Pencarian

Darah Pendekar 15

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


mengangkat tubuh lawannya yang jauh lebih kecil darinya itu untuk kemudian diban-ting. Akan
tetapi, tubuh kecil itu tidak bergoyang sedikitpun juga, jangankan terangkat! Si Mongol
mendengus - dengus mengerahkan kekuatannya, dari mulutnya terdengar suara ah - ah - uh - uh dan
mukanya menjadi merah, otot - ototnya menggem-bung seperti orang sakit perut tak dapat buang air
besar dengan lancar.Tadinya A - hai yang sedang kumat itu agaknya bingung dan heran mengapa
orang ini memeluk-meluknya, seperti tidak mengajak berkelahi, kemu-dian agaknya dia merasa
bosan dan sekali kedua tangannya menangkap pinggang yang besar itu dan membentak, tubuh
raksasa itu terangkat ke atas, kemudian dibanting.
"Brukkk... !!" Tubuh besar itu terbanting keras dan berkelojotan, mengeluarkan
suara tidak karuan dan orang itupun sekarat karena tulang punggungnya patah ketika
terbanting tadi. "A - hai, bantulah aku... !" Bwee Hong mencoba untuk berteriak setelah
dianjurkan oleh Pek Lian. Dara inipun sedang menandingi pengeroyokan empat orang lawan.
"Bwee Hong, aku membantumu !" teriak A - hai dan sekali meloncat, diapun sudah
menggerakkan kedua tangan mendorong dan dua orang pengero-yok Bwee Hong
terjengkang dan muntah darah, tewas tanpa tersentuh tangan pemuda itu sedikit-pun juga!
Ternyata A - hai dalam keadaan kumat itu masih teringat kepada Pek Lian dan Bwee
Hong. Pek Lian berteriak kepada Siok Eng dan Seng Kun untuk mencoba pula. Akan tetapi
ketika dua orang ini minta bantuan A - hai, pemuda sinting itu sama sekali tidak menjawab,
bahkan dengan bingung dia menyerang Siok Eng dengan dorongan tangan kirinya. Angin pukulan
dahsyat menyambar ke arah gadis itu.
"Ilihhhh ...... !" Siok Eng berseru kaget dan karena melihat tidak ada
kesempatan menghindar lagi, puteri ketua Tai - bong - pai inipun lalu meng-gunakan kedua
tangannya menolak dan biarpun belum sempurna, tenaga sakti Asap Hio melin-dunginya dan
dari kedua tangannya meluncur uap putih. Bagaimanapun juga, tetap saja ketika dua tenaga
sakti bertemu, tubuh dara ini terguling dan untung ia cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri dan
meloncat bangun dengan muka pucat.
Karena maklum bahwa A - hai hanya mengenal ia dan Bwee Hong, Pek Lian lalu
mengeluarkan saputangan kuning dan merobek - robeknya, mem-bagi - bag'kan
robekan kain kuning itu kepada semua anggauta rombongannya yang masih sibuk menghadapi
pengeroyokan banyak musuh dan me-nyuruh mereka memasang kain kuning itu pada rambut masing -
masing. "A - hai, jangan menyerang teman yang memakai kain kuning di rambutnya !"
Demikian Pek Lian dan Bwee Hong berseru kepada A - hai.
"Baik ! !" jawab A - hai dan kini pemuda itu mengangguk sambil melihat ke arah
rambut setiap orang yang digempurnya. Gegerlah keadaan di tempat itu dan terpaksa para
pimpinan dua pasukan itu mengerahkan orang - orangnya yang terpandai karena para pendekar
itu, terutama pemuda tinggi tegap yang mengamuk secara meng-giriskan itu, merupakan lawan yang
amat lihai dan tangguh. Setelah A-hai mengamuk, rombongan itu tidak begitu terdesak lagi.
Bahkan pasukan itu kocar-kacir dan sebagian besar dari mereka menjadi gentar sekali dan
menjauhkan diri. Sementara itu, di kota Yen - tai juga terjadi hal yang amat hebat. Liu Pang
dengan pasukannya yang terdiri dari para pendekar dan berjumlah se-kitar tigaratus
orang menyerbu gedung kepala dae-rah. Serangan ini terjadi amat tiba - tiba karena para
pendekar itu telah menyelundup dengan di-am - diam ke dalam kota. Tentu saja kota menjadi geger.
Pasukan pengawal dan penjaga melakukan perlawanan, dipimpin sendiri oleh pembesar yang
menjadi kepala daerah Yen - tai. Namun, para pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang itu
ternyata jauh lebih kuat dan kepala daerah itu terpaksa melarikan diri dikawal oleh pasukan
pengawalnya, menuju ke kota gubemuran.
Liu Pang membebaskan para tawanan sehingga kini jumlah mereka mendekati
limaratusorang dan mereka segera menduduki kota, melakukan penja-gaan di pintu - pintu
gerbang dan rakyat menyam-but mereka dengan gembira. Mereka ini memper-oleh simpati dari
rakyat oleh karena sikap para anak buah pasukan Liu Pang ini memang gagah perkasa dan sopan.
Mereka adalah pendekar - pendekar dan terdiri dari rakyat jelata pula, maka tentu saja
mereka tidak mau mengganggu rakyat. Liu - Pang lalu memerintahkan anak buahnya untuk melepas
panah - panah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
berapi sebagai tanda keberhasilan mereka kepada Pek Lian dan kawan - kawannya
yang bertugas di lembah. Melihat panah - panah berapi itu meluncur di udara arah kota Yen - tai,
dibarengi sorak - sorai para pendekar dan rakyat, Pek Lian gembira bukan main. "Suhu berhasil!
Mereka telah menduduki kota Yen - tai! !"
Sebaliknya, pasukan yang mengeroyok mereka terkejut sekali. Para pimpinan mereka
lalu meme-rintahkan mereka untuk meninggalkan lembah. Apa lagi, para pendekar yang
berada di lembah itu hanya limabelas orang saja, tidak cukup berharga untuk dibasmi,
kalaupun mereka mampu melaku-kannya karena para pendekar itu benar-benar lihai bukan main.
Amukan mereka itu telah merobohkan puluhan orang perajurit.
A - hai tetap mengamuk biarpun para perajurit telah mengundurkan diri. Para
pendekar melihat dengan penuh takjub. Bahkan Seng Kun sendiri memandang dengan mata
terbelalak. Pemuda itu memang hebat bukan main. Kini pemuda itu ber-silat secara aneh,
gerakannya mantap, kedua ka-kinya bergeser - geser ke depan, bukan melangkah dan kedua
tangannya memukul - mukul ke depan dengan telapak tangan terbuka. "Set - set - settt !"
kedua kaki itu bergeser ke depan dan ketika kedua tangan itu memukul-mukul dengan dorongan
kuat, nampak hawa yang seperti sinar putih keluar dari kedua telapak tangan dan tiap kali
kedua telapak tangan itu bergesekan, terdengar suara meledak dan nampak seperti ada bunga api
berpijar! Tangan kanan itu meluncur ke kanan, ke arah bayangan hitam yang mungkin dianggap musuh
oleh A - hai. "Braaaakkkk !" Dan robohlah sebatang pohon besar.
A - hai memukul ke kiri sambil membalikkan tubuh, menghantam ke arah bayangan
hitam, lain. "Blaarrrr !" Sebongkah batu karang besar pecah berantakan dan terguling!
"Bukan main ! Itu agaknya Thai - lek Pek - kong - ciang
!" kata Seng Kun dengan
takjub. Dia pernah mendengar cerita dari Bu Kek Siang tentang ilmu pukulan
mujijat itu akan tetapi belum pernah menyaksikannya. Dan kalau sekarang pemuda sinting itu mampu
melakukan ilmu pukulan mujijat itu sedemikian baiknya, maka asal - usul pemuda itu sungguh
menjadi semakin menarik dan penuh rahasia.
Pek Lian yang maklum bahwa kalau dibiarkan berlarut-larut, keadaan A-hai bisa
berbahaya, lalu menggandeng tangan Bwee Hong dan mende-kati pemuda itu. Keduanya membujuk,
"A - hai, lihatlah kami... jangan mengamuk lagi, jangan berkelahi lagi, sudah tidak ada
musuh yang harus dilawan !" A-hai menghentikan permainan silatnya, memandang kosong kepada dua orang dara
itu dan nampak bingung. "Jangan berkelahi..... jangan membunuh..... ahhh.. Pek Lian.....
Bwee Hong, jangan berkelahi..." Dan diapun menjatuhkan diri berlutut dan tubuhnya menjadi
lemas. Mereka lalu kembali ke kota Yen - tai dan di-sambut oleh Liu Pang sendiri yang
memuji mereka sebagai orang-orang yang telah berhasil menunai-kan tugas penting. "Kita
harus terus melakukan pengejaran dan menyerbu kota Yen - kin, menang-kap gubernur yang
bersekutu dengan pasukan asing itu," katanya dan merekapun bersiap-siap. Ke-menangan Liu
Pang dan pasukannya ini disambut gembira oleh rakyat dan banyaklah rakyat di sekitar
daerah itu yang berdatangan dan masuk menjadi anggauta suka rela! Bahkan banyak pula bekas-bekas
perajurit pasukan pemerintah yang menye-berang dan membantu gerakan Liu Pang yang hendak
melakukan pembersihan terhadap para pengkhianat dan pasukan asing.
Pada kesokan harinya, Liu Pang memimpin pa-sukannya yang menjadi semakin besar
jumlahnya itu menuju ke Yen - kin. Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong ikut membantu
karena kakak beradik ini maklum bahwa gerakan Liu Pang itu adalah untuk membantu
pemerintah menghancurkan para pengkhianat yang hendak memberontak dan yang bersekutu dengan
pasukan asing. Di sepanjang perjalanan menuju ke Yen - kin, berbondong-bondong rakyat dan
perajurit kerajaan yang menyeberang menyambut dan masuk pula menjadi sukarelawan untuk
mengusir pasukan asing dan menghajar pasukan pemerintah yang hendak memberontak dan
berkhianat. Apa lagi karena semua orang mendengar bahwa Liu Pang adalah seorang pemimpin
rakyat yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sejati, yang datang dari kalangan rakyat petani. Demikian banyaknya rakyat
mendukung sehingga jumlah pasukan itu setelah tiba di Yen - kin sudah mencapai hampir sepuluh ribu
orang ! Ternyata Gubernur Ci yang berkuasa di propinsi bagian timur (sekarang Shan-tung)
itu telah me-nerima pelaporan kepala daerah Yen - tai dan sudah bersiap-siap dengan
pasukannya, dibantu pula oleh pasukan asing yang dipimpin oleh Malisang, raksasa peranakan Mongol
itu. Juga ada pula pa-sukan yang menjadi anak buah pemberontak Chu Siang Yu, yang dibantu oleh
Kwa Sun Tek tokoh Tai - bong - pai bersama anak buahnya, yaitu ang-gauta - anggauta Tai-
bong-pai yang dibawa me-nyeleweng oleh Kwa Sun Tek, bersekutu dengan para pemberontak untuk
mencari kedudukan. Gu-bernur Ci merasa yakin akan dapat menghancurkan pasukan pimpinan
Liu Pang yang dianggap sebagai penghalang cita-citanya itu karena dia menerima laporan
bahwa pasukan yang menyerbu Yen-tai itu hanya berjumlah tigaratus orang lebih. Padahal,
pasukan keamanan di daerahnya yang dikumpulkan itu berjumlah limaribu orang, belum lagi ratusan
orang pasukan asing dan pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Jumlah pasukannya tidak kurang dari
enamribu orang. Mana mungkin musuh yang hanya tigaratus orang lebih itu akan mampu
menandingi enamribu orang" Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dalam waktu singkat,
rakyat dan para perajurit yang menyeberang berbondong-bondong menjadi sukarelawan dan kini
pasukan Liu Pang berjumlah selaksa orang! Dapat dibayangkan betapa kagetnya Gubernur Ci dan para sekutunya ketika
mendengar bahwa Liu Pang datang dengan pasukan yang mendekati selaksa orang jumlahnya !
Terjadilah perang yang dahsyat di luar kota Yen - kin. Perang yang mema-kan waktu setengah
hari lebih. Akan tetapi karena Liu Pang dibantu oleh orang - orang gagah, walau-pun sekali
ini A - hai tidak ikut berperang, dan juga karena jumlah pasukan Liu Pang jauh lebih banyak,
akhirnya pasukan gubernur itu lari cerai - berai dan banyak yang tewas. Gubernur dan sekutunya
ter-paksa melarikan diri ke utara dan kota Yen - kin diduduki oleh Liu Pang.
Karena maklum bahwa di depan terdapat bala tentara kerajaan yang kuat dan pula
dia harus membiarkan pasukannya beristirahat, Liu Pang ti-dak melakukan
pengejaran dan mengatur kota Yen - kin yang didudukinya itu, mengatur penjagaan dan menyebar
para penyelidik untuk menyeli-diki keadaan musuh yang melarikan diri ke arah kota Cin-an.
Gubernur Ci adalah seorang yang cerdik, apa-lagi dia adalah sekutu pemberontak
Chu Siang Yu yang telah memberi rencana siasat kepadanya. Be-gitu melarikan diri dari Yen
- kiri, gubernur ini bersama pasukan pengawalnya dan pasukan - pa-sukan lain yang melarikan diri,
langsung menuju ke Cin - an dan mendatangi Lai - goanswe yang menjadi panglima yang
berkuasa atas benteng dan bala tentara kerajaan di daerah timur. Gubernur itu lalu memberi


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laporan dan tentu saja dia me-mutarbalikkan kenyataan. Dia melaporkan bahwa pemberontak Liu Pang
melakukan gerakan tiba-tiba di timur, menduduki kota Yen - tai dan Yen - kin, dan kini
mengumpulkan barisan pemberontak yang jumlahnya selaksa orang dan hendak bergerak ke barat.
Mendengar laporan ini, Lai - goanswe (Jenderal Lai), terkejut sekali. Tentu saja
dia sudah men-dengar nama besar Liu Pang sebagai pemimpin rakyat, sebagai bengcu yang
mengepalai para pen-dekar dan yang ikut memprotes tindakan - tindakan kaisar terhadap
ditangkapnya para menteri. Dan dia juga maklum bahwa Liu Pang adalah seorang pendekar yang berilmu
tinggi, seorang pendekar dan jagoan pedang yang disuka oleh para pende-kar kang-ouw.
