Pencarian

Damar Wulan 1

Damar Wulan Karya Zuber Usman Bagian 1


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karya : Zuber Usman Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
Kata Pengantar Damarwulan tokoh legendaris dalam sastra lisan Jawa Timur telah diangkat penulis
menjadi cerita yang menarik. Dengan latar Kerajaan Majapahit yang diperintah
raja putri Dewi Suhita, Damarwulan sebagai tokoh kebenaran dapat menaklukkan
Menak Jingga, Raja Blambangan yang memberontak terhadap
Kerajaan Majapahit. Dalam cerita ini muncul pula tokoh punakawan Sabda Palon dan Naya
Genggong pada pihak yang benar serta Dayun pada pihak yang salah yang
dapat memberi wama tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia.
Mudah-mudahan buku ini dapat memenuhi permintaan pembaca yang sudah
terlalu lama menantikan penerbitan ulang.
Balai Pustaka 1. Mengundurkan Diri dari Pemerintahan 1
2. Disuruh Memperhambakan Diri kepada Paman
13 3. Majapahit dan Blambangan
23 4. Keangkuhan 29 5. Ksatria Jadi Tukang Arit 37
6. Negeri Selalu dalam Huru-hara, Rakyat Hidup Merana
47 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
7. Dewi Anjasmara 59 8. Berita dari Paluh Amba-Cinta dan Kewajiban 71
9. Majapahit Memerlukan Senapati
77 10. Raden Gajah Memenuhi Harapan Ratu Majapahit 89
11. Menyerang Prabalingga 97
12. Berita Kemenangan 117 13. Diangkat Menjadi Raja Angabaya
131 14. Kedengkian Menyalakan Api Dendam yang Tak Padam-Padam 137
15. Usaha Memakmurkan Negeri dan Membela Rakyat 143
16. Kedatangan Tentara Panji Wulung
151 17. Berkumpul dengan Keluarga
161 18. Fitnah dan Iri Hati Makin Membakar Majapahit
167 19. Bala Tentara Bintara dengan Mudah Memasuki Majapahit 179
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
1. Mengundurkan Diri dari Pemerintahan
"Bagaimana anak kita, Nawang ... selama engkau tinggal di desa
tanya Patih Udara kepada istrinya, Nawangsasih.
"Tentang apanya maksud Kakanda?" Nawangsasih kembali bertanya kepada suaminya,
yang baru saja pulang, sambil menatap dengan tenang.
Patih Udara sejak mengundurkan diri dari pemerintahan hampir-hampir
tiada lagi memikirkan kehidupan rumah tangga keluarganya. Berminggu-
minggu lamanya bahkan adakalanya berbulan-bulan ia meninggalkan anak
istrinya di desa lereng Gunung Arjuna. Sekali-sekali ia pulang, yang pertama
ditanyakannya, bagaimana keadaan anaknya, Damarwulan.
"Maksud Kakanda, kesehatan dan kelakuannya! Selama Kakanda tiada di rumah ...?"
Belum sampai Nawangsasih menjawab, kedengaranlah Raden Damar datang
dengan kudanya. Patih Udara berpaling dan menoleh ke pintu. Jelas tampak
olehnya, bagaimana tangkas anaknya melompat dari atas punggung kuda.
Baru saja kakinya tercecah ke tanah, tali kuda dilemparkannya kepada Sabda
Palon, yang segera datang berlari-lari mendapatkannya. Beberapa langkah
Damarwulan maju, kemudian dia berbalik dan melemparkan cambuk kuda
yang masih ada di tangan kirinya kepada Naya Genggong, yang datang
berlari-lari pula dari belakang.
"Bagaimana Paman ..2"
"Tentang apa, Raden?" tanya Naya Genggong, agak bingung.
"Tentang apa ... tentang apa ...! `kan Paman sendiri yang mengusulkan supaya
kuda saya diberi makan dengan anak-anak tikus ... supaya bertambah galak!"
"Ya ... ya ... saya ingat, Den!"
Sementara itu Sabda Palon kedengaran menyumpahnyumpah.
Baru saja kuda itu merasa beban di punggungnya tak ada lagi, ia segera
menjompak-jompak dan menyepak-nyepak ke atas dan ke belakang. Untung
lekas dibantu oleh Naya Genggong dengan memaki-maki pula, tetapi bukan memaki si
Ginanti kuda itu, melainkan menyumpahi Sabda Palon. '
"Betul perutmu saja yang gendut dan makanmu dua bakul, tetapi membawa kuda
seekor ke kandang tak sanggup!" katanya sambil merebut tali kekang dari tangan
Sabda Palon. Kuda itu bukan makin jinak malah sebaliknya.
Mendengar suara Naya yang besar itu kuda itu makin menjompak-jompak dan
meringkikringkik dengan manjanya.
Damarwulan segera melompat ke beranda dan melangkah ke ambang pintu.
Ketika dilihatnya ayahnya duduk berhadaphadapan dengan ibunya, ia segera
merendahkan diri serta menyusun kesepuluh jarinya, memberi hormat kepada kedua
orang tuanya yang sangat dicintainya itu. Setelah berdiam diri seketika
Damarwulan berkata, "Sudah lama Ayah sampai" Ananda tidak mengira Ayahanda akan
datang hari ini ...!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Patih Udara tidak segera menjawab, hanya memandang dengan tenang
kepada putranya. Sekalian yang telah ditanyakannya kepada istrinya atau yang
hendak ditanyakannya, sekarang telah terjawab. Dari gerak-gerik
Damarwulan yang lincah sejak turun dari kuda, serta melihat sinar mata dan
cahaya mukanya yang berseri-seri, tahulah ia, anaknya tiada kurang sesuatu apa
pun. Begitu pula melihat sikap anaknya yang tertib dan hormat, sekalipun telah
menjadi anak desa, membuktikan bahwa Nawangsasih tiada lalai
mengajar dan mendidik anaknya secara sopan santun.
Banyak hal yang teringat oleh Patih Udara. Beberapa lama ingatannya
melayang ke masa-masa yang lampau, ketika ia masih menjadi patih kerajaan
Majapahit. Ia dan keluarganya dicintai dan dihormati orang. Se4rang anaknya
telah jadi anak desa, bergaul dan bermain dengan anak-anak kampung,
dengan rakyat biasa atau anak orang kebanyakan saja. Dia sendiri sudah
mengasingkan diri dari pergaulan ramai. Pikiran yang semacam itu sering datang
menggodanya kembali, seperti juga tiap-tiap orang tua, apabila ia sekali-sekali
datang mengunjungi anak istrinya semacam
"Ayahanda datang sekadar hendak mengetahui dan melihat Ananda dan Ibunda. Mudah-
mudahan kalian berdua tidak kurang apa-apa. Bagaimana
keadaan Eyang, Maharesi Paluh Amba ...?"
"Baik, Ayah! Berkat dewa-dewa, Eyang sehat. Ananda baru saja pulang dari
asrama ...." Setelah berdiam diri sejurus, Patih Udara bertanya pula, "Ajaran dan hikmah
apakah yang telah diberikan Eyang kepada Ananda?"
"Tiap-tiap orang mempunyai tugas sendiri-sendiri, sekaliannya itu telah diatur
oleh dewa-dewa," jawab Damarwulan.
Setelah diam sebentar ia berkata pula, "Dewa-dewa sendiri menurut penjelasan
Eyang, masing-masing mempunyai togas tertentu pula."
"Apakah togas Ananda sendiri" Tiadakah Ananda tanyakan kepada beliau?"
"Eyang seorang resi yang aneh, Ayah!" jawab Damarwulan menatap muka ayahnya,
meminta pertimbangan. Diam sejurus.
Kemudian berpaling kepada bundanya. Nawangsasih memandang kepada
anaknya kemudian kepada suaminya.
"Aneh bagaimana, Damar?" tanya Patih Udara.
"Dari semula Ananda berkunjung ke asrama, Ibunda menitahkan supaya Ananda minta
diajari tentang maksud dan tujuan hidup. manusia di dunia loka ini. Pada pertama
kali Ananda bertemu dengan Eyang, Maharesi Paluh Amba yang aneh itu, -Bundalah
yang telah memperkenalkan-, dan Ananda masih
ingat akan ucapan dan permintaan Bunda kepada beliau ...."
"Apakah yang telah dimintakan Bundamu kepada Eyang, ceritakanlah ...!"
Damarwulan mula-mula menjilat-jilat tepi bibirnya yang sebelah atas
dengan ujung bibirnya yang sebelah bawah, sambil melentik-lentikkan
punggungnya, mengecilkan badannya dan menaikkan dagunya, meniru sikap
bundanya ketika berhadapan dengan Maharesi. Karena pandainya menirukan, sekarang
yang bicara seolah-olah bundanya sendirilah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ayahanda Maharesi ...!" katanya sambil mengedipngedipkan mata berulang-ulang,
seperti orang yang sedang menahan air mata yang hendak keluar, menirukan sikap
bundanya ketika di asrama.
"Kakanda Patih telah menyerahkan tugasnya dalam pemerintahan kepada
Logender ...." Diam seketika, rupanya betul seperti seseorang yang sedang
menahan perasaan haru dan sedih, yang sekonyong-konyong datang
mendesak dari dalam. Kemudian katanya, "Setelah menyiapkan segala keperluan
Ananda dua beranak dan memperbaiki rumah kami di desa,
Kakanda Udara berangkatlah. Katanya sebelum mengundurkan diri ke dalam
pertapaan, ia ingin menambah pengalaman dengan mengembara terlebih
dahulu ...." Damarwulan mengeluarkan saputangan dari balik bajunya. Perbuatan dan
suaranya menirukan laku ibunya tak ubahnya dengan sikap seorang pemain ulung
yang sedang bermain di atas pentas.
"Sekarang Kakanda Udara tengah dalam pengembaraan, terangkanlah
kepada Ananda, wahai Sang Budiman, bagaimana hendaknya sikap Ananda!
Terutama kepada putra hamba, tunjukkanlah kepadanya tujuan dan arti hidup
ini...!" Damarwulan mencoba menirukan sikap dan gaya ibunya ketika berhadapan
dengan eyangnya di asrama. Kemudian ia mengubah sikapnya. Tangannya
yang sebelah kanan agak diangkatnya, seolah-olah berpegang pada sesuatu dan
tidak bersimpuh lagi. Tangannya 'yang kiri sebentar-sebentar mengusapusap
dagunya yang licin itu, sekarang menirukan sikap Maharesi Paluh Amba yang sedang
memberi petunjuk atau pelajaran:
"Anakku!" katanya dan suaranya hampir tiada ubahnya dengan suara Maharesi
sendiri. "Sudah waktunya Patih Udara mengundurkan diri untuk memberi kesempatan
kepada yang lain dalam pemerintahan, kepada adiknya sendiri, Logender. Logender
saudaranya pasti tiada akan melupakan nasib kamu dua beranak kelak. Apabila
perlu, sewaktu-waktu engkau boleh datang mengetuk pintunya. Suamimu seorang
satria yang mempunyai sifat-sifat yang mulia, tiada serakah, tiada mementingkan
diri sendiri dan sejak kecil ia sangat cinta kepada sesama manusia, apalagi
terhadap saudaranya sendiri,
Logender... ya ... ya ...!"
Ia diam sebentar, kemudian, "Logender mempunyai dua orang putra,
Layang Seta dan Layang Kumitir, dan seorang putri, Anjasmara. Bebannya lebih
berat! Akan tetapi, yang lebih utama memang sudah datang waktu bagi Udara untuk
mencari ketenangan, supaya dapat memahami arti hidup dan
kehidupan ini lebih dalam. Sebagai keturunan ksatria, ia telah mencoba
menjalankan kewajiban dan tugasnya sebaik-baiknya. Sekarang tibalah
saatnya baginya untuk memahami kehidupan yang lebih luas, sebelum masuk ke
pertapaan, mencari kehidupan nurani yang lebih tinggi, damai dan mulia serta
jauh lebih suci." Damar melirik kepada ibunya, yang selalu menatapnya dengan penuh kasih dan
sekali-kali memandang kepada suaminya sebagai hendak membandingkan raut muka
anaknya yang serupa benar dengan raut muka ayahnya.
"Bukankah demikian kata Eyang, Thu?" katanya. Nawangsasih mengangguk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tadi engkau katakan, bahwa eyangmu seorang maharesi yang aneh," ujar Patih
Udara, "bagaimana pula anehnya?"
"Ya, bukankah aneh, Ayah, apabila Ananda sendiri mendapat tugas yang lain!"
"Apakah tugasmu dikatakan Eyang?"
"Tiap hari Ananda diperintahkan dan dilatih Eyang naik kuda di samping berlatih
memanah, bermain keris, bermain tombak dan sebagainya, serta
disuruh pula bersolek sebaikbaiknya...."
"Memanglah demikian, Anakku! Ingatlah, orang tidak boleh membutakan matanya
melihat dunia ini, akan tetapi, jangan pula sampai lupa, bahwa di balik dunia
yang sekarang terbentang pula dunia yang lain, yakni dunia yang akan datang.
Engkau sedang meningkat dewasa dan selanjutnya akan menjadi tua. Engkau
mempunyai tugas dan kewajiban sendiri pada tiap-tiap tingkat umur dalam hidup
ini. Tugas orang muda atau anak-anak tidak sama dengan tugas dan kewajiban orang
yang sudah dewasa. Tugas orang dewasa berlain pula dengan orang-orang yang sudah
melalui masa dewasanya atau sudah
mulai tua seperti Ayah ini. Pembagian tugas dalam kehidupan termasuk
kewajiban dalam ajaran agama."
"Naik kuda, memanah dan bermain keris serta bersolek, demikianlah kewajiban
Ananda setiap hari, Ayah?" ujar Damarwulan sambil melirik kepada ibunya sekali
lagi, seakanakan ia meminta kepada ibunya supaya disaksikan dan didengar
sungguh-sungguh. "Tiap-tiap orang ada kewajibannya dalam kehidupan dunia ini, Anakku!
Petani, perwira, pandai besi, pujangga, ajar dan resi ada kewajiban-kewajiban
belaka. Kewajiban yang satu tiada sama dengan kewajiban yang lain. Bahkan, dewa-
dewa sendiri mempunyai kewajiban dan tugas yang berbeda-beda pula.
Dewa Syiwa sebagai pencipta hidup yang mahabesar dan Wisynu sebagai
pemelihara dan pelindung di samping Dewa Brahma sebagai dewa
kebijaksanaan... serta banyak lagi yang lagi-lain."
Patih Udara berdiam sejurus, kemudian katanya, "Begitu pula engkau sebagai
pancaran dewa, sepanjang hidupmu, di mayapada ini mempunyai
tugas dan kewajiban yang tertentu pula...." Patih Udara terdiam sebentar.
"Mengapa kedua punakawanmu ribut?"
