Pencarian

Bocah Sakti 6

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 6


seperti ia menciumi si hitam. Ketika ia sadar atas kelakuannya
yang tidak benar, ia rasakan dirinya sudah berada dalam
pelukan Lo In. Ia berontak tapi tanpa hasil. Kedua tangan Lo In
yang memeluk dirinya seperti besi seberat seribu kati, susah
disingkirkan. Ia jadi jengah dengan sendirinya, selebar
mukanya merah karena malu. Ketika mulutnya sudah siap
hendak mencaci maki, tiba-tiba ia mendengar si bocah
berkata, seperti berbisik di kupingnya, "Enci Hiang, jangan
marah. Juga jangan menangis sebab Lope tidak apa-apa....."
Bwee Hiang mendelik matanya, "Apa kau masih belum mau
lepaskan encimu ?" Bwee Hiang menegur tatkala si bocah
masih terus memeluki tubuhnya.
Sambil ketawa haha hihi, Lo In lepaskan pelukannya.
Kelakuan Lo In hanya bersifat main-main saja. Ia anggap
Bwee Hiang seperti Eng Lian. Sebaliknya bagi Bwee Hiang
yang sudah dewasa, merasa tidak enak Lo In perlakukan
dirinya demikian di depan orang banyak.
Ketika ia hendak melampiaskan amarahnya via mulutnya, Lo
In sudah mendahului berkata, "Enci Hiang, Lope hanya
kehabisan tenaga. Dia tidak mati !"
"Hah ! Masa ?" Bwee Hiang kaget tapi timbul harapannya.
"Kau lihat, nanti adikmu tolong Lope." kata Lo In.
Sambil berkata, tangan Lo In bekerja. Ia angkat tubuhnya Liu
Wangwee supaya dikasih duduk, lalu berkata pada Bwee
Hiang, "Kau bantu aku, enci Hiang. Kau pegangi tubuh Lope
supaya dia dapat duduk tegak."
Bwee Hiang cepat membantu, memegangi tubuhnya Liu
Wangwee yang lemas dan hendak jatuh rebah lagi. Kemudian
Lo In tempelkan tangan kirinya ke bokong si orang tua, tangan
kanannya menempel di dada. Seperti strum mengalir, tenaga
dalamnya Lo In yang dikerahkan, sudah nyusup membuka
otot-otot yang mecet dan saluran-saluran darah yagn jalannya
mampet. Dalam tempo tidak lama, kelihatan Liu Wangwee
bergerak, kemudian menarik napas dan membuka matanya.
Saking kegirangannya, Bwee Hiang lantas mau berteriak dan
memeluk ayahnya tapi melihat Lo In geleng-geleng kepalanya,
ia tidak berani sembarangan. Ia taat pada kewajibannya
sampai si orang tua pulih kesegarannya. Ia melihat Lo In dan
Bwee Hiang ada didekatnya. Si gadi tengah memegangi
tubuhnya, sedang Lo In menempelkan telapakan tangannya di
dada dan di bebokongnya. Liu Wangwee mengerti bahwa Lo In sedang menolong dirinya
dengan tenaga dalamnya yang dahsyat sebab ia rasakan
hawa panas menyelusup dimana-mana dalam tubuhnya dan
segera ia merasakan kesegarannya kembali.
"Anak-anak, terima kasih atas pertolongan kalian." Liu
Wangwee tiba-tiba berkata.
Bwee Hiang memandang Lo In dan Lo In anggukkan
kepalanya. Itu sebagai tanda si nona boleh bicara dengan
ayahnya. Seketika si nona sudah menubruk ayahnya dan
berkata sambil berlinang-linang air mata, "Ayah, kau sudah
sembuh. Oh, untung ada adik kecil. Kalau tidak, entahlah
bagaimana jadinya kita." Bwee Hiang berkata seraya
menunjuk pada Lo In yang saat itu juga ia sudah hentikan
pertolongannya pada Liu Wangwee yang sudah kembali
kesehatannya. "Anak In, terima kasih. Kau anak baik. Semoga selamanya kau
mendapat perlindungan dari Thian...." Liu Wangwee berkata,
seraya ia bangkit dari duduknya dibantu oleh Bwee Hiang
yang sangat kegirangan. Setelah melihat sang ayah dapat bergerak bebas, si nona
lepaskan tangannya yang membantu Liu Wangwee untuk
berdiri. Lalu ia rapihkan rambut kepalanya yang awut-awutan
dan ketika ia merapihkan pakaiannya yang juga awut-awutan,
matanya melirik pada Lo In yang mengangguk sambil ketawa.
Bwee Hiang pelototi matanya sebentar, tapi ia pun ketawa
mesem. Ia sadar sekarang, bahwa perbuatan Lo In barusan
bukannya kelakuan kurang ajar. Itu hanya kelakuan dari
seorang bocah nakal yang menganggap ia (Bwee Hiang)
sebagai teman sebayanya memain.
Kalaupun dimisalkan Lo In barusan main gila terhadap dirinya,
si nona pun tidak merasa menyesal sebab pertolongan Lo In
pada orang tuanya ada jauh lebih berharga dari kenakalannya
si bocah barusan atas dirinya. Maka itu, barusan setelah
pelototi Lo In, ia telah kasih senyum mesem memikat pada si
bocah hitam. Liu Wangwee melihat Kian-san Ji-lo dan Pangcu beserta anak
buahnya roboh malang melintang terluka karena
mengganasnya Sucoan Sam-sat, hatinya sangat terharu.
Sebab oleh karena hendak membantu dirinya, mereka telah
menjadi korban. "Anak In, coba kau periksa lukanya para pamanmu itu.
Barangkali kau dapat menolongnya." berkata itu Liu wangwee
kepada Lo In. (Bersambung) Jilid 06 Si bocah menurut. Yang luka parah ternyata Cia Liang dari
Kian-san Ji-lo, tulang sambungan pundak sebelah kiri remuk
dicengkeram Giam-ong Puy Teng. Cian Kie sang engko tidak
seberapa berat kena tendangan Lie Kui sedang Pangcu dan
lima anak buahnya dari Ceng Gee Pang hanya luka-luka
ringan. Mungkin karena takut, mereka tidak berani maju lagi
dan pura-pura merintih kesakitan ketika mereka dirobohkan.
Sementara Lo In memberi pertolongan kepada mereka yang
terluka, Bwee Hiang di lain pihak sudah nyerocos menuturkan
bagaimana Lo In menempur tiga jago jahat dari Sucoan dan
merobohkannya satu persatu.
Liu Wangwee ketika Lo In datang, ia sudah jatuh pingsan,
tidak menonton pertempuran ramai itu. Maka sambil anggukanggukan
kepala, diam-diam Liu Wangwee merasa sangat
kagum akan kepandaian Li In yang sakti.
"Hek-bin Sin-tong...." kedengaran ia menggumam setelah
mendengar habis si nona bercerita. Ini adalah cetusan
perkataan yang tanpa terasa dari bibirnya Liu Wangwee
seperti juga kejadian dengan Hu-pangcu dari Ceng Gee Pang
tempo hari. Julukan bagi Lo In ialah 'Hek-bin Sin-tong' atau 'Si bocah sakti
berwajah hitam', sejak membuat kucar kacir Sucoan Sam-sat
telah menjadi populer di kalangan Kangouw. Nama Hek-bin
Sin-tong untuk Lo In dengan serentak telah menjadi terkenal.
Seraya mengurut-urut jenggotnya, Liu Wangwee menarik
napas tatkala Bwee Hiang habis menutur. Parasnya kelihatan
sangat berduka, hingga Bwee Hiang jadi kaget.
"Ayah, kau kenapa ?" tanya sang gadis penuh kuatir.
"Aku menyesal anak In datang terlambat. Kalau tidak, tentu
para pamanmu tidak sampai mengalami malapetaka seperti
sekarang ini." jawab sang ayah lesu.
"Aku juga tidak tahu kemana anak nakal itu sudah pergi. Coba
aku nanti tanya padanya." kata Bwee Hiang seraya bertindak
menghampiri si bocah yang sedang repot.
Kiranya Lo In tidak boleh disalahkan. Sebab ia tidak tahu kalau
pada malam ini bakal kedatangan Sucoan Sam-sat. Ia permisi
pada Bwee Hiang untuk jalan-jalan keluar lantaran ada urusan
sendiri. Si bocah masih penasaran pada orang yang menggasak
miliknya berupa bungkusan kecil. Uang ia tidak buat pikira.
Yang ia sayangi obat-obatan yang ia bawa ada dalam
bungkusan itu. Maksudnya ia keluar jalan-jalan, siapa tahu ia
dapat pergoki orang yang menyikat barang miliknya itu. Dari
siang ia kelayapan tanpa tujuan sampai pada saat cuaca
remang-remang ia lihat ada seorang yang kebetulan
kesamprokan dengannya seperti ketakutan dan menjauhkan
diri. Orang yang potongannya kurus kecil tapi gesit. Romannya
seperti kunyuk, ketawanya tidak enak dilihat. Lo In lantas
curiga, mungkin orang ini yang sudah ambil buntelan kecilnya.
Ia pura-pura tidak memperhatikan tapi diam-diam ia pasang
mata kemana perginya orang itu. Lo In harus melewati
beberapa lapangan dan tikungan untuk menguntit orang yang
mencurigakan itu. Waktu sampai pada satu jalan yang
menikung ke belakang sebuah kuil kecil, Lo In kehilangan jejak
orang yang dikuntitnya. Ia merasa heran. Bagaimana orang itu
bisa lolos dari kuntitannya.
Pikirnya, tidak bisa salah. Orang itu tentu masuk ke dalam kuil
di situ. Dasar anak bernyali besar, tanpa pikir dirinya bisa terjebak, Lo
In sudah masuk dalam kuil itu. Di dalam ia disambut oleh
Hweshio (pendeta) muda dari kira-kira berusia 18 tahun dan
menanyakan pada Lo In, "Saudara kecil, ada urusan apa kau
datang kemari ?" "Aku hendak sembahyang, suhu." sahutnya singkat, sedang
matanya berkilat memperhatikan sekitarnya. Ia mengharap
kalau-kalau dapat melihat orang yang dikuntitnya.
Omongnya mau sembahyang tapi Lo In tidak maju ke tempat
pemujaan, sebaliknya ia jalan sana sini melongok-longok
mencari orang yang dicurigai.
"Saudara kecil, kau cari apa ?" tanya si Hweshio mesem,
rupanya sudah tahu apa yang diinginkan oleh si bocah.
"Tidak, aku mau mencari orang. Apa suhu dapat lihat ada
orang kurus kecil masuk ke sini barusan ?" Lo In balik
menanya. "Bukankah saudara kecil hendak sembahyang ?" menanya
lagi si Hweshio. "Sembahyang belakangan kalau aku sudah ketemu orang itu."
sahutnya, nyengir. "Saudara kecil, tempat disini tidak boleh dipakai main-main !"
kata si Hweshio. "Aku omong benar, bagaimana kau katakan main-main ?"
"Tadi bilangnya mau sembahyang, sekarang mau cari orang.
Apa itu bukannya main-main ?"
"Kau keluarkan dulu orang itu, aku nanti sembahyang !"
Si Hweshio jadi kurang senang, matanya mendelik. Ia angkat
tangannya, menunjuk ke pintu sambil katanya, "Keluar, lekas
keluar !" "Kau suruh aku keluar, mudah saja. Asal kau sudah keluarkan
orang yang sembunyi dalam kuilmu disini !"
Panas hatinya si Hweshio. Si bocah diusir, bukannya menurut
malah menantang ! "Aku Tong Seng, murid keempat dari Ceng Bian Hweshio.
Belum pernah menemui tamu macam kau yang tidak tahu adat
!" teriaknya sambil tepuk-tepuk dada.
"Baru murid keempat, biar kau murid nomor wahid juga aku
tidak takut. Asal kau masih membandel tidak mau keluarkan
orang yang kucari !" sahut Lo In.
Meluap amarahnya Tong Seng Hweshio.
"Kau kira disini biasa sembunyikan maling ?" bentaknya
berbareng tangannya melayang hendak menyekik batang
leher Lo In. "Hehehe, kau mau berkelahi ?" kata Lo In, tangan si Hweshio
yang melayang dapat ditangkapnya. Sekali sentak tubuh Tong
Seng Hweshio terjerunuk ke depan, jidatnya membentur meja
tepekong hingga kontan tambah daging.
"Rampok ! Rampok !" teriaknya seraya pegangi jidatnya yang
kesakitan. Lo In tenang-tenang saja meskipun dari berbagai jurusan pada
bermunculan kawanan kepala gundul dengan masing-masing
membawa gegaman pentungan kayu besar. Si bocah hitung
kira-kira ada 15 orang yang muncul berbareng mendengar
teriakannya Tong Seng Hweshio tapi diantaranya tidak
kelihatan orang yang dicari.
Satu Hweshio yang usianya lebih tua dari Tong Seng tampak
maju mendekat Lo In. Dengan bengis ia membentak, "Anak
kecil, kau mau merampok di sini ?"
"Buat apa aku merampok kuilmu yang tidak ada harganya."
sahut Lo In. "Aku hanya mau minta orang yang kucari, kau
keluarkan !" "Siapa yang kau cari ?" tanya si Hweshio.
"Hehehe, kau juga mau main putar-putar ?" kata Lo In tidak
senang. "Nih, main putar-putar !" bentak si Hweshio seraya pentungnya
melayang mau mengepruk kepala Lo In.
"Bagus !" kata Lo In, berbareng ia berkelit nyamping. Ketika
pentungan lewat, kakinya maju, tangan kanannya dengan satu
jari telunjuk menotok lengan si Hweshio jagoan yang menjerit
seketika dan roboh terkulai.
Semuanya menyerbu Lo In. Sesosok tubuh menjadi sasaran
pentungan ramai-ramai hingga yang dijadikan sasaran
menjadi berkuing-kuing seperti babi dipotong. Kiranya orang
yang dihujani pentungan bukannya Lo In sebab si bocah
sudah lenyap tanpa setahu mereka. Mereka
celingukanmencari seraya minta maaf pada si Hweshio yang
menjadi sasaran pentungan tadi. Siapa, ternyata ada Hong
Seng, murid kepala dari Ceng Bian Hweshio dalam kuil itu.
"Kemana itu anak anjing ?" teriak Hong Seng penuh
kegusaran. Ia dapat bergerak bebas pula dari totokan Lo In
sebab si bocah hanya menotok main-main saja.
Mendengar ribut-ribut, Ceng Bian Hweshio keluar dari kamar
semedhinya. Murid-muridnya repot melapor tentang
munculnya bocah berwajah hitam membuat onar dalam kuil.
Ketika ditanyaka apa sebabnya, Hong Seng lapor kalau si
bocah hitam itu mencari jejaknya si kurus kecil.
"Aku sudah katakan, kalian jangan suka campur dengan si
Tangan panjang Ong Cit. Sebab satu waktu Ong Cit akan
ketemu batunya. Benar ia pandai memindahkan milik orang
dengan menggunakan kesebatan tanganya, tapi itu perbuatan
tidak baik. Satu waktu bila ia diterjang sial bisa susah. Nah,
buktinya sekarang, bagaimana " Kuil kita menjadi kerembetrembet
oleh perbuatannya Ong Cit."
Kawanan Hweshio itu ada komplotannya Ong Cit. Mereka
suka melindungi si Tangan Panjang dengan menyuruh Ong Cit
melenyapkan diri dalam kuilnya sebab tidak ada orang berani
carinya kalau ia sudah berada dalam kuil itu. Orang segan
kepada Ceng Bian Hweshio yang menjadi kuil tersebut.