Baru pemberontakan - pemberon-
34 takan yang dilakukan oleh Chu Siang Yu dan yang bergerak di daerah barat saja
sudah amat memu-singkan, apalagi kalau Liu Pang kini memberontak pula. Lai - goanswe
adalah seorang jenderal ber-usia empatpuluh lima tahun yang pandai dan juga gagah perkasa,
merupakan pembantu utama dari Jenderal Beng Tian dan seorang perajurit sejati yang tidak
melibatkan diri dengan politik, dan ha-tinya bulat menjunjung tugasnya, yaitu membela negara dan
mentaati perintah atasan. Begitu mendengar tentang pemberontakan Liu Pang, Lai - goanswe cepat
mempersiapkan pasu-kannya yang selaksa orang jumlahnya. Dan diapun mempergunakan sisa pasukan
dari Gubernur Ci untuk memperkuat pasukannya. Akan tetapi tentu saja ketika menghadap
Jenderal Lai, Gubernur Ci sama sekali tidak bercerita tentang persekutuannya dengan Chu
Siang Yu, apa lagi dengan bantuan pasukan asing! Dan jenderal itupun tidak tahu sama sekali
bahwa dia telah ditipu dan diadu dom-ba dengan Liu Pang oleh Gubernur Ci.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Tentu saja Liu Parig terkejut bukan main me-lihat pasukan besar Jenderal Lai
datang dan me-nyambutnya dengan serangan. Dia sama sekali tidak bermaksud melawan pasukan
pemerintah. Semua yang dilakukan hanyalah membasmi pasu-kan asing dan menentang
para pejabat yang berse-kutu dengan orang-orang asing. Akan tetapi, sudah tidak ada
waktu lagi. baginya untuk menjer-nihkan kesalahpahaman ini. Pasukan Jenderal Lai sudah
datang menyerbu. Bahkan diam-diam Liu Pang menjadi penasaran sekali dan mengira bahwa memang
kaisar berhati palsu dan bercabang, di satu pihak pura - pura membetulkan kesalahannya dan
hendak mengangkat kembali para menteri jujur, di lain pihak menggunakan tangan besi
menentang para pendekar patriot Maka Liu Pang lalu mela-wan dan mengerahkan pasukannya.
Pertempuran yang amat dahsyat dan seru ter-jadilah di luar kota Cin - an.
Setelah kedua pihak kehilangan banyak perajurit, pasukan kerajaan ter-desak sehingga terpaksa
mundur dan melakukan pertahanan di dalam kota yang dikepung oleh pasukan Liu Pang. Di luar
kehendaknya sendiri, Liu Pang mulai hari itu secara resmi dianggap sebagai pemberontak oleh
kerajaan. Bentrokan langsung dengan pasukan pemerintah ini membuat Chu Seng Kun dan Chu
Bwee Hong merasa kikuk dan bingung. Tidak mungkin mereka dapat membantu Liu Pang dan
pasukannya untuk menentang pemerintah sendiri! Ayah mereka, Pangeran Chu Sin
yang kini telah menjadi kepala kuil istana yang berjuluk Bu Hong Sengjin, adalah seorang
anggauta keluarga istana yang pen-ting. Seng Kun sendiri menerima tugas dari kaisar untuk mencari
Menteri Ho, berarti diapun seorang utusan dan petugas kaisar bagaimana mungkin dia berada di
dalam pasukan para pendekar yang kini telah digempur pasukan pemerintah sebagai
pemberontak " Seng Kun tidak dapat menyalahkan Liu Pang dan dia dapat memaklumi bahwa sesung-
guhnya bukanlah kehendak Liu Pang dan pasukan-nya untuk memberontak.
"Liu-bengcu, harap maafkan kami berdua. Dalam kedudukan saya sebagai utusan
kaisar yang berarti bahwa saya adalah seorang petugas kera-jaan, keadaan sekarang ini
tentu tidak memungkin-kan saya untuk terus berkumpul dengan pasukan bengcu lebih lama lagi.
Kami berdua akan kembali ke kota raja dan membuat laporan tentang apa yang terjadi atas diri
Menteri Ho." Liu Pang menarik napas panjang dan nampak-nya menyesal sekali. "Sungguh kami
sendiri tidak pernah mengira bahwa akibatnya akan menjadi begini. Akan tetapi, sungguh
kebetulan sekali kalau ji - wi hendak menghadap sri baginda kaisar. Selama beberapa hari ini,
semenjak terjadi pertem-puran secara terbuka dengan pasukan pemerintah, saya memikirkan dan
mencari jalan bagaimana ca-ranya agar kesalahpahaman antara kami dengan kaisar tidak sampai
berlarut-larut. Ji-wi telah beberapa lama mengikuti gerakan kami dari de-kat, bahkan membantu
kami menghadapi pasukan asing. Maka kami percaya bahwa ji - wi tentu akan dapat
melaporkan secara sejujurnya kepada sri baginda kaisar apa yang sebenarnya telah terjadi dan
bagaimana sesungguhnya kedudukan kami."
"Tentu saja, Liu - bengcu. Kami berdua kakak beradik tentu akan berusaha
menjernihkan suasana yang tidak enak ini !" kata Chu Seng Kun dengan suara pasti.
Melihat kedua orang kakak beradik itu berpa-mit, tiba-tiba A-hai yang sejak tadi
memandang kepada Bwee Hong lalu berkata, "Akupun akan pergi. Kalau kalian boleh, aku akan
ikut pergi. Aku sungguh tidak betah berada di sini. Aku membenci pertempuran, membenci bunuh -
membunuh yang kejam itu!" Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong tentu saja tidak dapat menolak permintaan pemuda
sinting itu. Apa lagi karena pemuda itu dengan mati-mati-an telah menyelamatkan
Bwee Hong ketika dara itu berada dalam tangan Tiat - siang - kwi, tokoh ke dua dari Ban -
kwi - to. Di samping itu, kakak beradik yang menjadi ahli waris Bu-eng Sin-yok ong ini memang
merasa tertarik akan keadaan A-hai dan kalau mungkin mereka ingin mencoba kepandaian
mereka dalam hal pengobatan untuk memeriksa dan menyembuhkan pemuda aneh itu.
"Tentu saja engkau boleh ikut bersama kami, saudara A - hai," jawab Seng Kun
dengan ramah. "Kebetulan sekali sayapun mempunyai keinginan yang sama, Liu - bengcu,"
tiba - tiba Kwa Siok Eng berkata. "Saya harus segera pulang dan melapor-kan semua pengalaman
saya kepada ayah dan ibu, terutama sekali, tentang penyelewengan kakakku dan juga tentang
hasil perjalanan saya. Karena itu, sayapun berpamit untuk mengundurkan diri."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Liu Pang menarik napas panjang. Kemudian dia menengadah dan seolah - olah
berkata kepada diri sendiri, "Betapa gembira berusia muda bebas dari segala ikatan,
bebas lepas seperti burung di udara, ke manapun hendak pergi tidak ada yang melarang, tidak ada
ikatan yang membelenggu kaki tangan. Akan tetapi, ahhh
setelah terbelenggu oleh ikatan yang
demikian kuat ini, yang telah menjadi tugas yang mendarah daging, mana mung-kin
aku mengikuti jejak orang - orang muda yang bebas lepas ?"
Biarpun tidak secara berterang, namun pemim-pin para pendekar itu mengeluhi
nasib sendiri dan agaknya iri hati melihat orang-orang, muda itu. Seng Kun melihat bahwa
sebenarnya keadaan dirinya tidaklah jauh bedanya dengan pemimpin ini karena bukanlah dia sendiri
juga terikat oleh tugas yang diberikan oleh kaisar kepadanya " Mende-ngar keluhan gurunya itu, Pek
Lian yang wataknya polos dan tidak suka menyembunyikan perasaan-nya itu berkata, "Akan
tetapi, suhu. Apa artinya hidup ini kalau tidak ada tugas - tugas yang meng-ikat kita "
Bukankah kegembiraan terasa apa bila kita berhasil melaksanakan tugas kita " Hidup akan kosong tanpa
ikatan, dan untuk ikatan itu kita ber-juang dalam hidup!"
Gurunya tersenyum dan menggeleng kepala. "Nona Ho, engkau masih terlalu muda
untuk dapat mengerti tentang ikatan - ikatan dalam kehidupan."
"Maaf, suhu. Akan tetapi saya kira suhupun masih muda, atau belum terlalu tua
untuk meng-anggap saya masih terlalu muda !" bantah nona itu.
Liu Pang tersenyum lebar dan wajahnya ber-seri. Begitu dia tersenyum lebar,
nampaklah bah-wa tokoh ini memang belum tua benar. Usianya memang baru tigapuluh enam
tahun, akan tetapi perjuangan dengan segala kepahitannya menggem-blengnya lahir batin
sehingga dia nampak jauh lebih tua dari pada usianya.
"Muridku, tua muda atau matang mentahnya seseorang tidak selalu ditentukan oleh
usianya. Akan tetapi memang apa yang kaukatakan tadi ada benarnya. Di dalam setiap ikatan
memang terdapat kesenangan, kalau tidak begitu, tidak nanti ia mengikat! Akan tetapi
yang kita lupakan adalah bahwa setiap kesenangan selalu dibayangi oleh saudara kembarnya, yakni
kesusahan. Dan celaka-nya, antara dua saudara kembar ini, Duka lebih banyak muncul dalam batin
manusia dibandingkan dengan Suka!"
"Maaf, Liu - bengcu. Saya pernah mendengar wejangan ayah bahwa Suka - Duka itu
sesungguh-nya tidak ada. Dalam setiap benda, setiap peristiwa, tidak terdapat
.suka atau duka itu- Mereka ini baru muncul apa bila pikiran kita membuat ban-dingan - bandingan
dan penilaian." Liu - bengcu mengangguk - angguk. "Ayah ji-wi adalah Bu Hong Sengjin dan saya
pernah men-dengar bahwa ayah ji - wi itu selain memiliki ke-pandaian silat yang tinggi,
juga amat bijaksana. Tidak keliru sama sekali wejangan beliau itu. Memang suka atau duka
timbul karena pikiran kita sendiri yang menilai berdasarkan untung rugi bagi diri pribadi.
Yang menguntungkan menimbulkan suka dan yang merugikan menimbulkan, duka. Kita semua terseret oleh
dualitas ini." "Akan tetapi, locianpwe," kata Siok Eng yang juga tertarik mendengar percakapan
itu. "Bukan-kah itu sudah menjadi watak manusia pada umum-nya " Kita semua
menghendaki untung dan senang, siapakah manusianya menghendaki rugi dan susah?"
Liu Pang mengangguk - angguk. "Pernyataan yang amat jujur dan aku memang
mendengar bah-wa Tai - bong - pai mengutamakan kejujuran dan kepolosan walaupun kadang -
kadang diikuti oleh tindakan yang nampaknya sadis dan kejam. Memang, umum menganggapnya
demikian. Akan teta-pi, apakah umum harus selalu benar " Umum con-dong untuk
ikut-ikutan, untuk mengekor dan agak-nya tidak memperdulikan lagi tentang benar atau salah.
Kita melihat bahwa kita terbelenggu, namun kita tidak berani membebaskan diri dari pada
belenggu ini. Aihh, betapa lemahnya kita manusia ini!" Kembali pemimpin ini menarik napas pan-jang-
Hening sejenak dan percakapan yang menyim-pang ke soal kehidupan yang ruwet
itupun macet. Menggunakan kesempatan ini, Siok Eng berkata, "Saya pamit sekarang,
locianpwe dan banyak teri-ma kasih atas kebaikan semua kawan kepadaku sewaktu kita berkumpul."
Dara itu bangkit dan pada saat itu. Seng Kun juga ikut bangkit dan menjura.
"Nona Kwa aku ingin bicara sedikit " Puteri Tai - bong - pai itu memandang dengan sinar mata berseri dan ia memandang
wajah pemuda tampan dan gagah itu dengan lembut. "Silahkan, in-kong."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Pada waktu ini, keadaan negara sedang dalam suasana kacau dan di mana - mana
terjadi pertenr tangan sehingga tidak aman. Biarpun nona memi-liki kepandaian tinggi,
akan tetapi sebagai seorang wanita muda, melakukan perjalanan sendirian saja tentu akan
memancing datangnya banyak sekali halangan dan bahaya. Hatiku merasa tidak enak dan
khawatir sekali membayangkan engkau mela-kukan perjalanan seorang diri."
Sejak pemuda itu bicara, sepasang mata Siok Eng yang indah tajam itu menatap
tanpa pernah berkejap dan mata itu kini berseri, sepasang pipinya berobah agak
kemerahan dan jantungnya berdegup kencang. Hatinya merasa senang sekali melihat kenyataan
bahwa pemuda yang diam - diam dipu-janya di dalam hati semenjak ia merasa berhutang nyawa dan
budi itu begitu memperhatikan kesela-matan dan keadaannya.
"Sungguh in-kong amat baik hati dan aku berterima kasih sekali atas perhatianmu.


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi, aku dapat menjaga diri dalam perjalanan, maka harap in-kong tidak merasa
khawatir" "Aku mengerti, nona... tapi bolehkah aku mengajukan suatu permintaan kepadamu ?"
Mendengar pertanyaan ini, hati Siok Eng me-rasa tergerak dan terharu. Sejak
kecil ia hidup di antara lingkungan orang - orang sesat yang hampir tidak mempunyai kepekaan
atau kehalusan pera-saan lagi. Akan tetapi sejak ia diobati di rumah keluarga Bu, terjadilah
perobahan di dalam batin nya. "Aihh, in - kong, mengapa bertanya begitu " Harap in - kong tidak ragu-ragu
untuk mengatakan apa yang menjadi keinginan hatimu. In - kong tentu mengerti betapa
besar rasa terima kasih kami sekeluarga terhadap in - kong sekeluarga. Bu-locianpwe suami
isteri telah tewas karena aku. Sekarang, mengapa in - kong masih sungkan kepa-daku " Nah, katakan
saja, apapun permintaanmu, akan kulaksanakan. Biar nyawaku sekalipun akan kuserahkan kalau in
- kong minta !" Semua orang yang mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara bening, lembut
dan pe-nuh getaran perasaan itu, menjadi tertegun dan juga terharu. Mereka ini telah
tahu bahwa gadis remaja itu adalah puteri ketua Tai - bong - pai, sebuah perkumpulan yang
terkenal sebagai per-kumpulan iblis yang dianggap sesat oleh dunia kang - ouw. Akan tetapi, gadis
ini yang menjadi satu di antara tokoh - tokoh utama Tai - bong - pai ternyata dapat
bersikap demikian lembut, menge-nal budi dan amat perasa !
"Karena hatiku akan selalu merasa khawatir kalau engkau melakukan perjalanan
seorang diri dalam suasana yang sedang kemelut ini, maka aku minta sukalah engkau melakukan
perjalanan bersa-ma kami lebih dulu ke kota raja. Kalau urusan kami sudah selesai di kota
raja, aku akan mengan-tarkanmu pulang sampai ke tempat tinggalmu, nona. Tentu saja kalau engkau
tidak menaruh keberatan." Keberatan " Hampir saja Siok Eng bersorak dan menari saking girangnya. Kalau ada
suatu hal yang amat diinginkan di dunia ini pada saat itu adalah berdekatan dengan Chu
Seng Kun, melaku-kan perjalanan dengan pemuda ini dan kalau boleh jangan lagi sampai
saling berpisah lagi. "Terima kasih, in-kong. Tentu saja saya merasa terhormat dan suka sekali
untuk dapat melakukan perjalanan bersama dengan in - kong dan teman-teman lainnya."
