Pencarian

Darah Pendekar 5

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


lebar. "Aku mengerti,
locianpwe." Dan tahu- tahu kakek itu sudah meloncat ke atas, meninggalkan Pek
Lian, berjungkir balik dan membiarkan Tiong Li lewat, lalu dia sendiri menghadang para pengejar!
"Kejar ! Tangkap ! Bunuh mereka !" Terdengar teriakan para perwira dan tiba -
tiba mereka itu melepaskan anak panah!
Hujan anak panah itu tiba - tiba runtuh semua ketika ditahan oleh bayangan kakek
Kam yang ber-kelebatan ke kanan kiri, atas bawah. Demikian ce-patnya, gerakan kakek
ini sehingga dia mampu membendung dan meruntuhkan semua anak panah yang meluncur itu dengan
kebutan - kebutan kedua ujung lengan bajunya dan pemutaran tongkatnya. Bahkan ada beberapa
batang anak panah yang mengenai tubuhnya, hanya merobek dan melubangi kain bajunya
saja, namun tidak dapat melukai kulit tubuhnya.
Ketika barisan pengejar tiba dekat, kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan
anak panah yang belasan batang banyaknya meluncur ke depan, ke arah kaki kuda dan
barisan terdepan terguling, membawa para penunggangnya terlempar dan jatuh tersungkur,
ditabrak oleh teman - teman dari belakang. Tentu saja keadaan menjadi kacau - balau dan
terdengar teriakan- teriakan mengaduh dan sumpah - serapah. Sebagian besar meloncat turun dan
menyerbu. Kakek Kam sudah mengamuk lagi dengan tongkat bututnya dan siapapun yang dekat
dengannya tentu roboh terguling. Akan tetapi Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya,
dibantu oleb para perwira, telah mengurungnya la-gi. Sekali ini jenderal itu yang dapat menduga
bah-wa dia berhadapan dengan seorang sakti, memben-tak marah.
"Kakek pemberontak jabat! Siapakah engkau ?" Mendengar bentakan panglima mereka,
para pe-ngeroyok itu menahan senjata mereka dan semua mata memandang kakek itu di
bawah sinar obor-obor yang cepat menerangi tempat itu, dipegang oleh para perajurit.
"Siancai...... tai-ciangkun yang gagah perkasa. aku bukanlah pemberontak. Namaku
Kam Song Ki." Jenderal Beng Tian adalah seorang panglima yang berilmu tinggi dan sudah banyak
pengalaman, sudah banyak mengenal hampir semua tokoh persi-latan, akan tetapi
dia tidak mengenal nama ini. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat bahwa kakek ini
biarpun merupakan murid ke tiga dari Raja Tabib Sakti, namun dia selalu mengasingkan
diri dan selama puluhan tahun tidak pernah me-nonjolkan diri di dunia kang - ouw sehingga nama-
nya tidak dikenal orang. "Orang tua she Kam, apakah engkau pura - pura tidak tahu bahwa orang-orang muda
yang kaubela itu adalah pimpinan pemberontak - pemberontak besar dari Lembah Yang-
ce ?" "Siancai...... sayang sekali aku tidak tahu tentang berontak-memberontak.
Setahuku kalau ada yang memberontak tentu ada sebabnya dan hanya yang tertindas sajalah yang
akan memberontak, bu-kan " Setahuku, mereka adalah orang-orang yang baik dan melihat
orang baik- baik dikeroyok, tentu saja aku membela mereka."
"Engkau hendak melawan pasukan pemerintah " Berarti engkau berani memberontak
terhadap pemerintah !"
Kakek itu tertawa. "Tai - ciangkun, kalau tidak salah ciangkun adalah Jenderal
Beng Tian yang terkenal itu. Tentu saja orang seperti engkau ini akan bersetia sampai mati
kepada pemerintah, tidak perduli bagaimana keadaannya, karena engkau mempertahankan
kedudukanmu, kehormatan dan kemuliaan sebagai jenderal besar ! Akan tetapi, aku
hanyalah seorang rakyat biasa saja, dan orang macam aku ini hanya mempertahankan hidup,
asal dapat makan setiap hari dan dapat menutupi tubuh dengan pakaian saja sudah cukuplah.
Aku tidak ingin memberontak, akan tetapi kalau melihat kesewenang - wenangan, tentu saja aku
tidak dapat tinggal diam saja." "Kesewenang - wenangan yang bagaimana maksudmu ?" jenderal itu membentak.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Nona Ho Pek Lian kehilangan keluarganya. Seluruh keluarga ayahnya ditangkap,
padahal, siapakah yang tidak tahu bahwa Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang
menteri yang amat baik " Dan semua teman dari Kwee Tiong Li itu telah dibasmi oleh pasukan
pemerintah! Apakah namanya itu kalau bukan sewenang - wenang " Ka-rena itulah aku membela
mereka, bukan karena berontak - memberontak!"
Mendengar bahwa gadis yang tadi dikeroyok adalah puteri Menteri Ho, jenderal itu
terkejut bu-kan main. Biarpun Menteri Ho dianggap pembe-rontak oleh pemerintah dan
menteri beserta selu-ruh keluarganya itu ditangkap, namun diam-diam jenderal yang gagah perkasa
ini merasa kagum bu-kan main terhadap Menteri Ho. Tentu saja, seba-gai seorang jenderal dia
tidak mampu berbuat se-suatu kecuali merasa menyesal akan nasib menteri yang dia tahu amat
setia dan baik itu. Kini, men-dengar bahwa gadis yang gagah perkasa tadi ada-lah puteri Menteri
Ho, dia menjadi semakin kagum dan lenyaplah napsunya untuk menangkap atau membunuh gadis itu.
Tugasnya hanyalah menum-pas para pemberontak di Lembah Yang - ce dan tugas itu telah
diselesaikannya dengan baik. Semua pemberontak telah berhasil ditumpasnya walaupun dia harus
kehilangan banyak sekali perajurit. Akan tetapi, sebagai seorrmg panglima, tentu, saja dia
tidak boleh memperlihatkan sikap kagum terhadap orang yang dianggap pemberontak, maka diapun
berteriak, "Tangkap orang tua ini!"
Dua orang pengawal yang juga menjadi sutenya adalah orang - orang yang amat
setia terhadap jen-deral itu, akan tetapi merekapun sudah mengenal baik suheng mereka.
Mereka itu, dengan pandang mata saja, sudah maklum akan isi hati suheng mereka yang di dalam
hati tidak ingin menangkap atau membunuh kakek ini, maka mereka berduapun bergerak lambat,
membiarkan para perwira dan perajurit yang maju mengeroyok. Di lain pihak, kakek
Kam juga merasa heran mengapa panglima dan dua orang pembantunya yang amat lihai itu
tidak turun tangan melainkan membiarkan anak buahnya yang maju mengeroyoknya. Maka diapun
cepat menggerakkan tubuhnya dan dengan mudah saja dia meloloskan diri dari kepungan,
terus melarikan diri, sengaja tidak berlari cepat agar para pe-rajurit itu dapat terus
mengejarnya. Dia mengambil jalan ke kanan, berlawanan dengan jalan yang diambil oleh dua ekor
kuda yang melarikan Tiong Li dan Pek Lian tadi. Dia terus main kucing - kucing-an dan
untuk menyembunyikan perasaan hati yang sesungguhnya, biarpun dia dapat menduga bahwa
kakek Kam yang tidak berlari sekuatnya itu sengaja memancing ke arah lain, Jenderal
Beng Tian terus mendesak pasukannya untuk mengejar kakek itu sampai pagi!
Tentu saja pasukan itu menjadi semakin jauh dari jejak kaki dua ekor kuda itu
dan menjelang pagi, mereka kehilangan bayangan kakek Kam. Kakek ini tentu saja sudah
kembali ke tempat semula dan di bawah sinar matahari pagi dia melanjutkan perjalanan
mengikuti jejak kaki dua ekor kuda. Sambil berjalan, kedua kakinya diseret dan meng-hapus jejak kaki kuda itu dari
permukaan tanah. Matahari telah naik tinggi ketika kakek Kam tiba di dalam hutan di mana
dia mendapatkan Tiong Li dan Pek Lian sedang beristirahat. Tiong Li duduk bersila dan mengatur
pernapasan, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan badannya sedangkan Pek Lian
dengan wajah agak pucat duduk bersandar pohon tak jauh dari pemuda itu. Kedatangan
kakek itu sama- sekali tidak mereka ketahui dan barulah setelah kakek itu berada di depan
mereka, keduanya terkejut sekali akan tetapi juga girang karena semalam mereka mengkhawatirkan
keadaan kakek sakti itu. "Locianpwe......!" Pek Lian berkata dan tiba- tiba saja kedua mata gadis ini
menjadi basah air mata. Hatinya memang sudah berduka sekali karena kematian dua orang gurunya
dan khawatir akan keadaan kakek Kam yang melindungi ia dan Tiong Li.
"Locianpwe, kami menghaturkan terima kasih karena hanya berkat pertolongan
locianpwe maka kami berdua masih dapat hidup sampai sekarang," kata Tiong Li, juga
suaranya mengandung kedukaan besar.
Kakek itu duduk di dekat mereka. "Nona, engkau masih mengandung luka dalam yang
cukup berbahaya kalau tidak diobati. Mendekatlah !"
Kakek itu lalu menaruh telapak tangannya di punggung Pek Lian yang segera
merasakan adanya hawa panas menjalar masuk ke dalam ruang dadanya. Iapun cepat memejamkan
kedua KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mata dan menerima hawa panas itu, membiarkan hawa itu berputar - putar dan
mendorong atau menekan ke arah bagian yang terkena pukulan dalam pengeroyokan tadi.
Setelah menyembuhkan luka - luka di dalam tubuh Pek Lian dan membantu Tiong Li
memulihkan kembali tenaganya, maka kakek itu lalu mengajak mereka duduk
bercakap-cakap di bawah pohon dalam hutan itu.
"Sekarang aku ingin sekali mengetahui, apa rencana kalian selanjutnya " Apa yang
akan kaulakukan sekarang, nona ?"
Ho Pek Lian mengusap air matanya akan tetapi tidak terisak, lalu dengan mata
kemerahan diamatinya wajah kakek sakti itu, kemudian ia menunduk dan berkata, "Saya hendak
menyelidiki keadaan ayah, locianpwe."
"Tapi itu berbahaya sekali!" kata Tiong Li. "Saya sudah menasihatinya untuk
tidak melakukan hal itu, locianpwe. Tentu ia akan terjebak dan tertawan."
"Jangankan hanya tertawan, biar mati sekalipun aku rela !" Pek Lian berkata.
"Bagaimanapun juga, sebelum ayah tewas dalam hukuman... aku ingin melihatnya
sekali lagi..." Kembali tangannya mengusap air mata, membuat Tiong Li dan juga kakek itu menarik
napas panjang dan merasa kasihan sekali.
"Dan bagaimana dengan engkau, Kwee-sicu ?"
Bekas kokcu (ketua lembah) itu mengepal tinjunya. Matanya bersinar-sinar seperti
mengeluar-kan api ketika dia berkata, suaranya penuh kegeraman, "Saya akan
membalas dendam, locianpwe saya akan bergabung dengan suhu yang menjadi bengcu (pemimpin
rakyat) dan menghancurkan pemerintah dan Kaisar Chin yang lalim ini !"
"Sayapun demikian !" Tiba - tiba Pek Lian berkata, mengepal tinjunya. "Saya
tidak akan berhenti sebelum pemerintah ini dapat dihancurkan!"
"Siancai... siancai... siancai...!" Kakek Kam berseru lirih sambil merangkap
tangan di depan dada, lalu menarik napas panjang berulang-ulang. "Kekerasan... kekerasan..... di
mana-mana kekerasan. Mungkinkah kekerasan dapat menghasilkan hal-hal yang baik" Mungkinkah
tujuan yang baik dapat dicapai melalui jalan kekerasan ?"
"Akan tetapi, locianpwe !" bantah Kwee Tiong Li dengan suara keras karena
hatinya dibakar se-mangat dan kebencian. "Kaisar telah bertindak lalim dan sewenang-wenang.
Lihat saja keadaan rakyat yang miskin terhimpit dan lihat keadaan para pembesar yang berlebihan !
Pembesar bertindak sewenang - wenang menekan rakyat, pembesar - pembesar melakukan
korupsi besar-besaran. Sebaliknya rakyat ditindas, disuruh kerja paksa sampai mati untuk
membangun tembok besar. Rakyat dibelenggu dan dibikin tak berdaya, membawa senjata
pelindung diri dari ancaman bahaya saja dilarang. Kitab-kitab sastera dibakar sehingga rakyat
kehilangan pegangan. Sasterawan-sasterawan dibunuh. Apakah kita harus diam saja, locianpwe " Kalau
bukan kita kaum pendekar yang bergerak membela rakyat, habis siapa lagi " Apakah kaisar dan kaki
tangannya yang korup dan sewenang-wenang itu dibiarkan saja merajalela di atas kepala
rakyat yang menderita ?" "Benar sekali!" sambung Pek Lian. "Kalau o-rang - orang tua bersikap sabar, maka
penindasan akan makin membabi - buta! Ayahku bersabar, akan tetapi aku tidak.
Kita kaum muda harus serentak bangkit menentang kelaliman, kalau perlu dengan taruhan nyawa!"
"Siancai.....!" Kakek Kam menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Nanti
dulu, anak - anak. Memang baik sekali semangat kalian untuk membela rakyat yang sengsara


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menderita hidupnya. Akan tetapi, tidak baik kalau hanya menurutkan perasaan marah, dendam
dan benci saja. Bangsa merupakan keluarga, pemerintah merupakan rumah keluarga itu. Kalau
ada sesuatu yang tidak benar pada rumah itu, mari kita perbaiki bagian yang tidak benar itu
saja. Bukan lalu meruntuhkan seluruh rumah itu, bukan lalu harus membakar rumah kita sendiri
itu ! Pemerin-tah bukan milik kaisar atau para pembesar saja Mereka bahkan menjadi pelayan dan
pelaksana. Pemerintah adalah milik kita bersama. Kalau ada yang tidak benar, mari kita
perbaiki bersama, de- ngan musyawarah. Kita berhak menyadarkan pem-besar yang bersalah. Akan tetapi,
jalan kekerasan hanya akan menimbulkan perang saudara, sama saja dengan membakar rumah
kita sendiri dan ka-lau terjadi perang, akhirnya rakyat pula yang akan menderita,
bukan " Akan jatuh banyak korban, bunuh-membunuh antara bangsa sendiri, betapa-akan menyedihkan
sekali kalau hal itu terjadi, se-perti yang terjadi malam tadi."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Tapi, locianpwe. Tanpa melakukan kekerasan, tanpa menggunakan kekuatan untuk
menghantam yang jahat, mana mungkin kita dapat mengenyah-kan kejahatan itu
sendiri ?" bantah Tiong Li. "Kejahatan merajalela, orang - orang jahat bah-kan telah mengadakan rapat,
dipimpin oleh iblis hitam itu. Apakah kita harus diam saja, locianpwe" Kalau begitu, apa
artinya kita mempelajari ilmu silat sejak kecil " Apa perlunya jiwa kependekaran di-tanamkan dalam batin
kita ?" Pek Lian juga mem-bantah dan kedua orang muda itu seperti merasa-kan persatuan yang kokoh
untuk menentang pen--dirian kakek yang biarpun sakti akan tetapi mereka anggap
memiliki pendirian lemah itu. Kakek itu tersenyum. "Seorang pendekar adalah abdi kebenaran dan keadilan. Hal
ini memang benar dan memang sudah sepatutnya demikian. Akan tetapi kebenaran dan
keadilan tidak mungkin dapat dipertahankan atau didirikan melalui kekerasan. Mungkin saja
kita harus mempergunakan ilmu silat untuk melindungi diri dan untuk menun-dukkan lawan yang
juga mempergunakan ilmu itu, akan tetapi ini bukan kekerasan namanya. Pendekar bahkan
harus menjadi pembantu pemerintah untuk menahan merajalelanya kejahatan dan melindungi
rakyat. Bukan malah menentang pemerintah. Bukankah penjahat - penjahat itu merupakan
musuh pemerintah " Kalau kita menentang pemerintah, berarti kita memberi angin kepada
para penjahat." "Tapi kalau pemerintahnya yang lalim dan jahat ?"