Patih Udara melihat ke luar. Sabda Palon dan Naya Genggong berkejar-
kejaran dengan si Ginanti. Kedengaran kaki kuda itu gemuruh sepanjang
halaman rumah desa yang berbatu kecil-kecil berkerikil, diiringi sumpah dan
maki, ejek dan serapah, salahmenyalahkan antara mereka berdua. "Disambar
geledek...! Perutmu -saja yang gendut, kuda seekor tiada terpintasi...," kata
Naya Genggong. "Mulutmu bau tahi ayam!" jawab Sabda Palon. "Talinya sudah di tanganmu, mengapa
engkau lepaskan, bodoh._.!" katanya sambil mengacungkan kedua belah tangannya ke
muka Naya Genggong. Naya Genggong tentu tiada
berdiam diri saja. Ketika kedua belah tangan Sabda Palon terangkat ke atas, ia
segera memutar badannya dan sebelah kakinya mengait kaki Sabda Palon.
Karena kehilangan keseimbangan, Sabda Palon yang berbadan gemuk itu
terdohok ke depan. Malang bagi Naya Genggong, Sabda Palon rupanya tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hilang akal sama sekali. Ketika ia akan jatuh, karena terkait oleh kaki kirinya,
Sabda Palon merapatkan kedua belah kakinya, serapat-rapatnya, sehingga Naya
sebaliknya terkait pula jatuh menindih Sabda Palon. Amat gemuruh
bunyinya di tengah halaman yang berbatu-batu itu seperti bunyi raksasa Gunung
Bromo terjatuh dipalu gergasi Gunung Semeru.
Keduanya pasti berkelahi sungguh-sungguh, apabila mereka tidak segera
mendengar suara tuannya, yang sudah sekian lama tidak didengarnya.
"Palon... Genggong...!" kedengaran Patih Udara memanggil. Keduanya sangat
terperanjat, tiada diduganya tuannya ada di dalam. Sudah sekian lama suara itu
tiada didengarnya dan keduanya segera bangkit, tertegun seketika.
Ketika mereka telah yakin, bahwa memang Patih Udaralah yang memanggil
itu, keduanya masuklah menghadap dan duduk bersimpuh berdekat-dekatan
seperti biasa. "Mengapa pula kamu berdua berkelahi, he?" tegur Patih Udara dengan pendek
Keduanya masih tertegun seketika, sama-sama melotot, jika tadi mereka
tak lekas percaya kepada pendengaran telinganya dan sekarang seakan-akan mereka
belum percaya kepada pemandangannya sendiri.
"Mengapa?" tanya Patih Udara sekali lagi.
"Si Ginanti, Ndoro...!" jawab Naya Genggong. "Lepas lagi...! Lalu kau berdua
mengapa?" "Ah, tidak Ndoro... tidak mengapa-ngapa! Sekadar berlatih saja," jawab Sabda
Palon tersipu-sipu.

Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami mengulang-ulang kaji lama, Ndoro!" kata Naya Genggohg pula, gelak-gelak
air memandang kepada Sabda Palon. Seakan-akan antara mereka tak
ada apa-apa lagi. "0, begitu, aku mengerti, tetapi itu ...." Patih Udara agak menjembakan badannya
ke muka dan mengulurkan kepalanya dekat-dekat kepada Sabda
Palon, yang sebentar-sebentar mengusap-usap tulang pelipisnya-agak
membiru tampaknya. Tentu ketika terjatuh tadi telah dinanti oleh batu
rupanya. "Dan engkau, kena apa kepalamu?" ujarnya pula membalik kepada Naya yang
sebentar-sebentar memegang-megang dan mengusapusap
kepalanya pula. "Sama-sama dansetimpal benar," sela Nawangsasih. "Seorang mendapat upah jerihnya
dimuka dan yang seorang lagi di kepala."
Nawangsasih berdiri, seperti akan mengambil sesuatu ke dalam, tetapi
setelah melalui kedua orang punakawan itu is berhenti sebentar turut
mengamat-amati, kemudian berseru, "Sora...! Sora...!"
Seorang pelayan muncul dan pinto tengah dan tegak di muka pintu sejenak
memperhatikan apa yang terjadi, kemudian bersimpuh."Saya, Ndoro!"
"Buat beras kencur... dan suruh Suri kemari!"
Mbok Sora masuk dan tak lama kemudian Mbok Suri keluar pula, "Saya, Ndoro
Putri!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tolong ambilkan air panas sedikit, Mbok!"
Perempuan itu setelah menyembah segera masuk kembali.
Patih Udara memberi isyarat kepada kedua punakawan itu, supaya pergi
membersihkan badannya. Setelah keduanya pergi. Patih Udara berkata,
"Engkau lihat sendiri, Damar, masingmasing yang hidup di dunia mempunyai togas
dan kewajiban sendiri-sendiri. Apabila sekaliannya bekerja menurut tugasnya
sebaik-baiknya, tntu kehidupan akan tenteram dan selamat. Kaum tarsi dan
saudagar bertugas memakmurkan negara; para pahlawan atau
ksatria menjaga dan mengamankan negara; kaum pekerja, buruh,
punakawan, pelayan, mengangkat yang berat, menjemput yang jauh,
memindahkan yang dekat, masing-masing menurut kekuatan dan
kesanggupannya pula. Begitu pula yang cerdik, cendekiawan, pendeta, resi,
maharesi, mempunyai kewajiban yang mahasuci bahkan lebih berat. Kaum
Brahmanalah yang diserahi dewa-dewa memikirkan dan mengatur
keselamatan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Tika diumpamakan tubuh
manusia seluruhnya, Brahmana adalah kepala yang terletak paling atas, yang dapat
melihat ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah,
mempunyai mata yang awas dan telinga yang tajam, yang nyaring, di samping
mempunyai otak atau pikiran yang tajam untuk menimbang sesuatu semasakmasaknya.
Menurut ajaran agama, Brahmana memegang dan
memikirkan keselamatan manusia sejak dari mayapada sampai ke indraloka, karena
itu sekalian manusia, termasuk Ksatria, Waisya, dan Sudra wajib berbakti
kepadanya." Damarwulan bertanya, "Dari Eyang Maharesi Paluh Amba dan dari mulut Ayah
sendiri, selalu keluar ucapan, supaya kita bekerja menunaikan kewajiban kita
sebaik-baiknya. Apa maksudnya, dan bagaimana dapat kita
melakukannya!" "Masing-masing orang mempunyai hati nurani sendiri untuk menimbang, Anakku!
Bertindaklah menurut bisikan atau ajakan hati nuranimu sendiri dan engkau dapat
pula berpedoman kepada ketulusan dan kecintaan sesama
manusia, bahkan sesama makhluk, yang telah diciptakan Batara!"
Damarwulan melihat kepada ibunya. la tak dapat menangkap perasaan
ibunya yang sangat halus itu, seperti juga ucapan ayahnya, yang sebagian masih
samar-samar, bahkan agak asing baginya. Sebaliknya ibunya yang
bijaksana itu mengertilah dan menginsafi, menurut tanda-tanda, itulah
pertemuan ayah dengan anak yang penghabisan. Damarwulan mengerti juga
bahwa ibunya sangat terharu, sebentar-sebentar ibunya mengerdipngerdipkan mata,
mencoba menahan air matanya yang hendak jatuh. Tetapi yang menjadi pertanyaan di
dalam hatinya, apakah gerangan yang disedihkan ibunya.
Bukankah ayahnya sudah ada di hadapannya dan baru saja kembali dari
perjalanan, yang dikatakan ibunya pengembaraan suci.
"Ayah mengatakan ketulusan dan kecintaan sesama manusia dan sesama makhluk,"
ujar Damarwulan pula, "bagaimanakah penyelenggaraannya, Ayah!?"
"Damarwulan, kelak engkau akan dapat memahaminya sendiri setelah
memasuki kehidupan ini. Tetapi baiklah Ayah terangkan sekadarnya! Tulus ialah
sifat hati yang suci bersih, ibarat kain putih yang tiada bernoda. Adapun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang menjadi nodanya, ialah sifat atau niat jahat. Jagalah hatimu jangan sampai
berniat jahat kepada siapa pun, seperti juga engkau tiada menyukai orang lain
melakukan kejahatan itu atas dirimu sendiri. Cinta maksudnya ialah mencari
kebaikan, kesentosaan, kedamaian, dan keindahan di dalam
kehidupan bersama atau bermasyarakat di .dunia ini seperti yang dikendaki oleh
dewadewa. Jagalah segala perbuatan dan perkataanmu supaya
menyenangkan dan membahagiakan orang lain, seperti kehendak dewa yang
hendak memelihara dan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran...."
Patih Udara berhenti seketika memandang tenang-tenang kepada anaknya
kemudian kepada Nawangsasih, istrinya, berganti-ganti, kemudian katanya,
"Ketulusan hati dan kecintaan sesama manusia atau sesama yang hidup, hanya
itulah yang dapat membahagiakan isi jahat!"
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Patih Udara berkumpul pula dengan anak
istrinya, seperti pada hari itu. Naya Genggong, Sabda Palon, serta kedua
pelayannya yang setia, Mbok Sora dan Mbok Suri dimintanya hadir bersamasama.
Sebelum meneruskan niatnya pergi ke pertapaan, is ingin
menyampaikan sesuatu kepada orang-orang yang sangat dicintainya itu.
Sabda Palon dan Naya Genggong duduk berdekat-dekatan. Muka Sabda Palon masih
kelihatan diuras dengan beras kencur dan kepala Naya Genggong
ditampal dengan daun sitawar, agak bengkak rupanya.
Mbok Sora dan Mbok Suri kelihatan mencucurkan air mata. Sekaliannya
bersedih hati. "Saya minta kepada kamu sekalian, supaya bekerja sebaikbaiknya.
Terutama kamu berdua, Naya Genggong dan Sabda Palon, jagalah
Damarwulan baik-baik sampai datang masanya ia menerima kewajibannya dari Nenenda
Maharesi Paluh Amba."
Diam sebentar. Kemudian is berkata kepada istrinya, "Nawangsasih! Engkau seorang
istri yang berbudi serta mengerti akan tuntutan Kitab Suci Weda, mematuhi
tuntutan agama kita, tentu engkau menyukai dan menghendaki pula supaya suamimu
dapat menjalankan tugas agama sebaik-baiknya."
Kepada Damarwulan is berkata, "Kelak engkau akan menjalankan tugasmu pula.
Sekali lagi Ayahanda ulangi: ketulusan dan kecintaan sesama manusialah yang
dapat menyelamatkan dunia dari kehancuran.... Pergilah engkau kelak kepada
eyangmu, Maharesi, di asrama. Lakukanlah nasihatku dan nasihat
beliau sebaik-baiknya, di samping engkau minta pertimbangan kepada hati nuranimu
sendiri dengan jujur dan tenang."
Setelah menunjuk-mengajari anaknya dengan penuh perasaan kasih
sayang, ia berkata pula kepada Nawangsasih, "Jagalah is baik-baik!"
Patih Udara lalu membalikkan badannya, mulai melangkah menjinjing
bungkusan kecil yang telah disiapkan istrinya, menuju ke pintu pekarangan yang
masih tertutup pada pagi itu. Naya Genggong segera berlari-lari pergi
membukakannya, diikuti oleh Sabda Palon. Maka kelihatanlah cahaya pagi masuk ke
halaman. Patih Udara menuju ke arah timur. Itulah pertemuannya yang penghabisan,
sebelum memasuki pertapaan.
Di hadapannya tampak sawah dan tanah ladang membentang. Petani-petani
dan penduduk desa telah keluar, menjalankan tugas masing-masing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
2 Disuruh Memperhambakan Diri kepada Paman
Damarwulan sangat terikat hatinya ke asrama Maharesi di lereng gunung
itu. Dari muka asrama itu pemandangan lepas jauh ke utara. Sayup-sayup kelihatan
atap-atap rumah di kota Majapahit, kemerah-merahan warnanya, tersembul antara
pohonpohon dan daun-daun yang hijau. Agak ke timur laut tampak anak Kali
Berantas mengalir di atas lembah yang subur sebagai seekor ular naga yang besar,
kuning keemas-emasan warnanya, menyelusur di atas sebuah hamparan sebagai
permadani yang hijau menuju ke laut. Dari sana kelihatan pula sebuah pulau dan
selat yang indah dan biasanya pada waktu petang dan musim semacam itu ditutupi
oleh gumpalan-gumpalan awan atau mendung yang berat, lembap, bergerak dari timur
ke barat atau dari utara ke selatan....
Pada waktu yang semacam itu banyak yang dikenangkan oleh anak muda
itu. Ayahnya sudah bertahun-tahun tidak lagi datang, barangkali beberapa lama
tidak akan datang lagi mengunjunginya dan sekarang ia sudah
meningkat dewasa, umurnya sudah hampir tujuh belas tahun. Baik ibunya
maupun eyangnya, sejak ayahnya mulai mengundurkan diri ke dalam
pertapaan, selalu memberinya kebebasan yang tak berhingga seperti amanat ayahnya
juga. Sekarang timbul dari dalam hati nuraninya sendiri perasaan kesadaran,
ingin mengetahui haluan hidupnya. Keadaan di desa, pergaulan dengan anak-anak
kampung, suasana di pertapaan, dan pembicaraan-pembicaraan-nya dengan Maharesi
Paluh Amba tentang kehidupan sangat
berpengaruh di hatinya, bibit kesadaran yang ditanamkan dengan tulus ke dalam
sanubarinya tumbuh subur, bertambah lama bertambah besar dengan
sendirinya. Semakin is besar semakin berkesan di hatinya kesepian hidup di lereng
gunung di sekitar asrama itu. Kadang-kadang dicobanya menyendiri dan
berhari-hari terpikir, teringat dan terkenang di hatinya arti hidup dan makna
kehidupan ini. Tetapi makin dipikirkannya malah makin kabur baginya.
Ia mena tap tenang-tenang. Jauh di hadapannya dipandangnya gumpalan
awan bergulung, bergerak berarak-arak, mulamula menipis lama-lama makin menebal
dan menebal, berbentuk dan kemudian berubah beraneka warna,
akan tetapi hanya sekejap mata saja. Sesaat kemudian gumpalan mega itu melayah
dan melayang kembali, menjadi melebar dan merata, sehingga
seluruh lembah atau dataran yang tadinya menghijau sekarang kelihatan
diselimuti oleh kabut. Demikian pula pikiran Damarwulan! Banyak yang diingat, dikenang dan
dipikirkannya, tetapi tiada suatu pun yang dapat diujudkannya, ada yang serasa-
rasa ditangkapnya sesaat kemudian atau seketika itu juga terlepas dan lenyap
pula kembali. "Damarwulan!" ujar Maharesi Paluh Amba seraya menghampiri cucunya, yang sejak
dari tadi diamat-amatinya dengan diam-diam. "Ingatlah engkau, tiada mungkin
sesuatu persoalan, begitu timbul begitu dapat dipecahkan.
Engkau bawalah dahulu berpikir tenang-tenang!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Damarwulan berpaling agak terkejut. Dengan tiada diketahuinya sedikit
juga, maharesi itu telah ada di sisinya.
"Tidak hamba duga Eyang ada di sisi hamba. Pada sangka hamba eyang sedang duduk
membaca ... atau tengah memuja di pertapaan," sahut
Damarwulan. "Memang aku sedang membaca, tetapi tiada membalik Weda, tengah
membaca kitab jagat raya. Di telingaku aku pun turut mendengarkan sabda alam....
