Pencarian

Gema Di Ufuk Timur 10

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 10


lalu. "Inilah hamba, Bunda."
Yistyani membelai rambut anaknya.
"Tampaknya kau ingin menyampaikan sesuatu, Anakku."
Wanita itu memancing. Kendati tubuhnya sudah amat lemah,
namun pikirannya belum benar-benar punah. Wilis ragu. Ia
toleh semua orang satu per satu. Terutama Mas Ayu Prabu.
Seolah meminta pendapat. Dengan mata Mas Ayu Prabu
memberi isyarat, ia setuju dengan apa yang akan diutarakan
Wilis. "Ibunda, hamba cuma ingin penegasan, apakah Bunda
merestui keinginan Ananda?"
Sekilas Yistyani nampak bermendung. Ia ingat permintaan
Wilis untuk melamar Mas Ayu Prabu beberapa waktu lalu. Kini
anak muda itu mengulangi kendati samar. Mata Yistyani
mencari-cari pegangan. Namun kala beradu dengan mata
Tantrini, tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang keluar dari
mata itu. Kekuatan yang melindas dadanya, makin tertekan.
Seperti kejatuhan batu yang gunung-gemunung. Napasnya
tiba-tiba menjadi sesak. Padahal mata itu tulus dan suci.
Kesucian seorang istri, ibu, dan brahmani yang menyatu.
Sedang aku" Ah... "Ampuni, daku... Wilis. Bukankah aku telah berdoa banyak
demi kemenangan dan kesejahteraanmu" Restu yang mana
lagi yang kauperlukan" Perang belum lagi usai. Adakah
Ananda merencanakan sesuatu yang lain?" Yistyani berusaha
mengebaskan himpitan. Kembali Wilis mengernyitkan dahinya. Terbenam dalam
pertimbangan selanjutnya. Membuat ia terjebak di dalam
sebuah pertanyaan yang melingkar dan sulit dijawab. Apa
yang tersembunyi di hati Bunda" Hal yang sama dialami oleh
Ayu Prabu. Ia sudah menceritakan pada Tantrini semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesulitan Wilis untuk melamarnya. Tersandung pada ibunya
sendiri. Mengapa wanita itu sepertinya tidak rela" Tantrini
sendiri tidak tahu mengapa demikian" Atau mungkin... naluri
kewanitaannya berbicara di lubuk hatinya yang jauh. Jauh.
Jauh sekali. "Kanda, mungkin hati junjungan kita sedang tertindih oleh
masalah asmara. Adakah kita yang tua ini masih sempat
mempersembahkan sesuatu yang baik buat seorang
junjungan?" Tantrini mencoba.
Kembali Yistyani berdebar. Ia tatap wajah adiknya. Hati-
hati sekali wanita itu menyatakan pendapatnya. Ah, jika dia
tahu apa sebabnya aku tak mengizinkan anakku kawin dengan
anaknya apakah ia tidak akan mengutuki suaminya" Apakah
jiwanya tidak terguncang" Ia tidak akan rela adiknya
terguncang oleh apa yang ia ketahui.
"Baiklah," putusnya kemudian, "aku tidak akan keberatan, asal kalian mendapat
izin dari Wong Agung Wilis di Bali.
Karena itu usahakanlah kalian berdua menghadap Yang
Mulia...." "Jadi hamba harus menyeberang ke Bali?" Wilis
menegaskan. "Harus. Hanya beliau yang bisa memberikan restu. Apabila
tidak ada restu dari beliau, janganlah kalian melanjutkan niat
kalian berdua." "Terima kasih, Ibunda. Hamba akan menghadap Yang
Mulia Wong Agung Wilis di Mengwi."
Yistyani lega dengan jawaban itu. Rasanya terlepas dari
beban yang menindihnya. Ia kemudian menyapukan
pandangnya kepada semua orang yang berdiri di sekelilingnya.
Ketika matanya beradu dengan mata Ayu Tunjung, tiba-tiba
wajah itu seperti menarik ingatannya pada masa lalu. Di mana
ia sedang bersama Ayu Candra atau Dyah Nawangsasi,
permaisuri Blambangan. Berdiri jauh di seberang sana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terbungkus awan-awan putih. Terbayang kala keduanya
berusaha membangun kembali Blambangan dari puing-puing.
Wanita yang begitu anggun dan dikagumi, tapi kala terdesak
oleh hal yang sangat sulit, maka ia menggunakan
keperempuanan sebagai senjatanya. Sama seperti
Nawangsurya saat ini. Namun Nawangsurya tidak punya laskar
sebagai kekuatan pendukung, akibatnya ia di pihak yang
kalah. Ah, betapa sakitnya anakku andai mengambil Mas Ayu
Tunjung menjadi istrinya dan kelak gadis ini juga seperti
ibundanya anumerta, mempertahankan semua miliknya
dengan keperempuanan. Ternyata anaknya tidak salah pilih.
Ayu Prabu tentunya adalah seorang wanita yang teguh dan
setia seperti ibunya. Tapi jika kaulihat ayahnya, oh, ia juga
ayahmu, Nak. Mata Yistyani beralih ke lain lagi. Kini beradu
kembali dengan mata adiknya. Beberapa bentar. Sukmanya
serasa berayun-ayun. "Adikku...." Ia menggapai wanita itu. "Ampuni aku...." Air mata tersembul
perlahan dari balik kelopak matanya. Lirih
suaranya. Tantrini terkejut. Tidak pernah ia melihat kakaknya
selemah itu. Maka ia maju dan menciumnya.
"Pahit dan manis telah kaulalui dengan baik. Kau sendiri
mengajar padaku tentang bagaimana menghadapi hidup. Lalu
apa lagi yang harus aku maafkan?" Tantrini makin nampak
agung di usia senja. Seperti halnya Dewi Laksmi dari surga.
"Aku sudah habis, Adikku. Mentariku telah tenggelam di
ufuk barat. Biarlah sekarang gema suara suamimu muncul di
ufuk timur, untuk memimpin semua orang Blambangan.
Gema! Kendati cuma gema. Tapi biarlah terus memantul di
setiap telinga. Bahkan di setiap dinding hati kawula. Sehingga
saatnya akan tiba mereka sadar dari mimpinya dan bangkit
mengusir penjajah!" Makin lemah suara Yistyani. Makin pudar
sinar matanya. Makin tersengal napasnya. Tantrini makin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terpekur dalam doanya. Semua pasrah pada Hyang Maha
Qiwa, sang Pencabut dan Penentu.
"Kau... akan tahu semuanya jika... jika... kalian... telah...
berkumpul kembali dengan... sua..." Putus sudah napas
Yistyani. Kalimat terakhirnya tidak usai. Namun Wilis menduga
ada rahasia pribadi ibundanya yang belum terungkap. Selesai
masa perkabungan tentu ia akan menyeberang ke Mengwi.
Amanat ibundanya harus dilaksanakan. Sekaligus ia perlu
mengungkap rahasia yang tersirat di dalam pesan terakhirnya.
*** Kembali Umbul-umbul hitam menghias wajah tiap kota di
Blambangan. Schophoff bertanya-tanya siapa lagi yang mati
ini" Perkabungan kematian Jagapati sudah berlalu. Baru
beberapa hari, kini umbul-umbul hitam naik lagi. Jika demikian
masih ada lagi deretan orang kuat memimpin mereka. Tentu
bukan Jagapati orang pertamanya. Kendati ia adalah kepala
pemerintahan. Tidak kurang-kurang orang tampil sebagai
pemuka, bahkan menjadi kepala pemerintahan tapi tidak
pernah punya pendapat apa pun, karena sebenarnya ia tak
lebih dari wayang yang dimainkan oleh dalangnya. Dan
Belanda memang suka sekali menciptakan wayang-wayang
yang dapat menyuarakan apa yang telah diputuskan di
Batavia. Atau juga apa yang telah lebih dulu diputuskan di
Nederland. Rahminten tidak memperhatikan untuk siapa umbul-umbul
hitam itu dikibarkan. Tapi ia terbenam dalam kedukaan
tersendiri. Akhirnya ia menyadari bahwa ia telah
menjerumuskan kakaknya pada suatu keadaan yang tidak
pernah dimauinya. Tentu kakaknya Nawangsurya akan selalu
menyesal sepanjang hidupnya, karena diperistri seorang yang
telah tua dan berwajah...
Kekecewaan membuat wanita itu menelusuri kembali
lereng-lereng hidupnya yang telah terlewati. Ia seperti
tersentak. Setumpuk kesalahan terpampang di pelupuk mata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ah, ia berusaha menggapai kembali kebesaran keluarga
Tawang Alun dengan damai. Dan kesalahan telah membuat
apa yang digapainya cuma angan yang berdiri di luar
jangkauannya. Dan makin hari Jaksanegara makin sulit
mendengar pendapatnya. Apakah ia harus keluar dari istana
Jaksanegara dan bergabung dengan laskar Bayu agar dapat
merebut kembali istana Pakis yang saat ini diawasi oleh
pasukan Madura itu" Kendati Rasamala berjanji tidak akan
menduduki istana dan daerah Pakis. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa seluruh isi istana diboyong ke Bangkalan
dengan dalih untuk melindungi mereka. Siapa akan percaya"
Tidak! Rahminten tidak percaya. Juga kepada Jaksanegara
ia telah kehabisan kepercayaan. Sekarang ia mengambil
keputusan akan merebut kembali saudara-saudaranya dari
tangan Rasamala. Karena merasa bersalah. Maka kini ia harus
berusaha sedapat-dapatnya. Tapi apa dayanya" Aku bukan Sri
Maha Ratu Tribuana Tunggadewi dari Majapahit yang mampu
mengerahkan beratus ribu laskar. Ia wanita semata wayang.
Baiklah, apa yang ada padaku adalah modal untuk
menjangkau tujuan. Jika Ken Dedes bisa, mengapa aku tidak"
Aku pikir, aku tidak terlalu dungu. Walau mungkin tidak
seperti Dedes. Juga tidak terlalu buruk, kendati tidak secantik
Dedes. Kepergian Nawangsurya memberikan pukulan batin
tersendiri bagi Jaksanegara. Walau ia sudah mengawini
Rahminten, tapi keinginannya untuk mempersunting
Nawangsurya tidak pernah punah. Maka kepergian
Nawangsurya ke Madura cukup mengguncangkan batinnya.
Tapi ia tidak berdaya untuk mempertahankan wanita itu. Ia
tidak memiliki prajurit sebanyak Rasamala. Itu sebabnya ia
sering marah pada istri-istrinya. Apalagi pada anak-anaknya.
Bahkan tidak jarang ia menempeleng istrinya. Juga pada
Rahminten. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa salahku maka Suaminda menempeleng?" Rahminten menyatakan
ketidakterimaannya. Darah Tawang Alun membuat ia tersinggung. Mata Jaksanegara
merah karena minuman. "Kau tidak pernah membantu aku menegakkan cita-cita kita untuk memperoleh
kembali cakra-warti Tawang Alun."
"Suaminda tak pernah berusaha meraih cakra-warti itu,"
Arinten kesal. "Nyatalah bagiku, Suaminda cuma pandai memburu kesenangan pribadi
dan memanjakan nafsu semata." Masih memegangi pipinya sambil melanjutkan
ketidak-terimaannya. "Iblis! Setan betina!" Jaksanegara mengumpat. "Jika kau dulu mau membujuk
kakakmu kawin dengan aku, maka tidak mungkin Pakis diduduki Rasamala yang tua
itu." "Jika Suaminda seorang bertanggung jawab dan berani, Pakis tidak lumat seperti
sekarang ini." Arinten tidak kalah sengit. Ia mulai kehilangan ketakutan kendati
dibentak. "Kau membantah aku" Pilih! Diam atau hukuman mati untukmu?"
Rahminten terdiam. Tapi kekesalan hatinya makin dalam.
Jaksanegara makin jarang memperhatikannya. Makin jarang juga memasuki purinya.
Maka Arinten makin mengerti bahwa nasibnya sudah ditentukan oleh Jaksanegara.
Baik! Aku atau kau yang harus punah, tekadnya. Kini ia mencoba sesekali
berjalan-jalan. Tetap saja tidak ada perhatian. Juga tidak ada kecurigaan. Kini
Rahminten mempunyai banyak kesempatan untuk menemui para selir yang sudah tak
terjamah lagi. Tentu tujuannya adalah menyatukan hati. Dan orang-orang yang
memiliki penderitaan yang sama, akan lebih mudah menyatukan diri. Dan karena
itulah terjadi saling pengertian antara mereka. Tidak seorang pun mengusik jika
seorang di antara mereka menerima tamu para penjaga atau prajurit-prajurit
Kompeni yang gagah itu. Juga Rahminten mulai berani
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertingkah. Ia merasa, pasti akan dilindungi teman-temannya.
