Tuan Tanah Kedawung 2
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th Bagian 2
kegaduhan itu, Ki Kewot pun terbangun, memburu ke kamar putrinya. Tapi Kakek ini
rubuh terjengkang diterjang dua penculik yang menerobos ke luar sambil membopong
tubuh Ratna yang terbungkus kain selimut itu.
"Setan! Lepaskan anakku!" teriak Ki Kewot dengan panik. Belum lagi tubuh tua ini
merayap bangun, sebuah tendangan telah membuatnya terguling lagi.
"Jangan gegoakan Ki. Sudah malam nih. Mending lu molor lagi dah!" hardik salah
seorang dari penculik itu.
Ki Kewot berkutat untuk bangkit, tapi ia cuma mampu merayap sambil berteriak-
teriak. "Rampok...! Rampoook! Tolooooong!" pekiknya.
Teriakan Ki Kewot memecahkan kesunyian malam, tapi apa daya, gubuk itu terpencil
di tepi persawahan. Dua penculik itu kabur dengan leluasa menembus kegelapan
malam. Ki Kewot berusaha mengejar, tapi ia jatuh tersungkur lagi di muka gubuknya. Dan
penculik ini lari terus menerobos hutan jati dengan bungkusan berisi tubuh Ratna
pada bahu salah seorang dari mereka. Berbareng dengan berdesirnya hembusan
angin, muncullah dengan tiba-tiba sesosok tubuh tinggi besar menghadang di
hadapan mereka. Kedua penculik ini dengan amat
terkejut menghentikan langkahnya. Ditatapnya sosok tinggi besar itu. Di bawah
kesuraman cahaya bulan tampak orang ini sangat mengerikan, seakan-akan sesosok
jin penunggu hutan jati yang tiba-tiba muncul dari perut bumi. Kedua penculik
ini tersentak mundur beberapa langkah.
"Siapa di situ?" hardik si tubuh gempal agak gemetar.
Bulan tiba-tiba muncul dari balik awan, kedua penculik ini berseru hampir
berbareng. "Samolo!"
"Dedemit! Lagi-lagi dia." Sambung si tubuh gempal gemas. Ia meletakkan bungkusan
berisi tubuh Ratna itu di tanah. Lengannya tiba-tiba sudah menghunus
goloknya. "Lu selalu mau usil dengan urusan orang lain. Kali ini lu pasti mampus. Serbu!"
teriak si tubuh gempal mengajak kawannya untuk mengeroyok penghalang itu.
Si tubuh gempal langsung menerjang dengan sebuah sabetan ke arah dada Samolo,
disusul pula dengan serangan temannya ke lambung centeng ini. Samolo dengan
gesit berkelit sedikit. Bagaikan kilat telapak tangannya berkelebat menggocoh
kepala si gempal. Menyusul pula tendangan menghantam perut si penculik yang seorang lagi. Maka
dalam satu gebrakan saja, kedua penculik itu rubuh terjungkal ke bumi untuk tak
bangun lagi. Samolo membebaskan tubuh Ratna yang pingsan itu dari bungkusan selimut. Dengan
sebuah pijatan lunak pada sisi tengkuknya, gadis ini segera menggeliat siuman.
Samolo segera beranjak ke balik pohon. Tepat pada saat itu, cahaya-cahaya obor
tampak muncul dari kejauhan, puluhan penduduk dengan berbagai senjata di tangan,
hiruk-pikuk menyerbu masuk ke dalam hutan jati.
Tampak Ki Kewot berjalan di muka sambil berkali-kali memanggil nama putrinya.
Kemudian semuanya tertegun memandang Ratna yang terduduk, baru saja siuman dari
pingsannya. Ki Kewot segera menubruk tubuh putrinya.
Keduanya berangkulan sambil bertangisan.
Kedua penculik itu pun pada saat bersamaan siuman dari semaputnya. Sadar dengan
keadaan yang tidak menguntungkan itu, keduanya langsung kabur sejadi-jadinya,
nyaris jadi perkedel diamuk orang-orang sekampung.
Dari balik pohon, Samolo mau tak mau tersenyum juga menyaksikan tingkah dua
penculik yang ketakutan setengah mati.
Dengan napas ngos-ngosan Sarkawi nongol di muka pintu rumah kasir Samirun.
Subaidah, Samirun dan Mirta tanpa berkedip memandang mandor ini yang
berjalan gontai seperti seorang hukuman yang melangkah ke tiang gnatungan.
Melihat tampang lecek mandor, Subaidah dan Samirun sudah dapat meraba dengan
pasti, bahwa rencana mereka telah gagal total lagi. Dan mereka tidak merasa
heran. Tapi Mirta dengan bernafsu menyongsongnya.
"Beres, Wi" Lu simpan di mana gacoan gua?"
Tapi Mandor Sarkawi cuma tertunduk bungkam. Mirta jadi tidak sabar, dijambaknya
baju Sarkawi dan diguncangnya keras-keras.
"Lu bawa ke mana si Ratna, ha" Budek kuping lu?"
"Sudahlah. Macam gentong nasi begitu mana bisa
beres kerjanya. Kalau disuruh menghabiskan nasi tujuh bakul, nah baru beringas
dia" nyeletuk Subaidah dengan sinis.
Mirta betul-betul naik pitam. Dicakarnya muka
Sarkawi hingga berdarah. Kemudian anak kolokan ini menghempaskan dirinya ke atas
meja sambil sesambat dengan pilunya.
"Kalau begini, lebih baik Ita bunuh diri saja... Buat apa hidup menderita, tanpa
si Ratna di sampingku..."
Samirun dan Subaidah kewalahan membujuk putra-jadah- nya yang rada-rada senewen
ini. Sarkawi benar-benar merasa sebal dan dongkol melihat ulah pemuda yang
terlalu dimanja itu. "Huh, kolokan banget." celetuknya tanpa sadar.
Mirta makin berjingkrak mendengar ucapan Sarkawi.
Dengan kalap diraihnya pistol Samirun.
"Gua mampusin lu!" Teriaknya sambil siap menembakkan pistol itu ke arah Sarkawi.
Mandor Sarkawi jadi pucat seketika, ia mundur ke sudut dinding dengan dengkul
gemetar. "To... tolong Den Kasir... Cepat ambil pistol itu..."
ratapnya dengan terpatah-patah.
Tapi Samirun maupun Subaidah tetap dingin.
"Sumpah disambar geledek, saya sudah berhasil nyulik si Ratna, eh mendadak
Samolo muncul bersama ratusan penduduk kampung mengeroyok saya berdua. Si Ucih
mati dicincang kayak perkedel. Kalau saya kurang lihai, pasti sudah jadi
bangke... " Kata Sarkawi megap-megap coba membela diri.
Mirta membanting-banting kaki uring-uringan.
Subaidah menghiburnya sambil membelai kepala anak kesayangannya ini.
"Sudah, sudah jangan kau sedih, Mir! Ibu akan
carikan yang sepuluh kali lebih cantik dari si Ratna. Anak melarat itu tidak
sepadan untukmu, Mirta!"
"Hati Ita cuma diisi oleh Ratna. Kalau Ibu mau carikan yang lain enggak menjadi
soal. Yang penting Ratna harus jadi milik Ita dulu." Rengek Mirta dengan kepala
terbenam di pangkuan ibunya. Samirun menarik napas, kesal sekali nampaknya.
Ia merasa sangat kecewa karena tidak berhasil
memenuhi keinginan anak hasil hubungan gelapnya itu, yang juga amat dikasihinya
secara diam-diam. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 7 TIBALAH hari pernikahan Giran dan Ratna. Seluruh desa Kedawung seolah-olah ikut
berpesta. Gedung Tuan Tanah terang benderang selama tujuh hari tujuh malam tanpa
henti. Segala macam hiburan tak putus-putusnya
bertalu-talu menyambut para tamu yang berdatangan dari segala pelosok, untuk
memberi selamat kepada tuan rumah, terutama kepada kedua mempelai.
Itulah hari terbahagia bagi sepasang pengantin baru.
Giran dan Ratna seakan-akan hidup di dalam dunia khayal 1001 malam. Mereguk
segala kenikmatan cumbuan kasih surgawi yang dapat membuat iri pada dewa-dewi khayangan sekalipun.
Namun itu tidak berlangsung lama. Karena pada hari ketujuh, datanglah musibah menimpa Tuan
Tanah. Pada pesta terakhir yang naas itu, Tuan Tanah yang mulanya sangat gembira
itu, sekonyong-konyong muntah-muntah darah. Paniklah seluruh isi gedung itu.
Tuan Tanah segera digotong ke dalam kamarnya. Sementara beberapa orang
diperintahkan oleh Subaidah yang kelihatan sangat panik itu untuk mencari obat.
Dan Samolo disuruhnya memanggil Giran dan Ratna yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah Ki Kewot.
Tuan Tanah masih saja memuntahkan darah segar
dari mulutnya. Wajahnya jadi pucat-pasi. Namun ia masih nampak kuat bertahan.
Kini di dalam kamar itu cuma ada Subaidah, Samirun, Mirta dan Sarkawi.
Subaidah masih terus mengurut dada suaminya.
"Pak, kenapa kau, Pak" Oh Gusti...!" ratap perempuan ini. Samirun mendekat ke
tepi pembaringan. "Den Besar..."!"
"Uh..."!" "Tolong tanda-tangani surat ini, Den...!"
Samirun menyodorkan pulpen dan secarik kertas yang bertempelkan materai kepada
majikannya. Tuan Tanah memicingkan matanya meneliti isi surat tersebut. Tiba-tiba wajahnya
yang pucat itu berubah jadi merah padam seketika. Ia terbatuk dan segumpal darah
segar pun tersembur dari mulutnya, membasahi seluruh kertas tersebut. Samirun
mundur. Melempar kertas yang berlumur darah itu. Matanya tiba-tiba jadi liar
mengerikan. Sekonyong-konyong ia meraih sebuah bantal lalu dibekapkan ke wajah
Tuan Tanah yang segera meronta-ronta dengan seluruh sisa tenaganya. Samirun
mengerahkan seluruh kekuatannya menekan bantal itu.
Tapi tak berhasil. "Pegang tangannya. Cepat!" teriak Samirun setengah tertahan kepada Subaidah.
Subaidah yang sejak tadi tertegun dengan wajah
pucat, segera menuruti perintah Samirun. Lalu Sarkawi pun disuruhnya untuk
membantu. Tinggal Mirta memandangi pergumulan mengerikan itu dengan tubuh menggigil seperti diserang
demam. Pergumulan itu tidak berlangsung terlalu lama, karena Tuan Tanah kini telah
terkulai tak berkutik lagi di bawah dekapan bantalnya sendiri.
Semua tertegun terengah-engah. Mirta menggigil di kolong meja.
"Kenapa pada bengong" Ayo siapkan rencana kita
berikutnya!" seru Samirun dengan suara di
kerongkongan. Subaidah dan Sarkawi segera bergerak menghapus
semua bekas tindakan mereka. Jenazah Tuan Tanah dibaringkan dengan rapi di
pembaringan. Seakan-akan kematian Tuan Tanah itu disebabkan penyakit yang sudah
lama diidapnya. Sesaat kemudian, Giran dan Ratna yang dipanggil oleh Samolo, tiba di gedung yang
masih dipajang janur-janur pesta itu. Mereka terpaku di ambang pintu. Tangisan
memilukan menggema di ruangan gedung tersebut.
Tampak Subaidah tengah terisak memeluki tubuh Tuan Tanah yang terbujur kaku di
atas dipan tepat di tengah ruangan utama itu.
"Aduh, Pak. Tega benar kau meninggalkan aku serta anak-anak...! Bawalah
Subaidah, Pak... Apa artinya hidup ini tanpa kau di sisiku, Pak...! Aduuuuh...
perih hatiku, Pak... Hu hu hu" tangis Subaidah melolong-lolong, sangat
memilukan. Mirta pun tampak menggerung-gerung bersimpuh di sisi dipan. Giran berlutut di
sisi tubuh ayahnya yang mulai dingin itu, dibukanya kain penutup jenazah lalu
dipandangnya wajah ayahnya yang membiru.
"Ayah..."!" Cuma itu yang sanggup terlontar dari mulut Giran, kemudian ia duduk
tafakur di sisi jenazah. Tampak bahunya terguncang-guncang. Namun tak
terdengar isak tangisnya. Ratna menepis air mata, ikut berlutut di sampingnya.
Samirun tertunduk dengan wajah pura-pura sedih.
Matanya berkali-kali melirik ke arah Sarkawi. Mandor ini sedang asik mengunyah
kue yang terletak di meja. Kasir ini mendehem, tapi Sarkawi tak mengerti dengan
tanda isyarat tersebut. Samirun terpaksa mendekatinya lalu menginjak kaki Mandor
bego ini. Sarkawi mengaduh kesakitan dengan mulut penuh tersumpel kue.
Di sudut ruangan tampak Nyi Londe terisak-isak
menepis air mata dengan ujung kebayanya. Di luar pintu terlihat Samolo tertunduk
dalam-dalam. Tampak matanya merah berkaca-kaca. Betapa sedih ia mengingat semua
kebaikan majikannya itu, yang kematiannya kini terasa tidak wajar.
*** Upacara pemakaman Tuan Tanah Kedawung telah
berlalu. Namun suasana duka masih melekat di setiap hati para penduduk desa.
Desa itu terasa seakan-akan telah kehilangan sebagian sinar matahari, suram dan
beku. Terutama bagi gedung besar dan megah itu, dari luar terlihat sunyi.
Apalagi pintu utama tak pernah lagi dibuka semenjak wafatnya Tuan Tanah.
Giran dan Ratna lebih banyak mengurung diri.
Kematian ayahnya nyaris menghancurkan gairah hidup Giran. Untung saja kini di
sisinya selalu ada Ratna, yang menghiburnya dan memberikan semua kesejukan pada
dasar jiwanya. Samolo kini merasa dibebankan kewajiban dan tanggung jawab untuk
menjaga generasi penerus sang majikan. Tanggung jawab serta kewajiban yang
diembannya tanpa pamrih, karena budi sang Tuan Tanah baginya tak dapat
dibanding-ukur oleh apapun di dalam kehidupan ini.
Kecuali Subaidah dan Samirun-lah yang merasa lega dengan meninggalnya perintang
utama bagi hasrat mereka itu.
"Kini harta warisan itu berada di tangan si bocah bedebah. Kalau dia dan anjing
Samolo itu sudah disingkirkan, kitalah raja dan ratu di gedung ini. He he he...!" Mengkhayallah
Kasir Samirun dan itu diutarakannya kepada Subaidah ketika mereka pada kesempatan tertentu mengadakan
pertemuan rahasianya secara rutin.
"Aku ada jalan yang paling lunak untuk melenyapkan anak itu. Lenyap untuk
selama-lamanya" kata Subaidah sambil tersenyum iblis di dekapan kekasih
gelapnya. Esok harinya, pagi-pagi sekali Subaidah sudah
memanggil Giran ke hadapannya. Mata ibu-tirinya terlihat berkaca-kaca dan
sembab. Giran tertunduk terharu.
"Giran..." terisak-isak Subaidah dan berkali-kali menepis air matanya.
"Ya, Bu." "Sebenarnya sangat berat ibu mengatakannya
kepadamu, Nak." "Katakanlah, Bu...!"
"Tapi hati ibu lebih tidak tentram dan selalu gelisah bila belum menyampaikan
pesan almarhum ayahmu...!"
"Pesan apa, Bu?" tanya Giran ingin tahu.
"Pada akhir hayatnya, ayahmu berpesan, agar aku mengirim kau ke Borneo, untuk
mengurus kebun karetnya di sana." "Ke Borneo?" Ulang Giran sambil tercenung.
Subaidah mengangguk, isaknya terus berkepanjangan.
"Itulah beratnya. Ibu maklum kau masih pengantin baru."
"Tidak apa, Bu. Saya pasti akan melaksanakan pesan ayah itu!" kata Giran pasti.
"Berangkatlah besok pagi-pagi, agar cepat pula pulang.
Ibu telah mempersiapkan segala sesuatunya untukmu."
"Baiklah, Bu!" Angguk Giran, lalu bangkit melangkah ke luar.
Subaidah menutup mulutnya dengan sapu tangan
untuk menahan tawanya. Samirun yang sejak tadi pura-pura sibuk menulis, kini
ikut menekap mulutnya menahan geli. Di luar jendela, Nyi Londe diam-diam memperhatikan tingkah aneh kedua orang itu.
Malam itu, bagaikan kisah Remeo dan Juliet, Giran dan Ratna berdekapan dengan
perasaan sukar dilukiskan, menanti fajar yang begitu cepat dan juga menakutkan. Karena pada
dini hari sang "Romeo" akan berangkat meninggalkan "Juliet"-nya menuju Borneo
demi melaksanakan pesan almarhum ayahnya yang
disampaikan melalui ibu tirinya yang amat "bijak" itu.
"Berapa lamakah aku harus menanggung rindu ini, Kak" Aku takut, kalau-kalau
terjadi sesuatu padamu di negeri yang amat jauh itu..." bisik Ratna sambil
memeluk suaminya erat-erat, takut kehilangan, dan terlalu berat untuk dilepaskan
kepergiannya. "Tabahkan hatimu, sayang. Aku akan cepat kembali.
Berat hatiku meninggalkan kau. Tapi demi baktiku terhadap orang tua, apa boleh
buat!" Gemetar suara Giran. Nun di kejauhan, kokok ayam mulai sayup-sayup
terdengar. Ratna makin erat memeluk suaminya yang sangat dicintai dengan segenap
jiwa-raganya. Giran bangkit perlahan-lahan, membuka jendela.
Tampak fajar mulai terbayang di ufuk timur. Giran menghela napas. "Betapa cepat
waktu ini berlalu. Tanpa terasa saat keberangkatanku sudah tiba."
Ratna turun dari pembaringan, menubruk suaminya dan dipeluknya semakin erat. Air
matanya terasa hangat membasahi punggung Giran.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak...! Tidak...! Jangan tinggalkan aku... Aku tidak perduli betapa dunia ini
akan kiamat sekali pun." Ratap Ratna dengan hati luluh.
Roda kereta itu bergerak membawa Giran ke Batavia, lalu dengan kapal laut akan
bertolak ke Borneo. Mata Ratna berkaca-kaca mengiringi kepergian suaminya sampai
jauh menjadi titik kecil di kaki langit. Ia masih berdiri terpaku di ujung
jembatan itu, seakan-akan sebagian sukmanya telah ikut terbawa pergi. Belum dua
minggu madu kasih itu direguknya, kini harus direnggut dari sisinya. Ia masih
termenung di situ, sampai lengan Nyi Londe merangkulnya dan membawanya pulang.
Di sebuah persimpangan jalan yang akan dilalui kereta berkuda itu, tampak
seorang laki-laki berbaju hitam-hitam dan kaos loreng, duduk menunggu sejak
subuh. Matanya yang setajam mata elang itu hampir tak berkedip menatap lurus-lurus ke
ujung jalan. Sesosok bayangan tinggi besar tiba-tiba sudah tegak di belakangnya.
"Hmm, Mat Gerong..." Suaranya berat mengejutkan.
Si mata elang tersentak berpaling.
"Oh, Bang Samolo."
"Rupanya kau yang dapat kehormatan untuk memberi salam dan selamat jalan kepada
putra majikanku!" Tukas Samolo dengan nada kalem.
Mat Gerong bangkit, sebuah tanda goresan bekas luka bacokan pada pipi kirinya
menambah seramnya wajah pentolan penjahat yang sangat ditakuti ini. Keduanya
berhadapan dengan waspada.
"Rejeki ini adalah pemberian nyonya besarmu sendiri, Bang. Tujuh Ringgit uang
emas upah memetik batok kepala bocah ini cukup menarik, bukan" Kita bagi berdua.
Setuju"!" "Sebaiknya kau tahu, Mat Gerong. Setiap helai rambut di tubuh pemuda itu, jauh
lebih berharga dari nyawa tujuh-turunan manusia macam kau! Karena itu mana
mungkin aku tinggal berpeluk tangan saja." tegas Samolo dengan suara tenang dan
mantap. Sementara itu, di ujung jalan tampak debu mengepul dan kereta kuda itu berderap
mendatangi, Mat Gerong jadi gelisah dan geram.
"Sialan! Kau mau bikin tumplek bakul nasi gua?"
Dengan sebuah gerakan kilat Mat Gerong mencabut golok Cibatunya, langsung
menerjang ke arah Samolo.
Pembunuh bayaran ini benar-benar ingin memburu
waktu. Tanpa gentar sedikit pun Samolo menyambut serangan itu dengan kibasan
lengan kosongnya. Golok yang menderu itu terlempar ke udara. Bersamaan dengan
itu telapak tangan kanan Samolo menyapu leher Mat Gerong. Tapi ternyata nama
besar pentolan penjahat ini memang bukan omong kosong. Gerakannya serba kilat
dan tangguh. la menangkis serta menyerang dengan tipu-tipu pukulan yang
mematikan. Kedua Jawara ini nyaris seimbang. Pertarungan berlangsung cepat dan
sengit. Sementara itu, kereta kuda yang membawa Giran sudah semakin dekat. Mat Gerong
jadi nekat, tujuh Ringgit uang emas terlalu berharga baginya untuk dibiarkan
lewat begitu saja. Ia merangsak dengan tendangan berantai.
Samolo memapaknya dengan tebasan lengannya. Mat Gerong terpekik, betis kananya
remuk terbabat telapak tangan Samolo. Ia berguling untuk menyambar golok
Cibatunya yang tergeletak di tanah. Dengan masih berguling ia langsung menyerang
lawannya dengan tebas-tebasan beruntun yang sangat berbahaya. Samolo berkelit
dan melompat dengan sebuah tendangan keras pada kepala Mat Gerong, yang segera
tersungkur mencium bumi. Golok Cibatunya terlotar berputar ke udara.
Cepat sekali tubuh Mat Gerong berguling-guling ke arah jalan raya, dengan maksud
untuk mencegat "buruannya" yang berada di kereta kuda yang semakin dekat itu. Samolo lompat
memetik golok Cibatu yang masih berputar di udara, lalu lompat turun langsung
menebang kedua kaki pembunuh bayaran yang rakus itu.
