Jago Pedang Tak Bernama 3
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
kekasihnya. Hek Houw yang memburu juga kesitu dengan heran, melihat sikap orang-orang
kampong itu, lalu menghadang mereka sambil mendelikkan kedua matanya, kedua
tangan terkepal dan dadanya diangkat bagai lakunya jagoan yang hendak
bertanding. "Kalian mau apa?" tanyanya mengancam. Melihat sikap hebat dari pemuda tinggi
besar muka hitam ini yang mengingatkan mereka kepada Thio Hwie pahlawan di
jaman Sam Kok, semua orang menahan langkah mereka dengan ragu-ragu. Seorang
diantaranya yakni kepala kampong sendiri, bertanya kepada Cin Eng, "Lihiap
siapakan orang ini" apakah mereka mengganggu lihiap?"
cin Eng mengusap air matanya dan memaksa diri tersenyum. "Tidak , tidak. Orang
ini adalah keluargaku sendiri."
Semua orang gembira kembali, bahkan beberapa orang segera menjuru memberi hormat
kepada Bu Beng dan Hek Houw. Melihat sikap mereka yang sungguh dan jujur ini. Bu
Beng segera berbisik kepada Cin Eng untuk menerima saja kehendak mereka agar
jangan sampai mereka menjadi kecewa. Cin Eng menurut dan naik keatas panggung
dimana ia menerima penghormatan dari mereka. Kemudian Bu Beng mengajak
kekasihnya ke perahu dan mereka bercakap-cakap.
"Eng moi, kini kau harus menceritakan padaku bagaimana kau sampai berada
disini?" Cin Eng menghela napas dan menahan air matanya yang mau keluar saja.
"Koko, aku sengaja menyusul kau. Di kampong Po teng aku mendengar bahwa kau
telah menyewa perahu sehari yang lalu. Maka untuk dapat mengejarmu, aku sengaja
membeli kuda yangbaik dan memacunya siang malam melalui jalan darat yang lebih
dekat. Ternyata aku sampai di kampong ini kemarin dan kau belum lewat. Kebetulan
aku bertemu dengan harimau pengganggu kampong dan berhasil membinasakannya.
Orang-orang kampong memaksaku untuk menerima pernyataan terima kasih hingga aku tak tega untuk
menolaknya." "Tapi mengapa kau susul aku, Eng moi?" Tanya Bu Beng yang sama sekali tidak
ambil peduli tentang Cin Engrita harimau itu.
Ditanya demikian, tiba-tiba Cin Eng menundukkan muka dan menangis sedih.
"Kenapa, adikku" Kenapa kau menangis?"
"Koko .....bencana besar menimpa rumahku .....! ibu .......ibu telah mati terbunuh ...."
Bu Beng meloncat bangun. "Siapa yang membunuhnya?"
"Yang membunuhnya adalah tiga saudara dari kelima macan dari Tiang an yang
membunuh ayah dulu. mereka sengaja datng mencari jejak ayah, kalau-kalau ayah
masih hidup ketiak ditolong oleh Kim Kong Tianglo dulu, tapi ketika mendapat
tahu bahwa ayah telah meninggal, mereka bermaksud membasmi seisi rumah ...."
"Cin Han ..... Cin Lan ........bagaimana mereka" Dan suheng bagaimana?" Tanya Bu Beng
dengan hati penuh kekhawatiran.
"Kedua adikku itu diselamatkan oleh Kim Kong suheng dan dibawa pergi, sedangkan
aku sendiri lari karena kami tidak kuat menaham amukan mereka. Karena putus asa
maka aku menjadi nekat dan bermaksud menyusulmu. Ibu
dan dua pelayan mati terbunuh." Sehabis bercerita, Cin Eng menangis lagi.
Bu Beng terharu. Alangkah malangnya nasib kekasihnya ini. menderita penyakit
hebat, baru saja ditinggal mati ayah, kini ibu tiri yang sudah menjadi ibu
sendiripun terbunuh musuh.
"Adikku, sudahlah jangan bersedih. Soal sakit hatimu ini di belakang hari saja
kita balas bersama. Sekarang yang paling perlu mencari obat untukmu. Jika sudah
sembuh maka kurasa takkan sukar mencari kelima musuh yang kejam itu." Kemudian
Bu Beng memperkenalkan Hek Houw kepada Cin Eng. Setelah tahu bahwa nona itu
adalah tunangan suhunya. Hek Houw berkata dengan wajah bingung. "Suhu, haruskah
aku menyebut nona ini subo (ibu guru)?"
muka Cin Eng merah dan Hek Houw buru-buru berkata lagi. "Biarlah sebelum kawin
dengan suhu, aku sebut saja kouwnio, nanti setelah kawin baru kusebut subo."
Bu Beng hanya tersenyum dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan
perahu. Berkat kejenakan Hek Houw dan hiburan-hiburan Bu Beng, Cin Eng tak lama
kemudian terhibur juga dan dapat melupakan kesedihannya.
Bepergian degan perahu di sepanjang sungai yang indah pemandangan alam di kanan
kirinya itu memang sangat menarik hati. Mereka seakan-akan tak merasa lelah dan
dimana terdapat kampong yang besar, mereka singgah sebentar untuk membeli ini
itu. Beberapa hari kemudian, perahu mereka memasuki daerah hutan yang lebat. Pohon-
pohon besar menutup arus sungai hingga air sungai tampak hitam dan keadaan agak
gelap. Setelah memasuki hutan itu beberapa puluh li jauhnya, tiba-tiba di satu tikungan
tampak lima buah perahu berbaris mencegat mereka. "Wah, bajak sungai!" kata Hek
Houw, tapi dia tidak takut, bahkan berkata dengan sombong. "Suhu, biarlah
kuperlihatkan bahwa aku tidak takut kepada segala cecunguk sungai ini." dan dia
terus mendayung perahunya dengan tabah.
"He, tamu yang lewat berhenti dulu! kalian harus bayar uang jalan di daerah kami
ini, kalau tidak, jangan harap bisa terus dan jangan harap bisa kembali hidup-
hidup." Kata kepala bajak yang masih muda dan berwajah cakap serta berkulit
putih. "Apa katamu?" jawab Hek Houw dengan suara keras. "Jangan kurang ajar, minggir
kamu, kalau tidak, dayungku ini akan menghancurkan kepalamu!"
bajak-bajak yang terdiri dari dua puluh orang lebih diatas lima perahu itu
tertawa mengejek. "Lihat itu tingkahnya orang hutan hitam," seorang diantara
mereka menghina. Hek Houw menjadi marah dan dengan berseru keras ia meloncat ke
perahu yang terdekat dan mengamuk dengan dayungnya. Sebentar saja ia dikeroyok
oleh bajak-bajak yang bersenjatakan golok.
Kepala bajak melihat bahwa perahu yang dirampok itu hanya diduduki oleh seorang
pemuda yang kelihatan lemah dan seorang nona muda, ia memandang remeh sekali dan
dengan satu loncatan cepat ia sudah berada di perahu Bu Beng.
"Anak muda, serahkan semua barang-barangmu dank au akan dapat lewat dengan
selamat." "Eh, mudah amat, kawan. Kau mempunyai kepandaian apa maka berani menjadi kepala
perampok?" tiba-tiba Cin Eng yang beradat lebih galak dari Bu Beng segera
menegur dan mencabut siang kiamnya.
"Ha, ha " kepala bajak muda itu tertawa geli. "Kiranya kau juga dapat main-main
dengan pedang?" ia menyerang dengan goloknya dan ditangkis oleh Cin Eng.
Sebentar saja mereka bertarung dengan sengit. Beberapa orang bajak meloncat pula
ke perahu itu hingga perahu menjadi goncang. Bu Beng menggerakkan kaki tangannya
dan beberapa orang penjahat terpental masuk kedalam air. Tapi lain penjahat
mendatangi hingga mereka terkepung. Cin Eng tak dapat bersilat dengan baik
diatas perahu yang bergoyang-goyang itu maka permainannya kalut. Baiknya Bu Beng
dengan gesit bergerak kesana sini, dimana kepalan tangannya menyambar atau
kakinya terangkat, erdengar suara mengaduh dan tubuh seorang bajak jatuh
tercebur ke air. Dengan sekali loncatan Bu Beng berada di depan kepala bajak
itu. Melihat pemuda itu dengan mudah dapat menjatuhkan orang-orangnya dengan
tangan kosong saja, kepala bajak menjadi marah dan berbalik menyerang Bu Beng.
Bu Beng berkelit hingga golok lewat di sampingnya, kemudian dia mengangkat kaki
kirinya dan menendang. Dengan mudah penjahat cakap itu terpental dan masuk ke
dalam air. Bu Beng melihat Hek Houw terkepung dan berteriak-teriak. "Tolong, suhu tolong!"
segera meloncat ke perahu itu dan dengan beberapa kali gerak tangan, semua bajak
berjatuhan dan ada yang sebelum terpukul segera meloncat ke dalam air.
Bu Beng lalu mengajak Hek Houw kembali ke perahu mereka sendiri. Tapi ketika
menginjakkan kaki di perahu itu, tiba-tiba menjadi miring dan air masuk
kedalamnya. "Celaka mereka menggulingkan perahu dari bawah!" Teriak Hek Houw
yang segera menyambar dayung dan menggunakannya untuk memukul sebuah kepala
seorang bajak yang tampak muncul di pinggir perahu. Orang itu berteriak
kesakitan dan tenggelam. Perahu makin bergoyang-goncang dan sebentar lagi tentu terbalik, Bu Beng
memegang tangan Cin Eng dan mngajak gadis itu meloncat ke salah sebuah perahu
yang terdekat dan kosong. Hek Houw ikut meloncat tapi kurang jauh hingga ia
tercebur ke dalam air,. Untung ia pandai berenang dan segera naik ke perahu
dimana Bu Beng dan Cin Eng telah berada dengan selamat. Tapiusaha mereka ini tak
banyak menolong, karena kawanan bajak bagaikan kura-kura berenang di bawah
permukaan aira dan kini mencoba menggulingkan perahu itu.
"Loncat ke sana Eng moi!: kata Bu Beng dengan gugup karena perahu itu telah
miring. Dengan cepat Cin Eng meloncat ke perahu terdekat, tapi malang baginya,
kakinya menginjak pinggiran perahu yang basah dan licin hingga ia terpeleset dan
jauh ke air. Hek Houw meloncat mengejar dan berenang hendak menolong, ia
dihalang-halangi oleh seodrang bajak hingga sebentar kemudian mereka berdua
bergulat dalam air. Kepala penjahat yang muda itu segera menolong Cin Eng dan membawanya berenang.
Bu Beng menjadi bingung sekali, karena kalau ia menggunakan senjata rahasia
menyambit kearah kepala bajak itu sampai mati, bagaimana nanti nasib Cin Eng" Ia
sendiri tak pandai berenang. Maka ia hanya dapat melihat dengan hati bingung dan
khawatir lalau meloncat ke perahu sendiri yang telah ditinggalkan bajak.
Hek Houw yang dihalang halangi oleh seorang bajak bertubuh besar, menjadi marah
sekali. Lebih-lebih ketika dilihatnya betapa Cin Eng dibawa berenang oleh kepala
bajak, ia makin marah. Ia gunakan seluruh kepandaiannya di air dan mencekik
leher bajak itu. Tapi ternyata lawannya seorang yang kuat dan kedua tangannya
menjambak rambut Hek Houw dengan keras. Karena saling cekik dan saling jambak,
keduanya tak dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk berenang, dan kedua-
duannya lalu tenggelam. Mereka saling meronta-ronta hendak melepaskan pegangan
lawan, tapi tak dapat. Maka sudah beberapa kali mereka terpaksa membuka mulut
untuk berenapas hingga banyak air sungai memasuki perut.
Hek Houw sudah merasa lemas. Ia lalu mencari akal. Ketika merasa bergulat
menjadi seru dan mukanya berada dekat dengan perut lawan, ia gunakan mulutnya
menggigit kulit perut yang gendut itu. Karuan saja bajak itu merasa kesakitan
sekali dan melepaskan pegangannya untuk menolong perutnya. Saat itu digunakan
oleh Hek Houw untuk muncul ke permukaan air dan mengambil napas dengan terengah-
engah. Ketika bajak itupun muncul juga di dekatnya, ia segera meukul kepalanya
hingga bajak itu kembali tenggelam. Tiap kali muncul, Hek Houw mengetuk
kepalanya hingga lama-lama bajak itu menjadi lemas karena tak dapat bernapas.
Akhirnya ia tenggelam lagi untuk tidak timbul kembali.
Dengan lemas Hek Houw berenang ke perahunya dan naik keatasnya. Bu Beng telah
berdiri disitu dengan termenung. Pada waktu itu tak nampak lagi seorang bajakpun
di air. "Bagaimana kouwnio suhu?"
Bu Beng hanya mengeleng-gelengkan kepada dan mereka lalu mendayung perahu ke
seberang kanan sungai atas kehendak Bu Beng. Karena keadaan agak gelap dengan
tenggelamnya matahari, Bu Beng tak berdaya mengejar larinya penjahat. Namun ia
dapat melihat bahwa semua bajak lari kearah pantai kanan. Kemudian ia memesan
kepada Hek Houw agar menjaga perahu dan menanti disitu karena ia hendak menyusul
dan mencari jejak para bajak sungai yang membawa lari Cin Eng.
Sedang keadaan Cin Eng sendiri sangat menyedihkan.
Karena tak pandai berenang, ia menjadi lemas dan pingsan dalam pondongan Kwee
Ciang, kepala penjahat yang masih muda itu. Kwee Ciang mengumpulkan anak buahnya
dan beramai-ramai mereka lari kearah sarang mereka yang berada di tengah-tengah
hutan. Ketika sadar, Cin Eng mendapatkan dirinya terbaring diatas tempat tidur kayu
dengan tangan dan kaki terikat. Kwee Ciang dan seorang pemuda lain yang
berpakaian menterang duduk tak jauh dari tempatnya.
Melihat Cin Eng sudah sadar. Kwee Ciang berkata dengan senyum.
"Maaf nona kami terpaksa mengikat kau, karena kau ternyata pandai silat hingga
berbahaya kalau tak diikat. Jangan kau khawatir kami takkan mengganggumu. Kau
hanya kami tahan untuk menanti datangnya kawanmu itu yang harus menebusmu dengan
barang-barang berharga. Ketahuilah kami telah kehilangan banyak anggota, maka
kau harus ditebus dengan mahal."
"Hm, kalau dia datang, kamu semua tentu terbunuh mampus," Cin Eng berkata gemas.
"Ha ha ha sudah cantik, kalau marah bertambah manis," kata pemuda berbaju
menterang itu sambil menyeringai.
"Kwee Liang! Jangan bicara sembrono!" tegur Kwee Ciang. "Nona jangan marah.
Adikku hanya berkelakar saja. Ketahuilah, aku adalah Kwee Ciang yang memimpin
bajak di sini dan ini adalah Kwee Liang misanku." Tapi Cin Eng tak pedulikan
perkataan itu dan memalingkan mukanya.
Tiba-tiba seorang bajak berlari masuk.
"Tai ong orang tadi telah datang dan mengamuk!"
Kwee Ciang mencabut goloknya dan berkata kepada Kwee Liang. "Kau menjaga disini
jangan sampai nona ini terlepas. Biar kubereskan orang itu dan minta uang
tebusan." Kepala bajak yang muda dan cakap itu segera lari keluar membawa
goloknya, diikuti oleh bajak yang melaporkan tadi.
Kwee Ciang lari keluar dan melihat perkelahian yang hebat dan membuat hatinya
berdbar penuh kekhawatiran. Ia melihat betapa Bu Beng dengan tangan kosong
dikeroyok bajak empat puluh orang lebih, tapi pemuda itu bagaikan seekor naga
terlepas dari kurungan, mengamuk hebat sekali. Dengan kedua tangan kosong ia
menyambar kesana sini dan dimana tubuhnya berkelebat, tentu rebah seorang bajak
dengan tak berkutik karena telah tertotok jalan darahnya! Tubuh para bajak
bergelimpangan bertumpuk-tumpuk dan teriakan ngeri terdengar disana-sini! Kwee
Ciang kaget sekali karena ia mnyangka kawan-kawannya yang roboh itu terbinasa,
maka ia segera mengumpulkan kawan-kawannya yang pandai menggunakan senjata
rahasia dan beramai-ramai menyambit pemuda itu dengan pisau, pelor besi dan anak
panah! Tapi dengan berseru keras Bu Beng mencabut Hwee hong kiam dari punggung dan
memutarnya hingga tampak sinarnya berkilau kilauan seperti perak. Semua senjata
rahasia dapat dipukul jatuh dan berserakan kesana kemari. Kemudian tubuh Bu Beng
berkelebat kembali ia menggunakan tangan kirinya menotok tipa penjahat yang
dapat terpukul olehnya. Bu Beng benar-benar mengamuk hebat, tapi ia masih ingat
akan perikemanusianan dan tak mau menjatuhkan tangan maut. Hanya membuat bajak-
bajak itu tak berdaya dan lumpuh dengan totokannya yang diwarisinya dari Hoa san
pai yang hebat. Melihat kejadian hebat ini, Kwee Ciang putus asa dan tak berani melawan. Ia
segera kembali ke pondoknya untuk membawa lari Cin Eng. Alangkah terkejutnya
ketika ia mendengar jeritan seram dari arah pondoknya itu. Buru-buru ia menolak
daun pintu, tapi pintu terkunci dari dalam, ia gunakan kakinya menendang pintu,
pintu terbuka dan pemandangan di dalam pondok membuat wajahnya menjadi merah karena marah.
Ternyata ketika ditinggalkan seorang diri untuk menjaga Cin Eng, Kwee Liang yang
memang berwatak cabul dan jahat tertarik sekali akan kecantikan CIn Eng dan
timbullah maksud buruk hendak mengganggunya. Didekatinya nona itu dan ia
mengulurkan tangan. Cin Eng menjerit tapi Kwee Liang segera menekap mulut nona
itu dan menyumbatnya. Cin Eng meronta-ronta, tali ikatan kaki tangannya sangat
kuat. Nona itu takut sekali, air matanya mengalir dan ia bertekat lebih baik
mati daripada terganggu oleh binatang berwajah manusia ini. dengan beringas Kwee
Liang memegang baju Cin Eng dan merenggutkannya dengan sekali sentakan. Baju
nona itu robek dan tampaklah pundaknya yang berkulit putih halus Cin Eng makin
marah dan memberontak keras, dan Kwee Liang makin gila nampaknya. Pemuda
bermoral bejat itu segera menuju ke pintu dan menguncinya.
"Nona jangan takut, aku takkan berlaku kasar padamu," katanya menyeringai.
Kemudian ia maju menghampiri.
Tapi, belum ia bertindak lebih jauh yang melanggar batas-batas perikesopanan dan
kesusilaan tiba-tiba pintu ditendang dari luar dan Kwee Ciang berdiri di ambang
pintu dengan golok di tangan dan wajah merah sekali.
Kwee Liang tersenyum. "Twako, jangan ganggu aku. Berlakukah baik kali ini dan
biarlah aku mendapatkan nona itu. Aku cinta padanya, twako."
"Bangsat rendah! Kau membikin malu aku, membikin malu abu leluhur kita! Biarpun
menjadi bajak , tak pernah
nenek moyangku menjalankan perbuatan terkutuk itu. Hayo keluar."
Kwee Liang menjadi marah. "Twako, bagus bener sikapmu ini! Kau selalu hendak
menang sendiri dan aku selalu harus tunduk kepadamu. Tapi kali ini tidak !
pendeknya aku harus mendapatkan nona ini, tak peduli kau melarangnya atau tidak.
Aku mau keluar kalau tubuhku sudah terbaring diatas lantai ini."
"Binatang kau!"
"Habis, kau mau apa?" kata Kwee Liang dan mencabut pedangnya yang ditaruh diatas
meja. Kwee Ciang menjadi marah dan meloncat menyerang. Kwee Liang menangkis dan
mereka berkelahi dengan sengit. Sebenarnya dalam hal kepandaian, Kwee Ciang
menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kwee Liang. Lebih-lebih karena Kwee
Liang jarang melatih diri. Maka setelah bertempur kurang lebih dua puluh jurus,
tiba-tiba Kwee Ciang melayangkan tendangannya dan tepat mengenai dada Kwee Liang
yang segera roboh dan pingsan! Kwee Ciang masih ada rasa kasihan kepada adik
misannya maka ia tidak mau membunuhnya. Dan karena perbuatan biadab dari Kwee
Liang ini maka Kwee Ciang mengurungkan niatnya hendak membawa lari Cin Eng untuk
minta uang tebusan kelak, bahkan ia merasa malu sekali. Maka tanpa ragu-ragu
lagi ia menggunakan goloknya memutuskan tali pengikat kaki dan tangan Cin Eng,
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu melemparkan sehelai baju luar kearah Cin Eng untuk dipakai menutupi
sebagian tubuh atasnya yang robek. Sebagai seorang laki-laki, Kwee Ciang berdiri
membelakangi Cin eng untuk memberi kesempatan kepada gadis itu memakai pakaian
yang diberikannya itu. Tapi sungguh tidak nyana, setelah mengenakan baju luar Cin Eng melompat ke
depan, menyambar pedang Kwee Liang dan menggunakannya untuk menyabet leher Kwee
Liang. Dan kepala penjahat cabul itu menjadi terpisah dari lehernya.
Kwee Ciang kaget sekali dan mukanya menjadi pucat. "Ah, kau keterlaluan nona."
Cin Eng menuding kearah mayat Kwee Liang. "Keterlaluan" Sudah sepatutnya
binatang macam ini dibinasakan. Kalau kau merasa sakit hati, belalah adikmu itu
aku tidak takut." Kwee Ciang tak menjawab, tapi dengan bercucuran air mata ia berjongkok dan
menyelimuti mayat adik misannya sambil berkata lemah, "Ah Kwee Liang, Kwee Liang
......mengapa kau tidak mau menurut nasehatku! Ah, sekarang kau terbunuh mati, aku
malu kalau kelak berjumpa dengan paman di alam baka ...."
Cin Eng melihat keadaan pemuda itu menjadi kesima dan juga terharu. Tiba-tiba
dari luar berkelebat bayangan orang dan Bu Beng berdiri disitu dengan Hwee hong
kiam di tangan. Sikapnya galak dan gagah sekali. Mukanya pucat tanda khawatir
dan matanya menyinarkan cahaya menakutkan! Wajah yang pucat menjadi merah dan
terdengar ia bernapas lega ketika melihat nona kekasihnya berdiri disitu dengan
pedang berlumuran darah di tangan! Tapi ia heran melihat baju luaryang dipakai
gadis itu. Kemudian ia melihat Kwee Ciang yang sedang berjongkok.
"Bangsat tak tahu malu! Kau harus mampus !" seru Bu Beng dengan marah.
Kwee Ciang meloncat berdiri dan ketika Bu Beng menyerangnya, ia menangkis. Tapi
goloknya terlepas putus oleh Hwee hong kian ! kwee Ciang menjadi pucat dan ia
hanya memejamkan mata ketika Hwee hong kiam meluncur kearah lehernya.
Tiba-tiba Cin Eng meloncatdan menangkis Hwee hong kiam dengan kerasnya!
Pedangnya menjadi putus. Bu Beng kaget dan meloncat mundur sambil memandang
kepada kekasihnya dengan heran.
"Sabar, koko," kata Cin Eng. "Kau salah sangka. Kwee Ciang bukanlah seorang
jahat. Bahkan ia telah menolong jiwaku." Kemudian dengan singkat ia menceritakan
tentang kekurangajaran Kwee Liang dan betapa Kwee Ciang menolongnya hingga ia
dibebaskan dan dapat membunuh Kwee Liang.
Bu Beng menjuru dan berkata. "Maaf, tai ong. Tak kusangka seorang kepala bajak
seperti kau ini masih mempunyai sifat satria dan gagah."
Kwee Ciang membalas hormat dan air matanya turun kembali membasahi pipinya.
"Taihiap, sungguh aku merasa malu. Aku dengan saudara misanku telah tersesat
menjadi kepala bajak, walaupun kami tak pernah berlaku sewenang-wenang, tapi
betapapun juga, bajak tetap penjahat dan dikutuk orang. Aku telah berlaku salah
terhadap taihiap maka tak lain mohon maaf dan semoga taihiap juga sudi
menyembuhkan semua kawan-kawanku yang menjadi korban karena aku. Kalau taihiap
hendak menghukum, hukumlah aku yang menjadi kepala mereka, boleh aku kau
bunuh atau kau serahkan kepada pembesar negri, tapi sembuhkan kawan-kawanku."
Mendengar ucapan dan melihat sifat setia kawan dari kepala bajak itu, Bu Beng
merasa terharu dan juga girang karena dari sikapnya itu Kwee Ciang menunjukkan
kejantanannya dan bahwa hatinya belum rusak. Maka Bu Beng segera menghampiri
para bajak yang rebah tak bergerak karena totokan ketika mengamuk tadi dan
sebentar saja tiga puluh orang lebih anak buah bajak telah dibebaskan dari
pengaruh totokan. "Saudara, Kwee Ciang," katanya kemudian kepada Kwee Ciang, "Tadi kau sanggup
memikul semua tanggung jawab. Nah, kuharap kau suka sadar akan kesesatan ini.
Kau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Buat apa menjadi bajak hingga
membusukkan nama sendiri! Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati harus
bisa meninggalkan nama baik! Selagi hidup mengapa kau tak gunakan kepandaianmu
menolong sesame hidup dan melakukan kebajikan hingga hidupmu tidak kosong dan
sia-sia" Kau bukan orang jahat, juga kau adalah seorang cerdik, kurasa kata-
kataku ini sudah cukup kau mengerti. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya,
terserah kepada kebijaksanaanmu sendiri."
Kwee Ciang merasa terharu dan menghaturkan terima kasih sambil berlinang air
mata. Kemudian Bu Beng mengajak Cin Eng ke tepi sungai dimana Hek Houw menanti dengan
tidak sabat. Tapi ketika melihat bahwa Cin Eng telah tertolong dan selamat, ia
menjadi girang. Meraka lalu berlayar lagi dengan cepat. Kwee Ciang yang merasa
berterima kasih dan kagum
kepada Bu Beng, mengirim orang-orang berkuda dan mendahului Bu Beng untuk meberi
kabar kepada kawan-kawan bajak agar mereka jangan mengganggu Bu Beng Kiamhiap.
Demikianlah, dua minggu kemudian, setelah menikmati pelayaran di sepanjang
sungai yang mempunyai tamasya , alam indah permai itu, mereka telah mendekati
laut. Air sungai menjadi liar dan buas. Sungai menjadi lebar dan dalam dan
alirannya cepat sekali hingga Cin Eng merasa ngeri. Tapi karena Bu Beng
bertenaga besar dibantu oleh Hek Houw yang setia, mereka dapat meluncurkan
perahu mereka dengan selamat memasuki lautan.
Berbeda dengan air sungai, air laut tenang seakan-akan tak bergerak sama sekali.
Bu Beng dan Hek Houw yang tadinya tidak menggunakan tenaga sama sekali untuk
mendayungperahu karena perahu telah laju terbawa aliran sungai hingga mereka
hanya mengerahkan tenaga untuk menjaga keseimbangan dan tujuan perahu, kini
merasa seakan-akan badan perahu berat sekali karena harus menempuh air diam.
