Tuan Tanah Kedawung 1
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th Bagian 1
TUAN TANAH KEDAWUNG GANES TH Sumber: http://www.boozet.org/derryadrian
Re-edit & layout: kiageng80
TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 1 ANGIN menderu-deru bagaikan dengus jutaan hewan liar.
Berbaur dengan gemuruh hujan serta halilintar yang pecah berkali-kali di
angkasa. Membuat malam itu begitu mengerikan, seakan-akan dunia ini tengah
sekarat dalam hembusan nafasnya yang terakhir.
Di bawah derai hujan lebat, tampak seorang laki-laki berdiri memandang sebuah
bangunan usang di tepi jalan Desa Kedawung. Agak lama ia memandangi bangunan
yang tak terurus itu, menatap sekeliling halaman, lalu melangkah masuk.
Disibaknya sarang laba-laba yang hampir memenuhi ruangan yang bocor dan gelap.
Ia melangkah ke sudut dan menggeser sebuah balok tiang yang runtuh dari langit-
langit bangunan tersebut. Dilepaskannya buntalan lusuh dari punggungnya. Ia
memungut beberapa serpihan papan dan cabikan kain tua yang berserakan di lantai,
lalu dikumpulkan jadi satu. Dari dalam buntalan diambilnya sebuah alat pemantik
api yang segera digunakan untuk menyalakan api unggun.
Ia membuka bajunya yang basah kuyup, diperasnya kuat-kuat, kemudian digarangnya
di atas api unggun yang membesar tertiup angin.
Mata laki-laki ini masih memandang ke sekeliling ruangan yang kini diterangi
cahaya api. Puing-puing bangunan tampak berserakan di dalam rumah itu.
"Lima tahun sejak kutinggalkan, desa ini sudah
berubah seperti desa hantu!" Gumamnya di dalam hati.
"Entah musibah apa yang melanda rumah Bang
Samirun, kasir Ayahku ini"!" Matanya bertanya-tanya menatap ke sekitar ruangan.
Ia tertunduk, wajahnya yang terlihat tampan di bawah cahaya api, makin muram dan
cemas. "Mudah-mudahan tidak terjadi suatu pun terhadap keluargaku. Ratna istriku...,
lima tahun lamanya, tak ada kabar berita. Ibu dan Mirta adikku... entah
bagaimana dengan keadaan mereka..."!" Ia menarik napas dalam-dalam.
Tiba-tiba lelaki itu tersentak, karena telinganya mendengar langkah kaki di
dalam rumah itu. Terdengar papan rapuh terpijak. Ia bangkit dan melihat ke arah
ruangan dalam. Gelap disitu. Namun ia yakin, ia tidak sendirian di rumah itu.
Guntur menggelegar di angkasa. Hujan pun masih
tumpah dengan lebatnya. Bunyi berkeriut daun-daun jendela yang dihempas angin, membuat suasana di dalam
rumah usang itu terasa makin menyeramkan. Namun laki-laki ini
sedikitpun tidak merasa takut. Kembali ia duduk dengan tenang di dekat api
unggun. Pada detik itu di antara celah-celah dinding papan, sepasang mata merah
liar mengintainya. Bertepatan dengan menggelegarnya halilintar di
angkasa, sesosok tubuh mencelat secara tiba-tiba dan mendobrak dinding papan di
belakangnya itu. Bersamaan dengan itu, tampak sosok banyangan lompat berlari.
"Siapa kau"!" Ia menghardik. Lalu mengejar.
Sosok bayangan itu terus berlari ke arah dalam rumah yang gelap pekat itu, yang
kadang-kadang hanya diterangi selintas oleh kilatan cahaya halilintar.
Laki-laki ini berhasil merengkas kaki sosok bayangan itu, dan tubuh itu
tersungkur membentur papan-papan yang segera rubuh bergelimpangan dengan
gaduhnya. Laki-laki ini segera mencengkeram baju orang itu. Tapi sosok itu bangkit dan
meronta sehingga koyaklah bajunya yang compang-camping itu. Orang itu lari ke
sebuah sudut ruangan dan terdengarlah jeritan seorang perem-
puan penuh ketakutan. Laki-laki ini tersentak sejenak.
Sosok tubuh perempuan itu kurus dengan rambut
beriapan. "Hei! Siapa kalian"! Manusia atau hantu"!"
Tiada jawaban, hanya terdengar dengus napas-napas yang bersendat dan terlihat
kedua sosok tubuh yang berangkulan itu menggigil.
Tiba-tiba di antara cahaya kilat yang melintas, tampak jelaslah wajah-wajah
kedua sosok tubuh itu yang sangat mengerikan. Perempuan tua itu matanya buta
dengan bekas luka yang belum mengering, darah masih mengalir bercampur air dari
rongga matanya. Rambutnya putih beriapan. Lengannya gemetar menggenggam sebatang
tongkat yang menyanggah tubuhnya. Sebelah lengannya lagi memeluk tubuh putranya
yang menggigil dan menatap jalang ke arah laki-laki asing. Laki-laki ini pun tersentak mundur,
bukan karena takut, melainkan wajah pemuda itu telah amat dikenalnya.
"Kau..."! Kau Mirta, adikku bukan..."!" Ia melangkah maju. Pemuda dan nenek itu
mundur merapat ke dinding.
"Kenapa kau jadi begini, Mirta"!" Ia mendekat dan menggenggam bahu pemuda itu.
Lalu mengguncang bahu si pemuda yang makin pucat ketakutan.
"Apa yang telah terjadi, Mirta"! Ke mana Ibu, dan Ratna"! Apa yang terjadi
terhadap mereka"! Katakan Mirta!"
"Ampun bang Giran...! Ampun...!" Ratap Mirta tersen-
dat-sendat. "Ampun"! Apa maksudmu, Mirta"!" Giran men-
cengkeram bahu adiknya dan mengguncangnya dengan perasaan tidak mengerti. Rasa
cemasnya tiba-tiba makin menyesakkan dadanya. Lengan si nenek menggapai-gapai,
menepis dan berusaha melepas cengkeraman lengan Giran pada bahu Mirta.
"Ampunkan adikmu, Giran...! Kalau kau mau bunuh, bunuhlah Ibu yang sudah tidak
berguna lagi ini, Nak!"
tukasnya dengan lirih. "Ibu..."!" Mata Giran makin terbelalak menatap
perempuan yang buta ini. Suara bicara itu memang jelas suara ibunya. Tapi wajah
dan keadaan tubuh perempuan buta ini jauh berbeda dengan ibunya, seorang wanita
paling berpengaruh di seluruh Kedawung. Cantik serta kaya-raya sebagai istri
Tuan Tanah yang amat disegani oleh seluruh penduduk. Giran sukar memahami dalam
kurun waktu yang cuma lima tahun bisa merubah
perempuan secantik ibunya menjadi seorang nenek yang amat buruk seperti sekarang
ini. Tapi suara bicaranya serta gerakan alis matanya yang kini sudah putih
beruban itu, adalah ciri kebiasaan ibunya yang amat dikenalnya.
"Kau ibuku..."! Betulkah kau ibuku..."!" desak Giran dengan napas tersengal.
Perempuan tua itu mengangguk, jantung Giran terasa terhenti. Ia memandang ke
arah Mirta minta kepastian.
Adiknya ini mengangguk sambil tertunduk.
"Ibu..."! Kenapa Ibu jadi begini"!" Giran menatap tajam-tajam wajah ibunya
dengan suara nyaris kandas di kerongkongannya.
"Siapa yang telah menganiaya Ibu sampai begini"
Siapa"!" Ia nyaris berteriak.
Tapi perempuan tua itu berpaling dengan tubuh agak gemetar menahan tangis. Ia
bungkam seribu bahasa. Giran makin geram penasaran.
"Katakanlah Bu! Siapa manusia laknat itu" Katakan-
lah, jangan takut!" desaknya.
Perempuan tua ini masih diam tak bersuara, agaknya ada sesuatu yang amat sulit
diceritakan terhadap putra tirinya yang baru pulang dari rantau ini.
Giran terkejut tak terhingga ketika dirasakan ada sebuah sambaran angin menderu
ke arah belakang kepalanya. Ia berkelit tepat ketika sebatang balok melun-
cur dan menghantam tiang di sisinya. Dengan gerak reflek Giran melontarkan
sebuah tendangan keras kepada si pembokong itu. Sebuah teriakan mengaduh
terdengar berbarengan dengan terbantingnya tubuh menghantam dinding. Giran
tercengang memandangi tubuh adiknya yang terkapar di atas pecahan papan dinding
yang berserakan itu. "Kau sudah gila Mirta"! Apa artinya semua ini"!"
Lengan Giran yang kokoh itu mencengkeram leher baju Mirta dan diangkatnya.
Tongkat si nenek menggapai-gapai dan memukul punggung Giran.
"Lepaskan Mirta, Giran! Lepaskan! Baiklah, akan kuceritakan!" Katanya lirih
memohon. Jelas terlihat ia amat menguatirkan keselamatan putra kandungnya.
Giran melepaskan cengkeramannya pada leher baju Mirta. Ia berusaha bersikap
tenang, meski dadanya terasa hampir pecah diamuk berbagai perasaan.
"Apa yang terjadi?" katanya tenang.
"Samolo, Giran. Semua gara-gara si Samolo. Iblis itu telah menghancurkan segala-
galanya..." Suara perempuan ini terdengar gemetar dan parau seperti suara tangisan burung
hantu. Giran tercenung seakan-akan memandang sebuah gambaran mimpi aneh berpeta
silih berganti di hadapannya. Samolo, centeng paling disayang dan paling
dipercaya oleh mendiang ayahnya. Centeng paling setia yang pernah mengasuhnya,
bahkan ia merasa dibesarkan di gendongan centeng yang amat perkasa namun lembut
hati itu. Kini ibunya sendiri mengatakan dengan tandas bahwa centeng setia itu
telah berubah menjadi iblis yang menghancurkan rumah
tangga majikannya. Tiba-tiba pikirannya melintas cepat kepada Ratna, istrinya.
Peluh dingin pun tanpa terasa mengalir dari pori-pori tubuhnya.
"Apa yang telah diperbuatnya"!"
"Begitu kau pergi, dia mulai memperlihatkan watak aslinya. Kiranya dia seekor
serigala berbulu domba. Dia betul-betul iblis yang paling keji, Giran. Keji
sekali!" Ibu ini meratap dan sesengukan dalam tangisnya yang amat memilukan.
"Apa yang dilakukannya terhadap Ibu dan Mirta...?"
Suara Giran mendesis dari celah giginya.
"Dia telah merampas semua yang kita miliki. Harta warisan mendiang ayahmu yang
berlimpah itu telah dikangkanginya, sebagian sudah ludes di meja judi!"
Tangisnya semakin sengit.
"Belum cukup sampai di situ, dia juga hendak meram-
pas nyawa ibu dan adikmu sekaligus! Dengan kejam dia aniaya Mirta, hingga adikmu
itu terganggu jiwanya...!"
Giran memandang adiknya itu, hatinya terasa
terenyuh. Mirta duduk menggigil di sudut dengan wajah tegang diliputi ketakutan
matanya jalang berputar ke sekitar ruangan. Bunyi derak dari jendela membuat ia
terkesiap dan makin nanar menatap ke arah jendela itu dengan tenang.
"Dan mata ibu dicukilnya dengan tak kenal rasa
kasihan sedikitpun!" Isaknya semakin menyayat hati Giran.
Ibu ini memegang rambutnya yang putih bagaikan
perak, dan menyibak-nyibaknya sambil menangis tersen-
dat-sendat. "Kau lihat rambut ibu ini, Nak! Telah berubah putih dengan mendadak. Karena aku
selalu disiksa rasa takut dan was-was terus menerus. Siksaan lahir-batin yang
tak tertahankan!" Hening sejenak, namun keheningan itu justru makin menusuk jantung serta syaraf
di otak Giran. Lebih-lebih ketika bayangan yang menakutkan itu muncul di
benaknya melalui isak tangis ibunya.
"Lebih menyakitkan lagi, ternyata Ratna... Istrimu itupun bersekongkol dengan
Samolo keparat itu...!"
Andaikata saat itu ada kilatan petir yang tiba-tiba menyambar seluruh isi
ruangan tersebut, barangkali hati Giran tidak akan seluluh ketika mendengar
tentang istrinya itu. Bayangan yang menakutkan itu akhirnya berwujud nyata di
hadapannya. Hatinya terasa pedih bagaikan disayat-sayat sembilu. Namun ia
mencoba untuk tidak mempercayai begitu saja kata-kata ibunya.
Betapa pun dialah yang lebih tahu tentang kehalusan watak Ratna. Gadis desa yang
kemayu, lugu dan amat sederhana. Justru sifat-sifat murninya itulah yang telah
menambat seluruh hati sanubari putra Tuan Tanah yang serba kecukupan ini, lalu
mempersuntingnya sebagai istrinya dan memujanya sebagai dewi. Namun penga-
laman pengembaraannya di rantau, selama lima tahun itu, telah banyak yang
dilihatnya. Betapa mudahnya sekuntum mawar yang segar dan molek itu menjadi layu
hanya oleh bakaran terik matahari atau oleh hempasan angin. Bahkan sebongkah
batu cadas yang kokoh itu pun akan terkikis sirna menjadi pasir oleh gempuran
gelombang. Apalagi watak manusia, perempuan lagi.
Demikian pikirnya. Bayangan yang menakutkan itu kembali muncul dan semakin
berpeta nyata di pelupuk matanya.
"Ratna..."!" Ia tidak tahu, apakah ia mendesah atau berkata ketika mengucapkan
nama istrinya itu. Perasaan rindu selalu saja menguasai dirinya setiap ia
menyebut nama itu. "Ya, ibu pun tidak menyangka, Ratna dapat berbuat serendah itu dan sampai hati
pula turut mencelakai ibu dan adikmu!" Desah ibu ini sambil menarik napas dalam-
dalam. Kepala menggeleng-geleng penuh penyesalan dan kecewa.
Giran melangkah ke sisi jendela, memandang deru hujan yang bergemuruh seperti
degup jantungnya sendiri.
Wajahnya merah padam dan muram.
"Di mana mereka sekarang"!"
"Sudah tentu sedang jadi raja dan ratu di gedung kita!"
tukas ibunya sengit. "Hmm, keparat!" Gumam Giran penuh dendam.
Pemuda ini mengambil sebuah bungkusan kain putih dari dalam buntelannya, lalu
diselipkan di pinggangnya.
Suasana kembali jadi hening, kecuali di luar masih terdengar gemuruh hujan dan
bunyi guruh di kejauhan. Mirta masih duduk di sudut lalu beringsut mendekat ke sisi ibunya. Perempuan
buta ini hanya sanggup menelaah keadaan dan gerak-gerik putra tirinya itu dengan
telinganya. "Mau ke mana kau, Giran"!" tanyanya cemas.
"Kalian diam saja di sini!" jawab Giran singkat, dan tiba-tiba saja tubuhnya
sudah melompat ke luar jendela.
*** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 2 BADAI masih mengamuk. Guntur menggelegar, kilat menyambar-nyambar di angkasa.
Terasa bumi tergetar dan seakan-akan terbelah. Namun gemuruh dendam di hati
Giran masih melebihi amarah alam saat itu.
Ia berlari dan melompati beberapa parit yang
menghadang di depannya. Hatinya masih terus gemuruh dan makin mendidih.
"Samolo...! Hmm tunggulah kau jahanam...! Aku
pulang untuk merobek nyawamu!" Umpatnya sambil
terus berlari. Rambutnya yang gondrong tak terurus itu tersibak-sibak dihempas angin. Larinya
secepat dan setangkas kijang. Peluhnya mengucur deras bercampur derahan hujan.
Cepat sekali ia sudah tiba di muka pintu gerbang dari sebuah bangunan besar.
Sebuah gedung megah dan antik yang bertahun-tahun ditinggalkannya.
Dia berdiri terpaku memandangi gedung mewah
warisan ayahnya, seorang tuan tanah yang pernah jaya penuh kharisma di kawasan
Kedawung yang subur, tenteram serta damai. Tapi kini gedung tersebut tegak dalam kesunyian, kosong
dan kehilangan wibawanya.
Giran menghela napas, lima tahun lamanya ia disiksa kerinduan untuk pulang ke
gedung yang pernah memberikan kehangatan kepadanya. Kehangatan cinta kasih istrinya yang cantik dan
lembut. Namun kenyataan yang dihadapi sekarang, membuat hatinya terasa beku dan
sakit. Pintu gerbang itu terkunci dengan kokohnya. Ia
melompat ke atas dinding lalu lompat turun ke halaman yang luas dan sunyi itu.
Dipandanginya lagi keadaan taman serta gedung itu. Hening hampa, namun masih
tetap terawat baik, seperti ketika ia masih berada di sini.
Ia melangkah ke teras gedung. Ruangan utama itu terkunci dan terlihat rapi, dan
vas-vas bunga antik itu masih tetap berada di tempatnya seperti dulu. Dengan
cermat Giran meneliti semuanya. Terlihat beberapa pot dan vas antik itu diikat
dengan kawat dan ditambal, karena bekas pecah berkeping-keping. Dan terlihat
pula di tiang pilar yang bulat dan kokoh itu, beberapa goresan dalam bekas
terkena hunjaman dan sabetan beberapa jenis senjata tajam. Giran jadi termangu
memandangi itu semua. Tanpa terasa bulu kuduknya jadi merinding.
Terbayangkan di benaknya sebuah pertarungan dahsyat pernah terjadi di gedung
itu. Tak pernah diduganya, ternyata perebutan kekuasaan atas harta warisan
ayahnya itu telah menimbulkan pertumpahan darah demikian hebatnya.
Pintu ruangan utama itu pun terkunci rapat. Meneliti keadaan gedung yang masih
tetap terawat baik, hati Giran agak terhibur sedikit, karena menunjukkan
penghuninya masih menghargai peninggalan mendiang ayahnya. Ia meninggalkan teras
itu dan memutar ke samping gedung menuju arah halaman belakang. Pintu pagar
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
samping pun didapatinya terkunci. Ia naik ke atas pohon. Meneliti sejenak
keadaan halaman belakang yang luas dan sunyi itu. Ia melompat turun dan
memandang ke sekitarnya. Tepat di sudut dinding belakang, di sebuah kamar emper
bekas gudang kayu itu, tampak lampu masih menyala. Ia menghampiri kamar emper
bekas gudang itu, dan melongok melalui jendela yang masih terbuka.
Di dalam kamar sempit dan sangat sederhana itu yang diterangi cahaya lampu
teplok yang remang-remang, tampak seorang wanita muda sedang duduk di balai
bambu, merajut sebuah baju kecil yang sudah penuh tambalan. Kadang-kadang ia
berhenti merajut dan merapikan selimut yang menutupi sesosok tubuh kecil yang
tergolek tidur di sisinya. Agaknya betapa sering wajah sayu nan cantik itu
disiram deraian air mata.
Karena setiap tisik jarum setisik air matanya jatuh menetes. Lebih-lebih bila
ditatapnya wajah mungil yang sedang terlena tidur dengan napas halus di sisinya
itu. Giran masih tertegun memandangi keadaan di dalam kamar itu dari luar jendela.
Hatinya terasa tergetar oleh luapan rindu yang bertahun-tahun dipendamnya.
Ratna, masih tetap cantik meski kini tubuhnya tampak kurus dan bajunya penuh
tambalan. Tiba-tiba hatinya jadi seperti terbakar ketika melihat anak kecil yang sedang
tidur di sisi wanita itu.
"Anak itu jelas hasil perbuatan nistanya dengan Samolo...!" Geram hati Giran,
dan dadanya terasa akan meletup saat itu.
Ia menguak pintu, menimbukan bunyi berderit yang mengejutkan Ratna. Ratna
berpaling dan tertegun memandang ke arah pintu. Perlahan-lahan ia bangkit,
ditatapnya laki-laki yang tegak di ambang pintu kamar itu dengan kilauan mata
bagaikan tengah bermimpi. Bibirnya yang pucat itu tampak gemetar. Dengan napas
tersendat ia berusaha menyebut nama suaminya, namun suaranya kandas tertahan di
kerongkongannya yang terasa
tersumbat. Giran masih berdiri beku di depan pintu.
Keduannya bagaikan patung-patung bisu, tenggelam dalam kecamuknya perasaan
masing-masing. Ratna masih tertegun, seakan-akan memandang suatu
fatamorgana. Kemudian dengan isak tangis yang tersendat-sendat Ratna lari menubruk tubuh
suaminya dan didekapnya erat-erat seolah-olah takut kehilangan lagi... Tiada
kata-kata yang sanggup terucapkan dari mulutnya, kecuali sedu-sedan yang pecah
penuh luapan perasaannya. Giran masih tegak seperti patung perunggu. Cuma
matanya saja yang bersinar, tajam dan merah membara. Lama Ratna membenamkan
wajahnya di dada Giran yang
telanjang dan bidang itu, membasahkannya dengan air matanya yang tumpah tak
terbendung. Akhirnya terpatah-patah ia meratap, "Kau telah kembali Kak... Aku sangat rindu
padamu...!" Ia mengangkat wajahnya dan menatap suaminya
dengan mata berkaca-kaca.
"Berjanjilah Kak... Jangan tinggalkan Ratna lagi..."
Pintanya. Mata Giran tajam memandang lurus ke muka, dingin menusuk seperti angin yang
berhembus dari luar jendela.
"Ratna... Ratna! Tidak perlu kau bersandiwara di hadapanku! Hapuslah air mata
buayamu itu...!" gumam Giran dengan dingin.
Ratna ternganga tak mengerti. Matanya bulat
terbelalak menatap wajah suaminya yang dingin dan sinis.
"Apa maksudmu Kak...?" Tanyanya tak mengerti.
Tiba-tiba Giran mendorong tubuh Ratna hingga jatuh terpelanting ke atas balai.
Anak kecil itu pun terbangun dan menangis. Ratna segera menggendongnya. Wajah
Ratna jadi pucat dan bingung. Air matanya makin deras bercucuran. Sambil
membelai kepala anaknya ia menatap suaminya yang kaku dan penuh diliputi
kebencian. Giran enggan memandang istrinya, ia melangkah ke jendela.
Suaranya terdengar parau dan dalam ketika berkata,
"Tiada sedetik pun dalam sekian tahun di rantau aku melewatinya tanpa disiksa
kerinduan. Bayanganmu senantiasa datang dalam mimpiku!"
Ratna tertunduk sambil menggigit bibirnya. Air
matanya tumpah makin deras.
"Tapi kini aku mengutuki ketololanku sendiri.
Mengapa aku mau mengawini perempuan nista semacam kau!"
Dingin dan hambar kata-kata Giran, tapi terasa seperti mata pisau yang teramat
tajam menyayat-nyayat jantung Ratna. Hingga perempuan ini harus berpegang erat-
erat tepi balai agar tidak jatuh bersama anaknya yang berada di dekapannya itu.
Dikuatkan hatinya untuk bertanya kepada sang suami, "Apa salah dan dosaku, Kak"!
Aku tidak merasa pernah mengkhianati suamiku...! Aku selalu setia kepadamu, Kak
Giran." "Demi Tuhan, aku tidak pernah mimpi apalagi merasa telah punya anak haram
seperti itu!" jawab Giran penuh geram.
Ratna benar-benar terluka, ia menjerit.
"Kau... Kau memfitnah! Anak ini adalah darah daging-
mu sendiri!" Giran mendengus. Nada kata-kata Ratna kembali
lembut, "Kasihan anak kita ini Kak, dia sangat
mendambakan kasih sayang ayahnya. Kuberi nama Girin agar aku selalu merasa dekat
di sisimu, kak Giran...!"
Katanya lirih. Giran berpaling, matanya menyala menatap Ratna dan putranya itu.
"Campakkan anak haram itu! Cuma setanlah yang
mau percaya ocehanmu itu!"
Giran tak kuasa menahan emosinya, ditudingnya
istrinya. "Kau dan Samolo bukan saja telah mendurhakai aku, juga ibuku. Adikku kalian
campakkan dari rumah ini!
Kau Ratna, kau telah bersekongkol dengan binatang Samolo dengan kelicikan dan
kebusukan yang kalian rencanakan masak-masak itu! Kau harus menebus
dosamu, Ratna!" Dicengkeramnya lengan Ratna kuat-kuat lalu ditarik ke luar pintu. Ratna menjerit
sambil meronta. Girin ikut menjerit ketakutan.
"Kau... Kau sudah gila, Kak Giran..."! Tidak! Aku tidak bersalah!" Protesnya
sambil berusaha melepaskan lengannya dari cekalan Giran. Amarah Giran makin
meledak, tanpa rasa iba sedikitpun diseretnya Ratna yang meronta-ronta itu.
"Ayo! Kau harus bersembah sujud dan bersimpuh di bawah kaki Ibuku, untuk
menerima hukuman dari dia!"
"Tidak! Tidak!" jerit Ratna seraya berusaha bertahan dengan berpegangan pada
pintu sekuat tenaganya. Girin terjepit dan menjerit-jerit. Namun Ratna terus
berpegangan pada tiang pintu, menolak untuk menemui mertuanya.
"Tidak! Aku tidak mau pergi! Meski dibunuh pun aku tidak sudi menemuinya!
Tidak!" Ia bertahan.
"Keparat! Aku patahkan tangan dan kakimu! Ayo!
Setelah kau, akan kucabut nyawa kekasihmu, si Samolo jahanam itu!"
Dengan hentakan keras, terlepaslah pegangan Ratna pada tiang pintu itu. Giran
terus menyeretnya tanpa menghiraukan jeritan protes istrinya dan tangisan Girin
kecil itu. Ratna terjatuh dan terus diseret ke tengah halaman yang becek
tersiram hujan itu. Pada detik itu, tiba-tiba sebuah tongkat tepat menghantam
lengan Giran. Dengan terkejut Giran melepaskan lengan Ratna sambil melompat mundur dengan
penuh waspada. Rasa sakit terasa sampai ke tulang sumsumnya. Seorang laki-laki
tua berkumis dan berjangggut memutih telah tegak di antara ia dan Ratna.
Suaranya berat, tenang penuh wibawa.
"Entah dedemit dari neraka mana, berani mengganggu wanita dari keluarga baik-
baik! Siapa kamu"!" Tegur laki-laki tua itu.
"Hmm... Samolo! Kebetulan, aku memang sedang
mencarimu!" Mendengar suara sang pemuda, wajah centeng tua
yang angker itu jadi berubah kaget kemudian tampak berseri-seri.
"Oh... Den Giran...! Aden sudah pulang...!" Sapa Samolo gembira.
"Jangan berpura-pura! Aku tahu kalian justru
mengharapkan aku tidak akan pulang selama-lamanya!"
tukas Giran dengan geram.
Samolo tertunduk, sikapnya tetap tenang penuh
hormat. "Kami selalu menanti kembalinya Aden. Banyak
peristiwa telah terjadi. Aku ingin menjelaskan kepadamu Den!"
"Tidak perlu! Aku sudah cukup tahu tentang
kebusukan kalian berdua! Arwah ayahku pasti akan bangkit dari liang kubur kalau
saja beliau tahu, bahwa kau yang sangat dipercayainya sepenuh hatinya, ternyata
seekor serigala berbulu domba!"
Samolo mengelah napas, suaranya jadi terdengar lebih dalam dan pedih.
"Telah kuduga, engkau telah didului oleh perempuan tua celaka itu dan terhasut
oleh mulutnya yang berbisa!"
Mata Giran mendelik. "Bangsat! Berani kau berkata sekeji itu terhadap ibuku"!" Lengannya meraba
bungkusan kain putih di pinggangnya.
"Aku kagum akan rasa baktimu terhadap orang tua, Den! Tapi ibumu itu..., begitu
rendah martabatnya dan tak patut menerima sujud bakti seorang anak seperti kau,
Den!" Giran melompat seraya mencabut pisau pusakanya
yang terbungkus kain putih itu. Ia menggeram dengan luapan amarahnya.
"Tutup mulutmu! Kau sudah melampaui batas,
Samolo!" Ia melangkah maju sambil menghunus pisau
pusakanya yang beracun itu.
"Kau harus menebus dosa-dosamu! Kau telah
melempar keluargaku ke dasar neraka penderitaan paling nista! Kau jadikan ibuku
sebagai mayat hidup, bergentayangan di kegelapan sepanjang hidupnya! Benar-benar keji kau, Samolo!"
"Dengarlah Den!" Samolo berusaha menenangkan
Giran. "Kekerasan tidak mungkin dapat menjernihkan air yang keruh! Tenang dan
bersabarlah, akan kujelaskan persoalan yang sangat pelik ini. Tenanglah Den!"
Bujuknya. Tapi amarah Giran sudah tidak bisa dikekang lagi.
Bayangan penderitaan ibu dan adiknya benar-benar membuatnya menjadi kalap. Tiba-
tiba saja ia melompat menerjang dengan tikaman pisau pusakanya tepat ke arah
jantung Samolo. Centeng tua yang masih tangkas ini melompat mundur untuk
menghindar dari ujung belati yang meluncur bagaikan kilat itu. Giran terus
mengejarnya sambil melancarkan tikaman-tikaman yang mematikan. Ratna jadi panik
berusaha mencegah kekalapan suaminya. "Jangan Kak! Bang Samolo tidak bersalah...!
Jangan...!" Jerit Ratna.
Tapi Giran tak menghiraukan jerit-tangis anak
istrinya. Ia merangsek terus centeng tua yang selalu berusaha menghindar.
Sekali-kali tongkat bambunya itu menangkis atau menyampok mental hunjaman ujung
pisau Giran. Hujan masih terus turun dengan lebatnya, guntur menggelegar memekakkan telinga.
Ratna menggigil mendekap Girin yang terus menangis kedinginan, juga ketakutan.
Dua buah serangan berantai Giran dengan beruntun pula dapat dipunahkan oleh
Samolo. Giran semakin penasaran, ia menggeram seraya lompat melancarkan
tendangan berantai. Tubuh tua Samolo segera terguling.
Sembuah tendangan dengan telak menghantam dadanya.
Giran lompat sambil mengangkat pisaunya untuk
menghabisi nyawa centeng yang dianggapnya telah menghancurkan keluarganya. Ratna
menjerit, dilepaskannya Girin dari dekapannya dan lari
menghambur memeluk kaki suaminya.
"Kau salah paham Kak! Sadarlah. Kau bertindak
terlalu kejam terhadap orang yang tak berdosa! Kau pasti menyesal!" Ratap Ratna
mengiba sambil memeluk kaki Giran.
"Tak berdosa"! Air tujuh samudra pun tidak akan cukup mencuci bersih noda dan
dosa kalian!" Geram Giran sambil menyepakkan kakinya, sehingga tubuh Ratna pun
terpelanting di atas tanah becek itu.
Putra sulung Tuan Tanah ini semakin mendidih
darahnya. Ia mengumpat kepada Samolo yang berlutut, menggapai-gapai mencari
tongkatnya. Untuk sesaat Giran jadi tertegun, ia baru mengetahui mata centeng
ini sudah tidak berfungsi lagi. "Dia sudah buta...!" gumamnya. Saat itu
terlintas kenangan masa lalu ketika ia masih kecil dulu. Sering ia nangkring di
punggung laki-laki tua ini yang merangkak-rangkak di halaman main kuda-kudaan.
Dia telah mengasuh dirinya dengan penuh telaten serta kasih sayang sebagai
anaknya sendiri. Samolo sesungguhnya abdi yang sangat setia ketika itu. Betapa kecewa hatinya, ternyata
watak manusia begitu mudah goyah. Darahnya kembali mendidih ketika bayangan
wajah ibunya yang menderita buta dan Mirta yang terganggu jiwanya akibat
perbuatan centeng ini. Dadanya terasa terbakar kembali. Kini Samolo telah
bangkit lagi, berdiri agak limbung di tengah derahan hujan lebat.
Tampak darah menetes dari mulutnya, memerahi kumis dan janggutnya yang putih.
Darah itu terus menetes, mememerahi genangan air di bawah kakinya. Melihat
penderitaan centeng tua itu, hati Ratna terasa ikut tersayat. Ia meratap
mengiba-iba kepada suaminya.
"Kak Giran, jangan kau terpedaya oleh hasutan Ibu dan Mirta...! Merekalah
sesungguhnya yang menjadi biang keladi dari semua malapetaka ini...!"
Samolo terbatuk-batuk, bicara dengan napas
memburu. "Biarlah Neng Ratna. Suamimu telah begitu dendam kepadaku! Ya, memang akulah
yang telah membutakan mata ibumu. Kalau itu satu dosa, aku bersedia menerima
hukuman darimu, Den Giran!"
"Kalau begitu, kau memang harus mati Samolo!" teriak Giran, seraya menerjang
dengan sabetan-sabetan pisaunya. Samolo berkelit dan menangkis dengan tongkat bambunya. Suara benturan
senjata seakan-akan bersahutan dengan bunyi guntur di angkasa. Pertarungan berlangsung dengan
serunya di bawah curahan hujan lebat. Ratna menggigil sambil mendekap Girin,
menahan ketegangan jiwanya. Betapa tidak, karena kedua laki-laki itu adalah
orang-orang yang paling dikasihinya dalam hidup ini. Hatinya menjerit dan
meratap, namun apa daya..."!
Ia cuma bisa terisak menangis sambil memeluk
anaknya. Karena faktor usia serta kondisi tubuh yang sudah tak berimbang lagi,
Samolo tersungkur tak berdaya. Kepalanya terbentur tiang emper lalu rebah tak
berkutik lagi. Ratna menjerit, menubruk tubuh yang nampak masih tegar itu.
Diguncang-guncangnya sambil memanggil nama sang centeng. Tapi Samolo cuma
merintih sejenak lalu diam terkapar dengan keadaan sangat menyedihkan.
Giran menarik lengan Ratna lalu ditariknya.
"Biarkan jahanam itu mendapatkan bagiannya! Kini giliranmu!"
"Kau. Kau kejam!" Ratna menjerit dan meronta
berusaha melepaskan diri. Tapi Giran tak
memperdulikannya, terus menyeretnya ke luar halaman belakang gedung itu. Ratna
terus meronta, tubuhnya terseret di tanah becek tersiram hujan yang tak kunjung
henti. Girin menjerit-jerit mengikuti sambil memanggil ibunya. Tapi Giran yang
sudah gelap mata ini dengan tidak mengenal ampun menyeret tubuh istrinya
sepanjang sisi gedung terus menuju keluar.
"Tidak! Tidak! Aku tidak sudi lagi melihat iblis itu!
Lepaskan...! Lebih baik kau bunuh saja aku di sini...!
Lepaskan...!" jerit Ratna sepanjang jalanan.
Tubuh Ratna tergusur melewati pintu gerbang dan melintasi jembatan yang
melintang di atas parit besar yang ada di muka gerbang itu. Girin mengikuti
terus sambil menangis memanggil-manggil ibunya. Tepat di tengah jembatan batu
yang licin itu anak ini terjatuh tergelincir dan tubuhnya berguling ke bawah
jembatan itu. Melihat itu, Ratna menjerit histeris.
"Ya Allah, Anakku! Girrriiinnn... Anakku..."
Tapi ia tak kuasa menolong anaknya itu, tubuhnya jatuh bangun diseret Giran yang
sedang kalap. Girin megap-megap dihanyut air yang mengalir deras itu.
Teriakan ibunya kian menjauh, kemudian sirna ditelan gemuruh hujan dan guntur
yang masih menggila. Sementara itu, tubuh Samolo mulai bergerak,
perlahan-lahan siuman dari pingsannya. Kemudian ia sadar dengan peristiwa yang
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru saja terjadi. Dengan seluruh sisa tenaganya ia berusaha bangkit. Lalu
dengan langkah terhuyung-huyung ia mengejar ke muka pintu gerbang, sambil
memanggil-manggil Ratna dan Girin.
Tongkatnya menyusuri jembatan batu itu. Tepat pada saat itu, telingannya
mendengar sesuatu di bawah jembatan itu. Wajahnya jadi semakin tegang dan
beringas. "Tangisan Girin...!" Desisnya cemas.
