Bocah Sakti 2
Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 2
kegesitanya, jangan mengadu tenaga. Yang membuat ia
pecundang adalah karena ia coba-coba adu tenaga dengan
Kim Popo, yang sudah tentu bukan tandingannya.
Dalam keadaan tiduran, kupingnya tiba-tiba mendengar suara
gedebukan, datangnya dari sebelah selatan. Suara apa itu " Ia
pasang telinganya lagi, saban kira 1-2 menit ia degnar suara
gedebukan itu. Di dorong oleh perasaan ingin tahu, ia turun dari atas pohon.
Pelan-pelan ia hampiri tempat dimana ada suara gedebukan
tadi. Setelah jalan beberapa lama, suara gedebukan itu makin
nyata. Rupanya jaraknya sudah tidak jauh lagi. Maka Lo In
rada cepatin jalannya. Segera dari kejauhan ia nampak seperti
ada dua sinar menyorot ke arahnya.
"Apa itu ?" tanyanya pada diri sendiri.
Ia menduga akan binatang macan. Sebab menurut Liok
Sinshe, matanya macan suka mencorong kalau diwaktu
malam. Hati Lo In tabah, nyalinya besar, ia tidak takut. Ia menghampiri
lebih dekat. Kiranya itu bukannya macan hanya seekor burung
yang luar biasa besarnya, tengah kebut-kebutkan sayapnya ke
tanah. Suaran gedebukan itu tiada lain dari pada sayapnya si
burung tadi yang dihantamkan ke tanah.
Lo In terus mengintip, ingin tahu apa maunya si burung yang
besar luar biasa itu mengebut-ngebutkan sayapnya ke tanah.
Ia ingat, kalau ia sedang main di tepi jurang sering melihat ada
burung yang luar biasa besarnya melayang-layang diatas
lembah. "Apakah bukan dianya ini " " tanya Lo In pada dirinya
sendiri. Menurut katanya Liok Sinshe, burung sebesar itu
adalah burung rajawali yang biasa jinak dimiliki orang pandai
yang menyepi tinggalnya di pegunungan. Malah Liok Sinshe
namakan burung itu 'Kim-tiauw' atau 'Rajawali Emas' karena
patuk dan kedua kakinya kekuning-kuningan seperti emas
yang Liok Sinshe dapat lihat sendiri dari dekat pada suatu hari
ia sedang mencari daun obat-obatan di lembah itu.
Apa dia itu benar Kim-tiauw. Ingin Lo In menyaksikan dari
dekat, tapi tak dapat ia lakukan itu. Sayapnya yang memukulmukul
tanah bukan saja menerbitkan suara gedebukan tapi
juga menerbitkan angin keras menderu. Kalau Lo In berani
datang dekat, sekali dikibas sama sayapnya, pasti tubuhnya
akan melayang entah berapa jauhnya.
Setelah memperhatikan agak lama, Lo In berpendapat si
rajawali hanya mengibaskan sayapnya yang kanan saja,
sedang yang kiri diam saja. Ia seperti mau terbang tapi tak
bisa kalau cuma satu sayap. Pikir Lo In tentu rajawali ini
mendapat luka parah pada sayap kirinya.
Hatinya merasa kasihan, ingin ia periksa lukanya. Tapi
bagaimana mendekatinya "
Otaknya lantas bekerja mencari akal. Matanya memandang ke
sekitarnya tapi agaknya ia cemas tidak melihat jalan untuk
pemecahan. Sebenrar lagi, setelah ia tundukkan kepala ia
menengadah melihat keadaan diatasnya si rajawali.
Tiba-tiba mulutnya bersenyum, rupanya ia sudah dapat akal
untuk mendekati si rajawali yang dalam kesukaran.
Bagaimana " Dengan gunakan gerakan ilmu entengi tubuh
'Burung walet tembusi mega', ia enjot tubuhnya mencelat dan
di lain detik sudah tampak ia berloncatan dari satu dahan ke
lain dahan pohon. Dalam tempo pendek saja, ia sudah berada
di atas pohon yang dekat sekali pada si burung rajawali. Si
burung rajawali sama sekali engan kalau ada orang yang
datang dekatinya. Ia masih sibuk gedebukan dengan sayapnya yang kanan.
Lo In menunggu sampai sayap itu berhenti dikebaskan, pada
saat mana enteng sekali tubuhnya melayang dan mencolok di
punggungnya si rajawali yang ketika sadar ada orang
menyerang, ia sudah tidak berdaya karena jalan darah di
bagian sayap dan lehernya sudah kena ditotok oleh si bocah
yang besar nyalinya. Ketika itu sayapnya yang kanan berhenti mengebas-ngebas
sedang lehernya sudah menjadi kaku, tak dapat digeraki
hingga ia tak dapat mematuk lawan yang berada di atas
pungggungnya. Hanya sinar matanya saja mencorong seperti
yang sedang gusar sekali.
Meskipun mendapat kesukaran karena beratnya sayap si
rajawali, juga dibawah sayapnya terdapat lukanya yang berat,
Lo In dengan gembira sudah dapat mengobati lukanya itu
memakai obatnya Liok Sinshe yang amat mustajab.
Selain obat bubuk ditabur di tempat luka, juga Lo In paksa si
rajawali menelan pilnya, setelah berkutatan lama ia membuka
patuknya. "Tiauw-heng" kata si bocah pada si rajawali. "Aku ini
temanmu, jangan takut. Maaf, kalau aku sudah berbuat sedikit
kasar menolong kamu !"
Gerak gerik Lo In lucu. Ia memanggil 'Tiauw-heng' atau 'Kanda
rajawali' kepada si burung garuda yang tinggal membisu saja.
Kuatir totokannya kurang kuat hingga si rajawali dapat geraki
pula sayapnya, yang menyebabkan lukanya tidak bisa rapat,
maka Lo In memberikan pula beberapa totokan sehingga
betul-betul tenaganya si burung garuda menjadi lumpuh.
Lukanya si rajawali ternyata kena panah beracun. Untung
tenaganya si burung garuda sangat kuat hingga menjalarnya
racun berjalan dengan perlahan dan keburu mendapat
obatnya Liok Sinshe yang mustajab. Kalau saja sampai
menanti besoknya lagi, terang jiwanya si rajawali tak akan
ketolongan. Entah siapa yang begitu kejam melepaskan panah
beracunnya. Lo In malam itu tidak jadi nginap di atas pohon yang banyak
dahannya, yang ia tinggalkan. Sebaliknya ia tidur diatas
pohon, tidak jauh dari mendekamnya si rajawali. Diam-diam ia
siap sedia menghadapi kemungkinan datangnya orang jahat
yang hendak mencelakakan si rajawali.
Tapi syukur sampai hari sudah terang tanah, tidak ada
kejadian apa-apa. Lo In merosot turun dari atas pohon. Ia lihat si rajawali tengah
memejamkan matanya. Rupanya ia juga bisa tidur karena
tidak merasakan sakit lagi pada sayapnya yang kiri. Matanya
dibuka ketika ia mendengar Lo In berkata, "Tiauw-heng, kau
diam-diam saja mengaso. Tunggu aku akan mencari makanan
untuk kau makan." Ia berkata sambil anggukan kepalanya seperti yang memberi
hormat kepada saudara yang tuaan. Ah, benar-benar lucu
kelakuannya Lo In. Kemudian ia putar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
Berkat kepandaiannya menyentil dengan batu kecil, maka
dalam tempo pendek saja Lo In sudah dapat menyentil jatuh
tiga ekor ayam hutan. Ketiga ekor ayam itu hendak ia bawa ke
tempatnya. Pikirnya, Tiauw-heng tentu gembul makannya,
tidak cukup kalau hanya 2-3 ekor ayam saja. Maka ia lalu
mencari pula ayam di lain tempat dan segera ia sudah
dapatkan lagi. Empat dari lima ekor ayam itu, Lo In taruh di depannya si
rajawali, sedang yang seekor ia potong dan bersihkan dalam
selokan jernih, karena air gunung mengalir disitu. Kemudian ia
nyalakan api dan memanggang hasil buruannya.
Sambil panggang ayam, matanya Lo In memandang pada si
rajawali yang tinggal melotot saja mengawasi empat ekor
ayam yang ada di depannya. Ia tak dapat kerjakan patuknya
untuk menerkam hidangan didepannya itu sebab lehernya
masih belum bisa digeraki karena pengaruh totokan Lo In.
"Tiauw-heng." kata Lo In seraya bersenyum. "Kau tunggu
sebentar. Kita nanti makan sama-sama. Bukankah itu ada
lebih menyenangkan sebagai tanda terjalinnya persahabatan
diantara kita ?" Si rajawali yang diajak bicara hanya matanya saja yang
melotot sebagai jawaban, tapi kali ini sinarnya tidak
bermusuhan. Setelah beres memanggang ayamnya, Lo In mendekati si
rajawali. "Tiauw-heng, kau jangan marah. Lantaran aku ingin menolong
jiwamu maka terpaksa dalam dua tiga hari ini aku bikin kau
tidak berdaya. Kau sabarlah !" berkata Lo In sambil kemudian
dengan sebat ia menotok bebas lehernya si rajawali berbareng
ia lompat mundur takut dipatuk.
Rupanya burung itu memahami akan kebaikan hatinya si anak
kecil sebab ia tidak perhatikan Lo In lompat tapi terus saja ia
gasak empat ekor burung itu satu persatu hingga dalam
sekejapan saja telah hilang lenyap dalam perutnya.
Lo In tertawa ngakak melihat kecepatan si rajawali
memindahkan empat ekor ayam ke dalam perutnya.
Hari itu usaha Lo In tidak memberikan hasil dalam mencari
Liok Sinshe. Pada hari ketiga, ia datang dengan roman lesu mendekati si
rajawali yang sekarang menjadi jinak. Barani ia memeluk
lehernya dan menciumi patuknya yang indah seperti emas.
"Tiauw-heng, aku mencari Liok Sinshe." ia kata pada si
rajawali. "Apa kau lihat dia ada dimana ?"
Seperti yang mengerti akan kata-kata manusia, burung itu
geleng kepalanya. Lo In makin sayang pada burung itu yang rupanya mengerti
akan omongan orang. Setelah menggelendoti tubuhnya
burung yang seperti raksasa itu, Lo In ingat akan
kewajibannya untuk memeriksa lukanya.
"Tiauw-heng, mari aku periksa lukamu." ia berkata seraya
dengan sebatnya ia menyingkap sayap burung itu, dibawah
mana ada terdapat lukanya yang parah.
Lo In kerutkan keningnya.
"Kau masih belum dapat geraki sayapmu yang terluka, Tiauwheng."
katanya. Sementara itu, ia keluarkan obatnya dan mulai beri obat baru
pada luka si rajawali, patuknya Lo In buka dengan tangannya
yang kecil untuk dimasukan pil mujarabnya. Sungguh heran,
burung itu menurut saja, jinak sekali dan pasrah apa yang
diperbuat Lo In. Rupanya ia mengerti akan kebaikan orang.
"Tiauw-heng, mulai saat kita ketemu, aku sudah tahu kau akan
menjadi teman sebagai gantinya Liok Sinshe. Maka
selanjutnya, harap kau selalu jangan meninggalkan aku, ya !"
berkata Lo In sambil mengelus-elus sayapnya si rajawali.
Burung itu angguk-anggukkan kepalanya, matanya merem
melek, girang rupanya ia diusap-usap Lo In dengan
kesayangan. Pada hari keenam si rajawali sudah sembuh benar-benar dari
luka parahnya. Ia sudah dapat geraki kedua sayapnya seperti
sedia kala. Setelah terbang beberapa putaran, ia turun di
depan Lo In lalu mendekam dan kepalanya dianggukanggukkan
seperti yang menghaturkan terima kasih atas
pertolongannya si bocah. Lo In dapat memahami gerak gerik si burung garuda, maka
sambil menubruk dan menciumi ia berbisik, "Tiauw-heng, kita
sudah jadi saudara. Tak usah kau mengucap terima kasih
segala." Tangannya mengelus-elus kepalanya si rajawali, ketika ia mau
mengusap-usap patuknya tiba-tiba Lo In merasa heran. Dari
matanya burung itu ada melelehkan air mata. Entahlah,
kenapa burung itu menangis.
Lo In terharu, bukan karena apa. Ia hanya terkenang akan
dirinya Liok Sinshe. Dimanakah adanya penolong itu. Apakah
dia masih hidup atau sudah mati " Sebab sudah hampir
seminggu ia mencari jejaknya belum juga berhasil
menemuinya. Siapakah Liok Sinshe itu " Apa dia Kwee Cu Gie " Siapakah
Kwee Cu Gie itu " Dimana adanya kedua orang tuanya " Mati sudah atau masih
ada dalam dunia ini "
Kenapa Liok Sinshe begitu sayang dan memperhatikan dirinya
begitu rupa " Apa hubungan ia dengan Liok Sinshe "
Pusing Lo In memikirkannya itu semua. Malah jadi bertambah
sedih hingga saling peluk dengan si rajawali, menangis
sampai terdengar suaranya Lo In terisak-isak.
Sang burung, rupanya ingin menghibur Lo In. Kemudian ia
mementang sayapnya akan terbang ke atas pohonjauh disana,
terpisah dari Lo In. Lo In yang cerdik mengerti maksudnya si rajawali. Maka ia
juga telah berhenti menangis, ia gosok air matanya dengan
tangan bajunya. Dalam hari-hari berikutnya dalam usaha mencari Liok Sinshe,
Lo In dikawal oleh si rajawali.
Senang hati Lo In. Sering ia ajak si rajawali bercanda.
Hari-hari demikian mereka bergaul, hingga keakrabannya
meningkat. Sering atau hampir saban hari, tampak Lo In pesiar di atas
lembah sambil menunggang rajawali yang merupakan kapal
terbangnya. Dasar anak-anak menghadapi apa yang baru, lupa pada yang
lama. Ditemani si burung raksasa, Lo In merasa aman. Betah
ia tinggal dalam lembah itu, lupa pulang ke rumahnya di atas
jurang Tong-hong-gay yang sebenarnya ia bisa pergi ke sana
dengan mudah dengan menunggang kapal udaranya 'si
rajawai'. Soal makanan Lo In tidak kekurangan, mau ikan ia dapat di
sungai-sungai kecil yang banyak terdapat disitu. Mau daging
ayam, kelinci, babi, mudah sekali ia dapat. Cuma tinggal
perintah si rajawali yang pergi menangkapnya.
Tapi Lo In lebih senang makan buah-buahan yang terdapat
disitu. Ia rasakan badannya lebih segar dan nyaman dari pada
makan ikan dan daging. Yang lucu, Lo In sudah dapat tundukkan kawanan kera liar
dalam lembah itu. Mereka kelihatan sangat berterima kasih
dan menganggap Lo In sbagai rajanya.
Dengan begitu, Lo In bertambah banyak kawan.
Bagaimana Lo In dapat tundukkan kawanan kera liar, kecil
besar " Itulah kejadian pada suatu hari ketika cuaca mendung.
Selagi ia tiduran celentang di bawah sebuah pohon, tiba-tiba ia
dikurung oleh kawanan monyet liar, bukan satu dua tapi
adalah puluhan hingga ia merasa amat heran.
Lo In bangkit, duduk, sambil kedua tangannya memeluk kedua
dengkulnya yang ditekuk. Kepalanya menunduk seolah-olah
yang tidak memperhatikan dirinya tengah dikurung oleh
kawanan monyet galak.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara cetcowetan yang ramai dari kawanan monyet itu tidak
dihiraukan oleh Lo In. Terus saja ia berpura-pura mati ular.
Kelihatannya kera-kera itu amat gusar pada si bocah. Bisa
dilihat dari sikap dan gerakan mereka yang keluarkan suara
'her ! her !' sambil mulutnya nyengir-nyengir menakuti.
Entahlah, kenapa mereka demikian benci pada Lo In.
Mungkinkah karena perbuatannya Lo In "
Untuk melatih ginkang (ilmu entengi tubuh), Lo In saban hari
melatih diri dengan mencelat sana sini di atas pohon. Gesit
luar biasa hingga mengalahkan jauh dari kepandaian keraTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kera yang ada disitu. Rupanya hal inilah yang menyebabkan kawanan kera itu
membenci Lo In. Mereka yang bermula merasa kagum melihat kegesitannya Lo
In, belakangan merasa mengeri dan anggap Lo In adalah
suatu saingan berat dalam dunianya.
Lama juga sudah Lo In perhatikan sikap permusuhan dari
mereka itu. Tapi Lo In tidak memperdulikan sampai pada saat
itu baharu berasa bahwa dirinya benar-benar dibenci.
Tapi Lo In tidak takut. Pikirnya kawanan kera itu tak dapat
membuat susah dirinya. Ia mau lihat apa mereka bisa bikin
terhadapnya. Tak perlu ia minta bantuan si rajawali yang
dengan sayap raksasanya, sekali mengebas saja membuat
puluhan kera itu akan sungsang sumbel dan terbang kemana
tahu. Ia mau taklukan kawanan kera itu dengan usahanya
sendiri. Dua yang paling besar diantara kawanan monyet itu,
perdengarkan cetcewetannya lebih keras. Rupanya berupa
bentakan-bentakan, memerintah pada kawan-kawannya untuk
segera menggempur Lo In yang tinggal anteng-anteng saja.
Memang dua kera besar itu adalah yang paling pandai dalam
hal meloncat dari satu ke lain cabang pohon. Kawankawannya
mengagumi kepandaiannya itu. Merekalah yang
paling menaruh dendam pada Lo In, yang dianggap saingan
alot. Meskipun bentak-bentakannya makin keras, kawanan kera itu
masih belum berani menerjang Lo In. Rupanya mereka jeri
sebab Lo In ada backingnya si rajawali.
Mereka sambil cetcowetan, celigukan sana sini seakan-akan
mengamat-amati apakah si burung raksasa ada di sekitar situ
mengawal si bocah. Si rajawali ternyata tidak ada. Memang
tidak ada. Ia lagi terbang ke lain tempat untuk mencari
makanan. Hatinya kawanan kera liar itu rupanya jadi berani, sebab suara
'hor, hor !' dari dua pimpinannya paling akhir dibarengi dengan
menyerbunya mereka. Yang diserbu tiba-tiba saja lenyap dari pandangan mereka.
Terdengar ramai-ramai suara cetcowetan kawanan kera itu.
Sambil kepalanya pada mendongak ke atas dimana mereka
lihat Lo In sedang bercokol di atas dahan sambil ketawaketawa.
Kiranya diwaktu kawanan monyet itu melakukan penyerbuan
serentak, dengan gerakan 'Walet terbang menembusi awan',
tubuhnya Lo In mencelat ke atas, mencelok diatasnya
sebatang dahan pohon, dimana si bocah sambil uncanguncang
kaki mentertawakan lawan-lawannya yang ribut
cetcowetan di sebelah bawah.
Hanya dua tahun Lo In mendapat gemblengan tenaga dalam
dari Liok Sinshe, ia sudah memanfaatkan sebaik-baiknya
dalam latihan ginkeng (entengi tubuh), cukup untuk melayani
kawanan kera yang menyerang dirinya dengan penuh
kebencian. Degnan dikepalai oleh dua monyet besar tadi, kawanan
monyet itu segera juga pada menaiki pohon, lelompatan
mengepung Lo In yang segera unjuk kegesitannya untuk
meloloskan diri dari kepungan mereka.
Tampak Lo In loncat ke atas sebatang dahan yang lebih tinggi.
Selag ia terbahak-bahak ketawa, sembari kedua tangannya
bertepuk-tepuk keras menggodai kawanan monyet yang
mengubar dirinya, tiba-tiba terdengar suara 'hor ! hor !'
agaknya keras dan lebih bengis di atas kepalanya. Ketika ia
mendongak, kiranya diatasnya ada dua kera lebih besar lagi
dari dua kera besar tadi, yang ia lihat menjadi pemimpinnya.
Itulah sepasang orang utan hitam legam, lengannya besarbesar,
matanya tajam mengawasi Lo In seraya perdengarkan
suara 'hor ! hor !' menakutkan.
Diam-diam Lo In perhatikan, rupanya dua orang utan itu suami
istri. Yang lelaki kepalanya hampir botak, yang perempuan
matanya tertutup satu disebelah kiri, sedang dibelakangnya
ada menggemblok anaknya, mulutnya ramai cetcewetan.
Lo In hendak enjot tubuhnya menyingkir, tapi sudah terlambat.
Si orang utan yang lelaki menyambar dari atas dan tepat dapat
mencekal lengan Lo In. Sakit rasanya cekalan si orang utan, lebih-lebih Lo In kaget,
tenaganya seperti lenyap oleh pengaruh cekalan itu hingga ia
tak dapat berkutik. Celaka, pikirnya, apa ia bakalan mati ditangannya si orang
utan " Tengah hatinya berkuatir, sekonyong-konyong terdengar
suaranya si rajawali dari jauh tengah mendatangi hingga ia
jadi sangat kegirangan. Rupanya si orang utan sudah kenali suaranya si rajawali, tahu
juga Lo In ada kawannya, maka ia jadi ketakutan. Dengan
sendirinya, cekalannya yang melumpuhkan itu terlepas. Ia
lompat pula ke atas, ajak bininya ikut lari.
Angin seperti menderu kedengarannya ketika si rajawali
sampai dengan kebasan sayapnya. Ia mencelok disatu dahan
dekat Lo In. Saking berat badannya membuat pohon sampai
tergetar rasanya. "Tiauw-heng, syukur kau datang. Kalau lambat sedikit saja,
aku kena dicelakai si orang utan !" Lo In berkata pada
kawannya. Seperti yang mengerti, si rajawali tampak beringas romannya
ketika mendengar ada makhluk yang mau bikin celaka
kawannya. Lo In berbareng lompat mendekati si rajawali, ia usap-usap
sayapnya. Tiba-tiba Lo In mendengar suara teriakan. Matanya yang awas
segera dapat lihat si orang utan yang perempuan terpeleset
jatuh. Ia sendiri dapat tolong dirinya karena sudah menjambret
cabang pohon. Tapi anaknya, dalam kaget sudah melepaskan
cekelan pada leheer ibunya hingga tidak ampun lagi anak
orang utan itu meluncur jatuh terbanting di tanah dan pingsan.
Dalam ketakutannya atas kedatangan si rajawali, dua orang
utan itu sudah terbirit-birit lari, lompat dari satu ke lain cabang
pohon. Rupanya yang perempuan kurang hati-hati memilih
cabang pohon, maka ketika ia loncat ke cabang yang lapuk, ia
kaget. Cepat lompat lagi ke lain cabang cuma saja saking
gugupnya ia terpeleset dan menjerit ketika terpelanting.
Yang lelaki berada beberapa tindak disebelah depan, ia kaget
bukan main mendengar jeritan sang istri. Cepat ia putar
tubuhnya tapi sudah tak dapat menolong anaknya yang
terpelanting jatuh dari gendongan ibunya.
Mulutnya cetcowetan ramai. Bersama istrinya, ia cepat-cepat
turun ke bawah, lari menghampiri anaknya yang sudah tidak
sadarkan diri. Sang ibu menubruk anaknya sambil
menggoyang-goyang tubuh si orang utan kecil, mulutnya
cetcowetan menangis. Segera banyak monyet-monyet yang datang merubung.
Lo In yang melihat dan menyaksikan kejadian yang hebat itu,
tidak tega hatinya. Entahlah, bagaimana keadaannya si anak
orang utan itu. "Tiauw-heng, mari kita tolong dia." ia berkata pada si rajawali.
Berbareng, ia geraki kakinya berloncatan ke bawah yang
diikuti oleh si rajawali. Dengan hanya sekali kibasan sayapnya
sudah sampai ditempat banyak kera berkumpul. Lo In tidak
tahu bagaimana caranya memberi pertolongan. Sebab kalau
ia dengan begitu saja datang dekat, tentu tidak dapat dipahami
maksud baiknya. Apa lagi si orang utan sudah pernah
memencet lengannya, tentu kedatangan Lo In dianggap akan
menuntut balas, menggunakan kesempatan ketika mereka
sedang kesusahan anaknya mendapat kecelakaan.
Baik juga tongkrongan si rajawali dibuat jeri oleh kawanan
kera itu. Ketika rajawali itu sampai, mendahului Lo In. Kawanan monyet
itu sudah simpang siur lari. Malah dua orang utan itu, saking
ketakutannya sudah lupa akan anaknya dan lari terbirit-birit.
Anak orang utan itu jadi ditinggalkan sendirian.
Lo In girang menampak kejadian itu diluar perhitungannya.
Cepat ia dekati si anak orang utan, ia periksa, meraba-raba
dadanya, pegang nadinya. Lucu, persis lagaknya seorang
tabib. Ini, Lo In bukannya menjual aksi. Kelakuan ini meniru Liok
Sinshe jika si tabib Liok diundang untuk mengobati orang
sakit, ia suka turut dan menyaksikan caranya Liok Sinshe
berbuat atas dirinya si pasien.
Lo In girang karena si orang utan kecil tidak putus jiwanya. Ia
hanya tidak berkutik karena pingsan, kaget jatuh dari tempat
yang demikian tinggi. Kelakuan Lo In itu disaksikan oleh banyak kera dari kejauhan,
terutama oleh dua orang utan dengan penuh rasa kuatir,
apakah anaknya akan dibunuh mati Lo In. Buat merebut
anaknya dari tangan Lo In, mereka tak berani lakukan, melihat
si rajawali tengah mendekam didekatnya.
Melihat keadaan anak orang utan itu berat juga, tak dapat
disembuhkan dengan seketika, maka ia lalu angkat tubuhnya,
diempo lantas menghampiri si rajawali, ke atas punggung Lo
In loncat. "Tiauw-heng, mari kita pergi !" kata Lo In.
Berbareng si rajawali bangkit lalu mengebaskan kedua
sayapnya akan kemudian terbang mumbul. Tinggal dua orang
utan itu berteriak-teriak dengan cara dia sendiri. Rupanya
mereka sangat gusar pada Lo In yang sudah merampas
anaknya. Lo In ditempatnya sebuah gubuk yang dibangun diatas sebuah
pohon besar. Memakan waktu juga menolong anak orang utan
itu. Sebab anak orang utan itu kecuali mendapat luka dalam,
juga tangannya yang sebelah kiri keseleo yang perlu ditolong
dengan jalan mengurut tiap hari tiga kali.
Selang empat hari, Lo In sudah bikin anak orang utan itu
sembuh benar. Ia kelihatan suka pada Lo In yagn tadinya
ditakuti. Dalam tempo empat hari mereka berkumpul, anak
orang utan itu menjadi jinak, sering menggelendoti Lo In.
Mulutnya cetcowetan seakan-akan mengajak bercakap-cakap.
Tapi sayang Lo In tidak mengerti akan percakapannya.
Meskipun begitu, Lo In suka pada anak orang utan itu. Sering
ia ajak main, diajak bercakap dengan gerakan mulut dan
tangan. Gembira kelihatannya anak orang utan itu.
Pada hari yang keenam, Lo In berkata pada si anak orang
utan, "Adikku, hari ini kau harus pulang menemui ayah ibumu.
Harap selanjutnya kau akan menjadi sahabatku yang baik
seperti aku punya Tiauw-heng."
Sambil berkata, Lo In empo anak orang itu lalu keluar dari
gubuknya. Dengan sekali suitan, segera kapal udaranya sudah datang.
Dengan menumpang si rajawali, Lo In pergi ke tempat dimana
ia telah dikeroyok kawanan monyet liar. Sesampainya disana,
ia dapatkan keadaan sepi. Cuma ada beberapa kera yang
lelompatan sana sini. Melihat Lo In datang dengan mengempo anak orang utan,
monyet-monyet itu menjadi heran rupanya. Tapi sebentar lagi,
tampak mereka datang lagi membawa kawan-kawannya.
Diantaranya tampak itu sepasang orang utan.
Mereka tidak berani datang dekat pada Lo In karena si rajawali
mendekam di dekatnya. Bagaimana pun, dua orang utan itu
terbelalak matanya melihat Lo In tengah mengempo anaknya
yang cetcowetan menciumi pipinya si bocah.
Lo In dapat melihat pada mereka, maka cepat ia turunkan
anak orang utan itu dari empoannya sambil berkata, "Adikku,
pergi kau ketemui ayah bundamu !" Lo In sambil menunjukkan
kejurusan orang utan yang berada diatas pohon, yang tengah
keheran-heranan mengawasi kejadian itu.
Anak orang utan itu melihat ke jurusan yang ditunjuk oleh Lo
In. Ia melihat pada ayah bundanya. Cepat ia lari sambil
mulutnya cetcowetan. Sang ibu bapak juga tidak tinggal diam.
Mereka loncat-loncat turun dari pohon dan memapaki anaknya
yang lantas diempo oleh si ibu, diciumi dengan penuh
kesayangan. Dalam empoan ibunya, sang anak cetcowetan sambil
menunjuk-nunjuk kejurusan Lo In. Rupanya ia sedang
bercerita tentang pertolongan yang diberikan Lo In dan
kebaikannya si bocah hingga kelihatannya si ibu merasa
sangat gegetun sekali, sedang si ayah angguk-anggukkan
kepalanya yang botak. Lo In menyaksikan itu semua dengan bersenyum. Kemudian
putar tubuhnya menyamperi si rajawali, loncat ke
punggungnya. "Mari kita pergi, Tiauw-heng !" katanya sambil
tepok pundaknya si rajawali.
Sebentar saja, Lo In sudah ada di udara bersama kapal
terbangnya. Meskipun binatang, kawanan kera itu tahu akan kebaikan
orang. Maka sejak itu, mereka telah menghapuskan
kebenciannya dan tidak berani mengganggu lagi Lo In yang
semula dianggap saingan alot.
Malah yang lucu, sejak itu, Lo In boleh dikata tak usah susahsusah
mencari buah-buahan lagi untuk makannya. Karena
setiap pagi, ia dapatkan banyak buah-buahan berserakan di
bawah pohon diatas mana ia tidur. Rupanya ini ada kiriman
dari kawanan keras yang merasa berterima kasih, anak
rajanya sudah ditolongi. Bebuahan itu ditaruh berserakan. Rupanya kera-kera itu takuti
si rajawali. Maka seenaknya saja mereka melemparkan dan
lari pergi. Lo In memahami ini, maka kepada rajawalinya ia
memesan supaya ia tidak ganggu kera-kera yang
mengantarkan bebuahan itu. Kawanan kera itu belakangan
jadi berani karena melihat si rajawali tidak apa-apa. Maka
buah-buah yang diantarnya, mereka tumpuk dengan rapih.
Malah ada yang berani naik di pohon dan meletakan buahnya
di depan gubuknya Lo In.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lo In terharu melihat kecintaannya kawanan kera itu.
