Pencarian

Bocah Sakti 5

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 5


cepat sekali pada 'siang-yang-hiat', jalan darah di jari telunjuk
lawan yang mau mengorek matanya.
'Nyer !' rasanya ketika telunjuknya kena disentil. Ma Liong
rasakan kesemutan dan ngilu. Tapi ia ada jago silat yang
keras kepala dan bandel, hanya sebentar saja ia sudah dapat
membebaskan rasa kesemutan dan ngilu.
"Nenek maling !" bentak Hek-houw Ma Liong gemas tapi agak
jeri juga melihat si nenek sangat lihai. Dua serangannya yang
dahsyat dapat dipatahkan dengan mudah, malah ia hampir
dirobohkan dengan totokan 'siang-yang-hiat'. "Aku tidak
bermusuhan dengan kau. Kenapa kau mau mencelakakan
keluarga Ma ?" tanya Ma Liong.
"Aku tidak pernah mencelakakan keluarga Ma, aku hanya mau
ajak anak gadismu untuk menjadi pelayannya Kim Coa
Siancu....." jawab Ang Hoa Lobo tenang-tenang. Tapi ia tak
dapat meneruskan kata-katanya karena lantas dipotong oleh
Ma Liong, "Hah ! Apa kau kata " Kim Coa Siancu " Siapa kau,
apa kau Kim Coa Siancu sendiri ?"
"He he he !" tertawa Ang Hoa Lobo yang melihat Hek-houw Ma
Liong seperti yang ketakutan mendengar disebut Kim Coa
Siancu. "Aku bukannya Kim Coa Sincu, tapi aku ada
suruhannya saja. Kepandaianku amat rendah, beda jauh
dengan majikan Kim Coa Siancu yang dapat pergi dan pulang
dengan hanya berkesiur angin saja. Tak seorang pun dapat
melihat bayangannya kalau dia memasuki rumah orang."
(Bersambung) Jilid 05 Hek-houw Ma Liong terkejut. Pikirnya, orang suruhannya
sudah begini lihai. Sudah terang si nenek tidak ngebohong
kalau Kim Coa Siancu sendiri ada jauh lebih lihai dari
padanya. Meskipun sangat jeri, ia tidak ingin kehilangan anak
gadisnya. Begitu melihat Ang Hoa Lobo sudah menyentuh
pula tubuh anak gadisnya, hendak diangkat. Lantas ia kalap.
Ia terjang si nenek dengan pukulan maut, tapi Ang Hoa Lobo
hanya geraki badannya sedikit, lantas tangan kanannya
diulurkan untuk menangkis. 'Krak' segera terdengar satu
suara, berbareng si Macan Hitam lompat mundur sambil
pegangi tangan kirinya yang telah patah tulangnya.
Tiba-tiba tiga sosok tubuh sudah menyerbu masuk. Mereka
ternyata murid-muridnya Ma Liong. Si guru silat melihat
kedatangan murid-muridnya bukannya girang malah ia jadi
ketakutan karena ia sudah perhitungkan, mereka bukan
tandingannya si nenek. Ia hendak membuka mulut mencegah tapi sudah terlambat
karena Gouw Liu Pa yang berangasan sudah menerjang Ang
Hoa Lobo dibantu oleh Hoan Tek Huy sedang Ma Kian
menolong ayahnya yang dalam semaput kesakitan.
Ang Hoa Lobo pikir tidak seharusnya ia membuang-buang
waktu, maka ketika si berangasan Gouw Liu Pa mengulur
tangannya ke arah dada, ia menyampok dengan tangan
bajunya yang berisi lwekang. Tentu saja si berangasan tidak
tahan. Kedua lengannya ia rasakan seperti copot. Si nenek
susul dengan totokan ke iga kiri sehingga Gouw Liu Pa
seketika itu juga roboh di lantai.
Tek Huy melihat kawannya hanya segebrakan saja
dirobohkan, hatinya panas lalu menerjang Ang Hoa Lobo. Si
nenek berkelit ke samping, dari mana jarinya yang kurus diulur
meluncur menotok 'ceng-leng'hiat' di lengan kanan Tek Huy
sehingga merasakan lengan yang tertotok itu kesemutan dan
ngilu kemudian ia pun roboh terkulai seperti Gouw Liu Pa.
Ma Kian terkejut. Apa mau, sebelum ia turun tangan, dengan
kegesitannya si nenek sudah mendahului si anak guru silat,
menotok 'thian-ki-hiat' di iga kanan. Lantas Ma Kian juga roboh
seperti teman-temannya. Serangan is nenek tak puas sampai
disitu sebab segera menyusul si guru silat Ma Liong sendiri
dibikin mendeprok di lantai karena totokan si nenek yang lihai.
"Hehehe !" terdengar Ang Hoa Lobo tertawa ketika melihat
musuh-musuhnya sudah dirobohkan semua. Ia menghampiri
pembaringan Sian Bwee, membungkus tubuh si dara yang tak
bergerak karena ditotok lalu diangkat lantas dipanggul dibawa
pergi dari situ. "Aku hanya menotok tidak berat. Maka dalam
tempo tidak lama kalian sudah bebas pula dari totokan.
Hehehe....!" demikian si nenek meninggalkan kata-katanya
ketika ia mau berjalan pergi membawa Sian Bwee.
Si Macan Hitam Ma Liong dan ketiga muridnya hanya matanya
saja dapat bergerak-gerak mengawasi si nenek, mulutnya tak
dapat membuka suara untuk mencaci atau meminta belas
kasihannya Ang Hoa Lobo supaya jangan membawa Sian
Bwee. Adalah pada saat si nenek menginjakkan kakinya ditanah,
barusan lompat dari atas genteng rumah tiba-tiba ia dibikin
kaget dengan teguran dari belakangnya, "Jalan perlahan
sedikit, orang tua. Jangan tergesa-gesa !"
Ang Hoa Lobo cepat menoleh, kiranya yang berkata-kata tadi
adalah seorang perempuan usia kira-kira 40 tahun. Mukanya
bundar, alisnya lentik, tingginya sedang, cantik wanita itu,
sedang ditangannya ada mencekal sebatang pedang yang
siap untuk digunakan dimana perlu.
"Kau siapa ?" tanya Ang Hoa Lobo.
Wanita itu ketawa manis sebelum menjawab, "Aku adalah
nyonya dari rumah ini." kemudian sahutnya, suaranya halus
terang. "Oh, jadi kau ada nyonya Ma ?" tanya Ang Hoa Lobo pula.
"Tidak salah, aku adalah nyonya Ma.' sahutnya. "Ingin aku
menanyakan sebab apa kau orang tua mencari perkara
dengan keluarga kami disini ?"
"Heheheh !" tertawa Ang Hoa Lobo. "Soalnya aku mau
membawa anak gadismu dirintangi oleh suamimu. Kalau tidak,
tak akan aku menganggu ketentramanmu."
Nyonya Ma bersenyum tawar. Alisnya tampak berkerut,
"Meskipun kau sudah mengacau dalam rumahku, melukai
suamiku dan menotok rubuh tiga muridnya, tidak aku tarik
panjang. Kau boleh berlalu dengan tenang asal kau tinggalkan
itu bungkusan yang digemblik dipunggungmu. Akur ?" kata si
nyonya Ma. Diam-diam si nenek merasa heran. Ia mengawasi wanita
cantik, pikirnya, bisa ada orang yang sikapnya begini tenang
menghadapi musuh yang sudah timbulkan kerugian. Ucap
katanya begitu merendah, seharusnya si nenek mengalah dan
kembalikan bungkusan gede itu kepada nyonya Ma, tapi dasar
watak si nenek mau unggul saja, tidak mau ia pulang dengan
tangan kosong. Maka ia lalu menjawab, "Seharusnya aku
menurut apa kau katakan, cuma dalam menjalankan perintah
Kim Coa Siancu, siapa yang berani membantah " Inilah yang
menjadikan aku keberatan......."
Ia tutup kata-katanya sambil putar tubuhnya, disusul dengan
satu lompatan jauh untuk lantas meninggalkan si wanita
cantik. Tapi niatnya si nenek tidak kesampaian sebab
dibelakangnya lantas terdengar pula nyonya Ma berkata,
"Kalau begitu, marilah kita main-main untuk menetapkan siapa
unggul !" Kapan Ang Hoa Lobo balik tubuhnya, lantas ia menghampiri
nyonya Ma yang sudah siap dengan pedangnya. Melihat
caranya si nyonya menyusul ia yang lari menggunakan ilmu
larinya yang istimewa dengan mudah saja dapat membayangi
dirinya, maka Ang Hoa Lobo menduga bahwa wanita ini
bukannya lawanan empuk. Maka itu ia lalu turunkan
bungkusannya yang berisi Sian Bwee kemudian menghadapi
nyonya Ma, ia berkata, "Jika kau inin main-main, tidak ada
halangannya kita mencoba beberapa jurus !"
Toya besinya si nenek sudah disiapkan di tangan kanan.
"Bagus !" kata nyonya Ma. "Nah, sambutlah seranganku !" ia
menyambung tanpa ada tawar menawar lagi dalam hal siapa
lebih dahulu menyerang. Rupanya nyonya Ma sangat
mendongkol atas kelakuannya si nenek, meskipun sudah
dilayani dengan kerendahan juga masih kepala batu saja.
Dua jago betina segera sudah bertempur seru.
Ilmu pedang nyonya Ma baik sekali hingga Ang Hoa Lobo
berhati-hati melayaninya. Salah sedikit saja ia bisa
dipecundangi dan habislah cita-citanya untuk membangun
Ang-hoa-pay (Partai Kembang Merah). Maka itu si nenek
Kembang merah melayani nyonya Ma dengan sungguhsungguh
hingga pertarungan menjadi seru.
Si wanita cantik (nyonya Ma) adalah puteri tunggal dari Siangtauw-
niauw Kam Eng Kim, namanya Lian Eng dan mendapat
julukan 'Lengkoan Giok-li' atau 'Wanita elok dari kota
Lengkoan'. Selain kesohor kecantikannya, juga kesohor ilmu
pedangnya yang hebat. Maklumlah puteri tunggal dari si Burung Kepala Dua yang
terkenal dalam propinsi Hokkian, semua kepandaiannya yang
ada diturunkan pada Lian Eng sehingga si juwita dari
Lengkoan itu menjadi jago betina yang belum menemukan
tandingannya. Kepandaiannya itu ada setingkat lebih tinggi
dari Hek-houw Ma Liong yang menjadi suaminya atau murid
kepala dari Siang-tauw-niauw Kam Eng Kim.
Pertempuran antara Lian Eng Kam dan Ang Hoa Lobo benarbenar
ramai. Pedangnya Lian Eng berkelebatan mencari
sasaran penting pada tubuh si nenek. Sebaliknya, Ang Hoa
Lobo dengan toya besinya yang berat, berputaran dan toyanya
menyambar-nyambar keluarkan suara menderu-deru. Diamdiam
Lian Eng berpikir, orang suruhannya begini lihai,
bagaimana dengan Kim Coa Siancu sendiri kalau menyatroni
rumahnya " Lengkoan Giok-li lalu merangsek. Pedangnya berputar
sebentaran lalu dengan gerakan kilat ia menikam ke arah
tenggorokan Ang Hoa Lobo. Ini ada gerakan 'Giok li touw
kang' atau 'Wanita elok menyeberang sungai', salah satu jurus
yang penting dari Liu-su Kian-hoat atau ilmu silat pohon Liu,
yang menjadi kebanggaan ayahnya.
Biasanya Lian Eng belum pernah gagal menggunakan tipu
'Giok li touw kang', tapi kali ini yang dihadapi adalah Ang Hoa
Lobo. Terang tak semudah yang ia alami sebelumnya. Melihat
pedang hendak menikam 'jalan makanan', si nenek menaiki
badannya, toyanya dipegang dengan dua tangan dilintangi
menangkis serangan, kaki kanannya berbareng bekerja
menyapu kaki Lengkoan Giok-li. Ini adalah gerakan 'Liong
pang heng ouw' atau 'Toya naga melindungi telaga'.
Melihat serangan gagal, malah kakinya hampir disapu si
nenek, cepat Lian Eng ganti serangannya dengan 'Peng ouw
se ie' atau 'Hujan gerimis ditengah telaga'. Pedangnya susul
menyusul mengarah mta, tenggorokan, pundak dan
sebagainya. Cepat gerakan pedang itu hingga kalau bukan
Ang Hoa Lobo yang ilmu toyanya tinggi, siang-siang ia sudah
dapat dirobohkan oleh si jago betina dari kota Lengkoan. Si
nenek tahu bahayanya serangan musuh lalu memutar
toyanya, dibarengi dengan suara ketawanya yang melengking,
menggunakan tenaga dalamnya untuk membuat kacau pikiran
musuhnya yang sedang hebat menyerang. Inilah salah satu
jurus Ang Hoa Lobo yang paling ampuh yang dinamai 'Yu lim
mo siauw' atau 'Di rimba sunyi iblis tertawa'.
Benar saja, tipu silat si nenek membawa efek buruk bagi Lian
Eng. Sebab seketika ia mendengar suara tertawa yang seram
melengking, pemusatan pikirannya jadi terganggu. Hatinya
tergetar oleh suara tawa Ang Hoa Lobo, serangannya jadi
kacau. Kelemahan ini tidak disia-siakan oleh si nenek, toyanya
yang berputar tadi berganti arah, nyelonong ke 'hoa-kay-hiat',
jalan darah di bagian pundak kiri Lian Eng, kontan si wanita
cantik terkulai roboh. Ia rasakan totokan ujung toya si nenek
melumpuhkan lengan kirinya. Tangan kanannya masih
mencekal pedang tapi tak dapat digerakkan karena
kelumpuhan itu dari lengan kiri menjalar ke lengan kanan.
Tidak heran kalau pedangnyajatuh dengan sendirinya dan ia
mendeprok di tanah tak berdaya.
"Hehehe !" tertawa si nenek. "Bagaimana nyonya Ma yang
botoh ?" Ang Hoa Lobo berkata sambil bekerja, angkat dan panggul
pula bungkusan gede yang terisi Sian Bwee. Setelah selesai
dan tinggal berangkat, ia berkata pada Lian Eng, "Nyonya Ma,
kau tak usah kuatir. Anakmu akan kupelihara seperti anak
sendiri. Dia akan menjadi pelayannya Kim Coa Siancu.
Belakangan hari, kalau berjumpa pula dengannya, kau akan
kegirangan sebab ilmu silatnya akan berada diatas kalian
suami istri. Nah, selamat tinggal........"
Setelah melemparkan senyumannya yang tidak enak dilihat, si
nenek meninggalkan nyonya Ma yang tidak berdaya.
Lengkoan Giok-li mengawasi berlalunya Ang Hoa Lobo
dengan berlinang-linang air mata. Ia sangat berduka dan
penasaran anak gadisnya digondol orang tapi ia tak dapat
menolongnya......... Sudah lama kita tinggalkan Kim Popo. Marilah kita lihat si
nenek bandel dengan pacarnya The Sam. Bagaimana
perbuatan mereka untuk dapat merebut kembali kotak yang
berisi buku Tiam-hiat Pit-koat yang berada di tangan Kim Wan
Thauto. Belum lama Kim Wan Thauto sampai di Kunhiang, mereka
juga sudah datang menyusul dan dari kejauhan
memperhatikan gerak gerik dari si Thauto beranting emas.
Kim Popo tidak ambil tempat di rumah penginapan An Goan,
dimana Kim Wan Thauto menginap. Ini untuk menjaga jangan
sampai ia dikenali oleh Kim Wan Thauto sedang The Sam, ia
suruh ambil di rumah penginapan An Goan untuk
memperhatikan gerak gerik Thauto dimana bila ada
kesempatan The Sam boleh turun tangan untuk merampas
pulang kotak mungil berisi kitab pelajaran menotok jalan darah
yang amat berharga. The Sam menurut perintah pacarnya.