Sebetulnya air laut tidak diam sama sekali bahkan dibawah permukaan air terdapat
alunan gelombang, tapi permukaan laut karena luasnya tak tampak bergoyang. Pula
karena mata mereka yang diatas perahu tadinya menyaksikan air sungai yang
berlomba dan dengan buasnya menyerbu kearah laut, kini melihat air laut biru
luas itu menjadi berkunang-kunang.
Bu Beng dan Cin Eng menggunakan tangan melindungi mata karena matahari bersinar
panas berkilauan, dan mencari-cari dimana letak pulau yang dicari itu. Tiba-tiba
Cin Eng menunjuk kearah timur laut.
"Koko, lihat itu!" cepat Bu Beng memandang dan nampaklah olehnya sebuah pulau
panjang kecil yang berwarna hitam kehijauan.
"Tidak salah lagi, itulah Ang coat ho." Kata Bu Beng gembira ketika samara-samar
ia melihat puncak sebuah bukit menjulang tinggi di pulau itu.
Tapi tiba-tiba air laut yang tadinya diam bergelombang hebat. Anehnya yang
bergelombang hanya air di depan mereka saja, seakan-akan air itu digerakkan dari
bawah dan seperti ada apa-apa yang sengaja mencegat mereka! Bu Beng dan Cin Eng
bersiap dengan pedang di tangan.
Gelombang makin membesar dan alangkah terkejut mereka ketika tiba-tiba dari
permukaan air tersembul keluar sebuah kepala ular air yang berwarna hitam! Tapi
kalau ular air di sungai paling besar hanya sepaha orang, ular air yang muncul
ini sedikitnya tiga kali lebih besar dari yang biasa. Ular air itu menyemburkan
air dari mulutnya dan dengn lidah terjulur panjang, ia naik sampai sebatas leher
sambil memandang kearah perahu dengan mata berkilat. Kemudian ular itu menyelam
kembali, tapi kini ekornya tampak makin mendekati perahu, tanda bahwa ia sedang
berenang kearah perahu! Tiba-tiba ular itu membentur perahu hingga terputar-
putar, kemudian ia mengeluarkan kepala yang mengerikan itu di samping perahu,
siap untuk menelan penumpangnya.
Hek Houw mengangkat dayungnya dan dengan sekuat tenaga ia memukul kepala ular
itu, tapi kulit ular itu licin dan keras sekali hingga dengan diiringi suara
keras dayungnya patah bahkan gagangnya terlepas dari tangan karena ia merasakan
telapak tangannya pedih dan panas.
Hek Houw adalah seorang pemuda berangasan dan tak kenal takut. Kejadian ini tak
membikin ia kapok bahkan ia mengulurkan tangan mengambil dayung yang tadi
digunakan Bu Beng dan siap hendak memukul lagi, tapi Bu Beng yang teringat bahwa
dayung itu adalah dayung terakhir yang akan membawa mereka ke pulau segera
merebut dayung itu. "Jangan pukul, kau mau menghancurkan dayung ini lagi" Bentaknya.
Sementara itu, ular laut yang menerima pukulan dayung tadi seakan-akan tak
merasa apa-apa, bahkan kini meletakkan kepada dan lehernya di pinggiran perahu
hingga perahu menjadi miring! Binatang itu lalu bergerak hendak masuk ke dalam
perahu. Cin Eng berseru keras, lalu dengan cepat ia menyambar dan mengayunkan
pedangnya membacok. Tapi pedangnyapun terpental kembali, karena leher ular itu
tertutup oleh sisik yang keras bertumpuk-tumpuk lagi sangat licin hingga mata
pedangnya tidak dapat melukainya.
Tapi tenaga Cin Eng cukup membuat ular itu kaget dan bergerak cepat dengan mulut
terbuka kearah Cin Eng, Bu Beng secepat kilat menyerang sambil berkata kepada
Cin Eng. "Jangan bacok, tusuk saja!" dan ia gunakan pokiamnya menusuk leher
kanan ular itu dengan gerakan Panah Wasiat Menembus Baja. Sementara itu Cin Eng
yang tadinya hendak membacok pula, setelah mendengar nasehat Bu Beng segera
merobah gerakannya dan menusuk dari kiri kearah leher ular itu.
Benar saja dugaan Bu Beng, ujung pedang yang tajam walaupun tak dapat menembus
sisik yang sangat licin dan keras itu, tapi dapat menerobos diantara sisik dan
menancap di kulit ular itu! Merasa betapa lehernya tertusuk dari kanan kiri
hingga mengeluarkan darah dan sakit sekali, ular itu berontak dan menyentak-
nyentakkan kepalanya ke kanan kiri. Tenaganya besar sekali hingga dengan kaget
Cin Eng terpaksa melepaskan pedangnya yang masih menancap di leher ular. Tapi Bu
Beng yang berkepandaian tinggi cepat menggunakan kegesitan dan tenaganya
mencabut pedang yang merah karena darah ular. Ular itu mendesis dan dari lubang
hidungnya keluar asap hitam menyambar. Untung Cin Eng dan Bu Beng dapat berkelit
jauh ke belakang. Kemudian ular itu menggerak-gerakkan kepada dan matanya
melirik kearah pedang Cin Eng yang masih menancap di lehernya dan ronce pedang
warna merah itu melambai-lambai tertiup angina. Ular itu menjadi marah sekali
dan menggigit-gigit kearah gagang peadang di leher. Tapi mulutnya tak dapat
mencapainya. Ia menjadi bagaikan gila dan mencebur ke dalam air terus berenang
kesana kemari setelah menimbulkan gelombang besar dan kacau yang membuat perahu
itu terayun-ayun, ia menyelam kedalam air dan lenyap dari pemandangan, hanya
meninggalkan darah merah diatas perahu dan gelombang-gelombang kecil, akibat
dari amukannya tadi. Bu Beng menghela napas lega dan Hek Houw menelan ludah.
"Sungguh hebat dan berbahaya!" kata Hek Houw sambil menjulurkan lidah. Tapi
akhirnya pedang kouwnio tentu dapat membunuhnya."
"Mengapa begitu?" Tanya Cin Eng yang masih berdebar-debar karena kaget tadi.
"Ular itu kebingungan tak dapat melepaskan pedang yang menancap di lehernya
hingga ia akan sibuk menggigit-gigit kearah pedan dan lupa makan lupa tidur dan
akhirnya ia tentu mati kelaparan!" Bu Beng dan Cin Eng tertawa mendengar obrolan
ini. "Untung kau tadi tidak menggunakan dayung ini untuk memukul lagi," kata Bu Beng,
"Kalau dayung ini patah bagaimana kita bisa sampai ke pulau itu?"
kemudian Bu Beng menggunakan dayung itu untuk mendayung sekuat tenaga agar
mereka dapat sampai ke pulau yang dituju secepat mungkin. Biarpun pulau itu dari
situ tampak dekat saja, tapi setelah mendayung setengah hari baru mereka sampai
di pantai pulau sebelah selatan.
Mereka segera mendarat dan Hek Houw menarik perahunya ke darat. Mau tak mau Bu
Beng merasa ngeri juga ketika memandang keatas pulau yang merupakan bukit dengan
puncak yang meruncing keatas karena pulau itu ternyata penuh dengan hutan yang
agaknya belum pernah didatangi orang dan masih sangat liar.
Karena pada waktu itu matahari telah bersembunyi di balik puncak dan cuaca telah
mulai gelap, Bu Beng mengajak Cin Eng dan Hek Houw beristirahat di bawah pohon-
pohon Siong yang besar. Tapi Cin Eng berkata, "Dulu ayah menceritakan padaku
bahwa ia ketika dating ke pulau itu telah membuat sebuah pondok kecil dari
bamboo di tepi pantai sebelah selatan. Mari kita cari pondok itu agar dapat
mengaso dengan tenang."
Maka mulailah mereka bertiga mencari pondok itu. Dan benar saja, di tempat yang
agak tinggi terdapat sebuah pondok dengan kaki bamboo panjang di empat sudut.
Dengan ringan Bu Beng dan Cin Eng dapat meloncat keatas, memasuki pondok diatas
yang terbentang lebar. Tapi Hek Houw yang belum tinggi kepandaiannya telah
mencoba beberapa kali belum juga dapat berhasil mencapai pintu karena kaki
pondok itu tingginya tak kurang dari dua tombak. Terpaksa sambil tertawa Bu Beng
mengulurkan tangannya dan ketika Hek Houw meloncat lagi, ia tangkap lengan Hek
Houw dan menariknya keatas.
Malam itu mereka sukar untuk dapat tidur nyenyak karena setelah hari menjadi
gelap, banyak sekali binatang-binatang buas turun dari bukit dan keluar dari
hutan menuju ke pantai. Binatang-binatang itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan
beberapa ekor diantara mereka bahkan jalan hilir mudik di bawah pondok.
Tapi setelah fajar menyingsing, semua binatang buas itu kembali keatas bukit
memasuki hutan. "Kita harus berhati-hati nanti kalau naik bukit, tentu banyak pengganggu akan
kita hadapi," kata Bu Beng yang bersiap-siap hendak mulai mencari obat untuk
tunangannya. Mereka bertiga mulai naik bukit dengan senjata siap di tangan. Hek
Houw membawa sebilah golok besar dan menggunakannya untuk membabat pohon-pohon
kecil yang merintangi jalan.
Dua kali mereka diganggu binatang buas. Pertama kali seekor harimau besar
menyerang Hek Houw tapi harimau itu dengan mudah dapat dibunuh mati oleh Bu Beng
. Yang kedua kalinya seekor orang hutan hitam sebesar manusia mencoba menyerang mereka.
Tapi kembali binatang ini dapat ditewaskan. Hampir saja mereka melawan mati-
matian ketika kawan-kawan orang hutan itu sebanyak seratus ekor lebih dating
menyerbu membela kematian kawannya. Tapi tiba-tiba Hek Houw mendapat akal. Ia
membuat api dan dengan obor kayu-kayu kering di tangan ia berteriak-teriak keras
sehinggga orang-orang hutan itu lari bercerai berai ketakutan.
Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya dengan selamat akhirnya mereka
sampai juga di tempat yang dituju. Mereka mendengar suara air bergemuruh. Ketika
dicari, ternyata bunyi itu adalah sebuah air terjun yang curam dengan airnya
yang putih bersih. Dan di kanan air terjun itu, di kaki puncak bukit, tampaklah
goa yang mereka cari-cari.
Hek Houw yang biasanya berhati tabah, menjadi ngeri dan seram juga ketika ia
berdiri di depan goa itu. Bu Beng memandang dengan penuh perhatian. Goa itu
lebarnya tiga kaki lebih, lubangnya bundar dan gelap. Dinidng luar goa merupakan
kepala ular besar dan lubang itu menjadi lubang mulutnya. Batu cadas yang
berbentuk kepala ular besar itu mungkin terjadi karena alam, tapi ebntuknya
demikian sempurna seakan-akan ukiran seorangpemahat pandai atau seolah-olah
memang tadinya seekor ular tulen yang telah berubah menjadi batu karena lamanya.
Ketika Bu Beng hendak masuk, dengan obor kayu kering di tangan, tiba-tiba ia
mencium bau amis dan terdengar suara berkeresekan di dalam goa. Ia cepat mundur
kembali dan memungut beberapa butir batu lalu melemparkannya
kuat-kuat ke dalam. Terdengar batu-batu itu menghantam cadas tapi tidak
terdengar suara lain. Bu Beng lalu menyuruh Hek Houw mengumpulkan kayu kering
dan membakarnya di mulut goa. Ia kipas-kipas asapyang bergulung-gulung hingga
masuk ke dalam goa. Usahanya ini ternyata berhasil baik. Karena terserang asap yang memedihkan mata
dan menyesakkan napas itu, penghuni goa terpaksa keluar untuk mencari hawa baru
yang segar. Ketika penghuninya itu keluar dari lubang, terdengar suara mendesir-
desir keras dan bau amis makin tajam menusuk hidung. Bu Beng cepat menyuruh Cin
Eng dan Hek Houw menyingkir jauh, sedangkan ia sendiri dengan pedang di tangan
menanti di luar goa. Tiba-tiba terdengar desis keras sekali dan asap kayu yang tadinya menyerang ke
dalam goa, tiba-tiba berbalik dan buyar bagaikan tertiup angin dan kini
bergulung-gulung ke atas di luar goa. Maka tampaklah oleh Bu Beng makhluk yang
dinanti-nantikannya itu. Seekor ular sebesar batang pohon liu bergerak perlahan
keluar goa. Kulit ular itu indah sekali, berwarna merah dan merupakan kembang-
kembang dengan bintik-bintik biru dan hitam. Panjangnya tak kurang dari dua
puluh kaki. Kepalanya agak kecil tapi di tengah-tengah kepala itu tersembul sebuah tanduk daging yang dapat bergerak-gerak. Melihat Bu Beng
berdiri disitu dengan sikap menantang ular yang sedang marah mencari
pengganggunya itu, memandangnya dengan mata tajam, sedangkan lidahnya yang hitam
sebentar-sebntar menjilat bibir atas. Tiba-tiba tubuh ular itu mengkerut menjadi
oendek dan dengan loncatan kilat bagaikan anak panah besar meluncur dari
busurnya, tahu-tahu ia menyerang Bu Beng! Hebat sekali serangan itu karena
sambil menerjang mulutnya terbuka memperlihatkan taring-taring tajam dan
dari dalam mlut keluar uap hitam yang berbau amis menimbulkan rasa muak. Mak Bu
Beng cepat berkelait dan meloncat ke samping. Heran sekali, tubuh ular yang
begitu besar ketika turun keatas tanah dapat diatur sedemikian rupa hingga
seakan-akan tubuhnya itu ringan sekali. Bu Beng tidak mau menyia-nyiakan waktu.
Sebelum ular dapat membalik, ia maju dan menyabetkan pedangnya. Tapi ular aneh
itu tanpa berpaling mengangkat ekornya dan menangkis pedang itu. Tenaganya besar
sekali hingga hampir saja pedang Bu Beng terlepas dari pegangannya! Bu Beng
terkejut sekali. Pantas saja ayah ibu Cin Eng tak dapat melawan ular ini, karena
ia demikian hebat. Bu Beng diam-diam mengakui bahwa tenaganya yang terlatih
kalah jauh oleh ular merah ini! Maka ia berlaku hati-hati sekali.
Manusia dan binatang itu saling serang mati-matian. Tubuh Bu Beng berkelit
kesana kemari dan pedangnya berputar-putar secepat kilat menyambar. Tapi ular
merah tak kalah cepat. Ia gunakan ekornya yang kuat untuk menangkis pedang dan
serangan-serangannya selalu mematikan ditambah dengan taring beracun dan uap
berbahaya yang selalu mengancam tubuh dan pernapasan Bu Beng!
Cin Eng yang merasa khawatir melihat tunangannya belum juga dapat membinasakan
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ular itu, tak peduli akan segala bahaya segera memburu dan ikut mengeroyok. Bu
Beng berkali-kali menyuruh ia menjauhkan diri, tapi Cin Eng tak mau menurut. Ia
tak mungkin dapat berdiri berpeluk tangan dengan hati aman melihat Bu Beng
berkelahi mati-matian. Bu Beng menjadi bingung melihat gadis itu tak menurut.
Kini ia harus memecah tenaganya untuk melindungi gadis itu lagi! Dengan gemas
Cin Eng menggunakan pedangnya menusuk leher ular itu dengan
gerakan Tiang khing king thian atau pelangi panjang melengkung di langit. Ular
itu agaknya tak melihat serangan ini karena sedang sibuk menghindari bacokan Bu
Beng. Tapi ketika pedang Cin Eng sudah dekat dengan kulit lehernya, tiba-tiba
ekornya menyambar kearah tangan Cin Eng yang memegang pedang! Merasa betapa
sambaran ekor itu membawa angin dingin kearah tangannya, gadisitu terkejut dan
menarik tangannya tapi pedangnya tetap terpukul oleh ekor dan ia merasa telapak
tanganya menjadi perih dan sakit. Terpaksa ia melepaskan pedangnya dan meloncat
mundur jauh-jauh! Ia merasa belum puas. Sepasang pedangnya yang biasanya dapat
menghadapi beberapa belas orang jahat bersenjata dengan tak terkalahkan , kini
kedua pedang itu telah dipaksa lawan terlepas dari tangannya. Pedang pertama
lenyap menancap di leher ular laut, sedangkan pedang kedua terlempar ke jurang
oleh sabetan ekor ular itu. Hampir-hampir ia menangis karena marah dan jengkel,
juga karena khawatir melihat Bu Beng agaknya terdesak oleh ular itu.
Hek Houw juga merasa penasaran karena tak dapat membantu. Ia menjadi marah
sekali dan tiba-tiba ia memungut kayu yang dibakarnya untuk mengasapi goa itu,
lalu dengan keras ia melontarkan kayu yang masih terbakar dan menyala itu kearah
tubuh ular. Tubuh ular bagian perut itu seakan-akan bermata karena ia tiba-tiba
dapat menghindari lontaran itu, tapi api yang bernyala di kayu masih sempat
menjilat kulit perutnya. Ular itu tiba-tiba bergerak bagaikan gila. Tubuhnya
berkelojotan kesana kemari dan ia menjadi garang sekali.mulutnya berdesis-desis
hebat dan ia menubruk Bu Beng dengan membabi buta. Pemuda ini melihat perubahan
gerak lawannya, segera berteriak.
"Hek Houw ! Cin Eng ! lekas membikin api sebanyak-banyaknya ! serang ia dengan
api!" Hek Houw girang sekali bahwa perbuatannya yang tak disengaja itu membuka rahasia
kelemahan ular merah, maka cepat ia membuat api dan mengumpulkan kayu yang
dibakar ujungnya dan dilontarkan kearah ular. Benar saja, tiap kali kulitnya
terjilat api ular itu meloncat-loncat bagaikan gila dan gerakan-gerakannya tak
karuan lagi. Tiba-tiba ia memutar tubuh dan menyerang kearah Cin Eng dan Hek
Houw dengan satu lompatan jauh! Pada saat itu, Cin Eng dan Hek Houw tak
bersenjata apa-apa selain dua batang kayu yang menyala ujungnya. Melihat
serangan nhebat ini, mereka menggunakan kayu itu untuk melawan. Melihat api yang
bernyala di ujung kayu, ular itu tak jadi menyambar dan turun kearah tanah,
kemudian dengan merayap perlahan ia menghampiri Cin Eng dan Hek Houw yang
berdiri menghadapinya dengan takut-takut. Ular itu tampak marah sekali, tapi
agaknya ia bukan marah kepada kedua orang itu, tapi marah kepada empat api merah
yang menyala di ujung empat batang kayu itu. Tiba-tiba ia maju dengan mulut
ternganga lebar. Ia serang ujung kayu di tangan kanan Hek Houw. Mulutnya bertemu
dengan api dan ular itu bagaikan disambar petir. Ia mundur digores-goreskan
bibirnya keatas tanah dan untuk menghilangkan rasa sakit di bibirnya. Sementara
itu api di ujung kayu itu menjadi padam. Kini ular itu menyerang kembali,
meluncur kearah api di ujung kayu di tangan kiri Hek Houw. Karena serangannya
keras, maka kali ini ia tidak hanya terjilat api, bahkan ujung kayu yang merah
terbakar itu tepat bertemu dengan matanya. Hebat sekali akibatnya. Ular itu
menggunakan ekornya menyabet-nyabet kesekelilingnya. Ia mebanting-banting
kepalanya keatas tanah dan
menggunakan ujung ekor menyabet-nyabet kepalanya yang terasa panas dan sakit.
Sementara itu Hek Houw berdiri pucat bagaikan mayat. Ia begitu takut dan bingung
hingga ia hanya bisa berdiri diam sambil memandang dua batang kayu yang telah
padam di kedua tangannya. Bu Beng girang sekali melihat hasil ini meloncat dan
manarik lengan Hek Houw dari situ. Tepat sekali apa yang ia lakukan ini karena
tiba-tiba ular itu menyerang kalang kabut kearah tempat Hek Houw tadi. Kalau si
hitam itu masih berada disitu, pasti ia takkan dapat melepaskan diri dari
bencana hebat ini. Bu Beng segera minta dua batang kayu masih menyala dan
dipegang oleh Cin Eng, lalu ia sendiri maju menghadapi ular itu dengan senjata
istimewa ini. Karena ia dapat bertindak cepat dan gesit sekali, maka berkali-
kali ujung kayu yang menyala itu bertemu dengan mata, muka, leher dan ekor ular
itu, sehingga si ular makin lama makin tak berdaya. Hanya ekornya saja masih
bergerak perlahan dan lemah. Bu Beng segera mencabut pedangnya dan dengan
sepenuh tenaga membacok leher ular itu. Sraatt! Dan putuslah leher ular merah
yang dahsyat itu. Setelah berhasil membunuh mati ular itu, Bu Beng menjatuhkan diri bersila diatas
rumput dan memgumpulkan semangatnya untuk memulihkan tenaganya yang telah
dikerahkan habis-habisan itu. Demikian juga Cin Eng memandang tubuh ular yang
kini tak bergerak lagi itu.
Setelah merasa tenaganya puluh kembali, Bu Beng dan Cin Eng mendekati kepala
ular. Ternyata ular itu memang luar biasa. Sisik di kepalanya berwarna merah
kekuning-kuningan bagaikan emas.
"Biarlah kita berdo'a mudah-mudahan di kepala inilah adanya mustika penyembuh
sakitmu itu," kata Bu Beng yang lalu menggunakan pedangnya membelah kepala ular
itu. Ternyata di dalam kepala itu terdapat benda bulat yang lembek tapi yang
putih berkilauan bagaikan air perak.
"Inilah dia! Cin Eng berbisik suaranya gemetar. "Ayah dulu pernah menceritakan
padaku bagaimana macamnya mustika ular itu. Inilah dia! Kalau sudah kering benda
ini akan mengeras bagaikan mutiara. Lekas ambil jantungnya koko!"
Bu Beng segera membelah perut ular dan mengambil jantungnya yang merah dan
kecil. Dengan bantuan Hek Houw mereka menyalakan api dan mencari air, lalu
memasak jantung itu dengan campuran obat yang telah disediakan olehe Bu Beng
menurut resep dari Lo Sam. Kemudian tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, ia
memberikan obat itu kepada Cin Eng yang terus meminumnya sambil memejamkan
matanya. Sebenarnya gadis ini merasa muak sekali, tapi karena terpaksa dan ingin
sembuh, ia paksa menelan juga obat berbau amis itu.
Tapi alangkah kaget Bu Beng dan Hek Houw melihat keadaan Cin Eng setelah obat
itu memasuki perutnya. Gadis itu memegang-megang kepalanya seakan-akan merasa
peningsekali dan kedua matanya tetap dipejamkan. Lalu gadis itu berdiri dan
sambil memegang kepala terhuyung-huyung hendak jatuh. Bu Beng memburu cepat dan
memeluk tunangannya. Ia makin terkejut dan khawatir sekali ketika tangannya
merasa betapa tubuh Cin Eng menjadi panas sekali seakan-akan terbakar.
"Engmoi ....moi-moi . .......kau kenapa ?" tapi Cin Eng tak dapat menjawab, bahkan
tubuhnya menjadi lemas dan ia jatuh pingsan dipelukan Bu Beng.
"Eng moi ......Engmoi ... ah Hek Houw bagaimana ini" Bu Beng kebingungan dan tak tahu
harus berbuat apa. Hek Houw juga bingung, tapi ia tidak kehilangan akal. Ia
lihat bahwa selain goa ular itu, masih ada lagi dua buah goa kecil dan dekat
situ. Maka ia lalu mensehati Bu Beng supaya membawa Cin Eng yang masih pingsan
ke dalam sebuah goa kecil, Bu Beng telah kehilangan akal, mendukung tubuh Cin
Eng ke dalam goa itu dan meletakkan tubuh gadis itu diatas rumput kering yang
disusun Hek Houw di dalam goa. Bu Beng memegang nadi tangan Cin Eng dan hatinya
agak lega ketika merasa bahwa denyut nadi gadis itu masih tetap dan biasa. Tapi
hawa panas yang memancar dari tubuh gadis itu membuat ia khawatir sekali. Tapi
apa daya" Ia hanya dapat menjaga dengan cemas di dekat tunangannya yang
terlentang bagaikan sedang tidur nyenyak itu. Hek Houw meninggalkan Bu Beng dan
duduk mengaso di dalam goa kecil di sebelahnya.
Sampai semalam suntuk, Cin Eng belum juga siuman Bu Beng menjaga di sampingnya
dengan tak bergerak-gerak. Mereka berdua merupakan dua buah patung hidup,
seorang telentang dan yang seorang pula duduk bersila, Hek Houw menyalakan api
di luar kedua goa kecil untuk menolak gangguan binatang hutan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika Bu Beng mulai merasa sedih dan
putus harapan, tiba-tiba Cin Eng bergerak dan mengeluh. "Aduh ......perutku sakit
sekali ....." gadis itu mengaduh-aduh sambil memegangi perutnya. Bu Beng menjadi
girang melihat tunangannya
siuman tapi serentak juga merasa bingung melihat betapa gadis itu merintih-
rintih. Tiba-tiba Cin Eng muntah-muntah dan dari perutnya keluar gumpalan-gumpalan
hitam. "Koko, keluarlah, pergilah dari sini!" Cin Eng berteriak kemalu-maluan mengusir
Bu Beng. Tapi Bu Beng menggeleng-gelengkan kepala dan bahkan menggunakan ujung
baju mengusap mulut Cin Eng yang telah berhenti muntah.
"Koko, keluarlah!" Cin Eng berkata marah karena ia merasa malu sekali. "Dan
tinggalkan baju luarmu!" terpaksa Bu Beng keluar mendengar ucapan yang
mengandung paksaan ini. Tapi ia girang sekali melihat wajah Cin Eng yang
kemerah-merahan dan biarpun berpura-pura marah tapi gadis itu masih tak dapat
menyembunyikan senyum bibirnya.
Ia menanti di luar gua dan segera memberitahu kepada Hek Houw yang masih
mendengkur di gua sebelah. "Hek Houw, Cin Eng sudah siuman dan sembuh."
Hek Houw tersenyum girang. "Sukurlah. Ah, obat itu benar-benar terlalu manjur
dank eras kerjanya hingga mengagetkan orang saja."
Pada saat itu Cin Eng dengan memakai pakaian luar Bu Beng, lari keluar menuju ke
sebuah anak sungai. Bu Beng mengejar, tapi ia tersenyum dan kembali lagi ketika
melihat bahwa gadis itu pergi ke sungai hanya untuk mencuci pakaiannya yang
kotor. Setelah yakin benar bahwa Cin Eng sudah sembuh, Bu Beng membuat obor dan sambil
memegang obor menyala ia memasuki gua ular itu. Cin Eng mencegah, tapi Bu Beng
mengatakan ia hanya ingin melihat apakah isi gua itu. Maka akhirnya Cin Eng
menyetujui juga. Sedang Hek Houw yang hendak ikut ditolaknya.
