Bujukan Gambar Lukisan 4
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 4
tetamu. Dia lantas menyambut dan mengundang masuk.
Tiong Hoa menurut, ia masuk kedalam.
"Sia uwjie, apa ada kamar?" tiba-tiba pelayan itu
mendengar selagi ia menyuguhkan teh kepada tetamunya itu.
Panggilan itu merdu terdengarnya. "Ada Ada." dia menjawab
Cepat seraya lari keluar.
Segera juga Lie Tiong Hoa melihat berkelebatnya sebuah
tubuh yang lincah, yang diikuti dengan siuran angin yang
harum. Tapi ia tidak memperhatikannya, ia berbangkit dan
bertindak keluar. Dijalan besar ini ada banyak orang mondar-mandir, ia
lantas melihat Hiong Hoei piauw Kiok, yang terpisahnya dari
Thian siang Kie cuma selepasan dua anakpanah.
Ia bertindak mendekati ia mendapat kenyataan pintu
piauwkiok dikunci dan di sini tidak ada orang yang menjaga
atau orang yang sikapnya mencurigai. ia lantas kembali ke
hotel Thian siang Kie. Ketika ia sampai. ia melihat seorang
nona berdiri di depan pintu,
Nona itu beralis lentik, bermata jeli dan kulitnya putih,
kedua belah pipinya dadu, Kaki
nona itu lagi mengetuk-ngetuk lantai perlahan.
Ketika itu ada seorang laki-laki berjalan keluar dari dalam
hotel.Dia rupanya ceriwis dia membentur si nona.
"Plok" demikian satu suara dan muka orang itu merah dan
panas, setelah dibentur itu, tangan si nona melayang ke samping
dan mampir dipipi orang itu, seorang muda usia kira dua
puluh tahun mukanya menandakan dia orang bangsa sesat
punggungnya menggondol sebatang gedang.
Dia terhuyung karena tamparan itu, lantas dia menoleh,
melengak memandang si nona. si nona sendiri mengawa si
dengan romannya dingin- Tiong Hoa menghentikan tindakannya. ia kagum melihat
gerakan gesit dari nona itu. si orang muda sudah lantas
menghunus pedangnya, romannya menjadi bengis.
"Eh perempuan busuk. kenapa kau memukul orang tak
keruan-ruan?" dia menegur bicara
dengan lidah Pakkhia. Nona itu nampak gusar sekali sekonyong-konyong
tangannya meluncur, menyamber pedang anak muda itu.
Si anak muda menyeringai dengan pedangnya itu ia
menyambut dengan satu tebasan, ketika si nona berkelit, dia
lantas menyerang pula saling susul. Nyata dia liehay.
Nona itu gusar bukan main, berulang-ulang orang
menyerang ke dadanya, itulah perbuatan hina, setelah
berkelit, ia berlompat mundur, dengan begitu ia sempat
menghunus senjatanya, juga sebatang pedang, Tidak ayal
lagi, sambil membentak, ia membalas menyerang.
"Ilmu pedang yang bagus." si anak muda memuji dengan
seruannya. ia pun menyebut ilmu silat, pedang si nona itu,
yalah Keng-Hong Boe Lioe Kiam Hoat," ilmu pedang "Angin
bertiup, daun yang lioe menari." ia ketahui, pedang si nona
pedang yang tajam sekali, yang dapat memapas senjata
lainnya. Karena ini, ketika ia maju pula, ia menyerang dengan
hebat, rupanya ia niat mendesak.
Sekonyong-konyong terasa tolakan keras kepada si nona
dan si anak muda, hingga dua-duanya lantas mundur
sendirinya. Mereka menoleh dengan kaget. si nona lantas
melihat seorang imam yang keluar dari dalam, Dengan wajah
muram imam itu menegur si anak muda, "Anak Loei kenapa di
tempat umum kau berani menerbitkan onar" Masih kau tidak
mau berhenti." Habis berkata begitu imam itu melirik pedang si nona, sinar
matanya berkeredep. Tiong Hoa menyaksikan semua itu, ia menduga si imam
ketarik dengan pedangnya nona
itu, maka ia lantas memasang mata.
imam itu memandang pula si nona, lantas dia kata, "Nona
apakah kau tidak mengerti tentang asmara" Bukankah murid
pintoo ini tidak bakal mengecewakan kau" kenapa kau tolak
dia hingga seribu lie?" ia tidak menanti jawaban, dari sakunya
ia keluarkan serupa barang yang ia lantas letaki ditelapakan
tangannya. Si nona mendongkol hingga mukanya menjadi merah,
Ketika ia sudah melihat barang di tangan si imam itu, ia
terkejut, terus mundur beberapa tindak. sekarang ia nampak
jeri. Benda ditangan si imam yala h serenceng tengkorak kecil.
warnanya putih mirip kemala, Imam itu tertawa dingin dan
berkata: "Nona, sekarang kau tentu ketahui pintoo orang
macam apa, Maka itu aku ingin tukar benda ini dengan
pedang Ceng song Kiam kau itu untuk dijadikan tanda mata."
Tubuh nona itu bergemetar rupanya ia jeri berbareng gusar
sekali. ia mengawasi tajam, lantas ia kata keras: "Locianpwee
menjadi orang Rimba persilatan yang kenamaan, apakah
benar Loocianpwee hendak menggunai pengaruhmu yang tua
menindih yang muda?"
Imam itu tertawa. "Pintoo bertindak biasa menuruti suka hatiku sendiri" dia
kata, "Muridku ini In Loei, di belakang hari dia bakal jadi jago
Rimba Persilatan, diapun tampan, dia tidak memalukan kau,
nona, Tentang gurumu, seng Hoei soe-thay, jangan kuatir
nanti pintoo yang bicara dengannya." ia tertawa pula dan
menyambungi: "Pintoo tahu nona tentulah malu, maka marilah serahkan
pedangmu padaku, inilah sama saja," ia bertindak cepat dan
tangannya meny amber bagaikan kilat cepatnya.
Si nona kaget, mukanya menjadi pucat, Dia mundur seraya
menyingkirkan pedangnya. Dia sobat tapi si imam lebih gesit,
Lima jarisi imam sudah lantas membentur pedang hingga
nona itu merasai tangannya kesemutan, hingga pedangnya
hampir tak dapat dipegang terlebih lama pula.
Di saat Ceng song Kiam bakal berpindah tangan, tiba-tiba
terdengar satu suara tertawa dingin dan satu berkelebat ke
antara nona dan imam itu, lengan kiri si imam yang
diluncurkan kebentur kesamping, hingga tubuhnya terhuyung
beberapa tindak. Karena ini si nona dapat terus menyingkir
dengan lompat naik keatas genting di mana terus ia
menghilang. Bayangan orang yang datang sama tengah itu yalah
bayangannya Lie Tiong Hoa, tidak puas ia melihat lagak dan
mendengar suara nya si imam, yang ia duga mestinya seorang
Rimba persilatan kenamaan. la juga heran melihat imam itu
memiliki serenceng tengkorak kecil yang terdiri dari sembilan
buah, melihat mana si nona agakjeri sekali, maka itu selagi
kesan baiknya ada pada nona itu, ia lantas datang sama
tengah lalu membentur imam itu dengan tenaga delapan
bagian, dengan menggunai tipu silat "Hang Hoei Io saan" -
"Bianglala terbang, Mega-berputar" ajaran gurunya.
Imam itu kaget, ia merasakan lengannya sakit, maka dia
menjadi gusar sekali. Dengan lantas dia memutar tubuh,
tangan kanannya di luncurkan, guna menghajar punggung si
anak muda. Tiong Hoa sudah siap sedia, Hari lewat hari, kepandaiannya
terus bertambah ia memperolehnya setiap kali ia bersemedhi
atau memikirkannya. ia percaya si imam bukan
sembarang orang maka ia waspada, ia tidak menangkis
ketika di serang itu, ia hanya berkelit, tapi ia bukan cuma
berkelit mengelakkan serangan, ia berlompat kepada
sipemuda ceriwis yang lagi berdiri menonton, ia menyamber
lengan orang ia menarik dan memutarnya, hingga in Loei
menjadi sasaran gurunya. Si imam kaget bukan main, dengan cepat dia menahan
serangannya, dengan mata bersinar dia menatap dan berkata
bengis: "Siapa kau" Kenapa kau berani berbuat begini
terhadap muridku" Tiong Hoa tertawa tawar. "Muridmu ini ceriwis dan busuk, dia justeru bertemu guru
semacam kau, kamu menjadi satu konco," ia kata, "Lagak
kamu bakal mendatangkan onar dalam Rimba Persilatan Tak
dapat aku membiarkan sepak terjang kamu Karena muridmu
ini busuk, biarlah aku yang muda memusnahkan ilmu silatnya.
In Loei kaget dan takut sekali, sebenarnya tadi ia
bergembira sekali karena gurunya memaksa si nona, hingga
harapannya lantas timbul. ia tidak sangka, selagi ia
kegirangan, si anak muda membekuknya secara demikian
gesit. ia dipegang dengan cekalan "Siauw Thian chee ci cap-jie
Kiauw Na," Ia menjadi tidak berdaya, cekalan itu membikin tenaganya
habis, ia bergemetaran dua napasnya sesak, seperti ada kutu
atau semut bergerimingan di antara ototnya, ia pun tak dapat
bersuara, Terutama ia takut karena ia mendengar si anak
muda hendak memusnahkan ilmu silatnya.
Kalau itu terjadi, celakalah ia. Dalam takutnya, matanya
menyinarkan sorot meminta ampun-...
Jilid 7 : Pedang Pusaka Khong Tong pay
Si imam kaget hingga mukanya menjadi pucat.
"Anak muda ini entah murid hantu yang mana...." pikirnya,
"Dia lihai dan telengas sekali, dia tak kalah telengatnya
dengan aku baiklah aku tanyakan dulu asal usulnya. Asal dia
bukan murid orang kenamaan, baik aku bokong padanya,
membinasakan dia dengan pukulan cit Pou Toan Hoen
sekarang ini aku mesti berdaya meloloskan In Loei dulu."
Maka ia mengawasi si anak muda, otaknya berputar
mencari akal, Lantas ia mengasi lihat muka menyeringai.
Tiong Hoa balik mengawasi ia berlaku waspada ilmu
silatnya telah maju pesat, ia cuma kurang pengalaman.
Melihat sikap orang demikian rupa, ia perkeras cekalannya.
In Loei meringis, keringatnya mengucur deras, otot-otot di
jidatnya rada keluar, ia mau membuka suara tapi tak bisa,
suara-parau tak keruan. Tatkala itu banyak orang berkumpul menyaksikan peristiwa
itu. semua orang heran hingga mereka pada mendelong.
Si imam merasakan hatinya sakit sekali menampak
muridnya diperlakukan demikian macam. ia pun menjadi
sangat malu, Maka ia jadi benci pada Lie Tiong Hoa. Dasar dia
seorang yang telah banyak pengalamannya dalam keadaan
seperti itu, dia bisa bawa dirinya, setelah mengendalikan diri,
bukan^n^a dia mendamprat, dia justeru tertawa, hingga
mukanya nampak menjadi manis.
"Yaa, kau begini muda, ilmu silatmu mahir sekali, kau
membuat orang kagum" demikian dia berkata. "Aku lihat
ilmusilatmu ini mirip dengan kepandaiannya satu sahabatku.
Akulah Koe louw sin-Koen Pek Yang dari gunung Tay Liang
san, mungkin gurumu pernah menyahut namaku."
Tiong Hoa tertawa dalam hatinya, "Rupanya dia habis daya
maka sekarang dia memperkenalkan diri dan menyebut
nyebut guruku," pikirnya, "Tapi dialah Pek Yang. Memang dulu
pernah satu kali guruku menyebut namanya, cuma dulu hari
itu soehoe menyebut Koe-Iouw Mo Koen dan dia sekarang
merubah Mo Koen menjadi sin-Koen-"
"Koe-louw Mo Koen" berarti " Hantu Tengkorak" sedang "
Koe-louw sin-Koen?" berarti "Dewa Tengkorak," dengan begitu
Pek Yang mau membikin namanya menjadi harum, Tapi Tiong
Hoa tidak mau mengasi dirinya dipermainkan, ia bersenyum
dan menyahuti: "Aku yang rendah pernah mendengar nama
kau, cuma guruku membilangi aku bahwa kau, tootiang, kau
tak ada harga untuk disebut-sebut."
Mukanya Pek Yang menjadi pucat, lalu merah. Dia malu
dan gusar sekali, Dia menjadi beroman sangat bengis, dua kali
dia tertawa kering. "Siapa gurumu itu?" dia tanya membentak, "Mana dapat
aku diperhina begini macam" Jikalau kau beritahukan nama
gurumu, nanti aku lakukan perjalanan bagaimana jauh dan
sukar juga untuk menemukannya guna mengadu
kepandaiannya." Tiong Hoa mengawasi tajam, dia kata tawar: "jikalau
totiang mau mengantarkanjiwamu kepada guruku, itulah
pekerjaan yang mudah sekali. sekarang lebih dulu aku hendak
tanya, tootiang berada di Kimleng ini untuk kelewatan saja
atau untuk berdiam lama?"
Pek Yang Mo Koen mendongkol bukan main, beberapa kali
ia hendak mendamprat tapi senantiasa gagal.
"Sekarang ini aku lagi lewat di kota Kim-leng ini," akhirnya
dia menjawab keras, "Apa maksudmu kau menanya begini?"
Di dalam hatinya, Tiong Hoa tertawa girang, Mulanya ia
menyangka orang yalah orangnya Kimleng Jie Pa.
"Nama guruku tidak dapat sembarang di umumkan." ia
menyahut tawar, ia bersenyum,
Lantas ia melihat kelilingnya.
Pek Yang membade hati orang, dia tertawa dingin, Lantas
dia mengibas keras dengan tangan bajunya, membikin banyak
orang di sekitarnya pada mundur dengan tersipu-aipu hingga
banyak yang jatuh- bangun. Mereka itu kaget dan kuatir,
lantas mereka pada menyingkir.
Tiong Hoa mengawasi, ia bersenyum.
"Jikalau tootiang ingin mengadu jiwa dengan guruku," ia
kata, ia sudah lantas dapat pikiran baik, "baiklah sebentar
malam to-tiang pergi ke depan panggung Ie-hoay-tay, Di sana
kebetulan guruku hendak membereskan satu urusan, maka
urusan dengan tootiang boleh diselesaikan sekalian. Guruku
she Khioe, namanya Cin Koen dan gelaran nya Boe-Eng Hoei
Long." Pek Yang terperanjat. Dalam hatinya dia gatal pantas anak
ini lihai, kiranya dia muridnya Thian Gwa It shia Boe Eng Hoei
Long, Akan tetapi dia tidak mau kalah gertak. Dia kata
sembari tertawa menghina: "Baik, sebentar malam jam dua
aku nanti pergi ke Ie Hoa Tay untuk menemui gurumu itu."
Tiong Hoa tertawa terbahak, selagi mencekal terus
lengannya In Loei itu, dengan jeriji tengahnya ia menotok
dijalan darah toa-Ieng, setelah itu dengan dikageti, ia
melepaskan cekalannya. "silahkan, totiang." dia berkata.
Totokannya itu hebat sekali, Dengan itu selama tiga tahun
In Loei tidak bakal mampu menggunai tenaganya, tubuh In
Loei terasa kejang, tenaganya habis, kepalanya menjadi
pusing dan matanya kabur.
Koe-Iouw Mo Koen tertawa dua kali, terus dia menyeret
tangan muridnya, buat diajak pergi dengan cepat, Didalam
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati ia sangat mengkal dan masih tetap mendongkol.
Tiong Hoa masih berdiri sekian lama mengawasi orang
berlalu, baru dengan tindakan perlahan ia mendekati Thian
siang Kie, ia di sambut dengan hormat dan manis oleh pelayan
tadi, yang telah menyaksikan kegagahan orang. Dia
menyuguhkan teh dan melayani dengan telaten.
Seorang diri Tiong Hoa duduk dalam kamarnya,
menghadapi jendelanya, yang daunnya dipentang, ia
mengawasi pohon yanglioet hatinya bekerja, sesaat itu ia
merasa kesepian-Bukankah ia telah melakukan perjalanan
ribuan lie ke selatan ini"
Bukankah ia tak bersanak dan tak berkadang" Dia asal
keluarga berpangkat tapi sekarang ia menjadi orang kang-ouw
hijau, tak pernah ia memikir bahwa ia bakal menjadi begini
rupa. Dalam ngelamun, anak muda ini merasa sang waktu
berjalan cepat ia merasa ia seperti bermimpi ia ingat bahwa
sikap mau menang sendiri tidak berguna begitu juga sikap
memperebuti nama dan harta, itu semua mirip pemandangan
di dalam kaca-rasa atau rembulan di permukaan air.
Akhirnya ia ingat Cek in Nio yang cantik, Bayangan si nona
seperti berpeta di depannya, ia seperti melihat sujen si nona
yang manis, ia heran dalam tempo yang pendek sekali, nona
itu menjadi sangat berkesan baginya, ia merasa untuk
hidupnya, Cek In Nio adalah orang yang ia tak boleh
kekurangan. "Tapi, di mana adanya si nona sekarang?" ia tanya "Kalau
aku tahu... Rasanya pemuda ini mau melupakan lukisan
Bayangan Rembulan di Gunung Sunyi," untuk pergi mencari
nona itu, untuk berdiam di sisinya.
Tanpa merasa, Tiong Hoa menghela napas, lalu ia
bersenandung, ia demikian berduka hingga tanpa merasa air
matanya mengalir. Tiba-tiba telinganya mendengar suara tertawa yang
bagaikan bunyi kelenengan datangnya dari arah luar, ia
segera berpaling ia mirip orang yang baru tersadar dari
mimpinya yang sedap. Di luar pintu berdiri seorang nona
dengan baju hijau, karena dia lagi tertawa, terlihat dua baris
giginya yang putih, sedang wajahnya yang ramai mirip bunga
hoe-yong. Dia nampak sangat menggiurkan- Sedang sepasang
matanya yang jeli memperlihatkan sinar bersyukur.
"oh..." Tiong Hoa berseru, terus ia berbangkit dengan
cepat, ia pun tertawa. "Nona, silahkan duduk" ia mengundang,
Sukar rasanya untuk ia membuka mulutnya.
Nona ini tidak malu-malu meskipun benar mukanya
berubah menjadi merah, ia bertindak masuk.
"Jikalau bukan kongcoe yang menolong, Hampir aku
bercelaka ditangannya Koe-Iouw Mo Koen" katanya, ia lantas
menjura dalam memberi hormatnya.
"Jangan bilang begitu," kata si anak muda cepat. "Ada
bahaya tak menolong, itu bukanlah kelakuan seorang Rimba
Persilatan, maka juga perbuatanku itu yang tak ada artinya
janganlah nona buat pikiran, Hanya kalau bisa ingin aku
mendapat tahu kenapa nona berada sendirian dikota Kimleng
ini?" Nona ini mengambil tempat duduk. Di tanya begitu
matanya menjadi merah. ia menarik napas duka.
"Aku melakukan perjalanan jauh mencari ayahku," ia
menyahut, "sudah setengah tahun dalam perantauan, masih
aku belum mendapat tahu ayahku berada di mana, Aku kuatir
ayahku telah dicelakai orang hingga mayatnya menjadi
terlantar." Tiong Hoa terharu, ia merasa kasihan kepada nona
itu. "Apakah nona suka menuturkan tentang hal ikhwalmu?" ia
tanya, Roman si nona menjadi guram, airmatanya mengembeng,
Meskipun begitu, dapat ia menguatkan hati, untuk
memberikan penuturannya, ia orang she Phang dan namanya
Lee Hoen, Ayahnya, Phang Tay Kong, gelar Coe see-ciang, si
Tangan Merah, menjadi seisi di kota Hangcioe. Pada delapan
tahun dulu kantor soeoboe Ciatkang kecurian sebuah Pin atau
tabir Pwee-bo in-pin yang berharga mahal luar biasa, sebab
itulah Pia mustika yang dapat memberi alamat tentang cerah,
hujan, angin dan salju, umpama cuaca b e- rubah, tabir itu
memperlihatkan warna lima macam, tebal atau tipis. Tay Kong
diberi tempo setengah tahun mencari itu hingga dapat, bukti
berikut penjahatnya, ia diberi surat-surat yang perlu serta
empat pembantu. Mereka lantas bekerja, mereka pergijauh ke luar daerah,
Empat bulan kemudian, soenbon menutup mata. Tanpa
desakan soeoboo, perkara menjadi tergantung. Tapi juga Tay
Kong, dia pergi untuk takada kabar ceritanya lagi. kasihan
isterinya, serta gadisnya, yang jadi hidup terlantar.
Kemudian Lee Hoen dapat pertolongan sahabat ayahnya, ia
dapat berguru pada Hoei seng Tay-sue dari NgoBie Pay.
sampai lewat beberapa tahun, tentang Tay-kong terus tidak
ada beritanya, Nyonya Phang menjadi menangis saja, terus
dia jatuh sakit, Lee Hoen jadi sangat berduka dan bingung.
Lalu dengan persetujuan ibunya, yang tak dapat mencegah
dia, dia pergi merantau mencari ayahnya, setengah tahun
sudah nona Phang merantau, sampai dia berada di kota
Kimleng ini, tetap dia gagal, Malang untuknya, dia telah
diganggu In Loei, sampai hampir dia mendapat celaka.
Tiong Hoa mendengar, matanya mengawasi mendelong ke
luar jendela. "Kongcu, apakah kau ketahui tentang ayahku?" si nona
tanya heran, sebab orang berdiam saja sekian lama, orang
seperti lagi berpikir keras.
Memang Tiong Hoa lagi mengasah otak. la tengah menguji
kekuatan asahannya, ia mengingat- ingat pengalamannya
dalam ruang perangkapnya Yan Loei di Yan Kee Po, Di sana
banyak kurban jiwa dan nama-nama mereka terukir di
tembok- ia pikir nama-nama itu, yang ia pernah apalkan.
sekarang ia lagi membaca pula di luar kepala.
Tiba-tiba ia terkejut, tanpa merasa ia mengkirik, la ingat
nama Phang Tay Kong, Karena itu ia menjadi membayangi
tumpukan tengkorak atau tulang belulang di dalam neraka
dunia itu, di mana pun terdapat hancuran-hancuran pakaian
kotor dan tua, sisa-sisa sepatu daripelbagai alat senjata, ia
seperti juga merasai bau badan yang membuatnya mau
muntah- muntah . "Tidak salah lagi," pikirnya, "tabir Pwe-ho in-pin itu terjatuh
dalam tangannya Yan Loei, Tay Kong mendapat endusannya,
dia pergi ke Yan Kee Po, tapi dia terjebak Yan Loei, maka dia
terpenjara di dalam tanah, mati karena dahaga dan lapar"
la menjadi bersangsi Dapatkah ia menjelaskan itu kepada
nona ini" Kalau si nona mendengarnya, itulah pukulan sangat
hebat, jangan kata seorang nona, satu laki-lakipun mungkin
tak dapat bertahan. Karena itu, ia terus berdiam saja, sampai
si nona menanya ia, ia menoleh kepada si nona, ia menatap.
ia hendak membuka mulutnya, saban-saban ia gagal.
Karenanya, ia menggoyang-goyang kepala, ia menghela
nafas berulang-ulang, tak dapat ia menyembunyikan
kedukaannya itu. Hati si nona memukul keras, ia mendapat firasat buruk. la
pun menatap anak muda itu.
"Bagaimana, kongcu?" ia menanya, berulang-ulang
"Apakah kongcoe ketahui tentang ayahku itu?"
Ia menanya mesti ia merasa pasti, sikap si pemuda sangat
mencurigai. Tiong Hoa terdesak. la menghela napas panjang.
"Nona, ako minta sukalah kaujangan berduka," katanya
kemudian, "Aku tahu tentang ayahmu itu, ia telah teraniaya
orang, sekarang ia sudah meninggal dunia...."
Muka si nona menjadi pucat pasi, ia merasa bagaikan dunia
berputar, maka tubuhnya, terhuyung hampir ia roboh. syukur
Tiong Hoa segera memegang tubuhnya itu. sampai ai anak
muda lupa pantangan adat sopan santun-"sabar nona." dia
kata, "Kau ingat, kau kuati hatimu." Nona itu berdiam sekian
lama. "Kongcu, bagaimana kau ketahuinya itu?" kemudian ia
tanya. Tiong Hoa suka memberikan keterangannya, setelah ia
minta lagi sekali nona itu suka menenangkan diri, ia
menuturkan pengalamannya terperangkap. baru halnya ia
banyak tulang-tulang dan catatan nama-nama di tembok.
Lee Hoen berjanji akan menguati hati, tapi akhirnya ia
pingsan, Tiong Hoa menjadi bingung dan repot, terpaksa ia
menahan tubuh si nona, untuk memenceti dan menguruti
perlahan-lahan si nona mendusin, untuk lantas menangis. "oh,
ayah..." ia mengeluh. "Bagaimana ayah bersengsara..." Nona
Phang menangis begitu sedih sampai hampir ia tak sadarkan
diri pula. Tiong Hoa terus membujuki dan menasehati, tapi ia sendri
begitu terharu hingga air matanya turut mengembeng.
"Kongcu." kata Lee Hoen kemudian. " dapatkah kongcu
membagi tempo untuk mengantarkan aku ke Yan Kee Po,
supaya aku dapat mencari tulang-tulangnya ayah, untuk
dirawat sebagaimana layaknya" Untuk membalas budi kongcu,
aku akan membikin tiang seng-fek-wie guna memuja
kongcu..." "Tungleng lok wie." yalah papan peringatan guna
menghormati seseorang yang dihormati semasa orang itu
hidup. "Suka aku mengantar kau nona, hanya itu tidak dapat
dilakukan sekarang." kata Tiong Hoa, Menerima "baik sambil
menampik, "sekarang aku lagi mempunyai urusan yang harus
diselesaikan Baiklah nona pulang ke Hangcioe, apabila
urusanku sudah beres, aku sendiri yang akan pergi ke Yan Kee
Po, guna mengambil tulang-tulang itu, nanti aku bawa sendiri
kepadamu." Lee Hoen tidak dapat dibujuk, ia kata ia ingin pergi sendiri
ke Yan Kee Po. Untuk itu ia bersedia menantikan Tiong Hoa
sampai Tiong Hoa sudah selesai dengan urusannya itu.
"Baiklah." sahut si anak muda sesudah ia kewalahan
membujuki. ooooo BAB 10 TIONG HOA berdiam dalam kesunyian dalam kamarnya di
dalam hotel, ia mengawasi keluar dimana cabang yanglioo dan
daun-daunnya tengah memain di antara giliran angin, ia
seperti lagi berpikir keras, sekarang ini pikirannya goncang
hingga timbul rasa bosan nya untuk merantau begitu pun
untuk mencari lukisan Yoe san Goat Eng." ia pikirkan, rahasia
apa itu terkandung dalam gambar lukisan tersebut hingga
mendiang gurunya demikian menghargakannya.
Kalau itu hanya rahasia kitab ilmusilat atau sebangsa nya ia
merasa tak tertarik.. "Orang banyak yang palsu.,." katanya, hingga hatinya
menjadi tawar dan ia berduka ia tidak mempunyai kawan
kecuali Cee-cit, sedang Lo sat Gioklie telah terpisah pula
darinya. Tiong Hoa mencoba membawa dirinya, ia tahu kalau lamalama
ia bergaul dengan Phang Lee Hoan, ia kuatir nanti timbul
soal baru. Dari Cek In Nio juga ia memikir untuk memisahkan
diri tapi ia tahu bahwa asmara sudah mengikat padanya. Ingat
pada fn Nio, pemuda ini lupa Nona Phang masih berada dalam
kamar bersama-nya. Mata Lee Hoen terus basah, ia terlalu bersedih untuk
nasibnya yang malang, ia melihat si anak muda mendelong
saja, ia pun berdiam, Tak mau ia mengganggu anak muda itu.
Toh ia mengawasi, maka ia dapat melihat tegas pemuda itu
sesungguhnya tampan, hatinya baik, nyalinya besar,
ilmusilatnya mahir. Betapa langkanya pemuda tampan seperti dia ini" pikirnya.
Tanpa merasa ia menjadi jatuh hati pada si anak muda, ia
mengawasi terus, hingga satu kali ia menampak orang
bersenyum sendirinya, ia tentu tidak ketahui, di saat itu Tiong
Hoa lagi ingat In Nio" "Lie siangkong..."
Itulah panggilan tiba tiba dari luar, maka pecahlah
kesunyian kamar itu Tiong Hoa terperanjat, la tersadar, segera
ia berpaling. Pelayan muncul di ambang pintu, Dia heran melihat si nona
mengawasi padanya. "Ada apa?" Tiong Hoa tanya.
Pelayan itu bertindak masuk. dengan hormat ia menanya
apa sudah waktunya untuk menyajikan santapan malam.
Tiong Hoa melihat ke luar jendela, Matahari sudah kelam.
"Ya," ia mengangguk
Dengan hormat pelayan itu mengundurkan diri. Kembali
kamar menjadi sunyi. Tiong Hoa merasa kurang enak hati ia berdiam sekian
lama, ia menganggap perbuatannya itu kurang hormat,
sebagai tuan rumah, tak dapat ia bungkam.
Tapi, alasan apa ia mempunyai untuk dijadikan bahan
omongan" syukur ia lantas melihat pedangnya si nona.
"Tadi Koe-louw Mo Keen Pek Yang menurunkan tangannya,
rupanya dia mengarah pedang kau. nona." ia berkata.
"Mereka itu, guru dan murid, bekerja sama, kecuali pedang
rupanya mereka menghendaki orangnya"
Lee Hoen terperanjat ia lantas menoleh si anak muda,
mukanya merah. Lekas sekali, ia tunduk pula, sekarang ia
berkata, perlahan, nadanya penasaran: "Pedang ini
didapatkan bukannya dengan mudah, untuk ini hampir
mendiang ayahku kehilangan jiwanya, itulah kejadian
duapuluh tahun yang lalu, tempo mendiang ayahku masih
bekerja di kota Ceelam. Ketika itu telah terjadi kejahatan
saling-susul. Seorang hartawan kecurian uang dan permatanya,
gadisnya terbunuh dengan kepala dan tubuhnya terpisah,
penduduk Ceelam jadi gempar dan ketakutan- pembesar
negeri jadi repot dan gusar, maka polisi diperintah keras
mencari penjahatnya, Beberapa malam kemudian, ayahku dan
kawan-kawannya dapat mempergoki penjahat itu, tapi dia
liehay sekali, tak dapat dia dibekuk.
Hebat terutama pedangnya yang tajam, Beberapa orang
polisi terbinasa dan terluka dan rambut ayahku pun terbabat
kutung, Dengan kecerdikannya akhirnya ayah mendapat tahu
tempat mondoknya penjahat itu, yalah disebuah rumah hina
dikota Lek-shia. Dia lantas mengatur tipudaya untuk menangkapnya,
Penjahat itu kena dikasi makan arak tercampur obat pulas, Dia
kuat sekali, dia tidak mempan senjata, maka ayah
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memutuskan otot-ototnya dengan pedangnya itu, Ceng song
Kiam namanya. Ketika dia mendusin dan mendapatkan dirinya sudah tidak
berguna lagi, dia menangis dan menyesalkan dirinya sendiri,
katanya: Menyesal aku tidak dengar guruku yang membilangi
aku bahwa pedang ini akan ganti majikan, bahwa bila aku
gunainya tidak tepat, aku bakal mati celaka.
