Pencarian

Darah Pendekar 16

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


Kwan Hok memandang heran, akan tetapi ka-rena pemuda tampan yang menyangkal
bantuannya itu datang sebagai kawan dari Seng Kun dan Bwee Hong, dia tetap saja
bersikap ramah dan hormat. Mereka lalu berkenalan dan Seng Kun bersama adiknya dan A - hai menerima jamuan
para pende-kar itu dengan gembira, Setelah selesai makan minum, Seng Kun lalu minta
diri. "Kami bertiga hanya kebetulan saja lewat di sini. Kami tidak dapat berdiam terlalu
lama di. sini dan kami akan melanjutkan perjalanan sekarang juga."
Kwan Hok dan teman - temannya nampak ke-cewa. Bantuan dua orang yang demikian
lihai itu amat menguntungkan bagi perjuangan mereka. "Ah, mengapa sam-wi tergesa-gesa"
Sam-wi adalah tiga orang gagah, kalau tidak pada saat seperti sekarang ini
menyumbangkan tenaga demi
nusa dan bangsa, lalu kapan lagi " Marilah sam-wi ikut bersama kami, bersama
berjuang demi nusa bangsa!" "Saudara yang gagah, kalian ini berju
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** aja agaknya hanya berse-nang - senang saja, tidak manguasai keadaan di daerah-
daerah. Para penguasa daerah berkhianat dan bersekutu dengan orang - orang asing,
mempersiapkan pemberontakan atau ingin berdiri sen-diri di daerah masing - masing. Rakyat
terancam perang saudara yang besar, ban dalam kemelut ini, muncul seorang bengcu yang memimpin
para pendekar di seluruh negeri untuk mengatasi kea-daan. Maka kamipun berniat untuk
menggabung- kan diri dengan pasukan besar pemimpin rakyat itu," jawab Kwan Hok.
"Kaumaksudkan L.iu - bengcu ?" tanya A-hai. Pemuda ini dapat mengingat orang -
orang yang baru dikenalnya dalam keadaan waras, walaupun dia lupa sama sekali akan
masa lalunya. "Ah, jadi sam-wi sudah mengenal Liu-bengcu?" tanya Kwan Hok girang dan semua
pendekar me-mandang lebih hormat lagi kepada tiga orang tamu mereka itu.
"Tentu saja kami mengenal baik karena kami pun baru saja berpisah dari pasukan
Liu- bengcu," kata Seng Kun sejujurnya.
Pada saat itu terdengar bunyi terompet dan seorang pendekar tergopoh masuk
melaporkan bah-wa bukit itu telah dikepung oleh pasukan yang besar jumlahnya- Sedikitnya
ada limaratus orang pasukan mengepung bukit itu !
Mendengar laporan ini, Kwan Hok segera me-lakukan pemeriksaan, diikuti pula oleh
tiga orang tamunya. Bukit itu merupakan tempat pertahanan yang amat baik. Tidak ada
jalan naik ke puncak kecuali melalui lorong yang sempit dan terjal. Pun-cak bukit itu
dikelilingi jurang yang tidak
mungkin dapat dicapai kecuali melalui lorong itu. Sebuah lorong terjal sempit
yang kanan kirinya diapit te-bing. Hanya seekor kuda atau paling banyak tiga orang dapat melalui
lorong ini secara bersama. Dan tentu saja mudah bagi para pendekar untuk meng-halang serbuan dari
luar, yaitu dengan jalan men-jaga lorong ini dari atas kedua tebing. Dengan anak panah atau
bahkan dengan melemparkan ba-tu - batu saja, tak mungkin musuh dapat menyerbu masuk. Sebelum
melewati lorong yang panjangnya ada limapuluh meter itu mereka tentu sudah tertim-bun
batu dari atas. Dari atas tebing itu, Kwan Hok dan teman-te-mannya dapat melihat pasukan yang
mengepung bukit. Dia lalu mengatur penjagaan. Batu - batu dan anak panah
dipersiapkan dan para pendekar siap untuk menghujankan anak panah atau batu-batuan ke bawah apa
bila ada perajurit berani mencoba untuk melalui lorong. Setelah mengatur penjagaan dan
memerintahkan teman-teman untuk berjaga secara bergilir, Kwan Hok mengajak tiga orang tamunya
turun ke bawah tebing dan dia lalu mengumpulkan sisa teman - temannya yang tidak sedang
tugas berjaga untuk mengadakan ra-pat. Rapat diadakan di tempat terbuka, di lapangan puncak
itu, di depan pondok - pondok kecil mereka.
Seng Kun, Bwee Hong, dan A - hai yang oto-matis telah diterima sebagai
segolongan atau bah-kan kawan seperjuangjan, juga ikut menghadiri ra-pat itu. Bahkan dengan
jujur Kwan Hok minta nasihat mereka karena menganggap bahwa mereka yang sudah mengenal Liu -
bengcu ini tentu se-dikit banyak dapat membantunya mengatur siasat.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Kita berkekuatan limapuluh tiga orang," Kwan Hok berkata, lebih banyak
ditujukan kepada tiga orang tamunya dari pada kawan - kawannya wa-laupun mereka semua berkumpul
dan mendengar-kan. "Sedangkan menurut taksiranku, jumlah pa-sukan yang mengepung
bukit ini ada enamratus orang. Kita harus mencari siasat yang baik untuk dapat meloloskan diri dari
kepungan yang berba-haya ini" "Kulihat tempat ini amat baik untuk bertahan. Betapapun kuatnya dan besarnya
jumlah pasukan musuh, kalau jalan masuk hanya melalui satu lorong sempit itu, sampai
bagaimanapun mereka tidak mungkin dapat menyerbu naik ke puncak. Akan tetapi, kalau mereka
terus mengepung, kitapun tidak dapat keluar dan kita dapat menjadi kehausan atau
kelaparan !" kata Bwee Hong. "Pendapat nona memang benar sekali. Karena baiknya tempat pertahanan ini, maka
kami sengaja memilihnya sebagai markas kami. Tentang mi-numan, tidak perlu kita
khawatir karena di bela-kang puncak terdapat sumber air. Akan tetapi mengenai makanan, kami hanya
mempunyai per-sediaan untuk dua tiga hari saja."
"Bagaimana kalau kita mengajak damai saja" Aku sudah bosan dengan perang dan
bunuh- mem-bunuh ini!" Tiba - tiba A - hai berkata dan semua orang memandang dengan
mata terbelalak. Akan tetapi agaknya Kwan Hok sudah dapat menduga bahwa tamu yang
satu ini memang aneh sekali wataknya. Dan sebagai murid Yap-lojin ketua Thian - kiam -
pang, tentu saja diapun tidak mera-sa heran karena di dunia kang - ouw, di antara orang - orang
sakti, banyak memang yang berwatak aneh - aneh.
"Yang memulai dengan kekerasan adalah mereka, mengajak mereka berdamai sama
dengan mengajak srigala - srigala kelaparan untuk berda-mai," kata Kwan Hok.
"Bagaimana kalau kita serbu saja keluar malam ini " Biar kita akan jatuh banyak
korban, akan te-tapi kitapun dapat membunuh mereka sebanyak-nya dan tentu ada sebagian
dari kita yang dapat lolos !" kata seorang pendekar penuh semangat.
"Musuh terlalu kuat, perbandingannya satu lawan sepuluh. Itu hanya akan menjadi
bunuh diri yang sia - sia belaka," kata Kwan Hok tidak setu-ju. Kemudian dia teringat
sesuatu dan menarik napas panjang penuh penyesalan. "Sayang, kalau suteku berada di sini,
tentu dia akan dapat men-cari akal. Dia cerdik sekali dan selalu mempunyai akal yang baik."
"Siapakah sutemu itu ?" tanya Seng Kun.
"Dia putera guruku sendiri."
"Dan siapakah gurumu ?"
"Guruku adalah ketua Thian - kiam - pang "
"Ahh !!" seru Bwee Hong dan Seng Kun
hampir berbareng dan dara itu melanjutkan, "Ki-ranya saudara adalah murid dari
Yap - pangcu " Sungguh pertemuan yang menggembirakan sekali"
"Nona mengenal suhu?"
"Bukan hanya mengenal lagi, akan tetapi beliau pernah menyelamatkan aku di
lautan, bahkan kami pernah bersama - sama mengalami hal - hal yang mengerikan di Ban -
kwi - to !" jawab Bwee Hong. Tentu saja Kwan Hok merasa semakin girang dan semakin dekat
dengan tiga orang tamunya setelah dia mendengar bahwa tiga orang tamunya ini ber-sahabat
baik dengan gurunya. "Sebaiknya kita mencari siasat. Mari kita tinjau keadaan puncak, siapa tahu ada
jalan baik bagi kita untuk lolos," kata Seng Kun.
"Baiklah, akupun ingin memeriksa lagi perse-diaan pangan kita," jawab Kwan Hok.
Lalu ber- sama tiga orang tamunya, Kwan Hok pergi ke be-lakang puncak, menyuruh kawan -
kawannya tetap melakukan penjagaan secara bergilir dan jangan sembarangan bergerak
sebelum menerima petun-juknya, kecuali para penjaga lorong di atas kedua tebing yang sudah
mendapat perintah untuk turun tangan mencegah apa bila ada pihak musuh yang berani mencoba untuk
memasuki lorong.Mereka berempat lalu menuju ke belakang pun-cak. Setelah melakukan
pemeriksaan sendiri, Seng Kun dan Bwee Hong terpaksa membenarkan pen-dapat Kwan Hok bahwa tidak ada
jalan lain KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
bagi para pendekar untuk meloloskan diri. Hanya ada dua pilihan, yaitu menyerbu
keluar lewat lorong dan melawan mati - matian, atau bertahan di situ sampai mereka tidak kuat
lagi karena kelaparan ! "Hemm, agaknya sekarang banyaknya persedia-an pangan menjadi soal terpenting!"
kata Seng Kun. "Demikian pula perhitunganku," jawab Kwan Hok. "Mari kita memeriksa persediaan
pangan itu. Kami sembunyikan di dalam sebuah gua di bawah tanah agar aman dan tidak
sampai terbakar apa bila musuh menggunakan panah api untuk mem-bakar markas kami."
Di belakang puncak itu terdapat sebuah gua yang tertutup oleh batu besar sekali.
Dibutuhkan tenaga sepuluh orang untuk memindahkan batu itu. Akan tetapi, mereka
bertiga, dibantu oleh A - hai yang tanpa disadarinya sendiri memiliki tenaga melebihi
sepuluh orang, berhasil mendorong batu itu ke pinggir. Hal ini amat mengagumkan hati Kwan Hok
dan dia makin merasa yakin bahwa tiga orang tamunya itu, termasuk pemuda ketolol - to-lolan,
adalah orang - orang muda yang berilmu tinggi. Setelah batu besar itu tergeser, nampaklah
sebuah mulut gua yang besarnya hanya cukup di-masuki dua orang. Akan tetapi ketika mereka su-dah
masuk, nampak jalan menurun dan ternyata gua itu menembus ke bawah tanah, di mana ter-
dapat sebuah ruangan yang luas juga, dapat me-muat seratus orang lebih! Yang amat
menyenang-kan, di sudut kiri gua itu terdapat lubang-lubang besar dari mana hawa dapat keluar
masuk, dan lubang - lubang ini berada di lambung tebing se-hingga tidak dapat dicapai oleh
orang luar, juga tidak nampak dari puncak karena terhalang tebing. Hanya burung - burung sajalah
kiranya yang dapat memasuki gua bawah tanah itu dari lubang - lu-bang yang merupakan jendela -
jendela buatan alam itu. Bersama hawa, masuk pula sinar matahari yang membuat gua itu
cukup terang. Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Kwan Hok, persediaan gandum dan sayur
kering hanya cukup untuk dua tiga hari saja, atau paling lama lima hari kalau dihemat
sekali. Akan tetapi Seng Kun tidak memperhatikan persediaan itu, melain-kan termenung dan termangu -
mangu sehingga Bwee Hong menegurnya.
"Koko, ada apakah ?"
"Aku ada akal !" Tiba-tiba Seng Kun ber-
kata dan wajahnya berseri.
"Ah, bagus sekali. Akal yang bagaimana ?" ta-nya Kwan Hok.
"Gua ini cukup luas untuk menjadi tempat per-sembunyian kita semua, dan hawa
udaranyapun cukup. Kita biarkan musuh mengira kita kelaparan dan kita masuk ke
dalam guha ini, lalu menutupnya dengan batu. Di depan batu dan di atasnya kita tumpuki kayu -
kayu bakar yang banyak sekali, ke-mudian kita bakar dan kita meninggalkan pakaian atas kita di
antara kayu-kayu bakar itu sehingga menimbulkan dugaan bahwa para pendekar, karena kelaparan dan
tidak mampu melawan lagi, telah membunuh diri. Bukankah hal itu patut dilakukan oleh
para pendekar yang tidak sudi ditawan dan lebih baik mati membakar diri beramal - ramai se-
telah tiada tenaga lagi untuk melawan ?"
Kwan Hok terbelalak. Akal yang aneh sekali, akan tetapi setelah dipikir - pikir,
merupakan siasat yang baik juga. Memang andaikata mereka semua kelaparan dan tiada tenaga
untuk

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan, apakah mereka akan membiarkan menjadi orang - orang tawanan " Masuk di
akal pula siasat membunuh diri beramai - ramai dengan membakar diri itu.
"Akan tetapi untuk melakukan pembakaran ka-yu - kayu itu harus ada seorang yang
tinggal di luar gua!" kata Bwee Hong.
"Benar !" sambung Kwan Hok. "Bagaimana hal itu dapat dilakukan dan siapa yang
akan tinggal di luar ?" "Memang kenyataannya begitu. Harus ada se-orang yang berani berkorban demi
keselamatan kawan - kawannya, dan tinggal di luar untuk mem-bakar kayu - kayu
itu dan untuk memberi keterang-an kepada musuh kabur dia ditawan bahwa para pendekar telah
membunuh diri semua," jawab Seng Kun. "Kurasa ini jauh lebih baik dari pada bertahan
sampai kelaparan atau membunuh diri dengan jalan menyerbu dengan nekat melalui lo-rong. Hanya ada
dua kemungkinan, yaitu kalau musuh percaya, tentu mereka meninggalkan tem-pat ini
dan kita KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
selamat. Andaikata musuh tidak percaya dan berhasil menemukan guha itu, masih
belum terlambat bagi kita untuk menyerbu keluar dan melawan mati - matian, membuka
jalan darah berusaha lolos." "Bagus sekali!" Kwan Hok kini memandang dengan wajah berseri gembira. "Tentang
orang yang mau mengorbankan diri dan tinggal di luar, kurasa banyak yang mau
melakukannya, bahkan aku sen-diripun, tidak ragu - ragu untuk melakukannya. Mari kita jumpai kawan-
kawan dan merunding-kan akal baik ini !"
Dari fihak pasukan pemerintah daerah, bukan tidak ada usaha untuk menyerbu naik
ke puncak bukit. Akan tetapi karena jalan naik hanya mela-lui lorong, setelah
beberapa kali mereka mencoba untuk menyerbu dan selalu disambut hujan anak panah dan batu yang
menewaskan beberapa orang perajurit, mereka tidak lagi berahi mencoba.