Dengan pekikan yang sangat memilukan tubuh Mat
Gerong tersentak ambruk ke bumi. Sepasang kakinya terlontar masuk saluran
irigasi. Detik itu gemuruh roda kereta serta derap kaki-kaki kuda melintas
dengan cepatnya di jalan itu. Samolo lompat berlari ke tepi jalan untuk mengejar
kereta yang ditumpangi Giran itu. Tapi mana mungkin ia mampu mengimbangi
kecepatan larinya dua ekor kuda putih yang tangkas itu. Dalam sekejap saja
kereta itu sudah hilang dari pandangannya. Dengan napas masih memburuh serta
perasaan kecewa, Samolo berdiri memandangi ujung jalan yang sunyi itu. "Den
Giran, semoga Tuhan memberi firasat padamu, akan kebusukan tipu muslihat ibu-
tirimu. Menyesal sekali aku terlambat mengetahui dan tidak sempat pula memberi
tahu kepadamu, bahwa kebon karet milik ayahmu di Borneo itu cuma isapan jempol
ibu tirimu dan Samirun. Apa boleh buat. Semoga Tuhan melindungimu selalu!"
keluh Centeng setia ini dengan pedih.
Dengan perasaan sedih dan kecewa Samolo berjalan pulang ke Kedawung,
meninggalkan tempat pertarungan yang telah tersimbah darah seorang jawara yang
sangat ditakuti sebagai pembunuh berdarah dingin. Mat Gerong masih merintih dan
terkapar kehilangan "Rejeki Tujuh Ringgit Uang Emas" berikut sepasang kakinya.
Pada kemudian hari, jago dari daerah Sepatan yang ganas ini, akan muncul malang-
melintang lagi dengan julukan "Si Buntung dari Cisadane". Iblis penyebar maut
yang sukar ditaklukkan ini, telah berhasil membuat lembaran sejarah hitam pada
jamannya. Dendamnya kepada Samolo
terbawa sampai mautnya. Peristiwa penghadangan yang gagal itu akhirnya
diketahui juga oleh nyonya besar Subaidah dan kasir Samirun. Karena Mat Gerong
tidak pernah muncul lagi meminta upahnya, kecuali uang muka itu. Juga
berdasarkan laporan Mandor Sarkawi yang diperintah untuk memata-matai
pelaksanaan tugas pembunuh
bayaran itu secara diam-diam dari kejauhan.
"Lagi-lagi Samolo! Anjing itu pun mesti segera
disingkirkan. Dia pasti sudah terlalu banyak mencium rencana kita." Bisik
Subaidah dengan wajah kecut.
"Ya, bila tidak, kitalah yang akan disingkirkan olehnya." kata Samirun serius,
suaranya terdengar agak gemetar, membuat wajah Subaidah makin kecut dan pias.
"Duri utama telah lenyap, duri kedua meski belum berhasil dimusnahkan, tapi
setidaknya sudah tidak jadi penghalang lagi. Kini muncul duri ketiga yang cukup
berbahaya. Dia tidak bisa disingkirkan dengan cara keras, melainkan harus dengan
cara halus." Bisik Samirun dengan hati-hati. Agaknya kini kehadiran si centeng
yang satu ini, memang harus diperhitungkan matang-matang oleh mereka. Karena
merasa takut kepada Samolo, niatnya untuk segera menguasai harta warisan Tuan
Tanah terpaksa harus ditangguhkan, sampai keadaan benar-benar tepat. Namun
semenjak perginya Giran, kegelapan mulai menelungkupi kehidupan Ratna. Caci maki
serta siksaan lahir batin dirasakannya setiap hari dari ibu mertuanya yang telah
berubah dalam wujud aslinya. Persoalan kecil dan sepele saja telah cukup
membuatnya jadi sasaran caci maki serta sindiran yang amat menyakitkan. Ratna
pun tidak diperbolehkan lagi tidur di kamar Giran di dalam gedung utama, tapi ia
harus tidur bersama Nyi Londe di emper belakang. Ratna menerima semua itu tanpa
pernah mengeluh apalagi protes, karena sadar, ia cuma berasal dari keluarga
petani miskin lagi bodoh. Ia cukup tahu diri sebagai orang yang menumpang meski
statusnya sebagai menantu keluarga Tuan Tanah yang sangat terpandang di Desa
Kedawung dan sekitarnya. Ia cuma bisa berdoa dan mengharap, semoga suaminya bisa
cepat pulang. Sudah selusin pembantu pria dan wanita yang
diberhentikan oleh Subaidah. Akibatnya semua pekerjaan yang ada di gedung itu
harus ditangani oleh Ratna yang kadang-kadang dibantu oleh Nyi Londe yang tak
sampai hati melihat Ratna bekerja membanting tulang sejak subuh sampai jauh
malam. Namun masih saja datang omelan dan celaan dari ibu mertuanya yang sadis
itu. "Matamu buta"!" maki Subaidah seperti geledek sambil menjitak kepala Ratna yang
baru saja menjatuhkan sebuah cangkir berisi kopi panas buat sang mertua ini.
"Huh, dasar si buta baru melek. Kerja sebegitu saja ogah-ogahan. Bertingkah!"
"Maafkan dia, Nya Besar. Neng Ratna tidak sengaja"
kata Nyi Londe yang baru datang bantu memunguti pecahan cangkir kopi itu.
"Hmm, siapa tahu" Dia memang sengaja mau
merongrongku agar aku cepat mati... Dan dia jadi nyonya besar di gedung ini.
Mentang-mentang jadi menantu Tuan Tanah sudah gede kepala. Lupa waktu melarat
dulu, mau gegares juga susah!" Gerutu Subaidah dengan nada sinis yang sangat
menyakitkan hati. Ratna tertunduk,
memunguti pecahan beling dan mengelap tumpahan air kopi yang telah tercampur
dengan air matanya. Nyi Londe menghiburnya sambil menghela napas panjang-pendek.
Secara rutin, dua hari sekali Ratna harus menggiling kacang kedelai berbakul-
bakul banyaknya, untuk kemudian dibuat tempe dan tahu. Sebuah pekerjaan berat yang biasa dikerjakan
laki-laki itu sungguh meletihkan dan menguras tenaga Ratna.
"Sudah hampir sebulan ini, Samolo tiap hari disuruh mengirim kelapa dengan
gerobak ke Selapanjang. Kadang-kadang dua hari baru pulang, itu pun selalu tengah malam." kata Nyi Londe
ketika membantu Ratna mendorong batu gilingan kedelai yang besar dan berat itu.
Sang Nyonya besar Subaidah tiba-tiba sudah muncul di pintu, bertolak pinggang
dengan wajah masam. "Eh..., eh... eh... Londe! Siapa sih majikanmu, atau dia"! Kenapa kau begitu
repot kalau dia mengerjakan sesuatu" Dasar kau juga yang membuat dia jadi
kolokan, pemalas, sok kaya. Sudah. Tak perlu kau temani dia.
Cucian masih numpuk sebakul tuh!" katanya dengan ketus.
Nyi Londe terpaksa meninggalkan Ratna mengerjakan tugas berat itu seorang diri,
seperti kuda beban. Waktu berlalu bagaikan melata dengan lambatnya. Bila malam tiba kedua perempuan
ini dengan perasaan letih baru bisa istirahat di emper usangnya. Dan gejala-
gejala keletihan yang disertai muntah-muntah mulai terlihat pada Ratna.
"Beberapa hari ini, kelihatannya Neng kurang sehat badan. Selalu muntah dan
senang makan yang asam-asam. Jangan-jangan sedang ngidam. Sudah berapa bulan?"
tanya Nyi Londe perhatian sambil memijat kaki Ratna yang tergolek dengan wajah
pucat. "Entahlah Nyi. Barangkali baru dua bulan" Jawab Ratna malu-malu.
Nyi Londe tersenyum campur haru memandangi wajah sayu. Dan bayangan Giran pun
selalu muncul di depan pelupuk pengasuh ini.
Pada suatu hari, Ratna dipanggil oleh mertuanya, yang menyongsongnya dengan
wajah ramai dihiasi senyum yang sangat ramah. Membuat Ratna jadi agak tertegun
keheranan. "Ai, aih... Ratna, sini nak, sini dekat ibu! Sini. Ibu mau tanya kau." kata
Subaidah sambil menggamit lengan Ratna yang masih kebingungan serta takut-takut.
"Aih, nih anak. Kenapa kau enggak mau bilang-bilang pada ibu. Kata Nyi Londe kau
sedang mengandung. Benarkah itu?" tanya Subaidah sambil memandang perut Ratna, suaranya lembut
penuh kasih sayang keibuan.
Ratna mengangguk sambil tertunduk.
"Waduh, hati ibu jadi gembira mendengarnya. Ibu bakal punya cucu, bukan" Hi hi
hi... Ingat, mulai sekarang kau tidak boleh kerja yang berat-berat! Harus bisa
menjaga diri. Ingat pesan itu ya, Nak."
"Terima kasih, Bu. Tapi saya masih bisa bekerja!"
Jawab Ratna masih diliputi keraguan terhadap sikap mertuanya yang sangat berbeda
dari biasanya. "Ah, jangan suka bandel ya. Nanti ibu jewer kupingmu ini. Hi hi hi... Ngerti
kau"!" kata Subaidah sambil benar-benar menjewer telinga Ratna dengan lembut,
seakan-akan kepada anak kesayangannya.
"Nah, istirahatlah sono...!" bujuknya lagi sambil menepuk pantat Ratna. Samirun
yang pura-pura sibuk menulis jadi tertawa geli menyaksikan adegan mesra
tersebut. Ratna dengan wajah merah serta dengan perasaan
aneh melangkah luar dari ruangan itu.
"Oh ya, Ratna, tunggu dulu!" panggil Subaidah tiba-tiba. Ratna menghentikan
langkahnya di pintu. "Hampir ibu lupa. Coba kau bawa kotak yang berisikan surat-surat itu ke sini.
Karena perlu dicatat oleh paman Samirun. Ng... kau ada menyimpan kotak itu,
bukan"!" tanya Subaidah, dengan lagak setengah acuh tak acuh.
"Ya, Bu!" jawab Ratna tanpa curiga.
"Bagus. Cepat bawa ke sini, ya!" perintah Subaidah masih berlagak acuh dan tak
acuh. Seolah-olah kotak yang disebutnya itu tak terlalu penting.
Ratna keluar dengan masih diliputi tanda tanya akan sifat sang mertua yang tiba-
tiba berubah jadi manis terhadapnya. Sekonyong-konyong ia tersentak kaget,
ketika seseorang muncul dari balik tiang dan
menegurnya. "Neng... Neng Ratna!" Panggilnya dengan suara
berbisik. "Siapa"! Oh, Bang Samolo..." kata Ratna perlahan, karena melihat sikap Samolo
yang sembunyi-sembunyi dan memberi tanda dengan gerakan jarinya agar ia
mendekat. Rupanya Samolo yang selalu waspada ini mengetahui dan menangkap percakapan itu
tadi. Demi meyakinkan rencana busuk mertuanya yang berkomplot dengan
Samirun, Samolo terpaksa menceriterakan semua
kejadian yang hampir saja merenggut nyawa Giran itu kepadanya. Ratna jadi pucat
dan terkejut setelah mendengar cerita singkat tersebut. Peluh dinginnya tanpa
terasa membasahi pori-porinya. "Ya Allah, tidak kusangka!" keluhnya.
"Maka janganlah kau tertipu oleh kata-kata manis dari mertuamu yang berhati ular
itu!" bisik Samolo tegas.
Lama Ratna termenung di dalam kamarnya. Hatinya gelisah, pedih dan bingung.
Tiba-tiba darahnya tersirap, ketika selembar wajah penuh senyum licik itu
tersembul di pintu. "Hei, Ratna. Kenapa kau"! Sakit"!" tanya Subaidah sambil tersenyum.
"Ti... tidak apa-apa, Bu!" jawab Ratna gugup.
"Mana kotak warisan... eh... ng... Kotak surat-surat itu, Ratna"!" Tanya lagi
Subaidah dengan nada seramah mungkin.
"Maaf, Bu. Kak Giran berpesan..."
"Ah, anak tolol, kau salah paham, Ratna. Pesan Giran itu memang benar bahwa
kotak tersebut tidak boleh diberikan kepada orang lain. Tapi ibu kan bukan orang
lain, bukan?" Potong Subaidah dengan senyum yang mulai terlihat dipaksakan.
"Tapi Bu..." kata Ratna amat perlahan karena bingung dan takut.
"Tapi! Tapi apalagi..."! Akulah ibunya, berhak
mengambil kotak itu. Paham kau"! Cepat ambil kotak itu!" hardik Subaidah dengan
mata mendelik. "Maafkanlah, Bu! Saya tidak berani melanggar pesan kak Giran!" kata Ratna
gemetar. "Setan! Berani kau membangkang perintahku"! Ambil kotak itu atau ku potes batang
lehermu. Cepat!" bentak Subaidah menjambak rambut Ratna.
"Ampun Bu!" ratap Ratna gemetar.
Subaidah sudah tidak sanggup bersandiwara lagi.
Dicopotnya sabuknya lalu dideranya Ratna tanpa kenal ampun. Ratna menjerit dan
merintih menahan sakit. Sabuk kulit itu terus menghantam tubuhnya bertubi-tubi.
Kulitnya matang-biru tergores kepala sabuk yang keras itu. Nyi Londe datang
untuk menolong wanita muda yang malang ini, tapi ia dihalang-halangi oleh
Samirun yang berdiri di pintu kamar.
Untunglah pada saat itu, Samolo melongok di jendela.
Terkesiaplah hati Subaidah dan Samirun yang segera ngeloyor meninggalkan kamar
itu. Nyi Londe segera memapah Ratna yang terisak-isak di lantai.
"Aduh Neng! Tuhan tidak buta Neng. Siapa yang dosa, dia pasti dapat ganjaran
yang setimpal." kata Nyi Londe ikut terisak-isak dengan pilunya. Samolo
mengatupkan gerahamnya hingga bunyi bergemelutuk.
*** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 8 HARI dan bulan silih berganti, beterbangan bagaikan awan-gemawan yang melayang-
layang dihembus angin, seperti yang selalu dipandang Ratna dari jendela emper
penggilingan kacang kedelai setiap hari. Bagaikan jendela penjara yang mengurung
dirinya. Air mata Ratna hampir mengering, terkuras oleh
deraan siksa dan dendam rindu yang mencekam di
dadanya. Namun Giran tak kunjung pulang, meski hanya secarik kertas beritanya
dari Negeri seberang. "Kak Giran... Bilakah kau kembali, Kak" Mengapa kau tinggalkan Ratna begitu
lama?" ratapnya di dalam hati.
Dinding-dinding gedung besar itu laksana penjara yang mengungkungnya.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kerinduannya terhadap ayahnya pun terus menyiksanya. Didengarnya dari Samolo,
bahwa orang tua itu sedang menderita sakit. Seorang diri tinggal di gubuknya,
tiada yang merawat dan memasaki
makanannya. Betapa pedih dan sedih hati Ratna
memikirkan keadaan ayahnya yang sudah tua itu. Sulit baginya untuk pergi
menengoknya, karena mata mandor Sarkawi terutama tatapan mata Mirta yang
sejalang mata serigala itu sungguh menakutkan hatinya. Pemuda sinting itu selalu
mencari kesempatan untuk menerkam dirinya. Ratna selalu bergidik ketakutan bila
mengingat hal itu. Ia selalu was-was bila berada seorang diri di tempat kerjanya
maupun di emper tempat tidurnya.
Sebelum sakit, ayahnya memang pernah sekali
mengunjunginya. Itu pun dilakukan karena terlalu rindu kepada putri tunggalnya
ini. Petani tua itu hampir seharian duduk menunggu di muka pintu gerbang, karena tak
berani masuk ke dalam gedung sang besan yang terlalu megah itu. Untunglah Samolo
kebetulan keluar dan membawanya masuk untuk dipertemukan dengan Ratna. Dan untuk
pertama kali dalam hidupnya, Ratna terpaksa harus bersandiwara di depan ayahnya.
Seakan-akan hidupnya benar-benar penuh gelimang tawa ceria serta kebahagiaan
sebagai seorang menantu Tuan Tanah yang kaya raya. Tapi sesungguhnya hatinya
ketika itu sedang menangis dan meratap. Ia tidak tahu apakah ayahnya bisa
dikelabui oleh sandiwaranya itu. Ia ragu, karena ia tahu
bahwasanya mata seorang ayah maupun pandangan
mata seorang ibu, sanggup menembus sampai ke dasar kalbu anak-anaknya. Yang
pasti sejak kunjungan itu, ayahnya tak pernah lagi datang menengoknya. Bukan
disebabkan oleh sambutan dingin oleh nyonya besannya yang angkuh dan sombong
itu. Kini didengarnya kabar tentang sakitnya sang ayah. Hal ini benar-benar
menambah beban penderitaannya. Ia cuma bisa berdoa dan meminta Nyi Londe atau
Samolo kalau kebetulan sedang sempat, untuk pergi menengok orang tuanya sekalian
membawakan makanan secara sembunyi-sembunyi buat ayahnya itu.
Sementara itu, kandungannya pun tampak sudah
semakin besar. Sampai pada suatu sore, dandang nasi yang masih mendidih itu
nyaris menimpa dirinya ketika sedang diangkat oleh Ratna. Nyi Londe menjerit
sambil menubruk tubuh Ratna yang terkulai pingsan.
Caci-maki Subaidah sudah tak dihiraukan lagi oleh Nyi Londe yang sedang sibuk
menggotong tubuh Ratna ke dalam empernya. Sepanjang malam itu terdengar Ratna
merintih. Tampak Nyi Londe sibuk menyiapkan segala keperluan untuk melahirkan.
Malam itu terasa begitu hening namun menegangkan bagi Nyi Londe, yang terus
mendampingi Ratna yang terbaring dengan pucat bermandikan peluh. Kadang-kadang
merintih sambil menggeliat merasakan sakit pada perutnya.
"Kuatkan hatimu, Neng. Pasrahkan segalanya kepada Tuhan. Semuanya pasti akan
beres..." hibur Nyi Londe sambil terus mengurut perut Ratna serta menghapus
peluhnya. Samolo duduk di luar emper itu sambil melinting rokok kawung. Wajah centeng ini
belum pernah tampak setegang seperti malam itu, meski ia berusaha untuk bersikap tenang. Nampak
gulungan rokok di jari-jarinya itu gemetar dan sering gagal.
Selang sesaat sebelum fajar, berbarengan dengan kokok ayam, keheningan yang
mencekam itu dikoyak oleh jerit lengking tangisan seorang anak manusia yang baru
lahir. Samolo menengadah sambil mendesahkan pujian kebesaran Allah Sang Maha
Pencipta. Matanya berkaca-kaca.
Setelah detik-detik penuh ketegangan itu berlalu, wajah pucat-sayu si ibu-muda
yang banyak menderita ini, akhirnya dihias juga oleh segores senyum kebanggaan,
ketika Nyi Londe menyodorkan sang bayi yang
terbungkus kain itu kepadanya.
"Lihatlah, jagoan cilik kita ini, suaranya saja sudah bisa menyaingi bahkan
lebih nyaring dari semua ayam-ayam jantan yang paling perkasa di seluruh daerah
Kedawung ini. Hmm, kau lihat, Neng. Wajahnya mirip benar dengan bapaknya" kata
Nyi Londe, bangga dan bahagia seakan-akan menimang cucu kandungnya
sendiri. Ratna tersenyum. Semua derita seakan menjadi tak berarti pada saat-saat
seperti itu. "Kalau saja kak Giran berada di sisiku saat ini..." cuma itulah yang menjadi
pemikiran di hatinya, suatu perasaan yang berbaur antara kesedihan dan
kebanggaan. *** SEMINGGU kemudian, komplotan manusia tamak
mulai lagi merencanakan suatu tindakan keji.
"Sekarang ini Samolo sedang disuruh mengirim
gerobak padi ke Mauk. Kalau kali ini lu gagal lagi, pokoknya kepala lu sebagai
gantinya!" tegas Samirun berkata kepada Mandor Sarkawi.
"Jangan khawatir, Sir. Kali ini pasti beres dah. Masak iya sih, rejeki saya
nyeplos melulu" Yang benar saja."
jawab si Mandor yang banyak lagak ini.
Mirta serta ibunya yang juga berada di situ jadi sengit.
"Jangan banyak cing-cong lu, gendut! Pokoknya, gagal-modar!" Ancam Mirta sambil
menimang-nimang pistol Samirun. Wajah Sarkawi jadi pias, melirik pistol itu lalu
melangkah ke luar. Dengan mengendap-endap bagaikan pancalongok, Sarkawi mengintai ke dalam kamar
emper Ratna. Dilihatnya ibu muda itu sedang menyusui bayinya.
"Busyet! Sudah punya anak malah tambah botoh.
Pantes si Mirta, bocah cecurut itu begitu tergila-gila..."
gumam Sarkawi di dalam hati sambil menelan air liur.
Didorongnya pintu emper tersebut langsung masuk.
Ratna kaget dan buru-buru merapikan bajunya.
"Bang Sarkawi..."! Ada apa?" tanya Ratna gugup.
"Astaga! Botoh banget bocahnya, Neng. Siapa sih bapaknya?" kata Sarkawi dengan
senyum serta tatapan mata kurang ajar.
"Apa maksudmu" Sudah tentu Den Giran-lah ayahnya.
Kenapa"!" Ratna tersinggung.
Sekonyong-konyong Sarkawi merebut bayi itu dari gendongan Ratna.
"Sarkawi! Anakku!" jerit Ratna berusaha merebut kembali anaknya itu.
"Kalau ini memang anak Den Giran, neneknya mau
melihat, masak kagak boleh." kata Sarkawi sambil mendekap bayi itu, melompat
keluar. "Anakku! Anakku! Jangan kau bawa anakku,
Sarkawi!" Ratna mengejar ke luar.
"Sarkawi, tinggalkan anakku." jerit Ratna histeris sambil terus mengejar Sarkawi
yang kabur mendekap bayi itu ke luar gedung. Ratna semakin nekat dan terus
mengejar sambil menjerit-jerit. Sementara itu bayinya pun terdengar menangis di
dalam dekapan Sarkawi yang berlari semakin kencang menuju jalan desa yang sudah
sunyi dan gelap itu. Ratna terus mengejarnya. Sarkawi menuju rumah Samirun
langsung masuk. Ratna memburu tapi terlambat, pintu itu sudah tertutup rapat-rapat. Ia memekik dan
melolong sambil menggedor daun pintu dengan kalapnya.
