Bayangan Darah 5
Bayangan Darah Karya Pho Bagian 5
tangan mendorong pemuda itu : "Sudah jauh, bukalah
matamu. Hm, kata orang, tidak ada orang yang lebih tahu
sang anak daripada ayahnya sendiri. Aku lihat tidak betul
semuanya, kalau ayahmu sangat tahu akan dirimu, masa ia
menyuruh kau yang tidak becus ini berkelana di dunia
persilatan" Kau cuma cocok berdiam saja di pulau Thian In,
untuk melayani kakekmu merokok."
Pemuda itu tersenyum pahit : "Aku... tidak becus, Cian pwe
jangan tertawakan. Ayah saya menyuruh saya jalan duluan. Ia
akan menyusul dari belakang, sekarang entah bagaimana
keadaannya?" "Aku sudah ceritakan pada kau, setelah kau pingsan
dipukul mereka, entah berselang berapa lama, seakan ada
orang di samping mu, kaupun tidak tahu siapa dia. Hanya kau
telah menceritakan salah satu di antara mereka. Lalu kau
pingsan lagi, orang yang pertama menolong kau itu, tentulah
ayahmu yang tidak becus itu," kata saudara Giam Ong.
"Cian pwe jangan mencemoohkan ayah saya," kata pemuda
itu. "Itu salah ayahmu sendiri, kenapa sudah setua ini dia
belum juga jadi pemilik pulau. Orang-orang hanya
menyebutnya sebagai anak pemilik pulau Thian In, seakan dia
masih seorang anak muda saja layaknya; siapa tahu
jenggotnya sudah panjang, anaknyapun sudah dekat punya
istri," kata saudara Giam Ong.
Pemuda itu berkata denganmuka yang bersemu merah :
"Kakek saya masih hidup, wajar saja kalau ayah saya jadi
anak pemilik pulau Thian In."
Saudara Giam Ong mendehem : "Apakah harus terus
bernaung di bawah ayahnya" Kalau aku, cari saja salah satu
pulau di lautan, apakah hal itu sangat sulit" Biar pulau itu
tandus, aku adalah pemiliknya, kan lebih gagah daripada jadi
anak pemilik pulau?"
Pemuda itu boleh dikatakan belum pernah mendengar
perkataan demikian selama hayatnya, maka untuk sesaat ia
hanya dapat tercengang, entah apa yang harus dikatakannya,
lalu ia geleng-geleng kepala mengalihkan pokok pembicaraan :
"Kata Cian pwe orang itu adalah ayah saya, kalau begitu
kenapa ia meninggalkan saya?"
Saudara Giam Ong menggelengkan kepalanya : "Ia tidak
mengingatkankau, ia hanya mengira kau sudah mati, lalu
cepat-cepat mengubur kau. Setelah itu ia menangis tersedusedu
baru ia pergi." Kata pemuda itu : "Apakah Cian pwe melihatnya?"
"Tidak pernah, tetapi ilmu menangis ayahmu sangatlah
baik, dari sejauh satu li lebih aku sudah dapat mendengar
suara tangisan ayahmu. Begitu aku dengar ada suara
tangisan, aku tahu pasti ada yang mati, dan hatiku menjadi
sangat gembira..." kata saudara Giam Ong.
Pemuda itu bertanya dengan tidak sabar : "Gembira?"
Saudara Giam Ong mempelototkan matanya : "Tentu saja,
kalau ada yang mati kesepuluh saudaraku itu ada kerja, kalau
tidak mereka sangat senggang."
Untuk sesaat pemuda itu tidak mengerti : "Kesepuluh
saudaramu?" "Eh" Ya, kesepuluh saudaraku, masa kau lupa?" kata
saudara Giam Ong seraya tersenyum pahit, lalu sambungnya :
"Ketikaitu aku cari-cari, betul saja ada satu kuburan baru,
tetapi aku tahu, orang yang dikubur itu belum mati."
Pemuda itu ingn bertanya bagaimana bisa tahu orang itu
belum mati, tetapi ditahannya tidak bertanya.
Pemuda itu tahu, kalau ia bertanya, jawabannya pastilah
'Eh" Aku adalah saudara Giam Ong, masa aku tidak tahu"' dan
sia-sialah pertanyaannya itu.
Sambung saudara Giam Ong : "Tetapi ayahmu tidak tahu
aku telah menolong kau, beberapa hari ini ia pasti mencari
orang yang seperti diuraikan oleh kau itu, untuk membalas
dendamnya." Pemuda itu berkata dengan suara lembut : "Ayah saya
pasti sangat sedih, andaikata ia tahu aku belum mati, betapa
girangnya nanti." Ucapan pemuda itu sangat wajar, tetapi saudara Giam Ong
geleng-geleng kepala dengan kencang : "Salah, salah, salah
besar!" Mata pemuda itu terbelalak, entah apa yang salah. Saudara
Giam Ong berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya :
"Coba kau pikir, kau sudah mati, dan ayahmu bersedih,
semuanya kan itu beres. Kalau ia berjumpa lagi dengan kau,
tentu ia takkan bersedih lagi, tapi suatu saat kau akan mati
lagi, dan ia pasti bersedih sekali lagi. Ia punya hanya satu
anak tunggal, tapi kau menyedihkan dia dua kali, apakah kau
memang ada kejadian demikian?"
Pemuda itu tertegun, "Apakah saya pasti... pasti mati
sebelum ayah saya?" Saudara Giam Ong tertawa : "Taruhlah ia mati lebih dulu,
kau pun akan bersedih, kepedihan ini adalah perbuatanmu
sendiri. Kalau kau mati lebih dulu, mana ada kesedihan lagi?"
Hati pemuda itu sangat kacau dibuatnya, ia memandang
saudara Giam Ong dengan terpaku, dan saudara Giam Ong
tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba hati pemuda itu cerah, ia
pun tertawa. "Kamu bukan saudara Giam Ong, tapi nenek
moyang Hwe Shio." Saudara Giam Ong tertawa cekikikan : "Tidak perduli
apakah itu saudara Giam Ong atau nenek moyang Hwe Shio
semuanya itu sama saja, cuma manusia yang membedabedakannya
dengan jelas. Bukankah hal ini sangat lucu?"
Kini pemuda itu telah mengerti, keduanya berjabatan
tangan, mereka tertawa dan menari-nari sambil pergi. Dilihat
orang, yang satu tua dan satu muda ini adalah oran gila,
namun hati mereka sangat cerah, tidak memikirkanapa-apa.
Tidak lama kemudian, mereka telahpergi jauh, dan suara
tertawa mereka tidak lagi terdengar.
*** Lauw Jok Hong dikepit oleh orang setengah baya itu di
bawah ketiaknya, tangan orang setengah baya itu bagai kakak
tua mengepit pinggangnya keras sekali, hingga membuat
tulang iganya terus berbunyi, seakan ada yang patah, hampir
saja membuatnya tidak berani menarik napas. Sepanjang jalan
ia merintih-rintih, entah telah berapa jauh, tiba-tiba ia merasa
lepas dari kepitan, dan "buk" jatuh ke atas tanah. Lauw Jok
Hong dikepit orang itu hingga matanya berkunang-kunang,
setelah lepas untuk sementara masih tidak dapat melihat apaapa,
tangannya meraba-raba, dan teraba sebuah batu nisan,
lalu ia setengah berlutut ingin berdiri. Sementara ini, matanya
telah mulai dapat melihat. Ia melihat dirinya sedang berlutut
di hadapan sebuah kuburan baru, dan yang dipegangnya itu
adalah sebuah batu nisan. Di batu nisan itu terukir huruf
"Kuburan Tan Beng Teng dari Pulau Thian In". Tadinya Lauw
Jok Hong tidak tahu siapa itu "Tan Beng Teng", tetapi di
bawah huruf "Tan Beng Teng" itu terdapat pula huruf Pulau
Thian In.Lauw Jok Hong bukan orang tolol, tentu saja ia
mengerti, orang yang terkubur dalam kuburan baru itu
bukanlah orang lain, dia adalah anak dari orang setengah
baya di hadapannya ini, anak muda yang mati di bawah
tangannya dan Lauw Hwie. Ia siuman dari keadaan setengah
pingsan, dan tiba-tiba melihat batu nisan ini. Terasa kepalanya
berdengung, hampir saja ia jatuh pingsan lagi. Tubuhnya telah
setengah berdiri, kini kedua lututnya menjadi lemas, kembali
ia tertunduk di atas tanah, kepalanya berputar dengan kaku
mencari kemana perginya orang setengah baya itu.
Baru ia menoleh, sudah melihat orang setengah baya itu.
Orang setengah baya itu berdiri di samping batu nisan,
sebelah tangannya memegang batu nisan itu, jari tangannya
yang pucat itu terletak tidak jauh dari jari tangan Lauw Jok
Hong. Lauw Jok Hong terperanjat, buru-buru ia menarik
tangannya, tubuhnya tercelentang ke belakang, lalu ia
merangkak, hatinya sangat terperanjat oleh karena secara
mendadak saja ia mengetahui jaraknya dengan orang
setengah baya itu sangat dekat sekali. Setelah ia merangkak
dua tindak, hatinya pun berdebar-debar. Rupanya ia tahu
orang setengah baya itu memandang kuburan baru dengan
pandangan kaku, sama sekali tidak memperhatikan dirinya.
Andaika ia dapat menggunakan kesempatan ini untuk kabur...
berpikir hingga disini, hatinya lebih tegang lagi, sampai
membuat kaki dan tangannya tidak mendengar komando. Ia
terpaksa menggelindingkan tubuhnya sejauh tujuh delapan
kaki, lalu merangkak kembali dengan kaki dan tangannya
beberapa tombak, lalu menggunakan sekuat tenaganya untuk
berdiri dan angkat kaki kabur.
Lauw Jok Hong sekali-kali tidak berani menoleh ke
belakang, karenaia tidak berani memikirkan bahwa ia
mempunyai kesempatan yang sebaikini untuk kabur dari
cengkeraman lawannya. Ia lari dengan mati-matian, hingga
seluruh tulang belulangnya serasa ingin copot, dan peluhnya
bercucuran dari kening mengaburkan pandangannya. Ia lari
hingga tenggorokannya bagai dibakar dan sampai kakinya
menjadi lemas, lalu terjatuh, baru ia terpaksa berhenti.
Ia tergeletak di atas tanah, napasnya terengah-engah,
pelan-pelan peluhnya kering ditiup angin dan ia telah dapat
melihat keadaan di depannya. Namun, ketika ia membuka
matanya memandang ke depan, tiba-tiba saja ia menjerit
panjang-panjang, ia loncat lagi dan lari mati-matian lagi.
Padahal ia telah sangat letih, tapi ia mau tidak mau harus lari,
karena ketika ia dapat melihat, barang pertama yang dapat
dilihatnya itu adalah batu nisan. Tadinya ia telah lari sejauh 20
li,tetapi setelah tejatuh, hal ini bagaimana tidak mengagetkan
hatinya" Bagaimana tidak menyuruhnya untuk berlari lagi"
Sekali ini, derita yang diterimanya dari setiap langkahnya
bahkan tidak dapat dilukiskan, tetapi ia tidak berani berhenti.
Ia lari sekuat tenaganya, baru tiga empat li telah terjatuh lagi.
Matanya berkunang-kunang menjadi gelap, tidak dapat
melihat apa-apa. Ia terkulai di atas tanah, menarik napas
dengan terengah-engah tangannya mencakar-cakar. Tiba-tiba
teraba sebuah batu, dan memegangnya dengan kedua
tangannya. Segera terasa batu itu bersegi empat, dan hatinya
berdetak, kedua tangannya bergemetar meraba ke atas,
matanya menjadi berkunang-kunang, dan tidak dapat melihat
apa-apa, tetapi tangannya yang gemetar itu telah teraba huruf
"pulau Thian In".
Lauw Jok Hong masih ingin berteriak, namun mulutnya
terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar, malah segumpal
darah segar yang keluar dari mulutnya. Hal ini membuatnya
menjadi lebih berkunang-kunang lagi, ia tidak bertenaga untuk
kabur, dan terpaksa bergelindingan, sepanjang jalan darah
segar terus keluar dari mulutnya. Ia bergelinding sebanyak
tujuh delapan kali, lalu tangannya menekan ke tanah, tiba-tiba
ia melonjak berdiri dan lari lagi.
Ketika pertama kali ia lari, ia tidak tahu ada orang
mengikutinya dari belakang, lebih-lebih tidak tahu orang yang
mengikutinya dari belakang itu memegang batu nisan. Ilmu
mengentengkan tubuh orang setengah baya itu sangat tinggi,
walaupun membawa sebuah batu nisan, namun gerakannya
tetap tidak menimbulkan sedikit suarapun. Ketakutan Lauw
Jok Hong yang sangat amat itu membuatnya tidak berani
menoleh ke belakang, telinganya hanya terdengar suara
deruan angin karena langkah larinya yang kencang. Bagimana
ia dapat mengetahui ada orang mengikutinya dari belakang"
Setelah Lauw Jok Hong terjatuh di atas tanah, buru-buru
orang setengah baya itu meletakkan batu nisan ke hadapan
Lauw Jok Hong. Inilah sebabnya kenapa setelah Lauw Jok
Hong berlari sejauh dua tiga puluh li, batu nisan itu masih saja
berada di kanan kirinya. Pada saat ini, Lauw Jok Hong karena saking kagetnya telah
berada dalam keadaan setengah gila. Ditambah lagi dengan
larinya yang memakan banyak tenaga, mengakibatkan ia
muntah darah sepanjang. Namun ia masih terus lari, setiap
jatuh tentu ia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. Tetapi
orang setengah baya yang mengikutinya dari belakang itu
tidak mempunyai rasa kasihan, walaupun demikian di
wajahnya pun tidak terlihat rasa gembira karena dendamnya
sedang terbalas. Karena betapapun ia menyiksa musuhnya,
anaknya takkan hidup kembali.
Lauw Jok Hong terus berlari. Dalam keadaan setengah
sadar, ia teringat permainan yang selalu dilakukannya ketika ia
pergi berburu : "Ia memburu hewan, hewan itu dikepung
anjing berburunya, elang pun ikut memburu dengan berputarputar
di atas kepalanya, membuat hewan tersebut ketakutan.
Namun ia tidak lantas turun tangan, ia senang melihat naluri
ingin hidup dari hewan itu dalam kesengsaraannya. Tapi kini
ia sendiri telah menjadi hewan buruan. Terakhir kali Lauw Jok
Hong jatuh, ia tidak bertenaga lagi untuk berdiri dan rebah
dengan napas ngos-ngosan. Orang setengah baya itu
mengangkat batu nisan. Baru ia ingin menghantamkannya ke
kepala Lauw Jok Hong. Hantaman itu kalau kena kepala Lauw
Jok Hong, pasti saja kepalanya akan pecah berantakan, dan
pada saat inilah terdengar suara kakek tua : "Tunggu dulu!
Ada dendam apakah tuan dengan orang ini" Sudah
mengubernya sampai sedemikian rupa masih tidak
melepaskannya?" Orang setengah baya itu mengangkat kepalanya dengan
tiba-tiba, dilihatnya seorang kakek-kakek yang agak pendek,
rambutnya telah memutih, umurnya kira-kira 70 tahun. Di
pinggang kakek itu terselip sebuah pedang pendek yang agak
lebar, rupanya agak aneh, sarungnya pun terbuat dari besi,
sudah berkaratan pula. Orang setengah baya itu tertegun.
Baru ia tahu, ketika ia nguber Lauw Jok Hong, ia telah sampai
di sebuah lembah. Lembah ini penuh dengan bunga-bunga
dan pohon-pohon, disana terdapat sebuah batu besar yang
putih bersih diukir menjadi sebuah papan catur, apalagi
seorang tua yang bongkok duduk disana. Rupanya kedua
orang tua itu sedang asyik main catur, melihat dirinya
menguber Lauw Jok Hong lalu mencegah menghentikan
hantaman batu nisan itu. Orang setengah baya itu menghela napas, lalu menjura :
"Saya adalah Tan Heng dari pulau Thian In."
"Oh," kata orang tua itu : "Kalau begitu, pemilik pulau Tan
adalah..." "Ayah saya," sela Tan Heng tidak menunggu orang tua itu
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghabiskan ucapannya. Orang tua itu menganggukkan kepalanya : "Entah apa yang
telah dibuat orang itu hingga menyakiti tuan?"
"Ia merampok dan membunuh anakku," kata orang
setengah baya itu dengan nada sedih.
Orang tua itu menunjuk menatap Lauw Jok Hong. Kini
Lauw Jok Hong telah pingsan, mukanya pucat penuh dengan
darah, tampaknya persis seperti mayat. Setelah melihat
sejenak, berkatalah orang tua itu : "Orang ini masih sangat
muda! Dia..." belum habis ucapannya, ia telah kaget, buruburu
ia melangkah, teriaknya : "Si bongkok mari lekas!"
Tadinya si bongkok itu terus duduk di pinggir batu, sedang
dengan seksama meneliti permainannya, tidak memperdulikan
apa yang telah terjadi disitu. Setelah mendengar teriakan
orang tua itu, baru ia menengadah : "Ada apa?"
Begitu si bongkok menengadah, sungguh mengagetkan
orang, karena di mukanya penuh dengan bintik-bintik yang
besar-besar dan kecil-kecil. Ada yang merah, ada yang hitam,
ada yang biru, sungguh sangat mengerikan.
Tan Heng melirik pada pada si bongkok itu sejenak,
serunya : "Inikah Hua To?"
"Hm," sahut si bongkok itu acuh tak acuh. "Ya."
"Ayo lekas, apakh anak muda itu masih dapat ditolong?"
kata orang tua itu lagi. Si bongkok berkata dengan dingin : "Tua bangka Thio, kau
dengan begitu melihat orang lantas menolong, anak muda ini
bukan sanak bukan pula familimu. Aku sangat malas untuk
menolongnya, ayo kita main catur saja."
Kata orang tua itu sambil menghempaskan kakinya : "Kali
ini kau salah hitung, inilah anaknya orang she Lauw itu. Ciu ji
(anak saya) telah memperistri anak gadis sulung orang she
Lauw itu, kau bukan tidak tahu, kenapa kau bilang bukan
sanak bukan famili dengan aku?"
Si bongkok itu tidak bisa menjawab, berdiri dengan sangat
terpaksa, mulutnya menggumam : "Sanak begitu juga sudah
terlalu jauh, hampir saja tidak ada hubungannya sama sekali,
biarlah, coba ku lihat kalau ia sudah ditakdirkan untuk masuk
ke dalam neraka, aku pun tidak dapat menolongnya," katanya
sambil menuju ke Lauw Jok Hong yang telah pingsan itu.
Tan Heng yang berdiri di sebelah itu merasa sangat
canggung sekali. Siapa si bongkok itu, sekali pandang sja ia
sudah tahu. Dialah tabib yang sangat ternama di kalangan
dunia persilatan, sakit parah apa saja kalau sudah sampai ke
tangannya, semuanyaakan menjadi sembuh kembali.
Tubuhnya bongkok (To), dan kebetulan ia ber-she Hua, maka
orang-orang kang ouw menamakannya Hua To. Sakit yang
diderita Lauw Jok Hong sangat parah, tapi kalau diobatinya,
pasti bisa sembuh. Apalagi dari perkataan orang tua itu, ia
telah tahu orang tua itu bukanlah orang lain, dialah jago silat
pedang yang sangat tersohor Thian Kiam Thio Hoa.
Thian Kiam Thio Hoa dan Singa Emas Lauw Thian Hauw
adalah bermisan, Thio Pek Yauw anak Thio Hoa, memperistri
anak gadis Lauw Thian Hauw, Lauw Hung. Hal ini diketahui
semua orang. Tan Heng berpikir dalam hatinya, kalau ia ingin
mencegah Hua To untuk mengobati Lauw Jok Hong, tentulah
dia bukan tandingan kedua orang tua itu, lalu ia menjadi
marah. Teriaknay : "Setan ini sangat kejam, ia telah
membunuh anakku. Ia harus menerima hukum karma, jangan
tolong dia." Kepandaian Hua To memang sangat lihai, namun ia sangat
malas untuk mengobati orang. Mendengar teriakan Tan Heng
itu, segera ia berhenti dan tidak mau menolongnya.
Thian Kiam Thio Hoa berkata dengan tergesa-gesa :
"Sahabat Tan, saya rasa kau keliru, dia adalah anak Singa
Emas Lauw Thian Hauw!"
Tan Heng mendengar, ia jadi tertawa terbahak-bahak.
Suara tawa Tan Heng sangat seram, hingga membuat Thio
Hoa dan Hua To menjadi mengerutkan alisnay. Tan Heng
tertawa sesaat, lalu jeritnya : "Aku keliru" Coba kau
bangunkan dia, dan tanyalah sendiri padanya."
Thio Hua menunduk memegang Lauw Jok Hong. Walaupun
tubuhnya agak kate, namun tangannya besar dan memerah,
diulurkannya memegang Lauw Jok Hong. Terlihatlah mukanya
menjadi serius, dalam sekejap saja, dalam sekejap saja di atas
kepalanya telah mengepul asap putih. Jelas sekali ia sedang
mengirimkan tenaga aslinya ke tubuh Lauw Jok Hong. Hua To
membalikkan tubuhnya, mulutnya entah sedang
menggumamkan apa. Keadaan ini, semua orang juga tahu
bahwa ia tidak mau turut terlibat, namun ia tidak dapat tidak
memandang muka Thian Hua, maka ia tidak dapat segera
angkat kaki. Tan Heng masih memandang Lauw Jok Hong dengan
wajah marah. Berselang sesaat, terdengarlah tenggorokan Lauw Jok
Hong berbunyi kerokokan. Suara itu makin lama makin rapat,
seakan dalam tenggorokannya itu terdapat beberapa ekor kata
yang sedang berbunyi. Berselang lagi sesaat, terdengar suara
"wuaaah", darah biru muntah keluar dari mulut Lauw Jok
Hong. Pelan-pelan ia siuman, membuka matanya, dalam
pandangannya itu masih terdapat rasa ketakutan. Buru-buru
Thio Hoa berkata : "Nak Lauw, apakah kau kenal padaku?"
Mendengar suara manusia, tubuh Lauw Jok Hong tak
tertahan lagi bergemetar. Dengan suara payah ia melirik,tapi
matanya berkunang-kunang, dilihatnya di depannya ada
beberapa bayangan orang, ia berteriak dengan kaget :
"Jangan bunuh aku... jangan bunuh aku!"
"Thio Hoa menghela napas : "Nak Lauw, aku adalah Thio
Hoa." Tadinya hati Lauw Jok Hong sangat takut, begitu
mendengar nama Thio Hoa segera menjadi tenang. Dalam
sekejap saja, hampir saja ia berteriak saking kegirangannya.
Aku sudah tertolong! Ia tahu Thio Hoa adalah seorang jago
silat yang lihai. Bertemu dengan Thio Hoa, nyawanya akan
terjamin. Hatinya menjadi tenang, darahnya pun mengalir
dengan lancar, dan telah dapat melihat bayangannya di
depannya dengan jelas. Ia melihat Tan Heng berdiri di
samping dengan wajahnya yang marah, dan ia tahu
bagaimana persoalannya. Lauw Jok Hong sangat penakut, tapi
kelicikannya tidak berkurang. Sementara ini ia mendengus
dengan suara parau : "Paman Thio, orang ini... ingin
membunuh saya tanpa sebab... paman Thio... cobalah paman
pertimbangkan..." Tadi Tan Heng menyuruh Thio Hoa membangunkan Lauw
Jok Hong dan bertanya padanya. Namun kini, setelah Lauw
Jok Hong siuman, ia telah berkata demikian untuk angkat
tangan, hingga muka Tan Heng dan Thio Hoa pada berubah.
Muka Thio Hoa berubah karena luka Lauw Jok Hong begitu
parah. Kalau tadi dia bukan lagi main catur dengan Hua Toa,
pasti Lauw Jok Hong ini telah mati di bawah tangan Tan Heng.
Ia tidak tahu asal usul persoalannya, hanya menganggap
Lauw Jok Hong adalah anaknya Lauw Thian Hauw, tentu saja
berkelakuan baik. Rupanya Tan Heng sedang memfitnah Lauw
Jok Hong. Sedangkan Tan Heng menjadi kian marah karena
mendengar ucapan Lauw Jok Hong yang ingin angkat tangan
itu, bentaknya : "bocah cilik, kau tidak mau mengaku?"
Lauw Jok Hong elah menyadari bahwa Thio Hoa tidak tahu
persoalannya dan telah berdiri di pihaknya, maka hatinya
makin berani lagi : "Orang ini memfitnah saya telah
membunuh anaknya, dan menculik saya. Sepanjang jalan saya
disiksanya. Ilmu silatnya sangat tinggi, saya tidak dapat
menandinginya... maka ia mau mencabut nyawa saya... he he,
orang yang belajar silat tentu tidak takut mati, tapi kalau
menyuruh aku mati konyol, akupun tidak mau!" Ucapan Lauw
Jok Hong itu sangat keras dan dapat menggerakkan hati
orang. Thian Kiam Thio Hoa beranjak berdiri, kedua tangannya
mendorong Lauw Jok Hong hingga mental ke muka Hua To,
lalu serunya : "Si bongkok, kalau kau tidak mau berkawan
dengan aku, jangan perdulikan dia!"
Hua To menghela napas, tangan kirinya membalik
menyambut Lauw Jok Hong yang mental ke hadapan itu.
Berbarengan dengan itu, tangan kanannya mementil, dan
masuklah sebuah pil ke dalam mulut Lauw Jok Hong. Nyata
sekali ia tidak mau mengobati luka Lauw Jok Hong, karena
Thio Hoa mengancamnya dengan pemutusan hubungan
hingga membuatnya mau tidak mau harus membantu. Tetapi
ia sangat tidak rela maka ia dengan perasaan yang sangat
mendongkol mementilkansebuah pil ke arah mulut Lauw Jok
Hong dan tidak memintanya membuka mulutnya. Sedangkan
pentilan itu keras sekali, setelah pil itu dekat, Lauw Jok Hong
ingin membuka mulut tapi sudah tidak keburu lagi,
terdengarlah sebuah suara "plak", darah berpercikan, pil itu
telah menembus bibir atas Lauw Jok Hong, bahkan
merontokkan sebuah giginya, hingga membuat Lauw Jok
Hong kesakitan dan menelan pil itu berikut giginya yang copot
tadi. Lauw Jok Hong sakit bercampur marah. Ia ingin berteriak
menjerit-jerit, tapi cara pengobatan Hua To memang agak
kelewatan, namun obatnya sangat manjur. Ketika mulutnya
terbuka dan belum sempat menjerit, lalu terasa sebuah hawa
dingin yang sejuk mengalir dari tenggorokkannya sampai ke
menyeluruh ke tubuhnya. Darahnya mengalir dengan lancar,
tenggorokkannya terasa agak nyaman, matanya yang
berkunang-kunang boleh dikatakan lenyap dalam seketika.
Lauw Jok Hong tidak mungkin tidak tahu, inilah khasiatnya
obat itu, maka ia ternganga tidak dapat bersuara.
Di lain pihak, setelah Thio Hoa mendorong Lauw Jok Hong,
dalam hatinya ia tahu Hoa To adalah kawan sehidup semati
dengannya selama puluhan tahun, dan ditambah lagi dengan
ancaman pemutusan hubungan, Hoa Toa itu pasti turun
tangan membantunya menyembuhkan Lauw Jok Hong. Maka
menengok pun ia tidak,lalu melangkah menghampiri Tan Heng
denganmemegang gagang pedangnya : "Sudah lama aku
dengar ilmu silat Pulau Thian In adalah suatu cabang silat
yang tersendiri, di luar golongan putih maupun golongan
hitam, sekarang aku dapat membuka mataku, sungguh
merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan."
Muka Tan Heng menjadi berubah tidak menentu : "Thio toa
hiap, apa maksud ucapanmu ini?"
Thio Hoa menengadah sambil tertawa. "Di hadapan orang,
buat apa cerita yang bukan-bukan" Persoalannya sudah
sampai sedemikian rupa, apakah kau masih dapat berpangku
tangan?" Tan Heng mengekang dirinya hingga ia tidak jadi marah
pada Thio Hoa, hanya berkata dingin : "Tidak disangka Thian
Kiam Thio Hoa yang tersohor di Bu lim ini adalah seorang
yang tidak dapat membedakan mana yang baik mana yang
buruk, mana yang salah mana yang betul, rupanya adalah
seorang yang pikun!"
"Thio Hoa tersohor selama puluhan tahun, orang-orang Bu
lim baik dari golongan putih, maupun dari golongan hitam,
kalau bertemu dengannya pasti memberi hormat, mana
pernah ada orang yang berani memarahi dia sedemikian rupa"
Tabiatnya sangat keras, mana mungkin bersabar lagi, segera
ia menjadi marah, tangannya bergoyang, terdengar suara
"crang". Ia telah menghunuskan pedangnya yang tergantung
di pinggangnya dengan bentuk aneh itu. Pedang itu hitam
legam, sama sekali tidak menyolok dan lagi pedang itu
tampaknya sangat berat. Karena tergenggam dalam tangan
Thio Hoa, pedang itu tidak dapat mantap, ujungnya menjurus
ke bawah seakan tidak dapat menahan keberatannya. Tan
Heng tersenyum dingin : "Baiklah, kalau memang harus turun
tangan, saya pasti temani. Tetapi kau tidak membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk, sungguh akan menjadi
bahan tertawaan oleh orang-orang Bu lim."
*** BAGIAN SEMBILAN Thian Kiam Thio Hoa menjerit, lalu memendekkan
tubuhnya, pedang aneh dalam tangannya itu telah menerjang
ke depan dan menimbulkan angin kencang. Pedang aneh itu
telah menjadi pelangi hitam,kedahsyatan tenaganya tidak ada
tandingannya! Ilmu pedang, biasanya mementingkan
kelincahan, tetapi jurus Thio Hoa itu dilancarkan secara keras
sekali, seakan yang berada dalam tangannya itu bukanlah
pedang melainkan kampak. Tan Heng melihat Thio Hoa
menyerang dengan dahsyat sekali, hatinya berdetak, dan
buru-buru mengumpulkan tenaga murninya menyenjot
tubuhnya. Ilmu mengentengkan tubuh dari pulau Thian In
sangat terkenal di kalangan Bu lim, sekali enjot saja telah
mencapai ketinggian satu tombak lebih, dan dengan
sendirinya telah dapat mengelakkan serangan Thio Hoa yang
bertubi-tubi itu. Terdengar Thio Hoa tertawa lebar, tangan
kirinya membalik dan telah menggenggam sebuah pedang
lagi, kedua tangannya menggunakan pedang dan dibuatnya
dua buah lingkaran. Kedua lingkaran itu menderu-deru
memekakkan telinga, angin dahsyat dari bawah ke atas terus
membubung tinggi. Sekejap saja batu-batu kecil itu telah
terkumpul dan seakan membentuk sebuah menara.