Tapi Rahminten tidak akan mengundang para prajurit seperti
selir-selir itu. Sebab ia punya tujuan tertentu. Bukan untuk
mencari kepuasan. Dan betul, setelah berulang mencari kesempatan, maka
suatu hari ia dapat berbincang dengan Juru Kunci justru waktu
Jaksanegara sedang pergi ke Lateng. Walau mereka sering
bersua, namun tidak mudah dapat leluasa berbincang. Apalagi
sebenarnya Rahminten tidak suka pada orang itu kendati
masih terhitung muda jika dibanding Jaksanegara. Di samping
mukanya bopeng, dan agak gemuk, orang ini sebenarnya
berdarah sudra. Bapa Anti adalah sudra yang mensatriakan
diri dengan caranya sendiri. Mencoba membuka jalan ke
Batavia bagi Mas Nuwong. Ah, bukan orang ini yang ia tuju. Tapi bagaimana cara
mendekati Schophoff. Ia anggap Juru Kunci akan dapat jadi
jalan yang paling lurus. "Yang Mulia mewakili suami hamba?" Rahminten
memandang tajam pada Juru Kunci. Orang itu menghormat
seperti biasanya jika sedang berhadapan. Wanita itu sudah
tidak telanjang dada lagi. Mengenakan kemben. Kuning
mencolok, serasi sekali dengan kulit yang'di-bungkusnya. Kain
penutup kaki dan tubuh bagian bawah tampak ketat sekali dan
berwarna coklat tua. "Hamba, Yang Mulia." Juru Kunci memandang tangan yang
meletakkan minuman di atas meja. Ah, jari-jarinya runcing.
"Berapa hari?" "Hamba kurang tahu. Mungkin sepekan. Karena beliau
pergi bersama Tuan Pieter Luzac untuk mengunjungi para
perwira Kompeni yang sedang sakit keras di benteng-benteng.
Terutama di benteng kota Lateng."
"Apa penyakit mereka?" Rahminten kini duduk di seberang
meja. Tidak biasa ia duduk di kursi itu. Juga tak biasa ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyuguhkan minuman kendati untuk suaminya sendiri. Juru
Kunci sendiri jadi berdebar melihat sikap Rahminten. Berkali
matanya menengok ke luar ruangan. Takut ada orang melihat
mereka. Rahminten tersenyum. Membuatnya makin kikuk.
Salah tingkah. "Eh, tidak... tidak tahu, Yang Mulia. Hemh... menurut orang
yang pernah melihat, wajah mereka berubah menjadi kuning.
Demikian pula ujung-ujung jari kaki dan tangannya. Jika
sudah seperti itu, maka sulit diobati. Mereka pasti mati."
"Itu perbuatan para dukun dan ahli teluh Blambangan."
"Yang Mulia mengerti itu?" Kini Juru Kunci memberanikan
diri menatap istri pimpinannya.
"Hamba dulu banyak kenal mereka."
"Ah, Yang Mulia.... Kebetulan, Tuan Schopoff sendiri ingin
mendapat keterangan perihal teluh-meneluh di Blambangan
ini. Yang Mulia bisa menolong hamba?"
Rahminten seperti ingin melonjak rasanya. Apalagi Juru


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kunci menceritakan bahwa Schophoff juga sering mengeluh,
sering merasa terlalu lelah dan perutnya sering mual. Juru
Kunci diminta mencarikan seorang dukun yang sanggup
diupah. "Hamba akan menolong Tuan Schophoff. Tapi tentunya
hamba harus bertemu sendiri dengan Tuan...."
"Tidak mungkin, Yang Mulia..."
"Memang tidak mungkin hamba keluar dari rumah ini tanpa
izin suami hamba. Tapi Tuan Schophoff tidak akan terhalang
oleh peraturan yang mana pun untuk datang ke tempat ini."
"Jadi, hamba harus memberi tahu bahwa Yang Mulia..."
"Ya, hamba bahkan memiliki obatnya."
"Ya, Al ah.... Baiklah sekarang juga hamba akan ke sana."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi, Yang Mulia, kendati Tuan Schophoff tak terikat oleh
hukum mana pun, hamba tetaplah istri seorang yang..."
"Itu, Yang Mulia. Tentu melanggar hukum agama kita.
Yang Mulia Jaksanegara..."
"Akan membunuh hamba. Tapi..." Rahminten mendekatkan
diri pada Juru Kunci. Mulutnya hampir menyentuh kupingnya.
Juru Kunci benar-benar tergagap kala wanita itu berbisik,
"Agar hamba tidak dibunuh oleh suami hamba, Tuan
Schophoff dipersilakan datang dengan diam-diam."
"Para penjaga akan tahu."
"Mereka tidak pernah diperkenankan masuk ke dalam puri."
Juru Kunci segera pergi, sedang Rahminten bersiap dan
bersolek dalam purinya. Cuma beberapa bentar menunggu.
Namun ia seperti tak sabar. Ingin segera memuntahkan
semua yang dimauinya. Tapi pada diri sendiri Rahminten
berkata, kau saat ini memasuki peperangan dengan caramu
sendiri. Ya, aku berperang dengan caraku sendiri.
"Selamat datang, Tuan," sambutnya pada orang bertubuh
tinggi besar yang diiringkan oleh Juru Kunci. Ah, Juru Kunci
diam-diam makin mengagumi kecantikan wanita itu. Berganti
kemben. Hitam berenda benang emas. Warna yang bertolak
belakang dengan kulitnya. Susunya nampak kian padat di balik
kain pembungkus seperti itu.
"Senang sekali bisa bertemu dengan Putri..." Schophoff
memandang tajam seperti pada boneka. Sementara
Rahminten melirik Juru Kunci sebagai isyarat untuk kembali ke
ruang kerjanya. Schophoff sudah terbiasa masuk kaputren itu.
Namun tak pernah berhadapan dengan Rahminten. Dibanding
dengan semua wanita yang pernah dikenalnya di puri itu,
ternyata Rahminten paling istimewa. Purinya berjauhan dari
lainnya. Kendati tetap dalam lingkungan satu pagar. Terbesar
dan terbaik. Dia ikuti langkah pendek-pendek wanita itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan hati tak sabar. Langkahnya jauh lebih lebar. Para putri
yang lain cuma mengintip dari balik tirai. Mereka sendiri sering
menerima tamu. Tak perlu iri. Apalagi hampir semua ingin
membalas dendam pada Jaksanegara.
"Tuan sakit?" Rahminten bertanya dalam Jawa yang baik.
"Yang Mulia Putri punya obat, kata Juru Kunci," Schophoff
berkata sambil memandangi bunga dan rumput yang tumbuh
subur dalam musim penghujan ini. Dan setiap hari kalau tidak
mendung ya hujan yang mewarnai bumi Blambangan.
"Ya." Rahminten kini membuka gerbang tamannya.
Kemudian mengajak Schophoff berjalan kembali beberapa
depa jauhnya. "Tapi kelihatannya Tuan begitu sehat." Rahminten bicara
tanpa menoleh. Membuka pintu rumah pun sendiri. Karena
para dayang pun telah ia perintahkan pergi. Ia katakan
mereka boleh beristirahat selama Jaksanegara tidak ada di
tempat. "Memang tidak begitu sakit. Tapi jika Putri punya obat,
tentunya berguna untuk para prajurit dan perwira lainnya."
Rahminten mencuci kaki terlebih dahulu sebelum masuk ke
rumahnya. Sedang Schophoff ia persilakan melepas
sepatunya. Tidak biasa memang. Tapi tidak tahu mengapa
Schophoff kali ini seperti kena sihir. Cukup besar ruangan
dalam puri itu. Di dalamnya tidak ada bilik-bilik. Tempat tidur
yang meniru milik orang Eropa di sudut kiri ruangan besar itu.
Dibatasi oleh kain putih yang diikat di tiang-tiang yang
tersedia. Perabot lain tidak ada kecuali satu kursi yang juga
meniru milik orang Eropa dan satu meja marmer. Kursi itu
cukup untuk duduk berdua. Memang tidak pernah ada tamu di
puri ini kecuali Jaksanegara. Kini Schophoff dipersilakan
duduk. Sementara Rahminten berjalan ke balik kainnya itu
sambil melepas kembennya. Mata Schophoff bagai kena tarik
barang gaib. Melotot, memperhatikan kulit punggung yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mulus. Setelah melempar kemben itu ke sudut ruangan, ia
mengambil pisang dan air gula aren untuk dihidangkan.
Rahminten tak peduli mata bule itu melahap tubuhnya.
Puaskanlah! pikirnya. "Gerah, Tuan. Di luar mendung." Kemudian tanpa ragu ia
duduk di samping Schophoff. Susu yang tanpa penutup itu kini
bergoyang-goyang seolah melambai tangan berbulu
Schophoff. Orang itu kini menghela napasnya dalam-dalam
sambil menyebut. "Memang udara gerah," katanya, kemudian menggoyang-
goyangkan kipas yang sejak tadi dibawanya.
"Ini pisang emas dan air gula aren. Nenek moyang hamba
mengajar bahwa untuk menyembuhkan orang yang kena teluh
kuning, penderita harus diberi makanan macam ini ditambah
kutu kepala wanita."
"Ya, Tuhan?" Schophoff terkejut. "Ini teluh gawat. Jika Tuan mau sembuh inilah obatnya."
"Lalu aku harus makan ini semua" Kutunya mana?"
"Nanti Tuan cari sendiri di kepala hamba."
"Ya, ampun, Tuhan!" Muka Schophoff menjadi merah.
Rahminten tersenyum. "Kenapa orang-orang Blambangan enggan berdamai
dengan..." "Tentu ada sebabnya. Apa Tuan tidak menyadari" Tuan
dulu pernah beranjangkarya, bukan" Zaman Yang Mulia
Sutanegara baru dibuang ke Ceylon?"
"Ya." Schophoff mengangguk-angguk sambil memandang
wanita itu tajam-tajam. "Lalu apa maksud Tuan Putri?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Masih ingat permintaan kawula Blambangan waktu itu?"
"Ya. Mereka minta suami Tuan Putri dibunuh dan
dikembalikannya Sutanegara atas tahta Blambangan."
Schophoff agak ragu. "Itu dia." Rahminten menatap mata Schophoff. Kagum. Biru
indah. Jenggot dan kumis lupa dicukur hari ini. Tumbuh. "Ia
memang tidak disukai kawula Blambangan. Karena itu orang
Blambangan mengangkat senjata. Jika Belanda mau berdamai
dengan kawula Blambangan, maka Belanda harus berani
menyingkirkan suami hamba. Jaksanegara."
"Tapi bukankah dia suami Tuan Putri?" Schophoff
meminum air aren itu satu gelas. Terlalu manis. Membuatnya
terbatuk-batuk. Rahminten mengupaskan pisang.
Menyuapkan-nya ke mulut Schophoff. Makin kagum ia pada
keberanian wanita itu. Semua wanita pribumi takut pada
Kompeni, tapi satu ini tidak. Setelah batuknya hilang, ia
mengulangi pertanyaannya. Tiba-tiba wajah ayu Rahminten
jadi bermen-dung. Beberapa saat ia tertunduk. Meneteskan air
mata. Isak yang mengundang rasa iba di hati Schophoff.
Tangannya tak sadar membelai rambut Rahminten.
"Mengapa menangis?"
'Tuan..." Rahminten menghapus air matanya. Schophoff
menolong mengusap dengan tangannya yang berbulu kasar.
Menimbulkan rasa geli. "Rempek tidak akan melawan VOC jika
Jaksanegara tidak merampas hamba dari tengah-tengah
keluarga. Ia telah memasang guna-guna sehingga hamba
terlena. Setelah itu, ia tidak menepati janjinya menjadikan
hamba paramesywari, Tuan. Ia sengaja menghasut Tuan
Biesheuvel agar Kompeni menyerbu Rempek. Apa tujuannya"
Ia ingin jadi raja di Blambangan tapi dengan memperkuda
VOC. Sendiri ia tidak berani menghadapi laskar Wong Agung
Wilis." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Schophoff mengangguk-angguk. Bertimbang dalam kegerahan. Apalagi setelah minum
gula aren gelas yang ketiga, semangatnya pulih kembali. Keringatnya muncul dari
tiap pori kulitnya. Ia menjadi gelisah karena gerah. Tapi Rahminten bertindak cepat.
"Jangan malu, Tuan. Memang tidak ada budak pengipas di sini," katanya sambil
melepas baju tebal Schophoff. Dan bule itu tidak bisa menolak, Rahminten
menyampirkan baju itu di sandaran kursi. Tindakannya itu bukan saja mengagumkan,
tapi sekaligus mengundang keberanian Schophoff untuk melepas celananya yang juga
membuat ia gerah. Rahminten terkesiap melihat tubuh yang dipenuhi bulu. Hatinya
berdebar. Schophoff duduk lagi di sampingnya.