"Buka! Kembalikan anakku! Anakku...!" jerit Ratna sambil menangis histeris,
karena ia tahu akan kebusukan komplotan mertuanya itu.
"Bagus kerja lu, Wi. Biar dia ngegoser di luar jangan lu buka pintu itu!" kata
Samirun dengan senyum iblisnya.
Sarkawi meletakkan bayi yang menangis kencang itu di atas meja, di hadapan
Subaidah dan Mirta yang tak punya perasaan iba sedikitpun terhadap anak itu.
Sementara suara gedoran pintu serta tangisan Ratna di luar, menambah gaduhnya
suasana di rumah tersebut.
Namun hati orang-orang berjiwa iblis ini sedikitpun tak tersentuh, wajah mereka
tetap dingin. Sarkawi menghapus peluh dengan kain pengikat
kepalanya. "Saya jadi ingat waktu disuruh Den Kasir nyolong anak babinya babah Tiong-Cit
tempo hari. Perut saya hampir ambrol di serobot biang nya. Nah, yang ini juga
persis, kalau enggak lihai saya pasti sudah ko'it diterjang sama dia.
Busyet, galaknya enggak ketulungan, kayak kesetanan, Den." Desahnya sambil
mengipas-ngipas. "Mana upahnya, Den?" sambungnya.
"Apa" Upah"!" tanya Samirun, mengambil pistol dari tangan Mirta.
"Nih upah! Ayo lu celangap lagi, gua upahin biji melinjo, baru nyahu, lu!" kata
Samirun ketus dengan menekan ujung pistolnya ke batang hidung Sarkawi.
"Sialan! Kerjaan belum beres sudah minta upah. Mau mampus, lu?"
Mata Sarkawi jadi juling menatap laras pistol yang sangat ditakutinya itu. Ia
meringis. "Ah, Den Kasir... segitu aja pakai marah. Saya kan cuman bercanda... simpan ah
si bongkok nya" katanya sambil melangkah mundur dan berusaha tertawa.
Tangisan bayi dan suara gedoran pintu serta jeritan Ratna yang meminta anaknya
itu, membuat Sarkawi semakin uring-uringan. Ditendangnya pintu itu berkali-kali
sambil memaki. "Hei, berisik! Jangan gegoakan melulu, lu! Diam! Eh, Bandel!"
Dasar wataknya pandai menjilat, ia berlagak mau jadi jagoan tak kepalang
tanggung. "Perempuan itu bandel banget dah. Bagaimana, Den.
Saya beresin saja nih?" tanyanya kepada Samirun.
Tapi Kasir ini mendorong tubuhnya.
"Minggir lu! Nanti rusak pintu gua digedor-gedor."
katanya ketus. Kemudian ia berkata kepada Ratna yang masih meratap di luar.
"Hei, Ratna. Kalau kau ingin anakmu ini kembali dan selamat, itu gampang, asal
kau bersedia meluluskan sebuah syarat."
"Syarat apa?" tanya Ratna dalam isak tangisnya.
"Serahkan kotak itu kepadaku! Anakmu ini pasti
kuserahkan kepadamu hidup-hidup! Bila tidak, huh!"
Samirun menjelaskan syaratnya.
Tidak pernah ada seorang ibu pun yang benar-benar mencintai anaknya, rela
mengorbankan buah hatinya hanya demi harta dunia. Begitu pun Ratna. Tanpa
berpikir panjang lagi ia segera menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh
Samirun tersebut. "Baik, berjanjilah, kau harus menyerahkan anakku!"
isak Ratna minta kepastian dari luar pintu.
"Cepat! Aku beri waktu sepuluh menit. Terlambat, jangan kau sesalkan aku terlalu
kejam!" jawab Samirun dengan suara dingin.
Ratna lari pontang-panting menembus kegelapan
malam menuju gedung besar. Setibanya di dalam kamar empernya, ia segera
membongkar tempat penyimpanan kotak pusaka tersebut, dengan lengan-lengan
gemetar serta perasaan panik luar biasa. Ia seakan-akan tengah berlomba dengan
Malaikat El-Maut yang segera akan merenggut nyawa bayinya. Nyi Londe hanya
tertegun tanpa daya. Kedua wanita itu bagaikan makhluk-makhluk lemah yang tak
berdaya menghadapi segala kekejaman dunia ini. Ratna hampir tak membuang waktu
sedetikpun, segera meraih peti berharga itu dan dibawa lari ke rumah kasir
Samirun. Setibanya di depan rumah Samirun, dengan napas
masih memburu, Ratna langsung berteriak.
"Ini peti warisannya, cepat buka pintu, aku mau mengambil anakku!"
"Bagus! Coba kau bawa masuk petinya!" jawab
Samirun, membuka daun pintu itu sedikit.
Ratna menyodorkan peti itu melalui celah pintu yang segera disambar oleh
Samirun. Ratna mendorong pintu, tapi pintu itu telah ditutup lagi oleh sang
kasir yang licik. Ratna menjerit sambil berusaha mendorong pintu itu dengan sekuat tenaganya, dan
memaksakan tubuhnya masuk ke dalam. Dorong-mendorong terjadi. Samirun dengan
dibantu oleh Sarkawi mendorong pintu itu kuat-kuat, membuat tubuh Ratna terjepit
dan tak bisa bernapas. Ibu muda itu tak kuat lagi menorong pintu, sebab selain
kesehatan fisiknya belum pulih benar akibat melahirkan, juga akibat kerja tanpa
istirahat sepanjang hari. Akhirnya ia jatuh terkulai di depan pintu. Samirun
mengunci pintu itu rapat-rapat. Mereka memeriksa peti pusaka yag sangat
didambakannya itu dengan seksama.
"Periksa, siapa tahu peti ini palsu..." perintah Subaidah.
"Palsu" Perempuan setolol dia mana mungkin berpikir sejauh itu!" sela Samirun,
berusaha membuka peti warisan. Diperiksanya semua surat-surat berharga yang
berada di dalam kotak berukir indah itu. Serenceng kunci-kunci brankas
penyimpanan uang emas ringgitan berkantong-kantong banyaknya yang pernah dilihat
Subaidah ada disimpan suaminya.
Yang paling membuatnya bernafsu, adalah berkotak-kotak emas permata yang pernah
dilihatnya tersimpan di salah sebuah peti besi di ruangan khusus gedung itu.
Kini kunci-kunci dari seluruh harta warisan tersebut berhasil dikuasainya.
Wajah Subaidah masih tetap dingin, ia mendekat ke arah si bayi yang masih tetap
menangis. "Bapak bayi ini telah luput dari tangan kita. Pada suatu hari dia pasti akan
kembali." katanya dingin.
"Kalau seluruh harta sudah di tangan kita, apalagi yang kita takuti di dunia
ini" Semuanya bisa diatur." kata Samirun dengan sombongnya.
"Lihatlah, tua bangka itu tidak memasukkan namamu atau Mirta barang secuil pun
ke dalam testamen ini."
suara Samirun gemas, setelah meneliti surat warisan yang disegel dengan lak,
yang tersimpan rapi di amplop khusus.
"Aku sudah menduganya. Jika aku sudah pasti
mendapat warisan, buat apa aku ribut-ribut." jawab Subaidah tenang.
"Kelak bayi ini pun pasti akan jadi duri yang tumbuh di daging kita. Maka dia
juga harus disingkirkan!" Dingin dan tajam kata-katanya itu.
Ratna yang lapat-lapat mendengar kata-kata Subaidah itu langsung jatuh pingsan.
"Kalau begitu, tua bangka itu sudah tahu tentang hubungan kita?" bisik Samirun
di sisi Subaidah. "Mungkin saja. Tapi cuma disimpan di dalam hatinya."
kata Subaidah sambil senyum sinis bercampur rasa jengah.
"Dan dia pun tahu, Mirta sesungguhnya bukan
anaknya"!" "Testamen itu sudah menjawabnya." kata Subaidah tertunduk.
Samirun tercenung sejenak. Ada perasaan tidak enak menyelinap di dasar hatinya.
Bagaimanapun ia merasa "malu-hati" terhadap, majikannya almarhum.
Subaidah melirik memperhatikan sikap Samirun.
"Alaaah... buat apa dipikirkan, orangnya pun sudah jadi tanah di liang kubur."
nyeletuk Subaidah, juga seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri.
Tubuh Ratna terbaring tak sadarkan diri di muka pintu. Nampak kepala Mirta
nongol dari pintu dan matanya tiba-tiba jadi nanar memandang tubuh yang
tergeletak seenaknya itu. Ia melangkah mendekat dan berlutut di sisi tubuh
Ratna. Tampak mata pemuda ini makir liar menjalari setiap lekuk tubuh yang
sangat diimpikannya setiap detik. Napasnya makin memburu menyesakkan dada.
Lengannya gemetar mulai mengerayangi tubuh molek itu.
"Ratna, kau akan kujadikan milikku untuk selama-lamanya." desis Mirta.
Pada detik itu tiba-tiba Ratna tersadar dari
pingsannya. Matanya terbelalak kaget memandang wajah Mirta yang begitu dekat di
hadapannya itu. Ratna meronta seketika dan mendorong tubuh pemuda sinting ini,
ia beringsut menjauh dengan bulu kuduk merinding.
"Apa yang kau lakukan, Mirta?" pekik Ratna.
Mirta mendekat lagi, matanya begitu liar membuat Ratna tersentak mundur lalu
lari ke pekarangan. Mirta mengejar.
"Kau... kau sudah gila, Mirta. Jangan sentuh aku!
Ingatlah aku adalah istri kakakmu." jerit Ratna ketakutan.
"Giran si keparat itu sudah jadi bangke, Ratna. Itulah upahnya tukang serobot.
Heh heh heh...!" Lalu pemuda.
ini lompat menerkam. Ratna menghindar dan "si tukang serobot" ini terpaksa
"mencium" pohon hingga hidungnya mengucurkan darah. Ratna makin ketakutan, ia
lari ke luar sambil menagis tersenggak-senggak.
Mirta mendengus sambil menekap hidungnya yang
berdarah itu. Mandor Sarkawi yang sejak tadi menonton adegan tersebut tak kuasa
menahan tawanya. Mata Mirta jadi melotot, serta-merta meninju pelipis si mandor
yang sedang tertawa terbahak-bahak itu hingga terjengkang ke batang pohon.
"Sialan! Ngeledek lu, ya"! Gua mampusin lu. " bentak Mirta dengan suara sengau.
Sarkawi mengusap pipinya sambil tersandar di pohon.
Mulutnya komat-kamit entah apa yang diucapkannya.
Dunia ini terasa makin gelap bagi Ratna. Ia sudah tak kuat lagi untuk hidup
terus. Ia lari tersuruk-suruk dalam kepekatan malam dan telah nekat untuk
mengakhiri nyawanya dengan sebuah gunting yang dilihatnya
tergeletak di atas meja di kamar empernya itu. UntungIah Nyi Londe cepat
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencegahnya. "Ya Allah! Apa-apaan Neng"! Aduh, kuatkanlah
hatimu, Neng! Ingat...!" Seru Nyi Londe sambil merebut gunting yang hampir
ditusukkan Ratna ke lehernya itu.
Kedua perempuan ini saling bertangisan. Ratna menangis dengan pedihnya di
pelukan pengasuh itu yang terus membesarkan hatinya.
"Tawakal-lah kepada Yang Maha Kuasa, Neng! Tuhan tidak buta, Neng. Tidak buta!"
bujuknya sambil ikut terisak-isak.
"Kalau saja sekarang Samolo berada di sini, pasti tidak akan terjadi sampai
begini!" katanya lagi sambil menghela napas.
Sejak kotak wasiat jatuh ke tangan Subaidah dan Samirun, Mirta anak mereka yang
terlalu dimanja, kini hidupnya setiap hari cuma berfoya-foya bergelimang di
dalam kemaksiatan. Pelesir dengan para pelacur dan berjudi. Mandor Sarkawi yang
punya kegemaran sama makin setia mendampingi sang "p angeran" sinting itu.
Lebih-lebih kasir Samirun yang jadi kaya mendadak dan mengikrarkan dirinya
sebagai Tuan Tanah baru di wilayah Kedawung. Galaknya melebihi macan kebelet.
Penduduk menjadi resah dan makin sengsara diperasnya.
Untuk menjaga posisinya Samirun senantiasa berlaku royal bahkan pandai menjilat
para amtenar Belanda yang berkuasa di wilayah Jawa Barat. Pada hari pertama saja
sebagai Tuan Tanah baru, ia sudah mengantar upeti yang cukup lumayan kepada Tuan
Residen sampai pada para Pamong Desa. Maka sebentar saja ia sudah memperoleh
pengaruh di desa kecil itu. Kadang-kadang Samirun dan Subaidah terlibat
pertengkaran yang cukup sengit, karena nyonya Tuan Tanah ini mendengar
selentingan dari Sarkawi bahwa sang "suami" mempunyai beberapa
"simpanan" di kampung. Sarkawi yang mendapat tugas khusus dari sang Nyonya,
untuk memata-matai sepak terjang "Don Yoan" kampungan ini di luaran, sering
memberi laporan kepada nyonya majikannya hanya
semata-mata demi mendapatkan upah. Lebih-lebih jika ia dalam keadaan pailit
akibat kalah taruhan mengadu ayam atau judi sintir. Persoalan lainnya ia sangat
sakit hati atas kepelitan Samirun yang tidak pernah mau lagi memberi persen
kepadanya, tapi eks kasir itu selalu bermurah hati kepada para tukang pukul dan
beberapa orang tertentu. Bahkan kini Samirun telah menggaji beberapa belas
tukang pukul dan centeng yang rata-rata berkelakuan brutal. Dengan tumpleknya
para begundal baru itu membuat mandor Sarkawi benar-benar merasa tersisih dan
iri hati. Itulah sebabnya ia selalu mengarang ceritera, tentang kebrengsekan
Samirun di luaran. Samirun memang paling senang ngibing doger.
Persenanannya pun tak kepalang tanggung. Ada seorang primadona doger yang
dibelikan seperangkat pakaian yang mahal-mahal serta perhiasan yang berkilauan.
Hal itu sampai di telinga Subaidah. Perang pun terjadi di rumah Samirun.
*** Gedung besar itu tetap sunyi, kadang-kadang saja
Subaidah pulang untuk ber "week end" di tempat tsb.
Samirun telah mendandani rumahnya sendiri hingga tak kalah mewah dan lengkapnya
dengan Gedung Tuan Tanah, ayah Giran itu. Bukan Samirun tidak ingin menguasai juga gedung megah
itu, tapi ia merasa khawatir bila kelak Samolo atau Giran muncul secara tiba-
tiba. Pada suatu malam Samolo tiba-tiba muncul di kamar emper Nyi Londe dan Ratna.
Sinar mata centeng ini menjadi sayu ketika memandang tubuh Ratna yang kurus dan
pucat tengah terbaring di balai-balai itu. Nyi Londe pun tampak kuyu
menyedihkan. "Kenapa kau Neng" Sakit" Oh ya, ke manakah si
bayi?" tanya Samolo dengan hati serta perasaan tidak enak.
Ratna tidak sanggup menjawab, hanya air matanya saja yang tercurah ke atas
bantal. Nyi Londe memandang Samolo seakan-akan menyesali kepergiannya yang
begitu lama. "Samolo, kenapa kau baru kembali?" tanya Nyi Londe.
"Ke mana saja kau selama ini?"
Samolo melepaskan buntalannya yang tergemblok di punggungnya. Ia duduk dan
menuang air dari kendi, lalu diminumnya.
"Ketika aku membawa segerobak padi ke Mauk, di
tengah jalan tiba-tiba aku disergap Opas Kompani dituduh mencuri padi. Tanpa mau
mendengar penjelasanku mereka langsung saja menjebloskan aku ke dalam bui." Cerita Samolo
dengan suara berat. "Dua minggu lamanya aku disekap di balik terali besi.
Dari ceritera bisik-bisik para opas itu aku baru tahu, bahwa sesungguhnya
penangkapan atas diriku itu
memang telah diatur oleh Samirun. Kemudian aku pun tahu ternyata pintu sel
penjara itu sengaja tidak dikunci untuk memancingku kabur dan mereka punya
alasan untuk menembakku."
"Lalu bagaimana kau bisa keluar?" tanya Nyi Londe ingin tahu.
"Berdiam di dalam sel atau kabur sama saja, mereka memang sengaja ingin
membunuhku dengan cara apa saja. Dipancing untuk kabur, ya aku kabur."
"Opas-opas itu tidak menembakmu?" Suara Nyi Londe terdengar berdebar.
"Tidak sempat. Karena aku lebih dahulu melabrak mereka." kata Samolo tenang.
"Tapi para hamba wet itu pasti mencarimu..." ujar Nyi Londe khawatir.
"Dari dulu pun aku memang orang buronan. Berkat perlindungan dan wibawa Den
Besar, mereka tidak dapat berbuat, apa-apa."
"Tapi kini keadaan, sudah lain, Samolo." tukas Nyi Londe penuh emosi.
"Sejak aku melangkah masuk ke mulut desa ini aku sudah dapat menduganya. Telah
terjadi sesuatu di sini. Tiga sosok mayat secara berturut-turut kulihat
tergantung di pohon. Hal ini belum pernah terjadi, aku tahu benar penduduk desa
ini bukanlah orang-orang yang mudah putus asa." kata Samolo geram.
Bergidik bulu kuduk Nyi Londe dan Ratna mendengar ceritera Samolo itu. Lalu Nyi
Londe pun menceritakan peristiwa diculiknya bayi Ratna oleh komplotan Samirun
untuk memperoleh kotak warisan.
"Si bayi harus cepat ditolong. Semoga dia masih selamat." kata Samolo tegas.
"Tolonglah anak saya, Bang...! Tolonglah...!" ratap Ratna memohon dengan
setengah menangis. "Pasti, Neng." tegas Samolo seraya bangkit.
"Berdo'alah kepada Yang Maha Kuasa, semoga orang-orang sesat itu diberi
kesadaran!" Katanya tenang namun mengandung rasa geram dan sesal yang dalam.
"Mereka lebih berbahaya dari segala ular berbisa.
Maka lebih aman kalau kalian mengungsi dahulu ke rumah ayahmu!" Nyi Londe dan
Ratna setuju dengan usul tersebut.
Malam itu juga Samolo mengantar Ratna dan Nyi
Londe ke rumah Ki Kewot. Lengan tua kakek tersebut jadi gemetar memapah tubuh
putrinya yang menangis tersedu-sedu di haribaannya.
"Kuatkan hatimu, Nak. Tuhan selalu melindungi
hamba-Nya yang tidak bersalah." hibur Ki Kewot dengan mata berkaca-kaca.
Hati orang tua ini rasa teriris-iris. Meskipun hidup dalam serba sederhana, di
gubuk yang reyot itu, Ratna tidak pernah menderita seperti sekarang ini. Ia
selalu melimpahkan kasih sayang yang tak terbatas kepada putri tunggalnya. Ia
tak pernah membiarkan putrinya menangis barang sejenak, apalagi bekerja keras,
kedinginan atau kelaparan atau derita lainnya. Seekor nyamuk saja yang hinggap
dan mengganggu tidur Ratna sudah cukup membuat Ki Kewot jadi geram dan kalap.
Kini betapa tidak akan terenyuh hati orang tua ini melihat keadaan serta
penderiataan putrinya, bahkan cucunya yang masih tak mengenal dosa itu pun ikut
jadi korban kerakusan orang-orang tak beriman itu.
Malam itu bulan dan bintang lenyap, tak tampak
cahayanya setitik pun. Langit gelap-gulita bagaikan selembar kain hitam raksasa
yang menelungkupi seluruh desa Kedawung. Angin berhembus membawa hujan
rintik-rintik disertai bunyi guruh yang lapat-lapat terdengar di kejauhan. Tepat
pada saat itu tampak sesosok bayangan melesat ke atas wuwungan rumah Samirun.
Dengan gerakan seperti seekor kucing, sosok bayangan itu melompat turun dari
lubang genting yang dibongkarnya tanpa suara. Ia tepat berada di kamar Samirun yang sedang tertidur
pulas. Di antara cahaya lampu yang remang-remang itu terlihat sosok bayangan
tinggi besar yang ternyata Samolo. Dengan hati-hati ia melangkah ke sebuah
lemari. Dengan sekali sentuh terbukalah lemari tersebut.
Dugaannya sangat tepat, ia mendapatkan kotak wasiat itu berada di dalam lemari
itu. Dengan kotak terkempit di lengan, Samolo lompat kembali ke atas wuwungan.
Sekeping pecahan genting jatuh meluruk menimpa kepala Samirun yang segera
tersadar dengan tiba-tiba. Ia masih sempat melihat ujung kaki "pencuri" itu
lenyap di lobang plafon kamarnya. Ia lompat ke lemari dan langsung berteriak
sambil meraih pistolnya dari bawah bantal.
"Maling! Tangkap pencuri...!" Teriaknya sambil
melompat ke luar kamar. Di halaman belakang ia melihat sesosok bayangan berkelebat di atas wuwungan. Ia
menembak secara beruntun ke arah bayangan tadi. Tapi sosok bayangan itu telah
lenyap melompat ke sisi depan gedung. Samirun jadi kalap.
"Pencuri! Pencuri!" Teriaknya kalap sambil berlari ke luar. Sesaat kemudian
tampak belasan centeng muncul berserabutan dengan obor serta senjata-senjata
terhunus di tangan. Semuanya bergerak ke arah luar gedung untuk mengejar si
pencuri yang amat tangkas tadi. Namun yang didapati mereka di luar gedung itu
cuma deru angin dan suara lolongan anjing Samirun yang menyalak tanpa henti.
Samirun membanting kakinya dengan penuh
luapan amarah. Dimakinya para centeng itu habis-habisan. Sesaat kemudian Samirun
tersentak karena mengingat sesuatu.
"Si bayi!" teriaknya, lalu langsung berlari masuk ke dalam rumahnya lagi diikuti
oleh derap belasan pasang kaki para centengnya.
Mereka langsung pula menerobos masuk ke dalam
sebuah kamar. Tampak seorang pengasuh sedang berdiri menggigil ketakutan di sisi
ranjang bayi yang sudah kosong.
