Pencarian

Jago Pedang Tak Bernama 1

Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Sejak hari kemarin kota Sauwciu berbeda dengan biasanya. Banyak tamu dari luar
kota membanjiri kota itu. Penginapan-penginapan besar kecil penuh, bahkan banyak
tamu tak mendapat kamar dan terpaksa tidur di kelenteng, dan ada pula yang
bermalam di rumah kenalan atau keluarganya.
Sebagian besar dari para tamu terdiri dari orang-orang kasar dan orang-orang
dari kalangan persilatan, bahkan banyak yang dating dari rimba hijau dan jagoan-
jagoan terkenal di kalangan kangouw. Di hotel Lim an saja orang melihat Boan
Hong si Macan dari Simsee yang terkenal namanya di seluruh propinsi, apalagi di
hotel-hotel besar seperti Ang hwa Likoan dan Bun toa Likoan. Menurut kata orang-
orang di kedua penginapan besar itu orang melihat Cin Ouw Bu Kauwsu, guru silat
dari selatan yang terkenal dengan ilmu toyanya, juga Bin Lok Ong si Garuda
Terbang, jagoan dari cabang Go bi yang namanya menggemparkan kalangan kangouw
karena pernah mengobrak-abrik sarang perampok di bukit Lun san seorang diri
saja!. Tak heran penduduk kota Sauwciu menjadi gempar karena datangnya tamu-tamu
terkenal itu. Banyak orang, terutama yang gemar akan persilatan,
berkelilingkotamelihat-lihat kalau-kalau berjumpa dengan seorang jagoan, untuk
belajar kenal atau untuk mencari guru.
Para ahli silat itu datang kekota Sauwciu dengan semacam maksud, yakni
mengunjungi Pek thou houw Lim San si Harimau Kepala Putih. Lim San merayakan
hari kelahirannya yang kelima puluh dan menurut berita angin kabarnya pada
kesempatan itu juga ia ingin memilih mantu.
Sedangkan puterinya, Lim Giok Lan siocia sudah sangat terkenal kecantikannya dan
kepandaian silatnya. Juga gadis itu terkenal pandai dalam hal ilmu kesusastraan.
Maka kesempatan ini tak dilewatkan begitu saja oleh para jagoan tua muda untuk
datang mengunjungi Lim San. Yang tua mengingat karena persahabatannya dengan Lim
San dan mengindahkan orang tua terkenal itu. Yang muda sekalian hendak mengadu
untung. Siapa tahu kalau akan kejatuhan bintang berupa Lim Giok Lan siocia yang
manis. Pagi-pagi sekali, belum juga matahari memperlihatkan wajahnya, banyak orang
berduyun-duyun menuju ke gedung Lim San.Paratamu untuk mulai kunjungan mereka,
para pendudukkotauntuk melihat keramaian. Di depan gedung dipasang tarub lebar
dan di tengah-tengah pelataran depan telah dibangun sebuah panggung lui tai,
yakni tempat orang mengadu silat yang tingginya kurang lebih dua atau tiga
tombak. Si Harimau Kepala Putih Lim San berdiri di depan pintu menyambut datangnya para
tamu. Ia adalah seorang tua tinggi kurus yang rambut dan kumisnya telah putih
seluruhnya. Kulit mukanya putih pula, maka pantas ia mendapat sebutan si Harimau
Kepala Putih. Jubahnya dari sutera biru dan kelihatan gagah sekali. Lim Seng,
kakak Lim siocia, atau putera satu-satunya dari Lim San, ikut pula menyambut
tamu. Ia seorang pemuda bertubuh tegap dan gagah, pantas menjadi putra si
Harimau Kepala Putih. Tuan rumah dan puteranya tersenyum-senyum gembira dan
membongkokkan badan memberi hormat kepada mereka yang datang berkunjung. Karena
banyaknya kenalan dan tamu, mereka tidak tahu lagi siapakah yang datang dengan
undangan dan siapa yang tidak. Pokoknya bagi mereka , asal ada orang masuk, ia
tentu tamu mereka. Kaum cianpwe, yakni golongan jago-jago tua yang terkenal seperti Cin Ouw Bu
kauwcu, Bin Lok Ong si Garuda Terbang, Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung, Hwat Lai
jagoan dari cabang Siauw lim dan banyak yang lain mendapat tempat duduk
terhormat. Mereka ini semua terdiri dari orang-orang tua yang namanya sudah
terkenal. Ketika pestasedang berjalan meriah, tiba-tiba penjaga pintu melaporkan bahwa ada
seorang tamu muda minta tuan rumah keluar menyambut. Orang-orang heran mendengar
hal ini, karena setelah tuan rumah sibuk melayani para tamu, maka yang
mewakilinya menyambut tamu ini begitu tak tahu adapt minta tuan rumah keluar
sendiri menyambut " semua orang menengok dengan tak senang, tapi Lim San yang
sabar dan peramah segera keluar dengan wajah berseri-seri. Sesampainya di pintu,
ia lihat seorang pemuda yang berwajah cakap dengan mata agak kebiru-biruan
berdiri dengan sikap sombong di luar pintu. Di pinggangnya tergantung pedang
panjamg dan pakainannya berwarna merah berkembang, mewah sekali.
Lim San segera memberi hormat yang dibalas dengan sikap jumawa sekali oleh
tamunya. "Selamat datang, selamat datang. Kukira siapa, tidak tahunya Sim hiante yang
datang. Dan mana Sim lo enghiong, ayahmu" Mengapa tidak datang?" tanyanya dengan
wajah manis. "Ayah tidak ada waktu untuk datangdan minta aku datang mewakilinya. Bagaimana,
Lim lopek banyak baik?" kata tamunya dengan kata-kata yang sebenarnya jauh dari
pada pantas dan sopan. Tapi Lim San tetap bersenyum.
"Baik, baik, terima kasih. Mari silahkan masuk, Sim hiante". Dengan hormat
sekali ia pimpin tamunya yang muda itu ketempat yang tertinggi dimana para
cianpwe duduk berkumpul. Semua mata menengok kearahnya, yang muda-muda iri dan
panas hati, yang tua-tua heran dan ingin sekali tahu.
Bin Lok Ong si garuda Terbang yang duduk dekat Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung,
berbisik kepada kawannya ini, "Loheng, tahukah kau siapa pemuda ini " ia adalah
putera tunggal dari Sim Boan Lip pangcu yang bernama Sim Tek Hin. Kabarnya ilmu
silatnya bahkan melebihi ayahnya, demikianpun kesombongannya dan kekejamannya.
Kalau tidak salah, Kang Lam Sianghiap itu sepasang pendekat dari Kanglam telah
mati di tangan anak muda ini dalam suatu pertempuran karena memperebutkan
seorang bunga raja di kota Kunciauw.
Ang Cit Kwan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hm, kalau ayahnya sudah begitu
lihai, tentu ia ini hebat sekali. Dan kalau ia lebih kejam dari ayahnya, waah,
akan ramai hari ini. Kulihat ia membawa sikap yang agaknya akan menimbulkan
onar". Sementara itu, Sim Tek Hin duduk diatas sebuah kursi dengan sikap sombing dan
melayangkan pandangan matanya kepada para cianpwe itu dengan tak ambil peduli,
seakan-akan para jago tua itu hanyalah patung-patung tak berarti baginya. Tiba-
tiba kedua matanya berhenti bergerak dan memandang kearah Cin Ouw Hu kauccu dan
dari kedua matanya yang agak kebiru-biruan itu keluar cahaya marah. Cin kauwcu
pun memandangnya sejenak, tapi segera buang muka untuk bicara dengan kawan
duduknya. Tuan rumah dengan hormat sekali melayani tamu baru ini dan pestapun berjalan
lancer dan meriah sekali. Dari sana sini mulai trdengar orang-orang mengucapkan
kata-kata selamat kepada tuan rumah yang disambut dengan hormat dan berterima
kasih dari fihak tuan rumah.
Setelah arak hangat dan wangi diminum empat atau lima putaran LimSan bangun
berdiri dan menjuru keempat penjuru kepada para tamunya.
"Cuwi sekalian yang terhormat. Kami sekeluarga menghaturkan trima kasih atas
kehormatan yang diberikan kepada kami dengan kunjungan cuwi yang berharga ini.
Sekarang perkenankanlah saya umumkan sesuatu hal. Sebagaimana cuwi tentu telah
mengtahui atau mendengar bahwa saya mempunyai seorang anak perempuan yang bodoh
dan buruk. Tapi karena ia anak perempuan satu-satunya, maka adatnya menjadi
manja. Banyak lamaran yang datang, tetapi ditolaknya, karena ia hanya mau
menjadi istri seorang ahli silat yan kepandaiannya lebih tinggi darinya sendiri,
bahkan lebih tinggi dari kakaknya dan ayahnya. Ah, saya orang tua ini sungguh
menjadi pusing, tapi apa boleh buat. Kini cuwi sekalian telah berkumpul disini,
maka saya memberanikan diri untuk mengundang cuwi yang ada minat untuk memasuki
sayembara ini. Barangkali saja anakku yang bodoh dan manja ini akan mendapat
jodoh disini, siapa tahu ?".
Pidato ini disambut dengan tepukan tangan riuh rendah, lebih-lebih dari golongan
pemuda. Mereka sudah gatal gatal tangan hendakikut memasuki sayembara. Penonton
penonton di luarpun merasa gembira hingga ikut bertepuk tangan.
"Cuwi sekalian" tuan rumah menyambung kata-katanya, "sayembara ini tidak
terbatas pada para tamu saja, bahkan orang luarpun berhak ikut serta!". Kali ini
para penonton menyambutnya dengan sorakan gemuruh.
"Nah, sekarang sebagai permulaan, untuk membuka sayembara ini, puterakuyang
bodoh mohon pengajaran dari cuwi sekalian".
Atas tanda dari ayahnya , Lim Seng meloncat keatas panggung dengan sambutan
tepukan riuh. Ia merapikan dan mengencangkan ikat pinggangnya, lalu menggulung
lengan bajunya menanti tanding.
"Lim lopek, maafkan siuwte!" terdengar seruan seorang pemuda dan ia melompat
keatas luitai. Ternyata ia adalah Oei Sun, putera Oei wangwe di kota itu yan
dulu lamarannya ditolak oleh Lim siocia.
"Lim Seng twako, mohon jangan berlaku keras kepadaku," katanya sambil menjuru
memberi hormat kepada Lim Seng.
"Oei kongcu, jangan sungkan sungkan, silahkan memberi pengajaran," jawab Lim
Seng tersenyum ramah. "Maaf!" kata-kata ini disertai dengan sebuah pukulan tangan kanan dalam tipu
Harimau menerkam kambing. Lim Seng berlaku waspada. Ia geser kaki kirinya ke
belakang hingga kepalan lawan lewat disamping iganya, lalu balas menyerang
dengan tipu Burung Kepinis Balikkan Badan. Tipi ini digerakkan dengan
membalikkan badan, menggeser kaki kanan ke belakang lalu dengan tiba-tiba
berbalik memajukan kaki kanan itu sambil mengayun kepalan tangan kiri keatas,
lalu loncat setindak ke depan memukul dengan tangan kanan. Serangan ini cepat
datangnya dan tak terduga. Tapi Oei Sun ternyata gesit juga. Ia cepat menangkis
dengan tangan kiri. Celaka baginya ia kalah tenaga hingga ketika lengan kirinya
terbentur dengan tangan lawan, ia terhuyung-huyung ke belakang. Sebelum ia
sempat memulihkan kedudukannya, Lim Seng sudah memburu maju mengirim tendangan.
Biarpun Oei Sun dapat memapaki tendangan ini dengan tangan kanannya, namun
tenaga tendangan itu demikian kuat sehingga ia terdorong ke belakanga dan jatuh
terjengkang. Suara tepuk tangan terdengar dan oei Sun dengan wajah merah karena malu bangun
berdiri memberi hormat, lalu melompat turun. Semua orang memuji ketangkasan Lim
Seng yang telah berhasil merobohkan lawan dengan hanya dua kali gebrakan saja.
Lawan yang melompat panggung berikutnya adalah Ong Tat, seorang pemuda yang
meningkat tinggi namanya karena piauwkioknya (ekspedisi) yang terkenal. Ia
seorang pemuda tinggi besar yang terkenal kuat dan ilmu silatnya mengandalkan
gwa kang atau tenaga tubuh. Sesampainya diats panggung ia menggerak-gerakan
tangannya sampai berbuni berkerotokan dan urat-urat lengan tangannya menggembung
keluar. "Perkenankanlah siauwte ikut main-main" katanya nyengir.
"Silakan," jawab Lim Seng.
Ong Tat segera menyerang dengan tendangan tantui yang dahsyat dan kejam. Lim
Seng tak percuma mendapat didikan ayahnya dalam hal kegesitan tubuh. Karena
dengan mudah saja ia dapat mengelak dari tendangan yang dilancarkan beruntun
lima kali itu. Bahkan ia balas menyerang dengan tak kalah serunya.
Pertempuran kali ini agak seimbang hingga para penonton merasa gembira dan
berdebat-debar. Ong Tat kuat dan serangan-serangannya keras, sebaliknya Lim Seng
lincah dan gesit sekali. Telah beberapa kali Ong Tat terkena pul\kul di bahunya
dan pernah sekali pahanya tertendang, tapi semua itu tak menjerihkannya, bahkan
ia makin buas dan mengamuk seperti kerbau gila. Suatu saat ia menyerang denga
kedua tangan dalam tipu Garuda Menyambar Kelinci. Serangan ini keras dan cepat
dan hampir saja pundak Lim Seng menjadi korban. Baiknya pemuda ini gesit sekali,
ia masih sempat membungkuk, lalu dari bawah kedua lengan lawan, ia mengirim
pukulan yang tepat mengenai dada lawan.
Terdengar suara "buk" dan tubuh tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang,
lalu tak tertahan lagi ia terjengkang keluar panggung! Sekali lagi orang
bersorak atas kemenangan fihak tuan rumah.
Berturut-turut Lim Seng menjatuhkan dua lawan lagi dan ketika lawan kelima naik
ke panggung, tiba-tiba sebuah bayangan yang gesit dan ringan sekali melompat ke
atas panggung. Ketika semua orang melihat dengan tegas, mereka bersorak riuh.
Ternyata yang melompat naik itu adalah seorang gadis berusia paling banyak
delapan belas tahun, berwajah cantik jelita dengan kedua pipi kemerah-merahan
dan bibirnya yang mungil tersenyum manis.
Pakaiannya berwarna hijau dan ringkas sekali, rambutnya yang hitam gobyok dan
panjang diikat keatas dengan tali sutera merah. Ia adalah Lim Giok Lan siocia
sendiri yang menggantikan kakaknya.
