Pencarian

Bocah Sakti 3

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 3


Kiranya ibu Kwee Cu Gie itu ada saudara piauw dari Teng Siu,
ayahnya Goat Go bernama Thio Leng San yang menikah
dengan Bian-ciang Kwee Eng Siang, salah satu jago
terkemuka dalam kalangan kang-ouw.
Ketika masih di Hoa-im, meskipun ada tersangkut famili, Kwee
Eng Siang tidak suka bergaul dengan Teng Siu. Ia tidak suka
akan pergaulannya Teng Siu dengan orang-orang dari
kalangan tidak benar terutama ia benci akan kepandaiannya
Teng Siu membuat racun dipakai membantu orang-orang
jahat. Pernah Eng Siang satu kali menasehati Teng Siu untuk jangan
bergaul dengan kawanan penjahat dan kepandaiannya
membuat racun sebaiknya disalurkan untuk kebaikan
menolong orang saki. Tapi nasehat Eng Siang tidak digubris,
malah selanjutnya perbuatannya makin mencolok di mata Eng
Siang. Untuk menghindarkan bentrokan diantara famili sendiri, maka
Eng Siang ajak istrinya pindah ke Hoay-siang, suatu kota
dimana ia dilahirkan. Pada waktu kepindahan itu, Kwee Cu Gie baru berumur lima
tahun. Demikian, sewaktu mengobrol Goat Go mencoba menarik
hatinya Kwee Cu Gie dengan aksi genitnya. Tiap sebentar ia
pegang tangan si pemuda, mengasi lowongan untuk si
pemuda berbuat kurang ajar terhadap dirinya. Tapi
pancingannya itu ternyata tidak berhasilm, malah dari berani
melayani bicara, kelihatannya Kwee Cu Gie menjadi takut
melihat kegenitan Teng Goat Go.
Si nona jadi tidak sabaran, kenapa sang korban begini alot. Ia
mengundang saudara piauw itu untuk minum arak yang
barusan dibawakan oleh pelayannya.
Untuk membuat cici piauwnya senang, Kwee Cu Gie tidak
menolak. Tapi ketika ia minum baru tiga sloki, ia rasakan
matanya berkunang-kunang. Matanya pun dirasakan seperti
mau mengantuk. Seketika ia tak dapat menahan badannya
lagi. Ia rubuh celentang di atas bangku panjang yang
didudukinya. "Hihihi, Cu Gie." kedengaran Goat Go ketawa, waktu melihat
korbannya rubuh. Pipi Goat Go kemerah-merahan karena pengaruh arak yang
diminum barusan membuat si nona kelihatan tambahcanti dan
menggiurkan. Cuma sayang kecantikannya ini dibikin suram
oleh perbuatannya yang tidak bagus.
Goat Go bangkit dari duduknya, menghampiri si pemuda yang
sudah tidur nyenyak tampaknya. Ia tak dapat menahan rindu
hatinya yang meluap seketika. Maka ia lantas menubruk,
memeluk Cu Gie dan mencium pipinya.
"Plak ! Plak !" tiba-tiba terdengar suara pipi ditampar. Ternyata
pipi yang ditampar itu adalah pipinya si nona Goat Go yang
segera melepaskan pelukannya dan lompat mundur seraya
pegangi kedua pipinya yang panas bekas tamparan serta ia
rasakan ada giginya yang rontok.
"Anak kurang ajar !" bentkanya. "Kau berani tampar aku ?"
berbareng ia menerjang Cu Gie yang tengah mencelat bangun
dari rebahnya. Sambil memutar tubuh, Cu Gie sambuti serangan Goat Go.
Tangan kanan si nona kena dipegang, dipelintir hingga Goat
Go berkaok-kaok kesakitan menangis.
Ketika Goat Go terima kabar dari pelayannya ada satu tama
muda cakap mencari ayahnya, lantas ia menduga akan dirinya
Kwee Cu Gie yang datang. Ia mengintip ketika Cu Gie diajak
masuk oleh pelayan. Benar saja ia lihat si pemuda yang
dirindukannya. Ia tidak jadi mengabarkan pada ayahnya yang
waktu itu sedan dalam kamar laboratoriumnya memasak obat.
Pikirnya, ia akan layani sendiri dahulu, belakangan baru
diberitahukan pada ayahnya. Tidak lupa ia siapkan arak yang
dicampuri beng-han-ye semacam obat tidur, maksudnya kalau
dengan kecantikan dan kegenitannya ia tak berhasil menjaring
si anak muda, ia mau bikin Cu Gie menjadi mabuk dan tertidur
dan selanjutnya ia boleh buat sesukanya atas tubuhnya Cu
Gie. Ia pesan pelayannya untuk membawakan arak dan sedikit
hidangan keluar kalau mereka sedang asyik bercakap-cakap.
Ia menggunakan tempat arak yang mempunyai dua aliran,
yaitu suatu aliran untuk arak biasa dan satu aliran lagi untuk
arak yang dicampuri obat tidur.
Caranya Goat Go untuk menjaring korbannya memang amat
rapih. Tapi ia tidak memperhitungkan bahwa Cu Gie ada jago muda
yang lihai. Ketika Cu Gie merasakan gejala tidak baik dari pengaruh arak,
segera ia gunakan lwekangnya yang tinggi untuk mendesak
arak yang diminumnya itu keluar dari lubang-lubang peluh
(keringat). Ia pura-pura seperti benar-benar ia kena
pengaruhnya arak. Setelah melenggut sejenak, ia rubuhkan
dirinya di atas bangku panjang yang didudukinya itu.
Ketika merasa dirinya dipeluk dan diciumi Goat Go, bukannya
ia menyambut dengan mesra, sebaliknya ia menjadi marah.
Bau harum dari tubuhnya Goat Go yang menembus ke dalam
lubang hidungnya tidak ia hiraukan, tangannya segera
melayang dan menampar keras juga sampai giginya si nona
ada beberapa yang rontok.
Selagi mencoba bangun, ia tahu dirinya diserang Goat Go.
Dengan sekali badannya berputar, ia sudah dapat menyambuti
serangan si nona dan tangannya Goat Go kena dicekal,
dipelintir hingga nona genit itu jadi berkaok-kaok kesakitan.
Cu Gie wataknya halus. Kalau tadi ia menampar itu dilakukan
saking tak dapat menahan marahnya. Kini marahnya sudah
hilang. Melihat Goat Go berkaok-kaok kesakitan, ia lepaskan
tangannya sambil berkata, "Cici, perbuatanmu bikin aku jadi
lupa ! Harap perbuatanmu ini kau tidak ulangi lagi !" berbareng
Cu Gie putar tubuhnya. Dengan beberapa lompatan saja ia
sudah berada di pintu pekarangan.
Goat Go melenggak. Cepat ia memburu, ia hendak memanggil
balik tapi tak dapat keluar suara dari mulutnya. Ia malu. Ia
hanya menyaksikan si anak muda melenyapkan diri di balik
pintu pekarangan. Sambil membetulkan pakaian dan rambutnya yang kusut,
Goat Go bantingkan diri diatas bangku panjang tadi yang
membuat riwayatnya tak terlupakan olehnya sampai kemudian
ia merubah dirinya menjadi Ang Hoa Lobo, si Nenek Bunga
Merah. Di lain pihak, Kim Nio tidak kenal apa artinya 'bisa'. Ia diajari
oleh Goat Go sampai pandai tapi kemudian rusak mukanya
karean hembusan obat yang dimasak sehingga ia belakangan
berubah menjadi Kim Popo. Setelah mukanya jadi jelek tidak
karuan, Siauw Cu Leng yang cakap telah meninggalkannya,
ikut Goat Go. Belakangan nona Goat Go juga mukanya rusak
akibat racun. Buat bikin Siauw cu Leng tidak meninggalkan
dirinya, Goat Go sudah gasak mukanya si cakap dengan 'bisa;
sehingga lebih jelek dari mukanya Goat Go. Si 'Arjuna' tidak
laku lagi di kalangan perempuan baik-baik. Oleh karenanya ia
sangat setia pada Ang Hoa Lobo alias Teng Goat Go, puteri
kesayangan dari Hoa-im Tok-jin Teng Siu.
Kisah cinta 'segitiga' antara Kim Popo alias Kim Nio, Siauw Cu
Leng si Arjuna dan Ang Hoa Lobo alias Teng Goat Go, ramai
dan menarik untuk ditutukan dan ini kita akan ceritakan di
sebelah belakang. Sekarang, mari kita balik kepada Kim Popo yang bersua
kembali dengan The Sam yang menjadi 'idaman hatinya' di
waktu Kim Nio belum berubah menjadi Kim Popo.
The Sam ketika kabur dari rumah perguruannya karena sudah
memukul parah Siauw Cu Leng yang menjadi suhengnya, ia
terus berkelana di kalangan kang-ouw (Sungai Telaga)
mencari pengalaman. Ia beruntung ketemu dengan salah
seorang Tojin (imam). Ia mengajarkan ilmu 'Thong-pie-kong' --
'ilmu lengan sakti', ialah kalau lengan kanan diulur memanjang
sementara lengan kirinya mengkeret pendek. Dengan
kepandaiannya ini, ia dapat menjagoi meskipun sering kali
juga ia kena dipecundangi lawannya.
The Sam sudah lama tidak ketemu muka dengan Kim Popo
sejak ia kabut dari rumah perguruan baru sekarang ia
berjumpa pula. Ia kenali Kim Popo sebagai bekas ia punya
Kim Nio adalah dari suaranya dan potongan tubuhnya yang
selama ini tak dapat dilupakan olehnya. Ia tahu, memang Kim
Popo bukannya Kim Nio dahulu yang cantik menarik.
Sekarang mukanya sudah rusak. Ini ia dapat tahu dari
kenalan-kenalannya yang dahulu tinggalnya tidak berjauhan
dari rumah si Tongkat Sakti Kong Tek Liang. Ia merasa
kasihan atas nasib bekas kekasihnya. Ia mencari-cari, sampai
hari itu dengan secara kebetulan ia ketemukan bekas
'darlingnya' sedang minum air selokan.
Setelah memperhatikan lebih tegas, baharulah ia berani
ketawa dibelakangnya Kim Popo yang tengah minum air kali
dan cacapi kepalanya supaya adem.
"Mari kita ngobrol di bawah pohon itu." kata The Sam seraya
tuntun tangannya Kim Popo yang jinak sekali bagai mana
kucing peliharaan. Di bawah pohon mereka ngobrol saling menuturkan
pengalamannya masing-masing sambil ketawa riang gembira.
Inilah mungkin kejadian yang pertama kali dialami si nenek
sejak Kim Popo meninggalkan rumahnya di Hoa-im.
"Koko, aku sekarang sudah jelek begini, apakah kau masih
mencintai aku ?" kata Kim Popo setelah sejenak percakapan
mereka terhenti. "Adik Kim." sahut The Sam, suaranya mengasihi hingga
membuat Kim Popo terkenang akan masa lampau diwaktu
berkasih-kasihan di taman bunga. "Kau terlalu memandang
rendah akan cintaku. Meskipun mukamu sudah rusak, aku
tetap mencintaimu !" sambung The Sam.
Merasa lega hatinya Kim Popo mendengar kata-kata itu.
Menyesal ia tidak dapat hidup bersuami istri dengan The Sam.
Kalau tidak, tidaklah ia mengalami penghidupan yang gagal
total seperti sekarang ini.
Kim Popo tundukkan kepala lalu menatap wajahnya The Sam,
tersenyum ia tapi sudah tentu senyumannya 'senyuman
istimewa' karena giginya sudah tinggal beberapa buah saja.
Terdengar di lain saat Kim Popo menghela napas.
"Ya, sang tempo sudah membuat kita sama-sama tua." kata
Kim Popo, sauranya berubah. "Tak perlu kita berdendang
asmara lagi. Mari kita bicarakan urusan penting !"
The Sam melongo mendengar kata-kata Kim Popo.
Ia tidak menyangka perubahan sikap si nenek akan begitu
cepat. Ia menanya, "Urusan apa yang kau maksudkan penting,
adik Kim ?" Kim Popo lalu menceritakan bahwa barusan ia kehilangan
barang berharga dirampas oleh si thauto beranting-anting
emas. Ia amat penasaran. Sebab selain barangnya yang
penting kena dirampas, juga ia sudah kena dijemur 2 jam
lamanya. "Ah, kau berurusan dengan dia ?" tanya The Sam, romannya
seperti yang terkejut. "Memangnya kenapa, siapa dia sih ?" balik menanya Kim
Popo. "Ah, adik Kim." sahut The Sam. "Dia sangat lihai. Orang tidak
tahu siapa namanya, tapi orang kenal julukannya Kim Wan
Thauto (Thauto beranting-anting emas). Dia bukan saja lihai
ilmu silatnya tapi senjata rahasianya di kedua telinganya.
Kalau sudah dilepas, tiada seorang pun korbannya yang dapat
lolos dari sasarannya."
The Sam cerita benar. Senjata rahasia "Kim-wan' dari si thauto
ada sangat hebat sebab dilepas dengan tenaga dalam.
Sampai dimana tingginya lwekan si thauto dapat diukur dari
kepandaiannya melepas senjata rahasia itu. Dan ia dapat
kendalikan yaitu bisa enteng, bisa setengah berat dan berat
waktu ia menghajar orang. Pukulan enteng seperti yang dibikin
terkulai Kim Popo, setengah berat bikin orang terus pingsan,
yang berat bisa bikin korbannya terus tidak bangun lagi alias
jiwanya melayang untuk menghadap Giam-lo-ong (Raj
Akhirat). "Dia begitu lihai....." Kim Popo menghela napas. "Habislah
pengharapanku untuk dapat merebut barangku yang sangat
penting itu." "Barang apa sebenarnya yang dirampas Kim-wan Thauto ?"
tanya The Sam. "Barang itu adalah menjadi rebutan oleh kalangan bu-lim
(rimba persilatan) pada dewasa ini." menerangkan Kim Popo.
"Apakah itu ?" The Sam ingin tahu.
"Barang itu adalah sebuah buku mungil yang bernama 'Thiamhiat
Pit-koat', pelajaran ilmu menotok jalan darah yang luar
biasa pentingnya bagi setiap dunia persilatan." kata Kim Popo.
The Sam kerutkan keningnya, ia tundukkan kepala, berpikir,
lalu menanya, "Sampai begitu penting, bukankah setiap orang
yang pandai ilmu silat dapat menotok lawan dengan baik ?"
"Kau jangan meremehkan 'Thiam-hiat Pit-koat'. Ia dikarang
oleh satu ahli totok kenamaan, The Leng Tong namanya,
orang dari propinsi Shoatang. Pada jamannya yaitu 80 tahun
berselang, The Leng Tong tidak menemukan tandingan dalam
ilmu totokan jalan darah. Banyak orang kepingin berguru
padanya tapi dia tolak. Dia tidak mau menerima murid. Hanya
dia ada lepas kata kalau dia sudah tidak ada dalam dunia, di
belakang hari orang akan menemui bukunya yang dinamai
'Thiam-hiat', kalau orang itu memang berjodoh untuk menjadi
muridnya. Kau tidak tahu, koko. Buku itu memuat tiga macam
ilmu totokan. Kecuali pelajaran menotok jalan darah
menggunakan satu sampai dua jari dari dekat, dalam bukunya
ada disebut menotok dari jauh dengan menyentil batu kecil
dan kebasan tangan baju. Malah, yang penting, totokan The
Leng Tong dapat dikendalikan berat entengnya dengan jitu
sekali." demikian Kim Popo menutur.
"Aha, aku juga orang she The, siapa tahu ada jodoh
mendapatkan buku itu." kata The Sam kegirangan sambil
tepuk-tepuk pahanya. "Bagaimana kau bisa bilang begitu ?" tanya Kim Popo heran.
