiba Lauw Thian Hauw menghempaskan kakinya, dan
berpaling pada Lauw Hwie. Tadinya ia ingin marah pada Lauw
Hwie, karena Lauw Jok Hong dan Lauw Hwie berdua selalu
bermain sama-sama. Andaikata Lauw Jok Hong berbuat
kejahatan, Lauw Hwie pasti tahu. Tetapi ketika ia
membalikkan tubuhnya, melihat Lauw Hwie telah mundur
dengan diam-diam. LTW membentak : "mau apa kau?"
Lauw Hwie telah mundur sampai ke sudut jalan,
mendengar bentakan Lauw Thian Hauw, ia mempercepat
langkahnya, sekejap saja telah lenyap.
Lauw Thian Hauw membentak : "Berhenti!" Suaranya itu
menggeledek, jangankan di sudut itu, biar sejauh satu li pun
orang masih dapat mendengarnya.
Tetapi rupanya Lauw Hwie tidak mendengar perkataan
ayahnya lagi, karena ketika Lauw Thian Hauw memburu
sampai ke sudut jalan itu, ia tidak lagi melihat Lauw Hwie.
Dalam sekejap ini, hati Lauw Thian Hauw menjadi sangat
kacau balau. Berdiri di sudut jalan tidak tahu apa yang harus
dilakukannya, bahkan ketika Lauw Hung menghampirinya dan
memanggil-manggilnya, ia pun tidak mendengar panggilan
Lauw Hung itu. Dan pada saat ini Lauw Hwie telah berlari beberapa tombak
dengan mati-matian. Ia terus berlari sejauh lima enam li baru
berhenti, napasnya terengah-engah. Sekelilingnya sunyi sekali,
kecuali dia sendiri, tidak ada orang lain lagi. Wajahnya
menjadi normal kembali dengan pelan-pelan. Dilihatnya di
bagian timur terdapat hutan belantara. Ia berpikir dalam
hatinya, lebih baik bersembunyi dulu disitu, tetapi sesampai
disitu, apakah ada tempat untuknya bersembunyi, ia tidak
dapat memastikannya. Lauw Hwie berlari ke timur menuju hutan. Sesampai di
hutan itu, dilihatnya pohon tinggi-tinggi, udaranya pun
menjadi agak lembab, dan hatinya merasa agak aman sedikit.
Ia bersandar di bawah pohon beristirahat sebentar, baru
memikirkan bagaimana harusnya. Katakan saja ia telah dapat
kabur dari rumahnya tapi apakah ia dapat mengelak dari
kejaran So Beng Hiat In" Lauw Hwie pun meraskan, orang
yang mau dicari So Beng Hiat In belum tentu dirinya, tetapi
orang setengah baya yang membawa pergi Lauw Jok Hong
itu, cepat atau lambat pasti tahu Lauw Jok Hong bukan
berbuat sendirin. Ia pun turut andil, apakah dirinya akan dapat
lolos" Makin pikir, hatinya makin bergidik. Terasa bersembunyi
di hutan ia pun kurang aman, lalu ia manjat ke atas pohon,
hingga tubuhnya tertutup rapat di dedaunan yang lebat, baru
ia dapat menghela napas. Lalu terpikir lagi, ia tidak dapat
begitu saja seterusnya, jadi harus bagaimana"
Di atas sana, ia terus merobek-robek daun tapi ia tak dapat
memikirkan apa dayanya. Ketika hatinya merasa gusar, tibatiba
dari atas pohon di seberangnya mengalun suara tertawa
"hi hi'. Setelah sampai ke tempat yang dirasakan paling aman,
lalu terdengar suara tertawa itu dengan mendadak, membuat
hatinya menjadi sangat terperanjat. Buru-buru ia menengadah
menari dari mana datangnya suara itu. Suara itu
kedengarannya tidak begitu jauh, kira-kira hanya berjarak satu
tombak, tapi karena daun-daun di situ sangat lebatnya, hingga
ia tak dapat melihat siapa orangnya yang tertawa itu. Hati
Lauw Hwie bergidik, hingga tak berani bernapas keras.
Berselang sesaat, tidak terjadi apa-apa lagi. Lauw Hwie
mengumpat dalam hatinya, suara tadi, kebanyakan bukan
suara ketawa orang, siapa tahu karena perasaannya terlalu
tegang maka kalau ada sedikit suara saja, lantas curiga.
Berpikir sampai disini, harinya agak menjadi lega. Tiba-tiba
suara "hi hi' itu telah mengalunlagi. Kali ini kedengarannya
lebih dekat lagi dari tadi.
Dalam sekejap saja, bulu roman Lauw Hwie pada berdiri.
Terasa ada aliran dingin menjalar dari kepalanya turun ke
bawah, sekujur tubuh bagai sebatang es, membeku tak dapat
bergerak lagi. Karena sejak suara tertawa pertama tadi
mengalun ke telinganya, ia terus memusatkan perhatiannya
memandang ke depan, sementara itu boleh dikataan sedikit
suara pun tidak ada. Tetapi suara tertawa yang kedua kali
sampai ke telinganya, suara itu telah mendekat lagi. Siapa
yang dapat berjalan di atas pohon dan tidak menimbulkan
sedikit suara pun" Memang hati Lauw Hwie lagi ketakutan,
dan bercuriga, kini tentu saja hatinya lebih kaget lagi dan
kepalanya menjadi kaku. Berselang sesaat, baru ia dapat
menghela napas, dan bertanya dengan susah payah : "Siapa?"
Tetapi tidak ada orang yang menjawab pertanyaannya itu.
Hati Lauw Hwie tahu, dua kali berturut-turut, ia takkan
mungkin salah dengar. Maka ia bertanya lagi dengan
mengeraskan suaranya : "Siapa?"
Sekali ini, pertanyaannya itu ada reaksinya. Itu adalah
sebuah suara y ang aneh dan ditarik panjang-panjang :
"Aku..." Suara itu sangat tidak sedap didengar, tak tertahan lagi
tubuhnya mengkerut. Tadinya suara itu mengalun dari jarak
lima enam tombak, tapi daun pohon sangat sekali, maka tidak
dapat melihat orangnya. Kini ia menggeserkan tubuhnya
sedikit dan cabang dimana ia berdiri itu bergoyang ke bawah.
Pada saat cabang itu bergoyang ke bawah, ia telah melihat
seseorang di hadapannya. Orang itu berjongkok di atas
sebuah dahan, bagai seekor monyet, sepasang matanya
berputar-putar memancarkan sinar yanganeh dan sangat
menyilaukan. Begitu pandang, hatinya menjadi lebih kaget
lagi. Cabang itu melambunglagi, dan tertutup kembali oleh
daun-daun. Melihat orang itu begitu dekat darinya, Lauw Hwie
sangat terperanjat. Buru-buru ia menekan gagang pedangnya
bertanya : "Siapa kau?"
Orang itu menarik lagi suaranya menjadi panjang : "Aku
ialah aku..." lalu sambungnya seperti menyanyi tapi bukan
menyanyi : "Aku adalah nenek moyang dari raja-raja, aku
adalah saudaranya Giam Ong (raja neraka)."
Hati Lauw Hwie berdetak-detak. Ia mengumpat dalam
hatinya, orang ini bicara sampai seperti seorang gila, tingkah
lakunya sukar ditebak, lebih-lebih cepat pergi dari situ. Tibatiba
ia memiringkan tubuhnya, mengumpulkan tenaga
murninya melompat ke bawah. Ia melompat dari ketinggian
dua tiba tombak, ketika sampai di atas tanah, terjatuh dan
menggelinding ke depan. Tapi ia tidak berhenti, kedua
tangannya menekan ke tanah, tubuhnya terangkat dan
melayang sejauh tujuh delapan tombak sampai di belakang
sebatang pohon. Ia memandang ke depan, dilihatnya tidak
ada orang yang mengubernya, lalu menghela napas. Ia
berpikir tidak boleh ada kejadian apa-apa lagi, rupanya
bersembunyi dalam hutan ini, bukanlah suatu akal yang baik,
lebih baik pergi ke tempat yang jauh.