Suara megap-megap di kolong jembatan itu terdengar samar-samar, kemudian lenyap
ditelan deru hujan. Samolo mengerahkan daya pendengarannya yang menjadi andalannya selama ini untuk
mencari anak kecil itu. Syukurlah Girin yang baru berusia empat tahun ini cukup cerdik untuk menolong
dirinya. Ia bergelayutan erat-erat pada akar pohon yang kebetulan tumbuh di tepi
parit itu. Samolo pun segera mengetahui di mana anak itu
berada. Dengan meraba-raba ia turun ke dalam parit yang sedang pasang dan dengan
air yang mengalir amat deras. Tubuhnya bergerak dan menggapai-gapai ke arah
Girin yang berpegangan erat pada akar pohon. Arus air yang deras itu menghempas
dan menarik tubuh centeng tua ini. Namun dengan sekuat tenaga ia maju terus
mendekat ke arah cucu majikannya.
"Tenanglah Nak! Berpeganglah erat-erat. Embah akan menolongmu!" kata Samolo
memberi semangat kepada bocah kecil itu. Sesaat kemudian lengannya berhasil
meraih tubuh anak itu dan langsung dipeluknya. Girin pun merangkul dengan erat.
"Tenanglah Nak. Kau sudah selamat kini...!" hibur Samolo sambil berusaha
menggapai tepi parit. Girin menangis terisak-isak memeluk leher "Si Embah" ini.
Keduanya berhasil naik ke atas parit dan berdiri di atas jembatan. Samolo
menggendong Girin yang masih terus menangis, menunjuk ke arah jalanan. "Mama
dicelet kecono...!" rengeknya.
"Diam Nak, jangan menangis...! Mari kita susul Mama!"
Sambil menggendong Girin, Samolo berjalan menuju jalanan besar itu dengan
tuntunan tongkatnya. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 3 GIRAN menghempaskan tubuh Ratna ke lantai. Ratna menjerit dan mengumpat dengan
kalap dan pedih. "Kau telah membunuh anakku...! Kau ayah yang tak punya perasaan! Kejam...! Oh...
Girin... anakku...!" Ratap Ratna sambil menelungkup di lantai berdebu itu.
Giran berteriak memanggil ibunya "Ibu...! Aku sudah menyeret perempuan keparat
itu ke sini!" Dari balik dinding papan muncullah dua wajah yang diliputi rasa was-was dan
curiga. "Keluarlah Bu! Inilah perempuan yang telah membuat Ibu menderita. Kuserahkan dia
agar Ibu menghukumnya!" teriak Giran lagi.
Bagai dua sosok makhluk ganjil, ibu dan anaknya keluar dari tempat
persembunyiannya. Suara ketukan tongkat si nenek sudah cukup membuat bulu kuduk
Ratna merinding. Wajah Ratna jadi pucat, seketika, darahnya seakan-akan berhenti
mengalir. Dia merangkak mendekap kaki Giran, meratap dengan suara gemetar.
"Jangan...! Jangan biarkan dia membunuhku, Kak...!
Oh... Tolonglah aku Kak...! Tolonglah...!"
Wajah si nenek menyeringai mengerikan. Biji matanya yang luka bernanah itu
bergerak-gerak. Mata Mirta pun ikut liar menatap istri kakaknya itu. Ratna
semakin ketakutan. "Bunuh dia, Mirta! Bunuh! Cepat Mirta!" teriak nenek ini tiba-tiba.
Mirta memungut sepotong kayu. Melangkah mendekat ke arah Ratna denga wajah
menyeringai. Si Nenek pun siap dengan tongkatnya. Ratna menjerit dan bersembunyi
di belakang tubuh Giran yang berdiri beku seperti patung.
Dengan teriakan mirip orang hutan, Mirta tiba-tiba lompat mengayun pentungannya
ke arah Ratna. Ratna mengelak dan lari ke arah pintu. Tapi si nenek sudah
mencegatnya di situ sambil mengangkat tongkatnya, dan langsung dipukulkan ke
arah Ratna. Untunglah bagi Ratna, karena tidak bisa melihat, pukulan mertuanya
itu menjadi ngawur. Tapi teriakannya yang melengking memberi komando kepada
Mirta, benar-benar membuat Ratna semakin panik ketakutan.
"Cepat Mirta, bunuh setan ini! Bunuh! Ayo cepat.
Jangan kasih ampun padanya!"
Ratna pontang-panting berlarian di dalam ruangan rumah usang itu. Ia berusaha
menyelamatkan diri dari keroyokan adik-ipar serta mertuanya yang sudah seperti
kerasukan setan itu. Sementara itu Giran hanya berdiri mematung di sisi jendela,
seakan-akan tidak mendengar jeritan Ratna yang mengiba-iba minta tolong
kepadanya. Benarkah ia sudah kehilangan perasaan kasih sayang kepada istrinya, sampai hati
pula membiarkan istrinya disiksa dengan cara kucing mengeroyok seekor tikus"
Entahlah. Tapi yang jelas, ada butiran-butiran air jernih dan hangat jatuh
menetes di atas lengannya... Ratna semakin letih dan putus asa. Ia jatuh
terjerembab tak berdaya lagi. Dua orang pengeroyoknya itu segera tertegun
mengatur napas. Mirta mendengus dengan napas memburu.
"Dia sudah kepayahan Bu, tidak bisa lari lagi...!"
"Bagus. Ayo cepat Mirta! Habisi dia!" teriak si nenek bernafsu.
Mirta sambil tertawa ganas mendekat, mengangkat pentungannya tinggi-tinggi.
"Kepalanya, Mirta. Kepalanya!" teriak si Nenek
memberi petunjuk. Mirta mengangkat pentungan kayunya tinggi-tinggi dengan sasaran kepala Ratna.
Ratna memejamkan matanya. Tepat pada detik kritis itu, sebuah tongkat bambu tiba-tiba berkelebat
menghantam lengan Mirta. Dengan teriak kesakitan pemuda sinting ini terpelanting ke dinding, dan dengan
pentungan kayu itu melayang menghantam kepala si nenek yang segera menjerit
melengking-lengking. "Sssamolo...!" teriak Mirta ketakutan menatap ke pintu.
Si nenek terkejut, ia menyuruk-nyuruk ke arah
putranya. Keduanya ketakutan seperti melihat Malaikat El-Maut. Samolo tegak di
ambang pintu dengan muka angker penuh kebencian. Ratna segera menubruk tubuh
Girin dan mendekapnya erat-erat.
"Setan dedemit! Masih belum puas juga kalian
menghirup darah kami" Iblis!" hardik Samolo sambil menuding kedua orang itu
dengan tongkatnya, membuat si nenek dan Mirta makin mepet ke sudut dinding.
Samolo melangkah maju, tongkatnya dikibaskan dan tongkat si nenek pun terlontar
ke lantai. Perempuan tua ini menjerit dan merangkul putranya yang sama
paniknya. Samolo dengan suara berat dan parau terus memakinya.
"Aku menyesal membiarkan kalian hidup, dan tidak mencabut nyawa kalian ketika
itu. Bila tidak, kalian tentu tidak akan jadi biang penyakit di kemudian hari,
seperti sekarang ini."
Si nenek menjerit memanggil Giran.
"Kau dengar Giran..."! Kau dengar...! Di hadapanmu dia masih berani berlaku
kurang ajar dan menghinaku...!"
Si nenek menangis dengan pilunya.
Samolo menghela napas, menghampiri Ratna.
"Mari Neng! Rumah hantu ini mulai pengap oleh racun yang tersebar dari mulut
berbisa perempuan iblis itu. Hati suamimu pun sudah mati terbius."
Dengan hati pedih, Ratna sambil menggendong
putranya keluar dari rumah itu, diiringi oleh Samolo yang tetap waspada
melindungi nyonya majikan mudanya itu.
Si nenek melangkah ke dekat Giran yang masih berdiri termangu dan membisu. Ia
merengek mengiba-iba di belakang tubuh anak-tirinya ini.
"Mau tunggu apa lagi, Giran" Merekalah yang
menjadikan kita sengsara begini! Mana baktimu terhadap orang tuamu, Giran?"
Tiba-tiba Giran melesat keluar pintu, menghadang di hadapan Ratna dan Samolo.
Wajahnya merah dan muram. "Tunggu! Kalian kira dengan semudah ini persoalan jadi beres" Hmm, jangan
mimpi!" gertaknya dengan suara murka.
Samolo maju ke muka, dengan suara dalam ia berkata,
"Kalau boleh aku memperingatkan kau, Den Giran, engkaulah yang harus sadar dari
mimpimu. Tuhan Maha Tahu, siapa sesungguhnya yang bersalah!"
Tiba-tiba wajah centeng tua ini berubah, serta-merta menarik tubuh Ratna ke
sisi. Berbarengan dengan itu, tongkatnya membabat ke belakang. Maka terdengarlah
teriakan melengking. Mirta terpelanting ke tiang rumah.
Darah mengucur dari goresan luka di lengannya. Samolo mendengus dengan perasaan
muak. "Aku sudah kenal benar dengan watak Orai-Kadud-mu yang licik itu, yang tak
segan-segan membokong dari belakang. Seperti beberapa kali kau lakukan terhadap
kakakmu, tapi selalu gagal, bukan?"
Mendengar kata-kata Samolo itu, Giran agak tersentak lalu memandang ke arah
Mirta yang tersandar di tiang memegangi lengannya yang berdarah.
"Bohong! Itu bohong!" Mirta membela diri dengan gugup.
"Aku benar-benar sedih, sejak Den-Besar wafat, anak-anaknya telah jadi murtad.
Lebih sedih lagi hatiku, Den-Muda yang kuharapkan bisa mewarisi martabat
ayahnya, ternyata sama piciknya dengan ibu dan adik-tirinya yang tamak, licik
dan dengki itu. Kasihan, arwah Den-Besar tentu tak tentram di alam baka." Kata
Samolo dengan pedihnya. Giran tertunduk. Kata-kata Samolo bagaikan
menusuk-nusuk ulu hatinya, terasa pedih menyakitkan.
Namun mendengar cerita ibunya tentang perbuatan centeng itu terhadap keluarganya
lebih menyakitkan lagi. Tak mungkin ia bisa memaafkannya, meski ia tahu Samolo telah mengabdi berpuluh
tahun pada keluarganya. Ayahnya adalah seorang yang sangat menjunjung
tinggi norma-norma adat istiadat. Terutama perihal kebajikan, hormat dan patuh
serta bakti terhadap orang-tua, adalah paling diutamakan dan kerap dijejalkan ke
dalam hati sanubari serta jiwa Giran melalui nasihat dan petuahnya. Sifat itu
benar-benar sudah melekat sampai ke setiap sendi tulang sumsumnya. Maka itulah
sebabnya, sikap kukuh Giran yang sukar dilunakkan oleh siapapun. Samolo sangat
paham akan sikap tuan mudahnya ini. Dalam hal lain, Giran sesungguhnya adalah seorang yang sangat
lembut dan penuh belas kasih. Namun dalam hal kebajikan dan bakti, pendirian
Giran tak bisa ditawar-tawar lagi. Setiap penyelewengan norma-norma itu
merupakan aib besar yang tak
terampunkan baginya. Karena memahami watak putra majikannya itu, maka Samolo pun
merasa tak perlu lagi banyak bicara. Ia berbisik kepada Ratna.
"Neng, bawalah Girin, menyingkir secepatnya dari sini!
Pergilah ke pondoknya Nyi Londe! Bila ada umur panjang, aku pasti akan menyusul
ke sana, Cepat!" Dengan menahan tangis, Ratna lari menuju hutan jati.
Didekapnya Girin erat-erat. Sayup-sayup didengarnya pertarungan antara Samolo
dan Giran mulai berlangsung dengan sengitnya. Suara dentingan pisau beradu
dengan tongkat bambu itu, seakan-akan menyayat jantung Ratna. Ia berlari terus,
hujan dan guntur masih saja merajai suasana. Angin menderu-deru menghembus
hutan jati. Dan lebih mengerikan lagi ada sepasang mata yang terus mengintai dan
mengikuti langkah Ratna serta anaknya itu dari balik pohon. Bagaikan seekor
Serigala lapar mengintai mangsa, bayangan itu menyelinap dari balik pohon ke
pohon lain dengan napas berdengus.
Matanya liar mencari kesempatan untuk menerkam
kedua insan yang sedang dilanda ketakutan ini.
Keadaan di hutan jati itu benar-benar menakutkan Ratna. Gelap mengerikan, hanya
kadang-kadang diterangi oleh cahaya kilatan halilintar yang menggeletar di
angkasa. Ratna mulai kehilangan arah. Ia berhenti sejenak untuk mengatur
napasanya yang memburu. Lengannya tak pernah kendor mendekap Girin yang gemetar kedinginan dan basah
kuyup terguyur air hujan.
Tepat pada saat itu, bersamaan dengan bunyi
menggelegarnya halilintar dan kilatan cahaya yang menyilaukan, melompatlah
sesosok tubuh dari balik pohon ke hadapan Ratna, membuat Ratna terkejut tak
alang kepalang. Tubuh Ratna jadi gemetar dan mulutnya pun terasa kelu. Karena ia melihat dengan
jelas, sosok bayangan yang tiba-tiba menghadang di hadapannya itu adalah Mirta.
Pemuda sinting ini dengan wajah cengar-cengir dan terkekeh-kekeh melangkah ke
arah Ratna. Matanya jalang menatap tajam ke arah ibu muda yang ketakutan ini.
Kaki Ratna terasa lumpuh. Ia memaksakan diri untuk melangkah mundur, lalu
berbalik dan kabur sekencang-kencangnya dari situ. Mirta tersentak kemudian lari
mengejar. Ratna pontang-panting menerobos hutan jati yang amat lebat itu. Mirta
pun terus mengejarnya dengan berlompat-lompat seperti kera sambil tertawa
terkekeh-kekeh. Pentungan kayu di tangannya diacung-acungkan.
Ratna makin erat mendekap tubuh Girin, lari tak tentu arahnya. Sunggu malang ia
jatuh tergelincir dan terguling-guling ke bawah tebing yang cukup curam.
Girin terlontar dari dekapannya, dan tersangkut di tepi tebing itu. Sementara
Mirta sudah tiba di situ. Ratna kaget bukan main. Tanpa menghiraukan rasa sakit
pada tubuhnya, ia bergegas merayap naik ke atas tebing. Tapi Mirta dengan
sebelah kakinya telah menginjak tubuh Girin dengan terkekeh-kekeh di atas tebing
itu. Sedikit pun tidak ada rasa iba kepada bocah yang meronta dan menjerit-jerit
di bawah kakinya itu. Ratna menjerit sejadi-jadinya. Jantungnya terasa terhenti
saat itu. "Mirtaaa! Lepaskan anakku...!" jerit Ratna sambil merangkak naik. Tapi jatuh
tergelincir lagi karena tebing tanah merah itu amat licin.
Mirta tertawa terbahak-bahak. Lalu matanya berkilat-kilat menakutkan menatap
Girin yang meronta-ronta di bawah pijakan kakinya. Ia menyeringai dengan mulut
berbusa. "Jahanam cilik ini pun akan jadi pewaris harta
bapakku! Maka dia juga tidak boleh hidup lama-lama di dunia ini..."
Pentungan kayu itu diangkatnya tinggi-tinggi untuk dipukulkan ke kepala Girin.
Detik itu darah Ratna seperti membeku. Ia jadi histeris, dan menjerit-jerit
sejadinya. Tepat pada detik itu, tanah yang dipijak oleh Mirta tiba-tiba longsor dan
tergulinglah ia ke dasar tebing itu. Girin pun ikut terbawa longsor ke bawah.
Ratna bangkit dan meraih tubuh anaknya itu kemudian langsung dibawa kabur dari
situ. Mirta menggelepar sesaat lalu bangkit dan mengerang seperti hewan luka.
Matanya membara dan semakin liar. Kemudiaan ia lompat mengejar lagi.
Ratna sambil mendekap putranya menyelusup di antara pohon-pohon jati dengan
napas terengah-engah. Duri dan ranting-ranting tajam sudah tak dihiraukannya
lagi. Hujan masih turun dengan lebat. Halilintar sambung menyambung dengan hebatnya.
Hutan jati seakan-akan menjelma jadi sebuah alam khayal yang serba misterius dan
menakutkan. Ratna mengeluh di dalam hati, karena ia tersesat, kehilangan arah ke pondok Nyi
Londe. "Ya, Allah, ya Gusti...! Tolonglah kami...!" Ratap doanya di dalam hati.
Angin menderu-deru bagaikan suara rintihan setan-setan di neraka. Rasa takut
mencengkeram Ratna. Sambil menangis tersengguk-sengguh ia lari tak tentu arah
lagi. Tiba-tiba ia malah terserobok dengan Mirta yang sedang mencarinya. Pemuda kurang
waras ini tertawa cekikikan.
"Baaaa! Kau balik lagi mau mencariku, Ratna"! Hi...
hi... hi..." Ratna tersentak mundur. Dengan tatapan menakutkan Mirta melangkah mendekat,
Ratna tersandung akar pohon dan jatuh terjerembab. Mirta berlulut di sisinya.
Lengannya mencoba membelai rambut Ratna, tapi ditepis dengan perasan jijik oleh
Ratna. Mirta tertunduk, lalu berkata seperti kepada dirinya sendiri.
"Kau masih secantik dulu... Cintaku tak pernah
padam, Ratna...! Meski kau selalu menolakku. Aku memang tidak seberuntung si
Giran keparat itu...!"
Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, matanya berkilat-kilat.
"Tapi Giran sudah tidak cinta lagi kepadamu, Ratna!
Ini pembalasan rupanya. Hi... hi... hi...! Tapi kau tak perlu sedih, Ratna. Aku
masih bersedia menerimamu.
Sungguh mati, aku ikhlas dan selalu masih
mengharapkan kau, sampai kapan pun...!"
Napas Mirta makin memburu. Suaranya gemetar dan parau seperti burung hantu.
Tiba-tiba ia mencekal lengan Ratna dan didekapkan ke dadanya. Ia merintih.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Peganglah dadaku ini, Ratna...! Jantungku telah hangus terbakar api cinta yang
tak kunjung padam... Oh, Ratna...!"
Ratna meronta menarik lengannya, tapi sia-sia. Mirta makin keras menggenggam
lengan itu. "Serahkanlah surat wasiat itu kepadaku, Rat... Lalu kita kawin, dan kau akan
kujadikan wanita terbahagia di dunia ini!"
Ratna menarik lengannya kuat-kuat dan lepas dari genggaman pemuda setengah
sinting ini. Ia beringsut menjauh sambil memaki dengan muaknya.
"Pergi! Pergi! Kau makhluk durjana. Jangan kau
sentuh aku dengan tanganmu yang berlumur noda dan dosa itu. Pergi kataku...!"
"Ahh... Ratna sayang... Inilah kesempatan terbaik bagi kita. Biarkan Giran dan
Samolo saling bunuh. Seluruh Harta warisan itu akan jadi milik kita berdua"
Mirta merayu sambil mendekati Ratna. Tiba-tiba Ratna bangkit dan lari. Tapi
Mirta segera menerkamnya dan mereka jatuh berguling di tanah becek berlumpur
itu. Ratna dengan nekat menjejak muka Mirta sekuat
tenaganya, hingga pemuda ini terjengkang berteriak kesakitan. Namun ia cepat
bangun lagi. Bibirnya pecah mengucurkan darah. Sambil mengerang menahan sakit ia
mengumpat dan memungut pentungan kayunya.
"Dasar perempuan laknat, tak tahu diuntung."
geramnya. Kemudian dengan tiba-tiba saja ia lompat merebut Girin dari dekapan Ratna. Ratna
pun dengan kalap berusaha merebut kembali anaknya itu. Tapi pentungan Mirta
sudah mengancam kepala bocah itu.
"Ayo, kalau kau mau melihat kepala anakmu ini
hancur berantakan. Sekarang katakanlah, maukah kau jadi istriku, Ratna"!"
Ratna terdiam, wajahnya tegang dan pucat. Girin terus menjerit dan meronta dalam
dekapan pamannya yang kurang waras ini.
"Jawab, ya atau tidak! Nyawa anakmu ini tergantung kepada putusanmu sendiri,
Ratna!" ancam Mirta dengan mengangkat pentungan kayu yang diarahkan ke kepala
Girin. Ratna benar-benar bingung dan gelisah. Ia tahu pasti ancaman Mirta itu bukanlah
gertakan kosong belaka. Bahkan perbuatan yang lebih keji dan brutal sekalipun sanggup dilakukan olehnya.
"Rupanya kau sudah tidak sayang lagi kepada anakmu ini, Ratna. Baiklah, jangan
kau katakan aku kejam!"
tangannya yang memegang pentungan itu siap
dihantamkan ke kepala Girin.
Ratna panik, demi keselamatan anaknya yang amat dikasihinya itu ia rela
berkorban apa saja. Ia tertunduk menghapus linangan air matanya, mengangguk
perlahan. Mata Mirta berbinar. "Katakan ya, Ratna, katakan Ratna!"
"Ya. Lepaskan anakku!" jawab Ratna sambil tersedu...
Wajah Mirta berseri-seri. Matanya makin berbinar.
"Bersumpahlah Ratna! Bersumpahlah kau kepada
langit dan bumi... Juga kepada guntur di angkasa!" teriak Mirta berbarengan
dengan gelegar guntur yang pecah di angkasa.
Ratna gemetar, dunia terasa semakin gelap. Ia seakan-akan jatuh tenggelam ke
dasar neraka yang paling gelap gulita. Sebagai seorang gadis desa yang lugu ia
amat percaya dengan keramatnya sumpah serapah. Apalagi kini ia sudah jadi
seorang wanita bersuami sangatlah pantang mengucapkan sumpah cinta terhadap
seorang laki-laki lain. Lebih menyakitkan lagi, justru laki-laki itu yang amat
dibencinya. Namun kasih sayang seorang ibu sanggup dan rela berkorban apa saja.
Dengan air mata berlinang-linang Ratna bersumpah dengan suara hampir tak
terdengar. Namun cukup membuat Mirta berjingkrak kegirangan. Guntur kembali
menggelegar di angkasa. Mirta sambil melepaskan Girin dari dekapannya
menunjuk ke langit dan tertawa.
"Dengar, dengarlah Ratna! Guntur menggelegar di angkasa, dia telah menjadi saksi
atas sumpahmu Istriku...! Hi... hi... hi..."
Mirta menghampiri Ratna dan berbisik dengan napas memburu. "Bertahun-tahun aku
memimpikan saat seperti ini Ratna. A... a... aku sangat mencintaimu....
Sampai dunia kiamat sekalipun!"
Tubuh Ratna seakan tak dialiri darah lagi. Ia
menggigil. Hatinya begitu pedih dan remuk oleh himpitan rasa berdosa yang amat
sangat. Rasa sesak di dadanya kemudian pecah jadi tangisan yang memilukan.
Ketika lengan Mirta yang gemetar itu membelai rambutnya dan menciuminya dengan
napas berdengus-dengus. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 4 SEMENTARA itu, pertarungan antara Samolo dan Giran masih berlangsung dengan
sengitnya. Jelas terlihat Samolo hanya berusaha menghambat Giran, dan sedapat
mungkin menghindarkan pertumpahan darah. Tiba-tiba wajahnya jadi tegang, karena
naluri dan telinganya yang peka itu memperingatkan suatu bahaya yang mengancam
Ratna dan Girin. Selama bertempur itu, perhatiannya terpaksa harus terpecah dua. Sejak tadi ia
tidak mendengar gerak-gerik Mirta di situ. Hal inilah yang sangat dicemaskan
oleh Samolo. Dan ia merasa pasti pemuda sinting itu diam-diam menyelinap untuk
mengejar Ratna dan Girin.
Centeng tua ini mengeluh di dalam hati, serangan Giran tak sedikitpun memberi
waktu luang padanya. Tiba-tiba dengan sebuah pentilan menyilang, ia
berhasil membuat pisau Giran terpental ke udara dengan tongkat bambunya itu.
Saat lowong itu digunakan Samolo untuk segera mencelat ke arah hutan jati. Giran
mengumpat sambil memungut pisau pusakanya itu.
Dengan mengandalkan deru angin dan gemersik daun serta derak ranting, jago tua
yang buta ini dapat menge-
tahui dan mengenal situasi hutan jati yang lebat itu.
"Apakah mereka sudah tiba di rumah Nyi Londe"
Semoga Tuhan melindungi ibu dan anak itu." Doanya dalam hati dengan sambil terus
berlari. Giran berhasil mengejarnya, langsung menerjangnya. Samolo terpaksa
harus melayani, namun hanya sejenak karena setelah menyampok tikaman pisau
Giran, ia segera loncat mundur dan lari lagi ke dalam hutan.
"Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku,
bedebah...!" Bentak Giran, terus mengejar.
Samolo menerobos kelebatan hutan jati di bawah
derahan hujan lebat. Tiba-tiba ia nyaris jatuh
terjerembab, bila tongkatnya tidak segerah menyentuh sesosok tubuh yang
tergeletak membujur di tanah. Ia meraba tubuh itu dan terkejut. Karena lengannya
menyentuh sesosok tubuh laki-laki, kepalanya luka dengan cairan hangat mengalir
dari luka itu. "Darah!" pekiknya di dalam hati.
"Binatang! Kau telah membunuh Adikku" teriak Giran tiba-tiba.
"Demi Allah, bukan aku yang melakukannya. Dia
sudah terkapar di sini ketika aku tiba!" Samolo membantah.
Tapi Giran sudah menyerangnya lagi dengan makin kalap. Samolo menepis serangan
itu seraya lompat mundur.
"Ketahuilah, Den. Mirta, adikmu ini sejak dulu punya hasrat buruk terhadap
istrimu. Jiwanya dihantui dendam yang telah membusuk, karena ia tak bisa
memperistrikan Ratna!"
"Tutup mulutmu, setan laknat!" teriak Giran dengan sebuah tusukan ke arah
jantung Samolo. Tapi Samolo berkelit dengan lompatan mundur lalu berbalik
langsung lari ke dalam hutan.
"Siapakah yang telah menyerang Mirta hingga terkapar dengan kepalanya pecah"!"
hati Samolo bertanya-tanya akan peristiwa aneh itu. Tapi perhatiannya lebih
tertuju kepada Ratna dan Girin.
"Kasihan nasib Ratna dan Girin. Keluarganya telah mencampakkannya seperti
sampah. Suami yang diharapkan jadi pelindung kini malah jadi ancaman bagi keselamatan mereka.
Sangat sulit menyadarkan Den Giran, selama dia masih terbius oleh kata-kata ibu
tirinya yang busuk itu." Keluh Samolo lagi dalam hati. Tongkat bambunya terus
menuntun ke arah pondok yang hendak dituju. Agaknya Samolo hafal sekali dengan
daerah tersebut. Sementara Giran terus di belakangnya. Sesaat kemudian centeng
ini sudah tiba di tepi sungai yang berbatu-batu. Tongkatnya segera menotok batu-
batu itu yang dipijaknya sebagai bacu loncatan ke arah seberang sungai tersebut.
Ia melangkah ke arah pondok yang tegak terpencil di tepi sungai, dan berteriak
memanggil penghuninya. "Nyi Londe!" "Siapa"!" terdengar sahutan dari dalam pondok itu.
"Aku Nyi!" Pintu pondok itu terkuak, sosok tubuh seorang
perempuan tua tampak tersembul dari dalam pondok itu.
"Oh, kau Samolo. Masuklah, hujan begini lebatnya"
Samolo mendekat dan naik ke atas pondok panggung itu.
"Wak Londe!" Gumam Giran yang sudah tiba pula di depan muka pondok itu. Tertegun
ia memandang perempuan tua itu. "Apa neng Ratna dan Girin sudah berada di rumahmu Nyi?" tanya Samolo cemas.
"Keadaannya memilukan sekali. Pedih hatiku
melihatnya!" perempuan tua ini menggelengkan kepala sambil menghela napas.
"Wak Londe!" sapa Giran tiba-tiba.
Nyi Londe memandang ke muka pondoknya, dilihatnya seorang pemuda berdiri di
pelataran, basah kuyup di dera hujan yang masih belum juga reda.
"Eh, siapa itu" Siapakah orang itu Samolo?"
"Den Giran, Nyi" jawab Samolo datar.
Perempuan ini tertergun, perlahan-lahan turun dari pondoknya. Bagaikan mimpi
menatap pemuda yang tegak di hadapannya itu. Kemudian dengan air mata berderai
ditubruknya tubuh laki-laki muda yang gagah ini.
Suaranya terpatah-patah menahan rasa haru yang
mendesak di dadanya. "Kau... Kau Den... Kau sudah pulang Den!" ditatapnya wajah Giran tajam dengan
air mata terus mengucur di pipinya yang mulai keriput dan cekung.
"Bagaimana keadaan Uwak sekarang"!" tanya Giran sama terharunya.
"Aduh Den, kenapa kau pergi begitu lama" Banyak peristiwa telah terjadi selama
kau tak berada di sini"
Suara Nyi Londe bergetar penuh penyesalan. Giran menghela napas.
"Aku tahu, semuanya akibat pengkhianatan orang-
orang tak kenal budi. Aku tahu Wak" kata Giran tajam, melirik Samolo yang
berdiri di teras pondok panggung itu.
Nyi Londe membawa Giran masuk ke dalam
pondoknya yang sangat sederhana itu. Giran memandang keadaan ruangan pondok
berbilik bambu yang sudah berlubang-lubang, atapnya pun tiris terguyur hujan.
"Kenapa Uwak tinggal di sini" Maksudku, mengapa tidak berdiam lagi di rumah
kita" " tanya Giran dengan nada haru.
Nyi Londe menghela napas lagi. "Kini semuanya sudah berubah, Giran. Gubuk reyot
ini pun cukup memberikan ketentraman kepada Uwak."
Giran tiba-tiba melihat Ratna berada di dalam kamar pondok itu. Api kemarahannya
kembali membakar dada- nya. Ditudingnya istrinya yang sedang memeluk Girin.
"Hmm. Kau pun rupanya bersembunyi di sini!
Perempuan tak tahu malu. Masih ada muka kau hidup di dunia ini?" bentak Giran
dengan geram. Nyi Londe menahan tubuh Giran yang hendak menghampiri Ratna.
"Enyah kau dari mataku! Atau sebaiknya kau bunuh diri saja. Dari pada kau
mencoreng keluargaku dengan noda yang tak terhapus tujuh turunan."
Ratna dengan menggendong Girin segera keluar dari pondok. Nyi Londe berusaha
menyabarkan Giran. "Jangan begitu Giran. Kasihan Girin, anak itu sedang demam. Tubuhnya panas
sekali." Tapi Giran tak menghiraukannya. Ia menyusul ke
muka pondok. Berteriak dengan penuh dendam yang berapi-api. Lengan Nyi Londe tak
lepas-lepas menggeng- gam lengan pemuda ini. "Pergi! Jangan kalian menginjak lagi tanah Kedawung ini. Jika aku masih melihat
lagi kau berada di sini, akan kucabut nyawamu semua!" bentak Giran mengancam.
Ratna tertunduk menahan tangis sambil memeluk
anaknya yang sedang menderita demam, meninggalkan pondok itu diiringi Samolo
yang coba membesarkan hatinya.
"Jangan bersedih, Neng. Tuhan selalu mengasihi
makhluk-Nya yang tak berdosa. Mari! Dunia ini masih terlalu luas untuk kita."
Hujan masih terus turun menyiram bumi. Menelan
tiga manusia yang berjalan perlahan-lahan menyusuri sungai, membawa luka di
hatinya masing-masing. Nyi Londe termangu-mangu memandang kepergian tiga orang itu sampai lenyap
ditelan kepekatan malam yang terus diguyur hujan yang tak kunjung henti itu.
Betapa sedih hatinya menyaksikan penderitaan orang-orang yang sangat dikasihinya
itu. Terasa air matanya ikut tertelan dan menyangkut di kerongkongannya.
Dada perempuan tua ini terasa begitu sesak. Ia
mendesah untuk melepaskan perasaan yang menyesak-
kan dadanya itu. Suaranya lirih ketika ia berkata kepada Giran dengan masih
memeluk tiang pondoknya. "Aku sukar mengatakan sesuatu kepadamu. Kini kau sudah banyak berubah, Giran."
"Uwak sendiri mengatakan bahwa kini semuanya
sudah pada berubah. Begitu pun aku. Penyebabnya adalah setan-setan tadi"
"Aku tetap menyayangimu, Giran. Sama seperti ketika aku menimangmu waktu kau
masih bayi. Ah, rasanya baru kemarin saja waktu itu berlalu..."
Nyi Londe melangkah masuk dan menuang air dari
kendi untuk Giran minum. Giran menerima gelas itu, memandang wajah pengasuhnya
dengan sinar mata lembut dan ada getaran rindu dalamnya.
"Aku tidak mungkin bisa melupakan budimu, Wak.
Tanpa kau, aku tak kan hidup sampai jadi manusia dewasa seperti sekarang ini."
Ia meminum air itu, lalu termenung memandang air di dalam gelas di lengannya.
Tenang ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri.
"Dewasa kataku, karena kini mataku seolah-olah baru terbuka, betapa watak dan
martabat manusia begitu mudah rusak. Meski dilimpahkan kasih sayang, cinta dan
kepercayaan tanpa batas, namun toh masih mengkhianat juga. Aku betul-betul sukar
mengerti. Sungguh tidak dapat dimengerti..." keluhnya sambil mereguk minuman-
nya lagi. "Kau hanya menilai persoalan dari satu sudut saja. Itu tidak bijaksana, Giran."
Kata Nyi Londe menghela napas.
Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya, sesaat kemu-
dian keluar lagi dengan sebuah kotak kayu yang antik dan indah di tangannya.
Lalu diperlihatkan kepada Giran.
"Kau kenal dengan kotak ini, Giran?"
Kotak kayu itu diletakkan di atas meja di hadapan Giran yang menatapnya dengan
perasaan kaget dan heran.
"Sudah tentu aku kenal benar dengan kotak ini.
Karena ini peninggalan mendiang ayahku!"
"Kotak inilah yang jadi pangkal sengketa dan
timbulnya berbagai peristiwa hebat yang mengakibatkan terpecah-belahnya keluarga
besar ayahmu. Berapa banyak sudah kotak ini menelan korban nyawa, darah dan air
mata. Martabat manusia pun runtuh olehnya."
Rasa benci dan muak terkandung di dalam kata-kata perempuan tua ini. Benda itu
seakan-akan dianggap sebagai buatan setan yang sangat mengerikan, juga
menjijikkan. Ia enggan menatap lama-lama kepada kotak kayu berukir indah itu.
Giran menyatakan keherannya, mengapa kotak wasiat yang berisikan kunci-kunci
serta surat-surat berharga tentang hak waris atas harta peninggalan ayahnya itu
bisa berada di tangan Nyi Londe. Seingatnya ketika ia hendak berangkat ke Borneo
untuk melaksanakan pesan ayahnya, meninjau perkebunan karet yang berada di sana,
ia telah menyuruh Ratna untuk menyimpan peti pusaka itu. Diakuinya pula, sejak
ia menerima kotak itu dari ayahnya yang sedang menderita sakit sampai setelah
wafat, ia belum pernah membuka dan melihat isi kotak tersebut. Kini ia baru
mengetahui, bahwa yang tertera di atas surat hak waris itu ternyata cuma namanya
sendiri. Sedangkan nama ibunya maupun Mirta sama sekali tidak tercantum sebagai pewaris
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari sebagian harta peninggalan yang melimpah itu. Kebijakan ayahnya untuk tidak memberikan sesuatu
pun dari sebagian hartanya kepada ibu tiri dan adik tirinya itu, pasti mempunyai
alasan tertentu. Tapi Giran tidak tahu apakah alasannya itu. Namun ia merasakan
bahwa tindakan ayahnya itu sangatlah tidak adil. Akibatnya ibu serta adiknya itu harus
hidup terlunta-lunta seperti tikus yang bersarang di puing bangunan rumah Kasir
Samirun yang entah kenapa pula jadi berantakan begitu. Giran semakin yakin akan
tuduhannya terhadap pengkhianatan Ratna dan Samolo. Karena merasa ikut berhak
atas warisan harta itu, sebagai istri yang dinikah secara sah, Ratna telah
mengusir ibu mertua dan iparnya dari gedung megah yang ingin dikangkanginya itu.