"Jadi, Tuan Putri kecewa kawin dengan dia!"
"Syarat untuk kesembuhan Tuan masih kurang. Tuan harus..." Rahminten tidak
menjawab pertanyaan itu. Tapi dia segera menyerahkan serit (sejenis sisir yang
terbuat dari tanduk, gunanya untuk menangkap kutu rambut wanita) pada Schophoff
lalu menjatuhkan kepalanya ke paha si bule.
Jantung Schophoff kian berdebar. Tapi aneh. Ia menurut.
Sementara Rahminten mengelus-elus bulu-bulu yang menumbuhi paha itu.
"Akii akan singkirkan Jaksanegara," tegasnya. "Tapi tidak sekarang. Sebab, Tuan
Gubernur akan mengirimkan pasukan lagi untuk menyerbu Blambangan. Tapi dengan
syarat, mau menerima cintaku?" Schophoff tidak tahan lagi. Ia letakkan serit
itu. Ia dudukkan Rahminten dipangkuannya. Punggung Rahminten terasa geli dielus
tangan kasar Schophoff. "Tuan berjanji akan melakukan semua permintaan hamba?"
Schophoff mengangguk. Bahkan tertawa kala Rahminten minta ia mengusahakan agar
Jaksanegara mengizinkan istrinya merawat istana Pakis dan tinggal di sana. Schophoff
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
suka mendengar itu. Karena ia tahu, bahwa hubungan mereka
selanjutnya akan lebih mulus. Kompeni akan menempatkan
pasukan kecil di sana, sambil menjaga keamanan Rahminten.
Di samping itu niat untuk menyingkirkan Jaksanegara segera
ia laporkan pada Gubernur di Surabaya. Senang sekali
Rahminten mendengar itu. Hatinya lebih riang kala jenggot
Schophoff yang kasar mengiringi hidungnya menelusuri
beberapa bagian tubuh Rahminten. Berkali menggelinjang...
*** Kehijauan menghias Bumi Semenanjung. Padang ilalang
bekas peperangan dan terbakar pun tumbuh kembali. Ilalang
dan rumput muda yang mengundang kelompok rusa, kancil,
serta banteng untuk beramai-ramai mencari makan. Kelompok
demi kelompok mendatangi pusat-pusat persediaan makanan
yang ditumbuhkan oleh kekuatan gaib Hyang Maha Pencipta.
Tapi sungguh, mereka bukan satwa liar yang buas. Mereka
mampu berdamai. Karena mereka tidak menomorsatukan
kerakusan mereka. Jauh berbeda dengan satwa buas. Tidak
jarang mereka saling bertarung karena enggan berbagi rejeki.
Ingin menang sendiri dan hidup sendiri. Itu sebabnya
kepunahan lebih banyak mengancam mereka.
Sawah-sawah juga mulai menghijau. Hampir merata di
seluruh Bumi Semenanjung. Namun sawah-sawah itu
tampaknya sepi. Tidak nampak anak-anak gembala yang
mencari belut di kali-kali kecil di pinggiran sawah. Juga tak
terdengar suara dendang para gadis yang menembangkan
kidung di pematang-pematang. Cuma burung-burung kecil
dan burung-burung manyar yang memperdengarkan suaranya
di atas pohon-pohon kelapa. Kendati sudah tidak nampak lagi
umbul-umbul hitam berkibar, tapi kawula akan tetap miris dan
tidak berani keluar ke tempat-tempat umum. Apalagi ke
tempat sunyi. Sebab terlalu sering ada tembak-menembak
antara pasukan Kompeni yang berjaga di pos-pos, pasar-
pasar, di saat-saat mereka sedang beronda dengan laskar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang tidak dikenal. Selalu menimbulkan korban. Apalagi
kawula. Sering menjadi korban. Kedai-kedai pun sering
menjadi ajang. Kini Wilis mengamati langsung, betapa rapi hasil kerja
semua anak buahnya. Sambil berkuda menuju ke barat daya,
Wilis memuji Mas Ayu Prabu yang kini berkuda di sampingnya.
"Sungguh perjalanan yang menyenangkan. Ini bisa menjadi
bahan pembicaraan dengan Ramanda Wong Agung Wilis
nanti." "Banyak yang akan kita laporkan pada beliau."
"Ya. Beliau akan kagum padamu. Dan pada seluruh putra-
putranya. Bukan cuma mampu menggerakkan manusia yang
punya akal, tapi binatang yang tak dapat diajak bercakap juga
bisa diperintah. Aku lihat sekarang para petani banyak yang
memelihara lebah. Tentu sangat berguna bagi kelapa mereka
di samping jadi pelindung. Bagaimana kau bisa menemukan
akal itu?" "Semula hamba mempelajari cara hidup mereka.
Menyenangkan. Karena masyarakat lebah ternyata seperti
masyarakat manusia. Juga memiliki kasta-kasta."
"Menarik sekali, Adinda. Aku belum pernah mendengarnya."
"Dalam suatu masyarakat sempurna yang tinggal dalam
satu sarang, boleh diibaratkan suatu negeri. Negeri ini
dipimpin oleh seorang Sri Ratu. Ia memiliki tiga puluh ribu
lebah pekerja. Sri Ratu memilih makanan istimewa untuk
dirinya. Tidak sama dengan yang lain. Karena ia makan lendir
lebah-lebah jantan. Kasta yang paling sial adalah lebah
pejantan. Ia bertugas mengawini. Setelah itu diusir keluar
atau mati." "Hyang Bathara!"
"Bau suatu sarang sangat ditentukan oleh bau Sri Ratu.
Dalam sarang mereka terdapat berlaksa-laksa telur yang siap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menetas. Dan setelah putri mahkota menjadi dewasa, segera
ada peralihan kekuasaan. Dan Sri Ratu beserta laskarnya
harus mewariskan sarangnya itu, kemudian pindah mencari
atau membangun sarang baru. Itu kodrat mereka. Buat
selamanya jalan hidup mereka tidak akan berubah."
"Hyang Bathara! Engkau telah mempelajari hal-hal rumit.
Belum lagi bagaimana caranya mengajar mereka membenci
Kompeni. Kadang aku berpikir apakah calon istriku ini punya
ilmu seperti Prabu Anglingdarma yang mampu bercakap-cakap
dengan semua satwa?" Wilis tertawa.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayu Prabu juga mesem. Kaki kuda mereka melangkah
terus. "Tidak ada yang rumit, Kanda, kecuali menyelesaikan soal
cinta. Siapa pernah akan menduga bahwa untuk suatu
perkawinan kita harus memohon pertimbangan dari banyak
pihak?" "Tergantung kita sendiri sebenarnya. Yang Mulia Puger..."
"Ah, dia tak bisa dijadikan ukuran. Apalagi hamba sudah
bersumpah." Wilis diam lagi. Rambutnya tersanggul ke atas. Enak
rasanya berdandan seperti itu. Kini mereka tidak melewati
perkampungan lagi. Namun rim-ba-raya. Berbelok ke selatan.
Menuju perkampungan kecil di pantai selatan. Desa Plaosan.
Harya Lindu Segara menunggu di sana. Dan siap melayarkan
mereka ke Bali. "Ada perubahan baru di Pakis. Laskar Madura ditarik dan
diganti laskar Kompeni. Yang Mulia Rahminten memerintah di
sana sekarang," Ayu Prabu mengalihkan pembicaraan. Agar
terlepas dari masalah cinta.
"Perkembangan menarik. Apakah sudah diceraikan oleh
Adipati Jaksanegara?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak! Tapi tentunya dia sibuk dengan istri yang lebih baru
lagi. Menurut laporan Juru Kunci yang mengantar Rahminten,
sepekan kemudian barulah Jaksanegara datang mengantar
Schophoff berobat. Setelah itu Residen sering berobat sendiri
ke Pakis. Mungkin saja Jaksanegara tidak tahu, tuannya itu
sering bermalam di sana."
"Bukankah seingatku Rahminten tidak bisa lepas dari
candu" Bagaimana mungkin dia berani melepaskan diri seperti
itu" Atau dapat dari yang lain?"
"Juru Kunci dan Schophoff akan memberikan padanya.
Setidaknya ia akan mempunyai banyak uang dengan
mendapatkan kembali Pakis. Semua sawah di sana jadi
miliknya. Tentu ia akan membelinya sendiri dari para
pedagang." "Dengan uang ditangan persundalannya akan makin
menjadi-jadi," Wilis menimpali. Perjalanan dari Bayu menuju
Plaosan ternyata cukup lama. Melewati hutan-hutan yang
cuma ada jalan setapak. Menyisir jurang dan tebing. Membuat
kekaguman Wilis pada Ayu Prabu kian memuncak. Demikian
pula sebaliknya. Kala malam turun, mereka beristirahat dan
tidur beradu punggung di samping api unggun. Di alam mimpi
mereka bergandeng tangan, berpeluk mesra. Di alam nyata,
mereka melihat masih adanya dua penghalang yang tak
mungkin mereka singkirkan begitu saja. Sumpah Mas Ayu
Prabu untuk memenangkan peperangan dan amanat Yistyani.
Namun keduanya berjanji, akan menyingkirkan penghalang itu
satu per satu. Sebab satria pantang melanggar sumpah.
Perjalanan selanjutnya menjadi lebih mudah setelah bersua
dengan Lindu Segara. Seorang pemuda berkulit gelap karena
terbakar sinar mentari. Pandangan matanya tajam. Biasa
menembus cakrawala. Hidung mancung dihias tahi lalat di
samping kanannya, kumisnya tebal. Otot-otot tubuhnya kekar.
Ah, di darat tentunya ia akan menjadi pria idaman tiap wanita.
Laut, burung-burung camar, lumba-lumba, angin kencang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merupakan pemandangan baru bagi Wilis. Jauh di sudut
hatinya ia jadi iri terhadap Lindu Segara yang setiap hari
menikmati panorama ini. Dengan menikmati lautan seperti itu,
Wilis sadar betapa terbatasnya pandangan seorang gunung.
Keterbatasan akan membawa manusia ke alam keseakanan.
Seakan diri besar. Ya, seakan! Namun semua mimpi itu akan
ambruk begitu manusia berhadapan dengan dahsyatnya
ombak yang setinggi-tinggi bukit.
Debar jantung Wilis kian mengencang kala kakinya mulai
menapaki titian puri tempat tinggal Wong Agung Wilis. Setelah
melewati beberapa peraturan dan tatacara, barulah mereka
diperkenankan masuk. Bunga beraneka macam tumbuh di
seputar titian. Tidak kurang dari lima puluh langkah kedua
orang itu meniti untuk memasuki pendapa. Di ambang
pendapa berdiri seorang pemuda tanggung. Belasan tahun.
Telanjang dada. Berkalung mutiara hampir seperti milik Mas
Ayu Prabu. Aduh, luar biasa pemuda kecil ini. Rambutnya ikal.
Kulitnya kuning, giginya rapi, dipamerkan melalui sebuah
senyuman bagi penyambutan untuk keduanya.
"Dirgahayu!" sapa pemuda cilik itu. Keduanya membalas.
Anak muda itu mampu bercakap bahasa Blambangan. Walau
berbusana seperti layaknya pangeran Bali. Hidungnya
mancung. Matanya bersinar. Di belakangnya berdiri seorang
perempuan yang jauh lebih muda dari Tantrini. Tubuhnya
masih segar. Ah, Wilis tak mampu menilai. Mungkin
demikianlah wajah seorang bidadari. Tidak terlalu tinggi. Tapi
juga tidak terlalu pendek. Pantas jika mampu memberi
kekuatan hidup buat Agung Wilis. Senyum di bibir tipis
mengejankan suatu kebahagiaan di dalam jiwanya. Di sebelah
kanannya berdiri seorang yang bertubuh kurus. Rambutnya
putih. Juga kumisnya yang tebal telah memutih. Tapi sorot
matanya membuat Wilis bergetar. Ia merasa tiap langkahnya
tidak lepas dari pengamatan orang tua itu. Ia coba menatap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam usia setua itu, Wong Agung Wilis menatap hidup
dengan senyumnya. Sebagai gambaran betapa luas samudra
pengetahuan dan pengalaman yang telah terlampaui dalam
hidupnya. Seolah ia selalu melecehkan dunia dengan semua
masalahnya. "Dirgahayu!" suara orang itu parau. Matanya beradu
dengan Wilis. Hatinya terisak kendati bibirnya tetap mengulum
senyum. Ia seperti melihat cermin yang mengingatkan
wajahnya di kala muda. Ia menyebut dalam hati. Sebaliknya
Wilis sendiri seperti mendapat penglihatan tentang masa
depannya. Beberapa bentar lamanya mereka terpatri tanpa
gerak. Nyi Ayu Ratih memandang keduanya berganti-ganti.