"Tidak ada pemerintah yang lalim. Yang jahat itu. hanya seorang dua orang
pembesar saja. Bukan semua pejabat itu jahat. Buktinya, bukankah Menteri Ho juga seorang
pejabat yang amat baik ?""Juteru karena baik itu maka ayah menjadi celaka !" kata Pek Lian penuh
penasaran. "Ayahmu itulah pendekar dan pahlawan sejati, nona ! Tanpa kekerasan, namun dia
berani menentang kejahatan. Kalau kita melihat ada pembesar jahat, jangan lalu
menganggap pemerintahnya yang jahat, melainkan pembesar itulah yang merupakan perorangan.
Dan kewajiban kita adalah mengingatkan, agar pemerintah bertindak terhadap pembesar
yang korup dan jahat itu." "Akan tetapi, kalau yang lalim kaisarnya dan orang- orang yang duduk di tingkat
teratas, seperti kepala thaikam Chao Kao si penjilat dan Perdana Menteri Li Su rajanya
segala pembesar korup dan sewenang-wenang, lebih tepat kalau kita memberontak dan menggulingkan
pemerintah bejat ini !" Tiong Li berkata lagi.
Kembali kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Melalui perang saudara ?"
"Kalau perlu!" "Mengorbankan ratusan ribu nyawa rakyat yang tak berdosa " Perang selalu diikuti
oleh kejahatan- kejahatan seperti perampokan, perkosaan, pembakaran, balas dendam
pribadi, kekacauan karena tidak adanya hukum dan penjaga keamanan ! Setelah pemerintah
dapat digulingkan misalnya dan orang - orang yang memimpin pemberontakan itu duduk di
atas kursi empuk dan kemuliaan, lalu mereka ini, para pimpinan pemberontak ini, yang
tadinya dengan segala propaganda membujuk para pendekar dengan berbagai slogan indah muluk
kosong, menjadi berbalik wataknya dan menjadi tukang korup pula, lalu apa yang hendak
kalian lakukan " Memberontak dan menggulingkan peme-rintahan baru itu pula " Menimbulkan perang
sau-dara yang baru pula " Membakar pemerintah dan negara yang menjadi rumah bangsa lagi "
Celaka-lah kalau begitu ! Apakah kalian mampu menja-min bahwa di dalam pemerintahan baru
tidak akan timbul tikus - tikusnya ?"
Dua orang muda itu saling pandang, ragu - ra-gu, lalu mengerutkan alisnya
merenung bingung, tak mampu menjawab ! Penggambaran kakek itu terlalu mengerikan, namun
bukan merupakan hal yang tidak mungkin terjadi! Bahkan sejarah sudah mencatat berulang
kali terjadinya peristiwa seperti itu! Pemerintah yang dipimpin pembesar-pembesar
yang dianggap lalim, ditumbangkan oleh sekelompok orang yang pada waktu itu memang berjiwa
pahlawan, mengerahkan rakyat untuk mem-. bantu perjuangan mereka menumbangkan kekuasaan
lalim. Kemudian, mereka menang dan menjadi penguasa. Akan tetapi, setelah menjadi
pembesar- pembesar mereka seperti lupa akan suara hati nurani perjuangan, lelap dalam
kesenangan, mabok kemuliaan dan berobah menjadi orang - orang yang tidak kalah lalim dan korupnya
dibandingkan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
de ngan pembesar - pembesar terdahulu yang mereka tumbangkan. Muncul pula
pahlawan - pahlawan yang mempergunakan kekuatan rakyat menumbangkan pemerintah baru itu,
dan demikianlah, susul - menyusul terjadi pemberontakan - pemberontakan dan perang
saudara. Rakyat terus - menerus menjadi korban. Kalau ada perjuangan, rakyatlah yang
dijadikan perisai dan tombak, kalau perjuangan berhasil, hanya sekelompok manusia sajalah yang
menikmati hasil kemenangan itu dan melu-pakan rakyat sampai ada kelompok pejuang atau pahlawan
lain yang muncul, yang kembali memper-gunakan rakyat sebagai mata tombak dan perisai-
Betapa menyedihkan keadaan di seluruh dunia ini ! "Anak - anak yang baik," kata pula
kakek itu melihat mereka termenung. "Sebuah pemerintahan terdiri dari ratusan, dan ribuan pejabat.
Tak mung-kin mengharapkan bahwa seluruh pejabat itu be-kerja dengan jujur dan baik. Tentu ada
saja yang salah jalan, sesat dan curang. Adalah kewajiban semua orang yang mencintai tanah
air dan bangsanya untuk mengamati hal ini dan memprotes kebu-rukan - keburukan seorang
pejabat, menuntut agar pejabat itu diganti dengan orang yang lebih jujur. Bukan lalu
memberontak dengan kekerasan. Kekerasan ini mencerminkan adanya keinginan untuk mengejar sesuatu
dan biasanya, pengejar - pengejar kesenangan akan mabok kesenangan. Kemenangan dalam kekerasan
membuat orang mabok akan kemenangan itu dan menjadi lupa diri dan buta,
sebaliknya kekalahan dalam kekerasan menimbulkan sakit hati dan dendam."
Dua orang itu saling pandang dan menundukkan muka. Mereka tidak dapat membantah
lagi. Keterangan kakek itu mengejutkan hati mereka, membuat mereka seolah - olah
dipaksa membuka mata melihat kenyataan yang amat kotor dan pahit. Membuat mereka merasa
ngeri. Mereka sendiri adalah orang - orang muda yang berhati bersih dan jujur.
Sedikitpun mereka tidak memiliki keinginan untuk menang dan berpesta dalam kemenangan itu. Mereka hanya
melihat ketidakadilan, menjadi penasaran dan hendak membela mereka yang tertindas.
Keterangan- keterangan yang baru saja diucapkan oleh kakek itu membuat Pek Lian dan Tiong Li
diam-diam membayangkan keadaan guru masing - masing. Pemimpin rakyat Liu Pang guru Pek
Lian yang terkenal dengan sebutan Liu-toako, pendekar dan pahlawan sejati itu, apakah
benar dia memiliki keinginan kotor untuk kesenangan diri pribadi yang tersembunyi di balik cita -
cita perjuangan demi rakyat itu " Dan Tiong Li juga meragukan apakah gurunya, pendekar dan
pejuang Chu Siang Yu, juga memiliki keinginan demi kesenangan pribadi seperti yang digambarkan
oleh kakek ini, atau setidaknya kelak kalau menang akan berobah menjadi penindas dan pengejar
kemuliaan sendiri saja " Dia tidak mampu membayangkan dan merasa ngeri.
"Locianpwe, semua keterangan locianpwe terlalu mengerikan dan terlalu mendalam
bagi saya. Sekarang, bagaimana baiknya " Saya mohon nasihat locianpwe," katanya.
"Aku tetap hendak melihat keadaan ayahku dan
selanjutnya... entahlah. Kata - kata locianpwe sudah memadamkan sebagian besar
api dendamku..." kata Pek Lian meragu.
Kakek Kam tersenyum. "Anak-anak muda berdarah panas dan bersemangat, memang
sudah sepa tutnya demikian, asal saja darah panas dan sema-ngat itu disertai
kebijaksanaan dan jangan sampai dipergunakan orang - orang demi keuntungan mereka sendiri. Kwee Tiong Li,
engkau adalah seorang pemuda yang hebat! Semuda ini sudah memi-liki ilmu silat tinggi
dan tenaga sinkang yang amat kuat, juga memiliki batin yang bersih penuh de-ngan semangat
kegagahan. Kalau engkau memiliki sedikit ginkang yang baik, kiranya kelak engkau akan
menjadi seorang pendekar pilihan. Maukah engkau ikut denganku untuk belajar ginkang dari-ku "
Dan engkau, nona " Engkaupun memiliki ba-kat yang amat baik, aku ingin mewariskan bebera-pa
ilmuku kepada kalian berdua."
"Teima kasih, locianpwe. Saya terpaksa tidak dapat menerima kebaikan hati
locianpwe, karena saya harus pergi melihat keadaan ayah, kemudian kembali ke Puncak Awan
Biru," kata Pek Lian. Akan tetapi Tiong Li menerima penawaran ka-kek itu dengan girang. Pendekar muda
ini maklum betapa dengan kepandaiannya yang sekarang, dia tidak dapat berbuat banyak
terhadap para kaum sesat yang amat lihai itu, maka kalau kakek sakti ini mau mendidiknya,
tentu saja dia merasa gem-bira sekali. "Kita tidak boleh terlalu lama berada di sini,?" kata kakek Kam. "Biarpun jejak
kaki kuda sudah kuhapus, akan tetapi mereka tentu akan terus mencari dan tentu akan sampai
di sini pula." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, biarlah saya akan pergi lebih dulu," kata Pek Lian. Ia bangkit
berdiri lalu memberi hormat kepada kakek itu. "Kam - locianpwe, sekali lagi saya menghaturkan
terima kasih atas semua budi kebaikan locianpwe kepada saya. Kwee - toako, terima kasih dan
selamat tinggal." Kakek itu hanya mengangguk - angguk dan Tiong Li cepat membalas penghormatan
gadis itu. Hatinya merasa terharu sekali. Karena bertemu dengan dia dan kemudian
membelanya, maka gadis itu kehilangan kedua orang gurunya.
"Nona, akulah yang harus berterima kasih. Mudah- mudahan kelak kita akan dapat saling
bertemu kembali" Pek Lian mengangguk, tak kuasa menjawab karena ia khawatir kalau - kalau
suaranya akan terdengar parau pada saat hatinya amat berduka itu. Ia lalu menghampiri kuda
rampasannya, lalu meloncat ke atas punggung sela kudanya. Ia menoleh dan mengangguk, akan tetapi
sebelum ia membe-dal kudanya, tiba - tiba Tiong Li meloncat mendekat sambil berseru, "Tahan
dulu. nona!" Pek Lian menahan kendali kudanya dan menoleh. Matanya basah, akan tetapi kini ia
dapat menguasai hatinya karena merasa heran. "Ada apa kah, Kwee -toako ?" tanyanya.
Tiong Li tidak menjawab, melainkan cepat dia membuang semua tanda-tanda pada
kendali dan pelana kuda itu sehingga yang tertinggal hanya sela kasar dan kulit kendali
sederhana tanpa hiasan. Kemudian dia mencari sebatang ranting pohon penuh daun dan mengikatkan
ranting ini

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pelana kuda sehingga ranting itu akan ter-seret kalau kudanya lari.
Setelah selesai melakukan semua itu yang diikuti oleh pandang mata kehe-ranan Pek Lian, dia
berkata, "Dengan begini, orang tidak akan mengenal kuda tentara kerajaan dan ranting itu akan
menghapus jeiak kudamu, nona Ho." Barulah Pek Lian mengerti dan merasa gembi-ra. "Terima kasih, toako. Engkau baik
sekali. Sam-pai jumpa ! Selamat tinggal, Kam - locianpwe !" Dan Pek Lian lalu
menjalankan kudanya. Kuda itu berlari cepat, menyeret ranting yang mengha-pus jejak Liki kuda,
mengeluarkan debu yang me-ngepul tinggi. Tiong Li memandang sampai bayangan gadis dan kudanya itu lenyap, baru dia
membalikkan tubuhnya menghadap kakek Kam dan menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, teecu
mohon petunjuk selanjutnya." Kakek itu tersenyum. "Bagus, mulai saat ini engkau mei'jadi muridku. Tiong Li,
kalau engkau kelak berjodoh dengan nona itu, sungguh akupun merasa gembira sekali. Ia seorang
gadis yang luar biasa!" Mendengar ini, wajah pemuda yang biasanya tenang itu berobah merah
sekali, akan tetapi hatinya terasa perih. Dia tidak tahu apakah dia mencinta gadis itu, akan
tetapi bagaimana mungkin dia dapat membayangkan dirinya berjodoh dengan seorang puteri menteri
kebudayaan " Dia hanya seorang yatim piatu yang miskin, bahkan rumahpun tidak punya, hidup
sebagai seorang pelarian pula. Ah, terlampau jauhlah khayal itu. Dia masih seperti berada dalam
lamunan ketika gurunya mengajaknya pergi dari situ, meninggalkan kuda rampasan karena kakek itu
tidak mau menunggang kuda dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja.
**** Ho Pek Lian melakukan perjalanan seorang diri dengan kudanya. Tadinya, ketika
meninggalkan Tiong Li dan kakek Kam, ia membalapkan kudanya karena ingin cepat -
cepat pergi agar mereka tidak melihat kesedihan dan tidak mendengar tangisnya. Setelah ia
pergi jauh, ia membuang ranting di belakang kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan
sambil termenung. Kedukaan menghimpit hatinya, membuat wajahnya pucat kehilangan
cahaya, matanya sayu dan kadang-kadang, kalau pikirannya meremas perasaan hatinya dengan kenang-
kenangan dan bayangan-bayangan, air matanya meluap keluar dari pelupuk kedua matanya
Selama ini ia melakukan perjalanan dengan dua orang gurunya, menemui hal-hal
hebat dan semua ini seolah- olah merupakan hiburan, atau setidaknya membuatnya seperti
lupa akan keadaan dirinya sendiri, keadaan keluarganya yang berantakan itu. Akan tetapi
sekarang, pada saat ia menunggang kuda seorang diri, melalui pegunungan yang sepi itu, tanpa
adanya seorangpun manusia menyertainya, ia merasa amat kehilangan kedua orang gurunya
dan perasaan kesepian ini menjalar ke dalam hatinya, membuatnya termenung dan berdu-
ka. Dalam KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
keadaan kesepian itu, pikirannya melayang - layang, mengingat-ingat akan
keluarga ayahnya yang menjadi tawanan, dan hatinya terasa semakin terhimpit oleh kesepian yang membuat
air matanya mengalir keluar, penuh dengan rasa duka dan sengsara.