"Bangsat! Tidak salah lagi ini pasti perbuatan Samolo."
Teriak Samirun sambil membalikkan ranjang bayi dengan marahnya.
"Sosok bayangan itu jelas mirip si keparat sialan itu."
sambungnya. Lalu matanya mendelik ke arah para
centengnya yang jadi tertunduk mengkerat.
"Bakul-bakul nasi! Aku gaji kalian bukan untuk tidur ngorok, tahu"!" Semprot
Samirun belum hilang kalapnya.
Sementara itu Samolo telah menyerahkan si bayi ke dalam pelukaan ibunya. Ratna
mendekap bayinya yang dikiranya sudah tidak ada lagi di dunia ini, dengan
ledakan tangis. Kotak wasiat itu pun diberikan kepada Ki Kewot untuk
disimpannya. "Terima kasih, Samolo!" Cuma itu yang keluar dari mulut Ki Kewot, karena
suaranya terasa menyangkut di kerongkongannya.
"Bersyukurlah kepada Tuhan, Ki!" jawab Samolo
sambil meminum air kendi.
"Aku pikir sebaiknya kita segera meninggalkan rumah ini. Samirun pasti tidak
tinggal diam!" sambung Samolo.
Perhitungan Samolo memang tepat. Karena menjelang fajar, gubuk kecil itu telah
dikepung oleh orang-orang Samirun dan beberapa opas dengan senjata-senjata
terhunus. Samirun berteriak memerintahkan Samolo menyerahkan diri atau gubuk itu
akan dibakar ludes. Detik itu orang-orang di dalam justru sedang siap-siap untuk pergi mengungsi.
Demi keamanan dan keselamatan yang lain, Samolo terpaksa pasrah diborgol dan diseret pergi.
"Kalau dia berani kabur lagi, bikin tubuhnya jadi santapan buaya-buaya
Cisadane." perintah Samirun kepada orang-orangnya.
Seperginya gerombolan yang menggiring Samolo,
Samirun bersama tiga orang centengnya, termasuk mandor Sarkawi menerobos masuk
ke dalam gubuk Ki Kewot. "Geledah seluruh sudut gubuk reyot ini!" perintah Samirun kepada tiga orang
upahannya sambil bertolak pinggang dengan sombongnya. Tiga begundal itu segera
mengobrak-abrik seluruh isi pondok untuk mencari kotak wasiat.
Melihat ulah orang-orang ini, Ki Kewot tak dapat menahan diri lagi.
"Setan neraka jahanam. Keluar kalian!" tudingnya kepada Samirun yang tersenyum
iblis. "Hei, tua bangka pikun! Mana mungkin aku keluar dari kandang babi ini, sebelum
kotak itu berada di tanganku. Mengerti kau"!" kata Samirun, balas menuding Ki
Kewot dengan tongkatnya. "Kotak apa"! Kalian memang sengaja cuma mau
mengacau." bentak Ki Kewot.
"Kau sembunyikan di mana kotak itu"!" bentak
Samirun setelah melihat orang-orangnya tak berhasil menemukan kotak wasiat itu.
"Ayo katakan! Sebelum peluruku ini mengoyak dada keriputmu." katanya sambil
mengokang pistolnya ke arah dada Ki Kewot.
Sungguh di luar dugaan, kakek ini malah maju sambil membuka bajunya dan
membusungkan dadanya. "Silahkan! Ayo pilihlah yang paling empuk, kasir keparat!" katanya mantap dan
nekat. Meletuslah pistol Samirun diiringi jeritan Ratna dan Nyi Londe.
"Ayah!" jerit Ratna sambil menubruk tubuh ayahnya yang limbung dengan darah
tersembur dari dadanya. Sarkawi menarik lengan Ratna yang meronta dan
menjerit seperti gila. Samirun memerintahkan Sarkawi menyeret Ratna keluar,
sementara pistolnya sekali lagi
"memakan" tubuh Ki Kewot yang langsung tersungkur ke lantai gubuk. Nyi Londe
berusaha menolong kakek ini, tapi ia jatuh tersungkur juga digetok gagang pistol
Samirun pada keningnya. Ratna terus diseret Sarkawi ke luar gubuk, yang meronta
dan menjerit dengan kalap.
Gagal menemukan kotak wasiat itu, Samirun jadi
buas. Setibanya di luar ia menyambar obor dan menyulut atap gubuk kemudian
melemparnya ke atas atap. Dalam sekejap saja api pun berkobar. Ratna makin panik
dan meronta dengan kalap di dalam dekapan tiga begundal itu.
"Anakku...! Anakku...!" jerit Ratna seperti gila.
Tapi Samirun dan tiga begundalnya terus menyeretnya pergi. Suaranya semakin jauh
kemudian tertindih oleh gemuruh api yang makin besar melahap seluruh gubuk itu.
Nyi Londe berusaha bangkit namun kepalanya terasa berat dan pening. Dengan
terbatuk-batuk ia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk merangkak ke kamar karena dari sana
terdengar suara tangisan si bayi. Sementara api dengan cepat menjilat dan
melahap rumah bilik itu. Sang pengasuh merangkak menembus asap yang menyesakkan
napas. "Cepat tolong cucuku, Nyi...! Cepat...!" Dengus Ki Kewot dengan napas satu-satu,
sambil mencoba bergerak dan beringsut ke arah kamar di mana cucunya berada.
Darah mengalir semakin deras dari luka di dada dan perutnya, berceceran
membasahi lantai. Api semakin besar dan ganas melahap seluruh isi gubuk.
Balok-balok berapi pun berjatuhan dari atas, nyaris menimpa Nyi Londe yang terus
berkutet merangkak menembus asap, menggapai-gapai mencari pintu kamar tidur si
bayi. "Cepat selamatkan cucuku, Nyi. Cucuku...!" Terdengar suara Ki Kewot megap-megap
di tengah gulungan asap yang makin tebal. Nyi Londe berhasil mencapai kamar dan
langsung meraih tubuh bayi yang menangis
kepanasan. Darah tampak mengalir dari kening Nyi Londe tapi tak dihiraukan. Ia
mendekap tubuh si bayi erat-erat sambil berdo'a karena api telah mengurung semua
jalan keluar. "Oh Tuhan, lindungilah makhluk-Mu yang tak berdosa ini...!" Ratap Nyi Londe
dalam do'anya. Sementara itu, Samolo sedang digiring oleh para begundal dan opas menuju Tangsi.
Dari atas tanggul yang dilaluinya, terlihat olehnya cahaya api dari arah gubuk
Ki Kewot. Hati centeng ini jadi tercekat, ia tahu itu pasti perbuatan Samirun
dan begundal-begundalnya. Ia benar-benar merasa khawatir akan keselamatan Ratna
dan bayinya juga Nyi Londe dan Ki Kewot yang berada di dalam gubuk.
Sekonyong-konyong Samolo menggentak rantai
borgolnya hingga putus. Berbareng dengan itu, dua begundal yang berjalan di
depannya terjungkal ke dalam sungai dengan kepala remuk dibabat lengan Samolo.
Dua opas yang berjalan mengiringinya itu terkejut namun sebelum kedua hamba wet
ini siap mengayun kelewangnya, Samolo telah lebih dahulu menyapunya dengan
sebuah tendangan berantai yang sangat dahsyat, hingga kedua opas itu terpental
saling susul ke bawah tanggul. Sisanya menjadi ciut lalu kabur terbirit-birit
dari atas tanggul. Samolo pun memang tidak ada waktu lagi untuk
berurusan dengan mereka, karena ia dengan kecepatan penuh berlari ke arah gubuk
yang sedang terbakar itu.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Api sedang mengamuk dengan dahsyatnya ketika
Samolo tiba di muka gubuk yang hampir musnah ditelan lidah-lidah api yang
mengganas. Tak terasa peluh dingin Samolo membasahi tubuhnya yang panas
terpanggang. Ia berteriak memanggil nama Ki Kewot dan Nyi Londe, tapi suaranya
sirna ditelan gemuruh api. Juga Ratna yang dipanggilnya tak ada jawaban. Maka
dengan nekat ia lompat menerjang gumpalan asap dan api itu dan
menerobos masuk. Samar-samar dilihatnya Ki Kewot sedang merangkak-rangkak menuju
kamar. "Ki Kewot, mana Ratna dan bayinya" Juga Nyi Londe"!"
Teriak Samolo sambil menghindar dari balok berapi yang berjatuhan. Ia melompati
lidah-lidah api yang bergejolak itu langsung menyambar tubuh kakek yang terluka
parah ini lalu dibawa lompat ke luar.
"Jangan hiraukan aku, Samolo. Tolonglah cucuku dan Nyi Londe...!" kata Ki Kewot
megap-megap di kempitan Samolo. Samolo meletakkan tubuh tua yang bersimbah darah
itu di pekarangan. "Kotak itu berada di bilik kamar itu...!" ujar Ki Kewot dengan napas makin
memburu. Samolo tanpa membuang waktu sedikit pun sudah
melompat masuk lagi melalui jendela yang dijebol jerujinya dengan sekali babatan
telapak tangannya. "Nyi Londe, tetaplah di situ!" serunya kepada Nyi Londe yang terpaku di sudut
bilik sambil mendekap si bayi.
Samolo membungkus tubuh si Bayi dengan selimut yang dibasahkan lebih dahulu.
"Kau keluar dulu melalui jendela itu, Nyi! Aku mau mencari kotak. Cepat!"
Nyi Londe agak ragu karena merasa khawatir dengan keselamatan bayi itu, namun ia
keluar juga melalui jendela yang sudah dijebol oleh Samolo.
Setibanya di luar Nyi Londe dan Ki Kewot menunggu munculnya Samolo dengan
jantung berdebar-debar. Ketegangan serta rasa khawatir seolah telah
melumpuhkan seluruh sendi tulang dan syaraf mereka.
Bagian samping gubuk itu tiba-tiba runtuh. Nyi Londe dan Ki Kewot tampak makin
pucat menggigil. "Samolo...! Samolo cepat keluar...!" Teriak Nyi Londe tak sabar.
"Cucuku... Oh, bagaimana dengan cucuku..."!" ratap Ki Kewot tersendat-sendat.
Tiba-tiba tampaklah Samolo di tengah gejolak api. Kini tiang-tiang bangunan itu
mulai berderak bergoyang.
Pada detik terakhir itu, Samolo melesat keluar melalui jendela, dan tepat pada
detik itu pula ambruklah seluruh bangunan tersebut dan menjelma jadi tumpukan
api unggun raksasa. Samolo berguling dengan sang bayi dalam pelukannya dan kotak
wasiat tergemblok di punggungnya dalam buntalan kain sarung. Tampak
beberapa bagian baju centeng perkasa ini hangus terbakar.
Nyi Londe segera menggendong si bayi yang terus menangis itu, Samolo berlutut di
sisi tubuh Ki Kewot untuk memberi pertolongan selanjutnya. Tapi kakek ini
menggeleng-geleng kepala dengan lemah.
"Jagalah Ratna dan cucuku... Samolo...!" pesannya.
"Tenanglah, Ki. Aku pasti akan selalu melindungi mereka." janji Samolo dengan
suara haru. Kepala Ki Kewot tergolek ke sisi, wafatlah orang tua yang telah banyak menderita
itu. Samolo tertunduk dengan hati pilu. Setelah Nyi Londe menceriterakan
diculiknya Ratna oleh Samirun, Samolo segera mengubur jenazah Ki Kewot di dekat
puing gubuknya. Samolo dan Nyi Londe lama termenung, semua peristiwa itu seakan-
akan sebuah mimpi buruk yang sangat mengerikan bagi mereka.
*** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 9 NYI LONDE membawa si bayi dan Samolo ke sebuah
rumah bilik yang terletak terpencil di tepi sungai setelah berjalan menembus
hutan jati yang cukup lebat. Rumah bilik itu tampak masih cukup kuat biarpun
sudah banyak yang bocor dan bolong di sana-sini, namun masih bisa untuk mereka
berteduh. Di sini mereka merasa lebih aman karena agaknya tempat itu jarang
dilalui orang. "Rumah ini sudah lama kosong sejak ayahku
meninggal dunia!" kata Nyi Londe sambil menidurkan si bayi.
"Mudah-mudahan nasib Girin tidak akan seburuk
aku." sambungnya dengan suara pelan penuh haru.
"Girin..."!" Tanya Samolo heran mendengar nama itu.
"Agaknya untuk selalu mengingat nama Den Giran, Ratna memberi nama Girin kepada
putranya ini!" Nyi Londe menjelaskan dengan tersenyum.
Samolo termenung memandang keluar jendela.
"Entah bagaimana dengan nasib Neng Ratna sekarang.
Dia pasti dibawa ke rumah Samirun. Nanti malam akan kucoba ke sana."
"Hati-hatilah, mereka makhluk-makhluk busuk yang banyak akalnya!" kata Nyi Londe
khawatir. "Aku tahu mereka akan menggunakan Neng Ratna
untuk ditukar dengan kotak warisan!"
Malamnya Samolo berangkat ke rumah Samirun,
karena ia yakin Ratna pasti disekap di rumah itu. Dengan gerakan ringan ia
menyelinap ke dalam pekarangan dan segera bersembunyi di balik pilar.
"Sunyi. Aku yakin Neng Ratna berada di sarang setan ini." pikirnya dengan penuh
waspada. Keadaan di rumah itu terasa sunyi mencekam. Samolo pun telah siap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Sekonyong-konyong sambaran angin mendesing ke
arahnya. Samolo berkelit tepat ketika sebatang tombak menancap di pilar hanya
beberapa inci dari kepalanya.
Berbarengan dengan itu, berlompatanlah belasan orang bersenjata dari berbagai
sudut, mengepung Samolo. Samolo sadar bahwa ia telah masuk perangkap.
Namun sedikitpun ia tidak gentar. Dengan sikap tenang namun waspada ia tegak di
tengah pekarangan. Sementara orang-orang bersenjata itu semakin rapat mengurungnya.
"Ha ha ha ha...! Sekarang kau tak mungkin bisa lolos lagi, anjing!" terdengar
suara gelak tawa Samirun dari tengah kerumunan para begundalnya. "Sebaiknya kau
menyerah saja. Nyawa Ratna dan kau sendiri sudah berada di telapak tanganku.
Serahkan kotak itu, kalian pasti selamat!" serunya lagi.
"Carilah sendiri di tumpukan puing gubuk yang sudah jadi arang itu!" ejek
Samolo. Mata Samolo tajam mencari Samirun di antara para pengepungnya itu. Dia berpikir,
jika ingin membunuh ular haruslah kepalanya lebih dulu. Ia sudah mengambil
keputusan untuk menghabisi si biang kerok itu. Maka ketika matanya menangkap
sesosok tubuh jangkung berdiri di belakang para centeng itu, Samolo tiba-tiba
melejit seperti pantulan bola lalu lompat melesat ke arah Samirun. Gerakannya
begitu cepat dan sukar diduga, membuat para centeng sewaan jadi tersentak dan
bergerak serentak untuk menghalangi terjangan Samolo.
Samirun terkejut tak alang-kepalang ketika sosok tubuh tinggi besar itu tiba-
tiba saja sudah berada dekat di hadapannya, menerjang bagaikan seekor burung
rajawali yang sangat tangkas. Samirun dengan gugup lompat mundur sambil menembak
dengan pistolnya. Dua letusan terdengar disusul oleh jeritan mengaduh dua orang
centengnya sendiri yang segera rubuh bergelimpangan ke tanah terkena peluru
nyasar. Detik itu Samolo sudah lompat lagi setelah berguling menghindar dari
desingan peluru. Sasarannya selalu terarah kepada Samirun, membuat kasir ini
jadi kelabakan dan menembak
membabi-buta karena paniknya. Setiap butir peluru yang dimuntahkan dari moncong
pistolnya itu selalu saja merenggut satu atau dua nyawa orang-orang sendiri.
Keadaan menjadi kacau-balau. Para centeng lari
serabutan atau tiarap karena takut terkena peluru nyasar. Hal ini tentu saja
tidak pernah direncanakan oleh Samirun. Keadaan kembali sunyi mencekam. Masing-
masing berdiam diri di tempatnya. Gelap di sekitarnya, membuat mata Samirun jadi
jalang dengan pistol siap tembak di tangannya yang makin gemetar. Ia tersandar
di pilar dengan napas tersengal-sengal, karena penyakit asmanya yang kronis itu
tiba-tiba kambuh. Mendadak sesosok tubuh melayang ke arahnya, Samirun dengan
gugup menembak. Tubuh itu ambruk tepat di bawah kakinya dan ternyata korban
pelurunya itu adalah orangnya sendiri yang sudah jadi mayat. Rupanya Samolo yang
melemparkan tubuh itu kepada si kasir yang sedang panik ini.
Kini Samolo berdiri tegak di hadapan Samirun yang segera menembak dengan
pistolnya. Namun yang terdengar hanya bunyi berjetrek karena telah kehabisan peluru. Samolo sudah
memperhitungkan semua itu.
Samirun jadi panik dan melempar pistol kosong itu ke arah Samolo tapi melenceng
menghantam kepala seorang centeng yang sedang tiarap hingga langsung "tidur
pulas" di tanah. "Kepung dia! Bunuh cepat!" teriak Samirun kepada para tukang pukulnya dengan
gugup. Kini belasan centeng kembali mengepung Samolo. Tiga orang serentak menerjang
dengan tombak dan golok. Samolo berkelit dari sambaran senjata-senjata itu sekaligus membalas hingga
mereka terjungkal dan menggelepar di atas bumi. Kembali serangan meluruk ke arah
Samolo yang ditangkisnya dengan sebatang tombak yang direbutnya tadi. Kali ini
pertarungan menjadi seru, senjata-senjata berkelebatan mengurung dan
menyambar-nyambar ke arah Samolo bagaikan badai.
Setiap tombak Samolo meluncur dan menikam selalu dibarengi oleh pekikan menyayat
seorang pengeroyok. Samolo sambil bertempur terus mundur masuk ke
dalam rumah. Para centeng yang agaknya dijanjikan upah yang
sangat besar oleh Samirun, mereka terus mengejarnya dan perkelahian berlangsung
semakin dahsyat. Dengan mengandalkan kehebatan ilmu tangan kosongnya, Samolo
berkelahi bagaikan seekor banteng yang tak kenal takut.
Babatan maupun pukulan telapak tangannya selalu melumatkan apa saja yang
terkena. Satu demi satu para tukang pukul itu rubuh bergelimpangan dengan kepala
atau dada remuk. Seluruh perabotan rumah Samirun menjadi berantakan seperti
diamuk topan yang amat dahsyat. Anehnya tak seorang pun dari tukang pukul itu
yang gentar, malah makin merangsak dengan bernafsu.
Samolo pun sadar bahwa orang-orang sewaan ini hampir semuanya terdiri muka-muka
baru dan rata-rata berkepandaian ilmu silat cukup lumayan. Maka tidaklah heran sifat pantang mundur
itu dipegang teguh oleh mereka. Suatu sikap yang rata-rata dimiliki para
pendekar silat. Begitu pun sikap Samolo, ia rela hancur dan pantang mundur setapak pun demi
kehormatan nama besar perguruannya. Meskipun dikeroyok oleh belasan jago-jago silat yang rata-rata
cukup tangguh, Samolo sama sekali tidak bergeming, senjata-senjata lawan yang
bertubi-tubi menyambarnya tak sepotong pun yan bisa menggores tubuhnya. Paling-
paling bajunya saja yang koyak tertikam atau terbabat senjata-senjata tajam itu.
Semuanya sudah sama-sama nekat seperti kesetanan. Arena pertarungan itu sekejap
saja sudah menjadi porak-poranda. Dinding-dinding pun jebol hingga ke atap dan
para-para. Lama-lama semuanya merasa letih namun tak seorang pun mau menyerah.
Mayat-mayat mulai bertumpang-tindih di lantai rumah Samirun. Suatu pemandangan
yang mengerikan. Mata Samolo terus mencari Samirun, tapi kasir licik sudah tidak terlihat lagi di
situ. Tahulah Samolo bahwa rumah itu telah dijadikan alat perangkap baginya,
karena tenyata seluruh kamar sudah kosong dan tak terlihat Ratna berada di situ.
Samolo benar-benar menjadi geram.
Ia tahu pasti ke mana larinya Samirun. Maka dengan mengerahkan seluruh
kemampuannya digempurlah sisa pengeroyoknya yang tinggal tiga orang lagi, yang
tampaknya paling tangguh dari seluruh para pengeroyok.
Samolo tiba-tiba jadi sadar siapakah tiga orang ini.
Melalui jurus-jurus silat mereka itu, Samolo tahu bahwa tiga pemuda ini pasti
ada hubungannya dengan Mat Gerong, pentolan kepala Garong yang telah dibikin
buntung kakinya. "Kalian apanya Mat Gerong"!" tanya Samolo sambil bertempur.
"Kau harus membayar hutang kaki guruku yang kau bikin buntung itu, Samolo!"
jawab seorang. "Pulang tanpa membawa sepasang kakimu itu berarti mati bagi kami bertiga." kata
yang seorang lagi. "Kenapa kalian begitu bodoh" Potong saja sepasang kaki mayat itu dan katakan
kepada guru kalian bahwa dua kaki itu adalah milikku. Setelah itu kalian
menyingkir jauh-jauh dari dia untuk selama-lamanya."
kata Samolo memandang tajam ke tiga pemuda yang agaknya bersaudara karena rupa
mereka tampak sangat mirip satu dengan yang lainnya.
Ketiga pemuda murid Mat Gerong saling pandang
sejenak lalu sama-sama lompat mundur.
"Suatu pikiran yang baik. Demi ibuku yang sudah tua dan kini sedang terbaring
sakit, kami terima usulmu itu."
kata yang lebih tua. "Bagus! Kalian masih sangat muda. Berbakti kepada orang tua pahalanya sangat
besar." kata Samolo tersenyum. Dan tanpa menunggu lagi untuk melihat tiga pemuda itu melaksanakan usulnya tadi,
Samolo segera lompat keluar rumah yang telah porak poranda dan lenyap di
kepekatan malam. Tanpa membuang waktu sedetik pun Samolo terus berlari langsung
ke gedung Tuan Tanah. Ia melangkah masuk ke pekarangan yang sunyi dan gelap itu.
"Hei, Samirun, keluar kau! Sudah cukup kau bikin kotor gedung Den Besar ini.
