Pencarian

Darah Pendekar 8

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


mana."Akan tetapi nona selalu bersama dengan pemuda pemimpin lembah itu, maka
tentu saja kami menyangka bahwa nona adalah anggauta mereka pula. Sekarang kami ingin
bertanya kepadamu, no-na, di manakah kawanmu pemimpin lembah itu " Namanya Kwee Tiong Li,
bukan " Dan dia itu termasuk kelompok manakah ?"
"Tai - ciangkun salah sangka kalau mengira aku selain bersama dengan dia. Sejak
aku diselamat-kan oleh kakek sakti, aku lalu memisahkan diri. Aku tidak tahu ke mana
kakek dan pemuda itu pergi. Memang benar namanya Kwee Tiong Li, akan tetapi aku tidak tahu
dia termasuk kelompok mana." "Ah, nona. Sebagai seorang tua biasa tentu saja aku bisa percaya omonganmu. Akan
tetapi sebagai perajurit, aku terpaksa tidak danat menerimanya begitu saja tanpa
penyelidikan. Kami harus mena-hanmu untuk menyelidiki kebenaran kata - katamu. Tuan puteri,
bolehkah aku membawa gadis ini sebentar saja " Kami ingin menyelidikinya !"
Siang Houw Nio-nio mengangguk dan meno-leh kepada Pek Lian. "Akan tetapi kuminta
dengan sangat kepada Beng - goanswe untuk memperlaku-kan gadis ini baik - baik.
Aku suka kepadanya, ia tabah dan gagah, dan aku percaya bahwa ia mem-beri keterangan yang
sebenarnya." "Baik," jawab jenderal itu, lalu dia memberi perintah kepada bawahannya. "Bawa
gadis ini ke kantorku !" Perwira itu bersama beberapa orang perajurit melangkah masuk. Pek In dan Ang In
memandang bingung, merasa serba salah. Dengan mata gelisah dan bersedih mereka
itu memandang kepada Pek Lian dan kepada subo mereka berganti - ganti, tak tahu
harus berbuat bagaimana. Akan tetapi, Pek Lian yang memiliki kekerasan hati itu tentu saja tidak mau
ditangkap secara mudah begitu saja. Selama ini ia juga menjadi ta-wanan Siang Houw Nio -
nio dengan dua orang muridnya, akan tetapi ia lebih diperlakukan seba-gai sahabat atau tamu
dari pada sebagai tawanan. Selain itu, juga ia merasa bahwa ia kini adalah pu-teri seorang menteri
yang telah bebas dari hukuman pula. Mana mungkin ia membiarkan dirinya di-tangkap oleh perwira
muda dan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
delapan orang perajuritnya itu. Maka, ketika perwira itu hendak menangkap
lengannya, iapun nrelangkah mundur dan mengelak.
"Nona, menyerahlah untuk kami tangkap. Ja-ngan sampai kami mempergunakan
kekerasan," ka-ta perwira muda itu yang merasa malu karena sambaran tangannya tadi dengan
mudah dapat di-elakkan oleh nona yang hendak ditangkapnya.
Pek Lian memandang dengan senyum dingin. "Hemm, hendak kulihat apakah akan mudah
begitu saja kalian menangkap aku yang tidak berdosa !"
Perwira muda itu menjadi merah mukanya dan diapun memberi aba - aba kepada
delapan orang perajuritnya, "Ringkus gadis ini!"'
Delapan orang perajurit itu lalu mengurung dan serentak maju untuk menangkap
kedua lengan Pek Lian. Akan tetapi, dengan langkah - langkah ter-atur Pek Lian
mengelak sambil menggerakkan ke-dua 'tangannya. Terdengar suara "plak, plak!" beberapa kali dan
tiga orang perajurit terhuyung ke belakang!
Melihat ini, lima orang perajurit yang lain men-jadi penasaran dan marah. Tak
mereka sangka bahwa gadis itu akan melawan. Merekapun seren-tak menubruk ke depan. Akan
tetapi kembali mereka hanya menubruk tempat kosong saja dan ta-ngan Pek Lian sudah
menampar dua orang pera-jurit lagi yang terhuyung dan terpelanting dengan muka biru terkena
tamparan. Kini perwira muda itu menjadi marah dan dia sendiripun maju, dibantu oleh
delapan orang, pera-juritnya. Akan tetapi, Pek Lian sudah mengambil keputusan untuk melawan. Ia
tidak akan membi-arkan orang menangkapnya dengan mudah tanpa perlawanan. Biarlah ia
tertawan karena kalah, bu-kan karena takut. Maka terjadikah perkelahian, antara sembilan orang
pengeroyok itu dengan Pek Lian. Pek In dan Ang In yang melihat perkelahian ini, tersenyum -
senyum melihat betapa Pek Lian membuat sembilan orang itu kocar-kacir. Dan karena yang hadir
adalah ahli - ahli silat, mereka-pun tertarik. Bahkan Jenderal Beng Tian setengah membiarkan
perkelahian itu terjadi dan dia-pun kagum melihat sepak terjang gadis itu.
"Bukan main... " pikirnya. "Boleh juga gadis muda ini." Diam - diam dia
memperhatikan gerakan-gerakan Pek Lian dan dia merasa heran. Dasar gerakan gadis itu
menunjukkan bahwa ia telah mempelajari ilmu silat yang baik dan bersih. Akan tetapi mengapa begitu
campur aduk, seolah - olah gadis itu telah menggabungkan beberapa macam ilmu silat dari
aliran - aliran yang berbeda dalam gerakan silatnya. Kadang-kadang gerakan silat-nya bergaya harimau
tutul, kadang - kadang seperti gaya ular dan ginkangnya juga amat baik, membuat tubuhnya dapat
bergerak ringan sekali. Jelaslah bahwa gadis ini bukan orang sembarangan dan telah
menerima pendidikan ilmu silat dari guru - guru yang baik.
Sembilan orang perajurit itu benar - benar dibu-at kewalahan oleh Pek Lian. Nona
ini bukan hanya menghindarkan diri untuk ditangkap dengan cara mengelak atau menangkis,
akan tetapi juga mem-bagi - bagi pukulan dan tamparan, walaupun nona itu tidak pernah
mempergunakan pukulan maut yang dimalcsudkan untuk membunuh lawan. Hal inipun diketahui dengan
baik oleh para ahli silat yang melihat perkelahian ini dan diam - diam mereka merasa kagum
juga kepada nona muda ini yang agaknya masih mampu mengendalikan pera-saannya.
Jenderal Beng Tian merasa sungkan untuk turun tangan sendiri terhadap seorang
gadis muda seper-ti Pek Lian. Akan tetapi diapun maklum bahwa gadis ini tidak boleh
dipandang ringan dan kalau dia hanya menyuruh perwira - perwira saja agak-nya akan sukar untuk
menangkapnya. Oleh karena itu, melihat sembilan orang itu kembali jatuh ba-ngun, dia lalu
membentak dan menyuruh mereka mundur sambil memberi isyarat kepada dua orang pengawal
pribadinya yang sejak tadi berjaga-jaga di dekat pintu. Dua orang pengawal pribadi dari Jenderal
Beng Tian ini adalah sute - sutenya sendiri, maka biarpun tingkat kepandaian mereka tidak
setinggi sang jenderal, namun mereka meru-pakan dua orang tangguh yang berilmu tinggi.
Dua orang pengawal ini maklum bahwa atasan atau juga suheng mereka itu sungkan
turun tangan terhadap nona muda itu, maka merekapun meng-angguk dan keduanya lalu maju
menggantikan perwira muda dan delapan orang perajuritnya yang sudah keluar dari
situ dengan muka matang biru. Seorang di antara mereka lalu menyelonong ke depan dan
tangannya menyambar, mencengkeram ke arah pundak Pek Lian. Ada angin bersuit ketika tangan
ini meluncur ke depan. Pek Lian sudah maklum akan kelihaian dua orang ini, maka
iapun sudah siap - siap dan cepat mengerahkan tenaganya menangkis tangan yang mencengkeram itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Plakkk !" Sambil menangkis, Pek- Lian meng-gunakan tangan kanan untuk memukul
ke arah dada dan ia terkejut bukan main melihat betapa lawannya sama sekali tidak
mengelak atau menang-kis melainkan menerima pukulan itu begitu saja dengan dadanya.
"Bukk !" Kepalan tangan Pek Lian itu menda-rat di dada dengan empuk saja. Ia
merasa seperti memukul benda lunak yang kenyal seperti karet. Pek Lian terkejut dan
maklumlah ia bahwa lawan-nya ini memiliki kekebalan yang amat kuat. Maka iapun cepat mencabut
pedangnya. Biarpun ia men-jadi tawanan Siang Houw Nio - nio dan dua orang muridnya, akan
tetapi ia telah dipercaya setelah ia bersama dengan mereka ikut melawan musuh dan iapun
diperbolehkan membawa pedang di pinggangnya. Kini Pek Lian yang maklum bahwa kalau hanya
dengan kedua tangan kosong tak mung-kin ia mampu menghadapi dua orang pengawal Jenderal Beng
Tian, telah mencabut pedangnya. Dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari guru-nya
yang baru dan lihai, yaitu Liu Pang atau lebih terkenal dengan sebutan Liu - twako, bengcu
yang amat disegani itu, Pek Lian mulai memainkan pe-dangnya menghadapi pengawal pribadi Jenderal
Beng Tian yang hendak menangkapnya. Pedangnya bergerak indah dan kuat, membentuk
gulungan si-nar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan su-ara berdengung -
dengung. Akan tetapi, pengawal yang masih sute sendiri dari Beng - goanswe itu tetap
menghadapinya dengan kedua tangan kosong. Pengawal yang tangguh inipun maklum akan keli-haian pedang
si nona muda, maka diapun mengelu-arkan ilmu andalannya, yaitu ilmu pukulan yang amat
hebat dari perguruan mereka. Pukulan ini bernama Khong - khi - ciang (Pukulan Tangan U-dara
Hampa) yang amat hebat. Dari jarak jauh saja pukulan ini mampu melukai lawan karena me-
ngandung getaran seperti petir menyambar. Juga, pukulan ini mengeluarkan suara berdentam dan
meledak - ledak. Dengan kedua lengan yang am-puh ini, yang dipenuhi getaran tenaga sinkang yang
amat kuat, pengawal itu berani menghadapi pedang Pek Lian, bahkan berani menangkis pedang
dengan lengan telanjang! Ilmu pedang Pek Lian adalah ilmu pedang pi-lihan yang merupakan ilmu silat
tinggi. Akan te- tapi, gadis ini belum begitu lama menjadi murid Liu - taihiap atau Liu Pang,
maka ilmu pedangnya selain kurang matang, juga tenaga sinkangnya be-lum dapat mengimbangi sifat ilmu
pedang yang hebat itu. Oleh karena itulah, kini menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu
silat tinggi, sete- lah lewat tigapuluh jurus, ia mulai terdesak. Pada hal, pengawal ke dua belum
juga maju membantu temannya. Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak yang sejak tadi menonton perkelahian itu
selalu memperhatikan gerakan-gerakan Pek Lian dan meng-ingat - ingat di mana dia pemah
melihat gadis ini. Setelah memperhatikan ilmu pedang dari gadis itu, barulah dia
teringat. "Tahan !" teriaknya dan diapun meloncat ke dalam arena pertempuran. Melihat
majunya si cebol, Pek Lian terkejut dan mengira bahwa si ce-bol botak itu hendak
menangkapnya, maka iapun sudah membalikkan tubuhnya ke kiri, meninggal-kan pengawal lihai itu dan
menggunakan pedang-nya untuk menyerang Pek-lui-kong Tong Ciak.
"Hyaaatttt...... !!" Pek Lian menerjang dan mengangkat pedangnya tinggi di atas
kepala lalu membacok ke arah kepala botak si cebol.
"Hemm... !" Pek-lui-kong berseru, kedua tangannya bergerak dan pandang mata Pek
Lian menjadi silau karena kedua tangan itu seolah - olah berobah menjadi banyak
sekali dan tahu - tahu pergelangan tangan kanannya kena ditotok dan dalam sekejap mata saja
pedangnya telah berpin-dah tangan!. "Aku sekarang mengenal gadis ini!" kata Pek-lui-kong sambil meloncat mundur
kemudian melempar pedang rampasan itu ke atas lantai. "Tidak salah lagi! Nona, bukankah
engkau gadis yang menghadang iring-iringan kereta tawanan di sebelah utara kota Kong-goan, di
dusun Han- kung-ce itu " Herani, hampir saja engkau dan kawan-kawanmu berhasil menculik
Menteri Ho ketika pemuda gila kusir kereta itu mengamuk. Hampir separuh perajurit-
perajuritku terbunuh. Bukankah engkau gadis yang memimpin penghadangan itu ?"
Pek Lian merasa serba salah untuk menjawab pertanyaan ini dan sementara itu,
Jenderal Beng Tian dan Siang Houw Nio - nio, juga Pek In dan Ang In, terkejut bukan main
mendengar ucapan panglima cebol yang tidak berpakaian sebagai panglima itu.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Alih ?" Jenderal Beng berteriak hampir berbareng dengan nenek itu. Kemudian jenderal
itu melanjutkan, "Kalau begitu gadis ini harus ditawan untuk
mempertanggungjawabkan perbuat-
annya melawan negara! Pengawal, cepat ringkus gadis ini!"
Pengawal yang seorang lagi bergerak cepat me-nubruk ke depan hendak menangkap
pundak Pek Lian yang sudah tidak memegang pedang. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-
lui- kong Tong Ciak menggerakkan tangannya menangkis cengkeraman ta-ngan pengawal yang tangguh
itu. "Ehh... !!" Pengawal itu terkejut dan meloncat ke belakang. Semua orang
memandang dengan mata terbelalak. Apakah Pek-lui-kong telah menjadi gila" Apakah panglima


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengawal aneh ini mau berkhianat " Jenderal Beng Tian menge-rutkan alisnya dan dengan penuh
rasa penasaran dia memandang kepada rekannya sambil melangkah maju, juga bersiap siaga. Siang
Houw Nio - nio juga melangkah maju, siap membantu jenderal itu menghadapi si cebol yang
lihai. "Tong-ciangkun, apakah maksud ciangkun mencegah pengawalku menangkap gadis
ini ?" ta-nya Jenderal Beng Tian dengan sikap hati-hati, tidak berani sembarangan
bergerak sebelum me-ngerti benar duduknya perkara.
Melihat sikap jenderal itu dan juga Siang Houw Nio-nio yang mengerutkan alis dan
bersiap untuk melawannya, barulah Pek - lui - kong sadar akan keadaannya dan mengerti
bahwa tindakannya tadi menimbulkan kecurigaan. Maka cepat-cepat dia menjura dengan
hormat kepada jenderal itu dan berkata lantang, "Beng - goanswe, saya kira engkau tidak ingin
menentang keputusan sri baginda kaisar yang baru saja dikeluarkan itu, bukan ?"