"Biarkan mereka mampus sendiri kelaparan di sana!" kata pemimpin mereka dengan
marah. Pe-mimpin mereka itu adalah seorang laki - laki ber-usia tiga puluh tahun,
berwajah tampan namun dingin dan matanya menyeramkan, berpakaian ser-ba putih dan rambutnya riap
- riapan, tangannya memegang senjatanya yang luar biasa, yaitu sebu-ah cangkul panjang
melengkung, seperti cangkul para penggali kuburan. Dia ini bukan lain adalah Kwa Sun Tek
yang berjuluk Song - bun - kwi (Setan Berkabung), putera dari ketua Tai - bong - pai itu. Seperti
telah kita ketahui, Kwa Sun Tek ini telah mengabdikan dirinya kepada pemberontak Chu
Siang Yu untuk mengadakan persekutuan dengan para penguasa di daerah timur dan
selatan, untuk mengacau pemerintah dan membagi-bagi kekuatan pemerintah sehingga
pergerakan Chu Siang Yu dari barat dapat dilakukan lebih lancar lagi. Dan se-
perti kita ketahui, usaha Kwa Sun Tek itu berhasil baik. Dia dapat bersekongkol dengan para pengu-
asa daerah dan para pasukan asing, lalu mengguna-kan siasat mengadu domba antara pasukan peme-
rintah yang setia kepada kaisar dengan pasukan-pasukan Liu Pang, tentu saja dengan tujuan
agar kekuatan pemerintah berkurang dan juga untuk menghantam Liu Pang yang dianggap sebagai
saingan. Melihat betapa pasukan pemerintah daerah ti-dak mampu menyergap ke puncak bukit,
bahkan ada belasan orang luka - luka atau tewas tertimpa batu dan terkena anak
panah, Kwa Sun Tek men-jadi marah sekali. Dia menasihatkan komandan pasukan untuk memperketat
kepungan dan tidak membiarkan para pendekar di puncak itu lolos. Setiap hari dia sendiri
mencoba penjagaan musuh dengan memasuki lorong dan setiap kali ada batu-batu dan anak
panah turun, dia dengan mudah dapat menyelamatkan diri.
Akan tetapi pada hari ke tiga, ketika Kwa Sun Tek berjalan memasuki lorong,
hanya ada bebe-rapa buah batu kecil dan anak panah yang luncurannya lemah menyerangnya.
Melihat ini, giranglah hatinya. "Mereka telah lemah kelaparan ! Mari kita me-nyerbu ke atas!" teriaknya dan
benar saja, ketika mereka menyerbu dan memasuki lorong sempit itu, tidak ada serangan
terlalu hebat, bahkan lalu tidak ada serangan sama sekali dari kedua tebing. Akan tetapi,
lorong itu terlalu sempit sehingga membu-tuhkan banyak waktu bagi semua perajurit untuk dapat
lewat. Sementara itu, para pendekar telah berkumpul di depan gua yang batunya telah
digeser dan di mana telah tersedia tumpukan kayu yang banyak sekali. Mereka kini berebut,
memperebutkan tugas untuk tinggal sendirian di luar gua! Melihat ini, Kwan Hok lalu melangkah
maju. "Kalian semua masuklah ke gua dan aku sendiri yang akan tinggal di sini!" Ketika semua
orang mengajukan keberat-an, pendekar muda ini membentak, "Ini sebuah perintah ! Aku
yang akan berjaga di sini membakar kayu ini dan kalian harus cepat masuk. Tanggalkan baju
atas kalian!" Para pendekar itu menanggalkan baju atas mereka dan memandang kepada Kwan Hok
dengan muka pucat, bahkan ada yang matanya basah kare-na melihat betapa pemimpin
mereka hendak me-ngorbankan diri demi keselamatan mereka. Seng Kun dan Bwee Hong
memandang dengan terharu. Betapa gagahnya murid Yap-lojin ini! Begitu beraninya
mengorbankan diri demi teman-teman-nya, demi perjuangan membela nusa bangsa! Terlepas dari baik
buruknya alasan perjuangan, namun sikap ini saja, yang sudah melenyapkan ke-pentingan
diri pribadi, sungguh amat mengagum-kan, gagah perkasa dan patriotik !
"Tidak ! Tidak boleh ini dilakukan !" Ti-
ba - tiba A - hai maju dan berkata lantang. Seng
Kun dan Bwee Hong memandang terbelalak. Me-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
reka sudah tahu bahwa pemuda ini aneh, dan di
balik kegilaannya tersembunyi suatu watak yang
amat luar biasa dan mereka tidak dapat menduga
lebih dahulu apa yang akan dikatakan atau dilaku-
kan oleh pemuda ini. "Apa maksudmu, saudara A - hai ?" Seng Kun bertanya.
"Tidak pantas kalau seorang di antara kalian harus tinggal di luar dan
mengorbankan diri! Tidak ada seorangpun di antara kalian yang pantas untuk mengorbankan diri dan
tinggal di luar untuk mem-bakar tumpukan kayu ini!"
"Eh ?" Kwan Hok terbelalak heran. "Akan teta-pi, siasat ini harus dilakukan dan
sekarang pasukan pemerintah telah mulai menyerbu naik. Harus ada seorang yang
melakukannya dan bagaimana sau-dara mengatakan bahwa tidak ada yang pantas melakukannya ?"
"Satu - satunya orang yang patut melakukan tu-gas itu hanyalah aku!"
"A - hai !" Bwee Hong berseru.
"Saudara A - hai, engkau tidak boleh "
Seng Kun juga berkata setengah berteriak.
A - hai tersenyum, bukan senyum tolol lagi se-
kali ini. Dia mengangkat dadanya yang memang
bidang dan kokoh itu. "Mengapa tidak boleh "
Bahaya maut tidak hanya mengancam kelompok
pejuang ini, melainkan kalian juga, terutama sekali
nona Bwee Hong! Dan kalian semua masih belum
tentu selamat, kalau gua itu ketahuan kalian akan
membutuhkan semua tenaga untuk melawan dan
menyelamatkan diri. Tenaga setiap orang amatlah
penting, kecuali tenagaku. Aku tidak bisa berkela-
hi dan bahkan hanya akan mengganggu kalian saja
yang harus melindungiku. Nah, biarlah aku me-
manfaatkan tenaga tak berharga ini untuk memba-
kar kayu dan memberi keterangan bahwa para pe-
juang telah membakar diri karena tidak mau terta-
wan. Dan barangkali siapa tahu, belum tentu
mereka membunuh orang seperti aku !"
Seng Kun memandang terbelalak penuh kagum. Dia tahu bahwa di balik penyakit yang
membuat A - hai kadang - kadang menjadi linglung dan be-ringas itu terdapat
watak pendekar yang amat he-bat, yang tidak berkejap mata sedikitpun dalam menghadapi maut
untuk membela dan menyela-matkan orang lain !
"A - hai, jangan !" Bwee Hong berkata la-
gi. Seng Kun merangkul A-hai dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Tapi dia benar ! Dia benar sekali dan kita ha-rus menurut sarannya itu!"
katanya dengan ter-haru. Seorang pendekar datang berlarian, mengabar-kan bahwa kini hampir semua
perajurit musuh sudah melalui lorong sempit.
"Masuklah kalian semua. Nona Bwee Hong, masuklah cepat!" kata A-hai dan sinar
matanya tajam berseri ketika dia menatap wajah Bwee Hong. Nona itu membalas pandang
matanya dan tak terasa lagi matanya menjadi panas. Karena tahu bahwa air matanya hampir
runtuh, Bwee Hong mengeluh lalu membalik dan melompat masuk ke dalam gua, diikuti oleh para
pendekar yang sudah menang-galkan baju atas mereka dan menumpuk serta melemparkan baju -
baju itu di atas tumpukan kayu. Barulah setelah semua orang masuk, batu besar itu digeser dari dalam dan dibantu
dari luar oleh dorongan kedua tangan A - hai! Tidak ada seorangpun yang berani menyangka
bahwa tanpa bantuan orang lainpun, kalau A - hai dapat meng-gunakan sinkangnya, batu itu
akan dapat digeser-nya sendirian dengan amat mudah. Kinipun, dalam keadaan "penuh
semangat", sebagian tenaga sin-kangnya timbul dan tanpa banyak kesukaran batu besar itu kini telah
menutupi lubang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
gua yang dari luar hanya kecil saja itu. A-hai lalu menggunakan api membakar
kayu yang bertumpuk di depan dan di atas gua. Karena tumpukan kayu itu kering se-kali,
sebentar saja api berkobar besar dan A - hai terpaksa harus menjauhkan diri karena tidak tahan
oleh panasnya api. Pasukan yang menyerbu ke puncak bukit itu terkejut melihat api besar bernyala di
puncak. Kwa Sun Tek cepat berlari ke depan dan ketika melewati pondok-pondok darurat,
dia menendangi semua pintu hanya untuk melihat bahwa semua pondok itu kosong! Dia merasa
penasaran dan bersama anak buah pasukan dia lari ke atas. Di sana, di puncak itu, agak menurun
sedikit di be- lakang puncak, mereka melihat kobaran api yang bernyala besar dan agak jauh dari
situ nampak se-orang laki - laki berdiri bengong memandang ke arah api seperti orang
melamun. Tentu saja Kwa Sun Tek menjadi curiga dan cepat dia meloncat ke arah A - hai
yang berdiri dengan bengong, tidak dibuat - buat karena dia seperti melihat hal - hal aneh di
dalam api yang bernyala-nyala itu. Nyala api seolah - olah mem-bentuk wajah-wajah yang
sekelebatan saja dan mengingatkan dia akan wajah seorang yang amat dekat dengan hatinya. Wajah Bwee
Hong" Atau Pek Lian" Atau wajah ibunya, adiknya ataukah kakaknya" Dia tidak tahu dengan
pasti, hanya merasa yakin bahwa yang diingatnya dan dilihatnya sekelebatan dalam api itu
adalah wajah seorang wanita. Ketika Kwa Sun Tek melakukan serangan de-ngan pukulan dahsyat ke arah A-hai,
pemuda ini sama sekali tidak sadar, juga tidak mengelak atau-pun menangkis. Melihat
sikap orang yang diserang-nya itu jelas tidak memiliki kepandaian silat, Kwa Sun Tek terkejut dan
heran. Bukankah kabarnya yang berkumpul di puncak bukit ini adalah para pendekar " Karena berita
itulah maka dia diper-bantukan untuk menghancurkan gerombolan pen-dekar itu. Dan orang ini
sama sekali tidak pandai silat. Diapun merobah pukulannya, diganti dengan cengkeraman dan
ketika tangannya mencengkeram lengan A - hai, juga tidak ada sedikitpun tenaga
perlawanan maka Kwa Sun Tek mengendurkan cengkeramannya. Biarpun sudah dikendurkan, tetap saja A -
hai berteriak. "Aduhhh !" Lalu dia memandang kepada
orang yang memegangi lengannya itu, juga melihat datangnya banyak perajurit.
"Hei, apa salahku " Kenapa aku ditangkap ?"
"Hayo katakan, siapa engkau ?" Kwa Sun Tek membentak. "Jangan bohong atau
kubunuh kau!" Dia merasa curiga sekali melihat sikap ketolol-tololan dari pemuda itu.
"Aku " Aku A - hai, tukang nyalakan api," jawab A - hai seenaknya, sedikitpun
tidak bermak- sud membohong. "Jawab yang betul!" bentak seorang anggauta Tai - bong - pai sambil menampar.
"Plakk !" Pipi A - hai kena tampar keras sekali, sampai pemuda itu merasa pening


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan pipinya merah membengkak.
"Hei, kenapa kau pukul - pukul anak orang tan-pa dosa " Sudah kujawab benar
bahwa aku tukang nyalakan api! Apakah kau tidak melihat aku se-dang menyalakan api
sekarang " Pegang saja sen-diri dengan tanganmu, api atau bukan yang kunya-lakan itu !"
"Tolol! Apa itu tukang nyalakan api " Tukang masak ?" bentak Kwa Sun Tek yang
mencegah anak buahnya untuk memukul lagi.
"Tukang masak " Ya, ya, aku tukang nyalakan api dan tukang masak, masak daging
orang!" A-hai menjawab sambil tersenyum - senyum, lupa lagi akan tamparan tadi karena
dia teringat bahwa dia harus mengatakan bahwa para pendekar telah membakar diri. Bukankah itu
sama saja dengan memasak daging orang "
Tentu saja Kwa Sun Tek semakin heran dan juga marah. "Tolol, bicara yang betul!
Tukang masak daging orang bagaimana yang kaumaksud-kan " Hayo katakan, di mana adanya
para pende-kar ?" A-hai menunjuk ke arah api yang berkobar kobar. "Mereka telah membakar diri,
semua! Mereka tidak sudi menyerah dan mereka membunuh diri dengan membakar dirinya."
Kata - kata ini sudah dihafalkan sejak tadi oleh A - hai.
Tentu saja Kwa Sun Tek tidak mau percaya. "Cari di seluruh puncak !" perintahnya
dan dia sendiripun ikut mencari sambil terus memegangi lengan A - hai. Akan tetapi,
dicari sampai ke ma- napun tidak nampak bayangan seorangpun pende-kar. Tak mungkin mereka dapat
lolos. Bukit itu te-lah dikepung. Benarkah cerita si tolol ini" Kwa Sun Tek lalu menyuruh pasukan
membongkar api yang bernyala - nyala itu. Tidak mudah melaksanakan ini karena api sedang
berkobar amat KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
besarnya me-makan kayu yang bertumpuk tumpuk. Dan di antara timbunan abu dan
kayu yang menjadi arang, mereka menemukan pakaian-pakaian yang terbakar. Maka mereka mulai
percaya bahwa para pendekar telah membunuh diri, memilih bakar diri dari pa-da menyerah.
"Kita bakar juga orang ini!" kata seorang ko-mandan sambil menyeret A - hai.
Akan tetapi Kwa Sun Tek melarangnya. Kwa Sun Tek bukan orang bodoh. Dia tidak menemukan
bekas abu tulang manusia di antara puing itu. Hanya si tolol inilah satu - satunya orang
yang tinggal, dan dia yakin bahwa si tolol ini tentu merupakan satu - satunya orang pula yang
mengetahui ke mana perginya semua pendekar itu dan bagaimana caranya dapat lolos. Akan tetapi, Kwa
Sun Tek juga bukan orang bodoh dan dia dapat melihat benar-benar bahwa
pemuda itu berada dalam keadaan tidak wajar, mengalami guncangan jiwa yang hebat
dan keto-lolannya itu bukanlah pura-pura atau dibuat-buat. Maka, tidak ada lain
jalan baginya kecuali membi-arkan A - hai ditawan oleh pasukan dan dibawa ke kota di daerah itu di
sebelah utara Sungai Ku-ning. * * Setelah para pendekar mengetahui bahwa pa-sukan telah meninggalkan bukit itu,
mereka keluar dengan hati - hati dan pertama - tama yang keluar adalah Seng Kun dan
Bwee Hong. Kakak beradik ini keluar dengan jantung berdebar penuh kege-lisahan dan kekhawatiran.
Mereka membayangkan akan melihat mayat A - hai terkapar di situ, dibu-nuh oleh pasukan
pemerintah. Akan tetapi, tak seorangpun mayat mereka temukan di sekitar pu-ing - puing bekas
yang dibakar. Mereka terus men-cari-cari akan tetapi tidak dapat menemukan jejak A - hai.