"Twako turunlah mengaso, biar siauwmoi yang menggantikanmu!" kakaknya tersenyum
dan melompat turun. Lawan yang telah naik ke panggung tadi adalah pemuda hitam dengan cambang
menyeramkan. Dengan lagak dibuat-buat ia menjuru sambil berbicara dengan mata
melirik-lirik, "Terima kasih bahwa siocia sudi bermain-main sebentar dengan
aku." Lim siocia tidak menjawab, hanya langsung mengirim serangan dengan tipu Naga
Sakti Keluar Goa. Pemuda hitam itu terkejut melihat cepatnya gerakan tangan
gadis itu dan segera berkelit ke samping menghindarkan dadanya dari pukulan. Ia
tidak berani sembarangan menerima pukulan itu karena sungguhpun kulit tangan itu
halus bagaikan sutera, namun pukulannya membawa angina dingin menandakan
besarnya tenaga dalam ! namun gadis itu tidak memberi kesempatan padanya untuk
main-main, karena setelah pukulannya gagal, kakinya segera melayang mengarah ulu
hati lawan. Pemuda itu menjadi sibuk juga melayani kegesitan Lim siocia. Ia
tidak diberi waktu sedikit juag untuk balas menyerang. Akhirnya ia tidak tahan
dan kaki Lim siocia yang mungil mampir di pundaknya hingga ia terjengkang keluar
dari panggung disambut sorakan riuh rendah dari para penonton.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu diatas panggung tampak laki-
laki kira-kira berusia empat puluh
tahun. Gerakannya melompat keatas panggung begitu cepat hingga tak terlihat
orang. Lim Seng melihat orang ini menjadi terkejut dan Lim San loenghiong juga segera
memberi tanda kepada puteranya untuk naik keatas panggung. Lim Seng segera
melompat kesamping adiknya dan berkata, "Moi-moi, lekas turun, biarkan aku
menyambut tuan ini." Adiknya menurut lalu turun.
"Ha ha, Lim Seng! Kenapa engkau begitu tidak tahu adapt" Seharusnya kau biarkan
adikmu itu main-main sebentar dengan aku!" kata orang itu.
"Maaf, Hek Sam twako. Siauwte harap twako tidak berolok-olok dengan kami. Dengan
maksud apakah twako naik ke sini" Maafkan jika kami lupa mengundang twako dan
silakan turun minum arak wangi."
"EEh, eh siapa sudi arak dinginmu" Aku datang bukan untuk mengemis arak.
Bukankah ini sayembara terbuka dan siapa saja boleh ikut?"
"O ! itukah maksudmu" Baiklah, silakan memberi pelajaran padaku!" tantang Lim
Seng yang panas juga mendengar kesombongan orang.
"Baiklah, nah sambutlah!" Hek Sam jagoan sungai telaga yang terkenal mata
keranjang itu segera mulai menyerang. Pukulannya berat dan berisi tenaga dalam
yang kuat. Namun Lim Seng perlihatkan kegesitannya dan dapat melayaninya dengan
baik. Tapi setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, Lim Seng merasa
bahwa kepandaiannya masih kalah jauh. Ia mulai sibuk dan
terdesak. Pada suatu saat Hek Sam melancarkan serangan dengan tipu Kerbau Gila
Menanduk Pohon, dengan membungkukkan tubuh ia menyerang dada Lim Seng secepat
kilat. Lim Seng yang sudah mulai lelah berkelit ke samping, tapi Hek Sam merubah
pukulannya dan siku-siku kanannya memukul dari samping yang telah menghantam iga
Lim Seng. Pemuda itu terpental beberapa kaki dan roboh pingsan.
"Bangsat kejam" terdengar teriakan halus dan Giok Lan sudah melompat keatas
panggung. Setelah ayahnya yang ikut meloncat juga menolong Lim Seng turun
panggung, Giok Lan segera menyerang dengan marah. Hek Sam tertawa sombong dan
melayani Giok Lan sambil tersenyum-senyum menggoda. Karena ternyata bahwa
lawannya tidak balas menyerang, bahkan sengaja membiarkan lengan mereka beradu
sambil tersenyum menjemukan, Giok Lan menjadi makin marah dan menyerang dengan
lebih hebat! Keadaaan menjadi tegang dan para penonton melihat pertempuran itu
dengan hati berdebar-debar.
Lim San melihat jalannya pertempuran dengan kwawatir sekali. Ia maklum bahwa
puterinya, walaupun kepandaiannya lebih baik daripada Lim Seng, namun masih
belum dapat menandingi Hek Sam. Segera ia buka baju luarnya dan menggenjot
tubuhnya naik keatas panggung.
"Giok Lan, mundurlah. Biarkan aku orang tua menerima kehormatan yang diberikan
oleh Hek Sam twako!"
Mendengar kata-kata ayahnya, Giok Lan lompat mundur, tapi karena itu Hek Sam
telah mengulur tangannya, maka tak dapat dihindarkan lagi tangan Hek Sam yang kasar berkeringat
itu dapat menjamah pipi kirinya. Giok Lan menjadi marah dan malu, hampir saja ia
menangis. Kini Lim San sendiri yang menghadapi Hek Sam.
"Hek lauwte, pandanglah mukaku yang tua ini dan sudahi sajalah pertempuran ini.
maafkan jika kami ada kesalahan terhadapmu."
Hek Sam tersenyum dan menjuru. "Lim lopek, mengapa begitu" Apa salahnya kalau
siauwte juga ikut memasuki sayembara ini" tidak pantaskah aku menjadi mantumu?"
kata-kata ini ditutup dengan suara ketawa keras. Lim San menjadi marah dan ia
mulai menyesal mengapa ia mengadakan sayembara gila ini.


Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, nah, mari kita menguji ilmu," katanya tak banyak cakap lagi.
Pertempuran ini benat-benar ramai. Lim San yang sudah tua memang kalah tenaga,
namun ia banyak pengalaman dalam hal perkelahian dan enaga dalamnya menang
setingkat. Harimau Kepala Puti ini terkenal dengan kemahiran dalam hal ilmu
menotok jalan darah warisan dari Cin san pai. Namun Hek Sam berbadan kuat dan ia
telah mempelajari ilmu kekebalan badan, hingga jika bukan di bagian yang sangat
berbahaya, ia tidak takut akan totokan tiam hoat lawannya.
Mereka bertarung sengit sekali sampai tujuh puluh jurus lebih, tidak ada yang
mau mengalah. Akhirnya Lim San mendapat kesempatan dan ia tidak lewatkan ketika
bagus itu segera ulur jarinya menotok kearah jalan darah kiok ti hiat lawan. Hek Sam
maklum akan bahaya totokan di bagian iga dan segera mebuang diri ke belakang,
tapi celaka baginya, kaki kiri Lim San terayun maju menendang sambungan
lututnya. Tidak ampun lagi ia jatuh terguling dan tidak dapat bangun lagi,
karena sambungan lututnya putus. Dari tengah-tengah penonton yang bersorak riuh
rendah itu tiba-tiba melompat seorang kate keatas panggung dan segera memondong
Hek Sam turun. Kemudian orang pendek itu loncat lagi keatas menghadapi Lim San
dengan senyum di bibirnya yang tebal.
"Lim loenghiong sungguh gagah. Tak percuma julukan Pek thou houw yangtelah lama
kudengar! Suteku yang bodoh telah menerima pengajaranmu, maka janganlah membikin
aku penasaran dan tidak dapat bagian!"
Lim San tahu bahwa yang berdiri dihadapannya merupakan orang pendek yang
nampaknya lemah ini bukan lain adalah Lui Thung si Setan Bumi yang menjadi
suheng dari Hek Sam. Lui Thung terkenal dengan permainan senjata rantai baja
yang membuatnya menjagoi diantara bajak air.
"Maaf, Lui enghiong. Sebetulnya ingin sekali aku tahu dengan maksud apakah kau
naik ke panggung ini?"
"Ha ha, Lim loenghiong!' jawabnya dengan suara ketawa seperti bebek. "Apalagi
kalau bukannya melamar puterimu" Aku biarpun sudah empat puluh tahun lebih namun
masih hujang!" "Hm, baiklah, silakan maju!"
"Nanti dulu, aku dengar bahwa kau terkenal dengan senjatamu Kim to (Golok Emas).
Bolehkah aku mencobanya?"
"Lui enghiong! Pertempuran ini bersifat persahabatan, bukan maksudku mendirikan
panggung ini untuk mengadu jiwa. Perlu apa kita harus bertempur menggunakan
senjata tajam?" tegur Lim San.
"Eh, eh! Kau takut melihat darah " atau takut kepada rantaiku yang karatan ini?"
tantang Lui Thung sambil meloloskan rantainya dari pinggang.
"Takut" Tidak sekali-kali. Baiklah kalau kau memaksa, tapi jangan menyesal kalau
goloku tak bermata." Pada saat itu Lim Seng sejak tadi memperhatikan pembicaraan
mereka, meloncat keatas membawa golok ayahnya. Golok itu bergagang emas dan
merupakan golok kesayangan Lim San. Entah sudah berapa puluh lawan terpaksa
harus mengakui keunggulan golok itu.
"Nah, silakan" berkata Lim San sambil memasang kuda-kuda dengan mengangkat kaki
kanan sebatas lutut kiri, tangan kiri menunjuk keatas dengan jari telunjuk dan
jari tengah lurus, tangan kanan memegang golok yang diputar di belakang sembunyi
di punggung lengannya. Lui Thung tertawa menghina, maju selangkah dan mengayun rantainya. Rantai itu
bagaikan ular hidup meluncur kearah leher Lim San yang segera mengangkat
goloknya menyabet untuk memutuskan rantai. Tapi Lui Thung membetot kembali
rantainya dan mengayun senjata itu secara memutar kearah pinggang lawan. Kembali
Lim San menangkis, kali ini dengan pinggir golok. Dua senjata
beradu dengan berbunyi nyaring dan mengeluarkan api. Ternyata tenaga mereka
seimbang. Lim San bakas menyerang dan mereka segera serang mnyerang dengan
sengit mengarah jiwa lawan.
Tiga puluh jurus lebih telah lewat namun masih belum dapt dipastikan seiapa
diantara mereka yang lebih unggul. Tiba-tiba dari tempat duduk para jago taua
tampak seorang berdiri dari kursinya sambil tertawa nyaring. Suara ketawanya
bagaikan sura ketawa wanita dan dengan sekali mengenjot tubuhnya, orang itu
melewati kepala semua tamu, langsung loncat keatas panggung!. Gerakan ini
sungguh indah dan hebat, hingga mau tak mau para penonton yang melihatnya
mengeluarkan seruan tertahan karena kagum. Orang ini ternyata adalah pemuda
sombong dan yang diberi tempat duduk diantara para cianpwe tadi.
Sim Tek Hin, pemuda itu, mengeluarkan saputangannya yang panjang dan ketika
rantai Lui Thung menyambar, ia kebut rantai itu dengan saputangannya hingga
terlilit sambil berkata, "Lim lopek, mundurlah, biar aku mewakilimu."
Melihat rantai lawan ditahan oleh saputangan pemuda itu, Lim San menarik kembali
goloknya yang hendak dibacokkan, lalu mundur.
"Kenapa engkau ikut campur, Sim hiante" Biar aku menerima pengajaran tuan Lui
ini," ia mencela. "Ah, lopek sudah tua, tidak pantas melayani pertempuran dengan segala orang
kasar. Biar aku yang bereskan dia!" bantah Sim Tek Hin.
Terpaksa Lim San meloncat turun dan melihat dari bawah panggung.
"Nah, Lui Thung, majulah kalau engkau berani!" tantang pemuda itu.
Lui Thung tadinya merasa marah sekali melihat ada orang menghalang-halanginya,
tapi ketika ia melihat orang yang menantangnya ini, tiba-tiba ia menjadi pucat.
"Sim kongcu, benar-benarkah kongcu hendak membela tuan rumah?" tanyanya
merendah. "Bodoh, siapa membela siapa" Ketahuilah, kau tidak pantas menjadi suami Lim
siocia, tahu?" bentaknya.
Tiba-tiba Lui Thung tertawa, kemudian tersenyum sambil mengejap-ngejapkan
matanya serta mulutnya mengoceh.
"siauwte tahu, siauwte maklum. Nah, semoga kongcu berhasil!" kemudian ia menjuru
sekali, lalu meloncat turun dari panggung, lenyap diantara gerombolan penonton.
Semua tamu dan penonton heran melihat Lui Thung yang kosen itu ternyata takut
melawan pemuda itu. Sipakah ia" Masih muda dan cakap, tapi sudah begitu besar
pengaruhnya" Demikian bisikan-bisikan diantara penonton.
Sim Tek Hin dengan lagak jumawa sekali mengangkat tangan memberi hormat keempat
penjuru, seakan-akan lakunya seorang jagoan tanpa tanding.
"Saudara-saudara sekalian,. Perkenalkanlah aku adalah Siauw san coa Sim Tek Hin
si Ular Gunung, ayahku adalah Sim pangcu dari San coa pai. Hari ini Lim
loenghong mengadakan sayembara untuk memilih mantu. Maka aku mewakilinya untuk
menyambut setiap orang yang hendak mengikuti sayembara ini. maka hayo majulah
siapa yang ada kepandaian!".
Nama Sim pangcu dari San coa pai sangat terkenal dan ditakuti orang. Jarang
orang yang tidak pernah dengar nama ini dan mereka tahu betapa lihainya keluarga
Sim ini. maka beberapa orang yang tadinya ada hasrat hendak mencoba ikut dalam
sayembara itu, dengan sendirinya mundur teratur karena segan dan takut. Tapim
diantara mereka yang takut, terdapat seorang pemuda she Thio yang sangat rindu
untuk dapat memiliki Lim siocia. Ia adalah seorang siucai (sastrawan) yang
mendapat pelajaran silat dari pamannya. Jauh-jauh dari kota Patciu yang letaknya
ratusan li dari situ, ia datang untuk ikut sayembara itu. Maka ketika ia lihat
Sim Tek Hin mewakili tuan rumah, walaupun ia sudah mendengar juga tentang
kelihaian Sim kongcu ini, namun ia loncat juga naik ke panggung.
Sim Tek Hin menyambutnya dengan senyum sindir.
"Ha, ternyata masih ada juga orang gagah diantara kalian," tegurnya.
Thio Bun, pemuda yang baru naik itu, menjuru kepada penonton, lalu kepada Sim
Tek Hin. Sim enghiong, jangan tertawakan aku yang bodoh ini ingin mencoba-coba
pengertainku yang masih rencah."
"Majulah sobat," Sim Tek Hin mengejek.
Mereka lalu bergebrak dengan seru. Ternyata Thio Bun memiliki kepandaian yang
lumayan juga.gerakan-gerakannya jelas ternyata bahwa ia mewarisi ilmu silat Kun
lun pai. Kalau hanya mendapat lawan Lim Seng saja, tentu akan ramai sekali
pertempuran mereka. Tapi kali ini ia berhadapan dengan Sim Tek Hin yang mewarisi
kepandaian tinggi dan lihai, ditambah pula adatnya yang keras dan kejam.