Jangan dikotori lagi oleh darahmu yang busuk itu. Keluar, keparat!" teriak
Samolo seperti guntur. Tak ada jawaban dari gedung induk yang terkunci rapat itu.
"Baik, aku akan masuk menyeret kau!"
Samolo melangkah masuk untuk menjebol pintu
utama yang terpaksa harus dilakukannya, karena ia tahu tidak ada jalan lain
untuk masuk ke ruangan utama.
Pintu yang menuju ke belakang itu pun pasti sudah dikunci oleh Samirun. Samolo
sendiri sejak dulu belum pernah berani masuk melalui pintu utama itu. Biasanya
ia selalu masuk melalui pintu samping. Hal ini ia terpaksa harus melanggar
kebiasaannya itu. Namun sebelum ia lakukan, pintu itu terkuak dan terlihat
Samirun muncul sambil mengancam Ratna dengan pisau pada lehernya.
"Bawa ke sini kotak warisan itu, atau dia akan mati!"
ancam Samirun dengan beringas.
Wajah Ratna tampak pucat tapi ia tetap tabah dan tenang. Samolo melangkah maju.
Samirun segera menekan pisau itu pada leher Ratna. Tampak mandor Sarkawi mengintai di balik
pintu. "Den Giran akan segera pulang, kau dan komplotanmu itu akan digulung oleh hukum
karena telah merampas semua hak milik majikanmu." Samolo balas mengancam.
"Huh, dengan harta sebanyak itu di tanganku, hukum pun berada di pihakku." kata
Samirun sinis. "Setan sudah menutup matamu, Samirun. Hukum
dunia kau dapat hindari tapi tidak hukum akhirat!"
"Tutup mulutmu! Kotak itu atau perempuan ini
binasa!" bentak Samirun makin kalap.
"Baik! Tapi selembar saja rambut Neng Ratna kau ganggu, hanya Tuhan saja yang
bisa menolongmu juga para begundalmu itu, Samirun!" ancam Samolo sambil beranjak
pergi. Samolo melesat seperti angin ke luar pintu gerbang, berlari ke arah jalan lalu
lenyap di kegelapan malam.
Samirun menyeret kembali Ratna ke dalam gedung lalu diikatnya di atas kursi.
Sementara ia dan Sarkawi duduk di dekatnya untuk menunggu Samolo.
Tapi ternyata Samolo tidak pulang mengambil kotak wasiat itu, ia memutar ke
belakang gedung dan memanjat dinding lalu melompat masuk ke halaman belakang. Ia
mengintai melalui jendela, tampak olehnya Subaidah dan Mirta sedang sibuk
mengurus isi sebuah peti, di pindahkan ke dalam koper-koper. Rupanya mereka
sudah siap-siap angkat kaki dari gedung itu.
Agaknya cuma peti besi itulah yang sempat dibukanya karena kunci-kunci lainnya
yang berada di dalam kotak wasiat keburu dicuri oleh Samolo. Namun harta yang
dikurasnya itu sudah cukup membuat mereka kaya-raya selama tujuh turunan. Namun
karena jiwa mereka memang terlalu tamak, masih juga menuntut seluruh harta warisan yang ada di
gedung Tuan Tanah berikut segenap kekayaan yang ada. Dengan memiliki surat-surat
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sah atas pemilikan harta peninggalan tersebut, mereka akan merasa lega.
Sesungguhnya Samirun pun cukup bertindak hati-hati serta penuh perhitungan. Agar
tidak menimbulkan perkara dan sanksi hukum, maka ia tidak segera membunuh Ratna
dan anaknya yang tercantum sebagai ahli waris dari harta peninggalan Tuan Tanah
itu. Kecuali jika seluruh surat-surat berharga itu sudah berada di tangannya,
semuanya bisa diatur dengan mudah, demikian pertimbangan si kasir yang cerdik
ini. Bahkan dengan menyandera Ratna, ia masih berharap untuk memperoleh seluruh isi
kotak wasiat yang ia yakin masih disimpan oleh Samolo di suatu tempat.
Ia tahu benar centeng itu pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk
menyelamatkan harta benda majikannya.
Sikap kesetiaan yang luar biasa dari si centeng terhadap majikannya sangat
menggagumkan hatinya juga
sekaligus membencinya. Tapi kali ini perkiraan Samirun terhadap Samolo meleset, karena ternyata centeng
ini tidak pulang mengambiI kotak wasiat yang akan ditukar dengan nyawa Ratna. Ia
lupa Samolo bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi kalau diancam. Maka
Samirun tidak sadar kalau pihaknya sendiri yang terancam sekarang ini.
Karena macan dari Gunung Krakatau ini sudah siap menerkam Subaidah dan Mirta
yang sedang berada di dalam kamar penyimpanan peti-peti harta itu.
Dengan beberapa kali gempuran tangan Samolo,
jebollah jeruji-jeruji besi jendela kamar itu. Ia lompat masuk disambut jeritan
Subaidah dan Mirta yang terkejut setengah mati. Kedua ibu dan anak ini segera
lari ke sudut kamar dengan tubuh menggigil tak menghiraukan lagi isi koper-koper
mereka yang berceceran di lantai.
Samirun dan Sarkawi yang berada di ruangan depan terkejut mendengar jeritan
Subaidah dan Mirta. "Tunggu di sini, Wi!" perintah Samirun kepada
Sarkawi, maksudnya untuk menjaga Ratna yang terikat di kursi. Ia sendiri masuk
ke dalam untuk melihat apa yang terjadi dengan Subaidah dan Mirta.
Dilihatnya Subaidah dan Mirta sedang berdiri
ketakutan di sudut ruangan, sinar matanya
menunjukkan kepadanya akan adanya bahaya di ruangan itu. Samirun mundur sambil
meraih sebatang tancapan lilin bercabang tiga yang sangat runcing dari atas
meja. Sekonyong-konyong sebuah lengan dengan kuat
mencengkeram leher bajunya dari belakang. Samirun berbalik langsung menikamkan
tancapan lilin itu, namun senjata darurat itu tiba-tiba pindah tangan dan tiba-
tiba pula terhunjam ke dadanya sendiri.
Dengan jeritan yang sangat menyayat tubuh Samirun tergetar terhuyung-huyung,
darah segar pun tersembur dari dadanya itu ketika tancapan lilin tersebut
dicabut. Ia mendekap dadanya, menatap Samolo yang masih
menggenggam tancapan lilin itu dengan sorot mata jalang seekor serigala.
Tubuhnya semakin limbung lalu ambruk ke lantai menggapai dan meraup emas permata
yang berserakan itu dengan lengan gemetar berlumur darah.
Namun hanya sekejap karena sejenak kemudian ia
menggeliat lalu tersungkur lagi dengan mata tetap terbelalak mengerikan.
Subaidah terpekik histeris merangkul Mirta yang menggigil seperti demam.
Samirun tewas penuh penasaran. Konon menurut
ceritera penduduk setempat, hantunya acap kali terlihat bergentayangan di gedung
itu sampai bertahun-tahun kemudian.
Samolo melangkah mendekat ke arah Subaidah dan
Mirta yang masih menggigil dengan wajah seperti tidak dialiri darah lagi.
"Ular betina berkepala dua! Penyebab dari segala bencana terkutuk. Inilah hari
terakhir bagimu." ancam Samolo dengan suara dalam. Lengannya menuding
dengan ujung tancapan lilin yang masih meneteskan darah Samirun.
"A... a... ampun Bang Sssamolo...! Ampuni saya dan Mirta...! Saya mengaku
salah...!" Ratap Subaidah gemetar sambil semakin ketat memeluk putranya. Mirta
menggumam tapi tak jelas apa yang diucapkannya. Mata pemuda itu merah dan nampak
liar. Tapi ujung tancapan lilin yang sangat runcing dan masih berteteskan darah itu
terus terarah kepada nyonya Tuan Tanah tak bermoral yang meratap mengiba-iba
dengan air mata bercucuran. Lenyaplah segala
keangkuhan serta kecongkakannya sebagai sang Nyonya Besar yang terlalu berambisi
ingin meraih bintang. Tapi kini semua impiannya telah pudar menjadi debu.
"Ampun, Bang... Kasihanilah saya dan Mirta...!
Ambillah semua harta itu tapi jangan bunuh kami...!
Ampuun... Bang...!" Subaidah terus menatap ngeri melihat ujung tancapan lilin
berdarah itu. "Minta ampunlah kepada arwah Den Besar bila kalian jumpa di akhirat nanti.
Kalian sudah terlalu menghina serta menyiksanya, padahal kalian telah
dilimpahkan harta benda serta kasih sayangnya. Mau apa lagi"!"
bentak Samolo dengan suara dalam menahan haru dan kepedihan hatinya.
Subaidah menangis terisak-isak, entah menyesal atau entah karena takut mati.
Sekonyong-konyong Mirta menjerit kalap dan langsung menerjang Samolo seperti
celeng liar. Samolo menyambar rambut pemuda itu, namun ketika ia hendak menikamnya dengan
tancapan lilin tersebut, terlintaslah bayangan Den Besarnya sedang membelai dan
memangku Mirta kecil. Suatu kenangan yang begitu melekat di benaknya.
Sesungguhnya Den Besarnya sangat mengasihi anak itu meskipun mungkin majikannya
itu akhirnya tahu bahwa anak itu sebetulnya bukan darah dagingnya sendiri,
karena sampai pada menjelang ajalnya, sikap Den Besar terhadap Mirta tak pernah
berubah. Betapa pedih hati Samolo bila mengingat nasib Den Besarnya yang begitu
tragis. Namun itu bukan kesalahan Mirta, ia cuma hasil dari penyelewengan dan
ketidakkesetiaan orang-orang tak berbudi, kedua ayah-ibunya, ialah Samirun dan
Subaidah, biang keladi dari kehancuran keluarga serta kharisma Tuan Tanah yang
sangat bijaksana itu. Samolo jadi tercenung sementara Mirta masih meronta di
cengkeramannya. Melihat anak kesayangannya itu terancam nyawanya, Subaidah jadi nekat, ia segera
menyerang Samolo dengan kekalapannya sambil menjerit histeris. Samolo melepas
cengkeramannya pada Mirta dan menyambut terjangan Subaidah yang kalap itu dengan
hempasan lengannya, membuat tubuh Nyonya Besar ini terlontar ke arah sebuah
cermin dinding berbingkai antik. Wajah Subaidah tepat menghantam cermin hingga
cermin tersebut hancur berkeping-keping. Dengan pekikan yang amat menyayat
Subaidah tersentak membalikkan tubuhnya, tampak wajah serta matanya berlumur
darah tercacah serpihan kaca. Lengannya menggigil berusaha mencabuti pecahan
kaca yang menancap di wajah dan matanya. Ia merintih kesakitan.
"Mirta...! Mirtaaa... Tolong ibu, Nak...!" rintihnya.
Tapi Mirta mundur ngeri memandang keadaan ibunya.
Lengannya mendekap matanya dengan napas tersengal-sengal, ia melangkah mundur
lalu berbalik lari keluar ruangan. Samolo yang ikut tertegun tiba-tiba jadi
geram lalu melempar tancapan lilin itu yang telak menghantam kepala pemuda itu
hingga jatuh tersungkur. Namun setelah menggelepar sejenak ia cepat bangkit dan
terhuyung-huyung lari ke luar sambil berteriak-teriak seperti orang gila.
Subaidah jatuh tersandar ke dinding, merintih terus dengan tubuh gemetar.
Seluruh wajah dan baju kebaya rendanya yang berwarna putih itu penuh tersimbah
darah. Samolo tak mau melihat lebih lama lagi penderitaan nyonya majikannya yang telah
menerima hukuman akibat perbuatannya.
Samolo berbalik hendak beranjak dari situ. Tepat pada saat ia berbalik itulah
sebuah tikaman ujung tancapan lilin menghantam dan menancap tepat di kedua
matanya. Samolo terpekik sambil menepis tancapan lilin yang sudah terlanjur melukai kedua
matanya, seraya menghantam si pembokong pengecut itu. Sebuah teriakan mengiriskan terdengar
disusul oleh robohnya tubuh gemuk itu ke lantai.
"Sarkawi!" dengus Samolo sambil tangannya mendekap matanya yang mengucurkan
darah. Rasa sakit terasa menyayat-nyayat seluruh sendi syaraf dan tulang
sumsumnya. Dengan terhuyung-huyung ia melangkah keluar, meninggalkan ceceran
darah yang menetes terus dari kedua matanya.
Tampak tubuh Sarkawi menggeliat-geliat. Kepalanya pecah terkena gempuran tangan
Samolo yang sekeras godam baja itu. Tapi mandor ini masih berusaha
merangkak ke arah Subaidah yang merintih-rintih terkapar di dinding.
"Mana upah saya, Nya Besar..." Upah... sssa... ya...!"
katanya sambil menggapai menengadahkan tangannya.
Lalu kepalanya tersungkur ke lantai, diam tak berkutik lagi.
Dengan langkah tersuruk-suruk Samolo berjalan ke ruangan utama. Ratna yang duduk
terikat di kursi jadi terkejut melihat kemunculan Samolo dengan keadaan yang
sangat mengerikan itu. "Bang Samolo..."!" jerit Ratna.
"Kenapa mata Abang?" tanyanya dengan iba
bercampur ngeri. "Biarlah, semuanya sudah lunas ditebus oleh kedua mataku ini." kata Samolo
menahan sakit yang sangat hebat pada kedua matanya yang sudah buta itu.
Lengannya yang nampak gemetar itu meraba tambang yang mengikat tubuh Ratna dan
membukanya. Samolo tiba-tiba jatuh berlutut. Ratna segera
menubruk tubuh centeng perkasa itu dan memapahnya.
"Bang Samolo..." keluh Ratna dengan air mata
berlinang-linang. "Mari kita pergi ke rumah Nyi Londe, Girin mungkin sedang menangis menunggumu
untuk menyusu..." ujar Samolo dengan suara tetap mantap.
Dengan penuh haru dan iba serta air mata bercucuran Ratna memapah Samolo, sang
centeng yang sangat setia itu, berjalan meninggalkan gedung yang telah menjadi
saksi atas peristiwa tragis. Hujan turun rintik-rintik dibawa hembusan angin
ketika keduanya berjalan menembus kegelapan malam menuju hutan jati.
* * * TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 10 DEMIKIANLAH sebuah kisah panjang yang dituturkan oleh Nyi Londe kepada Giran,
putra sulung Tuan Tanah Kedawung yang mendengarkannya dengan penuh
perhatian. "Begitulah kejadian sesungguhnya yang melanda
keluarga besar ayahmu, Giran. Kini terserah kepadamu, mau percaya atau tidak.
Yang pasti tugasku kini sudah selesai." Kata Nyi Londe sambil bangkit dari
tempat duduknya. Pemuda ini terpaku, termenung dalam kebisuan.
"Peti pusaka itu telah selamat jatuh ke tangan
pewarisnya yang berhak. Kukira Ratna dan Samolo pun tidak perlu ucapan terima
kasihmu, andai pun kau mau mempercayai semua kenyataan itu secara jujur. Yang
penting bagi mereka cumalah pengertian darimu. Karena betapa pun mereka telah
banyak menderita, sengsara, bahkan terlalu banyak, Giran!" sambung pengasuh ini
tanpa bermaksud membujuk.
Giran masih tunduk termenung di jendela, sementara Nyi Londe membungkus
pakaiannya dengan buntalannya.
"Sebenarnya penderitaan Samolo belum berakhir
sampai di situ. Ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan
pembantaian masal. Hampir dua tahun perkaranya berlangsung. Berkat pembelaan
gigih seorang pengacara kawakan, juga para korban itu terbukti memang para
buronan dan penjahat yang sedang dikejar-kejar polisi, maka akhirnya Samolo
terbebas dari hukuman seumur hidup atau tiang gantungan." tutur Nyi Londe lebih
lanjut. "Dan untuk apakah Samolo sampai rela
mempertaruhkan nyawanya sendiri" Untuk siapakah semua pengorbanannya itu"
Padahal dia pribadi sama sekali tidak mengharapkan apa pun. Aku tahu pasti itu."
sambung Nyi Londe dengan suara agak tersendat.
Giran masih bungkam, namun sesungguhnya sebuah
perang sedang berkecamuk di rongga dadanya.
"Dapatkah aku mempercayai semua cerita Uwak
Londe" Benarkah ibuku menyuruhku ke Borneo hanya siasat untuk menyingkirkan aku
semata" Semula aku mengira, akulah yang bodoh tidak bertanya lebih jelas tentang
letak kebun karet milik ayahku itu, padahal ternyata pulau Borneo itu begitu
luas dan beribu Onderneming karet ada di sana. Maka sia-sialah aku menemukan
kebun karet ayahku yang katanya berada di pulau itu. Uang bekal habis sampai aku
hidup terlunta seperti gelandangan. Entah berapa puluh suratku yang kukirim ke
sini untuk meminta kiriman uang tanpa satu pun yang terbalas. Mungkin Samirun-
lah yang menyita surat-suratku itu. Akibatnya hidupku makin parah dan terpaksa
jadi kuli kontrak sebagai penyadap karet.
Kehidupan yang benar-benar pahit penuh pergumulan serta pertarungan seperti
hewan liar. Kadang-kadang cuma demi sedikit uang, nyawa manusia akan
dipertaruhkan. Istri-istri mereka begitu mudah luntur kesetiaannya jatuh ke
pelukan para controlir atau kepada laki-laki iseng siapa saja yang mau
membayarnya hanya dengan sekeping uang. Begitu mudahnya manusia
kehilangan martabat serta harga dirinya hanya demi sepotong logam itu. Sejak itu
luntur pula kepercayaanku terhadap yang namanya kesetiaan dan kejujuran.
Manusia tidak lebih hanya segumpal daging yang serakah dan tamak. Yang masih
dipercayai hanyalah kasih ibu dan persaudaraan yang sejati. Hal itu kuperoleh
dari orang tua angkatku, kepala suku Dayak Iban yang baik hati. Atas
pertolongannya aku masih bisa hidup sampai sekarang ini. Atas bantuan saudara-
saudara suku Dayak itulah akhirnya aku bisa berlayar ke Batavia dan pulang ke
rumah lagi. Ternyata peristiwa yang lebih tragis dari kebuasan hidup di
belantara hutan karet itu telah terjadi di sini, di tengah keluargaku sendiri!
Kini jelas sudah, mengapa ayah tidak mencantumkan nama ibu dan Mirta di dalam
surat wasiatnya itu sebagai ahli waris dari harta peninggalannya. Rupanya ayah
sudah mengetahui penyelewengan kedua orang itu. Namun demi menjaga nama baik serta keutuhan
keluarganya, ia rela menelan semua derita pahitnya itu dan dipendamnya rapat-
rapat sampai ajalnya yang sangat menyedihkan itu. Oh, betapa mulia hatimu,
ayah...!" Sebuah bayangan seolah-olah terpeta kembali di hadapan Giran, sebuah
pengalaman hidup yang begitu pahit yang pernah dialaminya di negeri seberang dan
telah menempanya menjadi seorang
berwatak keras dan tegas. Kepalsuan serta kelicikan sesama manusia terlalu
banyak dilihat dan dirasakannya.
Kini ia tak mudah lagi mau mempercayai apa saja tanpa bukti nyata. Sikap itu
pula yang diajarkan oleh bapak angkatnya yang membekalinya dengan ilmu beladiri
cukup lumayan. Hidup ini memang belantara buas, orang harus cerdik dan pandai
bila tidak mau jadi mangsa sesama makhluk yang hidup di atas bumi ini. Demikian
prinsip petuah itu tertanam dalam-dalam di dasar jiwa Giran.
Nyi Londe mulai berkemas dan memakai kerudungnya.
Di luar badai masih mengamuk mesti tidak sedahsyat tadi.
"Uwak mau berangkat sekarang" Hujan masih belum reda, nanti Uwak sakit...!" Kata
Giran pelan. "Apalah artinya hujan sebegitu, kami sudah terlalu terbiasa menghadapi badai
sengsara dan derita dunia ini, Giran." jawab Nyi Londe tajam.
Dengan menjinjing buntalan Nyi Londe menguak pintu.
Tepat pada sat itu kilat menyambar. Pohon di muka pondok itu tumbang mengepulkan
asap. Tapi tanpa gentar sedikitpun perempuan setengah tua ini melangkah terus.
"Kau mau ke mana, Wak...?" Tanya Giran melihat
kekerasan hati pengasuhnya itu.
"Ke mana lagi kalau bukan menyusul Ratna dan
Samolo!" jawab Nyi Londe sambil berjalan terus di bawah deraan hujan lebat.
Sementara Giran berjalan mengikuti di sampingnya sambil mengempit kotak pusaka
itu. "Ke gedung kita?"
"Buat apa ke situ lagi, mereka telah kau usir, bukan?"
jawab Nyi Londe agak sinis.
Giran tertunduk. Mereka berjalan menembus hutan jati yang lebat itu.
Cahaya kilat berkali-kali menerangi hutan itu. Tiba-tiba di antara deru angin
yang menerpa daun jati, terdengarlah suara teriakan seseorang, suaranya mirip
auman seekor anjing liar.
"Dengar, Wak, suara apa itu?" tanya Giran sambil memasang telinganya. "Seperti
salakan seekor anjing hutan, bukan?" tanya Giran lagi.
"Ya, suara seekor anjing hutan yang sangat liar. Mirta!"
"Mirta..."!" tanya Giran kaget, karena diketahuinya
"adiknya" itu sudah tergeletak jadi mayat di tengah hutan jati tersebut. Giran
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terperangah, karena kini tampak olehnya Mirta sedang jalan terhuyung-huyung di
tengah hutan jati itu sambil berteriak dan tertawa terbahak-bahak seperti orang
kemasukan setan. "Hua... ha... ha... ha... Ke sini manisss...! Jangan lari, Ratna... Ratnaaa...
Aku cinta padamu... Hi... hi... hi...!"
teriak Mirta menggapai-gapai entah kepada siapa.
"Mirta, dia tidak mati...?" gumam Giran sambil
mengintai dari balik pohon.
Mirta memang tidak mati, tapi jiwanya sudah tidak waras lagi, akibat pukulan
pada kepalanya serta guncangan-guncangan hebat pada jiwanya. Wajah Mirta yang
berlumuran darah itu tiba-tiba berubah buas. Ia menggeram.