Semakin diingat, semakin gundah hatinya, makin besar rasa iba diri menyerangnya
dan membuat ia beranggapan bahwa di dunia ini, hanya ia seoranglah yang paling
sengsara hidupnya. Kedukaan membuat tubuhnya terasa lemas dan Pek Lian lalu menghentikan kudanya,
turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kudanya makan rumput, sedangkan ia sendiri
duduk di bawah pohon, bersandar batang pohon dan menerawang ke langit yang penuh awan
putih berarak. Akan tetapi sekali ini tidak nampak keindahan di angkasa itu bagi Pek
Lian. Bahkan membuat rasa dukanya menjadi semakin menyesak di dada. Ia merasa seperti menjadi
segumpal awan putih kecil yang melayang-layang jauh dari kelompok awan lain, terpencil di
sana, sendirian, kesepian. Semilirnya angin membuat hatinya perih oleh rasa rindu kepada orang
tuanya. Kenangan akan tewasnya Kim -suipoa Tan Sun dan Pek - bin - houw Liem Tat, dua di
antara guru - gurunya yang amat sayang kepadanya seperti orang tua sendiri, membuat air
matanya mengalir lagi. Bencana yang menimpa keluarga ayahnya masih belum dapat diatasi, kedua
orang gurunya telah tewas pula. Usianya baru delapanbelas tahun dan ia sudah harus mengalami demikian banyak
kepahitan hidup. Ia bukanlah seorang dara yang cengeng, sama sekali bukan! Biarpun sejak
kecil, sebagai puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi ia hidup di dalam kemuliaan,
kehormatan dan kaya raya, namun Pek Lian bukanlah seorang dara yang manja dan cengeng. Sejak
kecil pula ia digembleng oleh guru - gurunya sebagai seorang wanita yang berjiwa pendekar,
yang tidak mudah mengeluh menghadapi kesukaran. Namun, kepahitan yang dihadapinya sekarang
ini terlampau hebat, luka di hatinya terlampau parah, membuatnya menangis seorang
diri di tempat sunyi itu. Ia harus bertemu dengan ayahnya sekali lagi sebelum ayahnya dihukum !
Di dunia ini, ia hanya mempunyai seorang keluarga terdekat, yaitu ayahnya. Ibunya sudah tiada,
dan ia tidak mempunyai saudara kandung. Ia harus bertemu dengan ayahnya, apapun yang akan
terjadi ! Bisikan hati ini menggugah semangat Pek Lian dan iapun bangkit lagi, menaiki
punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan.
Matahari telah condong ke barat ketika kuda yang ditunggangi Pek Lian menuruni
sebuah lereng bukit. Ia menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling, hendak
mencari sebuah dusun untuk melewatkan malam ketika tiba - tiba ia melihat munculnya lima orang
wanita. Begitu bertemu, Pek Lian terkejut karena ia mengenal mereka itu sebagai rombongan
wanita bertusuk konde batu giok yang pernah ia jumpai ketika ia masih bersama-sama dua orang
gurunya. Lima orang wanita itu muncul dari jalan simpangan dan bertemu dengannya tepat di
perempatan jalan kecil itu. Dan mereka berlima itupun agaknya terkejut melihatnya, dan
mengenalnya pula. Mereka berhenti dan seorang di antara mereka yang bertahi lalat di bawah telinga kiri
berkata, suaranya lantang, "Ah, engkaukah ini " Di mana adanya kokcu (ketua lembah) yang muda itu bersama
tiga orang sam - lo - nya " Kenapa engkau hanya sendirian saja ?" Pertanyaan ini
lantang dan diajukan dengan nada suara yang meremehkan, tanpa sikap hormat sama sekali seperti sikap
orang dewasa yang bertanya kepada anak kecil saja. Pada saat itu, batin Pek Lian
sedang mengalami tekanan dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia mudah sekali tersinggung.
Hatinya terasa mengkal dan ia sama sekali tidak memperdulikan pertanyaan orang, melainkan
dengan gemas ia menarik kendali kudanya, membuat kuda itu terlonjak dan lari. Dengan dagu
terangkat Pek Lian lewat menanggalkan mereka.
"Haii, bocah sombong, tunggu !" Terdengar bentakan di belakangnya, disusul
berkelebatnya bayangan lima orang itu yang sudah melakukan pengejaran.
"Tar - tar - tarrr !"
Pek Lian terkejut sekali melihat sinar biru menyambar-nyambar di dekat kepalanya
dan meledak ketika ia mengelak. Kiranya ia telah diserang oleh seorang di antara
mereka dengan sehelai sabuk berwarna biru yang tadi melakukan totokan tiga kali berturut-turut
ke arah leher dan pundaknya. "Orang - orang jahat!" bentaknya dan terpaksa ia meloncat turun dari atas
kudanya sambil mencabut pedangnya. "Kalian kira aku takut mela-wan ?" Iapun sudah memutar
pedangnya dan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menyerang wanita yang tadi menggerakkan sabuk. Karena dalam keadaan marah dan
menganggap bahwa wanita itu tentulah bukan golongan baik-baik dan yang agaknya
sengaja hendak memusuhinya, Pek Lian sudah menyerang dengan dahsyat sehingga gerakan
pedangnya melahirkan tusukan-tusukan maut ke arah wanita itu. Wanita itu meng-elak
beberapa kali, nampaknya terkejut juga me-nyaksikan kehebatan gerakan pedang di tangan Pek
Lian. "Cring ! Tarang - tranggg ! !"
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kem-bali wanita itu terkejut ketika
memperoleh kenya-taan betapa tenaga dara muda itu cukup kuat un-tuk menandingi tenaganya.
Pek Lian terus menye-rang, akan tetapi wanita yang bertahi lalat, yang menjadi pemimpin di
antara mereka, segera ber-teriak dan teman - temannya sudah maju menge-pung Pek Lian.
Pek Lian terus memutar pedangnya, melawan mati - matian dan penuh kemarahan.
Akan tetapi tingkat kepandaiannya hanya seimbang dengan se-orang di antara mereka,
maka setelah mereka ber-lima maju bersama, tentu saja ia segera terdesak hebat. Untung
baginya bahwa lima orang wanita, bertusuk konde batu giok itu agaknya tidak berni-at membunuhnya.
Kalau demikian halnya, tentu ia tidak akan dapat bertahan lama. Beberapa belas jurus kemudian,
lima orang itu mempergunakan sabuk biru yang menyambar - nyambar dan. akhir-nya Pek Lian
terpaksa menyerah ketika sabuk-sabuk biru itu telah melibat tubuhnya, membuat ia tidak
dapat lagi menggerakkan kaki tangannya. Ia tertawan dan dibelenggu kedua lengannya ke
belakang. "Manusia-manusia hina, pengecut besar. Beraninya hanya main keroyokan ! Kalau
mau bunuh lekas bunuh, jangan dikira aku takut mati!" teriak Pek Lian marah.
"Pemberontak hina!" Si tahi lalat itu memaki dan makian ini membuat Pek Lian
membungkam. Siapakah mereka ini, pikirnya, dan apakah mereka ini tahu bahwa ia
adalah puteri Menteri Ho yang dianggap pemberontak" Ia mulai merasa khawatir. Kalau sampai ia
ditangkap sebagai pemberontak, ditawan seperti ayahnya, tentu ayahnya akan marah dan semua
usahanya sia - sia belaka. Ia harus mencari akal dan kesempatan untuk meloloskan diri
dari orang - orang ini. Ia harus mencari ayahnya. Akan tetapi, gerak - gerik lima orang wanita ini
demikian teliti dan teratur, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah rombongan orang-orang
terlatih, seperti pasukan kecil yang dikemudikan oleh pemimpinnya, yaitu wanita yang bertahi
lalat. Tak pernah mereka itu lengah menjaganya dan ketika malam tiba, mereka berhenti di bagian
yang tinggi dan agaknya mereka itu menanti sesuatu. Pek Lian tidak pernah membuka mulut dan
hanya memperhatikan gerak-gerik mereka yang juga tidak banyak mengeluarkan kata - kata
itu. Mereka berlima itu bersikap seperti menantikan orang, sering kali memandang ke empat
penjuru dari tempat tinggi itu dan saling pandang seperti orang - orang yang mulai merasa
gelisah. Pek Lian menduga - duga siapa gerangan yang mereka nan-tikan. Ia teringat bahwa ketika ia
bersama kedua orang gurunya dan juga orang - orang Lembah Yang - ce melakukan perjalanan
dan berjumpa de-ngan mereka ini, terdapat delapan orang di antara wanita bertusuk
konde batu giok ini. Akan tetapi sekarang hanya tinggal lima orang. Ke manakah perginya tiga
orang lagi " Apakah mereka ini me-nanti munculnya tiga orang kawan mereka itu "
Pek Lian diajak makan dan dara ini tidak me-nolak. "Kalau engkau tidak melawan,
kamipnn ti-dak akan mengganggumu, hanya engkau harus menurut saja sebagai tawanan yang
baik," kata si tahi lalat sambil melepaskan belenggu kedua tangan Pek Lian.
Pek Lian hanya mengangguk. Ia tidak takut, hanya ia tahu bahwa kalau ia bersikap
keras, ia tidak berdaya untuk lolos, ia harus mempergunakan kecerdikan dan tidak menuruti
hati yang panas. Setelah makan, mereka berlima itu duduk bersila, seperti orang
bersamadhi, membentuk lingkaran dan Pek Lian berada di tengah - tengah. Pek Lian maklum bahwa lima
orang wanita itu beristirahat, namun mereka itupun tidak pernah lengah dan ia seperti dikurung.
Maka iapun mencontoh perbu-atan mereka, duduk bersila mengumpulkan tenaga. Api unggun yang
dibuat

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh mereka itu bernyala tak jauh dari mereka, mengusir nyamuk dan dingin.
Hanya satu kali si tahi lalat itu mengeluarkan suara yang mengandung
kegelisahan, "Mengapa sampai sekarang mereka belum juga datang ?"
Ucapan ini meyakinkan hati Pek Lian bahwa mereka tentu menanti datangnya tiga
orang kawan mereka, dan memang dugaannya ini tepat. Lima orang wanita yang memiliki
ciri khas, yaitu tusuk konde batu giok itu, memang sedang menantikan datangnya tiga orang kawan
mereka. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Menjelang tengah malam, suasana. sunyi bukan main di tempat itu. Hutan di dekat
puncak bukit nampak hitam menyeramkan dan suara binatang-binatang hutan kadang - kadang
membuat Pek Lian terkejut dan membayangkan yang bukan - bukan. Biarpun ia masih duduk
bersamadhi seperti lima orang yang menawannya, namun diam - diam Pek Lian selalu waspada.
Sedikit saja kesempatan untuk meloloskan diri, sudah pasti tidak akan dilewatkannya. Akan
tetapi, lima orang itu agaknya tidak pernah lengah, karena mereka itu masih tetap menantikan
munculnya tiga orang kawan mereka. Tiba - tiba terdengar bunyi desing di sebelah selatan. Mereka semua terkejut,
termasuk Pek Lian dan semua orang menengok ke arah selatan. Nampak oleh mereka meluncurnya
anak panah berapi kuning yang meluncur ke angkasa. Anak panah tanda bahaya! Si tahi lalat
sudah meloncat bangun dan berkata, "Tanda bahaya mereka ! Tentu terjadi sesuatu yang gawat !
Mari kita bantu mereka. A-bwee, engkau di sini menjaga tawanan!"
Wanita yang disebut A - bwee mengangguk dan tanpa diduga oleh Pek Lian, wanita
ini sudah me-ringkus dan membelenggu kedua lengannya. Pek Lian terkejut dan hendak
melawan, namun maksud hati ini diurungkannya, karena apa dayanya menghadapi mereka
berlima " Kedua lengannya diikat di belakang tubuhnya dan setelah melihat betapa tawanan itu
tidak berdaya, empat orang di antara mereka lalu berloncatan pergi sedangkan yang seorang itu
duduk menjaga tawanan yang sudah ter-belenggu kedua lengannya itu. Ketika empat orang wanita
gagah itu dengan tangkasnya berloncatan ke arah anak panah tanda bahaya tadi, tiba-tiba
mereka melihat anak panah ke dua dan mengertilah mereka bahwa teman - teman mereka terancam
bahaya besar."Mari cepat!" kata yang bertahi lalat dan merekapun mengerahkan seluruh
kepandaian mereka berlari cepat menuruni bukit itu dan ketika mereka tiba di lereng, mereka
melihat betapa pemimpin mereka sedang berkelahi dengan amat serunya menghadapi seorang nenek
yang bertubuh gendut dan lihai bukan main. Jelaslah bahwa pemimpin mereka itu
terdesak hebat. Tak jauh dari situ nampak seorang kakek kurus kecil sedang berjongkok, nongkrong di
atas sebuah pedati. Dekat pedati itu tergeletak dua orang tubuh wanita, dua di antara tiga
kawan kelompok wanita bertusuk konde batu giok itu. Melihat betapa muka mereka nampak kebiruan,
mudah diduga bahwa mereka itu tentu terluka hebat dan keracunan. Begitu melihat nenek
gendut dan kakek kurus ini, empat orang wanita yang baru datang terkejut bukan main.
"Iblis-iblis dari Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Iblis) !" teriak mereka dan
merekapun sudah cepat mencabut pedang untuk membantu pemimpin mereka.
"Awas ......!" Pemimpin mereka berseru sambil memutar pedang melindungi dirinya
dari desakan lawan. "Lindungi hidung dengan saputangan! Tempat ini telah penuh
disebari racun oleh iblis-iblis ini!" Mendengar seruan itu, empat orang wanita bertusuk konde giok segera mengikatkan
saputangan melindungi hidung dan mulut mereka, kemudian merekapun maju
mengeroyok wanita gendut yang amat lihai itu. Hebat bukan main wanita gendut itu. Biarpun tubuhnya
gendut, akan tetapi ia dapat bergerak dengan amat gesitnya dan ia menghadapi pengeroyokan
lima orang wanita lihai yang berpedang itu dengan kedua tangan kosong saja! Akan tetapi,
yang terancam maut malah lima orang pengeroyoknya karena setiap gerakan wanita gendut ini
selalu mengandung bahaya. Jarum-jarum halus menyambar- nyambar dari jarak dekat kepada
mereka sehingga mereka itu harus lebih banyak mempergunakan pedang mereka untuk
melindungi tubuh. Setiap tamparan tangan wanita itupun me-ngandung hawa beracun yang selain
membawa bau amis, juga mengandung hawa yang kadang-kadang amat panas dan kadang-kadang amat
di-ngin. Untunglah bahwa lima orang wanita itu memang pada dasarnya memiliki ilmu pedang
yang tangguh, dan setelah kini mereka maju berlima, nenek gendut itu tidak mudah
merobohkan seorang di antara mereka.