Timbul harapan baru di dalam hati kakak beradik ini. Wajah mereka tidak sepucat tadi, bahkan Bwee
Hong mulai berseri. (Bersambung jilid ke XXI.)
DARAH PENDEKAR Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XXI * * * "TENTU dia ditawan," kata Seng Kun.
"Benar, mari kita kejar pasukan itu, koko. Kita harus dapat menolong dan
membebaskan A- hai," kata Bwee Hong. Kakaknya mengangguk dan mereka berdua segera berpamit dari
pasukan para pendekar itu untuk pergi menyusul pasukan dan menyelamatkan A - hai.
"Kami merasa menyesal sekali bahwa demi un-tuk menyelamatkan kami, sahabatmu
terpaksa ha-rus menjadi korban dan ditawan," kata Kwan Hok. "Bagi kami, saudara
A - hai adalah seorang pahla-wan dan sungguh kecewa sekali hati kami bahwa ji-wi tidak dapat
terus menemani kami untuk ber-juang bersama."
"Kami mempunyai urusan sendiri, saudara Kwa. Dan ke mana sekarang pasukanmu ini
akan pergi?""Kami hendak menggabungkan diri dengan pa-sukan Liu-bengcu yang kabarnya
telah berhasil menduduki Lok - yang."
Merekapun berpisah. Seng Kun dan Bwee Hong menggunakan ilmu berlari cepat,
mengejar pasukan yang jejaknya mudah diikuti. Menjelang senja, mereka dapat menyusul pasukan itu
dan legalah hati mereka ketika mereka melihat A - hai dalam kea-daan selamat dan
sehat benar saja KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menjadi tawanan pasukan itu. Pasukan memasuki pintu gerbang ko-ta dan dibawa
masuk ke dalam benteng tanpa ka-kak beradik ini mampu berbuat sesuatu. Mereka tidak
berani nekat menyerbu karena hal itu selain membahayakan diri mereka, juga membahayakan
keselamatan A - hai sendiri. Mereka hendak me-nyusup ke dalam kota, melakukan penyelidikan dan
berusaha merampas kembali A - hai dari benteng.
Ketika mereka tiba di pintu gerbang, muncul sepasukan perajurit berkuda yang
mengiringkan seorang perwira tinggi yang pakaiannya gemerlapan mewah. Itulah Lai
- goanswe, jenderal pembantu Jenderal Beng Tian. Seperti diketahui, jenderal ini bertugas
di daerah timur dan sudah beberapa kali dia mengalami kegagalan dalam menghadapi gerakan Liu Pang
dan pasukannya. "Itulah orang yang kita cari!" Seng Kun ber-bisik kepada adiknya. "Mari kita
menemuinya !" Seng Kun dan Bwee Hong lalu meloncat ke depan, menghadang pasukan itu dan Seng
Kun mengangkat tangannya ke atas sambil berseni, "Ka-mi mohon bicara dengan Lai
-goanswe "! Pada waktu itu, negara sedang kacau - balau, pertempuran terjadi di mana - mana,
maka tentu saja perbuatan Seng Kun ini menimbulkan kecuri-gaan. Juga Lai - goanswe
yang maklum akan banyaknya mata - mata pihak pemberontak, me-ngerutkan alisnya dan
memerintahkan para penga-walnya untuk menangkap pemuda dan dara yang berani menghadang
perjalanannya itu. Belasan orang pengawal lalu mengepung dan hendak menangkap Seng Kun dan Bwee
Hong de-ngan kekerasan. Akan tetapi, dua orang kakak ber-adik ini tentu saja tidak
sudi membiarkan diri ditangkap. Kaki tangan mereka bergerak dan be-lasan orang pengawal itu
terpelanting ke kanan kiri. Diam - diam Jenderal Lai terkejut dan makin yakinlah dia bahwa tentu
dua orang ini merupakan pendekar - pendekar yang memberontak pula.
"Siapkan pasukan panah!" perintahnya dan sepasukan yang memegang busur telah
datang dan siap untuk menyerang dua orang kakak beradik itu. Melihat ini, Seng Kun
merasa khawatir kalau-kalau perkelahian menjadi semakin berlarut. Dia tidak takut, akan tetapi
dia tahu bahwa bukan inilah caranya untuk mendekati jenderal itu.
"Tahan dulu !" bentaknya sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya
terdengar amat lan-tang berwibawa. "Harap Lai - goanswe tidak salah menilai orang!
Ketahuilah bahwa saya adalah utusan pribadi dari sri baginda kaisar. Inilah buk-tinya!" Dan Seng Kun
cepat mengeluarkan sehelai bendera yang ada tanda kebesaran kaisar. Itulah sebuah leng-ki (bendera
utusan kaisar) yang di- kenal baik oleh Jenderal Lai. Dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi cepat
memerintahkan pasukan panah mundur dan memberi perintah kepada para pengawalnya untuk
menggiring dua orang muda itu ke markas yang berada di dalam kota.
Legalah hati Seng Kun dan dia bersama adik-nya berjalan di antara pasukan itu,
kembali ke dalam kota karena Jenderal Lai agaknya akan me-meriksa dan bicara dengan mereka.
Lai - goanswe sendiri tetap naik kuda dan alisnya berkerut. Se-lama beberapa bulan
ini, Jenderal Lai mengalami kegagalan - kegagalan yang membuatnya merasa amat penasaran, juga
malu. Ketika rombongan ini tiba di pintu gerbang ben-teng yang terjaga ketat,
muncullah seorang perwira muda yang gagah. Dia ini Kwa Sun Tek yang telah berganti pakaian sebagai
perwira, karena memang putera ketua Tai-bong-pai yang banyak berjasa ini bersama hampir
limapuluh orang anak buahnya telah diangkat menjadi perwira dan pasukan isti-mewa oleh
gubernur dan diperbantukan dalam benteng itu. Hal ini adalah siasat sang gubernur agar
pemerintah pusat tidak tahu akan persekong-kolannya dengan berbagai pihak untuk memper-kuat kedudukan.
Ketika Kwa Sun Tek melihat Seng Kun dan Bwee Hong, dia terkejut sekali, mengenal mereka
berdua dan membentak, "Pemberontak - pemberontak mereka ini!" Dan langsung saja dia menyerang dengan
pukulan dahsyat ke arah Seng Kun. Tentu saja pemuda inipun tidak tinggal diam
dan cepat menangkis, dan ka-rena dia sudah maklum akan kelihaian kakak dari Kwa Siok Eng
ini, maka diapun menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Dessss !!" Pertemuan dua tenaga sinkang yang amat dahsyat itu membuat
keduanya tergetar mundur, akan tetapi ternyata Kwa Sun Tek terdorong sampai tiga
langkah lebih KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
jauh, dibandingkan dengan Seng Kun. Hal ini membuat dia penasaran dan dia sudah
siap melakukan se-rangan dengan pukulan yang lebih ampuh. Akan tetapi, Jenderal Lai
yang kembali karena mende-ngar suara ribut - ribut, membentaknya.
"Hentikan perkelahian itu !"
Tentu saja Kwa Sun Tek tidak berani memban-tah, hanya berkata, "Harap paduka
ketahui bahwa mereka ini adalah anggauta - anggauta pasukan pemberontak!"
"Kami bukan pemberontak dan hal ini tentu telah goanswe ketahui dari leng - ki
yang kami perlihatkan tadi," kata Seng Kun. Hati jenderal itu menjadi bimbang, dan
akhirnya dia memerin- tahkan Seng Kun dan Bwee Hong dibawa ke dalam kantornya, juga dia memerintahkan
perwira muda itu ikut pula. Setelah dihadapkan kepada Jenderal Lai di dalam kantornya yang terjaga ketat
oleh para pe-ngawal, Seng Kun lalu menceritakan segala per-soalan yang diketahuinya.
Bahkan dia menceritakan pula pengalamannya ketika dia berada bersama pasukan Liu Pang.
"Kami diutus oleh sri baginda kaisar untuk me-nyelidiki dan mencari Menteri Ho
yang diculik orang. Akan tetapi kami terlambat dan Menteri Ho telah terbunuh. Pasukan Liu -
bengcu juga gagal menyelamatkannya. Hal ini membuat para pen-dekar penasaran. Hendaknya
goanswe ketahui bahwa para pendekar itu sama sekali tidak ber-maksud memberontak
terhadap pemerintah, mela-inkan terhadap penguasa - penguasa daerah yang bersekongkol
dengan orang - orang asing. Agaknya, para penguasa daerah itu berhasil mengadu dom-ba antara
pasukan para pendekar dan pasukan pemerintah. Kami sengaja hendak menemui goanswe sebagai
perwira tinggi yang memegang komando atas semua pasukan pemerintah di daerah timur dan
selatan, untuk menjelaskan duduknya persoalan. Kalau goanswe mau melakukan pen-dekatan
dengan Liu - bengcu, kami yakin semua pertempuran ini dapat dihentikan dan bersama-sama Liu-
bengcu, goanswe dapat membersihkan negara dari para pemberontak aseli yang berse-kongkol
dengan pasukan asing." "Semua itu bohong belaka, Lai - goanswe !" Tiba-tiba Kwa Sun Tek mencela dengan
suara lantang. "Hamba sendiri yang melihat betapa dua orang ini ikut pula memberontak
dan membantu

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasukan Liu Pang menentang pasukan pemerintah. Banyak saksinya akan kenyataan
ini dan harap paduka tidak sampai terkena bujukannya yang be-racun. Liu Pang sudah jelas
merupakan pembe- rontak, bahkan kini telah merampas dan mendu-duki Lok - yang, bagaimana mungkin
paduka di- minta untuk bersekutu dengan pemberontak itu ?"
Jenderal Lai menjadi bimbang. Keterangan Seng Kun tadi berkesan di hatinya
karena diapun mena-ruh kecurigaan kepada para penguasa daerah yang suka berhubungan dengan
pasukan asing. Akan tetapi bantahan perwira muda itupun amat meya-kinkan.
"Bagaimana keteranganmu tentang dirampas dan didudukinya Lok-yang oleh Liu
Pang?" ta- nyanya kepada Seng Kun. Tentu saja pemuda ini menjadi bingung. Dia sendiri tidak tahu, hanya mendengar
saja bahwa Liu - bengcu telah menduduki Lok - yang. "Tentu ada hal - hal yang
memaksanya melakukan itu, goanswe. Mungkin penguasa di Lok - yang juga bersekutu dengan
pasukan asing !" Jenderal Lai menggebrak meja. "Tahan ucap-anmu ! Aku sendiri yang ikut
mempertahankan kota itu dari serbuan pemberontak Liu, dan kau berani bilang aku bersekutu
dengan orang asing ?" "Bukan Lai - goanswe, akan tetapi para pe-nguasa setempat."
"Harap paduka jangan percaya, semua omong-annya itu beracun ! " Kwa Sun Tek
berkata lagi. Bwee Hong yang sejak tadi diam saja menjadi marah. "Engkaulah yang
beracun! Siapa tidak tahu akan hal itu " Kami adalah utusan sri bagin-da kaisar dan untuk ini kakakku
mempunyai ben- dera tanda utusan kaisar. Pula, ayah kami adalah seorang yang berkedudukan
tinggi di istana, mana mungkin kami yang berada di luar lalu membantu pemberontak ?"
Seng Kun memandang adiknya, akan tetapi ucapan itu telah dikeluarkan dan hal ini
amat menarik perhatian Jenderal Lai. "Siapakah ayah-mu yang berada di istana, nona ?"
Karena adiknya sudah terlanjur bicara, Seng Kun lalu berkata, "Saya bernama Chu
Seng Kun dan adik saya ini Chu Bwee Hong. Ayah kami adalah kepala kuil istana Thian - to
- tang." "Ahhh ! Bu Hong Sengjin ?" Jenderal
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
itu bertanya dan hatinya kecut. Bu Hong Sengjin, biarpun hanya seorang pendeta
yang mengurus kuil istana Thian - to - tang, adalah paman dari kaisar dan tentu saja
mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar. Kalau kedua orang ini adalah benar putera-
puterinya, tentu saja dia tidak boleh sembarangan mencelakakan mereka, apa lagi mereka ini masih
utusan kaisar yang membawa leng - ki! "Sudahlah, untuk sementara ini kalian terpaksa kami tahan di sini. Aku akan
mencari keterangan tentang kalian ke istana, untuk menyatakan apakah benar-benar kalian
adalah utusan sri baginda kaisar."
"Akan tetapi, kami mempunyai tugas penting dan kami harus cepat-cepat kembali ke
istana untuk melapor kepada sri baginda
!" Seng Kun membantah. "Jangan membantah ! Di kota raja dan istana
sendiri sekarang ini sedang kalut
" Tiba-tiba sang jenderal menghentikan kata - katanya dan merasa kelepasan bicara.
"Apa apakah yang terjadi di istana ?"
Seng Kun cepat bertanya. Akan tetapi, jenderal itu bangkit dan mening-galkan ruangan dan berkata kepada
Kwa Sun Tek, "Tahan mereka itu, jangan sampai terlepas. Akan tetapi kalau aku
membutuhkan, mereka itu harus ada di tempat!"
Seng Kun dan Bwee Hong tidak dapat berbuat sesuatu dan tentu saja mereka tidak
berani mela-wan ketika digiring memasuki kamar tahanan di markas itu. Diam-diam. Kwa
Sun Tek menjadi girang sekali. Musuh-musuhnya ini yang telah banyak mengganggu dan
menggagalkan rencana-nya sekarang terjatuh ke dalam tangannya. Dia berpikir-pikir, apa yang
akan dilakukan terhadap dua orang itu, terutama sekali terhadap Bwee Hong yang cantik jelita.
Dengan wajah berseri dan se-pasang mata mengerling tajam ke arah Bwee Hong,
Kwa Sun Tek sendiri memimpin para pengawal yang menggiring dua orang kakak
beradik itu menuju ke kamar tahanan. Diam - diam Seng Kun dan Bwee Hong merasa khawatir. Mereka berdua yakin akan
ketegasan Lai - goanswe sebagai panglima perang, akan teta-pi tentu saja mereka
tidak dapat percaya kepada putera Tai - bong - pai yang berhati curang dan palsu ini.
Selagi rombongan pengawal itu mengantar Seng Kun dan Bwee Hong ke kamar tahanan
mereka, tiba - tiba muncul seorang perwira yang segera menemui Kwa Sun Tek dan
berkata dengan suara serius, "Taihiap ...... eh, ciangkun! Engkau di-panggil menghadap
oleh Jenderal Lai, sekarang juga. Ada urusan penting sekali!"
Kwa Sun Tek ragu - ragu dan kecewa, akan tetapi tentu saja dia tidak berani
membantah. "Bawa mereka ini ke penjara bawah tanah bersa-ma si gila itu. Awas, jangan
ganggu mereka dan jangan sampai mereka lolos. Kalian bertanggung jawab!"