Maka terjalinlah persahabatan diantara kawanan kera itu
dengan Lo In. Dalam pertemuan pertama dua orang utan, seperti manusia,
mereka berlutut dihadapan Lo In sambil manggut-manggut. Di
sampingnya ada anaknya yang juga turut berlutut. Mereka
sangat berterima kasih atas pertolongannya Lo In sehingga
anaknya selamat dari cengkeraman maut.
Lo In ketawa. "Toa-hek, Ji-hek dan adikku," kata Lo In. "Kita
orang sendiri, tak usah banyak pakai peradatan. Kalian
bangunlah. Selanjutnya kita menjadi sahabat saling tolong !"
Seperti yang mengerti omongan Lo In, mereka semua bangkit.
Lo In tatkala itu duduk diatas sebuah batu, tengah menikmati
mengalirnya air sungai, dalam mana banyak terdapat ikan-ikan
yang sedang main-main. Lo In memanggil Toa-hek (si hitam kesatu) dan Ji-hek (si hitam
kedua) kepada dua orang utan itu adalah panggilan dari
keakraban persahabatan. Toa-hek dan Ji-hek serta anaknya menghampiri Lo In. Toa-hek
mengusap-usap tangan, Ji-hek mengusap-usap pipi,
sementara Siauw-hek (si kecil) lompat kepangkuan Lo In
sambil cowet-cowetan ngomong dalam bahasanya sendiri. Lo
In suka dan sayang pada Siauw-hek, maka ia elus-elus
kepalanya, sambil katanya, "Siauw-hek, kau lekas gede. Nanti
bisa bantu aku mencari Liok Sinshe."
Sejak itulah mereka bergaul rapat.
Supaya pergaulannya lebih leluasa lagi, maka pelan-pelan Lo
In ada pelajari gerak gerik dan suaranya kera-kera diwaktu
mereka berloncatan di pohon-pohon sambil cetcowetan.
Berkat kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat kemajuan
banyak dalam bahasa monyet, meskipun tidak seluruhnya.
Cukup dengan membuka mulutnya, cowet-cowet, ia dapat
memerintahkan kera-kera yang diajak bicara olehnya untuk
melaksanakan titahnya dengan baik.
Kawanan kera itu semakin menghargai dan menjunjung tinggi
Lo In. Boleh dikatakan ia adalah raja monyet, karena tiap
titahnya dilaksanakan dengan kontan.
Dengan adanya Toa-hek sebagai teman berlatih, lwekangnya
Lo In meningkat. Kalau mula-mula satu kali pegang saja Lo In
tak dapat berontak dari cekalan Toa-hek, pelan-pelan
tangannya makin kuat hingga dari kewalahan Toa-hek menjadi
pecundang. Dalam latihan tenaga, jangan bicara ilmu silat,
sudah tentu Lo In ada di pihak unggul. Girang hatinya Lo In
dengan kemajuan yang diluar perhitungannya itu. Maka pada
suatu hari si rajawali ia ajak berlatih.
"Tiauw-heng, tenagamu sangat hebat. Aku ingin sepertimu.
Coba, mari kita berlatih !" Lo In menantang.
"Mari !" si bocah mengundang lagi ketika melihat si rajawali
tinggal diam mendekam saja. Ia pasang kuda-kuda untuk
menerima serangan si rajawali.
Sesudah kedap kedip matanya, si burung raksasa pelangpelan
bangkit. Ketika Lo In menyambar dengan tangannya yang kuat
sekarang, pikirnya, si rajawali tak kuat menahan serangannya.
Tapi si bocah salah hitung. Sebab cuma sekali kebas saja
dengan sayap kirinya, Lo In terdampar oleh angin kebasan
hingga ia jatuh duduk. "Itu hebat, Tiauw-heng." ia berkata sambil nyengir dan rasakan
pantatnya sakit juga bekas jatuh barusan. "Kau pelan-pelan
dahulu. Jangan terlalu kuat mengebaskan sayapmu !"
Lo In bicara seperti saja terhadap seorang partner, kawan
selatihan. Tapi si burung raksasa seperti yang mengerti akan
maksud Lo In. Benar saja kebasan yang selanjutnya dilakukan
perlahan. Lo In menjadi girang. Sejak itu ia terus ajak si rajawali berlatih.
Saban hari tenaganya Lo In meningkat an kegesitannya
bertambah. Maka setelah lewat dua bulan, betul-betul luar
biasa tenaga dalamnya si bocah. Ia sudah dapat menahan
kebasan sayap si burung raksasa yang bagaimana keras juga.
Hal mana membuat si rajawali juga merasa heran
kelihatannya. Lo In bangga dengan latihannya. Ia kira semua itu dari
tenaganya yang meningkat demikian hebatnya. Tapi ia tidak
sadar bahwa tenaga dalamnya itu bisa demikian kokoh
lantaran ia memakan buah Jit-goat-ko atau 'Buah bulan
matahari' yang ia dapatkan diantara buah-buah yang diantar
oleh kawan-kawannya. Buah itu bentuknya mungil, tidak besar, hanya sebesar telur
angsa. Warnanya separuh merah dan separuh putih. Kapan
buah itu dibelah, segera menyiarkan bau harum yang lama
sekali memenuhi hidung. Kalau disedot, rasanya nyaman dan
segar seluruh badannya. Ini baharu harumnya saja, apalagi
buahnya kalau dimakan rasanya lezat sekali. Tenggorokan
yang dilewati oleh buah itu, selama lima menit terus menerus
akan mengeluarkan hawa wangi yang menyegarkan. Seluruh
badan rasanya kaku sejenak tapi kemudian tangkas lagi.
Tindakan berubah menjadi enteng, sedang tenaga entah dari
mana sudah berlipat tambahnya.
Buah itu Lo In dapatkan dua biji. Entah dari mana sang kera
dapatkan ini, dua-duanya ia sikat habis setelah ia rasakan
bagaimana harum dan enaknya buah itu, dimasukkan ke mulut
lewat tenggorokannya. Di permulaan cerita dilukiskan bagaimana girang dan bangga
Liok Sinshe menampak kecerdasannya Lo In. Si bocah bukan
saja sudah mewariskan semua kepandaian Liok Sinshe yang
dicatat dalam otaknya, juga rahasia dari ilmu menotok jalan
darah yang terdapat dalam buku 'Tiam-hiat Pit-koat' sudah jadi
miliknya Lo In. Anak kecil itu tinggal memerlukan gemblengan tenaga alam
yang sempurna, lantas ia akan berubah menjadi satu
pendekar yang sukar menemui tandingan. Tapi peryakinan
lwekang (tenaga dalam) yang sempurna bukannya gampang.
Itu harus meminta bukan satu dua tahun tempo, tapi makan
puluhan tahun. Meskipun demikian, Liok Sinshe yakin, dalam
bimbingannya dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, ia
bisa bikin Lo In menjadi jago tak terkalahkan.
-- 5 -- Hanya sayang sekali, Liok Sinshe yang mengasuh Lo In
sampai setengah jalan, baru saja ia menggembleng lwekang
Lo In dua tahun lamanya, tiba-tiba ada bencana dengan
kedatangannya Siauw-san Ngo-ok dan kawan-kawannya. Liok
Sinshe jatuh tergelincir ke dalam jurang yang jejaknya tak
dapat diketemukan oleh Lo In yang berusaha mencarinya
siang malam. Setelah dapat menahan kibasan sayap si rajawali yang
demikian dahsyatnya, diam-diam Lo In merasa sangat
geregetan. Ia sendiri merasa tenaga dalamnya ada hebat,
tidak berani ia balas menyerang pada burung kesayangannya,
kuatir nanti si rajawali terluka oleh karenanya. Sekarang, siapa
yang ia dapat ajak berlatih setelah si burung raksasa tak
berdaya menghadapi ia "
Pada suatu malam, ia keluar dari gubuknya. Tidak lagi ia
leloncatan dari satu ke lain dahan pohon untuk turun ke
bawah, meniru si burung raksasa. Benar-benar hebat ilmu
entengi tubuhnya. Bagaimana ia dapat demikian hebat
ginkangnya " Inilah justru menjadi pertanyaan yang sampai
sebegitu jauh belum dapat dijawab olehnya sendiri.
Tidak jauh dari situ ada terdapat satu lapangan, cukup besar
untuk berlatih silat. Di sekitarnya banyak tumbuh pohon, tinggi
dan rendah, tidak rata. Dan ini semua bagi Lo In merupakan
lapangan untuk melatih ginkangnya.
Di bawah terangnya sang rembulan, Lo In tampak melatih ilmu
silatnya ajaran Liok Sinshe dengan tangan kosong mula-mula.
Pukulan-pukulannya ternyata luar biasa, semua menerbitkan
angin menderu. Kapan ia tujukan pukulannya ke atas, cabangcabang
pohon yang jaraknya dua tombak pada bergoyang dan
daun-daunnya pada berjatuhan ke tanah. Gerakannya gesit
luar biasa hingga yang tak melihat dengan mata kepala sendiri
tentu akan tidak percaya Lo In mempunyai tenaga yang
sempurna dan ilmu silat yang aneh-aneh melihat usianya baru
masuk empat belas tahun. Lo In tidak merasa kalau ia dalam lembah itu diam-diam sudah
melewatkan waktunya hampir 2 tahun. Pantas badannya
makin tinggi, sedang romannya makin nyata kecakapannya.
Sayang pakaiannya mulai compang camping. Maklumlah ia
masuk ke dalam lembah itu tak membawa bekal pakaian. Jadi
ia tiap hari mengenakan pakaian itu-itu juga.
Setelah berlatih dengan tangan kosong, Lo In ganti berlatih
dengan pedangnya, juga tidak kurang hebatnya. Kalau tak
dapat dikatakan lebih hebat dan seram pula. Kecepatan
memainkan pedang yang bobotnya sangat enteng,
menimbulkan angin santar. Suaranya 'bat bet bat bet', bisa
membuat musuh yang menghadapinya ciut nyalinya.
Berhenti berlatih, Lo In duduk termenung di atas rumput.
Ia masih penasaran, lalu bangkit dari duduknya menghampiri
sebuah pohon siong (cemara) yang ukuran bulat batangnya
sebesar betis orang gemuk. Ia pasang kuda-kudanya lalu
kerahkan lwekangnya. Tampak seperti menghembus hawa
putih dari embun-embunannya. Ia berdiri kira-kira satu tombak
dari pohon yagn mau dibuat sasarannya. Setelah merasa
cukup kekuatan untuk menyerang, kedua tangannya digeraki
berbareng, diulur ke depan. Angin menghembus keluar hebat
bukan main. Segera terdengar suara 'krak !'. Disana, pohon
siong yang dipakai sasaran, kelihatan tumbang. Tidak dapat
menahan serangan Lo In yang dahsyat itu.
Lo In berdiri bengong. Ia kagum akan tenaganya sendiri,
berbareng ia menanya dirinya sendiri, dari mana mendapat
tenaga yang luar biasa itu.
"Celaka." katanya dalam hati kecilnya. "Tenagaku begini
dahsyat, aku tidak boleh sembarangan pukul orang !"
Sebentar lagi ia akan meninggalkan tempat.
Lo In kira tidak ada yang lihat perbuatannya. Tidak tahunya,
diam-diam sambil mendekam di atas dahan pohon, si rajawali
menonton ia tengah berlatih silat dan matanya si burung
terbelalak kagum menyaksikan Lo In memukul tumbang pohon
siong. Sampai dibawah pohon, dengan gerakan 'walet terbang
menembusi awan', ilmu entengi tubuh yang paling ia suka, Lo
In sebentar saja sudah ada didalam gubuknya lagi.
Bulak balik ia di pembaringannya. Tidak bisa tidur memikirkan
akan keanehan tenaganya yang luar biasa. Tiba-tiba
berkelebat dalam benaknya tentang 'Jit-goat-ko', buah mujizat
yagn ia makan demikian harum dan lezat rasanya.
Pikirnya, apakah oleh karena makan itu " Ia kemudian merasa
sangsi lagi sebab setelah ia makan buah itu, ia lantas rasakan
perubahan aneh dalam tubuhnya, enteng dan gesit dirasakan
tubuhnya, tenaganya pun meningkat entah berapa puluh kali
karean si burung raksasa kontan pada hari-hari berikutnya
tidak berdaya menghadapi ia berlatih.
Dari mana kawanan kera itu dapatkan buah ajaib itu "
Maka pada keesokan harinya, ia lantas kumpulkan kawankawan
keranya. Ia majukan pertanyaan, siapa diantaranya
yang membawakan buah yang bentuknya macam telur angsa
dan warnanya merah putih.
Lo In gunakan bahasa monyet menanyakannya hingga
puluhan monyet yang hadir dalam pertemuan itu pada
cetcowetan ramai. Rupanya satu dengan lainnya pada saling
bertanya. Tidak lama, satu kera yang berpotongan kecil tapi
gesit, lompat ke depan Lo In, berlutut sambil anggukanggukkan
kepala. Lo In girang melihatnya. "Pek-gan, jadi kau yang
membawakannya untukku ?" ia menanya seraya mengeluselus
kepalanya si kera. Pek-gan, kera itu dipanggil Lo In, artinya 'Mata Putih'.
Ia ada satu kera jantan yang bertubuh kecil, tapi kegesitannya
melebihi kawan-kawannya. Dua matanya putih seperti mata
yang terbalik, tapi ia melihat terang sebagaimana biasa. Malah
ada keistimewaannya, dengan sepasang matanya yang aneh
itu, pada malam hari gelap ia dapat melihat tegas terang
bagaikan siang hari. Ia mempunyai teman yang hampir sama
gesit dan cerdasnya dengan dia. Kera ini kepalanya putih dan
lebih jangkung sedikit, tapi kurusnya sama. Ia dipanggil 'PekTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
tauw' oleh Lo In, artinya 'Kepala Putih'.
Dua kera ini paling disayang oleh Lo In karena gayanya yang
lucu dan sering bikin ketawa, baik dalam percakapan maupun
dalam kelakuannya. Hingga bagi Lo In, mereka itu ada dua
penghibur yagn menyenangkan.
Lain dari itu, dalam soal mengantar buah-buahan mereka tidak
sembarangan asal petik saja. Selalu mereka pilih buah-buah
yang istimewa untuk dipersembahkanpada junjungannya. Oleh
karenanya Lo In sangat menghargakan mereka.
Pek-gan senang kepalanya diusap-usap Lo In, matanya
melirik bangga pada kawan-kawannya.
"Pek-gan, coba kau terangkan dari mana kau dapatnya. Apa
kau masih bisa dapatkan pula beberapa buah untukku ?"
demikian kata Lo In dalam bahasa kera.
Pek-gan geleng-geleng kepala. Mulutnya kemudian
cetcowetan sambil tangannya menunjuk-nunjuk. Rupanya ia
sedang cerita menuturkan pengalamannya.
Lo In mengerti cerita Pek-gan. Kiranya buah mujizat itu si kera
dapatkan pada satu tebing yang curam disebelah barat
mereka sedang berkumpul. Pohonnya hanya mengeluarkan
dua buah. Malah setelah dipetik buahnya, pohon itu lantas
layu, daun-daunnya pada kuncup.
"Tidak apa." kata Lo In. "Lain kali kau boleh bawakan lagi
buah-buah lain yang sama baiknya. Nah, kau boleh kumpul
lagi dengan teman-temanmu !" Lo In sambil tepuk-tepuk
pundaknya si kera. Berbareng dengan ini, tiba-tiba Lo In dan kawanan kera
menjadi kaget mendengar suara monyet berteriak-teriak minta
tolong Lo In dan yang lain-lain pasang kuping untuk menegasi
dari mana datangnya suara minta tolong itu.
"Ah, itu suaranya Ji-hek !" kata Lo In sambil lompat dari
duduknya. Terus ia gunakan ilmu entengi tubuhnya, memburu ke selatan.
Semua kera paling kalut, masing-masing gunakan kecepatan
lari menyusul Lo In. Sedang si rajawali juga tidak ketinggalan,
pentang sayapnya dan terbang mendahului Lo In.
Lo In tidak minta 'kapal terbangnya' stop dahulu untuk
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawa dia, sebab ia tahu Ji-hek lebih perlu lekas ditolong,
jikalau ia mendengar teriakannya yang menyayatkan hati.
Ketika Lo In sampai disatu lapangan terbuka, ia lihat
rajawalinya sedang bertempur dengan manusia, entah siapa
dia. Tidak jauh dari mereka bertempur, tampak menggeletak
Toa-hek, tengah dipeluki oleh Ji-hek sambil berteriak-teriak
menangis minta pertolongan.
Cepat Lo In menghampiri Ji-hek.
Melihat Lo In datang, Ji-hek kegirangan. Mulutnya ramai
menceritakan apa yang sudah terjadi. Kiranya Toa-hek sudah
bertempur dengan orang yang sekarang lagi bertempur
dengansi rajawali. Dalam keadaan tidak waspada, Toa-hek
sudah dirubuhkan dengan senjata beracun.
Lo In tidak perhatikan Ji-hek nyerocos cetcowetan. Ia terus
saja memeriksa lukanya Toa-hek. Keadaannya parah juga,
matanya meram saja ! Lo In girang sebab Toa-hek tidak
terancam bahaya kematian karena lukanya.
Cepat ia bersihkan darah di pundaknya Toa-hek. Dengan
tangan bajunya lalu keluarkan obatnya, dioleskannya, sedang
pil mustajabnya dimasukkan ke dalam mulutnya Toa-hek.
Mustajab benar obatnya Lo In, warisan Liok Sinshe. Karena
tidak lama setelah obat berjalan dalam perut dan pundaknya,
Toa-hek sudah dapat membuka matanya dan merintih pelanpelan.
Melihat Toa-hek sudah tertolong, maka Lo In bangun berdiri
menyaksikan pertempuran si garuda dengan lawannya. Ia
perhatikan musuhnya si garuda ternyata adalah seorang tua
dengan hidung bengkok seperti patuk burung kakaktua,
mulutnya lebar, jidatnya jantuk. Entah ada tanda apanya lagi di
mukanya sebab hanya itu saja yang dapat dilihat dari
kejauhan oleh Lo In. Ternyata orang tua itu ada punya lwekang hebat juga. Sebab
samberan si rajawali terus dapat ditolak mundur. Tampak si
rajawali napsu benar hendak membinasakan musuhnya. Angin
pukulan si orang tua, seolah-olah tidak dihiraukan. Ia terus
menyambar musuhnya sambil perdengarkan pekikan yang
gusar sekali. Entah ada permusuhan apa si rajawali begitu marahnya.
Lo In lihat, orang tua itu mulai keteter. Ia mulai gunakan
senjata rahasianya. Ser ! Ser ! Lo In dengar suaranya senjata
rahasia si orang tua menyambar pada si rajawali. Tapi sampai
sebegitu jauh dengan kebasan sayapnya, saban kali senjata
rahasianya si orang tua dapat dijatuhkan.
Lo In kuatir akan keselamatan burung kesayangannya. Maka
ia lalu bersuit, si rajawali masih bernapsu bertempur. Suitan
tanda memanggil Lo In seperti juga ia tidak mendengarnya.
Tapi, ketika suitan yang kedua nadanya agak keras, membuat
si rajawali tak dapat membandal panggilan tuannya.
Ia putar tubuh dan terbang menghampiri Lo In.
Sementara itu, si orang tua sudah memburu datang.
Kiranya dia itu seorang tua dari usia kira-kira 50 tahun. Selain
tanda-tanda yag Lo In dapat lihat terlebih dahulu, ia saksikan
lagi, orang tuaitu mulutnya dan giginya omping. Entah tinggal
berapa giginya, yang terang di sebelah depannya, atas bawah
sudah sungsang sumbel. Segera Lo In dan si orang tua sudah berhadap-hadapan, kira
satu tombak jauhnya. Sambil menunjuk dengan jarinya, si
orang tua berkata pada Lo In, "Em ! Jadi kau ini tuannya si
burung celaka itu ?"
Lo In merasa tidak senang burungnya dikatai 'si burung
celaka'. "Lotiang (orang tua), kau sudah celakai Toa-hek, lantas kau
mau celakai juga aku punya Tiauw-heng, apa maksudmu ?" Lo
In balik menanya tanpa menjawab pertanyaan orang yang
diajukan lebih dahulu. "Aku tidak peduli kau punya Toa-hek, Tiauw-heng, Sam-heng,
apa hek apa heng kek ! Asal aku mau bunuh, tidak ada orang
yang berani rintangi !" si orang tua nyerocos, kasar betul.
Suaranya nyaring macam gembreng pecah.
Lo In mendongkol hatinya. Tapi ia tidak berani kurang ajar. Ia
tetap berlaku sopan terhadap orang asing itu. Selama hampir
dua tahun dalam lembah, hari itu, Lo In untuk yang pertama
kalinya ketemu lagi dengan manusia. Di samping ia suka
berlaku jail, mengocok orang, juga perangainya halus dan
ingin bersahabat sama siapa juga. "Jadi lotiang masih marah
sekarang ?" tanyanya.
Matanya si orang asing mendelik.
"Aku mau bunuh orang utan dan burung busukmu. Kau mau
apa ?" bentaknya. Lo In kedip-kedipkan matanya, seperti yang ketakutan.
"Lotiang, kau sebenarnya siapa " Apa namamu ?" tanya Lo In
tenang. "Hahaha." si orang asing ketawa, seraya tepuk-tepuk dadanya.
"Tidak perlu kau tahu siapa aku sebab kau masih bocah. Tapi
tidak apa aku sebutkan supaya mati merem. Hahaha, aku ini
Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng dari Coa-kok !"
Lo In tidak kaget si orang asing sebutkan namanya, sekaligus
dengan gelarnya 'Toan Bilo-mo' atau 'Si Iblis Alis Buntung'.
Yang membikin ia heran, Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng macam
orang edan. Apa dia setengah atau memang betul-betul
sinting " Lo In tanya dirinya sendiri.
Kalau orang baik-baik, tidak semestinya ia menyebutkan
namanya yang seram sambil tepuk-tepuk dada dihadapan
seorang anak kecil seperti Lo In. Sebab Lo In belum tahu apaapa
dengan dunia Kang-ouw. Yang lebih aneh pula, Siauw Cu Leng pakai mengatakan
'supaya kau mati merem' segala, apakah maksudnya " Apa ia
mau bunuh juga Lo In " Ini pun menjadi pertanyaan dalam
hatinya si bocah. Lo In memandang mukanya si iblis, benar-benar saja kedua
alisnya pendek (kuntugn), cuma setengah dari alisnya orang
biasa. Setelah menyebutkan nama dan gelarnya, Siauw Cu Leng
jalan mau menghampiri Toa-hek sehingga Toa-hek
mengerang gusar sedang Ji-hek tampak siap sedia buat
menjaga kalau suaminya diserang.
"Hei, kau mau apa ?" tanya Lo In.
"Ah, kau anak bau, tau apa !" sahut Toan Bilo-mo Siauw Cu
Leng seraya mengebaskan lengan bajunya. Dari mana
mengembus angin keras, menyerang Lo In.
Si Iblis Alis Buntung berdiri heran melihat Lo In tidak apa-apa.
Si bocah tinggal tetap berdiri ditempatnya. Biasanya, kalau
orang akan jungkir balik, apalagi ini anak kecil yang dikebas,
kenapa dia diam saja " Demikian tanya si iblis dalam hatinya.
Apa kurang kencang kebasannya " Maka ia lalu mengebas
sekali lagi dengan lwekan ditambah menjadi 7 bagian, tapi......
Lo In masih berdiri ditempatnya sambil bersenyum geli.
Rupanya ia masih merasa lucu atas kelakuan si iblis.
Memang, kalau anak kecil biasanya yang dikebut pasti akan
jungkir balik dan mungkin jatuh pingsan. Tapi kali ini Lo In
yang dikebas, tidak bisa mempan sebab tenaga dalam Lo In
ada diatasnya si Iblis Alis Buntung.
"Silahkan, kau mau bunuh Toa-hek ?" tanya Lo In ketika
melihat si iblis berdiri tertegun.
Sebagai tokoh iblis yang ditakuti sepak terjangnya, tentu saja
Siauw Cu Leng tidak mengira dapat dijatuhkan demikian
mudah oleh satu anak kecil yang masih ingusan, kata hati
kecilnya. Ia lalu lompat menerjang, menghajar Lo In dengan kedua
tangannya yang menghembuskan angin besar. Debu dan
tanah berterbangan saking hebatnya dilanggar angin serangan
Siauw Cu Leng. Tapi Lo In sudah menghilang dari depannya.
Bukan main kagetnya, cepat ia putar tubuhnya. Dilihat Lo In
sudah berada dibelakangnya sambil anteng-anteng saja
menggendong tangan. "Tanah tidak berdosa kau hajar begitu bengis, lotiang !" Lo In
kata dengan jenaka. Malu bukan main si Iblis Alis Buntung diejek si bocah, naik
pitam dia. "Bagus, kau jaga pukulan mautku !" teriaknya
nyaring. Pukulan yang dikerahkan dengan tenaga maksimum kalau
kena tubuh Lo In bisa hancur lebur berkeping-keping, tapi lagiTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
lagi pukulan si iblis cuma bisa menghajar tanah sebab Lo In
sudah bisa menghilang lagi kemana tahu.
"Anak busuk, kau berani permainkan aku, Toan Bilo-mo ?"
bentaknya sambil celigukan, matanya mencari bayangan Lo
In. SI iblis benar heran. Entah bagaimana Lo In bergerak sebab
tahu-tahu ia hanya menghajar tanah lagi. Ia marah-marah
hanya untuk menyimpan mukanya dari perasaan malu sebab
sebenarnya telah takut bukan main dalam menghadapi si
bocah punya kegesitan yang seperti setan saja bisa
menghilang. Pikirnya, kalau tidak siang-siang angkat kaki, ia bisa susah.
Ia tahu bahwa saat itu Lo in berada di samping kirinya. Ia
bukan menyerang lagi, hanya ia lompat ke depan dan angkat
kaki terbirit-birit lari.
Lo In tidak mau tanam bibit permusuhan, makanya ia tadi
hanya lawan si iblis dengan kelincahannya saja mengelakkan
serangan-serangan. Ketika si iblis melarikan diri, ia hanya
ketawa, tidak mengejar. Tapi tidak demikian dengan si
rajawali, begitu meliaht Siauw Cu Leng lompat lari, ia juga
gerakan sayapnya menyerang dari atas. Cakarnya yang
bagaikan baja, nyaris mencomot hilang kepalanya si iblis,
kalau Siauw Cu Leng tidak menggunakan tipu 'Keledai malas
bergulingan diatas rumput', akan kemudian disusul dengan
gerakan 'Lo hie ta teng' atau 'Ikan gabus meletik', untuk ia
terus melarikan diri. Lo In tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan pertunjukan itu.
ia tidak ijinkan si rajawali mengejar terus lawannya karena ia
tahu orang itu sangat licik hingga mungkin burung
kesayangannya nanti bisa dapat celaka oleh senjata
rahasianya yang berbisa. Oleh karenanya ia lalu
memperdengarkan suitannya memanggil si rajawali untuk
terbang pulang. Tampak burung kesayangannya unjuk roman bengis dan
penasaran. "Tiauw-heng, kau kenapa begitu marah pada dia ?" tanya Lo
In seraya elus-elus sayapnya, sebagaimana biasa unjuk
kesayangannya. Si rajawali tidak geleng atau anggukkan kepalanya, dia diam
saja. Lo In mengerti burung kesayangannya sedang marah.
Seketika itu ia ingat akan kejadian si burung raksasa
menderita luka, ia terkena anak panah beracun. Maka cepat ia
pungut anak panah yang barusan menancap dipundaknya
Toa-hek. Ketika ia perhatikan dengan seksama, lantas ia
mengerti bahwa yang memanah si rajawali adalah si Iblis Alis
Buntung. Pantesan burung kesayangannya begitu marah pada
Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng.
"Tidak apa, lain kali kita ketemu, kita akan kasih hajaran
padanya." menghibur Lo In pada burung garudanya. Si
rajawali kali ini, mendengar Lo In mengucapkan kata-katanya
telah memanggutkan kepalanya.
Kenapa Toa-hek bertempur dengan Toan Bilo-mo Siauw Cu
Leng " Itu adalah kebetulan kesompokan di jalanan. Ketika Siauw Cu
Leng sedang jalan lewati pohon, tiba-tiba ada bayangan
lompat dari atas. Ia kaget, cepat balik tubuhnya dan ia lantas
berhadapan denga Toa hek sebab bayangan tadi memang
Toa-hek yang barusan turun dari pohon.
Sebenarnya, kalau Siauw Cu Leng tidak timbul niatan ingin
menaluki si orang utan, ia teruskan jalannya, tentu tidak akan
ada kejadian apa-apa, sebab Toa-hek juga tidak
perdulikannya. Apa mau, Siauw Cu Leng ketarik dengan tubuhnya Toa-hek
yang tegap dan kokoh kuat. Pikirnya, kalau ia bisa taluki orang
utan ini dan dijadikan pembantunya, ada baiknya juga untuk
disuruh-suruh. Segera ia datang mendekati, ia mulai
mengganggu, mengundang kemarahan Toa-hek. Ia berhasil
sebab Toa-hek lantas kedengaran menggerang gusar.
Dengan gerakan 'Hek houw tam jiauw' atau 'Macan hitam
mencengkeram', ia lompat menerjang. Tangan kanannya
menyambar lengan kiri Toa-hek, sedang tangan kiri, dengan
dua jarinya meluncur mau menotok 'hongbun-hiat', jalan darah
di pundak kanan si orang utan.
Inilah gerakan yang dilakukan dengan cepat. Pikirnya, dalam
segebrakan itu ia akan bikin lawan tidak berdaya. Tapi
perhitungan Siauw Cu Leng ternyata keliru sebab Toa-hek
segera elakkan lengannya yang hendak dicekal sedang
tangan kiri si iblis yang hendak menotok pundak sudah kena
ditangkis keras sekali hingga si iblis lompat mundur saking
kaget dan kesakitan. "Apa mungkin monyet ini bisa ilmu silat ?" ia menanya dirinya
sendiri, sambil matanya mengawasi Toa-hek.
Tapi si orang utan yang sudah marah, tak mengasih
kesempatan untuk Siauw Cu Leng banyak menanya-nanya
dalam hatinya karena segera ia menyerang dengan tangannya
yang gede berbulu dan kepaksa si iblis harus keluarkan
kegesitannya untuk menyelamatkan diri.
Ia rada ngeri untuk kasih tangannya bentrok lagi dengan
tangan Toa-hek sebab barusan ketika ditangkis, ia rasakan
tangannya seperti ditangkis sepotong besi sampai ia rasakan
kesemputan tangannya. Sebaliknya, ia mau menggunakan
lwekang, menggempur rubuh Toa-hek, hatinya tidka
mengirakan karena ia ingin taluki si orang utan, bukannya
hendak membunuhnya. Jadi, bagaimana ia harus berbuat " Dalam berkelit sana sini,
menghindarkan sambarang tangan Toa-hek, si iblis putar
otaknya mencari jalan merobohkan Toa-hek.