Mungkin mengira suaminya telah meninggal di rantau, Ratna lalu bermain gila
dengan Samolo, centeng yang selalu setia mengawal-
nya itu. Demikianlah perkiraan dan kecurigaan Giran terhadap istrinya, yang
diperkuat pula oleh cerita ibu tirinya. Namun yang jadi tanda tanya bagi Giran,
mengapa kotak wasiat itu kini berada di tangan Nyi Londe. Perempuan tua ini
menjelaskan bahwa sesung-
guhnya kotak pusaka itu telah berpindah-pindah tangan dan setelah diperebutkan
dan dipertahankan mati-matian, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan kotak itu
dan dititipkan kepadanya.
"Karena akulah orang satu-satunya yang mereka
percayai, sebagai pengasuhmu sejak kau masih bayi merah. Mereka yakin aku akan
memberikan peti pusaka ini kepadamu, bila kau sudah kembali"
"Siapakah yang Uwak maksud dengan mereka itu?"
tanya Giran. "Siapa lagi kalau bukan Ratna dan Samolo!" jawab Nyi Londe tegas. Giran
mendengus sinis. Bangkit menuju jendela. Ia yakin pengasuhnya ini berkata
demikian karena takut akan ancaman Samolo. Perempuan tua ini mengetahui keraguan
hati Giran terhadap ceritanya tadi.
Tapi ia tak peduli, ia akan menceritakan semuanya yang sebetulnya telah terjadi
di dalam keluarga besar Tuan Tanah itu kepada putra sulung ini.
"Aku tahu kau pasti sukar mempercayai ceritaku tadi.
Ratna tidak mau menyimpan peti pusaka ini, karena khawatir akan dituduh ingin
menyerakahi juga harta warisan itu. Jiwanya pun seolah-olah telur di ujung
tanduk, senantiasa terancam bahaya maut dari kelompok orang-orang serakah, yang
tak segan-segan menggunakan tipu muslihat keji untuk menguasai peti pusaka
tersebut. Untunglah Samolo selalu berhasil menyelamatkannya!"
Giran termangu di sisi jendela.
"Jadi maksud Uwak, ibu serta adikku itu adalah
orang-orang serakah dan tamak, begitu"!" ia berpaling memandang pengasuhnya ini.
"Apakah perbuatan yang menyebabkan ibuku mende-
rita buta dan merana sepanjang sisa hidupnya itu, adalah bukti kemuliaan dan
kesetiaan Samolo" Dan Mirta ter-
kapar seperti bangkai anjing di tengah hutan jati adalah juga bukti dari
kebajikannya pula"! Kemuliaan dan kebajikan yang telah menghasilkan seorang anak
haram. Sungguh luar biasa dan betul-betul mengagumkan!" Sinis sekali kata-kata Giran.
"Ibu dan adikmu telah menerima akibat dari
perbuatannya sendiri!" kata-kata Nyi Londe pun tak kalah sinisnya, meski
diucapkan dalam nada perlahan dan agak gemetar menahan emosi. "Aku justru heran,
kenapa kau berprasangka buruk terhadap darah dagingmu sendiri"
Aku kenal Ratna seperti aku mengenal diriku sendiri.
Begitu pula terhadap Samolo. Dia telah banyak berkorban demi kesetiaannya kepada
almarhum ayahmu, juga kepada keturunannya."
"Omong kosong! Dengan membunuh Mirta, apakah
Samolo juga mau membuktikan kesetiaannya terhadap keturunan ayahku"! ?" kata
Giran dengan ketus. "Itu bukan perbuatan Samolo!"
"Lalu siapa"! Apa dicekik hantu hutan jati"!" dengus Giran makin sinis.
"Mirta sesungguhnya sudah lama menaruh hati
kepada Ratna! Hasrat buruknya itu hampir saja terlak-
sana di hutan jati. Tapi Ratna lebih rela mati daripada harus hidup ternoda.
Dalam pergulatan mempertahankan kehormatannya, ia sempat menghantam kepala Mirta
dengan sepotong kayu..."
Nyi Londe menjelaskan peristiwa itu setelah men-
dengarnya dari Ratna, yang datang menyelamatkan diri bersama anaknya ke pondok
itu sambil menangis tersedu-sedu memeluk dirinya. Giran kembali tercenung.
Terdengar ia menghela napas. Lalu menghampiri Nyi Londe. Dengan tersenyum lembut
ia menggenggam lengan pengasuhnya ini.
"Sudahlah Wak. Aku tahu Uwak bermaksud baik.
Ingin mendamaikan persoalan ini. Atau barangkali mereka berdualah yang memintamu
untuk mendongeng- kan kisah "Nina Bobok" ini kepadaku. Seperti dulu jika aku tengah merengek-
rengek tak mau tidur. Ahh... betapa manis bila masa kecil itu dikenang lagi, ya
Wak?" kata Giran sambil tersenyum. Tapi Nyi Londe menarik
lengannya, berkata dengan sedih.
"Ya baiklah, bila kau tak sudi lagi mendengar
dongengku. Karena kini kau sudah merasa cukup takjub mendengar dongeng ibumu
itu. Tak apalah Giran. Mungkin matamu kini telah terbuka. Tapi sayang, kau menatap ke arah yang salah!"
Kali ini wajah Giran tertunduk dan termenung. Ia tahu benar dengan sifat
pengasuhnya ini, yang tak pernah berpura-pura, apalagi berkata dusta kepadanya.
Justru sifat itulah yang telah banyak mendidik dan menyerap ke dasar jiwanya.
Kini konflik batin tengah bergelut di dasar jiwanya itu. Antara kebenaran cerita
Nyi Londe dengan rasa baktinya terhadap orang tua. Satu hal yang amat
ditakutinya bila kemudian ia pun terpaksa harus mendurhakai dan mengutuki ibunya
sendiri. Melihat kemurungan wajah Giran, Nyi Londe jadi iba. Dibelainya kepala
anak asuhannya ini dengan lembut dan tetap dengan perasaan kasih sayang seperti
dulu. Ia berkata dengan lembutnya.
"Ketahuilah Giran. Sesungguhnya banyak hal serta peristiwa lalu yang belum kau
ketahui. Kami memang sengaja menyembunyikannya demi kebaikanmu. Demi keutuhan
keluarga besar ayahmu..."
Giran tertunduk diam. Nyi Londe melanjutkan. "Aku dan Samolo-lah yang banyak
mengetahui berbagai persoalan yang telah terjadi di rumah tangga ayahmu, yang hingga kini tinggal
gelap bagimu. Tapi kini, kurasa sudah tiba waktunya untuk kuceritakan semuanya
kepadamu. Dengarkanlah...!"
Berkisahlah Nyi Londe *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 5 KEDAWUNG sebuah desa kecil dengan tanahnya yang amat subur. Hijau oleh ribuan
pohon nyiur yang melambai dihembus angin. Riak gelombang batang padi yang menguning di bentangan
petak-petak sawah seluas mata memandang. Semua itu adalah milik seorang Tuan
Tanah yang terkenal sangat kaya raya, juga sangat bijaksana serta murah hati.
Seluruh penduduk desa itu amat menghormatinya dan menganggapnya sebagai
junjungan mereka, melebihi para amtenar atau pengusaha lainnya yang terpaksa tak
dapat berbuat semau hatinya terhadap rakyat desa kecil itu.
Itu semua karena pengaruh Sang Tuan Tanah yang
penuh wibawa itu. Ketika putra sulungnya yang diberi nama Giran, baru berusia
tiga bulan, istri Tuan Tanah yang sama bijaksananya juga meninggal dunia. Kini
istri mudanya yang bernama Subaidah, mengambil alih
seluruh kekuasaan dalam rumah tangga itu. Perawatan Giran sepenuhnya diserahkan
kepada seorang pengasuh, Nyi Londe yang telah mengabdi di keluarga Tuan Tanah
itu sejak ia masih kanak-kanak. Subaidah yang muda dan cantik itu, tiap hari
hanya bersolek dan pesiar dengan kereta kuda, yang kadang-kadang dikusirinya
sendiri. Atau ditemani oleh Kasir Samirun, seorang kasir merangkap pemegang tata
buku keuangan sang Tuan Tanah. Tubuhnya tinggi kurus, cukup tampan dengan sebuah
kumis kecil di atas bibirnya yang tipis, pertanda pandai bicara dan banyak akal.
Nyi Londe mengabdikan seluruh hidupnya untuk
keluarga Tuan Tanah tersebut. Ia begitu menyayangi Giran dan mengasihinya
seperti anak kandungnya, bahkan dihidupkannya anak itu oleh air susunya sendiri.
Sering, bila Giran telah tertidur lena di emper buruk kamar Nyi Londe, perempuan
ini memandangi wajah mungil yang belum kenal dosa itu dengan mata berkaca-kaca.
Hatinya terasa perih. "Anak yang malang. Jika ibumu masih ada, kau tentu tidak
hidup terasing di tengah keluargamu sendiri yang serba berkecukupan ini"
ratapnya sambil membelai kepala anak asuhannya.
Subaidah, sang istri muda ini ternyata pandai
mengambil hati. Bila di hadapan suaminya, ia senantiasa berlaku begitu
menyayangi anak tirinya itu. "Kasih Ibu"-
nya betul-betul ditonjolkan dengan penuh kasih sayang.
Dan Subaidah pun kemudian melahirkan seorang putra, ialah Mirta. Perlakuan yang
menyolok terhadap kedua anak itu segera terjadi, jika sang Tuan Tanah yang
sering bepergian ini tak berada di rumah. Subaidah meraih baju Giran yang cukup
bagus itu dan digantinya dengan baju penuh tambalan. Lalu bocah itu dilempar ke
pelukan Nyi Londe, yang segera membawanya ke dalam emper
buruknya di belakang gedung megah itu. Barang mainan Giran pun adalah hasil
buatan Samolo dan hasil rajutan Nyi Londe. Sementara Mirta sudah bosan dengan
mainannya yang mahal-mahal yang khusus dibeli di Batavia.
Pada suatu hari, Samirun dengan diiringi Mandor Sarkawi, baru pulang keliling
kampung melaksanakan penagihan kepada para penduduk. Ia langsung melapor kepada
Tuan Tanah yang sedang berda di ruangan dalam.
"Semuanya beres, Den Besar. Kecuali Ki Kewot, sudah hampir tiga bulan ini dia
nunggak terus. Selain itu dia pun terlalu besar kepala, Den Besar!" Lapor kasir
yang cerdik dan pandai menyenangkan majikannya ini, sambil memperlihatkan
catatan di bukunya. Namun Sang
Majikan cuma mendehem sambil menghisap cerutunya.
Jawabannya pun di luar dugaan.
"Biarlah. Aku tahu orang tua itu akhir-akhir ini sering sakit" katanya penuh
bijaksana. Lalu sambungnya, "Dia memang sudah terlalu tua untuk bekerja di
sawah. Aku kasihan melihat keadaannya. Samirun, coba kau berikan uang se-
ringgit kepadanya. Suruh dia berobat!"
Samirun yang sedang senyum-senyum bermain mata
dengan Subaidah, jadi terkejut. Dengan gugup ia mengangguk.
"Ba... baik, Den Besar." Lalu melangkah keluar
ruangan diikuti Mandor Sarkawi yang menunggu di pintu.
Kerlingan mata Samirun dibalas oleh senyum genit Subaidah. Hal itu tak lepas
dari perhatian Samolo yang sedang bermain dengan Giran di sudut ruangan.
Tapi ketika Samirun dan Sarkawi mendatangi Ki Kewot di gubuknya, perintah
majikannya ternyata diabaikan. Ia berdiri bertolak pinggang di muka gubuk itu
dengan congkaknya. "Hei, Kewot! Tuan Besar marah sekali. Kamu diberi waktu seminggu untuk melunasi
hutangmu. Mengerti?"
bentaknya. Ki Kewot yang sedang menganyam bakul, terbungkuk-bungkuk memohon
kebijaksanaan. Ratna putri kecilnya berdiri ketakutan di sisinya.
"Seminggu" Dari mana saya dapat uang buat bayar, Den" Belum lagi bunganya...!"
keluh kakek ini. "Itu urusanmu. Seminggu, atau tahu sendiri!"
Sambil bersungut-sungut Samirun melangkah
meninggalkan muka gubuk itu. Tongkatnya terayun-ayun dengan lagak seorang
bangsawan terhormat. Sementara tangan Sarkawi jadi gatal ketika melihat ayam
jago Ki Kewot yang sedang dikurung itu. Serta-merta
disambarnya ayam itu. Ia menyusul si kasir, dan merengek sambil mengikuti di
belakangnya. "Tambahin setalen lagi, Sir...! Buat main sintir di rumah Mat Tompel enter malam
nih" Rengeknya sambil terus menadahkan tangannya seperti pengemis. Samirun
mendelik dan membentak. "Sialan! Sudah ngembat ayam, masih mau minta duit lagi" Serakah banget lu..."
Sarkawi tertawa cengar-cengir sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Ki Kewot mengumpat di dalam hati, betapa ia begitu
muak melihat kedua pemeras itu. Entah sudah berapa banyak penduduk Kedawung ini
dibuat sengsara oleh kedua orang itu. Bahkan sampai ada yang gantung diri karena
putus asa dan ketakutan, akibat ancamannya. Ki Kewot masih mencoba untuk tetap
tabah, karena ia tahu benar dengan sifat Tuan Tanah yang selalu bermurah hati
terhadap orang-orang yang benar-benar tidak mampu. Sejak lengannya sudah tak
sekuat dulu lagi untuk mengangkat cangkul, karena penyakit rematiknya semakin
menyiksanya, kini ia jarang-jarang bisa turun ke sawah milik Tuan Tanah itu.
Hingga hutangnya semakin menumpuk. Padahal Tuan Tanah sendiri tidak pernah
membebankan para penghutang itu dengan bunga renten yang amat mencekik leher itu. Jelas itu hanya
ulah sang kasir saja yang mengeruk keuntungan untuk kantongnya sendiri. Semua penduduk mengetahui kecurangan Samirun, namun tak seorang pun berani melapor
kepada majikannya. Apalagi ketika seorang pemuda didapati terkapar jadi mayat
tak berkepala di tengah sawah, karena berniat lapor kepada Tuan Tanah tentang
pemerasan yang sering dilakukan oleh Samirun serta para begundalnya yang belasan
jumlahnya itu. Ki Kewot hanya mampu mengumpat di dalam hati, sambil mengelus
kepala putrinya yang menangis karena ayam kesayangannya telah dirampas oleh
Sarkawi. Mandor itu selalu setia mengikuti kasir Samirun bila sedang masuk
kampung untuk menagih dan memeras rakyat kecil. Karena ia selalu kebagian
rejeki. Dari sosok tubuhnya yang gendut itu, sudah dapat diperkirakan bahwa
mandor itu memang cuma bisa
berfoya-foya. Kerjanya cuma bermuka-muka, mabuk-mabukan, main judi dan
perempuan. Sangat berbeda dengan sifat Samolo. Centeng bertubuh tinggi besar ini, meski
bercambang dan memelihara kumis serta janggutnya cukup lebat, tak terlihat kesan
garang pada wajahnya. Sikapnya selalu tenang penuh wibawa. Jarang bicara bila
tak perlu. Samolo sangat menghormati Tuan Besarnya. Pengabdiannya terhadap
keluarga Tuan Tanah Kedawung itu begitu tulus, dan semata-mata didorong oleh
rasa balas budi. Jauh sebelum Tuan Tanah itu sejaya sekarang, Samolo pernah
ditolong olehnya dari kehancuran akibat tragedi keluarganya. Kini ia mengabdi di
gedung besar itu sebagai centeng. Sebagai cucu murid sang Hyang "Bu'uk Perak"
pendiri Perguruan "Krakatau" yang legendaris itu. Samolo telah mewarisi sebuah
aliran ilmu beladiri yang sangat unik dan langka. Ilmu pukulan tangan kosongnya
tak ada tandingannya di wilayah Kedawung dan sekitarnya, bahkan mungkin di
seluruh Jawa Barat. Karena ilmu beladiri perguruan "Krakatau" tak ada duanya
lagi di jagad ini. Sang Hyang Bu'uk Perak hanya memiliki seorang murid bernama
Biang Tarona. Biang Tarona sendiri cuma memungut Samolo seorang sebagai
muridnya. Itu pun terpaksa dilakukan demi melacak jejak seorang murid Krakatau
yang telah ingkar dan murtad, yang kemudian ternyata murid murtad yang harus
dihukum itu adalah ayah kandung Samolo sendiri.
Sebuah pertarungan hebat antara dua saudara perguruan Krakatau itu terjadi,
tepat pada saat gunung Krakatau meletus dengan teramat dahsyatnya. Seluruh
pesanggrahan perguruan itu musnah bersama pendekar-pendekar perkasa itu. Samolo
terdampar setelah digulung ombak raksasa. Ditolong oleh Tuan Tanah Kedawung,
yang sedang mengungsi di sebuah wihara yang secara ajaib luput dari sapuan ombak
yang menelan seluruh pesisir pantai Bantai hingga jauh ke tengah. (Kisah ini
dapat dibaca dalam novel "KRAKATAU").
Meskipun memiliki ilmu beladiri yang cukup tangguh, Samolo tetap rendah hati. Ia
tak pernah mempertontonkan kebolehannya itu di hadapan
siapapun, meski kepada para maling kerbau sekalipun.
Bagi kasir Samirun, sikap Samolo yang pendiam dan taat beragama itu, membuatnya
agak segan dan selalu ragu-ragu mendekati. Paling-paling ia hanya bicara
seperlunya pada saat membayar gaji centeng itu. Itu pun Samolo tak pernah
memintanya. Bagi Samolo sendiri bukan ia tidak mengetahui sepak terjang Samirun
bersama para begundalnya itu di luaran. Namun ia enggan melaporkan hal itu kepada majikannya,
sebab ia tak mau menyusahkan hati Tuan Tanah yang diketahuinya
berpenyakit lemah jantung itu. Maka sering uang gajinya diberikan kepada para
penunggak hutang, agar tidak jadi korban pemerasan Samirun dan Mandor Sarkawi.
Cuma sejauh itulah yang bisa dilakukan Samolo untuk sekedar menghindarkan
persoalan yang bisa menjengkelkan dan merongrong hati majikannya. Bantuan
terhadap para penduduk pun dilakukannya selalu secara diam-diam, dengan
menyelinap dan menaruh uangnya di atas bale-bale atau meja penduduk pada saat si
penunggak hutang tersebut sedang bekerja di sawah atau sedang tidur pada malam
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harinya. Tak seorang pun mengetahui perbuatan Samolo, dan ia pun tak ingin orang
lain mengetahuinya, kecuali Nyi Londe, yang sangat akrab dengannya.
Pengasuh Giran inilah yang selalu memperhatikan makan serta pakaian Samolo. Bila
ada pakaian Samolo yang bolong atau koyak, dialah yang menjahitkannya. Nasib
membuat keduanya menjadi akrab, seakrab dua orang bersaudara kandung. Bila
Samolo sedang tak ada tugas lain, ia acapkali membantu memomong Giran, atau
membelah kayu, atau bahkan menumbuk padi di emper dekat dapur itu bersama Nyi
Londe yang biasanya sedang menyuapi Giran.
Suatu sore Samolo dan Nyi Londe sedang menyuapi Giran di emper belakang. Samolo
berhenti membelah kayu karena mendengar suara tertawa cekikikan seorang
perempuan dari balik pohon mangga yang tumbuh di halaman belakang gedung itu.
Nyi Londe dan Samolo diam-diam memperhatikannya. Tampak Nyonya Muda
Tuan Tanah yang centil itu sedang berdekapan dengan mesranya dengan Samirun.
Samar-samar terdengar Subaidah berkata setengah berbisik, "Tiga hari lagi usia
Mirta genap tiga tahun, Bang... Aku pikir mau
merayakan ulang tahunnya. Hadiah apakah yang akan Abang berikan kepada anak kita
itu nanti?" "Sebuah kalung. Untukmu hadiahnya pasti lebih
istimewa." Kata Samirun sambil mencubit pipi kekasih gelapnya ini. Subaidah
tertawa cekikikan lagi sambil balas mencubit lengan Samirun dengan genitnya.
Lalu sambil bergandengan keduanya masuk ke dalam
gudang... Samolo dan Nyi Londe tertegun. Pemandangan yang baru saja dilihat dan
didengarnya betul-betul sangat mengejutkan mereka. Gejala-gejala main gilanya
kedua insan itu sebenarnya sudah lama diterka oleh Samolo dan Nyi Londe. Namun
mereka tak pernah menyangka
sebelumnya, bahwa penyelewengan nyonya muda
majikannya itu sudah demikian jauh dan sudah di luar batas. Dan kini mereka baru
tahu, bahwa sesungguhnya Mirta adalah hasil benih penyelewengan dua makhluk tak
bermoral itu. Samolo dan Nyi Londe baru sadar kini, mengapa wajah Mirta beda
benar dengan Tuan Tanah, bahkan wataknya yang keras suka ngamuk dan tak mau diam
bila belum diberi uang. Kerakusan terhadap uang yang sudah terlihat dalam usia
sekecil itu betul-betul aneh. Namun jelas roman muka dan watak Mirta adalah
duplikat dari Samirun sendiri. Anak itu terlalu dimanja oleh ibunya. Apa saja
kemauannya tak pernah tidak dituruti. Tuan Tanah sendiri sering menggeleng-
gelengkan kepala dan mengurut dada melihat watak "Si Bungsu"
yang menguji kesabarannya. Samolo dan Nyi Londe jadi merasa sangat kasihan
kepada nasib majikannya. Namun apa yang dilihat dan didengarnya sore itu tetap
tersimpan rapat-rapat di dasar hati Samolo dan Nyi Londe. Mereka sama-sama
berjanji, demi keutuhan rumah tangga
majikannya, lebih baik rahasia itu pecah di perut dari pada pecah di mulut.
Waktu berjalan terus, lima belas tahun telah berlalu.
Kini Giran dan Mirta sudah sama-sama tumbuh jadi pemuda-pemuda dewasa. Watak
serta fisik Mirta makin mirip Samirun. Namun tak seorang pun berani
menggunjingi persoalan itu, karena tak sampai hati menyudutkan wibawa Tuan Tanah
yang sangat bijaksana itu. Mirta sebagai putra kesayangan nyonya Tuan Tanah yang
berkuasa, tiap hari cuma keluyuran menggoda gadis-gadis desa. Mandor Sarkawi
merupakan pengawalnya yang sama brutalnya, makin menambah resahnya para penduduk desa
Kedawung. Sebagai anak orang mampu, apalagi ayahnya adalah seorang
berpendidikan, Giran dan Mirta disekolahkan di sebuah sekolah cukup terpandang
saat itu. Letaknya cukup jauh, di Tangerang. Samolo-lah yang setiap hari
mengantar dengan delman pribadi. Namun Mirta sering bolos. Ada saja alasannya,
sakit kepala atau sakit bisul paling sering dijadikan alasan untuk tidak masuk
sekolah. Ayahnya selalu memarahi dan menegur kemalasan putra
bungsunya itu. Namun sang ibu senantiasa
memanjakannya hingga lama-kelamaan Tuan Tanah pun memasa-bodohkannya. Tak heran
akhirnya Mirta jebol sekolah karena berkali-kali tidak naik kelas. Makin liarlah
pemuda ini, berkeliaran sepanjang hari bersama mandor Sarkawi. Tuan Tanah makin
sering mengurut dada melihat kelakuan "putra" bungsunya kini.
Sebaliknya prestasi sekolah Giran sungguh
membanggakan hati ayahnya. Namun pemuda tampan ini tak pernah menjadi manja,
apalagi besar kepala. Ia selalu bersikap wajar dan lugu. Penampilannya sangat
sederhana sebagai putra seorang Tuan Tanah yang sangat kaya raya dan berpengaruh
di desa itu. Giran pun sangat berbakti dan patuh kepada kedua orang-tuanya. Ia
sangat sayang kepada Mirta. Setiap pulang sekolah selalu ada saja makanan yang
dibeli untuk adiknya itu. Untuk melanjutkan sekolahnya Giran terpaksa harus
pindah ke Batavia. Tinggal di asrama sekolah. Pada masa liburannya yang pertama,
Giran pulang menengok orang tuanya di Kedawung. Namun betapa sedih hatinya,
ternyata ayahnya sedang dalam keadaan sakit. Ketika baru saja ia turun dari delman,
Samolo sudah menyambutnya dan memberi tahu tentang keadaan kesehatan sang ayah
kepadanya. Giran bergegas masuk ke dalam kamar orang tuanya. Dilihatnya orang
tua itu terbaring dengan wajah pucat di pembaringan. Ibunya dengan berseri-seri
masuk juga ke dalam kamar itu. Giran mencium lengan ayah-ibunya, duduk di sisi
pembaringan. "Mengapa ibu tidak memberi kabar kalau ayah sakit?"
Subaidah agak gugup. Ayahnya cepat berkata sambil tersenyum.
"Ibumu tak mau mengganggu sekolahmu, Giran. Lagi pula sakit ayah tak seberapa.
Dokter cuma menasihati agar banyak istirahat. Tidak apa-apa, beberapa hari lagi
pasti sembuh." Namun Giran merasa cemas juga, hampir setiap hari ia merawat dan menjaga
ayahnya. Sementara itu, pertemuan Subaidah dan Samirun
makin kerap terjadi. Malam itu kedua insan tak bermoral itu bermesraan di dalam
gudang, tempat pertemuan rahasia mereka.
"Bagaimana dengan keadaan tua-bangka itu hari ini"
Hati-hatilah dengan anaknya itu" terdengar suara Samirun.
"Jangan khawatir. Bocah itu terlalu polos dan sangat patuh kepadaku. Si tua-
bangka itu lambat laun pasti pessss...!" Kata Subaidah sambil tertawa terkikih-
kikih. "Bubuk obat yang Abang berikan itu, telah kucampur dalam buburnya setiap pagi.
Itu sudah berlangsung setengah tahun, tapi kok belum apa-apa...!?"
"Sabar saja. Bubuk itu memang kerjanya lambat tapi pasti...!" kata Samirun
tenang sambil mengepulkan asap rokoknya.
"Agar kematiannya nanti terlihat wajar." Sambungnya dingin.
Saat itu sesosok bayangan tinggi besar tegak terpaku di luar jendela. Wajahnya
tampak berkilat karena basah oleh peluh. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
Hampir saja ia mendobrak daun jendela itu, menyeret kedua manusia keji tersebut
dari dalam kamar lalu melumatnya tanpa ampun. Namun Samolo berusaha
menekan gejolak amarahnya. Ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
majikannya. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat bagaikan kucing. Ringan dan gesit
tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Beberapa detik kemudian ia sudah mengetuk
jendela emper bilik Nyi Londe.
Pengasuh Giran ini keluar dan Samolo segera memberi tahu tentang rencana busuk
Subaidah dan Samirun yang berhasil didengarnya tadi. Kening Nyi Londe yang mulai
keriput ini tampak makin berkerut.
"Keji! Betul-betul keji!" gumamnya.
"Kedua setan itu harus dilenyapkan sekarang juga."
bisik Samolo sambil mengeretakkan giginya. Sinar matanya tajam berkilat penuh
dendam. "Itu justru akan menambah parahnya sakit Den-Besar.
Beliau sangat mencintai perempuan durjana itu. Itulah sulitnya"
"Tapi nyawa Den-Besar harus diselamatkan, Nyi!"
"Tentu! Tapi masih ada cara lain!"
"Cara bagaimana?"
"Menukar bubur itu sebelum disajikan kepada Den-Besar. Ini memang merepotkan dan
sulit. Karena Subaidah-lah yang selalu menyajikan bubur itu" kerut-kerut di kening Nyi Londe
tampak semakin nyata. "Yang penting, kalau saja aku bisa menciri penyimpan bubuk racun itu" katanya
perlahan. "Jika caramu tak berhasil, terpaksa carakulah yang digunakan!" kata Samolo
mantap. Esok paginya, Nyi Londe sudah siap dengan bubur panasnya, tatkala Subaidah
mengambil sepiring untuk disajikan kepada suaminya. Pada saat Subaidah
membubuhi "bumbu" pada bubur tersebut, Nyi Londe diam-diam sudah siap dengan
sepiring bubur lainnya. Ia pura-pura sibuk tapi matanya memperhatikan gerak-
gerik nyonya majikannya itu. Subaidah mengambil sebuah botol kecil dari balik
pending emasnya, lalu isinya yang berupa bubuk putih itu ditaburkan sedikit ke
dalam bubur. Botol kecil itu di masukkan kembali ke dalam pendingnya. Mata Nyi
Londe memperhatikan semuanya.
Tepat ketika Subaidah menuang minuman dari poci di atas meja teh itu, Nyi Londe
segera menukar piring bubur itu dengan piring bubur yang telah dipersiapkan
olehnya. Tanpa curiga Subaidah membawa piring bubur tersebut ke dalam kamar tidur Tuan
Tanah. Nyi Londe bernapas lega, lalu membuang bubur yang telah dibubuhi serbuk
racun berdaya lambat itu ke dalam selokan. Demikianlah pertolongan Nyi Londe
dalam usaha menyelamatkan nyawa majikannya, yang dilakukan setiap pagi dan sore
hari. Itu berlangsung terus sampai berbulan-bulan lamanya. Tiga bulan kemudian,
Giran pulang liburan sekolah untuk kedua kalinya. Dilihatnya sang ayah masih
terbaring sakit, namun keadaannya tidak seburuk dulu lagi. Wajah orang tua itu
nampak merah dan segar. Yang dikeluhkannya cuma rasa perih di perut, yang
kadang-kadang menyerang dengan hebatnya. Menurut Dokter yang khusus datang dari
Batavia seminggu sekali itu, ayah Giran menderita radang usus dan lambung yang
cukup akut. Namun kini keadaannya sudah mulai
berangsur membaik. Kecuali tekanan darah tingginya, perlu pengawasan terus
menerus. Terutama penyakit
"lemah jantung"-nya itu.
Giran benar-benar merasa terharu melihat ketelatenan ibunya merawat ayahnya.
Selama Giran berada di rumah, ibunya seakan-akan tak pernah beranjak dari sisi
pembaringan, merawat serta mengurus ayahnya dengan penuh kesetiaan dan kasih
sayang yang nampaknya begitu tulus. Hal itu membuat Giran makin menghormati dan
menambah tebal perasaan kasihnya terhadap ibu tirinya itu. Bahkan menganggap
ibunya adalah cermin dari tipe seorang istri yang begitu agung dan sempurna.
Di hatinya selalu berangan-angan, bila kelak ia beristri, gadis itu haruslah
mirip denga sikap serta perilaku ibunya. Betapa pandainya Subaidah berperan
dalam sandiwara yang skenarionya dibuat secara matang oleh Samirun, kasir yang
cerdik dan amat pandai mengatur taktik dan strategi, dalam usahanya merebut
kekuasaan serta seluruh harta kekayaan Tuan Tanah berpengaruh di Kedawung itu.
Sebenarnya keadaan ayahnya yang kini sudah nampak tua dan berpenyakitan, telah
membuat Giran banyak berpikir. Ia merasa dibebani tanggung jawab sebagai putra
sulung, untuk membantu meringankan penderitaan ayahnya itu. Kini sudah waktunya bagi Giran untuk
bertindak sebagai wakil sang ayah mengurus seluruh usahanya. Sebuah pabrik
penggilingan beras di Mauk milik ayahnya itu kini nyaris terbengkalai. Sejak
ayahnya sakit, usaha tersebut tak terawasi lagi, hingga pihak Pemerinta Hindia
Belanda yang mengontrak hasil beras dari penggilingan tersebut sudah beberapa
kali menegurnya dan yang terakhir ingin menyitanya pula.
Pengurus yang diserahkan tugas untuk mengelola
Pabrik penggilingan beras itu pun ternyata kurang cakap, bahkan diketahui
kemudian, pengurus itu telah memakai uang kas pabrik untuk mengawini seorang
gadis setempat dan membelikan perhiasan yang mahal sebagai mas-kawinnya.
Mendengar laporan tersebut, ayah Giran benar-benar naik pitam, dan penyakit
jantungnya kumat lagi. Samirun diperintahkan untuk mengurus kasus korupsi
tersebut dan agar si pengurus itu diseret kepada yang berwajib untuk diadili.
Tapi di luar tahunya, rupanya Samirun telah memanfaaatkan kejadian itu dengan
memeras si pengurus. Akibatnya kasus korupsi tersebut tetap membeku. Dan pabrik
penggilingan beras terus berjalan tersendat-sendat.
Giran segera mengambil alih persoalan pabrik
penggilingan beras itu. Pada suatu hari dengan diiringi Samolo, ia pergi ke
pabrik itu dan memeriksa seluruh pembukuannya. Diketahuinya secara pasti serta
dengan bukti-bukti yang nyata tentang penyelewengan
karyawannya itu. Maka kasus yang amat merugikan perusahaan serta nama baik
ayahnya itu, segera dilimpahkan kepada pihak yang berwajib. Si pengurus yang korup itu telah
ditindak melalui pengadilan yang cukup bertele-tele dan makan waktu. Akibatnya
Giran pun terpaksa harus berhenti sekolah. Dan hal ini pun sebenarnya yang
diharapkan Giran, agar bisa sepenuhnya membantu ayahnya. Namun Samirun yang
licik itu dapat lolos dari libatan tali hukum berkat kecerdikannya, dan tanpa
menimbulkan prasangka serta curiga siapapun. Di hadapan mata Giran, kasir ini
tetap adalah seorang pegawai yang berpredikat baik. Samolo hampir saja melucuti
kedok kasir licik ini, kalau saja ia tidak mau berpikir panjang, khawatir buntut
persoalan ini akhirnya akan mengungkap masalah kehormatan keluarga
majikannya. Centeng ini terpaksa harus menelan segala kedongkolan hatinya
sendiri. Giran kini secara serius mengambil alih pengurusan seluruh perusahaan ayahnya.
Merombak segala sesuatu yang selama ini terbengkalai. Maka dalam waktu yang
relatif singkat, perusahaan penggilingan berasnya sudah mulai berjalan lancar
lagi. Juga beberapa perkebunan milik keluarganya itu turut dibenahi dengan
tuntas. Ia tak segan-segan lagi memecat karyawan yang tidak disiplin, apalagi
yang terbukti berlaku tidak jujur.
Tenaga-tenaga baru pun ditambah dari para penduduk desa Kedawung, dengan upah
yang cukup memadai. Kebijaksanaannya itu mendapat sambutan simpatik dari para penduduk, yang selama
ini hidup dalam kemiskinan, karena mereka kebanyakan memang para penganggur.
Perubahan besar itu sangat menggembirakan ayahnya.
Tuan Tanah ini merasa bahagia mempunyai seorang putra yang patut dibanggakan.
Sebaliknya bagi Samirun dan Subaidah, kemunculan Giran sebagai penerus dinasti
Tuan Tanah yang penuh kharisma itu, justru menjadi duri di dalam dagingnya.
Mereka mulai berkasak-kusuk secara rahasia, merencanakan suatu taktik baru untuk
menyingkirkan sang penerus yang jadi penghalang ini.
Dalam waktu-waktu senggang, Giran selalu
memanfaatkannya untuk bercengkerama dengan para penduduk. Di antara yang sering
dikunjunginya adalah Ki Kewot. Petani tua ini sekarang lebih banyak berada di
gubuknya, hanya kadang-kadang saja turun ke sawah untuk mencangkul dan mengurus
sawah milik Tuan Tanah. Giran tak pernah lupa mencangking bungkusan bila berkunjung ke gubuk
orang tua itu. Sekedar oleh-oleh untuk Ki Kewot dan Ratna, putri cilik yang kini
telah tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat rupawan.