Serangan-serangan pemuda she Sim itu selalu ditujukan kearah tempat berbahaya,
merupakan serangan maut, maka Thi Bun menjadi sibuk dan terdesak sekali. Ketika
Thio Bun menyerang dengan tendangan kaki kanan, tiba-tiba sambil berkelit Sim
Tek Hin bergerak cepat kearah kiri lawan dan memukul dada kiri. Thio Bun
turunkan kaki dan jongkok untuk berkelit, tapi ia kalah cepat, pundaknya
terpukul keras hingga ia terhuyung-huyung lalu jath tersungkur. Sim Tek Hin
dengan tertawa memburu sambil berkata, "Pergilah kamu" kaki kanannya diayunkan
untuk menendang tubuh orang kebawah panggung. Tendangan ini sebenarnya tendangan
mematikan, karena yang diarah labung orang! Tapi ketika ujung sepatunya telah
dekat dengan lambung Thio Bun, tiba-tiba ia tarik kembali kakinya dan giginya
menggit bibir menahan sakit. Tanpa terliaht oleh orang lain, sebutir batu kecil
telah disambitkan orang kearah akakinya, hingga sepatunya berlubang dan kakinya
terluka sedikit. Sambitan ini menolong jiwa Thio Bun yang sudah sadar kembali
dan segera loncat ke bawah dengan perasaan malu dan putus harapan.
Sim Tek Hin penasaran. Siapakah yang begitu kurang ajar berani menyambit
kakinya! Ia sangka pasti seorang diantara cianpwe itu, karena siapa lagi yang
mempunyai kepandaian tinggi" Maka ia segera menantanglagi, kini
kearah para tamu dan pandangan matanya khusus ditujukan ke tempat duduk para
jagi tua. "Saudara-saudara. Sipa lagi yang ingin coba-coba" Majulah! Apakah diantara para
tamu yang terhormat ini tidak ada yang ingin memperlihatkan kepunsuan" Hayo
maju, kita ramaikan pesta ini dan menambah pengajaran!"
Tapi tak seorangpun menyambut, karena mereka segan melawan kongcu yang lihai dan
berpengaruh ini. Sim Tek Hin kurang puas, lalu berkata pula, dibarengi gaya yang
jumawa. "Eh, eh! Kalau begini, siapakah yang pantas menjadi suami Lim siocia?"" kemabali
tidak ada yang menyambut, hanya Lim San memandangnya dengan kwawatir dan marah.
Hendak berbuat apa anak setan itu" Pikirnya.
Sin Tek Hin lalu tujukan pandangan matanya kearah Cin Ouw Bu kauwsu dan ia
berkata lagi. "Kalau sudah tidak ada yang berani maju, bagaimana kalau kita
minta para locianpwe yang berada disini memberi pengajaran barang sejurus" Hei,
saudra-saudara yang menonton, setujukah kalau saya minta seorang jago tua untuk
meperlihatkan keahliannya di atas panggung ini?" tentu saja semua penonton
berteriak "Setuju-setuju!"
Sim Tek Hin kembali memandang kearah Cin Ouw Bu. "Nah, para locianpwe mendengar
sendiri. Masakan para locianpwe hendak berlaku begitu pelit untuk memperlihatkan
sedikit kepandaian" Siauwte mohon kepada Cin Ouw Bu kauwcu, sukalah meramaikan
pesta ini dan memberi sedikit pelajaran kepadaku. Kecuali kalau Cin
loenghiong merasa takut kalau mndapat luka, biarlah lain loenghiong saja yang
maju." Sindiran ini hebat sekali. Cin Ouw Bu maklum bahwa anak muda itu ingin mencari
perkara saja, karena diantara ia dan ayah pemuda itu, yakni Sim pangcu memang
ada sedikit permusuhan. Ia segera berdiri dan setelah menjuru kepada tuan rumah,
ia meloncat dengan tenang keatas panggung. Kehadirannya disambut tepukan tangan
riuh rendah dari penonton.
Para tamu yang merasa akan sindiran pemuda itu, merasa berdebar, karena mereka
maklum bahwa "main-main" ini akan berbahaya sekali. Lebih lebih Lim San sebagai
tuan rumah merasa kuatir dan cemas.
"Sim kongcu kau begini muda tadi sungguh gagah dan berani. Biarlah aku mencoba
tulangku yang tua ini."
"Siauwte bersedia menerima pengajaran," jawab Sim Tek Hin menyindir.
"Mulailah," tantang Cin Ouw Bu.
"Tidak, kau yang lebih tua menyeranglah dulu." Jawab Tek Hin.
"Baik jagalah!" Cin Ouw Bu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyerang dengan
menggunakan pukulan-pukulan dari ilmu silat Pat kwa ciang. Sim Tek Hin menangkis
dan balas menyerang dengan ilmu silat keluarganya, yakni ilmu silat San coa
cianghoat. Mereka berputar-putar dengan cepat hingga kedua-duanya merupakan dua
bayangan yang berkelebat kesana sini dan sukar dilihat dengan tegas.
Seratus jurus telah lewat, tapi keadaan mereka masih berimbang. Tiba-tiba Sim
Tek Hin berseru. "Tahan!" lalu keduanya meloncat mundur.
"Apa kehendakmu?" Tanya Cin Ouw Bu penasaran, karena sampai demikian jauh ia
yang sudah kawakan belum juga dapat menjatuhkan seorang pemuda yang masih hijau.
"Ilmu silat loenghiong hebat sekali. Tapi aku belum kalah. Bagaimana kalau kita
coba-coba ilmu mainkan senjata?" Tanya Tek Hin.
"Boleh, boleh!" jawab orang tua itu dan segera ia meloncat kearah tempat
duduknya dan minta pinjam sebatang toya dari tuan rumah.
"Saudara Cin, perlu apakah pertempuran ini dilanjutkan?" tegur Lim San. "Tak
usah kau layani pemuda sombong itu."
Cin Ouw Bu menghela napas. "Ayah ular anaknyapun ular. Ayahnya dulu pernah
kuhalang-halangi ketika hendak merampok seorang gadis kampong, dan hal ini
rupanya menjadikan dendamnya hingga puteranya tahu akan permusuhan ayahnya
dengan aku. Biarlah, sudah terlanjur, kalau aku mundur, maka akan hancurlah
namaku karena mulutnya yang jahil itu," kemudian sambil membawa toya ia loncat
pula keatas panggung dimana Sim Tek Hin telah berdiri menanti sambil memegang
pedang. Cin Ouw Bu adalah seorang ahli main toya, ilmu toyanya disegani semua ahli di
kalangan kang ouw dan dikenal sebagai ilmu toya Gin liong pang hwat atau Ilmu
Toya Naga Perak. Di lain pihak Sim Tek Hin mewarisi
ilmu pedang ayahnya, ialah ilmu pedang tunggal San coa kiamhwat yang ganas
gerakan-gerakannya. Maka ketika mereka mulai bertempur, merupakan pemandangan hebat luar biasa
membuat mata semua penontong berkunang-kunang. Pukulan-pukulan dan tusukan-
tusukan dilakukan dengan gerakan-gerakan mematikan! Lengah sedikit saja maka
akan putuslah nyawa lawan. Tetapi ternyata pemuda itu benar-benar hebat
permainan pedangnya, karena selain mendapat warisan ilmu pedang ayahnya, ia
pernah pula dididik oleh Cun Kong Hwesio mempelajari ilmu pedang Go bi yang
lihai. Setelah bertempur puluhan jurus, Cin Ouw Bu yang lebih tua mulai lemah
dan terdesak. Ia kalah ulet dan kalah tenaga. Pada suatu saat ketika ia membabat
dengan toyanya dari atas ke bawah kearah kepala lawan dengan tipu gunung Thaisan
Menghantam Menara, Sim Tek Hin menyambut toya itu dengan pedangnya, kedua
senjata itu menempel bagaikan besi dengan besi sembrani.msing-masing mengerahkan
tenaga dan lama kelamaan Cin Ouw Bu kalah tenaga hingga pedang lawan mendekati
kepalanya. Tiba-tiba Sim Tek Hin menarik kembali pedangnya sambil berkelit
kesamping menghindari ayunan toya, berbareng ulurkan kepalan kiri kearah dada
lawannya! Serangan ini tak dapat dihindarkan lagi dan dada kanan Cin Ouw Bu
kauwsu kena erpukul hingga ia terlempar dan jatuh sambil memuntahkan darah
segar. Bin Lok Ong si Garuda Terbang dan Lim San buru-buru loncat keatas panggung untuk
menolong orang tua itu dan membawanya turun panggung. Si Garuda Terbang sangat
penasaran sekali dan ingin kembali keatas panggung, tapi dicekal oleh Lim San
yang mendahuluinya loncat menghadapi Sim Tek Hin.
"Sim hiante, kenapa kau berlaku kejam" Sudahlah habiskan saja pertempuran-
pertempuran ini. kau membikin aku malu."
"Lim lopek, apakah ini berarti bahwa siauwte dianggap pemenang dalam sayembara
ini?" Tanya Sim Tek Hin dengan berani sambil tersenyum tapi kedua matanya yang
kebiru-biruan bercahaya kejam.
Lim San terkejut.Hm, inikah maksudnya, pikirnya.
"Sim hiante, bukankah kau hanya mewakili aku?"
"Tentu saja, karena kau calon mertuaku, harus kujaga jangan sampai celaka di
tangan orang. Sekarang, ternyata tiada orang yang dapat menjatuhkan aku dalam
sayembara ini dan berarti akulah yang memenuhi syarat."
"Hal ini tidak semudah yang kau kira. Hianate," kata Lim San menahan marah.
"Harus kutanya dulu orang yang hendak menjalani."
Tiba-tiba Lim Giok Lan siocia loncat naik ke atas panggung sambil bertolak
pinggang menghadapi Sim Tek Hin. "Siapa sudi menjadi istri seorang kejam seperti
orang ini" Ayah, aku tidak sudi!"
"Turun kau!" bentak ayahnya, dan Lim siocia meloncat turun dengan marah.
"Bagus, Lim lopek. Apakah dengan caramu ini kau tidak takut disebut orang tua
yang tidak memegang janji" Sayembara ini kau adakan untuk memilih mantu, yaitu
seiapa yang berkepandaian paling tinggi akan dipilih. Nah, sekarang siapakah
berani melawan aku dalam sayembara ini?"
"Aku berani!" terdengar bentakan keras dan Bin Lok Ong si Garuda Terbang
melayang ke atas panggung.
"HM, hm ... kau orang tua juga ingin memasuki sayembara" Ingin dipungut mantu oleh
Lim lopek." Mengejek Sim Tek Hin.
"Tutup mulutnmu yang kotor! Siapa ingin memasuki sayembara" Aku hanya ingin
mencoba kepandaianmu ingin kulihat apakah kepandaianmu itu lebih jahat daripada
mulutmu!" jawab si Garuda Terbang.
"Kau jangan membikin aku takut! Aku tidak ada waktu melayani kau! Nanti saja
atau lain kali. Sekarang adalah pertandingan sayembara, siapa saja yang ingin
merebut Lim siocia, dia boleh naik untuk menjatuhkan aku."
"Bangsat kecil!" memaki Bin Lok Ong, tapi ia segera dicegah oleh Lim San.
Akhirnya setelah dibujuk-bujuk mau juga ia turun dari panggung setelah berkata
kepada Sim Tek Hin. "Setan kecil, baiklah lain kali aku mengajar adat padamu."
Lim San berkata kepada Sim Tek Hin, "Sim hiante, kalau kau memaksa, maka apa


Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

boleh buat, tapi ingat, kau belum memenuhi syarat."
"Apa lagi syaratnya?"
"Kau belum menjatuhkan aku."
"O, begitu" Nah, bersiaplah, tapi jangan menyesal. Aku tidak suka kalau kelak
mertuaku benci padaku karena pernah kujatuhkan."
"Majulah!" Lim San yang mulai marah menantang.
Sebelum mereka bertempur, tiba-tiba terdengar suara nyaring. "Tahan dulu" dan
begitu suara itu lenyap, sudah tampak orang nya di atas panggung. Penonton yang
tadinya diam karena tegang melihat perselisihan itu, kini berisik pula, karena
suasana tambah ramai. Orang yang baru datang itu ternyata seorang pemuda berusia kurang lebih dua
puluh lima tahun. Pakaiannya seperti pelajarm tapi baju dan celanannya yang
warna kuning itu sudah lapuk dan ada tambalan disana sini. Ikat pinggangnya dari
sutera merah, panjang berkibar-kibar dan sepatunya warna hitam, sudah tua pula.
Ikat kepalanya juga berwarna kuning . tubuhnya kurus tapi padat, gerakannya
lemah lembut bagai seorang pelajar, wajahnya cakap dan kurus. Hanya kedua
matanya yang seperti bintang pagi itulah yang menyatakan bahwa ia memiliki
tanaga iweekang yang dalam. Ketika kakinya tiba di atas papan panggung,
sedikitpun tak mengeluarkan suara, tapi Sim Tek Hind an Lim San merasa betapa
papan itu tergetar. Pemuda ini menjuru kepada Lim San dengan sikap hormat sekali
sambil berkata, "Maafkan siauwte, loenghiong, jika siauwte mengganggu dan ikut campur dalam
perkara ini. siauwte tidak ingin ikut memasuki sayembara, siauwte hanyaingin
mewakili loenghiong menghadapi sobat baik ini. bolehkah"'
sebelum Lim San dapat menjawab, Sim Tek Hin mendahului berjata kasar, "He, tidak
tahu aturan sekali kau! Kalau kau hendak memasuki sayembara, aku bersedia,. Tapi
kau ingin mewakili Lim lopek, aku tidak mau terima!"
"Sabar dulu, sobat. Tidak ingatkah kau bahwa berdirimu disini inipun tadinya
karena mewakili Lim loenghiong " kalau kau boleh menjadi wakil, mengapa aku
tidak " tadi kau mewakili, tapi kini menjadi musuh, maka akulah yang
menggantikanmu menjadi wakil, karena tidak pantas turan rumah harus turun tangan
sendiri mengusir anjing!"
Kemudian pemuda itu menghadapi semua penonton dan berkata lantang. "Bagaimana
saudara-saudara, bolehkah aku mewakili Lim loenghiong untuk bermain-main
sebentar dengan tuan ini?" serentak terdengar jawaban "Boleh! Boleh!"
Pemuda ini tersenyum dan menjuru kembali kepada Lim San,. "Nah, loenghiong,
silakan turun dan melihat dari bawah saja. Kalau siauwte kalah dalam pertempuran
ini barulaj loenghiong yang maju." Terpaksa Lim San menyatakan terima kasihnya
dan loncat turun. "Pengemis hina" Sim Tek Hin memaki. "Beritahukan namamu, aku tidak biasa memukul
orang tak bernama?" masih saja pemuda itu tersenyum, "Namaku" Namaku Bu Beng (Tiada Nama)."
"Apa " jangan main-main! Kau tak bernama?"