"Aku she The dan Leng Tong juga she The. Kita sama-sama
she The. Tidak mustahil kalau barangnya The Leng Tong
diwariskan padaku, bukan ?" sahut The Sam.
Ia menutup kata-katanya sambil terus tarik tangannya si nenek
diajak pergi. "Mari kita susul Kim-wan Thauto !" ia mengajak Kim Popo.


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bilang Kim-wan Thauto lihai. Bagaimana kau dapat
merebut kembali 'Thiam-hiat Pit-koat' dari tangannya ?" tanya
Kim Popo sangsi. "Ah, itu urusan belakangan. Mari kita susul nanti dia keburu
sudah jalan jauh, sukar kita mencarinya." sahut The Sam.
Ia pun, berbareng gerakan kakinya mengajak Kim Popo
berlalu dari situ. Kim Popo tak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali mengikuti
bekas kekasihnya itu. Malah diam-diam hatinya merasa girang
The Sam sudah mau bantu ia merebut pulang buku pelajaran
ilmu menotok itu. Apa The Sam berhasil atau tidak, pikirnya,
itu bagaimana nanti saja. Ia percaya bekas kekasihnya itu
sudah mempunyai akal untuk merebut kembali buku mungil
itu, bila dilihat The Sam demikian napsu mengajak ia
menyusul Kim-wan Thauto. Kita tinggalkan dahulu Kim Popo dan The Sam yang menyusul
Kim wan Thauto. Kita balik kepada Lo In, bagaimana si bocah
itu, apakah dia binasa akibat gebukan Ang Hoa Lobo yang
dilakukan dengan sepenuh tenaga "
Lo In dibawa masuk ke dalam sebuah rumah yang dibangun
dari bambu dengan separuh batu. Cukup besar rumah itu dan
mempunyai pekarangan depan belakang.
Lo In diletakkan di sebuah bale-bale dengan kasar sekali oleh
Siauw Cu Leng yang sangat membenci bocah itu.
Keadaan Lo In masih belum sadarkan diri.
Kenapa Ang Hoa Lobo begitu kejam menghajar bebokong
anak kecil dengan menggunakan tenaga penuh " Itu ada
sebabnya. Siauw Cu Leng ketika pulang habis dipecundangi oleh Lo In
telah mengadu pada Ang Hoa Lobo tentang munculnya satu
bocah luar biasa. Ia telah dipecundangi dengan hanya
kegesitan saja, malahan pukulan gunturnya yang
menghancurkan batu gunung tidak mempan dihadapkan pada
si bocah. Ang Hoa Lobo tertawa terkekeh mendengar penuturannya si
Iblis Buntung, yang alisnya dibuntungi oleh Ang Hoa Lobo.
"Sama anak kecil kau kalah, bagaimana kau hadapi anak gede
?" kata Ang Hoa Lobo seraya mentertawakan Siauw Cu Leng.
"Kau tidak tahu, cici." sahut Siauw Cu Leng. "Setelah aku
rubuh, dia menantang, katanya : 'Iblis gila, kau boleh
datangkan iblis temanmu. Biar segerobak aku tidak takut !'
Nah, ini 'kan satu hinaan bagi kita. Mana boleh anak yang
masih ingusan diumbar ngaco begitu."
Siauw Cu Leng mulai menghasut, ketika melihat Ang Hoa
Lobo tidak mau meladeni pengaduannya. Mendengar katakata
si Iblis Alis Buntung, tampak Ang Hoa Lobo kerutkan
alisnya, "Apakah benar kata-katamu ?" tanyanya kemudian.
"Kenapa tidak benar " Memangnya aku mau ambil untung dari
perkataanku yang tidak benar " Aku bicara yang benar, buat
apa timbulkan yang tidak betul !" nyerocos Siauw Cu Leng,
mukanya kelihatan sungguh-sungguh.
"Anak bandel. Masa dia berani omong besar ?" kata si nenek,
mulai marah dia. Siauw Cu Leng lalu cerita, Lo In selain kepandainnya hebat
juga mempunya tentara kera dan burung rajawali. Kalau tidak
dibokong, jangan harap bisa menowelnya, apalagi untuk
menangkapnya. Dia mesti sudah makan buah JJit-goat-go,
kalau tidak tentu tidak begitu hebat.
Disebutnya buah Jit-goat-go, mendadak saja Ang Hoa Lobo
berjingkrak. Sudah lama ia mendengar akan khasiatnya buah itu. Maka
juga ia sudah mencari dari satu ke lain gunung. Sekarang,
buah itu sudah dimakan si anak kecil. Dimana ia bisa dapatkan
pula dalam daerah pegunungan disitu yang sangat luas " Ia
benci kepada orang yang sudah mendahului ia memakan buah
yang ia idam-idamkan. Maka setelah berjingkrak, ia berkata
pada Siauw Cu Leng, "Dimana kita bisa menemui dia ?"
"Tidak, tidak bisa kita menemui dia begitu saja. Dia luar biasa
kepandaiannya, apalagi dia mempunyai rajawali dan tentara
keranya yang melindungi."
"Habis, bagaimana ?" tanya si nenek, jeri juga mendengar
kata-kata si iblis. "Dia mesti dibokong. Kita harus mengatur perangkap, yang dia
tidak curiga sama sekali. Asal sudah ada kesempatan, kau
harus menghajar dia sepenuh tenaga. Sebab tanpa tenaga
penuh mana dia bisa rubuh karena dia sudah makan buah Jitgoat-
go, tenaga dalamnya tentu bukan main hebatnya !"
demikian Siauw Cu Leng mengajukan usulnya yang kejam.
Tapi memang si iblis benar. Tidak mudah Lo In ditakluki
dengan cuma mengadu silat. Sebab anak itu sudah lihai sekali
ditambah dengan tentara kera dan rajawalinya.
Si nenek percaya akan kata-katanya sang suami diluar kawin.
Maka mereka lalu berdamai soal pasang perangkap dalam
menangkap si bocah. Begitulah, hari itu rupanya Lo In dilanggar apes (sial). Maka ia
sudah masuk perangkap yang diatur oleh Ang Hoa Lobo dan
Siauw Cu Leng. Untung Lo In tenaga dalamnya sudah hebat berkat makan
buah Jit-goat-go, kalau saja kejadian itu sebelum ia makan
buah, bisa celaka 2 x 13. Pasti isi perutnya ambrol dan
nyawanya melayang seketika menerima pukulan hebat dari
Ang Hoa Lobo. Ia hanya merasakan dadanya sesak tiba-tiba,
tubuhnya dirasakan lumpuh. Maka ia rubuh pingsan setelah
mengeluarkan jeritan. Juga Lo In masih untung jiwanya tidak sampai melayang
karena Ang Hoa Lobo menyetop tendangan Siauw Cu Leng
yang kedua kali. Kalau sampai kakinya si iblis bekerja,
rasanya Lo In sudah tidak bernyawa ketika itu. Si Iblis Alis
Buntung sangat benci Lo In, tentu tendangannya yang kedua
kali jauh lebih berat dari yang pertama, yang cuma terpental
tidak seberapa jauh. Ketika meletakkan Lo In dibale-bale, Siauw Cu Leng dapat
lihat pedang pendek di pinggang si bocah, lalu diloloskan
kemudian diserahkan pada Ang Hoa Lobo sambil berkata, "Ini,
kepunyaan dia." Ang Hoa Lobo menyambuti, lalu dihunus pedang pendek yang
bobotnya sangat enteng itu lalu diperiksa. Di atas badan
pedang tidak ada apa-apanya yang aneh, tapi ketika diselidiki
gagangnya, Ang Hoa Lobo dapat melihat huruf-huruf kecil
yang berbunyi, 'Kwee Cu Gie Toan-kiam' atau 'Pedang pendek
kepunyaan Kwee Cu Gie'. "Betul, betul punya dia "' tanya Siau Cu Leng yang sedari tadi
mengawasi Ang Hoa Lobo memeriksa pedang pendek itu.
Si nenek tidak menjawab, ia hanya angguk-anggukkan kepala
atas pertanyaan si orang she Siauw. Si Iblis kelihatannya agak
cemburuan juga melihat si nenek yang begitu kesemsem
memandangi pedang ditangannya.
"Hm ! Dia keturunannya...." Ang Hoa Lobo tiba-tiba
menggerutu sendirian setlah lama ia memandangi pedang
ditangannya. "Dia keturunannya, buat apa dikasih hidup. Mampusi saja !"
kata Siauw Cu Leng mendengar Ang Hoa Lobo menggerutu
sendirian. "Jangan, aku ada jalan." sahut Ang Hoa Lobo.
"Jalan bagaimana ?" tanya Siauw Cu Leng tidak sabaran
kelihatannya. "Kita bikin rusak mukanya." jawab si nenek.
"Bagus ! Mari kita mulai." kata Siauw Cu Leng. Ia main cara
kilat saja berurusan dengan Ang Hoa Lobo sebab si nenek
sering berubah-ubah pikirannya. Ia mendesak karena ingin
lekas-lekas apa yang Ang Hoa Lobo kata, segera
dilaksanakan. Ia seperti membenci sampai tujuh turunan Lo In
saja. Siauw Cu Leng mengambil pisau, bersiap-siap untuk merusak
mukanya Lo In. "Bukan begitu caranya." kata Ang Hoa Lobo seraya goyanggoyang
tangannya. "Habis, kau mau pakai apa ?" tanya Siauw Cu Leng.
Ang Hoa Lobo tidak menjawab. Sebaliknya dari kantongnya ia
keluarkan sebungkus obat. "Ambil air !" ia memerintah Siauw
Cu Leng. Segera permintaan si nenek dipenuhi. Si iblis mengambil air
dalam gelas. Ang Hoa Lobo menyambuti. Air dalam gelas itu ia buang ke
lantai sampai tinggal seperluanya, lalu obat yang berupa
bubuk berwarna hitam ia masukkan dalam gelas, diaduk kira
satu menit. Kemudian ia suruh Siauw Cu Leng ambil sobekan
kain. Ketika barang yang diminta diberikan, ia lalu robek
seperlunya untuk digunakan sebagai kuas. Obat hitam itu ia
polesi pada bagian muka Lo In, dari jidat terus sampai ke
dagu. Hanya bagian leher dan kuping tidak diganggu.
Sebentar saja muka Lo In yang putih cakap berubah menjadi
hitam legam seperti Zwarte Piet (si Piet Hitam, kacung
Sinterklas). Setelah selesai, tiba-tiba si nenek berkakakan ketawa.
"Nah, inilah pembalasanku ! Aku mau lihat, tanpa diundang dia
akan datang berlutut dihadapanku untuk minta-minta
dikasihani !" ia berkata bangga.
Siauw Cu Leng bingung. Apa yang si nenek sebenarnya
maksudkan dengan kata-katanya. Ia lalu menanya, "Apa yang
kau maksudkan dengan kata-katamu, cici ?"
"Hehehe !" Ang Hoa Lobo ketawa. "Aku bikin anaknya begini.
Kalau bapakanya tahu tentu dia bakal mencari aku. Dia tentu
datang berlutut dihadapanku untuk minta obat pemusnahnya,
jangan sampai anaknya yang cakap ini mempunyai dua muka.
Baru sekarang Siauw Cu Leng mengerti maksudnya si nenek.
Kiranya Ang Hoa Lobo hendak membikin malu Kwee Cu Gie.
Dengan bikin wajah Lo In berubah hitam, Kwee Cu Gie pasti
mengerti siapa punya perbuatan. Orang she Kwee itu tentu
akan mencari Ang Hoa Lobo untuk menolong anaknya, minta
belas kasihannya si nenek supaya Ang Hoa Lobo
mengembalikan wajah anaknya pada keadaan semula.
Ang Hoa Lobo alias Teng Goat Go sampai saat itu masih
merasa penasaran pada Kwee Cu Gie yang sudah menampar
pipinya dua kali sehingga beberapa giginya pada rontok dan
sekarang ia sudah ompong !
"Sekarang kita mau apakan dia "' tanya Siauw Cu Leng.
"Masukan jadi satu dengan si sundal cilik." sahut Ang Hoa
Lobo. Siauw Cu Leng sangsi tampaknya, ia berdiri saja menjublek.
"Kau masih belum mau bawa dia pergi, mau tunggu apa ?" si
nenek membentak. "Tapi cici, tapi....... " si iblis terhenti bicaranya ketika si nenek
Kembang Merah memotong. "Tapi, tapi apa " Lekas kerjakan
!" "Aku kuatir kejadian selanjutnya." jawab si Iblis Alis Buntung,
ia beranikan hati mendebat Ang Hoa Lobo. "Binatang kecil ini
sangat hebat tenaga dalamnya. Sebentar kalau dia sudah
siuman, apakah dia tidak ngamuk ?"
"Ngamuk " Hehehe !" si Nenek Kembang Merah ketawa.
"Sudah tidak ambrol isi perutnya menahan pukulanku, sudah
bagus. Mau ngamuk " Hmm ! Aku mau lihat. Lekas kerjakan
perintahku, jangan banyak cing cong !"
Siauw Cu Leng tak berani banyak kata. Ia lalu angkat
tubuhnya Lo In, dipondong di bawa ke kamar belakang. Ke
dalam mana, tubuhnya Lo In menggelinding karena diletakkan
oleh Siauw Cu Leng separuh dilemparkan.
"Iblis, kau bawa masuk apa kesini ?" bentak seorang anak
perempuan kecil yang ada dalam kamar itu ketika melihat
pintu kamar dibukan dan tubuh Lo In diletakkan di lantai
separuh dilemparkan. Sambil menutup pintu kamar lagi, Siauw Cu Leng menjawab,
"Sundal cilik, kau tak usah kesepian lagi. Sekarang ditemani si
setan cilik ! Hahaha !"
Si iblis berkata-kata sambil meninggalkan kamar itu yang
merupakan kamar tahanan rupanya. Memang, kamar itu boleh
disebut kamar tahanan sebab dalam kamar itu ada disekap
seorang gadis cilik umur kira-kira belum 15 tahun. Jadi lebih
tua dari Lo In yang usianya baru memasuki tahun ke-14.
Dalam ruangan itu yang lumayan juga lebarnya, mendapat
penerangan dari sela jeruji-jeruji jendela kecil yang kokoh dan
kuat dari bambu pilihan. Tidak ada perabotan didalam situ
kecuali bale-bale yang muat 2 orang serta bangku dan
mejanya yang sudah reyot. Tampak si nona kecil berdiri
tertegun melihat 'tamu' datang dalam keadaan tidak sadarkan
diri. Rambutnya si dara cilik yang dikepang dua tampak sudah
awut-awutan, romannya lesu dan pucat tapi tidak
mempengaruhi air mukanya yang jernih, ramai dengan
senyum dikulum. Pelan-pelan ia jalan menghampiri tubuhnya Lo In. Ia jongkok
disampingnya lalu memandang parasnya Lo In. Hatinya
merasa geli, ia ketawa melihat mukanya Lo In yang hitam
legam. Di usap-usap pipi Lo In, kemudian melihat pada
tangannya yang barusan dipakai meraba. Oh, kenapa tidak
hitam " Ia menduga, tadinya wajah hitam itu disengaja si
bocah dengan mengolesi mukanya dengan arang hitam
legam. Selama itu, Lo In tidak berkutik. Di goyang-goyang badannya,
tapi Lo In tetap tak sadarkan diri. Mulai curiga hatinya si dara
cilik, lalu ia tekuk lututnya, lengkungkan badannya, telinganya
di pasang di atas dada Lo In. Ia dapatkan si bocah masih ada
napasnya. Ia periksa keadaan Lo In lebih jauh, keculai
mukanya hitam, tidak kedapatan tanda-tanda bekas dianiaya.