Mungkin inilah salah satu sebab mengapa akhir-akhir ini Giran sangat rajin
bertandang ke gubuk orang tua itu.
Samolo yang selalu setia mengawalnya, kadang-kadang suka tersenyum sendiri
melihat tingkah majikan mudanya yang masih serba rikuh bila berhadapan
dengan gadis rupawan itu. Namun sikap canggung dan salah tingkah itu menjadi
hilang setelah hubungan kedua muda-mudi tersebut semakin intim. Dan senyum
Samolo pun berganti dengan sebuah harapan serta doa di hatinya. Semoga putra
sulung majikannya ini bisa mewarisi sifat serta keluhuran budi sang ayah.
Kecuali nasib buruk sang ayah sebagai suami yang dikhianati istrinya itu, tidak
menurun kepadanya. Perkembangan perilaku Giran yang agaknya mulai diresapi
getaran cinta remaja itu, selalu diberi tahu Samolo kepada Nyi Londe.
Pengasuh yang amat setia itu selalu berbinar bola matanya, mendengar kisah
asmara putra asuhannya yang teramat disayanginya itu. Hati kedua abdi yang setia
ini senantiasa berdebar, menanti perkembangan asmara itu dengan penuh perhatian.
Seakan-akan mereka berdualah yang akan mengambil menantu.
Pada suatu hari, sepulangnya Giran mengantar dokter yang merawat ayahnya ke
Batavia, ia berpapasan dengan Ratna yang baru saja pulang dari sungai mencuci
baju. Gadis ini berjalan beriringan dengan teman-temannya sambil bercanda. Melihat
Giran datang, teman-teman Ratna segera menggoda.
"Ratna, Arjunamu datang tuh. Hi... hi... hi..."
Sambil tertawa terkikih-kikih gadis-gadis desa itu berlalu sambil berlenggang-
lenggok dengan bakul cucian di pinggulnya masing-masing. Ratna tertawa lalu
tertunduk dengan wajah memerah jambu. Giran
menghentikan kuda keretanya.
"Ratna, habis mencuci baju?"
Ratna mengangguk, masih tertunduk.
"Bagaimana keadaan ayahmu?" tanya Giran lembut.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik," jawab Ratna perlahan dengan masih tertunduk.
Giran mengambil sebuah bungkusan dari dalam
keretanya, ditaruhnya di dalam bakul cucian Ratna.
"Ada sedikit oleh-oleh untukmu dan ayahmu," ujar Giran sambil tersenyum
memandang gadis ayu ini. "Terima kasih, Den..." kata Ratna tersipu, mengangkat wajahnya memandang Giran
sejenak lalu tertunduk lagi.
Ia tersenyum manis, pipinya tampak semakin merah seperti bunga mawar. Kemudian
sambil mengempit bakul cuciannya ia melangkah pergi. Giran memandangi tubuh
semampai yang molek itu, lalu naik ke atas kereta, menarik tali les kudanya dan
berangkat pulang. Tidak jauh dari situ, tampak Mirta ditemani mandor Sarkawi memandangi pertemuan
Giran dan Ratna itu dari balik pohon. Mata Mirta tampak merah membara.
Sarkawi segera mengipasi bara api kebencian yang sudah lama mencekam di mata dan
hati pemuda ini. "Rupanya abang Den Mirta ada hasrat juga terhadap
'anak ayam' Aden yang botoh itu. Kalau kalah cepat, bisa-bisa diserobot lebih
dulu sama dia." Ujar Sarkawi memanasi.
"Kurang ajar! Dia memang selalu memuakkan aku."
geram Mirta sambil memukul batang pohon dengan
tinjunya. Lalu dengan langkah lebar mengejar Ratna yang berjalan di atas
pematang sawah. Sarkawi berjingkrak mengikuti pemuda brandal itu. Cepat sekali
Mirta sudah berada di sisi Ratna. Gadis itu dengan wajah cemberut berusaha
menghindar. Ia merasa muak melihat pemuda binal ini yang sering kali
mengganggunya. Mirta tertawa sambl mencolek bahu Ratna yang menghindar dengan
mempercepat langkahnya. "Ke udik membawa lembing,
Ke kota membopong senapan,
Jika adik merasa berat menjinjing,
Biar abang tolong bawakan... "
Mirta menggoda dengan rayuan pantunya. Sarkawi
tertawa terbahak sambil lompat menghadang Ratna yang lari menghindar.
Mandor bertubuh gempal ini pun ikut-ikutan
berpantun sambil mencegat Ratna.
"Et... Et! Kelapa muda, kelapa cengkir,
Jangan ditaruh di atas tatakan.
Kenapa Nona pergi menyingkir"
Jangan bikin hati Den Mirta berantakan!"
Mirta nyengir sambil menepuk bahu sang Mandor.
"Bagus, Wi! Lusa gua persen se- gobang lu! "
Sarkawi tertawa lagi sambil terus berusaha mencegat Ratna. Mirta mendekati gadis
ini yang mulai makin ketakutan dan hampir menangis.
"Berliku-liku sungai Ciliwung.
Anak dara berdayung sampan.
Jikalau Adik menjadi burung,
Biarlah Abang menjadi dahan."
Mirta berpantun lagi. Mata Ratna mulai berkaca-kaca karena cemas dan
marah. Mirta malah makin berani dan lancang tangan.
Dipegangnya lengan Ratna yang meronta ketakutan.
"Kenari si burung Kenari,
Kenari terbang ke hutan lebat.
Mari, marilah jantung hati,
Hati abang aduh... sudah ngebet"
Dengus Mirta dengan pantunya sambil mencoba
mencium pipi gadis itu. Ratna melempar bakul cuciannya ke tubuh Mirta, lalu lari menelusuri galangan
sawah. Mirta tercengang sejenak, kemudian lari mengejar. Sarkawi hendak ikut
mengejar tapi matanya tiba-tiba tertumbuk pada
bungkusan oleh-oleh dari Giran yang tercecer di antara cucian Ratna itu.
Dipungutnya bungkusan tersebut dan dibukanya. Matanya nanar memandang sehelai
kain sutera berwarna hijau muda. Dan sebuah cangklong tembakau terbuat dari
gading gajah yang semuanya tampak berharga sangat mahal. Sarkawi tertawa
kegirangan, segera menyimpan barang-barang itu ke dalam bajunya. Kemudian dengan
berlompatan ia menyusul Mirta. Saat itu, Ki Kewot masih berada di tengah sawah sedang mencangkul. Lengannya
tiba-tiba tampak jadi makin gemetar ketika dilihatnya putrinya berlari-lari ke
arahnya sambil menangis. Sementara di belakangnya tampak dua laki-laki
mengejarnya. Dari jauh jeritan Ratna memanggil-manggil ayahnya sudah terdengar.
Sebelum rasa heran dan bingung kakek ini lenyap, putrinya sudah merangkul tubuh
tuanya dengan gemetar lalu menyelinap di belakangnya. Mirta dengan napas memburu
tiba di tepi sawah, disusul kemudian oleh Sarkawi.
"Oh, Den Mirta dan Bang Mandor...!" Sapa Ki Kewot dengan hormatnya.
"Ada apa" Maafkanlah kalau anak ini telah berlaku kurang tahu adat. Maklumlah
kami orang bodoh. Maafkan Den" Mirta dengan angkuh berdiri bertolak pinggang di atas pematang sawah. Matanya
jalang menatap Ratna yang berdiri ketakutan di belakang tubuh ayahnya.
Sarkawi yang berdiri di samping Mirta segera berkata,
"Hei Ki! Ente patut mengucap syukur ke Gusti yang kuasa. Karena nasib kalian
bakal ketiban rejeki nomplok.
Bolehnya Den Mirta bisa nyungsep hatinya begitu melihat Ratna. Berapa banyak
anak-anak perawan pada ngantri ingin jadi mantu Tuan Besar tapi dilirik pun
kagak sama Den Mirta"
Mirta tersenyum bangga mendengar sesumbar si
Mandor. Ki Kewot mendengus kecil berusaha menyembunyikan kemuakannya melihat tingkah
kedua orang yang selalu membuat onar itu.
Dituntunnya tangan Ratna. Sambil memanggul
cangkulnya petani tua itu beranjak dari tengah sawah naik ke atas tanggul untuk
pulang. Mirta tampak tak senang, ia memberi tanda dengan kerlingan matanya
kepada Sarkawi. Serta-merta Mandor ini segera lompat menghadang si Kakek serta
putrinya itu. "Nanti dulu! Mau apa sih buru-buru pulang, Ki" Tahu diri sedikit, ah." tegur
Sarkawi dengan gaya menggertak.
"Maaf mandor, kami orang bodoh. Takut nanti berbuat salah lagi. Ijinkanlah kami
pulang." Kata Ki Kewot memohon.
Mirta tiba-tiba menarik lengan Ratna dan diseretnya dengan paksa ke arah sebuah
dangau tempat berteduh para petani yang dibangun di tepi tanggul itu. Ratna
menjerit minta tolong kepada ayahnya sambil meronta berusaha melepaskan diri. Ki
Kewot jadi panik, namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, lengan Sarkawi telah
memiting lehernya dan sebelah lengannya dipelintir lalu tubuhnya dibanting ke
tanah. Tanpa kenal kasihan mandor segera menduduki tubuh petani tua itu yang
sia-sia meronta tak berdaya. Lebih celaka lagi kaki Sarkawi dengan seenaknya
menginjak kepala orang tua itu, hingga mulutnya terbenam penuh lumpur, tak mampu
bersuara. "Lepaskan...! Lepaskan... Tolooooongg...!" jerit Ratna sambil terus meronta dan
berpegangan kuat-kuat pada tangga dangau. Mirta bagaikan hewan lapar berusaha
menyeret mangsanya ke dangau itu.
Ki Kewot mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membebaskan diri dari tindihan
tubuh Sarkawi yang gempal itu. Namun usaha kakek renta ini sia-sia. Malah kaki
Sarkawi makin keras menginjak kepalanya.
"Tenang, Ki, tenang! Kenapa sih lu suka ngalang-ngalangi kesenangan anak-anak
muda. Ente kan pernah muda dulu!" bentak Sarkawi dengan kurang ajar.
Tepat pada detik itu, sebuah tendangan telak
menghantam punggung mandor, hingga tubuhnya
terlontar dan terguling ke dalam sawah. Sesosok tubuh tinggi besar yang tiba-
tiba sudah tegak di situ, segera membangunkan Ki Kewot. Kakek ini segera memburu
ke arah dangau untuk menolong putrinya. Tarik-menarik terjadi. Namun akhirnya
Mirta kalah tenaga, langsung jatuh ke dalam lumpur sawah. Ki Kewot segera
menarik lengan Ratna lari meninggalkan tempat itu.
Sarkawi dengan menahan sakit merayap naik ke atas tanggul sawah, matanya nanar
mencari si pembokong tadi. Punggungnya terasa remuk seperti diseruduk kerbau.
Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar menegurnya.
"Jangan membuat keonaran, Wi! Den-Besar sedang
sakit. Kau tahu itu, bukan?"
Sarkawi terkejut, karena ia kenal benar dengan suara berat itu. Kemudian
dilihatnya sesosok bayangan tinggi besar berkelebat dari bawah pohon, dan lenyap
di tikungan jalan yang ditumbuhi semak-semak. Sarkawi meludah sambil mengumpat
dengan geramnya, "Bangsat!
Awas lu Samolo. Gua hirup darah lu. "
Dengan tertimpang-timpang ia bangkit, menghampiri Mirta yang masih meronta-ronta
terbenam di dalam lumpur. Ketika tubuh pemuda itu diangkat, Sarkawi hampir tak
dapat menahan tawanya. Wajah dan tubuh Mirta hitam legam berlumur lumpur sawah,
persis seekor lutung. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 6 JERITAN Subaidah menggema di gedung Tuan Tanah, ketika nyonya muda ini melihat
mandor Sarkawi masuk dengan memapah "seekor makhluk ganjil" ke dalam gedung.
"Astaga, apa itu!" teriak Subaidah kaget.
Dia lebih kaget lagi ketika mengenali putra kesa-
yangannya itu. "Aduh Gusti, kenapa kau jadi begini, Mirta?"
Mirta dengan suara memelas mengadu kepada ibunya.
"Samolo, Bu. Ita enggak apa-apa, tahu-tahu dia
mendorong Ita ke dalam sawah. Barangkali lagi pusing habis kalah main sintir. "
"Sarkawiiii! Gegares gi lu ke dapur!" teriak Subaidah kalap sambil menuding
hidung mandor Sarkawi yang berdiri dengan wajah meringis.
"Apa kerja lu, ha" Lu takut sama si Samolo?"
Sarkawi garuk-garuk kepala.
"Bukannya saya keder sama dia, Nya Besar... Soalnya teman-temannya ikut-ikut
mengeroyok. Tujuh yang saya bikin ngambang di kali Cisadane! Eh, Den Giran
datang misah in." Seorang pembantu membawa Mirta ke dalam untuk
dimandikan. Wajah Subaidah tampak kecut karena
marah. "Orang-orang keparat itu harus dilenyapkan
secepatnya!" gumamnya penuh dendam. Lalu ia berpaling kepada Sarkawi.
"Sini Lu!" "Y... ya, Nya Besar..." sahut si mandor dengan hati kebat-kebit, lalu mendekat
sambil tertunduk-tunduk ke sisi nyonya majikannya.
"Cepat lu panggil Den Kasir. Awas, bacot lu jangan bocor!" bisik Subaidah dengan
nada mengancam. "Iya... eh... kagak Nya Besar..." Jawab Sarkawi gugup.
Mandor ini segera keluar, tingkahnya mirip maling.
Membuat Subaidah menyumpah-nyumpah di dalam hati.
Nyi Londe sejak tadi pura-pura menyapu di luar
jendela, padahal telinganya diarahkan ke dalam. Akhir-akhir ini kewaspadaan dan
kecurigaannya terhadap kelompok Subaidah dan Samirun makin menjadi-jadi,
disebabkan seringnya orang-orang itu kasak-kusuk, agaknya merencanakan sesuatu.
Pengasuh ini sangat mengkhawatirkan keselamatan Giran yang telah diasuh dan
disusuinya sejak masih bayi. Ia tidak ingin sehelai rambut pun dari pemuda itu
diganggu oleh ulah para durjana itu. Sesungguhnya semua ini merupakan suatu
siksaan batin yang tidak ringan baginya.
Malam itu tampak Samirun dan Sarkawi dengan hati-hati bagaikan pencuri,
menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar.
Namun semua kelakuan kedua laki-laki itu tidak luput dari mata Samolo, yang
sejak tadi mengintai dari balik tiang teras belakang gedung luas itu.
Sebagai seorang centeng yang sudah mengabdi
puluhan tahun, Samolo sangat hafal dengan setiap jengkal keadaan gedung itu. Dia
tahu tempat mana yang paling tepat untuk bisa menguping perundingan orang-orang
itu. Maka dengan segesit seekor kucing, Samolo tiba-tiba melesat ke atas atap
dari deretan kamar yang terletak di bagian samping kiri gedung. Lalu dengan
gerakan yang amat ringan, tubuhnya bergelantungan di para-para kamar itu.
Melalui jendela dilihatnya tiga orang itu sedang berunding dengan wajah serius.
Samolo memasang telinganya. "Kenapa muka lu pucat" Takut?" terdengar suara Samirun sinis.
"Kalau lu enggak sanggup, bilang saja terus terang, jangan sampai urusan ini
jadi kapiran!" lanjut Samirun lebih sinis.
"Den Kasir seperti baru kemaren sore saja kenal sama saya. Masa ragu sama si
Sarkawi, jawara kesohor dari Pisangan ini"! Pokoknya asal syaratnya cukup. He...
he... he..." kata Sarkawi sambil menggesek telunjuk dengan ibu jarinya.
Samirun mendehem sambil melirik ke wajah Subaidah, seolah menunggu keputusan
kekasih gelapnya itu. Subaidah mengangguk. Lalu Samirun berbisik di dekat telinga si Mandor yang
mendengarkannya dengan serius namun tampak wajahnya semakin pucat.
Meski suara bisikan itu hanya samar-samar ditangkap telinga Samolo, tapi sudah
cukup membuat centeng ini menjadi terkejut dan geram. Mendadak dengan gerakan
jurus "Musang Munggih" tubuh Samolo melesat ke atas atap lagi dan mendekam di
situ, karena tepat pada detik itu Sarkawi melangkah ke luar dari kamar.
Tak lama kemudian, mandor sudah datang lagi
bersama Giran, masuk ke ruangan utama gedung itu.
Disitu sudah menunggu Subaidah yang duduk
menyambutnya dengan senyum lembut keibuan.
"Ibu memanggilku?" tanya Giran dengan nada penuh hormat.
"Duduklah, ibu ingin bicara padamu."
Giran duduk dengan patuh. Sarkawi berdiri dengan sikap agak gelisah di dekat
pintu. "Begini Giran," kata ibu tiri Giran itu dengan suara lembut, "Ibu mendapat
laporan, sejak ayahmu sakit, sering terjadi pencurian kelapa. Coba kau berdua
dengan Sarkawi pergi periksa kebun kelapa itu!"
"Baiklah, Bu. Kami akan pergi memeriksanya!"
Giran bangkit melangkah keluar pintu.
"Mari, Wi. Kita berangkat sekarang!" ajaknya pada Sarkawi.
*** Sinar bulan kadang-kadang menerobos di antara celah daun-daun kelapa. Semuanya
tampak samar-samar. Giran dengan lampu baterainya memeriksa pohon-pohon kelapa itu.
"Kebun kelapa ini cukup subur, tak terlihat tanda-tanda bekas dicuri orang. Iya
kan, Wi?" kata Giran sambil terus menyoroti buah-buah kelapa.
"Di sebelah dalam barangkali, Den" jawab Sarkawi sedikit gugup. Sementara
matanya liar memandang ke sekitar penjuru kebun. Mereka masuk lebih dalam ke
areal kebun kelapa. Sesaat kemudian, Giran duduk melepaskan rasa pegal pada
kakinya di atas sebatang pohon kelapa yang tumbang. Tanpa curiga sedikit pun
kepada gerak-gerik mandor Sarkawi yang selalu
mengiringi di belakangnya itu.
Mata Sarkawi tampak makin liar menatap ke sekitar tempat itu lalu ke leher
Giran. Sementara lengannya dengan agak gemetar mulai meraba gagang goloknya yang
selalu terselip di pinggangnya. Perlahan-lahan dicabutnya golok itu.
"Ini waktunya buat menukar batok kepala bocah ini dengan duit tiga ringgit,"
desahnya di dalam hati. Sarkawi mundur dua langkah membuat ancang-
ancang, goloknya terhunus itu diangkatnya siap
dibabatkan ke leher Giran yang masih duduk tenang membelakangi mandor yang sudah
gelap mata ini. Mata golok itu terangkat tinggi-tinggi, berkilat diterpa cahaya obor. Tepat pada
detik kritis itu, sebutir kelapa tiba-tiba meluncur dari atas dan tepat
menghantam kepala Sarkawi.
Maka tak ampun lagi tubuh mandor Sarkawi langsung tersungkur mencium bumi,
berdebum mengejutkan Giran yang sedang duduk melamun. Pemuda ini melompat
bangun, dilihatnya Sarkawi sedang menggelepar dan mendengus-dengus seperti
kerbau disembelih, lengannya mendekapi kepalanya yang nyaris remuk tertimpa
kelapa. "Kenapa kau, Wi?" tanya Giran sambil memegangi
tubuh sang mandor dan meraba kepalanya yang benjol sebesar kepalan tinju. Giran
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru menyadari bencana yang telah menimpa mandornya, setelah melihat sebutir
kelapa tergeletak tidak jauh dari situ.
Kini tubuh Sarkawi pun terdiam tak berkutik lagi.
"Ya Allah! Dia pingsan tertimpa kelapa." gumam Giran dengan iba. Giran segera
memboyong tubuh Sarkawi yang cukup berat itu ke atas bahunya, lalu dibawanya
pulang. Sementara itu, di atas sebatang pohon kelapa, sesosok tubuh tinggi besar
mengawasi peristiwa itu dengan sorot mata marah.
"Hmmm, dasar kerbau dungkul. Sudah semaput masih juga menyusahkan Den Giran.
Manusia-manusia laknat itu memang harus cepat disingkirkan, agar tidak punya
kesempatan lagi untuk mencelakai anak yang terlalu polos itu."
Demikian gumam di hati laki-laki perkasa itu yang segera merosot turun dari
pucuk pohon kelapa. Namun hatinya merasa lega.
*** Saat itu, di dalam ruangan utama, tampak "si tante girang" Subaidah dan "om
senang" Samirun tengah menanti hasil rencana mereka. Subaidah tampak
beberapa kali mondar-mandir melongok keluar jendela dengan gelisah. Samirun yang
tetap tenang sambil mengepulkan asap rokoknya berusaha menghibur sang
"Kekasih". "Sabar, tenang saja. Sebentar lagi Sarkawi pulang dengan..."
Belum lagi ucapannya berakhir, pintu tiba-tiba
terbuka, tampak Giran masuk dengan tubuh Sarkawi tergendong di atas bahunya.
Subaidah dan Samirun jadi ternganga dengan mata terbelalak. Giran meletakkan
tubuh Sarkawi yang lunglai itu di atas bangku panjang.
"Kasihan Sarkawi, dia pingsan tertimpa buah kelapa."
Giran menjelaskan kepada ibunya juga kepada Samirun yang sama-sama masih
tertegun. "Tertimpa kelapa"!" tanya Samirun seakan-akan tak percaya dengan telinganya
sendiri. "Untung tidak pecah kepalanya. Biarlah dia
beristirahat dulu untuk beberapa hari. Paman Samirun, tolong berikan dia uang
untuk berobat!" "Ba... baik, Den..."
Tubuh Sarkawi tampak mulai bergerak, tapi matanya masih terpejam menahan rasa
pening pada kepalanya. Subaidah dengan sikap khawatir segera menuang air di gelas lalu diberikan kepada
Giran. "Sejak tadi ibu Aden selalu gelisah, karena khawatir akan keselamatan Aden.
Maklum kini banyak pencuri berkeliaran di kebun kelapa" kata Samirun mencari
kesempatan untuk menutupi kebusukan rencananya.
"Nyonya memanggilku untuk menyusul Aden ke
kebun. Tapi ternyata Aden sudah pulang lebih dahulu."
"Syukurlah kau tidak apa-apa!" Subaidah pura-pura menarik napas lega. Giran
tersenyum, menaruh gelas air yang diminumnya itu di atas meja. Ia merasa terharu
melihat kekhawatiran ibunya terhadap dirinya.
"Ibu tak perlu cemas. Kebon kelapa kita itu pun tetap aman dari tangan-tangan
para pencuri." Kata Giran menghibur.
Setelah mengucapkan selamat malam, Giran
mengundurkan diri. Kedua wajah orang ini segera berubah kembali menjadi kaku.
Kaki Samirun tiba-tiba melayang ke tubuh Sarkawi yang masih terlentang di atas
dipan. Tergulinglah tubuh mandor ke lantai sambil mengaduh dan merintih
kesakitan. Subaidah mengangkat poci berisi air teh panas dan dituang seluruhnya
mengguyur kepala Sarkawi, hingga mandor sial ini makin kelabakan dibuatnya.
"Waduh. Benar-benar jago jempolan, lu Wi! Pulang juga pakai dibopong segala,
kayak anak kecil habis kepicirit"
Ejek Samirun dengan acungan jempolnya, sedang
amarahnya makin meluap. Kembali ditendangnya
Sarkawi dengan sekuat tenaga. Sarkawi menggeliat mengaduh lagi, memegangi
pinggangnya yang terkena sasaran terompah Samirun.
"Sundel! Kenapa lu kagak mampus aja sekalian"!"
bentak Samirun makin kalap. Tangannya mencabut pistol yang terselip di
pinggangnya. "Lu bikin kucar-kacir gua punya rencana. Lu minta dipersen biji melinjo"!"
pistol itu ditodongkan ke kepala Sarkawi yang jadi gemetar ketakutan.
"A... a... ampun Sir...! Saya lagi ketiban sial rupanya nih..." ratapnya dengan
memelas. "Awas...! Kalau mulut lu bocor, sampai orang tahu...
Gua jeder batok kepala lu...! Lu belum kenal siapa Samirun ya!" ancam kasir ini
sambil menimang-nimang pistolnya.
"Busyet dah. Masa saya kagak kenal sama Den Kasir!
Kita kan sahabat lama, cuma nasib saja yang beda. Maka jangan galak-galak, ah!
Hi Hi...!" bujuk Sarkawi meringis menahan sakit.
"Eh, apaan cengar-cengir" Lu kira gua main-main"!
Gua tembak, muncrat benak lu! Mau?" bentak Samirun.
Ujung pistolnya ditempelkan ke pelipis Sarkawi yang jadi pucat seketika.
Subaidah mendengus, merasa muak menyaksikan adegan itu.
"Sudah sudah! Bisanya cuma ngebacot melulu. Huh sebal!" Ia melangkah ke luar
ruangan dengan wajah masam. Samirun buru-buru membujuknya. "Sabar
Baidah, kita masih punya kesempatan lain."
Tapi Subaidah seakan-akan tidak mendengar, terus berjalan menuju ke ruangan
kamar tidurnya sendiri. Samirun jadi semakin kebingungan, dimakinya lagi Sarkawi habis-habisan untuk
melampiaskan kedongkolannya. Tapi dasar wataknya memang bebal, mandor ini cuma cengengesan
saja, mirip monyet mabuk terasi.
*** Bulan purnama memancarkan cahayanya yang lembut
keperakan. Serangga malam mengisi keheningan suasana malam itu dengan tembang-
tembang yang membangkitkan rasa pukau manusia terhadap seluruh kegaiban alam.
Pada keheningan malam yang terasa syahdu ini, ada sepasang muda-mudi sedang
memadu kasih di bawah sebatang pohon rindang di tepi sungai, tidak jauh dari
gubuk Ki Kewot. Kedua insan remaja ini ialah Giran dan Ratna.
Terdengar suara Giran berkata agak gemetar.
"Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan
sesuatu kepadamu Ratna..."
"Apa itu, Kak?" tanya Ratna perlahan, meskipun
hatinya sudah dapat meraba, apa yang hendak dikatakan oleh pemuda yang duduk di
sisinya itu. Namun ia menunggu dengan hati berdebar. Keheningan yang
sejenak itu terasa begitu lama baginya.
"Maukah kau menjadi istriku?" perlahan sekali suara Giran, namun bagi telinga
Ratna kata-kata itu terdengar sebagai gaung dari sebuah gong raksasa, yang
seakan-akan bergema ke seluruh dunia. Begitu merdu dan menggetarkan kalbunya.
Ratna berpaling menatap wajah pemuda pujaannya dengan mata berkaca-kaca. Giran
balas menatapnya dan terkejut, memegang kedua pipi Ratna dengan kedua lengannya.
"Ratna, kenapa kau menangis..." Apakah kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu?"
tanya Giran hati-hati. Ratna menggeleng, air matanya makin deras jatuh berderai, tapi bibirnya
tersenyum. "Aku sangat bahagia, Kak" ucapnya sambil
merebahkan kepalanya di dada Giran yang bidang. Malam semakin hening. Suara
nyanyian serangga malam terdengar semakin merdu pula.
"Tapi Kak... kau pasti menyesal kelak. Aku hanyalah gadis desa yang miskin lagi
bodoh. Apa kata orang-orang nanti" Terutama kedua orang-tua kakak sendiri?" kata
Ratna masih dalam haribaan Giran. Giran membelai kepala gadis yang sangat
dicintainya itu dengan lembut, lembut pula kata-katanya.
"Kau telah merupakan sebagian dari hidupku. Tanpa kau, aku tak tahu apa yang
akan terjadi pada diriku.
Apapun yang terjadi kelak, aku pasti akan selalu mendampingimu dengan setia,
tanpa keluh dan sesal. Percayalah, Ratna" Janji Giran ini membuat Ratna jadi semakin terharu, dan tanpa kata-kata yang
dapat melukiskan dan mengungkapkan perasaannya pada saat itu.
Pemuda semacam tipe Giran memang bukanlah
pemuda yang pandai merayu, semua kata-katanya
terlontar dari dasar hati nuraninya yang murni. Ratna pun sudah menyelami watak
pemuda itu, maka ia rela menyerahkan seluruh hidupnya kepada pemuda
idamannya itu. Andaikata ia harus berkorban nyawa pun ia tak kan ragu. Ia
bersumpah di dalam hati, akan menjadi istri paling setia bagi Giran, setia
sampai mati. Malam bertambah larut. Giran mengantar Ratna
sampai ke muka gubuknya. Ia cuma berani mencium ujung rambut kekasihnya,
meskipun barangkali Ratna sendiri mengharapkan lebih dari itu, karena
sesungguhnya malam itu merupakan malam paling indah yang patut dikenang selama
hidupnya. Namun sentuhan lembut hidung Giran pada rambutnya, cukup membuat
jantung Ratna berdebar dan tergetar. Itu berlangsung lama sampai Giran
meninggalkan gubuk itu, diiringi Samolo yang menunggu di kejauhan. Getaran itu
masih juga menyesakkan dadanya ketika ia berdiri tersandar di belakang pintu.
Bahkan masih terasa sampai bertahun-tahun kemudian, jika peristiwa manis itu
dikenangnya. Agak lama gadis ini tersandar di belakang pintu, menghela napas dalam-dalam dan
tersenyum seorang diri. Rasanya bagaikan tengah bermimpi. Wajahnya yang masih
ranum itu dijalari warna merah jambu. Suara batuk ayahnya yang ternyata masih
belum tidur, tiba-tiba mengejutkannnya. Ia melangkah masuk ke dalam
ruangan dalam. Dilihatnya ayahnya sedang duduk di kursi dekat dapur sambil
melinting rokok kawungnya.
Sekali lagi orang ini mendehem penuh arti, membuat wajah Ratna terasa panas dan
makin memerah. Ia tahu ayahnya memang sengaja sedang menunggunya di situ.
"Kau tampak sangat gembira malam ini, Ratna" kata ayahnya sambil terus asik
melinting rokok kawung. Ratna tertunduk, menggigit bibirnya. Sambil terbatuk dan mendehem kecil ayahnya
lambat-lambat berkata. "Ayah semakin tua dan rapuh. Kadang-kadang ayah lupa bahwa kau kini sesungguhnya
sudah dewasa. Adalah wajar setiap manusia harus menemukan jodohnya masing-masing... Ayah pun
pernah muda, Nak. Jadi ayah pun tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatimu
itu." Wajah Ratna kian bertambah merah. Dengan perasaan haru ia bersimpuh di haribaan
ayahnya. Lengan tua itu begitu lembut membelai kepala sang putri yang manja ini
dengan penuh kasih sayang.
"Giran seorang muda yang baik. Ayah percaya cintanya terhadapmu itu adalah suci"
Hening sejenak, lengan tua itu terus membelai kepala Ratna.
"Kalau saja ibumu masih ada, kau tentu akan lebih banyak memperoleh bimbingan
serta nasihat-nasihat berharga, sebagai bekal hidupmu kelak."
Air mata Ratna berlinang-linang ke pipinya dan
membasahi celana kusam ayahnya.
"Tapi pesan ayah, batasilah pergaulanmu dengan
Giran...! Kita harus tahu diri, Nak. Kita miskin dan bodoh, satu-satunya harta
yang kita miliki hanyalah harga diri dan kehormatan sebagai manusia. Hanya itu!
Sedangkan Giran, dia dari keluarga orang berada serta berpengaruh. Meski Giran
pribadi tidak pernah mengagulkan diri karena itu. Bertaqwalah selalu kepada Tuhan, karena hanya Dia-
lah yang menentukan jalan hidup segala makhlukNya"
Ratna cuma bisa mengangguk kepala di haribaan
Ayahnya. *** "APA katamu Giran" Kau mau kawin dengan Ratna,
anak si Kewot, si tua renta itu"!" terbelalak mata Tuan Tanah memandang putra
sulungnya dari kursi-malasnya.
Giran mengangguk dengan mantap, semantap hatinya yang sudah siap menghadapi
rintangan apa pun. "Sungguh-sungguhkah kau?" tanya Ayahnya dengan
suara tinggi. Sekali lagi Giran mengiyakan dengan pasti.
Tuan Tanah tersenyum memandang putranya yang sudah dewasa itu.
"Bagus. Aku lamarkan Ratna untukmu hari ini juga!
Kita rayakan pesta semeriah-meriahnya" Begitu mantap dan bersemangatnya suara
Tuan Tanah ini. Subaidah melirik wajah Mirta yang tersandar di ujung meja dengan
wajah masam. "Aku memang berharap bisa cepat punya mantu dan menggendong cucu. Ha ha ha..."
Gembira sekali Tuan Tanah ini. Tentu saja yang paling gembira dan bahagia ialah
Giran sendiri. Tuan Tanah tiba-tiba berpaling kepada istrinya.
"Eh, kenapa diam saja, Bu" Kau juga tentu gembira, bukan Bu?" tanya Tuan Tanah
kepada istri mudanya ini.
Subaidah tersipu dan menjawab dengan gugup.
"S... s... sudah tentu Pak! Siapakah yang takkan gembira menyambut hari bahagia
itu" Saya akan menyiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya" katanya dengan senyum amat
dipaksakan. Mirta melangkah keluar dengan wajah tak sedap
dipandang. Sementara suara Tuan Tanah masih
terdengar berbicara dengan Giran, membuat Mirta bertambah mual.
Subaidah menyusul putranya keluar. Mirta berdiri di luar gedung dengan wajah
cemberut. Didekatinya putra kesayangannya ini.
"Bangsat! Dia rebut si Ratna dari tanganku" gerutu Mirta sambil bersungut-
sungut. "Ibu tahu perasaanmu, Nak. Tapi kau masih terlalu muda untuk berumah tangga"
bujuk ibunya. "Apakah si Codot Giran itu lebih dewasa, lebih pandai dariku" Huh! Dasar Ayah
memang selalu pilih kasih!"
gerutunya dengan termonyong-monyong. "Anak keparat itu memang selalu menyakitkan
hatiku. Biarlah, Ita pergi saja dari rumah ini, daripada dihina begini!"
"Sabarlah, Mirta. Ibu ada daya..." kata ibunya
mendekat dan berbisik di telinga Mirta.
Di luar kesadaran mereka, ada sepasang telinga lain yang menangkap
pembicaraannya itu. Orang ini ialah Samolo yang berada tidak jauh dari tempat
itu. *** MALAM telah larut, terdengarlah suara bergeletak
lunak di pintu gubuk Ki Kewot. Sesaat kemudian di antara keremangan cahaya lampu
teplok tampak dua sosok bayangan laki-laki menyelinap masuk. Ketika keduanya
masuk ke dalam kamar tidur Ratna, dua laki-laki ini jadi menahan napas.
Memandangi tubuh molek itu terbaring dengan nyenyaknya. Tampak salah seorang
yang bertubuh gempal itu menelan liur. Ratna sekonyong-konyong terbangun dan
sangat kaget melihat dua laki-laki bertopeng kain sarung itu berada di
hadapannya. Ia menjerit, tapi si tubuh gempal itu segera mencabut golok
mengancamnya. "Sssst, jangan ribut. Lihat apa ini!" bentaknya sambil menodongkan golok
berkilat itu ke leher Ratna.
Lalu tanpa ayal lagi kedua laki-laki bertopeng ini segera meringkus tubuh Ratna
dengan selimut. Sia-sia gadis itu meronta dan menjerit, karena tubuhnya sudah
dibopong dan dibawa kabur ke luar. Mendengar
Korban Kitab Leluhur 1 Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka Cula Naga Pendekar Sakti 1
TUAN TANAH KEDAWUNG GANES TH Sumber: http://www.boozet.org/derryadrian
Re-edit & layout: kiageng80
TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 1 ANGIN menderu-deru bagaikan dengus jutaan hewan liar.