Pemuda itu mengangguk, "Memang aku tak bernama. Tapi kalau kau paksa padaku agar
aku bernama, maka namaku ialah Tak Bernama, sebut saja aku Bu Beng, habis
perkara." "Bu Beng Siauwcut (bangsat rendah tak bernama)! Biarlah kau mampus tanpa nama!
Mari, majulah dan siapkan senjatamu!" Sim Tek Hin mencabut pedangnya dan menanti
lawannya mengambil senjata. Tapi pemuda tak bernama itu hanya berdiri tersenyum.
"Mana senjatamu" Hayo keluarkan!" bentak Sim Tek Hin ganas.
"Inilah senjataku," katanya sambil perlihatkan kedua kepalan. "Dan ini!"
berganti-ganti ia lonjorkan kakinya ke depan. Semua penonton merasa lucu melihat
gerakan pemuda itu hingga tak dapat menahan ketawa. Hanya para jago tua di
ruangan itu merasa kwawatir melihat tingkah pemuda itu. Mereka anggap pemuda itu
terlampau sembrono untuk menghadapi Sim Tek Hin dengan pedangnya yang lihai
hanya dengan tangan kosong.
Sim Tek Hin merasa dihina dan menjadi marah sekali. "Kau sudah bosan hidup!"
teriaknya dan tiba-tiba pedangnya menusuk kea rah tenggorokan lawan.
Bu Beng dengan masih tersenyum tundukkan kepala sinar pedang meluncur hanya
setengah dim diatas kepalanya. Kedua kakinya sedikitpun tidak digeser dan masih
berdiri tegak. Bagi yang tidak mengerti elmu silat menganggap gerakan ini tidak
seperti gerakan orang bersilat dan nampak lucu dan canggung, tapi Bin Lok Ong si
Garuda Terbang diam-diam terkejut karena samara-samar
ia dapat menerka bahwa pemuda yang kelihatan lemah itu gerakannya lemas dan
gesit sekali. Hampir menyerupai gerakan ilmu silat Kiu sian ciang hwat atau
ileum silat sembilan dewa.
Sim Tek Hin merasa penasaran, lalu mengayunkan pedangnya kearah pinggang lawan,
tapi Bu Beng dengan terhuyung-huyung melangkah kesamping, hingga pedang itu
mengenai tempat kosong. "Meleset lagi, sayang" mulut pemuda yang selalu
tersenyum itu mengejek. Berkali-kali Sim Tek Hin menyerang menusuk, menyabet,
membacok, tapi berkali-kali Bu Beng berkelit seenaknya saja menghindari serangan
pedang sambil berkali-kali mengejek, "Tidak kena, sayang!" Dan "Meleset, kawan."
Lebih dari dua puluh jurus Sim Tek Hin menyerang, tapi selalu tak berhasil.
Penonton riuh rendah bersorak karena kagum melihat betapa pemuda itu meloncat,
mendekam, terhuyung-huyung ke belakang, ke samping, bagaikan orang mabuk, tapi
selalu tepat menghindari jalannya pedang.
Pemuda she Sim itu dengan menggigit bibir karena gemas segera memutar pedangnya
dan menggunakan ilmu-ilmu berbahaya dari ilmu pedang San coa kiamhoat. Pedangnya
merupakan gulungan sinar putih mengurung tubuh lawan, Bu Beng pun percepat
gerakannya hingga bagaikan kupu-kupu terbang diantara sinar pedang.
Lambat laun Sim Tek Hin mengucurkan keringat dingin dari jidatnya dan bulu
tengkuknya seakan akan berdiri! Ia merasa seram dan cemas. Belum pernah selama
hidupnya ia berjumpa dengan orang yang ilmu silatnya seperti ini! bahkan gurunya
sendiri tak mungkin dengan menghindari serangan-serangannya dengan hanya
berkelit saja sampai puluhan jurus! Ia percepat gerakan pedangnya tapi lawannya berputar lebih cepat
lagi. Tiba-tiba Sim Tek Hin kehilangan musuhnya. Selagi ia kebingungan, ia merasa
punggungnya disentuh orang dan ada suara berkata. "Aku disini, hayo serang lagi
jangan melamun!" ia kertak gigi dan mengayun pedangnya ke belakang. Tapi
lawannya sudah tak nampak lagi! Yahu-tahu telinga kirinya dijiwir orang.
Demikianlah Bu Beng mempermainkannya hingga ia menjadi gemas, malu dan pusing.
Pandangan matanya kabur. "Sudah cukupkah , kawan" Maka menjadi orang janganlah sombing, kaukira di dunia
ini hanya kau sendiri yang terpandai" Sebenarnya orang macam kau ini harus
dilenyapkan dari muka bumi, tapi mengingat usiamu yang msih sangat muda, biarlah
kali ini kuampunkan kau! Tapi kau perlu diberi hajaran sedikit untuk kau ingat!"
kata-kata ini diucapkan diantara kilatan dan loncatan menghindari serangan
pedang. Tiba-tiba Bu Beng memasang dadanya dan tidak berkelit ketika Sim Tek Hin menusuk
dadanya. Sim Tek Hin menjadi girang sekali dan kerahkan seluruh tenganya,
maksudnya hendak menusuk tembus dada lawan yang dibenci ini. tapi tiba-tiba Bu
Beng miringkan tubuh dan tangan kirinya bergerak cepat. Dengan tiga jari tangan
ia menjepit pedang dan tangan kanannya bergerak kearah pundak kanan Sim Tek Hin.
Terdengar suara "krek" dan pemuda she Sim itu tersungkur. Tulang pundaknya patah
dan pedangnyapun patah menjadi dua. Suara tadi ternyata adalah suara patahnya
tulang dan pedang dengan berbareng.
Orang-orang bersorak riuh. Si Garuda Terbang berdiri terheran-heran sambil
mulutnya mengeluarkan kata-kata, "Hebat! Ajaib!".
Lim San meloncat ke atass panggung dan menyatakan terima kasihnya. Ia
memerintahkan anaknya Lim Seng, untuk menolong Sim Tek Hin. Kemudian kembali ia
menjuru kepada Bu Beng menyatakan terima kasihnya. Bu Beng balas menjuru dan
berkata, "Loenghiong, tak perlu kiranya segala upacara ini. siauwte hanya ingin
menghabiskan pertempuran tak berarti ini. menurut pandangan siauwte yang sempit,
mantu yang loenghiong cari-cari itu sudah ada, ialah tak lain saudara Thio Bun
yang tadi dijatuhkan oleh orang she Sim itu. Siauwte telah merawatnya dan kini
ia berada di hotel Peng An. Ilmu silatnya tinggi dan ia seorang terpelajar,
sopan santun dan berbudi. Maka, jika kiranya tidak ada keberatan dari pihak
loenghiong siauwte pujikan saudara Thio Bun itu untuk dijodohkan kepada Lim
siocia. Namun selanjutnya terserah, siauwte tak dapat lama di sini. Perkenankan
siauwte mengundurkan diri."
"Tunggu dulu, anak muda. Sebenarnya siapakah namamu?" Tanya Lim San.
"Siauwte tak bernama. Ini bukan kata-kata bohong, benar-benar siuawte tak
bernama, maka orang hanya menyebut siauwte Bu Beng Kiam hiap."
Lim San terheran-heran dan ketika itu digunakan oleh Bu Beng untuk meloncat
melewati kepala para penonton dan lenyap dari pandangan Lim San.
Orang tua itu hanya mengeleng-gelengkan kepala dan menghela napas. Para
locianpwe yang memburu ke situ ketika diceritakan oleh Lim San , semua
menyatakan keherannan mereka dan menyayangkan mengapa anak muda luar biasa itu
tidak dapat menjumpai mereka untuk bicara.
"Sepanjang penglihatanku hanya Kim Kong Tianglo saja yang setinggi itu
kepandaiannya," berkata Hwat Lai ahli silat cabang Siauw lim itu.
"Tapi gerakannya ketika menjepit pedang dengan tiga jarinya tadi adalah gerakan
ilmu silat Hoa san pai," kata Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung.
"Memang aneh, benar-benar aneh." Si Garuda Terbang berkata, "Dulu suhu pernah
berkata bahwa ilmu silat Kun sian ciang hoat adalah ilmu silat paling lihai di
jaman ini. gerakan anak muda tadi hampir menyerupai ilmu itu yang pernah
kulihat. Tapi kelitan-kelitannya sambil terhuyung-huyung tada ada miripnya
dengan gerakan dari Kim liong pai, yaitu ilmu silat Ular Merayap diantara
Rumput. Sungguh aneh. Dan namanya tidak ada pula. Ah, tidak sangka kita yang
sudah berkelana puluhan tahun di kalangan kang ouw baru sekarang menjumpai Bu
Beng Kiam hiap yang berilmu setinggi itu. Sayang ... sayang ia segera pergi."
Demikian lah, hampir semua tamu dan penonton sehari itu dan sampai berhari-hari
berikutnya membicarakan halnya Bu Beng yang aneh itu.
Kira-kira lima li di luar kota Sauwciu ada sebuah bukit kecil yang jarang
didatangi orang karena tempat itu
merupakan hutan belukar dengan pohon-pohon liar dan banyak terdapat rawa-rawa
yang berbahaya. Malam hari itu keadaan di bukit itu sunyi senyap dan gelap gulita. Tpai pada
kira-kira jam sepuluh malam, tampaklah bulan tua yang tinggal tiga perempat
sehingga keadaan di hutan yang tadinya hitam itu kini berubah menjadi remeng-
remeng menyeramkan. Pohon-pohon besar tampak bagaikan raksasa-raksasa siluman
berdiri bertolak pinggang dengan kepala yang besar. Suara burung-burung malam
makin menmbah seramnya hutan itu. Keadaan yang remeng-remang itu diramaikan oleh
bunyi suara jangkrik dan belalang yang mendesir-desir saling sahut tiada
hentinya. Tiba-tiba dari tengah-tengah hutan yang berada di puncak bukit, terdengar suara
tiupan suling. Suara suling itu melengking tinggi dan tergetar-getar seakan-akan
membawa getaran kalbu yang sedih dari peniupnya. Menyedihkan, menyayat hati,
tapi suara itu indah sekali menggema di seluruh permukaan bukit.
Ternyata yang meniup suling itu adalah seorang pemuda yang sedang duduk diatas
akar kayu pohon siong tua. Di dekatnya berdiri sebuah pondok kecil terbuat dari
pada bamboo dan beratap daun ilalang. Pemuda itu sedang asyik benar dengan
permainan sulingnya hingga dunia ini baginya hanya penuh dengan suara sulingnya
yang membawa semangatnya seakan-akan melayang-layang tak tentu arah tujuan.
Kalau saja disitu ada orang lain dan agak lebih terang, orang itu pasti akan
melihat air mata mengalir turun perlahan-lahan dari kedua mata pemuda itu dan
membasahi kedua pipinya. Tiupan suling makin endah dan akhirnya berhenti, berganti oleh
suara belalang yang seakan-akan baru timbul setelah tenggelam dalam kenikmatan
ayunan suara suling itu. Bu Beng pemuda itu, menaruh sulingnya diatas tanah lalu menggunakan tangannya
memeluk lutut. Kepalanya ditundukkan dan mukanya disembunyikan diantara kedua
lututnya. Hatinya perih dan berkali-kali ia menghela napas. Teringat olehnya
semua keadaannya sejak ia dapat mengingat sampai saat itu. Hidup penuh derita
dan tekanan batin yang berat karena kesedihannya.
Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, ketika ia berangkali baru berusia lima atau
enam tahun, ia telah dapatkan diri sendiri lari ketakutan keluar dari kampong
yang terbakar musnah. Entah mengapa kampong dan rumahnya terbakar. Ia tak tahu.
Yang ia masih ingat hanya bahwa ayah ibunya rebah mandi darah dan rumahnya
menyala-nyala dimakan api. Ia tidak tahu apa-apa, hanya merasa takut sekali,
lalu lari keluar dari kampong yang merupakan neraka itu! Hampir patah kakinya
karena terus lari semalam penuh. Akhirnya ia jatuh pingsan di sebuah hutan.
Seorang kampong menemukannya dan semenjak itu ia bekerja di kampong menjadi
penggembala ternak. Tapi induk semangnya, seorang kaya raya di kampong itu
sangat kejam dan galak. Hampir tiap hari ia menerima makian dan pukulan. Namun
ditahan-tahannya juga hingga setahun lebih ia bekerja kepada hartawan pelit itu
hanya untuk dapat mengisi perut setiap hari.
Pada suatu hari ternaknya lenyap dua ekor. Entah dimakan binatang buas, entah
dicuri orang. Induk semangnya marah dan ia dipukul setengah mati lalu
disuruh pergi mencari dengan ancaman kalau tidak ketemu ia akan dibunuh. Dengan
putus harapan dan takut bercampur sedih ia pergi mencari-cari, tapi sia-sia.
Karena terus menerus berjalan semalam penuh dan perutnya belum diisi semenjak
pagi, ia merasa amat lapar dan lemah. Ketika sampai di tepi sebuah sungai, ia
jatuh terduduk lalu menangis sedih. Dari mulutnya yang kecil menyebut-nyebut
ayah ibunya. Kemudian kaarena bingungnya ia menjadi nekat dan loncat ke dalam
sungai. Ia tidak ingat apa-apa, hanya ketika membuka mata ia dapatkan dirinya berada
dalam sebuah kamar tanah dan berbaring diatas tempat tidur yangbersih. Ternyata
seorang tua berjubah putih telah menolongnya.
"Kau sudah sadar, anak?" kata orang tua itu dengan suara manis, "Nah, ini
makanlah." Karena lemah ia tak dapat berkata-kata, hanya makan saja makanan itu
dengan lahapnya. Setelah kenyang ia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil
menangis. "Kasihan kau, anak," orang tua itu membangunkannya, "Siapa namamu nak ?" ia
hendak menjawab tapi tahu-tahu ia merasa terkejut sekali karena entah bagaimana
ia tidak ingat lagi namanya.
"Namaku .. namaku ..... ah, aku tak ingat lagi ..... !" ia menangis lagi.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa anak itu karena sedih, bingung
dan menderita lalu terganggu ingatannya hingga lupa akan nama sendiri.
"Tidak apa, kalau kau tak bernama, biarlah kuberi nama kau Bu Beng (tanpa nama).
Dan mulai sekarang kau menjadi muridku, maukah?"