Sekarang terbukti benar kata-kata guruku itu. Atas
pertanyaan ayahku, penjahat itu mengaku muridnya Keen
Goan cauw soe dari Khong-tong-pay timur. Ketika dia
dimasuki dalam penjara, dia membunuh diri, Ayah takut pihak
Khong-tong-pay nanti menuntut balas, ia meletaki jabatannya,
ia pulang ke Hangcioe, ia pun menukar nama dan hidup
bersembunyi. Lewat enam tahun, atas anjuran sahabatnya, ayahku
bekerja pula sebagai polisi, pedang ini terus disimpan di
rumah, tak pernah dipakai, baru sekarang, buat mencari
ayahku, aku bawa sebagai pelindung diriku...."
Tiong Hoa menghela napas.
"Mungkin pedang mustika ini pedang pusaka Khong tong
.pay." ia berkata, "Kee-louwMo Keen rupanya mengetahui itu
maka ia hendak merampasnya, pedang ini pedang mustika.
siapa tak ketarik hati untuk memilikinya" sayang kita tidak
ketahui baik tentang pedang ini. Menurut aku, nona
selanjutnya kau baik- baiklah menyimpannya." Mendengar
perkataan orang, Lee Hoen tertawa.
"saudara terlalu merendah." katanya, "Melihat caranya kau
membekuk muridnya si hantu, sudah ternyata kepandaian
kau. hingga pantaslah kau menjadi seorang tayhiap Tidak
saudara, dengan ada kau yang mengawani aku, aku tidak
takut apa juga" selagi berkata begitu, sinar mata si nona
nampak gembira sekali. Tiong Hoa sebaliknya mengerutkan alis, nona ini terlalu
mempercayai ia atau dia lupa pada dirinya sendiri.
Nona itu berkata pula: "Pedang ini memang luar biasa, Di
waktu malam, kalau ada orang jahat datang, dia tentu keluar
sendirinya dari sarungnya dan mengasi dengar suara yang
ramai, maka dengan mengandalkannya, beberapa kali aku
pernah mengusir pencuri juga jikalau cuaca berubah hebat,
pedang ini suka berbunyi sendiri didalam sarungnya berbunyi
tak hentinya." Ia meloloskan pedangnya itu dan mengangsurkan kepada si
anak muda. Tiong Hoa menyambuti, Ketika itu kamar guram, Dengan
dua buah jerijinya ia menekan gagang pedang, Mendadak
pedang itu berbunyi dan mencelat keluar dari sarungnya.
Maka terlihatlah sinarnya yang hijau mengkilap.
Pedang itu lebih pendek daripada pedang yang biasa,
panjangnya cuma dua kaki enam dim, belakangnya sedikit
melengkung, kiri kanannya ada tanda darahnya, mulutnya
sangat tipis dan tajam. "Benar-benar pedang mustika." ia memuji kagum. "Mesti ini
pedang dari usia ribuan tahun-"
Ia masuki pedang itu ke dalam sarungnya dan
mengembalikan pada si nona.
"Wanita cantik dan pedang mustika, sungguh surup," ia
kata, tertawa, "Di belakang hari nona mestilah menjadi suatu
ahli pedang kenamaan-"
Lee Hoen tertawa, ia mengangkat tangannya, guna
menyambuti pedang itu, atau mendadak dari luar jendela ada
tangan yang sebat sekali meny amber pedang itu untuk di
rampas, ia melihat tangan itu, ia kaget hingga ia menjerit.
Tiong Hoa telah melihat bayangan berkelebat, ia tahu ada
orang lompat masuk di jendela, tatkala tangan orang itu
diulur, ia pun mengulur tangan kirinya dengan Hoe Wan Ciang
ia menyerang. Perampas pedaog itu terkejut, sebelum ia sempat berdaya
tubuhnya telah dihajar terpental ke pojok tembok. la tidak
roboh, begitu ia menginjak lantai tubuhnya mumbul mencelat
ke luar pintu, ia tidak lari hanya berdiri diam.
"Eh ilmumu ini ilmu apa?" ia tanya. la heran sebab ia sudah
bersedia dan ia percaya ia bakal berhasil merampas pedang
tanpa rintangan siapa tahu tangan si anak muda seperti mulur
hingga tiga kaki. Syukur Tiong Hoa cuma menyampok. jikalau tidak
perampas itu tentulah hilang jiwanya. Bukan melainkan si
perampas juga Lee Hoan heran atas serangannya Tiong Hoa
itu. Tiong Hoa memandang tajam, maka sekarang ia bisa
melihat tegas perampas itu sebenarnya muridnya sinbeng sioe
soe Kim som yang ia ketemukan di Heng Hoa Coen.
Ia lihat kedua mata orang yang jeli memain menunjuki
roman heran, ia lantas menegur: "Kau muridnya seorang
kenamaan kenapa kau bawa lagakmu seperti pencuri ini?"
Anak muda muka hitam itu tertawa dingini
"Cara bagaimana kau ketahui aku murid siapa?" ia balik
menanya, "jangan kau berjumawa dengan tipu silatmu
melayani Kee-louw Mo Keen Pek Yang tadi, di mataku ilmu itu
tidak ada artinya" Tiong Hoa tidak senang, maka ia mengawasi tajam
"Bukankah kau muridnya Sin-heng sioesoe Kim Loociaopwee"
ia membentak. "jikalau kau berani berlaku kurang
ajar lagi awas, jangan kau sesalkan aku keterlaluan" Anak
muda itu melengak. la heran sekali.
"Eh, mengapa kau ketahui aku muridnya sin heng sioe-soe"
"ia tanya Tapi, ah, mata itu benar tajam, Hm. Dengan
kepandaian kau ini, mana dapat kau memberi pengajaran
padaku" Malam ini, jikalau kau tidak serahkan pedang Ceng
song Kiam itu, jangan harap kau dapat tidur tenang"
Nyatalah anak muda itu sangat kepala besar dan terkebur,
lagaknya garang. Tiong Hoa membentak. pedangnya dihunus
dengan memutar itu ia bertindak maju.
Muridnya Kim som tidak melawan, ia hanya
mempertontonkan kelincahannya. dengan gesit sekali ia
berkelit, untuk terus mengangkat kaki, hingga ia hilang dalam
sekejap. Tiong Hoa tidak mau menanam bibit permusuhan ia tidak
mengejar, hanya ia kembali ke dalam kamar, ia mengerutkan
alis ketika ia berkata pada si nona: "Anak muda itu telah
mewariskan tiga bagian kepandaian gurunya, dia gesit sekali,
Aku lihat, karena pedang ini pedang Khong Tong Pay.
selanjutnya tentulah bakal timbul urusan karenanya. Mesti ada
orang-orang yang niat merampas atau mencurinya. fa terus
menghela napas. Lee Hoen pun berduka.
Sebelum dua orang itu sempat bicara lebih jauh dari luar
kamar mereka mendengar suara keras: "siapa yang bernyali
begiiu besar berani melukai muridku si orang tua?" Tajam
suara itu menusuk telinga.
Tidak menanti sampai suara sirap. Tiong Hoa sudah
berlompat keluar dari kamarnya, ia diikuti Nona Phang. segera
ia melihat sin beng sioe-soe Kim som berdiri tegak di bawah
pohon yanglioe. Malam suram tetapi kedua mata orang
nampak bersorot tajam. Dengan memegang gedangnya, Tiong Hoa mengangkat
kedua tangan untuk memberi hormat ia kata dengan suara
nyaring. "Kim Loociaapwee orang kenamaan di inijaman
dengan yang muda tak kenal bermusuh satu dengan lain,
mana berani aku berlaku kurang ejar terhadap muridmu, soal
yalah disebabkan perbuatan muridmu terlebih dulu. Dengan
tiba-tiba dia lompat masuk kekamarku hendak merampas
pedang, habis itu ia mengasi dengar kata-kata terkebur."
Sin-heng sioesoe tetap mengawasi tajam, ia berkata
dengan suara dalam: "Dalam halnya itu dia tidak dipersalahkan, sebenarnya
pedang itu pedang miliknya mendiang sahabatku, Keen Goan
siangjin, itulah pedang pusaka Khong Tong Pay. Dulu hari
pedang itu dicuri murid partai itu, lantas tak ada kabar
ceritanya lagi, sementara iiu sahabatku itu telah memesan
aku, andaikata aku menemukan pedangnya itu, supaya aku
menebusnya, Akulah seorang tua, tak leluasa untuk aku
datang kepada kamu anak-anak muda untuk meminta pulang
pedang itu, maka aku telah kirim muridku itu yang bernama
Kam Jiak Hoei, Bukankah aku telah berlaku menurut aturan
pantes?" Tiong Hoa tidak puas. "Bisanya loocianpwee mengatakan demikian, tidak dapat
aku percaya loocianpwee telah dapat pesannya Keen Goan
siangjin," ia kata, "Laginya muridmu itu bukan meminta
pedang, tanpa menanya dulu, tanpa minta keterangan.
Datang-datang dia lompat merampas pedang itu. Lagaknya
mirip penjahat." "Tutup mulut" Kim som membentak sebelum orang habis
bicara, "selama beberapa puluh tahun, belum pernah aku di
orang mendapatkan orang yang berlaku begini kurang ajar
terhadapkuJikalau aku tidak pandang usiamu yang muda dan
kau belum tahu apa-apa, sedikitnya hendak aku memberi
ajaran padamu." "Loocianpwe cuma tahu menegur orang, loocianpwee tidak
tahu menegur diri sendiri." kata Tiong Hoa tertawa nyaring,
"Kecewa loocianpwee ternama demikian besar dan termasuk
dalam golongan orang-orang tua tergagah."
Kim Som juga tertawa nyaring hingga tertawanya itu
seperti memecah angkasa. Sembari tertawa itu dia maju mendekati si anak muda,
tangannya dengan lima jari yang kuat menyambar dengan
cepat dan bengis sekali. Tiong Hoa terkejut, itulah ia tidak sangka. Dengan tidak
kalah gesitnya, ia mengundurkan diri dari ancaman bencana
itu. Kim Som terkejut mendapatkan serangannya gagal hingga
ia menatap anak muda itu yang dapat menolong diri dari
serangannya yang luar biasa itu. lantas ia maju pula, semakin
sebat dan tangannya diulur semakin cepat. Kali ini ia
mengincar jalan darah hok kiat, dengan tangan kirinya
berbareng ia menyamber pedang untuk dirampas.
Di dalam rimba persilatan orang menyayangi nama baiknya
seperti ia menyayangi tubuh atau jiwanya, demikian dengan
Sin-heng Sioe-soe Kim Son si Pelajar Lari Cepat, Dengan Kim
Som melayani Tiong Hoa, untuk namanya itulah sudah cacad,
itu artinya si kuat menindih si lemah.
Maka itu kalau sekarang ia tidak memperoleh kemenangan,
kalau perbuatannya ini tersiar dimuka umum, alangkah
malunya" Mana ia dapat menaruh muka terlebih lama pula"
oleh karena itu, penyerangannya yang kedua kali ini adalah
penyerangan kilat. Kembali Tiong Hoa kaget, orang seperti mendadak berada
di hadapannya. ia merasa bahwa orang benar gesit luar biasa,
tak kecewa julukan sia-heng sioe-soe itu, tentu sekali ia tidak
berani berlaku ayal. Untuk menolong diri, guna dapat
melayani, lekas-lekas ia mengguna Hong Hoei insoao, dengan
itu ia membuka kedua tangan penyerangnya, membikin
penyerangan itu tak ada hasilnya.
Tiong Hoa telah mewarisi delapan sampai sembilan bagian
kepandaian mendiang guru-nya, maka itu ia tinggal
membutuhkan latihan terlebih jauh serta pengalaman.
Selama masuk dalam dunia Kang-ouw, pengalamannya itu
terus bertambah. sudah obat Pouw Thian Wan dari Thian Yoe
sioe membikin memperoleh tambahan latiham dua puluh
tahun, peryakinannya atas ilmu silat "Kioe Yauw seng Hoei sip
sam" pun maju setiap hari. maka itu, ia memperoleh
kemajuan di-luar dugaan, bahkan di luar kesadarannya sendiri
Tahu-tahu ia menjadi tambah berani, tambah gesit, tambah
liehay juga kali ini, menghadapi Kim som si jago tua, ia
membikin jago tua itu heran dan kagum.
Mukanya sin-heog sioe-soe menjadi padam mendapatkan
dua kali serangannya gagal, sedang mulanya ia menyangka
mesti ia berhasil. Lantas mukanya itu berubah menjadi merah,
seumurnya inilah pengalamannya yang pertama, yang sangat
tak memuaskan hatinya. Panas hati dan penasaran, ia mengulangi serangannya Bisa
dimengerti jikalau ia mengerahkan seluruh tenaganya dan
menggunai kepandaiannya yang terakhir ia menyerang pula
dengan kedua tangannya, yang dimainkan saling susul,
bahkan itulah pukulan aneh, sebab tangannya yang dimajukan
lebih dulu kesudahannya kena didului tangannya yang dikirim
belakangan. Tiong Hoa terkejut tetapi ia tetap dapat menabahkan hati,
ia berkelit dengan berputar menghindari diri dari serangan
maut itu. sembari berputar, ia menghunus pedang di
tangannya, tapi ia memperoleh ini lebih banyak disebabkan
Kim son lebih ingin merampas pedang daripada
mencelakainya. Begitu dikeluarkan dari sarungnya, Ceng song Kiam
memperlihatkan sinarnya yang hijau bercampur kuning
keemasan indah, di lihatnya di dalam yang gelap itu. Dengan
pedangnya itu, ia lantas bersilat dengan Kioc Yauw seng Hoei
sip-sam sie, yang pun di sebut ilmu silat bertentangan Hoan
Naoheng lm-yang cioe-hoat. inijusteru ilmu silat pemunah ilmu
silatnya sin-heng sioe-soe
Di dalam tempo yang pandek. Kim som menjadi bingung, ia
kaget waktu ia dapat kenyataan ia seperti dikurung pedang
lawan, ia mencoba untuk meloloskan diri, ia gagal, ia tak
dapat, ia menjadi penasaran sekali. Dengan seluruh tenaganya
ia lantas menolak keras. Kali ini Tiong Hoa kena dibikin mundur lima kaki.
Menggunai temponya yang baik, sin-heng sioe-soe mundur
kembali ke bawah pohon yanglioe di mana ia berdiri diam tadi,
ia menggendong tangan- matanya mendelong. selang sedetik,
la bersenyum dan kata, "Kau ini murid siapa" linu silatmu ilmu
silat luar biasa Mungkin kau baru memainkannya enam atau
tujuh bagian ini pun sudah hebat." Tiong Hoa mencekal terus
pedangnya, ia memberi hormat. "Aku yang rendah muridnya
Loocianpwee Thian Yoe sioe", ia menyahut sabar. "Ooh" Kim
som berseru kaget. "Ah, kau kiranya ahliwaris si orang tua she Kie," katanya,
pula kagum. "Kalau begitu taklah heran. orang tua itu tidak
menerima murid seumurnya. tidak disangka dia penuju pada
kau yang berbakat baik, sungguh menggirangkan, sungguh
kau harus di beri selamat, oleh karena kau muridnya Kie Lojle,
baiklah. aku si orang tua tidak mau memakta padamu,
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya..." Ia melirik pada pedang Ceng song Kiam, lalu ia
menambahkan- "Pedang itu pusaka Khong Tong Pay,
sembarang waktu pedang itu dapat di curi atau dirampas,
maka selanjutnya kau jagalah baik-baik Kau harus mengerti,
aku si orang tua bermasud baik. Dapat aku kata ku n, aku
kuatir pedang ini nanti menimbulkan keruwetan-" Habis
berkata itu, ia terus bersenyum.
Tiong Hoa memikir sesuatu, lantas ia menduga dan
berkata: "Pedang adalah senjata tajam, pedang tak
mempunyai pemilik yang tetap. melainkan dia yang bijaksana
yang dapat menguasainya, sebenarnya pedang ini bukannya
pedangku, inilah pedangnya ini..." ia meunjuk kepada nona
Phang, untuk melanjuti. " inilah pedangnya nona Phang ini,
Aku tahu locianpwee berkepandaian, mana aku mengharap
sukalah locianpwee nanti menolong melindungi padanya."
Kim soen mengurut kumisnya. ia tertawa, "jangan kau
mengeluarkan kata-katamu ini untuk mengikut aku si orang
tua" dia bilang, sebenarnya aku sudah malu sendiri karena aku
menghilangi kepercayaan terhadap mendiang sahabatku Mana
dapat aku melindungi kamu. Untukku cukuplah sudah asal aku
tidak mengulur tangan bawa pedang itu"
"Kalau begitu aku hendak menghaturkan terima kasih
banyak kepada loocianpwea," kata Tiong Hoa dengan sikap
sangat menghormat. Sing-heng sioesoe mengawasi sianak muda sekian lama,
"Apakah namamu?" ia tanya,
"Boanpwee bernama Lio Cie Tiong," sahut Tiong Hoa. ia
terpaksa memakai tetap nama pais u itu karena ia mengingat
di Yan- khia ia telah kesalahan membunuh dua jiwa. orang tua
itu mengangguk "Kie Loojie memilih kau sebagai ahliwarisnya, dia benar
tidak kabur matanya," ia berkata. "Muridku yang bernama
Kam Jiak Hui, kecuali hatinya yang besar, tak nempil
separuhnya terhadap kau. Aku minta j angan kau pikirkan pula
perbuatannya itu, malah sebaliknya, di belakang hari sukalah
kau bantu menilik dia." "Boanpwee akan menurut titah
loocian-pwee." kata Tiong Hoa hormat.
Kim som memutar tubuhnya, hendak ia berlalu, atau
mendadak ia membalik badannya pula, ia tertawa dan berkata
"Berhubung dengan janji pertemuan sebentar malam jam dua
di I e Hoa Tay, mungkin kau bakal turut menyaksikannya,
maka itu mengingat Boe-eng Hoei Long Khioe Cin Keen gagah
luar biasa dan sangat telengas, Aku harap kau nanti dapat
membantu aku si orang tua."
Kata-kata itu diakhirinya dengan tubuh orang tua itu
melesat, hingga sekejap saja dia sudah tujuh atau delapan
tombak jauhnya, hingga di lain saat dia sudah menghilang
didalam gelapnya sang malam.
Menyaksikan berlaIunyajugo tua ini, Tiong Hoa menghela
napas, sekian lama ia berdiri diam membiarkan tubuhnya
disilirkan pulang pergi angin malam, angin yang melenyap ke
barat daya. Kemudian ia menghela napas dan kata dalam hatinya,
"jikalau aku tidak menggunai kecerdasanku sesaat dengan
memakai gerakan Kioe Yauw seng Hoei sip-sam sia dengan
pedang ini serta menyebut namanya Thian Yoe sioe, pastilah
pertempuran barusan ^ak berkesudahan baik seperti ini.
Lalu ia memikir, bahwa ilmu silat "Bintang terbang" itu
benar-benar lihai maka perlu ia melatihnya terus. Lee Hoen
mengawasi orang berdiam saja.
Dia sudah lihai sekali, mengapa dia masih banyak pikir?"
katanya dalam hati, heran ia tidak dapat menerka apa yang si
anak muda ngeIamunkan. Lalu ia menegur, "sa udara Lie mari
kita kembali ke dalam," Tiong Hoa merasa ia seperti baru
sadar dari mimpinya, ia tertawa. "Mari..." sambutnya.
Tiba di dalam belum lama pelayan telah datang
menghidangkan barang hidangan maka itu keduanya lantas
bersantap dan minum. ooo Tengah malam itu bintang-bintang memenuh ka n langit,
Rembulan seperti menyembunyikan diri di antara gumpalangumpalan
mega. Karena itu, sang jagat guram, Di sungai,
pelitanya sang nelayan berupa seperti bintang bintang yang
berkelak-kelik. Di waktu begitu, selagi di kota Kimleng terdengar pertanda
waktu, maka di panggung le Hoa Tay yang terkenal sang
kesunyianlah yang memerintah .J usteru itu, tiba-tiba terlihat
gerak ^eriknya dua bayangan orang.
Keluar daripepohonan lebat, kedua bayangan itu tiba
ditegalan yang lebar, di situ keduanya itu berhenti, untuk
melihat kesekitarnya. "Mungkin bocah she Kam itu tidak berani datang kemari."
berkata bayangan yang satu, "Mendengar nama soehoe buat
menyingkir saja dia sudah kehabisan tempo, maka itu mustahil
dia berani datang mengantarkanjiwanya?"
"Eh, loojie, kau bagaimana sebenarnya?" tanya bayangan
yang ke dua^ "Selama satu tahun ini, dengan memakai nama
soehoe, kau sudah mendatangkan tak sedikit onar. soehoe
gusar sekali, kau tahu, Tahun dulu itu tanpa sebab kau sudah
menanam bibit permusuhan dengan Kim taihiap Kam Pa dari
Liangcioe. Dalam hal itu kitalah yang salah, Kau sengaja
membinasakan seluruh anggauta keluarga orang she Kam itu
tapi kaujusteru membikin lolos si bocah KamJiak Hoei,
Karena itu sekarang Kam Jiak Hoei datang menagih hutang
darah itu, dia menjanjikan kita bertarung Dia berani datang,
terang maksudnya tidak baik, Pula di samping kepandaiannya,
dia mesti mempunyai andalan, jikalau tidak. mana dia berani
datang ke rumah kita dan dapat masuk- keluar seperti di
rumah tanpa penghuni"
Lihat saja, ketika dia mau pergi, dia meninggalkan tanda
mata kepandaiannya Tiat Cioe In -- Tangan TapatBesi, Mana
kita sanggup" Loo-jie, kau terlalu besar kepala..."
"Toako, aku lihat, makin lama nyalimu menjadi makin kecil"
kata bayangan yang pertama bicara itu Bocah she Kam itu,
masih jauh pelajarannya untuk dikatakan sempurna.
Mana dia dapat lawan ilmu soet Pay Kie kita" Boleh dia
mempunyai tulang punggung tetapi apa tulang punggungnya
itu dapat melawan guru kita" Hm"
Belum berhenti kata-katanya orang yang gede kepala itu,
mendadak dia berteriak keras karena kesakitan, lantas dia
menutupi mukanya, terus dia mencaci dan mengutuk. Tengah
dia mementang mulut itu ada angin meny amber ke mukanya.
Dia kaget, dia berkelit tetapi tak keburu, lantas dia
merasakan sakit seperti dihajar martil, sakit sampai ke ulu
hatinya. matanya menjadi kabur, Karena giginya copot tiga
biji, mulutnya lantas mandi darah, darahnya mengucur deras.
" Kurang ajar." mendamprat kawannya yang menjadi sangat
gusar. Dampratan itu disambut dengan tertawa nyaring,
tertawanya satu tubuh yang berlompat ke arah mereka yang
setibanya dijalan itu lantas berkata dengan bentakannya:
"Kimleng Jie Pa, inilah tuan kecilmu KamJiak Hoei sudah
delapan tahun aku mendendam sakit hati keluargaku, maka
itu malam ini yala h mala man mampusmu-"
Kejadian itu tak lolos dari matanya Lie Tiong Hoa berdua
Phang Lee Hoen, yang bersama-sana menyembunyikan diri di
atas pohon di dekat mereka itu bertiga berhadap hadapan.
Pohon tebal dan lebat, maka itu, semakin sukar untuk
mempergoki mereka. Sepasang matanya KamJiak Hoei seperti menyala saking
gusarnya dia, di punggung nya terlihat tergondol sebuah
senjata yang mirip b and ering boet-jiauw, yang memberi
sinar berkilauan- Loo-toa, atau si tertua, dari KimlengJie Pa, yaitu sian couw,
mengawasi dengan alis berkerut pada loojie, saudaranya itu,
sian Wat. Adik ini telah menahan rasa nyerinya, dia membuat
pandangan mata berduka si kakaknya, dia mengerti. Lantas
dia berlompat untuk berendeng dengan kakaknya.
Kimleng Jie Pa menjadi muridnya Soe-eng Hoei-Liong Khoe
Cin Keen, yang terkenal juga sebagai Thian-Gwa Ii shia, si
sesat satu satunya dari Luar Langit, mereka Iihay, hati mereka
telengas, dari itu belum lama muncul dalam dunia Kang ouw,
nama mereka menjadi terkenal di selatan dan utara sungai
besar. Sudah begitu mereka setiap bertempur maju berbareng dan
secara di luar dugaan juga kali ini mereka hendak bertindak
seperti biasa itu. Hanya kali ini mereka menghadapi musuh
yang berani dan matanya awas.
KamJiak Hoei tertawa begitu lekas ia lihat orang
merendengkan diri,ja bersenyurn, dan berkata Jikalau malam
ini tuan kecil kamu membiarkan kamu lolos dari coei-beng
^acJiauw, maka ini sakit hati yang dalam seperti laut tak
usahlah aku membalasnya pula."
Kimleng Jie Pa tidak mengambil mumai apa orang bilang,
meneruskan kebiasaannya. mereka lantas maju berbareng.
Kam Jiak Hoei tidak menyambuti, ia berkelit ke kanan,
sambil berkelit, ia terus memutar tubuh, dan sembari
memutar, tangan nya menarik senjatanya, dari itu, dengan
cepat sekali ia lantas membalas menyerang, senjatanya itu,
coei-beng Pat-jiauw, yang berupa gaetan seperti cakar atau
kuku^ me ny amber kepada dua lawannya itu.
Kimleng Jie Pa beriaku awas dan gesit, mereka menjejak
tanah untuk beriompat tinggi dengan lompatan ouw-liongseng
thian atau Naga hitam naik kelangit. Kaki mereka
terangkat tinggi. Hingga senjata lawan lewat di bawahannya.
Kam Jiak Hoei menyapu tempat kosong, ia lantas beriompat
ke samping, inilah penjagaan diri untuk tidak diteruskan
diserang kedua lawannya itu.
Kimleng Jie Pa girang melihat lawan itu tetap berada di
bawahannya, sembari berkelit tadi, mereka memang sekalian
telah memutar tubuh mereka. sekarang untuk menyerang
pula. Mereka hendak menggunai senjata mereka, Masingmasing
sebatang Pie hiat-kwa, semacam senjata untuk
menotokjalan darah. Ketika meraba kepunggung merekah tapinya keduanya
menjadi sangat kaget^ hingga semangat mereka seperti
terbang pergi. senjata mereka itu lenyap entah ke mana.
Ketika itu Kiam Jiak Hoei sudah bergerak lebih jauh. selagi
tubuh musuh turun, ia justeru menjejak tanah untuk
mengampungi diri guna berada di atasan musuh-musuh itu
dengan begitu, leluasalah ia melakukan penyerangan.
Dua saudara Sian kaget dan keder. Tidak ada jalan lain,
lekas- lekas mereka turun, Untuk itu mereka mengguna i tipu
silat Cian-kin-Cwe. "jatuh seribu Kati". itulah ilmu membikin
tubuh menjadi berat. Begitu kakinya nempel dengan tanah,
tangan mereka di ulapkan ke atas, guna menangkis
genggaman musuh. Sayang mereka kalah gesit. Coei-beng PatJauw sudah
meny amber dengan cepat sekali Mereka menjadi sasaran,
sambil menjerit tubuh mereka roboh terguling.
Hebat keduanya itu menjerit sian Wat roboh punggungnya
dan pinggang ke pundak. darahnya memancur, seketika juga
dia melayang jiwanya, sian Couw masih dapat berkoseran di
tanah cuma sebentar, dia pun terbang jiwanya.
KamJiak Hoei panas hatinya. "Dia berkelahi bukan cuma
mengandaikan gaetannya itu, selagi mengayun tangan
kanannya, tangan kiri nya turut meny amber juga, tangan
kirinya itu menggenggam dua belas batang pa ku Boen-sim
teng yang telah direndam dalam racun, maka semua paku itu,
asal mengenai darah, lantas racunnya menjalar ke teng
gorokan, untuk Menutup jalannya napas, sedang gaetannya nancap di
punggung. Jeritan dua saudara itu menyeramkan terdengarnya, siapa
yang nyalinya kecil, dia dapat bangun bulu romanya.
"Hebat." kata Tiong Hoa dalam hati, Beginilah dunia Kang
ouw di mana orang main saling balas. Di tempat begini tak
dapat aku berdiam diri lagi..." Dengan sendirinya ia menjadi
hendak mengundurkan diri siang-siang.
Selagi si anak muda ngelamun itu, sebuah tangan yang
halus meraba pundaknya. Tangan itu bergemetar perlahan, ia
lantas menoleh. ia tahu itulah tangannya Lee Hoen,
kawannya. ia lantas melihat wajah orang, yang seperti giris, ia
bersenyum kepada nona itu, maksudnya membilangi tak
usahlah si nona takut. Lee Hoen giris hatinya setelah ia menyaksikan tindakan
terlebih jauh daripada Kam Jiak Hoei. Anak berbakti ini, yang
menuntut balas untuk ayah-bunda serta semua anggauta
Keluarganya, sudah membiarkan dirinya dipengaruhi
dendamnya yang hebat itu, dia menghampirkan kedua mayat
musuhnya, ia menyimpan senjatanya di pundaknya, sebagai
gantinya ia menghunus sebuah golok pendek. dengan itu
dengan kesehatan luar biasa dia membacok ke batang leher
orang bergantian, guna memutuskan kepala musuhmusuhnya,
terus kedua kepala itu diikat menjadi satu, diikat
dengan rambut kepalanya masing-masing terus diangkat
tinggi. ?"Ayah, ibu" anak ini lantas dongak dan memuji, "anak
harap ayah dan ibu berdua di dunia baka suka menutup mata
ayah dan ibu, anak telah membalaskan sakit hati ayah dan
ibu" Sedih terdengarnya suara anak muda itu, Boleh dibilang
baru selesai KamJiak Hoei bersembahyang itu lantas orang
mendengar seruan yang nyaring sekali, yang nadanya seram.
seruan itu kembali memecah kesunyian sang malam yang baru
saja pulih. Lantas setelah itu terlihat sesosok tubuh manusia
lari kearah KamJiak Hoei, lantas berhenti didepan anak muda
itu. Jiak Hoei melihat orang bergerak sangat cepat, ia tidak
takut, Bahkan ia lantas mengawasi tajam.
Orang itu bertubuh besar dan kekar kepalanya lanang
sebab tak ada rambutnya selembar ^uga Dia mempunyai
leher yang panjang serta mulut yang lancip. hingga terlihatnya
mirip cecongor serigala Mukanya bengis sekali.
Dengan mata yang galak. dia mengawasi si anak muda,
yang masih memegangi kepala musuh-musuhnya. Lantas dia
tertawa, suaranya sangat tak sedap. bahkan menyakitkan
kuping. "Sayang sekali aku si orang tua datang terlambat." dia kata
seram, " Dengan begitu aku membikin kesampaianlah citacitanya
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang bocah, seumurku, aku si orang tua tidak sudi
melayani orang muda, akan tetapi murid-muridku telah
dibunuh, aku mesti menuntut balas."
Kam Jiak Hoei tahu siapa orang tua itu. yalah Boe eng Hoei
Long, ia jeri juga, Meski begitu, ia tidak mengetarakan bahwa
ia takut, malah sengaja ia tertawa.