Mereka begitu perlu melindungi si Tangan Panjang latnaran
mereka sering mendapat bagian dari penghasilan yang
diperoleh Ong Cit. Mendengar kata-kata gurunya, Hong Seng membela
kawannya. Ia berkata, "Suhu, Ong Cit banyak membantu kuil
kita. Apa suhu hendak pungkir kedermawanannya " Orang


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah hinakan kuil kita, bukannya suhu mencari tahu siapa
orangnya, sebaliknya suhu marahi kita dan sesalkan bergaul
dengan Ong CIt." Ceng Bian Hweshio juga bukannya pendeta suci. Maka ketika
mendengar jawaban sang murid kepala, seketika itu menjadi
gusar. "Mari kita cari anak hitam itu !" katanya seraya ajak anak
muridnya untuk memeriksa seluruh kuil.
Tapi Lo In tidak diketemukan, entah kemana bocah itu larinya.
Ketika Hong Seng membuka sebuah kamar yang biasa dipakai
untuk mengumpat oleh Ong cit, kaget bukan main si murid
kepala dari Ceng Bian Hweshio. Dalam kamar itu tampak Ong
Cit, dua daun kupingnya hilang, empat jari tangan kanannya
sudah kuntung dan kuntungannya jatuh di lantai. Dari tangan
dan kedua belah telinganya tampak berlumuran darah, bekas
bekerjanya pisau tajam yang menggeletak tidak jauh dari si
Tangan Panjang. Malah pisau itu pun miliknya Ong Cit.
Si copet lihat dalam keadaan tidak bergerak karena kena
ditotok terpaksa Hong Seng lapor pada gurunya untuk sekalian
minta bantuan supaya membuka totokan.
Ceng Bian Hweshio sudah lantas datang ke kamarnya Ong
Cit. Ia geleng-geleng kepala nampak nasib yang dialami si Tangan
lihai. Cepat ia bekerja untuk membuka totokan tapi sana sini
ditepuk tubuhnya si copet lihai oleh si kepala kuil untuk
membebaskan totokan tetap tak berhasil.
Hong Seng heran. Ceng Bian Hweshio malah lebih heran dan
terkejut karena sebagai orang Kangouw kawakan ia tidak bisa
membuka totokan orang. Bagaimana ia berusaha ternyata tidak peroleh hasilnya malah
Ong Cit tiap sebentar berjengit kesakitan dan matanya
mengucurkan air. Ia menangis dan matanya saja yang
mencilak-cilak seolah-olah memohon supaya percobaa Ceng
Bian Hweshio jangan diteruskan karena ia merasakan suatu
siksaan ditepuk sana sini bagian anggautanya untuk mencari
tempat membuka totokan. Ceng Bian Hweshio yang sudah banyak pengalaman dapat
memahami keadaan si Tangan Panjang. Maka ia hentikan
percobaannya. Ia berkata, "Biasanya totokan macam ini tidak
sembarang orang bisa buka, berjalan dua jam lamanya dan si
korban akhirnya bebas dengan sendirinya. Maka tunggu saja
dua jam lagi, lihat bagaimana jadinya." Ceng Bian Hweshio
berkata seraya ngeloyor keluar dari kamar.
Tinggal Hong Seng dan kawan-kawannya pada menemani
Ong Cit sambil menanti sang waktu lewat dua jam
sebagaimana dikatakan oleh suhunya. Selama menemani,
diam-diam mereka ketakutan kalau-kalau si bocah wajah
hitam itu datang lagi menotok mereka dan menyiksa
sebagaimana yang dialami si Tangan Panjang Ong Cit.
Syukur-syukur si bocah tidak datang lagi dan mereka
kegirangan. Ketika sudah lewat dua jam, benar saja totokan
pada Ong Cit terbuka dengan sendirinya. Kini baru terdengar
rintihan si Tangan Panjang yang kesakitan karena sepasang
daun telinga dan empat jari di tangan kanannya dihilangkan
orang dengan paksa. Hong Seng sudah memberi obat pil bikinan Ceng Bian
Hweshio untuk menahan rasa sakit dan obat bubuk untuk
diborehkan pada bagian-bagian angguta yang terluka maka
Ong Cit tidak sampai menderita kesakitan terus menerus.
Menurut penuturan Ong Cit, ketika ia kesomplokan dengan Lo
In, ia lihat matanya Lo In berkilat tajam menotok di jantungnya
hingga berdebaran. Maka ia jadi ketakutan sebab menurut
penuturan jago-jago persilatan kalau orang punya mata
demikian berwibawa mempunyai lwekang (tenaga dalam)
yang dahsyat. Tadinya ia tidak takuti Lo In ketika dalam rumah makan ia
sambar bungkusa kecilnya yang saat itu si bocah tengah
bicara dengan seorang pelayan, berdiri membelakangi
bungkusannya. Tapi tadi, ketika ia kesomplokan dan
pandangannya kebentrok dengan mata Lo In yang berkilat
menusuk jantung, membuat ia jadi ketakutan.
Sebagai copet yang lihai, ia tahu dirinya dikuntit Lo In. Maka
pikirnya, jalan yang selamat adalah masuk ke dalam kuil Thian
Ong Bio dimana ia banyak kawan yang dapat membantu
melindungi dirinya. Setelah kasak kusuk dengan Tong Seng
lalu ia masuk ke kamar biasa ia mengumpat tapi tidak urung ia
dapat diketemukan oleh si bocah muka hitam. Tatkala mana ia
sudah berlaku nekad dengan pisaunya yang tajam luar biasa,
ia menerjang Lo In. "Hehe, mau melawan ?" si bocah berkata berbareng Ong Cit
rasakan nadi tangannya yang memegang pisau kena disentil,
kesemutan lemas, pisaunya dengan sendirinya jatuh ke lantai.
Ia coba menerobos keluar tapi satu tendangan mengenai
pahanya membuat ia jatuh melongsor. Cepat ia bangun lagi
tapi bukan untuk lari, sebaliknya ia lantas jatuhkan diri berlutut
di depan Lo In untuk minta ampun.
"Asal kau kembalikan barangku, aku nanti kasih kelonggaran."
kata Lo In. "Ada, oh, ada. Aku tidak ganggu sedikit pun barang Siaoya."
sahut Ong Cit. Setelah berkata, Ong Cit bangun dari berlututnya dan jalan
menghampiri satu lemari kecil dimana ia keluarkan miliknya Lo
In. "Inilah barang Siaoya." katanya seraya menyerahkan pada Lo
In. Lo In menyambuti lalu periksa isinya, ternyata benar saja tidak
diganggu. Uang yang jumlahnya tidak seberapa dan botol obat-obatan
yang si copet tidak tahu obat apa membikin Ong Cit tidak
bernafsu untuk mengganggunya. Makanya juga ia lantas
simpan saja di dalam lemari kecil, spesial untuk menyimpan
barang-barang rongsokkan (tidak berharga) dari hasil kerja
tangan panjangnya. "Bagus." kata Lo In setelah memeriksa isi bungkusa kecilnya.
"Nasibmu masih baik. Coba kau bikin hilang barangku.
Sebagai gantinya aku bikin hancur batok kepalamu. Nah, ini
kau lihat !" berbareng tangan Lo In diulur mengambil sebuah
patung kecil diatas meja tidak jauh dari situ. Patung itu dikepal
Lo In sejenak lalu setelah kepalannya dibuka, ia perlihatkan
pada Ong Cit. Matanya Ong Cit terbelalak ketakutan, badannya menggigil
seperti disambar penyakit malaria layaknya. Kembali ia tekuk
lututnya dan minta-minta ampun.
"Ampun, Siaoya, ampunilah selembar jiwaku........." ia
meratap. Kiranya patung itu, meskipun kecil terbuat dari logam murni
yang kuat. Di taruh dalam kamar itu, merupakan tepekongnya
Ong Cit dalam pekerjaan jahatnya.
Patung yang sekeras itu ternyata dalam genggamannya Lo In
telah berubah menjadi tepung terigu. Sudah tentu saja Ong Cit
menjadi ketakutan menyaksikan demikian dahsyatnya tenaga
dalam si bocah wajah hitam.
Setelah meniup berhamburan patung yang berubah menjadi
tepung itu dari tangannya, Lo In berkata pada Ong Cit, "Kau
jahat, suka bikin susah orang tapi tidak sejahat orang yang
membunuh sesamanya. Maka aku kasih kelonggaran
hukuman. Sekarang kau ambil pisau ini dan iris kedua daun
telingamu !" Ong Cit gemetaran tubuhnya. Matanya memandang Lo In
seperti yang mohon dikasihani tapi Lo In belagak pilon, malah
katanya, "Lekas kerjakan !"
Si Tangan Panjang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia ambil
pisaunya sendiri yang tadi jatuh di lantai, sambil kuatkan hati,
ia mengiris dua daun telinganya satu demi satu. Darah
mengetel jatuh dari telingan yang sudah kehilangan daunnya.
Melihat itu, hatinya Ong Cit terkesiap dan ia jatuh pingsan.
Kapan ia siuman kembali, ia dapatkan dirinya tak dapat
bergerak. Empat jari di tangan kanannya sudah berserakan di
lantai bersama dua daun kupingnya.
Mulutnya tak dapat bersuara untuk minta tolong karena urat
gagunya sudah kena ditotok Lo In. Maka terpaksa ia
menantikan orang datang membuka kamarnya saja.
Mendengar penuturan Ong Cit, semua orang menjadi gentar
terhadap si bocah wajah hitam. Mereka mengharap Lo In tidak
mengulangi kedatangannya ke kuil mereka.
Demikianlah, Lo In sambil bersiul-siul kegirangan mendapat
pulang barangnya yang tak ternilai harganya. Ia berjalan
pulang ke ruman Liu Wangwee. Justru tatkala itu Kian-san Jilo
dan jago-jago dari Ceng Gee Pang sudah dirobohkan oleh
Sucoan Sam-sat. Si botoh Bwee Hiang tengah dipermainkan
oleh Lie Kui. Pelayan yang melihat si bocah pulang lantas
memberikan laporannya. Kaget Lo In. Cepat ia lari ke taman
bunga, dimana ia lihat enci Hiang sedang peluki tubuhnya Liu
Wangwee yang dalam keadaan kehabisan tenaga. Kapan ia
lihat Lie Kui hendak menganggu Bwee Hiang, mengulur
tangan hendak memegang si nona, lantas ia berteriak :
'Tahan, tahan, aku datang.....!' dari kejauhan, sementara
tubuhnya melesat seperti meluncurnya roket yang barusan
dilepaskan, bagaimana si bocah bergerak tahu-tahu sudah
muncul dihadapan mereka. Tidak mudah untuk memberi pertolongan kepada mereka yang
menjadi korban keganasan Sucoan Sam-sat, apalagi Cia
Liang yang remuk sambungan tulang pundaknya di
cengkeram Giam-ong Puy Teng. Untung, dengan secara
kebetulan, Lo In sudah dapat kembali obat mustajabnya
sehingga dapat menolong mereka dengan tidak usah ke sana
sini mencari obat. Obat buatan Lo In, yang mewariskan kepandaian Liok Sinshe
memang manjur sekali. Maka dalam tempo pendek korbankorban
yang terluka karena keganasan Sucoan Sam-sat
sudah dapat bergerak pula. Hal mana membikin Liu Wangwee
jadi sangat kegirangan. Segera ia suruh Bwee Hiang supaya
pelayan-pelayannya menyiapkan satu meja perjamuan untuk
memberi selamat pada mereka, yang membantu dirinya
dengan tidak sampai mengorbankan jiwanya.
Dengan dipimpin oleh Liu Wangwee dan Pangcu dari Ceng
Gee Pang, dilain saat para tamu sudah kelihatan pada
memasuki rumahnya Liu Wangwee. Mereka diantar ke sebuah
ruangan makan yang lebar luas dan diperaboti indah lengkap.
Mereka kelihatan amat senang dapat memasuki ruangan yang
mencocoki seleranya sehingga mereka pada melupakan apa
yang sudah terjadi barusan dan rasa sakitnya kena dihajar
oleh Sucoan Sam-sat. Sementara, Lo In tidak mau turut dengan mereka. Ia hanya
menyusul Bwee Hiang yang pergi dari situ untuk
menyampaikan perintah Liu Wangwee kepada para pelayan
yang bertugas menyiapkan barang hidangan.
"Kenapa kau ikuti aku ?" tanya Bwee Hiang. "Bukannya
berkumpul dengan para paman. Siapa tahu mereka mau
dengar ceritamu yang lucu-lucu. Hihihi...."
"Aku tidak kerasan berkumpul dengan orang tua. Maka aku
menyusul enci kemari." sahut si bocah. "Apa tidak boleh ?"
"Bukannya tidak boleh, cumanya tidak pantas begitu saja
meninggalkan mereka."
"Tidak pantas dalam pandangan mereka, tidak jadi soal. Asal
pantas dalam pandangan enci Hiang, aku sudah puas."
Kata-kata Lo In mengingatkan Bwee Hiang pada kejadian, ia
menciumi pipinya si bocah yang maksudnya mau gigit hancur
dagingnya, tahu-tahu si bocah berbalik memeluki tubuhnya.
Ingat kesitu, wajah si nona menjadi merah dan berkata, "Tidak
pantas kelakuanmu barusan terhadap encimu. Malu ditonton
banyak orang !" "Enci yang mulai, bagaimana bisa salahkan aku ?"
"Hah ! Aku mulai apa ?" si gadis cepat menanya, kaget ia
dituduh yang mulai. "Mencium pipiku, apakah itu bukan mulai dulu " Maka lantas
saja kalau aku main-main memeluk tubuh enci, bukan "
Hehehe... " Bwee Hiang pucat wajahnya lalu merah karena jengah.
Pikirnya, kurang ajar bocah hitam ini. Tapinya memang
alasannya tepat juga. Ia jadi membisu. Kemudian, ia gerakan
kakinya lebih cepat meninggalkan Lo In dengan tidak berkatakata
seperti yang sedang mendongkol.
Sebelum ia bertindak jauh, tiba-tiba kupingnya mendengar Lo
In berkata, "Baik, kau marah. Aku pun akan pergi dari sini !"
Terkejut si nona. Cepat ia balik tubuhnya dan lekas
menghampiri Lo In. Sambil pegang tangan si bocah, dituntun,
ia berkata, "Adik kecil, kau gampang ngambek ya " Mari ikut
encimu !" Lo In ketawa nyengir, sebaliknya si nona gondok. Cuma ia
tidak berani berlaku kasar lagi pada si bocah, takut Lo In
benar-benar pergi dari rumahnya. Kalau Lo In berlalu garagara
ia (Bwee Hiang), pasti ia akan didamprat oleh ayahnya.
Juga, andaikata diantara Sucoan Sam-sat ada yang balik lagi,
siapa yang berani melayaninya " Dalam bahaya, keluarga Liu,
bagaimana dapat membiarkan si bocah pergi begitu saja "
Oleh sebab itu, maka Bwee Hiang sudah robah sikapnya yang
mendongkol menjadi ramah seperti biasanya hingga Lo In
senang hatinya. Demikian, tidak lama perjamuan sudah disiapkan.
Lo In ada bersama-sama Bwee Hiang di ruangan belakang
lagi ngomong-ngomong. Tiba-tiba muncul satu pelayan,
berkata pada Bwee Hiang, "Siocia, loya suruh aku undang
adik kecil turut serta dalam perjamuan !"
"Nah, kau dapat kehormatan. Lekas pergi turut makan ke
sana. Makanannya enak-enak, tentu kau dapat makan
banyak." berkata Bwee Hiang pada Lo In, menggodai si
bocah. "Brengsek !" Lo In menggerutu hingga Bwee Hiang menjadi
heran. "Apanya yang brengsek, adik kecil ?" si nona lantas menanya.
Lo In tidak menjawab perkataan Bwee Hiang, sebaliknya ia
berkata pada si pelayan, "Kau katakan pada Loya, aku tidak
bisa ke sana, lagi tidak enak badan."
"Hihihi..." Bwee Hiang tertawa ngikik, sambil tekap mulutnya.
