Pencarian

Bocah Sakti 7

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 7


Bukan sedikit menemui senjata lawan yang lebih besar dan
berat, pedangnya dapat memapas kuntung. Tapi sekarang,
sekarang ditangannya Kim Coa Siancu hanya ujungnya saja
dijepit oleh dua jarinya yang halus mungil, sekali dikutik,
pedang sudah patah persis pada tengah-tengahnya.
SAmpai dimana tenaga alam Kim Coa Sianvu, benar-benar
susah diukur. Oleh karenanya si Sepasang Pedang Dewa menjadi
menjublek, tidak tahu apa yang ia harus bikin saat itu.
Kepalanya nunduk dengan perasaan kagum.
"Hi hi hi !" suara ketawa yang membuat si Sepasang Pedang
Dewa tersadar dari kekagetannya. Cepat ia angkat mukanya,
kiranya suara ketawa itu sudah berada di tempat jauh. Kim
Coa Siancu sudah tidak ada pula disitu, berbareng Cui Sian
alias Sian Bwee dengan ayah bundanya sekali, sudah tidak
kelihatan mata hidungnya. Louw Bin Cie hanya bisa menghela
napas beberapa kali dengan putus harapan.
Ia lalu membongkoki badannya, memungut pedangnya yang
jatuh tadi. Perlahan-lahan ia bertindak meninggalkan tempat itu dengan
penuh teka teki akan kelihaian Kim Coa Siancu yang muda
belia dan cantik luar biasa.
Beberapa lie ia jalan tanpa merasa, tiba-tiba ia melihat jauh di
depan seperti ada dua orang sedang meneduh di bawah
pohon, yang satu tengah berdiri, yang lainnya tengah duduk,
dua-dua kelihatan menyandar pada batang pohon. Louw Bin
Cie kegirangan akan menemui dua orang ditempat yang sepi
itu. Pikirnya, dapatkah mereka ia buat teman kongkouw
(ngomong) dalam perjalanan.
Ia cepatkan jalannya. Beberapa tindak lagi mendekati dua
orang itu, ia lantas hendak membuka mulut menyapa tapi katakatanya
urung meluncur dari bibirnya karena matanya tiba-tiba
jadi terbelalak kaget. Kiranya orang-orang yang menyandar itu
bukan seperti biasanya menyandar melepaskan lelah,
keduanya tertusuk dengan pedang. Yang menyandar sambil
berdiri adalah seorang yang masih muda, dadanya tertusuk
pedang hingga menembus ke batang pohon, sementara yang
satunya lagi adalah wanita muda, lehernya disate pedang
menembus pohon. Mata keduanya melotot gusar seakan-akan kematian mereka
itu penasaran. Meskipun si Sepasang Pedang Dewa banyak
pengalamannya bertempur, kematian-kematian seperti yang ia
saksikan sekarang adalah wajar. Tapi mengingat bahwa
kematian mereka ini bukan dari perkelahian tapi akibat
keganasan Kim Coa Siancu, membuat hatinya tergetar setelah
melihat tanda goresan Cap Ular Kecil yang berlegot-legot jalan
pada jidatnya si korban masing-masing. Suatu tanda cap yang
menakutkan bagi siapa yang melihatnya.
Siapakah korban-korban itu " Louw Bin Cie tidak berani
memeriksa kantong baju mereka, untuk mendapatkan
petunjuk siapa sebenarnya mereka itu. Ia takut akan
keracunan dan menemui kematian konyol.
Kembali Louw Bin Cie melihat lagi akan sepak terjangnya Kim
Coa Siancu. Sebenarnya menurut hatinya yang tidak tega, Louw Bin Cie
ingin gulung tangan baju bantu mengubur dua mayat itu tapi
mengingat bahanyanya racun Kim Coa Siancu. Ia urungkan
niatnya, ia lalu meneruskan perjalanannya sambil menghela
napas. Baru kali ini si Sepasang Pedang Dewa banyak
keluarkan elahan napas dalam perjalanan. Biasanya ia paling
gembira dan nyalinya besar, meskipun dalam perjalanan
menempuh bahaya. Belum berapa lama Louw Bin Cie berjalan, kembali ia
menemukan sesosok tubuh yang sedang celentang. Ketika ia
datang mendekati, kaget bukan main sebab orang itu adalah si
muka putih, temannya si gemuk yang tampak sudah jadi
mayat dengan tanda goresan Cap Ular pada jidatnya.
Kemana perginya si kumisan, temannya si gemuk yang
satunya lagi " Demikian tanya Louw Bin Cie dalam hati
kecilnya. Louw Bin Cie makin jeri hatinya. Tak ada tempo ia untuk
memeriksa tubuh si muka putih yang sudah jadi mayat, ia
lantas teruskan perjalanannya. Ingin cepat-cepat ia sampai di
rumah untuk mendongeng kepada kawan-kawan halnya si
Dewi Ular Emas yang hebat dan menggemparkan sepak
terjangnya. Pikirnya, yang penting ia harus lekas-lekas keluar dari daerah
berbahaya yang termasuk wilayah Coa-kok supaya jangan
sampai menemukan kematian konyol.
Akhirnya ia sampai juga di Tong-pek-cun, satu dusun yang
ramai dan banyak penduduknya, terletak di luar wilayah
berbahaya dari Lembah Ular. Hatinya Louw Bin Cie baru
merasa lega. Ia mamir pada sebuah rumah makan 'Ce-lamtiam'
yang kesohor dengan arak wanginya. Banyak orang dari
lain tempat datang, kebanyakan pada masuk dalam rumah
makan itu. Maka tidak heran kalau sabah hari rumah makan itu
penuh dengan tamu-tamu, kalau tidak dari luar dudun, tentu
yang datang makan dari dalam dusun itu sendiri.
Sedang enaknya Louw Bin Cie mencicipi makanan lezat dan
arak wangi sebagai pengantarnya, tiba-tiba matanya melihat
pada seorang tamu yang barusan masuk. Ia kenali itulah si
kumis teman si gemuk. Ia ingin dapat beromong-omong
dengan si kumis, mengerti teman-temannya yang telah gugur
dan maksud mereka ke Lembah Ular.
Dengan cara kebetulan, si kumis kehabisan tempat dan
datang makan satu meja dengan Louw Bin Cie. Mereka lalu
berkenalan, sementara menunggu hidangan si kumis yang
perawakan kecil kurusm memperkenalkan namanya Tiong Kiat
she Lie asalah dari propinsi Kwitang.
Louw Bin Cie terkejut. Pikirnya, apa bukan dianya " Lantas ia
menanya, "Lie-heng ini bukannya Kengcu Kim-kauw cian yang
menggemparkan Kwitang ?"
Kengcu Kim-kauw-cian artinya 'Si Gunting Emas dari kota
Kengcu'. "Ah, itu hanyalah nama kosong saja." sahut Lie Tiong Kiat
merendah. "Aku sendiri tidak punya kepandaian apa-apa tapi
teman-teman Kangouw main sembarangan memberi julukan
'si Gunting Emas', sungguh berkelebihan."
Louw Bin Cie terkejut mendengar namanya Lie Tiong Kiat
yang bergelar di Gunting Emas, lantaran mendengar sepak
terjangnya si Gunting Emas yang hebat dan pantas dapat
pujian. Ia menindas si jahat menolong si lemah. Di samping
ilmu silatnya tinggi, tubuhnya enteng seperti jatuhnya
selembar daun kalau ia lompat dari atas menginjak tanah,
tidak ada suaranya. Lompat tingginya melebihi kepandaian
jago-jago silat kelas satu, khusus ia namakan ilmu entengi
tubuhnya itu 'Kim cian coan in' atau 'Panah emas tembusi
mega'. "Sepantasnyalah kalau orang memberikan julukan kau
demikian." kata Louw Bin Cie seraya manggut-manggut
kepalanya, air mukanya tersenyum ramah.
"Nama saudara Louw juga sangat santar terdengar di
telingaku. Maka aku girang sekali dapat berkenalan dengan
saudara." si Gunting Emas balas memuji.
(Bersambung) Jilid 07 Letak meja mereka makan di satu pojokan, agak jauh dari
meja tamu lain. Maka dengan leluasa mereka dapat
membicarakan soal-soal yang rahasia, asal tidak keras-keras
bicaranya. Demikian, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh
Louw Bin Cie untuk menanyakan halnya si Gunting Emas
datang ke Lembah Ular. Lie Tiong Kiat kaget Louw Bin Cie timbulkan soal Kim Coa
Siancu. Mengingat ia sudah berada di luar wilayah Lembah Ular, tidak
ada halangan untuk berbicara dengan Louw Bin Cie mengenai
halnya Kim Coa Siancu. Ia menanya, "Dari mana saudara tahu
halnya aku ke Coa-kok ?"
"Ketika kawan saudara yang gemuk itu menemui ajalnya, aku
juga beserta kawan-kawan berada di sana menyaksikan."
sahut Louw Bin Cie. "Louw-heng kata bersama-sama kawan, sekarang kawankawanmu
ada dimana ?" tanya Lie Tiong Kiat. Ia heran Louw
Bin Cie hanya sendirian tapi menyebutkan ada kawankawannya.
"Lie-heng jangan kaget." sahut Louw bin Cie. "Seperti dengan
kau, aku juga sudah kehilangan kawan-kawan dalam
perjalanan." "Juga dibunuh Kim Coa Siancu "' tanya Lie Tiong Kiat.
"Satu yang di bunuh, sedang yang lain pada mengikuti si Dewi
Ular Emas." "He, bagaimana bisa begitu ?"
Louw Bin Cie menghela napas. Lalu ia ceritakan terbunuhnya
Siang-tauw-niauw Kam Eng Kim, pertemuannya dengan Cui
Sian yang dikenali Lengkoan Giok-lie dan Ma Liong sebagai
puterinya yang hilang diculik. Kemudian muncul Kim Coa
Siancu, Lengkoan Giok-lie digigit Cui Sian dan ingatannya
menjadi berubah dan lalu menggigit Ma Liong sehingga
suaminya ini pun menjadi berubah pikirannya dan mengikuti si
Dewi Ular Emas dengan kesukaan sendiri. Kemudian ia
sendiri maju, nekad untuk menempur Kim Coa Siancu tapi
kesudahannya dipecundangi dengan cara yang memalukan
sekali. Si Gunting Emas Lie Tiong Kiat manggut-manggut, kemudian
terdengar ia menghela napas.
Atas permintaan Louw Bin Cie, si Gunting Emas lalu
menuturkan riwayat perjalanannya ke Lembah Ular yang ia
tidak sangka-sangka akan berbahaya sekali.
Pada suatu malam gelap dan hujan turun dengan rintik-rintik.
Keadaannya sunyi senyap dan hawanya dingin membuat
orang tidur nyenyak berselimut tebal.
Pada saat itu, Tan Eng Sian (si jangkung teman si gemuk)
barusan saja pulang dari rumah kawannya yang tinggal di luar
kota Hokcu dimana ia menginap dua malam untuk memberi
pertolongan kepada anak temannya yang dapat sakit.
Tan Eng Siang selainnya terkenal pandai silat, juga pandai
obat-obatan. Maka tidak jarang ia mendapat undangan
sahabat atau kenalan yang anggota keluarganya dalam sakit
untuk diminta pertolongannya.
Tatkala ia samapi di halaman rumahnya, tiba-tiba ia dibikin
kaget oleh berkelebatnya bayangan keluar dari jendela
rumahnya. Ia tidak tahu bayangan siapa yang merupakan
asap menghilang ditelan kegelapan, yang terang ia
mendengar suara seram, "Hihihi..." sehingga ia kaget dan
menduga bayangan tadi manusia yang masuk ke dalam
rumahnya. Tan Eng Sian tergopoh-gopoh menggedor pintu yang segera
dibukai oleh seorang pelayan laki-laki tau yang sudah
bongkok. "Siapa yang masuk barusan ?" tanya Eng Sian cepat.
"Tidak ada yang masuk kemari," sahut si kakek bongkok.
Eng Sian tidak sempat memajukan pertanyaan lebih jauh
karena hatinya penuh dengan kekuatiran rupanya sebab
sikapnya amat gugup. Cepat ia pergi ke kamarnya. Ternyata kamar dikunci dari
sebelah dalam. Ia heran sebab tidak biasanya sang istri tidur
dengan pintu kamar terkunci. Sebab menurut kata istrinya
sebaiknya pintu kamar jangan dikunci, kalau ada apa-apa
gampang keluarnya. Ini ada alasan yang janggal tapi karena ia
sangat mencintai istrinya ialah istri kedua yang baru dua tahun
ia nikah, karena istri pertamanya meninggal dunia pada lima
tahun berselang, ia tidak keberatan dengan usulnya itu.
Tapi kenyataannya sekarang dikunci dari sebelah dalam "
Kenapa " Ah, tentu perbuatan orang jahat yang merupakan
bayangan tadi, pikirnya. Dalam keadaan mendesak, diliputi
oleh kekuatiran, tidak ada jalan lain Tan Eng Sian mendobrak
pintu kamar dengan paksa karena sang isteri yang dipanggilpanggil
beberapa lamanya belum juga membuka pintu
kamarnya. Waktu sang pintu sudah terpentang, sekali lompat Tan Eng
Sian sudah berada di dalam kamar. Matanya terbelalak ketika
ia melihat ke atas pembaringannya. Ia tampak berdiri
menjublek dengan wajah gusar, matanya tidak berkedip
memandang ke arah pembaringan dimana isterinya tampak
rebah celentang dalam pakaian hawa (telanjang) sedang di
sisinya ada seorang lelaki yang memeluk sang isteri dalam
pakaian adam. Adegan dua orang telanjang bulat inilah yang
membuat Tan Eng Sian berdiri menjublek dengan mata
terbelalak. Dari sangat gusar, Eng Sian menjadi heran sebab dua
manusia yang main-main pat-pat gulipat itu tidak bergerak,
apalagi lompat ketakutan dan pakai pakaiannya kembali.
Ketika Tan Eng Sian mendekati dengan kegusaran yang
meluap-luap, ternyata dua manusia mesum itu sudah tidak
ada napasnya. Jiwanya telah melayang, entah sejak kapan.
Cepat Tan Eng Sian periksa, ternyata mereka tidak terluka
apa-apa. Kapan diselidiki lebih tegas, kiranya mereka itu telah ditotok
urat kematiannya dalam keadaan telanjang bulat seperti yang
dihadapi ia sekarang. Saking gemasnya tiba-tiba tangan Tan Eng Sian menyambar
saling susul dan dua manusia mesum itu dilain saat tubuhnya
sudah pada pindah ke lantai, sedikitpun tidak mengeluarkan
kesakitan meskipun terbanting keras karena memang dua
manusia menjijikan itu sudah tidak bernapas lagi.
Eng Sian lalu keluar, ia berteriak memanggil si bongkok.
Meskipun suaranya keras dan diulang-ulang, tidak kelihatan si
bongkok datang menghampiri.
"Kemana si bongkok perginya, apa dia sudah mampus ?"
berkata Tan Eng Sian dalam marahnya seraya kakinya
bertindak ke kamar si bongkok. Di situ tidak ada orangnya,
makin meluap amarahya Tan Eng Sian. Ia pergi ke belakang
berteriak-teriak memanggil pelayan-pelayannya yang lain tidak
ada kelihatan muncul satu juga.
Si kakek bongkok itu Eng Sian belum jelas benar asal usulnya.
Ia menemukan si bongkok di halaman kuil 'Malaikat Bumi',
ketika ia mengantar Loan Giok, isterinya sembahyang
membayar kaul penyakitnya supaya sembuh. Si bongkok
dengan roman yang mengharukan soja-soja minta pekerjaan
pada Eng Sian suami isteri untuk pekerjaan apa saja ia mau


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terima asal dapat makan katanya.