Pada saat itu, tubuh Tan Heng yang melayang ke udara itu
turun ke bawah. Ketika tubuhnya gak turun sedikit, terasa ada
tenaga yang dahsyat telah mengepungnya dari empat
penjuru, Tan Heng tahu keadaanitu tidak menguntungkan
dirinya, buru-buru ia mengumpulkan kembali tenaga
murninya. Ilmu mengentengkan tubuhnya terlalu tinggi,
seharusnya ia masih dapat melambung kembali enam atau
tujuh kaki setelah mengumpulkan tenaga murninya, namun
kini di sekeliling tubuhnya telah terdesak oleh tenaga dahsyat
yang berputar-putar itu. Ketika Tan Heng mengumpulkan tenaga murninya,
tubuhnya hanya melayang lagi satu kaki, segera ia merasakan
bagian bawah tubuhnya memberat, seakan dipeluk erat-erat,
bahkan menimbulkan suatu tenaga yang menariknya ke
bawah. Kini andaikata Tan Heng dapat ditarik ke bawah oleh
tenaga dahsyat itu, tubuhnya akan bercampur dengan batubatu
kecil dan diputar-putar oleh tenaga dahsyat itu tak hentihentinya.
Dan kalau diserang lagi oleh Thio Hoa, ia takkan
mempunyai tenaga untuk melawan lagi. Pedang Thio Hoa itu
didapatkannya dari daerah sebelah barat, pedang apa itu dan
terbuat dari apa, orang-orang Bu lim tak seorang yang tahu.
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pedang itu berat sekali, tubuh Thio Hoa pendek kate. Ada
cerita lucu mengenai dirinya, ketika ia mendapatkan pedang
itu dan digantungkannya di pinggang, tak pernah lepas dari
tubuhnya. Kedua tangannya memegang pedang, dan
membuat lingkaran yang bertenaga dahsyat sekali, kalau tidak
ada andalan, tentu tidak dapat melawannya. Sedangkan Tan
Heng datang dari lautan seberang, walaupun pernah
mendengar nama Thio Hoa, tapi belum mengetahui berapa
dalam ilmu silatnya, maka begitu berantam, ia telah
menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya melesat ke
udara mengelakkan serangan Thio Hoa.
Kini bagian bawah Tan Heng telah memberat, hatinya
menjadi kacau, lalu terjungkir, dan Tan Heng sangat
terperanjat, buru-buru ia mengumpulkan tenaga murninya
kembali. Seharusnya tubuhnya telah tertarik ke bawah,
dengan kumpulan tenaga murninya itu walaupun tubuhnya tak
dapat melayang ke atas, namun dapat mengimbangi tenaga
dahsyat yang hendak menariknya ke bawah itu dan tubuhnya
masih tetap berada di udara. Cuma tenaga murninya hanya
dapat mengimbangi tenaga yang menariknya ke bawah, tapi
tidak dapat melenyapkan tenaga yang berputar-putar itu,
maka tubuhnya telah terjungkar lagi. Tan Heng menjadi
sangat kaget, buru-buru ia mengumpulkan tenaga murninya
secara beruntun, hingga dalam sekejap saja ia telah
mengumpulkan tujuh belas kali.
Itulah ilmu mengentengkan tubuh 'In Pan Ban li' yang
tersohor di kalangan dunia kang ouw, andaikata Thio Hoa kini
tidak menyerangnya dengan tenaga dahsyat, ke-17 kali
mengumpulkan tenaga murninya itu membuatnya berbalik
sejauh 10 tombak lebih dan kakinya tidak menginjak tanah
barang sedikitpun. Kini tubuhnya terus berbalik-balik di udara
tak henti-hentinya, tidak melayang ke atas dan tidak pula
jatuh ke bawah, hingga membuat Hua To yang sangat
berpengalaman itu pun menjadi tercengang. Walaupun ia
telah banyak pengalaman, serunya : "Ilmu yang baik sekali!"
Pengumpulan ke-17 kali tenaga murni Tan Heng itu telah
dapat melenyapkan tenaga dahsyat Thio Hua, begitu kakinya
merasa leluasa, Tan Heng telah berbalik sejauh dua tombak
dan berdiri tegak disana. Thian Kiam Thio Hoa pun tertegun,
serunya : "Bagus!"
Harus diketahui, jurus 'Jit Gwe Bo Kwong' (matahari dan
bintang tidak bersinar) nya tadi semenjak menguasai ilmu ini,
entah telah bertemu berapa banyak jago-jago silat, dan tidak
pernah tidak menarik musuh dari atas ke bawah. Maka
serunya 'bagus' itu, betul-betul diserukan dari lubuk hatinya.
Setelah mundur dua tombak, Tan Heng merasa kepalanya
berat dan kakinya enteng, hampir saja ia terjatuh. Harus
diketahui, ketika ia berputar-putar 17 kali di udara tadi, dan
setelah mundur lalu masih dapat berdiri dengan tegap, ini
membuktikan bahwa ilmuamemang telah sempurna sekali.
Dan timbullah rasa sayang dalam hati Thio Hoa, tidak lagi
turun tangan, bentaknya : "Kau berilmutinggi, kenapa masih
mau menganiaya seorang pemuda?"
Tan Heng tertawa dingin : "Kau memang pikun, andaikat
Singa Emas Lauw Thian Hauw itu adalah orang baikbaik,
kenapa So Beng Hiat In bisa muncul di tembok rumah?"
Sehabis perkataan Tan Heng ini, Thio Hua, Hua To dan Lauw
Jok Hong pada terperanjat.
Dalam hati Lauw Jok Hong, ia lebih bingung lagi, kenapa
orang ini bisa tahu hal ini" Lauw Jok Hong mana menyangka,
pertama ketika ia setengah sadar tadi telah menggumam
membocorkannya. Kedua, ketika Tan Heng bertemu dengan
Lauw Thian Hauw dan Thian Auw Siang Jin tadi, iapun sedikit
banyak telah tahu persoalan itu dari wajah-wajah mereka.
Maka ia dapat memastikan bahwa Lauw Thian Hauw sedang
menghadapi malapetaka. Thio Hua berseru setelah tertegun : "Kau... kau kata apa?"
Tan Heng tertawa dingin : "Pergilah kau ke rumah Lauw
Thian Hauw, kau akan mengerti. Kenapa mesti banyak tanya?"
Persahabatan Thio Hua dan Lauw Thian Hauw sangat
akrab, kalau tidak mana mungkin bisa jadi bermisan. Kini hati
Thio Hua berdetak tak henti-hentinya. Mukanya berubah,
kedua tangannya berbalik memasukkan kembali pedangnya,
lalu tubuhnya telah melesat ke depan.
Hoa To berteriak dengan kencang : "Hei, bagaimana
dengan orang ini?" "Simpanlah dulu, aku mau pergi ke rumah Lauw Thian
Hauw dulu!" teriak Thio Hua. Belum habis ucapannya, orang
itu telah pergi jauh sekali.
Tubuh Tan Heng pun turut melesat ke depan, tetapi ia baru
mengikuti Thio Hua empat lima tombak, tiba-tiba ia merubah
niatnya. Tubuhnya mendadak berbalik dan telah berada di
hadapan Hoa To. Mata Hoat To mendelik : "Kalau Thio Hua memberikan
orang ini padaku, kau jangan coba-coba main-main dengan
aku." Tan Heng tertawa dingin : "Kau jangan kuatir, rumah Lauw
tidak jauh dari sini, Thio Hua akan segera kembali. Ketika itu
mana dia masih mau mengurusi yang tidak-tidak." Ia
memandang Hoa To dari sejauh enam tujuh kaki, dan Hoa To
pun menganggap di sampingnya tidak ada manusia.
Setelah tubuh Thio Hua melesat ke depan, makin lama
larinya makin cepat. Tak lama kemudian telah mendekati
rumah Lauw. Ia belum dapat melihat ada siapa disna, telah
mendengar bentrokan senjata yang terus mengalun ke
telinganya. Thio Hua bukan orang sembarangan. Sekali dengar suara
bentrokan senjata itu saja, sudah tahu bahwa di depannya itu
ada orang sedang berkelahi dan orang itu berilmu sangat
tinggi. Buru-buru Thio Hua membelok ke ujung jalan, sebelumnya
orangnya tiba ia telah menjerit dulu : "Kak Thian Hauw,
apakah kau ada disitu?" Orangnya tiba di belakang suaranya.
Setelah dekat, terdengar Thian Hauw mendehem. "Hua Lo
ko(kakak tua) kau ya?" Ia berhenti dua kali untuk
mengucapkan perkataan itu. Ini menunjukkan ia tidak ada
waktu untuk bicara. Thio Hua berhenti dan memandang ke depan, dilihatnya
Thian Hauw berputar dengan pedangnya, yang dimainkan
dengan secara sempurna sekali. Sedangkan orang-orang yang
menggumulnya itu ada sebanyak tujuh delapan orang. Melihat
Lauw Thian Hauw dikeroyok, hati Thio malah menjadi tenang.
Karena So Beng Hiat In tidak mungkin mengajak temannya
mengeroyok orang. Dengan ilmu silat yang dimiliki oleh So
Beng Hiat In, dan andaikata ia mau mengeroyok Thian Hauw,
ini akan menjadi suatu hal yang sangat lucu sekali.
Melihat bukan So Beng Hiat In, hati Thio Hua menjadi
tenang, teriaknya : "Berhenti!"
Teriakannya memang cukup menggetarkan bumi, beberapa
orang yang mengeroyok Lauw Thian Hauw itu sedang
melancarkan serangan yang lincah sekali, kini pada berhenti.
Setelah mereka berhenti, hati Thio menjadi terperanjat
memandang mereka. Dilihatnya di pinggang mereka diikat
dengan karung goni, kepala mereka mengenakan kembang
putih, itulah kedelapan Tong cu dari Sang Bun Pang.
Kedudukan dan kekuatan Sang Bun Pang dalam dunia kang
ouw tidak dapat dianggap remeh. Pang cu-nya belum keluar,
Lauw Thian Hauw telah kewalahan untuk menghadapinya.
Bagaimana kalau Pang cu datang, bukankah lebih sulit lagi"
Tetapi kenapa Lauw Thian Hauw bisa bermusuhan dengan
orang-orang dari Sang Bun Pang ini" Thio Hua sangat
terperanjat, tapi wajahnya tidak berubah, tetapi merah
padam. Ia melangkah dengan tegap sambil berkata : "Senang
sekali aku masih diberi muka oleh kalian, kita bisa berunding
dengan baik-baik. Kenapa harus berkelahi?"
Di antara orang-orang Sang Bun Pang itu, ada seorang
kurus tinggi yang melangkah keluar, lalu menjura. "Rupanya
Thian Kiam Thio toa hiap, karena persoalan Yen Cung cu maka
kami minta petunjuk Lauw toa hiap. Silahkan Thio toa hiap
nonton saja di pinggir saja."
Setelah dengar, Thio Hoa lebih terperanjat lagi, serunya :
"Yen Cung cu" Apakah Kauw Bwe Liong Yen Cung cu?"
"Ya," sahut orang kurus itu.
"He," kata Thio Hua : "Kalian keliru, Yen Cung cu dan Lauw
Singa Emas adalah kawan karib, kenapa kalian mengataknnya
mereka bermusuhan?" Orang kurus itu tertawa dingin. "Thio toa hiap, Yen Cung cu
telah meninggal secara sangat menyedihkan sekali."
Thio Hua menjadi lebih terperanjat lagi. Ia menggumam
dalam hatinya. Ia hanya main catur dengan Hua To selama
tiga bulan dalam lembah itu, dalam tiga bulan ini tidak pernah
berkelana di kalangan dunia kang ouw, kenapa sekarang telah
terjadi hal yang sebesar ini di kalangan dunia kang ouw"
Ketika ia masih tertegun, orang kurus itu telah berkata lagi :
"Yen Cung cu meninggal di rumah Lauw toa hiap, dan ada
beberapa hal yang tidak jelas, maka kami datang bertanya
pada Lauw toa hiap."
Hati Thio Hua semakin terperanjat, katanya : "Kalau begitu,
apakah kalian telah mencurigai Lauw toa hiap yang
membunuh Yen Cung cu" Inipun agak lucu bukan?"
Orang kurus itu berkata dengan suara yang sangat
menyeramkan : "Kami upn tidak berani berpikir demikian.
Sayang Lauw toa hiap tidak dapat menceritakan sebab
musababnya, tentu saja kami ingin mencari penjelasannya."
Lauw Thian Hauw kewalahan menghadapi kedelapan orang
itu, kalau bukan Thio Hua datang tepat pada waktunya,
mungkinia tak dapat bertahan sampai sekarang. Sampai kini ia
baru dapat tenang, sedangkan ilmu silat Thio Hua, ia sangat
jelas. Apalagi dirinya bermisan dengan Thio Hua, tentu Thio
Hua akan membantunya untuk menghadapi musuh-musuhnya.
Maka hatinya menjadi lebih tenang lagi, lalu teriaknya : "Berak
apa yang kurang jelas" Yen Cung cu mati di tangan Tung Hai
Siang Kui, aku telah ceritakan pada kamu?"
Orang kurus itu berkata : "Kami masih berpegang pada
pendirian kami, Yen Cung cu mati kena tusukan pedang dua
kali, dan isi dalam tubuhnya hancur kena tenaga dalam,
jangankan Tung Hai Siang Kui tidak menggunakan pedang,
apakah Tung Hai Siang Kui tersohor dengan ilmu tenaga
dalam itu?" Thio Hua menjadi tertegun : "Apakah kalian tidak salah
lihat?" Orang kurus itu tertawa dingin : "Mayat Yen Cung cu, kini
kami telah letakkan di Yen ka cung, perkumpulan kami telah
menyebarkan undangan untuk mengundang jago-jago silat
datang ke Yen ka cung untuk memeriksa mayat Yen Cung cu,
apakah ia benar-benar mati di bawah tangan Tung Hai Siang
Kui" Seperti apa yang dikatakan pepatah, keadilan itu berada
di hati orang. Kalau Thio toa hiap tidak keberatan, silahkan
datang untuk turut menyaksikannya."
Kini hati Thio Hua sangat ragu-ragu, mundur maju.
Gerakan Sang Bun Pang sangat tegas, itu diketahui orangorang
Bu lim. Andaikata mereka tidak berada di atas angin,
mana mungkin mereka dapat bertindak seyakin ini" Tetapi
kalau Yen Cung cu dibunuh oleh Lauw Thian Hauw, dalam
pandangan Thio Hua, itupu adalah suatu hal yang sangat
mustahil. Hatinya ragu-ragu, lalu memandang Lauw Thian
Hauw. Dan Lauw Thian Hauw seakan pernah berbuat salah,
melihat Thio Hua memandang dirinya, buru-buru ia
menenangkan dirinya, tapi hatinya masih berdetak-detak, dan
berteriak dengan sengaja : "Hua Lo ko, apakah kau percaya
ocehan mereka itu?" Kata Thio Hua : "Tentu saja aku tidak percaya, tapi, tapi..."
Mendengar ucapan Thio Hua itu, hati Lauw Thian Hauw
telah tahu bahwa Thio Hua pun sudah curiga akan dirinya, dan
ia menjerit dalam hatinya. Kalau Thio Hua bertanya lebih
lanjut, tentu ia akan membuat kesalahan. Maka ia buru-buru
memotong ucapan Thio Hua, teriaknya : "Hua Lo ko jangan
percaya ucapan mereka. Mari kita sama-sama mengusir
bocah-bocah Sang Bun Pang ini, kalau kita tidak dapat
mengusir mereka, percuma saja kita belajar silat," katanya
sambil menghunuskan pedangnya dan lantas menyerang si
orang kurus. Orang kurus itu sangat lincah, serangan pedang Lauw
Thian Hauw itu diikuti dengan tenaga dalam yang sangat
dahsyat, tetapi betapa gesitnya gerakan orang kurus itu, bagai
sehelai kertas melayang-layang mengelak serangan itu.
Serangan Lauw Thian Hauw itu tidak mengenai sasarannya,
malah orang kurus itu tertawa dingin : "Lauw toa hiap, kini
kami berjumlah delapan orang, dan kalau kau bermimpi untuk
membinasakan kami seluruhnya, hal ini lebih sulit daripada
terbang ke langit." Ia berkata dengan suara yang
menyeramkan, ucapannya itu bagai belati tajam menusuk hati
Lauw Thian Hauw, dan menyebabkannya berhenti sejenak,
tidak dapat lantan menyerang lagi.
Dalam keadaan begini, pandangan mata Thio Hua yang
telah berkelana di kalangan dunia kang ouw bertahun-tahun
lamanya, mana mungkin tidak dapat melihat hati Lauw Thian
Hauw yang telah menjadi kecut sekali" Timbul perasaan curiga
terhadap diri Lauw Thian Hauw, maka ia tidak ingin ikut
campur, hanya berkata : "Thian Hauw Heng, Sang Bun Pang
memfitnah kau demikian, kenapa kita tidak sama-sama pergi
ke Yen ka cung untuk menjelaskan hal yang sebenarnya"
Ketika itu Sang Bun Pang tidak dapat lagi menutupi mata
orang Bu lim." Singa Emas Lauw Thian Hauw sama dengan Thio Hua,
sama-sama jago lama, mana mungkin tidak mengerti makna
kata Thio Hua itu" Walaupun ucapannya itu masih memihak
pada dirinya, namun kenyataannya ia telah sangat curiga pada
dirinya. Selama hidup Lauw Thian Hauw, entah telah berapa kali
mengalami hal-hal yang beasr, tapi kini hatinya ragu-ragu.
Karena andaikata mengikuti apa yang dikatakan Thio Hua,
pada waktu itu kawan-kawan dan sanak famili Kauw Bwe
Liong Yen LIng pasti berkumpul disana. Kalau dirinya berbuat
jahat, tentu ia tidak merasa takut. Tapi Yen Ling betul-betul
mati di bawah tangannya, kalau ditanyai ramai-ramai mana
mungkin ia berbohong lagi.
Dan tampaknya tidak bisa berkunjung ke Yen ka cung. Tapi
kalau tidak pergi, apa pula alasannya" Dan lagi, kemunculan
So Beng Hiat In teLah berselang beberapa saat, tampaknya
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
iblis yang berilmu sangat tinggi dan muncul secara tidak
menentu itu sudah harus muncul. Kalau begini, Yen ka cung
malah akan menjadi suatu tempat yang ideal untuk
bersembunyi sementara. Karena jago-jago silat yang diundang
Sang Bun Pang, dalam empat lima hari ini belum tentu datang
semuanya. Sebelum orangnya sampai semua, orang Sang Bun
Pang takkan mengajak dirinya berkelahi. Malah kalau ada
yang hendak mencari ribut dengannya, orang Sang Bun Pang
malah membantunya untuk mengusirnya, karena orang Sang
Bun Pang menganggap dirinya sebagai bukti, dan mau
memaksa dirinya untuk menceritakan apa yang sebenarnya
telah terjadi di kalangan orang ramai. Tentu saja mereka tidak
mengharapkan dirinya akan dibunuh oleh siapa saja.
Singa Emas Lauw Thian Hauw berpikir bolak balik, berpikir
sampai disini, hatinya menjadi girang. Karena kalau So Beng
Hiat In tidak muncul, dirinya akan mendapat kegembiraan,
kalau So Beng Hiat In datang semoga mereka berkelahi dan
rusak kedua-duanya dan dirinya akan aman sentosa. Ia
berpikir bolak balik, sementara tidak berkata apa-apa,
pandangan mata orang-orang itu tertuju pada dirinya, Thio
Hua sungguh tidak dapat bersabar lagi, katanya : "Thian
Hauw heng, emas murni tidak takut dibakar. Menurut aku,
mau tidak mau kau harus pergi ke Yen ka cung."
Lauw Thian Hauw menggerutu dalam hatinya : "banyak
urusan." Tapi mulutnya berkata : "Tentu saja, mana saya
takut sama orang" Tetapi kalau pada saat itu, orang-orang
Sang Bun Pang akan mencari keributan tanpa sesuatu
alasan..." Berkata sampai disini, matanya memandang Thio Hua.
Segera Thio Hua menyahutnya : "Thian Hauw Heng, mengenai
itu kau jangan kuatir. Kita akan bergandengan tangan. Orang
yang dapat mengalahkan kita, mungkin tidak ada!"
Lauw Thian Hauw tertawa tertawa terbahak-bahak.
Orang kurus itu sampai kini baru membuka mulut : "Kalau
Lauw toa hiap mau pergi, hal ini paling baik. Orang-orang
yang kami undang adalah tokoh dari dunia persilatan, yang
menjadi kawan baik semasa hidup Yen cung cu. Paling lama
enam atau tujuh hari, mereka akan tiba semuanya, dan
sudilah kamu berdua tinggal di Yen ka cung beberapa hari
lamanya." Pikiran Lauw Thian Hauw telah tetap, ia ingin bersembunyi
sementara di Yen ka cung maka ia berkata dengan sangat
gembira : "Itu tidak jadi soal, sudah kumpul semuanya, dan
saya akan ceritakan apa yang sebenarnya. Kalau kalian masih
tidak percaya juga, itu bukan urusan saya lagi."
Orang kurus itu berkata dengan dingin : "Kalau begitu,
silahkan Lauw toa hiap berangkat sekarang."
Mereka berdelapan telah berpencar membuat suatu
lingkaran mengepung Lauw Thian Hauw dan di tengahtengah,
kini hendak memaksa mereka berdua berangkat
sekarang juga; lalu Thio Hua menjadi marah : "Perkataan apa
itu" Apakah Lauw toa hiap tidak dapat meninggalkan pesan
pada anak-anaknya" Dan akupun masih ada sedikit urusan
yang hendak aku rundingkan dengannya. Kamu jalan dulu,
kami akan menyusul dari belakang."
Kedelapan orang itu saling pandang sejenak, dari awal
sampai akhir, terus saja orang kurus itu yang bicara. Ia hanya
menjura pada Thio Hua : "Thio toa hiap berkata begitu, tentu
kami tidak kuatir. Tetapi Thio toa hiap, kami masih ada
beberapa perkataan yang tidak dapat tidak kami ucapkan,
mau dengar atau tidak, itu terserah."
"Silahkan," kata Thio Hua.
"Thio toa hiap, kau adalah orang baik. Dan kami dari Sang
Bun Pang, dari atas sampai ke bawah, semuanya sangat
kagum pada Thio toa hiap, maka ada satu pepatah yang
mengatakan, hati mencelakai orang tidak boleh ada, hati
berwaspada terhadap orang tidak boleh tidak ada, tuan
bergaul dengan orang hina dina itu, haruslah hati-hati!"
Setelah perkataannya habis, wajah Thio toa hiap dan Lauw
Thian Hauw berdua berubah. Lauw Thian Hauw baru ingin
marah, tapi orang kurus itu telah mengibaskan tangannya.
Kedelapan orang itu termasuk dia sendiri telah mundur,
sebentar saja telah lenyap dari pandangan. Orangnya tealh
pergi, taruhlah Lauw Thian Hauw ingin marah, tapi tidak ada
musuhnya, dan ia hanya dapat tertawa pahit : "Hoa Lo ko,
coba kau lihat. Bagaimana aku harus bicara?"
Hati Thio Hua sangat curiga : "Thian Hauw Heng, di luar ini
bukan tempat untuk bicara. Aku ada hal yang sangat penting
yang hendak ku katakan pada kau."
Lauw Thian Hauw menggerutu dalam hatinya, katanya :
"Silahkan!" Keduanya masuk ke dalam pintu, Thio Hua telah melihat
tembok yang roboh itu, sedangkan pelayan-pelayan rumah itu
tidak ada lagi barang satupun, ruang besar sangat kacau
balau. Lalu Thio Hua bertanya : "Ba... bagaimana
persoalannya?" Ditanya Thio begitu, Lauw Thian Hauw teringat kembali
kejadian yang baru lalu, dan menghela napas panjang : "Hua
Lo ko, sulit untuk diceritakan sekaligus."
Thio Hua berkata dengan lembut : "Thian Hauw Heng, kita
adalah kawan karib, bermisan lagi, kalau ada apa-apa
katakanlah secara terang, aku baru saja bertemu dengan
anaknya pemilik pulau Thian In..."
Thio berkata sampai disitu, dan Lauw Thian Hauw telah
sangat terperanjat, "Oh" serunya.
Sambung Thio Hua lagi : "Ia sedang menyiksa anakmu,
akulah yang menolongnya."
Hati Lauw Thian Hauw bertambah kacau lagi, pertanyaan
itu sia-sia belaka, karena ketika anaknya diculik orang diapun
menyaksikannya. Hatinya sangat bingung dan membuatnya
tertawa pahit saja, hingga Thio Hua merasakan ada sesuatu
yang tidak beres. Ia tidak perlu bertanya lebih lanjut, tapi
hatinya telah percaya dengan apa yang diucapan oleh Tan
Heng, anak pemilik pulau Thian In itu. Katanya : "Menurut
kata-kata sahabat Tan, Thian Hauw Heng, rumahmu telah
muncul So..." Ucapan "So" nya baru keluar, Lauw Thian Hauw telah
berteriak : "Sudah!" Ia hanya berteriak sekali, tapi napasnya
telah terengos-engos. Orang-orang pandai silat, kalau bukan
hatinya merasa sangat kaget, mana mungkin terjadi hal ini"
Apalagi orang yang mempunyai Lwe kang tinggi seperti Lauw
Thian Hauw, terlebih-lebih tidak boleh terjadi begitu.
Teriaknya itu, walaupun hanya "sudah" sepatah, tapi bagi Thio
Hua, tak diragukan lagi telah menjadi "ya". Dalam sekejap
saja, serasa tubuh Thio Hua menjadi dingin, dan ia tidak tahu
apa yang harus dikatakannya, hanya memandang Lauw Thian
Hauw secara kaku. Sedangkan Lauw Thian Hauw menjadi pucat pasi, kedua
jago silat di kalangan kang ouw yang berilmu sangat tinggi,
kini hanya saling pandang membisu.
Setelah mendengar kata-kata Tan Heng, segera Thio Hua
datang ke rumah Lauw Thian Hauw. Pertama karena
persahabatannya dengan Lauw Thian Hauw yang sangat
dalam, kedua karena ia pun tidak percaya akan kata-kata Tan
Heng maka tidak ada yang ditakutinya. Tapi kini, dalam sikap
Lauw Thian Hauw ia tealh melihat So Beng Hiat In, hal itu
tidak dapat dipungkiri lagi, kemarahan dalam hatinya tak
terlukiskan. Dalam keadaan begini, biarpun kawan akrab, dan
bermisan lagi, hatinya tidak dapat terhindar dari pikiran untuk
menyelamatkan dirinya sendiri. Ia memandang Lauw Thian
Hauw, wajahnya murung, tapi tidak berkata apa-apa. Hati
Lauw Thian Hauw berdetak-detak kencang, tapi ia membuat
suatu senyuman canggung dengan paksa, ketika ia bicara,
nadanya pun sangat berlainan dengan biasanya, parau dan
kering : "Hua Lo ko, kenapa kau memandang aku begitu?"
Thio Hua pun tertawa "he he" dua kali, dan hatinya
berpikir, bagimana supaya Lauw Thian Hauw mau
mengatakan yang sebenarnya. Ketika ia berpikir demikian, ia
telah mempunyai niat untuk tidak mau mencapuri urusan itu.
Terdengar suaranya : "Tidak apa-apa, hanya... hanya... he
he... hanya..." Bolak balik, yang keluar dari mulutnya hanyalah "hanya"
dan "he he" saja, dan suara yang sangat kaku itu, siapapun
dapat mendengarnya. Sampai waktu ini, kalau Lauw Thian Hauw masih tidak
dapat melihat maksud hati Thio Hua, betul-betul ia adalah
seorang dungu. Hatinya terperanjat dan marah, lalu tertawa
pahit berkepanjangan, karena hal itu ada dalam dugaannya.
So Beng Hiat In muncul di rumahnya, walaupun ia berusaha
untuk menyembunyikannya, dan malah karena hal ini ia telah
membunuh Kauw Bwe Liong Yen Ling, tetapi rupanya hal itu
tidak dapat disembunyikan lebih lama lagi, dan mulai bocor
keluar. Hal ini, andaikata sampai tersebar di luar, orang
serumahnya sama saja dengan menderita penyakit kusta,
bahkan antara ayah dan anakpun tidak dapat saling tolerir,
apalagi orang lain. Dan hal ini tidak dapat menyalahkan Thio
Hua maka Lauw Thian Hauw hanya tertawa kering berkali-kali.
Mereka berdua menjadi sahabat akrab selama puluhan
tahun, di kalangan kang ouw tidak ada yang tidak tahu bahwa
mereka adalah kawan sehidup semati, tetapi kini mereka
hanya saling pandang dan tertawa kering, keadaan begitu
agak menggelikan. Setelah tertawa kering sejenak,Lauw Thian Hauw berkata :
"Hoa Lo ko, hal ini kau tidak boleh percaya, itu adalah suatu
fitnah yang dilontarkan musuhku, kalau kawan karib seperti
Hua Lo ko ini sampai percaya hal ini, entah aku harus
bagaimana jadi manusia lagi."
Kata-kata Lauw Thian Hauw itu hanyalah suatu penjelasan,
supaya Thio Hua mau percaya, dan dirinya akan mendapat
satu tenaga untuk membantunya. Tetapi ketika mengucapkan
kata-katanya yang terakhir "entah aku harus bagaimana jadi
manusia lagi", suaranya ini gemetar karena hatinya
memendam ketakutan yang sangat dalam, yang disebabkan
karean teringat perubahan hari ini.
Walaupun Thio Hua mendengar Lauw Thian Hauw
membantah keras, namun persoalan itu sudah terang
seterang-terangnya. Lalu ia mundur beberapa tindak : "Thian
Hauw Heng, kau bersiap-siaplah, dan pergilah ke Yen Ka
Cung, nampaknya kunjungan itu tak dapat dielakkan. Tapi aku
masih ada sedikit urusan, perkenankanlah aku permisi dulu."
Lauw Thian Hauw tidak dapat berbuat apa-apa : "Hua Lo
ko, kalau kau memang ada urusan, silahkan!"
Thio terus mundur ke pintu. Ia membuka mulutnya ingin
menceritakan tentang soal Lauw Jok Hong secara teliti pada
Lauw Thian Hauw, tetapi akhirnya ia menelan kembali
perkataannya, lalu membalikkan tubuhnya berlari keluar.