"Yang Mulia, inikah Wilis yang menghancurkan Kompeni
itu" Sungguh belum pernah terjadi selama perang-perang
besar di Jawa." "Benar, Adinda." Wong Agung tersentak dari lamunannya.
"Anak muda ini telah membuat perkara besar untuk tanah
kelahirannya. Dia mampu memporakporandakan pertahanan
Belanda. Aku tidak." Wong Agung Wilis seperti meletakkan
dirinya di bawah kemampuannya sendiri.
"Tapi Yang Mulia telah melawan, sekalipun tidak berhasil
mengusir mereka. Pernah ditangkap, dibuang, itu
menunjukkan bahwa Yang Mulia telah berbuat sesuatu untuk
tanah kelahiran sendiri. Usaha itu jauh lebih berharga dari
Jaksanegara yang dengan sadar mengundang dan
menyerahkan negeri pada peradaban asing. Kebudayaan yang
menghancurluluhkan kebudayaan sendiri. Nah, mari kita naik."
Ayu Ratih mempersilakan mereka.
Wong Agung Wilis tertawa. Seolah ia tak punya beban apa
pun dalam hidup ini. Mungkin ia belum tahu bahwa Ibunda
sudah meninggal, sehingga tak merasa perlu ada yang
disedihkan. Atau mungkin juga tidak tahu bahwa Mas Ramad
telah lumat. Tanpa kubur. Tanpa abu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Wilis, kau belum tahu, inilah Cokorda Dewa Sekarbhumi,
anakku yang terakhir. Dia adalah ibunya, Nyi Ayu Ratih."
Wong Agung Wilis mengenalkan tiap orang yang hadir di
ruangan itu. "Yang Mulia mengenal hamba dengan baik. Padahal
pertemuan terakhir kita, saat hamba masih sekitar sepuluh
tahun." Sekali lagi Wong Agung Wilis tertawa. "Kau tahu
jawabannya," sambungnya dengan tawa.
Wilis tertegun. Rupanya mereka sudah tahu kehadirannya.
Beberapa waktu mereka terlibat dalam pembicaraan tentang
gugurnya Mas Puger, Sayu Wiwit, dan teakhir, Jagapati.
"Dalam satu peperangan selalu ada korban. Banyak orang
yang berharap hasil terlalu tinggi tanpa pernah
memperhitungkan pengorbanan yang harus dibayar untuk
menjangkau hasil itu. Aku sudah dengar Dalem Puger gugur
bersama istrinya...."
"Jagat Bathara! Yang Mulia tahu ia sudah menikah," Wilis
kagum. "Kalian sedang sibuk berperang. Tidak sempat
memberitahukan hal itu padaku. Tidak apa. Ia telah gugur
sebagai kesuma. Sepantasnyalah aku berbahagia,
memperanakkan singa yang tidak kenal takut. Ia telah
menjadikan dirinya semulia-mulianya manusia yang pernah
kukenal. Apakah ibunya tidak bahagia pernah mengandung
seorang satria sejati" Ah, juga aku bangga punya menantu
seperti itu. Siapa namanya" Sayu Wiwit" Kematian adalah
keharusan bagi manusia. Dan mati demi cita dan cinta adalah
seluhur-luhurnya kematian. Sepanjang zaman nama mereka
tak akan pernah punah dari hati orang Blambangan. Walau
tubuh mereka lebur mendebu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ayahanda tahu semua-mua. Kenapa tidak menengok kami
di Raung barang sebentar" Setidak-tidaknya memberikan..."
Mas Ayu Prabu mengutarakan pertanyaannya.
Wong Agung menarik napas panjang. Sambil memandang
istrinya. Senyum lagi. Benar-benar menarik perhatian Wilis untuk diamatinya.
Apalagi kini wanita cantik itu yang menjawab.
"Sungguh kami sudah mempertimbangkan hendak
berangkat. Aku ingin bersua dan menyembah Nyi Ayu Tantrini,
ibumu. Ah, betapa bahagia hati ini. Tapi bukankah itu
perasaan kita semata" Bukankah setiap orang Blambangan
memperkirakan Wong Agung telah gugur" Dan bukankah
kalian telah menggunakan nama ayah kalian untuk
mengerahkan kawula Blambangan melawan Belanda" Itu
sebabnya kami mempertimbangkan tidak boleh ada dua Wilis
di Blambangan. Jagapati telah pula menggunakannya, untuk
menanamkan kewibawaan. Tapi itu jangan diartikan Yang
Mulia marah karenanya. Dan kami tidak pernah menganggap
kalian tidak mampu berbuat apa-apa tanpa nama itu. Kami
bahkan sangat mengagumi setiap hasil kalian. Maafkanlah
kami, Mas Ayu, ampuni. Sampaikan juga permohonan maaf
kami pada ibundamu. Tapi jangan khawatir kami akan selalu
membantu perjuangan kalian."
Panjang-lebar keterangan Ratih. Kini Wilis jadi berdebar.
Menyesal kenapa aku diberi nama Wilis. Ia meriup kecil. Ia
lihat Wong Agung Wilis serasa menjelma jadi raksasa
segunung. Ah, beranikah aku melamar anaknya" Tapi ini
bukan soal nama. Soal cinta. Kebesaranku akan aku bangun
sendiri. "Ampuni hamba, Yang Mulia. Bukan kehendak hamba
memakai nama Wilis. Nama itu telah dianugerahkan pada
hamba sejak hamba belum mengenal dunia. Dan ampuni
hamba, Yang Mulia, jika hamba berani berkata, bahwa hamba
tidak pernah ingin hidup di bawah bayang-bayang..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ha...ha...ha...," tawa Wong Agung Wilis memotong ucapan
pemuda di hadapannya. "Siapa berani mengatakan bahwa kau
hidup di bawah bayang-bayangku" Ah, sama sekali tidak! Aku
justru berterima kasih pada karya dan darmamu selama ini.
Apa yang tidak pernah dapat kukerjakan, telah kaukerjakan
sebaik-baiknya. Tidak percuma ibumu dan para pemuka Bayu
lainnya menurunkan ilmunya padamu. Aku kira VOC juga
mengakui. Jangan kau merendahkan diri semacam itu. Atau
kau tidak tahu akan keberha-silanmu" Jangan sampai itu
terjadi, Wilis. Sebab jika kau tidak dapat menilai
keberhasilanmu, maka kau juga tidak akan pernah tahu
kegagalanmu. "Tapi bukankah kita harus rendah hati" Dan penilaian itu
seharusnya bukan oleh diri sendiri?"
"Barangsiapa tak pernah menilai diri sendiri, ia telah
memasukkan sebelah kakinya ke lumpur ketidaktahuan. Bisa
saja ia menjadi kembung tanpa isi. Jangan kita terbawa pada
pendapat cuma berdasarkan kesan. Biasanya kesan itu
berdasar pada keseakanan. Di mataku kau tetap besar. Dan
layak menjadi seorang pemimpin. Ya, pemimpin Blambangan."
Wilis memuji dalam hati. Pintar orang tua ini membuatnya
melambung. Tapi apa pun yang ia katakan, bagi Wilis itu
merupakan petunjuk bahwa Wong Agung Wilis merupakan
orang bijak yang berhati-hati dalam tiap kata-katanya. Benar-
benar satria yang berlidah dewa. Maka dengan tulus sekali lagi
ia menyembah. Untuk menahan getaran jiwa yang diguncang
teka-teki yang kian memburu. Mengapa aku seolah melihat
wajah masa depanku" Saat itu Ayu Prabu sedang
menyampaikan keadaan kawula Blambangan yang dilanda
wabah. Dan Wong Agung memberi nasihat.
"Aku dengar kau pandai melatih lebah. Tentunya kau tahu
bukan bagaimana lebah bersikap jika musim dingin tiba" Lihat,
mereka akan berkerumun, menyatu, dan menghangati sarang
mereka. Sebaliknya jika panas tiba, tak henti-hentinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengipasi sarang mereka secara bersama atau bergiliran.
Begitulah seharusnya kau mengatur kawula di Derwana dan
Indrawana, bahkan di seluruh Bumi Semenanjung. Yang
sudah sembuh harus dikerahkan untuk mencari obat bagi
mereka yang masih sakit. Sebab jika sampai VOC tahu wabah
melanda kalian, niscayar mereka akan mengerahkan segala
daya untuk menumpas kalian."
Lebih banyak kata-kata yang keluar dari bibir Wong Agung
yang makin penting rasanya. Sesekali memang diselingi Ratih
dan Sekar. Keduanya dipersilakan bermalam. Istirahat untuk
mengurangi ketegangan. Kala malam turun, Wilis melihat
Wong Agung tidak turun dari pura. Wilis menunggunya. Ingin
ia menyampaikan lamaran di bawah empat mata. Supaya
andaikata Wong Agung tidak memberikan persetujuannya, ia
tidak malu di depan banyak orang.
Tapi Wong Agung tidak kunjung turun. Ia sedang berdoa.
Sebenarnyalah Wong Agung tidak cuma berdoa. Tapi sedang
berjuang mengatasi getaran sukmanya. Kehadiran anak muda
itu... Pengalaman yang seluas samudra itu saja yang
membuatnya nampak tenang. Anak ini datang untuk
memohon restu mengawini Ayu Prabu. Ah, apa kata Yistyani
pada anak ini" Dan tiba-tiba saja Yistyani seperti duduk di


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapannya. Bukankah kau sendiri, Yis, yang menyebabkan
semua ini terjadi" Mengapa sekarang kautuntut aku"
Kausuruh aku bertanggung jawab setelah dunia tahu bahwa
Wilis ini anak Andita" Tidak, Pangeran. Hamba telah berusaha
menutupi kedustaan ini. Tapi hamba memang tidak tahu
bagaimana cara mengatasi masalah cinta mereka. Apa" Cinta"
Wong Agung kian bergumul. Bergumul dengan diri sendiri.
Angannya meniti masa lalu. Satiari tewas, korban... Ah, tidak!
Aku tidak ingin Ayu Prabu seperti Satiari. Maka ia perlu
mengambil keputusan agar Satiari tidak menjelma dalam
tubuh Ayu Prabu. Tidak! Hyang Maha Dewa, jangan berikan
hukum karma ini. Juga tidak ingin Wilis jadi korban,.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Segera ia keluar dengan tekad mantap. Dan begitu keluar
dari pura, Wilis berdiri di ambang pintu. Purnama telah
condong ke barat. Kembali hati tua Wong Agung bergetar. Ia
sempatkan berdoa. Ah, aku dihadapkan pada buah
simalakama! "Belum tidur, Nak?" ia menyapa lebih dulu untuk mengatasi
hatinya. "Hamba menunggu Yang Mulia," Wilis memberanikan diri.
"Jagat Dewa! Tentu ada persoalan rahasia yang tidak boleh
diketahui siapa pun. Mari kita berjalan-jalan. Di taman. Tentu
semua dayang sudah tidur."
Keduanya lalu melangkah perlahan. Mendung berkali
melintas menutupi bulan. Tapi tak menarik perhatian
keduanya. Juga bunga-bunga yang sedang tertidur. Juga
semua suara satwa malam. "Memang rahasia. Pribadi sifatnya."
Mereka berhenti tepat di tengah taman. Di mana terdapat
sebuah batu besar yang biasanya adalah tempat duduk Wong
Agung dengan Ratih. Keduanya berdiri berhadapan. Dekat
jarak keduanya. Kembali keduanya seperti berhadapan dengan
cermin. Cermin masa lalu dan masa mendatang
"Hamba mencintai Ayu Prabu. Hamba datang untuk
mohon..." Pandangan tajam dan senyum Wong Agung menghentikan
kata-kata Wilis. Tapi ia pun menatap orang tua itu tajam.
Seperti ingin menyelam dalam-dalam ke hati Wong Agung.
Beberapa bentar mereka membisu. Angin membelai muka
mereka. "Sungguh?"
"Hamba, Yang Mulia."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak akan kau sia-siakan anakku" Kau tidak akan
memperduakan cintamu" Jangan tergesa menjawab. Pikir
dulu!" "Hamba berjanji, Yang Mulia." Keringat dingin Wilis mulai
merambat. Tidak pernah ia begini. Sedang berperang pun.
"Aku tahu, jika kau sudah mengambil keputus-an untuk
bercinta, tentunya kau sudah mengerti benar makna cinta itu.
Tapi... karena kau minta restuku, maka aku minta izin padamu
untuk menyampaikan pendapatku. Boleh?" Wong Agung
sabar. "Hamba, Yang Mulia," kembali hati Wilis cemas.
"Aku juga tahu, Ayu Prabu juga sangat mencintaimu. Jika
tidak, ia tidak akan membunuh Tha Khong Ming, seorang Cina
yang baik dan berjasa besar bagi kita. Aku berutang budi
padanya. Mayatnya baru dibakar sepekan lalu."