"Kata-katamu ini terlalu dipaksakan, Khioe Loocianpwee." ia
kata, "Boanpwee mendendam sakit hati untuk sembilan belas
jiwanya orang-orang sekeluarga ku. Aku menjadi anak
mustahilkah tak dapat aku menuntut balas" Umpama kata
keadaan kita terbalik, yaitu loocianpwee menjadi aku,
bagaimana loocianpwee bakal bertindak?"
Tidak disangka Khioe Cin Keen bahwa ia bakal ditanya
begitu rupa, ia menjadi melengak. Tapi ia panas hati maka ia
tertawa seram. "Kau pandai sekali memutar lidah anak muda" katanya, "
Enak sekali aku mendengar kata-katamu ini Tapi kau mesti
ketahui, aku si orang tua, syarat hidupku yalah orang tidak
mengganggu aku, aku tidak mengganggu orang. orang telah
membinasakan ahliwaris ilmu silatku mana dapat aku
menyabarkan diri" Maka itu bocah, kau serahkanlah jiwamu"
Kam Jiak Hoei juga panas hatinya, Dia tertawa dingin.
"Jikalau loocianpwee tak mengerti priha1 peri-kebenaran
dan loocianpwee hendak memperkosa keadilan, baiklah aku si
orang muda terpaksa mesti mengiringi."
Sebagai penutup jawabannya itu anak muda ini
melemparkan dua kepala orang di tangannya untuk sebagai
gantinya mengeluarkan senjatanya, lantas dengan itu ia
melakukan penyerangannya. Mengbadapi musuh kesohor, ia
berlaku cepat dan bengis.
Sebagai orang tua, Khioe Cin Keen mengalah selama tiga
jurus, Lebih dulu ia menyampokjatuh kepalanya Kimleng Jie
Pa, terus ia mundur tiga tindak. dengan begitu hoei-jiauw si
anak muda tak mengenakan tubuhnya.
Ketika itu rembulan muncul dari antaraalingan awan,
cahayanya permai sekali, membuatnya sang jagat yang tadi
guram menjadi terang. Lie Tiong Hoa melihat Khioe Cin Keen mundur hingga
serangan hebat dapat dihindarkan dengan mudah ia kagum
untuk Iiehaynya Boe eng Hoei Long.
"Pantas dia kesohor." pikirnya. Karena ini pun ia menjadi
insaf bahwa ilmu silat tak ada batasnya, orang Iiehay ada
yang melebihkannya, Tidak kecewa orang she Khioe ini pun
dijuluki Thian Gwa It shia.
Segera lewat tiga jurus, maka Khiue Cin Keen terlihat mulai
dengan perlawanannya. segera juga Tiong Hoa menjadi kaget,
Gesit luar biasa, habis diserang, Boe-eng Hoei Long mencelat
ke belakang si anak muda she Khoi, julukannya Boe-eng Hoei
Long berarti serigala terbang tanpa Bayangan, julukan itu
tepat dengan kegesitannya itu. Dari belakang ada
meluncurkan tangannya untuk menotok. Inilah yang membikin
orang she Lie itu kaget. Kam Jiak Hoei menyerang dengan gaetannya, tetapi gaetan
itu menempel di tangan musuh. Dia kaget dan bingung,
Mendadak dia merasakan telapekan tangan nyeri sekali tidak
tempo lagi, senjatanya itu terlepas. Lantas terdengar suara
seram dari Boe eng Hoel Long, yang mengulangi serangannya,
ia menyerang seraya mengajukan tubuh mendesak dengan
tindakan sin heng Bie hou Pou-hoat.
Kam Jiak Hoei kaget bukan main hingga ia menjadi tidak
berdaya. "Oh, sungguh aku tidak sangka sekali" tiba-tiba terdengar
satu suara nyaring, yang keluar dari pepohonan lebat
disamping mereka, Aku tidak sangka Boe-eng Koei Long yang
namanya menggemparkan Rimba persilatan tetapi sebagai
orang tua sudah menghina si muda, sungguh sangat tidak
tahu malu." Hebat ejekan berikut dampratan itu. Mendengar itu, Boeeng
Hoei Lang lantas mengubah pikirannya. Kalau tadi ia ingin
membinasakan KamJiak Hoei, sekarang ia cuma menotok jalan
darah boen-hiat, setelah mana ia mencelat ke samping tiga
kaki, terus ia menoleh ke tempat dari mana suara datang.
"Siapa di sana" "ia tanya, "siapa berani menghina aku si
orang tua?" Teguran itu tidak memperoleh jawaban suara hanya
munculnya seorang imam tua yang bermuka bengis serta
seorang muda yang romannya tak kurang bengisnya, Melihas
imam itu, Khioe cin tertawa lebar.
"Pek Yang, berani kau berlagak di depan aku -.si orang tua"
ia kata. "Sungguh kau sangat tidak tahu diri"
Imam itu memang Kee-Iouw Mo Keen adanya, Dia muncul
sambil bersenyum, dia membawa lagaknya sebagai ketua dari
suatu partai Begitu lekas dia mendengar suaranya Khioe Cin
Keen, tak dapat dia beraksi terus, Dia menjadi gusar seketika.
"Khioe Cin Keen kau juga terlalu jumawa." katanya,
membalas. "Baiklah, kini aku si orang she Pek ingin mencobacoba
kau yang dikatakan gesit hingga tak ada bayangannya.
Benarkah kepandaian kau mengatasi Rimba Persilatan?" Khioe
Cin Kee berlaku jumawa. Jikalau benar kau ingin cari mampusmu, itulah mudah."
katanya. selama itu mereka sudah datang dekat satu dengan lain.
mereka sama-sama menatap. mata mereka berani, roman
mereka bengis menyeramkan.
Selagi begitu dari lain arah muncul lagi dua orang, mereka
berlari-lari mendatangi maka cepat tibanya mereka itu. salah
seorang itu lari sambit berlompatan karena ternyata dia
mengandal pada sebatang tongkat, hingga ada kalanya dia
ketinggalan kawannya, lainnya waktu mereka berendeng.
Lie Tiong Hoa melihat orang-orang baru itu ia menjadi
girang. ia memang lagi mengharap- harap datangnya Cee Cit,
sahabatnya itu maka melihat orang bertongkat itu terbukalah
hatinya. Ketika ia mengawasi orang yang lainnya ia mengenali sinbeng
sioe-soe Kim som. Dua orang itu menuju langsung ke arah Kam Jiak Hoei
setelah tiba. Kim som mengawasi kepada dua orang yang lagi
hendak mengadu jiwa itu, Kelihatannya dia mendongkol sekali
ketika dia kata pada Cee cit. Coba kau tidak memaksa aku
melayani kau main-main, tidak nanti muridku ini hilang
jiwanya ditangannya Khioe cin Keen si telengas itu"
Cee-cit mengawasi si anak muda, dia tertawa.
"Setan tua she Kim, jangan kau terburu naps u" katanya
wajar, "Aku si orang she Cee tidak mempunyai guna lainnya
kecuali mataku yang lihai Aku langsung tahu murid mustikamu
ini tidak mati." ia lantas membungkuk. untuk menotok tiga kali
di punggung Kam Jiak Hoei.
Boleh dibilang hanya sejenak. pemuda she Kam itu terlihat
bergerak. lalu tubuhnya berlompat bangun.
Di lain pihak Kee-louw Mo-koen terdengar mengeluarkan
suara tertahan, tubuhnya terhuyung tiga tindak. Dengan cepat
dia telah beradu tangan sembilan kali dengan Boe-eng Hoeilong-
Khioe-cin-koen, kesudahannya dia kalah unggul sedikit.
Satu jurus, "san-lauw tee-tong, atau Gunung guncang,
bumi bergerak dari Khioe-Cin-koen, membuatnya mundur itu,
terus dadanya terasa sesak dan mukanya menjadi pucat
sekali. Dia mencoba ber tahan diri, dengan mata tajam dia
memandang lawaonya, dia kata sembari tertawa dingin. "Lagi
tiga tahun maka aku Pek Yang, akan aku menagih pulang
hajaran tanganmu ini."
Khioe Cin Keen tertawa, "jangan kata tiga tahun, tigapuluh
tahun juga aku akan menantikanmu Kau tentu tidak bakal
berhasil." Mukanya Pek Yang menyeringai bengis, tanpa membilang
apa-apa lagi ia berlalu sambil menarik tangannya In Loei,
untuk menghilang jauh diantara sinarnya si Puteri malam.
Khioe Cin koen mengawasi sebentar, terus sambil bersiul, ia
lompat ke depan sin-beng sioe-soe bertiga, Dia bergerak
sangat gesit dan lincah, hingga Tiong Hoa kata dalam hatinya
"Apakah namanya ilmu ringan tubuhnya ini" Aku tidak melihat
pundaknya terbangun atau kakinya bergerak. tahu-tahu dia
sudah datang dekat."
Dasar masih kurang pengalamannya, hatinya pemuda ini
gampang tergerak sesuatu yang masih asing untuknya.
Gurunya mengajari banyak padanya hanya teori belaka tanpa
contoh kenyataan, benar ia melatihnya tapi kurang sempurna,
Maka sekarang ia berpikir keras.
Tapi setiap yang ia lihat lantas menarik perhatiannya. Di
sini kembali ia menyaksikan hebatnya sepak terjang orangorang
Kang ouw. Khioe Cin Keen mengawasi Kam Jiak Hoei, yang berdiri
sehat waras di samping Kim som, ia heran, parasnya pun
berubah, ia kata dalam hatinya:
"Siapakah ini dua orang" cara bagaimana mereka dapat
membebaskan totokanku Pian-hoan Co-hiat Cioe noai ini" Aku
tahu yang mengerti ini hanya beberapa orang saja..."
Kim som melihat orang heran, ia tertawa sambil menguruturut
kumis yang masih pendek, la kata: "saudara Khioe, tak
usahlah kau capaikan hati memikirkan kita sebenarnya sudah
lama kita saling mengagumi, Cuma sebegitujauh belum
sempat kita bertemu satu dengan lain" Matanya Boe eng Hoei
Long mendelik, "Apakah itu saling mengagumi?" katanya bengis,
"sebenarnya siapakah kamu?"
Kim som tidak murka, dia tertawa pula.
"Tak heran, saudara Khioe tak berani," katanya sabar
"sudah lama kau tinggal di pulau belukar, penglihatanmu
sedikit, pendengaranmu kurang sebaliknya orang gagah di
Tionggoan banyak bagaikan pasir. Aku" Melainkan mirip
seorang serdadu biasa, Cuma karena orang Rimba persilatan
menyintai aku mereka menyebutnya aku sin-heng sioe soe.
Namaku yang rendah adalah Kim som, dan tuan ini adalah
saudara Cee Cit," Mendengar nama orang, Khioe Cin Keen terperanjat tapi
dia lantas tertawa lebar.
"Aku mengira siapa, tak tahunya kau." katanya nyaring.
"Bagus, bagus, Malam ini aku si orang tua bakal belajar kenal
dengan ke^esitanmu yang di sohorkan. Aku ingin melihat
apakah kau dapat main-main beberapa jurus dengan Boe Eng
sin-hoat." Boe Eng sin-hoat, atau ilmu tanpa bayangan, adalah ilmu
kegesitan Khioe Cin Keen yang membuatnya memperoleh
juluka nnaitu Boe-eng Hoei Long si serigala Terhang Tanpa
Bayangan- Meski ia pernah dengar nama orang tersohor sekali, orang
she Kioe ini tetap membawa lagak terkeburnya, sedikitpun ia
tak memandang mata pada sinheng sioe-soe, selesai berkata
itu, ia juga melihat Cee Cit. ia tetap tak menghiraukannya.
Cee cit tak puas menyaksikan tingkah orang itu Mendadak
ia berseru, tongkatnya ditekankan ke tanah, maka mencelatlah
tubuhnya, berbareng dengan mana sebelah tangan
terulur panjang. ia telah mengguna Hoet Wao Cioe. Tangan
kera-terbangnya itu. Khioe Cin Keeo berlakujumawa sekali akan tetapi ia
waspada, maka ia terkejut melihat gerakannya Cee Cit itu, ia
mengenali ilmu silat itu dan merasa orang dapat
menggunakannya secara mahir sekali.
Lekas-lekas ia berkelit ke kanan, dengan tubuhnya berada
di sisi si orang she Cee, segera ia membalas menyerang,
dengan lima buahjerijinya ia menjambret ke pundak orang.
Cee cit melihat gerakan orang, ia terperanjat. Memanglah
cacadnya ilmu silatnya itu, kalau tangan kanannya
dilancarkan, tangan kirinya mesti diciutkan, ia tidak
menyangka orang mengenal kelemahannya itu. Kalau ia kena
disamber, bukan saja tangan kirinya tak bakal dapat diulur
lagi, darahnya pun bakal mandek jalannya, Maka lekas-lekas ia
berkelit. Khioe Cin Keen juga menyerang sangat cepat.
Jilid 8 : Cinta kasih bunga berjiwa
Kim som melihat kawannya terancam bahaya, tanpa
membilang apa-apa lagi ia maju menyerang dengan dua-dua
tangannya, karena orang membelakangi ia, ia tak perduli
bahwa ia menyerang punggung.
Benar-benar Boe-eng Hoei Long liehay sekali, Dia dapat
berkelit dari serangannya sin b eng sioe-soe. Hanya dengan
begitu, ia membatalkan serangannya terhadap Cee Cit.
Ia tertawa lebar, terus ia balik menyerang orang she Kim
itu, bahkan ia berlaku keras sekali, hingga Kim som merasa ia
seperti terkurung lawannya itu, yang bergerak-gerak gesit
bagaikan bayangan yang berkelebatan..
Cee-cit maju maju pula, maka itu berdua Kim som ia
melayani lawan yang tangguh itu,
Meski mengepung berdua, mereka tidak dapat berbuat
banyak, orang terus dapat menyingkir dari pelbagai serangan
mereka. Cuma karena ia diserang lebih dulu, Khioe Cin koen tak
dapat merebut kepala angin-...
Kam Jiak Hoei berdiri menjublak menyaksikan gurunya
berdua mengepung guru musuhnya itu, ia tidak menyangka
orang demikian gagah, pantas KimlengJie Pa terkebur dan
galak. sudah gurunya kosen, guru itu pun melindungi mereka.
Malam itu, kecuali bintang banyak. rembulanpun baru
muncul Maka nyata sekali terlihat ketiga orang bertempur seru
itu Lie Tiong Hoa terus menyaksikan pertarungan itu, ia dapat
melihat perbedaan di antara mereka itu, Benar Khioe Cin Koen
terus bergerak dengan gesit akan tetapi Cee Cit berdua Kim
som juga tidak terlihat bingung mereka ini tetap tenang,
hanya setiap serangan mereka selalu menemui kegagalan.
Lama-lama hal itu akan buruk juga akibatnya nanti.
"Aku telah berjanji hendak membantui Kim Som,
sekaranglah waktunya," ia berbisik pada Lee Hoen. " Karena
itu aku harap nona tetap bersembunyi di sini jangan kau
sembarang bergerak."
Lalu tanpa menanti jawaban lagi ia lompat turun terus ia
menghampirkan Khioe Cin Koao untuk segera menyerang.
Khioe Cin Keen bermata jeli, ia melihat bayangan
berkelebat, karena menduga kepada musuh. ia tidak
menangkis, hanya berbareng berkelit ia melesat terus kearah
KamJiak Hoei untuk membekuk anak muda yang lagi berdiri
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diam ituJiak Hoei kaget tetapi dia sudah kena dibekuk.
Sambil tertawa terbahak-bahak. Boe-eng Hoi Long terus lari
bersama orang tawanannya itu, Tepat dengan julukannya, ia
lari cepat sekali masuk kedalam rimba. Cee cit dan Kim som
terkejut sambil berteriak. mereka mengejar
Tiong Hoa melengak. inilah ia tidak sangka. ia mau
menolongi kawan, siapa tahu demikian rupa akibatnya.
Phang Lee Hoan melihat kejadian itu ia lompat turun dari
tempatnya sembunyi. Ketika ia datang dekat si anak muda,
anak muda itu masib melengak, ia tertawa geli.
"Buat apa berdiri menjublak saja," sinona menegur, "Tak
ada gunanya itu, Lebib baik kita menyusul mereka.
Tiong Hoa sadar karena ditertawakan, ia lantas lari
menyusul bersama nona itu. Ketika mereka melintasi rimba di
depan panggung Ie Hoa Tay itu dan sampai di sebuah tempat
tinggi d iba wah mana ada jurang, mereka tidak lihat
sekalipun bayangan orang. cuma sana angin yang
menyamber-nyamber muka mereka.
Melainkan dikejauhan nampak kota Kimleng diwaktu malam
di mana api terang di sana sini dan darimana pun terdengar
samar-samar suara tetabuan dan nyanyian.
Lama berdua mereka berdiri menjublak di tanjakan itu,
akhirnya dengan lesu mereka berjalanpulang kedalam kota.
Mereka melihat kota ramai sekali, banyak pedagang, banyak
pula penduduknya yang berpesiar, Mereka kembali terus ke
Thian siang Kie. Tiong Hoa tidak gembira.
"Aku ingin pergi ke luar guna mencari tahu tentang mereka
itu," kata ia pada si nona, "Aku minta nona menaati di sini,
jangan kau pergi kemana-mana."
Lee Hoen tak tenang hatinya, Dalam tempo yang cepat ia
jadi jatuh hati terhadap pemuda ini. ia tidak dapat mencegah
tapi ia pun tak dapat melegakan hatinya, Maka ia kata: "Kau
tidak mempunyai senjata untuk membela diri, saudara Lie, kau
baik bawa gedangku ini."
Si anak muda menggoyangi tangan.
"Aku rasa tak perlu aku membekal senjata." katanya
tertawa, "Dengan membawa pedang aku justeru mudah
menarik perhatian semula kurcaci. Untuk kau, nona, terlebih
baik lagi kau mempunyai senjata untuk melindungi dirimu."
Lee Hoen tidak dapat memaksa. "Baiklah, asal saudara
lekas pulang," katanya.
Nona ini menghela napas melihat kepergian orang, ia pun
merasa, ia menepas airmata, pikirannya kusut dan letih, ia
masgul sekali, ia ingat ibunya pernah membilangi ia bahwa
kalau dapat ia hendak dijodohkan pada seorang pelajar,
supaya ia jangan mendapat peruntungan seperti ibunya, yang
saban-saban di tinggal suaminya yang senantiasa repot dan
sering menghadapi bahaya, sampai paling belakang suami itu-
- yaIah ayahnya--tak pulang-pulang.
Hingga sekarang ia memperoleh kenyataan ayahnya itu
sudah terbinasa di tangan manusia licik. ia pikir, kalau ibunya
tahu ia memilih Tiong Hoa, seorang Kang ouw, mungkin
ibunya berduka. Tapi, apa daya" ia telah menyintai pemuda
she Lie ini. Dengan mata mendelong, Lee Hoen mengawasi rembulan
dari jendela kamarnya. Masih pikirannya bekerja, ia
membiarkan airmatanya meleleh di kedua belah pipinya, sang
angin membuat main rambutnya, dan sang rembulan mencari
tampangnya yang cantik. Tiong Hoa sendiri keluar dari hotel dengan tindakan cepat,
dengan cepat juga ia jalan telasap telusup di antara orang
banyak. Begitu ingin ia lekas tiba di luar kota, ia tidak tahu
bahwa disaat ia keluar dari pintu hotel, ia sudah dilihat
seorang yang terperanjat melihat padanya sampai orang itu
mengeluarkan seruan tertahan, selanjutnya ia dibayangi orang
itu. Tiong Hoa ketarik dengan kota Kimleng yang beda dari kota
Yan-khia. Di samping itu ia menjadi bingung, Kemana ia mesti
cari Cee Cit" Tadi saja saudara itu bersama Kim som sudah
tidak keruan parannya. "Ah, biarlah sudah..." pikirnya kemudian, "Dia gagah, tidak
nanti dia dapat celaka, Bukankah dia berada bersama Kim
som" Mungkin dia bakal segera kembali dan mencari aku
Thian siang Kie." Kesangsian ini membikio ia batal menuju terus ke luar kota,
ia juga lantas mendengar nyanyian yang mengiringi tetabuan,
ia bertindak ke arah suara itu, maka sebentar kemudian
tibalah ia di tepi sungai Cin Hoay Hoo.
Di sungai itu terlihat banyak perahu pelesiran yang
terpanjang sedang apinya di pasang terang-terang, Tetabuan
dan nyanyian keluarganya dari tiap-tiap kendaraan air itu. oleh
karena hatinya tertarik sangat, Tiong Hoa berdiri ditepian.
Di bagian hulu sungai Gin Hoay Hoo terpecah dua yalah
bagian baratnya asal sungai Lie sooi, dan bag ia n timurnya
sungai Kee fong sampai di gunung Hong san barulah bertemu
menjadi satu terus dari pintu kota Tong- cee masuk kedalam
kota di mana dia mendapat namanya yang kesohor itu, itu
terletak dekat gereja Hoe CoeBio, kuilnya Khong Hoe Coe, di
atasannya yaitu penyeberangan Tho-hoa-touw, dan di
bawahannya jembatan Boen Tek Kio.
Ketika Tiong Hoa berdiri di tepian itu- waktu sudah lewat
jam tiga dan bulan sisir sedang permainya, Di waktu begitu,
orang masih terus bersenang-senang, Mungkin itu lah yang
disebut suasana sorga....
Tiong Hoa tengah tersengsam kapan ia di sadarkan suara
tercebur keras, lantas dari beberapa buah perahu di dekat situ
nampak kepala orang pada muncul dujendela. ia pun lantas
mendengar teriakan kaget: "Orang kecemplung" ia segera
menoleh. Maka ia melihat satu orang lagi bergulat dengan kematian,
Beberapa kali nampak kepala orang itu muncul, lalu selam
lagi, hingga terlihat rambutnya saja. Menampak demikian,
tanpa berpikir lagi, pemuda ini lompat untuk menolongi.
ooooo BAB 11 BEGITU ia menceburkan diri, Tiong Hoa lantas bergulat,
dengan sang air, saking ingin menolong orang, sampai ia lupa
babwa ia tak pandai berenang. Lantas ia kena tonggak air,
syukur di bagian situ kali tak dalam, ketika kakinya nempel
dengan dasar kali. ia dapat menjejak dan timbul pula tangan
bebas ia sampai pada orang yang bercelaka itu, terus ia
menjambret niatnya untuk diseret ke tepian, Dengan kedua
tangannya ia pegang iga orang itu, untuk mengangkat
tubuhnya. Begitu dia terangkat dari dalam air, orang itu membuba
kedua matanya, Tiong Hoa kaget sekali, ia merasakan mata
orang sangat tajam dan bengis, Dengan mendadak ia menjadi
bercuriga. Habis melek. orang itu meram pula seperti ia mau pingsan.
Justeru itu mulutnya terpentang dari dalam mulut itu
menyemprot air kali mengenangi muka si anak muda, Tiong
Hoa terkejut tak dapat ia membuka matanya. semprotan keras
dan mendatangkan rasa nyeri, ia menjadi heran.
Lantas ia menduga bahwa ia lagi ditipu, hanya ia tidak
kenal orang itu, Tengah ia gelagapan dan sukar bernapas itu,
mendadak orang itu menekan kedua pundaknya, buat
membikin ia terbenam kedalam air.
Sementara itu, meski air tidak deras mereka sudah hanyut
beberapa tombak hingga mereka terpisah dari perahu petesira
n yang terdekat tadi. Masih terdengar orang menjerit-jerit
akan tetapi tidak ada yang terjun untuk menolong i.
Tiong Hoa sadar tapi ia tetap berkuatir, sekarang orang
memegang lehernya untuk di cekek. Tentu sekali ia lantas
sukar bernapas, Mukanya pun penuh air, Dalam keadaan
begitu, hatinya menjadi panas ia mau menolong dirinya, Maka
ia lantas meraba Kedua sikut orang itu, guna menotokjalan
darah keng-kie. Karena tidak bisa bernapas, tenaganya berkuraog, tetapi la
mengerahkan sebisa-bisanya.
Orang itu pun kaget, ia lagi mencekek. tidak bisa ia
membela diri, ia merasakan kedua lengannya sakit, lalu kaku,
lalu lemas jerijinya si anak muda nempel seperti gaetan yang
keras dan tajam. ia menahan sakit, ia mencekek terus,
sekuatnya bisa. Tiong Hoa pun bertahan terus, ia juga mesti menjaga agar
air tak masuk ke hidung atau mulutnya. ia mengeraskan
lehernya, ia mengerahkan tenaganya. Tak lama. ia merasa
cekekan menjadi lebih kendor, lalu kendor dan terlepaslah
tangan orang itu. Lekas-lekas ia timbul, ia masih mendengar suara nyanyian
lantas ia tak ingat akan dirinya, ia tidak tahu berapa lama sang
waktu sudah berjalan lalu ia merasa nyaman.
"Apakah aku berada diatas perahu pelesir itu?" ia tanya
dalam hati, ia belum mau membuka matanya, Telinganya
lantas mendengar suara nyanyian yang merdu. suara tetabuan
menyertai nyanyian itu ia membuka matanya ketika hidungnya
menyedot bau harum. "Ooh..." ia berseru tertahan, saking heran, ia mendapatkan
tubuhnya rebah diatas pembaringan ampar tersulam dan
kelambu yang berkembang indah.
Ruang pun lengkap perabotannya serta indah-indah juga.
Dua batang lilin menjadi penerangnya, di depannya ada
berduduk seorang pelayan perempuan umur kira dua belas
tahun tapi dia lantas berdiri dengan terperanjat rupanya dia
lagi ngelenggut dan mendusin dengan tiba-tiba, terus dia lari
keluar sambil memanggil-manggil, "Nona, nona, dia mendusin-
" "Ah, rupanya aku ditolongi oleh salah seorang nona tukang
nyanyi, " pikir Tiong Hoa. ia lantas ingat pengalamannya.
Lehernya juga masih terasa sedikit nyeri, ia hanya tidak
mengerti, kenapa orang hendak mencelakai ia. Rupanya
sengaja orang itu ceburkan diri, guna memancing dirinya,
Ceroboh, ia memperoleh pengalaman ia menjadi insaf akan
liciknya orang. "Benar gila " katanya seorang diri, tertawa.
Mendadak ia terperanjat Baru sekarang ia mendapat tahu
bahwa ia rebah tanpa pakaian-
Mukanya menjadi merah, hatinya berdenyutan. ia merasa
malu sendirinya, inilah, rupanya, yang menyebabkan si
pelayan kabur Ia melihat ke sekitarnya, ia menjadi putus asa, ia tidak
mendapatkan baju atau celananya. Kecuali seprei atau
selimut, tidak ada barang lainnya untuk menutupi tubuhnya
itu. "Celaka..." ia mengeluh.
Tidak lama, maka ia mendengar suaranya pelayan tadi, la
juga mendengar tindakan kaki, bukan dari satu orang, ia
mengawasi ke arah pintu. Budak tadi muncul bersama seorang nona, yang berjalan
belakangan itulah seorang nona cantik pakaiannya putih
bersih, wajahnya tersungging senyuman. Nona itu bertindak
terus ke muka pembaringan.
Kembali ia merah mukanya, sedang d idalam hatinya ia
kata: "Dirumah pelesiran ada nona cantik begini...."
Nona itu lantas duduk di bangku depan pembaringan.
"Pastilah tadi kongcoe kaget." ia berkata, suaranya halus
dan merdu. Mukanya Tiong Hoa menjadi merah pula.
"Terima kasih, nona, yang kau telah menolong aku." ia
berkata. "Pasti aku akan membalas budimu ini."
Nona itu merah wajahnya. "Kongcu tercebur di kali, pakaianmu basah, maka aku telah
menyuruh orang mencucinya." kata ia. "Dis ini tidak ada
pakaian pria, terpaksa kongcu harus menanti sampai besok
pagi, Aku telah menitahkan orangku membeli seperangkat
pakaian- Menyesal, sekarang kongcu harus menanti saja..."
"Ooh, nona, aku membikin kau pusing dan berabeh." kala
Tiong Hoa, "terima kasih."
Dengan sendirinya anak muda ini malu sekali. Pastilah si
nona yang telah meloloskan pakaiannya yang basah itu.
Baiknya ketika itu ia masih pingsan, Kalau tidak, taktahu
kemana mesti ia menaruh mukanya....
Tanpa merasa mata Tiong Hoa bentrok dengan sinar mata
si nona, ia melihat pula bagaimana kecantikan nona itu, Hanya
ia mendapatkan pada itu ada sinar kedukaan, ia tidak melihat
gerak gerik dari seorang bunga berjiwa, ia mendapatkan
sebuah muka yang halus dan bersih, tak ada sedikit juga sinar
kegenitan. Karena lihat sendirinya ia menggeser tatapannya, hingga
sekarang ia melihat si budak perempuan.
Nona cilik itu tertawa geli.
"Hus." si nona menegur, " Lekas siapkan bubur serta
beberapa rupa sayurnya buat kongcu bersantap."
Budak itu menyahut perlahan, lantas dia mengundurkan
diri. Tiong Hoa sendiri tiba-tiba mengasi dengar suara kaget
perlahan, tangannya lantas meraba-raba kasurnya, ia seperti
kehilangan sesuatu. Si nona mengawasi, ia bersenyum. ia bertindak ke meja
rias di samping pembaringan ia menarik laci yang kecil, untuk
mengeluarkan sejilid buku kecil dengan kulitnya kulit kambing,
Lalu ia kembali. "Apakah kongcoe mencari buku ini?" ia seraya
mengangsurkan buku itu. Tiong Hoa lantas menyambut dan lihat itulah buku
hadiahnya Thian Yoe sioe, ia merasa lega bukan main. Buku
itu pun kering suatu tanda si nona telah menggangganginya.
Maka ia puji kecerdasan nona itu.
Menghadapi nona ini, tiba-tiba Tiong Hoa ingat Cek In Nio.
Keduanya sama-sama cantiknya, Bedanya adalah si nona Cek
pandai ilmu silat, Baginya In Nio adalah nona yang tak boleh
tak ada, sekarang di depannya ini, ada nona yang budinya
besar, yang tak dapat ia segera membalasnya.
Kenapa nona ini menolong aku" pikirnya, ia lantas
mendapat jawabannya, ia melihatnya dari sinar mata si nona
sinar yang luar biasa, Maka diam-diam ia menghela napas.
"Bagaimana sekarang?" pikirnya. "Terserahlah.-."
"Meskipun aku bodoh tetapi aku mengerti inilah kitab ilmu
silat," si nona berkata, "sedari masih kecil aku gemar ilmu silat
itu, sayang aku tidak pernah mendapatkan gurunya, maka itu
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertemuan kita ini adalah jodoh kebetulan sekali, Aku harap
kongcu nanti suka memberi petunjuk satu dua padaku."
Karena ia menyebutkan jodoh. muka si nona bersemu dadu.
"Ah, aku gila nona," kata Tiong Hoa tiba-tiba, "Aku sampai
lupa menghaturkan terima kasih padamu sebenarnya aku
mengerti sedikit sekali tentang ilmu silat, maka itu mana
berani aku menunjuk sesuatu pada nona." Nona itu
bersenyum, ia tidak mengatakan apa-apa.
Kemudian si pemuda tanya, "Apakah aku boleh mendapat
tahu she dan nama yang mulia dari nona?"
Nona itu bersenyum. "Aku she Ho, namaku Ban in." sahutnya. "Apakah kongcu
pun suka memperkenalkan diri kongcu?"
"Ooh Aku Lie Cie-tiong .."
Nona itu agaknya heran, tapi ia tertawa.