Ketika ia gerakkan kakinya hendak jongkok pula, tiba-tiba ia
rasakan kakinya lemas dan jatuh ke depan diatas tubuhnya Lo
In. Selagi ia berusaha hendak bangun, tiba-tiba ia mendengar
suara dari sebelah luar kamar, "Eng Lian, kau masih tetap
membandel " Lihat itu setan cilik contohnya ! Selain aku tidak
kasih makan kau, juga aku akan bikin mukamu yang cantik jadi
berubah hitam seperti si setan cilik ! Hehehe......."
Dara cilik itu yang ternyata bernama Eng Lian kenali suaranya
Ang Hoa Lobo yang berkata-kata tadi. Tampak ia menggertak
giginya, tangannya yang kecil mungil mengepal keras,
rupanya ia sangat marah. Sekarang ia mengerti, yang
membuat wajah anak itu hitam adalah si Nenek Kembang
Merah. "Siapa yang mau berurusan denganmu, nenek jahat !" sahut
Eng Lian kemudian. "Hehe ! Bagus, baru tiga hari aku hukum kau tidak makan.


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau kau masih tetap membandel, hemm ! Aku kasih tempo
tiga hari lagi untuk kau pikir-pikir. Kalau sampai temponya kau
masih tetap membandel, jangan salahkan si nenek bila
berbuat kejam Pikirkanlah !" demikian si nenek mengancam.
Eng Lian tidak mau ladeni Ang Hoa Lobo sampai nenek itu
meninggalkan kamar itu, tidak terdapat jawaban dari sebelah
dalam. Si dara cilik sudah tiga hari dihukum tidak makan oleh Ang
Hoa Lobo, pantasan kakinya lemas. Dalam bingung, apa yang
akan ia buat menghadapi Lo In yang masih pingsan, sedang
perutnya sudah sangat lapar, tiba-tiba Eng Lian dibikin terkejut
dengan diceploskannya benda-benda bundar melalui sela-sela
jeruji jendela. Ia merayap menghampiri salah satu benda itu, kiranya itu ada
buah-buah yang diceploskan dari sebelah luar. Siapa yang
mengirimnya " Matanya mengawasi ke jurusan jendela, ia
melihat ada dua ekor kera disana, sedang repot menceplosceploskan
buah-buahan. Dalam herannya, ia ingin mendekati
dua kera itu tapi ia tak dapat bangun karena kakinya amat
lemas. Dua kera itu, sudah tentu pembaca dapat menebaknya siapa.
Sebab mereka tidak lain adalah Pek-gan dan Pek-tauw, si
monyet mata putih dan kepala putih yang menjadi
kesayangannya Lo In. Mereka melihat tuannya dibawa masuk ke dalam rumah itu
terus mengintip akan segala tindak tanduknya Siauw Cu Leng
dengan Ang Hoa Lobo. Setelah tahu yang Lo In ditempatkan
dalam kamar belakang, mereka lantas mencari buah-buahan
di sekitar tempat itu untuk dipersembahkan kepada
majikannya. Tapi mereka tidak tahu kalau Lo In dalam
keadaan pingsan. Mereka hanya mengira bahwa majikannya
itu sedang tidur nyenyak.
Eng Lian dapat pungut salah satu buah dan dimakannya. Ia
rasakan manis dan enak. Ia lalu makan lagi beberapa buah
untuk mengisi perutnya yang kelaparan. Benar-benar ia
rasakan buah-buah yang dimakan istimewa. Kecuali manis
dan lezat, setelah masuk ke dalam perut telah menimbulkan
reaksi tubuh menjadi segar dan kuat.
Bukan main girangnya Eng Lian ketika ia tahu kakinya sudah
dapat digerakkan lagi dengan leluasa. Ia lantas kumpulkan
buah-buah itu supaya nanti jangan sampai ketahuan oleh dua
iblis yang hendak merongrongnya.
Hari berikutnya, Eng Lian repot menerima kiriman dari Pekgan
dan Pek-tauw. Lucu laga lagunya dua kera itu hingga Eng
Lian merasa suka dan sayang. Ia sendiri tidak mengerti
kenapa dua monyet itu begitu baik mau mengirimkan buahbuahan
kepadanya yang dalam kesukaran. Ia belum tahu
kalau dua kera itu mengirim buah-buahan bukan untuk dia tapi
untuk majikannya, Lo In, yang Eng Lian tidak tahu anak itu
siapa namanya dan datang dari mana.
Sambil melahap buah semacam jambu, Eng Lian memandangi
wajah Lo In. Pikirnya, anak ini parasnya cakap sayang dibuat hitam oleh si
nenek jahat. Apakah warna hitam yang melekat itu nanti dapat
dicuci dan parasnya anak cakap itu kembali pada asalnya " Ia
tanya pada dirinya sendiri. Tiba-tiba ia dibikin kegirangan
melihat Lo In pelan-pelan telah membuka matanya. Saking
girangnya sampai ia lempar buah yang dimakannya dan
tangannya yang kecil halus memegang pipinya Lo In,
menanya, "Oh, adik, aku sudah siuman " Enak betul tidurmu."
Lucu kelakuannya Eng Lian. Ia kira Lo In tidur nyenyak. Ia
tidak tahu kalau Lo In menderita pukulan dahsyat.
Lo In heran, matanya kecap kecip memandang Eng Lian.
Pikirnya, apakah ia sedang ngimpi atau sudah berada di lain
dunia " Kenapa ada anak perempuan disampingnya " Ia
angkat tangan kanannya, jari telunjuknya dimasukkan dalam
mulutnya, digigit, au, tentu saja ia berjengkit kesakitan.
"Hi hi hi.... anak tolol. Kenapa menggigit jari sendiri ?" Eng
Lian ketawa, melihat Lo In kesakitan menggigit jarinya
barusan. "Kau siapa, cici ?" tanya Lo In, lemah suaranya.
"Aku Eng Lian, kau sendiri siapa ?" balik menanya si dara cilik,
lucu lagaknya. "Oh, enci Lian......." Lo In terus bungkam.
"Hei, hei, kenapa kau tidak sebutkan namamu ?" kata Eng
Lian seraya menggoyang-goyang lengan Lo In yang tatkala itu
sudah mau meramkan matanya lagi.
Lo In kembali membuka matanya, ia tersenyum mengawasi si
nona cilik. "Apa sih yang dilihat ?" kata Eng Lian ketika mereka beradu
pandangan sambil mencibirkan bibirnya yang mungil.
"Enci Lian, aku ini berada dimana ?" tanya Lo In, tidak
melayani orang mencibirkan bibirnya.
"Dalam kamar tahanan." sahut Eng Lian singkat, dongkol
rupanya dia. Lo In terkejut. Ia coba gerakkan badannya untuk bangun, tapi
belum bisa. Sebab seluruh badannya dirasakan lemas.
Tenaga raksasanya entah pergi kemana. Ia heran, kemana
perginya tenaganya yang dahsyat.
Lantas dia ingat akan kejadian ketika bertemu dengan si
nenek di rimba bambu. Bagaimana ia dibokong. Pikirnya,
mungkin gebukan si nenek yang menyebabkan hilang
tenaganya. Buktinya, ia peras tenaga dalamnya, bukannya
berhasil malah bobokongnya dirasakan sakit bekas gebukan si
nenek. "Jahat..........." ia menggerendeng, perlahan suaranya.
Perlahan suaranya tapi menusuk telinga Eng Lian. Mukanya
lantas cemberut. "Jahat, jahat, siapa jahat, hah !" tangannya
berbareng mau menampar. "Tahan !" kata Lo In cepat ketika pipinya hendak ditampar si
dara cilik. "Enci Lian, aku bukan maksudkan kau jahat."
sambung Lo In. Eng Lian ketawa, sambil tarik pulang tangannya. "Habis, siapa
yang kau maksudkan " Sebab disini tidak ada orang lain
kecuali kita berdua." katanya.
Lo In anggap dirinya lucu. Oh, bolehlah ketemu ini dara cilik
yang lebih lucu dan aneh adatnya. Seketika juga Lo In merasa
suka berteman dengan Eng Lian, maka sambil bersenyum ia
berkata, "Enci Lian, yang aku maksudkan adalah nenek itu
dengan kembang merah disanggulnya."
"Oh, dianya ?" kata Eng Lian sambil leletkan lidahnya.
"Ya." sahut Lo In. "Dimana dia sekarang " Aku dibokong
olehnya, digebuk dari belakang sampai rasanya semaput.
Untung aku tak sampai mati."
"Eh, mengapa sampai begitu " Mengapa, kenapa ?" Eng Lian
minta Lo In tuturkan. Lo In lantas ceritakan kejadian di rimba bambu ketika ia
hendak menolongi si nenek, tidak tahunya ia kena masuk
perangkap. Eng Lian yang mendengari cerita Lo In merasa panas hatinya
kepada Ang Hoa Lobo yang kejam. Di samping itu ia merasa
simpati pada Lo In, anak yang berhati mulia menjadi korban
dari tangan telengas. "Dia, si nenek itu memang jahat. Dia ada disini, dibantu oleh si
kakak jelek Siauw Cu Leng yang julukannya Toan Bi-lomo."
menerangkan Eng Lian. "oh, iblis itu juga ada disini ?" tanya Lo In terkejut.
Eng Lian anggukkan kepalanya.
-- 8 -- Tadinya, Lo In tidak mengerti apa salahnya dia digebuk oleh si
Nenek Kembang Merah " Padahal baru saja ia berjumpa
dengan maksud baik hendak memberikan pertolongan tapibukan terima kasih ia dapat dari si nenek, malah gebukan
yang membikin isi perutnya berantakan, untung tenaga
dalamnya cukup dahsyat. Sekarang, ia mendengar cerita Eng Lian, si Iblis Alis Buntung
itu adalah konconya Ang Hoa Lobo, lantas ia mengerti
duduknya urusan. Tentu gara-gara mulut si iblis yang tajam
menghasut sehingga si nenek menurunkan tangan telengas
atas dirinya. "Enci Lian, anak si......" Lo In hendak menanya tapi sudah
dipotong oleh si dara cilik, katanya, "Makan dahulu ini.
Perutmu tentu sudah minta diisi !" sambil menjejalkan
sebagian buah yang tengah ia lahap ke mulut Lo In.
Terpaksa Lo In mengganyangnya. Seketika hatinya terkesiap,
karena buah itulah yang biasa ia makan kiriman dari dua
keranya yang sangat disayang. Maka ia lalu menanya, "Enci
Lian, kau dapat dari mana buah ini ?" sambil unjukkan
sepotong buah yang belum habis ia makan.
"Entahlah. Ada dua malaikat berupa kera yang mengantarkan
ke sini. " jawab Eng Lian. Gembira dia sebab sekarang ia tidak
usah memikirkan lagi akan kelaparan.
"Oh, itu adalah Pek-gan dan Pek-tauw." kata Lo In.
"Betul, betul. Yang satu berkepala putih, yang lainnya
sepasang matanya yang putih. Kera siapakah mereka itu, apa
kau tahu ?" Eng Lian cerita.
"Mereka ada teman-teman baikku." sahut Lo In.
Eng Lian terbelalak matanya, heran mendengar Lo In
mengatakan dua kera itu ada teman baiknya lalu minta Lo In
cerita bagaimana ia bisa bersahabat dengan dua kera yang
pandai itu. Lo In tidak berkeberatan. Sebelumnya ia perkenalkan dahulu
namanya Lo In, lalu menuturkan perjalanan hidupnya dari
anak jembel sampai mengerti surat dan ilmu silat atas
pimpinan Liok Sinshe. Ia turun ke dalam jurang mencari Liok
Sinshe yang jatuh dibokong musuh, bagaimana ia hidup dalam
lembah itu bersama-sama dengan si rajawali yang ia
sembuhkan dari lukanya, bagaimana ia taklukan kawanan
monyet lantaran menolong Siauw-hek.
Eng Lian yang hatinya sangat tertarik oleh penuturan Lo In
tidak memotong ceritanya Lo In. Ia sangat kagumi si bocah
yang luar biasa dan besar rejekinya sampai dapat makan buah
'Jit-goat-ko.'. "Adik In," kata Eng Lian, setelah mendengar habis cerita Lo In.
"Kau ada satu bocah luar biasa. Bukan mustahil kau nanti jadi
terkenal dan orang menyebut kau 'sinlong', bocah sakti.
Hihihi......" "Mudah-mudahan," sahut Lo In membanyol. "Dengan doa
restumu, kata-katamu tadi akan menjadi kenyataan."
Si dara cilik mesem manis.
Setelah menutur, Lo In coba gerakkan badannya. Ternyata
masih belum dapat bergerak sebagaimana mestinya. Ia sudah
pegal rebah saja maka ia minta si dara cilik bantu ia untuk
dapat duduk. Eng Lian tidak berkeberatan. Ia bantu sampai Lo
In dapat duduk betul. "Terima kasih, enci Lian." kata Lo In.
"Terima kasih kembali." sahut si dara cilik jenaka.
Lo In makin girang hatinya ia memperoleh teman yang lebih
jenaka dari dirinya. "Enci Lian." kata Lo In. "Aku sudah bercerita tentang
perjalanan hidupku. Sekarang giliranmu cerita bukan ?"
"Tentu, tentu, adikku manis." sahut Eng Lian melucu. "Aku
hidup bersama......."
"Hei, Eng Lian. Kau jangan banyak ngobrol. Bagaimana, kau
menyerah tidak ?" tiba-tiba terdengar kata-kata dari sebelah
luar kamar hingga ceritanya si dara cilik terhenti seketika.
Si Nenek Kembang Merah yang memotong kata-kata Eng Lian
tadi. Mendongkol hatinya si dara cilik, kelihatan dari romannya yang
merengut, tangannya dikepal-kepal gergetan, lucu
kelihatannya sampai Lo In tak dapat menahan ketawanya
terbahak-bahak. "Kau ketawai apa, bocah ?" bentak Eng Lian. Tangannya
diangkat mau menampar Lo In tapi tidak jadi ketika ia melihat
Lo In tempelkan satu jari dimulutnya seraya tangan kirinya
digoyang-goyang. Heran Eng Lian melihat lagaknya Lo In, ia menanya,
"Memangnya ada apa sih ?"
"Tidak apa-apa." sahut Lo In. "Cuma aku lihat enci makin
marah jadi makin ber....... au !" Lo In berjengit karena
perkataannya belum putus, tangan si dara cilik yang mungil
nyelonong ke pipinya, tidak menampar hanya mencubit hingga
Lo In kesakitan. "Rasakan, ya !" kata Eng Lian sambil cekikikan tertawa melihat
Lo in pegangi pipinya yang kesakitan.
"Hei, Eng Lian, kau dengar tidak ?" bentak suara Ang Hoa
Lobo. "Janji tiga hari belum sampai, kenapa kau minta putusan
sekarang ?" sahut Eng Lian, suaranya lantang berani.
"Hehe.... jadi aku mesti tunggu ?" si nenek ketawa.
"Ya, tunggu saja. Sampai pada waktunya, aku beri putusan !"
kata Eng Lian. Lantas terdengar suara kakinya si nenek berlalu.
Kiranya Siauw Cu Leng yang menggosok-gosok si nenek
supaya mendesak Eng Lian.
Ia mencuri dengar percakapan Eng Lian dan Lo In, lantas
usulkan pada si nenek kembang merah supaya lekas
mendesak Eng Lian berikan keputusannya. Ia menyatakan
kekuatirannya akan Lo In yang sudah siuman dari pingsannya,
nanti membikin susah mereka. Si nenek tidak kuatiri.
"Mengapa kamu harus takut dengan anak sambal itu ?" Ang
Hoa Lobo berkata pada Siauw Cu Leng. "Tenaga dalamnya
sudah musnah, berani dia main gila pada kita ?"
Ang Hoa Lobo percaya benar masa pukulan mautnya yang
sudah memusnahkan tenaga dalamnya Lo In. Ini memang
benar sebab Lo In rasakan tenaga raksasanya hilang lenyap
meskipun ia sudah coba berkali-kali untuk dikumpulkan.