Ia dapat jalan rupanya sebab sebentar kemudian ia lompat
keluar dari pertempuran, lari dikejar oleh Toa-hek.
Siauw Cu Leng menyelinap dibalik sebuah pohon besar
hampir dua pelukan, disini dia ajak Toa-hek main petak,
berputar ia disini sampai kemudian ia berada dibelakang si
orang utan. Diam-diam ia keluarkan panah beraacunnya,
terdengar Toa-hek menjerit roboh karena pundaknya kena
dilanggar senjata rahasia si iblis.
Siauw Cu Leng kegirangan. Tapi baru saja dengan terbahakbahak
ia ketawa seraya mendekati Toa-hek, dari atas pohon
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambar satu bayangan. Untung ia awas. Cepat berkelit
selamatkan diri dari serangan. "Bangsat pembokong !"
bentaknya sambil memandang orang yang membokong tadi.
Ia terkejut juga sebab yang menyerang dirinya bukanlah
manusia, tapi orang utan lagi, orang utan betina. Memang Jihek
yang datang hendak menolong suaminya yang terancam
bahaya. Segera mukanya si iblis berubah. Napsu membunuhnya
tampak dari romannya yang beringas. Ia kerahkan
lwekangnya, maksudnya hendak menghajar Ji-hek dengan
sekali pukul saja. Tapi pada saat Ji-hek terancam bahaya,
tiba-tiba terdengar suara si rajawali mendatangi, bagaikan
kapal terbang yang hendak mendarat saja, si burung raksasa
menyambar Siauw Cu Leng. Pohon dimana si iblis berdiri ada
merintangi si rajawali menyambar dengan leluasa. Maka ia
serempet Siauw Cu Leng dengan sayapnya hingga si iblis
terpental bergulingan, sebelum ia berdaya untuk
menyelamatkan dirinya. Ia bergulingan menjauhi pohon kemudian ia lompat bangun,
lebih jauh lagi jaraknya dari pohon yang membuat si rajawali
tidak leluasa. Maka dengan enak saja Kim-tiauw permainkan
Siauw Cu Leng dengan kebasan sayap dan cakaran kedua
kakinya yang tajam-tajam. Tapi Siauw Cu Leng ada satu tokoh
iblis yang sudah terkenal dalam kalangan Kang-ouw. Maka
tidak mudah si rajawali mencomot kepalanya yang saban kali
hampir tercakar sebab ketika si iblis dapat memperbaiki
posisinya, segera juga serangan-serangan si rajawali di balas
dengan serangan tangan yang menghembuskan angin santar.
Itulah Pek-kong-ciang, pukulan udara kosong yang digunakan
Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng.
Si rajawali dengan demikian terus ketahuan tiap
menyambarnya. Pertarungan dilakukan hebat sekali sebab si
rajawali yang kenali musuhnya yang telah melukai ia,
kelihatannya sangat bernapsu sekali hendak mencakar dan
mematuk binasa musuhnya itu.
Siauw Cu Leng menggempur dengan hati-hati, ia pun sudah
siapkan panah beracunnya untuk merobohkan si rajawali.
Justru ia sudah siap, tiba-tiba terdengar suitannya Lo In.
Suitan pertama si rajawali belaga pilon, tapi suitan kedua yang
nadanya agak keras, membuat si rajawali tak dapat
meremehkan panggilan tuannya dan ia putar tubuh melayang
balik menyampari Lo In. Siauw Cu Leng menyesal sekali ia terlambat melepas panah
beracunnya karena gara-gara suitan Lo In. Oleh karena itu
juga, maka Siauw Cu Leng sudah mendatangi Lo In dan
marah-marah di depan si bocah seperti orang gila. Tapi
kesudahannya ia kena dipecundangi si jago kecil dengan
hanya menggunakan kegesitan entengi tubuhnya saja.
Toa-hek sangat berterima kasih atas pertolongan Lo In.
Tiba-tiba ia jatuhkan diri, menyembah di depan si jago cilik.
"Kau terlalu menghargai aku, Toa-hek. Bangunlah !" berkata
Lo In sambil tepuk-tepuk pundaknya Toa-hek.
Lo In berjaln pulang dengan diiringi oleh tentara keranya.
Dalam perjalanan, Lo In berpikir mungin dalam lembah itu
bukan ia sendiri manusia yang menjadi penghuninya.
Munculnya si Iblis Alis Buntung sudah tentu ada kawankawannya
pula yang turut dengannya. Berpendapat bahwa
disekitarnya lembah mesti ada orang-orang lainnya pula yang
tinggal, maka dalam hatinya jago cilik kita ingin ia ketemukan
mereka itu untuk menanyakan keterangan kalau-kalau
diantaranya ada yang mengetahui tentang jejaknya Liok
Sinshe. Meskipun hampir dua tahun sudah, Lo In menjadi penghuni
lembah, belum pernah ia melupakan Liok Sinshe. Tiap hari ia
masih terus mencari jejaknya Liok Sinshe. Malah tentara
keranya dikerahkan untuk membantu mencarinya. Ia sangat
mencintai Liok Sinshe yang ia anggap sebagai pengganti
orang tuanya, yang ia tidak tahu siapa dan dimana adanya
sekarang. Tiga hari sejak kejadian diatas, Lo In dengan sendirian coba
melakukan pemeriksaan disekitarnya tempat dengan
pengharapan ia akan bertemu dengan orang yang ia dapat
ajak bicara. Ia menerobos sana menerobos sini, diantara
pepohonan yang lebat sampai akhirnya ia mendekati satu
rimba bambu. Tidak jauh dari sini, ia lihat ada sebuah sungai
kecil. Ia datang mendekati, duduk ditepinya untuk melepaskan
lelah. Belum lama ia duduk, terbawa oleh silirannya angin, sayupsayup
ia seperti mendengar ada orang yang merintih. Ia kaget
kapan ia tegasi, rintihan itu keluar dari jalanan masuk ke rimba
bambu tadi. Siapakah gerangan yang merintih itu " Dalam hatinya, ia
girang dapat menemukan manusia disitu, tetapi juga kuatir
bahwa ia akan terlambat dapat menolong orang yang dalam
kesulitan itu sebab dari suara rintihannya, orang itu seperti
mendapat luka berat. Dengan beberapa kali lompatan saja, Lo In sudha masuk ke
dalam rimba bambu. Di pinggiran jalan ia nampak ada satu nenek yang sedang
rebah merintih. Ia datang mendekati, ia pegang lengannya si nenek dari
belakang sebab si nenek sedang rebah miring. "Kau kenapa,
Popo ?" tanya Lo In.
Lo In menduga si nenek bisa silat sebab dari dandanannya
ada lain dari kebanyakan nenek-nenek. Juga ia lihat, tidak
jauh dari si nenek, ada kedapatan sepotong besi, panjang tiga
kaki. Rupanya potongan besi itu yang merupakan toya
pendek, ada gegumamnya si nenek yang roboh merintih.
Merasa lengannya dipegang orang, si nenek berbalik dan
memandang Lo In. "Oh, anak." sahutnya. "Aku terluka berat oleh itu anjing keparat
!" Paras mukanya si nenek kelihatan seperti yang marah dan
penasaran. "Siapa yang lukai Popo ?" tanya Lo In.
"Ah, kalau diceritakan, gemas sekali aku pada si keparat ! Aku
hanya kalah sejurus saja, apa mau betisku kena ditendang
oleh tendangan geledeknya hingga aku rubuh tidak ampun
lagi. Untung dia tidak barengi mengemplang kepalaku dengan
toyaku yang dia rampas. Kalau sampai begitu, celaka aku si
nenek sekarang sudah mampus !" demikian si nenek menutur.
Ia tidak menjawab langsung pertanyaan Lo In.
Si nenek sambil bercerita, sembari bangkit dari rebahnya dan
duduk. Lalu gulung kaki celananya yang kanan. "Nih, kau lihat.
Bukankah orang itu amat kejam ?" si nenek sambung
bicaranya sambil menunjuk pada lukanya.
Lo In lihat, benar saja betisnya matang biru akibat tendangan
lawannya. "Siapa yagn lukai Popo ?" Lo In ulangi pertanyaannya tadi.
Si nenek mengawasi Lo In sebentar, lalu berkata, "Ah, kau
masih kecil. Barangkali kau belum kenal dia. Dia itu ada satu
iblis kejam. Namanya Siauw Cu Leng dengan gelarnya si 'Iblis
Alis Buntung'. Anak, sebaiknya kau tolong aku dari pada kau
tanyakan orang yang mencelakai aku sebab toh kau tidak bisa
berbuat apa-apa untuk membalaskan sakit hatiku si nenek !"
Lo In hanya mendehem. Lalu ia segera mau periksa lukanya si
nenek, tapi ia urungkan ketika si nenek berkata lagi, "Eh,
tunggu dulu. Kau tentu mau tahu juga aku berhantam dengan
si iblis, bukan ?" Lo In hanya manggutkan kepala.
"Lantarannya ia menuduh aku sudah menemukan buah 'Jitgoat-
ko' dan aku sudah memakannya sendiri." kata pula si
nenek. "Apa buah 'Jit-goat-ko' itu ?" tanya Lo In.
"Jit-goat-ko," sahut si nenek. "Bentuknya mungil sebesar telur
angsa, warnanya merah putih. Siapa makan ini, tubuhnya
akan kuat luar biasa. Kalau yang pandai silat, lwekangnya
meningkat. Makan satu seperti tambahan tenaga dalam dari
latihan 5 tahun. Makan dua sebagai berlatih 10 tahun. Siapa
yang dapat makan buah ini, rejekinya besar. Mana aku si
nenek punya itu rejeki dapatkan buah yang demikian, tapi
difitnah oleh si jahat itu sampai aku rasakan semaput betisku
ditendang olehnya. Baik, nanti ada satu waktu, aku akan bikin
perhitungan padanya. Ia tak nanti lolos dari pembalasanku !"
Sementara si nenek nyerocos cerita, Lo In diam-diam merasa
terkejut dalam hatinya. Ia tidak sangka buah 'Jit-goat-ko' ada
demikian besar khasiatnya. Pantas dia makan dua buah itu,
tenaganya tambah entah berapa puluh lipat hingga ia bikin
tidak berkutik Toa-hek dan si rajawali, dua teman dalam
latihannya. Kalau begitu, pikirnya, tenaganya meningkat
seperti juga ia berlatih sepuluh tahun sudah lwekangnya.
Parasnya si bocah yang terkejut, tidak lepas dari matanya si
nenek yang berkilat sebentaran, lalu berkata pada Lo In,
"Anak, coba kau tolong periksa lukaku. Aku rasakan sangat
sakit !" Lo In menurut, ia tekuk lututnya dan memeriksa luka si nenek.
Tiba-tiba terdengar suara 'buk !' disusul oleh jeritan 'aiyoo !'
dari Lo In berbareng badan si bocah lantas rebah terkulai.
Kiranya Lo In kena dibokong si nenek. Ia kena perangkap
sebab si nenek sebenarnya bukan terluka. Betisnya yang
matang biru hanya buatannya sendiri dengan mengerahkan
tenaga dalamnya, disalurkan ke betisnya hingga timbullah itu
tanda seperti yang benar kena ditendang orang.
Lo In masih kecil, belum kenal kecurangan manusia. Ia masih
belum berpengalaman dalam rimba persilatan yang banyak
akal-akal busuk yang dilakukan orang-orang jahat. Ia percaya
saja akan obrolannya si nenek. Ketika ia tekuk lutut, nunduk
untuk periksa luka yang dikatakan si nenek jahat, tiba-tiba
dengan kejam si nenek membokong Lo In dengan tenaga
sepenuhnya. Tentu saja Lo In yang tidak berjaga-jaga, sekali digebuk ia
jatuh setelah mengeluarkan jeritan 'Aiyoo !' yang
mengenaskan. "Hehehe !" si nenek tertawa terkekeh-kekeh sambil bangkit
dari duduknya dan mengawasi korbannya yang rebah
tengkurup, tidak sadarkan diri.
"Bagus !" tiba-tiba terdengar suara orang dari gerombolan
pohon bambu, berbareng orangnya muncul. Siapa, ternyata
bukan lain orang adalah Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng sambil
ketawa-ketawa datang menghampiri.
"Anak bau !" katanya sambil menendang tubuhnya Lo In
hingga terpental bergulingan setombak jauhnya. "Rasakan
gempuran tangan ciciku !" si iblis menyerang gemas seraya
memburu dan hendak menendang lagi.
"Tahan !" kedengaran si nenek menyetop niatnya Siauw Cu
Leng yang gemas sekali pada Lo In yang pernah bikin ia lari
terbirit-birit. Siauw Cu Leng tidak jadi menendang. Ia jadi uring-uringan, ia
berkata, "Anak bau ini, buat apa ditinggal hidup " Mampusi
saja, habis perkara !"
Si nenek goyang-goyang tangannya sambil jalan
menghampiri. Dekat tubuh Lo In, ia jongkok mengawasi
parasnya si bocah yang cakap tengah telentang dengan tidak
ingat orang, mungkin napasnya sudah berhenti.
Pelan-pelan tangannya si nenek ditempelkan pada dadanya
Lo In. Ia dapatkan Lo In masih bernapas meskipun sangat
perlahan. Kembali ia mengawasi pada paras Lo In lalu
menghela napas, "Musti anak ini turunannya dia........." ia
berkata perlahan, tapi cukup nyata bagi telinganya Siauw Cu
Leng. Si Iblis Alis Buntung juga turut jongkok.
Sambil turut mengawasi si bocah yang seolah-olah sudah
tidak ada napasnya, Siauw Cu Leng menanya, "Siapa yang
kau maksudkan, cici ?"
"Dia..........dia........" sahtu si nenek bengong.
"Oh, aku tahu. Dia si orang she........." Siauw Cu Leng kata
lagi. Ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena si nenek
tiba-tiba menaruh telunjuk di mulut, bersuara "sstt !"
Siauw Cu Leng celingukan sebab tanda dari kakaknya itu
menandakan ada orang yang mengintai. Tapi ia tidak lihat
apa-apa kecuali dua monyet kecil yang sedang lelompatan di
pohon bambu. Yang satu kelihatan kepalanya putih sedang yang pendekan
matanya putih. Dua monyet itu kelihatan lucu sekali.
Setelah lama memperhatikan, mereka itu tidak mendengar
gerakan apa-apa lagi, maka Siauw Cu Leng sambil ketawa
berkata, "Ah, cici. Hanya dua binatang itu saja yang
mengagetkan kita." sambil ia menunjuk pada dua kera yang
seenaknya saja bermain lompat-lompatan saling kejar, malah
terkadang sampai mendekati mereka dengan aksinya masingmasing
yang lucu. Siapa si nenek itu " Ia bernama entah siapa, tapi ia terkenal
dalam kalangan kang-ouw dengan nama Ang Hoa Lobo atau
si nenek Kembang Merah. Rupanya nama ini diambil dari
kebiasaannya, pada rambutnya suka dicantum kembang yang
warnanya merah. Kepandaiannya jauh diatas Siauw Cu Leng.
Namanya saja si iblis Siauw cu Leng memanggil cici (kakak).
Tapi sebenarnya mereka itu sudah menjadi laki bini diluar
kawin. Ang Hoa Lobo 'jago racun', disamping kepandaian silatnya
tinggi hingga Siauw Cu Leng yang biasa tidak takuti siapa
juga, ia tunduk terhadap bininya diluar kawin itu. Ia pun juga
mempunyai panah beracun buatang Ang Hoa Lobo.
Demikian, tatkala mengetahui bahwa kecurigaannya tidak
beralasan, makan Ang Hoa Lobo suruh Siauw Cu Leng
pondong Lo In untuk dibawa pergi dari tempat itu.
Siauw Cu Leng benci pada Lo In tapi ia tak dapat menolak
perintah sang ratu. Terpaksa dengan uring-uringan ia angkat
si bocah, terus dipanggul di pundaknya.
Ang Hoa dan Kim Popo, jadi sudah dua-dua nenek yang
muncul dalam cerita. Sekarang, mari kita melihat perjalanan
Kim Popo dan asal usul dua nenek itu.
Kim Popo setelah dijemur selama dua jam dibawah terik
panasnya matahari, barulah dengan sendirinya totokan si
thauto bebas. Di samping sangat gusar, ia rasakan
tenggorokannya sangat kering. Cepat ia bangkit lalu
menghampiri tongkatnya dan dipungutnya. Ia meneduh
sebentar di bawah pohon kemudian ia mencari air, kalau-kalau
didekat situ ada kali kecil yang jernih airnya.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keinginannya Kim Popo kesampaian, sebab tidak lama ia
jalan, ia menemui sebuah kali kecil yang airnya jernih
bagaikan kaca, keluar dari mata-mata air dari pegunungan.
Kegirangan dia sampai di tepi kali, ia rebahkan diri tengkurap,
tangan kanannya dipakai menyendok air. Dengan napsu, ia
minum sekenyangnya. Ia cuci muka dan cacapi kepalanya
yang barusan kena dijemur panasnya matahari.
Ia rasakan adem sekali ketika merasakan air kali itu meresap
di kepalanya. "Hahaha ! Dia ada disini !" tiba-tiba Kim Popo dibikin kaget
oleh suara laki-laki dari belakangnya. Cepat ia bergulingan
untuk menyelamatkan diri dari serangan gelap kemudian
dengan gerakan 'Ikan gabus meletik', di lain saat ia sudah
tancap kakinya berdiri sambil pegangn kencang tongkatnya.
Ia menduga si thauto yagn datang lagi. Maka ia sudah siap
untuk menempur musuhnya dengan mati-matian. Tapi ketika
ia mengawasi orang yang tertawa tadi, amarahnya dengan
seketika lenyap dan malah ia ikut ketawa dan berkata : "Koko,
kau bikin kaget orang saja. Mengapa sih suka jail begitu ?"
Tidak biasanya Kim Popo keluarkan suara dengan nada begitu
empuk dan halus. Kiranya orang itu ada 'kenalan lama' dari
Kim Popo. "Adik Kim, kau dari mana ?" tanya orang laki-laki itu.
"Kau sendiri, datang dari mana dan mau kemana ?" balik
tanya Kim Popo sambil melirikkan matanya.
"Ah, adik Kim. Kau belum jawab pertanyaanku." kata lagi
orang laki-laki itu sambil jalan menghampiri dekat pada si
nenek. "Aku..... aku, eh......... kau........." sahut Kim Popo, agak gugup
suaranya. Laki-laki itu telah mencekal tangannya Kim Popo yang kurus,
dengan tangan kanan ia mencekal, sedang tangan kirinya
memegang lengan kanan si nenek sehingga si nenek coba
berontak dari cekalan dan pegangan si lelaki sambil
mengucapkan kata-kata yang gugup tadi.
Berontaknya Kim Popo hanya 'aksi' atau pura-pura saja.
Sebab iahanya sebentaran saja beraksi demikian. Selanjutnya
ia jinak, antapkan perbuatannya si laki-laki tadi sambil
tundukkan kepala seperti anak dara yang malu-malu kucing.
Orang akan merasa geli dan lucu, melihat adegan yang 'luar
biasa' itu. Kim Popo yang terkenal dengan adatnya yang angin-anginan
dan kepala batu, eh, bolehnya begini jinak pada lelaki yang
dihadapinya malah mengunjuk aksi manja aleman, bagaikan
anak perawan usia sweet-seventeen.
Siapakah lelaki itu " Siapa Kim Popo itu "
Marilah kita menuturkan 'kisah roman' dari mereka yang cukup
menarik. Di sebelah barat kota Hoa-im dalam provinsi Siamcay, ada
tinggal bekas piauwsu (pengawal antaran barang) bernama
Kong Tek Liang. Ia terkenal dengan ilmu tongkatnya yang
dinamai 'Thian-lo Sin-kuay-hoat' atau 'Ilmu silat tongkat sakti
jatuh dari langit', terdiri dari 6 jalan dan masing-masing jalan
ada mempunyai 8 jurus, sama sekali jadi 48 jurus.
Dengan kepandaiannya ini, ia banyak taluki penjegal-penjegal
atau perampok-perampok besar, dalam perjalanan mengawal
barang-barang antaran. Ketika ia masih jadi piauwsu,
sehingga namanya terkenal dengan julukan Sin-kuay piauwsu
atau Piauwsu Tongkat Sakti. Setelah berusia tua, ia dengan
sendirinya mengundurkan diri dan menetap di sebelah barat
kota Hoa-im. Kong Tek Liang mempunyai anak perempuan bernama Kong
Kim Nio, yang sangat dimanjakan karena ia hanya puteri satusatunya.
Di samping Kong Kim Nio, si Piauwsu Tongkat Sakti
mempunyai dua murid bernama Siauw Cu Leng dan The Sam.
Kim Nio ada berparas cantik menarik hingga Siauw Cu Leng
dan The Sam tergila-gila oleh kejelitaannya Kim Nio.
Siauw Cu Leng parasnya cakap tapi sifatnya licik dan agak
ceriwis. Sebaliknya The Sam, meskipun kalah cakap dari
Siauw Cu Leng, ia lebih pandai dalam merayu si dara. Hatinya
Kim Nio lebih mendoyong pada The Sam, pergaulan mereka
pun menjadi lebih erat oleh karenanya.
Pada suatu hari, Kim Nio duduk berduaan dengan The Sam
beromong-omong dalam sebuah taman bunga yang terdapat
dipekaranagn rumah Kong Tek Liang yang lebar luas. Mereka
begitu asyiknya ngobrol sampai tak disadari dua tangan
mereka saling pegang. "Adik Kim," terdengar suara The Sam berkata dengan suara
perlahan. "Mungkinkah kita bisa jadi kawan seumur hidup ?"
"Kenapa tak mungkin, koko ?" sahut Kim Nio dengan mukanya
bersemu merah sebab seketika itu ia merasakan pegangan
tangannya The Sam makin erat dan duduknya menggeser
lebih dekat lagi. "Aku kuatir kau tidak menjadi milikku, adik Kim." kata The
Sam, suaranyaagak gemetar.
"Kenapa kau memikir begitu, koko ?" tanya Kim Nio seraya
tarik tangannya yang dipegang erat-erat oleh The Sam.
Tapi The Sam tidak mau melepaskan tangan yang ditarik
pulang itu, malah ia menggunakan dua tangan menggenggam,
seolah-olah takut tangan si gadis yang lemas halus laksana
kapas itu terlepas. Kim Nio juga tidak memaksa, ia antapkan
tangannya dalam genggaman kedua tangan The Sam yang
kuat. Hatinya tiba-tiba memukul melihat The Sam duduknya
makin menggeser saja merapati tubuhnya.
"Adik Kim........" kata The Sam, suaranya hampir tidak
kedengaran. "Kenapa, koko ?" tanya Kim Nio terkejut, melihat gerak gerik
The Sam. Anak muda itu mengawasi parasnya si nona, dari sela-sela
matanya The Sam menetes air mata turun mengalir di kedua
pipinya. "Kau kenapa, koko ?" Kim Nio ulangi pertanyaannya, heran
melihat The Sam menangis.
"Aku mencintai kau, tapi aku akan kehilangan kau......." sahut
The Sam. Ia menangis, seperti anak kecil.
-- 6 -- Kim Nio makin heran. Sambil tarik lepas tangannya dari
genggaman The Sam, ia berkata, "Koko, kau omonglah yang
jelas. Jangan kau menangis tidak karuan, membuat aku jadi
menghadapi teka teki."
"Adik Kim, boleh aku bicara terus terang ?" tanya The Sam
setelah menyusut air matanya.
"Kenapa tidak boleh." sahut Kim Nio. "Kau ceritalah dengan
tenang." "Adik Kim, aku bakal kehilangan kau sebab kau sudah
ditunangi dengan Suheng Siauw Cu Leng dan...." sampai
disini bicara The Sam mandek karena dipotong oleh Kim Nio.
"Dari mana kau tahu ini ?" Kim Nio memotong, seraya bangkit
dari duduknya, berjingkrak saking kaget.
"Suhu yang ceritakan ini padaku." sahut The Sam.
"Kenapa ayah tidak cerita tentang ini padaku " Aku heran !"
kata Kim Nio. "Dengan pertunangan ini, hilanglah pengharapanku. Bukankah
itu berarti aku akan kehilangan kau, adik Kim ?" The Sam
berkata lagi sambil tundukkan kepala.
Kim Nio melihat si pemuda yang putus harapan, merasa amat
kasihan. Hatinya, meskipun suka pada kecakapan Siauw Cu Leng,
sebanding kalau menjadi suami istri, tapi ia tak dapat melupai
Ji suhengnya (kakak kedua dalam perguruan), yang ia cintai
dengan hati murni. Sebagai tanda bahwa ia lebih mesra
terhadap The Sam, terbukti dari panggilannya. Ia seharusnya
memanggil Ji-suheng pada The Sam tapi ia hanya memanggil
'koko' saja. Sebab pikir Kim Nio, panggilan ini ada lebih mesra
kedengarannya. Tangang Kim Nio yang halus tiba-tiba diangkat lalu memegang
dagu The Sam, diangkat hingga dua pasang mata bertemu
pandangan. "Koko, kau jangan kuatir. Aku akan menjadi
milikmu......." kata Kim Nio menghibur, mulutnya yang mungil
menyungging senyuman yang tak dapat dilupakan oleh si
pemuda yang kuatir kisah cintanya akan menjadi tamat.
Tampak The Sam pun bersenyum setelah mendengar katakata
Kim Nio. Badannya tiba-tiba bergerak maju dan dilain
saat tampak Kim Nio sudah berada dalam rangkulannya The
Sam, jinak sekali kelihatannya.
The Sam mencium pipi kanannya Kim Nio perlahan sambil
berbisik, "Adik Kim......"
"Ya....... koko........." sahut Kim Nio sambil merasakan ciuman
hangat dalam pelukan kekasih yang ia sangat cintai.
"Adik Kim, boleh aku menciummu lagi ?" bisik The Sam lagi.
Kim Nio hanya manggut, bersenyum dan segera ia merasakan
ciuman hangat di pipi kirinya. Keduanya saling peluk dengan
penuh kasih. "Ha ha ha !" sekonyong-konyong terdengar suara ketawa
mengejek. Dua makhluk yang sedang asyik dalam lautan asmara terkejut,
melepaskan pelukannya dan masing-masing lompat
menjauhkan diri satu sama lainnya.
Di situ tambah satu orang ialah Siauw Cu Leng. Dengan suara
sinis, Siauw Cu Leng berkata, "Bagus, bagus ya, perbuatan
bagus !" Kim Nio berdiri tercengang, sedang The Sam tundukkan
kepala seakan-akan persakitan yang merasa bersalah.
Tampak Kim Nio tekap mukanya dengan kedua tangannya, ia
menangis saking malunya lalu lari masuk ke dalam rumah.
"The Sam !" bentak Siauw Cu Leng kasar.
"Apa kau tidak tahu adik Kim sudha menjadi milikku " Apa kau
belaga pilon dengan perkataan suhu ?"
The Sam tidak menyahut, ia hanya tundukkan kepalanya.
Siauw Cu Leng sebenarnya bukanlah dengan sengaja
mengintip perbuatan mereka, tapi secara kebetulan saja.
Ketika ia ke belakang, ia masuk ke taman bunga mau memetik
sekuntum bunga untuk dihadiahkan pada Kim Nio, apabila
sebentar sore pertunangan mereka diberitahukan pada si jelita
oleh suhunya. Kong Tek Liang mengambil keputusan Siauw Cu Leng
sebagai mantunya berdasarkan perhitungan bahwa Siauw Cu
Leng cakap parasnya, pintar mengambil hati sang suhu, juga
dengannya ada hubungan famili. Ibunya Siauw Cu Leng ada
adik piauwnya yang menikah dengan orang she Siauw. Atas
permufakatan kedua orang tua, ialah Kong Tek Liang dan
ibunya Siauw Cu Leng, bapaknya sudah mati, mereka setuju
merangkapkan jodoh anak-anaknya.
Kepada Kim Nio sendiri, Kong Tek Liang belum memberi
tahukan tentang pertunangan itu karena Sin-kuay Piauwsu
mau mencari kesempatan yang baik sehingga anaknya tidak
menjadi terkejut. Kong Tek Loang tahu bahwa anaknya ada
lebih mencintai The Sam, maka dengan perlahan ia
merenggangkan dahulu pergaulannya kedua orang muda itu.
Kepada The Sam ia sudah beritahukan. Maksudnya supaya
The sam mengundurkan diri karena Kim Nio sudah menjadi
miliknya Siauw Cu Leng. Si orang tua tidak mengira, bukannya
The Sam mundur, malah makin merapat hubungannya hingga
terjadi adegan yang dipergoki Siauw Cu Leng.
Siauw Cu Leng yang pergoki bakal istrinya dipeluki orang,
bukan main marahnya. Ia sudah lantas mau menerjang dan
gebuk mampus The Sam, tapi ia takut salah pukul sehingga
bukannya The Sam yang terpukul tetapi malah tunangannya.
Maka ia hanya perdengarkan suara ketawanya yang bernada
mengejek. Sekarang mereka hanya berduaan saja, makin meluap
kegemasan Siauw Cu Leng. "Bangsat she The, kau terlalu kurang ajar !" teriaknya. "Berani
kau merebut bakal istriku " Nih, rasain !"
Berbareng ia menerjang. Kepalanya The Sam menjadi
sasaran dengan gerakan "Tok pek Hoasan' atau 'Menggempur
gunung Hoasan'. Serangan dilakukan dengan cepat luar biasa,
dibarengi dengan hawa amarah yang meluap-luap. Tidak
heran kalau kepalanya The Sam yang sedang nunduk bisa
berantakan otaknya kalau saja pukulan Siauw Cu Leng
mengenakan sasarannya. The Sam tahu datangnya bahaya, cepat ia kelit ke kanan.
"Tahan !" serunya.
Siauw Cu Leng tarik pulagn tenaganya yang mengenakan
sasaran kosong. Lalu dengan mata melotot menanya, "Kau
mau bicara apa lagi " Terima sajalah kematianmu ini hari !"
Berbareng dengan itu ia juga sudah lantas mau menyerang
lagi. "Kau adalah suheng dan aku adalah sute. Tidak seharusnya
bila kakak adik mesti berkelahi. Maka haraplah suheng suka
bersabar." kata The Sam seraya mengelakan tubuhnya,
berkelit sana sini untuk menghindari serangan Siauw Cu Leng
yang dilancarkan bertubi-tubi.
"Hmm !" mendengus Siauw Cu Leng sambil serangannya tidak
ia hentikan. "Maaf suheng kalau aku kurang ajar !" kata The Sam seraya
kali ini, ia tidak mau mengalah terus terusan.