"Orangnya segar bugar dikatakan tidak enak badan. Kalau
tidak enak badan iut, biasanya rebah di pembaringan. Ah, adik
kecil, kau kenapa sih permainkan orang tua ?"
Lo In ketawa nyengir. Kepalanya digeleng-gelengkan. "Aku
tidak mau ke sana, kalau tidak bersama enci." ia berkata


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian. Bwee Hiang melengak. "Kenapa mesti sama-sama encimu ke
sana ?" ia menanya. "Kalau bersama enci, aku jadi punya teman ngobrol." sahut si
bocah. Bwee Hiang memandang paa pelayannya yang saat itu tengah
tersenyum-senyum melihat lagak lagunya dan kata-katanya si
bocah yang serba lucu. "Kau katakan pada Loya apa yang
dikatakan adik kecil barusan." Bwee Hiang berkata pada si
pelayan yang sedang menanti keputusan.
Pelayan itu lantas berlalu. Tak lama lagi ia kembali, katanya,
"Loya minta adik kecil ke sana bersama-sama Siocia."
"Nah, ini baru betul !" kata Lo In seraya bertepuk tangan
kegirangan. Bwee Hiang jebirkan bibirnya yang mungil pada Lo In yang
kontan disambut dengan jebiran pula hingga si pelayan yang
menyaksikan adegan itu tidak tahan untuk tidak ketawa
cekikikan. Bwee Hiang tidak marah sebab ia tahu, memang
kelakuan mereka waktu itu dapat mengitik urat ketawa.
Si nona tak usah tukar pakaian lagi karena ia sekarang sudah
berdandan rapih. Tadi, setelah ia pesan tukang masak untuk menyiapkan
hidangan, ia sudah masuk ke kamarnya untuk menukar
pakaian yang kotor dan awut-awutan. Rambutnya pun sudah
rapih dibereskan oleh dua pelayannya Ling Ling dan Lan Lan.
Waktu ia menemui Lo In pula, kecantikannya membuat kagum
si bocah berbareng bau harum menusuk ke lubang hidungnya.
Entah minyak wangi apa yang dipakai Bwee Hiang. Yang
terang si bocah setelah menghirum bau harum itu merasakan
dadanya lega dan segar. "Hebat enciku ini." ia berkata dalam hati kecilnya. Tidak berani
ia mengatakan terang-terangan, nanti sang enci salah paham.
Coba kalau Eng Lian yang ia hadapkan, sudah lantas
mulutnya ramai memuji dan mungkin ia memeluk si dara
harum sambil membisiki kata-kata pujian pada telinganya.
Kalau dalam keadaan biasa, sudah tentu Liu Wangwee
keberatan puterinya turut dalam perjamuan diantara orangorang
lelaki yang bukan menjadi famili dekatnya. Tapi kali ini
ia terpaksa karena Lo In tanpa Bwee Hiang biar bagaimana
juga tak akan menghadiri perjamuan itu. LO In justru orang
penting dimana Kian-san Ji-lo berkali-kali ada mengatakan
keinginannya berkenalan dengan si bocah.
Demikian ketika Lo In dan Bwee Hiang muncul, orang-orang
pada bertepuk tangan. Malah Soat-cian Ang, Pangcu dari
Ceng Gee Pang berseru, "Hidup, jago kecil kita." beberapa
kali, disambut riuh oleh anak buahnya.
Kian-san Ji-lo hanya ketawa ngekeh, kepalanya manggutmanggut.
Segera perjamuan dimulai karena sekarang sudah komplit
dengan hadirnya Lo In. Dalam omong-omong, Cia Kie berkata pada Lo In, "Siohiap,
eh, anak In. Tiga manusai dari Sucoan itu sangat jahat. Kau
telah memberi hukuman terlalu enteng pada mereka. Mereka
jadi keenakan, malah mungkin akan menuntut balas !'
Kian-san Ji-lo sudah dikisiki oleh Ang Ban Teng, kalau bicara
dengan Lo In jangan menggunakan perkataan 'Siaohiap'
sebab si bocah paling suka dipanggil 'anak In'. Ia menyatakan
penyesalannya pada Lo In yang memberikan hukuman terlalu
enteng pada Sucoan Sam-sat yang kesohor kebuasannya.
"Paman-paman itu toh tidak membunuh orang." sahut Lo In
acuh tak acuh. "Ha ha ha !" Cia Kie tertawa. "Anak In, kau masih kecil. Belum
banyak mendengar dalam kalangan Kangouw orang ributi
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Kau tahu
anak In, mereka membunuh orang tanpa berkedip matanya.
Entah sudah berapa banyak jiwa yang dikirimkan pada Giamlo-
ong oleh mereka. Tapi yang terang, kalangan Pekto
maupun Hekto pada mengutuk atas perbuatannya.
Terbelalak matanya Lo In. Lucu tampaknya sepasang mata
yang bening dan berwibawa terdapat diantara wajahnya yang
hitam legam. "Ah, masa sampai begitu ?" Lo In menanya, heran dia.
"Seharusnya mereka itu dibasmi habis." menyela Cia Liang.
"Apa dibasmi, paman maksudkan apa dibasmi ?" si bocah
tidak mengerti. "Di basmi ialah dibunuh habis mereka itu." menegaskan Cia
Liang, ketawa. "Mana bisa dibunuh, aku tidak biasa membunuh." Lo In ketawa
nyengir. "Mereka datang ke sini mau membunuh keluarga Liu, tidak
satu juga yang mereka mau kasih tinggal. Kenapa kita tidak
mau bunuh habis mereka ?" tanya Cia Kie.
Lo In geleng-geleng kepala. "Aku belum pernah bunuh orang."
katanya lucu. Para hadirin jadi saling pandang melihat kelakuan si bocah.
Bwee Hiang ingin menegur atas ketololan Lo In tapi ia tidak
berani buka mulut dihadapan banyak orang tua. Hanya
matanya saja mengawasi si bocah seolah-olah menyesalkan
dengan kata-kata yang diucapkan Lo In. Tapi Lo In tidak dapat
memahami isi hatinya si enci Hiang. Ia tinggal tenang-tenang
saja. Ang Pangcu tidak sabaran. Ia lantas berkata, "Anak In, kalau
mereka tidak dibasmi habis, dibunuh semua aku maksudkan,
mereka akan...." Kata-kata Ang Pancu tidak diteruskan karena ia kaget tiba-tiba
melihat satu orangnya bernama Kang Kiat muncul diantar oleh
satu pelayan. kang Kiat ada salah satu Tocu dari markas cabang Ceng Gee
Pang di sebelah barat desa Kunhiang (tempatnya Liu
Wangwee). Belum berapa lama dibangun, masih dibawah
penilikan Hoan Hiocu dari pusat di Gakwan. Disana selainnya
Kang Tocu, masih ada tiga Tocu lagi yang menjadi pemimpin
cabang itu, dibantu oleh beberapa anak buahnya yang
semuanya ada pandai silat.
Ceng Gee Pang pada waktu belakangan ini mendapat
kemajuan pesat, membangun cabang di beberapa tempat.
Ang Ban Teng merasa sangat girang karena dalam
pimpinannya Ceng Gee Pang mendapat banyak kemajuan.
Melihat kedatangan Kang Kiat dengan air muka kusut dan
bajunya berlepotan darah, dengan cepat Ang Ban Teng
menaya, "Kang Tocu, kelihatannya ada kabar penting untukku.
Ada apa ?" Setelah memberi hormat dan disuruh ambil tempat duduk oleh
Liu Wangwee, Kang Tocu lalu menyampaikan kabar duka
untuk Ceng Gee Pang. Kan Kiat menceritakan telah kedatangan dua orang itu malam,
satu bermuka kelimis bersih dan satu lagi hitam berewokan
bengis. Mereka menanyakan apa disitu ada pusat dari Ceng
Gee Pang. Kang Kiat jawab bukan, hanya cabangnya saja
yang baharu dibangun belum lama. Tiba-tiba ia dengar si
berewokan ketawa terbahak-bahak lalu berkata pada
temannya, "Jiko, Ceng Gee Pang suah menjadi alatnya Liu In
Ciang, mari kita bereskan !"
Leng Tongcu yang berdiri tidak jauh dari Kang Kiat panas
hatinya mendengar kata-kata si berewokan, lalu maju dan
berkata, "Apa yang dibereskan ?" -- tangannya berbareng
melayang hendak menggaplok kepala tamu yang tidak
diundang itu. Tapi si berewokan yang bukan lain Lie KUi adanya, sudah
lantas berkelit. Cepat bagaikan kilat tangannya diulurkan
menepuk pundaknya Leng Tongcu yang tidak keburu
mengelakkannya. Hanya menjerit sekali, Leng Tongcu sudah
roboh tersungkur tidak bangun lagi. Kang Kiat melihat hal itu
menjadi gusar. Ia sudah lantas mau menerjang Lie Kui tapi
Ong Tocu sudah mendahului.
Orang-orang Ceng Gee Pang beringas dan ramai-ramai
mengeroyok si berewokan hitam tapi mereka diganda hanya
dengan ketawa-ketawa saja, malah ketika Mo-jiauw Teng
Cong, si muka kelimis turun tangan, segera terdengar
beberapa jeritan ngeri dan orang-orang Ceng Gee Pang pada
roboh dihajar dua tamu tidak diundang itu.
Kemudian muncul orang-orang bersenjata dipimpin oleh Hoan
Hiocu. Barangkali lebih baik kalau rombongan bersenjata tajam ini
tidak muncul sebab akibatnya sangat mengerikan. Lie Kui dan
Teng cong lantas merampas golok lawan, dengan senjata
mana mereka mengganas. Teriakan-teriakan ngeri
menyayatkan hati, kepala orang pating berjatuhan bagaikan
buah kelapa yang berjatuhan dari pohonnya. Banjir darah
disitu, malah Hoan Hiocu pun menjadi salah satu korbannya.
Kepalanya menggelinding jatuh dilantai karena ditebas oleh
Lie Kui. Kang Kiat yang masih sempat menyelamatkan diri, sudah
lantas meninggalkan mereka yang sedang ngamuk dalam
markasnya, lari ke rumahnya Liu Wangwee. Ia tahu
Pangcunya ada disana untuk memberi laporan.
Ang Pangcu mendengar kejadian yang menyedihkan itu
sampai tidak bisa membuka mulut, saking sangat gusar dan
jeri pada Sucoan Sam-sat.
"Ang-hiante, bagaimana baiknya ini ?" Liu Wangwee berkata
pada Ang Ban Teng. "Hahaha !" sekonyong-konyong Cia Kie ketawa.
"Anak In, kalau kau tidak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, tentu kau mengatakan aku si kakek omong kosong.
Nah, sekarang buktinya bagaimana ?"
"Anak In, coba kau turut paman Ang pergi ke sana
menengoknya." Liu Wangwee berkata pada si bocah yang
acuh tak acuh mendengar hal itu.
Mendengar kata-katanya Liu Wangwee, barulah ia seperti
tersadar. Tapi ia tidak menyahut, sebaliknya ia memandan
Bwee Hiang yang pucat wajahnya mendengar kabar jelek
yang disampaikan oleh Kang Kiat.
"Kau ikut paman Ang ke sana, adik kecil." berkata Bwee Hiang
ketika si bocah tinggal diam saja duduk di kursinya. "Apa mesti
encimu turut ke sana ?"
Nada suaranya paling belakang agak keras, seperti teguran.
"Anak In, turutlah kata-kata encimu." Liu Wangwee
menganjurkan. Lo In tinggal diam saja. Liu Wangwee dan Bwee Hiang saling pandang nampak Lo In
tidak bergerak dari duduknya. Mereka mengerti kalau tidak
bersama Bwee Hiang, si bocah tidak mau pergi. Keadaan
sudah demikian mendesak, Ang Pangcu kelihatan amat
gelisah. Ia tidak punya nyali untuk pergi ke markas cabangnya
tanpa Lo In, sebab percuma saja akan mengantarkan jiwa saja
kepada Sucoan Sam-sat. Matanya mengawasi Liu Wangwee seperti memohon
pertolongan. Liu Wangwee menjadi sangat tidak enak, maka ia
lalu berkata pada puterinya, "Anak HInga, kau bawa
pedangmu dan antarkan adik kecilmu kesana, ikut paman
Ang." Bwee Hiang bangkit dari duduknya dan berlalu, diikuti oleh Lo
In, seolah-olah yang tidak mau ketinggalan. Kemana Bwee
Hiang pergi, ia harus ikut. Sungguh lucu lagaknya si bocah
hitam. Sebenarnya bukan apa-apa kelakuannya Lo In itu, ia
memang ketakutan kehilangan Bwee Hiang seperti ia sudah
kehilangan Eng Lian. Sebentar lagi tampak Bwee Hiang sudah muncul kembali
dengan pakaian ringkas, pedangnya disorong di pinggang. Di
belakangnya tampak Lo In mengintil.
"Habis, kalau anak pergi, siapa yang temani ayah ?" tanya si
gadis. Ia khawatir ayahnya ditinggal sendirian.
"Legakan hatimu, kami disini akan menemani ayahmu." Cia
Kie berkata tertawa. Lega hatinya si gadis, lalu ia bersama Lo In ikut Ang Pangcu
dan Kang Kiat pergi ke markas cabang Ceng Gee Pang.
Karena masing-masing dapat menggunakan jalan cepat, maka
dalam tempo pendek saja mereka sudah sampai di tempat
tujuan. Keadaan dalam markas cabang itu benar-benar mengerikan.
Mayat tampak malang melintang, yang kuntung tangan, kaki,
paha dan kepala terdapat di sana sini.
Sunyi senyap, hanya terkadang seperti ada terdengar rintihan
dari korban-korban yang belum mati. Sementara Lie Kui dan
Teng cong yang diharapkan masih dapat dijumpai disitu,
ternyata sudah tidak kelihatan mata hidungnya.
Ang Pangcu nampak semua itu telah mengucurkan air mata,
diikuti oleh lima Hiocunya. Bwee Hiang juga tidak dapat
menahan rasa terharunya, ia menangis. Beberapa kali ia
menyeka air mata dengan lengan bajunya.
Lo In yang belum pernah melihat orang dibunuh demikian
kejam, tampak geleng-geleng kepala. Pernah ia melihat orang
terluka, berceceran darahnya, kejadian itu dua tahun yang lalu
dimana Liok Sinshe mengamuk menghajar musuh-musuhnya.
Di sini ia nampak bukan darah berceceran saja, tapi
mengumpiang di sana sini, sedang kepala, tangan, kaki dan
lain-lain anggota tubuh manusia berserakan mengerikan.
Hatinya yang lemah tidak mau membunuh orang, tiba-tiba
tergugah. Tangannya yang kecil dikepal-kepalkan, romannya
sangat gusar. Ia menyesal tadi kenapa ia tidak membereskan
jiwanya Sucoan Sam-sat. Kalau tidak, tentu ia tidak
menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan seperti
sekarang ini. Bwee Hiang melirik pada adik kecilnya, ia tahu bahwa Lo In
sangat gusar. "Adik kecil," katanya. "Lantaran kau punya murah hati, nah
kejadiannya begini. Kau lihat, bagaimana kejamnya Sucoan
Sam-sat mengganas !"
"Biarlah sekali lagi kita ketemu mereka, aku tak akan kasih
ampun !" jawab si bocah seraya angguk-anggukkan
kepalanya. Terkejut Bwee Hiang. Pikirnya, kenapa bocah ini mengatakan
'kita' " Apakah dimaksudkan dia dengan ia (Bwee Hiang) yang
kelak akan menghadapi Sucoan Sam-sat "
Ia tidak sempat memecahkan soal ganjil itu karena segera
mendegnar Ang Pangcu berkata pada Lo In, "Anak In, inilah
bukti dari perbuatan ganas Sucoan Sam-sat. Maka kalau
belakang hari kau ketemu mereka, aku harap kau suka
menghukum mereka yang setimpal dengan kebuasannya !"