Kedatangannya ke situ, justeru karena persoalan Lauw Jok
Hong, tetapi akhirnya tidak sempat mengutarakan
keseluruhannya, hanya sedikit saja menyinggung Lauw Jok
Hong telah ditangkap orang, lalu pergi."
Ia berlari sembari terus berpikir-pikir dalam hatinya, kalau
sudah kembali ke lembah itu, bagaimana aku akan ceritakan
pada Hoa To, Tan Heng dan Lauw Jok Hong" Setelah berlari
sejauh empat lima li, baru hatinya mendapatkan suatu
keputusan, yakni supaya Hoa To diamkan saja Lauw Jok Hong
itu dan tidak mau turut campur persoalan pelik itu.
*** Setelah Thio Hua pergi, Lauw Thian Hauw menggerakkan
tubuhnya pelan-pelan, melangkah mendekati pintu. Dilihatnya
Thio Hua lari bagai sang bayu, bahkan tidak menoleh
sedikitpun, dan hatinya terasa tidak enak. Ia tahu kali ini
dirinya telah berada di tepi jurang, dan dari punggungnya ada
sebuah tenaga yang besar hendak mendorongnya masuk ke
dalam jurang. Kalau ada sedikit salah saja, dan tamatlah
seluruh nama yang diperolehnya selama puluhan tahun dari
dunia kang ouw. Tentu saja ia tidak ingin jatuh begitu saja, ia
harus mencekal apa saja yang dapat menahan dirinya, ia
harus minta bantuan orang lain! Ketika ia berpikir sampai
disini, sungguh ingin menangis rasanya, tetapi ia tidak jadi
menangis malah tertawa terbahak-bahak tidak normal.
Kini senja makin tebal, seluruh pekarangannya yang besar
itu tertutup dalam kegelapan. Penjaga rumah, pelayan
semuanya pada bersembunyi, karena tahu ada persoalan yang
luar biasa terjadi dalam rumah itu. Pelitapun tidak dinyalakan.
Ketika malam makin gelap, suara tawanya itu semakin
menakutkan orang. Bahkan Lauw Thian Hauw sendiripun
merasa tidak sedap mendengar suara tawanya sendiri. Namun
dalam keadaan begini, memang ia membutuhkan sedikit suara
untuk memberanikan dirinya. Maka ia terus tertawa tak hentihentinya,
terus hingga ketika ada sebuah suara "plak" dari
sudut ruang besar di belakangnya berbunyi.
Lauw Thian Hauw adalah seorang jago silat yang memiliki
Lwe kang yang sangat tinggi, walaupun pada waktu itu
hatinya sedang kacau balau, bahkan tertawa terbahak-bahak,
namun suara "plak" itu segera masuk ke dalam telinganya.
Suara tawanya segera berhenti dan membalikkan tubuhnya,
berteriak panjang dan kedua tangannya segera memukul
keluar, tenaga kedua tangannya itu dahsyat sekali. Itulah
tenaga Lwe kang-nya yang telah mencapai ketingkat enam,
yang bergulung-gulung bagai ombak menampar pantai.
Tenaganya kuat bukan kepalang tanggung, dalam sekejap
saja terdengar suara meja kursi berantakan karena tersapu
oleh tenaga tangannya. Ditengah-tengah suara berantakan itu
terselip sebuah suara megap dari seseorang lalu suara
gedebuk yang nyaring sekali bagaikan ada sebuah benda
besar yang menghantam tembok. Kemudian suara tenaga Lwe
kang Lauw Thian Hauw yang menyambar-nyambar ke depan,
ketika tenaga tangannya telah buyar, lalu ruangan itu menjadi
sunyi kembali. Ketika itu ruang besar telah menjadi gelap gulita, tidak
tampak apa-apa. Lauw Thian Hauw memukul setelah
mendengar suara "plak" tadi, dan setelah pukulannya itu,
samar-samar ia mendengar suar megap. Tetapi kini, ia sendiri
tidak tahu siapa yang telah dipukulnya itu, hanya berdiri dalam
kegelapan. Berselang sesaat, tiba-tiba ia mendengar suara
kerisik dari depannya, seperti ada sesuatu yang jatuh di atas
tanah. Padahalsuara itu tidak begitu nyaring, tapi didengar dalam
keadaaan sunyi itu, membuat orang merasa ngeri dan
mendirikan bulu roma. Lauw Thian Hauw tak tertahankan lagi
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi gemetar, lalu dikeluarkannya sebuah penyulut api.
Karena tangannya pun gemetaran, maka penyulut itu
disulutnya berkali-kali baru bisa nyala. Begitu api menyala,
Lauw Thian Hauw memandang ke depan. Sekejap saja seakan
tulang punggungnya dicerai orang dan disiram dengan air es,
sekujur tubuhnya menjadi dingin.
Di hadapannya itulah terdapat sebuah bayangan darah.
Sebuah bayangan darah yang menyala.
Tubuh Lauw Thian Hauw malah tidak gemetar lagi, karena
ia tidak bertenaga lagi untuk gemetar, tubuhnya telah menjadi
kaku. Sebuah bayangan darah! Ya, sebuah bayangan darah
lagi telah muncul di hadapannya. ITu sebuah bayangan darah
yang benar-benar, darah segarnya masih menetes-netes ke
bawah. Ya, sebuah bayangan darah! Tenggorokan Lauw Thian
Hauw seakan ada api membara, matanya memandang ke
depan dalam-dalam, terus hingga penyulut api itu telah
membakar tangannya baru ia tersentak, lalu cahaya api itu
padam. Tenggorokan Lauw Thian Hauw berbunyi kerokokan. Dalam
kegelapan seakan ia mempunyai perlindungan, tetapi
kenyataannya ia lebih merasa kosong dan ngeri lagi. Dengan
terhuyung-huyung ia mundur beberapa tindak, lalu katanya
dengan susah payah : "Ba... baiklah... apakah kau... mencari
aku?" Ucapannya itu menimbulkan gema dalam ruangan yang
sunyi. Dalam kebingungan, Lauw Thian Hauw merasa ada
orang yang menyahutnya, lalu katanya lagi : "Waktu itu... aku
tidak berbuat kejahatan apa-apa, aku cuma... pergi begitu
saja. Padahal kejadian itu telah lewat begitu lama, apakah...
kau tidak mau memaafkan aku?"
Setelah melihat bayangan darah di tembok, hati Lauw
Thian Hauw hanya merasa takut. Tapi setelah ia bicara, ia
menjadi marah, karena ia tahu bahwa kejahatan yang dibuat
Lauw Hung dan Lauw Nen jauh lebih banyak dan jauh lebih
berat daripadanya, kenapa justeru So Beng Hiat In datang
mencarinya" Maka ia menjadi nekad : "Baiklah, ayo kemari,
aku akan adu nyawa dengan kau!"
Lauw Thian Hauw berdiri di kegelapan menunggu serangan
So Beng Hiat In, tetapi berselang sesaat, sekelilingnya masih
tetap sunyi, tidak ada suara apa-apa. Lauw Thian Hauw
adalah seorang jago silat yang telah kenyang makan asam
garamnya dunia persilatan,maka kini hatinya menjadi tenang
kembali, dan mulai berpikir lagi. Ia mengumpat dalam hatinya,
kedatangan bayangan darah itu sangat mencurigakan, justeru
pada waktu di belakangku ada sesuatu, bayangan darah itu
baru muncul, So Beng Hiat In telah muncul sekali di tembok
rumahku, biasanya tidak mungkin timbul lagi. Seandainya
sampai terjadi kedua kalinya, itu berarti orang rumahku paling
tidak harus mati dua orang.
Lauw Thian Hauw berpikir sambil menyalakan kembali
penyulut apinya, dan memandang ke depan tajam-tajam,
bayangan darah itu masih tetap sangat mengerikan. Tetapi
kali ini, kecuali bayangan darah di tembok itu, ia melihat pula
pakaian orang yang berlumuran darah di kaki tembok.
Walaupun pakaian itu penuh berlumuran darah, tetapi masih
dapat dikenalinya. Rupanya pakaian itu adalah pakaian orang
rumahnya. Lauw Thian Hauw tertegun sejenak, lalu melangkah
menghampiri tembok itu. Kini ia baru mengerti asal mulanya
bayangan darah itu. Tiba-tiba ia dapat menghela napas lega.
Dikebutnya lengan jubahnya yang kanan, dan timbul sebuah
angin yang dahsyat menyambar tembok itu. Lalu bayangan
darah itu tiba-tiba lenyap, tapi batu-batu temboknya
berterbangan dan terlihatlah sebuah lubang besar yang
berbentuk manusia. Rupanya ketika Lauw Thian Hauw mendengar suara "plak"
dari belakangnya, ada seorang pelayang yang masuk ke dalam
ruang besar. Apa maksud kedatangan pelayan itu tentu saja
tidak ada orang yang tahu, sedangkan syaraf Lauw Thian
Hauw berada dalam puncak ketegangannya, maka begitu
mendengar ada suara, segera ia memukul dengan kedua
tanganya. Coba bayangkan betapa lihainya tenaga Lwe kangnya.
Taruhlah pelayan itu agak mengerti sedikit ilmu silat,
mana mungkin ia bisa menahannya. Begitu kena dipukul,
pelayan itu megap, dan meninggal seketika, sedangkan
mayatnya terbang ke tembok karena pukula Lwe kang Lauw
Thian Hauw. Tenaga pukulannya itu besar tidak kepalang tanggung,
hingga membuat mayat pelayan itu menjadi segumpal darah
dan menancap ke dalam tembok. Dan sesungguhnya
tembokitu telah menjadi bolong, hanya karena Lwe kang Lauw
Thian Hauw sangat sempurna, maka batu-batu tembok yang
telah hancur itu tidak segera berantakan dan meninggalkan
sebuah bayangan darah di tembok itu. Sedangkan pakaian
pelayan itu tidak dapat lekat di tembok, maka terjatuh di kaki
tembok. Pelayan itu meninggal dengan sangat mengerikan sekali.
Hal ini sudah cukup menggemparkan, tetapi sejak membunuh
Kauw Bwe Liong Yen Ling, hati Lauw Thian Hauw telah agak
gila. Baru seorang pelayan mati, jangan saja sampai So Beng
Hiat In datang mencarinya. Ia takkan perduli. Tapi sungguh ia
telah ketakutan bukan kepalang tanggung, kini baru ia dapat
menghela napas lega. Dilemparnya penyulut api, dan berkata
sendiri : "Takut apa, he, apa yang ditakuti!"
Ia berkata pada dirinya sendiri untuk memberanikan
dirinya, tapi tiba-tiba ada orang yang menyahut dari
belakangnya : "Kalau tidak taku, kenapa kau gemetaran?"
Mendengar suara itu, segera Lauw Thian Hauw
membalikkan tubuhnya dan memukul. Padahal suara itu hanya
beberapa kata saja, tenaga dahsyatnya telah dipukulnya ke
depan, tetapi perkataan yang seram itu masih terucapkan
sampai selesai. Tenaga pukulannya menyerang ke depan,
terdengarlah suara gemuruh, daun pintu ruang besar telah
rontok. Dalam kegelapan, belum tampak ada manusia. Lauw
Thian Hauw baru saja bebas dari perasaan ketakutan yang
sangat mendalam, tapi kini telah berada kembali ke dalam
keadaan sangat ketakutan. Tubuhnya melesat, menghampiri
sebuah tiang besar, berdiri lalu bersandar pada tiang besar itu.
Kemudian katanya : "Siapa" Siapa?"
Suara yang menyeramkan itu berkumandang lagi dari atas
kepalanya : "Kalau memang tidak taku, siapa juga tidak
takut!" Tiba-tiba kedua tangan Lauw Thian Hauw memukul lagi ke
atas, tenaganya lebih dahsyat lagi. Dua batang kaso sebesar
paha telah putus dengan segera dan genteng berjatuhan, atap
rumah itu telah berlobang besar.
Setelah atap rumah itu bolong, cahaya bulan dan bintang
masuk ke dalam ruang. Dalam kegelapan, Lauw Thian Hauw
merasa takut. Tetapi kini, setelahada cahaya masuk, hatinya
menjadi lebih tidak tenang lagi. Dalam kegelapan, ia tidak
tahu kapan musuhnya akan datang, dan tidak dapat melihat
musuhnya, tapi paling tidak musuhnapun tidak dapat melihat
dirinya, ia masih bersembunyi. Tetapi kini ada cahaya, ia tidak
dapat lagi bersembuni. Hatinya berdetak, tubuhnya melesat,
dengan segera dan cepat ia mundur ke pojok ruang yang
paling gelap. Setelah Lauw Thian Hauw bersembunyi, hatinya menjadi
agak tenang. Buru-buru ia perluas pandangannya memandang
sekeliling, ingin mempelajari siapa gerangan
mengumandangkan suara, yang sangat seram dari kegelapan
tadi. Ketika ia memandang ke sekeliling dengan hati was-was,
terasa sseakan dirinya seperti seekor tikus. Sebetulnya,
barang siapa yang menyatroni rumah Lauw Thian Hauw, yang
kaget seharusnya orang yang tidak dikenal itu sendiri. Namun
kini, karena ia telah membuat suatu kejahatan, malah ia yang
lebih kaget daripada orang itu. Bahkan tidak berani melihat
cahaya, dan bersembunyi dalam kegelapan, memandang ke
sekeliling dengan ketakutan.
Berpikir sampai disini, Lauw Thian Hauw hampir tak dapat
menahandirinya untuk tertawa.Tetapi pada saat inilah,suara
yang menyeramkan itu berkumandang lagi. Kali ini suara itu
masih tetap datang dari arah atas : "Kau telah bersembunyi"
He He, meskipun kau naik ke langit atau masuk ke dalam
tanah, kau takkan dapat bersembunyi. He he, he he!"
Bulu roma Lauw Thian Hauw dibuat berdiri oleh suara tawa
dingin itu, segera ia menarik napas dan membentak : "Siapa
kau?" Suara bentakan itu sangat menakutkan orang, dan terus
berkumandang keluar, hingga getarannya menjatuhkan lagi
beberapa genteng. Tetapi setelah bentakannya itu berlalu, suasana menjadi
sunyi lagi.Tak ada orang yang menyahut.
Lauw Thian Hauw menghibur diri sendiri. Ia berpikir dalam
hatinya, orang itu pasti telah kabur mendengar bentakan ku
tadi, kalau orang itu dapat digertak, tentu saja bukan So Beng
Hiat In. Kalau bukan So Beng Hiat In, buat apa aku merasa
takut, ai, tampaknya aku tidak boleh bersembunyi disini terus,
lebih baik cepat-cepat pergi ke Yen ka cung.
Meskipun Lauw Thian Hauw tidak becus, tapi ia tetap
adalah orang kang ouw. Ia dapat memegang harta bendanya,
dapat pula melepaskannya begitu teringat hanya di Yen ka
cung lah ia baru dapat menggunakan tenanga Sang Bun Pang
untuk melawan So Beng Hiat In. maka ia tidak ragu-ragu lagi,
tubuhnya melesat dan telah keluar dari ruang besar, ia lari
sambil mengangkat tubuhnya, melayang dari atas tembok
rumahnya. Ketika tubuhnya turun lagi, suara keresek yang lemah
sekali. Suara itu boleh dikatakan paling lemah, tetapi betapa
pekanya pendengaran Lauw Thian Hauw, ia telah dapat
mendengarnya. Segera ia membalikkan tangannnya menyapu
ke belakang. Tangannya menyaput-nyapu, tubuhnya baru
berbalik, gerakannya boleh dikatannya cepat sekali,namun
orang yang mengikutinya lebih cepat lagi. Ketika ia membalikbalikkan
tubuhnya, hanya terlihat bayangan orang
berkelebatan, orang itu tealh berada di sebelah kirinya.
Kemudian dari belakangnya terdengar lagi suara tertawa
dingin : "he". Dalam waktu sependek itu, orang itu telah
melesat dari sampingnya yang membuat setengah lingkaran,
sampai di belakangnya. Dapat dibayangkan betapa tingginya
ilmu mengentengkan tubuh orang itu.
Lauw Thian Hauw sangat terperanjat, dikebaskan tangan
kirinya, menyapu ke belakang. Ketika pukulan tangan
keduanya memuntahkan tenaga dahsyat menyapu ke
belakang, tenaga pukulan pertamanya baru sampai ke pintu.
Lalu terdengar suara benda berantakan. Dan Lauw Thian
Hauw tidak ada waktu untuk melihat, apakah pintu rumahnya
telah hancur atau tidak. Segera ia membalikkan tubuhnya lagi,
dan ketika ia membalik, dilihatnya bayangan orang itu
berkelebat dan telah sampai di belakangnya lagi. Ketika ia
tertegun, pukulan tangan keduanya telah sampai ke belakang
pohon besar, hingga membuat cabang-cabang dan daun-daun
pada rontok berjatuhan dan menderu-deru melayang keempat
penjuru. Lauw Thian Hauw telah memukul berkali-kali, meskipun
gerakannya cepat sekali, namun orang itu masih saja
berkelebatan. Kecepatannya adalah suatu barang aneh yang
belum pernah disaksikannya sebelumnya. Lauw Thian Hauw
tertegun sejenak, lalu mengangkat tubuhnya melayang ke
depan. Sekali angkat telah berada sejauh tujuh delapan
tombak. Beruntun ia melayang-layang belasan kali, dan telah
berada di depan sebuah batang kayu yang besar lalu
menyandarkan tubuhnya di pohon itu memandang ke depan,
Tapi di depannya kosong melompong, tidak ada orang.
Napasnya terengos-engos, tadi ia mengumpat dalam hatinya,
tubuhnya melayang-layang belasan kali, kecepatannya tinggi
sekali, rupanya aku telah terhindar dari kejaran orang itu.
Demi waspada, ia berdiam sejenak, setelah merasa tidak ada
apa-apa baru ia menggerakkan tubuhnya meninggalkan pohon
itu. Tapi ia masih tetap waspada, kalau-kalau ada perobahan
apa-apa, maka tubuhnya berputar sekali, menunduk membuat
suatu kuda-kuda 'hung hung' ia telah memukul empat kali.
Tetap tidak ada reaksi setelah pukulannya keempat kali itu,
baru ia melangkah maju. Ketika ia mulai melangkah, cahaya
rembulan sangat tenang. Tetapi setelah lari sejauh sepuluh li,
awan hitam bergulungan menutupi bulan, membuat bumi
menjadi gelap gulita. Sepanjang jalan, hatiLTH terus berpikir,
siapa gerangan orang yang mengumandangkan suara seram
dan mengawasi diriku, tetapi memiliki ilmu mengentengkan
tubuh yang sangat sempurna itu. Ia teringat pula, setelah
sampai di Yen ka cung, walaupun dapat menggunakan Sang
Bun Pang, tapi orang-orang Sang Bun Pang dari atas sampai
ke bawah telah semuanya membenci diriku, aku harus
menghadapinya dengan hati-hati. Bersamaan dengan itu, ia
pun harus mendengar dengan seksama keadaan di
belakangnya, ia terus berlari dalam keadaan begitu. Di
kejauhan samar-samar telah tampak ada pelita yang sedang
berkedipan. Lauw Thian Hauw bukan pertama kali datang ke Yen ka
cung, tentu sja ia tahu tempat api pelita itu adalah Yen ka
cung. Kini malam telah kelam seskali, di Yen ka cung masih
ada lampu yang menyala. Ini adalah di luar dugaan Lauw
Thian Hauw. Ia agak ragu-ragu, lalu terus lari ke depan.
Sekejap saja ia telah dapat melihat di pintu gerbang Yen ka
cung tergangung empat buah teng long besar. Dasarnya putih
bertulisan biru, dari kiri ke kanan adalah empat huruf 'Thian
San Eng Chai' (dunia kehilangan seorang jago) itu adalah teng
long kematian, di depan pintu gerbang itu berjejer berdiri
delapan orang penjaga. *** SEPULUH Dalam pintu gerbang, setiap tiga tombak ada empat orang
lelaki penjaga berdiri dengan tegapnya. Di ruang dalam yang
besar terang benderang, sayup-sayup terdengar suara
tangisan. Lauw Thian Hauw sampai di pintu gerbang,
kedelapan orang penjaga tadi berpencar menjadi dua baris,
satu sebelah kanan dan satu sebelah kiri, menyambut
kedatangan Lauw Thian Hauw. Di pundak kedelapan orang
itu, semuanya digantungi selendang yang terbuat dari karung
goni, sekali pandang saja telah tahu itu adalah pakaian orang
Sang Bun Pang. Setelah berhadapan, mau tidak mau Lauw
Thian Hauw harus melenyapkan rasa takut dalam hatinya.
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masih berjarak empat lima tombak dari pintu gerbang,
langkahnya diperlambat. Ia maju setindak dengan tegap, tak
lama kemudian sampailah ia ke hadapan kedelapan orang itu.
Salah satu dari kedelapan orang itu bertanya : "Siapa nama
tuan, supaya kami dapat melapor."
Lauw Thian Hauw tertawa dingin : "Ah ini mah agak lucu,
aku sering datang ke Yen ka cung, tapi kini, aku harus ditanya
oleh orang Sang Bun Pang. Ini aturan apa" Apakah setelah
Yen cung cu meninggal, seluruh pekarangan besar Yen ini
telah menjadi milik Sang Bun
Pang?" Kedelapan orang itu saling berpandangan. Lauw Thian
Hauw mengira mereka pasti akan bertindak, tapi di luar
dugaannya, kedelapan orang tidak berkata apa-apa, lalu
mundur serentak. Bersamaan dengan itu, ada dua orang
melangkah maju menghampiri Lauw Thian Hauw. Kedua
orang itu pernah berantem dengan Lauw Thian Hauw, maka
mereka dapat saling mengenali masing-masing. Lauw Thian
Hauw tertawa dingin : "Rupanya Yen ka cung telah menjadi
milik Sang Bun Pang. Ini adalah suatu berita ajaib dari
kalangan Bu lim." Orang itu pun tertawa dingin : "Tidak salah, orang Sang
Bun Pang dari atas sampai ke bawah, semuanya berada di Yen
ka cung. Tetapi kedatangan orang-orang Sang Bun Pang
kemari adalah untuk menuntut balas atas kematian Yen ka
cung, semoga Lauw Toa hiap tidak salah sangka."
Lauw Thian Hauw tertawa dingin berkepanjangan : "Aneh,
orang-orang Sang Bun Pang suka berdiam di Yen ka cung,
kenapa pula mesti salah sangka. Ucapan kamu itu agak aneh."
Kedua orang itu tidak berkata apa-apa lagi, lalu
membalikkan tubuh mereka sambil berkata : "Silahkan Lauw
toa hiap masuk bersama kami."
Lauw Thian Hauw mengikuti kedua orang itu melangkah
masuk. Dalam rumah Yen itu, ia melihat penjagaan orangorang
Sang Bun Pang sangat ketat, kalau ingin menggunakan
tenaga Sang Bun Pang untuk melawan So Beng Hiat In tentu
saja mengharapkan penjagaan yang semakin ketat semakin
baik. Dalam keadaan demikian, andaikata So Beng Hiat In
datang, tentu segera ia akan tahu. Pada waktu itu, kalau bisa
dilawan ya lawan, kalau tidak bisa dilawan, pun masih dapat
kabur lagi pula. Mendengar ucapan kedua orang tadi, rupanya
ketua Sang Bun Pang pun berada disini juga, paling tidak ia
merasa aman untuk beberapa hari. Maka hatinya pun menjadi
agak tenang, langkahnya menjadi tegap.
Peti mati Yen Ling diletakkan di tengah-tengah ruang besar
itu. Lilin dan hio dinyalakan, sampai di depan peti mati Lauw
Thian Hauw memberi soja : "Yen Ling, kau mati penasaran,
tapi aku tidak merasa berbuat salah. Meskipun dengan
demikian menggemparkan dunia kang ouw, tapi kematianmu
akan menjadi terang."
Suaranya sangat lantang, membela dirinya sendiri. Jagojago
silat dari Sang Bun Pang pada berdiri di samping dengan
muka yang masam, semuanya pada membisu. Setelah
ucapannya habis, ia membalikkan tubuhnya dan berkata :
"Dimana ketua kamu, semoga aku dapat bertemu
dengannya." Kedua orang mengajak Lauw Thian Hauw masuk tadi
berkata dingin : "Pang cu sedang ada urusan, silahkan Lauw
toa hiap beristirahat dulu."
Lauw Thian Hauw berpura-pura marah : "Apa maksud
ucapanmu ini" Aku datang sendiri, apakah kau mengira aku
mau kabur?" Kedua orang itu saling pandang, lalu berkata dengan nada
berat : "Lauw toa hiap, untuk mencegah kejadian yang tidak
diingini terpaksa harus diatur demikian. Paling lama setengah
bulan, jago-jago dari berbagai aliran akan tiba semuanya.
Pada waktu itu tentu akan ada kejadian, nanti ternyata kalau
Sang Bun Pang yang bersalah, kami rela menerima hukuman!"
Lauw Thian Hauw berkata sambil tertawa dingin : "Ksatria
memang pemberani, aku tidak pernah berbuat kejahatan, apa
yang aku takuti?" "Memang demikian yang paling baik! Silahkan! kata
mereka berdua. Mereka membawa Lauw Thian Hauw ke tengah-tengah
pekarangan kecil, di sepanjang jalan Lauw Thian Hauw telah
merasakan ada orang-orang yang bersembunyi di sekeliling
pekarangan kecil itu. Setelah memasuki pekarangan, ada dua orang yang
berdandan seperti pelayan menghampiri. Meskipun kedua
orang itu berdandan seperti pelayan, tapi sekali lihat saja
Lauw Thian Hauw tahu bahwa kedua orang itu adalah jago
silat yang mempunyai kepandaian tinggi baik gwa kang
maupun Lwe kang. Dalam hati Lauw Thian Hauw merasa geli,
ia berpura-pura tidak tahu, dibiarkannya saja kedua orang itu
melayaninya. Ia berpikir dalam hatinya : "So Beng Hiat In
muncul, dalam tujuh hari pasti ada akibatnya. Kini satu hari
boleh dikatakan sudah lewat, masih enam hari lagi; aku akan
dapat berdiam disini, semoga saja orang-orang Sang Bun
Pang dapat melawan So Beng Hiat In. Hal ini tentu saja
sangat baik, kalau tidak, biarlah menggunakan tangan So
Beng Hiat In untuk melenyapkan orang-orang Sang Bun Pang,
hal inipun sangat baik. Aku cuma harus waspada saja, itu
tidak akan menjadi soal. Lauw Thian Hauw boleh dikatakan telah berdiam dengan
tenang di pekarangan Yen ka cung untuk sementara, tetapi
anak-anaknya, yang satu lelaki dan yang satu perempuan,
keduanya masih dak dik duk, tidak bisa bertenang. Ketika
Lauw Jok Hong dibawa oleh Tan Heng, Lauw Nen, Lauw Hung
dan Thian Auw Siang Jin, semuanya ada bersama Lauw Thian
Hauw. Ketika Lauw Thian Hauw sedang berantem dengan
orang-orang Sang Bun Pang, tidak ada orang lainnya lagi.
Rupanya setelah Lauw Jok Hong dibawa pergi, kejadian itu
ada perobahan sedikit. Lauw Jok Hong dibawa Tan Heng dengan ilmu
mengentengkan tubuh 'In Pan Ban Li'. Lauw Thian Hauw tidak
dapat mengubernya, tentu saja hatinya merasa gelisah. Ketika
ia berbalik, Lauw Hwie pun telah lenyap, hingga membuatnya
tidak tahu harus berbuat apa. Dan pada saat inilah, Thian Auw
Siang Jin berkata : "Lauw toa hiap, kedua orang itu memang
harus mati, menurut aku, kau tidak perlu pergi mencari
mereka lagi!" Tubuh Lauw Thian Hauw agak gemetar. "Siang Jin, kenapa
kau harus berkata begitu" Pada waktu itu kalau Pek Touw Cit
Ji tidak berbuat kejahatan, mana mungkin So Beng Hiat In
muncul?"?" Ucapan Lauw Thian Hauw belum habis, tiba-tiba Thian
Auw Siang Jin telah berteriak keras. Rupanya ucapan Lauw
Thian Hauw itu telah menyakiti hatinya, maka teriakannya itu
bagai raungan seekor hewan, sangat tidak enak didengar, dan
telah memutuskan ucapan Lauw Thian Hauw.
Thian Auw Siang Jin berteriak berkali-kali, lalu berhenti.
Pandangannya yang sangat buas itu, hingga membuat hati
jago silat seperti Lauw Thian Hauw menjadi menggigil. Sesaat
kemudian, Thian Auw Siang Jin baru berkata : "Aku sudah
tahu, orang serumahmu, setiap orang mempunyai cukup
alasan untuk mengundang So Beng Hiat In."
Begitu ucapan Thian Auw Siang Jin terlepas, Lauw Hung
dan Lauw Nen pada menengadahkan kepala mereka
memandang Lauw Thian Hauw. Karena setelah kejadian itu,
mereka tidak tahu apa yang pernah dilakukan oleh Lauw Thian
Hauw. Ketika Lauw Thian Hauw melihat anaknya memandang
ke arahnya dengan pandangan curiga, hatinya menjadi lebih
gelisah lagi. Kalau ia tidak gusar, sama saja ia telah mengakui
kejahatannya. Hati Lauw Thian Hauw menjadi gusar, mukanya berubah.
Dan lagi di bawah pandangan mata Lauw Hung dan Lauw Nen
semakin ia berusaha berlagak langgeng, semakin menjadi
kaku. Lauw Nen tidak berkata apa-apa, tapi Lauw Hung yang
bertanya : "Thia, kau pun ada urusan?"
Lauw Thian Hauw membentak : "Bohong, aku ada urusan
apa?" Ia berusaha mewajarkan suaranya, tetapi kenyataannya
suaranya sangat kering dan parau, seakan menjerit minta
diampuni. Mana sama dengan bentakan yang berwibawa" Ia
tidak membuka suara tidak apa-apa, setelah ia bersuara, Lauw
Nen pun menjerit "ya" dan tubuhnya tak tertahan lagi mundur
beberapa tindak. Teriak Lauw Thian Hauw : "Nen ji, berhenti!"
Semakin Lauw Thian Hauw berteriak, Lauw Nen berlari
semakin cepat. Kata "berhenti" Lauw Thian Hauw baru habis,
tubuh Lauw Nen telah berbalik lalu berlari-lari sambil menoleh
berteriak : "Toa ci, So Beng Hiat In bukan datang mencari
kita, kau masih tidak mau pergi?"