Maka berangkatlah empat orang muda itu, Seng Kun, Bwee Hong, A-hai dan Siok Eng,
mening-galkan bala tentara yang dipimpin oleh Liu Pang dan yang sedang
menghadapi ancaman penyerbuan pasukan pemerintah itu. Mereka menunggang em-pat ekor kuda pemberian
Liu Pang dan membalap-kan tunggangan mereka itu menuju ke kota raja.
**** Yang merasa paling sedih oleh kepergian empat orang muda itu adalah Pek Lian.
Baru saja ia kematian ayahnya dan kini ia ditinggalkan kawan-kawan baiknya dengan siapa ia
telah mengalami banyak hal-hal yang mengesankan. Bersama-sama lolos dari cengkeraman
maut dan terutama sekali yang membuat hatinya terasa amat tidak enak ada-lah karena ia
harus berpisah dari A - hai dalam keadaan seperti itu! Ia melihat betapa pemuda sinting itu
amat akrab dengan Bwee Hong dan kalau dahulu A - hai kelihatan amat jinak kepada-nya, bahkan tidak
pernah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
melupakan namanya, kini pemuda itu kelihatan begitu jinak dari dekat dengan Bwee
Hong. Bahkan pemuda itu ikut pula bersama Bwee Hong dan kakaknya pergi ke kota raja.
Setelah empat orang muda itu berangkat, Pek Lian lari memasuki kamarnya dan
iapun menjatuhkan diri di atas pembaringan kamarnya dan me-nahan tangisnya. Hanya air
matanya yang mem-basahi pipi. Ia merasa begitu kesepian, merasa ditinggalkan dan
nelangsa. Terutama sekali yang membuat hatinya amat menderita adalah bayangan A - hai yang
kelihatan begitu mesra terhadap Bwee Hong. Ia tahu bahwa sikap Bwee Hong yang ma-nis dan baik
terhadap A- hai adalah karena gadis itu berterima kasih dan terharu melihat betapa A-hai
membela dan menyelamatkannya sehingga gadis itu merasa berhutang budi dan bersama ka-kaknya
bermaksud untuk mencoba mengobati dan menyembuhkan A - hai. Akan tetapi, ia dapat menduga
pula bahwa A - hai yang hanya mengan-dalkan perasaan dan nalurinya, agaknya jatuh
cinta kepada gadis cantik jelita itu. Mengapa aku harus merasa tidak senang karena mereka begitu akrab " Mengapa aku
seperti geli-sah kalau - kalau mereka saling mencinta" Mengapa begini " Pek Lian tidak
mau, bahkan tidak berani mengaku dalam hatinya sendiri bahwa ia telah ja-tuh cinta kepada A - hai,
pemuda sinting itu ! Akan tetapi, perasaannya yang tidak enak ketika melihat A - hai pergi
bersama Bwee Hong, adalah perasaan cemburu !
Sementara itu, pertempuran berhenti ketika ba-la tentara pemerintah yang
dipimpin oleh Jenderal Lai itu menarik pasukannya mundur ke dalam kota
Cin - an. Liu Pang mempergunakan kesempatan ini untuk menyusun kembali sisa
pasukannya dan berunding dengan para pembantunya. Tentu saja Pek Lian hadir pula
dalam perundingan ini dan Liu Pang lalu mengatur siasat, merencanakan ge rakan mereka
selanjutnya. Kebetulan sekali, pa-sukan kecil yang dipimpin oleh Hek - coa Ouw Kui Lam juga
sudah tiba dan pasukan ini menggabung-kan diri dengan pasukan induk. Seperti kita keta-hui, Hek
- coa Ouw Kui Lam ini adalah seorang di antara empat Huang - ho Su - hiap, yaitu guru-guru
dari Pek Lian. Di amtara Empat Pendekar Huang-ho itu, hanya tinggal dia sendiri yang masih hidup.
Tiga lainnya, yaitu Kim - sui - poa Tan Sun, Pek-bin - houw Liem Tat dan Sin-kauw Song Tek
Kwan telah gugur semua. Hek - coa Ouw Kui Lam juga ikut duduk dalam perundingan itu.
"Pemerintah agaknya telah benar - benar meng-anggap kita sebagai musuh," antara
lain Liu Pang mengemukakan pendapatnya. "Karena itu, kitapun harus memperkuat diri, dan
kurasa sebaiknya kalau kita menuju ke barat dan menyatukan diri dengan kawan - kawan
yang berpencaran menjadi pasukan-pasukan yang berpisah - pisah. Sambil melakukan
perjalanan mengumpulkan teman-teman dan memperkuat barisan, kita melakukan pembersihan di
sepanjang jalan. Kita gempur pasukan-pasukan asing yang membantu penguasa - penguasa
daerah yang memberontak, dan kita basmi pula para pembesar yang bersekongkol dengan pasukan
- pasukan asing, pengkhianat-pengkhianat penjual negara dan bangsa itu !"
Demikianlah, Liu Pangj memimpin pasukannya dan mulailah dia melakukan "long
march" yang panjang dan bersejarah itu. Di sepanjang perjalan-an, pasukannya makin
bertambah karena rakyat jelata bersimpati dengan perjuangannya. Dan ka-rena Liu Pang juga lahir
dari keluarga petani dan sudah terbiasa hidup di antara petani, maka dia pandai bergaul dengan
anak buahnya dan dikenal sebagai seorang pemimpin yang gagah perkasa juga menyenangkan hati
semua anak buahnya. Bukan hanya rakyat jelata, kaum tani yang bergabung dengan pasukannya,
keluarga dari mereka yang tewas karena kerja paksa yang diperintahkan kaisar melalui kaki
tangannya, akan tetapi juga banyak perajurit - perajurit yang lari menyeberang karena
mereka tidak suka diharuskan bekerja sama dengan pasukan asing oleh para komandan mereka. Liu Pang
tidak pernah mengampuni pembesar-pembe-sar yang bersekongkol dengan pasukan asing.
Setiap dusun dan kota di mana terdapat pasukan asing-nya tentu digempur dan tempat-
tempat itu didu- duki, akan tetapi kota yang pembesamya masih setia kepada pemerintah, dilewati
saja dan tidak diganggu. Akhirnya pasukan itu berhenti di lembah Sungai Huang-ho, tak jauh dari kota
besar Lok- yang yang merupakan kota ke dua besarnya setelah Tiang - an yang menjadi ibu
kota atau kota raja di mana kaisar tinggal.
Liu Pang membentuk benteng pertahanan di lembah ini dan mengajak kawan -
kawannya untuk berunding lagi. Biarpun dia seorang pemimpin dengan kekuasaan penuh dan
semua KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
anggauta pasukan itu taat kepadanya, namun Liu Pang selalu mengajak para
pimpinan atau pembantunya untuk bermusyawarah setiap kali menghadapi hal-hal penting, tidak
mengambil keputusan sendiri begitu saja. Inilah merupakan satu di antara kebi-jaksanaan
Liu Pang yang jarang dimiliki oleh para penguasa. Biasanya, kalau orang sudah duduk di kursi
tertinggi, lalu menjadi lupa akan pendapat orang - orang lain dan menganggap bahwa pendapatnya
sendirilah yang paling benar. "Chu Siang Yu telah bergerak maju dan pasu-kannya telah merebut beberapa kota
besar di dae-rah barat dan utara. Agaknya bala tentara peme-rintah tidak berdaya menahan
arus serangannya. Hal ini terjadi karena di dalam tubuh pemerintah sendiri terjadi
kekacauan dan membuat kekuatan menjadi terpecah-belah. Suasana seperti ini mem-buat daerah -
daerah menjadi tidak puas dan ba-nyak daerah mengambil sikap memberontak dan ingin
memisahkan diri dari pusat. Adalah menjadi tugas kita sebagai pendekar-pendekar dan patriot-
patriot untuk berjuang agar keadaan seperti ini jangan sampai berlarut - larut dan kita harus
me-nyelamatkan negara dan bangsa agar tinggal. utuh dan kuat."
"Benar sekali ucapan itu !" Tiba - tiba Hek-coa Ouw Kui Lam yang tinggi besar
dan bermuka hitam itu berseru dengan suara yang lantang. "Biarlah para pembesar istana
menganggap kita pemberontak, biarlah kaisar salah kira dan mencap kita pemberontak, perduli
amat! Keadaan negara dan bangsa terancam bahaya perpecahan, dan ter-ancam penjajahan pasukan-
pasukan asing. Kita harus bergerak, tak mungkin tinggal diam saja. Kita basmi pasukan -
pasukan asing yang berkeli-aran di sini. Kita hajar daerah - daerah yang mem-berontak dan kita
persatukan lagi negara ini agar kuat seperti dahulu lagi!"
Mendengar kata-kata yang penuh semangat ini, yang lain-lain bertepuk tangan dan
menyatakan persetujuan mereka. "Kami semua mentaati perintah Liu-bengcu !"
demikianlah teriakan-te-riakan mereka.
Liu Pang mengangguk - angguk dan mengang-kat tangan menyuruh mereka tenang.
"Tugas kita masih banyak dan bukan ringan. Kalian semua harus selalu ingat bahwa kita
adalah pasukan rak-yat, kita datang dari rakyat, oleh karena itu, aku melarang siapapun juga
mengganggu rakyat di sepanjang perjalanan. Rakyat jelata, kaum tani, adalah sekutu kita. Tanpa
dukungan mereka kita akan lemah dan jatuh. Maka, siapa berani meng-ganggu rakyat di sepanjang
perjalanan, merampok, menyerang apa lagi membunuh atau melarikan wanita, akan dihukum mati
dan mungkin tangan-ku sendiri yang akan melaksanakan hukuman itu !"
Suara pemimpin ini terdengar begitu penuh wi-bawa dan semua orang menjadi
gentar. "Liu- beng-cu, jangan khawatir. Kita sendiri juga datang dari rakyat, mana mungkin
kita akan mengganggu mereka " Kalau ada yang berani melanggar pantangan itu, kami kira
bengcu tidak perlu turun tangan karena teman - teman yang lain tentu akan turun tangan
mencegah atau menghukumnya !" demikian seorang di antara mereka berkata.
"Kita sekarang berada di dekat Lok - yang. Kita tidak tahu bagaimana keadaan
kota ini, bagaimana sikap para pembesar di Lok - yang. Kita tidak bo-leh bertindak
sembrono dan nanti setelah kita mengenal benar keadaan kota itu, barulah kita berunding lagi untuk
mengatur siasat bagaimana harus mengambil tindakan. Biarkan pasukan ber-istirahat dan menyusun
kekuatan di sini. Aku sen-diri bersama muridku, nona Ho Pek Lian, akan memasuki kota dan
melakukan penyelidikan. Se-barkan beberapa orang kawan yang cukup tinggi ilmunya untuk
menyusup ke kota melakukan pe-nyelidikan pula. Akan tetapi ingat, mereka yang diselundupkan
harus berani

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanggung jawab dan memilih mati dari pada membuka rahasia kita kepada musuh."
Setelah berunding dan mengatur siasat, Liu Pang bersama Pek Lian lalu berangkat
untuk ber-tugas sebagai mata - mata di kota Lok - yang. Liu Pang menyamar sebagai
seorang petani dan murid-nya juga. Rambut pemimpin yang hitam lebat itu kini berobah putih, juga
mukanya berkeriputan walaupun badannya nampak sehat dan terbakar matahari, seperti
seorang kakek petani yang biasa bekerja berat di tempat terbuka. Pek Lian juga melumuri muka,
leher dan bagian kulit tubuhnya yang nampak dengan ramuan yang membuat kulit yang putih
mulus itu menjadi kehitaman. Alisnya yang indah bentuknya itu dibikin tebal, bibirnya yang
kecil dan merah basah itu digosok ramuan yang membuat bibirnya menjadi kasar dan agak kebiruan.
Ia berobah sebagai seorang gadis dusun yang lugu dan tidak mengenal cara berias. Ram-butnya
juga agak kasar dan kotor, digelung seder-hana seperti gelung gadis dusun.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Setelah menyamar dengan baik, keduanya be-rangkat pada senja hari itu memasuki
kota Lok-yang. Kota ini ramai dan kelihatan sibuk sekali, kesibukan yang agaknya
tidak wajar karena banyak nampak perajurit berkeliaran. Banyak pula peng-ungsi-pengungsi yang
mengaso di emper- emper to-ko, yakni mereka yang datang dari luar kota karena takut akan berita
perang yang terjadi. Pasukan-pa-sukan penjaga berkeliling dan meronda dengan muka bengis dan
mata tajam menyelidik. Akan tetapi, penyamaran Liu Pang dan Pek Lian amat sempurna sehingga
tidak ada seorangpun yang ter-tarik kepada kakek dusun dan gadisnya ini.
Ketika mereka sedang berjalan di tepi jalan raya, mereka berpapasan dengan
seregu perajurit yang terdiri dari belasan orang. Akan tetapi pasu-kan kecil ini tidak
berjalan dalam bentuk barisan, melainkan berjalan dengan kacau dan di antara mereka bahkan ada yang
jalannya terhuyung - hu-yung karena mabok. Tentu pasukan ini sedang bebas tugas dan
menghibur diri di kota. Juga tidak nampak seorangpu
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** ndipe-ngaruhi arak. "Heh-heh, manis, mari ikut dengan kami. Tanggung engkau akan kenyang lahir
batin, heh- heh - heh!" seorang di antara mereka berkata, dan tangannya menyambar ke arah
buah dada Pek Lian. Gadis ini miringkan tubuhnya, dengan gerakan biasa saja bukan gerakan ahli
silat, seperti seorang gadis yang ketakutan. Ia membiarkan ta-ngan itu mengenai lengannya, akan
tetapi perajurit mabok itu begitu menyentuh lengan yang gempal dan lunak lalu mencubit.
"Aduhh !" Pek Lian menjerit tanpa mengerahkan tenaga dan cepat melangkah mundur
"Ha- ha, kakek dusun. Berapa kau mau jual anak gadismu ini " Jual saja kepada kami
untuk semalam ini. Kami sudah bosan dilayani pelacur-pelacur !"
"Benar, aku ingin tidur dengan gadis dusun yang sehat ini!"
Pek Lian sudah mengepal tinju dan akan meng-amuk, akan tetapi lengannya dipegang
oleh Liu Pang yang segera berkata sambil menarik muridnya, "Saudara - saudara harap
jangan mengganggu kami. Gadisku ini sudah dipesan oleh Coa-ciangkun dan kalau kalian
mengganggu, tentu akan kami lapor-kan !"
Tentu saja Liu Pang hanya ngawur menyebut Coa - ciangkun. Akan tetapi agaknya
ngawurnya itu kebetulan karena para perajurit itu terkejut, saling pandang, lalu
seorang di antara mereka yang tidak mabok berkata, "Paman, harap jangan marah. Kami tidak tahu
bahwa nona ini adalah pesanan Coa - ciangkun. Nah, nona, kami ucapkan selamat, yang baik - baik
saja melayani Coa - ciangkun yang perutnya gendut itu !" Mereka lalu pergi sambil tertawa -
tawa dan wajah Pek Lian masih merah sekali karena marah. Akan tetapi suhunya sudah mengajaknya
melanjutkan perjalanan sambil me-nyumpah - nyumpah perlahan.