"He-he..., ha-ha-ha, rasakan sekarang ! Kau sekarang dikeroyok banyak orang
lihai, sebentar lagi tentu kau akan dicincang pedang mereka menjadi bakso ! Ha-ha-ha !
Mereka akan menggorok lehermu yang buntek, menusuk hidungmu yang pesek dan merobek perutmu
yang gendut, lalu kau boleh pelesir ke neraka! Dan aku akan bebas, heh - heh! Jadi
ini namanya kita sehidup semati, aku yang hidup, kau yang mati dan aku akan kawin lagi, aku akan
mencari yang muda, yang cantik, yang... heiiiittt!" Kakek kecil kurus itu cepat mencelat dan
mengelak karena KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tiba-tiba saja isterinya, si nenek gendut itu telah me-ninggalkan lima orang
pengeroyoknya dan menye-rang ke arah suaminya dengan terkaman dahsyat. Melihat suaminya mengelak,
nenek itu menyerang lagi dengan hebatnya dan sekarang suaminya menangkisnya.
"Desss !!" Nenek gendut itu terdorong sampai tiga langkah akan tetapi suaminya
terdorong sampai lima langkah. Ini saja membuktikan bahwa si nenek itu ternyata
lebih lihai dari pada suaminya. Perkelahian antara suami isteri iblis ini demikian hebatnya,
membuat lima orang wanita bertusuk konde giok itu melongo. Ketika suami isteri itu mulai
mempergunakan racun, si suami menyebar pasir beracun, sedangkan isterinya yang tidak mau kalah itu
menyebar jarum - jarum dan asap beracun, lima orang wanita itu cepat menyingkir sambil menyeret
dua orang kawan mereka yang terluka.
Sepasang iblis tua itu benar-benar gila. Agaknya mereka sudah melupakan sama
sekali tentang musuh - musuh mereka dan kini mereka itu berkelahi mati - matian. Si
nenek lebih ganas lagi menyerang, baik dengan kaki tangan maupun dengan mulutnya yang memaki -
maki, dan akhirnya kakek itu kewalahan lalu melarikan diri terbirit - birit, dikejar oleh
isterinya yang makin keras memaki-maki penuh kemarahan. Melihat kesempatan ini, lima orang wanita
bertusuk konde giok itu cepat membawa dua orang teman mereka yang terluka untuk menjauhkan diri
dari tempat berbahaya itu. Yang terpenting bagi mereka adalah mencoba untuk menolong dua
orang teman yang terluka. Cepat mereka membawa dua orang itu ke dalam hutan dan setelah
merebahkan kedua teman itu di atas rumput, mereka berusaha mengobati dengan pe-ngerahan
sinkang dan dengan obat - obat penawar racun yang selalu mereka bawa di antara obat - obat
luka luar atau dalam. Akan tetapi, luka - luka beracun yang diderita oleh dua orang itu sungguh
berbeda dengan luka- luka beracun biasa. Luka gigitan ular berbisa saja masih akan dapat
disembuhkan oleh mereka, akan tetapi luka-luka yang diakibatkan serangan tokoh Ban-kwi-to itu
sungguh luar biasa sekali dan semua usaha pengobatan mereka sia-sia. Nyawa kedua orang itu tidak
dapat diselamatkan dan akhirnya merekapun tewas tanpa dapat meninggalkan kata-kata
pesanan lagi. Lima orang wanita yang kelihatan gagah perkasa itu, kini menangisi mayat dua
orang teman-nya. Kemudian pemimpin mereka, yang tadi dengan gagahnya melawan nenek
iblis, menghentikan tangis mereka dan dengan wajah muram berduka mereka lalu mengubur
jenazah kedua orang teman mereka di tempat itu juga.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berlima meninggalkan dua gundukan
tanah itu dan bergegas kembali ke tempat di mana mereka meninggalkan seorang teman
mereka menjaga tawanan. Akan tetapi apa yang mereka dapatkan ke-tika mereka tiba di
tempat itu membuat mereka terkejut bukan main. Tawanan telah lenyap dan teman mereka yang
bernama A-bwee itu telah menggeletak tanpa nyawa, dengan muka kebiruan tanda keracunan
pula! Setelah mereka berlima memeriksanya, ternyata luka keracunan yang diderita mayat ini
sama dengan yang diderita oleh kedua orang teman mereka yang tewas.
"Keparat busuk! !" Pimpinan mereka, wanita berusia empatpuluh tahun yang
sepasang matanya berkilat - kilat tajam itu, berseru marah sambil menghentak-hentakkan
kakinya ke atas tanah, wajahnya penuh geram dan kedukaan. "Sepasang iblis itu sungguh jahat dan
kejam! Sayang kita bukan tandingan mereka. Kita harus cepat pulang dan melapor, biarlah
siocia yang akan membalaskan sakit hati ini!"
Dengan berduka merekapun mengubur jenazah teman ke tiga ini. Tentu saja mereka
merasa berduka dan terpukul sekali. Mereka terkenal sebagai Delapan Singa Betina
yang terkenal, dan sekarang, sungguh tak terduga sama sekali, dalam waktu- semalam saja, jumlah
delapan itu tinggal lima dan yang tiga tewas dalam keadaan yang amat me-nyedihkan. Dan
penderitaan ini, korban tiga nyawa ini sungguh merupakan, korban yang sia - sia dan mati konyol,
karena mereka bentrok dengan sepasang iblis itu tanpa sebab - sebab tertentu yang kuat, hanya
merupakan percekcokan di antara dua kelompok yang berpapasan di jalan ! Setelah selesai
mengubur jenazah teman ke tiga itu. lima orang wanita bertusuk konde batu giok itu lalu cepat
meninggalkan tempat itu dengan wajah muram. Sudah sejak tadi Pek Lian; merasa betapa jalan darahnya telah pulih kembali.
Akan tetapi ia tidak berani bergerak, dan pura - pura masih lumpuh tertotok atau setengah
pingsan. Tubuhnya bergoyang - goyang dalam keadaan rebah miring di bagian belakang gerobak yang
berjalan lambat - lambat itu, berjalan di atas jalan yang tidak rata sehingga bergoyang -
goyang keras. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Hanya sepasang mata dara itu saja yang bergerak melirik ke bagian depan gerobak,
di mana nampak dua orang suami isteri gila itu sedang duduk berdampingan dan bercanda,
tertawa-tawa, kadang-kadang mereka itu bercumbu dengan kasar, tanpa mengenal malu seolah -
olah tidak ada Pek Lian di dekat mereka yang dapat melihat semua adegan ini. Begitulah kalau
suami isteri itu sedang dalam keadaan rukun.
Pek Lian memejamkan kedua matanya. Wajah-nya yang bulat telur itu agak pucat dan
kurus. Memang selama ayahnya ditawan ia mengalami banyak hal - hal yang pahit,
ditambah lagi dengan kematian dua orang gurunya, membuat dara ini menderita tekanan batin yang
membuatnya kurus dan pucat. Namun wajah yang kini nampak pucat itu masih tidak
kehilangan kecantikannya. Biarpun rambutnya awut-awutan, kulit mukanya agak kotor dan
pakaiannya kusut, dara ini masih nampak gagah dan cantik manis. Dagunya yang runcing itu
membayangkan kekerasan hati dan keberanian yang luar biasa. Mulutnya tidak pernah
membayangkan rasa takut, sedangkan sepasang matanya yang memang agak lebar itu, setelah wajahnya
menjadi kurus nampak lebih lebar lagi, sepasang mata tajam yang mengeluarkan sinar
berkilat. Memang pantaslah puteri Menteri Ho ini menjadi pimpinan para pendekar di Puncak Awan
Biru, membantu suhunya. Sebutan "nona Ho" oleh para pendekar dengan sikap menghormat, tidaklah
mengecewakan karena selama ini sepak teriang Ho Pek Lian memang gagah perkasa
dan nenuh semangat. Akan tetapi pada saat itu, Ho Pek Lian atau nona Ho yang dikagumi para
patriot itu, berada dalam keadaan yang menyedihkan dan sama sekali tidak berdaya. Dalam
keadaan lumpuh tertotok ia menjadi tawanan sepasang suami isteri iblis itu, dan ia tahu bahwa
kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi seorang saja di antara mereka, apa lagi kalau
harus

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi mereka berdua. Dalam keadaan lumpuh tertotok, ia dilempar begitu saia
seperti karung kosong di atas gerobak dan selanjutnya suami isteri- itu tidak
memperdulikannya dan membawanya melalui dusun - dusun yang terpencil menuju ke utara.
Biarpun ia tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi menghadapi kemungkinan
apa yang akan dilakukan oleh sepasang iblis itu kepadanya, membuat Pek Lian merasa
ngeri juga. Ada hal-hal yang lebih mengerikan dari pada kematian. Siang tadi saja ia telah
mengalami hal yang mengerikan, masih meremang bulu tengkuknya kalau ingat. Si kakek kecil kurus
yang seperti tulang bungkus kulit itu mendekatinya. Kemudian jari-jari tangan yang kecil dan
keras dingin itu mera-ba dan membelai lehernya. Pek Lian merasa ngeri dan bulu - bulu di seluruh
tubuhnya bangkit ber-diri. Ia menutupkan kedua matanya dan menahan bau apek yang keluar
dari tubuh kakek itu. "Heh-heh-heh, halus kulitnya. hemm, lunak halus. Cantik sekali gadis ini !" Jari
- jari tangan itu meraba dan membelai. Pek Lian mena-han jeritnya ketika jari-jari
tangan itu makin menurun ke dadanya. Akan tetapi, tiba-tiba ka-kek itu menarik tangannya ketika
isterinya menghardik. "Hem, bagus, ya " Dahulu engkau merayu dan mengatakan bahwa di dunia ini akulah
wanita paling cantik! Dan sekarang, di depan hidungku engkau memuji kecantikan lain
orang! Bagus, ya " Engkau menantangku, ya ?"
"Uhh, tidak, tidak ! Jangan salah sangka, isteriku
yang manis. Sampai sekarangpun, engkaulah wanita paling cantik di dunia. Gadis
ini memang cantik, akan tetapi engkaulah yang paling cantik. Heh-heh!"
"Betulkah itu, kakanda ?" Si isteri merayu manja.
"Heh-heh, siapa bohong padamu?" jawab ka-kek itu dan merekapun lalu bercanda,
bergelut di dalam gerobak, saling berciuman, saling cubit dan saling cakar sampai gerobak
itu bergoyang - goyang dan berguncang keras! Melihat semua ini, Pek Lian memejamkan matanya akan
tetapi tidak mampu menutup telinganya yang terpaksa mendengar semua cumbu rayu mereka
yang kasar itu. Setelah permainan cinta mereka itu mereda, si isteri berkata, "Awas engkau, ya "
Sekali lagi engkau berani menyentuhnya, akan kurobek kulit yang kausentuh dan akan
kupatahkan tanganmu yang menyentuh!" Tentu saja Pek Lian bergidik ngeri, akan tetapi hatinya merasa lega juga. Kakek
itu sangat takut kepada bininya yang besar cemburu itu dan hal ini telah menolongnya karena
ia melihat pandang mata penuh nafsu dari kakek itu kepadanya. Akan tetapi suami isteri itu
sungguh KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menyeramkan dan againya keduanya memang tidak normal otaknya. Mereka itu kadang
- kadang bermain cinta di depannya saja, dan kadang - kadang bercekcok sampai berkelahi
mati-matian. Pek Lian merasa tersiksa bukan main. Ia tidak tahu hendak dibawa ke mana dan mau
diapakan oleh suami isteri itu. Belum setengah hari ia berada di dalam gerobak
tubuhnya sudah terasa gatal-gatal, kulitnya timbul bintik-bintik merah seperti digigiti nyamuk.
Ia tahu bahwa hal itu disebabkan oleh hawa beracun yang memenuhi gerobak itu.
Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat sehingga ia dapat
melawan hawa beracun ini. Yang amat menyiksanya hanyalah to-, tokan yang membuat kaki
tangannya seperti lum-puh itu. Pek Lian memulihkan tenaganya. Totokan itu telah mulai kehilangan kekuatannya
dan jalan da^, rahnya pulih kembali. Ia diam saia, pura - pura masih lumpuh. Sampai lama
ia membiarkan darahnya berjalan lancar sampai akhirnya ia merasa betapa tubuhnya telah segar
dan sehat kembali. Pek Lian menanti sampai malam tiba. Gerobak itu dihentikan oleh dua orang
penawannya di tepi jalan dan seperti biasa, suami isteri itu meninggalkan gerobak untuk
mencari bahan makan malam. Indah kesempatan terbaik, pikir Pek Lian dan setelah melihat mereka
pergi, iapun cepat meloncat turun. Senia telah tiba dan cuaca mulai remang-remang. Akan tetapi,
tiba - tiba dara ini meloncat kembali memasuki gerobak ketika ia mendengar suara kakek nenek itu
tertawa - tawa dari jauh. 'Aduh, dingin sekali airnya ....... !" Terdengar
kakek itu berseru dan tahulah Pek Lian bahwa mereka itu sedang mandi. Agaknya
terdanat sumber air, anak sungai atau telaga di dekat tempat itu. Iapun mengintai dari
balik tirai gerobak, melihat apakah keadaannya cukup aman baginya untuk melarikan diri. Ia harus
berhati-hati sekali karena kakek dan nenek itu lihai luar biasa dan kalau sampai larinya ketahuan
sebelum ia pergi jauh se kali, besar bahayanya ia akan tertawan kembali.
Tiba - tiba ada angin menyambar yang membuat pintu gerobak itu bergerak dan
hampir saja Pek Lian menjerit saking kagetnya ketika mendadak ada tubuh meloncat masuk dan
tahu - tahu kakek kurus itu telah berdiri di pintu gerobak dalam keadaan telanjang bulat
sama sekali! Badannya yang kurus itu masih basah kuyup, air masih menetes-netes dari seluruh
tubuhnya. Pek Lian menutupi mulut dengan tangan menahan jeritnya dan cepat membuang muka agar
tidak usah melihat tubuh telanjang itu walaupun cuaca mulai remang - remang dan ia
tidak dapat melihat jelas. "Heh - heh - heh, engkau sudah dapat bangun, manis " Bagus, mari temani aku
bersenang - senang sebentar !" Dan kakek itu lalu menubruk dan meraih tubuh Pek Lian.
"Tidak ! Jangan... !" teriaknya dan ia memapaki tubuh itu dengan pukulan tangannya.