Dengan tangan kiri memegang obor dan tangan kanan memegang Hwee hong kiam, ia
memasuki gua itu dengan membongkok. Ternyata bahwa gua itu membelok ke kiri dan
dalam sekali. Bu Beng terus maju dan setelah membelok tiga kali ke kiri dan tiga
kali ke kanan, tiba-tiba ada angina meniup dan obornya padam! Bu Beng kaget
sekali. Ia siap menjaga dengan pedangnya, tapi tidak ada apa-apa, hanya
terdengar suara angina meniup dari depan tiada hentinya. Dengan heran Bu Beng
bertindak maju, ia dapat berjalan sambil berdiri lempang karena tempat itu makin
melebar. Kemudian setelah membelok sekali lagi ke kiri, ia lihat di depannya ada
cahaya terang menyinari dari atas memasuki gua, diiringi dengan masuknya angin
yang bertiup keras dan membuat obornya padam tadi. Kini mengertilah ia bahwa gua
itu merupakan sebuah sumur. Dan tepat dimana sinar itu masuk, ia melihat sebuah
pintu. Ketika daun pintu ditolaknya, ternyata tidak terkunci. Dengan hati hati
Bu Beng memasuki kamar itu. Pandangan pertma-tama yang menyambutnya membuat ia
kaget dan hamper berteriak. Sebuah kerangka ular yang besar sekali melingkar di
situ dengan kepala menghadap ke pintu dengan mulut terbuka lebar seakan-akan
hendak menggigitnya! Di dekat kerangka ular besar itu rebah sebuah kerangka
manusia. Dan sebuah pedang yagn aneh bentuknya tersangkut diantara tulang-tulang
di leher ular itu. Agaknya manusia yang kini sudah tinggal kerangkanya saja itu
dulu telah membunuh ular ini dengan menggunakan
pedang yang kini tersangkut di tulang leher ular. Bu Beng mengambil pedang itu
dan membolak-balikkannya. Gagang dan pedangnya menjadi satu, gagang merupakan
kepala ular dan ujungnya yang runcing merupakan ekornya. Di bagian leher, pedang
itu agak berlekuk-lekuk tapi dari batas perut sampai ke ekor lurus dan tajam
kanan kiri. Yang paling aneh, pedang itu berwarna merah. Di bagian kepala ,
yaitu gagangnya ada ukiran kecil tiga huruf yang berbunyi "Ang coa kiam" atau
pedang ular merah. Ketika ia memandang kearah rangka manusia itu, ia dapatkan sebuah sarung pedang
tergantung dengan tali di tulang pinggangnya. Ia ambil sarung itu yang ternyata
adalah sarung pedang istimewa untuk Ang coa kiam. Girang sekali hati Bu Beng
mendapat pedang pusaka ini, lalu digantungkannya pedang itu di pinggang dan ia
terus memeriksa keadaan kamar itu. Di sudut kamar terdapat dua peti kecil.
Hatinyaberdebar. Barang pusaka apa lagi yang berada disitu" Ia maju menghampiri
dan membuka peti pertama. Isinya hanya sebuah buku. Ketika ia membolak balik
lembaran kitab tua itu, ternyata bahwa yang dipegangnya adalah Ang coa kiamsut
Pit kip yakni Kitab Rahasia Ilmu Pedang Ang coa kiam! Di dalam buku terdapat
pelajaran ilmu pedang yang sangat aneh berikut lukisan tentang gerakan-gerakan
yang harus dibuat. Peti kedua ketika dibuka membuat mata Bu Beng menjadi silau.
Di dalamnya penuh dengan permata dan batu-batu giok yang indah dan tak ternilai
harganya. Ketika ia memeriksa, maka barang-barang itu merupakan perhiasan-
perhiasan kuno yang pantasnya hanya dimiliki oleh seorang permaisuri atau
keluarga raja. Bu Beng membawa dua peti itu dan hendak keluar gua. Tapi ketika ia memandang
kearah rangka manusia itu,
timbul rasa iba dalam hatinya. Bukankah manusia yang kini tinggal rangkanya itu
mungkin pemilik semua barang berharga yang terjatuh ke dalam tangannya" Sudah
sepatutnya ia membalas budi demikian besar itu. Maka ditaruhnya dua peti itu
kembali, lalu ia mengumpulkan tulang-tulang rangka, diikat dengan saputangan.
Setelah semua tulang terkumpul lengkap, baru ia bawa semua barang itu keluar
dari gua. Untuk jalan keluar biarpun ia tidak menggunakan obor dan keadaan
sangat gelap hingga tangan sendiri pun tak dapat terlihat, namun karena tidak
ada keragu-raguan dan kekhawatiran lagi, ia dapat merayap dan meraba-raba menuju
keluar. Cin Eng girang sekali melihat Bu Beng keluar dengan selamat. Ia tadinya sudah
sangat khawatir dan kalau bukan Hek Houw yang menghidburnya dan melarangnya
dengan alas an-alasan kuat, pasti ia tadi telah menyusul masuk! Alangkah
senangnya mendengar tentang pusaka yang didapatkan Bu Beng. Kemudian dengan
khidmat dan hati-hati mengubur rangka manusia itu di luar gua.
Ketika Bu Beng memeriksa lagi kitab ilmu pedang itu, di bagian belakang terdapat
tulisan yang indah kuat. "Ilmu pedang ini hanya boleh dipelajari di atas pulau
Ang coat ho sesudah dipelajari harus segera dijadikan abu." Bu Beng yang sangat
tertarik akan isi kitab dan ia telah yakin bahwa ilmu pedang itu betul-betul
hebat dan luar biasa sekali , segera mengajak Cin Eng turun bukit. Tapi ketika
ia menengok, Hek Houw telah lenyap dari situ! Berkali-kali Bu Beng memanggil-
manggil , tapi Hek Houw tidak ada. Bu Beng menjadi jengkel, dan terpaksa menunda
maksudnya turun bukit. Tadinya ia bermaksud tinggal di pondok dekat pantai itu
dan mempelajari kita ilmu pedang itu di atas pulau, tapi tak sampai hatinya
untuk meninggalkan Hek Houw turun gunung. Maka bersama Cin Eng mereka lalu masuk ke dalam gua kecil
sebelah kiri. Bu Beng mulai membaca dan mempelajari Ang coa kiamsut, sedangkan
Cin Eng pergi mencari buah-buahan sambil menikmati pemandangan indah pulau itu,
sekalian mencari Hek Houw.
Setelah menanti setengah hari lebih dan hari sudah menjadi sore, ternyata Hek
Houw belum juga kembali Bu Beng mulai khawatir kalau-kalau si dogol itu mendapat
bencana. Ia berkata kepada Cin Eng bahwa mereka terpaksa harus menanti sampai
besok. Cin Eng yang juga sayang kepada Hek Houw yang jujur dan setia, menyatakan
persetujuannya. Tapi tiba-tiba pada saat itu terdengar suara gemuruh dan mereka merasakan tanah
bergoyang hebat! Setelah tanah seakan-akan berayun-ayun beberapa lama hingga Cin
Eng menjadi takut dan memeganggi lengan Bu Beng dengan tubuh menggigil, maka
goncangan menjadi reda dan tanah kini hanya tergetar saja. Tapi suara gemuruh
masih saja terdengar. "Mungkin gunung ini hendak meletus," kata Bu Beng. Ia bawa dua peti kecil itu
dan menarik lengan Cin Eng. "Mari kita tinggalkan tempat ini. Berbahaya!" dan
sambil berlari-lari di atas tanah yang bergetar-getar mereka berdua turun
bukit., dikejar oleh suara gemuruh di belakang mereka. Biarpun melalui tempat
yang sudah mulai gelap, tapi karena dikejar rasa takut mereka tak
mempedulikannya sehingga akhirnya mereka dapat juga keluar dari hutan dan
akhirnya sampai juga mereka di tepi laut dengan napas terengah-engah. Mereka
merasa ngeri. Suara bergemuruh itu masih saja terdengar dari situ, tapi getaran
tanah hanya terasa sedikit. Mereka lalu menuju pondok buatan ayah Cin Eng dan naik, lalu
beristirahat. Demikianlah, hamper tiga bulan lamanya Bu Beng mempelajari ilmu pedan Ular Merah
itu dengan tekun dan rajin. Selama itu, Cin Eng tak mau mengganggunya, karena
gadis inipun maklum betapa calon suaminya sedang mempelajari sebuah ilmu pedang
yang ampuh. Ia sendiripun ingin sekali mempelajarinya, tapi ia piker bahwa kalau
iapun ikut belajar, maka tentu akan memakan waktu lebih lama lagi. Mengapa
terburu-buru" Masih banyak waktu baginya kelak untuk belajar dari Bu Beng! Maka
dengan pikiran itu, Cin Eng hanya melatih kepandaian sendiri dan tiap hari
mencari buah-buahan untuk makan mereka. Yang mengganggu ikran mereka ialah Hek
Houw. Pemuda hitam itu sampai sekarang belum kembali! Mereka merasa pasti bahwa
Hek Houw tentu sudah tewas. Diam-diam Bu Beng merasa sedih mengingat nasib
muridnya itu. Kasihan pemuda itu yang telah mengangkat guru padanya dan telah
membela dan mengantarnya sampai ke pulau Ular Merah sehingga berhasil yang
diusahakannya. Sedangkan sebagai balas budi, belum pernah ia mengajar silat
kepada muridnya itu. Setelah hafal betul semua pelajaran ilmu pedang di dalam kitab itu dan dapat
menangkap dasar-dasarnya dengan sempurna, Bu Beng lalu membakar kitab itu.
Kemudia ia berkata kepada Cin Eng.
"Eng moi, kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pulang."
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cin Eng mengangguk tapi wajahnya tampak sedih. Bu Beng maklum apa yang
mengganggu pikiran tunangannya.
"Apa boleh buat, Eng moi. Hek Houw agaknya memang sudah ditakdirkan harus
meninggal dunia di pulau ini. Sudah cukup lama kita menanti disini."
Cin Eng menghela napas. "Yang kuherankan , koko, setelah kita kubur rangka di
depan gua itu, tiba-tiba saja Hek Houw lenyap. Kemanakah gerangan ia pergi?"
Bu Beng mengangkat pundak. "Bagaimana kalau aku pergi keatas mencarinya?"
"Kurasa tiada gunanya dicari, kalau ia masih hidup tentu sudah lama ia dating
kesini. Tapi kurasa tiada salahnya kalau sebelum meninggalkan pulau ini, kita
naik sekali lagi dan mencoba mencari jejaknya," kata Cin Eng.
Tapi pada saat itu tiba-tiba Bu Beng memagang lengan Cin Eng dan berkata kaget,
"Eng moi, lihat!" Cin Eng menengok dan ia pegang lengan Bu Beng dengan hati
bedebar-debar. Dari atas bukit tampak seorang tinggi besar berlari secepat kilat. Gerakan orang
itu ringan dan cepat sekali hingga sebentar saja ia sudah berada di depat mereka
dengan muka tertawa senang.
"Hek Houw, kau?"" teriak Bu Beng girang sekali sambil memegang pundak orang itu.
Tapi lagi-lagi ia terkejut ketika terasa olehnya betapa pundak Hek Houw terasa
keras bagaikan besi dan mengandung tenaga tersembunyi yang kuat! "Eh, kau kemana
saja selama ini, Hek Houw?"
"Suhu .......aku , eh ...........aku .............hem ..." Hek Houw berkata gugup dan tak karuan.
"Hek twako, tenangkanlah dirimu. Kami menanti sampai berbulan-bulan tapi mengapa
kau tidak dating" Kemana sajakah kau, twako" Tanya Cin Eng yang juga merasa
gembira sekali dengan kembalinya Hek Houw.
"Kouwnio, aku girang sekali kalian selamat. Aku .....telah ....," kembali ia
berhenti dengan bingung. "Sudahlah, Hek Houw kalau kau tidak suka menceritakan, kamipun takkan
memaksamu," kata Bu Beng dengan suara menghibur. Mendengar kata-kata gurunya
ini, wajah Hek Houw makin merah dan bingung. Kemudian ia mengangkat dada dan
berkata dengan tetap. "Suhu sebetulnya teecu selama ini berada di dalam sebuah gua siluman."
Gua siluman?"" Hek Houw mengangguk, "Letak gua itu tak jauh dari gua ular. Ketika teecu melihat
suhu mendapatkan pusaka dari dalam gua, saya lalu nekat memasuki gua yang seram
itu. Dan di dalamnya. Selain setan-setan yang berkeliaran tanpa ujut, teecu
dapatkan sejilid kitab pelajaran silat yang telah teecu pelajari sampai habis!"
"lmu silat apakah Hek Houw" Tanya Bu Beng dengan girang dan ingin tahu.
Kembali Hek Houw ragu-ragu tapi sekali lagi pemuda hitam itu mengangkat dadanya
yang lebar dan kuat. "Ilmu
silat Ang coa koat kunhwat yang mempunyai tiga belas kali tiga belas gerakan!"
sehabis berkata demikian Hek Houw menggerakkan tubuh dan dengan cepat sekali ia
bersilat. Gerakan-gerakannya aneh membingungkan, tapi tiap pukulannya
mendatangkan suatu angina. Sungguh ilmu silat yang jarang ada di dunia ini. Bu
Beng dan Cin Eng kagum sekali. Dalam waktu tiga bulan saja pemuda hitam yang
kasar dan bodoh ini telah dapat memiliki ilmu silat yang dalam keadaan biasa tak
mungkin dapat ia pelajari selama sepuluh tahun. Seperti ketika mulai, Hek Houw
menghentikan permainan silatnya dengan tiba-tiba lalu ia tertawa gelak-gelak.
Seram sekali suara tawa ini hingga Bu Beng terpaksa memandang wajah muridnya
dengan pandangan ganjil. Juga Cin Eng tiba-tiba merasa takut melihat Hek Houw.
"Sudahlah, Hek Houw. Aku ikut girang sekali melihat peruntunganmu. Kurasa kini
kepandaian silatmu tak kalah denganku. Hayo kita berlayar dan pulang ke daratan
Tiongkok." "Benar, Hek Houw. Mari kita mengambil perahumu dan berlayar pulang," kata Cin
Eng. "Pulang" Perahuku" Ha ha ! kalian mau pakai perahuku" Ha ha ! perahuku bukan
untuk orang lain. Perahuku untukku sendiri. Ha ha ha."
Bu Beng dan Cin Eng saling pandang dan gadis itu merasa bulu tengkuknya berdiri.
Bu Beng memandang wajah Hek Houw dengan tajam dan ia merasa betapa sepasang mata
Hek Houw telah berubah sinarnya, tidak seperti tadi lagi. Mat itu kini terputar-
putar dan melirik ke kanan kiri dan sinarnya ganjil sekali. Juga bibir pemuda itu tertarik seakan-
akan menyeringai dan mengejek.
"HEK HOUW!" katanya tajam, tapi Hek Houw sudah mendahuluinya meloncat dan lari
ke tempat dimana ia menambatkan perahunya. Bu Beng dan Cin Eng mengejar. Hek
Houw yang sudah tiba disitu lebih dulu, menggunakan tangan kiri mengangkat
perahunya. Bu Beng kagum sekali melihat tenaga Hek Houw yang sudah maju
sedemikian hebat. Hek Houw dengan menyeringai mananti kedatangan mereka dan
kembali berkata. "Perahuku untuk aku sendiri. Orang lain tak boleh naik."
"Hek Houw, tapi aku gurumu!" kata Bu Beng.
"Guru" Ha ha ! Guruku ia iblis pulau Ang coat ho! Kalian jangan ganggu aku,
pergi! Sambil berkata demikian ia gunakan tangan kanannya mendorong Bu Beng. Bu
Beng segera menggunakan tangannya menangkis dorongan itu karena dari anginya ia
tahu betapa kuat tenaga dorongan Hek Houw. Dan ketika kedua tangan mereka
beradu. Bu Beng kena terdorong mundur beberapa tindak! Tapi Hek Houw sendiri
terhuyung dan melepaskan perahunya yang jatuh bedebuk di atas pasir pantai.
"Hek Houw, ingatlah! Kenapakah kau ini?"
"Kau orang jahat, orang jahat! Kau mau ganggu aku, murid raja siluman Ang coat
ho?" dan menyeranglah ia dengan hebat. Bu Beng mengelak cepat dan mereka segera
bertempur dengan hebat. Bu Beng harus berlaku hati-hati sekali, ternyata ilmu
silat Hek Houw benar-benar aneh dan liar hingga beberapa kali hampir saja ia
kena terpukul. Kalau lawannya bukan Hek Houw dan kalau ia tidak sudah tahu bahwa ada terjadi
sesuatu dengan pikiran dan bathin pemuda hitam itu, tentu Bu Beng sudah
menggunakan pedangnya. Ia tidak tega untuk menggunakan pedangnya terhadap Hek
Houw, tapi dengan tangan kosong saja, rasanya tak mungkin ia bias
menjatuhkannya! Gerakan-gerakan Hek Houw terlampau licin, sukar sekali dipukul,
jangan kata hendak ditangkap! Tapi tiba-tiba Hek Houw meloncat ke belakang
sambil berkata. "Kau orang jahat, kau terlampau kuat. Aku tiada waktu lagi, mau pulang. Pulang
ke kampong." Maka secepat kilat Hek Houw membungkuk dan sebelum tahu apa yang
hendak dilakukan pemuda itu, Bu Beng tiba-tiba melihat pasir menyambar dari
tangan Hek Houw menyerang mukanya. Ternyata pemuda hitam itu menggunakan pasir
sebagai senjata rahasia. Biarpun hanya pasir, tapi karena dilepas dengan cara
yang istimewa dan mengandung tenaga besar, pasir itu bukan tak berbahaya, lebih-
lebih jika dapat mengenai mata! Bu Beng cepat mengelak dan ketika ia memandang
lagi ke depan, ternyata Hek Houw sudah mengangkat perahunya dan lari ke laut.
"Kejar, koko!" teriak Cin Eng.
Tapi Bu Beng hanya menggelengkan kepala dan memungut sehelai kertas yang tadi
melayang keluar dari saku baju Hek Houw ketika pemuda hitam itu membungkuk untuk
mengangkat perahunya. Ia bolak balikkan kertas itu dan tiba-tiba berkata. "Eng
moi, lihatlah ini!" suaranya gemetar.
Cin Eng lari menghampiri dan ternyata kerta itu adalah sobekan kulit sebuah
kitab yang ada tulisannya demikian
"Ang coa koai kunhwat ini diturunkan kepada dia yang menemukannya. Dia boleh
mempelajarinya dan menjagoi di seluruh daratan, tapi jika dia ceritakan hal ilmu
silat ini kepada orang lain, dia terkutuk menjadi gila." Seperti juga bunyinya
yang ngeri, tulisan itupun seperti cakar ayam dan kelihatan jelek sekali, tapi
harus diakui bahwa yang menulisnya memiliki tenaga yang garang dan hebat.
Ketika Cin Eng memandang wajah tunangannya yang sedih dan kecewa, ia maklum
bahwa Bu Beng menyesali diri sendiri mengapa telah mendesak Hek Houw untuk
mengaku hingga mengakibatkan pemuda itu menjadi gila, terkena kutukan sumpah
iblis pengarang dan pencipta ilmu silat siluman ini! Ia memegang lengan Bu Beng
dengan halus dan berkata, "Koko, sudahlah jangan sedih. Kita lakukan itu tidak
dengan sengaja, siapa tahu bahwa Hek Houw telah mempelajari ilmu yang memakai
syarat demikian gila?"
Karena perahu satu-satunya telah dibawa minggat oleh Hek Houw terpaksa Bu Beng
menebang sebatang pohon siong besar dan dari batang itu ia membuat sebuah perahu
sederhana. Tapi karena ia tidak mempunyai kapal dan hanya bekerja dengan
menggunakan pedang, maka setelah memakan waktu lima hari barulah perahu buruk
dan sederhana itu selesai.
Maka berlayarlah Bu Beng dan Cin Eng, kembali ke daratan Tiongkok. Peti berisi
harta pusaka itu dibungkus dan ditaruhnya dalam pauwhok (ransel) yang tergantung
di punggungnya. Setelah mencapai daratan Bu Beng membeli dua ekor kuda dan
mereka meneruskan perjalanan pulang dengan jalan darat. Bu Beng memberikan
pedang Hwee hong kiamnya kepada Cin Eng dan ia sendiri menggantungkan Ang Coa kiam di
pinggangnya. Kebetulan sekali perjalanan mereka melalui kampong Lok leng chung dimana Lo Sam
di Pengemis Kecil Tongkat Wasiat tinggal. Ketika itu musim Chun telah menjelang
dating, maka teringatlah Bu Beng akan undangan Lo Sam untuk singgah di kapungnya
dan ikut menghadiri pesta ulang tahun ketiga belas dari perserikatan pengemis.
Ketika tiba di kampong itu, mudah saja baginya mencari alamat Lo Sam karena
Pengemis Kecil ini terkenal sekali. Berbeda dengan sebutannya dan pakaiannya
yang selalu penuh tambalan, tempat pusat perkumpulan itu merupakan rumah besar
sekali, biarpun tak dapat disebut mewah. Lo Sam menyambut Bu Beng dan Cin Eng
dengan girang. "Selamat dating, selamat dating!" si kate itu berulang-ulang berkata dengan
wajah berseri-seri. Disitu telah dating puluhan tamu yang terdiri dari orang-
orang kang ouw ternama, karena nama Lo Sam cukup berpengaruh dan dihormati.
Melihat para tamu itu memberi barang-barang sumbangan atau tanda hormat yang
diletakkan berjajar-jajar di atas meja, Bu Beng diam-diam mengeluarkan sebuah
perhiasan rambut permata dari kotaknya dan menaruhnya diatas meja sambil berkata
kepada Lo Sam. "Lo enghiong, kami tak dapat memberi apa-apa, harap barang kecil tak berarti ini
dianggap sebagai tanda hormat."
Tapi Lo Sam dan beberapa orang tamu yang berada di dekat situ memandang
perhiasan dengan mata terbelalak. Permata-permata itu mengeluarkan cahaya
gemerlapan yang warnanya macam-macam dan indah sekali, sungguh sebuah barang mustika yang
jarang terlihat orang! "Tapi .....tapi .... Bu Tahiap, barang ini tak ternilai harganya, aku pengemis hina
dan tua tak berani menerimanya," kata Lo Sam gugup.
Bu Beng tersenyum. "Apakah barang ini terlampau kecil dan tak berharga hingga
tak dapat diterima?"
"Oh, tidak, tidak ! ah .............serba susah, biarlah, kuterima Bu tahiap, terima
kasih," akhirnya Lo Sam berkata sambil memegang dan memutar-mutar barang itu di
tangannya dan berkali-kali mnghela napas. Ia dapat menaksir bahwa barang itu
sedikitnya berharga sepuluh ribu tail.
Makin lama makin banyaklah tamu-tamu yang dating. Diantaranya tampak Kim Kong
Tianglo yang segera memeluk sutenya dan mengobrol dengan gembira. Bu Beng
menceritakan pengalamannya dengan singkat kepada suhengnya tercinta itu. Juga
hadir disitu Sim Boan Lin dan Sim Tek Hin, Lui Im dan Ang Hwat Tojin! Sim Boan
Lip dan puteranya memberi hormat kepada Bu Beng, agaknya mereka sudah mengubah
adapt hingga diam-diam Bu Beng merasa girang.
Lui Im merasa gembira sekali dapat bertemu kembali dengan Bu Beng. Sedangkan Ang
Hwat Tojin yang dating bersama susioknya yang usianya hampir sebaya dengan ia
sendiri agaknya tak suka memandang kepada Bu Beng. Ia rupa-rupanya merasa
sombong karena ditemani susioknya yang terkenal bernama Pauw Hun Lin dengan
julukan Naga Ekor Sepuluh! Pauw Hun Lin adalah seorang
saudagar kaya raya dank arena ilmu silatnya tinggi, maka ia terkenal di kalangan
kang ouw hingga menerima undangan dari Lo Sam pula. Kini Pauw Kauwsu ini datang
membawa sumbangan berupa arca Budha dari batu giok yagn indah dan mahal. Dulu
sebelum menjadi guru silat, hingga orang-orang memanggil dia Pauw Kauwsu.
Pauw Kauwsu duduk semeja dengan Ang Hwat Tojin, Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin.
Sedangkan Bu Beng dan Cin Eng ditemani Kim Kong Tianglo dan Lui Im. Lo Sam
sendiri sebagai tuan rumah melayani para tamu kesana kemari, mengisi arak dan
menawarkan hidangan, kadang-kadang keluar menyambut datangnya tamu-tamu baru.
Para pelayan semua terdiri dari pemuda-pemuda tegap berbaju baru. Tapi baju
mereka ini semua penuh tambalan! Karena hidangan yang dikeluarkan serba mewah
dan nikmat, maka keadaan disitu agak ganjil, yakni jembel dan mewah bercampur
aduk. Tiba-tiba dating tamu baru terdiri dari lima orang. Banyak tamu yang melihat
mereka masuk segera berdiri dan memberi hormat, Lo Sam sendiri menyambut mereka
dengan hormat sekali, bahkan semua orang-orang di meja Ang Hwat Tojin bangun
berdiri dan Pauw Hun Lin segera menghampiri tamu baru itu dan memberi hormat
yang dibalas oleh kelima orang itu dengan hormat pula.
Melihat banyak orang menyambut kedatangan mereka, kelima orang itu mengangkat
dada dengan sikap jumawa sekali, kemudian yang tertua diantara mereka
mengeluarkan beberapa potong emas dan memberikannya kepada Lo Sam sebagai
sumbangan. Bu Beng sejak tadi memperhatikan mereka dengan hati tertarik dan menduga-duga
siapakah kelima orang yang berpengaruh itu. Tiba-tiba Cin Eng memegang lengan
kirinya dengan keras dari bawah meja. Pun Kim Kong Tianglo tampak terkejut dan
segera berbisik padanya. "Merekalah Ngo Houw dari Tiang san."
Sementara Cin Eng berbisik. "Koko, mereka inilah pembunuh-pembunuh ayah ibuku!"
suara Cin Eng bercampur isak dan kedua matanya mengeluarkan sinar marah. Gadis
itu tak dapat menahan hatinya dan hendak mencabut Hwee hong kiamnya. Tapi baru
saja ia meraba gagang pedangnya, Bu Beng memegang tangannya dan berkata.
"Eng moi, sabarlah. Kita harus menghormati Lo Sam lo enghiong dan jangan
membikin kacau pestanya yang berarti menghinanya. Masih banyak waktu membalas
dendam di luar tempat ini."
Mendengar alas an kekasihnya yang penuh cengli ini terpaksa Cin Eng duduk
kembali dan menahan perasaan marahnya. Ia hanya memandang kearah Lima Harimau
dari Tiang an itu dengan mata menyala. Kim Kong Tianglo membenarkan pandangan Bu
Beng dan ikut membujuk agar gadis itu bersabar.
Sementara itu, karena ajakan Pauw Hun Lin , Lima Hariamau dari Tiang an itu
duduk semeja dengan mereka. Sebentar saja di meja mereka terdengar suara tertawa
gembira dan mereka makan minum penuh kegembiraan.