Setelah berkata demikian, pergilah pemuda Tai - bong - pai itu bersama perwira
yang diutus oleh Lai - goanswe. Sementara itu, Chu Seng Kun merasa curiga sekali melihat
bahwa perwira yang memanggil pemuda Tai - bong - pai itu dikenalnya sebagai seorang di antara
perwira - perwira yang berada di Ban-kwi-to, yaitu perwira yang bersekongkol dengan
pasukan asing, jelaslah bahwa persekutuan itu telah menjalar sampai ke kota be-sar, bahkan di
tempat ini, di dekat kota raja, seo-lah-olah di depan hidung kaisar sendiri, perse-kongkolan
itu berjalan lancar. Sungguh keadaan sudah teramat gawat. Akan tetapi dia tidak ber-daya sebelum Lai-
goanwse memperoleh keterang-an dari kaisar sendiri tentang kedudukannya se-bagai utusan
kaisar. Kamar tahanan di bawah tanah itu melalui lorong bawah tanah yang diterangi oleh
lampu- lampu, biarpun waktu itu siang hari. Dan di da-lam sebuah kamar tahanan yang
kokoh kuat, mereka didorong masuk. Di dalamnya mereka melihat A-hai! Pemuda ini duduk
bersila dan kelihatan teainenung. Akan tetapi begitu melihat mereka berdua, A - hai mlenjadi
girang sekali. "Ah, aku sudah khawatir sekali akan keadaan kalian!" teriaknya. "Syukurlah kita
dapat berte- mu kembali dalam keadaan sehat!"
"Ya, akan tetapi bertemu dalam kamar tahanan yang kokoh kuat!" Seng Kun
menambahkan. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Tidak apa !" A - hai berkata gembira. "Yang penting adalah selamat dan sehat.
Apa artinya bertemu di istana yang indah kalau dalam keadaan tidak sehat dan tidak selamat "
Betul tidak, nona Hong ?" Bwee Hong terpaksa tersenyum. Biarpun ucapan itu terdengar kekanak-kanakan,
namun harus diakui bahwa memang tepat dan tak dapat dibantah. Ia mengangguk
membenarkan sehingga A - hai menjadi semakin gembira.
Akan tetapi Seng Kun tidak banyak melayani pemuda sinting itu dan dia sudah
mulai memeriksa keadaan kamar tahanan itu. Sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat
memang. Dindingnya dari batu yang sebelah dalamnya dilapisi baja. Juga pintu itu amat
kuatnya sehingga ketika Seng Kun men-coba untuk mendorongnya, sedikitpun tidak bergo-yang. Bwee
Hong juga memeriksa seluruh din-ding, mencari jalan keluar. Mereka maklum bahwa selama
mereka masih dalam kamar tahanan, ba-haya selalu mengancam karena mereka tahu bahwa mereka
terjatuh ke dalam tangan komplotan itu, dan Lai - goanswe sendiri tidak tahu adanya
komplotan itu. Karena Seng Kun sudah mem-bongkar rahasia, tentu komplotan itu, di bawah pimpinan
pemuda Tai - bong - pai, tidak akan membiarkan mereka lolos dengan selamat. Maka, mereka
harus dapat keluar dari tempat ini, sebe-lum terlambat.
Kalau kakak beradik itu sibuk memeriksa se-luruh dinding dan mencari kemungkinan
lolos, A - hai masih enak - enak duduk saja di atas lantai dan kini tangannya mengetuk-
ngetuk lantai. Agaknya dia juga merasa kesal didiamkan saja oleh dua orang kawannya itu.
"Tuk - tuk - tuk - tuk !" Tangannya, yang
di luar kesadarannya sendiri memiliki tenaga mu-jijat itu, mengetuk - ngetuk
lantai menggunakan sepotong batu kecil yang ditemukannya di tempat tahanan itu.
Kini dia memindahkan batu itu dari tangan ka-nan ke tangan kiri dan mengetuk -
ngetuknya kem-bali ke atas lantai di sebelah kirinya.
"Tuk - tuk - tung - tung - tung - tunggg
!" Tiba - tiba Seng Kun meloncat, mendekat. "Sau-dara A-hai, coba kaupukul lagi
lantai sebelah kananmu." A-hai memandang heran dan menurut. "Tuk-tuk-tukk!"
"Sekarang sebelah kirimu." Kembali A-hai menurut.
"Tung - tung - tunggg !" Jelas sekali ter-
dengar perbedaan bunyi. Seng Kun berjongkok dan menggunakan jari tangannya mengetuk-ngetuk bagian kiri A
- hai itu, di atas lantai batu. "Tung - tung - tunggg .,.,.!"
Melihat ini, Bwee Hong juga ikut berjongkok dan mengetuk - ngetuk lantai di sana
- sini dan ternyata yang terdengar bunyi "tung - tung" hanya di sekitar sebelah kiri A-hai.
"Ah, ada lubang di bawah sini!" bisik Bwee Hong. Kakaknya mengangguk dan
mengerutkan alisnya. "Agaknya ini merupakan satu - satunya harapan kita. Saudara A - hai dan kau juga
Bwee Hong, berdirilah di depan terali pintu dan beri isyarat kalau ada penjaga
datang. Aku akan berusaha membongkar lantai ini."
Tanpa berkata sesuatu, Bwee Hong dan A - hai lalu berdiri di pintu, di mana
terdapat jeruji baja yang kuat. Tidak nampak adanya penjaga di de-pan pintu itu. Para penjaga
berkumpul agak jauh dari situ walaupun mereka tidak pernah lengah dan selalu memandang ke arah
kamar tahanan. Melihat ini, Bwee Hong lalu memberi isyarat de-ngan tangannya.
Seng Kun lalu mengerahkan seluruh tenaganya, disalurkan kepada kedua lengannya
dan setelah merasa cukup kuat, dia lalu menggunakan kedua tangannya menghantam
lantai itu. "Brakkkkk !" Lantai itu pecah dan ambrol
dan ternyata di bawahnya memang berlubang.
Bagaimanapun juga suara itu menarik perhatian para penjaga. Mereka berlarian
mendatangi tem-pat itu. Melihat ini, Bwee Hong cepat menarik tangan A - hai dan bersama
Seng Kun mereka lalu menutupi lubang itu dengan tubuh mereka yang sengaja direbahkan miring di
atas lantai. Seng Kun dan Bwee Hong pura - pura memijiti tubuh A-hai yang setengah dipaksa
untuk rebah menelung-kup di atas lubang.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Kenapa " Apa yang terjadi ?" tanya komandan penjaga melihat mereka yang berada
di dalam kamar tahanan itu. "Teman karni ini pening dan terjatuh. Tapi tidak apa - apa, sebentar lagi tentu
dia sembuh. Memang dia mempunyai penyakit ayan yang ka-dang-kadang kumat!" kata Seng Kun.
Diam-diam A-hai mengomel dikatakan bahwa dia mem-punyai penyakit ayan. Para penjaga
tertawa lalu pergi lagi setelah melihat bahwa memang tidak terjadi apa - apa di kamar itu, tidak
terdapat tan-da - tanda bahwa tiga orang tawanan itu akan melarikan diri.
"Kita tunggu sampai gelap," bisik Seng Kun.
Mereka tetap rebah - rebahan menutupi lubang dan setelah kamar itu menjadi gelap
karena memang tidak diberi penerangan, barulah Seng Kun memeriksa lubang. Lubang itu
cukup besar untuk dapat dimasuki dan ketika dia memasuki lubang, ternyata di sebelah bawah
terdapat sebuah lorong seperti yang pernah mereka lihat lorong - lorong di bawah tanah dari
Kepulauan Ban - kwi - to. Maka mereka bertigapun cepat maju ke depan dengan hati - hati karena keadaan
di dalamnya gelap sama sekali. Setelah berjalan beberapa la-manya, mereka tiba di jalan
buntu. Di depan mereka menghadang dinding batu yang keras.
"Celaka, terowongan ini merupakan jalan bun-tu !" kata Seng Kun, mengeluh karena


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau mereka ketahuan dan para penjaga mengejar, tentu mereka akan tertawan kembali.
Di terowongan yang sempit itu tidak mungkin mereka melakukan perlawanan.
"Lihat, bagian ini tanahnya lunak dan bercam-pur pasir. Bagaimana kalau kita
membuat jalan dari sini ?" Bwee Hong berseru.
Seng Kun setuju dan mereka bertiga lalu mulai menggali. Dan memang benar, tanah
itu mudah digali, apa lagi oleh sepasang tangan kakak ber-adik yang kuat itu. Tak
lama kemudian mereka melihat batu landasan atau fondamen bangunan rumah.
"Wah, kita sampai di bawah rumah orang!"
Dengan jari tangannya yang kuat, Seng Kun lalu membuat lubang di lantai rumah
yang berada di atas mereka. Segera terdengar suara orang-orang bercakap - cakap
melalui lubang kecil itu dan mereka terkejut. Seng Kun dan adiknya segera mengenal suara pemuda Tai -
bong - pai yang menawan mereka! Mereka bertiga mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.
Kiranya di atas mereka merupakan sebuah ruangan di mana Kwa Sun Tek sedang mengadakan
rapat dengan bebe-rapa orang sekutunya, di antaranya terdapat kepala daerah Lok -
yang, juga Malisang, kepala Suku Mongol yang bersekutu dengan para pemberontak.
"Boleh jadi pasukan pemerintah sudah tidak begitu kuat karena mereka harus
menentang gerakan Chu Siang Yu dari barat, akan tetapi kita harus memperhitungkan kekuatan
Liu Pang," de- mikian kepala daerah Lok - yang bicara. "Daerah-ku telah dikuasainya. Untung aku
masih dapat lolos dengan menyamar sebagai pelayan. Padahal, pasukan penjaga kota dan dibantu
oleh pasukan koksu sudah cukup kuat, namun kami kalah, dan kehilangan banyak
perajurit." "Kami juga kehilangan banyak anak buah," kata orang Mongol itu dengan suara
kaku. "Kami tidak mengira bahwa Liu Pang dapat bergerak sedemi-kian cepatnya, dan terutama
sekali yang membikin kami gagal adalah kenyataan bahwa dalam pasukan tuan terdapat
pengkhianatnya, yaitu Gui-ciangkun dan pasukannya." Koksu atau kepala Suku Mongol itu terdengar
kecewa dan penasaran. "Akan tetapi sekarang, hal itu tidak perlu terulang kembali. Pasukan
- pasukan kami telah berdatangan di se-panjang pantai. Tak lama lagi mereka akan dapat
berkumpul untuk membantu kita semua."
Mendengar percakapan ini, diam - diam Seng Kun mengerutkan alisnya dan hatinya
khawatir sekali. "Celaka," pikirnya. "Keselamatan, negara sungguh terancam. Pasukan asing
dalam jumlah banyak telah mendarat. Sedangkan bangsa sendiri malah saling bermusuhan karena
saling mempere-butkan kedudukan. Pasukan Chu Siang Yu yang kuat itu memberontak. Para
gubernur juga mem-berontak dengan diam-diam. Pemerintah pusat
menghadapi begitu banyak ancaman pemberon-takan. Agaknya negara sudah berada di
ambang kehancuran." Tak lama kemudian, rapat di atas itupun bubar dan keadaan menjadi sepi. Seng Kun
mengintai dari lubang kecil yang dibuat jarinya tadi. Memang ruangan itu sudah
kosong sama sekali. Mereka lalu membongkar lantai dan keluar dari lorong bawah tanah itu.
Ternyata mereka KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
berada di da-lam ruangan yang menjadi bagian dari gedung gubernuran. Hari masih
larut malam dan mereka-pun cepat menyelinap keluar ruangan itu, ber-sembunyi di dalam gelap.
Seng Kun menjadi pe-mimpin dan dua orang kawannya mengikuti dari belakang. Mereka hendak
mencari jalan untuk keluar dari gedung itu.
Akan tetapi, baru saja mereka tiba di samping gedung, mereka mendengar suara
ribut - ribut dan melihat banyak sekali perajurit membawa obor. Di antara mereka
terdapat Kwa Sun Tek yang berteriak - teriak marah, "Mereka takkan dapat pergi jauh ! Sudah pasti
masih berada di dalam gedung. Hayo kepung gedung dan jangan sampai membiarkan seorangpun
lolos !" "Celaka, kita telah ketahuan!" bisik Seng Kun dan diapun mengajak Bwee Hong dan
A - hai untuk mundur kembali memasuki gedung ! Seng Kun berpikir cepat dan. tak lama
kemudian dia sudah terus masuk ke dalam gedung menyuruh A - hai
dan Bwee Hong bersembunyi dan segera menang-kap seorang pelayan yang agaknya
terkejut men-dengar ribut - ribut di luar gedung.
"Cepat bawa kami ke dalam kamar gubernur!" Seng Kun mengancam sambil
mencengkeram teng-kuk pelayan itu. Cengkeramannya membuat pela-yan itu merasa kesakitan dan
tanpa banyak cakap lagi diapun, mengangguk - angguk dan pergilah mereka bertiga mengikuti
pelayan ke kamar sang gubernur. Dengan kepandaiannya, Seng Kun men-dorong pintu terbuka setelah
Bwee Hong melum-puhkan dua orang pengawal jaga di luar pintu, kemudian, sebelum sang
gubernur yang baru saja bangun karena kaget itu sempat berteriak Seng Kun telah menangkapnya
dan mengancam. "Kalau sayang nyawa, jangan banyak bergerak dan jangan mengeluarkan suara!"
"Ampun jangan bunuh " "Keluarkan kereta, selundupkan kami keluar dari kota ini. Kalau kami selamat,
engkaupun hi- dup !" hardik Seng Kun dengan suara lirih akan tetapi penuh ancaman.
"Baik baik !" Di bawah ancaman Seng Kun dan Bwee Hong, akhirnya pembesar itu mengenakan
pakaian kebe-saran lalu membawa mereka ke tempat kereta, membangunkan kusir kereta dan
tak lama kemu-dian, keretapun bergerak keluar dari halaman samping gedung. Beberapa orang
perajurit melihat dengan heran, bahkan ada seorang perwira yang berseru kepada kusir
kereta, bertanya. Gu-bernur, di bawah ancaman Seng Kun, menyingkap tirai jendela kereta dan
berkata bahwa dia ingin memeriksa dan melihat sendiri keluar gedung, mencari tahu tentang
kerusuhan - kerusuhan yang terjadi di kota. Beberapa pasukan pengawal siap hendak mengiringkan kereta,
akan tetapi gu-bernur itu menolak dan memerintahkan mereka menjaga gedung baik - baik.
Setelah berhasil keluar dari pintu gerbang ge-dung itu, Seng Kun lalu menotok
kusir kereta dan dia sendiri lalu duduk menggantikan tempat kusir. "Saudara A - hai, engkau
duduklah di sampingku sebagai pembantu," katanya.
Si gubernur gendut duduk berdua saja dengan Bwee Hong dan hal ini agaknya
melegakan hati-nya. Disangkanya bahwa dara secantik itu tentu tidak kejam dan tidak begitu
kuat, maka dia sudah mulai melihat ke kanan kiri untuk mencari kesem-patan menyelamatkan diri.