Dengan sikap masih penasaran, tanpa mengu-rangi kewaspadaannya, jenderal itu
mengerutkan alisnya dan balas bertanya, "Apakah maksud ucap-an Tong - ciangkun
itu ?" Dengan sikap tenang dan ada kegembiraan terpancar dari pandang matanya,
kegembiraan da-ri, orang yang mengetahui suatu rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain,
panglima cebol itu kem-bali ke kursinya dan duduk.
"Beng - goanswe, untuk memulihkan keadaan negara yang dilanda kekeruhan, yang
diakibatkan karena rasa tidak puas dari rakyat atas dipecat dan dihukumnya
beberapa orang menteri, sri baginda telah memutuskan untuk memanggil kembali Wakil Perdana
Menteri Kang dan membebaskan Menteri Kebudayaan Ho dan menteri - menteri lainnya, agar memangku
kembali jabatan mereka, dengan tujuan agar rakyat menjadi tenang kembali. Bu-kankah
demikian keputusan sri baginda ?"
"Benar ! Akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan pemberontak kecil ini ?"
tanya Beng- goanswe sambil menuding ke arah Pek Lian.
"Harap goanswe suka bersabar. Ketahuilah, gadis ini adalah puteri tunggal dari
Menteri Ho Ki Liong ! Nah, kalau sekarang kita menangkapnya dan memasukkannya ke dalam
penjara, apa yang akan terjadi jika ayahnya mendengar akan hal itu " Tentu dia akan marah dan
menolak untuk kembali ke istana. Padahal, Menteri Ho adalah sahabat baik Menteri Kang, bahkan
pembebasan Menteri Ho merupakan syarat utama dari Menteri Kang. Hal ini tentu akan
menimbulkan akibat luas dan kalau sampai bertentangan dengan keputusan sri baginda kaisar, lalu
siapakah yang akan menanggung aki-batnya " Siapa yang berani mempertanggungja-wabkan ?"
Tentu saja semua orang tertegun mendengar penjelasan Pek - lui - kong Tong Ciak
itu. Semua mata kini ditujukan memandang kepada Pek Lian dari kaki sampai kepala.
Tentu saja mereka tidak pernah mengira bahwa gadis ini ternyata adalah seorang puteri
bangsawan, puteri tunggal dari Menteri Ho yang amat terkenal itu.
Jenderal Beng Tian sendiri menjadi lemas mendengar penjelasan itu. Dengan sinar
mata tajam dia memandang gadis itu lalu bertanya, "Benarkah bahwa nona adalah puteri
Menteri Ho?" Dengan sikap angkuh Pek Lian berkata, "Memang benar ! Memangnya kenapa kalau
begitu " Mengapa tidak diteruskan pengeroyokan atas diriku ?"
"Nah, lihat saja sikapnya !* Pek - lui - kong ber-kata lagi. "Dan harap goanswe
ketahui bahwa nona ini adalah murid dari jago pedang yang terkenal dengan sebutan Liu -
taihiap atau Liu - twako, bengcu yang terkenal memimpin para pendekar yang merasa tidak puas atas
perlakuan pemerintah terhadap para menteri itu."
Jenderal Beng Tian menjadi semakin kaget. Dia terbelalak memandang. "Benarkah
itu ?" "Dahulu aku pernah bertanding melawan jago pedang she Liu itu sebelum aku
mengabdi di ista-na, dan aku mengenal gaya permainan pedangnya," kata Pek-lui-kong tegas.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Akan tetapi mengapa la selalu bersama-sama orang- orang lembah ?" Jenderal itu
bertanya dengan nada suara sangsi dan curiga.
"Apakah anehnya hal itu " Bukankah kedua pi-hak itu sama - sama memusuhi
pemerintah " No-na ini merasa sakit hati karena ayahnya akan dihu-kum mati. Orang - orang
lembah itupun sakit hati karena mereka dikejar - kejar dan dibasmi oleh pasukan pemerintah.
Kalau keduanya bertemu, tentu saja akan terjalin persahabatan sebagai ka-wan senasib
sependeritaari, bukan ?"
Jenderal Beng Tian mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Ah, betapa
bodohnya aku sekali ini! Nona Ho, maafkanlah kekasaran para pembantuku tadi,"
katanya kepada Pek Lian dan diapun kembali ke kursinya.
Pada saat itu, seorang perajurit datang melapor bahwa Hek - ciangkun yang diutus
oleh jenderal itu ke tempat tinggal Wakil Perdana Menteri Kang telah tiba kembali.
Mendengar ini, Jenderal Beng Tian lalu berkata, "Suruh tunggu sebentar!" Ke-mudian dia menjura
kepada Siang Houw Nio - nio dan Panglima Tong Ciak. "Harap maafkan karena saya terpaksa
menunaikan tugas."Siang Houw Nio-nio lalu mengantar dua orang tamunya pergi, karena
Panglima Tong Ciak juga minta diri. Pertemuan itupun bubar dan kedua orang gadis itu setelah kini
tahu bahwa Pek Lian adalah puteri Menteri Ho yang terkenal itu, segera merangkulnya.
"Ah, kiranya engkau adalah puteri Menteri Ho yang hebat itu. Ah, pantas saja
sikapmu demikian angkuh !" kata Pek In dengan kagum.
"Sungguh nakal sekali! Kenapa tidak dari dulu kaukatakan tentang dirimu ?" Ang
In juga berkata gemas sambil mencubit sayang.
"Bagaimana aku berani mengaku ?" Pek Lian berkata sambil tertawa. "Kalau dahulu
aku meng-aku, tentu enci berdua sudah menyerangku dan bagaimana aku akan dapat
selamat " Tadipun ka-lau tidak ada Tong - ciangkun, bukankah aku sudah dijebloskan ke
dalam sel tahanan ?" Siang Houw Nio - nio memang tidak pernah memperdulikan urusan politik, akan
tetapi sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, diam-diam iapun merasa simpati
kepada Menteri Ho yang berani itu, dan merasa suka kepada Pek Lian juga karena
keberanian gadis ini. Sekarang, men-dapat kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri menteri itu, iapun
merasa semakin suka. "Sementara engkau menanti kedatangan ayah-mu ke istana, engkau boleh
tinggal bersama Pek In dan Ang In di sini," kata nenek itu dengan sikap ramah.
Pek Lian cepat memberi hormat kepada nenek itu, penghormatan yang sungguh -
sungguh, seba-gai puteri seorang menteri kepada seorang yang berkedudukan tinggi seperti
bibi kaisar itu. Akan tetapi karena ia lebih kagum dan tertarik kepada nenek ini sebagai seorang
wanita sakti, maka ia tetap menyebut locianpwe sebagai penghormatan seorang ahli silat muda
terhadap seorang tokoh besar yang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya.
"Saya menghaturkan terima kasih atas semua kebaikan locianpwe dan harap sudi
memaafkan segala kesalahan saya yang sudah-sudah terhadap locianpwe."
Melihat sikap dan mendengar uc
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** a tanda - tanda adanya orang yang me-masuki ruangan itu, bahkan telah
bersembahyang, subo. Akan tetapi, tidak ada seorangpun di antara anak buah teecu yang
melihatnya." Demikian
Pek In imenutup laporannya. Gurunya mengerutkan alis dan memandang heran. Ia
tidak perlu meme-riksa sendiri ke ruangan itu karena ia percaya pe-nuh akan ketelitian
muridnya ini "Mengingat akan cerita tentang munculnya dua bayangan orang yang amat lihai di
gedung para bangsawan bahkan juga di istana, jangan-jangan yang memasuki ruangan
sembahyang inipun mere-ka itu, subo," kata Ang In dan diam - diam gadis yang gagah perkasa
ini melirik ke kanan kiri de-ngan hati mengandung rasa jerih juga. Siapa tahu bayangan setan
itu pada saat itu masih berada di situ! "Akan tetapi, apa perlunya mereka berkeliaran di sini dan memasuki ruangan
sembahyang tempat penyimpanan abu leluhur ?" Nenek itu bertanya sangsi, akan tetapi ia
teringat akan dugaan Pek-lui-kong akan kemungkinan bahwa seorang di an-tara dua bayangan itu
adalah Si KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Raja Kelelawar sendiri. Kalau benar yang datang ke istana ini adalah Si Raja
Kelelawar, lalu apa maksudnya " Apakah iblis yang mengerikan itu masih terhitung keluarga istana dan
dia datang untuk bersembah-yang di depan abu leluhurnya sendiri " Siang Houw Nio - nio
mengerutkan alisnya dan dengan terme-nung iapun lalu memasuki kamarnya sendiri. Dua orang
muridnya yang melihat sikap subonya, mak-lum bahwa subonya sedang berpikir keras, maka
merekapun tidak berani banyak bertanya, melain-kan mengiringkan subonya.
Siang Houw Nio-nio duduk termenung di da-lam kamarnya, di atas kursinya. Pek In
dan Ang In, diikuti oleh Pek Lian, duduk di luar kamar menanti dan menduga- duga apa
yang dipikirkan oleh nenek itu. Nenek itu melayangkan lamunannya.
Gedung mungil ini dahulunya menjadi tempat tinggal keluarga pamannya yang
menjabat sebagai kepala rumah tangga istana. Pamannya itu hanya mempunyai seorang putera
yang kini menjadi ke-pala kuil istana, yaitu Bu Hong Sengjin yang masih terhitung saudara
sepupunya sendiri. Ketika masih muda, Bu Hong Sengjin yang pangeran itu oleh ayahnya
disuruh mempelajari ilmu silat tinggi dari seorang kepala kuil Agama To - kauw. Tentu saja pamannya
itu mengharapkan agar putera tunggal-nya itu kelak dapat menjadi seorang panglima
atau perwira tinggi. Akan tetapi, tempat perguruan di mana pangeran itu belajar tidak hanya
mengajar-kan ilmu silat tinggi, melainkan juga keagamaan. Dan dia memang telah mewarisi ilmu silat
tinggi, akan tetapi di samping itu juga mewarisi ilmu ke-agamaan yang mendalam. Bahkan
agaknya, pemuda itu lebih condong mendalami agama dari pada ilmu silatnya sehingga setelah tamat
belajar silat, dia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya, bah-kan lalu masuk menjadi pendeta
Agama To dengan julukan Bu Hong Tojin. Kemudian, sebagai seorang tosu dia lebih senang
mengembara di kalangan rakyat untuk menyebarkan Agama To - kauw.
Tentu saja hal ini amat mengecewakan hati pa-mannya. Watak pamannya itu keras
dan perbuatan puteranya itu dianggap merendahkan martabat dan nama keluarga. Maka
dengan jalan kekerasan pamannya lalu mengurus pasukan mencari putera-nya itu. Sampai bertahun
- tahun usaha itu dila-kukan dan akhirnya dengan bantuan para pembesar dan pasukan,
puteranya dapat dibawa kembali ke istana. Akan tetapi, Bu Hong Tojin juga memiliki watak yang
sama kerasnya dengan ayahnya. Dia berkeras tidak mau menjadi perajurit. Perbantahan terjadi
dan akhirnya, pamannya yang keras hati itu menjebloskan puteranya ke dalam penjara. A-kan
tetapi, Bu Hong Tojin tetap berkeras kepala. Hal ini amat mengesalkan hati pamannya sehingga dia
"makan hati" dan jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia.
Hal ini amat mendukakan hati Bu Hong Tojin. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia
tidak suka akan kekerasan, tidak mau menjadi perajurit. Dia tidak meninggalkan istana, akan
tetapi dia bahkan memasuki istana dan menjadi pendeta di situ. Akhir-nya, kaisar
mengangkatnya menjadi kepala kuil dan juga menjadi penasihat. Dan gedung istana mungil ini, karena
tidak ada yang menempati lagi, oleh kaisar lalu dihadiahkan kepadanya.
Ketika lamunannya melayang - layang sampai sejauh itu, Siang Houw Nio - nio lalu
teringat akan kakak sepupunya itu. "Hemm, tentu saja dia, siapa lagi " Tentu Bu Hong
Sengjin yang datang ber-sembahyang di sini, menyembahyangi arwah men-diang paman. Tentu saja
dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat datang tanpa terlihat oleh para dayang.
Sebaiknya kutanyakan sendiri kepa-danya." Wanita itupun lalu bangkit dari tempat duduknya
dan melangkah

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar kamar, wajahnya tidak sekeruh tadi.
"Pek - ji dan Ang - ji, aku mau kembali ke istana," katanya kepada dua orang
muridnya itu. Tanpa menanti jawaban, nenek itu melangkah cepat me-ninggalkan mereka yang tentu
saja hanya dapat mengangguk dan tidak berani bertanya.
** * * Malam yang kelam. Hujan rintik - rintik mem-buat hawa dingin sekali. Suasana di
kompleks is-tana amat sunyi menyeramkan. Bukan hanya karena kelamnya malam gelap -
gulita, melainkan teruta-ma sekali dengan adanya cerita tentang tamu yang misterius maka suasana
menjadi nampak sunyi dan menyeramkan. Para petugas jaga merasakan ini dan mereka
memperketat penjagaan, bersikap was-pada. Namun, makin tegang hati mereka, makin
menyeramkanlah suasananya. Lewatnya seekor kucing di atas genteng saja sudah cukup untuk
membuat jantung berdetak seolah akan pecah dan membuat darah tersirap meninggalkan muka. Lam-pu-
lampu teng KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang dipasang oleh para hamba istana tidak mampu memberi penerangan yang cukup,
bahkan kabut tipis yang diciptakan oleh hujan rintik - rintik itu membuat lampu - lampu
itu nam-pak seperti cahaya - cahaya yang aneh menyeramkan.
Tiga orang gadis itu bukanlah orang - orang yang lemah. Sama sekali bukan. Pek
In dan Ang In adalah murid- murid kesayangan Siang Houw Nio-nio dan mereka telah memiliki
tingkat ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian Ho Pek Lian. Dan Pek Lian
sendiri, biarpun belum selihai dua orang gadis itu, namun sudah merupakan seorang gadis yang hebat ilmu
silatnya, dan jarang ada orang yang akan mampu menandinginya. Mereka bertiga ini sudah jelas
sekali bukan orang-orang penakut, bahkan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang
bagaimanapun juga. Akan tetapi, pada malam hari ini, ada rasa ngeri dan takut menyelinap
dalam hati masing- masing dan mereka mencoba untuk menyembuyikannya dengan melalui obrolan yang
asyik di dalam ruangan duduk itu. Rasa takut bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batin kita. sendiri.
Rasa takut timbul dari permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal - hal yang
mengerikan. Kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan pikiran akan hal-hal yang belum ada
ini, maka rasa takut tidak akan muncul. Umpamanya, kita duduk seorang diri di dalam kamar dalam
suasana yang sunyi. Pikiran kita teringat akan cerita orang tentang adanya setan dalam
kamar, tentang hal - hal yang mengerikan lain, maka pikiran itu lalu membayangkan hal - hal yang
tidak ada. Dalam keadaan seperti itu, suara seekor tikus melanggar sesuatu saja sudah cukup untuk
menimbulkan bayangan dalam pikiran ten-tang munculnya setan yang menakutkan. Timbul-lah rasa
takut dan rasa takut ini membuat orang tidak waspada sehingga ada bayangan sedikit saja
lalu bisa kelihatan seperti setan oleh mata kita yang sudah terselubung rasa takut.