Mataku pun dari tadi ikut menyaksikan permainan Dewa Bayu dan Mahakela di
cakrawala luas seperti yang engkau saksikan."
Maharesi Paluh Amba terdiam pula seketika. Sekonyongkonyong kedengaran guruh
berbunyi. "Engkau pandanglah arah ke Majapahit," ujar maharesi itu sambil menunjuk ke
utara, ke kota Majapahit yang mulai samarsamar kelihatan di bawah kabut.
Angin timur laut bergerak agak cepat dan matahari tiada lagi dapat
menampakkan diri. Akan tetapi di beberapa tempat masih juga kelihatan
sinarnya menembus mewarnai celah-celah kabut atau awan tipis yang dapat
dilaluinya. "Ya, Eyang, sekarang kota Majapahit sudah hilang dalam kabut," kata Damarwulan.
"Kabut yang mana yang engkau maksudkan?"
"Kabut yang berarak di depan mata kita sekarang, Eyang! Kabut yang mana lagi!?"
"Yang tampak olehmu hanya yang ada di depan mata, tetapi hatiku telah lama
melihat kabut senja yang sedang merundung kerajaan Majapahit," ujar Maharesi
Paluh Amba pula dengan tenang. Dari nada suaranya dapat
diketahui, bahwa orang tua itu sedang memikirkan sesuatu yang muskil.
Damarwulan tiada segera menyahut. Ia pun mengetahui pula akan segala
kesulitan yang dialami keratuan Majapahit pada waktu yang akhir-akhir seperti
pernah diceritakan oleh maharesi yang bijaksana itu. Rakyat sudah mulai
memperlihatkan sikap yang tiada senang , gelisah, malah di beberapa tempat sudah
mulai ada yang menentang. Tak lain sebabnya melainkan karena
perbuatan dan kelakuan pembesar-pembesar atau pegawaipegawai
pemerintah yang sudah melewati batas. Rakyat seakanakan tiada mendapat
perlindungan lagi dari atasannya, malah sebaliknya mereka merasa ditekan,
diperas, dan ditindas dengan sewenang-wenang. Mereka memandang
pembesar-pembesar dan petugas-petugas kerajaan sebagai musuh yang
ditakuti, dan dijauhi bukan lagi sebagai pelindung atau pemimpin yang mesti
ditaati dan dihormati. Kemudian, Damarwulan seakan-akan telah dapat memahami kalimat
Maharesi Paluh Amba yang terakhir itu, lalu bertanya, "Bagaimana caranya, Eyang,
supaya kepercayaan rakyat dapat diperbaiki kembali dan keamanan di seluruh
Majapahit dapat pulih seperti sediakala?"
"Jalan yang pertama hendaklah perbuatan dan kelakuan para pembesar itu dapat
diperbaiki lebih dahulu, karena keangkuhan dan perbuatan mereka yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melewati batas itulah yang telah menjauhkan hati rakyat serta telah
menghilangkan kepercayaan rakyat kepada mereka," jawab Maharesi.
"Di daerah Pantai Utara, menurut cerita orang, sekarang timbul kepercayaan baru
dan menurut beritanya, sudah banyak pula penganutnya, Eyang!
Tidakkah itu merupakan pendurhakaan kepada Majapahit...?"
"Terutama kepada dewa-dewa dan mereka hendak menghancurkan kasta-
kasta yang telah diatur oleh dewa-dewa itu!"
Kemudian Maharesi Paluh Amba berdiam diri seketika. Dari cahaya mukanya yang
redup dan pandangannya yang tenang dan sayu menatap kejauhan
terbayanglah kekhawatiraimya yang amat sangat.
"Bagaimana pada pendapat Eyang ajaran baru itu?" tanya Damarwulan pula setelah
turut berdiam diri beberapa lamanya.
"Mungkinkah ajaran baru itu menjalar ke mana-mana dan sampai ke desa kita ini?"
Maharesi Paluh Amba masih berdiam diri. Kelihatan benar berat baginya
untuk mengucapkan sesuatu.
"Akan sampai jugakah pendurhakaan itu ke sini?" tukas Damarwulan.
"Cucuku! Kepercayaan baru itu tak
ubahnya seperti api yang baru
dicetuskan di tengah-tengah musim
kemarau di tepi rimba yang sudah kering
mersik, karena sudah sekian lama tiada
dititiki air hujan. Bagaimana juga kecil
api itu pada mulanya, apabila datang
angin berembus pastilah seluruh rimba
itu akan terbakar." Maharesi Paluh Amba terdiam pula
seketika dan memandang dengan tajam
kepada Damarwulan, seakan-akan
hendak meresapkan makna kata-katanya
ke sanubari anak muda itu. Wajahnya
sekarang berubah menjadi amat jernih
dan tenang. Sorot matanya makin
terang, bersinar-sinar, bercahaya-cahaya
sebagai menembus menyinari rongga
dada cucunya yang sedang dalam
kegelapan itu. "Tahukah engkau," ujarnya pula, "bahwa jiwa rakyat sekarang sedang kosong,
sedang merana, sedang kekeringan seperti rumput di tengah padang atau seperti
ilalang di kaki rimba di musim kemarau yang amat lama.
Penduduk Majapahit sudah sekian lama menderita, kekuatan kehidupan
mereka ibarat ampas kelapa yang terus-menerus diperas telah habis sarinya,
sehingga tiada berdaya lagi."
"Hamba dengar banyak rakyat desa yang pergi mengungsi ke utara."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maharesi Paluh Amba berdiam diri seketika, kemudian jawabnya, "Tentu dengan
sendirinya, Cucuku! Domba-domba yang kelaparan sebelum ajal tiba mencekik
lehernya, jika ada kesempatan tentu akan meronta-ronta dan lari ke mana-mana
mencari rumput atau menjilati apa saja yang ada untuk pengobat laparnya. Menurut


Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berita yang dibawa orang dari rantau pesisir utara itu, saudagar-saudagar dari
negeri di atas angin telah memperlihatkan teladan kehidupan yang baru menurut
ajaran agamanya dan contoh kehidupan baru
itulah yang merupakan besi berani, yang telah menarik hati rakyat yang
berdekatan. Kehidupan berita dari tempat yang jauh kelihatannya memang
bercahaya-cahaya, apalagi bagi rakyat Majapahit yang melihatnya dari tempat yang
telah mulai gelap." "Bagaimana akal untuk memadami cahaya itu, Eyang" Tunjukkanlah hamba jalan!"ujar
Damarwulan bersungguhsungguh. Keterangan Maharesi Paluh Amba tampaknya amat
berkesan ke dalam jiwa remajanya.
"Untuk memadaminya tak mungkin. Mengapa pula kita akan pergi ke rumah orang lain
untuk mengembus atau memadami pelita yang ada di tangannya.
Dengan demikian rumah kita tiadalah akan bercahaya, atau berubah menjadi terang,
malah sebaliknya akan bertambah-tambah gelap-gulita. Yang demikian itu tentu
tiada dikehendaki oleh para dewa! Pelita yang bercahaya di tempat lain,
bagaimanapun kecilnya, laksana bintang kecil yang berkelap-kelip di langit malam
secara langsung atau tidak, memberi cahaya juga ke tempat kita."
Damarwulan termenung, kemudian katanya, "Jadi apakah yang harus kita lakukan?"
"Menghidupkan pelita dalam rumah tangga kita sendiri dan jagalah
cahayanya supaya lebih benderang."
Berhenti pula sebentar, kemudian katanya, "Majapahit harus dibela dari
keruntuhannya." "Bagaimana jalannya, Eyang?" sela Damarwulan pula.
"Menjalankan petunjuk Mahadewa dengan sebaik-baiknya kembali. Tiap-tiap orang
dan tiap-tiap golongan seharusnyalah menyadari tugasnya, mengenali kewajibannya.
Terutama golongan Triwangsa, yang menjadi tiang-turus
negara hendaklah mengetahui kewajiban kedudukannya. Kasta waisya
dijadikan oleh Dewa Mahakala dan diserahi tugas memelihara kemakmuran
negara, sebagai petani, petemak, saudagar, dan pengusaha; ksatria sebagai
prajurit dan pemimpin negara; brahmana sebagai pemimpin agama dan
upacara. Jangan dikacaukan seperti sekarang!"
"Dikacaukan bagaimana, Eyang"! Masih belum terang bagi hamba...."
"Bukankah masanya sekarang ksatria berebut harta dunia, prajurit tiada lagi
setia atau sedia membela rata dan negaranya, akan tetapi mereka berebut-rebut
mengumpulkan kekayaan. Jangan dikata tumenggung dan bupati,
demang dan mangkubumi, penewu dan penatus, sedang lurah dan carik telah menjadi
pengisap dan pemeras di desa-desa...." Maharesi mengangkat kepalanya dan
berhenti berkata-kata. Di kejauhan kedengaran seperti suara ingar-bingar, tetapi
hanya sebentar. Setelah hilang suara itu, maharesi Paluh Amba berkata pula,
"Asrama dan pertapaan sudah sepi, brahmana dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pendeta tiada lagi memikirkan urusan agama atau santapan kejiwaan, mata mereka
sudah disilaukan pula oleh kedudukan atau harta keduniaan."
"Hamba ingin masuk pertapaan, Eyang, ingin menjadi Sang Budiman,
mengikuti jejak Ayahanda dan Eyang!" kata Damarwulan sekonyong-konyong dengan
agak bernafsu. "Hamba supaya dapat turut bersama-sama
memperbaiki kepercayaan rakyat kembali akan mempertahankan agama, akan jadi
penyebar ilmu kebatinan, seperti dikehendaki Mahadewa. Hamba tiada akan
membiarkan kesucian dan keluhuran agama dinodai."
"Itu bukan tugasmu, Cucuku dan pertapaan bukan menjadi tempatmu.
Lupakah engkau, bahwa engkau mempunyai duniamu sendiri. Ingatlah bahwa jalan
kehidupan ini bertingkat-tingkat, apabila engkau ingin sampai ke ujungnya dengan
selamat laluilah tingkat-tingkat itu lebih dahulu dengan beraturan, jalani satu
demi satu sebaik-baiknya. Ibarat orang naik tangga hendak mencapai tempat yang
tinggi, engkau tiada akan pernah sampai ke atasnya, apabila engkau tiada mulai
naik dari bawah dahulu meningkat dari anak tangga yang pertama."
Termenung, kemudian ujarnya, "Jadi apa yang harus hamba lakukan
sekarang, Eyang!" Kakeknya menyerahkan sebilah keris kesaktian kepada
Damarwulan. "Pergilah engkau ke Majapahit, kepada paman mudamu, Patih Logender. Di sanalah
tugasmu! Kelak dialah yang akan memberi jalan bagimu, apa yang seharusnya engkau
lakukan. Janganlah engkau segan-segan merendahkan diri terlebih dahulu untuk
mengejar cita-cita yang lebih tinggi! Jagalah kesekian keris ini dapat
dipergunakan semata-mata dalam membela kebenaran. Bila dipergunakan pada jalan
yang salah, pastilah is akan menghindar, mungkin makan tuannya sendiri. Ingatlah
engkau, hanya dapat dipakai dalam membela kebenaran!"
Keduanya terdiam pula dan Maharesi Paluh Amba bergerak memperhatikan
suara ingar-bingar yang semakin mendekat. Damarwulan mengiring di
belakang. Sabda Palon dan Naya Genggong datang berlari-lari menuju asrama.
Jauh-jauh keduanya sudah berteriak, "Den Damar...! Den Damar...! Ada rampok...!"
"Di mana rampoknya?" tanya Damarwulan, sambil meraba dan
memindahkan kerisnya dari pinggangnya ke sebelah depan, tepat dekat
perutnya sebelah kiri. "Sayang benar sudah jauh, Den!" ujar Naya Genggong.
"Sesudah orang-orang pada datang kami baru keluar," sela Sabda Palon pula, "kami
tak sempat lagi mengejarnya...."
"Coba...! Senjakala begini desa diserang perampok. Seakanakan tak ada lagi laki-
laki yang ditakuti penjahat-penjahat itu di desa ini," kata Maharesi Paluh Amba
pula. Bersamaan dengan ucapan Maharesi yang akhir itu di langit
kedengaran geluduk berbunyi seperti suara Mahakala membenarkan
perkataannya. Tak lama kemudian mendung yang menghitam di langit senja itu telah
mencurahkan hujan ke bumi. Di jalan di muka asrama itu masih kedengaran langkah
orang-orang berlari-lari bolakbalik. Mungkin mereka masih mengejar dan memintasi
perampok yang belum jauh itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Engkau berangkatlah ke Majapahit serta bicarakanlah dengan ibumu! Kamu Naya
Genggong dan Sabda Palon ikutlah bersama-sama ke kota, supaya kamu dapat pula
mengingati atau mempelajari adat sopan santun di kepatihan
kembali. Jadilah kamu sebagai punakawan yang baik dan berbudi halus!"
Keduanya mengangguk dan menyusun jarinya sebagai menyembah. Tiada
jauh dari Paluh Amba ada pula seorang ajar yang kenamaan tinggal di desa Pandan
Wangi, bernama Sumbar Jaya dan anak-anak desa itu lebih
mengenalnya dengan panggilan Perwira Timpung, karena kakinya memang
agak timpang sebelah, disebabkan lukanya dalam salah satu peperangan pada masa
mudanya. Ajar Suci Sumber Jaya sangat disegani dan dihormati oleh orang-orang
desa di sekitar Pandan Wangi dan Paluh Amba, bahkan sampai ke kota Majapahit,
karena pengetahuannya dan kepandaiannya yang luar biasa.
Selagi mudanya, menurut riwayatnya, ia memang seorang perwira yang gagah dan
cakap serta sangat berpengalaman dalam ilmu perang dan sangat pandai menunggang
kuda. Damarwulan pun telah berguru kepadaya dan termasuk
salah seorang yang sangat dicintainya.
"Sebelum Cucunda pergi ke Majapahit," ujar Maharesi kepada Damarwulan,
"jangan lupa Cucunda mengunjungi Ajar Suci Sumbar Jaya serta terangkanlah apa
m.aksud Cucunda hendak ke Majapahit itu ...!"
Hujan di luar kedengaran makin lebat, malam makin gelap....
3. Majapahit dan Blambangan
Mereka sudah sampai di Cemara Nunggal dalam perjalanannya menuju ke
Majapahit. Damarwulan telah memutuskan akan pergi kepada pamannya,
Patih Logender. Banyak yang hendak dipelajari dan hendak diketahuinya di ibu
kota. Sejak ayahnya mengundurkan diri dari kerajaan ia tinggal di Paluh Amba
tiada jauh dari pertapaan kakeknya, sebuah desa yang nyaman di kaki
gunung. Sering ia berangan-angan dan mengenang-ngenangkan pamannya.