Lauw Hwie membalikkan tubuhnya berlari lagi, tak lama
kemudian telah keluar hutan itu. Ia sengaja mencari jalan kecil
yang sangat sunyi, terus berlari sejauh enam tujuh li baru
berhenti. Baru ia duduk, dikirnya ia telah aman sama sekali,
siapa tahu dari belakangnya telah mengalun lagi suara tertawa
"hi hi." Suara "hi hi" itu seakan sebuah pedang tajam menusuk
Lauw Hwie, hingga membuat Lauw Hwie melompat berdiri.
Membali tubuhnya, dilihatnya seorang kurus yang berpakian
aneh sekali, sepasang matanya lebar bersinar-sinar berdiri di
belakangnya. Lauw Hwie menarik napas : "Kau... kau terus
mengikuti aku dari belakang?"
Orang itu tertawa lagi : "Ya, aku terus berada di
belakangmu." Lauw Hwie mundur setindak, kini ia berhadapan dengan
orang itu, dan rasa takutnya telah berkurang tidak seperti tadi
lagi. Lalu pelan-pelan menjadi tenang : "Siapa kau?"
Orang itu membuka mulutnya, terlihat giginya panjangpanjang
dan tajam-tajam, sangat mengerikan orang.
"Bukankah telah ku katakan tadi padamu?" Aku adalah
saudara Giam Ong." Lauw Hwie memaksa dirinya tertawa : "Kau berdongeng."
Orang itu seakan sangat bangga atas dirinya sendiri, ia
tertawa terkekeh lagi. Ketika orang itu sedang asyik tertawa, Lauw Hwie telah
mundur lagi beberapa langkah. Orang itu tiba-tiba berhenti


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa. "Nona kecil, ku lihat mukamu pucat sekali, hatimu
tidak tenang, rupanya ada suatu hal y ang mengganjal dalam
hatimu?" Ketika orang itu bicar, suaranya selalu ditarik panjangpanjang,
menengadah atau menggoyang-goyangkan kepala,
seakan ia menyanyi di atas panggung. Tetapi pertanyaan itu
diucapkannya dengan sangat serius sekali, tidak ada bedanya
dengan orang biasa. Karena hati Lauw Hwie takut, lalu
mendengar orang itu bertanya demikian, ia menjadi
terperanjat lagi. Buru-buru ia menggoyangkan tangannya.
"Tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa."
Orang itu mendehem. "Kalau begitu aku yang salah lihat."
Lauw Hwie tidak bisa menjawab, hanya tertawa pahit.
Orang itu menggoyang-goyangkan tangannya, membalikkan
tubuhnya terus melangkah maju. Lauw Hwie tidak menyangka
orang itu akan pergi begitu saja hingga hatinya merasa sangat
gembira. Ketika orang itu melangkah lima langkah, hati Lauw
Hwie berdetak. Pikirnya, meskipun paras dan tingkah lakunya
sangat aneh, tapi kelihatannya sedikit pun tidak bermaksud
jahat pada dirinya. Mungkinjuga ia telah mengetahui dirinya
sedang mengalami kesukaran dan mau membantunya dengan
setulus hati" Kini memang dirinya berada dalam kesukaran,
kenapa lantas menolak kebaikan hatinya" Lauw Hwie terus
berlari mengharpkan ia dapat lolos dari kejaran orang itu. Tapi
kini pikirannya telah berubah. Bukan saja ia tidak lari, malah
berteriak memanggil : "Cian Pwe silahkan berhenti dulu!"
Orang itu masih berjalan dengan pelan.
"Kau kan tidak ada apa-apa, buat apa memanggil aku?"
Lauw Hwie maju beberapa tindak, "Saya... memang ada
suatu hal. Cuma baru pertama kali bertemu dengan Cian
Pwe... saya tidak berani menyusahkan Cian Pwe hanya karena
persoalan saya itu."
Memang Lauw Hwie sangat cerdik, sekarang pun
ucapannya sangat menarik. Orang itu tertawa : "Ini baru
bagus, apa persoalannya?" Ia berkata sambil membalikkan
tubuhnya. Lauw Hwie berpikir sejenak, lalu katanya : "Be... berapa
hari yang lalu, sya... saya berkelahi dengan orang, lalu dengan
tidak sengaja orang itu terbunuh."
Apa yang hendak dikatakan Lauw Hwie adalah ia telah
membunuh seseorang. Tetapi diucapkannya dengan cara yang
sangat halus seperti kesalahan itu bukan terletak pada dirinya.
Orang itu memutar-mutar matanya, lalu menggoyangkan
kepalanya : "Rupanya salah bunuh. Hal itu dapat menjadi
besar, dapat pula menjadi kecil. Andaikat membunuh
seseorang pengemis kotor, dan membunuh seorang raja,
sama-sama seorang manusia, tapi besar kecilnya tidak sama."
Berkata Lauw Hwie, "Orang itu ialah..." Baru berkata
sampai disni, ia telah berhenti.
Lauw Hwie berpikir, mau tak mau ia harus minta bantuan
orang ini, maka ia harus menceritakannya, lalu menggigit
bibirnya dan berkata : "Orang itu datang dari pulau Thian In,
ia menamakan dirinya cucu dari pemilik pulau itu."
Orang itu meluruskan tubuhnya, tadinya ia
membongkokkan tubuhnya seperti seekor monyet besar, kini
tubuhnya diluruskan, tingginya ada delapan kaki, rupanya
seorang tinggi semampai, tetapi tubuhnya hanya
diluruskannya sebentar, segera membongkok lagi : "Nak. Ini
agak sukar sedikit, tadi aku melihat anak pemilik pulau Thian
In, kau tahu, ia datang mencari kau."
Kata Lauw Hwie : "Saya tahu, dia... telah membawa
kakakku." Orang itu mendehem : "Aku sudah mengerti, kamu kakak
beradik membunuh orang itu, ya?"
Muka Lauw Hwie berubah dan berkata dengan terputusputus
: "Ya... kami berdua yang... menghadapinya... tetapi...
orang itu yang turun tangan lebih dulu, maka kami terpaksa
melayaninya." Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Belum tentu,
belum tentu." Hati Lauw Hwie berdetak-detak, apa yang dikatakannya
pada orang itu memanglah omong kosong belaka, tetapi ia
tidak tahu bagaimana orang itu dapat tahu apa yang
dikatakannya itu tidak benar. Buru-buru ia berkata : "Benar
begitu." "Hi hi" orang itu tertawa : "Nona kecil, rupanya kau telah
lupa siapa aku." Lauw Hwie tertegun : "Siapa kau?"
"Aku adalah saudara Giam Ong!" kata orang itu.
"Berdongeng!" ujar Lauw Hwie.
"Bukan berdongeng, kalau aku adalah saudara Giam Ong,
tentu aku mempunyai kedudukan yang cukup tinggi di neraka.
Kalau ada setan-setan yang mati penasaran datang mengadu,
mereka harus melalui aku dulu. Aku memungut uang semir,
baru mereka dapat lahir kembali di dunia hari itu. Kebetulan
aku ketemu anak itu, yang berlumuran darah, harta bendanya
telah hilang semuanya, sepeserpun tidak ada lagi. Baru
bertemu dengan aku, lantas dia berteriak : "Aku penasaran
sekali..." Cerita itu diuraikan secara menarik sekali, kalau orang yang
mendengarnya tidak ada hubungan apa-apa, walaupun
nadanya terasa agak aneh, paling-paling hanya bisa tertawa
geli. Tetapi didengar dalam telinga Lauw Hwie, karena ia
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hal itu, maka
ia terasa sangat menyeramkan. Tubuhnya gemetaran, dan
giginya terus beradu-adu hingga menimbulkan suara tek tek
tek. Orang itu menampakkan giginya lagi : "Nona kecil, apa
yang diceritakan roh penasaran itu padaku, lain dengan apa
yang ku dengar dari kau!"
Kata Lauw Hwie terputus-puts : "Dia... dia... itu...
berbohong..." Ucapan itu belum habis, tapi ia telah merasakan
perkataannya itu lucu sekali, karena orang itu telah tahu
segala-galanya. Apakah memang ia betul-betul telah bertemu
dengan roh penasaran di neraka"
Orang itu berkata dengan serius : "Oh rupanya roh
penasaran itu bohong. Kalau begitu dia yang salah! He anak
itu berani membohongi aku, nanti aku tangkap lagi untuk
ditanya lebih lanjut."