Tidak berani The Sam menghadapi Kim Wan Thauto dengan
terang-terangan. Maka ia menunggu sampai si Thauto lenah,
baru ia akan turun tangan. Pada malam kedua meliaht gerak
gerik Kim Wan Thauto pada waktu makan malam, The Sam
yang lihai matanya dapat menduga bahwa Kim Wan Thauto
sedang menghadapi suatu urusan, pikirnya, pasti ia akan
keluar lagi sebentar tengah malam. Ia sudah menduga pasti si
Thauto akan ambil jalan dari jendela kamarnya. Supaya
jangan bikin kaget orang, maka malam itu ia terus pasang
mata ke jurusan jendelanya si pendeta rambut panjang.
Benar lihai dugaannya sebab Kim Wan Thauto lewat tengah
malam betul saja keluar melalui jendela kamarnya. Girang
hatinya The Sam. Tidak lama si Thauto pergi, ia lantas masuk


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke kamar Kim Wan Thauto melalui jendela tadi dimana ia
menggeledah dan kegirangan menemukan barang yang
diselipkan dibawah bantal.
Barang itu ia masukkan ke kantongnya, kemudian meniup lilin
yang ia pasang ketika ia masuk dalam kamar itu yang dalam
keadaan gelap. Cepat ia keluar dari jendela dan dilain saat ia
sudah berada dalam kamarnya sendiri.
Setelah menyalakan lilin, ia duduk menghadapi meja. Dari
sakunya ia keluarkan kotak kecil yang barusan ia sikat dari
kamarnya Kim Wan Thauto. Ia pandang kotak mungil itu sekian lama lalu mencoba
membukanya tapi tak dapat dibuka. Ia coba dan coba lagi,
kotak mungil itu tetap tak dapat dibuka.
Setelah dipandang lagi barang itu untuk sesaat lamanya, tibatiba
ia tertawa, "Hahaha ! Barng berharga memang sukar
didapat, biarlah aku buka belakangan."
Kemudian kotak itu ia letakkan diatas meja. Kembali ia
memandangnya, tiba-tiba pikiran serakah timbul seketika.
"Tidak, aku tidak akan serahkan barang ini pada Kim Nio. Aku
harus miliki dulu. Bila aku sudah pandai meyakinkannya dan
benar-benar dapat malang melintang dengan ilmu menotokku
yang hebat, barulah aku akan menemui Kim Nio lagi. Waktu itu
dia toh tidak akan memarahi aku lagi sebab aku sudah dapat
membujuk dia dengan turunkan sedikit kepandaian menotokku
kepadanya. Dia tentu sudah kegirangan dengan ilmu yang
didapatkan dari Tiam-hiat Pit-koat. Hahaha......" demikian ia
berkata-kata sendirian. Sebentar lagi tampak The Sam menguap beberapa kali,
ngantuk dirasakan matanya. Lalu ia menghampiri
pembaringan dan tidur nyenyak disana tanpa memperhatikan
pula barang berharganya yang terletak diatas mejanya. Malah
ia lupa untuk meniup padam api lilin, yang biasanya
dipadamkan bila orang hendak masuk tidur.
Dalam keadaan gelap, tiba-tiba sesosok tubuh telah masuk
dalam kamar itu melalui jendela, kemudian cepat melompat
keluar lagi. Pada keesokan harinya The Sam baru bangun setelah
matahari naik tinggi. "Celaka, kenapa aku jadi kepulasan seperti orang mati !"
berkata The Sam sembari turun dari pembaringan,
menghampiri meja diatas mana ia taruh kota mungilnya.
"Hah !" ia terkejut karena kotak berharga itu sudah tidak ada
ditempatnya. Dengan gugup ia memeriksa, malah sampai di kolong
mejanya, kalau-kalau kotak itu jatuh pikirnya. Tapi barang itu
tak diketemuka, lenyap, hilang entah siapa yang ambil. Baru
sekarang ia sadar akan keserakahan hatinya untuk memiliki
kepandaian hebat tapi akhirnya gigit jari.
Siapa yang ambil kotak berharga itu " Apakah Kim Wan
Thauto " Bagaimana ia harus melaporkan pada Kim Nio akan
kejadian itu " Pikirnya, bagaimana juga ia harus menemui Kim
Nio (dimaksudkan Kim Popo) supaya bisa berdamai.
bagaimana baiknya untuk mendapatkan kembali barang
berharga itu. Maka setelh ia cuci muka dan berpakaian rapi, lalu ia keluar
dari hotel An Goan menuju ke hotel Hok Lai untuk menemui
Kim Popo. Belum sampai ia bertindak mencari kamar Kim Popo, tiba-tiba
ia dicegat oleh kuasa hotel yang berkata, "Aku ada titipan
sepucuk surat untuk tuan, marilah ikut ke kantorku." si pemilik
ajak The Sam ke kantornya.
"Surat dari siapa ?" tanya The Sam.
"Sebentar kalau tuan sudah lihat, tentu tahu surat itu dari
siapa." sahutnya. Sebentar lagi mereka sudah berada dalam kamar hotel. Si
kuasa hotel ambil surat dari dalam lacinya lalu diserahkan
kepada The Sam. Ia tidak punya sahabat atau kenalan yang dapat mengadakan
surat menyurat. Dari mana datangnya surat itu " Tanyanya
dalam hati kecilnya. Tapi bagaimana juga ia harus membuka
dan membaca isinya, baru ketahuan siapa pengirimnya.
Koko, Setelah aku sudah pandai meyakinkannya dan dapat
malang melintang dengan ilmu menotokku yang hebat,
barulah aku akan menemui kau lagi. Waktu itu, sebab aku
sudah dapat membujuk kau dengan menurunkan sedikit
kepandaian menotokku kepadamu. Kau tentu akan kegirangan
dengan ilmu totok yang didapatkan dari Tiam-hiat Pit-koat.
Hihihi...." Surat itu tidak ditandatangani tapi sudah terang sekali bagi
The Sam bahwa surat itu ditulis oleh Kim Popo alias Kim Nio.
Kata-katanya persis seperti yang dikatakan tadi malam, maka
kotak kecil itu juga sudah tentu telah terbang bersama Kim
Popo. Ia sesalkan dirinya yang tidak jujur. Sekarang ia
kehilangan kotak berharga dan kehilangan juga Kim Nio,
malah kehilangan juga kepercayaan sang pacar itu,
bagaimana ia ada muka nanti bertemu lagi dengan Kim Popo
" Dalam keadaan lesu The Sam meninggalkan kantor hotel Hok
Lay, tidak jadi mencari kamarnya Kim Popo sebab
penghuninya sudah terbang tadi pagi-pagi sekali, menurut
kuasa hotel. Rupanya Kim Popo tidak percaya seratur persen atas
kejujuran The Sam. Maka kalau The Sam membayangi Kim
Wan Thauto, ia sendiri tidak tahu kalau dirinya dibayangi juga
oleh Kim Popo. Kata-katanya yang diucapkan dalam
kamarnya, semua terdengar tegas oleh Kim Popo yang
mengintip dari jendela. "Kurang ajar ! Dia mau main gila denganku. Hmm !" diam-diam
Kim Popo berkata dalam hati kecilnya. Kemudian dia menyulut
hio obat pulas yang asapnya ia tiup masuk ke dalam kamar
The Sam. Sebentar saja tampak The Sam mengantuk dan
menguap beberapa kali, akan kemudian saking tidak tahan ia
sudah banting dirinya di pembaringan dan tidur nyenyak, tidak
menghiraukan kotak berharganya disikat Kim Popo.
Sekarang kita kembali pada Liu Wangwee.
Liu Wangwee sangat berterima kasih kepada si kerudung
merah. Disamping itu, ia menyesal sekali tidak dapat
mengetahui siapa adanya bintang penolongnya itu sampai
pada saat si kerudung merah meninggalkan rumahnya.
Dari suara bicara bintang penolongnya, seperti ia pernah
mendengarnya cuma ia lupa dimana ia pernah mendengar
suara itu. Meskipun ia coba kumpul ingatannya, tapi tetap
luput untuk mengingatkan dimana ia pernah ketemu dengan
orang yang suaranya tidak asing ditelinganya. Ingin sekali ia
menjambret kerudung si kerudung merah tetapi sudah tentu
keinginan itu tak dapat ia wujudkan karena perbuatan itu tentu
tak sopan. Ia hanya boleh terhibur hatinya ketika si kerudung merah
meninggalkan, memesannya, "Toako, kau jangan kuatirkan
lagi kepada Sucoan Sam-sat karena mereka tentu tidak akan
berani lagi datang kemari sedang bentrokan dengan Tan Kong
Ceng sebaikanya diselesaikan saja agar tidak menanam
permusuhan yang tidak ada gunanya."
"Terima kasih atas nasihat Injin (tuan penolong),aku akan
perhatikan betul-betul. Cuma saja....." Liu Wangwee tidak
dapat menemukan kata-katanya, sebaliknya ia tersenyum
kepada tamunya yang aneh itu.
"Cuma saja apa, toako ?" tanya si kerudung merah.
"Cuma saja aku menyesal tak dapat melihat wajah Injin." sahut
Liu Wangwee. "Untuk apa melihat wajahku. Kita berkenalan cara begini saja
sudah cukup." kata si kerudung merah, ia tertawa gelak-gelak.
Liu Wangwee terkejut, suara tertawa itu seperti ia kenal baik
tapi dimana ia pernah mendengarnya, siapa orangnya " Maka
dengan bernapsu berkata, "Injin, suara ketawamu aku kenal
benar, hanya dimana aku pernah mendengarnya aku sudah
lupa lagi. Dasar aku sudah tua, tukang pelupa !"
"Toako kenal suara tawaku, itu sudah bagus." sahut si
kerudung merah. "Sekarang belum waktunya aku
memperkenalkan wajahku tapi ada suatu waktu, tentu aku
akan datang pula untuk menyambangi toako dan disitulah
toako nanti kenali siapa diriku."
Liu Wangwee tidak memaksa si kerudung merah untuk
memperkenalkan diri karena sudah jelas si bintang penolong
sungkan berbuat demikian. Maka ia suruh seorang pelayan
untuk panggil keluar nonanya, untuk kasih selamat jalan
kepada bintang penolongnya yang hendak berangkat hari itu.
Sebentar lagi tampak Bwee Hiang sudah keluar, lalu Liu
Wangwee berkata pada gadisnya, "Anak Hiang, Injin akan
berangkat hari ini juga. Lekas kau mengucapkan selamat jalan
dan terima kasih." Bwee Hiang lantas berlutut dihadapan si kerudung merah
yang sedang duduk di kursi.
"Budi Injin sebesar gunung, entah dengan apa kami dari
keluarga Liu dapat membalasnya. Moga-moga Thian akan
melindungi Injin dalam perjalanan dengan tak kurang suatu
apa pun. Bwee Hiang mengharap perpisahan ini hanya untuk
sementara saja dan segera akan disusul oleh kunjungan Injin
sehingga Bwee Hiang dapat melayani Injin lagi..." demikian si
gadis mengucapkan kata-kata selamat berpisahnya, air
matanya tampak bercucuran jatuh di lantai.
Bwee Hiang sangat duka hatinya. Ia tidak menduga si
kerudung merah akan meninggalkan mereka demikian
cepatnya sebab hari kemarin ia duduk berkumpul dengan si
bintang penolong, tidak ada omongan bahwa si kerudung
merah akan berangkat hari ini.
Dalam beberapa hari berkumpul, disamping si kerudung
merah terus mengobati ayahnya, tamu asing itu sangat ramah
terhadap dirinya. Ia dapat banyak petunjuk dalam hal ilmu silat
maupun sastra, dan Bwee Hiang juga sangat hormat dalam
pelayanannya sehingga si kerudung merah kelihatan betah
tinggal dalam rumah Liu Wangwee.
Sebagaimana dengan ayahnya, Bwee Hiang juga sudah
berusaha memancing siapa dirinya si kerudung merah tapi
tamu itu selalu kesampingkan omongan yang menyinggung
tentang keadaan dirinya, maka Bwee Hiang tidak berani
mendesak. Kini tiba-tiba ia mendengar si kerudung merah akan angkat
kaki dari rumahnya, tentu saja si nona menjadi terkejut dan
merasa sangat sedih. Seraya mengelus-elus rambut si nona, si kerudung merah
berkata, "Anak Hiang, kau tak usah menangis. Kau lupa
dengan peribahasa yang mengatakan, 'Tiap ada berkumpul.
selalu ada berpisah'. Maka perpisahan ini semoga disusul
dengan kunjunganku berikutnya. Kata-katamu ini tepat sekali.
Nah, bangunlah nak !"
Sementara Bwee Hiang bangkit dari berlututnya sambil
menyusuti air matanya dengan saputangan berbareng si
kerudung merah juga bangkit dari duduknya. Setelah angkat
tangan menyoja pada Liu Wangwee, dengan tidak berkata
apa-apa lagi ia putar tubuhnya dan meninggalkan ruangan itu
dengan cepat sehingga Liu Wangwee tertegun ditempatnya
melihat sikap tamunya yang aneh itu.
Sebentar saja si kerudung merah sudah lenyap dari
pandangan mereka. Sejak itu ayah dan anak itu berlatih keras dalam ilmu pukulan
maupun pedang untuk berjaga-jaga kalau-kalau dari pihaknya
Tan Kong Ceng mencari gara-gara pula.
Dengan dapat beberapa petunjuk yang berharga dari si
kerudung merah, dalam tempo pendek ilmu pedang Bwee
Hiang sudah berubah jauh. Ia merasa girang akan
kemajuannya itu tapi ia tidak pernah lupa untuk berterima
kasih kepada tamu anehnya itu.
Hari lewat dengan cepat laksana anak panah yang melesat
dari busurnya. Tanpa terasa sudah satu tahun setengah
dilewati sejak kunjungannya si kerudung merah. Ternyata si
bintang penolong tidak kelihatan mata hidungnya pula. Tapi
Liu Wangwee dan Bwee Hiang tentram hatinya karena ilmus
ialtnya sudah banyak maju.
Sementara itu desa Kunhiang pun sudah banyak berubah.
Desa itu maju karena pabrik-pabrik disitu bertamah banyak.
Penduduk makin banyak sehingga makin ramai desa itu,
tentam dan aman. Hartawan Tan juga tidak mencari gara-gara
pula kepada Liu Wangwee. Liu Wangwee mengira keadaan akan dinikmati terus dampai
hari tuanya, tidak dikira pada suatu hari ia dibikin terkejut
dengan adanya kabar yang tersiar bahwa Sucoan Samsat
sudah kembali mengganas. Mereka sedang mencari si
kerudung merah. Kabar yang mengagetkan Liu Wangwee adanya berita yang
mengatakan bahwa Sucoan Sam-sat akan membakar dan
menghancurkan desa Kunhiang kalau mereka tidak
menemukan si kerudung merah. Mereka hendak
melampiaskan angkara murkanya kepada desa Kunhiang
sebagai gantinya si kerudung merah.
Bingung hatinya Liu Wangwee bersama gadisnya. Kemana
mencari si kerudung merah yang sampai sebegitu jauh tidak
mengunjungi rumahnya. Tiba-tiba Liu Wangwee ingat akan sahabatnya yang tinggal
dikota Gakwan, dibawah kaki gunung Hengsan, ialah Soatcian
Ang Ban Teng, Pangcu dari Ceng Gee Pang.
Pikirnya, Ceng Gee Pang ada mempunyai banyak anggauta,
tersebar luas, siapa tahu dengan bantuan Pangcu dari Ceng
Gee Pang, ia dapat berita dimana adanya si kerudung merah
supaya dapat diberitahukan tentang maksud Sucoan Sam-sat
mencarinya. Demikianlah, Liu Wangwee setelah memesan Bwee Hiang
untuk berhati-hati dirumah, ia berangkat ke kota Gakwan
menemui Ang Ban Teng dan minta pertolongan sahabat ini.
