Pencarian

Jago Pedang Tak Bernama 2

Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


dan untuk sejenak seakan-akan napasnya berhenti. Bu beng bukanlah seorang pemuda
yang mudah saja terpesona oleh paras cantik. Tapi ketika matanya memandang gadis
berpakaian putih yang berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang dan matanya
bercahaya tajam dan marah itu, ia rasakan semangatnya melayang-layang. Wajah dan
potongan tubuh gadis itu menarik hatinya benar dan diam-diam ia bandingkan gadis
itu dengan gadis yang selalu memenuhi alam mimpinya. Karena sudah berusia lebih
dari dua puluh lima tahun, sebagai seorang pemuda yang sehat, sering kali Bu
Beng mengenangkan dan mimpikan seorang gadis yang sesuai dan cocok dengan selera
hatinya. Dan gadis ini mememnuhi segala-galanya.
Gadis itu berusia paling banyak sembilan belas tahun, tubuhnya ramping padat,
sepasang matanya merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung mulutnya
kecil dengan bibir bagaikan gendewa terpentang dan berwarna merah, rambutnya
terurai ke belakang dan diikat dengan kain putih, sebagian rambut terurai
kejidat menambah kemanisannya. Baju dan celana putih dari kain
kasar dan sepatu putih pula menutupi tubuhnya. Sungguhpun ia berdandan sederhana
sekali namun kesederhanaannya ini bahkan menonjolkan kejelitaan yang asli.
Karena orang yang ditegurnyaa dari tadi bengong saja sambil memandang bagikan
patung hidup, gadis itu merasa malu dan wajahnya menjadi merah. Ia marah sekali
melihat kekurang ajaran orang.
"He, bangsat ! akda apa kau pandang orang saja dan tak menjawab kata-kataku.
Apakah kesalahan kedua adikku ini hingga kau seorang dewasa sampai mengajak
mereka berkelahi" Pengecut besar, tidak malu berkelahi dengan anak-anak kecil."
Bu Beng makin kagum, karena setelah marah, ternyata wajah itu makin cantik saja.
Tapi kata-kata yang pedas itu membuatnya sadar. Segera ia rangkapkan tangan
memberi hormat. "Siocia, maafkan aku seorang perantauan yang tak tahu adapt. Harap jangan salah
sangka, kedua adikmu tadi bukan sedang berkelahi dengan aku, tapi kami bertiga
hanya sedang main-main dan berlatih saja."
Gadis itu memandang adik perempuannya. "Cin Lan, benarkan kalian tidak berkelahi
tadi!" Dengan keringat di sekujur badan dan napas masih terengah-engah, Cin Lan
menjebikan bibir kearah Bu Beng dan berkata. "Siapa yang main-main" Coba cici
lihat, apakah aku kelihatan seperti orang main-main" Keringatku sampai mebasahi
semua pakaian, dan lihat Han ko itu, ia
masih terengah-engah kelelahan ! kalau cici tidak keburu datang memisah,
sekarang kami berdua tentu telah dapat menggebuk mampus padanya!"
"Huh !" gadis itu menegur, tapi mau tak mau ia terpaksa bersenyum mendengar
kejumawaan adiknya itu. "Sungguh bukan maksudku mengajak mereka berkelahi nona. Coba kau Tanya siauw ko
ini benar-benarkah kami tadi berkelahi?"
Anak laki-laki itu memandang cicinya dengan matanya yang jujur dan berkata ragu-
ragu. "Aku sendiri tidak tahu, tapi dia ini memberi petunjuk-petunjuk dan
membetulkan kesalahan-kesalahan gerakan kami."
"Membetulkan kesalahan gerakanmu?" cicinya bertanya heran.
"Ya, ci, bahkan kau sendiri juga dicelanya, juga supek dikatakannya salah
mengajar!" kata nona cilik yang nakal itu.
"Apa katamu"' gadis itu memandang marah kepada Bu Beng.
"Ah, bukan begitu maksudku, nona ..." membela Bu Beng.
"Jangan banyak cakap. Kalau kau ada kepandaian dan dapat mencela ilmu silatku,
cobalah kau terima dan sambut seranganku ini!"
Bu Beng hendak membantah, tapi gadis baju putih itu tak memberi kesempatan
padanya untuk bicara, langsung maju menyerang secepat kilat. Pukulannya selain
cepat juga berat dan antep sekali hingga Bu Beng buru-buru berkelit. Dalam
gerakan-gerakan pertama gadisitu gunakan ilmu silat Kim liong pai hingga ia
makin heran. Ternyata gadis itu walaupun gerakannya gesit dan tenaganya besar,
juga membuat kesalahan-kesalahan dalam gerakannya atau mungkin juga, ilmu silat
Kim liong pai telah tercampu aduk dengan ilmu silat lain yang tidak kalah
lihainya. Menghadapi ilmu silat cabang sendiri, Bu Beng dengan mudah sekali dapat
memunahkan setiap serangan. Gadis itu menjadi penasaran dan segera merobah
gerakannya. Kini ia menyerang dengan lebih cepat dan tahulah kini Bu Beng bahwa
sebenarnya gadis itu mahir sekali ilmu silat Bie jin kun yang gerakan-gerakannya
lemas tapi mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Mungkin gadis ini baru
sedikit mempelajari ilmu silat Kim liong pai dan kepandaian aslinya ialah Bie
jin kun itu. Karena dalam hal ilmu silat Bu Beng sudah digembleng oleh gurunya
dan ia mempelajari pula segala macam ilmu silat, maka menghadapi serangan-
serangan inipun ia hanya tersenyum sambil berkelit dengan gesitnya. Tak pernah
ia menangkis atau balas menyerang, seakan-akan hatinya tidak tega melukai gadis
itu. Diam-diam ia gembira karena iapun ingin sekali menjajal kepandaian gadis
itu. Kini ia mendapat kenyaraan bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang lumayan
juga. Gadis baju putih itu ketika menyerang berpuluh jurus tapi belum juga dapat
menyentuh ujung baju Bu Beng, dan mendengar sorakan-sorakan adik-adiknya yang
memang gemar menonton orang bersilat, dengan dibarengi teriakan-
teriakan "Pukul, ci! Robohkan ia ! ah, meleset lagi! Sayang, tidak kena lagi,
ci! Hayo pukul roboh!" maka ia menjadi marah dan gemas bukan main. Dengan seruan
keras ia cabut sepasang pedangnya yang terselip di punggung dan gunakan siang
kiam itu menyerang hebat!.
"Tahan pedangmu, nona. Aku tidak ingin berkelahi," mencegah Bu Beng.
"Hm, kalau dengan kanak-kanak berani ya" Kalau benar-benar laki-laki keluarkan
senjatamu." Bu Beng buka kedua lengannya sambil angkat pundak. "Aku tidak ingin berkelahi
nona." "Jangan banyak cakap. Kalau kau tidak mau melayaniku maka kau akan kuanggap
laki-laki pengecut."
Bu Beng tersenyum. "Kau memaksa nona. Apa boleh buat aku bukan pengecut.
Majulah!" gadis itu segera buka serangannya dengan gerakan Burung Kepinis
Menyambar Ikan. Pedang kanannya menusuk kearah tenggorokan Bu Beng sedangkan
pedang kiri terputar mengancam untuk membingungkan lawan. Tapi Bu Beng ganda
tertawa saja, dan loncat berkelit. Gadis itu merangsek maju dengan hati panas,
dan Bu Beng terpaksa gunakan ilmu ginkangnya yang hebat untuk melayaninya dengan
tangan kosong. Pemuda itu mengandalkan keringan tubuh dan kegesitan gerakannya
untuk meloloskan diri dari bayangan pedang. Sebenarnya permainan siang kiam
gadis itu hebat dan telengas sekali. Kalau bukan Bu Beng, jangankan bertangan
kosong biar bersenjatapun , tidak sembrangan orang dapat menangkan gadis itu.
Tapi kali ini ia bertemu dengan Bu
Beng Kiamhiap yang tingkatnya masih jauh diatasnya, maka dengan mudah saja ia
dipermainkan. Pada saat itu dari jauh datang berlari seorang wanita tua yang membawa tongkat.
Tindakan kakinya ringan dan larinya cepat sekali hingga diam-diam Bu Beng
terkejut. Ia melihat orang tua itu duduk diatas sebuah akar pohon di dekat
mereka dan diam saja menonton perkelahian itu. Gadis yang menyerangnya dengan
sengit itu agaknya tak melihat kedatangan orang tua itu karena gerakannya memang
ringan sekali. Tapi kedua anak kecil itu ketika melihat perempuan tua bertongkat
tahu-tahu duduk disitu segera lari menghampiri dan memeluknya.
Hati Bu Beng bimbang juga. Ternyata perempuan tua yang berkepandaian tinggi itu
masih keluarga mereka. Ah, ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapinya jika
hal itu terjadi nanti. Pada saat ia berpikir demikian, tiba-tiba gadis baju
putih itu menggerakkan kedua pedangnya menusuk dada dengan tipu Wanita Cantik
Tawarkan Arak. Sepasang pedangnya yang meluncur ke dada Bu Beng, sebuah
ditusukkan dan yang satu lagi dibacokkan kebawah!.
Menghadapi serangan ini, Bu Beng berlaku cepat. Tubuhnya berkelit kesamping dan
sekali menggerakkan tangan kearah pergelangan gadis itu, sekejap kemudian pedang
kanan gadis itu pindah tangan!.
"Bagus, bagus!" terdengan wanita tua itu memuji.
Tapi gadis itu menjadi penasaran sekali. Dengan nekat ia gunakan sebilah
pedangnya untuk menyerang kembali. Bu Beng menggunakan pedang yang dirampasnya
untuk menangkis dengan main mundur.
Tiba-tiba sebuah sinar hitam menyela diantara mereka dengan membawa angina keras
dibarengi bentakan orang.
"Cin Eng, mundurlah. Seharusnya kau tahu diri dan tidak berlaku nekat!"
mendengar bentakan ini, gadis itu berloncat mundur dan berdiri dengan tunduk dan
wajah merah. Melihat keadaannya itu, timbul rasa iba di hati Bu Beng, maka
segera ia maju menghampiri dan memberi hormat, lalu sambil mengangsurkan pedang
yang dirampasnya kepada pemiliknya, ia berkata halus, "Nona, maafkan aku yang
rendah telah berlaku kurang ajar. Terimalah pedangmu kembali , nona."
Cin Eng mengangkat kepala memandangnya, tapi ia tertunduk kembali dengan muka
merah dan mulut cemberut.
"Ha, ha !" wanita tua itu tertawa terkekeh-kekeh. "Cin Eng, orang telah berlaku
mengalah dan baik kepadamu, hayo terima kembali pedangmu!" dan gadis itu kembali
mentaati perintah itu dan terima kembali pedangnya dari tangan Bu Beng tanpa
berani memandang pemuda itu.
"Anak muda, kau gagah juga dan kepandaianmu lumayan. Majulah dancoba kau tahan
tongkatku yang lapuk ini."
bu Beng menjuru hormat. "Aku yang muda mana berani berlaku tidak sopan."
"Hm, jangan sungkan-sungkan, anak muda. Dengan mudah kau dapat mengalahkan
puteriku. Maka, mau tak mau kau harus melayani aku yang tua ini beberapa jurus.
Aku hanya ingin mengukur dalamnya kepandaianmu, jangan kau takut. Aku takkan
berlaku kejam padamu."
Panas juga hati Bu Beng karena terang sekali orang memandang ringan kepadanya,
bahkan ia disangka takut! Maka ia majukan kaki selangkah dan setelah berkata,
"Maaf," ia cabut pedang pendeknya yang disembunyikan di belakang punggung dalam
bajunya. Pedang pendek ini bukanlah pedang sembarangan. Ia dapat merampasnya
dari seorang kepala perampok kenamaan setelah mengadu jiwa mati-matian. Pedang
ini disebut Hwee hong kiam dan tajamnya luar biasa serta terbuat daripada logam
yang jarang terdapat dank eras melebihi baja tulen. Kalau tidak terpakasa,
jarang sekali Bu Beng keluarkan senjata ini. tapi kali ini ia tahu bahwa wanita
tua ini bukanlah orang sembarangan dan bahwa tongkatnya itu tentu lihai sekali.
"Ha, bagus! Nah sambutlah tongkatku!" wanita tua itu tak sungkan lagi maju
menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam menyambar berat mendatangkan angin
dingin. Bu Beng gunakan pedangnya menangkis dan merasa betapa berat tenaga dalam
wanita tua itu. Namun wanita itupun diam-diam terkejut karena anak muda itu
ternyata bertenaga tidak lebih bawah darinya.
Wanita itu gunakan tipu-tipu ilmu toya Siauw lim si yang hebat dicampur dengan
gerakan ilmu golok Kun lun. Biarpun ia mempunyai ilmu silat yang hebat sekali
dan pengalamannya yang berpuluh tahun itu mebuat gerakannya tetap dan kuat,
namun baru bergebrak beberapa jurus saja ia merasa heran dan kaget. Karena ilmu
pedang Bu Beng sangat membingungkannya. Bu Beng keluarkan tipu-tipu Kim liong
pai yang sudah dikombinasikan sedemikian rupa dengan tipu-tipu Hoa san pai
hingga merupakan gerakan-gerakan tersendiri yang sangat lihai dan tak terduga
datangnya! Tak heran bahwa sebentar saja perempuan itu terdesak dan hanya dapat
menangkis saja. Pada suatu desakan, Bu Beng menggunkan pedang pndeknya menusuk dada lawan.
Tusukan ini cepat sekali, tapi biarpun terdesak, nenek itu masih dapat memutar
tongkatnya menangkis pedang yang ujungnya sudah hampir mengenai kulitnya itu.
Tak tersangka-sangka Bu Beng cepat sekali merobah arah pedangnya ke kiri dan
membabat lengan lawan! Nenek itu menjerit kaget dan menggunakan jaln satu-
satunya yang masih mungkin ia lakukan , yakni melepaskan tongkat dan
menggelinding pergi sejauh dua tombak lebih.
Bu Beng rangkapkan kedua tangan. "Maaf, maaf."
Nenek itu berdiri cepat dengan muka pucat. Ia belum bebas sama sekali dari rasa
terkejut. Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan dengan terkekeh-kekeh ia jemput
tongkatnya lalu menghampiri Bu Beng.
"Anak muda, kau sungguh gagah perkasa. Ketahuilah, aku adalah Hun Gwat Go yang
disebut orang si Tongkat Terbang. Tapi sekarang aku sudah tua hingga tak pandai
memainkan tongkat lagi, buktinya dengan begitu saja aku terpaksa melepaskan
tongkatku. Hi, hi hi !"
Bu Beng tak senang mendengar suara tertawa terkekeh-kekeh ini, tapi karena orang
berkata dengan ramah, ia terpaksa tersenyum juga.
"Dan ini adalah Cin Eng, anakku. Kedua anak kecil itu Cin Land an Cin Hai. Dan
kau sendiri siapakah anak muda?"