Atas usulnya Loan Giok yang merasa kasihan pada si kakek
bongkok, ia telah diterima bekerja untuk membikin bersih
kebun di pekarangan sebab kebetulan tukan kebunnya Eng
Sian berhenti pada dua hari yang lalu.
Melihat kecerdikannya si kakek bongkok setelah satu minggu
tinggal pada keluarga Tan Eng Sian sudah percayakan
padanya untuk menjaga pintu di waktu malam sebab Eng Sian
sering bepergian. Tuan rumah puas dengan pekerjaan si
bongkok, ia sangat cekatan dan gesit. Kalau Eng Sian pulang
malam, menggedor rumahnya tidak sampai diulangi berkalikali,
si bongkok sudah lantas membukainya.
Sudah jangka dua minggu si bongkok bekerja pada Tan Eng
Sian. Melihat bujang-bujangnya tidak muncul, si bongkok juga
kemana tahu, Eng Sian lari masuk lagi, menghampiri satu
pojokan dalam ruangan tengah rumahnya dimana terdapat
sebuah lemari cukup besar dan berta, tapi untuk Eng Sian
tidak menjadi halangan, ketika ia menggeser lemari itu
kelihatan enteng dapat dikisarkan.
Terkejut Eng Sian seketika, mukanya tampak pucat melihat
lubang rahasia tempat menyimpan hartanya sudah dibongkar
orang. Tiada seorang yang tahu tempat menyimpan harta itu
dibawahnya lemari kecuali Loan GIok isterinya. Maka itu,
lantas saja ia mencurigai isterinya. Tapi bagaimana ia
menegur dan tanya Loan Giok karena sang isteri sudah tidak
bernyawa lagi " Sejak ia masuk ke dalam rumah tadi, yang ia kuatir adalah
lubang rahasia itu karena di dalamnya ada tersimpan satu
kalung lehe dari batu giok (kumala) tertabur berlian yang ia
dapat miliki dari Gouw Tiang Su saudara angkatnya dengan
mempertaruhkan jiwanya. Gouw Tiang Su adalah satu maling terbang yang licin, entah
dari mana ia dapat menyikat kalung kumala sangat berharga
itu. Ketika ia memperlihatkan hasilnya itu kepada Tan Eng
Sian, lantas timbul dalam hatinya si orang she Tan yang
serakah untuk memiliki barang-barang berharga. Ketika
diminta, malah mau dibeli dengan uang, barang itu tak
diberikan oleh Gouw Tiang Su, maka Eng Sian terpaksa
menggunakan kekerasan untuk memilikinya. Dalam
perkelahian yang sangat seru, Eng Sian hampir celaka kalau
tidak ada orang ketiga yang datang menyela. Ialah seorang
muda dari usia tiga puluhan, mukanya tampan, namanya Coan
Sim, she Tan sama dengan Eng Sian yang telah bantu
mengerubuti Gouw Tiang Su hingga ia kewalahan dan
akhirnya ia menyerah, barangnya dirampas oleh Tan Eng
Sian. Karena kejadian itu maka Coan Sim sering-sering suka datang
bertamu ke rumah Eng Sian yang disambut dengan manis
budi dan ramah oleh tuan dan nyonya rumah.
Loan Giok ketika ikut Tan Eng Sian sudah janda, ditinggal mati
oleh suaminya yang menjadi sahabar Eng Sian. Ia ambil Loan
Giok terdorong oleh perasaan kasihan. Tatkala mana usia
Loan Giok bukan muda lagi, sudah 45, lebih tua 4 tahun dari
Eng Sian. Tapi lantaran Loan Giok bisa merawat diri,
wajahnya tetap segar seperti juga wanita yang baru berusia
30an. Wajahnya yang hitam manis botoh, kalau tertawa memincuk
jantung membuat Eng Sian yang sudah lama bujangan, tidak
punya pilihan lain selain mengambil Loan Giok sebagai istrinya
untuk menyambung kebahagiaan sampai di hari tuanya.
Memang benar Loan Giok ada seorang istri yang baik, tidak
genit dan mencintai suaminya hingga selama itu Eng Sian
merasa puas dengan pelayanan Loan Giok.
Kebahagiaan yang diharap sampai tua oleh Eng Sian suami
isteri ternyata tak dapat terlaksana. Manusia boleh
mengharap, tapi guratan nasib tak dapat dielakkan.
Demikian awan mendung telah muncul memayungi keluarga
Tan ialah dengan munculnya Coan Sim, bintang penolong Eng
Sian ketika menghadapi Gouw Tiang Su.
Coan Sim tampan wajahnya, tapi hatinya busuk. Tukang
mempermainkan anak isteri orang degnan ketampanannya
sebagai modal. Ia tidak punya pekerjaan, sehari-harinya hanya
luntang lantung saja. Kalau ia bisa berlaku royal dalam
hidupnya yang workloss itu karena berkat dari tante girang
yang membantunya. Pada sore itu dimana Tan Eng Sian sedang keluar, Coan Sim
dapat kesempatan ngobrol dengan Loan Giok. Nyonya untuk
rumah pandang Coan Sim adalah pemuda sopan santun.
Memang demikian ia membawa kelakuannya di depan Tan
Eng Sian dan Loan Giok apabila sedang omong-omong. Maka
Loan Giok tidak berkeberatan menemani Coan Sim
mengobrol, malah si pemuda dapat suguhan hidangan enak
berupa kue-kue dan teh hangat sebagai kawan dalam
menikmati pasang omong. Dalam omong-omong, bukan sekali dua kali mereka beradu
pandangan hingga Loan Giok sering tundukkan kepala,
hatinya tergetar karena pandangan tajam dari matanya si anak
muda tampan. Sebaliknya, Coan Sim makin tergiur
memandang calon tante girang didepannya yang hitam manis
dengan senyum memikat. Dari omong-omong sopan lantas melantur kepada kata-kata
melantur, itulah Coan Sim yang mulai keluarkan aksi
merayunya. Ia berkata, "Siapa tidak jadi kegirangan omongomong
dengan Tan-hujin yang sangat cantik...."
Tan-hujin artinya nyonya Tan.
"Saudara Tan, kau omong berlebihan." sahut Loan Giok
seraya angkat kepalanya dari menunduk marusan karena
tikaman mata lihai si anak muda.
Coan Sim ketawa. Ia kata lagi, "Selama aku ingat belum
pernah aku memuji siapa juga kecuali pada hujin yang
memang aku kagumi kecantikannya...."
Berdebar hatinya Loan Giok. Belum pernah ia mendengar
kata-kata yang dapat membanggakan sanubarinya seperti
yang ia dengar dari mulut Coan Sim yang seolah-olah
bunyinya musik mengalun di telinganya.
Ia diam saja. Sampai Coan Sim berkata lagi, "Kecantikan
hupjan diatas dari segala gadis cantik dari umur 17 keatas.
Hahaha, ini bukannya bohong. Aku berani bersumpah.
Gerakan hujin diwaktu jalan, diwaktu duduk, dilengkapi oleh
senyuman manis memikat, siapa yang akan tidak gugur
imannya ?" "Aha, saudara ini suka main-main. Aku sudah menjadi nenek
dan...." "Itu hanyalah pikiran hujin." Coan Sim cepat memotong
sebelum Loan Giok melanjutkan kata-katanya. "Usia tidak
menjadi ukuran, kalau memang wajah sendiri memang cantik
dipandangan orang." Mau tidak mau, Lok Giok yang biasanya tidak genit, menjadi
berubah mendadak sontak mendengar rayuan Coan Sim yang
dahsyat itu. Dari suaminya yang dulu maupun yang sekarang, belum
pernah Loan Giok mendengar pujian tentang kecantikan
dirinya apalagi yang demikian muluk seperti yang ia dengar
dari mulutnya si anak muda yang tampan. Waktu ia melirik
pada wajah si pemuda yang tengah berseri-seri ke arahnya,
jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tersenyum membalas,
kemudian dengan lagak manja ia berkata, "Apa iya ?"
"Siapa yang membohongi hujin ?" si anak muda kata,
romannya serius. "Baiklah, aku akan kasih hadiah...." kata si nyonya rumah.
Berbareng ia bangkit dari duduknya, entah mau kemana.
Coan Sim juga cepat bangkit, ia menghadang. Dengan berani
ia pegang kedua lengan Loan Giok, ia menarik dan mendekap
badan Loan Giok di dadanya. Dua tubuh bersentuhan hangat,
tergetar hatinya Loan Giok. Ia coba berontak, susah terlepas
dari pelukannya Coan Sim. Ketika ia angkat mukanya
mendongak, tahu-tahu mulurnya sudah ditekan bibirnya Coan
Sim. Dari berontak ia menjadi jinak. Hanya tangan kirinya
mengikuti tangan kanan Con sim yang mulai galak dan
berkeliaran meraba buah dada yang jadi berombak dan lainlain
anggota tubuh sampai si nyonya bergemetaran ketika
tangan nakal Coan SIm sampai pada bagian yang hanya oleh
tangan suami yang syah bagian itu boleh disentuh.
"Ah, kau. Jangan disini...." kata Loan Giok perlahan,
tangannya yang kanan berbareng mendorong dada si pemuda
hingga ia terlepas dari pelukan Coan Sim yang ceriwis
kemudian jalan tanpa menoleh lagi.
Coan Sim kesima sebentaran tapi ia segera mengikuti si
nyonya. Ia sudah dapat menduga maksudnya si nyonya dan
benar saja ia telah dibawa ke kamarnya.
Girang seperti menemui gunung emas, ketika Coan Sim sudah
berada dalam kamar si tante girang. Terdengar dari sebelah
luar suaranya Loan Giok. "Ah, kau begini nakal terhadap
nenek-nenek. Hihihi....."
"Nenek-nenek justru yang bisa main... ma..."sahut Coan Sim
terputus. Berbareng terdengar suara pintu didorong terbuka,
seorang kakek bongkok masuk ke dalam dengan pisau
ditangannya. Dua manusia mesum itu terbelalak kaget.
Loan Giok sembat selimut untuk menutupi tubuhnya yang
telanjang. "Kakek gila, kenapa kau berani masuk ke kamar nyonyamu !"
semprot Loan Giok. Coan Sim yang memang punya kepandaian silat sudah segera
hendak melompat menerkam si kakek, ia tidak takut orang ada
bawa pisau tajam. Sayang, sebelum ia bergerak si bongkok
sudah sampai dan menotok 'thian ki hiat', jalan darah pada iga
kanannya hingga ia terkulai di ranjang dalam keadaan tidak
berpakaian. Loan Giok menjadi ketakutan, mukanya pucat seperti
kehabisan darah. "Hehehe, jangan takut !" kata si bongkok. "Asal kau mau
katakan dimana disimpannya kalung kumala, aku tidak akan
apa-apakan kau dan lelaki jahanam ini !" sambil menunjuk
pada Coan Sim yang tidak berkutik.
Loan Giok memang menyayangi kalung kumala berharga itu
seperti juga dengan Eng Sian suaminya. Tapi dalam keadaan
yang genting itu dimana jiwanya tentu lebih pentind dari pada
kalung kumala, maka ia lantas berkata, "Kau cari di bawah
lemari yang terletak dipojokan dari ruang tengah !"
"Bagus ! Kau tunggu sampai aku ketemukan barang itu. Kalau
kau bohong, awas !" mengancam si bongkok seraya putar
tubuhnya jalan kelua dan pintu ia kunci dari sebelah luar
hingga Loan Giok tidak bisa keluar menggunakan kesempatan
si kakek lagi pergi. Loan Giok menangis lalu bangkit memeriksa keadaan Coan
Sim yang hanya sepasang matanya saja berputar, badannya
sendiri tak dapat digerakkan.
"Oh, kau kenapa jadi begini ?" tanya si nyonya Tan seraya
menggoyang-goyang tubuh si pemuda yang diam saja.
Nyonya Tan tidak tahu kalau Coan Sim kena ditotok.
Tante girang tidak jadi girang menghadapi kegawatan pada
saat itu. Sebagai nyonya yang tidak genit dan memang baik
kelakuannya, Loan Giok menangis menyesalkan kelakuannya
yang tidak benar. Ia telah khilap seketika, pada saat
mendengar rayuan asmara dari si pemuda tampan tapi busuk
hatinya. Apa daya sekarang " Ia hanya mengharap belas
kasihan si kakek bongkok, sebentar bila ia sudah kembali. Ia
tahu bahwa si bongkok tidak akan gagal mencari kalung
kumala. Sebentar lagi ia mendengar pintu di buka, si kakek tampak
berjalan masuk sambil ketawa-ketawa. Tapi ketika sampai
tidak jauh dari tepi pembaringan, Loan Giok kaget melihat
sikapnya berubah bengis. Ia ketakutan, hampir ia selimuti
kepalanya sekali kalau tiak keburu mendengar si kakek
berkata, "Tan-hujin terima kasih. Ini !" berbareng ia kodok
sakunya dan keluarkan kalung kumala dan diperlihatkan pada
Loan Giok. "Bagus, kau bawalah !" sahut nyonya Tan, hatinya agak lega
karena si bongkok tidak sebengis tadi malah suaranya pun
enak didengar. Pikirnya, ada harapan ia. Tapi tiba-tiba ia terkejut ketika si
bongkok datang lebih dekat ke tepi pembaringan dan
cenderungkan badannya, tangannya diulur seperti hendak
memegang tubuhnya. Ia memeramkan matanya, ia pasrah
pada nasib kalau sampai si kakek hendak memperkosa dirinya
asal jiwanya dikasih hidup. Kiranya si bongkok bukannya
hendak memeluk Loan Giok yang sudah siap menyerahkan
diri, sebaliknya ia menototk urat kematian Loan GIok yang
seketika itu si tante girang berkelejetan sebentaran dan
napasnya pun lantas putus.
Coan Sim melihat kejadian itu menjadi ketakutan. Tidak lama
sebab ia juga lantas menyusul arwahnya si nyonya hitam
manis yang belum jauh meninggalkannya. Setelah
membereskan si pemuda mesum, si bongkok singkap selimut
yang menutupi tubuh Loan Giok kemudian angkat badannya
Coan Sim yang sudah jadi mayat, di gabrukan ke tubuhnya
Loan Giok hingga keadaannya seperti yang saling peluk dalam
keadaanya yang tidak genah dipandang untuk mereka yang
beriman teguh. Demikian, si bongkoklah yang membereskan dua manusia
mesum itu, sekarang kemana si kakek bongkok dengan kalung
kumalanya " Eng Sian berdiri terpaku sekian lama tatkala
menyaksikan lubang rahasia penyimpanan hartanya sudah
dibongkar orang. Ia jongkok lalau memeriksa, benar saja kalung kumalanya
sudah terbang. "Hehehe ! " Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa
dibelakangnya. Cepat Tan Eng Sian balik tubuhnya, kiranya
yang ketawa itu tiada lain adalah si bongkok yang dicari-cari.
Eng Sian bangun dari jongkoknya lantas menghajar si
bongkok dengan dua kepalannya tapi ia menghajar angin
karena si bongkok sudah berkelit dengan lincahnya. Malah
Eng Sian menjadi kaget sebab si bongkok sekarang sudah
tidak bongkok pula badannya.
"Kau.... kau, siapa sebenarnya ?" Eng Sian menanya gugup.
"Hehehe, kau mau tahu siapa aku " Aku adalah Kut-nia Huima
Sie Toan Leng !" di kakek memperkenalkan namanya


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga tergetar hatinya Eng Sian.