Muka Lauw Hwie menjadi pucat : "Apa... apa... yang kamu
katakan"... Mau... menangkap roh anak itu?"
"Ya!" kata orang itu.
Lauw Hwie tertawa pahit, coba menenangkan dirinya,
katanya : Apakah kamu bisa" Kamu bisa menangkap roh?"
Orang itu mengakak : "Kau lupa lagi siapa aku?"
Lauw Hwie mengumpat dalam hatinya : mungkin orang ini
sedang bergurau, siapa yang dapat menangkap roh" Kalau
terus menerus merasa takut, ini pun bukan suatu cara baik,
maka ia memberanikan dirinya bertanya : "Tentu saja tidak
lupa, kamu adalah saudara Giam Ong."
"Ya, aku adalah saudaranya Giam Ong, masa aku tidak bisa
menangkap roh untuk ditanyai" coba kamu lihat, aku panggil
dia datang, dia pasti datang."
Sampai disini, orang itu berteriak dengan meninggikan
suaranya : "Hai! Roh penasaran, ayo keluar!"
Mendengar orang itu berteriak dengan sungguh-sunguh,
Lauw Hwie yang berdiri di sampingnya itu berpikir dalam
hatinya, mungkin orang ini sedang bersandiwara, sudah
sampai disini, seharusnya ia sudah berhenti, masa ia bisa
betul-betul memanggil roh. Tetapi, ketika Lauw Hwie berpikir
demikian, tiba-tiba muncullah seorang dengan terhuyunghuyung
dari semak-semak. Semak itu berjarak jauh juga dari Lauw Hwie, tapi disinari
matahari, dapat dilihat dengan jelas. Ketika melihat ada orang
betul-betul keluar dari semak, Lauw Hwie ternganga. Orang
itu datangnya cepat sekali, sekejap saja ia telah sampai di
hadapan mereka. Dilihatnya rambut orang itu acak-acakan,
sekujur tubuhnya kotor berlumuran darah, seakan memang
betul-betul roh penasaran. Setelah melihat dengan jelas, Lauw
Hwie menjerit sambil melompat mundur tiga tindak, ia berdiri
di depan batu besar, dalam sekejap saja napasnya terengahengah.
Orang yang berlumuran darah itu, dikepalanya terdapat
sebuah luka bekas bacokan, dilihat sepintas lalu, luka masih
mengucurkan darah segar, sangat mengerikan. Apalagi
dilihatnya dalam mata Lauw Hwie, lebih mengerikan lagi,
karena orang berlumuran darah itu adalah orang yang
dibunuhnya. Suatu hal yang tak dapat dipercaya adalah roh penasaran
itu bisa muncul di siang hari bolong. Tetapi orang yang yang
berdiri di hadapannya itu dapat dilihatnya amat jelas sekali.
Orang mati tidak mungkin hidup kembali dan Lauw Hwie tahu
seseorang mengalami luka separah itu, sukar untuk hidup lagi.
Kalau demikian, yang berdiri di hadapannya itu manusia atau
bukan" Kalau bukan orang... apa pula yang berlumuran darah
itu" Mata Lauw Hwie terbelalak, orang yang berlumuran darah
itu sungguh sangat menakutkan hingga membuat bulu
romanya berdiri, dan tubuhnya tak tertahan lagi bergidik dua
kali. Lauw Hwie tidak mau memandang orang itu lebih lama,
namun matanya terus menatap ke depan, hingga ia tidak
mempunyai keberanian untuk mengalihkan pandangannya.
Orang berlumuran darah itu makin lama makin dekat, sampai
di hadapan Lauw Hwie dan orang setengah baya itu, lalu
berhenti. Gerak geriknya tidak bersuara setelah berhenti. Ia
pun tidak bersuara, tetapi sepasang matanya, terus
memancarkan sinar cerah yang sukar dilukiskan, memandang
Lauw Hwie. Lauw Hwie merasakan matanya berkunangkunang,
kepalanya ingin pecah. Tiba-tiba ia menjerit, lalu
meranjakkan tubuhnya ingin kabur.
Tetapi, baru tubuhnya melesat, orang setengah baya itu
telah mencekal tangannya dan menariknya : "Mari, mari, roh
penasaran itu telah datang. Kamu berdua boleh saling berikan
keterangan, biar aku menjadi sebagai Giam Ong untuk
sementara dan emngambil suatu keputusan yang adil!" Suara
orang setengah baya itu sangat menyeramkan, ditambah lagi
dengan pandangan aneh yang dilontarkan orang yang
berlumur darah itu, hingga dalam sekejap saja membuat Lauw
Hwie merasakan seakan-akan dirinya benar-benar berada di
neraka, lidahnya kaku, tubuh membeku, tidak dapat bicara.
Orang setengah baya itu tertawa cekikikan : "Eh, kenapa
kau tidak bicara" Tadi kau masih ngomong, katamu orang
yang kau bunuh itu memang harus mati, kini roh penasaran
itu telah ku panggil, kenapa kau tidak mau bicara?"
Kini hati Lauw Hwie kaget setengah mati. Ia berusah
memiringkan kepalanya untuk tidak melihat orang yang
berlumur darah itu dan tenggoroknya menjadi kering, tidak
bisa mengatakan apa-apa. Didesak oleh orang setengah baya
itu, baru ia berkata dengan sangat terpaksa : "Kau... kau
sebenarnya siapa?" Orang setengah baya itu tertawa lagi : "Pertanyaanmu itu,
tanya aku atau tanya dia?"
"Tanya kau!" kata Lauw Hwie dengan napas yang
terengah-engah. "Ai," orang itu tertawa lagi : "Nona kecil, kenapa daya
ingatmu jelek sekali. Sudah berapa kali ku katakan adalah
saudaranya Giam Ong."
Lauw Hwie tadinya adalah seorang yang sangat cerdik, tapi
kini hatinya kacau balau, ia tidak berdaya apa-apa : "Kau
jangan mempermainkan aku lagi, kau mau apa, katakanlah
terus terang!" Orang setengah baya itu berkata dengan perlahan : "Aku
mau apa" Orang yang mati di bawah tanah itu bukan aku, aku
tidak mau apa-apa,cuma roh penasaran ini yan gmau
membuat perhitungan denganmu. Aku pun tidak tahu ada
keruwetan apa antara kamu seorang manusia dan setan ini,
biarlah kamu sendiri yang urus, aku tidak mau turut campur,"
katanya sambil melepaskan tangan Lauw Hwie, dan
memiringkan tubuhnya. Ketika ia memiringkan tubuhnya, tidak
terlihat ada gerakan apa, tiba-tiba tubuhnya telah mental ke
atas, bagaikan sebuah tonggak yang dipentalkan ke udara.
Setelah tubuhnya mental di udara, orang setengah baya itu
menggoyangkan kedua tangannya, lalu tubuhnya turun ke
bawah. Baru menyentuh tanah lalu mental kembali, dalam
sekejap saja telah hilang bayangannya.
Melihat orang setengah baya itu pergi, hati Lauw Hwie
terperanjat, karena setelah orang itu pergi, tinggalkan ia
seorang diri yang berhadapan dengan 'roh penasran' itu.
Bagaiman ia tidak menjadi lebih kaget lagi" TEtapi ia balik
berpikir, tadi ketika ia ingin kabur, 'roh penasaran' itu tidak
berbuat apa-apa; malah orang setengah baya itu yang
mengulurkan tangan mencekal dirinya. Kini orang itu telah
pergi, kalau tidak kabur sekarang,tunggu kapan lagi"
Pikirannya itu terjadi dalam sekejap saja. Setelah ada
keputusan,ia tidak sungkan lagi, tubuhnya beranjak melesat
ke atas, empat lima kali jungkir balik, orangnya telah berada
sejauh tujuh delapan tombak. Ia tidak mendengar ada suara
orang mengubernya dari belakang, hatinya menjadi tenang.