"Saya bernama Bu Beng."
Kedua anak kecil itu tertawa mendengar nama Tak Benama ini dan nenek sendiri
memandang heran. Tapi karena Bu Beng memandangnya dengan wajah bersungguh-
sungguh dan sinar matanya menyambar tajam, ia tak berani bertanya lagi.
"Bu Beng Taihiap, kami persilakan mampir dipondok kami," katanya kemudian,
"Perkenalan ini harus kita pererat. Sudah lama aku ingin berjumpa dengan seorang
hohan di jaman ini. dan kebetulan ini hari berjumpa dengan kau yang pantas
sekali kami hormati."
Sebenarnya Bu Beng tidak suka mampir, tapi demi melihat kearah Cin Eng yang
menggunakan mata burung hongnya memandang dengan tajam padanya, ia menyanggupi
dan beramai-ramai mereka menuju ke rumah nenek itu yang berada di sebelah
kampong tak jauh dari situ.
Ketiak mereka memasuki sebuah rumah pondok besar tapi yang keadaanya miskin, si
nenek berkata kedalam rumah.
"Tianglo silakan keluar, ini ada tamu agung datang!" Bu Beng memandang ke pintu
tengah dengan tajam dan waspada. Ia tetap belum percaya kepada nenek aneh ini
dan siap menghadapi lain lawan. Tapi ketika tampak tubuh
seorang pendeta yang tinggi kurus keluar dari pintu itu, ia segera meloncat
menghampiri dan memberi hormat.
"Suheng!" katanya heran dan gembira.
"Eh, eh, kau sute" Pantas saja ada orang yang dengan mudah dapat mengetahui
kesalahan-kesalahan Cin Lan dan Cin Han , tak tahu kaulah orangnya!"
"Bagaimana suheng dapat tahu?"
Kim Kong Tianglo tertawa lebar. "Kau sangka aku tidak tahu juga bagaimana kau
berhasil membuat Hun toanio lepaskan tongkatnya?"
Karena semua pendengarnya merasa heran, Kim Kong Tianglo bercerita bahwa tadi
karena khawatir akan keselamatan tuan rumahnya yang lama tidak kembali, ia
menyusul ke hutan dan sembunyi sambil menonton pertempuran-pertempuran itu. Hun
Gwat Go tertawa dengan suara terkekeh-kekeh yang tak disuka oleh Bu Beng itu,
lalu berkata. "Ha, ha, kukira siapa, tidak tahunya orang sendiri. Jadi Bu Beng Taihiap ini
sutemu sendiri" Ah, aku makin tidak penasaran telah jatuh dalam tangannya."
Kemudian nenek yang aneh itu setelah perinthkan Cin Eng keluarkan areak,
meninggalkan kedua saudara seperguruan itu di ruang tamu.
Setelah berada berdua saja. Bu Beng melampiaskan rasa kangennya dan memeluk
suhengnya. Ia memang menganggap suhengnya ini sebagai kakak sendiri. Mereka
berbicara asyik sekali dan saling menuturkan pengalaman semenjak berpisah.
Kemudian Bu Beng bertanya mengapa Kim Kong Tianglo dapat tinggal di rumah nenek
itu. Kim Kong Tianglo menarik napas dalam dan menuturkan pengalamannya dan
keadaaan yang aneh itu. Menurut cerita Kim Kong Tianglo, nenek itu bernama Hun Gwat Go berasal dari
Kilam. Sebelum kawin, ia adalah seorang puteri seorang bajak laut yang terkenal
kejam. Agaknya adat ayahnya menurun, karena Hun Gwat Go juga beradat jelek
sekali, tapi ia sangat cantik hingga menarik banyak rasa cinta pemuda.
Diantaranya terdapat seorang pendkar yang menjalankan tugas menolong sesamanya
dengan cara menjadi pencuri budiman. Ia bernama Liu Pa San. Rumah hartawan-
hartawan kikir dan pembesar-pembesar jahat ia santroni dan banyak harta haram ia
curi untuk kemudian dibagi-bagikan kepada petani miskin. Karena ia berkepandaian
tinggi dan cakap juga, maka pilihan Gwat Go jatuh padanya.
Sebenarnya ketika kawin dengan Gwat Go, Lui Pa San telah menjadi duda dengan
seorang perempuan, karena belum lama istrinya meninggal dunia karena sakit. Anak
perempuannya itu ialah Cin Eng yang tadi dikagumi oleh Bu Beng.
Dengan Gwat Go. Liu Pa San setelah kawin puluhan tahun, barulah mempunyai anak,
seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni Cin Han dan Cin Lan.
Cin Eng mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, dan biarpun adatnya buruk,
namun Gwat Go tidak merupakan seorang ibu tiri yang kejam. Ia sayang Cin Eng
seperti anak sendiri, hanya adatnya yang kasar dank eras membuat gadis itu
takut padanya. Bahkan ibu tiri inipun mendidik Cin Eng mempunyai kepandaian yang
lihai juga. Kim Kong Tianglo kenal baik dengan Liu Pa San. Beberapa bulan yang lalu, ketika
Kim Kong Tianglo sedang merantau di kota Hiebun, pada suatu malam ia mendengar
suara rebut-ribut diatas genteng tikoan di kota itu. Ia segera loncat keatas dan
melihat betapa Liu Pa San dikeroyok beberapaorang jagoan yang sengaja diundang
oleh tikoan itu untuk menjaga harta bendanya. Ternyata diantara jagoan-jagoan
terdapat Ngo houw atau lima hariamau dari Tiang san yang terkenal kosen. Ketika
Kim Kong Tianglo tiba di tempat pertempuran. Liu Pa San telah terluka hebat tapi
masih melakukan perlawanan dengan gigih. Kim Kong Tianglo berhasil menologn dan


Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawanya pergi. Tapi malam hari itu juga Liu Pa San si maling budiman
menghembuskan napas terakhir dihadapan Kim Kong Tianglo. Hwesio ini terharu
sekali karena ia tahu benar akan sepak terjang dan kebaikan hati maling perkasa
itu. Sebelum mati, Liu Pa San meninggalkan permohonan kepadanya untuk mendidik
ilmu silat kepada anak-anaknya. Ia minta Kim Kong Tianglo bersumpah untuk
memenuhi permohonannya ini, dan sebagai seorang suci dan seorang sahabat baik,
hwesio ini tidak tega untuk menolak permintaan seorang yang telah berada
diambang pintu kematiannya.
Demikianlah, setelah mengubur jenazah Liu Pa San baik-baik, Kim Kong Tianglo
mencari rumah Liu Pa San. Ia sangat kecewa dan tidak senang melihat sikap janda
Liu Pa San yaitu Hun Gwat Go, tapi setelah melihat Cin Eng, Cin Han dan Cin Lan,
timbul kegembiraannya karena Cin Eng merupakan seorang gadis yang baik hati,
sedangkan Cin Han dan Cin Lan mempunyai bakat baik. Semenjak itu
ia tinggal di rumah itu untuk memenuhi permintaan mendiang sahabatnya.
Rencananya, setelah mendidik Cin Eng beberapa lama, maka gadis itu akan dapat
mewakilkan ia mendidik kedua adiknya.
"Sute", berkata Kim Kong Tianglo setelah sudah selesai bercerita, "Umur
berapakah kau sekarang?" tiba-tiba saja pertanyaan ini hingga Bu Beng memandang
suhengnya dngan heran karena tidak mengerti maksudnya. Tapi ia menjawab juga.
"Dua puluh enam tahun, suheng. Ada apakah?"
Kim Kong Tianglo tertawa. "Tidakkah kau piker usia sedemikian itu sudah cukup
untuk menjadi seorang suami?"
Untuk sejenak Bu Beng memandang muka suhengnya, kemudian ia tunduk dan mukanya
menjadi merah. Kim Kong Tianglo tertawa geli melihat laku pemuda itu.
"Sebenarnya memang sukar mendapatkan jodoh yang sesuai, sute. Tapi percayalah,
aku adalah seorang yang telah cukup pengalaman, dan menurut penglihatanku, Cin
Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, baik mengenai rupa dan tabiatnya
maupun mengenai ilmu silatnya. Bagaimana pikiranmu sute, kalau aku berlaku
lancing menjadi wakilmu untuk mengajukan lamaran?"
Dengan masih tunduk dan hati berdebar-debar Bu Beng berkata. "Suhen, beribu
terima kasih kuhaturkan untuk budi kecintaanmu ini. Memang , bagiku di dunia ini
setelah suhu meninggal dunia, hanya suhenglah yang menjadi orang tuaku,
saudaraku dan juga guruku. Aku ini orag macam apakah untuk menampik seorang
seperti nona Cin Eng itu"
Tapi, yang menjadi persoalan ialah, sudikah dia atau ibunya menerima aku orang
sebatang kara yang miskin dan hina dina ini menjadi suami dan mantu" Kalau
sampai ditolak, aku akan merasa malu dan rendah sekali, suheng. Baiknya
janganlah coba-coba, karena sembilan bagian pasti akan ditolak!"
Kim Kong Tianlo berdiri dan menepuk-nepuk pundak sutenya. "Jadi kau suka
padanya" Baik, baik, sute. Soal yang lain serahkan saja padaku. Ketahuilah
olehmu, Hun Gwat Go pernah menyatkan padaku bahwa ia dan gadisnya itu hanya
ingin mndapatkan seorang yang berkepandaian melebihi si gadis sendiri dan
melebihi ibunya pula! Dan sekarang kaulah orangnya! Tahukah kau mengapa Hun
toanio mengundang kau mampir di rumahnya" Biasanya tidak sembarangan ia
mengundang seseorang begitu saja. Tentu ada maksudnya. Ha, ha!"
Bu Beng hanya menyerahkan saja urusan itu kepada suhengnya dan ketika Kim Kong
Tianglo pergi kedalam untuk menjumpai Hun Gwat Go dan membicarakan urusan ini,
ia hanya menanti di ruang tamu sambil saban-saban minum araknya untuk
memenangkan hatinya yang bergoncang.
Ia bangkit dengan segera dan berdebar-debar ketika tak lama kemudian suhengnya
balik kembali bersama Hun Gwat Go dengan tersenyum girang.
"Selamat, sute. Kionghi, kionghi," kata hwesio itu dengan gembira dan wajah
berseri-seri. Bu Beng angkat tangan membalas ucapan selamat itu. Setelah Hun wat
Go duduk diatas sebuah bangku, Kim Kong Tianglo segera berkata.
"Eh, sue, tunggu apa lagi" Hayo beri hormat kepada gakbomu."
Dengan muka merah karena malu Bu Beng segera berlutut dan memberi hormat kepada
calon ibu mertuanya yang diterima oleh Gwat Go dengan terkekeh-kekeh kegirangan.
"Ah, tercapai kini cita-citaku dan keinginan anakku Cin Eng, dapat seorang mantu
yang gagah melebihi ayahnya." Sampai disini, tiba-tiba Gwat Go menangis tersedu-
sedu dan air mata membasahi kedua pipinya yang kempot karena ia eringat suaminya
yang telah mati. "Kau ..... kau harus balaskan sakit hati ini ..." katanya kepada Bu Beng yang hanya
mengangguk sambil tundukkan kepala. Tiba-tiba kegembiraan Gwat Go timbul
kembali, ia berkaok memanggil Cin Eng dan ketika gadis itu datang, Bu BEng
segera tundukkan kepala lebih dalam dan tak berani berkutik.
Cin Eng berdiri bingung karena melihat wajah ibunya dan gurunya Kim Kong Tianglo
tampak berseri-seri gembira. Ia mengerling kearah Bu Beng dan bertambah
keheranannya melihat pemuda itu tunduk saja dengan malu. Tiba-tiba ia teringat
sesuatu dan diam-diam ia dapat menduga hingga tak terasa lagi warna merah
menjalar keseluruh muka dan telinganya.
"Ada apa, ibu?" tanyanya.
"Eng, sediakan makanan lezat. Ini hari kita harus berpesta sepuasnya. Tambah
lagi arak wangi kepada ...
gurumu .. eh, sekarang kau tak boleh panggil guru lagi, tapi suheng dan beri
hormat juga kepada calon suamimu," berkata demikian ini sambil menunjuk kepada
Bu Beng yang makin berdebar dan duduk dengan serba tidak enak.
Cin Eng yang biasanya sangat takut dan taat kepada ibunya, kini terpaksa
membangkang. Ia hanya memberi hormat kepada Kim Kong Tianglo saja, sedangkan
kepada Bu Beng ketika ia telah berdiri dihadapan pemuda itu yang memandangnya
dengan malu, tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan lari masuk sambil gunakan kedua
tangan menutupi mukanya! Gwat Go tertawa terkekeh-kekeh dan Kim Kong Tianglo
tertawa tergelak-gelak hingga tinggal Bu Beng sendiri yang duduk diam dengan
muka merah. Tak lama kemudian, meraka semua, tak ketinggalan Cin Han dan Cin Lan, menghadapi
meja dan makan bersama. Cin Lan yang nakal tiada hentinya menggoda cicinya,
karena iapun sudah mendengar perihal pertunangan itu. Beberapa kali ia melirik
kerah cicinya dan mengejap-ngejapkan mata sambil menggunakan sumpit menuding
kearah Bu Beng, hingga Cin Eng menjadi gemas dan mencubitnya. Cin Lan berteriak.
"Ah, ah, cici nakal sekali, awas nanti kuberitahukan kepada cihu!" semua orang
tertawa dan Cin Eng makin malu hingga sukar rasanya baginya untuk menelan
makanan. Bu Beng juga hampir tak dapat makan karena malu. Sebenarnya didalam
hatinya terbit dua macam perasaan pada saat itu. Rasa bahagia dan rasa sedih. Ia
merasa girang dan berbahagia sekali karena di dalam hati ia cinta adan kagum
kepada Cin Eng. Tapi karena teringat akan kedua orang tuanya yang telah tidak
ada, ia menjadi sedih dan merasa bahwa ia benar-benar sebatang kara di dunia ini.
Menurut keputusan perundingan antara Gwat Go dan Kim Kong Tianglo, perkawinan
akan dilangsungkan sebulan lagi, yaitu menanti sampai Cin Eng menghabikan mata
perkabungannya atas kematian ayahnya. Pesta kecil itu berjalan dengan gembira
sampai jauh malam dan berakhir dengan mabuknya Kim Kong Tianglo dan Gwat Go yang
lalu pergi ke kamar masing-masing. Cin Han dan Cin Lan pergi tidur dan Cin Eng
sibuk membersihkan sisa persta, sedangkan Bu Beng yang diharuskan tidusr bersama
suhengnya, tidak pergi ke kamar itu tapi lalu keluar seorang diri membawa
sulingnya. Ketika hendak keluar dari rumah itu ia bertemu dengan Cin Eng. Mereka
saling pandang dan gadis itu tertunduk lebih dulu.