"Aku mengerti paman Ang. Semoga dalam perjalanan
berkelana aku akan menjumpai mereka supaya para paman


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mati sekarang toh akhirnya mendapat kepuasan di alam
baka !" demikian si bocah berjanji.
-- 17 -- Kata-kata Lo In membuat Bwee Hiang ketawa girang sebab
sudah terang si bocah sekarang sudah berubah
pandangannya terhadap orang-orang jahat. Kelemahan
hatinya berubah menjadi suatu keganasan. Yang paling girang
adalah Ang Pangcu sebab ia percaya meskipun ia sendiri tidak
bisa membalas kekejamannya Sucoan Sam-sat, sekarang ada
si bocah sakit yang menyanggupinya.
Mendengar kedatangannya ketua dari pusat, maka orangorang
Ceng Gee Pang yang tadi pada lari menyembunyikan
diri dari angkara murka Sucoan Sam-sat pada muncul dan
memberikan pertolongan pada mereka yang belum tewas
jiwanya. Atas perintahnya Pangcu, tempat itu dibersihkan dari
mayat-mayat yang malang melintang.
Ketika Kang Kiat berada jauh dari Bwee Hiang dan Lo In, Kang
Tocu berkata pada Ang Pangcu, "Pangcu, kalau tadi kita tidak
berkutat dulu membujuk si bocah muka hitam, kita pasti
datang disini dalam waktunya. Kita masih bisa menjumpai dua
orang jahat itu dan kita dapat menolong saudara-saudara kita,
tidak sampai mengambil korban begini banyak !"
"Kang Tocu." katanya. "Kau tidak tahu." Ang Pangcu ketawa.
"Justru si bocah yang penting kita bawa ke sini. Apa dengan
tenaga kita, dapat kita usir Sucoan Sam-sat " Hmm ! Kau
jangan mimpi. Bocah itu mempunyai kepandaian yang susah
diukur, dialah yang telah mengusir pergi Sucoan Sam-at dari
taman bungan Liu Wangwee, dimana kita berenam dan KianTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
san Ji-lo sudah roboh tidak berdaya. Kalau tidak ada dia,
sekarang, kau tentu tidak bisa berhadapan dengan
Pangcumu........." "Ha ! Apa iya ?" memotong Kang Kiat, matanya terbelalak
kurang percaya. Ang Pangcu hanya tersenyum melihat kelakuan Tocunya.
Sementara itu ia sudah bertindak ke arah Bwee Hiang dan Lo
In yang tengah ngomong-ngomong.
Sebelum ia membuka mulut bicara, Bwee Hiang sudah
mendahului, "Paman Ang, musuh sudah pergi. Sedang paman
juga repot menghadapi para paman yang mati dan terluka.
Maka sebaiknya aku dan adik In pulagn saja. Aku masih
kuatirkan di rumah ada terjadi apa-apa yang tidak diingini !"
Sebenarnya Ang Pangcu hendak menahan mereka tapi
karena alasannya Bwee Hiang cukup teguh maka ia pun tidak
bisa berkata apa-apa selain mengucap terima kasih pada Lo in
dan si nona atas perhatiannya.
"Aku harap saja di rumah tidak terjadi apa-apa, anak Hiang !"
berkata Ang Pangcu ketika ia mengantar muda mudi itu keluar
dari kantor cabangnya. Hanya diwaktu menyaksikan pemandangan yang mengerikan
tadi, tampak Lo In seperti hatinya tergerak, gusar dan berubah
kelemahan hatinya dengan ketegasan. Tapi waktu dalam
perjalanan si bocah hanya biasa lagi saja. Riang gembira dan
saban-saban menggodai enci Hiangnya supaya tertawa. Lo In
senang hatinya, kalau melihat Bwee Hiang ngikiki ketawa
karena kejenakaannya. Dalam perjalanan pulang ini juga
bukan sedikit Bwee Hiang dibikin ketawa ngikik oleh ucapan
atau lagaknya si bocah. Kapan mereka sampai di rumah pula, Bwee Hiang berasa
tidak enak hatinya. Ia tidak melihat ada pelayannya yang
membukai pintu pekarangan. Malah pintu itu tidak terkunci,
tidak biasanya demikian. Masuk ke dalam rumah, biasanya ia
disambut oleh Ling Ling dan Lan Lang. Kali ini tidak kelihatan
satu juga pelayannya itu. Kemana mereka sudah pergi " Ia
masuk lebih jauh ke ruangan dimana ayahnya dan Kian-san Jilo
pasang omong di waktu ia meninggalkan rumah. Tidak
tampak mereka disitu. "Adik kecil, mungkin ada kejadian hebat di sini !" kata Bwee
Hiang. Hatinya sangat tegang, sedang Lo In terus mengintil di
belakangnya si gadis. Bwee Hiang cepatkan tindakannya, menghampiri kamarnya.
Ketika ia membuka pintu kamar, matanya terbelalak. Lo In
tidak turut masuk ketika melihat Bwee Hiang tergesa-gesa
masuk ke dalam kamarnya, ia menanti di luar sambil bersiulsiul.
Bwee Hiang lihat Lan Lan menggeletak di lantai sudah tidak
bernapas. Ia jongkok memeriksa. Terkejut ia ketika melihat
pakaiannya si pelayang sobek sana sini seperti yang disobek
orang. Kapan Bwee Hiang angkat pakaian yang menutupi
tubuh si pelayan, kiranya Lan Lang sudah telanjang sehingga
pusar ke bawah. Dari tanda-tanda yang mencurigakan, Bwee
Hiang duga Lan Lan dibunuh setelah diperkosa. Tidak
terdapat tanda penganiayaan. Rupanya Lan Lan dibunuh
dengan totokan maut. Bwee Hiang ngeri. Ia menekap mulutnya. Kemudia ia buka
tekapan tangannya, ia memandang ke pembaringannya. "Hei,
kenapa ada orang lagi tidur ?" ia menanya pada dirinya
sendiri. Cepat ia bangkit dari jongkoknya lantas menghampiri
orang yang seperti tertidur dengan pakai selimut.
"Kurang ajar, siapa berani tidur di pembaringanku ?" bentak
Bwee Hiang seraya ia menyingkap selimut yang dipakai
menutup kepala orang yang lagi tidur.
"Ah, Ling Ling !" teriaknya ketika ia mengenali wajah orang
yang tidur. Pada wajahnya Ling Ling yang cantik tampak sepasang mata
yang melotot penasaran. Meskipun merasa ngeri melihat
wajahnya si pelayan, Bwee Hiang masih sempat membuka
selimut yang menutupi tubuh. "Aiyaaa !" Bwee Hiang
mengeluarkan teriakan tertahan, seraya ia mundur setelah
menutupi pula selimut tadi yang menutupi tubuhnya Ling Ling.
Apakah yang membikin si nona sangat kaget "
Kiranya, ketika selimut dibuka, tampak tubuh Ling Ling
telanjang bulat. Sepasang buah dadanya yang montok sudah
dikupas orang hingga rata. Kemana sepasang buah dadanya
itu " Sedang tangan kirinya, 3 dim diatas nadi berlumur darah,
tertabas kutung oleh senjata tajam.
Bwee hiang tak tahan menghadapi dua adegan di depannya,
maka ia berteriak, "Adik kecil, adik kecil, lekas kau masuk !"
Lo In terkejut mendengar panggilan Bwee Hiang seperti yang
ketakutan. Sekali lompat ia sudah berada di dalam mendekati Bwee
Hiang yang berdiri gemetaran di tepi pembaringan di atas
mana ada terlentang mayatnya Ling Ling.
Ketika Lo In sudah berada di dekatnya, Bwee Hiang tak tahan
dengan goncangan hatinya maka ia roboh terkulai dan akan
mendeprok di lantai kalau tidak keburu Lo In datang
menyangga. "Enci Hiang, enci Hiang !" memanggil si bocah
ketika melihat si nona lemas badannya dan kedua matanya
tertutup. Apa yang sudah terjadi " Tanyanya dalam hati. Sementara
matanya melirik ke bawah, ia melihat tubuhnya Lan Lan yang
terkapar tak berkutik. Cepat Lo In pondong Bwee Hiang dan
diletakkan di atas satu dipan, tidak jauh dari pembaringan.
Meskipun biasanya Lo In sangat tenang, kali ini kelihatan ia
gugup juga. Cepat si bocah menghampiri Lan Lan yang menggeletak di
lantai. kapan ia membuka baju yang sobek sana sini yang
menutupi tubuhnya Lan Lan, tampak Lan Lan telanjang bagian
bawahnya. Cepat ia menutupi pula Lan lan, lalu meraba
tangan si pelayan diperiksa urat nadinya. Kiranya Lan Lan
sudah tidak bernyawa. Ia geleng-geleng kepala tampaknya ia
merasa kasihan pada si pelayan yang bernasib malang itu. Ia
mengerti bahwa Lan lan mati karena totokan jahat pada jalan
darah. Lo In jadi termenung sejenak dalam keadaan berjongkok.
Kapan matanya kemudian melirik ke pembaringan, ia lihat ada
sesosok tubuh yang ditutupi selimut seluruhnya. Cepat ia
bangkit dan menghampiri. Perlahan-lahan ia membuka selimut
yang menutupi. Kaget ia karena itulah Ling Ling yang
ketawanya manis dan mukanya botoh, sekarang sudah jadi
mayat dengan mata melotot.
Dalam terkejutnya, ia menyingkap terus selimut yang menutupi
tubuh Ling Ling. Bukan main gusarnya Lo In nampak
sepasang buah dadanya si pelayan yang cantik dikupas orang.
Berbayang di matanya si bocah, kapan Ling Ling turut tertawa
ngikik, sepasang buah dadanya yang bulat menonjol seperti
turut bergoyang. Pikir si bocah, Ling Ling toh sudah jadi mayat. Apa
halangannya kalau ia diperiksa lebih jauh tanda-tanda
kekejaman manusia atas dirinya si pelayan. Maka, ia sudah
menyingkap terus selimut dan.... hatinya terkesiap kapan
melihat tangan kirinya si Ling Ling dekat pergelangan
terkutung mengeluarkan banyak darah. Kekejaman itu
sedikitnya dengan pedang, kalau tidak dengan golok
dikerjainya. Lo In sambil bergidik. Ia bergidik dan bulu
tengkuknya dirasakan berdiri. Bukannya takut tapi meluap
kegusarannya yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Cepat-cepat ia menutupi pula tubuhnya Ling Ling dengan
selimutnya. Lo In tampak berdiri bengong. Pikirnya, apakah mungkin ada
manusia demikian kejam merusak anggauta tubuh si Ling Ling
yang botoh mungil " Tapi bukti sudah ada, bagaimana juga Lo
In dapat melupakan kekejamannya manusia jahat dalam dunia
yang lebar ini. Kalau tadi ia acuh tak acuh meskipun sudah menyaksikan
kekejaman dalam markas cabang Ceng Gee Pang, sekarang
setelah menyaksikan Ling Ling dan Lan Lang menjadi korban
keganasan manusia jahat, maka hatinya benar-benar menjadi
sadar bahwa seharusnya ia membasmi kejahatan untuk
menolong si lemah. Tiba-tiba ia teringat akan Liu Wangwee, maka seketika itu ia
lompat keluar kamar. Saban beberapa tindak ia jalan, ia menemukan mayat para
pelayan yang mengerikan. Ia tidak ada tempo untuk
memeriksa satu demi satu. Yang penting ia mau cari Liu
Wangwee, orang tua yang telah perlakukan dirinya sangat
baik. Setelah ia berputar-putar mencari, tidak juga ia menemukan si
orang tua. Akhirnya ia sampai ke taman bunga, dimana belum
lama berselang ada dilakukan pertempuran dengan Sucoan
Sam-sat. Di sini ia telah menemui mayatnya Cia Kie terkapar
dengan leher hampir putus, tidak jauh darinya terlihat
mayatnya Cia Liang terlentang dengan kepala sudah terpisah.
Cemas hatinya Lo In, sebab Liu Wangwee masih juga belum
diketemukan. Ia berdiri bengong. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam
menangkap seperti ada suara rintihan dalam gerombolan
alang-alang. Dengan beberapa lompatan ia sudah sampai
disana, ia menerobos masuk dan kemudian keluar lagi dengan
sesosok tubuh dipanggul di atas pundaknya. Itulah Liu
Wangwee yang keadaannya sudah hampir mati.
Lo In letaki orang tua yang bernasib buruk di tempat terbuka.
Dengan meminjam penerangan rembulan, Lo In periksa
keadaannya si orang tua. Si bocah cepat menotok beberapa bagian jalan darah untuk
menghentikan darah yang keluar tidak hentinya dari luka-luka
di bagian muka, bahu dan kedua tangannya yang sudah
menjadi buntung. Keadaan lukanya si hartawan sangat parah.
Lo In putus harapan untuk merampas jiwanya dari malaikat
elmaut. Meskipun demikian, ia coba keluarkan obatnya yang
manjur untuk menolongnya. Dalam repotnya, tiba-tiba ia
dibikin kaget oleh Bwee Hiang yang menubruk ayahnya dan
menangis menggerung-gerung.
Bwee Hiang ketika mendusin dari pingsannya, ia tidak melihat
adik kecilnya dalam kamar. Ia lantas menduga Lo In tentu
sedang mencari ayahnya. Cepat ia bangun dan lari keluar. Ia
tidak perdulikan mayat-mayat para pelayannya yang malang
melintang ia ketemukan. Terus ia mencari Lo In sampai ia
jumpai si bocah sedang memberikan pertolongan pada
ayahnya di taman bunga. Bukan main takutnya si gadis tampak keadaan ayahnya sudah
sangat payah. Ia memeluki sambil menangis, tangannya
meraba-raba wajah si orang tua yang sudah mandi darah.
Dengan jari-jarinya yang halus, si nona beberapa kali coba
melekkan matanya Liu Wangwee yang meram saja seperti
sudah mati. Putus harapan si nona, ia menangis makin
menjadi. "Enci Hiang." tiba-tiba si gadis mendengar adik kecilnya
berkata halus. "Lope tidak dapat ditolong hanya dengan
tangisan saja. Maka tenangkanlah hati enci dan marilah kita
sama-sama menolongnya."
Bwee Hiang seperti tersadar mendengar kata-kata si bocah. Ia
melepaskan pelukannya sambil masih terisak-isak ia
menyusuti air matanya. "Adik kecil, bagaimana ini..........?" si gadis kebingungan,
tangisnya belum berhenti.
"Tenang, enci Hiang." menghibur Lo In. "Jiwa ada di tangan
Thian (Tuhan). Kita manusia harus pasrah kepada nasib, asal
kita sudah menolong dengan sebisanya kepada Lope. Coba
aku periksa lagi keadaannya."
Lo In berkata sambil tangannya mengangkat tubuhnya Liu
Wangwee hendak di pondong, di bawa pergi dari situ.
Tiba-tiba matanya Liu Wangwee yang barusan meram saja
tampak dibuka, sebelum badannya terangkat oleh Lo In. Si
bocah tersenyum kepadanya. Bwee Hiang lihat itu, mukanya
mendekati wajah si orang tua. Katanya, "Ayah, oh, ayah......"
Si orang tua tersenyum. Terdengar ia berkata, "Anak Hiang,
anak Hiang. Selanjutnya kau harus akur-akur dengan adik
kecilmu. Eh, anak In." Liu Wangwee teruskan kata-katanya
pada si bocah. "Tolong kau jaga encimu. Biarlah kalian hi...."
Sampai disitu kata-kata Liu Wangwee terputus berbareng
jiwanya juga sudah pergi. Kepalanya teklok dengan
sendirinya. Lo In menghela napas. Liu Wangwee mati dengan
disangga tangannya. Suatu kematian yang mengharukan,
setelah meninggalkan pesa pada putri kesayangannya dan si
bocah wajah hitam. Sementara itu, setelah mendengar pesan sang ayah kemudian
melihat ayahnya menutup mata, Bwee Hiang tidak tahan
dengan getaran hati yang sangat sedih dan putus harapan.