Dua saudara dalam seperguruan itu jadi saling gasak dengan
serunya. Dalam tempo pendek saja, sudah lewat 28 jurus. Siauw Cu
Leng sangat penasaran untuk dapat menjatuhkan saudara
mudanya. Dua saudara itu, sebenarnya kepandaiannya tidak berimbang.
Dengan kata lain dapat dikatakan Siauw Cu Leng selangkah
lebih unggul sebagai saudara tua. Tapi oleh karena Siauw Cu
Leng berkelahinya dengan bernapsu, maka ia telah menelan
pil pahit dari The Sam. Sehingga terbitlah suatu kejadian. Ketika ia menggunai tipu
'Hiu hi lian po' atau 'Ikan cucut menerjang gelombang'.
Kepalan kirinya menjotos muka, sedang tangan kanannya
dengan dua jarinya meluncur menotok 'hoa kay hiat', jalan
darah di pundak kiri The Sam.
Serangan cepat itu dilakukan hampir berbareng, tapi The Sam
juga tidak kurang cepatnya untuk menyelamatkan diri. Tangan
kanan menangkis jotosan ke muka sambil kelit miring ke kiri
berbareng ia menyambar lengan kanan lawan yang hendak
menotok pundaknya. Ia menggennak sejenak, kemudian
tangannya membalik, menghajar dada Siauw Cu Leng yang
terjerunuk ke depan. Ini adalah jurus 'Sin-chiu Pa-houw' atau 'Tangan sakit
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggempur macan', jurus keempat dari jalan kelima dari
'Thian Lo Sin-kuay-hoat', ilmu silat tongkat sakti yang menjadi
kebanggaannya Sin-koay Piauwsu Kong Tek Liang.
Telak hajaran The Sam didadanya Siauw Cu Leng sehingga ia
rubuh seketika setelah mengeluarkan jeritan ngeri, dari
mulutnya kontan menyemburkan darah panas dan ia jatuh
pingsan. The Sam jadi ketakutan. Ia bukannya datang menolong,
angkut sang suheng ke dalam rumah untuk minta pertolongan
suhunya, sebaliknya ia malah angkat kaki dari situ untuk
melenyapkan diri. Siauw Cu Leng menggeletak dengan tak sadarkan diri.
Kong Tek Liang yang barusan pulang habis menamu ke rumah
temannya, diberitahukan oleh Kim Nio, dua suhengnya tengah
berkelahi. Lantas buru-buru melihat ke belakang dengan
maksud mau memisahkan, tapi sudah terlambat. Disitu ia
hanya dapatkan Siauw Cu Leng terlentang pingsan
berlumuran darah. Bukan main kagetnya sang guru. Cepat-cepat ia memberikan
pertolongannya setelah memeriksa lukanya di dada, ia
pondong murid kepalanya itu dibawa masuk ke rumah.
Kim Nio mengikuti dari belakang sambil menangis
sesenggukan. Si Tongkat Sakti marah-marah dan mengeluarkan ancaman
hendak menghukum The Sam tapi sejak itu tidak kelihatan
pula mata hidungnya sang murid, apalagi pulang ke rumah.
Hal mana sangat mendukakan hatinya Kim Nio.
Karena kejadian itu, karena gara-garanya Kim Nio, maka sang
ayah bertindak bengis menghukum Kim Nio disuruh merawati
dirinya Siauw Cu Leng sampai sembuh.
Mau tidak mau Kim Nio menurut, tidak berani ia
membangkang. Apalagi ia mengingat tiada orang lain yang
dapat merawati Siauw Cu Leng, selain ia berdua ayahnya
yang sudah lanjut usianya.
Dalam perawatan, Kim Nio bersungguh-sungguh sebab ia
merasa berdosa. Ia yang menyebabkan luka parahnya sang
suheng. Maka dengan berangsur-angsur Siauw Cu Leng mulai
sembuh dari luka parahnya.
Di waktu sakit tak dapat bangun, Siauw Cu Leng sering
ditolong Kim Nio, mengangkat bangun dari tidurnya untuk
minum obat. Pun sering membantu ayahnya mengurut-urut
jalan darahnya sang suheng supaya lancar lagi. Dengan
sering bersentuhan badan dan mata pandang memandang,
hatinya Kim Nio pelan-pelan terpikat juga pada Siauw Cu
Leng, lupa ia pada The Sam yang sekarang entah ada
dimana. Sering Kim Nio menemani sang suheng duduk di tepi
pembaringannya, kasak kusuk mengobrol ketawa-tawa. Dari
memegang jari terus ia memegang tangan, lalu ke lengan. Kim
Nio antapkan tangan nakal si ceriwis, malah ia bersenyum.
Tapi alangkah kagetnya, tiba-tiba Siauw Cu Leng meniup
padam api lilin. Kim Nio rasakan tangannya ditarik hingga ia
terjerunuk menubruk badannya si bangor di atas pembaringan.
Kim Nio berontak tapi sudah terlambat, dua tangan yang kuat
telah memeluk dirinya. Kim Nio memberontak, tapi tidak berdaya karena ciuman si
ceriwis Siauw Cu Leng yang bertubi-tubi membuat badannya
jadi lemas tak bertulang.
"Adik Kim,... oh...'
"Suheng.... ah...."
Hanya kata-kata ini yang terdengar sejenak dari lubang kunci
pintu kamar Siauw Cu Leng, sayup-sayup kedengarannya
seperti terbawa hembusannya angin.
Itulah kisah pada suatu malam, dimana si Tongkat Sakti Kong
Tek Liang tidak ada di rumah, lagi main tio-ki (catur Tionghoa)
di rumah tetangganya. Masih terdengar suaranya Kim Nio, sayup-sayup jauh disana,
tapi tegas : "Jangan suheng, jangan........"
Lantas sang malam pun menjadi sunyi senyap.......
Sejak itu, dua minggu kemudian dalam rumah Sinkuay
Piauwsu Kong Tek Liang diadakan keramaian, pesta
pernikahan Kim Nio, puteri tunggalnya dengan Siauw Cu
Leng. Banyak kawan-kawannya Kong Tek Liang yang datang
meramaikan pesta itu. Diantara tetamunya yang kelihatan sangat dihormati adalah
Teng Siu bersama anak perempuannya bernama Teng Goat
Go yang tinggal di sebelah selatan rumahnya Kong Tek Liang.
Melihat dirinya dihormati lebih dari tetamu yang lainnya, Teng
Siu tampaknya amat angkuh, seakan-akan ia tidak
memandang mata pada banyak tetamu yang hadir dalam
pesta itu. Maka, untuk mereka yang gampang tersinggung
hatinya, tidak mau mendekatinya, kuatir nanti terbit urusan
yang tidak diingini. Sebenarnya, memang Teng Siu orang takuti. Ditakuti bukan
kepandaian ilmu silatnya yang tinggi atau ia seorang hartawan
besar, ia disungkani kawan dan lawan karena 'racun'nya. Ia
sangat mahir membuat racun hingga dalam kalangan 'hitam'
(kawanan penjahat), ia sangat dihormati karena banyak
diantara kawanan jahat itu yang membuat senjata rahasianya
dengan bisa yang diperoleh dari Teng Siu. Dalam kalangan
jahat, orang hanya kenal nama julukannya Hoa-im, si orang
beracun dari Hoa-im. Anak perempuannya, Goat Go yang umurnya 24 tahun sebaya
dengan Kim Nio, sudah mewarisi kepandaiannya sang ayah.
Dengan Kim Nio, Goat Go kenal baik sebab teman dalam satu
sekolahan. Meskipun parasnya cantik, Goat Go hatinya tidak cantik. Jelus,
gampang mengiri. Maka tidak heran kalau ia mengiri pada Kim
Nio yang dapatkan Siauw Cu Leng sebagai suami yang
ganteng. Seperti juga dengan Kim Nio, Goat Go siang-siang sudah
kehilangan ibu, meninggal dunia pada waktu ia berusia 8
tahun. Ia hidup bersama ayah dan Twa-ienya (kakak
perempuan ibunya) yang menggantikan sang ibu yang sudah
berada di alam baka. Goat Go lebih dimanja oleh orang tuanya dibandingkan
dengan Kim Nio, kemerdekaannya tidak dikekang. Ia boleh
pergi melancong seharian atau satu malaman tidak pernah
ditegur oleh ayahnya, yang percaya penuh Goat Go bisa jaga
diri sendiri. Begitulah, ketika ia habis pulang dari undangan, otaknya
bekerja untuk mencari pasangan yang lebih cakap dari
suaminya Kim Nio. Ia memang cantik menarik, banyak pemuda yang incar dirinya
tapi tidak berani majukan lamaran karena pengaruh sang ayah
yang termashur biasanya. Juga disekitar kampungnya, Goat Go tidak menemui orang
yang secakap suami Kim Nio. Mana ia mau ladeni mereka
yang mengincar dirinya. Ia justru ingin cari orang yang lebih
cakap dan ganteng dari Siauw Cu Leng.
Teng Siu tidak memikirkan akan jodohnya sang puteri. Ia
hanya menyerahkan atas pilihan anaknya, ia hanya akur saja.
Pikirnya, ini demi keberuntungna anak tunggalnya.
Pada suatu hari, selagi Goat Go ngelayap, ia mampir dalam
sebuah rumah makan hendak mengisi perutnya yang lapar.
Sikapnya galak betul, main bentak saja kepada pelayan yang
melayaninya. Tapi si pelayan melayani ia dengan ramah
tamah, meskipun dibentak-bentak. Ini karena si pelayan,
siang-siang sudah mendapat bisikan dari majikannya supaya
melayani si nona dengan baik dan manis budi meskipun si
nona berlaku galak kepadanya.
Majikan rumah makan itu sudah tahu ketika Goat Go masuk, ia
kenali itu ada puterinya Hoa-im Tok-jin, maka cepat-cepat ia
bisiki pelayan yang hendak melayaninya supaya layani
dengan baik sehingga tidak terbit onar.
Meskipun si pemilik rumah makan sudah atur demikian rapih,
toh terjadi juga keonaran, tak dapat dicegah. Sebabnya, Goat
Go marah-marah lantaran si pelayan salah membawakan
santapan yang ia pesan. Makanan itu semestinya dibawa ke
meja seorang tamu anak muda yang duduk di pojok, tapi ia
salah bawa ke mejanya si nona. Rupanya ia sangat bingung
karena dipesan lekas-lekas membawa makanan pesanannya
si nona. Dalam marahnya, Goat Go angkat mangkok sayur
yang masih mengepul panas lalu disiramkan ke mukanya si
pelayan. Siapa, sudah tentu saja menjadi gelagapan dan
berteriak-teriak kepanasan mukanya. Para tamu menjadi
tercengang melihat perbuatannya Goat Go.
Mereka yang kenali si nona, pada membayar uang makannya
di tempat kasir dan ngeloyor pergi. Sedang tamu-tamu yang
datang dari lain tempat pada berdiri dari bangkunya
mengawasi Goat Go. Mereka sangat tidak senang melihat
kelakuan si nona yang demikian keterlaluan.
Termasuk si anak muda yang duduk di pojok, yang sayurnya
disiramkan ke muka si pelayan. Merasa tidak puas, ia datang
menghampiri ke tempat Goat Go yang saat itu sedang
terpingkal-pingkal ketawai si pelayan yang gelagapan
kepanasan mukanya, sambil kedua tangannya dipakai
menekap muka. Sambil tolak si pelayan minggir, anak muda itu maju
mendekati Goat Go berkata, "Cici, perbuatanmu sangat
keliwatan !" Si nona heran ada orang berani menegur kelakuannya. Ia
angkat kepalanya memandang. Kiranya yang menegur itu
seorang anak muda, dandanannya sebagai pelajar, di
punggungnya ada terselip sebatang pedang pendek.
Pengawakannya tinggi kurus, gagah dan cakap tampangnya,
mengalahkan kecakapan Siauw Cu Leng dalam pandangan
Goat Go yang tengah mencari pasangan.
Diam-diam ia tertegun memandang si anak muda. Pikirnya,
pemuda itulah yang pantas menjadi pasangan dirinya. Tapi
Goat Go wataknya tinggi hati, tidak senang ada orang tegur
dirinya. Maka setelah mengerutkan keningnya, ia bangkit dari
duduknya, menghadapi si anak muda. "Habis kau mau apa ?"
ia jawab teguran si anak muda.
"Pelayan itu tidak berbuat kesalahan beasr, kenapa kau
sampai berbuat yang begitu keliwatan ?" kata si pemuda lagi.
"Ia, habis kau mau apa ?" tantang si nona.
Tidak marah dia, mukanya tampak berseri-seri seakan-akan
pandang remeh pada anak muda di depannya. Si anak muda
tidak takut, tapi si pemilik rumah makan sebaliknya yang
ketakutan setengah mati. Meskipun takut, ia coba maju dan
ingin melerai antara dua muda mudi yang kelihatannya hendak
bergerak. "Sudah, sudah." katanya. "Kejadian itu tidak berarti, untuk apa
ditarik panjang. Sudah, sudahlah..........." sambil ajukan diri,
hendak memisahkan. "Plak !" tiba-tiba terdengar suara, kiranya itu tangannya si
nona yang mampir ke pipinya si pemilik rumah makan.
"Jangan coba melerai, aku tidak suka cecongormu muncul
diantara kita !" bentak si gadis, matanya melotot gusar.
Sambil menekan pipinya yang panas bekas tamparan si nona,
pemilik rumah makan itu mundur teratur. Hanya matanya saja
kedap kedip sambil meringis-ringis kesakitan. Kelakuan mana
mengelitik urat ketawa Goat Go sebab ketika itu ia tertawa
cekikikan sambil matanya melirik pada si anak muda.
Dalam keadaan tertegun, si anak muda dengar Goat Go
berkata : "Apa kau juga ingin rasakan ini ?" seraya unjuk
telapak tangannya yang putih halus.
"Cobalah !" sahut si anak muda, dingin suaranya.
Goat Go memang kepingin usap muka orang yang cakap,
sekarang ada jalan untuk ia berbuat demikian. Maka dalam
girangnya, seketika ia lantas angkat tangannya dipakai
menampar pipinya si anak muda.
Tapi..... tampaknya bukan mengenakan pipi orang, sebaliknya
angin yagn ditampar olehnya sebab si anak muda dengan
otomatis sudah berkelit. Merah mukanya si nona, bukan main malu dia. Maka di lain
saat ia sudah menampar lagi, malah ia gunakan tipu 'Thian lie
hun hoa' atau 'Bidadari sebarkan kembang', bukan satu tapi
dengan dua tangan ia menampar kalang kabut ke mukanya si
anak muda. Sayang gerakannya meskipun cepat, si pemuda
malah lebih cepat menghindarkan hujan tamparan itu.
Akhirnya Goat Go berhenti sendiri. Kiranya barusan ia hanya
menampari angin tok, sebab si anak muda siang-siang sudah
jauhkan diri dan berdiri di depannya dengan muka tersungging
senyuman ejek. Goat Go jadi kalap melihat si anak muda mentertawai dirinya.
"Kau berani permainkan nonamu, hmm ! Kau lihat !"
bentaknya, berbareng ia depak terpental bangku di dekatnya,
meja ia terbaliki lalu lompat pada si pemuda. Tangan
kanannya di ulur ke arah dada lawan hendak mencengkeram
sedang tangan kirinya dengan kecepatan kilat menyambar
pada 'thian-ki-hiat', jalan darah di iga kanan. Serangan ini
dilakukan dengan berbareng, ganas kelihatannya tapi si anak
muda tinggal kalem saja. Ia menunggu datangnya serangan,
begitu tangan kanan Goat Go hampir sampai di dada, tangan
kirinya si pemuda sudah siap untuk menyambuti. Sementara
tangan kanan si nona kena dicekal, adalah tangan kirinya yang
hendak menotok jalan darah di iga kena ditekan ke bawah.
Goat Go merasa sesak dadanya menahan tekanan si anak
muda yang dibarengi dengan sebagian tenaga dalam.
Si anak muda menggunakan gerakan 'Sian-jin tian chiu' --
'Sang Dewa mementang kedua lengannya', untuk menyambuti
serangannya Tong Goat Go yang hebat.
Si nona berontak-berontak untuk meloloskan kedua lengannya
yang sudah kena dicekal si anak muda. Tapi bagaimana pun
ia keluarkan tenaga sepenuhnya, tetap tangannya tak dapat
diloloskan dari cekalan lawan yang makin lama makin sakit
rasanya. Rupanya anak muda ini mau kasih sedikit hajaran
pada Goat Go yang tengik lagaknya, keterlaluan
perbuatannya. Lwekang si pemuda rupanya tinggi sebab sebentar kemudian
kelihatan Goat Go sudah tak berkutik. Itulah pengaruhnya
lwekang (tenaga dalam) yang disalurkan ke tangannya yang
mencekal tangan si nona yang membuat Goat Go merasakan
lumpuh badannya. Matanya si nona menatap si anak muda.
"Kau mau apakan kau, setan ?" tanyanya.
Ia sudah tidak meronta-ronta lagi, sudah menyerah kalah
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampaknya. "Aku mau kau ganti kerugian apa yang sudah kau rusakkan
dan uang obat untuk si pelayan yang kau siram mukanya
dengan sayur !" sahut si anak muda.
"Baik." kata Goat Go tanpa banyak pikir lagi.
Si pemuda tertegun. Ia tidak menyangka urusan begitu
gampang, si nona mau menerima permintaannya. Dalam
tercengangnya, ia masih terus mencekali kedua tangannya si
nona. "Kau masih belum mau melepaskan tanganku ?" Goat Go
tegur, suaranya halus dan ramah, membuat si anak muda
gelagapan dan buru-buru saja ia lepaskannya.
Tampak muka si anak muda bersemu merah saking jengah.
Setelah terlepas kedua tangannya, si nona urut-urut. Rupanya
ia masih merasa sakit bekas cekalan tadi. Tenaganya yang
barusan dirasakan lumpuh, sekarang sudah balik kembali.
Hatinya girang, ia tidak mendendam karena ia memang naksir
pada si anak muda. Pikirnya, anak muda ini selain berparas cakap juga
berkepandaian tinggi. Mau cari siapa lagi kalau bukan dia,
dijadikan jodohnya " Memikir sikapnya Goat Go gampang
berubah, mengherankan semua orang termasuk si pemilik
rumah makan yang masih merasakan pipinya panas bekas
tamparan si nona tadi. "Mari kita ke kasir." mengajak Goat Go pada si anak muda.
"Cici, kau baik betul." kata si anak muda tanpa merasa.
"Memang aku tidak sakit." sahutnya bersenyum sambil melirik
tajam. Si anak muda kembali tertegun. Pikirnya, anak dara ini benarbenar
aneh kelakuannya. Tadi ia begitu marah, beringas, tapi
sekarang begitu ramah dan ketawa, malah bisa melucu lagi.
Anak siapakah dia " Lirikannya tajam menusuk pusat
asmaranya. Anak muda itu mesem mendengar jawaban Goat Go yang
lucu. Ia mengikuti dari belakang si nona, tapi belum sampai di
tempat kasir untuk membikin perhitungan, si pemilik rumah
makan sudah datang menyongsong. Katanya, "Kionghi,
kionghi !" sambil angkat tangannya menyoja kepada kedua
anak muda itu. Perbuatannya mana membuat mereka jadi
heran. "Apanya yang hendak kau beri selamat ?" tanya Goat Go.
"Oh itu, kalian sekarang sudah akur lagi. Maka aku
mengucapkan kionghi kepada kalian." jawabnya seraya
ketawa haha hehe. "Oh, begitu."kata Goat Go. "Sekarang mari kita hitung berapa
kerugian yang sudah aku bikin rusak serta itu uang obat untuk
pelayanmu." "Tidak apa, tidak apa, itu tak usah." kata si pemilik rumah
makan sambil goyang-goyang tangannya. "Itu perkara kecil,
buat apa mesti diganti."
Tapi Goat Go tidak meladeni kata-kata merendah si pemilik
rumah makan, ia kedok kantongnya, keluarkan uang perakan
hancur, lalu ditaruh diatas meja.
"Cukup "' tanyanya sambil mengawasi si pemilik rumah
makan. Mengingat urusan akan berlarut-larut nanti, maka si pemilik
rumah makan terima saja penggantian si nona tanpa
menyebut 'tak usah' lagi. Ia hanya kata, "Cukup, cukup. Sudah
kelebihan malah." Setelah selesai berurusan, Goat Go putar tubuhnya lalu
menghadapi si anak muda yang berdiri di belakangnya. Ia
ketawa manis, berkata, "Bagaimanan " Kau puas sekarang ?"
Si pemuda anggukkan kepalanya.
"Kau belum makan, bukan ?" tanya si nona lagi.
Belum si anak muda menjawab, Goat Go sudah tarik
tangannya diajak duduk menghadapi satu meja yang agak
dipojok. Si nona teriaki pelayan, pesan makanan untuk dua orang,
katanya, "Lekas siapkan makanan enak untuk kita makan !"
Makanan disiapkan dengan ekstra cepat oleh kok (tukang
masak). Di lain saat, kelihatan dua muda mudi itu sudah kerjakan
sumpitnya mendahar hidangannya. Kalau si gadis ketawaketawa
dan banyak bicara, tetapi si pemuda tinggal membisu
saja. Sejenak tadi si pemuda membisu saja, rupanya pikirannya
masih terpengaruh oleh laga lagunya Goat Go yang benarbenar
aneh menurut pendapatnya.
"Hei, kau berubah jadi orang bisu ?" menegur si nona, ketawa
manis sambil ujung sumpitnya dipakai mencolek hidung si
anak muda. Pemuda itu kaget, cepat mengelak hingga sang sumpit si nona
tak usah berkenalan dengan hidungnya yang mungil.
Ia tertawa, katanya, "Cici, benar-benar aku dibikin heran oleh
kelakuanmu." "Herannya kenapa ?" tanya si nona, matanya melirik tajam.
Kembali pusat asmara si pemuda tertusuk oleh lirikannya.
"Barusan aku lihat kau bengis seperti Li-giam-ong (Ratu
akherat)." kata si pemuda. "Sekarang kau berubah sebagai
Tian-li (bidadari) cantik dan ramah tamah........."
"Stop !" memotong Goat Go sambil mulutnya mengunyah
daging bebek panggang, tangannya yang memegang sumpit
diangkat digoyang-goyangkan.
Ketika daging bebek panggang sudah lewat
ditenggorokannya, ia meneruskan kata-katanya : "Kau bisa
juga melucu, hi ! Dari mana kau belajar " Hi hi hi......."
Anak muda itu tertawa, kini ia tertawa terbahak-bahak.
Goat Go tidak kesepian lagi karena si pemuda mulai kembali
dengan kegembiraannya. Mereka dapat tertawa-tawa gembira dalam rumah makan yang
sekarang sudah kosong ditinggalkan oleh para tamu.
Hanya pemilik rumah dan para pelayannya yang menonton
adegan lucu, aneh sebab tadinya musuh sekarang mereka
menjadi sahabat seperti juga sahabat lama.
Ketika mereka habis makan, Goat Go bangkit hendak
membayar uang santapannya tapi dicegah oleh si pemuda,
berkata : "Cici, kali ini aku yang bayar. Tadi kau sudah rogoh kantong
untuk mengganti kerugian. Apa salahnya kalau sekarang aku
yang membayar makanan, bukan ?"
Goat Go hanya tersenyum manis. "Terima kasih" ucapannya
halus. Setelah membayar makanan, si pemuda balik lagi ke tempat
duduknya. Ia mengajak si nona berlalu. "Eh, nanti dulu." kata
si nona seraya pegang tangan si anak muda yang lemas
seperti juga tangannya sendiri yang halus.
"Ada urusan apa ?" tanya si pemuda.
"Aku duduk dahulu." si gadis menyuruh orang duduk, yang
segera diturut. "Lama kita mengobrol dan ketawa-ketawa tapi belum kita
mengetahui nama masing-masing. Siapa sebenarnya kau,
adik ?" menanya Goat Go.
"Aku she Kwee, nama Cu Gie." sahut si anak muda.
"Dan umurmu ?" tanya Goat Go lagi.
"Tahun ini aku masuk 21 tahun." sahut Kwee Cu Gie.
"Pantesan kau panggil aku cici. Kalau begitu memang benar
aku ada lebih tua 3 tahun dari kau, adik Gie." berkata si nona.
Goat Go berkata seraya ketawa manis, melirik tajam dengan
ujung matanya. Lagi-lagi Kwee Cu Gie dibuat bergoyang pusat asmaranya,
karena lirikan tajam si gadis. Tapi ia ada satu pemuda sopan,
tidak berani ia kurang ajar meskipun Goat Go, si berandalan
mengasih kesempatan Kwee Cu Gie untuk berbuat demikian.
"Sekarang kau hendak kemana ?" tanya Goat Go.
"Aku mau mencari pamanku." sahutnya.
"Adik Gie, bagaimana kalau kau mampir dahulu di rumahku ?"
mengundang si gadis. "Terima kasih. Aku sangat kesusu. Lain kali saja kita bertemu
pula." jawabnya. "Kalau begitu, baiklah. Cuma jangan lupa, kalau kau datang ke
sini cari aku ya !" memesan Goat Go, blak-blakan ia berkata,
tak pakai malu-malu lagi.
Kwee Cu Gie yang sopan santun merasa heran si nona
memesan demikian kepada seorang lelaki yang barusan saja
dikenal olehnya. Goat Go memahami pikirannya si anak muda, maka lalu
berkata, "Adik Gie, aku bukannya gadis pingitan. Aku sangat
bebas, maka jangan heran kalau aku bicara blak-blakan. Apa
yang aku pikir dan lantas keluarkan."
Kwee Cu Gie anggukkan kepalanya.
"Nah, sampai disini saja kita berpisahan." kata si pemuda
kemudian. "Bagus, selamat jalan adik Gie." sahut Goat Go. Sedikit pun
kelihatannya ia tidak merasa berat dengan perpisahan itu.
Tapi setelah Kwee Cu Gie berlalu dari sampingnya, ia menjadi
sedih sendirinya. Pilu rasa hatinya berpisahan dengan orang
yang dicintainya. Entah kapan mereka dapat bertemu pula. Ia
menyesal, tadi tidak ia tanyakan nama pamannya si anak
muda itu siapa namanya dan dimana tempat kediamannya.
Dengan mengetahui alamatnya, bisalah ia susul Kwee cu Gie
kesana buat diajak makan-makan lagi dan tertawa-tawa
menghibur hati. Goat Go pulang dengan perasaan lesu, seperti orang yang
kehilangan sesuatu. Di lain pihak, Kwee Cu Gie juga mengenangkan dirinya si
gadis. Pikirnya, gadis itu kecantikannya tidak mengecewakan,
dapat menggoncangkan jantung orang yang melihat,
ketawanya yang manis dan lirikannya yang mantap dalam
pusat asmara. Tapi sayang dalam sifarnya yang berandalan
itu ada tersembunyi kegenitan yang seakan-akan
mengundang untuk berbuat kurang ajar terhadapnya.
Kwee Cu Gie menghela napas sambil melanjutkan
perjalanannya. Hari sudah sore, tidak keburu ia mencari pamannya. Maka
pada malam harinya ia menginap dalam sebuah rumah
penginapan di kota Hoa-im.
Keesokan harinya, setelah tanya-tanya orang, ia sampai di
depan rumah yang terkurung tembok disekitarnya. Ia
mengetok-ngetok pintu rumah dengan gelang besi yang
tergantung di pintu. Rupanya memang ini diperuntukkan bagi
tetamu memanggil orang di sebelah dalam. Tidak lama ia
menanti, sebentar kemudian pintu dibuka. Satu pelayan
perempuan muncul didepannya dan menanyakan ada urusan
apa, siapa yang dicari. Kwee Cu Gie kasih tahu maksud kedatangannya hendak
menemui tuan rumah. Si pelayan segera masuk ke dalam
setelah memesan Kwee Cu Gie untuk menunggu sebentar.
Tidak lama si pelayan keluar lagi dan mengundang Kwee Cu
Gie masuk. Ia diantar ke dalam satu ruangan tengah dan disuruh duduk
menanti, sebentar lagi tuan rumah akan muncul menemuinya.
Kwee Cu Gie menunggu. Lama juga belum kelihatan muncul
tuan rumah. Ia jadi kesal, maka ia bangkit dari duduknya lalu
menghampiri satu pigura yang melukiskan pemandangan di
suatu pegunungan dimana ada berkeliaran banyak binatang
buas. Asyik ia memandangi pigur itu hingga tidak merasa
kalau dibelakangnya sekarang ada muncul satu orang.
Ia menjadi kaget ketika sekonyong-konyong kedua matanya
disekap oleh dua tangan dari belakangnya. Cepat, ia mau
nglitik orang dibelakangnya itu, kalau ia tidak tahu bahwa yang
memegang tangan yang halus lemas, disusul oleh suara
empuk merayu, berkata, "Adik Gie, kau toh datang juga ke
rumahku......" Kwee Cu Gie cepat putar tubuhnya dan... itulah Goat Go yang
berdiri di depannya, bersenyum memikat hati.
(Bersambung) Jilid 03 Anak muda itu tercengang sebentaran. Belum sempat ia
menanya, Goat Go sudah tarik tangannya si anak muda. "Mari
kita duduk-duduk kongkouw !" katanya.
Ruangan itu perabotannya cukup mewah, pigura-pigura
dengan lukisan indah tergantung pada dinding-dinding
sehingga menarik selera tetamu, pot-pot kembang diatur rapi
sekali, siliran angin yang masuk dari jendela meniup
harumnya, mewangi masuk ke hidung.
Goat Go ajak Kwee Cu Gie duduk di atas bangku panjang
yang beralaskan bahan yang empuk, yang ditempatkan di
bawah jendela yang menghadap ke taman bunga.
"Adik Gie, " kata Goat Go, setelah mereka pada duduk.
"Sekarang aku tahu asal usulmu. Kau bukankah anaknya bibi
San dari Hoay-siang."
Kwee Cu Gie ketawa. "Kau benar, cici" sahutnya. "Di mana
adanya paman Siu " Aku ingin lekas sampaikan pemberian
selamat ibuku dan menanya keselamatannya."
"Sabar adik Gie." kaat Goat Go. "Segera ayah akan keluar, dia
sekarang masih repot dengan pekerjaannya.
Terpaksa Kwee Cu Gie layani si nona kong kouw. Sudah tentu
ngobrolnya urusan famili diantara mereka. Goat Go berkali-kali
menyatakan ia ingin ketemu bibinya (ibu Kwee Cu Gie).
Katanya, sejak ibunya meninggal, ia tidak pernah ketemu lagi
dengan ibunya Kwee Cu Gie yang pindah ke Hoay-siang dari
Hoa-im. Dendam Empu Bharada 30 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Kemelut Hutan Dandaka 2
kegesitanya, jangan mengadu tenaga. Yang membuat ia
pecundang adalah karena ia coba-coba adu tenaga dengan
Kim Popo, yang sudah tentu bukan tandingannya.