"Jagat Dewa!" Wilis terkejut.
"Jika kalian tidak singgah di Sumberwangi, tentunya Ayu
Prabu juga tidak tahu bahwa Ming sudah mati." Wong Agung
menarik napas sebentar. Kemudian lanjutnya,
"Tapi cinta itu punya banyak bentuk. Tentu kau tahu itu.
Salah satu di antaranya adalah kesabaran."
"Apa artinya itu, Yang Mulia?" Wilis memberanikan diri. .
"Sabar menunggu saat. Sabar menekan hawa nafsu sendiri,
sehingga kau tidak akan menodai kekasihmu sebelum wadad
suci berakhir. Karena kau akan jadi raja besar. Dan Ayu adalah
paramesywari. Harus suci. Sedang untuk bisa marak jadi raja
atas Blambangan kau harus mampu merebut kembali seluruh
wilayah Blambangan."
Keduanya kini terdiam. Wilis menunduk. Namun hatinya
terbakar. Aku akan susun kembali laskarku. Aku akan buktikan
bahwa VOC akan lumat di tanganku.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan marah, Wilis. Aku menghormatimu. Kau seorang
satria dan sekaligus juga brahmana. Ingat, brahmana yang
ingkar dari pengetahuan yang dipelajarinya sendiri, adalah
seburuk-buruknya brahmana. Ia akan sama dengan hewan
pandir yang tidak pernah tahu membaca dan menulis."
"Jagat Dewa!" Kembali pemuda itu mengagumi cara Wong
Agung Wilis menyudutkannya. Ia tahu bahwa ia belum mampu
memecahkan teka-teki. Karena nyatanya Wong Agung Wilis
tidak menampiknya. Namun hatinya kian terbuka. Ayu Prabu
sangat kuat menjaga kesuciannya, kendati ia seorang telik.
Saat mereka pulang, Wong Agung seperti berat
melepaskan kepergian keduanya. Sekali lagi, dan berkali lagi,
Wong Agung berpesan agar keduanya bersabar sampai
perang usai. Di samping memberikan surat untuk Sratdadi,
Wong Agung berjanji akan menambah bantuan laskar Bali.
Terutama laskar laut. Supaya VOC dapat terjepit dari darat
dan laut. Ratih menitikkan air mata sambil tak henti-henti
mencium Ayu Prabu. Demikian pun Sekarbhumi.
Sudah malam ketika mereka memasuki gerbang bekas
rumah Tha Khong Ming. Repi dan Kebhi tergopoh-gopoh
menyambut kedua orang itu. Rindu mereka setelah beberapa
bulan tidak bersua Ayu Prabu. Segera mereka menduga
bahwa Mas Ayu sudah kawin.
"Jangan main-main. Dia adalah junjungan kita. Wilis!" bisik
Ayu Prabu pada Repi. Repi jadi ketakutan. Ia tidak pernah
melihat dari dekat maka tak dapat mengenal. Setelah
membersihkan tubuh agar segar, Ayu segera menuju tempat
peristirahatan yang sudah disediakan. Sedang Wilis
beristirahat di kamar Ming.
"Adinda..." Wilis menyelinap masuk kamarnya.
Ayu Prabu berdebar. Apalagi Wilis langsung duduk di
tempat tidurnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau tak pernah menceritakan semuanya. Aku tahu justru
dari Ramanda. Kau bunuh Khong Ming dengan sengaja." Wilis
meraih kekasihnya dan menciumnya. Kemudian ia ceritakan
pertemuannya dengan Wong Agung di taman.
Mas Ayu jadi iba. Diciumnya Wilis. Lalu katanya, "Andaikan
Kanda tidak sabar, hamba rela." Ia pasrah.
Tapi Wilis segera turun seraya katanya,
"Perang belum usai."
Berbalik. Ayu tersenyum lega. *** Robbert Van de Burg sudah sampai di Pangpang dan
meninjau langsung betapa perwiranya sendiri banyak yang
mati dan sakit. Marah dan sedih campur-aduk dalam hatinya.
Ia tidak bisa terima kekalahan VOC dari pribumi yang tidak
beradab ini. Tidak beradab" Ah, ia sendiri tersentak. Penilaian
yang keliru inilah sebab kekalahan dan kehancuran Kompeni
selama ini. Mereka tidak lebih dungu dari orang-orang
Mataram. Kendati pada telanjang dada, lakiperempuan, dan
semua orang. Bangsawan atau kawula. Mereka berbagi suka
dan duka bersama. Tidak ada perempuan yang cuma kerja di
belakang. Semua laki-perempuan angkat senjata saat negeri
mereka memerlukan. Dan mereka punya meriam, kanon,
bedil, sama seperti Kompeni, kendati senjata-senjata lama.
Tidak! Aku tidak mau keliru lagi!
Gubernur Jawa bagian timur dan utara itu telah
membentuk lima ribu tentara baru, tiga ribu di antaranya kulit
putih. Di samping itu ia sendiri memimpin langsung komando
atas peperangan yang direncanakan baik-baik. Ia juga
mengangkat Kapten Heinrich sebagai perwira pelaksana di
lapangan. Ia telah mengambil langkah diam-diam dalam
mengirimkan pasukannya ke Blambangan. Setahap demi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setahap. Jadi bukan merupakan gelombang pasukan yang
besar. Semua itu dilakukan untuk mengelabui telik Bayu.
Sebaliknya ia terus memantau tiap perkembangan di Bayu.
Kendati memang sulit. Karena memang tidak banyak orang
yang berani masuk ke sana sebagai mata-mata. Jelas yang
dapat diketahui adalah, di garis depan telah disiapkan pagar
hidup, yang terdiri dari ribuan tawanan yang dapat mereka
tangkap pada bulan Desember tahun lalu. Kala segenap
kekuatan laskar Bayu dikerahkan tanggal dua puluh Desember
seribu tujuh ratus tujuh puluh satu, di mana VOC kehilangan
banyak. Sudah dapat dipastikan jika VOC mendadak
melakukan penyerbuan, maka mereka akan membunuh
kawan-kawan sendiri. Sebab mereka tidak akan dapat berlari
sekalipun tangan menggenggam senjata, dan leluasa dapat
menembak, tapi leher mereka diberi kuk (semacam pasung)
semacam kuk kerbau yang sedang membajak sawah. Tiap
lima orang satu kuk. Akibatnya, jika ingin melakukan pelarian
atau apa pun saja harus membuat teman lainnya sehati
terlebih dahulu. "Kita harus berhati-hati dalam serangan mendatang," kata
Burg kala ia memimpin pertemuan di rumah Schophoff.
Sengaja Jaksanegara tidak diundang. Karena Schophoff
memang ingin mendepaknya. Ia ingin mengosongkan jabatan
adipati itu, supaya ia dapat lebih leluasa dalam menentukan
pemerintahan di Pangpang. "
"Kita harus mampu menembak jauh ke belakang garis
pertahanan mereka. Memang susah. Kita harus menyeret
meriam dan kanon sampai ke jarak di mana kita mampu
mencapai garis belakang mereka. Itu yang pertama. Kedua,
kita harus punahkan semua lumbung dan jika perlu ladang
mereka." "Itu juga berarti membiarkan teman kita yang mereka
tawan akan kelaparan," Heinrich keberatan. "Tentu makanan
yang tersisa akan dipergunakan untuk laskar mereka sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika demikian, kita harus mendekati perkubuan mereka.
Setelah itu kita serbu dan bakar semua lumbungnya."
"Kita tidak mungkin dapat menyisir jurang-jurang dan
semak. Tentu penuh dengan jebakan." Schophoff kemudian
menceritakan pengalaman perang Desember lalu. Perundingan
berlangsung iama dan berbelit-belit. Tidak selalu mereka
memeras otak di meja. Sering juga mereka gunakan untuk
berjalan dan menjajagi medan. Belum pernah ada seorang
gubernur turun ke medan seperti yang dilakukan Jan Pieter
Zoen Coen dan Burg ini. Akhirnya Burg memutuskan: perang parit! Belum pernah
dilakukan. Jadi pasukan akan merangkak pelan-pelan lewat
parit buatan. Kae-na itu perlu tenaga untuk menggalinya.
Diputuskan bahwa tenaga penggali parit diminta dari
Probolinggo dan Madura. Melalui parit-parit itu pula diseret
persenjataan berat mendekati perkubuan musuh. Tentu
memakan waktu. Tapi Burg merasa tidak ada jalan lain kecuali
mempersempit ruang gerak musuh dengan menggali parit dari
berbagai arah. Pada penghabisan musim penghujan, penggalian parit pun
dimulai. Itu juga dilakukan secara rahasia. Dan dari delapan
arah menuju satu titik, Bayu. Walau beberapa parit juga ada
yang mengarah ke Derwana dan Indrawana. Kini Burg tinggal
berhadapan dengan peta di depan mejanya.
"Apakah Tuan percaya pada laporan istri Jaksanegara?"
tiba-tiba ia menoleh pada Schophoff. "Jangan kita terisap ke
dalam pertengkaran keluarga mereka yang cuma berkisar
pada perkelaminan saja."
"Kami sudah pernah mengadakan perembukan langsung
dengan penduduk Blambangan. Jadi kesimpulan istri
Jaksanegara itu tidak salah, Tuan."
Burg merasa perlu mendengar langsung keterangan
Rahminten sebagai saksi kuat. Dan Schophoff berjanji akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempertemukan mereka. Namun Burg akan kembali ke
Surabaya terlebih dahulu sampai pertengahan bulan Juli,
sambil mempersiapkan bahan makanan untuk pasukan yang
akan mulai dikerahkan naik bulan Agustus awal nanti.
Kesempatan satu bulan itu dipergunakan oleh Schophoff untuk
mempersiapkan tuduhan tertulis disertai saksi-saksi kuat.
Maka ia perlu memberi tahu Rahminten agar mau membujuk
Juru Kunci. "Bagaimana caranya Tuan?" Rahminten agak bingung.
Kedatangan Schophoff di Pakis sudah bukan hal yang aneh
lagi. Para dayang segera menyiapkan kamar yang dulu
ditempati Bagus Puri. Setelah itu mereka diperintahkan
menjauh. Kali ini pun keduanya bercakap di kamar dekat
taman bunga. Angin dibiarkan masuk untuk mengusir
kegerahan. "Terserah bagaimana cara Tuan Putri..."
"Tuan tidak mencintai daku lagi?" Pandangan mata
Rahminten sayu. Embusan napasnya harum di muka
Schophoff. Tangan yang berbulu kasar dan perkasa itu kini
merebahkannya ke atas pembaringan, seraya bisiknya, "Aku
tidak akan pernah pulang ke Nederland. Aku ingin tetap
bersamamu di sini. Justru itu kita perlu membujuk Juru Kunci.
Biarlah ia secara sadar memberikan kesaksian dari tuduhan
yang aku lancarkan. Ini perlu agar Jaksanegara bisa dibuang
dari Blambangan, seperti Sutanegara. Cuma Tuan Putri yang
bisa melakukannya...."
Cinta terhadap keluarga membuat Rahminten harus
mengorbankan segalanya. Itu sebabnya ia memerintahkan
dayang Paniri untuk menyampaikan lontar pada Juru Kunci.
Dengan pesan agar tidak seorang pun dapat melihatnya. Jika
Paniti tidak patuh maka ia akan menerima hukuman. Ah,
beruntung Paniti, karena bibinya bekerja sebagai dayang Juru
Kunci. Bibinya yang gemuk dan berbibir tebal adalah kepala
dayang istana Juru Kunci. Maka ia dapat menyamar sebagai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dayang istana itu dan diberi tugas mengantar jamu senja hari.
Jamu yang terbuat dari dua ekor anak tikus yang masih
merah, dua telur bebek, serta madu. Juru Kunci selalu minum
obat kuat macam itu jika hendak pergi tidur, sebab ia ingin
menjadi pemenang di atas tempat tidurnya. Setelah


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meletakkan nampannya di atas meja, Paniti bersimpuh
beberapa jarak dari Juru Kunci. Ia melirik ke segala arah. Sepi.