Maka ia tidak bisa menangis, sebaliknya, ia jatuh pingsan........
Sampai disini kita melihat pada Eng Lian.


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti diceritakan di sebelah atas, Eng Lian setelah dicekoki
'Cian jit su su hun' atau 'Obat bubuk mematikan ingatan seribu
hari', ingatannya sudah berubah dan menjadi lupa kepada
segala kejadian yang sudah-sudah. Si bocah Lo In sudah tidak
ada dalam alam pikirannya lagi. Ia hanya ingat Ang Hoa Lobo
ada suhunya dan kepada siapa ia harus bersetia dan menurut.
Meskipun demikian, obat itu tidak mengganggu alam
pikirannya yang cerdik, lincah dan gayanya yang lucu. Ang
Hoa Lobo sangat kegirangan setelah menguasai Eng Lian.
Cita-citanya yang besar untuk mendirikan partay baru, segera
kesampaian dengan bantuannya Siauw Cu Leng.
Ang Hoa Pay (Partay Bunga Merah) telah terbentuk dan
perlahan-lahan dikenal di kalangan Kangouw. Akan tetapi
orang tak dapat menemukan dimana pusat atau cabangnya
Partay Bunga Merah itu. Orang hanya dengar perkumpulan
baru itu dikepalakan oleh satu nona muda yang menamakan
dirinya Kim Coa Siancu atau Dewi Ular Emas.
Kabarnya Kim Coa Siancu ada sangat lihai, pergi dan datang
tak kelihatan bayangannya, menakjubkan dan membuat jagojago
rimba persilatan (Bulim) menjadi khawatir akan sepak
terjangnya partai baru itu. Apakah partai itu berhaluan baik
atau jahat. Tapi yang terang, belakangan ini banyak terjadi
penculikan anak-anak tanggung usianya, menimbulkan
kegemparan karena diketahui penculikan-penculikan itu
dilakukan oleh Kim Coa Siancu.
Eng Lian yang sudah berubah dirinya menjadi Kim Coa Siancu
memang juga berkepandaian lihai. Ia bukan saja dapat didikan
serius dari Ang Hoa Lobo tapi juga disayang oleh Sucouwnya
ialah Lamhay Mo Lie atau 'Si Iblis wanita dari lautan kidul
(selatan)' yang kepandaiannya susah diukur.
Lamhay Mo Lie yang melihat Eng Lian ada berbakat jempolan,
tidak ragu-ragu lagi ia mendidik si dara cilik dengan luar bisa.
Lwekangnya Eng Lian dahsyat oleh karena emposan dari
obat-obat gaib Lamhay Mo Lie. Dalam tempo pendek atau
tidak sampai dua tahun, dari satu dara kecil yang lemah, Eng
Lian berubah menjadi si 'Jelita 17 tahun' yang tegap, cantik
luar biasa dan kepandaiannya sangat tinggi. Memang tidak
dilebih-lebihkan kalau Ang Hoa Lobo suka membual bahwa
Kim Coa Siancu ada seorang yang hebat kepandaiannya
sebab memang demikian kenyataannya si dara cilik di bawah
didikan langsung dari Lamhay Mo Lie.
Sepanjang muncul Kim Coa Siancu yang memimpin Ang Hoa
Pay, ada juga beberapa orang kuat yang dapat menyelidiki
dimana tempatnya partai baru itu. Tapi Coa-kok (lembah ular)
adalah sangat berbahaya untuk dikunjungi, maka ada sedikit
orang yang berani menempuh bahaya untuk pergi ke sana.
Diantara yang sedikit orang yagn berani menempuh bahaya
terhitung Siang-tauw niauw Kam Eng Kim, puteri dan
mantunya (Lengkoan Giok Lie Kam Lian Eng dan Hek-houw
Ma Liong). Mereka sangat penasaran dengan diculiknya Ma
Sian Bwee, cucu dan puteri kesayangannya mereka.
Setelah Ma Sian Bwee diculik Ang Hoa Lobo, dengan
bercucuran air mata Kam Lian Eng melapor pada ayahnya, si
Burung Kepala Dua Kam Eng Kim. Mendengar laporan yang
mengagetkan itu, bukan main marahnya si Burung Kepala
Dua. Sambil menggebrak meja ia mencaci si nenek yang
menculiknya, ia tidak tahu siapa namanya si nenek culik itu.
Hanya ia tahu si nenek adalah suruhannya Kim Coa Siancu
sebagaimana diterangkan oleh Lengkoan Giok-Lie Kam Lian
Eng. Sejak itu, penyelidikan dilakukan dengan sungguh-sungguh
untuk mengetahui dimana tempatnya Kim Coa Siancu itu.
Sampai beberapa lama dia berusaha, akhirnya dapat juga
keterangan yang dingini oleh mereka.
"Coa-kok letaknya ada di sebelah utara barat gunung
Hengsan." menyatakan Ma Liong dalam membicarakan soal
menolong anaknya. "Jauh tentunya dari tempat kita." kata sang isteri, Lengkoan
Giok Lie. "Jauh tidak menjadi soal." menyela Kam Eng Kim. "Yang
dipikirkan tempat itu merupakan lembah yang banyak ular
jahatnya. Banyak orang bilang yang memasuki lembah itu,
bisa masuk tidak bisa keluar lagi."
"Apa benar sampai begitu bahayanya, ayah ?" tanya
Lengkoan Giok-lie. "Aku sendiri belum tahu ke sana, bagaimana aku tahu ?"
jawab sang ayah. "Biar bagaimana, kita tidak tega anak Bwee diantapkan begitu
saja !" Ma Liong menyatakan kecemasannya.
Kam Eng Kim dan puterinya membungkam.
Tampak si Burung Kepala Dua mengurut-urut jenggotnya yang
panjang. "Memang begitu." katanya. "Tidak perduli ada
gunung golok di sana, kita harus pergi untuk menolong Sian
Bwee !" si jago tua meneruskan, bersemangat dia.
"Kapan kita berangkat ?" Lengkoan Giok-lie juga
bersemangat. Ma Liong melirik pada mertuanya, tidak berkata apa-apa.
"Nanti aku tanyakan dahulu pada sahabatku Louw Bin Cie,
apa dia bersedia untuk mengikuti kita atau tidak." Kam Eng
Kim menyatakan. "Bagus." kata Ma Liong. "Kalau Louw Su-siok turut, kita dapat
tambah tenaga yang sangat berarti. Dia kepandaiannya
menggunakan sepasang pedang, tiada yang dapat
menandinginya !" Ma Liong kelihatan kegirangan mendengar Louw Bin Cie akan
diajak dalam kepergiannya itu. Tidak heran ia kegirangan
karena Louw Bin Cie ada tersohor kepandaiannya bersilat
dengan sepasang pedangnya. Dua pedang yang digunakan
olehnya bukan pedang dari ukuran biasa, tapi pendek. Dari
ujung pedang samapi di ujung gagangnya kira-kira panjang
dua kaki. Pedang biasa, tajam hanya satu muka. Tapi pedang
Louw Bin Cie ada dua muka, depan belakang.
Kepandaiannya menggunakan sepasang pedang itu, membuat
namanya Louw Bin Cie terkenal dengan julukan Sian-jin
Siang-kiam Louw Bin Jie atau 'Si Sepasang Pedang Dewa'
dan dengan kepandaiannya ini bukan sedikit jago-jago silat
yang menjadi pecundang. Malah di kalangan Hekto (jahat)
namanya sangat ditakuti. Dengan Kam Eng Kim, si Sepasang Pedang Dewa ada
bersahabat baik, lebih-lebih dari saudara putusan perut. Maka
ketika Louw Bin Cie mendapat kabar hal diculiknya Sian
Bwee, dia juga sangat gusar. Sian Bwee ada satu anak
perempuan yang berbakat untuk belajar ilmu silat. Maka Louw
Bin Cie sering memberi beberapa petunjuk dan pandangan
kepada si dara cilik sebagai cucunya juga, karena atas
perintah Kam Eng Kim, kepadanya Sian Bwee ada memanggil
Yaya (engkong atau kakek).
Demikian, ketika ditanya pikirannya, Louw Bin Cie tidak pikirpikir
lagi. Ia sudah lantas menyanggupi untuk pergi bersamasama
dengan Kam Eng Kim ke Coa-kok.
"Aku ingin lihat, Kim Coa Siancu itu macam bagaimana.
Apakah dia ada mempunyai tangan delapan sampai orang
ketakutan kepadanya " Hmm !" Louw Bin Cie menyatakan
kesengitannya ketika Kam Eng Kim mengatakan si Dewi Ular
Emas ada sangat lihai ilmu silatnya, disamping juga ada
pembantunya yang lihai-lihai.
Pada keesokan harinya, genap satu setengah tahun Sian
Bwee menghilang. Ma Liong dan isteri dengan dikawal oleh
dua jago tua Kam Eng Kiam dan Louw Bin cie, mereka
melakukan perjalanan ke lembah ular dimana ada
bersemayam Kim Coa Siancu.
Dalam perjalanan kesana, mereka dapat kesukaran mencari
keterangan. Waktu jarak tempat yang dituju masih jauh,
mereka masih dapat petunjuk dari orang dimana letaknya
Coa-kok. Tapi makin mendekat ke tempat tujuan, makin sukar
mereka dapat keterangan. Orang-orang yang ditanyai
kebanyakan menggeleng kepala, mengatakan tidak tahu.
Lengkoan Giok-lie coba gunakan pengaruh uang, menyogok,
supaya orang mau kasih petunjuk tetapi tidak ada yang mau
terima. Mereka jadi heran.
"Kalau begitu jalannya, bagaimana kita cari sarangnya Kiam
Coa Siancu ?" tiba-tiba Kam Eng Kiam mengutarakan
pikirannya. Ma Liong dan isterinya hanya memandang si jago tua, hanya
diam saja. Rupanya mereka satu pikiran. Memang sukar untuk
mencari sarangnya Kim Coa Siancu, manakala tidak
mendapat petunjuk dari orang-orang yang berdekatan dengan
Coa-kok. Louw Bin Cie juga terdiam di tempat berdirinya.
Setelah semuanya membisu untuk beberapa lama, tiba-tiba
Louw Bin Cie berkata, "Mari ikut aku. Di sana ada orang yang
akan menolong kita."
Louw Bin Cie berkata sambil tangannya menunjuk ke
jurusandepan, nyamping ke kiri hingga kawan-kawannya
menjadi heran, "Memangnya siapa ada tinggal disana ?" tanya
Kam Eng Kim pada sahabatnya.
"Aku kira toako tentu kenal orangnya manakala sudah jumpa."
jawabnya. Louw Bin Cie tidak menerangkan siapa adanya orang itu,
hanya ia terus memimpin orang-orangnya dengan jalan lebih
dahulu menuju ke arah yang barusan ia tunjuk sehingga Kam
Eng Kim sungkan untuk menanya lebih jauh.
Tidak lama mereka jalan, segera menemukan sebuah rumah
sederhana dikurung oleh pagar bambu sekitarnya. Mereka
sampai didekatnya, tiba-tiba dibikin kaget oleh anjing yang
menyalak. Gonggongan anjing itu keras dan galak. Rupanya
anjing jantan sebab kemudian disusul menyalaknya anjing lain
yang tidak begitu galak, anjing betina rupanya. Sebentar lagi
tampak muncul seorang wanita yang berusia pertengahan,
melihatnya, Louw Bin Cie menyapa, "Thio Jiso (enso kedua),
apa kau baik-baik saja " Sungguh girang aku dapat melihat
kau lagi." Wanita tadi memandang ke jurusan Louw Bin Cie, "Eh, kau
yang datang Louw-ji (si Louw kedua). Sungguh tidak disangkasangka."
kata si wanita seraya menghampiri pintu pekarangan,
berbareng mulutnya ramai melarang anjing-anjingnya
menyalak. "Mari, mari masuk. Kau bawa banyak teman ?" kata si wanita
lagi seraya membuka pintu pekarangan, menyilahkan tamutamunya
masuk. "Bagaimana, apa toako ada di rumah ?" tanya Louw Bin Cie
sambil terus berjalan mengikuti si Thio Jiso, nyonya rumah
rupanya. Si wanita yang dipanggil Thio Jiso tidak menyahut, hanya
jalannya dipercepat dan masuk lebih dahulu ke dalam rumah.
Sebentar lagi tampak muncul lagi wanita lain. Lian Eng yang
melihat merasa bingung sebab wanita itu romannya hampir
sama dengan yang tadi, hanya sedikit tuaan. Tapi kalau dilihat
sepintas lalu, orang bisa keliru dan menyangka wanita yang
baru muncul itu yang tadi juga.
"Selamat datang, selamat datang !" menyambut si wanita yang
barusan muncul. "Thio Toaso, bagaimana kau baik-baik saja ?" kata Louw Bin
Cie sambil angkat tangannya menyoja si nyonya dan diturut
oleh yang lain. Lian Eng bingung Louw Bin Jie memanggil Jiso dan Toaso
(enso kedua dan kesatu). Apa tuan rumah punya dua isteri "
Tanya hati kecilnya. Lengkoan Giok-lie tak usah lama-lama menebak dalam
hatinya karena ia segera diperkenalkan kepada tuan rumah
dan dua wanita tadi. Dan benar saja dua wanita itu adalah isterinya tuan rumah.
Mereka itu Sian Kin dan Sian Lian, orang she Kho, keduanya
adalah isteri dari Kim to Thio Tiat, si Golok Emas yang pada
10 tahun berselang terkenal namanya sebagai guru silat di
kota Hokciu (Hokkian). Sian Kin dan Sian Lin adalah sepasang
dara kembar dari puteri hartawan Kho di kota Hokciu yang
bersama-sama mencintai Thio Tiat gara-gara belajar silat. Thio
Tiat tidak memilih-milih lagi, ia sikat sekaligus kedua-duanya
menjadi istrinya. Matanya Thio Tiat benar-benar lihai sebab
dua isterinya memang benar isteri-isteri yang pantas
mendapat cinta sang suami.
Karena mereka betul-betul setia dan merawat suaminya
dengan baik. Satu sama lain bisa akur, tidak main iri-irian
seperti biasanya bila satu suami dengan dua istri bila dijadikan
satu (srumah) pasti cakar-cakaran. Tetapi mereka dapat hidup
dengan bahagia. Belakangan Thio Tiat merasa bosan dengan penghidupan di
kota, maka ia sudah ajak dua istrinya menyepi di tempat
pegunungan, yang ditinggali sekarang, ialah dusun Cit-sengtin,
termasuk wilayah Coa-kok juga.
Thio Tiat dengan Louw Bin Cie adalah teman baik dari kecil.
Malah ketika si guru silat bercinta-cintaan dengan sepasang
dara kembar, ia tahu juga. Malah sering menggodai mereka.
Pada waktu itu ia sering mendapat pesanan Sian Kin dan Sian
Lin, bukannya suatu hadiah tapi pesanan cubit karena si dara
jengkel digodai. Thio Tiat hanya ketawa terbahak-bahak dapat
melihat Louw Bin Cie teraduh-aduh terima cubitan Sian Lin
yang lebih galak dari encinya.
Louw Bin Cie dipanggil Louw-ji karena masih ada engkonya
yang dipanggil Louwtoa (si Louw kesatu atau tua) yang
bernama Bin Gie, yang juga mengenali sepasang dara itu tapi
tidak suka bersenda gurau seperti Louw Bin Cie.