Kewaspadaan yang menyeluruh, perhatian yang menyeluruh ter-hadap apapun yang terjadi di depan
kita, akan meniadakan rasa takut itu.
Tiga orang gadis itu, dalam keadaan diliputi rasa ngeri dan takut akan
kemungkinan munculnya hal - hal yang tidak mereka inginkan, terutama sekali munculnya dua
bayangan yang dihebohkan itu, dan juga adanya bekas - bekas orang bersem-bahyang di dalam
ruangan penyimpanan abu lelu-hur, mencoba untuk melarikan diri dari rasa takut dengan
jalan mengobrol. Mereka saling mencerita-kan pengalaman dan riwayat masing - masing dan dalam
kesempatan itu, mereka merasa menjadi se-maian akrab satu sama lain.
"Aih, ternyata engkau mempunyai banyak guru yang sudah amat terkenal di dunia
kang- ouw. Mula-mula Huang-ho Su-hiap, empat orang pendekar Huang-ho yang terkenal itu
menjadi guru - gurumu, kemudian engkau digembleng pula oleh Liu-taihiap yang terkenal
itu. Pantas saja engkau lihai sekali, adik Lian," kata Ang In me-muji.
"Ah, jangan terlalu memuji, enci Ang. Biarpun aku mempunyai lima orang guru,
akan tetapi diban-dingkan dengan engkau atau enci Pek yang hanya mempunyai seorang guru
saja, aku masih belum ada setengahmu! Aku masih harus banyak bela-jar dari kalian !"
"Hemm, sesungguhnya tidak demikian, adik Lian. Ilmu silatmu sudah cukup hebat,
hanya agak-nya engkau masih kurang dalam latihan. Ilmu-ilmu-mu itu belum dapat
kaukuasai dengan matang. Kalau sudah matang, tentu aku bukan lawanmu karena engkau mempunyai ilmu
yang lebih leng-kap dan banyak ragamnya. Kalau engkau bisa merangkai semua itu, tentu
engkau benar - benar akan tangguh sekali," bantah pula Ang In.
Selagi Pek Lian hendak membantah untuk me-
rendahkan diri, tiba-tiba Pek In memandang ke-
pada mereka dengan mata terbelalak dan nona ini
menaruh telunjuk di depan mulut sambil mendesis
lirih, "Ssshhhhh !" Ang In dan Pek Lian melihat perobahan muka yang menjadi
tegang itu, dan mereka berdua menjadi waspada. Melihat be-
tapa cuping hidung Pek In berkembang - kempis,
merekapun menggerakkan cuping hidung mencium-
cium dan barulah mereka dapat menangkap bau yang agak harum itu. Dan mereka
merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang, leher terasa dingin karena serem. Itu
adalah bau asap dupa hio ! Mereka bertiga saling pandang. Mereka lalu bangkit dan atas isyarat
Pek In, ketiganya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
lalu berganti pakaian ringkas. Dengan hati tegang mereka mengadakan persiapan,
kemudian dengan hati-hati sekali, mengerahkan ginkang agar jangan sam-pai langkah kaki
mereka bersuara, dipimpin oleh Pek In, ketiganya lalu keluar dari situ dan menuju ke belakang, ke
arah datangnya bau asap hio itu yang datang dari arah belakang, dari ruangan sem-bahyang tempat
penyimpanan abu leluhur! Mereka bergerak sigap dan seluruh urat syaraf meneka menegang. Jantung mereka
berdebar pe-nuh ketegangrn ketika, mereka berindap - indap menuju ke ruangan
sembahyang itu. Makin dekat dengan ruangan itu, bau dupa semakin keras me-nusuk hidung. Betapa
beraninya orang itu, pikir mereka. Membakar hio di rumah orang sedemikian menyoloknya,
seolah - olah tidak memperdulikan penghuni rumah dan tidak takut dipergoki. Akan tetapi, bulu
tengkuk mereka meremang kalau mereka teringat akan kata-kata Pek-lui-kong siang tadi. Jika
benar dugaan si cebol itu yang mengata-kan bahwa orang yang berkeliaran di komplek istana pada
beberapa hari yang lalu adalah Si Raja Kelelawar, maka mungkin sekali orang yang membakar hio
dalam mangan itu adalah si Iblis itu sen-diri ! Jika hal ini benar, maka amatlah berbahaya
untuk didekati. Iblis itu
kabarnya memiliki kepan-daian yang amat hebat dan apa yang mereka saksi-kan
ketika iblis itu berkelahi dengan Siang Houw Nio-nio sudah cukup membuat mereka jerih. Mereka
maklum bahwa kalau yang membakar hio adalah Raja Kelelawar, maka mereka bertiga bu-kanlah
tandingan iblis itu dan menyerbu masuk sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Oleh
karena itu setelah tiba di luar ruangan yang pintunya tertutup itu, mereka berhenti dan
saling pandang dengan ragu - ragu. "Kita pukul saja tanda bahaya?" bisik Ang In kepada kakaknya.
Pek In menggeleng kepalanya. "Jangan dulu," bisiknya kembali. "Kita masih belum
yakin. Kalau benar musuh, memang baik sekali memukul tanda bahaya. Bagimana kalau bukan
" Bagaimana kalau dia sudah pergi " Berarti menggegerkan is-tana dengan sia-sia
dan tentu Kim - i - ciangkun akan marah-marah kepada kita. Kita tunggu se-bentar."
Tiba-tiba mereka bertiga terkejut dan cepat menyelinap dan bersembunyi di balik
tiang besar sambil mengintai ke depan. Daun pintu ruangan sembahyang itu terbuka perlahan
dari dalam ! Ke- adaan menjadi semakin menyeramkan. Mereka bertiga memasang mata, memandang tanpa
berkedip. Daun pintu terbuka perlahan-lahan dan di antara keremangan sinar lilin, mereka
melihat dua sosok tubuh yang tinggi kurus, mengenakan pakaian ringkas serba hitam. Wajah
mereka itu ditutupi kain hitam dari kepala sampai ke leher dan hanya sepasang mata mereka
saja yang nampak bersinar-sinar seperti bintang kecil. Dari bentuk tubuh mereka, tiga
orang gadis yang mengintai itu dapat menduga bahwa seorang di antaranya tentulah wanita. Ho Pek
Lian memandang dengan penuh perhatian dari tempat persembunyiannya.
Yang pria mungkin si iblis Raja Kelelawar, pikirnya. Badannya juga jangkung
kurus, pakaiannya hitam-hitam, sepasang matanya mencorong. Dan wanita itu, matanya
begitu jeli, bukankah itu Si Maling Cantik " Akan tetapi kalau memang benar mereka itu adalah
Raja Kelelawar dan Maling Cantik, mengapa mereka harus memakai kedok kain "
Dua orang yang berada di dalam ruangan sembahyang itu setelah membuka daun pintu
perlahan-lahan, dengan mata mereka yang mencorong itu memandang keluar ruangan,
ke kanan kiri, kemudian agaknya mereka hendak melanjutkan kesibukan mereka di dalam kamar
itu, dan siap untuk meninggalkan ruangan yang sudah mereka buka pintunya.
Sementara itu, Pek In berbisik kepada dua orang kawannya, "Ang - moi, cepat
kaupukul tanda ba-haya sedangkan aku dan Lian - moi akan menyerbu mereka dan menghadang
mereka agar tidak mela-rikan diri. Siap " Hayo, Lian - moi!"
Mereka bertiga berpencar sambil menyelinap ke tempat gelap. Ang In cepat menuju
ke sudut di mana tergantung kentungan alat untuk dipukul ka-lau ada bahaya,
sedangkan Pek In dan Pek Lian su-dah berindap menghampiri jendela ruangan yang berada di depan kamar
sembahyang itu. Mereka berdua menanti dan begitu terdengar suara ken-tungan dipukul
bertalu-talu dengan gencarnya, merekapun menerjang ke depan !
Mendengar suara kentungan tanda bahaya ini dua orang yang berada di dalam kamar
sembah-yang terkejut dan menengok. Padi saat itu, Pek Lian sudah meloncat masuk
sambil membentak nyaring, "Maling - maling hina jangan lari !"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Hampir berbareng, Pek In juga muncul dan menyerbu dari pintu yang terbuka. Akan
tetapi ha-nya sejenak saja dua orang aneh itu kelihatan ter-kejut.
"Mari... !" Terdengar yang pria menggumam dan keduanya melesat dengan amat
ceratnya ke arah pintu. Pek In memapaki dengan pukulannya, akan tetapi dengan mudahnya
dua orang itu menghindar dengan gerakan tubuh yang amat cepat, dan sekali meloncat mereka
telah dapat melewati Pek In dan terus melesat keluar dari dalam ruangan itu melalui pntu.
Pek Lian sendiri tidak sempat menyerang. Dua orang itu meloncat naik ke atas tembok dan ketika
mereka mengayun tangan, semua lampu teng di sekitar tempat itu padam dan kea-daan
menjadi gelap sekali."Kejar !" Pek In berseru dan bersama Pek Lian ia mengejar. Akan tetapi
karena di luar amat gelap, mereka hampir kehilangan bayangan dua orang itu.
Akan tetapi, pukulan tanda bahaya yang dibunyikan oleh Ang In itu mengakibatkan
datangnya banyak sekali pengawal dan penjaga. Derap kaki mereka terdengar dari
semua penjuru, dan hal ini agaknya membuat dua orang itu menjadi bingung juga.
Sebaliknya, Pek In dan Pek Lian merasa lega dan terus mengejar ke depan dan melihat dua orang itu
sedang berdiri bingung di serambi depan taman bunga. Dua orang gadis ini segera menya-rang dan
menggunakan pedang mereka. Pek In menyerang maling pria dan Pek Lian menerjang
maling wanita. Akan tetapi dua orang itu sungguh lihai bukan main. Hanya dengan gerakan
langkah kaki dan kadang - kadang mengibaskan tangan, mereka mampu menghadapi serangan pedang
itu dan jelaslah bahwa Pek In maupun Pek Lian bukan tandingan mereka. Ketika mereka
membalas de- ngan serangan tamparan tangan dan tendangan kaki, Pek In dan Pek Lian terdesak
mundur. Un- tung bagi mereka bahwa pada saat itu, Ang In datang bersama para pengawal yang
segera terjun dan mengeroyok. Melihat ini, dua orang maling itu berloncatan jauh dan melarikan
diri. Tak lama

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian keduanya sudah berada di atas genteng-genteng wuwungan kompleks istana
dan melarikan diri, dikejar oleh tiga orang gadis itu bersama para perwira pengawal
yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk dapat mengejar sambil berlompatan di atas wuwungan
rumah. Karena datangnya banyak pengejar dari semua jurusan, dua orang yang gerakannya
cepat seperti iblis itu kadang-kadang harus melawan pengero-yokan para pengejar,
melarikan diri lagi, dikeroyok lagi dan terjadilah kejar - kejaran yang amat ramai di kompleks
istana, di bawah cucuran hujan rintik-rintik. Banyaknya pengawal yang menghadang di sana-sini
membuat dua orang maling itu kebi-ngungan. Mereka berputaran di seluruh kompleks dan agaknya
malah kehilangan jalan. Memang ja-lan keluar telah dijaga ketat oleh para pengawal
sehingga dua orang mal'ng itu hanya mampu ber-lari - larian di sekitar bangunan-bangunan kom-pleks
istana yang luas itu dan tanpa mereka sadari mereka beberapa kali kembali ke tempat semula. Dari
tingkah mereka ini saja mudah diketahui bah-wa dua orang maling itu masih belum mengenal benar
keadaan di kompleks istana. Padi saat itu muncullah Kim - i - ciangkun, komandan dari pasukan Kim-i-wi.
Melihat bahwa para anak buahnya yang membantu tiga orang nona itu mengeroyok dua orang
berpakaian hitam dan berkedok kain, Kim - i - ciangkun menjadi marah. Dengan suara gerengan
seperti seekor harimau marah dia menerjang ke depan, begitu maju dia telah mengeluarkan ilmunya
yang ganas, yaitu Hwi-ciang (Tapak Tangan Api) memukul ke arah maling yang bertubuh ramping.
Iblis betina yang berke-dok ini agaknya memandang rendah kepada lawan, dengan mengandalkan
kecepatan tubuhnya dan kekuatan tangannya iapun menangkis.
"Desss ! Aihhh !" Jeritan suara wa-
nita membuka rahasianya sehingga semua orang
tahu bahwa maling ke dua bertabuh ramping ini
benar-benar seorang wanita. Wanita itu meloncat
ke belakang dan matanya terbelalak memandang ke
arah lengan baju kirinya yang terbakar hangus!
Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang
yang amat kuat sehingga pukulan ampuh itu tidak
melukai kulitnya dan gerakannya yang cepat me-
loncat ke belakang tadi telah menyelamatkannya.
Diam-diam Kim - i - ciangkun juga terkejut, tidak
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mengira bahwa wanita itu benar-benar mampu
menangkis pukulan saktinya, maka diapun menye-
rang terus. Akan tetapi wanita itupun agaknya ma-
rah karena lengan bajunya hangus. Ia menangkis,
mengelak dan balas meyerang. Kecepatan gerak-
annya membuat Kim - i - ciangkun kewalahan dan
sebuah tendangan kilat mengenai pahanya, mem-
buat Kim - i - ciangkun terpelanting. Akan tetapi
para pengawal menerjang dan mengeroyok. Melihat betapa banyaknya pihak
pengeroyok, maling pria berseru kepada temannya, "Lari ...... !" Dan merekapun lari lagi,
dikejar oleh banyak sekali penga-wal. Bahkan kini nampak pula pengawal Gin-i-wi yang berpakaian
perak datang membantu dari luar. Karena dikepung makin rapat, kedua orang ma-ling itu semakin bingung. Ke manapun
mereka lari, tentu ada pasukan yang menghadang. Akhirnya, tanpa disengaja mereka
lari sampai ke kuil agung istana. Melihat bangunan kuil ini, dua orang itu lari ke sana.
Akan tetapi setibanya di depan kuil yang megah itu, kembali mereka telah dikepung rapat oleh para
pengawal yang sudah ada pula yang berjaga di tempat itu. Segera terjadi penge-royokan lagi. Biarpun
ada beberapa orang penga-wal dan pengeroyok yang roboh terluka, namun dua orang itu dikepung
terus sampai tiga orang ga-dis lihai dan juga Kim - i - ciangkun datang pula di tempat itu.