Ia perhatikan Juru Kunci melahap semua yang
dihidangkannya. Makanya orang ini selalu berminyak
mukanya. Terlalu banyak makan jamu macam beginian. Ah,
kenapa Yang Mulia memanggil Juru Kunci" Apa Yang Mulia
sudah dengar bahwa dia hebat di tempat tidur" Apakah
kurang dengan tuan besar itu, ya" Mukanya bopeng seperti
arca kayu yang dimakan rayap begini" Tapi ia cuma seorang
dayang yang cuma tahu melaksanakan tugasnya. Kala Juru
Kunci menunjuk nampan sebagai isyarat agar diambil, dia
memberanikan diri menyodorkan gulungan lontar kecil. Sambil
menyembah ia berbisik, "Ampuni, hamba, Yang Mulia. Ini dari Yang Mulia
Rahminten." Segera ia mundur meninggalkan Juru Kunci yang
terkejut. Setelah membaca ia bergesa meninggalkan
kediamannya menuju ke Pakis. Kepada istrinya yang bekas
istri ayahnya itu ia cuma memberi tahu bahwa ada panggilan
mendadak. Perempuan Cina itu dengan setia mengantarnya ke
gerbang. "Tidak membawa pengawal, Yang Mulia?"
'Tidak. Ini amat tergesa!" Jawaban yang membuat istrinya
tidak akan curiga. Dan beberapa bentar kemudian kemuraman
senja menelannya dari pandangan siapa pun.
*** "Aku harus meninggalkan Bayu," kata Sratdadi pada Mas
Ayu Tunjung di rumahnya. Ibunya kini sudah tinggal di
Derwana bersama Ayu Prabu yang kini menjadi pemimpin di
Derwana menggantikan Jagapati. "Aku tahu, kau tidak akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernah menjawab cintaku. Tunjung, selama ini aku
menunggu. Namun semakin aku sadari, aku tak layak
menyuntingmu. Aku datang hanya untuk minta diri...."
"Yang Mulia, jangan ucapkan itu. Sudah surutkah
kesabaran dari hati Yang Mulia?" Ayu Tunjung terkejut sambil
maju menangkap tangan Sratdadi. Kesendirian akhir-akhir ini
membuatnya mawas diri. Ditambah kepergian Wilis berdua I
dengan Ayu Prabu ke Bali. Memupuskan harapannya untuk
menembus celah hati pemuda idamannya. Makin ia sadari
bahwa ia tak punya apa-apa lagi kini. "Oh..." Tiba-tiba
dadanya seperti tertimbun batu segunung. Air matanya mulai
mengisi kelopak dan membuat bola mata yang bening itu
berkaca-kaca. Sratdadi terkejut melihat itu. Jadi salahkah pendapatku
selama ini" Ia tarik tangan Ayu Tunjung sampai gadis itu
menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Kepala bersandar di
dada Sratdadi. "Ke mana Yang Mulia akan pergi" Bawalah serta hamba...."
"Tunjung..." Sratdadi mempererat pelukannya. "Aku
mendapat perintah untuk mengawal barang dagangan dari
Bali bersama Lindu Segara ke Bengkulu. Lebih dari itu..."
"Siapa yang memerintahkan itu?"
"Ramanda, Wong Agung Wilis."
"Hyang Dewa Ratu! Yang Mulia tidak akan kembali?" Isak
Mas Ayu Tunjung kian menjadi-jadi.
Sratdadi membelai kepalanya. Seraya menjawab, "Kembali.
Kembali sambil membawa senjata. Aku bertugas membeli
senjata-senjata baru."
"Itu berbahaya, Yang Mulia. VOC selalu mengadakan
penggeledahan di dekat Gresik. Mengapa tak membeli dari
saudagar Cina saja?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lindu Segara akan berlayar melintas gelombang Samudra
Kidul. Rasanya akan lebih aman. Tentu lebih lama karena
gelombang yang besar."
"Oh....," Tunjung mengeluh.
"Aku tidak bisa membawamu, Kekasih. Kau sendiri punya
tugas yang tidak ringan. Bukankah saat ini sedang panen" Kau
harus sembunyikan makanan kita agar tidak dibakar lagi oleh
Belanda. Percayalah, aku akan kembali dan kita akan
berbahagia. Atau kita hidup di Bali setelah perang usai?"
Sepercik harapan membuat hati Tunjung berbunga
kembali. Masa depan tentu menjanjikan harapan. Ia cium pipi
Sratdadi. Ketegasan Sratdadi akan membuatnya dapat
mengambil sikap jika Runtep datang lagi melamarnya. Ah, ia
tahu, dalam tubuh Runtep tidak mengalir darah biru. Walau ia
anak seorang yang telah melahirkan pahlawan-pahlawan di
Blambangan. "Bali?" ulangnya. Negeri leluhur yang indah.
"Nah, selamat tinggal, Kekasih! Lindu Segara telah siap di
Dermaga Plaosan." Kini Sratdadi menciumnya.
Tunjung mengikutinya sampai ke gerbang perkubuan.
Menyesal rasanya kenapa tidak sejak dulu menerima pemuda
itu. Kenapa harus Wilis" Wajah mereka hampir tak berbeda.
Kendati ia tak menjadi seorang paramesywari, barangkali akan
lebih bahagia karena Mas Sratdadi seorang satria yang juga
membrahmanakan diri. Tentu ia memiliki pengetahuan yang
luas. Seorang yang berpengetahuan tinggi tentunya akan lebih
bijak dalam menentukan segala hal. Juga dalam berumah
tangga. Ia ingat ibunya anumerta. Hidup dalam kekecewaan
karena punya suami seorang dungu. Tunjung berhenti di
gerbang. Di atas kudanya ia memandang pemuda itu lenyap
ditelan debu di kelokan. Dua bulan berlalu. Kini memasuki bulan Sriwana (antara
bulan Juli-pertengahan Agustus). Jangankan pulang, kabar
pun tiada. Hari-hari berlalu dengan banyak kesibukan. Tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ada yang menjengkelkan hatinya. Kehadiran Runtep yang
selalu membantunya di tempat pekerjaan. Ah, apakah tak ada
pekerjaan lain" Malam kebosanan mencekam. Pertanyaan
Runtep menghantuinya. Adakah berita dari menteri mukha"
Pertanyaan yang mengandung harapan bagi Runtep sendiri.
Jika Sratdadi mati ditelan gelombang, ia akan mewarisi
perawan manis yang tiada bandingan itu. Kebosanan
membuatnya dengan berani mendatangi Wilis. Ia minta izin
menyiapkan cadangan makanan yang di Gunung Srawet. Dan
ia menolak waktu Wilis akan memerintahkan Runtep
menemaninya. "Tidak, Yang Mulia. Biarlah anak itu menyiapkan makanan
di sini dan Derwana serta Indrawa-na, andai saja sewaktu-
waktu terjadi hal-hal yang di luar dugaan kita."
"Jagat Dewa! Yang Mulia akan pergi sendiri" Bukankah ada
laporan telik bahwa Belanda mulai bergerak?"
"Hamba berangkat dengan lima orang pengawal putri yang
berkuda. Mereka adalah penembak jitu yang terlatih."
Agak aneh sikap gadis itu akhir-akhir ini. Wilis tahu apa
sebabnya. Tapi ia tak mungkin menolong. Maka ia izinkan.
Perjalanan dari Bayu ke Gunung Srawet memakan waktu
empat hari. Dan memang Ayu Tunjung bersama lima
pengawalnya istirahat di Srawet. Anak Gendewa, Rontek,
menggantikan ayahnya menjadi pimpinan, menyediakan
tempat bermalam. Sehari mereka di sana. Kemudian
melanjutkan perjalanan ke Pfaos-an. Sebuah desa kecil yang
dihuni oleh cuma beberapa keluarga. Tidak ada rumah-rumah
yang besar dan bagus. Mengapa mereka memilih tempat ini"
Apa begini macam dermaga yang sering dilaporkan itu"
Tak lebih dari pantai karang yang setiap saat diterjang
gelombang raksasa. Sampai-sampai bumi yang dipijaknya
serasa bergetar. Para pengawalnya yang juga masih gadis itu
berdecak kagum terhadap kehebatan Hyang Maha Durga yang
dipamerkan di atas samudra yang tanpa tepi itu. Tunjung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memutuskan bermalam di situ. Jika perlu beberapa hari. Ia
beri tahu bahwa mereka juga bertugas menjemput senjata
yang akan tiba bersama Lindu Segara. Para pengawal senang
ikut bermalam. Mendapat pengalaman baru.
Di sini pun hari-hari berlalu sepi. Malam dibunuhnya
dengan sebuah kidung. Para pengawal jadi bertanya-tanya
sesama mereka. Kenapa Tunjung makin nampak murung"
Mereka perhatikan kidung yang ditembangkannya:
Kau yang di pulau jauh, di kasihmu hati berlabuh di pandangmu hati terpaut
karena janjimu hati bergelut,
Ah, mataku sayu menembus cakrawala
dalam tanya, bila kau datang
sejuta rindu mengusik kalbuku
menjelang datang esok cemerlang!
Penantian yang begitu membosankan kendati berhadapan
dengan panorama indah. Penduduk sekitar tempat itu
mengatakan pernah bersua dengan Mas Sratdadi dengan
pimpinan mereka Lindu Segara. Orang menyebutkan, Lindu
begitu menghormatinya. Dengan kata lain Sratdadi tidak
menipu. Apa ia tenggelam di laut ini" Ah, aku akan menunggu
di Songgon saja, putusnya.
Segera ia berkemas. Harap-harap cemas sambil berulang-
ulang menoleh ke laut. Belum juga nampak tanda-tanda
munculnya kapal yang membawa Sratdadi dari balik
cakrawala. Tunjung sama sekali tidak tahu justru saat itu
Derwana dan Indra-wana mulai ditembaki oleh peluru-peluru
kanon. Satu tembakan meriam jatuh tepat di pasar Derwana
pada pagi hari, saat ramai-ramainya orang berbelanja. Tapi
Mas Ayu Prabu tidak menjadi terkejut. Sebab memang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa hari ini laporan telik terus-menerus mengalirkan
berita bahwa lebih lima ribu orang Kompeni berbaris di
Pangpang. Senjata-senjata berat dibawa pergi dari Pangpang
tiap malam. Sejak tembakan pertama ia sudah memerintahkan
seorang utusan rahasia ke Bayu.
Tapi tembakan tidak cuma menggetarkan Derwana,
Indrawana, juga Bayu. Van de Burg memang tidak ingin
adanya serangan yang terpusat hanya pada satu kantung. Ia
memerintahkan agar Grajagan, Muncar, dan Sumberwangi
dibumihanguskan. Untuk itu Kompeni harus berhadapan
dengan laskar Bali yang oleh Ayu Prabu diberi wewenang
mengawasi wilayah itu. Tentu, tidak mudah bagi Kompeni
untuk mengalahkan laskar Bali yang punya semangat tinggi.
Tapi sebagian dari mereka baru saja sembuh dari sakit.
Wabah yang disebabkan oleh perang terus memomok di
Blambangan. Siapa pun wajar ketakutan terhadap wabah itu.
Bahkan Gusti Tangkas sendiri belum pulih. Bukan cuma
kekuatannya yang belum pulih, tapi juga pikirannya. Itu
sebabnya laskar Bali terus terdesak dan akhirnya tidak mampu
mempertahankan wilayah tersebut. Bahkan Gusti Tangkas
sendiri tertembak waktu ia melintas ke Hutan Kepanasan
utara. Mundurnya laskar Bali yang kehilangan pimpinan itu
memancing Kompeni mengejar. Dan pemburuan masuk
belantara itu merupakan penyimpangan dari perintah Burg.
Akibatnya lebih seribu lima ratus orang pemburu lenyap
dimakan cula dan perangkap. Belum lagi perlawanan dari para
petani yang sawah ladangnya dilanda perang. Bersenjatakan
parang, pacul, tombak, bandil, batu, alu, lombok yang
dicampur air, pokoknya apa saja yang bisa mereka pakai
untuk mempertahankan diri.
Tentu merupakan perang yang tidak seimbang. Dan
mengakibatkan jatuhnya korban laki, perempuan, anak-anak,
nenek-nenek, dan kakek-kakek. Perang memang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memusnahkan semua dan segala. Kasih merupakan mata
semboyan kosong dalam perang. Dan Kompeni kian gila.
Menjarah-rayah i semua harta dan wanita. Demikian pula di
bagian utara. Pejarakan yang dikawal laskar Untun dengan
cepat disapu oleh Kompeni. Asap hitam segera mengepul naik
ke angkasa. Di utara, Kompeni membakar semua rumah dan
huma dan manusia. Mati ataupun hidup. Schophoff yang
memerintahkannya. Bau daging terbakar tercium sampai jauh
seperti bau sate kambing. Seluruh bumi Blambangan
berguncang. Untun, yang diangkat menjadi bekel Pejarakan
itu pun gugur tanpa ampun. Pendapat Van de Burg bahwa
kebijakan akan menaklukan keberanian, menjadi kenyataan.