Guru dan murid ini memasuki sebuah kedai makan yang sederhana akan tetapi cukup
luas dan mempunyai meja kursi yang dapat menampung sedikitnya tigapuluh orang. Tempat
itu ramai dan terdapat beberapa orang perajurit yang sedang bercakap - cakap. Liu Pang
mengajak muridnya duduk agak jauh dari para perajurit itu, dan Pek Lian sengaja duduk
menghadap ke arah mereka dan agar mukanya yang di tengah jalan tadi sudah lebih diperjelek lagi
nampak oleh mereka dan melenyapkan selera mereka untuk menggoda. Se-telah memesan bakmi dan
beberapa masakan se-derhana lainnya berikut minuman teh, Liu Pang memperhatikan
percakapan para perajurit itu. Mereka bercerita tentang jatuhnya beberapa kota dan dusun ke
tangan pasukan Liu Pang yang kuat. Mereka bercerita pula tentang pasukan pemberon-tak Chu Siang Yu
dari arah barat dan utara. "Eh, Lo Ciang, kaupikir mana yang lebih kuat antara pasukan Liu Pang dan pasukan
Chu Siang Yu itu ?" seorang di antara mereka bertanya kepa-da rekannya yang berkumis
panjang dan yang lebih tua, juga agaknya si kumis ini yang lebih mengerti keadaan karena
dialah yang bercerita dengan ber-semangat, terdorong oleh arak yang sudah banyak diminumnya.
Yang ditanya menggeleng - geleng kepala lalu mengerutkan alis seperti orang
berpikir dalam-da-lam, lalu berkata, "Sukar dikatakan siapa lebih kuat. Chu Siang Yu
adalah keturunan jenderal, di samping ahli silat pandai, juga dia pandai sekali dalam hal ilmu
perang. Pasukan - pasukannya amat kuat dan terlatih. Sedangkan Liu Pang yang dise-but Liu - bengcu
itu biar amat lihai ilmu silatnya akan tetapi dia bukan ahli mengatur barisan. Bi-arpun
demikian, dia seorang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pendekar gagah per-kasa, dan pergerakannya memperoleh dukungan para pendekar dan
juga rakyat jelata, maka diapun amat kuat dan sama sekali tidak boleh dipandang
ringan." "Ah, ceritamu menakutkan, Lo Ciang. Lalu, apakah kaupikir pasukan-pasukan
pemerintah tidak akan mampu membasmi mereka itu ?"
Si kumis menghela napas panjang.. "Sukar se-
kali ! Kekuatan bala tentara kita hanya pasu-
kan yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian seorang
dan hanya pasukan itu yang dapat diandalkan.
Pasukan-pasukan daerah tak dapat diharapkan
lagi karena banyak daerah yang merasa tidak puas
dan ada gejala - gejala hendak memberontak sen-
diri. Lihat saja adanya pasukan - pasukan asing
dan liar itu " "Sssttt... , Lo Ciang. Jangan sembarangan engkau bicara. Hati - hatilah. Kau
lihat, kepala daerah kita sendiri menerima kedatangan pimpin-an pasukan asing beberapa hari
yang lalu. Siapa tahu di antara mereka ada yang berada di sini ?"
"Takut apa " Komandan kita sendiri, Gui-ciang-kun, juga tidak suka dengan adanya
pasukan asing itu. Kemarin hampir saja Gui-ciang(kun atasan kita itu bentrok dengan
Bouw-ciangkun, karena urusan pasukan asing itu, ketika diadakan rapat para pim-pinan kota.
Kebetulan aku bertugas mengawal Gui - ciangkun ke pertemuan itu."
Pada saat itu, nampak empat orang perajurit memasuki kedai dan mereka langsung
menuju ke meja di mana duduk empat orang perajurit rekan mereka tadi. Empat orang
pendatang baru ini nampak loyo dan seorang di antara mereka terbalut lengannya. Mereka lalu duduk
di atas bangku- bangku yang disediakan oleh para pelayan dan delapan orang perajurit itu duduk
menghadapi meja."Eh, engkau kenapa ?" tanya si kumis melihat betapa empat orang rekannya
itu kelihatan lelah, bahkan ada pula yang mukanya benjol-benjol be-kas pukulan.
"Kami baru saja bentrok dengan pasukan Bouw-ciangkun yang dibantu oleh beberapa
orang pasu-kan asing itu. Pasukan asing itu ternyata pandai main banting sehingga kami
mengalami banyak kerugian." "Keparat ! Orang-orang liar itu semakin berani saja, berani menyerang perajurit
tuan rumah!" Seorang di antara mereka berseru marah.
"Kenapa kalian sampai bentrok dengan pasukan Bouw-ciangkun ?" Si kumis bertanya
dan agak-nya dia merupakan anggauta pasukan yang tertua di antara mereka dan paling
dihormati. "Siapa tidak marah " Tadinya keributan terjadi hanya soal perebutan pelacur, hal
yang biasa saja. Akan tetapi mereka berani mengatakan bahwa pa-sukan kita katanya akan
dilucuti dan dipenjarakan karena Gui-ciangkun kita berani menentang ke-hendak kepala daerah
dan tiga komandan lainnya. Bahkan katanya, Gui - ciangkun akan dihukum mati karena beliau
berani menyarankan agar kita semua mendekati Liu - bengcu dengan jalan damai dan
bersahabat. Huh, mereka sungguh menghina. Jumlah kita ada seribu orang, masa akan begitu mudah
saja dilucuti dan dipenjarakan ?" "Mereka sombong dan membual !" kata yang lain-lain.
Akan tetapi si kumis mengerutkan alisnya. "Belum tentu kalau ancaman mereka itu
hanya bu-al kosong saja. Dalam keadaan seperti sekarang ini, apapun dapat saja
terjadi. Kita harus waspada dan siapa tahu komandan kita dalam bahaya. Bagai-manapun juga, jumlah
mereka semua itu kalau digabung ada empat lima kali lipat dari pada ke-kuatan pasukan
kita, dan masih ada pasukan liar yang membantu. Sebaiknya kita lekas kembali ke markas dan
melaporkan kepada Gui - ciangkun !" Setelah membayar harga makanan, delapan orang perajurit itu lalu meninggalkan
kedai. Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar kedai, mereka berpapasan dengan
duabelas orang perajurit yang melihat seragam mereka agak kuning tentu bukan rekan - rekan dari
delapan orang perajurit pertama. Dan mereka berhadapan di depan kedai dengan sikap tegang.
Ternyata duabelas orang perajurit itu adalah anak buah pasukan Bouw - ciangkun !
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Karena, kedua rombongan yang sudah saling mendendam ini berpapasan tepat di
depan pintu, maka bentrokan agaknya tak dapat dihindarkan lagi.
"Minggir kalian ! Kami hendak masuk !" bentak seorang di antara duabelas orang
perajurit seragam kuning itu. "Kalian yang minggir dan biarkan kami keluar dulu !" bentak seorang di antara
kelompok perajurit si kumis yang seragamnya agak biru,
"Nona Ho, engkau duduk saja di sini. Agaknya mereka akan berkelahi dan aku akan
membantu anak buah Gui - ciangkun," bisik Liu Pang kepada muridnya dan Pek Lian
mengangguk. Tentu saja gurunya ingin membantu anak buah Gui-ciangkun dan menentang pasukan -
pasukan yang bersekong-kol dengan pasukan asing itu.
Perang mulut segera disusul perkelahian. Dua-belas orang itu mencabut senjata
dan hal ini me-ngejutkan delapan orang perajurit anak buah Gui-ciangkun. Biasanya,
perkelahian antara perajurit hanya menggunakan tangan kosong sehingga tidak sampai membunuh lawan.
Akan tetapi agaknya duabelas orang anak buah Bouw - ciangkun ini sudah begitu nekat
sehingga begitu menyerang mereka menggunakan senjata tajam. Tentu saja merekapun segera mencabut
golok masing - masing dan ributlah di depan kedai itu. Para tamu yang makan minum di
dalam kedai menjadi seriba salah dan panik. Mau keluar, di depan justeru menjadi medan
perkelahian. Maka mereka semua ber-bondong-bondong lari ke belakang, hendak mela-rikan diri dari
pintu belakang dan karena pintu belakang itu kecil sekali, melalui lorong kecil, mereka
berebutan, berhimpitan sehingga keadaan di dalam kedai itu tidak kalah kacaunya dengan keadaan di luar.
Delapan orang perajurit anak buah Gui-ciang-kun itu pasti akan celaka karena
mereka kalah banyak, kalau saja tidak ada uluran tangan secara diam - diam oleh Liu Pang.
Dengan menggunakan segenggam kacang goreng, Liu Pang membantu mereka. Tanpa diketahui
orang, berjejal di antara mereka yang berani nonton perkelahian di luar kedai, Liu Pang
menggunakan jari-jari tangannya untuk menyentil kacang - kacang itu ke arah para anak buah
Bouw - ciangkun.

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarpun hanya sebu-tir kacang goreng, akan tetapi kalau meluncur de-ngan amat
cepatnya dan menyambar mata, hidung, pipi atau mulut, sama nyerinya dengan kalau di-sambit
dengan batu. Dalam keadaan kesakitan itu, mudah bagi anak buah Gui - ciangkun untuk membabat
dan merobohkan mereka dengan golok. Akhirnya, duabelas orang itu roboh semua,
terluka oleh bacokan-bacokan golok anak buah Gui-ciangkun, bahkan di antaranya ada yang tewas
! Melihat akibat perkelahian itu, si kumis menjadi khawatir sekali. "Hayo kita cepat
kembali ke mar-kas melapor kepada ciangkun !" katanya dan de-lapan orang itupun berlari-larian
menuju ke mar-kas mereka. Liu Pang mengajak muridnya untuk pergi membayangi setelah membayar harga makanan
kepada pengurus kedai yang sudah pucat dan menggigil ketakutan itu. Akan tetapi,
dasar peda- gang, biarpun di depan kedainya terjadi perkelahi-an dan kini ada duabelas orang
mandi darah menggeletak di situ, dia tidak pernah salah meng-hitung harga makanan dan
minuman, dan biarpun tangannya menggigil, sigap saja dia menerima pembayaran !
Akan tetapi, sebelum delapan orang itu tiba di markas mereka, di tengah jalan
mereka disusul serombongan perajurit berkuda, anak buah pasu-kan Bouw - ciangkun yang
sudah mendengar akan terjadinya perkelahian di depan kedai makanan itu. "Itu dia !
Mereka pembunuh kawan - kawan kita di depan kedai itu. Tangkap mereka! Lucuti sen-jata mereka
sekarang. Bunuh! Mereka agaknya hendak memberontak !"
Delapan orang itu melawan, akan tetapi belasan orang perajurit berkuda itu
dibantu oleh tiga orang perajurit asing dan terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Liu
Pang tidak dapat membantu secara menggelap seperti tadi karena mereka ber-ada di tempat terbuka.
Pula, bagi pemimpin ini, ada hal - hal yang jauh lebih penting lagi untuk dilaksanakan dari
pada hanya menyelamatkan nya-wa delapan orang perajurit itu. Menolong mereka secara
berterang berarti membuka penyamarannya dan hal ini amat merugikan bagi tugasnya.
"Nona, engkau cepat kembali ke pasukan kita. Katakan kepada gurumu Hek - coa Ouw
Kui Lam itu dan para saudara lain bahwa aku memerintah, kan agar mereka mengatur
pasukan untuk mengurung kota ini. Besok pagi - pagi sebelum matahari terbit, pasukan kita
harus sudah berada di luar benteng. Kita hancurkan pasukan asing dan pasu-kan pengkhianat di kota
ini!" "Suhu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sendiri bagaimana ?" "Aku akan metoemui Gui - ciangkun dan me-nyelamatkan sisa
pasukannya, setidaknya sampai besok pagi. Kalau aku berhasil menggerakkan hati Gui -
ciangkun, maka kita dapat menggempur kota dari luar dan dalam. Pasukan yang seribu orang kekuatannya
bukan main - main, kalau pandai menggunakan dapat berguna sekali." "Baiklah, suhu."
"Seperti biasa, aku akan melepas panah api hi-jau sebagai tanda penyerbuan !"
Pek Lian lalu menyelinap pergi dan cepat me-ninggalkan kota, kembali ke
pasukannya. Semen-tara itu, Liu Pang membalik dan melihat betapa delapan orang perajurit
anak buah Gui - ciangkun itu dibantai habis oleh pasukan berkuda yang di-bantu oleh tiga orang
asing tinggi besar yang kalau dia tidak salah duga tentulah orang - orang liar dari luar Tembok
Besar, dari daerah Mongol. Liu Pang segera meninggalkan tempat itu dan seorang diri dia mencari benteng
pasukan yang dipimpin oleh Gui - ciangkun. Tidak sukar baginya untuk mencarinya karena
setiap orang tahu belaka di mana adanya bentengi kecil itu. Sebuah barak pasukan yang
dikelilingi oleh parit yang lebar dan dalam. Terdapat sebuah pintu gerbang besar dan yang menghubungkan
pintu besar itu dengan se-berang parit adalah sebuah jembatan gantung dari besi
Liu Pang mempergunakan ilmunya untuk men-dekati parit, menyelinap ke tempat
gelap dan mempelajari keadaan benteng itu. Dari luar sudah nampak kesibukan di dalam
benteng. Jembatan gantung terangkat ke atas dan agaknya di setiap
penjuru terjaga ketat. Banyak pula yang mondar-mandir dengan sikap tegak.
Suasananya jelas me-nunjukkan kesiapsiagaan dan agaknya berita ten-tang perkelahian itu
sudah sampai pula di dalam benteng. Liu Pang tetap bersembunyi, memikirkan rencana yang kiranya
dapat dilakukan untuk me-nyelamatkan benteng ini dan menggandeng pasu-kan Gui - ciangkun
sehingga dapat dimanfaatkan besok, membantu penyerbuan pasukannya dari luar benteng.
(Bersambung jilid ke XX.)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XX DIA masih sangsi apakah Gui - ciangkun mau menerimanya kalau dia datang
berterang. Apa lagi dia menyamar sebagai seorang; kakek pe-tani dan tidak ada seorangpun
yang mengenal wajah Liu - bengeu. Tiba-tiba, selagi Liu Pang mencari akal dan me-renung, terdengarlah sorak -
sorai dan derap kaki kuda yang banyak sekali mendatangi tempat itu. Sepasukan tentara yang
berjumlah ratusan, bahkan mungkin ada seribu orang, datang mengepung ben-teng itu. Dari seragam
mereka yang agak keku-ningan, Liu Pang dapat menduga bahwa mereka itu tentulah anak buah
Bouw - ciangkun. Dugaan-nya memang tepat, bahkan yang memimpin pasukan itu adalah Bouw
- ciangkun sendiri, seorang perwira yang bertubuh pendek gendut. Di sebelah pembe-
sar ini nampak beberapa orang perwira pasukan asing.