"Nona, kalau suheng mencariku tolong beritahu bahwa aku hendak pergi mencari
hawa sejuk di hutan." Cin Eng hanya mengangguk tapi diam-diam ia mengerling
karena mendengar suara Bu Beng yang terdengar parau seperti suara orang
bersedih. Setelah tiba di hutan, Bu Beng jatuhkan diri diatas rumput hijau dengan hati
sedih. "Aku tak dapat kawin, tak mungkin ..." keluhnya. Tapi tiada seorangpun mendengar
keluhan itu, hanya angina malam saja berbisik diantara daun-daun seakan-akan
menjawab keluhannya itu. "Aku seorang diri di dunia ini, sebatang kara, miskin dan sengsara. Kalau Cin
Eng menjadi isteriku, apakah ia juga harus hidup sengsara seperti aku" Ah,
tidak, kasihan kalau ia hidup tak tentu tempat tingal seperti aku ini. pula, aku belum tahu siapa
orang tuaku, dimana tempat makamnya dan belum dapat membalas sakit hati mereka.
Beban yang sudah berat ini apakah hendak kutambah pula dengan merusak dan
membikin sengsara gadis yang kucinta sepenuh jiwa ini" tidak tidak."
Bu Beng berdongak memandang Dewi Malam yang pada saat itu tengah tersenyum
simpul diantara gulungan awan. Ia bangun dan duduk tanpa pedulikan pakaiannya
yang menjadi basah karena ruput. Setelah duduk melamun beberapa lama, ia
mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan mulai meniup suling itu dalam lagu
merayu dan sedih, Bu Beng memang ahli dalam main suling, ditambah pula
perasaannya sedang perih oleh rasa duka, maka suara sulingnya menjadi halus dan
penuh getaran jiwanya, seakan-akan merupakan jeritan bathinnya minta
perlindungan dan pembelaan Tuhan.
Tiba-tiba terdengar suara lemah dibelakangnya, "Koko ...."
Bu Beng yang sedang tenggelam di dalam suara sulingnya yang dimainkan sepenuh
jiwa dan hatinya, tak mndengar suara ini tapi terus menyuling dengan asyiknya.
Lambat laun suara sulingnya merendah dan perlahan-lahan berhenti. Kedua
lengannya terkulai dan sulingnya terpegang dalam tangan kanan yang gemetar.
"Kokko .... " suara ini terdengar halus dibarengi isak.
Bu Beng segera sadar dari lamunannya dan sulingnya jatuh terlepas dari
tangannya. Ia berdiri dan menengok ke belakang. Di depannya berdiri Cin Eng yang
dalam pakaian putihnya tersinar bulan purnama merupakan dewi yang baru turun dari kayangan. Bu
Beng memandang kagum dan perlahan-lahan ia bertindak maju.
"Moi-moi ... " katanya berbisik dan Cin Eng tundukan kepala.
Sebetulnya Bu Beng masih ragu-ragu untuk menyebut "adik" pada gadis itu, tapi
karena mendengar gadis itu menyebutnya "kanda", ia jadi berani merobah sebutan
"nona" menjadi "dinda".
"Adik Eng ... mengapa kaupun berada disini?" tanyanya halus.
"Aku ... aku ... mengapa suara sulingmu demikian sedih, koko?"
Bu Beng menghela napas. "Mungkinkah sulingku dapat terdengar dari rumah?"
"Tidak, koko. Hanya saja, tadi kau bicara dengan suara demikian sedih, maka aku
merasa tak enak hati lalu menyusul disini .."
"Duduklah adik Eng," kata Bu Beng dan mereka duduk diatas rumput hijau yang
merupakan permadani indah dimalam terang bulan ini.
"Sebenarnya aku terkenang kepada orang tuaku adik Eng," katanya dan ia lalu
menceritakan riwayat hidupnya yang penuh kepahitan. Cin Eng mendengar dengan
terharu dan tak terasa matanya mengalirkan air mata ketika
mendengar betapa Bu Beng sampai lupa akan nama sendiri!.
"Jadi itukah yang membuatmu sedih" Kukira ....."
"Kau kira apa, adikku?"
"Kukira bahwa kau ... tak suka dengan perkawinan kita yang akan datang ini ..."
bu Beng menggerakkan tangan dan pegang tangan Cin Eng. Gadis itu terkejut tapi
ia tidak menarik tangannya, hanya membiarkan tangan itu digenggam oleh Bu Beng
yang merasa betapa tangan itu bergemetar.
"Jangan sangka yang tidak-tidak , adik Eng. Ketahuilah, ketika suheng majukan
usul ini, aku hampir berjingkrak kegirangan karena sesungguhnya semenjak kita
berjumpa, aku ... aku .. suka sekali kepadamu ...."
Cin Eng hanya tundukkan kepala.
"Dan kau bagaimana adikku" Sukakah kau akan pilihan ibumu ini ?"
Cin Eng mengangkat wajahnya yang jelita memandang mesra, kemudian ia tundukkan
kepala sambil berkata lemah.
"Koko, semenjak pertempuran kita tadi, aku terpikat oleh ilmu silatmu dan oleh
kesopananmu. Aku sebagai seorang anak yang puthauw tentu saja menurut segala
kehendak ibu, dan pilihan ibu .... Tentu saja aku setuju sekali ...."
"Apakah kalau pilhan ibumu jatuh pada seorang yang kau tidak suka, kau juga akan
menurut" Tanya Bu Beng.
Cin Eng gelengkan kepala keras-keras. "Tidak ! dalam hal ini biarpun ibu sendiri
akan kutentang." "Kalau begitu kau suka padaku" Tanya Bu Beng dan pegangan tangannya dipererat.
Cin Eng hanya tunduk. "Entahlah ..." kemudian ia berkata.
"Cin Eng adiku, bilanglah terus terang. Cintakah kau padaku" Jawab saja dengan
geleng atau angguk."
Cin Eng mengangkat mukanya dan mengangguk.
"Betul betul kau cinta padaku" Ingat , aku seorang miskin. Lihat saja bajuku,
penuh tambalan. Aku hidup sebatang kara, dan ingatlah, bahwa jika kau menjadi
istriku,maka kau akan hidup serba kekurangan dan sengsara."
Cin Eng pandang wajah Bu Beng dengan tajam. "Koko, jangan kau berkata begitu.
Kau anggap aku ini gadis apa" Biarpun akan menderita hidup miskin, disampingmu
aku akan berbahagia!"
Saking girangnya rasa hati Bu Beng, ia menarik tangan Cin Eng hingga gadis itu
tersentak dan jatuh bersandar kedadanya.
"Adikku yang jelita, adikku yang tercinta! Tahukah kau bahwa brusan aku merasa
sedih sekali dan bahkan mengambil keputusan untuk tidak kawin denganmu karena
takut kalau-kalau kau akan menjadi sengsara" Kini hatiku puas. Aku menjadi
berani, karena dengan kau disampingku aku berani menempuh gelombang penderitaan
yang bagaimana hebatpun."
Cin Eng meramkan matanya dan bersandar di dada yang bidang itu dengan hati
memukul penuh kebahagiaan.
Untuk beberapa lama mereka tenggelam dalam ombak asmara, mabuk alunan mesra.
Sengguhpun kedua taruna itu diam saja tak bergerak, yang wanita bersandar ke
dada dengan meramkan mata, yang pria duduk memegang kedua lengan dengan
berdongak memandang dewi malam yang gemilang, dilamun pikiran penuh keindahan,
tiba-tiba Cin Eng tersentak bangun. Ia berdiri memandang Bu Beng dengan mata
dibuka lebar lalu berkata hampir berteriak.
"Tidak ... ! tidak ....! Tidak mungkin ... !" kemudian sebelum Bu Beng sadar dari
terkejutnya gadis itu lari cepat masuk hutan.
"Adik Eng ... adik Eng ...!' Bu Beng loncat mengejar dengan cepat dan sebentar saja
gadis itu telah berada dalam pelukannya.
"Adikku sayang ... ada apa" Mengapa kau lari" Apa yang kau susahkan?"
cin Eng menangis sedih dan geleng-gelengkan kepala bagaikan orang gila. Ia
berontak-rontak dalam pelukan Bu Beng, tapi pemuda itu tak mau melepaskannya.
"Adik Eng, kalau ada kesukaran, beritahulah aku. Mari kita pecahkan bersama-
sama." Tapi Cin Eng hanya geleng-geleng kepala dengan sedih.
Tiba-tiba Bu Beng lepaskan pelukannya. "Hm, agaknya ternyata bahwa kau tidak
cinta padaku, ya" Memang lebih baik begitu aku orang miskin tak berharga. Nah,
aku takkan mencegah dan menahanmu. Kau bebas, biar aku cinta sepenuh hati dan
jiwaku padamu tapi aku sebagai orang laki-laki tak kan gunakan kekerasan untuk
memilikimu." Mata Cin Eng terbelalak, ia lalu menangis makin sedih. "Tidak, koko, bukan
demikian, kau salah sangka! Dengarlah, koko kita tak mungkin menjadi suami-istri
.. karena ... karena ..."
Bu Beng pegang pundaknya. "Karena apa" Siapa yang melarang " katakanlah ...
katakanlah !" "Tidak adayang melarang, koko ..... tapi ... tapi .... Kalau kita kawin, maka ... itu
berarti aku akan menjadi pembunuh ...!"
bu Beng terkejut dan tak mengerti. "Apa katamu" Pembunuh" Siapa yang akan kau
bunuh?" "Aku akan menjadi pembunuh ... anakku .... Anak kita ....!"
Bu Beng makin heran. Ia mulai bersngsi. Gilakah gadis ini"
"Cin Eng tenanglah. Apa maksudmu" Aku tidak mengerti sama sekali. Jelaskanlah
dan bicaralah dengan tenang. Kau kan wanita gagah" Mengapa begini lemah?"
"Begini koko" kata Cin Eng setelah susut air matanya, "Sebenarnya aku ... aku
mempunyai semacam penyakit dalam tubuh ... kata ayah dulu, akibat penyakitku ini
walaupun tidak mengganggu badanku sendiri, tapi akan merusak anak dalam
kandungan. Anak yang kukandung akan dimakan penyakit itu dan akan lahir tak
bernyawa lagi ..." Bu Beng terkejut dan untuk sejenak ia berdiri bagaikan patung dengan hati tak
karuan rasa. "Tak dapatkah diobati?"
Cin Eng menahan isaknya. "Inilah soalnya yang sukar. Inilah mengapa ibu inginkan
mantu yang mempunyai kegagahan diatas dia sendiri. Obat penyakit ini sukar
sekali dicarinya. Obat ini hanya jantung seekor ular yang telah bertapa dan
mempunyai mustika didalam kepalanya! Nah, bayangkan, betapa sukarnya mencari
obat ini!" Bu Beng benar-benar terpukul hatinya dan ia pandang wajah kekasihnya dengan
putus asa. "Dimana ... dimanakah orang bisa dapatkan ular demikian itu ...?"
Cin Eng melihat wajah pemuda yang suram dan bersedih itu menjadi kasihan, maka
buru-buru ia menerangkan.
"Koko, dulu pernah ayah dan ibu berdua pergi ke tempat dimana terdapat ular
macam itu, tapi ternyata mereka gagal dan bahkan hampir saja ayah dan ibu
terbinasa karenanya, karena tempat gua dimana ular itu bersembunyi adalah
sangat berbahaya. Biarpun ayah ibu berkepandaian tinggi, mereka tak berdaya.
Maka, akhirnya kami putuss asa dan aku hidup mengandung kedukaan dan kecemasan.
Ibu dan aku sendiri lalu memutuskan bahwa orang yang diterima lamarannya


Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap diriku harus orang yang berkepandaian tinggi dan yang kiranya cukup
kuat untuk dapat mencari obat itu.
Bu Beng mengangguk-angguk dan wajahnya menjadi gembira kembali. Ia yakin bahwa
ia tentu akan dapat mencari obat itu. Segera ia berkata. "Adikku, tenangkan
hatimu. Aku pasti dapat mencari obat itu. Katakanlah dimana tempat itu" Aku akan
segera berangkat mencarinya."
Cin Eng, pegang erat lengan Bu Beng, "Jangan, koko .... Jangan ...."
"Eh, mengapa jangan?" Tanya Bu Beng heran.
"Tempat itu sangat jauh dan berbahaya. Aku khawatir ... kau ... kau ....!"
"Khawatir aku menemui bahaya" Ah, betapa besar bahayanya membunuh seekor ular"
Jangankan baru harus menghadapi ular, biarpun disuruh menghadapi seekor naga
sakti sekalipun, demi kebahagianmu, akan kutempuh juga dengan berani."
Cin Eng sandarkan kepalanya ke dada Bu Beng.
"Koko, kau .... Kau seorang mulia. Sebenarnya aku akan bahagia sekali dapat hidup
bersamamu di dunia ini yang penuh kegetiran ini. tapi .... Kalau kau pergi dan
mendapat bencana di tempat berbahaya itu, ah ... lalu aku bagaimana koko?" air
matanya menitik turun. "Jangan khawatir, adikku. Rasa sedih dan doamu akan membuat aku tidak mempan
oleh segala bahaya. Aku pasti akan kembali. Katakanlah dimana tempat ular itu?"
"Menurut kata ibu, tempatnya jauh sekali, karena bukan di daratan Tiongkok, tapi
disebuah pulau sebelah timur pantai Tiongkok, yaitu di pulau Ang coat ho. Disitu
terdapat sebuah gua di dalam gunung dan disitulah telah bertahun-tahun duduk
bertapa seekor ular yang besar sekali. Kepalanya mengeluarkan cahaya dan ia
berbahaya serta ganas. Hawa dari mulutnya saja dapat membakar kulit kita, kata
ibu. Tapi, lebih baik kita Tanya ibu, karena ia tentu dapat memberi petunjuk
yang lebih nyata lagi."
Tanpa membuang waktu lagi, Bu Beng menggandeng tangan Cin Eng dan mereka kembali
ke kampong. Cin Eng langsung menuju kerumahnya dan Bu Beng duduk bersamadhi di
ruang tamu karena untuk tidur sudah kepalang baginya.
Pagi-pagi sebelum fajar menyingsing, Bu Beng segera menjumpai Hun toanio
yangternyata sudah bangun pula. Kim Kong Tianglo juga sudah bagun, maka mereka
bertiga bercakap-cakap. Bu Beng langsung majukan pertanyaan kepada Hun toanio
tentang pulau Ang coat ho.