Berbaur dengan gemuruh hujan serta halilintar yang pecah berkali-kali di
angkasa. Membuat malam itu begitu mengerikan, seakan-akan dunia ini tengah
sekarat dalam hembusan nafasnya yang terakhir.
Di bawah derai hujan lebat, tampak seorang laki-laki berdiri memandang sebuah
bangunan usang di tepi jalan Desa Kedawung. Agak lama ia memandangi bangunan
yang tak terurus itu, menatap sekeliling halaman, lalu melangkah masuk.
Disibaknya sarang laba-laba yang hampir memenuhi ruangan yang bocor dan gelap.
Ia melangkah ke sudut dan menggeser sebuah balok tiang yang runtuh dari langit-
langit bangunan tersebut. Dilepaskannya buntalan lusuh dari punggungnya. Ia
memungut beberapa serpihan papan dan cabikan kain tua yang berserakan di lantai,
lalu dikumpulkan jadi satu. Dari dalam buntalan diambilnya sebuah alat pemantik
api yang segera digunakan untuk menyalakan api unggun.
Ia membuka bajunya yang basah kuyup, diperasnya kuat-kuat, kemudian digarangnya
di atas api unggun yang membesar tertiup angin.
Mata laki-laki ini masih memandang ke sekeliling ruangan yang kini diterangi
cahaya api. Puing-puing bangunan tampak berserakan di dalam rumah itu.
"Lima tahun sejak kutinggalkan, desa ini sudah
berubah seperti desa hantu!" Gumamnya di dalam hati.
"Entah musibah apa yang melanda rumah Bang
Samirun, kasir Ayahku ini"!" Matanya bertanya-tanya menatap ke sekitar ruangan.
Ia tertunduk, wajahnya yang terlihat tampan di bawah cahaya api, makin muram dan
cemas. "Mudah-mudahan tidak terjadi suatu pun terhadap keluargaku. Ratna istriku...,
lima tahun lamanya, tak ada kabar berita. Ibu dan Mirta adikku... entah
bagaimana dengan keadaan mereka..."!" Ia menarik napas dalam-dalam.
Tiba-tiba lelaki itu tersentak, karena telinganya mendengar langkah kaki di
dalam rumah itu. Terdengar papan rapuh terpijak. Ia bangkit dan melihat ke arah
ruangan dalam. Gelap disitu. Namun ia yakin, ia tidak sendirian di rumah itu.
Guntur menggelegar di angkasa. Hujan pun masih
tumpah dengan lebatnya. Bunyi berkeriut daun-daun jendela yang dihempas angin, membuat suasana di dalam
rumah usang itu terasa makin menyeramkan. Namun laki-laki ini
sedikitpun tidak merasa takut. Kembali ia duduk dengan tenang di dekat api
unggun. Pada detik itu di antara celah-celah dinding papan, sepasang mata merah
liar mengintainya. Bertepatan dengan menggelegarnya halilintar di
angkasa, sesosok tubuh mencelat secara tiba-tiba dan mendobrak dinding papan di
belakangnya itu. Bersamaan dengan itu, tampak sosok banyangan lompat berlari.
"Siapa kau"!" Ia menghardik. Lalu mengejar.
Sosok bayangan itu terus berlari ke arah dalam rumah yang gelap pekat itu, yang
kadang-kadang hanya diterangi selintas oleh kilatan cahaya halilintar.
Laki-laki ini berhasil merengkas kaki sosok bayangan itu, dan tubuh itu
tersungkur membentur papan-papan yang segera rubuh bergelimpangan dengan
gaduhnya. Laki-laki ini segera mencengkeram baju orang itu. Tapi sosok itu bangkit dan
meronta sehingga koyaklah bajunya yang compang-camping itu. Orang itu lari ke
sebuah sudut ruangan dan terdengarlah jeritan seorang perem-
puan penuh ketakutan. Laki-laki ini tersentak sejenak.
Sosok tubuh perempuan itu kurus dengan rambut
beriapan. "Hei! Siapa kalian"! Manusia atau hantu"!"
Tiada jawaban, hanya terdengar dengus napas-napas yang bersendat dan terlihat
kedua sosok tubuh yang berangkulan itu menggigil.
Tiba-tiba di antara cahaya kilat yang melintas, tampak jelaslah wajah-wajah
kedua sosok tubuh itu yang sangat mengerikan. Perempuan tua itu matanya buta
dengan bekas luka yang belum mengering, darah masih mengalir bercampur air dari
rongga matanya. Rambutnya putih beriapan. Lengannya gemetar menggenggam sebatang
tongkat yang menyanggah tubuhnya. Sebelah lengannya lagi memeluk tubuh putranya
yang menggigil dan menatap jalang ke arah laki-laki asing. Laki-laki ini pun tersentak mundur,
bukan karena takut, melainkan wajah pemuda itu telah amat dikenalnya.
"Kau..."! Kau Mirta, adikku bukan..."!" Ia melangkah maju. Pemuda dan nenek itu
mundur merapat ke dinding.
"Kenapa kau jadi begini, Mirta"!" Ia mendekat dan menggenggam bahu pemuda itu.
Lalu mengguncang bahu si pemuda yang makin pucat ketakutan.
"Apa yang telah terjadi, Mirta"! Ke mana Ibu, dan Ratna"! Apa yang terjadi
terhadap mereka"! Katakan Mirta!"
"Ampun bang Giran...! Ampun...!" Ratap Mirta tersen-
dat-sendat. "Ampun"! Apa maksudmu, Mirta"!" Giran men-
cengkeram bahu adiknya dan mengguncangnya dengan perasaan tidak mengerti. Rasa
cemasnya tiba-tiba makin menyesakkan dadanya. Lengan si nenek menggapai-gapai,
menepis dan berusaha melepas cengkeraman lengan Giran pada bahu Mirta.
"Ampunkan adikmu, Giran...! Kalau kau mau bunuh, bunuhlah Ibu yang sudah tidak
berguna lagi ini, Nak!"
tukasnya dengan lirih. "Ibu..."!" Mata Giran makin terbelalak menatap
perempuan yang buta ini. Suara bicara itu memang jelas suara ibunya. Tapi wajah
dan keadaan tubuh perempuan buta ini jauh berbeda dengan ibunya, seorang wanita
paling berpengaruh di seluruh Kedawung. Cantik serta kaya-raya sebagai istri
Tuan Tanah yang amat disegani oleh seluruh penduduk. Giran sukar memahami dalam
kurun waktu yang cuma lima tahun bisa merubah
perempuan secantik ibunya menjadi seorang nenek yang amat buruk seperti sekarang
ini. Tapi suara bicaranya serta gerakan alis matanya yang kini sudah putih
beruban itu, adalah ciri kebiasaan ibunya yang amat dikenalnya.
"Kau ibuku..."! Betulkah kau ibuku..."!" desak Giran dengan napas tersengal.
Perempuan tua itu mengangguk, jantung Giran terasa terhenti. Ia memandang ke
arah Mirta minta kepastian.
Adiknya ini mengangguk sambil tertunduk.
"Ibu..."! Kenapa Ibu jadi begini"!" Giran menatap tajam-tajam wajah ibunya
dengan suara nyaris kandas di kerongkongannya.
"Siapa yang telah menganiaya Ibu sampai begini"
Siapa"!" Ia nyaris berteriak.
Tapi perempuan tua itu berpaling dengan tubuh agak gemetar menahan tangis. Ia
bungkam seribu bahasa. Giran makin geram penasaran.
"Katakanlah Bu! Siapa manusia laknat itu" Katakan-
lah, jangan takut!" desaknya.
Perempuan tua ini masih diam tak bersuara, agaknya ada sesuatu yang amat sulit
diceritakan terhadap putra tirinya yang baru pulang dari rantau ini.
Giran terkejut tak terhingga ketika dirasakan ada sebuah sambaran angin menderu
ke arah belakang kepalanya. Ia berkelit tepat ketika sebatang balok melun-
cur dan menghantam tiang di sisinya. Dengan gerak reflek Giran melontarkan
sebuah tendangan keras kepada si pembokong itu. Sebuah teriakan mengaduh
terdengar berbarengan dengan terbantingnya tubuh menghantam dinding. Giran
tercengang memandangi tubuh adiknya yang terkapar di atas pecahan papan dinding
yang berserakan itu. "Kau sudah gila Mirta"! Apa artinya semua ini"!"
Lengan Giran yang kokoh itu mencengkeram leher baju Mirta dan diangkatnya.
Tongkat si nenek menggapai-gapai dan memukul punggung Giran.
"Lepaskan Mirta, Giran! Lepaskan! Baiklah, akan kuceritakan!" Katanya lirih
memohon. Jelas terlihat ia amat menguatirkan keselamatan putra kandungnya.
Giran melepaskan cengkeramannya pada leher baju Mirta. Ia berusaha bersikap
tenang, meski dadanya terasa hampir pecah diamuk berbagai perasaan.
"Apa yang terjadi?" katanya tenang.
"Samolo, Giran. Semua gara-gara si Samolo. Iblis itu telah menghancurkan segala-
galanya..." Suara perempuan ini terdengar gemetar dan parau seperti suara tangisan burung
hantu. Giran tercenung seakan-akan memandang sebuah gambaran mimpi aneh berpeta
silih berganti di hadapannya. Samolo, centeng paling disayang dan paling
dipercaya oleh mendiang ayahnya. Centeng paling setia yang pernah mengasuhnya,
bahkan ia merasa dibesarkan di gendongan centeng yang amat perkasa namun lembut
hati itu. Kini ibunya sendiri mengatakan dengan tandas bahwa centeng setia itu
telah berubah menjadi iblis yang menghancurkan rumah
tangga majikannya. Tiba-tiba pikirannya melintas cepat kepada Ratna, istrinya.
Peluh dingin pun tanpa terasa mengalir dari pori-pori tubuhnya.
"Apa yang telah diperbuatnya"!"
"Begitu kau pergi, dia mulai memperlihatkan watak aslinya. Kiranya dia seekor
serigala berbulu domba. Dia betul-betul iblis yang paling keji, Giran. Keji
sekali!" Ibu ini meratap dan sesengukan dalam tangisnya yang amat memilukan.
"Apa yang dilakukannya terhadap Ibu dan Mirta...?"
Suara Giran mendesis dari celah giginya.
"Dia telah merampas semua yang kita miliki. Harta warisan mendiang ayahmu yang
berlimpah itu telah dikangkanginya, sebagian sudah ludes di meja judi!"
Tangisnya semakin sengit.
"Belum cukup sampai di situ, dia juga hendak meram-
pas nyawa ibu dan adikmu sekaligus! Dengan kejam dia aniaya Mirta, hingga adikmu
itu terganggu jiwanya...!"
Giran memandang adiknya itu, hatinya terasa
terenyuh. Mirta duduk menggigil di sudut dengan wajah tegang diliputi ketakutan
matanya jalang berputar ke sekitar ruangan. Bunyi derak dari jendela membuat ia
terkesiap dan makin nanar menatap ke arah jendela itu dengan tenang.
"Dan mata ibu dicukilnya dengan tak kenal rasa
kasihan sedikitpun!" Isaknya semakin menyayat hati Giran.
Ibu ini memegang rambutnya yang putih bagaikan
perak, dan menyibak-nyibaknya sambil menangis tersen-
dat-sendat. "Kau lihat rambut ibu ini, Nak! Telah berubah putih dengan mendadak. Karena aku
selalu disiksa rasa takut dan was-was terus menerus. Siksaan lahir-batin yang
tak tertahankan!" Hening sejenak, namun keheningan itu justru makin menusuk jantung serta syaraf
di otak Giran. Lebih-lebih ketika bayangan yang menakutkan itu muncul di
benaknya melalui isak tangis ibunya.
"Lebih menyakitkan lagi, ternyata Ratna... Istrimu itupun bersekongkol dengan
Samolo keparat itu...!"
Andaikata saat itu ada kilatan petir yang tiba-tiba menyambar seluruh isi
ruangan tersebut, barangkali hati Giran tidak akan seluluh ketika mendengar
tentang istrinya itu. Bayangan yang menakutkan itu akhirnya berwujud nyata di
hadapannya. Hatinya terasa pedih bagaikan disayat-sayat sembilu. Namun ia
mencoba untuk tidak mempercayai begitu saja kata-kata ibunya.
Betapa pun dialah yang lebih tahu tentang kehalusan watak Ratna. Gadis desa yang
kemayu, lugu dan amat sederhana. Justru sifat-sifat murninya itulah yang telah
menambat seluruh hati sanubari putra Tuan Tanah yang serba kecukupan ini, lalu
mempersuntingnya sebagai istrinya dan memujanya sebagai dewi. Namun penga-
laman pengembaraannya di rantau, selama lima tahun itu, telah banyak yang
dilihatnya. Betapa mudahnya sekuntum mawar yang segar dan molek itu menjadi layu
hanya oleh bakaran terik matahari atau oleh hempasan angin. Bahkan sebongkah
batu cadas yang kokoh itu pun akan terkikis sirna menjadi pasir oleh gempuran
gelombang. Apalagi watak manusia, perempuan lagi.
Demikian pikirnya. Bayangan yang menakutkan itu kembali muncul dan semakin
berpeta nyata di pelupuk matanya.
"Ratna..."!" Ia tidak tahu, apakah ia mendesah atau berkata ketika mengucapkan
nama istrinya itu. Perasaan rindu selalu saja menguasai dirinya setiap ia
menyebut nama itu. "Ya, ibu pun tidak menyangka, Ratna dapat berbuat serendah itu dan sampai hati
pula turut mencelakai ibu dan adikmu!" Desah ibu ini sambil menarik napas dalam-
dalam. Kepala menggeleng-geleng penuh penyesalan dan kecewa.
Giran melangkah ke sisi jendela, memandang deru hujan yang bergemuruh seperti
degup jantungnya sendiri.
Wajahnya merah padam dan muram.
"Di mana mereka sekarang"!"
"Sudah tentu sedang jadi raja dan ratu di gedung kita!"
tukas ibunya sengit. "Hmm, keparat!" Gumam Giran penuh dendam.
Pemuda ini mengambil sebuah bungkusan kain putih dari dalam buntelannya, lalu
diselipkan di pinggangnya.
Suasana kembali jadi hening, kecuali di luar masih terdengar gemuruh hujan dan
bunyi guruh di kejauhan. Mirta masih duduk di sudut lalu beringsut mendekat ke sisi ibunya. Perempuan
buta ini hanya sanggup menelaah keadaan dan gerak-gerik putra tirinya itu dengan
telinganya. "Mau ke mana kau, Giran"!" tanyanya cemas.
"Kalian diam saja di sini!" jawab Giran singkat, dan tiba-tiba saja tubuhnya
sudah melompat ke luar jendela.
*** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 2 BADAI masih mengamuk. Guntur menggelegar, kilat menyambar-nyambar di angkasa.
Terasa bumi tergetar dan seakan-akan terbelah. Namun gemuruh dendam di hati
Giran masih melebihi amarah alam saat itu.
Ia berlari dan melompati beberapa parit yang
menghadang di depannya. Hatinya masih terus gemuruh dan makin mendidih.
"Samolo...! Hmm tunggulah kau jahanam...! Aku
pulang untuk merobek nyawamu!" Umpatnya sambil
terus berlari. Rambutnya yang gondrong tak terurus itu tersibak-sibak dihempas angin. Larinya
secepat dan setangkas kijang. Peluhnya mengucur deras bercampur derahan hujan.
Cepat sekali ia sudah tiba di muka pintu gerbang dari sebuah bangunan besar.
Sebuah gedung megah dan antik yang bertahun-tahun ditinggalkannya.
Dia berdiri terpaku memandangi gedung mewah
warisan ayahnya, seorang tuan tanah yang pernah jaya penuh kharisma di kawasan
Kedawung yang subur, tenteram serta damai. Tapi kini gedung tersebut tegak dalam kesunyian, kosong
dan kehilangan wibawanya.
Giran menghela napas, lima tahun lamanya ia disiksa kerinduan untuk pulang ke
gedung yang pernah memberikan kehangatan kepadanya. Kehangatan cinta kasih istrinya yang cantik dan
lembut. Namun kenyataan yang dihadapi sekarang, membuat hatinya terasa beku dan
sakit. Pintu gerbang itu terkunci dengan kokohnya. Ia
melompat ke atas dinding lalu lompat turun ke halaman yang luas dan sunyi itu.
Dipandanginya lagi keadaan taman serta gedung itu. Hening hampa, namun masih
tetap terawat baik, seperti ketika ia masih berada di sini.
Ia melangkah ke teras gedung. Ruangan utama itu terkunci dan terlihat rapi, dan
vas-vas bunga antik itu masih tetap berada di tempatnya seperti dulu. Dengan
cermat Giran meneliti semuanya. Terlihat beberapa pot dan vas antik itu diikat
dengan kawat dan ditambal, karena bekas pecah berkeping-keping. Dan terlihat
pula di tiang pilar yang bulat dan kokoh itu, beberapa goresan dalam bekas
terkena hunjaman dan sabetan beberapa jenis senjata tajam. Giran jadi termangu
memandangi itu semua. Tanpa terasa bulu kuduknya jadi merinding.
Terbayangkan di benaknya sebuah pertarungan dahsyat pernah terjadi di gedung
itu. Tak pernah diduganya, ternyata perebutan kekuasaan atas harta warisan
ayahnya itu telah menimbulkan pertumpahan darah demikian hebatnya.
Pintu ruangan utama itu pun terkunci rapat. Meneliti keadaan gedung yang masih
tetap terawat baik, hati Giran agak terhibur sedikit, karena menunjukkan
penghuninya masih menghargai peninggalan mendiang ayahnya. Ia meninggalkan teras
itu dan memutar ke samping gedung menuju arah halaman belakang. Pintu pagar
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
samping pun didapatinya terkunci. Ia naik ke atas pohon. Meneliti sejenak
keadaan halaman belakang yang luas dan sunyi itu. Ia melompat turun dan
memandang ke sekitarnya. Tepat di sudut dinding belakang, di sebuah kamar emper
bekas gudang kayu itu, tampak lampu masih menyala. Ia menghampiri kamar emper
bekas gudang itu, dan melongok melalui jendela yang masih terbuka.
Di dalam kamar sempit dan sangat sederhana itu yang diterangi cahaya lampu
teplok yang remang-remang, tampak seorang wanita muda sedang duduk di balai
bambu, merajut sebuah baju kecil yang sudah penuh tambalan. Kadang-kadang ia
berhenti merajut dan merapikan selimut yang menutupi sesosok tubuh kecil yang
tergolek tidur di sisinya. Agaknya betapa sering wajah sayu nan cantik itu
disiram deraian air mata.
Karena setiap tisik jarum setisik air matanya jatuh menetes. Lebih-lebih bila
ditatapnya wajah mungil yang sedang terlena tidur dengan napas halus di sisinya
itu. Giran masih tertegun memandangi keadaan di dalam kamar itu dari luar jendela.
Hatinya terasa tergetar oleh luapan rindu yang bertahun-tahun dipendamnya.
Ratna, masih tetap cantik meski kini tubuhnya tampak kurus dan bajunya penuh
tambalan. Tiba-tiba hatinya jadi seperti terbakar ketika melihat anak kecil yang sedang
tidur di sisi wanita itu.
"Anak itu jelas hasil perbuatan nistanya dengan Samolo...!" Geram hati Giran,
dan dadanya terasa akan meletup saat itu.
Ia menguak pintu, menimbukan bunyi berderit yang mengejutkan Ratna. Ratna
berpaling dan tertegun memandang ke arah pintu. Perlahan-lahan ia bangkit,
ditatapnya laki-laki yang tegak di ambang pintu kamar itu dengan kilauan mata
bagaikan tengah bermimpi. Bibirnya yang pucat itu tampak gemetar. Dengan napas
tersendat ia berusaha menyebut nama suaminya, namun suaranya kandas tertahan di
kerongkongannya yang terasa
tersumbat. Giran masih berdiri beku di depan pintu.
Keduannya bagaikan patung-patung bisu, tenggelam dalam kecamuknya perasaan
masing-masing. Ratna masih tertegun, seakan-akan memandang suatu
fatamorgana. Kemudian dengan isak tangis yang tersendat-sendat Ratna lari menubruk tubuh
suaminya dan didekapnya erat-erat seolah-olah takut kehilangan lagi... Tiada
kata-kata yang sanggup terucapkan dari mulutnya, kecuali sedu-sedan yang pecah
penuh luapan perasaannya. Giran masih tegak seperti patung perunggu. Cuma
matanya saja yang bersinar, tajam dan merah membara. Lama Ratna membenamkan
wajahnya di dada Giran yang
telanjang dan bidang itu, membasahkannya dengan air matanya yang tumpah tak
terbendung. Akhirnya terpatah-patah ia meratap, "Kau telah kembali Kak... Aku sangat rindu
padamu...!" Ia mengangkat wajahnya dan menatap suaminya
dengan mata berkaca-kaca.
"Berjanjilah Kak... Jangan tinggalkan Ratna lagi..."
Pintanya. Mata Giran tajam memandang lurus ke muka, dingin menusuk seperti angin yang
berhembus dari luar jendela.
"Ratna... Ratna! Tidak perlu kau bersandiwara di hadapanku! Hapuslah air mata
buayamu itu...!" gumam Giran dengan dingin.
Ratna ternganga tak mengerti. Matanya bulat
terbelalak menatap wajah suaminya yang dingin dan sinis.
"Apa maksudmu Kak...?" Tanyanya tak mengerti.
Tiba-tiba Giran mendorong tubuh Ratna hingga jatuh terpelanting ke atas balai.
Anak kecil itu pun terbangun dan menangis. Ratna segera menggendongnya. Wajah
Ratna jadi pucat dan bingung. Air matanya makin deras bercucuran. Sambil
membelai kepala anaknya ia menatap suaminya yang kaku dan penuh diliputi
kebencian. Giran enggan memandang istrinya, ia melangkah ke jendela.
Suaranya terdengar parau dan dalam ketika berkata,
"Tiada sedetik pun dalam sekian tahun di rantau aku melewatinya tanpa disiksa
kerinduan. Bayanganmu senantiasa datang dalam mimpiku!"
Ratna tertunduk sambil menggigit bibirnya. Air
matanya tumpah makin deras.
"Tapi kini aku mengutuki ketololanku sendiri.
Mengapa aku mau mengawini perempuan nista semacam kau!"
Dingin dan hambar kata-kata Giran, tapi terasa seperti mata pisau yang teramat
tajam menyayat-nyayat jantung Ratna. Hingga perempuan ini harus berpegang erat-
erat tepi balai agar tidak jatuh bersama anaknya yang berada di dekapannya itu.
Dikuatkan hatinya untuk bertanya kepada sang suami, "Apa salah dan dosaku, Kak"!
Aku tidak merasa pernah mengkhianati suamiku...! Aku selalu setia kepadamu, Kak
Giran." "Demi Tuhan, aku tidak pernah mimpi apalagi merasa telah punya anak haram
seperti itu!" jawab Giran penuh geram.
Ratna benar-benar terluka, ia menjerit.
"Kau... Kau memfitnah! Anak ini adalah darah daging-
mu sendiri!" Giran mendengus. Nada kata-kata Ratna kembali
lembut, "Kasihan anak kita ini Kak, dia sangat
mendambakan kasih sayang ayahnya. Kuberi nama Girin agar aku selalu merasa dekat
di sisimu, kak Giran...!"
Katanya lirih. Giran berpaling, matanya menyala menatap Ratna dan putranya itu.
"Campakkan anak haram itu! Cuma setanlah yang
mau percaya ocehanmu itu!"
Giran tak kuasa menahan emosinya, ditudingnya
istrinya. "Kau dan Samolo bukan saja telah mendurhakai aku, juga ibuku. Adikku kalian
campakkan dari rumah ini!
Kau Ratna, kau telah bersekongkol dengan binatang Samolo dengan kelicikan dan
kebusukan yang kalian rencanakan masak-masak itu! Kau harus menebus
dosamu, Ratna!" Dicengkeramnya lengan Ratna kuat-kuat lalu ditarik ke luar pintu. Ratna menjerit
sambil meronta. Girin ikut menjerit ketakutan.
"Kau... Kau sudah gila, Kak Giran..."! Tidak! Aku tidak bersalah!" Protesnya
sambil berusaha melepaskan lengannya dari cekalan Giran. Amarah Giran makin
meledak, tanpa rasa iba sedikitpun diseretnya Ratna yang meronta-ronta itu.
"Ayo! Kau harus bersembah sujud dan bersimpuh di bawah kaki Ibuku, untuk
menerima hukuman dari dia!"
"Tidak! Tidak!" jerit Ratna seraya berusaha bertahan dengan berpegangan pada
pintu sekuat tenaganya. Girin terjepit dan menjerit-jerit. Namun Ratna terus
berpegangan pada tiang pintu, menolak untuk menemui mertuanya.
"Tidak! Aku tidak mau pergi! Meski dibunuh pun aku tidak sudi menemuinya!
Tidak!" Ia bertahan.
"Keparat! Aku patahkan tangan dan kakimu! Ayo!
Setelah kau, akan kucabut nyawa kekasihmu, si Samolo jahanam itu!"
Dengan hentakan keras, terlepaslah pegangan Ratna pada tiang pintu itu. Giran
terus menyeretnya tanpa menghiraukan jeritan protes istrinya dan tangisan Girin
kecil itu. Ratna terjatuh dan terus diseret ke tengah halaman yang becek
tersiram hujan itu. Pada detik itu, tiba-tiba sebuah tongkat tepat menghantam
lengan Giran. Dengan terkejut Giran melepaskan lengan Ratna sambil melompat mundur dengan
penuh waspada. Rasa sakit terasa sampai ke tulang sumsumnya. Seorang laki-laki
tua berkumis dan berjangggut memutih telah tegak di antara ia dan Ratna.
Suaranya berat, tenang penuh wibawa.
"Entah dedemit dari neraka mana, berani mengganggu wanita dari keluarga baik-
baik! Siapa kamu"!" Tegur laki-laki tua itu.
"Hmm... Samolo! Kebetulan, aku memang sedang
mencarimu!" Mendengar suara sang pemuda, wajah centeng tua
yang angker itu jadi berubah kaget kemudian tampak berseri-seri.
"Oh... Den Giran...! Aden sudah pulang...!" Sapa Samolo gembira.
"Jangan berpura-pura! Aku tahu kalian justru
mengharapkan aku tidak akan pulang selama-lamanya!"
tukas Giran dengan geram.
Samolo tertunduk, sikapnya tetap tenang penuh
hormat. "Kami selalu menanti kembalinya Aden. Banyak
peristiwa telah terjadi. Aku ingin menjelaskan kepadamu Den!"
"Tidak perlu! Aku sudah cukup tahu tentang
kebusukan kalian berdua! Arwah ayahku pasti akan bangkit dari liang kubur kalau
saja beliau tahu, bahwa kau yang sangat dipercayainya sepenuh hatinya, ternyata
seekor serigala berbulu domba!"
Samolo mengelah napas, suaranya jadi terdengar lebih dalam dan pedih.
"Telah kuduga, engkau telah didului oleh perempuan tua celaka itu dan terhasut
oleh mulutnya yang berbisa!"
Mata Giran mendelik. "Bangsat! Berani kau berkata sekeji itu terhadap ibuku"!" Lengannya meraba
bungkusan kain putih di pinggangnya.
"Aku kagum akan rasa baktimu terhadap orang tua, Den! Tapi ibumu itu..., begitu
rendah martabatnya dan tak patut menerima sujud bakti seorang anak seperti kau,
Den!" Giran melompat seraya mencabut pisau pusakanya
yang terbungkus kain putih itu. Ia menggeram dengan luapan amarahnya.
"Tutup mulutmu! Kau sudah melampaui batas,
Samolo!" Ia melangkah maju sambil menghunus pisau
pusakanya yang beracun itu.
"Kau harus menebus dosa-dosamu! Kau telah
melempar keluargaku ke dasar neraka penderitaan paling nista! Kau jadikan ibuku
sebagai mayat hidup, bergentayangan di kegelapan sepanjang hidupnya! Benar-benar keji kau, Samolo!"
"Dengarlah Den!" Samolo berusaha menenangkan
Giran. "Kekerasan tidak mungkin dapat menjernihkan air yang keruh! Tenang dan
bersabarlah, akan kujelaskan persoalan yang sangat pelik ini. Tenanglah Den!"
Bujuknya. Tapi amarah Giran sudah tidak bisa dikekang lagi.
Bayangan penderitaan ibu dan adiknya benar-benar membuatnya menjadi kalap. Tiba-
tiba saja ia melompat menerjang dengan tikaman pisau pusakanya tepat ke arah
jantung Samolo. Centeng tua yang masih tangkas ini melompat mundur untuk
menghindar dari ujung belati yang meluncur bagaikan kilat itu. Giran terus
mengejarnya sambil melancarkan tikaman-tikaman yang mematikan. Ratna jadi panik
berusaha mencegah kekalapan suaminya. "Jangan Kak! Bang Samolo tidak bersalah...!
Jangan...!" Jerit Ratna.
Tapi Giran tak menghiraukan jerit-tangis anak
istrinya. Ia merangsek terus centeng tua yang selalu berusaha menghindar.
Sekali-kali tongkat bambunya itu menangkis atau menyampok mental hunjaman ujung
pisau Giran. Hujan masih terus turun dengan lebatnya, guntur menggelegar memekakkan telinga.
Ratna menggigil mendekap Girin yang terus menangis kedinginan, juga ketakutan.
Dua buah serangan berantai Giran dengan beruntun pula dapat dipunahkan oleh
Samolo. Giran semakin penasaran, ia menggeram seraya lompat melancarkan
tendangan berantai. Tubuh tua Samolo segera terguling.
Sembuah tendangan dengan telak menghantam dadanya.
Giran lompat sambil mengangkat pisaunya untuk
menghabisi nyawa centeng yang dianggapnya telah menghancurkan keluarganya. Ratna
menjerit, dilepaskannya Girin dari dekapannya dan lari
menghambur memeluk kaki suaminya.
"Kau salah paham Kak! Sadarlah. Kau bertindak
terlalu kejam terhadap orang yang tak berdosa! Kau pasti menyesal!" Ratap Ratna
mengiba sambil memeluk kaki Giran.
"Tak berdosa"! Air tujuh samudra pun tidak akan cukup mencuci bersih noda dan
dosa kalian!" Geram Giran sambil menyepakkan kakinya, sehingga tubuh Ratna pun
terpelanting di atas tanah becek itu.
Putra sulung Tuan Tanah ini semakin mendidih
darahnya. Ia mengumpat kepada Samolo yang berlutut, menggapai-gapai mencari
tongkatnya. Untuk sesaat Giran jadi tertegun, ia baru mengetahui mata centeng
ini sudah tidak berfungsi lagi. "Dia sudah buta...!" gumamnya. Saat itu
terlintas kenangan masa lalu ketika ia masih kecil dulu. Sering ia nangkring di
punggung laki-laki tua ini yang merangkak-rangkak di halaman main kuda-kudaan.
Dia telah mengasuh dirinya dengan penuh telaten serta kasih sayang sebagai
anaknya sendiri. Samolo sesungguhnya abdi yang sangat setia ketika itu. Betapa kecewa hatinya, ternyata
watak manusia begitu mudah goyah. Darahnya kembali mendidih ketika bayangan
wajah ibunya yang menderita buta dan Mirta yang terganggu jiwanya akibat
perbuatan centeng ini. Dadanya terasa terbakar kembali. Kini Samolo telah
bangkit lagi, berdiri agak limbung di tengah derahan hujan lebat.
Tampak darah menetes dari mulutnya, memerahi kumis dan janggutnya yang putih.
Darah itu terus menetes, mememerahi genangan air di bawah kakinya. Melihat
penderitaan centeng tua itu, hati Ratna terasa ikut tersayat. Ia meratap
mengiba-iba kepada suaminya.
"Kak Giran, jangan kau terpedaya oleh hasutan Ibu dan Mirta...! Merekalah
sesungguhnya yang menjadi biang keladi dari semua malapetaka ini...!"
Samolo terbatuk-batuk, bicara dengan napas
memburu. "Biarlah Neng Ratna. Suamimu telah begitu dendam kepadaku! Ya, memang akulah
yang telah membutakan mata ibumu. Kalau itu satu dosa, aku bersedia menerima
hukuman darimu, Den Giran!"
"Kalau begitu, kau memang harus mati Samolo!" teriak Giran, seraya menerjang
dengan sabetan-sabetan pisaunya. Samolo berkelit dan menangkis dengan tongkat bambunya. Suara benturan
senjata seakan-akan bersahutan dengan bunyi guntur di angkasa. Pertarungan berlangsung dengan
serunya di bawah curahan hujan lebat. Ratna menggigil sambil mendekap Girin,
menahan ketegangan jiwanya. Betapa tidak, karena kedua laki-laki itu adalah
orang-orang yang paling dikasihinya dalam hidup ini. Hatinya menjerit dan
meratap, namun apa daya..."!
Ia cuma bisa terisak menangis sambil memeluk
anaknya. Karena faktor usia serta kondisi tubuh yang sudah tak berimbang lagi,
Samolo tersungkur tak berdaya. Kepalanya terbentur tiang emper lalu rebah tak
berkutik lagi. Ratna menjerit, menubruk tubuh yang nampak masih tegar itu.
Diguncang-guncangnya sambil memanggil nama sang centeng. Tapi Samolo cuma
merintih sejenak lalu diam terkapar dengan keadaan sangat menyedihkan.
Giran menarik lengan Ratna lalu ditariknya.
"Biarkan jahanam itu mendapatkan bagiannya! Kini giliranmu!"
"Kau. Kau kejam!" Ratna menjerit dan meronta
berusaha melepaskan diri. Tapi Giran tak
memperdulikannya, terus menyeretnya ke luar halaman belakang gedung itu. Ratna
terus meronta, tubuhnya terseret di tanah becek tersiram hujan yang tak kunjung
henti. Girin menjerit-jerit mengikuti sambil memanggil ibunya. Tapi Giran yang
sudah gelap mata ini dengan tidak mengenal ampun menyeret tubuh istrinya
sepanjang sisi gedung terus menuju keluar.
"Tidak! Tidak! Aku tidak sudi lagi melihat iblis itu!
Lepaskan...! Lebih baik kau bunuh saja aku di sini...!
Lepaskan...!" jerit Ratna sepanjang jalanan.
Tubuh Ratna tergusur melewati pintu gerbang dan melintasi jembatan yang
melintang di atas parit besar yang ada di muka gerbang itu. Girin mengikuti
terus sambil menangis memanggil-manggil ibunya. Tepat di tengah jembatan batu
yang licin itu anak ini terjatuh tergelincir dan tubuhnya berguling ke bawah
jembatan itu. Melihat itu, Ratna menjerit histeris.
"Ya Allah, Anakku! Girrriiinnn... Anakku..."
Tapi ia tak kuasa menolong anaknya itu, tubuhnya jatuh bangun diseret Giran yang
sedang kalap. Girin megap-megap dihanyut air yang mengalir deras itu.
Teriakan ibunya kian menjauh, kemudian sirna ditelan gemuruh hujan dan guntur
yang masih menggila. Sementara itu, tubuh Samolo mulai bergerak,
perlahan-lahan siuman dari pingsannya. Kemudian ia sadar dengan peristiwa yang
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru saja terjadi. Dengan seluruh sisa tenaganya ia berusaha bangkit. Lalu
dengan langkah terhuyung-huyung ia mengejar ke muka pintu gerbang, sambil
memanggil-manggil Ratna dan Girin.
Tongkatnya menyusuri jembatan batu itu. Tepat pada saat itu, telingannya
mendengar sesuatu di bawah jembatan itu. Wajahnya jadi semakin tegang dan
beringas. "Tangisan Girin...!" Desisnya cemas.