"Plakk !" Pergelangan tangannya ditangkap dan sebelum tangan ke dua bergerak,
juga pergelangan tangan ke dua ini ditangkap oleh kakek itu yang terkekeh dan ada air
liur menetes dari mulutnya ketika dia mencoba untuk mencium muka nona itu. Pek Lian. meronta-
ronta sekuat tenaga, melawan mati - matian dan tiba - tiba kakinya yang tertindih, tanpa
disengaja, menendang sebuah benda di dalam gerobak itu.
"Prakk!" Guci kecil itu pecah dan dari dalam guci itu keluarlah berpuluh - puluh
kelabang me- rah. Bau amis memenuhi ruangan gerobak itu dan Pek Lian menggigil ketakutan
melihat kelabang- kelabang besar merah itu merayap cepat dan ad. yang merayap ke pakaiannya,
bahkan memasuki lubang celana dan bajunya. Ia berteriak - teriak dan mencoba untuk mengusir
binatang - binatang itu. "Heh - heh - heh, ha - ha - ha !" Kakek itu mera-sa girang bukan main dan
agaknya dia seperti seorang anak kecil yang menemukan permainan baru. Sejenak dia lupa akan
rangsangan nafsu berahinya dan dia merasa gembira sekali melihat gadis itu tersiksa seperti
itu. Sambil berjongkok di dekat Pek Lian, dia terkekeh - kekeh melihat gadis itu meng-
geliat-geliat kengerian dikeroyok puluhan ekor ke-labang itu ! Dan Pek Lian sekali ini baru dapat
mengalami apa artinya rasa takut dan jijik. Dari takutnya ia sampai jatuh pingsan ! Melihat gadis ini
pingsan, kakek itu seperti kehilangan kegembi-raannya dan teringat lagi akan nafsu berahinya maka
diapun mulai meraba - raba hendak menang-galkan pakaian gadis itu. Akan tetapi, baru dua buah
kancing baju KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dibukanya, tiba - tiba dia menarik kembali tangannya mendengar isterinya
berteriak-teriak dari kejauhan. "Bangsat penipu pembohong ! Laki - laki pena-kut dan pengecut! Di mana kau "
Akan kurobek mulutmu yang membohongiku. Di mana ada buaya di sungai itu " Sampai
kehabisan napas aku menye-lam dan mencari - cari tanpa hasil. Kau pembo-hong ! Di mana kau
" Jangan lari !" Mendengar teriakan isterinya ini, kakek itu men-jadi ketakutan dan cepat diapun
meloncat keluar dari dalam gerobak dan melarikan diri dalam kea-daan masih telanjang
bulat, meninggalkan Pek Lian yang masih rebah pingsan di dalam gerobak.
Nenek itu meloncat masuk ke dalam gerobak. Matanya terbelalak melihat binatang -
binatang itu terlepas dan berkeliaran di situ. "Wah, celaka, sia-pa berani
melepaskan peliharaan kesayanganku, hah ?" Cepat ia mengambil sebuah botol kecil dan menuangkan isinya
yang berupa cairan ke dalam mangkok. Bau yang amis busuk memenuhi tempat itu dan sungguh
mengherankan sekali, semua kela-bang itu cepat - cepat merayap datang dan mema-
suki mangkok itu. Nenek itu menangkapi dengan jari - jari tangan yang cekatan sekali
dan tak lama kemudian semua kelabang sudah disimpannya kem-bali ke dalam sebuah guci kosong.
Kemudian ia memperhatikan keadaan Pek Lian dan alisnya yang tebal itu berkerut.
Apa lagi keti-ka ia melihat genangan air di dalam gerobak. Ia lalu meloncat turun dan
kembali terdengar suaranya memaki-maki. "Bangsat cabul tak tahu diri! Di mana kau ?"
Tak lama kemudian, nenek itu mendapatkan suaminya sedang enak - enak memancing
ikan di tepi sungai sambil bersiul - siul, seolah - olah tidak pernah melakukan
sesuatu yang salah. Akan tetapi, agaknya isterinya tidak dapat dikibuli begitu saja dan segera telinga
sang suami dijewer dan dia di-seret oleh isterinya yang galak itu kembali ke peda-ti, yang segera
diberangkatkan oleh nenek yang marah - marah itu.
Dengan terjadinya peristiwa itu, pengawasan si nenek menjadi lebih ketat
sehingga kakek itu tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menco-ba - coba mendekati Pek Lian.
Hal ini tentu saja amat menguntungkan Pek Lian, akan tetapi di sam-ping itu, juga ia
mengalami penyiksaan lain sebagai akibat dari rasa cemburu dan benci dari nenek iblis.
Karena cemburu, kini sikap nenek iblis itu terhadap Pek Lian menjadi sadis. Pada hari ke tiga, Pek
Lian tidak dibelenggu kedua lengannya lagi, melainkan diharuskan duduk di bagian depan, di atas tempat
duduk kusir dan kaki kanannya di-rantai dengan tiang gerobak. Ia diharuskan men-jadi kusir,
mengamati dan mengendalikan kuda penarik gerobak. Lebih celaka lagi, nenek itu telah menotok
urat gagunya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya duduk dengan anteng-nya di
bangku kusir sementara itu suami isteri iblis itu bersenang - senang di dalam gerobak. Pek
Lian masih selalu menanti saat baik. Bagaimanapun juga keadaannya, gadis perkasa ini tidak pernah
putus asa. Selama hayat dikandung badan, ia tidak akan pernah putus harapan. Pada suatu
ketika, ia pasti akan dapat meloloskan diri. Ia tidak mau mati konyol dengan melakukan perlawanan
yang sia - sia belaka terhadap suami isteri iblis yang amat lihai itu. Bagaimanapun juga, ia
kini terlindung oleh rasa cemburu isteri itu terhadap suaminya. Bahaya yang terbesar telah tersingkir
dan iapun tidak bodoh untuk dapat menduga bahwa suami isteri itu tidak menghendaki kematiannya,
karena kalau demikian halnya, tidak mungkin ia dibiarkan hidup sampai tiga hari lamanya.
Hari itu, sejak pagi telah turun hujan. Akan te-tapi suami isteri iblis itu
membiarkan Pek Lian tetap duduk di luar dan kehujanan sampai pakaian-nya basah kuyup. Juga nenek itu
tidak memper-bolehkannya menghentikan gerobak untuk berte-duh. Tentu saja keadaan Pek
Lian ini membuat orang - orang yang melihatnya menjadi terheran-heran. Sementara itu, di
dalam gerobak terjadi pu-la perdebatan antara suami dan isterinya yang galak itu.
"Eh, isteriku yang manis, yang denok, di luar hujan deras sekali. Apakah akan
kaubiarkan saja anak ayam itu kehujanan di luar " Ia bisa masuk angin dan sakit"
"Huh ! kau perduli apa sih " Kau kasihan ya " Kau cinta padanya ya ?"
"Eh, eh... jangan marah dulu dong! Aku hanya bilang kalau ia sakit dan tidak
dapat mengendalikan kuda, kita akan kehilangan seorang kusir yang can... eh,yang
cakap." "Sudah, jangan cerewet! Biarkan saja. Hayo kita bersenang-senang, di dalam sini
kan hangat, mari kita main adu kelabang !"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Isteriku yang manis, mengapa tidak dibunuh saja biar lekas beres dan tidak
mengganggu ?" "Manusia tolol engkau! Lupakah engkau bah-wa kita pernah dipesan oleh Sam - suci


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Aku akan diberi hadiah ramuan awet muda yang diciptakan-nya, apa bila kita dapat
mencarikan seorang gadis muda cantik keturunan bangsawan yang bertulang bagus dan berdarah
murni, juga mempunyai ke-pandaian tinggi. Nah, inilah gadis itu!"
"Alaaaa, awet muda. Mana bisa orang tetap awet muda kalau usianya sudah tua ?"
kakek itu menggerutu. Mereka tidak ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** mak dapat mematahkan rantai yang mem-belenggu kakinya, maka jalan satu - satunya
adalah membelokkan kuda menuju ke kota agar kalau ada orang melihat keadaannya,
ia akan menarik perha-tian orang dan siapa tahu kalau di antara mereka itu terdapat
pendekar-pendekar yang sakti dan dapat membebaskannya dari cengkeraman suami isteri iblis itu.
Kini ia sudah tahu mengapa ia dita-wan dan tidak dibunuh. Kiranya iblis betina itu mempunyai niat
untuk "menjualnya" kepada seorang iblis lain yang disebut Sam - suci oleh iblis betina
itu, untuk ditukar ramuan obat awet muda. Hujan masih deras ketika gerobak itu memasuki pintu gerbang sebuah kota. Agaknya
karena hujan yang mendatangkan hawa dingin, suami isteri iblis itu masih enak - enak
tidur mendengkur, tidak tahu bahwa gerobak mereka telah disesatkan memasuki kota besar, padahal
mereka selalu ingin menjauhi tempat ramai selama ini. Orang - orang yang ber-teduh di tepi
jalan memandang dengan heran ke-pada gadis yang menjalankan gerobaknya dan membiarkan dirinya
ditimpa air hujan sampai ram-but dan pakaiannya basah kuyup itu.
Kota yang dimasuki gerobak itu adalah Lok-yang, yang merupakan kota kedua
setelah Tiang-an yang menjadi kota raja. Tentu saja Pek Lian yang menjadi puteri seorang
menteri, mengenal ko-ta besar ini dan diam - diam ia mengharapkan un-tuk dapat bertemu
dengan orang - orang gagah yang akan dapat membantunya membebaskan diri dari kedua orang iblis
itu. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi ia merasa lega mendengar betapa kedua
orang iblis itu masih enak-enak tidur mendengkur. Mereka itu sungguh seperti bukan manusia lagi,
pikir Pek Lian. Bermain cinta dengan kasar tanpa mengenal malu, bercekcok dan berkelahi,
selalu bersaing, bahkan dalam mendeng-kur saja mereka seperti bersaing keras !
(Bersambung jilid ke VII.)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid VII BIARPUN waktu itu sudah tengah hari, akan tetapi cuacanya agak dingin dan agak
gelap karena sejak pagi hujan. Kota yang besar, penuh dongan toko - toko, rumah- rumah
makan dan juga rumah - rumah penginapan itu nampak sunyi karena yang berani berlalu -
lalang hanya mereka yang membawa payung dan yang naik kereta. Sebagian besar orang berteduh
di emper - emper toko dan jalan raya yang cukup lebar itu telah digenangi air.
Ketika gerobak yang dikendarai Pek Lian me-masuki pintu gerbang, tak lama
kemudian masuk pula sebuah kereta indah yang dihias tanda - tanda kebesaran. Kereta itu
dikawal oleh belasan orang perajurit yang berpakaian serba mewah dan indah gemerlapan. Di
sebelah kanan kiri kereta itu nampak dua orang gadis cantik yang berpakaian indah se-perti
puteri - puteri bangsawan istana atau penga-wal-pengawal wanita istana yang berkedudukan tinggi.
Di belakang masing - masing gadis ini ter-dapat seorang perajurit yang melindungi mereka
dari air hujan dengan sebuah payung bergagang panjang. Perlakuan ini saja membuktikan bahwa dua
orang gadis itu bukanlah sembarang pengawal, setidaknya tentu pengawal- pengawal
seorang puteri istana yang dipercaya. Melihat pedang panjang tergantung di punggung dua orang
gadis itu, makin mudah diduga bahwa mereka itu tentulah pengawal-pengawai istana yang
penting. Karena kereta indah itu mendahuluinya, Pek Lian dapat memperhatikan kereta di
depannya itu. Ia melihat betapa orang-orang yang berteduh di tepi jalan, membungkuk
dengan hormat KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ketika ke-reta lewat. Ini hanya menunjukkan bahwa penum-pang kereta itu tentulah
seorang pejabat tinggi. Dan melihat dua orang pengawalnya, mudah di-duga bahwa penumpang
itu tentulah seorang wanita bangsawan. Pek Lian menduga-duga. Siapa-kah wanita
bangsawan tinggi di dalam kereta itu "
Pek Lian memandang kepada dua orang penga-wal wanita itu dengan penuh perhatian.
Sejak melihatnya tadi, ia merasa seperti telah menge-nal atau setidaknya pernah
melihat mereka ini, akan tetapi ia lupa lagi entah kapan dan di mana. Kini ia memandang lagi
penuh perhatian dan karena kini ia memandang dari belakang, sege-ra ia tertarik oleh sesuatu pada
rambut mereka itu. Tentu saja! Tusuk konde batu giok! Sama benar bentuknya dengan tusuk konde yang
dipakai oleh delapan orang wanita berpakaian sutera hitam itu, yang pernah menawannya. Hanya
bedanya, dua orang gadis ini masih muda, cantik dan pakaian-nya indah. Karena ia sendiri
tidak tahu harus me-nujukan gerobaknya ke mana, maka kuda yang di-diamkannya itu otomatis
mengikuti jalannya kereta di sebelah depan. Kereta mewah itu berhenti di pintu gerbang se-buah gedung besar dengan
pekarangan yang luas dan indah. Pek Lian juga menghentikan gerobak-nya di belakang kereta itu
sambil memandang dengan penuh perhatian. Pintu kereta terbuka dan turunlah seorang
wanita tua yang berwibawa, ber-pakaian indah dan bersikap tenang sekali. Wanita tua ini menengok
satu kali ke arah gerobak, lalu melangkah ke depan, disambut oleh seorang laki-laki setengah
tua yang agaknya menjadi tuan rumah penghuni gedung itu. Pek Lian melihat nenek ini dan
juga pria itu, hatinya berdebar tegang. Ia mengenal dengan baik siapa adanya mereka, walau-pun
ia tidak pernah berkenalan dekat dengan mere-ka. Pria setengah tua yang kelihatan gagah
itu, yang us;anya antara limapuluh lima tahun, adalah Wakil Perdana Menteri Kang yang amat
terkenal karena selain wakil perdana menteri ini amat cerdik pandai, juga dia terkenal
sebagai seorang pembesar atau pejabat yang adil, jujur dan set;a. Semua pe-jabat di kota raja
segan kepadanya, bahkan kaisar sendiripun menaruh hormat kepada wakil perdana menteri ini.
Sedangkan nenek itupun pernah dilihat oleh Pek Lian, bahkan nama nenek ini sudah lama
dikenalnya. Nenek ini dikenal sebagai Siang Houw Nio - nio, bukan nenek sembarangan karena ia adalah
bibi dari kaisar sendiri ! Bahkan, biarpun tidak secara resmi, terdengar desas - desus bahwa
nenek inilah yang bertanggung jawab atas keaman-an keluarga kaisar di istana karena nenek ini
memang memiliki ilmu kepandaian yang amat- lihai.
Pek Lian hanya dapat memandang dengan me-longo ketika nenek itu disambut dengan
penuh kehormatan oleh pihak tuan rumah, kemudian ne-nek itu diiringkan masuk ke
dalam gedung, dika-wal oleh dua orang gadis cantik yang berjalan gagah di belakangnya.