Melihat ini, Bwee Hong berkata, "Kalau engkau melakukan yang bukan - bukan, aku akan menghancurkan kepalamu
seperti ini!" Dan Bwee Hong menggunakan tangannya meremas lengan kursi dalam kereta yang
terbuat dari kayu keras. Lengan kursi itu hancur ketika dicengkeram-nya. Melihat ini
seketika muka si gubernur men-jadi pucat dan diapun tidak lagi berani berkutik, maklum bahwa
gadis cantik jelita inipun lihai bu-kan main dan agaknya tidak kalah kejam diban-dingkan dengan
orang yang kini menggantikan kusirnya. Maka diapun pasrah saja dengan muka pucat, hati berdebar
dan tubuh menggigil. Kereta berhasil melalui pintu gerbang kota de-ngan selamat. Para perwira dan
pasukan penjaga, biarpun terheran - heran, tidak berani mengganggu melihat sang gubernur
duduk di dalam kereta de-ngan santai bersama seorang wanita muda yang
cantik. Mereka mengira bahwa sang gubernur sedang mencari angin bersama seorang
selirnya yang terkasih dan tidak ingin diganggu, maka tidak ada pasukan pengawalnya dan
hanya ditemani oleh kusir dan pembantunya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, tidak semua pasukan setolol itu. Ada beberapa orang perwira yang
merasa curiga sekali. Tidak seperti biasa seorang gubernur melakukan perjalanan malam
seperti itu, tanpa kawalan dan keluar dari kota. Mereka lalu mempersiapkan pa-sukan dan diam - diam
membayangi kereta itu dari jauh. Ketika kereta melalui pintu, tiba - tiba saja perwira - perwira dan pasukannya
itu menghadang di depan kereta. "Tahan dulu !" bentak seorang di antara para
perwira. "Harap taijin
maafkan ke-lancangan kami, akan tetapi dalam keadaan yang gawat ini kami harus
bertindak hati- hati dan kami ingin merasa yakin bahwa taijin dalam keadaan selamat."
Bwee Hong mencengkeram tengkuk pembesar itu yang menjadi semakin ketakutan.
"Hayo kata-kan bahwa engkau selamat dan suruh mereka semua minggir!" desis dara itu
kepada sang gubernur. Akan tetapi, gubernur itu menjadi demikian takut-nya sehingga sukar
baginya untuk mengeluarkan suara. "Selamat aku selamat sebaiknya ka-
lian pergilah " Melihat sikap gugup ketakutan dan mendengar suara yarig menggigil dan tersendat-
sendat itu, tentu saja para perwira menjadi semakin curiga. "Kepung ! Tangkap
penjahat !" "Heh, mereka adalah tawanan - tawanan yang meloloskan diri itu!"
Tentu saja keadaan menjadi geger dan para perajurit lari mendatangi dan kereta
itu dikepung. Seng Kun dan Bwee Hong sudah melompat turun dan mereka berdua
mengamuk. Biarpun dikepung dan dikeroyok banyak perajurit, kalau mereka menghendaki, dua
orang kakak beradik ini agaknya akan mudah untuk melarikan diri. Akan tetapi mereka teringat
akan A - hai yang masih saja du-duk di tempat kusir dan memandang perkelahian itu dengan
bingung. Banyak perajurit sudah ro-boh terkena tamparan dan tendangan kakak ber-adik yang
tangguh itu. "Saudara Seng Kun! Nona Hong, kalian larilah saja dan jangan hiraukan aku !"
Berkali - kali A-hai minta mereka melarikan diri. Dia tahu bahwa ka-kak beradik itu tidak mau
lari karena hendak me-lindungi dia. Hal ini membuat hatinya terasa amat tidak enak. Dia
sendiri tidak mampu melawan. Apa lagi melawan, bahkan melihat mereka berdua di-keroyok saja hatinya
sudah menjadi gelisah sekali. Bwee Hong mengerutkan alisnya. Harus ada akal untuk menyelamatkan A-hai, dan
satu- satu-nya akal hanyalah membuat pemuda itu menga-muk ! Kalau ia dan kakaknya
harus membawa A-hai dari situ sambil melawan pengeroyokan, sungguh tidak mungkin.
Selain A-hai tidak akan mau, juga kalau muncul lawan berat seperti putera Tai - bong - pai,
akan berbahaya sekali. Akan teta-pi bagaimana ia harus berbuat untuk dapat mem-buat A - hai
kumat dan timbul kelihaiannya " Seorang pengeroyok menyerang Bwee Hong dari samping dengan tusukan tombaknya.
Bwee Hong menangkap tombak itu dan tiba-tiba men-jerit, lalu roboh bersama
penusuknya, mandi darah! Melihat ini, Seng Kun terkejut bukan main. Ham-pir dia tidak percaya
bahwa adiknya akan roboh sedemikian mudahnya, diserang oleh seorang pe-rajurit biasa dengan tombak.
Tubuhnya meloncat dan meluncur bagaikan halilintar menyambar dan para pengeroyok adiknya
terpelanting ke kanan kiri. Dengan muka pucat dia melihat adiknya menggeletak berlumuran darah.
"Hong-moi !" teriaknya. Akan tetapi pada
saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan se-pasukan perajurit datang
dipimpin oleh Kwa Sun Tek yang lihai. Bahkan kepala Suku Mongol yang tinggi besar itupun
datang bersama pemuda Tai-bong - pai itu !
Celaka, pikir Seng Kun. Matilah mereka seka-rang. Adiknya yang merupakan
pembantu amat lihainya, telah menggeletak dan agaknya terluka cukup parah. Dia seorang diri
mana mampu ber- tahan " Apa lagi kalau harus melindungi adiknya yang terluka dan A - hai yang
masih duduk di atas kereta. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Melihat datangnya pasukan bantuan yang kuat, kini para perajurit sudah mulai


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maju lagi menge-royok Seng Kun yang terpaksa harus melindungi tubuh adiknya. Pada saat
itu, tiba - tiba saja ter-dengar teriakan yang amat dahsyat dan memekak-kan telinga, lengkingan
yang seperti bukan keluar dari mulut manusia, disusul berkelebatnya sesosok tubuh manusia
yang melayang turun dari atas kereta. Tubuh itu melayang ke arah Bwee Hong yang masih rebah
miring mandi darah, lalu dengan mata beringas dia menggunakan tangan kiri me-nyambar tubuh
Bwee Hong dan memanggul di atas pundaknya. Orang ini bukan lain adalah A-hai yang telah
"kumat" gilanya
ketika melihat Bwee Hong roboh mandi darah. Kini, dengan tubuh Bwee Hong dipanggul di atas
pundaknya, dia me-mandang ke depan dengan sikap beringas menge-rikan, sepasang matanya
mencorong dan mengan-dung penuh nafsu membunuh.
Melihat ini, tentu saja beberapa orang perajurit mengepung dan menyerangnya.
Akan tetapi, sam-bil mengeluarkan suara mendengus pendek, A-hai menggerakkan tangan
kanannya dengan cepat dan terdengarlah jerit - jerit mengerikan dan lima orang perajurit
telah roboh dengan tubuh kaku dan mata mendelik, mati! Tidak ada setetespun darah ke-luar,
tidak ada sedikitpun luka nampak di tubuh mereka. Tentu saja hal ini menimbulkan kegem-
paran dan para perajurit menjadi ngeri ketakutan. Bahkan Seng Kun sendiripun yang melihat jelas
akibat gerakan tangan A-hai itu, diam-diam merasa serem dan ngeri. Ilmu apakah yang diper-
gunakan A-hai sehingga akibatnya sedemikian hebatnya "
Melihat kelihaian dua orang pemuda yang mengamuk itu, majulah Kwa Sun Tek yang
diban- tu oleh Malisang, raksasa Mongol kepala suku yang menjadi sekutu pemberontak
itu. Dia menubruk ke arah A-hai yang memanggul gadis pingsan itu, menggunakan kedua
lengannya yang panjang dan besar itu untuk mencengkeram ke depan se-perti gerakan seekor
biruang menerkam. Akan te tapi, A - hai kembali mendengus pendek dan tangan kanannya menyambut dengan
dorongan. "Bresss !" Pertemuan dua tenaga besar
seolah - olah menggetarkan udara dan akibatnya, raksasa Mongol itu terjengkang
dan terbanting jatuh, lalu bergulingan dan meloncat bangun kem-bali. Matanya
terbelalak saking kagetnya dan hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang
menggunakan sebelah tangan saja untuk menyambut tubrukannya yang mengan-dung tenaga amat
besar itu. A - hai sendiri tergetar karena besarnya tenaga lawan, akan tetapi dia hanya
melangkah mundur sebanyak empat langkah saja. Melihat kehebatan pemuda ini, Malisang maju lagi
dan kini dia dibantu oleh beberapa orang perwira pengawalnya yang sudah mencabut pe-dang,
Namun, A - hai menyambut pengeroyokan tujuh orang itu dengan sebelah tangan kanan saja dan
hebatnya, pemuda yang biasanya lemah dan bodoh itu kini tiba-tiba saja berobah menjadi se-
orang yang selain gagah perkasa, juga cerdik dan lengan kanannya itu kebal senjata, bahkan
jari-jari tangannya dapat dipergunakan untuk menangkis senjata tajam lawan tanpa terluka
sedikitpun! Se-pak terjangnya menggiriskan sehingga Malisang minta bantuan lebih banyak
temannya lagi. Sementara itu, Seng Kun juga sudah bertan-ding melawan Kwa Sun Tek, tokoh muda
Tai- bong - pai. Mula - mula mereka berdua berkelahi dengan tangan kosong, akan
tetapi melihat betapa pemuda jangkung tampan itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat,
terlalu kuat baginya, Kwa Sun Tek lalu mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang
cangkul penggali kuburan. Terjadilah perkelahian yang amat seru, akan tetapi karena Kwa
Sun Tek juga dibantu oleh banyak orang, Seng Kun mulai terdesak pula. Juga A-hai terdesak
karena pemuda ini selalu harus melin-dungi sambaran senjata yang mengancam tubuh Bwee Hong yang
dipanggulnya. Seng Kun menggeser kedudukannya agar men-dekati A - hai dan dia berseru,
"Saudara A - hai, mari kita melarikan diri!"
Berkali - kali dia mendesak, akan tetapi A - hai sama sekali tidak
memperdulikannya, bahkan ke-tika Seng Kun terlalu mendekatinya, pemuda sin-ting ini menggunakan
tangannya untuk menyam-pok sehingga Seng Kun terhuyung! Kiranya se-telah kumat, A - hai
sama sekali tidak mengenal-nya lagi! Maka terpaksa Seng Kun menjauh lagi dan melanjutkan
amukannya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Diam - diam dia me-ngeluh. Tidak mungkin bagi mereka berdua, be-tapapun lihainya
A - hai, akan dapat bertahan menghadapi pengeroyokan sedemikian banyaknya anak buah pasukan.
Tentu saja semua ini dilihat jelas oleh Bwee Hong yang dipondong oleh A-hai.
Dara ini tadi memang hanya pura-pura saja membiarkan dirinya
seolah - olah terkena serangan senjata lawan. Pa-dahal, darah yang menodai
pakaiannya itu bukan-lah darahnya sendiri, melainkan darah lawannya. Ia berhasil mengelabuhi A-
hai dan berhasil pula membikin pemuda itu kumat sintingnya. Akan te-tapi sungguh celaka,
kini A - hai mengamuk dan tidak mau melarikan diri seperti yang dianjurkan berkali - kali
oleh kakaknya. Iapun tahu bahwa betapapun lihainya A-hai, tidak mungkin dapat bertahan kalau
terus-menerus menghadapi penge-royokan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit. Maka,
diangkatnya kepalanya mendekati telinga pemuda sinting itu dan iapun berbisik, "A - hai, lihatlah,
kakakku sudah terdesak. Mari kita pergi dari sini !"
"Hemmm " Pergi ?" A - hai menun- duk dan memandang wajah dara itu. Matanya
yang buas itu membuat Bwee Hong sendiri men-
jadi ngeri. "Koko, mari kita lari! A - hai, hayo loncati tembok di sana itu!" Bwee Hong
berseru sambil menekan - nekan pundak A - hai.
Seng Kun girang sekali melihat bahwa adiknya ternyata selamat dan kini kakak ini
baru mengerti bahwa robohnya Bwee Hong tadi ternyata hanya-lah siasat untuk
"membangkitkan" A -
hai. "Baik, mari kita pergi!" katanya sambil mero-bohkan dua orang perajurit dan
pemuda inipun mempergunakan ginkangnya yang amat hebat untuk melayang ke arah tembok bagaikan
seekor burung terbang saja. "Hayo kita pergi, A - hai !" kata pula Bwee Hong.
"Pergi " Baik, ibu !" Dan A - hai lalu me-
loncat dengan kecepatan yang membuat Bwee
Hong terkejut dan ngeri. Akan tetapi, lebih terke-
jut dan heran lagi hatinya ketika tadi ia mendengar
A - hai menyebutnya "ibu" !
"Kejar!" "Tangkap !" "Bunuh !!" Teriakan - teriakan itu menggerakkan para pe-rajurit untuk mengejar, akan tetapi
begitu A - hai menggerakkan tangan ke belakang dan empat orang roboh terpelanting dan
tewas, mereka menjadi jerih dan akhirnya mereka bertiga dapat lolos dari pe-ngejaran para
perajurit. Tentu saja Kwa Sun Tek menjadi marah dan khawatir. Tawanan - tawanan itu diserahkan
kepadanya dan menjadi tanggung jawabnya, raaka tentu saja sama sekali tidak boleh lolos ! Dia
mengerahkan pasukannya, dibantu oleh Malisang, melakukan pengejaran secepatnya.
Ketika pasukan itu tiba di pintu gerbang, baru saja pintu gerbang dibuka,
terdengar derap kaki kuda dan muncullah Jenderal Lai diikuti oleh pa-sukan pengawalnya. Melihat
jenderal ini, tentu saja Kwa Sun Tek terkejut dan cepat memberi hormat bersama para
pembantunya. Jenderal Lai mengerutkan alisnya dan meman-dang tajam. "Ada kejadian apa lagi
ini " Kenapa sampai terdengar dipukulnya tanda bahaya segala?"
Tentu saja Kwa Sun Tek merasa canggung dan gugup. Akan tetapi dia tidak mungkin
dapat me-nyembunyikan kenyataan, maka dengan hati-hati dia lalu bercerita bahwa tiga
orang tawanan itu memberontak dan melarikan diri dengan jalan kekerasan. "Kami sedang berusaha
mengejar mere-ka, Lai - ciangkun."
Jenderal Lai terkejut sekali mendengar ini. Dia marah. "Hemm, mengapa engkau
begini ceroboh dan membiarkan tawanan penting lolos ?"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Kami tentu akan dapat menangkap mereka kembali!" kata Malisang melihat
kemarahan jen- deral itu. Jenderal Lai menengok dan melihat rak-sasa rambut putih itu dia
membentak, "Siapa pula orang ini ?" Kwa Sun Tek sudah terkejut sekali mendengar Malisang ikut bicara tadi, dan kini
dengan gugup dia menjawab. "Dia adalah seorang pengawal pribadi saya, goanswe!"
"Hayo kejar dan tangkap mereka kembali!" Akhirnya sang jenderal memberi perintah
sambil memutar kudanya memasuki kota kembali. Kwa Sun Tek bersama Malisang lalu
mengerahkan pa- sukan dan melakukan pengejaran keluar kota.