Yang penting, pikir Ang Hoa Lobo adalah Eng Lian yang harus
didesak supaya memberitahukan rahasia pelajaran yang ia
perlukan. Setelah Ang Hoa Lobo berlalu, Lo In menanya kepada Eng
Lian, "Enci janjikan apa sama dia " Apa dia mau ?"
Eng Lian lantas cerita pada Lo In hal kedatangannya Ang Hoa
Lobo dan Siauw Cu Leng, sekalian menutur tentang dirinya
dalam rumah itu. Si dara cilik ternyata ada dari keluarga Oey, menurut
keterangannya. Ia hidup bersama ayah dan ibunya bertiga dalam desa Tengong
chung, sebelah barat kota Gukwan di bawah kaki gunung
Hengsan. Sampai umur 7 tahun Eng Lian ikut ibunya di Tengong-
chung, sering pindah dari satu dusun ke dusun lain di


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pegunungan sebab ayahnya mempunyai hobi (kesukaan)
memelihara ular dan akhirnya mereka menetap di lembah itu
sudah 4 tahun lamanya. Pada kira-kira hampir 2 tahun yang lalu, pernah keluarga Oey
kedatangan seorang tamu yang mengaku she Tan, entah
namanya siapa. Tapi menurut ibunya, tamu itu biasa dipanggil
Tan Sianseng. Tamu she Tan itu sangat baik pada ibunya,
sering mengajak omong sambil ketawa-ketawa, malah bukan
jarang mereka kedapatan suka kasak kusuk berduaan saja.
Tapi ayahnya sama sekali tidak menaruh cemburu, malah
kelihatannya seperti yang sangat menghormati pada tamu she
Tan itu. Terhadap Eng Lian, tamu itu juga sangat sayang dan
mencintai sebagai pada anaknya sendiri.
Dua minggu lamanya tamu itu menginap dalam rumahnya
tetapi kemudian menghilang, berbareng juga menghilang
ibunya Eng Lian. Si dara cilik tentu saja menangis ditinggalkan
ibunya, tapi sang ayah menghibur. Kata ayah, ibu pergi
dengan Tan Sianseng buat satu urusan penting dan tidak lama
pun akan kembali. Tapi sampai sekarang sang ibu belum kelihatan mata
hidungnya muncul kembali. Sampai disini Eng Lian menutur, ia
menangis hingga Lo In yang merasa dirinya piatu menjadi
turut terharu dan turut mengalirkan air mata.
Sambil menyusut air matanya dengan tangan baju, Eng Lian
melanjutkan ceritanya. "Dua minggu yang lalu kita kedatangan
dua iblis yang sekarang ada disini. Katanya numpang
menginap untuk melakuka penyelidikan dalam lembah."
"Ayah tidak berkeberatan atas permintaan mereka, malah
suak antar-antar mereka menjelajah tempat yang asing bagi
mereka. Belakangan mereka lihat ayah banyak pelihara ular.
Mereka heran lalu si nenek jahat minta ayah mengajarinya
cara bagaimana dapat menjinaki atau menaluki ular. Ayah
ketawa, ia bilang kepandaiannya tak dapat diturunkan lain
orang kecuali pada anaknya yaitu aku."
"Jadi, enci Lian pandai menaluki ular ?" menyelak Lo In yang
sedari tadi mendengarkan saja penuturan si dara cilik.
Eng Lian manggut. "Mereka tidak apa-apa permintaannya
ditolak." menyambung Eng Lian dalam ceritanya. "Pada
keesokan harinya, mereka mengajak lagi ayah untuk
menjelajah pegunungan. Ayah tidka menolak sebab dia pun
ingin menyelidiki ular-ular yang ada ditempat-tempat lain. Eh,
tidak tahunya ketika mereka pulang, ayah ternyata tidak turut
pulang. Sampai sekarang ayah hilang. Entah dimana dia
adanya. Setelah ayah tidak ada, orang-orang jahat itu
mendesak aku supaya aku turunkan pelajaran menaluki ular
kepadanya." "Apa enci tidak tanya pada mereka, kemana ayahmu pergi ?"
tanya Lo In disaat Eng Lian hentikan sebentar penuturannya
karena ia menangis ketika sampai pada bagian menutur
ayahnya tidak pulang. "Aku sudah tanya mereka. Tapi mereka bilang ayah pergi
menyusul ibu dan tidak berapa hari juga akan pulang."
menyambung Eng Lian. "Tadinya aku tak keberatan
menurunkan kepandaianku menakluki ular tapi belakangan
aku segan. Aku mogok mengasih pelajaran pada mereka
karena si Nenek Kembang Merah itu sangat jahat. Telah
membunuh aku punya Tok-gan Siancu."
"Apa itu Tok-gan Siancu ?" menyela Lo In.
"Tok-gan Siancu adalah ular kesayanganku, bermata satu,
mempunyai empat sayap, besarnya sebesar betis orang
gemuk." menerangkan Eng Lian.
Tok-gan Siancu artinya Dewi Bermata Satu. Bagus juga Eng
Lian kasi nama ular kesayangannya yang dua meter
panjangnya. "Kenapa Tok-gan Siancu dibunuh nenek jahat itu ?" tanya Lo
In. "Kejadian itu pada suatu sore, di waktu dia ajak aku melihat
ular kesayanganku. Tiba-tiba Tok-gan Siancu beringas melihat
si nenek, kepalanya bangun dari melingkarnya kemudian
menyambar tangan si nenek yang sedang pegang jeruji
kerangkeng dari bambu, menggigit tanganya itu hingga dia
semalaman panas dingin tidak bisa tidur. Kalau dia tidak
ketolongan oleh obatku, dia pasti melayang jiwanya. Tapi dia
bukan terima kasih padaku, malah keesokan harinya, aku lihat
aku punya Tok-gan Siancu sudah menjadi bangkai dalam
kerangkengnya, dibunuh oleh si nenek jahat. Aku menangis
atas kematiannya itu.........'
Eng Lian bercerita sambil menangis, ingat dengan ular
kesayangannya yang sangat jinak dan menjadi teman
mainnya. Lo In menghibur Eng Lian, tapi diam-diam hatinya merasa
gemas pada Ang Hoa Lobo yang sangat telengas itu. Pikirnya,
ada satu waktu kalau tenaganya sudah pulih kembali, ia ingin
memberi hajaran pada si nenek.
Eng Lian selagi susut air matanya, tiba-tiba mendengar
cetcowetan kunyuk di luar jendela. "Nah, itu teman-temanmu
datang." ia kata pada Lo In.
Lo In mengawasi ke jendela, ia lihat Pek-gan dan Pek-tauw
sedang menurunkan kirimannya melalui sela-sela jeruji. Lo In
perdengarkan suara cetcowetan juga hingga Eng Lian heran
dan merasa lucu. "Hihi, dia juga bisa bicara monyet......."
seraya menekap mulut Lo In, tapi cepat ia tarik pulang lagi
tangannya itu ketika melihat matanya Lo In melotot padanya.
Pikirnya, Lo In tentu sedang bicara serius dengan sang kera,
makanya perbuatannya tadi dipelototi. Memang, Lo In sedang
beri teguran Pek-gan dan Pek-tauw, kenapa dua kera itu tidak
berusaha untuk menolong ia dalam kesusahan. Ia tegaskan si
nenek dan si kakek bukan orang baik-baik, harus mereka
waspada nanti dijebak oleh mereka.
Seperti yang menerima salah, kedua kera itu membungkam
mulutnya pada saat Lo In sedang cetcowetan mengomeli pada
mereka. Tidak lama, setelah Lo In tutup mulutnya berhenti bicara, Pekgan
dan Pek-tauw cetcowetan sebentar, manggut-manggut,
lalu meninggalkan tempat itu.
Setelah melihat Lo In mukanya tenang lagi, baharulah Eng
Lian berani menanya, "Adik In, kau omong apa dengan dua
temanmuitu ?" "Aku marah-marah, mereka sangat goblok, tidak berusaha
mencari daya untuk menolong aku ! Rupanya mereka
ketakutan dan lari pergi." menerangkan Lo In.
"Pandai benar kau bercakap-cakap dalam bahasa monyet,
adik In." memuji Eng Lian, mesem manis. "Kau lagi marahmarah,
pantesan aku dipelototi. Coba sekarang matamu
melototi aku, kalau aku tidak gasak mukamu, jangan panggil
aku si Lian !" Dengan serentak Lo In tertawa terbahak-bahak mendengar
kata-kata Eng Lian, apalagi melihat si dara cilik ketika
mengucapkan kata-kata paling belakang, sembari gulung
tangan bajunya dan keluarkan kepalan tangannya yang bulat
kecil mungil, diunjukan pada Lo In.
Sepasang anak jenaka itu kelihatan cocok satu dengan lain,
seolah-olah tidak menghiraukan kekejamannya si Nenek
Kembang Merah dan si Iblis Alis Buntung.
Ketika menjelang malam, dua orang jahat itu berunding.
"Cici, lebih baik kita mampusi saja si setan kecil itu !" usul
Siauw Cu Leng pada 'darlingnya', masih saja ketakutan dia
terhadap Lo In. "Kau jangan aduk-aduk rencanaku, Cu Leng." sahut Ang
Hoa Lobo. Siauw Cu Leng tidak setuju dengan rencanaya si Nenek
Kembang Merah karena ia tahu kepandaiannya Kwee Cu Gie
yang hebat. Nanti bukan Kwee Cu Gie yang berlutut tapi si
nenek yang semaput berlutut di hadapan pendekar tersohor
itu, pikir Siauw Cu Leng. Tapi ia tak mau menyatakan
pikirannya itu pada Ang Hoa Lobo, kuatir si nenek marahmarah
membuat hatinya tidak enak. Sebab si nenek kalau
marah-marah bukan mulutnya saja yang nyap-nyap tapi
tangannya suka nampar. Mereka terus kasak kuduk berunding, sementara sang malam
sudah mulai sangat sunyi. "Tolong kau tuangkan air dicangkir
untuk aku minum." memerintah si nenek pada kekasihnya.
Siauw Cu Leng menurut, ia tuang air dari teko sebanyak 2
cangkir sebab yang satu lagi cangkir untuknya.
Kemudian ia serahkan satu cangkir pada Ang Hoa Lobo. Ia ini
menyambuti, lalu tempelkan ke mulut untuk dihirup isinya.
Belum menghirup habis, tiba-tiba cangkir itu melesat ke
jendela, dilontarkan oleh Ang Hoa Lobo sambil membentak,
"Bangsat ! Kau berani mengintai ?"
Menyusul suara cetcowetan di luar jendela. Kiranya si kepala
putih yang cetcowetan itu. Ia kesakitan kupingnya yang kiri
kena keserempet pinggiran cangkir yang dilontarkan Ang Hoa
Lobo. "Ah, itu kan hanya si kunyuk kecil, cici." kata Siauw Cu Leng
mentertawakan Ang Hoa Lobo yang mengira didatangi musuh
berat. "TIdak perduli, lekas kejar dan bunuh dia !" perintah Ang Hoa
Lobo bengis. Siauw Cu Leng tak dapat membangkang perintah ratunya,
meskipun dalam hati ia uring-uringan, terpaksa ia keluar untuk
mengejar si kera. Tapi baru saja ia muncul di pintu tiba-tiba tangannya ada yang
menyambar. Ia berkelit, selamatkan tangannya dari sambaran
tadi. Kiranya yang menyambar tangannya itu adalah Ji-hek
yang berdiri di depannya, sudah bersiap-siap untuk
menyambar lagi tangan Siauw Cu Leng.
Si Iblis Alis Buntung marah bukan main, ia kerahkan
tenaganya untuk melancarkan pukulan maut pada Ji-hek. Tapi
sebelum tangan jahatnya bergerak, diserang dari belakang
oleh Siauw-hek yang sekarang sudah besar. Siauw Cu Leng
cepat mengegos, kasih lewat serangan membokong itu.
Kemudian ia maju menerjang pada Ji-hek, lagi-lagi
serangannya kecandak karena saat itu lompat dua monyet
kecil berbareng ke arahnya hendak memeluk lehernya.
Kepaksa ia harus mengelak lagi dari serangan dua monyet
tadi, hingga mereka ini tubruk angin. Lain-lain kawanan
monyet datang mengurung hingga dari berani si Iblis Alis
Buntung menjadi jeri melihat datangnya tentara monyet. Entah
dari mana datangnya sebab tahu-tahu sekarang ia
berhadapan ratusan monyet kecil dan besar, dibantu oleh Jihek
dan Siauw-hek. Dimana adanya Toa-hek " Si Iblis bertanya-tanya dalam
hatinya yang jeri. Ia lalu berteriak-teriak minta bantuan Ang Hoa Lobo yang
segera muncul dengan toya besinya yang berat. Ia melihat
Siauw cu Leng tengah dikerubuti kawanan kera, bukan main
marahnya. Ia putar toya besinya, maksudnya hendak menyerbu
melepaskan 'darlingnya' dari kepungan tentara kera. Tetapi
sebelum ia dapat bergerak, dari atas genteng rumah
melayang satu tubuh. Itulah Toa-hek yang sudah lama
menanti munculnya si nenek.
Lengannya dirasakan sangat sakit kena dicekal Toa-hek
hingga toya besinya jatuh sendiri. Tapi Ang Hoa Lobo
bukannya si nenek kejam kalau hanya segebrakan saja dapat
dikuasai Toa-hek. Seketika itu ia mengerahkan lwekangnya,
mendorong cekalannya Toa-hek pada lengannya. Sekali
berontak ia sudah lolos dari cekalan Toa-hek. Cepat ia pungut
toyanya lalu menyerang pada si orang utan yang
perdengarkan suara her ! her ! yang menakutkan.
Ang Hoa Lobo tidak gentar dengan roman Toa-hek yang
sedang gusar. Toyanya digeraki untuk menyodok perut Toa-hek. Tapi
sodokannya lupu karena dengan manis si orang utan dapat
menyelamatkan diri dengan berkelit lompat ke samping kiri si
nenek akan dari mana lengan kanannya yang berbulu dipakai
membentur toya Ang Hoa Lobo terus ditekan ke bawah. Inilah
gerakan 'Kim ke tan tian ci' atau 'Ayam Emas geraki satu
sayap' yang Lo In ajarkan kepada Toa-hek dalam latihannya.
Ternyata si gorila cerdik juga dan dapat mengingat diorakanya
tipu silat istimewa itu. Cuma sayang ia kalah cerdas dengan
Ang Hoa Lobo. Bukan toya si nenek dapat ia rebut, sebaliknya
dadanya hampir ditembusi senjatanya Ang Hoa Lobo, kalau ia
tidak cepat memutar tubuh untuk menyelamatkan diri dari
sodokan maut itu. Ang Hoa Lobo gunakan tipu 'Hek liong lam cu' atau 'Naga
hitam mencari mutiara' untuk memusnahkan tipu Toa-hek
'Ayam emas menggerakkan satu sayapnya'. Ketika toyanya
ditekan ke bawah, ia tidak lantas tarik pulang, sebaliknya ia
kerahkan tenaga dalamnya disalurkan ke toya yang membuat
toya jadi sangat berat. Dalam heran, melihat toya tak dapat
ditekan, Toa-hek terkejut waktu sekonyong-konyong si nenek
ditarik pulang, kemudian dengan kecepatan kilat disodorkan
ke arah dadanya. Untung ia dapat memutar tubuhnya untuk
berkelit. Kalau tidak, celaka dia kepanggang toyanya si nenek.
"Hehe, pintar juga kau." tertawa si nenek, sedang hatinya
diam-diam merasa gegetun, kenapa gorila ini bisa ilmu silat. Ia
lantas menduga akan Lo In yang ajarkan tentu. Segera ia
sudah mulai menyerang pula pada Toa-hek yang ketika itu
sudah memperbaiki posisinya.