Tetapi ia tidak berani menoleh ke belakang, terus lari kalang
kabut ke depan. Sekejap saja ia telah lari sejauh enam tujuh li, dilihatnya di
depannya ada sebuah desa kecil. Di depan desa itu terdapat
beberapa pohon dan ada beberapa orang di bawahnya yang
sedang makan-makan dan minum-minum. Begitu melihat ada
manusia, hati Lauw Hwie menjadi agak tenang, langkahnya
diperlambat, hatinya masih juga kaget, jangan-jangan 'roh
penasaran' itu masih mengikutinya dari bealkang. Setelah ia
melihat di belakangnya betul-betul tidak ada orang lagi, baru
ia dapat menghela napas dengan lega, mengangkat kakinya
maju perlahan-lahan. Sampai di hadapan orang desa itu pada
menengadah melihatnya. Lauw Hwie merasa sangat dahaga,
ia berlaku tidak sungkan-sungkan mengangkat teko teh seraya
berkata : "Minta tehnya." Ia mengambil teko dulu baru bicara,
lalu mengambil sebuah cawan menuang teh, dan pada saat
inilah ia baru tahu wajah orang-orang desa itu agak aneh,
mata mereka pada melihatnya.
Lauw Hwie berkata dengan agak marah : "Lihat apa" aku
cuma minta secawan air teh, bukan minta nyawa kamu. Ada
apa yang patut dilihat?"
Orang-orang desa itu semuanya peladang, di samping


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka terletak pacul, rupanya mereka baru pulang dari
ladang. Tetapi kini, wajah mereka menjadi pucat-pucat
semuanya. Masih lumayan kalau Lauw Hwie tidak bersuara,
setelah ia bersuara, terdengar teriak mereka : "Ada hantu."
Mereka berteriak sambil mengangkat kaki seribu. Tingkah laku
orang-orang desa yang mendadak itu membuat hati Lauw
Hwie berdebar-debar, ia hanya menganggap 'roh penasaran'
itu berada di belakangnya lagi, maka mengagetkan orangorang
itu hingga mereka kabur. Buru-buru ia menoleh ke
belakang, tapi tidak melihat apa-apa. Ketika ia menoleh lagi,
melihat ada satu dua orang desa yang bergerak agak lamban
yang masih berteriak-teriak, hingga membuatnya menjadi
marah. Buru-buru ia mengumpulkan tenaga murninya
mengangkat tubuhnya. Walaupun orang-orang desa itu berlari
dengan cepat, tapi mana dapat menandingi ilmu
mengentengkan tubuh Lauw Hwie" Sekali kelebat saja,ia
atelah dapat menyusul seorang desa yang larinya terbelakang
sekali. Diulurkannya tangannya mencekal bahu orang itu, dan
menarik secara kasar : "Mengapa kau berteriak" Dimana
hantu itu?" Wajah orang desa itu menjadi pucat sekali,
katanya terputus-putus : Kau... kau... bukan... hantu?"
Lauw Hwie dengar, agak terperanjat : "Aku hantu" Ada apa
yang aneh di mukaku?" katanya sambil mengusap-usap
mukanya. Ketika tangannya meraba pipinya, ia jadi terpaku.
Rupanya apa yang dirabanya itu adalah sesuatu yang basah
dan dingin, seakan darah segar yang hampir membeku tapi
belum beku sama sekali. Hati Lauw Hwie sangat terperanjat,
buru-buru ia menurunkan tangannya, dilihatnya tangannya itu
penuh dengan warna merah menyala, apa lagi kalau bukan
darah" Muka Lauw Hwie penuh dengan darah. Dari mana
datangnya darah itu" Dan kapan pula darah itu terpoles di
mukanya" Ia mematung saking kagetnya, tentu saja ia tidak
berniat untuk mencekal orang desa itu lebih lama. Orang desa
ituterlepas dari cengkeraman mau, ia lari terbiri-birit.
Lauw Hwie terpaku, sesaat kemudiania baru mendusin. Ia
tahu persoalan hari ini agak aneh, yang sangat tidak
menguntungkan bagi dirinya. Orang setengah baya yang
mengaku saudaranya Giam Ong itu, orang yang berlumuran
darah itu... kesemuanya ini, jangan-jangan ditujukan pada
dirinya sendiri. Kalau tidak berusaha mengelak, jangan-jangan
dirinya akan tertimpa balasan hukum karma.
Ketika ia memikirkan keadaan dirinya sendiri yang berada
dalam bahaya, timbullah suatu perasaan yang sangat takut
dalam hatinya. Segera ia terasa, walaupun dunia ini sangat
besar, tapi tidak ada tempat baginya untuk berteduh. Ia
mengitari pohon-pohon itu, membuat satu lingkaran. Tiba-tiba
ia menengadah, dilihatnya ada asap mengepul dari desa itu,
hati Lauw Hwie berdetak dan mengumpat dalam hatinya, desa
ini sangat terpencil,kalau bersembunyi disana, jangan-jangan
musuhnya takkan dapat mencarinya.
Ia berpikir dapat bersembunyi di desa itu, buru-buru
mengangkat tubuhnya melesat melayang ke depan.
Sepanjang jalan, ia telah berpikir masak-masak, tidak
langsungmasuk ke desa itu, hanya berhenti di sebuah gubuk
yang berada di luar tembok dari desa itu. Ia mendekati
tembok, pasang kuping dengan seksama, terdengar ada suara
rintihan yang mengalun dari dalam. Tampaknya seakan ada
orang yang sedang sakit di dalam gubuk itu. Lauw Hwie
merasa sangat tepat dengan pikirannya, buru-buru
mendatangai pintu depan dan mendorongnya. Pintu itu
berdenyit terbuka, terdengar suara tarikan napas yang
terengah-engah dari dalamnya.Kemudian ada suara orang
berkata dengan tidak ada tenaganya : "Kau sudah kembali"
Cepat berikan aku secawan air."
Lauw Hwie berdiri di pintu tidak bersuara. Lalu ia
melangkah masuk, karena dalam gubuk itu sangat gelap, ia
tidak dapat melihat apa-apa. Berselang sesaat baru dapat
melihat isi gubuk itu, kecuali sebuah bale, sebuah perapian,
tidak ada lagi yang lain. Boleh dikatakan kosong melompong.
Di atas bale itu ada sebuah tikar, di atas tikar itu ada seorang
meringkuk, rupanya orang inilah yang merintih dan minta air
tadi. Lauw Hwie mengumpat dalam hatinya, orang ini tentulah
orang yang termiskin di desa ini. Betul apa yang dikatakan
pepatah, orang kaya biar jauh di balik gunung, masih ada
yang tanya, orang miskin di sebelah tidak ada yang sebutsebut.
Keluarga ini rupanya tidak mempunyai anak, yang satu
berbaring di atas bale sedang sakit, yang satu lagi, taruhlah
hilang beberapa hari, tentu tidak ada orang tahu. Kalau
begitu, ia hanya membunuh dua orang ini, lalu ia dapat
bersembunyi beberapa hari lamanya.
Lauw Hwie berpikir sambil melangkah maju, sampai di
pinggir bale, katanya : "Kau mau air."
Orang yang meringkuk itu merintih : "Ya, aku haus sekali.
aku terluka hampir 70 lubang, hampir saja kau mati
kehausan." Tadinya Lauw Hwie bicara seraya mengangkat tangannya
untuk memukul mematikan orang itu. Tetapi tiba-tiba ia
mendengar orang itu berkata demikian, ia tertegun. Dan
ketika tertegun itulah, orang yang berbaring di atas bale telah
bangkit duduk. Cahaya di dalam gubuk itu sangat gelap.
Ketika orang itu duduk Lauw Hwie pun dapat melihat muka
orang itu penuh dengan kotoran bekas darah, sepasang
matanya memancarkan sinar yang aneh dalam kegelapan. Dia
bukan orang lain, di adalah 'roh penasaran' yang hendak
dielaknya. Sekejap saja, Lauw Hwie ingin melangkah mundur, tetapi
kedua kakinya menjadi lemas, dan 'gedebuk', ia terkulai di
atas tanah. Buru-buru ia menekan pinggiran bale ingin bangkit
berdiri, terdengar orang yang berlumuran darah itu bicara lagi
: "Lauw Ko nio, lama tidak jumpa, kau baik-baik saja?" Ia
membuka suara, terasa suasana lebih menyeramkan lagi,
hingga sekujur tubuh Lauw Hwie menjadi dingin. Mana
mungkin Lauw Hwie menjawabnya" Ia hanya berusaha untuk
menggerakkan tubuhnya supaya tidak begitu dekat dengan
bale-bale itu. Tetapi ini pun tidak dapat dilaksanakannya.