Chu Seng Kun diam-diam merasa kagum bu-kan main kepada A-hai. Biarpun pemuda
sinting yang sedang kumat itu memanggul tubuh Bwee Hong, akan tetapi dia dapat berlari
dengan kece- atan yang luar biasa. Seng Kun sendiri adalah keturunan dari Tabib Sakti Tanpa
Bayangan yang sudah terkenal memiliki ginkang nomor satu di dunia persilatan. Akan tetapi
sekali ini dia harus mengakui bahwa ginkang atau ilmu meringankan tubuh dari pemuda sinting itu tidak
kalah olehnya. Bahkan dia harus mengerahkan semua tenaganya untuk dapat mengimbangi
kecepatan lari A-hai. Mereka keluar masuk hutan dan naik turun bukit-bukit. Setelah mereka tiba di
tepi sebuah sungai yang jernih airnya, Bwee Hong berbisik kepada A - hai, "A - hai,
berhenti! Turunkan aku di
sini !" Memang aneh sekali. Dalam keadaan kumat, pemuda ini tidak mau perduli,
bahkan tidak me-ngenal semua orang. Akan tetapi seperti ketika berhadapan dengan Pek Lian,
kini dia amat patuh kepada Bwee Hong. Biarpun tadinya beringas dan buas, mendengar suara Bwee
Hong, dia menjadi lemah dan penurut sekali. Dan suasana yang te-nang di tempat itu agaknya
cepat memulihkannya kembali dari kambuhnya. Dia menurunkan Bwee Hong, lalu dia duduk
di atas sebongkah batu besar, termenung sejenak, memandang ke kanan kiri se-perti orang
terheran - heran atau seperti baru saja
bangun dari mimpi buruk, kemudian dia menutupi mukanya dengan kedua telapak
tangannya sambil mengeluh panjang pendek, "Aduh, kepalaku !
Kepalaku !" Dengan perasaan iba Bwee Hong mendekatinya, lalu memegang pundaknya dengan sikap
halus. "Kepalamu kenapa, A-hai" Bagaimana rasanya?"
"Aduhh pening , pusing sekali. Ahhhh " Dan tiba - tiba saja A - hai terkulai dan ten-
tu jatuh terguling dari atas batu kalau tidak cepat-
cepat dipegang oleh Bwee Hong. Pemuda itu su-
dah roboh pingsan! "A - hai ! A - hai ! Engkau kena- pakah, A - hai ?" Bwee Hong yang merang-
kulnya itu mengguncang - guncangnya, hatinya
penuh dengan perasaan iba. Wajah A - hai yang
tadinya kemerahan dengan mata beringas itu kini
perlahan - lahan berobah menjadi pucat.
"Tenanglah, Hong-moi, biarkan dia terlentang di atas rumput. Dia sedang
mengalami perobahan seperti biasa, setelah tadi mengalami guncangan batin yang hebat dan
yang membuatnya kumat. Bagaimanapun juga, siasatmu itu bagus sekali dan telah
menyelamatkan kita." "Ah, itu merupakan jalan satu - satunya, yaitu membuat dia kumat.
Sebetulnya, kalau tidak ter-paksa, aku tidak tega melihat dia kumat seperti itu, dan engkau tahu, koko,
ketika kumat tadi, dia menyebut aku ibu!"
Seng Kun memandang wajah pemuda yang kini rebah terlentang dengan muka pucat itu


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan me-raba-raba dagunya yang masih halus belum di-tumbuhi jenggot. "Hemm, tentu ada
rahasia di balik itu semua, rahasia yang menyangkut ibunya. Agaknya dahulu terjadi
peristiwa hebat sekali yang membuat batinnya terguncang secara luar biasa."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Kita sudah melihat dia beberapa kali kumat dan agaknya dia kumat karena
guncangan batin, terutama sekali apa bila dia melihat darah. Adik Pek Lian juga
menceritakan demikian. Aku
ham-pir merasa pasti bahwa masa lalunya yang telah dilupakannya itu apa bila dia
dalam keadaan biasa, tentulah sangat serem dan mengerikan. Tentu masa lalunya itu penuh dengan
peristiwa yang-berlepotan darah dan pembunuhan. Dan peristi-wa itu sangat melukai hatinya
sehingga sampai sekarangpun mempengaruhi batinnya. Kurasa, apa bila dia sedang kumat, dia
justeru sedang hidup kembali dalam masa lalu yang terlupakan itu, dia menjadi buas dan
penuh dengan hawa nafsu mem-bunuh ! Bagaimana pendapatmu, koko ?"
Seng Kun mengangguk-angguk. "Cocok dengan pendapatku. Pemuda ini sekarang
mempunyai dua dunia, yaitu dunia yang terlupakan itu dan yang dimasukinya sew
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** aanya " Koko, untuk masa ini, ilmu pengobatanmu mungkin yang nomor satu di dunia
setelah ayah eh, kakek kita meninggal dunia
Coba berilah keterangan mengenai penyakit yang diderita A-hai, aku ingin sekali
mendengarnya." Seng Kun menarik napas panjang dan menatap wajah A - hai yang masih pingsan
seperti orang tidur nyenyak itu. "Hemm, terus terang saja, adik-ku. Aku sendiri belum
dapat memastikan penya-bit apa yang dideritanya, hanya dapat meraba raba dan mengira-ngira saja.
Akan tetapi setelah melihat keadaannya dan mendengar cerita menge-nai dirinya, aku merasa
yakin bahwa dia menga-lami gangguan pada jalinan syaraf otaknya. Ada gangguan yang membuat
otaknya terganggu se-hingga terjadi kelainan. Telah terjadi sesuatu yang mengguncangkan
dan mendatangkan luka pada susunan otaknya sehingga merusak daya ker-janya, membuat
dia kehilangan ingatannya saat dia kecil sampai beberapa saat yang lalu. Di da-lam
buku kakek, aku pernah membaca tentang gangguan yang dapat mengakibatkan kerusakan daya kerja
otak. Benturan kepala yang keras dapat mengakibatkan kerusakan. Keracunan racun-racun
tertentu dapat juga merusak syaraf otak dan meng-akibatkan ketidaknormalan. Juga
peristiwa-peris-tiwa yang amat hebat dapat mengguncangkan ba-tin sedemikian hebatnya sehingga
mengakibatkan pula kelainan pada susunan otak dan mendatang-kan kegilaan. Ada pula penyakit
yang merupakan penyakit keturunan, penyakit gila keturunan yang kadang-kadang muncul kadang-
kadang tidak, seperti keadaan A-hai ini. Akan tetapi aku me-lihat gejala-gejala berbeda dari
pada diri A - hai dengan penyakit gila keturunan, karena A-hai hanya kambuh kalau batinnya
terguncang oleh kengerian saja. Sayang kita tidak mengenal asal-usul dan masa lalunya. Kalau
kita mengetahuinya, tentu akan lebih mudah untuk mengenal jenis pe-nyakitnya dan tentu saja lebih
mudah pula untuk mencoba memberi pengobatannya."
"Habis, bagaimana baiknya, koko " Aku ingin sekali melihat dia sembuh. Dia sudah
berbuat banyak terhadap kita, dia sudah melepas budi besar walaupun tidak disengajanya."
"Itulah, kita harus menyelidiki dengan cermat.
Belum tentu yang menimpa dirinya itu merupakan
suatu penyakit. Mungkin akibat guncangan batin
yang hebat. Atau dapat juga jalinan syaraf rusak
karena peredaran darah yang kacau. Keracunan
darah melalui luka dapat saja merusak syaraf otak.
Kita harus menyelidiki "
"Lalu bagaimana caranya " Bagaimana kita bisa membuka rahasia penyakitnya P"
Seng Kun mengerutkan alisnya dan mengguna-kan pikirannya. Sebelum adiknya
mengajukan pertanyaan - pertanyaan itu mengenai diri A - hai, hal ini sudah sering kali
direnungkannya. Tidak, dia ingin mengobati A - hai bukan karena merasa ber-hutang budi. Andaikata A -
hai tidak pernah mele-pas budi sekalipun, tetap saja dia ingin mengobati-nya. Yang mendorongnya
adalah wataknya sebagai ahli pengobatan. Setiap orang ahli pengobatan yang benar -
benar mencintai keahliannya, tentu akan merasa ditantang apa bila menghadapi seorang yang
menderita penyakit berat dan aneh. Makin berat dan makin aneh penyakitnya, makin besarlah gairahnya
untuk memeranginya, untuk melawan dan menundukkan penyakit itu. Dia merasa ditantang
oleh seorang lawan yang mena-rik !
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Satu - satunya jalan ialah mengetahui sebabnya mengenai dunia masa lalunya itu.
Siapakah dia sebenarnya, bagaimana asal-usulnya dan apa yang terjadi dengan dia pada saat
- saat terakhir masa lalunya itu " Dan siapa keluarganya, dari mana asalnya " Kalau kita
mengetahui asal - usul- nya, kita dapat mengajaknya ke tempat itu. Tem-pat-tempat yang sudah sangat
dikenalnya, kam- pung halaman di mana dia tumbuh di waktu masa kanak-kanak, akan membantu dia
untuk cepat menemukan dirinya kembali. Akan tetapi dalam keadaan sekarang, tak mungkin hal
itu terjadi. Dia sendiripun sudah lupa akan asal - usulnya, bagai-mana kita akan dapat
menyelidikinya " Hanya
ada satu jalan, akan tetapi ......" Seng Kun tidak me-lanjutkan.
"Tetapi bagaimana, koko ?" tanya adiknya tak sabar.
"Engkau tahu, untuk dapat memperoleh kete-
rangan yang paling mudah mengenai masa lalu-
nya, tentu saja pada saat - saat dia kumat. Karena
dalam keadaan normal dia lupa sama sekali me-
ngenai dirinya. Dan pada saat dia kumat tentu
dia tahu akan keadaan dirinya di masa lalu, ha-
nya dia berbahaya sekali. Ilmu kepandaian
silat kita sama sekali bukan apa - apa dibandingkan dengan dia. Dan perasaannya
amat halus. Sekali dia tersinggung, kita akan dengan amat mudah saja tewas di
tangannya." Bwee Hong mengangguk-angguk. Iapun sudah mengenal kehebatan A - hai kalau sedang
kumat. "Lalu bagaimana baiknya " Apakah kita akan diam saja melihat
penderitaannya yang hebat
itu ?" tanyanya sedih dan matanya menjadi basah ketika ia memandang ke wajah
pemuda yang masih ping-san itu. Melihat kesedihan adiknya, Seng Kun menjadi kasihan dan dia menyentuh tangan
adiknya. "Hong-moi, sebenarnya aku telah memikirkan suatu jalan,
akan tetapi aku tidak berani mengatakannya kare-na aku amat mengkhawatirkan
resikonya." "Katakanlah, jalan apa itu " Kalau perlu, kita harus berani menempuh resikonya."
"Begini, adikku. Sebuas - buasnya binatang, pada dasarnya masih memiliki kasih
sayang, apa lagi manusia. Seluruh mahluk di permukaan bumi ini, dari binatang yang
paling buas dan tak ber-akal budi, sampai kepada manusia, semua tunduk oleh rasa kasih sayang ini.
Aku melihat betapa A - hai, dalam keadaannya yang paling buas selagi kumat, masih juga
mempunyai kelemahan dan tun-duk terhadap perasaan suci itu. Dia mempunyai tanggapan
tersendiri kepadamu. Ingatkah engkau sewaktu dia berlutut di depanmu ketika dia ku-mat di
pulau terlarang itu " Dan tadi " Dia begitu buas dan mengerikan, akan tetapi terhadap engkau
dia seperti seorang anak kecil yang lemah dan
taat. Maka, menurut dugaanku, hanya engkaulah seorang di dunia ini yang dapat
mendekati hatinya sewaktu dia kumat. Dengan senjata kasih sayang yang ada pada dirinya
itu, engkau akan dapat menundukkannya di waktu dia kumat dan menjadi buas. Akan tetapi
bagaimanapun juga, engkau adalah adikku. Aku tidak berani mengambil resiko yang terlalu besar.
Sekali saja salah jalan, nyawa-mu bisa melayang. Sewaktu dia kumat, akupun tidak mampu melindungi
dirimu lagi. Dan lebih sukar lagi, saat kumatnya itu demikian singkat sehingga tidak banyak
waktu lagi untuk melakukan penyelidikan " Pada saat itu terdengar suara keluhan dan A-hai nampak menggeliat bangun.
"Koko, dia telah siumam"
A - hai bangkit duduk dan memandang ke ka-nan kiri dengan bingung. Melihat Bwee
Hong dan Seng Kun berada di situ, diapun bertanya heran, "Eh, apa yang telah
terjadi " Di mana pengero-yok - pengeroyok itu, di mana pula kereta kita " Kita berada di
manakah ?" "Engkau pingsan dan kita bawa ke sini,"
kata Seng Kun membohong agar pemuda itu tidak banyak berpikir dan menjadi
bingung. A - hai masih bengong dan nampak termenung. Seolah - olah dia hendak mengingat
sesuatu dan dia merasa seperti mimpi, mimpi aneh. Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan
bermalam di sebuah pondok tua yang tiada penghuninya lagi, di luar sebuah dusun kecil.
Mereka membuat api unggun dan Bwee Hong menangkap tiga ekor ayam hutan kemudian mereka makan daging
ayam KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
hutan pang-gang. Setelah itu, mereka membuat api unggun dan sambil duduk
mengelilingi api unggun mereka ber-cakap - cakap.
"A - hai, sebenarnya, di manakah tempat ting-galmu, maksudku kampung
halamanmu ?" Bwee Hong bertanya, memancing dan mencoba kalau-kalau pemuda itu dapat
mengingatnya. A-hai menundukkan mukanya. "Entahlah, aku tidak ingat sama sekali. Nona tentu
Sudah tahu bahwa aku sudah lupa sama sekali tentang diriku, lupa siapa aku ini, siapa
orang tuaku. Bagaimana aku tahu di mana kampung halamanku ?"
"Akan tetapi engkau tentu masih ingat akan tempat - tempat yang kaukunjungi
untuk yang pertama kali dan yang terakhir kali, bukan ?"
"Tentu saja," jawab A - hai sambil tersenyum sedih. "Tempat yang terakhir adalah
di sini, bu-kan ?" Dia menepuk tanah di mana dia duduk dekat api unggun.
"Dan yang pertama kali kaukunjungi " Yang masih kauingat pada pertama kalinya
sesudah waktu yang terlupakan olehmu itu, di manakah itu ?"
A - hai mengerutkan alisnya, seperti hendak menggali dalam benaknya ingatan -
ingatan lama. Sampai berkeringat wajahnya. Seng Kun memper-hatikan dan diam saja. Dia
menyerahkan hal itu kepada adiknya saja, akan tetapi dengan cermat dia memperhatikan wajah A
- hai. Wajah itu kini berkeringat, seolah - olah pekerjaan mengingat-ingat merupakan
pekerjaan yang amat berat dan melelahkan baginya.
"Sapi kuda kerbau domba ...... ah, pendeknya banyak ternak dan aku menggem-
balanya, di padang rumput
, benar, di padang rumput yang segar dan hijau."
"Padang rumput " Menggembala ternak ?" Bwee Hong bertanya sambil saling pandang
dengan ka-kaknya "Benar, tempat itulah yang bisa kuingat, sampai kini. Lebih lama dari waktu itu
aku tidak ingat lagi." "Jadi saat engkau menjadi penggembala
itulah saat terakhir yang dapat kauingat dan sebelum saat itu engkau lupa ?"