Manusia kontra binatang itu jadi bertempur seru. Selainnya
memang latihan dan kecerdasan. Ang Hoa Lobo pun ada
pakai senjata toya untuk mendesak lawannya yang bertangan
kosong. Maka sudah tentu saja Toa-hek tak dapat
mempertahankan perlawanannya. Belum 10 jurus, ia sudah
patah perlawanannya. Toya si nenek sudah melanggar bahu
kanannya, lantaran kurang cepat ia mengegosi serangan
lawan. Untung sebelum si nenek menghajar lebih telak
padanya, beberapa kunyuk yang melihat si gorila dalam
bahaya sudah lantas turun tangan mengerubuti sehingga Ang
Hoa Lobo menjadi sangat repot.
Si nenek putar toyanya yang menerbitkan angin menderuderu.
Kawanan monyet itu melihat gelagat juga. Sementara Ang
Hoa Lobo tengah memutar toyanya, mereka tidak berani
datang menerjang, hanya menonton saja dari kejauhan.
Menggunakan kesempatan itu, Ang Hoa Lobo sudah enjot
tubuhnya, menyela ke arah Siauw Cu Leng yang sedang
dikerubuti. Di sini Ang Hoa Lobo memutarkan pula toyanya
untuk membubarkan kepungan atas kekasihnya sehingga
kawanan monyet itu pada mundur melihat datangnya bahaya.


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya Ji-hek dan Siauw-hek yang masih menempur Siauw Cu
Leng yang sudah kehabisan 'bensin' kelihatannya. Napasnya
tampak ngos-ngosan, keringat mengucur membuat
pakaiannya basah kuyup. Ia merasa girang atas kedatangan
Ang Hoa Lobo, dapat ia bernapas sedikit legaan, apalagi ia
melihat Siauw-hek kena kehantam toyanya si nenek,
menambahkan kegirangannya. Ia tinggalkan Ji-hek dan lompat
mengubar Siauw-hek yang berkaok-kaok kesakitan, melarikan
diri. Lebih baik barangkali kalau siauw Cu Leng tidak mengejar
Siauw-hek sebab justru ia mengejar, ia telah mengalami
kesulitan, hampir jiwanya melayang. Di saat ia sudah hampir
menyandak si anak gorila, tahu-tahu dari atas pohon
kedengaran suara 'bleber', itulah si rajawali yang pentang
sayapnya menyambar pada Siauw Cu Leng.
Bukan main kagetnya si Iblis Alis Buntung. Musuh alotnya
sudah muncul sedang tenaganya sudah hampir habis. Apa
daya " Ia jadi menghela napas lalu memeramkan matanya
untuk terima nasib dicengkeram si rajawali yang kukunya
runcing-runcing. Tengah ia berdiri sambil memeramkan
matanya, tiba-tiba ia merasa dirinya disambar orang dan
dibawa lari, dipanggul di atas pundak. Itulah Ang Hoa Lobo
yang menolong kekasihnya dalam bahaya maut. Sambil
memutar toyanya untuk melindungi diri, ia geraki kakinya
sekuatnya untuk menyingkir dari sambaran-sambaran si
rajawali yang amat ganas kelihatannya.
Suara menderu-deru dan angin keras dari putaran toyanya si
nenek membuat si rajawali tidak berani gegabah
mendekatinya. Ia hanya menyambar-nyambar saja sambil
keluarkan pekikan menyeramkan.
Ang Hoa Lobo lama-lama merasa jeri untuk meladeni si
burung raksasa yang makin lama makin beringas
menerkamnya. Ia sembari lari dan memutar toya, matanya
celigukan untuk mencari tempat perlindungan. Di sana, di
sebelah depannya kira-kira sepuluh tombak, ia melihat ada
rimba yang lebar dengan pohon-pohon, maka ia lari kesitu.
Benar saja, ia dengan kekasihnya dapat menyelamatkan diri
sebab untuk masuk mengejar ke dalam rimba itu, tak dapat
dilakukan oleh si burung raksasa karena sukar ia mementang
sayap, dirintangi oleh banyak cabang-cabang pohon.
Si rajawali ketika melihat dua musuhnya dapat melenyapkan
diri ke dalam rimba, ia melampiaskan marahnya dengan
mengeluarkan pekikan-pekikan melengking seram.
Siauw-hek sementara itu sudah balik pula berkumpul dengan
ibu dan ayahnya, bersam-sama sekalian kawan-kawan
monyetnya. Atas penunjukan Pek-gan dan Pek-tauw, Toa-hek sudah
hampiri kamar belakang dimana Lo In dan Eng Lian ditahan.
Dengan sekali pukul saja, pintu kamar sudah terpentang lebar.
Toa-hek masuk ke dalam mencari Lo In.
Eng Lian menjerit melihat datangnya si gorila, tanpa disadari ia
sudah menubruk dan memeluki Lo In, ketakutan setengah
mati. Badannya bergemetaran dalam pelukan Lo In hingga Lo
In tidak tahan untuk tidak mentertawakan kelakuan sang
kawan yang jenaka itu. Lo In usap-usap rambut kepala si dara cilik yang hitam jengat
dan halus, yang saat itu tengah umpatkan mukanya di dada Lo
In, seram melihat kedatangan Toa-hek.
"Enci Lin, kau jangan takut. Mereka adalah kawan-kawan
kita........" kata Lo In, suaranya halus sambil tangannya
memegang dagu si dara supaya Eng Lian melihat pula pada si
gorila. Eng Lian mendengar kata-kata Lo In memberanikan diri untuk
memandang kepada si orang utan. Kali ini ia melihat, bukan
atu tapi ada tiga orang utan yang sedang berlutut di hadapan
Lo In. Terbelalak matanya Eng Lian, hatinya berdebar-debar.
"Enci Lian, mereka adalah Toa-hek sekeluarga." Lo In
memperkenalkan pada Eng Lian.
Meskipun Lo In dalam penuturannya, ada menceritakan juga
tentang tiga gorila ini, Eng Lian tidak dapat lepas dari
perasaan takutnya karena sikapnya ketiga gorila itu benarbenar
menyeramkan. "A......... aku takut In." sahut si dara cilik.
"Kau jangan takut, nanti aku kenalkan." berbareng Lo In
mulutnya cetcowetan bicara kepada Toa-hek sekeluarga.
Betul-betul membuat Eng Lian heran sebab setelah Lo In
bicara, ketiganya lalu bangkit dan mendekati si dara cilik untuk
mengusap-usap lengan dan pipinya. Karena saking takutnya,
Eng Lian lebih kencang memeluk Lo In, pipinya yang kanan
merapat di dadanya Lo In, hanya sepasang matanya saja yang
bundar jeli bundar, kedap kedip memandang pada tiga kawan
Lo In. Ia rasakan bulu-bulu Ji-hek dan tangannya yang kasar
mengusap-usap pipinya. Ia beranikan hati untuk menerima 'tanda persahabatan' itu
malah makin lama usapan-usapan Ji-hek itu dirasakan makin
meresap dalam hatinya, tanda kasih sayangnya seorang ibu.
Maka pelan-pelan perasaan takutnya telah terusir pergi jauh.
Eng Lian jadi tabah. Dasar anah jenaka dan berani, seketika
itu juga berubah sikapnya. Ia balas mengusap-usap tangan Jihek
seraya menjabat tangan Siauw-hel dan Toa-hek hingga
ketiga kera itu berjingkrak kegirangan.
Eng Lian kaget mereka berjingkrakan, dikira hendak
menerkam dirinya. Tapi setelah Lo In memberi keterangan
bahwa mereka itu kegirangan, si dara berubah sikap,
membuat Eng Lian bersenyum manis dan angguk-anggukkan
kepalanya. Toa-hek sekeluarga sebenarnya merasa heran wajah Lo In
berubah hitam tapi mereka kenali suaranya.
Lo In yang belum bisa jalan dipondong oleh Toa-hek, dibawa
keluar dimana sudah ada ratusan kera yang menyambut,
ramai cetcowetan yang dapat memekakkan telinga. Sangat
kegirangan rupanya mereka dapatka 'rajanya' selamat.
Malah si kera Mata Putih dan si Kepala Putih sudah datang
mendekat Lo In untuk minta dielus-elus kepanya, rupanya
mereka menagih jasanya yang sudah mengabarkan pada
kawan-kawannya tentang Lo In terancam bahaya. Memang
merekalah yang disuruh Lo In untuk mengabarkan dan
mengatur penyerbuan dari tentara kera ke situ untuk
membebaskan ia dan Eng Lian dari cengkeraman orang-orang
jahat. Eng Lian kagum pada Lo In yang sudah dapat mengerahkan
tentara keranya untuk mengusir Ang Hoa Lobo dan Siauw Cu
Leng, dua manusia iblis kejam.
Tiba-tiba terdengar pekikan si rajawali, sebentar saja burung
raksasa itu sudah terbang mendatangi. Ia mendekam di depan
Lo In yang sedang dalam pondongan Toa-hek, kepalanya
manggut tiga kali. Lo In bersenyum, "Tiauw-heng, terima kasih
kau sudah bantu mengusir orang-orang jahat itu, Bagaimana,
kau baik-baik saja berpisah denganku beberapa hari ini ?"
demikian Lo In berkata-kata kepada burung kesayangannya.
Eng Lian yang mendengar kata-kata Lo In, hatinya ketawa
geli. Pikirnya, masa bicara sama seekor burung seperti juga
bicara dengan manusia, mana burung itu mengerti maksud
omongannya " Tapi alangkah ia tercengang ketika melihat si
rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya dengan manja
kelihatannya, ia gosok-gosokkan tubuhnya pada kepalanya.
Lucuk lagak-lagaknya si burung raksasa hingga Eng Lian jadi
ketawa, kali ini bukan dalam hatinya saja yang cekikian. Ia
mendekati Lo In mencekal lengannya, lalu berkata, "Adik In,
kau benar-benar hebat." jempolnya yang mungil pun
berbareng diunjukkan hingga Lo In tertawa bangga.
Lo In perlu merawat diri untuk memulihkan tenaga dalamnya,
maka ia perintah tentara keranya termasuk si rajawali supaya
berjaga-jaga di sekitar rumah itu, jangan kasih orang asing
datang mengganggu. Dalam rumah Eng Lian, Lo In dirawat si dara cilik dengan
penuh perhatian hingga si bocah merasa sangat berterima
kasih pada kawan barunya itu.
Lewat dua hari, Lo In tampak sudah dapat belajar jalan
dipimpin oleh Eng Loan. Pada waktu mereka ngomongngomong
di serambi belakang rumah, tiba-tiba Eng Lian
seperti mengingati sesuatu. Seketika ia bangkit dari duduknya.
Lo In cepat pegang tangan si dara cilik menanya, "Ada apa
Enci Lian ?" "Tunggu !" sahut Eng Lian sambil lepaskan tangannya dari
cekalan Lo In. Ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan
cepat. Tidak lama kemudian, ia muncul lagi dengan satu gelas
ditangannya. Ia mendekati Lo In dan berkata, "Adik In, aku mempunyai obat
manjur untuk mengembalikan lwekangmu cuma aku takut kau
tidak berani makan."
Lo In ketawa, "Enci Lian, aku sangat berterima kasih
kepadamu." sahut Lo In. "Jangan kata obat, racun juga kalau
kau suruh aku makan, aku tidak akan menolak pemberianmu."
Si dara cilik cekikikan ketawa mendengar kata-kata Lo In.
"Anak tolol" katanya setelah ia habis ketawa. "Orang mau
kasih obat kenapa jadi racun dibawa-bawa " Memangnya aku
si Nenek Kembang Merah " Hihihi......."
Lo In pun turut ketawa. "Mana obat itu ?" ia kemudian
menanya. "Ini dia obat manjur yang tidak ada duanya." sahut Eng Lian
seraya angsurkan gelas yang ada ditangannya tadi.
Lo In menyambuti. Ia periksa isi gelas, ia dapatkan satu benda
bundar sebesar telu ayam, warnanya meah tua direndam
dengan arak putih. Tampaknya benda itu lunak sekali seakanakan
telur ayam barusan dipecahkan.
"Barang apa ini ?" tanya Lo In keheranan.
"Kau makan dahulu, nanti baru aku ceritakan," sahut Eng Lian.
Lo In dekati gelas pada hidungnya, ia terkejut, dari dalam
gelas menyambar bau harum yang enak sekali.
"Kau takut makan ?" tanya si dara cilik, mukanya kelihatan
cemas. Lo In adalah seorang laki-laki, tidak mungkin ia menarik
pulang apa yang sudah ia kaakan tadi pada Eng Lian,
meskipun itu hanya bersifat main-main.
Maka setelah ia nyengir sebentaran, ia lantas angkat gelas itu
dan isinya sekali teguk saja lenyap lewat tenggorokannya.
"Adik In, oh...kau...." Eng Lian menubruk, memeluk Lo In
kegirangan, hampir ia menciumi pipi orang.
Lo In gelagapan dipeluki Eng Lian dengan tiba-tiba, gelas
yang dipegangnya itu hampir jatuh di lantai.
"Kau kenapa, enci Lian ?" si bocah menanya.
Sambil tangannya masih memegang kedua pundaknya Lo In,
si dara cilik menatap parasnya si bodah, mukanya
menyungging senyuman. Ia berkata, " Adik In, rejekimu besar
senyuman. Kau akan sembuh, sembuh......segera !"
"Enci Lian, bagaimana kau tahu aku bakalan sembuh segera
?" tanya Lo In. "Adik In, itu yang kau makan adalah lwetam dari Tok-gan
Siancu, ular kesayanganku yang aku ambil setelah mati."
menerangkan Eng Lian sambil duduk pula di tempat duduknya
tadi. "Hanya lwetam ular, apalah artinya ?" kata Lo In tertawa.
Lwetam artinya nyali, jadi Lo In sudah telan nyali ular.
"Kau tidak tahu khasiatnya." kata Eng Lian lagi. "Menurut kata
ayahku, Tok-gan Siancu mempunyai lwetam yang tak ternilai. Cuma
saja nyali itu tak dapat dimiliki begitu saja, misalnya dengan
sengaja kita bunuh mati Tok-gan Siancu, lantas diambil
nyalinya. Ini tidak akan ada khasiatnya.
"Jadi, bagaimana semestinya ?" Lo In memotong tidak
sabaran. "Adik In, kau dengar dulu aku cerita. Jangan kau potong." kata
Eng Lian. Lo In nyengir. Kemudian Eng Lian meneruskan ceritanya,
"Tok-gan Siancu harus marah dahulu dan lalu menggigit
orang. Dengan begitu bisanya sudah buyar. Bisa itu terpusat
pada nyalinya. Tok-gan Siancu sudah marah dan menggigit si
jahat Nenek Kembang Merah, maka nyalinya sudah bersih
dari racun. Justru ia kena dibunuh Ang Hoa Lobo, aku jadi
ingat akan kata-kata ayahku. Maka aku cepat membelah
perutnya, ambil nyalinya yang berharga itu sebelum aku kubur
bangkainya. Nyali itu aku rendam dalam obat yang dapat
mengawetkan. Pikirku akan aku berikan pada ayah apabila ia
sudah pulang mencari ibu."
"Habis, sekarang kau kasih nyali itu aku makan, ayahmu tidak
kebagian, bagaimana kau nanti dapat
mempertanggungjawabkan pada ayahmu ?" kata Lo In.
Si dara cilik bersenyum. Ia berkata lagi, "Taruh kata ayahku
pulang, dia juga belum tentu berani memakannya. Karena
nyali yang kau makan itu baru dapat sebagai obat dan
menimbulkan khasiatnya kalau ia dimakan oleh orang yang
lwekangnya tinggi sedang terluka parah. Khasiatnya untuk
mengembalikan tenaganya yang lenyap dan
menambahkannya berlipat ganda. Ini, entah benar atau tidak,
aku sendiri belum pernah mengalami. Tapi lihatlah nanti
reaksinya bagaimana setalah kau makan nyalinya Tok-gan
Siancu." Lo In anggukkan kepala. Sementara itu ia rasakan badannya
tiba-tiba panas. Ia minta si dara cilik untuk memimpinnya
masuk. Ia ingin rebah diatas pembaringan.