Tan Eng Siang kaget karena Kut-nia Hui-ma atau 'Si Kuda
Terbang dari Bukit Tulang' Sie Toan Leng adalah begal
tunggal yang malang melintang di sekitar pegunungan
Kiansan. Wataknya angin-anginan hingga orang bisa serba
salah menghadapinya, kalau bukan kawan karibnya yang
biasa galang gulung dengannya.
"Kenapa kau menjadi orang bongkok dan nyelusup ke
rumahku ?" tanya Eng Sian.
"Kalau tidak ada kepentingan, mana si Kuda Terbang mau
merendah menjadi orang bongkok segala !" jawabnya,
seenaknya saja kelihatannya.
"Jadi, kau yang curi kalung kumala dalam rumahku ?"
"Tepat dugaanmu, saudara Tan."
"Kau yang bunuh dua manusia hina itu dalam kamar ?"
"Kau menebak jitu sekali, saudara Tan."
"Aku tidak perduli dengan dua manusia hina itu, tapi kalung
kumala itu. Hm ! Apabila kau tidak kembalikan, jangan harap
kau bisa keluar dari rumahku !"
Sie Toan Leng tiba-tiba tertawa terbahak-bahak hingga Tan
Eng Sian heran. "Kau mentertawakan apa " Memangnya aku tidak bisa
buktikan ucapanku barusan ?"
"Aku tertawa bukannya tertawakan kau." sahut si Kuda
Terbang. "Aku tertawa karena kedogolanku hingga barang
yang sudah ada di tangan bisa hilang dirampas orang.
Saudara Tan, kau paham akan kata-kataku ini ?"
Tan Eng Sian melongo. Ia belum dapat menangkap betul apa
maksud kata-kata Sie Toan Leng barusan, maka ia lalu minta
ketegasan. "Setelah aku membereskan dua manusia terkutuk itu, aku
keluar kamar dan kuncikan mereka dari luar. Pikirku, kalau kau
pulang aakn dapat pergoki bagaimana tidak setianya istrimu
dan kawan mudamu itu." demikian Kut-nia Hui-ma Sie Toan
Leng bercerita kepada Tan Eng Sian.
"Lalu, terus, terus bagaimana dengan kalung kumala itu."
mendesak Eng Sian tidak sabaran.
"Ketika aku jalan sampai di pertengahan rumah, aku masih
sempat mengodok keluar dari sakuku kalung kumala itu untuk
aku memandangnya sekali lagi. Sekonyong-konyong aku
rasakan ada angin dingin berkesiur disampingku. Aku kaget.
Sebelum aku tahu apa-apa kalung kumala itu sudah pindah
tangan. Kaget dan gusar saat itu, lantas aku melihat di
depanku gadis cantik tersenyum ke arahku."
"Kalung kumala tampak ada ditangannya yang putih halus.
Aku merasa gegetun, cara bagaimana ia dapat merampas
barang itu dari tanganku tanpa merasa apa-apa. Apakah dia
satu setan gentayangan " Tapi kupikir di dunia mana ada
setan, maka aku lantas membentak, 'Anal sambel, kau berani
permainkan kakekmu " Lekas kembalikan barang yang
ditanganmu itu !' Dia tidak menyahut hanya ketawa manis
saja." "Aku si Kuda Terbang, mana ketarik dengan senyuman wanita
cantik. Hatiku lebih ketarik oleh kalung kumala yang dengan
susah payang aku dapatkan. Maka seketika itu aku
membentak lagi, 'Kau berani permainkan kakekmu !'
Berbareng aku pun maju untuk menyerang dan merampas
pulang kalung kumala. Tapi.... ia hanya mengebas perlahan
dengan lengan bajunya ke arahku, tiba-tiba aku rasakan
serangkum angin menerjang sangat kuat sekali hingga
tindakanku tertahan oleh karenanya. Aku heran, kukerahkan
tenaga dalam dan maju terus. Si jelita kembali mengebas
dengan lengan bajunya, kali ini agak kerasan dikit tapi cukup
membuat aku terpelanting hingga dahiku tambah daging
karena kebentur pinggir meja. Sialan, pikirku. Amarahku jadi
meluap. Berbareng terdengar suara ketawa 'Hihihi..'. Gadis itu
sudah menghilang dari pandanganku, lenyap bersama dengan
kalung kumala...." Demikian si Kuda Terbang menutup
ceritanya. Tan Eng Siang berdiri termangu-mangu mendengar si Kuda
Terbang ceritanya. Ia menghela napas. Apa daya " Pikirnya kalau kalung kumala
itu masih ada pada Sie Toan Leng, biarpun ia harus mengadu
jiwa, ia akan berusaha untuk merampas pulang barangnya.
Tapi sekarang, putuslah harapannya. Bagaimana ia bisa
menghadapi lawan, sedang si Kuda Terbang sendiri yang
kepandaiannya sangat tinggi, hanya dikebas sekali sudah
terpelanting. Kut-nia Hui-ma Sie Toan Leng lalu ngeloyor pergi.
"Tunggu." kata Tang Eng Sian tiba-tiba.
"Kau mau apa lagi " Barangmu toh sudah tidak ada padaku,
apa kau tidak percaya ?" berkata si Kuda Terbang seraya
ketawa. "Bukan itu maksudku." sahut Tan Eng Sian.
"Aku hanya mau tahu apa kau kenal gadis yang datang kesini
itu ?" "Mana aku tahu, sebab kenal wajahnya juga baru pada saat
itu." "Sebagai begal tunggal, kau harus tahu !"
Si Kuda Terbang termenung sebentar.
"Eh," katanya sekonyong-konyong seperti yang teringat
sesuatu, telunjuknya ditekankan pada jidatnya. Ia
meneruskan, katanya : "Sekarang aku ingat. Menurut katanya
kawan-kawanku yang suka tinggal suara ketawa berbareng
orangnya menghilang adalah Kim Coa Siancu dari Coa-kok !"
"Kim Coa Siancu...." menggumam Tan Eng Sian.
Ia pun pernah dengar tentang munculnya Kim Coa Siancu
yang melakukan penculikan beberapa lama berselang.
Menurut berita, datang dan perginya hantu itu ada
menakjubkan seakan-akan bagaikan asap yang lenyap ketiup
angin. Tiada seorang pun yang pernah mempergoki wajahnya.
Ia sendiri menduga hantu itu romannya menakutkan luar
biasa, maka kepandaiannya ada sangat tinggi. Kalau seperti
yang dikatakan sekarang oleh si Kuda Terbang, dia hanya ada
satu gadis cantik saja, ia sangsi apakah dia itu ada Kim Coa
Siancu yang dihebohkan dalam kalangan Kangouw "
"Kim Coa Siancu sangat lihai." si Kuda Terbang berkata lagi.
"Datang dan perginya hanya seperti bayangan. Aku belum
yakin ada manusia demikian lihai tapi setelah sekarang aku
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mau tidak mau aku
harus mengakui memang Kim Coa Siancu ada begini !"
berbareng ia menunjukkan jempolnya.
Tan Eng Sian cemas hatinya. Pikirnya, bagaimana ia bisa
dapat pulang barangnya yang sangat berharga itu di tangan
seorang yang sangat lihai "
"Kalung kumala itu ada sangat berharga, bagaimana kau pikir
?" tanya Eng Sian. "Aku tahu, kalau tidak, bagaimana aku berusaha untuk
memilikinya ?" Tan Eng Sian manggut-manggut. "Sekarang." katanya.
"Kalung kumala ada di tangan Kim Coa Siancu, apakah kau
tidak ada niat untuk merebutnya kembali ?"
"Itu bukan pekerjaan mudah." sahut si Kuda Terbang. "Aku
harus runding dulu dengan teman-temanku, tentang
bagaimana baiknya." "Bagus ! Marilah kita berlomba, siapa yang dapat merampas
pulang lebih dulu." "Baiklah !" sahut si Kuda Terbang, berbareng ia pun lantas
ngeloyor dari situ. Tan Eng Sian pun lantas bekerja, mengubur mayatnya Loan
Giok dan Coan Sim dengan diam-diam di belakang rumahnya
yang terdapat kebun yang rindang.
Dengan begitu, maka Tan Eng Sian tidak perlu lagi berurusan
dengna yang berwajib. Kalung kumala yang menjadi rebutan itu, kecuali harganya
sukar dinilai, juga mempunyai khasiat untuk kesehatan. Siapa
yang pakai kalung itu, katanya tidak akan didatangi penyakit
dan badan akan selalu merasa sehat dan segar.
Bagaimana Kut-nia Hui-ma Sie Toan Leng dapat tahu adanya
kalung kumala itu dirumahnya Tan Eng Sian, sebabnya karena
Gouw Tiang Su yang memberitahukan padanya.
Kalau digunakan kekerasan, si Kuda Terbang menyangsikan
kepandaiannya. Maka si Kuda Terbang berpikiran
menggunakan jalan halus yaitu menjadi pembantu Tan Eng
Sian, dalam rumah diam-diam ia menyelidiki dimana
disimpannya barang permata itu. Tuakng kebun Tan Eng Sian,
ia sogok suruh berhenti bekerja. Maka dengan mudah si Kuda
Tebang diterima bekerja di rumahnya keluarga Tan.
Sudah dua minggu ia lakukan penyelidikan dengan sabar,
tidak juga ia berhasil. Kebetulan Tan Eng Sian tidak ada dirumah, ia pergoki nyonya
rumah sedang main gila dengan Coan Sim. Menggunakan
kesempatan ini, ia berhasil menggertak Loan Giok dan
menemukan barang permata yagn dicarinya sekian lama. Tapi
dasar bukan miliknya, tiba-tiba muncul Kim Coa Siancu.
Barang yang sudah ada ditangannya dipindah tangan oleh
Kim Coa Siancu dengan demikian mudahnya.
Kim Coa Siancu datang ke rumahnya Eng Sian pun
bermaksud hendak memiliki kalung kumala karena tertarik
dengan khasiatnya untuk kesehatan. Kiranya barang itu
sebenarnya adalah milik seorang pangeran Boan yang
ternama. Lantaran kehilangan barangnya itu, ia telah membuat
pengumuman. Barang siapa yang dapat mengembalikan
kalung kumala itu akan diberi hadiah besar atau pangkat
dalam pemerintahan. Rupanya pangeran itu sangat
berpengaruh, maka dengan mudah dapat menjanjikan pangkat
pada siapa yang dapat mengembalikan barangnya yang
sangat berharga itu. Kim Coa Siancu dapat tahu hal kalung
kumala itu berdasarkan pada pengumuman itu.
Tan Eng Sian adalah jago silat ulung, banyak pengalamannya
dan banyak kenalannya. Seperti katanya si Kuda Terbang Sie
Toan Leng, pikirnya, memang tidak mudah dengan sendirian
saja berurusan dengan Kim Coa Siancu. Maka itu, ia sudah
kumpul kawan-kawannya yang dianggap paling akrab dan
dapat mengawal menyatroni Lembah Ular.
Keputusan Tan Eng Sian pergi dengan diantar oleh tiga orang
kawannya. Lembah ular belum dapat dicari, Tan Eng Sian sudah harus
menyerahkan jiwanya dalam perjalanan sebagaimana yang
sudah diceritakan di atas.
Demikian Kim-kauw-cian Lie Tiong Kiat menutur pada Louw
Bin Cie. Kita kembali pada Lo In yagn tinggal dalam rumahnya Liu
Wangwee. Melihat Bwee Hiang berubah menjadi pendiam dan selalu
berduka sejak ayahnya meninggal dunia, membuat Lo In
menjadi tidak betah lama-lama dalam rumah orang hartawan
itu. Wataknya paling suka bergembira, tidak memusingkan hal
yang dihadapi, apalagi untuk urusan yang sudah lewat.
Makanya, ia paling cocok dengang Eng Lian.
Tapi kemana perginya enci Lian " Lo In sering-sering
menanya pada dirinya sendiri.
Mengingat bahwa dia keluar lembah, meninggalkan rajawali
dan kawan-kawan keranya disebabkan untuk mencari Eng Lia,
maka dalam pikirannya kini selalu berbayang Eng Lian yang
lincah jenaka. Pada suatu sore ia berkata pada Bwee Hiang : "Enci Hiang,
sudah lama aku berada disini. Maka besok pagi aku akan
teruskan perjalanan mencari enci Lian. Harap enci Hiang baikbaik
saja di rumah sampai aku sudah menemui enci Lian.
Tentu akan datang pula kemari untuk menyambangmu lagi."
Bwee Hiang terkejut mendengar kata-kata Lo In yagn tidak
diduga-duganya. "Adik kecil, apa kau tega meninggalkan encimu begitu saja ?"
ia menanya. "Semua urusan sudah beres, tidak halangannya kalau aku
meninggalkan enci sekarang. Aku toh sudah janji akan
kembali kalau nanti sudah menemui enci Lian."
"Tapi bukan itu yang kumaksudkan."
"Habis, aku harus berbuat bagaimana ?"
"Sucoan Sam-sat adalah musuh besarku." kata Bwee Hiang,
romannya beringas ketika ia menyebutkan 'Sucoan Sam-sat',
ia meneruskan, "Hutang darah pada keluarga Liu harus aku
tagih berikut dengan bunganya !"
"Nah, tagihlah ! Mudah saja, bukan ?" kata Lo In wajar, bukan
melucu. "Adik kecil, kau kelewatan...." Bwee Hiang tiba-tiba menutup
mukanya dan menangis. Lo In menjadi heran. Ia berkata, "Enci Hiang, kau jangan
menangis. Aku jadi tidak enak melihatnya."
"Adik kecil, kau tahu aku tidak berdaya terhadap mereka." kata
Bwee Hiang seraya susut air matanya dan terisak-isak. "Aku
harus belajar kepandaian lagi, baru aku akan mencari mereka.
Dengan kedua tanganku akan kubereskan jiwa mereka !"
"Oh, mau tambah kepandaian " Mudah saja. Cari guru yang
pandai dan belajar sungguh-sungguh, bukankah itu jalan yang
paling baik. Untuk apa enci menangis ?"
"Adik kecil, kau sungguh kelewatan terhadap encimu...." si
gadis menangis makin menjadi, ia sangat menyesalkan Lo In.
"Enci Hiang, jangan menangis. Apa salahnya omonganku
yang barusan ?" Bwee Hiang tundukkan kepala seraya masih terisak-isak
menangis. Lo In kebingungan karena kata-katanya disalahkan. Ia
menanya, "Habis, bagaimana aku harus berbuat supaya hati
enci senang ?" "Adik kecil." sahut Bwee Hiang sambil menyusut air matanya.
"Kepandaianmu di atas jago silat yang mana juga, kenapa kau
begitu pelit untuk mengajarkan satu dua jurus pada encimu
untuk bekal bagiku untuk menuntut balas ?"
"Hehehe, jadi enci mau angkat aku jadi guru ?"
Bwee Hiang mengangguk, ketawa mesem ia melihat lagak si
bocah yang lucu. "Mana bisa begitu." Lo In kata. "Usia enci jauh lebih banyak
dariku, bagaimana aku lebih muda boleh menjadi gurumu.
Hahaha...." Lo In tertawa terbahak-bahak.
Bwee Hiang jengkel. Ia merasa seperti dipermainkan si bocah
saja, suaranya agak kaku ketika ia berkata, "Adik kecil, kalau
kau tiadk mau ajari encimu, aku juga tidak hendak memaksa !"
"Bukan begitu, aku masih kecil masa harus jadi guru ?"


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak usah main guru-guruan, kalau kau mau ajari encimu !"
"Hehehe, enci marah ya ?" Lo In menggodai si gadis yang
sedang cemberut. "Memang, memang aku marah !" sahutnya kaku.
"Senang aku melihatnya kalau enci Hiang marah !"