Terdengar bunyi terompet dan pintu gerbang di seberang terbuka. Muncullah
seorang perwira tinggi kurus. Perwira ini bukan lain adalah Gui
ciangkun sendiri yang sengaja keluar menyambut kedatangan pasukan berkuda yang
dipimpin oleh Bouw - ciangkun, rekannya. Kota Lok - yang dijaga oleh empat
pasukan besar, dan dua di antaranya dikepalai oleh Gui - ciangkun dan Bouw-ciangkun. Jembatan
gantung tidak diturunkan dan kini dua orang komandan pasukan itu berdiri berhadapan,
dipisahkan oleh parit yang lebar itu. "Gui - ciangkun, menyerahlah engkau dan pa-sukanmu dengan baik-baik dari pada
harus di- gempur dan dihancurkan !" teriak Bouw-ciangkun dengan sikap garang. Perutnya
yang gendut sekali itu bergerak - gerak ketika dia bicara.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Gui-ciangkun mengerutkan alisnya. "Bouw-ciangkun, kita adalah rekan, sama - sama
menjaga keselamatan kota ini sebagai komandan pasukan kita masing-masing. Engkau
tidak berhak bicara seperti itu kepadaku, apa lagi untuk menangkap-ku dan minta
pasukanku menyerah !" "Hemm, engkau masih belum menginsyafi do-sa - dosamu " Engkau membiarkan anak
buahmu membunuhi anak buahku di depan kedai !" teriak Bouw - ciangkun.
"Perkelahian antara perajurit adalah soal biasa. Akan tetapi anak buahku yang
delapan orang itu dibantai oleh belasan orang-orangmu yang dibantu oleh orang-orang
liar. Kinipun aku melihat engkau bersanding dengan perwira - perwira bangsa liar, sungguh
menjemukan sekali, dan engkau berani bicara tentang pasukanku harus menyerah ?"
"Orang she Gui, engkau hendak memberontak"'' "Orang she Bouw, engkaulah yang
hendak mem-berontak dengan bersekongkol bersama pasukan-pasukan asing yang liar!"
Bouw - ciangkun marah sekali. Dia mencabut pedangnya, mengangkat pedangnya ke
atas sambilberteriak, "Pasukan panah, seraaanggggg !"
Pasukan berkuda itu segera bertebaran dan mulailah mereka menyerang dengiui anak
panah ke arah benteng. Bouw-ciangkun tentu saja se-gera bersembunyi dan berlindung
karena dari ben- tengpun datang anak panah seperti hujan sebagai serangan balasan. Korban kedua
pihak mulai ber-jatuhan- Kini seluruh pasukan Bouw - ciangkun dikerahkan dan jumlah mereka
tidak berselisih banyak dengan pasukan Gui - ciangkun.
Perang anak panah itu amat gencar akan tetapi sampai tengah malam, belum juga
Bouw - ciangkun yang dibantu oleh pasukan kecil bangsa asing itu mampu menyeberangi
parit. Beberapa usaha mereka lakukan, akan tetapi mereka selalu mengha-dapi perlawanan gigih.
Perahu-perahu yang mereka kerahkan tenggelam dan mereka terpaksa mundur kembali ketika pasukan
dari benteng me-lempar - lemparkan batu - batu besar ke arah pe-
rahu - perahu itu dan menghujani anak buah pera-hu - perahu itu dengan anak
panah. "Bakar saja benteng itu !" teriak Bouw-ciangkun marah.
Melihat betapa anak buah Bouw-ciangkun kini mempersiapkan bahan - bahan bakar
dan panah-panah berapi, hati Liu Pang menjadi gelisah juga. "Celaka," pikirnya.
"Kalau digunakan api,
tentu habislah benteng itu!" Dia tidak tahu bagaimana dia seorang diri akan
mampu menolong benteng itu. Akan tetapi, sebelum perintah menyerang de-ngan panah api dikeluarkan, tiba -
tiba terdengar bunyi terompet tanda bahwa ada pembesar datang. Yang muncul adalah
seorang pembesar gagah ber-kuda, diapit oleh dua orang perwira tinggi dan dikawal oleh
pasukan pengawal yang berpakaian indah. Kiranya dia adalah Jenderal Lai, yaitu panglima
daerah timur dan sepanjang pantai, pang-lima yang menjadi pembantu Jenderal Beng Tian itu.
Tentu saja para komandan di kota Lok-yang termasuk bawahannya dan melihat munculnya panglima
ini, Bouw - ciangkun cepat memberi hor-mat dan menyambutnya sehingga penyerangan dengan
panah api itu tertunda. Dengan muka merah dan alis berkerut, Jende-ral Lai menegur, "Bouw - ciangkun apa
artinya pe-ngepungan dan penyerangan terhadap benteng re-kannya sendiri itu." Bouw-
ciangkun lalu melaporkan tentang apa yang telah terjadi, tentang ben-trokan antara anak
buahnya dan anak buah Gui-ciangkun. Tentu saja dalam laporan kepada atas-annya ini dia menimpakan
semua kesalahan kepada Gui - ciangkun yang dicapnya pemberontak.
"Saya mengundangnya baik-baik untuk saya bawa menghadap Lai-goanswe, akan tetapi
dia tidak mau, bahkan menggunakan kata-kata kasar dan menantang. Saya sudah
menegurnya dan mengancamnya agar dia menyerah tanpa perlawan-an, akan tetapi Gui - ciangkun
membangkang dan menentang," demikian perwira gendut itu menutup pelaporannya.
Jenderal yang terhitung masih muda, baru ber-usia empatpuluh lima tahun itu
mengerutkan alis-nya dan suaranya terdengar tegas, "Bouw-ciang-kun ! Seorang perajurit,
apapun pangkatnya, ha-rus mentaati peraturan dan berdisiplin. Engkau sendiripun telah melakukan
pelanggaran dalam hal ini. Tanpa surat perintahku untuk membawa-nya menghadap, mana mungkin Gui -
ciangkun mentaatimu " Kami tidak berpihak siapapun dalam keributan ini. Besok pagi akan
kupanggil Gui- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ciangkun. Aku ingin agar suasana menjadi jernih . Kekuatan kita tidak boleh
dipecah - pecah seperti ini karena hal itu hanya akan mengeruhkan sua-sana dan melemahkan
kedudukan kita sendiri. Nah, sekarang tariklah pasukanmu dan kembalilah ke bentengmu sendiri!"
Setelah pasukan Bouw - ciangkun ditarik kem-bali, tempat itu menjadi sunyi
kembali. Hanya di dalam benteng itu saja yang masih terjadi kesi-bukan, yaitu para perajurit
merawat teman - teman yang terluka. Gui - ciangkun memeriksa anak bu-ahnya dan memerintahkan
agar penjagaan dilan-jutkan dengan ketat.
Liu Pang melihat semua itu dan pemimpin para pendekar ini merasa prihatin
sekali. Keadaan di daerah sungguh kacau-balau. Pasukan saling han-tam sendiri dan
agaknya pemerintah tidak akan dapat mengatasi keadaan. Kalau dibiarkan berla-rut - larut, di sernua
tempat tentu akan muncul pemberontakan - pemberontakan dan kalau api itu sudah membakar
negara, akan sukarlah untuk dipa-damkan. Kaisar dan para pembantunya di kota raja agaknya
tidak tahu atau tidak memperdulikan keadaan negara yang terancam bahaya gawat ini. Mereka itu
hanya pandai mengumbar nafsu, ber-senang-senang di kota raja dan menganggap ringan
pemberontakan - pemberontakan itu. Bahkan kaisar agaknya hanya tahu bahwa yang melakukan pem-
berontakan

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah Chu Siang Yu saja, di utara dan barat. Padahal, keadaan di timur dan
selatan tidak kalah gawatnya. Daerah yang dianggap aman ini sebenarnya sedang bergolak dan sewaktu -
waktu akan meledak menjadi pemberontakan yang akan menghancurkan pemerintah. Pasukan
asing ber- keliaran di daerah ini dan banyak pembesar dan
1pasukan yang bersekongkol dengan mereka. Ce-lakanya, pemerintah pusat bahkan
percaya akan laporan para pembesar yang sebenarnya merupakan musuh dalam selimut itu,
para pembesar yang bersekongkol dengan orang - orang asing, percaya akan laporan
mereka bahwa Liu Pang dan para pendekarlah yang memberontak! Padahal, yang menjadi dasar pada
gerakannya adalah untuk me-nyelamatkan negara dan pemerintah, untuk meng-halau
pasukan asing dan menghajar para pembesar yang bersekongkol dengan mereka.
"Pasukan pemerintah yang kuat kini hanya tinggal yang dipimpin oleh Jenderal
Beng Tian, demikian dalam persembunyiannya Liu Pang ber-pikir. "Dan Beng - goanswe itu kini
sibuk mengerahkan tenaga untuk membendung gerakan Chu Siang Yu. Dan pergolakan di
timur dan selatan tidak akan ada yang dapat mencegah lagi. Siapa lagi yang dapat
menyelamatkan negara dari tangan pasukan asing dan penjual - penjual negara itu ?"
Dengan pikiran ini, bulatlah tekad di hati Liu Pang untuk menyelamatkan negara,
apapun akibat-nya. Dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menduduki daerah,
membasmi pasukan asing, menghancurkan pula kekuatan-kekuatan yang ber-sekongkol dengan
pasukan asing dan hendak mem-berontak. Mulai saat itu, berobahlah pendirian Liu Pang.
Kalau tadinya dia masih merasa segan dan takut-takut untuk menentang kaisar karena di dasar
hatinya terdapat kesetiaan terhadap peme-rintah, kini perasaan itu semakin menipis, bahkan lenyap
karena dia mulai menimpakan kesalahan kepada kaisar yang dianggapnya tidak cakap meng-atur
pemerintahan sehingga negara terancam baha-ya. Dia sudah mengambil keputusan
untuk me- lanjutkan gerakannya, memperbesar pasukannya dan memperluas daerah kekuasaannya
untuk me-nyaingi Chu Siang Yu. Mula - mula Liu Pang memang didorong oleh jiwa patriot,
akan tetapi kini mulai bercampur dengan ambisi.
Kemenangan dan sukses adalah hal-hal yang amat berbahaya bagi kita manusia pada
umumnya. Dalam keadaan berjuang, yang ada hubungannya dengan perjuangan
berdasarkan kepatriotan, memang cita - citanya nampak bersih dan murni, yakni membebaskan
tanah air dari bangsa dari keadaan yang buruk, membela rakyat tertindas dan segala slogan yang
baik-baik lagi. Dalam keadaan ber-juang, biasanya lubuk hati masih murni dan per-juangan
dilakukan dengan setia dan jujur, bersih dari pada mementingkan diri sendiri, penuh kese-
tiakawanan dan pengorbanan diri dengan rela. Akan tetapi, setelah perjuangan selesai dan keme-
nangan dicapai, setelah memperoleh kemuliaan yang berupa bergelimangnya harta kekayaan dan
menjulangnya nama kehormatan, maka akan ter-jadilah pembahan dalam batin kita pada umumnya.
Di dalam perjuangan, yang dituju adalah kepen-tingan bangsa dan kepentingan
pribadi sudah teng-gelam ke dalam kepentingan bangsa sehingga ke-jujuran dan kesetiaan
terhadap kawan amat terasa. Akan tetapi, setelah memperoleh kemuliaan, yang dipentingkan
tentu saja KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
adalah kemuliaannya sen-diri dan setiap orang yang berani menggoyahkan
kedudukannya, dengan dalih apapun, dengan dalih kepentingan bangsa sekalipun, akan ditentang mati -
matian. Hal ini sudah terjadi berulang kali, tercatat dalam sejarah semua bangsa di dunia. Di
kala melakukan perjuangan mengejar kemenangan, semua orang tentu bersatu padu, akan tetapi
sete-lah perjuangan berhasil dan kemenangan dicapai, semua orang saling berebut,
memperebutkan hasil dari pada kemenangan itu. Yang berhasil memper-oleh kemuliaan akan
mempertahankannya mati- matian, sebaliknya yang tidak kebagian akan ber-usaha untuk mengganggu dan
memperebutkan ke-dudukan. Tentu saja kita menutupi segala keingin-an itu dengan berbagai macam
dalih yang muluk-muluk, dan biasanya selalu nama rakyat dipergu-nakan untuk menutupi
keinginan pribadi yang bersumber kepada pementingan diri sendiri. ?ama rakyat hanya dicatut saja,
diperalat untuk mencapai apa yang dikejarnya dan kalau yang dicapai sudah dapat, rakyatpun
dilupakan. Setelah berpikir sejepak, Liu Pang cepat me-ninggalkan tempat itu dan cepat
mengejar pasu- kan. Bouw - ciangkun yang kembali, ke benteng mereka sendiri. Dia telah
mempunyai rencana yang dianggapnya tepat untuk melancarkan pe-nyerbuan pasukannya besok
pagi. Gui-ciangkun mengadakan rapat darurat dengan para perwira pembantunya malam itu
juga. Dia juga sudah mendengar akan kemunculan Jen-deral Lai dan tahulah dia bahwa
Bouw - ciangkun tentu mengadukannya kepada Jenderal Lai. Meng-ingat bahwa tiga orang
perwira tinggi lainnya, di kota Lok - yang telah menjadi antek kepala daerah yang bersekongkol
dengan pasukan asing, maka dia tentu akan kalah suara dan Jenderal Lai tentu akan lebih percaya
keterangan mereka. Besok pagi dia tentu akan ditangkap dan pasukannya dianggap pemberontak.
"Tidak sudi aku menyerah!" Demikian dia mengambil keputusan di depan para
pembantunya sambil menggebrak meja. "Akan tetapi, ciangkun," seorang pembantunya menyatakan kebingungan hatinya,
"apakah dengan demikian berarti bahwa kita akan melakukan pem-berontakan terhadap
pemerintah secara terbuka ?" "Tidak, kita tidak memberontak melawan pemerintah, melainkan memberontak
terhadap penguasa di Lok-yang yang sudah bersekutu dengan orang asing ! Kita tidak sudi
terseret menjadi ma-nusia pengkhianat penjual negara kepada kekuasa-an asing!"
Tiba - tiba terdengar suara gaduh dan daun pintu ruangan itu terbuka dari luar.
Muncul seorang laki - laki gagah perkasa berpakaian sederha-na, berusia tigapuluh enam
tahun yang bertubuh jangkung dan mukanya kurus akan tetapi sepa-sang matanya seperti mata
harimau, mencorong penuh wibawa. Dari luar berlompatan para pengawal yang
nampak terkejut dan gelisah. Kepala pengawal
berkata, "Maaf, ciangkun. Dia menyelinap masuk
dengan cepat sehingga kami terlambat
" Akan tetapi Gui - ciangkun mengangkat tangan memberi isyarat agar para pengawal
jangan sem-barangari bergerak. Dia sudah melihat bahwa orang yang datang secara aneh
ini mengempit tubuh yang gendut, tubuh Bouw - ciangkun yang kelihatan le-mas tertotok!