Malah 'roh penasaran' itu yang bergerak lagi dan mengulurkan
tangan menekan lengan Lauw Hwie. Kedua tangan Lauw Hwie
menekan pinggiran bale, melihat orang itu menekan
tangannya, buru-buru ia ingin menarik tangannya, tapi sudah
terlambat, tangannya ditekan iotu dengan kuat. Lauw Hwie
merasakan tangan orang itu dingin sekali, tangan orang hidup
sungguh tidak mungkin sedingin ini. Kini yang menekan
tangannya, seakan bukan tangan melainkan sebatang es.
Lauw Hwie berkata dengan napas terengah-engah : "Kau...
kau... kau..." Orang itu membuka mulutnya menampakkan gigi putihnya
yang menyeramkan itu, katanya : "Lauw ko nio, tentu kau
kenal padaku bukan?" Aku adalah orang yang menanya jalan
tempo hari, kau tidak lupa bukan?"
Lauw Hwie dengar, kepalanya mendengung, terasa olehnya
dunia ini berputar-putar. Ia hanya teringat ucapan ini, "Aku
adalah orang yang menanya jalan tempo hari."
Hari itu... hari itu... dalam ketidaksadarannya, Lauw Hwie
samar-samar teringat kembali pada hari itu.
*** Hari itu udara cerah sekali, di atas jalanan ada dua ekor
kuda yang sedang berpacu. Di belakang kuda itu diikuti oleh
empat ekor anjing pemburu yang bertampang galak-galak,
dan raungan mereka nyaring sekali, di atas kepala mereka
sedang terbang berputar dua ekor burung elang pemburu. Di
atas punggung kuda itu ada sepasang muda mudi, gagah
perkasa, mereka itu adalah Lauw Jok Hong dan Lauw Hwie.
Keduanya meninggalkan rumah pergi berburu. Hari ini cerah
sekali, tapi mangsa mereka tidak begitu banyak. Lauw Jok
Hong mengangkat pecutnya mengajak Lauw Hwie menuju ke
gunung. Jalan gunung itu berliku-liku. Setelah melewati enam
tujuh li, di depan tidak ada jalan lagi. Lalu Lauw Jok Hong
berhenti, katanya : "Moy cu, jangan-jangan disini ada mangsa
besar." Ucapan Lauw Jok Hong baru habis, terdengar dalam
semak di hadapan mereka berkeresekan gerakan. Lauw Hwie
sangat cepat, segera membentangkan busurnya dan 'ser'
sebuah anak panah dilepaskannya. Tetapi tidak ada hewan
yang keluar, hanya seseorang tiba berdiri dari semak itu.
Tangannya mengapit panah yang dilepas Lauw Hwie tadi.
Lauw Jok Hong dan Lauw Hwie berdua menjadi terperanjat,
dan "Ah!" teriak mereka.
Dalam semak itu ada orang, ini di luar dugaan Lauw Jok
Hong dan Lauw Hwie berdua, dan panah yang dilepaskan
Lauw Hwie tadi, kini berada dalam tangan orang itu. Rupanya
oran gitu pandai silat, itulah yang membuat Lauw Jok Hong
dan Lauw Hwie menjadi kaget. Tetapi mereka mengandalkan
ketenaran nama ayah mereka di kalangan kang ouw, mereka
bukan saja tidak menyatakan penyesalan mereka, malah
memandangnya dengan pandangan hina. Orang itu berkata
seraya mengangkat panah : "Kalian berdua menganggap
manusia sebagai hewan, itu adalah keliru."
*** BAGIAN DELAPAN Walaupun orang itu membuka mulut dengan nada kurang
puas, tapi masih disertai senyum simpul. Kalau saja Lauw Jok
Hong dan Lauw Hwie berdua mengucapkan sedikit perkataan
rasa penyesalan mereka, hujan ribut itu pasti takkan terjadi.
Tetapi Lauw Hwie telah menjadi marah dulu melihat anak
panah yang dilepasnya berada dalam tangan orang itu,
katanya seraya tertawa dingin : "Kau adalah manusia"
Jangankan tadi kau bersembunyi di semak, aku tidak dapat
membedakannya, sekarang kau berdiri, aku pun tidak dapat
membedakannya!" Orang itu dengar, mukanya segera berubah. Orang ini
masih muda, sekitar berumur 24 atau 25 tahun, wajahnya
tidak tampan, boleh dikatakan agak jelek. Tetapi biar ia lebih
jelek lagi, masih tetap seorang manusia; mengapa dikatakan
tidak dapat dibedakan apakah ia manusia atau hewan setelah
berdiri" Setelah mukanya berubah, orang itu maju setindak
seraya berkata : "Nona ini, apa maksud ucapanmu itu?"
Lauw Jok Hong menengadah ingin membentak, tetapi
sebelum ucapannya terlontar, tiba-tiba ia melihat orang itu
telah mengulurkan tangannya menuding Lauw Hwie. Di
tangan kanannnya terlingkar oleh sebuah gelang zamrud.
Gelang zamrud itu terukir dua ekor naga yang seakan-akan
hidup, ini rupanya adalah barang pusaka yang tidak ternilai
harganya. Begitu melihat gelang zamrud itu, pikir Lauw Jok Hong
telah berubah. Ia pun buru-buru melangkah maju setindak
sembari mengulurkan tangan kirinya ke belakang dan
digoyang-goyangkannya pada Lauw Hwie, minta Lauw Hwie
jangan bersuara. Ia berkata sambil tertawa : "Sahabat jangan
marah, adik saya masih kecil, ucapannya kalau menyakiti hati
sahabat biarlah saya yang minta maaf."
Tadinya Lauw Hwie masih tidak mengerti kenapa Lauw Jok
Hong tiba-tiba saja dapat berlagak serendah hati itu. Ia pun
buru-buru melangkah maju setindak. Baru ia dapat melihat
pandangan mata Lauw Jok Hong jatuh di atas pergelangan
orang itu. Rupanya di pergelangan orang itu terdapat sebuah
gelang zamrud yang berharga sekali. Kini barulah ia mengerti,
maka ia diam saja tidak bersuara.
Orang itu mendengar Lauw Jok Hong telah minta maaf,
mukanya pun menjadi cerah, katanya dengan ramah : "Itu
tidak apa-apa, cuma agaknya kurang baik kita bicara lantas
menyakiti hati orang."
Lauw Jok Hong tertawa : "Memang betul ucapan anda,
kalau kita tidak beradu, kita tidak kenal. Mari kita berkawan!"
Ia mengulurkan tangan. Orang itu melihat Lauw Jok Hong berwajah tampan,
pakaiannya mewah. Walaupun agak congkak, tapi tampaknya
tidak seperti orang jahat, lebih-lebih ia tidak curiga Lauw Jok
Hong bisa berniat jahat, maka ia pun mengulurkan tangan
menjabat tangan Lauw Jok Hong. Tapi di luar dugaannya,
Lauw Jok Hong adalah orang yang sangat licik, begitu ia
mencekal tangan orang itu, lantas ditariknya dengan kuat.
Tarikan itu sangat kuat, ditambah dengan orang itu sama
sekali tidak bersiaga, kena tarikan begitu, keruan saja orang
terpeleset ke depan. Lauw Hwie dan Lauw Jok Hong berdua tidak pernah
berbuat baik, tapi kerja sama untuk berbuat jahat baik sekali.
Begitu orang itu terjatuh ditarik Lauw Jok Hong, segera Lauw
Hwie melangkah maju mengangkat tangannya memukul
punggung orang itu dengan keras sekali. Lauw Hwie memukul,
Lauw Jok Hong melepas tangan mundur. Pukulan Lauw Hwie
itu keras sekali, yang kena sasarannya itu adalah tempat
penting, sekejap saja orang itu mendehem dan terjungkir di
atas tanah. Dan Lauw Jok Hong tidak tinggal diam, buru-buru
ia melangkah kakinya menendang kepala orang itu.
Kedua serangannya itu mengenai tempat penting, orang itu
menjerit, baru sampai setengah ia telah pingsan.
Lauw Jok Hong berkata dengan girang : "Moy cu, kau
lepaskan gelangnya, biar aku geledah tubuhnya, apakah ada
barang berharga lainnya."
Lauw Hwie tertawa terkekeh-kekeh : "Hari ini berburu, tak
disangka orang ini menjadi sasaran kita, sungguh menarik
sekali." Dengan kuat ia melepaskan gelang zamrud itu.