Gemas hatinya Bwee Hiang mendengar ucapan Lo In. "Bagus,
kau mau suruh aku mati kejengkelan, bocah !" bentak Bwee
Hiang. Lo In ketakutan melihat enci Hiang benar-benar marah. "Enci
Hiang, kau jangan marah." kata Lo In cepat melihat gelagat
jelek. "Hm, kau senang melihat aku marah, kenapa sekarang suruh
aku jangan marah ?" "Bukan lantaran itu, enci Hiang !"
"Habis, lantaran apa kau senang ?"
"Lantaran wajah enci, makin marah kelihatan makin cantik.
Aduh !" Lo In tiba-tiba mengaduh karena tangan Bwee Hiang yang
lemas halus tiba-tiba menyambar kupingnya, dipuntir agak
keras. "Nah, rasakan hadian dari mulut bocormu !" kata Bwee Hiang.
Ketawa si gadis karena serangan mendadaknya berhasil
menemui sasarannya. Lo In sudah sangat lihai. Sebeanrnya, tidak semudah yang
dipikirkan Bwee Hiang, si bocah kena dijewer kupingnya. Ia
melihat gerakan si gadis tapi ia antapkan supaya si gadis
merasa senang, malah ia berteriak mengaduh lagi sehingga
benar-beanr membuat Bwee Hiang merasa puas dengan hasil
gerakannya yang tiba-tiba.
Lo In pura-pura kesakitan, kedua tangannya memegangi
telinganya yang dipuntir tadi, dengan gerak griknya yang lucu
ia berkata, "Enci Hiang, kau betul kejam. Masa kuping orang
dipuntir hampir copot " Sakit tuh !"
Mau tidak mau Bwee Hiang jadi ngikik ketawa geli.
Sejak itulah Bwee Hiang belajar kepandaian pada Lo In.
Selama bergaul dengan Lo In, Bwee Hiang dapat menyelami
watak si bocah yang selalu bergembira, seakan-akan dalam
alam pikirannya tidak ada kata-kata 'sedih' atau 'duka'. Ia
senang bersenda gurau, ketawa-ketawa riang, bersentuhan
badan saking sengitnya bercanda. Semua itu terjadi karena
wataknya yang polos, bukan timbul karena kelakuan kurang
ajar yang disengaja. Bwee Hiang yang sudah 'matang' dalam usia dewasa, mulamula
merasa jengah mengimbangi gerak gerik Lo In,
ketakutan kepada kedua tangannya dipegang, ditarik untuk
diajak berjoget di lantai ruangan atau dilapangan berlatih, tapi
belakangan setelah menyelami watak polos dari si bocah, ia
tidak ragu-ragu lagi untuk menyerah di ajak bergembira ria
oleh Lo In. Berpegangan tangan dan bersentuhan badan,
sudah tidak menjadi soal lagi bagi si gadis. Lantaran ini juga,
si bocah jadi betah berkumpul dengan Bwee Hiang.
-- 20 -- Eng Lian untuk sementara seperti terlupa saja dalam alam
pikirannya Lo In karena Bwee Hiang dapat diajak bermain
seperti juga si bocah bermain-main dengan si dara cilik yang
sekarang sudah berubah nama menjadi Kim Coa Siancu yang
menyeramkan sepak terjangnya.
Bwee Hiang adalah gadis berbakat, cerdas otaknya untuk
memahami sesuatu pelajaran terutama dalam hal ilmu silat,
yang ia rindukan mendapat kepandaian tinggi untuk dengan
tangannya sendiri ia dapat menuntut balas kepada musuhmusuhnya.
Di bawah didikan si 'guru cilik', dalam tempo pendek
kepandaiannya Bwee Hiang meningkat berlipat kali,
lwekangnya hebat hingga jurus 'Bwee hiang boan wan' atau
'Harumnya bunga bwee memenuhi taman' yang si nona paling
suka mainkan menjadi sangat lihai. Pedangnya yang menariTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
nari diisi dengan tenaga dalam yang kuat, membuat senjata itu
menyambar-nyambar laksana kilat cepatnya mengarah
tempat-tempat yang berbahaya di tubuh lawan. Kenyataan ini
Bwee Hiang rasakan ketika berlatih dengan Lo In. Si 'guru cilik'
minta supaya si gadis menyerang dengan sungguh-sungguh
seperti menghadapi musuh yang sungguhan, ia lalu mainkan
jurus 'Bwee hiang boan wan' yang hebat luar biasa hingga
ketika latihan dihentikan, tampak si gadis air mukanya
menyungging senyum puas. Bwee Hiang tadinya seorang gadis yang keras hati, agak
angkuh. Maklumlah puterinya seorang hartawan. Tidak mudah
untuk mengundang ketawanya yang mahal. Tapi, malah ia
kenal si bocah berwajah hitam, malah belakangan
pergaulannya makin rapat dengan guru angkatnya Lo In
sebagai 'guru ciliknya', dalam tempo satu setengah tahun si
gadis menjadi berubah segala-galanya. Kepandaian silatnya
meningkat berlipat ganda, wataknya juga jadi ketularan watak
Lo In yang selalu bergembira ria.
Setelah Lo In merasa Bwee Hiang sudah dapat dilepas dalam
suatu pertarungan kelas wahid, untuk mencari pengalaman, si
bocah usulkan untuk Bwee Hiang ikut berkelana dengannya
dalam dunia Kangouw. Ia sendiri tidak tahu bagaimana
sebenarnya yang dinamai dunia Kangouw, tapi tujuan
pertamanya adalah hendak mencari tahu halnya Eng Lian,
entah dimana enci Liannya itu sekarang.
Ketika mendengar usulnya Lo In, cepat Bwee Hiang
menyahut, "Memang aku sedang pikirkan untuk keluar cari
pengalaman, kebetulan kau membuka jalan. Mari, kapan kita
berangkat, adik kecil ?"
"Bagaimana dengan rumah yang begini besar dan pabrikpabrik
kalau enci tinggalkan ?" balik menanya Lo In yang
menaruh perhatian juga rupanya selama ia diam satu tahun
lebih dengan Bwee Hiang. "Adik Hiang, kau perhatikan juga soal rumah dan pabrikku, itu
bagus." berkata Bwee Hiang. "Semua itu mudah saja aku atur.
Nanti aku angkat pamanku Liue Keng Sin menjadi kuasa
penuh untuk mengurusnya. "Kalau begitu." sahut Lo In ketawa, "Kapan saja enci sudah
bereskan urusan, sehingga boleh kita berangkat."
Bwee Hiang setuju. Pada malamnya si nona mengajak Liu
Keng Sin berunding, ternyata ia tidak keberatan diserahi
pertanggungan jawab yang besar sebab memang sejak Liu
Wangwee mati, ia meamng sudah diserahi kuasa atas semua
kekayaan hartawan Liu. Setelah membereskan urusannya, Bwee Hiang pada hari
berikutnya telah mengajak Lo In berangkat untuk berkelana.
"Bagus !" Lo In kegirangan. "Mari kita berangkat !" kata Lon In,
nampak Bwee Hiang sudah berdandan rapi, ketawa nyengir ke
arah si gadis. "Apa yang kau ketawai, anak kecil ?" tegur Bwee Hiang.
"Kau kelihatan lebih... eh, eh, jangan...." Lo In terputus
omongannya karena dengan serentak tangannya si noan
kelihatan berkelebat hendak menjewer kupingnya tatkala ia
mengatakan 'lebih'... Bwee Hiang seolah-olah sudah tahu kemana arahnya katakata
nakal si bocah. "Tahu takut kok !" Bwee Hiang kata, ketawa manis.
"Sejak tempo hari telingaku dipuntir." kata Lo In, "Sampai
sekarang rasanya masih meresap dalam jantung. He he he...."
Kata-kata si bocah dengan sewajarnya, tidak mengandung
apa-apa tapi Bwee Hiang tanpa merasa wajahnya berubah
semu merah sehingga ia mau cekikikan tidak jadi.
Si gadis artikan kata-kata Lo In seperti yang hendak
membilang,"Jiwamu adalah tanda kasih yang kusimpan dalam
hari sampai sekarang." Cuma si bocah memakai kata-kata
yang tidak langsung hingga arti sebenarnya tersembunyi di
dalamnya. Lo In sekarang sudah gede, umurnya sudah 16 tahun, tidak
bisa disamakan dengan 2 tahun berselang dalam usia 14
tahun kata-katanya ngawur, demikian pikirnya Bwee Hiang.
Apakah si bocah dalam perjalanan nanti kurang ajar
terhadapnya " Ia jadi ragu-ragu untuk berangkat.
"Enci Hiang." berkata Lo In. "Dalam perjalanan kita ini, kalau
kita menemui hotel, kita pesan 2 kamar. Kalau kebetulan kita
nginap di hutan, aku nanti tidur di pohon dan kau dibawahnya.
Bukankah ini menyenangkan perjalanan kita ?"
Bwee Hiang tercengang, "Baik, baik, bagus..." sahut Bwee
Hiang ngawur. Ia agak gugup dalam menghilangkan kecurigaannya tadi.
Kiranya ia curiga tanpa beralasan. Si bocah ada demikian
sopan, dengan dalih apa ia menuduh si bocah akan berbuat
sesuatu yang kurang ajar terhadapnya.
Kata-kata Lo In itu membuat kesangsian Bwee Hiang tersapu
pergi tanpa bekas. Dengan gembira ia mengajak si bocah mulai meninggalkan
rumahnya. Ketika sampai di pintu pekarangan, tiba-tiba Bwee Hiang
merandek dan memandang si bocah dengan senyumannya
yang manis. "Masih ada yang ketinggalan ?" tanya Lo In.
"Bukan itu." sahut Bwee Hiang. "Aku lihat kau tidak membekal
senjata. Bagaimana nanti kalu kita ketemu orang jahat ?"
Lo In tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Enci Hiang, kau
masih sangsikan aku si bocah dengan tangan kosong dapat
menundukkan lawan ?"
"Bukan tidak percaya." sahut Bwee Hiang.
"Paling baik kalau kau membawa senjata. Aku pikir pedang
adalah benda yang paling mudah untuk dibawa-bawa.
Bagaimana kalau kau bawa pedang ayahku "'
Lo In geleng kepala. Bwee Hiang tahu Lo In kepala batu juga, maka ia tidak
memaksa dan ia berkata, "Kalau begitu, mari kita berangkat !"
Bwee Hiang berkata seraya gerakkan kakinya diikuti oleh Lo In
yang segera sudah berada disisinya untuk diajak omongomong.
Seperti burung yang terlepas dari kurungan, tampak Bwee
Hiang amat gembira melakukan perjalanan berkelana.
Perjalanan mereka sangat menarik perhatian umum yang
berlalu lalang lantaran wajah mereka yang sangat menyolok
perbedaannya. Bwee Hiang yang cantik lemah gemulai
sedang Lo In wajahnya hitam legam kelihatannya lucu.
Kalau banyak yang lalu lalang sering tersenyum memandang
ke arah mereka, hanya yang memperhatikannya Bwee Hiang
sedang Lo In acuh tak acuh dengan perasaan heran mereka.
Biasanya kalau apa-apa yang ganjil suka mendapat
gangguan, begitulah terjadi dengan perjalanan muda mudi itu
yang belum lama meninggalkan kampungnya.
Ketika 2 lie lagi sampai di dusun Suyang-tin, Lo In dan Bwee
Hiang telah kesamprokan dengan rombongan pemuda
berandal. Kira-kira ada lima belas orang, mereka smeua pada
membekal senjata tajam. Ada yang membawa pedang, golok
dan sebagainya. Rupanya mereka barusan habis latihan ilmu
silat. Ketika mereka melewati Lo In dan Bwee Hiang, satu diantara
dari mereka yang kepalanya gundul nyeletuk, "Sayang, gadis
begitu cantik dikawal oleh satu bocah hitam. Coba yang
temani aku, tentu akan lebih pantas ! Hahaha...."
"Ciang Hong, kau jangan suka usilan !" mencegah temannya
yang jalan di belakang, rupanya adalah pemimpin rombongan.
Pemuda yang dipanggil Ciang Hong menoleh ke belakang,
bukan ke arah si pemimpin ia memandang tetapi ke arah
Bwee Hiang yang kebetulan mengawasinya. Matanya
mengedipi Bwee Hiang hingga si gadis menjadi mendongkol.
Memang sejak mendengar kata-kata Ciang Hong tadi si gadis
sudah gusar, sekarang ia melihat sikap pemuda tersebut yang
makin kurang ajar, bukan main marahnya.
Si gadis meludah, tanda muak melihat lagaknya Ciang Hong.
Melihat itu, Ciang Hong tidak senang. Ia keluar dari
rombongannya yang sedang jalan, menghampiri Bwee Hiang
yang seketika itu juga sudah sampai di depannya sebab
memang sama-sama mau ke dusun Suyangtin.
"Kau meludah untuk apa, hah !" bentak Ciang Hong,
tangannya berbareng nyelonong mau menyolek wajah Bwee
Hiang yang cantik. Bwee Hiang tidak banyak cakap. Begitu tangan si ceriwis
sampai, kepalanya mengelak sedikit berbareng tangan Ciang
Hong ditangkap. Cukup dengan satu sentakan si ceriwis
nyelonong nyungsep dalam gerombolan rumput alang-alang di
tepi jalan. Kawan-kawannya Ciang Hoang hentikan jalannya melihat
Ciang Hong sekali gebrak dipecundangi si gadis. Sebentar lagi
mereka lihat Ciang Hong sudah keluar lagi dari gerombolan
alang-alang. Dengan gusar ia membentak, "Kau berani
menghina Tong-sinoya " aduh ! aduh !... " omongnya ditutup
dengan kata-kata mengaduh.
Kiranya Tong Ciang Hong kena dua tamparan dari Bwee
Hiang hingga beberapa giginya rontok dan mulutnya
berlumuran darah. Ketika ia semprotkan, tiga buah giginya ikut
lompat keluar dibarengi dengan darah.
"Kau berani kurang ajar pada nonamu " Hmm ! Itulah
bagiannya...." kata Bwee Hiang dengan gusar. "Adik kecil,
mari kita jalan !" Ia mengajak Lo In yang tinggal menonton saja
bagaimana sang enci menghajar orang yang iseng mulutnya.
"Perlahan jalan !" tiba-tiba Bwee Hiang mendengar orang
berkata di belakangnya. Ketika ia menoleh kiranya adalah teman Ciang Hong yang
berdiri di depannya sambil ketawa haha hihi macam monyet
kena terasi. "Oo, kau mau bela kawanmu itu " Hmm !" kata Bwee Hiang.
"Terang aku musti bela kawanku, aku mau lihat kau bisa pergi
dari sini atau tidak !"
Si gadis sangat mendongkol, matanya melirik pada Lo In tapi
si bocah diam saja. Ia hanya kedipkan matanya seperti
menganjurkan 'lawan'. Lo In memang sengaja tidak mau turun tangan, mau melihat
bagaimana kemajuan si gadis selama dididik olehnya.
Sang kawan mengerti akan maksud si bocah wajah hitam.
"Nah, marilah kita berkelahi !" si gadis kemudian menantang.
Pemuda itu tidak sungkan-sungkan lagi. Ia keluarkan tipu
silatnya 'Burung elang menyambar kelici'. Dua tangannya
dipentang bagaikan kilat menyambar ia menubruk Bwee Hiang
tapi si gadis sudah lenyap dari pandangannya. Tahu-tahu ia
rasakan pinggulnya ditendang dari belakang hingga ia jatuh
ngeyungsep, mukanya memakan tanah jalanan yang banyak


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu kerikilnya. Kawan lainnya datang memburu, juga dengan sekali tarikan
tangan, lawan Bwee Hiang sudah mengaduh-aduh kesakitan,
berkutatan dalam gerombolan rumput alang-alang kemana
barusan tubuhnya si gundul nyungsep.