"Hei, Ratna! Apa yang kau lakukan dengan si bedebah Giran di situ" Bocah keparat
itu sudah mati, tahu"!"
teriak Mirta makin kalap.
"Kesini kau Giran! Kutelan hidup-hidup kau, Bangsat!
Kau memang selalu menyaingi aku. Sekarang kau rebut Ratna dariku. Dasar setan
laknat kau, Giraaannn!"
Giran tersentak bagaikan disambar petir. Ia tertunduk dengan lunglai.
Sesaat kemudian Mirta membenturkan kepalanya ke pohon jati, lalu menangis
sesengukan. "Aduuuuh, Ratna... Jangan tinggalkan aku, Ratna...!"
ratapnya tersedu-sedu seperti anak kecil.
Pada saat itu dari kejauhan tampak seorang nenek berambut putih berurai,
berjalan dengan tersuruk-suruk dan meraba-raba dengan tongkatnya, menghampiri
Mirta. "Mirta... Mirta... Di mana kau, Nak..."!" lirih suara nenek ini memanggil-
manggil nama anak kesayangannya.
Tapi pemuda yang dipanggil malah jadi ketakutan ketika melihat ibunya, lalu
menyelinap ke balik pohon dan mengintai dengan mata terbelalak menakutkan.
"Sssssiapa lu...!?" tanyanya dengan mata melotot tak berkedip.
"Mirta... Kenapa kau, Nak" Ini ibu...!" Jawab Subaidah semakin lirih. Ia
melangkah mendekat. Mirta tersentak lalu lari berputar ke balik pohon.
Ditatapnya ibunya tajam-tajam. Ia menjerit dengan tiba-tiba.
"Kau..."! Kau Samolo...! Ampuuun...! Ampuun
Samolo...! Jangan...! Jangan bunuh aku...! Jangaaannn...!
Bukan aku yang menyuruh membunuhmu, Ratna, Girin dan Nyi Londe... Ibuku dan
Samirun-lah yang punya maksud menguasai seluruh harta itu. Sungguh mati, Samolo,
bukan aku...!" ratap Mirta terbata-bata ketakutan.
Subaidah mendekat, lengannya menggapai-gapai ingin membelai kepala putranya yang
semakin angot ini. Tapi tangannya itu ditepis oleh Mirta yang menelungkup dan
menggigil ketakutan. "Ampun Samolo... Ampun...!" jerit Mirta sambil
menutupi kepala dengan lengannya.
Subaidah masih berusaha meraba tubuh anaknya,
tetapi malah membuat Mirta makin panik meronta dan lari bersembunyi ke balik
pohon lagi. Subaidah pun menangislah.
"Ya, Allah, ya Gusti...! Beginilah kiranya kutukan-Mu terhadap diriku yang penuh
dosa dan noda ini...?"
Ratapnya tersedu-sedu penuh penyesalan.
"Ibu..."!" Teriak Mirta tiba-tiba seperti sadar.
"Oh Mirta... ini ibu! Ibumu Nak...! Ke sinilah, jangan tinggalkan ibu, Mirta...!
Ibu tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain kau...!" Seru Subaidah
mengiba-iba. Mirta menghampiri ibunya, mendekapnya sambil
menangis. "Ibu, kenapa kita jadi begini, Bu..."! Kenapa..."!"
Tanyanya sambil menangis.
Air mata Subaidah semakin deras tertumpah dari
kelopak matanya yang sudah tak berbiji itu.
Mirta menatap wajah ibunya dengan pandangan aneh.
Tiba-tiba ia tersentak mundur dan jatuh terduduk di kaki ibunya, wajahnya
kembali berubah jadi ketakutan.
"Haaaah"! Kau bukan ibuku...! Muka ibuku tidak
sejelek seperti hantu...! Ya kau hantu...! Hantu... Hiiiii!"
Suara Mirta menggigil seperti benar-benar melihat hantu yang amat mengerikan.
"Bukankah kau yang bersama-sama paman Samirun
dan Sarkawi mencekik ayahku sampai mati" Kalian bertiga ramai-ramai membunuh
dia. Sekarang kau juga mau mencekik aku, seperti yang kaulakukan terhadap
ayahku..."!" Jerit Mirta tersendat sambil memegang lehernya sendiri.
"Cukup Mirta! Cukup! Jangan kau siksa lagi ibu
dengan kata-katamu itu!" jerit Subaidah pilu sambil menekap wajahnya.
"Aku memang manusia iblis, Samirun juga setan. Aku diseretnya ke jurang paling
nista dalam hidup ini. Sekarang aku beritahukan kepadamu, kau sesungguhnya bukanlah anak kandung yang
selama ini kau anggap ayah. Dia ayah Giran, bukan ayahmu. Samirun-lah ayah
kandungmu, Mirta!" kata Subaidah sambil menangis terisak-isak.
Giran memejamkan matanya, ia telah mendengar
semuanya. Setiap kata-kata itu seakan-akan lidah petir yang menyambar,
menghanguskan serta mengoyak-ngoyak jantungnya.
Angin masih menderu-deru. Pohon jati meliuk-liuk mengeluarkan suara seperti
rintihan yang sangat melirihkan, selirih rintihan dan ratapan Mirta yang
bergayut di tubuh ibunya.
"Pantas, pantas Ratna tidak mau kepadaku, dia lebih cinta kepada Giran, karena
bocah jahanam itu adalah asli dari Tuan Tanah yang kaya raya, hartanya tak habis
di gegares tujuh turunan. Tapi aku" Aku Cuma anak seorang kasir melarat, si
setan Samirun...!" begitu ratap Mirta sambil bergelayut di tubuh ibunya yang
jadi limbung keberatan. "Coba kalau dulu si Sarkawi berhasil memenggal
kepala bocah sialan itu di kebun kelapa, atau dia mati dihadang Mat Gerong tempo
hari, waktu ibu tipu dia supaya berangkat ke Borneo, sekarang Ratna pasti sudah
jadi milikku. Oh... dasar nasibku yang sial-dangkalan."
Subaidah jatuh terduduk ke akar pohon ditindih oleh Mirta yang semakin angot
gilanya. Pemuda ini mulai bicara tidak karuan lagi. Sekarang ia memandang wajah
ibunya sambil tersenyum-senyum genit. Lengannya meraba-raba tubuh kurus itu
dengan napas berdengus-dengus seperti hewan liar. Membuat Subaidah jadi
kelabakan dicumbu anaknya yang sinting ini.
"Ratna... Ratna. Lu tambah botoh saja sekarang.
Hihihihi...!" rayu Mirta sambil meraba pipi ibunya yang sudah keriput itu.
"Sekarang gua sudah kaya, lu mau apa" Kalung"
Gelang emas atau giwang" Mau berapa gerobak" Gua beliin dan semuanya, asal...
hi... hi... hi..." cumbuan Mirta semakin panas.
"Sadar Nak! Eliiiiiinnnggg...!" jerit Subaidah ripuh.
"Apa lu bilang" Maling!" Lu katain gua maling"! Lu yang maling si Ratna. Biarin
lu nyaru jadi nenek-nenek, gua tahu lu si Giran. Mau mengelabuhi mata gua, lu
ya" Gua mampusin lu!" geram Mirta, lengannya mencengkeram leher ibunya yang jadi
megap-megap. "Mirta! Ini ibu, Mirta... Aakhhk...!" jerit Subaidah tersendat-sendat. Lengannya
berusaha melepaskan cekikan tangan Mirta yang makin kuat mencengkeram lehernya.
"Bangsat! Lu kira gua takut sama lu" Lu betul-betul biang penyakit, Giran. Gara-
gara lu, gua jadi sengsara begini. Mampusss dah, lu...!" geram Mirta sambil
mencekik leher ibunya sekuat-kuatnya.
Subaidah meronta-ronta berusaha membebaskan diri dari cekikan putranya yang
sudah terganggu jiwanya. Tapi usaha Subaidah sia-sia, cekikan Mirta malah semakin kuat, membuatnya tak
bisa bersuara maupun bernapas lagi. Matanya memuncratkan darah, lidahnya pun
terjulur keluar. Tubuhnya kejang dalam sekarat.
Tangan Mirta masih terus mencekik lalu ditekan kepala ibunya hingga hampir
terbenam ke dalam lumpur-daun-jati yang membusuk itu.
Nyi Londe yang menyaksikan adegan yang sangat
mengerikan itu, tanpa terasa menjerit sambil membuang muka ke arah lain. Giran
tersentak lalu berusaha mencegah tindakan Mirta yang sudah tak waras lagi itu.
Tapi ia terlambat, karena tubuh Subaidah sudah terbujur kaku dengan lidah
terjulur ke luar. Giran jadi bergidik dan terpaku di tempatnya.
Sesaat kemudian dengan masih terengah-engah Mirta terdiam, memandangi wajah
ibunya yang diam membiru.
Ia tersentak gemetar. "Mati...!?" Gumamnya sambil melangkah mundur.
Dengan beringas ditatapnya kedua lengannya yang gemetar itu lalu pandangannya
beralih lagi ke wajah ibunya. Wajahnya nampak makin pucat.
"Mati..." Ibu ma...ti..."!" celotehnya berulang-ulang.
Lalu ia tiba-tiba menelungkup memeluk kepalanya sendiri, menangis terisak-isak.
"Ibuku sudah mati...! Hu... hu... hu...!" Mirta terus meratap. Sekonyong-konyong
ia menghempaskan tubuhnya ke batang pohon dan membenturkan kepalanya berkali-kali ke batang pohon
itu dengan kerasnya hingga darah pun muncrat dari kepalanya yang memang sudah
luka itu. Ia menjerit melengking seakan-akan menyesali perbuatannya sendiri.
Giran dan Nyi Londe hanya bisa terpaku memandang kejadian itu dengan perasaan
ngeri. Mirta sudah terdiam tenang, hanya matanya saja yang masih nampak liar. Namun
sesaat kemudian ia senyum-senyum aneh dan terkekeh-kekeh geli sekali seakan-akan
melihat suatu peristiwa yang sangat lucu. Kini tertawanya semakin keras dan
terbahak-bahak seru. "Dia sudah matiiiiiii... Hua ha ha haha... Matiiiiii...!"
Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil menari-nari.
Berputar-putar dari pohon ke pohon. Giran menghampiri dan memanggil namanya,
tapi Mirta sudah tak dapat mengenali siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Ia
masih terus terbahak-bahak sambil menari. Kini suara
tertawanya makin mirip lolongan anjing hutan,
melengking dan panjang. Ia terus menari-nari semakin jauh ke tengah hutan jati.
Hujan masih tumpah dengan derasnya, guntur dan
halilintar berpecahan di angkasa. Sekonyong-konyong secercah cahaya yang sangat
menyilaukan mata menyambar sebatang pohon jati, disusul dengan sebuah dentuman dahsyat, dan
tumbanglah sebuah pohon jati besar.
"Mirta awasss...!" Teriak Giran secara reflek.
Mirta terpaku memandang pohon besar itu rubuh
tepat ke arahnya. Beberapa detik kemudian tubuhnya lenyap tertindih batang pohon
yang tumbang itu. Giran memburu ke tempat itu, ia cuma melihat sebuah lengan
Mirta terjulur di antara ranting dan daun jati.
Dibongkarnya daun-daun itu, terlihat tubuh Mirta tergencet cabang besar dan
sudah tak bernapas lagi. Giran berusaha mengangkat cabang pohon yang
menghimpit tubuh Mirta tapi tak berhasil. Ia menghela napas dan termenung di
sisi pohon tumbang itu. Kemudian melangkah ke arah tubuh ibu tirinya yang terbujur kaku. Nyi Londe pun
sudah berdiri di situ. "Kutukan Tuhan akhirnya datang menghukum
mereka." kata Nyi Londe pelan.
"Aku merasa seakan-akan baru sadar dari sebuah
mimpi yang begitu menakutkan." Desah Giran sambil menghela napas dalam-dalam.
"Ke manakah kira-kira mereka pergi sekarang ini, Wak..."!" tanya Giran.
"Maksudmu Neng Ratna, Girin dan Samolo" Aku pikir mereka pergi ke Cengkareng,
seorang bibi Ratna katanya tinggal di sana." Jawab Nyi Londe. Segores senyum
kecil terlihat di wajahnya.
Setelah menutupi mayat Subaidah dengan dedaunan, Giran merencanakan untuk
mengerahkan penduduk agar mengubur jenazah ibu tiri dan Mirta itu dengan layak.
Setelah itu ia dan Nyi Londe akan menyusul anak-istrinya serta Samolo dan
membawanya pulang ke gedung
warisan ayahnya. Hujan masih turun berderai dan angin pun menderu-deru. Dengan langkah masih
lunglai Giran berjalan mengiringi Nyi Londe ke luar dari hutan jati, sebuah
hutan yang telah membuka tabir rahasia yang selama ini menyelubungi keluarganya.
Matanya kini telah melihat dengan jelas, juga mendengar dengan seksama semua
peristiwa yang terjadi di balik tabir tersebut. Betapa terenyuh hatinya.
Sementara itu di sebuah kandang kerbau, tampak
Ratna dan Girin juga Samolo sedang berteduh dari serangan hujan deras. Samolo
melangkah ke luar kandang tersebut, tangannya menengadah.
"Hujan sudah reda dan sebentar lagi berhenti. Mari kita berangkat sekarang Neng,
agar tidak kemalaman di jalan!" kata Samolo.
Ratna dengan menggendong Girin keluar dari kandang kerbau tersebut, lalu mereka
berjalan menuju Cengkareng, seperti yang telah diduga oleh Nyi Londe.
Memang tidak ada sanak-saudara bagi Ratna kecuali bibinya yang di Cengkareng
itu. Dari jauh Giran melihat mereka.
"Itu mereka, Wak. Di dekat kandang kerbau itu!" kata Giran memberitahu Nyi
Londe. "Mana...?" tanya Nyi Londe menyipitkan matanya
karena ia cuma melihat dua titik kecil saja di kejauhan.
Itupun hanya samar-samar tertutup kabut.
Giran segera berlari untuk menyusul mereka.
"Ratnaaaa! Samolooo...! Tunggu dulu...!" Teriak Giran memanggil-manggil.
Suaranya menggema dan memantul di dinding bukit.
Samolo tiba-tiba tersentak menghentikan langkahnya.
Wajahnya jadi tegang dan beringas.
"Huh! Bocah durhaka itu rupanya masih belum puas bila belum menghirup darah
kita." geram Samolo sambil berbalik menghadap dan menyongsong Giran.
"Kak Giran...!" kata Ratna lirih.
"Jangan khawatir, Neng. Jagalah Den-Cilik!" seru Samolo.
Ratna jadi panik mendekap putranya. Hatinya
menangis, sakit rasanya karena sang suami yang sangat dicintai dengan sepenuh
jiwa raganya itu ternyata tak punya perasaan. Demikian anggapannya saat itu.
"Cepat lari ke atas bukit, Neng. Biarlah nyawa tuaku ini dilahapnya kalau dia
masih penasaran." seru Samolo lagi.
Dengan susah payah Ratna mendaki tebing bukit itu, sesaat kemudian ia berpaling
kepada Samolo. "Marilah Bang. Jangan ladeni dia...!" Teriak Ratna dengan suara gemetar.
Tapi Giran sudah semakin dekat.
"Hei, Ratna... tunggu...!" teriak Giran sambil berlari semakin dekat.
Air mata Ratna deras mengalir, didekapnya putranya erat-erat. Ia bukan takut
kepada suaminya, kalo toh ia harus mati. Ia rela mati di tangan suaminya itu.
Yang dikhawatirkan adalah keselamatan putranya yang masih kecil itu.
Giran tiba di hadapan Samolo yang tegak
menghadangnya. Giran melangkah maju mendekat, tapi Samolo sudah demikian nekat
dan menyambutnya dengan sebuah babatan tongkatnya kepada Giran.
"Langkahi dulu mayatku, sebelum kau menjamah
nyawa istri dan anakmu itu, keparat!" bentak Samolo.
Giran terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya
mengucurkan darah tergores ujung tongkat Samolo.
"Bang Samolo..." Suara Giran tersendat dan gemetar.
Samolo tertegun karena Giran tidak berusaha
menangkis serangannya tadi, bahkan kini suaranya terdengar lembut mengiba.
Sebelum hilang rasa heran Samolo, Giran sudah menubruk kaki si centeng yang
setia ini dan tersimpuh sambil menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
"Maafkan saya Bang Samolo...! Saya telah berdosa terhadap Abang dan Ratna...
juga kepada anak saya sendiri..."
Giran tersedu-sedu memeluk kaki Samolo yang jadi tertegun. Tanpa terasa matanya
yang sudah tak dapat lagi melihat dunia ini pun jadi ikut berkaca-kaca.
Butiran-butiran air hangat jatuh menetes ke kepala Giran. Nyi Londe yang sudah
tiba di situ jadi ikut pula menepis air matanya.
Giran masih terisak-isak dengan penuh penyesalan.
"Sudahlah Den. Sebagai manusia kita semua tak
pernah luput dari kesilapan dan dosa...!" Suara Samolo parau bergetar di
kerongkongannya. Lengannya
mengangkat tubuh majikan mudanya yang kini telah sadar dari kesalahpahaman itu.
"Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih, mau
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengampunkan dosa-dosa semua hambanya." Kata
Samolo lirih. Giran tertunduk menghapus air matanya.
"Kalian telah banyak menderita. Entah bagaimana harus kuminta maaf padamu,
Bang... Budi Abang begitu dalam seperti lautan." Suara Giran masih bergetar.
"Jangan Aden bicara begitu, kalo soal budi mungkin aku-lah yang lebih banyak
berhutang kepada mendiang ayahmu, Den!" ujar Samolo sambil menarik napas.
Giran pun meminta maaf kepada Nyi Londe dengan
mencium tangan pengasuhnya itu.
"Aku gembira ternyata kau masih senang mendengar dongengku, Giran." kata Nyi
Londe tersenyum dalam linangan air matanya.
"Neng, Neng Ratna!" tiba-tiba Samolo memanggil
Ratna. "Bawalah Den Girin menjumpai ayahnya!" Tapi tidak terdengar jawaban
Ratna. Senyum Samolo lenyap berganti rasa khawatir yang tergambar di wajahnya.
Begitupun dengan Giran dan Nyi Londe, mereka
memandang ke sekitar tempat itu lalu ke atas tebing.
Namun tidak terlihat bayangan Ratna di manapun.
Rasa cemas segera merayapi hati tiga orang ini. Mereka segera berpencar ke tiga
penjuru untuk mencari Ratna dan Girin. Giran melompat ke atas tebing, memandang
ke sekeliling dan terkesiaplah hatinya karena di balik tebing itu terdapat
jurang yang menganga dalam.
"Ratnaaaaaaa...!" Teriak Giran keras-keras. Suaranya menggema dan berkumandang
ke seluruh penjuru. Tapi tiada jawaban kecuali pantulan gema suaranya sendiri.
Samolo dan Nyi Londe pun memanggil-manggil nama Ratna dan Girin, juga tiada
jawaban, kecuali gemuruh air sungai yang mengalir sangat deras di bawah jurang
terjal itu. Giran dengan putus asa melompat dari tebing,
wajahnya pucat dan muram. Ia menghempaskan
tubuhnya duduk di atas batu, membenamkan kepalanya di antara kedua sikunya.
Samolo dan Nyi Londe sama-sama lemah lunglai, masing-masing duduk di atas batu
pula. Langit mendung kian menggantung di angkasa.
Sekelam hati ketiga insan yang tengah dirundung duka nestapa. Wajah kedua abdi
yang setia ini tenggelam dalam kepedihan yang sangat dalam. Tiada nampak air
mata lagi, karena kali ini yang menangis adalah hati mereka. Wajah Samolo tampak
kosong tak berekspresi, ia tafakur menunjang tubuhnya yang kokoh itu dengan
tongkatnya. Bagaikan sebuah patung arca yang
menunggu kelapukannya dimakan zaman. Mata Nyi
Londe pun tampak hampa tak bersinar lagi. Dunia ini terasa begitu kosong bagi
mereka. Karena mereka sudah merasa pasti bahwa orang yang mereka sangat kasihi
telah tiada lagi di dunia ini, hanyut bunuh diri ke dalam sungai karena kecewa
dan putus asa. Membawa anaknya ikut bersamanya, daripada anak itu akan jadi
korban kekejaman ayah kandungnya sendiri. Ada rasa
penyesalan terhadap sikap tuan mudanya ini, namun mereka tak mau mengutarakannya
karena sudah tak berguna lagi. Mereka hanya menyesali nasib, mengapa harus
mendera seorang wanita yang lembut hati itu sampai begitu kejam. Bukankah ada
orang lain yang lebih jahat dan buruk tetapi bisa hidup senang menikmati hasil
kebusukannya" Oh, betapa tidak adilnya kehidupan ini.
Demikian pikir Samolo dan Nyi Londe hampir bersamaan.
Angin berhembus membawa titik-titik air sisa hujan.
Suasana terasa hening membeku seakan-akan seluruh permukaan bumi sudah tidak
lagi dihuni manusia. Giran terkulai bagaikan sebatang kayu yang layu. Hilanglah
ketegaran jiwanya yang kokoh tak kenal kompromi.
Tadinya ia menganggap dirinya sudah demikian dewasa dan matang, namun
sesungguhnya ia pun tidak berbeda dengan orang-orang picik dan dungu, juga
kekanak-kanakan. Memandang corak dan warna kehidupan ini dari sudut yang begitu
sempit lalu dengan gegabah memvonisnya tanpa kenal ampun. Giran kini mengutuki
dirinya sendiri, ia merasa kerdil dan sangat berdosa, karena telah menghukum
orang-orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang sesungguhnya sangat
mengasihinya. Giran meremas-remas kepalanya penuh penyesalan.
Betapa pedih dan hancur hatinya bila mengingat nasib sang istri yang begitu
setia dan sabar menantinya, meski setiap hari menerima siksa dari sang mertua
yang ternyata berhati iblis. Yang lebih tragis lagi sepulangnya suami yang amat
dirindukannya itu malah telah
mendatangkan bencana yang lebih fatal lagi.
Tak sanggup lagi Giran memikirkan hal itu. Ingin rasanya ia terjun ke dasar
jurang untuk menyusul anak dan istrinya itu. Semua yang dimilikinya kini terasa
sudah tak berarti sama sekali. Kehidupannya benar-benar sudah terasa hampa,
lebih pahit dari kehidupannya ketika harus bergumul di tengah belantara hutan
Kalimantan yang buas itu.