"Ah, kau sudah tahu" Tentu dari Cin Eng! Memang hari ini aku hendak ceritakan
padamu, mantuku. Entah dosa apa yang dilakukan oleh ayah atau ibu Cin Eng di
waktu mudanya, maka Cin Eng menderita sakit terkutuk itu. Pulau yang kau
tanyakan itu terletak di sebelah timur. Aku
sendiri tidak tahu jelas. Tapi ada satu jalan yang takkan membawamu tersesat,
yahni, dari sini kau menuju ke utara. Terus saja, setelah kira-kira empat lima
ratus li, kau akan bertemu dengan sungai besar yang mengalir ke timur. Nah, dari
situ kau bisa menggunakan perahu menurut aliran sungai sampai ke laut. Kau harus
hati-hati, air sungai itu setelah mendakati laut menjadi sangat besar dan
berbahaya. Setelah perahu sampai di permukaan laut, tepat dimana air sungai itu
terjun, maka dari situ kau dapat melihat sebuah pulau yang panjang dan kecil
bentuknya, agak arah timur laut dan warnanya hitam kehijau-hijauan. Pulau itu
mudah dikenal diantara pulau-pulau lain, karena pulau-pulau panjang kecil hanya
sebuah itu saja. Nah, dari situ kau dapat berlayar ke pulau itu. Di Ang coat ho
terdapat sebuah bukit yang puncaknya meruncing keatas. Kau boleh mendarat
disebelah selatan pulau itu dan naik bukit melalui sebuah hutan pohon siong yang
terdapat di sebelah selatan bukit. Setelah melewati tiga buah hutan yang
berbahaya, maka akan sampailah kau di mulut gua ular yang kumaksudkan itu. Nah,
disitu kau harus bertindak hati-hati dan segala=galanya terserah kepada
pertimbagnan dan kewaspadaanmu sendiri."
Bu Beng mendengarkan dengan penuh perhatian sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Sue, Hun toanio dan suaminya yang terkenal gagahpun tidak berhasil membunuh
ular itu. Kau harus tahu bahwa usahamu kali ini adalah berbahaya sekali dan
bukan tidak mungkin jiwamu dalam bahaya pula. Maka, sudah bulat benar-benarkah
hatimu untuk pergi kesana?"
Bu Beng memandaang suhengnya dengan sinar mata tetap, "Suheng, kau sendiri yang
mengajar padaku supaya menjadi seorang laki-laki jantan dan memegang teguh kepercayaan. Kini, suheng
begitu mencinta kepadaku dan mencarikan pasangan hidup. Maka setelah orang
menaruh kepercayaan kepadaku sedemikian besarnya hingga rela menjadi istriku,
pantaskah kalau aku mundur hanya karena rintangan ini" pantaskah kalau aku
menjadi takut untuk berkorban, biar dengan jiwaku sekalipun" Tidak, suheng
sendiri tentu akan mencelaku habis-habisan kalau aku mundur dan takut."
Kim Kong Tianglo berdiri dan memegang pundak sutenya. "Bagus, bagus! Beginilah
seharusnya sikap seorang jantan, kau pantas menjadi murid terkasih dari guru
kita yang bijaksana. Dan dengan kata-katamu ini terbayanglah betapa besarnya
cintamu terhadap calon istrimu. Sayang aku sudah tua dan lemah, sute. Kalau
tidak tentu aku akan turut dan membantumu."
"Terima kasih suheng. Aku tidak berani membawamu kedalam bahaya ini. Pula ini
adalah tanggung jawab dan kewajibanku sendiri. Disamping itu, akupun ingin
meluaskan pengalaman dan menjelajah tempat-tempat yang asing untuk menambah
pengetahuanku." "Bilakah kau akan berangkat, anakku?" Tanya Hun toanio dengan suara halus dan
ramah. "Sekarang juga, jawab Bu Beng dengan suara tetap.
Hun Gwat Go berteriak memanggil Cin Eng. Baru saja ia menutup mulutnya, gadis
itu telah muncul dari pintu karena semenjak tadi telah mendengarkan di balik
daun pintu. Sepasang matanya yang bagus itu berwarna kemerah-
merahan bekas tangis dan tangannya membawa sebuah bungkusan.
Hun toanio berkata, "Anakku, kokomu hendak berangkat mencari obat untukmu, hayo
haturkan selamat jalan!" Cin Eng tak menjawab tapi menghampri Bu Beng tanpa
kata-kata apa-apa hanya mengangsurkan bungkusan itu sambil memandang wajah
pemuda itu dengan mata sayu.
"Apakah ini, adik Eng?" Tanya Bu Beng dengan terharu.
"Pakaian dan selimut penahan dingin," jawab gadis itu perlahan sambil tundukkan
kepala, lalu ia membalikkan tubuh lari ke pintu. Tapi setiba di ambang pintu, ia
menengok memandang sekilas lagi kepada Bu Beng dan bibirnya berbisik perlahan,
"Hati-hatilah koko ... ..... "
Hun Gwat Go dan Kim Kong Tianglo ikut terharu melihat perpisahan ini dan diam-
diam mereka heran mengapa kedua taruna itu nampak telah demikian mesra seakan-
akan sudah tak asing lagi.
Bu Beng berjalan cepat tiada hentinya sehari penuh. Karena daerah yang
dilaluinya itu masih asing baginya, maka ia sendiri tidak tahu kemana ia sedang
menuju! Ia hanya tahu bahwa ia harus mengambil jalan langsung kearah utara. Maka
ia menjadi bingung juga ketika matahari telah tenggelam dan cuaca sudah mulai
gelap, masih saja ia belum keluar dari sebuah hutan. Ketika ia melihat dua ekor
burung mendekam diatas dahan pohon yan rendah, maka tiba-tiba ia merasa letih.
Tadi semangatnya yang berkobar-kobar hendak lekas-lekas tiba di tempat yang
ditujunya membuat ia tak kenal lelah, tapi
dua ekor kurung yang sedang beristirahat dengan nikmatnya itu membuat kedua
kakinya terasa lemas dan tiba-tiba ia ingat pula bahwa sehari itu ia belum makan
apa-apa. Ia pasang mata dan telinga kalau-kalau di dekat situ terdapat rumah
makan atau runah perkampungan. Tapi ternyata hutan itu liar dan hanya penuh
dengan pohon-pohon besar. Bu Beng loncat keatas, dari mana ia memandang kesana
kemari kalau-kalau ada, tentu ia akan dapat melihat sinar api pelita rumah
orang. Betul saja, di jurusan selatan ia melihat sinar api berkelap-kelip. Segera ia
meloncat turun dan menuju ke tempat itu.
Ternyata sinar pelita itu keluar dari sebuah pondok kecil yang sederhana. Pintu
pondok itu tertutup rapat. Bu Beng maju mengetuk tapi tiada terdengar jawaban.
Bu Beng mengetuk lagi sambil memanggil-manggil. Tetap tiada jawaban. Ia menjadi
curiga dan segera mengintip dari celah-celah bilik dan daum jendela. Ia melihat
rumah itu kosong dan tidak ada penghuninya, tpi diatas meja tampak makanan
didalam beberapa buah mangkuk. Dan timbullah seleranya. Tanpa memperdulikan
bahwa tindakannya itu tidak sopan, ia gunakan tenaganya untuk mendobrak daun
pintu. Ketika ia memasuki rumah itu, bau arak wangi menambah laparnya dan
langsung ia menuju ke meja yang penuh makanan itu.
Tiba-tiba terdengar suara dan seperti ada sesuatu bergerak-gerak di ruang
sebelah kamar itu. Bu Beng segera berlaku waspada. Sekali meloncat ia lewati
pintu tembusan dan berada dalam kamar sebelah itu. Alangkah kagetnya ketika
melihat seorang tua rebah di lantai tak berdaya. Ketika ia melihat lebih cermat,
ternyata bahwa orang laki-
laki tua itu tidak lain adalah Lui Im si Golok Setan, ketua Cung lim pang yang
telah ditemuinya di rumah Lim San dulu itu.
Orang tua gagah itu tak berdaya dan Bu Beng maklum Lui Im terkena totokan jari
tangan seorang pendekar ulung. Ia segera mengulurkan tangannya dan menggunakan
jari tengah untuk memulihkan jalan darah Lui Im.
Setelah jalan darahnya baik kembali, Lui Im menggerak-gerakkan kaki dan
tangannya, lalu meloncat berdiri. Ia memandang Bu Beng dan merasa girang
bercampur terkejut ketika menganalnya. Segera ia menjuru.
"Ah, terima kasih, Bu Beng Taihiap. Sungguh hebat totokan yang membuatku tak
berdaya tadi sehingga setelah mengumpulkan semangat, aku hanya mampu menggerak-
gerakkan kakiku saja untuk menarik perhatian orang. Ternyata yang masuk rumah
ini tadi adalah kau sendiri. Sukurlah, kalau tidak entah bagaimana jadinya
dengan diriku." Bu Beng balas menghormat, "Aku juga girang sekali dapat berjumpa dengan
loenghiong disini. Bagaimanakah erjadinya maka loenghiong sampai dalam keadaan
begini dan ini rumah siapa?"
Lui Im menghela napas. "Kalau diceritakan, sungguh membuat aku malu. Kali ini
hancurlah nama si Golok Setan dan sekaligus tercemar dan hina pulalah nama
perkumpulanku," kemudian ia bercerita.
Lui Im yang terkenal dengan sebutan Golok Setan karena memang permainan goloknya
sangat ditakuti kaum persilatan, meminpin sebuah perkumpulan yang berpengaruh yaitu perkumpulan Cung
lim pang. Telah lama perkumpulannya menanam bibit permusuhan dengan perkumpulan
Hong bu pang yang berada di kota itu juga. Permusuhan itu sebenarnya
dibangkitkan oleh soal yang kecil saja. Mula-mula terjadi perkelahian pribadi
antara seorang anggota perkupulan Cung lim pang dan seorang anggota Hong bu
pang. Tentu saja rasa setia kawan dari masing-masing pihak mudah saja terbakar
oleh perkelahian ini dan rasa permusuhan menjalar begitu dalam hingga Lui Im
sendiri dan ketua Hong bu pang yang bernama Tan tek Seng seorang jagoan cabang
atas, ikut-ikut terseret. Kedua jago tua ini sebenarnya memiliki kepandaian
tinggi dan mempunyai kesabaran yang besar, tapi desakan api permusuhan yang
dikobarkan oleh anak buah masing-masing demikian besar hingga pada suatu hari
kedua jago-jago tua itu bertemu untuk mengadu tenaga!.
Dalam perkelahian yang hebat itu Tan Tek Seng dapat dikalahkan oleh Lui Im.
Tentu saja kekalahan ini tidak ditelan mentah-menatah oleh pangcu dari Hong bu
pang itu. Ia menaruh dendam hati yang ditahan-tahan.
Beberapa bulan kemudian. Lui Im menerima surat tantangan dari Tan Tek Seng untuk
mengadu tenaga di hutan Hek san lim di luar kota. Dalam surat itu disebutkan
bahwa masing-masing tidak boleh membawa teman. Lui Im adalah seorang jagoan tua
yang gagah berani. Menerima surat itu, walaupun dalam hatinya terbit curiga,
namun ia merasa malu jika ia tidak berani datang ke hutan itu seorang diri.
Demikianlah, pada hari itu ia pergi seorang diri ke hutan tersebut.
Di tengah hutan telah menanti Tan Tek Seng, tapi pangcu yang licik itu ternyata
tidak datang seorang diri. Ia mempunyai seorang kawan yang disembunyikan. Maka,
ketiak mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba daja muncul seorang
pendeta memelihara rambut panjang memisahkan mereka dan pura-pura menanya
persoalan mereka. Sebenarnya imam itu adalah orang bawaan Tan Tek Seng. Untuk
membuktikan bahwa Tan Tek Seng datang seorang diri, maka imam itu diminta datang
belakangan. Dalam keputusan dan pengadilan yang berat sebelah Lui Im menjadi
marah dan akhirnya ia bertarung dengan imam itu yang mengaku bernama Ang Hwat
Tojin. Ternyata imam itu hebat sekali hingga akhirnya Lui Im kena totok roboh
dan tak berdaya. Tahu-tahu ia telah dibawa oleh lawannya kedalam pondok itu,
sedangkan kedua lawannya makan minum hidangan yang telah disediakan dalam
pondok. Dalam keadaan tidak berdaya inilah Lui Im dapat menangkap pembicaraan
mereka dan tahu bahwa Ang Hwat Tojin memang sengaja diundang oleh Tan Tek Seng
untuk menjatuhkannya. Sehabis bercerita. Lui Im menghela napas lagi. "Bu Beng hiante, mereka sangat
menghinaku. Ketika hendak pergi, imam itu berkata bahwa jika aku hendak menuntut
balas aku boleh datang ke rumah Tan Tek Seng pangcu karena ia akan berdiam
disana selama satu bulan. Sungguh sakit sekali hatiku. Biarpun aku harus
mengakui bahwa ia lebih unggul dariku, tapi aku lebih baik mati daripada
menerima hinaan ini. sekarang juag aku harus pergi kesana mengadu tenaga!"
Sambil mengucapkan kata-kata ini, Lui Im berdiri dan dengan tangan mengepal ia
kertakan gigi, kedua matanya bersinar menyala-nyala.
Bu Beng juga merasa panas akan kecurangan Tan pangcu. Lebih-lebih jika diingat
bahwa Lui Im adalah sahabat baik suhengnya, Kim Kong Tianglo. Sebelum ia berkata
sesuatu, Lui Im berkata lagi dengan suara sedih.
"Ah sayang sekali, kalau saja sahabatku Kim Kong Tianglo berada disini, belum
tentu aku yang tua ini sampai terhina demikian rupa!"
Bu Beng merasa akan sindiran ini, ia maklum bahwa bagaimanapun juga, Lui Im
tidak percaya bahwa ia cukup kuat untuk membelanya. Maka dengan tenang ia
berkata. "Loenghiong, aku sebagai sute dari Kim Kong Tianglo, mana dapat berpeluk tangan
melihat saja semua kejadian ini" maka jika kau sudi menerimanya, aku tawarkan
tenagaku yang tak beranti ini untuk mewakili suhengku membantumu dalam persoalan
ini." Lui Im berdiri dengan wajah girang. "Terima kasih hiante, terima kasih. Kalau
kau suka membantu, pasti sakit hatiku ini dapat dicuci bersih."
"Jangan terlalu berbesar harap, loenghiong, tapi aku akan bekerja sekuat tenaga.
Bilakah kita akan kesana?"
"Mari kita makan dulu, hiante. Bangsat-bangsat itu sengaja meninggalkan makanan
diatas meja agar aku merasa sengsara dan menderita. Mari kita beristirahat dulu
semalam ini. besok pagi=pagi kita berangkat."
Keduanya lalu makan dan Bu Beng yang telah merasa lapar sekali makan dengan
lahapnya. Kemudian mereka
mengaso dalam kamar itu dimana terdapat sebuah tempat tidur bata.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka berangkat dan langsung manuju ke kampong
Hong bu pang. Perkampungan itu terdiri dari beberapa petak rumah yang semuanya
milik anggota-anggota perkumpulan itu. Kampong itu dikelilingi oleh tembok
tinggi yang dipasang besi-besi runcing diatasnya. Empat pintu besar di tiap
penjuru dibuka lebar-lebar dan beberapa gerobak hilir mudik melaluinya. Pintu
itu masing-masing dijaga oleh enam orang bersenjata tombak dan golok. Sikap
mereka galak dan angkuh. Lui Im dan Bu Beng menghampiri pintu selatan. Mereka dihentikan oleh penjaga-
penjaga disitu dan ditanya keperluan mereka.