Setelah mereka itu lenyap, ke dalam gedung, barulah Pek Lian sadar bahwa ia sejak tadi
telah duduk bengong di atas gerobak yang dihentikannya di belakang kereta. Dan baru ia tahu
bahwa para pengawal yang jumlahnya em-patbelas orang tadi mulai memperhatikan gerobak-nya.
Bahkan empat orang segera melangkah lebar menghampirinya.
"Heii, nona ! Sejak tadi engkau mengikuti kami, ada urusan apakah ?" tegur
seorang di antara mereka. Mereka tadi ketika mengawal kereta, meli-hat gerobak ini, akan
tetapi mereka tidak berani membikin ribut karena takut kepada Siang Houw Nio - nio yang mereka
kawal, juga karena dua orang nona pengawal pribadi nenek itu diam saja, mere-kapun tidak
berani banyak bertingkah. Sekarang, setelah nenek penghuni kereta bersama para pe-ngawal
pribadinya telah diterima oleh pihak tuan rumah dengan selamat, barulah mereka berani ri-but -
ribut untuk menyatakan rasa penasaran dan mereka menghampiri gerobak yang masih berhenti tak
jauh dari pintu gerbang itu. "Jangan-jangan ia menyelidiki perjalanan kita !" kata seorang di antara mereka
sambil. mendekat. "Eh, kenapa kakimu dirantai, nona ?" tanya orang ke tiga dan kini ada enam orang
pengawal ramai-ramai mendekat karena tertarik oleh seru-an terakhir ini.
Pek Lian tidak dapat banyak mengharapkan orang- orang seperti para pengawal ini.
Ia sudah tahu sampai di mana kepandaian perajurit - perajurit pengawal ini. Kalau
dua orang gadis tadi, barulah boleh diharapkan dapat menolongnya. Akan tetapi, betapapun juga,
ia melihat kesempatan untuk me-nimbulkan keributan dan menarik perhatian, maka mendengar
pertanyaan itu, ia lalu menoleh dan me-nudingkan jari telunjuknya ke dalam gerobak.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Isyarat ini cukup bagi para perajurit pengawal. Bagaikan pendekar - pendekar
atau pahlawan - pah-lawan yang hendak menolong seorang gadis manis yang tersiksa, mereka itu
lalu mendobrak pintu dengan gedoran - gedoran keras.
"Penjahat-penjahat keji yang berada di dalam gerobak ! Hayo keluar menerima
hukuman !" teriak mereka sambil beramai-ramai mendorong pintu gerobak yang terkunci dari
dalam itu. Tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari dalam, me-ngejutkan para perajurit
pengawal karena teriakan seperti itu hanya dapat dikeluarkan oleh mulut bi-natang-binatang buas.
Dan tiba-tiba saja pintu gerobak itu terbuka lebar dari dalam, disusul ber-i kelebatnya dua
bayangan orang dan empat orang perajurit berteriak dan roboh, menggigil kedinginan terkena pukulan
beracun ! Tentu saja hal ini amat mengejutkan sepuluh orang perajurit pengawal la-innya dan
mereka sudah cepat mencabut senjata lalu mengeroyok kakek dan nenek yang telah me-robohkan empat
orang kawan mereka itu. Terja-dilah perkelahian yang ramai, di mana sepuluh orang pengawal
dihadapi oleh dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Kakek itu berkelahi sambil terkekeh -
kekeh dan seperti biasa, dia memperma-inkan para pengeroyoknya, membuat mereka jatuh
bangun hanya dengan menjegal, mendorong dan tidak menjatuhkan pukulan maut karena memang dia
ingin puas mempermainkan dulu para pengero-yoknya sebelum membunuh mereka. Sebaliknya,
nenek itu menggerakkan kaki tangannya dengan buas sambil memaki - maki dan dalam waktu
sing-kat, sudah ada dua orang lagi perajurit pengawal yang dirobohkan oleh pukulannya yang
mengan- dung hawa beracn. Suasana menjadi ribut karena para penjaga gedung itupun sudah
berlari - lari mendatangi sambil memegang senjata.
Kembali sudah jatuh dua orang perajurit penga-wal sehingga kini sudah ada
delapan orang meng-geletak keracunan oleh pukulan suami isteri yang lihai itu. Keributan ini
tentu saja segera diketahui oleh para pengawal - pengawal dalam gedung dan merekapun cepat berlari
keluar. Kini kakek dan nenek itu dikeroyok oleh puluhan orang perajurit pengawal dan penjaga.
Akan tetapi, para perajurit itu sama saja dengan menyerahkan nyawa mencari kematian. Makin
banyak kini yang roboh sehingga mayat mereka malang melintang memenuhi ha-laman yang luas
itu. Melihat ini semua, diam - diam Pek Lian bergidik. Kakek dan nenek itu benar-benar amat
keji dan juga amat lihai. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan nampak berkelebat bayangan
merah dan putih meluncur keluar dari dalam gedung. Pek Lian melihat bahwa yang bergerak
cepat sekali itu ternyata adalah dua orang gadis pengawal tadi. Tahu - tahu mereka telah berada
di situ dan mereka sudah me-ngenal keadaan dengan pandang mata mereka yang tajam dan
berpengalaman. "Pek - cici, tentu mereka inilah yang telah mem-bunuh orang - orang kita !
Manusia -

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia iblis dari Ban - kwi - to !"
"Benar, Ang - siauwmoi! Kau bantu para pengawal, biar aku bebaskan gadis tawanan
itu !" kata wanita baju putih, sedangkan wanita yang bajunya merah telah mencabut
pedang panjangnya dan dengan gerakan yang amat cepat dan dahsyat, ia sudah menerjang
kakek nenek iblis dengan serangan maut. Pedangnya membuat gulungan sinar dan mengeluarkan
suara bercicit, tanda bahwa ilmu pedang gadis baju merah ini amat lihai dan digerakkan
oleh tenaga sinkang yang amat kuat. Sementara itu, gadis baju putih sekali meloncat telah
tiba di dekat Pek Lian. Dengan cekatan ia mematahkan rantai kaki Pek Lian dengan pedangnya yang
ternyata terbuat dari pada baja yang amat kuat itu, dan melihat keadaan Pek Lian, iapun
lalu menotok dan mengurut leher Pek Lian sehingga Pek Lian dapat mengeluarkan suara lagi. "Terima
kasih," kata Pek Lian. "Tidak perlu, kalau engkau ada kepandaian, lebih baik bantu kami
menghadapi sepasang iblis itu!" jawab si wanita baju putih yang kini segera meloncat turun
dan membantu gadis baju merah dengan putaran pedangnya yang ternyata tidak kalah hebatnya
dibandingkan dengan si baju merah. Dua orang gadis itu memang benar amat lihai. Terutama sekali ilmu pedang mereka
sedemikian hebatnya sehingga sepasang iblis itupun berkali-kali mengeluarkan
seruan kaget dan nyaris menjadi korban pedang kalau mereka tidak cepat - cepat menghindarkan diri
dengan cekatan sambil mem-balas dengan mengawut - awut jarum, pasir dan asap beracun.
Para pengawal yang mengeroyok hanya berani menggunakan senjata - senjata panjang
seperti tombak untuk menyerang kakek daii nenek itu dari jarak jauh setelah melihat betapa pe-
rajurit pengawal yang berani mehyerang terlalu dekat tentu roboh dalam keadaan mengerikan, men-
jadi korban KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pukulan beracun. Melihat betapa se-pasang iblis itu terdesak, akan tetapi masih
amat sukar bagi dua orang gadis dan para pengawal un-tuk merobohkannya, Pek Lian yang merasa
sakit hati terhadap mereka lalu meloncat turun dari atas gerobak, dan menyambar sebatang
pedang yang berserakan di halaman. Banyak senjata para penga-wal yang sudah roboh itu
berserakan di tempat itu dan pedangnya sendiri entah dibuang ke mana oleh suami isteri iblis
itu. Dengan pedang di ta-ngan, Pek Lian menyerbu dan ikut mengeroyok. Tentu saja serangan
Pek Lian dengan ilmu pedang yang tidak boleh dipandang ringan ini membuat suami isteri
dari Ban-kwi-to menjadi semakin terdesak.
Bagaimanapun juga, ilmu silat pedang Pek Lian adalah ilmu pedang yang masih
aseli dan bersih, mengandung dasar yang kuat. Dan selama ini ia telah memperoleh banyak
pengalaman dalam pertempuran-pertempuran melawan musuh-musuh yang tangguh sehingga ia
memperoleh banyak kema-juan pesat. Maka, pengeroyokannya juga terasa berat oleh suami
isteri iblis itu sehingga mereka semakin terdesak. Karena khawatir kalau-kalau sampai terluka dan
roboh, tiba- tiba nenek itu mengeluarkan sebuah tabung bambu kuning dari saku jubahnya yang
kedodoran, dan membuka tutupnya. Melihat ini, Pek Lian yang selama tiga hari berkum-pul
dengan mereka dan sudah tahu akan isi tabung bambu itu, berteriak kaget, "Awas binatang
berbisa !!" Teriakannya itu ternyata benar karena dari ta-bung bambu itu keluar beterbangan
beratus - ratus lebah yang warnanya putih yang mengamuk dan menyerang para pengeroyok.
Hebatnya, di antara para perajurit yang terkena sengatan lebah itu, se-ketika roboh
berkelojotan, tubuhnya kejang - kejang ! Bukan main hebatnya bisa dari sengatan lebah pu-tih ini. Yang
belum menjadi korban sengatan lebah, segera melarikan diri ke dalam gedung, termasuk Pek Lian
dan dua orang wanita tokoh tusuk konde batu giok itu, dikejar oleh lebah - lebah yang marah.
Sementara itu, melihat jatuhnya beberapa orang korban sengatan lebahnya, kakek
dan nenek itu se-perti kumat gilanya. Mereka tertawa - tawa, ber-tepuk - tepuk
tangan dan bersorak, lalu berjongkok dan menonton orang-orang yang berkelojotan dan kejang-kejang
sebagai akibat sengatan lebah, kelihatan gembira bukan main seperti anak-anak ke-cil menikmati
cacing - cacing yang berkelojotan ter-kena abu panas. Mereka agaknya seperti telah me-lupakan
keadaan sekeliling mereka, karena asyik dengan permainan baru ini. Memang nampaknya dua
orang ini seperti iblis yang amat kejam. Akan tetapi, bukankah kesadisan, yaitu rasa
gembira me-lihat orang atau mahluk lain tersiksa ini telah ada pada diri setiap orang manusia sejak
kanak - kanak " Hanya
agaknya pada suami isteri ini kesadisan itu menonjol sekali sehingga
kelihatannya luar biasa dan
keterlaluan. Sementara itu, nenek Siang Houw Nio - nio yang berada di dalam gedung, sedang
bercakap - cakap dengan Wakil Perdana Menteri Kang. Mereka bica-ra dengan serius sekali
dan wajah keduanya agak muram dan nampak bersemangat. Agaknya mereka saling berbantah dan
kini terdengar suara nenek yang berwibawa itu, yang bicara sambil menatap tajam wajah
wakil perdana menteri itu, suaranya terdengar lantang dan berpengaruh.
"Menteri Kang! Aku pribadi dapat mengerti akan perasaan hatimu. Aku mengerti,
apa yang men-jadi sebab sesungguhnya dari permintaanmu untuk pensiun itu. Alasan yang
kauajukan bahwa engkau sudah merasa terlalu tua dan tidak sanggup bekerja lagi adalah
alasan yang dicari - cari saja. Aku tahu bahwa sebab yang sesungguhnya adalah karena semua nasihatmu
tidak pernah digubris oleh kaisar, bukankah demikian" Di dalam batinmu, engkau selalu
berselisih pendapat dengan Sri baginda dan hal itu amat mengesalkan hatimu. Bukankah demi-
kian " Apa lagi setelah sahabat eratmu, yaitu Men-teri Ho, ditangkap karena dianggap
menentang kebijaksanaan pemerintah. Dan karena engkau setia, muka dari pada engkau harus
mengalami tekanan batin, lebih baik engkau mengundurkan diri saja. Bukankah demikian,
Wakil Perdana Menteri Kang !'" Ucapan nenek itu begitu terus terang dan ditujukan langsung
tanpa pura-pura lagi sehingga bagi men-teri setia itu terasa seolah-olah ada todongan pedang
langsung ke ulu hatinya. Mendengar ucapan itu, pembesar ini agak pucat mukanya dan sampai lama dia
menundukkan muka-nya. Dia maklum bahwa akan percuma saja untuk menyangkal
terhadap puteri yang amat cerdas ini. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, diapun
berkata, suaranya terdengar berat membayangkan keadaan hatinya yang terhimpit,
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Tuan puteri, hamba mengerti bahwa sebagai bibi dan pelindung sri baginda
kaisar, paduka memiliki pandangan yang luas, waspada dan bijaksana. Oleh karena itu, tentu
paduka juga maklum bahwa hamba sama sekali tidak mempunyai niat yang kurang baik terhadap
sri baginda. Di dalam lubuk hati hamba, yang ada hanyalah kesetiaan, sifat yang dijunjung
oleh nenek moyang hamba. Selama ini, selagi mendampingi sri baginda, hamba selalu berbuat baik dan
bijaksana agar dapat meraih rasa hormat dan cinta dari rakyat. Kekuatan negara terletak kepada kekuatan kaisarnya
dan kekuatan kaisar timbul dari kesetiaan rakyat yang mencintanya. Akan tetapi...
ah, bagaimana hamba harus mengatakannya ?"
"Lanjutkanlah, Menteri Kang. Jangan khawatir, engkau bicara dengan orang yang
mempergunakan hati nuraninya, bukan hanya mempergunakan perasaannya."
"Bagaimana hati hamba tidak akan berduka me-lihat betapa sri baginda agaknya
hanya selalu me-nuruti keinginan beberapa orang kepercayaan saja. Mengejar kesenangan
dan kurang mempertimbang-kan usul - usul mereka yang dipercaya sehingga sering kali muncul
keputusan dan perintah yang amat berlawanan dengan kehendak rakyat jelata. Hal itu membuat
negara kita menjadi tegang dan kacau seperti sekarang ini. Hamba adalah wakil perdana
menteri, tentu ikut bertanggung jawab atas keadaan negara. Akan tetapi apa yang dapat hamba lakukan
kalau semua usul hamba tidak di-perhatikan " Kalau semua nasihat hamba dikalah-kan oleh
bujuk rayu para penjilat " Lebih baik hamba mengundurkan diri saja. Bukan karena ham-ba ingin
melarikan diri atau karena kecewa, mela-inkan karena kehadiran hamba di dekat sri baginda sama
sekali tidak ada artinya lagi." "Aku dapat mengerti perasaan hatimu, akan te-tapi jalan
pikiranmu yang demikian itu sesungguh-nya keliru sama sekali, menteri yang baik. Kalau engkau
mundur, apakah keadaan akan menjadi le-bih baik " Tentu akan semakin parah. Aku sendiri tidak
berhak mencampuri urusan pemerintahan, akan tetapi aku tahu bahwa kalau engkau mundur,
berarti makin berkurang pula menteri yang berani memberi ingat dan menegur sri baginda
kalau be-liau melakukan kesalahan dalam tindakannya. Be-tapapun juga, usia sri baginda masih
terlalu muda sehingga beliau perlu dibimbing dan dinasihati oleh orang-orang yang bijaksana
dan berpengalaman seperti engkau. Sayang bahwa aku hanya mahir dalam urusan ilmu
silat, sedikitpun aku tidak tahu akan seluk-beluk pemerintahan, maka aku minta dengan
sangat kepadamu, Menteri Kang, secara pribadi dan demi persahabatan kita, agar engkau
suka mempertahankan kedudukanmu, mendampingi sri baginda. Biarlah kita bekerja sama.