Pamannya mempunyai dua orang putra, Layang Seta dan Layang Kumitir, dan seorang
putri, Dewi Anjasmara. Dari sejak kanak-kanak ingin benar ia berkenalan dan
bermain-main dengan ketiga orang sepupunya itu. Sering benar dia merindukan
mereka dari jauh. Di rumah ibunya di desa itu ia selalu merasa sepi, sebab itu ia lebih suka
bermain di pertapaan atau di asrama eyangnya atau bergaul dengan anakanak desa
yang sebaya dengan dia. Apabila ia tinggal seorang diri dalam rumah orang tuanya
atau di asrama eyangnya, acapkali ia mencoba
menggambarkan bagaimana rupa, perawakan serta lampah laku Anjasmara
dan kedua orang saudaranya itu dalam ingatannya. Kakeknya pernah men-
ceritakan bahwa pamannya itu seorang yang baik, peramah, dan terkenal
sebagai seorang perwira yang gagah waktu mudanya. Karena sifat-sifatnya yang
utama itulah, ayahnya sendiri dengan sukarela menyerahkan pangkat patih itu
kepadanya. Keterangan eyangnya sama dengan keterangan ayahnya hanya ibunya yang
tiada banyak ceritanya tentang keluarga Patih Logender itu. Malah apabila ia
mendesak bertanyakan diri Anjasmara selalu dijawab ibunya, "Untuk apa engkau
menghiraukan hal mereka. Sekalipun mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saudaramu, anak-anak pamanmu, keadaannya, pergaulannya serta pendidikan rumah
tangganya berbeda sekali dengan engkau, yang telah menjadi anak
desa. Ibunda khawatir kalau-kalau mereka tidak sudi mengenali engkau,
maklumlah kedudukan mereka di atas dan engkau di bawah, lembah dan
gunung, sekalipun berhampiran, keadaannya sesungguhnya berbeda jauh
sekali. Yang satu harus menengadah bila menghadapinya dan sebaliknya yang lain
memandang dengan menunduk, menukikkan mata ke bawah."
Sepanjang jalan sekalian itu selalu menjadi pikiran baginya.
Tengah ia asyik membayangkan pertemuan dengan Anjasmara, Naya
Genggong dan Sabda Palon yang telah ketinggalan beberapa jauh di belakang
menyusul berlari-lari dan berteriak, "Raden Damar ... tentara Majapahit akan
menyerang Blambangan!"
"Dengar ... dengar, kedengaran kalasangka berbunyi!" ujar Sabda Palon pula.
Barisan itu sudah bertambah dekat. Di depan sekali pasukan bayangkara
Patih Tuban naik kuda, kemudian baru barisan kalasangka berjalan kaki, di
belakang itu pasukan bayangkara berjalan kaki pula, lengkap dengan panji-panji,
rambu-rambu, umbul-umbul dan tunggul ular-ularnya. Patih Tuban
sebagai senapati di atas kuda hitam, Sangupati didampingi oleh beberapa orang
perwira tinggi bawahannya serta berpuluh-puluh perwira lainnya dan beribu-ribu
prajurit dan bintara, serta barisan sukarelawan tiada terhitung jumlahnya.
Seorang perwira, entah bintara, sepanjang jalan, pada tiaptiap desa yang dilalui
senantiasa berseru-seru mengumumkan, "Hai, sekalian laki-laki di Majapahit!
Keluarlah kalian .... Patih Blambangan telah mendurhaka kepada ratumu, dan
sengaja hendak menginjak-injak negeri dan desamu ...!"
Mendengar seruan itu keluarlah seluruh penduduk ke pintu desa. Ada yang membawa
pacul, arit, golok, kapak, belencong dan beliung, pendeknya apa Baja yang ada
pada mereka. Yang menyimpan rudus atau keris, dengan tiada sempat mengasah
rudusnya atau mengasapi keris pusakanya, keluarlah
berlari-lari ke jalan menggabungkan diri dengan barisan itu. Tentang kesetiaan
rakyat jelata di masa itu kepada ratunya, atau tentang kejujuran mereka
berkorban kepada negaranya patut dipuji dan diingat sepanjang masa.
Mereka mengorbankan apa yang ada pada mereka,
demi keselamatan negara dan ratunya. Berbakti kepada ratu berarti
l memuja kepada dewa- dewa, karena ratu menurut ajaran mereka adalah titisan dewa. Mendurhaka kepada
ratu berarti mendurhaka kepada dewa-dewa.
Damarwulan dengan kedua orang punakawannya, Naya Genggong dan
Sabda Palon, tentu harus ikut pula.
Barisan itu baru dua hari kemudian berhadap-hadapan dengan bala tentara
Blambangan yang telah memusatkan pertahanannya di dataran rendah
sebelah barat Gunung Raung di sebelah tenggara Gunung Argapura. Belum
sempat lagi bala tentara Majapahit yang dikepalai oleh Patih Tuban itu menghela
napas, karena kepayahan berjalan, tiba-tiba pasukan Blambangan datang
mengeluari, sebagai semut rupanya tersembul dari belukar-belukar atau dari
tempat persembunyiannya. Rupanya orang Majapahit sudah kena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jebak dengan perhitungan perang dan persediaan yang serapi-rapinya.
Pasukan mereka dibiarkan bergerak selela-lelanya, sebebas-bebasnya melalui
perbatasan, seakan-akan perbatasan itu tiada dipertahankan sedikit juga.
Mulut rakyat di tempat itu, terutama beberapa orang kepala desa telah
disumbat, disogok dengan emas dan di sepanjang jalan telah ditanamnya pula mata-
mata untuk mengintai dan mengamatamati gerak-gerik pasukan
Majapahit. Tipu muslihat mereka berhasil. Mata-mata itu pun telah menyelinap
pula masuk ke dalam barisan Majapahit dan pada saaunya dengan mudah pula
mengacau dari dalam. Sungguhpun demikian Bupati Tuban berjuang mati-matian, dengan gagah
dan beraninya. Pertempuran telah berlangsung beberapa lamanya. Beliau
didampingi oleh seorang kesatria muda, yang tampan dan gagah. Ketika
seorang perwira berkuda kena panah musuh hampir di tengah-tengah dadanya benar
dan ketika ia hampir jatuh ke dekatnya, anak muda itu segera melompat dengan
sigapnya ke atas kuda di belakang perwira itu, lalu melarikan kuda itu ke tempat
yang aman. Setelah membaringkan dan memberi pertolongan
seperlunya, anak muda itu kembali ke tempat pertempuran lalu memacu
sekencang-kencangnya hilirmudik dan berjuang di samping Bupati Tuban.
Perwira-perwira yang lain dan Bupati Tuban sendiri memanggilkannya Raden Gajah.
Sekalipun rupanya sangat muda sekali, tetapi pengetahuannya dalam ilmu dan
siasat perang sangat rrmengagumkan. Melihat gerak-gerik musuh dan setelah
bertempur beberapa lamanya, tahulah ia segala muslihat perang tentara
Blambangan, ia segera memberi ingat dan mengusulkan siasat balasan kepada
Senapati, yakni Bupati Tuban, katanya, "Paduka Tuan Adipati yang hamba muliakan!
Harap hamba diberi ampun, jika sekiranya hamba terlalu lancang menyampaikan usul
hamba ini!" "Dengan senang hati, Anakku, katakanlah demi keselamatan Ratu
Majapahit!" jawab Senapati.
Lalu diterangkannyalah bahwa musuh menjalankan siasat perguruan,
menahan perangkap dari dataran tinggi dan tempattempat yang telah
ditentukan. Sebab itu jangan bergerak ke arah utara. Diusulkannya pula supaya
bala tentara Majapahit segera dikencar, dibagi tiga, supaya tiada mudah disergap
lawan yang telah menyediakan kubu-kubu pertahanan yang
kuat. Usul Raden Gajah itu disetujui oleh Bupati Tuban, memang mereka
dalam keadaan terjepit dan siasat satu-satunya ialah berusaha mencari jalan
keluar dari perangkap itu. Bupati Tuban sendiri memimpin pasukan yang
menuju ke tirnur, arah ke kota Blambangan, Raden Gajah dan pasukannya
menuju ke arah selatan dan seorang bupati lagi memimpin pasukan yang
ketiga, dan bila terpaksa hares bergerak arch ke barat. Raden Gajah
sesungguhnya dengan sangat meminta supaya ialah yang membawa bala
tentara yang menuju ke hmur itu, karena memang jurusan itulah yang Iebih
berbahaya dan yang kedua ke arah utara seperti telah diterangkannya. Akan tetapi
Senapati tidak mau mengabulkan permintaanriya. "Saya sudah tua, Anakku, biarlah
saya sekali yang berhadapan Iangsung dengan bupati
Blambangan yang durhaka itu. Saya telah menyediakan nyawa saya demi
kehormatan Ratu Majapahit. Bagi engkau, bila sekiranya perlawanan kita yang
sekali gagal untuk menginsyafkan si Durhaka itu, masih akan terbuka
kesempatan untuk berbakti kedua kalinya, sampai kemenangan tercapai."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketiga medan pertempuran itu banjirlah oleh dash, baik oleh darah lawan maupun
oleh darah kawan sendiri. Segera juga kelihatan bala tentara
Blambangan hampir kehilangan garis siasat. Bupati Blambangan dengan nekat
mempertahankan garis pertempuran sebelah timur, demikian pula pada garis
pertempuran barat dan selatan. Bagaimana medan pertempuran sebelah
utara" karena tentara Majapahit yang mereka harapkan akan menyerang tidak juga
tiba, mereka lalu turun lambat-ambat. Raden Gajah telah memerintahkan kepada
kepala pertahanan medan pertempuran ketiga, bila mereka turun atau menyerang
hendaklah dinanti dengan gigih.
Akan tetapi malang, Senapati yang memimpin penyerbuan ke timur, karena musuh
luar biasa banyaknya, karena mereka bertahan di daerahnya sendiri, tidak dapat
lama bertahan dan tewas di tempat itu. Bala tentaranya terpaksa mundur dan
sebaliknya tentara Blambangan yang dari timur itu mulai maju, begitu pula yang
dari utara. Tentara Majapahit tak dapat lagi bertahan dan terpaksa mengundurkan diri,
kembali dengan kekalahan ke ibu kota Majapahit. Sesungguhnya kekalahan akan
lebih hebat menimpa Majapahit dan bahaya akan lebih besar mengancam pasukan dan
sukarelawan yang datang menyerang itu, jika sekiranya Raden Gajah dari barisan
sukarela tiada lekas tampil mendampingi Senapati Tuban.
Dengan secara giat turut memegang pimpinan serta mengendalikan
pertempuran melawan pasukan-pasukan Blambangan di lembah yang banyak
beranak sungai itu yang terletak antara dua buah lereng gunung, yang telah
diperlengkapi dengan kubu-kubu serta dengan persediaan-persediaan
pertahanan yang rapi. Untung benar lekas diketahui oleh Raden Gajah dan dengan


Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat berani ia tampil ke depan, ikut giat mengatur siasat balasan.
Sekalipun kalah akan tetapi bahaya yang lebih besar dapat dihindari dan
sebaliknya di pihak lawan tidak sedikit kehilangan jiwa dan harta benda.
Seluruh anggota pasukan mengakui dan menyaksikan keberanian kesatria
muda itu, tetapi heran, ia tampil dengan tiba-tiba dan menghilang dengan
seketika pula. Tak seorang pun yang mengetahui dari mana asalnya, kemudian tidak
didapat pula berita ke mana perginya. Yakinlah orang bahwa kesatria itu benar-
benar titisan dewa-dewa yang telah dikirim dewata untuk membela
Majapahit. 4. Keangkuhan Adapun Damarwulan setibanya di Majapahit, sebelum memasuki kota,
berhenti dahulu di tepi Kali Berantas akan membersihkan dirinya dan
menenangkan jiwanya seketika. Tanda-tanda kesatria yang baru kembali dari medan
pertempuran tidak ada lagi padanya. Kecuali sebuah kotak yang
diserahkan bayangkara Adipati Tuban kepadanya ketika bala tentara Majapahit akan
mengundurkan diri, masih disimpannya baikbaik. Sementara itu kedua orang
punakawannya disuruhnya bertanyakan rumah Patih Logender, karena ia sendiri
belum pernah mengunjungi pamannya sejak orang tuanya tinggal di desa Paluh Amba,
sambil melihat-lihat keadaan kota. Ketika orang tuanya meninggalkan Majapahit,
ia masih kecil. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebelum sampai ke pintu gerbang Keratuan Majapahit terentang sebuah
jalan yang lurus, lebar dan rata. Mula-mula sampailah mereka ke sebuah alun-alun
yang luas dan sangat terpelihara rupanya. Sebelum pintu gerbang di sebelah kiri
ada sebuah parit yang sedang lebaruya. Dari pojok parit yang sebelah barat ada
terusan yang agak sempit menuju ke Kali Berantas.
Beberapa kawanan itik serati sedang asyik bermain-main, timbul dan
menyelam dengan aman dan girangnya.
Damarwulan torus raja menuju ke alun-alun sebelah selatan. Setelah
melalui sebuah jalan yang bertentangan benar dengan pintu gerbang utara, ia
membelok ke kanan kemudian ke kiri, di sanalah kepatihan pamannya, patih
kerajaan Majapahit. Setelah sampai ke paseban ia tertegun seketika.
Di beranda keliha tan Patih Logender sedang duduk bertolak pinggang.
Seorang gadis kelihatan muncul dari dalam diiringkan oleh abdi perempuan membawa
nampan perak bertutup kain kuning. Setelah sampai ke hadapan
Patih Logender, abdi itu berlutut dan beringsut beberapa kali dengan ujung
kakinya seraya mengangkat tutup nampan itu. Anak gadis yang
mendahuluinya lalu duduk di atas peterana di dekat ayahnya dan mengangkat
cangkir air yang baru terbuka tutupnya itu. Hampir saja air itu tertumpah kena
tangan kirinya, karena tiba-tiba ia beradu pandang dengan Damarwulan yang sedang
berdiri di sudut paseban mengamat-amati dan memandangi
pamannya. Untunglah abdi dalam yang memegang nampan itu selalu
waspada, dengan cekatan nampan perak itu dimiringkannya ke arah yang
berlawanan. Akan tetapi tiada urung dari mulutnya terlompat ucapan, "0, Gusti!"
Setelah undur dengan beringsut pula ia lalu memandang kepada Dewi
Anjasmara dengan menggigit bibir atas kemudian melk knya dengan
pandangan yang mengandung seribu arti. Kemudian setelah ia menyembah
dengan jalan menyusun kesepuluh jarinya dan membawanya ke ujung
hidungnya dan setelah memungut nampannya kembali barulah ia berdiri dan berjalan
perlahan-lahan menuju ke pintu. Sesampainya di tengahtengah pintu, ia memutar
badannya kembali seraya memandang kepada Anjasmara yang
kelihatan agak gugup, kemudian abdi itu memandang ke paseban tempat
Damarwulan berdiri sebagai terpaku layaknya di tanah.
Pada penglihatannya bukan Patih Logender yang duduk di atas peterana itu,
melainkan ayahnya sendiri, bekas Patih Udara yang sudah mengasingkan diri bahkan
sudah jauh entah di mana. Sekarang kembali segar dalam ingatannya keadaan empat
tiga belas atau lima belas tahun yang lalu ketika ia baru pandai berjalan;
apabila ayahnya duduk di atas peterana itu, ia suka sekali berdiri di pinggir
peterana itu diasuh bundanya. Kadang-kadang ia didudukkan ayahnya di sampingnya.