"Kami berdua hendak menjumpai Tan pangsu."
Ketika penjaga-penjaga itu mendengar bahwa yang datang adalah pangcu dari Cung
lim pang, berubahlah wajah mereka dan dua orang diantaranya segera lari masuk
memberi laporan. Tak lama kemudian, dari dalam perkampungan kecil itu keluar orang setengah tua
yang bertubuh tegap dengan tindakan kaki tetap, menandakan bahwa ia adalah
seorang ahli silat. Ketika melihat Lui Im, ia menjuru dengan hormat. "Maafkan,
Lui pangcu, pangcu kami kebetulan sedang keluar kampong. Tapi ia tadi memberi
pesan padaku, bahwa jika ada orang datang mencarinya, diminta agar kembali lagi
malam nanti." Lui Im kenal bahwa yang datang itu adalah seorang jagoan di Hong bu pang yang
bernama A Liat si Angin Ribut. Maka ia balas menjuru dan berkata kecewa. "Ah,
sayang sekali. Sebenarnya aku datang memenuhi undangan Ang Hwat Tojin."
"Ang Hwat Tojin juga keluar bersama-sama pangcu. Sebaiknya Lui Im pangcu kembali
saja malam nanti." Ketika berkata demikian A Liat mengerling kearah Bu Beng
sambil mengamat-amati, seakan-akan sedang mengukur-ukur kekuatan orang itu.
Ketika itu Lui Im duduk diatas sebuah bangku yang terdapat ditempat jaga itu dan
melihat Bu Beng berdiri saja, si Angin Ribut segera menghampiri bangku batu di
sudut dan dengan sekali congkel dengan kaki bangku itu melayang keatas dan
diterima olehnya seakan-akan bangku batu yang beratnya ada seratus kati itu
hanya merupakan bangku bamboo saja. Kemudian ia membawa bangku itu kepada Bu
Beng dan berkata. "Silakan duduk, tuan muda," ucapan "tuan muda" ini mengandung
sindiran, karena Bu Beng yang ketika itu belum mengganti pakaian kuning penuh
tambalan sesungguhnya sebutan "tuan muda" itu tidak pantas dan menggelikan.
Bu Beng maklum bahwa orang itu sedang menunjukkan kekuatan tenaganya. Maka ia
pura-pura kaget dan termangu. "Ah, tenaga tuan sungguh mengkagumkan! Terima
kasih!" kemudian ia duduk di bangku batu yang tebal itu, tapi diam-diam ia
kerahkan tenaga dalamnya dan "krak!" kaki bangku itu patah menjadi empat.
"Sayang bangkumu lapuk sekali, tuan," kata Bu Beng tersenyum dan berdiri tegak.
Bukan main kaget A Liat

Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat hal ini. diam-diam ia kagum sekali, maka ia menjuru dan berkata, "Maaf."
"Nah, kalau begitu, biarlah kami kembali malam nanti pada kentungan sembilan
kali. Katakanlah kepada pangcumu agar ia bersikap demikian pula kepada Ang Hwat
Tojin," kata Lui Im yang segera mengajak Bu Beng pergi.
Mereka berdua lalu menuju ke kampong Lui Im. Semua anggota perkumpulan Cung Lim
pang yang tadinya telah merasa cemas dan khawatir karena pangcu mereka semalam
tidak pulang, kini menjadi girang melihat pangcu mereka kembali dalam keadaaan
sehat. Istri Lui Im dan Kui hwa anak gadisnya menyambut kedatangan mereka dengan
ramah tamah. Lui Im membuat perjamuan untuk menghormati tamunya. Ketika mendengar bahwa anak
muda yang berpakaian kuning penuh tambalan itu adalah sute dari Kim Kong Tianglo
yang mereka kenal baik, nyonya Lui Im makin manis sikapnya dan lebih-lebih Kui
hwa. Lui Im merasa gembira sekali, karena ia yakin bahwa Bu Beng pasti dapat
membersihkan namanya. Maka ia makan minum sepuas-puasnya sampai mabuk. Di
tengah-tengah perjamuan ia berkata kepada tamunya.
"Bu Beng hiante, maafkan kalau aku berlaku lancing. Berapakah usia hiante tahun
ini dan apakah sudah mempunyai hujin?"
Merah wajah Bu Beng mendengar pertanyaan ini. karena pertanyaan dari seorang
yang mempunyai anak gadis yang
diajukan seperti ini bukannya tak mengandung arti. Maka dengan malu-malu ia
berkata. "Siauwte berusia dua puluh enam tahun dan belum kawin, tapi ...." Ia menyambung
cepat, "siauwte sudah bertunangan."
Biarpun ditahan-tahan, nampak juga kekecewaan menggores wajah Lui Im. "Siapakah
nona tunanganmu itum hiante?"
"Ia adalah puteri dari mendiang Lui Pa San loenghiong." Katanya dan tiba-tiba ia
teringat akan penyakit yang diderita Cin Eng hingga tak terasa menghela napas.
Demikianlah, hari itu mereka lewati dengan makan minum dan bercakap-cakap. Lui
Im suka sekali kepada pemuda yang bersikap sopan dan pandai membawa diri itu.
Bu Beng mendapat sebuah kamar istimewa dan ketika ia dipersilakan mengaso, ia
buka bungkusan pemberian Cin Eng. Ternyata bungkusan itu berisi dua stel pakaian
warna kuning yang masih baru dan sehelai selimut. Bu Beng kagum sekali betapa
cepatnya gadis pujaannya itu mempersiapkan pakaian untuknya. Ah, tentu
sepulangnya dari hutan itu, tunangannya terus menjahit hingga pagi! Ia lepaskan
pakaiannya yang lapuk dan mengenakan pakaian baru itu. Ternyata pas benar! Ia
makin kagum kepada kekasihnya. Kemudian ia berbaring dan tidur. Pada kira-kira
pukul tujuh malam, ia jaga dari tidurnya dan terus duduk bersemedhi menentramkan
semangat karena ia harus menghadapi kemungkinan bertempur melawan orang-orang
lihai. Beberapa jan kemudian terdengar panggilan Lui Im perlahan. Bu Beng yang sudah
siap lalu membuka pintu. Orang tua itu telah berpakaian ringkas dan pinggangnya
tergantung goloknya. Ia nampak gagah dan sigap.
"Sudah siap, hiante?" tanyanya perlahan.
"Sudah , marilah."
Ternyata Lui Im tidak memberitahukan persoalannya kepada anak istrinya agar
mereka jangan merasa khawatir. Maka diam-diam kedua orang itu meninggalkan
kampong dan menuju kearah Hong bu pang.
Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang Hong bu pang, ternyata pintu itu
tertutup rapat. Bu Beng mencoba mendorongnya, tapi pintu itu terbuat daripada
besi tebal dan terkunci dari dalam, kuat sekali.
"Eh, kenapa mereka menutup pintu" Takutkah mereka?" Tanya Bu Beng.
"Tidak mungkin mereka demikian pengecut!" seru Lui Im keras-keras dengan sengaja
agar dapat terdengar dari balik tembok.
Tiba-tiba Bu Beng memperingatkan. "Awas senjata gelap!" tapi Lui Im dapat
mendengar juga suara angin menyambar kearah mereka. Ia meloncat dan tiga batang
piauw menyambar lewat. Bu Beng mengulurkan kedua tangannya menangkap dua batang
pelor yang menyambar kearahnya.
"Ha, ha, ha ! Lui Im ! kau berani datang mencari mampus! Masuklah kalau kau dapat dan berani." Terdengar suara Tan Tek Seng menertawakan mereka dari atas
tembok. "Orang she Tan pengecut! Biar kukejar sampai dimana juga!" teriak Lui Im dengan
marah dan ia siap meloncat keatas, tapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Bu
Beng. Lui Im merasakan pegangan itu kuat sekali hingga tak mungkin baginya untuk
melepaskan diri dan meloncat.
"Sabar, Lui loenghiong biarlah siauwte yang naik dulu untuk melihat suasana. Aku
khawatir mereka memasang jebakan diatas, sebagaimana yang telah mereka lakukan
dengan mengirim senjata gelap tadi."
Sebelum Lui Im dapat menjawab, anak muda itu mengayunkan tubuhnya dan melayang
keatas tembok. Bagi orang lain, biarpun ia mempunyai kepandaian tinggi, jika
meloncat tembok itu tentu sesampainya diatas akan berpegangan kepada besi
runcing. Tapi Bu Beng mempunyai ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang
sempurna dan gerakannya gesit sekali. Maka dengan sengaja ia perkeras
loncatannya hingga tubuhnya melayang keatas besi-besi itu dan menginjakkan kedua
kakinya diujung besi! Tubuhnya dengan tetap dan ringan bagaikan seekor burung
berdiri diatas besi itu sambil memandang kebawah dengan tajam.
Benar saja, dari bawah menyambar beberapa belas piauw dan pelor besi kearahnya.
Secepat kilat Bu Beng mencabut pedang pendek wee liong kiam dari punggungnya dan
memutarnya untuk melindungi tubuh. Semua senjata rahasia itu terpental kembali
dengan suara berderincingan.
Maka pemuda yang tajam itu melihat beberapa bayangan tubuh di bawah tembok. Ia
segera mengayunkan tangannya dan melepaskan dua buah pelor yang tadi disautnya
ketika ia mula-mula mendapat serangan. Terdengar suara teriakan orang kesakitan
dibawah tembok. "Tan pangcu! Ang Hwat Tojin! Tidakkah sambutan ini sangat memalukan dan bukan
perbuatan orang-orang gagah" Atau kalian takut kepada Lui pangcu?" seru Bu Beng
dari atas. "Orang gagah darimana yang datang ini. turunlah dan bawa orang she Mui itu
masuk. Kami ingin memandang mukamu dan mempersilakan kamu masuk," terdengar
suara Tan Tek Seng. Bu Beng segera memberi isyarat kepada Lui Im yang masih berdiri dibawah. Lui Im
menggerakkan kakinya dan meloncat keatas. Ia tidak berani meniru perbuatan dan
gerakan Bu Beng tadi, tapi menggunakan tangan kirinya memegang sebuah besi untuk
menahan tubuhnya. Kemudian dengan Bu Beng mendahuluinya, mereka turun ke dalam.
Mereka disambut oleh tiga orang yang berdiri di tengah-tengah lapangan. Di
sekitarlapangan itu ditaruh obor yang membuat tempat itu terang sekali bagaikan
siang. Di belakang obor-obor itu berdiri berpuluh orang dengan pakaian ringkas
dan senjata di pinggang merupakan barisan. Keadaan mereka kelihatan perkasa
sekali dan rupa-rupanya mereka telah melakukan persiapan sejak tadi.
Tan Tek Seng yang bertubuh gemuk pendek melangkah maju, dan menjuru kepada Lui
Im. "Lui pangcu. Sungguh beruntung hari ini aku dapat bertemu kembali dengan kau
dalam keadaan sehat."
"Aku tidak ada urusan apa-apa lagi dengan kau, Tan pangcu. Bukankah kau adalah
pecundangku" Aku datang menagih janji dan memenuhi undangan Ang Hwat Tojin." Ia
melirik kearah orang pendeta kurus tinggi yang memegang kebutan putih berdiri
tenang sambil memandang kearah tamu-tamu itu dengan acuh tak acuh.
"Siancai, siancai!" pendeta itu berkata dengan lagak seorang alim. "Rupanya Lui
pangcu mendapat bantuan orang pandai hingga berani berlagak setelah pinto ampuni
jiwanya." "Hm, pendeta jahat! Selama hidupku belum pernah bermusuhan dengan orang seperti
kau. Tapi mengapa kau berani-berani mencampuri urusan kami tanpa mengetahui
duduk perkaranya" Apakah ini pantas disebut perbuatan seorang yang mencucikan
diri dan telah memakai jubah pendeta" Kau bilang aku membawa teman, memang
betul, tapi siapakah yang melanggar perjanjian lebih dahulu" Aku datang seorang
diri di hutan malam tadi, tapi ternyata Tan pangcu diam-diam mengundang kau.
Sekarang aku datang membawa seorang kawanku, bukankah ini cukup adil?"
"Orang she Lui! Jangan kau lancing mulut menyebut-nyebut tentang kedudukanku.
Kau sudah nyata bukan tandinganku, apakah kau mencari mampus" Tentang kawanmu,
janganlah hanya seorang, biar kau bawa beberapa orang lagi, aku tidak ambil
pusing. Jangan kira kami takaut padamu dan pada kawan-kawanmu," jawab Ang Hwat
Tojin sambil menuding-nudingkan kebutannya.
"Lui loenghiong," kata Bu Beng dengan suara mengandung ejekan, "mereka bilang
tidak takut kepada kita yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, tapi lihatlah dia
itu, bukankah dia itu agaknya orang yang siang tadi mereka cari untuk diminta
bantuannya?" Lui Im memandang kearah orang yang dituding pemuda itu dan melihat
seorang kate yang berpakaian seperti penegmis sambil memegang tongkat. Oran itu
duduk diatas tanah dengan tak acuh sama sekali tentang pembicaraan mereka, tapi
hanya menggunakan tongkatnya menggaris-garis tanah. Bu Beng tertarik sekali oleh
goresan tongkat itu karena biarpun hanya ditekan lemah tapi goresannya dalam
sekali menunjukkan adanya tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Ia
jadi memperhatikan apa yang dituliskan oleh si kate itu. Teernyata dibaris
pertama adalah ujar-ujar nabi Khong Hu Cu yang bernunyi "Su Hai Lwee Kai Heng
Tee Ya" yang artinya,
"Di empat penjuru lautan semua orang adalah saudara," lalu dibawa kedua
disambung uajar-ujar lain yang berbunyi. Janganlah kau lakukan kepada orang lain
sesuatu yang kau sendiri tidak mau dilakukan oleh orang lain kepadamu."
Orang kate itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya terdapat banyak
uban dan awut-awutan tak terurus. Mukanya kotor penuh daki dan wajahnya
menunjukkan watak sembarangan dan tidak pedulian, tapi sepasang matanya
mengeluarkan sinar tajam berpengaruh yang tertutup oleh pelupuk mata yang selalu
tampak seperti orang mengantuk. Bu Beng diam-diam herean dan menduga-duga
siapakah pengemis tua yang luar biasa ini.
Sementara itu, mendengar ejekan Bu Beng, ANg Hwat Tojin menjadi malu dan mukanya
berubah merah. Ia kibas-kibaskan kebutannya dan berkata. "Sudahlah jangan banyak
mengobrol kata-kata busuk yang tak berharga. Sekarang kalian sebagai tamu yang
sudah datang maka kami sebagai tuan rumah hendak bertanya apakah kehendak
kalian" Apakah kau masih sakit hati dan hendak mengadu tenaga dengan pinto,
orang she Lui?" ia menantang sikapnya sombong dan memandang rendah.