Ngo houw dari Tiang an berusia rata-rata diantara tiga puluh sampai empat puluh
tahun. Mereka bukanlah kakak beradik tapi saudara seperguruan yang membuka
sebuah piauw kiok atau kantor ekspedisi pengantar barang. Mereka terkenal sekali
dengan ilmu golok cabang Gobi karena sebenarnya Ngo houw ini adalah murid-murid
dari Hok seng Hwesio seorang tokoh cabang Gobi, saying sekali lima saudara ini
beradat sombong dan takabur. Mereka menganggap diri mereka hiapkek atau
pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan mereka membasmi semua penjahat tanpa
pilih bulu. Maka semua perampok dan bajak sangat takut kepada jago-jago dari
Tiang an ini. Dan Liu Pa San, ayah Cin Eng, biarpun ia seorang maling budiman,
tapi ketika bertemu dengan mereka ini, tidak diberi ampun lagi.
Tiba-tiba Bu Ong, jaga tertua dari Tiang an itu setelah menghirup habis secawan
arak, berkata sambil tertawa kepada Lo Sam yang berada di meja mereka untuk
melayani. "Lo enghiong, pesta ini cukup menyenangkan. Tapi saying sekali ada
beberapa orang dari golongan rendah ikut menyelundup masuk mengotorkan pesta
ini." Lo Sam terkejut mendengar omongan ini. "Eh, kau main-main, sicu. Semua yang
hadir disini adalah kenalan-kenalanku. Orang-orang kang ouw yang terhormat."
Bu Houw, jago kedua, mengeluarkan suara ejekan dari hidung.
"Hm, lo enghiong hendak menyamakan kaum maling dan anak maling itu termasuk
orang-orang terhormat?"
"Maling" Anak maling" Siapa yang sicu maksudkan ?" Tanya Lo Sam dengan heran.
"Ha, ha, ha ! ada maling di depan mata masih belum tahu!" Bu Ong tertawa dan
menggunakan sebatang sumpit menusuk sepotong paha ayam dan sekali menggerakkan
jarinya, paha ayam itu terlepas dari ujung sumpit bagaikan anak panah dan
menyambar kearah wajah Cin Eng! Nona ini marah sekali dan hendak menusuk daging
itu dengan sumpitnya, tapi Bu Beng mendahuluinya dan menggerakkan tangan, daging
itu terbang kembali kearah muka Bu Ong dengan kecepatan dua kali lipat daripada
datangnya tadi! Bu Ong terkejut dan terpaksa menangkis daging yang hendak
menghantam mukanya ini dengan tangan, tapi malang sekali bagi Bu Liong jago
keempat yang duduk disebelahnya dan masih tertawa karena lagak suhengnya tadi
hingga daging itu dengan tak tersangka-sangka menyambar cepat dan tepat memasuki
mulutnya yang masih terbuka. Tentu saja ia menjadi gelagap.
Terdengar suara ketawa di meja Bu Beng, karena Lui Im , Kim Kong Tianglo dan Cin
Eng tak dapat menahan geli hatinya dan tertawa gembira. Kelima saudara Bu itu
marah sekali dan Bu Ong meloncat berdiri sambil memaki.
"Maling dan anak maling, saying tempo hari kami tak sempat membasmi kalian.
Kebetulan sekali hari ini kalian berani memperlihatkan muka, pasti taiyamu tak
dapat memberi ampun padamu."
"Bangsat kurang ajar! Memang kami sengaja mencari-carimu untuk membalas dendam
ayah ibuku" Sekarang kita sudah ketemu jangan harap kau akan hidup lebih lama
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi!" Lo Sam berdiri kebingungan melihat ini. Bu Beng segera menarik tangan Cin Eng
dan berkata kepada Bu Ong dan kawan-kawannya. "Kalian disebut Ngo Houw dari
Tiang an yang sudah tersohor sebagai orang-orang gagah. Tapi mengapa kalian
tidak kenal perikesopanan" Kita harus menghormati Lo Sam enghiong dan jangan
membikin rebut di pesta ini. Kalau kalian memang laki-laki, mari kita keluar!".
"Eh, eh, setan kecil, siapa kau berani ikut campur?"
"Dia ....... ...dia adalah Bu Beng Kiamhiap, mari kuperkenalkan," Lo Sam mencoba
mendamaikan mereka karena ia sebenarnya tak tahu sebab musabab permusuhan mereka
ini. "Hm , pantas sombong sekali, kiranya bu beng siauwcut! Kau kira kami takut
padamu?" "Jangan banyak mulut! Kalau memang berani, hayo keluar!" teriak Cin Eng marah.
"Ha, ha, galak benar si manis ini, berikan saja padaku twa suheng," kata Bu
Kiat, jago yang termuda dan yang terkenal mata keranjang. Bu Ong hanya tertawa.
Bu Beng , Cin Eng, dan Kim Kong Tianglo sudah tak sabar lagi, mereka meloncat
keluar dari pekarangan itu dan menanti di luar setelah menjuru kepada Lo Sam.
Kelima Macan dari Tiang an ikut keluar. Tentu saja menghadapi pertempuran yang
paasti ramai dan menarik hati, semua tamu ikut keluar dengan makdus menonton,
karena mereka semua terdiri dari para ahli silat. Maka kosonglah tempat pesta
itu. Bu Beng memberi pesan kepada kawan-kawannya
untuk tinggal diam karena ia hendak melawan sendiri kelima jago itu. Ia berdiri
menanti dengan pedang Ang coa kiam di tangan dengan sikap tenang sekali,
Tapi, baru saja kelima harimau Tiang an itu tiba disitu, tiba-tiba dari tempat
yang gelap keluar seorang tinggi besar yang langsung menubruk dan menyerang
mereka! Tentu saja hal ini sangat mengherankan orang. Gerakan-gerakan penyerang
itu gesit dan aneh sekali, sedangkan tenaganya besar. Ketika orang memperhatikan
dia ternyata ia adalah seorang muda yang berpakaian compang-camping dan
rambutnya terurai kesana kemari tak terurus sama sekali! Ia kelihaan seram
sekali hingga kelima saudara Bu terkejut dan marah. Melihat orang itu bertangan
kosong, maka Bu Ong mencabut goloknya dan menyerang.
"Hek Houw ! jangan ikut campur!" teriak Bu Beng yang segera mengenal pemuda itu.
Demikian juga Cin Eng berseru. "Hek twako, jangan!"
Tapi Hek Houw tak memperdulikan mereka. Lalu dengan tertawa haha hihi ia balas
menyerang dengan buas! Segera kelima saudara itu mengeroyok Hek Houw karena
mereka segera mengetahui bahwa pemuda gila itu hebat sekali. Tubuhnya bergerak-
gerak aneh dan meloncat kesana kemari diantara sambaran lima batang golok yang
dimainkan hebat tapi yang sama sekali tak berdaya seakan mengeluarkan sambaran
angina menolak datangnya bacokan golok, bahkan pemuda itu mengeluarkan serangan-
serangan berbahaya diiringi suara ketawa ha ha hi hi yang menyeramkan. Keadaan
genting dan seram hingga semua orang memandang dengan hati tegang berdebar-
debar. Bahkan Cin Eng sendiri merasa tegang dan memegang lengan Bu Beng dengan
keras. Tiba-tiba, Hek Houw tertawa keras dan berkata. "Kudengar tadi kalian Harimau
Tiang an " kalau begitu biarlah aku mewakili suhu dan kouwnio membunuh kalian!"
lalu ia mempercepat gerakannya dan tiba-tiba Bu Kiat menjerit ngeri. Orang-orang
hanya mendengar suara "pletak!" dan melihat Bu Kiat terlempar jatuh tak
berkutik, kepalanya pecah! Terdengar Hek Houw tertawa seranm, lalu ia bergerak
lagi, kini Bu Bouw mendapat giliran terlempar dan jatuh tak berkutik. Tiap kali
merobohkan seorang lawan, Hek Houw tertawa terbahak-bahak dan sebentar saja lima
Harimau Tiang an itu menggeletak diatas tanah tak berkutik!
"Hek Houw," Bu Beng memanggil lagi.
'Ha ha ha ! suhuku dan kouwnio akan puas kali ini!" rupanya pemuda gila itu
tidak mengenal lagi kepada Bu Beng.
"Hek Houw twako!" Cin Eng maju memanggil tapi Hek Houw memandangnya aneh, lalu
pemuda itu meloncat ke tempat gelap dan menghilang hanya suara ketawanya masih
terdengar sayup-sayup menyeramkan hati! Ketika semua orang memeriksa, ternyata
lima harimau Tiang an itu telah mati semuanya. Tiga orang pecah kepala dan yang
dua tulang iganya patah-patah. Diam-diam Bu Beng kagum dan terkejut menyaksikan
kehebatab ilmu silat Hek Houw.
Lo Sam dengan suara bentakan keras memerintahkan anak buahnya merawat lima mayat
itu dan ia persilakan semua tamunya kembali duduk dan minum arak. Diam-diam Lo
Sam mendekati Bu Beng dan bertanya. "Bu Beng
taihiap siapakah pemuda hebat yang kau sebut Hek Houw tadi?"
"Ia .........adalah ..........."
"Muridnya !" menyambut Cin Eng dengan bangga. Gadis itu merasa bangga dan
gembira sekali karena musuh ayah - ibunya telah terbunuh semua dengan cara yang
memuaskan. Mendengar keterangan ini, Lo Sam memandang Bu Beng, dengan heran sekali,
demikian juga Kim KongTianglo.
"Kau mempunyai murid sehebat itu , sute" Tanya Kim Kong Tianglo.
Bu Beng hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala sehingga Kim Kong
Tianglo maklum bahwa pemuda itu tak hendak memberi keterangan di depan orang
banyak, maka ia diam saja.
Tiba-tiba seorang anak buah perkumpulan pengemis itu berlari-lari mendatangi dan
berkata kepada Lo Sam. "Celaka suhu, celaka Arca Giok pemberian Pauw Hun Lin
tadi lenyap dicuri orang!"
Semua orang tercengan mendengar ini, lebih lebih Pauw Hun Lin si Naga Ekor
Sepuluh. Ia berdiri dan berkata keras. "Siapa yang begitu kurang ajar dan berani
main-main dengan aku" Matanya yangbundar dan lebar melirik-lirik ke kanan kiri
dan alis matanya yang tebal seakan-akan berdiri. Tiba-tiba Sim Boan Lip berdiri
dan mendekat Pauw Hun Lin. Lalu berbisik perlahan. Pauw Kauwsu segera tujukan
pandangan matanya kepada Bu Beng dan ia berkata kepada Lo Sam, "Lo enghiong,
kuharap suka periksa bungkusan Bu Beng Kiamhiap, karena ada yang melihat bahwa
dia dan kawannya yang mencuri arca Giok itu."
Tidak hanya Lo Sam yang sangat terkejut mendengar ini, bahkan Bu Beng sendiri
merasa seakan dismbar petir. Ia marah dan mendongkol sekali. "Pauw lo enghiong
jangan sembarangan menuduh orang!"
Cin Eng yang juga merasa sangat marah mendengar betapa kekasihnya dihina, segera
mengambil bungkusan Bu Beng yang tadi ketika terjadi pertempuran, diletakkan di
atas meja. Ia buka ikatan buntalan itu sambil berkata, "Ini, saksikan sendiri,
siapa yang sudi mengambil barang macam ....!" Tiba-tiba ia menghentikan kata-
katanya dan dengan mata terbelalak dan mulut ternganga memandang ke dalam
bungkusan. Ternyata arca budha itu benar-benar berada dalam bungkusan Bu Beng!
Melihat hal ini Bu Beng merasa heran sekali dan Pauw Hun Lin tertawa menyindir,
"Hm, dasar maling. Kalau begitu benar juga ucapan lima saudara dari Tiang an
tadi bahwa kalian ini tak lain hanya maling-malaing rendah saja!"
Dengan sekali ayun tubuh Bu Beng meloncat beberapa buah meja dan berdiri di
depan Pauw Hun Lin. "orang tua, jangan kau menghina sekali! Kau sendiri tadi
melihat aku pergi keluar menghadapi lima pengacau itu. Bagaimana aku bias
mengambil barangmu" Tentu ada orang yang memfitnah!" dan ia pandang wajah Sim
Boan Lip dengan tajam. "Alasan belaka! Akal maling rendah! Kau benar keluar, tapi siapa tahu ketika
semua orang ikut keluar, kesempatan itu digunakan oleh kawan-kawanmu maling yang
lain?". "Pauw kauwsu! Sampai dimanakah tingginya kepandaianmu maka kau begitu sombong?"
kata kata ini mengandung tantangan, maka tentu saja Pauw Hun Lin merasa marah.
"Ha, memang sudah kudengar dari Ang Hwat Tojin bahwa kau mempunyai sedikit
kepandaian dan menjadi sombong karenanya. Mari kita boleh coba-coba sebentar!"
Pauw Hun Lin lalu meloncat ke ruangan yang agak lebar. Bu Beng yang merasa marah
sekali segera mengejar. Mereka salingberhadapan dan memasang kuda-kuda ketika Lo
Sam berseru, "Tahan!"
Dengan sekali loncatan pengemis pendek itu sudah berada di antara kedua jago
yang hendak mengukur tenaga masing-masing itu.
"Pauw enghiong," kata Lo Sam, "Janganlah mendesak Bu Beng taihiap. Karena aku
sendiri berani menanggung bahwa bukan Bu Beng taihiap yang mengambil barang
itu." "Hm, begitu" Tapi mengapa arca itu bias masuk ke dalam bungkusannya?" Tanya Pauw
Hun Lin. "Dalam hal ini pasti ada tukang fitnahnya!" jawab Lo Sam.
"Hm, kau sebagai tuan rumah ternyata berat sebelah. Lo Enghiong ! biarlah , aku
memang hendak mencoba kepandaian anak muda ini dan kalau bias mengajar adapt
padanya." "Aku melarangnya. Pauw kauwsu. Aku tuan rumah dan aku tak suka orang merusak
pestaku ini!" "Kalau aku tetap hendak menghajarnya , kau mau apa?"
Lo Sam agak marah mendengar ini. "Pauw kauwsu! Kau adalah tamu undanganku, dan
aku tuan rumah tempat ini mengerti" Sebagai tamu kau harus tunduk kepada
peraturanku. Pendknya jangan berkelahi atau kalau tidak lebih baik kau keluar
saja dan bawalah lagi pemberianmu itu!" Lo Sam benar-benar marah karena merasa
dihina dan tak dihargai oleh kauwsu itu.
"Ha, ha agaknya kau dudah sekongkol dengan maling-maling itu. Kau sendiri
memerlukan hajaran pengemis rendah!"
Mendengar ini, Lo Sam berseru marah dan ia segera menyerang! Maka bertempurlah
kedua orang tua itu, Bu Beng tahu akan kepandaian Lo Sam, tapi ia terkejut
sekali ketika melihat bahwa sebentar saja Lo Sam terdesak mundur oleh pukulan-
pukulan Pauw kauwsu yang benar-benar hebat! Tiba-tiba Lo Sam mloncat jauh ke
sudut ruangan dan tahu-tahu ia sudah mengambil tongkatnya.
"Untuk memukul anjing aku harus menggunakan tongkatku!" katanya.
"Ha, ha, ha ! bagus memang aku ingin sekali mencoba tongkat wasiatmu!" kata Pauw
kauwsu dengan sombong sambil mencabut pedang.
Bu Beng pernah bertempur melawan Lo Sam dan tahu bahwa ilmu permainan tongkat
dari pengemis ini benar- benar hebat dan boleh dikatakan setingkat dengan permainan pedang yang ia
pelajari dari Hun San Tojin, gurunya. Maka ia berpikir kali ini Lo Sam pasti
menang. Tapi di luar dugaannya, orang she Pauw itu benar-benar hebat hingga
pedangnya dapat melayani ilmu tongkat Lo Sam dengan baik sekali, bahkan agaknya
lebih unggul! Lo Sam mengeluarkan ilmu tongkatnya Pat kwa mui yang gerakan-
gerakannya sangat hebat serta berubah-ubah jurusannya dari delapan penjuru. Tapi
ilmu pedang Pauw kauwsu tidak kalah hebatnya dan dapat mengatasi ilmu tongkat
lawan. Lama-lama Bu Beng tahu bahwa biarpun dalama permainan senjata LoSam tidak
kalah banyak, namun pengemis kate ini kalah tenaga, maka menjadi terdesak
mundur. Bu Beng mencabutpedang dan menggerakkan pedang ular merah diantara kedua orang
yang sedang bertempur itu. Mereka melihat sebuah sinar merah panjang berkilat
menyilaukan mata , maka masing-masing menarik senjata dan meloncat mundur.
Bu Beng menjuru kepada Lo Sam. "Lo enghiong, biarlah siauwte melawan orang
sombong ini, karena sebenarnya siauwtelah yang ia kehendaki. Siauwte tidak suka
membiarkan lo enghiong mewakili siauwte yang muda."
"Bagus Bu Beng siauwcut, majulah!" Pauw kauwsu menantang dan tanpa banyak kata
lagi ia mengayunkan pedangnya menyerang! Bu Beng yang merasa marah sekali kepada
orang she Pauw yang kasar itu, segera memutar Ang coa kiamnya dan melakukan
serangan bertubi-tubi dengan menggunakan ilmu pedangnya yang baru dan luar biasa
yaitu Ang coa kiamsut! Pedang Ang coa kiam adalah pedang mustika yang hebat sekali ketajamannya dan
merupakan senjata ampuh, apalagi dimainkan dalam tangan Bu Beng yang memiliki
kepandaian tinggi. Untunglah Pauw kauwsu juga menggunakan sebuah pedang pusaka,
yaitu How kiam. Tapi menghadapi permainan pedang Ang coa kiamsut yang belum
pernah dilihat seumur hidupnya, bahkan belum pernah didengarnya, ia menjadi
bingung sekali. Pedang Bu Beng yang membentuk ular merah itu berkilat-kilat
merupakan sinar merah menyambar-nyambar hingga menyilaukan mata. Gerakan-
gerakannya demikian aneh dan mempunyai tenaga mujijat. Sebenarnya Ang coa
kiamsut memang luar biasa. Ilmu pedang ini mempunyai empat macam gerakan,
memutar, menempel, mengait dan membabat. Jika Bu Beng menggunakan gerakan dan
tenaga memutar, maka pedangnya dapat terputar dan ujungnya seakan-akan merupakan
ekor ular yang melilit pedang lawan hingga lawan merasakan tangannya tergetar
dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan. Jika menempel, maka pedang ular
merah itu seakan-akan besi sambrani yang menempel pedang lawan hingga lawan
sukar menggerakkan atau menarik pedangnya. Demikian juga pedang itu dapat
digunakan untuk mengait atau mencongkel pedang lawan, karena dengan membalikkan
telapak tangan dengan tiba-tiba, ujung Ang coa kiam dapat mengarah nadi orang
dan menarik pedang lawan. Sebaliknya digunakan untuk membabat, maka gerakan ini
bukanlah asal membacok saja, tapi dapat diubah membacok terus menerus, membacok
lagi dan selalu berubah-ubah tak terduga.
Pauw Hun Lin yang selama hidupnya belum pernah menghadapi permainan pedang macam
ini, baru belasan jurus saja menjadi bingung dan pening. Ia hanya dapat
memutar-mutar pedangnya menutupi tubuh agar jangan sampai temakan oleh pedang
ular merah itu, tapi sedikitpun ia tidak kuasa menyerang!.
Bu Beng yang tak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Pauw kauwsu tidak ingin
melukainya, hanya ingin mempermainkan dan mengajar adapt saja. Tapi pemuda
inipun merasa terkejut dan gembira sekali melihat betapa ilmu pedang baru yang
dimilikinya itu bisa begitu hebat. Sama sekali di luar dugaannya. Semua tamu
yang melihat kehebatan Bu Beng, diam-diam meuji dan kagum. Juga Lo Sam sangat
heran melihat permainan Bu Beng yang asing dan aneh.
"Ah, sungguh hebat anak muda ini, baru beberapa lama berpisah, telah memiliki
kepandaian yang demikian hebat dan demikian pesat pula kemajuan yang
dicapainya!" pikirnya.
Pada saat itu, Cin Eng yang sejak tadi heran melihat Kim Kong Tianglo tidak
berada disitu lagi, tiba-tiba melihat suhengnya itu dating dari depan berlari-
lari dan segera menghampiri mereka yang sedang bertempur.
"Sute, tahan pedangmu!"
mendengar suara suhengnya. Bu Beng menahan serangannya dan meloncat mundur. Pauw
kauwsu juga menghentikan putaran pedangnya dan memandang Kim Kong Tianglo dengan
napas terengah-engah dan keringat membasahi jidat.
"Sute aku sudah tahu orang yang melakukan fitnah ini. Pauw kauwsu kau memang
terburu napsu. Orang telah
berlaku curang dan sengaja mengadu kau dengan suteku," Kim Kong Tianglo lalu
menarik tangan seorang anggota perkumpulan pengemis yang tadi ia ajak berlari
kesitu. "Coba ceritakan apa yang kau lihat tadi!"
Dengan mata memandang kepalanya, anak buah itu berkata.
"Ketika semua orang keluar tadi untuk menonton pertempuran maka siauwte lihat
kedua tuan ini mengambil arca dari atas meja. Siauwte kaget sekali dan makin
merasa heran ketika mereka memasukkan arca itu ke dalam bungkusan Bu Beng
Kiamhiap!" sambil berkata demikian ia menunjuk kearah Sim Boan Lip dan Sim Tek
Hin yang berdiri dengan wajah pucat.
"Kau" Eh, mengapa ...........bagaimana pula ini" " kata Pauw kauwsu samil memandang
wajah Sim Pangcu dan puteranya itu.
"Tak usah heran, Pauw kauwwsu," kata Bu Beng tersenyum, "Mereka ini pernah
melakukan kejahatan tapi berhasil saya halag-halangi, dan mungkin kini hendak
membalas dendam. Ternyata mereka pengecut sekali dan tak berani membalas sendiri
maka lalu menggunakan tanganmu hendak mencelakakan aku!"
"Betulkah ini" Kalian yang melakukan perbuatan terkutuk ini?" bentak Pauw kauwsu
kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin. Sim Pangcu diam saja tunduk, tapi SIm Tek
Hin segera mengangkat dada dan berkata keras.
"Betul, memang kami ingin melihat Bu Beng yang sombong ini terjatuh dalam tangan
Pauw kauwsu. Tapi kami keliru memilih jago!" kata kata ini dianggap lucu dan terdengar suara tawa
ditahan dari sana sini. Pauw Hun Lin merasa marah sekali dan pedangnya segera
berkilat menyerang ayah anak itu! Serangan ini tak terduga sama sekali, hingga
Sim Boan Lip kena terbacok lehernya dan sekali berteriak ngeri orang tua itu
jatuh mandi darah dan mati disaat itu juga! Sim Tek Hin berseru keras dan
menggunakan pedangnya menyerang Pauw kauwsu. Tapi sekali bergerak Pauw kauwsu
dapat menendang pemuda itu hingga terlempar jauh dan Pauw kauwsu yang sudah
gemas dan marah itu meloncat mengejar dan mengayunkan pedangnya. Tapi tiba-tiba
pedangnya tertahan oleh pedang lain yang bersinar merah. Ternyata Bu Beng yang
mencegahnya. "pauw kauwsu tak perlu ditambah dengan pembunuhan kedua! Ampuni saja Sim Tek Hin
ini. Ia masih muda masih banyak waktu baginya untuk mengubah wataknya yang
buruk!" Pauw kauwsu memandang kepada Tek Hin yagn sudah berdiri dengan meringis
kesakitan, dan Pauw kauwsu membentaknya dengan keras. "Tidak minggat dari sini
mau tunggu apa lagi?"
Sim Tek Hin dengan air mata mengucur mengangkat mayat ayahnya dan pergi dari
situ dengan kepala tunduk. Dengan cegahannya ini ternyata Bu Beng seperti juga
mencegah orangmembasmi seekor binatang buas dan ia mendatangkan bencana kepada
diri sendiri, karena Sim Tek Hin ini merupakan bencana besar di hari kemudian
bagi rumah tangganya. Pauw Hun Lin segera menyatakan maafnya kepada Bu Beng dan memuji pemuda itu
dengan kagum sekali. Bu Beng merendahkan diri dan mereka lalu bicara dengan
gembira sekali. Semua tamu makan minum pula dengan gembira sampai jauh malam.
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Pauw Hun Lin yang merasa malu karena sikap dan tindakannya yang tak
menyenangkan tadi, segera menyatakan maaf kepada Lo Sam dan mengajak ANg Hwat
Tojin meninggalkan tempat itu karena ia merasa betapa semua mata memandangnya
dengan penuh penyesalan. Kemudian Bu Beng dan Cin Eng diajak oleh Kim KOngTianglo pergi ke Liong San. Kim
KongTianglo memberi nasehat kepada mereka untuk melangsungkan perkawinan disitu.
Mereka setuju dan perkawinan dirayakan dengan sederhana diatas gunung itu,
dengan dikunjungi oleh para penduduk kampong yang dekat dengan tempat itu.
Sepasang pengantin yang saling mencina itu hidup dengan penuh kebahagiaan diatas
bukit, tiap hari menikmati tamasya alam dan menghirup hawa pengunungan yang
bersih dan segar. Kim Kong Tianglo membujuk agar Bu Beng dan istrinya suka tinggal saja di Liong
San dan menggantikan kedudukan suhu mereka, karena Kim liong pai sekarang tidak
ada bengcunya kagi. Suheng ini mengharap agar Bu Beng dapat menghidupkan cabang
perguruan silat mereka kembali untuk menjunjung nama Kim Liong pai sebagai
pembalas jasa terhadap Hun San Tojin, guru mereka yang tercinta.
Kemudian Kim Kong Tianglo pergi untuk mengambil kedua muridnya, yaitu adaik dari
Cin Eng, putera puteri dari Hun Gwat Go, Liu Cin Han dan Liu Cin Lan. Kedua
saudara ini tadinya dititipkan dalam sebuah kelenteng dimana seorang kawan Kim
Kong Tianglo menjadi ketuanya. Sudah tentu Cin Han dan Cin Lan girang sekali
bertemu kembali dengan cici mereka, Cin Eng, hingga mereka bertiga bepelukan
sambil menangis karena terharu dan girang. Kedua anak ini seterusnya tinggal
bersama dengan cici dan cihu mereka, dan mereka berdua belajar silat dengan
rajinnya di bawah pimpinan Cin Eng dan Bu Beng. CIn Eng sendiri mempelajari Ang
coa kiamsut dari suaminya hingga tak lama kemudian ia juga paham sekali ilmu
pedang yang luar biasa ini.
Dua tahun kemudian, Cin Eng melahirkan sepasang anak kembar laki perempuan yang
diberi nama Kim Lian dan Kim San. Demikianlah, Bu Beng anak yatim piatu yang di
waktu kecilnya hidup sengsara dan penuh penderitaan itu, kini hidup beruntung
dengan istrinya yang mencinta, kedua anaknya yang lucu dan mungil, serta kedua
adik yang cerdik dan menurut semua petunjuknya. Karena memenuhi pesan suhengnya
yang pergi merantau. Bu Beng menerima beberapa orang murid dan hidup sebagai
petani diatas gunung Lion San dengan aman dan damai.