Mas Ayu Prabu menerima laporan tentang semua itu. Masih
ada sepercik berita yang membuatnya tersenyum, yakni
tewasnya sekitar sembilan ratus tujuh puluh lima Kompeni
yang bergerak dari Pejarakan ke selatan. Mereka disambut
oleh laskar yang berjaga dibalik pohon-pohon besar dan
semak belukar di sepanjang perjalanan mereka. Korban tetap
juga besar meskipun menang. Kenyataan ini membuat Kapten
Heinrich berpikir jauh lebih hati-hati. Kesukaran kedua yang
dialami Kompeni adalah nyamuk yang menyerbu perkemahan
mereka di mana-mana. Malaria menyertai nyamuk itu. Korban
yang ditimbulkannya cukup banyak.
Dinding perkubuan Bayu, yang dibangun oleh Baswi dan
seluruh anak buahnya, kini mulai ada yang runtuh. Demikian
pula dinding kota sepanjang Derwana dan Indrawana. Akibat
peluru-peluru meriam ditembakkan oleh penembak
berpengalaman. Lubang demi lubang membuat Mas Ayu Prabu
memerintahkan Undu menyergap pasukan meriam lawan.
"Inilah hamba, Yang Mulia! Mati-hidup demi Hyang Maha
Dewa, hamba persembahkan hidup untuk Blambangan!"
"Dirgahayu Blambangan!" pekik Mas Ayu Prabu disambut
gemuruh oleh semua orang. Undu berangkat dengan
semangat tinggi tapi tanpa iringan genderang dan angklung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti layaknya jagapati mancal (panglima berangkat ke
medan laga) bertempur. Undu tahu persis, ia berkewajiban
membungkam mulut meriam-meriam itu. Walau sebenarnya ia
adalah pemimpin pasukan meriam. Tapi ia tidak akan pernah
mampu membalas, jika tidak tahu persis kedudukan lawan.
Betapa terkejutnya Undu kala mendapat laporan bahwa VOC
bergerak melalui parit-parit buatan. Di depan pasukan meriam
ada rombongan penggali parit yang bekerja dengan tidak
kenal lelah. Undu mengambil keputusan, membunuh semua
penggali parit. Selain itu memerintahkan seorang caraka untuk
melapor pada Ayu Prabu mengenai siasat baru yang
dijalankan oleh Belanda itu. Dan Ayu segera meneruskan
laporan itu ke Wilis. Maka Wilis pun memerintahkan Runtep
melakukan hal yang sama dengan Undu.
Anak-anak kecil yang biasa menggembalakan kerbau,
mendekati para penggali parit. Kompeni tidak curiga. Sebab
memang sudah dekat dengan perkubuan dan perkampungan.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentunya banyak anak-anak kecil yang tidak mengerti apa-apa
itu bermain-main. Tetapi betapa terkejutnya Kompeni kala
ternyata bumbung-bumbung pandang serta pelapah nipah
yang mereka bawa itu menyembunyikan senjata. Dan secara
mendadak dan tak masuk akal, anak-anak kecil itu membantai
semua pekerja. Semua! Dan sesudahnya, semua menghilang
di balik semak. "Bagaimana bisa itu dipercaya!" Van de Burg berteriak.
Sungguh tidak masuk di akalnya. Tapi itu kenyataan yang
terjadi. Dendam pasukan Madura kian memuncak dan
memancing mereka bertindak lebih brutal lagi. Tapi kini
keadaan berbalik. Mas Ayu Prabu mengatasi mereka dengan
gerombolan orang-orang berani mati. Dengan kemauan
sendiri mereka mengenakan pakaian serba putih menyerbu ke
kemah-kemah Kompeni. "Dirgahayu Blambangan! Dirgahayu Wong Agung Wilis!"
pekik mereka tiap kali dilanda peluru. Korban yang jatuh dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pihak Bayu malah dijadikan perlindungan oleh kawan-kawan
mereka yang datang menyerbu mendekati parit-parit Belanda.
Satu bulan berjalan dengan hujan peluru kanon di perkubuan
maupun di Derwana dan Indrawana. Kini Wilis memerintahkan
mencari jalan keluar ke Songgon. Terutama bagi mereka yang
terluka. Hari-hari pertama merupakan kepanikan. Namun
kebiasaan menolong mereka. Sampai akhirnya mereka mampu
membalas serangan. Di Pangpang, Burg merasa terganggu oleh kengerian
betapa anak-anak dan wanita berpakaian putih-putih di semua
medan maju menyongsong pelor lawan. Dan ketika sebuah
tembakan meriam menghantam dinding bagian depan rumah
Schophoff, ia segera diungsikan ke Pakis. Pakis tidak dilanda
perang. Tentu Wilis menyusup ke Pangpang, pikirnya. Tapi
bagaimana bisa, sedang Bayu semakin terkepung oleh parit-
parit yang berisi pasukan artileri. Kendati mereka juga mampu
membunuh bagian depan, tapi pasukan dan parit Kompeni
berlapis-lapis. Mas Ayu memutar otaknya dengan amat sangat. Ia
perintahkan para tawanan bergerak ke pertahanan lawan.
Mereka dijadikan perisai oleh laskar Ayu Prabu. Dari sela para
tawanan itu laskar Mas Ayu menembak. Siasat ini membuat
Kapten Heinrich panik. Kembali ia harus mundur dari lini
depan. Apalagi setelah melihat di antara para tawanan itu
terdapat ratusan kulit putih. Yah, kulit putih menembaki
mereka. Ah, yang begini juga belum pernah dilakukan oleh
siapa pun sebelumnya. Ah, kejam mereka itu. Memperlakukan
tawanan seperti itu. Ia melihat sendiri, betapa jika tiga dari
lima orang satu kuk itu mati, maka mereka akan sama-sama
terguling. Yang masih hidup ikut teraniaya di njak-injak
barisan belakangnya. Kejam, memang. Tapi itu imbalan kekejaman Colmond
waktu memerintah di Blambangan. Bahkan menurut orang
Blambangan itu belum seberapa, karena mereka tidak pernah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperkosa dan membunuhi gadis-gadis. Tapi pada malam
harinya kala laskar Blambangan istirahat, Heinrich
memerintahkan anak buahnya maju perlahan-lahan dan
merangkak kembali dalam parit-parit. Ia mengambil putusan
untuk mencapai jarak tembak yang pas. Walau malam itu
sebenarnya Mas Ayu Prabu tidak istirahat. Sibuk mengirimkan
laskarnya yang terluka ke Sempu dan Srawet.
Betul, pada esok harinya Mas Ayu yang sebenarnya telah
lelah itu dikejutkan oleh berguncangnya bumi Derwana dan
Indrawana. Dindingdinding tua pelindung kota runtuh bagai
dilanda gempa. Heinrich tidak menghitung lagi berapa
biayanya jika memuntahkan peluru begitu banyak. Yang
penting hari itu seluruh bangunan yang ada di Derwana serta
Indrawana harus ditumbangkan. Semua! Pasukan Mas Ayu
membalas. Tapi mereka tak punya modal sebanyak VOC.
Mereka tidak bisa menutup kekurangan mesiu mereka.
Tapi mereka tidak putus asa. Mas Ayu sudah memutuskan:
perang puputan (perang habis-habisan menang atau mati).
Karena itu ia sendiri telah mengganti pakaiannya dengan
pakaian putih. Kematian Undu dan berita terkepungnya Bayu,
membuatnya bertekad mematahkan kepungan, lalu membantu
Wilis di Bayu. Bukankah itu sangat penting" Menyelamatkan
seorang pimpinan negara"
Bulan Badrawana (pertengahan bulan Agustus sampai
pertengahan September, sedang pertengahan September
sampai pertengahan Oktober disebut bulan Asuji) sudah
berlalu. Dengan kata lain Mas Ayu Prabu telah bertempur lebih
dari satu bulan penuh. Demikian pula Wilis di Bayu. Kompeni
kian maju dengan membuat parit-parit baru mengitari
perbentengan. Kendati ia masih mampu mengirim berita dan
menerima berita dari Ayu Prabu melalui jalan tembus yang
amat rahasia. Berita terakhir bahwa kekasihnya itu telah
mengenakan pakaian putih, sungguh mendebarkan
jantungnya. Memanglah suatu kenyataan yang bicara bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Burg lebih cerdik dari padanya. Burg memerintahkan agar
anak buahnya sedapat mungkin menghindari pertempuran
terbuka. Sebaliknya orang Blambangan kehabisan akal. Maka
Ayu Prabu makin tidak kenal lelah.
Kendati pohon-pohon dan semua perisai telah tumbang, ia
mengajak orang-orang Blambangan merangkak maju. Jumlah
mereka kian berkurang dari hari ke hari. Yang mengungsi
karena terluka kian banyak. Para tawanan yang dipergunakan
sebagai perisai, juga makin banyak. Terutama karena
kelaparan. Tidak sempat lagi memberi mereka makan. Usaha
Schophoff, untuk membebaskan mereka akan sia-sia. Karena
dalam hal menyergap, Blambangan lebih berpengalaman.
Namun demikian Schophoff mendengar laporan dari orang Bali
yang tertangkap, bahwa pemimpin orang Derwana dan
Indrawana ini sebenarnya seorang wanita. Itu sebabnya
Kapten Heinrich menjadi malu. Ia bertekad akan memberi
pukulan penghabisan akhir bulan September ini. Dan di
samping tembakan kanon dan meriam yang tidak kendur, ia
mulai membuat perang terbuka. Tepat tanggal sembilan Asuji
dalam bulan Jawa, ia berhasil menembus Derwana. Tinggal
puing semata. Semua penghuni telah menjadi mayat. Maka ia
mengerahkan pasukannya ke Indrawana. Kini Ayu menyadari
ia makin terdesak. Maka ia berusaha mengajak anak buahnya
surut dan bergabung dengan Wilis di Bayu.
Tapi kala semua orang sudah masuk hutan, ia dan
beberapa pengawalnya masih sibuk melindungi mereka
dengan panah dan senapan. Dan sebuah peluru tepat
menghantam bahunya. Matanya mendadak berkunang-
kunang. Pengawalnya terkejut. Mereka segera menggendong
tubuh Ayu yang berlumuran darah itu.
Dalam semak Ayu tidak menyia-nyiakan waktu yang ada. Ia
segera merobek kainnya yang putih, lalu menulis di atasnya
dengan darah sebagai tintanya, sedang ujung jari sebagai
pena. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ranti...," katanya kemudian pada seorang pengawal.
Yang dipanggil mendekat. "Kau tahu jalan ke Bayu, bukan?"
"Hamba, Yang Mulia! "
"Tinggalkan aku di sini! Sia-sia kalian membawa aku.
Berikan padaku panah dan senapan yang masih berisi.
Sampaikan ini pada junjungan kita!"
Ranti mengerjakan perintah pimpinannya dengan tidak bisa membendung air matanya.
"Kau laki-laki Blambangan bukan?"
Orang itu mengangguk! Malu sebenarnya meninggalkan pimpinan yang harus di
kawalnya dalam luka parah seperti itu.
"Kerjakan perintahku, sebelum mereka juga sampai di sini.
Punah Blambangan! Punahlah daku. Pergi!" bentaknya setelah memberikan kainnya.
Tinggal sebatas paha saja kini yang dipakainya. Masih lima orang pengawal
menyertainya merangkak mundur. Sebuah peluru meriam jatuh cuma lima depa di
belakangnya. Semua pengawalnya lumat. Sebatang pohon tumbang. Sebuah cabang yang
patah terpelanting dan menyambar bagian belakang kepalanya. Mendadak
pandangannya dipenuhi berjuta bintang yang berputar-putar, untuk kemudian tak
lagi mampu melihat apa pun. Juga tak ingat apa-apa lagi.
Kala ia mampu membuka matanya, ia rasa semua tulang dan dagingnya sakit. Sukar
bergerak. Dan betapa terkejut melihat sekelilingnya. Ia dalam kepungan
Schophoff, Van de Burg, Juru Kunci, dan Heinrich di sebuah rumah sempit.
Tangannya terikat pada dua buah tiang di kiri-kanannya.
Suara tawa menggelegak keluar dari mulut Schophoff.
"Ayu Prabu" Ah, sungguh anggun. Sungguh cantik. Lihat!!
Susunya begitu montok dan mulus" Lagi orang itu tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ayu Prabu memandangnya tajam. Dengan sisa tenaga yang
ada. Ia mengutuk diri sendiri mengapa masih sempat hidup.
"Tak salah lagi." Juru Kunci juga maju. Tangannya meraba
muka dan perut tawanan itu. Ayu Prabu meludah ke wajah
Juru Kunci. Dan kala Juru Kunci mengusap ludah di mukanya,
Ayu mengenakkan kaki dengan sisa kekuatannya, ke arah
kemaluan orang itu. Teriak kesakitannya mengundang tawa
teman-temannya. "Iblis, laknat!" tak habis-habis ia mengutuk di sudut ruangan.