Bu Beng mewakili Lui Im menjawab, "Ang Hwat Tojin maafkan aku yang muda ikut
bicara. Kalau dipikir dalam dalam kau sebenarnya tidak mempunyai hubungan
sesuatu dengan Lui Im. Maka, jika kiranya Tan pangcu masih belum puas, ia boleh
ada tenaga dengan Lui pangcu. Tetapi sebenarnya menurut pikiranku yang bodoh,
tak perlu permusuhan ini dilanjutkan berlarut-larut, mengingat bahwa kedua-
duanya adalah ketua dari perkumpulan besar yang seharusnya dapat memberi teladan
baik bagi semua anggotanya dan mejauhi pertikaian yang tiada guna. Adapun kau
sendiri karena kau menjadi orang undangan Tan pangcu, jika kau hendak main-main,
sudah terang bahwa Lui pangcu bukan tandinganmu. Bukannya aku yang muda mau
berlaku sombong, tapi kasihan kalau Lui pangcu yan sudah tua itu harus menjadi
korban totokanmu lagi, biarlah ia kuwakili denan tubuhku yang lebih muda."
"Sudah kusangka, sudah kusangka. Lui Im takkan berani datang kesini kalau tidak
ada orang yang diandalkan. Tentu kau mempunyai kepandaian yang lebih tinggi
daripada orang she Lui itu. Nah, majulah, majulah anak muda biar kita main-main
sebentar." Bu Beng maju dua langkah dan setelah menjuru kepada lawannya, ia mencabut pedang
pendeknya dari punggung. Ang Hwat Tojin melihat pedang itu menjadi kaget dan
berseru, "Tahan dulu ! siapakah namamu?"
"Orang sebut aku Bu Beng."
"Bu Beng Kiamhiap" Kaukah ini" ha, ha , ha ! ini namanya ular dicari-cari
kemana-mana tidak terdapat, tahu-tahu ular itu merayap kearah kaki! Hm, jadi
kaukah yang telah membinasakan suteku dan merampas pedangnya" Hayo kembalikan
Hwe hong kiam itu padaku!"
Bu Beng memutar-mutar pedang pendeknya dan tersenyum.
"Gampang saja kau mau minta pedang ini. jadi kau ini suheng dari Kong Bouw "
sungguh heran, seorang pendeta mempunyai sute kepala penjahat yang kejam dan
ganas! Ketahuilah, Ang Hwat Tojin, sutemu biarpun mati di tanganku tapi
sebenarnya ia mati karena kejahatan dan dosanya sendiri. Kalau ia tidak jahat
dan penuh dosa, masakan dia dapat bertempur dengan aku" Dan kalau tidak
bertempur dengan aku, masakan dia dapat tewas" Tenang Hwe hong kiam ini, aku
dapatkan setelah bertempur mati-matian dikeroyok oleh Kong Bouw dan
komplotannya. Maka sekarang, kalau kau hendak memilikinya, ambillah dari
tanganku. Pedang ini tidak pantas dimiliki untuk melakukan kejahatan. Sudah
cukup pedang ini menderita karena siraman darah orang-orang yang tidak berdosa,
kini aku harus mencuci segala noda itu dengan darah orang-orang jahat yang layak
menjadi korbannya." Bukan main marahnya Ang Hwat Tojin mendengar uraian itu. Ia menggerakkan tangan
kanan mencabut pedang yang terselip di punggungnya. Kemudian sambil menggeram
keras ia maju menyerang. Bu Beng berlaku hati-hati karena dulu ia telah bertanding dengan Kong Bouw yang
ternyata ilmu silatnya hebat juga. Kini berhadapan dengan suheng kepala penjahat
itu, ia harus berhati-hati kareena tentu saja suhengnya lebih hebat daripada
sutenya. Serangan lawan itu ditangkisnya dan cepat ia balas menyerang dengan tipu
berbahaya dari Kim liong kiam hoat. Pedang Hwe hong kiamnya berkilat seperti
kilat menusuk dada lawan. Ang Hwat Tojin terkejut melihat ini dan cepat cepat ia
gunakan kebutannya yang dipegang tangan kiri untuk menyabet pedang itu dengan
gerakan "ular putih melilit dahan". Kebutan itu benar saja telah melilit peadang
Bu Beng dengan kuatnya. Bu Beng kaget juga melihat kehebatan imam itu. Ia
mencoba manarik pedangnya, tapi makin ditarik makin keras saja libatan itu.
Mereka berdua mengerahkan tenaga, Bu Beng menarik dan lawannya menahan. Tiba-
tiba Ang Hwat Tojin menusukkan pedangnya ketenggorokan Bu Beng. Bukan main hebat
dan berbahayanya serangan ini justru pada saat Bu Beng sedang mengerahkan tenaga
kearah pedangnya yang terlibat! Anak muda itu memutar pergelangan tangannya
untuk membalikkan mata pedang dengan maksud menggunakan mata pedang itu membabat
kebutan itu sambil ia berkelit merendahkan tubuhnya menghindari tusukan lawan.
Ang Hwat Tojin merasakan lilitan kebutannya tiba-tiba mengendur dan ketika ia
lihat, bukan main rasa panas dan marahnya kaarena ternyata
kebutannya telah putus oleh tajamnya pedang hwe hong kiam.
Dengan marah ia ayunkan gagang kebutan yang erbuat dari besi itu kearah Bu Beng.
Bu Beng maklum akan kerasnya ayunan itu, maka ia tidak berani menerimanya, dan
mengelakkannya. Gagang kebutan itu terlempar kesisi dan menancap diatas tanah
hingga tak kelihatan lagi. Demikian hebatnya tenaga imam itu, hingga kalau
gagang kebutan itu mengenai tubuh, maka dapat dibayangkan betapa hebat
akibatnya. "Bangsat kecil lihat pedang!" Ang Hwat Tojin berseru marah. Ia memutar pedangnya
demikian rupa sehingga sinarnya berkilauan karena cahaya api obor. Ia
menggunakan ilmu pedangnya "Halilintar mengamuk" menyerang dengan tiba-tiba dan
mematikan. Tapi Bu Beng menghadapinya dengan gagah. Pemuda ini memainkan Kim
liong kiam hoat dicampur denagn tipu-tipu pedang dari Hoa san pai yang hebat
hingga sinar pedangnya bergulung-gulung menindih sinar pedang imam itu,
pertempuran berjalan ramai sekali, mereka merupakan sepasang naga yang sedang
bercanda, mendatangkan angina dingin bersiutan karena gerakan mereka yang
didorong oleh tenaga iweekang yang tinggi.
Semua orang melihat jalannya pertempuran dengan bengong dan kagum. Bahkan orang
tua kate yang kini berdiri dengan tongkat terjepit dibawah lengan turut
menonton. Berkali-kali terdengar bisikan di mulutnya yang kecil. "Bagus, bagus
..." Pada satu saat, ketika Ang Hwat Tojin menusuk karah ulu hati Bu Beng, pemuda itu
menggerakkan pedangnya menangkis, tapi ia terus gunakan tenaga iweekangnya menempel pedang lawan,
memutar lenganya dengan cepat hingga Ang Hwat Tojin terpaksa mengikuti gerak
putaran itu dan sekali menyenakkan pedang pendeknya keatas, Ang Hwat Tojin
berteriak kaget dan pedangnya terlepas dari tangannya terbang ke udara.
Ketika pedangnya mengikuti putaran tadi, Ang Hwat Tojin merasa telapak tangannya
kesemutan dan pedangnya seakan-akan menempel ke pedang lawan, dan ketika ia
sedang kebingungan untuk melepaskan pedangnya dri tempelan, tiba-tiba tenga
keras menarik pedangnya dan sentakan lawan membuat ia tak dapat menahan lagi
hingga pedangnya terpelanting keatas.
Sebelum Ang Hwat Tojin hilang kagetnya, jari tangan Bu Beng secepat kilat
menusuk dan menotok jalan darah di pundaknya. Pendeta itu jatuh terduduk dan tak
dapat bangun kembali, karena totokan yang hebat itu membuatnya lumpuh dan mati
setengah tubuhnya. "Bangunlah, Ang Hwat ojin, bangunlah," tiba-tiba pengemis kate itu berkata dan
menggunakan tangannya memegang pundak Ang Hwat Tojin sambil membantunya bangun.
Tapi diam-diam orang kate itu menggunakan tangannya menekan pundak dengan
gerakan capung melayang memukul air untuk menyembuhkan totokan Bu Beng. Ang Hwat
Tojin segera dapat bangun berdiri dengan wajah merah dan sepasang matanya
memandang lawan yang muda itu dengan melotot.
Orang kate itu menghadapai Bu Beng dan bertindak maju sampai hanya tiga kaki
terpisah dari Bu Beng. Ia
masih mengempit tongkatnya dan menjuru sambil merangkapkan kedua tangan.
"Bu Beng Taihiap, kau sungguh hebat dan membuat aku sangat kagum." Katanya


Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan senyum. Bu Beng merasa ketapa dari kedua lengan itu menyambar tenaga besar hingga ia
sangat terkejut. Buru-buru ia rangkapkan kedua tangan sambil mengerahkan
iweekangnya dan balas menjuru.
"Losuhu terlalu memuji. Mohon keterangan siapakah losuhu ini?" si kate yang
sedang mencoba kehebatan anak muda itu merasa tenaganya terpukul kembali hingga
diam-diam ia makin mengagumi Bu Beng.
"Ha, ha, sungguh hebat. Sungguh hebat. Masih semuda ini, tapi memiliki
kepandaian yang tak tercela. Dengarlah anak muda, lohu disebut orang Pengemis
Kecil tongkat Wasiat. Namaku Lo Sam dan pekerjaanku mengemis."
Kembali Bu Beng terkejut. Tak heran bahwa pengemis kate ini demikian hebat,
sebab ia adalah ketua perkumpulan pengemis dari daerah barat yang sangat
terkenal namanya! Tapi, menurut Kim Kong Tianglo, suhengnya, Lo Sam adalah
seorang yang sangat mengutamakan budi kebaikan, bahkan ia berlaku sangat bengis
terhadap anggota-anggota perkumpulannya, karenanya iaa sangat dipuji kaum
persilatan. Tapi kini ia membantu orang semacam Ang Hwat Tojin dan Tan Tek Seng.
Bu Beng menjuru dengan hormat. "Tidak kusangka Lo enghiong yang kuhdapi. Maaf,
maaf, kalau aku yang muda berlaku kurang hormat. Dengan adanya loenghiong
disini, siauwte yakin bahwa urusan ini pasti dapat diselesaikan dengan damai dan
sempurna, karena siauwte sudah mendengar tentang keadilan loenghiong."
"Hm, hm, kau pandai membawa diri, anak muda. Bolehkah aku mengetahui siapa
gurumu yang mulia"' "Kiranyaakan cukup jika siauwte katakana bahwa siauwte adalah adik seperguruan
dari Kim Kong tianglo."
"Oo ... begitukah" Tak heran kau begitu hebat! Tak kusangka kau adalah murid dari
Hun San Tojin almarhum."
Sementara itu Ang Hwat Tojin pun terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda itu
adalah sute dari Kim Kong Tianglo, karena ia sendiri pernah jatuh dalam tangan
hwesio yang lihai itu. "Bu Beng Taihiap, karena kau masih muda, maka biarpun sifat-sifatmu baik, namun
kau masih juga dikuasai oleh nafsu berkelahi. Ketahuilah kedatanganku ini
walaupun memenuhi undangan Ang Hwat Tojin tapi bukan sekali-kali untuk mengadu
kepandaian. Aku sengaja datang untuk mendamaikan urusan ini. sebetulnya telah
kuketahui bahwa Tan pangcu maupun Lui pangcu kedua-duanya adalah orang-orang
baik dan jujur. Sayang mereka berdua kurang luas pandangannya dan mudah saja
terbakar oleh murid-murid atau anggota-anggota mereka hingga terjadi bentrokan
ini. sebenarnya apakah untungnya untuk berkelahi antara kita sendiri" Kita
sikurniai kepandaian bukanlah dimaksudkan untuk mencari permusuhan, tapi bahkan
sebaliknya, membinasakan segala kejahatan, bukankah demikian" Kalau permusuhan
didendamkan makin mendalam hingga terjadi balas membalas, siapakah yang rugi" Tak lain kita
sendiri karena di dunia ini tidak ada orang terpandai!"
bu Beng heran mendengar kata-kata yang lancer dan berisi itu, karena melihat
orangnya yang kecil pendek itu tak tersangka dapat bicara demikian panjang lebar
dan penuh isi. Dan terpaksa ia membenarkan uraian tadi dan berkata. "Loenghiong
benar sekali, siauwte juga akan merasa gembira sekali jika hal ini dapat
dibereskan secara damai."
Melihat perkembangan urusan ini hati Tan Tek Seng menjadi lemah. Sejak tadipun,
setelah melihat betapa Ang Hwat Tojin yang ia andalkan dapat dijatuhkan oleh
tangan kawan Lui Im, ia sudah merasa putus harapan untuk mempertahankan namanya.
Harapan satu-satunya tinggal kepada Lo Sam yang ia tahu betul kehebatannya. Tapi
kini mendengar kata-kata pengemis pendek kecil itu, lenyaplah harapan satu-
satunya. Ia tahu diri maka segera ia maju dan menjuru kepada Lo Sam sambil
berkata, "Memang ucapan loenghiong tadi sangat tepat. Aku mengaku salah telah terlibat
dalam pertempuran anggota-anggotaku yang tak berarti hingga terjadi bentrokan
dengan Lui pangcu. Tapi karena kesalahan terletak dikedua pihak yang tidak mau
mengalah hingga aku meminta bantuan Ang Hwat Tojin dan loenghiong sendiri
sedangkan di pihak Lui pangcu juga minta bantuan Bu Beng Taihiap yang tinggi
ilmu kepandaiannya ini, hatiku merasa sangat penasaran sebelum menyaksikan pihak
manakah yang lebih hebat kawannya. Ang Hwat Tojin sudah terkalahkan tapi aku
masih ada loenghiong yang datang kesini atas undanganku. Maka aku yang bodoh
mohon dengan sangat untuk menambah pengetahuanku yang rendah, sudilah
loenghiong melayani Bu Beng Tahiap bermain-main sebentar secara sahabat. Jika Bu
Beng Tahiap yang masih muda tapi sangat hebat ini ternyata lebih unggul daripada
loenghiong, maka denan rela aku akan minta maaf lebih dulu kepada Lui pangcu.
Sebaliknya jika Bu Beng Taihiap tak dapat mengalahkan kepandaian loenghiong,
sudah sewajarnya kalau Lui pangcu yang minta maaf lebih dulu dan kami berdua
selanjutnya menghabiskan permusuhan ini dan melanjutkan persahabatan semula.
Bagaimana pendapatmu Lui pangcu?"