"Sungguh aneh, kenapa iblis itu tidak segesit
dahulu ?" kata Pek Lian kepada dua orang teman-
nya. "Bukankah dahulu gerakannya luar biasa ce-
patnya seperti pandai menghilang saja" Biarpun
sekarang gerakannya juga cepat bukan main akan
tetapi rasanya tidak sehebat dahulu "
"Mungkin karena dia harus melindungi teman pei'empuannya itulah," jawab Pek In
yang segera mengajak dua orang temannya untuk membantu para pengeroyok karena memang
dua orang iblis itu luar biasa sekali. Pengeroyoknya amat banyak, dipimpin oleh Kirn
- i - ciangkun yang tangguh. Semua pengawal adalah perajurit - perajurit pilihan karena untuk
dapat diterima menjadi anggauta pasukan pengawal istimewa ini orang harus melalui ujian berat.
Maka mereka itu rata - rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Biarpun demikian,
agaknya mereka itu menghadapi kesulitan untuk dapat merobohkan atau menangkap dua orang iblis itu.
Bahkan banyak sudah anggauta pengawal yang roboh terluka oleh pengamukan mereka berdua.
Hebatnya, dua orang maling itu tidak pernah menggunakan pedang mereka yang
tergantung di punggung. Ini saja menunjukkan bahwa selain mereka tidak ingin membunuh para
pengeroyok, juga menjadi tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu
silat tinggi sehing-ga merasa tidak perlu lagi dibantu oleh senjata dalam menghadapi lawan.
Selagi para pengawal itu dengan ramainya me-lakukan pengeroyokan, tiba - tiba
terdengar bentak-an melengking nyaring dan muncullah Pek-lui-kong Tong Ciak ! Melihat
munculnya tokoh ini, tentu saja para pengawal bersorak girang. Kalau jagoan ini yang turun
tangan, tentu dua orang ma-ling itu akan dapat ditangkap atau dirobohkan. Juga Kim - i - ciangkun
merasa girang sekali melihat munculnya atasan ini. Sebaliknya, Pek Lian dan dua orang tokoh
wanita bertusuk konde kemala itu mundur dan hanya menonton karena mereka sudah mulai meragukan
bahwa orang berkedok itu adalah Si Raja Kelelawar. Pula, kalau yang maju adalah orang
seperti Pek - lui - kong, tentu amat tidak enak bagi jagoan itu kalau dibantu. Biasanya, seorang
tokoh besar yang sudah menjadi jagoan, tidak sudi dan merasa malu untuk melakukan pengeroyokan.
Pengeroyokan itu terjadi di serambi depan, di bawah pagoda kuil yang bertingkat
enam. Melihat betapa para anak buahnya ternyata t'dak mampu menundukkan dua orang
maling itu, Pek - lui - kong Tong Ciak menjadi marah. Sambil membentak dia lalu menerjang ke
depan dan menggerakkan tangan kanannya menampar. Melihat ini, wanita dalam kedok itu
menangkis dan seperti tadi, perbuatannya ini sungguh ceroboh. Ia tidak tahu dengan siapa ia
berhadapan dan dengan ceroboh ia berani meng-adu tenaga begitu saja ! Padahal, pukulan Pek -
lui-kong Tong Ciak ini sama sekali tidak dapat disama-kan dengan pukulan api dari Kim - i -
ciangkun tadi. "Dessss ahhhh !!" Tubuh wanita itu terlem-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
par ke udara! Demikian hebatnya tenaga yang
terkandung dalam pukulan Pek - lui - kong sehingga
ketika wanita itu menangkis mengadu tenaga, tu-
buhnya terlampar keras. Tubuh itu meluncur ke
arah pagoda dan terjadilah hal yang mengagumkan sekali. Kiranya wanita itu juga
memiliki sinkang yang amat hebat sehingga biarpun tubuhnya men-celat ke atas, namun
agaknya ia tidak terluka. Ma-lah dengan ginkang yang luar biasa indahnya, ia berjungkir balik dan
dapat dengan tenangnya turun dan hinggap di lantai dari tingkat ke dua pagoda itu ! Semua
orang memandang kagum. Ketika tubuhnya terlempar ke atas tadi, teman-nya terkejut dan dengan ringannya
tubuhnya juga melayang ke atas menyusul kawannya. Melihat ini, Kim - i - ciangkun yang
sudah mempersiapkan pasukan panah segera memberi isyarat dan melun-curlah belasan
batang anak panah ke arah tubuh ma-ling yang melayang ke atas itu. Akan tetapi, kem-bali
terjadi hal yang amat mengagumkan ketika iblis atau maling itu berjungkir balik dan dengan
mudahnya menggerakkan kaki tangan memukul dan menendang runtuh semua anak panah yang
melun-cur ke arah tubuhnya. Semua ini dilakukan selagi tubuhnya berada di tengah udara.
Kemudian tubuh itu meluncur turun ke lantai tingkat dua, di dekat temannya. Melihat ini, Pek -
lui - kong mengeluar-kan dengus mengejek dan diapun bersama Kim - i-ciangkun meloncat ke
atas loteng tingkat dua. Pa-ra perajurit pengawal berlari-larian melalui tang-ga. Merekapun
hanya ingin menambah semangat saja karena setelah si cebol sendiri yang maju, mereka tidak
berani mengganggu dengan pengeroyokan mereka. Hanya pasukan anak panah saja yang masih
siap di luar dan di bawah menara, meman-dang ke atas di mana dua orang iblis itu kini
ber-tanding dengan amat serunya melawan Pek - lui-kong dan Kim - i - ciangkun.
Pek Lian, Pek In dan Ang In menonton di ba-wah. Mereka merasa terheran - heran
melihat be-tapa iblis yang mereka sangka Si Raja Kelelawar itu ternyata nampak terdesak
oleh Pek-lui- kong setelah mereka berkelahi belasan jurus lamanya. Sebaliknya, maling wanita
itu bertempur dengan seru dan nampaknya seimbang dengan Kim - i-ciangkun. Pek - lui - kong dan
Kim - i - ciangkun bernapsu sekali untuk mengalahkan dua maling itu, maka merekapun sudah
mengerahkan seluruh te-naga dan kemampuan, mendesak dua orang lawan yang hanya
melakukan perlawanan dengan sikap ragu - ragu itu. Karena terdesak dan tersudut,
akhir-nya iblis itu kembali menjejakkan kakinya dan tu-buhnya sudah melayang ke atas, ke arah
loteng tingkat tiga. Memang tidak ada lain jalan baginya. Ketika dia sudah tersudut ke pinggir
loteng, hanya ada dua pilihan, yaitu meloncat ke bawah lagi atau meloncat ke atas. Di bawah sudah
menanti ratusan pengawal yang siap dengan anak panah dan yang sudah mengepung pagoda kuil itu.
Maka diapun meloncat ke atas dan melihat ini, temannya si ma-ling wamta juga mempergunakan
ginkangnya yang hebat untuk menyusul dengan loncatan ke atas.
Melihat betapa dua orang lawannya berloncatan ke atas, tentu saja Pek-lui-kong
yang sudah merasa "menang angin" itu tidak mau melepaskannya dan diapun meloncat ke atas,
mengejar, diikuti oleh Kim-i-ciangkun yang berbesar hati karena adanya Pek-lui-kong di
sampingnya. Kini terjadi kejar-kejaran dan juga perkelahian sengit di tingkat tiga. Agaknya
dua orang maling itu hendak mengandalkan ginkang mereka karena mereka hanya sebentar saja
menghadapi lawan lalu cepat berloncatan lagi ke tingkat yang lebih tinggi. Dua
orang jagoan istana itu terus mengejar dan terjadilah perkelahian seru di atas leteng ke
empat. Semua orang yang menonton di bawah dapat meng-ikuti semua kejar - kejaran dan perkelahian
itu de-ngan jelas. Para anggauta pasukan bersorak - sorak menjagoi komandan mereka.
Kini Pek Lian dan dua orang temannya dapat melihat bahwa Pek - lui - kong benar
- benar dapat mendesak si iblis pria dengan pukulan - pukulan saktinya ! Iblis itu
nampak kewalahan sekali. Akan tetapi, sebaliknya, Kim - i - ciangkun juga nampak terdesak oleh
iblis wanita itu. Terutama sekali karena dia kalah cepat dalam bergerak, dan kalah panjang
napasnya membuat panglima ini terdesak dan napasnya mulai terengah - engah. Melihat ini, para
perajurit yang di bawah dan tidak dapat mem-bantu itu lalu melepas anak panah ke atas. Mereka tahu
bahwa dengan pakaian pengawalnya, ko-mandan mereka tidak akan terlukai oleh anak
panah. Kembali terjadi keheranan dalam hati Pek Lian.
Ia tahu bahwa iblis Si Raja Kelelawar memiliki ju-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
bah yang dapat menahan segala macarn senjata
tajam. Akan tetapi iblis ini agaknya tidak berani
mengandalkan jubahnya, atau dia tidak memakai
jubah pusakanya itu. Iblis itu dan teman wanita
nya harus mengelak ke sana - sini dan menjadi ke-
walahan ketika dihujani anak panah dari bawah,
maka mereka berdua lalu meloncat lagi ke tingkat
lima. Di sini anak panah tidak lagi dapat mencapai
mereka karena terhalang langkau melintang di te-
pinya. Pek - lui - kong dan Kim - i - ciangkun terus
mengejar. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat
di tingkat lima. Agaknya si maling wanita itu menjadi marah karena terdesak dam tersudut. Ia
mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melesat dengan luar biasa cepatnya
menyambut Kim - i - ciangkun yaag sudah mengejar ke tingkat lima. Komandan itu maklum


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa lawannya melakukan serangan yang berbahaya, maka diapun cepat mengerahkan tenaga untuk
menangkis. Akan tetapi, agaknya dia kurang cepat dan tahu-tahu sebuah pukulan telah
mengenai pundak kirinya. "Dess !" Kim - i - ciangkun mengeluh dan terpelanting, roboh dan ketika dia
hendak bangkit lagi, dia menyeringai karena pundaknya terasa nye-ri sampai ke dada,
bahkan lengan kirinya tidak dapat digerakkan, amat nyeri rasanya kalau digerak-kan ! Tentu
saja dia menjadi terkejut dan maklum bahwa dia tidak mungkin dapat maju untuk ber-tanding lagi.
Sementara itu, melihat pembantunya roboh, Pek-lui-kong menjadi marah dan sepak
terjangnya menjadi semakin hebat. Dia kini dikeroyok dua oleh lawannya. Akan
tetapi, dia tidak merasa gen-tar, bahkan kini mengeluarkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu
tenaga pukulan Pusaran pasir Maut. Begitu dia melancarkan pukulan ini, angin puyuh bertiup dan
hawa dingin terasa melanda tubuh kedua orang lawannya! Seketika butiran-bu-tiran keringat
dan air hujan yang membasahi tubuh kedua lawan itu menjadi beku ! Keduanya meng-gigil
kedinginan dan menjadi gelagapan. Cepat mereka mengerahkan sinkang untuk memunahkan pengaruh
luar biasa dari pukulan Pusaran Pasir Maut itu. Si cebol mengeluarkan suara ketawa me-
nyeramkan. "Hayo, keluarkan ilmu - ilmu andalanmu yang terkenal itu !" bentaknya kepada
iblis yang tinggi dan yang disangkanya Raja Kelelawar itu. "Sudah kutunggu sejak tadi.
Kenapa tidak kaukeluarkan ilmu - ilmumu " Orang bilang, ginkangmu tidak ada keduanya di dunia
ini, tidak tahunya Cuma sebegitu saja!" Kembali si cebol tertawa menge-jek. Kemudian dia
memasang kuda - kuda dengan tubuh yang sudah cebol itu direndahkan, kedua tangannya bergerak
cepat sekali di selatar tubuh-nya, makin lama makin cepat.
"Hayo, majulah !" bentaknya dan kini dua le-ngannya sudah sukar diikuti pandang
mata, biar oleh seorang ahli silat tinggi sekalipun. Seolah-olah kedua lengan itu kini
nampak menjadi ratusan atau ribuan banyaknya, membentuk bayang bayang dan sukar dilihat dengan
nyata yang manakah le-ngan aselinya dan di mana adanya kedua lengan itu di satu saat.
Itulah ilmu sakti yang luar biasa, Ilmu Silat Soa - hu - lian (Teratai Danau Pasir)!
Iblis itu nampak terkejut, sepasang matanya ter-belalak, nampak jerih dan putus
asa. "Koko , awas !" Maling wanita mem-
peringatkan dengan suara halus. Mereka berdua
cepat bersatu untuk menghadapi si cebol yang
benar - benar amat menggiriskan ilmunya. Biarpun
dikeroyok dua, namun tetap saja dia mampu men-
desak lawan. Kedua tangan yang berobah menjadi
banyak sekali saking cepat gerakannya itu, menge-
luarkan angin berputar menyambar - nyambar dan
membawa hawa dingin. Butir-butiran air hujan yang
jatuh di sekitar tempat itu, terkena sambaran angin
dingin ini menjadi beku dan berjatuhan mengeluar-
kan bunyi seperti batu! KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Ho Pek Lian, Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tingkat ke lima itu. Mereka
berloncatan dan kini menonton pertandingan hebat itu dari jarak yang agak jauh. Biarpun
demikian, mereka masih merasa betapa hawa dingin melanda tubuh mere-ka, terdorong oleh angin
pukulan si cebol, membu-at mereka mengg:gil.
Sepasang iblis itu telah terdesak hebat. Mere-ka tidak dapat lari lagi. Terpaksa
melawan dari pada mati konyol. Akan tetapi, gerakan si cebol benar - benar membuat mereka
bingung. Ketika Pek - lui - kong mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya bergerak
cepat, sepasang ma-ling itu menangkis dan akibatnya hebat sekali. Kedok yang dipakai oleh maling
pria itu tereng- gut lepas, sedangkan maling wanita yang terkena sambaran tangan pada pundaknya
itu, menjerit dan tubuhnya terlempar jauh ke atas, ke tingkat paling atas !
Pada saat itu, dari tingkat paling atas terdengar suara halus menegur, "Siapa
berkelahi di bawah ?" Dan muncullah seorang kakek pendeta ke serambi tingkat teratas itu.
Ketika dia melihat sesosok tu-buh terlempar dari bawah, cepat dia mengulurkan tangan dan menangkap
dengan mencengkeram punggung baju tubuh itu. Dan ket;ka dia melihat bahwa wanita yang
berpakaian hitam itu terluka parah, dia lalu merebahkannya di atas lantai.
Pada saat itu berkelebat bayangan hitam dan ternyata maling pria tadi, yang
terhindar dari pukulan akan tetapi kedoknya copot itu, telah melon-cat dan menyusul maling
wanita yang terpukul dan terlempar ke atas. Tak lama kemudian, si ce-bol juga sudah meloncat
ke atas dan melihat beta-pa lawannya berjongkok menghampiri dan meme-riksa tubuh kawannya
yang terluka, Pek - lui - kong sudah melangkah maju untuk melakukan pukulan maut
pula. Pada saat itu, terdengarlah teriakan Ho Pek Lian, "Tahan!! Dia bukan Raja
Kelelawar!!" "Ehhh ?"" Tentu saja Pek-lui-kong menjadi terkejut, juga, kecewa karena tadinya
dia sudah merasa girang dan bangga bahwa dia mampu menandingi bahkan mendesak dan
nyaris merobohkan iblis yang dikenal dengan nama si Raja Kelelawar itu! Akan tetapi,
kini puteri Menteri Ho itu mengatakan bahwa orang itu bukanlah si Raja Kelelawar! Tentu saja dia
terkejut dan kecewa. Dia menengok dan melihat bahwa Ho Pek Lian,
Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tempat itu.