Demikian pertemuan antara Thio Tiat dan Louw Bin Cie,
sungguh-sungguh menggirangkan kedua pihak karena sejak si
orang she Thio menyepi di kampungnya situ, belum pernah
ketemu lagi dengan teman sepermainan di waktu masih kecil
itu. Louw Bin Cie mengenalkan Kam Eng Kim dan lain-lainnya
pada Thio Tiat dimana Thio Tiat memberi sambutannya indah
dan sopan hingga menyenangkan para tamunya. Siang-tauwniauw
Kam Eng Kiam memang kenal dengan Thio Tiat tapi
hanya kenal nama saja. Begitu juga sebaliknya dengan Thio
Tiat. Tapi sekarang, begitu berani, kelihatan mereka cocok
dan dapat mengobrol banyak.
Demikian, dilain pihak Lian Eng pun dapat mengobrol dengan
gembira dengan dua nyonya rumahnya, yang ternyata suka
ngomong. Tidak hentinya dua nyonya rumah itu menghujani
Lian Eng dengan rupa-rupa pertanyaan tentang keadaan di
kota sekarang ini. Lengkoan Giok-lie tidak keberatan untuk


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menceritakan perubahan-perubahan yang ia tahu sehingga
dua nyonya itu kelihatannya merasa senang.
Selama mereka bercakap-cakap, tak terasa cuaca mulai
gelap. Dengan ramah tamah, tuan dan nyonya rumah mengundang
mereka untuk melewatkan sang malam dalam rumah itu saja.
Para tamu tidak melihat alasan untuk menolak. Apalagi urusan
yang penting hendak ditanyakan belum dilakukan. Maka itu
mereka dengan baik telah menerima undangan untuk
menginap dalam rumah Thio Tiat.
Nyonya rumah telah menyediakan hidangan sekedarnya tapi
cukup lezat dimakan oleh para tamu dan semuanya pada
mengatakan banyak terima kasih.
Pada mulanya, di waktu omong-omong dengan perlahanlahan
Louw Bin Cie timbulkan persoalan Kim Coa Siancu.
Waktu mendengar disebutnya Kim Coa Siancu, otomatis,
tampak wajah Thio Tiat dan dua istrinya menjadi pucat.
Tapi Thio Tiat dapat menguasai getaran jantungnya yang
kaget. "Sebaiknya jangan kita bicarakan soal itu." katanya,
perlahan suaranya. Ma Liong tidak puas. Ia lantas ceritakan tentang diculiknya
Sian Bwee dan maksud mereka lewat di Cit-sen-tin adalah
hendak menyatroni sarangnya Kim Coa Siancu di Coa-kok.
Hanya menyesal sekali, tidak ada seorang yang dapat
memberi petunjuk yang jelas untuk pergi ke sana.
Mendengar itu, Thio Tiat saling pandang dengan kedua
istrinya. "Urusan kalian memang hebat." kata Sian Lin tiba-tiba. "Dalam
hal lain mungkin kita dengan lantas dapat membantu tapi
dalam itu, maaf saja."
"Kenapa begitu ?" tanya Kam Eng Kim, tidak puas dia.
"Dalam wilayah di sini, ada satu pantangan untuk orang
menyebut apa-apa mengenai dirinya, apalagi petunjuk seperti
yang kalian ingini." berkata lagi Sian Lin, wajahnya sudah
pucat ketakutan. Thio Tiat dan Sian Kin juga kelihatan gelisah.
"Hahaha !" terdengar Kam Eng Kim tertawa.
"Kalian tidak berani kasih tahu, kami juga tak berani lama-lama
tinggal disini. Nah, marilah kita pergi !" ia bangkit dari
duduknya mengajak kawan-kawannya berlalu dari rumah itu,
malam-malam itu juga. "Ayah, kau jangan bawa adat yang bukan-bukan !" berkata
Lian Eng yang merasa jengkel dengan kelakuan sang ayah
yang tidak benar. "Apa kau bilang " Bukan-bukan " Hmm !" tidakk senang ia
ditegur anaknya. "Orang sudah begitu baik terhadap kita, masa dibalas dengan
kelakuan yang demikian tidak sopan ?" berkata lagi Lien Eng,
berani ia menyela ayahnya.
"Kau, kau, anak apa ! Tidak punya isi perut. Orang sudah
ketakutan masih mau ngotot lagi. Mereka boleh takut pada si
sundal Kim Coa Sian....." berbareng api lilin yang sengaja
dipasang dua batang telah menjadi padam.
"Hihihi....." kedengaran suara ketawa wanita di sebelah luar,
perlahan suara ketawa itu tapi menusuk ke telinga orang yang
ada disitu. Thio Tiat dan dua istrinya saling peluk ketakutan
sementara Ma Liong dan Liang Eng juga jeri hatinya, hanya
Louw Bin Cie yang besar hatinya. Dengan sekali lompat ia
sudah berada di luar pintu. Di sana si orang she Louw hanya
melihat seperti segulungan asap ketiup angin pergi, pergi tidak
kelihatan ditelan kegelapan sang malam.
Louw Bin Cie sebenarnya hendak mencegat larinya si wanita
yang ketawa tadi tapi sudah terlambat. Wanita itu sudah
lenyap seperti asap bergulung-gulung.
Si orang she Louw hanya bisa menghela napas dengan
mendongkol. Ketika ia masuk lagi ke dalam, api lilin
penerangan sudah dipasang lagi. Mendadak Lian Eng menjerit
melihat ayahnya sedang duduk menyender di kursi dengan
kedua matanya tertutup. Waktu Thio Tiat dan dua istrinya mendekati, mereka menjadi
menggigil seperti yang merian, "Kim...... Kim..... Coa....
Sian.....cu.....!" kata-kata ini molor keluar dari bibirnya sian Lin
seraya tangannya menunjuk pada jidatnya Kam Eng Kim
dimana terdapat goresan seperti gambar ular kecil tengah
meloget-loget jalan. "Ayah, ayah........." Lian Eng bangkit dari duduknya hendak
menubruk ayahnya, tapi cepat dihalangi oleh Sian Lian hingga
mereka jadi berkutatan. Lian Eng berontak hendak
menghampiri ayahnya sedang Sian Lian bertahan
menghalanginya. Segera Sian Kin sudah turun tangan juga, katanya, "Nona
Eng, kau dengar dulu omonganku. Sabar, satu sudah hilang,
masa harus yang lain menyusul ?"
Ma Liong dan Louw Bin Cie heran mendengar kata-kata Sian
Kin. Sementara itu, Lian Eng juga sudah menjadi tenang. Tidak lagi
ia berontak untuk memeluk ayahnya yang sudah jadi mayat. Ia
ingin mendengar penjelasan Sian Kin, yang lalu berkata lagi,
"Nona Eng, kalau adikku barusan mencegah kau menubruk
ayahmu adalah demi keselamatanmu. Kam Lo-enghiong
setelah mendapat totokan maut dari Siancu, badannya
menjadi beracun. Kalau kena diraba, orang yang merabanya
akan ikut ia ke alam baka. Inilah yang dapat kuterangkan.
Harap kau tidak menjadi kecil hati. Sekarang paling baik kita
urus jenasah ayahmu baik-baik. Mau ditanam disini boleh saja,
mau di bawa pulang, itu terserah."
Lengkoan Giok-lie mendengar perkataan Sian Kin, berdiri bulu
kuduknya. Seram dia, hatinya berdebar keras, ketakutan.
Matanya saling pandang dengan suaminya.
Ma Liong ragu-ragu akan Sian Kin, maka ia tinggal membisu
saja, tak dapat ia memberi putusan. Sang istri paham dengan
sikapnya sang suami, maka dari takut ia juga menjadi raguragu
atas keterangannya Sian Kin.
Louw Bin Cie juga masih tidak percaya, masa sampai begitu
ampuh totokan si Dewi Ular Emas. Dapatkan ia menyimpan
bisa di dalam tubuhnya sang korban "
Melihat sikap mereka, kuatir salah satu antaranya nanti nekad
mencoba-coba meraba mayatnya Kam Eng Kiam, maka si Jiso
(Sian Lin) berkata, "Kalian mungkin tidak percaya akan katakata
enciku. Nanti aku kasih bukti !" berbareng ia berlalu dari
situ masuk ke belakang. Tidak lama ia kembali dengan
membawa seekor anak anjing yang masih kecil hingga para
tamu menjadi heran. "Nah, lihat, aku korbankan makhluk yang tidak berdosa !"
katanya berbareng ia pegang kepalanya si anjing kecil,
mukanya ditempelkam pada pipinya Kam Eng Kim, lalu
dilepaskan dengan cepat hingga si anak anjing jatuh di lantai.
Ia tidak berkuing-kuing lari mencari ibunya, sebaliknya, begitu
badannya menyentuh lantai, tampak ia berkelejetan seperti
makan racun layaknya. Sebentar kemudian terdengar suara
'Ngik' hanya sekali dan anjing kecil itu melayang jiwanya dan
tubuhnya sudah tak bergerak lagi.
Lian Eng lompat menubruk Ma Liong. Ia memeluk suaminya
dengan ketakutan bukan main.
Ma Liong pun tergetar hatinya, tapi tidak ketakutan seperti Lian
Eng. Louw Bin Cie dilain pihak, tampak angguk-anggukkan
kepalanya. Hatinya cemas tercampur terharu. Ia cemas karena
gara-gara ia yang membawanya ke rumah Thio Tiat sehingga
Kam Eng Kim menemukan kematian konyol, terharu
kehilangan si Burung Kepada Dua yang tidak sedikit tahun
menjadi sahabatnya. Ia jadi berdiri menjublek.
Sekonyong-konyong Lian Eng melepaskan pelukan dari
suaminya lalu menghampiri Sian Lin, di dekapnya Lian Eng
jatuhkan diri berlutut sambil berkata, "Lin koukou, kau adalah
Injinku, terimalah hormatku dan aku mohon maaf atas
kelakuanku barusan yang tidak benar." air matanya tampak
bercucuran. Koukou artinya bibi dan Injin (tuan penolong).
Melihat kelakuan Lengkoan Giok-lie, Sian Lin mengelus-elus
rambut si juwita dari kota Lengkoan, "Anak Eng. Kita orang
sendiri, tak usah banyak peradatan. Nah, bangunlah !" Sian
Lin menyilakan si nyonya muda bangun.
Mengingat nanti berabe diperjalanan kalau mayatnya Kam
Eng Kim di bawa pulang, maka atas kemauan Lin Eng sendiri,
mayat Kam Eng Kim dikubur di Cit-seng-tin. Mayat itu
dibungkus dengan kain tebal dan selimut supaya tubuhnya
yang beracun tidak sampai teraba oleh orang yang
menggotongnya ke dalam liang kubur. Lian Eng mengucurkan
banyak air mata, menyaksikan penguburan jenasah ayahnya
yang kesohor itu hanya disaksikan oleh ia sendiri, sang mantu
Ma Liong, sahabatnya Louw Bin Cie serta Thio Tiat dan dua
nyonya yang mulia hatinya. Coba kematian Siang-tauw-niauw
Kam Eng Kim kejadian di tempatnya sendiri, sudah tentu
banyak yang datang melayat dan penguburan dilakukan
dengan ramai sekali dengan diantar oleh banyak kawankawannya
dalam dunia Kangouw. Setelah selesai membereskan penguburan jenasah ayahnya,
Lian Eng ajak kawan-kawannya untuk meneruskan perjalanan.
Kepada tuan rumah dan dua nyonya rumah, Lengkoan Giok-lie
mengucapkan banyak terima kasih. Malahan ia mau
tinggalkan uang untuk ongkos selama mereka tinggal disitu,
akan tetapi ditolak oleh tuan dan nyonya rumah yang manis
budi. Dalam perjalanan, mereka mampir disebuah rumah makan An
Seng untuk melepaskan lelah dan mengisi perut. Mengingat
akan nasehat dua nyonya Thio Tiat bahwa ada pantangan
bagi orang-orang yang tinggal di wilayah dekat Lembah Ular
menyebutkan nama Kim Coa Siancu atau menyinggungnyinggung
soalnya, maka Lian Eng dan dua kawannya tak
berani dengan terang-terangan berbicara mengenai soal Kim
Coa Siancu lagi. Mereka kini tahu akan kelihaiannya si Dewi
Ular Emas. Meskipun demikian, diam-diam Lian Eng ada mengandung
maksud bahwa suatu waktu ia mesti menemui Kim Coa Siancu
untuk menentukan siapa unggul. Tapi hal ini ia tidak dapat
lakukan sekarang. Pikirnya, ia akan belajar atau
memperdalam ilmu silatnya lagi, setelah mana ia baru akan
mencari Kim Coa Siancu yang telah menculik puterinya dan
membunuh ayahnya. Dalam rumah makan itu mereka kasak kusuk untuk mengambil
keputusan, apakah perjalanan baik diteruskan atau baik
pulang saja. Louw Bin Cie tidak berkata apa-apa sebab ia
memang hanya sebagai pengantar saja. Putusannya sudah
tentu ada pada Ma Liong dan istrinya yang mempunyai
kepentingan dalam hal itu.
"Diteruskan juga percuma, kita hanya akan mengantarkan jiwa
saja." Ma Liong menyatakan pikirannya. "Sebaiknya kita
pulang saja dahulu untuk berdamai dengan orang-orang tua
dirumah, untuk meminta nasehatnya bagaimana kita harus
berbuat menghadapi musuh yang sangat tangguh."
Louw Bin Cie pikir, itulah jalan paling baik. Maka Lian Eng pun
tidak bisa membantah dan mereka sekarang telah putar
haluan untuk balik kembali saja.
Tidak jauh dari meja makan mereka, tampak ada 4 orang, juga
sedang makan dengan bernapsu. Mereka ketawa geli dalam
hati melihat satu diantaranya yang bermuka merah dan gendut
pendek, makannya sangat gembul. Beberapa kali telah
tambah nasi dalam mangkoknya tapi masih belum juga
kelihatan merasa kenyang.
"Tan-heng, aku kuatir perutmu nanti kembung seperti balon !"
kawannya bermuka putih menggodai si gendut yang makan
tanpa batas. "Hahaha !" si gendut tertawa seraya letakkan mangkok dan
sumpitnya di meja, mulutnya masih penuh dengan nasi.
Setelah menelan habis nasi di mulutnya, ia meneruskan
berkata, "Perjalanan kita ke Coa-kok harus melewati banyak
tempat sepi. Maka aku harus bekal makanan dalam perutku
supaya tidak kelaparan di jalan. Hahaha !"
Si gendut tertawa seraya tepuk-tepuk perutnya.
Louw Bin Cie terkejut mendengar kata si gendut. Pikirnya,
kalau begitu 4 orang yang sedang makan itu bermaksud
hendak pergi ke lembah ular. Apa maksud mereka ke sana "
Apa ada urusan yang sama dengan urusannya Ma Liong "
Louw Bin Cie saling berpandangan dengan Ma Liong serta
istrinya. Si Sepasang Pedang Dewa Louw Bin Cie ingin mencari tahu,
kalau benar mereka ada bertujuan sama, baik sekali kalau
diajak menjadi teman seperjalanan. Ketika ia mau bangkit dari
duduknya, tiba-tiba ia mendengar seorang lain yang memakai
kumis berkata pada si gemuk, "Tan-heng, jangan-jangan
belum sampai disana bekal dalam perutmu itu sudah
digerembengi orang............ Hehehe !"
Si gemuk ketawa, "Aku Tan Thiat Ga, datang kemari
mengantar dia, aku punya toako." berkata si gemuk seraya
menunjuk orang di depannya yang berperawakan jangkung.
"Kalau aku si orang she Tan tidak punya 'isi', mana berani
begitu gegabah mengantar orang ke tempat yang seram !"
Maksud si gemuk 'isi' itu artinya 'punya kepandaian silat'. Tapi
temannya, si kumis berlagak pilon dengan arti yang
sebenarnya, ia menggodai, katanya, "Tentu saja ada isi, ialah
isi perut. Hahahaha...."