Kini Lauw Jok Hong telah mendapatkan sebuah kantong
kulit ikan dari tubuh orang itu, dibalikannya kantong kulit ikan
itu mengeluarkan isinya. Tetapi ketika isi kantong kulit ikan itu
tertumpah, ia menjadi terpaku. Lauw Hwie yang sedang
tertawa terkikik itu pun menjadi terpaku pula. Buru-buru Lauw
Jok Hong mencekal mulut kantong, agar isinya tidak terus
keluar, yang keluar separuh itu saja sudah cukup membuat
mereka ternga-nga. Terlihat di atas rumput berserakan
mutiara-mutiara sebesar lengkeng dan intan-intan yang
kehijau-hijauan, yang berkilau-kilauan disinari matahari.
Mereka berdua belum pernah melihatnya, walaupun dalam
mimpi. Keduanya tertegun sesaat, lalu Lauw Hwie menarik napas
panjang : "Oh Thian, apakah orang ini dewa harta?"
"Jangan banyak bicara, lekas kumpulkan barang-barang ini.
Jangan sampai dilihat orang, kita boleh dikatakan sangat
beruntung," kata Lauw Jok Hong.
Lauw Hwie dan Lauw Jok Hong berdua, buru-buru


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memunguti intan berlian yang berserakan di atas rumput itu
satu persatu. Dimasukannya kembali ke dalam kantong kulit
ikan, Lauw Jok Hong mendesak lagi : "Ayo, kita lari."
"Lari?" kata Lauw Hwie.
"Tentu saja, kita telah mendapatkan keuntungan yang
besar sekali. Apa lagi yang kita tunggu" kata Lauw Jok Hong.
"Ya, masa membiarkan orang ini menjadi saksi hidup?" kata
Lauw Hwie. "Ah," kata Lauw Jok Hong : "masih kau yang lebih teliti." Ia
membalikkan tangan mencabut pedangnya, lalu ditusukannya
ke ulu hati orang itu. Tusukan itu keras sekali, tapi entah karena Lauw Jok Hong
terlalu gembira atau hatinya merasa nyeri, ketika ia
menusukkan pedangannya tangannya gemetar, hingga tidak
mengenai sasarannya, hanya bahu orang itu yang tertusuk.
Tadinya orang itu pingsan, tapi tiba-tiba bahunya tertusuk,
kesakitan yang mendadak itu malah membuatnya siuman,
membuka matanya, segera meraung dan meranjak berdiri.
Lauw Jok Hong melihat orang itu tadinya terkapar tidak
berkutik, kini malah berdiri kena tusukannya, hingga
membuatnya terperanjat bukan kepalang. Ia pun berteriak
dan mundur lima enam tombak, baru ia dapat berdiri. Kini
orang itupun telah berdiri; pedang panjang Lauw Jok Hong
masih tertancap di bahunya, darahnya terus mengucur keluar
dan telah melumuri setengah dari tubuhnya menjadi merah.
Muka orang itu menjadi hijau, wajahnya jelek sekali, sepasang
matanya memancarkan sinar aneh memandang Lauw Jok
Hong. Dalam keadaan begini, Lauw Jok Hong telah menjadi
kelabakan untuk sesaat, ia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Malah Lauw Hwie yang agak tenang, melihat
keadaannya kurang beres, segera ia menghunus pedangnya.
Lauw Hwie berada di belakang orang itu, suara cabutan
pedang itu membuat orang itu membalikkan tubuhnya. Lauw
Hwie melihat pandangan orang itu penuh dengan kebencian,
hatinya pun berdetak, hanya menjaga dadanya dengan
pedang, tidak berani menyerang. Terdengar orang itu menjerit
dua kali yang sangat tidak sedap didengar, lalu mengulurkan
tangannya mencabut pedang yang tertancap di bahunya,
pedang panjang itu tercabut, darah segarnay mancur dari
lukanya. Segera orang itu mengulur tangan menotok jalan
darah di sekitar bahunya untuk mencegah darahnya terus
mengalir, lalu mengalihkan pedang ke tangan kirinya, seraya
menjerit : "Sudah bertahun-tahun tidak datang ke Tiong Goan,
rupanya dunia persilatan Tiong Goan telah sangat berubah!"
"Lauw Hwie melihat, setelah orang itu menotok jalan
darahnya, tangan kanannya telah terkulai ke bawah, rupanya
tidak dapat digerakkan lagi. Kini hatinya menjadi tenang
kembali, karena biarpun orang itu berilmu sangat tinggi, ia
hanya tinggal separuh, masa kami kakak beradik berdua tidak
mampu melawan orang yang tinggal separuh itu"
Segera Lauw Hwie tertawa dingin : "Keadaannya masih
seperti biasa, hanya orang tolol yang bisa mati penasaran."
Orang itu tertawa panjang : "Ya?" Gerakannya cepat sekali,
ucapannya baru habis, tubuhnya telah melesat satu tombak
lebih dan telah berada di hadapan Lauw Hwie. Walaupun ia
memegang pedang dengan tangan kirinya, tadi gerakannya
cepat sekali. Dan senjata yang biasa digunakan orang ini
bukanlah pedang, karena jurusan pedang yang dilancarkannya
itu aneh sekali, pedang panjang itu membacok lurus-lurus dari
atas ke bawah. Lauw Hwie tidak mengira gerakan orang itu
secepat ini, terasa sebuah angin kencang menyerang
mukanya. Segera Lauw Hwie menelentangkan tubuhnya ke
belakang, ketika ia rebah, bersamaan dengan itu ia telah
melepaskan lima enam buah senjata rahasia berbisa ke arah
orang itu dari lengan jubahnya dengan kecepatan kilat.
Bacokan orang itu baru sampai setengah, tiba-tiba ia
mengirimkan pedangnya membuat sebuah lingkaran
menangkis senjata rahasia Lauw Hwie, Lauw Hwie
menggunakan kesempatan ini untuk beranjak lalu melayang
sejauh tujuh delapan tombak, teriaknya : "Ji ko, buat apa kau
berdiri mematung disitu" Lekas turun tangan!"
Setelah menangkis senjata rahasia, orang itu seakan
bayangan mengikuti bendanya. Segera ia telah berada di
muka Lauw Hwie dan menusuk untuk kedua kalinya. Lauw
Hwie mengelak lagi. Lauw Jok Hong menyaksikan dengan hati
berdebar-debar. Walaupun ia mendengar panggilan Lauw
Hwie tetapi ia masih tetap mematung, tidak bererak
sedikitpun, hingga membuat Lauw Hwie tidak bisa menangkis
serangan dahsyat dari orang itu. Terpaksa ia mundur lagi,
dalam sekejap saja ia telah mundur lima enam tombak dan
terus menjerit-jerit tak henti-hentinya. Tampaknya orang itu
tambah lama tambah gagah. Walaupun tubuhnya tidak
bergerak, namun mata Lauw Jok Hong tidak pernah lepas dari
Lauw Hwie dan orang itu. Dilihatnya ketika orang itu
menyerang keempat jurus, karena tenaganya terlalu keras,
luka bahunya menyemburkan darah lagi.
Melihat keadaan ini, hati Lauw Jok Hong menjadi girang,
teriaknya : "Moy cu jangan takut, kita tidak perlu tangan.
Orang ini pasti takkan dapat bertahan!" Padahal waktu Lauw
Jok Hong tidak perlu berteriak, Lauw Hwie pun telah tahu.
Ketika tadi Lauw Jok Hong menusukkan pedangnya,
tenaganya keras sekali, pedang itu hampir saja menembusi
bahu orang itu, maka kini lukanya itu mengeluarkan darah lagi
membasahi bahu, tubuhnya menjadi merah. Ketika orang itu
membalikkan tubuh menerjang terus membabatkan
pedangnya, darahnya terus memercik ke sekeliling mengikuti
kelebatan sinar pedangnya. Melihat keadaan begini, biar orang
ini berilmu lebih tinggi lagi, ia takkan mungkin bertahan lama.
Berpikir sampai disini, hati Lauw Hwie menjadi tenang.