TAMAT Renjana Pendekar 8 Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D Keris Pusaka Sang Megatantra 7
kekasihnya. Hek Houw yang memburu juga kesitu dengan heran, melihat sikap orang-orang
kampong itu, lalu menghadang mereka sambil mendelikkan kedua matanya, kedua
tangan terkepal dan dadanya diangkat bagai lakunya jagoan yang hendak
bertanding. "Kalian mau apa?" tanyanya mengancam. Melihat sikap hebat dari pemuda tinggi
besar muka hitam ini yang mengingatkan mereka kepada Thio Hwie pahlawan di
jaman Sam Kok, semua orang menahan langkah mereka dengan ragu-ragu. Seorang
diantaranya yakni kepala kampong sendiri, bertanya kepada Cin Eng, "Lihiap
siapakan orang ini" apakah mereka mengganggu lihiap?"
cin Eng mengusap air matanya dan memaksa diri tersenyum. "Tidak , tidak. Orang
ini adalah keluargaku sendiri."
Semua orang gembira kembali, bahkan beberapa orang segera menjuru memberi hormat
kepada Bu Beng dan Hek Houw. Melihat sikap mereka yang sungguh dan jujur ini. Bu
Beng segera berbisik kepada Cin Eng untuk menerima saja kehendak mereka agar
jangan sampai mereka menjadi kecewa. Cin Eng menurut dan naik keatas panggung
dimana ia menerima penghormatan dari mereka. Kemudian Bu Beng mengajak
kekasihnya ke perahu dan mereka bercakap-cakap.
"Eng moi, kini kau harus menceritakan padaku bagaimana kau sampai berada
disini?" Cin Eng menghela napas dan menahan air matanya yang mau keluar saja.
"Koko, aku sengaja menyusul kau. Di kampong Po teng aku mendengar bahwa kau
telah menyewa perahu sehari yang lalu. Maka untuk dapat mengejarmu, aku sengaja
membeli kuda yangbaik dan memacunya siang malam melalui jalan darat yang lebih
dekat. Ternyata aku sampai di kampong ini kemarin dan kau belum lewat. Kebetulan
aku bertemu dengan harimau pengganggu kampong dan berhasil membinasakannya.
Orang-orang kampong memaksaku untuk menerima pernyataan terima kasih hingga aku tak tega untuk
menolaknya." "Tapi mengapa kau susul aku, Eng moi?" Tanya Bu Beng yang sama sekali tidak
ambil peduli tentang Cin Engrita harimau itu.
Ditanya demikian, tiba-tiba Cin Eng menundukkan muka dan menangis sedih.
"Kenapa, adikku" Kenapa kau menangis?"
"Koko .....bencana besar menimpa rumahku .....! ibu .......ibu telah mati terbunuh ...."
Bu Beng meloncat bangun. "Siapa yang membunuhnya?"
"Yang membunuhnya adalah tiga saudara dari kelima macan dari Tiang an yang
membunuh ayah dulu. mereka sengaja datng mencari jejak ayah, kalau-kalau ayah
masih hidup ketiak ditolong oleh Kim Kong Tianglo dulu, tapi ketika mendapat
tahu bahwa ayah telah meninggal, mereka bermaksud membasmi seisi rumah ...."
"Cin Han ..... Cin Lan ........bagaimana mereka" Dan suheng bagaimana?" Tanya Bu Beng
dengan hati penuh kekhawatiran.
"Kedua adikku itu diselamatkan oleh Kim Kong suheng dan dibawa pergi, sedangkan
aku sendiri lari karena kami tidak kuat menaham amukan mereka. Karena putus asa
maka aku menjadi nekat dan bermaksud menyusulmu. Ibu
dan dua pelayan mati terbunuh." Sehabis bercerita, Cin Eng menangis lagi.
Bu Beng terharu. Alangkah malangnya nasib kekasihnya ini. menderita penyakit
hebat, baru saja ditinggal mati ayah, kini ibu tiri yang sudah menjadi ibu
sendiripun terbunuh musuh.
"Adikku, sudahlah jangan bersedih. Soal sakit hatimu ini di belakang hari saja
kita balas bersama. Sekarang yang paling perlu mencari obat untukmu. Jika sudah
sembuh maka kurasa takkan sukar mencari kelima musuh yang kejam itu." Kemudian
Bu Beng memperkenalkan Hek Houw kepada Cin Eng. Setelah tahu bahwa nona itu
adalah tunangan suhunya. Hek Houw berkata dengan wajah bingung. "Suhu, haruskah
aku menyebut nona ini subo (ibu guru)?"
muka Cin Eng merah dan Hek Houw buru-buru berkata lagi. "Biarlah sebelum kawin
dengan suhu, aku sebut saja kouwnio, nanti setelah kawin baru kusebut subo."
Bu Beng hanya tersenyum dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan
perahu. Berkat kejenakan Hek Houw dan hiburan-hiburan Bu Beng, Cin Eng tak lama
kemudian terhibur juga dan dapat melupakan kesedihannya.
Bepergian degan perahu di sepanjang sungai yang indah pemandangan alam di kanan
kirinya itu memang sangat menarik hati. Mereka seakan-akan tak merasa lelah dan
dimana terdapat kampong yang besar, mereka singgah sebentar untuk membeli ini
itu. Beberapa hari kemudian, perahu mereka memasuki daerah hutan yang lebat. Pohon-
pohon besar menutup arus sungai hingga air sungai tampak hitam dan keadaan agak
gelap. Setelah memasuki hutan itu beberapa puluh li jauhnya, tiba-tiba di satu tikungan
tampak lima buah perahu berbaris mencegat mereka. "Wah, bajak sungai!" kata Hek
Houw, tapi dia tidak takut, bahkan berkata dengan sombong. "Suhu, biarlah
kuperlihatkan bahwa aku tidak takut kepada segala cecunguk sungai ini." dan dia
terus mendayung perahunya dengan tabah.
"He, tamu yang lewat berhenti dulu! kalian harus bayar uang jalan di daerah kami
ini, kalau tidak, jangan harap bisa terus dan jangan harap bisa kembali hidup-
hidup." Kata kepala bajak yang masih muda dan berwajah cakap serta berkulit
putih. "Apa katamu?" jawab Hek Houw dengan suara keras. "Jangan kurang ajar, minggir
kamu, kalau tidak, dayungku ini akan menghancurkan kepalamu!"
bajak-bajak yang terdiri dari dua puluh orang lebih diatas lima perahu itu
tertawa mengejek. "Lihat itu tingkahnya orang hutan hitam," seorang diantara
mereka menghina. Hek Houw menjadi marah dan dengan berseru keras ia meloncat ke
perahu yang terdekat dan mengamuk dengan dayungnya. Sebentar saja ia dikeroyok
oleh bajak-bajak yang bersenjatakan golok.
Kepala bajak melihat bahwa perahu yang dirampok itu hanya diduduki oleh seorang
pemuda yang kelihatan lemah dan seorang nona muda, ia memandang remeh sekali dan
dengan satu loncatan cepat ia sudah berada di perahu Bu Beng.
"Anak muda, serahkan semua barang-barangmu dank au akan dapat lewat dengan
selamat." "Eh, mudah amat, kawan. Kau mempunyai kepandaian apa maka berani menjadi kepala
perampok?" tiba-tiba Cin Eng yang beradat lebih galak dari Bu Beng segera
menegur dan mencabut siang kiamnya.
"Ha, ha " kepala bajak muda itu tertawa geli. "Kiranya kau juga dapat main-main
dengan pedang?" ia menyerang dengan goloknya dan ditangkis oleh Cin Eng.
Sebentar saja mereka bertarung dengan sengit. Beberapa orang bajak meloncat pula
ke perahu itu hingga perahu menjadi goncang. Bu Beng menggerakkan kaki tangannya
dan beberapa orang penjahat terpental masuk kedalam air. Tapi lain penjahat
mendatangi hingga mereka terkepung. Cin Eng tak dapat bersilat dengan baik
diatas perahu yang bergoyang-goyang itu maka permainannya kalut. Baiknya Bu Beng
dengan gesit bergerak kesana sini, dimana kepalan tangannya menyambar atau
kakinya terangkat, erdengar suara mengaduh dan tubuh seorang bajak jatuh
tercebur ke air. Dengan sekali loncatan Bu Beng berada di depan kepala bajak
itu. Melihat pemuda itu dengan mudah dapat menjatuhkan orang-orangnya dengan
tangan kosong saja, kepala bajak menjadi marah dan berbalik menyerang Bu Beng.
Bu Beng berkelit hingga golok lewat di sampingnya, kemudian dia mengangkat kaki
kirinya dan menendang. Dengan mudah penjahat cakap itu terpental dan masuk ke
dalam air. Bu Beng melihat Hek Houw terkepung dan berteriak-teriak. "Tolong, suhu tolong!"
segera meloncat ke perahu itu dan dengan beberapa kali gerak tangan, semua bajak
berjatuhan dan ada yang sebelum terpukul segera meloncat ke dalam air.
Bu Beng lalu mengajak Hek Houw kembali ke perahu mereka sendiri. Tapi ketika
menginjakkan kaki di perahu itu, tiba-tiba menjadi miring dan air masuk
kedalamnya. "Celaka mereka menggulingkan perahu dari bawah!" Teriak Hek Houw
yang segera menyambar dayung dan menggunakannya untuk memukul sebuah kepala
seorang bajak yang tampak muncul di pinggir perahu. Orang itu berteriak
kesakitan dan tenggelam. Perahu makin bergoyang-goncang dan sebentar lagi tentu terbalik, Bu Beng
memegang tangan Cin Eng dan mngajak gadis itu meloncat ke salah sebuah perahu
yang terdekat dan kosong. Hek Houw ikut meloncat tapi kurang jauh hingga ia
tercebur ke dalam air,. Untung ia pandai berenang dan segera naik ke perahu
dimana Bu Beng dan Cin Eng telah berada dengan selamat. Tapiusaha mereka ini tak
banyak menolong, karena kawanan bajak bagaikan kura-kura berenang di bawah
permukaan aira dan kini mencoba menggulingkan perahu itu.
"Loncat ke sana Eng moi!: kata Bu Beng dengan gugup karena perahu itu telah
miring. Dengan cepat Cin Eng meloncat ke perahu terdekat, tapi malang baginya,
kakinya menginjak pinggiran perahu yang basah dan licin hingga ia terpeleset dan
jauh ke air. Hek Houw meloncat mengejar dan berenang hendak menolong, ia
dihalang-halangi oleh seodrang bajak hingga sebentar kemudian mereka berdua
bergulat dalam air. Kepala penjahat yang muda itu segera menolong Cin Eng dan membawanya berenang.
Bu Beng menjadi bingung sekali, karena kalau ia menggunakan senjata rahasia
menyambit kearah kepala bajak itu sampai mati, bagaimana nanti nasib Cin Eng" Ia
sendiri tak pandai berenang. Maka ia hanya dapat melihat dengan hati bingung dan
khawatir lalau meloncat ke perahu sendiri yang telah ditinggalkan bajak.
Hek Houw yang dihalang halangi oleh seorang bajak bertubuh besar, menjadi marah
sekali. Lebih-lebih ketika dilihatnya betapa Cin Eng dibawa berenang oleh kepala
bajak, ia makin marah. Ia gunakan seluruh kepandaiannya di air dan mencekik
leher bajak itu. Tapi ternyata lawannya seorang yang kuat dan kedua tangannya
menjambak rambut Hek Houw dengan keras. Karena saling cekik dan saling jambak,
keduanya tak dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk berenang, dan kedua-
duannya lalu tenggelam. Mereka saling meronta-ronta hendak melepaskan pegangan
lawan, tapi tak dapat. Maka sudah beberapa kali mereka terpaksa membuka mulut
untuk berenapas hingga banyak air sungai memasuki perut.
Hek Houw sudah merasa lemas. Ia lalu mencari akal. Ketika merasa bergulat
menjadi seru dan mukanya berada dekat dengan perut lawan, ia gunakan mulutnya
menggigit kulit perut yang gendut itu. Karuan saja bajak itu merasa kesakitan
sekali dan melepaskan pegangannya untuk menolong perutnya. Saat itu digunakan
oleh Hek Houw untuk muncul ke permukaan air dan mengambil napas dengan terengah-
engah. Ketika bajak itupun muncul juga di dekatnya, ia segera meukul kepalanya
hingga bajak itu kembali tenggelam. Tiap kali muncul, Hek Houw mengetuk
kepalanya hingga lama-lama bajak itu menjadi lemas karena tak dapat bernapas.
Akhirnya ia tenggelam lagi untuk tidak timbul kembali.
Dengan lemas Hek Houw berenang ke perahunya dan naik keatasnya. Bu Beng telah
berdiri disitu dengan termenung. Pada waktu itu tak nampak lagi seorang bajakpun
di air. "Bagaimana kouwnio suhu?"
Bu Beng hanya mengeleng-gelengkan kepada dan mereka lalu mendayung perahu ke
seberang kanan sungai atas kehendak Bu Beng. Karena keadaan agak gelap dengan
tenggelamnya matahari, Bu Beng tak berdaya mengejar larinya penjahat. Namun ia
dapat melihat bahwa semua bajak lari kearah pantai kanan. Kemudian ia memesan
kepada Hek Houw agar menjaga perahu dan menanti disitu karena ia hendak menyusul
dan mencari jejak para bajak sungai yang membawa lari Cin Eng.
Sedang keadaan Cin Eng sendiri sangat menyedihkan.
Karena tak pandai berenang, ia menjadi lemas dan pingsan dalam pondongan Kwee
Ciang, kepala penjahat yang masih muda itu. Kwee Ciang mengumpulkan anak buahnya
dan beramai-ramai mereka lari kearah sarang mereka yang berada di tengah-tengah
hutan. Ketika sadar, Cin Eng mendapatkan dirinya terbaring diatas tempat tidur kayu
dengan tangan dan kaki terikat. Kwee Ciang dan seorang pemuda lain yang
berpakaian menterang duduk tak jauh dari tempatnya.
Melihat Cin Eng sudah sadar. Kwee Ciang berkata dengan senyum.
"Maaf nona kami terpaksa mengikat kau, karena kau ternyata pandai silat hingga
berbahaya kalau tak diikat. Jangan kau khawatir kami takkan mengganggumu. Kau
hanya kami tahan untuk menanti datangnya kawanmu itu yang harus menebusmu dengan
barang-barang berharga. Ketahuilah kami telah kehilangan banyak anggota, maka
kau harus ditebus dengan mahal."
"Hm, kalau dia datang, kamu semua tentu terbunuh mampus," Cin Eng berkata gemas.
"Ha ha ha sudah cantik, kalau marah bertambah manis," kata pemuda berbaju
menterang itu sambil menyeringai.
"Kwee Liang! Jangan bicara sembrono!" tegur Kwee Ciang. "Nona jangan marah.
Adikku hanya berkelakar saja. Ketahuilah, aku adalah Kwee Ciang yang memimpin
bajak di sini dan ini adalah Kwee Liang misanku." Tapi Cin Eng tak pedulikan
perkataan itu dan memalingkan mukanya.
Tiba-tiba seorang bajak berlari masuk.
"Tai ong orang tadi telah datang dan mengamuk!"
Kwee Ciang mencabut goloknya dan berkata kepada Kwee Liang. "Kau menjaga disini
jangan sampai nona ini terlepas. Biar kubereskan orang itu dan minta uang
tebusan." Kepala bajak yang muda dan cakap itu segera lari keluar membawa
goloknya, diikuti oleh bajak yang melaporkan tadi.
Kwee Ciang lari keluar dan melihat perkelahian yang hebat dan membuat hatinya
berdbar penuh kekhawatiran. Ia melihat betapa Bu Beng dengan tangan kosong
dikeroyok bajak empat puluh orang lebih, tapi pemuda itu bagaikan seekor naga
terlepas dari kurungan, mengamuk hebat sekali. Dengan kedua tangan kosong ia
menyambar kesana sini dan dimana tubuhnya berkelebat, tentu rebah seorang bajak
dengan tak berkutik karena telah tertotok jalan darahnya! Tubuh para bajak
bergelimpangan bertumpuk-tumpuk dan teriakan ngeri terdengar disana-sini! Kwee
Ciang kaget sekali karena ia mnyangka kawan-kawannya yang roboh itu terbinasa,
maka ia segera mengumpulkan kawan-kawannya yang pandai menggunakan senjata
rahasia dan beramai-ramai menyambit pemuda itu dengan pisau, pelor besi dan anak
panah! Tapi dengan berseru keras Bu Beng mencabut Hwee hong kiam dari punggung dan
memutarnya hingga tampak sinarnya berkilau kilauan seperti perak. Semua senjata
rahasia dapat dipukul jatuh dan berserakan kesana kemari. Kemudian tubuh Bu Beng
berkelebat kembali ia menggunakan tangan kirinya menotok tipa penjahat yang
dapat terpukul olehnya. Bu Beng benar-benar mengamuk hebat, tapi ia masih ingat
akan perikemanusianan dan tak mau menjatuhkan tangan maut. Hanya membuat bajak-
bajak itu tak berdaya dan lumpuh dengan totokannya yang diwarisinya dari Hoa san
pai yang hebat. Melihat kejadian hebat ini, Kwee Ciang putus asa dan tak berani melawan. Ia
segera kembali ke pondoknya untuk membawa lari Cin Eng. Alangkah terkejutnya
ketika ia mendengar jeritan seram dari arah pondoknya itu. Buru-buru ia menolak
daun pintu, tapi pintu terkunci dari dalam, ia gunakan kakinya menendang pintu,
pintu terbuka dan pemandangan di dalam pondok membuat wajahnya menjadi merah karena marah.
Ternyata ketika ditinggalkan seorang diri untuk menjaga Cin Eng, Kwee Liang yang
memang berwatak cabul dan jahat tertarik sekali akan kecantikan CIn Eng dan
timbullah maksud buruk hendak mengganggunya. Didekatinya nona itu dan ia
mengulurkan tangan. Cin Eng menjerit tapi Kwee Liang segera menekap mulut nona
itu dan menyumbatnya. Cin Eng meronta-ronta, tali ikatan kaki tangannya sangat
kuat. Nona itu takut sekali, air matanya mengalir dan ia bertekat lebih baik
mati daripada terganggu oleh binatang berwajah manusia ini. dengan beringas Kwee
Liang memegang baju Cin Eng dan merenggutkannya dengan sekali sentakan. Baju
nona itu robek dan tampaklah pundaknya yang berkulit putih halus Cin Eng makin
marah dan memberontak keras, dan Kwee Liang makin gila nampaknya. Pemuda
bermoral bejat itu segera menuju ke pintu dan menguncinya.
"Nona jangan takut, aku takkan berlaku kasar padamu," katanya menyeringai.
Kemudian ia maju menghampiri.
Tapi, belum ia bertindak lebih jauh yang melanggar batas-batas perikesopanan dan
kesusilaan tiba-tiba pintu ditendang dari luar dan Kwee Ciang berdiri di ambang
pintu dengan golok di tangan dan wajah merah sekali.
Kwee Liang tersenyum. "Twako, jangan ganggu aku. Berlakukah baik kali ini dan
biarlah aku mendapatkan nona itu. Aku cinta padanya, twako."
"Bangsat rendah! Kau membikin malu aku, membikin malu abu leluhur kita! Biarpun
menjadi bajak , tak pernah
nenek moyangku menjalankan perbuatan terkutuk itu. Hayo keluar."
Kwee Liang menjadi marah. "Twako, bagus bener sikapmu ini! Kau selalu hendak
menang sendiri dan aku selalu harus tunduk kepadamu. Tapi kali ini tidak !
pendeknya aku harus mendapatkan nona ini, tak peduli kau melarangnya atau tidak.
Aku mau keluar kalau tubuhku sudah terbaring diatas lantai ini."
"Binatang kau!"
"Habis, kau mau apa?" kata Kwee Liang dan mencabut pedangnya yang ditaruh diatas
meja. Kwee Ciang menjadi marah dan meloncat menyerang. Kwee Liang menangkis dan
mereka berkelahi dengan sengit. Sebenarnya dalam hal kepandaian, Kwee Ciang
menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kwee Liang. Lebih-lebih karena Kwee
Liang jarang melatih diri. Maka setelah bertempur kurang lebih dua puluh jurus,
tiba-tiba Kwee Ciang melayangkan tendangannya dan tepat mengenai dada Kwee Liang
yang segera roboh dan pingsan! Kwee Ciang masih ada rasa kasihan kepada adik
misannya maka ia tidak mau membunuhnya. Dan karena perbuatan biadab dari Kwee
Liang ini maka Kwee Ciang mengurungkan niatnya hendak membawa lari Cin Eng untuk
minta uang tebusan kelak, bahkan ia merasa malu sekali. Maka tanpa ragu-ragu
lagi ia menggunakan goloknya memutuskan tali pengikat kaki dan tangan Cin Eng,
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu melemparkan sehelai baju luar kearah Cin Eng untuk dipakai menutupi
sebagian tubuh atasnya yang robek. Sebagai seorang laki-laki, Kwee Ciang berdiri
membelakangi Cin eng untuk memberi kesempatan kepada gadis itu memakai pakaian
yang diberikannya itu. Tapi sungguh tidak nyana, setelah mengenakan baju luar Cin Eng melompat ke
depan, menyambar pedang Kwee Liang dan menggunakannya untuk menyabet leher Kwee
Liang. Dan kepala penjahat cabul itu menjadi terpisah dari lehernya.
Kwee Ciang kaget sekali dan mukanya menjadi pucat. "Ah, kau keterlaluan nona."
Cin Eng menuding kearah mayat Kwee Liang. "Keterlaluan" Sudah sepatutnya
binatang macam ini dibinasakan. Kalau kau merasa sakit hati, belalah adikmu itu
aku tidak takut." Kwee Ciang tak menjawab, tapi dengan bercucuran air mata ia berjongkok dan
menyelimuti mayat adik misannya sambil berkata lemah, "Ah Kwee Liang, Kwee Liang
......mengapa kau tidak mau menurut nasehatku! Ah, sekarang kau terbunuh mati, aku
malu kalau kelak berjumpa dengan paman di alam baka ...."
Cin Eng melihat keadaan pemuda itu menjadi kesima dan juga terharu. Tiba-tiba
dari luar berkelebat bayangan orang dan Bu Beng berdiri disitu dengan Hwee hong
kiam di tangan. Sikapnya galak dan gagah sekali. Mukanya pucat tanda khawatir
dan matanya menyinarkan cahaya menakutkan! Wajah yang pucat menjadi merah dan
terdengar ia bernapas lega ketika melihat nona kekasihnya berdiri disitu dengan
pedang berlumuran darah di tangan! Tapi ia heran melihat baju luaryang dipakai
gadis itu. Kemudian ia melihat Kwee Ciang yang sedang berjongkok.
"Bangsat tak tahu malu! Kau harus mampus !" seru Bu Beng dengan marah.
Kwee Ciang meloncat berdiri dan ketika Bu Beng menyerangnya, ia menangkis. Tapi
goloknya terlepas putus oleh Hwee hong kian ! kwee Ciang menjadi pucat dan ia
hanya memejamkan mata ketika Hwee hong kiam meluncur kearah lehernya.
Tiba-tiba Cin Eng meloncatdan menangkis Hwee hong kiam dengan kerasnya!
Pedangnya menjadi putus. Bu Beng kaget dan meloncat mundur sambil memandang
kepada kekasihnya dengan heran.
"Sabar, koko," kata Cin Eng. "Kau salah sangka. Kwee Ciang bukanlah seorang
jahat. Bahkan ia telah menolong jiwaku." Kemudian dengan singkat ia menceritakan
tentang kekurangajaran Kwee Liang dan betapa Kwee Ciang menolongnya hingga ia
dibebaskan dan dapat membunuh Kwee Liang.
Bu Beng menjuru dan berkata. "Maaf, tai ong. Tak kusangka seorang kepala bajak
seperti kau ini masih mempunyai sifat satria dan gagah."
Kwee Ciang membalas hormat dan air matanya turun kembali membasahi pipinya.
"Taihiap, sungguh aku merasa malu. Aku dengan saudara misanku telah tersesat
menjadi kepala bajak, walaupun kami tak pernah berlaku sewenang-wenang, tapi
betapapun juga, bajak tetap penjahat dan dikutuk orang. Aku telah berlaku salah
terhadap taihiap maka tak lain mohon maaf dan semoga taihiap juga sudi
menyembuhkan semua kawan-kawanku yang menjadi korban karena aku. Kalau taihiap
hendak menghukum, hukumlah aku yang menjadi kepala mereka, boleh aku kau
bunuh atau kau serahkan kepada pembesar negri, tapi sembuhkan kawan-kawanku."
Mendengar ucapan dan melihat sifat setia kawan dari kepala bajak itu, Bu Beng
merasa terharu dan juga girang karena dari sikapnya itu Kwee Ciang menunjukkan
kejantanannya dan bahwa hatinya belum rusak. Maka Bu Beng segera menghampiri
para bajak yang rebah tak bergerak karena totokan ketika mengamuk tadi dan
sebentar saja tiga puluh orang lebih anak buah bajak telah dibebaskan dari
pengaruh totokan. "Saudara, Kwee Ciang," katanya kemudian kepada Kwee Ciang, "Tadi kau sanggup
memikul semua tanggung jawab. Nah, kuharap kau suka sadar akan kesesatan ini.
Kau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Buat apa menjadi bajak hingga
membusukkan nama sendiri! Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati harus
bisa meninggalkan nama baik! Selagi hidup mengapa kau tak gunakan kepandaianmu
menolong sesame hidup dan melakukan kebajikan hingga hidupmu tidak kosong dan
sia-sia" Kau bukan orang jahat, juga kau adalah seorang cerdik, kurasa kata-
kataku ini sudah cukup kau mengerti. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya,
terserah kepada kebijaksanaanmu sendiri."
Kwee Ciang merasa terharu dan menghaturkan terima kasih sambil berlinang air
mata. Kemudian Bu Beng mengajak Cin Eng ke tepi sungai dimana Hek Houw menanti dengan
tidak sabat. Tapi ketika melihat bahwa Cin Eng telah tertolong dan selamat, ia
menjadi girang. Meraka lalu berlayar lagi dengan cepat. Kwee Ciang yang merasa
berterima kasih dan kagum
kepada Bu Beng, mengirim orang-orang berkuda dan mendahului Bu Beng untuk meberi
kabar kepada kawan-kawan bajak agar mereka jangan mengganggu Bu Beng Kiamhiap.
Demikianlah, dua minggu kemudian, setelah menikmati pelayaran di sepanjang
sungai yang mempunyai tamasya , alam indah permai itu, mereka telah mendekati
laut. Air sungai menjadi liar dan buas. Sungai menjadi lebar dan dalam dan
alirannya cepat sekali hingga Cin Eng merasa ngeri. Tapi karena Bu Beng
bertenaga besar dibantu oleh Hek Houw yang setia, mereka dapat meluncurkan
perahu mereka dengan selamat memasuki lautan.
Berbeda dengan air sungai, air laut tenang seakan-akan tak bergerak sama sekali.
Bu Beng dan Hek Houw yang tadinya tidak menggunakan tenaga sama sekali untuk
mendayungperahu karena perahu telah laju terbawa aliran sungai hingga mereka
hanya mengerahkan tenaga untuk menjaga keseimbangan dan tujuan perahu, kini
merasa seakan-akan badan perahu berat sekali karena harus menempuh air diam.