Ilmu mengentengkan tubuh Lauw Nen tidak begitu bagus,
tetapi kini larinya cepat sekali bagaikan segumpal asap,
sekejap saja telah lenyap.
Diteriaki oleh Lauw Nen begitu, muka Lauw Hung pun
berubah. Ia menggerakkan tubuhnya, mundur dua tindak. Hati
Lauw Thian Hauw lebih gusar lagi, teriaknya : "Hung ji!"
Harus diketahui, setelah Lauw Jok Hong diculik orang,
Lauw Hwie dan Lauw Nen berturut-turut pergi. Pukulan itu
sangat dahsyat baginya, tetapi ia masih dapat menahannya.
Hanya pada saat inilah, ketika ia melihat Lauw Hung pun
ingin pergi, ia tidak dapat lagi menahannya. Karena Lauw
Hung anak pertamanya, yang sangat disayanginya. Andaikata
Lauw Hung pun pergi meniggalkannya, sungguh ia tak dapat
menahan pukulan ini. Maka setelah ia berteriak, bukan saja mukanya berobah,
bahkan tubuhnya pun turut menggigil. Ia berteriak, Lauw
Hung mundur lagi dua tindak seraya berkata : "Thia,
kebencian ada pangkalnya, hutang ada penagihnya. Kalau So
Beng Hiat In datang mencari kau, tentu saja... aku... aku tidak
bisa berdiam lebih lama lagi disini."
Lauw Thian Hauw berkata dengan napas terengos-engos :
"A Hung, kau dengar kata-kataku. Aku... tidak ada persoalan
apa-apa, So Beng Hiat In... "
Ketika ia berkata sampai disini, Lauw Hung telah mundur
sejauh dua tombak, dan pada saat ini Lauw Thian Hauw
berkata pada Lauw Hung seakan minta dikasihani : "A Hung,
mereka telah pergi semuanya, kau musti harus berada di
sampingku, kau adalah anak yang paling ku sayangi, kau... ah,
kau... " Sampai disini, Lauw Thian Hauw terasa matanya menjadi
gelap berkunang-kunang, ia tidak berdiri dengan teguh. Ia
terhuyung tiga tindak, pundaknya menubruk sebatang pohon,
"bruk" pohon itu telah patah.
Tubrukan itu membuat Lauw Thian Hauw menjadi lebih
sadar, ia memandang ke depan tajam-tajam. Tadi karena ia
bicara dengan nada yang hampir diminta dikasihani,
sedangkan Lauw Hung terus mundur maka matanya menjadi
gelap berkunang-kunang. Tetapi kini ketika ia sadar
memandang ke depan, Lauw Hung pun telah lenyap. Dalam
sekejap saja itu, Lauw Thian Hauw terasa seakan tubuhnya
kosong hampa, ia seakan merasa tidak dapat lagi untuk berdiri
teguh, tetapi seakan melambung tinggi mengawang-awang.
Lauw Thian Hauw membuka mulut ingin berteriak "A Hung"
tetapi bahkan bayangan Lauw Hung pun tidak tampak lagi.
Tarohlah ia menjerit memecahkan tenggorokannya, apa pula
gunanya" Ia mencekal erat-erat pohon yang telah buntung,
dan berdiri begitu saja, terus sampai ketika Thian Auw Siang
Jin tertawa terkikik-kikik, baru ia terhenyak : "Apa yang kau
tertawakan?" Thian Auw Siang Jin tertawa sambil berkata : "Aku merasa
geli, keempat anak-anakmu telah pergi meninggalkan kau.
Hatimu tentu sangat sedih bukan?"
Perkataan Thian Auw Siang Jin itu bagai sebilah belati
menusuk ulu hati. Lauw Thian Hauw menjadi pingsan, Thian
Auw Siang Jin tertawa lagi : "Lauw toa hiap, kau pun
berpandangan sempit. Memelihara dan membesarkan anak,
tentu saja mereka akan pergi semuanya, soalnya cuma cepat
atau lambat saja, buat apa kau sesedih itu" Ha ha ha ha, ha
ha." Ia tertawa seraya mementilkan Kim besinya dan
mengumandangkan suara "cring cring" dalam suara tawa dan
suara Kim itu. Ia membalikkan tubuhnya melangkah ke depan,
hanya Lauw Thian Hauw tertinggal seorang, yang masih tetap
berdiri mematung. Berselang sesaat baru ia menggerakkan
tubuhnya memandang pohon yang patah dan tembok yang
runtuh, berikut pintu yang sunyi senyap. Sungguh ia tidak
dapat percaya, pintu yang pernah ramai itu, dalam satu hari
saja telah dapat berobah sedemikian rupa, lebih-lebih ia tidak
percaya anak-anaknya bisa meninggalkannya satu persatu.
Ia terpaku disana lama sekali, baru ia mendengar dari
belakangnya ada suara langkah kaki yang gaduh. Pertama ia
mendengar suara langkah itu, ia masih mengira Lauw Hung
dan Lauw Nen berdua telah kembali. Tak tertahan lagi ia
menoleh, namun yang datang adalah jago dari Sang Bun
Pang. Waktu itu kemarahan dalam hati Lauw Thian Hauw
telah memuncak, taruhlah tidak ada orang yang datang ia pun
akan melampiaskan amarahnya pada batang pohon atau
tembok secara membabi buta, maka begitu orang Sang Bun
Pang datang, ia lantas menerjang. Kedua belah pihak belum
sempat bicara, langsung berhantam. Sambil berhantam, hati
Lauw Thian Hauw semakin tenang. Ia berpikir kalau
berhantam begini terus, ini pun bukan suatu cara baik. Ketika
itulah Thio Hua pun tiba.
Kemudian Thio Hua melihat keadaannya kurang beres lalu
pergi. Ketika Lauw Thian Hauw tinggal sendirian, ia baru
merasa takut akan kedatangan So Beng Hiat In, maka
akhirnya biar di tengah malampun ia langsung menuju ke Yen
ka cung. Kita ceritakan saja Lauw Nen yang pergi duluan. Ia berlari
sejauh belasan li, ia sendiri pun tidak tahu dari mana
datangnya tenaga itu, hingga ia dapat berlari dengan cepat
sekali tanpa berhenti. Ketika ia tidak dapat lagi mengangkat
kakinya dan terjatuh ke tanah, ia bangun kembali dan berlari
lagi sampai akhirnya ia betul-betul tidak dapat bergerak lagi,
baru rebah di atas tanah, napasnya terengos-engos. Waktu
itu, meskipun pakaiannya telah basah kuyup tetapi hatinya
sangat lega, karena ia telah kabur dan dapat mengelak dari
kedatangan So Beng Hiat In yang minta nyawa itu.
Ia menoleh ke belakang, tidak ada yang mengubernya. Ia
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin meninggalkan tembok yang bergambar So Beng Hiat In
itu, semakin jauh semakin baik.
Dan tibalah ia di sebuah kota kecil, lalu dibelinya seekor
kuda dan dipacunya kuda itu terus menerus siang malam tak
henti-hentinya dua tiga hari ini. Kudanya telah mati berekorekor
dan ia telah berada sejauh enam tujuh ratus li dari
rumahnya. Dalam dua tiga hari ini, setiap saat ia masih mengkuatirkan
kedatangan So Beng Hiat In, karena siapa yang dicari oleh So
Beng Hiat In itu, ia sendiripun tidak dapat memastikannya.
Tetapi ia tahu kelakuannya sendiri sudah cukup untuk
mengundang So Beng Hiat In, maka hatinya masih tetap
merasa takut. Namun tiga telah berlalu, tetap tidak ada kejadian apa-apa,
tak tertahan lagi hatinya merasa lega. Ia masih terus
melanjutkan perjalanannya, terus sehingga ia terpaksa
menghentikan kudanya. Itu disebabkan karena di depannya
telah terbentang sebuah sungai yang lebar.
Dalam tiga hari ini, Lauw Nen memacu kudanya siang
malam, bahkan tidak berhenti barang sedikitpun, ketemu kota
kecil paling-paling ia membeli bekal lalu menunggang kudanya
lagi. Ia hanya mengharapkan pergi dari rumah, semakin jauh
semakin baik dan tidak perduli kemana tujuannya. Sampai
saat ini, setelah berada di tepi sungai, dihentikan kudanya,
dan memandang ke depan serta merta hatinya berdetak, lalu
menjerit dalam hatinya "ah" tanpa setahuku, kenapa aku
sudah sampai ke tempat ini, tempat musuhku" Itulah Yangtze
kiang, permukaan sungai yang lebar, airnya yang deras; tidak
salah lagi inilah Yangtze kiang.
Lauw Nen tahu ia telah berada di tepi sungai Yangtze, dan
hatinya menjadi sangat terperanjat. Semenjak ia bekerja sama
dengan Ching Li Pang merampok di tengah-tengah sungai
kereta barang yang dikawal oleh Go Eng Kiat dan adik Go So
Lan, dan telah mencelakai kedua kakak beradik itu, setelah
kejadian itu setiap ada orang menyebut nama sungai Yangtze,
hatinya bergoncang berdetak-detak memukul rongga dadanya
dan tentu saja ia takkan mau datang ke sungai Yangtze lagi,
tapi kini, tanpa sesadarnya, ia telah berada di tepi sungai
Yangtze. Terasa hatinya berdebar-debar, dan segera teringat : "Aku
telah berada disini tanpa sesadar ku, apakah ini suatu alamat
buruk" Tetapi segera pula ia memberanikan dirinya sendiri.
Tidak, hal itu tidak ada yang tahu, kalau ada yang tahu tentu
aku sudah dicari ke rumahku, mana mungkin bisa sampai
sekarang" Berpikir sampai disini, hatinya lebih bernyali,
digerakkannya kudanya lagi menyusuri tepi sungai.
Tak lama kemudian, ia telah melihat ada tempat
penyeberang di depannya. Dari jauh ia melihat disana ada
tujuh delapan orang yang sedang menuntun kuda menaiki
kapal penyeberangan yang besar, sekali lihat saja ia tahu
orang-orang itu adalah ahli silat.
Melihat ada orang, hati Lauw Nen menjadi ragu-ragu, tidak
ingin maju, tapi kini ia telah dekat sekali dengan tempat itu
dan orang-orang itu telah melihat dirinya.
Lalu terdengar teriakan salah satu di antara mereka : "Eh,
bukankah ini Lauw kong cu?"
Lauw Nen tertegun, orang yang bersuara itu tadinya telah
berada di atas kapal, tapi kini ia berteriak sambil melompat
kembali ke tepi sungai. Gerakannya cepat sekali, dalam
sekejap saja telah mendekati Lauw Nen. Agaknya Lauw Nen
kenal dengan wajah itu, tetapi untuk sesaat ia tidak ingat
siapakah gerangan orang ini. Tadinya dengan hati yang
berdebar-debar : "Si... siapa... tuan?"
Hatinya bingung, katanya terputus-putus.
"Tentu saja Lauw kong cu tidak ingat lagi kepadaku.
Setahun yang lalu saya pernah berkunjung ke rumah Lauw toa
hiap dan melihat ketampanan Lauw kong cu, maka sampai
sekarang belum lupa. Saya adalah Lie Ci Siang, salah satu dari
ketiga pendekar pedang Hua San, apakah kong cu masih
ingat?" Lauw Thian Hauw adalah pendekar budiman yang sangat
kesohor, entah ada berapa banyak orang-orang Bu lim yang
pernah berkunjung ke rumahnya, mana mungkin ia ingat
orang sebanyak ini" Kini, ia pun belum mendengar dengan
jelas kata-kata orang itu, ia hanya mendengar satu patah kata
;setahun yang lalu saya pernah berkunjung ke rumah Lauw
toa hiap', dan hatinya telah menjadi sangat girang. Karena hal
itu terjadi setahun yang silam, dan apa yang terjadi beberapa
hari yang lalu tentu saja dia tidak tahu.
Hati Lauw Nen tidak begitu takut lagi, malah ia pasang aksi,
tidak turun dari kudanya. Katanya : "Oh ya, ya, saya seperti
pernah melihat anda. Apakah anda mau menyeberang?"
"Betul, apakah Lauw kong cu pun mau menyeberang?"
berkata Lie Ci Siang, sambil berteriak : "Hei, pendayung,
tunggu dulu! Putra Lauw toa hiap akan menyeberang juga."
Setelah teriakan Lie Ci Siang itu, meskipun Lauw Nen tidak
mau menyeberang, kini mau tidak mau ia harus ikut
menyeberang. Ia meloncat dari kudanya : "Sahabat Lie, kau berbuat
begini, sampai aku merasa tidak enak." Biarpun mulutnya
mengatakan 'tidak enak', tetapi perasaan bangganya terlukis
di wajahnya. "Tidak apa-apa, mereka adalah orang-orang Bu lim, kalau
dapat berkenalan dengan Lauw kong cu, sungguh menjadi
suatu hal yang sangat beruntung sekali, lagi pula setelah kami
menyeberang, kami akan bertemua dengan Hua San Sin
Liong." Begitu mendengar Hua San Sin Liong (naga sakti dari Hua
San), Lauw Nen tak tertahan lagi berteriak "Ah", lalu katanya :
"Rupanya Ciang bun Hua San pay, Hua San Sin Liong sudah
datang juga. Apakah ada kejadian besar di Kang Lam?"
"Bukan pula suatu hal yang besar, cuma beberapa jagojago
silat menerima undangan Go toa hiap, katanya ada
urusan yang mau dibicarakannya. Kami berada di dekat Hua
San, setelah menerima kabar itu kami pun ingin melihat
keindahan Kang Lam. Tentu saja kami tidak mempunyai hak
untuk turut membicarakan persoalan itu, tetapi kalau Lauw
kong cu lain sama sekali. Kau akan menjadi tamu agung," kata
Lie Ci Siang. Lie Ci Siang terus memuji-muji Lauw Nen, hingga membuat
Lauw Nen menjadi bangga sekali. Ketika ia mendengar katakata
"Go toa hiap", hatinya pun tertegun sejenak. "Kenapa Go
toa hiap", ucapan ini hampir saja terlepas dari mulutnya.
Tetapi kini, ia telah naik ke atas kapal, tujuh delapan orang itu
terus langsung mengerumuninya. Lie Ci Siang
memperkenalkan mereka satu persatu pada Lauw Nen, yang
tidak lain hanyalah semacam Hua San San Kiam, dan Lok Pan
Song Hiung. Lauw Nen pasang gengsi, hanya acuh tak acuh saja pada
mereka itu, tetapi mereka terus memuji-muji. Beberapa hari
ini, ia memacu kudanya dengan tergesa-gesa, kalau ada orang
yang memandang padanya, hatinya menjadi berdebar-debar.
Dan kini serta merta saja ada orang yang memuji-mujinya,
tentu saja ia sangat gembira. Apa yang digelisahkannya
selama ini disingkirnya mengibul-ngibul mengikuti pujian
mereka. Berselang sesaat kapal itu telah tiba di seberang.
Semuanya naik ke darat, memacu kuda mereka sejauh empat
lima li, lalu terlihatlah sebuah pondok di pinggir jalan; dalam
pondok itu duduk empat lima orang, dari jauh orang-orang
tadi telah turun dari kuda masing-masing. Hanya Lauw Nen
seorang yang langsung menuju pondok itu. Dipandangnya
orang-orang yang berada dalam pondok itu, yang satu adalah
Su Seng (pelajar), yang satu kurus tinggi, mengenakan jubah
panjang yang berwarna merah, orangnya sudah tua, yang
satu lagi adalah Tau To. Di antara ketiga orang itu, Lauw Nen kenal dua orang.
Yang satu adalah orang tua berjubah panjang yang berwarna
merah, dialah Hua San Sin Liong, yang satu lagi ialah Tau To
itu. Hua San Sin Liong tak usah dikatakan lagi adalah Hua San
ciang bun, dan Tau To itu bernama Sa Tau To, walaupun
namanya cukup menyeramkan, tapi orangnya sangat baik,
dan sangat benci dengan kelaliman. Kalau ada orang dari
aliran hitam yang mendengar namanya, tentu ia akan angkat
kaki seribu. Kini Lauw Nen bertemu dengannya, hatinya pun menjadi
berdetak-detak memukul rongga dada. Tetapi ia berpikir
kembali, urusanku belum tentu ada orang yang tahu, kenapa
musti takut" Maka buru-buru ia turun dari kudanya dan
menjura : "Ji wi lo pek (kedua orang tua), saya Lauw Nen
memberi hormat." Hua San Sin Liong berkata dahulu : "Eh, kenapa ayahmu
tidak datang?" Lauw Nen menjadi tertegun, ia tidak tahu apa maksudnya
Hua San Sin Liong yang serta merta bertanya begitu.
Setelah tertegun sejenak, baru Lauw Nen berkata : "Beliau
ada sedikit urusan, tidak bisa datang."
Cit Sa Tau To, Hua San Sin Liong dan Su Seng itu,
semuanya merasa agak heran. Berkata Cit Sa Tau To : "Ini
terang Lauw Thian Hauw yang salah, kata Go to hiap hanya
mengundang kita berempat untuk membicarakan suatu hal,
kenapa justru dia yang tidak datang. Sungguh
mengherankan." "Dia sudah mengutus anaknya, sama juga," kata Su
Seng. Hua San Sin Liong bertanya lagi : "Apakah ayahmu
mengutus kau untuk menggantikannya?"
Lauw Nen berpikir dalam hatinya, sedikitpun aku tidak tahu
apakah ayah sudah menerima undangan atau tidak, mana
mungkin ia mengutus aku" Tetapi melihat gelagat begini,
kalau mengatakan bukan, tentu buntutnya akan menjadi
panjang. Lauw Nen selalu bersikap pintar sendiri maka kini ia
menganggukkan kepalanya : "Ya, saya disuruh menggantikan
beliau. Memang beliau masih ada sedikit urusan yang penting
dan tidak bisa datang, semoga Lo Pek dapat memaafkannya."
Sikap Lauw Nen kini memang sangat tepat.
Cit Sa Tau To mengangguk : "Kalau Singa Emas Lauw
Thian Hauw tidak bisa datang, sudahlah. Yang ini adalah Hok
toa hiap Hok Tong Hong, yang sangat benci dengan
kekejaman. Kalau ketemu dengan orang jahat, tentu tidak ada
ampun lagi. Walaupun ia tidak kenal dengan ayahmu, tapi
sangat dikagumi. Mari ku perkenalkan."
Mendengar kata-kata yang sangat benci dengan
kekejaman, tentu tidak ada ampun lagi, kaki Lauw Nen tak
tertahan lagi menjadi gemetaran. Seorang Cit Sa Tau To
sudah cukup mendebarkan hatinya, apalagi ditambah dengan
seorang Hok Tong Hong yang sangat benci dengan orang
jahat. Ci Sa Tau To perkenalkan Hok Tong Hong padanya, karena
kakinya telah menjadi lemah maka segera ia berlutut. Kalau
orangnya telah berlutut, mulutnya mau tidak mau tentu
berkata : "Boan pwe Lauw Nen memberi hormat pada Hok toa
hiap." Wajah Hok Tong Hong berseri-seri, tidak seangker Cit Sa
Tau To, tidak pula seperti Hua San Sin Liong yang berwibawa
itu. Kalau orang tidak berbuat salah, bertemu dengannya tidak
ada apa-apa, tetapi kalau seorang jahat melihat wajah Hok
Tong Hong yang tegas itu pasti tidak bisa tenang.
Sementara itu Hok Tong Hong pun mengangkat tubuhnya :
"Nak Lauw tak usah begini, kalau kau bisa mewakili ayahmu,
tentu kau memiliki kepandaian yang melebihi orang."
Kata-kata Tok Hong diucapkan dengan ramah sekali,
namun peluh Lauw Nen telah membasahi punggungnya. Lalu
ia bangun dan berdiri di samping ketiga orang itu, tubuhnya
menggigil. Orang bertiga itu ngobrol lagi dari barat ke timur, kemudian
Hua San Sin Liong berdiri sambil berkata : "Kita berangkat
sekarang juga, meskipun lebih pagi dari waktu yang dijanjikan
oleh Go toa hiap, tetapi kalau ia telah mengundang kita, tentu
ada hal yang sangat penting sekali. Biarlah kita tiba lebih pagi,
supaya dia tidak kuatir."
"Betul mari kita berangkat sekarang juga," kata Cit Sa Tau
To sambil melangkah keluar dari pondok. Mulutnya bersuit,
terlihatlah seekor kedelai yang berbulu hitam di sekujur
tubuhnya berlari-lari dari kejauhan menghampiri Cit Sa Tau
To, lalu tubuhnya beranjak naik ke punggungnya seraya
berkata : "Aku berangkat dulu!" Kedelai hitam itu pun sangat
lincah, kata-kata Cit Sa Tau To belum habis, telah berlari
duluan, dalam sekejap saja telah berada sejauh tujuh delapan
belas tombak. Hua San Sin Liong menepukkan tangannya, segera ada
beberapa murid Hua San pay yang membawa tiga ekor kuda.
Lauw Nen, Hua San Sin Liong dan Hok Tong Hong bertiga
serentak naik ke kuda, lalu berpacu ke depan.
Lauw Nen duduk di atas kuda, hatinya terus berpikir tak
hentinya. Karena bahkan ia sendiri tidak tahu kemana tujuan
mereka ini, namun kalau sudah menjadi wakil dari ayahku,
tentu saja tak dapat bertanya kepada orang mau kemana,
karena pertanyaan itu akan menjadi sangat lucu bukan"
Sepanjang jalan, hatinya tidak tentram, berkali-kali ia ingin
kabur, tetapi bersama-sama dengan jago-jago silat seperti
Hua San Sin Liong dan Hok Tong Hong, kalau ingin kabur dan
tidak diketahui oleh dua orang itu, hal ini tidaklah mungkin.
Hakekatnya Lauw Nen pun tidak mempunyai keberanian itu,
maka membuat hatinya tidak tenteram, bahkan masih mau
berpura-pura seperti sangat gembira.
Mereka terus menuju ke selatan, pada senja ketiga harinya,
ketiga kuda itu telah berada di depan sebuah tembok kota.
Dalam tiga hari ini, hanya tahu tujuannya ke selatan tetapi
tidak tahu tempat apa itu. Kini, ketika menengadah, terlihat di
atas gerbang ada huruf 'Kouw Souw', begitu lihat, hampir saja
Lauw Nen terjatuh dari atas kudanya.
Buru-buru ia menghentikan kudanya : "Ini...inilah kota
Bayangan Darah - PHO Kouw Souw!"
Hok Tong Hong memutar kepalanya menoleh : "Betul, nak
Lauw. Kenapa mukamu jelek sekali?"
Kini Lauw Nen masih dapat duduk di atas kudanya. Ini
boleh dikatakan suatu keajaiban! Bahkan ia tidak mendengar
apa yang dikatakan oleh Hok Tong Hong. Ia hanya berpikir
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam hatinya : "Go toa hiap, Go toa hiap, apakah Go Thian
Kheng pendekar besar kota Kouw Souw" Bagaimana" Ia
mencekal tali kuda erat-erat, hingga jari-jarinya menjadi hijau,
namun masih saja dicekalnya dengan erat, peluh telah
meleleh dari atas keningnya.
Hati Hok Tong Hong terasa semakin heran, ia menarik kuda
surut ke belakang, lalu : "Nak Lauw, kenapa kau?" Ia berkata
sembari memegang nadi Lauw Nen.
Lwe kang Hok Tong Hong sangat tinggi, tentu saja kini ia
tidak menggunakan tenaga, hanya sedikit saja yang keluar.
Tetapi karena ia telah mencekal nadi Lauw Nen, hingga tubuh
Lauw Nen tergetar, "ah" jeritnya, seperti tersentak dari
mimpinya. Hok Tong Hong bertanya pula : "Ada apa?"
Tetapi Lauw Nen menjawab yang tidak ada hubungannya :
"Kota Kouw Souw, inilah kota Kouw Souw!"
Hok Tong Hong memandang Hua San Sin Liong sejenak,
dan yang belakangan ini mengerutkan keningnya. Tentu saja
ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Lauw Nen.
Hok Tong Hong bertanya lagi : "Nak Lauw, apakah ada
orang yang akan membokong kau?"
Kini, dalam hati Lauw Nen masih saja gelisah, tetapi
akhirnya ia dapat menangkan diri. Pikiran berputar-putar
dalam benaknya, ia berpikir dalam hatinya, aku sekali-kali
tidak boleh datang ke rumah Go toa hiap, tetapi kini tentu saja
ia tidak dapat menimbulkan suatu kecurigaan. Serta merta ia
memaksa dirinya untuk tertawa : "Bukankah sekarang kita ke
rumah Go toa hiap?" Hok Tong Hong mengangkat kedua bahunya : "Apa yang
kau risaukan, katakanlah terus terang!"
Lauw Nen berpikir, apabila kini tidak menyahut
serampangan, mungkin sekali akan menimbulkan kecurigaan
dalam hati mereka. Andaikata mereka curiga, tentu akan lebih
sulit baginya untuk kabur, maka sahutnya : Tadi ketika aku
menengadah, seolah melihat sesosok bayangan yang melesat
dari atas tembok, rupanya mirip sekali dengan Go toa hiap
maka aku sangat kaget."
Hua San Sin Liong tertawa dingin berkali-kali : "Tentu
matamu sudah rabun, setelah kesurupan Go toa hiap tidak lagi
dapat bergerak, ditambah lagi dengan kecelakaan yang
menimpa anak-anaknya. Ia terlalu sedih, dan matanya pun
telah menjadi buta, mana mungkin ia bisa melesat dari atas
tembok?" Ketika Lauw Nen mendengar kata-kata 'kecelakaan yang
menimpa anak-anaknya', hatinya hampir saja meloncat keluar
dari rongga dadanya, buru-buru ia berkata : "Ya, ya. Tentulah
mataku sudah rabun."
Hok Tong Hong dan Hua San Sin Liong berdua tidak lagi
bersuara. Ketika kuda itu meneruskan perjalanannya
memasuki gerbang kota, hati Lauw Nen berdebar, berdetakdetak
memukul dinding jantungnya. Ia sengaja memperlambat
langkah kudanya tertinggal di belakang, setelah melihat kedua
ekor kuda di depannya belok di sudut jalanan, buru-buru ia
turun dari kudanya, mengulurkan tangannya memukul pantat
kuda, dan kuda itu terus berlari ke depan, lalu digerakkannya
tubuhnya melesat ke samping memasuki sebuah gang kecil,
melangkah dengan tergesa-gesa. Sekejap saja, telah keluar
dari ujung gang itu, menengok kanan kiri, di sebelah
kanannya ada rumah makan yang penuh dengan
langganannya, hingga suara keramaian itu terdengar dari
jauh. Hati Lauw Nen kini terasa sangat ketakutan, melihat begitu
banyak orang di dalam rumah makan, hingga terbitlah
pikirannya untuk terjun ke dalam keramaian orang-orang itu.
Ia masih takut lari kurang cepat, maka ia terus surut dengan
punggungnya memasuki rumah makan itu. Ia terus surut
sambil memandang kiri kanan, takut diketahui orang. Tapi di
luar dugaannya, meskipun ia dapat menjaga depannya,
namun belakangnya tidak terjaga. Baru ia masuk ke dalam
rumah makan itu, telah menubruk seseorang. Buru-buru Lauw
Nen memutar tubuhnya menengadah dan menjadi tertegun.
Orang yang ditubruknya bukan orang lain, melainkan Cit Sa
Tau To! "Eh," seru Cit Sa Tau To, "kenapa kau sendirian"
Kemana mereka berdua" Apakah sudah pergi ke rumah Go toa
hiap?" Saat ini, sungguh sulit bagi Lauw Nen. Ia menarik napas
berkali-kali : "Aku... setelah masuk kota... karena sangat
tamak melihat... pemandangan kota, maka... maka telah
terpisah dari... mereka."
Lauw Nen dengan segera dapat berbohong begitu, sungguh
merupakan suatu keajaiban. Cit Sa Tau To mendehem sekali,
katanya : "Itu tidak apa-apa, kini mungkin mereka sudah
sampai. Mari kita pergi sama-sama!"
Dalam keadaan begini, kecuali mengiyakan, apalagi yang
dapat dikatakan Lauw Nen"
Ia keluar dari rumah makan itu bersama Cit Sa Tau To,
hatinya tidak tahu apa yang dirasakannya, lalu bertanya
dengan lembut : "Bukan kau.. pergi lebih dulu dari kami"
Kenapa sampai sekarang baru tiba?"
"Semalam aku sudah sampai," kata Cit Sa Tau To.
Hati Lauw Nen menjerit-jerit. Semalam ia telah tiba, kenapa
sekarang tidak berada di rumah Go toa hiap dan bisa
keluyuran di rumah makan, kenapa justru aku ketemu
dengannya disini, hingga aku tidak bisa kabur.
Lauw Nen belum bersuara, terdengar Cit Sa Tau To berkata
pula : "Semalam aku sudah sampai di depan rumah Go toa
hiap, tetapi keadaannya telah berobah sama sekali. Aku paling
takut ketemu dengan Go toa hiap sendirian. Apabila ia
mengeluh kepadaku, aku tidak bisa tahan, maka aku lebih
baik terlambat sedikit."
Hati Lauw Nen tertawa pahit, dan berpikir dalam hatinya,
kau tidak mau ketemu Go toa hiap sendirian, tapi telah
menyuruh aku. Maka ia mengikut Cit Sa Tau To dari belakang.
Di sepanjang jalan ia masih terus memikirkan untuk kabur,
tetapi tidak berani bertindak semberono. Justru pada waktu ia
tidak bisa membuat suatu keputusan itulah, mereka telah
sampai di depan rumah Go toa hiap. Sampai kini Lauw Nen
hanya dapat mengeraskan hatinya, dan mengumpat di
hatinya, apa yang telah ku kerjakan belum tentu orang tahu,
lebih baik mengeraskan kepala menerima percobaan kali ini.
Setelah urusan ini beres baru membuat rencana lain. Apabila
terus ketakutan, jangan-jangan akan menimbulkan
kecurigaan. Setelah berkeputusan, hatinya pun menjadi tenang dan
dilepaskannya pandangan memandang keadaan rumah Go toa
hiap. Tempat ini bukan pertama kali ia datangi tetapi keadaan
sekarang telah jauh berbeda dengan dulu. Dulu ketika masih
jayanya, banyak orang yang keluar masuk, hingga membuat
suatu kesan pada orang yang melihatnya bahwa pemilik
rumah ini pergaulannya tentulah luas sekali. Tetapi kini rumah
itu telah menjadi sepi sekali, pintu yang bercat merah itu tidak
Kisah Para Penggetar Langit 8 Dewa Arak 27 Kembalinya Raja Tengkorak Dewa Sesat 1
tangan mendorong pemuda itu : "Sudah jauh, bukalah
matamu. Hm, kata orang, tidak ada orang yang lebih tahu
sang anak daripada ayahnya sendiri. Aku lihat tidak betul
semuanya, kalau ayahmu sangat tahu akan dirimu, masa ia
menyuruh kau yang tidak becus ini berkelana di dunia
persilatan" Kau cuma cocok berdiam saja di pulau Thian In,
untuk melayani kakekmu merokok."