Liu Pang memandang kepada Gui - ciangkun dengan sinar mata penuh selidik. "Gui -
ciangkun, benarkah kata - katamu tadi bahwa engkau tidak akan menyerah kepada
para pengkhianat itu " Ba-guslah kalau begitu! Ketahuilah bahwa aku Liu Pang!"
Mendengar pengakuan ini, semua orang terkejut
dan Gui - ciangkun sendiri memandang terbelalak-
"Liu bengcu ?" "Benar. Pasukanku telah mengepung kota ini. Bersiaplah Gui-ciangkun dengan semua
pasukan-mu dan temui aku pada besok pagi di luar benteng kota. Sebagai bukti
bahwa aku ingin bekerja sama dengjan pasukanmu, ini kubawakan si pengkhianat Bouw kepadamu.
Terserah mau kauapakan dia Nah, selamat tinggal. Pikirkan baik-baik usulku, tidak banyak
waktu lagi!" Dan Liu
Pang melem-parkan tubuh gendut itu ke atas lantai, kemudian sekali berkelebat
tubuhnya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
meloncat keluar ruang-an itu dan sebentar saja lenyap dalam kegelapan malam.
Sebelum kembali ke pasukannya, Liu Pang menggunakan kepandaiannya untuk melakukan penyelidikan
dan mengelilingi semua penjuru kota, memeriksa keadaan benteng penjagaan kota itu
untuk mengetahui bagian mana yang kuat dan mana yang agak lemah.
Pada waktu itu, fajar telah mulai menyingsing. Langit di timur nampak kemerahan
tanda bahwa sang matahari sudah akan menampakkan kehadir-annya di belahan bumi ini.
Liu Pang sudah selesai dengan penyelidikannya ketika tiba - tiba terdengar sorak - sorai
gemuruh di luar benteng kota. Gembiralah hati pendekar ini. Pasukan para pendekar telah tiba,
tepat pada waktunya, sesuai dengan yang telah direncanakan. Cepat dia melompat keluar
tembok kota dan menggabungkan diri dengan pasukannya. Pasukan para pendekar itu bersorak gembira
melihat sosok tubuh yang me-layang turun itu, setelah mengenal bahwa itu ada-lah tubuh
pimpinan mereka yang mereka cinta dan kagumi.
Setelah tiba kembali di antara pasukannya, Liu Pang lalu memimpin sendiri
barisannya, dipecah-pecah dan dibagi - bagi tugas pengepungan kota Lok-yang. Dengan tombak
panjang di tangan, pemimpin ini dengan gagahnya memimpin sendiri pasukan yang berada di
depan pintu gerbang. Pek Lian, Hek-coa Ouw Kui Lam dan para pembantu yang lain masing-masing
mendapat bagian tugas memimpin pasukan - pasukan yang mengepung kota itu.
Tentu saja di dalam kota Lok - yang terjadi kegemparan dan kepanikan. Apalagi
setelah men-dengar bahwa pintu gerbang telah ditutup semua dan bahwa kota itu telah
dikepung oleh barisan "pemberontak" Liu Pang ! Para penduduk yang tidak sempat lari mengungsi
itu kini bersembunyi di dalam rumah masing - masing, bergerombol dan saling berpelukan.
Suami - suami menghibur iste-rinya, ibu - ibu merangkul anak - anaknya dan ber-usaha agar si
kecil tidak sampai menangis membuat gaduh. Pria-pria muda dengan lagak gagah tapi hati takut
berjaga di depan pintu kamar keluarga masing - masing.
Jenderal Lai cepat memanggil empat orang perwira yang menjadi komandan-komandan
pa- sukan penjaga kota Lok - yang. Akan tetapi, kea-daan menjadi geger ketika Bouw -
ciangkun tak dapat ditemukan di dalam bentengnya, sedangkan Gui - ciangkun tidak mau
menghadap! Seperti telah kita ketahui, dengan kepandaiannya yang tinggi, malam tadi Liu Pang
berhasil menyelundup ke benteng Bouw - ciangkun, menculik perwira gendut ini dan membawanya ke
benteng Gui- ciangkun. Terpaksa Jenderal Lai menunjuk seorang perwira lain untuk menggantikan
kedudukan Bouw - ciangkun dan memimpin pasukan. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat
apapun terhadap Gui - ciangkun. Benteng Gui - ciangkun masih di-jaga ketat dan jembatan gantung
masih juga belum diturunkan. Jelaslah bahwa Gui - ciangkun dan pasukannya hendak
memberontak. Akan tetapi, untuk menggempur dan menghukumnya tidak ada waktu. Yang penting kini
ialah menghadapi pem-berontak Liu Pang yang sudah mengepung kota.
Terdengar bunyi terompet dan tambur di luar pintu gerbang, dan Liu Pang
menantang perang dengan suara lantang karena teriakannya disertai tenaga khikang yang
kuat. Selagi Jenderal Lai sibuk mengatur pasukan untuk melakukan penjagaan
mempertahankan ben-teng kota, tiba - tiba nampak bayangan orang meloncat turun dari tembok
benteng. Segera terde-ngar bentakan dan teriakan dari atas benteng dan beberapa batang anak
panah meluncur ke arah orang itu. Akan tetapi orang itu yang berpakaian perwira, berlari dengan
cepat dan beberapa batang anak panah yang mengenai baju perangnya meleset dan tidak
melukainya. "Cepat sambut orang itu dengan baik!" Liu Pang berseru dan beberapa orang lalu
menyambut perwira itu dan membawanya menghadap Liu Pang. Perwira itu melepas
topinya dan memberi hormat sambil berlutut di depan Liu Pang.
"Saya membawa salam hormat dari Gui - ciang-kun untuk disampaikan kepada Liu -
bengcu ! kata perwira itu agak terengah - engah karena tadi dia harus mengerahkan
tenaganya. "Gui - ciangkun memberitahukan bahwa dia telah mengambil ke-putusan untuk bergabung
dengan pasukan Liu-bengcu, dan sekarang sudah siap untuk mengha-dapi gempuran Jenderal
Lai yang menganggapnya sebagai pemberontak."


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus! Kalau begitu, kita akan menyerang sekarang ! Jangan beri kesempatan
kepada Jenderal Lai untuk menyerbu benteng Gui - ciangkun !"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Liu Pang lalu memberi isyarat kepada semua pembantunya dan pasukannya mulai
bergerak. Da-ri dalam benteng itu, keluarlah tiga orang perwira menunggang kuda. Munculnya
musuh ini segera disambut oleh Pek Lian, Hek - coa Ouw Kui Lam, dan seorang rekan lagi. Seperti
biasa yang dilaku-kan orang pada jaman itu, setiap peperangan se-lalu dimulai dengan
pertempuran antara jagoan-jagoan mereka. Kedua pihak bertanding dengan jujur dan gagah sedangkan
pasukan masing-masing hanya memberi semangat dengan sorakan-sorakan dan teriakan -
teriakan. Terjadilah pertempuran antara tiga orang jagoan dari Lok - yang melawan Pek
Lian, Ouw Kui Lam, dan seorang pendekar lain. Tentu saja dalam perkelahian perorangan seperti ini,
ilmu silat jauh lebih penting dan ber-guna dari pada ilmu perang. Belum sampai dua puluh jurus
saja, tiga orang perwira jagoan dari Lok-yang itupun roboh dan tewas, disambut so-rak - sorai
dari para anak buah pasukan Liu Pang. Dan karena Liu Pang tidak ingin membiarkan pa-sukan Gui -
ciangkun mengalami kehancuran di dalam benteng, dia tidak menanti sampai ada jago-an lain
keluar dari benteng musuh, terus saja dia memberi aba - aba dan pasukannya bergerak maju
sambil menghujankan anak panah ke arah benteng. Dari benteng musuh datang pula anak
panah berhamburan menyambut pasukan yang maju.
Terjadilah pertempuran yang dahsyat. Biarpun pasukan penjaga kota Lok - yang
cukup banyak dan kuat, bahkan diam - diam dibantu pula oleh pa-sukan asing tanpa
diketahui oleh Jenderal Lai sendiri, namun karena kini pasukan yang dipimpin oleh Gui -
ciangkun juga membantu melakukan pengacauan dari dalam, akhirnya, menjelang te-ngah hari,
pintu gerbang besar dapat dibobolkan dan Liu Pang memimpin pasukannya menyerbu ke dalam kota.
Gegerlah kini keadaan dalam kota. Pertem-puran terjadi di mana - mana di seluruh
kota. Rak-yat menjadi panik dan berlari-larian menyelamat-kan diri. Kebakaran -
kebakaran terjadi di sana-sini membuat keadaan menjadi semakin kacau dan membuat orang-orang menjadi
semakin panik. Suara gaduh dan hiruk - pikuk memenuhi udara, kadang - kadang terdengar
pekik kesakitan dan ra-ungan orang menghadapi maut. Pertempuran yang kacau - balau dan
tidak teratur sama sekalipun ter-jadilah di mana - mana. Pertempuran antar ke-lompok
dan antar perorangan terjadi di jalan-jalan, di lorong - lorong, di halaman rumah orang.
Ke-bakaran makin menjalar luas. Liu Pang sendiri bersama limapuluh orang pengawal yang selalu membantu dan
melindungi- nya, menerjang ke arah gedung gubernuran untuk menduduki gedung yang menjadi
pusat pemerintah-an di daerah itu. Akan tetapi usahanya ini tidak-lah mudah karena
selalu dirintangi oleh pasukan musuh yang agaknya hendak mempertahankan ge-dung, itu dengan mati -
matian. Apa lagi, jalan be-sar menuju ke gedung kepala daerah itu penuh dengan rakyat
tua muda yang berlarian mengungsi dan menyelamatkan diri, sehingga mereka ini menghambat
majunya Liu Pang yang selalu me-larang anak buahnya mengganggu rakyat.
Dengan menunggang seekor kuda putih yang besar, Liu Pang terus menghajar musuh
dengan gagahnya. Dia sudah berhati - hati sekali agar ja-ngan sampai salah
tangan melukai rakyat yang berlari - larian mengungsi, akan tetapi karena sua-sana begitu kacau, tanpa
disengaja kudanya me-langgar tubuh seorang laki-laki berpakaian pela-yan yang setengah
tua. Pelayan tua itu diiringkan oleh beberapa orang pelayan lain dan dia jatuh tunggang langgang
ketika terlanggar oleh kuda putih besar itu.
Liu Pang terkejut sekali dan sesuai dengan wataknya yang gagah dan selalu
memperhatikan orang kecil, diapun cepat melompat turun dari atas kudanya dan membantu orang
tua itu untuk ba-ngun. Dengan ramah Liu Pang minta maaf dan sekalian bertanya kepada kakek itu
di mana letak-nya gedung sang gubernur.
"Tak jauh lagi , di sana . . . . . . ."kakek itu menunjuk ke arah barat.
Kemudian, tertatih- tatih orang itu melanjutkan perjalanannya mengungsi dipapah para pelayan
pengikut yang lain. Liu Pang tidak memperhatikan lagi rombongan pelayan itu dan melanjutkan
penyerbuannya ke arah gedung kepala daerah seperti yang ditunjukkan oleh pelayan tua tadi. Dan
sekarang terjadi hal yang mengherankan. Perlawanan pasukan musuh tidaklah seketat tadi,
bahkan kini mereka dapat maju sampai ke gedung gubernuran tanpa banyak halangan! Cepat Liu
Pang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
memimpin pasukannya menyerbu ke dalam gedung, dan ter-nyata gedung itu sudah
kosong. Seniua penghuni-nya agaknya telah kabur. Bahkan para pelayan dan pengawalnya
juga tidak ada lagi, gardu - gardu penjaga kosong. Para perwira pasukan asing yang katanya
mondok di gedung itupun tidak nampak bayangannya. Sungguh aneh, bagaimana mereka mampu meloloskan
diri dari gedung di kota yang sudah dikepung dan diserbu itu " Apakah mereka mungkin
melarikan diri dengan menyamar, lalu menjadi satu dengan rakyat yang berlari-larian dan
mengungsi berbondong. - bondong itu " Ti-ba - tiba dia teringat akan rombongan pelayan
yang tadi ditabrak kudanya. Ah, kini dia teringat. Muka pelayan tua itu. Tidak pantas sebagai
pelayan, mukanya terlalu putih dan gerakannya terlalu ha-lus. Dan pelayan tua itu diiringkan
banyak sekali pelayan - yang membawa banyak buntalan pula. Ah, betapa bodohnya !
"Tolol sekali aku! Orang itu tentu gubernur dan para pengawalnya !" Cepat Liu
Pang keluar dari gedung dan melarikan kudanya, pergi menyu-sul. Akan tetapi, ke manapun dia
mencarinya, dia tidak berhasil menemukan rombongan gubernur yang mengungsi itu. Pintu
gerbang terbuka lebar dan padat oleh para penghuni yang mengungsi keluar kota.
Menjelang senja, pertempuran berakhir. Sisa pasukan penjaga kota melarikan diri
dan kota Lok-yang diduduki oleh Liu Pang. Tentu saja pasukan Liu Pang menjadi gembira dan
besar hati oleh ke-menangan gemilang ini. Jenderal Lai juga melari-kan diri, dan banyak
perwira yang tewas. Gui-ciangkun diterima sebagai pembantu Liu Pang dan pasukannya bergabung dengan
induk pasukan besar dari pendekar itu yang kini menjadi semakin besar.
Pesta kemenangan dirayakan ! Dalam keadaan seperti itu, para perajurit makan
minum sampai mabok dan mereka itu sama sekali lupa akan te-man - temannya yang gugur
dalam pertempuran itu. Yang teringat hanyalah bahwa mereka masih hidup dan menang !
Di dalam pesta ini, Liu Pang lalu mulai meng-atur pasukannya. Dia berpikir bahwa
kalau pa- sukannya yang semakin besar itu dibiarkan kacau tanpa peraturan, akhirnya dia
sendiri yang tidak akan mampu mengendalikan. Kini sudah tiba saatnya pasukannya harus merupakan
bala tentara yang teratur, dengan pembantu - pembantunya dijadikan perwira - perwira sesuai dengan
kepandaian, jasa dan kedudukan masing - masing seperti dalam ketentaraan. Untuk
menyusun peraturan-peraturan ini, tenaga Gui - ciangkun sangat ber-guna dan bersama Gui -
ciangkun, Liu Pang mulai menyusun pasukannya dan pembantunya. Di da-lam benteng itu mereka
telah menyita banyak se-kali pakaian dan kini para pembantu dibagi - bagi pakaian sesuai
dengan kedudukan dan pangkat mereka yang ditentukan oleh Liu Pang. Suasana pesta menjadi gembira
sekali. Karena mereka itu sebagian besar, yaitu para pembantu utama, terdiri dari
pendekar- pendekar yang ahli ilmu silat, maka pesta ini tak dapat di-hindarkan lagi lalu
diramaikan dengan pertunjukan ilmu silat yang sekaligus menjadi arena pibu (mengadu kepandaian
silat) secara persahabatan. Pibu diadakan karena Liu Pang ingin mengenal kepandaian para
pembantu baru dan ingin me-milih pembantu - pembantu baru yang pandai.