Suara megap-megap di kolong jembatan itu terdengar samar-samar, kemudian lenyap
ditelan deru hujan. Samolo mengerahkan daya pendengarannya yang menjadi andalannya selama ini untuk
mencari anak kecil itu. Syukurlah Girin yang baru berusia empat tahun ini cukup cerdik untuk menolong
dirinya. Ia bergelayutan erat-erat pada akar pohon yang kebetulan tumbuh di tepi
parit itu. Samolo pun segera mengetahui di mana anak itu
berada. Dengan meraba-raba ia turun ke dalam parit yang sedang pasang dan dengan
air yang mengalir amat deras. Tubuhnya bergerak dan menggapai-gapai ke arah
Girin yang berpegangan erat pada akar pohon. Arus air yang deras itu menghempas
dan menarik tubuh centeng tua ini. Namun dengan sekuat tenaga ia maju terus
mendekat ke arah cucu majikannya.
"Tenanglah Nak! Berpeganglah erat-erat. Embah akan menolongmu!" kata Samolo
memberi semangat kepada bocah kecil itu. Sesaat kemudian lengannya berhasil
meraih tubuh anak itu dan langsung dipeluknya. Girin pun merangkul dengan erat.
"Tenanglah Nak. Kau sudah selamat kini...!" hibur Samolo sambil berusaha
menggapai tepi parit. Girin menangis terisak-isak memeluk leher "Si Embah" ini.
Keduanya berhasil naik ke atas parit dan berdiri di atas jembatan. Samolo
menggendong Girin yang masih terus menangis, menunjuk ke arah jalanan. "Mama
dicelet kecono...!" rengeknya.
"Diam Nak, jangan menangis...! Mari kita susul Mama!"
Sambil menggendong Girin, Samolo berjalan menuju jalanan besar itu dengan
tuntunan tongkatnya. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 3 GIRAN menghempaskan tubuh Ratna ke lantai. Ratna menjerit dan mengumpat dengan
kalap dan pedih. "Kau telah membunuh anakku...! Kau ayah yang tak punya perasaan! Kejam...! Oh...
Girin... anakku...!" Ratap Ratna sambil menelungkup di lantai berdebu itu.
Giran berteriak memanggil ibunya "Ibu...! Aku sudah menyeret perempuan keparat
itu ke sini!" Dari balik dinding papan muncullah dua wajah yang diliputi rasa was-was dan
curiga. "Keluarlah Bu! Inilah perempuan yang telah membuat Ibu menderita. Kuserahkan dia
agar Ibu menghukumnya!" teriak Giran lagi.
Bagai dua sosok makhluk ganjil, ibu dan anaknya keluar dari tempat
persembunyiannya. Suara ketukan tongkat si nenek sudah cukup membuat bulu kuduk
Ratna merinding. Wajah Ratna jadi pucat, seketika, darahnya seakan-akan berhenti
mengalir. Dia merangkak mendekap kaki Giran, meratap dengan suara gemetar.
"Jangan...! Jangan biarkan dia membunuhku, Kak...!
Oh... Tolonglah aku Kak...! Tolonglah...!"
Wajah si nenek menyeringai mengerikan. Biji matanya yang luka bernanah itu
bergerak-gerak. Mata Mirta pun ikut liar menatap istri kakaknya itu. Ratna
semakin ketakutan. "Bunuh dia, Mirta! Bunuh! Cepat Mirta!" teriak nenek ini tiba-tiba.
Mirta memungut sepotong kayu. Melangkah mendekat ke arah Ratna denga wajah
menyeringai. Si Nenek pun siap dengan tongkatnya. Ratna menjerit dan bersembunyi
di belakang tubuh Giran yang berdiri beku seperti patung.
Dengan teriakan mirip orang hutan, Mirta tiba-tiba lompat mengayun pentungannya
ke arah Ratna. Ratna mengelak dan lari ke arah pintu. Tapi si nenek sudah
mencegatnya di situ sambil mengangkat tongkatnya, dan langsung dipukulkan ke
arah Ratna. Untunglah bagi Ratna, karena tidak bisa melihat, pukulan mertuanya
itu menjadi ngawur. Tapi teriakannya yang melengking memberi komando kepada
Mirta, benar-benar membuat Ratna semakin panik ketakutan.
"Cepat Mirta, bunuh setan ini! Bunuh! Ayo cepat.
Jangan kasih ampun padanya!"
Ratna pontang-panting berlarian di dalam ruangan rumah usang itu. Ia berusaha
menyelamatkan diri dari keroyokan adik-ipar serta mertuanya yang sudah seperti
kerasukan setan itu. Sementara itu Giran hanya berdiri mematung di sisi jendela,
seakan-akan tidak mendengar jeritan Ratna yang mengiba-iba minta tolong
kepadanya. Benarkah ia sudah kehilangan perasaan kasih sayang kepada istrinya, sampai hati
pula membiarkan istrinya disiksa dengan cara kucing mengeroyok seekor tikus"
Entahlah. Tapi yang jelas, ada butiran-butiran air jernih dan hangat jatuh
menetes di atas lengannya... Ratna semakin letih dan putus asa. Ia jatuh
terjerembab tak berdaya lagi. Dua orang pengeroyoknya itu segera tertegun
mengatur napas. Mirta mendengus dengan napas memburu.
"Dia sudah kepayahan Bu, tidak bisa lari lagi...!"
"Bagus. Ayo cepat Mirta! Habisi dia!" teriak si nenek bernafsu.
Mirta sambil tertawa ganas mendekat, mengangkat pentungannya tinggi-tinggi.
"Kepalanya, Mirta. Kepalanya!" teriak si Nenek
memberi petunjuk. Mirta mengangkat pentungan kayunya tinggi-tinggi dengan sasaran kepala Ratna.
Ratna memejamkan matanya. Tepat pada detik kritis itu, sebuah tongkat bambu tiba-tiba berkelebat
menghantam lengan Mirta. Dengan teriak kesakitan pemuda sinting ini terpelanting ke dinding, dan dengan
pentungan kayu itu melayang menghantam kepala si nenek yang segera menjerit
melengking-lengking. "Sssamolo...!" teriak Mirta ketakutan menatap ke pintu.
Si nenek terkejut, ia menyuruk-nyuruk ke arah
putranya. Keduanya ketakutan seperti melihat Malaikat El-Maut. Samolo tegak di
ambang pintu dengan muka angker penuh kebencian. Ratna segera menubruk tubuh
Girin dan mendekapnya erat-erat.
"Setan dedemit! Masih belum puas juga kalian
menghirup darah kami" Iblis!" hardik Samolo sambil menuding kedua orang itu
dengan tongkatnya, membuat si nenek dan Mirta makin mepet ke sudut dinding.
Samolo melangkah maju, tongkatnya dikibaskan dan tongkat si nenek pun terlontar
ke lantai. Perempuan tua ini menjerit dan merangkul putranya yang sama
paniknya. Samolo dengan suara berat dan parau terus memakinya.
"Aku menyesal membiarkan kalian hidup, dan tidak mencabut nyawa kalian ketika
itu. Bila tidak, kalian tentu tidak akan jadi biang penyakit di kemudian hari,
seperti sekarang ini."
Si nenek menjerit memanggil Giran.
"Kau dengar Giran..."! Kau dengar...! Di hadapanmu dia masih berani berlaku
kurang ajar dan menghinaku...!"
Si nenek menangis dengan pilunya.
Samolo menghela napas, menghampiri Ratna.
"Mari Neng! Rumah hantu ini mulai pengap oleh racun yang tersebar dari mulut
berbisa perempuan iblis itu. Hati suamimu pun sudah mati terbius."
Dengan hati pedih, Ratna sambil menggendong
putranya keluar dari rumah itu, diiringi oleh Samolo yang tetap waspada
melindungi nyonya majikan mudanya itu.
Si nenek melangkah ke dekat Giran yang masih berdiri termangu dan membisu. Ia
merengek mengiba-iba di belakang tubuh anak-tirinya ini.
"Mau tunggu apa lagi, Giran" Merekalah yang
menjadikan kita sengsara begini! Mana baktimu terhadap orang tuamu, Giran?"
Tiba-tiba Giran melesat keluar pintu, menghadang di hadapan Ratna dan Samolo.
Wajahnya merah dan muram. "Tunggu! Kalian kira dengan semudah ini persoalan jadi beres" Hmm, jangan
mimpi!" gertaknya dengan suara murka.
Samolo maju ke muka, dengan suara dalam ia berkata,
"Kalau boleh aku memperingatkan kau, Den Giran, engkaulah yang harus sadar dari
mimpimu. Tuhan Maha Tahu, siapa sesungguhnya yang bersalah!"
Tiba-tiba wajah centeng tua ini berubah, serta-merta menarik tubuh Ratna ke
sisi. Berbarengan dengan itu, tongkatnya membabat ke belakang. Maka terdengarlah
teriakan melengking. Mirta terpelanting ke tiang rumah.
Darah mengucur dari goresan luka di lengannya. Samolo mendengus dengan perasaan
muak. "Aku sudah kenal benar dengan watak Orai-Kadud-mu yang licik itu, yang tak
segan-segan membokong dari belakang. Seperti beberapa kali kau lakukan terhadap
kakakmu, tapi selalu gagal, bukan?"
Mendengar kata-kata Samolo itu, Giran agak tersentak lalu memandang ke arah
Mirta yang tersandar di tiang memegangi lengannya yang berdarah.
"Bohong! Itu bohong!" Mirta membela diri dengan gugup.
"Aku benar-benar sedih, sejak Den-Besar wafat, anak-anaknya telah jadi murtad.
Lebih sedih lagi hatiku, Den-Muda yang kuharapkan bisa mewarisi martabat
ayahnya, ternyata sama piciknya dengan ibu dan adik-tirinya yang tamak, licik
dan dengki itu. Kasihan, arwah Den-Besar tentu tak tentram di alam baka." Kata
Samolo dengan pedihnya. Giran tertunduk. Kata-kata Samolo bagaikan
menusuk-nusuk ulu hatinya, terasa pedih menyakitkan.
Namun mendengar cerita ibunya tentang perbuatan centeng itu terhadap keluarganya
lebih menyakitkan lagi. Tak mungkin ia bisa memaafkannya, meski ia tahu Samolo telah mengabdi berpuluh
tahun pada keluarganya. Ayahnya adalah seorang yang sangat menjunjung
tinggi norma-norma adat istiadat. Terutama perihal kebajikan, hormat dan patuh
serta bakti terhadap orang-tua, adalah paling diutamakan dan kerap dijejalkan ke
dalam hati sanubari serta jiwa Giran melalui nasihat dan petuahnya. Sifat itu
benar-benar sudah melekat sampai ke setiap sendi tulang sumsumnya. Maka itulah
sebabnya, sikap kukuh Giran yang sukar dilunakkan oleh siapapun. Samolo sangat
paham akan sikap tuan mudahnya ini. Dalam hal lain, Giran sesungguhnya adalah seorang yang sangat
lembut dan penuh belas kasih. Namun dalam hal kebajikan dan bakti, pendirian
Giran tak bisa ditawar-tawar lagi. Setiap penyelewengan norma-norma itu
merupakan aib besar yang tak
terampunkan baginya. Karena memahami watak putra majikannya itu, maka Samolo pun
merasa tak perlu lagi banyak bicara. Ia berbisik kepada Ratna.
"Neng, bawalah Girin, menyingkir secepatnya dari sini!
Pergilah ke pondoknya Nyi Londe! Bila ada umur panjang, aku pasti akan menyusul
ke sana, Cepat!" Dengan menahan tangis, Ratna lari menuju hutan jati.
Didekapnya Girin erat-erat. Sayup-sayup didengarnya pertarungan antara Samolo
dan Giran mulai berlangsung dengan sengitnya. Suara dentingan pisau beradu
dengan tongkat bambu itu, seakan-akan menyayat jantung Ratna. Ia berlari terus,
hujan dan guntur masih saja merajai suasana. Angin menderu-deru menghembus
hutan jati. Dan lebih mengerikan lagi ada sepasang mata yang terus mengintai dan
mengikuti langkah Ratna serta anaknya itu dari balik pohon. Bagaikan seekor
Serigala lapar mengintai mangsa, bayangan itu menyelinap dari balik pohon ke
pohon lain dengan napas berdengus.
Matanya liar mencari kesempatan untuk menerkam
kedua insan yang sedang dilanda ketakutan ini.
Keadaan di hutan jati itu benar-benar menakutkan Ratna. Gelap mengerikan, hanya
kadang-kadang diterangi oleh cahaya kilatan halilintar yang menggeletar di
angkasa. Ratna mulai kehilangan arah. Ia berhenti sejenak untuk mengatur
napasanya yang memburu. Lengannya tak pernah kendor mendekap Girin yang gemetar kedinginan dan basah
kuyup terguyur air hujan.
Tepat pada saat itu, bersamaan dengan bunyi
menggelegarnya halilintar dan kilatan cahaya yang menyilaukan, melompatlah
sesosok tubuh dari balik pohon ke hadapan Ratna, membuat Ratna terkejut tak
alang kepalang. Tubuh Ratna jadi gemetar dan mulutnya pun terasa kelu. Karena ia melihat dengan
jelas, sosok bayangan yang tiba-tiba menghadang di hadapannya itu adalah Mirta.
Pemuda sinting ini dengan wajah cengar-cengir dan terkekeh-kekeh melangkah ke
arah Ratna. Matanya jalang menatap tajam ke arah ibu muda yang ketakutan ini.
Kaki Ratna terasa lumpuh. Ia memaksakan diri untuk melangkah mundur, lalu
berbalik dan kabur sekencang-kencangnya dari situ. Mirta tersentak kemudian lari
mengejar. Ratna pontang-panting menerobos hutan jati yang amat lebat itu. Mirta
pun terus mengejarnya dengan berlompat-lompat seperti kera sambil tertawa
terkekeh-kekeh. Pentungan kayu di tangannya diacung-acungkan.
Ratna makin erat mendekap tubuh Girin, lari tak tentu arahnya. Sunggu malang ia
jatuh tergelincir dan terguling-guling ke bawah tebing yang cukup curam.
Girin terlontar dari dekapannya, dan tersangkut di tepi tebing itu. Sementara
Mirta sudah tiba di situ. Ratna kaget bukan main. Tanpa menghiraukan rasa sakit
pada tubuhnya, ia bergegas merayap naik ke atas tebing. Tapi Mirta dengan
sebelah kakinya telah menginjak tubuh Girin dengan terkekeh-kekeh di atas tebing
itu. Sedikit pun tidak ada rasa iba kepada bocah yang meronta dan menjerit-jerit
di bawah kakinya itu. Ratna menjerit sejadi-jadinya. Jantungnya terasa terhenti
saat itu. "Mirtaaa! Lepaskan anakku...!" jerit Ratna sambil merangkak naik. Tapi jatuh
tergelincir lagi karena tebing tanah merah itu amat licin.
Mirta tertawa terbahak-bahak. Lalu matanya berkilat-kilat menakutkan menatap
Girin yang meronta-ronta di bawah pijakan kakinya. Ia menyeringai dengan mulut
berbusa. "Jahanam cilik ini pun akan jadi pewaris harta
bapakku! Maka dia juga tidak boleh hidup lama-lama di dunia ini..."
Pentungan kayu itu diangkatnya tinggi-tinggi untuk dipukulkan ke kepala Girin.
Detik itu darah Ratna seperti membeku. Ia jadi histeris, dan menjerit-jerit
sejadinya. Tepat pada detik itu, tanah yang dipijak oleh Mirta tiba-tiba longsor dan
tergulinglah ia ke dasar tebing itu. Girin pun ikut terbawa longsor ke bawah.
Ratna bangkit dan meraih tubuh anaknya itu kemudian langsung dibawa kabur dari
situ. Mirta menggelepar sesaat lalu bangkit dan mengerang seperti hewan luka.
Matanya membara dan semakin liar. Kemudiaan ia lompat mengejar lagi.
Ratna sambil mendekap putranya menyelusup di antara pohon-pohon jati dengan
napas terengah-engah. Duri dan ranting-ranting tajam sudah tak dihiraukannya
lagi. Hujan masih turun dengan lebat. Halilintar sambung menyambung dengan hebatnya.
Hutan jati seakan-akan menjelma jadi sebuah alam khayal yang serba misterius dan
menakutkan. Ratna mengeluh di dalam hati, karena ia tersesat, kehilangan arah ke pondok Nyi
Londe. "Ya, Allah, ya Gusti...! Tolonglah kami...!" Ratap doanya di dalam hati.
Angin menderu-deru bagaikan suara rintihan setan-setan di neraka. Rasa takut
mencengkeram Ratna. Sambil menangis tersengguk-sengguh ia lari tak tentu arah
lagi. Tiba-tiba ia malah terserobok dengan Mirta yang sedang mencarinya. Pemuda kurang
waras ini tertawa cekikikan.
"Baaaa! Kau balik lagi mau mencariku, Ratna"! Hi...
hi... hi..." Ratna tersentak mundur. Dengan tatapan menakutkan Mirta melangkah mendekat,
Ratna tersandung akar pohon dan jatuh terjerembab. Mirta berlulut di sisinya.
Lengannya mencoba membelai rambut Ratna, tapi ditepis dengan perasan jijik oleh
Ratna. Mirta tertunduk, lalu berkata seperti kepada dirinya sendiri.
"Kau masih secantik dulu... Cintaku tak pernah
padam, Ratna...! Meski kau selalu menolakku. Aku memang tidak seberuntung si
Giran keparat itu...!"
Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, matanya berkilat-kilat.
"Tapi Giran sudah tidak cinta lagi kepadamu, Ratna!
Ini pembalasan rupanya. Hi... hi... hi...! Tapi kau tak perlu sedih, Ratna. Aku
masih bersedia menerimamu.
Sungguh mati, aku ikhlas dan selalu masih
mengharapkan kau, sampai kapan pun...!"
Napas Mirta makin memburu. Suaranya gemetar dan parau seperti burung hantu.
Tiba-tiba ia mencekal lengan Ratna dan didekapkan ke dadanya. Ia merintih.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Peganglah dadaku ini, Ratna...! Jantungku telah hangus terbakar api cinta yang
tak kunjung padam... Oh, Ratna...!"
Ratna meronta menarik lengannya, tapi sia-sia. Mirta makin keras menggenggam
lengan itu. "Serahkanlah surat wasiat itu kepadaku, Rat... Lalu kita kawin, dan kau akan
kujadikan wanita terbahagia di dunia ini!"
Ratna menarik lengannya kuat-kuat dan lepas dari genggaman pemuda setengah
sinting ini. Ia beringsut menjauh sambil memaki dengan muaknya.
"Pergi! Pergi! Kau makhluk durjana. Jangan kau
sentuh aku dengan tanganmu yang berlumur noda dan dosa itu. Pergi kataku...!"
"Ahh... Ratna sayang... Inilah kesempatan terbaik bagi kita. Biarkan Giran dan
Samolo saling bunuh. Seluruh Harta warisan itu akan jadi milik kita berdua"
Mirta merayu sambil mendekati Ratna. Tiba-tiba Ratna bangkit dan lari. Tapi
Mirta segera menerkamnya dan mereka jatuh berguling di tanah becek berlumpur
itu. Ratna dengan nekat menjejak muka Mirta sekuat
tenaganya, hingga pemuda ini terjengkang berteriak kesakitan. Namun ia cepat
bangun lagi. Bibirnya pecah mengucurkan darah. Sambil mengerang menahan sakit ia
mengumpat dan memungut pentungan kayunya.
"Dasar perempuan laknat, tak tahu diuntung."
geramnya. Kemudian dengan tiba-tiba saja ia lompat merebut Girin dari dekapan Ratna. Ratna
pun dengan kalap berusaha merebut kembali anaknya itu. Tapi pentungan Mirta
sudah mengancam kepala bocah itu.
"Ayo, kalau kau mau melihat kepala anakmu ini
hancur berantakan. Sekarang katakanlah, maukah kau jadi istriku, Ratna"!"
Ratna terdiam, wajahnya tegang dan pucat. Girin terus menjerit dan meronta dalam
dekapan pamannya yang kurang waras ini.
"Jawab, ya atau tidak! Nyawa anakmu ini tergantung kepada putusanmu sendiri,
Ratna!" ancam Mirta dengan mengangkat pentungan kayu yang diarahkan ke kepala
Girin. Ratna benar-benar bingung dan gelisah. Ia tahu pasti ancaman Mirta itu bukanlah
gertakan kosong belaka. Bahkan perbuatan yang lebih keji dan brutal sekalipun sanggup dilakukan olehnya.
"Rupanya kau sudah tidak sayang lagi kepada anakmu ini, Ratna. Baiklah, jangan
kau katakan aku kejam!"
tangannya yang memegang pentungan itu siap
dihantamkan ke kepala Girin.
Ratna panik, demi keselamatan anaknya yang amat dikasihinya itu ia rela
berkorban apa saja. Ia tertunduk menghapus linangan air matanya, mengangguk
perlahan. Mata Mirta berbinar. "Katakan ya, Ratna, katakan Ratna!"
"Ya. Lepaskan anakku!" jawab Ratna sambil tersedu...
Wajah Mirta berseri-seri. Matanya makin berbinar.
"Bersumpahlah Ratna! Bersumpahlah kau kepada
langit dan bumi... Juga kepada guntur di angkasa!" teriak Mirta berbarengan
dengan gelegar guntur yang pecah di angkasa.
Ratna gemetar, dunia terasa semakin gelap. Ia seakan-akan jatuh tenggelam ke
dasar neraka yang paling gelap gulita. Sebagai seorang gadis desa yang lugu ia
amat percaya dengan keramatnya sumpah serapah. Apalagi kini ia sudah jadi
seorang wanita bersuami sangatlah pantang mengucapkan sumpah cinta terhadap
seorang laki-laki lain. Lebih menyakitkan lagi, justru laki-laki itu yang amat
dibencinya. Namun kasih sayang seorang ibu sanggup dan rela berkorban apa saja.
Dengan air mata berlinang-linang Ratna bersumpah dengan suara hampir tak
terdengar. Namun cukup membuat Mirta berjingkrak kegirangan. Guntur kembali
menggelegar di angkasa. Mirta sambil melepaskan Girin dari dekapannya
menunjuk ke langit dan tertawa.
"Dengar, dengarlah Ratna! Guntur menggelegar di angkasa, dia telah menjadi saksi
atas sumpahmu Istriku...! Hi... hi... hi..."
Mirta menghampiri Ratna dan berbisik dengan napas memburu. "Bertahun-tahun aku
memimpikan saat seperti ini Ratna. A... a... aku sangat mencintaimu....
Sampai dunia kiamat sekalipun!"
Tubuh Ratna seakan tak dialiri darah lagi. Ia
menggigil. Hatinya begitu pedih dan remuk oleh himpitan rasa berdosa yang amat
sangat. Rasa sesak di dadanya kemudian pecah jadi tangisan yang memilukan.
Ketika lengan Mirta yang gemetar itu membelai rambutnya dan menciuminya dengan
napas berdengus-dengus. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 4 SEMENTARA itu, pertarungan antara Samolo dan Giran masih berlangsung dengan
sengitnya. Jelas terlihat Samolo hanya berusaha menghambat Giran, dan sedapat
mungkin menghindarkan pertumpahan darah. Tiba-tiba wajahnya jadi tegang, karena
naluri dan telinganya yang peka itu memperingatkan suatu bahaya yang mengancam
Ratna dan Girin. Selama bertempur itu, perhatiannya terpaksa harus terpecah dua. Sejak tadi ia
tidak mendengar gerak-gerik Mirta di situ. Hal inilah yang sangat dicemaskan
oleh Samolo. Dan ia merasa pasti pemuda sinting itu diam-diam menyelinap untuk
mengejar Ratna dan Girin.
Centeng tua ini mengeluh di dalam hati, serangan Giran tak sedikitpun memberi
waktu luang padanya. Tiba-tiba dengan sebuah pentilan menyilang, ia
berhasil membuat pisau Giran terpental ke udara dengan tongkat bambunya itu.
Saat lowong itu digunakan Samolo untuk segera mencelat ke arah hutan jati. Giran
mengumpat sambil memungut pisau pusakanya itu.
Dengan mengandalkan deru angin dan gemersik daun serta derak ranting, jago tua
yang buta ini dapat menge-
tahui dan mengenal situasi hutan jati yang lebat itu.
"Apakah mereka sudah tiba di rumah Nyi Londe"
Semoga Tuhan melindungi ibu dan anak itu." Doanya dalam hati dengan sambil terus
berlari. Giran berhasil mengejarnya, langsung menerjangnya. Samolo terpaksa
harus melayani, namun hanya sejenak karena setelah menyampok tikaman pisau
Giran, ia segera loncat mundur dan lari lagi ke dalam hutan.
"Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku,
bedebah...!" Bentak Giran, terus mengejar.
Samolo menerobos kelebatan hutan jati di bawah
derahan hujan lebat. Tiba-tiba ia nyaris jatuh
terjerembab, bila tongkatnya tidak segerah menyentuh sesosok tubuh yang
tergeletak membujur di tanah. Ia meraba tubuh itu dan terkejut. Karena lengannya
menyentuh sesosok tubuh laki-laki, kepalanya luka dengan cairan hangat mengalir
dari luka itu. "Darah!" pekiknya di dalam hati.
"Binatang! Kau telah membunuh Adikku" teriak Giran tiba-tiba.
"Demi Allah, bukan aku yang melakukannya. Dia
sudah terkapar di sini ketika aku tiba!" Samolo membantah.
Tapi Giran sudah menyerangnya lagi dengan makin kalap. Samolo menepis serangan
itu seraya lompat mundur.
"Ketahuilah, Den. Mirta, adikmu ini sejak dulu punya hasrat buruk terhadap
istrimu. Jiwanya dihantui dendam yang telah membusuk, karena ia tak bisa
memperistrikan Ratna!"
"Tutup mulutmu, setan laknat!" teriak Giran dengan sebuah tusukan ke arah
jantung Samolo. Tapi Samolo berkelit dengan lompatan mundur lalu berbalik
langsung lari ke dalam hutan.
"Siapakah yang telah menyerang Mirta hingga terkapar dengan kepalanya pecah"!"
hati Samolo bertanya-tanya akan peristiwa aneh itu. Tapi perhatiannya lebih
tertuju kepada Ratna dan Girin.
"Kasihan nasib Ratna dan Girin. Keluarganya telah mencampakkannya seperti
sampah. Suami yang diharapkan jadi pelindung kini malah jadi ancaman bagi keselamatan mereka.
Sangat sulit menyadarkan Den Giran, selama dia masih terbius oleh kata-kata ibu
tirinya yang busuk itu." Keluh Samolo lagi dalam hati. Tongkat bambunya terus
menuntun ke arah pondok yang hendak dituju. Agaknya Samolo hafal sekali dengan
daerah tersebut. Sementara Giran terus di belakangnya. Sesaat kemudian centeng
ini sudah tiba di tepi sungai yang berbatu-batu. Tongkatnya segera menotok batu-
batu itu yang dipijaknya sebagai bacu loncatan ke arah seberang sungai tersebut.
Ia melangkah ke arah pondok yang tegak terpencil di tepi sungai, dan berteriak
memanggil penghuninya. "Nyi Londe!" "Siapa"!" terdengar sahutan dari dalam pondok itu.
"Aku Nyi!" Pintu pondok itu terkuak, sosok tubuh seorang
perempuan tua tampak tersembul dari dalam pondok itu.
"Oh, kau Samolo. Masuklah, hujan begini lebatnya"
Samolo mendekat dan naik ke atas pondok panggung itu.
"Wak Londe!" Gumam Giran yang sudah tiba pula di depan muka pondok itu. Tertegun
ia memandang perempuan tua itu. "Apa neng Ratna dan Girin sudah berada di rumahmu Nyi?" tanya Samolo cemas.
"Keadaannya memilukan sekali. Pedih hatiku
melihatnya!" perempuan tua ini menggelengkan kepala sambil menghela napas.
"Wak Londe!" sapa Giran tiba-tiba.
Nyi Londe memandang ke muka pondoknya, dilihatnya seorang pemuda berdiri di
pelataran, basah kuyup di dera hujan yang masih belum juga reda.
"Eh, siapa itu" Siapakah orang itu Samolo?"
"Den Giran, Nyi" jawab Samolo datar.
Perempuan ini tertergun, perlahan-lahan turun dari pondoknya. Bagaikan mimpi
menatap pemuda yang tegak di hadapannya itu. Kemudian dengan air mata berderai
ditubruknya tubuh laki-laki muda yang gagah ini.
Suaranya terpatah-patah menahan rasa haru yang
mendesak di dadanya. "Kau... Kau Den... Kau sudah pulang Den!" ditatapnya wajah Giran tajam dengan
air mata terus mengucur di pipinya yang mulai keriput dan cekung.
"Bagaimana keadaan Uwak sekarang"!" tanya Giran sama terharunya.
"Aduh Den, kenapa kau pergi begitu lama" Banyak peristiwa telah terjadi selama
kau tak berada di sini"
Suara Nyi Londe bergetar penuh penyesalan. Giran menghela napas.
"Aku tahu, semuanya akibat pengkhianatan orang-
orang tak kenal budi. Aku tahu Wak" kata Giran tajam, melirik Samolo yang
berdiri di teras pondok panggung itu.
Nyi Londe membawa Giran masuk ke dalam
pondoknya yang sangat sederhana itu. Giran memandang keadaan ruangan pondok
berbilik bambu yang sudah berlubang-lubang, atapnya pun tiris terguyur hujan.
"Kenapa Uwak tinggal di sini" Maksudku, mengapa tidak berdiam lagi di rumah
kita" " tanya Giran dengan nada haru.
Nyi Londe menghela napas lagi. "Kini semuanya sudah berubah, Giran. Gubuk reyot
ini pun cukup memberikan ketentraman kepada Uwak."
Giran tiba-tiba melihat Ratna berada di dalam kamar pondok itu. Api kemarahannya
kembali membakar dada- nya. Ditudingnya istrinya yang sedang memeluk Girin.
"Hmm. Kau pun rupanya bersembunyi di sini!
Perempuan tak tahu malu. Masih ada muka kau hidup di dunia ini?" bentak Giran
dengan geram. Nyi Londe menahan tubuh Giran yang hendak menghampiri Ratna.
"Enyah kau dari mataku! Atau sebaiknya kau bunuh diri saja. Dari pada kau
mencoreng keluargaku dengan noda yang tak terhapus tujuh turunan."
Ratna dengan menggendong Girin segera keluar dari pondok. Nyi Londe berusaha
menyabarkan Giran. "Jangan begitu Giran. Kasihan Girin, anak itu sedang demam. Tubuhnya panas
sekali." Tapi Giran tak menghiraukannya. Ia menyusul ke
muka pondok. Berteriak dengan penuh dendam yang berapi-api. Lengan Nyi Londe tak
lepas-lepas menggeng- gam lengan pemuda ini. "Pergi! Jangan kalian menginjak lagi tanah Kedawung ini. Jika aku masih melihat
lagi kau berada di sini, akan kucabut nyawamu semua!" bentak Giran mengancam.
Ratna tertunduk menahan tangis sambil memeluk
anaknya yang sedang menderita demam, meninggalkan pondok itu diiringi Samolo
yang coba membesarkan hatinya.
"Jangan bersedih, Neng. Tuhan selalu mengasihi
makhluk-Nya yang tak berdosa. Mari! Dunia ini masih terlalu luas untuk kita."
Hujan masih terus turun menyiram bumi. Menelan
tiga manusia yang berjalan perlahan-lahan menyusuri sungai, membawa luka di
hatinya masing-masing. Nyi Londe termangu-mangu memandang kepergian tiga orang itu sampai lenyap
ditelan kepekatan malam yang terus diguyur hujan yang tak kunjung henti itu.
Betapa sedih hatinya menyaksikan penderitaan orang-orang yang sangat dikasihinya
itu. Terasa air matanya ikut tertelan dan menyangkut di kerongkongannya.
Dada perempuan tua ini terasa begitu sesak. Ia
mendesah untuk melepaskan perasaan yang menyesak-
kan dadanya itu. Suaranya lirih ketika ia berkata kepada Giran dengan masih
memeluk tiang pondoknya. "Aku sukar mengatakan sesuatu kepadamu. Kini kau sudah banyak berubah, Giran."
"Uwak sendiri mengatakan bahwa kini semuanya
sudah pada berubah. Begitu pun aku. Penyebabnya adalah setan-setan tadi"
"Aku tetap menyayangimu, Giran. Sama seperti ketika aku menimangmu waktu kau
masih bayi. Ah, rasanya baru kemarin saja waktu itu berlalu..."
Nyi Londe melangkah masuk dan menuang air dari
kendi untuk Giran minum. Giran menerima gelas itu, memandang wajah pengasuhnya
dengan sinar mata lembut dan ada getaran rindu dalamnya.
"Aku tidak mungkin bisa melupakan budimu, Wak.
Tanpa kau, aku tak kan hidup sampai jadi manusia dewasa seperti sekarang ini."
Ia meminum air itu, lalu termenung memandang air di dalam gelas di lengannya.
Tenang ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri.
"Dewasa kataku, karena kini mataku seolah-olah baru terbuka, betapa watak dan
martabat manusia begitu mudah rusak. Meski dilimpahkan kasih sayang, cinta dan
kepercayaan tanpa batas, namun toh masih mengkhianat juga. Aku betul-betul sukar
mengerti. Sungguh tidak dapat dimengerti..." keluhnya sambil mereguk minuman-
nya lagi. "Kau hanya menilai persoalan dari satu sudut saja. Itu tidak bijaksana, Giran."
Kata Nyi Londe menghela napas.
Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya, sesaat kemu-
dian keluar lagi dengan sebuah kotak kayu yang antik dan indah di tangannya.
Lalu diperlihatkan kepada Giran.
"Kau kenal dengan kotak ini, Giran?"
Kotak kayu itu diletakkan di atas meja di hadapan Giran yang menatapnya dengan
perasaan kaget dan heran.
"Sudah tentu aku kenal benar dengan kotak ini.
Karena ini peninggalan mendiang ayahku!"
"Kotak inilah yang jadi pangkal sengketa dan
timbulnya berbagai peristiwa hebat yang mengakibatkan terpecah-belahnya keluarga
besar ayahmu. Berapa banyak sudah kotak ini menelan korban nyawa, darah dan air
mata. Martabat manusia pun runtuh olehnya."
Rasa benci dan muak terkandung di dalam kata-kata perempuan tua ini. Benda itu
seakan-akan dianggap sebagai buatan setan yang sangat mengerikan, juga
menjijikkan. Ia enggan menatap lama-lama kepada kotak kayu berukir indah itu.
Giran menyatakan keherannya, mengapa kotak wasiat yang berisikan kunci-kunci
serta surat-surat berharga tentang hak waris atas harta peninggalan ayahnya itu
bisa berada di tangan Nyi Londe. Seingatnya ketika ia hendak berangkat ke Borneo
untuk melaksanakan pesan ayahnya, meninjau perkebunan karet yang berada di sana,
ia telah menyuruh Ratna untuk menyimpan peti pusaka itu. Diakuinya pula, sejak
ia menerima kotak itu dari ayahnya yang sedang menderita sakit sampai setelah
wafat, ia belum pernah membuka dan melihat isi kotak tersebut. Kini ia baru
mengetahui, bahwa yang tertera di atas surat hak waris itu ternyata cuma namanya
sendiri. Sedangkan nama ibunya maupun Mirta sama sekali tidak tercantum sebagai pewaris
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari sebagian harta peninggalan yang melimpah itu. Kebijakan ayahnya untuk tidak memberikan sesuatu
pun dari sebagian hartanya kepada ibu tiri dan adik tirinya itu, pasti mempunyai
alasan tertentu. Tapi Giran tidak tahu apakah alasannya itu. Namun ia merasakan
bahwa tindakan ayahnya itu sangatlah tidak adil. Akibatnya ibu serta adiknya itu harus
hidup terlunta-lunta seperti tikus yang bersarang di puing bangunan rumah Kasir
Samirun yang entah kenapa pula jadi berantakan begitu. Giran semakin yakin akan
tuduhannya terhadap pengkhianatan Ratna dan Samolo. Karena merasa ikut berhak
atas warisan harta itu, sebagai istri yang dinikah secara sah, Ratna telah
mengusir ibu mertua dan iparnya dari gedung megah yang ingin dikangkanginya itu.