Aku yang mendampingi dan menjaga keselamatan sri bagin-da, sedangkan engkau yang menjaga
kebijaksanaan-nya." Setelah bicara dengan panjang lebar, nenek itu menghapus
sedikit peluh dari dahi dan leher-nya. "Akan tetapi, tuan puteri... paduka tentu mengenal kekerasan hati sri baginda.
Mungkin saja peringatan hamba akan membuat hamba dijebloskan pula ke dalam penjara seperti
Menteri Ho yang baik dan jujur itu"
"Hemm, kalau begitu engkau merasa takut dan ngeri " Engkau lebih suka melihat
keadaan menjadi semakin buruk dari pada kehilangan nyawamu un-tuk negara " Inikah ucapan
Wakil Perdana Men-teri Kang yang terkenal setia dan berbudi itu ?"
"Bukan begitu, tuan puteri..."
Akan tetapi pembesar ini tidak melanjutkan kata- katanya karena pada saat itu
terdengar suara hiruk- pikuk dari para pengawal dan penjaga yang berlarian ke dalam
gedung, dikejar oleh lebah-le-bah berbisa. Bahkan di ruangan depan gedung itu, terdapat beberapa
orang pengawal yang jatuh ber-gelimpangan dan sekarat.
Dua orang gadis bertusuk konde batu giok su-dah meloncat ke dalam dan dengan
singkat men-ceritakan kepada nenek itu tentang pengamukan suami isteri dari Ban - kwi -
to yang memperguna-kan lebah - lebah berbisa untuk merobohkan banyak sekali pengawal.
Mendengar keterangan dua orang pengawal pribadi yang juga menjadi murid - murid
kesayangannya itu, Siang Houw Nio-nio menjadi marah sekali. Dikibaskannya lengan bajunya.
"Pek-ji! Ang-ji! Apakah menghadapi iblis Ban- kwi-to saja kalian tidak mampu
mengatasi-nya dan perlu menggangguku ?" bentaknya pena-saran. Biasanya, kedua orang muridnya
ini sudah dapat mengatasi segala persoalan yang timbul, karena itu ia sudah menaruh
kepercayaan besar dan bahkan mengangkat mereka menjadi pengawal-pengawal pribadinya agar ia tidak
usah turun KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ta-ngan sendiri kalau timbul persoalan. Tentu saja ia merasa penasaran dan marah
melihat kedua orang murid yang diandalkannya ini sekarang menjadi kacau hanya oleh amukan dua
orang iblis Ban-kwi-to saja. "Maaf, subo, sebetulnya teecu berdua tidak akan kalah kalau saja mereka itu
mempergunakan ilmu silat biasa. Akan tetapi mereka melepaskan lebah yang ratusan
ekor banyaknya, lebah berbisa yang mengerikan sehingga sudah banyak perajurit yang
roboh dan keracunan. Teecu berdua kewalahan untuk mengusirnya."
Mendengar laporan muridnya yang berbaju putih yang diberi nama panggilan Pek In


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(Awan Putih) sedangkan yang berbaju merah disebut Ang In (Awan Merah), Siang Houw Nio
- nio mengerutkan alisnya. "Lebah berbisa ...... " Apakah berwarna putih dan yang kena sengatannya terus
kejang - kejang karena panas yang hebat dan berkelojotan, lalu kulit para korban juga
menjadi putih ?" "Benar, subo," kata Ang In.
"Hemm, tentu lebah beracun dari pohon - pohon arak di Sin - kiang yang amat
berbahaya. Dalam waktu tiga jam kalau tidak diberi obat penawarnya, luka sengatan itu akan
menjadi busuk dan sukar ditolong lagi. Menteri Kang, apakah engkau mempunyai arak yang tua,
keras dan wangi " Cepat keluarkan dan bawa ke sini. Suruh semua orang membawa obor, karena hanya
dengan api sajalah lebah-lebah itu dapat diusir dan mereka sangat suka kepada arak
wangi dan keras. Cepat!" Wakil Perdana Menteri Kang lalu memberi pe-rintah kepada pengawal pribadinya dan
tak lama kemudian nenek bangsawan itu telah menuangkan arak wangi ke dalam guci arak
yang indah buatannya, kuno dan nyeni. la membawa keluar guci arak itu dan
meletakkannya di ruangan depan. Dan terjadilah keanehan. Bau arak yang harum itu agaknya menarik lebah -
lebah putih itu yang beterbangan dengan cepatnya menuju ke guci arak itu dan sebentar saja semua
lebah mengerumuni guci dan mengeroyok arak harum itu seperti semut - semut mengerumuni
gula. Setelah semua lebah berkumpul di situ, Siang Houw Nio - nio lalu menyingsingkan
lengan bajunya dan dengan kedua tangannya ia meraup lebah - lebah itu dan memasukkannya ke
dalam sebuah botol besar, kemudian iapun keluar membawa botol terisi lebah - lebah putih itu.
Di halaman depan, suami isteri iblis itu masih seperti orang gila, berjongkok
dan tertawa terpingkal- pingkal melihat para korban yang berkelojotan di atas tanah. Memang
ada lucunya melihat muka yang tertarik- tarik itu dan kaki tangan yang kejang-kejang, akan
tetapi bagi orang biasa, tentu rasa ngeri dan kasihan akan mengusir semua bagian yang lucu.
"Heh-heh-heh, lihat hidungnya ! Heh-heh, hidungnya jadi bengkok!" kata nenek itu
sambil terpingkal- pingkal. "Dan yang sana itu, kakinya menendang-nendang, ha-ha, agaknya dia mimpi belajar
ilmu tendangan baru yang sakti, ha-ha-ha!" suaminya juga tertawa bergelak melihat
tingkah laku seorang korban lain. "Hemm, kiranya tak salah dugaanku. Im-kan Siang-mo yang datang mengacau, sungguh
berani mati sekali!" nenek bangsawan itu berkata.
Suami isteri itu terkejut dan cepat melompat berdiri, berdampingan menghadapi
nenek itu, me-mandang heran bahwa ada seorang yang mengenal julukan mereka di tempat ini.
Akan tetapi ketika mereka melihat nenek yang berpakaian indah dan bersikap penuh wibawa itu,
mereka berdua saling pandang dan nampak terkejut, lalu dengan sikap canggung keduanya
menjura ke arah nenek itu. "Bagaimana toanio dapat mengenal Im - kan Siang - mo ?" tanya nenek itu dengan
suara parau. Siang Houw Nio - nio tersenyum. "Memang baru sekarang aku dengan sial
bertemu dengan kalian, akan tetapi siapakah yang tidak pernah mendengar nama kalian sebagai
tokoh - tokoh Ban - kwi - to " Kalian mempunyai ciri - ciri badan yang mudah di-kenal. Im - kan
Siang - mo, Sepasang Iblis dari A-khirat, juga suami isteri Bouw Mo - ko dan Hoan Mo - li."
"Engkau mengenal kami, lalu mau apa ?" tiba-tiba nenek iblis itu menantang.
Siang Houw Nio - nio tetap tersenyum dengan tenang. "Lihat, tidak kenalkah
kalian kepada lebah-lebah ini lagi ?"
Melihat betapa lebah - lebah putih itu berada di dalam botol yang dipegang oleh
si nenek sakti, suami isteri itu menjadi marah sekali. "Kembali-kan lebah - lebahku !"
bentak Hoan Mo - li, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
nenek gendut itu sambil menyerang, diturut pula oleh suaminya. Lebah - lebah itu
adalah binatang - bi-natang peliharaan mereka yang menjadi sahabat-sahabat baik dan bahkan
merupakan senjata mere-ka yang terampuh dalam menghadapi lawan tang-guh, dan mereka memperoleh
lebah - lebah itu de-ngan amat sukar, bahkan dengan taruhan nyawa. Belum lagi waktu yang
dipergunakan untuk men-jinakkan mereka yang membutuhkan ketelitian, ke-sabaran
dan juga mengandung bahaya. Oleh kare-na itu, melihat betapa lebah - lebah itu berada di
tangan nenek bangsawan itu, tentu saja mereka menjadi marah dan menyerang dengan dahsyat dan
mati - matian. Akan tetapi, suami isteri yang mempunyai pukulan- pukulan beracun itu sekarang
seolah- olah ketemu gurunya. Pada hakekatnya, dasar ilmu si-lat dari tokoh - tokoh Ban -
kwi - to ini tidaklah ter-lalu tinggi. Yang membuat mereka berbahaya bu-kanlah kelihaian ilmu
silat mereka, melainkan ra-cun - racun yang mereka pergunakan itulah. Kini, berhadapan dengan
Siang Houw Nio - nio yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi, mereka itu mati kutu. Puteri
tua yang menjadi bibi dan juga pe-lindung kaisar ini ternyata amat lihai. Ia menghadapi pengeroyokan
dua orang itu hanya dengan tangan kanan saja, sedangkan tangan kirinya dipa-kai untuk memegang
botol terisi lebah - lebah putih. Biarpun demikian, dengan langkah-langkah ajaib, ia selalu
dapat menghindarkan diri dan kedua orang suami isteri iblis itu tidak pernah mampu
menyen-tuhnya. Sampai tigapuluh jurus lebih suami isteri itu mendesak tanpa ada gunanya sama
sekali. Tiba- tiba, Siang Houw Nio - nio yang tadi hanya ingin melihat dasar - dasar gerakan
mereka dan mengu-kur tingkat mereka, meloncat ke pinggir sambil berseru, "Berhenti!!"
Seruannya mengandung tenaga khikang yang demikian kuatnya sehingga dua orang
lawannya itu, mau atau tidak, otomatis berhenti bergerak dan memandang kepadanya
dengan bengong. "Kita tukar lebah - lebah peliharaan kalian ini dengan obat pemunahnya untuk
menyembuhkan para korban. Hayo cepat, kalau tidak, kuhancurkan lebah - lebah ini
kemudian kepala kalian juga !"
Ucapan nenek itu penuh wibawa dan sekali ini suami isteri itu tidak ragu - ragu
lagi. Mereka telah memperoleh bukti bahwa nenek ini tidak hanya mengeluarkan gertak sambal
belaka, karena selama tigapuluh jurus lebih tadi mereka berdua memang sama sekali tidak berdaya
dan kalau nenek itu be-nar-benar hendak membunuh mereka, agaknya hal itu bukan tidak
mungkin. "Baik..., baik... ini obat pemunahnya, obat luar dan obat minum. Berikan kembali
lebah- lebahku," kata Hoan Mo-li si nenek gendut.
Penukaran terjadilah dan Siang Houw Nio-nio lalu memerintahkan dua orang
muridnya untuk mengobati para korban. Dan benar saja, setelah diolesi obat luar dan
diberi minum obat minum-nya, para korban itu berhenti berkelojotan dan tak lama kemudian merekapun
sembuh kembali. Sementara itu, kakek kecil kurus, Bouw Mo - ko, setelah sejak tadi memandang
kepada nenek bang-sawan itu, lalu berkata, "Benarkah kami berhadap-an dengan yang mulia
Siang Houw Nio-nio?" Mendengar ucapan suaminya itu, Hoan Mo - li juga kelihatan terkejut. Nenek
bangsawan itu mengangguk dan berkata, "Nah, kalian boleh pergi dari sini dan jangan mencoba
untuk membikin ka-cau di kota ini !"
Bouw Mo - ko yang maklum bahwa tinggal le-bih lama di tempat itu tidak
menguntungkan mere-ka, lalu menggandeng tangan isterinya. "Isteriku, mari kita pergi dari
sini!" "Nanti dulu !" Hoan Mo - li mengibaskan ta-ngannya yang digandeng suaminya.
"Siang Houw Nio-nio, perjanjian antara kita hanya mengenai tukar - menukar lebah dan obat
penawarnya. Akan tetapi gadis itu adalah tawanan kami, maka kami akan membawanya kembali!"
Nenek bangsawan itu menoleh kepada Pek Lian yang ditudingi oleh nenek iblis itu,
lalu ia meng-angkat pundaknya. "Tidak ada hubungannya de-nganku," katanya. Mendengar
ini, Hoan Mo - li lalu menghampiri Pek Lian.
"Anak manis, mari kau ikut dengan kami!"
"Tidak sudi! Biar mati aku tidak akan mau menyerah !" bentak Pek Lian sambil
melintangkan pedangnya, pedang yang dipungutnya dari atas tanah di halaman itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Eh, eh, kau berani melawanku, ya ?" Hoan Mo - li membentak dan menubruk maju.
Pek Lian mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi, Bouw Mo - ko kini juga sudah
maju menubruk dan Pek Lian menjadi repot sekali. Melawan seorang di an-tara kedua iblis itu
saja ia takkan mampu menang, apa lagi kalau dikeroyok dua. Akan tetapi pada saat itu, Pek In
dan Ang In sudah menerjang maju membantunya.
"Eh, eh, bukankah gadis tawananku ini tidak termasuk perjanjian tukar - menukar
lebah ?" Hoan Mo - li mencela. "Kalian berjanji dengan subo, bukan dengan ka-mi. Kami tidak terikat
perjanjian!" jawab Pek
In yang terus menggerakkan pedangnya, dibantu oleh Ang In dan Pek Lian. Kini dua
orang suami isteri iblis itu yang menjadi kewalahan. Untuk mempergunakan racun, mereka segan
dan jerih terhadap Siang Houw Nio-nio, maka akhirnya sambil mengeluarkan seruan - seruan
marah dan kecewa, keduanya meloncat ke atas gerobak dan melarikan gerobak mereka itu
dengan cepat meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari pintu gerbang ko-ta besar Lok -
yang. Setelah dua orang iblis itu melarikan diri, Siang Houw Nio - nio memandang
kepada Pek Lian de-ngan sinar mata penuh selidik, kemudian bertanya, "Nona, siapakah engkau ?"