Bu Beng segera menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut "Suhu". Demikianlah
hampir dua puluh tahun ia menjadi murid Hun San Tojin, bersama-sama dengan
suhengnya yang sudah tua, yaitu Kim Kong Tianglo. Mereka bertiga, suhu dan dua
murid, hidup terasing diatas Gunung Liong san. Hun San Tojin adalah sahabat baik
ketua Hoa san pai yang sering berkunjung kesitu, karena Hoa san tidak jauh
letaknya dari Liong san. Dan karena melihat bakat Bu Beng yang baik, ketua Hoa
san pai itu berkenan memberi pelajaran beberapa pukulan yang paling lihai dari
ilmu silatnya. Hun San Tojin sebenarnya adalah ahli waris satu-satunya dari Kim
liong pai maka Bu Beng menerima peajaran campuran, hingga ia mahir sekali dalam
menggabung-gabungkan silat berbagai cabang. Suhunya memang ahli dalam cara
menggabung ini dan pelajaran ini sebenarnya tiada batasnya, karena daya pikiran
dan daya cipta seseorang itu tiada batasnya. Maka setelah belajar teori dan
praktek bertahun-tahun, Bu Beng sudah pandai merangkai gerakan-gerakan dari
semua cabangsilat yang dikenalnya. Bahkan sambil bersilat, ia dapat
menggabungkan gerakan-gerakan yang sesuai. Dalam hal kecepatan menggabungkan
ilmu silat ini, bahkan suhengnya sendiri Kim Kong Tianglo tidak sepandai ia.
Hidup diatas gunung dengan suhu dan suhengnya itu merupakan bagian hidup yang
paling bahagia baginya. Dua orang itu merupakan orang-orang yang tercinta dan
pengganti orang tuanya. Tapi pada suatu hari gurunya meninggal dunia dengan
meninggalkan pesan agar ia suka berkelana memenuhi kewajiban hidup sebagai
seorang hohan. Terpaksa ia berpisah dengan suhengnya dengan hati sedih.
Semenjak itu, ia hidup seorang diri, terlunta-lunta di dalam dunia yang penuh
kepalsuan ini. Demikianlah Bu Beng malam hari itu termenung-menung setelah meniup sulingnya.
Kepandaian meniup suling ini dipelajarinya dari suhengnya.
Memang semenjak turun gunung, kerapkali ia bersedih jika terkenang akan
nasibnya. Tak berayah tak beribu, dan tidak tahu siapa ayah ibunya dan bagaimana
riwayat keluarganya itu. Jangankan orang tua, bahkan namanya iapun tidak punya!
Jika teringat akan semua itu, ditambah kenangan kepada gurunya yang ercinta yang
kini telah wafat itu, tak terasa pula air matanya mengalir turun.
Begitu hebat ia terbenam dalam gelombang kesedihan sehingga ia tidak tahu bahwa
sejak tadi ada sepasang mata yang melihatnya dari belakang gerombolan pohon
kecil. Orang yang mengintainya itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang
akhirnya keluar juga dari tempat sembunyinya.
Suara daun kering erinjak cukup mmbuat Bu Beng tersadar kembali dari lamunannya.
Secepat kilat ia meloncat bangun dan memutar tubuhnya. Orang itu menjuru dalam


Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di hadapannya. "Maafkan aku, Bu Beng taihiap!" katanya cepat-cepat karena takut kalau-kalau
pendekar muda itu turun tangan. "Aku hanya seorang pesuruh. Lim San loenghiong
menyuruh aku menjumpai taihiap dan menyampaikan undangannya untuk merundingkan
sesuatu yang penting."
Bu Beng memandang dengan curiga. "Bagaimana kau bisa dapatkan tempat ini?"
Orang itu kembali menjuru. "Biarlah aku bicara terus terang, taihiap. Di kota
Sauwciu aku dikenal dengan sebutan Kim Kie si Kaki Tangan Seribu. Keadaan di
seluruh kota aku tahu dan paham karena semua orang boleh dikata menjadi
sahabatku. Maka Lim San loenghiong minta bantuanku untuk mencarimu, taihiap.
Semenjak kau meninggalkan panggung, aku dan kawan-kawanku telah tersebar dan
mengikuti jejakmu. Baiknya kau tidak lari cepat. Hanya setelah sampai di kaki
bukit ini kau lenyap dari pandangan, karena begitu berkelebat aku tidak tampak
lagi. Dugaanku tak lain kau pasti berada di atas bukit ini. maka aku pergi
mencarimu dan betul kau berada disini, taihiap."
Diam-diam Bu Beng kagum juga akan kecerdikan orang itu. "Ada keperluan apakah
Lim San Loenghiong mengundangdaku?" tanyanya.
Kim Kie mengangkat pundak lalu mengerak-gerakkan alisnya. "sebetulnya Lim
loenghiong tidak menerangkan sesuatu padaku, tapi sukar bagi orang untuk menutup
rahasia terhadap aku. Kalau tidak salah pendenganran dan penglihatan kawan-
kawanku, Lim loenghiong kini sedang menghadapi urusan besar. Sim Tek Hin si Ular
Gunung Muda yang kau kalahkan itu, setelah pulang lalu mengirim berita kepada
Lim loenghiong, menantangadu silat dengan mantunya atau lebih tepat dengan Thio
Bun kongcu bakal mantunya itu, karena ia masih penasaran, katanya. Nah,
hal ini tentu saja sangat menyusahkan hati orang tua itu karena perkumpulan Ular
Gunung itu telah terkenal keganasannya. Maka ia eringat kepadamu taihiap, dan
mengharapkan petunjuk dan bantuanmu."
"Hm, sungguh orang she Sim itu tak tahu diri. Baik, baik. Pulanglah dulu. tapi
tunggu, bilakah orang she Sim itu akan datang membikin rebut?"
"Si Ular Gunung memberi tempo tiga hari, jika dalam waktu itu Thio Bun kongcu
tidak datang ke San coa pang, maka ia dan pengikut-pengikutnya akan datang
meluruk ke Sauwciu. Jadi dua hari lagi waktunya."
"Hm, kalau begitu, beritahu Lim San lo enghiong agar Thio Bun kongcu jangan
pergi ke sarang musuh. Biarkan musuh datang, aku pasti akan membantu sedapatku."
Kim Kie menjuru berulang-ulang. "Terima kasih Bu Beng Taihiap." Kemudian ia
pergi meninggalkan pemuda itu berdiri melamun seorang diri.
Sepeninggal Kim Kie, Bu Beng kembali duduk melamun. Telah setahun lebih ia pergi
merantau. Selama ini, banyak sudah ia membasmi orang-orang jahat. Hidupnya
selalu dihadapi kenyataan-kenyataan bahwa di dunia ini lebih banyak orang jahat
darpada orang baik. Yang baik-baik kebanyakan orang miskin dan lemah. Yang kuat dan kaya sebagian
besar jahat-jahat. Heran ia memikirkan hal ini. teringatlah ia akan kata-kata
mendiang gurunya. "Hati-hatilah kau, muridku. Musuh yang bagaimana lihai dan jahatpun masih tak
berarti jika dibandingkan dengan musuh tersembunyi yang berada dalam hatimu
sendiri. Dan musuh itu paling berbahaya jika orang berada dalam puncak kekuasaan
atau kekayaannya. Kekuasaan dan kekayaan membuat musuh dalam dirimu itu bangun
dan menjatuhkan. Biasanya kalau orang dalam keadaan sengsara dan tertindas, ia
akan ingat kepada Tuhan dan berlaku baik sebagaimana layaknya seorang manusia
karena musuh dalam dirinya itu tak berdaya dan tinggal sembunyi. Tapi kalau
orang itu sudah mempunyai kekuasaan dan menjadi kaya, maka bangunlah musuh tak
terlihat itu dan membuat ia lupa asegala, lalu menjadi jahat."
Mengingat nasehat dan pesan gurunya itu, agak terbukalah pikiran Bu Beng dan
terhiburlah kesediahannya. Ia merasa lebih beruntung daripada orang-orang yang
telah disesatkan oleh musuh jahat yang bersembunyi di dalam hati itu. Kemudian
ia memasuki gubuknya dan pergi tidur.
Dua hari kemudian, di rumah Lim San orang sibuk membuat persiapan-persiapan
menghadapi datangnya Sim Tek Hind an kawan-kawannya. Biarpun Kim Kie sudah
membawa warta menggembirakan bahwa Bu Beng Kiamhiap akan datang membantu, namun
hati Lim San masih berdebar-debar cemas. Tapi sikap bakal mantunya, Thio Bun
yang tampak tenang-tenang saja itu membuat ia girang. Sungguh benar kata-kata Bu
Beng Kiamhiap bahwa pemuda itu cukup berharga untuk menjadi mantu suami puteri
tunggalnya. Kira-kira jam delapan pagi Sim Tek Hin datang sambil pantang dada. Ia diikuti
oleh lima orang, ayahnya sendiri dan empat orang jagoan kawan ayahnya.
Lim San menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan diam-diam hatinya tercekat
melihat empat orang tua yang ikut datang itu. Tiga diantara mereka ia kenal
karena mereka itu bukan lain ialah Hut Bong Hwesio, ketua kelenteng Lin hoan si,
kedua adalah Pok Thian Beng jagoan dari timur yang dijuluki orang si Tangan
Besi, dan yang ketiga adalah Lui Im ketua dari Cung lim pang. Orang keempat yang
belum dikenalnya adalah seorang kurus seperti cecak kering dan pakaiannya mewah
sekali. Tangan kirinya memegang sebatang huncwe dan sebentar-sebentar ia sedot
pipa tembakaunya itu sambil kebul-kebulkan asap dengan sikap angkuh sekali.
Setelah diperkenalkan, ternyata orang keempat itu adalah Song Leng Ho yang
dijuluki orang di Huncwe maut.
Setelah mempersilakan para tamunya duduk, Lim San menjuru dengan hormat dan
berkata. "Sungguh satu kehormatan yang besar sekali bahwa hari ini siauwte
menerima kunjungan para locianpwe yang mulia. Tidak tahu akan memberi petunjuk
apakah?" Tiba-tiba Sim Tek Hin berdiri. "Janganlah lopek berpura-pura lagi. Kurasa lopek
sudah tahu akan maksud kedatanganku."
Sim Boan Lip pangcu berdiri dan balas menjuru sambil tersenyum, "Lim twako
diantara kita tak perlu menggunakan banyak peradatan lagi. Kami berlima orang-
orang tua tak berguna ini tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengantar
puteraku ini dan sekalian mengajukan lamaran kepada puterimu. Dengan memandang
mukaku dan mngingat persahabatan kita, maka kukira sudah sepatutnya kalau kita
menjadi besan, bukan ?"
Lim San tersenyum pahit. "Saudar Sim, aturan ini tak mungkin dilaksanakan.
Bukannya aku yang endah tidak menghargai penghormatan yang kauberikan ini,
bahkan aku merasa sangat berterima kasih atas perhatian Sim hiante kepada anakku
yang bodoh. Tapi pa hendak dikata, anakku sekarang telah bertunangan dengan
orang lain." "Tidak menurut aturan!" cela Sim Tek Hin. "Bukankah lopek telah menerapkan
sendiri bahwa calon mantu harus pemenang sayembara" Nah biarkan aku melawan dan
mencoba kepandaian Thio Bun itu, lihat siapa yang lebih unggul."
"Hal ini menyesal sekali tak mungkin diadakan," bantah Lim San.
"Lim twako, kau sejak dulu ingin mempunyai mantu seorang yang lumayan ilmu
silatnya. Masakan kini ingin mengambil mantu seorang yang terhadap anakku saja
tidak berani melawan?"
"Biarlah siauwte melawannya!" tiba-tiba Thio Bun yang sejak tadi diam saja di
sudut membuka suara dan berdiri.
"Tidak!" bantah Lim San yang tahu bahwa orang she Thio calon mantunya itu bukan
tandingan Sim Tek Hin. "Kuakui bahwa calon mantuku itu biarpun semangatnya
besar, namun kepandaiannya belum cukup untuk melawan Sim hiante. Biarlah
kucarikan wakilnya."
"Siapa wakilnya " si Bu Beng siauwcut?" tiba-tiba si Huncwe Maut Song Leng Ho
berdiri dan mengepulkan asap dari mulut dan hidungnya.
Lim San menengok kesana kemari, tapi ternyata penolong yang ditunggu-tunggu itu
belum tampak mata hidungnya. Terpaksa ia berkata, "Aku sendirilah wakilnya,
untuk menolong anak dan calon mantu."
"Ho ho! Bagus kalau begitu. Akupun akan meniru contohmu, orang she Lim biarlah
aku mewakili anakku." Kata Sim Boan Lip sambil berdiri menantang.
Lim San merasa tidak ada jalan keluar lagi, maka ia segera berkata. "Terserah
padamu, marilah kita pergi ke ruang silat."
Beramai-ramai mereka menuju ke ruang main silat yang berada di samping rumah.
Tiba-tiba tampak Lim Giok Lan muncul dengan pakaian ringkas membawa pedang.
"Ayah, biarkan anakmu bertempur mati-matian melawan pengacau-pengacau ini!"
katanya penuh semangat. Ayahnya kagum melihat keberanian puterinya, tapi ia
memberi tanda supaya anaknya mendur. Juga Lim Seng yang kelihatan membawa-bawa
pedang ia perintahkan berdiri di pinggiran saja.
Lim San meloncat ke tengah-tegah ruangan itu dan berkata, "Silakan memberi
petunjuk kepadaku. Sim enghiong."
Sim Boan Lip segera melepas baju luarnya dan meloncat menghadapi lawannya.
"Mari, marilah, kita coba-coba tua sama tua." Dan ia membuka bhesinya dari ilmu
silat San coa ciang yang lihai. Pada saat itu entah dari mana datangnya, tiba-
tiba tampak berkelebat bayangan orang dan
Bu Beng Kiamhiap tahu-tahu berdiri di antara kedua jago tua itu sambil tersenyum
tenang. "Lim San loenghiong, siauwte masih belum tinggalkan kota ini dan sampai
sekarangpun siauwte masih menjadi wakilmu dalam permainan yang menggembirakan
ini. biarlah siauwte menambah pengertian dari para loenghiong ini.
diam-diam hati Lim San yang tadinya tegangdan cemas menjadi gembira kembali
karena ia percaya akan kepandaian anak muda itu yang sesungguhnya masih jauh
diatas kepandaiannya sendiri. Maka sambil menjuru berterima kasih ia mundur ke
pinggiran. "Inilah bangsat itu, ayah!" teriak Sim Tek Hin dari pinggir.
"Oo, kaukah biang keladinya?" Bu Beng menyindir sambil memandang pemuda she Sim
itu dengan tajam. "Dan kaukah Bu Beng Kiamhiap" Bagus, bagus! Aku sudah mendengar kehebatanmu dari
puteraku. Memang kami datang ini sebenarnya ingin sekali merasakan kelihaianmu!"
"Loenghiong. Kita belum pernah bertemu muka, juga belum pernah bentrok dalam hal
apa saja. Tapi mengapa loenghiong jauh-jauh datang mencari siauwte yang muda
ini?" Tanya Bu Beng.
"Jangan berlagak bodoh! Bukanlah kau telah menghina anakku?"
"Sama sekali tidak, loenghiong. Sudah lazim jika di dalam pertandingan di
panggung luitai kalau tidak menang tentu kalah."