Semua orang ketawa kecuali si jangkuk yang kelihatannya
sedari tadi bermuram durja saja. Thiat Gu rupanya seorang
yang jenaka diantara mereka, maka kawannya suka
menggodainya. Sebab kemudian dengan gayanya yang lucu
ia berkata lagi pada si kumis seraya mengusap-usap perutnya,
kepalanya nunduk memandang perutnya yang seperti balon
ditiup, katanya, "Lie-heng, isi ini penuh dengan lwekang
(tenaga dalam) yang dahsyat. Siapa berani raba isinya " Hmm
! Jago-jago temanku, jungkir balik dengan iniku !" si gemuk
perlihatkan kepalannya. Lalu meneruskan, "Di sini aku mau
coba si dara jelita yang disohorkan berkepandaian sangat
tinggi !" "Siapa itu dara jelita, Tan-heng ?" tanya si kumis seraya
menahan tertawa. "Hehehe...." kepalanya mendongak. "Itulah Kim Coa Sian......
!" Baru saja menyebut 'Kim Coa Sian...', belum 'cu'-nya
keucapkan, badan si gemuk tiba-tiba gemetaran dan jatuh ke


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantai bersama bangku yang didudukinya.
Semua orang kaget, apa lagi kawan-kawannya yang serentak
turun tangan menolong temannya yang diserang penyakit
ayan, pikir mereka. "Hi hi hi..... !" terdengar suara ketawa wanita di sebelah luar.
-- 18 -- Suara ketawa itu tidak diperhatikan oleh kawan-kawannya Tiat
Gu yang sedang repot menolong si gemuk yang kelenger
dengan tiba-tiba itu. Tapi bagi Louw Bin Cie dengan kawankawannya,
tertawa wanita itu mereka kenal baik. Itulah Kim
Coa Siancu, berkata dalam hati masing-masing. Tidak berani
mereka mengucapkan dengan terang-terangan karena takut
mati konyol seperti Siang-tauw-niauw Kam Eng Kim dan si
gemuk yang barusan mereka saksikan menemui ajalnya.
Louw Bin Cie hanya dapat berpandangan dengan dua
kawannya. Sementara itu Tiat Gu yang digoyang-goyang lengannya tetap
tidak sadarkan diri. Si jangkung, toakonya si gemuk lalu ulur
tangannya meraba pipi dan dahinya sang kawan. Tiba-tiba ia
bergemetaran dan jatuh meloso di lantai. Berkelejatan
sebentar seperti anak anjing beberapa malam yang lalu Lian
Eng saksikan, lantas si jangkung tidak berkutik lagi.
Melihat si jangkung keracunan gara-gara meraba pipi si
gemuk, maka dua kawannya yang lain ketakutan, tidak berani
meraba tubuh sang kawan. Apalagi si kumis yang barusan
menggoyang-goyang lengan si gemuk, bukan main ia
ketakutan. Ia tidak apa-apa menggoyang-goyang lengan si
gemuk lantaran lengan si korban ketutupan lengan baju. Coba
bila tidak, pasti si kumis yang direnggut duluan jiwanya oleh
racun dahsyat dari Kim Coa Siancu. Keadaan waktu itu
menjadi panik, para tamu yang takut tentang hal itu sebentar
saja sudah padalari keluar kecuali tamu-tamu yang datang dari
luar tempat tidak mengerti akan kematiannya si gemuk dan si
jangkung. Penduduk disitu sudah lantas tahu bahwa si gemuk
mendapat hadiah 'Bu-im In-coa' atau 'Cap ular tanpa suara',
senjata rahasia Kim Coa Siancu yang menggemparkan.
Pada dahi si gemuk tampak goresan gambar ular yang sedang
melegot-legot jalan. Entah macam apa bentuknya senjata rahasia dari Kim Coa
Siancu, tiada orang yang tahu. Orang-orang hanya tahu
korban-korban yang kena sasarannya akan gemetaran
sebentar dan kemudian lantas mati. Pada jidat si korban akan
diketemukan satu goresan gambar ular kecil yang jalan
melegot-legot. Berdasar inilah rupanya orang menamakan
senjata yang ampuh dari Kim Coa Siancu 'Bu-im In-coan' atau
'Cap ular tanpa suara'. Si muka putih dan si kumis mengeluarkan banyak uang juga
untuk mengubur jenazah kedua kawannya karena mereka tak
dapat melakukannya sendiri tapi harus minta bantuannya
beberapa penduduk disitu yang sudah biasa menguburkan
korban-korban dari Kim Coa Siancu sehingga tidak sampai
keracunan. Louw Bin Cie dan dua kawannya tidak menyaksikan
penguburan itu karena mereka sudah lantas melakukan
perjalanan pulang. Meskipun sudah kawakan dalam dunia Kangouw, Louw Bin
Cie menyaksikan kejadian yang sehebat dilakukan Kim Coa
Siancu, diam-diam keberaniannya menjadi kecut untuk
menghadapi Kim Coa Siancu. Ia ingin buru-buru pulang untuk
berunding dengan kawan-kawannya yang lebih tua tentang
halnya Kim Coa Siancu. Ketika matahari mendoyon ke sebelah barat, si Sepasang
Pedang Dewa Louw Bin Cie dan dua kawannya menjadi
kebingungan karena sudah kesasar jalan. Hari sudah
mendekati sore, bagaimana mereka nanti dapat tempat
pemondokan sebab disitu jalan-jalan yang dilewati boleh
dikata hanya hutan-hutan yang sepi saja.
Di depan sana, tiba-tiba Lian Eng nampak ada satu kebun
bunga. Ia memang paling suka pada kembang-kembang, maka
seketika itu ia cepatkan jalannya meninggalkan kawankawannya.
Ia tidak mengira bahwa disana sudah ada seorang
gadis tengah memetik bunga-bungan yang indah seraya dari
mulutnya terdengar suara nyanyian yang amat merdu
kedengarannya. "Hm, siapa anak dara ditengah-tengah hutan ini ?" Lian Eng
menanya pada dirinya sendiri seraya teruskan jalannya
mendekati si anak dara yang tengah asyik memetik bunga.
Lengkoan Giok-lie menggunakan ilmu entengi tubuh maka
juga si gadis jelita tadi tidak mengetahui kalau dirinya ada
yang dekati. "Adik manis, kau sendirian saja memetik kembang ?" tiba-tiba
ia menegur si gadis yang kelihatan kaget dan hentikan
menyanyinya. Ka[an ia menoleh pada Lengkoan Giok-lie, si Lengkoan Gioklie
menjadi sangat terperanjat hatinya. "Eh, kau, kau ada disini,
anak Bwe..." tiba-tiba mulutnya nyonya Ma tercetus ucapan
aneh. Aneh untuk si gadis sebab ia tidak kenal sama wanita di
depannya. "Siapa yang kau maksudkan dengan anak Bwee ?" ia lantas
menanya. "Eh, apa kau bukan anak Bwee ?" Lengkoan Giok-lie
menegasi berbareng hatinya rada sangsi karena reaksi dari si
gadis di luar dugaannya. Gadis itu geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan
Lengkoan Giok-lie. Lian Eng menjadi penasaran, ia datang lebih dekat dan
mengawasi wajah gadis itu.
Ia lihat si gadis pengawakannya agak berubah, lebih jangkung
dan lebih botoh dari Sian Bwee anaknya satu setengah tahun
yang lalu. Pikirnya, perubahan itu wajar karena satu setengah
tahu ia tidak ketemu anaknya itu. Ibu mana sih yang tidak
mengenali anaknya, maka juga Lian Eng sudah berkata pula,
"Tidak salah, kau adalah Sian Bwee anakku. Kalau buka,
siapa ada orang tuamu, adik manis ?"
"Hihihi..... bibi ini lucu. Aku jadi anakmu, aku sudah keliru. Aku
bernama Cui Sian bukannya Sian Bwee !" si gadis
menyangkal seraya terus memetik bunganya, tidak
memperdulikan Lian ENg yang haus akan cintanya sang puteri
yang hilang ! Sementara itu Ma Liong, suaminya sudah datang mendekati
isterinya yang sedang terpaku, tercengang mendapat
perlakuan dari si gadis yang ia kira anaknya.
"Engko Liong, coba kau lihat siapa dia." kata Lian Eng ketika
mengetahui suaminya ada didepannya. "Eh, nona. Coba kau
lihat siapa ini." Lian Eng kata pada si gadis yang sedang
membelakangi mereka, asyik memetik bunga.
Si gadis menolah kepada mereka. Ma Liong terkesiap hatinya
nampak wajah si gadis tapi dia sangsi sebab gadis yang
dilihatnya ini pengawakannya lebih jangkung dan lebih botoh
dari anaknya Sian Bwee yang hilang.
"Adik Eng, anak ini mirip dengan anak kita." akhirnya ia
berkata juga. Liang Eng tidak menyahuti kata-katanya sang suami tapi ia
gapaikan tangannya pada Louw Bin Cie yang berdiri sedikit
jauh dari mereka, si Sepasang Pedang Dewa dengan segera
lantas datang menghampiri.
"Louw susiok (paman), coba kau lihat, siapa gadis itu." kata
Lian Eng. Louw Bin Cie memandang pada gadis yang asyik memetik
bunga, "Hei, nona, coba kau berpaling sebentar !" katanya
pada si gadis. Si nona menoleh dan melemparkan senyuman manis.
"Ah, dialah Sian Bwee." kataya setelah melihat tegas roman
muka si gadis. "Nah, bagaimana pendapatmu ?" Lian Eng menanya
suaminya. Ma Liong juga memang menduga gadis itu adalah anaknya
hanya ia ragu-ragu karena perbedaan perawakan si gadis itu.
Mendengar perkataan sang isteri dan ucapan Louw Bin Cie,
mau tidak mau ia harus akui bahwa gadis di depannya itu ada
puterinya yang hilang. Maka ia lantas maju mendekati dan
berkata, "Anak Sian, apakah kau sudah lupa kepada ayah
bundamu " Kau disini sendirian, mari kita pulang !"
"Hihihi...." si gadis ketawa empuk. "Pulang " Pulang kemana "
Aku tidak bisa meninggalkan suhu, lagian aku tidak kenal
kalian !" si gadis berbareng angkat kaki hendak meninggalkan
mereka. "Tunggu !" kata Lian Eng, agak bengis suaranya.
Si gadis hentikan tindakannya. Ia agak kaget, wanita ini main
bentak, pikirnya. "Kau mau apa " Aku tidak ada urusan dengan kau. Kenapa
kau tetap juga mengaku aku sebagai anakmu " Hihihi, adaada
saja." Lian Eng dan dua kawannya seketika mempunyai satu
anggapan baha gadis di depannya ini memang Sian Bwee
adanya, cuma saja ingatannya sudah tidak waras, memungkiri
ayah bundanya sendiri. Maka mendengar kata-kata Cui Sian,
Louw Bin Cie saling pandang bertiga. Dengan satu tanda
kedipan dari Lian Eng, segera juga Ma Liong bergerak hendak
menangkap Cui Sian. Pikrinya, dengan sekali jambret tangan Cui Sian sudah dapat
dicekal olehnya sebab dalam gerakannya ia gunakan tipu
'Sianjin hian chiu' atau 'Sang Dewa perlihatkan tangan', salah
satu jurus dari 'Liu su ciang hoat' (Ilmu pukulan pohon Liu)
yang menjadi kebanggaan dalam perguruannya.
Tangan kiri di dada untuk menjaga serangan membalik,
tangan kanan menyambar tangan si gadis. Ma Liong sangsi
kalau Cui Sian bukan puterinya dan pandai silat, maka ia
sudah gunakan tipu itu. Tapi sebaliknya sang isteri, Lian Eng
menganggap perbuatan sang suami itu terlalu kasar terhadap
anak sendiri. Meskipun kelihatannya tidak berjaga-jaga, tangannya yang
halus terancam bakal kena dicekal Ma Liong, si gadis
waspada juga. Begitu tangan Ma Liong menyambar, segera ia
tarik sedikit tangannya sehingga sambaran tangan Ma Liong
hanya menangkap angin. "Hihihi..." Cui Sian ketawa, seraya lari dari situ.
Ma Liong terbelalak matanya, Lian Eng terpaku ditempatnya
dan Louw Bin Cie manggut-manggut kepalanya. Kenapa " Ma
Liong suami isteri dan Louw Bin Cie bukannya heran atas
kegesitannya si gadis, hanya mereka kenali Cui Sian
menyelamatkan tangannya dari sambaran Ma Liong adalah
jurus 'Thian lie kay tay' atau "Bidadari meloloskan sabuk'.
Suatu gerakan yang khusus untuk mengelakkan tipu 'Sian jin
hian ciu' dari ilmu silat 'Liu su ciang hoat'.
Dengan begitu, Cui Sian itu benar-benar adalah Sian Bwee,
puterinya yang hilang itu.
Lian Eng tidak sabaran setelah mendapat bukti ini, maka ia
sudah lompat menyusul sebelum Cui Sian pergi jauh, "Anak
Bwee, kau mau kemana ?" ia memanggil.
Cui Sian tidak meladeni, ia terus lari seperti yang ketakutan.
Tiba-tiba ia hentikan larinya dan kebingungan karena di
depannya sudah ada Ma Liong yang mencegat. Ia tidak
kekurangan akal, lantas ia belik ke kanan, lari menghampiri
sebuah pohon besar seraya berteriak-teriak minta tolong. Tapi
sebelum ia sampai ke pohon yang dituju, tiba-tiba muncul
Louw Bin Cie dari balik sebuah pohon yang terus mencekal
tangan si gadis sehingga tidak berkutik meskipun Cui Sian
berontak-rontak keras untuk melepaskan tangannya. Tidak
lama lagi, sudah sampai Ma Liong dan Lian Eng kesitu.
Lian Eng peluk Cui Sian seraya mengelus-elus rambutnya,
"Anak Bwee, kau benar-benar adalah puteriku yang hilang.
Apa kau tidak kenali aku, ibumu ?" berkata Lian Eng dengan
penuh kesayangan. Tapi si gadis terus berontak-rontak,
mulutnya ribut tidak mengakui Lian Eng dan Ma Liong sebagai
ayah ibunya, hingga suami isteri itu kewalahan.
"Mari kita bawa dengan paksa saja." Ma Liong mengusulkna.
"Nanti setelah di rumah, kita pikir bagaimana baiknya
mengobati pikirannya yang ngawur."
Louw Bin Cie setuju dengan usul itu.
Tiada ada lain jalan dari pada demikian, maka Lian Eng juga
jadi mufakat dan seketika itu juga, Ma Liong sudah gunakan
jarinya menotok jalan darah si gadis yang membuat ia tidak
berontak-rontak dan gampang diangkutnya. Tiba-tiba mereka
mendengar suara, "hihihi!". Suara ketawa wanita yang sangat
dikenal oleh mereka. "Kim Coa Siancu..." ucap mereka dalam hati masing-masing.
Ma Liong dan Lian Eng tanpa disadari sudah menggigil
tubuhnya. Louw Bin Cie masih dapat menahan getaran jantungnya, ia
tidak demikian jeri seperti Ma Liong suami isteri. Ia pasrah
kepada nasib apabila senjata rahasianya Kim Coa Siancu
ialah 'Buim In-coa' mengambil jiwanya seketika itu.
Mereka sudah pada memeramkan matanya untuk menerima
kematian. Tapi lama ditunggu, kiranya tidak ada apa-apa yang
menakutkan sebab disana tidak jauh dari pohon besar tampak
seorang dara manis yang umurnya sebaya dengan Cui Sian
lagi ketawa-tawa manis ke arahnya.
Kapan Lian Eng perhatikan si dara manis yang sedang jalan
mendatangi, ia lihat, gadis itu benar-benar sangat cantik.