Melihat si nona ada demikian tangkas, kawan-kawannya yang
lain datang mengeroyok. "Jangan, enci Hiang." berkata Lo In ketika ia melihat si gadis
hendak menghunus pedangnya hingga ia masukkan lagi. Ia
mengerti sang kawan menyuruh ia lawan banyak orang itu
dengan tangan kosong. Bwee Hiang gunakan ajaran Lo In menggunakan 'Bu eng sin
kang' (Tenaga sakti tanpa bayangan), bagi Bwee Hiang sudah
kelebihan untuk melayani 15 pemuda yang mengeroyok
dirinya, meskipun diantara mereka ada yang menggunakan
senjata, membokong dirinya. Tubuhnya si nona berputaran
hingga kawanan pengeroyok tak dapat menyentuh meskipun
ujung bajunya saja. Saban-saban bila mereka kira si nona tak bisa lolos dari
jambretan atau pukulan, dengan mendadak si nona seperti
menghilang, tahu-tahu sudah ada di belakangnya. Tidak
heran, kalau mereka berkelahi sambil berteriak-teriak
mengutuk Bwee Hiang hingga si nona merasa tidak enak
mendengar caci maki mereka.
Lo In kuatir enci Hiangnya melakukan pembunuhan, melihat si
gadis beringasan, maka ia berseru, "Cukup, enci Hiang !"
Lantas, beberapa kali si nona berkelebat. Maka 15 pemuda
berandalan itu semuanya rebah kena ditusuk oleh Bwee
Hiang. Sambil berseri-seri si nona menghampiri si bocah wajah hitam
sambil menarik tangannya, ia berkata, "Adik kecil, mari kita
jalan. Aku kuatir disini aku bisa membunuh orang !"
Lo In memahami hati si gadis yang amat mendongkol kepada
mereka yang mengeroyoknya karena sudah mengeluarkan
kata-kata yang tidak enak didengar oleh si gadis. Maka begitu
tangannya ditarik diajak jalan, Lo In sudah lantas saja
mengikuti tanpa banyak rewel. Dalam perjalanan Bwee Hiang
berkata, "Adik kecil, ajaranmu hebat benar ! Hihihi, sekali
gebrakan sudah menjatuhkan 15 orang !"
"Jangan bangga dulu enci Hiang. Mereka itu adalah jago kelas
tiga, paling banyak kelas dua. Belum dapat diukur kepandaian
enci. Eh, enci Hiang !"
Tiba-tiba si bocah mendorong Bwee Hiang ke samping hingga
si gadis terhuyung-huyung.
Kurang ajar, pikir Bwee Hiang. Kenapa si bocah main-main
begini, mendorong orang sampai terhuyung-huyung. Ketika ia
menoleh, Lo In sedang berhadapan dengan satu kakek yang
jenggot dan rambutnya sudah pada putih semua. Ia
mendengar Lo In berkata, "Kakek tua, tidak seharusnya kau
membokong orang. Kalau kau mempunyai kepandaian, boleh
tantang enciku terang-terangan !"
Bwee Hiang kaget mendengar kata-kata Lo In. Kalau begitu,
barusan Lo In bukan main-main mendorong dirinya sampai
terhuyung-huyung. Ia berbuat demikian untuk menyelamatkan
dirinya dari bokongan jahat. kakek tua itu membokong dengan
senjata apa " tanya Bwee Hiang dalam hatinya. Matanya
mengawasi ke batang pohon sebab tadi mereka sedang jalan
enak-enak menuju ke arah pohon. Ia lihat disitu tertancap
sebatang panah kecil sampai hampir amblas semua. Rupanya
senjata itu dilepas dengan kekuatan besar sampai menancap
demikian rupa. Bwee Hiang bergidik. Di samping itu ia merasa bersyukur atas
pertolongan adik kecilnya. Sekarang ia memandang ke arah si
pembokong. Tiba-tiba ia menjadi gusar lalu menghampiri Lo In
yang sedang bertengkar dengan si kakek.
"Adik kecil, dia membokong aku barusan ?" tanyanya lantas.
Lo In menganggukkan kepalanya.
"Hehehe, kakek tua. Kau mau berkelahi denganku ?" tanya
Bwee Hiang. Si kakek tua hanya mengawasi si nona dengan roman bengis.
"Kalau mau berkelahi, sebutkan dahulu apa lantarannya." si
gadis kata dengan tawar. "Itu sudah dikatakan." menyela Lo In.
"Enci sudah bikin sungsang sumbel anak muridnya maka dia
jadi mendendam hati padamu dan dia mencoba
membokongmu !" "Hei, kakek tua kalau begitu kau adalah kakek pengecut !"
jengek Bwee Hiang. "Kau punya kepandaian apa hendak melawan aku ?" tanya si
kakek. "Hihihi... !" Bwee Hiang tertawa. "Kau tentu tidak punya isi apaapa
makanya kau membokong. Kalau benar-benar satu lakilaki,
kau harus berani lawan aku dengan berhadapan muka !"
Panas hatinya si kakek dikatakan tidak punya isi apa-apa,
maka ia tepuk-tepuk dadanya sambil berkata, "Aku Kie Giok
Tong, jago kenamaan dalam dusun Suyangtin, siapa dalam
dusun ini yang tidak kenal namaku yang kesohor sebagai guru
silat !" "Hihihi." tertawa Bwee Hiang, ia menggodai, "Jago kampungan
hanya terkenal di dalam kampung saja dan kesukaannya
membokong orang lantaran tidak sanggup menghadapinya
sendiri. Cis, tidak tahu malu !"
Meluap amarahnya Kie Giok Tong. Tanpa banyak cakap lagi,
seketika ia sudah menyerang Bwee Hiang hingga mereka jadi
bertempur. Baru bertempur lima jurus, Kie Giok Tong sudah
empas empis kepayahan. Lo In jadi ketawa geli, kasihan ia
melihat si kakek hanya dipermainkan oleh Bwee Hiang, ia
lantas berkata, "Enci Hiang cukup !", berbareng Kie Giok Tong
sudah ditotok roboh oleh si nona.
Rupanya kata 'cukup' yang meluncur dari bibirnya Lo In
seakan-akan kode untuk Bwee Hiang mengakhiri pertempuran
dengan satu kemenangan. "Adik kecil," kata Bwee Hiang ketika ia datang dekat pada Lo
In. "Brengsek kampung ini kakek sudah hampir mampus
masih mau gerembengi ilmu silatku !"
"Hus ! Jangan omong kasar begitu." Lo In kata sambil ketawa
geli. "Mari kita jalan !" Bwee Hiang mengajak adik kecilnya.
Kie Giok Tong hanya bisa mengawasi berlalunya dua muda
mudi itu tanpa dapat bergerak dari mendeprok dari tanah.
Kakek she Kie itu memang jagoan dalam dusun Suyangtin. Di
waktu mudanya ia bekerja pada salah satu Piauw kiok
(perusahaan pengawalan barang) ke kota Gukwan, namanya
lumayan juga terkenal sebagai Piauwsu (pengawal antaran
barang). Sudah lima belas tahun ia tinggal di Suyangtin, pada
sepuluh tahun belakangan ia membuka perguruan silat dan
menerima banyak murid. Pernah datang dua tiga orang yang pandai silat ke dusun
Suyangtin dan bergebrak dengannya, tidak satu yang dapat
menjatuhkan dirinya. Oleh karenanya Kie Giok Tong menjadi
bangga dengan kepandaiannya itu. Ia mengira bahwa
kepandaian silatnya sudah sangat tinggi, ia tidak mengira
bahwa kepandaian orang-orang yang mencobanya hanya jago
kampungan saja. Kini ia dipermainkan oleh hanya satu gadis yang pantas
menjadi jujurnya, malah umurnya kurang lebih dua puluh
tahun, pedih rasa hatinya, ia tidak puas dijatuhkan si gadis, ia
tidak puas dijatuhkan si gadis meskipun kekalahannya itu
adalah wajar. Ia coba empos tenaga dalamnya untuk membebaskan totokan,
girang ia ketika dapat kenyataan tiba-tia ia sudah bisa gerakan
pula kaki tangannya seperti biasa.
Ia merasa bahwa lwekangnya sangat sempurna dengan
mudah ia dapat membebaskan diri dari totokan tapi ia tidak
tahu, kalau totokan Bwee Hiang hanya totokan main-main saja
ajaran Lo In yang dinamai 'Poan ban tiam hiat' atau 'Totokan
setengah iseng' yang si bocah dapatkan dari buku 'Tiam-hiat
Pit-koat'. Barusan saja ia bangkit dari mendeproknya, Kie Giok Tong
sudah dikerubungi anak muridnya yang juga sudah bebas dari
totokan Bwee Hiang. "Gadis itu sangat lihai." berkata Kie Giok Tong setelah ia
menghela napas. "Suhu, apa tidak baik kita kumpulkan para paman untuk bikin
perhitungan dengan wanita liar itu ?" usul pemuda yang
menjadi kepala rombongan pemuda bergajul yang sudah
dikasih 'rasa' oleh Bwee Hiang.
Kie Giok Tong anggukkan kepalanya, "Tapi, dimana para
pamanmu sekarang ?" ia menanya.
Sebelum Kie Giok Tong mendapat jawaban tiba-tiba ia melihat
ada 4 orang yang berlari-larian ke arahnya. Si kakek
mengawasi, ia berkata kepada pemuda yang mengajukan usu
yang ternyata adalah murid kepalanya beranam Cia Kim Seng.
"Kim Seng, kebetulan. Nah, tuh lihat para pamanmu sudah
datang." Sebentar kemudian 4 orang tadi sudah sampai. Mereka adalah
saudara-saudara angkat dari Kie Giok Tong dan mereka
menamakan dirinya 'Suyangtin Ngo-houw' atau 'Lima harimau
dari Suyangting'. Seram juga kedengarannya, memang juga
menyeramkan bagi penduduk Suyangtin, mereka sangat
menghormati Lima Harimau itu. Suyangtin Ngo-houw tidak
jahta, mereka sebagai pelindung dari dusun, hanya tabiatnya
agak sombong. Maklumlah jago-jago silat kampungan, kalau
merasa dirinya jagoan sudah lantas perlihatkan
keangkuhannya di hadapan penduduk yang lemah.
"Toako, aku mendapat kabar kau dengan keponakan murid
mendapat kesusahan dari seorang wanita liar, apa benar ?"
tanya salah seorang saudara angkat Kie Giok Tong yang
bernama Tan Him yang termasuk nomor tiga dari Lima
Harimau. "Kabar itu tidak salah." sahut Kie Giok Tong. "Dari siapa
Samte dapat kabar itu ?" balik menanya si kakek she Kie.
"Dari si A Kong yang lari dengan napas tersengal-sengal
mengabarkan padaku." sahut Tan Him. "Aku terkejut
mendengar ada orang yang coba-coba tarik kumis harimau,
segera aku beritaku pada jiko, sute dan ngote. Maka kami
berempat lanas menyusul kemari. Dimana sekarang adanya
wanita liar itu ?" "Samte." kata Kie Giok Tong seraya geleng-geleng kepala.
"Aku belum pernah menemukan tandingan sejak aku
berkelana di dunia Kangouw maupun tinggal dalam kampung
kita disini. Kalian semua toh tahu, bukan " Tapi kali ini aku
ketemu gadis liar itu, cuma dalam lima jurus saja aku
dijatuhkan. Benar-benar aku merasa sangat penasaran !"
Terkejut hati empat saudaranya. Mreka mendengar si jago tua
dirobohkan dalam tempo lima jurus, itu hebat sekali ! Kie Giok
Tong, meskipun usianya sudah lanjut sangat alot kalau
bertempur, napasnya panjang dan sangat tangkas. Mereka
sering saksikan manakala mereka sedang berlatih sialt.
"Gadis itu sangat lincah, serangan-seranganku yang
mematikan dielakkan dengan berkelit ke sana sini. Coba
kalian pikir, apakah ini tidak menjengkelkan " Dalam sengit,
aku keluarkan serangan dengan tipu 'Kim Liong seng thian'
(Naga emas naik ke langit) yang seperti kalian tahu, jurus ini
sangatlah ampuh untuk menjatuhkan lawan, tapi.... tiba-tiba
kurasakan kesemutan ketika dia menowel pundak kananku.
Kiranya towelan itu bukan sembarang towel sebab dari
kesemutan aku jadi lemas dan jatuh terduduk di tanah. Dia
telah menotok lo-ji-hiat, halan darah di pundak kanan. Syukur
lwekangku tinggi hingga aku dapat membebaskan totokan
kejinya itu..." Demikian si kakek menutur, tampak ia sangat
bangga ketika mengatakan lwekangnya sangat tinggi dapat
membebaskan totokan Bwee Hiang.
Dasar jago kampungan, seperti katak (kodok) di dalam
tempurung yang tidak bisa menilai kepandaian orang
seberapa tingginya, hanya menyangka lwekannya yang hebat.
Ia tidak insyaf bahwa Bwee Hiang sudah bermurah hati
kepadanya, hanya menotok secara main-main saja.
"Memang, kalau bukan toako memiliki tenaga dalam yang
tinggi, tidak mudah membebaskan diri dari totokan jahat !"
memuji Song Cie Liang, jiko dari Lima Harimau hingga si
kakek she Kie senang mendengarnya.
Tinggal Cia Kim Seng saling berpandangan dengan kawankawannya.
Mereka heran si kakek mengatakan dengan
menggunakan lwekangnya dapat membebaskan totokan
orang sedang apa yang mereka alami, totokan itu bebas
dengan sendirinya, tidak lama setelah mereka dirobohkan oleh
Bwee Hiang. Tapi karena mereka percaya akan
kepandaiannya sang Suhu (guru) maka mereka juga tidak mau
mengatakan apa-apa. "Sekarang, kemana perginya wanita liar itu ?" tanya Teng
Hauw, si nomor empat dari Lima Harimau.
"Aku kira mereka belum pergi jauh dari kampung kita." sahut
Kie Giok Tong. "Mereka, toako kata " Apa gadis itu ada temannya ?" Tan Him
menanya. "Ya, satu bocah berwajah hitam bagai pantat kuali." sahut si
kakek. "Cuma satu bocah, apa artinya. Mari kita susul !" mengajak
Song Cie Liang. Rombongan pemuda bergajulan itu sekarang ditambah
dengan Suhu dan empat pamannya pergi menyusul. Mereka
besar hatinya sebab dengan tambahan tenaga yang sanat
berarti itu mereka harap dapat membalas hinaan yang mereka
derita. Baru saja mereka hendak berangkat, tiba-tiba melihat seorang
anak tanggung berlari-lari ke arah mereka. Cepat juga lari
anak itu. "Itulah si A Kong yang datang !" kata Tan Him
Yang lain-lainnya juga sudah segera kenali si A Kong, anak
tanggung yang biasa dipakai sebagai mata-mata oleh
Suyangtin Ngo-houw. Anak itu cerdik dan gesit, maka ia
sangat disayang oleh Lima Harimau dari Suyangtin.
"A Kong, kau datang tergopoh-gopoh. Ada kabar penting apa
hendak disampaikan pada kami ?" tanya Kie Giok Tong
setelah anak itu sudah berada di depan mereka.
Dengan masih sengal-sengal napasnya, A Kong menyahut,
"Toa-loya sekarang ada di rumah makan An Hok sedang
makan minum bersama si bocah muka hitam !"
"Bagus, kerja kau baik sekali A Kong." memuji Kie Giok Tong.