Bahunya terguncang dalam isak penuh penyesalan.
Berkali-kali disebutnya nama Ratna sambil meremas-remas kepalanya sendiri.
Hingga pada suatu saat, di antara linangan air matanya ia melihat sepasang kaki
putih mulus melangkah mendekat dan berhenti di
sisinya. Giran pelan-pelan mengangkat wajahnya, ia seakan-akan tengah bermimpi,
ditatapnya perempuan yang berdiri menggendong putranya itu, laksana
bayangan fatamorgana yang tiba-tiba muncul di
hadapannya. "Ratna..."!" Gemetar bibir Giran menyebut nama itu.
"Kak Giran...!" lembut jawaban itu namun bagaikan awan mendung menjelang hujan.
Dengan perasaan takut kehilangan lagi, Giran segera merangkul tubuh semampai
itu, yang sudah bertahun-tahun dirindukannya. Erat-ketat bagai tiada sesuatu pun
yang dapat memisahkan mereka lagi. Ratna menangis tersedu-sedu terbenam dalam
pelukan suaminya. Girin menangis ketakutan. Suatu pertemuan yang amat
mengharukan. Ketiganya berdekapan dalam sedu-sedan yang sangat melirihkan namun
membahagiakan. Samolo dan Nyi Londe pun ikut menepis air mata karena rasa haru
dan bahagia yang menyesakkan dada mereka. Giran membelai kepala putranya.
"Girin, anakku..." katanya penuh kasih sayang, juga mengandung rasa bersalah.
Girin masih memangis dan memeluk ibunya erat-erat karena takut kepada laki-laki
asing yang pernah menganiaya ibunya serta uwak-nya dengan garang itu.
"Ini ayah, Nak...! Ayahmu..." Bujuk Ratna dengan mata berkaca-kaca. Tapi Girin
masih meronta ketakutan. "Biarkan saja dulu. Kelak kasih sayang jugalah yang akan melunakkan hati dan
jiwanya." ujar Samolo
tersenyum. "Betul, cuma kasih sayanglah yang bisa
mempersatukan manusia." sambung Nyi Londe seperti berfilsafat.
Samolo manggut-manggut menyetujui pendapat
pengasuh yang telah membuktikan sendiri kata-katanya melalui kasih sayang yang
dilimpahkan kepada anak asuhannya yaitu Giran. Tanpa kasih sayangnya itu
barangkali pamor keluarga Tuan Tanah akan hancur sama sekali.
Begitu pun Samolo, demi kasih sayang ia rela
berkorban apa saja termasuk sepasang matanya itu.
Juga Ratna, dia begitu tabah dan setia, tahan segala derita. Semua demi kasih
sayangnya. Maka tak masuk di akal kalau ia menjadi nekat bunuh diri bersama
Girin. Hati kecilnya masih punya keyakinan bahwa Giran pada suatu saat akan sadar dari
kekeliruannya. Maka ia menyelinap turun dari tebing dan bersembunyi di balik
batu. Ia telah mendengar dan melihat perubahan sikap suaminya itu. Dia-lah yang
pertama-tama menangis di balik batu itu, tangis bahagia yang sudah bertahun-
tahun tak pernah lagi menghinggapi hatinya semenjak malam terakhir Giran pergi
meninggalkannya. Kini masa lalu itu bagaikan sebuah mimpi yang amat menakutkan
dan telah berakhir. Mereka telah berkumpul kembali, sama-sama
menghapus air mata. Berganti denga air mata bahagia yang mengalir dari relung
hati serta wajah-wajah yang dihias senyum ceria. Seceria cahaya fajar yang baru
menyingsing di ufuk timur. Awan mendung pun telah buyar sudah. Dengan langkah
mantap mereka saling berpegangan berjalan pulang untuk menyongsong fajar
kehidupan baru. TAMAT Kembalinya Raja Tengkorak 1 Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh Kelana Buana 25
kegaduhan itu, Ki Kewot pun terbangun, memburu ke kamar putrinya. Tapi Kakek ini
rubuh terjengkang diterjang dua penculik yang menerobos ke luar sambil membopong
tubuh Ratna yang terbungkus kain selimut itu.
"Setan! Lepaskan anakku!" teriak Ki Kewot dengan panik. Belum lagi tubuh tua ini
merayap bangun, sebuah tendangan telah membuatnya terguling lagi.
"Jangan gegoakan Ki. Sudah malam nih. Mending lu molor lagi dah!" hardik salah
seorang dari penculik itu.
Ki Kewot berkutat untuk bangkit, tapi ia cuma mampu merayap sambil berteriak-
teriak. "Rampok...! Rampoook! Tolooooong!" pekiknya.
Teriakan Ki Kewot memecahkan kesunyian malam, tapi apa daya, gubuk itu terpencil
di tepi persawahan. Dua penculik itu kabur dengan leluasa menembus kegelapan
malam. Ki Kewot berusaha mengejar, tapi ia jatuh tersungkur lagi di muka gubuknya. Dan
penculik ini lari terus menerobos hutan jati dengan bungkusan berisi tubuh Ratna
pada bahu salah seorang dari mereka. Berbareng dengan berdesirnya hembusan
angin, muncullah dengan tiba-tiba sesosok tubuh tinggi besar menghadang di
hadapan mereka. Kedua penculik ini dengan amat
terkejut menghentikan langkahnya. Ditatapnya sosok tinggi besar itu. Di bawah
kesuraman cahaya bulan tampak orang ini sangat mengerikan, seakan-akan sesosok
jin penunggu hutan jati yang tiba-tiba muncul dari perut bumi. Kedua penculik
ini tersentak mundur beberapa langkah.
"Siapa di situ?" hardik si tubuh gempal agak gemetar.
Bulan tiba-tiba muncul dari balik awan, kedua penculik ini berseru hampir
berbareng. "Samolo!"
"Dedemit! Lagi-lagi dia." Sambung si tubuh gempal gemas. Ia meletakkan bungkusan
berisi tubuh Ratna itu di tanah. Lengannya tiba-tiba sudah menghunus
goloknya. "Lu selalu mau usil dengan urusan orang lain. Kali ini lu pasti mampus. Serbu!"
teriak si tubuh gempal mengajak kawannya untuk mengeroyok penghalang itu.
Si tubuh gempal langsung menerjang dengan sebuah sabetan ke arah dada Samolo,
disusul pula dengan serangan temannya ke lambung centeng ini. Samolo dengan
gesit berkelit sedikit. Bagaikan kilat telapak tangannya berkelebat menggocoh
kepala si gempal. Menyusul pula tendangan menghantam perut si penculik yang seorang lagi. Maka
dalam satu gebrakan saja, kedua penculik itu rubuh terjungkal ke bumi untuk tak
bangun lagi. Samolo membebaskan tubuh Ratna yang pingsan itu dari bungkusan selimut. Dengan
sebuah pijatan lunak pada sisi tengkuknya, gadis ini segera menggeliat siuman.
Samolo segera beranjak ke balik pohon. Tepat pada saat itu, cahaya-cahaya obor
tampak muncul dari kejauhan, puluhan penduduk dengan berbagai senjata di tangan,
hiruk-pikuk menyerbu masuk ke dalam hutan jati.
Tampak Ki Kewot berjalan di muka sambil berkali-kali memanggil nama putrinya.
Kemudian semuanya tertegun memandang Ratna yang terduduk, baru saja siuman dari
pingsannya. Ki Kewot segera menubruk tubuh putrinya.
Keduanya berangkulan sambil bertangisan.
Kedua penculik itu pun pada saat bersamaan siuman dari semaputnya. Sadar dengan
keadaan yang tidak menguntungkan itu, keduanya langsung kabur sejadi-jadinya,
nyaris jadi perkedel diamuk orang-orang sekampung.
Dari balik pohon, Samolo mau tak mau tersenyum juga menyaksikan tingkah dua
penculik yang ketakutan setengah mati.
Dengan napas ngos-ngosan Sarkawi nongol di muka pintu rumah kasir Samirun.
Subaidah, Samirun dan Mirta tanpa berkedip memandang mandor ini yang
berjalan gontai seperti seorang hukuman yang melangkah ke tiang gnatungan.
Melihat tampang lecek mandor, Subaidah dan Samirun sudah dapat meraba dengan
pasti, bahwa rencana mereka telah gagal total lagi. Dan mereka tidak merasa
heran. Tapi Mirta dengan bernafsu menyongsongnya.
"Beres, Wi" Lu simpan di mana gacoan gua?"
Tapi Mandor Sarkawi cuma tertunduk bungkam. Mirta jadi tidak sabar, dijambaknya
baju Sarkawi dan diguncangnya keras-keras.
"Lu bawa ke mana si Ratna, ha" Budek kuping lu?"
"Sudahlah. Macam gentong nasi begitu mana bisa
beres kerjanya. Kalau disuruh menghabiskan nasi tujuh bakul, nah baru beringas
dia" nyeletuk Subaidah dengan sinis.
Mirta betul-betul naik pitam. Dicakarnya muka
Sarkawi hingga berdarah. Kemudian anak kolokan ini menghempaskan dirinya ke atas
meja sambil sesambat dengan pilunya.
"Kalau begini, lebih baik Ita bunuh diri saja... Buat apa hidup menderita, tanpa
si Ratna di sampingku..."
Samirun dan Subaidah kewalahan membujuk putra-jadah- nya yang rada-rada senewen
ini. Sarkawi benar-benar merasa sebal dan dongkol melihat ulah pemuda yang
terlalu dimanja itu. "Huh, kolokan banget." celetuknya tanpa sadar.
Mirta makin berjingkrak mendengar ucapan Sarkawi.
Dengan kalap diraihnya pistol Samirun.
"Gua mampusin lu!" Teriaknya sambil siap menembakkan pistol itu ke arah Sarkawi.
Mandor Sarkawi jadi pucat seketika, ia mundur ke sudut dinding dengan dengkul
gemetar. "To... tolong Den Kasir... Cepat ambil pistol itu..."
ratapnya dengan terpatah-patah.
Tapi Samirun maupun Subaidah tetap dingin.
"Sumpah disambar geledek, saya sudah berhasil nyulik si Ratna, eh mendadak
Samolo muncul bersama ratusan penduduk kampung mengeroyok saya berdua. Si Ucih
mati dicincang kayak perkedel. Kalau saya kurang lihai, pasti sudah jadi
bangke... " Kata Sarkawi megap-megap coba membela diri.
Mirta membanting-banting kaki uring-uringan.
Subaidah menghiburnya sambil membelai kepala anak kesayangannya ini.
"Sudah, sudah jangan kau sedih, Mir! Ibu akan
carikan yang sepuluh kali lebih cantik dari si Ratna. Anak melarat itu tidak
sepadan untukmu, Mirta!"
"Hati Ita cuma diisi oleh Ratna. Kalau Ibu mau carikan yang lain enggak menjadi
soal. Yang penting Ratna harus jadi milik Ita dulu." Rengek Mirta dengan kepala
terbenam di pangkuan ibunya. Samirun menarik napas, kesal sekali nampaknya.
Ia merasa sangat kecewa karena tidak berhasil
memenuhi keinginan anak hasil hubungan gelapnya itu, yang juga amat dikasihinya
secara diam-diam. *** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 7 TIBALAH hari pernikahan Giran dan Ratna. Seluruh desa Kedawung seolah-olah ikut
berpesta. Gedung Tuan Tanah terang benderang selama tujuh hari tujuh malam tanpa
henti. Segala macam hiburan tak putus-putusnya
bertalu-talu menyambut para tamu yang berdatangan dari segala pelosok, untuk
memberi selamat kepada tuan rumah, terutama kepada kedua mempelai.
Itulah hari terbahagia bagi sepasang pengantin baru.
Giran dan Ratna seakan-akan hidup di dalam dunia khayal 1001 malam. Mereguk
segala kenikmatan cumbuan kasih surgawi yang dapat membuat iri pada dewa-dewi khayangan sekalipun.
Namun itu tidak berlangsung lama. Karena pada hari ketujuh, datanglah musibah menimpa Tuan
Tanah. Pada pesta terakhir yang naas itu, Tuan Tanah yang mulanya sangat gembira
itu, sekonyong-konyong muntah-muntah darah. Paniklah seluruh isi gedung itu.
Tuan Tanah segera digotong ke dalam kamarnya. Sementara beberapa orang
diperintahkan oleh Subaidah yang kelihatan sangat panik itu untuk mencari obat.
Dan Samolo disuruhnya memanggil Giran dan Ratna yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah Ki Kewot.
Tuan Tanah masih saja memuntahkan darah segar
dari mulutnya. Wajahnya jadi pucat-pasi. Namun ia masih nampak kuat bertahan.
Kini di dalam kamar itu cuma ada Subaidah, Samirun, Mirta dan Sarkawi.
Subaidah masih terus mengurut dada suaminya.
"Pak, kenapa kau, Pak" Oh Gusti...!" ratap perempuan ini. Samirun mendekat ke
tepi pembaringan. "Den Besar..."!"
"Uh..."!" "Tolong tanda-tangani surat ini, Den...!"
Samirun menyodorkan pulpen dan secarik kertas yang bertempelkan materai kepada
majikannya. Tuan Tanah memicingkan matanya meneliti isi surat tersebut. Tiba-tiba wajahnya
yang pucat itu berubah jadi merah padam seketika. Ia terbatuk dan segumpal darah
segar pun tersembur dari mulutnya, membasahi seluruh kertas tersebut. Samirun
mundur. Melempar kertas yang berlumur darah itu. Matanya tiba-tiba jadi liar
mengerikan. Sekonyong-konyong ia meraih sebuah bantal lalu dibekapkan ke wajah
Tuan Tanah yang segera meronta-ronta dengan seluruh sisa tenaganya. Samirun
mengerahkan seluruh kekuatannya menekan bantal itu.
Tapi tak berhasil. "Pegang tangannya. Cepat!" teriak Samirun setengah tertahan kepada Subaidah.
Subaidah yang sejak tadi tertegun dengan wajah
pucat, segera menuruti perintah Samirun. Lalu Sarkawi pun disuruhnya untuk
membantu. Tinggal Mirta memandangi pergumulan mengerikan itu dengan tubuh menggigil seperti diserang
demam. Pergumulan itu tidak berlangsung terlalu lama, karena Tuan Tanah kini telah
terkulai tak berkutik lagi di bawah dekapan bantalnya sendiri.
Semua tertegun terengah-engah. Mirta menggigil di kolong meja.
"Kenapa pada bengong" Ayo siapkan rencana kita
berikutnya!" seru Samirun dengan suara di
kerongkongan. Subaidah dan Sarkawi segera bergerak menghapus
semua bekas tindakan mereka. Jenazah Tuan Tanah dibaringkan dengan rapi di
pembaringan. Seakan-akan kematian Tuan Tanah itu disebabkan penyakit yang sudah
lama diidapnya. Sesaat kemudian, Giran dan Ratna yang dipanggil oleh Samolo, tiba di gedung yang
masih dipajang janur-janur pesta itu. Mereka terpaku di ambang pintu. Tangisan
memilukan menggema di ruangan gedung tersebut.
Tampak Subaidah tengah terisak memeluki tubuh Tuan Tanah yang terbujur kaku di
atas dipan tepat di tengah ruangan utama itu.
"Aduh, Pak. Tega benar kau meninggalkan aku serta anak-anak...! Bawalah
Subaidah, Pak... Apa artinya hidup ini tanpa kau di sisiku, Pak...! Aduuuuh...
perih hatiku, Pak... Hu hu hu" tangis Subaidah melolong-lolong, sangat
memilukan. Mirta pun tampak menggerung-gerung bersimpuh di sisi dipan. Giran berlutut di
sisi tubuh ayahnya yang mulai dingin itu, dibukanya kain penutup jenazah lalu
dipandangnya wajah ayahnya yang membiru.
"Ayah..."!" Cuma itu yang sanggup terlontar dari mulut Giran, kemudian ia duduk
tafakur di sisi jenazah. Tampak bahunya terguncang-guncang. Namun tak
terdengar isak tangisnya. Ratna menepis air mata, ikut berlutut di sampingnya.
Samirun tertunduk dengan wajah pura-pura sedih.
Matanya berkali-kali melirik ke arah Sarkawi. Mandor ini sedang asik mengunyah
kue yang terletak di meja. Kasir ini mendehem, tapi Sarkawi tak mengerti dengan
tanda isyarat tersebut. Samirun terpaksa mendekatinya lalu menginjak kaki Mandor
bego ini. Sarkawi mengaduh kesakitan dengan mulut penuh tersumpel kue.
Di sudut ruangan tampak Nyi Londe terisak-isak
menepis air mata dengan ujung kebayanya. Di luar pintu terlihat Samolo tertunduk
dalam-dalam. Tampak matanya merah berkaca-kaca. Betapa sedih ia mengingat semua
kebaikan majikannya itu, yang kematiannya kini terasa tidak wajar.
*** Upacara pemakaman Tuan Tanah Kedawung telah
berlalu. Namun suasana duka masih melekat di setiap hati para penduduk desa.
Desa itu terasa seakan-akan telah kehilangan sebagian sinar matahari, suram dan
beku. Terutama bagi gedung besar dan megah itu, dari luar terlihat sunyi.
Apalagi pintu utama tak pernah lagi dibuka semenjak wafatnya Tuan Tanah.
Giran dan Ratna lebih banyak mengurung diri.
Kematian ayahnya nyaris menghancurkan gairah hidup Giran. Untung saja kini di
sisinya selalu ada Ratna, yang menghiburnya dan memberikan semua kesejukan pada
dasar jiwanya. Samolo kini merasa dibebankan kewajiban dan tanggung jawab untuk
menjaga generasi penerus sang majikan. Tanggung jawab serta kewajiban yang
diembannya tanpa pamrih, karena budi sang Tuan Tanah baginya tak dapat
dibanding-ukur oleh apapun di dalam kehidupan ini.
Kecuali Subaidah dan Samirun-lah yang merasa lega dengan meninggalnya perintang
utama bagi hasrat mereka itu.
"Kini harta warisan itu berada di tangan si bocah bedebah. Kalau dia dan anjing
Samolo itu sudah disingkirkan, kitalah raja dan ratu di gedung ini. He he he...!" Mengkhayallah
Kasir Samirun dan itu diutarakannya kepada Subaidah ketika mereka pada kesempatan tertentu mengadakan
pertemuan rahasianya secara rutin.
"Aku ada jalan yang paling lunak untuk melenyapkan anak itu. Lenyap untuk
selama-lamanya" kata Subaidah sambil tersenyum iblis di dekapan kekasih
gelapnya. Esok harinya, pagi-pagi sekali Subaidah sudah
memanggil Giran ke hadapannya. Mata ibu-tirinya terlihat berkaca-kaca dan
sembab. Giran tertunduk terharu.
"Giran..." terisak-isak Subaidah dan berkali-kali menepis air matanya.
"Ya, Bu." "Sebenarnya sangat berat ibu mengatakannya
kepadamu, Nak." "Katakanlah, Bu...!"
"Tapi hati ibu lebih tidak tentram dan selalu gelisah bila belum menyampaikan
pesan almarhum ayahmu...!"
"Pesan apa, Bu?" tanya Giran ingin tahu.
"Pada akhir hayatnya, ayahmu berpesan, agar aku mengirim kau ke Borneo, untuk
mengurus kebun karetnya di sana." "Ke Borneo?" Ulang Giran sambil tercenung.
Subaidah mengangguk, isaknya terus berkepanjangan.
"Itulah beratnya. Ibu maklum kau masih pengantin baru."
"Tidak apa, Bu. Saya pasti akan melaksanakan pesan ayah itu!" kata Giran pasti.
"Berangkatlah besok pagi-pagi, agar cepat pula pulang.
Ibu telah mempersiapkan segala sesuatunya untukmu."
"Baiklah, Bu!" Angguk Giran, lalu bangkit melangkah ke luar.
Subaidah menutup mulutnya dengan sapu tangan
untuk menahan tawanya. Samirun yang sejak tadi pura-pura sibuk menulis, kini
ikut menekap mulutnya menahan geli. Di luar jendela, Nyi Londe diam-diam memperhatikan tingkah aneh kedua orang itu.
Malam itu, bagaikan kisah Remeo dan Juliet, Giran dan Ratna berdekapan dengan
perasaan sukar dilukiskan, menanti fajar yang begitu cepat dan juga menakutkan. Karena pada
dini hari sang "Romeo" akan berangkat meninggalkan "Juliet"-nya menuju Borneo
demi melaksanakan pesan almarhum ayahnya yang
disampaikan melalui ibu tirinya yang amat "bijak" itu.
"Berapa lamakah aku harus menanggung rindu ini, Kak" Aku takut, kalau-kalau
terjadi sesuatu padamu di negeri yang amat jauh itu..." bisik Ratna sambil
memeluk suaminya erat-erat, takut kehilangan, dan terlalu berat untuk dilepaskan
kepergiannya. "Tabahkan hatimu, sayang. Aku akan cepat kembali.
Berat hatiku meninggalkan kau. Tapi demi baktiku terhadap orang tua, apa boleh
buat!" Gemetar suara Giran. Nun di kejauhan, kokok ayam mulai sayup-sayup
terdengar. Ratna makin erat memeluk suaminya yang sangat dicintai dengan segenap
jiwa-raganya. Giran bangkit perlahan-lahan, membuka jendela.
Tampak fajar mulai terbayang di ufuk timur. Giran menghela napas. "Betapa cepat
waktu ini berlalu. Tanpa terasa saat keberangkatanku sudah tiba."
Ratna turun dari pembaringan, menubruk suaminya dan dipeluknya semakin erat. Air
matanya terasa hangat membasahi punggung Giran.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak...! Tidak...! Jangan tinggalkan aku... Aku tidak perduli betapa dunia ini
akan kiamat sekali pun." Ratap Ratna dengan hati luluh.
Roda kereta itu bergerak membawa Giran ke Batavia, lalu dengan kapal laut akan
bertolak ke Borneo. Mata Ratna berkaca-kaca mengiringi kepergian suaminya sampai
jauh menjadi titik kecil di kaki langit. Ia masih berdiri terpaku di ujung
jembatan itu, seakan-akan sebagian sukmanya telah ikut terbawa pergi. Belum dua
minggu madu kasih itu direguknya, kini harus direnggut dari sisinya. Ia masih
termenung di situ, sampai lengan Nyi Londe merangkulnya dan membawanya pulang.