Ho Pek Lian mewakili gurunya untuk bertin-dak sebagai penguji. Beberapa orang
pimpinan pasukan maju, akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan Pek Lian.
Bahkan bekas guru pertamanya sendiri, Ouw Kui Lam seorang di antara Huang - ho Su - hiap,
tidak mampu menan-dinginya. Ilmu kepandaian Pek Lian memang su-dah cukup tinggi. Bukan saja
dara ini telah me-warisi ilmu - ilmu dari empat pendekar Huang-ho Su - hiap dan kemudian
dilatih ilmu pedang oleh Liu Pang sendiri, akan tetapi juga gadis ini selama ini telah digembleng oleh
pengalaman- pengalam-an yang hebat, bertemu orang - orang pandai dan menerima petunjuk-
petunjuk yang diberikan oleh keturunan orang - orang sakti. Setelah melihat bahwa tidak ada
lagi yang berani maju melawan-nya, Pek Lian hendak mundur dan mengaso. Akan tetapi tiba - tiba
muncullah seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, seorang pemuda yang keluar dari
kelompok perajurit rendahan. Pakaian-nya amat sederhana, dari bahan yang murah, akan
tetapi nampaknya rapi dan bersih. Pemuda ini agaknya tidak mau mempergunakan kesempatan dalam
kemenangan itu untuk melucuti pakaian lawan dan memakainya, melainkan tetap menge-nakan
pakaian biasa seorang petani. "Harap nona sudi memberi petunjuk kepada-ku," katanya sederhana.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pek Lian mengerutkan alisnya dan memandang heran. Di antara para pengikut pibu
tadi, semua terdiri dari para pimpinan pasukan, tidak ada se-orangpun perajurit biasa
yang berani maju. Pemuda ini jelas hanya seorang perajurit biasa saja. Hal ini sudah
mengherankan, pula, ia merasa seperti per-nah melihat wajah tampan ini, akan tetapi ia lupa lagi kapan
dan di mana. Bagaimanapun juga, pibu itu diadakan secara terbuka dan tanpa batas, maka
siapapun juga yang maju haruslah dilayani. Maka iapun tersenyum ramah dan melangkah kembali ke depan, ke tenglah ruangan
indah itu, karena pertemuan pesta itu dilakukan di ruangan luas dari gedung gubernur
yang lantainya marmar licin dan bersih. "Baiklah, silahkan maju," katanya sambil memasang kuda
- kuda. "Maafkan !" Pemuda itu lalu membuka serang-an. Gerakannya biasa saja, seenaknya
dan seperti tidak bertenaga. Akan tetapi, ketika Pek Lian mengelak dan mulai
membalas, diam - diam dara itu terkejut. Serangannya dapat dipatahkan dengan amat mudahnya oleh pemuda
perajurit rendahan ini! Tentu saja ia merasa penasaran dan mulailah ia memberi "isi"
kepada serangan berikutnya. Akan tetapi sama saja, berturut - turut ia menyerang dan semua
serangannya kandas tanpa hasil! Bahkan pemuda itupun membalas dengan serangan - se-rangan yang
tidak kalah cepatnya. Ramai sekali perkelahian pibu itu sampai semua orang meman-dang dengan
mata terbelalak. Terdengar pujian-pujian di sana - sini dan semua orang merasa ke-
celik. Tak ada seorangpun mengira bahwa pemuda sederhana itu ternyata memiliki ilmu silat yang
cukup lihai sehingga mampu menandingi Pek Lian sampai belasan jurus. Makin lama, makin kagum
dan heranlah mereka karena yang belasan jurus itu akhirnya menjadi sampai puluhan
jurus dan men- dekati seratus jurus akan tetapi pemuda itu belum juga terdesak, apa lagi
kalah ! Ternyata permainan silat mereka nampak seimbang. Bahkan diam-diam Liu Pang yang memandang
dengan penuh perhati-an juga dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki tenaga
sinkang yang kuat dan bahwa pemuda itu sengaja mengalah terhadap Pek Lian dan tidak mengerahkan
seluruh tenaganya. Seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, pikirnya ka-gum.
Sementara itu, si pemuda tampan agaknya me-rasa sudah cukup menguji kepandaian
dan dia sengaja memperlambat elakannya ketika tamparan tangan kiri Pek Lian
menyambar ke arah kepalanya sehingga biarpun kepalanya tidak sampai terkena pukulan, akan tetapi


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahu kanannya tertampar dan diapun terhuyung ke belakang. Cepat dia menjura kepada Pek Lian.
"Banyak terima kasih atas petunjuk nona!" Lalu diapun kembali ke tempat duduknya
disam- but sorak - sorai para perajurit yang merasa kagum kepada rekan mereka yang muda
namun lihai ini. Akan tetapi sebelum pemuda itu tiba di tempat duduknya, nampak bayangan
berkelebat dan ter-nyata Liu Pang telah berdiri di depannya dan pemimpin ini tersenyum.
"Aku merasa sangat kagum atas kepandaianmu, saudara muda. Tidak kusangka bahwa
di antara rekan - rekan yang membantuku, terdapat seorang pendekar muda yang amat
lihai. Nah, terimalah rasa kagumku dengan secawan arak!" Liu Pang yang sudah membawa secawan
arak itu lalu mem-berikan cawan penuh arak itu kepada si pemuda. Melihat betapa pemimpin
besar ini menghormati-nya dengan secawan arak, wajah si pemuda men-jadi merah seketika
karena girang, bangga dan juga terharu dan maluy Dan kenyataan bahwa Liu Pang dapat berkelebat
cepat membawa secawan penuh arak tanpa tumpah, membuktikan betapa lihainya pemimpin
ini. "Terima kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi saya," pemuda itu
menjawab dan menerima cawan arak itu. Akan tetapi, begitu ta-ngannya menyentuh
cawan, dia terkejut bukan main karena terasa hawa panas dan tenaga kuat mendorongnya dari
tangan Liu Pang! Tahulah dia bahwa pemimpin ini memang sengaja hendak mengujinya dengan
tenaga sinkang. Pemuda itu tersenyum dan diapun melanjutkan gerakannya menerima cawan
arak. Terjadi pertemuan dua tenaga sinkang dan akibatnya, cawan arak itu pin-dah ke
tangan si pemuda akan tetapi keduanya tergetar dan mundur! Liu Pang mundur sampai tiga
langkah sedangkan si pemuda mundur sampai empat langkah, akan tetapi arak itu sedikitpun
ti-dak tumpah dari cawannya. Liu Pang memandang kaget dan juga kagum. Tahulah dia bahwa pemuda ini benar-
benar lihai bukan main, jauh lebih lihai dibandingkan dengan
Pek Lian, bahkan dalam hal tenaga sinkang juga hampir dapat mengimbanginya!
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Maaf, siapakah guru saudara " Bolehkah saya mengenal namanya yang mulia ?"
tanya Liu Pang, sikapnya bukan sebagai pemimpin terhadap ba-wahan, melainkan sebagai
seorang pendekar yang bertemu kawan baru yang sama lihainya.
"Harap Liu - bengcu sudi memaafkan saya. Sesungguhnya, saya terseret oleh
kegembiraan pesta kemenangan ini sehingga lupa diri dan tadi lancang memasuki pibu. Bukan
lain hanya untuk ikut bergembira. Akan tetapi saya hanyalah seorang perajurit pejuang, dan
tentang asal - usul saya, harap bengcu sudi memberi kelonggaran dan kebebasan kepada saya untuk
sementara ini tidak menceritakannya."
Ucapan itu dikeluarkan dengan nada sedih dan juga dengan sikap sopan, maka
biarpun hatinya merasa penasaran sekali, Liu Pang tidak menjadi marah. Sementara itu,
Pek Lian memandang tajam, mengingat-ingat di mana kiranya ia pernah ber-temu dengan
pemuda ini, namun ia tetap tidak mampu mengingatnya.
Liu Pang merasa sangat terkesan hatinya oleh pemuda tampan itu. Maka pemuda itu
langsung saja diangkat menjadi pembantu dekatnya, sebagai pengawal pribadi
karena selain suka, diapun ingin benar mengetahui asal-usul pemuda aneh yang amat lihai ini. Dia
menghadiahkan pakaian per- wira karena pemuda itu diangkatnya sebagai ko-mandan pengawal, dan diberi hadiah
sebatang pedang rampasan yang amat baik. Karena gembira dan didorong oleh kawan
- kawannya, pemuda itu mengenakan pakaian perwira itu dan dia kelihatan semakin
tampan dan gagah. Kini dia mendapat kehormatan untuk duduk di kursi para pembantu dekat Liu
Pang dan pesta dilanjutkan dengan pe-nuh kegembiraan sampai pagi.
***Kita tinggalkan dulu mereka yang sedang me-rayakan pesta kemenangan di dalam
kota Lok- yang yang baru mereka duduki itu dan mari kita meng-ikuti perjalanan Chu Seng
Kun, Chu Bwee Hong, Kwa Siok Eng, dan A - hai.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda ini meninggalkan Pek
Lian dan pasu-kan Liu Pang yang sedang menyusun kekuatan itu dan mereka berangkat menuju
ke kota raja. Mereka berempat itu tidak tahu bahwa gerak-
g gerik mereka semenjak meninggalkan pasukan Liu Pang telah diperhatikan orang.
Mereka baru tahu akan bahaya setelah pada hari ke dua, ketika mereka memasuki sebuah
hutan yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah tidak ku-rang dari
tigapuluh orang dari balik pohon dan semak - semak, dan mereka berempat sudah dike-pung ! Para
pengepung itu rata - rata memiliki ilmu silat yang tinggi, dan biarpun mereka itu berpakaian
preman, namun gerakan mereka yang teratur itu membayangkan bahwa mereka adalah anggauta-anggauta
pasukan yang terpimpin rapi. Dan memang tidak keliru karena mereka adalah pasukan pemerintah
yang pilihan dan menyamar sebagai orang biasa. Pasukan seperti ini bertugas meng-gempur para
pemberontak secara diam - diam dan kini mereka telah mengepung empat orang yang mereka tahu
adalah anggauta - angauta pemberon-tak yang baru saja meninggalkan pasukan Liu Pang dan
agaknya akan bertugas sebagai mata - mata.
"Pemberontak - pemberontak hina, menyerahlah sebelum, kami menggunakan
kekerasan!" bentak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi ku-rus. Mereka ini adalah
pasukan khusus di bawah kekuasaan Jenderal Lai, merupakan pasukan pilih-an.
'Siapa pemberontak ?" A - hai balas memben-tak. "Jangan menuduh orang
sembarangan dan tentang hina itu, kiranya kalianlah yang hina kare-na menuduh orang dengan
fitnah keji !" Akan tetapi jawaban A - hai itu tidak diperduli-kan dan tigapuluh orang itu
sudah menyerbu untuk menangkap mereka. Agaknya, melihat bahwa di antara empat orang itu
terdapat dua orang dara yang begitu cantik - cantik dan manis - manis, mereka itu berlumba untuk
menangkap Bwee Hong dan Siok Eng sehingga Seng Kun dan A - hai tidak ada yang menyerang!
Bagaikan serombongan srigala menyerang dua ekor domba mereka menubruk ke arah
Bwee Hong dan Siok Eng, dengan tangan terulur panjang, jari-jari tangan terbuka
hendak KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mencengkeram daging lunak kulit mulus itu. Akan tetapi, segera terde-ngar
teriakan - teriakan mereka ketika dua orang gadis itu menyambut serangan mereka dengan tamparan dan
tendangan yang membuat sedikitnya ada lima orang terjungkal!
Tentu saja teman - temannya terkejut sekali dan pemimpin mereka yang tinggi
kurus itu lalu me-ngeluarkan aba - aba, "Serang dan bunuh mereka ! Hati-hati, mereka ini
lihai, gunakan senjata I" Dan kini mereka menyerbu dengan senjata pe-dang atau golok! Mengamuklah Seng
Kun, Bwee Hong, dan Siok Eng, sedangkan A - hai hanya ber-diri bengong saja sambil
berkali - kali mencoba untuk melerai dengan kata - kata dan nasihat - na-sihat ! Masih untung
bagi A - hai bahwa Seng Kun selalu menjaganya sehingga tidak ada seorangpun pengeroyok dapat
mendekatinya. Dan tiga orang yang mengamuk itu adalah orang-orang muda keturunan
orang - orang sakti yang telah memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biarpun kepungan itu
ketat, sampai puluhan jurus lewat, tiga orang muda itu masih belum dapat mereka lukai, apa
lagi mereka merobohkan. Bagaimanapun juga, Seng
Kun maklum bahwa mereka terancam bahaya. Ka-lau tidak ada A - hai di situ,
mereka bertiga tentu dapat melarikan diri.
Tiba - tiba tercium bau asap hio yang keras dan lima orang pengeroyok roboh
dengan mata men-delik dan dari lubang pori- pori di tubuh mereka nampak bintik - bintik
darah ! Itulah pukulan sakti dari Tai - bong - pai dan melihat ini, Seng Kun
berseru, "Nona Kwa, jangan bunuh orang
!!" Dia merasa ngeri membayangkan betapa dara yang amat cantik dan sikapnya juga
halus ini dapat membunuh orang secara demikian kejinya, walau pun dia tahu bahwa memang
gadis itu adalah pu-teri ketua Tai-bong-pai yang tentu saja mewarisi ilmu - ilmu yang
sakti dan keji dari Tai - bong - pai. "Tidak, taihiap, bukan aku
" Bau asap hio semakin keras dan kembali ada lima orang pengeroyok yang roboh dan
mati mendelik seperti lima orang pertama. Melihat ini, para pengeroyok terkejut
sekali dan pemimpin mereka agaknya sudah mendengar akan ilmu ke-saktian ini. Dia berteriak
ketakutan, "Iblis - iblis Tai - bong - pai datang
! Lari !" Dan larilah mereka tunggang-langgang, meninggalkan mayat sepuluh orang kawan mereka
itu. Terdengar suara ketawa halus dan muncullah seorang nenek berusia limapuluh tahun
lebih yang cantik, berpakaian serba putih sederhana.
"Ibu !" Kwa Siok Eng cepat merangkul
wanita itu yang ternyata adalah Kwa-hujin (nyo-nya Kwa) isteri ketua Tai - bong
- pai. "Anak nakal, baru sekarang engkau pulang" Ah, kiranya engkau bersama dengan
kedua orang penolong kita dan penyelamat nyawamu " Bu-kongcu, Bu - siocia, selamat
bertemu !" Nyonya itu menyapa halus kepada Seng Kun dan Bwee Hong. Dua orang muda yang kini
shenya sudah berganti menjadi Chu itu tidak membantah dan cepat maju memberi hormat
kepada nyonya yang lihai itu. "Bibi datang menyelamatkan kami, terima ka-sih," kata Seng Kun dan Bwee Hong
juga memberi hormat. "Ilmu bibi sungguh sadis sekali! Membunuh orang begitu mudah dan mengerikan!