"Benarkah kongcu bernama Lie Cie-tiong?" ia tanya, "Dalam
ngelindur tadi, aku mendengar disebut-sebutnya kata-kata
Hoa." Muka si pemuda merah.
"Aliasku yalah Tiong Hoa." ia kata, "Aku tidak nyana nona
mendengar itu." Ketika itu budak tadi kembali dengan barang
makanan. Si nona berbangkit untuk menyambuti, terus ia berkata,
"Kongcu, Kau rebab saja nanti aku yang menyuapi."
"Mana dapat aku memberabehkan nona." Kata si pemuda.
Si pemudi tertawa, ia tidak membuang apa apa. Hanya ia
memegang sumpitnya, untuk mulai menyuapi.
Mau atau tidak. Tiong Hoa membuka mulutnya. ia lantas
merasai santapan yang lezat. Beberapa kali sumbu lilin
meletuk seperti kembang api.
Tiong Hoa makan sambil berbicara dengan si nona, ketika
ia sudah cukup makan, pembicaraan masih dilanjuti, sampai
terdengar ayam-ayam jago mewartakan datangnya sang fajar,
ketika itu lilin tinggal sisanya, hampir padam..
Dari mulut Nona Ban in, Tiong Hoa mendapat tahu kejadian
terlebih jauh, peristiwa itu disaksikan si nona yang kebetulan
bersama adiknya tengah melayani seorang tetamu she Lin, ia
ditolong i ketika ia mulai pingsan-
Musuhnya itu juga ditolong i tetapi jiwa dia keburu
melayang, orang she Lin itu sebal melihat romannya si orang
jahat, mayatnya dilemparkan pula ke sungai, orang she Lin itu
menolong i menekan perutnya, untuk mengeluarkan airnya,
lalu mengurutinya. Kemudian si nona menyatakan herannya
pemuda ini sadar terus pulih kesehatannya.
Sementara itu hati Tiong Hoa bercekat, ia kuatir kitabnya
telah dapat dilihat si orang she Lin, ia mengawasi kitab itu. si
pemudi melihatnya, dia tertawa.
Jangan kuatir, kongcu." dia kata, " kitab ini cuma aku
seorang yang mengetahuinya. Aku tahu, meski aku bukan
orang Rimba Persilatan, kitab ini mestinya penting sekali,
inilah kitab yang orang sukar mendapatkannya, dan kalau apa
lacur kitab ini dapat di lihat lain orang, bahaya bisa datang
karenanya." Tiong Hoa heran, ia terperanjat. Luar biasa Ban in
mengetahui itu. ia mengagumi si nona, yang rupanya pandai
melihat selaian, "Mana dia tetamu she Lin itu?" kemudian ia
tanya. Mukanya si nona merah.
"Ia sekarang berada di kamar adikku," sahutnya. "sebentar
dia datang." Tiong Hoa berdiam hatinya bingung, Bagaimana kalau
orang datang ia masih tidak mempunyai pakaian" ia toh dapat
rebah terus di pembaringan-
Ban in mengawasi sambil bersenyum, ia dapat menerka
hati orang. Tiong Hoa melihat muka si nona, mukanya merah
sendirinya. Tak lama pelayan tadi muncul dengan satu bungkusan di
tangannya, dia meletakinya di atas pembaringan.
"Inilah pakaian yang baru dibeli," kata si nona, lantas
bersama pelayannya ia memberi hormat untuk terus
mengundurkan diri, " Tiong Hoa bergerak cepat, untuk
berpakaian, kemudian ia membersihkan muka dan memberesi
rambutnya. Ketika ia berdiri di muka kaca- rasa, memandang
wajahnya sendiri ia berdiam untuk berpikir.
"Entah bagaimana dengan Kwie Kian cioe dan sin-beng
sioe-see," pikirnya, ia lantas ingat saudara angkat itu berdua
"Bocah dengan Kam Jiak Hoei, dia dapat ditolong atau tidak
Boe-eng Hoei Liong begitu liehay, apakah dia dapat disusul"
Tentulah Khioe cin-koen dikejar terus sampai disarang nya. Di
manakah sarangnya itu" jikalau aku tahu, harus aku susul
mereka. Kemudian ia menjadi masgul, ia telah tinggal Lee Hoen
dirumah penginapan pasti nona itu bergelisah menantikan ia
tak kunjung balik, ia tidak meny intai nona itu, si nona yang
seperti menyintai sendiri padanya.
Ia cuma telah berjanji akan mengantari nona itu ke TOklok.
ke guanya Yan Loei di Yan Kee Po, sekarang ia tidak kembali,
bisa-bisa si nona mencurigai ia seperti pendusta.
Kalau benar, sulit ia memberikan keterangannya. Di
matanya sudah ada Cek In Nio dan sekarang Ho Ban In, ia
menyukai nona Ho, bukan terutama karena cantiknya, hanya
di sebabkan pertolongannya dan kebaikan hatinya.
Ia merasa berhutang budi dan mesti membalasnya, Kalau
Ban In jahat, ia bisa di celakai atau kitab silatnya dikangkangi,
maka bingunglah ia. Bagaimana ia harus memilihnya.
Ah. kenapa aku jadi begini" Akhirnya ia tanya dirinya, tapi
ia dapat menguasai diri, ia mengambil keputusan, Biarlah,
segala apa terserah pada sang waktu dan keadaan Asal aku
benar buat apa aku pusingi diri"
Ia tidak usah berpikir lebih lama pula, Kupingnya lantas
mendengar tindakan kaki sedikit berat, lalu di ambang pintu
muncul seorang pria usia pertengahan dengan baju panjang
biru, pundak dia dadanya lebar mukanya persegi, romannya
gagah. Dia memelihara kumis dan jenggot dan matanya bersinar
tajam, Di belakangnya mengikut Ban in serta seorang nona
lain yang cantik yang sujennya manis, ia lantas menduga
kepada si tetamu she Lin maka ia segera menyambut.
Orang itu sudah lantas tertawa dan kata nyaring "Matanya
Ban In jeli sekali, Memang saudara Lie tampan dan gagah, dia
membikinnya Lie Tiang Keng malu sendirinya."
Tiong Hoa menjura, sambil tertawa ia kata. "Tadi malam
saudara Lim telah menolongi jiwaku, budi besar itu nanti aku
ingat untuk selamanya."
Tetamu itu tertawa pula. Tiong Hoa mendapat kenyataan Ban ln terus
mengawasinya, ia jengah sendirinya.
Memang di matanya Ban in, Tiong Hoa tampan seperti
Phoa An- Karenanya si nona jadi tercengang, Didalam hatinya
dia memuji "Sungguh ia tampan-" Diam-diam dia girang
sekali. Lin Tiang Keng menarik tangan si nona di sisi Ban in, ia
memperkenalkannya, "Inilah nona yang aku si orang she Lin
mengenalnya, ialah nona Liw Wan Nio." Keduanya saling
memberi hormat, Tiong Hoa kata ia senang dengan
pertemuan ini. Kemudian Tiang Keng tertawa dan kata. "Kau gagah dan
mulia, saudara Lie Bangsat itu cari niampusnya sendiri syukur
saudara dapat bertahan dari cekekannya."
Tiong Hoa heran. "Kenapa saudara tahu bangsat itu berpura menceburkan
diri?" ia tanya. "Hal itu gampang diketahui kalau dia benar kelelap. mana
dapat dia mencekek orang" Dia pun meocekek dijalan-dsrah
ouw kiat, jadinya dia memang mengarah jiwa saudara Ya,
saudara Lie." Tiang Keng menambahkan, "Kenapa saudara
bermusuh dengan bandit air dari Kee-leng itu?"
Tiong Hoa melongo. "Barusaja aku keluar dari kota raja." ia menyahut. "Tadinya
belum pernah aku masuk dalam dunia Kang ouw, belum juga
pergi ke wilayah Pa-siok. Mana bisa aku bermusuh dengan
penjahat air dari Kee-leng" Apakah saudara kenal penjahat
itu?" Orang she Lie itu mengangguk
"Dia sebenarnya satu di antara Kee-leng Jie Kauw. Dialah
Long-Kauw Tiauw Kiat-Dengan saudaranya, dia sebenarnya
tak pernah berpisahan- Maka heran kakaknya, Hoan-kangkauw
Tiauw Eng, tidak ada di-sana, Aku bukan cuma kenal
kedua perompak itu, bahkan lima tahun dulu, ketika aku lewat
di Kee-leng, aku bentrok dengan mereka. Ada orang yang
datang sama tengah di antara kita. tak sampai kita
bertempur." Sembari menatap ia meneruskan "Mereka kenal saudara,
kenapa dia mau membinasakannya"
"Inilah aneh. Ah mungkin Tiauw Kiat kena disogok lain
orang, coba saudara ingat-ingat salama di tengah jalan,
saudara pernah bentrok dengan siapa?"
Tiong Hoa menggeleng kepala, Benar-benar ia tidak ingat,
Sampai disitu orang terus juga tidak menanyakan lebih jauh.
Ketika itu di dalam kamar itu pelayan mengatur meja
perjamuan, "Nona Ban in mengadakan perjamuan untuk
menghilangkan kagetnya saudara Lie" kata orang she Lin itu
kemudian- "inilah suatu hal yang membahagiakan seingatku
belum pernah aku melihat Nona Ban-in melayani tetamu
secara begini." Mukanya Tiong Hoa merah. Nona Ho melirik ia bersenyum,
lantas ia tunduk. Begitu perjamuan di mulai Tiang Keng yang bicara paling
banyak. Saban-saban dia tertawa, Tiong Hoa jengah, ia cuma
bisa tersenyum. Wan Nio dan Ban In pun tertawa dan bicara
banyak, Ban In melayani Tiong Hoa dengan telaten sekali.
"Saudara Lie, aku minta janganlah kau mensia-siakau
kebaikan nona Ban In," kemudian Tiang Keng kata, suaranya
nyaring, "walaupun nona Ban ln berada ditempat semacam ini,
ia sebenarnya putih bersih bagaikan kemala yang disimpan
hati-hati. Biasanya ia manis seperti bunga-bunga tho dan lie
dan dingin bagaikan es, baru hari ini sikapnya luar biasa,
manis dan ramah sekali, jikalau aku si orang she Lin telah
diberikan ketika, pasti sudah siang-siang aku melamarnya,
sayang nona Ban-in memandang aku hanya sebagai tukang
pelesir, lain tidak juga nona Ban In tak sembarang menerima
budi orang. Saudara Lie, mudah-mudahan kau melindunginya
baik-baik," Telinga Tiong Hoa menjadi merah, hatinya memukul.
"Akulah orang biasa saja, mana aku berharga menerima
perhatian nona Ban In begini rupa" katanya, Diam-diam ia
melirik nona itu. Ban-in likat, lalu matanya merah, airmata nya
mengembeng... "Hebat," pikir Tiong Hoa, "Tidak ada sebab untuk ia tidak
menyintai nona itu yang cantik dan manis, yang telah melepas
budi terhadapnya, ia pun mau percaya Tiang Keng bahwa si
nona bukan sembarang bunga berjiwa, Hanyalah, bagaimana
ia dapat menerima nona itu, Toh ia merasa sangat berkasihan,
Maka akhirnya ia kata: "Asal Nona Ban In tidak mencela
kejelekan dan kemiskinanku."
"Cukup, cukup sudah" Tiang Keng berseru memotong.
"saudara Lie sudah menerima baik" Lantas dia memberi
selamat kepada Ban in, siapa tunduk saja, kedua tangannya
membuat main ujung batunya. Biarlah ia setangkai bunga, ia
toh likat. Tengah orang bersuka ria itu, mendadak terdengar suara
tertawa dingin di atas genting hingga semua orang kaget,
tatkala mereka menoleh ke pintu, di ambang itu terlihat
seorang usia kira empatpuluh tahun, yang romannya bengis
dan matanya galak, menatap tajam kepada Lie Tiang Keng.
"Aku kira siapa, tak tahunya Tiauw Loo-toe memberi
kehormatan padaku dengan berkunjung ke mari." orang she
Lin itu kata. "Sejak perpisahan kita di Keeleng, lima tahun sudah
berselang sebenarnya aku sangat kangen pada kau, loosoe,
silahkan masuk. mari duduk minum bersama."
Memang orang itu Hoan kang-kauw Tiauw Eng si Ular naga
Membaliki Sungai, salah satu dari Kimleng Jie kouw . dua jago
Kimleng, kakak dari Long-kauw Tiauw si Ular naga
Gelombang. Tiauw Eng menyapu semua orang dengan sinar matanya
yang bengis itu. "Lin Loosoe aku numpang tanya." kata ia dengan keras "
kenapakah adikku mati?" suaranya keras...
"Apakah benar dia telah dianiaya sahabatmu ini?" sekarang
dia memandang bengis kepada Tiong Hoa seorang.
Lin Tiang keng tertawa. "Justeru itulah hal gelap yang membingungkan aku si orang
she Lin dan sahabatku ini!." dia menjawab. "Tadi malam
sahabatku jalan-jalan di tepian sungai Cio Hoay Hoo, Tiba-tiba
adikmu itu sengaja membuang diri nya kedalam sungai, lalu
dia berteriak-teriak berpura-pura minta tolong seperti juga dia
kelelap, sahabatku ini berhati mulia tanpa memperdulikan diri
bisa terancam bahaya ia lompat untuk menolongi.
Kesudahannya sahabat ini benar-benar terancam bahaya
maut, Adikmu itu sudah mencekek leher pada jalan darah
auwkiat, Untuk menolong dirinya, sahabatku ini melakukan
perlawanan. Apa lacur saudaramu itu terluka dan terbinasa
karenanya, sahabatku ini juga ketolongan aku, jikalau tidak
dia pasti lenyap jiwanya sebab dia telah pingsan, jikalau kau
tidak percaya Tiauw Loosoe, kau periksalah lehernya
sahabatku, sampai sekarang masih ada tapak jarinya adikmu
itu. Sahabatku ini baru saja datang dari Yan-khia, dia tidak
kenal adikmu kenapa adikmu itu menggunai akalnya itu
hendak mencelakakan dia, apakah alasannya?"
Ditanya begitu Tiau Eng melengak. Tapi cuma sebentar,
dan menyeringai. "Tidak, aku tidak percaya" katanya keras. "Biar adikku
buruk. tidak nanti dia berlaku demikian licik terhadap orang
yang dia tidak kenali "
"Inilah justeru herannya" kata Tiang Keng sungguhsucgguh,
"Kalau Tiauw Lo-soe tidak percaya sungguh sukar,
meski aku mempunyai lidah, tidak dapat aku bilang apa-apa
lagi. Tadi malam langit cerah dan rembulan permai sekali, di
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sungai Cin Hoay perahu-perahu mundar mandir, ada banyak
orang yang pesiar di sana ada banyak orang yang
menyaksikan caranya adikmu terjun ke air. maka tak dapat
aku mendusta. Baiklah Tiauw Loosoe pergi ke sana dan minta keterangan
dari orang banyak itu, juga aneh yala h kamu sendiri, Tiauw
Loosoe. Aku tahu kamu biasanya tak pernah memisahkan diri
kenapa tadi maLam justeru , terbit onar itu justeru kau tak
ada di sampingnya" Menurut aku, adikmu itu tentu telah dibujuk dan dianjuri
orang lain, yang mencoba menggunai akal muslihat meminjam
tangan orang melakukan pembunuhan"
Tiauw Eng berdiam, parasnya berubah, Alasan itu kuat
sekali, Memang ia telah mencari keterangan dan apa yang ia
dengar cocok dengan keterangannya Tiang Keng ini, ia hanya
tak tahu adiknya itu terbujuk siapa.
"Apakah dia bukannya Yan Hong?" katanya seorang diri
sesaat kemudian. Mendengar disebutnya nama Yan Hong itu, Tiong Hoa
bercekat. matanya bersinar, ia bertindak maju mendekati jago
Kimleng itu "Apakah Yan Hong berada di sini?" ia tanya "Kalau begitu,
jangan kau sesaikan siapa juga, saudaramu itu terbujuk. dia
membantu harimau mengganas, dia mencari matinya sendiri,"
Mendengar kata-kata oraog, bangkit pula kemarahannya
Tiauw Eng. dengan paras suram dia menatap si anak muda.
"Tak perduli siapa salah dan siapa benar nyatanya adikku
terbinasa di tangan kau" dia menembak. "siapa membunuh,
dia mesti mengganti jiwa siapa meminjam uang, dia mesti
membayar uang juga. Maka sekarang aku si orang she Tiauw
mau menagih padamu. Tentang Yan Hong, belakangan aku
akan cari dia." Dia lantas maju mendekatt, untuk menyerang.
Lin Tiang Keng maju sama tengah.
"Tiauw Loosoe," katanya tertawa, "Aku tahu Tiauw Loosoe
jujur, kenapa hari ini kau menentang dirimu sendiri" jikalau ini
sampai tersiar, pastilah ini akan merugikan nama baikmu..."
Tiang Keng tahu Tiauw Eng lebih liehay daripada Tiauw
Kiat, karena mana ia kuatir Tiong Hoa bukanlah lawannya
maka ia hendak mencegah orang turun tangan.
Tiong Hoa sebaliknya panas hatinya, belum lagi Tiauw Eng
berbicara pula, guna menjawab Tiang Keng, ia kata sambil
tertawa dingini "Dia bukan cuma menentang dirinya, dia
sengaja mencari gara-gara Dia tahu adiknya salah, dia masih
datang ke mari Eh, orang she Tiauw, apakah kau anggap aku
si orang she Lie dapat dipermain kan" -- saudara Lin, harap
kau jangan mencegah aku. Aku ingin tanya dia tentang Yan
Hong, dimana adanya dia itu"
Tiang Keng menduga pertanyaannya Tiong Hoa mesti ada
latar belakangnya, ia lantas minggir.
"Kamar ini sempit, kenapa kita tidak mau pergi keluar?"
kata Tiauw Eng dingin. "Aku si orang she Tiauw ingin ketahui
berapa tinggi ilmu silat kau maka kau menjadi begini jumawa."
"Kau justeru yang jumawa." sahut Tiong Hoa. ia
mengawasi tajam, lantas ia bertindak keluar.
"Hm "bersuara Tiauw Eng, yang terus mengikuti.
Beberapa tindak dari kamar itu ada sebuah kebun bunga
kecil di mana ada banyak pohon bunga yang bunganya
menyiarkan bau harum. Di situ Tiang Hoa lantas berdiri berhadapan dengan Tiauw
Eng yang galak itu. Lin Tiang Keng menyusul bergema Lie oao Nlo danHoBanIn
terpaksa mereka berdiri di pinggiran untuk menyaksikan.
Mereka ini berkuatir, terutama Ban io, jantungnya memukul.
Kali ini Tiong Hoa bukan membawa adatnya, ia hanya
panas hati mengingat Yan Kee Po yang licik itu. Mesti ada
sebabnya kenapa, Yan Hong mencelakai ia, Tiauw Eng pasti
tahu di mana adanya orang she Yan itu, maka ia ingin
mengetahui alamatnya. sekalian dengan ini, ia perlu cari tahu
juga halnya Ngo-sek kimbo.
Pertempuran sudah lantas dimulai tanpa mereka banyak
bicara lagi. Tiauw Eng berseru. "Silahkan." lantas ia
mendahului menyerang. Tiong Hoa berkelit ke kiri, tangan kanannya diulur, guna
menangkap tangan kanan penyerangnya itu, yang
serangannya tak mengenai sasarannya Jago Kim-leng
menyerang berbareng dengan kedua tangannya dan tangan
kanannya itu berada di sebelah luar, Dia putar tangan
kanannya itu, terus dia menyerang pula, tangan kiri ke muka,
tangan kanan ke dada. Lin Tiang Keng terperanjat. Tahulah ia yang Hoan-kang
kauw Ular naga yang nomor satu itu, hendak mendesak. guna
lekas mengakhirkan pertempuran itu.
Lie Tiong Hoa ketahui hati orang, ia pun kata dalam
hatinya: "Kau terlalu jikalau aku dapat bikin kau lolos, aku
bukannya muridnya Thian Yoe sioe"
Ia lantas mengajukan dua-dua tangannya, guna
menangkap masing masing sebuah lengan lawan, ia bukan
nya menangkis atau berkelit, ia justeru menyambuti.
Tiauw Eng menyedot hawa dingin, Dialah orang Kang ouw
yang berpengalaman yang matanya sangat awas, ia terkejut
untuk cara perlawanan musuh ini, tentu sekali dia tak sudi
mendapat malu, maka berbareng dia lantas memikir buat
mengangkat kaki. Begitulah dia cepat menarik pulang kedua tangannya
sambil dia melengakka n tubuhnya, selagi tubuhnya itu rebah,
kedua kakinya menjejak tanah, untuk lompatjumpalitan.
Bagus lekas kedua kakinya mengenai tanah, begitu lekas jug a
dia berlompat pula. Kali ini untuk lompat naik ke atas genting.
"Kemana kau mau lari." Tiong Hoa membentak. seraya ia
meluncurkan tangannya, menyamber.
Tubuh Tiauw Eng baru terapung lima kaki, tatkala dia
merasakan s iuran angin- Dia kaget sekali, tengah dia keget,
telinganya mendengar suara memberebet dari robeknya
bajunya, sebab pundak kirinya kena d is amber si anak muda,
yang telah mengguna Hoei Wan Cioe-hoat, hingga tangannya
dapat terulur panjang. Dia dapat sampai juga di atas genting, ketika dia menoleh
dia melihat Tiong Hoa lagi memegangi bajunya itu yang
tertiup angin. Dia melengak.
Tiong Hoa juga tidak menyangka orang lari demikian cepat,
karenanya meskipun ia menyamber ia masih kurang sebat.
Tidak demikian jago Kimleng itu mesti menderita hebat.
Lim Tiang Keng heran hingga ia tercengang sama sekali ia
tidak melihat si anak lompat mengejar, toh pundak Tiauw eng
kena dijambret hingga bajunya pecah.
Tiauw Eng masih panas hatinya sembari tertawa
menyeringai dia kata: "Ketahui olehmu" sakit hatinya adikku tak dapat tak di
balas. Baik kau ketahul juga Yan Hong membenci kau sampai
ditulang-tulangnya maka jangan kau harap kau dapat tidur
nyenyak." Selagi berkata begitu, jago Kimleng itu berlompat untuk
menyingkir Ketika suaranya berhenti, dia sudah pergi jauh
lima tembak kira-kira Lie Tiong Hoa berseru ber lompat naik
untuk menyusul. "Jangan kejar, saudara Lie" Tiang Keng mencegah.
Tiong Hoa tidak memperdulikan cegahan itu, ia mengejar
terus. Tiauw Eng berlari-lari dengan cepat, dia menuju ke luar
kota, Dia telah melompati tembok tepi dia masih disusul terus.
Malam itu bulan terus indah, maka terlihat tegas dua orang
itu berlari-lari berkejar-kejaran. Tiong Hoa mengejar tanpa
memperdulikan bahwa ia mesti memasuki rimba pohon tho.
Didalam tempe satujatn, tibalah mereka dibukit Ciong san,
Disini Tiauw Eng lari naik, tiba ditengah gunung, terlihat dia
lompat turun, tatkala si anak muda tiba, ia melongo. ia melihat
jurang, yang tak nampak dasarnya.
"Aku cuma mau membekuk dia hidup-hidup untuk ditanya
halnya Yan Hong." kata Tiong Hoa di dalam hati, "Aku tidak
sangka dia terjun kedalam jurang. Aku telah membinasakan
adiknya, buat apa aku membinasakan dia juga?" ia mengawasi
kedalam sekali, Kemudian ia menghela napas, matanya
memandang ke sekitarnya. pepohonan segar dan lebat
daunnya nampak hijau gelap. Bunga-bunga lagi mekar dan
memperlihatkan warna merah indah.
Tiong Hoa tersengsam oleh pemandangan malam yang
indah itu. Tiba-tiba ia ingat Tiauw Eng dan berpikir, "Tidak.
tidak mungkin siapa juga ingin hidup. siapa pun tak ingin mati.
Tiauw Eng tidak menjadi kecuali. Dia belum mogok. kenapa
dia tidak menyayangi jiwanya" Mustahil dia benar-benar
bunuh diri".." Meski ia memikir demikian, Tiong Hoa mengawasi ke dalam
jurang dengan pikirannya terus bekerja hingga ia seperti
ngelamun. Tengah ia berdiam itu mendadak ia mendengar
bentakan di belakangnya dibarengi dengan satu tenaga
menolak yang kuat keras sekali kepada tubuhnya, hingga ia
tergentar dan napas seperti mandek. sebelum ia sempat
berdaya, tubuhnya sudah terlempar.
Selagi jatuh itu, ia masih sempat mendengar tertawa
nyaring di atas jurang. suara tertawa yang berkumandang di
bukit itu. "Mati aku...." pikirnya selagi jatuh itu, "Mana ada
pertolongan lagi?" tubuhnya jatuh terus, Maka itu menanti
saja kematiannya. Mungkin tubuhnya bakal remuk dan hancur
di dasar jurang itu ia takut bukan main.
Dari dasar jurang itu terdengar suara binatang entah
binatang apa. "Sungguh malang nasibku" anak muda ini masih sempat
berpikir, "Sudah tubuhku bakal remuk dan hancur, juga bakal
digegaresi segala binatang alas."
Tiba-tiba ia merasa benturan keras, darahnya seperti
bergolak, tapi ia bukannya jatuh di atas batu, ia pun
mendengar lagi suara binatang tadi. Hidungnya lantas
terserang bau amis. Cuma sebegitu perasaannya, terus ia
tidak ingat apa apa lagi, tempo kemudian ia mendusin -- entah
berapa lama ia sudah pingsan, ia merasakan seluruh tubuhnya
sakit dan ngilu, tulang-tulangnya seperti patah semuanya.
Ketika ia membuka rnatanya, ia melihat hanya kabut, Tapi
la mengawasi terus, hingga ia melihat tembok jurang di kirikanannya,
tinggi dan lamping, tanpa ada pepohonannya,
Dasar jurang itu penuh dengan batu kecil dan rumput liar.
"Eh, kenapa aku tidak mati?" pikirnya heran, sambil ia
melawan rasa nyerinya. ia lantas mengingat-ingat cara
jatuhnya, terutama suara binatang itu serta baunya yang tak
sedap. "Ah, apakah aku lagi ngelamun?" Ia heran kenapa ia
tidak mati, jurang itu sangat dalam.
Dengan keheranan, ia merayap bangun untuk berduduk. la
melihat ke kiri dan kanan, Lama-lama, ia mendapatkan darah
yang nempel pada bulu binatang warna putih. ia mengawasi
tajam, untuk memeriksa. "Apakah aku ditolongi binatang itu?" akhirnya ia kena
dirinya sendiri, "Kemana binatang itu sekarang?" ia melainkan
melihat bulu yang bertumpuk.
"Ah " ia mengeluh. Karena merasa tubuhnya sangat nyeri,
ia lantas bersila, untuk bersamedhi, guna menyalurkanjalan
darahnya. Dalam hal ini, ia sudah mahir, selama di guanya
Yan Loei ia telah melatih dirinya. ia lekas mendapatkan
hasilnya, Belum berselang lama rasa nyerinya lantas kurang,
ia meneruskan untuk kegirangannya, ia merasai napasnya
berjalan lurus seperti biasa, ia lantas membuka matanya.
Sekarang ia dapat melihat mirip di siang hari, dan akhirnya
ia lompat bangun, dari mulutnya terdengar siulan yang
nyaring dan lama. sebagai akibatnya itu, ia mendengar
dengungan kumandangnya. Tiba-tiba....
Dari arah depan, kejauhan terlihat berlari-lari datangnya
dua ekor kera yang berbulu putih, yang dapat nya membawa
barang apa berdiri seperti manusia tak apa. Kedua binatang
itu rupanya datang karena mendengar siulan, Tapi waktu
mereka melihat orang berdiri, keduanya merandak. terus
mereka memutar tubuh, buat lari pergi. Tiong Hoa lari
mengejar. Kalau benar ia ditolongi kedua binatang itu, ia mesti
mengingat budi, tatkala ia ditempat dimana dua kera itu
barusan merandak. la melihat di tanah belakangnya sejumlah
buah piepa, semacam jeruk warna kuning rata-rata sebesar
kepalan, yang baunya halus dan harum, tanpa merasa
datanglah napsunya ingin memakan itu, maka ia
memungutnya dan terus memakannya. ia mendapatkan rasa
yang lezad, Kulitnya pun dimakan habis. Buah itu tidak ada
bijinya. "Inilah buah yang paling kesohor keluaran tong-teng-san,
yang dipanggil Pek-see." pikirnya, "sekarang aku mendapati
ini. Yang tanpa biji, mungkin inilah buah yang ada khasiatnya,
Kera adalah binatang yang sipatnya mirip manusia, melihat
aku pingsan, mereka tentu mau menolongi aku, hanya kenapa
mereka pada kabur?" Buah piepa itu manis sekali, ia maka pula hingga
ketinggalan lima biji, Untuk heran nya, hilang sudah rasa ngilu
dan nyeri nya, bahkan ia merasa segar seperti biasa, tidak
tempo lagi ia lari ke arah kaburnya kedua kera tadi, ia girang
sesudah ia lari sekian lama. Di sebelah depan berpeta dua
tubuh putih dari kedua kera, Untuk menyusul mereka, ia lari
dengan ilmu ringan tubuh Hong Hoei In soan.
"Jurang ini mesti ada jalan keluarnya, asal aku dapat susul
kedua kera ita, pastilah aku akan dapat keluar dari sini."
pikirnya sambil berlari-lari itu.
Kira lagi tigapuluh tombak akan ia dapat kepada kedua
kera, kedua binatang itu mengasi dengar suaranya catcat
Citctt, terus ke duanya lari naik ke lamping jurang.
Tiong Hoa heran kenapa kedua kera itu dapat manjat di
situ, setelah ia tiba, herannya hilang, ia mendapatkan dua
batang rotan yang tumbuh di atas itu, yang meroyot turun
Ketika ia dongak, kedua kera lenyap. sejenak ia diam, ia heran
dan berpikir. "Pasti ada gua di tengah itu," ia menerka Apakah aku mesti
naik" Kalau kedua kera menyangka aku bermaksud jahat,
selagi aku naik, mereka dapat memutuskan rotan ini itu berarti
aku bisa jatuh mampus..." Ia bersangsi mengawasi terus,
keras ia berpikir. "Ah, mustahil," pikirnya pula. "Kera itu dapat berpikir
seperti manusia. Tadi mereka justeru menolongi aku. mustahil
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka menyangka jelek" Mungkin mereka kaget karena aku
bersiul keras." Masih ia bersangsi. Masih lewat tempo sekian lama.
Akhirnya ia mengertak gigi. "Mesti aku manjat," ia mengambil
keputusan- "Tak dapat aku berdiam terus disini."
Maka ia menjambret rotan itu, ia mengenjot tubuh untuk
naik kakinya membantu menginjak lamping jurang. Kedua
tangannya memegang dan menarik bergantian pada kedua
batang rotan itu, ia bertubuh enteng, toh manjat secara
begitu, ia mesti menggunai tenaga berlebihan.
Tidak lama, ia merasai telapakan tangannya basah dengan
peluh dan napasnya sedikit memburu. Tapi lekas juga ia
sampai di tempat di mana tadi kedua kera menghilang. ia
Tusuk Kondai Pusaka 16 Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang Pedang Darah Bunga Iblis 17
tetamu. Dia lantas menyambut dan mengundang masuk.