Sim Boan Lip salah sangka. Ia kira anak muda itu takut padanya, maka ia menjadi
besar hati. "Orang muda, jangan kwawatir. Aku hanya ingin lihat dari siapakah kau memperoleh
ilmu silat dengan melihat gerakanmu sejurus dua jurus saja," katanya.
"Kalau begitu selakan loenghiong menyaksikannya," kata Bu Beng yang lalu
memasang bhesi dengan berdiri di tumitnya lalu menggeser tubuhnya maju, tapi
anhnya kedua lengannya tertempel di pinggang rapat-rapat, sama sekali tidak
memukul seperti lakunya orang bersilat. Kemudian ia menggeser ke kiri dan kedua
lengannya dibuka seakan-akan terbang. Beberapa kali ia bergerak lalu kembali
berdiri lempeng ditempat semula sambil tersenyum.
"Nah, loenghiong. Siauwte telah bergerak empat jurus. Tentu sekarang loenghiong
telah tahu ilmu silat apakah yang pernah siauwte pelajari," katanya.
Wajah Sim Boan Lip menjadi merah. Ia merasa dipermainkan orang, karena seumur
hidupnya belum pernah ia lihat gerakan tipu selat seperti itu. Bahkan empat
orang kawannya sama sekali tidak tahu ilmu silat apakah yang tadi diperlihatkan
oleh anak muda itu. Dengan marah ditahan Sim Boan Lip berkata, "Bagus! Tapi dapatkah ilmu silat
macam ini dapat bertempur?"
"Tentu dapat, loenghiong."
"Nah, coba tangkis seranganku dengan ilmu silatmu itu," kata orang tua itu
sambil maju menyerang dengan ilmu gerakan Ular Gunung Menyambar, semacam ilmu
dari San coa ciang yang lihai. Tangan kanannya mengarah ulu hati lawan tapi
sampai di tengah jalan tangan kanan itu ditarik kembali lalu disusul oleh tangan
kiri memukul iga! Bu Beng berseru "Aya" sambil dengan gerakan lincah tapi lucu berkelit
menghindari pukulan itu. "Hebat sekali pukulanmu, Sim loenghiong!" katanya masih
tersenyum. Sim pangcu menjadi marah sekali. Kembali ia menyerang dengan sengit sampai empat
jurus, tapi semuanya dapat dikelit oleh Bu Beng. "Balaslah menyerang!" teriaknya
gemas. "Sabarlah, loenghiong. Siauwte terdesak oleh seranganmu. Baiklah sekarang
siauwte menyerang!" kata-kata ini ditutup oleh serangan tangan kiri kearah
leher, bukan memukul tapi membabat dengan tangan miring.
Belum juga ditangkis lawan, tangan itu mengubah gerakan, kini menyodok kearah
perut, dan sebelum ditangkis lalu berubah pula terkepal memukul dada! Aneh dan
cepat gerakan ini, tapi biarpun kalah dulu, Sim pangcu ingin mencoba tenaga
orang, maka ia kerahkan tenaga di lengan kanan dan menangkis pukulan itu "Plak"
dan Sim pangcu merasa tangan kanannya tergetar keras. Sedangkan lengan pemuda
itu tidak apa-apa dan terus menghantam dadanya perlahan. Untung pemuda itu hanya
menepuk saja, tapi cukup membuat ia merasa dadanya pedas sekali.
Sim pangcu terkejut dan meloncat mundur dua tindak. "Ilmu silatmu baik sekali,
anak muda. Marilah kita coba-coba main senjata," tantangnya sambil menghunus
pedang. Sebetulnya Bu Beng merasa kuat untuk menghadapi lawan ini dengan bertangan
kosong, tapi ia tidak mau menghina lawannya yang tua dan ternama itu, maka iapun
ulurkan tangan di belakang leher, dan tahu-tahu sebilah pedang tipis sekali
berada dalam tangannya! Pedang itu pendek dan tipis hingga ketika disembunyikan
di punggung tidak kelihatan dari luar.
"Silakan loenghiong," katanya dengan masih tersenyum.
Melihat pedang lawan yang pendek itu, hati Sim Pangcu menjadi besar. Masakan
ilmu pedangnya yang terkenal itu akan kalah oleh seorang pemuda berpedang
pendek. Ia segera menyerang dengan hebat sekali, mengeluarkan tipu-tipu paling
berbahaya dari ilmu pedang San coa kiam. Pedangnya berputar cepat menutupi
seluruh tubuhnya sampai menimbulkan angin dingin bersiutan dan mata pedang
merupakan bundaran putih berkeredepan. Tapi Bu Beng berdiri saja tidak bergerak,
seakan-akan menonton pertunjukan pedang yang hebat itu. Hanya kalau sewaktu-
waktu sinar pedang lawan menyambar ke arahnya, ia gerakkan pedangnya sekali
untuk menangkis!. Tapi, biarpun Bu Beng hanya menangkis dengan gerakan sembarangan saja, Sim
pangcu kaget sekali, karena tiap kali pedangnya terbentur pedang pendek lawan,
pedang itu terpental dan mengeluarkan bunyi nyaring serta titik-titik bunga api!
Melihat gerakan Bu Beng yang seakan-akan hanya main-main saja dan sedikitpun
tidak pandang mata terhadap ilmu pedangnya, Sim Boan Lip marah sekali.
Gerakan-gerakannya dirobah menjadi rangsekan hebat, tiap gerakan merupakan
serangan-serangan maut. Kala tadi ia berlaku hati-hati dan tiap kali menyerang
selalu disertai gerakan menjaga diri karena tahu akan kelihaian lawan, kini aia
nekad dan pusatkan gerakannya kepada serangan belaka. Bu Beng juga tak dapat
tinggal diam menghadapi serangan-serangan hebat dan berbahaya itu. Ia mulai
menggerakkan kaki dan tubuhnya berkelebat kesana kemari untuk menangkis dan
menghindarkan pedang lawan.
Pada suatu saat, setelah menyerang lebih dari tiga puluh jurus, Sim pangcu
gerakan tipu Ular Luka Mengamuk. Ia menusukkan pedangnya kea rah tenggorokan Bu
Beng dan ketika Bu Beng berkelit, ujung pedangnya mengikuti gerakan pemuda itu
dan terus mengejar dengan sabetan-sabetan panjang dari kiri ke kanan bolak balik
dan dari atas menggeser makin ke bawah. Pendeknya, serangan nekad yang dilakukan
beruntun dengan sabetan-sabetan mebabi buta! Bagi orang lain jika menghadapi
serangan ini tentu akan menjadi repot dan gugup, karena pedang itu seakan-akan
menjadi berpuluh-puluh yang menyerang dengan keluarkan suara bersiutan.
Tapi Bu Beng yang berkepandaian tinggi dapat berlaku tenang. Untuk menghadapi
serangan ini, jalan satu-satunya baginya ialah gunakan kecepatan yang melebihi
kecepatan lawan. Maka tiba-tiba pedang pendeknya berputar cepat sekali hingga
tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang. Sim pangcukehilangan tubuh lawannya
karena yang diserangnya seakan-akan sembunyi di balik ratusan pedang hingga tiap
tusukan pedangnya seakan-akan ada tiga pedang pendek lawan yang menangkisnya. Ia
menjadi pening dan tiba-tiba saja lengannya yang memegang pedang kena tertendang
oleh Bu Beng dan pedangnya terlempar
keatas, kemudian ketika turun disampok oleh pedang pendek Bu Beng. Senjata itu
kena tersampok gagangnya lalu berputar dan mencelat ke atas lagi. Demikian keras
sampokan itu hingga pedang Sim pangcu melayang cepat dan menancap di kayu usuk
yang melinang dibawah genteng.
Sim pangcu menjadi kaget sekali. Sedikitpun ia tak mengerti betapa cara Bu Beng
menggunakan kakinya untuk menendang. Pedangnya tadi berputar cepat sekali, namun
kaki pemuda itu dapat mendahului putaran pedang untuk menendang pergelangan
lengannya. Ia loncat mundur dengan wajah pucat.
Bu Beng tahan gerakannya dan berdiri mengangkat kedua tangan dengan sikap
merendah. "Loenghiong telah mengalah terhadapku," katanya. Sebelum Sim pangcu
dapat membuka mulut, tiba tiba Song Leng Ho si Huncwe Maut telah loncat dengan
gerakan ringan sekali kehadapan Bu Beng. Ia isap huncwenya dan mengepulkan asap
yang hitam kebiru-biruan kearah muka Bu Beng. Pemuda itu mencium bau yang harum
dan amis, maka segera ia tutup jalan pernapasannya karena ia maklum bahwa asap
itu bukan lah asap sembarangan, tapi asap yang mengandung racun melemahkan!.
"Ha ha, ha !" si Huncwe Maut bergelak tertawa, "Bu Beng Kiamhiap yang gagah
perkasa ternyata takut asap huncweku."
Bu Beng tersenyum manis, tapi sinar matanya tajam menatap orang jumawa itu.


Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pernah kudengar tentang huncwe maut itu. Sungguh beruntung hari ini aku yang
muda dapat berjumpa dan merasai kelihaiannya huncwe itu."
Kata-kata ini biarpun halus tapi mengandung tantangan. Song Leng Ho tiba-tiba
menghentikan tawanya dan bekata kasar. "Anak muda, pantas saja kau berani kurang
ajar. Ternyata kau mempunyai kepandaian berarti juga. Tapi, jangan kau kira
bahwa kau sudah berdiri di puncak tertinggi hingga tiada orang yang lebih tinggi
darimu. Sekarang, berhadapan dengan aku si orang tua pemadatan kau harus berani
berlaku sembarangan. Hayo katakana siapa gurumu agar aku dapat memandang muka
gurumu dan tidak menurunkan tangan jahat kepadamu."
"Song loenghiong. Bukanlah aku yang muda berlaku kurang ajar kepada kau orang
tua. Tapi sebaliknya, kaulah orang tua yang tidak mengalah terhadap yang muda.
Telah berkali-kali kukatakan bahwa aku adalah seorang muda biasa, bahkan nama
saja aku tak punya. Kini kau tanyakan guruku, siapakah guruku itu" Kalau toh ada
guruku, nama beliau itu takkan kuobral dan kugunakan untuk mencari nama."
"Hm, hm!" Song Leng HO mengeluarkan suara dari hidung sambil keluarkan asap
huncwe dari hidungnya merupakan dua gulungan bagaikan ular melingkar-lingkar ke
atas. "Aku selamanya pandang muka orang-orang kang ouw. Tapi karena disini
terdapat banyak hohan menjadi saksi, biarlah aku yang tua memberi ajar adapt
padamu. Hendaknya para lo enghiong menjadi saksi agar kelak guru anak muda ini
tidak menyalahkan padaku, karena dia sendirilah yang tidak mau memberitahukan
nama gurunya. Nah, Bu Beng siauwcut bersiaplah, lohan ingin sekali coba
kepandaianmu." "Silakan, aku ingin sekali merasai panasnya huncwemu." Jawab Bu Beng dengan
berani. Song Leng Ho si Huncwe Maut ini sebenarnya adalah seorang ahli cabang Bu tong
san. Cabang Bu tong terkenal dengan ilmu pedangnya yang lihai, tapi orang she
Song ini memilih senjata berupa huncwe itu. Walaupun huncwe itu kecil kurus
hingga cocok sekali dengan tubuhnya yang kurus kering, namun untuk puluhan tahun
lamanya senjata itu telah merobohkan entah berapa banyak jagoan di kalangan kang
ouw dan jarang sekali menemukan tandingannya. Huncwe yang terbuat dari logam
hitam kehijau-hijauan dan menjadi mengkilap karena panas api dan sari tembakau
itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah.
Selain itu, tembakau yang dinyalakan di huncwe itu bukanlah tembakau
sembarangan, tapi tembakau istimewa buatannya sendiri dari daun-daun disertai
ramuan obat yang asapnya merupakan senjata luar biasa, karena asap yang hitam
kehijau-hijauan itu ternyata adalah berbahaya sekali, mengeluarkan bau harum dan
amis dan kalau tersedot lawan dapat melemahkan semangat dan tenaga! Namun orang
she Song itu sendiri tidak terganggu oleh asap beracun itu, karena ia telah
lebih dulu makan obat penawarnya.
Setelah mendengar jawaban Bu Beng, si Huncwe Maut segera pasang kuda-kuda, kedua
kaki berdiri rapat, ujung kaki kiri berjongkok dan menindih ujung kaki kanan,
tubuhnya agak membongkok, tangan kiri dengan jari-jari tegang ditaruh miring di
depan dada, sedangkan tangan kanan memegang kepala huncwe yang masih tertancap
di mulut. Sementara itu, asap masih mengepul-ngepul dari ujung mulut dan lubang
hidungnya. Sikap dan gerakannya aksi sekali hingga membuat mereka yang
melihatnya menjadi kagum. Agaknya hal ini diketahui pula olehnya, karena ia
menggerak-gerakkan kedua biji matanya yang kecil untuk melirik kesana kemari dan
memandang ke arah Bu Beng dengan mulut mengandung ejekan.
Bu Beng mendongkol juaga melihat lagak lawan, maka ia tidak sungkan sungkan
lagi. Setelah berkata, "Maafkan aku bergerak terlebih dahulu," ia memajukan kaki
menyerang dengan tangan kiri, sedangkan pedang pendek di tangan kanannya masih
disembunyikan di belakang lengan.
Si Huncwe Maut mencabut huncwenya dan dengan berseru. "Haya!" ia berkelit ke
samping sambil gerakkan kaki. Gerakannya memang lemas sekali, tubuhnya
melengkok-lengkok bagaikan tubuh seorang perempuan. Bu BEng maklum bahwa si
kurus itu sengaja berlagak atau sengaja hendak memanaskan hatinya. Tiba-tiba ia
ingat bahwa si Huncwe maut adalah seorang ahli totok, maka kalau ia sampai tak
dapat menahan perasaannya dan menjadi marah karena diejek itu, berbahaya sekali
menghadapi lawan tangguh ini. karena itu, tiba-tiba ia mundur dua langkah an
berdiri biasa dengan tubuh tegak, sedangkan kedua matanya menatap lawan bagaikan
orang yang sedang nonton sesuatu yang lucu.
"Hei, ayo serang, anakku!" lawannya mengejek, tapi Bu Beng tiba-tiba tertawa
geli. "Ah, aku lebih senang menonton seorang badut yang berlagak," jawabnya. "Sungguh
gerakanmu lucu dan menarik. Biarlah kalau sudah main nanti aku ikut memberi hadiah beberapa potong
uang perak." Song Leng Ho marah sekali dan tidak dapat menerima hinaan ini. kulit mukanya
menjadi merah dan ia hentikan gerakan-gerakannya yang lemah gemulai. "Baiklah
kau sendiri yang cari mampus," katanya, lalu ia menyerang maju dengan hebat.
Huncwenya diayun cepat mengarah leher Bu Beng.