Sementara itu, iblis yang sedang berjongkok memeriksa kawannya yang terluka,
terkejut meli-hat si cebol telah mengejarnya, maka diapun me-loncat dan siap menghadapi
serbuan lawan yang amat tangguh itu. Pada saat itu, ada suara gemu-ruh angin pukulan melanda
dirinya, dari samping. Karena dia tadi memperhatikan ke arah si cebol, dia tidak tahu bahwa di
sampingnya ada seorang lawan lain, maka kini diapun cepat mengangkat tangannya menangkis.
"Bresss !" Maling itu terdorong ke bela-
kang oleh tenaga yang amat hebat. Celaka, pikir-
nya. Ada seorang lagi yang memiliki ilmu sedemi-
kian hebatnya. Kesempatan untuk meloloskan diri
bersama kawannya sungguh menjadi semakin ti-
pis lagi. Cepat dia mengangkat muka memandang
dan ternyata orang yang melepaskan pukulan sakti
yang amat hebat itu adalah seorang nenek!
Memang, sesungguhnya penyerang itu adalah Siang Houw Nio - nio yang juga baru
keluar dari ruangan dalam di tingkat tertinggi, bersama de-ngan kakek pendeta itu.
Nenek ini memang sedang berada di situ, dan melihat ada orang berpakaian hitam yang dikejar oleh
si cebol, iapun sudah dapat menduga bahwa tentu dua orang berpakaian hitam itulah yang
dikabarkan menjadi pengacau yang sering muncul di kompleks istana, maka iapun segera mengirim
pukulan tadi. "Adikku sabar dulu jangan sembarangan turun tangan !" Pendeta tua yang bukan
lain adalah Bu Hong Sengjin itu berkata halus. Pendeta itu sedang memeriksa maling
wanita yang terluka. Ketika Pek Lian tadi melihat maling pria yang terenggut kedoknya, segera ia
dapat mengenal pria muda yang tampan itu. Maka iapun cepat menge-jar ke atas dan kini ia
menghampiri maling pria yang ternyata merupakan seorang pemuda tam-pan yang jangkung, usianya
duapuluh tahun lebih. "Bu - taihiap ......!" serunya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pemuda itu memang Bu Seng Kun, yang di-kenal oleh Pek Lian sebagai putera Bu Kek
Siang keturunan murid Sin-yok-ong si Tabib Sakti itu. Seperti telah diceritakan di
bagian depan dari ki- sah ini, setelah Bu Kek Siang tewas, "barulah Bu Seng Kun dan adiknya, Bu Bwee
Hong, mengeta- hui dari surat peninggalan kakek itu bahwa mere-ka sesungguhnya bukan putera dan
puteri Bu Kek Siang, melainkan cucu keponakan pendekar itu. Ayah kandung mereka adalah
seorang pangeran yang bernama Pangeran Chu Sin yang ditawan oleh pasukan pemerintah,
sedangkan ibu mereka yang She Bu, keponakan dari Bu Kek Siang, telah tewas. Jadi, mereka itu
adalah Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong dan mereka berdua meninggalkan tem-pat tinggal mereka
untuk pergi mencari ayah mereka yang lenyap setelah ditawan oleh pasukan pemerintah!
Melihat Pek Lian, pemuda itu segera mengenal-nya. "Ah, kiranya Ho - siocia
berada di sini ?" Dia memberi hormat dan menoleh ke arah maling wa-nita yang rebah terluka. "Dan
dia adalah adikku." Lalu dengan sedih dia mendekati adiknya, menge-luarkan sebutir pel dan berkata,
"Kau cepat telan pel ini."
Dibukanya topeng adiknya dan dimasukkannya pel itu ke mulut adiknya. Semua orang
terkejut dan kagum. Kiranya yang bersembunyi di balik kedok hitam itu adalah
wajah yang luar biasa can-tiknya ! "Enci Hong !" Pek Lian cepat berlutut dan memegang tangan dara cantik yang sudah
dikenalnya dengan baik itu.
Gadis yang terluka itu setelah menelan pel dari kakaknya, dapat bernapas agak
longgar dan iapun tersenyum melihat Pek Lian.
"Anak nakal, engkau di sini dan ikut mengeroyok kami pula ?" katanya dan
senyumnya membuat semua orang seolah-olah melihat bulan bersinar penuh, demikian manis dan
cemerlangnya wajah itu. "Ah, enci, mana aku tahu bahwa Bu-taihiap dan engkau
" Kenapa ...... ah, kenapa ?"
tanya Pek Lian yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu,
Siang Houw Nio- nio sudah bertanya kepadanya,
"Nona Ho, siapakah sesungguhnya mereka ini ?" "Locianpwe, mereka ini adalah
kakak beradik she Bu, yaitu Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong. Mereka ini adalah keturunan
dan ahli waris dari Sin - yok - ong, putera dan puteri dari mendiang pendekar besar Bu Kek
Siang cucu murid Sin-yok-ong locianpwe " "Hemm !" Tiba-tiba pendeta Bu Hong Sengjin berseru dan diapun memberi isyarat
kepada nenek Siang Houw Nio - nio, lalu berkata, "Mari
kita semua bicara di dalam. Ternyata dua orang
muda ini adalah orang - orang sendiri. Dan nona
ini perlu istirahat dari lukanya "
Yang ikut masuk adalah selain kakek pendeta itu sendiri, Siang Houw Nio-nio dan
dua orang muridnya, Pek Lian, kakak beradik she Bu itu, dan Pek-lui-kong Tong Giak. Kim-i-
ciangkun lalu keluar dan memerintahkan semua pasukan untuk mengundurkan diri dan merawat
mereka yang menderita luka dalam perkelahian tadi. Suasana menjadi hening dan tenang kembali
setelah tadi terjadi keributan yang menggegerkan itu.
Biarpun pukulan dari si cebol itu amat hebat, namun berkat sinkangnya yang kuat,
Bwee Hong tidak sampai terancam maut. Apa lagi ia telah menelan pel mujijat dari
kakaknya, bahkan Pek-lui - kong sendiripun lalu memberi obat luka yang khusus untuk melawan bekas
pukulannya kepada gadis itu. Maka nona itu dapat ikut bercakap - ca-kap, walaupun ia harus
duduk dengan punggung diganjal bantal dan kaki dilonjorkan, dijaga oleh kakaknya, dan oleh
Pek Lian. "Nah, sekarang ceritakanlah semua," kata pen-deta tua itu dengan suara halus.
"Kalau kalian be-nar putera dan puteri dari pendekar Bu Kek Siang, lalu mengapa kalian datang
ke sini seperti dua orang maling " Ceritakan sejujurnya, karena hanya itulah yang akan
menerangkan duduknya perkara dan akan dapat membebaskan kalian dari kecuri-gaan dan hukuman."
Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Bu Seng Kun bercerita dengan singkat
namun jelas, "Kami berdua mengunjungi kompleks istana seperti dua orang pencuri,
sesungguhnya bukan dengan iktikad buruk. Kami sedang melakukan penyelidik-an untuk mencari
seseorang yang dahulu pernah tinggal di kompleks istana. Kami tidak tahu apakah dia masih
hidup, akan tetapi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kami tahu bahwa dia pernah menjadi seorang bangsawan di sini. Akhir nya, setelah
mencari selama beberapa hari, kami menemukan istananya dan kami mengunjunginya, tentu


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dengan diam - diam karena tak mungkin kami dapat berkunjung dengan terang-terangan..."
Siang Houw Nio - nio yang sejak tadi meman-dang tajam penuh perhatian, merasa
berhak untuk bertanya karena yang dikunjungi kedua orang muda ini adalah rumahnya yang
diberikan kepada dua orang muridnya. "Siapakah bangsawan yang kalian cari itu ?"
"Dia seorang pangeran, namanya Chu Sin"
Kalau nenek Siang Houw Nio-nio dan kakek Bu Hong Sengjin terkejut, maka mereka
tidak memperlihatkan perasaan ini pada wajah mereka yang tetap tenang saja itu.
Bahkan, nenek Siang Houw Nio-nio lalu bertanya cepat, "Lalu mengapa kali-an mendatangi gedung itu,
memasuki ruangan penyimpan abu leluhur dan bersembahyang di sana ?"
"Kami hendak bersembahyang kepada arwah leluhur dari Pangeran Chu Sin"
Pek Lian, Pek in, Ang In dan juga Pek - lui - kong Tong Ciak mendengarkan dengan
heran karena mereka tidak tahu siapa yang dimaksudkan dengan Pangeran Chu Sin itu.
Akan tetapi, kini kakek Bu Hong Sengjin bertanya, dan suaranya agak gemetar,
"Mengapa kalian menyembahyangi leluhur Pangeran Chu Sin?"
Kembali kakak beradik itu saling pandang, lalu
Seng Kun menarik napas panjang. Tidak ada jalan
lain untuk menyatakan bahwa mereka tidak ber-
maksud buruk, yaitu hanya dengan membuka raha-
sia mereka. "Beliau adalah ayah kandung kami,
maka leluhur beliau berarti leluhur kami,pula "
Sebelum nenek Siang Houw Nio - nio yang ter-kejut sekali itu sempat bicara dan
hanya meman-dang kepada kakak sepupunya dengan melongo, kakek pendeta itu sudah
bertanya lagi, "Bagaima-na baru sekarang kalian datang mencari ayah kan-dung kalian di sini ?"
"Kami mendengar akan rahasia tentang ayah kandung kami itu baru saja setelah
ayah... eh, setelah paman kakek kami Bu Kek Siang meninggal, melalui surat wasiat
peninggalannya. Kakek Bu suami isteri meninggal dunia dan begitu kami ta-hu akan riwayat ayah kandung
kami, lalu kami da-tang ke kompleks istana untuk mencarinya."
Pendeta itu menarik napas panjang dan meman-dang kepada dua orang muda itu
berganti - ganti, kemudian dia menunduk dan sungguh mengheran-kan hati semua orang yang
hadir kecuali Siang Houw Nio-nio ketika nampak beberapa butir air mata turun dari sepasang
mata itu. "Seng Kun, Bwee Kong, akulah orangnya yang memberi nama - nama kepada kalian itu
karena akulah Pangeran Chu Sin yang kalian cari - cari."
Seng Kun terperanjat dan memandang kepada
kakek itu dengan mata terbelalak, akan tetapi ia
didahului oleh adiknya yang sudah menjerit, "Ayah
!!" Dan gadis itu sudah turun dari kursi tem-
pat ia bersandar dan menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Bu Hong Sengjin. Juga Seng Kun cepat
menjatuhkan diri berlutut. Suasana menjadi sunyi
dan mengharukan sekali, yang terdengar hanya
isak tangis Bwee Hong. Sambil duduk, kakek itu lalu meraih pundak. Suasana menjadi semakin mengharukan.
Akan tetapi, agaknya kakek itu telah dapat menguasai hatinya dengan mudah.
"Seng Kun, Bwee Hong, kalian adalah anak-anak kandungku. Duduklah dan tenangkan
hatimu, biar aku menceritakan semua riwayat kita agar mereka yang menyaksikan
pertemuan antara kita ini dapat mengerti duduknya perkara. Kurasa hanya bibi kalian Siang
Houw Nio - nio sajalah yang tahu akan rahasiaku ini."
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XI SAMBIL menyusut air mata karena girang dan terharu, dua orang muda itu lalu
duduk kembali dan tentu saja kini pandang mata mereka terhadap kakek pendeta itu
berrobah sebagai pandangan anak terhadap ayahnya. Bu Hong Sengjin lalu bercerita secara singkat.
Di waktu mudanya, dia belajar ilmu silat dan juga ilmu Agama To. Ayahnya, seorang
pangeran tua, menghendaki agar dia menjadi seorang panglima. Akan tetapi, biarpun telah
mempelajari ilmu - ilmu silat tinggi dan mem-buatnya lihai sekali, Pangeran Chu Sin lebih suka
memperdalam Agama To dan lebih suka berkelana di antara rakyat. Apa lagi karena pangeran ini
memiliki pandangan yang berbeda dengan ke-luarga istana. Dia melihat penindasan yang dilaku-kan
oleh istana terhadap rakyat. Dia melihat keme-wahan yang berlimpah - limpah di kalangan
istana dan melihat kesengsaraan yang memilukan di ka-langan rakyat. Hal inilah yang membuat dia
eng-gan untuk menyumbangkkan tenaganya membantu istana. Ayahnya marah sekali dan dia dianggap
sebagai pemberontak atau penentang keluarga istana. Kemudian ayahnya minta bantuan
pasukan dan para pembesar untuk mencarinya. Akan tetapi, Pangeran Chu Sin yang sudah
bertekad tidak mau pulang itu melarikan diri dan merantau sampai jauh dan sampai bertahun - tahun.
Bahkan di da- lam pelariannya ini dia bertemu dengan seorang gadis kang-ouw dengan siapa dia
saling jatuh cinta. Kemudian dia menikah dengan gadis she Bu itu, lalu suami isteri ini
mengasingkan diri ke gunung, hidup tenteram dan bahagia sampai terlahirlah Seng Kun dan Bwee Hong.
Akan tetapi, pada sua-tu hari, para penyelidik dari istana dapat menemu-kan jejaknya dan
tempat tinggal mereka diserbu. Biarpun Pangeran Chu Sin dan isterinya menga-muk dan melawan,
namun jumlah pasukan amat banyak dan setelah melihat isterinya tewas dalam pengamukan itu,
Pangeran Chu Sin menjadi lemas dan menyerah dengan syarat bahwa kedua orang anaknya tidak
diganggu. "Demikianlah, anak - anakku dan kalian yang menjadi saksi pertemuan ini," kakek
itu menutup ceritanya. "Ketika itu, Seng Kun baru berusia tiga tahun dan Bwee Hong
berusia satu tahun. Aku menyerahkan diri dan ditangkap. Kedua orang anak ini benar tidak
diganggu dan dipelihara oleh paman Bu Kek Siang, yaitu paman dari isteriku. Aku di-bawa ke
istana dan karena aku tetap tidak mau memegang pangkat untuk membantu pemerintah, aku dipenjarakan
dan ayahku sampai meninggal karena sakit dan menyesal. Bertahun-tahun aku berada di
dalam penjara di mana aku memperdalam ilmu silat dan ilmu agama. Akhirnya, aku
dibebas-kan dan menjadi pendeta di kuil ini, bahkan ke-mudian diangkat menjadi kepala kuil dan
penasihat kaisar seperti sekarang." Tentu saja peristiwa geger mengejar maling itu berakhir dalam suasana gembira
karena pertemuan antara ayah dan kedua orang anaknya itu. Yang ta-hu akan rahasia itu
hanyalah Siang Houw Nio - nio seorang, karena memang Bu Hong Sengjin selama ini merahasiakan
nama mudanya. Orang-orang yang tidak mengenalnya di waktu kecil tentu tidak ada yang
tahu bahwa di waktu mudanya, ketua kuil itu bernama Pangeran Chu Sin. Siang Houw Nio - nio
tentu saja tahu akan hal ini karena kakek itu ada-lah saudara sepupunya yang dikenalnya sejak
ke-cil, bahkan iapun tahu akan petualangan kakek itu di waktu mudanya. Hanya saja, nenek inipun
sa-ma sekali tidak tahu bahwa kakak misannya itu, yang menjadi tosu yang dihormati, ternyata
di wak-tu mudanya ketika bertualang telah menikah, bahkan mempunyai dua orang anak !