"Siapa gerangan?" tanya Patih Logender amat lambat, entah ia bertanya kepada
putrinya entah kepada dirinya sendiri. Baru sekali itu dilihatnya orang muda itu
dan agak jauh di belakang dilihatnya ada dua orang laki-laki lain, jongkok di
tanah. "Bok ...!" seru Anjasmara kepada pelayannya yang sudah hendak masuk ke dalam
seraya berdiri menuju pula ke pintu.
"Persilakan tamu itu masuk ...!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pelayan itu turun ke halaman mendapatkan Damarwulan.
"Tuan Muda ... dipersilakan Putri Anjasmara," ujarnya dengan hormat.
Ketika melangkah menuju ke beranda, tak pernah dirasainya badannya
seringan itu. Ia seakan-akan tiada berpijak di tanah, sebagai berjalan di awang-
awang ia rasanya menuju ke tempat pamannya itu. Dewi Anjasmara
telah duduk di samping ayahnya dan dia dapat dengan leluasa mengamati
tamu itu, tiap langkah dan gerak anak muda itu hendak dihitung dan
diperhatikannya dengan awas dan penuh minat.
Beberapa langkah lagi akan sampai ke hadapan Patih Logender, anak muda itu
berlutut dan menyembah. Kelihatan benar kekikukan dan kegugupannya berhadapan
dengan pamannya, yang belum pernah berjumpa dengan dia.
Bahwa itu pamannya yakinlah ia, karena rupanya dan sikapnya tidak banyak bedanya
dengan rupa dan sikap atau lagak lagu ayahnya sendiri.
Patih Logender masih juga berdiam diri, mengingat-ingat.
"Hamba mohon diberi ampun, Paman!" ujar Damarwulan. "Hamba yakin tentu Paman
tiada pernah mengenali hamba, karena hamba selama ini diam di desa dengan bunda
hamba." Mendengar anak muda itu memanggilkan paman kepadanya, Patih Logender
agak terkejut seraya menegakkan kepalanya, lalu bertanya, "Siapa engkau dan apa
maksudmu datang kemari?"
"Nama hamba Damarwulan, hamba datang dari Paluh Amba. Sengaja
hamba kemari hendak menyerahkan diri hamba serta hendak
memperhambakan bakti kepada Paman. Ayah hamba, selagi beliau ada,
senantiasa menceritakan dan menyebutnyebut kebaikan Paman kepada beliau.
Begitu pula Eyang hamba, Maharesi Paluh Amba, agaknya sudah bosan
mendidik hamba, menunjuk dan mengajari hamba di desa, sebab itu hamba
beliau suruh kemari. Hamba mulanya ingin menjadi pertapa supaya kemudian dapat
menjadi pendeta seperti beliau. Akan tetapi hamba disuruh Eyang
memperhambakan diri kepada Paman, supaya dapat dididik menjadi kesatria yang
baik." "Kalau begitu engkau ini malah putra Kakanda Udara?"
"Hamba, Paman! Ayah selalu menyebut-nyebut nama Paman sekeluarga.
Kata Ayah, hamba ada mempunyai dua orang sepupu laki-laki, kalau hamba tiada
salah ingat, Layang Seta dan Layang Kumitir, serta seorang adik
perempuan, Dewi Anjasmara."
"Ya ... ya benar!" sahut Patih Logender dengan girang, menoleh kepada Anjasmara
dengan tersenyum. "Apa lagi yang diceritakan Kakanda Udara tentang kami?"
"Ayah hanya mempunyai seorang adik, yaitu Paman sendiri yang sejak kecil sangat
berkasih-kasihan bersaudara. Karena Paman lebih muda dan
mempunyai putra tiga orang, dengan sukarela Ayah mengundurkan diri dari kerajaan
dan tinggal mulamula di Paluh Amba, tiada jauh dari asrama Eyang, Maharesi Sang
Budiman Palish Amba."
"Ya, ya, Maharesi, apa pula cerita beliau tentang kami?" tanya Patih Logender.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak berbeda dengan cerita Ayah, Paman! Beliau senantiasa memuji-mujikan Paman
kepada hamba. Paman seorang teladan ksatria yang baik di seluruh Majapahit, yang
patut mendampingi Ratu dalam kedukaan dan
kesukaan, orang pertama yang lebih mengetahui segala peristiwa keratuan, yang
menentukan timbul tenggelamnya sejarah Majapahit."
Patih Logender tersenyum dan memalis kepada Anjasmara yang masih
duduk di sampingnya, kemudian bergerak turun dari peterana, maju, memberi
isyarat dengan tangan menyuruh Damarwulan berdiri, "Mari Anakku
berkenalan dengan sepupumu Anjasmara!"
Anjasmara pun berdiri pula di samping ayahnya. Damarwulan bangkit dan
maju terbungkuk-bungkuk menyusun kesepuluh jarinya. Seperti adat anak
desa yang mengenal sopansantun kepada orang yang patut dimuliakannya.
Anak muda itu menjatuhkan dirinya dan memeluk kedua belah kaki pamannya,
"Pertemuan inilah yang hamba rindukan siang dan malam, Paman! Sejak dari kecil
hamba berangan-angan hendak berkunjung ke kepatihan supaya dapat berkenalan dan
bermain-main dengan saudara-saudara hamba. Sekaranglah
baru diperkenankan oleh mahadewa, dan berasalah hamba sekarang bahwa
hamba tiadalah sebatang kara di mayapada ini!"
Damarwulan berdiri lalu dibimbing oleh sepupunya, Dewi Anjasmara.
Setelah melepaskan tangannya dari pegangan sepupunya berkatalah ia,
"Paman ...! Rayi ...1) sekarang jiwa hamba mulai hidup kembali, seperti tanaman
yang sudah lama kekeringan disirami air dan rasanya akan segarlah kembali...!"
Patih Logender sangat tertarik melihat budi bahasa dan tutur kata
keponakannya yang sangat sopan dan santun Begitu pula Dewi Anjasmara.
Baru sekali itu ia melihat sepupunya hatinya segera tertarik dan terikat
kepadanya, sebagai telah bertahuntahun berkenalan.
"Baiklah, di sini sajalah engkau tinggal bersama kami. Aku merasa kewajibanku
benar memajukan dan meinelihara engkau, karena saudaraku
sudah tidak mempedulikan dan menghiraukan dunia lagi. Akan tetapi itu
siapa?" Patih Logender menunjuk ke luar, kepada Sabda Palon dan Naya Genggong
yang duduk berjongkok dekat tangga.
"Kedua orang punakawan hamba dari desa, Paman!"
"Eh, mari dekat ke sini," katanya pula, "agaknya aku sudah pernah juga mengenali
kalian keduanya, tetapi di mana, aku lupa."
Keduanya naik ke beranda, maju beberapa langkah, kemudian duduk
bersimpuh agak jauh seraya memberi hormat.
Patih Logender menghampirinya. "Di mana gerangan aku selalu berjumpa dengan kamu
kedua?" "Tentu di sini juga, Ndaraz)!" sahut Naya Genggong dengan sembahnya.
"0, ya... ya...! sekarang aku baru ingat. Ketika Kakanda Udara jadi patih
dahulu, kamu keduanya yang sering membawakan
kudaku ke kandang, bila aku datang berkunjung. Benarkah demikian?"
"Hamba, Gusti!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Layang Seta dan Layang Kumitir keluar dari dalam dan tegak bertolak
pinggang dengan angkuhnya dan bertanya, "Orangorang dari manakah ini, Ayah?"
"Seta, Kumitir! Ini Damarwulan baru datang dari Paluh Amba, saudaramu juga, anak
pak tuamu, Patih Udara. Mari berkenalan...!"
Damarwulan maju beberapa langkah ke arah Layang Seta dan Layang
Kumitir. Girang benar hatinya diperkenalkan dengan kedua orang sepupunya, yang
dikenang-kenangkannya selama ini, yang baru sekarang bertemu. Akan tetapi
keduanya malah undur dan berpaling. Layang Seta kemudian
memandang dengan tajam kepada Damarwulan, penuh keangkuhan dan
kebencian. Sementara itu Layang Kumitir mengamat-amati Damarwulan dari samping,
teramat sangat mengejek lakunya. Kepadanya
dihereng-herengkannya dan digeleng-gelengkannya, ke kiri dan ke kanan
seperti layang-layang kertas yang sedang ditiup angin rupanya dan matanya
diputar-putarnya ke alas ke bawah, tak ubahnya seperti mata capung liar
memandang D"marwulan, mulai dari ujung kaki sampai ke puncak jemalanya.
Sikap keduanya itu teramatlah menghina tampaknya.
"Untuk apa kami Ayah suruh berkenalan dengan orangorang desa semacam jembel
ini!" kata Layang Seta dengan keras suaranya dan memandang dengan tajam
seketika, kemudian berpaling kepada kedua punakawannya yang sedang jongkok di
tepi terali. "Eh Kerucut, lihat sini...!" katanya pula membentak kepada Sabda
Palon yang memang bertutup kepala yang berbentuk lancip ke atas, tak ubahnya
seperti kerucut. "Bekicot...!" bentak Layang Kutir kepada Naya Genggong yang memakai ikat kepala
yang dililitkan memang tampak rupanya seperti kepala keong, ketika ia hendak
berpaling kepada Sabda Palon. "Tahu adat 'dikit, ya...! Kau kira ini di mana?"
"Damarwulan datang dari jauh sengaja hendak bertemu Berta hendak
berkenalan dengan Ananda kedua dan hendak mengabdi kepada Ayahanda!"
ujar Patih Logender pula "Puh, tak ada gunanya," jawab Layang Seta dengan pendek.
"Hendak mengabdi kepada Ayah! Baik suruh mereka memelihara kuda di kandang,"
jawab Layang Kumitir pula, sangat merendahkan. "Tidak patutnya dia minta
berkenalan dan hendak bergaul dengan kami."
"Anak desa yang tak tahu adat seperti itu hendak tinggal di kepatihan," ujar
Layang Seta pula. "Terlalu...!"
"Raka... Seta!" seru Dewi Anjasmara, "jangan terlalu merendahkan saudara
sendiri!" "Dengar... dengar... Anjasmara memihak dan tertarik kepada anak desa itu!" ujar
Layang Kumitir pula. "Tentu ia telah kena guna-guna dan mantra orang desa yang
dibawanya dari Paluh Amba."
"Kakanda Kumitir...!" sera Anjasmara pula, sangat sedih serta tiada terkatakan
malunya kepada Damarwulan, memikirkan sikap kedua orang
saudaranya itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah kami keturunan ksatria sejati, kata Ayah! Tidak mau kami dicampur-
baurkan dengan anak desa yang tiada berpendidikan itu."
Keduanya lalu masuk, dan menghilang.
Anjasmara menangis. Setelah kedua orang saudaranya pergi ia lalu
memeluk ayahnya, sebagai minta pertimbangan yang bijaksana. Damarwulan masih
terdiam. "Beginilah, Damar, kupikir pula sebaliknya, akan susahlah engkau bergaul dengan
kedua orang anakku itu di kepatihan ini, sekalipun aku ingin
menolongmu. Apalagi seperti katanya, engkau dididik secara anak desa,
sedang keduanya dididik secara anak kota, secara ningrat. Tentu engkau belum
mengerti benar pergaulan serta basa-basi orang kota. Biarlah engkau dengan Sabda
Palon dan Naya Genggong, buat sementara tinggal di kandang kuda saja. Aku ada
mempunyai sembilan ekor kuda. Peliharalah kuda itu dan jagalah baik-baik!"
katanya. Patih Logender terdiam sebentar, kemudian ujarnya, "Pandai-pandailah
engkau membawakan diri dan bergaul dengan Seta dan Kumitir! Maklumlah keduanya
anak manja... dan pergaulannya terbatas di kalangan atas saja...!"
"Ayah...! Sampai hati Ayah terhadap Rakanda Damarwulan, putra saudara Ayah
sendiri!?" seru Anjasmara dengan sedih, kemudian memandang kepada Damarwulan
dengan perasaan amat terharu.
5. Ksatria Jadi Tukang Arit
Sepanjang pasar orang-orang pada melongoz) keheranheranan melihat
seorang ksatria muda, sangat tampan dan gagah, membawa arit menuju ke
lembah Kali Berantas, diiringkan oleh dua orang punakawannya3 , masingmasing
menyandang cerangka4). Matahari baru menyentak naik, belum jauh dari tepi
langit, cahayanya masih lembut menyegarkan. Apa lagi semalam-malaman hari hujan
dan air sungai pada pagi itu agak besar, kuning kemerah-merahan warnanya; embun
di daun dan di rumput belum lagi kering, putih berkilau-kilauan rupanya, ditimpa
sinar matahari pagi itu. "Aduh... sayang, Den!" ujar seorang baku15 yang hendak turun ke kali, lalu
merebut arit dari tangan Damarwulan dan menyerahkannya ke tangan orang lain,
yang sama-sama berdiri di dekatnya. Perempuan itu kemudian bergegas-gegas menuju
ke sungai. "Mari Raden... silakan duduk di kedai saya saja!" ujar perempuan itu pula
setelah ia naik dari kali kembali, "biarlah Pak Suta yang mengiai cerangka-
cerangka itu. Sayang benar tangan yang kuning bersih dan kuat seperti tangan
Raden ini memegang tangkai arit!"
"Saya anak desa Yu" sudah terbiasa melakukan segala pekerjaan yang berat-berat,"
jawab Damarwulan pula merendahkan diri. Adapun bakul itu, Sarinten namanya,
memang seorang perempuan yang curiahan, pandai
bergaul dan pandai mengambil hati siapa saja. Kedainya selalu rarnai, tak
putusputusnya orang keluar masuk; tua muda tertarik kepadanya, karena
pandainya membawakan diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat perbuatan Mbakyu Sarinten dengan Damarwulan itu orang-orang
yang sedianya tidak akan mampir terpaksa mampir, karena ingin mengetahui
siapakah gerangan anak muda itu dan kedua orang punakawannya. Sebentar saja
telah penuh kedai itu dan Sarinten makin repot kelihatannya, ada yang meminta
kopi panas, kopi pahit atau kopi mans, ada yang mau makan, ada yang menanyakan
ini dan itu, hampir-hampir tiada dapat dilayaninya
sekaliannya itu. Apalagi pikirannya sebagian telah tertumpah kepada anak muda
yang ada di dekatnya itu. Kalau ada yang bertanya atau meminta apa-apa
dijawabnya, "Silakan ambil sendiri...!"


Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang yang minta susuk uangnya tidak dihiraukan atau disuruhnya
mengambilnya sendiri dari dalam tempat uangnya atau dijawabnya, "Nanti.._
nanti...!" Ada juga yang mendesak, karena telah berulang-ulang is meminta, maka
dijawabnya dengan tertawa, "Masa bodo ...!" Ia melenggang ke sana, melenggang ke
sini, tak tahu apa yang akan dilakukannya.