Kini Bu Beng lah yang mempermainkannya. Anak muda itu berkelit ke kiri dan
menyampok huncwe itu dengan pedang pendeknya. Ia mendapat kenyataan bahwa
tenaganya masih tidak kalah oleh lawannya, karena dalam bentrokan itu ia dapat
mengukur tenaga lawan. Sebaliknya bentrokan itu membuat Song Leng Ho sadar bahwa
lawannya yang masih muda itu, selain bertenaga kuat, juga memiliki senjata
pusaka, karena tidak sembarangan senjata dapat menahan huncwenya yang terbuat
dari baja hitam. Maka ia tidak berani pandang ringan lawannya dan berkelahi
dengan hai-hati. Tapi setelah bergebrak lima enam jurus tahulah Bu Beng bahwa si kurus ini hanya
lagaknya saja yang hebat. Tentang kepandaian , hanya sedikit lebih tinggi dari
Sim Pangcu, maka ia tidak merasa khawatir dan gunakan kelincahan gerakannya
mempermainkan lawan itu sambil berkelit gesit kesana kemari.
Karena ternyata sekian banyak serangan serangannya hanya mengenai angina, Song
Leng Ho merasa penasaran dan gemas sekali. Tiba-tiba ia menyerang dengan totokan
kearah jalan darah di rusuk kanan Bu Beng dan satu serangan itu dibarengi dengan
tendangan maut kearah tubuh lawan! Dua gerakan dalam serangan maut ini masih ditambah lagi dengan
semburan asap hitam penuh racun kearah muka Bu Beng. Ini sungguh merupakan
serangan hebat dan nekat.
Melihat serangan kejam dan yang semata-mata dilakukan oleh orang yang
menghendaki jiwanya, Bu Beng menjadi marah. Ia berseru keras dan menggunakan
tenaga dalamnya meniup kearah asap yang menyambar mukanya hingga asap itu buyar
dan terbang kembali. Terhadap serangan huncwe dan tendangan Bu Beng berlaku
lebih keras lagi. Ia gunakan pedang pendeknya menyampok dengan sepenuh tenaga
sehingga terdengar suara keras dan huncwe itu terlepas dari tangan si Huncwe
Maut yang merasa tangannya pedas dan panas, terlempar jauh dan jatuh ke atas
lantai mengeluarkan suara berkerontangan, dan Bu Beng miringkan tubuh
menghindarkan tendangan, berbareng majukan tangan kiri menghantam dada lawan,
Song Leng Ho berteriak ngeri dan tubuhnya terpental ke belakang lalu jatuh
berdebukan dengan mata terbalik dan dari mulut mengeluarkan darah!.
Hut Bong Hwesio, Pok Thian Beng dan Lui Im yang sejak tadi melihat jalannya
pertempuran dengan penuh rasa tegang, ketika melihat Song Lng Ho menggunakan
tipu serangan maut tadi telah merasa menyesal dan terkejut sekali, tapi mereka
tak sempat mencegah. Kini melihat betapa si Huncwe Maut itu terluka hebat,
mereka cemas sekali. Bu Beng juga merasa menyesal karena ia telah memberi pukulan demikian hebat.
Segera ia meloncat mendekati tubuh Song Leng Ho yang terbujur di atas tanah.
Ketika ia sedang membungkuk, tiba-tiba dari belakangnya
menyambar angina dingin. Ia tahu bahwa ada orang yang menyerangnya dari
belakang, tapi tanpa menoleh, ia angkat atangan kiri menyampok. Segera tangannya
beradu dengan tangan Hut Bong Hwesio yang sebenarnya salah menyangka ia hendak
mencelakakan Song Leng Ho dan turun tangan menceah. Ketika kedua tangan beradu, Hut Bong
Hwesio terhuyung ke belakang tiga tindak. Hwesio itu meramkan mata dan mengatur
napas, dan mukanya menjadi merah karena malu ketika melihat betapa pemuda itu
menggunakan jari telunjuknya menotok jalan darah hui hing ciat untuk
menyembuhkan luka dalam Song Leng Ho yang terpukul olehnya tadi.
Setelah selesai menolong jiwa SongLeng Ho, Bu Beng berdiri memandang
penyerangnya tadi. Hut Bong Hwesio rangkapkan kedua tangan lalu menghela napas.
"Ah, sungguh tak tersangka pemuda ini telah memiliki tenaga dan kepandaian
sempurna. Pinceng mengaku kalah, harap Bu Beng Taihiap maafkan kesembronoan
pinceng tadi." Kemudian sambil menjuru kepada Sim pangcu, hwesio itu berkata,
"Sim pangcu, pinceng mohon diri, karena pinceng tak dapat membantu. Maafkanlah."
Tanpa menanti jawab, hwesio itu segera tinggalkan tempat itu dengan tindakan
cepat. Lim San yang melihat semua itu, segera maju dan menjuru kepada Sim Pangcu.
"Saudara Sim, aku mohon kau suka habiskan saja pertunjukan-pertunjukan ini.
marilah masuk dan minum arak bersama agar hubungan kita baik kembali seperti
sedia kala. Janganlah hendaknya soal salah paham kecil ini dijadikan dasar
perkelahian yang membahayakan jiwa."
Sim Boan Lip tersenyum lemah. "Kau benar, saudara Lim. Memang seharusnya kami
mengalah karena kau mempunyai pelindung yang demikian gagahnya." Ia berkata
penuh sindiran tajam. "Mengalah?" seru Sim Tek Hin sambil bertindak maju. "Tidak ! biar bagaimana juga
orang tua she Lim harus pegang teguh janjinya. Kalau ayah dan para locianpwe
tidak mau membelaku, sepantasnya aku menuntut balas atas penghinaan yang
dijatuhkan kepada Song locianpwe! Song locianpwe adalah tamu kita, pembela dan
kawan kita, kini setelah ia dihina oleh Bu Beng siauwcut itu, haruskah kalian
tinggal peluk tangan belaka" Apakah ini boleh diartikan bahwa ayah dan jiwi
cianpwe jerih dan takut padanya?" sambil berkata begitu Sim Tek Hin memandang
tajam kepada ayahnya dan kepada Pok Thian Beng si Tangan Besi, lalu mengerling
kepada Lui Im si Golok Setan.
Panas juga hati Pok Thian Beng mendengar sindiran Sim Tek Hin ini. maka dengan
langkah lebar ia menghampiri Bu Beng yang memandang semua itu dengan berdiri
sambil berpeluk tangan. "Anak muda, telah kulihat bahwa kau memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar.
Berilah ketika padaku utnuk mencobanya."
Bu Beng menjuru dengan hormat. "Maaf, loenghiong. Bolehkah saya mengetahui nama
dan gelaran loenghiong yang mulia?"
Melihat sikap dan kesopanan anak muda itu, hati Pok Thian Beng telah muali
menyesal mengapa ia mudah saja dibakar oleh Sim Tek Hin. Tapi karena sudah
terlanjur, ia menjawab juga.
"Aku adalah Pok Thian Beng."
"Ah, jadi loenghiong adalah si Tangan Besi" Sungguh beruntung saya yang bodoh
dapat berjumpa dengan loenghiong yang telah lama kikagumi." Jawab Bu Beng. Tapi
Pok Thian Beng yang jujur tidak jadi sombong bahwa anak muda itu telah mendengar
nama besarnya, bahkan ia khawatir kalau-kalau nama besar itu sebentar lagi akan
hancur oleh anak muda yang agaknya baru saja muncul dalam kalangan kang ouw
hingga namapun tidak punya!"
"Anak muda, kita tak pernah bermusuhan maka marilah kita main-main sebentar,
sekadar belajar kenal," katanya demikian dan Sim Tek Hin yagn mendengar
percakapan saling merendah ini menjadi tidak puas.
"Pok loenghiong. Apakah perlunya kita menonjolkan kepandaian" Saya sudah cukup
percaya akan kelihaianmu dan haruskah perkenalan ini dikotori oleh adu tenaga"
Bantah Bu Beng. "Hm, hm, Bu BEng Kiamhiap. Agaknya kau jerih terhadap Pok cianpwe, ha ha!" Sim
Tek Hin mengejeknya. "Hayo, Bu Beng Taihiap, layanilah aku barang dua tiga jurus. Kalau tidak, maka
tentu kau atau aku akan dianggap pengecut." Pok Thian Beng mendsak, hingga apa
boleh buat Bu Beng siap melayaninya. Tapi karena ia maklum akan ketulusan Pok
Thian Beng dan tahu bahwa orang itu
hanya menjadi kurban kelicikan keluarga Sim, ia tidak hendak mencelakakan atau
membikin malu kepadanya. "Awas pukulan," Pok Thian Beng berseru sambil maju menyerang dalam tipu Hong tan
tiam cie atau burung Hong pentang sayap langsung memukul kea rah iga Bu Beng .
anak muda itu berkelit dengan gesit, tapi segera datang pula serangan dari si
Tangan Besi dengan gerakan Hek houw to sim atau Macan hitam menyambar hati. Bu
Beng adlah seorang pemuda yang penuh keinginan meluaskan pengalaman, maka tidak
akan puas hatinya kalau belum mencoba sesuatu yang telah didengarnya. Telah lama
ia mendengar akan kehebatan lengan tangan Pok Thian Beng yang dijuluki si Tangan
besi, maka kini melihat tangan kanan lawan menyambar kearah ulu hatinya, ia
segera kumpulkan tenga mengepul tangan dan gunakan tangannya itu memukul kedepan
dan memapaki datangnya pukulan lawan.
Si Tangan Besi terkejut melihat kecerobohan lawan yang msih muda ini. ia tidak
mau membikin anak muda itu celaka dan ia yakin bahwa jika mereka beradu tangan,
pasti anak muda itu sedikitnya akan terpatah lengnnya. Tapi, karena untuk
menarik kembali kepalannya sudah tak sempat lagi, maka ia hanya dapat mengurangi
tanaganya dan hanya gunakan setengah saja. Dua kepalan tangan bertemu dan "DUK!"
kedua-duanya merasa betapa sebuah tangan besar bertemu dengan tangan masing-
masing. Karena si Tangan Besi hanya gunakan setengah tenaganya dan berbareng itu
Bu Beng sendiri yang sangat percaya akan tenaga sendiri juga kurangi tenaga
pukulannya, maka si Tangan Besi lah yang kalah tenaga dan terhuyung-huyung
mundur sampai lima tindak, sedangkan Bu Beng hanya mundur dua tindak.
Pok Thian Beng memandang kagum dan penasaran. Ia si Tangan Besi yang terkenal
dan jarang terlawan kekuatannya kini terpukul mundur oleh anak muda ini " ia
menyesal mengapa tadi tidak kerahkan semua tenaganya! Dan masih menganggap bahwa
kekalahannya itu karena ia tadi hanya menggunakan setengah tenaga. Maka ia
merangsek kembali karena belum puas.
Bu Beng tidak mau dianggap tidak pandang sebelah mata kepada musuh yang
dihormati itu, maka iapun balas menyerang.ketika Bu Beng dengan pukulan Kim
liong tam jiauw atau Naga mas mengulur kuku memukul kearah lambung, tibalah
giliran si Tangan Besi untuk mengukur tenaga lawan. Ia kerahkan seluruh
tenaganya untuk menangkis. Kembali dua telapak tangan beradu, kini lebih hebat
karena Pok Thian Beng gunakan semua tenaga sedangkan Bu Beng juga pusatkan
tenaganya di lengan. Akibat tumbukan tenaga itu, Pok Thian Beng rasakan
lengannya kesemutan dan Bu Beng juga rasakan kulit tangannya panas. Anak muda
itu segera barengi meloncat mundur sambil berkata.
"Pok loenghiong sungguh tidak percuma bergelar Tangan Besi. Siauwte mengaku
kalah." Katanya sambil memberi hormat.
Pok Thian Beng makin kagum melihat kesopanan pemuda itu. Ia tertawa dengan
gembira. "Ha ha. Tidak kecewa aku datang kesini dan dapat mengagumi orang muda
seerti kau. Tidak malu aku mengaku bahwa kalau kau mau, mudah saja bagimu untuk
menjatuhkan aku. Kalau aku mempunyai tangan basi, maka kau mempunyai tangan
baja, Bu Beng Kiamhiap!" kemudian kepada Sim
Boan Lip dan Sim Tek Hin ia menjuru. "Terima kasih atas undangan jiwi. Tapi aku
yang bodoh dan tidak berguna ternyata tak dapat membantu apa-apa. Terserah
kepadamu, jiwi, tapi menurut pendapatku yang bodoh, lebih baik persolan kecil
ini dihabiskan saja."
"Ah, Pok cianpwe mengapa merendahkan nama kita sendiri" Terang sekali Pok
cianpwe berlaku mengalah terhadap pemuda sombongini, tapi mengapa berkata
demikian. Pula Lui Im losuhu juga berada disini apakah orang tidak pandang mata
kepadanya,' berkata Sim Tek Hin.
Mendengar teguran ini, Pok Thian Beng memandangmarah. "Hm, bagus, Sim hiante.
Jadi undanganmu kepada kamidulu itu hanya untuk mengadu kami dengan orang-orang
lain" Jadi hanya untuk memperalat kami. Terimakasih dan sampai jumpa pula."
Sambil berkata begitu, Pok Thian Beng balikkan tubuh hendak meninggalkan empat
ini. tapi sekali loncat, Lui Im telah berada di sebelahnya dan pegang lengannya.
"Eh, Pok twako, jangan pergi dulu. tunggu aku ajar kenal dulu dengan Bu Beng
Kiamhiap." Si Tangan Besi memandang dan tersenyum lalu duduj di atas sebuah
bangku dengan sikap tidak perduli kepada orang she Sim itu.
Lui Im yang bertubuh pendek kecil itu segera mendekati Bu Beng.
"Bu Beng Kiamhiap, kau sebagai seorang hohan tentu suka berlaku adil. Kami semua
datang kesini dan sudah belajar kenal dengan kelihaianmu, hanya aku seorang yangbelum . maka janganlah
bikin aku penasaran dan berilah sedikit pengajaran padaku."
Bu Beng memberi hormat, "Mana aku yang muda berani memberi pengajaran"
Sebaliknya, siauwte masih mengharapkan petunjuk-petunjuk darimu."
Lui Im cabut golok dari punggungnya dan kelebat-kelebatkan itu beberapa kali.
Melihat ini, Bu Beng terkejut.
"Bukankah loenghiong ini pangcu dari Cung lim pang yang bernama Lui Im
loenghiong?" tanyanya.
Lui Im terkejut juga. Bagaimana pemuda yang tak dikenalnya ini dapat mengenlnya"
"Eh, darimana kau tahu nama dan kedudukanku, anak muda?"
Bu Beng memberi hormat. "Maaf, karena siauwte tadi tidak tahu berhadapan dengan
siapa. Tidak tahunya berhadapan dengan seorang sahabat baik dari suhengku."
"Siapa suhengmu itu"'
"Suhengku ialah Kim Kong Tianglo dari Liong san."