Pemuda itu tersenyum pahit : "Aku... tidak becus, Cian pwe
jangan tertawakan. Ayah saya menyuruh saya jalan duluan. Ia
akan menyusul dari belakang, sekarang entah bagaimana
keadaannya?" "Aku sudah ceritakan pada kau, setelah kau pingsan
dipukul mereka, entah berselang berapa lama, seakan ada
orang di samping mu, kaupun tidak tahu siapa dia. Hanya kau
telah menceritakan salah satu di antara mereka. Lalu kau
pingsan lagi, orang yang pertama menolong kau itu, tentulah
ayahmu yang tidak becus itu," kata saudara Giam Ong.
"Cian pwe jangan mencemoohkan ayah saya," kata pemuda
itu. "Itu salah ayahmu sendiri, kenapa sudah setua ini dia
belum juga jadi pemilik pulau. Orang-orang hanya
menyebutnya sebagai anak pemilik pulau Thian In, seakan dia
masih seorang anak muda saja layaknya; siapa tahu
jenggotnya sudah panjang, anaknyapun sudah dekat punya
istri," kata saudara Giam Ong.
Pemuda itu berkata denganmuka yang bersemu merah :
"Kakek saya masih hidup, wajar saja kalau ayah saya jadi
anak pemilik pulau Thian In."
Saudara Giam Ong mendehem : "Apakah harus terus
bernaung di bawah ayahnya" Kalau aku, cari saja salah satu
pulau di lautan, apakah hal itu sangat sulit" Biar pulau itu
tandus, aku adalah pemiliknya, kan lebih gagah daripada jadi
anak pemilik pulau?"
Pemuda itu boleh dikatakan belum pernah mendengar
perkataan demikian selama hayatnya, maka untuk sesaat ia
hanya dapat tercengang, entah apa yang harus dikatakannya,
lalu ia geleng-geleng kepala mengalihkan pokok pembicaraan :
"Kata Cian pwe orang itu adalah ayah saya, kalau begitu
kenapa ia meninggalkan saya?"
Saudara Giam Ong menggelengkan kepalanya : "Ia tidak
mengingatkankau, ia hanya mengira kau sudah mati, lalu
cepat-cepat mengubur kau. Setelah itu ia menangis tersedusedu
baru ia pergi." Kata pemuda itu : "Apakah Cian pwe melihatnya?"
"Tidak pernah, tetapi ilmu menangis ayahmu sangatlah
baik, dari sejauh satu li lebih aku sudah dapat mendengar
suara tangisan ayahmu. Begitu aku dengar ada suara
tangisan, aku tahu pasti ada yang mati, dan hatiku menjadi
sangat gembira..." kata saudara Giam Ong.
Pemuda itu bertanya dengan tidak sabar : "Gembira?"
Saudara Giam Ong mempelototkan matanya : "Tentu saja,
kalau ada yang mati kesepuluh saudaraku itu ada kerja, kalau
tidak mereka sangat senggang."
Untuk sesaat pemuda itu tidak mengerti : "Kesepuluh
saudaramu?" "Eh" Ya, kesepuluh saudaraku, masa kau lupa?" kata
saudara Giam Ong seraya tersenyum pahit, lalu sambungnya :
"Ketikaitu aku cari-cari, betul saja ada satu kuburan baru,
tetapi aku tahu, orang yang dikubur itu belum mati."
Pemuda itu ingn bertanya bagaimana bisa tahu orang itu
belum mati, tetapi ditahannya tidak bertanya.
Pemuda itu tahu, kalau ia bertanya, jawabannya pastilah
'Eh" Aku adalah saudara Giam Ong, masa aku tidak tahu"' dan
sia-sialah pertanyaannya itu.
Sambung saudara Giam Ong : "Tetapi ayahmu tidak tahu
aku telah menolong kau, beberapa hari ini ia pasti mencari
orang yang seperti diuraikan oleh kau itu, untuk membalas
dendamnya." Pemuda itu berkata dengan suara lembut : "Ayah saya
pasti sangat sedih, andaikata ia tahu aku belum mati, betapa
girangnya nanti." Ucapan pemuda itu sangat wajar, tetapi saudara Giam Ong
geleng-geleng kepala dengan kencang : "Salah, salah, salah
besar!" Mata pemuda itu terbelalak, entah apa yang salah. Saudara
Giam Ong berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya :
"Coba kau pikir, kau sudah mati, dan ayahmu bersedih,
semuanya kan itu beres. Kalau ia berjumpa lagi dengan kau,
tentu ia takkan bersedih lagi, tapi suatu saat kau akan mati
lagi, dan ia pasti bersedih sekali lagi. Ia punya hanya satu
anak tunggal, tapi kau menyedihkan dia dua kali, apakah kau
memang ada kejadian demikian?"
Pemuda itu tertegun, "Apakah saya pasti... pasti mati
sebelum ayah saya?" Saudara Giam Ong tertawa : "Taruhlah ia mati lebih dulu,
kau pun akan bersedih, kepedihan ini adalah perbuatanmu
sendiri. Kalau kau mati lebih dulu, mana ada kesedihan lagi?"
Hati pemuda itu sangat kacau dibuatnya, ia memandang
saudara Giam Ong dengan terpaku, dan saudara Giam Ong
tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba hati pemuda itu cerah, ia
pun tertawa. "Kamu bukan saudara Giam Ong, tapi nenek
moyang Hwe Shio." Saudara Giam Ong tertawa cekikikan : "Tidak perduli
apakah itu saudara Giam Ong atau nenek moyang Hwe Shio
semuanya itu sama saja, cuma manusia yang membedabedakannya
dengan jelas. Bukankah hal ini sangat lucu?"
Kini pemuda itu telah mengerti, keduanya berjabatan
tangan, mereka tertawa dan menari-nari sambil pergi. Dilihat
orang, yang satu tua dan satu muda ini adalah oran gila,
namun hati mereka sangat cerah, tidak memikirkanapa-apa.
Tidak lama kemudian, mereka telahpergi jauh, dan suara
tertawa mereka tidak lagi terdengar.
*** Lauw Jok Hong dikepit oleh orang setengah baya itu di
bawah ketiaknya, tangan orang setengah baya itu bagai kakak
tua mengepit pinggangnya keras sekali, hingga membuat
tulang iganya terus berbunyi, seakan ada yang patah, hampir
saja membuatnya tidak berani menarik napas. Sepanjang jalan
ia merintih-rintih, entah telah berapa jauh, tiba-tiba ia merasa
lepas dari kepitan, dan "buk" jatuh ke atas tanah. Lauw Jok
Hong dikepit orang itu hingga matanya berkunang-kunang,
setelah lepas untuk sementara masih tidak dapat melihat apaapa,
tangannya meraba-raba, dan teraba sebuah batu nisan,
lalu ia setengah berlutut ingin berdiri. Sementara ini, matanya
telah mulai dapat melihat. Ia melihat dirinya sedang berlutut
di hadapan sebuah kuburan baru, dan yang dipegangnya itu
adalah sebuah batu nisan. Di batu nisan itu terukir huruf
"Kuburan Tan Beng Teng dari Pulau Thian In". Tadinya Lauw
Jok Hong tidak tahu siapa itu "Tan Beng Teng", tetapi di
bawah huruf "Tan Beng Teng" itu terdapat pula huruf Pulau
Thian In.Lauw Jok Hong bukan orang tolol, tentu saja ia
mengerti, orang yang terkubur dalam kuburan baru itu
bukanlah orang lain, dia adalah anak dari orang setengah
baya di hadapannya ini, anak muda yang mati di bawah
tangannya dan Lauw Hwie. Ia siuman dari keadaan setengah
pingsan, dan tiba-tiba melihat batu nisan ini. Terasa kepalanya
berdengung, hampir saja ia jatuh pingsan lagi. Tubuhnya telah
setengah berdiri, kini kedua lututnya menjadi lemas, kembali
ia tertunduk di atas tanah, kepalanya berputar dengan kaku
mencari kemana perginya orang setengah baya itu.
Baru ia menoleh, sudah melihat orang setengah baya itu.
Orang setengah baya itu berdiri di samping batu nisan,
sebelah tangannya memegang batu nisan itu, jari tangannya
yang pucat itu terletak tidak jauh dari jari tangan Lauw Jok
Hong. Lauw Jok Hong terperanjat, buru-buru ia menarik
tangannya, tubuhnya tercelentang ke belakang, lalu ia
merangkak, hatinya sangat terperanjat oleh karena secara
mendadak saja ia mengetahui jaraknya dengan orang
setengah baya itu sangat dekat sekali. Setelah ia merangkak
dua tindak, hatinya pun berdebar-debar. Rupanya ia tahu
orang setengah baya itu memandang kuburan baru dengan
pandangan kaku, sama sekali tidak memperhatikan dirinya.
Andaika ia dapat menggunakan kesempatan ini untuk kabur...
berpikir hingga disini, hatinya lebih tegang lagi, sampai
membuat kaki dan tangannya tidak mendengar komando. Ia
terpaksa menggelindingkan tubuhnya sejauh tujuh delapan
kaki, lalu merangkak kembali dengan kaki dan tangannya
beberapa tombak, lalu menggunakan sekuat tenaganya untuk
berdiri dan angkat kaki kabur.
Lauw Jok Hong sekali-kali tidak berani menoleh ke
belakang, karenaia tidak berani memikirkan bahwa ia
mempunyai kesempatan yang sebaikini untuk kabur dari
cengkeraman lawannya. Ia lari dengan mati-matian, hingga
seluruh tulang belulangnya serasa ingin copot, dan peluhnya
bercucuran dari kening mengaburkan pandangannya. Ia lari
hingga tenggorokannya bagai dibakar dan sampai kakinya
menjadi lemas, lalu terjatuh, baru ia terpaksa berhenti.
Ia tergeletak di atas tanah, napasnya terengah-engah,
pelan-pelan peluhnya kering ditiup angin dan ia telah dapat
melihat keadaan di depannya. Namun, ketika ia membuka
matanya memandang ke depan, tiba-tiba saja ia menjerit
panjang-panjang, ia loncat lagi dan lari mati-matian lagi.
Padahal ia telah sangat letih, tapi ia mau tidak mau harus lari,
karena ketika ia dapat melihat, barang pertama yang dapat
dilihatnya itu adalah batu nisan. Tadinya ia telah lari sejauh 20
li,tetapi setelah tejatuh, hal ini bagaimana tidak mengagetkan
hatinya" Bagaimana tidak menyuruhnya untuk berlari lagi"
Sekali ini, derita yang diterimanya dari setiap langkahnya
bahkan tidak dapat dilukiskan, tetapi ia tidak berani berhenti.
Ia lari sekuat tenaganya, baru tiga empat li telah terjatuh lagi.
Matanya berkunang-kunang menjadi gelap, tidak dapat
melihat apa-apa. Ia terkulai di atas tanah, menarik napas
dengan terengah-engah tangannya mencakar-cakar. Tiba-tiba
teraba sebuah batu, dan memegangnya dengan kedua
tangannya. Segera terasa batu itu bersegi empat, dan hatinya
berdetak, kedua tangannya bergemetar meraba ke atas,
matanya menjadi berkunang-kunang, dan tidak dapat melihat
apa-apa, tetapi tangannya yang gemetar itu telah teraba huruf
"pulau Thian In".
Lauw Jok Hong masih ingin berteriak, namun mulutnya
terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar, malah segumpal
darah segar yang keluar dari mulutnya. Hal ini membuatnya
menjadi lebih berkunang-kunang lagi, ia tidak bertenaga untuk
kabur, dan terpaksa bergelindingan, sepanjang jalan darah
segar terus keluar dari mulutnya. Ia bergelinding sebanyak
tujuh delapan kali, lalu tangannya menekan ke tanah, tiba-tiba
ia melonjak berdiri dan lari lagi.
Ketika pertama kali ia lari, ia tidak tahu ada orang
mengikutinya dari belakang, lebih-lebih tidak tahu orang yang
mengikutinya dari belakang itu memegang batu nisan. Ilmu
mengentengkan tubuh orang setengah baya itu sangat tinggi,
walaupun membawa sebuah batu nisan, namun gerakannya
tetap tidak menimbulkan sedikit suarapun. Ketakutan Lauw
Jok Hong yang sangat amat itu membuatnya tidak berani
menoleh ke belakang, telinganya hanya terdengar suara
deruan angin karena langkah larinya yang kencang. Bagimana
ia dapat mengetahui ada orang mengikutinya dari belakang"
Setelah Lauw Jok Hong terjatuh di atas tanah, buru-buru
orang setengah baya itu meletakkan batu nisan ke hadapan
Lauw Jok Hong. Inilah sebabnya kenapa setelah Lauw Jok
Hong berlari sejauh dua tiga puluh li, batu nisan itu masih saja
berada di kanan kirinya. Pada saat ini, Lauw Jok Hong karena saking kagetnya telah
berada dalam keadaan setengah gila. Ditambah lagi dengan
larinya yang memakan banyak tenaga, mengakibatkan ia
muntah darah sepanjang. Namun ia masih terus lari, setiap
jatuh tentu ia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. Tetapi
orang setengah baya yang mengikutinya dari belakang itu
tidak mempunyai rasa kasihan, walaupun demikian di
wajahnya pun tidak terlihat rasa gembira karena dendamnya
sedang terbalas. Karena betapapun ia menyiksa musuhnya,
anaknya takkan hidup kembali.
Lauw Jok Hong terus berlari. Dalam keadaan setengah
sadar, ia teringat permainan yang selalu dilakukannya ketika ia
pergi berburu : "Ia memburu hewan, hewan itu dikepung
anjing berburunya, elang pun ikut memburu dengan berputarputar
di atas kepalanya, membuat hewan tersebut ketakutan.
Namun ia tidak lantas turun tangan, ia senang melihat naluri
ingin hidup dari hewan itu dalam kesengsaraannya. Tapi kini
ia sendiri telah menjadi hewan buruan. Terakhir kali Lauw Jok
Hong jatuh, ia tidak bertenaga lagi untuk berdiri dan rebah
dengan napas ngos-ngosan. Orang setengah baya itu
mengangkat batu nisan. Baru ia ingin menghantamkannya ke
kepala Lauw Jok Hong. Hantaman itu kalau kena kepala Lauw
Jok Hong, pasti saja kepalanya akan pecah berantakan, dan
pada saat inilah terdengar suara kakek tua : "Tunggu dulu!
Ada dendam apakah tuan dengan orang ini" Sudah
mengubernya sampai sedemikian rupa masih tidak
melepaskannya?" Orang setengah baya itu mengangkat kepalanya dengan
tiba-tiba, dilihatnya seorang kakek-kakek yang agak pendek,
rambutnya telah memutih, umurnya kira-kira 70 tahun. Di
pinggang kakek itu terselip sebuah pedang pendek yang agak
lebar, rupanya agak aneh, sarungnya pun terbuat dari besi,
sudah berkaratan pula. Orang setengah baya itu tertegun.
Baru ia tahu, ketika ia nguber Lauw Jok Hong, ia telah sampai
di sebuah lembah. Lembah ini penuh dengan bunga-bunga
dan pohon-pohon, disana terdapat sebuah batu besar yang
putih bersih diukir menjadi sebuah papan catur, apalagi
seorang tua yang bongkok duduk disana. Rupanya kedua
orang tua itu sedang asyik main catur, melihat dirinya
menguber Lauw Jok Hong lalu mencegah menghentikan
hantaman batu nisan itu. Orang setengah baya itu menghela napas, lalu menjura :
"Saya adalah Tan Heng dari pulau Thian In."
"Oh," kata orang tua itu : "Kalau begitu, pemilik pulau Tan
adalah..." "Ayah saya," sela Tan Heng tidak menunggu orang tua itu
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghabiskan ucapannya. Orang tua itu menganggukkan kepalanya : "Entah apa yang
telah dibuat orang itu hingga menyakiti tuan?"
"Ia merampok dan membunuh anakku," kata orang
setengah baya itu dengan nada sedih.
Orang tua itu menunjuk menatap Lauw Jok Hong. Kini
Lauw Jok Hong telah pingsan, mukanya pucat penuh dengan
darah, tampaknya persis seperti mayat. Setelah melihat
sejenak, berkatalah orang tua itu : "Orang ini masih sangat
muda! Dia..." belum habis ucapannya, ia telah kaget, buruburu
ia melangkah, teriaknya : "Si bongkok mari lekas!"
Tadinya si bongkok itu terus duduk di pinggir batu, sedang
dengan seksama meneliti permainannya, tidak memperdulikan
apa yang telah terjadi disitu. Setelah mendengar teriakan
orang tua itu, baru ia menengadah : "Ada apa?"
Begitu si bongkok menengadah, sungguh mengagetkan
orang, karena di mukanya penuh dengan bintik-bintik yang
besar-besar dan kecil-kecil. Ada yang merah, ada yang hitam,
ada yang biru, sungguh sangat mengerikan.
Tan Heng melirik pada pada si bongkok itu sejenak,
serunya : "Inikah Hua To?"
"Hm," sahut si bongkok itu acuh tak acuh. "Ya."
"Ayo lekas, apakh anak muda itu masih dapat ditolong?"
kata orang tua itu lagi. Si bongkok berkata dengan dingin : "Tua bangka Thio, kau
dengan begitu melihat orang lantas menolong, anak muda ini
bukan sanak bukan pula familimu. Aku sangat malas untuk
menolongnya, ayo kita main catur saja."
Kata orang tua itu sambil menghempaskan kakinya : "Kali
ini kau salah hitung, inilah anaknya orang she Lauw itu. Ciu ji
(anak saya) telah memperistri anak gadis sulung orang she
Lauw itu, kau bukan tidak tahu, kenapa kau bilang bukan
sanak bukan famili dengan aku?"
Si bongkok itu tidak bisa menjawab, berdiri dengan sangat
terpaksa, mulutnya menggumam : "Sanak begitu juga sudah
terlalu jauh, hampir saja tidak ada hubungannya sama sekali,
biarlah, coba ku lihat kalau ia sudah ditakdirkan untuk masuk
ke dalam neraka, aku pun tidak dapat menolongnya," katanya
sambil menuju ke Lauw Jok Hong yang telah pingsan itu.
Tan Heng yang berdiri di sebelah itu merasa sangat
canggung sekali. Siapa si bongkok itu, sekali pandang sja ia
sudah tahu. Dialah tabib yang sangat ternama di kalangan
dunia persilatan, sakit parah apa saja kalau sudah sampai ke
tangannya, semuanyaakan menjadi sembuh kembali.
Tubuhnya bongkok (To), dan kebetulan ia ber-she Hua, maka
orang-orang kang ouw menamakannya Hua To. Sakit yang
diderita Lauw Jok Hong sangat parah, tapi kalau diobatinya,
pasti bisa sembuh. Apalagi dari perkataan orang tua itu, ia
telah tahu orang tua itu bukanlah orang lain, dialah jago silat
pedang yang sangat tersohor Thian Kiam Thio Hoa.
Thian Kiam Thio Hoa dan Singa Emas Lauw Thian Hauw
adalah bermisan, Thio Pek Yauw anak Thio Hoa, memperistri
anak gadis Lauw Thian Hauw, Lauw Hung. Hal ini diketahui
semua orang. Tan Heng berpikir dalam hatinya, kalau ia ingin
mencegah Hua To untuk mengobati Lauw Jok Hong, tentulah
dia bukan tandingan kedua orang tua itu, lalu ia menjadi
marah. Teriaknay : "Setan ini sangat kejam, ia telah
membunuh anakku. Ia harus menerima hukum karma, jangan
tolong dia." Kepandaian Hua To memang sangat lihai, namun ia sangat
malas untuk mengobati orang. Mendengar teriakan Tan Heng
itu, segera ia berhenti dan tidak mau menolongnya.
Thian Kiam Thio Hoa berkata dengan tergesa-gesa :
"Sahabat Tan, saya rasa kau keliru, dia adalah anak Singa
Emas Lauw Thian Hauw!"
Tan Heng mendengar, ia jadi tertawa terbahak-bahak.
Suara tawa Tan Heng sangat seram, hingga membuat Thio
Hoa dan Hua To menjadi mengerutkan alisnay. Tan Heng
tertawa sesaat, lalu jeritnya : "Aku keliru" Coba kau
bangunkan dia, dan tanyalah sendiri padanya."
Thio Hua menunduk memegang Lauw Jok Hong. Walaupun
tubuhnya agak kate, namun tangannya besar dan memerah,
diulurkannya memegang Lauw Jok Hong. Terlihatlah mukanya
menjadi serius, dalam sekejap saja, dalam sekejap saja di atas
kepalanya telah mengepul asap putih. Jelas sekali ia sedang
mengirimkan tenaga aslinya ke tubuh Lauw Jok Hong. Hua To
membalikkan tubuhnya, mulutnya entah sedang
menggumamkan apa. Keadaan ini, semua orang juga tahu
bahwa ia tidak mau turut terlibat, namun ia tidak dapat tidak
memandang muka Thian Hua, maka ia tidak dapat segera
angkat kaki. Tan Heng masih memandang Lauw Jok Hong dengan
wajah marah. Berselang sesaat, terdengarlah tenggorokan Lauw Jok
Hong berbunyi kerokokan. Suara itu makin lama makin rapat,
seakan dalam tenggorokannya itu terdapat beberapa ekor kata
yang sedang berbunyi. Berselang lagi sesaat, terdengar suara
"wuaaah", darah biru muntah keluar dari mulut Lauw Jok
Hong. Pelan-pelan ia siuman, membuka matanya, dalam
pandangannya itu masih terdapat rasa ketakutan. Buru-buru
Thio Hoa berkata : "Nak Lauw, apakah kau kenal padaku?"
Mendengar suara manusia, tubuh Lauw Jok Hong tak
tertahan lagi bergemetar. Dengan suara payah ia melirik,tapi
matanya berkunang-kunang, dilihatnya di depannya ada
beberapa bayangan orang, ia berteriak dengan kaget :
"Jangan bunuh aku... jangan bunuh aku!"
"Thio Hoa menghela napas : "Nak Lauw, aku adalah Thio
Hoa." Tadinya hati Lauw Jok Hong sangat takut, begitu
mendengar nama Thio Hoa segera menjadi tenang. Dalam
sekejap saja, hampir saja ia berteriak saking kegirangannya.
Aku sudah tertolong! Ia tahu Thio Hoa adalah seorang jago
silat yang lihai. Bertemu dengan Thio Hoa, nyawanya akan
terjamin. Hatinya menjadi tenang, darahnya pun mengalir
dengan lancar, dan telah dapat melihat bayangannya di
depannya dengan jelas. Ia melihat Tan Heng berdiri di
samping dengan wajahnya yang marah, dan ia tahu
bagaimana persoalannya. Lauw Jok Hong sangat penakut, tapi
kelicikannya tidak berkurang. Sementara ini ia mendengus
dengan suara parau : "Paman Thio, orang ini... ingin
membunuh saya tanpa sebab... paman Thio... cobalah paman
pertimbangkan..." Tadi Tan Heng menyuruh Thio Hoa membangunkan Lauw
Jok Hong dan bertanya padanya. Namun kini, setelah Lauw
Jok Hong siuman, ia telah berkata demikian untuk angkat
tangan, hingga muka Tan Heng dan Thio Hoa pada berubah.
Muka Thio Hoa berubah karena luka Lauw Jok Hong begitu
parah. Kalau tadi dia bukan lagi main catur dengan Hua Toa,
pasti Lauw Jok Hong ini telah mati di bawah tangan Tan Heng.
Ia tidak tahu asal usul persoalannya, hanya menganggap
Lauw Jok Hong adalah anaknya Lauw Thian Hauw, tentu saja
berkelakuan baik. Rupanya Tan Heng sedang memfitnah Lauw
Jok Hong. Sedangkan Tan Heng menjadi kian marah karena
mendengar ucapan Lauw Jok Hong yang ingin angkat tangan
itu, bentaknya : "bocah cilik, kau tidak mau mengaku?"
Lauw Jok Hong elah menyadari bahwa Thio Hoa tidak tahu
persoalannya dan telah berdiri di pihaknya, maka hatinya
makin berani lagi : "Orang ini memfitnah saya telah
membunuh anaknya, dan menculik saya. Sepanjang jalan saya
disiksanya. Ilmu silatnya sangat tinggi, saya tidak dapat
menandinginya... maka ia mau mencabut nyawa saya... he he,
orang yang belajar silat tentu tidak takut mati, tapi kalau
menyuruh aku mati konyol, akupun tidak mau!" Ucapan Lauw
Jok Hong itu sangat keras dan dapat menggerakkan hati
orang. Thian Kiam Thio Hoa beranjak berdiri, kedua tangannya
mendorong Lauw Jok Hong hingga mental ke muka Hua To,
lalu serunya : "Si bongkok, kalau kau tidak mau berkawan
dengan aku, jangan perdulikan dia!"
Hua To menghela napas, tangan kirinya membalik
menyambut Lauw Jok Hong yang mental ke hadapan itu.
Berbarengan dengan itu, tangan kanannya mementil, dan
masuklah sebuah pil ke dalam mulut Lauw Jok Hong. Nyata
sekali ia tidak mau mengobati luka Lauw Jok Hong, karena
Thio Hoa mengancamnya dengan pemutusan hubungan
hingga membuatnya mau tidak mau harus membantu. Tetapi
ia sangat tidak rela maka ia dengan perasaan yang sangat
mendongkol mementilkansebuah pil ke arah mulut Lauw Jok
Hong dan tidak memintanya membuka mulutnya. Sedangkan
pentilan itu keras sekali, setelah pil itu dekat, Lauw Jok Hong
ingin membuka mulut tapi sudah tidak keburu lagi,
terdengarlah sebuah suara "plak", darah berpercikan, pil itu
telah menembus bibir atas Lauw Jok Hong, bahkan
merontokkan sebuah giginya, hingga membuat Lauw Jok
Hong kesakitan dan menelan pil itu berikut giginya yang copot
tadi. Lauw Jok Hong sakit bercampur marah. Ia ingin berteriak
menjerit-jerit, tapi cara pengobatan Hua To memang agak
kelewatan, namun obatnya sangat manjur. Ketika mulutnya
terbuka dan belum sempat menjerit, lalu terasa sebuah hawa
dingin yang sejuk mengalir dari tenggorokkannya sampai ke
menyeluruh ke tubuhnya. Darahnya mengalir dengan lancar,
tenggorokkannya terasa agak nyaman, matanya yang
berkunang-kunang boleh dikatakan lenyap dalam seketika.
Lauw Jok Hong tidak mungkin tidak tahu, inilah khasiatnya
obat itu, maka ia ternganga tidak dapat bersuara.
Di lain pihak, setelah Thio Hoa mendorong Lauw Jok Hong,
dalam hatinya ia tahu Hoa To adalah kawan sehidup semati
dengannya selama puluhan tahun, dan ditambah lagi dengan
ancaman pemutusan hubungan, Hoa Toa itu pasti turun
tangan membantunya menyembuhkan Lauw Jok Hong. Maka
menengok pun ia tidak,lalu melangkah menghampiri Tan Heng
denganmemegang gagang pedangnya : "Sudah lama aku
dengar ilmu silat Pulau Thian In adalah suatu cabang silat
yang tersendiri, di luar golongan putih maupun golongan
hitam, sekarang aku dapat membuka mataku, sungguh
merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan."
Muka Tan Heng menjadi berubah tidak menentu : "Thio toa
hiap, apa maksud ucapanmu ini?"
Thio Hoa menengadah sambil tertawa. "Di hadapan orang,
buat apa cerita yang bukan-bukan" Persoalannya sudah
sampai sedemikian rupa, apakah kau masih dapat berpangku
tangan?" Tan Heng mengekang dirinya hingga ia tidak jadi marah
pada Thio Hoa, hanya berkata dingin : "Tidak disangka Thian
Kiam Thio Hoa yang tersohor di Bu lim ini adalah seorang
yang tidak dapat membedakan mana yang baik mana yang
buruk, mana yang salah mana yang betul, rupanya adalah
seorang yang pikun!"
"Thio Hoa tersohor selama puluhan tahun, orang-orang Bu
lim baik dari golongan putih, maupun dari golongan hitam,
kalau bertemu dengannya pasti memberi hormat, mana
pernah ada orang yang berani memarahi dia sedemikian rupa"
Tabiatnya sangat keras, mana mungkin bersabar lagi, segera
ia menjadi marah, tangannya bergoyang, terdengar suara
"crang". Ia telah menghunuskan pedangnya yang tergantung
di pinggangnya dengan bentuk aneh itu. Pedang itu hitam
legam, sama sekali tidak menyolok dan lagi pedang itu
tampaknya sangat berat. Karena tergenggam dalam tangan
Thio Hoa, pedang itu tidak dapat mantap, ujungnya menjurus
ke bawah seakan tidak dapat menahan keberatannya. Tan
Heng tersenyum dingin : "Baiklah, kalau memang harus turun
tangan, saya pasti temani. Tetapi kau tidak membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk, sungguh akan menjadi
bahan tertawaan oleh orang-orang Bu lim."
*** BAGIAN SEMBILAN Thian Kiam Thio Hoa menjerit, lalu memendekkan
tubuhnya, pedang aneh dalam tangannya itu telah menerjang
ke depan dan menimbulkan angin kencang. Pedang aneh itu
telah menjadi pelangi hitam,kedahsyatan tenaganya tidak ada
tandingannya! Ilmu pedang, biasanya mementingkan
kelincahan, tetapi jurus Thio Hoa itu dilancarkan secara keras
sekali, seakan yang berada dalam tangannya itu bukanlah
pedang melainkan kampak. Tan Heng melihat Thio Hoa
menyerang dengan dahsyat sekali, hatinya berdetak, dan
buru-buru mengumpulkan tenaga murninya menyenjot
tubuhnya. Ilmu mengentengkan tubuh dari pulau Thian In
sangat terkenal di kalangan Bu lim, sekali enjot saja telah
mencapai ketinggian satu tombak lebih, dan dengan
sendirinya telah dapat mengelakkan serangan Thio Hoa yang
bertubi-tubi itu. Terdengar Thio Hoa tertawa lebar, tangan
kirinya membalik dan telah menggenggam sebuah pedang
lagi, kedua tangannya menggunakan pedang dan dibuatnya
dua buah lingkaran. Kedua lingkaran itu menderu-deru
memekakkan telinga, angin dahsyat dari bawah ke atas terus
membubung tinggi. Sekejap saja batu-batu kecil itu telah
terkumpul dan seakan membentuk sebuah menara.