Ang Ban Teng dan Liu Wangwee ada sahabat dari banyak
tahun, maka pertemuan mereka sangat menggembirakan. Liu
Wangwee tidak minta bantuan sang sahabat untuk
menghadapi tiga algojo dari Sucoan, ia hanya minta bantuan
supaya mendengar-dengar dimana adanya si kerudung
merah. Ang Ban teng menjanjikan akan membantunya.
Meskipun tidak diminta bantuan untuk menghadapi Sucoan
Sam-sat, Ang Ban Teng tidak enak nampak sahabatnya
menghadapi bencana, maka Pangcu dari Ceng Gee Pang itu
sudah perlukan malam-malam mengunjungi markas


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cabangnya di atas jurang Tong-hong-gay seperti yang kita
ceritakan disebelah atas.
Sudah dua minggu lamanya sejak kunjungannya pada Ang
Ban Teng, diam-diam Liu Wangwee merasa cemas hatinya
karena belum mendapat berita apa-apa dari sahabat itu.
Pada suatu siang hari untuk menghibur diri dari
kecemasannya, Liu Wangwee jalan-jalan disekitra desa dan
akhirnya memasuki rumah makan An Goan dimana ia minta
disediakan arak dan makanan sederhana untuk mengisi
perutnya. Setelah ia menengak beberapa sloki araknya, tiba-tiba ia
dibikin kaget oleh suara ramai-ramai diatas loteng. Ketika ia
melihat ke loteng, saat itu satu anak kecil tengah dilemparkan
oleh dua pelayan rumah makan melalui langkan.
Liu Wangwee memeramkan matanya saking ngeri melihat
adegan itu. Pikirnya, anak kecil dilempar dari atas loteng yang
demikian tinggi, bagaimana jadinya kalau sebentar jatuh diatas
lantai. Kalau tidak hancur, sedikitnya anak itu bakalan
setengah mati keadaannya. Ketika ia membuka pula matanya,
tiba-tiba ia berseru, "Eh...."
Matanya terbelalak heran sebab anak kecil itu tampak lagi
berdiri tidak kurang suatu apa, hanya kedua tangannya
memegangi perutnya. Tampak dua pelayan yang melemparkan si bocah turun dan
satu diantaranya yang dipanggil Lo-ji telah mendamprat. "Enak
saja kau ngomong. Besok-besok sampai kapan kau akan
membayarnya " Memangnya uang sewa kamar disini boleh
diulur-ulurkan " Hmm ! Bocah, lebih baikkau sekarang pergi
dari sini supaya jangan aku si Lo-ji menggebuki kau setengah
mati. Hayu, pergi sana. Bocah tukang sikat !"
"Aku bukan mau sikat uang sewaan kamar cuma aku mau
minta tempo besok." kata si anak kecil.
Lo-sam, kawannya Lo-ji menghampiri si bocah, katanya,
"Sudah, sudah, hayo keluar. Jangan sampai Lo-ji turun tangan
!" Lo-sam berkata sambil menjoroki si anak kecil hingga
sempoyongan. Tamu-tamu rumah makan itu jadi pada menonton kejadian itu.
Mereka lihat si anak kecil wajahnya hitam legam seperti pantat
kuali, usianya kira-kira baru 14 tahun, cuma perawakannya
ada tinggi kurus. Entah anak siapa dia, para tamu menanya
dalam hatinya. Ada yang menanyakan pada Lo-ji, lalu menerangkan. "Aku
tidak tahu dia anak siapa, hanya dia sudah menginap disini
selama tiga malam. Ketika diminta uang sewa kamar dan
makan, katanya besok, besok kapan " Dia memang anak
gembel yang kesasar ke sini rupanya."
Lo-ji tutup kata-katanya sambil menghampiri si bocah yang
belum mau pergi. Ia ulur tangannya dan menjoroki lagi sambil berkata, "Lekas
keluar, aku tak ingin melihat cecongormu, tukang sikat !"
Kembali si bocah sempoyongan, malah kali ini sampai
terpelanting tapi ia cepat bangun lagi. Para tamu pada ketawa
terbahak-bahak melihat kejadian itu.
Hanya Liu Wangwee yang lihai matanya tidak turut ketawa.
Sedari tadi, pada saat ia buka matanya melihat si bocah tidak
apa-apa dilempar dari atas loteng, hatinya merasa heran.
Sekarang ia menyaksikan si anak kecil dijoroki sempoyongan
sampai terpelanting lagi, tapi kakinya antap betul. Anak itu
seperti mempunyai kepandaian yang disembunyikan.
Melihat si bocah belum mau keluar, dua pelayan itu makin
marah. Dua orang lalu menubruk mau menggusur si anak
hitam dilempar keluar. Benar si bocah kena dicekal tapi waktu
mau diseret tidak bergeming seperti nyangkut pada tiang besi.
Tapi ini hanya sejenak saja, sebab lantas si bocah dapat
diseretoleh dua pelayan itu.
Dasar orang-orang dogol, pikirnya, barusan si bocah tidak
bergeming diseret lantaran kurang keras gentaknya, maka
mereka ulangi lagi, benar saja anak kecil itu kena diseret.
"Tahan !" tiba-tiba Liu Wangwee berkata ketika melihat si
bocah mau dilempar keluar.
Dua pelayan itu hentikan niatnya melempar si anak kecil
keluar. Mereka lihat ada orang menghampiri mereka, lantas
mereka kenali itu adalah Liu Wangwee, ketua dari orang-orang
kaya dalam desa itu. Dengan sangat hormat, mereka menanyakan apa maksudnya
si hartawan mengucapkan kata 'Tahan !' yang mana dijawab
oleh Liu Wangwee, "Kalian lepaskan anak ini, semua
hutangnya aku yang tanggung !"
Dua pelayan itu melengak. Tapi tidak berani membantah,
maka seketika itu mereka melepaskan cekalannya hingga si
anak kecil sekarang bebas.
Anak itu ketawa nyengir pada mereka, lalu membungkukkan
badan memberi hormat pada Liu Wangwee, katanya, "Terima
kasih atas kebaikan Lope."
"Anak kurang ajar, Loya begitu kenapa dipanggil Lope ?"
semprot Lo-ji mau ambil muka Liu Wangwee.
Tapi hartawan Liu menggoyangkan tangannya, "Kalian sudah
tidak ada urusan lagi, lekas layani tamu-tamu lainnya !"
Lo-ji jadi bengong. Dikira bakal dipuji tapi kenyataannya
menerima kata-kata pahit dari Liu Wangwee.
Lo-ji dan Lo-sam pada ngeloyor pergi.
"Anak, mari kita makan sama-sama." kata Liu Wangwee
seraya tangannya diulur mencekal lengan si anak kecil diajak
ke mejanya. Liu Wangwee minta pelayan tambah hidangan lagi.
Setelah sama-sama sudah ambil tempat duduk, Liu Wangwee
menanya, "Anak, namamu siapa ?"
"Aku she Lo, nama In." sahut si anak kecil, yang memang Lo
In adanya. "Aku ribut dengan pelayan itu lantaran......."
"Sudah, sudah." memotong Liu Wangwee seraya goyanggoyang
tangannya. "Urusan dengan mereka sudah aku
bereskan, jadi tak usah kau sebut-sebut lagi. Aku hanya mau
berkenalan dengan kau, sebenarnya kau anak siapa ?"
Mendapat pertanyaan itu, Lo In tidak lantas menjawab. Ia
kerutkan keningnya, berpikir apakah ia boleh mengaku ia
anaknya Kwee Cu Giok " Tidak bisa, sebab ia tidak kenal
siapa Kwee Cu Giok itu. Anak Liok Sinshe juga tidak tepat
sebab Liok Sinshe janya pelindungnya saja, ia jadi sangsi.
"Anak, kau dapat kesulitan untuk menyebutkan nama orang
tuamu ?" tanya Liu Wangwee yang melihat Lo In seperti yang
ragu-ragu akan menyebutnya.
"Oh, bukan, bukan." sahut Lo In gugup. "Aku sendiri tidak tahu
aku anak siapa, maka aku jadi ragu-ragu untuk menjawabnya."
Lo In berkata dengan malu-malu, sambil tundukkan kepalanya.
Liu Wangwee ketawa. "Tidak apa, mari kita makan. Eh,
barusan aku lihat kau memegangi perut saja, apa kau sakit ?"
"Memang aku lagi sakit perut, tapi sekarang sudah baik."
jawab Lo In. "Lantaran tubuhmu didorong-dorong tadi oleh dua orang dogol
itu, rupanya perutmu terkojak-kojak hingga perutmu kabur
sendirinya. Hahaha..." Liu Wangwee tertawa.
Lo In turut tertawa. "Mari kita makan." mengundang hartawan Liu.
Lo In tidak diundang untuk kedua kalinya, ia hantam saja
makanan yang sudah tersedia di depannya. Sudah lama ia
hanya makan buah-buahan saja, kini menghadapi makanan
enak bukan main senangnya. Hampir kenyang, tiba-tiba ia
ingat sesuatu dalam benaknya, maka seketika itu ia letakkan
mangkok dan sumpitnya. Ia bengong, dari kedua matanya tampak ada mengembeng air
mata. Liu Wangwee heran melihat kelakuannya Lo In, ia menanya,
"Nak, kenapa " Apa kau rasakan perutmu sakit lagi ?"
Lo In geleng kepala. "Aku menghadapi makanan seenak ini,
aku jadi ingat kepada seseorang yang pernah mengajak aku
makan seperti Lope sekarang ini." kata Lo In seraya menyusut
air matanya dengan tangan bajunya.
"Siapa orang itu ?" tanya Liu Wangwee.
"Lebih baik aku tidak menyebutkan namanya." sahut Lo In.
"Sebab dengan menyebutkan namanya aku menjadi lebih
sedih lagi." Liu Wangwee tidak menanya panjang. Ia hanya menghibur,
"Orang baik memang selalu diingat orang, biarlah orang itu
mendapat lindungan Thian. Anak, kau jangan sedih, sebaiknya
kau makan terus dan lebih banyak."
Mendengar hiburan Liu Wangwee, bukannya Lo In terhibur
sebaliknya malah ia menangis tersedu-sedu hingga membuat
tamu-tamu yang duduk disekitarnya menjadi heran.
Liu Wangwee merasa tidak enak. "Nak, mari kita pulang. Di
rumah ada enci yang dapat menghiburmu."
Dengan serentak Lo In hentikan tangisnya yang terisak-isak
ketika mendengar Liu Wangwee menyebutkan kata 'enci'. Ia
ingat akan enci Eng Lian-nya. Apakah yang dimaksud oleh
orang tua didepannya ini ada enci Eng Lian-nya "
Lo In anggukkan kepalanya.
Liu Wangwee heran melihat kelakuannya si anak hitam,
apakah dia kurang waras ingatannya, tadi menangis tersedusedu
sekarang berhenti menangis seraya mengangguk,a pa
yang ia anggukkan " Justru kelakuan Lo In yang ia anggap
aneh itu yang membuat Liu Wangwee makin keras niatnya
untuk mengetahui rahasia dirinya si bocah.
Meskipun ditutup oleh wajahnya yang hitam, mata Lo In yang
tajam bercahaya tidak bisa menutup matanya Liu Wangwee
yang lihai. Orang tua itu menduga pasti si bocah ada
berkepandaian sangat tinggi dilihat dari sorot matanya yang
tajam luar biasa seakan-akan ada membungkus tenaga dalam
yang dahsyat. Setelah membayar uang makanan, Liu Wangwee lantas ajak
Lo In berlalu dari situ. "Kau mau ajak aku kemana, Lope "' tanya Lo In seperti yang
linglung. "mari kita pulang." sahut Liu Wangwee manis budi.
"Pulang kemana ?" si bocah menanya heran.
"Ke rumahku. Mari, disana kita bisa ngomong-ngomong
dengan tiada yang ganggu." Liu Wangwee kata seraya tarik
tangan Lo In. "Nanti dulu, aku mau ambil pakaianku sebentar." kata Lo In
sambil terus lari naik tangga loteng masuk ke kamarnya.
Sebentar lagi ia sudah turun lagi dengan membawa buntalan
kecil. Liu Wangwee ketawa melihat kelakuan Lo In yang lucu.
Dalam perjalanan, Lo In menanya, "Lope kata tadi di rumah
ada enci ?" "Ya, benar ada enci. Di sana kau akan ketemu enci." sahut Liu
Wangwee. Lo In kegirangan. Jalannya makin cepat hingga Liu Wangwee
terheran-heran sebab ia sudah gunakan jalan cepat untuk
mencoba meninggalkan si bocah, kenyataannya Lo In masih
terus mengintil dalam jarang yang dekat sekali dengannya.
-- 14 -- Ketika sampai dirumah, Bwee Hiang heran melihat ayahnya
membawa pulang satu anak berwajah hitam seperti pantat
kuali. "Nah, ini encimu." kata Liu Wangwee memperkenalkan
anak gadisnya pada si bocah.
"Bukan, bukan, dia bukan enci Lianku." sahut si bocah
mengawasi Bwee Hiang. "Siapa itu enci Lianmu ?" tanya Bwee Hiang, tersenyum
manis. Lo In ketawa nyengir. Lucu kelihatannya hingga Bwee Hiang
tertawa ngikik. "Anak Hiang, kau bawa masuk adikmu itu." kata Liu Wangwee
dari sebelah dalam, yang sudah masuk lebih dahulu setelah
memperkenalkan Bwee Hiang pada Lo In.
"Adik, mari masuk." kata Bwee Hiang.
"Ah, aku tidak mau. Tidak ada enci Lian, buat apa aku masuk."
kata si bocah seraya mundur dan mau ngeloyor dari depan
pintu masuk. "hei, kau mau kemana " Mari masuk, di dalam nanti enci kasih
makanan enak." membujuk Bwee Hiang seraya cekal
tangannya Lo In ditarik masuk ke dalam.
Lo In sudah mau bebaskan tangannya yang dicekal si gadis
kalau ia tidak mendengar Bwee Hiang kata 'mau kasih
makanan enak'. Ia ragu-ragu makanan enak apa yang akan
diberikan padanya oleh enci yang baru dikenal itu.
Lagian Bwee Hiang kelihatan ramah tamah meskipun tidak
selincah enci Liannya, si bocah merasa malu hati. Maka ia
menurut dituntun oleh Bwee Hiang dibawa masuk ke dalam
rumah dimana Lo In dapat lihat perabotan dan perhiasan
rumah itu sangat indah dan menarik perhatiannya.
Dasar orang gunung, ia menanya ini itu pada Bwee Hiang,
kapan ia melihat barang yang menarik hatinya. Si gadis sangat
sabar, ia memberi keterangan dengan terang hingga Lo In
menjadi girang. "Ini namanya apa ?" tanya Lo In pada Bwee Hiang seraya
menunjuk sesuatu ketika ia dibawa ke ruang belakang.
Bwee Hiang pintar, otaknya cerdas. Melihat Lo In laga lagunya
seperti baru keluar dari pegunungan, maka ia selalu melayani
gerak geriknya supaya si bocah senang.
Apalagi barusan dikisiki oleh ayahnya supaya ia perlakukan si
bocah baik-baik karena bocah itu ada isinya. Maka Bwee
Hiang menjaga hati-hati supaya tidak membikin hatinya si
anak kecil kurang senang.
Ketika ia ditanya Lo In sambil tersenyum ia menjawab, "Aku
Bwee Hiang, dan kau, siapa namamu ?"
"Aku she Lo nama In, enci Hiang." jawabnya seraya nyengir
ketawa. Nyengir ketawa dalam wajah hitam macam pantat kuali, tentu
saja kelihatannya lucu dan tak tahan Bwee Hiang untuk tidak
tertawa. Ia ngikik ketawa sambil menekap mulutnya dengan
tangannya yang halus putih.