Pek Lian merasa ragu - ragu untuk menjawab. Ia tahu siapa adanya nenek ini yang
masih keluarga dekat kaisar. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia adalah puteri
Menteri Ho yang kini men-jadi musuh dan tawanan pemerintah. Sebagai bibi kaisar, tentu saja
nenek inipun memusuhi keluarga Ho yang dianggap pemberontak. Melihat keraguan Pek Lian, gadis
baju merah lalu berkata sebagai keterangan kepada subonya,
"Gadis ini tentu merupakan kawan dari orang-orang Lembah Yang - ce yang
memberontak. Anak buah teecu pernah menawannya. Bukankah begi-tu ?" tanyanya kepada Pek Lian.
Pek Lian tak dapat menyangkal akan hal ini dan iapun tahu bahwa tentu wanita -
wanita bertusuk konde batu giok itu telah melapor kepada pimpinan mereka ini. Maka
iapun menjawab dengan suara mengejek, "Hemm... kiranya wanita - wanita bertusuk konde batu giok
itu adalah anak buah-mu ?" Pek Lian memandang ke arah tusuk konde pada rambut nona baju
merah itu. "Anak buahmu itu sungguh kurang ajar sekali. Aku hanya pernah berjalan bersama -
sama ketua lembah itu saja, dan aku lalu ditangkap ! Aturan mana itu ?"
"Adik yang baik, kaumaafkanlah anak buah ka-mi. Akan tetapi orang - orang lembah
itu adalah buronan pemerintah, maka karena engkau menge-nal mereka, sudah selayaknya
kalau engkau dicu-rigai," kata Pek In si baju putih.
"Akan tetapi, apa hubungannya dengan wanita-wanita baju sutera hitam bertusuk
konde batu giok itu " Ada hak apakah mereka mencurigai orang ?"
Pek Lian bertanya penasaran.
Gadis baju putih itu tersenyum dan kalau biasa-nya ia nampak gagah, kini baru
terlihat jelas bahwa wajahnya manis sekali kalau tersenyum. "Adik, tahukah engkau siapa
pembesar pemilik gedung ini " Beliau adalah Wakil Perdana Menteri Kang, dan guru kami ini, beliau
adalah bibi dari sri baginda kaisar. Nah, kini engkau mengerti mengapa anak buah kami mencurigai
orang - orang yang menjadi teman para pemberontak, bukan ?"
Tentu saja Pek Lian sama sekali tidak terkejut mendengar siapa adanya pembesar
dan nenek bang-sawan itu karena memang ia sudah pernah menge-nal dan mendengar tentang
mereka. Hanya tadi ia merasa kagum bukan main menyaksikan kelihaian nenek itu ketika
menghadapi Im - kan Siang - mo, suami isteri iblis yang lihai itu. Dan baru sekarang ia tahu
bahwa pasukan wanita berpakaian sutera hitam dengan tusuk konde batu giok itu adalah anak buah murid


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- murid dari Siang Houw Nio - nio jadi orang-orangnya pemerintah! Atau setidak-nya adalah
golongan yang membela kaisar. Ia sendiri tidak ingin dikenal sebagai puteri Menteri Ho karena hal ini akan
berbahaya sekali baginya. Maka, ketika melihat Wakil Perdana Men-teri Kang keluar dan memandang
kepadanya de-ngan sinar mata tajam, Pek Lian menundukkan mukanya. Menteri Kang itu
mengerutkan alisnya dan merasa seperti pernah mengenal gadis ini. akan tetapi dia lupa lagi.
Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau sampai ia
dikenal " Tidak ragu lagi, ia tentu akan ditangkap sebagai anggauta keluarga pemberontak.
Ia harus berhati - hati da-lam memberi jawaban, pikirnya dan ia tidak boleh terlalu banyak
bicara. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Nona, siapakah engkau " Benarkah orang-orang Lembah Yang - ce itu adalah kawan
- kawan mu " Ataukah engkau barangkali juga anggauta pemberontak ?" kembali wanita
tua itu bertanya dengan halus, namun sinar matanya seperti hendak menembus jantung Pek
Lian. "Saya adalah seorang perantau dan kebetulan bertemu di jalan dan berkenalan
dengan ketua lem-bah itu. Karena saya pernah ditolongnya, maka kami menjadi sahabat,
akan tetapi saya bukan anggauta mereka."
"Di manakah sekarang sahabatmu, ketua lembah itu ?"
Ho Pek Lian memang tidak tahu ke mana pergi-nya Kwee Tiong Li yang ikut bersama
gurunya yang baru, yaitu kakek Kam Song Ki yang lihai. Maka iapun menggeleng
kepalanya dan berkata, "Saya tidak tahu. Kami saling berpisah tiga hari yang lalu dan saya
ditawan oleh pasukan tusuk konde batu giok lalu dirampas oleh sepasang iblis itu."
Wakil Perdana Menteri Kang mempersilahkan nyonya bangsawan itu untuk duduk
kembali di ruangan tamu melanjutkan percakapan mereka. Siang Houw Nio - nio memberi isyarat
kepada dua orang muridnya, "Bawa ia masuk dan awasi baik-baik."
Pek In dan Ang In lalu memegang kedua ta-ngan Pek Lian dengan halus dan mengajaknya
ma-suk pida ke ruang tamu di mana kedua orang gadis itu duduk agak jauh di
belakang nenek yang kini melanjutkan percakapan dengan Menteri Kang. Dua orang muridnya adalah
orang-orang keper-cayaan maka diperbolehkan untuk hadir. Dan ne-nek ini biarpun seorang
bangsawan, akan tetapi sikapnya seperti orang kang - ouw, tidak begitu perduli akan segala
peraturan. Bahkan ia seperti sengaja membiarkan Pek Lian ikut pula mendengar-kan, agaknya memang
nenek ini ingin memancing agar Pek Lian dapat memberi keterangan lebih banyak tentang para
pemberontak. Pek Lian duduk diapit-apit dua orang gadis lihai yang biarpun bersikap halus akan
tetapi tetap saja merupakan pengawal - pengawal yang takkan membiarkan ia lolos. Diam - diam Pek
Lian memasang telinga men-dengarkan percakapan tingkat tinggi itu.
"Menteri Kang, sekali lagi kuharapkan engkau suka memegang lagi jabatanmu dan
mengurungkan niatmu untuk mengundurkan diri. Hal ini telah diputuskan oleh para
penasihat istana dalam rapat terakhir dengan sri baginda kaisar sendiri. Akulah yang
ditugaskan datang ke sini untuk menyampai-kannya kepadamu."
Wakil Perdana Menteri Kang mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Kalau
hamba menolak, tentu paduka telah mendapat wewenang dari sri baginda untuk
memenggal kepala hamba sekeluarga, bukan " Begini, tuan puteri. Hamba siap untuk kembali,
akan tetapi hamba juga siap untuk membiarkan kepalaku dipenggal sekarang juga oleh paduka."
Nenek itu mengerutkan alisnya dan sinar mata-nya mencorong menatap wajah
pembesar itu. "Hem, apa maksudmu, Menteri Kang ?"
"Hamba siap untuk bertugas kembali, apa bila syaratnya dipenuhi. Hamba mohon
agar para menteri jujur dan setia yang dipecat dan dipensiunkan agar diampuni dan ditarik
kembali karena tenaga mereka amat dibutuhkan negara, termasuk sahabat hamba Menteri Ho. Menteri
Ho hendaknya diam-puni dari hukuman mati, keluarganya dibebaskan dan agar dia
menduduki lagi jabatannya. Demikianlah, tuan puteri. Kalau permohonan hamba itu tidak dipenuhi,
maka lebih baik hamba menerima untuk di..."
"Nanti dulu, Menteri Kang!" nenek itu menyela. "Mana mungkin aku dapat
memutuskan hal itu sekarang! Bukan wewenangku. Akan tetapi aku akan berusaha untuk menyampaikan
permohonanmu kepada sri baginda dan akan berusaha agar beliau mengabulkannya.
Aku mendengar bahwa sri baginda telah menghentikan empat orang menteri, bahkan
menjatuhkan hukuman mati kepada seorang di antaranya yang kini sedang hendak menjalankan
pelaksanaan hukuman matinya. Menteri itu adalah sahabat karibmu" Nenek itu menghela napas.
Ia tidak tahu betapa jantung Pek Lian berdebar penuh ketegangan dan keharuan. Betapa tidak
akan tergetar rasa hati gadis ini mendengar orang membicarakan ayahnya. Akan tetapi ia
menguasai hatinya dan hanya menundukkan muka sambil terus mendengarkan dengan
penuh perhatian. "Maaf, tuan puteri. Soalnya bukan semata-mata karena Menteri Ho adalah sahabat
karib hamba. Andaikata hamba tidak mengenal dia sekalipun, tetap dia akan hamba bela
karena hamba tahu bahwa dia adalah satu di antara para pembantu sri baginda yang terbaik,
paling jujur dan setia sampai ke tulang - tulang sumsumnya."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Tapi dia berani menentang kebijaksanaan sri baginda !" kata nenek itu
penasaran. "Tidak, tuan puteri. Bukan menentang sri baginda, melainkan mengingatkan beliau
bahwa ke-putusan yang diambil beliau itu kurang tepat dan pada akbarnya hanya akan
merugikan negara sen-diri. Hanya menteri-menteri- jujur sajalah yang berani mengeritik, sebagai
tanda bahwa dia benar-benar setia, bukan sebangsa pejabat yang pandai-nya hanya menjilat -
jilat, menyenangkan hati sri baginda karena pamrih untuk mencari kedudukan dan pengaruh, pejabat
macam ini sesungguhnya adalah pengkhianat, musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Kenapa
justeru menteri yang ju-jur dan setia yang harus ditangkap dan dihukum ?"
"Sudahlah, aku mengerti apa yang kaumaksud-kan. Aku akan menghadap sri baginda
dan tunggu-lah selama satu minggu. Aku akan datang lagi, Pek-ji, Ang-ji, mari kita
pulang. Bawa nona itu sebagai kawan." Biarpun nenek itu menyebut "kawan" namun dua orang muridnya tentu saja maklum
bahwa guru mereka mencurigai nona ini yang harus dibawa sebagai seorang tawanan. Pek
Lian tidak memban-tah. Ia dan dua orang murid Siang Houw Nio - nio itu diberi pinjaman
pakaian oleh keluarga Wakil Perdana Menteri Kang untuk mengganti pakaian mereka yang tadi
basah ketika mereka berkelahi melawan Im - kan Siang - nio. Setelah berpamit, rombongan
puteri tua itu meninggalkan Lak-yang untuk kembali ke kota raja. Pengawal yang tadi-nya
berjumlah empatbelas orang itu masih utuh biarpun mereka telah menderita luka - luka berat
yang kemudian dapat disembuhkan kembali. Ten-tu saja mereka masih nampak loyo. Akan tetapi,
sesungguhnya tugas mereka itu lebih banyak se-bagai tanda kebesaran saja dari pada benar -
benar mengawal puteri tua yang amat lihai dan yang ten-tu saja sama sekali tidak membutuhkan
pengawal-an orang - orang seperti mereka. Pek Lian menung-gang kuda di belakang kereta,
diapit oleh Pek In dan Ang In. Dua orang gadis ini bersikap manis kepadanya, sama sekali tidak
bersikap seperti orang yang menawannya. Pek Lian mengakui namanya, hanya she Ho itu digantinya
dengan she palsu, yaitu she Sie. *** Hujan telah berhenti sama sekali sehingga para pengawal, juga Pek In, Ang In dan
Pek Lian yang berada di luar kereta tidak lagi basah oleh air hujan. Nenek bangsawan itu
sengaja membuka tirai kereta sehingga dari belakang, sambil naik kuda yang disediakan oleh
keluarga Menteri Kang, Pek Lian dapat melihat wajah nenek itu yang duduk termenung seperti patung. Diam
- diam, seperti tidak sengaja, Pek Lian memperhatikan wajah itu. Seorang wanita yang
sudah tua, usianya tentu ada enampuluh lima tahun, akan tetapi masih jelas membayang bekas
kecantikannya. Wajah itu masih putih lembut biarpun di sana - sini, terutama di kanan kiri mulut dan
di antara kedua mata, terdapat keriput. Alisnya diperindah dengan hiasan hi-tam seperti sudah
lajimnya dilakukan oleh para wanita bangsawan. Mulut itu dahulu tentu indah dan penuh gairah, masih
nampak jelas garis - garis lengkungnya, akan tetapi kini membayangkan se-suatu yang
menyeramkan, menimbulkan sifat di-ngin dan juga keras. Pek Lian teringat akan cerita ayahnya
tentang wanita ini, seorang bibi dalam dari kaisar dan juga menjadi pelindung kaisar. Bia-sanya
wanita ini selalu berada di dalam istana, menjadi semacam pelindung tersembunyi dari kaisar, di
samping adanya pengawal - pengawal pribadi kaisar yang dipimpin oleh Pek-lui-kong Tong Ciak si
pendek cebol tokoh Soa-hu-pai itu. Karena nenek ini tidak pernah mencampuri urusan
pemerintahan, maka perkenalannya dengan Menteri Ho juga hanya sepintas lalu saja, bahkan Pek Lian
sendiri hanya baru mendengar namanya saja dan belum pernah berkenalan secara langsung, hanya
melihatnya dari jauh. Tidak demikian dengan Wa-kil Perdana Menteri Kang yang menjadi
sahabat baik ayahnya. Ia pernah bertemu, bahkan berke-nalan dengan pembesar ini, walaupun
hanya meru- pakan pertemuan sambil lalu. Karena itulah maka pembesar itu meragu dan tidak
mengenalnya tadi. Kereta itu dengan tenangnya meluncur keluar dari pintu gerbang benteng
sebelah utara. Para penjaga yang mengenal kereta dengan tanda - tan-da pangkatnya ini, cepat
berdiri tegak memberi hormat dan kereta itu lewat dengan cepatnya, Pada saat itu, Ang In
mendekati jendela kereta dan berkata kepada nenek Siang Houw Nio - nio.
"Subo, di depan terdapat empat orang dari per-kumpulan Thian - kiam - pang.
Mereka juga keluar dari pintu gerbang dan juga membawa sebuah kereta."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Nenek itu mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam karena alis itu
buatan dengan alat penghitam. "Biarkan saja, kenapa ribut-ribut " Jangan perdulikan bocah-
bocah ingusan itu. Pura-pura tidak melihat saja!" Jelas bahwa dalam kata-kata nenek itu terdapat
kemarahan atau ke-mengkalan hati yang tidak senang.
"Tapi tapi, subo di sana terdapat Yap-suko ! Teecu... teecu..." gadis baju merah itu
tergagap. Juga nona Pek In nampak gugup seperti adik seperguruannya. Melihat
semua ini, Pek Lian memandang heran. Ada apakah " Ia juga melihat kereta di depan dengan
beberapa orang pemuda perkasa yang mirip dengan rom-bongan pria yang pernah dilihatnya ketika
ia masih bersama kedua orang suhunya. Orang - orang Thian-kiam-pang ! Pria gagah perkasa,
berbaju putih-putih membawa pedang pasangan yang panjang, sikap merekapun gagah dan
Tombak Panca Warna 3 Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Petualangan Manusia Harimau 4
^