"Pantas menjadi seorang pemimpin. Begitu galak seperti
singa betina. Derwana, Indrawana, sudah jatuh ke tangan
kami. Jika tahu bahwa yang memimpin seorang wanita tentu
kami akan berlaku lembut." Burg tersenyum. Ia mampu
berbahasa Jawa. "Tapi kami sanggup menyembuhkan Tuan Putri. Dan Tuan
Putri akan memimpin daerah ini i ka mau bekerja sama
dengan VOC." Tiada jawaban kecuali meludah ke tanah sambil melengos.
"Nona menghina." Schophoff juga bicara. "Lihat, kami
menolong Putri Rahminten dan akan membuang Jaksanegara
seusai perang." Juga tiada berjawab.
Sekali lagi Burg menawarkan, tapi tetap tiada P berjawab.
Burg melihat, memang wanita ini tidak main-main. Ayahnya
lari dari Banda. Maka Kapten Heinrich mulai mengayunkan
tangannya. Rotan di tangan mulai melukai tubuh itu. Bertubi-
tubi. Terkoyak-koyak kulit yang halus itu. Semua heran. Tiada
teriakan. Tiada tangisan. Sekilas Ayu ingat pada ibunya. Ah,
tertindih bebatuan! Punah semua!
"Nona tetap bungkam" Tunjukkan jalan yang aman
menuju..." Tapi gadis itu meludah lagi. Darah meleleh dari
mulutnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalian mendapat semua dari tubuhku. Tapi tidak dari mulutku," Ayu memotong
kata-kata Heinrich. "Baik! Luar biasa perawan Blambangan. Mungkin Nona menghendaki kepuasan di
tempat tidur baru bicara?"
"Persundalan memenuhi otak kalian. Maka kalianlah biang semua sundal. Dan
pemerintahan VOC tak lebih dari pemerintahan sundal!"
Keempat orang itu segera keluar meninggalkan Ayu Prabu.
Beberapa bentar Ayu mendengar detak kayu terbakar.
Kemudian, asap memenuhi ruangan. Wajah Bunda tampak tersenyum di tempat tinggi.
Mulia wanita itu. Tidak pernah membunuh. Tapi dibunuh. Kala asap makin penuh
hawa panas kian tak tertahan. Maka untuk terakhir kalinya ia berteriak,
"Dirgahayu Blambangan! Demi Hyang Maha Durga!
Jayalah!! Jayalah Wong Agung Wilis."
Mengalirnya pengungsi dan orang yang luka ke Songgon, bukan cuma menyentakkan
Mas Ayu Tunjung, tapi juga membuatnya khawatir. Maka ia memutuskan untuk masuk
ke Bayu dengan membawa perbekalan makanan. Ia tahu persis bahwa jika perang
berlangsung lama, maka perbekalan akan habis. Sementara ia harus lupakan lebih
dahulu Sratdadi. Tunjek, wakil Rsi Ropo di Songgon, tidak keberatan Mas Ayu Tunjung membawa
perbekalan itu. Jalur rahasia ia gunakan. Kendati begitu ia terus berpapasan dengan orang-orang
yang luka. Ah, kian membanjir. Maka ia mencoba menanyakan kabar tentang
pertempuran. "Derwana, Indrawana, telah punah. Mas Ayu Prabu gugur...."
"Hyang Maha Dewa! Apa katamu"!"
"Betul, Yang Mulia...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa kata ia melecut kudanya dengan diiringi keledai
beban. Lima pengawalnya pun tak ketinggalan. Ia tahu Wilis
sedang marah mendengar berita itu. Dan jika demikian akan
membahayakan. Dugaan Tunjung tidak keliru sama sekali. Begitu Ranti,
pengawal Ayu Prabu menghadap dengan mempersembahkan
kain putih, Wilis menjadi berdebar. Apalagi waktu
membacanya, "Kanda, tidak banyak waktu untuk berbicara tentang cinta.
Ah, kita sedang sibuk berperang. Tapi keadaan sekarang
sangat tidak menentu. Mereka berkacak-pinggang dalam
kemenangan, sedang hamba bermandi darah. Ah, rasanya
impian sudah sampai di penghujung. Maut begitu cepat
merenggutnya. Apa salahnya bila hamba katakan selamat
tinggal. Kanda, cintaku, semua karya dari darma hanya untuk
negeriku!" Wilis terhenyak. Ia genggam kain yang ia tahu disobek oleh
kekasihnya dari kain yang dikenakannya.
"Bagaimana keadaannya sekarang, Ranti?"
"Ampun, Yang Mulia." Ranti berbohong. Ia masih mengintip
kala meriam jatuh di belakang Ayu Prabu.
"Jagat Dewa Bathara! Blambangan atau mati!" Wilis gusar.
Sekali lagi ia pandang kain putih bertuliskan darah itu.
Beberapa bentar. Tangannya bergetar. Jiwanya membuncah.
"Pertahankan tiap jengkal tanahmu! Demi kesucian Hyang
Maha Dewa Ciwa!" teriaknya sambil berkuda mengelilingi
perkubuan. "Jangan seorang pun berniat surut, kendati maut
menjemput! Dirgahayu Wong Agung Wilis! Dirgahayu
Blambangan!" Heinrich sebagai perwira pelaksana sudah menurunkan
perintah untuk mengerahkan seluruh kekuatannya yang
tinggal separuh itu untuk mengepung Bayu. Ia harus berhasil
menangkap kembali Wong Agung Wilis yang barangkali saja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kini memimpin di sini. Ia berkeyakinan bukan Rempek yang
menggerakkan kawula. Tapi perjalanannya melewati belantara memakan waktu
hampir satu minggu. Bukan cuma waktu. Tapi juga memakan
korban yang tidak sedikit. Laskar Runtep mencegat mereka.
Dan sungguh, ia tidak mengerti, mengapa mereka begitu
berani mati. Dengan pakaian putih, ber-sumpingkan kembang
semboja di telinga, mereka menyerbu dengan pedang,


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombak, bedil, dan panah. Sebuah peluru sempat menyasar
lengan kirinya. Darah mengucur membuatnya semakin kejam.
Schophoff dan Burg berada di barisan belakang. Burg ingat
bahwa ia harus mencatat semua kejadian, lengkap dengan
tanggalnya, untuk laporan ke Batavia. Juga sebagai catatan di
museum negerinya, bahwa di negeri yang terbelakang,
bahkan boleh dikatakan tidak beradab karena orang-orangnya
masih telanjang dada itu, seorang gubernur perlu memeras
tenaga dan otaknya. Ikut menerobos hutan dan mengayunkan
pedangnya. Kini Bayu sudah dekat benar. Betapa inginnya ia
melihat kembali wajah Wong Agung.
Sejak dua hari peperangan sudah tidak ada istirahatnya. Ia
sendiri ikut merangkak dari satu parit ke parit lainnya.
Kejengkelan sering mengentakkan jiwanya. Peluru Wilis tidak
kunjung habis. Degup jantungnya kian mengeras demi
menerima laporan bahwa Heinrich terluka dan Letnan
Ostrousky gugur. Namun ia sadar, bahwa ia tidak boleh terpancing. Semua,
ya, semua yang bertindak gegabah di Blambangan akan jadi
mayat. Karena itu ia cuma memerintahkan agar tembakan
kanon di pergencar. "Jangan satu bangunan pun dibiarkan berdiri. Jika perlu,
jangan ada satu pohon pun dibiarkan hidup. Apalagi hewan
dan manusia. Kecuali jika mereka membuang senjata dan
angkat tangan!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harapan Burg bahwa peristiwa Lateng tahun seribu tujuh
ratus enam puluh empat waktu Wong Agung Wilis tertangkap
itu, tidak segera terjadi. Karena memang peluru meriam Bayu
belum habis. Melihat mayat yang begitu banyak, Burg sangat
menyesal. Sama sekali tidak ia harapkan. Karena ia ingin Wilis
menyerah. Hujan menandai hari itu. Tidak lebat memang. Tapi seluruh
bumi tampak mendung. Harini tanggal sebelas Oktober tahun
seribu tujuh ratus tujuh puluh dua Masehi, atau sekitar
tanggal dua puluh tujuh bulan Asuji, tepatnya hari Budha
Cemengan (Rabu Wage). Tapi perang tidak kunjung henti.
Sejak kemarin Wilis bersama beberapa orang terpilih bergerak
di segala tempat. Ia mengambil keputusan untuk mematahkan
serangan lawan dari punggungnya. Ia menyusup dalam semak
dan tahu-tahu muncul di belakang lawan. Maka punahlah
mereka sebarisan demi sebarisan. Terutama ia menyasar ke
barisan kulit putih. Dendam mengatasi semua pertimbangan.
Lupa bahwa akhirnya siasat itu diketahui juga oleh Van de
Burg. Kini parit-parit yang memanjang mengitari perkubuan itu
penuh berisi manusia. Sebagian menghadap ke perkubuan
Bayu sedang sebagian menghadap ke belakang. Hal yang
demikian juga dilakukan oleh lapis berikutnya. Dan itu yang
mengakibatkan semua pasukan berani mati Wilis terjebak
dalam kepungan. Begitu mereka muncul dari semak, langsung
menerima berondongan. Wilis sendiri langsung terhuyung
begitu peluru merobek dada kanannya. Pengawalnya
berteriak, "Yang Mulia!" Teriakan yang tulus telah membuat pengepungnya tahu
bahwa yang sedang mereka hadapi dan
roboh itu adalah Wilis. 'Tidak apa-apa! Maju terus! Blambangan atau mati!" Wilis
bangkit dan menyerbu bagai setan. Langsung ke tengah parit.
Tembakan berhenti. Bayu kehabisan peluru. Itu sudah
diperhitungkan oleh Wilis sendiri. Dalam parit ia dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepungan. Cuma bersenjata keris dan luka di dada yang
terbuka lebar. Sebuah tebasan pedang dari belakang telah
menyambar lengan kiri. Begitu keras. Sehingga lengan kirinya
itu terlepas dari tubuhnya. Dengan satu lengan ia masih
membunuh seorang opsir. Musuh berlarian menjauh. Wilis
tinggal sendiri. Semua pengawal mati. Kala mengejar, sebuah
peluru menembus paha kanannya. Sebuah lagi di perutnya.
Wilis terjungkal. Disambut sorakan. Letnan Moor mencoba
mendekati orang yang roboh itu. Namun begitu dekat Wilis
melompat dan menerkamnya. Tiap sentuhan keris Wilis berarti
nyawanya tidak akan tertolong. Jasadnya akan berubah
menjadi-biru. Benar-benar mengejutkan. Kembali dalam
keroyokan. Sebuah tebasan dari belakang menghantam
batang lehernya. Dan menggelindinglah kepalanya...
Mas Ayu Tunjung gemetar demi sampai di Bayu perang
sudah usai. Kompeni sudah meninggalkannya. Mayat bosah-
baseh. Mendung dan gerimis terus menandai hari-hari itu.
Setelah-memeriksa semua, ia tak dapat menahan air matanya.
Bahkan menangis seperti anak kecil yang meraung-raung.
Menyesal tidak ikut punah. Terlebih lagi kala Parti, seorang
pengawalnya, menemukan tubuh tanpa tangan kiri dan
kepala, sedang tangan kanannya terikat kain putih. Ia segera
melihat kain putih itu. Ternyata tulisan Ayu Prabu.
"Oh... Yang Mulia..." Ia merangkul tubuh itu. Darah telah
beku. Orang yang dikaguminya, dicintainya. Meraung lagi.
Tapi Bayu telah menjadi sunyi. Tak lagi berpenghuni. Tak lagi
ada rumah berdiri. Pelan-pelan ia angkat tubuh itu. Dibantu
para pengawal dinaikkan ke atas kudanya. Tubuhnya sendiri
jadi lemas tanpa daya. Sejuta penyesalan menyatu. Bersama
turunnya senja, Mas Ayu Tunjung pelan-pelan turun ke
Songgon. Dari mulutnya keluar tembang yang lebih
merupakan doa. Para pengawalnya membisu seribu bahasa.
Sejarah harus mencatat! Sebelas Oktober seribu tujuh ratus
tujuh puluh dua, Masehi! Hari punahnya... peradaban Hindu
Ciwa terakhir di Jawa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ah, merah dubang air kinang
merah darahmu, merah pula bumimu
merah pula api membakar tubuhmu
Tapi mereka riang berebut emas
menjarab-rayah semua-muaf
ya, semua-mua! Semilir angin bertiup-tiup tiada
Bulan bundar punah jua ditelan awan
Putih tulangmu, putih budimu
tapi lenyap dilanda petaka, seolah tanpa nama
Ah, tiada lagi harum bunga mawar merah yang mekar
yang tersisa, suara burung hantu menyentak kalbu
dendang gulana menghias mimpi...
0ooDewiKZoo0 Cakar Maut 1 Telapak Emas Beracun Jan Jin Que Yu Karya Gu Long Jejak Malaikat Biru 2
^