"Maaf, ya, Den!" katanya sebentar-sebentar kepada Damarwulan. Tamunya makin lama
makin banyak itu. Di kedai yang di sebelah, tempat Mbok Suta, tiada terkirakira pula ramainya.
Setelah disediakan kopi hangat, masingmasing secawan penuh, Naya
Genggong dan Sabda Palon tiada putus-putus ceritanya, memuji-muji Raden
Damarwulan, menerangkan asal-usulnya, pertaliannya dengan Patih Logender,
pergaulannya dengan anak-anak desa di sekitar pertapaan kakeknya di Paluh Amba.
Hanya yang tiada diceritakannya bagaimana keberadaan Damarwulan
waktu pergi ke Blambangan, karena memang telah dipesan oleh tuannya,
supaya merahasiakan hal itu kepada siapa saja.
Demikianlah terjadi Hap-flap pagi. Damarwulan keluar dari belakang
kepatihan akan menyabitkan rumput untuk kuda Patih Logender, sesampai di pasar
orang-orang secara bergotongroyong atau dengan sukarela menyabitkan rumput itu
dan setelah penuh cerangka-cerangka itu dengan suka hati pula mereka
mengantarkannya ke kandang kuda yang terletak agak terpisah di
belakang kepatihan dengan tiada setahu Layang Seta dan Layang Kumitir.
Pada waktu Layang Seta dan Layang Kumitir datang memeriksa ke dalam
kandang, keduanya amat heran melihat rumput banta yang hijau-hijau dan muda-
muda, lagi panjangpanjang dan segar-segar daunnya. Diperhatikannya pula sekalian
kudanya amat lahap makannya, seperti sekalian kuda itu baru menemui rumput yang
sesegar dan sebaik itu. Diperhatikannya pula sekeliling kandang itu, sekaliannya
kelihatan bersih dan teratur letaknya, tidak satu pun dapat dicela. Bahkan
pekarangan kepatihan itu seluruhnya, dari-muka sampai belakang, harus diakuinya,
telah berubah dan sangat bersih rupanya. Tetapi yang mengherankannya bila
gerangan mereka bekerja membersihkannya.
Selama mereka tinggal di kepatihan, apabila keduanya bangun pukul tujuh atau
pukul setengah delapan pagi, kolam mandinya selalu penuh dengan air.
Pikirnya tentu telah diisi oleh Sabda Palon dan Naya Genggong pula.
Damarwulan pagi-pagi sekali sudah bangun, lalu membersihkan kandang
dan Sabda Palon menimba air di dapur dan mengisi bak mandi dan Naya
Genggong menyapu dan membereskan latar. Biasanya sebelum Juragan Patih
sekeluarga bangun pekerjaan mereka sudah selesai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik... biar dirasainya...," kata Layang Seta kepada Layang Kumitir. Ia
mendapat akal. "Bagaimana rencanamu?" tanya Kumitir pula.
"Aritnya yang tajam ini kits ganti dengan arit yang tumpul," ujar Seta pula lalu
disembunyikannya arit yang biasa dipakai Damarwulan itu.
"Ya... ya... sekalian," kata Kumitir pula, "cerangkanya harus diganti dengan
yang lebih besar." ...
Setelah selesai permufakatan, keduanya keluarlah menuju kepatihan.
Keesokan harinya pagi-pagi alangkah terperanjat Damarwulan melihat arit yang
biasanya dipakai, ya, yang biasa dibawanya, sudah berganti dengan arit kecil
yang telah tumpul dan merah berkarat matanya.
"Lihat cerangkanya...," teriak Sabda Palon pula, "hampir tengah dua depa lebar
mulutnya...." "Ah... ini bukan tempat rumput," sahut Naya Genggong pula kecemasan.
"Seluruh sampah pasar dimasukkan ke dalamnya belum tentu akan penuh!"
Naya Genggong dan Sabda Palon berpandang-pandangan.
"Bawa sajalah!" ujar Damarwulan pula setelah memperhatikan kedua cerangka
raksasa itu dan ia masih menimangnimang arit kecil yang tumpul berkarat itu,
yang sesungguhnya oleh punakawan-punakawannya itu. tiada sepadan sedikit juga
dengan kedua cerangka yang dipegang
"0, ya...," kata Damarwulan pula, ketika ketiganya telah hampir sampai di jalan
raya, "Asahan yang besar harus dibawa juga!" Rupanya baru terpikir olehnya akan
mengasah arit yang telah majal itu.
Sabda Palon berlari-lari kembali menjemput asahan itu.
Ketika mereka sampai ke pasar, orang-orang pasar pada keluar pula.
Mereka sampai tertawa geli melihat Naya Genggong terbungkuk-bungkuk,
karena keberatan memikul kedua buah cerangka itu dan Sabda Palon
menyandang asahan besar hampir sebesar pangkal pahanya serta
Damarwulan menjinjing sebuah arit kecil, tak cukup dua jari lebaruya, yang telah
merah berkarat, karena sudah lama tidak dipakai.
Ada yang berkata begini, "Rupanya manusia selagi berkuasa, lupa akan timbang dan
periksa, tidak memakai alur dan patut, segala kemauannya mesti diturut, apa
kehendaknya mesti berlaku...!"
Yang lain, "Aduh... Raden Bagus! Sampai hati Paman menyuruh dan
menyiksa diri Raden..:! Tidak sepatutnya badan semuda dan setampan ini
menjinjing arit butut"."
"Ini lebih dari menyiksa dan lebih dari menganiaya!"
"Ya... ya... suatu hukuman yang terlalu berat kepada seorang ksatria seperti
Damarwulan, apa lagi sebagai keponakannya sendiri...!"
"Karena itu...," jawab yang lain pula dengan keras suaranya. "Anak-anak Patih
Logender ketakutan dan menaruh iri hati kepadanya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bermacam-macamlah pendapat mereka dan mereka kenal belaka akan
keangkuhan Layang Seta dan Layang Kumitir. Banyak pula di antara mereka yang
masih kenal dan ingat akan keramah-tamahan bekas Patih Udara, orang tua
Damarwulan, ketika ia lagi dalam pemerintahan. Banyak pula di antara mereka yang
merasa masih berutang budi kepada kebaikan dan perlindungannya, karena memang
Patih Udara dikenal sebagai seorang yang
berbudi halus dan jujur selama menjalankan tugas pemerintahan.
Sekaliannya berebut-rebut hendak memperlihatkan bakti dan tanda terima kasihnya,
sebagai pernyataan bahwa mereka belum melupakan jasa-jasanya kepada masyarakat
selama ini. Sedapat- dapatnya mereka akan menyokong
dan bersedia menolong Damarwulan, dengan jalan apa saja.
Cerangka itu mereka isilah bersama-sama dan sebentar juga padatlah
keduanya lalu mereka antarkan pula ke kandang kuda di belakang kepatihan itu.
Setelah lohor Layang Seta dan Layang Kumitir datang pula memeriksa.
Mereka sangat heran bagaimana mungkin Damarwulan dapat mengisi dan
membawa kedua cerangka itu ke dalam kandang. Hati keduanya amat sebal
bercampur gemas! Niat jahat mereka tidak berhasil, akan menfitnahkannya kepada
orang tuanya. Ketika kembali ke kepatihan Dewi Anjasmara berkata kepada kedua orang
saudaranya, abangnya sendiri, begini, "Tidak patut Kakanda terlalu melecehkan
dan menghina saudara sendiri, yang bersikap sangat baik dan patuh. Para dewa
tidak akan menyetujui 'perbuatan jahat itu dan manusia tiada akan menyukai
kelakuan Kakanda seperti itu. Percayalah Kakanda kedua, niat yang jahat akan
berbuah jahat juga, sebaliknya hati yang baik direstui dan disukai sekalian
orang!" Layang Seta dan Layang Kumitir tidak menyahut, melainkan memandang
dengan tajam dan tampak rupanya tiada senang mendengar teguran Dewi
Anjasmara dan berjalan menuju ke tempat Damarwulan.
Dari jauh Anjasmara telah tersenyum memandang kepada bulu kuda dengan
sikat besi dan menyapu kandang.
"Sampaikan kepada Kakanda Damar, aku ingin berjumpa dengan dia!
Sedang mengapakah ia gerangan ...?" katanya dengan lernah-lembut.
"Biasanya, apabila ia kami tinggalkan seorang diri, tentu ia duduk termenung
rnengenangkan kekasihnya," sahut Naya Genggong berkelakar.
"Tahukah Paman, ia telah mempunyai kekasih?" tanya Anjasmara agak ragu-ragu.
"Tahu benar, Ndara"! Karena selalu kami perhatikan pada wajahnya, yang selalu
bermuram durja," jawab Sabda Palon.
"Tahu pulakah Paman, siapa kekasihnya itu?" tanya Dewi Anjasmara.
"Kami kira," sahut Naya Genggong pula, "pasti Ndara sudah mengetahuinya...!"
"Sungguh mati aku tidak tahu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak mengetahuinya, tetapi barangkali dapat merasakannya," kata Sabda Palon
pula mengganggu, seperti bersungguhsungguh benar rupanya.
"Sungguh tidak!" ujar Dewi
Anjasmara pula. "Sekarang biarlah kami katakan terus
terang: Kekasih yang selalu
dikenangnya dari Paluh Ambalah...
Dewi Anjasmara sendiri," jawab mereka
serempak. Dewi Anjasmara menunduk dan
terdiam seketika, kemudian
membalikkan badannya ke arah Naya
Genggong dan Sabda Palon.
Kelihatanlah wajahnya yang halus itu
mulai memerah warnanya, sebagai
buah beriang yang mulai masak di balik
daunnya yang tengah segar menghijau.
Beberapa lamanya ia menatap dengan
tidak mengedip-ngedip kepada kedua
orang punakawan itu dan sebaliknya
Naya Genggong dan Sabda Palon pun
terpaksa pula memandang tenang-
tenang kepadanya sebagai berkaca ke
dalam cahaya matanya yang indah,
tenang dan Bening itu. Kemudian seakan-akan terlompat dari celah bibirnya yang selalu menggumam senyum, "Dari
mana Paman dapat mengetahuinya?"
"Kalau kami diberi upah, ...," sahut Sabda Palon pula, "akan kami ceritakan
segala rahasianya terhadap diri Dewi."
"Baiklah!" jawab Anjasmara dengan amat girang hatinya, "Nanti Paman akan
menerima upah.... Tolonglah sampaikan. Saya ingin menemui Kakak
Raden Damar...!" Ia menuju ke pintu bilik
Damarwulan setelah Naya Genggong menyampaikan pesannya.
Tempatnya itu di ujung kandang kuda itu, yang hanya dibatasi sebuah ruang
terbuka tempat menaruh pakaian kuda dan alatalat yang lain, kelihatan
Damarwulan sedang berbaring di atas tapang, memandang tenang-tenang ke atas,
seperti sedang membilang-bilang atap; kedua belah tangannya terletak bertindih
di bawah kepalanya. "Kakanda... Damarwulan!" ujarnya setelah mengamat-amatinya beberapa lamanya dari
ambang pintu. Damarwulan berdiam diri saja, diulangnya sekali lagi dan... sekali lagi, tetapi
tiada juga ia menyahut. Anjasmara lalu masuk dan berseloka:
Buah mendam buah kenikir,
tambah dengan buah melinja,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
buah leci buah pala; Kakak demdam kepada Kumitir, dua dengan Layang Seta,
janganlah membenci hamba pula...!
Damarwulan membalikkan mukanya ke arah Dewi Anjasmara dan
memandang dengan pemandangan acuh tak acuh, kemudian menatap jauh ke
luar, melalui pintu yang terbuka itu.
"Mengapakah Kakak tak entang') hamba dekati. Hamba mendekat, Kakak menjauh.
Apakah salah pada badan seakan-akan jijik Kakak memandang
muka hamba...," katanya pula agak berhiba hati.
Damarwulan baru bangun, seperti orang baru tersadar dari lamunannya,
katanya: Bawa ke Sumba perahu cadik, perak bakar sepuh suasa,
hiasan anak Kampung Dalam,
di waktu malam terang purnama, memuat pengayuh berdepa-depa;
Bukan hamba membenci Adik, sejak dari Paluh Amba,
Adik dirindukan siang dan malam, baru raja didengar nama,
sesaat Adik sungguh tak lupa.
Anjasmara membalas: Tiada berbeda penanggungan hamba, baru sekali kita bertemu,
sejak Kakak dari Paluh Amba, sering badan lupakan diri,
cinta kasih termateri sudah,
berjumpa sekali tak hendak berpisah,
ingatan selalu pada Kakanda;
sebabnya Adinda datang kemari,
jiwa tak tahan menanggung rindu,
rasakan putus hubungan nyawa, air diteguk rasakan duri ,
nasi dimakan berasa gabah,
duduk tegak selalu gelisah,
kasihanlah Kakak kepada Adinda!
Tengah keduanya berpantun dan berseloka itu, kedengaran suara Layang
Seta dan Layang Kumitir membentak-bentak Naya Genggong dan Sabda Palon,
"Bukan digosok saja tetapi mulai besok sebelum menyabitkan rumputnya, sekalian
kuda itu harus dimandikan bersih-bersih dahulu ... direnangkan di Kali Berantas.
Mengerti!" "Inggiiih Ndara'"...!" jawab mereka serempak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena takut akan dilihat kedua orang saudaranya, Dewi Anjasmara lalu
bergegas-gegas keluar, mengambil jalan menyusur pagar dan dengan diam-
diam masuk ke kepatihan. 6. Negeri Selalu dalam Huru-hara, Rakyat Hidup Merana
Jalan raya yang terentang sepanjang tepi Kali Berantas selalu ramai, bahkan pada
saat-saat yang akhir itu bertambah ramainya. Banyak pengungsi
berkeliaran sepanjang kota, karena di desadesa dan di daerah pinggiran rakyat
sudah lama kehilangan keamanan dan kebebasannya, terutama di daerah
ujung timur dan tenggara. Di mana-mana terjadi perampokan dan
pembunuhan. Lain daripada itu beban yang dipikulkan ke pundak rakyat terlalu berat. Para
lurah dan penewu-penewu bertindak sewenangwenang memungut pajak
penghasilan rakyat, di samping kewajiban sumbangan ini dan sumbangan itu yang
tiada sedikit jumlahnya. Sebahagian, setelah berkeliaran di dalam kota beberapa lamanya dengan
tiada tentu kehidupan serta selalu menderita kelaparan, hidup sebagai
gelandangan, akhirnya terpaksa menuju ke Pantai Utara. Di situ mereka dapat
mencari kehidupan baru. Memburu, berusaha memeras keringat. Barang siapa yang
bermodal dapat berjualan atau berdagang kecil-kecil dengan aman dan tenteram.
Ajaran kepercayaan baru berkesan di hati dan dalam penghidupan rakyat sehari-
hari. Beberapa orang yang kembali ke desanya, menceritakan bahwa kehidupan
rakyat di Pantai Utara Iebih teratur dan lebih baik.