Sebetulnya air laut tidak diam sama sekali bahkan dibawah permukaan air terdapat
alunan gelombang, tapi permukaan laut karena luasnya tak tampak bergoyang. Pula
karena mata mereka yang diatas perahu tadinya menyaksikan air sungai yang
berlomba dan dengan buasnya menyerbu kearah laut, kini melihat air laut biru
luas itu menjadi berkunang-kunang.
Bu Beng dan Cin Eng menggunakan tangan melindungi mata karena matahari bersinar
panas berkilauan, dan mencari-cari dimana letak pulau yang dicari itu. Tiba-tiba
Cin Eng menunjuk kearah timur laut.
"Koko, lihat itu!" cepat Bu Beng memandang dan nampaklah olehnya sebuah pulau
panjang kecil yang berwarna hitam kehijauan.
"Tidak salah lagi, itulah Ang coat ho." Kata Bu Beng gembira ketika samara-samar
ia melihat puncak sebuah bukit menjulang tinggi di pulau itu.
Tapi tiba-tiba air laut yang tadinya diam bergelombang hebat. Anehnya yang
bergelombang hanya air di depan mereka saja, seakan-akan air itu digerakkan dari
bawah dan seperti ada apa-apa yang sengaja mencegat mereka! Bu Beng dan Cin Eng
bersiap dengan pedang di tangan.
Gelombang makin membesar dan alangkah terkejut mereka ketika tiba-tiba dari
permukaan air tersembul keluar sebuah kepala ular air yang berwarna hitam! Tapi
kalau ular air di sungai paling besar hanya sepaha orang, ular air yang muncul
ini sedikitnya tiga kali lebih besar dari yang biasa. Ular air itu menyemburkan
air dari mulutnya dan dengn lidah terjulur panjang, ia naik sampai sebatas leher
sambil memandang kearah perahu dengan mata berkilat. Kemudian ular itu menyelam
kembali, tapi kini ekornya tampak makin mendekati perahu, tanda bahwa ia sedang
berenang kearah perahu! Tiba-tiba ular itu membentur perahu hingga terputar-
putar, kemudian ia mengeluarkan kepala yang mengerikan itu di samping perahu,
siap untuk menelan penumpangnya.
Hek Houw mengangkat dayungnya dan dengan sekuat tenaga ia memukul kepala ular
itu, tapi kulit ular itu licin dan keras sekali hingga dengan diiringi suara
keras dayungnya patah bahkan gagangnya terlepas dari tangan karena ia merasakan
telapak tangannya pedih dan panas.
Hek Houw adalah seorang pemuda berangasan dan tak kenal takut. Kejadian ini tak
membikin ia kapok bahkan ia mengulurkan tangan mengambil dayung yang tadi
digunakan Bu Beng dan siap hendak memukul lagi, tapi Bu Beng yang teringat bahwa
dayung itu adalah dayung terakhir yang akan membawa mereka ke pulau segera
merebut dayung itu. "Jangan pukul, kau mau menghancurkan dayung ini lagi" Bentaknya.
Sementara itu, ular laut yang menerima pukulan dayung tadi seakan-akan tak
merasa apa-apa, bahkan kini meletakkan kepada dan lehernya di pinggiran perahu
hingga perahu menjadi miring! Binatang itu lalu bergerak hendak masuk ke dalam
perahu. Cin Eng berseru keras, lalu dengan cepat ia menyambar dan mengayunkan
pedangnya membacok. Tapi pedangnyapun terpental kembali, karena leher ular itu
tertutup oleh sisik yang keras bertumpuk-tumpuk lagi sangat licin hingga mata
pedangnya tidak dapat melukainya.
Tapi tenaga Cin Eng cukup membuat ular itu kaget dan bergerak cepat dengan mulut
terbuka kearah Cin Eng, Bu Beng secepat kilat menyerang sambil berkata kepada
Cin Eng. "Jangan bacok, tusuk saja!" dan ia gunakan pokiamnya menusuk leher
kanan ular itu dengan gerakan Panah Wasiat Menembus Baja. Sementara itu Cin Eng
yang tadinya hendak membacok pula, setelah mendengar nasehat Bu Beng segera
merobah gerakannya dan menusuk dari kiri kearah leher ular itu.
Benar saja dugaan Bu Beng, ujung pedang yang tajam walaupun tak dapat menembus
sisik yang sangat licin dan keras itu, tapi dapat menerobos diantara sisik dan
menancap di kulit ular itu! Merasa betapa lehernya tertusuk dari kanan kiri
hingga mengeluarkan darah dan sakit sekali, ular itu berontak dan menyentak-
nyentakkan kepalanya ke kanan kiri. Tenaganya besar sekali hingga dengan kaget
Cin Eng terpaksa melepaskan pedangnya yang masih menancap di leher ular. Tapi Bu
Beng yang berkepandaian tinggi cepat menggunakan kegesitan dan tenaganya
mencabut pedang yang merah karena darah ular. Ular itu mendesis dan dari lubang
hidungnya keluar asap hitam menyambar. Untung Cin Eng dan Bu Beng dapat berkelit
jauh ke belakang. Kemudian ular itu menggerak-gerakkan kepada dan matanya
melirik kearah pedang Cin Eng yang masih menancap di lehernya dan ronce pedang
warna merah itu melambai-lambai tertiup angina. Ular itu menjadi marah sekali
dan menggigit-gigit kearah gagang peadang di leher. Tapi mulutnya tak dapat
mencapainya. Ia menjadi bagaikan gila dan mencebur ke dalam air terus berenang
kesana kemari setelah menimbulkan gelombang besar dan kacau yang membuat perahu
itu terayun-ayun, ia menyelam kedalam air dan lenyap dari pemandangan, hanya
meninggalkan darah merah diatas perahu dan gelombang-gelombang kecil, akibat
dari amukannya tadi. Bu Beng menghela napas lega dan Hek Houw menelan ludah.
"Sungguh hebat dan berbahaya!" kata Hek Houw sambil menjulurkan lidah. Tapi
akhirnya pedang kouwnio tentu dapat membunuhnya."
"Mengapa begitu?" Tanya Cin Eng yang masih berdebar-debar karena kaget tadi.
"Ular itu kebingungan tak dapat melepaskan pedang yang menancap di lehernya
hingga ia akan sibuk menggigit-gigit kearah pedan dan lupa makan lupa tidur dan
akhirnya ia tentu mati kelaparan!" Bu Beng dan Cin Eng tertawa mendengar obrolan
ini. "Untung kau tadi tidak menggunakan dayung ini untuk memukul lagi," kata Bu Beng,
"Kalau dayung ini patah bagaimana kita bisa sampai ke pulau itu?"
kemudian Bu Beng menggunakan dayung itu untuk mendayung sekuat tenaga agar
mereka dapat sampai ke pulau yang dituju secepat mungkin. Biarpun pulau itu dari
situ tampak dekat saja, tapi setelah mendayung setengah hari baru mereka sampai
di pantai pulau sebelah selatan.
Mereka segera mendarat dan Hek Houw menarik perahunya ke darat. Mau tak mau Bu
Beng merasa ngeri juga ketika memandang keatas pulau yang merupakan bukit dengan
puncak yang meruncing keatas karena pulau itu ternyata penuh dengan hutan yang
agaknya belum pernah didatangi orang dan masih sangat liar.
Karena pada waktu itu matahari telah bersembunyi di balik puncak dan cuaca telah
mulai gelap, Bu Beng mengajak Cin Eng dan Hek Houw beristirahat di bawah pohon-
pohon Siong yang besar. Tapi Cin Eng berkata, "Dulu ayah menceritakan padaku
bahwa ia ketika dating ke pulau itu telah membuat sebuah pondok kecil dari
bamboo di tepi pantai sebelah selatan. Mari kita cari pondok itu agar dapat
mengaso dengan tenang."
Maka mulailah mereka bertiga mencari pondok itu. Dan benar saja, di tempat yang
agak tinggi terdapat sebuah pondok dengan kaki bamboo panjang di empat sudut.
Dengan ringan Bu Beng dan Cin Eng dapat meloncat keatas, memasuki pondok diatas
yang terbentang lebar. Tapi Hek Houw yang belum tinggi kepandaiannya telah
mencoba beberapa kali belum juga dapat berhasil mencapai pintu karena kaki
pondok itu tingginya tak kurang dari dua tombak. Terpaksa sambil tertawa Bu Beng
mengulurkan tangannya dan ketika Hek Houw meloncat lagi, ia tangkap lengan Hek
Houw dan menariknya keatas.
Malam itu mereka sukar untuk dapat tidur nyenyak karena setelah hari menjadi
gelap, banyak sekali binatang-binatang buas turun dari bukit dan keluar dari
hutan menuju ke pantai. Binatang-binatang itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan
beberapa ekor diantara mereka bahkan jalan hilir mudik di bawah pondok.
Tapi setelah fajar menyingsing, semua binatang buas itu kembali keatas bukit
memasuki hutan. "Kita harus berhati-hati nanti kalau naik bukit, tentu banyak pengganggu akan
kita hadapi," kata Bu Beng yang bersiap-siap hendak mulai mencari obat untuk
tunangannya. Mereka bertiga mulai naik bukit dengan senjata siap di tangan. Hek
Houw membawa sebilah golok besar dan menggunakannya untuk membabat pohon-pohon
kecil yang merintangi jalan.
Dua kali mereka diganggu binatang buas. Pertama kali seekor harimau besar
menyerang Hek Houw tapi harimau itu dengan mudah dapat dibunuh mati oleh Bu Beng
. Yang kedua kalinya seekor orang hutan hitam sebesar manusia mencoba menyerang mereka.
Tapi kembali binatang ini dapat ditewaskan. Hampir saja mereka melawan mati-
matian ketika kawan-kawan orang hutan itu sebanyak seratus ekor lebih dating
menyerbu membela kematian kawannya. Tapi tiba-tiba Hek Houw mendapat akal. Ia
membuat api dan dengan obor kayu-kayu kering di tangan ia berteriak-teriak keras
sehinggga orang-orang hutan itu lari bercerai berai ketakutan.
Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya dengan selamat akhirnya mereka
sampai juga di tempat yang dituju. Mereka mendengar suara air bergemuruh. Ketika
dicari, ternyata bunyi itu adalah sebuah air terjun yang curam dengan airnya
yang putih bersih. Dan di kanan air terjun itu, di kaki puncak bukit, tampaklah
goa yang mereka cari-cari.
Hek Houw yang biasanya berhati tabah, menjadi ngeri dan seram juga ketika ia
berdiri di depan goa itu. Bu Beng memandang dengan penuh perhatian. Goa itu
lebarnya tiga kaki lebih, lubangnya bundar dan gelap. Dinidng luar goa merupakan
kepala ular besar dan lubang itu menjadi lubang mulutnya. Batu cadas yang
berbentuk kepala ular besar itu mungkin terjadi karena alam, tapi ebntuknya
demikian sempurna seakan-akan ukiran seorangpemahat pandai atau seolah-olah
memang tadinya seekor ular tulen yang telah berubah menjadi batu karena lamanya.
Ketika Bu Beng hendak masuk, dengan obor kayu kering di tangan, tiba-tiba ia
mencium bau amis dan terdengar suara berkeresekan di dalam goa. Ia cepat mundur
kembali dan memungut beberapa butir batu lalu melemparkannya
kuat-kuat ke dalam. Terdengar batu-batu itu menghantam cadas tapi tidak
terdengar suara lain. Bu Beng lalu menyuruh Hek Houw mengumpulkan kayu kering
dan membakarnya di mulut goa. Ia kipas-kipas asapyang bergulung-gulung hingga
masuk ke dalam goa. Usahanya ini ternyata berhasil baik. Karena terserang asap yang memedihkan mata
dan menyesakkan napas itu, penghuni goa terpaksa keluar untuk mencari hawa baru
yang segar. Ketika penghuninya itu keluar dari lubang, terdengar suara mendesir-
desir keras dan bau amis makin tajam menusuk hidung. Bu Beng cepat menyuruh Cin
Eng dan Hek Houw menyingkir jauh, sedangkan ia sendiri dengan pedang di tangan
menanti di luar goa. Tiba-tiba terdengar desis keras sekali dan asap kayu yang tadinya menyerang ke
dalam goa, tiba-tiba berbalik dan buyar bagaikan tertiup angin dan kini
bergulung-gulung ke atas di luar goa. Maka tampaklah oleh Bu Beng makhluk yang
dinanti-nantikannya itu. Seekor ular sebesar batang pohon liu bergerak perlahan
keluar goa. Kulit ular itu indah sekali, berwarna merah dan merupakan kembang-
kembang dengan bintik-bintik biru dan hitam. Panjangnya tak kurang dari dua
puluh kaki. Kepalanya agak kecil tapi di tengah-tengah kepala itu tersembul sebuah tanduk daging yang dapat bergerak-gerak. Melihat Bu Beng
berdiri disitu dengan sikap menantang ular yang sedang marah mencari
pengganggunya itu, memandangnya dengan mata tajam, sedangkan lidahnya yang hitam
sebentar-sebntar menjilat bibir atas. Tiba-tiba tubuh ular itu mengkerut menjadi
oendek dan dengan loncatan kilat bagaikan anak panah besar meluncur dari
busurnya, tahu-tahu ia menyerang Bu Beng! Hebat sekali serangan itu karena
sambil menerjang mulutnya terbuka memperlihatkan taring-taring tajam dan
dari dalam mlut keluar uap hitam yang berbau amis menimbulkan rasa muak. Mak Bu
Beng cepat berkelait dan meloncat ke samping. Heran sekali, tubuh ular yang
begitu besar ketika turun keatas tanah dapat diatur sedemikian rupa hingga
seakan-akan tubuhnya itu ringan sekali. Bu Beng tidak mau menyia-nyiakan waktu.
Sebelum ular dapat membalik, ia maju dan menyabetkan pedangnya. Tapi ular aneh
itu tanpa berpaling mengangkat ekornya dan menangkis pedang itu. Tenaganya besar
sekali hingga hampir saja pedang Bu Beng terlepas dari pegangannya! Bu Beng
terkejut sekali. Pantas saja ayah ibu Cin Eng tak dapat melawan ular ini, karena
ia demikian hebat. Bu Beng diam-diam mengakui bahwa tenaganya yang terlatih
kalah jauh oleh ular merah ini! Maka ia berlaku hati-hati sekali.
Manusia dan binatang itu saling serang mati-matian. Tubuh Bu Beng berkelit
kesana kemari dan pedangnya berputar-putar secepat kilat menyambar. Tapi ular
merah tak kalah cepat. Ia gunakan ekornya yang kuat untuk menangkis pedang dan
serangan-serangannya selalu mematikan ditambah dengan taring beracun dan uap
berbahaya yang selalu mengancam tubuh dan pernapasan Bu Beng!
Cin Eng yang merasa khawatir melihat tunangannya belum juga dapat membinasakan
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ular itu, tak peduli akan segala bahaya segera memburu dan ikut mengeroyok. Bu
Beng berkali-kali menyuruh ia menjauhkan diri, tapi Cin Eng tak mau menurut. Ia
tak mungkin dapat berdiri berpeluk tangan dengan hati aman melihat Bu Beng
berkelahi mati-matian. Bu Beng menjadi bingung melihat gadis itu tak menurut.
Kini ia harus memecah tenaganya untuk melindungi gadis itu lagi! Dengan gemas
Cin Eng menggunakan pedangnya menusuk leher ular itu dengan
gerakan Tiang khing king thian atau pelangi panjang melengkung di langit. Ular
itu agaknya tak melihat serangan ini karena sedang sibuk menghindari bacokan Bu
Beng. Tapi ketika pedang Cin Eng sudah dekat dengan kulit lehernya, tiba-tiba
ekornya menyambar kearah tangan Cin Eng yang memegang pedang! Merasa betapa
sambaran ekor itu membawa angin dingin kearah tangannya, gadisitu terkejut dan
menarik tangannya tapi pedangnya tetap terpukul oleh ekor dan ia merasa telapak
tanganya menjadi perih dan sakit. Terpaksa ia melepaskan pedangnya dan meloncat
mundur jauh-jauh! Ia merasa belum puas. Sepasang pedangnya yang biasanya dapat
menghadapi beberapa belas orang jahat bersenjata dengan tak terkalahkan , kini
kedua pedang itu telah dipaksa lawan terlepas dari tangannya. Pedang pertama
lenyap menancap di leher ular laut, sedangkan pedang kedua terlempar ke jurang
oleh sabetan ekor ular itu. Hampir-hampir ia menangis karena marah dan jengkel,
juga karena khawatir melihat Bu Beng agaknya terdesak oleh ular itu.
Hek Houw juga merasa penasaran karena tak dapat membantu. Ia menjadi marah
sekali dan tiba-tiba ia memungut kayu yang dibakarnya untuk mengasapi goa itu,
lalu dengan keras ia melontarkan kayu yang masih terbakar dan menyala itu kearah
tubuh ular. Tubuh ular bagian perut itu seakan-akan bermata karena ia tiba-tiba
dapat menghindari lontaran itu, tapi api yang bernyala di kayu masih sempat
menjilat kulit perutnya. Ular itu tiba-tiba bergerak bagaikan gila. Tubuhnya
berkelojotan kesana kemari dan ia menjadi garang sekali.mulutnya berdesis-desis
hebat dan ia menubruk Bu Beng dengan membabi buta. Pemuda ini melihat perubahan
gerak lawannya, segera berteriak.
"Hek Houw ! Cin Eng ! lekas membikin api sebanyak-banyaknya ! serang ia dengan
api!" Hek Houw girang sekali bahwa perbuatannya yang tak disengaja itu membuka rahasia
kelemahan ular merah, maka cepat ia membuat api dan mengumpulkan kayu yang
dibakar ujungnya dan dilontarkan kearah ular. Benar saja, tiap kali kulitnya
terjilat api ular itu meloncat-loncat bagaikan gila dan gerakan-gerakannya tak
karuan lagi. Tiba-tiba ia memutar tubuh dan menyerang kearah Cin Eng dan Hek
Houw dengan satu lompatan jauh! Pada saat itu, Cin Eng dan Hek Houw tak
bersenjata apa-apa selain dua batang kayu yang menyala ujungnya. Melihat
serangan nhebat ini, mereka menggunakan kayu itu untuk melawan. Melihat api yang
bernyala di ujung kayu, ular itu tak jadi menyambar dan turun kearah tanah,
kemudian dengan merayap perlahan ia menghampiri Cin Eng dan Hek Houw yang
berdiri menghadapinya dengan takut-takut. Ular itu tampak marah sekali, tapi
agaknya ia bukan marah kepada kedua orang itu, tapi marah kepada empat api merah
yang menyala di ujung empat batang kayu itu. Tiba-tiba ia maju dengan mulut
ternganga lebar. Ia serang ujung kayu di tangan kanan Hek Houw. Mulutnya bertemu
dengan api dan ular itu bagaikan disambar petir. Ia mundur digores-goreskan
bibirnya keatas tanah dan untuk menghilangkan rasa sakit di bibirnya. Sementara
itu api di ujung kayu itu menjadi padam. Kini ular itu menyerang kembali,
meluncur kearah api di ujung kayu di tangan kiri Hek Houw. Karena serangannya
keras, maka kali ini ia tidak hanya terjilat api, bahkan ujung kayu yang merah
terbakar itu tepat bertemu dengan matanya. Hebat sekali akibatnya. Ular itu
menggunakan ekornya menyabet-nyabet kesekelilingnya. Ia mebanting-banting
kepalanya keatas tanah dan
menggunakan ujung ekor menyabet-nyabet kepalanya yang terasa panas dan sakit.
Sementara itu Hek Houw berdiri pucat bagaikan mayat. Ia begitu takut dan bingung
hingga ia hanya bisa berdiri diam sambil memandang dua batang kayu yang telah
padam di kedua tangannya. Bu Beng girang sekali melihat hasil ini meloncat dan
manarik lengan Hek Houw dari situ. Tepat sekali apa yang ia lakukan ini karena
tiba-tiba ular itu menyerang kalang kabut kearah tempat Hek Houw tadi. Kalau si
hitam itu masih berada disitu, pasti ia takkan dapat melepaskan diri dari
bencana hebat ini. Bu Beng segera minta dua batang kayu masih menyala dan
dipegang oleh Cin Eng, lalu ia sendiri maju menghadapi ular itu dengan senjata
istimewa ini. Karena ia dapat bertindak cepat dan gesit sekali, maka berkali-
kali ujung kayu yang menyala itu bertemu dengan mata, muka, leher dan ekor ular
itu, sehingga si ular makin lama makin tak berdaya. Hanya ekornya saja masih
bergerak perlahan dan lemah. Bu Beng segera mencabut pedangnya dan dengan
sepenuh tenaga membacok leher ular itu. Sraatt! Dan putuslah leher ular merah
yang dahsyat itu. Setelah berhasil membunuh mati ular itu, Bu Beng menjatuhkan diri bersila diatas
rumput dan memgumpulkan semangatnya untuk memulihkan tenaganya yang telah
dikerahkan habis-habisan itu. Demikian juga Cin Eng memandang tubuh ular yang
kini tak bergerak lagi itu.
Setelah merasa tenaganya puluh kembali, Bu Beng dan Cin Eng mendekati kepala
ular. Ternyata ular itu memang luar biasa. Sisik di kepalanya berwarna merah
kekuning-kuningan bagaikan emas.
"Biarlah kita berdo'a mudah-mudahan di kepala inilah adanya mustika penyembuh
sakitmu itu," kata Bu Beng yang lalu menggunakan pedangnya membelah kepala ular
itu. Ternyata di dalam kepala itu terdapat benda bulat yang lembek tapi yang
putih berkilauan bagaikan air perak.
"Inilah dia! Cin Eng berbisik suaranya gemetar. "Ayah dulu pernah menceritakan
padaku bagaimana macamnya mustika ular itu. Inilah dia! Kalau sudah kering benda
ini akan mengeras bagaikan mutiara. Lekas ambil jantungnya koko!"
Bu Beng segera membelah perut ular dan mengambil jantungnya yang merah dan
kecil. Dengan bantuan Hek Houw mereka menyalakan api dan mencari air, lalu
memasak jantung itu dengan campuran obat yang telah disediakan olehe Bu Beng
menurut resep dari Lo Sam. Kemudian tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, ia
memberikan obat itu kepada Cin Eng yang terus meminumnya sambil memejamkan
matanya. Sebenarnya gadis ini merasa muak sekali, tapi karena terpaksa dan ingin
sembuh, ia paksa menelan juga obat berbau amis itu.
Tapi alangkah kaget Bu Beng dan Hek Houw melihat keadaan Cin Eng setelah obat
itu memasuki perutnya. Gadis itu memegang-megang kepalanya seakan-akan merasa
peningsekali dan kedua matanya tetap dipejamkan. Lalu gadis itu berdiri dan
sambil memegang kepala terhuyung-huyung hendak jatuh. Bu Beng memburu cepat dan
memeluk tunangannya. Ia makin terkejut dan khawatir sekali ketika tangannya
merasa betapa tubuh Cin Eng menjadi panas sekali seakan-akan terbakar.
"Engmoi ....moi-moi . .......kau kenapa ?" tapi Cin Eng tak dapat menjawab, bahkan
tubuhnya menjadi lemas dan ia jatuh pingsan dipelukan Bu Beng.
"Eng moi ......Engmoi ... ah Hek Houw bagaimana ini" Bu Beng kebingungan dan tak tahu
harus berbuat apa. Hek Houw juga bingung, tapi ia tidak kehilangan akal. Ia
lihat bahwa selain goa ular itu, masih ada lagi dua buah goa kecil dan dekat
situ. Maka ia lalu mensehati Bu Beng supaya membawa Cin Eng yang masih pingsan
ke dalam sebuah goa kecil, Bu Beng telah kehilangan akal, mendukung tubuh Cin
Eng ke dalam goa itu dan meletakkan tubuh gadis itu diatas rumput kering yang
disusun Hek Houw di dalam goa. Bu Beng memegang nadi tangan Cin Eng dan hatinya
agak lega ketika merasa bahwa denyut nadi gadis itu masih tetap dan biasa. Tapi
hawa panas yang memancar dari tubuh gadis itu membuat ia khawatir sekali. Tapi
apa daya" Ia hanya dapat menjaga dengan cemas di dekat tunangannya yang
terlentang bagaikan sedang tidur nyenyak itu. Hek Houw meninggalkan Bu Beng dan
duduk mengaso di dalam goa kecil di sebelahnya.
Sampai semalam suntuk, Cin Eng belum juga siuman Bu Beng menjaga di sampingnya
dengan tak bergerak-gerak. Mereka berdua merupakan dua buah patung hidup,
seorang telentang dan yang seorang pula duduk bersila, Hek Houw menyalakan api
di luar kedua goa kecil untuk menolak gangguan binatang hutan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika Bu Beng mulai merasa sedih dan
putus harapan, tiba-tiba Cin Eng bergerak dan mengeluh. "Aduh ......perutku sakit
sekali ....." gadis itu mengaduh-aduh sambil memegangi perutnya. Bu Beng menjadi
girang melihat tunangannya
siuman tapi serentak juga merasa bingung melihat betapa gadis itu merintih-
rintih. Tiba-tiba Cin Eng muntah-muntah dan dari perutnya keluar gumpalan-gumpalan
hitam. "Koko, keluarlah, pergilah dari sini!" Cin Eng berteriak kemalu-maluan mengusir
Bu Beng. Tapi Bu Beng menggeleng-gelengkan kepala dan bahkan menggunakan ujung
baju mengusap mulut Cin Eng yang telah berhenti muntah.
"Koko, keluarlah!" Cin Eng berkata marah karena ia merasa malu sekali. "Dan
tinggalkan baju luarmu!" terpaksa Bu Beng keluar mendengar ucapan yang
mengandung paksaan ini. Tapi ia girang sekali melihat wajah Cin Eng yang
kemerah-merahan dan biarpun berpura-pura marah tapi gadis itu masih tak dapat
menyembunyikan senyum bibirnya.
Ia menanti di luar gua dan segera memberitahu kepada Hek Houw yang masih
mendengkur di gua sebelah. "Hek Houw, Cin Eng sudah siuman dan sembuh."
Hek Houw tersenyum girang. "Sukurlah. Ah, obat itu benar-benar terlalu manjur
dank eras kerjanya hingga mengagetkan orang saja."
Pada saat itu Cin Eng dengan memakai pakaian luar Bu Beng, lari keluar menuju ke
sebuah anak sungai. Bu Beng mengejar, tapi ia tersenyum dan kembali lagi ketika
melihat bahwa gadis itu pergi ke sungai hanya untuk mencuci pakaiannya yang
kotor. Setelah yakin benar bahwa Cin Eng sudah sembuh, Bu Beng membuat obor dan sambil
memegang obor menyala ia memasuki gua ular itu. Cin Eng mencegah, tapi Bu Beng
mengatakan ia hanya ingin melihat apakah isi gua itu. Maka akhirnya Cin Eng
menyetujui juga. Sedang Hek Houw yang hendak ikut ditolaknya.