Lui Im menggerakkan tangan kanannya dan tiba-tiba goloknya menancap diatas tanah
dan gagangnya bergerak-gerak menggetar.


Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kim Kong Tianglo" Kau ... sutenya" Aneh. Sungguh aneh! Kemudian ia berdiri
termangu-mangu karena sesungguhnya ia pernah mendengar dari Kim Kong Tianglo sendiri bahwa pendeta tua
itu mempunyai seorang sute yang gagah, tapi masakan sute itu semuda ini"
Bu Beng mengerti bahwa orang itu ragu-ragu, maka tiba-tiba ia mendapat pikiran
untuk menklukkan orang ini tanpa mengadu kepandaian. Ia berkata "Maaf" dan
secepat kilat ia loncat menyambar dan tahu-tahu golok yan tertncap di tanah itu
telah dicongkel dengn ujung kaki hingga terlempar keatas yang lalu diterima
dengan tangan. Kemudian ia mulai bersilat sambil berkata.
"Sebagai sahabat suhengku, tentu loenghiong kenal permainan ini," lalu diputar-
putarnya golokitu dan ia mainkan ilmu golok dari Kim liong pai. Golok itu
berubah menjadi sinar putih yang lebar dan yang menyelimuti tubuh anak muda itu.
Lui Im berdiri ternganga dan tak disengaja mulutnya berkata memuji. "Bagus,
bagus." Setelah Bu Beng berhenti bersilat dan menancapkan kembali golok di tempat tadi,
Lui Im menghampirinya dan menpuk-nepuk pundaknya dengan mesra.
"Tidak salah, tidak salah! Kau tentu sute dari Kim Kong, bahkan permainan
golokmu lebih hebat dari padanya. Sungguh hebat. Sungguh beruntung kita belum
bergebrak, kalau sudah ah tentu aku akan celaka. Ha ha ha!" kemudian ia
berpaling kepada Pok Thian Beng yang masih duduk. "Saudara Pok, matamu sungguh
awas dan mengenal barang baik. Kau benar, kita berdua tak usah mencampuri
persoalan tetek bengek ini. saudara Sim, pandanglah muka kami berdua dan
habiskan saja pertempuran ini. mari, saudara Pok, sudah waktunya bagi kita untuk
pergi." Kedua jagoan tua itu, setelah menjuru kearah Bu Beng dengan kata-kata. "Sampai
bertemu lagi," lalu berjalan cepat tinggalkan tempat itu.
Melihat bahwa ia sendiri berikut keempat kawannya yang diandalkan itu satu demi
satu dibikin takluk oleh Bu Beng. Sim pangcu menjadi malu sekali. Ia menjuru
kearah Lim San yang sejak tadi melihat pertunjukan-pertunjukan itu dengan penuh
kekaguman, sambil berkata,
"Saudara Lim, biarlah kali ini aku mengaku kalah."
Lim San balas menjuru. "Sim pangcu, kau tidak kalah dariku, maka sudahi sajalah
urusan ini dan anggap saja bahwa kita tiada jodoh untuk berbesan. Biarlah kita
menjadi sahabat baik."
Sim pangcu menggoyang-goyang kepala. "Bagaimana juga aku sekawan telah
dijatuhkan orang, dan aku harus berusaha mencuci bersih noda memalukan ini."
Tiba-tiba Bu Beng meloncat kedepannya dan berkata keras dengan suara penuh
ejekan. "Ha ha, Sim pangcu ternyata bersikap seperti anak kecil. Kalau sikapmu
seperti ini, mana pantas kau menjadi seorang pangcu" Ketahuilah , kau adalah
seorang pengecut besar kalai urusan hari ini kau taruh dendam kepada Lim San
loenghiong. Kau hanya tujukan kepada orang yang kiranya tak dapat melawanmu agar
kau dapat paksakan nafsu jahatmu. Kalau kau memang seorang gagah, lenyapkan
semua urusanmu dengan Lim San loenghiong. Jika dalam hatimu masih ada dendam mak
dendam itu tidak seharusnya ditujukan kepadanya, tapi seharusnya kepadaku,
karena akulah orangnya yang telah menjatuhkan kalian."
"Bu Beng! Jangan kau sombing ," teriak Sim pangcu sambil kertak giginya karena
marah dan gemas. "Siapa yang taruh hati dendam kepada Lim enghiong" Puteraku
ditampik adalah soal kecil. Masih banyak gadis lain di dunia ini. dendam hatiku
memang ditujukan padamu. Maka ingatlah pada suatu hari aku pasti akan mencarimu
dan menagih hutang!" sehabis berkata demikian, Sim Pangcu segera mengambil
langkah lebar dengan diikuti Sim Tek Hin yang berjalan dengan tunduk.
Lim San maklum bahwa ucapan sombong yang dikeluarkan oleh Bu Beng itu memang
disengaja untuk memindahkan rasa dendam di hati pangcu itu dari Lim San kepada
Bu Beng. Maka makin bertambahlah rasa terima kasihnya kepada pemda itu.
Namun Bu Beng tak memberi kesempatan kepda orang untuk menyatakan terima kasih,
karena setelah menjuru ia ccepat berkelebat dan bayangannya tak tampak lagi. Lim
San sekeluarga hanya dapat menarik napas dalam dan geleng-geleng kepala.
Bu Beng secepat terbang kembali ke pondok diatas bukit dan setelah membungkus
barang-barangnya yang tak berapa banyak itu di dalam sebuah kain kuning, ia
meninggalkan tempat itu dengan bungkusan terikat di punggung untuk melanjutkan
perjalanannya merantau setelah berdiam di tempat sunyi itu hampir sebulan
lamanya. Disepanjang jalan tak habis-habisnya Bu Beng melakukan kewajibannya sebagai
seorang pendekar, menologn yang lemah tertindas dan membasmi yang kuat
sewenang-wenang. Tak heran nama Bu Beng Kiamhiap makin terkenal, ditakuti lawan
diindahkan kawan. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bu Beng telah berjalan kaki seorang diri dalam
sebuah hutan di kaki bukit Lun ma san. Di kaki bukit Lun ma san terdapat
beberapa kampong kecil dengan penduduk terdiri dari kaum petani. Tapi karena
bukit itu mengandung tanah kapur, pertanian disitu tidak dapat subur. Maka
disamping bertani, penduduk disitu menambah enghasilan dengan menjual hasil
hutan dan kapur yang memang banyak terdapat disitu. Di beberapa hutan terdapat
kayu besi yang hitam membaja dan banyak isukai oleh orang -orang kota untuk
membuat bangunan karena kayu itu kerasnya bagaikan besi saja.
Ketika enak berjalan, tiba-tiba Bu Beng mendengar sura kanak-kanak yang tertawa-
tawa dengan riangnya. Suara tawa anak-anak yang wajar ini membuat Bu Beng sadar
dari lamunannya, karena sesungguhnya semenjak tadi Bu Beng melamun walaupun
kedua kakinya berjalan maju. Ia merasa seakan-akan suara tawa riang dan bening
itu merupakan cahaya dan membuatnya gembira sekali. Dengan cepat ia menuju
kearah datangnya suara itu.
Ternyata olehnya bahwa yang tertawa-tawa gembira adalah dua orang anak laki-laki
dan perempuan berusia kurang lebih enam tahun. Mereka sambil tertawa mengejar
seekor kelinci yang lari kesana kemari dengan gesitnya. Tapi kedua anak itu
lebih gesit, seorang mencegat disana, seorang pula mencegat disini, hingga
akhirnya binatang berbulu putih itu kelelahan dan hanya mendekam di tengah-
tengah sambil terengah engah dan tubuhnya menggil seakan-akan kedinginan.
Sepasang telinganya yang panjang bergerak-gerak kebawah keatas dengan lucunya.
Bu Beng heran dan kagum melihat gerakan kedua anak itu. Jelas baginya bahwa
kedua anak itu mempunyai gerakan yang terlatih dan pasti mereka adalah murid-
murid seorang ahli silat yang pandai. Tiba-tiba anak perempuan itu meloncat dan
tangannya menyambat. Sambil tertawa girang ia melihatbetapa kelinci itu
bergerak-gerak hendak meloloskan diri, tapi percuma karena tangan kecil yang
memegang kedua telinganya itu kuat sekali hingga ia hanya dapat menggerak-
gerakkan kedua kakinya yang tergantung dan kaki depannya bergerak-gerak seakan-
akan orang main silat. "Cin Lan, lepaskan ia, kasihan. Telinganya tentu sakit kau gantung demikian
rupa," tegur anak laki-laki itu.
"Mengapa kasihan" Tampaknya lucu!" jawab anak yang perempuan, "Biar kubawa
pulang, kuberikan pada twaci agar dimasak. Hm, alangkah sedapnya nanti."
"Jangan, Cin Lan. Kasihan dia. Aku tak suka daging kelinci. Lihat itu matanya
seperti matamu. Sebentar lagi ia menangis."
Digoda demikian, si gadis kecil melempar kelinci itu ke tengah gerombolan pohon
kecil. Binatang itu segera lari cepat dan menghilang dibawah rumput alang-alang.
Anak perempuan itu dengan muka merah menghadapi kakaknya.
"Kau ini bisanya menggoda saja. Awas nanti kuberitahukan cici agar kau dijewer
sampai merah biru telingamu."
"Sudahlah jangan marah. Lebih baik kita berlatih karena kalau cici datang
melihat kita belum latihan, barangkali telinga kita berdua akan dijewer sampai
putus. Kau tahu, bagaimana halusnya tangan cici, kalau sudah menjewer telinga
ampun sakitnya bukan main."
"Baiklah, Han ko tapi kau jangan nakal lagi,. Mari kita latih pelajaran kemarin.
Gerakan jurus keempat masih terasa sukar bagiku."
Semenjak tadi Bu Beng mengintai dari belakang pohon dengan hati gembira. Ia suka
sekali kepada kedua anak kecil yang mungil itu. Yang laki-laki cakap berwajah
tampan, daun telinganya lebar dan matanya bersinar, tapi bibir dan pandangan
matanya memperlihatkan kesabaran dan kebijaksanaan. Terang bahwa kelak anak ini
akan menjadi seorang yang mulia dan bijaksana. Anak perempuan yang dipanggil Cin
Lan itupun mungil sekali. Wajahnya cantik jelita dengan mata yang lebar, jika
ketawa nampak dua lekuk manis di kanan kiri mulutnya. Tapi menurut pandangan Bu
Beng, pandangan mata anak perempuan itu ketika marah tampak kejam dan jahat,
sungguhpun setelah tertawa lenyaplah sifat itu dan terganti sifat yang halus
menyenangkan. Kini setelah melihat kedua anak itu bertanding main silat terkejutlah Bu Beng.
Karena ternyata kedua anak itu mainkan tipu-tipu gerakan dari Kim liong pai!
Murid siapakah kedua anak ini " Demikian Bu Beng tak habis terheran-heran. Kalau
murid dari cabangnya yang mengajar kedua anak itu, mengapa gerakannya demikian
kacau" Tipu-tipu gerakan ini walaupun banyak mengambil dari Kim liong pai, tapi
harus diakui ada bedanya, atau beda
dalam variasinya. Karena heran dan ingin sekali tahu, Bu Beng menghampiri
mereka. Dua anak itu berhenti main silat dan memandang Bu Beng dengan curiga. Pakaian Bu
Beng memang dapat mencurigakan hati kanak-kanak, karena pakaian warna kuning itu
sudah bertambal sana sini bahkan di bagian pundak kiri robek belum ditambal
hingga nampak kulit pundaknya yang putih dengan tulang pundak menonjol.
"Anak baik, siapakah guru kalian " bagus sekali permainanmu," Tanya Bu Beng
ramah. Tapi anak perempuan itu segera mundur dan berbisik kepada kakaknya.
"Han ko, hati-hati, ini tentui sebangsa penjahat seperti yang diceritakan cici."
Bu Beng tertawa geli mendengar ini. "Eh aku bukan penjahat. Aku suka sekali
melihat permainan silatmu tadi. Tapi ada beberapa bagian yang kaku dan salah.
Tadi ketika kau mainkan tipu naga mas memburu mustika kaki kirimu salah
duduknya, seharusnya agak ditarik serong ke kiri," katanya kepada anak perempuan
itu. Kemudian ia berkata kepada anak laki-laki yang memandangnya dengan mata tajam.
"Dan kau, siauw ko ketika kau menangkis dengan Naga Mas Sabetkan Ekor tadi,
tangan kirimu yang menganggur seharusnya dikerjakan untuk balas menyerang dengan
tipu Naga Mas Leletkan Lidah karena kedudukan lawanmu kosong bagian pinggang
kanan." "Eh, orang kuarang ajar!" tiba-tiba gadis kecil itu mendamprat, "Kau lancing
sekali berani mencela ilmu silat kami yang diturunkan oleh cici!"
bu Beng ketawa gembira melihat kelincahan dan kegalakan nona cilik itu. "Oh,
jadi kalian diberi pelajaran oleh cici kalian sendiri"."
"Apa kau berani bilang bahwa twaci kami salah pula dalam memberi pelajaran?"
Tanya anak laki-laki itu penasaran.
"Memang salah. Kalau cicimu yang mengajar, maka ia juga salah."
"Hm, sobong bener kau ! twaci mendapat pelajaran dari supek, apakah kalau begitu
supek juga slah ?" Tanya anak perempuan itu.
Bu Beng mengangguk sambil tersenyum. "kalau memang begini cara mengajarnya,
supekmu itu juga salah!"
"Kurang ajar!" hgadis kecil itu berteriak marah dan dengan cepat ia layangkan
kepalannya yang kecil memukul perut Bu Beng.
Bu Beng tertawa gelid an timbul kegembiraannya. "baik , baik mari berlatih agar
dapat kemajuan." Ia berkelit sambil berkata, "Nah, ini kelitan Naga Mas Putar
tubuh." Anak laki-laki ketika melihat adiknya menyerang segera ikut membantu dan
sebentar kemudian Bu Beng sikeroyok oleh kedua anak itu. Bu Beng sambil berkelit
dengan mulut tersenyum gembira selalu memberi petunjuk. Ia sebutkan kesalahan-
kesalahan gerakan anak-anak itu dan sebutkan
nama gerakannya sendiri sambil mengelak atau menangkis perlahan. Ternyata kedua
anak itu bersemangat besar karena biarpun sudah merasa lelah, namun masih saja
mendesak. Disamping menyerang, merekapun perhatikan petunjuk-petunjuk dari Bu
Beng dan dasar otak mereka berdua cerdik merekan seakan-akan terbuka mata mereka
dan dapat menangkap kesalahan-kesalahan sendiri.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring. "He, orang kasar darimana berani mengganggu
kedua adikku?" Mendengar seruan ini Bu Beng meloncat mundur dua kali dan memandang. Ia tertegun
Pedang Langit Dan Golok Naga 5 Pendekar Slebor 67 Rahasia Sebelas Jari Kelana Buana 11
^