Aih, sung- guh merupakan ilmu siluman !" A - hai berkata sambil bergidik ngeri.
Nyonya Kwa mengerutkan alisnya dan perla-
han - lahan menoleh ke arah A - hai, kedua tangan-
nya menegang. Ada orang berani mencela seperti
itu, berarti harus mati! Kwa Siok Eng dapat me-
lihat sikap ibunya ini, maka ia mempererat rang-
kulannya dan berbisik, bisikan halus yang hanya
terdengar oleh ibunya saja, "Ibu, dia seorang sa-
habat baik, hanya otaknya agak miring. Ha- rap ibu maafkan" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Nyonya itu terbelalak lalu menarik napas pan-jang. Heran ia mengapa puterinya
dan dua orang penolong itu mau saja bersahabat dengan seorang gila! Akan tetapi iapun
tidak mau lagi memper-dulikan pemuda itu dan ia segera menegur puteri-nya, "Sampai begitu lama
engkau tidak pulang, juga kakakmu pergi tanpa memberi tahu. Engkau hendak pergi ke manakah
bersama kedua orang penolong ini ?"
"In-kong hendak ke kota raja dan aku ikut ke sana, kemudian dia hendak mengantar
aku pulang, ibu," jawab Siok Eng.
"Hemm, negara sedang kalut, suasana sedang kacau dan berbahaya begini, lebih
baik engkau ikut bersamaku lekas pulang. Ayahmu sudah ma-rah - marah terus."
"Tapi, ibu " Seng Kun merasa tidak enak. "Nona Kwa, se-baiknya kalau nona ikut ibu nona
pulang lebih dulu." "Tapi tapi bukankah in - kong mau singgah
di tempat kami ?" Nada suara gadis itu ke-
cewa bukan main. "Baiklah, setelah urusanku selesai, aku akan menyediakan waktu untuk
berkunjung." Wajah yang manis itu berseri. "Harap in-kong
jangan melanggar janji. Aku sudah menjelaskan
jalan menuju ke Tai - bong - pai. Aku akan menan-
ti - nanti siang malam, in - kong, jangan lupa
" "Baiklah." Mereka lalu berpisah. Gadis Tai - bong - pai itu dan ibunya lalu berangkat,


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diantar oleh belasan orang Tai - bong - pai yang muncul seperti setan saja, tanpa suara,
tanpa mengatakan sesuatu dan gerakan mereka mengerikan dan penuh rahasia.
A - hai bergidik. "Ihh ! Tak sangka bahwa nona Kwa punya ibu seperti iblis ! Dan
para pengikutnya itu. Baunya dupa lagi. Ih, seperti sekumpulan arwah - arwah saja."
Seng Kun tersenyum. "Sudahlah, saudara A-hai, mari kita lanjutkan perjalanan
kita." "Nanti dulu ! Apakah sepuluh mayat itu dibi-arkan begitu saja " Kita harus
mengubur mereka lebih dulu !" Diam - diam Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dengan kagum. Biarpun gila,
sinting atau tolol, pemuda ini sungguh masih memiliki budi yang luhur. "Jangan sentuh
mereka itu, saudara A - hai. Tubuh mereka telah keracunan dan me-nyentuh mereka saja dapat
membuat kita kehi-langan nyawa. Nanti tentu teman-temannya akan datang dan mengurus mayat
mereka ini. Mari kita pergi sebelum teman - teman mereka ini datang dan mengganggu kita
lagi." A - hai terpaksa ikut pergi sambil menggeleng-geleng kepala- "Ilmu setan, dunia
kejam dan gila, semua manusia kejam dan gila !" Dia mengomel terus seolah - olah dia lupa
bahwa dia juga manusia dan berada di dunia yang sama.
Kini mengertilah Seng Kun bahwa perjalanan menuju ke kota raja itu bukan
merupakan perjalan-an yang aman. Banyak halangan di sepanjang ja-lan, terutama sekali
mereka harus dapat menghin-dari pertemuan dengan pasukan kepala daerah yang bersekongkol dengan
pasukan asing, dan jangan sampai diketahui oleh mata - mata mereka yang agaknya telah
disebar di mana - mana. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, nampak jelas penga-ruh dan akibat
dari perang. Dusun-dusun sepi ditinggalkan penghuninya yang pergi mengungsi jauh ke selatan.
Bahkan kota - kota kecil yang tadi-nya ramai kini nampak sunyi karena para pe-dagang tidak
berani berdagang. Sawah ladang tidak terpelihara, ditinggalkan begitu saja oleh para petani yang
pergi mengungsi. Semenjak jaman da-hulu sebelum sejarah sampai jaman kapanpun, selama manusia
belum sadar, perang masih akan selalu timbul. Perang merupakan puncak kebuda-yaan merusak
dari manusia. Perang adalah keji dan kejam, apapun yang menjadi dalih dan alasannya bagi yang
membela dan mempertahankannya. Perang merupakan puncak adanya konflik lahir yang timbul dari kebencian, dan
sebab adanya konflik lahir sesungguhnya didasari oleh adanya konflik batin dalam diri
sendiri, diri setiap orang manusia. Karena itu, selama konflik batin dalam diri kita masing - masing
belum musnah, jangan harap konflik lahir akan berhenti dan jangan mengharap pula karenanya
perang akan lenyap dari permukaan bumi.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Karena tidak ingin bertemu dengan pasukan-kepada kaisar, kalau ada, ataupun
pasukan para penguasa setempat yang bersekongkol dengan pa sukan asing, maka Seng Kun
mengajak adik dan temannya itu untuk mengambil jalan liar, masuk keluar hutan, kadang-
kadang melewati lorong-lo-rong kecil bahkan jalan - jalan setapak. Seng Kun ingin sekali segera
sampai di kota raja di mana dia akan cepat menghadap kaisar dan menceritakan segala-galanya agar
jangan sampai kesalahpahaman antara beberapa kekuatan itu terpecah - belah dan mengakibatkan
perang saudara yang menghancur-kan. Karena diapun maklum bahwa apa bila pasu-kan yang
mendukung Liu Pang itu bentrok dengan pasukan penguasa daerah dibantu oleh pasukan
pemerintah pusat, hal itu tentu akan berarti kehan-curan. Di daerah barat dan utara saja pasukan
pemerintah sudah sibuk menghadapi pemberontakan Chu Siang Yu yang semakin kuat. Kalau Liu Pang
dan pasukannya dapat berbaik kembali dengan pemerintah pusat dan dipercaya untuk
menumpas pasukan asing dan mereka yang bersekongkol, mungkin pemerintah dapat
diselamatkan. Pada suatu siang ketika mereka keluar dari sebuah hutan besar, dari jauh nampak
berbondong-bondong pengungsi berlari - lari hendak menyelamatkan diri ke dalam
hutan besar. Melihat ini, Seng Kun segera menghampiri mereka dan men-cari keterangan apa yang
telah dan sedang terjadi. "Pasukan setempat bersama pasukan dari kota raja sedang mengadakan pembersihan
besar- besar-an. Para pendekar dan siapa saja yang bisa silat ditangkapi. Orang yang
menyimpan senjatapun, senjata pusaka keturunan nenek moyang, juga di-tangkap dan mereka
semua dituduh sebagai anak buah Liu - bengcu," demikian seorang di antara para pengungsi
memberi keterangan. Seng Kun mengerutkan alisnya. Apa yang di-khawatirkannya telah terbukti. Agaknya
pemerin-tah pusat telah terkena hasutan para penguasa se-tempat dan memusuhi Liu
Pang. "Siapakah panglima yang memimpin pasukan dari kota raja itu, lopek ?" tanyanya.
"Orang - orang menyebutnya Lai - goanswe."
Mendengar ini, Seng Kun cepat mengajak Bwee Hong dan A - hai menyingkir. "Lai -
goanswe ada-lah tangan kanan Jenderal Beng Tian. Celaka, kita benar terlambat.
Kelihatannya pemerintah pusat sudah termakan hasutan para penguasa daerah yang
memutarbalikkan fakta sehingga kini pasu-kan Liu-bengcu benar - benar dianggap sebagai pemberontak.
Kaisar kini malah membantu para penguasa yang sesungguhnya hendak berkhianat dan
bersekongkol dengan pasukan asing untuk menentang Liu - bengcu"
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang ?" tanya adiknya.
"Aku harus cepat dapat menemui Lai-goanswe sendirian. Akan kuperingatkan dia
tentang perse-kongkolan antara para penguasa setempat dengan para pasukan asing itu,"
kata Seng Kim dengan tegas. Kemudian dia menoleh kepada A-hai yang sejak tadi hanya
mendengarkan dengan sikap orang yang tidak mengerti.
"Saudara A - hai, sungguh aku merasa menyesal sekali mengingat akan
kepentinganmu. Karena keadaan yang serba kacau ini, maka maksud kami berdua untuk berusaha
mengobati penyakitmu yang sering bingung itu menjadi terlantar. Pada-hal, sekarang ini
kami harus sering kali terjun ke dalam tempat-tempat berbahaya dan keselamatan kami sendiri
terancam dalam usaha kami menjer-nihkan suasana. Apakah tidak lebih baik kalau saudara mencari
tempat yang aman dulu untuk bersembunyi, dan besok kalau sudah aman, kalau urusan kami sudah
selesai, kami pasti akan men- carimu " "Ehhh ?"" A-hai kelihatan terkejut dan
tiba - tiba saja, sepasang mata yang tadinya nampak ketololan itu kini berkilat
tajam, lalu meredup kembali ketika matanya bentrok dengan pandang mata Bwee Hong. Seng Kun
menjadi gelisah juga. Jangan - jangan si sinting ini kambuh. Bisa berabe kalau begitu.
"Tidak ! Kalau kalian berdua memperbolehkan,
aku akan tetap mengikuti kalian, ke manapun ka-
lian pergi. Bersama kalian, aku merasa kuat dan
mempunyai harapan. Selama ini aku hidup dalam
kegelapan. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
akan ke mana. Siapa adanya aku ini sebenarnya,
akupun tidak tahu " Suara pemuda itu me-
ngandung duka, pandang matanya menatap wajah
Bwee Hong dengan penuh permohonan.
Bwee Hong merasa kasihan sekali dan iapun menarik napas panjang. "Koko, biarlah
dia ikut bersama kita," katanya lirih.
Seng Kun juga menghela napas panjang dan sesungguhnya, tanpa diminta adiknyapun
dia me-rasa tidak tega untuk meninggalkan A - hai begitu saja, terutama sekali
karena memang hatinya sudah amat tertarik untuk berusaha menyembuhkan pemuda yang luar biasa
ini. "Baiklah kalau begitu, baik buruk dan suka dukanya kita hadapi bertiga"
A-hai girang bukan main, wajahnya yang tam-
pan gagah itu berseri dan matanya berkilat. Seje-
nak lenyaplah sinar ketololan dari pandang mata-
nya. "Terima kasih , terima kasih , hatiku girang sekali, kalian baik sekali!"
Karena khawatir kalau - kalau pemuda itu akan menari-nari sehingga menarik
perhatian banyak orang, Seng Kun lalu mengajak Bwee Hong dan A-hai melanjutkan perjalanan.
Para pengungsi me-mandang heran dan juga khawatir melihat tiga orang muda itu menuju
ke arah yang baru saja mereka tinggalkan. Sungguh bodoh bepergian ke tempat yang tidak
aman itu, pikir mereka, apa lagi kalau mengajak seorang gadis yang demikian can-tiknya. Mencari
penyakit saja ! Tiga orang muda itu melanjutkan perjalanan. Ketika mereka tiba di luar sebuah
dusun di kaki bukit, tak nampak seorangpun. Agaknya semua orang telah pergi mengungsi. Akan
tetapi ketika mereka mendekati pintu dusun, terdengar suara hiruk - pikuk orang - orang
berkelahi. Cepat mere-ka menghampiri dan ternyata ada belasan orang laki - laki yang pakaiannya
seperti para ahli silat sedang dikepung dan dikeroyok oleh hampir lima-puluh orang perajurit. Para
pendekar terdesak hebat dan melihat keadaan ini, tanpa ragu - ragu lagi Seng Kun dan Bwee
Hong lalu turun tangan membantu para pendekar. A-hai hanya menonton saja dari jauh.
Masuknya kakak beradik yang amat lihai ini segera merobah keadaan. Pengeroyokan para perajurit
kacau - balau dan para pendekar itu dapat melawan dengan baik.
"Kita lari ! Kembali ke atas!" teriak seorang di antara mereka. Dengan bantuan
yang amat kuat dari Seng Kun dan Bwee Hong, belasan orang itu akhirnya dapat lolos dari
kepungan dan melarikan diri ke arah bukit. Seng Kun sudah menarik tangan A -hai dan bersama
adiknya, diapun terpaksa melarikan diri bersama belasan orang itu karena mereka menjadi buruan
para perajurit. Akan tetapi, melihat kelihaian Seng Kun dan Bwee Hong, para perajurit itu tidak
berani mengejar terlalu dekat, hanya membayangi dari jauh saja.
Ketika belasan orang pendekar itu bersama Seng Kun, Bwee Hong, dan A - hai tiba
di puncak bukit, ternyata di situ terdapat puluhan orang pendekar. Jumlah mereka
seluruhnya ada limapuluh orang dan mereka ini adalah pendekar - pendekar daerah itu yang
bergabung menjadi suatu kelompok untuk menentang pasukan pemerintah yang mereka tahu diselewengkan
oleh pemimpin mereka untuk me-lawan pemerintah dan bersekongkol dengan orang-orang
Mongol. Para pendekar ini dipimpin oleh seorang muda yang gagah perkasa, seorang pemuda
yang pakaiannya serba putih dan di punggungnya nampak sepasang pedang. Usia pemuda
ini kurang lebih tigapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya jujur terbuka. Pemuda
ini sebenarnya bukan pendekar daerah itu, melainkan seorang pendekar pendatang yang kebetulan
merantau di tempat itu dan karena dia memiliki kepandaian tinggi, maka oleh para pendekar
diapun diangkat menjadi pimpinan. Dia bernama Kwan Hok dan tentu saja dia lihai karena pemuda
ini adalah seorang di antara murid-murid Yap-lojin ketua Thian kiam - pang ! Kwan Hok ini
masih adik kandung dari mendiang Kwan Tek, murid ke dua dari ketua
Thian-kiam-pang yang telah tewas di tangan kaki tangan Raja Kelelawar.
Sebagai pimpinan kelompok pendekar itu, sete-lah menerima laporan dari teman-
temannya, Kwau Hok menyambut Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai dengan hormat dan ramah.
"Terima kasih atas bantuan sam - wi yang gagah," katanya. "Sehingga teman - teman kami dapat
lolos dari kepungan pa-sukan." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
A - hai cepat mengangkat tangannya dan meng-goyangnya berkali-kali di atas.
"Tidak, aku tidak masuk hitungan, karena aku hanya nonton saja !"
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 7 Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah Pedang Naga Kemala 3
^