Tentu, saja peristiwa yang menggembirakan itu disambut oleh Siang Houw Nio - nio
dan Pek - lui-kong Tong Ciak yang segera menghaturkan selamat kepada Bu Hong
Sengjin. Dan dua orang muda-mudi yang berbahagia itupun diterima dengan senang hati oleh Siang
Houw Nio - nio, Pek In dan Ang In untuk tinggal di istana itu, karena mereka berdua itulah yang
sesungguhnya berhak atas rumah nenek moyang mereka itu. Dengan hati rela Siang Houw Nio - nio
dan kedua orang muridnya menyerahkan kembali gedung istana mungil itu kembali kepada yang
berhak dan kakak beradik she Chu itu tinggal di istana itu sebagai tuan dan nona rumah !
Akan tetapi karena Seng Kun dan Bwee Hong sejak kecil dididik dengan keras, mere-ka menjadi orang-
orang sederhana yang tidak menjadi angkuh dengan perobahan dalam kehidup-an mereka
itu. Mereka sendiri yang membujuk agar Pek In dan Ang In bersama para dayang untuk terus
tinggal di istana itu, para dayang itu tetap bekerja di situ dan kedua orang murid Siang Houw Nio-
nio itu tinggal di KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
situ sebagai sahabat-saha-bat baik, bahkan dapat dibilang masih merupakan
kerabat mereka karena bukankah nenek Siang Houw Nio - nio itu adalah bibi mereka sendiri " Dan
mereka semua segera dapat menjadi akrab, karena memang di dalam batin orang - orang muda ini
terdapat watak pendekar yang gagah perkasa se-hingga mereka itu sudah memiliki persamaan
dalam selera.** * * Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong telah dibawa menghadap kaisar oleh ayah mereka.
Kaisar sendiri menjadi tertegun dan heran, akan tetapi ju-ga merasa gembira
bahwa Bu Hong Sengjin ter-nyata mempunyai dua orang anak yang demikian cakap dan gagahnya.
Atas persetujuan kaisar pula maka Seng Kun dan Bwee Hong secara sah menjadi ahli
waris istana nenek moyang mereka, dan kaisar lalu memberikan sebuah istana lain untuk Siang
Houw Nio - nio dan murid - muridnya. Beberapa hari kemudian, Chu Bwee Hong yang menjadi nona rumah itu menerima
kunjungan Pek In dan Ang In, sedangkan Pek Lian memang untuk sementara menjadi
tamunya yang amat disayang-nya. Empat orang gadis yang cantik - cantik ini duduk di
serambi depan. Dari tempat mereka du-duk bercakap - cakap nampak bunga - bunga yang sedang mekar.
Musim semi sudah tua, akan tetapi bunga-bunga di taman itu malah mekar semua sehingga
suasana menjadi amat indah dan segarnya di pagi hari itu. Mereka berempat bercakap - cakap
sambil menghadapi hidangan teh hangat dan kueh-kueh.
Chu Bwee Hong nampak cantik jelita bukan main. Apa lagi dalam pandang mata kaum
pria, sedangkan Pek Lian, Pek In dan Ang In sendiri diam - diam kagum bukan main.
Wajahnya demiki- an cemerlang, dengan garis - garis yang hampir sempurna, kulit mukanya halus
licin dan seolah- olah mengeluarkan kehangatan dan kesegaran yang mempesona. Rambutnya hitam
gemuk, dengan anak-anak rambut yang berjuntai dari dahi, bah-kan sinom yang tumbuh di
depan telinga itu me-lengkung ke bawah seperti lukisan seniman yang pandai. Alisnya hitam
kecil melengkung seperti dilukis, padahal dara ini tidak pernah mempergu-nakan alat penghitam
alis. Sepasang matanya begitu bening dan tajam, kini sinarnya mengandung keba-hagiaan dan
kegembiraan, tentu karena pertemuan-nya dengan ayah kandungnya. Ia sudah sembuh sama sekali
dari akibat pukulan Pek - lui - kong dan nampak segar dari sepasang bibirnya yang merah
membasah, merekah seperti sekuntum bunga mawar diselimuti embun pagi itu. Juga kedua
pipinya, yang menonjol di bawah mata, kemerahan seperti buah tomat masak. Hidungnya kecil
mancung, cupingnya dapat bergerak lembut dan lucu menam-bah kemanisan wajahnya. Memang,
Bwee Hong adalah seorang dara yang cantik jelita dan manis.
Pek Lian dan kedua orang murid Siang Houw Nio - nio itupun merupakan dara - dara
yang can-tik, terutama sekali Pek Lian yang memiliki kecan-tikan yang khas, dengan
mukanya yang agak lon-jong, dagu meruncing halus, hidung mancung dan mata yang lebar dan
tajam, kecantikan yang me-ngandung kegagahan, keberanian dan penuh de-ngan gairah dan
semangat hidup. Akan tetapi, ke-cantikan Bwee Hong memang luar biasa sekali se-hingga
nampak menonjol di antara mereka. Empat orang gadis itu bercakap - cakap dengan gembira sekali, terbawa oleh
suasana segar di pagi hari itu. "Aku dan Kun-koko sudah lebih dari sepuluh hari berkeliaran di
daerah istana ini," terdengar Bwee Hong bercerita mengenang kembali semua pengalamannya yang
menyeramkan. "Kami berusaha mencari ayah yang belum pernah kami kenal, hanya bermodalkan
pesan terakhir mendi-ang kakek Bu Kek Siang itu."
"Engkau sungguh beruntung, enci Hong," kata Pek Lian. "Kalian mengunjungi tempat
yang amat berbahaya dan terjaga kuat, menyelidiki sampai berhasil menemukan rumah


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga nenek mo-yang ayahmu tanpa menemukan kesukaran."
Bwee Hong tersenyum manis dan mengangguk. "Memang kami beruntung sekali. Ketika
kami ber-dua tiba di sini, jagoan - jagoan istana kebetulan sekali sedang
bertugas keluar. Andaikata pada waktu itu di istana terdapat Beng - goanswe, atau Tong -
ciangkun, atau bibi Siang Houw Nio-nio, sudah pasti kami berdua akan tertangkap basah. Betapapun
juga, beberapa hari yang lalu kami pernah kepergok oleh Kim - i - ciangkun sehingga terjadi
geger. Untung kami masih dapat melolos,-kan diri.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Bagaimanapun juga, kami merasa amat kagum akan kepandaian nona Chu," kata Pek
In memuji. "Kim - i - ciangkun yang amat lihai dengan pukulan apinya itu masih
dapat nona kalahkan, sungguh sukar dapat dipercaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Nona
yang begini muda dan cantik jelita dan lembut, mampu mengalahkan seorang jagoan tangguh
seperti dia. Bukan main !" "Apa lagi kakakmu itu, nona. Masih semuda itu sudah mampu melayani jagoan istana
nomor satu seperti Tong - ciangkun sampai begitu lama. Sung-guh luar biasa sekali,
agaknya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Yap - suheng kami."
'"Tap - suheng kalian itu siapakah ?" tanya Bwee Hong. Ia sudah pernah mencela
sebutan kedua orang murid bibinya ini kepadanya yang bersikap hormat dan menyebut nona,
akan tetapi kedua orang gadis itu tetap menyebutnya nona. Bagai manapun juga, Bwee Hong
adalah puteri pangeran dan keponakan Siang Houw Nio - nio, maka tentu saja sudah layak kalau
dihormati. Mendengar pertanyaan ini, Ang In tertawa. Bi-arpun ia dan cicinya selalu
bersikap hormat, akan tetapi keakraban mereka terhadap Bwee Hong membuat mereka seperti sahabat-
sahabat biasa saja. "Hi-hi-hik, kalau nona hendak mengetahui, tanya saja kepada Pek-cici. Ia
pacarnya ......!" "Hushh ! Siapa bilang ?" Pek In berseru dengan kedua pipi berobah merah sekali.
Tangannya me-nyambar ke depan untuk mencubit lengan adiknya, akan tetapi ribut-ribut
disertai kekeh tawa ini terhenti seketika ketika mereka melihat muncul-nya Seng Kun dari halaman
depan. Bwee Hong segera bangkit dan menyongsong kakaknya.
"Koko, ada berita apakah " Kenapa sepagi ini engkau sudah dipanggil menghadap ke
dalam ?" Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan adik-nya, dengan sikap sopan Seng Kun
lebih dulu mem-beri hormat dan menyapa tiga orang gadis itu yang juga cepat membalas
salamnya. Kemudian mereka semua duduk menghadapi meja dan Seng Kun lalu bercerita.
"Malam tadi Hek-ciangkun, utusan Beng-goanswe pulang. Seperti diketahui, dia
diutus untuk menjemput ayah nona Ho dari penjara.
Juga Beng - goanswe sudah pulang dari tempat Wakil Perdana Menteri Kang. Menteri
Kang me-nunda keberangkatannya ke kota raja memenuhi panggilan sri baginda
karena ...... karena Hek-ciangkun telah gagal untuk membawa Menteri Ho ke kota raja."
"Eh ......!! Kenapa" Apa yang telah terjadi?"
Pek Lian berseru kaget, mukanya berobah agak pucat.
Melihat ini, Seng Kun segera menghibur. "Harap nona tidak menjadi gelisah.
Karena ayahmu pasti tidak kurang suatu apa."
"Akan tetapi ...... apa yang terjadi dengan ayah-ku ?"
"Menteri Ho telah diculik orang sebelum Hek-ciangkun tiba untuk menjemputnya.
Para penjaga tidak ada yang mengetahuinya. Jeruji - jeruji baja pintu penjara itu
melengkung semua sehingga ta-wanan dapat lolos. Memang luar biasa sekali. Ha-nya orang yang
memiliki kekuatan luar biasa saja yang akan mampu membuat jeruji - jeruji baja yang amat tebal itu
melengkung semua tanpa ada seorangpun penjaga yang mendengarnya."
"Ahh, ayahku ...... !!" Pek Lian mengeluh.
"Akan tetapi, mengapa engkau dipanggil oleh sri baginda, koko ?" tanya lagi Bwee
Hong kepada kakaknya. "Sri baginda menjadi sangat marah. Beliau ingin mengutus seseorang yang akan
dapat menemukan kembali Menteri Ho dan mengantarkannya ke kota raja dalam keadaan
selamat. Utusan itu haruslah seorang yang belum dikenal baik oleh golongan sesat maupun
oleh golongan yang menentang kem-balinya para menteri di istana, karena kalau tugas merampas
kembali Menteri Ho ini diketahui pihak lawan, sebelum beliau dapat diselamatkan, mungkin
keselamatannya akan terancam. Sri baginda tidak berani mengutus Tong - ciangkun,
Beng- goanswe maupun bibi Siang Houw Nio - nio yang sudah banyak dikenal. Pula, istana
perlu dijaga karena keadaan yang seperti sekarang ini sungguh meng-khawatirkan. Kemudian sri
baginda memilih aku atas petunjuk Tong - ciangkun. Hal itupun disetujui oleh ayah dan
oleh bibi. Nah, di sinilah aku, siap untuk berangkat melaksanakan tugas itu."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Aku juga akan pergi untuk mencari ayah !" Ho Pek Lian yang wajahnya pucat itu
berseru, di dalam suaranya terkandung kedukaan dan kegelisahan. Baru saja ia terbebas dari
kedukaan ketika sri baginda memutuskan untuk membebaskan ayahnya dan sekarang, kembali ayahnya
dilanda malapetaka, diculik orang tanpa diketahui siapa penculiknya dan apa maksudnya
menculik orang tua itu. "Aku juga ikut!" kata Bwee Hong penuh sema-ngat. "Kapan kita berangkat, koko ?"
"Hari ini juga, nanti kalau matahari telah terbe-nam. Akan tetapi sebaiknya
kalau kalian tidak usah ikut." "Aku harus pergi mencari ayah !" Pek Lian ber-seru. "Kalau engkau tidak mau
mengajakku, aku akan pergi mencari sendiri!"
"Dan akupun akan menemani adik Lian kalau engkau tidak mau mengajakku, koko !"
sambung Bwee Hong. Seng Kun tahu akan kekerasan hati adiknya dan diapun sudah
mengenal watak Pek Lian, maka dia menarik napas panjang dan mau ti-dak mau meluluskan
juga permintaan mereka. Dia bisa melarang adiknya, akan tetapi tidak mungkin dapat
melarang Ho Pek Lian yang hendak mencari ayahnya. Dan diapun tidak enak hati kalau harus
melakukan perjalanan berdua saja dengan Pek Lian.
Setelah bercakap - cakap beberapa lamanya, Pek In dan Ang In minta diri. Mereka
khawatir kalau - kalau guru mereka mencari mereka dan mereka mengucapkan selamat jalan
kepada mereka bertiga. "Selamat jalan, nona Ho," kata Pek In. "Hati-hatilah di jalan karena sekarang
ini di dunia ba- nyak berkeliaran orang - orang jahat yang amat sakti."
"Semoga engkau bisa cepat mendapatkan kem-bali ayahmu dalam keadaan sehat dan
selamat, no-na Ho," kata pula Ang In.
Pek Lian mengucapkan terima kasih dan iapun segera bersiap-siap bersama Bwee
Hong. Menu-rut petunjuk dan saran Seng Kun, mereka bertiga melakukan perjalanan sambil
menyamar sebagai petani - petani. Pemuda ini berpendapat bahwa akan lebih mudah dan aman,
menjauhkan gangguan-gangguan kalau tidak melakukan perjalanan sebagai nona - nona cantik
yang berpakaian mewah. Muka mereka dilapisi bedak yang agak kehitaman, ram-but mereka
dibikin kusut dan di atas telinga diberi warna keputih- putihan sehingga kedua orang
dara jelita ini berobah menjadi wanita-wanita petani setengah tua yang sederhana. Seng Kun
sendiri juga menyamar sebagai seorang petani, lengkap dengan caping dan jenggot palsu.
Setelah matahari terbenam, berangkatlah tiga orang keluarga "petani" itu
meninggalkan kota raja. Mereka bertiga sengaja menguji penyamaran mere-ka dengan melewati para
penjaga, akan tetapi ter-nyata tidak ada seorangpun yang mengenal atau mencurigai mereka.