Dalam keadaan tiduran, kupingnya tiba-tiba mendengar suara
gedebukan, datangnya dari sebelah selatan. Suara apa itu " Ia
pasang telinganya lagi, saban kira 1-2 menit ia degnar suara
gedebukan itu. Di dorong oleh perasaan ingin tahu, ia turun dari atas pohon.
Pelan-pelan ia hampiri tempat dimana ada suara gedebukan
tadi. Setelah jalan beberapa lama, suara gedebukan itu makin
nyata. Rupanya jaraknya sudah tidak jauh lagi. Maka Lo In
rada cepatin jalannya. Segera dari kejauhan ia nampak seperti
ada dua sinar menyorot ke arahnya.
"Apa itu ?" tanyanya pada diri sendiri.
Ia menduga akan binatang macan. Sebab menurut Liok
Sinshe, matanya macan suka mencorong kalau diwaktu
malam. Hati Lo In tabah, nyalinya besar, ia tidak takut. Ia menghampiri
lebih dekat. Kiranya itu bukannya macan hanya seekor burung
yang luar biasa besarnya, tengah kebut-kebutkan sayapnya ke
tanah. Suaran gedebukan itu tiada lain dari pada sayapnya si
burung tadi yang dihantamkan ke tanah.
Lo In terus mengintip, ingin tahu apa maunya si burung yang
besar luar biasa itu mengebut-ngebutkan sayapnya ke tanah.
Ia ingat, kalau ia sedang main di tepi jurang sering melihat ada
burung yang luar biasa besarnya melayang-layang diatas
lembah. "Apakah bukan dianya ini " " tanya Lo In pada dirinya
sendiri. Menurut katanya Liok Sinshe, burung sebesar itu
adalah burung rajawali yang biasa jinak dimiliki orang pandai
yang menyepi tinggalnya di pegunungan. Malah Liok Sinshe
namakan burung itu 'Kim-tiauw' atau 'Rajawali Emas' karena
patuk dan kedua kakinya kekuning-kuningan seperti emas
yang Liok Sinshe dapat lihat sendiri dari dekat pada suatu hari
ia sedang mencari daun obat-obatan di lembah itu.
Apa dia itu benar Kim-tiauw. Ingin Lo In menyaksikan dari
dekat, tapi tak dapat ia lakukan itu. Sayapnya yang memukulmukul
tanah bukan saja menerbitkan suara gedebukan tapi
juga menerbitkan angin keras menderu. Kalau Lo In berani
datang dekat, sekali dikibas sama sayapnya, pasti tubuhnya
akan melayang entah berapa jauhnya.
Setelah memperhatikan agak lama, Lo In berpendapat si
rajawali hanya mengibaskan sayapnya yang kanan saja,
sedang yang kiri diam saja. Ia seperti mau terbang tapi tak
bisa kalau cuma satu sayap. Pikir Lo In tentu rajawali ini
mendapat luka parah pada sayap kirinya.
Hatinya merasa kasihan, ingin ia periksa lukanya. Tapi
bagaimana mendekatinya "
Otaknya lantas bekerja mencari akal. Matanya memandang ke
sekitarnya tapi agaknya ia cemas tidak melihat jalan untuk
pemecahan. Sebenrar lagi, setelah ia tundukkan kepala ia
menengadah melihat keadaan diatasnya si rajawali.
Tiba-tiba mulutnya bersenyum, rupanya ia sudah dapat akal
untuk mendekati si rajawali yang dalam kesukaran.
Bagaimana " Dengan gunakan gerakan ilmu entengi tubuh
'Burung walet tembusi mega', ia enjot tubuhnya mencelat dan
di lain detik sudah tampak ia berloncatan dari satu dahan ke
lain dahan pohon. Dalam tempo pendek saja, ia sudah berada
di atas pohon yang dekat sekali pada si burung rajawali. Si
burung rajawali sama sekali engan kalau ada orang yang
datang dekatinya. Ia masih sibuk gedebukan dengan sayapnya yang kanan.
Lo In menunggu sampai sayap itu berhenti dikebaskan, pada
saat mana enteng sekali tubuhnya melayang dan mencolok di
punggungnya si rajawali yang ketika sadar ada orang
menyerang, ia sudah tidak berdaya karena jalan darah di
bagian sayap dan lehernya sudah kena ditotok oleh si bocah
yang besar nyalinya. Ketika itu sayapnya yang kanan berhenti mengebas-ngebas
sedang lehernya sudah menjadi kaku, tak dapat digeraki
hingga ia tak dapat mematuk lawan yang berada di atas
pungggungnya. Hanya sinar matanya saja mencorong seperti
yang sedang gusar sekali.
Meskipun mendapat kesukaran karena beratnya sayap si
rajawali, juga dibawah sayapnya terdapat lukanya yang berat,
Lo In dengan gembira sudah dapat mengobati lukanya itu
memakai obatnya Liok Sinshe yang amat mustajab.
Selain obat bubuk ditabur di tempat luka, juga Lo In paksa si
rajawali menelan pilnya, setelah berkutatan lama ia membuka
patuknya. "Tiauw-heng" kata si bocah pada si rajawali. "Aku ini
temanmu, jangan takut. Maaf, kalau aku sudah berbuat sedikit
kasar menolong kamu !"
Gerak gerik Lo In lucu. Ia memanggil 'Tiauw-heng' atau 'Kanda
rajawali' kepada si burung garuda yang tinggal membisu saja.
Kuatir totokannya kurang kuat hingga si rajawali dapat geraki
pula sayapnya, yang menyebabkan lukanya tidak bisa rapat,
maka Lo In memberikan pula beberapa totokan sehingga
betul-betul tenaganya si burung garuda menjadi lumpuh.
Lukanya si rajawali ternyata kena panah beracun. Untung
tenaganya si burung garuda sangat kuat hingga menjalarnya
racun berjalan dengan perlahan dan keburu mendapat
obatnya Liok Sinshe yang mustajab. Kalau saja sampai
menanti besoknya lagi, terang jiwanya si rajawali tak akan
ketolongan. Entah siapa yang begitu kejam melepaskan panah
beracunnya. Lo In malam itu tidak jadi nginap di atas pohon yang banyak
dahannya, yang ia tinggalkan. Sebaliknya ia tidur diatas
pohon, tidak jauh dari mendekamnya si rajawali. Diam-diam ia
siap sedia menghadapi kemungkinan datangnya orang jahat
yang hendak mencelakakan si rajawali.
Tapi syukur sampai hari sudah terang tanah, tidak ada
kejadian apa-apa. Lo In merosot turun dari atas pohon. Ia lihat si rajawali tengah
memejamkan matanya. Rupanya ia juga bisa tidur karena
tidak merasakan sakit lagi pada sayapnya yang kiri. Matanya
dibuka ketika ia mendengar Lo In berkata, "Tiauw-heng, kau
diam-diam saja mengaso. Tunggu aku akan mencari makanan
untuk kau makan." Ia berkata sambil anggukan kepalanya seperti yang memberi
hormat kepada saudara yang tuaan. Ah, benar-benar lucu
kelakuannya Lo In. Kemudian ia putar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
Berkat kepandaiannya menyentil dengan batu kecil, maka
dalam tempo pendek saja Lo In sudah dapat menyentil jatuh
tiga ekor ayam hutan. Ketiga ekor ayam itu hendak ia bawa ke
tempatnya. Pikirnya, Tiauw-heng tentu gembul makannya,
tidak cukup kalau hanya 2-3 ekor ayam saja. Maka ia lalu
mencari pula ayam di lain tempat dan segera ia sudah
dapatkan lagi. Empat dari lima ekor ayam itu, Lo In taruh di depannya si
rajawali, sedang yang seekor ia potong dan bersihkan dalam
selokan jernih, karena air gunung mengalir disitu. Kemudian ia
nyalakan api dan memanggang hasil buruannya.
Sambil panggang ayam, matanya Lo In memandang pada si
rajawali yang tinggal melotot saja mengawasi empat ekor
ayam yang ada di depannya. Ia tak dapat kerjakan patuknya
untuk menerkam hidangan didepannya itu sebab lehernya
masih belum bisa digeraki karena pengaruh totokan Lo In.
"Tiauw-heng." kata Lo In seraya bersenyum. "Kau tunggu
sebentar. Kita nanti makan sama-sama. Bukankah itu ada
lebih menyenangkan sebagai tanda terjalinnya persahabatan
diantara kita ?" Si rajawali yang diajak bicara hanya matanya saja yang
melotot sebagai jawaban, tapi kali ini sinarnya tidak
bermusuhan. Setelah beres memanggang ayamnya, Lo In mendekati si
rajawali. "Tiauw-heng, kau jangan marah. Lantaran aku ingin menolong
jiwamu maka terpaksa dalam dua tiga hari ini aku bikin kau
tidak berdaya. Kau sabarlah !" berkata Lo In sambil kemudian
dengan sebat ia menotok bebas lehernya si rajawali berbareng
ia lompat mundur takut dipatuk.
Rupanya burung itu memahami akan kebaikan hatinya si anak
kecil sebab ia tidak perhatikan Lo In lompat tapi terus saja ia
gasak empat ekor burung itu satu persatu hingga dalam
sekejapan saja telah hilang lenyap dalam perutnya.
Lo In tertawa ngakak melihat kecepatan si rajawali
memindahkan empat ekor ayam ke dalam perutnya.
Hari itu usaha Lo In tidak memberikan hasil dalam mencari
Liok Sinshe. Pada hari ketiga, ia datang dengan roman lesu mendekati si
rajawali yang sekarang menjadi jinak. Barani ia memeluk
lehernya dan menciumi patuknya yang indah seperti emas.
"Tiauw-heng, aku mencari Liok Sinshe." ia kata pada si
rajawali. "Apa kau lihat dia ada dimana ?"
Seperti yang mengerti akan kata-kata manusia, burung itu
geleng kepalanya. Lo In makin sayang pada burung itu yang rupanya mengerti
akan omongan orang. Setelah menggelendoti tubuhnya
burung yang seperti raksasa itu, Lo In ingat akan
kewajibannya untuk memeriksa lukanya.
"Tiauw-heng, mari aku periksa lukamu." ia berkata seraya
dengan sebatnya ia menyingkap sayap burung itu, dibawah
mana ada terdapat lukanya yang parah.
Lo In kerutkan keningnya.
"Kau masih belum dapat geraki sayapmu yang terluka, Tiauwheng."
katanya. Sementara itu, ia keluarkan obatnya dan mulai beri obat baru
pada luka si rajawali, patuknya Lo In buka dengan tangannya
yang kecil untuk dimasukan pil mujarabnya. Sungguh heran,
burung itu menurut saja, jinak sekali dan pasrah apa yang
diperbuat Lo In. Rupanya ia mengerti akan kebaikan orang.
"Tiauw-heng, mulai saat kita ketemu, aku sudah tahu kau akan
menjadi teman sebagai gantinya Liok Sinshe. Maka
selanjutnya, harap kau selalu jangan meninggalkan aku, ya !"
berkata Lo In sambil mengelus-elus sayapnya si rajawali.
Burung itu angguk-anggukkan kepalanya, matanya merem
melek, girang rupanya ia diusap-usap Lo In dengan
kesayangan. Pada hari keenam si rajawali sudah sembuh benar-benar dari
luka parahnya. Ia sudah dapat geraki kedua sayapnya seperti
sedia kala. Setelah terbang beberapa putaran, ia turun di
depan Lo In lalu mendekam dan kepalanya dianggukanggukkan
seperti yang menghaturkan terima kasih atas
pertolongannya si bocah. Lo In dapat memahami gerak gerik si burung garuda, maka
sambil menubruk dan menciumi ia berbisik, "Tiauw-heng, kita
sudah jadi saudara. Tak usah kau mengucap terima kasih
segala." Tangannya mengelus-elus kepalanya si rajawali, ketika ia mau
mengusap-usap patuknya tiba-tiba Lo In merasa heran. Dari
matanya burung itu ada melelehkan air mata. Entahlah,
kenapa burung itu menangis.
Lo In terharu, bukan karena apa. Ia hanya terkenang akan
dirinya Liok Sinshe. Dimanakah adanya penolong itu. Apakah
dia masih hidup atau sudah mati " Sebab sudah hampir
seminggu ia mencari jejaknya belum juga berhasil
menemuinya. Siapakah Liok Sinshe itu " Apa dia Kwee Cu Gie " Siapakah
Kwee Cu Gie itu " Dimana adanya kedua orang tuanya " Mati sudah atau masih
ada dalam dunia ini "
Kenapa Liok Sinshe begitu sayang dan memperhatikan dirinya
begitu rupa " Apa hubungan ia dengan Liok Sinshe "
Pusing Lo In memikirkannya itu semua. Malah jadi bertambah
sedih hingga saling peluk dengan si rajawali, menangis
sampai terdengar suaranya Lo In terisak-isak.
Sang burung, rupanya ingin menghibur Lo In. Kemudian ia
mementang sayapnya akan terbang ke atas pohonjauh disana,
terpisah dari Lo In. Lo In yang cerdik mengerti maksudnya si rajawali. Maka ia
juga telah berhenti menangis, ia gosok air matanya dengan
tangan bajunya. Dalam hari-hari berikutnya dalam usaha mencari Liok Sinshe,
Lo In dikawal oleh si rajawali.
Senang hati Lo In. Sering ia ajak si rajawali bercanda.
Hari-hari demikian mereka bergaul, hingga keakrabannya
meningkat. Sering atau hampir saban hari, tampak Lo In pesiar di atas
lembah sambil menunggang rajawali yang merupakan kapal
terbangnya. Dasar anak-anak menghadapi apa yang baru, lupa pada yang
lama. Ditemani si burung raksasa, Lo In merasa aman. Betah
ia tinggal dalam lembah itu, lupa pulang ke rumahnya di atas
jurang Tong-hong-gay yang sebenarnya ia bisa pergi ke sana
dengan mudah dengan menunggang kapal udaranya 'si
rajawai'. Soal makanan Lo In tidak kekurangan, mau ikan ia dapat di
sungai-sungai kecil yang banyak terdapat disitu. Mau daging
ayam, kelinci, babi, mudah sekali ia dapat. Cuma tinggal
perintah si rajawali yang pergi menangkapnya.
Tapi Lo In lebih senang makan buah-buahan yang terdapat
disitu. Ia rasakan badannya lebih segar dan nyaman dari pada
makan ikan dan daging. Yang lucu, Lo In sudah dapat tundukkan kawanan kera liar
dalam lembah itu. Mereka kelihatan sangat berterima kasih
dan menganggap Lo In sbagai rajanya.
Dengan begitu, Lo In bertambah banyak kawan.
Bagaimana Lo In dapat tundukkan kawanan kera liar, kecil
besar " Itulah kejadian pada suatu hari ketika cuaca mendung.
Selagi ia tiduran celentang di bawah sebuah pohon, tiba-tiba ia
dikurung oleh kawanan monyet liar, bukan satu dua tapi
adalah puluhan hingga ia merasa amat heran.
Lo In bangkit, duduk, sambil kedua tangannya memeluk kedua
dengkulnya yang ditekuk. Kepalanya menunduk seolah-olah
yang tidak memperhatikan dirinya tengah dikurung oleh
kawanan monyet galak.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara cetcowetan yang ramai dari kawanan monyet itu tidak
dihiraukan oleh Lo In. Terus saja ia berpura-pura mati ular.
Kelihatannya kera-kera itu amat gusar pada si bocah. Bisa
dilihat dari sikap dan gerakan mereka yang keluarkan suara
'her ! her !' sambil mulutnya nyengir-nyengir menakuti.
Entahlah, kenapa mereka demikian benci pada Lo In.
Mungkinkah karena perbuatannya Lo In "
Untuk melatih ginkang (ilmu entengi tubuh), Lo In saban hari
melatih diri dengan mencelat sana sini di atas pohon. Gesit
luar biasa hingga mengalahkan jauh dari kepandaian keraTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kera yang ada disitu. Rupanya hal inilah yang menyebabkan kawanan kera itu
membenci Lo In. Mereka yang bermula merasa kagum melihat kegesitannya Lo
In, belakangan merasa mengeri dan anggap Lo In adalah
suatu saingan berat dalam dunianya.
Lama juga sudah Lo In perhatikan sikap permusuhan dari
mereka itu. Tapi Lo In tidak memperdulikan sampai pada saat
itu baharu berasa bahwa dirinya benar-benar dibenci.
Tapi Lo In tidak takut. Pikirnya kawanan kera itu tak dapat
membuat susah dirinya. Ia mau lihat apa mereka bisa bikin
terhadapnya. Tak perlu ia minta bantuan si rajawali yang
dengan sayap raksasanya, sekali mengebas saja membuat
puluhan kera itu akan sungsang sumbel dan terbang kemana
tahu. Ia mau taklukan kawanan kera itu dengan usahanya
sendiri. Dua yang paling besar diantara kawanan monyet itu,
perdengarkan cetcewetannya lebih keras. Rupanya berupa
bentakan-bentakan, memerintah pada kawan-kawannya untuk
segera menggempur Lo In yang tinggal anteng-anteng saja.
Memang dua kera besar itu adalah yang paling pandai dalam
hal meloncat dari satu ke lain cabang pohon. Kawankawannya
mengagumi kepandaiannya itu. Merekalah yang
paling menaruh dendam pada Lo In, yang dianggap saingan
alot. Meskipun bentak-bentakannya makin keras, kawanan kera itu
masih belum berani menerjang Lo In. Rupanya mereka jeri
sebab Lo In ada backingnya si rajawali.
Mereka sambil cetcowetan, celigukan sana sini seakan-akan
mengamat-amati apakah si burung raksasa ada di sekitar situ
mengawal si bocah. Si rajawali ternyata tidak ada. Memang
tidak ada. Ia lagi terbang ke lain tempat untuk mencari
makanan. Hatinya kawanan kera liar itu rupanya jadi berani, sebab suara
'hor, hor !' dari dua pimpinannya paling akhir dibarengi dengan
menyerbunya mereka. Yang diserbu tiba-tiba saja lenyap dari pandangan mereka.
Terdengar ramai-ramai suara cetcowetan kawanan kera itu.
Sambil kepalanya pada mendongak ke atas dimana mereka
lihat Lo In sedang bercokol di atas dahan sambil ketawaketawa.
Kiranya diwaktu kawanan monyet itu melakukan penyerbuan
serentak, dengan gerakan 'Walet terbang menembusi awan',
tubuhnya Lo In mencelat ke atas, mencelok diatasnya
sebatang dahan pohon, dimana si bocah sambil uncanguncang
kaki mentertawakan lawan-lawannya yang ribut
cetcowetan di sebelah bawah.
Hanya dua tahun Lo In mendapat gemblengan tenaga dalam
dari Liok Sinshe, ia sudah memanfaatkan sebaik-baiknya
dalam latihan ginkeng (entengi tubuh), cukup untuk melayani
kawanan kera yang menyerang dirinya dengan penuh
kebencian. Degnan dikepalai oleh dua monyet besar tadi, kawanan
monyet itu segera juga pada menaiki pohon, lelompatan
mengepung Lo In yang segera unjuk kegesitannya untuk
meloloskan diri dari kepungan mereka.
Tampak Lo In loncat ke atas sebatang dahan yang lebih tinggi.
Selag ia terbahak-bahak ketawa, sembari kedua tangannya
bertepuk-tepuk keras menggodai kawanan monyet yang
mengubar dirinya, tiba-tiba terdengar suara 'hor ! hor !'
agaknya keras dan lebih bengis di atas kepalanya. Ketika ia
mendongak, kiranya diatasnya ada dua kera lebih besar lagi
dari dua kera besar tadi, yang ia lihat menjadi pemimpinnya.
Itulah sepasang orang utan hitam legam, lengannya besarbesar,
matanya tajam mengawasi Lo In seraya perdengarkan
suara 'hor ! hor !' menakutkan.
Diam-diam Lo In perhatikan, rupanya dua orang utan itu suami
istri. Yang lelaki kepalanya hampir botak, yang perempuan
matanya tertutup satu disebelah kiri, sedang dibelakangnya
ada menggemblok anaknya, mulutnya ramai cetcewetan.
Lo In hendak enjot tubuhnya menyingkir, tapi sudah terlambat.
Si orang utan yang lelaki menyambar dari atas dan tepat dapat
mencekal lengan Lo In. Sakit rasanya cekalan si orang utan, lebih-lebih Lo In kaget,
tenaganya seperti lenyap oleh pengaruh cekalan itu hingga ia
tak dapat berkutik. Celaka, pikirnya, apa ia bakalan mati ditangannya si orang
utan " Tengah hatinya berkuatir, sekonyong-konyong terdengar
suaranya si rajawali dari jauh tengah mendatangi hingga ia
jadi sangat kegirangan. Rupanya si orang utan sudah kenali suaranya si rajawali, tahu
juga Lo In ada kawannya, maka ia jadi ketakutan. Dengan
sendirinya, cekalannya yang melumpuhkan itu terlepas. Ia
lompat pula ke atas, ajak bininya ikut lari.
Angin seperti menderu kedengarannya ketika si rajawali
sampai dengan kebasan sayapnya. Ia mencelok disatu dahan
dekat Lo In. Saking berat badannya membuat pohon sampai
tergetar rasanya. "Tiauw-heng, syukur kau datang. Kalau lambat sedikit saja,
aku kena dicelakai si orang utan !" Lo In berkata pada
kawannya. Seperti yang mengerti, si rajawali tampak beringas romannya
ketika mendengar ada makhluk yang mau bikin celaka
kawannya. Lo In berbareng lompat mendekati si rajawali, ia usap-usap
sayapnya. Tiba-tiba Lo In mendengar suara teriakan. Matanya yang awas
segera dapat lihat si orang utan yang perempuan terpeleset
jatuh. Ia sendiri dapat tolong dirinya karena sudah menjambret
cabang pohon. Tapi anaknya, dalam kaget sudah melepaskan
cekelan pada leheer ibunya hingga tidak ampun lagi anak
orang utan itu meluncur jatuh terbanting di tanah dan pingsan.
Dalam ketakutannya atas kedatangan si rajawali, dua orang
utan itu sudah terbirit-birit lari, lompat dari satu ke lain cabang
pohon. Rupanya yang perempuan kurang hati-hati memilih
cabang pohon, maka ketika ia loncat ke cabang yang lapuk, ia
kaget. Cepat lompat lagi ke lain cabang cuma saja saking
gugupnya ia terpeleset dan menjerit ketika terpelanting.
Yang lelaki berada beberapa tindak disebelah depan, ia kaget
bukan main mendengar jeritan sang istri. Cepat ia putar
tubuhnya tapi sudah tak dapat menolong anaknya yang
terpelanting jatuh dari gendongan ibunya.
Mulutnya cetcowetan ramai. Bersama istrinya, ia cepat-cepat
turun ke bawah, lari menghampiri anaknya yang sudah tidak
sadarkan diri. Sang ibu menubruk anaknya sambil
menggoyang-goyang tubuh si orang utan kecil, mulutnya
cetcowetan menangis. Segera banyak monyet-monyet yang datang merubung.
Lo In yang melihat dan menyaksikan kejadian yang hebat itu,
tidak tega hatinya. Entahlah, bagaimana keadaannya si anak
orang utan itu. "Tiauw-heng, mari kita tolong dia." ia berkata pada si rajawali.
Berbareng, ia geraki kakinya berloncatan ke bawah yang
diikuti oleh si rajawali. Dengan hanya sekali kibasan sayapnya
sudah sampai ditempat banyak kera berkumpul. Lo In tidak
tahu bagaimana caranya memberi pertolongan. Sebab kalau
ia dengan begitu saja datang dekat, tentu tidak dapat dipahami
maksud baiknya. Apa lagi si orang utan sudah pernah
memencet lengannya, tentu kedatangan Lo In dianggap akan
menuntut balas, menggunakan kesempatan ketika mereka
sedang kesusahan anaknya mendapat kecelakaan.
Baik juga tongkrongan si rajawali dibuat jeri oleh kawanan
kera itu. Ketika rajawali itu sampai, mendahului Lo In. Kawanan monyet
itu sudah simpang siur lari. Malah dua orang utan itu, saking
ketakutannya sudah lupa akan anaknya dan lari terbirit-birit.
Anak orang utan itu jadi ditinggalkan sendirian.
Lo In girang menampak kejadian itu diluar perhitungannya.
Cepat ia dekati si anak orang utan, ia periksa, meraba-raba
dadanya, pegang nadinya. Lucu, persis lagaknya seorang
tabib. Ini, Lo In bukannya menjual aksi. Kelakuan ini meniru Liok
Sinshe jika si tabib Liok diundang untuk mengobati orang
sakit, ia suka turut dan menyaksikan caranya Liok Sinshe
berbuat atas dirinya si pasien.
Lo In girang karena si orang utan kecil tidak putus jiwanya. Ia
hanya tidak berkutik karena pingsan, kaget jatuh dari tempat
yang demikian tinggi. Kelakuan Lo In itu disaksikan oleh banyak kera dari kejauhan,
terutama oleh dua orang utan dengan penuh rasa kuatir,
apakah anaknya akan dibunuh mati Lo In. Buat merebut
anaknya dari tangan Lo In, mereka tak berani lakukan, melihat
si rajawali tengah mendekam didekatnya.
Melihat keadaan anak orang utan itu berat juga, tak dapat
disembuhkan dengan seketika, maka ia lalu angkat tubuhnya,
diempo lantas menghampiri si rajawali, ke atas punggung Lo
In loncat. "Tiauw-heng, mari kita pergi !" kata Lo In.
Berbareng si rajawali bangkit lalu mengebaskan kedua
sayapnya akan kemudian terbang mumbul. Tinggal dua orang
utan itu berteriak-teriak dengan cara dia sendiri. Rupanya
mereka sangat gusar pada Lo In yang sudah merampas
anaknya. Lo In ditempatnya sebuah gubuk yang dibangun diatas sebuah
pohon besar. Memakan waktu juga menolong anak orang utan
itu. Sebab anak orang utan itu kecuali mendapat luka dalam,
juga tangannya yang sebelah kiri keseleo yang perlu ditolong
dengan jalan mengurut tiap hari tiga kali.
Selang empat hari, Lo In sudah bikin anak orang utan itu
sembuh benar. Ia kelihatan suka pada Lo In yagn tadinya
ditakuti. Dalam tempo empat hari mereka berkumpul, anak
orang utan itu menjadi jinak, sering menggelendoti Lo In.
Mulutnya cetcowetan seakan-akan mengajak bercakap-cakap.
Tapi sayang Lo In tidak mengerti akan percakapannya.
Meskipun begitu, Lo In suka pada anak orang utan itu. Sering
ia ajak main, diajak bercakap dengan gerakan mulut dan
tangan. Gembira kelihatannya anak orang utan itu.
Pada hari yang keenam, Lo In berkata pada si anak orang
utan, "Adikku, hari ini kau harus pulang menemui ayah ibumu.
Harap selanjutnya kau akan menjadi sahabatku yang baik
seperti aku punya Tiauw-heng."
Sambil berkata, Lo In empo anak orang itu lalu keluar dari
gubuknya. Dengan sekali suitan, segera kapal udaranya sudah datang.
Dengan menumpang si rajawali, Lo In pergi ke tempat dimana
ia telah dikeroyok kawanan monyet liar. Sesampainya disana,
ia dapatkan keadaan sepi. Cuma ada beberapa kera yang
lelompatan sana sini. Melihat Lo In datang dengan mengempo anak orang utan,
monyet-monyet itu menjadi heran rupanya. Tapi sebentar lagi,
tampak mereka datang lagi membawa kawan-kawannya.
Diantaranya tampak itu sepasang orang utan.
Mereka tidak berani datang dekat pada Lo In karena si rajawali
mendekam di dekatnya. Bagaimana pun, dua orang utan itu
terbelalak matanya melihat Lo In tengah mengempo anaknya
yang cetcowetan menciumi pipinya si bocah.
Lo In dapat melihat pada mereka, maka cepat ia turunkan
anak orang utan itu dari empoannya sambil berkata, "Adikku,
pergi kau ketemui ayah bundamu !" Lo In sambil menunjukkan
kejurusan orang utan yang berada diatas pohon, yang tengah
keheran-heranan mengawasi kejadian itu.
Anak orang utan itu melihat ke jurusan yang ditunjuk oleh Lo
In. Ia melihat pada ayah bundanya. Cepat ia lari sambil
mulutnya cetcowetan. Sang ibu bapak juga tidak tinggal diam.
Mereka loncat-loncat turun dari pohon dan memapaki anaknya
yang lantas diempo oleh si ibu, diciumi dengan penuh
kesayangan. Dalam empoan ibunya, sang anak cetcowetan sambil
menunjuk-nunjuk kejurusan Lo In. Rupanya ia sedang
bercerita tentang pertolongan yang diberikan Lo In dan
kebaikannya si bocah hingga kelihatannya si ibu merasa
sangat gegetun sekali, sedang si ayah angguk-anggukkan
kepalanya yang botak. Lo In menyaksikan itu semua dengan bersenyum. Kemudian
putar tubuhnya menyamperi si rajawali, loncat ke
punggungnya. "Mari kita pergi, Tiauw-heng !" katanya sambil
tepok pundaknya si rajawali.
Sebentar saja, Lo In sudah ada di udara bersama kapal
terbangnya. Meskipun binatang, kawanan kera itu tahu akan kebaikan
orang. Maka sejak itu, mereka telah menghapuskan
kebenciannya dan tidak berani mengganggu lagi Lo In yang
semula dianggap saingan alot.
Malah yang lucu, sejak itu, Lo In boleh dikata tak usah susahsusah
mencari buah-buahan lagi untuk makannya. Karena
setiap pagi, ia dapatkan banyak buah-buahan berserakan di
bawah pohon diatas mana ia tidur. Rupanya ini ada kiriman
dari kawanan keras yang merasa berterima kasih, anak
rajanya sudah ditolongi. Bebuahan itu ditaruh berserakan. Rupanya kera-kera itu takuti
si rajawali. Maka seenaknya saja mereka melemparkan dan
lari pergi. Lo In memahami ini, maka kepada rajawalinya ia
memesan supaya ia tidak ganggu kera-kera yang
mengantarkan bebuahan itu. Kawanan kera itu belakangan
jadi berani karena melihat si rajawali tidak apa-apa. Maka
buah-buah yang diantarnya, mereka tumpuk dengan rapih.
Malah ada yang berani naik di pohon dan meletakan buahnya
di depan gubuknya Lo In.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lo In terharu melihat kecintaannya kawanan kera itu.