Mungkin mengira suaminya telah meninggal di rantau, Ratna lalu bermain gila
dengan Samolo, centeng yang selalu setia mengawal-
nya itu. Demikianlah perkiraan dan kecurigaan Giran terhadap istrinya, yang
diperkuat pula oleh cerita ibu tirinya. Namun yang jadi tanda tanya bagi Giran,
mengapa kotak wasiat itu kini berada di tangan Nyi Londe. Perempuan tua ini
menjelaskan bahwa sesung-
guhnya kotak pusaka itu telah berpindah-pindah tangan dan setelah diperebutkan
dan dipertahankan mati-matian, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan kotak itu
dan dititipkan kepadanya.
"Karena akulah orang satu-satunya yang mereka
percayai, sebagai pengasuhmu sejak kau masih bayi merah. Mereka yakin aku akan
memberikan peti pusaka ini kepadamu, bila kau sudah kembali"
"Siapakah yang Uwak maksud dengan mereka itu?"
tanya Giran. "Siapa lagi kalau bukan Ratna dan Samolo!" jawab Nyi Londe tegas. Giran
mendengus sinis. Bangkit menuju jendela. Ia yakin pengasuhnya ini berkata
demikian karena takut akan ancaman Samolo. Perempuan tua ini mengetahui keraguan
hati Giran terhadap ceritanya tadi.
Tapi ia tak peduli, ia akan menceritakan semuanya yang sebetulnya telah terjadi
di dalam keluarga besar Tuan Tanah itu kepada putra sulung ini.
"Aku tahu kau pasti sukar mempercayai ceritaku tadi.
Ratna tidak mau menyimpan peti pusaka ini, karena khawatir akan dituduh ingin
menyerakahi juga harta warisan itu. Jiwanya pun seolah-olah telur di ujung
tanduk, senantiasa terancam bahaya maut dari kelompok orang-orang serakah, yang
tak segan-segan menggunakan tipu muslihat keji untuk menguasai peti pusaka
tersebut. Untunglah Samolo selalu berhasil menyelamatkannya!"
Giran termangu di sisi jendela.
"Jadi maksud Uwak, ibu serta adikku itu adalah
orang-orang serakah dan tamak, begitu"!" ia berpaling memandang pengasuhnya ini.
"Apakah perbuatan yang menyebabkan ibuku mende-
rita buta dan merana sepanjang sisa hidupnya itu, adalah bukti kemuliaan dan
kesetiaan Samolo" Dan Mirta ter-
kapar seperti bangkai anjing di tengah hutan jati adalah juga bukti dari
kebajikannya pula"! Kemuliaan dan kebajikan yang telah menghasilkan seorang anak
haram. Sungguh luar biasa dan betul-betul mengagumkan!" Sinis sekali kata-kata Giran.
"Ibu dan adikmu telah menerima akibat dari
perbuatannya sendiri!" kata-kata Nyi Londe pun tak kalah sinisnya, meski
diucapkan dalam nada perlahan dan agak gemetar menahan emosi. "Aku justru heran,
kenapa kau berprasangka buruk terhadap darah dagingmu sendiri"
Aku kenal Ratna seperti aku mengenal diriku sendiri.
Begitu pula terhadap Samolo. Dia telah banyak berkorban demi kesetiaannya kepada
almarhum ayahmu, juga kepada keturunannya."
"Omong kosong! Dengan membunuh Mirta, apakah
Samolo juga mau membuktikan kesetiaannya terhadap keturunan ayahku"! ?" kata
Giran dengan ketus. "Itu bukan perbuatan Samolo!"
"Lalu siapa"! Apa dicekik hantu hutan jati"!" dengus Giran makin sinis.
"Mirta sesungguhnya sudah lama menaruh hati
kepada Ratna! Hasrat buruknya itu hampir saja terlak-
sana di hutan jati. Tapi Ratna lebih rela mati daripada harus hidup ternoda.
Dalam pergulatan mempertahankan kehormatannya, ia sempat menghantam kepala Mirta
dengan sepotong kayu..."
Nyi Londe menjelaskan peristiwa itu setelah men-
dengarnya dari Ratna, yang datang menyelamatkan diri bersama anaknya ke pondok
itu sambil menangis tersedu-sedu memeluk dirinya. Giran kembali tercenung.
Terdengar ia menghela napas. Lalu menghampiri Nyi Londe. Dengan tersenyum lembut
ia menggenggam lengan pengasuhnya ini.
"Sudahlah Wak. Aku tahu Uwak bermaksud baik.
Ingin mendamaikan persoalan ini. Atau barangkali mereka berdualah yang memintamu
untuk mendongeng- kan kisah "Nina Bobok" ini kepadaku. Seperti dulu jika aku tengah merengek-
rengek tak mau tidur. Ahh... betapa manis bila masa kecil itu dikenang lagi, ya
Wak?" kata Giran sambil tersenyum. Tapi Nyi Londe menarik
lengannya, berkata dengan sedih.
"Ya baiklah, bila kau tak sudi lagi mendengar
dongengku. Karena kini kau sudah merasa cukup takjub mendengar dongeng ibumu
itu. Tak apalah Giran. Mungkin matamu kini telah terbuka. Tapi sayang, kau menatap ke arah yang salah!"
Kali ini wajah Giran tertunduk dan termenung. Ia tahu benar dengan sifat
pengasuhnya ini, yang tak pernah berpura-pura, apalagi berkata dusta kepadanya.
Justru sifat itulah yang telah banyak mendidik dan menyerap ke dasar jiwanya.
Kini konflik batin tengah bergelut di dasar jiwanya itu. Antara kebenaran cerita
Nyi Londe dengan rasa baktinya terhadap orang tua. Satu hal yang amat
ditakutinya bila kemudian ia pun terpaksa harus mendurhakai dan mengutuki ibunya
sendiri. Melihat kemurungan wajah Giran, Nyi Londe jadi iba. Dibelainya kepala
anak asuhannya ini dengan lembut dan tetap dengan perasaan kasih sayang seperti
dulu. Ia berkata dengan lembutnya.
"Ketahuilah Giran. Sesungguhnya banyak hal serta peristiwa lalu yang belum kau
ketahui. Kami memang sengaja menyembunyikannya demi kebaikanmu. Demi keutuhan
keluarga besar ayahmu..."
Giran tertunduk diam. Nyi Londe melanjutkan. "Aku dan Samolo-lah yang banyak
mengetahui berbagai persoalan yang telah terjadi di rumah tangga ayahmu, yang hingga kini tinggal
gelap bagimu. Tapi kini, kurasa sudah tiba waktunya untuk kuceritakan semuanya
kepadamu. Dengarkanlah...!"
Berkisahlah Nyi Londe *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 5 KEDAWUNG sebuah desa kecil dengan tanahnya yang amat subur. Hijau oleh ribuan
pohon nyiur yang melambai dihembus angin. Riak gelombang batang padi yang menguning di bentangan
petak-petak sawah seluas mata memandang. Semua itu adalah milik seorang Tuan
Tanah yang terkenal sangat kaya raya, juga sangat bijaksana serta murah hati.
Seluruh penduduk desa itu amat menghormatinya dan menganggapnya sebagai
junjungan mereka, melebihi para amtenar atau pengusaha lainnya yang terpaksa tak
dapat berbuat semau hatinya terhadap rakyat desa kecil itu.
Itu semua karena pengaruh Sang Tuan Tanah yang
penuh wibawa itu. Ketika putra sulungnya yang diberi nama Giran, baru berusia
tiga bulan, istri Tuan Tanah yang sama bijaksananya juga meninggal dunia. Kini
istri mudanya yang bernama Subaidah, mengambil alih
seluruh kekuasaan dalam rumah tangga itu. Perawatan Giran sepenuhnya diserahkan
kepada seorang pengasuh, Nyi Londe yang telah mengabdi di keluarga Tuan Tanah
itu sejak ia masih kanak-kanak. Subaidah yang muda dan cantik itu, tiap hari
hanya bersolek dan pesiar dengan kereta kuda, yang kadang-kadang dikusirinya
sendiri. Atau ditemani oleh Kasir Samirun, seorang kasir merangkap pemegang tata
buku keuangan sang Tuan Tanah. Tubuhnya tinggi kurus, cukup tampan dengan sebuah
kumis kecil di atas bibirnya yang tipis, pertanda pandai bicara dan banyak akal.
Nyi Londe mengabdikan seluruh hidupnya untuk
keluarga Tuan Tanah tersebut. Ia begitu menyayangi Giran dan mengasihinya
seperti anak kandungnya, bahkan dihidupkannya anak itu oleh air susunya sendiri.
Sering, bila Giran telah tertidur lena di emper buruk kamar Nyi Londe, perempuan
ini memandangi wajah mungil yang belum kenal dosa itu dengan mata berkaca-kaca.
Hatinya terasa perih. "Anak yang malang. Jika ibumu masih ada, kau tentu tidak
hidup terasing di tengah keluargamu sendiri yang serba berkecukupan ini"
ratapnya sambil membelai kepala anak asuhannya.
Subaidah, sang istri muda ini ternyata pandai
mengambil hati. Bila di hadapan suaminya, ia senantiasa berlaku begitu
menyayangi anak tirinya itu. "Kasih Ibu"-
nya betul-betul ditonjolkan dengan penuh kasih sayang.
Dan Subaidah pun kemudian melahirkan seorang putra, ialah Mirta. Perlakuan yang
menyolok terhadap kedua anak itu segera terjadi, jika sang Tuan Tanah yang
sering bepergian ini tak berada di rumah. Subaidah meraih baju Giran yang cukup
bagus itu dan digantinya dengan baju penuh tambalan. Lalu bocah itu dilempar ke
pelukan Nyi Londe, yang segera membawanya ke dalam emper
buruknya di belakang gedung megah itu. Barang mainan Giran pun adalah hasil
buatan Samolo dan hasil rajutan Nyi Londe. Sementara Mirta sudah bosan dengan
mainannya yang mahal-mahal yang khusus dibeli di Batavia.
Pada suatu hari, Samirun dengan diiringi Mandor Sarkawi, baru pulang keliling
kampung melaksanakan penagihan kepada para penduduk. Ia langsung melapor kepada
Tuan Tanah yang sedang berda di ruangan dalam.
"Semuanya beres, Den Besar. Kecuali Ki Kewot, sudah hampir tiga bulan ini dia
nunggak terus. Selain itu dia pun terlalu besar kepala, Den Besar!" Lapor kasir
yang cerdik dan pandai menyenangkan majikannya ini, sambil memperlihatkan
catatan di bukunya. Namun Sang
Majikan cuma mendehem sambil menghisap cerutunya.
Jawabannya pun di luar dugaan.
"Biarlah. Aku tahu orang tua itu akhir-akhir ini sering sakit" katanya penuh
bijaksana. Lalu sambungnya, "Dia memang sudah terlalu tua untuk bekerja di
sawah. Aku kasihan melihat keadaannya. Samirun, coba kau berikan uang se-
ringgit kepadanya. Suruh dia berobat!"
Samirun yang sedang senyum-senyum bermain mata
dengan Subaidah, jadi terkejut. Dengan gugup ia mengangguk.
"Ba... baik, Den Besar." Lalu melangkah keluar
ruangan diikuti Mandor Sarkawi yang menunggu di pintu.
Kerlingan mata Samirun dibalas oleh senyum genit Subaidah. Hal itu tak lepas
dari perhatian Samolo yang sedang bermain dengan Giran di sudut ruangan.
Tapi ketika Samirun dan Sarkawi mendatangi Ki Kewot di gubuknya, perintah
majikannya ternyata diabaikan. Ia berdiri bertolak pinggang di muka gubuk itu
dengan congkaknya. "Hei, Kewot! Tuan Besar marah sekali. Kamu diberi waktu seminggu untuk melunasi
hutangmu. Mengerti?"
bentaknya. Ki Kewot yang sedang menganyam bakul, terbungkuk-bungkuk memohon
kebijaksanaan. Ratna putri kecilnya berdiri ketakutan di sisinya.
"Seminggu" Dari mana saya dapat uang buat bayar, Den" Belum lagi bunganya...!"
keluh kakek ini. "Itu urusanmu. Seminggu, atau tahu sendiri!"
Sambil bersungut-sungut Samirun melangkah
meninggalkan muka gubuk itu. Tongkatnya terayun-ayun dengan lagak seorang
bangsawan terhormat. Sementara tangan Sarkawi jadi gatal ketika melihat ayam
jago Ki Kewot yang sedang dikurung itu. Serta-merta
disambarnya ayam itu. Ia menyusul si kasir, dan merengek sambil mengikuti di
belakangnya. "Tambahin setalen lagi, Sir...! Buat main sintir di rumah Mat Tompel enter malam
nih" Rengeknya sambil terus menadahkan tangannya seperti pengemis. Samirun
mendelik dan membentak. "Sialan! Sudah ngembat ayam, masih mau minta duit lagi" Serakah banget lu..."
Sarkawi tertawa cengar-cengir sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Ki Kewot mengumpat di dalam hati, betapa ia begitu
muak melihat kedua pemeras itu. Entah sudah berapa banyak penduduk Kedawung ini
dibuat sengsara oleh kedua orang itu. Bahkan sampai ada yang gantung diri karena
putus asa dan ketakutan, akibat ancamannya. Ki Kewot masih mencoba untuk tetap
tabah, karena ia tahu benar dengan sifat Tuan Tanah yang selalu bermurah hati
terhadap orang-orang yang benar-benar tidak mampu. Sejak lengannya sudah tak
sekuat dulu lagi untuk mengangkat cangkul, karena penyakit rematiknya semakin
menyiksanya, kini ia jarang-jarang bisa turun ke sawah milik Tuan Tanah itu.
Hingga hutangnya semakin menumpuk. Padahal Tuan Tanah sendiri tidak pernah
membebankan para penghutang itu dengan bunga renten yang amat mencekik leher itu. Jelas itu hanya
ulah sang kasir saja yang mengeruk keuntungan untuk kantongnya sendiri. Semua penduduk mengetahui kecurangan Samirun, namun tak seorang pun berani melapor
kepada majikannya. Apalagi ketika seorang pemuda didapati terkapar jadi mayat
tak berkepala di tengah sawah, karena berniat lapor kepada Tuan Tanah tentang
pemerasan yang sering dilakukan oleh Samirun serta para begundalnya yang belasan
jumlahnya itu. Ki Kewot hanya mampu mengumpat di dalam hati, sambil mengelus
kepala putrinya yang menangis karena ayam kesayangannya telah dirampas oleh
Sarkawi. Mandor itu selalu setia mengikuti kasir Samirun bila sedang masuk
kampung untuk menagih dan memeras rakyat kecil. Karena ia selalu kebagian
rejeki. Dari sosok tubuhnya yang gendut itu, sudah dapat diperkirakan bahwa
mandor itu memang cuma bisa
berfoya-foya. Kerjanya cuma bermuka-muka, mabuk-mabukan, main judi dan
perempuan. Sangat berbeda dengan sifat Samolo. Centeng bertubuh tinggi besar ini, meski
bercambang dan memelihara kumis serta janggutnya cukup lebat, tak terlihat kesan
garang pada wajahnya. Sikapnya selalu tenang penuh wibawa. Jarang bicara bila
tak perlu. Samolo sangat menghormati Tuan Besarnya. Pengabdiannya terhadap
keluarga Tuan Tanah Kedawung itu begitu tulus, dan semata-mata didorong oleh
rasa balas budi. Jauh sebelum Tuan Tanah itu sejaya sekarang, Samolo pernah
ditolong olehnya dari kehancuran akibat tragedi keluarganya. Kini ia mengabdi di
gedung besar itu sebagai centeng. Sebagai cucu murid sang Hyang "Bu'uk Perak"
pendiri Perguruan "Krakatau" yang legendaris itu. Samolo telah mewarisi sebuah
aliran ilmu beladiri yang sangat unik dan langka. Ilmu pukulan tangan kosongnya
tak ada tandingannya di wilayah Kedawung dan sekitarnya, bahkan mungkin di
seluruh Jawa Barat. Karena ilmu beladiri perguruan "Krakatau" tak ada duanya
lagi di jagad ini. Sang Hyang Bu'uk Perak hanya memiliki seorang murid bernama
Biang Tarona. Biang Tarona sendiri cuma memungut Samolo seorang sebagai
muridnya. Itu pun terpaksa dilakukan demi melacak jejak seorang murid Krakatau
yang telah ingkar dan murtad, yang kemudian ternyata murid murtad yang harus
dihukum itu adalah ayah kandung Samolo sendiri.
Sebuah pertarungan hebat antara dua saudara perguruan Krakatau itu terjadi,
tepat pada saat gunung Krakatau meletus dengan teramat dahsyatnya. Seluruh
pesanggrahan perguruan itu musnah bersama pendekar-pendekar perkasa itu. Samolo
terdampar setelah digulung ombak raksasa. Ditolong oleh Tuan Tanah Kedawung,
yang sedang mengungsi di sebuah wihara yang secara ajaib luput dari sapuan ombak
yang menelan seluruh pesisir pantai Bantai hingga jauh ke tengah. (Kisah ini
dapat dibaca dalam novel "KRAKATAU").
Meskipun memiliki ilmu beladiri yang cukup tangguh, Samolo tetap rendah hati. Ia
tak pernah mempertontonkan kebolehannya itu di hadapan
siapapun, meski kepada para maling kerbau sekalipun.
Bagi kasir Samirun, sikap Samolo yang pendiam dan taat beragama itu, membuatnya
agak segan dan selalu ragu-ragu mendekati. Paling-paling ia hanya bicara
seperlunya pada saat membayar gaji centeng itu. Itu pun Samolo tak pernah
memintanya. Bagi Samolo sendiri bukan ia tidak mengetahui sepak terjang Samirun
bersama para begundalnya itu di luaran. Namun ia enggan melaporkan hal itu kepada majikannya,
sebab ia tak mau menyusahkan hati Tuan Tanah yang diketahuinya
berpenyakit lemah jantung itu. Maka sering uang gajinya diberikan kepada para
penunggak hutang, agar tidak jadi korban pemerasan Samirun dan Mandor Sarkawi.
Cuma sejauh itulah yang bisa dilakukan Samolo untuk sekedar menghindarkan
persoalan yang bisa menjengkelkan dan merongrong hati majikannya. Bantuan
terhadap para penduduk pun dilakukannya selalu secara diam-diam, dengan
menyelinap dan menaruh uangnya di atas bale-bale atau meja penduduk pada saat si
penunggak hutang tersebut sedang bekerja di sawah atau sedang tidur pada malam
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harinya. Tak seorang pun mengetahui perbuatan Samolo, dan ia pun tak ingin orang
lain mengetahuinya, kecuali Nyi Londe, yang sangat akrab dengannya.
Pengasuh Giran inilah yang selalu memperhatikan makan serta pakaian Samolo. Bila
ada pakaian Samolo yang bolong atau koyak, dialah yang menjahitkannya. Nasib
membuat keduanya menjadi akrab, seakrab dua orang bersaudara kandung. Bila
Samolo sedang tak ada tugas lain, ia acapkali membantu memomong Giran, atau
membelah kayu, atau bahkan menumbuk padi di emper dekat dapur itu bersama Nyi
Londe yang biasanya sedang menyuapi Giran.
Suatu sore Samolo dan Nyi Londe sedang menyuapi Giran di emper belakang. Samolo
berhenti membelah kayu karena mendengar suara tertawa cekikikan seorang
perempuan dari balik pohon mangga yang tumbuh di halaman belakang gedung itu.
Nyi Londe dan Samolo diam-diam memperhatikannya. Tampak Nyonya Muda
Tuan Tanah yang centil itu sedang berdekapan dengan mesranya dengan Samirun.
Samar-samar terdengar Subaidah berkata setengah berbisik, "Tiga hari lagi usia
Mirta genap tiga tahun, Bang... Aku pikir mau
merayakan ulang tahunnya. Hadiah apakah yang akan Abang berikan kepada anak kita
itu nanti?" "Sebuah kalung. Untukmu hadiahnya pasti lebih
istimewa." Kata Samirun sambil mencubit pipi kekasih gelapnya ini. Subaidah
tertawa cekikikan lagi sambil balas mencubit lengan Samirun dengan genitnya.
Lalu sambil bergandengan keduanya masuk ke dalam
gudang... Samolo dan Nyi Londe tertegun. Pemandangan yang baru saja dilihat dan
didengarnya betul-betul sangat mengejutkan mereka. Gejala-gejala main gilanya
kedua insan itu sebenarnya sudah lama diterka oleh Samolo dan Nyi Londe. Namun
mereka tak pernah menyangka
sebelumnya, bahwa penyelewengan nyonya muda
majikannya itu sudah demikian jauh dan sudah di luar batas. Dan kini mereka baru
tahu, bahwa sesungguhnya Mirta adalah hasil benih penyelewengan dua makhluk tak
bermoral itu. Samolo dan Nyi Londe baru sadar kini, mengapa wajah Mirta beda
benar dengan Tuan Tanah, bahkan wataknya yang keras suka ngamuk dan tak mau diam
bila belum diberi uang. Kerakusan terhadap uang yang sudah terlihat dalam usia
sekecil itu betul-betul aneh. Namun jelas roman muka dan watak Mirta adalah
duplikat dari Samirun sendiri. Anak itu terlalu dimanja oleh ibunya. Apa saja
kemauannya tak pernah tidak dituruti. Tuan Tanah sendiri sering menggeleng-
gelengkan kepala dan mengurut dada melihat watak "Si Bungsu"
yang menguji kesabarannya. Samolo dan Nyi Londe jadi merasa sangat kasihan
kepada nasib majikannya. Namun apa yang dilihat dan didengarnya sore itu tetap
tersimpan rapat-rapat di dasar hati Samolo dan Nyi Londe. Mereka sama-sama
berjanji, demi keutuhan rumah tangga
majikannya, lebih baik rahasia itu pecah di perut dari pada pecah di mulut.
Waktu berjalan terus, lima belas tahun telah berlalu.
Kini Giran dan Mirta sudah sama-sama tumbuh jadi pemuda-pemuda dewasa. Watak
serta fisik Mirta makin mirip Samirun. Namun tak seorang pun berani
menggunjingi persoalan itu, karena tak sampai hati menyudutkan wibawa Tuan Tanah
yang sangat bijaksana itu. Mirta sebagai putra kesayangan nyonya Tuan Tanah yang
berkuasa, tiap hari cuma keluyuran menggoda gadis-gadis desa. Mandor Sarkawi
merupakan pengawalnya yang sama brutalnya, makin menambah resahnya para penduduk desa
Kedawung. Sebagai anak orang mampu, apalagi ayahnya adalah seorang
berpendidikan, Giran dan Mirta disekolahkan di sebuah sekolah cukup terpandang
saat itu. Letaknya cukup jauh, di Tangerang. Samolo-lah yang setiap hari
mengantar dengan delman pribadi. Namun Mirta sering bolos. Ada saja alasannya,
sakit kepala atau sakit bisul paling sering dijadikan alasan untuk tidak masuk
sekolah. Ayahnya selalu memarahi dan menegur kemalasan putra
bungsunya itu. Namun sang ibu senantiasa
memanjakannya hingga lama-kelamaan Tuan Tanah pun memasa-bodohkannya. Tak heran
akhirnya Mirta jebol sekolah karena berkali-kali tidak naik kelas. Makin liarlah
pemuda ini, berkeliaran sepanjang hari bersama mandor Sarkawi. Tuan Tanah makin
sering mengurut dada melihat kelakuan "putra" bungsunya kini.
Sebaliknya prestasi sekolah Giran sungguh
membanggakan hati ayahnya. Namun pemuda tampan ini tak pernah menjadi manja,
apalagi besar kepala. Ia selalu bersikap wajar dan lugu. Penampilannya sangat
sederhana sebagai putra seorang Tuan Tanah yang sangat kaya raya dan berpengaruh
di desa itu. Giran pun sangat berbakti dan patuh kepada kedua orang-tuanya. Ia
sangat sayang kepada Mirta. Setiap pulang sekolah selalu ada saja makanan yang
dibeli untuk adiknya itu. Untuk melanjutkan sekolahnya Giran terpaksa harus
pindah ke Batavia. Tinggal di asrama sekolah. Pada masa liburannya yang pertama,
Giran pulang menengok orang tuanya di Kedawung. Namun betapa sedih hatinya,
ternyata ayahnya sedang dalam keadaan sakit. Ketika baru saja ia turun dari delman,
Samolo sudah menyambutnya dan memberi tahu tentang keadaan kesehatan sang ayah
kepadanya. Giran bergegas masuk ke dalam kamar orang tuanya. Dilihatnya orang
tua itu terbaring dengan wajah pucat di pembaringan. Ibunya dengan berseri-seri
masuk juga ke dalam kamar itu. Giran mencium lengan ayah-ibunya, duduk di sisi
pembaringan. "Mengapa ibu tidak memberi kabar kalau ayah sakit?"
Subaidah agak gugup. Ayahnya cepat berkata sambil tersenyum.
"Ibumu tak mau mengganggu sekolahmu, Giran. Lagi pula sakit ayah tak seberapa.
Dokter cuma menasihati agar banyak istirahat. Tidak apa-apa, beberapa hari lagi
pasti sembuh." Namun Giran merasa cemas juga, hampir setiap hari ia merawat dan menjaga
ayahnya. Sementara itu, pertemuan Subaidah dan Samirun
makin kerap terjadi. Malam itu kedua insan tak bermoral itu bermesraan di dalam
gudang, tempat pertemuan rahasia mereka.
"Bagaimana dengan keadaan tua-bangka itu hari ini"
Hati-hatilah dengan anaknya itu" terdengar suara Samirun.
"Jangan khawatir. Bocah itu terlalu polos dan sangat patuh kepadaku. Si tua-
bangka itu lambat laun pasti pessss...!" Kata Subaidah sambil tertawa terkikih-
kikih. "Bubuk obat yang Abang berikan itu, telah kucampur dalam buburnya setiap pagi.
Itu sudah berlangsung setengah tahun, tapi kok belum apa-apa...!?"
"Sabar saja. Bubuk itu memang kerjanya lambat tapi pasti...!" kata Samirun
tenang sambil mengepulkan asap rokoknya.
"Agar kematiannya nanti terlihat wajar." Sambungnya dingin.
Saat itu sesosok bayangan tinggi besar tegak terpaku di luar jendela. Wajahnya
tampak berkilat karena basah oleh peluh. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
Hampir saja ia mendobrak daun jendela itu, menyeret kedua manusia keji tersebut
dari dalam kamar lalu melumatnya tanpa ampun. Namun Samolo berusaha
menekan gejolak amarahnya. Ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
majikannya. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat bagaikan kucing. Ringan dan gesit
tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Beberapa detik kemudian ia sudah mengetuk
jendela emper bilik Nyi Londe.
Pengasuh Giran ini keluar dan Samolo segera memberi tahu tentang rencana busuk
Subaidah dan Samirun yang berhasil didengarnya tadi. Kening Nyi Londe yang mulai
keriput ini tampak makin berkerut.
"Keji! Betul-betul keji!" gumamnya.
"Kedua setan itu harus dilenyapkan sekarang juga."
bisik Samolo sambil mengeretakkan giginya. Sinar matanya tajam berkilat penuh
dendam. "Itu justru akan menambah parahnya sakit Den-Besar.
Beliau sangat mencintai perempuan durjana itu. Itulah sulitnya"
"Tapi nyawa Den-Besar harus diselamatkan, Nyi!"
"Tentu! Tapi masih ada cara lain!"
"Cara bagaimana?"
"Menukar bubur itu sebelum disajikan kepada Den-Besar. Ini memang merepotkan dan
sulit. Karena Subaidah-lah yang selalu menyajikan bubur itu" kerut-kerut di kening Nyi Londe
tampak semakin nyata. "Yang penting, kalau saja aku bisa menciri penyimpan bubuk racun itu" katanya
perlahan. "Jika caramu tak berhasil, terpaksa carakulah yang digunakan!" kata Samolo
mantap. Esok paginya, Nyi Londe sudah siap dengan bubur panasnya, tatkala Subaidah
mengambil sepiring untuk disajikan kepada suaminya. Pada saat Subaidah
membubuhi "bumbu" pada bubur tersebut, Nyi Londe diam-diam sudah siap dengan
sepiring bubur lainnya. Ia pura-pura sibuk tapi matanya memperhatikan gerak-
gerik nyonya majikannya itu. Subaidah mengambil sebuah botol kecil dari balik
pending emasnya, lalu isinya yang berupa bubuk putih itu ditaburkan sedikit ke
dalam bubur. Botol kecil itu di masukkan kembali ke dalam pendingnya. Mata Nyi
Londe memperhatikan semuanya.
Tepat ketika Subaidah menuang minuman dari poci di atas meja teh itu, Nyi Londe
segera menukar piring bubur itu dengan piring bubur yang telah dipersiapkan
olehnya. Tanpa curiga Subaidah membawa piring bubur tersebut ke dalam kamar tidur Tuan
Tanah. Nyi Londe bernapas lega, lalu membuang bubur yang telah dibubuhi serbuk
racun berdaya lambat itu ke dalam selokan. Demikianlah pertolongan Nyi Londe
dalam usaha menyelamatkan nyawa majikannya, yang dilakukan setiap pagi dan sore
hari. Itu berlangsung terus sampai berbulan-bulan lamanya. Tiga bulan kemudian,
Giran pulang liburan sekolah untuk kedua kalinya. Dilihatnya sang ayah masih
terbaring sakit, namun keadaannya tidak seburuk dulu lagi. Wajah orang tua itu
nampak merah dan segar. Yang dikeluhkannya cuma rasa perih di perut, yang
kadang-kadang menyerang dengan hebatnya. Menurut Dokter yang khusus datang dari
Batavia seminggu sekali itu, ayah Giran menderita radang usus dan lambung yang
cukup akut. Namun kini keadaannya sudah mulai
berangsur membaik. Kecuali tekanan darah tingginya, perlu pengawasan terus
menerus. Terutama penyakit
"lemah jantung"-nya itu.
Giran benar-benar merasa terharu melihat ketelatenan ibunya merawat ayahnya.
Selama Giran berada di rumah, ibunya seakan-akan tak pernah beranjak dari sisi
pembaringan, merawat serta mengurus ayahnya dengan penuh kesetiaan dan kasih
sayang yang nampaknya begitu tulus. Hal itu membuat Giran makin menghormati dan
menambah tebal perasaan kasihnya terhadap ibu tirinya itu. Bahkan menganggap
ibunya adalah cermin dari tipe seorang istri yang begitu agung dan sempurna.
Di hatinya selalu berangan-angan, bila kelak ia beristri, gadis itu haruslah
mirip denga sikap serta perilaku ibunya. Betapa pandainya Subaidah berperan
dalam sandiwara yang skenarionya dibuat secara matang oleh Samirun, kasir yang
cerdik dan amat pandai mengatur taktik dan strategi, dalam usahanya merebut
kekuasaan serta seluruh harta kekayaan Tuan Tanah berpengaruh di Kedawung itu.
Sebenarnya keadaan ayahnya yang kini sudah nampak tua dan berpenyakitan, telah
membuat Giran banyak berpikir. Ia merasa dibebani tanggung jawab sebagai putra
sulung, untuk membantu meringankan penderitaan ayahnya itu. Kini sudah waktunya bagi Giran untuk
bertindak sebagai wakil sang ayah mengurus seluruh usahanya. Sebuah pabrik
penggilingan beras di Mauk milik ayahnya itu kini nyaris terbengkalai. Sejak
ayahnya sakit, usaha tersebut tak terawasi lagi, hingga pihak Pemerinta Hindia
Belanda yang mengontrak hasil beras dari penggilingan tersebut sudah beberapa
kali menegurnya dan yang terakhir ingin menyitanya pula.
Pengurus yang diserahkan tugas untuk mengelola
Pabrik penggilingan beras itu pun ternyata kurang cakap, bahkan diketahui
kemudian, pengurus itu telah memakai uang kas pabrik untuk mengawini seorang
gadis setempat dan membelikan perhiasan yang mahal sebagai mas-kawinnya.
Mendengar laporan tersebut, ayah Giran benar-benar naik pitam, dan penyakit
jantungnya kumat lagi. Samirun diperintahkan untuk mengurus kasus korupsi
tersebut dan agar si pengurus itu diseret kepada yang berwajib untuk diadili.
Tapi di luar tahunya, rupanya Samirun telah memanfaaatkan kejadian itu dengan
memeras si pengurus. Akibatnya kasus korupsi tersebut tetap membeku. Dan pabrik
penggilingan beras terus berjalan tersendat-sendat.
Giran segera mengambil alih persoalan pabrik
penggilingan beras itu. Pada suatu hari dengan diiringi Samolo, ia pergi ke
pabrik itu dan memeriksa seluruh pembukuannya. Diketahuinya secara pasti serta
dengan bukti-bukti yang nyata tentang penyelewengan
karyawannya itu. Maka kasus yang amat merugikan perusahaan serta nama baik
ayahnya itu, segera dilimpahkan kepada pihak yang berwajib. Si pengurus yang korup itu telah
ditindak melalui pengadilan yang cukup bertele-tele dan makan waktu. Akibatnya
Giran pun terpaksa harus berhenti sekolah. Dan hal ini pun sebenarnya yang
diharapkan Giran, agar bisa sepenuhnya membantu ayahnya. Namun Samirun yang
licik itu dapat lolos dari libatan tali hukum berkat kecerdikannya, dan tanpa
menimbulkan prasangka serta curiga siapapun. Di hadapan mata Giran, kasir ini
tetap adalah seorang pegawai yang berpredikat baik. Samolo hampir saja melucuti
kedok kasir licik ini, kalau saja ia tidak mau berpikir panjang, khawatir buntut
persoalan ini akhirnya akan mengungkap masalah kehormatan keluarga
majikannya. Centeng ini terpaksa harus menelan segala kedongkolan hatinya
sendiri. Giran kini secara serius mengambil alih pengurusan seluruh perusahaan ayahnya.
Merombak segala sesuatu yang selama ini terbengkalai. Maka dalam waktu yang
relatif singkat, perusahaan penggilingan berasnya sudah mulai berjalan lancar
lagi. Juga beberapa perkebunan milik keluarganya itu turut dibenahi dengan
tuntas. Ia tak segan-segan lagi memecat karyawan yang tidak disiplin, apalagi
yang terbukti berlaku tidak jujur.
Tenaga-tenaga baru pun ditambah dari para penduduk desa Kedawung, dengan upah
yang cukup memadai. Kebijaksanaannya itu mendapat sambutan simpatik dari para penduduk, yang selama
ini hidup dalam kemiskinan, karena mereka kebanyakan memang para penganggur.
Perubahan besar itu sangat menggembirakan ayahnya.
Tuan Tanah ini merasa bahagia mempunyai seorang putra yang patut dibanggakan.
Sebaliknya bagi Samirun dan Subaidah, kemunculan Giran sebagai penerus dinasti
Tuan Tanah yang penuh kharisma itu, justru menjadi duri di dalam dagingnya.
Mereka mulai berkasak-kusuk secara rahasia, merencanakan suatu taktik baru untuk
menyingkirkan sang penerus yang jadi penghalang ini.
Dalam waktu-waktu senggang, Giran selalu
memanfaatkannya untuk bercengkerama dengan para penduduk. Di antara yang sering
dikunjunginya adalah Ki Kewot. Petani tua ini sekarang lebih banyak berada di
gubuknya, hanya kadang-kadang saja turun ke sawah untuk mencangkul dan mengurus
sawah milik Tuan Tanah. Giran tak pernah lupa mencangking bungkusan bila berkunjung ke gubuk
orang tua itu. Sekedar oleh-oleh untuk Ki Kewot dan Ratna, putri cilik yang kini
telah tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat rupawan.