Pada saat itu, tubuh Tan Heng yang melayang ke udara itu
turun ke bawah. Ketika tubuhnya gak turun sedikit, terasa ada
tenaga yang dahsyat telah mengepungnya dari empat
penjuru, Tan Heng tahu keadaanitu tidak menguntungkan
dirinya, buru-buru ia mengumpulkan kembali tenaga
murninya. Ilmu mengentengkan tubuhnya terlalu tinggi,
seharusnya ia masih dapat melambung kembali enam atau
tujuh kaki setelah mengumpulkan tenaga murninya, namun
kini di sekeliling tubuhnya telah terdesak oleh tenaga dahsyat
yang berputar-putar itu. Ketika Tan Heng mengumpulkan tenaga murninya,
tubuhnya hanya melayang lagi satu kaki, segera ia merasakan
bagian bawah tubuhnya memberat, seakan dipeluk erat-erat,
bahkan menimbulkan suatu tenaga yang menariknya ke
bawah. Kini andaikata Tan Heng dapat ditarik ke bawah oleh
tenaga dahsyat itu, tubuhnya akan bercampur dengan batubatu
kecil dan diputar-putar oleh tenaga dahsyat itu tak hentihentinya.
Dan kalau diserang lagi oleh Thio Hoa, ia takkan
mempunyai tenaga untuk melawan lagi. Pedang Thio Hoa itu
didapatkannya dari daerah sebelah barat, pedang apa itu dan
terbuat dari apa, orang-orang Bu lim tak seorang yang tahu.
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pedang itu berat sekali, tubuh Thio Hoa pendek kate. Ada
cerita lucu mengenai dirinya, ketika ia mendapatkan pedang
itu dan digantungkannya di pinggang, tak pernah lepas dari
tubuhnya. Kedua tangannya memegang pedang, dan
membuat lingkaran yang bertenaga dahsyat sekali, kalau tidak
ada andalan, tentu tidak dapat melawannya. Sedangkan Tan
Heng datang dari lautan seberang, walaupun pernah
mendengar nama Thio Hoa, tapi belum mengetahui berapa
dalam ilmu silatnya, maka begitu berantam, ia telah
menggunakan ilmu mengentengkan tubuhnya melesat ke
udara mengelakkan serangan Thio Hoa.
Kini bagian bawah Tan Heng telah memberat, hatinya
menjadi kacau, lalu terjungkir, dan Tan Heng sangat
terperanjat, buru-buru ia mengumpulkan tenaga murninya
kembali. Seharusnya tubuhnya telah tertarik ke bawah,
dengan kumpulan tenaga murninya itu walaupun tubuhnya tak
dapat melayang ke atas, namun dapat mengimbangi tenaga
dahsyat yang hendak menariknya ke bawah itu dan tubuhnya
masih tetap berada di udara. Cuma tenaga murninya hanya
dapat mengimbangi tenaga yang menariknya ke bawah, tapi
tidak dapat melenyapkan tenaga yang berputar-putar itu,
maka tubuhnya telah terjungkar lagi. Tan Heng menjadi
sangat kaget, buru-buru ia mengumpulkan tenaga murninya
secara beruntun, hingga dalam sekejap saja ia telah
mengumpulkan tujuh belas kali.
Itulah ilmu mengentengkan tubuh 'In Pan Ban li' yang
tersohor di kalangan dunia kang ouw, andaikata Thio Hoa kini
tidak menyerangnya dengan tenaga dahsyat, ke-17 kali
mengumpulkan tenaga murninya itu membuatnya berbalik
sejauh 10 tombak lebih dan kakinya tidak menginjak tanah
barang sedikitpun. Kini tubuhnya terus berbalik-balik di udara
tak henti-hentinya, tidak melayang ke atas dan tidak pula
jatuh ke bawah, hingga membuat Hua To yang sangat
berpengalaman itu pun menjadi tercengang. Walaupun ia
telah banyak pengalaman, serunya : "Ilmu yang baik sekali!"
Pengumpulan ke-17 kali tenaga murni Tan Heng itu telah
dapat melenyapkan tenaga dahsyat Thio Hua, begitu kakinya
merasa leluasa, Tan Heng telah berbalik sejauh dua tombak
dan berdiri tegak disana. Thian Kiam Thio Hoa pun tertegun,
serunya : "Bagus!"
Harus diketahui, jurus 'Jit Gwe Bo Kwong' (matahari dan
bintang tidak bersinar) nya tadi semenjak menguasai ilmu ini,
entah telah bertemu berapa banyak jago-jago silat, dan tidak
pernah tidak menarik musuh dari atas ke bawah. Maka
serunya 'bagus' itu, betul-betul diserukan dari lubuk hatinya.
Setelah mundur dua tombak, Tan Heng merasa kepalanya
berat dan kakinya enteng, hampir saja ia terjatuh. Harus
diketahui, ketika ia berputar-putar 17 kali di udara tadi, dan
setelah mundur lalu masih dapat berdiri dengan tegap, ini
membuktikan bahwa ilmuamemang telah sempurna sekali.
Dan timbullah rasa sayang dalam hati Thio Hoa, tidak lagi
turun tangan, bentaknya : "Kau berilmutinggi, kenapa masih
mau menganiaya seorang pemuda?"
Tan Heng tertawa dingin : "Kau memang pikun, andaikat
Singa Emas Lauw Thian Hauw itu adalah orang baikbaik,
kenapa So Beng Hiat In bisa muncul di tembok rumah?"
Sehabis perkataan Tan Heng ini, Thio Hua, Hua To dan Lauw
Jok Hong pada terperanjat.
Dalam hati Lauw Jok Hong, ia lebih bingung lagi, kenapa
orang ini bisa tahu hal ini" Lauw Jok Hong mana menyangka,
pertama ketika ia setengah sadar tadi telah menggumam
membocorkannya. Kedua, ketika Tan Heng bertemu dengan
Lauw Thian Hauw dan Thian Auw Siang Jin tadi, iapun sedikit
banyak telah tahu persoalan itu dari wajah-wajah mereka.
Maka ia dapat memastikan bahwa Lauw Thian Hauw sedang
menghadapi malapetaka. Thio Hua berseru setelah tertegun : "Kau... kau kata apa?"
Tan Heng tertawa dingin : "Pergilah kau ke rumah Lauw
Thian Hauw, kau akan mengerti. Kenapa mesti banyak tanya?"
Persahabatan Thio Hua dan Lauw Thian Hauw sangat
akrab, kalau tidak mana mungkin bisa jadi bermisan. Kini hati
Thio Hua berdetak tak henti-hentinya. Mukanya berubah,
kedua tangannya berbalik memasukkan kembali pedangnya,
lalu tubuhnya telah melesat ke depan.
Hoa To berteriak dengan kencang : "Hei, bagaimana
dengan orang ini?" "Simpanlah dulu, aku mau pergi ke rumah Lauw Thian
Hauw dulu!" teriak Thio Hua. Belum habis ucapannya, orang
itu telah pergi jauh sekali.
Tubuh Tan Heng pun turut melesat ke depan, tetapi ia baru
mengikuti Thio Hua empat lima tombak, tiba-tiba ia merubah
niatnya. Tubuhnya mendadak berbalik dan telah berada di
hadapan Hoa To. Mata Hoat To mendelik : "Kalau Thio Hua memberikan
orang ini padaku, kau jangan coba-coba main-main dengan
aku." Tan Heng tertawa dingin : "Kau jangan kuatir, rumah Lauw
tidak jauh dari sini, Thio Hua akan segera kembali. Ketika itu
mana dia masih mau mengurusi yang tidak-tidak." Ia
memandang Hoa To dari sejauh enam tujuh kaki, dan Hoa To
pun menganggap di sampingnya tidak ada manusia.
Setelah tubuh Thio Hua melesat ke depan, makin lama
larinya makin cepat. Tak lama kemudian telah mendekati
rumah Lauw. Ia belum dapat melihat ada siapa disna, telah
mendengar bentrokan senjata yang terus mengalun ke
telinganya. Thio Hua bukan orang sembarangan. Sekali dengar suara
bentrokan senjata itu saja, sudah tahu bahwa di depannya itu
ada orang sedang berkelahi dan orang itu berilmu sangat
tinggi. Buru-buru Thio Hua membelok ke ujung jalan, sebelumnya
orangnya tiba ia telah menjerit dulu : "Kak Thian Hauw,
apakah kau ada disitu?" Orangnya tiba di belakang suaranya.
Setelah dekat, terdengar Thian Hauw mendehem. "Hua Lo
ko(kakak tua) kau ya?" Ia berhenti dua kali untuk
mengucapkan perkataan itu. Ini menunjukkan ia tidak ada
waktu untuk bicara. Thio Hua berhenti dan memandang ke depan, dilihatnya
Thian Hauw berputar dengan pedangnya, yang dimainkan
dengan secara sempurna sekali. Sedangkan orang-orang yang
menggumulnya itu ada sebanyak tujuh delapan orang. Melihat
Lauw Thian Hauw dikeroyok, hati Thio malah menjadi tenang.
Karena So Beng Hiat In tidak mungkin mengajak temannya
mengeroyok orang. Dengan ilmu silat yang dimiliki oleh So
Beng Hiat In, dan andaikata ia mau mengeroyok Thian Hauw,
ini akan menjadi suatu hal yang sangat lucu sekali.
Melihat bukan So Beng Hiat In, hati Thio Hua menjadi
tenang, teriaknya : "Berhenti!"
Teriakannya memang cukup menggetarkan bumi, beberapa
orang yang mengeroyok Lauw Thian Hauw itu sedang
melancarkan serangan yang lincah sekali, kini pada berhenti.
Setelah mereka berhenti, hati Thio menjadi terperanjat
memandang mereka. Dilihatnya di pinggang mereka diikat
dengan karung goni, kepala mereka mengenakan kembang
putih, itulah kedelapan Tong cu dari Sang Bun Pang.
Kedudukan dan kekuatan Sang Bun Pang dalam dunia kang
ouw tidak dapat dianggap remeh. Pang cu-nya belum keluar,
Lauw Thian Hauw telah kewalahan untuk menghadapinya.
Bagaimana kalau Pang cu datang, bukankah lebih sulit lagi"
Tetapi kenapa Lauw Thian Hauw bisa bermusuhan dengan
orang-orang dari Sang Bun Pang ini" Thio Hua sangat
terperanjat, tapi wajahnya tidak berubah, tetapi merah
padam. Ia melangkah dengan tegap sambil berkata : "Senang
sekali aku masih diberi muka oleh kalian, kita bisa berunding
dengan baik-baik. Kenapa harus berkelahi?"
Di antara orang-orang Sang Bun Pang itu, ada seorang
kurus tinggi yang melangkah keluar, lalu menjura. "Rupanya
Thian Kiam Thio toa hiap, karena persoalan Yen Cung cu maka
kami minta petunjuk Lauw toa hiap. Silahkan Thio toa hiap
nonton saja di pinggir saja."
Setelah dengar, Thio Hoa lebih terperanjat lagi, serunya :
"Yen Cung cu" Apakah Kauw Bwe Liong Yen Cung cu?"
"Ya," sahut orang kurus itu.
"He," kata Thio Hua : "Kalian keliru, Yen Cung cu dan Lauw
Singa Emas adalah kawan karib, kenapa kalian mengataknnya
mereka bermusuhan?" Orang kurus itu tertawa dingin. "Thio toa hiap, Yen Cung cu
telah meninggal secara sangat menyedihkan sekali."
Thio Hua menjadi lebih terperanjat lagi. Ia menggumam
dalam hatinya. Ia hanya main catur dengan Hua To selama
tiga bulan dalam lembah itu, dalam tiga bulan ini tidak pernah
berkelana di kalangan dunia kang ouw, kenapa sekarang telah
terjadi hal yang sebesar ini di kalangan dunia kang ouw"
Ketika ia masih tertegun, orang kurus itu telah berkata lagi :
"Yen Cung cu meninggal di rumah Lauw toa hiap, dan ada
beberapa hal yang tidak jelas, maka kami datang bertanya
pada Lauw toa hiap."
Hati Thio Hua semakin terperanjat, katanya : "Kalau begitu,
apakah kalian telah mencurigai Lauw toa hiap yang
membunuh Yen Cung cu" Inipun agak lucu bukan?"
Orang kurus itu berkata dengan suara yang sangat
menyeramkan : "Kami upn tidak berani berpikir demikian.
Sayang Lauw toa hiap tidak dapat menceritakan sebab
musababnya, tentu saja kami ingin mencari penjelasannya."
Lauw Thian Hauw kewalahan menghadapi kedelapan orang
itu, kalau bukan Thio Hua datang tepat pada waktunya,
mungkinia tak dapat bertahan sampai sekarang. Sampai kini ia
baru dapat tenang, sedangkan ilmu silat Thio Hua, ia sangat
jelas. Apalagi dirinya bermisan dengan Thio Hua, tentu Thio
Hua akan membantunya untuk menghadapi musuh-musuhnya.
Maka hatinya menjadi lebih tenang lagi, lalu teriaknya : "Berak
apa yang kurang jelas" Yen Cung cu mati di tangan Tung Hai
Siang Kui, aku telah ceritakan pada kamu?"
Orang kurus itu berkata : "Kami masih berpegang pada
pendirian kami, Yen Cung cu mati kena tusukan pedang dua
kali, dan isi dalam tubuhnya hancur kena tenaga dalam,
jangankan Tung Hai Siang Kui tidak menggunakan pedang,
apakah Tung Hai Siang Kui tersohor dengan ilmu tenaga
dalam itu?" Thio Hua menjadi tertegun : "Apakah kalian tidak salah
lihat?" Orang kurus itu tertawa dingin : "Mayat Yen Cung cu, kini
kami telah letakkan di Yen ka cung, perkumpulan kami telah
menyebarkan undangan untuk mengundang jago-jago silat
datang ke Yen ka cung untuk memeriksa mayat Yen Cung cu,
apakah ia benar-benar mati di bawah tangan Tung Hai Siang
Kui" Seperti apa yang dikatakan pepatah, keadilan itu berada
di hati orang. Kalau Thio toa hiap tidak keberatan, silahkan
datang untuk turut menyaksikannya."
Kini hati Thio Hua sangat ragu-ragu, mundur maju.
Gerakan Sang Bun Pang sangat tegas, itu diketahui orangorang
Bu lim. Andaikata mereka tidak berada di atas angin,
mana mungkin mereka dapat bertindak seyakin ini" Tetapi
kalau Yen Cung cu dibunuh oleh Lauw Thian Hauw, dalam
pandangan Thio Hua, itupu adalah suatu hal yang sangat
mustahil. Hatinya ragu-ragu, lalu memandang Lauw Thian
Hauw. Dan Lauw Thian Hauw seakan pernah berbuat salah,
melihat Thio Hua memandang dirinya, buru-buru ia
menenangkan dirinya, tapi hatinya masih berdetak-detak, dan
berteriak dengan sengaja : "Hua Lo ko, apakah kau percaya
ocehan mereka itu?" Kata Thio Hua : "Tentu saja aku tidak percaya, tapi, tapi..."
Mendengar ucapan Thio Hua itu, hati Lauw Thian Hauw
telah tahu bahwa Thio Hua pun sudah curiga akan dirinya, dan
ia menjerit dalam hatinya. Kalau Thio Hua bertanya lebih
lanjut, tentu ia akan membuat kesalahan. Maka ia buru-buru
memotong ucapan Thio Hua, teriaknya : "Hua Lo ko jangan
percaya ucapan mereka. Mari kita sama-sama mengusir
bocah-bocah Sang Bun Pang ini, kalau kita tidak dapat
mengusir mereka, percuma saja kita belajar silat," katanya
sambil menghunuskan pedangnya dan lantas menyerang si
orang kurus. Orang kurus itu sangat lincah, serangan pedang Lauw
Thian Hauw itu diikuti dengan tenaga dalam yang sangat
dahsyat, tetapi betapa gesitnya gerakan orang kurus itu, bagai
sehelai kertas melayang-layang mengelak serangan itu.
Serangan Lauw Thian Hauw itu tidak mengenai sasarannya,
malah orang kurus itu tertawa dingin : "Lauw toa hiap, kini
kami berjumlah delapan orang, dan kalau kau bermimpi untuk
membinasakan kami seluruhnya, hal ini lebih sulit daripada
terbang ke langit." Ia berkata dengan suara yang
menyeramkan, ucapannya itu bagai belati tajam menusuk hati
Lauw Thian Hauw, dan menyebabkannya berhenti sejenak,
tidak dapat lantan menyerang lagi.
Dalam keadaan begini, pandangan mata Thio Hua yang
telah berkelana di kalangan dunia kang ouw bertahun-tahun
lamanya, mana mungkin tidak dapat melihat hati Lauw Thian
Hauw yang telah menjadi kecut sekali" Timbul perasaan curiga
terhadap diri Lauw Thian Hauw, maka ia tidak ingin ikut
campur, hanya berkata : "Thian Hauw Heng, Sang Bun Pang
memfitnah kau demikian, kenapa kita tidak sama-sama pergi
ke Yen ka cung untuk menjelaskan hal yang sebenarnya"
Ketika itu Sang Bun Pang tidak dapat lagi menutupi mata
orang Bu lim." Singa Emas Lauw Thian Hauw sama dengan Thio Hua,
sama-sama jago lama, mana mungkin tidak mengerti makna
kata Thio Hua itu" Walaupun ucapannya itu masih memihak
pada dirinya, namun kenyataannya ia telah sangat curiga pada
dirinya. Selama hidup Lauw Thian Hauw, entah telah berapa kali
mengalami hal-hal yang beasr, tapi kini hatinya ragu-ragu.
Karena andaikata mengikuti apa yang dikatakan Thio Hua,
pada waktu itu kawan-kawan dan sanak famili Kauw Bwe
Liong Yen LIng pasti berkumpul disana. Kalau dirinya berbuat
jahat, tentu ia tidak merasa takut. Tapi Yen Ling betul-betul
mati di bawah tangannya, kalau ditanyai ramai-ramai mana
mungkin ia berbohong lagi.
Dan tampaknya tidak bisa berkunjung ke Yen ka cung. Tapi
kalau tidak pergi, apa pula alasannya" Dan lagi, kemunculan
So Beng Hiat In teLah berselang beberapa saat, tampaknya
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
iblis yang berilmu sangat tinggi dan muncul secara tidak
menentu itu sudah harus muncul. Kalau begini, Yen ka cung
malah akan menjadi suatu tempat yang ideal untuk
bersembunyi sementara. Karena jago-jago silat yang diundang
Sang Bun Pang, dalam empat lima hari ini belum tentu datang
semuanya. Sebelum orangnya sampai semua, orang Sang Bun
Pang takkan mengajak dirinya berkelahi. Malah kalau ada
yang hendak mencari ribut dengannya, orang Sang Bun Pang
malah membantunya untuk mengusirnya, karena orang Sang
Bun Pang menganggap dirinya sebagai bukti, dan mau
memaksa dirinya untuk menceritakan apa yang sebenarnya
telah terjadi di kalangan orang ramai. Tentu saja mereka tidak
mengharapkan dirinya akan dibunuh oleh siapa saja.
Singa Emas Lauw Thian Hauw berpikir bolak balik, berpikir
sampai disini, hatinya menjadi girang. Karena kalau So Beng
Hiat In tidak muncul, dirinya akan mendapat kegembiraan,
kalau So Beng Hiat In datang semoga mereka berkelahi dan
rusak kedua-duanya dan dirinya akan aman sentosa. Ia
berpikir bolak balik, sementara tidak berkata apa-apa,
pandangan mata orang-orang itu tertuju pada dirinya, Thio
Hua sungguh tidak dapat bersabar lagi, katanya : "Thian
Hauw heng, emas murni tidak takut dibakar. Menurut aku,
mau tidak mau kau harus pergi ke Yen ka cung."
Lauw Thian Hauw menggerutu dalam hatinya : "banyak
urusan." Tapi mulutnya berkata : "Tentu saja, mana saya
takut sama orang" Tetapi kalau pada saat itu, orang-orang
Sang Bun Pang akan mencari keributan tanpa sesuatu
alasan..." Berkata sampai disini, matanya memandang Thio Hua.
Segera Thio Hua menyahutnya : "Thian Hauw Heng, mengenai
itu kau jangan kuatir. Kita akan bergandengan tangan. Orang
yang dapat mengalahkan kita, mungkin tidak ada!"
Lauw Thian Hauw tertawa tertawa terbahak-bahak.
Orang kurus itu sampai kini baru membuka mulut : "Kalau
Lauw toa hiap mau pergi, hal ini paling baik. Orang-orang
yang kami undang adalah tokoh dari dunia persilatan, yang
menjadi kawan baik semasa hidup Yen cung cu. Paling lama
enam atau tujuh hari, mereka akan tiba semuanya, dan
sudilah kamu berdua tinggal di Yen ka cung beberapa hari
lamanya." Pikiran Lauw Thian Hauw telah tetap, ia ingin bersembunyi
sementara di Yen ka cung maka ia berkata dengan sangat
gembira : "Itu tidak jadi soal, sudah kumpul semuanya, dan
saya akan ceritakan apa yang sebenarnya. Kalau kalian masih
tidak percaya juga, itu bukan urusan saya lagi."
Orang kurus itu berkata dengan dingin : "Kalau begitu,
silahkan Lauw toa hiap berangkat sekarang."
Mereka berdelapan telah berpencar membuat suatu
lingkaran mengepung Lauw Thian Hauw dan di tengahtengah,
kini hendak memaksa mereka berdua berangkat
sekarang juga; lalu Thio Hua menjadi marah : "Perkataan apa
itu" Apakah Lauw toa hiap tidak dapat meninggalkan pesan
pada anak-anaknya" Dan akupun masih ada sedikit urusan
yang hendak aku rundingkan dengannya. Kamu jalan dulu,
kami akan menyusul dari belakang."
Kedelapan orang itu saling pandang sejenak, dari awal
sampai akhir, terus saja orang kurus itu yang bicara. Ia hanya
menjura pada Thio Hua : "Thio toa hiap berkata begitu, tentu
kami tidak kuatir. Tetapi Thio toa hiap, kami masih ada
beberapa perkataan yang tidak dapat tidak kami ucapkan,
mau dengar atau tidak, itu terserah."
"Silahkan," kata Thio Hua.
"Thio toa hiap, kau adalah orang baik. Dan kami dari Sang
Bun Pang, dari atas sampai ke bawah, semuanya sangat
kagum pada Thio toa hiap, maka ada satu pepatah yang
mengatakan, hati mencelakai orang tidak boleh ada, hati
berwaspada terhadap orang tidak boleh tidak ada, tuan
bergaul dengan orang hina dina itu, haruslah hati-hati!"
Setelah perkataannya habis, wajah Thio toa hiap dan Lauw
Thian Hauw berdua berubah. Lauw Thian Hauw baru ingin
marah, tapi orang kurus itu telah mengibaskan tangannya.
Kedelapan orang itu termasuk dia sendiri telah mundur,
sebentar saja telah lenyap dari pandangan. Orangnya tealh
pergi, taruhlah Lauw Thian Hauw ingin marah, tapi tidak ada
musuhnya, dan ia hanya dapat tertawa pahit : "Hoa Lo ko,
coba kau lihat. Bagaimana aku harus bicara?"
Hati Thio Hua sangat curiga : "Thian Hauw Heng, di luar ini
bukan tempat untuk bicara. Aku ada hal yang sangat penting
yang hendak ku katakan pada kau."
Lauw Thian Hauw menggerutu dalam hatinya, katanya :
"Silahkan!" Keduanya masuk ke dalam pintu, Thio Hua telah melihat
tembok yang roboh itu, sedangkan pelayan-pelayan rumah itu
tidak ada lagi barang satupun, ruang besar sangat kacau
balau. Lalu Thio Hua bertanya : "Ba... bagaimana
persoalannya?" Ditanya Thio begitu, Lauw Thian Hauw teringat kembali
kejadian yang baru lalu, dan menghela napas panjang : "Hua
Lo ko, sulit untuk diceritakan sekaligus."
Thio Hua berkata dengan lembut : "Thian Hauw Heng, kita
adalah kawan karib, bermisan lagi, kalau ada apa-apa
katakanlah secara terang, aku baru saja bertemu dengan
anaknya pemilik pulau Thian In..."
Thio berkata sampai disitu, dan Lauw Thian Hauw telah
sangat terperanjat, "Oh" serunya.
Sambung Thio Hua lagi : "Ia sedang menyiksa anakmu,
akulah yang menolongnya."
Hati Lauw Thian Hauw bertambah kacau lagi, pertanyaan
itu sia-sia belaka, karena ketika anaknya diculik orang diapun
menyaksikannya. Hatinya sangat bingung dan membuatnya
tertawa pahit saja, hingga Thio Hua merasakan ada sesuatu
yang tidak beres. Ia tidak perlu bertanya lebih lanjut, tapi
hatinya telah percaya dengan apa yang diucapan oleh Tan
Heng, anak pemilik pulau Thian In itu. Katanya : "Menurut
kata-kata sahabat Tan, Thian Hauw Heng, rumahmu telah
muncul So..." Ucapan "So" nya baru keluar, Lauw Thian Hauw telah
berteriak : "Sudah!" Ia hanya berteriak sekali, tapi napasnya
telah terengos-engos. Orang-orang pandai silat, kalau bukan
hatinya merasa sangat kaget, mana mungkin terjadi hal ini"
Apalagi orang yang mempunyai Lwe kang tinggi seperti Lauw
Thian Hauw, terlebih-lebih tidak boleh terjadi begitu.
Teriaknya itu, walaupun hanya "sudah" sepatah, tapi bagi Thio
Hua, tak diragukan lagi telah menjadi "ya". Dalam sekejap
saja, serasa tubuh Thio Hua menjadi dingin, dan ia tidak tahu
apa yang harus dikatakannya, hanya memandang Lauw Thian
Hauw secara kaku. Sedangkan Lauw Thian Hauw menjadi pucat pasi, kedua
jago silat di kalangan kang ouw yang berilmu sangat tinggi,
kini hanya saling pandang membisu.
Setelah mendengar kata-kata Tan Heng, segera Thio Hua
datang ke rumah Lauw Thian Hauw. Pertama karena
persahabatannya dengan Lauw Thian Hauw yang sangat
dalam, kedua karena ia pun tidak percaya akan kata-kata Tan
Heng maka tidak ada yang ditakutinya. Tapi kini, dalam sikap
Lauw Thian Hauw ia tealh melihat So Beng Hiat In, hal itu
tidak dapat dipungkiri lagi, kemarahan dalam hatinya tak
terlukiskan. Dalam keadaan begini, biarpun kawan akrab, dan
bermisan lagi, hatinya tidak dapat terhindar dari pikiran untuk
menyelamatkan dirinya sendiri. Ia memandang Lauw Thian
Hauw, wajahnya murung, tapi tidak berkata apa-apa. Hati
Lauw Thian Hauw berdetak-detak kencang, tapi ia membuat
suatu senyuman canggung dengan paksa, ketika ia bicara,
nadanya pun sangat berlainan dengan biasanya, parau dan
kering : "Hua Lo ko, kenapa kau memandang aku begitu?"
Thio Hua pun tertawa "he he" dua kali, dan hatinya
berpikir, bagimana supaya Lauw Thian Hauw mau
mengatakan yang sebenarnya. Ketika ia berpikir demikian, ia
telah mempunyai niat untuk tidak mau mencapuri urusan itu.
Terdengar suaranya : "Tidak apa-apa, hanya... hanya... he
he... hanya..." Bolak balik, yang keluar dari mulutnya hanyalah "hanya"
dan "he he" saja, dan suara yang sangat kaku itu, siapapun
dapat mendengarnya. Sampai waktu ini, kalau Lauw Thian Hauw masih tidak
dapat melihat maksud hati Thio Hua, betul-betul ia adalah
seorang dungu. Hatinya terperanjat dan marah, lalu tertawa
pahit berkepanjangan, karena hal itu ada dalam dugaannya.
So Beng Hiat In muncul di rumahnya, walaupun ia berusaha
untuk menyembunyikannya, dan malah karena hal ini ia telah
membunuh Kauw Bwe Liong Yen Ling, tetapi rupanya hal itu
tidak dapat disembunyikan lebih lama lagi, dan mulai bocor
keluar. Hal ini, andaikata sampai tersebar di luar, orang
serumahnya sama saja dengan menderita penyakit kusta,
bahkan antara ayah dan anakpun tidak dapat saling tolerir,
apalagi orang lain. Dan hal ini tidak dapat menyalahkan Thio
Hua maka Lauw Thian Hauw hanya tertawa kering berkali-kali.
Mereka berdua menjadi sahabat akrab selama puluhan
tahun, di kalangan kang ouw tidak ada yang tidak tahu bahwa
mereka adalah kawan sehidup semati, tetapi kini mereka
hanya saling pandang dan tertawa kering, keadaan begitu
agak menggelikan. Setelah tertawa kering sejenak,Lauw Thian Hauw berkata :
"Hoa Lo ko, hal ini kau tidak boleh percaya, itu adalah suatu
fitnah yang dilontarkan musuhku, kalau kawan karib seperti
Hua Lo ko ini sampai percaya hal ini, entah aku harus
bagaimana jadi manusia lagi."
Kata-kata Lauw Thian Hauw itu hanyalah suatu penjelasan,
supaya Thio Hua mau percaya, dan dirinya akan mendapat
satu tenaga untuk membantunya. Tetapi ketika mengucapkan
kata-katanya yang terakhir "entah aku harus bagaimana jadi
manusia lagi", suaranya ini gemetar karena hatinya
memendam ketakutan yang sangat dalam, yang disebabkan
karean teringat perubahan hari ini.
Walaupun Thio Hua mendengar Lauw Thian Hauw
membantah keras, namun persoalan itu sudah terang
seterang-terangnya. Lalu ia mundur beberapa tindak : "Thian
Hauw Heng, kau bersiap-siaplah, dan pergilah ke Yen Ka
Cung, nampaknya kunjungan itu tak dapat dielakkan. Tapi aku
masih ada sedikit urusan, perkenankanlah aku permisi dulu."
Lauw Thian Hauw tidak dapat berbuat apa-apa : "Hua Lo
ko, kalau kau memang ada urusan, silahkan!"
Thio terus mundur ke pintu. Ia membuka mulutnya ingin
menceritakan tentang soal Lauw Jok Hong secara teliti pada
Lauw Thian Hauw, tetapi akhirnya ia menelan kembali
perkataannya, lalu membalikkan tubuhnya berlari keluar.