Tiong Hoa menurut, ia masuk kedalam.
"Sia uwjie, apa ada kamar?" tiba-tiba pelayan itu
mendengar selagi ia menyuguhkan teh kepada tetamunya itu.
Panggilan itu merdu terdengarnya. "Ada Ada." dia menjawab
Cepat seraya lari keluar.
Segera juga Lie Tiong Hoa melihat berkelebatnya sebuah
tubuh yang lincah, yang diikuti dengan siuran angin yang
harum. Tapi ia tidak memperhatikannya, ia berbangkit dan
bertindak keluar. Dijalan besar ini ada banyak orang mondar-mandir, ia
lantas melihat Hiong Hoei piauw Kiok, yang terpisahnya dari
Thian siang Kie cuma selepasan dua anakpanah.
Ia bertindak mendekati ia mendapat kenyataan pintu
piauwkiok dikunci dan di sini tidak ada orang yang menjaga
atau orang yang sikapnya mencurigai. ia lantas kembali ke
hotel Thian siang Kie. Ketika ia sampai. ia melihat seorang
nona berdiri di depan pintu,
Nona itu beralis lentik, bermata jeli dan kulitnya putih,
kedua belah pipinya dadu, Kaki
nona itu lagi mengetuk-ngetuk lantai perlahan.
Ketika itu ada seorang laki-laki berjalan keluar dari dalam
hotel.Dia rupanya ceriwis dia membentur si nona.
"Plok" demikian satu suara dan muka orang itu merah dan
panas, setelah dibentur itu, tangan si nona melayang ke samping
dan mampir dipipi orang itu, seorang muda usia kira dua
puluh tahun mukanya menandakan dia orang bangsa sesat
punggungnya menggondol sebatang gedang.
Dia terhuyung karena tamparan itu, lantas dia menoleh,
melengak memandang si nona. si nona sendiri mengawa si
dengan romannya dingin- Tiong Hoa menghentikan tindakannya. ia kagum melihat
gerakan gesit dari nona itu. si orang muda sudah lantas
menghunus pedangnya, romannya menjadi bengis.
"Eh perempuan busuk. kenapa kau memukul orang tak
keruan-ruan?" dia menegur bicara
dengan lidah Pakkhia. Nona itu nampak gusar sekali sekonyong-konyong
tangannya meluncur, menyamber pedang anak muda itu.
Si anak muda menyeringai dengan pedangnya itu ia
menyambut dengan satu tebasan, ketika si nona berkelit, dia
lantas menyerang pula saling susul. Nyata dia liehay.
Nona itu gusar bukan main, berulang-ulang orang
menyerang ke dadanya, itulah perbuatan hina, setelah
berkelit, ia berlompat mundur, dengan begitu ia sempat
menghunus senjatanya, juga sebatang pedang, Tidak ayal
lagi, sambil membentak, ia membalas menyerang.
"Ilmu pedang yang bagus." si anak muda memuji dengan
seruannya. ia pun menyebut ilmu silat, pedang si nona itu,
yalah Keng-Hong Boe Lioe Kiam Hoat," ilmu pedang "Angin
bertiup, daun yang lioe menari." ia ketahui, pedang si nona
pedang yang tajam sekali, yang dapat memapas senjata
lainnya. Karena ini, ketika ia maju pula, ia menyerang dengan
hebat, rupanya ia niat mendesak.
Sekonyong-konyong terasa tolakan keras kepada si nona
dan si anak muda, hingga dua-duanya lantas mundur
sendirinya. Mereka menoleh dengan kaget. si nona lantas
melihat seorang imam yang keluar dari dalam, Dengan wajah
muram imam itu menegur si anak muda, "Anak Loei kenapa di
tempat umum kau berani menerbitkan onar" Masih kau tidak
mau berhenti." Habis berkata begitu imam itu melirik pedang si nona, sinar
matanya berkeredep. Tiong Hoa menyaksikan semua itu, ia menduga si imam
ketarik dengan pedangnya nona
itu, maka ia lantas memasang mata.
imam itu memandang pula si nona, lantas dia kata, "Nona
apakah kau tidak mengerti tentang asmara" Bukankah murid
pintoo ini tidak bakal mengecewakan kau" kenapa kau tolak
dia hingga seribu lie?" ia tidak menanti jawaban, dari sakunya
ia keluarkan serupa barang yang ia lantas letaki ditelapakan
tangannya. Si nona mendongkol hingga mukanya menjadi merah,
Ketika ia sudah melihat barang di tangan si imam itu, ia
terkejut, terus mundur beberapa tindak. sekarang ia nampak
jeri. Benda ditangan si imam yala h serenceng tengkorak kecil.
warnanya putih mirip kemala, Imam itu tertawa dingin dan
berkata: "Nona, sekarang kau tentu ketahui pintoo orang
macam apa, Maka itu aku ingin tukar benda ini dengan
pedang Ceng song Kiam kau itu untuk dijadikan tanda mata."
Tubuh nona itu bergemetar rupanya ia jeri berbareng gusar
sekali. ia mengawasi tajam, lantas ia kata keras: "Locianpwee
menjadi orang Rimba persilatan yang kenamaan, apakah
benar Loocianpwee hendak menggunai pengaruhmu yang tua
menindih yang muda?"
Imam itu tertawa. "Pintoo bertindak biasa menuruti suka hatiku sendiri" dia
kata, "Muridku ini In Loei, di belakang hari dia bakal jadi jago
Rimba Persilatan, diapun tampan, dia tidak memalukan kau,
nona, Tentang gurumu, seng Hoei soe-thay, jangan kuatir
nanti pintoo yang bicara dengannya." ia tertawa pula dan
menyambungi: "Pintoo tahu nona tentulah malu, maka marilah serahkan
pedangmu padaku, inilah sama saja," ia bertindak cepat dan
tangannya meny amber bagaikan kilat cepatnya.
Si nona kaget, mukanya menjadi pucat, Dia mundur seraya
menyingkirkan pedangnya. Dia sobat tapi si imam lebih gesit,
Lima jarisi imam sudah lantas membentur pedang hingga
nona itu merasai tangannya kesemutan, hingga pedangnya
hampir tak dapat dipegang terlebih lama pula.
Di saat Ceng song Kiam bakal berpindah tangan, tiba-tiba
terdengar satu suara tertawa dingin dan satu berkelebat ke
antara nona dan imam itu, lengan kiri si imam yang
diluncurkan kebentur kesamping, hingga tubuhnya terhuyung
beberapa tindak. Karena ini si nona dapat terus menyingkir
dengan lompat naik keatas genting di mana terus ia
menghilang. Bayangan orang yang datang sama tengah itu yalah
bayangannya Lie Tiong Hoa, tidak puas ia melihat lagak dan
mendengar suara nya si imam, yang ia duga mestinya seorang
Rimba persilatan kenamaan. la juga heran melihat imam itu
memiliki serenceng tengkorak kecil yang terdiri dari sembilan
buah, melihat mana si nona agakjeri sekali, maka itu selagi
kesan baiknya ada pada nona itu, ia lantas datang sama
tengah lalu membentur imam itu dengan tenaga delapan
bagian, dengan menggunai tipu silat "Hang Hoei Io saan" -
"Bianglala terbang, Mega-berputar" ajaran gurunya.
Imam itu kaget, ia merasakan lengannya sakit, maka dia
menjadi gusar sekali. Dengan lantas dia memutar tubuh,
tangan kanannya di luncurkan, guna menghajar punggung si
anak muda. Tiong Hoa sudah siap sedia, Hari lewat hari, kepandaiannya
terus bertambah ia memperolehnya setiap kali ia bersemedhi
atau memikirkannya. ia percaya si imam bukan
sembarang orang maka ia waspada, ia tidak menangkis
ketika di serang itu, ia hanya berkelit, tapi ia bukan cuma
berkelit mengelakkan serangan, ia berlompat kepada
sipemuda ceriwis yang lagi berdiri menonton, ia menyamber
lengan orang ia menarik dan memutarnya, hingga in Loei
menjadi sasaran gurunya. Si imam kaget bukan main, dengan cepat dia menahan
serangannya, dengan mata bersinar dia menatap dan berkata
bengis: "Siapa kau" Kenapa kau berani berbuat begini
terhadap muridku" Tiong Hoa tertawa tawar. "Muridmu ini ceriwis dan busuk, dia justeru bertemu guru
semacam kau, kamu menjadi satu konco," ia kata, "Lagak
kamu bakal mendatangkan onar dalam Rimba Persilatan Tak
dapat aku membiarkan sepak terjang kamu Karena muridmu
ini busuk, biarlah aku yang muda memusnahkan ilmu silatnya.
In Loei kaget dan takut sekali, sebenarnya tadi ia
bergembira sekali karena gurunya memaksa si nona, hingga
harapannya lantas timbul. ia tidak sangka, selagi ia
kegirangan, si anak muda membekuknya secara demikian
gesit. ia dipegang dengan cekalan "Siauw Thian chee ci cap-jie
Kiauw Na," Ia menjadi tidak berdaya, cekalan itu membikin tenaganya
habis, ia bergemetaran dua napasnya sesak, seperti ada kutu
atau semut bergerimingan di antara ototnya, ia pun tak dapat
bersuara, Terutama ia takut karena ia mendengar si anak
muda hendak memusnahkan ilmu silatnya.
Kalau itu terjadi, celakalah ia. Dalam takutnya, matanya
menyinarkan sorot meminta ampun-...
Jilid 7 : Pedang Pusaka Khong Tong pay
Si imam kaget hingga mukanya menjadi pucat.
"Anak muda ini entah murid hantu yang mana...." pikirnya,
"Dia lihai dan telengas sekali, dia tak kalah telengatnya
dengan aku baiklah aku tanyakan dulu asal usulnya. Asal dia
bukan murid orang kenamaan, baik aku bokong padanya,
membinasakan dia dengan pukulan cit Pou Toan Hoen
sekarang ini aku mesti berdaya meloloskan In Loei dulu."
Maka ia mengawasi si anak muda, otaknya berputar
mencari akal, Lantas ia mengasi lihat muka menyeringai.
Tiong Hoa balik mengawasi ia berlaku waspada ilmu
silatnya telah maju pesat, ia cuma kurang pengalaman.
Melihat sikap orang demikian rupa, ia perkeras cekalannya.
In Loei meringis, keringatnya mengucur deras, otot-otot di
jidatnya rada keluar, ia mau membuka suara tapi tak bisa,
suara-parau tak keruan. Tatkala itu banyak orang berkumpul menyaksikan peristiwa
itu. semua orang heran hingga mereka pada mendelong.
Si imam merasakan hatinya sakit sekali menampak
muridnya diperlakukan demikian macam. ia pun menjadi
sangat malu, Maka ia jadi benci pada Lie Tiong Hoa. Dasar dia
seorang yang telah banyak pengalamannya dalam keadaan
seperti itu, dia bisa bawa dirinya, setelah mengendalikan diri,
bukan^n^a dia mendamprat, dia justeru tertawa, hingga
mukanya nampak menjadi manis.
"Yaa, kau begini muda, ilmu silatmu mahir sekali, kau
membuat orang kagum" demikian dia berkata. "Aku lihat
ilmusilatmu ini mirip dengan kepandaiannya satu sahabatku.
Akulah Koe louw sin-Koen Pek Yang dari gunung Tay Liang
san, mungkin gurumu pernah menyahut namaku."
Tiong Hoa tertawa dalam hatinya, "Rupanya dia habis daya
maka sekarang dia memperkenalkan diri dan menyebut
nyebut guruku," pikirnya, "Tapi dialah Pek Yang. Memang dulu
pernah satu kali guruku menyebut namanya, cuma dulu hari
itu soehoe menyebut Koe-Iouw Mo Koen dan dia sekarang
merubah Mo Koen menjadi sin-Koen-"
"Koe-louw Mo Koen" berarti " Hantu Tengkorak" sedang "
Koe-louw sin-Koen?" berarti "Dewa Tengkorak," dengan begitu
Pek Yang mau membikin namanya menjadi harum, Tapi Tiong
Hoa tidak mau mengasi dirinya dipermainkan, ia bersenyum
dan menyahuti: "Aku yang rendah pernah mendengar nama
kau, cuma guruku membilangi aku bahwa kau, tootiang, kau
tak ada harga untuk disebut-sebut."
Mukanya Pek Yang menjadi pucat, lalu merah. Dia malu
dan gusar sekali, Dia menjadi beroman sangat bengis, dua kali
dia tertawa kering. "Siapa gurumu itu?" dia tanya membentak, "Mana dapat
aku diperhina begini macam" Jikalau kau beritahukan nama
gurumu, nanti aku lakukan perjalanan bagaimana jauh dan
sukar juga untuk menemukannya guna mengadu
kepandaiannya." Tiong Hoa mengawasi tajam, dia kata tawar: "jikalau
totiang mau mengantarkanjiwamu kepada guruku, itulah
pekerjaan yang mudah sekali. sekarang lebih dulu aku hendak
tanya, tootiang berada di Kimleng ini untuk kelewatan saja
atau untuk berdiam lama?"
Pek Yang Mo Koen mendongkol bukan main, beberapa kali
ia hendak mendamprat tapi senantiasa gagal.
"Sekarang ini aku lagi lewat di kota Kim-leng ini," akhirnya
dia menjawab keras, "Apa maksudmu kau menanya begini?"
Di dalam hatinya, Tiong Hoa tertawa girang, Mulanya ia
menyangka orang yalah orangnya Kimleng Jie Pa.
"Nama guruku tidak dapat sembarang di umumkan." ia
menyahut tawar, ia bersenyum,
Lantas ia melihat kelilingnya.
Pek Yang membade hati orang, dia tertawa dingin, Lantas
dia mengibas keras dengan tangan bajunya, membikin banyak
orang di sekitarnya pada mundur dengan tersipu-aipu hingga
banyak yang jatuh- bangun. Mereka itu kaget dan kuatir,
lantas mereka pada menyingkir.
Tiong Hoa mengawasi, ia bersenyum.
"Jikalau tootiang ingin mengadu jiwa dengan guruku," ia
kata, ia sudah lantas dapat pikiran baik, "baiklah sebentar
malam to-tiang pergi ke depan panggung Ie-hoay-tay, Di sana
kebetulan guruku hendak membereskan satu urusan, maka
urusan dengan tootiang boleh diselesaikan sekalian. Guruku
she Khioe, namanya Cin Koen dan gelaran nya Boe-Eng Hoei
Long." Pek Yang terperanjat. Dalam hatinya dia gatal pantas anak
ini lihai, kiranya dia muridnya Thian Gwa It shia Boe Eng Hoei
Long, Akan tetapi dia tidak mau kalah gertak. Dia kata
sembari tertawa menghina: "Baik, sebentar malam jam dua
aku nanti pergi ke Ie Hoa Tay untuk menemui gurumu itu."
Tiong Hoa tertawa terbahak, selagi mencekal terus
lengannya In Loei itu, dengan jeriji tengahnya ia menotok
dijalan darah toa-Ieng, setelah itu dengan dikageti, ia
melepaskan cekalannya. "silahkan, totiang." dia berkata.
Totokannya itu hebat sekali, Dengan itu selama tiga tahun
In Loei tidak bakal mampu menggunai tenaganya, tubuh In
Loei terasa kejang, tenaganya habis, kepalanya menjadi
pusing dan matanya kabur.
Koe-Iouw Mo Koen tertawa dua kali, terus dia menyeret
tangan muridnya, buat diajak pergi dengan cepat, Didalam
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati ia sangat mengkal dan masih tetap mendongkol.
Tiong Hoa masih berdiri sekian lama mengawasi orang
berlalu, baru dengan tindakan perlahan ia mendekati Thian
siang Kie, ia di sambut dengan hormat dan manis oleh pelayan
tadi, yang telah menyaksikan kegagahan orang. Dia
menyuguhkan teh dan melayani dengan telaten.
Seorang diri Tiong Hoa duduk dalam kamarnya,
menghadapi jendelanya, yang daunnya dipentang, ia
mengawasi pohon yanglioet hatinya bekerja, sesaat itu ia
merasa kesepian-Bukankah ia telah melakukan perjalanan
ribuan lie ke selatan ini"
Bukankah ia tak bersanak dan tak berkadang" Dia asal
keluarga berpangkat tapi sekarang ia menjadi orang kang-ouw
hijau, tak pernah ia memikir bahwa ia bakal menjadi begini
rupa. Dalam ngelamun, anak muda ini merasa sang waktu
berjalan cepat ia merasa ia seperti bermimpi ia ingat bahwa
sikap mau menang sendiri tidak berguna begitu juga sikap
memperebuti nama dan harta, itu semua mirip pemandangan
di dalam kaca-rasa atau rembulan di permukaan air.
Akhirnya ia ingat Cek in Nio yang cantik, Bayangan si nona
seperti berpeta di depannya, ia seperti melihat sujen si nona
yang manis, ia heran dalam tempo yang pendek sekali, nona
itu menjadi sangat berkesan baginya, ia merasa untuk
hidupnya, Cek In Nio adalah orang yang ia tak boleh
kekurangan. "Tapi, di mana adanya si nona sekarang?" ia tanya "Kalau
aku tahu... Rasanya pemuda ini mau melupakan lukisan
Bayangan Rembulan di Gunung Sunyi," untuk pergi mencari
nona itu, untuk berdiam di sisinya.
Tanpa merasa, Tiong Hoa menghela napas, lalu ia
bersenandung, ia demikian berduka hingga tanpa merasa air
matanya mengalir. Tiba-tiba telinganya mendengar suara tertawa yang
bagaikan bunyi kelenengan datangnya dari arah luar, ia
segera berpaling ia mirip orang yang baru tersadar dari
mimpinya yang sedap. Di luar pintu berdiri seorang nona
dengan baju hijau, karena dia lagi tertawa, terlihat dua baris
giginya yang putih, sedang wajahnya yang ramai mirip bunga
hoe-yong. Dia nampak sangat menggiurkan- Sedang sepasang
matanya yang jeli memperlihatkan sinar bersyukur.
"oh..." Tiong Hoa berseru, terus ia berbangkit dengan
cepat, ia pun tertawa. "Nona, silahkan duduk" ia mengundang,
Sukar rasanya untuk ia membuka mulutnya.
Nona ini tidak malu-malu meskipun benar mukanya
berubah menjadi merah, ia bertindak masuk.
"Jikalau bukan kongcoe yang menolong, Hampir aku
bercelaka ditangannya Koe-Iouw Mo Koen" katanya, ia lantas
menjura dalam memberi hormatnya.
"Jangan bilang begitu," kata si anak muda cepat. "Ada
bahaya tak menolong, itu bukanlah kelakuan seorang Rimba
Persilatan, maka juga perbuatanku itu yang tak ada artinya
janganlah nona buat pikiran, Hanya kalau bisa ingin aku
mendapat tahu kenapa nona berada sendirian dikota Kimleng
ini?" Nona ini mengambil tempat duduk. Di tanya begitu
matanya menjadi merah. ia menarik napas duka.
"Aku melakukan perjalanan jauh mencari ayahku," ia
menyahut, "sudah setengah tahun dalam perantauan, masih
aku belum mendapat tahu ayahku berada di mana, Aku kuatir
ayahku telah dicelakai orang hingga mayatnya menjadi
terlantar." Tiong Hoa terharu, ia merasa kasihan kepada nona
itu. "Apakah nona suka menuturkan tentang hal ikhwalmu?" ia
tanya, Roman si nona menjadi guram, airmatanya mengembeng,
Meskipun begitu, dapat ia menguatkan hati, untuk
memberikan penuturannya, ia orang she Phang dan namanya
Lee Hoen, Ayahnya, Phang Tay Kong, gelar Coe see-ciang, si
Tangan Merah, menjadi seisi di kota Hangcioe. Pada delapan
tahun dulu kantor soeoboe Ciatkang kecurian sebuah Pin atau
tabir Pwee-bo in-pin yang berharga mahal luar biasa, sebab
itulah Pia mustika yang dapat memberi alamat tentang cerah,
hujan, angin dan salju, umpama cuaca b e- rubah, tabir itu
memperlihatkan warna lima macam, tebal atau tipis. Tay Kong
diberi tempo setengah tahun mencari itu hingga dapat, bukti
berikut penjahatnya, ia diberi surat-surat yang perlu serta
empat pembantu. Mereka lantas bekerja, mereka pergijauh ke luar daerah,
Empat bulan kemudian, soenbon menutup mata. Tanpa
desakan soeoboo, perkara menjadi tergantung. Tapi juga Tay
Kong, dia pergi untuk takada kabar ceritanya lagi. kasihan
isterinya, serta gadisnya, yang jadi hidup terlantar.
Kemudian Lee Hoen dapat pertolongan sahabat ayahnya, ia
dapat berguru pada Hoei seng Tay-sue dari NgoBie Pay.
sampai lewat beberapa tahun, tentang Tay-kong terus tidak
ada beritanya, Nyonya Phang menjadi menangis saja, terus
dia jatuh sakit, Lee Hoen jadi sangat berduka dan bingung.
Lalu dengan persetujuan ibunya, yang tak dapat mencegah
dia, dia pergi merantau mencari ayahnya, setengah tahun
sudah nona Phang merantau, sampai dia berada di kota
Kimleng ini, tetap dia gagal, Malang untuknya, dia telah
diganggu In Loei, sampai hampir dia mendapat celaka.
Tiong Hoa mendengar, matanya mengawasi mendelong ke
luar jendela. "Kongcu, apakah kau ketahui tentang ayahku?" si nona
tanya heran, sebab orang berdiam saja sekian lama, orang
seperti lagi berpikir keras.
Memang Tiong Hoa lagi mengasah otak. la tengah menguji
kekuatan asahannya, ia mengingat- ingat pengalamannya
dalam ruang perangkapnya Yan Loei di Yan Kee Po, Di sana
banyak kurban jiwa dan nama-nama mereka terukir di
tembok- ia pikir nama-nama itu, yang ia pernah apalkan.
sekarang ia lagi membaca pula di luar kepala.
Tiba-tiba ia terkejut, tanpa merasa ia mengkirik, la ingat
nama Phang Tay Kong, Karena itu ia menjadi membayangi
tumpukan tengkorak atau tulang belulang di dalam neraka
dunia itu, di mana pun terdapat hancuran-hancuran pakaian
kotor dan tua, sisa-sisa sepatu daripelbagai alat senjata, ia
seperti juga merasai bau badan yang membuatnya mau
muntah- muntah . "Tidak salah lagi," pikirnya, "tabir Pwe-ho in-pin itu terjatuh
dalam tangannya Yan Loei, Tay Kong mendapat endusannya,
dia pergi ke Yan Kee Po, tapi dia terjebak Yan Loei, maka dia
terpenjara di dalam tanah, mati karena dahaga dan lapar"
la menjadi bersangsi Dapatkah ia menjelaskan itu kepada
nona ini" Kalau si nona mendengarnya, itulah pukulan sangat
hebat, jangan kata seorang nona, satu laki-lakipun mungkin
tak dapat bertahan. Karena itu, ia terus berdiam saja, sampai
si nona menanya ia, ia menoleh kepada si nona, ia menatap.
ia hendak membuka mulutnya, saban-saban ia gagal.
Karenanya, ia menggoyang-goyang kepala, ia menghela
nafas berulang-ulang, tak dapat ia menyembunyikan
kedukaannya itu. Hati si nona memukul keras, ia mendapat firasat buruk. la
pun menatap anak muda itu.
"Bagaimana, kongcu?" ia menanya, berulang-ulang
"Apakah kongcoe ketahui tentang ayahku itu?"
Ia menanya mesti ia merasa pasti, sikap si pemuda sangat
mencurigai. Tiong Hoa terdesak. la menghela napas panjang.
"Nona, ako minta sukalah kaujangan berduka," katanya
kemudian, "Aku tahu tentang ayahmu itu, ia telah teraniaya
orang, sekarang ia sudah meninggal dunia...."
Muka si nona menjadi pucat pasi, ia merasa bagaikan dunia
berputar, maka tubuhnya, terhuyung hampir ia roboh. syukur
Tiong Hoa segera memegang tubuhnya itu. sampai ai anak
muda lupa pantangan adat sopan santun-"sabar nona." dia
kata, "Kau ingat, kau kuati hatimu." Nona itu berdiam sekian
lama. "Kongcu, bagaimana kau ketahuinya itu?" kemudian ia
tanya. Tiong Hoa suka memberikan keterangannya, setelah ia
minta lagi sekali nona itu suka menenangkan diri, ia
menuturkan pengalamannya terperangkap. baru halnya ia
banyak tulang-tulang dan catatan nama-nama di tembok.
Lee Hoen berjanji akan menguati hati, tapi akhirnya ia
pingsan, Tiong Hoa menjadi bingung dan repot, terpaksa ia
menahan tubuh si nona, untuk memenceti dan menguruti
perlahan-lahan si nona mendusin, untuk lantas menangis. "oh,
ayah..." ia mengeluh. "Bagaimana ayah bersengsara..." Nona
Phang menangis begitu sedih sampai hampir ia tak sadarkan
diri pula. Tiong Hoa terus membujuki dan menasehati, tapi ia sendri
begitu terharu hingga air matanya turut mengembeng.
"Kongcu." kata Lee Hoen kemudian. " dapatkah kongcu
membagi tempo untuk mengantarkan aku ke Yan Kee Po,
supaya aku dapat mencari tulang-tulangnya ayah, untuk
dirawat sebagaimana layaknya" Untuk membalas budi kongcu,
aku akan membikin tiang seng-fek-wie guna memuja
kongcu..." "Tungleng lok wie." yalah papan peringatan guna
menghormati seseorang yang dihormati semasa orang itu
hidup. "Suka aku mengantar kau nona, hanya itu tidak dapat
dilakukan sekarang." kata Tiong Hoa, Menerima "baik sambil
menampik, "sekarang aku lagi mempunyai urusan yang harus
diselesaikan Baiklah nona pulang ke Hangcioe, apabila
urusanku sudah beres, aku sendiri yang akan pergi ke Yan Kee
Po, guna mengambil tulang-tulang itu, nanti aku bawa sendiri
kepadamu." Lee Hoen tidak dapat dibujuk, ia kata ia ingin pergi sendiri
ke Yan Kee Po. Untuk itu ia bersedia menantikan Tiong Hoa
sampai Tiong Hoa sudah selesai dengan urusannya itu.
"Baiklah." sahut si anak muda sesudah ia kewalahan
membujuki. ooooo BAB 10 TIONG HOA berdiam dalam kesunyian dalam kamarnya di
dalam hotel, ia mengawasi keluar dimana cabang yanglioo dan
daun-daunnya tengah memain di antara giliran angin, ia
seperti lagi berpikir keras, sekarang ini pikirannya goncang
hingga timbul rasa bosan nya untuk merantau begitu pun
untuk mencari lukisan Yoe san Goat Eng." ia pikirkan, rahasia
apa itu terkandung dalam gambar lukisan tersebut hingga
mendiang gurunya demikian menghargakannya.
Kalau itu hanya rahasia kitab ilmusilat atau sebangsa nya ia
merasa tak tertarik.. "Orang banyak yang palsu.,." katanya, hingga hatinya
menjadi tawar dan ia berduka ia tidak mempunyai kawan
kecuali Cee-cit, sedang Lo sat Gioklie telah terpisah pula
darinya. Tiong Hoa mencoba membawa dirinya, ia tahu kalau lamalama
ia bergaul dengan Phang Lee Hoan, ia kuatir nanti timbul
soal baru. Dari Cek In Nio juga ia memikir untuk memisahkan
diri tapi ia tahu bahwa asmara sudah mengikat padanya. Ingat
pada fn Nio, pemuda ini lupa Nona Phang masih berada dalam
kamar bersama-nya. Mata Lee Hoen terus basah, ia terlalu bersedih untuk
nasibnya yang malang, ia melihat si anak muda mendelong
saja, ia pun berdiam, Tak mau ia mengganggu anak muda itu.
Toh ia mengawasi, maka ia dapat melihat tegas pemuda itu
sesungguhnya tampan, hatinya baik, nyalinya besar,
ilmusilatnya mahir. Betapa langkanya pemuda tampan seperti dia ini" pikirnya.
Tanpa merasa ia menjadi jatuh hati pada si anak muda, ia
mengawasi terus, hingga satu kali ia menampak orang
bersenyum sendirinya, ia tentu tidak ketahui, di saat itu Tiong
Hoa lagi ingat In Nio" "Lie siangkong..."
Itulah panggilan tiba tiba dari luar, maka pecahlah
kesunyian kamar itu Tiong Hoa terperanjat, la tersadar, segera
ia berpaling. Pelayan muncul di ambang pintu, Dia heran melihat si nona
mengawasi padanya. "Ada apa?" Tiong Hoa tanya.
Pelayan itu bertindak masuk. dengan hormat ia menanya
apa sudah waktunya untuk menyajikan santapan malam.
Tiong Hoa melihat ke luar jendela, Matahari sudah kelam.
"Ya," ia mengangguk
Dengan hormat pelayan itu mengundurkan diri. Kembali
kamar menjadi sunyi. Tiong Hoa merasa kurang enak hati ia berdiam sekian
lama, ia menganggap perbuatannya itu kurang hormat,
sebagai tuan rumah, tak dapat ia bungkam.
Tapi, alasan apa ia mempunyai untuk dijadikan bahan
omongan" syukur ia lantas melihat pedangnya si nona.
"Tadi Koe-louw Mo Keen Pek Yang menurunkan tangannya,
rupanya dia mengarah pedang kau. nona." ia berkata.
"Mereka itu, guru dan murid, bekerja sama, kecuali pedang
rupanya mereka menghendaki orangnya"
Lee Hoen terperanjat ia lantas menoleh si anak muda,
mukanya merah. Lekas sekali, ia tunduk pula, sekarang ia
berkata, perlahan, nadanya penasaran: "Pedang ini
didapatkan bukannya dengan mudah, untuk ini hampir
mendiang ayahku kehilangan jiwanya, itulah kejadian
duapuluh tahun yang lalu, tempo mendiang ayahku masih
bekerja di kota Ceelam. Ketika itu telah terjadi kejahatan
saling-susul. Seorang hartawan kecurian uang dan permatanya,
gadisnya terbunuh dengan kepala dan tubuhnya terpisah,
penduduk Ceelam jadi gempar dan ketakutan- pembesar
negeri jadi repot dan gusar, maka polisi diperintah keras
mencari penjahatnya, Beberapa malam kemudian, ayahku dan
kawan-kawannya dapat mempergoki penjahat itu, tapi dia
liehay sekali, tak dapat dia dibekuk.
Hebat terutama pedangnya yang tajam, Beberapa orang
polisi terbinasa dan terluka dan rambut ayahku pun terbabat
kutung, Dengan kecerdikannya akhirnya ayah mendapat tahu
tempat mondoknya penjahat itu, yalah disebuah rumah hina
dikota Lek-shia. Dia lantas mengatur tipudaya untuk menangkapnya,
Penjahat itu kena dikasi makan arak tercampur obat pulas, Dia
kuat sekali, dia tidak mempan senjata, maka ayah
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memutuskan otot-ototnya dengan pedangnya itu, Ceng song
Kiam namanya. Ketika dia mendusin dan mendapatkan dirinya sudah tidak
berguna lagi, dia menangis dan menyesalkan dirinya sendiri,
katanya: Menyesal aku tidak dengar guruku yang membilangi
aku bahwa pedang ini akan ganti majikan, bahwa bila aku
gunainya tidak tepat, aku bakal mati celaka.