Mereka keluar dari pintu ger-bang kota raja dan berhenti di tempat yang sepi.
"Ke mana kita akan menuju untuk memulai de-ngan tugas mencari ayah ini " Kita
buta sama sekali dan tidak tahu dengan siapa kita berhadapan, ke mana kita harus mencari,"
Pek Lian berkata dengan sikap bingung.
"Benar kita sama sekali tidak tahu siapa pen-culiknya. Apakah para penculik itu
termasuk orang-orang yang menyukai Menteri Ho ataukah justeru mereka itu yang memusuhinya
" Kalau yang menculik itu para pendekar yang ingin menyelamatkan Menteri Ho dari
hukuman, ahh... tugas kita menjadi ringan sekali dan keselamatan Menteri Ho tidak perlu
dikhawatirkan. Akan tetapi bagaimana kalau sebaliknya ?" Bwee Hong juga mengemukakan pendapatnya.
"Biarlah kita menggantungkan diri kepada nasib dan kewaspadaan kita. Mari kita
menuju ke dusun di depan sana, siapa tahu di suatu tempat kita akan bertemu dengan
petunjuk," jawab Seng Kun dan mereka lalu menuju ke dusun yang sudah nampak dari situ. Sebuah
dusun yang tidak begitu jauh dari kota raja. Senja telah tiba ketika mereka memasuki dusun
itu dan mereka lalu memasuki sebuah kedai teh yang berada di tepi dusun. Seng Kun mengajak dua
orang gadis itu singgah karena dia tertarik sekali melihat betapa warung itu penuh dengan
tamu. Padahal biasanya, kedai teh yang menjual makanan tentu hanya dikunjungi orang di-waktu
pagi atau siang saja. Seolah-olah ada ter-jadi sesuatu di situ dan hal inilah yang menarik
perhatiannya. Karena di bagian dalam telah penuh, mereka bertiga duduk di meja yang terdapat di halaman
kedai. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kemunculan tiga orang ini tidak menarik perhatian karena mereka dianggap tiga
orang dari keluarga petani biasa saja dan banyak pula di situ terdapat petani - petani
sederhana. Di halaman depan itupun telah duduk beberapa orang tamu yang bercakap - cakap.
Ketika pelayan datang mengantar teh dan bak-pao yang mereka pesan, secara sambil
lalu Seng Kun berkata, "Wah, tamunya banyak sekali, ber-arti banyak rezeki!"
Pelayan itu menaruh teh dan makanan di atas meja dan tertawa senang. "Memang
benar, dan ke datangan kalian bertigapun merupakan rezeki ka-lian. Ketahuilah bahwa
setelah diumumkan oleh pemerintah bahwa Menteri Ho dan para menteri lainnya diampuni,
juga Menteri Kang kabarnya hendak bertugas kembali, kami merasa seperti ke-jatuhan bulan
saking girangnya. Majikan kami telah mengatakan kepada para langganan bahwa pada hari ini kami
mengundang semua orang untuk mengadakan pesta untuk bersyukur atas kurnia kaisar terhadap
Menteri Ho dan Menteri Kang yang kami cinta dan hormati. Jadi, kalian bertigapun kami
anggap sebagai tamu dan ... ha-ha, tentu saja mendapatkan minuman dan makanan gratis!" Pelayan itu
meninggalkan mereka sambil tertawa gembira, dan menghampiri meja lain. Sua-sana di situ
memang seperti orang dalam pesta. Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan Pek Lian menundukkan mukanya untuk
menyembunyikan kedua matanya yang menjadi merah dan basah. Dengan kekuatan
batinnya ia dapat mem-bendung tangisnya. Setelah diusapnya air matanya dengan ujung baju
tanpa ada yang melihatnya ke-cuali dua orang kawan yang duduk di depannya, iapun mengangkat
muka. "Kenapa kau menangis ?" Bwce Hong berbisik. "Ayahmu demikian disuka dan dipuja
orang ! Li-hat itu di dalam, hampir segala lapisan masyarakat begitu gembira menyambut
berita dibebaskannya ayahmu."
"Benar, nona. Semestinya nona gembira dan berbahagia mempunyai seorang ayah yang
demiki-an disuka orang," kata Seng Kun menyambung ucapan adiknya.
Pek Lian menghela napas panjang dan balas berbisik, "Semestinya demikian, akan
tetapi mereka itu tidak tahu kalau orang yang mereka rayakan kebebasannya itu kini sama
sekali tidak bebas lagi, bahkan tidak diketahui hidup matinya."
Diingatkan akan hal ini, kakak beradik itupun menjadi prihatin dan diam saja.
Suasana di dalam kedai itu benar-benar gembira dan terdengarlah orang - orang di dalam
ruangan itu bersorak - sorak dan berteriak, "Hidup Menteri Ho ! Hidup Mente-ri Ho !"
Seorang laki - laki yang berjenggot tebal naik ke atas sebuah kursi sambil
mengisyaratkan dengan kedua tangan ke atas agar semua orang suka memperhatikannya. Keadaan
menjadi hening dan laki-laki itupun berkata dengan suara yang lantang,


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara - saudara, marilah kita bergembira me-rayakan kebebasan para tokoh
pembela rakyat dari kecurangan musuh - musuh rakyat. Menteri Ho mendapat pengampunan
kaisar dan Wakil Perdana Menteri Kang kembali akan memimpin kita. Negeri akan menjadi
tenteram dan damai seperti semula, dan kita akan hidup tenang dan terbebas dari pada
penindasan!" Semua orang bersorak-sorak. Bwee Hong me-ngerutkan alisnya dan berkata kepada
kakaknya dan Pek Lian, "Orang itu sungguh lancang dan berani. Tempat ini dekat
sekali dengan kota raja. Kalau kaki tangan para menteri korup yang memu-suhi Menteri Ho dan
menentang keputusan kaisar mendengar, bukankah akan terjadi keributan dan mungkin orang
itu takkan diampuni ?" Akan tetapi ketika Bwee Hong memandang kepada Pek Lian, ia terkejut
dan berbisik, "Adik Lian, ada apakah " Engkau melihat siapa ?"
"Ssttt hati-hatilah kalian di sini terdapat pengunjung lain, seorang anak buah
dari Raja Kelelawar ......" "Ehh " Di mana ?" tanya kakak beradik itu dengan kekagetan yang ditekan.
"Sstt lihat di sudut halaman sebelah kanan," kata Pek Lian tanpa memandang ke arah
orang yang ditunjuknya. Kakak beradik itupun meman-dang secara sepintas lalu
saja dan mereka melihat adanya seorang laki - laki yang usianya kurang le-bih tigapuluh lima
tahun, berwajah ganteng dengan pakaian yang indah mewah. Pria itu tersenyum - se-nyum, wajahnya
selalu berseri dan berlagak, tangan-nya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) dari
emas yang kadang-kadang diisapnya. Seng Kun dan Bwee Hong tidak mengenal pria itu, akan
tetapi tentu saja Pek Lian mengenalnya karena orang itu bukan lain adalah Jai-hwa Toat-beng-
kwi, satu di antara tokoh sesat yang dahulu pernah menghadiri pertemuan rahasia pemunculan
Raja KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Kelelawar. Itulah penjahat cabul yang lihai sekali, dan yang menjadi anak buah
San - hek - houw si Harimau Gunung, pembantu utama Raja Kelelawar. Sebagai anak buah San - hek -
houw, tentu saja penjahat cabul ini juga menjadi kaki tangan Raja Kelelawar.
Mendengar bahwa pria itu adalah anak buah Raja Kelelawar, tentu saja Seng Kun
menjadi curi-ga. Dia tidak mempunyai pegangan untuk meng-ikuti jejak penculik Menteri
Ho, maka setiap pe-tunjuk penting baginya. Dan kalau ada anak buah Raja Kelelawar di situ, belum
tentu penjahat ini tidak akan dapat memberi petunjuk. Peristiwa-peristiwa kejahatan harus
diselidiki di antara pen-jahat, pikirnya. Oleh karena itu, Seng Kun diam-diam memperhatikan pria
tampan pesolek itu. Ketika melihat laki - laki itu bangkit berdiri dan pergi, diapun segera mengajak
dua orang gadis itu untuk membayanginya. "Akan tetapi itu berbahaya sekali," bisik Pek Lian. "Dia amat lihai, dan siapa
tahu dia akan menemui kawan-kawan si Raja Kelelawar yang lain ?"
"Justeru itu kebetulan sekali. Siapa tahu para penjahat itu menculik ayahmu,
nona " Dan seti-daknya, mungkin mereka itu tahu siapa penculik yang kita cari." Mendengar
jawaban Seng Kun ini, Pek Lian terpaksa lalu mengikutinya karena iapun ingin sekali dapat
cepat menemukan ayahnya. Akan tetapi setelah tiba di tempat sunyi, si pen-jahat cabul itu mengerahkan
ginkang dan berlari cepat sekali. Seng Kun dan Bwee Hong juga ber-lari cepat mengejar
sehingga terpaksa Pek Lian yang tingkat ginkangnya paling rendah itu harus mengerahkan seluruh
tenaganya sampai ia terengah-engah. Baiknya orang yang dibayangi itu tidak mengambil jalan hutan
karena cuaca sudah mulai gelap. Penjahat itu mengambil jalan melalui semak-semak dan padang
ilalang sehingga mereka bertiga dapat membayanginya dari jauh dengan mudah tanpa bahaya
kehilangan dia. Setelah tiba di jalan besar lagi, penjahat itu menuju ke sebuah rumah yang
berdiri terpencil di tempat sunyi, di tepi jalan yang membelah pa-dang ilalang itu. Ternyata bahwa
rumah itu ada- lah sebuah kedai minuman yang biasa, dipakai untuk tempat peristirahatan dan
persinggahan para pe-dagang yang akan memasuki kota raja. Di setiap sudut kedai itu dipasangi
lampu besar sehingga keadaan di sekitarnya menjadi terang. Kedai itu nampak su
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** nikan da-tangnya orang lain.
"Harap kalian suka bersembunyi dulu di sini. Aku akan mengambil jalan memutar
dan pergi ke warung itu sebagai tamu yang kemalaman dan ingin minum untuk mencoba
mendengarkan percakapan mereka dan kita melihat perkembangannya nanti," kata Seng Kun kepada
dua orang gadis itu. "Baik, akan tetapi engkau berhati-hatilah, koko," kata adiknya.
Ketika Seng Kun tiba di kedai itu dari arah lain, dia disambut oleh pelayan dan
tanpa menarik perhatian dan sambil lalu dia lalu duduk di meja yang tidak berjauhan
dengan meja penjahat cabul bersama dua orang wanita itu. Akan tetapi, mereka sudah berhenti
berbicara, atau agaknya mereka memang tidak ingin percakapan mereka terdengar orang lain, maka
mereka menghentikan percakap-an dan memperhatikan petani setengah tua yang baru datang
itu. Ketika melihat bahwa petani itu hanya seorang petani sederhana yang kehausan, mereka
kelihatan lega. Dan pada saat itu, Seng Kun melihat munculnya sebuah gerobak yang di-tarik oleh
seekor kuda dan dikusiri seorang pemuda.
"Heii, A - piang ! Kenapa arakmu sangat ter-lambat ?" pemilik warung yang
setengah tua dan agak gemuk itu keluar dari kedainya dan meng-hampiri gerobak yang berhenti
di pekarangan ke-dai. "Sudah dua hari persediaan arakku yang baik habis. Tamu - tamuku sudah
mengomel!" Pemilik kedai itu menegur, kemudian dia melihat pemuda yang turun dari tempat
kusir dan tertegun. "Eh, siapa engkau ?"
"Lo-pek, A-piang berhalangan datang karena dia jatuh salut, itulah sebabnya
pengiriman arak menjadi terlambat dan sekarang aku yang disuruh menggantikannya
mengantarkan pesananmu." Pemuda itu bertubuh tinggi tegap dan dengan kaku, agaknya merupakan pekerjaan
yang tidak biasa baginya, dia mulai menurunkan guci - guci arak dari gerobaknya.
Pemilik kedai sejenak KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ter-mangu, akan tetapi lalu mengangguk - angguk dan mulai menghitung guci - guci
arak yang diturunkan itu, membuka tutup beberapa buah guci, mencium bau arak yang
terhembus keluar dan mengangguk-angguk puas. Siapapun kusirnya, bukan hal yang penting baginya.
Yang penting, araknya bagus! Seng Kun yang duduk tak jauh dari meja penjahat cabul,
mendengarkan akan tetapi mengambil sikap tidak perduli dan mengeluh memijati kedua kaki-nya
seperti orang yang kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh.
Sementara itu, ketegangan hebat terjadi dalam diri Pek Lian. Matanya terbelalak
dan jantungnya berdebar-debar keras, darahnya berdenyut ken-cang. Bwee Hong sendiri
sampai terkejut ketika merasa betapa lengannya dicengkeram orang.
"Eh, eh, kau kenapa ?" bisiknya kepada Pek Lian.
"Enci Hong... aku mengenal pemuda kusir pedati itu !" suara Pek Lian terdengar
tergetar. "Ehemm... , begitukah ?" Matanya yang bening itu melirik ke arah kawannya dan
mulutnya yang indah itu tersenyum penuh arti. "Dia memang seorang pemuda yang ganteng dan
gagah, pantas kalau menjadi kenalan baikmu."
Seketika muka Pek Lian menjadi merah sekali. "Ih, kau jahat, enci Hong! Siapa
bilang dia tam-pan dan gagah " Aku kan cuma bilang kalau aku mengenal dia. Perkara dia
ganteng atau bopeng, siapa perduli ?"
"Wah - wah, kenapa jadi marah - marah " Aku juga cuma bergurau ! Maafkan, ya ?"
Bwee Hong yang berada dekat sekali dengan. Pek Lian itu mendekatkan mukanya dan
mencium pipi teman-nya. "Siapa sih dia " Putera seorang pedagang arak?" tanya Bwee Hong, suaranya kini
sungguh - sungguh. "Entahlah, aku sendiri tidak tahu benar siapa dia itu. Dia sangat baik, akan
tetapi wataknya sangat aneh. Mungkin... mungkin dia itu berpenyakit gila!"
"Lhoh... "!" Dara cantik itu tertegun.
"Benar, enci, aku tidak bergurau. Sudah tiga kali aku bertemu dengan dia dan
selalu dia menolong dan menyelamatkan aku. Pertama ketika kami serombongan menghidang
iring-iringan kereta yang membawa ayahku. Pemuda itu yang menjadi kusir keretanya. Ke dua
ketika kami dikejar oleh Beng-goanswe, pemuda itu menjadi pelayan di kuil. Dan sekarang
dia menjadi penjual arak." Pek Lian memandang dan jantungnya berdebar aneh. Rasanya, ingin
ia keluar dan berlari menghampiri pemuda itu. Tadipun, hampir ia berteriak memanggil nama A-
hai! Rasa girang yang aneh dan luar biasa menyelinap di dalam hatinya ketika ia melihat A-hai.