Kedatangannya ke situ, justeru karena persoalan Lauw Jok
Hong, tetapi akhirnya tidak sempat mengutarakan
keseluruhannya, hanya sedikit saja menyinggung Lauw Jok
Hong telah ditangkap orang, lalu pergi."
Ia berlari sembari terus berpikir-pikir dalam hatinya, kalau
sudah kembali ke lembah itu, bagaimana aku akan ceritakan
pada Hoa To, Tan Heng dan Lauw Jok Hong" Setelah berlari
sejauh empat lima li, baru hatinya mendapatkan suatu
keputusan, yakni supaya Hoa To diamkan saja Lauw Jok Hong
itu dan tidak mau turut campur persoalan pelik itu.
*** Setelah Thio Hua pergi, Lauw Thian Hauw menggerakkan
tubuhnya pelan-pelan, melangkah mendekati pintu. Dilihatnya
Thio Hua lari bagai sang bayu, bahkan tidak menoleh
sedikitpun, dan hatinya terasa tidak enak. Ia tahu kali ini
dirinya telah berada di tepi jurang, dan dari punggungnya ada
sebuah tenaga yang besar hendak mendorongnya masuk ke
dalam jurang. Kalau ada sedikit salah saja, dan tamatlah
seluruh nama yang diperolehnya selama puluhan tahun dari
dunia kang ouw. Tentu saja ia tidak ingin jatuh begitu saja, ia
harus mencekal apa saja yang dapat menahan dirinya, ia
harus minta bantuan orang lain! Ketika ia berpikir sampai
disini, sungguh ingin menangis rasanya, tetapi ia tidak jadi
menangis malah tertawa terbahak-bahak tidak normal.
Kini senja makin tebal, seluruh pekarangannya yang besar
itu tertutup dalam kegelapan. Penjaga rumah, pelayan
semuanya pada bersembunyi, karena tahu ada persoalan yang
luar biasa terjadi dalam rumah itu. Pelitapun tidak dinyalakan.
Ketika malam makin gelap, suara tawanya itu semakin
menakutkan orang. Bahkan Lauw Thian Hauw sendiripun
merasa tidak sedap mendengar suara tawanya sendiri. Namun
dalam keadaan begini, memang ia membutuhkan sedikit suara
untuk memberanikan dirinya. Maka ia terus tertawa tak hentihentinya,
terus hingga ketika ada sebuah suara "plak" dari
sudut ruang besar di belakangnya berbunyi.
Lauw Thian Hauw adalah seorang jago silat yang memiliki
Lwe kang yang sangat tinggi, walaupun pada waktu itu
hatinya sedang kacau balau, bahkan tertawa terbahak-bahak,
namun suara "plak" itu segera masuk ke dalam telinganya.
Suara tawanya segera berhenti dan membalikkan tubuhnya,
berteriak panjang dan kedua tangannya segera memukul
keluar, tenaga kedua tangannya itu dahsyat sekali. Itulah
tenaga Lwe kang-nya yang telah mencapai ketingkat enam,
yang bergulung-gulung bagai ombak menampar pantai.
Tenaganya kuat bukan kepalang tanggung, dalam sekejap
saja terdengar suara meja kursi berantakan karena tersapu
oleh tenaga tangannya. Ditengah-tengah suara berantakan itu
terselip sebuah suara megap dari seseorang lalu suara
gedebuk yang nyaring sekali bagaikan ada sebuah benda
besar yang menghantam tembok. Kemudian suara tenaga Lwe
kang Lauw Thian Hauw yang menyambar-nyambar ke depan,
ketika tenaga tangannya telah buyar, lalu ruangan itu menjadi
sunyi kembali. Ketika itu ruang besar telah menjadi gelap gulita, tidak
tampak apa-apa. Lauw Thian Hauw memukul setelah
mendengar suara "plak" tadi, dan setelah pukulannya itu,
samar-samar ia mendengar suar megap. Tetapi kini, ia sendiri
tidak tahu siapa yang telah dipukulnya itu, hanya berdiri dalam
kegelapan. Berselang sesaat, tiba-tiba ia mendengar suara
kerisik dari depannya, seperti ada sesuatu yang jatuh di atas
tanah. Padahalsuara itu tidak begitu nyaring, tapi didengar dalam
keadaaan sunyi itu, membuat orang merasa ngeri dan
mendirikan bulu roma. Lauw Thian Hauw tak tertahankan lagi
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi gemetar, lalu dikeluarkannya sebuah penyulut api.
Karena tangannya pun gemetaran, maka penyulut itu
disulutnya berkali-kali baru bisa nyala. Begitu api menyala,
Lauw Thian Hauw memandang ke depan. Sekejap saja seakan
tulang punggungnya dicerai orang dan disiram dengan air es,
sekujur tubuhnya menjadi dingin.
Di hadapannya itulah terdapat sebuah bayangan darah.
Sebuah bayangan darah yang menyala.
Tubuh Lauw Thian Hauw malah tidak gemetar lagi, karena
ia tidak bertenaga lagi untuk gemetar, tubuhnya telah menjadi
kaku. Sebuah bayangan darah! Ya, sebuah bayangan darah
lagi telah muncul di hadapannya. ITu sebuah bayangan darah
yang benar-benar, darah segarnya masih menetes-netes ke
bawah. Ya, sebuah bayangan darah! Tenggorokan Lauw Thian
Hauw seakan ada api membara, matanya memandang ke
depan dalam-dalam, terus hingga penyulut api itu telah
membakar tangannya baru ia tersentak, lalu cahaya api itu
padam. Tenggorokan Lauw Thian Hauw berbunyi kerokokan. Dalam
kegelapan seakan ia mempunyai perlindungan, tetapi
kenyataannya ia lebih merasa kosong dan ngeri lagi. Dengan
terhuyung-huyung ia mundur beberapa tindak, lalu katanya
dengan susah payah : "Ba... baiklah... apakah kau... mencari
aku?" Ucapannya itu menimbulkan gema dalam ruangan yang
sunyi. Dalam kebingungan, Lauw Thian Hauw merasa ada
orang yang menyahutnya, lalu katanya lagi : "Waktu itu... aku
tidak berbuat kejahatan apa-apa, aku cuma... pergi begitu
saja. Padahal kejadian itu telah lewat begitu lama, apakah...
kau tidak mau memaafkan aku?"
Setelah melihat bayangan darah di tembok, hati Lauw
Thian Hauw hanya merasa takut. Tapi setelah ia bicara, ia
menjadi marah, karena ia tahu bahwa kejahatan yang dibuat
Lauw Hung dan Lauw Nen jauh lebih banyak dan jauh lebih
berat daripadanya, kenapa justeru So Beng Hiat In datang
mencarinya" Maka ia menjadi nekad : "Baiklah, ayo kemari,
aku akan adu nyawa dengan kau!"
Lauw Thian Hauw berdiri di kegelapan menunggu serangan
So Beng Hiat In, tetapi berselang sesaat, sekelilingnya masih
tetap sunyi, tidak ada suara apa-apa. Lauw Thian Hauw
adalah seorang jago silat yang telah kenyang makan asam
garamnya dunia persilatan,maka kini hatinya menjadi tenang
kembali, dan mulai berpikir lagi. Ia mengumpat dalam hatinya,
kedatangan bayangan darah itu sangat mencurigakan, justeru
pada waktu di belakangku ada sesuatu, bayangan darah itu
baru muncul, So Beng Hiat In telah muncul sekali di tembok
rumahku, biasanya tidak mungkin timbul lagi. Seandainya
sampai terjadi kedua kalinya, itu berarti orang rumahku paling
tidak harus mati dua orang.
Lauw Thian Hauw berpikir sambil menyalakan kembali
penyulut apinya, dan memandang ke depan tajam-tajam,
bayangan darah itu masih tetap sangat mengerikan. Tetapi
kali ini, kecuali bayangan darah di tembok itu, ia melihat pula
pakaian orang yang berlumuran darah di kaki tembok.
Walaupun pakaian itu penuh berlumuran darah, tetapi masih
dapat dikenalinya. Rupanya pakaian itu adalah pakaian orang
rumahnya. Lauw Thian Hauw tertegun sejenak, lalu melangkah
menghampiri tembok itu. Kini ia baru mengerti asal mulanya
bayangan darah itu. Tiba-tiba ia dapat menghela napas lega.
Dikebutnya lengan jubahnya yang kanan, dan timbul sebuah
angin yang dahsyat menyambar tembok itu. Lalu bayangan
darah itu tiba-tiba lenyap, tapi batu-batu temboknya
berterbangan dan terlihatlah sebuah lubang besar yang
berbentuk manusia. Rupanya ketika Lauw Thian Hauw mendengar suara "plak"
dari belakangnya, ada seorang pelayang yang masuk ke dalam
ruang besar. Apa maksud kedatangan pelayan itu tentu saja
tidak ada orang yang tahu, sedangkan syaraf Lauw Thian
Hauw berada dalam puncak ketegangannya, maka begitu
mendengar ada suara, segera ia memukul dengan kedua
tanganya. Coba bayangkan betapa lihainya tenaga Lwe kangnya.
Taruhlah pelayan itu agak mengerti sedikit ilmu silat,
mana mungkin ia bisa menahannya. Begitu kena dipukul,
pelayan itu megap, dan meninggal seketika, sedangkan
mayatnya terbang ke tembok karena pukula Lwe kang Lauw
Thian Hauw. Tenaga pukulannya itu besar tidak kepalang tanggung,
hingga membuat mayat pelayan itu menjadi segumpal darah
dan menancap ke dalam tembok. Dan sesungguhnya
tembokitu telah menjadi bolong, hanya karena Lwe kang Lauw
Thian Hauw sangat sempurna, maka batu-batu tembok yang
telah hancur itu tidak segera berantakan dan meninggalkan
sebuah bayangan darah di tembok itu. Sedangkan pakaian
pelayan itu tidak dapat lekat di tembok, maka terjatuh di kaki
tembok. Pelayan itu meninggal dengan sangat mengerikan sekali.
Hal ini sudah cukup menggemparkan, tetapi sejak membunuh
Kauw Bwe Liong Yen Ling, hati Lauw Thian Hauw telah agak
gila. Baru seorang pelayan mati, jangan saja sampai So Beng
Hiat In datang mencarinya. Ia takkan perduli. Tapi sungguh ia
telah ketakutan bukan kepalang tanggung, kini baru ia dapat
menghela napas lega. Dilemparnya penyulut api, dan berkata
sendiri : "Takut apa, he, apa yang ditakuti!"
Ia berkata pada dirinya sendiri untuk memberanikan
dirinya, tapi tiba-tiba ada orang yang menyahut dari
belakangnya : "Kalau tidak taku, kenapa kau gemetaran?"
Mendengar suara itu, segera Lauw Thian Hauw
membalikkan tubuhnya dan memukul. Padahal suara itu hanya
beberapa kata saja, tenaga dahsyatnya telah dipukulnya ke
depan, tetapi perkataan yang seram itu masih terucapkan
sampai selesai. Tenaga pukulannya menyerang ke depan,
terdengarlah suara gemuruh, daun pintu ruang besar telah
rontok. Dalam kegelapan, belum tampak ada manusia. Lauw
Thian Hauw baru saja bebas dari perasaan ketakutan yang
sangat mendalam, tapi kini telah berada kembali ke dalam
keadaan sangat ketakutan. Tubuhnya melesat, menghampiri
sebuah tiang besar, berdiri lalu bersandar pada tiang besar itu.
Kemudian katanya : "Siapa" Siapa?"
Suara yang menyeramkan itu berkumandang lagi dari atas
kepalanya : "Kalau memang tidak taku, siapa juga tidak
takut!" Tiba-tiba kedua tangan Lauw Thian Hauw memukul lagi ke
atas, tenaganya lebih dahsyat lagi. Dua batang kaso sebesar
paha telah putus dengan segera dan genteng berjatuhan, atap
rumah itu telah berlobang besar.
Setelah atap rumah itu bolong, cahaya bulan dan bintang
masuk ke dalam ruang. Dalam kegelapan, Lauw Thian Hauw
merasa takut. Tetapi kini, setelahada cahaya masuk, hatinya
menjadi lebih tidak tenang lagi. Dalam kegelapan, ia tidak
tahu kapan musuhnya akan datang, dan tidak dapat melihat
musuhnya, tapi paling tidak musuhnapun tidak dapat melihat
dirinya, ia masih bersembunyi. Tetapi kini ada cahaya, ia tidak
dapat lagi bersembuni. Hatinya berdetak, tubuhnya melesat,
dengan segera dan cepat ia mundur ke pojok ruang yang
paling gelap. Setelah Lauw Thian Hauw bersembunyi, hatinya menjadi
agak tenang. Buru-buru ia perluas pandangannya memandang
sekeliling, ingin mempelajari siapa gerangan
mengumandangkan suara, yang sangat seram dari kegelapan
tadi. Ketika ia memandang ke sekeliling dengan hati was-was,
terasa sseakan dirinya seperti seekor tikus. Sebetulnya,
barang siapa yang menyatroni rumah Lauw Thian Hauw, yang
kaget seharusnya orang yang tidak dikenal itu sendiri. Namun
kini, karena ia telah membuat suatu kejahatan, malah ia yang
lebih kaget daripada orang itu. Bahkan tidak berani melihat
cahaya, dan bersembunyi dalam kegelapan, memandang ke
sekeliling dengan ketakutan.
Berpikir sampai disini, Lauw Thian Hauw hampir tak dapat
menahandirinya untuk tertawa.Tetapi pada saat inilah,suara
yang menyeramkan itu berkumandang lagi. Kali ini suara itu
masih tetap datang dari arah atas : "Kau telah bersembunyi"
He He, meskipun kau naik ke langit atau masuk ke dalam
tanah, kau takkan dapat bersembunyi. He he, he he!"
Bulu roma Lauw Thian Hauw dibuat berdiri oleh suara tawa
dingin itu, segera ia menarik napas dan membentak : "Siapa
kau?" Suara bentakan itu sangat menakutkan orang, dan terus
berkumandang keluar, hingga getarannya menjatuhkan lagi
beberapa genteng. Tetapi setelah bentakannya itu berlalu, suasana menjadi
sunyi lagi.Tak ada orang yang menyahut.
Lauw Thian Hauw menghibur diri sendiri. Ia berpikir dalam
hatinya, orang itu pasti telah kabur mendengar bentakan ku
tadi, kalau orang itu dapat digertak, tentu saja bukan So Beng
Hiat In. Kalau bukan So Beng Hiat In, buat apa aku merasa
takut, ai, tampaknya aku tidak boleh bersembunyi disini terus,
lebih baik cepat-cepat pergi ke Yen ka cung.
Meskipun Lauw Thian Hauw tidak becus, tapi ia tetap
adalah orang kang ouw. Ia dapat memegang harta bendanya,
dapat pula melepaskannya begitu teringat hanya di Yen ka
cung lah ia baru dapat menggunakan tenanga Sang Bun Pang
untuk melawan So Beng Hiat In. maka ia tidak ragu-ragu lagi,
tubuhnya melesat dan telah keluar dari ruang besar, ia lari
sambil mengangkat tubuhnya, melayang dari atas tembok
rumahnya. Ketika tubuhnya turun lagi, suara keresek yang lemah
sekali. Suara itu boleh dikatakan paling lemah, tetapi betapa
pekanya pendengaran Lauw Thian Hauw, ia telah dapat
mendengarnya. Segera ia membalikkan tangannnya menyapu
ke belakang. Tangannya menyaput-nyapu, tubuhnya baru
berbalik, gerakannya boleh dikatannya cepat sekali,namun
orang yang mengikutinya lebih cepat lagi. Ketika ia membalikbalikkan
tubuhnya, hanya terlihat bayangan orang
berkelebatan, orang itu tealh berada di sebelah kirinya.
Kemudian dari belakangnya terdengar lagi suara tertawa
dingin : "he". Dalam waktu sependek itu, orang itu telah
melesat dari sampingnya yang membuat setengah lingkaran,
sampai di belakangnya. Dapat dibayangkan betapa tingginya
ilmu mengentengkan tubuh orang itu.
Lauw Thian Hauw sangat terperanjat, dikebaskan tangan
kirinya, menyapu ke belakang. Ketika pukulan tangan
keduanya memuntahkan tenaga dahsyat menyapu ke
belakang, tenaga pukulan pertamanya baru sampai ke pintu.
Lalu terdengar suara benda berantakan. Dan Lauw Thian
Hauw tidak ada waktu untuk melihat, apakah pintu rumahnya
telah hancur atau tidak. Segera ia membalikkan tubuhnya lagi,
dan ketika ia membalik, dilihatnya bayangan orang itu
berkelebat dan telah sampai di belakangnya lagi. Ketika ia
tertegun, pukulan tangan keduanya telah sampai ke belakang
pohon besar, hingga membuat cabang-cabang dan daun-daun
pada rontok berjatuhan dan menderu-deru melayang keempat
penjuru. Lauw Thian Hauw telah memukul berkali-kali, meskipun
gerakannya cepat sekali, namun orang itu masih saja
berkelebatan. Kecepatannya adalah suatu barang aneh yang
belum pernah disaksikannya sebelumnya. Lauw Thian Hauw
tertegun sejenak, lalu mengangkat tubuhnya melayang ke
depan. Sekali angkat telah berada sejauh tujuh delapan
tombak. Beruntun ia melayang-layang belasan kali, dan telah
berada di depan sebuah batang kayu yang besar lalu
menyandarkan tubuhnya di pohon itu memandang ke depan,
Tapi di depannya kosong melompong, tidak ada orang.
Napasnya terengos-engos, tadi ia mengumpat dalam hatinya,
tubuhnya melayang-layang belasan kali, kecepatannya tinggi
sekali, rupanya aku telah terhindar dari kejaran orang itu.
Demi waspada, ia berdiam sejenak, setelah merasa tidak ada
apa-apa baru ia menggerakkan tubuhnya meninggalkan pohon
itu. Tapi ia masih tetap waspada, kalau-kalau ada perobahan
apa-apa, maka tubuhnya berputar sekali, menunduk membuat
suatu kuda-kuda 'hung hung' ia telah memukul empat kali.
Tetap tidak ada reaksi setelah pukulannya keempat kali itu,
baru ia melangkah maju. Ketika ia mulai melangkah, cahaya
rembulan sangat tenang. Tetapi setelah lari sejauh sepuluh li,
awan hitam bergulungan menutupi bulan, membuat bumi
menjadi gelap gulita. Sepanjang jalan, hatiLTH terus berpikir,
siapa gerangan orang yang mengumandangkan suara seram
dan mengawasi diriku, tetapi memiliki ilmu mengentengkan
tubuh yang sangat sempurna itu. Ia teringat pula, setelah
sampai di Yen ka cung, walaupun dapat menggunakan Sang
Bun Pang, tapi orang-orang Sang Bun Pang dari atas sampai
ke bawah telah semuanya membenci diriku, aku harus
menghadapinya dengan hati-hati. Bersamaan dengan itu, ia
pun harus mendengar dengan seksama keadaan di
belakangnya, ia terus berlari dalam keadaan begitu. Di
kejauhan samar-samar telah tampak ada pelita yang sedang
berkedipan. Lauw Thian Hauw bukan pertama kali datang ke Yen ka
cung, tentu sja ia tahu tempat api pelita itu adalah Yen ka
cung. Kini malam telah kelam seskali, di Yen ka cung masih
ada lampu yang menyala. Ini adalah di luar dugaan Lauw
Thian Hauw. Ia agak ragu-ragu, lalu terus lari ke depan.
Sekejap saja ia telah dapat melihat di pintu gerbang Yen ka
cung tergangung empat buah teng long besar. Dasarnya putih
bertulisan biru, dari kiri ke kanan adalah empat huruf 'Thian
San Eng Chai' (dunia kehilangan seorang jago) itu adalah teng
long kematian, di depan pintu gerbang itu berjejer berdiri
delapan orang penjaga. *** SEPULUH Dalam pintu gerbang, setiap tiga tombak ada empat orang
lelaki penjaga berdiri dengan tegapnya. Di ruang dalam yang
besar terang benderang, sayup-sayup terdengar suara
tangisan. Lauw Thian Hauw sampai di pintu gerbang,
kedelapan orang penjaga tadi berpencar menjadi dua baris,
satu sebelah kanan dan satu sebelah kiri, menyambut
kedatangan Lauw Thian Hauw. Di pundak kedelapan orang
itu, semuanya digantungi selendang yang terbuat dari karung
goni, sekali pandang saja telah tahu itu adalah pakaian orang
Sang Bun Pang. Setelah berhadapan, mau tidak mau Lauw
Thian Hauw harus melenyapkan rasa takut dalam hatinya.
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masih berjarak empat lima tombak dari pintu gerbang,
langkahnya diperlambat. Ia maju setindak dengan tegap, tak
lama kemudian sampailah ia ke hadapan kedelapan orang itu.
Salah satu dari kedelapan orang itu bertanya : "Siapa nama
tuan, supaya kami dapat melapor."
Lauw Thian Hauw tertawa dingin : "Ah ini mah agak lucu,
aku sering datang ke Yen ka cung, tapi kini, aku harus ditanya
oleh orang Sang Bun Pang. Ini aturan apa" Apakah setelah
Yen cung cu meninggal, seluruh pekarangan besar Yen ini
telah menjadi milik Sang Bun
Pang?" Kedelapan orang itu saling berpandangan. Lauw Thian
Hauw mengira mereka pasti akan bertindak, tapi di luar
dugaannya, kedelapan orang tidak berkata apa-apa, lalu
mundur serentak. Bersamaan dengan itu, ada dua orang
melangkah maju menghampiri Lauw Thian Hauw. Kedua
orang itu pernah berantem dengan Lauw Thian Hauw, maka
mereka dapat saling mengenali masing-masing. Lauw Thian
Hauw tertawa dingin : "Rupanya Yen ka cung telah menjadi
milik Sang Bun Pang. Ini adalah suatu berita ajaib dari
kalangan Bu lim." Orang itu pun tertawa dingin : "Tidak salah, orang Sang
Bun Pang dari atas sampai ke bawah, semuanya berada di Yen
ka cung. Tetapi kedatangan orang-orang Sang Bun Pang
kemari adalah untuk menuntut balas atas kematian Yen ka
cung, semoga Lauw Toa hiap tidak salah sangka."
Lauw Thian Hauw tertawa dingin berkepanjangan : "Aneh,
orang-orang Sang Bun Pang suka berdiam di Yen ka cung,
kenapa pula mesti salah sangka. Ucapan kamu itu agak aneh."
Kedua orang itu tidak berkata apa-apa lagi, lalu
membalikkan tubuh mereka sambil berkata : "Silahkan Lauw
toa hiap masuk bersama kami."
Lauw Thian Hauw mengikuti kedua orang itu melangkah
masuk. Dalam rumah Yen itu, ia melihat penjagaan orangorang
Sang Bun Pang sangat ketat, kalau ingin menggunakan
tenaga Sang Bun Pang untuk melawan So Beng Hiat In tentu
saja mengharapkan penjagaan yang semakin ketat semakin
baik. Dalam keadaan demikian, andaikata So Beng Hiat In
datang, tentu segera ia akan tahu. Pada waktu itu, kalau bisa
dilawan ya lawan, kalau tidak bisa dilawan, pun masih dapat
kabur lagi pula. Mendengar ucapan kedua orang tadi, rupanya
ketua Sang Bun Pang pun berada disini juga, paling tidak ia
merasa aman untuk beberapa hari. Maka hatinya pun menjadi
agak tenang, langkahnya menjadi tegap.
Peti mati Yen Ling diletakkan di tengah-tengah ruang besar
itu. Lilin dan hio dinyalakan, sampai di depan peti mati Lauw
Thian Hauw memberi soja : "Yen Ling, kau mati penasaran,
tapi aku tidak merasa berbuat salah. Meskipun dengan
demikian menggemparkan dunia kang ouw, tapi kematianmu
akan menjadi terang."
Suaranya sangat lantang, membela dirinya sendiri. Jagojago
silat dari Sang Bun Pang pada berdiri di samping dengan
muka yang masam, semuanya pada membisu. Setelah
ucapannya habis, ia membalikkan tubuhnya dan berkata :
"Dimana ketua kamu, semoga aku dapat bertemu
dengannya." Kedua orang mengajak Lauw Thian Hauw masuk tadi
berkata dingin : "Pang cu sedang ada urusan, silahkan Lauw
toa hiap beristirahat dulu."
Lauw Thian Hauw berpura-pura marah : "Apa maksud
ucapanmu ini" Aku datang sendiri, apakah kau mengira aku
mau kabur?" Kedua orang itu saling pandang, lalu berkata dengan nada
berat : "Lauw toa hiap, untuk mencegah kejadian yang tidak
diingini terpaksa harus diatur demikian. Paling lama setengah
bulan, jago-jago dari berbagai aliran akan tiba semuanya.
Pada waktu itu tentu akan ada kejadian, nanti ternyata kalau
Sang Bun Pang yang bersalah, kami rela menerima hukuman!"
Lauw Thian Hauw berkata sambil tertawa dingin : "Ksatria
memang pemberani, aku tidak pernah berbuat kejahatan, apa
yang aku takuti?" "Memang demikian yang paling baik! Silahkan! kata
mereka berdua. Mereka membawa Lauw Thian Hauw ke tengah-tengah
pekarangan kecil, di sepanjang jalan Lauw Thian Hauw telah
merasakan ada orang-orang yang bersembunyi di sekeliling
pekarangan kecil itu. Setelah memasuki pekarangan, ada dua orang yang
berdandan seperti pelayan menghampiri. Meskipun kedua
orang itu berdandan seperti pelayan, tapi sekali lihat saja
Lauw Thian Hauw tahu bahwa kedua orang itu adalah jago
silat yang mempunyai kepandaian tinggi baik gwa kang
maupun Lwe kang. Dalam hati Lauw Thian Hauw merasa geli,
ia berpura-pura tidak tahu, dibiarkannya saja kedua orang itu
melayaninya. Ia berpikir dalam hatinya : "So Beng Hiat In
muncul, dalam tujuh hari pasti ada akibatnya. Kini satu hari
boleh dikatakan sudah lewat, masih enam hari lagi; aku akan
dapat berdiam disini, semoga saja orang-orang Sang Bun
Pang dapat melawan So Beng Hiat In. Hal ini tentu saja
sangat baik, kalau tidak, biarlah menggunakan tangan So
Beng Hiat In untuk melenyapkan orang-orang Sang Bun Pang,
hal inipun sangat baik. Aku cuma harus waspada saja, itu
tidak akan menjadi soal. Lauw Thian Hauw boleh dikatakan telah berdiam dengan
tenang di pekarangan Yen ka cung untuk sementara, tetapi
anak-anaknya, yang satu lelaki dan yang satu perempuan,
keduanya masih dak dik duk, tidak bisa bertenang. Ketika
Lauw Jok Hong dibawa oleh Tan Heng, Lauw Nen, Lauw Hung
dan Thian Auw Siang Jin, semuanya ada bersama Lauw Thian
Hauw. Ketika Lauw Thian Hauw sedang berantem dengan
orang-orang Sang Bun Pang, tidak ada orang lainnya lagi.
Rupanya setelah Lauw Jok Hong dibawa pergi, kejadian itu
ada perobahan sedikit. Lauw Jok Hong dibawa Tan Heng dengan ilmu
mengentengkan tubuh 'In Pan Ban Li'. Lauw Thian Hauw tidak
dapat mengubernya, tentu saja hatinya merasa gelisah. Ketika
ia berbalik, Lauw Hwie pun telah lenyap, hingga membuatnya
tidak tahu harus berbuat apa. Dan pada saat inilah, Thian Auw
Siang Jin berkata : "Lauw toa hiap, kedua orang itu memang
harus mati, menurut aku, kau tidak perlu pergi mencari
mereka lagi!" Tubuh Lauw Thian Hauw agak gemetar. "Siang Jin, kenapa
kau harus berkata begitu" Pada waktu itu kalau Pek Touw Cit
Ji tidak berbuat kejahatan, mana mungkin So Beng Hiat In
muncul?"?" Ucapan Lauw Thian Hauw belum habis, tiba-tiba Thian
Auw Siang Jin telah berteriak keras. Rupanya ucapan Lauw
Thian Hauw itu telah menyakiti hatinya, maka teriakannya itu
bagai raungan seekor hewan, sangat tidak enak didengar, dan
telah memutuskan ucapan Lauw Thian Hauw.
Thian Auw Siang Jin berteriak berkali-kali, lalu berhenti.
Pandangannya yang sangat buas itu, hingga membuat hati
jago silat seperti Lauw Thian Hauw menjadi menggigil. Sesaat
kemudian, Thian Auw Siang Jin baru berkata : "Aku sudah
tahu, orang serumahmu, setiap orang mempunyai cukup
alasan untuk mengundang So Beng Hiat In."
Begitu ucapan Thian Auw Siang Jin terlepas, Lauw Hung
dan Lauw Nen pada menengadahkan kepala mereka
memandang Lauw Thian Hauw. Karena setelah kejadian itu,
mereka tidak tahu apa yang pernah dilakukan oleh Lauw Thian
Hauw. Ketika Lauw Thian Hauw melihat anaknya memandang
ke arahnya dengan pandangan curiga, hatinya menjadi lebih
gelisah lagi. Kalau ia tidak gusar, sama saja ia telah mengakui
kejahatannya. Hati Lauw Thian Hauw menjadi gusar, mukanya berubah.
Dan lagi di bawah pandangan mata Lauw Hung dan Lauw Nen
semakin ia berusaha berlagak langgeng, semakin menjadi
kaku. Lauw Nen tidak berkata apa-apa, tapi Lauw Hung yang
bertanya : "Thia, kau pun ada urusan?"
Lauw Thian Hauw membentak : "Bohong, aku ada urusan
apa?" Ia berusaha mewajarkan suaranya, tetapi kenyataannya
suaranya sangat kering dan parau, seakan menjerit minta
diampuni. Mana sama dengan bentakan yang berwibawa" Ia
tidak membuka suara tidak apa-apa, setelah ia bersuara, Lauw
Nen pun menjerit "ya" dan tubuhnya tak tertahan lagi mundur
beberapa tindak. Teriak Lauw Thian Hauw : "Nen ji, berhenti!"
Semakin Lauw Thian Hauw berteriak, Lauw Nen berlari
semakin cepat. Kata "berhenti" Lauw Thian Hauw baru habis,
tubuh Lauw Nen telah berbalik lalu berlari-lari sambil menoleh
berteriak : "Toa ci, So Beng Hiat In bukan datang mencari
kita, kau masih tidak mau pergi?"