Sekarang terbukti benar kata-kata guruku itu. Atas
pertanyaan ayahku, penjahat itu mengaku muridnya Keen
Goan cauw soe dari Khong-tong-pay timur. Ketika dia
dimasuki dalam penjara, dia membunuh diri, Ayah takut pihak
Khong-tong-pay nanti menuntut balas, ia meletaki jabatannya,
ia pulang ke Hangcioe, ia pun menukar nama dan hidup
bersembunyi. Lewat enam tahun, atas anjuran sahabatnya, ayahku
bekerja pula sebagai polisi, pedang ini terus disimpan di
rumah, tak pernah dipakai, baru sekarang, buat mencari
ayahku, aku bawa sebagai pelindung diriku...."
Tiong Hoa menghela napas.
"Mungkin pedang mustika ini pedang pusaka Khong tong
.pay." ia berkata, "Kee-louwMo Keen rupanya mengetahui itu
maka ia hendak merampasnya, pedang ini pedang mustika.
siapa tak ketarik hati untuk memilikinya" sayang kita tidak
ketahui baik tentang pedang ini. Menurut aku, nona
selanjutnya kau baik- baiklah menyimpannya." Mendengar
perkataan orang, Lee Hoen tertawa.
"saudara terlalu merendah." katanya, "Melihat caranya kau
membekuk muridnya si hantu, sudah ternyata kepandaian
kau. hingga pantaslah kau menjadi seorang tayhiap Tidak
saudara, dengan ada kau yang mengawani aku, aku tidak
takut apa juga" selagi berkata begitu, sinar mata si nona
nampak gembira sekali. Tiong Hoa sebaliknya mengerutkan alis, nona ini terlalu
mempercayai ia atau dia lupa pada dirinya sendiri.
Nona itu berkata pula: "Pedang ini memang luar biasa, Di
waktu malam, kalau ada orang jahat datang, dia tentu keluar
sendirinya dari sarungnya dan mengasi dengar suara yang
ramai, maka dengan mengandalkannya, beberapa kali aku
pernah mengusir pencuri juga jikalau cuaca berubah hebat,
pedang ini suka berbunyi sendiri didalam sarungnya berbunyi
tak hentinya." Ia meloloskan pedangnya itu dan mengangsurkan kepada si
anak muda. Tiong Hoa menyambuti, Ketika itu kamar guram, Dengan
dua buah jerijinya ia menekan gagang pedang, Mendadak
pedang itu berbunyi dan mencelat keluar dari sarungnya.
Maka terlihatlah sinarnya yang hijau mengkilap.
Pedang itu lebih pendek daripada pedang yang biasa,
panjangnya cuma dua kaki enam dim, belakangnya sedikit
melengkung, kiri kanannya ada tanda darahnya, mulutnya
sangat tipis dan tajam. "Benar-benar pedang mustika." ia memuji kagum. "Mesti ini
pedang dari usia ribuan tahun-"
Ia masuki pedang itu ke dalam sarungnya dan
mengembalikan pada si nona.
"Wanita cantik dan pedang mustika, sungguh surup," ia
kata, tertawa, "Di belakang hari nona mestilah menjadi suatu
ahli pedang kenamaan-"
Lee Hoen tertawa, ia mengangkat tangannya, guna
menyambuti pedang itu, atau mendadak dari luar jendela ada
tangan yang sebat sekali meny amber pedang itu untuk di
rampas, ia melihat tangan itu, ia kaget hingga ia menjerit.
Tiong Hoa telah melihat bayangan berkelebat, ia tahu ada
orang lompat masuk di jendela, tatkala tangan orang itu
diulur, ia pun mengulur tangan kirinya dengan Hoe Wan Ciang
ia menyerang. Perampas pedaog itu terkejut, sebelum ia sempat berdaya
tubuhnya telah dihajar terpental ke pojok tembok. la tidak
roboh, begitu ia menginjak lantai tubuhnya mumbul mencelat
ke luar pintu, ia tidak lari hanya berdiri diam.
"Eh ilmumu ini ilmu apa?" ia tanya. la heran sebab ia sudah
bersedia dan ia percaya ia bakal berhasil merampas pedang
tanpa rintangan siapa tahu tangan si anak muda seperti mulur
hingga tiga kaki. Syukur Tiong Hoa cuma menyampok. jikalau tidak
perampas itu tentulah hilang jiwanya. Bukan melainkan si
perampas juga Lee Hoan heran atas serangannya Tiong Hoa
itu. Tiong Hoa memandang tajam, maka sekarang ia bisa
melihat tegas perampas itu sebenarnya muridnya sinbeng sioe
soe Kim som yang ia ketemukan di Heng Hoa Coen.
Ia lihat kedua mata orang yang jeli memain menunjuki
roman heran, ia lantas menegur: "Kau muridnya seorang
kenamaan kenapa kau bawa lagakmu seperti pencuri ini?"
Anak muda muka hitam itu tertawa dingini
"Cara bagaimana kau ketahui aku murid siapa?" ia balik
menanya, "jangan kau berjumawa dengan tipu silatmu
melayani Kee-louw Mo Keen Pek Yang tadi, di mataku ilmu itu
tidak ada artinya" Tiong Hoa tidak senang, maka ia mengawasi tajam
"Bukankah kau muridnya Sin-heng sioesoe Kim Loociaopwee"
ia membentak. "jikalau kau berani berlaku kurang
ajar lagi awas, jangan kau sesalkan aku keterlaluan" Anak
muda itu melengak. la heran sekali.
"Eh, mengapa kau ketahui aku muridnya sin heng sioe-soe"
"ia tanya Tapi, ah, mata itu benar tajam, Hm. Dengan
kepandaian kau ini, mana dapat kau memberi pengajaran
padaku" Malam ini, jikalau kau tidak serahkan pedang Ceng
song Kiam itu, jangan harap kau dapat tidur tenang"
Nyatalah anak muda itu sangat kepala besar dan terkebur,
lagaknya garang. Tiong Hoa membentak. pedangnya dihunus
dengan memutar itu ia bertindak maju.
Muridnya Kim som tidak melawan, ia hanya
mempertontonkan kelincahannya. dengan gesit sekali ia
berkelit, untuk terus mengangkat kaki, hingga ia hilang dalam
sekejap. Tiong Hoa tidak mau menanam bibit permusuhan ia tidak
mengejar, hanya ia kembali ke dalam kamar, ia mengerutkan
alis ketika ia berkata pada si nona: "Anak muda itu telah
mewariskan tiga bagian kepandaian gurunya, dia gesit sekali,
Aku lihat, karena pedang ini pedang Khong Tong Pay.
selanjutnya tentulah bakal timbul urusan karenanya. Mesti ada
orang-orang yang niat merampas atau mencurinya. fa terus
menghela napas. Lee Hoen pun berduka.
Sebelum dua orang itu sempat bicara lebih jauh dari luar
kamar mereka mendengar suara keras: "siapa yang bernyali
begiiu besar berani melukai muridku si orang tua?" Tajam
suara itu menusuk telinga.
Tidak menanti sampai suara sirap. Tiong Hoa sudah
berlompat keluar dari kamarnya, ia diikuti Nona Phang. segera
ia melihat sin beng sioe-soe Kim som berdiri tegak di bawah
pohon yanglioe. Malam suram tetapi kedua mata orang
nampak bersorot tajam. Dengan memegang gedangnya, Tiong Hoa mengangkat
kedua tangan untuk memberi hormat ia kata dengan suara
nyaring. "Kim Loociaapwee orang kenamaan di inijaman
dengan yang muda tak kenal bermusuh satu dengan lain,
mana berani aku berlaku kurang ejar terhadap muridmu, soal
yalah disebabkan perbuatan muridmu terlebih dulu. Dengan
tiba-tiba dia lompat masuk kekamarku hendak merampas
pedang, habis itu ia mengasi dengar kata-kata terkebur."
Sin-heng sioesoe tetap mengawasi tajam, ia berkata
dengan suara dalam: "Dalam halnya itu dia tidak dipersalahkan, sebenarnya
pedang itu pedang miliknya mendiang sahabatku, Keen Goan
siangjin, itulah pedang pusaka Khong Tong Pay. Dulu hari
pedang itu dicuri murid partai itu, lantas tak ada kabar
ceritanya lagi, sementara iiu sahabatku itu telah memesan
aku, andaikata aku menemukan pedangnya itu, supaya aku
menebusnya, Akulah seorang tua, tak leluasa untuk aku
datang kepada kamu anak-anak muda untuk meminta pulang
pedang itu, maka aku telah kirim muridku itu yang bernama
Kam Jiak Hoei, Bukankah aku telah berlaku menurut aturan
pantes?" Tiong Hoa tidak puas. "Bisanya loocianpwee mengatakan demikian, tidak dapat
aku percaya loocianpwee telah dapat pesannya Keen Goan
siangjin," ia kata, "Laginya muridmu itu bukan meminta
pedang, tanpa menanya dulu, tanpa minta keterangan.
Datang-datang dia lompat merampas pedang itu. Lagaknya
mirip penjahat." "Tutup mulut" Kim som membentak sebelum orang habis
bicara, "selama beberapa puluh tahun, belum pernah aku di
orang mendapatkan orang yang berlaku begini kurang ajar
terhadapkuJikalau aku tidak pandang usiamu yang muda dan
kau belum tahu apa-apa, sedikitnya hendak aku memberi
ajaran padamu." "Loocianpwe cuma tahu menegur orang, loocianpwee tidak
tahu menegur diri sendiri." kata Tiong Hoa tertawa nyaring,
"Kecewa loocianpwee ternama demikian besar dan termasuk
dalam golongan orang-orang tua tergagah."
Kim Som juga tertawa nyaring hingga tertawanya itu
seperti memecah angkasa. Sembari tertawa itu dia maju mendekati si anak muda,
tangannya dengan lima jari yang kuat menyambar dengan
cepat dan bengis sekali. Tiong Hoa terkejut, itulah ia tidak sangka. Dengan tidak
kalah gesitnya, ia mengundurkan diri dari ancaman bencana
itu. Kim Som terkejut mendapatkan serangannya gagal hingga
ia menatap anak muda itu yang dapat menolong diri dari
serangannya yang luar biasa itu. lantas ia maju pula, semakin
sebat dan tangannya diulur semakin cepat. Kali ini ia
mengincar jalan darah hok kiat, dengan tangan kirinya
berbareng ia menyamber pedang untuk dirampas.
Di dalam rimba persilatan orang menyayangi nama baiknya
seperti ia menyayangi tubuh atau jiwanya, demikian dengan
Sin-heng Sioe-soe Kim Son si Pelajar Lari Cepat, Dengan Kim
Som melayani Tiong Hoa, untuk namanya itulah sudah cacad,
itu artinya si kuat menindih si lemah.
Maka itu kalau sekarang ia tidak memperoleh kemenangan,
kalau perbuatannya ini tersiar dimuka umum, alangkah
malunya" Mana ia dapat menaruh muka terlebih lama pula"
oleh karena itu, penyerangannya yang kedua kali ini adalah
penyerangan kilat. Kembali Tiong Hoa kaget, orang seperti mendadak berada
di hadapannya. ia merasa bahwa orang benar gesit luar biasa,
tak kecewa julukan sia-heng sioe-soe itu, tentu sekali ia tidak
berani berlaku ayal. Untuk menolong diri, guna dapat
melayani, lekas-lekas ia mengguna Hong Hoei insoao, dengan
itu ia membuka kedua tangan penyerangnya, membikin
penyerangan itu tak ada hasilnya.
Tiong Hoa telah mewarisi delapan sampai sembilan bagian
kepandaian mendiang guru-nya, maka itu ia tinggal
membutuhkan latihan terlebih jauh serta pengalaman.
Selama masuk dalam dunia Kang-ouw, pengalamannya itu
terus bertambah. sudah obat Pouw Thian Wan dari Thian Yoe
sioe membikin memperoleh tambahan latiham dua puluh
tahun, peryakinannya atas ilmu silat "Kioe Yauw seng Hoei sip
sam" pun maju setiap hari. maka itu, ia memperoleh
kemajuan di-luar dugaan, bahkan di luar kesadarannya sendiri
Tahu-tahu ia menjadi tambah berani, tambah gesit, tambah
liehay juga kali ini, menghadapi Kim som si jago tua, ia
membikin jago tua itu heran dan kagum.
Mukanya sin-heog sioe-soe menjadi padam mendapatkan
dua kali serangannya gagal, sedang mulanya ia menyangka
mesti ia berhasil. Lantas mukanya itu berubah menjadi merah,
seumurnya inilah pengalamannya yang pertama, yang sangat
tak memuaskan hatinya. Panas hati dan penasaran, ia mengulangi serangannya Bisa
dimengerti jikalau ia mengerahkan seluruh tenaganya dan
menggunai kepandaiannya yang terakhir ia menyerang pula
dengan kedua tangannya, yang dimainkan saling susul,
bahkan itulah pukulan aneh, sebab tangannya yang dimajukan
lebih dulu kesudahannya kena didului tangannya yang dikirim
belakangan. Tiong Hoa terkejut tetapi ia tetap dapat menabahkan hati,
ia berkelit dengan berputar menghindari diri dari serangan
maut itu. sembari berputar, ia menghunus pedang di
tangannya, tapi ia memperoleh ini lebih banyak disebabkan
Kim son lebih ingin merampas pedang daripada
mencelakainya. Begitu dikeluarkan dari sarungnya, Ceng song Kiam
memperlihatkan sinarnya yang hijau bercampur kuning
keemasan indah, di lihatnya di dalam yang gelap itu. Dengan
pedangnya itu, ia lantas bersilat dengan Kioc Yauw seng Hoei
sip-sam sie, yang pun di sebut ilmu silat bertentangan Hoan
Naoheng lm-yang cioe-hoat. inijusteru ilmu silat pemunah ilmu
silatnya sin-heng sioe-soe
Di dalam tempo yang pandek. Kim som menjadi bingung, ia
kaget waktu ia dapat kenyataan ia seperti dikurung pedang
lawan, ia mencoba untuk meloloskan diri, ia gagal, ia tak
dapat, ia menjadi penasaran sekali. Dengan seluruh tenaganya
ia lantas menolak keras. Kali ini Tiong Hoa kena dibikin mundur lima kaki.
Menggunai temponya yang baik, sin-heng sioe-soe mundur
kembali ke bawah pohon yanglioe di mana ia berdiri diam tadi,
ia menggendong tangan- matanya mendelong. selang sedetik,
la bersenyum dan kata, "Kau ini murid siapa" linu silatmu ilmu
silat luar biasa Mungkin kau baru memainkannya enam atau
tujuh bagian ini pun sudah hebat." Tiong Hoa mencekal terus
pedangnya, ia memberi hormat. "Aku yang rendah muridnya
Loocianpwee Thian Yoe sioe", ia menyahut sabar. "Ooh" Kim
som berseru kaget. "Ah, kau kiranya ahliwaris si orang tua she Kie," katanya,
pula kagum. "Kalau begitu taklah heran. orang tua itu tidak
menerima murid seumurnya. tidak disangka dia penuju pada
kau yang berbakat baik, sungguh menggirangkan, sungguh
kau harus di beri selamat, oleh karena kau muridnya Kie Lojle,
baiklah. aku si orang tua tidak mau memakta padamu,
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya..." Ia melirik pada pedang Ceng song Kiam, lalu ia
menambahkan- "Pedang itu pusaka Khong Tong Pay,
sembarang waktu pedang itu dapat di curi atau dirampas,
maka selanjutnya kau jagalah baik-baik Kau harus mengerti,
aku si orang tua bermasud baik. Dapat aku kata ku n, aku
kuatir pedang ini nanti menimbulkan keruwetan-" Habis
berkata itu, ia terus bersenyum.
Tiong Hoa memikir sesuatu, lantas ia menduga dan
berkata: "Pedang adalah senjata tajam, pedang tak
mempunyai pemilik yang tetap. melainkan dia yang bijaksana
yang dapat menguasainya, sebenarnya pedang ini bukannya
pedangku, inilah pedangnya ini..." ia meunjuk kepada nona
Phang, untuk melanjuti. " inilah pedangnya nona Phang ini,
Aku tahu locianpwee berkepandaian, mana aku mengharap
sukalah locianpwee nanti menolong melindungi padanya."
Kim soen mengurut kumisnya. ia tertawa, "jangan kau
mengeluarkan kata-katamu ini untuk mengikut aku si orang
tua" dia bilang, sebenarnya aku sudah malu sendiri karena aku
menghilangi kepercayaan terhadap mendiang sahabatku Mana
dapat aku melindungi kamu. Untukku cukuplah sudah asal aku
tidak mengulur tangan bawa pedang itu"
"Kalau begitu aku hendak menghaturkan terima kasih
banyak kepada loocianpwea," kata Tiong Hoa dengan sikap
sangat menghormat. Sing-heng sioesoe mengawasi sianak muda sekian lama,
"Apakah namamu?" ia tanya,
"Boanpwee bernama Lio Cie Tiong," sahut Tiong Hoa. ia
terpaksa memakai tetap nama pais u itu karena ia mengingat
di Yan- khia ia telah kesalahan membunuh dua jiwa. orang tua
itu mengangguk "Kie Loojie memilih kau sebagai ahliwarisnya, dia benar
tidak kabur matanya," ia berkata. "Muridku yang bernama
Kam Jiak Hui, kecuali hatinya yang besar, tak nempil
separuhnya terhadap kau. Aku minta j angan kau pikirkan pula
perbuatannya itu, malah sebaliknya, di belakang hari sukalah
kau bantu menilik dia." "Boanpwee akan menurut titah
loocian-pwee." kata Tiong Hoa hormat.
Kim som memutar tubuhnya, hendak ia berlalu, atau
mendadak ia membalik badannya pula, ia tertawa dan berkata
"Berhubung dengan janji pertemuan sebentar malam jam dua
di I e Hoa Tay, mungkin kau bakal turut menyaksikannya,
maka itu mengingat Boe-eng Hoei Long Khioe Cin Keen gagah
luar biasa dan sangat telengas, Aku harap kau nanti dapat
membantu aku si orang tua."
Kata-kata itu diakhirinya dengan tubuh orang tua itu
melesat, hingga sekejap saja dia sudah tujuh atau delapan
tombak jauhnya, hingga di lain saat dia sudah menghilang
didalam gelapnya sang malam.
Menyaksikan berlaIunyajugo tua ini, Tiong Hoa menghela
napas, sekian lama ia berdiri diam membiarkan tubuhnya
disilirkan pulang pergi angin malam, angin yang melenyap ke
barat daya. Kemudian ia menghela napas dan kata dalam hatinya,
"jikalau aku tidak menggunai kecerdasanku sesaat dengan
memakai gerakan Kioe Yauw seng Hoei sip-sam sia dengan
pedang ini serta menyebut namanya Thian Yoe sioe, pastilah
pertempuran barusan ^ak berkesudahan baik seperti ini.
Lalu ia memikir, bahwa ilmu silat "Bintang terbang" itu
benar-benar lihai maka perlu ia melatihnya terus. Lee Hoen
mengawasi orang berdiam saja.
Dia sudah lihai sekali, mengapa dia masih banyak pikir?"
katanya dalam hati, heran ia tidak dapat menerka apa yang si
anak muda ngeIamunkan. Lalu ia menegur, "sa udara Lie mari
kita kembali ke dalam," Tiong Hoa merasa ia seperti baru
sadar dari mimpinya, ia tertawa. "Mari..." sambutnya.
Tiba di dalam belum lama pelayan telah datang
menghidangkan barang hidangan maka itu keduanya lantas
bersantap dan minum. ooo Tengah malam itu bintang-bintang memenuh ka n langit,
Rembulan seperti menyembunyikan diri di antara gumpalangumpalan
mega. Karena itu, sang jagat guram, Di sungai,
pelitanya sang nelayan berupa seperti bintang bintang yang
berkelak-kelik. Di waktu begitu, selagi di kota Kimleng terdengar pertanda
waktu, maka di panggung le Hoa Tay yang terkenal sang
kesunyianlah yang memerintah .J usteru itu, tiba-tiba terlihat
gerak ^eriknya dua bayangan orang.
Keluar daripepohonan lebat, kedua bayangan itu tiba
ditegalan yang lebar, di situ keduanya itu berhenti, untuk
melihat kesekitarnya. "Mungkin bocah she Kam itu tidak berani datang kemari."
berkata bayangan yang satu, "Mendengar nama soehoe buat
menyingkir saja dia sudah kehabisan tempo, maka itu mustahil
dia berani datang mengantarkanjiwanya?"
"Eh, loojie, kau bagaimana sebenarnya?" tanya bayangan
yang ke dua^ "Selama satu tahun ini, dengan memakai nama
soehoe, kau sudah mendatangkan tak sedikit onar. soehoe
gusar sekali, kau tahu, Tahun dulu itu tanpa sebab kau sudah
menanam bibit permusuhan dengan Kim taihiap Kam Pa dari
Liangcioe. Dalam hal itu kitalah yang salah, Kau sengaja
membinasakan seluruh anggauta keluarga orang she Kam itu
tapi kaujusteru membikin lolos si bocah KamJiak Hoei,
Karena itu sekarang Kam Jiak Hoei datang menagih hutang
darah itu, dia menjanjikan kita bertarung Dia berani datang,
terang maksudnya tidak baik, Pula di samping kepandaiannya,
dia mesti mempunyai andalan, jikalau tidak. mana dia berani
datang ke rumah kita dan dapat masuk- keluar seperti di
rumah tanpa penghuni"
Lihat saja, ketika dia mau pergi, dia meninggalkan tanda
mata kepandaiannya Tiat Cioe In -- Tangan TapatBesi, Mana
kita sanggup" Loo-jie, kau terlalu besar kepala..."
"Toako, aku lihat, makin lama nyalimu menjadi makin kecil"
kata bayangan yang pertama bicara itu Bocah she Kam itu,
masih jauh pelajarannya untuk dikatakan sempurna.
Mana dia dapat lawan ilmu soet Pay Kie kita" Boleh dia
mempunyai tulang punggung tetapi apa tulang punggungnya
itu dapat melawan guru kita" Hm"
Belum berhenti kata-katanya orang yang gede kepala itu,
mendadak dia berteriak keras karena kesakitan, lantas dia
menutupi mukanya, terus dia mencaci dan mengutuk. Tengah
dia mementang mulut itu ada angin meny amber ke mukanya.
Dia kaget, dia berkelit tetapi tak keburu, lantas dia
merasakan sakit seperti dihajar martil, sakit sampai ke ulu
hatinya. matanya menjadi kabur, Karena giginya copot tiga
biji, mulutnya lantas mandi darah, darahnya mengucur deras.
" Kurang ajar." mendamprat kawannya yang menjadi sangat
gusar. Dampratan itu disambut dengan tertawa nyaring,
tertawanya satu tubuh yang berlompat ke arah mereka yang
setibanya dijalan itu lantas berkata dengan bentakannya:
"Kimleng Jie Pa, inilah tuan kecilmu KamJiak Hoei sudah
delapan tahun aku mendendam sakit hati keluargaku, maka
itu malam ini yala h mala man mampusmu-"
Kejadian itu tak lolos dari matanya Lie Tiong Hoa berdua
Phang Lee Hoen, yang bersama-sana menyembunyikan diri di
atas pohon di dekat mereka itu bertiga berhadap hadapan.
Pohon tebal dan lebat, maka itu, semakin sukar untuk
mempergoki mereka. Sepasang matanya KamJiak Hoei seperti menyala saking
gusarnya dia, di punggung nya terlihat tergondol sebuah
senjata yang mirip b and ering boet-jiauw, yang memberi
sinar berkilauan- Loo-toa, atau si tertua, dari KimlengJie Pa, yaitu sian couw,
mengawasi dengan alis berkerut pada loojie, saudaranya itu,
sian Wat. Adik ini telah menahan rasa nyerinya, dia membuat
pandangan mata berduka si kakaknya, dia mengerti. Lantas
dia berlompat untuk berendeng dengan kakaknya.
Kimleng Jie Pa menjadi muridnya Soe-eng Hoei-Liong Khoe
Cin Keen, yang terkenal juga sebagai Thian-Gwa Ii shia, si
sesat satu satunya dari Luar Langit, mereka Iihay, hati mereka
telengas, dari itu belum lama muncul dalam dunia Kang ouw,
nama mereka menjadi terkenal di selatan dan utara sungai
besar. Sudah begitu mereka setiap bertempur maju berbareng dan
secara di luar dugaan juga kali ini mereka hendak bertindak
seperti biasa itu. Hanya kali ini mereka menghadapi musuh
yang berani dan matanya awas.
KamJiak Hoei tertawa begitu lekas ia lihat orang
merendengkan diri,ja bersenyurn, dan berkata Jikalau malam
ini tuan kecil kamu membiarkan kamu lolos dari coei-beng
^acJiauw, maka ini sakit hati yang dalam seperti laut tak
usahlah aku membalasnya pula."
Kimleng Jie Pa tidak mengambil mumai apa orang bilang,
meneruskan kebiasaannya. mereka lantas maju berbareng.
Kam Jiak Hoei tidak menyambuti, ia berkelit ke kanan,
sambil berkelit, ia terus memutar tubuh, dan sembari
memutar, tangan nya menarik senjatanya, dari itu, dengan
cepat sekali ia lantas membalas menyerang, senjatanya itu,
coei-beng Pat-jiauw, yang berupa gaetan seperti cakar atau
kuku^ me ny amber kepada dua lawannya itu.
Kimleng Jie Pa beriaku awas dan gesit, mereka menjejak
tanah untuk beriompat tinggi dengan lompatan ouw-liongseng
thian atau Naga hitam naik kelangit. Kaki mereka
terangkat tinggi. Hingga senjata lawan lewat di bawahannya.
Kam Jiak Hoei menyapu tempat kosong, ia lantas beriompat
ke samping, inilah penjagaan diri untuk tidak diteruskan
diserang kedua lawannya itu.
Kimleng Jie Pa girang melihat lawan itu tetap berada di
bawahannya, sembari berkelit tadi, mereka memang sekalian
telah memutar tubuh mereka. sekarang untuk menyerang
pula. Mereka hendak menggunai senjata mereka, Masingmasing
sebatang Pie hiat-kwa, semacam senjata untuk
menotokjalan darah. Ketika meraba kepunggung merekah tapinya keduanya
menjadi sangat kaget^ hingga semangat mereka seperti
terbang pergi. senjata mereka itu lenyap entah ke mana.
Ketika itu Kiam Jiak Hoei sudah bergerak lebih jauh. selagi
tubuh musuh turun, ia justeru menjejak tanah untuk
mengampungi diri guna berada di atasan musuh-musuh itu
dengan begitu, leluasalah ia melakukan penyerangan.
Dua saudara Sian kaget dan keder. Tidak ada jalan lain,
lekas- lekas mereka turun, Untuk itu mereka mengguna i tipu
silat Cian-kin-Cwe. "jatuh seribu Kati". itulah ilmu membikin
tubuh menjadi berat. Begitu kakinya nempel dengan tanah,
tangan mereka di ulapkan ke atas, guna menangkis
genggaman musuh. Sayang mereka kalah gesit. Coei-beng PatJauw sudah
meny amber dengan cepat sekali Mereka menjadi sasaran,
sambil menjerit tubuh mereka roboh terguling.
Hebat keduanya itu menjerit sian Wat roboh punggungnya
dan pinggang ke pundak. darahnya memancur, seketika juga
dia melayang jiwanya, sian Couw masih dapat berkoseran di
tanah cuma sebentar, dia pun terbang jiwanya.
KamJiak Hoei panas hatinya. "Dia berkelahi bukan cuma
mengandaikan gaetannya itu, selagi mengayun tangan
kanannya, tangan kiri nya turut meny amber juga, tangan
kirinya itu menggenggam dua belas batang pa ku Boen-sim
teng yang telah direndam dalam racun, maka semua paku itu,
asal mengenai darah, lantas racunnya menjalar ke teng
gorokan, untuk Menutup jalannya napas, sedang gaetannya nancap di
punggung. Jeritan dua saudara itu menyeramkan terdengarnya, siapa
yang nyalinya kecil, dia dapat bangun bulu romanya.
"Hebat." kata Tiong Hoa dalam hati, Beginilah dunia Kang
ouw di mana orang main saling balas. Di tempat begini tak
dapat aku berdiam diri lagi..." Dengan sendirinya ia menjadi
hendak mengundurkan diri siang-siang.
Selagi si anak muda ngelamun itu, sebuah tangan yang
halus meraba pundaknya. Tangan itu bergemetar perlahan, ia
lantas menoleh. ia tahu itulah tangannya Lee Hoen,
kawannya. ia lantas melihat wajah orang, yang seperti giris, ia
bersenyum kepada nona itu, maksudnya membilangi tak
usahlah si nona takut. Lee Hoen giris hatinya setelah ia menyaksikan tindakan
terlebih jauh daripada Kam Jiak Hoei. Anak berbakti ini, yang
menuntut balas untuk ayah-bunda serta semua anggauta
Keluarganya, sudah membiarkan dirinya dipengaruhi
dendamnya yang hebat itu, dia menghampirkan kedua mayat
musuhnya, ia menyimpan senjatanya di pundaknya, sebagai
gantinya ia menghunus sebuah golok pendek. dengan itu
dengan kesehatan luar biasa dia membacok ke batang leher
orang bergantian, guna memutuskan kepala musuhmusuhnya,
terus kedua kepala itu diikat menjadi satu, diikat
dengan rambut kepalanya masing-masing terus diangkat
tinggi. ?"Ayah, ibu" anak ini lantas dongak dan memuji, "anak
harap ayah dan ibu berdua di dunia baka suka menutup mata
ayah dan ibu, anak telah membalaskan sakit hati ayah dan
ibu" Sedih terdengarnya suara anak muda itu, Boleh dibilang
baru selesai KamJiak Hoei bersembahyang itu lantas orang
mendengar seruan yang nyaring sekali, yang nadanya seram.
seruan itu kembali memecah kesunyian sang malam yang baru
saja pulih. Lantas setelah itu terlihat sesosok tubuh manusia
lari kearah KamJiak Hoei, lantas berhenti didepan anak muda
itu. Jiak Hoei melihat orang bergerak sangat cepat, ia tidak
takut, Bahkan ia lantas mengawasi tajam.
Orang itu bertubuh besar dan kekar kepalanya lanang
sebab tak ada rambutnya selembar ^uga Dia mempunyai
leher yang panjang serta mulut yang lancip. hingga terlihatnya
mirip cecongor serigala Mukanya bengis sekali.
Dengan mata yang galak. dia mengawasi si anak muda,
yang masih memegangi kepala musuh-musuhnya. Lantas dia
tertawa, suaranya sangat tak sedap. bahkan menyakitkan
kuping. "Sayang sekali aku si orang tua datang terlambat." dia kata
seram, " Dengan begitu aku membikin kesampaianlah citacitanya
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang bocah, seumurku, aku si orang tua tidak sudi
melayani orang muda, akan tetapi murid-muridku telah
dibunuh, aku mesti menuntut balas."
Kam Jiak Hoei tahu siapa orang tua itu. yalah Boe eng Hoei
Long, ia jeri juga, Meski begitu, ia tidak mengetarakan bahwa
ia takut, malah sengaja ia tertawa.