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senang kelihatannya anak itu mendapat pujian toako dari
Lima Harimau. Kie Giok Tong lantas berunding dengan empat saudaranya.
"Kalau kita ramai-ramai masuk ke dalam rumah makan, kita
sebagai pengacau." Kie Giok Tong menyatakan pada saudarasaudaranya.
"Bagaimana kalau kita memencar ?"
"Maksud toako bagaimana ?" tanya Song Cie Liang, si Jiko.
"Kita saja berlima yang masuk, sedang Kim Seng dan
saudara-saudaranya boleh menunggu di sebelah luar. Kalau
sampai terjadi keributan dengan lawan, kita pancing lawan
keluar. Di situ kita keroyok ramai-ramai, bukankah ini bagus ?"
"Bagus, bagus, kita turut pikiran toako." memuji Tan Him.
Sesampainya di sana, Ngo-houw lihat si gadis sedang ketawaketawa
gembira dengan si bocah muka hitam. Diam-diam
mereka nyelusup masuk dan ambil meja sedikit jauh dari meja
dimana Lo In dan Bwee Hiang tengah menikmati barang
hidangannya. Mereka terus menerus pasang mata pada dua tamu dari luar
dusun Suyangtin itu. Diam-diam empat saudaranya Kie Giok Tong memandang
enteng pada Bwee Hiang yang kelihatannya tidak ada apaapanya
yang harus ditakuti. Romannya yang cantik
menyinarkan welas asih malah. Bagaimana seorang dara
yang lemah gemulai itu dapat memiliki kepandaian yang hebat
sehingga toakonya dalam lima jurus sudah digulingkan "
"Enci Hiang, kau lihat kelihaian aku." tiba-tiba Ngo-houw
mendengar Lo In berkata pada Bwee Hiang. Mereka lihat,
berbareng dengan kata-katanya, si bocah muka hitam
tangannya memegang poci arak. Mulut poci ditegakki ke atas.
"Mau apa dia ?" tanya Ng-houw dalam hatinya masing-masing.
Belum sempat mereka menduga apa-apa, sekonyongkonyong
mereka lihat meluncur keluar arak dari dalam poci,
naik ke atas kira dua kaki tingginya. Arak itu diatas dapat
bertahan dua menit lamanya sehingga arak itu tidak jatuh
diatas meja. Setelah itu, arak itu nyerosot masuk lagi ke mulut
poci, tidak ada setetes pun yang berlumuran jatuh di atas
meja. Itu suatu pertunjukkan yang tidak mudah sebab hanya dengan
lwekang yang sudah sempurna saja, dapat dilakukan. Lo In
unjuk kepandaian ini bukan hendak membanggakan
kepandaiannya, hanya hendak membikin ngeri Suyangtin Nghouw
tanpa kekerasan. Diam-diam Lo In sudah tahu
kedatangannya Kie Giok Tong bersama empat temannya,
maka ia kisiki Bwee Hiang untuk belaga pilon akan kehadiran
mereka dan Lo In menjatakan ia hendak tundukkan mereka
dengan kepandaiannya yang istimewa.
Dasar dogol, lima jago kampungan itu benar kagum melihat
caranya Lo In bermain arak tapi mereka mengira bahwa si
bocah wajah hitam itu hanya pandai main bersulap saja, lain
tidak ! Sebentar Lo In kasih pertunjukan kedua. Ia pegang
mangkok kosong, lalu diangkat ke atas. Pantat mangkok ia
sanggah dengan sumpit, tahu-tahu mangkok sudah terputar,
sebentar naik sebentar turun tapi tak lolos dari sebatang
sumpit yang ada di tangannya Lo In.
Ini juga suatu pertunjukan lwekang yang dahsyat. Sebaliknya
juga, ini dianggap oleh kawanan dogol itu si bocah hanya main
sulap saja. Sedang mereka hendak ketawa berkakakan, tibatiba
matanya pada terbelalak kaget ke arahnya Lo In.
Saat itulah yang membuat mereka kagum bukan main.
Lo In setelah bikin mangkok berputar turun naik disanggah
oleh sebatang sumpitnya, tiba-tiba tangan kirinya menyambuti
mangkok yang turun berbareng sumpit di tangan kanannya
melesat ke atas. Terdengar suara 'ngik !' disusul dengan
jatuhnya suatu benda dari atas. Kiranya yang jatuh itu adalah
seekor tikus yang jatuh dari bubungan rumah, tubuhnya sudah
terbidik oleh sumpitnya Lo In yang barusan meluncur ke atas,
sumpit itu telah jatuh dibawah berbareng dengan badannya si
tikus yang bernasib malang. Kejadian ini bukan permainan
sulap tapi satu kepandaian yang luar biasa hingga Lima
Harimau termangu-mangu duduk di tempatnya. Mereka tidak
bisa mengatakan si bocah main sulap lagi karena dengan
mata kepala mereka sendiri mereka menyaksikan kepandaian
yang luar biasa, yang baru pernah mereka melihat dalam
seumurnya mereka. Terdengar suara tempik sorak dari para tamu yang melihat
kejadian itu. "Toako," kata Tan Him, perlahan suaranya. "Selembar
rambutnya saja pun, kita tak dapat mengganggunya."
Kie Giok Tong angguk-anggukan kepalanya, yang lainnya
tinggal membisu. Meskipun adatnya angkuh, tinggi hati, si kakek orang she Kie
orangnya suka bersahabat. Ia menghormati kepandaian orang
yang ia kagumi, maka juga selama ia jadi Piauwsu banyak
orang-orang gagah yang menjadi sahabat baiknya.
Kini ia melihat kepandaian si bocah yang luar biasa, ingin ia
mengikat persahabatan. Karena timbulnya pikirani tu, maka
Kie Giok Tong bangkit dari duduknya, jalan menghampiri meja
Lo In dimana ia menjura kepada muda mudi itu, sambil
berkata, "Siao-hiap dan Li-hiap, terima hormatku, si kakek
yang punya mata tapi tidak melihat !"
Bwee Hiang masih cekikikan ketawa dan mengagumi
kepandaian adik kecilnya, tiba-tiba Kie Giok Tong
menghampiri. Ia mengira si kakek akan cari urusan lagi. Ia
berhenti ketawa dan siap sedia tapi tidak tahunya si kakek
menjura memberi hormat hingga ia dan Lo In jadi tergopohgopoh
membalas hormatnya si orang tua.
Lo In tidak banyak omong, maka Bwee Hiang yang mewakili
bicara, "Lo-enghiong (jago tua), jangan begini merendah.
Karena kami berdua yang muda menjadi tidak enak oleh
kehormatan Lo-enghiong yang berlebihan. Mari, mari duduk
makan sama-sama kami !"
Kie Giok Tong tidak merendah lagi, ia lantas turut duduk di
meja Lo In dan Bwee Hiang. Sebelum membuka suara, ia
menoleh kepada empat saudaranya, tangannya menggapai.
Sebentar lagi mereka sudah datang menghampiri. Dengan
sendirinya mereka pada mengambil kursi dan duduk mengitari
meja makan Lo In. Bwee Hiang girang melihat taktik Lo In berhasil baik, dapat
dengan halus menundukkan Lima Harimau dari Suyangting.
Bwee Hiang teriaki pelayan, minta tambah hidangan untuk
lima orang yang baru datang. Mereka mula-mula menampik,
tapi Bwee Hiang dengan ramah berkata, "Ini adalah
pertemuan kita yang menggirangkan. Tidak baik kalau kalian
Lo-enghiong menampik undangan kami yang muda."
Melihat si nona demikian ramah dan kata-katanya diucapkan
dengan tulus hati, maka Kie Giok Tong dan kawan-kawan
menjadi malu hati, lantas pada menghaturkan terima kasih
atas undangan manis budi dari si gadis yang semula
dipandang musuh alias si gadis liar.
Mereka segera berkenalan satu dengan lain. Bwee Hiang tidak
bicara sewajarnya tentang siapa dirinya, ia hanya mengaku
dengan Lo In adalah kakak beradik dan dalam perjalan
merantau yag kebetulan melewati di dusun itu. Kie Giok Tong
minta maaf untuk kelakuan sendiri dan anak muridnya yang
kurang ajar. "Ah, itu hanya kejadian biasa." kata si nona merendah. "Kalau
tidak didahului dengan perkelahian, mana bisa kita jadi
bersahabat seperti sekarang ini ?"
Lima Harimau itu makin menghormat kepada si nona yang
bisa bicara merendah dan menunjukan pribadinya yang luhur.
Lo In selama itu hanya tertawa nyengir saja, tidak turut bicara.
Kie Giok Tong yang merasa kagum pada si bocah, telah
membuka mulutnya menanya : "Aku, si kakek merasa kagum
atas kepandaian Siaohiap, sekarang Siaohiap sudah umur
berapa ?" "Tahun ini aku masuh..... eh, tunggu !" berbareng tubuh Lo In
melesat ke arah pintu, menyusul seorang Thauto yang sedang
jalan keluar. Thauto itu selain membawa buntelan kecil, juga ada
menyelipkan sebilah pedang pendek di bebokongnya.
Bwee Hiang kaget melihat kelakuan si adik kecil, cepat ia
menyusul keluar diikuti oleh Lima Harimau dibelakangnya.
Bwee Hiang lihat jauh disana, disuatu lapangan tampak Lo In
sedang berhadapan dengan si Thauto. Ia menyusul ke sana,
juga Lima Harimau tidak mau ketinggalan mereka dibelakang
si nona. Mereka kepingin tahu, ada urusan apa dengan begitu
tergopoh-gopoh si bocah hitam menyusul si Thauto.
Di sana mereka menyaksikan Lo In sedang bertengkar dengan
si pendeta rambut panjang.
Terdengar Lo In berkata, "Aku tidak perduli kau dapat dari
siapa, tapi itu adalah pedangku. Kau harus mengembalikan
pada pemiliknya !" Si Thauto yang tiada lain adalah Kim Wan Thauto tertawa
bergelak-gelak mendengar ucapan Lo In, setelah itu ia
berkata, "Anak kecil, jangan kau cari urusan dengan aku.
Pedang orang lain diakui pedang sendiri, belajar dari mana
kau hendak memiliki barang orang " Kau ngimpi barangkali ?"
"Pedang pendek itu kepunyaan orang yang kuhormati, mana
aku tidak bisa mengenalinya !"
"Dengan bukti apa kau mengatakan pedang itu adalah milikmu
?" Lo In jadi kebingungan sebab ia memang tidak perhatikan
betul tanda-tanda yang ada pada pedang pendek Liok Sin-she
sampai hilang digondol Siauw Cu Leng.
Melihat Lo In termangu-mangu, Kim Wan Thauto berkata,
"Tanpa bisa mengunjuk bukti, mana aku mau mengembalikan
padamu, anak kecil !"
"Tidak, aku mesti dapat kembali." sahutnya tegas.
"Dengan apa kau bisa dapat kembali barangmu ?"
"Dengan kepandaianku !"
Kim Wan Thauto gelak-gelak ketawa. "Anak kecil, dengan
kepandaianmu tersebut tadi dalam rumah makan, hendak kau
merampas pedangku " Hm ! Jangan harap !'
"Betul kau tidak mau mengembalikannya dengan baik ?"
Diam-diam Kim Wan Thauto waspada menghadapi bocah
hitam ini karena Lo In bukan bocah sembarangan. Bila melihat
lwekang (tenaga dalam) yang dipertunjuki tadi di dalam rumah
makan. Tadinya ia mau mengeloyor diam-diam, tidak tahunya Lo In
matanya lihai lantas mengenali kalau Kim Wan Thauto di
bebokongnya membawa pedang Liok Sinshe. Lama memang
Lo In memikirkan pedang itu. Ia percaya pedang pendek itu
diambil Siauw Cu Leng ketika ia sedang pingsan di bokong
oleh Ang Hoa Lobo. Di samping mencari Eng Lian, juga ia saban-saban pasang
mata pada siapa yang dijumpainya, kalau-kalau ia mendapat
lihat ada orang yang membawa pedangnya itu.
Dengan cara kebetulan matanya yang lihai dapat melihat
barang itu ada di punggungnya Kim Wan Thauto yang tengah
berjalan keluar dari rumah makan. Seketika itu ia enjot
tubuhnya melesat, menyusul si Thauto.
Maksud Lo In tidak mau mencari urusan, asal pedang sudah
dikembalikan, urusan sudah selesai. Ia tidak kira bahwa yang
diajak urusan adalah Kim Wan Thauto, bukannya jago
sembarangan yang dapat digertak dengan permainannya tadi.
Melihat si bocah bertindak maju, Kim Wan Thauto sudah siap
sedia. "Thauto kesasar, kau lihat tuan kecilmu ambil pedang !"
berbareng ia menyerang pendeta rambut panjang. Kim Wan
Thauto memang sudah siap, ia mendorong dengan tangannya,
menggunakan lwekang 5 bagian. Tampak Lo In terpental
jumpalitan. Tapi hanya sekejap saja, si bocah sudah ada lagi
di hadapannya hingga ia mau ketawa terbahak-bahak tidak
jadi. Sekali lagi Lo In menerjang, kali ini Kim Wan Thauto mengibas
dengan bajunya, menggunakan lwekan tujuh bagian.
Tampak si bocah berputar tubuhnya kemudian berjumpalitan
hingga Kim Wan Thauto tidak tahan untuk tidak tertawa
terbaha-bahak. Kepalanya sampai mendongak ke atas saking
enaknya ketawa. Sekonyong-konyong ia rasakan ada angin berkesiur disisinya.
Ketika ia sadar kena diakali si bocah, tapi sudah terlambat
sebab Lo In sambil ketawa nyengir tampak sedang acungkan
pedang pendek yang barusan masih menyelip di
bebokongnya. "Terima kasih atas kebaikan hatimu untuk mengembalikan
pedangku." kata si bocah dengna gayanya yang lucu.
Kim Wan Thauto cepat meraba punggungnya, memang
pedang sudah tidak ada ditempatnya. Bukan main gusarnya,
pikirnya, masa anak kecil ini begitu hebat kepandaiannya "
Sebagai jago kawakan, ia tidak rela dipermainkan anak kecil.
Maka seketika itu ia membentak, "Bocah hitam, kalau kau
tidak kembalikan pedang itu, jangan sesalkan Hudyamu
(Budhamu) berlaku kasar terhadap anak kecil !"
"Untuk dapat pulang, mudah saja. Asal kau unjuk kepandaian
!" sahut Lo In, lalu putar tubuhnya dan lari kepada Bwee
Hiang. Kim Wan Thauto marah bukan main, lantas kepalanya
digelengkan. Sekaligus dua anting-antingnya melesat dari
kedua telinganya, saling susul menyambar ke arah jalan darah
Lo In di pundak dan tengkuk.
"Adik kecil, awas !" teriak Bwee Hiang melihat senjata rahasia
anting-anting Kim Wan Thauto sudah mendekati sasarannya.
Si gadis sampai memeramkan matanya karena ngeri adik
kecilnya akan roboh dihajar anting-antingnya si Thauto yang
gede. Di saat ia memeramkan matanya, berbareng ia dengar suara
'tring ! tring !' dua kali. Ketika ia membuka matanya lagi, ia lihat
adik kecilnya tengah tersenyum-senyum ke arah Kim Wan
Thauto yang berdiri terpaku di tempatnya.
Lo In sangat lihai, tidak semudah yang dikira Kim Wan Thauto
si bocah akan kena dibokong meskipun senjata rahasia
anting-anting emas Kim Wan Thauto belum pernah luput
mengarah sasarannya. Ketika Bwee Hiang berteriak, Lo In sudah membalik tubuhnya.