Dengan tangan kiri memegang obor dan tangan kanan memegang Hwee hong kiam, ia
memasuki gua itu dengan membongkok. Ternyata bahwa gua itu membelok ke kiri dan
dalam sekali. Bu Beng terus maju dan setelah membelok tiga kali ke kiri dan tiga
kali ke kanan, tiba-tiba ada angina meniup dan obornya padam! Bu Beng kaget
sekali. Ia siap menjaga dengan pedangnya, tapi tidak ada apa-apa, hanya
terdengar suara angina meniup dari depan tiada hentinya. Dengan heran Bu Beng
bertindak maju, ia dapat berjalan sambil berdiri lempang karena tempat itu makin
melebar. Kemudian setelah membelok sekali lagi ke kiri, ia lihat di depannya ada
cahaya terang menyinari dari atas memasuki gua, diiringi dengan masuknya angin
yang bertiup keras dan membuat obornya padam tadi. Kini mengertilah ia bahwa gua
itu merupakan sebuah sumur. Dan tepat dimana sinar itu masuk, ia melihat sebuah
pintu. Ketika daun pintu ditolaknya, ternyata tidak terkunci. Dengan hati hati
Bu Beng memasuki kamar itu. Pandangan pertma-tama yang menyambutnya membuat ia
kaget dan hamper berteriak. Sebuah kerangka ular yang besar sekali melingkar di
situ dengan kepala menghadap ke pintu dengan mulut terbuka lebar seakan-akan
hendak menggigitnya! Di dekat kerangka ular besar itu rebah sebuah kerangka
manusia. Dan sebuah pedang yagn aneh bentuknya tersangkut diantara tulang-tulang
di leher ular itu. Agaknya manusia yang kini sudah tinggal kerangkanya saja itu
dulu telah membunuh ular ini dengan menggunakan
pedang yang kini tersangkut di tulang leher ular. Bu Beng mengambil pedang itu
dan membolak-balikkannya. Gagang dan pedangnya menjadi satu, gagang merupakan
kepala ular dan ujungnya yang runcing merupakan ekornya. Di bagian leher, pedang
itu agak berlekuk-lekuk tapi dari batas perut sampai ke ekor lurus dan tajam
kanan kiri. Yang paling aneh, pedang itu berwarna merah. Di bagian kepala ,
yaitu gagangnya ada ukiran kecil tiga huruf yang berbunyi "Ang coa kiam" atau
pedang ular merah. Ketika ia memandang kearah rangka manusia itu, ia dapatkan sebuah sarung pedang
tergantung dengan tali di tulang pinggangnya. Ia ambil sarung itu yang ternyata
adalah sarung pedang istimewa untuk Ang coa kiam. Girang sekali hati Bu Beng
mendapat pedang pusaka ini, lalu digantungkannya pedang itu di pinggang dan ia
terus memeriksa keadaan kamar itu. Di sudut kamar terdapat dua peti kecil.
Hatinyaberdebar. Barang pusaka apa lagi yang berada disitu" Ia maju menghampiri
dan membuka peti pertama. Isinya hanya sebuah buku. Ketika ia membolak balik
lembaran kitab tua itu, ternyata bahwa yang dipegangnya adalah Ang coa kiamsut
Pit kip yakni Kitab Rahasia Ilmu Pedang Ang coa kiam! Di dalam buku terdapat
pelajaran ilmu pedang yang sangat aneh berikut lukisan tentang gerakan-gerakan
yang harus dibuat. Peti kedua ketika dibuka membuat mata Bu Beng menjadi silau.
Di dalamnya penuh dengan permata dan batu-batu giok yang indah dan tak ternilai
harganya. Ketika ia memeriksa, maka barang-barang itu merupakan perhiasan-
perhiasan kuno yang pantasnya hanya dimiliki oleh seorang permaisuri atau
keluarga raja. Bu Beng membawa dua peti itu dan hendak keluar gua. Tapi ketika ia memandang
kearah rangka manusia itu,
timbul rasa iba dalam hatinya. Bukankah manusia yang kini tinggal rangkanya itu
mungkin pemilik semua barang berharga yang terjatuh ke dalam tangannya" Sudah
sepatutnya ia membalas budi demikian besar itu. Maka ditaruhnya dua peti itu
kembali, lalu ia mengumpulkan tulang-tulang rangka, diikat dengan saputangan.
Setelah semua tulang terkumpul lengkap, baru ia bawa semua barang itu keluar
dari gua. Untuk jalan keluar biarpun ia tidak menggunakan obor dan keadaan
sangat gelap hingga tangan sendiri pun tak dapat terlihat, namun karena tidak
ada keragu-raguan dan kekhawatiran lagi, ia dapat merayap dan meraba-raba menuju
keluar. Cin Eng girang sekali melihat Bu Beng keluar dengan selamat. Ia tadinya sudah
sangat khawatir dan kalau bukan Hek Houw yang menghidburnya dan melarangnya
dengan alas an-alasan kuat, pasti ia tadi telah menyusul masuk! Alangkah
senangnya mendengar tentang pusaka yang didapatkan Bu Beng. Kemudian dengan
khidmat dan hati-hati mengubur rangka manusia itu di luar gua.
Ketika Bu Beng memeriksa lagi kitab ilmu pedang itu, di bagian belakang terdapat
tulisan yang indah kuat. "Ilmu pedang ini hanya boleh dipelajari di atas pulau
Ang coat ho sesudah dipelajari harus segera dijadikan abu." Bu Beng yang sangat
tertarik akan isi kitab dan ia telah yakin bahwa ilmu pedang itu betul-betul
hebat dan luar biasa sekali , segera mengajak Cin Eng turun bukit. Tapi ketika
ia menengok, Hek Houw telah lenyap dari situ! Berkali-kali Bu Beng memanggil-
manggil , tapi Hek Houw tidak ada. Bu Beng menjadi jengkel, dan terpaksa menunda
maksudnya turun bukit. Tadinya ia bermaksud tinggal di pondok dekat pantai itu
dan mempelajari kita ilmu pedang itu di atas pulau, tapi tak sampai hatinya
untuk meninggalkan Hek Houw turun gunung. Maka bersama Cin Eng mereka lalu masuk ke dalam gua kecil
sebelah kiri. Bu Beng mulai membaca dan mempelajari Ang coa kiamsut, sedangkan
Cin Eng pergi mencari buah-buahan sambil menikmati pemandangan indah pulau itu,
sekalian mencari Hek Houw.
Setelah menanti setengah hari lebih dan hari sudah menjadi sore, ternyata Hek
Houw belum juga kembali Bu Beng mulai khawatir kalau-kalau si dogol itu mendapat
bencana. Ia berkata kepada Cin Eng bahwa mereka terpaksa harus menanti sampai
besok. Cin Eng yang juga sayang kepada Hek Houw yang jujur dan setia, menyatakan
persetujuannya. Tapi tiba-tiba pada saat itu terdengar suara gemuruh dan mereka merasakan tanah
bergoyang hebat! Setelah tanah seakan-akan berayun-ayun beberapa lama hingga Cin
Eng menjadi takut dan memeganggi lengan Bu Beng dengan tubuh menggigil, maka
goncangan menjadi reda dan tanah kini hanya tergetar saja. Tapi suara gemuruh
masih saja terdengar. "Mungkin gunung ini hendak meletus," kata Bu Beng. Ia bawa dua peti kecil itu
dan menarik lengan Cin Eng. "Mari kita tinggalkan tempat ini. Berbahaya!" dan
sambil berlari-lari di atas tanah yang bergetar-getar mereka berdua turun
bukit., dikejar oleh suara gemuruh di belakang mereka. Biarpun melalui tempat
yang sudah mulai gelap, tapi karena dikejar rasa takut mereka tak
mempedulikannya sehingga akhirnya mereka dapat juga keluar dari hutan dan
akhirnya sampai juga mereka di tepi laut dengan napas terengah-engah. Mereka
merasa ngeri. Suara bergemuruh itu masih saja terdengar dari situ, tapi getaran
tanah hanya terasa sedikit. Mereka lalu menuju pondok buatan ayah Cin Eng dan naik, lalu
beristirahat. Demikianlah, hamper tiga bulan lamanya Bu Beng mempelajari ilmu pedan Ular Merah
itu dengan tekun dan rajin. Selama itu, Cin Eng tak mau mengganggunya, karena
gadis inipun maklum betapa calon suaminya sedang mempelajari sebuah ilmu pedang
yang ampuh. Ia sendiripun ingin sekali mempelajarinya, tapi ia piker bahwa kalau
iapun ikut belajar, maka tentu akan memakan waktu lebih lama lagi. Mengapa
terburu-buru" Masih banyak waktu baginya kelak untuk belajar dari Bu Beng! Maka
dengan pikiran itu, Cin Eng hanya melatih kepandaian sendiri dan tiap hari
mencari buah-buahan untuk makan mereka. Yang mengganggu ikran mereka ialah Hek
Houw. Pemuda hitam itu sampai sekarang belum kembali! Mereka merasa pasti bahwa
Hek Houw tentu sudah tewas. Diam-diam Bu Beng merasa sedih mengingat nasib
muridnya itu. Kasihan pemuda itu yang telah mengangkat guru padanya dan telah
membela dan mengantarnya sampai ke pulau Ular Merah sehingga berhasil yang
diusahakannya. Sedangkan sebagai balas budi, belum pernah ia mengajar silat
kepada muridnya itu. Setelah hafal betul semua pelajaran ilmu pedang di dalam kitab itu dan dapat
menangkap dasar-dasarnya dengan sempurna, Bu Beng lalu membakar kitab itu.
Kemudia ia berkata kepada Cin Eng.
"Eng moi, kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pulang."
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cin Eng mengangguk tapi wajahnya tampak sedih. Bu Beng maklum apa yang
mengganggu pikiran tunangannya.
"Apa boleh buat, Eng moi. Hek Houw agaknya memang sudah ditakdirkan harus
meninggal dunia di pulau ini. Sudah cukup lama kita menanti disini."
Cin Eng menghela napas. "Yang kuherankan , koko, setelah kita kubur rangka di
depan gua itu, tiba-tiba saja Hek Houw lenyap. Kemanakah gerangan ia pergi?"
Bu Beng mengangkat pundak. "Bagaimana kalau aku pergi keatas mencarinya?"
"Kurasa tiada gunanya dicari, kalau ia masih hidup tentu sudah lama ia dating
kesini. Tapi kurasa tiada salahnya kalau sebelum meninggalkan pulau ini, kita
naik sekali lagi dan mencoba mencari jejaknya," kata Cin Eng.
Tapi pada saat itu tiba-tiba Bu Beng memagang lengan Cin Eng dan berkata kaget,
"Eng moi, lihat!" Cin Eng menengok dan ia pegang lengan Bu Beng dengan hati
bedebar-debar. Dari atas bukit tampak seorang tinggi besar berlari secepat kilat. Gerakan orang
itu ringan dan cepat sekali hingga sebentar saja ia sudah berada di depat mereka
dengan muka tertawa senang.
"Hek Houw, kau?"" teriak Bu Beng girang sekali sambil memegang pundak orang itu.
Tapi lagi-lagi ia terkejut ketika terasa olehnya betapa pundak Hek Houw terasa
keras bagaikan besi dan mengandung tenaga tersembunyi yang kuat! "Eh, kau kemana
saja selama ini, Hek Houw?"
"Suhu .......aku , eh ...........aku .............hem ..." Hek Houw berkata gugup dan tak karuan.
"Hek twako, tenangkanlah dirimu. Kami menanti sampai berbulan-bulan tapi mengapa
kau tidak dating" Kemana sajakah kau, twako" Tanya Cin Eng yang juga merasa
gembira sekali dengan kembalinya Hek Houw.
"Kouwnio, aku girang sekali kalian selamat. Aku .....telah ....," kembali ia
berhenti dengan bingung. "Sudahlah, Hek Houw kalau kau tidak suka menceritakan, kamipun takkan
memaksamu," kata Bu Beng dengan suara menghibur. Mendengar kata-kata gurunya
ini, wajah Hek Houw makin merah dan bingung. Kemudian ia mengangkat dada dan
berkata dengan tetap. "Suhu sebetulnya teecu selama ini berada di dalam sebuah gua siluman."
Gua siluman?"" Hek Houw mengangguk, "Letak gua itu tak jauh dari gua ular. Ketika teecu melihat
suhu mendapatkan pusaka dari dalam gua, saya lalu nekat memasuki gua yang seram
itu. Dan di dalamnya. Selain setan-setan yang berkeliaran tanpa ujut, teecu
dapatkan sejilid kitab pelajaran silat yang telah teecu pelajari sampai habis!"
"lmu silat apakah Hek Houw" Tanya Bu Beng dengan girang dan ingin tahu.
Kembali Hek Houw ragu-ragu tapi sekali lagi pemuda hitam itu mengangkat dadanya
yang lebar dan kuat. "Ilmu
silat Ang coa koat kunhwat yang mempunyai tiga belas kali tiga belas gerakan!"
sehabis berkata demikian Hek Houw menggerakkan tubuh dan dengan cepat sekali ia
bersilat. Gerakan-gerakannya aneh membingungkan, tapi tiap pukulannya
mendatangkan suatu angina. Sungguh ilmu silat yang jarang ada di dunia ini. Bu
Beng dan Cin Eng kagum sekali. Dalam waktu tiga bulan saja pemuda hitam yang
kasar dan bodoh ini telah dapat memiliki ilmu silat yang dalam keadaan biasa tak
mungkin dapat ia pelajari selama sepuluh tahun. Seperti ketika mulai, Hek Houw
menghentikan permainan silatnya dengan tiba-tiba lalu ia tertawa gelak-gelak.
Seram sekali suara tawa ini hingga Bu Beng terpaksa memandang wajah muridnya
dengan pandangan ganjil. Juga Cin Eng tiba-tiba merasa takut melihat Hek Houw.
"Sudahlah, Hek Houw. Aku ikut girang sekali melihat peruntunganmu. Kurasa kini
kepandaian silatmu tak kalah denganku. Hayo kita berlayar dan pulang ke daratan
Tiongkok." "Benar, Hek Houw. Mari kita mengambil perahumu dan berlayar pulang," kata Cin
Eng. "Pulang" Perahuku" Ha ha ! kalian mau pakai perahuku" Ha ha ! perahuku bukan
untuk orang lain. Perahuku untukku sendiri. Ha ha ha."
Bu Beng dan Cin Eng saling pandang dan gadis itu merasa bulu tengkuknya berdiri.
Bu Beng memandang wajah Hek Houw dengan tajam dan ia merasa betapa sepasang mata
Hek Houw telah berubah sinarnya, tidak seperti tadi lagi. Mat itu kini terputar-
putar dan melirik ke kanan kiri dan sinarnya ganjil sekali. Juga bibir pemuda itu tertarik seakan-
akan menyeringai dan mengejek.
"HEK HOUW!" katanya tajam, tapi Hek Houw sudah mendahuluinya meloncat dan lari
ke tempat dimana ia menambatkan perahunya. Bu Beng dan Cin Eng mengejar. Hek
Houw yang sudah tiba disitu lebih dulu, menggunakan tangan kiri mengangkat
perahunya. Bu Beng kagum sekali melihat tenaga Hek Houw yang sudah maju
sedemikian hebat. Hek Houw dengan menyeringai mananti kedatangan mereka dan
kembali berkata. "Perahuku untuk aku sendiri. Orang lain tak boleh naik."
"Hek Houw, tapi aku gurumu!" kata Bu Beng.
"Guru" Ha ha ! Guruku ia iblis pulau Ang coat ho! Kalian jangan ganggu aku,
pergi! Sambil berkata demikian ia gunakan tangan kanannya mendorong Bu Beng. Bu
Beng segera menggunakan tangannya menangkis dorongan itu karena dari anginya ia
tahu betapa kuat tenaga dorongan Hek Houw. Dan ketika kedua tangan mereka
beradu. Bu Beng kena terdorong mundur beberapa tindak! Tapi Hek Houw sendiri
terhuyung dan melepaskan perahunya yang jatuh bedebuk di atas pasir pantai.
"Hek Houw, ingatlah! Kenapakah kau ini?"
"Kau orang jahat, orang jahat! Kau mau ganggu aku, murid raja siluman Ang coat
ho?" dan menyeranglah ia dengan hebat. Bu Beng mengelak cepat dan mereka segera
bertempur dengan hebat. Bu Beng harus berlaku hati-hati sekali, ternyata ilmu
silat Hek Houw benar-benar aneh dan liar hingga beberapa kali hampir saja ia
kena terpukul. Kalau lawannya bukan Hek Houw dan kalau ia tidak sudah tahu bahwa ada terjadi
sesuatu dengan pikiran dan bathin pemuda hitam itu, tentu Bu Beng sudah
menggunakan pedangnya. Ia tidak tega untuk menggunakan pedangnya terhadap Hek
Houw, tapi dengan tangan kosong saja, rasanya tak mungkin ia bias
menjatuhkannya! Gerakan-gerakan Hek Houw terlampau licin, sukar sekali dipukul,
jangan kata hendak ditangkap! Tapi tiba-tiba Hek Houw meloncat ke belakang
sambil berkata. "Kau orang jahat, kau terlampau kuat. Aku tiada waktu lagi, mau pulang. Pulang
ke kampong." Maka secepat kilat Hek Houw membungkuk dan sebelum tahu apa yang
hendak dilakukan pemuda itu, Bu Beng tiba-tiba melihat pasir menyambar dari
tangan Hek Houw menyerang mukanya. Ternyata pemuda hitam itu menggunakan pasir
sebagai senjata rahasia. Biarpun hanya pasir, tapi karena dilepas dengan cara
yang istimewa dan mengandung tenaga besar, pasir itu bukan tak berbahaya, lebih-
lebih jika dapat mengenai mata! Bu Beng cepat mengelak dan ketika ia memandang
lagi ke depan, ternyata Hek Houw sudah mengangkat perahunya dan lari ke laut.
"Kejar, koko!" teriak Cin Eng.
Tapi Bu Beng hanya menggelengkan kepala dan memungut sehelai kertas yang tadi
melayang keluar dari saku baju Hek Houw ketika pemuda hitam itu membungkuk untuk
mengangkat perahunya. Ia bolak balikkan kertas itu dan tiba-tiba berkata. "Eng
moi, lihatlah ini!" suaranya gemetar.
Cin Eng lari menghampiri dan ternyata kerta itu adalah sobekan kulit sebuah
kitab yang ada tulisannya demikian
"Ang coa koai kunhwat ini diturunkan kepada dia yang menemukannya. Dia boleh
mempelajarinya dan menjagoi di seluruh daratan, tapi jika dia ceritakan hal ilmu
silat ini kepada orang lain, dia terkutuk menjadi gila." Seperti juga bunyinya
yang ngeri, tulisan itupun seperti cakar ayam dan kelihatan jelek sekali, tapi
harus diakui bahwa yang menulisnya memiliki tenaga yang garang dan hebat.
Ketika Cin Eng memandang wajah tunangannya yang sedih dan kecewa, ia maklum
bahwa Bu Beng menyesali diri sendiri mengapa telah mendesak Hek Houw untuk
mengaku hingga mengakibatkan pemuda itu menjadi gila, terkena kutukan sumpah
iblis pengarang dan pencipta ilmu silat siluman ini! Ia memegang lengan Bu Beng
dengan halus dan berkata, "Koko, sudahlah jangan sedih. Kita lakukan itu tidak
dengan sengaja, siapa tahu bahwa Hek Houw telah mempelajari ilmu yang memakai
syarat demikian gila?"
Karena perahu satu-satunya telah dibawa minggat oleh Hek Houw terpaksa Bu Beng
menebang sebatang pohon siong besar dan dari batang itu ia membuat sebuah perahu
sederhana. Tapi karena ia tidak mempunyai kapal dan hanya bekerja dengan
menggunakan pedang, maka setelah memakan waktu lima hari barulah perahu buruk
dan sederhana itu selesai.
Maka berlayarlah Bu Beng dan Cin Eng, kembali ke daratan Tiongkok. Peti berisi
harta pusaka itu dibungkus dan ditaruhnya dalam pauwhok (ransel) yang tergantung
di punggungnya. Setelah mencapai daratan Bu Beng membeli dua ekor kuda dan
mereka meneruskan perjalanan pulang dengan jalan darat. Bu Beng memberikan
pedang Hwee hong kiamnya kepada Cin Eng dan ia sendiri menggantungkan Ang Coa kiam di
pinggangnya. Kebetulan sekali perjalanan mereka melalui kampong Lok leng chung dimana Lo Sam
di Pengemis Kecil Tongkat Wasiat tinggal. Ketika itu musim Chun telah menjelang
dating, maka teringatlah Bu Beng akan undangan Lo Sam untuk singgah di kapungnya
dan ikut menghadiri pesta ulang tahun ketiga belas dari perserikatan pengemis.
Ketika tiba di kampong itu, mudah saja baginya mencari alamat Lo Sam karena
Pengemis Kecil ini terkenal sekali. Berbeda dengan sebutannya dan pakaiannya
yang selalu penuh tambalan, tempat pusat perkumpulan itu merupakan rumah besar
sekali, biarpun tak dapat disebut mewah. Lo Sam menyambut Bu Beng dan Cin Eng
dengan girang. "Selamat dating, selamat dating!" si kate itu berulang-ulang berkata dengan
wajah berseri-seri. Disitu telah dating puluhan tamu yang terdiri dari orang-
orang kang ouw ternama, karena nama Lo Sam cukup berpengaruh dan dihormati.
Melihat para tamu itu memberi barang-barang sumbangan atau tanda hormat yang
diletakkan berjajar-jajar di atas meja, Bu Beng diam-diam mengeluarkan sebuah
perhiasan rambut permata dari kotaknya dan menaruhnya diatas meja sambil berkata
kepada Lo Sam. "Lo enghiong, kami tak dapat memberi apa-apa, harap barang kecil tak berarti ini
dianggap sebagai tanda hormat."
Tapi Lo Sam dan beberapa orang tamu yang berada di dekat situ memandang
perhiasan dengan mata terbelalak. Permata-permata itu mengeluarkan cahaya
gemerlapan yang warnanya macam-macam dan indah sekali, sungguh sebuah barang mustika yang
jarang terlihat orang! "Tapi .....tapi .... Bu Tahiap, barang ini tak ternilai harganya, aku pengemis hina
dan tua tak berani menerimanya," kata Lo Sam gugup.
Bu Beng tersenyum. "Apakah barang ini terlampau kecil dan tak berharga hingga
tak dapat diterima?"
"Oh, tidak, tidak ! ah .............serba susah, biarlah, kuterima Bu tahiap, terima
kasih," akhirnya Lo Sam berkata sambil memegang dan memutar-mutar barang itu di
tangannya dan berkali-kali mnghela napas. Ia dapat menaksir bahwa barang itu
sedikitnya berharga sepuluh ribu tail.
Makin lama makin banyaklah tamu-tamu yang dating. Diantaranya tampak Kim Kong
Tianglo yang segera memeluk sutenya dan mengobrol dengan gembira. Bu Beng
menceritakan pengalamannya dengan singkat kepada suhengnya tercinta itu. Juga
hadir disitu Sim Boan Lin dan Sim Tek Hin, Lui Im dan Ang Hwat Tojin! Sim Boan
Lip dan puteranya memberi hormat kepada Bu Beng, agaknya mereka sudah mengubah
adapt hingga diam-diam Bu Beng merasa girang.
Lui Im merasa gembira sekali dapat bertemu kembali dengan Bu Beng. Sedangkan Ang
Hwat Tojin yang dating bersama susioknya yang usianya hampir sebaya dengan ia
sendiri agaknya tak suka memandang kepada Bu Beng. Ia rupa-rupanya merasa
sombong karena ditemani susioknya yang terkenal bernama Pauw Hun Lin dengan
julukan Naga Ekor Sepuluh! Pauw Hun Lin adalah seorang
saudagar kaya raya dank arena ilmu silatnya tinggi, maka ia terkenal di kalangan
kang ouw hingga menerima undangan dari Lo Sam pula. Kini Pauw Kauwsu ini datang
membawa sumbangan berupa arca Budha dari batu giok yagn indah dan mahal. Dulu
sebelum menjadi guru silat, hingga orang-orang memanggil dia Pauw Kauwsu.
Pauw Kauwsu duduk semeja dengan Ang Hwat Tojin, Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin.
Sedangkan Bu Beng dan Cin Eng ditemani Kim Kong Tianglo dan Lui Im. Lo Sam
sendiri sebagai tuan rumah melayani para tamu kesana kemari, mengisi arak dan
menawarkan hidangan, kadang-kadang keluar menyambut datangnya tamu-tamu baru.
Para pelayan semua terdiri dari pemuda-pemuda tegap berbaju baru. Tapi baju
mereka ini semua penuh tambalan! Karena hidangan yang dikeluarkan serba mewah
dan nikmat, maka keadaan disitu agak ganjil, yakni jembel dan mewah bercampur
aduk. Tiba-tiba dating tamu baru terdiri dari lima orang. Banyak tamu yang melihat
mereka masuk segera berdiri dan memberi hormat, Lo Sam sendiri menyambut mereka
dengan hormat sekali, bahkan semua orang-orang di meja Ang Hwat Tojin bangun
berdiri dan Pauw Hun Lin segera menghampiri tamu baru itu dan memberi hormat
yang dibalas oleh kelima orang itu dengan hormat pula.
Melihat banyak orang menyambut kedatangan mereka, kelima orang itu mengangkat
dada dengan sikap jumawa sekali, kemudian yang tertua diantara mereka
mengeluarkan beberapa potong emas dan memberikannya kepada Lo Sam sebagai
sumbangan. Bu Beng sejak tadi memperhatikan mereka dengan hati tertarik dan menduga-duga
siapakah kelima orang yang berpengaruh itu. Tiba-tiba Cin Eng memegang lengan
kirinya dengan keras dari bawah meja. Pun Kim Kong Tianglo tampak terkejut dan
segera berbisik padanya. "Merekalah Ngo Houw dari Tiang san."
Sementara Cin Eng berbisik. "Koko, mereka inilah pembunuh-pembunuh ayah ibuku!"
suara Cin Eng bercampur isak dan kedua matanya mengeluarkan sinar marah. Gadis
itu tak dapat menahan hatinya dan hendak mencabut Hwee hong kiamnya. Tapi baru
saja ia meraba gagang pedangnya, Bu Beng memegang tangannya dan berkata.
"Eng moi, sabarlah. Kita harus menghormati Lo Sam lo enghiong dan jangan
membikin kacau pestanya yang berarti menghinanya. Masih banyak waktu membalas
dendam di luar tempat ini."
Mendengar alas an kekasihnya yang penuh cengli ini terpaksa Cin Eng duduk
kembali dan menahan perasaan marahnya. Ia hanya memandang kearah Lima Harimau
dari Tiang an itu dengan mata menyala. Kim Kong Tianglo membenarkan pandangan Bu
Beng dan ikut membujuk agar gadis itu bersabar.
Sementara itu, karena ajakan Pauw Hun Lin , Lima Hariamau dari Tiang an itu
duduk semeja dengan mereka. Sebentar saja di meja mereka terdengar suara tertawa
gembira dan mereka makan minum penuh kegembiraan.