Lo In senang melihat teman barunya banyak ketawa. Pada
Bwee Hiang ternyata Lo In lebih terlepas omongannya hingga
diam-diam si gadis pun merasa suka pada anak hitam ini.
Ditanya kenapa Lo In ribut dalam rumah makan, Lo In lantas
saja nyerocos cerita. ia kata bukannya ia tidak mau bayar
uang sewa kamar tapi lantaran uangnya kena dicopet orang,
maka ia minta tempo besok. Apa mau pada hari yang
dijanjikan ia sakit perut tidak bisa keluar hingga kembali
berjanji besok. Tapi orang-orang rumah makan tidak mau
mengerti dan mengusir dia seperti mengusir binatang. Untung


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketemu sama Liu Wangwee dan membereskannya, kalau tidak
entah bagaimana jadinya. "Orang usirmu seperti binatang, kenapa kau tidak melawan ?"
tany Bwee Hiang. "Aku anak kecil, mana bisa menang sama orang tua." sahut Lo
In ketawa. "Kau bohong, ya. Kalau kau mau, mungkin dua orang dogol itu
bukan tandinganmu." berkata lag si gadis yang hendak
memancing Lo In. Lo In ketawa nyengir. "Enci Hiang bisa saja. Aku tidak pandai
berkelahi. Bagaimana aku bisa menangkan dua orang tua itu"
jawab Lo In kemudian. Si bocah suka dengan humor, maka laga lagunya sabansaban
bikin Bwee Hiang ketawa ngikik hingga diam-diam si
gadis merasa suka sama adik kecil ini.
Omong-omong tidak terasa lagi hari sudah sore. Lo In permisi
pada Bwee Hiang hendak berlalu, tapi si gadis menahan.
"Nanti dulu, aku akan kabarkan pada ayah." katanya.
"Jangan ganggu orang tua. Biarkan dia mengaso. Sebentar
pun masih boleh enci sampaikan aku punya rasa hormat dan
terima kasih padanya." berkata Lo In ketawa.
"Adik kecil, kau jangan pergi dulu. Kalau aku pergi, aku nanti
marah !" kata Bwee Hiang sambil bangkit dari duduknya dan
masuk ke dalam menemui ayahnya.
Lo In tidak berani tinggalkan tempat itu, karena ia takut
membuat marah Bwee Hiang yang ia pandang sebagai enci
yang sangat baik padanya.
Selagi menanti Bwee Hiang, pikirannya melayang pada Eng
Lian. Dimana enci nakal itu sekarang berada, dimana ia harus
mencaharinya " Dalam keadaan ngelamun, tiba-tiba ia ditegur oleh Bwee
Hiang, "Adik kecil, kau lagi ingati apa saja sampai terbengongbengong
kulihat." Lo In seperti tersadar dari tidurnya, dengan gugup ia
menjawab, "Tidak, oh tidak. Aku hanya memikiri dimana
malam ini aku harus menginap. Aku tidak punya uang untuk
membayar uang sewa penginapan, nanti diusir orang lagi."
Bwee Hiang tersenyum, "Adik kecil kalau tidak, seharusnya
kau tidur di pohon." si gadis berkata sambil ngikik ketawa.
"Oh, kalau di lembah, oh, tidak, kalau.... kalau....." omongan Lo
In jadi kacau. Ia kesalahan omong maka ia jadi gugup tidak karuan tapi
Bwee Hiang yang cerdik sudah lantas dapat menangkap apa
yang Lo In ingin maksudkan omongannya itu.
"Nah, anak tukang ngebohong." ia berkata sambil jari
telunjuknya menuding pada Lo In. "Ngomongnya saja sudah
gaga gugu hihihi..."
Mau tidak mau Lo In jadi ketawa melihat teman barunya
bergaya lucu. "Begini, adik kecil." berkata lagi Bwee Hiang. "Ayah kata
sedikitnya kau harus menjadi tamu kita seminggu lamanya, itu
baru betul. Kau tidak boleh sekarang pergi dari sini sebab
ayah kata kalau kau paksa pergi artinya kau tidak memandang
mata pada orang tua."
Lo In jadi melengak mendengar kata-kata Bwee Hiang. "Habis,
aku tidur dimana ?" tanyanya.
"Di pohon, tuh !" jawab Bwee Hiang sembari jarinya
telunjuknya menunjuk ke jurusan pohon, lucu gayanya hingga
Lo In jadi tertawa terbahak-bahak.
Senang Lo In dapatkan teman barunya yang jenaka, sekalipun
tidak seperti Eng Lian yang kejenakaannya suka dibarengi
dengan mencubit. Si bocah tidak ingat bahwa usia Eng Lian
dan Bwee Hiang jauh bedanya. Eng Lian masih terhitung
anak-anak sedang Bwee Hiang sudah masuk hitungan gadi
yang sudah matang 'keluar pintu', mana bisa antara Eng Lian
dan Bwee Hiang disamakan kelakuannya.
Bwee Hiang demikian open pada Lo In selain sendirinya kena
ketarik sama kejenakannya si bocah, adalah keinginan
ayahnya supaya ia dapat mengetahui asal usulnya Lo In.
Liu Wangwee percaya anak gadisnya yang cerdik dapat
mengorek rahasia dirinya Lo In yang diduga menyembunyikan
kepandaian sangat tinggi. Liu Wangwee curigai Lo In bukan
anak sembarangan, siapa tahu bapaknya ada orang lihai yang
dapat menolong ia dalam kesulitan menghadapi Sucoan Samsat.
Matanya Liu Wangwee lihai. Memang betul Lo In hendak
sembunyikan kepandaiannnya. Hanya sayang, dasar anak
kecil 'sok aksi', dipancing-pancing akhirnya si bocah bercerita
juga pada Bwee Hiang bahwasanya ia di lembah ada
mempunyai kawan-kawan tentara kera, burung rajawali, gorila
serta teman mainnya Eng Lian yang nakal jenaka.
Perihal ia makan buah 'Jit-goat-ko' dan nyalinya Tok-gan
Siancu tidak ia ceritakan pada si gadis. Bwee Hiang separuh
percaya, setengah tidak. Tapi melihat Lo In bercerita sambil
bergaya dan tangannya tidak bisa diam dan unjuk aksinya,
mau tidak mau tiap sebentar si nona jadi cekikikan ketawa.
Lo In girang dapat membikin teman barunya itu ketawa ngikik.
Dengan pertemuan ini, membuat ia tidak begitu kehilangan
atas lenyapnya Eng Lian. Keluarga Liu ada kaya raya, rumahnya besar bertingkat,
dilingkari dengan pekarangan yang lebar dan luas. Malah
dibelakang rumahnya ada satu tempat yang dinamakan 'rimba
kecil', dimana orang bisa jalan-jalan cari angin seperti di
Kebon Raja. Untuk mengurus rumah dan tanahnya yang luas
itu, sudah tentu hartawan Liu ada memakai banyak pegawai
dan pelayan. Bwee Hiang sendiri ada pakai dua pelayan yang
ia beri nama sendiri Ling Ling dan Lan Lan yang berusia kirakira
15 dan 16 tahun. Bwee Hiang bukan gadis hartawan yang sombong dan
angkuh, sebaliknya ia sangat ramah tamah sehingga dua
pelayannya sangat suka dan setia padanya. Begitulah dengan
bergaul sama Bwee Hiang yang diramaikan oleh Ling Ling dan
Lan Lan, kelihatannya si bocah Lo In senang tinggal dalam
rumahnya Liu Wangwee. Pada suatu sore, cuaca ada adem sekali. Tampak Lo In
sedang mendongeng apa tahu, yang terang Bwee Hiang
terpingkal-pingkal ketawa.
"Kalau mendengar dari mulutmu yang banyak omong, kukira
kau hanya satu bocah tukang ngobrol saja, adik kecil." berkata
Bwee Hiang setelah ia berhenti ketawa.
Kiranya Lo In sedang mendongeng bagaimana ia dapat
memerintah tentara keranya dengan bahasa monyet, perintah
burung garudanya dengan hanya siulan saja, lompat tinggi ke
atas pohon dengan hanay sekali gerakan saja, inilah rupanya
yang membuat Bwee Hiang terpingkal-pingkal ketawa.
Pantasan si gadis sama sekali tidak percaya. Pikirnya,
bagaimana manusia bisa bercakap bahasa monyet,
memerintah dan memanggil burung raksasa hanya dengan
siulan saja. Maka juga, setelah ia terpingkal-pingkal ketawa ia
mengatakan si bocah hanya pandai omong besar saja. Ia tidak
kira justru kata-kata ini membuat si bocah penasaran.
"Enci Hiang mau bukti ?" tanya si bocah dalam penasarannya.
"Coba kau tangkan tuh burung gereja yang saling kejar di
pohon !" sahut Bwee Hiang ketawa seraya jarinya menunjuk
ke pohon. Lo In menoleh ke jurusan yang ditunjuk. Benar saja ada dua
ekor burung gereja yang terbang saling kejar. Tanpa banyak
omong si bocah dekati pohon, kemudian enjot tubuhnya
ngapung ke atas pohon. Entah bagaimana ia menyergap,
tahu-tahu dua ekor burung gereja itu sudah berada
ditangannya dan dibawa lompat turun.
Sambil ketawa-ketawa ia menghampiri Bwee Hiang, seketika
itu sedang terbelalak keheranan melihat gerakan si bocah
yang sangat gesit. "Nah, ini lihat, burung yang enci suruh tangkap." berkata si
bocah seraya taruh dua ekor burung gereja itu ditelapakan
tangan kirinya. Burung yang tadinya lincah, terbang dengan gesitnya,
sekarang berada di telapak tangan si bocah kelihatannya
jinak, hanya sayapnya mengebas-ngebas seperti mau terbang
tapi tak dapat mereka pergi dari telapak tangan Lo In seakanakan
sepasang kakinya pada melengket pada telapak tangan
si bocah. Bwee Hiang lihat burung itu tampak gemetaran, seperti yang
kedinginan. Ia heran, tapi ia lantas berkata, "Pantas tidak bisa
terbang, burung-burung itu barusan kau pencet sih !"
"Siapa yang pencet " Nah, nih lihat !" berkata Lo In seraya ia
lemparkan dua ekor burung itu ke udara. Lantas saja dua
burung itu dapat bergerak bebas lagi, terbang gesit sekali
seperti tadinya. Malah, kali ini mereka seperti yang ketakutan,
sudah terbang jauh dari situ.
Bwee Hiang tidak merasa heran. Ia kira si bocah tentu bisa
main sulap dengan dua ekor burung gereja yang ditangkapnya
tadi. Tapi untuk membikin si bocah jangan sampai kurang
senang, maka ia berkata sambil unjukkan jempolnya, "Begini,
kau benar hebat adik kecil. Kau ajari aku nanti, ya !"
Lo In hanya ketawa, tapi diam-diam si bocah yang 'sok aksi'
bangga dalam hatinya. Pada malam harinya, ketika Bwee Hiang omong-omong
dengan ayahnya, sang ayah menanya : "Anak Hiang,
bagaimana dengan usahamu, apa sudah berhasil ?"
"Ah, itu anak tidak punya kepandaian apa-apa. Cuma omong
kosong saja. Katanya ada punya teman kawanan kera dan ia
bisa bahasa monyet. Hihihi...." jawab Bwee Hiang.
Liu Wangwee kerutkan alisnya mendengar si putri menutur.
Sebelum ia buka mulut menanya, Bwee Hiang sudah
menyambung, "Tapi ayah, lompatannya ke atas pohon dan
menangkap burung memang begini !" Bwee Hiang unjuk
jempolnya. "Lompatan bagaimana, coba, coba kau tuturkan." mendesak
sang ayah. Bwee Hiang lantas tuturkan bagaimana Lo In lompat ke pohon,
tahu-tahu dua ekor burung gereja sudah kena ditangkapnya.
Kemudian ditaruh ditelapak tangan dan burung-burung itu tak
dapat terbang seolah-olah kedinginan. "Anak hitam itu
mungkin hanya bisa sulap saja, yah. Tidak sebagaimana ayah
duga ada menyembunyikan kepandaiannya...." kata Bwee
Hiang menutup penuturannya. Tapi ia terhenti kata-katanya
karena tiba-tiba ia dibikin kaget oleh kelakuan sang ayah yang
sekonyong-konyong tertawa terbahak-bahak.
"Oh, ayah ketawakan dia " Memang juga lucu caranya
menangkap burung dan ditaruh ditangannya, persis tukang
sulap." menyambung Bwee Hiang, turut ketawa.
"Anak tolol !" kata Liu Wangwee kepada puterinya, hingga
sang puteri menjadi kaget karena tidak biasanya sang ayah
mengatakan ia 'anak tolol'.
"Ayah, kenapa kau bilang aku tolol ?" ia menanya dengan
penasaran. "Anak Hiang, itu bukannya ilmu sulap dari si bocah."
menerangkan sang ayah dengan roman kegirangan. "Anak itu
telah memperlihatkan 'Han ki bian kang', Ilmu tenaga lunak
berhawa dingin, satu ilmu yang tak mudah dilatih kalau
orangnya tidak punya lwekang yang dahsyat dalam tubuhnya.
Hahaha, memang tidak meleset dugaanku. Dia satu anak yang
luar biasa, harus kau baik-baik melayaninya dan coba-coba
pancing kepandaian silatnya, anak Hiang."
Bwee Hiang melongo mendengar kata-kata ayahnya.
Pikirnya, kalau begitu si bocah benar bukannya main sulap
seperti yang dikiranya. Entahlah, apa dia hanya punya
kepandaian itu saja " Maka ia girang ketika ayahnya
menganjurkan buat ia coba-coba pancing kepandaiannya si
bocah hitam dengan ilmu silat.
Demikian pada suatu sore, Bwee Hiang ajak Lo In ke lapangan
tempat berlatih. Belum lama mereka omong-omong, muncul Liu Wangwee
menghampiri mereka. Mereka jadi ngobrol bertiga. Setelah
beberapa lama Liu Wangwee berkata kepada anaknya, "Anak
Hiang, cuaca begini baik, bagaimana kalau kita berlatih
pedang ?" "Bagus, bagus !" kata sang anak sambil bertepuk tangan. "Eh,
Ling Ling, coba kau ambilkan sepasang pedang yang biasa
aku dan ayah pakai berlatih !" kata Bwee Hiang suruh
pelayannya. Ling Ling lekas berlalu ambil barang yang diperlukan, sebentar
lagi ia sudah ambilkan sepasang pedang pada nonanya.
Satu batang pedang ia pegang sendiri, lainnya ia angsurkan
kepada ayahnya. Sambil melirik pada Lo In yang tinggal
tenang-tenang saja duduk. Bwee Hiang berkata, "Adik kecil,
kau lihat encimu main pedang. Kau nonton disitu !"
Liu Wangwee sementara itu sudah siap, ia mengedipkan
matanya pada si gadis, satu tanda supaya Bwee Hiang
berlatih benar-benar lalu serang menyerang dimulai. Perlahan
mula-mulanya, tapi makin lama main seru. 'Bwee hoa kiam
hoat' dimainkan dengan indah sekali, banyak jurus-jurus yang
berbahaya diperlihatkan hingga sepasang pedang
berkelebatan seakan-akan lihat sambaran. Ling Ling dan Lan
Lan yang menyaksikan merasa sangat kagum dan bertepuk
tangan beberapa kali. Sebaliknya, Lo In menonton acuh ta acuh kelihatannya. Sikap
si bocah tak lolos dari matanya Liu Wangwee yang lihai.
"Sudah, kita sampai disini saja." kata Liu Wangwee sambil
lompat keluar dari arena pertempuran.
Bwee Hiang juga merasa heran si bocah seperti yang tidak
tertarik dengan latihan mereka yang sangat hebat. Terdengar
Liu Wangwee menanya, "Anak In, apa kau tidak tertarik
dengan latihan kami barusan ?"