Lui Im yang sejak tadi sangat kagum melihat kehebatan Bu Beng, dan ia mengerti
pula bahwa Lo Sam bukanlah orang sembarangan, maka iapun ingin sekali melihat
kedua orang ini mengadu ilmu agar ia dapat menyaksikan untuk menambah
pengalaman. Melihat sikap tan Tek Seng yang tiba-tiba berubah manis, iapun
bergembira dan sambil tersenyum ia berkata,
"Setuju, setuju! Tapi tentu saja saya tidak dapat dan tidak berani memaksa Bu
Beng Taihiap saya hanya mengharapkan persetujuannya saja."
Lo Sam tertawa tergelak-gelak. "Ah, ah memang kedua pangcu ini jahat dan usilan!
Memaksa aku yang tua dan Bu Beng Taihiap yang hebat ini akan dijadikan jago
aduan dan mereka berdua dengan enak bertaruhan" Ah, tak beres, tak beres!"
Bu Beng tersenyum dan sambil menggeleng-gelengkan kepala berkata, "Ah, mana
berani siauwte berlawan tangan dngan Lo Sam loenghiong" Sudah lama siauwte
mendengar kehebatannya, bagaimana siaute dapat menandinginya" Lui
pangcu sebaiknya kau saja yang mengalah dan minta maaf lebih dulu untuk menjaga
mukaku!" "Ha, ha kau sungguh tahu diri dan pandai merendahkan diri, sobat muda," kata Lo
Sam. "belum tentu lohu dapat mengalahkanmu. Kulihat kepandaianmu lebih tinggi
daripada Kim Kong Tianglo suhengmu itu. Mari, biarlah kita menjadi dua pelawak
sebentar dan memenuhi kehendak kedua pangcu yang jahat ini."
bu Beng terpaksa maju menghampiri dan memasang bheksi pertahanan dengan sikap
mempersilakan orang tua itu bergerak dulu. tapi Lo Sam sambil memperdengarkan
suaranya yan nyaring menggoyang-goyangkan tongkatnya dan berkata, "Anak muda,
kiam hoatmu tadi kulihat hebat sekali, kalau tidak salah itu adalah Kim liong
kiamhoat maka cabutlah pedangmu, biar kucoba dengan tongkat usangku ini.'"
Bu Beng terpaksa mengeluarkan pokiamnya dan lagi-lagi memasang kuda-kuda
pertahanan. Lo Sam tidak sungkan-sungkan lagi, dengan seruan "awas" ia ayun
tongkatnya menyerang, dengan cepat Bu Beng memperlihatkan kelincahannya, dan
berkelit kesamping sambil menggunakan pedangnya mengait ujung tongkat dan pedang
saling serang bagaikan menjadi satu bundaran hingga menyilaukan mereka yang
menonton. Tak percuma Lo Sam digelari orang Tongkat Wasiat, karena permainan
tongkatnya betul-betul hebat. Dan Bu Beng harus mengeluarkan seluruh kegesitan
dan keahliannya untuk dapat mengimbangi permainan pengemis kate ini. tapi
sambaran tongkat mendatangkan angina tajam mengiris kulit. Setelah bertempur
lebih lima puluh jurus dengan tak tentu siapa yang lebih unggul Bu Beng segera
mrubah gerakannya dan kini mencampur ilmu pedangnya dengan pukulan-pukulan Hoa san oai.
Dalam menyerang ia gunakan Kim liong pai dengan denagn campuran Hoa san pai,
sedangkan ketika menangkis ia gunakan campuran Kim liong paid an Go bi pai. Lo
Sam mengeluarkan seruan "hebat" karena kagum dan heran. Ia kagum sekali melihat
ilmu pedang campuran yang hebat dan tak terduga gerakan-gerakannya itu dan heran
bagaimana cara menggabungkan ilmu-ilmu itu demikian mahirnya. Tak ia sangka
bahwa pemuda itu akan dapat bertahan demikian lamanya melawan ilmu tongkat
tunggalnya yang telah menjagoi di seluruh daratan Tiongkok berpuluh-puluh tahun
lamanya. Lo Sam merasa penasaran juga, maka kalau tadinya ia hanya menggunakan ilmu
tangkisan dengan gerakan Dinding Tebal Ribuan Laksa hingga tongkatnya berputar
menutupi seluruh tubuhnya hingga tak memungkinkan pedang Bu Beng dapat
melukainya, kini ia robah gerakannya bersilat dengan ilmu toya dan tongkat Pat
kwa mui yang diandalkan. Gerakan-gerakannya tidak kalah hebatnya ddari gerakan
Bu Beng, bahkan serangan-serangannya berubah=ubah dari delapan penjuru sambil
menangkis serangan pemuda itu dari manapun. Namun biaroun Bu Beng masih muda
tapi sudah terlatih hebat dan ilmu silat Pat kwa mui itupun pernah ia pelajari
jalan-jalannya di bawah petunjuk gurunya, hingga kini setelah menghadapi ilmu
itu ia tak menjadi gentar dan dapat menduga gerakan-gerakan lawan. Hanya saja,
belum pernah ia menemukan seorang lawan yang demikian mahir dalam ilmu ini dan
gerakan-gerakannya banyak terdapat kembangan-kembangannya yang diciptakannya
sendiri, maka tak heran kalau Bu Beng harus berlaku hati-hati agar jangan sampai
tertipu. Makin lama pertempuran berjalan makin hebat hingga ratusan jurus.
Pada suatu saat, ketika pedangnya ditangkis oleh Lo Sam dengan gerakan Dewa Arak
Keluar dari Pintu selatan. Bu Beng teruskan ujung pedangnya yang tergempur
kesamping itu untuk membabat pinggang lawan dengan sepenuh tenaga. Serangan ini
hebatsekali karena pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya diiringi bentakan
"lihat pokoam" untuk menambah tenaga semangatnya. Melihat datangnya serangan
hebat ini Lo Sam terkejut sekali karena saat itu tongkatnya sedang terdorong
maju dalam melakukan gerakan tangkisan tadi, maka secepat kilat ia membalikkan
tangannya hingga tongkatnya menyambar kesamping, terus ia gunakan tenaga
sekuatnya untuk menangkis pergi pedang lawan. Dua buah senjata pusaka yang apuh
digerakkan oleh dua tangan raksasa yang mengandung tenaga iweekang tinggi beradu
di tengah-tengah udara. Terdengar suara keras sekali dan kedua lawan itu masing-
masing merasakan telapak tangan mereka tergetar hebat hingga kedua-duanya tak
dapat menahan pula, dan kedua senjata itu terlepas dari pegangan! Pada saat itu
pula masing-masing meloncat mundur beberapa kaki dan berdiri diam untuk menarik
napas. Lo Sam masih berdiri diam sambil memejamkan mata ketika pemuda itu berjalan maju
untuk memungut kedua senjata itu. Ketika pengemis kate itu membuka matanya, ia
melihat pemuda lawannya telah brdiri di hadapananya sambil menyerahkan
tongkatnya dengan sikap hormat sekali.
"Loenghiong sungguh gagah, siauwte tunduk sekali."
Lo Sam menghela napas. "Memang gurunya naga muridnyapun naga. Seumur hidupku
dalam perantauan beribu-ribu li belum pernah aku menjumpai lawan semuda dan sehebat kau, anak
muda. Kau betul-betul membuat lohu merasa seperti seekor katak melawan ular.
Kiam hoatmu luar biasa sekali. Nah, kini berlakulah murah untuk melayaniku dalam
ilmu silat tangan kosong beberapa jurus saja."
Bu Beng menjuru "Siauwte bersedia melayanimu, loenghiong."
Demikianlah, jago tua itu kembali bertanding dengan Bu Beng, dan hanya
menggunakan kepalan dan tendangan. Tapi dalam ilmu silat tangan kosong, setelah
bertempur kurang lebih lima puluh jurus dengan hebat, ternyata bagi Bu Beng
bahwa Lo Sam tak berapa kuat dan gerakan-gerakannya tidak semahir ilmu
tongkatnya. Hanya orang tua itu memiliki kuletan dan kematangan berlatih saja.
Kalau ia mau, dengan mudah ia dapat melanjutkan serangan maut dan menjatuhkan
pengemis kate itu, tapi Bu Beng tidak tega berlaku kejam terhadap orang tua itu.
Maka, ia hanya melayani saja permainan Lo Sam sambil mengunakan ginkangnya yang
luar biasa sehingga lama-lama Lo Sam merasa lelah dan pening.
Dalam keadaan lelah Lo Sam menggunakan kedua telapak tangannya memukul dada Bu
Beng dengan tipu dewa menyuguh dua buah tho, ialah gerakan sederhana tapi
mengandung tenaga dalam yang kuat sekali. Bu Beng yang melihat bahwa lawannya
telah lelah, mengambil keputusan untuk mengakhiri pertandingan ini. dan mereka
lalu mengeluarkan kedua tangan mereka dengan kepalan terbuka dan bejabat. Empat
tangan beradu tanpa mengeluarkan apa-apa, tapi karena gerakan itu mengandung
tenaga dalam, Lo Sam terhuyung ke belakang
sampai lima langkah! Raja pengemis kate itu menjuru kearah Bu Beng dan berkata,
"Bu Beng Taihiap sungguh hebat, lohu mengaku kalah."
Bu Beng segera membalas memberi hormat. "Loenghiong sengaja mengalaj, siauwte
yang sebenarnya kalah."
Mendengar kata-kata kedua orang itu. Tan pangcu dan Lui Im saling pandang,
karena mereka sesungguhnya tidak mengerti siapakah yang lebih unggul. Di waktu
Lo Sam terhuyung lima langkah tadi, Bu Beng sengaja mundur juga sampai lima
langkah! Maka kedua pangcu itu segera saling menjuru menyatakan maaf dan
damailah kedua pihak. "Ha, ha ha ! puas hatiku melihat hal ini dapat dibereskan secara damai! Lebih
puas lagi karena aku telah menemukan seorang pendekar muda yang gagah perkasa.
Cuwi, contohlah Bu Beng Taihiap yang masih muda ini tapi yang patut dibuat
teladan. Ia demikian hebat tapi selalu berlaku mengalah menjauhi permusuhan.
Biarlah dengan jalan ini lohu mengundang cuwi sekalian untuk pada permulaan
musim Cun tahun depan ini mengunjungi pondokku di Lok Leng Ceng, turut merayakan
pesta kecil yang akan lohu adakan guna memperingati tahun ketiga belas dari
pendirian perserikatan pengemis seluruh daratan timur. Waktu itu sungai Yang ce
sedang tenang dan cuwi tentu akan menikmati pemandangan indah disana."
Semua orang menjuru menyatakan terima kasih.
"Kini taihiap hendak pergi kemanakah?" tiba-tiba Lo Sam bertanya.
Dengan singkat Bu Beng menuturkan maksudnya hendak ke pulau Ang coat ho atau
pulau ular merah. Lo Sam mengerutkan jidat dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Perjalanan berbahaya. Ah, betapa[un juga lohu percaya bahwa kau pasti akan
berhasil mendapatkan obat itu. Tahukah taihiap cara pengobatan dengan mustika
ular itu?" mendapat pertanyaan itu Bu Beng menjadi bingung karena sesungguhnya
ia belum tahu cara bagaimana menggunakan obat yang tengah dicari-carinya itu.
"Baiknya lohu pernah mendengar tentang penggunaan obat mustika ular untuk
menyembuhkan berbagai penyakit beracun. Baiklah lohu tuliskan resepnya untuk
dicampur dengan obat itu."
Tan pangcu segera mengambil kertas dan alat tulis dan Lo Sam segera menulis
resep itu. "Taihiap belilah obat menurut resep ini di took obat dan campurkan dengan
mustika ular itu untuk dimakan oleh yang sakit."
Bu Beng menerima resep sambil mengaturkan terima kasih. Kemudian Lo Sam
meninggalkan tempat itu sungguhpun ditahan oleh pangcu dari Hong bu pang , Bu
Beng juga bermohon diri untuk melanjutkan perjalanannya.
Karena menghadapi urusan Lui Im tadi, Bu Beng terlambat dan tertahan tiga hari.
Maka kini ia percepat tindakan kakinya. Ia berjalan langsung kearah utara dan
dua hari kemudian tibalah ia di kampong Po Teng dimana mengalir sungai Yang ce
kiang yang lebar dan melintasi
kampong itu bagaikan seekor naga raksasa. Airnya mengalir perlahan tapi jika
musim hujan tiba, air itu akan berubah besar dan deras sekali, merupakan bencana
yang dalam beratus-ratus tahun telah membinasakan entah berapa ratus ribu jiwa
rakyat. Beberapa perahu tampak hilir mudik, karena di dalam air telah terkenal
menjadi gudang ikan yang menjadi sumber penghasilan para nelayan.
Ketika mencari perahu, ternyata Bu Beng tak bisa mendapatkan seorangpun yang
sanggup membawanya ke samudra.
"Ke laut" Ah, tuan muda siapa yang berani menempuh perjalanan demikian jauh"
Jaman sekarang sedang kacau balau dan dimana-mana ada orang jahat. Perjalanan
itu jauh sekali dan memakan waktu berminggu-minggu. Semua perahu disini hanya
sanggup menyeberangkan ke tepi sana atau mengantarkan ke kampong yang berdekatan
saja. Biar dibayar berapapun, saya rasa tiada seorangpun yang akan berani harus
menempuh segala macam bahaya dan meninggalkan keluarga untuk berminggu-minggu,"
demikian keterangan yang ia dapat dari seorang nelayan tua itu.
"Habis, apa yang harus kulakukan untuk dapat mencapai laut?" Tanya Bu Beng
dengan suara sedih dan perlahan, seakan-akan tengah berbicara kepada diri
sendriri. Nelayan tua itu agaknya kasihan melihat Bu Beng. "Tuan muda, kalau saja kau bisa
membujuk Hek Houw barangkali kau dapat melanjutkan niatmu. Kalau tidak jangan
harap kau bisa berlayar ke samudra."
"Hek Houw" Siapakah dia?" Tanya Bu Beng yang mendapat harapan baru.
"Hek Houw nelayan muda. Tapi adatnya sukar diladeni. Sekarang ia tentu sedang
membuang-buang uangnya di kedai arak lagi," kata orang tua itu sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah mengetahui dimana letak kedai arak itu, Bu Beng segera menujukan
langkahnya kesitu. Ketika tiba di luar kedai, ia mendengar suara seorang yang
kasar dan parau tapi cukup nyaring tengah berteriak-teriak marah.
"Kalian ini semua orang apa! Tak lain dari orang-orang lemah penjilat, dan tak
tahu arti hidup! Lihat aku, biar namaku Hek Houw, tapi hatiku tidak kalah
tabahnya dengan seekor Hek houw (harimau hitam) tulen. Aku cari uang untuk minum
arak, aku bekerja dengan tenaga tak mengandalkan kelicikan seperti kalian.
Apakah kalau tidak mencampur arak dengan air kalian tidak bisa hidup kaya"
Apakah kalau tidak kaya karena uang tipuan kalian tidak puas" Hayo jawab, kalau
tidak akan kuhancurkan kepalamu seorang demi seorang!"