Dengan pedang Liok Sinshe, ia hajar dua anting-anting Kim
Wan Thauto hingga keduanya jatuh ditanah, setelah
mengeluarkan suara 'tring ! tring!' dua kali.
Kalau Bwee Hiang merasa bersyukur adik kecilnya selamat,
adalah Kim Wan Thauto di lain pihak merah padam mukanya,


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saking gusar rupanya. "Masih ada lagi ?" Lo In ngeledek Kim Wan Thauto.
"Bocah hitam, kau jangan bangga dulu !" sahut Kim Wan
Thauto seraya merogoh sakunya, kemudian ia mengayunkan
tangannya. Lima anting-anting emas menyambar berbareng
laksana kilat cepatnya, mengarah sasaran atas, tengah,
bawah dan di kanan kiri. Disinilah adanya keistimewaan Kim
Wan Thauto melepas senjata rahasianya sebab lawan yang
diserang dari lima jurusan sangatlah sukar untuk meluputkan
dirinya sehingga tanpa ada salah satu dari lima senjata
rahasia itu yang mengenakan sasarannya.
Lo In mengerti serangan lawan sangat berbahaya, ia
keluarkan ilmu saktinya 'Bu im sin kang', badannya berputar
bagaikan asap bergulung naik ke atas hingga Kim Wan Thauto
terkejut menyaksikan keanehan itu. Tidak lama, ia melihat Lo
In sudah berdiri ketawa ke arahnya. Ia berkata, "Taysu, terima
kasih atas pemberian anting-anting emasmu !" Lo In berkata
seraya dari tangan bajunya ia keluarkan lima anting-anting
emas Kim Wan Thauto yang barusan dilontarkan kepada si
bocah. Kim Wan Thauto berdiri melongo....
Sebagai orang Kangouw kawakan, Kim Wan Thauto tahu akan
itu peribahasa, "Ksatria harus tahu pada saat maju dan pada
waktu mundur", pepatah tersebut adalah suatu nasehat yang
baik. Mengingat ini, Kim Wan Thauto jadi menghela napas.
-- 21 -- Tidak sampai menunggu Lo In membuka mulut lagi, ia sudah
menghampiri si bocah di depannya. Ia angkat tangannya
bersoja, katanya, "Siao-hiap, kau menang ! Kau adalah orang
pertama yang membuka mataku bahwa orang pandai masih
ada yang lebih pandai. Aku mengira tadinya tidak sukar aku
menemukan tandingan, tidak tahunya, menghadapi kau Siaohiap
aku tidak berkutik. Hahaha... !"
Berbareng dengan menutup kata-katanya, Kim Wan Thauto
telah jatuhkan diri berlutut sehingga Lo In repot dan
menyingkir ke samping, serta katanya, "Taysu, kau jangan
bikin diriku lekas tua dengan caramu begini."
Kemudian ia tepuk-tepuk pundak orang perlahan tapi diamdiam
ia gunakan lwekangnya untuk bikin si Thauto bangun
dari berlututnya. Kim Wan Thauto tahu Lo In tengah
mengerahkan tenaganya, ia juga kerahkan tenaga dalamnya
untuk bertahan. Tapi akhirnya ia mesti mengakui keunggulan
Lo In dalam tenaga dalam. Maka ia pun tidak berani mencobacoba
terus. Segera ia bangkir dari berlututnya dan berkata,
"Siaohiap, aku ingin mengucapkan sesuatu padamu. Aku
harap kau akan menerima baik !"
"Dalam urusan apa itu, Taysu ?" tanya si bocah.
"Caramu yang luar biasa memusnahkan serangan dari tujuh
anting-anting emasku, membuat aku sangat kagum ! Aku
sudah lepas kata, barang siapa yang bisa meluputkan diri dari
serangan senjata rahasiaku ialah yang berupa tujuh antinganting
emas, orang itu akan aku angkat menjadi guruku. Aku
sangka bahwa guru itu pastilah orang yang lebih tua dariku,
tidak tahunya malahan sebaliknya adalah seorang anak kecil.
Siaohiap, kau jangan menolak kalau sekarang aku harus
memenuhi sumpahku...."
Berbareng Kim Wan Thauto kembali hendak tekuk lututnya,
tapi Lo In keburu mencegah. Ia berkata, "Taysu, kau adalah
jago kelas wahid dalam Kangouw, sukar menemukan
tandingan. Untuk perkara kecil saja masa harus berlaku begini
merendah terhadap aku si bocah. Kalau Taysu punya senjata
rahasia yang lihat dapat aku punahkan, ituhanya dengan cara
kebetulan saja, lantaran Taysu tidak sungguh-sungguh
melepasnya dan menaruh kasihan kepada aku masih anak
kecil." "Tidak, tidak. Memang aku menyerah kalah padamu." sahut
Kim Wan Thauto. Si pendeta yang memelihara rambut panjang adalah satu
pendeta yang jujur dan belum pernah menarik kembali apa
yang ia sudah katakana, maka ia merasa tidak enak kalau ia
tarik kembali kata-kata yang ia sudah keluarkan dari bibirnya.
Maka, ia sudah mendesak supaya Lo In suka terima ia
menjadi muridnya, ia berjanji akan setia kepada si bocah.
Sebaliknya, Lo In terus menolak.
Melihat mereka tarik urat, yang satu ingin diterima jadi murid
dan yang lain menolak, dengan tiada ada keputusan sama
sekali, Bwee Hiang lalu campur tangan. Dengan air muka
berseri-seri ia datang menghampiri, kepada Kim Wan Thauto
si gadis memberi hormat serta berkata, "Kalau kalian tidak
keberatan, bagaimana kalau aku majukan diri sebagai orang
perantara untuk memutuskan urusan kalian ?"
"Bagus, bagus !" kata Kim Wan Thauto mendahului Lo In yang
hendak membuka mulutnya berbicara hingga si bocah muka
hitam urung berkata dan anggukkan kepalanya saja seperti
tanda bahwa ia pun mufakat dengan turun tangannya Bwee
Hiang. Lo In percaya kecerdikan sang enci. Dengan keputusannya
Bwee Hiang pasti akan disetujui oleh mereka kedua pihak.
"Dari pembicaraan Taysu," Bwee Hiang mulai. "Aku memuji
Taysu adalah seorang yang jujur, tidak ingin memungkiri janji.
Tapi mendengar alasan adik In juga benar, masa ia harus
punya murid Taysu, lebih pantas bila adik In menjadi muridnya
Taysu. Ini baru pantas....."
"Tapi Liehiap...." memotong Kim Wan Thauto, terputus, karena
si nona goyang-goyang tangannya.
"Aku belum habis bicara, harap Taysu jangan memotong
dulu." kata Bwee Hiang.
"Jadi dua-duanya ada punya alasan kuat." berkata si nona
meneruskan. "Sekarang begini saja. Taysu mengagumi adik
In, sedagn adik In juga sangat menghargai Taysu. Bagaimana
kalau angkat saudara saja.....?"
"Bagus, bagus !" Lo In tiba-tiba memotong bicaranya si gadis.
Saking kegirangan, setuju dengan enci Hiangnya, Lo In
sampai bertepuk tangan. Sebaliknya Kim Wan Thauto kerutkan keningnya. Agaknya
mereka kurang menyetujui putusan Bwee Hiang sebab
menyeleweng kepada sumpahnya. Si gadis yang cerdik sudah
lantas dapat menyelami pikiran si Thauto yagn kurang setuju.
Maka ia lantas berkata pula, "Seorang murid setia, selalu akan
bikin gurunya senang. Maka, apa salahnya kalau Taysu
menerima keputusan yang disenangi adik In agar adik In
hatinya merasa senang. Apa ini bukan sama saja Taysu
sebagai seorang murid telah membuat senang pada gurunya "
Aku kira dengan keputusan kalian angkat saudara, tidak
menyimpang dari maksud Taysu yang sebenarnya."
Mendengar si gadis demikian fasih ucapan katanya dan teguh
alasannya, Kim Wan Thauto angguk-anggukkan kepalanya
dan kemudia ia tertawa ke arah Bwee Hiang hingga si gadis
kegirangan melihat usahanya akan berhasil.
"Liehiap, kau sungguh pandai membuka pikiran orang yang
bodoh." memuji Kim Wan Thauto. "Aku senang, kalau kau juga
termasuk dalam upacara angkat saudara. Harap kau jangan
menolak !" Bwe Hiang kaget. Ia tidak mengira si Thauto akan bawa-bawa
juga dirinya. Tapi ia tidak keberatan untuk angkat saudara
dengan Kim Wan Thauto yang ia lihat pendeta itu benar
mukanya bengis tapi orangnya jujur dan termasuk salah satu
ksatria di kalangan jago-jago silat budiman. Malah dengan
mempunyai saudara angkat macam Kim Wan Thauto,
untuknya ada satu keuntungan, tenaganya dapat dipakai
membantu dalam usahanya menuntut balas kepada Sucoan
Sam-sat. Memikir demikian, maka wajah Bwee Hiang berseri-seri. Ia
berkata, "Terima kasih Taysu. Sungguh tidak kukira kau
sangat menghargakan aku yang rendah."
Kim Wan Thauto kegirangan bahwa si nona tidak menolak.
Demikian selanjutnya tiga orang itu telah angkat saudara
dalam upacara sederhana disaksikan oleh Lima Harimau dan
anak-anak muridnya mereka yang jumlahnya bukan sedikit.
Kim Wan Thauto dipanggil 'Toako' oleh Bwee Hiang dan Lo In
sedang pada dua anak tersebut, atas permintaan mereka, Kim
Wan Thauto memanggil anak Hiang dan anak In, yang
sederhana saja. Si Thauto rambut panjang senang juga dapat
memanggil 'anak' pada si gadis dan si bocah, karena mereka
itu memang pantas menjadi anaknya Kim Wan Thauto.
Lima macan dari Suyangtin sangat menghormati tiga orang
tamu itu, terutama kepada Lo In yang mereka anggap adalah
'Bocah Sakti' yang tidak ada duanya. Kepandaiannya sukar
diukur. Mereka merasakan penglihatannya seolah-olah kabut
ketika menyaksikan tubuh Lo In tiba-tiba berputar-putar dan
seperti asap bergulung-gulung, tahu-tahu setelah si bocah
tersenyum ke arah Kim Wan Thauto dari lengan bajunya
mengeluarkan lima senjata rahasia anting-anting emas dari si
pendeta yang dilontarkan dengan tenaga lwekang yang
dahsyatnya bukan main. Mereka berlomba mengundang Lo In dan dua saudaranya
untuk menginap di rumahnya. Tapi Bwee Hiang tidak mau
membuat berabe mereka maka dengan manis budi undangan
itu ditolak hingga tidak punya alasan lagi mereka untuk
mendesak terus. Meskipun demikian, mereka mengundang
untuk mampir bertemu ke rumah masing-masing selama Lo In
dan dua saudaranya ada di Suyangtin. Hal ini tidak ditampik
oleh Bwee Hiang dan dua saudaranya, demi untuk
menyenangkan pada hati mereka.
Atas pilihan Bwee Hiang, tiga saudara itu mondok di hotel Hok
An, suatu rumah penginapan yang sangat bersih dalam dusun
Suyangtin. Dalam omong-omong, sebelumnya masuk tidur, Kim Wan
Thauto berkata pada Bwee Hiang, "Anak Hiang, aku masih
belum bisa lupakan wajahmu pada tiga tahun yang lalu."
Bwee Hiang heran. Ia lantas menanya, "Bagaimana toako bisa
kenali wajahku " Apa memang toako sudah kenal sebelum kita
angkat saudara " Aku sendiri lupa. Harap toako tidak kecil hati
kalau adikmu pelupa."
"Anak Hiang, aku kenal tanpa berkenalan tapi kukenali
wajahmu di atas loteng pertama dari rumahmu.''
Bwee Hiang terkejut. Sepasang matanya yang jernih halus
memandang pada Kim Wan Thauto tidak berkedip. Kata-kata
si toako betul-betul mengagetkan hatinya karena katanya
mengenali wajahnya adalah dari jendela kamar di atas loteng
pertama. "Toako, kau jangan bikin aku bertanya-tanya. Lekas ceritakan
apa yang sudah terjadi pada saat itu." berkata Bwee Hiang
kemudian. Melihat adik angkatnya tidak sabaran seperti cacing kena abu,
maka Kim Wan Thauto lantas bercerita bagaimana ia telah
melakukan penyelidikan dalam rumah Liu Wangwee untuk
mendapat keterangan tentang kedatangannya Sucoan Samsat.
Ia mendengar tentang percakapan Bwee Hiang dengan
ayahnya dalam kamar kemudian ia bertekad akan membantu
Liu Wangwee akan tetapi kenyataannya bahwa bantuannya
tidak diperlukan dengan turun tangannya si kerudung merah.
Dituturkan dengan jelas pada Bwee Hiang, hingga si nona
yang tidak memotong pembicaraan orang, mendengarkan
semua itu tanpa terasa telah mengucurkan air mata.
"Anak Hiang." kata Kim Wan Thauto, kaget ia melihat adik
angkatnya menangis. "Kau kenapa menangis " Apa
penuturanku melukai hatimu karena aku tidak turun tangan
membantu keluargamu " Kepandaian si kerudung merah
sudah lebih dari cukup. Untuk apa aku membikin berabe dia
dengan memunculkan diri pada saat itu ?"
Bwee Hiang geleng-geleng kepala, seraya menyusut air
matanya yang berlinang-linang.
"Toako, bukan begitu duduknya." berkata si nona, masih
sesenggukan. Lo In pun jadi kaget, enci Hiangnya tiba-tiba menangis.
"Enci Hiang, kau kenapa " Barusan toako cerita, tiba-tiba saja
kau menangis." Lo In menanya sang enci yang sedang sedih
saja. Bwee Hiang tidak menjawab Lo In, hanya berkata pula kepada
Kim Wan Thauto. "Toako, bukan begitu duduknya. Sebetulnya aku sangat
berterima kasih atas perhatianmu hendak menolong
keluargaku. Yang aku sedihkan adalah cerita toako itu
membuat aku terkenang pada ayahku almarhum."
"Hah " Ayahmu sudah meninggal dunia " Sakit apa ?" tanya
Kim Wan Thauto otomatis. "Toako, kau tidak tahu." sahut Bwee Hiang, tersenyum sedih.
"Ayahku bukannya mati karena sakit tapi dibunuh oleh Sucoan
Sam-sat. Ah, toako....."
Bwee Hiang putus bicaranya karena ia tidak tahan dengan
kesedihannya, ia menangis lagi. Agak keras sekarang hingga
Kim Wan Thauto dan Lo In kebingungan kalau-kalau tangisan
itu dapat mengganggu penghuni kamar lainnya sehingga bisa
membikin orang-orang pada keluar untuk menanyakan ada
urusan apa sampai menangis begitu sedih.
Kim Wan Thauto dan Lo In bergiliran menghibur Bwee Hiang.
Si gadis cepat terhibur rupanya sebab kemudian ia hentikan
tangisnya lalu menceritakan pada Kim Wan Thauto tentang
keganasannya Sucoan Sam-sat yang membunuh seisi
rumahnya termasuk Kian-san Ji-lo, setelah pada sebelumnya
mereka kena dihajar oleh Lo In. Mereka telah mengganas juga
dalam markas cabang Ceng Gee Pang sehingga banyak
meminta korban jiwa. Kim Wan Thauto sangat gusar mendengar laporan Bwee
Hiang. "Aku dapat kabar tentang kebuasannya Sucoan Sam-sat, akan
tetapi tidak mengira sampai begitu kejam dan menganggap
jiwa manusia seperti jiwa kecoak !" kata Kim Wan Thauto,
seraya giginya kedengaran berkeretak, menahan amarahnya.