"Aku tidak bisa berkelahi seperti kalian, mana aku mengerti."
sahutnya, nyengir ketawa.
Liu Wangwee menggelengkan kepala. Di luar tahunya Lo In,
matanya mengedip pada gadisnya, disambut dengan
manggutan oleh Bwee Hiang.
"Anak In tidak bisa main pedang. Coba kau ajari anak Hiang.
Aku ada urusan. Biarlah kalian berdua teruskan berlatih."
berkata Liu Wangwee sambil terus bertindak meninggalkan Lo
In dan Bwee Hiang. Bwee Hiang ambil tempat disampingnya Lo In. Ia berkata,
"Adik kecil, mari aku ajari kau bermain pedang supaya jangan
nanti dihina orang." sambil menarik tangannya Lo In diajak ke
tengah lapangan. "Nah, ini pakai pedangku. Aku pakai pedang
ayah." menyambung si nona seraya angsurkan pedangnya
pada si bocah, sedang ia mengambil pedang Liu Wangwee


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diletakkan tidak jauh dari situ.
"Ketika mereka sudah berhadapan, Lo In berkata, "Eh,
barusan aku tidak ingat bagaimana kau mainkan pedangmu.
Coba sekarang unjuk sekali lagi."
Jengkel juga Bwee Hiang menghadapi anak yang cerewet ini,
sembari putar pedangnya ia berkata, "Nah, ini lihat !"
Bwee Hiang mainkan tipu-tipu silat 'Bwee hoa kiam hoat' atau
'Ilmu pedang kembang bwee'. ialah 'Bwee swat tiauw goat'
atau 'Kembang bwee mekar menghadapi rembulan'. Pedang si
nona menusuk ke depan, ke kanan dan ke kiri dengan cepat
sekali. Kemudian disusul dengan tipu 'Bwee hiang boan wan'
atau 'Harumnya bunga bwee memenuhi taman', salah satu
jurus dari 'Bwee hoa kiam hoat' yang paling disukai oleh Bwee
Hiang. Mungkin karena namanya 'bwee hiang' ada termasuk di
dalamnya. Tampak Bwee Hiang bersemangat memainkan tipu
'Bwee hiang boan wan', pedangnya menari-nari dengan
indahnya, berkelebat laksana kilat, tubuhnya si nona yang
tinggi seolah-olah tebungkus oleh sinar pedang yang
dimainkan. Lo In kelihatan tersenyum-senyum. "Enci Hiang, hebat
permainan pedangmu. Sayang aku tak dapat melayani kau.
Aku ngeri melihat pedangmu menyambar-nyambar. Bisa-bisa
leherku putus oleh.... eh, kau jangan main-main...."
Berbareng si bocah menghilang dari hadapannya Bwee Hiang
sehingga pedangnya Bwee Hiang menyabet angin. Matanya si
gadis celingukan mencari Lo In sementara dua pelayannya
Ling Ling dan Lan Lan pada mendekap mulutnya untuk
menahan ketawa karena saat itu tampak Lo In berada di
belakangnya Bwee Hiang sambil leletkan lidahnya dalam
gayanya yang sangat lucu.
Melihat Bwee Hiang celingukan mencari dirinya, Lo In berkata,
"Enci Hiang, aku ada disini."
Bwee Hiang cepat putar tubuhnya. Benar saja si nakal sudah
ada dibelakangnya. "Setan kecil." kata Bwee Hiang, ketawa kegirangan. "Kau
membohongi encimu, ya !"
"Habis, leherku mau disabet pedang, siapa mau kasih." sahut
Lo In melucu seraya pegangi lehernya hingga Bwee Hiang
ngikik ketawa dibarengi oleh ketawanya Ling Ling dan Lan
Lan. Ramailah saat itu pada ketawa.
Apa sebenarnya sudah terjadi hingga Lo In kepaksa
memperlihatkan kepandaiannya yang istimewa " Saat itu,
Bwee Hiang sedang enaknya memainkan tipu silatnya 'Bwe
hiang boan wan', ia mendengar si anak kecil nyerocos
ngomong lantas berkelebat dalam benaknya untuk menyerang
tiba-tiba pada si bocah dengan telengas. Kalau Lo In bisa silat,
tentu ia akan berkelit dari serangannya. Sebaliknya kalau si
bocah tak punya guru, paling-paling si anak kecil akan terluka
batang lehernya. Mendapat pikiran bagus itu, maka selagi ia putar pedangnya,
diam-diam ia balik mata pedangnya sehingga belakang saja
yang ia gunakan membabatleher Lo In dengan jurus yang
ampuh dan seperti kilat menyambar. Dalam kagetnya,
otomatis keluar ilmu saktinya Lo In 'Bu eng bue seng' (tiada
bayangan tiada suara), menghilang dari hadapannya Bwee
Hiang sehingga si nona terperanjat. Pikirnya, hanya setan saja
yang bisa menghilang demikian.
Hatinya kegirangan sebab percobaannya berhasil. Ia tidak
ragu-ragu lagi bahwa si bocah memang ada mempunyai
kepandaian luar biasa seperti kata ayahnya.
"Anak kecil, kau jangan suka gede bohong." kata Bwee Hiang
sehabisnya ngikik ketawa. "Sekarang sudah ketahuan rahasia
dirimu, kau mau bilang apa ?"
Lo In ketawa nyengir. Tiba-tiba ia rasakan adanya angin
menyambar dari belakangnya, tangannya yang kanan
menyampok ke belakang lalu tangan kirinya diacungkan,
kemudian tubuhnya berputar. Tahu-tahu dia sudah menggigti
sebuah benda. Ia melihat si penyerang gelap lompat dari balik
pohon mau melarikan diri. Benda yang digigit di mulutnya ia
tiup sambil berkata, "Perlahan jalan, sahabat...."
Orang itu menjerit dan jatuh meloso, badannya menggigil
kedinginan. Lo In sudah mau lompat menyusul tapi dari balik pohon-pohon
kembali muncul lima orang yang memegat dan
mengurungnya. Ternyata orang-oang itu hebat-hebat
pengawakannya, tinggi besar dan bengis-bengis. Tapi Lo In
tidak takut seperti biasa, ia menanya dengan tenang, "Para
paman, aku tidak bermusuhan dengan kalian, kenapa kalian
mau tangkap aku ?" "Hahaha !" tertawa seorang diantaranya, seraya usap-usap
jenggotnya yang panjang. "Anak kecil, kau anaknya Kwee Cu
Gie, bukan ?" "Aku tidak kenal siapa Kwee Cu Gie." kata Lo In tenang.
"Tidak perduli kau anak Kwee Cu Gie atau bukan, kami harus
tangkap sebab kau sudah membuat malu namanya Ceng Gee
Pang !" kata lagi orang tadi.
"Oh, jadi kalian adalah orang-orangnya Ceng Gee Pang ?"
tanya Lo In. "Kalau benar, kau mau apa ?"
"Aku sih cuma mau menanya saja." Lo In berkata sambil
bejak-bejak benda ditangannya. Kiranya itu ada dua panah
kecil yang barusan ia tangkap dengan tangannya dari si
penyerang gelap. Lima orang yang mengurung si bocah terbelalak matanya
karena mereka kenali panah kecil itu terbuat dari logam
istimewa tapi diremas-remas Lo In si bocah seperti juga
meremas tepung terigu. Dua panah itu hancur menjadi bubuk.
"Maju semua !" bentak orang tadi yang berkata pada Lo In,
menganjurkan kawan-kawannya mengepung rapat.
Dengan rada-rada jeri mereka maju.
"Aku hanya satu bocah. Kalau sebentar kalian kalah sama
anak kecil, jangan salahkan aku berbuat kurang ajar, ya !"
berkata Lo In, ketawa nyengir dia.
Panas hatinya orang-orang yang mengepung si bocah. Masa
mereka yang sudah tercatat namanya dikalangan Kangouw
sebagai jago-jago kenamaan boleh diingusi oleh satu bocah
yang belum lepas tetek, pikir masing-masing.
"Anak sombong, lebih baik kau menyerah supaya dengan baik
kita bawa kau ke pusat untuk dihadapkan kepada Pangcu."
kata satu diantara lima orang itu.
"Buat apa aku menghadap Pangcu kalian ?" kata si bocah
acuh tak acuh. Kalau Lo In menghadapi lima jago itu dengan santai saja,
sebaliknya Bwee Hiang dan dua orang pelayannya Ling Ling
dan Lan Lan menjadi ketakutan. Mereka kuatirkan
keselamatannya Lo In. Meskipun Bwee Hiang tahu barusan Lo
In ada unjukkan kepandaiannya yang luar biasa, pikirnya,
anak kecil menghadapi orang-orang gede yang sudah
kawakan dalam kalangan kangouw, mana bisa menang "
Apalagi Bwee Hiang melihat semuanya pada membawa
senjata tajam yang menyeramkan.
Ia diam-diam heran kenapa ada orang-orang masuk ke dalam
rumahnya, sang ayah diam-diam saja " Apakah ayahnya
memang tidak ada di rumah " Mungkinkah sang ayah keluar
sebab tidak kelihatan muncul orang tua itu disitu justru
keadaan sedang gentingnya.
Bwee Hiang menjadi nekat. Ia lalu lompat menghampiri Lo In,
katanya, "Adik kecil, kau jangan takut. Encimu datang
membantu !" Lo In menoleh ke arah Bwee Hiang. "Enci Hiang, kau tenangtenang
saja nonton. Lihat adikmua akan bikin semua paman
ini tangkap angin." "Kentut !" memotong si orang yang berjenggot panjang.
"Jangan jumawa, anak kecil. Lihat kami tangkap kau !"
Berbareng ia ajak kawan-kawannya maju, kira-kira jaraknya
empat langkalh lagi mereka mendekati Lo In, tiba-tiba si bocah
ketawa terbahak-bahak lalu tubuhnya berputar seperti gasing,
perlahan seperti asap tubuhnya naik ke atas hingga lima orang
itu jadi heran dan matanya mengikuti tubuh Lo In yang
ngapung seperti asap. Dalam tertegunnya tiba-tiba mereka
rasakan dengkulnya pada terkulai roboh mendeprok ditanah
dibarengi dengan jatuhnya sepotong baju dari udara. Kiranya
yang mencolot ke udara tadi bukan tubuh Lo In, sebaliknya
bajunya yang melayang ke udara bagaikan asap, sementara
Lo In berbareng sudha jongkok dan lalu menotok 'leng-coanhiat'
jalan darah di dengkul masing-masing lawannya.
Sambil pakai lagi bajunya, Lo In jalan menghampiri Bwee
Hiang yang saat itu berdiri terkesima di tempatnya. Ling Ling
dan Lan Lan terbelalak matanya nampak kejadian yang
mempesonakan di depannya, satu kejadian yang mungkin
dilakukan hanya oleh tukang sulap kawakan dengan ilmu
sihirnya, tapi tidak oleh si anak kecil seperti Lo In. Sungguh
kejadian itu mengagumkan kepada yang melihatnya.
Termasuk itu orang-orang kasar yang telah menjadi korban
totokan Lo In. "Enci Hiang, kau mau apakan orang-orang jahat ini ?" tanya Lo
In. Bwee Hiang masih belum hilang kesimanya, ia hanya
memandang si bocah dengan air mata mengembeng saking
girangnya ia menyaksikan ilmu sakti Lo In.
"Kenapa kau menangis, enci Hiang ?" tanya Lo In kaget.
"Oh, oh, adik kecil. Aku menangis saking kegirangan.
Kau,kau...... selamat."
"Sekarang enci mau apakan mereka itu ?"
"Adik kecil, biarkan saja dahulu, tunggu ayah pu...."
"Tahan, tahan !" terdengar suara dari kejauhan hingga si nona
berhenti bicaranya. Kiranya yang datang itu adalah Liu Wangwee. Ketika is orang
tua sampai pada mereka, Bwee Hiang cepat berkata, "Ayah,
orang-orang ini....."
"Tunggu, aku bicara dahulu." memotong Liu Wangwee.
"Semua ada orang sendiri. Kejadian yang menegangkan
barusan adalah gara-gara ayahmu."
Bwee Hiang terkejut, "Ayah....."
"Tunggu dahulu, aku belum bicara habis." kata Liu Wangwee.
"Anak In, harap kau jangan marah, Semua ini ada aku yang
atur. Aku lihat kau selalu mau umpatkan kepandaianmu yang
sakti, membuat aku jadi tidak sabaran. Maka, kebetulan ada
Pangcu datang dari Ceng Gee Pang dan orang-orangnya.
Pangcu dari Ceng Gee Pang adalah sahabatku. Ketika aku
ceritakan hal dirimu, dia kaget. Karena dia menduga pasti
bahwa kau ada anak itu yang membuat repot cabangnya di
Tong-hong-gay. Sahabatku ingin mencoba-coba dengan
panah saljunya, dibantu oleh lima anak buahnya, ternyata
percobaan mereka telah membuka kedokmua yang
menyembunyikan kepandaian saktimu. Anak In, nanti aku
akan ceritakan panjang lebar duduknya urusan. Sekarang aku
perkenalkan kau dengan Ang Pangcu dari Ceng Gee Pang...."
Berbareng maju satu orang, ternyata orang itu adalah si
pembokong denan panah lihainya, hingga Lo In menjadi
tertawa terbahak-bahak. Setelah Lo In ketawa puas, Soat-cian Ang berkata, "Siauwhiap
(pendekar cilik), harap kau jangan marah. Barusan apa
yang aku lakukan adalah hanya main-main saja. Tidak
sebenarnya kami mau berbuat kurang ajar padamu."
"Main-main tinggal main-main, paman." sahut Lo In, melucu
dia. "Kalau aku tidak punya sedikit kepandaian, barusan aku
sudah ditembusi oleh tiga panah tanganmu."
Semua orang jadi ketawa, begitu juga Bwee Hiang, Ling Ling
an Lan Lan. Lega hatinya masing-masing, setelah tahu
duduknya perkara. Lima orang yang masih mendeprok di tanah lalu dibebaskan
dari totokan oleh Lo In. Mereka pada bangun serentak,
salaman dengan si bocah, memohon maaf untuk kelakuannya
yang barusan dibuat. Tapi Lo In sudah lantas berkata, "Para
paman, kalian tidak bersalah. Malah yang harus minta maaf
pada kalian yang sudah berbuat kurang ajar membikin kalian
duduk ditanah sebentaran. Hahaha.... "
Meskipun kata-kata Lo In membanyol sifatnya, tapi mereka
merasa tersindir juga, tampak muka semuanya pada bersemu
merah saking jengah. Dari musuh sekarang sudah menjadi teman, maka dengan
gembira orang-orang pada masuk ke dalam untuk
menyambung pembicaraan lebih jauh.
Lo In yang tadinya hendak menyembunyikan kepandaiannya,
sekarang sudah tidak bisa lagi. Rahasianya sudah bocor.
Maksudnya menyembunyikan kepandaia, ia tidak mau cari
urusan, kuatir ketahan perjalanannya mencari enci Liannya.
Tidak tahunya ia ketemu dengan Liu Wangwee yang lihat
matanya hingga rahasia dirinya jadi terbongkar.
Soat-cian Ang bersama dengan lima orang pilihannya datang
ke rumah Liu Wangwee untuk memberitahukan bahwa ia tidak
mendapat kabar perihal si kerudung merah. Ia mau damaikan
bagaimana baiknya nanti menghadapi Sucoan Sam-sat. Tibatiba
ia mendengar si bocah hitam ada dirumahnya Liu
Wangwee, membikian ia disamping kegirangan ingin juga
mencoba-coba kepandaian si bocah yang dikatakan Hupangcu
Ang Ban Ie si bocah boleh dijuluki 'Hek bin sin tong'
atau 'si bocah sakti hitam'.