Padahal, selama ini, jarang ia teringat kepada pemuda itu.
"Hemm, kalau begitu dia mencurigakan," kata Bwee Hong yang kini juga memandang
penuh perhatian melihat pemuda itu menurun- nurunkan guci arak.
"Engkau belum mendengar semua, enci. Kau-lihat langkahnya itu " Seperti seorang
biasa yang sama sekali tidak mengenal ilmu silat, bukan " Nah, itulah keadaannya kalau
dia sedang waras, seorang pemuda biasa yang baik hati dan lemah, yaitu ti-dak tahu ilmu
silat walaupun dia boleh jadi memi-liki tenaga dasar yang amat kuat. Akan tetapi ja-ngan ditanya
kalau dia menjadi kumat! Dia se-perti menjadi gila, menangis dan marah-marah, akan tetapi juga
seketika dia menjadi seorang yang sakti. Bahkan Tong - ciangkun sendiri, jagoan no-mor satu
di istana itu, terpaksa mundur ketika ber-adu tangan dengan dia."
"Wah! Benarkah itu " Kalau begitu, betapa lihainya dia !" Nona cantik itu
terkejut sekali dan kini pandang matanya terhadap pemuda kusir itu berobah, menjadi kagum dan juga
penuh keheran-an. Kalau bukan Pek Lian yang bicara, tentu ia akan mentertawakan. Dari
gerak-geriknya ketika menurunkan guci - guci arak itu, jelas terlihat bah-wa pemuda kusir itu
tidak pandai ilmu silat dan agaknya tidak tahu bagaimana mempergunakan tenaga dalam. Buktinya dia
menurunkan guci - gu-ci arak itu mengandalkan tenaga otot saja. Ia sen-diri bersama dengan
kakaknya yang lihai pernah berhadapan mengeroyok si cebol Tong - ciangkun. Dan akhirnya mereka
berdua harus mengakui kelihaian si cebol itu. Dan sekarang ia mendengar bahwa pemuda kusir
itu mampu membuat si ce-bol terdorong mundur " Betapa mustahilnya hal ini. Kini dengan
tajam sepasang mata yang in-dah bening itu memandang ke arah wajah si pemuda kusir. Mata
seorang ahli silat dan ahli pengobat-an, menilai dan memeriksa. Kini ia melihat bahwa perawakan
pemuda itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
memang tepat apa bila menjadi seorang ahli silat yang tangguh. Tapi gerakan -
gerakan pemuda itu sungguh tidak me-yakinkan.
"Enci, engkau adalah keturunan Sin - yok - ong dan gurumu adalah seorang ahli
pengobatan yang paling hebat di dunia. Tahukah engkau penyakit apa yang membuat orang
kadang-kadang menga-muk dan kadang - kadang waras, kemudian lupa diri sama sekali seperti
pemuda itu " Bisakah eng-kau atau kakakmu mengobati dan menyembuhkan pemuda itu ?"
"Entahlah, tidak mudah dikatakan begitu saja. Harus lebih dulu memeriksanya
dengan teliti. Akan tetapi, kalau penyakit gila itu akibat rusaknya syaraf - syarafnya, atau
karena guncangan jiwanya, memang tidak mudah menyembuhkannya."
Jawaban ini meragukan dan mengecewakan hati Pek Lian. Betapa akan bahagia rasa
hatinya kalau ia dapat melihat A - hai disembuhkan sama sekali dari penyakit
lupa diri dan gila itu. Biarpun dia tidak akan pernah bisa menjadi sakti kembali ka-rena sudah tidak
dapat kumat

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gilanya, namun pemuda itu tidak akan menderita seperti itu. Ke-adaan lalu
menjadi sunyi, Pek Lian tenggelam ke dalam lamunannya membayangkan nasib A - hai, sedangkan Bwee Hong
masih terkesan akan cerita tentang pemuda aneh itu. Mereka berdua meman-dang ke arah
kedai itu. A - hai, pemuda itu, setelah selesai menurunkan semua guci arak, agaknya menanti
pembayaran dan untuk itu dia melepaskan lelahnya sambil duduk di dekat lampu
minyak yang tergantung di atas. Pemilik warung itu sedang membereskan barang-barang
dagangannya yang baru diterimanya itu, dibantu pelayan mengangkut guci - guci arak itu ke dalam
kedai, langsung ke gudang yang berada di bagian belakang. Mata pemuda itu menyapu ke arah
warung, meneliti setiap wajah untuk me-lihat kalau - kalau ada yang dikenalnya.
Tiba-tiba kesunyian malam itu dipecahkan oleh suara derap kaki kuda yang datang
ke arah kedai itu. Semua orang menoleh ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Di bawah
remangnya sinar bintang - bintang di langit, nampak serombongan penunggang kuda yang
menuju ke kedai itu. Yang terdepan adalah dua orang laki - laki gemuk pen-dek berjenggot lebat
yang mukanya hampir mirip satu sama lain. Di pinggang mereka tergantung sepasang golok
pendek. Di belakang mereka terdapat sepuluh orang yang agaknya adalah anak bu-ahnya, semua
bersenjata dan lagak mereka kasar dan bengis, jelas membayangkan bahwa mereka bukanlah golongan orang
baik-baik melainkan le-bih pantas kalau digolongkan orang - orang yang biasa mengandalkan
kekuasaan melakukan kekeras-an dan kekejaman untuk memaksakan kehendak mereka. Dari tempat
persembunyiannya, Pek Lian dan Bwee Hong yang merupakan dua orang dara perkasa
dan sudah banyak mengenal orang - orang dari dunia hitam, maklum bahwa rombongan ini tentu
merupakan gerombolan kaum sesat yang jahat. Maka merekapnn bersikap waspada karena agaknya
di tempat itu datang banyak gerombolan jahat.
"Ha-ha-ha, kalian memang gesit, agaknya telah tiba lebih dulu dari pada kami!''
dua orang laki-laki gemuk pendek itu berteriak dari pung-gung kuda ketika mereka melihat
Jai-hwa Toat- beng-kwi si Penjahat Cabul dan dua orang wanita itu. "Mana kawan-kawan yang
lain, apakah belum ada yang datang ?"
Duabelas orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan dua orang gendut
itu segera menghampiri Jai - hwa Toat - beng - kwi yang men-jawab pertanyaan mereka
tadi, "Baru kami yang datang. Duduklah dulu sambil menanti kedatang-an teman - teman yang
lain." Dua orang pemimpin rombongan itu meman-dang ke kanan kiri dan ketika mereka
melihat Bu Seng Kun yang menyamar sebagai seorang petani setengah tua, seorang di antara
mereka menggerakkan kepala dengan dagu menunjuk ke arah pe-tani itu sambil bertanya
kepada Si Cabul, "Teman-mukah dia ?"
Si Cabul melirik ke arah Seng Kun lalu menggeleng kepala dengan sikap tak acuh.
Tadi ketika petani itu masuk, dia telah melakukan penyelidik-an dan keadaan petani
itu tidak mencurigakan. "Bukan, dia hanya tamu biasa yang kelaparan dan kehausan."
Mereka lalu bercakap - cakap dengan suara berbisik- bisik, kadang - kadang kalau
mereka hanya bersendau- gurau, suara mereka keras dan mereka tertawa-tawa sehingga Seng
Kun yang berada di meja lain, juga dua orang dara pendekar yang mengintai, mengerti bahwa
bisikan- bisikan itu adalah percakapan penting yang menyangkut urus-an mereka pada waktu
itu. Malam itu nampak semakin menegangkan karena tiga orang pendekar itu seperti merasakan
adanya suatu ancaman, sesuatu yang akan meledak dan yang akan terjadi. Tidak percuma
saja para KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
penjahat berkumpul di tempat itu pada malam hari itu. Pasti ada apa - apanya dan
agaknya urusan itu tentu penting sekali. Apa lagi ketika mereka melihat datangnya orang
yang semakin banyak. Seluruhnya terdiri dari orang - orang yang bersikap galak, bertampang
serem dan bertingkah kasar. Dari sikap mereka, di antaranya banyak yang saling mengenal
dan pertemuan itu mendatangkan kegembiraan di an-tara mereka. Seng Kun dapat menduga bahwa
memang pertemuan itu sudah direncanakan dan go-longan hitam itu tentu datang berkumpul
atas pang- gilan atau perintah pimpinan mereka untuk meren-canakan sesuatu yang penting.
Maka diapun me-rasa beruntung sekali dapat secara kebetulan hadir di situ. Sayangnya, di
antara mereka itu tidak ada seorangpun yang membocorkan rahasia urusan atau rencana mereka itu.
Warung itu menjadi penuh dan orang - orang baru masih saja berdatangan. Melihat
keadaan ini, pemilik warung itu merasa khawatir juga. Seorang bermuka hitam brewok yang
matanya lebar dan bengis, berteriak, "Heii, tukang warung! Di mana kami harus duduk " Engkau
bisa menyediakan bangku untuk petani busuk, apakah tidak dapat melayani, kami dengan
baik ?" Mata yang lebar itu melotot ke arah Seng Kun yang menyamai sebagai petani setengah
tua dan yang duduk dengan tenangnya itu.
Pemilik warung melihat gelagat tidak baik. Karena dia melihat bahwa petani itu
telah selesai makan minum, maka bergegas dia menghampiri Seng Kun dan berkata dengan suara
lunak dan membujuk, "Harap saudara suka meninggalkan meja ini agar dapat dipakai oleh
orang lain. Lihat saja sendiri, tamu begini banyak dan tempat men-jadi kurang. Tentu saudara tidak
ingin menyusah-kan aku, bukan ?"
Sejak tadi, Seng Kun tentu saja sudah merasa tidak suka kepada mereka itu. Akan
tetapi dia datang bukan untuk mencari keributan atau memancing perkelahian, melainkan untuk
melakukan penyelidikan. Dia sedang melaksanakan tugas yang amat penting, jauh lebih
penting dari pada urusan yang menyangkut perasaan pribadi. Maka, biarpun dia merasa tidak senang
dan penasaran sekali karena dia diusir dengan halus, namun dia mengangguk dan sambil
mengerutkan alis menahan rasa jengkel diapun bangkit berdiri. Dirogohnya saku bajunya untuk, membayar harga
makanan dan minuman, akan tetapi pemilik warung yang merasa bahwa dia telah mengusir
tamu, cepat menggerakkan tangan menolak. "Tak usah bayar..., engkau sudah baik sekali mau
meninggalkan tempat ini " Kalau menurut perasaannya, tentu saja Seng Kun menjadi semakin penasaran dan
tentu dia akan memaksa dan membayar harga makanan dan mi-numan. Bukan wataknya untuk
merugikan lain orang. Akan tetapi dia teringat bahwa kalau dia melakukan hal ini, maka
tentu akan menimbulkan kecurigaan. Harga diri tidak pantas dipegang ter-lalu tinggi oleh
seorang petani sederhana. Maka diapun tersenyum dan memaksakan diri untuk mengucapkan terima
kasih, lalu pergilah dia keluar. Dengan sikap sambil lalu dan tidak acuh, juga santai seperti seorang petani yang
kecapaian, Seng Kun yang keluar dari rumah makan itu lalu duduk di atas bangku butut yang
berada di luar warung. Di emper itu telah duduk pemuda kusir gerobak yang tadi datang mengirim
arak. Pemuda itu memandangnya dan mereka saling pandang. Seng Kun maklum bahwa pemuda
ini bukan seorang di antara para gerombolan itu, ma-ka diapun tersenyum dan
mengangguk. Pemuda itu, seperti telah dikenal oleh Pek Lian dari tempat persembunyiannya,
memang benar adalah A - hai, pemuda aneh yang pernah dijumpai gadis itu be-berapa kali.
Biarpun A-hai sedang menderita penyakit yang aneh, namun perasaannya masih peka dan diapun agaknya
dapat merasakan bahwa petani setengah tua yang duduk tak jauh darinya itu adalah
seorang baik - baik, tidak seperti para tamu yang berdatangan di situ, yang kelihatan bengis - bengis
dan jabat - jahat. Maka diapun balas mengangguk dan tersenyum kepada petani yang dianggapnya ramah
itu. "Banyak sekali tamu malam ini," kata Seng Kun sambil lalu, menoleh ke dalam di
mana para tamu memenuhi semua meja dan mereka itu bercakap-cakap dan bersendau - gurau
secara kasar sekali."Ya," A-hai mengangguk. "Amat banyak dan ramai."
Mendengar jawaban singkat dengan suara te-nang ini, Seng Kun memandang dan
memperhatikan. Pemuda ini sungguh tampan, pikirnya, dan memi-liki bentuk tubuh
yang begitu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kokoh membayang-kan tenaga besar. Seorang pemuda yang bertulang baik sekali dan
diapun menjadi tertarik. "Saudara juga tamu ?" tanyanya.
A-hai menggeleng kepala. "Bukan, saya pem-bawa arak untuk warung ini. Itu
gerobakku." Dia menunjuk ke arah gerobak dan Seng Kun meman-dang guci-guci arak yang
berjajar di halaman wa-rung, tak jauh dari tempat mereka berdua duduk.
Kini agaknya sudah tidak ada lagi tamu baru yang datang, akan tetapi warung itu
telah penuh sesak, bahkan banyak di antara mereka yang tidak kebagian bangku sehingga
mereka hanya bercakap-eakap dan minum arak sambil berdiri saja. Mereka mulai kelihatan
tidak sabar, agaknya ada orang yang mereka nanti - nantikan dan yang belum juga muncul.
Beberapa orang yang tidak kebagian tempat duduk, menjadi tidak sabar dan merekapun keluar dari
warung itu, berjalan - jalan hilir - mudik di pelataran warung sambil mengomel. Mereka semua
membawa cawan penuh arak yang mereka minum sambil menanti di luar.
Dua orang laki-laki kasar yang pakaiannya kumal dan berbau busuk karena tak
pernah diganti dan dicuci, berkali-kali terendam keringat, men-dekati Seng Kun dan A-
hai yang sedang duduk mengobrol di emper warung.
"Sudah terlalu lama kalian duduk di sini, sekarang giliran kami. Hayo berikan
bangku-bangku itu kepada kamil" bentak seorang di antara mereka.
Seng Kun maklum bahwa melayani orang-orang seperti ini sama artinya dengan
membuat keributan, maka diapun bangkit berdiri, akan tetapi A-hai kelihatan tak senang
hati dan mengerutkan alis-nya, memandang dengan mata terbelalak dan ma-rah.
"Pergi kau ! Mau apa melotot?" bentak orang ke dua dan diapun sudah memegang
lengan A - hai dan menarik pemuda itu dari atas bangkunya. A-hai terhuyung dan hendak
marah, akan tetapi tangannya sudah dipegang oleh Seng Kun yang menariknya dengan halus
Dua Musuh Turunan 5 Candika Dewi Penyebar Maut I X Dendam Empu Bharada 9
^