Maka terjalinlah persahabatan diantara kawanan kera itu
dengan Lo In. Dalam pertemuan pertama dua orang utan, seperti manusia,
mereka berlutut dihadapan Lo In sambil manggut-manggut. Di
sampingnya ada anaknya yang juga turut berlutut. Mereka
sangat berterima kasih atas pertolongannya Lo In sehingga
anaknya selamat dari cengkeraman maut.
Lo In ketawa. "Toa-hek, Ji-hek dan adikku," kata Lo In. "Kita
orang sendiri, tak usah banyak pakai peradatan. Kalian
bangunlah. Selanjutnya kita menjadi sahabat saling tolong !"
Seperti yang mengerti omongan Lo In, mereka semua bangkit.
Lo In tatkala itu duduk diatas sebuah batu, tengah menikmati
mengalirnya air sungai, dalam mana banyak terdapat ikan-ikan
yang sedang main-main. Lo In memanggil Toa-hek (si hitam kesatu) dan Ji-hek (si hitam
kedua) kepada dua orang utan itu adalah panggilan dari
keakraban persahabatan. Toa-hek dan Ji-hek serta anaknya menghampiri Lo In. Toa-hek
mengusap-usap tangan, Ji-hek mengusap-usap pipi,
sementara Siauw-hek (si kecil) lompat kepangkuan Lo In
sambil cowet-cowetan ngomong dalam bahasanya sendiri. Lo
In suka dan sayang pada Siauw-hek, maka ia elus-elus
kepalanya, sambil katanya, "Siauw-hek, kau lekas gede. Nanti
bisa bantu aku mencari Liok Sinshe."
Sejak itulah mereka bergaul rapat.
Supaya pergaulannya lebih leluasa lagi, maka pelan-pelan Lo
In ada pelajari gerak gerik dan suaranya kera-kera diwaktu
mereka berloncatan di pohon-pohon sambil cetcowetan.
Berkat kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat kemajuan
banyak dalam bahasa monyet, meskipun tidak seluruhnya.
Cukup dengan membuka mulutnya, cowet-cowet, ia dapat
memerintahkan kera-kera yang diajak bicara olehnya untuk
melaksanakan titahnya dengan baik.
Kawanan kera itu semakin menghargai dan menjunjung tinggi
Lo In. Boleh dikatakan ia adalah raja monyet, karena tiap
titahnya dilaksanakan dengan kontan.
Dengan adanya Toa-hek sebagai teman berlatih, lwekangnya
Lo In meningkat. Kalau mula-mula satu kali pegang saja Lo In
tak dapat berontak dari cekalan Toa-hek, pelan-pelan
tangannya makin kuat hingga dari kewalahan Toa-hek menjadi
pecundang. Dalam latihan tenaga, jangan bicara ilmu silat,
sudah tentu Lo In ada di pihak unggul. Girang hatinya Lo In
dengan kemajuan yang diluar perhitungannya itu. Maka pada
suatu hari si rajawali ia ajak berlatih.
"Tiauw-heng, tenagamu sangat hebat. Aku ingin sepertimu.
Coba, mari kita berlatih !" Lo In menantang.
"Mari !" si bocah mengundang lagi ketika melihat si rajawali
tinggal diam mendekam saja. Ia pasang kuda-kuda untuk
menerima serangan si rajawali.
Sesudah kedap kedip matanya, si burung raksasa pelangpelan
bangkit. Ketika Lo In menyambar dengan tangannya yang kuat
sekarang, pikirnya, si rajawali tak kuat menahan serangannya.
Tapi si bocah salah hitung. Sebab cuma sekali kebas saja
dengan sayap kirinya, Lo In terdampar oleh angin kebasan
hingga ia jatuh duduk. "Itu hebat, Tiauw-heng." ia berkata sambil nyengir dan rasakan
pantatnya sakit juga bekas jatuh barusan. "Kau pelan-pelan
dahulu. Jangan terlalu kuat mengebaskan sayapmu !"
Lo In bicara seperti saja terhadap seorang partner, kawan
selatihan. Tapi si burung raksasa seperti yang mengerti akan
maksud Lo In. Benar saja kebasan yang selanjutnya dilakukan
perlahan. Lo In menjadi girang. Sejak itu ia terus ajak si rajawali berlatih.
Saban hari tenaganya Lo In meningkat an kegesitannya
bertambah. Maka setelah lewat dua bulan, betul-betul luar
biasa tenaga dalamnya si bocah. Ia sudah dapat menahan
kebasan sayap si burung raksasa yang bagaimana keras juga.
Hal mana membuat si rajawali juga merasa heran
kelihatannya. Lo In bangga dengan latihannya. Ia kira semua itu dari
tenaganya yang meningkat demikian hebatnya. Tapi ia tidak
sadar bahwa tenaga dalamnya itu bisa demikian kokoh
lantaran ia memakan buah Jit-goat-ko atau 'Buah bulan
matahari' yang ia dapatkan diantara buah-buah yang diantar
oleh kawan-kawannya. Buah itu bentuknya mungil, tidak besar, hanya sebesar telur
angsa. Warnanya separuh merah dan separuh putih. Kapan
buah itu dibelah, segera menyiarkan bau harum yang lama
sekali memenuhi hidung. Kalau disedot, rasanya nyaman dan
segar seluruh badannya. Ini baharu harumnya saja, apalagi
buahnya kalau dimakan rasanya lezat sekali. Tenggorokan
yang dilewati oleh buah itu, selama lima menit terus menerus
akan mengeluarkan hawa wangi yang menyegarkan. Seluruh
badan rasanya kaku sejenak tapi kemudian tangkas lagi.
Tindakan berubah menjadi enteng, sedang tenaga entah dari
mana sudah berlipat tambahnya.
Buah itu Lo In dapatkan dua biji. Entah dari mana sang kera
dapatkan ini, dua-duanya ia sikat habis setelah ia rasakan
bagaimana harum dan enaknya buah itu, dimasukkan ke mulut
lewat tenggorokannya. Di permulaan cerita dilukiskan bagaimana girang dan bangga
Liok Sinshe menampak kecerdasannya Lo In. Si bocah bukan
saja sudah mewariskan semua kepandaian Liok Sinshe yang
dicatat dalam otaknya, juga rahasia dari ilmu menotok jalan
darah yang terdapat dalam buku 'Tiam-hiat Pit-koat' sudah jadi
miliknya Lo In. Anak kecil itu tinggal memerlukan gemblengan tenaga alam
yang sempurna, lantas ia akan berubah menjadi satu
pendekar yang sukar menemui tandingan. Tapi peryakinan
lwekang (tenaga dalam) yang sempurna bukannya gampang.
Itu harus meminta bukan satu dua tahun tempo, tapi makan
puluhan tahun. Meskipun demikian, Liok Sinshe yakin, dalam
bimbingannya dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, ia
bisa bikin Lo In menjadi jago tak terkalahkan.
-- 5 -- Hanya sayang sekali, Liok Sinshe yang mengasuh Lo In
sampai setengah jalan, baru saja ia menggembleng lwekang
Lo In dua tahun lamanya, tiba-tiba ada bencana dengan
kedatangannya Siauw-san Ngo-ok dan kawan-kawannya. Liok
Sinshe jatuh tergelincir ke dalam jurang yang jejaknya tak
dapat diketemukan oleh Lo In yang berusaha mencarinya
siang malam. Setelah dapat menahan kibasan sayap si rajawali yang
demikian dahsyatnya, diam-diam Lo In merasa sangat
geregetan. Ia sendiri merasa tenaga dalamnya ada hebat,
tidak berani ia balas menyerang pada burung kesayangannya,
kuatir nanti si rajawali terluka oleh karenanya. Sekarang, siapa
yang ia dapat ajak berlatih setelah si burung raksasa tak
berdaya menghadapi ia "
Pada suatu malam, ia keluar dari gubuknya. Tidak lagi ia
leloncatan dari satu ke lain dahan pohon untuk turun ke
bawah, meniru si burung raksasa. Benar-benar hebat ilmu
entengi tubuhnya. Bagaimana ia dapat demikian hebat
ginkangnya " Inilah justru menjadi pertanyaan yang sampai
sebegitu jauh belum dapat dijawab olehnya sendiri.
Tidak jauh dari situ ada terdapat satu lapangan, cukup besar
untuk berlatih silat. Di sekitarnya banyak tumbuh pohon, tinggi
dan rendah, tidak rata. Dan ini semua bagi Lo In merupakan
lapangan untuk melatih ginkangnya.
Di bawah terangnya sang rembulan, Lo In tampak melatih ilmu
silatnya ajaran Liok Sinshe dengan tangan kosong mula-mula.
Pukulan-pukulannya ternyata luar biasa, semua menerbitkan
angin menderu. Kapan ia tujukan pukulannya ke atas, cabangcabang
pohon yang jaraknya dua tombak pada bergoyang dan
daun-daunnya pada berjatuhan ke tanah. Gerakannya gesit
luar biasa hingga yang tak melihat dengan mata kepala sendiri
tentu akan tidak percaya Lo In mempunyai tenaga yang
sempurna dan ilmu silat yang aneh-aneh melihat usianya baru
masuk empat belas tahun. Lo In tidak merasa kalau ia dalam lembah itu diam-diam sudah
melewatkan waktunya hampir 2 tahun. Pantas badannya
makin tinggi, sedang romannya makin nyata kecakapannya.
Sayang pakaiannya mulai compang camping. Maklumlah ia
masuk ke dalam lembah itu tak membawa bekal pakaian. Jadi
ia tiap hari mengenakan pakaian itu-itu juga.
Setelah berlatih dengan tangan kosong, Lo In ganti berlatih
dengan pedangnya, juga tidak kurang hebatnya. Kalau tak
dapat dikatakan lebih hebat dan seram pula. Kecepatan
memainkan pedang yang bobotnya sangat enteng,
menimbulkan angin santar. Suaranya 'bat bet bat bet', bisa
membuat musuh yang menghadapinya ciut nyalinya.
Berhenti berlatih, Lo In duduk termenung di atas rumput.
Ia masih penasaran, lalu bangkit dari duduknya menghampiri
sebuah pohon siong (cemara) yang ukuran bulat batangnya
sebesar betis orang gemuk. Ia pasang kuda-kudanya lalu
kerahkan lwekangnya. Tampak seperti menghembus hawa
putih dari embun-embunannya. Ia berdiri kira-kira satu tombak
dari pohon yagn mau dibuat sasarannya. Setelah merasa
cukup kekuatan untuk menyerang, kedua tangannya digeraki
berbareng, diulur ke depan. Angin menghembus keluar hebat
bukan main. Segera terdengar suara 'krak !'. Disana, pohon
siong yang dipakai sasaran, kelihatan tumbang. Tidak dapat
menahan serangan Lo In yang dahsyat itu.
Lo In berdiri bengong. Ia kagum akan tenaganya sendiri,
berbareng ia menanya dirinya sendiri, dari mana mendapat
tenaga yang luar biasa itu.
"Celaka." katanya dalam hati kecilnya. "Tenagaku begini
dahsyat, aku tidak boleh sembarangan pukul orang !"
Sebentar lagi ia akan meninggalkan tempat.
Lo In kira tidak ada yang lihat perbuatannya. Tidak tahunya,
diam-diam sambil mendekam di atas dahan pohon, si rajawali
menonton ia tengah berlatih silat dan matanya si burung
terbelalak kagum menyaksikan Lo In memukul tumbang pohon
siong. Sampai dibawah pohon, dengan gerakan 'walet terbang
menembusi awan', ilmu entengi tubuh yang paling ia suka, Lo
In sebentar saja sudah ada didalam gubuknya lagi.
Bulak balik ia di pembaringannya. Tidak bisa tidur memikirkan
akan keanehan tenaganya yang luar biasa. Tiba-tiba
berkelebat dalam benaknya tentang 'Jit-goat-ko', buah mujizat
yagn ia makan demikian harum dan lezat rasanya.
Pikirnya, apakah oleh karena makan itu " Ia kemudian merasa
sangsi lagi sebab setelah ia makan buah itu, ia lantas rasakan
perubahan aneh dalam tubuhnya, enteng dan gesit dirasakan
tubuhnya, tenaganya pun meningkat entah berapa puluh kali
karean si burung raksasa kontan pada hari-hari berikutnya
tidak berdaya menghadapi ia berlatih.
Dari mana kawanan kera itu dapatkan buah ajaib itu "
Maka pada keesokan harinya, ia lantas kumpulkan kawankawan
keranya. Ia majukan pertanyaan, siapa diantaranya
yang membawakan buah yang bentuknya macam telur angsa
dan warnanya merah putih.
Lo In gunakan bahasa monyet menanyakannya hingga
puluhan monyet yang hadir dalam pertemuan itu pada
cetcowetan ramai. Rupanya satu dengan lainnya pada saling
bertanya. Tidak lama, satu kera yang berpotongan kecil tapi
gesit, lompat ke depan Lo In, berlutut sambil anggukanggukkan
kepala. Lo In girang melihatnya. "Pek-gan, jadi kau yang
membawakannya untukku ?" ia menanya seraya mengeluselus
kepalanya si kera. Pek-gan, kera itu dipanggil Lo In, artinya 'Mata Putih'.
Ia ada satu kera jantan yang bertubuh kecil, tapi kegesitannya
melebihi kawan-kawannya. Dua matanya putih seperti mata
yang terbalik, tapi ia melihat terang sebagaimana biasa. Malah
ada keistimewaannya, dengan sepasang matanya yang aneh
itu, pada malam hari gelap ia dapat melihat tegas terang
bagaikan siang hari. Ia mempunyai teman yang hampir sama
gesit dan cerdasnya dengan dia. Kera ini kepalanya putih dan
lebih jangkung sedikit, tapi kurusnya sama. Ia dipanggil 'PekTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
tauw' oleh Lo In, artinya 'Kepala Putih'.
Dua kera ini paling disayang oleh Lo In karena gayanya yang
lucu dan sering bikin ketawa, baik dalam percakapan maupun
dalam kelakuannya. Hingga bagi Lo In, mereka itu ada dua
penghibur yagn menyenangkan.
Lain dari itu, dalam soal mengantar buah-buahan mereka tidak
sembarangan asal petik saja. Selalu mereka pilih buah-buah
yang istimewa untuk dipersembahkanpada junjungannya. Oleh
karenanya Lo In sangat menghargakan mereka.
Pek-gan senang kepalanya diusap-usap Lo In, matanya
melirik bangga pada kawan-kawannya.
"Pek-gan, coba kau terangkan dari mana kau dapatnya. Apa
kau masih bisa dapatkan pula beberapa buah untukku ?"
demikian kata Lo In dalam bahasa kera.
Pek-gan geleng-geleng kepala. Mulutnya kemudian
cetcowetan sambil tangannya menunjuk-nunjuk. Rupanya ia
sedang cerita menuturkan pengalamannya.
Lo In mengerti cerita Pek-gan. Kiranya buah mujizat itu si kera
dapatkan pada satu tebing yang curam disebelah barat
mereka sedang berkumpul. Pohonnya hanya mengeluarkan
dua buah. Malah setelah dipetik buahnya, pohon itu lantas
layu, daun-daunnya pada kuncup.
"Tidak apa." kata Lo In. "Lain kali kau boleh bawakan lagi
buah-buah lain yang sama baiknya. Nah, kau boleh kumpul
lagi dengan teman-temanmu !" Lo In sambil tepuk-tepuk
pundaknya si kera. Berbareng dengan ini, tiba-tiba Lo In dan kawanan kera
menjadi kaget mendengar suara monyet berteriak-teriak minta
tolong Lo In dan yang lain-lain pasang kuping untuk menegasi
dari mana datangnya suara minta tolong itu.
"Ah, itu suaranya Ji-hek !" kata Lo In sambil lompat dari
duduknya. Terus ia gunakan ilmu entengi tubuhnya, memburu ke selatan.
Semua kera paling kalut, masing-masing gunakan kecepatan
lari menyusul Lo In. Sedang si rajawali juga tidak ketinggalan,
pentang sayapnya dan terbang mendahului Lo In.
Lo In tidak minta 'kapal terbangnya' stop dahulu untuk
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawa dia, sebab ia tahu Ji-hek lebih perlu lekas ditolong,
jikalau ia mendengar teriakannya yang menyayatkan hati.
Ketika Lo In sampai disatu lapangan terbuka, ia lihat
rajawalinya sedang bertempur dengan manusia, entah siapa
dia. Tidak jauh dari mereka bertempur, tampak menggeletak
Toa-hek, tengah dipeluki oleh Ji-hek sambil berteriak-teriak
menangis minta pertolongan.
Cepat Lo In menghampiri Ji-hek.
Melihat Lo In datang, Ji-hek kegirangan. Mulutnya ramai
menceritakan apa yang sudah terjadi. Kiranya Toa-hek sudah
bertempur dengan orang yang sekarang lagi bertempur
dengansi rajawali. Dalam keadaan tidak waspada, Toa-hek
sudah dirubuhkan dengan senjata beracun.
Lo In tidak perhatikan Ji-hek nyerocos cetcowetan. Ia terus
saja memeriksa lukanya Toa-hek. Keadaannya parah juga,
matanya meram saja ! Lo In girang sebab Toa-hek tidak
terancam bahaya kematian karena lukanya.
Cepat ia bersihkan darah di pundaknya Toa-hek. Dengan
tangan bajunya lalu keluarkan obatnya, dioleskannya, sedang
pil mustajabnya dimasukkan ke dalam mulutnya Toa-hek.
Mustajab benar obatnya Lo In, warisan Liok Sinshe. Karena
tidak lama setelah obat berjalan dalam perut dan pundaknya,
Toa-hek sudah dapat membuka matanya dan merintih pelanpelan.
Melihat Toa-hek sudah tertolong, maka Lo In bangun berdiri
menyaksikan pertempuran si garuda dengan lawannya. Ia
perhatikan musuhnya si garuda ternyata adalah seorang tua
dengan hidung bengkok seperti patuk burung kakaktua,
mulutnya lebar, jidatnya jantuk. Entah ada tanda apanya lagi di
mukanya sebab hanya itu saja yang dapat dilihat dari
kejauhan oleh Lo In. Ternyata orang tua itu ada punya lwekang hebat juga. Sebab
samberan si rajawali terus dapat ditolak mundur. Tampak si
rajawali napsu benar hendak membinasakan musuhnya. Angin
pukulan si orang tua, seolah-olah tidak dihiraukan. Ia terus
menyambar musuhnya sambil perdengarkan pekikan yang
gusar sekali. Entah ada permusuhan apa si rajawali begitu marahnya.
Lo In lihat, orang tua itu mulai keteter. Ia mulai gunakan
senjata rahasianya. Ser ! Ser ! Lo In dengar suaranya senjata
rahasia si orang tua menyambar pada si rajawali. Tapi sampai
sebegitu jauh dengan kebasan sayapnya, saban kali senjata
rahasianya si orang tua dapat dijatuhkan.
Lo In kuatir akan keselamatan burung kesayangannya. Maka
ia lalu bersuit, si rajawali masih bernapsu bertempur. Suitan
tanda memanggil Lo In seperti juga ia tidak mendengarnya.
Tapi, ketika suitan yang kedua nadanya agak keras, membuat
si rajawali tak dapat membandal panggilan tuannya.
Ia putar tubuh dan terbang menghampiri Lo In.
Sementara itu, si orang tua sudah memburu datang.
Kiranya dia itu seorang tua dari usia kira-kira 50 tahun. Selain
tanda-tanda yag Lo In dapat lihat terlebih dahulu, ia saksikan
lagi, orang tuaitu mulutnya dan giginya omping. Entah tinggal
berapa giginya, yang terang di sebelah depannya, atas bawah
sudah sungsang sumbel. Segera Lo In dan si orang tua sudah berhadap-hadapan, kira
satu tombak jauhnya. Sambil menunjuk dengan jarinya, si
orang tua berkata pada Lo In, "Em ! Jadi kau ini tuannya si
burung celaka itu ?"
Lo In merasa tidak senang burungnya dikatai 'si burung
celaka'. "Lotiang (orang tua), kau sudah celakai Toa-hek, lantas kau
mau celakai juga aku punya Tiauw-heng, apa maksudmu ?" Lo
In balik menanya tanpa menjawab pertanyaan orang yang
diajukan lebih dahulu. "Aku tidak peduli kau punya Toa-hek, Tiauw-heng, Sam-heng,
apa hek apa heng kek ! Asal aku mau bunuh, tidak ada orang
yang berani rintangi !" si orang tua nyerocos, kasar betul.
Suaranya nyaring macam gembreng pecah.
Lo In mendongkol hatinya. Tapi ia tidak berani kurang ajar. Ia
tetap berlaku sopan terhadap orang asing itu. Selama hampir
dua tahun dalam lembah, hari itu, Lo In untuk yang pertama
kalinya ketemu lagi dengan manusia. Di samping ia suka
berlaku jail, mengocok orang, juga perangainya halus dan
ingin bersahabat sama siapa juga. "Jadi lotiang masih marah
sekarang ?" tanyanya.
Matanya si orang asing mendelik.
"Aku mau bunuh orang utan dan burung busukmu. Kau mau
apa ?" bentaknya. Lo In kedip-kedipkan matanya, seperti yang ketakutan.
"Lotiang, kau sebenarnya siapa " Apa namamu ?" tanya Lo In
tenang. "Hahaha." si orang asing ketawa, seraya tepuk-tepuk dadanya.
"Tidak perlu kau tahu siapa aku sebab kau masih bocah. Tapi
tidak apa aku sebutkan supaya mati merem. Hahaha, aku ini
Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng dari Coa-kok !"
Lo In tidak kaget si orang asing sebutkan namanya, sekaligus
dengan gelarnya 'Toan Bilo-mo' atau 'Si Iblis Alis Buntung'.
Yang membikin ia heran, Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng macam
orang edan. Apa dia setengah atau memang betul-betul
sinting " Lo In tanya dirinya sendiri.
Kalau orang baik-baik, tidak semestinya ia menyebutkan
namanya yang seram sambil tepuk-tepuk dada dihadapan
seorang anak kecil seperti Lo In. Sebab Lo In belum tahu apaapa
dengan dunia Kang-ouw. Yang lebih aneh pula, Siauw Cu Leng pakai mengatakan
'supaya kau mati merem' segala, apakah maksudnya " Apa ia
mau bunuh juga Lo In " Ini pun menjadi pertanyaan dalam
hatinya si bocah. Lo In memandang mukanya si iblis, benar-benar saja kedua
alisnya pendek (kuntugn), cuma setengah dari alisnya orang
biasa. Setelah menyebutkan nama dan gelarnya, Siauw Cu Leng
jalan mau menghampiri Toa-hek sehingga Toa-hek
mengerang gusar sedang Ji-hek tampak siap sedia buat
menjaga kalau suaminya diserang.
"Hei, kau mau apa ?" tanya Lo In.
"Ah, kau anak bau, tau apa !" sahut Toan Bilo-mo Siauw Cu
Leng seraya mengebaskan lengan bajunya. Dari mana
mengembus angin keras, menyerang Lo In.
Si Iblis Alis Buntung berdiri heran melihat Lo In tidak apa-apa.
Si bocah tinggal tetap berdiri ditempatnya. Biasanya, kalau
orang akan jungkir balik, apalagi ini anak kecil yang dikebas,
kenapa dia diam saja " Demikian tanya si iblis dalam hatinya.
Apa kurang kencang kebasannya " Maka ia lalu mengebas
sekali lagi dengan lwekan ditambah menjadi 7 bagian, tapi......
Lo In masih berdiri ditempatnya sambil bersenyum geli.
Rupanya ia masih merasa lucu atas kelakuan si iblis.
Memang, kalau anak kecil biasanya yang dikebut pasti akan
jungkir balik dan mungkin jatuh pingsan. Tapi kali ini Lo In
yang dikebas, tidak bisa mempan sebab tenaga dalam Lo In
ada diatasnya si Iblis Alis Buntung.
"Silahkan, kau mau bunuh Toa-hek ?" tanya Lo In ketika
melihat si iblis berdiri tertegun.
Sebagai tokoh iblis yang ditakuti sepak terjangnya, tentu saja
Siauw Cu Leng tidak mengira dapat dijatuhkan demikian
mudah oleh satu anak kecil yang masih ingusan, kata hati
kecilnya. Ia lalu lompat menerjang, menghajar Lo In dengan kedua
tangannya yang menghembuskan angin besar. Debu dan
tanah berterbangan saking hebatnya dilanggar angin serangan
Siauw Cu Leng. Tapi Lo In sudah menghilang dari depannya.
Bukan main kagetnya, cepat ia putar tubuhnya. Dilihat Lo In
sudah berada dibelakangnya sambil anteng-anteng saja
menggendong tangan. "Tanah tidak berdosa kau hajar begitu bengis, lotiang !" Lo In
kata dengan jenaka. Malu bukan main si Iblis Alis Buntung diejek si bocah, naik
pitam dia. "Bagus, kau jaga pukulan mautku !" teriaknya
nyaring. Pukulan yang dikerahkan dengan tenaga maksimum kalau
kena tubuh Lo In bisa hancur lebur berkeping-keping, tapi lagiTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
lagi pukulan si iblis cuma bisa menghajar tanah sebab Lo In
sudah bisa menghilang lagi kemana tahu.
"Anak busuk, kau berani permainkan aku, Toan Bilo-mo ?"
bentaknya sambil celigukan, matanya mencari bayangan Lo
In. SI iblis benar heran. Entah bagaimana Lo In bergerak sebab
tahu-tahu ia hanya menghajar tanah lagi. Ia marah-marah
hanya untuk menyimpan mukanya dari perasaan malu sebab
sebenarnya telah takut bukan main dalam menghadapi si
bocah punya kegesitan yang seperti setan saja bisa
menghilang. Pikirnya, kalau tidak siang-siang angkat kaki, ia bisa susah.
Ia tahu bahwa saat itu Lo in berada di samping kirinya. Ia
bukan menyerang lagi, hanya ia lompat ke depan dan angkat
kaki terbirit-birit lari.
Lo In tidak mau tanam bibit permusuhan, makanya ia tadi
hanya lawan si iblis dengan kelincahannya saja mengelakkan
serangan-serangan. Ketika si iblis melarikan diri, ia hanya
ketawa, tidak mengejar. Tapi tidak demikian dengan si
rajawali, begitu meliaht Siauw Cu Leng lompat lari, ia juga
gerakan sayapnya menyerang dari atas. Cakarnya yang
bagaikan baja, nyaris mencomot hilang kepalanya si iblis,
kalau Siauw Cu Leng tidak menggunakan tipu 'Keledai malas
bergulingan diatas rumput', akan kemudian disusul dengan
gerakan 'Lo hie ta teng' atau 'Ikan gabus meletik', untuk ia
terus melarikan diri. Lo In tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan pertunjukan itu.
ia tidak ijinkan si rajawali mengejar terus lawannya karena ia
tahu orang itu sangat licik hingga mungkin burung
kesayangannya nanti bisa dapat celaka oleh senjata
rahasianya yang berbisa. Oleh karenanya ia lalu
memperdengarkan suitannya memanggil si rajawali untuk
terbang pulang. Tampak burung kesayangannya unjuk roman bengis dan
penasaran. "Tiauw-heng, kau kenapa begitu marah pada dia ?" tanya Lo
In seraya elus-elus sayapnya, sebagaimana biasa unjuk
kesayangannya. Si rajawali tidak geleng atau anggukkan kepalanya, dia diam
saja. Lo In mengerti burung kesayangannya sedang marah.
Seketika itu ia ingat akan kejadian si burung raksasa
menderita luka, ia terkena anak panah beracun. Maka cepat ia
pungut anak panah yang barusan menancap dipundaknya
Toa-hek. Ketika ia perhatikan dengan seksama, lantas ia
mengerti bahwa yang memanah si rajawali adalah si Iblis Alis
Buntung. Pantesan burung kesayangannya begitu marah pada
Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng.
"Tidak apa, lain kali kita ketemu, kita akan kasih hajaran
padanya." menghibur Lo In pada burung garudanya. Si
rajawali kali ini, mendengar Lo In mengucapkan kata-katanya
telah memanggutkan kepalanya.
Kenapa Toa-hek bertempur dengan Toan Bilo-mo Siauw Cu
Leng " Itu adalah kebetulan kesompokan di jalanan. Ketika Siauw Cu
Leng sedang jalan lewati pohon, tiba-tiba ada bayangan
lompat dari atas. Ia kaget, cepat balik tubuhnya dan ia lantas
berhadapan denga Toa hek sebab bayangan tadi memang
Toa-hek yang barusan turun dari pohon.
Sebenarnya, kalau Siauw Cu Leng tidak timbul niatan ingin
menaluki si orang utan, ia teruskan jalannya, tentu tidak akan
ada kejadian apa-apa, sebab Toa-hek juga tidak
perdulikannya. Apa mau, Siauw Cu Leng ketarik dengan tubuhnya Toa-hek
yang tegap dan kokoh kuat. Pikirnya, kalau ia bisa taluki orang
utan ini dan dijadikan pembantunya, ada baiknya juga untuk
disuruh-suruh. Segera ia datang mendekati, ia mulai
mengganggu, mengundang kemarahan Toa-hek. Ia berhasil
sebab Toa-hek lantas kedengaran menggerang gusar.
Dengan gerakan 'Hek houw tam jiauw' atau 'Macan hitam
mencengkeram', ia lompat menerjang. Tangan kanannya
menyambar lengan kiri Toa-hek, sedang tangan kiri, dengan
dua jarinya meluncur mau menotok 'hongbun-hiat', jalan darah
di pundak kanan si orang utan.
Inilah gerakan yang dilakukan dengan cepat. Pikirnya, dalam
segebrakan itu ia akan bikin lawan tidak berdaya. Tapi
perhitungan Siauw Cu Leng ternyata keliru sebab Toa-hek
segera elakkan lengannya yang hendak dicekal sedang
tangan kiri si iblis yang hendak menotok pundak sudah kena
ditangkis keras sekali hingga si iblis lompat mundur saking
kaget dan kesakitan. "Apa mungkin monyet ini bisa ilmu silat ?" ia menanya dirinya
sendiri, sambil matanya mengawasi Toa-hek.
Tapi si orang utan yang sudah marah, tak mengasih
kesempatan untuk Siauw Cu Leng banyak menanya-nanya
dalam hatinya karena segera ia menyerang dengan tangannya
yang gede berbulu dan kepaksa si iblis harus keluarkan
kegesitannya untuk menyelamatkan diri.
Ia rada ngeri untuk kasih tangannya bentrok lagi dengan
tangan Toa-hek sebab barusan ketika ditangkis, ia rasakan
tangannya seperti ditangkis sepotong besi sampai ia rasakan
kesemputan tangannya. Sebaliknya, ia mau menggunakan
lwekang, menggempur rubuh Toa-hek, hatinya tidka
mengirakan karena ia ingin taluki si orang utan, bukannya
hendak membunuhnya. Jadi, bagaimana ia harus berbuat " Dalam berkelit sana sini,
menghindarkan sambarang tangan Toa-hek, si iblis putar
otaknya mencari jalan merobohkan Toa-hek.