"Kata-katamu ini terlalu dipaksakan, Khioe Loocianpwee." ia
kata, "Boanpwee mendendam sakit hati untuk sembilan belas
jiwanya orang-orang sekeluarga ku. Aku menjadi anak
mustahilkah tak dapat aku menuntut balas" Umpama kata
keadaan kita terbalik, yaitu loocianpwee menjadi aku,
bagaimana loocianpwee bakal bertindak?"
Tidak disangka Khioe Cin Keen bahwa ia bakal ditanya
begitu rupa, ia menjadi melengak. Tapi ia panas hati maka ia
tertawa seram. "Kau pandai sekali memutar lidah anak muda" katanya, "
Enak sekali aku mendengar kata-katamu ini Tapi kau mesti
ketahui, aku si orang tua, syarat hidupku yalah orang tidak
mengganggu aku, aku tidak mengganggu orang. orang telah
membinasakan ahliwaris ilmu silatku mana dapat aku
menyabarkan diri" Maka itu bocah, kau serahkanlah jiwamu"
Kam Jiak Hoei juga panas hatinya, Dia tertawa dingin.
"Jikalau loocianpwee tak mengerti priha1 peri-kebenaran
dan loocianpwee hendak memperkosa keadilan, baiklah aku si
orang muda terpaksa mesti mengiringi."
Sebagai penutup jawabannya itu anak muda ini
melemparkan dua kepala orang di tangannya untuk sebagai
gantinya mengeluarkan senjatanya, lantas dengan itu ia
melakukan penyerangannya. Mengbadapi musuh kesohor, ia
berlaku cepat dan bengis.
Sebagai orang tua, Khioe Cin Keen mengalah selama tiga
jurus, Lebih dulu ia menyampokjatuh kepalanya Kimleng Jie
Pa, terus ia mundur tiga tindak. dengan begitu hoei-jiauw si
anak muda tak mengenakan tubuhnya.
Ketika itu rembulan muncul dari antaraalingan awan,
cahayanya permai sekali, membuatnya sang jagat yang tadi
guram menjadi terang. Lie Tiong Hoa melihat Khioe Cin Keen mundur hingga
serangan hebat dapat dihindarkan dengan mudah ia kagum
untuk Iiehaynya Boe eng Hoei Long.
"Pantas dia kesohor." pikirnya. Karena ini pun ia menjadi
insaf bahwa ilmu silat tak ada batasnya, orang Iiehay ada
yang melebihkannya, Tidak kecewa orang she Khioe ini pun
dijuluki Thian Gwa It shia.
Segera lewat tiga jurus, maka Khiue Cin Keen terlihat mulai
dengan perlawanannya. segera juga Tiong Hoa menjadi kaget,
Gesit luar biasa, habis diserang, Boe-eng Hoei Long mencelat
ke belakang si anak muda she Khoi, julukannya Boe-eng Hoei
Long berarti serigala terbang tanpa Bayangan, julukan itu
tepat dengan kegesitannya itu. Dari belakang ada
meluncurkan tangannya untuk menotok. Inilah yang membikin
orang she Lie itu kaget. Kam Jiak Hoei menyerang dengan gaetannya, tetapi gaetan
itu menempel di tangan musuh. Dia kaget dan bingung,
Mendadak dia merasakan telapekan tangan nyeri sekali tidak
tempo lagi, senjatanya itu terlepas. Lantas terdengar suara
seram dari Boe eng Hoel Long, yang mengulangi serangannya,
ia menyerang seraya mengajukan tubuh mendesak dengan
tindakan sin heng Bie hou Pou-hoat.
Kam Jiak Hoei kaget bukan main hingga ia menjadi tidak
berdaya. "Oh, sungguh aku tidak sangka sekali" tiba-tiba terdengar
satu suara nyaring, yang keluar dari pepohonan lebat
disamping mereka, Aku tidak sangka Boe-eng Koei Long yang
namanya menggemparkan Rimba persilatan tetapi sebagai
orang tua sudah menghina si muda, sungguh sangat tidak
tahu malu." Hebat ejekan berikut dampratan itu. Mendengar itu, Boeeng
Hoei Lang lantas mengubah pikirannya. Kalau tadi ia ingin
membinasakan KamJiak Hoei, sekarang ia cuma menotok jalan
darah boen-hiat, setelah mana ia mencelat ke samping tiga
kaki, terus ia menoleh ke tempat dari mana suara datang.
"Siapa di sana" "ia tanya, "siapa berani menghina aku si
orang tua?" Teguran itu tidak memperoleh jawaban suara hanya
munculnya seorang imam tua yang bermuka bengis serta
seorang muda yang romannya tak kurang bengisnya, Melihas
imam itu, Khioe cin tertawa lebar.
"Pek Yang, berani kau berlagak di depan aku -.si orang tua"
ia kata. "Sungguh kau sangat tidak tahu diri"
Imam itu memang Kee-Iouw Mo Keen adanya, Dia muncul
sambil bersenyum, dia membawa lagaknya sebagai ketua dari
suatu partai Begitu lekas dia mendengar suaranya Khioe Cin
Keen, tak dapat dia beraksi terus, Dia menjadi gusar seketika.
"Khioe Cin Keen kau juga terlalu jumawa." katanya,
membalas. "Baiklah, kini aku si orang she Pek ingin mencobacoba
kau yang dikatakan gesit hingga tak ada bayangannya.
Benarkah kepandaian kau mengatasi Rimba Persilatan?" Khioe
Cin Kee berlaku jumawa. Jikalau benar kau ingin cari mampusmu, itulah mudah."
katanya. selama itu mereka sudah datang dekat satu dengan lain.
mereka sama-sama menatap. mata mereka berani, roman
mereka bengis menyeramkan.
Selagi begitu dari lain arah muncul lagi dua orang, mereka
berlari-lari mendatangi maka cepat tibanya mereka itu. salah
seorang itu lari sambit berlompatan karena ternyata dia
mengandal pada sebatang tongkat, hingga ada kalanya dia
ketinggalan kawannya, lainnya waktu mereka berendeng.
Lie Tiong Hoa melihat orang-orang baru itu ia menjadi
girang. ia memang lagi mengharap- harap datangnya Cee Cit,
sahabatnya itu maka melihat orang bertongkat itu terbukalah
hatinya. Ketika ia mengawasi orang yang lainnya ia mengenali sinbeng
sioe-soe Kim som. Dua orang itu menuju langsung ke arah Kam Jiak Hoei
setelah tiba. Kim som mengawasi kepada dua orang yang lagi
hendak mengadu jiwa itu, Kelihatannya dia mendongkol sekali
ketika dia kata pada Cee cit. Coba kau tidak memaksa aku
melayani kau main-main, tidak nanti muridku ini hilang
jiwanya ditangannya Khioe cin Keen si telengas itu"
Cee-cit mengawasi si anak muda, dia tertawa.
"Setan tua she Kim, jangan kau terburu naps u" katanya
wajar, "Aku si orang she Cee tidak mempunyai guna lainnya
kecuali mataku yang lihai Aku langsung tahu murid mustikamu
ini tidak mati." ia lantas membungkuk. untuk menotok tiga kali
di punggung Kam Jiak Hoei.
Boleh dibilang hanya sejenak. pemuda she Kam itu terlihat
bergerak. lalu tubuhnya berlompat bangun.
Di lain pihak Kee-louw Mo-koen terdengar mengeluarkan
suara tertahan, tubuhnya terhuyung tiga tindak. Dengan cepat
dia telah beradu tangan sembilan kali dengan Boe-eng Hoeilong-
Khioe-cin-koen, kesudahannya dia kalah unggul sedikit.
Satu jurus, "san-lauw tee-tong, atau Gunung guncang,
bumi bergerak dari Khioe-Cin-koen, membuatnya mundur itu,
terus dadanya terasa sesak dan mukanya menjadi pucat
sekali. Dia mencoba ber tahan diri, dengan mata tajam dia
memandang lawaonya, dia kata sembari tertawa dingin. "Lagi
tiga tahun maka aku Pek Yang, akan aku menagih pulang
hajaran tanganmu ini."
Khioe Cin Keen tertawa, "jangan kata tiga tahun, tigapuluh
tahun juga aku akan menantikanmu Kau tentu tidak bakal
berhasil." Mukanya Pek Yang menyeringai bengis, tanpa membilang
apa-apa lagi ia berlalu sambil menarik tangannya In Loei,
untuk menghilang jauh diantara sinarnya si Puteri malam.
Khioe Cin koen mengawasi sebentar, terus sambil bersiul, ia
lompat ke depan sin-beng sioe-soe bertiga, Dia bergerak
sangat gesit dan lincah, hingga Tiong Hoa kata dalam hatinya
"Apakah namanya ilmu ringan tubuhnya ini" Aku tidak melihat
pundaknya terbangun atau kakinya bergerak. tahu-tahu dia
sudah datang dekat."
Dasar masih kurang pengalamannya, hatinya pemuda ini
gampang tergerak sesuatu yang masih asing untuknya.
Gurunya mengajari banyak padanya hanya teori belaka tanpa
contoh kenyataan, benar ia melatihnya tapi kurang sempurna,
Maka sekarang ia berpikir keras.
Tapi setiap yang ia lihat lantas menarik perhatiannya. Di
sini kembali ia menyaksikan hebatnya sepak terjang orangorang
Kang ouw. Khioe Cin Keen mengawasi Kam Jiak Hoei, yang berdiri
sehat waras di samping Kim som, ia heran, parasnya pun
berubah, ia kata dalam hatinya:
"Siapakah ini dua orang" cara bagaimana mereka dapat
membebaskan totokanku Pian-hoan Co-hiat Cioe noai ini" Aku
tahu yang mengerti ini hanya beberapa orang saja..."
Kim som melihat orang heran, ia tertawa sambil menguruturut
kumis yang masih pendek, la kata: "saudara Khioe, tak
usahlah kau capaikan hati memikirkan kita sebenarnya sudah
lama kita saling mengagumi, Cuma sebegitujauh belum
sempat kita bertemu satu dengan lain" Matanya Boe eng Hoei
Long mendelik, "Apakah itu saling mengagumi?" katanya bengis,
"sebenarnya siapakah kamu?"
Kim som tidak murka, dia tertawa pula.
"Tak heran, saudara Khioe tak berani," katanya sabar
"sudah lama kau tinggal di pulau belukar, penglihatanmu
sedikit, pendengaranmu kurang sebaliknya orang gagah di
Tionggoan banyak bagaikan pasir. Aku" Melainkan mirip
seorang serdadu biasa, Cuma karena orang Rimba persilatan
menyintai aku mereka menyebutnya aku sin-heng sioe soe.
Namaku yang rendah adalah Kim som, dan tuan ini adalah
saudara Cee Cit," Mendengar nama orang, Khioe Cin Keen terperanjat tapi
dia lantas tertawa lebar.
"Aku mengira siapa, tak tahunya kau." katanya nyaring.
"Bagus, bagus, Malam ini aku si orang tua bakal belajar kenal
dengan ke^esitanmu yang di sohorkan. Aku ingin melihat
apakah kau dapat main-main beberapa jurus dengan Boe Eng
sin-hoat." Boe Eng sin-hoat, atau ilmu tanpa bayangan, adalah ilmu
kegesitan Khioe Cin Keen yang membuatnya memperoleh
juluka nnaitu Boe-eng Hoei Long si serigala Terhang Tanpa
Bayangan- Meski ia pernah dengar nama orang tersohor sekali, orang
she Kioe ini tetap membawa lagak terkeburnya, sedikitpun ia
tak memandang mata pada sinheng sioe-soe, selesai berkata
itu, ia juga melihat Cee Cit. ia tetap tak menghiraukannya.
Cee cit tak puas menyaksikan tingkah orang itu Mendadak
ia berseru, tongkatnya ditekankan ke tanah, maka mencelatlah
tubuhnya, berbareng dengan mana sebelah tangan
terulur panjang. ia telah mengguna Hoet Wao Cioe. Tangan
kera-terbangnya itu. Khioe Cin Keeo berlakujumawa sekali akan tetapi ia
waspada, maka ia terkejut melihat gerakannya Cee Cit itu, ia
mengenali ilmu silat itu dan merasa orang dapat
menggunakannya secara mahir sekali.
Lekas-lekas ia berkelit ke kanan, dengan tubuhnya berada
di sisi si orang she Cee, segera ia membalas menyerang,
dengan lima buahjerijinya ia menjambret ke pundak orang.
Cee cit melihat gerakan orang, ia terperanjat. Memanglah
cacadnya ilmu silatnya itu, kalau tangan kanannya
dilancarkan, tangan kirinya mesti diciutkan, ia tidak
menyangka orang mengenal kelemahannya itu. Kalau ia kena
disamber, bukan saja tangan kirinya tak bakal dapat diulur
lagi, darahnya pun bakal mandek jalannya, Maka lekas-lekas ia
berkelit. Khioe Cin Keen juga menyerang sangat cepat.
Jilid 8 : Cinta kasih bunga berjiwa
Kim som melihat kawannya terancam bahaya, tanpa
membilang apa-apa lagi ia maju menyerang dengan dua-dua
tangannya, karena orang membelakangi ia, ia tak perduli
bahwa ia menyerang punggung.
Benar-benar Boe-eng Hoei Long liehay sekali, Dia dapat
berkelit dari serangannya sin b eng sioe-soe. Hanya dengan
begitu, ia membatalkan serangannya terhadap Cee Cit.
Ia tertawa lebar, terus ia balik menyerang orang she Kim
itu, bahkan ia berlaku keras sekali, hingga Kim som merasa ia
seperti terkurung lawannya itu, yang bergerak-gerak gesit
bagaikan bayangan yang berkelebatan..
Cee-cit maju maju pula, maka itu berdua Kim som ia
melayani lawan yang tangguh itu,
Meski mengepung berdua, mereka tidak dapat berbuat
banyak, orang terus dapat menyingkir dari pelbagai serangan
mereka. Cuma karena ia diserang lebih dulu, Khioe Cin koen tak
dapat merebut kepala angin-...
Kam Jiak Hoei berdiri menjublak menyaksikan gurunya
berdua mengepung guru musuhnya itu, ia tidak menyangka
orang demikian gagah, pantas KimlengJie Pa terkebur dan
galak. sudah gurunya kosen, guru itu pun melindungi mereka.
Malam itu, kecuali bintang banyak. rembulanpun baru
muncul Maka nyata sekali terlihat ketiga orang bertempur seru
itu Lie Tiong Hoa terus menyaksikan pertarungan itu, ia dapat
melihat perbedaan di antara mereka itu, Benar Khioe Cin Koen
terus bergerak dengan gesit akan tetapi Cee Cit berdua Kim
som juga tidak terlihat bingung mereka ini tetap tenang,
hanya setiap serangan mereka selalu menemui kegagalan.
Lama-lama hal itu akan buruk juga akibatnya nanti.
"Aku telah berjanji hendak membantui Kim Som,
sekaranglah waktunya," ia berbisik pada Lee Hoen. " Karena
itu aku harap nona tetap bersembunyi di sini jangan kau
sembarang bergerak."
Lalu tanpa menanti jawaban lagi ia lompat turun terus ia
menghampirkan Khioe Cin Koao untuk segera menyerang.
Khioe Cin Keen bermata jeli, ia melihat bayangan
berkelebat, karena menduga kepada musuh. ia tidak
menangkis, hanya berbareng berkelit ia melesat terus kearah
KamJiak Hoei untuk membekuk anak muda yang lagi berdiri
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diam ituJiak Hoei kaget tetapi dia sudah kena dibekuk.
Sambil tertawa terbahak-bahak. Boe-eng Hoi Long terus lari
bersama orang tawanannya itu, Tepat dengan julukannya, ia
lari cepat sekali masuk kedalam rimba. Cee cit dan Kim som
terkejut sambil berteriak. mereka mengejar
Tiong Hoa melengak. inilah ia tidak sangka. ia mau
menolongi kawan, siapa tahu demikian rupa akibatnya.
Phang Lee Hoan melihat kejadian itu ia lompat turun dari
tempatnya sembunyi. Ketika ia datang dekat si anak muda,
anak muda itu masib melengak, ia tertawa geli.
"Buat apa berdiri menjublak saja," sinona menegur, "Tak
ada gunanya itu, Lebib baik kita menyusul mereka.
Tiong Hoa sadar karena ditertawakan, ia lantas lari
menyusul bersama nona itu. Ketika mereka melintasi rimba di
depan panggung Ie Hoa Tay itu dan sampai di sebuah tempat
tinggi d iba wah mana ada jurang, mereka tidak lihat
sekalipun bayangan orang. cuma sana angin yang
menyamber-nyamber muka mereka.
Melainkan dikejauhan nampak kota Kimleng diwaktu malam
di mana api terang di sana sini dan darimana pun terdengar
samar-samar suara tetabuan dan nyanyian.
Lama berdua mereka berdiri menjublak di tanjakan itu,
akhirnya dengan lesu mereka berjalanpulang kedalam kota.
Mereka melihat kota ramai sekali, banyak pedagang, banyak
pula penduduknya yang berpesiar, Mereka kembali terus ke
Thian siang Kie. Tiong Hoa tidak gembira.
"Aku ingin pergi ke luar guna mencari tahu tentang mereka
itu," kata ia pada si nona, "Aku minta nona menaati di sini,
jangan kau pergi kemana-mana."
Lee Hoen tak tenang hatinya, Dalam tempo yang cepat ia
jadi jatuh hati terhadap pemuda ini. ia tidak dapat mencegah
tapi ia pun tak dapat melegakan hatinya, Maka ia kata: "Kau
tidak mempunyai senjata untuk membela diri, saudara Lie, kau
baik bawa gedangku ini."
Si anak muda menggoyangi tangan.
"Aku rasa tak perlu aku membekal senjata." katanya
tertawa, "Dengan membawa pedang aku justeru mudah
menarik perhatian semula kurcaci. Untuk kau, nona, terlebih
baik lagi kau mempunyai senjata untuk melindungi dirimu."
Lee Hoen tidak dapat memaksa. "Baiklah, asal saudara
lekas pulang," katanya.
Nona ini menghela napas melihat kepergian orang, ia pun
merasa, ia menepas airmata, pikirannya kusut dan letih, ia
masgul sekali, ia ingat ibunya pernah membilangi ia bahwa
kalau dapat ia hendak dijodohkan pada seorang pelajar,
supaya ia jangan mendapat peruntungan seperti ibunya, yang
saban-saban di tinggal suaminya yang senantiasa repot dan
sering menghadapi bahaya, sampai paling belakang suami itu-
- yaIah ayahnya--tak pulang-pulang.
Hingga sekarang ia memperoleh kenyataan ayahnya itu
sudah terbinasa di tangan manusia licik. ia pikir, kalau ibunya
tahu ia memilih Tiong Hoa, seorang Kang ouw, mungkin
ibunya berduka. Tapi, apa daya" ia telah menyintai pemuda
she Lie ini. Dengan mata mendelong, Lee Hoen mengawasi rembulan
dari jendela kamarnya. Masih pikirannya bekerja, ia
membiarkan airmatanya meleleh di kedua belah pipinya, sang
angin membuat main rambutnya, dan sang rembulan mencari
tampangnya yang cantik. Tiong Hoa sendiri keluar dari hotel dengan tindakan cepat,
dengan cepat juga ia jalan telasap telusup di antara orang
banyak. Begitu ingin ia lekas tiba di luar kota, ia tidak tahu
bahwa disaat ia keluar dari pintu hotel, ia sudah dilihat
seorang yang terperanjat melihat padanya sampai orang itu
mengeluarkan seruan tertahan, selanjutnya ia dibayangi orang
itu. Tiong Hoa ketarik dengan kota Kimleng yang beda dari kota
Yan-khia. Di samping itu ia menjadi bingung, Kemana ia mesti
cari Cee Cit" Tadi saja saudara itu bersama Kim som sudah
tidak keruan parannya. "Ah, biarlah sudah..." pikirnya kemudian, "Dia gagah, tidak
nanti dia dapat celaka, Bukankah dia berada bersama Kim
som" Mungkin dia bakal segera kembali dan mencari aku
Thian siang Kie." Kesangsian ini membikio ia batal menuju terus ke luar kota,
ia juga lantas mendengar nyanyian yang mengiringi tetabuan,
ia bertindak ke arah suara itu, maka sebentar kemudian
tibalah ia di tepi sungai Cin Hoay Hoo.
Di sungai itu terlihat banyak perahu pelesiran yang
terpanjang sedang apinya di pasang terang-terang, Tetabuan
dan nyanyian keluarganya dari tiap-tiap kendaraan air itu. oleh
karena hatinya tertarik sangat, Tiong Hoa berdiri ditepian.
Di bagian hulu sungai Gin Hoay Hoo terpecah dua yalah
bagian baratnya asal sungai Lie sooi, dan bag ia n timurnya
sungai Kee fong sampai di gunung Hong san barulah bertemu
menjadi satu terus dari pintu kota Tong- cee masuk kedalam
kota di mana dia mendapat namanya yang kesohor itu, itu
terletak dekat gereja Hoe CoeBio, kuilnya Khong Hoe Coe, di
atasannya yaitu penyeberangan Tho-hoa-touw, dan di
bawahannya jembatan Boen Tek Kio.
Ketika Tiong Hoa berdiri di tepian itu- waktu sudah lewat
jam tiga dan bulan sisir sedang permainya, Di waktu begitu,
orang masih terus bersenang-senang, Mungkin itu lah yang
disebut suasana sorga....
Tiong Hoa tengah tersengsam kapan ia di sadarkan suara
tercebur keras, lantas dari beberapa buah perahu di dekat situ
nampak kepala orang pada muncul dujendela. ia pun lantas
mendengar teriakan kaget: "Orang kecemplung" ia segera
menoleh. Maka ia melihat satu orang lagi bergulat dengan kematian,
Beberapa kali nampak kepala orang itu muncul, lalu selam
lagi, hingga terlihat rambutnya saja. Menampak demikian,
tanpa berpikir lagi, pemuda ini lompat untuk menolongi.
ooooo BAB 11 BEGITU ia menceburkan diri, Tiong Hoa lantas bergulat,
dengan sang air, saking ingin menolong orang, sampai ia lupa
babwa ia tak pandai berenang. Lantas ia kena tonggak air,
syukur di bagian situ kali tak dalam, ketika kakinya nempel
dengan dasar kali. ia dapat menjejak dan timbul pula tangan
bebas ia sampai pada orang yang bercelaka itu, terus ia
menjambret niatnya untuk diseret ke tepian, Dengan kedua
tangannya ia pegang iga orang itu, untuk mengangkat
tubuhnya. Begitu dia terangkat dari dalam air, orang itu membuba
kedua matanya, Tiong Hoa kaget sekali, ia merasakan mata
orang sangat tajam dan bengis, Dengan mendadak ia menjadi
bercuriga. Habis melek. orang itu meram pula seperti ia mau pingsan.
Justeru itu mulutnya terpentang dari dalam mulut itu
menyemprot air kali mengenangi muka si anak muda, Tiong
Hoa terkejut tak dapat ia membuka matanya. semprotan keras
dan mendatangkan rasa nyeri, ia menjadi heran.
Lantas ia menduga bahwa ia lagi ditipu, hanya ia tidak
kenal orang itu, Tengah ia gelagapan dan sukar bernapas itu,
mendadak orang itu menekan kedua pundaknya, buat
membikin ia terbenam kedalam air.
Sementara itu, meski air tidak deras mereka sudah hanyut
beberapa tombak hingga mereka terpisah dari perahu petesira
n yang terdekat tadi. Masih terdengar orang menjerit-jerit
akan tetapi tidak ada yang terjun untuk menolong i.
Tiong Hoa sadar tapi ia tetap berkuatir, sekarang orang
memegang lehernya untuk di cekek. Tentu sekali ia lantas
sukar bernapas, Mukanya pun penuh air, Dalam keadaan
begitu, hatinya menjadi panas ia mau menolong dirinya, Maka
ia lantas meraba Kedua sikut orang itu, guna menotokjalan
darah keng-kie. Karena tidak bisa bernapas, tenaganya berkuraog, tetapi la
mengerahkan sebisa-bisanya.
Orang itu pun kaget, ia lagi mencekek. tidak bisa ia
membela diri, ia merasakan kedua lengannya sakit, lalu kaku,
lalu lemas jerijinya si anak muda nempel seperti gaetan yang
keras dan tajam. ia menahan sakit, ia mencekek terus,
sekuatnya bisa. Tiong Hoa pun bertahan terus, ia juga mesti menjaga agar
air tak masuk ke hidung atau mulutnya. ia mengeraskan
lehernya, ia mengerahkan tenaganya. Tak lama. ia merasa
cekekan menjadi lebih kendor, lalu kendor dan terlepaslah
tangan orang itu. Lekas-lekas ia timbul, ia masih mendengar suara nyanyian
lantas ia tak ingat akan dirinya, ia tidak tahu berapa lama sang
waktu sudah berjalan lalu ia merasa nyaman.
"Apakah aku berada diatas perahu pelesir itu?" ia tanya
dalam hati, ia belum mau membuka matanya, Telinganya
lantas mendengar suara nyanyian yang merdu. suara tetabuan
menyertai nyanyian itu ia membuka matanya ketika hidungnya
menyedot bau harum. "Ooh..." ia berseru tertahan, saking heran, ia mendapatkan
tubuhnya rebah diatas pembaringan ampar tersulam dan
kelambu yang berkembang indah.
Ruang pun lengkap perabotannya serta indah-indah juga.
Dua batang lilin menjadi penerangnya, di depannya ada
berduduk seorang pelayan perempuan umur kira dua belas
tahun tapi dia lantas berdiri dengan terperanjat rupanya dia
lagi ngelenggut dan mendusin dengan tiba-tiba, terus dia lari
keluar sambil memanggil-manggil, "Nona, nona, dia mendusin-
" "Ah, rupanya aku ditolongi oleh salah seorang nona tukang
nyanyi, " pikir Tiong Hoa. ia lantas ingat pengalamannya.
Lehernya juga masih terasa sedikit nyeri, ia hanya tidak
mengerti, kenapa orang hendak mencelakai ia. Rupanya
sengaja orang itu ceburkan diri, guna memancing dirinya,
Ceroboh, ia memperoleh pengalaman ia menjadi insaf akan
liciknya orang. "Benar gila " katanya seorang diri, tertawa.
Mendadak ia terperanjat Baru sekarang ia mendapat tahu
bahwa ia rebah tanpa pakaian-
Mukanya menjadi merah, hatinya berdenyutan. ia merasa
malu sendirinya, inilah, rupanya, yang menyebabkan si
pelayan kabur Ia melihat ke sekitarnya, ia menjadi putus asa, ia tidak
mendapatkan baju atau celananya. Kecuali seprei atau
selimut, tidak ada barang lainnya untuk menutupi tubuhnya
itu. "Celaka..." ia mengeluh.
Tidak lama, maka ia mendengar suaranya pelayan tadi, la
juga mendengar tindakan kaki, bukan dari satu orang, ia
mengawasi ke arah pintu. Budak tadi muncul bersama seorang nona, yang berjalan
belakangan itulah seorang nona cantik pakaiannya putih
bersih, wajahnya tersungging senyuman. Nona itu bertindak
terus ke muka pembaringan.
Kembali ia merah mukanya, sedang d idalam hatinya ia
kata: "Dirumah pelesiran ada nona cantik begini...."
Nona itu lantas duduk di bangku depan pembaringan.
"Pastilah tadi kongcoe kaget." ia berkata, suaranya halus
dan merdu. Mukanya Tiong Hoa menjadi merah pula.
"Terima kasih, nona, yang kau telah menolong aku." ia
berkata. "Pasti aku akan membalas budimu ini."
Nona itu merah wajahnya. "Kongcu tercebur di kali, pakaianmu basah, maka aku telah
menyuruh orang mencucinya." kata ia. "Dis ini tidak ada
pakaian pria, terpaksa kongcu harus menanti sampai besok
pagi, Aku telah menitahkan orangku membeli seperangkat
pakaian- Menyesal, sekarang kongcu harus menanti saja..."
"Ooh, nona, aku membikin kau pusing dan berabeh." kala
Tiong Hoa, "terima kasih."
Dengan sendirinya anak muda ini malu sekali. Pastilah si
nona yang telah meloloskan pakaiannya yang basah itu.
Baiknya ketika itu ia masih pingsan, Kalau tidak, taktahu
kemana mesti ia menaruh mukanya....
Tanpa merasa mata Tiong Hoa bentrok dengan sinar mata
si nona, ia melihat pula bagaimana kecantikan nona itu, Hanya
ia mendapatkan pada itu ada sinar kedukaan, ia tidak melihat
gerak gerik dari seorang bunga berjiwa, ia mendapatkan
sebuah muka yang halus dan bersih, tak ada sedikit juga sinar
kegenitan. Karena lihat sendirinya ia menggeser tatapannya, hingga
sekarang ia melihat si budak perempuan.
Nona cilik itu tertawa geli.
"Hus." si nona menegur, " Lekas siapkan bubur serta
beberapa rupa sayurnya buat kongcu bersantap."
Budak itu menyahut perlahan, lantas dia mengundurkan
diri. Tiong Hoa sendiri tiba-tiba mengasi dengar suara kaget
perlahan, tangannya lantas meraba-raba kasurnya, ia seperti
kehilangan sesuatu. Si nona mengawasi, ia bersenyum. ia bertindak ke meja
rias di samping pembaringan ia menarik laci yang kecil, untuk
mengeluarkan sejilid buku kecil dengan kulitnya kulit kambing,
Lalu ia kembali. "Apakah kongcoe mencari buku ini?" ia seraya
mengangsurkan buku itu. Tiong Hoa lantas menyambut dan lihat itulah buku
hadiahnya Thian Yoe sioe, ia merasa lega bukan main. Buku
itu pun kering suatu tanda si nona telah menggangganginya.
Maka ia puji kecerdasan nona itu.
Menghadapi nona ini, tiba-tiba Tiong Hoa ingat Cek In Nio.
Keduanya sama-sama cantiknya, Bedanya adalah si nona Cek
pandai ilmu silat, Baginya In Nio adalah nona yang tak boleh
tak ada, sekarang di depannya ini, ada nona yang budinya
besar, yang tak dapat ia segera membalasnya.
Kenapa nona ini menolong aku" pikirnya, ia lantas
mendapat jawabannya, ia melihatnya dari sinar mata si nona
sinar yang luar biasa, Maka diam-diam ia menghela napas.
"Bagaimana sekarang?" pikirnya. "Terserahlah.-."
"Meskipun aku bodoh tetapi aku mengerti inilah kitab ilmu
silat," si nona berkata, "sedari masih kecil aku gemar ilmu silat
itu, sayang aku tidak pernah mendapatkan gurunya, maka itu
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertemuan kita ini adalah jodoh kebetulan sekali, Aku harap
kongcu nanti suka memberi petunjuk satu dua padaku."
Karena ia menyebutkan jodoh. muka si nona bersemu dadu.
"Ah, aku gila nona," kata Tiong Hoa tiba-tiba, "Aku sampai
lupa menghaturkan terima kasih padamu sebenarnya aku
mengerti sedikit sekali tentang ilmu silat, maka itu mana
berani aku menunjuk sesuatu pada nona." Nona itu
bersenyum, ia tidak mengatakan apa-apa.
Kemudian si pemuda tanya, "Apakah aku boleh mendapat
tahu she dan nama yang mulia dari nona?"
Nona itu bersenyum. "Aku she Ho, namaku Ban in." sahutnya. "Apakah kongcu
pun suka memperkenalkan diri kongcu?"
"Ooh Aku Lie Cie-tiong .."
Nona itu agaknya heran, tapi ia tertawa.