Ilmu mengentengkan tubuh Lauw Nen tidak begitu bagus,
tetapi kini larinya cepat sekali bagaikan segumpal asap,
sekejap saja telah lenyap.
Diteriaki oleh Lauw Nen begitu, muka Lauw Hung pun
berubah. Ia menggerakkan tubuhnya, mundur dua tindak. Hati
Lauw Thian Hauw lebih gusar lagi, teriaknya : "Hung ji!"
Harus diketahui, setelah Lauw Jok Hong diculik orang,
Lauw Hwie dan Lauw Nen berturut-turut pergi. Pukulan itu
sangat dahsyat baginya, tetapi ia masih dapat menahannya.
Hanya pada saat inilah, ketika ia melihat Lauw Hung pun
ingin pergi, ia tidak dapat lagi menahannya. Karena Lauw
Hung anak pertamanya, yang sangat disayanginya. Andaikata
Lauw Hung pun pergi meniggalkannya, sungguh ia tak dapat
menahan pukulan ini. Maka setelah ia berteriak, bukan saja mukanya berobah,
bahkan tubuhnya pun turut menggigil. Ia berteriak, Lauw
Hung mundur lagi dua tindak seraya berkata : "Thia,
kebencian ada pangkalnya, hutang ada penagihnya. Kalau So
Beng Hiat In datang mencari kau, tentu saja... aku... aku tidak
bisa berdiam lebih lama lagi disini."
Lauw Thian Hauw berkata dengan napas terengos-engos :
"A Hung, kau dengar kata-kataku. Aku... tidak ada persoalan
apa-apa, So Beng Hiat In... "
Ketika ia berkata sampai disini, Lauw Hung telah mundur
sejauh dua tombak, dan pada saat ini Lauw Thian Hauw
berkata pada Lauw Hung seakan minta dikasihani : "A Hung,
mereka telah pergi semuanya, kau musti harus berada di
sampingku, kau adalah anak yang paling ku sayangi, kau... ah,
kau... " Sampai disini, Lauw Thian Hauw terasa matanya menjadi
gelap berkunang-kunang, ia tidak berdiri dengan teguh. Ia
terhuyung tiga tindak, pundaknya menubruk sebatang pohon,
"bruk" pohon itu telah patah.
Tubrukan itu membuat Lauw Thian Hauw menjadi lebih
sadar, ia memandang ke depan tajam-tajam. Tadi karena ia
bicara dengan nada yang hampir diminta dikasihani,
sedangkan Lauw Hung terus mundur maka matanya menjadi
gelap berkunang-kunang. Tetapi kini ketika ia sadar
memandang ke depan, Lauw Hung pun telah lenyap. Dalam
sekejap saja itu, Lauw Thian Hauw terasa seakan tubuhnya
kosong hampa, ia seakan merasa tidak dapat lagi untuk berdiri
teguh, tetapi seakan melambung tinggi mengawang-awang.
Lauw Thian Hauw membuka mulut ingin berteriak "A Hung"
tetapi bahkan bayangan Lauw Hung pun tidak tampak lagi.
Tarohlah ia menjerit memecahkan tenggorokannya, apa pula
gunanya" Ia mencekal erat-erat pohon yang telah buntung,
dan berdiri begitu saja, terus sampai ketika Thian Auw Siang
Jin tertawa terkikik-kikik, baru ia terhenyak : "Apa yang kau
tertawakan?" Thian Auw Siang Jin tertawa sambil berkata : "Aku merasa
geli, keempat anak-anakmu telah pergi meninggalkan kau.
Hatimu tentu sangat sedih bukan?"
Perkataan Thian Auw Siang Jin itu bagai sebilah belati
menusuk ulu hati. Lauw Thian Hauw menjadi pingsan, Thian
Auw Siang Jin tertawa lagi : "Lauw toa hiap, kau pun
berpandangan sempit. Memelihara dan membesarkan anak,
tentu saja mereka akan pergi semuanya, soalnya cuma cepat
atau lambat saja, buat apa kau sesedih itu" Ha ha ha ha, ha
ha." Ia tertawa seraya mementilkan Kim besinya dan
mengumandangkan suara "cring cring" dalam suara tawa dan
suara Kim itu. Ia membalikkan tubuhnya melangkah ke depan,
hanya Lauw Thian Hauw tertinggal seorang, yang masih tetap
berdiri mematung. Berselang sesaat baru ia menggerakkan
tubuhnya memandang pohon yang patah dan tembok yang
runtuh, berikut pintu yang sunyi senyap. Sungguh ia tidak
dapat percaya, pintu yang pernah ramai itu, dalam satu hari
saja telah dapat berobah sedemikian rupa, lebih-lebih ia tidak
percaya anak-anaknya bisa meninggalkannya satu persatu.
Ia terpaku disana lama sekali, baru ia mendengar dari
belakangnya ada suara langkah kaki yang gaduh. Pertama ia
mendengar suara langkah itu, ia masih mengira Lauw Hung
dan Lauw Nen berdua telah kembali. Tak tertahan lagi ia
menoleh, namun yang datang adalah jago dari Sang Bun
Pang. Waktu itu kemarahan dalam hati Lauw Thian Hauw
telah memuncak, taruhlah tidak ada orang yang datang ia pun
akan melampiaskan amarahnya pada batang pohon atau
tembok secara membabi buta, maka begitu orang Sang Bun
Pang datang, ia lantas menerjang. Kedua belah pihak belum
sempat bicara, langsung berhantam. Sambil berhantam, hati
Lauw Thian Hauw semakin tenang. Ia berpikir kalau
berhantam begini terus, ini pun bukan suatu cara baik. Ketika
itulah Thio Hua pun tiba.
Kemudian Thio Hua melihat keadaannya kurang beres lalu
pergi. Ketika Lauw Thian Hauw tinggal sendirian, ia baru
merasa takut akan kedatangan So Beng Hiat In, maka
akhirnya biar di tengah malampun ia langsung menuju ke Yen
ka cung. Kita ceritakan saja Lauw Nen yang pergi duluan. Ia berlari
sejauh belasan li, ia sendiri pun tidak tahu dari mana
datangnya tenaga itu, hingga ia dapat berlari dengan cepat
sekali tanpa berhenti. Ketika ia tidak dapat lagi mengangkat
kakinya dan terjatuh ke tanah, ia bangun kembali dan berlari
lagi sampai akhirnya ia betul-betul tidak dapat bergerak lagi,
baru rebah di atas tanah, napasnya terengos-engos. Waktu
itu, meskipun pakaiannya telah basah kuyup tetapi hatinya
sangat lega, karena ia telah kabur dan dapat mengelak dari
kedatangan So Beng Hiat In yang minta nyawa itu.
Ia menoleh ke belakang, tidak ada yang mengubernya. Ia
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin meninggalkan tembok yang bergambar So Beng Hiat In
itu, semakin jauh semakin baik.
Dan tibalah ia di sebuah kota kecil, lalu dibelinya seekor
kuda dan dipacunya kuda itu terus menerus siang malam tak
henti-hentinya dua tiga hari ini. Kudanya telah mati berekorekor
dan ia telah berada sejauh enam tujuh ratus li dari
rumahnya. Dalam dua tiga hari ini, setiap saat ia masih mengkuatirkan
kedatangan So Beng Hiat In, karena siapa yang dicari oleh So
Beng Hiat In itu, ia sendiripun tidak dapat memastikannya.
Tetapi ia tahu kelakuannya sendiri sudah cukup untuk
mengundang So Beng Hiat In, maka hatinya masih tetap
merasa takut. Namun tiga telah berlalu, tetap tidak ada kejadian apa-apa,
tak tertahan lagi hatinya merasa lega. Ia masih terus
melanjutkan perjalanannya, terus sehingga ia terpaksa
menghentikan kudanya. Itu disebabkan karena di depannya
telah terbentang sebuah sungai yang lebar.
Dalam tiga hari ini, Lauw Nen memacu kudanya siang
malam, bahkan tidak berhenti barang sedikitpun, ketemu kota
kecil paling-paling ia membeli bekal lalu menunggang kudanya
lagi. Ia hanya mengharapkan pergi dari rumah, semakin jauh
semakin baik dan tidak perduli kemana tujuannya. Sampai
saat ini, setelah berada di tepi sungai, dihentikan kudanya,
dan memandang ke depan serta merta hatinya berdetak, lalu
menjerit dalam hatinya "ah" tanpa setahuku, kenapa aku
sudah sampai ke tempat ini, tempat musuhku" Itulah Yangtze
kiang, permukaan sungai yang lebar, airnya yang deras; tidak
salah lagi inilah Yangtze kiang.
Lauw Nen tahu ia telah berada di tepi sungai Yangtze, dan
hatinya menjadi sangat terperanjat. Semenjak ia bekerja sama
dengan Ching Li Pang merampok di tengah-tengah sungai
kereta barang yang dikawal oleh Go Eng Kiat dan adik Go So
Lan, dan telah mencelakai kedua kakak beradik itu, setelah
kejadian itu setiap ada orang menyebut nama sungai Yangtze,
hatinya bergoncang berdetak-detak memukul rongga dadanya
dan tentu saja ia takkan mau datang ke sungai Yangtze lagi,
tapi kini, tanpa sesadarnya, ia telah berada di tepi sungai
Yangtze. Terasa hatinya berdebar-debar, dan segera teringat : "Aku
telah berada disini tanpa sesadar ku, apakah ini suatu alamat
buruk" Tetapi segera pula ia memberanikan dirinya sendiri.
Tidak, hal itu tidak ada yang tahu, kalau ada yang tahu tentu
aku sudah dicari ke rumahku, mana mungkin bisa sampai
sekarang" Berpikir sampai disini, hatinya lebih bernyali,
digerakkannya kudanya lagi menyusuri tepi sungai.
Tak lama kemudian, ia telah melihat ada tempat
penyeberang di depannya. Dari jauh ia melihat disana ada
tujuh delapan orang yang sedang menuntun kuda menaiki
kapal penyeberangan yang besar, sekali lihat saja ia tahu
orang-orang itu adalah ahli silat.
Melihat ada orang, hati Lauw Nen menjadi ragu-ragu, tidak
ingin maju, tapi kini ia telah dekat sekali dengan tempat itu
dan orang-orang itu telah melihat dirinya.
Lalu terdengar teriakan salah satu di antara mereka : "Eh,
bukankah ini Lauw kong cu?"
Lauw Nen tertegun, orang yang bersuara itu tadinya telah
berada di atas kapal, tapi kini ia berteriak sambil melompat
kembali ke tepi sungai. Gerakannya cepat sekali, dalam
sekejap saja telah mendekati Lauw Nen. Agaknya Lauw Nen
kenal dengan wajah itu, tetapi untuk sesaat ia tidak ingat
siapakah gerangan orang ini. Tadinya dengan hati yang
berdebar-debar : "Si... siapa... tuan?"
Hatinya bingung, katanya terputus-putus.
"Tentu saja Lauw kong cu tidak ingat lagi kepadaku.
Setahun yang lalu saya pernah berkunjung ke rumah Lauw toa
hiap dan melihat ketampanan Lauw kong cu, maka sampai
sekarang belum lupa. Saya adalah Lie Ci Siang, salah satu dari
ketiga pendekar pedang Hua San, apakah kong cu masih
ingat?" Lauw Thian Hauw adalah pendekar budiman yang sangat
kesohor, entah ada berapa banyak orang-orang Bu lim yang
pernah berkunjung ke rumahnya, mana mungkin ia ingat
orang sebanyak ini" Kini, ia pun belum mendengar dengan
jelas kata-kata orang itu, ia hanya mendengar satu patah kata
;setahun yang lalu saya pernah berkunjung ke rumah Lauw
toa hiap', dan hatinya telah menjadi sangat girang. Karena hal
itu terjadi setahun yang silam, dan apa yang terjadi beberapa
hari yang lalu tentu saja dia tidak tahu.
Hati Lauw Nen tidak begitu takut lagi, malah ia pasang aksi,
tidak turun dari kudanya. Katanya : "Oh ya, ya, saya seperti
pernah melihat anda. Apakah anda mau menyeberang?"
"Betul, apakah Lauw kong cu pun mau menyeberang?"
berkata Lie Ci Siang, sambil berteriak : "Hei, pendayung,
tunggu dulu! Putra Lauw toa hiap akan menyeberang juga."
Setelah teriakan Lie Ci Siang itu, meskipun Lauw Nen tidak
mau menyeberang, kini mau tidak mau ia harus ikut
menyeberang. Ia meloncat dari kudanya : "Sahabat Lie, kau berbuat
begini, sampai aku merasa tidak enak." Biarpun mulutnya
mengatakan 'tidak enak', tetapi perasaan bangganya terlukis
di wajahnya. "Tidak apa-apa, mereka adalah orang-orang Bu lim, kalau
dapat berkenalan dengan Lauw kong cu, sungguh menjadi
suatu hal yang sangat beruntung sekali, lagi pula setelah kami
menyeberang, kami akan bertemua dengan Hua San Sin
Liong." Begitu mendengar Hua San Sin Liong (naga sakti dari Hua
San), Lauw Nen tak tertahan lagi berteriak "Ah", lalu katanya :
"Rupanya Ciang bun Hua San pay, Hua San Sin Liong sudah
datang juga. Apakah ada kejadian besar di Kang Lam?"
"Bukan pula suatu hal yang besar, cuma beberapa jagojago
silat menerima undangan Go toa hiap, katanya ada
urusan yang mau dibicarakannya. Kami berada di dekat Hua
San, setelah menerima kabar itu kami pun ingin melihat
keindahan Kang Lam. Tentu saja kami tidak mempunyai hak
untuk turut membicarakan persoalan itu, tetapi kalau Lauw
kong cu lain sama sekali. Kau akan menjadi tamu agung," kata
Lie Ci Siang. Lie Ci Siang terus memuji-muji Lauw Nen, hingga membuat
Lauw Nen menjadi bangga sekali. Ketika ia mendengar katakata
"Go toa hiap", hatinya pun tertegun sejenak. "Kenapa Go
toa hiap", ucapan ini hampir saja terlepas dari mulutnya.
Tetapi kini, ia telah naik ke atas kapal, tujuh delapan orang itu
terus langsung mengerumuninya. Lie Ci Siang
memperkenalkan mereka satu persatu pada Lauw Nen, yang
tidak lain hanyalah semacam Hua San San Kiam, dan Lok Pan
Song Hiung. Lauw Nen pasang gengsi, hanya acuh tak acuh saja pada
mereka itu, tetapi mereka terus memuji-muji. Beberapa hari
ini, ia memacu kudanya dengan tergesa-gesa, kalau ada orang
yang memandang padanya, hatinya menjadi berdebar-debar.
Dan kini serta merta saja ada orang yang memuji-mujinya,
tentu saja ia sangat gembira. Apa yang digelisahkannya
selama ini disingkirnya mengibul-ngibul mengikuti pujian
mereka. Berselang sesaat kapal itu telah tiba di seberang.
Semuanya naik ke darat, memacu kuda mereka sejauh empat
lima li, lalu terlihatlah sebuah pondok di pinggir jalan; dalam
pondok itu duduk empat lima orang, dari jauh orang-orang
tadi telah turun dari kuda masing-masing. Hanya Lauw Nen
seorang yang langsung menuju pondok itu. Dipandangnya
orang-orang yang berada dalam pondok itu, yang satu adalah
Su Seng (pelajar), yang satu kurus tinggi, mengenakan jubah
panjang yang berwarna merah, orangnya sudah tua, yang
satu lagi adalah Tau To. Di antara ketiga orang itu, Lauw Nen kenal dua orang.
Yang satu adalah orang tua berjubah panjang yang berwarna
merah, dialah Hua San Sin Liong, yang satu lagi ialah Tau To
itu. Hua San Sin Liong tak usah dikatakan lagi adalah Hua San
ciang bun, dan Tau To itu bernama Sa Tau To, walaupun
namanya cukup menyeramkan, tapi orangnya sangat baik,
dan sangat benci dengan kelaliman. Kalau ada orang dari
aliran hitam yang mendengar namanya, tentu ia akan angkat
kaki seribu. Kini Lauw Nen bertemu dengannya, hatinya pun menjadi
berdetak-detak memukul rongga dada. Tetapi ia berpikir
kembali, urusanku belum tentu ada orang yang tahu, kenapa
musti takut" Maka buru-buru ia turun dari kudanya dan
menjura : "Ji wi lo pek (kedua orang tua), saya Lauw Nen
memberi hormat." Hua San Sin Liong berkata dahulu : "Eh, kenapa ayahmu
tidak datang?" Lauw Nen menjadi tertegun, ia tidak tahu apa maksudnya
Hua San Sin Liong yang serta merta bertanya begitu.
Setelah tertegun sejenak, baru Lauw Nen berkata : "Beliau
ada sedikit urusan, tidak bisa datang."
Cit Sa Tau To, Hua San Sin Liong dan Su Seng itu,
semuanya merasa agak heran. Berkata Cit Sa Tau To : "Ini
terang Lauw Thian Hauw yang salah, kata Go to hiap hanya
mengundang kita berempat untuk membicarakan suatu hal,
kenapa justru dia yang tidak datang. Sungguh
mengherankan." "Dia sudah mengutus anaknya, sama juga," kata Su
Seng. Hua San Sin Liong bertanya lagi : "Apakah ayahmu
mengutus kau untuk menggantikannya?"
Lauw Nen berpikir dalam hatinya, sedikitpun aku tidak tahu
apakah ayah sudah menerima undangan atau tidak, mana
mungkin ia mengutus aku" Tetapi melihat gelagat begini,
kalau mengatakan bukan, tentu buntutnya akan menjadi
panjang. Lauw Nen selalu bersikap pintar sendiri maka kini ia
menganggukkan kepalanya : "Ya, saya disuruh menggantikan
beliau. Memang beliau masih ada sedikit urusan yang penting
dan tidak bisa datang, semoga Lo Pek dapat memaafkannya."
Sikap Lauw Nen kini memang sangat tepat.
Cit Sa Tau To mengangguk : "Kalau Singa Emas Lauw
Thian Hauw tidak bisa datang, sudahlah. Yang ini adalah Hok
toa hiap Hok Tong Hong, yang sangat benci dengan
kekejaman. Kalau ketemu dengan orang jahat, tentu tidak ada
ampun lagi. Walaupun ia tidak kenal dengan ayahmu, tapi
sangat dikagumi. Mari ku perkenalkan."
Mendengar kata-kata yang sangat benci dengan
kekejaman, tentu tidak ada ampun lagi, kaki Lauw Nen tak
tertahan lagi menjadi gemetaran. Seorang Cit Sa Tau To
sudah cukup mendebarkan hatinya, apalagi ditambah dengan
seorang Hok Tong Hong yang sangat benci dengan orang
jahat. Ci Sa Tau To perkenalkan Hok Tong Hong padanya, karena
kakinya telah menjadi lemah maka segera ia berlutut. Kalau
orangnya telah berlutut, mulutnya mau tidak mau tentu
berkata : "Boan pwe Lauw Nen memberi hormat pada Hok toa
hiap." Wajah Hok Tong Hong berseri-seri, tidak seangker Cit Sa
Tau To, tidak pula seperti Hua San Sin Liong yang berwibawa
itu. Kalau orang tidak berbuat salah, bertemu dengannya tidak
ada apa-apa, tetapi kalau seorang jahat melihat wajah Hok
Tong Hong yang tegas itu pasti tidak bisa tenang.
Sementara itu Hok Tong Hong pun mengangkat tubuhnya :
"Nak Lauw tak usah begini, kalau kau bisa mewakili ayahmu,
tentu kau memiliki kepandaian yang melebihi orang."
Kata-kata Tok Hong diucapkan dengan ramah sekali,
namun peluh Lauw Nen telah membasahi punggungnya. Lalu
ia bangun dan berdiri di samping ketiga orang itu, tubuhnya
menggigil. Orang bertiga itu ngobrol lagi dari barat ke timur, kemudian
Hua San Sin Liong berdiri sambil berkata : "Kita berangkat
sekarang juga, meskipun lebih pagi dari waktu yang dijanjikan
oleh Go toa hiap, tetapi kalau ia telah mengundang kita, tentu
ada hal yang sangat penting sekali. Biarlah kita tiba lebih pagi,
supaya dia tidak kuatir."
"Betul mari kita berangkat sekarang juga," kata Cit Sa Tau
To sambil melangkah keluar dari pondok. Mulutnya bersuit,
terlihatlah seekor kedelai yang berbulu hitam di sekujur
tubuhnya berlari-lari dari kejauhan menghampiri Cit Sa Tau
To, lalu tubuhnya beranjak naik ke punggungnya seraya
berkata : "Aku berangkat dulu!" Kedelai hitam itu pun sangat
lincah, kata-kata Cit Sa Tau To belum habis, telah berlari
duluan, dalam sekejap saja telah berada sejauh tujuh delapan
belas tombak. Hua San Sin Liong menepukkan tangannya, segera ada
beberapa murid Hua San pay yang membawa tiga ekor kuda.
Lauw Nen, Hua San Sin Liong dan Hok Tong Hong bertiga
serentak naik ke kuda, lalu berpacu ke depan.
Lauw Nen duduk di atas kuda, hatinya terus berpikir tak
hentinya. Karena bahkan ia sendiri tidak tahu kemana tujuan
mereka ini, namun kalau sudah menjadi wakil dari ayahku,
tentu saja tak dapat bertanya kepada orang mau kemana,
karena pertanyaan itu akan menjadi sangat lucu bukan"
Sepanjang jalan, hatinya tidak tentram, berkali-kali ia ingin
kabur, tetapi bersama-sama dengan jago-jago silat seperti
Hua San Sin Liong dan Hok Tong Hong, kalau ingin kabur dan
tidak diketahui oleh dua orang itu, hal ini tidaklah mungkin.
Hakekatnya Lauw Nen pun tidak mempunyai keberanian itu,
maka membuat hatinya tidak tenteram, bahkan masih mau
berpura-pura seperti sangat gembira.
Mereka terus menuju ke selatan, pada senja ketiga harinya,
ketiga kuda itu telah berada di depan sebuah tembok kota.
Dalam tiga hari ini, hanya tahu tujuannya ke selatan tetapi
tidak tahu tempat apa itu. Kini, ketika menengadah, terlihat di
atas gerbang ada huruf 'Kouw Souw', begitu lihat, hampir saja
Lauw Nen terjatuh dari atas kudanya.
Buru-buru ia menghentikan kudanya : "Ini...inilah kota
Bayangan Darah - PHO Kouw Souw!"
Hok Tong Hong memutar kepalanya menoleh : "Betul, nak
Lauw. Kenapa mukamu jelek sekali?"
Kini Lauw Nen masih dapat duduk di atas kudanya. Ini
boleh dikatakan suatu keajaiban! Bahkan ia tidak mendengar
apa yang dikatakan oleh Hok Tong Hong. Ia hanya berpikir
Bayangan Darah Karya Pho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam hatinya : "Go toa hiap, Go toa hiap, apakah Go Thian
Kheng pendekar besar kota Kouw Souw" Bagaimana" Ia
mencekal tali kuda erat-erat, hingga jari-jarinya menjadi hijau,
namun masih saja dicekalnya dengan erat, peluh telah
meleleh dari atas keningnya.
Hati Hok Tong Hong terasa semakin heran, ia menarik kuda
surut ke belakang, lalu : "Nak Lauw, kenapa kau?" Ia berkata
sembari memegang nadi Lauw Nen.
Lwe kang Hok Tong Hong sangat tinggi, tentu saja kini ia
tidak menggunakan tenaga, hanya sedikit saja yang keluar.
Tetapi karena ia telah mencekal nadi Lauw Nen, hingga tubuh
Lauw Nen tergetar, "ah" jeritnya, seperti tersentak dari
mimpinya. Hok Tong Hong bertanya pula : "Ada apa?"
Tetapi Lauw Nen menjawab yang tidak ada hubungannya :
"Kota Kouw Souw, inilah kota Kouw Souw!"
Hok Tong Hong memandang Hua San Sin Liong sejenak,
dan yang belakangan ini mengerutkan keningnya. Tentu saja
ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Lauw Nen.
Hok Tong Hong bertanya lagi : "Nak Lauw, apakah ada
orang yang akan membokong kau?"
Kini, dalam hati Lauw Nen masih saja gelisah, tetapi
akhirnya ia dapat menangkan diri. Pikiran berputar-putar
dalam benaknya, ia berpikir dalam hatinya, aku sekali-kali
tidak boleh datang ke rumah Go toa hiap, tetapi kini tentu saja
ia tidak dapat menimbulkan suatu kecurigaan. Serta merta ia
memaksa dirinya untuk tertawa : "Bukankah sekarang kita ke
rumah Go toa hiap?" Hok Tong Hong mengangkat kedua bahunya : "Apa yang
kau risaukan, katakanlah terus terang!"
Lauw Nen berpikir, apabila kini tidak menyahut
serampangan, mungkin sekali akan menimbulkan kecurigaan
dalam hati mereka. Andaikata mereka curiga, tentu akan lebih
sulit baginya untuk kabur, maka sahutnya : Tadi ketika aku
menengadah, seolah melihat sesosok bayangan yang melesat
dari atas tembok, rupanya mirip sekali dengan Go toa hiap
maka aku sangat kaget."
Hua San Sin Liong tertawa dingin berkali-kali : "Tentu
matamu sudah rabun, setelah kesurupan Go toa hiap tidak lagi
dapat bergerak, ditambah lagi dengan kecelakaan yang
menimpa anak-anaknya. Ia terlalu sedih, dan matanya pun
telah menjadi buta, mana mungkin ia bisa melesat dari atas
tembok?" Ketika Lauw Nen mendengar kata-kata 'kecelakaan yang
menimpa anak-anaknya', hatinya hampir saja meloncat keluar
dari rongga dadanya, buru-buru ia berkata : "Ya, ya. Tentulah
mataku sudah rabun."
Hok Tong Hong dan Hua San Sin Liong berdua tidak lagi
bersuara. Ketika kuda itu meneruskan perjalanannya
memasuki gerbang kota, hati Lauw Nen berdebar, berdetakdetak
memukul dinding jantungnya. Ia sengaja memperlambat
langkah kudanya tertinggal di belakang, setelah melihat kedua
ekor kuda di depannya belok di sudut jalanan, buru-buru ia
turun dari kudanya, mengulurkan tangannya memukul pantat
kuda, dan kuda itu terus berlari ke depan, lalu digerakkannya
tubuhnya melesat ke samping memasuki sebuah gang kecil,
melangkah dengan tergesa-gesa. Sekejap saja, telah keluar
dari ujung gang itu, menengok kanan kiri, di sebelah
kanannya ada rumah makan yang penuh dengan
langganannya, hingga suara keramaian itu terdengar dari
jauh. Hati Lauw Nen kini terasa sangat ketakutan, melihat begitu
banyak orang di dalam rumah makan, hingga terbitlah
pikirannya untuk terjun ke dalam keramaian orang-orang itu.
Ia masih takut lari kurang cepat, maka ia terus surut dengan
punggungnya memasuki rumah makan itu. Ia terus surut
sambil memandang kiri kanan, takut diketahui orang. Tapi di
luar dugaannya, meskipun ia dapat menjaga depannya,
namun belakangnya tidak terjaga. Baru ia masuk ke dalam
rumah makan itu, telah menubruk seseorang. Buru-buru Lauw
Nen memutar tubuhnya menengadah dan menjadi tertegun.
Orang yang ditubruknya bukan orang lain, melainkan Cit Sa
Tau To! "Eh," seru Cit Sa Tau To, "kenapa kau sendirian"
Kemana mereka berdua" Apakah sudah pergi ke rumah Go toa
hiap?" Saat ini, sungguh sulit bagi Lauw Nen. Ia menarik napas
berkali-kali : "Aku... setelah masuk kota... karena sangat
tamak melihat... pemandangan kota, maka... maka telah
terpisah dari... mereka."
Lauw Nen dengan segera dapat berbohong begitu, sungguh
merupakan suatu keajaiban. Cit Sa Tau To mendehem sekali,
katanya : "Itu tidak apa-apa, kini mungkin mereka sudah
sampai. Mari kita pergi sama-sama!"
Dalam keadaan begini, kecuali mengiyakan, apalagi yang
dapat dikatakan Lauw Nen"
Ia keluar dari rumah makan itu bersama Cit Sa Tau To,
hatinya tidak tahu apa yang dirasakannya, lalu bertanya
dengan lembut : "Bukan kau.. pergi lebih dulu dari kami"
Kenapa sampai sekarang baru tiba?"
"Semalam aku sudah sampai," kata Cit Sa Tau To.
Hati Lauw Nen menjerit-jerit. Semalam ia telah tiba, kenapa
sekarang tidak berada di rumah Go toa hiap dan bisa
keluyuran di rumah makan, kenapa justru aku ketemu
dengannya disini, hingga aku tidak bisa kabur.
Lauw Nen belum bersuara, terdengar Cit Sa Tau To berkata
pula : "Semalam aku sudah sampai di depan rumah Go toa
hiap, tetapi keadaannya telah berobah sama sekali. Aku paling
takut ketemu dengan Go toa hiap sendirian. Apabila ia
mengeluh kepadaku, aku tidak bisa tahan, maka aku lebih
baik terlambat sedikit."
Hati Lauw Nen tertawa pahit, dan berpikir dalam hatinya,
kau tidak mau ketemu Go toa hiap sendirian, tapi telah
menyuruh aku. Maka ia mengikut Cit Sa Tau To dari belakang.
Di sepanjang jalan ia masih terus memikirkan untuk kabur,
tetapi tidak berani bertindak semberono. Justru pada waktu ia
tidak bisa membuat suatu keputusan itulah, mereka telah
sampai di depan rumah Go toa hiap. Sampai kini Lauw Nen
hanya dapat mengeraskan hatinya, dan mengumpat di
hatinya, apa yang telah ku kerjakan belum tentu orang tahu,
lebih baik mengeraskan kepala menerima percobaan kali ini.
Setelah urusan ini beres baru membuat rencana lain. Apabila
terus ketakutan, jangan-jangan akan menimbulkan
kecurigaan. Setelah berkeputusan, hatinya pun menjadi tenang dan
dilepaskannya pandangan memandang keadaan rumah Go toa
hiap. Tempat ini bukan pertama kali ia datangi tetapi keadaan
sekarang telah jauh berbeda dengan dulu. Dulu ketika masih
jayanya, banyak orang yang keluar masuk, hingga membuat
suatu kesan pada orang yang melihatnya bahwa pemilik
rumah ini pergaulannya tentulah luas sekali. Tetapi kini rumah
itu telah menjadi sepi sekali, pintu yang bercat merah itu tidak
Kisah Para Penggetar Langit 8 Dewa Arak 27 Kembalinya Raja Tengkorak Dewa Sesat 1