"Benar. Menjadi penggembala di padang rum-put itulah bagiku menjadi permulaan
dari hidupku sampai sekarang. Aneh, bukan ?" A-hai tersenyum getir.
Tiba - tiba Seng Kun meloncat bangun, diikuti oleh Bwee Hong, sedangkan A - hai
tetap duduk saja, tidak tahu bahwa kakak beradik itu telah mendengar suara orang
datang ke tempat itu. Ba-rulah A - hai memandang dengan kaget ketika melihat munculnya dua orang
yang bukan lain, adalah Kwa Sun Tek dan Malisang, diikuti oleh para perwira anak buah
mereka. Kiranya setelah men-dapat teguran keras dari Jenderal Lai, pemuda Tai - bong - pai ini
mati - matian mencari jejak buronan mereka dan akhirnya dapat menemukan tiga orang muda itu di
situ. Biarpun Kwa Sun Tek sendiri merasa gentar melihat A - hai yang masih enak - enak
duduk di dekat api unggun, namun dia mengandalkan pasukannya dan bertekad untuk menangkap
kembali tiga orang itu. Seng Kun dan Bwee Hong maklum bahwa menghadapi mereka ini tidak ada gunanya
untuk

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak cakap lagi, maka kakak beradik ini segera menerjang ke depan. Seng Kun
menyerang Kwa Sun Tek sedangkan Bwee Hong menandingi Mali-sang. Akan tetapi, beberapa belas
orang perwira pengawal ikut mengeroyok sehingga keadaan kedua orang kakak beradik ini sebentar
saja terdesak hebat. Celakanya, A - hai berada dalam keadaan normal sehingga seperti
biasa, pemuda ini hanya memandang dengan bingung saja.
Selagi dua orang kakak beradik itu terdesak hebat, tiba - tiba terdengar suara
orang melengking nyaring dan panjang dan nampak pula dua gulung sinar putih
berkelebatan menyilaukan mata, disusul patahnya senjata - senjata para pengeroyok dan
robohnya beberapa orang di antara mereka. Mun-cullah seorang pemuda gagah tampan berpakaian putih
- putih yang mengamuk dengan sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat.
"Yap-twako !.!" Bwee Hong berseru girang
sekali ketika mengenal pemuda ini.
Kiranya yang datang adalah Yap Kiong Lee, pemuda lihai dari Thian-kiam-pang itu.
Permain- an pedangnya hebat bukan main dan ketika pemuda itu akhirnya terjun ke dalam
perkelahian KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mem-bantu Seng Kun dan Bwee Hong, pemuda Tai-bong - pai dan pembantunya si
raksasa Mongol itupun merasa kewalahan. Tiga orang pendekar ini mengamuk dan akhirnya
para pengeroyok itu terpaksa mundur. Kiong Lee lalu mengajak mereka melarikan diri.
Seng Kun cepat menyambar lengan A - hai dan diajaknya pemuda itu lari. Mereka menghilang di
dalam kegelapan malam dan karena Kwa Sun Tek merasa jerih terhadap pemuda yang memegang sepasang
pedang, pengejaran yang dilakukannya amat terlambat dan hanya seperti orang
membayangi dari jauh saja. Empat orang muda itu berlari terus dan setelah malam terganti pagi, baru mereka
berhenti di tepi jalan gunung. A - hai terengah - engah dan meng-omel panjang pendek.
"Orang - orang tak berperi-kemanusiaan itu ! Mengejar - ngejar dan hendak membunuh, membikin
orang menjadi hidup tak aman saja!" Dia menyusuti keringatnya dengan ujung lengan bajunya.
Seng Kun dan Bwee Hong menjura kepada Yap Kiong Lee. "Kami menghaturkan terima
kasih atas pertolongan Yap - twako sehingga kami dapat lolos dengan selamat."
"Ah, di antara kita, masih perlukah bersikap sungkan ?" jawab Yap Kiong Lee
dengan seder- hana. "Sungguh kemunculan Yap - twako selalu seperti seorang dewa penyelamat
saja," kata Bwee Hong. "Ketika aku terancam gelombang lautan, engkau muncul dan
menyelamatkan aku, dan sekarang, selagi kami dikurung dan didesak, engkau muncul
pula menolong kami. Yap-twako, bagaimana eng-kau bisa muncul di tempat ini ?"
Pendekar berpakaian putih itu menarik napas panjang. "Orang yang benar selalu
dilindungi Thian. Tentu kalian adalah orang - orang yang benar maka setiap kali terancam
bahaya, ada saja yang kebetulan datang membantu. Aku diutus oleh suhu lagi. Urusan apa lagi kalau
bukan urusan siauw - sute yang nakal itu " Dia telah kabur lagi dan sekali ini dia mengajak
Ngo - sute Kwan Hok." "Kwan Hok ?" Seng Kun berseru. "Ah, adikmu yang ke lima itu sekarang
menjadi pemimpin para pendekar yang melawan pemerintah daerah yang memberontak. Kami bersama dia
kemarin dulu dan kalau tidak salah dia dan kawan - kawannya akan menggabungkan diri
dengan pasukan Liu - beng-cu." "Apakah kalian tidak melihat siauw-sute Yap. Kim ?" tanya Yap Kiong Lee yang
menjadi kaget dan juga gembira mendengar keterangan itu.
"Tidak, kami tidak melihatnya."
"Aih, di mana lagi si bengal itu?" Kiong Lee termenung kesal. Ngo - sutenya
telah diketahui kabarnya, akan tetapi ternyata Ngo - sutenya itu berpisah dari Yap Kim. Gurunya
memesan kepada-nya agar menemukan sutenya itu. Negara sedang dalam keadaan ricuh, di
mana - mana terjadi per-tempuran. Kepandaian Yap Kim memang sudah cukup tinggi, akan tetapi
wataknya yang aneh itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Seperti peris-tiwa beberapa
waktu yang lalu, sutenya itu gu-lung-gulung dengan seorang dari Ban - kwi - to, yaitu Si Kelabang
Hijau. Padahal semua orang di dunia kang - ouw tahu belaka betapa jahatnya iblis - iblis
Kepulauan Ban - kwi - to itu. "Ngo - sutemu itupun tidak tahu ke mana per-ginya siauw - sutemu," kata
Bwee Hong. "Biarlah, aku akan menemui Ngo - sute dulu, baru kami akan mencarinya. Kalian
bertiga hendak pergi ke manakah ?" tanya Kiong Lee.
"Kami hendak ke kota raja, menghadap sri baginda kaisar," kata Seng Kun singkat.
Karena dia percaya penuh kepada tokoh Thian - kiam - pang ini, maka diapun menceritakan
bahwa dia diutus kaisar untuk mencari Menteri Ho dan kini dia hendak melaporkan hasil
penyelidikannya. "Bah-kan aku akan bentangkan semua peristiwa yang aneh-aneh di daerah, tentang
bersihnya perjuangan Liu - bengcu dan palsunya para pejabat daerah yang bersekongkol
dengan orang - orang asing dan mereka inilah yang sebenarnya hendak membe-rontak."
"Ah, kalian terlambat!" kata Yap Kiong Lee.
"Apa maksudmu ?" tanya Seng Kun terkejut.
"Kaisar tidak berada di istana. Sudah sebulan lebih sri baginda tidak berada di
istana." Pemuda perkasa itu nampak ragu - ragu, menoleh ke kanan kiri, kemudian berkata
dengan suara berbisik, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Sebaiknya jangan memasuki istana dalam saat-saat ini. Berbahaya sekali. Sri
baginda kaisar tidak ada di istana, dan yang berkuasa adalah Perdana Menteri Li Su.
Orang ini luar biasa palsu, kejam dan liciknya. Beberapa hari yang lalu dia mengi-rimkan putera
mahkota ke utara, ke tempat Jen-deral Beng Tian memimpin pasukan yang ber-tempur melawan
pemberontak." Chu Seng Kun terkejut dan merasa heran. "Putera mahkota dikirim ke medan
pertempuran " Untuk apa ?" "Perdana Menteri Li Su mengirimkannya dengan dalih agar putera mahkota dapat
menambah peng-alaman dan membantu Panglima Beng Tian. Akan tetapi, semua orang
juga tahu bahwa dia hanya ingin menyingkirkan putera mahkota sehingga dalam istana yang
sedang kosong itu dia boleh berkuasa sebebasnya tanpa pengganggu atau sa-ingan. Semua orang
tidak berani menentang kare-na sebagai perdana menteri, kalau sri baginda tidak ada, dialah
yang paling berkuasa." "Ah, tidak kusangka keadaan di istana sekacau itu !" kata Seng Kun penasaran.
Yap Kiong Lee menarik napas panjang. "Mudah dilihat bahwa negeri kita ini
terancam malapetaka, sebentar lagi tentu akan porak-poranda. Di luar istana keadaan
begini kacau, penuh dengan pem-berontakan dan pejabat-pejabat daerah ingin berkuasa sendiri, orang-
orang jahat mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan seba-nyaknya, di mana - mana
terjadi perebutan keku-asaan. Sedangkan di dalam istana sendiri sudah mulai nampak
kericuhan. Semua orang yang tidak disukainya, disingkirkannya dengan kekuasaannya, diganti
kedudukan mereka dengan antek - antek-nya. Karena kekuasaan mutlak berada di tangan-nya, para
menteri yang setia kepada kerajaan tidak ada yang berani menentangnya."
"Apakah di istana tidak ada keluarga kerajaan yang dapat mempengaruhinya ?"
tanya Bwee Hong."Tidak ada! Subo sendiri, yang masih sanak dekat, bibi dari sri baginda
kaisar, sama sekali ti- dak pernah mencampuri pemerintahan. Putera mahkota yang tahu akan urusan
pemerintahan dikirim ke garis depan pertempuran. Sedangkan putera-putera sri baginda yang
lain masih kecil, sedangkan puteri-puterinya tentu tak banyak dapat berdaya. Memang sebenarnya ada
seorang pange-ran lagi yang sudah dewasa, yaitu adik tiri putera mahkota. Akan tetapi
dia jarang berada di istana. Tabiatnya sangat jahat dan nakal. Sejak kecil sri baginda sendiri
tidak menyukainya. Bahkan sri baginda selalu dengan halus mengusahakan agar putera yang satu ini
jangan berada di dalam istana." "Eh, aku belum mendengar tentang hal ini!" kata Seng Kun heran. "Bagaimanakah
dia sebagai pangeran dianggap nakal dan tidak disukai oleh sri baginda yang menjadi
ayahnya sendiri ?" Entahlah, entah rahasia apa yang ada di balik kelahiran pangeran ini sebagai
putera kaisar. Yang jelas, dia nakal sekali, sejak kecil tidak me-nurut dan selalu membawa
kemauan sendiri. Ka- barnya sejak kecil dia suka mempelajari ilmu silat, dan melakukan hal - hal yang
memalukan. Setelah besar dia bergaul dengan orang - orang jahat, dan kalau di istana,
kerjanya hanya mengganggu selir-selir ayahnya dan mencuri benda - benda berharga dan pusaka -
pusaka istana." "Ihhh !" Bwee Hong berseru tak senang.
"Sri baginda kaisar tahu akan keadaan putera-nya yang lihai ilmu silatnya, maka
sering diberi tugas membasmi penjahat atau memadamkan pem-berontakan. Malah ketika terjadi
pembantaian para sasterawan yang menentang pembakaran ki-tab-kitab, karena takut kalau kalau
para sastera- wan dilindungi oleh para pendekar, sri baginda juga mengutus puteranya ini untuk
mengepalai pasukan dan melaksanakan pembantaian itu."
"Apakah dia lihai sekali ?" tanya Seng Kun, tertarik.
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, apa lagi bertanding. Dia putera
kaisar, siapa be-rani menentangnya " Akan tetapi kabar angin mengatakan bahwa dia memang lihai
bukan main, mempelajari banyak macam ilmu silat, baik dari golongan putih maupun dari
golongan hitam." "Kalau dia begitu lihai, apa dia tidak dapat mempengaruhi perdana menteri ?"
tanya Seng Kun. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Yap Kiong Lee tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Perdana Menteri Li Su
orangnya cerdik dan licik sekali. Pangeran itu kini memang berada di istana,
akan tetapi dia dininabobokkan oleh Perdana Menteri Li Su, setiap hari berpesta pora, bahkan
dengan bantuan perdana menteri, wanita manapun di istana, baik masih gadis mau-pun isteri
pembesar lain, dapat saja diambilnya dan menjadi permainannya. Nah, bukankah keadaan-nya amat
berbahaya di istana " Seolah - olah di sana berkumpul binatang - binatang buas yang se-dang
merajalela." Seng Kun masih merasa penasaran. "Yap-twako, bukankah Menteri Kang dan para
menteri lain yang jujur, yang tadinya dipecat, kini telah bekerja kem-bali, kecuali
Menteri Ho " Bukankah
mereka itu merupakan sekumpulan menteri yang takkan ting-gal diam saja kalau
Perdana Menteri Li Su bertin-dak sewenang - wenang di istana ?"
Kiong Lee menghela napas. "Agaknya engkau belum tahu akan perkembangan
selanjutnya setelah para menteri yang jujur ditarik kembali. Keadaan di istana sudah
berkembang sedemikian buruknya sehingga setelah para menteri yang jujur itu kem-bali, kekuasaan
pemerintahan menjadi terpecah-belah. Mereka selalu bermusuhan, akan tetapi ka-rena fihak Perdana
Menteri Li Su dan antek-antek-nya masih jerih terhadap wibawa sri baginda kaisar yang didukung
oleh Jenderal Beng Tian sehingga mereka tidak berani bersikap sewenang-wenang. Akan tetapi,
kini Panglima Beng Tian sendiri repot mengurus pemadaman pemberontakan di utara dan barat,
sedangkan sri baginda juga pergi, maka tentu saja keadaan menjadi berobah sama sekali."
"Ah, begitukah ?" Bwee Hong mengeluh.
Ia tahu bahwa ayahnya sendiri, ayah kandungnya, biarpun masih terhitung paman
dari sri baginda kaisar, namun kini ayahnya hanya menjadi seorang pendeta, kepala kuil
yang tidak mempunyai keku-asaan, maka tentu saja tidak berani menentang perdana menteri.
"Bagaimana baiknya sekarang, koko ?"
"Kalau keadaannya seperti itu, kita harus ber-hati - hati. Kita tetap ke kota
raja, akan tetapi kita harus masuk pada malam hari. Kita melihat - lihat dulu suasana di sana. Yap
- twako, terima

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasih atas semua keteranganmu yang amat berharga ini. Dan kalau engkau hendak
mencari ngo - sutemu itu, sebaiknya kalau engkau pergi ke bukit di mana kami saling berpisah.