Terpesona ia oleh kecantikan gadis itu. Kecantikannya sendiri
yang sampai mendapat julukan Lengkoan Giok-lie atau si
Jelita dari kota Lengkoan, ia merasa belum menemui
tandingan, sekarang ia menjumpai nona di depannya sungguh
menakjubkan hatinya. Dalam pakaian serba tipis yang menggiurkan, burungburungan
yang bergerak-gerak memain pada ikat kepalanya
yang pantas sekali, sungguh nona ini pantas menjadi satu ratu
yang dipuja dalam suatu negera. Demikian mempesonakan
wajahnya si dara manis, hingga Lian Eng tanpa merasa dari
bibirnya telah berkata, "Nona, kau sangat cantik....." tatkala si
dara manis sudah berhadapan dengan Lengkoan Giok-lie.
"Terima kasih atas pujianmu." suaranya ramah dan meresap di
hati. Cui Sian sementara itu masih tetap dikuasai oleh Ma Liong
dan isterinya. Ketika melihat yang datang itu lantas saja Cui Sian berkata,


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siancu, mereka hendak membawa aku. Katanya aku adalah
anak mereka. Tolong Siancu supaya dapat mengusir mereka
yang mengganggu kesenangan kita !"
Lenkoan Giok-lie dan dua kawannya menjadi terkejut. Kiranya
dara manis itu adalah Kim Coa Siancu yang ditakuti bagaikan
hantu. Mereka kira tadinya Kim Coa Siancu itu adalah satu
wanita yang berwajah jelek menakuti dengan jari-jarinya yang
berkuku panjang-panjang runcing menyeramkan. Tidak
tahunya, ia hanya satu dara manis dari usia yang sebaya
dengan Sian Bwee dan cantik sekali.
Lian Eng memberanikan hati apalagi melihat Kim Coa Siancu
tidak ada apa-apanya yang harus ditakuti dan seram. Ia
berkata, "Mohon Siancu punya kemurahan supaya anakku ini
dikembalikan ingatannya dan mengenali ayah bundanya lagi."
Kim Coa Siancu tertawa manis. "Dari mana kau tahu CUi Sian
adalah puteri kalian " Bagaimana kalian dapat mengenalinya
?" tanya Kim Coa Siancu.
"Aku yang menjadi ibunya, mana tak bisa mengenali anaknya.
Juga ayahnya dan Yayanya (dimaksudkan Louw Bin Cie) pasti
mengenalinya." "Orang bisa saja keliru kecuali bila ada buktinya."
"Bukti apa yang Siancu maksudkan ?" menyela Ma Liong.
"Kalian mengatakan Cui Sian adalah anak kalian, tapi apa
buktinya ?" sahut si Dewi Ular Emas.
Lengkoan Giok-lie dan suaminya merenungkan apa yang
dimaksud oleh Kim Coa Siancu.
Akhirnya Lengkoan Giok-lie dapat tahu maksud si Dewi Ular
Emas, lalu katanya :"Aku dapat buktikan bahwa pada jidat
puteriku ada satu andeng-andeng kecil. Sepintas lalu memang
tidak kelihatan. Tapi kalau diperhatikan tampak nyata."
"Bagus." kata Kim Coa Siancu. "Coba kau unjukkan padaku,
dimana adanya andeng-andeng itu pada jidatnya Cui Sian.
Kalau benar ada, tentu Cui Sian adalah anak kalian."
"Baik !" sahut Lian Eng hampir berbareng dengan Ma Liong.
Lengkoan GIok-lie lantas pegang kepala Cui Sian dan
memeriksa. Bukan main girangnya sebab tanda yang
dimaksudkan itu memang ada diatas jidat Cui Sian.
"Siancu, ini dia...." kata Lengkoan Giok-lie seraya dengan
jarinya ia tekan andeng-andeng paa jidat si gadis.
Karena jidatnya kena disentuh, otomatis Cui Sian beringas
dan tangannya si wanita cantik dari kota Lengkoan kena digigit
seketika. Cui Sian berbareng berontak dan lari kepada Kim
Coa Siancu sambil ketawa hi hi hi....
Cui Sian merasa dirinya aman disampingnya Kim Coa Siancu.
Sementara Ma Liong dan Louw Bin Cie berdiri bengong
melihat kejadian itu. Kim Coa Siancu telah berkata, "Nah, lihat
buktinya !" Apa yang dimaksudkan 'Nah, lihat buktinya' oleh Kim Coa
Siancu, Ma Liong dan Louw Bin Cie tidak paham tapi yang
terang bahwa dengan sekonyong-konyong setelah digigit Cui
Sian, Lengkoan Giok-lie telah tertawa Hi hi hi..., berbareng
gerakan kakinya lari pada Kim Coa Siancu.
Pikirannya Lengkoan Giok-lie sudah berubah sekarang,
berubah dalam alam pikiran untuk Kim Coa Sianculah adanya
suhunya dan pelindungnya. Ia sudah tidak mengenali Ma
Liong lagi sebagai suaminya, apalagi kepada Louw Bin Cie.
Ma Liong jadi kebingungan. Anak belum dapat ditarik pulang,
sekarang isterinya lagi ikut pihak sana. Dalam tertegunnya itu,
Ma Liong dengar kata-kata Louw Bin Cie, "Lekas tarik pulang
isterimu sebelum dikuasai orang !"
Ma Liong tiba-tiba menjadi nekad. Ia lompat dan menyambar
tangan isterinya. Tapi sang isteri berkelit seperti Cui Sian
barusan menggunakan gerak 'Bidadari loloskan sabuknya',
hingga Ma Liong menjadi sangat cemas.
"Adik Eng, ingat mari kita pulang !" kata Ma Liong seraya
kembali ia lakukan percobaannya untuk menjambret tangan
Lengkoan Giok-lie. Lagi-lagi Ma Liong jambret angin, malah diluar dugaannya,
sang isteri telah menyerangnya dengan jurus yang sangat
berbahaya. Coba kalau ia tidak siap sedia dengan
kemungkinan itu, tentu kena dihajar oleh Lengkoan Giok-lie.
"Pulang " Pulang kemana " Aku tidak kenal dengan kau !"
bentak Lengkoan Giok-lie, sambil maju menyerang Ma Liong
lagi. "Adik Eng, ingat, kau adalah istriku." kata Ma Liong sambil
menangkis serangan-serangan Lengkoan Giok-lie yang hebat.
"Susiok !" teriak Ma Liong. "Kau jangan diam saja, lekas bantu
aku !" Mendengar teriakan Ma Liong, Louw Bin Cie seperti yang baru
tersadar dari tidurnya. Ia sudah lantas maju untuk bantu
menangkap Lengkoan Giok-lie.
Pertempuran menjadi seru. Lengkoan Giok-lie dikerubuti dua
orang yang kepandaiannya sudah terkenal dalam kalangan
Kangouw. Kim Coa Siancu dan Cui Sian hanya menonton saja, tidak
begitu menaruh perhatian kelihatannya. Rupanya mereka
hanya menunggu bagaimana kesudahannya pertempuran
sengit itu. Lengkoan Giok-lie tampak beringas menempur dua lawannya.
Karena kalah unggul, akhirnya Lian Eng menjadi kewalahan
dan kena disergap oleh Louw BIn Cie. Lengkoan Giok-lie
masih terus berontak-rontak.
Tidak enak Louw Bin Cie pikir, saat itu ia memeluki istri orang,
maka ia teriaki Ma Liong, "Lekas, lekas kau gantikan aku !"
Dengan cepat Ma Liong menggantikan yang masih terus
meronta-ronta, "Jahanam, kau tidak mau lepaskan nyonyamu
!" ia semprot Ma Long hingga sang suami jadi kebingungan.
"Adik Eng, kau toh ada istriku. Bagaimana kau maki aku
jahanam ?" kata Ma Liong sambil pererat pelukannya, kuatir
sang isteri terlepas lagi.
"Kau dua orang jahat, bagaimana mau menghina nyonyamu ?"
semprot Lian Eng, sepasang matanya beringas menakutkan.
Ma Liong hanya saling pandang dengan Louw Bin Cie.
Louw Bin Cie gerak-gerakkan tangannya, mengasih isyarat
pada Ma Liong. Si Macam Hitam Ma Liong mengira sang
paman menyuruh ia menotok jalan darah isterinya supaya
jangan ia berontak-rontak terus-terusan. Dalam keadaan
tertotok, meskipun pikirannya sudah berubah, Lengkoan Gioklie
mudah diangkut pulang. Tapi bagaimana " Dua tangannya dipakai memeluki Lian Eng.
Bagaimana mungkin dengan satu tangan ia bisa kuasai Lian
Eng sedang dengan satu tangan lain dapat menotok Lengkoan
Giok-lie " Tapi ia tidak kekurangan akal rupanya, tangan
kanannya yang memeluk Lian Eng digeser pindah ke atas,
maksudnya hendak menotok 'tee-hiat' (jalan darah dibawah
tetek) tapi justru tiba-tiba Lian Eng berontak, jari yang hendak
menotok 'tee-hiat' tadi, sesudah menyentuh buah dadanya
Lengkoan Giok-lie, otomatis si cantik dari kota Lengkoan itu
menggigit lengan Ma Liong hingga Ma Liong jadi kesakitan
dan berbareng dengan Lengkoan GIok-lie yang terlepas dari
pelukannya, ia lari menghampiri Kim Coa Siancu seraya
ketawa hihihi ! Tampak Ma Liong berdiri kesakitan digigit Lengkoan Giok-lie
tadi. "Liong-jie, kau kenapa ?" tanya Louw Bin Cie seraya
menghampiri pada Ma Liong.
"Siapa kau ?" bentak Ma Liong tiba-tiba hingga Louw Bin Cie
sangat kaget. "Aku adalah kau punya susiok." sahut Louw Bin ie terang.
"Susiok " Siapa susiok ?" kata Ma Liong, matanya beringas.
Louw Bin Cie mengerti bahwa Ma Liong juga sudah ketularan
berubah pikirannya seperti istrinya tadi. Tapi toh ia mau coba
juga, katanya, "Liong-jie, ingat ! Kau kena dikerjai orang. Ingat,
lekas ingat !" Ma Liong bukannya mengingatkan malah ia jadi marah pada
Louw Bin Cie. "Pergi kau ! Aku tidak kenal denganmu !"
bentaknya kasar. Berbareng ia juga sudah jalan menghampiri
Kim Coa Siancu yang memandang Louw Bin Cie dengan
senyuman manis mempesonakan.
"Bagaimana, paman ?" tanyanya pada Louw Bin Cie.
Louw Bin Cie jadi serba salah. Ia mau marah salah, tidak
marah memang ia tahu sudah dipermainkan oleh Kim Coa
Siancu. Perlahan dari jeri hatinya menjadi nekad. Pikirnya, ia
tempo hari meninggalkan kampung halaman dengan empat
orang, masa sekarang ia harus pulang dengan sendirian.
"Siancu." katanya dengan hati mantap setelah ia berhadapan
dengan Kim Coa Siancu yang tatkala itu sudah hendak berlalu
meninggalkan tempat itu, diiringi oleh Cui Sian, Ma Liong
dengan istrinya, "Kau adalah satu Dewi yang sangat dipuja.
Tidak seharusnya kau berlaku kejam...."
"Aku kejam apa ?" memotong Kim Coa Siancu.
"Setelah merampas anaknya, masa sekarang kau mau kuasai
juga ayah bundanya " Itu suatu perbuatan yang tidak betul,
masuk hitungan kejam." berkata si orang she Louw berani.
"Orang she Louw," Kim Coa Siancu ketawa manis. "Kalau aku
tidak pandang kau orang baik yang belum pernah berbuat
kejahatan, siang-siang aku sudah ambil jiwamu." kata si Dewi
Ular Emas. "Bagus." sahut Louw Bin Cie. "Kau sudah menghargai aku,
tapi aku juga tidak akan angkat kaki dari sini sebelum aku adu
jiwa dengan kau." Berbareng dengan kata-katanya, Louw Bin Cie sudah
mencabut dua belah pedangnya.
Pikirnya, ia kesohor kepanaiannya dengan sepasang
pedangnya yang aneh, belum pernah dipecundangi musuh,
masa menghadapi satu gadis cilik saja ia mesti terima takluk
sebelum bertempur " Sungguh hatinya yan berani tidak mau
terima. "Siancu." katanya lagi. "Dengan sepasang pedangku ini, akan
aku adu jiwa denganmu. Mari, marilah kita menetapkan siapa
unggul !" Kim Coa Siancu yang sedari tadi menonton saja laga lagunya
Louw Bin Cie yang sudah nekad, tiba-tiba ia tertawa. Suaranya
kali ini melengking menusuk telinga hingga Louw Bin Cie kalau
tidak merasa malu, saat itu ia sudah kepingin angkat
tangannya untuk menutupi kupingnya yang sakit seperti
ditusuk-tusuk. Setelah berhenti tertawa, Kim Coa Siancu memandang Louw
Bin Cie. "Kau mau berkelahi ?" tanyanya halus, bukan satu bentakan.
"Ya !" sahut Louw Bin Cie singkat.
"Sudah siap ?" Kim Coa Siancu menggoda.
"Sudah siap ?" Kim Coa Siancu menggoda.
"Ya !" sahut Louw Bin Cie gemas. Berbareng ia mulai
menyerang, tidak menanti Kim Coa Siancu bersiap-siap
dahulu. Pikirnya, dengan secara tidak menduga-duga
serangannya akan berhasil. Tapi ia tidak mengira bahwa Kim
Coa Siancu tidak boleh dipandang enteng.
Demikian ketika sepasang pedangnya menusuk berbareng ke
arah dada, tiba-tiba tangan kiri Louw CIn Bie kesemutan dan
pedang jatuh dengan sendirinya. Saat itu Louw Bin Cie hanya
lihat Kim Coa Siancu bergerak sedikit tangannya, berkelebat
menyentil jalan darah pada nadi tangan kirinya.
Louw Bin Cie bukan jago kampungan, sentilah Kim Coa
Siancu pada nadinya hanya membuat jatuh satu pedangnya
tidak sampai membuat ia jatuh terkulai oleh pengaruh totokan.
"Boleh juga, ya !" berkata Kim COa Siancu seraya berkelit dari
serangan susulan Louw Bin Cie yang hebat sebab si orang
she Louw sudah menggunakan tipu yang sukar dielakan yang
dinamai 'Beng goat Kiam eng' atau 'Bayangan pedang
diterang bulan'. Ujung pedang seperti menusuk dada tapi
sebenarnya yang diarah adalah 'jalanan nasi' (tenggorokan).
Cepat laksana kilat gerakan ini dilakukan, maklumlah Louw
Bin Cie adalah jago pedang maka julukannya juga 'Sian-jin
Siang-kiam', si Sepasang Pedang Dewa.
Tapi.... terbelalak sepasang matanya si Sepasang Pedang
Dewa ketika melihat ujung pedangnya bukan menusuk
tenggorokan tapi nancap diantara dua jari mungil si Dewi Ular
Emas, wajahnya si elok bersenyum manis ke arahnya.
Louw Bin Cie kerahkan tenaga dalamnya untuk menarik
pulang pedangnya yang dijepit dua jarinya Kim Coa Siancu
tapi meskipun ia berdegingan, tidak dapat ia tarik lolos dari
jepitan jari lawan. Kaget si Sepasang Pedang Dewa, peluh
bercucuan di seluruh tubuhnya.
"Mari, kita jangan terlalu lama main-main !" berkata Kim Coa
Siancu berbareng terdengar suara 'pletak !'. Itu adalah suara
patahnya pedang Louw Bin Cie hingga si jago pedang hanya
memegangi pedang buntung di tangannya sambil berdiri
menjublek, tidak tahu apa yang ia harus berbuat saking
kagetnya. Pedang Louw Bin Cie bukan sembarangan pedang. Dibuat
dari baja pilihan, meskipun pendek, bobotnya berat juga.
Pendekar Lembah Naga 19 Dewi Ular 90 Misteri Surat Setan Pendekar Sakti Welas Asih 1
^