"Toako," kata Bwee Hiang. "Kita sudah angkat saudara. Maka
dalam halnya Sucoan Sam-sat, aku mengharap sekali bantuan
toako dalam usahaku menuntut balas."
"Anak Hiang, meskipun kita belum angkat saudara, aku juga
akan membantu kau sebisa-bisanya untuk membasmi orangorang
jahat itu !" jawab Kim Wan Thauto tegas.
Diam-diam Bwee Hiang merasa sangat berterima kasih atas
janji Kim Wan Thauto. "Sayang anak In pada waktu itu tidak membinasakan saja
kawanan jahat itu." Kim Wan Thauto menyatakan sangat


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyesalkan. "Adik In masih terlalu kecil, belum sampai berpikiran ke situ.
Apalagi memang dia berhati lemah untuk bertindak kejam !"
kata Bwee Hiang sambil melirik pada Lo In yang tidak campur
dalam percakapan mereka berdua.
Lo In hanya nyengir ketawa melihat Bwee Hiang melirik
kepadanya. "Ya, memang anak In masih kecil." sahut Kim Wan Thauto
ketawa. "Sebagai jago kecil berkelana dalam dunia Kangouw,
nanti dia akan bertambah pengalaman dan mempunyai
pandangan terhadap orang-orang yang jahat dan licik. Maka
itu anak In, kau harus waspada menjaga diri."
"Terima kasih atas nasihat toako." kata Lo In, tertawa nyengir.
"Tapi, anak In." Kim Wan Thauto berkata lagi, matanya
memandang wajah Lo In yang hitam legam. "Aku lihat
wajahmu tidak semestinya hitam, cara bagaimana kau
memoles wajahmu jadi hitam begini ?"
"Panjang untuk diceritakan, toako." sahut Lo In. "Tapi
sekarang aku minta toako dulu bercerita bagaimana toako
dapatkan pedang pendekku itu ?"
"Sebenarnya aku mau minta adikku dulu bercerita, tapi tidak
apalah. Biar toakomu mengisahkan satu kejadian yang lucu."
Selanjutnya Kim Wan Thauto mengisahkan dari mana ia
dapatkan pedang pendek. Pada suatu hari menjelang sore, hujan turun dengan lebat.
Kim Wan Thauto dalam perjalanan mengunjungi salah satu
sahabatnya, kebingungan tidak menemui rumah untuk
meneduh, untuk menyingkir dari serangan hujan lebat.
Dengan menggunakan ilmu jalan cepat, sekira dua lie maju ke
depan, tiba-tiba ia menemukan satu kuil rusak.
Ke dalam kuil itu ia masuk. Lumayan juga dapat menyingkir
dari serangan hujan lebat meski pun di sana sini tampak kuil
itu pada bocor gentengnya.
Rupanya kuil itu sudah lama ditinggalkan penghuninya tapi
masih ada towie (taplak meja) rombeng yang panjang sampai
menutupi kolong meja, diatasnya terdapat sebuah tepekong
yang lagi duduk bersila. Pikirnya kalau ia masuk ke kolong
meja itu, baik juga. Sebab tidak kedinginan dari hembusan
angin yang masuk ke dalam rumah berhala itu yang hampir
tidak berpintu. Setelah berpikir ia lalu masuk ke kolong meja
tadi. Benar saja di kolong itu ia merasa agak hangat juga.
Belum lama ia rebahan, tiba-tiba ia mendengar seperti ada
orang yang masuk ke dalam kuil itu. Ia lalu mengintip melalui
lubang dari towie yang rombeng.
Ia lihat yang datang itu adalah seorang laki-laki berperawakan
tinggi kurus, mukanya tidak enak dilihat saking jeleknya. Di
bebokongnya ia menggendong sebuah bungkusan besar.
Entah apa isinya buntelan besar itu.
Ketika si orang jelek tadi sudah berada di dalam, ia lalu
gubraki di atas lantai buntelan yang digendongnya lalu ia
gibrik-gibriki bajunya yang basah kuyup kehujanan.
"Kurang ajar, tadi terang benderang, eh, mendadak turun
hujan besar. Dasar anak sialan !" orang itu berkata-kata
sendirian sambil perlahan-lahan membuka buntelan besar
tadi. Kiranya isinya adalah sesosok tubuh yang tidak berkutik.
Waktu Kim Wan Thauto menegasi kiranya ia adalah satu anak
muda yang cakap, putih, mirip seorang perempuan.
Ia rupanya telah ditotok pingsan sebab pipinya yang halus
diusap-usap ke sana kemari oleh si wajah jelek, anak muda itu
tinggal diam saja. "Sungguh sayang kau dijelmakan sebagai seorang lelaki.
Kalau kau perempuan yang sekarang jatuh di tanganku "
Hmm !" demikian si jelek berkata-kata sendirian.
Entah apa maksudnya kata-kata itu tapi bagi Kim Wan Thauto
sudah lantas menduga bahwa orang jelek itu bukan orang
baik-baik, tentu anak muda itu kena diculik olehnya. Ia terus
mengintip. Ia melihat si jelek membuka totokan si anak muda
yang sebentar kemudian telah dapat membuka matanya.
Melihat wajah si jelek, anak muda itu kerutkan alisnya.
"Aku tidak kenal kau siapa, asal kau kembalikan aku ke rumah
orang tuaku, urusan dapat habis sampai disini saja. Tapi,
kalau sebaliknya " Hmm!" kata si anak muda, seperti
mengancam si orang jelek.
"Hmm ! Apa hmm ! Apa kau kira aku takut kepada ayahmu
Kong Tek Cong ?" si orang jelek kata dengan suara kasar.
Kim Wan Thauto terkejut mendengar disebutnya Kong Tek
Cong ialah sahabatnya yang ia hendak kunjungi. Kalau begitu,
pikirnya, anak muda ini tentu putera sahabatnya yang
dipanggil Liang Hin. "Ayahku adalah Chungcu (ketua kampung) dari Pek-in-chung,
mempunyai banyak sahabat-sahabat dalam kalangan
Kangouw." kata si anak muda. "Kalau kau tidak takuti ayahku,
kau juga harus memikirkan kepada sahabat-sahabatnya yang
tentu tidak akan tinggal dima atas perbuatanmu menculik aku."
Kong Tek Cong memang Chungcu dari Pek-in-chung
(Kampung awan putih di Kang-say).
Namanya sangat terkenal dalam kalangan Kangouw. Bukan
karena ilmu silatnya dihargakan tapi juga sebagai seorang
kaya raya, wataknya sangat ramah dan tangannya mudah
untuk menolong sesamanya yang dapat kesusahan. Bukan
sedikit jago Kangouw yang mendapat pertolongannya apabila
dalam perjalanan mendapat kesukaran uang misalnya. Tidak
heran kalau Kong Tek Cong mendapat banyak sahabat.
Ketika mendengar Liang Hin menyebut-nyebut kawankawannya
Kong Teng Cong, si wajah jelek bukannya takut
malah tertawa terbahak-bahak, katanya, "Siapa tidak kenal
padaku Toan Bi Lomo yang malang melintang tanpa menemui
tandingan. Biarpun ayahmu mengumpulkan semua kawankawannya,
aku juga tidak takut. Apalagi mereka berani datang
ke Coa-kok, aku tanggung semuanya akan dibasmi habis !"
Liang Hin tersenyum sinis mendengar kata-kata si muka jelek
yang tiada lain adalah Siauw Cu Leng dengan gelarnya Toan
Bi Lomo (si Iblis Alis Buntung). Dalam usahanya menculik
anak-anak muda tanggung, ternyata ia berani juga menculik
anaknya Kong Tek Cong yang sangat terkenal namanya.
"Kau benar-benar tidak mau membebaskan Siaoyamu ?"
menegaskan Liang Hin. "Kau jangan mimpi, anak muda ! Hahaha .. !" berbareng ia
mendak disusul dengan suara 'siuutt' yang memancarkan sinar
seperti kembang api lewat kira-kira dua dim diatas rambut
kepalanya hingga ia menjadi sangat kaget.
Kiranya itu senjata rahasia dari Pek-in-chung yang dinamai
'Pek in hwee cian' atau 'Panah api awan putih', senjata rahasia
yang khusus dibuat oleh Kong Tek Cong untuk digunakan oleh
orang-orangnya untuk melindungi Pek-in-chung.
Panah api itu apabila dilepas dari busurnya akan
mengeluarkan suara menyiut keras lantas dalam perjalanan
menuju sasarannya tiba-tiba memancarkan sinar seperti
kembang api yang biasa dipasang oleh anak-anak. Orangorang
Kangouw yang melihat sinar yang tiba-tiba memencar
dari panah api itu lantas mengenali, itu adalah senjata rahasia
dari Pek-in-chung yang sangat terkenal. Kalau mengenai
sasarannya, panah api itu akan membakar pakaian si korban
dan menghanguskan bagian tubuh yang ditujunya.
Siauw Cu Leng cukup lihai. Begitu ia mendengar suara
menyiut lantas ia kenali akan senjata rahasia dari Pek-inchung,
sayang ia tak dapat lolos dari mencarnya api.
Rambutnya sebagian sudah kena kebakar hingga ia repot
untuk mematikan dengan lengan bajunya.
Dalam kerepotan itu, segera menyusul dua tiga panah api lagi.
Tapi karena ia sudah bersedia, semuanya dapat dikebas jatuh
dengan tangan bajunya. "Bangsat kurang ajar !" ia berteriak. Tapi sebelum ia membuka
mulut besar, segera di depannya sudah ada tiga orang tinggi
besar dengan golok di tangan.
"Kau berani memaki 'bangsat kurang ajar' " Sungguh
menyebalkan ! Perbuatanmu yang sangat kurang ajar, bangsat
penculik !" memaki salah satu diantaranya yang menjadi
pemimpin dari tiga orang itu rupanya.
"Tan siokhu (paman), dia..... dia..... " Liang Hin tak dapat
meneruskan kata-katanya karena dengan sebat Siauw Cu
Leng sudah menotoknya roboh mendeprok di lantai.
Kim Wan Thauto yang terus menonton, ia kenali tiga orang
yang datang itu adalah tiga saudara angkat dari Kong Tek
Cong yang bernama Nio Him, Tan Nie Ciang dan Lie Kim
Giok. Mereka empat saudara terkenal dengan julukan 'Pek-in
Su-kiat' atau 'Empat jago dari kampung Awan Putih'. Sepak
terjangnya mendapat pujian rakyat karena mereka menolong
yang lemah, merintangi yang kuat.
Banyak perbuatan yang sewenang-wenang dapat dibereskan
oleh mereka dengan adil. Yang tadi memaki Siauw Cu Leng adalah Tan Nie Ciang.
Mendapat balasan makian, Siauw Cu Leng marah. Ia berkata,
"Baru kalian tiga orang, biarpun Pek-in Su-kiat turun sekaligus,
aku Toan Bi Lomo tidak takut !"
Berbareng dengan kata-katanya Siauw Cu Leng sudah
sambar tubuhnya Liang Hin untuk lantas dibawa melompat
kabur. Tapi Kim Giok yang menjaga di pintu sudah lantas
menghadang. "Mau lari ?" jengeknya. "Turunkan Kong Kongcu
lalu berlutut minta ampun, baru kami nanti memberikan
pertimbangan !" "Kentut busuk !" teriak Siauw Cu Leng gusar. "Lihat kakekmu
nanti akan bikin kalian kocar kacir, tidak ada jalan untuk
umpatkan diri !" Dengan pundak kiri memanggul tubuh Liang Hin, tangan
kanannya sempat mencabut pedang pendek. Ia berkata pula,
"Hayo, maju semua !"
Tan Nie Ciang tahu lawannya lihai tapi masa dikerubuti tiga
lawan ia dapat pertahankan diri, apalagi berkelahi sambil
memanggul tubuh orang "
Memikir kesitu, maka Tan Nie Ciang maju paling dulu. Ia
membentak, "Orang jahat, jangan tembereng. Lihat aku orang
she Tan akan ambil kepalamu !"
Berbareng Tan Nie Ciang bulang baling goloknya yang tajam,
tiba-tiba ia menyerang membabat pinggang lawan. Ini suatu
gerakan yang dinamai 'Ki houw pok yo' atau 'macan kelaparan
menerkam kambing', tidak gampang dikelit oleh pihak lawan
untuk gerakan yang cepat dan ganas itu sehingga telah
membuat nama Tan Nie Ciang naik. Sayang ketemu Siauw Cu
Leng yang gesit. Toan Bi Lomo tidak mau menangkis dengan
pedangnya yang pendek dan bobotnya sangat enteng, kuatir
pedangnya tidak tahan kebentur pedang lawan yang berat.
Maka begitu datang golok mengarah pinggang, cepat ia
berkelit dengan lompat setindak ke belakang hingga sabetan
golok lewat depan perutnya hanya dua dim saja. Berbareng ia
bertindak maju, sebelum musuh mengambil posisinya,
pedangnya diputar terus ditikamkan ke arah tenggorokan. Ini
suatu tipu 'Tong cu ci louw' atau 'Bocah menunjukkan jalanan',
suatu serangan yang tiba-tiba dilakukan. Mula-mula pedang
diputar untuk membingungkan lawan kemudian menikam
dengan tiba-tiba ke arah tenggorokan.
Untung Tan Nie Ciang juga bukan jago kemarin, ia sudah
berpengalaman. Dengan tipu 'Kim ke pa tauw' atau 'Ayam Emas goyang
kepala', kepalanya dimiringkan ke kiri kemudian dengan badan
separuh jongkok, goloknya menikam 'gudang makanan' (perut)
Siauw Cu Leng. Dengan tangkas Toan Bi Lomo menjejakkan
kakinya lompat ke atas, menghindari serangan. Tan Nie Ciang
merangsek, ia tidak mau kasih lawannya untuk perbaiki
posisinya tapi Siauw Cu Leng bukan Toan Bi Lomo kalau tidak
berdaya dengan rangsekan Tan Nie Ciang. Ia turun dari atas
dengan pedang pendeknya diputar untuk mematahkan
serangan susulan Tan Nie Ciang.
Dua senjata beradu keras hingga menimbulkan bunga-bunga
api, tampak golok Tan Nie Ciang kuntung sepuluh dim dari
ujungnya hingga Tan Nie Ciang sangat terkejut.
Nio Him dan Kim Giok hanya menonton saja. Mereka percaya
Tan Nie Ciang dapat mengalahkan Siauw Cu Leng karena ia
berkelahi sambil memanggul tubuh Liang Hin. Tapi
kenyataannya beban di atas pundaknya tidak menjadi
rintangan bagi Siauw Cu Leng bergerak leluasa melayani Tan
Nie Ciang. Melihat keunggulan Siauw Cu Leng barulah dua saudara itu
bergerak. Tapi sebelum mengeroyok, tiba-tiba mereka
mendengar beradunya senjata dan goloknya Tan Nie Ciang
tertabas kuntung hingga mereka sangat kaget.
Toan Bi Lomo kaget. Ia tidak mengira pedang pendek yang
bobotnya enteng itu dapat menabas kutung goloknya Tan Nie
Ciang yang kasar dan berat. Sudah beberapa kali ia
menyingkirkan dari beradunya senjata. Kalau barusan mesti
beradu juga, itu ia lakukan dengan terpaksa sebab waktu turun
dari lompatnya ia papaki golok Tan Nie Ciang.
Kini ia tahu pedang pendeknya sangat ampuh, maka hatinya
jadi besar. Ia tidak ragu-ragu lagi untuk mengadu senjata. Hasilnya juga
Kisah Membunuh Naga 25 Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Selubung Awan Hitam 2
^