"Jangan marah, Hek twako," terdengar suara lemah. "Kami tidak menipumu. Arak ini
memang arak tulen yang kami beli dari Lo bee chung di barat sana. Entah kalau
arak ini dicampur air oleh perbuatnya, karena bukan kami yang membikinnya."
"Ah, alasan saja! Dulu pernah aku beli arak dari sana tapi semua arak tulen,


Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak seperti ini. arak palsu, apakah uangku ini juga palsu?"
Bu Beng bertindak masuk dan melihat seorang tinggi besar yang bermuka hitam
tengah berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke kanan kiri dengan mata
melotot. Beberapa orang berdiri di sudut dengan takut-takut. Si muka hitam itu
masih muda, paling banyak berusia dua puluh tahun.
"Sekarang begini saja. Ganti arakku ini dan keluarkan arak yang tulen, kalau
tidak, kalian enam orang ini harus keluar dengan aku dan berkelahi mengeroyokku
agar dapat kupersen pukulan satu-satu."
"Kami tidak punya arak tulen selain ini Hek twako."
"Bohong!" dan kepalan tangan di hitam itu memukul meja hingga meja kayu itu
menjadi pecah. "Sabar, saudara, tidak sepatutnya orang beli dengan main paksa?"
Hek Houw berpaling cepat dan memandang penegurnya dengan mata melotot. Bu Beng
kini dapat melihat wajah orang hitam itu dengan jelas. Wajah yang jujur tapi
bodoh, pikiranya. "Apa" Siapa kau berani menegurku?"
Bu Beng tidak menyahut, tapi menghampiri tempat arak dan menggunakan telunjuknya
untuk mencoba rasanya. "Hm, benar-benar bercampur air," katanya sambil memandang kepada tukang warung.
"Tidak adakah yang lebih baik?"
Tukang warung yang setengah tua berkata perlahan. "Ada sih ada, tapi Hek Houw
hanya mempunyai uang dua chi sedangkan hutangnya yang kemarinpun belum dibayar.
Bagaimana ia dapat kami beri arak tulen yang mahal harganya?"
Bu Beng tersenyum. "Keluarkan arak tulen satu guci biar aku yang bayar. Ini
uangnya." Dilemparnya potongan uang perak diatas meja.
Dengan tindakan lebar Hek Houw menghampiri Bu Beng.
"Eh, orang sombong! Kau juga orang kaya yang jumawa ya" Kau kira aku sudi minum
arakmu" Kau mau andalkan uangmu untuk bertingkah?" tinjunya yang segede buah
kelepa diayun-ayunkan di depan hidung Bu Beng.
"Siapa yang menyombong" Aku sengaja datang kesini untuk mejumpaimu dan mengajak
minum arak. Apakah itu sombong namanya?"
"Sabar, Hek twako," kata tukang kedai, "tuan ini rupanya mengajak bersahabat
denganmu. Bukankah itu baik sekali?"
"Hm, hm," Hek Houw mengeluarkan suara ejekan dari hidung. "apa maksudmu mencari
aku" Ingin membeli ikan" Menyewa perahu?"
Bu Beng mengangguk. "Aku hendak menyewa perahumu."
"Tidak bisa!" Bu Beng heran mendengar jawaban tegas dan singkat ini. benar-benar seorang yang
aneh adatnya, ia pikir. "Mengapa tidak bisa?"
"Tidak bisa, habis perkara. Jangan banyak cakap seperti perempuan!"
Tiba-tiba Bu Beng tertawa. Hek houw memandang mukanya dengan tercengang.
"Menhapa kau tertawa?"
"Karena melihat kekhawatiranmu. Kau khawatir aku tak dapat membayar sewanya"
Jangan takut, kawan, berapa saja uang sewanya akan kubayar."
"Hm, aku tak butuh uang!"
Bu Beng makin heran tapi ia tertwa lagi, kini lebih keras.
Hek Houw maju setindak. "Hati-hati, kawan, kalau sekali lagi kau ketawa, alamat
hancur kepalamu kutinju. Mengapa kau tertawa lagi?"
"Karena ternyata kau penakut. Kau takut bertemu bajak sungai."
"Kenapa begitu?"
"Karena aku hendak menyewa perahumu menuju ke laut."
Hek Houw terkejut. "ke laut ?" kau ....?"" Ia maju lagi selangkah, kini tepat di
depan Bu Beng. "Jangan main-main kawan, aku Hek Houw tidak takut siappun juga.
Aku tidak takut bajak sungai atau bajak laut yang manapun juga.
Tapi ..............kau sendiri, orang kurus kering dan lemah ini, berani
mengatakan aku takut, apakah kau sendiri berani menghadapi bajak sungai?"
Bu Beng angkat dada. "Mengapa aku tidak berani?"
"Ha, agaknya kau mengerti ilmu silat maka berani menghadapi bajak sungai!"
"Sedikit-sedikit aku mengerti," jawab Bu Beng dengan hati geli.
Tiba-tiba Hek Houw menepuk-nepuk pundaknya. "Bagus, bagus! Nah, mari kita adakan
perjanjian. Kau yang kurus kering ini mengadu tenaga dengan aku, kalau kau
kalah, maka bawalah kesombonganmu itu ke lain tempat dengan segera."
"Kalau kau yang kalah?"
"Aku " kalah olehmu" Ha ha ha kalau aku kalah, baiklah kuantar kau. Jangankan ke
laut, ke neraka jahanampun akan kuantar. Dan semua itu tanpa ongkos satu
chipun!" "Baik, mari kita keluar," tantang Bu Beng.
Mereka keluar kedaiitu, dibuntuti oleh enam orang tadi yang memandang Bu Beng
dengan keheranan. Apakah orang itu mencari mampus" Pikir mereka.
Bu Beng berdiri sambil bertolak pinggang. "Bagaimana kita harus mengadu tenaga"
Berkelahi?" "Tidak. Kalau berkelahi kau akan mampus. Begini saja kita saling pukul tiga
kali. Kau pukul dulu padaku tiga kali dan kemudian aku akan memukulmu tigakali.
Siapa yang jatuh ia kalah."
Bu Beng maju dan menggunakan tangan kanannya meraba-raba dada Hek Houw yang
bulat dank eras. "ah, dadamu begini lunak. Lebih baik kau saja yang memukul aku
dulu. kalau aku memukul dulu, maka kau tentu takkan kuat membalas lagi."
Hek Houw terheran-heran, demikian juga enam oranag itu yang memperdengarkan
suara ketawa. Hek Houw menengok kearah mereka. "Ada apa kau tertawa" Orang ini
berhati tabah, tidak seperti kamu!" lalu ia menghadapi Bu Beng lagi. "jangan kau
sungkan begitu kawan. Lebih baik kau yang memukul dulu."
"Tidak , kalau kau tidak mau memukul dulu, tidak jadi saja dan kuanggap kau
takut." "Apa katamu" Baik, kalau kau mencari mampus sendiri. Mari bersiaplah!"
Bu Beng memasang kuda-kuda dan pasang dadanya. "Nah, pukullah yag keras."
Hek Houw mengayunkan pukulan kanannya kearah dada Bu Beng. Ia hanya menggunakan
sebagian tenaganya karena khawatir kalau-kalau orang itu terpukul mampus. "Duk!"
dan Hek Houw heran sekali karena ia rasakan
bagaikan memukul karet hingga kepalanya terpental kembali.
"Ah, puulanmu seperti bakpauw saja. Empuk dan lunak," Bu Beng mengejek.
Enam orang itu tertawa ditahan. Muka Hek Houw merah dan ia kepalkan tangannya
makin keras. "Awas, terimalah pukulan kedua."
Hek Houw memukul lagi, kini sepenuh tenaga. "Bluk!" dan orang muka hitam ini
makin heran karena dada yang terpukul itu bagaikan kapas hingga oukulannya tak
berbekas! Ia memandang heran dan menyangka orang itu menggunakan ilmu sihir.
Tapi ia masih penasaran dan berkata, "Hm, coba rasakan pukulan ketiga ini!"
Kini ia mengerahkan seluruh tenaga tubuhnya dan memukul sekuatnya. "Duk!" dan
heran sekali, pemuda muka hitam itu meringis-ringis kesakitan sambil memegangi
tangan kananya karena ia melihat seakan-akan memukul besi! Ketika ia melihat
tangannya ternyata tangan itu menjadi merah biru!.
"Sudah puas?" Tanya Bu Beng. "Nah, kini tiba giliranku memukul, tidak tiga kali,
cukup sekali saja." Mendengar kata-kata sombong ini Hek Houw menjadi marah.
"Boleh, boleh!" kata Hek Houw menahan sakit tangannya. "Pukullah , pukullah
dadaku dengan kepalan tahumu! Jangan tiga kali, boleh kau pukul enam kali."
Hek Houw membuka kancing bajunya memperlihatkan dada yang bidang dan berotot,
nampak kuat sekali. Sambil
tersenyum Bu Beng maju selangkah dan menggunakan tangan kanannya memukul kearah
dada kanan pemuda muka hitam itu perlahan.
Semua orang yang kini pada datang menonton pada heran karena seketika itu juga
Hek Houw menjerit kesakitan dan jatuh terguling. Kedua tangannya memegang
dadanya dan ia mengerang-erang kesakitan. "Aduh .....aduh...." kemudian sambil
menahan sakitnya, Hek Houw merangkak dan berlutut di depan Bu Beng.
"Suhu ....ampunkan aku yang tak mengenal orang pandai. Suhu akan kuantar kemana
saja, biarlah aku korbankan jiwa kalau perlu, asal suhu suka memberi pelajaran
padaku tentang cara memukul tadi!."
Bu Beng tertawa gelid an merasa kasihan, ia menggunakan telapak tangannya
menepuk pundak kanan pemuda hitam itu yang segera membuat sembuh sakit dadanya.
Kemudian Bu Beng mengurut tangan yang bengkak matang biru itu hingga perlahan-
lahan tangan itu sembuh kembali.
"Nah , jadi orang janganlah sombong. Hayo kita minum dulu sepuasnya, baru
berangkat menuju ke laut."
Hek Houw tak berani membantah lagi. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Baik
suhu." Ia mengikuti Bu Beng masuk ke dalam kedai lalu makan minum sepuasnya.
Ternyata Hek Houw adalah seorang yatim piatu tak bersanak dan hidup sebatang
kara. Ia memiliki sebuah perahu yang sederhana tapi kuat. Maka setelah makan
minum berangkatlah mereka berdua diikuti pandang mata kagum oleh para nelayan di
kampong itu. Air sungai Yang ce kiang pada waktu itu tenang. Perahu terbawa aliran air
ditambah dengan tenaga pendayung yang kuat dari Hek Houw, maka perahu yang
berujung runcing itu meluncur cepat sekali. Lima hari lima malam mereka berlayar
dengan cepat, hanya berhenti untuk membeli makanan dan bermalam di kampong-
kampong sepanjang sungai.
Pada hari kelima mereka tiba di kampong Cin hu chung! Kampong itu besar juga,
terlihat dari banyaknya perahu-perahu besar yang berlabuh di tepi sungai.
Ketika perahu mereka sampai di situ. Bu Beng tertarik melihat keadaan disitu
seakan-akan orang tengah berpesta. Rumah-rumah di tepi sungai dihias dan orang-
orang nampak gembira. Bu Beng menyuruh Hek Houw berhenti.
"Kalau suhu sering berhenti, kapankah kita bisa sampai ke laut?" Hek Houw
mengomel panjang pendek, tapi Bu Beng tersenyum saja.
Mereka mendarat dan Hek Houw menambatkan perahunya pada sebuah tonggakl. Bu Beng
lalu bertanya kepada seorang nelayan yangsedang menggulung jala apakah yang
sedang dirayakan di kampong itu.
"Kongcu tidak tahu, kami sedang bergembira ria menyambut kedatangan seorang
pendekar wanita yang telah berhasil membunuh harimau besar yang sering
mengganggu penduduk kampong Cin hu chung. Bahkan chungcu sendiri mengeluarkan
semua biaya keramaian ini.
lihat panggung itu, sebentar lagi nona pendekar kita akan diarak kesitu menerima
penghormatan." Bu Beng makin tertarik dan ingin sekali melihat wajah lihiap yang gagah perkasa
itu. "Siapakah lihiap itu" Darimana datangnya" Tanyanya.
"Namanya kami tidak tahu, karena ia hanya seorang yang sedang lewat disini. Tapi
tentang kehebatannya." Nelayan itu memperlihatkan ibu jarinya. "Ia membunuh
harimau ganas itu hanya dengan dua buah uang tembaga dan beberapa pukulan dan
tendangan saja. Ketika lihiap lewat di hutan sebelah barat kampong ini, tiba-
tiba terdengar deruman hebat dan harimau itu menerkam tanpa permisi." Nelayan
itu meniru gerakan harimau dan dengan kedua tangan merupakan cakar ia hendak
menubruk kearah Hek Houw yang mendelikkan matanya hingga nelayan itu terkejut
dan mengurungkan gerakannya. "api lihiap waspada, ia berkelit kesamping. Harimau
yang terkenal jahat dan berkulit keras dapat menahan senjata tajam itu, kemudian
menubruk lagi secepat kilat hingga lihiap sibuk juga meloncat kesana kemari
menghindari terkaman harimau. Kemudia lihiap menjadi marah dan meloncat pergi
beberapa tombak jauhnya dan ketika harimau menubruk kembali, lihiap telah siap
dengan dua butir uang tembaga di tangan. Dua kali tangannya terayun dan butalah
harimau itu. Kedua matanya ditembusi peluru uang. Nah, setelah buta, harimau itu
dengan buas menerkam kekanan kekiri secara serampangan. Saat itu digunakan oleh
lihiap untuk memperlihatkan tenaganya. Dua kali tendangan and dua kali pukulan
cukup membikin harimau itu roboh tak bergerak dan mampus ! bukan main hebatnya!"
ketika Bu Beng akan mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba terdengar tambur riuh
berbunyi dan dari arah barat datang serombongan orang mengarak seorang gadis,
berbaju putih. Kalau yang mengarak rata-rata berwajah gembira dan tertawa-tawa
riang, adalah gadis yang diarak itu berwajah muram dan tampak berduka.
"Eng moi!" Bu Beng tiba-tiba berseru keras dan lari ke rombongan itu.
"Ko ko!" gadis itu yang ternyata tidak lain adalah Cin Eng sendiri, lari pula
kearah pemuda itu dan mereka saling pegang tangan dengan penuh perasaan haru.
"Eng moi, mengapa kau sampai datang kesini?"
tiba-tiba Cin Eng menangis dengan sedih. Orang-orang kampong yang tadinya
mengarak gadis itu menjadi terheran-heran dan mereka merasa tidak senang kepada
pemuda baju kuning itu. Lebih-lebih melihat gadis itu kini menangis, mereka
menyangka tentu pemuda itu telah mengganggu pahlawan wanita mereka. Maka dengan
muka mengancam mereka menghampiri Bu Beng yang masih memegangi tangan
Kesatria Baju Putih 21 Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Si Pemanah Gadis 11
^