Setelah sekarang ia menjajal kepandaiannya Lo In, barulah ia
mau percaya memang anak itu sakti dalam ilmu silat. Tiga
panahnya yang diarahkan dengan sungguh-sungguh malah
disambut dengan tangan dan mulut. Itu adalah kepandaian
luar biasa yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Malah
yang membikin ia kaget adalah lima orangnya, bukan orang
sembarangan, jago-jago pilihan sudha kena dikerjakan
demikian mudahnya, membuat ia merasa takluk pada
kepandaian si bocah. Dalam omong-omong, Liu Wangwee menyatakan kesulitannya
pada Lo In bahwa ia akan disatroni oleh Sucoan Sam-sat
sedang si kerudung merah yang ditunggu-tunggu tidak
kunjung datang, malah diselidiki juga tidak ketahuan jejaknya
ada dimana. "Mendengar namanya," kata Lo In. "Tiga algojo itu benarbenar
seram. Entah kepandaiannya bagaimana, tapi kalau
sepanjang aku masih ada disini, aku nanti coba-coba
menghadapinya. Harap Lope jangan kuatir."
Liu Wangwee saling pandang dengan Ang Ban Teng.
"Memangnnya kau mau pergi dari sini, Siauw-hiap (pendekar
cilik) ?" tanya Ang Ban Teng.


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan panggil Siauwhiap segala. Panggil saja aku anak In.
Aku paling suka dengar, karena itu ada panggilannya Liok
Sinshe." kata Lo In.
"Baik, baik." sahut Ang Ban Teng cepat. "Aku selanjutnya akan
panggil kau, anak In. Tapi kalau aku boleh tahu, siapa itu Liok
Sinshe yang kau sebutkan ?"
"Liok Sinshe ada seorang baik. Biarlah kita jangan omong
tentang Liok Sinshe sebab nanti bikin aku menangis karena
ingat kepadanya." kata Lo In, sedih tampaknya.
Liu Wangwee dan Soat-cian Ang saling pandang nampak
kelakuannya si bocah. "Anak In, kau mau kemana ?" tanya Soat-cian Ang, nampak Lo
In bangkit dari duduknya dan mau ngeloyor keluar.
Lo In balik tubuhnya, sambil ketawa nyengir ia menyahut. "Aku
mau mencari enci Hiang."
Rupanya si bocah tidak kerasan duduk berunding dengan
orang-orang tua. Liu Wangwee kedipi matanya pada sahabatnya hingga Soatcian
ANg tidak membuka mulut lagi. Mereka hanya
mengawasi saja si bocah ngeloyor keluar.
"Biarkan dia pergi pada Bwee Hiang. Anak itu selama disini
kelihatan akur betul dengan puteriku. Aku percaya Bwee
Hiang dapat menahan dia." kata Liu Wangwee pada Soat-cian
Ang dan para hadirin lainnya.
Soat-cian Ang anggukkan kepalanya. "Adatnya aneh tapi
terang ia mempunyai kepandaian yang luar biasa sampai aku
dan lima Hiocu pilihan digulingkan." menyatakan Pangcu dari
Ceng Gee Pang sambil melirik pada anak-anak buahnya.
Lima Hiocu (pemimpin pusat) pada ketawa, tapi dalam hatinya
merasa malu. Soat-cian Ang alihkan pembicaraan sekarang pada soal
Sucoan Sam-sat. "Bagaimana sekarang pikiran toako ?" tanya Ang Ban Teng.
"Bagaimana kau pikir tentang si bocah ?" balik menanya Liu
Wangwee. "Anak itu berkepandaian tinggi. Hanya aku sangsikan
pengalamannya bertempur dengan jago-jago kelas berat
seperti Sucoan Sam-sat." menyatakan Soat-cin Ang.
"Jadi bagaimana baiknya ?" Liu Wangwee seperti yang
keputusan akal. "SUcoan Sam-sat adalah sangat ganas." menyatakan Soatcian
Ang. "Kalau toako gagal majukan kita punya jago cilik,
akibatnya mengerikan. Seluruh keluarga toako akan dibasmi
olehnya. Ini justru yang aku sedang pikirkan."
Liu Wangwee ketawa. Tapi ketawanya mengandung
kecemasan. Ia rupanya dapat mengerti akan kekuatiran
sahabatnya itu. Memang juga ia sangsikan Lo In nanti bisa
tempur tiga algojo dari Sucoan yang buat itu tapi apa daya "
Keadaan sudah memaksa, si kerudung merah yang diharapharap
kedatangannya kini ditumplek pada si bocah saja. Kalau
toh Lo In tidak tahan mengusir tiga jagoan jahat dari Sucoan
itu, apa boleh buat. Sudah nasibnya mesti hancur lebur
dibawah keganasannya mereka. Cuma ia menyesal kalau
dalam urusannya itu si bocah nanti kebawa-bawa membuang
jiwa dengan percuma. APa nanti kata orang tuanya apabila
mengetahui duduknya urusan bahwa jago cilik itu dibawabawa
olehnya sehingga menemui kebinasaannya.
Memikir kesitu, hartawan Liu menjadi lesu.
Untuk beberapa saat dalam ruangan itu menjadi sunyi.
"Pangcu, bukankah kita akan ketamua Kian-san Ji-lo ?"
nyeletuk salah satu Hiocu dari Ceng Gee Pang yang bernama
Lie Goan Tay. "Aaa... " tiba-tiba Ang Ban Teng terkejut girang. "Kau benar Lie
Hiocu. Aku sampai lupa akan kedatangan Kian-san Ji-lo. Ya,
ya, betul toako."ia meneruskan kata-katanya pada Liu
Wangwee. "Dalam dua hari ini Ceng Gee Pang akan
kedatangan Kian-san Ji-lo, aku nanti coba untuk minta
bantuannya. Asal mereka bersedia membantu, rasanya kita
tak usah kuatirkan akan kedatangannya tiga orang jahat itu
kemari." "Kian-san Ji-lo...." menggumam Liu Wangwee.
"Bukankah toako juga kenal dengan Kian-san Ji-lo Cia Kie dan
Cia Liang " Dua orang tua dari Kian-san itu kepandaiannya
susah diukur." Liu Wangwee anggukkan kepala. "Aku tidak kenal dengan dua
orang tua dari gunung Kian-san (Kian-san Ji-lo)." katanya.
"Hanya kau dengar sepak terjangnya dalam rimba persilatan
tidak menentu sehingga orang sangsi apakah mereka itu
masuk kalangan Pek-to atau Hek-to.
Liu Wangwee belum jelas benar apakah Kian-san Ji-lo itu
masuk Pek-to (golongan ksatria) atau Hek-to (golongan jahat).
"Mereka ada hubungan baik dengan suhuku." berkata Soatcian
Ang. "Kalau aku minta bantuannya, rasanya mereka tentu
mau terima." "Ya, kalau Hiante yang minta untuk memecahkan kesulitan
Hiante sendiri rasanya mereka tidak menolak." menyatakan
Liu Wangwee. "Tapi ini halnya menyangkut diriku, mana dapat mereka
dimintakan bantuannya sedang aku tidak kenal kepada
mereka ?" "Hahaha...." tertawa Soat-cian Ang.
"Toako ini anggap aku seperti orang lain atau bagaimana "
Urusan toako sama juga ada urusanku, kenapa mesti dibedabedakan
?" Senang Liu Wangwee mendengar kata-kata sahabatnya itu,
dengan siapa memang ia bersahabat rapat meskipu tidak
angkat saudara. "Kalau begitu terserahlah untuk mana sebelumnya aku
mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas perhatian
Hiante." kata Liu Wangwee seraya bangkit dari duduknya dan
angkat tangannya menyoja pada Ang Ban Teng hingga
tergopoh-gopoh Soat-cian Ang berdiri untuk membalasnya. Ia
berkata, "Jangan seeji, toako."
Demikian perundingan sudah didapat pemecahan.
Kian-san Ji-lo atau dua orang tua dari gunung Kian-san, she
Cia bernama Kie dan Liang, pendek saja. Sepak terjangnya
disamping membuat kagum orang, juga membikin orang
membenci mereka. Itulah karena perbuatannya yang murah
hati dan kejam buas hingga orang tak dapat memastikan
mereka masuk golongan baik atau jahat.
Mereka ada hubungan baik dengan gurunya Soat-cian Ang, si
panah salju ialah Ang Hui Kin, satu she dengan Soat-cian Ang,
gelarnya 'Touw-kut-ciang' atau 'si pukulan menembus tulang',
cukup kenamaan dalam kalangan Kangouw.
Omong-omong dalam hal berkelana, Ang Hui Kin dapat tahu
kalau dua sahabatnya ini bakal lewati kota Gakwan, maka Ang
Hui Kin minta kalau dua orang tua itu lewat disana, sukalah
mampir di pusat Ceng Gee Pang. Disana muridnya Ang Ban
Teng menjadi Pangcu. Cia Kie dan Cia Leng terima baik undangan itu. Maka diamdiam
Ang Hui Kin sudah mengabarkan pada Ang Ban Teng
bakal kedatangannya dua orang tua itu ke Gakwan.
Benar jgua, dua jago tua yang sepak terjangnya tak menentu
itu datang di Gakwan, selewatnya dua hari dari kejadiankejadian
yang diceritakan diatas. Kedatangan mereka sangat dihormatai sekali oleh Ang Ban
Teng dan anak buahnya. Dalam omong-omong, Soat-cian Ang menceritakan tentang
sahabatnya Liu Wangwee menghadapi kesuakaran akan
disatroni Sucoan Sam-sat dan minta bantuannya dua orang
tua itu untuk menjadi perantara suapaya urusan dapat
didamaikan. Cia Kie kerutkan alisnya setelah mendengar penuturan Ang
Ban Teng. "Untuk menjadi perantara, kami tidak keberatan." kata Cia Kie.
"Cuma soalnya, apakah Sucoan Sam-sat dapat memahami
atau tidak kami punya maksud baik " Biasanya, tiga algojo itu
suka bawa kemauannya sendiri, tidak ingin urusannya
dicampuri orang lain. Inilah yang sulit. Akhirnya, tentu akan
terjadi pertempuran."
Ang Ban Teng terdiam. Lalu ia ceritakan tentang Sucoan Samsat
yang dipecundangi si kerudung merah. Sebenarnya
mereka ada mencari si kerudung merah tapi oelh karena orang
yang dicari tak dapat diketemukan, maka Liu Wangwee yang
akan dijadikan sasaran dari kekejamannya sebagai
pembalasan sakit hati. "Memang aku dengar." Cia Liang kali ini yang bicara. "Pada
waktu belakangan ini ada muncul satu pendekar dengan
kerudung merah. Katanya ia selalu membuat kebaikan dalam
sepak terjangnya sehingga orang sangat memujanya. Kami
belum tahu siapa adanya dia dan ingin sekali kalau ketemu,
kami juga akan coba-coba kepandaiannya yang hebat seperti
dikatakan orang." -- 15 -- Lalu Ang Pangcu ceritakan halnya si bocah Lo In, bagaimana
dia (Soat-cian Ang) dan lima Hiocunya dipecundangi si bocah
secara yang mempesonakan. Dua orang tua itu diam-diam
terkejut mendengar ceritanya Pangcu dari Ceng Gee Pang.
"Ah, masa ada kejadian begitu ?" tanya Cia Liang, tidak
percaya dia. "Memang, kalu tidak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, tidak akan percaya dengan ceritaku barusan." kata
Ang Ban Teng. "Nanti kedua Lo-suhu saksikan sendiri
kepandaiannya yang luar biasa itu."
Tadinya Kian-san Ji-lo mau menolak dengan halus permintaan
bantuan Ang Bang Teng. Tapi setelah mendengar tentang
adanya bocah hitam yang gaib kepandaiannya, maka mereka
jadi rubah haluan. Ingin mereka menyaksikan kepandaiannya
bocah sakti itu. Demikianlah, pada malam harinya dengan diantar oleh Ang
Ban Teng, Kian-san Ji-lo telah bikin kunjungan pada Liu
Wangwee, oleh siapa diterima dengan manis budi hormat
hingga dua orang tua itu menjadi girang.
Selain mereka bertiga, juga Ang Ban Teng ajak lima Hiocunya.
Pikirnya, jikalau perlu mereka bisa dikerahkan tenaganya.
Meskipun bulan muda, malam itu malamnya Sie-gww ce-cit
(bulan 4 tanggal 7 Tionghoa), cuaca tampak terang. Sudah
menjadi kebiasaan dari Liu Wangwee, kalau ada datang tamu
yang menjadi kenalan baiknya, ia suka bawa tamunya itu ke
taman bungan yang dikitari oleh banyak pohon besar dan
tinggi yang terawat baik. Kali ini kedatangan Pangcu dari Ceng
Gee Pang yang membawa serta Kian-san Ji-lo dan lima anak
buahnya juga oleh Liu Wangwee dibawa ke taman tersebut.
Disana, selain mereka menikmati hidangan yang mencocoki
selera, juga menikmati harumnya bunga-bunga yang baru
mekar dalam taman yang luas itu.
Senang kelihatannya para tamu dibawa ke tempat ini. Mereka
memuji Liu Wangwee yang dapat menciptakan taman
sedemikian indah dan menariknya.
Dalam omong-omong Kian-san Ji-lo matanya selalu melirik
sana sini. Liu Wangwee diam-diam heran, tapi Ang Ang Teng
lantas sudah dapat tebak maksud dua jago tua itu. Ia lantas
berkata pada Liu Wangwee, "Toako, kedua Lo-suhu ini ingin
berkenalan dengan anak In. Dimana dia sekarang ?"
"Oh, begitu." sahut Liu Wangwee, tahu sekarang ia kenapa
dari setadian dua jago tua itu larak lirik saja. "Nanti aku suruh
panggil dia." Lantas Liu Wangwee suruh salah satu pelayannya untuk
memanggil Lo In. Tidak lama pelayan itu datang kembali tapi tidak dengan Lo In.
Ia berkata pada Liu Wangwee, "Loya, anak itu tidak ada
ditempatnya." "Coba cari, tentu dia ada bersama Siocia."
"Sudah kucari dan menanyakan pada Siocia. Katanya anak
kecil itu sejak siang tadi keluar dan sampai sekarang belum
kembali." Liu Wangwee heran. Kemana perginya Lo In sebab biasanya
anak itu hampir tidak berkisar dari samping puterinya. Lalu ia
minta maaf kepada dua jago tua itu, katanya, "Harap kedua
Lo-suhu dapat memaafkan, bocah itu katanya tidak ada."
"Jangan seeji, Liu-heng." kat Cia Kie. "Kedatangan kami
kemari memang pertama ingin belajar kenal dengan bocah
sakti itu. Tapi biarlah, kalau dia tidak ada di rumah. Kami
rupanya tidak berjodoh menemuinya."
"Maksud kedua." menyambung Cia Liang, adiknya. "Adalah
hendak mendamaikan urusan Liu-heng dengan Sucoan Samsat.
Kami harap saja berjalan memuaskan dan...."
Cia Leng berhenti bicaranya karena melihat ada satu pelayan
yang berlarian datang menghampiri Liu Wangwee kepada
siapa diserahkan sebatang pisau kecil dengan secarik kertas.
Tanpa menanya lagi pada si pelayan, Liu Wangwee lantas
baca surat itu diterangi rembulan. Tampak mukanya pucat
setelah membaca. "Toako, ada urusan apa yang membuat kau kaget ?" tanya
Ang Ban Teng. Liu Wangwee tidak menjawab, hanya serahkan secarik kertas
itu kepada sahabatnya, siapa lalu menyambuti dan dibaca
isinya. "Sucoan Sam-sat datang !" sekonyong-konyong Ang Ban Teng
berteriak hingga membuat terkejut para hadirin seketika itu,
tidak terkecuali Kian-san Ji-lo.