Ia dapat jalan rupanya sebab sebentar kemudian ia lompat
keluar dari pertempuran, lari dikejar oleh Toa-hek.
Siauw Cu Leng menyelinap dibalik sebuah pohon besar
hampir dua pelukan, disini dia ajak Toa-hek main petak,
berputar ia disini sampai kemudian ia berada dibelakang si
orang utan. Diam-diam ia keluarkan panah beraacunnya,
terdengar Toa-hek menjerit roboh karena pundaknya kena
dilanggar senjata rahasia si iblis.
Siauw Cu Leng kegirangan. Tapi baru saja dengan terbahakbahak
ia ketawa seraya mendekati Toa-hek, dari atas pohon
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambar satu bayangan. Untung ia awas. Cepat berkelit
selamatkan diri dari serangan. "Bangsat pembokong !"
bentaknya sambil memandang orang yang membokong tadi.
Ia terkejut juga sebab yang menyerang dirinya bukanlah
manusia, tapi orang utan lagi, orang utan betina. Memang Jihek
yang datang hendak menolong suaminya yang terancam
bahaya. Segera mukanya si iblis berubah. Napsu membunuhnya
tampak dari romannya yang beringas. Ia kerahkan
lwekangnya, maksudnya hendak menghajar Ji-hek dengan
sekali pukul saja. Tapi pada saat Ji-hek terancam bahaya,
tiba-tiba terdengar suara si rajawali mendatangi, bagaikan
kapal terbang yang hendak mendarat saja, si burung raksasa
menyambar Siauw Cu Leng. Pohon dimana si iblis berdiri ada
merintangi si rajawali menyambar dengan leluasa. Maka ia
serempet Siauw Cu Leng dengan sayapnya hingga si iblis
terpental bergulingan, sebelum ia berdaya untuk
menyelamatkan dirinya. Ia bergulingan menjauhi pohon kemudian ia lompat bangun,
lebih jauh lagi jaraknya dari pohon yang membuat si rajawali
tidak leluasa. Maka dengan enak saja Kim-tiauw permainkan
Siauw Cu Leng dengan kebasan sayap dan cakaran kedua
kakinya yang tajam-tajam. Tapi Siauw Cu Leng ada satu tokoh
iblis yang sudah terkenal dalam kalangan Kang-ouw. Maka
tidak mudah si rajawali mencomot kepalanya yang saban kali
hampir tercakar sebab ketika si iblis dapat memperbaiki
posisinya, segera juga serangan-serangan si rajawali di balas
dengan serangan tangan yang menghembuskan angin santar.
Itulah Pek-kong-ciang, pukulan udara kosong yang digunakan
Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng.
Si rajawali dengan demikian terus ketahuan tiap
menyambarnya. Pertarungan dilakukan hebat sekali sebab si
rajawali yang kenali musuhnya yang telah melukai ia,
kelihatannya sangat bernapsu sekali hendak mencakar dan
mematuk binasa musuhnya itu.
Siauw Cu Leng menggempur dengan hati-hati, ia pun sudah
siapkan panah beracunnya untuk merobohkan si rajawali.
Justru ia sudah siap, tiba-tiba terdengar suitannya Lo In.
Suitan pertama si rajawali belaga pilon, tapi suitan kedua yang
nadanya agak keras, membuat si rajawali tak dapat
meremehkan panggilan tuannya dan ia putar tubuh melayang
balik menyampari Lo In. Siauw Cu Leng menyesal sekali ia terlambat melepas panah
beracunnya karena gara-gara suitan Lo In. Oleh karena itu
juga, maka Siauw Cu Leng sudah mendatangi Lo In dan
marah-marah di depan si bocah seperti orang gila. Tapi
kesudahannya ia kena dipecundangi si jago kecil dengan
hanya menggunakan kegesitan entengi tubuhnya saja.
Toa-hek sangat berterima kasih atas pertolongan Lo In.
Tiba-tiba ia jatuhkan diri, menyembah di depan si jago cilik.
"Kau terlalu menghargai aku, Toa-hek. Bangunlah !" berkata
Lo In sambil tepuk-tepuk pundaknya Toa-hek.
Lo In berjaln pulang dengan diiringi oleh tentara keranya.
Dalam perjalanan, Lo In berpikir mungin dalam lembah itu
bukan ia sendiri manusia yang menjadi penghuninya.
Munculnya si Iblis Alis Buntung sudah tentu ada kawankawannya
pula yang turut dengannya. Berpendapat bahwa
disekitarnya lembah mesti ada orang-orang lainnya pula yang
tinggal, maka dalam hatinya jago cilik kita ingin ia ketemukan
mereka itu untuk menanyakan keterangan kalau-kalau
diantaranya ada yang mengetahui tentang jejaknya Liok
Sinshe. Meskipun hampir dua tahun sudah, Lo In menjadi penghuni
lembah, belum pernah ia melupakan Liok Sinshe. Tiap hari ia
masih terus mencari jejaknya Liok Sinshe. Malah tentara
keranya dikerahkan untuk membantu mencarinya. Ia sangat
mencintai Liok Sinshe yang ia anggap sebagai pengganti
orang tuanya, yang ia tidak tahu siapa dan dimana adanya
sekarang. Tiga hari sejak kejadian diatas, Lo In dengan sendirian coba
melakukan pemeriksaan disekitarnya tempat dengan
pengharapan ia akan bertemu dengan orang yang ia dapat
ajak bicara. Ia menerobos sana menerobos sini, diantara
pepohonan yang lebat sampai akhirnya ia mendekati satu
rimba bambu. Tidak jauh dari sini, ia lihat ada sebuah sungai
kecil. Ia datang mendekati, duduk ditepinya untuk melepaskan
lelah. Belum lama ia duduk, terbawa oleh silirannya angin, sayupsayup
ia seperti mendengar ada orang yang merintih. Ia kaget
kapan ia tegasi, rintihan itu keluar dari jalanan masuk ke rimba
bambu tadi. Siapakah gerangan yang merintih itu " Dalam hatinya, ia
girang dapat menemukan manusia disitu, tetapi juga kuatir
bahwa ia akan terlambat dapat menolong orang yang dalam
kesulitan itu sebab dari suara rintihannya, orang itu seperti
mendapat luka berat. Dengan beberapa kali lompatan saja, Lo In sudha masuk ke
dalam rimba bambu. Di pinggiran jalan ia nampak ada satu nenek yang sedang
rebah merintih. Ia datang mendekati, ia pegang lengannya si nenek dari
belakang sebab si nenek sedang rebah miring. "Kau kenapa,
Popo ?" tanya Lo In.
Lo In menduga si nenek bisa silat sebab dari dandanannya
ada lain dari kebanyakan nenek-nenek. Juga ia lihat, tidak
jauh dari si nenek, ada kedapatan sepotong besi, panjang tiga
kaki. Rupanya potongan besi itu yang merupakan toya
pendek, ada gegumamnya si nenek yang roboh merintih.
Merasa lengannya dipegang orang, si nenek berbalik dan
memandang Lo In. "Oh, anak." sahutnya. "Aku terluka berat oleh itu anjing keparat
!" Paras mukanya si nenek kelihatan seperti yang marah dan
penasaran. "Siapa yang lukai Popo ?" tanya Lo In.
"Ah, kalau diceritakan, gemas sekali aku pada si keparat ! Aku
hanya kalah sejurus saja, apa mau betisku kena ditendang
oleh tendangan geledeknya hingga aku rubuh tidak ampun
lagi. Untung dia tidak barengi mengemplang kepalaku dengan
toyaku yang dia rampas. Kalau sampai begitu, celaka aku si
nenek sekarang sudah mampus !" demikian si nenek menutur.
Ia tidak menjawab langsung pertanyaan Lo In.
Si nenek sambil bercerita, sembari bangkit dari rebahnya dan
duduk. Lalu gulung kaki celananya yang kanan. "Nih, kau lihat.
Bukankah orang itu amat kejam ?" si nenek sambung
bicaranya sambil menunjuk pada lukanya.
Lo In lihat, benar saja betisnya matang biru akibat tendangan
lawannya. "Siapa yagn lukai Popo ?" Lo In ulangi pertanyaannya tadi.
Si nenek mengawasi Lo In sebentar, lalu berkata, "Ah, kau
masih kecil. Barangkali kau belum kenal dia. Dia itu ada satu
iblis kejam. Namanya Siauw Cu Leng dengan gelarnya si 'Iblis
Alis Buntung'. Anak, sebaiknya kau tolong aku dari pada kau
tanyakan orang yang mencelakai aku sebab toh kau tidak bisa
berbuat apa-apa untuk membalaskan sakit hatiku si nenek !"
Lo In hanya mendehem. Lalu ia segera mau periksa lukanya si
nenek, tapi ia urungkan ketika si nenek berkata lagi, "Eh,
tunggu dulu. Kau tentu mau tahu juga aku berhantam dengan
si iblis, bukan ?" Lo In hanya manggutkan kepala.
"Lantarannya ia menuduh aku sudah menemukan buah 'Jitgoat-
ko' dan aku sudah memakannya sendiri." kata pula si
nenek. "Apa buah 'Jit-goat-ko' itu ?" tanya Lo In.
"Jit-goat-ko," sahut si nenek. "Bentuknya mungil sebesar telur
angsa, warnanya merah putih. Siapa makan ini, tubuhnya
akan kuat luar biasa. Kalau yang pandai silat, lwekangnya
meningkat. Makan satu seperti tambahan tenaga dalam dari
latihan 5 tahun. Makan dua sebagai berlatih 10 tahun. Siapa
yang dapat makan buah ini, rejekinya besar. Mana aku si
nenek punya itu rejeki dapatkan buah yang demikian, tapi
difitnah oleh si jahat itu sampai aku rasakan semaput betisku
ditendang olehnya. Baik, nanti ada satu waktu, aku akan bikin
perhitungan padanya. Ia tak nanti lolos dari pembalasanku !"
Sementara si nenek nyerocos cerita, Lo In diam-diam merasa
terkejut dalam hatinya. Ia tidak sangka buah 'Jit-goat-ko' ada
demikian besar khasiatnya. Pantas dia makan dua buah itu,
tenaganya tambah entah berapa puluh lipat hingga ia bikin
tidak berkutik Toa-hek dan si rajawali, dua teman dalam
latihannya. Kalau begitu, pikirnya, tenaganya meningkat
seperti juga ia berlatih sepuluh tahun sudah lwekangnya.
Parasnya si bocah yang terkejut, tidak lepas dari matanya si
nenek yang berkilat sebentaran, lalu berkata pada Lo In,
"Anak, coba kau tolong periksa lukaku. Aku rasakan sangat
sakit !" Lo In menurut, ia tekuk lututnya dan memeriksa luka si nenek.
Tiba-tiba terdengar suara 'buk !' disusul oleh jeritan 'aiyoo !'
dari Lo In berbareng badan si bocah lantas rebah terkulai.
Kiranya Lo In kena dibokong si nenek. Ia kena perangkap
sebab si nenek sebenarnya bukan terluka. Betisnya yang
matang biru hanya buatannya sendiri dengan mengerahkan
tenaga dalamnya, disalurkan ke betisnya hingga timbullah itu
tanda seperti yang benar kena ditendang orang.
Lo In masih kecil, belum kenal kecurangan manusia. Ia masih
belum berpengalaman dalam rimba persilatan yang banyak
akal-akal busuk yang dilakukan orang-orang jahat. Ia percaya
saja akan obrolannya si nenek. Ketika ia tekuk lutut, nunduk
untuk periksa luka yang dikatakan si nenek jahat, tiba-tiba
dengan kejam si nenek membokong Lo In dengan tenaga
sepenuhnya. Tentu saja Lo In yang tidak berjaga-jaga, sekali digebuk ia
jatuh setelah mengeluarkan jeritan 'Aiyoo !' yang
mengenaskan. "Hehehe !" si nenek tertawa terkekeh-kekeh sambil bangkit
dari duduknya dan mengawasi korbannya yang rebah
tengkurup, tidak sadarkan diri.
"Bagus !" tiba-tiba terdengar suara orang dari gerombolan
pohon bambu, berbareng orangnya muncul. Siapa, ternyata
bukan lain orang adalah Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng sambil
ketawa-ketawa datang menghampiri.
"Anak bau !" katanya sambil menendang tubuhnya Lo In
hingga terpental bergulingan setombak jauhnya. "Rasakan
gempuran tangan ciciku !" si iblis menyerang gemas seraya
memburu dan hendak menendang lagi.
"Tahan !" kedengaran si nenek menyetop niatnya Siauw Cu
Leng yang gemas sekali pada Lo In yang pernah bikin ia lari
terbirit-birit. Siauw Cu Leng tidak jadi menendang. Ia jadi uring-uringan, ia
berkata, "Anak bau ini, buat apa ditinggal hidup " Mampusi
saja, habis perkara !"
Si nenek goyang-goyang tangannya sambil jalan
menghampiri. Dekat tubuh Lo In, ia jongkok mengawasi
parasnya si bocah yang cakap tengah telentang dengan tidak
ingat orang, mungkin napasnya sudah berhenti.
Pelan-pelan tangannya si nenek ditempelkan pada dadanya
Lo In. Ia dapatkan Lo In masih bernapas meskipun sangat
perlahan. Kembali ia mengawasi pada paras Lo In lalu
menghela napas, "Musti anak ini turunannya dia........." ia
berkata perlahan, tapi cukup nyata bagi telinganya Siauw Cu
Leng. Si Iblis Alis Buntung juga turut jongkok.
Sambil turut mengawasi si bocah yang seolah-olah sudah
tidak ada napasnya, Siauw Cu Leng menanya, "Siapa yang
kau maksudkan, cici ?"
"Dia..........dia........" sahtu si nenek bengong.
"Oh, aku tahu. Dia si orang she........." Siauw Cu Leng kata
lagi. Ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena si nenek
tiba-tiba menaruh telunjuk di mulut, bersuara "sstt !"
Siauw Cu Leng celingukan sebab tanda dari kakaknya itu
menandakan ada orang yang mengintai. Tapi ia tidak lihat
apa-apa kecuali dua monyet kecil yang sedang lelompatan di
pohon bambu. Yang satu kelihatan kepalanya putih sedang yang pendekan
matanya putih. Dua monyet itu kelihatan lucu sekali.
Setelah lama memperhatikan, mereka itu tidak mendengar
gerakan apa-apa lagi, maka Siauw Cu Leng sambil ketawa
berkata, "Ah, cici. Hanya dua binatang itu saja yang
mengagetkan kita." sambil ia menunjuk pada dua kera yang
seenaknya saja bermain lompat-lompatan saling kejar, malah
terkadang sampai mendekati mereka dengan aksinya masingmasing
yang lucu. Siapa si nenek itu " Ia bernama entah siapa, tapi ia terkenal
dalam kalangan kang-ouw dengan nama Ang Hoa Lobo atau
si nenek Kembang Merah. Rupanya nama ini diambil dari
kebiasaannya, pada rambutnya suka dicantum kembang yang
warnanya merah. Kepandaiannya jauh diatas Siauw Cu Leng.
Namanya saja si iblis Siauw cu Leng memanggil cici (kakak).
Tapi sebenarnya mereka itu sudah menjadi laki bini diluar
kawin. Ang Hoa Lobo 'jago racun', disamping kepandaian silatnya
tinggi hingga Siauw Cu Leng yang biasa tidak takuti siapa
juga, ia tunduk terhadap bininya diluar kawin itu. Ia pun juga
mempunyai panah beracun buatang Ang Hoa Lobo.
Demikian, tatkala mengetahui bahwa kecurigaannya tidak
beralasan, makan Ang Hoa Lobo suruh Siauw Cu Leng
pondong Lo In untuk dibawa pergi dari tempat itu.
Siauw Cu Leng benci pada Lo In tapi ia tak dapat menolak
perintah sang ratu. Terpaksa dengan uring-uringan ia angkat
si bocah, terus dipanggul di pundaknya.
Ang Hoa dan Kim Popo, jadi sudah dua-dua nenek yang
muncul dalam cerita. Sekarang, mari kita melihat perjalanan
Kim Popo dan asal usul dua nenek itu.
Kim Popo setelah dijemur selama dua jam dibawah terik
panasnya matahari, barulah dengan sendirinya totokan si
thauto bebas. Di samping sangat gusar, ia rasakan
tenggorokannya sangat kering. Cepat ia bangkit lalu
menghampiri tongkatnya dan dipungutnya. Ia meneduh
sebentar di bawah pohon kemudian ia mencari air, kalau-kalau
didekat situ ada kali kecil yang jernih airnya.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keinginannya Kim Popo kesampaian, sebab tidak lama ia
jalan, ia menemui sebuah kali kecil yang airnya jernih
bagaikan kaca, keluar dari mata-mata air dari pegunungan.
Kegirangan dia sampai di tepi kali, ia rebahkan diri tengkurap,
tangan kanannya dipakai menyendok air. Dengan napsu, ia
minum sekenyangnya. Ia cuci muka dan cacapi kepalanya
yang barusan kena dijemur panasnya matahari.
Ia rasakan adem sekali ketika merasakan air kali itu meresap
di kepalanya. "Hahaha ! Dia ada disini !" tiba-tiba Kim Popo dibikin kaget
oleh suara laki-laki dari belakangnya. Cepat ia bergulingan
untuk menyelamatkan diri dari serangan gelap kemudian
dengan gerakan 'Ikan gabus meletik', di lain saat ia sudah
tancap kakinya berdiri sambil pegangn kencang tongkatnya.
Ia menduga si thauto yagn datang lagi. Maka ia sudah siap
untuk menempur musuhnya dengan mati-matian. Tapi ketika
ia mengawasi orang yang tertawa tadi, amarahnya dengan
seketika lenyap dan malah ia ikut ketawa dan berkata : "Koko,
kau bikin kaget orang saja. Mengapa sih suka jail begitu ?"
Tidak biasanya Kim Popo keluarkan suara dengan nada begitu
empuk dan halus. Kiranya orang itu ada 'kenalan lama' dari
Kim Popo. "Adik Kim, kau dari mana ?" tanya orang laki-laki itu.
"Kau sendiri, datang dari mana dan mau kemana ?" balik
tanya Kim Popo sambil melirikkan matanya.
"Ah, adik Kim. Kau belum jawab pertanyaanku." kata lagi
orang laki-laki itu sambil jalan menghampiri dekat pada si
nenek. "Aku..... aku, eh......... kau........." sahut Kim Popo, agak gugup
suaranya. Laki-laki itu telah mencekal tangannya Kim Popo yang kurus,
dengan tangan kanan ia mencekal, sedang tangan kirinya
memegang lengan kanan si nenek sehingga si nenek coba
berontak dari cekalan dan pegangan si lelaki sambil
mengucapkan kata-kata yang gugup tadi.
Berontaknya Kim Popo hanya 'aksi' atau pura-pura saja.
Sebab iahanya sebentaran saja beraksi demikian. Selanjutnya
ia jinak, antapkan perbuatannya si laki-laki tadi sambil
tundukkan kepala seperti anak dara yang malu-malu kucing.
Orang akan merasa geli dan lucu, melihat adegan yang 'luar
biasa' itu. Kim Popo yang terkenal dengan adatnya yang angin-anginan
dan kepala batu, eh, bolehnya begini jinak pada lelaki yang
dihadapinya malah mengunjuk aksi manja aleman, bagaikan
anak perawan usia sweet-seventeen.
Siapakah lelaki itu " Siapa Kim Popo itu "
Marilah kita menuturkan 'kisah roman' dari mereka yang cukup
menarik. Di sebelah barat kota Hoa-im dalam provinsi Siamcay, ada
tinggal bekas piauwsu (pengawal antaran barang) bernama
Kong Tek Liang. Ia terkenal dengan ilmu tongkatnya yang
dinamai 'Thian-lo Sin-kuay-hoat' atau 'Ilmu silat tongkat sakti
jatuh dari langit', terdiri dari 6 jalan dan masing-masing jalan
ada mempunyai 8 jurus, sama sekali jadi 48 jurus.
Dengan kepandaiannya ini, ia banyak taluki penjegal-penjegal
atau perampok-perampok besar, dalam perjalanan mengawal
barang-barang antaran. Ketika ia masih jadi piauwsu,
sehingga namanya terkenal dengan julukan Sin-kuay piauwsu
atau Piauwsu Tongkat Sakti. Setelah berusia tua, ia dengan
sendirinya mengundurkan diri dan menetap di sebelah barat
kota Hoa-im. Kong Tek Liang mempunyai anak perempuan bernama Kong
Kim Nio, yang sangat dimanjakan karena ia hanya puteri satusatunya.
Di samping Kong Kim Nio, si Piauwsu Tongkat Sakti
mempunyai dua murid bernama Siauw Cu Leng dan The Sam.
Kim Nio ada berparas cantik menarik hingga Siauw Cu Leng
dan The Sam tergila-gila oleh kejelitaannya Kim Nio.
Siauw Cu Leng parasnya cakap tapi sifatnya licik dan agak
ceriwis. Sebaliknya The Sam, meskipun kalah cakap dari
Siauw Cu Leng, ia lebih pandai dalam merayu si dara. Hatinya
Kim Nio lebih mendoyong pada The Sam, pergaulan mereka
pun menjadi lebih erat oleh karenanya.
Pada suatu hari, Kim Nio duduk berduaan dengan The Sam
beromong-omong dalam sebuah taman bunga yang terdapat
dipekaranagn rumah Kong Tek Liang yang lebar luas. Mereka
begitu asyiknya ngobrol sampai tak disadari dua tangan
mereka saling pegang. "Adik Kim," terdengar suara The Sam berkata dengan suara
perlahan. "Mungkinkah kita bisa jadi kawan seumur hidup ?"
"Kenapa tak mungkin, koko ?" sahut Kim Nio dengan mukanya
bersemu merah sebab seketika itu ia merasakan pegangan
tangannya The Sam makin erat dan duduknya menggeser
lebih dekat lagi. "Aku kuatir kau tidak menjadi milikku, adik Kim." kata The
Sam, suaranyaagak gemetar.
"Kenapa kau memikir begitu, koko ?" tanya Kim Nio seraya
tarik tangannya yang dipegang erat-erat oleh The Sam.
Tapi The Sam tidak mau melepaskan tangan yang ditarik
pulang itu, malah ia menggunakan dua tangan menggenggam,
seolah-olah takut tangan si gadis yang lemas halus laksana
kapas itu terlepas. Kim Nio juga tidak memaksa, ia antapkan
tangannya dalam genggaman kedua tangan The Sam yang
kuat. Hatinya tiba-tiba memukul melihat The Sam duduknya
makin menggeser saja merapati tubuhnya.
"Adik Kim........" kata The Sam, suaranya hampir tidak
kedengaran. "Kenapa, koko ?" tanya Kim Nio terkejut, melihat gerak gerik
The Sam. Anak muda itu mengawasi parasnya si nona, dari sela-sela
matanya The Sam menetes air mata turun mengalir di kedua
pipinya. "Kau kenapa, koko ?" Kim Nio ulangi pertanyaannya, heran
melihat The Sam menangis.
"Aku mencintai kau, tapi aku akan kehilangan kau......." sahut
The Sam. Ia menangis, seperti anak kecil.
-- 6 -- Kim Nio makin heran. Sambil tarik lepas tangannya dari
genggaman The Sam, ia berkata, "Koko, kau omonglah yang
jelas. Jangan kau menangis tidak karuan, membuat aku jadi
menghadapi teka teki."
"Adik Kim, boleh aku bicara terus terang ?" tanya The Sam
setelah menyusut air matanya.
"Kenapa tidak boleh." sahut Kim Nio. "Kau ceritalah dengan
tenang." "Adik Kim, aku bakal kehilangan kau sebab kau sudah
ditunangi dengan Suheng Siauw Cu Leng dan...." sampai
disini bicara The Sam mandek karena dipotong oleh Kim Nio.
"Dari mana kau tahu ini ?" Kim Nio memotong, seraya bangkit
dari duduknya, berjingkrak saking kaget.
"Suhu yang ceritakan ini padaku." sahut The Sam.
"Kenapa ayah tidak cerita tentang ini padaku " Aku heran !"
kata Kim Nio. "Dengan pertunangan ini, hilanglah pengharapanku. Bukankah
itu berarti aku akan kehilangan kau, adik Kim ?" The Sam
berkata lagi sambil tundukkan kepala.
Kim Nio melihat si pemuda yang putus harapan, merasa amat
kasihan. Hatinya, meskipun suka pada kecakapan Siauw Cu Leng,
sebanding kalau menjadi suami istri, tapi ia tak dapat melupai
Ji suhengnya (kakak kedua dalam perguruan), yang ia cintai
dengan hati murni. Sebagai tanda bahwa ia lebih mesra
terhadap The Sam, terbukti dari panggilannya. Ia seharusnya
memanggil Ji-suheng pada The Sam tapi ia hanya memanggil
'koko' saja. Sebab pikir Kim Nio, panggilan ini ada lebih mesra
kedengarannya. Tangang Kim Nio yang halus tiba-tiba diangkat lalu memegang
dagu The Sam, diangkat hingga dua pasang mata bertemu
pandangan. "Koko, kau jangan kuatir. Aku akan menjadi
milikmu......." kata Kim Nio menghibur, mulutnya yang mungil
menyungging senyuman yang tak dapat dilupakan oleh si
pemuda yang kuatir kisah cintanya akan menjadi tamat.
Tampak The Sam pun bersenyum setelah mendengar katakata
Kim Nio. Badannya tiba-tiba bergerak maju dan dilain
saat tampak Kim Nio sudah berada dalam rangkulannya The
Sam, jinak sekali kelihatannya.
The Sam mencium pipi kanannya Kim Nio perlahan sambil
berbisik, "Adik Kim......"
"Ya....... koko........." sahut Kim Nio sambil merasakan ciuman
hangat dalam pelukan kekasih yang ia sangat cintai.
"Adik Kim, boleh aku menciummu lagi ?" bisik The Sam lagi.
Kim Nio hanya manggut, bersenyum dan segera ia merasakan
ciuman hangat di pipi kirinya. Keduanya saling peluk dengan
penuh kasih. "Ha ha ha !" sekonyong-konyong terdengar suara ketawa
mengejek. Dua makhluk yang sedang asyik dalam lautan asmara terkejut,
melepaskan pelukannya dan masing-masing lompat
menjauhkan diri satu sama lainnya.
Di situ tambah satu orang ialah Siauw Cu Leng. Dengan suara
sinis, Siauw Cu Leng berkata, "Bagus, bagus ya, perbuatan
bagus !" Kim Nio berdiri tercengang, sedang The Sam tundukkan
kepala seakan-akan persakitan yang merasa bersalah.
Tampak Kim Nio tekap mukanya dengan kedua tangannya, ia
menangis saking malunya lalu lari masuk ke dalam rumah.
"The Sam !" bentak Siauw Cu Leng kasar.
"Apa kau tidak tahu adik Kim sudha menjadi milikku " Apa kau
belaga pilon dengan perkataan suhu ?"
The Sam tidak menyahut, ia hanya tundukkan kepalanya.
Siauw Cu Leng sebenarnya bukanlah dengan sengaja
mengintip perbuatan mereka, tapi secara kebetulan saja.
Ketika ia ke belakang, ia masuk ke taman bunga mau memetik
sekuntum bunga untuk dihadiahkan pada Kim Nio, apabila
sebentar sore pertunangan mereka diberitahukan pada si jelita
oleh suhunya. Kong Tek Liang mengambil keputusan Siauw Cu Leng
sebagai mantunya berdasarkan perhitungan bahwa Siauw Cu
Leng cakap parasnya, pintar mengambil hati sang suhu, juga
dengannya ada hubungan famili. Ibunya Siauw Cu Leng ada
adik piauwnya yang menikah dengan orang she Siauw. Atas
permufakatan kedua orang tua, ialah Kong Tek Liang dan
ibunya Siauw Cu Leng, bapaknya sudah mati, mereka setuju
merangkapkan jodoh anak-anaknya.
Kepada Kim Nio sendiri, Kong Tek Liang belum memberi
tahukan tentang pertunangan itu karena Sin-kuay Piauwsu
mau mencari kesempatan yang baik sehingga anaknya tidak
menjadi terkejut. Kong Tek Loang tahu bahwa anaknya ada
lebih mencintai The Sam, maka dengan perlahan ia
merenggangkan dahulu pergaulannya kedua orang muda itu.
Kepada The Sam ia sudah beritahukan. Maksudnya supaya
The sam mengundurkan diri karena Kim Nio sudah menjadi
miliknya Siauw Cu Leng. Si orang tua tidak mengira, bukannya
The Sam mundur, malah makin merapat hubungannya hingga
terjadi adegan yang dipergoki Siauw Cu Leng.
Siauw Cu Leng yang pergoki bakal istrinya dipeluki orang,
bukan main marahnya. Ia sudah lantas mau menerjang dan
gebuk mampus The Sam, tapi ia takut salah pukul sehingga
bukannya The Sam yang terpukul tetapi malah tunangannya.
Maka ia hanya perdengarkan suara ketawanya yang bernada
mengejek. Sekarang mereka hanya berduaan saja, makin meluap
kegemasan Siauw Cu Leng. "Bangsat she The, kau terlalu kurang ajar !" teriaknya. "Berani
kau merebut bakal istriku " Nih, rasain !"
Berbareng ia menerjang. Kepalanya The Sam menjadi
sasaran dengan gerakan "Tok pek Hoasan' atau 'Menggempur
gunung Hoasan'. Serangan dilakukan dengan cepat luar biasa,
dibarengi dengan hawa amarah yang meluap-luap. Tidak
heran kalau kepalanya The Sam yang sedang nunduk bisa
berantakan otaknya kalau saja pukulan Siauw Cu Leng
mengenakan sasarannya. The Sam tahu datangnya bahaya, cepat ia kelit ke kanan.
"Tahan !" serunya.
Siauw Cu Leng tarik pulagn tenaganya yang mengenakan
sasaran kosong. Lalu dengan mata melotot menanya, "Kau
mau bicara apa lagi " Terima sajalah kematianmu ini hari !"
Berbareng dengan itu ia juga sudah lantas mau menyerang
lagi. "Kau adalah suheng dan aku adalah sute. Tidak seharusnya
bila kakak adik mesti berkelahi. Maka haraplah suheng suka
bersabar." kata The Sam seraya mengelakan tubuhnya,
berkelit sana sini untuk menghindari serangan Siauw Cu Leng
yang dilancarkan bertubi-tubi.
"Hmm !" mendengus Siauw Cu Leng sambil serangannya tidak
ia hentikan. "Maaf suheng kalau aku kurang ajar !" kata The Sam seraya
kali ini, ia tidak mau mengalah terus terusan.