Setelah hatinya tenang, gerakannya lebih manis lagi. Orang itu
menyerangnya empat lima jurus lagi, tenaganya telah
berkurang, akhirnya mundur ke sebuah pohon dan bersandar
di pohon itu menarik napas terengah-engah. Kata Lauw Hwie
sambil tertawa : "He jurus pedangmu hebat sekali! Kenapa
tiba-tiba berhenti?"
Orang itu meraung menerjang lagi. Kali ini terjangannya
baru sampai setengah,sudah kehabisan napas."Gedebuk"
terkulai di atas tanah dan tidak dapat bangun lagi. Lauw Hwie
tertawa mengakak, orang itu membalikkan tangannya
melemparkan pedang dalam tangannya pada Lauw Hwie, tapi
kini tenaganya telah habis. Walaupun pedangnya masih dapat
menyambar Lauw Hwie tapi setelah sampai di muka Lauw
Hwie, tangannya tidak kuat dan dapat ditangkis jatuh oleh
Lauw Hwie dengan pedangnya.
Tadinya Lauw Jok Hong tidak berani mendekat, kini ia
buru-buru mendekat bagai seorang jagoan, lalu mengangkat
kakinya menginjak punggung orang itu tiga kali hingga orang
itu mengeluarkan darah dari ketujuh lubangnya dan pingsan
tak sadarkan diri. Lalu Lauw Jok Hong melangkah maju
memungut pedangnya baru ia mengangkat tangannya ingin
menurunkan tangan jahat tiba-tiba terdengar suara Kim yang
nyaring, mengalun sampai ke telinganya. Kedua kakak beradik
itu terperanjat, buru-buru menoleh. Terdengar suara Kim itu
datangnya dari bawah pohon bambu tidak jauh dari tempat
itu. Kalau ada suara KIm mengalun, tentu ada orangnya.
Sedangkan apa yang sedang mereka lakukan sekarang ini,
sekali-kali tidak boleh diketahui oleh orang lain. Maka hati
mereka berdua sangat kaget, saling pandang lalu mereka
melangkah keluar dari semak-semak. Sekejap saja mereka
telah mendapatkan kembali kuda mereka lalu memacu kuda
mereka pulang ke rumah. Di tengah jalan, mereka pun pernah
membicarakan persoalan ini. Mereka sama-sama mengira
orang itu pasti takkan hidup lagi. Mereka telah membunuh
orang, bahkan tidak tahu siap orang itu. Sesampai di rumah,
dengan hati-hati mereka menanam intan berlian itu, untuk
sementara waktu tidak berani dikeluarkan. Yang membuat hati
mereka kecut adalah suara Kim dari pohon bambu itu. Maka
ketika mereka mendengar Thian Auw Siang Jin memainkan
Kim itu, segera menjadi kaget dan ingin membunuhnya.
Begitu So Beng Hiat In muncul, mereka kakak beradik
mengira perbuatan mereka telah diketahui orang hingga
persoalan Lauw Nen dan Lauw Hung terbongkar, baru hati
mereka merasa tenang. Setelah anak pemilik pulau Thian In
datang, baru mereka tahu bahwa orang yang mereka bunuh
itu adalah cucu dari pemilik pulau Thain In itu. Lauw Jok Hong
dibawa orang, Lauw Hwie mengira ia aman dengan jalan
melarikan diri, tapi sama sekali ia tidak menduga ibsa bertemu
dengan orang aneh yang mengaku dirinya sebagai kakak Giam
Ong, dan memanggil seorang yang tidak mungkin hidup lagi
ke hadapannya. Hal ini betul-betul membuatnya menjadi
ternganga, telinganya mengiang-ngian tak henti-hentinya. Ia
tidak dapat bicara, sedangkan orang berlumur darah itu terus
melangkah setindak demi setindak menghampirinya.
Orang berlumur darah itu terus maju mendekati Lauw
Hwie, setelah hanya berjarak empat lima kaki baru berhenti.
Lalu melebarkan mulutnya tertawa : "Lauw ko nio, mengapa
melotot begitu padaku" Apakah tidak kenal padaku?"
Lauw Hwie ingin berteriak, tetapi ketakutan yang tidak ada
suaranya itu seakan sebuah lengan yang kuat mencekal
lehernya erat-erat hingg tidak memungkinkan dirinya untuk
bersuara. Kerongkongannya terus berbunyi kerokokan hingga
didengar sendiripun terasa bulu tengkuknya berdiri.
Orang berlumur darah itu cekikikan : "Lauw ko nio, kau
sedang meniru bunyi kodok?"
Lauw Hwie meronta dengan sekuat tenaga, baru dapat ia
mengucapkan sepatah kata yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan persoalan itu : "Kau jangan
sembarangan ngomong, siapa yang meniru... bunyi kodok?"
Kini kesadaran Lauw Hwie betul-betul sangat kacau, maka
ia tidak membela apakah ia telah membunuh orang atau tidak,
tetapi membantah perkataan orang yang mengtakan dirinya
meniru bunyi kodok. 'Saudara Gim Ong' dengar, ia tertawa terbahak-bahak : "Ini
lucu sekali, kau tidak membicarakan persoalan nyawa orang
yang sangat penting itu, malah membantah yang bukanbukan.
Ini ada baiknya, biarlah kamu ngobrol-ngobrol dulu,
aku mau istirahat sebentar."
Ia melekukkan tangan menjadi bantal lalu berbaring di atas
tanah. Kini perasaan Lauw Hwie sangat kacau, ia sama sekali tidak
memperhatikan apa yang dilakukan orang, hanya menatap
orang yang berlumuran darah itu saja.
Tiba-tiba dalam benaknya yang hampir kaku itu terpikir
suatu hal. Ia teringat akan So Beng Hiat In.
Dan hampir saja berbarengan, ia telah menganggap orang
yang berlumuran darah itu adalah So Beng Hiat In.
Seseorang yang telah mati, sekali-kali tidak mungkin hidup
kembali. Sedangkan orang itu mengalami luka sangat parah.
Taruhlah memiliki dua batang nyawa, ia pun harus mati.
Kenapa orang ini masih dapat berdiri di hadapannya dan
membuka mulut bicara" Orang yang di hadapannya itu
pastilah So Beng Hiat In. Sekujur tubuhnya berlumuran darah,
dan bersekongkol dengan 'saudara Giam Ong'
mempermainkan dirinya. So Beng Hiat In telah berada di
hadapanku! Walaupun So Beng Hiat In tidak muncul lagi di kalangan
kang ouw selama dua puluh tahun, tetapi orang-orang Bu lim
memperbincangkan persoalan So Beng Hiat In dari mulut ke
mulut banyak sekali. Maka setiap orang yang mempelajari ilmu
silat, di sanubari mereka telah tertanam suatu kepercayaan
yang mendalam, bahwa ketika So Beng Hiat In muncul,itu
suatu mala petaka besar yang akan membinasakan seluruh
keluarga. Orang yang menganggap dirinya gagah seperti Lauw
Thian Hauw, begitu melihat bayangan darah saja telah
kewalahan, apalagi Lauw Hwie"
Kini Lauw Hwie memikirkan So Beng Hiat In telah berdiri di
hadapannya, otaknya yang telah menjadi kaku, tiba-tiba
mendengung seakan meledak. Bersamaan dengan dengungan
itu, hal-hal kejahatan yang diperbuatnya pada masa silam,
semuanya terbayang kembali, hingga hatinya sendiripun
merasakan bahwa So Beng Hiat In muncul di hadapannya
adalah suatu hal yang sangat wajar sekali, kalau tidak tentu
itu kurang adil. Tetapi pikirannya itu hanya melesat sekali saja dalam
benaknya. Ia lantas berpikir, ia tidak harus mati, yang mau
dicari So Beng Hiat In tidak seharusnya dia, akan tetapi toa ko
dan toa ci-nya. Maka ia beranjak dengan satu gerakan yang
sangat aneh, lalu berdiri menunjuk pada orang yang
berlumuran darah itu sambil tertawa terkikik-kikik : "Kau,
sangat tidak adil!" Orang berlumuran darah itu malah tertegun, sampai
'Saudara Giam Ong' yang beristirahat di samping itu pun turut
membuka matanya, wajahnya menunjukkan perasaanyang
sangat heran. Orang yang berlumuran darah itu menoleh, melirik pada
'saudara Giam Ong' yang disebut belakangan ini
menganggukkan kepala, seakan menyuruhnya terus bercakapcakap
dengan Lauw Hwie. Keadaan ini menunjukkan bahwa orang yang berlumuran
darah itu bukanlah roh penasaran ataupun So Beng Hiat In
yang hidup dalam dongengan, tapi kini Lauw Hwie karena
saking takutnya maka syaratnya sangat tegang, mana ia
masih memperhatikan segala tingkah laku lawan yang kecil
itu" Ia menjerit lagi : "Ini sangat tidak adil!"