"Inilah Lo-suhu, coba baca." kata Ang Ban Teng seraya
menyerahkan secarik kertas itu kepada Cia Kie yang lalu
membacanya. Surat itu hanya pendek saja bunyinya :
"Liu In Ciang, meskipun kau minta bala bantuan dua tua
bangka dari Kian-san, rumahmu toh akan kami hancurkan dan
bakar habis. Serumah tanggamu tak ada satu jiwa yang kami
tinggalkan ! Sucoan Sam-sat" "Hehehe !" tertawa Cia Kie. "Kami tidak bermusuhan dengan
kalian, tapi kalau kalian anggap kami sebagai musuh, apa
boleh buat. !" Kemudian ia berpaling pada Liu Wangwee yang masih
tertegun ditempatnya. Ia berkata, "Liu-heng, mereka
memasukkan nama kita berdua. Biarlah kami berdiri
dibelakangmu. Jangan takut Liu-heng. Dan....."
"Hahaha !" sekonyong-konyong kedengaran suara tawa dari
balik gerombolan rumput alang-alang hingga bicaranya Cia
Kie menjadi terhenti lalu berpaling ke jurusan orang tertawa
tadi yang lantas muncul dan Liu Wangwee kenali itulah Sin-mo


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lie Kui, si berewok ganas, saudara ketiga dari Sucoan Samsat.
Terdengar kata-katanya menyambung ketawanya tadi.
"Tua bangka, biarpun kalian berdua berdiri di belakangnya,
percuma saja. Paling baik, kalau kalian tahu gelagat lantas
enyah dari sini dan biarkan kami mengganas pada keluarga
Liu !" Cia Kie dan Cia Liang bangkit dengan serentak. Yang disebut
duluan berkata, "Kian-san Ji-lo belum pernah terbirit-birit lari
oleh karena gertakan. Malah makin digertak mereka makin
nekad. Hahaha..." Tertawanya berhenti karena sebatang piauw menyambar pada
tenggorokannya. "kau kirim barang rongsokan begini. Mana masuk hitungan
jago Kangouw !" Cia Kie kata seraya tangannya diangkat dan
piauw tahu-tahu sudah terjepit pada dua jarinya lalu dibuang
begitu saja hingga membuat Lie Kui panas hatinya melihat
senjata rahasianya dihina oleh Cia Kie.
Melihat akan terjadi pertempuran ramai, maka semua orang
pada mundur. Sedang pelayan-pelayan yang hatinya kecil
sudah pada lari ketakutan.
"Kau sambuti lagi ini !" teriak Lie Kui, berbareng tangannya
saling susul hingga beberapa batang piauw menyambar
dahsyat ke arahnya Cia Kie.
Ta[i si orang she Cia tidak gentar. Dengan berkelit dan
kebasan lengan bajunya yang gedombrongan, semua piauw
Lie Kui kena dijatuhkan. Tidak heran kalau Lie Kui menjadi
jengkel dan penasaran, cepat ia enjot tubuhnya lompat
mendekati Cia Kie. Setelah berhadapan, si berewok obral makiannya pada Cia
Kie sambil dua kepalannya bekerja saling susul menyerang
toako dari Kian-san Ji-lo. Mereka jadi bertempur seru saling
jotos, hebat sekali, sama-sama tandingan.
Liu Wangwee merasa tidak enak hatinya. Belum apa-apanya,
tamu barunya sudah bertarung dengan musuhnya yang ganas.
Bagaimana kalau Cia Kie nanti mengalami celaka "
Ai, kemana perginya si bocah perginya " Demikian pikir Liu
Wangwee yang menjadi kacau pikirannya memikirkan Lo In
yang diharap tenaganya. Sementara itu perkelahian hebat berlangsung terus. Diamdiam
tanpa diketahui oleh orang-orang disitu yang tengah
memusatkan perhatiannya kepada mereka yang sedang
bertempur, disitu sudah tambah dua orang yang bukanlain
adalah Giam-ong Puy Teng dan si Cakar Setan Teng Cong.
Mereka menyaksikan Sam-tenya berkelahi tenang-tenang
saja, seolah-olah sudah memperhitungkan bahwa Cia Kie
bukan tandingan Samtenya yang belakangan ini sudah dipale
oleh gurunya. Lie Kui berkelahi bagaikan banteng ngamuk, pukulannya
mendatangkan suara menderu-deru dan betul-betul saja Cia
Kie keteter. Melihat gelagat jelek, Cia Liang adiknya sudah
lantas nyerbu untuk bantu engkonya tapi si Raja Akherat Puy
Teng sudah menghadang di hadapannya. "Jangan kesusu,
sobat !" katanya. "Kalau mau main-main, jangan ganggu orang
yang sedang enaknya berlatih. Mari aku layani kau !"
Cia Liang gemas. Tanpa banyak cing-cong lagi ia sudah
menerjang Puy Teng. Si Raja Akherat ganas pukulanpukulannya.
Lwekangnya bertambah setelah dipale oleh
gurunya, sebagai bekal untuk menuntut balas. Ia bersilat
degan Mo-jiauw Sin-kang atau Tenaga sakti cengkeraman
setan. Jurus-jurus yang digunakan sangat berbahaya sekali.
Tangannya menjambret dan mencengkeram hingga dalam
sedikit tempo saja Cia Liang menjadi kewalahan melayaninya.
"Celaka !" kata Liu Wangwee dlam hatinya ketika melihat
kedua penolongnya keteter. Bagaimana sekarang " Dari takut,
hatinya Liu Wangwee menjadi nekad. Seketika itu juga lompat
ke dalam kalangan berkelahi hendak membantu Cia Liang
yang sudah kepayahan. Perbuatan Liu Wangwee dicegat oleh Teng Cong hingga dua
orang ini jadi bertempur. Liu Wangwee gunakan 'Bwee hoat
Kun-hoat (Ilmu jotosan bunga bwee) untuk menggempur Mojiauw
Teng Cong. Meskipun kelihatannya perlahan seranganserangannya
tapi antap dan telak sekali mengarah
sasarannya. Dalam beberapa bulan ini, ia berlatih tekun
bersama puterinya. Maka telah didapat kemajuan yang baik
sekali. Ia kelihatan bersilat lebih lincah dan cepat. Kalau tempo
hari ketemu Teng Cong, saat itu Liu Wangwee sudah punya
pukulan-pukulan seperti sekarang, mungkin dapat sama kuat
kalau tidak sampai menang. Tapi sekarang dimana Mo-jiauw
juga sudah mendapat pelajaran dari gurunya sebagai bekal
untuk mencahari si kerudung merah, mau tidak mau Lin In
Ciang harus mengakui pihak lawan ada lebih unggul.
Teng Cong dari dahulu memang adalah setingkat lebih tinggi
kepandaiannya dari dua saudaranya. Ia pun disayang oleh
gurunya Thitouw-eng Ie Jie Lo atau Garuda Kepala Besi yang
menciptakan ilmu pukulannya tersendiri yang dinamai 'Sin-mo
Siang jiauw Ciang-hoat' atau 'Ilmu pukulan Sepasang Cakar
Iblis Sakti'. Melayani Mo-jiauw Sin-kang dari Teng Cong yang lihai, sudah
tentu Liu In Ciang alias Liu Wangwee bukan tandingannya. Hal
mana membuat Pangcu dari Ceng Gee Pang yang menonton
menjadi khawatir. Ia lalu mengedipkan pada lima anak
buahnya. Tidak sampai dikedipi dua kali, mereka sudah sama
mengerti sebab dengan serentak sudah menyerbu ke dalam
arena pertarungan sehingga adegan-adegan saling gempur
dalam taman bunga itu menjadi ramai bukan main.
Tiga orang lawan delapan orang, Sucoan Sam-sat tidak
menjadi keder malah tampak makin bernapsu. Tubuhnya
berkelebatan gesit sekali hingga lawan-lawannya saban-saban
kebogehan serangannya tidak mendapat sasarannya.
Sebentar lagi terdengar jeritan saling susul. Itu adalah jeritan
tanda dari kesakitan. Tampak beberapa tubuh pada roboh
tersungkur, terkulai atau mendeprok di tanah dengan sukar
bangun pula. Mereka yang roboh itu adalah lima Hioucu
bersama Pangcu dari Ceng Gee Pang, mereka kedengaran
merintih kesakitan. Yang masih kuat bertempur tnggal Kiansan
Ji-lo dengan tuan rumah. Tapi juga tidak lama sebab Cia
Kie sudah dibikin mental tubuhnya kena tendangan Lie Kui,
Cia Liang adiknya menyusul kena dicengkeram pundaknya
oleh Giam-ong Puy Teng sedang Liu Wangwee tampak masih
terus bertahan. Ini bukannya karena Liu Wangwee ilmu
silatnya lebih tinggi dari Kian-san Ji-lo, yang sebenarnya kalau
ia masih terus dapat bertahan adalah Teng Cong tidak
sekejam dua saudaranya. Ia bermaksud mau bikin Liu
Wangwee lelah dan roboh sendirinya, ia peras tenaga Liu
Wangwee dengan kegesitannya lompat sana sini.
Dalam keadaan sudah tinggal robohnya saja, tiba-tiba Liu
Wangwee mendengar teriakan puterinya dari jauh yang
barusan keluar dari rumahnya. Bwee Hiang barusan saja
mendapat laporan dari salah satu pelayannya bahwa ayahnya
terancam bahaya di taman bunga, berhantam dengan salah
satu orang dari Sucoan Sam-sat.
Ia cepat sembat pedangnya dan lari keluar. Tampak olehnya
sang ayah sudah lelah dan tinggal robohnya saja. Hatinya
sedih bercampur gusar, ia berteriak, "Orang jahat, kau jangan
lukai ayahku !" Dengan beberapa lompatan ia sudah sampai di taman bunga.
Mo-jiauw Teng Cong lompat mundur ketika diserang Bwee
Hiang dengan pedangnya. Berbareng tampak Liu Wangwee
sudah jatuh duduk saking lelahnya karena barusan diperas
tenaganya oleh si Ji-ko dari Sucoan Sam-sat.
"Jangan melukai ayah ! Berani ganggu lagi, jangan sesalkan
pedang nonamu tidak mengenal ampun !" kata si nona dengan
gagah, ia berdiri di samping Liu Wangwee yang mengeletak
empas-empis kecapaian. Kian-san Ji-lo dan yang lainnya sudah pada rebah malang
melintang, dari mulutnya keluar rintihan kesakitan.
Melihat kejadian itu semua, hatinya si nona sangat sakit. Ia
menyesal orang kabarinya telah terlambat. Kalau tidak, tentu
ia sudah keluar siang-siang membantu para tamu yang
membantu ayahnya menempur si tiga algojo buas.
"Ji-ko, serahkan dia padaku." kata Lie Kui yang kegirangan
melihat si botoh dapat ia jumpai kembali. "Kalau sebentar kita
basmi keluarga Liu, biar tinggalkan dia untuk aku. Hahaha....."
Bwee Hiang kenali si berewok yang tempo hari kurang ajar
terhadap dirinya. Matanya melotot gemas ke arah si ceriwis
hingga Lie Kui kembali berkakakan ketawa.
"Kau ketawai apa, orang jelek !" semprot si gadis.
"Kau jangan marah. Jelek-jelek aku bakal suamimu, bukan ?"
goda Lie Kui. "Fui !" si gadis meludahi muka Lie Kui, saking gemasnya.
Sin-mo Lie Kui keburu berkelit hingga mukanya tidak sampai
berkenalan dengan ludah si nona. Ia tidak marah, malah
dengan ketawa hahah hihi, ia menghampiri Bwee Hiang.
Tangannya yang nakal diulur untuk mencolek pipi orang, tapi
pedang si nona menyabet laksana kilat. Cepat ia tarik
tangannya, kalau tidak, pasti tangan nakal itu akan kutung dan
kutungannya pasti jatuh di tanah.
"Nona manis, kau jangan galak-galak. Nanti aku cium kau di
depan orang banyak !" Lie Kui mengancam dengan
omongannya yang tidak enak di dengar untuk telinga si nona.
"Tutup mulut kotormu !" bentak Bwee Hiang. Berbareng
pedangnya dikasi kerja untuk menyerang si setan sakti.
Pikirnya, ia sudah berlatih banyka dengan ayahnya, masa ia
tidak bisa menabas si berewok yang memuakkan ini " Ia tidak
tahu bahwa Lie Kui juga sudah dapat kemajuan banyak,
dibekali oleh gurunya. Serangan si nona meskipun bagus dan berbahaya, tidak
ubahnya seperti dahulu ketika ia menghadapi Lie Kui. Ia hanya
diganda dengan berkelit sana sini saja hingga diam-diam
Bwee Hiang mengeluh kenapa dirinya goblok amat tidak bisa
menjatuhkan Lie Kui. Si setan sakti sebaliknya merasakan bahwa ilmu pedang si
nona sudah jauh berbeda dengan dahulu. Diam-diam ia amat
berterima kasih pada gurunya sebab kalau tidak
kepandaiannya ditambah, sekarang menghadapi si nona,
salah-salah lehernya bisa dibabat pedang yang menari-nari
dengan sangat cepatnya. Bwee Hiang gunakan gurus serangan kesayangannya, ialah
'Bwee hiang boan-wan' (harumnya bunga bwee memenuhi
taman), bagus sekali dimainkan oleh si gadis. Gerakan
pedang menari-nari dengan indahnya. Menyabet ke kiri ke
kanan, ke atas ke bawah dengan cepat sekali. Dengan itu ia
coba mendesak si setan sakti tapi tidak bermanfaat. Lie Kui
adalah lebih gesit dari dahulu. Malah sekarang lantaran agak
kewalahan, selainnya berkelit sana sini, lengan bajunya sering
dipakai menyampok pedang hingga serang si nona sering
mencong dari sasarannya. Teng Cong dan Puy Teng ketawa bergelak-gelak melihat si
bontot tengan permainkan si nona yang sudah jadi mandi
keringat. Sebaliknya, Kian-san Ji-lo menonton dengan rasa penuh
penasaran. Pangcu dari Ceng Gee Pang dengan lima anak
buahnya merintih-rintih menahan sakit dari lukanya sedang Liu
Wangwee keadaannya dalam sadar atau tidak, mengikuti
jalannya pertempuran si gadis lawan si bontot dari Sucoan
Sam-sat. Sebentar lagi, tampak si gadis menusuk dengan bernapsu.
Inilah tindakan yang ditunggu-tunggu oleh Lie Kui. Dengan tipu
'Han mo tui ho' atau 'Setan kedinginan mengejar api', ia lihat
pedang Bwee Hiang tangan bajunya dibarengi dengan
kekuatan lwekang, ia menyentak hingga senjata itu terlepas
dari cekalannya si gadis. Malah Bwee Hiang hampir
terhuyung-huyung menubruk si berewok kalau sja ia tidak
cepat-cepat tancap kakinya dengan ilmu 'cian kin tui' yang
membuat berat badannya seribu kati.
Bwee Hiang berdiri terkesima. Putuslah semua harapannya.
Tadinya ia berbesar hati dengan ilmu pedangnya yang hebat,
ia dapat melindungi orang-orang yang kini rebah malang
melintang. Kenyataannya, ilmu pedangnya meskipun
meningkat berkat pengunjukkannya si kerudung merah, tidak
bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi si muka berewok.
Ia lupa bahwa lwekannya kalah jauh dengan Lie Kui. Jago
pedang tak dapat menjadi jago pedang yang kesohor jikalau
ilmunya itu tidak dibarengi dengan lwekang yang tinggi.
Seperti Bwee Hiang, ilmu pedangnya bukannya jelek, ia bisa
bikin Lie Kui mandi keringat dan mungkin tertusuk salah satu
anggotanya kalau saja lwekangnya Bwee Hiang sedikit sama
dengan tenaga dalamnya si berewok.