Eng Lian cepat memenuhi permintaannya. Belum lama Lo In
rebah, tiba-tiba Eng Lian dibikin kaget oleh suara merintih Lo
In. "Kau kenapa, adik In ?" Eng Lian menanya.
"Panas, oh, panas aku rasakan sekujur badanku.........." Lo In
berteriak. Eng Lian tidak tahu apa yang harus diperbuatnya ketika
melihat Lo In sangat gelisah diatas bale-balenya, tak tahan
merasakan menyerangnya hawa panas.
Ia mau menghampiri, menjadi takut. Karena Lo In seperti yang
sedang mengamuk. Ia takut kena jotosan kepalannya Lo In.
Betul-betul bingung Eng Lian. Cuma mulutnya saja yang ramai
menanyakan Lo In kenapa bisa jadi begitu. Tapi, ia tak dapat
jawaban dari si bocah. Tiba-tiba ia ingat bahwa Lo In jadi
begitu setelah makan nyalinya ular. Apakah itu yang menjadi
gara-garanya " Ia jadi takut sebab Lo In makan lwetam itu atas
anjurannya. Ia bukannya meracuni, memang dengan sungguhsungguh


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia hendak menolong Lo In tapi kenyataannya
sekarang jadi begini. Bagaimana "
Lima menit kira-kira Lo In bergelisahan. Tiba-tiba tubuhnya
diam, tenang dan ia bisa tidur nyenyak. Entah kenapa bisa jadi
begitu. Eng Lian segera mendekat Lo In lalu mencekal
tangannya. Ia periksa sekujur badannya si bocah mandi
keringat. Cepat ia ambil kain-kain tebal untuk menyekanya.
Tak dapat Lo In dibanguni meskipun digoyang-goyang keras
tubuhnya. Ia tidur sampai keesokan harinya baru mendusin
membuat Eng Lian menangis ketakutan kalau-kalau si bocah
mati. Sekarang melihat Lo In membuka matanya, Eng Lian ketawa,
berhenti menangisnya. Sambil susut airmatanya, ia menanya,
"Adik In, apa kau sudah baik ?"
"Eh, kenapa kau tanya begitu " Dan kenapa kau menangis,
enci Lian ?" balik menanya Lo In yang menjadi keheranan
nampak si dara cilik menangis.
"Adik In, kau tidak tahu, aku ketakutan kau mati !" sahut si
gadis cilik. Lalu Eng Lian tuturkan bagaimana Lo In dalam
kegelisahannya mengamuk diatas bale-bale karena
kepanasan, bagaimana si bocah terus tidur nyenyak sampai
sekarang baru mendusin. Hal mana membikin Lo In kaget,
lantas ia mencelat bangun. Begitu enteng ia mencelat, ketika
ia tancapkan kakinya di lantai tidak perdengarkan suara apaapa
seperti juga jatuhnya selembar daun.
Eng Lian terbelalak matanya, heran melihat Lo In dengan
mendadak saja bisa gerak, badannya lompat mencelat dari
tempat tidurnya yang sebenarnya untuk bangun saja ia harus
mendapat pertolongan si dara cilik.
Belum sempat ia menanya, tiba-tiba ia rasakan pinggangnya
dicekal Lo In dan tubuhnya diapungkan, hampir saja
kepalanya menyundul atap rumah kalau tidak cepat-cepat Lo
In menyusul lompat dan tarik pulang si dara cilik dan dilain
saat, Eng Lian jatuh dalam pelukan Lo In.
"Enci Lian, kau adalah penolongku......." bisik Lo In seraya
mencium pipinya si dara cilik hingga Eng Lian merasa panas
mukanya. Tapi ia tidak mau berontak sebab dalam pelukan Lo
In, ia merasa lebih aman.
Tapi kemudian ia berontak juga sambil mencubit pipi si bocah,
ia berkata : "Anak nakal. Kenapa kau bikin encimu kaget setengah mati
barusan ?" "Ah, enci Lian, maafkan aku." sahut Lo In seraya melepaskan
pelukannya. "Saking kegirangan aku, sampai lupa yang
diapungkan itu ada enciku yang baik hati. Hahaha......"
Mulutnya si nona menjebir, lucu tapi ia tidak mengatakan
penyesalan apa-apa sebag memang juga hatinya turut girang
dengan kembalinya lagi tenaga Lo In berkat pertolongan dari
nyali ular kesayangannya, Tok-gan Siancu.
Memang luar biasa khasiatnya nyali ular itu. Sebab Lo In
merasakan bukan saja tenaga lamanya pulih kembali tapi juga
seperti bertambah, badannya dirasakan jauh lebih enteng dari
pada sebelumnya. Selama Lo In dalam kegirangan, Eng Lian sering menatap
wajahnya Lo In lama, hingga Lo In curiga. Ia menanya, "Ada
apa yang heran diwajahku, enci Lian ?"
"Itu, eh, itu.... tanda yang tidak bisa hilang." sahutnya.
"Tanda apa, enci Lian ?" Lo In kata heran sebab sejak dahulu
ia tidak punya tanda apa-apa diwajahnya yang cakap.
"Itu tanda hitam diwajamu, adik In." sahut Eng Lian. "Kukira
tadinya dengan makan nyali ular kesayanganku itu, sekaligus
akan mengunjuk khasiatnya, menghilangkan tanda hitam pada
wajahmu. Tapi kenyataannya....... masih saja ada."
Sebelum Lo In membuka mulut menanya, Eng Liang sudah
menuturkan bagaimana si Nenek Kembang Merah sudah
membikin wajah Lo In menjadi hitam legam.
Lo In terkejut, ia usap-usap keras pipinya yang hitam lalu
pandang jari-jari tangannya yang dipakai mengusap-usap tadi.
Ia tak dapat lihat ada tanda-tanda hitam. Jadi tanda hitam itu
tak dapat dihapus. Ia pinjam kaca dari Eng Lian dan mengacai wajahnya. Benar
saja mukanya hitam legam. Bukan main marahnya si bocah.
"Kurang ajar itu nenek dekat mampus. Akan kau rasakan
pembalasanku nanti........."
"Ah, kau jangan marah, adik In." memotong Eng Lian. "Kita
belum tahu betul dia jahat, membunuh orang misalnya, maka
tak perlu kita balas membalas. Asal kita ketemu dia, dengan
rela dia memberi obat pemusnahnya, kita bikin habis saja
urusan. Dengan begitu tidak saling balsa membalas lagi.
-- 9 -- Lo In adatnya halus. Ia suak mengampuni siapa juga. Kalau
barusan ia mengucapkan kata-kata mau membalas, itu
didorong oleh hawa amarahnya yang muncul seketika. Maka
waktu Eng Lian menasehatkan dengan kata-kata yang lemah
lembut dan masuk dalam sanubarinya, ia angguk-anggukan
kepalanya dan menyatakan penyesalannya.
Dua anak itu suka membanyol, jenaka tapi pribadinya luhur.
Cocok mereka itu menjadi teman yang akrab, di lembah yang
jauh dari pergaulan manusia.
Sampai disini kita tinggalkan Lo In dan Eng Lian. Mari kita lihat
perjalanan Kim-wan Thauto. Setelah ia meninggalkan Kim
Popo begitu saja dibawah terik panasnya matahari, selagi ia
jalan tiba-tiba ia mendengar ada derap kaki kuda mendatangi
dari belakangnya. Ketika ia menoleh, kiranya ada tiga penunggang kuda yang
mendatangi ke arahnya. Entah siapa gerangan mereka itu.
Mereka melarikan kudanya cukup kencang ketikan melewati
ia. Ia dapat melihat wajahnya mereka itu. Yang satu, yang
paling tua diantara mereka, usianya dikira 45 tahun, yang
kedua 40 tahun dan yang muda ditaksir kurang lebih 20 tahun.
yang pertama mukanya terang, tak berkumis, yang kedua
mukanya hitam, piara kumis berewokan, yang muda parasnya
cakap. Si berewokan pada waktu lewati Kim-wan Thauto bepaling
pada si thauto, matanya melotot mengawasi. Si thauto tidak
senang dipelototi tanpa sebab, tapi sebelum ia menegur,
orang yang berusia paling tua tadi kedengaran berkata pada si
berewokan, "Samte, kau jangan cari urusan sebelum kita
ketemu toako......" Kim wan Thauto lantas tidak dengar lagi apa yang mereka
bicarakan kemudian karena kudanya dipecut lari makin
kencang. Dengan menggunakan ilmu entengi tubuhnya, Kim Wan
Thauto menyusul mereka. Sayang tak dapat menyusul karena mereka sudah jauh
jaraknya, apalagi ketika sampai di satu tikungan, Kim Wan
Thauto kehilangan jejak mereka.
Kim Wan Thauto teruskan perjalanannya sambil menebaknebak
dalam hatinya, siapakah mereka itu dan apa sebabnya
tiba-tiba si berewokan pelototinya.
Sebentar kemudian ia sampai di desa Kunhiang, satu desa
yang besar juga dan ramah penduduknya. Diantaranya banyak
orang-orang hartawan yang tinggal menetap disitu, pada
membuka perusahaan. Kim Wan Thauto masuk ke sebuah rumah makan 'An Goan',
dimana kedapatan banyak tamu dari dalam dan luar desa
Kunhiang. Ia terus masuk mengambil tempat disuatu pojokan
lalu pesan makanan pada pelayan yang menghampirinya.
Sementara ia menunggu makanan disiapkan, ia memandang
ke sekitarnya. Ia lihat ada satu tamu yang menghadapi meja
besar sendiri saja, sedang meja besar demikian biasanya
untuk para tamu dalam rombongan besar.
Ia heran melihat tamu itu yang barusan ia lewati ketika
memasuki rumah makan. Tamu itu mukanya persegi, jenggotnya macam jenggot
kambing. Alisnya yang kanan hilang, rupanya bekas golok
mampir pada bagian dekat alisnya itu, juga matanya meram.
Tegasnya mata kanannya picak. Entah ia sedang menunggu
siapa sebab sikapnya seperti ada yang ditunggu, tiap sebentar
matanya mengawasi ke jurusan pintu masuk.
Sebentar kemudian, sewaktu Kim Wan Thauto mulai dengan
hidangannya, ia mendengar suara ramai orang bercakap di
sebelah luar, pintu pun lantas terbuka, masuklah orang-orang
yang ramai bercakap-cakap tadi. Mereka disambut oleh orang
yang duduk sendirian tadi dengan kata-kata, "Wah, kenapa
kalian datang lama benar ?"
"Maaf toako, barusan kita diajak Kongcu untuk menemukan
ayah Kongcu dahulu sehingga kita terlibat dalam arena
percakapan, itulah yang bikin kita terlambat." kata seorang
diantaranya yang berusaha masuk.
Kim Wan Thauto terkejut sebab mereka itu tiada lain adalah
tiga orang penunggang kuda yang ditemukannya di jalanan
tadi. Anak muda yang bersama-sama menunggang kuda ternyata
adalah anaknya Tan Wangwee, seorang hartawan yang cukup
terkenal. Mereka bertiga memanggilnya Kongcu.
Tan Kongcu supaya dikenal baik oleh pemilik rumah makan
termasuk pelayannya karena ia dengan kawan-kawannya
mendapat pelayangan yang istimewa kelihatannya. Dari
percakapan mereka, Kim Wan Thauto dapat mencuri dengar.
Hatinya jadi terkejut juga sebab tiga orang itu tiada lain adalah
Sucoan Sam-sat atau tiga algojo dari Sucoan yang terkenal
kekejamannya di wilayah Sucoan.
Tiga algojo itu mempunyai julukan masing-masing yang
menyeramkan. Si toako bernama Puy Teng alias Giam-ong
(Raja akherat), si jiko yaitu si muka terang namanya Teng
Cong, julukannya Mo-jiauw atau si Cakar Setan, yang bontot si
berewok yang melototi Kim Wan Thauto menamakan dirinya
Sin-mo Lie Kui, si Iblis Sakti.
Gelarannya si hebat-hebat, entahlah kepandaiannya tapi yang
terang mereka terkenal dengan perbuatan yang suka
sewenang-wenang dan buas.
Tiga alogojo dari sucoan itu tidak bisa omong perlahan,
mereka bercakap-cakap dengan berisik sehingga banyak
orang yang ada di situ pada dapat curi pendapatan mereka,
diantaranya tentu Kim Wan Thauto yang menaruh perhatian
istimewa atas kedatangannya Sucoan Sam-sat ke desa itu.
Kiranya mereka itu datang atas undangan Tan Wangwee,
mereka spesial diundang oleh Tan Kongcu untuk membikin
perhitungan dengan Liu Wangwee yang menuduh Tan
Wangwee ada simpanan orang jahat dalam rumahnya.
Kim Wan Thauto paling suka mencampuri urusan yang tidak
adil, maka dalam hal Tan Wangwee dan Liu Wangwee, ia ingin
tahu duduk perkaranya. Ia lebih percaya pada Liu Wangwee yang benar kalau melihat
orang-orang undangan Tan Wangwee terdiri dari bajingan
buas. Maka itu, ia harus cari tahu keadaannya Liu Wangwee,
tapi dimana " Ia masih asing dalam deast itu yang baru
pertama kali ia datangi. Ia tidak kurang akal, sebab begitu kawanan jahat itu sudah
bubaran dengan tidak memperhatikan dirinya yang duduk di
pojokan, ia lantas panggil pelayan yang melayani ia untuk
menanyakan keterangan dimana letak rumahnya Liu
Wangwee. Cuaca sementara itu sudah mulai sore. Ia sewa kamar dalam
rumah makan itu yang merupakan juga rumah penginapan.
Ketika hari mulai gelap, ia bikin kunjungan ke rumahnya Liu
Wangwee. Kiranya rumahnya si hartawa Liu itu sekitarnya dikurung rapat
dengan pagar tembok. Tingginya kira-kira satu setengah
tombak. Kim Wan Thauto tidak mau mengunjunginya dengan
terang-terangan sebab kuatir tuan rumah nanti salah sangka
atas kedatangannya yang tiba-tiba itu. Maka pikirnya lebih baik
sebentar tengah malam saja ia kembali lagi bikin penyelidikan.
Oleh karena itu ia lalu pulang ke hotelnya kembali.
Setelah mengisi perutnya lebih dahulu, Kim Wan Thauto lalu
masuk ke kamarnya. Sambil menunggu waktu, ia rebahan. Ketika ia merobah
miring, tiba-tiba ia rasakan ada yang mengganjal. Lantas ingat
akan kotak yang ia rampas dari Kim Popo dalam kantongnya.
Ia lalu merogoh keluarkan, ia main-mainkan ditangannya dan
mencoba membukanya tapi kotak itu tak dapat dibuka. Ia
girang tapi entah apa isinya buku mungil itu, tidak
diketahuinya. Ia menyesal tak ditanyakan itu pada si nenek
bandel. Ia kelihatannya tidak begitu menghargakan kotak itu, maka
ditaruhnya di bawah bantal setelah beberapa lama dimainmainkannya.
Ia kemudian bangun lagi dari rebahannya, ambil buku dari
kantongnya lalu duduk membacanya sampai kemudian ia
mendengar kentongan dua kali dipukul menandakan jam dua
tengah malam. Pikirnya sudah waktunya ia lakukan
penyelidikan. Seketika itu ia keluar dari kamar dengan
mengambil jalan dari jendela supaya tidak mengganggu tamutamu
yang nginap disitu dan bikin curiga pemilik hotel.