Kalau tidak ada, berarti dia sudah pergi membawa kawan-kawannya bergabung dengan pasukan besar
Liu - bengcu." Yap Kiong Lee menggeleng kepala "Suteku itu benar - benar gegabah sekali. Ini
tentu akibat kebengalan siauw - sute. Ibu kandung siauw - sute adalah seorang wanita
bangsawan istana, dia sen-diri masih berdarah keluarga kerajaan, masih sau-dara misan dengan sri
baginda kaisar, akan tetapi sekarang dia malah bergabung dengan musuh ke-rajaan. Bukankah itu luar
biasa sekali ?" "Mengapa dunia begini kacau ?" Tiba - tiba A-hai yang sejak tadi termenung saja
mendengar-kan, kini membuka mulut. "Orang - orang kaya saling memperebutkan
harta, orang- orang berpang-kat saling memperebutkan kedudukan, orang-orang berilmu saling
bersaing mengadu kepintaran se-hingga dunia menjadi tidak aman dan kacau! Alangkah
bahagianya menjadi orang yang tidak memiliki apa - apa, tidak berpangkat apa - apa dan
tidak punya ilmu apa - apa kalau begitu !"
Tiga orang pendekar itu termangu mendengar ucapan seorang yang dianggap sinting
ini karena ucapan itu begitu tepat seperti ujung pedang me-nusuk jantung, membuat
mereka tak mampu men-jawab karena memang seperti itulah keadaannya!
* * * Kita tinggalkan dulu mereka yang saling ber-pisah, yaitu Kiong Lee pergi mencari
sute - sutenya dan Seng Kun bersama Bwee Hong dan A - hai pergi menuju ke kota raja.
Mari kita melihat kea-daan Liu Pang dan muridnya, H o Pek Lian.
Seperti telah kita ketahui, Liu Pang dengan pasukannya yang dibantu oleh banyak
petani dan rakyat jelata, telah berhasil menduduki kota Lok-yang. Lia Pang tidak tinggal
diam di kota itu, melainkan setelah memberi waktu cukup bagi pasukannya untuk beristirahat
dan setiap hari mengadakan latihan - latihan untuk memperkuat barisannya, diapun menggerakkan
pasukan itu ke utara. Pasukannya bergerak menyeberangi Sungai Huang-ho dan berkemah di
lembah utara sungai besar itu, bermaksud untuk mulai menyerang memasuki Propinsi Shan - si.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Propinsi Shan - si merupakan propinsi yang lu-as dan jalan menuju ke kota raja
yang berada di sebelah barat, yaitu di Propinsi Shen - si. Lok-yang merupakan ibu kota ke
dua setelah kota raja Tiang-an. Sebenarnya, untuk menuju ke Tiang - an dari Lok - yang tidak perlu
menyeberangi Sungai Huang-ho, akan tetapi ini merupakan siasat dari Liu Pang. Dia ingin
menyerbu dari utara dengan jalan menggunakan Sungai Wei - ho yang menjadi cabang Sungai Huang-ho.
Kebetulan Sungai Wei-ho mengalir di tepi kota Tiang-an. Sebagian pula dia kerahkan melalui
darat sehingga kota raja akan dapat terkepung dari berbagai jurusan.
Untuk keperluan ini, dia sengaja memecah pasukannya yang jumlahnya mencapai
belasan ribu itu menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok dipimpin orang - orang
kepercayaannya, termasuk pula pemuda tampan yang baru saja menjadi pengawal pribadinya. Pemuda
ini memimpin seribu orang perajurit pilihan yang kesemuanya diambil dari para
pendekar silat. Tugas pasukan ini adalah mengawal dan membantu Liu Pang dalam gelanggang pertempuran.
Di dalam pasukan ini terdapat pula Pek Lian.
Setelah membagi - bagi barisannya, Liu. Pang memberi mereka waktu untuk
beristirahat dan me-nyusun kekuatan. Diapun ingin melakukan pe-nyelidikan terlebih dahulu dan
untuk tugas ini, dia sendiri yang pergi bersama Pek Lian dan pengawal pribadinya yang baru.
Karena pengawal baru ini selalu merahasiakan riwayat dan asal - usulnya, maka Liu Pang memberi
dia julukan Bu Beng II an (Pahlawan Tanpa Nama) dan menyebutnya Bu Beng (Tanpa Nama) saja;
Pemberian nama ini diterima dengan gembira oleh si pemuda tampan.
Berangkatlah mereka bertiga, Liu Pang, Pek Lian dan Bu Beng dengan penyamaran
sebagai petani - petani biasa. Mereka segera melakukan perjalanan menuju ke kota Sian -
cung yang letaknya di perbatasan antara Shan - si dan Shen - si, di lembah Sungai Huang-
ho. Di sepanjang perjalanan, mereka melihat suasana yang menyedihkan. Kampung - kampung dan dusun
- dusun sunyi dan rusak, ditinggalkan penghuninya karena perang. Kalau toh ada penghuni
- penghuni kampung karena mereka tidak ada tempat lain untuk mengungsi, keadaan mereka amat
menyedihkan. Diganggu oleh perampok - perampok, hasil sawah ladang merekapun
kadang- kadang dihabiskan pasukan atau perampok - perampok. Tubuh mereka kurus kering
dan banyak yang menderita busung lapar! Pasukan pemerintah daerah yang kalah perang dan
mundur, melalui dusun - dusun ini dan mereka itu tiada ubahnya perampok - perampok liar,
bahkan lebih ganas karena mereka itu agaknya hendak membalaskan kekalahan mereka kepada para
petani dusun. Liu Pang adalah pemimpin para petani, pikir mereka, oleh karena itu,
mereka melampias- kan dendam kepada para petani dusun.
Ketika malam tiba, mereka bertiga terpaksa bermalam di sebuah dusun yang hampir
kosong- kosong. Rumah - rumah rusak ditinggalkan peng-huninya, dan kalau ada beberapa
orang yang ma-sih tinggal di rumahnya, pintu - pintu rumah itu tak pernah dibuka. Liu Pang
mengajak pengawal dan muridnya untuk mendiami sebuah ramah ko-song. Mereka membawa
perbekalan dan setelah memasang beberapa batang lilin, mereka makan roti kering yang mereka
bawa sebagai bekal. Un-tuk menghalau nyamuk dan dingin, mereka mem-buat api unggun.
Liu Pang dan Pek Lian sudah duduk untuk beristirahat. Mereka melihat Bu Beng Han
berdiri termenung di ambang pintu. Pemuda itu meman-dang keluar, ke arah kegelapan dan
nampak ter- mangu - mangu. Liu Pang berbisik kepada mu-ridnya.
"Nona Ho, kau carilah air di belakang dan bu-atlah minuman teh sekedar pengusir
rasa haus. Aku ingin bercakap - cakap dengan Bu Beng. Nampaknya ada sesuatu yang
dirisaukannya." Liu Pang lalu bangkit dan menghampiri Bu Beng Han. Pek Lian sendiri lalu keluar dari
dalam pondok itu melalui pintu belakang untuk mencari air.
Dengan cerdik Liu Pang mengajaknya duduk di luar pondok, di atas akar-akar pohon
yang me-nonjol di permukaan tanah. Mula - mula Liu Pang mengajaknya bicara tentang
gerakan mereka, ten-tang dusun-dusun yang ditinggalkan para peng-huninya, tentang para
pembesar daerah yang ber-sekongkol dengan pasukan asing. Semua itu dila-yani oleh Bu Beng
dengan penuh semangat. Akan tetapi ketika Liu Pang membelokkan percakapan ke arah
dirinya, pemuda itu terdiam. "Bu Beng, aku melihat engkau sebagai seorang pendekar gagah perkasa, juga
seorang patriot yang sejati. Di antara kita yang seperjuangan ini kira-nya sudah tidak
ada rahasia lagi. Akan tetapi mengapa engkau tetap merahasiakan dirimu " Bu-kan berarti aku tidak
percaya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kepadamu, akan te-tapi kalau engkau berterus terang dan aku menge-tahui asal -
usulmu, betapa baiknya hal itu dan be-tapa leganya hatiku. Apa lagi kalau saja aku dapat
membantumu mengatasi kerisauan yang meng-ganggu hatimu, aku akan senang sekali."
Pemuda itu menjura dan menarik napas pan-jang. "Maafkan saya, bengcu. Akan
tetapi, belum saatnya bagi saya untuk menceritakan keadaan keluarga saya. Terus terang
saja, saya datang dari keluarga yang tidak berbahagia sama sekali, biar-pun ayah dan ibu
saya sangat mencinta saya. Mereka mendidik ilmu silat secara amat keras kepada saya sehingga
saya hampir- hampir tidak ada wak-tu untuk bermain - main dan beristirahat. Kadang-kadang
saya merasa bosan sendiri dan ingin lari saja. Akan tetapi, kakak saya selalu menasihati
saya dengan lemah - lembut dan penuh kasih sa-yang. Bagaimanapun juga, setelah dewasa, hati saya
memberontak dan larilah saya meninggalkan mereka."
Liu - bengcu mengangguk - angguk. "Ah, begi-tukah " Akan tetapi, kepandaian
silatmu demikian tinggi, tentu engkau datang dari keluarga yang luar biasa. Tingkat
kepandaian kakak dan orang tuamu tentu tinggi bukan main !"
Bu Beng Han tersenyum pahit. "Bengcu sung-guh terlalu memuji. Kepandaian kami
sekeluarga tidak sedemikian hebat. Memang, apa bila diban-dingkan dengan kakak
serta ayah, kepandaian saya mungkin hanya separahnya saja. Soalnya, sebagian besar ilmu
silat yang saya pelajari, kakak sayalah yang melatih dan membimbingnya."
"Ahh ?" Liu Pang berseru kagum. "Kalau
begitu, tentu kakakmu itu lihai sekali!"
"Kakakku itu " Tiba - tiba Bu Beng meng-
hentikan kata-katanya dan berbisik, " saya
mendengar gerakan orang dari jauh , harap
bengcu bersembunyi dan beri tahu nona Ho 1"
Liu Pang juga sudah mendengarnya dan sekali bergerak dia sudah melompat ke dalam
pondok dan memadamkan lilin. Akan tetapi Pek Lian tidak nampak, agaknya belum
kembali mencari air. Ke-tika dia mendengar gerakan orang-orang di depan pondok, cepat
dia mengintai dan terkejutlah pen-dekar ini melihat bahwa Bu Beng kini telah berdiri
berhadapan dengan dua orang yang berpakaian perwira. Liu Pang mengenal mereka. Pemuda Tai-bong - pai
yang amat lihai dan pemimpin pasukan asing yang bertubuh raksasa dan berambut putih itu.
Dua orang lawan yang lihai bukan main.
"Engkau tentu mata - mata, lebih baik menye-rah !" bentak pemuda Tai - bong -
pai itu. "Boleh kaucoba menangkapku !" Bu Beng meng-ejek. Kwa Sun Tek marah sekali dan
diapun sudah menubruk dengan kecepatan kilat.
"Wuuuttt !" Dengan langkah ringan Bu
Beng Han mengelak dan tubrukan itu hanya me-ngenai angin kosong belaka. Marahlah
Kwa Sun Tek. Dia merasa dipermainkan dan kini dia me-nyerang lagi, bukan untuk
menangkap melainkan untuk memukul. Padahal, pukulan pemuda Tai-bong - pai ini amat dahsyat
dan jarang ada orang mampu bertahan kalau terkena pukulannya yang selain amat kuat juga
mengandung hawa beracun itu. Melihat pukulan yang demikian ampuhnya, Bu Beng Han mengerahkan tenaganya
menangkis. "Desss !" Dua tenaga raksasa bertemu dan
akibatnya Bu Beng Han terjengkang dan untung dia memiliki kegesitan sehingga dia
mampu ber-jungkir balik sebelum tubuhnya terbanting. Akan tetapi Kwa Sun Tek juga
terdorong mundur tiga langkah. Tahulah pemuda Tai - bong - pai itu bahwa orang yang disangkanya
mata - mata ini ternyata memiliki kepandaian tinggi. Dia mengerti bahwa anak buah pasukan Liu
Pang memang ba-nyak yang lihai. "Bagus, engkau jelas mata - mata !" bentaknya dan kini dia menyerang dengan
sungguh - sungguh, menggunakan pukulan mujijat yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bu Beng
Han melawan dengan pengerahan tenaga dan kepandaiannya, akan tetapi setelah lewat
tigapuluh jurus, dia merasa lengan-nya sakit - sakit dan ternyata ada sedikit butiran-
butiran darah keluar dari kulit kedua lengannya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ih, ilmu setan!" teriaknya dan diapun cepat mempergunakan kegesitannya
menghindarkan ber-adunya lengannya dengan lengan lawan. Kwa Sun Tek tertawa bergelak dan
mendesak terus. "Hemm. buang - buang waktu saja !" kata Ma-lisang melihat betapa Kwa Sun Tek
seperti hendak mempermainkan lawan dan memamerkan kepandaian, kemudian raksasa inipun
menerjang maju membantu Kwa Sun Tek! Tentu saja Bu Beng Han menjadi semakin
repot. Menghadapi pemuda Tai-bong-pai itu seorang diri saja dia sudah ke-walahan, apa
lagi kini dikeroyok. Melihat ini Liu Pang meloncat keluar dan me-nyerang Malisang dengan pukulan-
pukulan

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maut. Raksasa ini terkejut dan menangkis dan merekapun sudah berkelahi dengan
mati - matian. Keadaan mereka payah. Bu Beng Han terdesak hebat dan Liu Pang ternyata tidak
mampu mendesak lawan-nya yang bertenaga gajah itu. Dia telak dapat mempergunakan
pedangnya karena dalam penya-maran sebagai petani, dia harus meninggalkan pedang. Padahal,
Liu Pang adalah seorang pende-kar pedang yang kelihaiannya menurun separuh lebih tanpa
pedang. "Kita harus lari !" teriak Liu Pang kepada pem-bantunya.
Akan tetapi pada saat itu Malisang berseru, "Ha-ha, engkau adalah Liu Pang, si
pemberontak ! Ha - ha - ha, Kwa-taihiap, kita untung besar, dapat kakap tanpa pengawal di
sini !" Mendengar ini, Kwa Sun Tek memandang cer-mat dan diapun terkejut, juga girang
ketika me-ngenal petani itu. "Benar, tahan dia Malisang, jangan sampai lolos !"
"Bu Beng, lari melalui pintu belakang!" teriak pula Liu Pang dan diapun sudah
melompat ke belakang, memasuki rumah kosong itu. Bu Beng mengelak dari sebuah pukulan maut,
juga melon-cat ke dalam rumah. Akan tetapi dua orang lawan mereka juga meloncat
mengejar dan demikian ce-patnya gerakan Kwa Sun Tek sehingga sebelum Bu Beng Han sempat
mengelak, punggungnya telah kena tamparan tangan Kwa Sun Tek.
"Plakkk ! !" Tubuh pemuda itu terkapar
ke tengah ruangan, hampir menabrak tiang rumah itu.
(Bersambung jilid ke XXII.)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XXII * * * LIU-TWAKO, cepat lari!" Tiba-tiba dia berteriak. Bagi para anggauta pasukan Liu
Pang, pemimpin ini hanya memiliki dua sebutan, yaitu bengcu (ketua / pemimpin) atau
twako (ka-kak). Setelah berteriak demikian, biarpun dia ter-luka dalam, Bu Beng Han mengumpulkan
seluruh tenaganya dan dia meloncat menghantam tiang rumah itu.
"Braakkkkkk !" Tiang patah dan atap
rumah itu runtuh, menimbulkan suara hiruk-pikuk.
Namun, perbuatan Bu Beng Han yang nekat itu ternyata berhasil. Karena takut
Kedele Maut 7 Pendekar Mabuk 04 Perawan Sesat Terbang Harum Pedang Hujan 14
^