"Benarkah kongcu bernama Lie Cie-tiong?" ia tanya, "Dalam
ngelindur tadi, aku mendengar disebut-sebutnya kata-kata
Hoa." Muka si pemuda merah.
"Aliasku yalah Tiong Hoa." ia kata, "Aku tidak nyana nona
mendengar itu." Ketika itu budak tadi kembali dengan barang
makanan. Si nona berbangkit untuk menyambuti, terus ia berkata,
"Kongcu, Kau rebab saja nanti aku yang menyuapi."
"Mana dapat aku memberabehkan nona." Kata si pemuda.
Si pemudi tertawa, ia tidak membuang apa apa. Hanya ia
memegang sumpitnya, untuk mulai menyuapi.
Mau atau tidak. Tiong Hoa membuka mulutnya. ia lantas
merasai santapan yang lezat. Beberapa kali sumbu lilin
meletuk seperti kembang api.
Tiong Hoa makan sambil berbicara dengan si nona, ketika
ia sudah cukup makan, pembicaraan masih dilanjuti, sampai
terdengar ayam-ayam jago mewartakan datangnya sang fajar,
ketika itu lilin tinggal sisanya, hampir padam..
Dari mulut Nona Ban in, Tiong Hoa mendapat tahu kejadian
terlebih jauh, peristiwa itu disaksikan si nona yang kebetulan
bersama adiknya tengah melayani seorang tetamu she Lin, ia
ditolong i ketika ia mulai pingsan-
Musuhnya itu juga ditolong i tetapi jiwa dia keburu
melayang, orang she Lin itu sebal melihat romannya si orang
jahat, mayatnya dilemparkan pula ke sungai, orang she Lin itu
menolong i menekan perutnya, untuk mengeluarkan airnya,
lalu mengurutinya. Kemudian si nona menyatakan herannya
pemuda ini sadar terus pulih kesehatannya.
Sementara itu hati Tiong Hoa bercekat, ia kuatir kitabnya
telah dapat dilihat si orang she Lin, ia mengawasi kitab itu. si
pemudi melihatnya, dia tertawa.
Jangan kuatir, kongcu." dia kata, " kitab ini cuma aku
seorang yang mengetahuinya. Aku tahu, meski aku bukan
orang Rimba Persilatan, kitab ini mestinya penting sekali,
inilah kitab yang orang sukar mendapatkannya, dan kalau apa
lacur kitab ini dapat di lihat lain orang, bahaya bisa datang
karenanya." Tiong Hoa heran, ia terperanjat. Luar biasa Ban in
mengetahui itu. ia mengagumi si nona, yang rupanya pandai
melihat selaian, "Mana dia tetamu she Lin itu?" kemudian ia
tanya. Mukanya si nona merah.
"Ia sekarang berada di kamar adikku," sahutnya. "sebentar
dia datang." Tiong Hoa berdiam hatinya bingung, Bagaimana kalau
orang datang ia masih tidak mempunyai pakaian" ia toh dapat
rebah terus di pembaringan-
Ban in mengawasi sambil bersenyum, ia dapat menerka
hati orang. Tiong Hoa melihat muka si nona, mukanya merah
sendirinya. Tak lama pelayan tadi muncul dengan satu bungkusan di
tangannya, dia meletakinya di atas pembaringan.
"Inilah pakaian yang baru dibeli," kata si nona, lantas
bersama pelayannya ia memberi hormat untuk terus
mengundurkan diri, " Tiong Hoa bergerak cepat, untuk
berpakaian, kemudian ia membersihkan muka dan memberesi
rambutnya. Ketika ia berdiri di muka kaca- rasa, memandang
wajahnya sendiri ia berdiam untuk berpikir.
"Entah bagaimana dengan Kwie Kian cioe dan sin-beng
sioe-see," pikirnya, ia lantas ingat saudara angkat itu berdua
"Bocah dengan Kam Jiak Hoei, dia dapat ditolong atau tidak
Boe-eng Hoei Liong begitu liehay, apakah dia dapat disusul"
Tentulah Khioe cin-koen dikejar terus sampai disarang nya. Di
manakah sarangnya itu" jikalau aku tahu, harus aku susul
mereka. Kemudian ia menjadi masgul, ia telah tinggal Lee Hoen
dirumah penginapan pasti nona itu bergelisah menantikan ia
tak kunjung balik, ia tidak meny intai nona itu, si nona yang
seperti menyintai sendiri padanya.
Ia cuma telah berjanji akan mengantari nona itu ke TOklok.
ke guanya Yan Loei di Yan Kee Po, sekarang ia tidak kembali,
bisa-bisa si nona mencurigai ia seperti pendusta.
Kalau benar, sulit ia memberikan keterangannya. Di
matanya sudah ada Cek In Nio dan sekarang Ho Ban In, ia
menyukai nona Ho, bukan terutama karena cantiknya, hanya
di sebabkan pertolongannya dan kebaikan hatinya.
Ia merasa berhutang budi dan mesti membalasnya, Kalau
Ban In jahat, ia bisa di celakai atau kitab silatnya dikangkangi,
maka bingunglah ia. Bagaimana ia harus memilihnya.
Ah. kenapa aku jadi begini" Akhirnya ia tanya dirinya, tapi
ia dapat menguasai diri, ia mengambil keputusan, Biarlah,
segala apa terserah pada sang waktu dan keadaan Asal aku
benar buat apa aku pusingi diri"
Ia tidak usah berpikir lebih lama pula, Kupingnya lantas
mendengar tindakan kaki sedikit berat, lalu di ambang pintu
muncul seorang pria usia pertengahan dengan baju panjang
biru, pundak dia dadanya lebar mukanya persegi, romannya
gagah. Dia memelihara kumis dan jenggot dan matanya bersinar
tajam, Di belakangnya mengikut Ban in serta seorang nona
lain yang cantik yang sujennya manis, ia lantas menduga
kepada si tetamu she Lin maka ia segera menyambut.
Orang itu sudah lantas tertawa dan kata nyaring "Matanya
Ban In jeli sekali, Memang saudara Lie tampan dan gagah, dia
membikinnya Lie Tiang Keng malu sendirinya."
Tiong Hoa menjura, sambil tertawa ia kata. "Tadi malam
saudara Lim telah menolongi jiwaku, budi besar itu nanti aku
ingat untuk selamanya."
Tetamu itu tertawa pula. Tiong Hoa mendapat kenyataan Ban ln terus
mengawasinya, ia jengah sendirinya.
Memang di matanya Ban in, Tiong Hoa tampan seperti
Phoa An- Karenanya si nona jadi tercengang, Didalam hatinya
dia memuji "Sungguh ia tampan-" Diam-diam dia girang
sekali. Lin Tiang Keng menarik tangan si nona di sisi Ban in, ia
memperkenalkannya, "Inilah nona yang aku si orang she Lin
mengenalnya, ialah nona Liw Wan Nio." Keduanya saling
memberi hormat, Tiong Hoa kata ia senang dengan
pertemuan ini. Kemudian Tiang Keng tertawa dan kata. "Kau gagah dan
mulia, saudara Lie Bangsat itu cari niampusnya sendiri syukur
saudara dapat bertahan dari cekekannya."
Tiong Hoa heran. "Kenapa saudara tahu bangsat itu berpura menceburkan
diri?" ia tanya. "Hal itu gampang diketahui kalau dia benar kelelap. mana
dapat dia mencekek orang" Dia pun meocekek dijalan-dsrah
ouw kiat, jadinya dia memang mengarah jiwa saudara Ya,
saudara Lie." Tiang Keng menambahkan, "Kenapa saudara
bermusuh dengan bandit air dari Kee-leng itu?"
Tiong Hoa melongo. "Barusaja aku keluar dari kota raja." ia menyahut. "Tadinya
belum pernah aku masuk dalam dunia Kang ouw, belum juga
pergi ke wilayah Pa-siok. Mana bisa aku bermusuh dengan
penjahat air dari Kee-leng" Apakah saudara kenal penjahat
itu?" Orang she Lie itu mengangguk
"Dia sebenarnya satu di antara Kee-leng Jie Kauw. Dialah
Long-Kauw Tiauw Kiat-Dengan saudaranya, dia sebenarnya
tak pernah berpisahan- Maka heran kakaknya, Hoan-kangkauw
Tiauw Eng, tidak ada di-sana, Aku bukan cuma kenal
kedua perompak itu, bahkan lima tahun dulu, ketika aku lewat
di Kee-leng, aku bentrok dengan mereka. Ada orang yang
datang sama tengah di antara kita. tak sampai kita
bertempur." Sembari menatap ia meneruskan "Mereka kenal saudara,
kenapa dia mau membinasakannya"
"Inilah aneh. Ah mungkin Tiauw Kiat kena disogok lain
orang, coba saudara ingat-ingat salama di tengah jalan,
saudara pernah bentrok dengan siapa?"
Tiong Hoa menggeleng kepala, Benar-benar ia tidak ingat,
Sampai disitu orang terus juga tidak menanyakan lebih jauh.
Ketika itu di dalam kamar itu pelayan mengatur meja
perjamuan, "Nona Ban in mengadakan perjamuan untuk
menghilangkan kagetnya saudara Lie" kata orang she Lin itu
kemudian- "inilah suatu hal yang membahagiakan seingatku
belum pernah aku melihat Nona Ban-in melayani tetamu
secara begini." Mukanya Tiong Hoa merah. Nona Ho melirik ia bersenyum,
lantas ia tunduk. Begitu perjamuan di mulai Tiang Keng yang bicara paling
banyak. Saban-saban dia tertawa, Tiong Hoa jengah, ia cuma
bisa tersenyum. Wan Nio dan Ban In pun tertawa dan bicara
banyak, Ban In melayani Tiong Hoa dengan telaten sekali.
"Saudara Lie, aku minta janganlah kau mensia-siakau
kebaikan nona Ban In," kemudian Tiang Keng kata, suaranya
nyaring, "walaupun nona Ban ln berada ditempat semacam ini,
ia sebenarnya putih bersih bagaikan kemala yang disimpan
hati-hati. Biasanya ia manis seperti bunga-bunga tho dan lie
dan dingin bagaikan es, baru hari ini sikapnya luar biasa,
manis dan ramah sekali, jikalau aku si orang she Lin telah
diberikan ketika, pasti sudah siang-siang aku melamarnya,
sayang nona Ban-in memandang aku hanya sebagai tukang
pelesir, lain tidak juga nona Ban In tak sembarang menerima
budi orang. Saudara Lie, mudah-mudahan kau melindunginya
baik-baik," Telinga Tiong Hoa menjadi merah, hatinya memukul.
"Akulah orang biasa saja, mana aku berharga menerima
perhatian nona Ban In begini rupa" katanya, Diam-diam ia
melirik nona itu. Ban-in likat, lalu matanya merah, airmata nya
mengembeng... "Hebat," pikir Tiong Hoa, "Tidak ada sebab untuk ia tidak
menyintai nona itu yang cantik dan manis, yang telah melepas
budi terhadapnya, ia pun mau percaya Tiang Keng bahwa si
nona bukan sembarang bunga berjiwa, Hanyalah, bagaimana
ia dapat menerima nona itu, Toh ia merasa sangat berkasihan,
Maka akhirnya ia kata: "Asal Nona Ban In tidak mencela
kejelekan dan kemiskinanku."
"Cukup, cukup sudah" Tiang Keng berseru memotong.
"saudara Lie sudah menerima baik" Lantas dia memberi
selamat kepada Ban in, siapa tunduk saja, kedua tangannya
membuat main ujung batunya. Biarlah ia setangkai bunga, ia
toh likat. Tengah orang bersuka ria itu, mendadak terdengar suara
tertawa dingin di atas genting hingga semua orang kaget,
tatkala mereka menoleh ke pintu, di ambang itu terlihat
seorang usia kira empatpuluh tahun, yang romannya bengis
dan matanya galak, menatap tajam kepada Lie Tiang Keng.
"Aku kira siapa, tak tahunya Tiauw Loo-toe memberi
kehormatan padaku dengan berkunjung ke mari." orang she
Lin itu kata. "Sejak perpisahan kita di Keeleng, lima tahun sudah
berselang sebenarnya aku sangat kangen pada kau, loosoe,
silahkan masuk. mari duduk minum bersama."
Memang orang itu Hoan kang-kauw Tiauw Eng si Ular naga
Membaliki Sungai, salah satu dari Kimleng Jie kouw . dua jago
Kimleng, kakak dari Long-kauw Tiauw si Ular naga
Gelombang. Tiauw Eng menyapu semua orang dengan sinar matanya
yang bengis itu. "Lin Loosoe aku numpang tanya." kata ia dengan keras "
kenapakah adikku mati?" suaranya keras...
"Apakah benar dia telah dianiaya sahabatmu ini?" sekarang
dia memandang bengis kepada Tiong Hoa seorang.
Lin Tiang keng tertawa. "Justeru itulah hal gelap yang membingungkan aku si orang
she Lin dan sahabatku ini!." dia menjawab. "Tadi malam
sahabatku jalan-jalan di tepian sungai Cio Hoay Hoo, Tiba-tiba
adikmu itu sengaja membuang diri nya kedalam sungai, lalu
dia berteriak-teriak berpura-pura minta tolong seperti juga dia
kelelap, sahabatku ini berhati mulia tanpa memperdulikan diri
bisa terancam bahaya ia lompat untuk menolongi.
Kesudahannya sahabat ini benar-benar terancam bahaya
maut, Adikmu itu sudah mencekek leher pada jalan darah
auwkiat, Untuk menolong dirinya, sahabatku ini melakukan
perlawanan. Apa lacur saudaramu itu terluka dan terbinasa
karenanya, sahabatku ini juga ketolongan aku, jikalau tidak
dia pasti lenyap jiwanya sebab dia telah pingsan, jikalau kau
tidak percaya Tiauw Loosoe, kau periksalah lehernya
sahabatku, sampai sekarang masih ada tapak jarinya adikmu
itu. Sahabatku ini baru saja datang dari Yan-khia, dia tidak
kenal adikmu kenapa adikmu itu menggunai akalnya itu
hendak mencelakakan dia, apakah alasannya?"
Ditanya begitu Tiau Eng melengak. Tapi cuma sebentar,
dan menyeringai. "Tidak, aku tidak percaya" katanya keras. "Biar adikku
buruk. tidak nanti dia berlaku demikian licik terhadap orang
yang dia tidak kenali "
"Inilah justeru herannya" kata Tiang Keng sungguhsucgguh,
"Kalau Tiauw Lo-soe tidak percaya sungguh sukar,
meski aku mempunyai lidah, tidak dapat aku bilang apa-apa
lagi. Tadi malam langit cerah dan rembulan permai sekali, di
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sungai Cin Hoay perahu-perahu mundar mandir, ada banyak
orang yang pesiar di sana ada banyak orang yang
menyaksikan caranya adikmu terjun ke air. maka tak dapat
aku mendusta. Baiklah Tiauw Loosoe pergi ke sana dan minta keterangan
dari orang banyak itu, juga aneh yala h kamu sendiri, Tiauw
Loosoe. Aku tahu kamu biasanya tak pernah memisahkan diri
kenapa tadi maLam justeru , terbit onar itu justeru kau tak
ada di sampingnya" Menurut aku, adikmu itu tentu telah dibujuk dan dianjuri
orang lain, yang mencoba menggunai akal muslihat meminjam
tangan orang melakukan pembunuhan"
Tiauw Eng berdiam, parasnya berubah, Alasan itu kuat
sekali, Memang ia telah mencari keterangan dan apa yang ia
dengar cocok dengan keterangannya Tiang Keng ini, ia hanya
tak tahu adiknya itu terbujuk siapa.
"Apakah dia bukannya Yan Hong?" katanya seorang diri
sesaat kemudian. Mendengar disebutnya nama Yan Hong itu, Tiong Hoa
bercekat. matanya bersinar, ia bertindak maju mendekati jago
Kimleng itu "Apakah Yan Hong berada di sini?" ia tanya "Kalau begitu,
jangan kau sesaikan siapa juga, saudaramu itu terbujuk. dia
membantu harimau mengganas, dia mencari matinya sendiri,"
Mendengar kata-kata oraog, bangkit pula kemarahannya
Tiauw Eng. dengan paras suram dia menatap si anak muda.
"Tak perduli siapa salah dan siapa benar nyatanya adikku
terbinasa di tangan kau" dia menembak. "siapa membunuh,
dia mesti mengganti jiwa siapa meminjam uang, dia mesti
membayar uang juga. Maka sekarang aku si orang she Tiauw
mau menagih padamu. Tentang Yan Hong, belakangan aku
akan cari dia." Dia lantas maju mendekatt, untuk menyerang.
Lin Tiang Keng maju sama tengah.
"Tiauw Loosoe," katanya tertawa, "Aku tahu Tiauw Loosoe
jujur, kenapa hari ini kau menentang dirimu sendiri" jikalau ini
sampai tersiar, pastilah ini akan merugikan nama baikmu..."
Tiang Keng tahu Tiauw Eng lebih liehay daripada Tiauw
Kiat, karena mana ia kuatir Tiong Hoa bukanlah lawannya
maka ia hendak mencegah orang turun tangan.
Tiong Hoa sebaliknya panas hatinya, belum lagi Tiauw Eng
berbicara pula, guna menjawab Tiang Keng, ia kata sambil
tertawa dingini "Dia bukan cuma menentang dirinya, dia
sengaja mencari gara-gara Dia tahu adiknya salah, dia masih
datang ke mari Eh, orang she Tiauw, apakah kau anggap aku
si orang she Lie dapat dipermain kan" -- saudara Lin, harap
kau jangan mencegah aku. Aku ingin tanya dia tentang Yan
Hong, dimana adanya dia itu"
Tiang Keng menduga pertanyaannya Tiong Hoa mesti ada
latar belakangnya, ia lantas minggir.
"Kamar ini sempit, kenapa kita tidak mau pergi keluar?"
kata Tiauw Eng dingin. "Aku si orang she Tiauw ingin ketahui
berapa tinggi ilmu silat kau maka kau menjadi begini jumawa."
"Kau justeru yang jumawa." sahut Tiong Hoa. ia
mengawasi tajam, lantas ia bertindak keluar.
"Hm "bersuara Tiauw Eng, yang terus mengikuti.
Beberapa tindak dari kamar itu ada sebuah kebun bunga
kecil di mana ada banyak pohon bunga yang bunganya
menyiarkan bau harum. Di situ Tiang Hoa lantas berdiri berhadapan dengan Tiauw
Eng yang galak itu. Lin Tiang Keng menyusul bergema Lie oao Nlo danHoBanIn
terpaksa mereka berdiri di pinggiran untuk menyaksikan.
Mereka ini berkuatir, terutama Ban io, jantungnya memukul.
Kali ini Tiong Hoa bukan membawa adatnya, ia hanya
panas hati mengingat Yan Kee Po yang licik itu. Mesti ada
sebabnya kenapa, Yan Hong mencelakai ia, Tiauw Eng pasti
tahu di mana adanya orang she Yan itu, maka ia ingin
mengetahui alamatnya. sekalian dengan ini, ia perlu cari tahu
juga halnya Ngo-sek kimbo.
Pertempuran sudah lantas dimulai tanpa mereka banyak
bicara lagi. Tiauw Eng berseru. "Silahkan." lantas ia
mendahului menyerang. Tiong Hoa berkelit ke kiri, tangan kanannya diulur, guna
menangkap tangan kanan penyerangnya itu, yang
serangannya tak mengenai sasarannya Jago Kim-leng
menyerang berbareng dengan kedua tangannya dan tangan
kanannya itu berada di sebelah luar, Dia putar tangan
kanannya itu, terus dia menyerang pula, tangan kiri ke muka,
tangan kanan ke dada. Lin Tiang Keng terperanjat. Tahulah ia yang Hoan-kang
kauw Ular naga yang nomor satu itu, hendak mendesak. guna
lekas mengakhirkan pertempuran itu.
Lie Tiong Hoa ketahui hati orang, ia pun kata dalam
hatinya: "Kau terlalu jikalau aku dapat bikin kau lolos, aku
bukannya muridnya Thian Yoe sioe"
Ia lantas mengajukan dua-dua tangannya, guna
menangkap masing masing sebuah lengan lawan, ia bukan
nya menangkis atau berkelit, ia justeru menyambuti.
Tiauw Eng menyedot hawa dingin, Dialah orang Kang ouw
yang berpengalaman yang matanya sangat awas, ia terkejut
untuk cara perlawanan musuh ini, tentu sekali dia tak sudi
mendapat malu, maka berbareng dia lantas memikir buat
mengangkat kaki. Begitulah dia cepat menarik pulang kedua tangannya
sambil dia melengakka n tubuhnya, selagi tubuhnya itu rebah,
kedua kakinya menjejak tanah, untuk lompatjumpalitan.
Bagus lekas kedua kakinya mengenai tanah, begitu lekas jug a
dia berlompat pula. Kali ini untuk lompat naik ke atas genting.
"Kemana kau mau lari." Tiong Hoa membentak. seraya ia
meluncurkan tangannya, menyamber.
Tubuh Tiauw Eng baru terapung lima kaki, tatkala dia
merasakan s iuran angin- Dia kaget sekali, tengah dia keget,
telinganya mendengar suara memberebet dari robeknya
bajunya, sebab pundak kirinya kena d is amber si anak muda,
yang telah mengguna Hoei Wan Cioe-hoat, hingga tangannya
dapat terulur panjang. Dia dapat sampai juga di atas genting, ketika dia menoleh
dia melihat Tiong Hoa lagi memegangi bajunya itu yang
tertiup angin. Dia melengak.
Tiong Hoa juga tidak menyangka orang lari demikian cepat,
karenanya meskipun ia menyamber ia masih kurang sebat.
Tidak demikian jago Kimleng itu mesti menderita hebat.
Lim Tiang Keng heran hingga ia tercengang sama sekali ia
tidak melihat si anak lompat mengejar, toh pundak Tiauw eng
kena dijambret hingga bajunya pecah.
Tiauw Eng masih panas hatinya sembari tertawa
menyeringai dia kata: "Ketahui olehmu" sakit hatinya adikku tak dapat tak di
balas. Baik kau ketahul juga Yan Hong membenci kau sampai
ditulang-tulangnya maka jangan kau harap kau dapat tidur
nyenyak." Selagi berkata begitu, jago Kimleng itu berlompat untuk
menyingkir Ketika suaranya berhenti, dia sudah pergi jauh
lima tembak kira-kira Lie Tiong Hoa berseru ber lompat naik
untuk menyusul. "Jangan kejar, saudara Lie" Tiang Keng mencegah.
Tiong Hoa tidak memperdulikan cegahan itu, ia mengejar
terus. Tiauw Eng berlari-lari dengan cepat, dia menuju ke luar
kota, Dia telah melompati tembok tepi dia masih disusul terus.
Malam itu bulan terus indah, maka terlihat tegas dua orang
itu berlari-lari berkejar-kejaran. Tiong Hoa mengejar tanpa
memperdulikan bahwa ia mesti memasuki rimba pohon tho.
Didalam tempe satujatn, tibalah mereka dibukit Ciong san,
Disini Tiauw Eng lari naik, tiba ditengah gunung, terlihat dia
lompat turun, tatkala si anak muda tiba, ia melongo. ia melihat
jurang, yang tak nampak dasarnya.
"Aku cuma mau membekuk dia hidup-hidup untuk ditanya
halnya Yan Hong." kata Tiong Hoa di dalam hati, "Aku tidak
sangka dia terjun kedalam jurang. Aku telah membinasakan
adiknya, buat apa aku membinasakan dia juga?" ia mengawasi
kedalam sekali, Kemudian ia menghela napas, matanya
memandang ke sekitarnya. pepohonan segar dan lebat
daunnya nampak hijau gelap. Bunga-bunga lagi mekar dan
memperlihatkan warna merah indah.
Tiong Hoa tersengsam oleh pemandangan malam yang
indah itu. Tiba-tiba ia ingat Tiauw Eng dan berpikir, "Tidak.
tidak mungkin siapa juga ingin hidup. siapa pun tak ingin mati.
Tiauw Eng tidak menjadi kecuali. Dia belum mogok. kenapa
dia tidak menyayangi jiwanya" Mustahil dia benar-benar
bunuh diri".." Meski ia memikir demikian, Tiong Hoa mengawasi ke dalam
jurang dengan pikirannya terus bekerja hingga ia seperti
ngelamun. Tengah ia berdiam itu mendadak ia mendengar
bentakan di belakangnya dibarengi dengan satu tenaga
menolak yang kuat keras sekali kepada tubuhnya, hingga ia
tergentar dan napas seperti mandek. sebelum ia sempat
berdaya, tubuhnya sudah terlempar.
Selagi jatuh itu, ia masih sempat mendengar tertawa
nyaring di atas jurang. suara tertawa yang berkumandang di
bukit itu. "Mati aku...." pikirnya selagi jatuh itu, "Mana ada
pertolongan lagi?" tubuhnya jatuh terus, Maka itu menanti
saja kematiannya. Mungkin tubuhnya bakal remuk dan hancur
di dasar jurang itu ia takut bukan main.
Dari dasar jurang itu terdengar suara binatang entah
binatang apa. "Sungguh malang nasibku" anak muda ini masih sempat
berpikir, "Sudah tubuhku bakal remuk dan hancur, juga bakal
digegaresi segala binatang alas."
Tiba-tiba ia merasa benturan keras, darahnya seperti
bergolak, tapi ia bukannya jatuh di atas batu, ia pun
mendengar lagi suara binatang tadi. Hidungnya lantas
terserang bau amis. Cuma sebegitu perasaannya, terus ia
tidak ingat apa apa lagi, tempo kemudian ia mendusin -- entah
berapa lama ia sudah pingsan, ia merasakan seluruh tubuhnya
sakit dan ngilu, tulang-tulangnya seperti patah semuanya.
Ketika ia membuka rnatanya, ia melihat hanya kabut, Tapi
la mengawasi terus, hingga ia melihat tembok jurang di kirikanannya,
tinggi dan lamping, tanpa ada pepohonannya,
Dasar jurang itu penuh dengan batu kecil dan rumput liar.
"Eh, kenapa aku tidak mati?" pikirnya heran, sambil ia
melawan rasa nyerinya. ia lantas mengingat-ingat cara
jatuhnya, terutama suara binatang itu serta baunya yang tak
sedap. "Ah, apakah aku lagi ngelamun?" Ia heran kenapa ia
tidak mati, jurang itu sangat dalam.
Dengan keheranan, ia merayap bangun untuk berduduk. la
melihat ke kiri dan kanan, Lama-lama, ia mendapatkan darah
yang nempel pada bulu binatang warna putih. ia mengawasi
tajam, untuk memeriksa. "Apakah aku ditolongi binatang itu?" akhirnya ia kena
dirinya sendiri, "Kemana binatang itu sekarang?" ia melainkan
melihat bulu yang bertumpuk.
"Ah " ia mengeluh. Karena merasa tubuhnya sangat nyeri,
ia lantas bersila, untuk bersamedhi, guna menyalurkanjalan
darahnya. Dalam hal ini, ia sudah mahir, selama di guanya
Yan Loei ia telah melatih dirinya. ia lekas mendapatkan
hasilnya, Belum berselang lama rasa nyerinya lantas kurang,
ia meneruskan untuk kegirangannya, ia merasai napasnya
berjalan lurus seperti biasa, ia lantas membuka matanya.
Sekarang ia dapat melihat mirip di siang hari, dan akhirnya
ia lompat bangun, dari mulutnya terdengar siulan yang
nyaring dan lama. sebagai akibatnya itu, ia mendengar
dengungan kumandangnya. Tiba-tiba....
Dari arah depan, kejauhan terlihat berlari-lari datangnya
dua ekor kera yang berbulu putih, yang dapat nya membawa
barang apa berdiri seperti manusia tak apa. Kedua binatang
itu rupanya datang karena mendengar siulan, Tapi waktu
mereka melihat orang berdiri, keduanya merandak. terus
mereka memutar tubuh, buat lari pergi. Tiong Hoa lari
mengejar. Kalau benar ia ditolongi kedua binatang itu, ia mesti
mengingat budi, tatkala ia ditempat dimana dua kera itu
barusan merandak. la melihat di tanah belakangnya sejumlah
buah piepa, semacam jeruk warna kuning rata-rata sebesar
kepalan, yang baunya halus dan harum, tanpa merasa
datanglah napsunya ingin memakan itu, maka ia
memungutnya dan terus memakannya. ia mendapatkan rasa
yang lezad, Kulitnya pun dimakan habis. Buah itu tidak ada
bijinya. "Inilah buah yang paling kesohor keluaran tong-teng-san,
yang dipanggil Pek-see." pikirnya, "sekarang aku mendapati
ini. Yang tanpa biji, mungkin inilah buah yang ada khasiatnya,
Kera adalah binatang yang sipatnya mirip manusia, melihat
aku pingsan, mereka tentu mau menolongi aku, hanya kenapa
mereka pada kabur?" Buah piepa itu manis sekali, ia maka pula hingga
ketinggalan lima biji, Untuk heran nya, hilang sudah rasa ngilu
dan nyeri nya, bahkan ia merasa segar seperti biasa, tidak
tempo lagi ia lari ke arah kaburnya kedua kera tadi, ia girang
sesudah ia lari sekian lama. Di sebelah depan berpeta dua
tubuh putih dari kedua kera, Untuk menyusul mereka, ia lari
dengan ilmu ringan tubuh Hong Hoei In soan.
"Jurang ini mesti ada jalan keluarnya, asal aku dapat susul
kedua kera ita, pastilah aku akan dapat keluar dari sini."
pikirnya sambil berlari-lari itu.
Kira lagi tigapuluh tombak akan ia dapat kepada kedua
kera, kedua binatang itu mengasi dengar suaranya catcat
Citctt, terus ke duanya lari naik ke lamping jurang.
Tiong Hoa heran kenapa kedua kera itu dapat manjat di
situ, setelah ia tiba, herannya hilang, ia mendapatkan dua
batang rotan yang tumbuh di atas itu, yang meroyot turun
Ketika ia dongak, kedua kera lenyap. sejenak ia diam, ia heran
dan berpikir. "Pasti ada gua di tengah itu," ia menerka Apakah aku mesti
naik" Kalau kedua kera menyangka aku bermaksud jahat,
selagi aku naik, mereka dapat memutuskan rotan ini itu berarti
aku bisa jatuh mampus..." Ia bersangsi mengawasi terus,
keras ia berpikir. "Ah, mustahil," pikirnya pula. "Kera itu dapat berpikir
seperti manusia. Tadi mereka justeru menolongi aku. mustahil
Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka menyangka jelek" Mungkin mereka kaget karena aku
bersiul keras." Masih ia bersangsi. Masih lewat tempo sekian lama.
Akhirnya ia mengertak gigi. "Mesti aku manjat," ia mengambil
keputusan- "Tak dapat aku berdiam terus disini."
Maka ia menjambret rotan itu, ia mengenjot tubuh untuk
naik kakinya membantu menginjak lamping jurang. Kedua
tangannya memegang dan menarik bergantian pada kedua
batang rotan itu, ia bertubuh enteng, toh manjat secara
begitu, ia mesti menggunai tenaga berlebihan.
Tidak lama, ia merasai telapakan tangannya basah dengan
peluh dan napasnya sedikit memburu. Tapi lekas juga ia
sampai di tempat di mana tadi kedua kera menghilang. ia
Tusuk Kondai Pusaka 16 Pendekar Slebor 60 Pembunuh Dari Jepang Pedang Darah Bunga Iblis 17