Sebentar saja ia sudah sampai di dekat rumahnya Liu
Wangwee. Tidak susah, dengan menggunakan ilmu entengi
tubuh, ia sudah lompat melewati tembok pekarangan dari
rumah hartawan Liu. Rumah itu ternyata berloteng. Pada tingkat satu, ia lihat masih
terang. Apakah masih ada orang yang belum tidur " Tanyanya
pada diri sendiri. Ini kebetulan sekali, pikirnya. Lalu dengan menggunakan
kepandaian memanjat, sebentar saja ia sudah sampai di
loteng tingkat satu. Ia mengintai dari jendela. Ia lihat di
dalamnya ada seorang lelaki yang kira-kira berusia lima
puluhan tengah membaca buku, sedang disampingnya
terdapat seorang gadis yang kira-kira berusia 18 tahun sedang
duduk. Kim Wan Thauto lantas menduga akan Liu Wangwee, ketika ia
mendengar si gadis berkata-kata, "Sudah malam ayah. Untuk
apa urusan demikian dipikirkan."
"Tapi anak Hiang." kata sang ayah. "Kau jangan meremehkan
paman Tan." "Dia toh takut pada ayah, kenapa mesti dipikirkan ?" kata si
gadis lagi. Lu Wangwee tarik napas sambil letakkan bukunya diatas
meja, ia berkata lagi, "Anak Hiang, ayah sudah nasehatkan,
kau jangan suka mengatakan apa-apa tentang paman Tan tapi
kau seenaknya saja omong hingga jadi urusan sekarang.


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana sebenarnya yang menjadi pokok lantaran, coba
kau terangkan. Jangan pakai diumpat-umpatkan.:
"Itulah pada suatu hari," sahut si gadi. "Ketika enci Ciok datang
padaku membujuk aku supaya aku terima lamaran saudara
misannya, si Kongcu ceriwis itu, dia ada menyebut bahwa
kekayaan paman Tan jauh lebih kaya dari pada kita. Hatiku
jadi panas dan meyemprot dia dengan kata, 'Tentu saja
paman Tan lebih kaya lantaran pelihara maling dalam
rumahnya !' Kata-kata ini rupanya disampaikan pada paman
Tan sehingga ia menjadi marah, menegur ayah supaya minta
maaf di depan umum. Aku yang salah, aku yang tanggung
jawab, kenapa ayah dibawa-bawa ?"
Si gadis ketika mengucapkan kata-kata yang paling belakang,
kelihatan marah, menggertakkan giginya, gemas rupanya dia.
"Terang si Ciok mesti adukan kata-katamu yang menyinggung
itu." kata Liu Wangwee. "Karena buat dirinya juga tidak enak,
kau mengatakan pamannya pelihara maling. Paman Tan
sendiri, tidak berani padaku, tapi dia ada punya orang. Dia
kasih tempo buat ayah menghaturkan maaf dalam tempo tiga
hari. Kalau dalam tempo tersebut ayahmu tak memenuhi
permintaannya, dia akan minta kawan-kawannya datang untuk
menghajar ayah. Besok sudah hari ketiga, entah bagaimana
nanti kejadiannya. Kabarnya paman Tan sudah mengundang
kawan-kawannya dan sudah datang tadi siang."
"Siapa yang dia datangkan ?" tanya si anak.
"Kau mana tahu kekejaman paman Tan. Dia sudah datangkan
bala bantuannya, tidak tanggung-tanggung ialah Sucoan Samsat
yang tersohor sangat buas !"
"Tiga algojo dari Sucoan......." menggumam si gadis. "Kalau
ayah takut, biar saja nanti aku yang layani. Baru tiga algojo,
meskipun dia datangkan selusin algojo juga aku tidak takut !"
"Kau punya kepandaian apa ?" tanya si ayah, melengak heran.
"Ayah nanti lihat saja." sahut sang anak. "Sekarang ayah
masuk tidur saja, urusan diserahkan pada aku saja yang nanti
menghadapinya." Liu Wangwee bingung. Bagaimana anaknya begini gagah "
Siapa yang dia bakal andalkan " Dia sendiri yang
menghadapinya, itu tak mungkin sebab ia tahu benar Bwee
Hiang, anak gadisnya tidak punya kemampuan itu. Ilmu
silatnya hanya ia yang ajari, bagaimana dia begitu besar hati
untuk menghadapi musuh berat "
Tapi untuk membuat anak gadisnya senang, ia pun menurut
disuruh masuh tidur, diantar oleh Bwee Hiang.
Kim Wan Thauto diam-diam memuji kegagahan si gadis. Ia
pun angkat jempolnya. Tapi ketika ia mau angkat kaki dari situ,
ia urungkan karena mendengar suara menangis
sesenggukkan. Itulah Bwee Hiang, yang sudah balik lagi dari
mengantarkan ayahnya masuk tidur.
Ia duduk diatas kursi yang barusan diduduki ayahnya,
menangsi sesenggukkan tanpa ada orang yang
menghiburnya. "Aku yang sudah menerbitkan bencana, mengapa ayahku
yang harus bertanggung jawab " Oh, nasib........ibu...... ibu,
kenapa kau sudah meninggalkan aku lebih dahulu ?"
terdengar si gadis berkata-kata sendirian, ia sesambat pada
ibunya yang sudah lama berada di alam baka.
Kim Wan Thauto yang berhati baja, melihat adegan itu tak
dapat mempertahankan kesedihannya. Ia diam-diam merasa
terharu akan nasibnya Bwee Hiang. Kapan ia ingat lagi, ia jadi
heran kenapa si gadis menangis begitu sedang tadi ia lihat
tegas si gadis begitu gagah mengucapkan kata-katanya untuk
tanggung sendiri semua urusan yang mengancam keluarga
Liu. Apa benar si gadis mempunyai kepandaian tinggi untuk
menghadapi Tiga Algojo dari Sucoan "
Sehingga Kim Wan Thauto masih ragu-ragu. Tapi bisa saja
terjadi keanehan-keanehan, maka Kim Wan Thauto pikir
biarlah ia nanti menonton saja apa yang akan dilakukan oleh si
gadis. Malah diam-diam ia berjanji akan membantu si gadis
manakala dipandang perlu. Setelah berpikir demikian, maka ia
lantas berlalu dari tempat mengintainya tanpa diketahui oleh si
gadis yang masih menangis sesenggukkan.
Pada hari esoknya, ada hari penghabisan dari ultimatum yang
dikirimkan pada Liu Wangwee tapi oleh Tan Wangwee
ditunggu-tunggu tidak ada kabar apa-apa dari pihak hartawan
Liu sehingga Tan Wangwee menjadi amat mendongkol.
Oleh karenanya ia lalu himpunkan kawan-kawannya yang
diundang. Dalam desa kunhiang itu, diantara hartawan-hartawan yang
paling menonjol adalah hartawan Liu. Ia mempunyai banyak
pabrik tahu, tenun dan lain-lainnya dimana ia pakai banyak
buruh sebagai pekerjanya. Dengan adanya mata pencaharian
yang dibuka oleh hartawan Liu, maka tidak heran kalau desa
kunhiang menjadi amat ramai. Buruh dari mana-mana pada
datang minta pekerjaan pada perusahaannya Liu Wangwee.
Kawan-kawannya hartawan Liu yang juga dikenal sebagai
hartawan sangat menghormat Liu Wangwee karena ia ini
meskipun kaya juga tidak sombong dan banyak menolong
orang yang dapat kesusahan.
Di antara kawan-kawan Liu Wangwee termasuk juga Tan
Wangwee. Hartawan Tan memang terkenal kaya tapi tidak membuka
perusahaan apa-apa. Orang tidak tahunya mendapat
kekayaan dari mana tapi yang terang kekayaannya makin
bertambah saja sejak anak-anaknya pulang dari tempat lain.
Katanya baru tamat dari belajar silat dan pulang ke rumah
untuk bantu usaha orang tua.
Belum lama Tan Kongcu pulang dari perguruan, dalam desa
kunhiang yang tadinya aman-aman saja, lantas jadi banyak
maling. Hartawan-hartawan yag menetap dalam desat itu
banyak dipreteli kekayaannya oleh maling-maling itu. Itu bukan
maling biasa sebab semua itu dikerjakan oleh satu orang dan
untuk kejadian itu orang desa kunhiang menaakan ia 'Huicat'
atau 'Maling biasa terbang' karena tak dapat diselidiki jejaknya
baik oleh korban-korbannya sendiri maupun oleh pihak yang
berwajib. Yang herannya justru maling terbang itu mengincar
hartawan-hartawan yang 'kaya' saja sebab yang tanggungtanggung
tak pernah mendapat gangguan. Jadi keadaan tidak
aman hanya dialami oleh mereka yang betul-betul hartawan.
Liu Wangwee meskipun ia sendiri belum pernah mendapat
gangguan, dengan sendirinya sebagai ketua kaum hartawan ia
malu hati buat peluk tangan saja. Maka ia kumpulkan kawankawannya
untuk berunding mencari jalan sampai mereka
dapat mengamankan lagi desanya dari gangguan maling.
Belum ada keputusan tentang daya apa dapat diambil untuk
menangkap maling terbang itu, dua hari sejak diadakan rapat
oleh Liu Wangwee, rumahnya sendiri telah didatangi si maling
terbang itu. Ia sendiri tidak menghadapinya tapi gadisnya, Bwee Hiang,
pada malam itu sudah bertempur seru dengan si maling
terbang yang pakai topeng mukanya.
Sudah menjadi kebiasaan Bwee Hiang, ia baharus masuk tidur
kalau ayahnya terlebih dahulu ia antarkan masuk tidur. Maka
ia tidur lebih larut (malam) dari ayahnya. Waktu barusan saja
ia bangkit dari duduknya hendak meninggalkan ruangan baca,
kupingnya yang tajam seperti mendengar ada orang yang
membuka jendela perlahan. Ia pura-pura tidak memperdulikan
itu, terus saja ia jalan. Tapi ia tidak menuju ke kamarnya, tapi
ia membelok ke satu gang yang dapat menembus keluar. Ia
lantas dapat memergoki seorang yang sedang mengintip di
jendela. Si nona segera menduga yang datang adalah maling
terbang. Maka dengan tidak bersuara kakinya menotol lantai,
tubuhnya yang langsing mencelat ke arah orang yang sedang
mengintip tadi. "Maling terbang, akhirnya kau datang juga. " kata si gadis
sekonyong-konyong. Bukan main kagetnya orang itu sebab segear ia berkelit ke
kanan dengan gugup mengelak serangan Bwee Hiang yang
membarengi kata-katanya tadi.
Itulah kejadian di atas loteng tingkat satu.
Si maling terbang tidak membalas serangan si gadis, hanya ia
lompat ke atas genteng. Enteng sekali tubuhnya, menghampiri
loteng tingkat dua. Ia mengira kegesitannya sudah tidak ada
taranya, tapi bukan main kagetnya ketika ia barusan saja
menginjak genteng terdengar pula suaranya Bwee Hiang,
"Kau mau lari " Hmm ! Tamu datang tidak disambut, itu tidak
hormat !" Si maling lantas putar tubuhnya, sekarang ia berhadapan
dengan si gadis yang tersenyum mengejek kepadanya.
Sungguh ia tidak mengira, kalau Bwee Hiang dapat
menandingi kegesitannya, malah kelihatan lebih gesit lagi.
Bwee Hiang ketika jalan keluar hendak pergoki si maling, ia
sudah sembat pedang yang biasa ia pakai dalam latihan
dengan ayahnya. Dengan senjata itu ia tunjuk si maling sambil
berkata, "Hui cat, kau tak akan lolos dari aku !"
Si maling tidak menjawab, hanya ia lantas menghunus
pedangnya. "bagus !" kata Bwee Hiang, "Mari kita main-main !"
Kata-katanya ditutup dengan serangan pada dua jurusan.
Pertama, ujung pedang si nona seperti menyerang
tenggorokan, ketika si maling bertopeng menangkis, ia tarik
pedangnya supaya jangan bentrok dengan senjata lawan,
lantas diteruskan menusuk pada 'kiok-ti-hiat', jalan darah di
bagian pundak kiri untuk sekalian menyontek tulang pundak
orang. Gerakan ini dilakukan dengan cepat laksana kilat, salah
satu jurus yang hebat dari Bwee Hoa Kim Hoat (Ilmu silat
pedang kembang bwee) yang dinamai 'Hoa kay beng goat'
atau 'Kembang mekar memandang rembulan'.
Tapi si maling bertopeng cukup gesit.
Melihat tangkisannya luput sebab pedang lawan cepat ditarik
pulang, pundaknya yang di arah si nona ia elakkan dengan
turunkan pundaknya sedikit hingga ujung pedang tak dapat
sasarannya. "Aha, boleh juga !" kata Bwee Hiang melihat serangannya
yang ditujukan pada dua arah luput semua. Berbareng, ia pun
lantas menyerang pula dengan jurus-jurus yang mematikan.
Pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar ke arah jalan
darah lawan sehingga merupakan tekanan yang berat bagi si
maling terbang. Apalagi pikirannya tidak mau melayani si nona
lama-lama. Maka begitu ia mendapat lowongan, lantas enjot
tubuhnya mencelat mundur ke tepi genteng rumah, dari mana
dengan ilmu entengi tubuh ia loncat ke genteng rumah tingkat
satu akan terus loncat ke bagian bawah, lari menghampiri
tembok pekarangan. Tubuhnya enteng sekali diwaktu ia
melompati tembok pekarangan rumah Liu Wangwee, dari
mana ia teruskan larinya ke arah barat dan melenyapkan diri
dalam sebuah rumah besar.
Maling itu mengira dirinya tidak dikejar si nona karena
beberapa kali ia menoleh ke belakang tidak nampak bayangan
yang mengejar apalagi mendengar suaranya si nona. Tapi ia
salah hitung. Ia boleh gesit dan dapat menghilang bagaikan
setan kalau kepandaiannya itu dihadapkan pada orang biasa
atau ilmu silatnya hanya ilmu silat pasaran saja. Tapi kali ini ia
menghadapi Bwee Hiang yang kegesitannya cukup tinggi.
Tentu saja jejaknya tak luput dari kuntitan si nona.
Ketika ia menghilang dalam rumah besar tadi, tiba-tiba Bwee
Hiang berdiri tertegun. Sebab rumah itu adalah rumah Tan
Wangwee. Ia lantas menduga bahwa Tan Wangwee dalam
rumahnya ada pelihara maling, makanya kekayaannya dengan
tentu meningkat tanpa orang mengetahui dari mana
sumbernya. Si gadis pulang lagi ke rumah. Pikirannya makin yakin bahwa
Tan Wangwee telah pelihara maling. Maka ketika keesokan
harinya ia ketemu ayahnya, lantas ia menceritakan
pengalamannya semalam. Sang ayah terkejut juga mendengar
cerita anaknya, lantas ia berkata, "Anak Hiang, kau sudah tahu
rahasianya paman Tan, harap kau jaga mulutmu jangan
sampai mengeluarkan kata-kata yang bisa menyinggungnya.
Paman Tan segan dan menghormatku karena dia tahu aku
ada seorang yang dipandang tinggi oelh penduduk kunhiang
dan dia tahu juga aku berkepandaian tidak rendah dalam ilmu
silat. Tapi kalau kita membuat gara-gara menyinggung
kehormatannya, dia tentu akan pandang lagi padaku. Dia
dapat datangkan kawan-kawannya dari golongan jahat untuk
menghadapi aku karena dia sendiri tidak berani untuk
berurusan langsugn dengan aku. Ingat, anak Hiang !"