Saudagar-saudagar asing yang datang dari negeri di atas angin itu sangat ramah
tamah. Mereka tidak mengenal kasta-kasta dan tiada membawa prajurit untuk
membunuh serta tiada mengenal ksatria yang angkuh dan sombong.
Bila mereka duduk berkumpul-kumpul, di antara mereka seakan-akan tak ada
perbedaan sedikit juga. Hanya bila mereka melakukan ibadah sembahyang
bersama-sama, salah seorang maju ke depan, jadi pemimpin, yang lain harus
mengikuti segala gerak-geriknya. Dewa mereka hanya satu, menurut
pengakuan mereka disebutnya Mahatunggal atau Allah subhanahu wataala.
Pakaian, tempat, dan makanan mereka amat terjaga, rapi, dan terpilih.
Mereka tidak boleh memakan daging babi, marus atau darah, tidak boleh pula
meminum minuman keras, karena itu mereka tak pernah lupa daratan atau
masuk. Mereka dilarang oleh agamanya berdengki-den.gkian, bergunjing,
hinamenghinakan, dan memaki-maki seperti dilakukan oleh ksatria kepada golongan
sudra di Majapahit ini. Dalam peraturan agamanya, sekali-kali tiada boleh
mengganggu perempuan apabila istri orang lain, jangankan sampai
berbuat serong yang amat berat hukumannya, memandang dan bersentuhan
kulit pun tiada boleh. Keras sekali peraturannya, akan tetapi mereka boleh
beristri lebih dari seorang, sampai empat, dengan syarat yang berat pula, yaitu
mesti adil seadil-adilnya. Apabila yang seorang diberi belanja setengah rial
sepekan, yang lain harusnya setengah rial pula; bila ia bermalam di tempat yang
muda setengah malam, di tempat yang lain atau yang lebih tua harus setengah
malam pula, tiada boleh lebih dan tiada boleh pula kurang. Keadilan dan
persamaan hak sangat dijaga oleh ajaran agama baru itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka boleh mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, akan tetapi tidak


Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

boleh menyia-nyiakan nasib si miskin. Untuk membiayai fakir miskin atau orang
telantar, mereka mengeluarkan hartanya dengan sukarela. Artinya
karena disuruh oleh agama mereka, mengeluarkan kira-kira seperlima dari hasil
pertanian mereka, sekian-sekian pula dari hasil peternakan atau hasil harta
perdagangan mereka tiap-tiap tahun. Di antaranya digunakan untuk kepentingan
masyarakat dan penolong fakir miskin.
Beberapa desa di utara yang telah menerima ajaran itu dengan amat cepat telah
menjadi makmur. Golongan sahaya sera menjadi merdeka, kaum sudra di sebelah
utara itu tidak lagi dihina dan diperas, karena di sana tidak lagi diakui ada
golongan ksatria, waisya, maupun brahmana. Pergaulan mereka sama rata sama rasa.
Karena itu pula pencurian dan perampokan hampir tidak ada. Mana mungkin terjadi
pencurian dan perampokan manakala semua orang sudah beroleh bagiannya dengan
wajar. Sekiranya ada juga yang mau
mencuri, bukan lagi karena kelaparan, akan tetapi karena memang dia orang jahat
atau karena kelobaan semata-mata, maka hukumnya amat berat,
dipotong tangannya, sampai ia tak mau dan tak dapat mencuri lagi. Begitulah
hukuman mereka yang sesungguhnya.
Berbagai-bagailah cerita yang dibawa orang dari Pantai Utara itu. Karena keadaan
di desanya dan huru-hara yang tiada berhenti-hentinya terjadi dalam kerajaan
Majapahit, banyaklah yang telah pergi mengungsi ke utara. Kabamya desa Ampel
telah bertambah ramai juga, karena kapal-kapal asing banyak keluar masuk di Kali
Mas. Damarwulan tiap-tiap pagi dibantu oleh Sabda Palon dan Naya Genggong
disuruh menggiring kuda dan memandikannya agak ke hulu Kali Berantas.
Kuda itu digosok dan dibersihkan seekor demi seekor di tepi Kali Berantas itu,
sementara yang lain dibiarkan merumput sepanjang lembah Berantas yang
hijau itu. Tak urung pula rumputnya mesti juga disabitkan untuk makannya di
dalam kandang. Sekaliannya itu tentu dilakukan oleh Sabda Palon dan Naya
Genggong berdua, Damarwulan hanya melihatlihat dari jauh atau sekadar
mengamat-amati saja. Sungguhpun begitu Damarwulan acapkali juga termenung seorang diri
memikirkan tindakan pamannya dan sikap kedua orang saudaranya itu kepada
dirinya. "0, mengapa Ayah tidak pernah menceritakan sifat-sifat serta dendam Paman
itu...," demikian sering ia mengeluh seorang diri. "Eyang pun sepaham dengan
Ayah, tak pernah mengatakan berterus-terang...." Biasanya kalau pikirannya sudah
sampai ke sana segeralah ia mengeluarkan sulingnya dan mencoba menghiburkan
hatinya dengan nyanyian anak gembala dengan irarna suling yang sayu berhiba-
hiba. Apabila tuannya telah bersuling semacam itu Sabda Palon segera bernyanyi:
Kali Berantas bagaikan tenang, Air mengalir emas sepuhan;
Duduk termenung apa dikenang, Terima kewajiban berat dan ringan.
Dijawab oleh Naya Genggong:
Air mengalir emas sepuhan, di Waringin Pintu bercabang dua;
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terima kewajiban berat dan ringan, dengan kekasih sekarang bersua.
Sabda Palon menyahut pula:
Di Waringin Pintu bercabang dua, sama-sama menuju ke lautan;
Dengan kekasih sekarang bersua, sayang saja belum berdekatan.
"Siapa mengatakan belum?" ujar Naya Genggong.
"Berdekatankah narnanya itu, yang seorang di kepatihan dan yang seorang di
kandang kuda!" jawab Sabda Palon.
"Bagimu ... tentu tidak, karena engkau melihat lahirnya saja." "Jadi yang engkau
maksud?" "Yang kumaksud," kata Naya Genggong sambil memperdekatkan kedua telunjuk
jarinya, "jiwanya sudah terikat dekat sekali. Apalagi Gusti Anjasmara...!"
Keduanya tersenyum bahagia.
Damarwulan berhenti berbangsi, sulingnya diletakkannya di sisinya. Dari ujung
jalan selatan dilihatnya serombongan gambuh kelana hendak lewat
sambil bernyanyi bersama-sama, begini bunyi nyanyiannya:
Mari saudara, Kaum sengsara, Menikmati candera, di Pantai Utara...!
Tinggi rendah, Hina mulia, Miskin kaya, Semua sama.
Tiada beda, Sahaya, manusia, Kecuali hanya, Iman di dada.
Perasaan takwa, Tandanya mulia, Bukan kasta,
Marl saudara. Kemudian dituruti yang lain bersama-sama dengan merdu dan lantang
suaranya, sehingga anak-anak, terutama kaum jembel sepanjang jalan segera
mengikuti barisan itu, sehingga makin lama makin panjang juga barisan itu.
Nyanyian itu rupanya sudah terkenal sekali di antara rakyat jelata, sehingga
sekaliannya dapat melagukannya beramai-ramai, diiringi sejumlah terbang') yang
dibawa oleh rombongan itu, orang banyak yang dada memegang
terbang, mempertepuk-tepukkan kedua belah tangannya atau memukul-mukul pahanya
dengan tangannya, sehingga amat bahana bunyinya.
Menikmati candera, Kaum sengsara,
Bukanlah harta di Pantai Utara...! Damarwulan sangat tertarik kepada bunyi serta isi lagu mereka. Ia pun
bangkit dari duduknya dan naik ke pinggir jalan. Dengan tiada disadarinya benar
ia telah turut pula menyanyikan lagu itu dalam ingatannya.
Tinggi rendah, Hina mulia, Miskin kaya, Semua sama.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lama ia tertegun meresapkan makna nyanyian itu. Tiap-tiap bait, sekalipun masih
ada kata-katanya yang samar-samar baginya arti yang sesungguhnya, tetapi
kedengarannya amat menarik dan hendak dirasakannya pula:
Tiada beda, Sahaya, manusia, Kecuali hanya, Iman di dada.
Serta benarkah: Perasaan takwa, Tandanya mulia, Bukan kasta,
Bukanlah harta..." Iman dan takwa tentulah kata-kata baru yang menyelinap masuk bersama-
sama kepercayaan orang-orang asing yang masuk ke daerah Pantai Utara itu.
Ayahnya pernah menerangkan tentang kehidupan nurani, hati yang suci, yang tiada
berrnaksud jahat atau bertekad serong kepada orang lain, niat baik yang
dikehendaki oleh para dewa, maksud luhur yang hendak berbakti kepada
sesama manusia, seperti dikehendaki oleh Barata yang Mahaagung.
Ketika ia mengulang-ulang bait yang paling akhir, jelas sekali baginya apa
maksudnya. Bukankah kasta ksatria dan waisya yang telah menyebabkan
kehidupan rakyat jadi morat-marit, pertanian rakyat menjadi rusak. Kasta
brahmana, kasta yang paling mulia, yang dikehendaki dewa-dewa, ibarat
candera akan memberikan cahaya ke seluruh jagat raya di waktu malam akan menjadi
penunjuk jalan dalam kegelapan, akan tetapi sekarang malah
sebaliknya, merekalah yang memberikan petuah yang salah, yang telah
menyesatkan dan menjerumuskan rakyat. Mereka lebih suka menerima upah
atau uang sogok dari pemimpin-pemimpin yang curang, supaya mulut rakyat dapat
dikekang dan supaya patuh diperkuda-kuda seperti hewan, daripada menunjukkan
jalan yang benar, jalan yang lurus seperti yang dikehendaki oleh kitab suci
mereka. "Ayo, bubar sekalian...!" teriak dua orang kesatria yang datang menunggang kuda,
sambil menghentikan kudanya, hampir di hadapan Damarwulan benar.
Orang-orang itu tiada segera menurut perintahnya. Dengan serta merta salah
seorang dari mereka mencabut kerisnya dan hendak menusukkannya kepada
salah seorang anak yang masih tetap berdiri di samping kudanya dengan
meneriakkan, "Tiada kenal kesatria Majapahit...."
Untung benar Damarwulan dengan cepat sekali menarik anak itu ke samping sebagai
burung elang yang sedang menyambar lakunya, sehingga anak itu
terlepas dari bahaya maut. Tidak sekadar itu saja. Ketika yang menikam itu
terdohok ke depan cepat sebagai kilat hampir tdak kelihatan kaki kirinya
menyambar pertumpuan pengamuk, sehingga ia rebah tersungkur, tak jauh
dari Damarwulan. Orang-orang yang melihat sekaliannya telah menutup
mukanya, pada dugaan mereka tentu mata keris itu telah masuk dengan hulu-hulunya
ke perut anak yang malang itu. Tetapi ketika mereka membuka
matanya bukan anak itu yang terjatuh berlumuran darah melainkan sebaliknya si
penikam itu yang tersungkur ke tanah. Hidung dan mulutnya berdarah.
Melihat kawannya jatuh terbaring, yang seorang lagi melompat dan mencabut
kerisnya dan mencoba mengayunkan tangannya tinggi-tinggi karena
gemasnya, sehingga kaki kanannya agak terangkat dari tanah. Dengan mudah saja
Damarwulan membungkuk dan membalik dengan cepat dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendorongkan kaki kiri lawan yang kehilangan tumpuannya itu dengan kaki kirinya
juga, sehingga tiada urung lagi ia terbalik ke belakang. Sudah barang tentu mata
kerisnya, ketika ia jatuh itu mengacung ke udara, dan dengan sendirinya tidak
berbahaya baginya ataupun bagi orang lain.
Memandang kedua kesatria itu jatuh, terutama yang kedua diiringi bunyi gedebab
di atas lumpur yang becek itu, orang banyak semakin ketakutan.
Pasti keduanya akan bertarnbah meradang, pikir mereka sekalian. Sebaliknya
mereka amat heran dan kagum melihat ketangkasan Damarwulan.
"Silakan berdiri, Saudara-Saudara!" ujarnya dengan tenang kepada kedua kesatria
gadungan yang masih terbaring kesakitan itu.
"Apakah gerangan salah mereka maka hendak kamu tikam?" Keduanya tiada lekas
berdiri. "Mengapa, terangkanlah! Saudara-Saudara ini siapa?" Tidak juga menyahut.
Damarwulan berbalik memandang kepada rombongan gambuh kelana itu,
kemudian katanya, "Sekaliannya ini hendak ke mana, terangkanlah supaya saya
dapat mengetahuinya" Janganlah Tuan-Tuan menaruh syak wasangka
melihat saya, saya hanya seorang gembala...."
Salah seorang di antara orang banyak itu menjawab, "Maafkanlah kami, ya, orang
muda, kami ini menganut kepercayaan baru dari pantai utara. Kami sekaliannya pun
orang Majapahit, karena kami merasa keamanan dan
ketenteraman di desa atau di kampung halaman kami sudah tidak terjamin lagi,
kami terpaksa mencari penghidupan di tempat lain. Di pantai Utara kami beroleh
penghidupan dan ketenteraman jiwa kami. Di sana kami diperlakukan dengan baik
sebagai hamba Allah."
"Siapakah Allah itu" Dewakah dia dan bagaimanakah sifat-sifatnya?"
"Allah ialah yang menjadikan dan yang mengatur seluruh alam ini!"
"Kalau begitu Mahadewa atau Mahesywaralah dia."
"Memang orang Hindu menyebutnya Mahesywara, Maha Pencipta atau
Mahakala, kami orang Islam menamakannya Allah swt. yaitu Yang
Mahakuasa." "Jika begitu samalah itu! Akan tetapi apakah tujuan agama Islam itu yang
sesungguhnya?" "Mendatangkan keselamatan kepada seluruh manusia di dunia dan di
akhirat. Orang Islam belum lagi sempuma Islamnya, jika sekiranya ia belum dapat
menjaga keselamatan orang lain, baik oleh perkataannya maupun oleh perbuatan."
"Adakah orang-orang yang berkepercayaan baru itu mencintai sesama manusia?"
"Ya, cinta-mencintai dan kasih-mengasihi sesama manusia itulah yang dituntut
oleh ajaran agama kami. Diterangkan oleh Nabi kami: seorang belum lagi sempurna
imannya kepercayaannya kepada Yang Mahakuasa sebelum ia
mencintai sesamanya seperti ia mencintai dirinya sendiri."
Mendengar jawaban orang banyak itu makin banyak timbul pertanyaan
dalam pikiran Damarwulan, terjawab yang satu timbul pula yang lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah nabi yang kamu katakan itu" Dewakah ia atau indrakah ia?"
"Bukan dewa dan bukan pula indra, tetapi manusia biasa yang mendapat wahyu, yang
menerima perintah dari yang Mahakuasa untuk menyampaikan
ajarannya kepada sesama manusia di muka bumf, dunia ini...."
"Jika demikian Maharesilah ia!"
Orang banyak itu berpandang-pandangan, kemudian, "Juga bukan! Nabi ialah yang
mula-mula membawa dan menyiarkan ajaran Yang Mahakuasa itu
kepada sesama manusia; is pun manusia.biasa."