Ngo houw dari Tiang an berusia rata-rata diantara tiga puluh sampai empat puluh
tahun. Mereka bukanlah kakak beradik tapi saudara seperguruan yang membuka
sebuah piauw kiok atau kantor ekspedisi pengantar barang. Mereka terkenal sekali
dengan ilmu golok cabang Gobi karena sebenarnya Ngo houw ini adalah murid-murid
dari Hok seng Hwesio seorang tokoh cabang Gobi, saying sekali lima saudara ini
beradat sombong dan takabur. Mereka menganggap diri mereka hiapkek atau
pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan mereka membasmi semua penjahat tanpa
pilih bulu. Maka semua perampok dan bajak sangat takut kepada jago-jago dari
Tiang an ini. Dan Liu Pa San, ayah Cin Eng, biarpun ia seorang maling budiman,
tapi ketika bertemu dengan mereka ini, tidak diberi ampun lagi.
Tiba-tiba Bu Ong, jaga tertua dari Tiang an itu setelah menghirup habis secawan
arak, berkata sambil tertawa kepada Lo Sam yang berada di meja mereka untuk
melayani. "Lo enghiong, pesta ini cukup menyenangkan. Tapi saying sekali ada
beberapa orang dari golongan rendah ikut menyelundup masuk mengotorkan pesta
ini." Lo Sam terkejut mendengar omongan ini. "Eh, kau main-main, sicu. Semua yang
hadir disini adalah kenalan-kenalanku. Orang-orang kang ouw yang terhormat."
Bu Houw, jago kedua, mengeluarkan suara ejekan dari hidung.
"Hm, lo enghiong hendak menyamakan kaum maling dan anak maling itu termasuk
orang-orang terhormat?"
"Maling" Anak maling" Siapa yang sicu maksudkan ?" Tanya Lo Sam dengan heran.
"Ha, ha, ha ! ada maling di depan mata masih belum tahu!" Bu Ong tertawa dan
menggunakan sebatang sumpit menusuk sepotong paha ayam dan sekali menggerakkan
jarinya, paha ayam itu terlepas dari ujung sumpit bagaikan anak panah dan
menyambar kearah wajah Cin Eng! Nona ini marah sekali dan hendak menusuk daging
itu dengan sumpitnya, tapi Bu Beng mendahuluinya dan menggerakkan tangan, daging
itu terbang kembali kearah muka Bu Ong dengan kecepatan dua kali lipat daripada
datangnya tadi! Bu Ong terkejut dan terpaksa menangkis daging yang hendak
menghantam mukanya ini dengan tangan, tapi malang sekali bagi Bu Liong jago
keempat yang duduk disebelahnya dan masih tertawa karena lagak suhengnya tadi
hingga daging itu dengan tak tersangka-sangka menyambar cepat dan tepat memasuki
mulutnya yang masih terbuka. Tentu saja ia menjadi gelagap.
Terdengar suara ketawa di meja Bu Beng, karena Lui Im , Kim Kong Tianglo dan Cin
Eng tak dapat menahan geli hatinya dan tertawa gembira. Kelima saudara Bu itu
marah sekali dan Bu Ong meloncat berdiri sambil memaki.
"Maling dan anak maling, saying tempo hari kami tak sempat membasmi kalian.
Kebetulan sekali hari ini kalian berani memperlihatkan muka, pasti taiyamu tak
dapat memberi ampun padamu."
"Bangsat kurang ajar! Memang kami sengaja mencari-carimu untuk membalas dendam
ayah ibuku" Sekarang kita sudah ketemu jangan harap kau akan hidup lebih lama
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi!" Lo Sam berdiri kebingungan melihat ini. Bu Beng segera menarik tangan Cin Eng
dan berkata kepada Bu Ong dan kawan-kawannya. "Kalian disebut Ngo Houw dari
Tiang an yang sudah tersohor sebagai orang-orang gagah. Tapi mengapa kalian
tidak kenal perikesopanan" Kita harus menghormati Lo Sam enghiong dan jangan
membikin rebut di pesta ini. Kalau kalian memang laki-laki, mari kita keluar!".
"Eh, eh, setan kecil, siapa kau berani ikut campur?"
"Dia ....... ...dia adalah Bu Beng Kiamhiap, mari kuperkenalkan," Lo Sam mencoba
mendamaikan mereka karena ia sebenarnya tak tahu sebab musabab permusuhan mereka
ini. "Hm , pantas sombong sekali, kiranya bu beng siauwcut! Kau kira kami takut
padamu?" "Jangan banyak mulut! Kalau memang berani, hayo keluar!" teriak Cin Eng marah.
"Ha, ha, galak benar si manis ini, berikan saja padaku twa suheng," kata Bu
Kiat, jago yang termuda dan yang terkenal mata keranjang. Bu Ong hanya tertawa.
Bu Beng , Cin Eng, dan Kim Kong Tianglo sudah tak sabar lagi, mereka meloncat
keluar dari pekarangan itu dan menanti di luar setelah menjuru kepada Lo Sam.
Kelima Macan dari Tiang an ikut keluar. Tentu saja menghadapi pertempuran yang
paasti ramai dan menarik hati, semua tamu ikut keluar dengan makdus menonton,
karena mereka semua terdiri dari para ahli silat. Maka kosonglah tempat pesta
itu. Bu Beng memberi pesan kepada kawan-kawannya
untuk tinggal diam karena ia hendak melawan sendiri kelima jago itu. Ia berdiri
menanti dengan pedang Ang coa kiam di tangan dengan sikap tenang sekali,
Tapi, baru saja kelima harimau Tiang an itu tiba disitu, tiba-tiba dari tempat
yang gelap keluar seorang tinggi besar yang langsung menubruk dan menyerang
mereka! Tentu saja hal ini sangat mengherankan orang. Gerakan-gerakan penyerang
itu gesit dan aneh sekali, sedangkan tenaganya besar. Ketika orang memperhatikan
dia ternyata ia adalah seorang muda yang berpakaian compang-camping dan
rambutnya terurai kesana kemari tak terurus sama sekali! Ia kelihaan seram
sekali hingga kelima saudara Bu terkejut dan marah. Melihat orang itu bertangan
kosong, maka Bu Ong mencabut goloknya dan menyerang.
"Hek Houw ! jangan ikut campur!" teriak Bu Beng yang segera mengenal pemuda itu.
Demikian juga Cin Eng berseru. "Hek twako, jangan!"
Tapi Hek Houw tak memperdulikan mereka. Lalu dengan tertawa haha hihi ia balas
menyerang dengan buas! Segera kelima saudara itu mengeroyok Hek Houw karena
mereka segera mengetahui bahwa pemuda gila itu hebat sekali. Tubuhnya bergerak-
gerak aneh dan meloncat kesana kemari diantara sambaran lima batang golok yang
dimainkan hebat tapi yang sama sekali tak berdaya seakan mengeluarkan sambaran
angina menolak datangnya bacokan golok, bahkan pemuda itu mengeluarkan serangan-
serangan berbahaya diiringi suara ketawa ha ha hi hi yang menyeramkan. Keadaan
genting dan seram hingga semua orang memandang dengan hati tegang berdebar-
debar. Bahkan Cin Eng sendiri merasa tegang dan memegang lengan Bu Beng dengan
keras. Tiba-tiba, Hek Houw tertawa keras dan berkata. "Kudengar tadi kalian Harimau
Tiang an " kalau begitu biarlah aku mewakili suhu dan kouwnio membunuh kalian!"
lalu ia mempercepat gerakannya dan tiba-tiba Bu Kiat menjerit ngeri. Orang-orang
hanya mendengar suara "pletak!" dan melihat Bu Kiat terlempar jatuh tak
berkutik, kepalanya pecah! Terdengar Hek Houw tertawa seranm, lalu ia bergerak
lagi, kini Bu Bouw mendapat giliran terlempar dan jatuh tak berkutik. Tiap kali
merobohkan seorang lawan, Hek Houw tertawa terbahak-bahak dan sebentar saja lima
Harimau Tiang an itu menggeletak diatas tanah tak berkutik!
"Hek Houw," Bu Beng memanggil lagi.
'Ha ha ha ! suhuku dan kouwnio akan puas kali ini!" rupanya pemuda gila itu
tidak mengenal lagi kepada Bu Beng.
"Hek Houw twako!" Cin Eng maju memanggil tapi Hek Houw memandangnya aneh, lalu
pemuda itu meloncat ke tempat gelap dan menghilang hanya suara ketawanya masih
terdengar sayup-sayup menyeramkan hati! Ketika semua orang memeriksa, ternyata
lima harimau Tiang an itu telah mati semuanya. Tiga orang pecah kepala dan yang
dua tulang iganya patah-patah. Diam-diam Bu Beng kagum dan terkejut menyaksikan
kehebatab ilmu silat Hek Houw.
Lo Sam dengan suara bentakan keras memerintahkan anak buahnya merawat lima mayat
itu dan ia persilakan semua tamunya kembali duduk dan minum arak. Diam-diam Lo
Sam mendekati Bu Beng dan bertanya. "Bu Beng
taihiap siapakah pemuda hebat yang kau sebut Hek Houw tadi?"
"Ia .........adalah ..........."
"Muridnya !" menyambut Cin Eng dengan bangga. Gadis itu merasa bangga dan
gembira sekali karena musuh ayah - ibunya telah terbunuh semua dengan cara yang
memuaskan. Mendengar keterangan ini, Lo Sam memandang Bu Beng, dengan heran sekali,
demikian juga Kim KongTianglo.
"Kau mempunyai murid sehebat itu , sute" Tanya Kim Kong Tianglo.
Bu Beng hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala sehingga Kim Kong
Tianglo maklum bahwa pemuda itu tak hendak memberi keterangan di depan orang
banyak, maka ia diam saja.
Tiba-tiba seorang anak buah perkumpulan pengemis itu berlari-lari mendatangi dan
berkata kepada Lo Sam. "Celaka suhu, celaka Arca Giok pemberian Pauw Hun Lin
tadi lenyap dicuri orang!"
Semua orang tercengan mendengar ini, lebih lebih Pauw Hun Lin si Naga Ekor
Sepuluh. Ia berdiri dan berkata keras. "Siapa yang begitu kurang ajar dan berani
main-main dengan aku" Matanya yangbundar dan lebar melirik-lirik ke kanan kiri
dan alis matanya yang tebal seakan-akan berdiri. Tiba-tiba Sim Boan Lip berdiri
dan mendekat Pauw Hun Lin. Lalu berbisik perlahan. Pauw Kauwsu segera tujukan
pandangan matanya kepada Bu Beng dan ia berkata kepada Lo Sam, "Lo enghiong,
kuharap suka periksa bungkusan Bu Beng Kiamhiap, karena ada yang melihat bahwa
dia dan kawannya yang mencuri arca Giok itu."
Tidak hanya Lo Sam yang sangat terkejut mendengar ini, bahkan Bu Beng sendiri
merasa seakan dismbar petir. Ia marah dan mendongkol sekali. "Pauw lo enghiong
jangan sembarangan menuduh orang!"
Cin Eng yang juga merasa sangat marah mendengar betapa kekasihnya dihina, segera
mengambil bungkusan Bu Beng yang tadi ketika terjadi pertempuran, diletakkan di
atas meja. Ia buka ikatan buntalan itu sambil berkata, "Ini, saksikan sendiri,
siapa yang sudi mengambil barang macam ....!" Tiba-tiba ia menghentikan kata-
katanya dan dengan mata terbelalak dan mulut ternganga memandang ke dalam
bungkusan. Ternyata arca budha itu benar-benar berada dalam bungkusan Bu Beng!
Melihat hal ini Bu Beng merasa heran sekali dan Pauw Hun Lin tertawa menyindir,
"Hm, dasar maling. Kalau begitu benar juga ucapan lima saudara dari Tiang an
tadi bahwa kalian ini tak lain hanya maling-malaing rendah saja!"
Dengan sekali ayun tubuh Bu Beng meloncat beberapa buah meja dan berdiri di
depan Pauw Hun Lin. "orang tua, jangan kau menghina sekali! Kau sendiri tadi
melihat aku pergi keluar menghadapi lima pengacau itu. Bagaimana aku bias
mengambil barangmu" Tentu ada orang yang memfitnah!" dan ia pandang wajah Sim
Boan Lip dengan tajam. "Alasan belaka! Akal maling rendah! Kau benar keluar, tapi siapa tahu ketika
semua orang ikut keluar, kesempatan itu digunakan oleh kawan-kawanmu maling yang
lain?". "Pauw kauwsu! Sampai dimanakah tingginya kepandaianmu maka kau begitu sombong?"
kata kata ini mengandung tantangan, maka tentu saja Pauw Hun Lin merasa marah.
"Ha, memang sudah kudengar dari Ang Hwat Tojin bahwa kau mempunyai sedikit
kepandaian dan menjadi sombong karenanya. Mari kita boleh coba-coba sebentar!"
Pauw Hun Lin lalu meloncat ke ruangan yang agak lebar. Bu Beng yang merasa marah
sekali segera mengejar. Mereka salingberhadapan dan memasang kuda-kuda ketika Lo
Sam berseru, "Tahan!"
Dengan sekali loncatan pengemis pendek itu sudah berada di antara kedua jago
yang hendak mengukur tenaga masing-masing itu.
"Pauw enghiong," kata Lo Sam, "Janganlah mendesak Bu Beng taihiap. Karena aku
sendiri berani menanggung bahwa bukan Bu Beng taihiap yang mengambil barang
itu." "Hm, begitu" Tapi mengapa arca itu bias masuk ke dalam bungkusannya?" Tanya Pauw
Hun Lin. "Dalam hal ini pasti ada tukang fitnahnya!" jawab Lo Sam.
"Hm, kau sebagai tuan rumah ternyata berat sebelah. Lo Enghiong ! biarlah , aku
memang hendak mencoba kepandaian anak muda ini dan kalau bias mengajar adapt
padanya." "Aku melarangnya. Pauw kauwsu. Aku tuan rumah dan aku tak suka orang merusak
pestaku ini!" "Kalau aku tetap hendak menghajarnya , kau mau apa?"
Lo Sam agak marah mendengar ini. "Pauw kauwsu! Kau adalah tamu undanganku, dan
aku tuan rumah tempat ini mengerti" Sebagai tamu kau harus tunduk kepada
peraturanku. Pendknya jangan berkelahi atau kalau tidak lebih baik kau keluar
saja dan bawalah lagi pemberianmu itu!" Lo Sam benar-benar marah karena merasa
dihina dan tak dihargai oleh kauwsu itu.
"Ha, ha agaknya kau dudah sekongkol dengan maling-maling itu. Kau sendiri
memerlukan hajaran pengemis rendah!"
Mendengar ini, Lo Sam berseru marah dan ia segera menyerang! Maka bertempurlah
kedua orang tua itu, Bu Beng tahu akan kepandaian Lo Sam, tapi ia terkejut
sekali ketika melihat bahwa sebentar saja Lo Sam terdesak mundur oleh pukulan-
pukulan Pauw kauwsu yang benar-benar hebat! Tiba-tiba Lo Sam mloncat jauh ke
sudut ruangan dan tahu-tahu ia sudah mengambil tongkatnya.
"Untuk memukul anjing aku harus menggunakan tongkatku!" katanya.
"Ha, ha, ha ! bagus memang aku ingin sekali mencoba tongkat wasiatmu!" kata Pauw
kauwsu dengan sombong sambil mencabut pedang.
Bu Beng pernah bertempur melawan Lo Sam dan tahu bahwa ilmu permainan tongkat
dari pengemis ini benar- benar hebat dan boleh dikatakan setingkat dengan permainan pedang yang ia
pelajari dari Hun San Tojin, gurunya. Maka ia berpikir kali ini Lo Sam pasti
menang. Tapi di luar dugaannya, orang she Pauw itu benar-benar hebat hingga
pedangnya dapat melayani ilmu tongkat Lo Sam dengan baik sekali, bahkan agaknya
lebih unggul! Lo Sam mengeluarkan ilmu tongkatnya Pat kwa mui yang gerakan-
gerakannya sangat hebat serta berubah-ubah jurusannya dari delapan penjuru. Tapi
ilmu pedang Pauw kauwsu tidak kalah hebatnya dan dapat mengatasi ilmu tongkat
lawan. Lama-lama Bu Beng tahu bahwa biarpun dalama permainan senjata LoSam tidak
kalah banyak, namun pengemis kate ini kalah tenaga, maka menjadi terdesak
mundur. Bu Beng mencabutpedang dan menggerakkan pedang ular merah diantara kedua orang
yang sedang bertempur itu. Mereka melihat sebuah sinar merah panjang berkilat
menyilaukan mata , maka masing-masing menarik senjata dan meloncat mundur.
Bu Beng menjuru kepada Lo Sam. "Lo enghiong, biarlah siauwte melawan orang
sombong ini, karena sebenarnya siauwtelah yang ia kehendaki. Siauwte tidak suka
membiarkan lo enghiong mewakili siauwte yang muda."
"Bagus Bu Beng siauwcut, majulah!" Pauw kauwsu menantang dan tanpa banyak kata
lagi ia mengayunkan pedangnya menyerang! Bu Beng yang merasa marah sekali kepada
orang she Pauw yang kasar itu, segera memutar Ang coa kiamnya dan melakukan
serangan bertubi-tubi dengan menggunakan ilmu pedangnya yang baru dan luar biasa
yaitu Ang coa kiamsut! Pedang Ang coa kiam adalah pedang mustika yang hebat sekali ketajamannya dan
merupakan senjata ampuh, apalagi dimainkan dalam tangan Bu Beng yang memiliki
kepandaian tinggi. Untunglah Pauw kauwsu juga menggunakan sebuah pedang pusaka,
yaitu How kiam. Tapi menghadapi permainan pedang Ang coa kiamsut yang belum
pernah dilihat seumur hidupnya, bahkan belum pernah didengarnya, ia menjadi
bingung sekali. Pedang Bu Beng yang membentuk ular merah itu berkilat-kilat
merupakan sinar merah menyambar-nyambar hingga menyilaukan mata. Gerakan-
gerakannya demikian aneh dan mempunyai tenaga mujijat. Sebenarnya Ang coa
kiamsut memang luar biasa. Ilmu pedang ini mempunyai empat macam gerakan,
memutar, menempel, mengait dan membabat. Jika Bu Beng menggunakan gerakan dan
tenaga memutar, maka pedangnya dapat terputar dan ujungnya seakan-akan merupakan
ekor ular yang melilit pedang lawan hingga lawan merasakan tangannya tergetar
dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan. Jika menempel, maka pedang ular
merah itu seakan-akan besi sambrani yang menempel pedang lawan hingga lawan
sukar menggerakkan atau menarik pedangnya. Demikian juga pedang itu dapat
digunakan untuk mengait atau mencongkel pedang lawan, karena dengan membalikkan
telapak tangan dengan tiba-tiba, ujung Ang coa kiam dapat mengarah nadi orang
dan menarik pedang lawan. Sebaliknya digunakan untuk membabat, maka gerakan ini
bukanlah asal membacok saja, tapi dapat diubah membacok terus menerus, membacok
lagi dan selalu berubah-ubah tak terduga.
Pauw Hun Lin yang selama hidupnya belum pernah menghadapi permainan pedang macam
ini, baru belasan jurus saja menjadi bingung dan pening. Ia hanya dapat
memutar-mutar pedangnya menutupi tubuh agar jangan sampai temakan oleh pedang
ular merah itu, tapi sedikitpun ia tidak kuasa menyerang!.
Bu Beng yang tak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Pauw kauwsu tidak ingin
melukainya, hanya ingin mempermainkan dan mengajar adapt saja. Tapi pemuda
inipun merasa terkejut dan gembira sekali melihat betapa ilmu pedang baru yang
dimilikinya itu bisa begitu hebat. Sama sekali di luar dugaannya. Semua tamu
yang melihat kehebatan Bu Beng, diam-diam meuji dan kagum. Juga Lo Sam sangat
heran melihat permainan Bu Beng yang asing dan aneh.
"Ah, sungguh hebat anak muda ini, baru beberapa lama berpisah, telah memiliki
kepandaian yang demikian hebat dan demikian pesat pula kemajuan yang
dicapainya!" pikirnya.
Pada saat itu, Cin Eng yang sejak tadi heran melihat Kim Kong Tianglo tidak
berada disitu lagi, tiba-tiba melihat suhengnya itu dating dari depan berlari-
lari dan segera menghampiri mereka yang sedang bertempur.
"Sute, tahan pedangmu!"
mendengar suara suhengnya. Bu Beng menahan serangannya dan meloncat mundur. Pauw
kauwsu juga menghentikan putaran pedangnya dan memandang Kim Kong Tianglo dengan
napas terengah-engah dan keringat membasahi jidat.
"Sute aku sudah tahu orang yang melakukan fitnah ini. Pauw kauwsu kau memang
terburu napsu. Orang telah
berlaku curang dan sengaja mengadu kau dengan suteku," Kim Kong Tianglo lalu
menarik tangan seorang anggota perkumpulan pengemis yang tadi ia ajak berlari
kesitu. "Coba ceritakan apa yang kau lihat tadi!"
Dengan mata memandang kepalanya, anak buah itu berkata.
"Ketika semua orang keluar tadi untuk menonton pertempuran maka siauwte lihat
kedua tuan ini mengambil arca dari atas meja. Siauwte kaget sekali dan makin
merasa heran ketika mereka memasukkan arca itu ke dalam bungkusan Bu Beng
Kiamhiap!" sambil berkata demikian ia menunjuk kearah Sim Boan Lip dan Sim Tek
Hin yang berdiri dengan wajah pucat.
"Kau" Eh, mengapa ...........bagaimana pula ini" " kata Pauw kauwsu samil memandang
wajah Sim Pangcu dan puteranya itu.
"Tak usah heran, Pauw kauwwsu," kata Bu Beng tersenyum, "Mereka ini pernah
melakukan kejahatan tapi berhasil saya halag-halangi, dan mungkin kini hendak
membalas dendam. Ternyata mereka pengecut sekali dan tak berani membalas sendiri
maka lalu menggunakan tanganmu hendak mencelakakan aku!"
"Betulkah ini" Kalian yang melakukan perbuatan terkutuk ini?" bentak Pauw kauwsu
kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin. Sim Pangcu diam saja tunduk, tapi SIm Tek
Hin segera mengangkat dada dan berkata keras.
"Betul, memang kami ingin melihat Bu Beng yang sombong ini terjatuh dalam tangan
Pauw kauwsu. Tapi kami keliru memilih jago!" kata kata ini dianggap lucu dan terdengar suara tawa
ditahan dari sana sini. Pauw Hun Lin merasa marah sekali dan pedangnya segera
berkilat menyerang ayah anak itu! Serangan ini tak terduga sama sekali, hingga
Sim Boan Lip kena terbacok lehernya dan sekali berteriak ngeri orang tua itu
jatuh mandi darah dan mati disaat itu juga! Sim Tek Hin berseru keras dan
menggunakan pedangnya menyerang Pauw kauwsu. Tapi sekali bergerak Pauw kauwsu
dapat menendang pemuda itu hingga terlempar jauh dan Pauw kauwsu yang sudah
gemas dan marah itu meloncat mengejar dan mengayunkan pedangnya. Tapi tiba-tiba
pedangnya tertahan oleh pedang lain yang bersinar merah. Ternyata Bu Beng yang
mencegahnya. "pauw kauwsu tak perlu ditambah dengan pembunuhan kedua! Ampuni saja Sim Tek Hin
ini. Ia masih muda masih banyak waktu baginya untuk mengubah wataknya yang
buruk!" Pauw kauwsu memandang kepada Tek Hin yagn sudah berdiri dengan meringis
kesakitan, dan Pauw kauwsu membentaknya dengan keras. "Tidak minggat dari sini
mau tunggu apa lagi?"
Sim Tek Hin dengan air mata mengucur mengangkat mayat ayahnya dan pergi dari
situ dengan kepala tunduk. Dengan cegahannya ini ternyata Bu Beng seperti juga
mencegah orangmembasmi seekor binatang buas dan ia mendatangkan bencana kepada
diri sendiri, karena Sim Tek Hin ini merupakan bencana besar di hari kemudian
bagi rumah tangganya. Pauw Hun Lin segera menyatakan maafnya kepada Bu Beng dan memuji pemuda itu
dengan kagum sekali. Bu Beng merendahkan diri dan mereka lalu bicara dengan
gembira sekali. Semua tamu makan minum pula dengan gembira sampai jauh malam.
Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Pauw Hun Lin yang merasa malu karena sikap dan tindakannya yang tak
menyenangkan tadi, segera menyatakan maaf kepada Lo Sam dan mengajak ANg Hwat
Tojin meninggalkan tempat itu karena ia merasa betapa semua mata memandangnya
dengan penuh penyesalan. Kemudian Bu Beng dan Cin Eng diajak oleh Kim KOngTianglo pergi ke Liong San. Kim
KongTianglo memberi nasehat kepada mereka untuk melangsungkan perkawinan disitu.
Mereka setuju dan perkawinan dirayakan dengan sederhana diatas gunung itu,
dengan dikunjungi oleh para penduduk kampong yang dekat dengan tempat itu.
Sepasang pengantin yang saling mencina itu hidup dengan penuh kebahagiaan diatas
bukit, tiap hari menikmati tamasya alam dan menghirup hawa pengunungan yang
bersih dan segar. Kim Kong Tianglo membujuk agar Bu Beng dan istrinya suka tinggal saja di Liong
San dan menggantikan kedudukan suhu mereka, karena Kim liong pai sekarang tidak
ada bengcunya kagi. Suheng ini mengharap agar Bu Beng dapat menghidupkan cabang
perguruan silat mereka kembali untuk menjunjung nama Kim Liong pai sebagai
pembalas jasa terhadap Hun San Tojin, guru mereka yang tercinta.
Kemudian Kim Kong Tianglo pergi untuk mengambil kedua muridnya, yaitu adaik dari
Cin Eng, putera puteri dari Hun Gwat Go, Liu Cin Han dan Liu Cin Lan. Kedua
saudara ini tadinya dititipkan dalam sebuah kelenteng dimana seorang kawan Kim
Kong Tianglo menjadi ketuanya. Sudah tentu Cin Han dan Cin Lan girang sekali
bertemu kembali dengan cici mereka, Cin Eng, hingga mereka bertiga bepelukan
sambil menangis karena terharu dan girang. Kedua anak ini seterusnya tinggal
bersama dengan cici dan cihu mereka, dan mereka berdua belajar silat dengan
rajinnya di bawah pimpinan Cin Eng dan Bu Beng. CIn Eng sendiri mempelajari Ang
coa kiamsut dari suaminya hingga tak lama kemudian ia juga paham sekali ilmu
pedang yang luar biasa ini.
Dua tahun kemudian, Cin Eng melahirkan sepasang anak kembar laki perempuan yang
diberi nama Kim Lian dan Kim San. Demikianlah, Bu Beng anak yatim piatu yang di
waktu kecilnya hidup sengsara dan penuh penderitaan itu, kini hidup beruntung
dengan istrinya yang mencinta, kedua anaknya yang lucu dan mungil, serta kedua
adik yang cerdik dan menurut semua petunjuknya. Karena memenuhi pesan suhengnya
yang pergi merantau. Bu Beng menerima beberapa orang murid dan hidup sebagai
petani diatas gunung Lion San dengan aman dan damai.
TAMAT Renjana Pendekar 8 Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D Keris Pusaka Sang Megatantra 7