Bwee Hiang mengiakan atas nasehat itu. Tapi ia lupa ketika
Cok Ciok, teman mainnya yang menjadi keponakan Tan
Wangwee membanggakan kekayaannya hartawan Tan di atas
kekayaan keluarga Lu. Hatinya panas seketika dan
mengatakan tentu saja Tan Wangwee lebih kaya karena
dalam rumahnya ada pelihara maling. Kata-kata inilah yang
menjadi 'urusan' sehingga Tan Wangwee mengundang
Sucoan Sam-sat yang sangat kesohor kebuasannya untuk
menghadapi Liu Wangwee. Dalam pertemuan dengan tamu-tamu undangannya, Tan
Wangwee menanyakan pikiran mereka bagaimana mereka
akan bertindak kalau sampai nanti malam masih belum terima
kabar dari Liu Wangwee. Giam-ong Puy Teng dan Sin-mo Lie
Kui ada orang-orang kasar, mereka tidak dapat mengeluarkan
pikiran yang baik, maka diminta pikirannya Mo-jiauw Teng
cong, si Cakar Setan yang banyak akalnya untuk mengusulkan
sesuatu untuk kebaikannya Tan Wangwee.
"Menurut pikiranku," kata Mo-jiauw Teng Cong, "Kalau nanti
malam Liu Wangwee tidak kirim orang mengabarkan apa-apa
kepada kita, sebaiknya kita datangi rumahnya untuk minta
keputusan. Kalau dia lulusi permintaan Tan-heng yaitu
bersedia untuk minta maaf dihadapan umum, kita bikin habis
saja urusan ini. Kalau tidak, baik nanti kita lihat gelagat
bagaimana, kalau perlu kita gunakan kekerasan untuk
menaklukinya." "Ah, kau terlalu bertele-tele." kata Puy Teng Toako dari
Sucoan Sam-sat. "Kau benar Toako, jiko terlalu berliku-liku. Kita ambil jalan
pendek saja, kalau nanti dia tidak mau meluluskan permintaan
Tan-heng, kita habisi saja jiwanya !" Sin-mo Lie Kui
menyatakan pikirannya. "Kita harus pakai jalan lunak dahulu, kalau bisa kita jangan
sampai bertempur dengan dia." Mo-jiauw perkuatkan usulnya.
"Memangnya Jie-te takut ?" tanya Puy Teng, si toako.
"Hahaha......!" Sin-mo Lie Kui tertawa. "Biasanya Jiko paling


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani, mengapa disini menghadapi Liu Wangwee saja jadi
ketakutan ?" Tan Wangwee sementara itu tinggal membungkam. Begitu
juga dengan Tan Kongcu, anaknya yang disuruh mengundang
Sucoan Sam-sat. Mo-jiauw Teng Cong jadi serba salah.
Si Cakar Setan memang ada sedikit jeri, seelah ia cari
keterangan bahwa Liu Wangwee selainnya ia sendiri ilmu
silatnya tidak renah, juga ada anak daranya yang membantu.
Kabarnya hartawan Liu itu juga banyak mempunyai sahabat
dalam Bu-lim. Menurut pikirannya, lebih baik digunakan jalan damai saja.
Keterangan yang ia dapat itu tidak ia beritahukan kepada dua
kawannya karena kuatir ia dikatakan pengecut. Tapi akhirnya
si Setan Sakti Lie Kui telah mengatakan juga hingga membuat
ia jadi serba salah. Belum ia dapat menyatakan pikirannya lagi, tiba-tiba Tan
Wangwee berkata, "Memang, untuk menaikkan pamornya
Sucoan Sam-sat, lebih baik ambil jalan pendek saja."
"Kau maksudkan apa jalan pendek itu ?" tanya Mo-jiauw Teng
Cong. "Kalau Liu Wangwee tidak mau menurut perintahku, lebih baik
jiwanya dihabiskan saja." jawab Tan Wangwee.
Mo-jiauw Teng Cong kalah suara, maka selanjutnya ia
membungkam. Demikianlah, ketika sang malam tiba belum juga diterima
kabar apa-apa dari pihak hartawan Liu, maka tiga algojo dari
Sucoan itu, diiringi oleh Tan Kongcu telah menyatroni
rumahnya Liu Wangwee. Tan Wangwee sendirian tidak turut
karena ia malu hati kalau sampai dirumahnya Liu Wangwee ia
mesti tarik urat dengan tuan rumah.
Di pekarangan rumah, kedatangan mereka disambut oleh Liu
Wangwee sendiri. Tuan rumah kelihatan ramah tamah, sedang pihak tamu
sangat sombong sikapnya. Tidak termasuk Mo-jiauw yang pandai menggunakan otaknya.
Ia melihat Liu Wangwee bertubuh sedang tingginya, agak
gemuk, memelihara jenggot yang bagus ! Romannya
berwibawa, keras wataknya meskipun kelihatannya ia sangat
ramah tamah. Tamu-tamu diundang masuk ke ruangan tengah, dimana
sudah disiapkan barang hidangan seperlunya. Rupanya
hartawan Liu sudah menduga akan kedatangannya mereka,
maka ia sudah suruh pelayan-pelayannya mengadakan meja
perjamuan sederhana. Tan Kongcu dan Lie Kui yang lagaknya paling tengik.
Terutama Tan Kongcu yang seolah-olah membanggakan para
pahlawannya, amat menyebalkan tingkahnya.
"Aku tidak melihat ayahmu turut datang, dimana dia, anak Sin
?" tanya Liu Wangwee pada Tan Kongcu ketika mereka sudah
sama-sama ambil tempat duduk.
Tan Kongcu pelototkan matanya sebelum ia menjawab
pertanyaannya Liu Wangwee.
Di waktu dalam keadaan biasa, dua keluarga (Liu dan Tan)
ada baik satu dengan lain, malah Liu Wangwee tidak melarang
Tan Kongcu sesudah masing-masing meningkat dewasa untuk
datang ngomong-ngomong dengan Bwee Hiang, puterinya,
karena Tan Kongcu teman sepermainan si nona di waktu
mereka masih kecil. Jadi persahabatan keluarga Tan dan Liu itu sudah sejak lama.
Apa mau sekarang terbit bentrokan yang sesungguhnya amat
disayagnkan. Sebenarnya Tan Wangwee sendiri segan
bentrokan dengan Liu Wangwee karena urusan tersebut
hanya persoalan kecil saja. Tetapi lantaran adanya
hasutannya Tan Kongcu, anak muda itu sangat gemas pada
Bwee Hiang yang menolak menjadi isterinya malah
menghinanya bahwa dalam rumahnya ada pelihara maling.
Panggilan Liu Wangwee pada Tan Kongcu biasa saj,
memanggil namanya sebagai juga orang tua itu memanggil
anaknya sendiri. Setelah pelototi Liu Wangwee, Tan Kongcu menjawab, "Ayah
tidak perlu ketemu paman. Dia bilang kalau paman mau kasih
kabar, katakan saja padaku."
Jawaban yang amat kurang ajar, malah matanya pakai melotot
segala. Tapi Liu Wangwee tidak jadi marah. Ia tetap sabar.
"Anak Sin," kata Liu Wangwee. "Jawabanku singkat saja. Aku
dapat mohon maaf pada ayahmu, tapi tidak dihadapan umum."
"Hmm ! Justru ini kita tidak mau terima !" kata Liung Sin
mendengus. "Habis, kau mau apa ?" tanya Liu Wangwee, jadi habis sabar
rupanya melihat sikap yang tengik dari si anak muda ceriwis
menurut Bwee Hiang. Melihat keadaan sudah mulai panas, Mo-jiauw Teng Cong
menyela, "Liu Wangwee, kedatangan kami kesini adalah
hendak mendamaikan urusan bukan hendak mencari ribut
dengan keluarga saudara Liu. Aku pikir, sebaiknya saudara
Liu mengalah saja dan suka memohon maaf di depan umum.
Dengan begitu urusan menjadi beres."
"Saudara ini siapa ?" tanya hartawan Liu yang pura-pura tidak
tahu. "Mereka adalah Giam-ong Puy Teng." jawab Teng Cong
seraya menunjuk pada saudara tuanya. "Aku sendiri bernama
Teng Cong, sedang dia adalah Sin-mo Lie Kui. Kami bertiga,
entah bagaimana anggapan orang dalam dunia Kangouw,
telah mendapat julukan Su-coan Sam-sat. Julukan ini dilebihlebihi."
Liu Wangwee angguk-anggukkan kepalanya sambil mengurut
kumisnya yang panjang. "Jiko, untuk apa banyak omong. Lekas, bikin beres saja !" kata
Sin-mo Lie Kui sambil matanya melotot pada Liu Wangwee.
Hartawan Liu berlagak pilon atas sikapnya si berewok jahat.
"Aku sudah katakan," kata Liu Wangwee. "Apakah saudara
Teng tidak dengar jawabanku pada anak Sin barusan ?"
"Brak !" tiba-tiba terdengar suara piring mangkok di atas meja
beterbangan. Sayur pada tumpah berlelehan gara-gara Giamong
Puy Teng yang menggebrak meja dengan telapak
tangannya yang besar. "Kepala batu !" bentaknya pada tuan
rumah. "Aku mau lihat kepandaian apa yang kau mau
perlihatkan dihadapan Sucoan Sam-sat !"
Teng Cong tidak setuju dengan kelakuan Sang Toako yang
berangasan itu tapi perbuatannya sudah terjadi, maka ia
tinggal menanti reaksi dari tuan rumah saja.
Meskipun Liu Wangwee tidak senang akan kelakuannya si
mata satu, ia masih bisa menahan sabar. Katanya, "Aku si tua
tidak berguna lagi tapi untuk melayani kau seorang kasar,
rasanya masih belum tentu !"
"Kau berani sama Sucoan Sam-sat ?" bentak Puy Teng,
marah dia. "Sucoan Sam-sat lain, tapi dengan kau, aku tidak tinggal lari !"
sahut tuan rumah. Puy Teng bangkit dari duduknya. Ia tertawa gelak-gelak sambil
katanya, "Mari, mari diluar kita coba." berbareng tubuhnya,
enteng sekali, melesat ke arah pintu.
Liu Wangwee tidak takut. Ia pun bangkit dari duduknya, lantas
jalan keluar. Di pekarangan ia lihat Puy Teng sudah berdiri
menanti. Tidak sampai tarik urat lagi, mereka telah berhadapan, lantas
bergebrak. Teng Cong dan Lie Kui tidak berani datang mengeroyok Liu
Wangwee karena mereka tahu akan adatnya sang toako.
Kalau ia belum kalah belum mau dibantui saudarasaudaranya.
Maka juga mereka tinggal menonton saja.
Dua macan berkelahi, tentu saja sangat ramai.
Liu Wangwee mainkan 'Bwee Hoa Ciang Hoat' atau 'Ilmu
pukulan kembang bwee', sedang dipihaknya Giam-ong Puy
Teng menggunakan 'Eng-jiauw-kang' atau 'Tenaga Kuku
Garuda' untuk melayani lawan. Liu Wangwee mendesak
lawannya dengan pukulan-pukulan halus tapi mantap, tapi
dilayani dengan sambaran tangan yang keras berat oleh
Giam-ong Puy Teng yang menggunakan ilmu pukulan Eng
jiauw kang. Tidak kecewa Giam-ong Puy Teng sebagai toako
dari Sucoan Sam-sat karena ilmu pukulannya itu saban-saban
membuat lawannya tergetar. Dari berimbang, pelan-pelan
tampak Liu Wangwee keteter.
Liu Wangwee merasa cemas dengan kepandaiannya karena
ia yakin bahwa ia bukan tandingannya Giam-ong Puy Teng.
Dalam keadaan yang cemas itu, hatinya menjadi makin cemas
ketika ia mendengar beradunya senjata dan melihat puterinya
Bwee Hiang sudah bergebrak dengan Tan Kongcu.
Ia menguatirkan keselamatan puterinya yang tersayang itu,
maka perlawanan yang diberikan pada musuhnya tidak
sebagaimana mestinya. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba
berkelebat tangannya Giam-ong Puy Teng hendak
mencengkeram dadanya, ia geser kaki kirinya berkelit dari
cengkerama ke arah dada, tapi ia lupa datangnya tangan kiri
musuh yang menjambret pinggangnya. Tanpa ampun lagi ia
terkulai roboh setelah menjerit perlahan. Giam-ong Puy teng
telah menggunakan tipu pukulan 'Say pek sie' atau 'Terkaman
singa' untuk mreobohkan lawannya.
Jeritan Liu Wangwee diwaktu terkulai roboh disusul jeritan lain
ialah jeritan Tan Kongcu yang tulang pundaknya kena disontek
ujung pedang Bwee Hiang. Setelah merobohkan lawannya, Bwee Hiang lantas enjot
tubuhnya mencelat ke arah tempat ayahnya bertempur. Tapi
sudah terlambat karena ayahnya sudah roboh dan tidak
bangun lagi. Alisnya si nona berdiri, saking gusarnya ia
membentak Giam-ong Puy Teng, "Manusia jahat, kau apakan
ayahku " Aku akan adu jiwa denganmu !"
Kata-katanya ditutup dengan serangan pedangnya yang
tajam. Tapi Giam-ong Puy Teng bukannya Tan Kongcu sebab
dengan satu elakan saja pedang si nona menemui sasaran
kosong. Ketika ia tarik pulang pedangnya hendak menyerang
lagi, di depannya sudah ganti orang. Itulah si berewok Lie Kui
yang bengis. "Nona manis, kau jangan main-main dengan toakoku. Untung
dia tidak biasa layani bangsa perempuan. Kalau tidak, hmm !
Jangan harap mukamu yang cantik akan tetap utuh !"
Itulah kata-kata Sin-mo Lie Kui yang enak untuk si berewok
sendiri tapi tidak enak untuk telinganya si nona. Tidak heran
kalau Bwee Hiang menggerang disusul dengan serangan
pedangnya ke arah orang punya jalanan makanan
(kerongkongan) tapi si setan sakti sambil ketawa haha hehe
berkelit, "Nona manis jangan galak-galak !" menggoda si muka
berewok. Bwee Hiang makin meluap amarahnya, pedangnya
menyambar-nyambar tapi si berewok hanya berkelit sana sini
tanpa melakukan serangan membalas. Malah menggodainya
makin menjadi membuat si nona tak dapat mengendalikan
amarahnya. Ia menempur dengan serangan-serangan nekad,
justru inilah kesempatan untuk si berewok berlaku ceriwis,
coba ulurkan tangan untuk menyolek pipi yang putih dari Bwee
Hiang. Untung Bwee Hiang masih awas, ia dapat menyelamatkan
mukanya dari colokan Lie Kui yang kurang ajar. Ketika di lain
saat si berewok mau menyolek lagi, ia babat tangan orang
tersebut dengan pedangnya hingga si ceriwis amat kaget,
kalau tidak secepat kilat ia tarik pulag tangannya yang bangor.
"Jangan kejam-kejam, nona," ia menggodai Bwee Hiang.
(Bersambung) Jilid 04 Kepandaian si nona ketinggalan jauh dibandingkan dengan
Sin-mo Lie Kui. Maka ia kena digocok sana sini hingga Tan
Kongcu yang menonton di pinggiran menjadi tertawa terbahakbahak
meliha si nona sudah mandi keringat meskipun ia
sendiri waktu itu menderita rasa sakit bukan main pada luka
dipundaknya karena barusan kena disontek pedangnya si
nona yang tajam. "Nah, rasakan sekarang pembalasanku, digecek mampus kau
oleh samko !" Tan Kongcu mengejeki si gadis yang sedang
kepayahan. Lama-lama si nona menjadi lelah, kata-kata si Kongcu ceriwis
menusuk hatinya, membuat hatinya sangat pedih. Pikirnya,
daripada ia bakal terima hinaan orang-orang jahat itu, lebih
baik ia ambil keputusan nekad. Bunuh diri !
Tiba-tiba si gadis melompat dari arena pertempuran, seraya
berkata, "Tahan !"
"Kau mau bicara apa, nona manis ?" tanya Lie Kui, haha hehe
tertawa. Algojo Algojo Bukit Larangan 1 Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah Penguasa Gunung Lanang 1
^