Orang yang berlumuran darah dan saudara Giam Ong
merasa sangat heran sekali, mereka tidak mengerti apa
maksudnya Lauw Hwie berkata begitu.
"Tidak adil, tidak adil?" tanya orang yang berlumuran darah
itu. Suara Lauw Hwie kian lama kian nyaring, jeritnya : "Tidak
adil, kenapa kau tidak mencarai Toa ci atau Toa ko-ku"
Kenapa justru aku yang kau cari?"
"Dengan dasar apa aku mencari mereka" Mereka tidak
pernah membunuhku," kata orang yang berlumuran dadrah.
Lauw Hwie menjerit lagi sambil tertawa : "Kau jangan purapura,
kau siapa, jangan kira aku tidak tahu!"
Orang berlumuran darah itu tercengang, dan membalikkan
sedikit tubuhnya menghadap dan menggoyang-goyangkan


Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya pada 'saudara Giam Ong'. Andaikata keadaan Lauw
Hwie normal, tentu ia tahu bahwa gerak gerik orang yang
berlumuran darah itu menunjukkan persoalannya telah
diketahui oleh mereka. Kini, 'saudara Giam Ong' pun berdiri.
Tetapi Lauw Hwie sama sekali tidak mengetahui segalanya
ini, masih terus menjerit : "Kau adalah So Beng Hiat In!"
Tadinya orang yang berlumuran darah dan 'saudara Giam
Ong'pada melangkah menghampiri Lauw Hwie tetapi ketika
mendengar jeritan Lauw Hwie itu, mereka sama-sama
berhenti, dan serentak bertanya : "Apa katamu?"
Lauw Hwie menunjuk pada orang yang berlumuran darah
itu dan tertawa terkikik-kikik, suaranya sama dengan orang
biasa tertawa, namun wajahnya menunjukkan rasa ketakutan
yang amat sangat, ditambah lagi dengan wajah yang pucat
pasi bagai mayat, maka suara tawanya itu sangat mengerikan
orang yang mendengarnya, h ingga dapat mendirikan bulu
roma. Ia berkata dengan tangan yang gemetar : "Aku sudah
mengenali kau, kau adalah So Beng Hiat In, yang sangat
disegani oleh orang-orang Bu lim baik golongan putih maupun
golongan hitam. Kau telah meninggalkan bayangan darah di
tembok rumahku, kenapa kau datang mencariku" Dan bukan
Toa ci atau Toa ko-ku" Selama ini aku baru membunuh dua
orang, mana setanding dengan mereka" Mana setanding
dengan mereka" Kau..."
Ia menjerit dengan suara yang amat nyaring, bersama
dengan itu mukanya terus berubah, tapi bukan dari putih
menjadi merah melainkan dari putih menjadi hijau, dan
tampaklah mukanya kian lama kian hijau, lama kelamaan
menjadi biru, sedangkan perkataannya belum lagi habis,
"gedebuk", ia telah terjatuh di atas tanah. Hanya baru saja ia
jatuh, lalu bangkit kembali, tubuhnya terhuyung-huyung dan
wajahnya menunjukkan perasaan yang sangat ketakutan dan
membiru, sekali pandang saja sudah tahu, karena saking
takutnya, empedunya telah pecah, mengalir dalam darahnya,
maka kulitnya telah menjadi biru. Lauw Hwie memandang
pada orang yang berlumuran darah dan 'saudara Giam Ong',
menjerit dengan tubuh yang gemetar : "Jangan bunuh aku...
jangan bunuh aku... aku bukan apa-apa, carilah orang lain..."
Orang yang berlumuran darah itu menghela napas, seraya
membuka kedok yang dikenakan di mukanya.
Setelah kedoknya terbuka, terlihatlah mukanya yang kurus
dan pucat tidak bersemangat, rupanya adalah pemuda yang
baru sembuh dari sakit keras.
Pemuda itu berkata dengan perlahan : "Lauw kouw nio,
walaupun kamu telah mencelakai aku namun aku beruntung
telah bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi dan
terhindar dari maut. Kini kau pun telah menerima hukuman
karmanya, aku pun tidak mau menyakiti kau lagi. Hanya
sekantong perhiasan itu sangat berguna, sudah kau
kemanakan semuanya?"
Mata Lauw Hwie terbelalak memandang pemuda itu.
Wajah pemuda itu tidak lagi menakutkan, karena ia telah
lepaskan kedoknya. Tapi kini Lauw Hwie tidak normal lagi, dalam
pandangannya, pemuda itu masih berlumuran darah. Darah
itu terus melebar, akhirnya menjadi bayangan dadrah yang
berbentuk manusia, persis bayangan darah yang ada di
tembok rumahnya. Lauw Hwie tidak menjawab pertanyaan pemuda itu, h anya
membesarkan tenggorokannya menjerit, ketika ia menjerit,
rambutnya seakan berdiri semuanya.
Kalau orang bukan merasa sangat ketakutan, keadaan itu
tidak mungkin terjadi. Melihat keadaan ini, pemuda itu tidak dapat lagi bertanya
lebih lanjut, lalu membalik memandang 'saudar Giam Ong'.
Yang disebut belakangan ini geleng-geleng kepala sambil
menghela napas : "Aku ini tidak percaya dengan nasib atau
hukum karma, andaikata di dunia ini memang ada hukum
karma, dan di dunia ini takkan ada orang jahat lagi. Tapi kini
aku tidak bisa percaya lagi. Dulu ia berlaku kejam padamu,
tapi kini ia pun telah menerima hukuman karmanya.
Pemuda itu bertanya dengan kaget : "Dia... kenapa dia?"
"Kau tidak lihat" Empedunya telah pecah dan mengalir ke
dalam darahnya, maka seluruh tubuhnya menjadi hijau.
Walaupun ia masih hidup, tetapi melihat apa saja, seekor
semut atau seekor burung, ia bisa kaget. Daun rontok, dia kira
langit roboh. Kau tunjuk dia, ia pun mengira kau hendak
mengorek jantungnya. Sepanjang hari ia berada dalam
keadaan yang sangat ketakutan, tapi tidak tahu kapan ia akan
mati." Pemuda itu mendengar dengan seksama. Setelah ucapan
'saudara Giam Ong' habis, pemuda itu baru dapat tersenyum
dengan terpaksa : "Cian pwe, kalau begini akulah yang
mencelakainya, karena aku menyamar sebagai roh penasaran
itu." 'Saudara Giam Ong' melotot : "Kentut, kalau ia tidak
berbuat jahat, mana mungkin sekaget ini" Inilah namanya
hukum karma. Kini kita tidak tahu dimana letaknya sekantong
perhiasan itu," katanya sambil mengebaskan lengan bajunya
dan menerbangkan beberapa helai daun rontok dari tanah,
dan membuatnya berterbangan di muka Lauw Hwie.
Persis seperti apa yang dikatakan oleh 'saudara Giam Ong',
melihat daun-daun berterbangan di mukanya, Lauw Hwie
menjerit ketakutan dan membalikkan tubuhnya kabur. Ia lari
ke depan dengan cepat sekali, wajar saja kalau ada debu dan
ranting pohon yang terbawa. Bagi orang mana saja, hal ini
tidaklah mengagetkan. Tetapi empedu Lauw Hwie telah pecah,
ia akan menjerit karena suara dan bayangan apa saja, lalu
jatuh, tapi ia tidak berani merangkak di atas tanah. Buru-buru
ia bangun lagi, baru lari lagi beberapa langkah jatuh lagi.
Melihat tubuhnya gemetar dan menjerit-jerit terus-terusan,
tidak ada orang yang tega melihatnya. Pemuda itu telah
mengatupkan matanya tidak sampai hati melihatnya. Setelah
Lauw Hwie pergi jauh, 'saudara Giam Ong' mengulurkan
Pedang Tanpa Perasaan 6 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Pembantai Cantik 1
^