Kedua orang muda itu berdirilah. Kemudian Damarwulan bertanya pula
kepada orang banyak, "Kamu kenalkah keduanya ini sebelumnya?"
"Selama Majapahit dalam huru-hara seperti sekarang ini di mana-mana rakyat
ditakut-takuti oleh suatu golongan yang bernama ksatria, yang
bertindak semau-maunya, yang memeras harta dan darah rakyat dengan
bermacam-macam jalan. Apa pun alasan mereka sebenarnya yang mereka
kehendaki semata-mata harta benda rakyat...."
Setelah bercakap-cakap dan bersoal-jawab itu maka rombongan itu
disuruhnya meneruskan perjalanan mereka.
"Apa maksudmu mengejar mereka dan menyuruh mereka bubar ... dan
hendak melumuri kerismu dengan darah mereka?" tanya Damarwulan pula dengan
tenang. Kedua orang muda itu tiada segera dapat
menjawab, mereka memandang dengan
ragu-ragu kepada Damarwulan. Salah
seorang di antaranya bertanya, "Bukankah
Saudara ... eh, Tuan hamba Raden Gajah,
yang pernah kami kenal di medan
pertempuran Lembah Tanggul. Hamba tiada
salah lihat dan hamba ingat sungguh-
sungguh, kepada Tuanlah Adipati Tuban
meninggalkan amanat, supaya Tuan
berusaha menyelamatkan Majapahit!"
"Bagaimana Saudara mengenali saya?"
tanya Damarwulan pula. "Ketika itu kami berdua ada di pihak Adipat
Tuban dan ketika akan mundur barisan kami
menggabungkan diri dengan pasukan Tuan
hamba sampai ke Lumajang," jawabnya.
"Tiadakah Tuan hamba merasa bahwa ajaran baru dari Pantai Utara itulah kelak
yang akan menguasai Majapahit dan seluruh Jawadwipa?"
"Apakah maksud Saudara?" tanya Damarwulan ragu-ragu. "Aku lihat mereka tidak
pernah membawa senjata."
"Akan tetapi ajaran dan kepercayaan mereka telah mulai tertanam dan berkubu di
hati sanubari rakyat jelata."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, sungguhpun begitu, kerajaan Majapahit memberi kebebasan kepada seluruh
rakyatnya. Majapahit hanya memerintah negeri, menjaga keamanan dan ketenteraman
sekalian rakyatnya dan ... tiada mencampuri urusan
kepercayaan dan keyakinan masing-masing, agama bebas di Majapahit."
Keduanya disuruh Damarwulan berbalik arah ke selatan kembali "Biarkanlah
kebebasan hidup bersemi di hati rakyat Majapahit!" katanya dengan pendek.
"Mereka bebas dalam menentukan kepercayaannya dan mereka memilih dan menilai
mana yang buruk dan mana yang baik...!"
7. Dewi Anjasmara Suasana di Majapahit makin hari makin panas. Dari ujung timur semakin
banyak datang pengungsi-pengungsi. Tentara Wirabumi makin mendesak dan sedang
menyiapkan penyerbuan ke ibu kota. Lumajang dan Probolinggo
hampir mereka kuasai. "Raden Damar mengapa Tuan masih tinggal berdiam diri?" kata Dewi Anjasmara
kepada Damarwulan. "Sebagai putra Majapahit berdarah ksatria tidakkah waktunya
sekarang Tuan tampil memperlihatkan cinta dan bakti Tuan kepada negara?"
Damarwulan tiada segera menjawab, hanya mernandang acuh tak acuh ke
jalan raya di hadapan kepatihan itu. Beberapa orang prajurit kelihatan, pergi
dan datang di jalan yang menuju ke keraton.
"Damarwulan, Adinda ingin melihat Kakanda menjadi pahlawan sejati, yang dapat
menolong dan menyelamatkan Majapahit!" ujar Anjasmara pula, tambah mendekatkan
dirinya kepada anak muda itu sebagai mendesak.
"Sekarang hamba tukang kuda, pekerjaan hamba memelihara kuda,
dititahkan Paman bukan disuruh membela negara," jawab Damarwulan.
"Tuan*) berdarah ksatria, bukan sudra dan pekerjaan ini tidak layak Tuan
kerjakan. Sepatutnya Tuan membela Majapahit dari keruntuhan!"
"Dewi Anjasmara! Kalau langit hendak runtuh dapatkah ditahan dengan telunjuk?"
ujar Damarwulan pula. "Keadaan Majapahit jadi begini karena rakyat dihina dan
diinjak-injak dengan tidak semena-mena. Belum lagi sebulan hamba di sini, tetapi
sudah banyak hamba melihat ksatria menikam orang bawahannya untuk mencoba tajam
kerisnya. Negara sekan-akan hanya untuk orang atasan, kaum bangsawan. Rakyat
jelata, orang bawahan dipandang dan diperlakukan sebagai hewan."
Damarwulan berdiam diri pula seketika, kemudian ujarnya dengan keras,


Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kaum atasan sekalian kaya raya, rakyat meratap kelaparan. Dasar negeri sudah
lapuk, hanya menanti kehancuran. Dari semula hamba ingin jadi
pertapa saja, supaya dapat melupakan kekacauan dunia dan supaya tidak lagi
melihat kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Dan...." Damarwulan tiada
meneruskan bicaranya. Dari air mukanya jelas terbayang hatinya amat terharu
kesal dan rawan. Dari nada suaranya ia seolah-olah orang yang hampir
berputus asa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana Kakanda dapat melupakannya!" tanya Anjasmara, "Kakanda hidup di
tengah-tengah masyarakat, kejadian itu Kakanda lihat sendiri
sepanjang hari...." Dalam kesunyi-sepian hamba merasa bahagia, dapat melupakan
kemalangan diri sendiri, beroleh ketenangan memandang kebenaran kerajaan dewa-
dewa. Acapkali hamba terbangun tengah malam, hamba dengar Dewa
Brahma mengajari hamba kebijaksanaan."
"Radon Damarwulan, sekarang Majapahit mernanggil Kakanda memerlukan kesatria.
Yang perlu Kakanda lakukan, bertindak dengan bijaksana, kemudian baru
menyebarkan kebijaksanaan itu. Ingatlah, sekali lagi Adinda katakan Kakanda
keturunan ksatria yang telah membangun Majapahit. Sekarang
Kakanda mendapat panggilan untuk membelanya, mempertahankannya, dari
kehancuran. Tadi Kakanda katakan, rakyat dihina dan diinjak-injak, sebagai
ksatria Kakanda harus membela kebenaran dan menghidupkan keadilan di
Majapahit," ujar Anjasmara mendesak dengan bersungguh-sungguh.
"Hamba ada kewajiban sendiri! Tetapi mengapa Dewi terlalu mendesak hamba?" jawab
Damarwulan. "Aku ingin melihat kekasihku jadi pahlawan yang gagah berani!"
"Tidaklah patut tukang kuda menjadi kekasih Anjasmara, putri patih Majapahit."
"Yang kucinta orangnya bukanlah pekerjaannya. Aku mengetahui, bahwa Kakanda jadi
seperti ini, karena perintah yang tidak patut," ujar Anjasmara.
"Tidaklah layak seorang anak mencela perbuatan orang tuanya, hamba disuruh ke
Majapahit, memperhainbakan diri kepada Paman hamba sendiri.
Segala perintahnya harus hamba turut. Bagaimana negeri akan aman, jikalau rakyat
tidak patuh menurut perintah patihnya!" jawab Damarwulan
"jika sekiranya perintahnya tidak sepatutnya, tidak mengindahkan keperluan
rakyatnya...?" "Haruslah Ratu sendiri yang menggantinya. Tidak ada gunanya orang bawahan,
tukang kudanya seperti hamba, mendurhaka pula kepadanya."
"Apabila Ratu seperti patihnya pula...?"
"Haruslah Baginda dimakzulkan rakyatnya."
"Memakzulkan raja berarti tidak lagi menurut perintahnya," sahut Anjasmara
dengan cepat. "Damarwulan, mengapa Kakanda kalau begitu mau mengikut perintah
patih?" katanya. "Dewi Anjasmara! Sudah hamba katakan, tidaklah patut hamba mencela paman hamba
sendiri dan ayah Dewi pula!"
"Sekalipun ia berlaku tidak adil" Membiarkan engkau dihina oleh anaknya sendiri"
0, Damarwulan, jika sekiranya aku tidak melihat jiwa yang bersinar dari matamu,
tentu aku telah menyangka Kakanda seorang yang pengecut,
tidak berbudi sedikit juga. Baru sekali aku melihat Tuan, tahulah aku bahwa Tuan
kesatria sejati. Tuanlah dewa yang kunanti-nanti, yang selalu dirindukan jiwaku
selama ini...." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Damarwulan termenung sejurus, kemudian katanya, "Dengar, Anjasmara, idaman
jiwaku, ketahuilah mengapa aku mau begini! Sebelum aku datang ke Majapahit, aku
sudah tahu benar bahwa rakyat sangat menderita. Saya ingin melihat bukti, jika
boleh turut merasa. Saya sampai di kepatihan, hampir saya tidak percaya, bahwa
Paman sebagai kesatria bersikap begitu, biarpun
sebelumnya telah saya dengar juga beritanya."
Terdiam pula seketika, kemudian ujarnya, "Sungguh terjadi, bukan dusta, Patih
sampai hati menghina anak saudaranya. Paman rupanya masih dendam kepada
Ayahanda, biarpun Ayahanda sudah lama pergi dan dengan rela hati menyerahkan
kepatihan kepada adiknya sendiri. Tahulah hamba dengan
sungguh-sungguh, mengapa Majapahit jadi begini. Bangsawan budi telah
hilang sama sekali, yang tinggal sekarang pemuja hawa nafsu belaka. Saya tinggal
di kepatihan, karena ingin hendak mengetahui sendiri, teruskah Paman berlaku
seperti itu." Kemudian terdiam pula.
"Dan lagi, Anjasmara," katanya, "hamba ingin mengetahui, muliakah hati anak dara
yang hamba cintai, setelah hamba jumpai sekali saja dengan rasa cinta yang tak
berhingga. Pengalaman telah membesarkan hati hamba,
mengobarkan perasaan hamba, bahwa Anjasmara, kekasih hamba ibarat
teratai Jawadwipa, suci bersih, putih berseri walaupun kelilingnya lumpur dan
kotor belaka." Damarwulan melihat ke jalan dan tegak berdiri, kemudian kepada
Anjasmara, "Itu, Kakanda Layang Seta dan Kumitir datang. Biarkan hamba
meninggalkan Adinda, supaya Adinda jangan diganggunya dan dirnarahinya pula."
Keduanya masuk ke halaman dan setelah dekat kepada Anjasmara, Layang
Seta berkata, "Adinda Anjasmara, dari tadi aku lihat engkau berbicara dengan si
Damar. Tidak patut putri seorang patih lupa akan martabatnya."
Anjasmara menyahut, "Apa salahnya aku berbicara dengan saudara
sepupuku!" Layang Seta dengan mengejek berkata pula, "Ingatlah Adinda, Damarwulan tukang
kuda, tak lebih dari itu."
"Damarwulan kesatria sejati, malah bagiku martabat dan harkat pribadinya
melebihi Kakanda berdua," jawab Dewi Anjasmara menentang. "Darah yang mengalir
dalam tubuh Kakanda sama sumbernya, asalnya, dengan yang
mengalir dalam urat nadi Kakanda Damarwulan malah padanya masih suci
bersih." "Rupanya engkau sudah kena pikat Anjasmara, dihikmati kata manis madu.
Memang si Damar seperti bapaknya, pandai membujuk dan merayu karena itu beliau
bersedia meninggalkan Majapahit. Ingat Anjasmara, engkau sudah
dipinang oleh Adipati Singasari Serta jangan lupa akan pangkatmu. Sayang aku
harus menghadap Seri Ratu di balai penghadapan," kata Layang Seta pula dengan
angkuhnya, "kalau tidak tentu kuajar sendiri si Damar itu, jantung hatimu
itu." . Keduanya terus berjalan menuju ke keraton diiringkan oleh dua orang
pengiringnya. Sesaat kemudian Sabda Palon dan Layang Seta lewat pula dan rupanya
seperti hendak menuju ke jurusan yang sama.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sabda Palon! Naya Genggong!" kedengaran Dewi Anjasmara memanggil.
"Tunggu sebentar, aku ingin minta bantuanmu!"
"Mengapa, Ndara?" tanya Sabda Palon setelah mereka berdekatan dengan Dewi
Anjasmara. "Asal jangan..."
"Asal jangan mengapa?" tanya Anjasmara pula.
"Kami bersedia menolong, asal jangan disuruh bertinju." Ia melihat ke jurusan
Layang Seta dan Kumitir. "Memang si Sabda orang penakut, Ndara," sahut Naya Genggong pula sembari
mengikuti pandang Sabda Palon, "tetapi hamba biar ke mana disuruh hamba tiada
akan menolak, apalagi jika Ndara yang menyuruh. Bukankah
hamba punakawan seorang kesatria, pahlawan besar di Majapahit?"
"Memang si Naya menyatakan dia pahlawan," kata Sabda Palon pula,
"karena tuannya seorang pahlawan yang gagah berani, tetapi ia pasti lari
pontang-panting apabila ada seekor tikus lewat di hadapannya. Ini bukan cerita,
Gusti! Tuan kami pada suatu kali membunuh harimau. Sekalipun
harimau itu sudah mati. Si Naya menggigil ketakutan memandangnya,
sehingga ia terpaksa diberi minum dan diguyur dengan air comberan sawah di tepi
rimba." "Begini," ujar Dewi Anjasmara pula kemudian, "aku sangat memerlukan pertolongan
kamu berdua. Sukakah kamu?"
"Tentu!" jawab Naya Genggong.
"Asal...," sahut Sabda Palon pula.
"Asal mengapa, Sabda Palon!" tanya Anjasmara.
"Asal jangan pergi berperang," kata Sabda Palon, "sudah bosan kami."
"Memang, Sabda Palon pernah merasai pengalaman yang pahit," tukas Naya Genggong
pula. "Ia terus rebah ketakutan, memandang muka Menak Jingga, sekalipun ia hanya
berdiri di tempat jauh."
"Apakah arti perkataanmu" Pernahkah kamu melihat Adipati Wirabumi?"
"Kami turut melawan dia. Hambalah yang memegang tunggul panji-panji paduka
almarhum Adipati Tuban," jawab Sabda Palon.
"Jangan percaya, Ndara, akan kata-katanya itu. Ia mengikut di belakang sekali,
waktu mundur paling muka sekali pula," kata Naya Genggong.
"Naya," seru Sabda Palon setengah berbisik, "tidak ingat akan perintah! Kita
tidak boleh menceritakan kepada siapa pun bahwa kita turut berperang."
Dewi Anjasmara segera memutusi, "Tidak mengapa, Sabda Palon! Saya amat cinta
Rahasia Mawar Beracun 1 Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana Pedang Jitu Sakti 1
^