Dua saudara dalam seperguruan itu jadi saling gasak dengan
serunya. Dalam tempo pendek saja, sudah lewat 28 jurus. Siauw Cu
Leng sangat penasaran untuk dapat menjatuhkan saudara
mudanya. Dua saudara itu, sebenarnya kepandaiannya tidak berimbang.
Dengan kata lain dapat dikatakan Siauw Cu Leng selangkah
lebih unggul sebagai saudara tua. Tapi oleh karena Siauw Cu
Leng berkelahinya dengan bernapsu, maka ia telah menelan
pil pahit dari The Sam. Sehingga terbitlah suatu kejadian. Ketika ia menggunai tipu
'Hiu hi lian po' atau 'Ikan cucut menerjang gelombang'.
Kepalan kirinya menjotos muka, sedang tangan kanannya
dengan dua jarinya meluncur menotok 'hoa kay hiat', jalan
darah di pundak kiri The Sam.
Serangan cepat itu dilakukan hampir berbareng, tapi The Sam
juga tidak kurang cepatnya untuk menyelamatkan diri. Tangan
kanan menangkis jotosan ke muka sambil kelit miring ke kiri
berbareng ia menyambar lengan kanan lawan yang hendak
menotok pundaknya. Ia menggennak sejenak, kemudian
tangannya membalik, menghajar dada Siauw Cu Leng yang
terjerunuk ke depan. Ini adalah jurus 'Sin-chiu Pa-houw' atau 'Tangan sakit
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggempur macan', jurus keempat dari jalan kelima dari
'Thian Lo Sin-kuay-hoat', ilmu silat tongkat sakti yang menjadi
kebanggaannya Sin-koay Piauwsu Kong Tek Liang.
Telak hajaran The Sam didadanya Siauw Cu Leng sehingga ia
rubuh seketika setelah mengeluarkan jeritan ngeri, dari
mulutnya kontan menyemburkan darah panas dan ia jatuh
pingsan. The Sam jadi ketakutan. Ia bukannya datang menolong,
angkut sang suheng ke dalam rumah untuk minta pertolongan
suhunya, sebaliknya ia malah angkat kaki dari situ untuk
melenyapkan diri. Siauw Cu Leng menggeletak dengan tak sadarkan diri.
Kong Tek Liang yang barusan pulang habis menamu ke rumah
temannya, diberitahukan oleh Kim Nio, dua suhengnya tengah
berkelahi. Lantas buru-buru melihat ke belakang dengan
maksud mau memisahkan, tapi sudah terlambat. Disitu ia
hanya dapatkan Siauw Cu Leng terlentang pingsan
berlumuran darah. Bukan main kagetnya sang guru. Cepat-cepat ia memberikan
pertolongannya setelah memeriksa lukanya di dada, ia
pondong murid kepalanya itu dibawa masuk ke rumah.
Kim Nio mengikuti dari belakang sambil menangis
sesenggukan. Si Tongkat Sakti marah-marah dan mengeluarkan ancaman
hendak menghukum The Sam tapi sejak itu tidak kelihatan
pula mata hidungnya sang murid, apalagi pulang ke rumah.
Hal mana sangat mendukakan hatinya Kim Nio.
Karena kejadian itu, karena gara-garanya Kim Nio, maka sang
ayah bertindak bengis menghukum Kim Nio disuruh merawati
dirinya Siauw Cu Leng sampai sembuh.
Mau tidak mau Kim Nio menurut, tidak berani ia
membangkang. Apalagi ia mengingat tiada orang lain yang
dapat merawati Siauw Cu Leng, selain ia berdua ayahnya
yang sudah lanjut usianya.
Dalam perawatan, Kim Nio bersungguh-sungguh sebab ia
merasa berdosa. Ia yang menyebabkan luka parahnya sang
suheng. Maka dengan berangsur-angsur Siauw Cu Leng mulai
sembuh dari luka parahnya.
Di waktu sakit tak dapat bangun, Siauw Cu Leng sering
ditolong Kim Nio, mengangkat bangun dari tidurnya untuk
minum obat. Pun sering membantu ayahnya mengurut-urut
jalan darahnya sang suheng supaya lancar lagi. Dengan
sering bersentuhan badan dan mata pandang memandang,
hatinya Kim Nio pelan-pelan terpikat juga pada Siauw Cu
Leng, lupa ia pada The Sam yang sekarang entah ada
dimana. Sering Kim Nio menemani sang suheng duduk di tepi
pembaringannya, kasak kusuk mengobrol ketawa-tawa. Dari
memegang jari terus ia memegang tangan, lalu ke lengan. Kim
Nio antapkan tangan nakal si ceriwis, malah ia bersenyum.
Tapi alangkah kagetnya, tiba-tiba Siauw Cu Leng meniup
padam api lilin. Kim Nio rasakan tangannya ditarik hingga ia
terjerunuk menubruk badannya si bangor di atas pembaringan.
Kim Nio berontak tapi sudah terlambat, dua tangan yang kuat
telah memeluk dirinya. Kim Nio memberontak, tapi tidak berdaya karena ciuman si
ceriwis Siauw Cu Leng yang bertubi-tubi membuat badannya
jadi lemas tak bertulang.
"Adik Kim,... oh...'
"Suheng.... ah...."
Hanya kata-kata ini yang terdengar sejenak dari lubang kunci
pintu kamar Siauw Cu Leng, sayup-sayup kedengarannya
seperti terbawa hembusannya angin.
Itulah kisah pada suatu malam, dimana si Tongkat Sakti Kong
Tek Liang tidak ada di rumah, lagi main tio-ki (catur Tionghoa)
di rumah tetangganya. Masih terdengar suaranya Kim Nio, sayup-sayup jauh disana,
tapi tegas : "Jangan suheng, jangan........"
Lantas sang malam pun menjadi sunyi senyap.......
Sejak itu, dua minggu kemudian dalam rumah Sinkuay
Piauwsu Kong Tek Liang diadakan keramaian, pesta
pernikahan Kim Nio, puteri tunggalnya dengan Siauw Cu
Leng. Banyak kawan-kawannya Kong Tek Liang yang datang
meramaikan pesta itu. Diantara tetamunya yang kelihatan sangat dihormati adalah
Teng Siu bersama anak perempuannya bernama Teng Goat
Go yang tinggal di sebelah selatan rumahnya Kong Tek Liang.
Melihat dirinya dihormati lebih dari tetamu yang lainnya, Teng
Siu tampaknya amat angkuh, seakan-akan ia tidak
memandang mata pada banyak tetamu yang hadir dalam
pesta itu. Maka, untuk mereka yang gampang tersinggung
hatinya, tidak mau mendekatinya, kuatir nanti terbit urusan
yang tidak diingini. Sebenarnya, memang Teng Siu orang takuti. Ditakuti bukan
kepandaian ilmu silatnya yang tinggi atau ia seorang hartawan
besar, ia disungkani kawan dan lawan karena 'racun'nya. Ia
sangat mahir membuat racun hingga dalam kalangan 'hitam'
(kawanan penjahat), ia sangat dihormati karena banyak
diantara kawanan jahat itu yang membuat senjata rahasianya
dengan bisa yang diperoleh dari Teng Siu. Dalam kalangan
jahat, orang hanya kenal nama julukannya Hoa-im, si orang
beracun dari Hoa-im. Anak perempuannya, Goat Go yang umurnya 24 tahun sebaya
dengan Kim Nio, sudah mewarisi kepandaiannya sang ayah.
Dengan Kim Nio, Goat Go kenal baik sebab teman dalam satu
sekolahan. Meskipun parasnya cantik, Goat Go hatinya tidak cantik. Jelus,
gampang mengiri. Maka tidak heran kalau ia mengiri pada Kim
Nio yang dapatkan Siauw Cu Leng sebagai suami yang
ganteng. Seperti juga dengan Kim Nio, Goat Go siang-siang sudah
kehilangan ibu, meninggal dunia pada waktu ia berusia 8
tahun. Ia hidup bersama ayah dan Twa-ienya (kakak
perempuan ibunya) yang menggantikan sang ibu yang sudah
berada di alam baka. Goat Go lebih dimanja oleh orang tuanya dibandingkan
dengan Kim Nio, kemerdekaannya tidak dikekang. Ia boleh
pergi melancong seharian atau satu malaman tidak pernah
ditegur oleh ayahnya, yang percaya penuh Goat Go bisa jaga
diri sendiri. Begitulah, ketika ia habis pulang dari undangan, otaknya
bekerja untuk mencari pasangan yang lebih cakap dari
suaminya Kim Nio. Ia memang cantik menarik, banyak pemuda yang incar dirinya
tapi tidak berani majukan lamaran karena pengaruh sang ayah
yang termashur biasanya. Juga disekitar kampungnya, Goat Go tidak menemui orang
yang secakap suami Kim Nio. Mana ia mau ladeni mereka
yang mengincar dirinya. Ia justru ingin cari orang yang lebih
cakap dan ganteng dari Siauw Cu Leng.
Teng Siu tidak memikirkan akan jodohnya sang puteri. Ia
hanya menyerahkan atas pilihan anaknya, ia hanya akur saja.
Pikirnya, ini demi keberuntungna anak tunggalnya.
Pada suatu hari, selagi Goat Go ngelayap, ia mampir dalam
sebuah rumah makan hendak mengisi perutnya yang lapar.
Sikapnya galak betul, main bentak saja kepada pelayan yang
melayaninya. Tapi si pelayan melayani ia dengan ramah
tamah, meskipun dibentak-bentak. Ini karena si pelayan,
siang-siang sudah mendapat bisikan dari majikannya supaya
melayani si nona dengan baik dan manis budi meskipun si
nona berlaku galak kepadanya.
Majikan rumah makan itu sudah tahu ketika Goat Go masuk, ia
kenali itu ada puterinya Hoa-im Tok-jin, maka cepat-cepat ia
bisiki pelayan yang hendak melayaninya supaya layani
dengan baik sehingga tidak terbit onar.
Meskipun si pemilik rumah makan sudah atur demikian rapih,
toh terjadi juga keonaran, tak dapat dicegah. Sebabnya, Goat
Go marah-marah lantaran si pelayan salah membawakan
santapan yang ia pesan. Makanan itu semestinya dibawa ke
meja seorang tamu anak muda yang duduk di pojok, tapi ia
salah bawa ke mejanya si nona. Rupanya ia sangat bingung
karena dipesan lekas-lekas membawa makanan pesanannya
si nona. Dalam marahnya, Goat Go angkat mangkok sayur
yang masih mengepul panas lalu disiramkan ke mukanya si
pelayan. Siapa, sudah tentu saja menjadi gelagapan dan
berteriak-teriak kepanasan mukanya. Para tamu menjadi
tercengang melihat perbuatannya Goat Go.
Mereka yang kenali si nona, pada membayar uang makannya
di tempat kasir dan ngeloyor pergi. Sedang tamu-tamu yang
datang dari lain tempat pada berdiri dari bangkunya
mengawasi Goat Go. Mereka sangat tidak senang melihat
kelakuan si nona yang demikian keterlaluan.
Termasuk si anak muda yang duduk di pojok, yang sayurnya
disiramkan ke muka si pelayan. Merasa tidak puas, ia datang
menghampiri ke tempat Goat Go yang saat itu sedang
terpingkal-pingkal ketawai si pelayan yang gelagapan
kepanasan mukanya, sambil kedua tangannya dipakai
menekap muka. Sambil tolak si pelayan minggir, anak muda itu maju
mendekati Goat Go berkata, "Cici, perbuatanmu sangat
keliwatan !" Si nona heran ada orang berani menegur kelakuannya. Ia
angkat kepalanya memandang. Kiranya yang menegur itu
seorang anak muda, dandanannya sebagai pelajar, di
punggungnya ada terselip sebatang pedang pendek.
Pengawakannya tinggi kurus, gagah dan cakap tampangnya,
mengalahkan kecakapan Siauw Cu Leng dalam pandangan
Goat Go yang tengah mencari pasangan.
Diam-diam ia tertegun memandang si anak muda. Pikirnya,
pemuda itulah yang pantas menjadi pasangan dirinya. Tapi
Goat Go wataknya tinggi hati, tidak senang ada orang tegur
dirinya. Maka setelah mengerutkan keningnya, ia bangkit dari
duduknya, menghadapi si anak muda. "Habis kau mau apa ?"
ia jawab teguran si anak muda.
"Pelayan itu tidak berbuat kesalahan beasr, kenapa kau
sampai berbuat yang begitu keliwatan ?" kata si pemuda lagi.
"Ia, habis kau mau apa ?" tantang si nona.
Tidak marah dia, mukanya tampak berseri-seri seakan-akan
pandang remeh pada anak muda di depannya. Si anak muda
tidak takut, tapi si pemilik rumah makan sebaliknya yang
ketakutan setengah mati. Meskipun takut, ia coba maju dan
ingin melerai antara dua muda mudi yang kelihatannya hendak
bergerak. "Sudah, sudah." katanya. "Kejadian itu tidak berarti, untuk apa
ditarik panjang. Sudah, sudahlah..........." sambil ajukan diri,
hendak memisahkan. "Plak !" tiba-tiba terdengar suara, kiranya itu tangannya si
nona yang mampir ke pipinya si pemilik rumah makan.
"Jangan coba melerai, aku tidak suka cecongormu muncul
diantara kita !" bentak si gadis, matanya melotot gusar.
Sambil menekan pipinya yang panas bekas tamparan si nona,
pemilik rumah makan itu mundur teratur. Hanya matanya saja
kedap kedip sambil meringis-ringis kesakitan. Kelakuan mana
mengelitik urat ketawa Goat Go sebab ketika itu ia tertawa
cekikikan sambil matanya melirik pada si anak muda.
Dalam keadaan tertegun, si anak muda dengar Goat Go
berkata : "Apa kau juga ingin rasakan ini ?" seraya unjuk
telapak tangannya yang putih halus.
"Cobalah !" sahut si anak muda, dingin suaranya.
Goat Go memang kepingin usap muka orang yang cakap,
sekarang ada jalan untuk ia berbuat demikian. Maka dalam
girangnya, seketika ia lantas angkat tangannya dipakai
menampar pipinya si anak muda.
Tapi..... tampaknya bukan mengenakan pipi orang, sebaliknya
angin yagn ditampar olehnya sebab si anak muda dengan
otomatis sudah berkelit. Merah mukanya si nona, bukan main malu dia. Maka di lain
saat ia sudah menampar lagi, malah ia gunakan tipu 'Thian lie
hun hoa' atau 'Bidadari sebarkan kembang', bukan satu tapi
dengan dua tangan ia menampar kalang kabut ke mukanya si
anak muda. Sayang gerakannya meskipun cepat, si pemuda
malah lebih cepat menghindarkan hujan tamparan itu.
Akhirnya Goat Go berhenti sendiri. Kiranya barusan ia hanya
menampari angin tok, sebab si anak muda siang-siang sudah
jauhkan diri dan berdiri di depannya dengan muka tersungging
senyuman ejek. Goat Go jadi kalap melihat si anak muda mentertawai dirinya.
"Kau berani permainkan nonamu, hmm ! Kau lihat !"
bentaknya, berbareng ia depak terpental bangku di dekatnya,
meja ia terbaliki lalu lompat pada si pemuda. Tangan
kanannya di ulur ke arah dada lawan hendak mencengkeram
sedang tangan kirinya dengan kecepatan kilat menyambar
pada 'thian-ki-hiat', jalan darah di iga kanan. Serangan ini
dilakukan dengan berbareng, ganas kelihatannya tapi si anak
muda tinggal kalem saja. Ia menunggu datangnya serangan,
begitu tangan kanan Goat Go hampir sampai di dada, tangan
kirinya si pemuda sudah siap untuk menyambuti. Sementara
tangan kanan si nona kena dicekal, adalah tangan kirinya yang
hendak menotok jalan darah di iga kena ditekan ke bawah.
Goat Go merasa sesak dadanya menahan tekanan si anak
muda yang dibarengi dengan sebagian tenaga dalam.
Si anak muda menggunakan gerakan 'Sian-jin tian chiu' --
'Sang Dewa mementang kedua lengannya', untuk menyambuti
serangannya Tong Goat Go yang hebat.
Si nona berontak-berontak untuk meloloskan kedua lengannya
yang sudah kena dicekal si anak muda. Tapi bagaimana pun
ia keluarkan tenaga sepenuhnya, tetap tangannya tak dapat
diloloskan dari cekalan lawan yang makin lama makin sakit
rasanya. Rupanya anak muda ini mau kasih sedikit hajaran
pada Goat Go yang tengik lagaknya, keterlaluan
perbuatannya. Lwekang si pemuda rupanya tinggi sebab sebentar kemudian
kelihatan Goat Go sudah tak berkutik. Itulah pengaruhnya
lwekang (tenaga dalam) yang disalurkan ke tangannya yang
mencekal tangan si nona yang membuat Goat Go merasakan
lumpuh badannya. Matanya si nona menatap si anak muda.
"Kau mau apakan kau, setan ?" tanyanya.
Ia sudah tidak meronta-ronta lagi, sudah menyerah kalah
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampaknya. "Aku mau kau ganti kerugian apa yang sudah kau rusakkan
dan uang obat untuk si pelayan yang kau siram mukanya
dengan sayur !" sahut si anak muda.
"Baik." kata Goat Go tanpa banyak pikir lagi.
Si pemuda tertegun. Ia tidak menyangka urusan begitu
gampang, si nona mau menerima permintaannya. Dalam
tercengangnya, ia masih terus mencekali kedua tangannya si
nona. "Kau masih belum mau melepaskan tanganku ?" Goat Go
tegur, suaranya halus dan ramah, membuat si anak muda
gelagapan dan buru-buru saja ia lepaskannya.
Tampak muka si anak muda bersemu merah saking jengah.
Setelah terlepas kedua tangannya, si nona urut-urut. Rupanya
ia masih merasa sakit bekas cekalan tadi. Tenaganya yang
barusan dirasakan lumpuh, sekarang sudah balik kembali.
Hatinya girang, ia tidak mendendam karena ia memang naksir
pada si anak muda. Pikirnya, anak muda ini selain berparas cakap juga
berkepandaian tinggi. Mau cari siapa lagi kalau bukan dia,
dijadikan jodohnya " Memikir sikapnya Goat Go gampang
berubah, mengherankan semua orang termasuk si pemilik
rumah makan yang masih merasakan pipinya panas bekas
tamparan si nona tadi. "Mari kita ke kasir." mengajak Goat Go pada si anak muda.
"Cici, kau baik betul." kata si anak muda tanpa merasa.
"Memang aku tidak sakit." sahutnya bersenyum sambil melirik
tajam. Si anak muda kembali tertegun. Pikirnya, anak dara ini benarbenar
aneh kelakuannya. Tadi ia begitu marah, beringas, tapi
sekarang begitu ramah dan ketawa, malah bisa melucu lagi.
Anak siapakah dia " Lirikannya tajam menusuk pusat
asmaranya. Anak muda itu mesem mendengar jawaban Goat Go yang
lucu. Ia mengikuti dari belakang si nona, tapi belum sampai di
tempat kasir untuk membikin perhitungan, si pemilik rumah
makan sudah datang menyongsong. Katanya, "Kionghi,
kionghi !" sambil angkat tangannya menyoja kepada kedua
anak muda itu. Perbuatannya mana membuat mereka jadi
heran. "Apanya yang hendak kau beri selamat ?" tanya Goat Go.
"Oh itu, kalian sekarang sudah akur lagi. Maka aku
mengucapkan kionghi kepada kalian." jawabnya seraya
ketawa haha hehe. "Oh, begitu."kata Goat Go. "Sekarang mari kita hitung berapa
kerugian yang sudah aku bikin rusak serta itu uang obat untuk
pelayanmu." "Tidak apa, tidak apa, itu tak usah." kata si pemilik rumah
makan sambil goyang-goyang tangannya. "Itu perkara kecil,
buat apa mesti diganti."
Tapi Goat Go tidak meladeni kata-kata merendah si pemilik
rumah makan, ia kedok kantongnya, keluarkan uang perakan
hancur, lalu ditaruh diatas meja.
"Cukup "' tanyanya sambil mengawasi si pemilik rumah
makan. Mengingat urusan akan berlarut-larut nanti, maka si pemilik
rumah makan terima saja penggantian si nona tanpa
menyebut 'tak usah' lagi. Ia hanya kata, "Cukup, cukup. Sudah
kelebihan malah." Setelah selesai berurusan, Goat Go putar tubuhnya lalu
menghadapi si anak muda yang berdiri di belakangnya. Ia
ketawa manis, berkata, "Bagaimanan " Kau puas sekarang ?"
Si pemuda anggukkan kepalanya.
"Kau belum makan, bukan ?" tanya si nona lagi.
Belum si anak muda menjawab, Goat Go sudah tarik
tangannya diajak duduk menghadapi satu meja yang agak
dipojok. Si nona teriaki pelayan, pesan makanan untuk dua orang,
katanya, "Lekas siapkan makanan enak untuk kita makan !"
Makanan disiapkan dengan ekstra cepat oleh kok (tukang
masak). Di lain saat, kelihatan dua muda mudi itu sudah kerjakan
sumpitnya mendahar hidangannya. Kalau si gadis ketawaketawa
dan banyak bicara, tetapi si pemuda tinggal membisu
saja. Sejenak tadi si pemuda membisu saja, rupanya pikirannya
masih terpengaruh oleh laga lagunya Goat Go yang benarbenar
aneh menurut pendapatnya.
"Hei, kau berubah jadi orang bisu ?" menegur si nona, ketawa
manis sambil ujung sumpitnya dipakai mencolek hidung si
anak muda. Pemuda itu kaget, cepat mengelak hingga sang sumpit si nona
tak usah berkenalan dengan hidungnya yang mungil.
Ia tertawa, katanya, "Cici, benar-benar aku dibikin heran oleh
kelakuanmu." "Herannya kenapa ?" tanya si nona, matanya melirik tajam.
Kembali pusat asmara si pemuda tertusuk oleh lirikannya.
"Barusan aku lihat kau bengis seperti Li-giam-ong (Ratu
akherat)." kata si pemuda. "Sekarang kau berubah sebagai
Tian-li (bidadari) cantik dan ramah tamah........."
"Stop !" memotong Goat Go sambil mulutnya mengunyah
daging bebek panggang, tangannya yang memegang sumpit
diangkat digoyang-goyangkan.
Ketika daging bebek panggang sudah lewat
ditenggorokannya, ia meneruskan kata-katanya : "Kau bisa
juga melucu, hi ! Dari mana kau belajar " Hi hi hi......."
Anak muda itu tertawa, kini ia tertawa terbahak-bahak.
Goat Go tidak kesepian lagi karena si pemuda mulai kembali
dengan kegembiraannya. Mereka dapat tertawa-tawa gembira dalam rumah makan yang
sekarang sudah kosong ditinggalkan oleh para tamu.
Hanya pemilik rumah dan para pelayannya yang menonton
adegan lucu, aneh sebab tadinya musuh sekarang mereka
menjadi sahabat seperti juga sahabat lama.
Ketika mereka habis makan, Goat Go bangkit hendak
membayar uang santapannya tapi dicegah oleh si pemuda,
berkata : "Cici, kali ini aku yang bayar. Tadi kau sudah rogoh kantong
untuk mengganti kerugian. Apa salahnya kalau sekarang aku
yang membayar makanan, bukan ?"
Goat Go hanya tersenyum manis. "Terima kasih" ucapannya
halus. Setelah membayar makanan, si pemuda balik lagi ke tempat
duduknya. Ia mengajak si nona berlalu. "Eh, nanti dulu." kata
si nona seraya pegang tangan si anak muda yang lemas
seperti juga tangannya sendiri yang halus.
"Ada urusan apa ?" tanya si pemuda.
"Aku duduk dahulu." si gadis menyuruh orang duduk, yang
segera diturut. "Lama kita mengobrol dan ketawa-ketawa tapi belum kita
mengetahui nama masing-masing. Siapa sebenarnya kau,
adik ?" menanya Goat Go.
"Aku she Kwee, nama Cu Gie." sahut si anak muda.
"Dan umurmu ?" tanya Goat Go lagi.
"Tahun ini aku masuk 21 tahun." sahut Kwee Cu Gie.
"Pantesan kau panggil aku cici. Kalau begitu memang benar
aku ada lebih tua 3 tahun dari kau, adik Gie." berkata si nona.
Goat Go berkata seraya ketawa manis, melirik tajam dengan
ujung matanya. Lagi-lagi Kwee Cu Gie dibuat bergoyang pusat asmaranya,
karena lirikan tajam si gadis. Tapi ia ada satu pemuda sopan,
tidak berani ia kurang ajar meskipun Goat Go, si berandalan
mengasih kesempatan Kwee Cu Gie untuk berbuat demikian.
"Sekarang kau hendak kemana ?" tanya Goat Go.
"Aku mau mencari pamanku." sahutnya.
"Adik Gie, bagaimana kalau kau mampir dahulu di rumahku ?"
mengundang si gadis. "Terima kasih. Aku sangat kesusu. Lain kali saja kita bertemu
pula." jawabnya. "Kalau begitu, baiklah. Cuma jangan lupa, kalau kau datang ke
sini cari aku ya !" memesan Goat Go, blak-blakan ia berkata,
tak pakai malu-malu lagi.
Kwee Cu Gie yang sopan santun merasa heran si nona
memesan demikian kepada seorang lelaki yang barusan saja
dikenal olehnya. Goat Go memahami pikirannya si anak muda, maka lalu
berkata, "Adik Gie, aku bukannya gadis pingitan. Aku sangat
bebas, maka jangan heran kalau aku bicara blak-blakan. Apa
yang aku pikir dan lantas keluarkan."
Kwee Cu Gie anggukkan kepalanya.
"Nah, sampai disini saja kita berpisahan." kata si pemuda
kemudian. "Bagus, selamat jalan adik Gie." sahut Goat Go. Sedikit pun
kelihatannya ia tidak merasa berat dengan perpisahan itu.
Tapi setelah Kwee Cu Gie berlalu dari sampingnya, ia menjadi
sedih sendirinya. Pilu rasa hatinya berpisahan dengan orang
yang dicintainya. Entah kapan mereka dapat bertemu pula. Ia
menyesal, tadi tidak ia tanyakan nama pamannya si anak
muda itu siapa namanya dan dimana tempat kediamannya.
Dengan mengetahui alamatnya, bisalah ia susul Kwee cu Gie
kesana buat diajak makan-makan lagi dan tertawa-tawa
menghibur hati. Goat Go pulang dengan perasaan lesu, seperti orang yang
kehilangan sesuatu. Di lain pihak, Kwee Cu Gie juga mengenangkan dirinya si
gadis. Pikirnya, gadis itu kecantikannya tidak mengecewakan,
dapat menggoncangkan jantung orang yang melihat,
ketawanya yang manis dan lirikannya yang mantap dalam
pusat asmara. Tapi sayang dalam sifarnya yang berandalan
itu ada tersembunyi kegenitan yang seakan-akan
mengundang untuk berbuat kurang ajar terhadapnya.
Kwee Cu Gie menghela napas sambil melanjutkan
perjalanannya. Hari sudah sore, tidak keburu ia mencari pamannya. Maka
pada malam harinya ia menginap dalam sebuah rumah
penginapan di kota Hoa-im.
Keesokan harinya, setelah tanya-tanya orang, ia sampai di
depan rumah yang terkurung tembok disekitarnya. Ia
mengetok-ngetok pintu rumah dengan gelang besi yang
tergantung di pintu. Rupanya memang ini diperuntukkan bagi
tetamu memanggil orang di sebelah dalam. Tidak lama ia
menanti, sebentar kemudian pintu dibuka. Satu pelayan
perempuan muncul didepannya dan menanyakan ada urusan
apa, siapa yang dicari. Kwee Cu Gie kasih tahu maksud kedatangannya hendak
menemui tuan rumah. Si pelayan segera masuk ke dalam
setelah memesan Kwee Cu Gie untuk menunggu sebentar.
Tidak lama si pelayan keluar lagi dan mengundang Kwee Cu
Gie masuk. Ia diantar ke dalam satu ruangan tengah dan disuruh duduk
menanti, sebentar lagi tuan rumah akan muncul menemuinya.
Kwee Cu Gie menunggu. Lama juga belum kelihatan muncul
tuan rumah. Ia jadi kesal, maka ia bangkit dari duduknya lalu
menghampiri satu pigura yang melukiskan pemandangan di
suatu pegunungan dimana ada berkeliaran banyak binatang
buas. Asyik ia memandangi pigur itu hingga tidak merasa
kalau dibelakangnya sekarang ada muncul satu orang.
Ia menjadi kaget ketika sekonyong-konyong kedua matanya
disekap oleh dua tangan dari belakangnya. Cepat, ia mau
nglitik orang dibelakangnya itu, kalau ia tidak tahu bahwa yang
memegang tangan yang halus lemas, disusul oleh suara
empuk merayu, berkata, "Adik Gie, kau toh datang juga ke
rumahku......" Kwee Cu Gie cepat putar tubuhnya dan... itulah Goat Go yang
berdiri di depannya, bersenyum memikat hati.
(Bersambung) Jilid 03 Anak muda itu tercengang sebentaran. Belum sempat ia
menanya, Goat Go sudah tarik tangannya si anak muda. "Mari
kita duduk-duduk kongkouw !" katanya.
Ruangan itu perabotannya cukup mewah, pigura-pigura
dengan lukisan indah tergantung pada dinding-dinding
sehingga menarik selera tetamu, pot-pot kembang diatur rapi
sekali, siliran angin yang masuk dari jendela meniup
harumnya, mewangi masuk ke hidung.
Goat Go ajak Kwee Cu Gie duduk di atas bangku panjang
yang beralaskan bahan yang empuk, yang ditempatkan di
bawah jendela yang menghadap ke taman bunga.
"Adik Gie, " kata Goat Go, setelah mereka pada duduk.
"Sekarang aku tahu asal usulmu. Kau bukankah anaknya bibi
San dari Hoay-siang."
Kwee Cu Gie ketawa. "Kau benar, cici" sahutnya. "Di mana
adanya paman Siu " Aku ingin lekas sampaikan pemberian
selamat ibuku dan menanya keselamatannya."
"Sabar adik Gie." kaat Goat Go. "Segera ayah akan keluar, dia
sekarang masih repot dengan pekerjaannya.
Terpaksa Kwee Cu Gie layani si nona kong kouw. Sudah tentu
ngobrolnya urusan famili diantara mereka. Goat Go berkali-kali
menyatakan ia ingin ketemu bibinya (ibu Kwee Cu Gie).
Katanya, sejak ibunya meninggal, ia tidak pernah ketemu lagi
dengan ibunya Kwee Cu Gie yang pindah ke Hoay-siang dari
Hoa-im. Dendam Empu Bharada 30 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Kemelut Hutan Dandaka 2