Mungkin inilah salah satu sebab mengapa akhir-akhir ini Giran sangat rajin
bertandang ke gubuk orang tua itu.
Samolo yang selalu setia mengawalnya, kadang-kadang suka tersenyum sendiri
melihat tingkah majikan mudanya yang masih serba rikuh bila berhadapan
dengan gadis rupawan itu. Namun sikap canggung dan salah tingkah itu menjadi
hilang setelah hubungan kedua muda-mudi tersebut semakin intim. Dan senyum
Samolo pun berganti dengan sebuah harapan serta doa di hatinya. Semoga putra
sulung majikannya ini bisa mewarisi sifat serta keluhuran budi sang ayah.
Kecuali nasib buruk sang ayah sebagai suami yang dikhianati istrinya itu, tidak
menurun kepadanya. Perkembangan perilaku Giran yang agaknya mulai diresapi
getaran cinta remaja itu, selalu diberi tahu Samolo kepada Nyi Londe.
Pengasuh yang amat setia itu selalu berbinar bola matanya, mendengar kisah
asmara putra asuhannya yang teramat disayanginya itu. Hati kedua abdi yang setia
ini senantiasa berdebar, menanti perkembangan asmara itu dengan penuh perhatian.
Seakan-akan mereka berdualah yang akan mengambil menantu.
Pada suatu hari, sepulangnya Giran mengantar dokter yang merawat ayahnya ke
Batavia, ia berpapasan dengan Ratna yang baru saja pulang dari sungai mencuci
baju. Gadis ini berjalan beriringan dengan teman-temannya sambil bercanda. Melihat
Giran datang, teman-teman Ratna segera menggoda.
"Ratna, Arjunamu datang tuh. Hi... hi... hi..."
Sambil tertawa terkikih-kikih gadis-gadis desa itu berlalu sambil berlenggang-
lenggok dengan bakul cucian di pinggulnya masing-masing. Ratna tertawa lalu
tertunduk dengan wajah memerah jambu. Giran
menghentikan kuda keretanya.
"Ratna, habis mencuci baju?"
Ratna mengangguk, masih tertunduk.
"Bagaimana keadaan ayahmu?" tanya Giran lembut.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik," jawab Ratna perlahan dengan masih tertunduk.
Giran mengambil sebuah bungkusan dari dalam
keretanya, ditaruhnya di dalam bakul cucian Ratna.
"Ada sedikit oleh-oleh untukmu dan ayahmu," ujar Giran sambil tersenyum
memandang gadis ayu ini. "Terima kasih, Den..." kata Ratna tersipu, mengangkat wajahnya memandang Giran
sejenak lalu tertunduk lagi.
Ia tersenyum manis, pipinya tampak semakin merah seperti bunga mawar. Kemudian
sambil mengempit bakul cuciannya ia melangkah pergi. Giran memandangi tubuh
semampai yang molek itu, lalu naik ke atas kereta, menarik tali les kudanya dan
berangkat pulang. Tidak jauh dari situ, tampak Mirta ditemani mandor Sarkawi memandangi pertemuan
Giran dan Ratna itu dari balik pohon. Mata Mirta tampak merah membara.
Sarkawi segera mengipasi bara api kebencian yang sudah lama mencekam di mata dan
hati pemuda ini. "Rupanya abang Den Mirta ada hasrat juga terhadap
'anak ayam' Aden yang botoh itu. Kalau kalah cepat, bisa-bisa diserobot lebih
dulu sama dia." Ujar Sarkawi memanasi.
"Kurang ajar! Dia memang selalu memuakkan aku."
geram Mirta sambil memukul batang pohon dengan
tinjunya. Lalu dengan langkah lebar mengejar Ratna yang berjalan di atas
pematang sawah. Sarkawi berjingkrak mengikuti pemuda brandal itu. Cepat sekali
Mirta sudah berada di sisi Ratna. Gadis itu dengan wajah cemberut berusaha
menghindar. Ia merasa muak melihat pemuda binal ini yang sering kali
mengganggunya. Mirta tertawa sambl mencolek bahu Ratna yang menghindar dengan
mempercepat langkahnya. "Ke udik membawa lembing,
Ke kota membopong senapan,
Jika adik merasa berat menjinjing,
Biar abang tolong bawakan... "
Mirta menggoda dengan rayuan pantunya. Sarkawi
tertawa terbahak sambil lompat menghadang Ratna yang lari menghindar.
Mandor bertubuh gempal ini pun ikut-ikutan
berpantun sambil mencegat Ratna.
"Et... Et! Kelapa muda, kelapa cengkir,
Jangan ditaruh di atas tatakan.
Kenapa Nona pergi menyingkir"
Jangan bikin hati Den Mirta berantakan!"
Mirta nyengir sambil menepuk bahu sang Mandor.
"Bagus, Wi! Lusa gua persen se- gobang lu! "
Sarkawi tertawa lagi sambil terus berusaha mencegat Ratna. Mirta mendekati gadis
ini yang mulai makin ketakutan dan hampir menangis.
"Berliku-liku sungai Ciliwung.
Anak dara berdayung sampan.
Jikalau Adik menjadi burung,
Biarlah Abang menjadi dahan."
Mirta berpantun lagi. Mata Ratna mulai berkaca-kaca karena cemas dan
marah. Mirta malah makin berani dan lancang tangan.
Dipegangnya lengan Ratna yang meronta ketakutan.
"Kenari si burung Kenari,
Kenari terbang ke hutan lebat.
Mari, marilah jantung hati,
Hati abang aduh... sudah ngebet"
Dengus Mirta dengan pantunya sambil mencoba
mencium pipi gadis itu. Ratna melempar bakul cuciannya ke tubuh Mirta, lalu lari menelusuri galangan
sawah. Mirta tercengang sejenak, kemudian lari mengejar. Sarkawi hendak ikut
mengejar tapi matanya tiba-tiba tertumbuk pada
bungkusan oleh-oleh dari Giran yang tercecer di antara cucian Ratna itu.
Dipungutnya bungkusan tersebut dan dibukanya. Matanya nanar memandang sehelai
kain sutera berwarna hijau muda. Dan sebuah cangklong tembakau terbuat dari
gading gajah yang semuanya tampak berharga sangat mahal. Sarkawi tertawa
kegirangan, segera menyimpan barang-barang itu ke dalam bajunya. Kemudian dengan
berlompatan ia menyusul Mirta. Saat itu, Ki Kewot masih berada di tengah sawah sedang mencangkul. Lengannya
tiba-tiba tampak jadi makin gemetar ketika dilihatnya putrinya berlari-lari ke
arahnya sambil menangis. Sementara di belakangnya tampak dua laki-laki
mengejarnya. Dari jauh jeritan Ratna memanggil-manggil ayahnya sudah terdengar.
Sebelum rasa heran dan bingung kakek ini lenyap, putrinya sudah merangkul tubuh
tuanya dengan gemetar lalu menyelinap di belakangnya. Mirta dengan napas memburu
tiba di tepi sawah, disusul kemudian oleh Sarkawi.
"Oh, Den Mirta dan Bang Mandor...!" Sapa Ki Kewot dengan hormatnya.
"Ada apa" Maafkanlah kalau anak ini telah berlaku kurang tahu adat. Maklumlah
kami orang bodoh. Maafkan Den" Mirta dengan angkuh berdiri bertolak pinggang di atas pematang sawah. Matanya
jalang menatap Ratna yang berdiri ketakutan di belakang tubuh ayahnya.
Sarkawi yang berdiri di samping Mirta segera berkata,
"Hei Ki! Ente patut mengucap syukur ke Gusti yang kuasa. Karena nasib kalian
bakal ketiban rejeki nomplok.
Bolehnya Den Mirta bisa nyungsep hatinya begitu melihat Ratna. Berapa banyak
anak-anak perawan pada ngantri ingin jadi mantu Tuan Besar tapi dilirik pun
kagak sama Den Mirta"
Mirta tersenyum bangga mendengar sesumbar si
Mandor. Ki Kewot mendengus kecil berusaha menyembunyikan kemuakannya melihat tingkah
kedua orang yang selalu membuat onar itu.
Dituntunnya tangan Ratna. Sambil memanggul
cangkulnya petani tua itu beranjak dari tengah sawah naik ke atas tanggul untuk
pulang. Mirta tampak tak senang, ia memberi tanda dengan kerlingan matanya
kepada Sarkawi. Serta-merta Mandor ini segera lompat menghadang si Kakek serta
putrinya itu. "Nanti dulu! Mau apa sih buru-buru pulang, Ki" Tahu diri sedikit, ah." tegur
Sarkawi dengan gaya menggertak.
"Maaf mandor, kami orang bodoh. Takut nanti berbuat salah lagi. Ijinkanlah kami
pulang." Kata Ki Kewot memohon.
Mirta tiba-tiba menarik lengan Ratna dan diseretnya dengan paksa ke arah sebuah
dangau tempat berteduh para petani yang dibangun di tepi tanggul itu. Ratna
menjerit minta tolong kepada ayahnya sambil meronta berusaha melepaskan diri. Ki
Kewot jadi panik, namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, lengan Sarkawi telah
memiting lehernya dan sebelah lengannya dipelintir lalu tubuhnya dibanting ke
tanah. Tanpa kenal kasihan mandor segera menduduki tubuh petani tua itu yang
sia-sia meronta tak berdaya. Lebih celaka lagi kaki Sarkawi dengan seenaknya
menginjak kepala orang tua itu, hingga mulutnya terbenam penuh lumpur, tak mampu
bersuara. "Lepaskan...! Lepaskan... Tolooooongg...!" jerit Ratna sambil terus meronta dan
berpegangan kuat-kuat pada tangga dangau. Mirta bagaikan hewan lapar berusaha
menyeret mangsanya ke dangau itu.
Ki Kewot mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membebaskan diri dari tindihan
tubuh Sarkawi yang gempal itu. Namun usaha kakek renta ini sia-sia. Malah kaki
Sarkawi makin keras menginjak kepalanya.
"Tenang, Ki, tenang! Kenapa sih lu suka ngalang-ngalangi kesenangan anak-anak
muda. Ente kan pernah muda dulu!" bentak Sarkawi dengan kurang ajar.
Tepat pada detik itu, sebuah tendangan telak
menghantam punggung mandor, hingga tubuhnya
terlontar dan terguling ke dalam sawah. Sesosok tubuh tinggi besar yang tiba-
tiba sudah tegak di situ, segera membangunkan Ki Kewot. Kakek ini segera memburu
ke arah dangau untuk menolong putrinya. Tarik-menarik terjadi. Namun akhirnya
Mirta kalah tenaga, langsung jatuh ke dalam lumpur sawah. Ki Kewot segera
menarik lengan Ratna lari meninggalkan tempat itu.
Sarkawi dengan menahan sakit merayap naik ke atas tanggul sawah, matanya nanar
mencari si pembokong tadi. Punggungnya terasa remuk seperti diseruduk kerbau.
Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar menegurnya.
"Jangan membuat keonaran, Wi! Den-Besar sedang
sakit. Kau tahu itu, bukan?"
Sarkawi terkejut, karena ia kenal benar dengan suara berat itu. Kemudian
dilihatnya sesosok bayangan tinggi besar berkelebat dari bawah pohon, dan lenyap
di tikungan jalan yang ditumbuhi semak-semak. Sarkawi meludah sambil mengumpat
dengan geramnya, "Bangsat!
Awas lu Samolo. Gua hirup darah lu. "
Dengan tertimpang-timpang ia bangkit, menghampiri Mirta yang masih meronta-ronta
terbenam di dalam lumpur. Ketika tubuh pemuda itu diangkat, Sarkawi hampir tak
dapat menahan tawanya. Wajah dan tubuh Mirta hitam legam berlumur lumpur sawah,
persis seekor lutung. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 6 JERITAN Subaidah menggema di gedung Tuan Tanah, ketika nyonya muda ini melihat
mandor Sarkawi masuk dengan memapah "seekor makhluk ganjil" ke dalam gedung.
"Astaga, apa itu!" teriak Subaidah kaget.
Dia lebih kaget lagi ketika mengenali putra kesa-
yangannya itu. "Aduh Gusti, kenapa kau jadi begini, Mirta?"
Mirta dengan suara memelas mengadu kepada ibunya.
"Samolo, Bu. Ita enggak apa-apa, tahu-tahu dia
mendorong Ita ke dalam sawah. Barangkali lagi pusing habis kalah main sintir. "
"Sarkawiiii! Gegares gi lu ke dapur!" teriak Subaidah kalap sambil menuding
hidung mandor Sarkawi yang berdiri dengan wajah meringis.
"Apa kerja lu, ha" Lu takut sama si Samolo?"
Sarkawi garuk-garuk kepala.
"Bukannya saya keder sama dia, Nya Besar... Soalnya teman-temannya ikut-ikut
mengeroyok. Tujuh yang saya bikin ngambang di kali Cisadane! Eh, Den Giran
datang misah in." Seorang pembantu membawa Mirta ke dalam untuk
dimandikan. Wajah Subaidah tampak kecut karena
marah. "Orang-orang keparat itu harus dilenyapkan
secepatnya!" gumamnya penuh dendam. Lalu ia berpaling kepada Sarkawi.
"Sini Lu!" "Y... ya, Nya Besar..." sahut si mandor dengan hati kebat-kebit, lalu mendekat
sambil tertunduk-tunduk ke sisi nyonya majikannya.
"Cepat lu panggil Den Kasir. Awas, bacot lu jangan bocor!" bisik Subaidah dengan
nada mengancam. "Iya... eh... kagak Nya Besar..." Jawab Sarkawi gugup.
Mandor ini segera keluar, tingkahnya mirip maling.
Membuat Subaidah menyumpah-nyumpah di dalam hati.
Nyi Londe sejak tadi pura-pura menyapu di luar
jendela, padahal telinganya diarahkan ke dalam. Akhir-akhir ini kewaspadaan dan
kecurigaannya terhadap kelompok Subaidah dan Samirun makin menjadi-jadi,
disebabkan seringnya orang-orang itu kasak-kusuk, agaknya merencanakan sesuatu.
Pengasuh ini sangat mengkhawatirkan keselamatan Giran yang telah diasuh dan
disusuinya sejak masih bayi. Ia tidak ingin sehelai rambut pun dari pemuda itu
diganggu oleh ulah para durjana itu. Sesungguhnya semua ini merupakan suatu
siksaan batin yang tidak ringan baginya.
Malam itu tampak Samirun dan Sarkawi dengan hati-hati bagaikan pencuri,
menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar.
Namun semua kelakuan kedua laki-laki itu tidak luput dari mata Samolo, yang
sejak tadi mengintai dari balik tiang teras belakang gedung luas itu.
Sebagai seorang centeng yang sudah mengabdi
puluhan tahun, Samolo sangat hafal dengan setiap jengkal keadaan gedung itu. Dia
tahu tempat mana yang paling tepat untuk bisa menguping perundingan orang-orang
itu. Maka dengan segesit seekor kucing, Samolo tiba-tiba melesat ke atas atap
dari deretan kamar yang terletak di bagian samping kiri gedung. Lalu dengan
gerakan yang amat ringan, tubuhnya bergelantungan di para-para kamar itu.
Melalui jendela dilihatnya tiga orang itu sedang berunding dengan wajah serius.
Samolo memasang telinganya. "Kenapa muka lu pucat" Takut?" terdengar suara Samirun sinis.
"Kalau lu enggak sanggup, bilang saja terus terang, jangan sampai urusan ini
jadi kapiran!" lanjut Samirun lebih sinis.
"Den Kasir seperti baru kemaren sore saja kenal sama saya. Masa ragu sama si
Sarkawi, jawara kesohor dari Pisangan ini"! Pokoknya asal syaratnya cukup. He...
he... he..." kata Sarkawi sambil menggesek telunjuk dengan ibu jarinya.
Samirun mendehem sambil melirik ke wajah Subaidah, seolah menunggu keputusan
kekasih gelapnya itu. Subaidah mengangguk. Lalu Samirun berbisik di dekat telinga si Mandor yang
mendengarkannya dengan serius namun tampak wajahnya semakin pucat.
Meski suara bisikan itu hanya samar-samar ditangkap telinga Samolo, tapi sudah
cukup membuat centeng ini menjadi terkejut dan geram. Mendadak dengan gerakan
jurus "Musang Munggih" tubuh Samolo melesat ke atas atap lagi dan mendekam di
situ, karena tepat pada detik itu Sarkawi melangkah ke luar dari kamar.
Tak lama kemudian, mandor sudah datang lagi
bersama Giran, masuk ke ruangan utama gedung itu.
Disitu sudah menunggu Subaidah yang duduk
menyambutnya dengan senyum lembut keibuan.
"Ibu memanggilku?" tanya Giran dengan nada penuh hormat.
"Duduklah, ibu ingin bicara padamu."
Giran duduk dengan patuh. Sarkawi berdiri dengan sikap agak gelisah di dekat
pintu. "Begini Giran," kata ibu tiri Giran itu dengan suara lembut, "Ibu mendapat
laporan, sejak ayahmu sakit, sering terjadi pencurian kelapa. Coba kau berdua
dengan Sarkawi pergi periksa kebun kelapa itu!"
"Baiklah, Bu. Kami akan pergi memeriksanya!"
Giran bangkit melangkah keluar pintu.
"Mari, Wi. Kita berangkat sekarang!" ajaknya pada Sarkawi.
*** Sinar bulan kadang-kadang menerobos di antara celah daun-daun kelapa. Semuanya
tampak samar-samar. Giran dengan lampu baterainya memeriksa pohon-pohon kelapa itu.
"Kebun kelapa ini cukup subur, tak terlihat tanda-tanda bekas dicuri orang. Iya
kan, Wi?" kata Giran sambil terus menyoroti buah-buah kelapa.
"Di sebelah dalam barangkali, Den" jawab Sarkawi sedikit gugup. Sementara
matanya liar memandang ke sekitar penjuru kebun. Mereka masuk lebih dalam ke
areal kebun kelapa. Sesaat kemudian, Giran duduk melepaskan rasa pegal pada
kakinya di atas sebatang pohon kelapa yang tumbang. Tanpa curiga sedikit pun
kepada gerak-gerik mandor Sarkawi yang selalu
mengiringi di belakangnya itu.
Mata Sarkawi tampak makin liar menatap ke sekitar tempat itu lalu ke leher
Giran. Sementara lengannya dengan agak gemetar mulai meraba gagang goloknya yang
selalu terselip di pinggangnya. Perlahan-lahan dicabutnya golok itu.
"Ini waktunya buat menukar batok kepala bocah ini dengan duit tiga ringgit,"
desahnya di dalam hati. Sarkawi mundur dua langkah membuat ancang-
ancang, goloknya terhunus itu diangkatnya siap
dibabatkan ke leher Giran yang masih duduk tenang membelakangi mandor yang sudah
gelap mata ini. Mata golok itu terangkat tinggi-tinggi, berkilat diterpa cahaya obor. Tepat pada
detik kritis itu, sebutir kelapa tiba-tiba meluncur dari atas dan tepat
menghantam kepala Sarkawi.
Maka tak ampun lagi tubuh mandor Sarkawi langsung tersungkur mencium bumi,
berdebum mengejutkan Giran yang sedang duduk melamun. Pemuda ini melompat
bangun, dilihatnya Sarkawi sedang menggelepar dan mendengus-dengus seperti
kerbau disembelih, lengannya mendekapi kepalanya yang nyaris remuk tertimpa
kelapa. "Kenapa kau, Wi?" tanya Giran sambil memegangi
tubuh sang mandor dan meraba kepalanya yang benjol sebesar kepalan tinju. Giran
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru menyadari bencana yang telah menimpa mandornya, setelah melihat sebutir
kelapa tergeletak tidak jauh dari situ.
Kini tubuh Sarkawi pun terdiam tak berkutik lagi.
"Ya Allah! Dia pingsan tertimpa kelapa." gumam Giran dengan iba. Giran segera
memboyong tubuh Sarkawi yang cukup berat itu ke atas bahunya, lalu dibawanya
pulang. Sementara itu, di atas sebatang pohon kelapa, sesosok tubuh tinggi besar
mengawasi peristiwa itu dengan sorot mata marah.
"Hmmm, dasar kerbau dungkul. Sudah semaput masih juga menyusahkan Den Giran.
Manusia-manusia laknat itu memang harus cepat disingkirkan, agar tidak punya
kesempatan lagi untuk mencelakai anak yang terlalu polos itu."
Demikian gumam di hati laki-laki perkasa itu yang segera merosot turun dari
pucuk pohon kelapa. Namun hatinya merasa lega.
*** Saat itu, di dalam ruangan utama, tampak "si tante girang" Subaidah dan "om
senang" Samirun tengah menanti hasil rencana mereka. Subaidah tampak
beberapa kali mondar-mandir melongok keluar jendela dengan gelisah. Samirun yang
tetap tenang sambil mengepulkan asap rokoknya berusaha menghibur sang
"Kekasih". "Sabar, tenang saja. Sebentar lagi Sarkawi pulang dengan..."
Belum lagi ucapannya berakhir, pintu tiba-tiba
terbuka, tampak Giran masuk dengan tubuh Sarkawi tergendong di atas bahunya.
Subaidah dan Samirun jadi ternganga dengan mata terbelalak. Giran meletakkan
tubuh Sarkawi yang lunglai itu di atas bangku panjang.
"Kasihan Sarkawi, dia pingsan tertimpa buah kelapa."
Giran menjelaskan kepada ibunya juga kepada Samirun yang sama-sama masih
tertegun. "Tertimpa kelapa"!" tanya Samirun seakan-akan tak percaya dengan telinganya
sendiri. "Untung tidak pecah kepalanya. Biarlah dia
beristirahat dulu untuk beberapa hari. Paman Samirun, tolong berikan dia uang
untuk berobat!" "Ba... baik, Den..."
Tubuh Sarkawi tampak mulai bergerak, tapi matanya masih terpejam menahan rasa
pening pada kepalanya. Subaidah dengan sikap khawatir segera menuang air di gelas lalu diberikan kepada
Giran. "Sejak tadi ibu Aden selalu gelisah, karena khawatir akan keselamatan Aden.
Maklum kini banyak pencuri berkeliaran di kebun kelapa" kata Samirun mencari
kesempatan untuk menutupi kebusukan rencananya.
"Nyonya memanggilku untuk menyusul Aden ke
kebun. Tapi ternyata Aden sudah pulang lebih dahulu."
"Syukurlah kau tidak apa-apa!" Subaidah pura-pura menarik napas lega. Giran
tersenyum, menaruh gelas air yang diminumnya itu di atas meja. Ia merasa terharu
melihat kekhawatiran ibunya terhadap dirinya.
"Ibu tak perlu cemas. Kebon kelapa kita itu pun tetap aman dari tangan-tangan
para pencuri." Kata Giran menghibur.
Setelah mengucapkan selamat malam, Giran
mengundurkan diri. Kedua wajah orang ini segera berubah kembali menjadi kaku.
Kaki Samirun tiba-tiba melayang ke tubuh Sarkawi yang masih terlentang di atas
dipan. Tergulinglah tubuh mandor ke lantai sambil mengaduh dan merintih
kesakitan. Subaidah mengangkat poci berisi air teh panas dan dituang seluruhnya
mengguyur kepala Sarkawi, hingga mandor sial ini makin kelabakan dibuatnya.
"Waduh. Benar-benar jago jempolan, lu Wi! Pulang juga pakai dibopong segala,
kayak anak kecil habis kepicirit"
Ejek Samirun dengan acungan jempolnya, sedang
amarahnya makin meluap. Kembali ditendangnya
Sarkawi dengan sekuat tenaga. Sarkawi menggeliat mengaduh lagi, memegangi
pinggangnya yang terkena sasaran terompah Samirun.
"Sundel! Kenapa lu kagak mampus aja sekalian"!"
bentak Samirun makin kalap. Tangannya mencabut pistol yang terselip di
pinggangnya. "Lu bikin kucar-kacir gua punya rencana. Lu minta dipersen biji melinjo"!"
pistol itu ditodongkan ke kepala Sarkawi yang jadi gemetar ketakutan.
"A... a... ampun Sir...! Saya lagi ketiban sial rupanya nih..." ratapnya dengan
memelas. "Awas...! Kalau mulut lu bocor, sampai orang tahu...
Gua jeder batok kepala lu...! Lu belum kenal siapa Samirun ya!" ancam kasir ini
sambil menimang-nimang pistolnya.
"Busyet dah. Masa saya kagak kenal sama Den Kasir!
Kita kan sahabat lama, cuma nasib saja yang beda. Maka jangan galak-galak, ah!
Hi Hi...!" bujuk Sarkawi meringis menahan sakit.
"Eh, apaan cengar-cengir" Lu kira gua main-main"!
Gua tembak, muncrat benak lu! Mau?" bentak Samirun.
Ujung pistolnya ditempelkan ke pelipis Sarkawi yang jadi pucat seketika.
Subaidah mendengus, merasa muak menyaksikan adegan itu.
"Sudah sudah! Bisanya cuma ngebacot melulu. Huh sebal!" Ia melangkah ke luar
ruangan dengan wajah masam. Samirun buru-buru membujuknya. "Sabar
Baidah, kita masih punya kesempatan lain."
Tapi Subaidah seakan-akan tidak mendengar, terus berjalan menuju ke ruangan
kamar tidurnya sendiri. Samirun jadi semakin kebingungan, dimakinya lagi Sarkawi habis-habisan untuk
melampiaskan kedongkolannya. Tapi dasar wataknya memang bebal, mandor ini cuma cengengesan
saja, mirip monyet mabuk terasi.
*** Bulan purnama memancarkan cahayanya yang lembut
keperakan. Serangga malam mengisi keheningan suasana malam itu dengan tembang-
tembang yang membangkitkan rasa pukau manusia terhadap seluruh kegaiban alam.
Pada keheningan malam yang terasa syahdu ini, ada sepasang muda-mudi sedang
memadu kasih di bawah sebatang pohon rindang di tepi sungai, tidak jauh dari
gubuk Ki Kewot. Kedua insan remaja ini ialah Giran dan Ratna.
Terdengar suara Giran berkata agak gemetar.
"Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan
sesuatu kepadamu Ratna..."
"Apa itu, Kak?" tanya Ratna perlahan, meskipun
hatinya sudah dapat meraba, apa yang hendak dikatakan oleh pemuda yang duduk di
sisinya itu. Namun ia menunggu dengan hati berdebar. Keheningan yang
sejenak itu terasa begitu lama baginya.
"Maukah kau menjadi istriku?" perlahan sekali suara Giran, namun bagi telinga
Ratna kata-kata itu terdengar sebagai gaung dari sebuah gong raksasa, yang
seakan-akan bergema ke seluruh dunia. Begitu merdu dan menggetarkan kalbunya.
Ratna berpaling menatap wajah pemuda pujaannya dengan mata berkaca-kaca. Giran
balas menatapnya dan terkejut, memegang kedua pipi Ratna dengan kedua lengannya.
"Ratna, kenapa kau menangis..." Apakah kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu?"
tanya Giran hati-hati. Ratna menggeleng, air matanya makin deras jatuh berderai, tapi bibirnya
tersenyum. "Aku sangat bahagia, Kak" ucapnya sambil
merebahkan kepalanya di dada Giran yang bidang. Malam semakin hening. Suara
nyanyian serangga malam terdengar semakin merdu pula.
"Tapi Kak... kau pasti menyesal kelak. Aku hanyalah gadis desa yang miskin lagi
bodoh. Apa kata orang-orang nanti" Terutama kedua orang-tua kakak sendiri?" kata
Ratna masih dalam haribaan Giran. Giran membelai kepala gadis yang sangat
dicintainya itu dengan lembut, lembut pula kata-katanya.
"Kau telah merupakan sebagian dari hidupku. Tanpa kau, aku tak tahu apa yang
akan terjadi pada diriku.
Apapun yang terjadi kelak, aku pasti akan selalu mendampingimu dengan setia,
tanpa keluh dan sesal. Percayalah, Ratna" Janji Giran ini membuat Ratna jadi semakin terharu, dan tanpa kata-kata yang
dapat melukiskan dan mengungkapkan perasaannya pada saat itu.
Pemuda semacam tipe Giran memang bukanlah
pemuda yang pandai merayu, semua kata-katanya
terlontar dari dasar hati nuraninya yang murni. Ratna pun sudah menyelami watak
pemuda itu, maka ia rela menyerahkan seluruh hidupnya kepada pemuda
idamannya itu. Andaikata ia harus berkorban nyawa pun ia tak kan ragu. Ia
bersumpah di dalam hati, akan menjadi istri paling setia bagi Giran, setia
sampai mati. Malam bertambah larut. Giran mengantar Ratna
sampai ke muka gubuknya. Ia cuma berani mencium ujung rambut kekasihnya,
meskipun barangkali Ratna sendiri mengharapkan lebih dari itu, karena
sesungguhnya malam itu merupakan malam paling indah yang patut dikenang selama
hidupnya. Namun sentuhan lembut hidung Giran pada rambutnya, cukup membuat
jantung Ratna berdebar dan tergetar. Itu berlangsung lama sampai Giran
meninggalkan gubuk itu, diiringi Samolo yang menunggu di kejauhan. Getaran itu
masih juga menyesakkan dadanya ketika ia berdiri tersandar di belakang pintu.
Bahkan masih terasa sampai bertahun-tahun kemudian, jika peristiwa manis itu
dikenangnya. Agak lama gadis ini tersandar di belakang pintu, menghela napas dalam-dalam dan
tersenyum seorang diri. Rasanya bagaikan tengah bermimpi. Wajahnya yang masih
ranum itu dijalari warna merah jambu. Suara batuk ayahnya yang ternyata masih
belum tidur, tiba-tiba mengejutkannnya. Ia melangkah masuk ke dalam
ruangan dalam. Dilihatnya ayahnya sedang duduk di kursi dekat dapur sambil
melinting rokok kawungnya.
Sekali lagi orang ini mendehem penuh arti, membuat wajah Ratna terasa panas dan
makin memerah. Ia tahu ayahnya memang sengaja sedang menunggunya di situ.
"Kau tampak sangat gembira malam ini, Ratna" kata ayahnya sambil terus asik
melinting rokok kawung. Ratna tertunduk, menggigit bibirnya. Sambil terbatuk dan mendehem kecil ayahnya
lambat-lambat berkata. "Ayah semakin tua dan rapuh. Kadang-kadang ayah lupa bahwa kau kini sesungguhnya
sudah dewasa. Adalah wajar setiap manusia harus menemukan jodohnya masing-masing... Ayah pun
pernah muda, Nak. Jadi ayah pun tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatimu
itu." Wajah Ratna kian bertambah merah. Dengan perasaan haru ia bersimpuh di haribaan
ayahnya. Lengan tua itu begitu lembut membelai kepala sang putri yang manja ini
dengan penuh kasih sayang.
"Giran seorang muda yang baik. Ayah percaya cintanya terhadapmu itu adalah suci"
Hening sejenak, lengan tua itu terus membelai kepala Ratna.
"Kalau saja ibumu masih ada, kau tentu akan lebih banyak memperoleh bimbingan
serta nasihat-nasihat berharga, sebagai bekal hidupmu kelak."
Air mata Ratna berlinang-linang ke pipinya dan
membasahi celana kusam ayahnya.
"Tapi pesan ayah, batasilah pergaulanmu dengan
Giran...! Kita harus tahu diri, Nak. Kita miskin dan bodoh, satu-satunya harta
yang kita miliki hanyalah harga diri dan kehormatan sebagai manusia. Hanya itu!
Sedangkan Giran, dia dari keluarga orang berada serta berpengaruh. Meski Giran
pribadi tidak pernah mengagulkan diri karena itu. Bertaqwalah selalu kepada Tuhan, karena hanya Dia-
lah yang menentukan jalan hidup segala makhlukNya"
Ratna cuma bisa mengangguk kepala di haribaan
Ayahnya. *** "APA katamu Giran" Kau mau kawin dengan Ratna,
anak si Kewot, si tua renta itu"!" terbelalak mata Tuan Tanah memandang putra
sulungnya dari kursi-malasnya.
Giran mengangguk dengan mantap, semantap hatinya yang sudah siap menghadapi
rintangan apa pun. "Sungguh-sungguhkah kau?" tanya Ayahnya dengan
suara tinggi. Sekali lagi Giran mengiyakan dengan pasti.
Tuan Tanah tersenyum memandang putranya yang sudah dewasa itu.
"Bagus. Aku lamarkan Ratna untukmu hari ini juga!
Kita rayakan pesta semeriah-meriahnya" Begitu mantap dan bersemangatnya suara
Tuan Tanah ini. Subaidah melirik wajah Mirta yang tersandar di ujung meja dengan
wajah masam. "Aku memang berharap bisa cepat punya mantu dan menggendong cucu. Ha ha ha..."
Gembira sekali Tuan Tanah ini. Tentu saja yang paling gembira dan bahagia ialah
Giran sendiri. Tuan Tanah tiba-tiba berpaling kepada istrinya.
"Eh, kenapa diam saja, Bu" Kau juga tentu gembira, bukan Bu?" tanya Tuan Tanah
kepada istri mudanya ini.
Subaidah tersipu dan menjawab dengan gugup.
"S... s... sudah tentu Pak! Siapakah yang takkan gembira menyambut hari bahagia
itu" Saya akan menyiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya" katanya dengan senyum amat
dipaksakan. Mirta melangkah keluar dengan wajah tak sedap
dipandang. Sementara suara Tuan Tanah masih
terdengar berbicara dengan Giran, membuat Mirta bertambah mual.
Subaidah menyusul putranya keluar. Mirta berdiri di luar gedung dengan wajah
cemberut. Didekatinya putra kesayangannya ini.
"Bangsat! Dia rebut si Ratna dari tanganku" gerutu Mirta sambil bersungut-
sungut. "Ibu tahu perasaanmu, Nak. Tapi kau masih terlalu muda untuk berumah tangga"
bujuk ibunya. "Apakah si Codot Giran itu lebih dewasa, lebih pandai dariku" Huh! Dasar Ayah
memang selalu pilih kasih!"
gerutunya dengan termonyong-monyong. "Anak keparat itu memang selalu menyakitkan
hatiku. Biarlah, Ita pergi saja dari rumah ini, daripada dihina begini!"
"Sabarlah, Mirta. Ibu ada daya..." kata ibunya
mendekat dan berbisik di telinga Mirta.
Di luar kesadaran mereka, ada sepasang telinga lain yang menangkap
pembicaraannya itu. Orang ini ialah Samolo yang berada tidak jauh dari tempat
itu. *** MALAM telah larut, terdengarlah suara bergeletak
lunak di pintu gubuk Ki Kewot. Sesaat kemudian di antara keremangan cahaya lampu
teplok tampak dua sosok bayangan laki-laki menyelinap masuk. Ketika keduanya
masuk ke dalam kamar tidur Ratna, dua laki-laki ini jadi menahan napas.
Memandangi tubuh molek itu terbaring dengan nyenyaknya. Tampak salah seorang
yang bertubuh gempal itu menelan liur. Ratna sekonyong-konyong terbangun dan
sangat kaget melihat dua laki-laki bertopeng kain sarung itu berada di
hadapannya. Ia menjerit, tapi si tubuh gempal itu segera mencabut golok
mengancamnya. "Sssst, jangan ribut. Lihat apa ini!" bentaknya sambil menodongkan golok
berkilat itu ke leher Ratna.
Lalu tanpa ayal lagi kedua laki-laki bertopeng ini segera meringkus tubuh Ratna
dengan selimut. Sia-sia gadis itu meronta dan menjerit, karena tubuhnya sudah
dibopong dan dibawa kabur ke luar. Mendengar
Korban Kitab Leluhur 1 Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka Cula Naga Pendekar Sakti 1