Bwee Hiang hanya merasa cemas, cemas karena latihannya
kurang mahir pikirnya. Sayang, sebenarnya Bwee Hiang bisa
menjadi jago betina kelas wahid sebab ia berbakat kalau saja
ia mendapat didikan yang baik dari seorang berilmu dan
melatih lwekangnya yang dahsyat untuk menghadapi jagojago
kuat. Dalam putus asa dan hilang harapan, Bwee Hiang cuma bisa
jongkok dan menubruk ayahnya, dipeluki sambil menangis.
"Oh, ayah, anakmu yang celaka ini, yang membuat gara-gara
ini semua. Oh, ayah, ayah....." ia menangis makin keras ketika
sang ayah digoyang-goyang tubuhnya tinggal diam saja.
Dasar orang buas, dengan tidak punya perasaan sedikitpun
melihat orang sedang bersedih. Sin-mo Lie Kui seraya
menghampiri si nona, ia menggodai, "Nona manis, kalau aku
Lie Kui tidak pandang kau ada calon istriku, siang-siang sudah
aku cabut nyawamu. Sekarang jangan nangis, marilah ikut
aku..........." "Tahan, tahan, aku datang....." terdengar orang berteriak,
keluar dari pintu belakang rumah. Teriakan mana membikin
Lie Kui tidak jadi mencekal lengan si botoh yang lemas halus.
Dalam sekejapan saja lantas berdiri di depan Sucoan Sam-sat
seorang anak berwajah hitam. Mereka tidak tahu bagaimana si
bocah bergerak sebab tahu-tahu setelah terdengar
teriakannya 'Tahan, tahan, aku datang........', orangnya sudah
berdiri di hadapan mereka. Sudah tentu mereka tidak pandang
mata pada Lo In yang hanya satu bocah mukanya hitam, lain
tidak. Lie Kui tertawa, kapan melihat anak kecil itu wajahnya hitam.
Ia berkata, "Anak kecil, pantas benar kalau kau jadi anak aku
Lie-toaya (tuan besar Lie)."
Lo In ketawa nyengir. "Sama-sama hitam, bagus sekali kalau
kau pelayan dari aku Losiauwya (tuan kecil)". sahut Lo In.


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matanya Lie Kui mendelik pada si bocah.
"Hei, anak kecil. Lekas kau enyah dari sini !" kata Giam-ong
Puy Teng nyaring. "Kenapa aku harus pergi ?" tanya Lo In.
"Di sini bukan urusan anak kecil, semua urusan orang tua !"
sahut Puy Teng. Lo In tiba-tiba ketawa gelak-gelak. Meskipun suaranya tidak
sekeras orang dewasa, tapi bagi telinga bukan main berisiknya
hingga dirasakan pekak oleh karenanya. Sucoan Sam-sat
bukan main kagetnya apabila merasakan suara ketawa itu
selain menyelusup ke kuping memekakkan juga jantung rasa
tergetar. Teng Cong yang sangat berhati-hati dalam segala hal lalu
menanya pada si bocah, "Saudara kecil, apa maksudmu
datang kemari ?" Matanya si bocah berkilat melihat ke sekitarnya, banyak orang
bergeletakan rebah keluarkan rintihan sedang enci Hiangnya
sedang menangis sesengukkan memeluki Liu Wangwee. "Enci
Hiang, kau mengapa menangis ?" ia tanyai Bwee Hiang dan
tidak meladeni pertanyaannya Mo-jiauw Teng Cong.
"Adik kecil, kau terlambat datang. Oh, ayah, ayah
sudah.........." Bwee Hiang tak dapat melampiaskan katakatanya.
Karena sangat sedih, ia tersedu-sedu menangis
sembari peluki tubuhnya Liu Wangwee dan digoyang-goyang,
mulutnya tak hentinya memanggil : "ayah, ayah !"
"Anak bau, kau bikin ribut saja !" bentak Lie Kui seraya
tangannya yang segede apa tahu, digaploki ke kepala Lo In.
Badannya si berewokan mendadak terputar sendiri karena
saking kerasnya ia memukul, ia telah menggaplok angin sebab
Lo In sudah lenyap dari hadapannya.
Mo-jiauw Teng cong yang lihat gelagat jelek sudah lantas
hendak mencegah Lie Kui berlaku kasar pada si bocah tapi
gagal akeran Giam-ong Puy Teng yang berangasan sudah
turun tangan mencengkeram kedua pundak Lo In saat itu ada
dibelakangnya Lie Kui. "Celaka !" pikir Mo-jiauw Teng Cong dalam hati kecilnya.
Sebelum ia membuka mulut hendak mencegah toakonya
berlaku kasar, tiba-tiba terdengar : plak ! plak ! tiga kali.
Tubuhnya Giam-ong Puy Teng tampak terputar bagaikan
gasing, seraya tangannya memegangi pipinya yang kena
digampar oleh Lo In. Kesakitan bukan main dia, sebab giginya
sampai pada rontok, malah kepalanya jadi keleyengan pusing
karena tubuhnya terputar. Entah dibagaimanakan oleh si
bocah nakal. Bwee Hiang sembari tersedu-sedu menangis, diam-diam ia
perhatikan gerak gerik adik kecilnya. Melihat Lo In dalam
segebrakan saja membuat dua jagoan yang kesohor
kebuasannya menjadi pecundang, bukan main girangnya.
Malah ia tertawa ngikik waktu nampak Giam-ong tubuhnya
berputar macam gasing seraya memegangi pipinya yang
bekas digampar si bocah. Melihat keadaan genting, Mo-jiauw Teng Cong tak dapat
berpeluk tangan menonton. Segera ia melompat, maksudnya
hendak membekuk Lo In yang berdiri membelakanginya.
Adegan itu sangat menegangkan urat syaraf sampai-sampai
Bwee Hiang menjerit saking ngerinya melihat si bocah
dibokong. Tapi bukannya si bocah yang kena dibekuk,
sebaliknya si Cakar Setan yang tersungkur dan ngusruk habis,
mukanya mencium tanah. Terbelalak matanya si gadis. Ia hampir tidak percaya akan
penglihatannya sebab Lo In tampaknya lenyap seperti asap
saja. Gerakannya bagaikan kilat, seantero tubuhnya seperti
ada matanya, tidak mudah di bokong lawan.
Giam-ong Puy Teng tampak roboh terkulai, setelah main
gasing sebentaran. Ia rasakan kepalanya pusing benar,
mulutnya berlumuran darah. Ketika ia semburkan ada tiga
empat biji giginya yang ikut lompat keluar dengan darahnya.
Lie Kui naik pitam. Goloknya yang berkilauan dihunus dari
sarungnya. "Anak haram jadah ! Kau rasakan golok kakakmu !" bentaknya
disusul dengan serangan membacok dari atas ke bawah
kemudian dari samping kiri ke kanan dan sebaliknya, disusul
dengan tikaman ke arah dada, dahsyat sekali. Cepat
serangannya Lie Kui, bertubi-tubi. Tidak heran sebab ia
menggunakan salah satu jurus yang paling ampuh dari 'Sinmo
Siang jiauw Ciang-hoat' yang dinamai 'Han mo hoan sin'
atau 'Setan kedinginan jungkir balik'.
Cuma si berewokan merasa amat gegetun karena tiap
tebasan, tikaman dan sontekan dari goloknya, seakan-akan
menebas, menikam dan menyontek bayangan saja. Lo In di
depannya bergerak terlalu gesit, meskipun melayani ia dengan
tangan kosong. Mata Lie Kui serasa mabuk, nampak Lo In seperti menari-nari
dengan lima bayangan, mengitari dirinya. Terpaksa ia
membacok sana sini, serabutan saja.
Untuk mengocok si berewokan itu, Lo In sudah gunakan
gerakan 'Thian lie pian in', ialah 'Bidadari menari di awan'. Si
bocah punya 'Bu ong sin kang' (tenaga sakti tanpa bayangan)
yagn sempurna, telah memungkinkan ia memerkan gerakan
yang indah, lincah dan gesit laksana kilat dalam jurusnya
'Bidadari menari di awan' tubuhnya tampak bagaikan menarinari
diikuti dengan lima bayangan. Karena ini si bontot dari
Sucoan Sam-sat matanya menjadi mabuk.
Bwee Hiang berhenti menangis. Ia terpesona dengan
kepandaiannya si bocah sakti yang nakal, lupa ia kepada
ayahnya yang barusan ia peluki dengan tangisan terisak-isak.
Demikian mudah si bocah permainkan Lie Kui yang tinggi
besar, kasar. Hatonya merasa puas. Pikirnya, "Aku sendiri tak
dapat membalas si kurang ajar. Biarlah adik In yang tolong
balaskan !" Dalam berpikir demikian, tiba-tiba ia menjerit, "Adik kecil, awas
!" Berbareng dengan jeritan si gadis tampak Lo In jumpalitan.
Ujung sepatunya yang kecil menotok jalan darah di
pergelangan tangan kanan Lie Kui hingga goloknya terpental
dan orangnya jatuh numprah. Badannya Lo In kemudian
berputar, mencelat ke atas beberapa kali. Ketika si bocah
berhenti bergerak, tampak ia berdiri dengan mulut menggigit
pisau dah dua tangannya juga menggenggam pisau.
Dari mana Lo In dapat tiga pisau dengan berbareng "
Itu ketika sedang gembiranya Bwee Hiang menonton si
berewokan dipermainkan oleh adik kecilnya, tiba-tiba matanya
yang awas melihat Mo-jiauw Teng Cong tengah mengayun
tangannya melepaskan senjata rahasianya 'Thoat-beng-ciam'
(Jarum pencabut nyawa) dan Giam-ong Puy Teng
menyambitkan 'Hui-to' (pisau terbang).
Mereka lepaskan senjata-senjata rahasianya dengan serentak
dan saling susul hingga Bwee Hiang menjerit 'Adik kecil, awas
!' dan hatinya ketakutan adik kecilnya mati dibokong oleh dua
orang jahat itu. Mendengar tanda bahaya, si bocah lantas
jungkir balik, ujung sepatunya menotok pergelangan Lie Kui
hingga goloknya jatuh untuk hindarkan hujan jarum, badannya
berputar mengebut dengan bajunya sedang sambaransambaran
pisau terbang Giam-ong Puy Teng, ia punahkan
dengan tubuhnya mencelat pergi datang beberapa kali. Dua
pisau ia tangkap dan satu ia gigit hingga waktu ia tancap kaki
pula ke tanha, tampak gayanya lucu sekali. Mulutnya yang
menggigit pisau seperti ketawa, dua pisau yang dipegang
kedua tangannya diacung-acungkan. Tapi hanya sejenak saja
si bocah hitam bergaya lucu sebab kemudian pisau di tangan
kiri ia lontarkan pada Lie Kui, mengarah kuping sebelah kiri
hingga si berewokan menjerit dan memegang telinganya yang
daunnya sudah copot. Pisau di mulut ia tiup, menyambar
telinga Mo-jiauw Teng Cong sebelah kanan hingga ia pun
menjerit, daun kupingnya mental jatuh di tanah. Tinggal pisau
di tangan kanannya yang membuat Giam-ong Puy Teng
menggigil ketakutan sebab saat itulah ada gilirannya.
Si bocah dengan wajahnya yang hitam legam memandang
toako dari Sucoan Sam-sat. Kemudian ia menengadah ke
langit lalu tertawa gelak-gelak yang memekakkan telinga tiga
algojo pecundang, setelah mana ia memandang pula Giamong
Puy Teng dan berkata, "Kau ada paman jahat, biar
hukuman begini saja !"
Berbareng dengan kata-katanya, pisau ditangan kanannya
juga sudah lantas meluncur ke arah mata kirinya. Pisau itu
meluncur cepat karena di dorong oleh kekuatan lwekang
sehingga tahu-tahu sudah nancap pada matanya si raja
akherat tanpa ia dapat berkelit lagi. Ia teraduh-aduh sambil
pegangi matanya yang berlumuran darah.
Sucoan Sam-sat rasakan hukuman yang mereka terima lebih
berat dari si kerudung merah sebab dua daun kuping yang
mental dari tempatnya tak dapat ditempel lagi dan matanya
Giam-ong Puy Teng menjadi meram dua-duanya. Ia menjadi
buta. Untuk mengeroyok Lo In, itu sudah tak mungkin. Si bocah
kepandaiannya benar-benar mempesonakan. Belum pernah
mereka saksikan jago silat yang mana juga, apalagi Lo In
hanya satu anak kecil saja. Dengan memimpin toakonya yang
sudah buta, Teng Cong dan Lie Kui berlalu meninggalkan
tempat itu. Mereka ketakutan ditahan oleh Lo In tapi
kenyataannya tidak demikian sebab si bocah sudah bertindak
menghampiri Bwee Hiang, tidak menghiraukan lagi pada
mereka. "Adik kecil, kau datang terlambat. Kemana saja kau pergi ?"
tanya Bwee Hiang sambil deliki matanya, ia memarahi si adik
kecil. Lo In hanya tertawa nyengir. Ia tidak ladeni enci Hiangnya.
Sebaliknya, ia lantas jongkok untuk memeriksa keadaan Liu
Wangwee. "Gara-gara kau adik kecil datang terlambat, ayah, ayah
sudah....." Bwee Hiang kembali menangis sesenggukkan,
seraya goyang-goyang tubuhnya Liu Wangwee.
Bwee Hiang rupanya ngeri untuk mengatakan 'ayah sudah
MATI', hanya sampai pada kata 'sudah' lantas ia nangis
sesenggukan seperti anak kecil.
"Enci Hiang, kenapa kau menangisi lope begini sedih ?" kata
Lo In setelah si bocah memeriksa Liu Wangwee.
Sambil menyeka air matanya dengan lengan baju, Bwee
Hiang menyahut, "Kau bisa kata begitu tapi bagaimana aku
tidak bisa menangis karena dia sudah pulang..... Oh, ayah,
ayah, kau tega tinggalkan Bwee Hiang....."
Bwee Hiang menangis keras, malah kali ini gegerungan.
Lo In menjadi heran, dari heran ia jadi tertawa terbahak-bahak.
Sudah menjadi wataknya rupanya, kalau Lo In menghadapi
sesuatu yang akan meminta tenaganya, ia suka tertawa
terbahak-bahak. Orang sedang kematian bapak, sedih bukan main. Menangis
untuk melampiaskan kesedihan, tiba-tiba mendengar si bocah
ketawa terbahak-bahak, sudah tentu si nona menjadi jengkel.
Tak tahan meluapnya hawa amarah, maka seketika itu ia
sudah lantas merangsang Lo In yang sedang jongkok di
dekatnya. Ia ingin cekek mampus saja si bocah seketika itu
sampai melupakan badannya bersentuhan dengan si bocah.
Gemas ia hendak menggigit Lo In yang saat itu dengan sabar
melayani tangan si nona yang saling susul hendak
mencengkeram mukanya. Dua tangannya si nona sudah kena
dipegangi Lo In, lalu Bwee Hiang gunakan mulutnya menggigit
pipi si bocah muka hitam. Heran, Lo In tinggal antapkan saja
pipinya digigit si nona. Lo In kelihatan seperti yang bercanda dengan Bwee Hiang,
tapi sebaliknya si nona beringas hendak menerkamnya.
Orang-orang yang melihat perbuatan Lo In pada mencela,
diam-diam pada mengutuk kelakuan si bocah yang
keterlaluan. Masa orang yang menangisi ayahnya yang mati
ditertawakan, mereka tidak menyalahkan kalau si nona begitu
marah. Malah, kalau mereka tidak sedang terluka, tentu
dengan serentak turut mengganyang si bocah.
Bwee Hiang rasakan menggigit pipinya Lo In bukannya
menggigit daging tapi seperti menggigit kapas, lunak bukan
main. Dalam sikapnya itu ia bukan menggigit, sebaliknya
Pedang Berkarat Pena Beraksara 8 Dewa Arak 64 Satria Sinting Iblis Cebol 2
^