Di sebuah persimpangan jalan yang akan dilalui kereta berkuda itu, tampak
seorang laki-laki berbaju hitam-hitam dan kaos loreng, duduk menunggu sejak
subuh. Matanya yang setajam mata elang itu hampir tak berkedip menatap lurus-lurus ke
ujung jalan. Sesosok bayangan tinggi besar tiba-tiba sudah tegak di belakangnya.
"Hmm, Mat Gerong..." Suaranya berat mengejutkan.
Si mata elang tersentak berpaling.
"Oh, Bang Samolo."
"Rupanya kau yang dapat kehormatan untuk memberi salam dan selamat jalan kepada
putra majikanku!" Tukas Samolo dengan nada kalem.
Mat Gerong bangkit, sebuah tanda goresan bekas luka bacokan pada pipi kirinya
menambah seramnya wajah pentolan penjahat yang sangat ditakuti ini. Keduanya
berhadapan dengan waspada.
"Rejeki ini adalah pemberian nyonya besarmu sendiri, Bang. Tujuh Ringgit uang
emas upah memetik batok kepala bocah ini cukup menarik, bukan" Kita bagi berdua.
Setuju"!" "Sebaiknya kau tahu, Mat Gerong. Setiap helai rambut di tubuh pemuda itu, jauh
lebih berharga dari nyawa tujuh-turunan manusia macam kau! Karena itu mana
mungkin aku tinggal berpeluk tangan saja." tegas Samolo dengan suara tenang dan
mantap. Sementara itu, di ujung jalan tampak debu mengepul dan kereta kuda itu berderap
mendatangi, Mat Gerong jadi gelisah dan geram.
"Sialan! Kau mau bikin tumplek bakul nasi gua?"
Dengan sebuah gerakan kilat Mat Gerong mencabut golok Cibatunya, langsung
menerjang ke arah Samolo.
Pembunuh bayaran ini benar-benar ingin memburu
waktu. Tanpa gentar sedikit pun Samolo menyambut serangan itu dengan kibasan
lengan kosongnya. Golok yang menderu itu terlempar ke udara. Bersamaan dengan
itu telapak tangan kanan Samolo menyapu leher Mat Gerong. Tapi ternyata nama
besar pentolan penjahat ini memang bukan omong kosong. Gerakannya serba kilat
dan tangguh. la menangkis serta menyerang dengan tipu-tipu pukulan yang
mematikan. Kedua Jawara ini nyaris seimbang. Pertarungan berlangsung cepat dan
sengit. Sementara itu, kereta kuda yang membawa Giran sudah semakin dekat. Mat Gerong
jadi nekat, tujuh Ringgit uang emas terlalu berharga baginya untuk dibiarkan
lewat begitu saja. Ia merangsak dengan tendangan berantai.
Samolo memapaknya dengan tebasan lengannya. Mat Gerong terpekik, betis kananya
remuk terbabat telapak tangan Samolo. Ia berguling untuk menyambar golok
Cibatunya yang tergeletak di tanah. Dengan masih berguling ia langsung menyerang
lawannya dengan tebas-tebasan beruntun yang sangat berbahaya. Samolo berkelit
dan melompat dengan sebuah tendangan keras pada kepala Mat Gerong, yang segera
tersungkur mencium bumi. Golok Cibatunya terlotar berputar ke udara.
Cepat sekali tubuh Mat Gerong berguling-guling ke arah jalan raya, dengan maksud
untuk mencegat "buruannya" yang berada di kereta kuda yang semakin dekat itu. Samolo lompat
memetik golok Cibatu yang masih berputar di udara, lalu lompat turun langsung
menebang kedua kaki pembunuh bayaran yang rakus itu.
Dengan pekikan yang sangat memilukan tubuh Mat
Gerong tersentak ambruk ke bumi. Sepasang kakinya terlontar masuk saluran
irigasi. Detik itu gemuruh roda kereta serta derap kaki-kaki kuda melintas
dengan cepatnya di jalan itu. Samolo lompat berlari ke tepi jalan untuk mengejar
kereta yang ditumpangi Giran itu. Tapi mana mungkin ia mampu mengimbangi
kecepatan larinya dua ekor kuda putih yang tangkas itu. Dalam sekejap saja
kereta itu sudah hilang dari pandangannya. Dengan napas masih memburuh serta
perasaan kecewa, Samolo berdiri memandangi ujung jalan yang sunyi itu. "Den
Giran, semoga Tuhan memberi firasat padamu, akan kebusukan tipu muslihat ibu-
tirimu. Menyesal sekali aku terlambat mengetahui dan tidak sempat pula memberi
tahu kepadamu, bahwa kebon karet milik ayahmu di Borneo itu cuma isapan jempol
ibu tirimu dan Samirun. Apa boleh buat. Semoga Tuhan melindungimu selalu!"
keluh Centeng setia ini dengan pedih.
Dengan perasaan sedih dan kecewa Samolo berjalan pulang ke Kedawung,
meninggalkan tempat pertarungan yang telah tersimbah darah seorang jawara yang
sangat ditakuti sebagai pembunuh berdarah dingin. Mat Gerong masih merintih dan
terkapar kehilangan "Rejeki Tujuh Ringgit Uang Emas" berikut sepasang kakinya.
Pada kemudian hari, jago dari daerah Sepatan yang ganas ini, akan muncul malang-
melintang lagi dengan julukan "Si Buntung dari Cisadane". Iblis penyebar maut
yang sukar ditaklukkan ini, telah berhasil membuat lembaran sejarah hitam pada
jamannya. Dendamnya kepada Samolo
terbawa sampai mautnya. Peristiwa penghadangan yang gagal itu akhirnya
diketahui juga oleh nyonya besar Subaidah dan kasir Samirun. Karena Mat Gerong
tidak pernah muncul lagi meminta upahnya, kecuali uang muka itu. Juga
berdasarkan laporan Mandor Sarkawi yang diperintah untuk memata-matai
pelaksanaan tugas pembunuh
bayaran itu secara diam-diam dari kejauhan.
"Lagi-lagi Samolo! Anjing itu pun mesti segera
disingkirkan. Dia pasti sudah terlalu banyak mencium rencana kita." Bisik
Subaidah dengan wajah kecut.
"Ya, bila tidak, kitalah yang akan disingkirkan olehnya." kata Samirun serius,
suaranya terdengar agak gemetar, membuat wajah Subaidah makin kecut dan pias.
"Duri utama telah lenyap, duri kedua meski belum berhasil dimusnahkan, tapi
setidaknya sudah tidak jadi penghalang lagi. Kini muncul duri ketiga yang cukup
berbahaya. Dia tidak bisa disingkirkan dengan cara keras, melainkan harus dengan
cara halus." Bisik Samirun dengan hati-hati. Agaknya kini kehadiran si centeng
yang satu ini, memang harus diperhitungkan matang-matang oleh mereka. Karena
merasa takut kepada Samolo, niatnya untuk segera menguasai harta warisan Tuan
Tanah terpaksa harus ditangguhkan, sampai keadaan benar-benar tepat. Namun
semenjak perginya Giran, kegelapan mulai menelungkupi kehidupan Ratna. Caci maki
serta siksaan lahir batin dirasakannya setiap hari dari ibu mertuanya yang telah
berubah dalam wujud aslinya. Persoalan kecil dan sepele saja telah cukup
membuatnya jadi sasaran caci maki serta sindiran yang amat menyakitkan. Ratna
pun tidak diperbolehkan lagi tidur di kamar Giran di dalam gedung utama, tapi ia
harus tidur bersama Nyi Londe di emper belakang. Ratna menerima semua itu tanpa
pernah mengeluh apalagi protes, karena sadar, ia cuma berasal dari keluarga
petani miskin lagi bodoh. Ia cukup tahu diri sebagai orang yang menumpang meski
statusnya sebagai menantu keluarga Tuan Tanah yang sangat terpandang di Desa
Kedawung dan sekitarnya. Ia cuma bisa berdoa dan mengharap, semoga suaminya bisa
cepat pulang. Sudah selusin pembantu pria dan wanita yang
diberhentikan oleh Subaidah. Akibatnya semua pekerjaan yang ada di gedung itu
harus ditangani oleh Ratna yang kadang-kadang dibantu oleh Nyi Londe yang tak
sampai hati melihat Ratna bekerja membanting tulang sejak subuh sampai jauh
malam. Namun masih saja datang omelan dan celaan dari ibu mertuanya yang sadis
itu. "Matamu buta"!" maki Subaidah seperti geledek sambil menjitak kepala Ratna yang
baru saja menjatuhkan sebuah cangkir berisi kopi panas buat sang mertua ini.
"Huh, dasar si buta baru melek. Kerja sebegitu saja ogah-ogahan. Bertingkah!"
"Maafkan dia, Nya Besar. Neng Ratna tidak sengaja"
kata Nyi Londe yang baru datang bantu memunguti pecahan cangkir kopi itu.
"Hmm, siapa tahu" Dia memang sengaja mau
merongrongku agar aku cepat mati... Dan dia jadi nyonya besar di gedung ini.
Mentang-mentang jadi menantu Tuan Tanah sudah gede kepala. Lupa waktu melarat
dulu, mau gegares juga susah!" Gerutu Subaidah dengan nada sinis yang sangat
menyakitkan hati. Ratna tertunduk,
memunguti pecahan beling dan mengelap tumpahan air kopi yang telah tercampur
dengan air matanya. Nyi Londe menghiburnya sambil menghela napas panjang-pendek.
Secara rutin, dua hari sekali Ratna harus menggiling kacang kedelai berbakul-
bakul banyaknya, untuk kemudian dibuat tempe dan tahu. Sebuah pekerjaan berat yang biasa dikerjakan
laki-laki itu sungguh meletihkan dan menguras tenaga Ratna.
"Sudah hampir sebulan ini, Samolo tiap hari disuruh mengirim kelapa dengan
gerobak ke Selapanjang. Kadang-kadang dua hari baru pulang, itu pun selalu tengah malam." kata Nyi Londe
ketika membantu Ratna mendorong batu gilingan kedelai yang besar dan berat itu.
Sang Nyonya besar Subaidah tiba-tiba sudah muncul di pintu, bertolak pinggang
dengan wajah masam. "Eh..., eh... eh... Londe! Siapa sih majikanmu, atau dia"! Kenapa kau begitu
repot kalau dia mengerjakan sesuatu" Dasar kau juga yang membuat dia jadi
kolokan, pemalas, sok kaya. Sudah. Tak perlu kau temani dia.
Cucian masih numpuk sebakul tuh!" katanya dengan ketus.
Nyi Londe terpaksa meninggalkan Ratna mengerjakan tugas berat itu seorang diri,
seperti kuda beban. Waktu berlalu bagaikan melata dengan lambatnya. Bila malam tiba kedua perempuan
ini dengan perasaan letih baru bisa istirahat di emper usangnya. Dan gejala-
gejala keletihan yang disertai muntah-muntah mulai terlihat pada Ratna.
"Beberapa hari ini, kelihatannya Neng kurang sehat badan. Selalu muntah dan
senang makan yang asam-asam. Jangan-jangan sedang ngidam. Sudah berapa bulan?"
tanya Nyi Londe perhatian sambil memijat kaki Ratna yang tergolek dengan wajah
pucat. "Entahlah Nyi. Barangkali baru dua bulan" Jawab Ratna malu-malu.
Nyi Londe tersenyum campur haru memandangi wajah sayu. Dan bayangan Giran pun
selalu muncul di depan pelupuk pengasuh ini.
Pada suatu hari, Ratna dipanggil oleh mertuanya, yang menyongsongnya dengan
wajah ramai dihiasi senyum yang sangat ramah. Membuat Ratna jadi agak tertegun
keheranan. "Ai, aih... Ratna, sini nak, sini dekat ibu! Sini. Ibu mau tanya kau." kata
Subaidah sambil menggamit lengan Ratna yang masih kebingungan serta takut-takut.
"Aih, nih anak. Kenapa kau enggak mau bilang-bilang pada ibu. Kata Nyi Londe kau
sedang mengandung. Benarkah itu?" tanya Subaidah sambil memandang perut Ratna, suaranya lembut
penuh kasih sayang keibuan.
Ratna mengangguk sambil tertunduk.
"Waduh, hati ibu jadi gembira mendengarnya. Ibu bakal punya cucu, bukan" Hi hi
hi... Ingat, mulai sekarang kau tidak boleh kerja yang berat-berat! Harus bisa
menjaga diri. Ingat pesan itu ya, Nak."
"Terima kasih, Bu. Tapi saya masih bisa bekerja!"
Jawab Ratna masih diliputi keraguan terhadap sikap mertuanya yang sangat berbeda
dari biasanya. "Ah, jangan suka bandel ya. Nanti ibu jewer kupingmu ini. Hi hi hi... Ngerti
kau"!" kata Subaidah sambil benar-benar menjewer telinga Ratna dengan lembut,
seakan-akan kepada anak kesayangannya.
"Nah, istirahatlah sono...!" bujuknya lagi sambil menepuk pantat Ratna. Samirun
yang pura-pura sibuk menulis jadi tertawa geli menyaksikan adegan mesra
tersebut. Ratna dengan wajah merah serta dengan perasaan
aneh melangkah luar dari ruangan itu.
"Oh ya, Ratna, tunggu dulu!" panggil Subaidah tiba-tiba. Ratna menghentikan
langkahnya di pintu. "Hampir ibu lupa. Coba kau bawa kotak yang berisikan surat-surat itu ke sini.
Karena perlu dicatat oleh paman Samirun. Ng... kau ada menyimpan kotak itu,
bukan"!" tanya Subaidah, dengan lagak setengah acuh tak acuh.
"Ya, Bu!" jawab Ratna tanpa curiga.
"Bagus. Cepat bawa ke sini, ya!" perintah Subaidah masih berlagak acuh dan tak
acuh. Seolah-olah kotak yang disebutnya itu tak terlalu penting.
Ratna keluar dengan masih diliputi tanda tanya akan sifat sang mertua yang tiba-
tiba berubah jadi manis terhadapnya. Sekonyong-konyong ia tersentak kaget,
ketika seseorang muncul dari balik tiang dan
menegurnya. "Neng... Neng Ratna!" Panggilnya dengan suara
berbisik. "Siapa"! Oh, Bang Samolo..." kata Ratna perlahan, karena melihat sikap Samolo
yang sembunyi-sembunyi dan memberi tanda dengan gerakan jarinya agar ia
mendekat. Rupanya Samolo yang selalu waspada ini mengetahui dan menangkap percakapan itu
tadi. Demi meyakinkan rencana busuk mertuanya yang berkomplot dengan
Samirun, Samolo terpaksa menceriterakan semua
kejadian yang hampir saja merenggut nyawa Giran itu kepadanya. Ratna jadi pucat
dan terkejut setelah mendengar cerita singkat tersebut. Peluh dinginnya tanpa
terasa membasahi pori-porinya. "Ya Allah, tidak kusangka!" keluhnya.
"Maka janganlah kau tertipu oleh kata-kata manis dari mertuamu yang berhati ular
itu!" bisik Samolo tegas.
Lama Ratna termenung di dalam kamarnya. Hatinya gelisah, pedih dan bingung.
Tiba-tiba darahnya tersirap, ketika selembar wajah penuh senyum licik itu
tersembul di pintu. "Hei, Ratna. Kenapa kau"! Sakit"!" tanya Subaidah sambil tersenyum.
"Ti... tidak apa-apa, Bu!" jawab Ratna gugup.
"Mana kotak warisan... eh... ng... Kotak surat-surat itu, Ratna"!" Tanya lagi
Subaidah dengan nada seramah mungkin.
"Maaf, Bu. Kak Giran berpesan..."
"Ah, anak tolol, kau salah paham, Ratna. Pesan Giran itu memang benar bahwa
kotak tersebut tidak boleh diberikan kepada orang lain. Tapi ibu kan bukan orang
lain, bukan?" Potong Subaidah dengan senyum yang mulai terlihat dipaksakan.
"Tapi Bu..." kata Ratna amat perlahan karena bingung dan takut.
"Tapi! Tapi apalagi..."! Akulah ibunya, berhak
mengambil kotak itu. Paham kau"! Cepat ambil kotak itu!" hardik Subaidah dengan
mata mendelik. "Maafkanlah, Bu! Saya tidak berani melanggar pesan kak Giran!" kata Ratna
gemetar. "Setan! Berani kau membangkang perintahku"! Ambil kotak itu atau ku potes batang
lehermu. Cepat!" bentak Subaidah menjambak rambut Ratna.
"Ampun Bu!" ratap Ratna gemetar.
Subaidah sudah tidak sanggup bersandiwara lagi.
Dicopotnya sabuknya lalu dideranya Ratna tanpa kenal ampun. Ratna menjerit dan
merintih menahan sakit. Sabuk kulit itu terus menghantam tubuhnya bertubi-tubi.
Kulitnya matang-biru tergores kepala sabuk yang keras itu. Nyi Londe datang
untuk menolong wanita muda yang malang ini, tapi ia dihalang-halangi oleh
Samirun yang berdiri di pintu kamar.
Untunglah pada saat itu, Samolo melongok di jendela.
Terkesiaplah hati Subaidah dan Samirun yang segera ngeloyor meninggalkan kamar
itu. Nyi Londe segera memapah Ratna yang terisak-isak di lantai.
"Aduh Neng! Tuhan tidak buta Neng. Siapa yang dosa, dia pasti dapat ganjaran
yang setimpal." kata Nyi Londe ikut terisak-isak dengan pilunya. Samolo
mengatupkan gerahamnya hingga bunyi bergemelutuk.
*** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 8 HARI dan bulan silih berganti, beterbangan bagaikan awan-gemawan yang melayang-
layang dihembus angin, seperti yang selalu dipandang Ratna dari jendela emper
penggilingan kacang kedelai setiap hari. Bagaikan jendela penjara yang mengurung
dirinya. Air mata Ratna hampir mengering, terkuras oleh
deraan siksa dan dendam rindu yang mencekam di
dadanya. Namun Giran tak kunjung pulang, meski hanya secarik kertas beritanya
dari Negeri seberang. "Kak Giran... Bilakah kau kembali, Kak" Mengapa kau tinggalkan Ratna begitu
lama?" ratapnya di dalam hati.
Dinding-dinding gedung besar itu laksana penjara yang mengungkungnya.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kerinduannya terhadap ayahnya pun terus menyiksanya. Didengarnya dari Samolo,
bahwa orang tua itu sedang menderita sakit. Seorang diri tinggal di gubuknya,
tiada yang merawat dan memasaki
makanannya. Betapa pedih dan sedih hati Ratna
memikirkan keadaan ayahnya yang sudah tua itu. Sulit baginya untuk pergi
menengoknya, karena mata mandor Sarkawi terutama tatapan mata Mirta yang
sejalang mata serigala itu sungguh menakutkan hatinya. Pemuda sinting itu selalu
mencari kesempatan untuk menerkam dirinya. Ratna selalu bergidik ketakutan bila
mengingat hal itu. Ia selalu was-was bila berada seorang diri di tempat kerjanya
maupun di emper tempat tidurnya.
Sebelum sakit, ayahnya memang pernah sekali
mengunjunginya. Itu pun dilakukan karena terlalu rindu kepada putri tunggalnya
ini. Petani tua itu hampir seharian duduk menunggu di muka pintu gerbang, karena tak
berani masuk ke dalam gedung sang besan yang terlalu megah itu. Untunglah Samolo
kebetulan keluar dan membawanya masuk untuk dipertemukan dengan Ratna. Dan untuk
pertama kali dalam hidupnya, Ratna terpaksa harus bersandiwara di depan ayahnya.
Seakan-akan hidupnya benar-benar penuh gelimang tawa ceria serta kebahagiaan
sebagai seorang menantu Tuan Tanah yang kaya raya. Tapi sesungguhnya hatinya
ketika itu sedang menangis dan meratap. Ia tidak tahu apakah ayahnya bisa
dikelabui oleh sandiwaranya itu. Ia ragu, karena ia tahu
bahwasanya mata seorang ayah maupun pandangan
mata seorang ibu, sanggup menembus sampai ke dasar kalbu anak-anaknya. Yang
pasti sejak kunjungan itu, ayahnya tak pernah lagi datang menengoknya. Bukan
disebabkan oleh sambutan dingin oleh nyonya besannya yang angkuh dan sombong
itu. Kini didengarnya kabar tentang sakitnya sang ayah. Hal ini benar-benar
menambah beban penderitaannya. Ia cuma bisa berdoa dan meminta Nyi Londe atau
Samolo kalau kebetulan sedang sempat, untuk pergi menengok orang tuanya sekalian
membawakan makanan secara sembunyi-sembunyi buat ayahnya itu.
Sementara itu, kandungannya pun tampak sudah
semakin besar. Sampai pada suatu sore, dandang nasi yang masih mendidih itu
nyaris menimpa dirinya ketika sedang diangkat oleh Ratna. Nyi Londe menjerit
sambil menubruk tubuh Ratna yang terkulai pingsan.
Caci-maki Subaidah sudah tak dihiraukan lagi oleh Nyi Londe yang sedang sibuk
menggotong tubuh Ratna ke dalam empernya. Sepanjang malam itu terdengar Ratna
merintih. Tampak Nyi Londe sibuk menyiapkan segala keperluan untuk melahirkan.
Malam itu terasa begitu hening namun menegangkan bagi Nyi Londe, yang terus
mendampingi Ratna yang terbaring dengan pucat bermandikan peluh. Kadang-kadang
merintih sambil menggeliat merasakan sakit pada perutnya.
"Kuatkan hatimu, Neng. Pasrahkan segalanya kepada Tuhan. Semuanya pasti akan
beres..." hibur Nyi Londe sambil terus mengurut perut Ratna serta menghapus
peluhnya. Samolo duduk di luar emper itu sambil melinting rokok kawung. Wajah centeng ini
belum pernah tampak setegang seperti malam itu, meski ia berusaha untuk bersikap tenang. Nampak
gulungan rokok di jari-jarinya itu gemetar dan sering gagal.
Selang sesaat sebelum fajar, berbarengan dengan kokok ayam, keheningan yang
mencekam itu dikoyak oleh jerit lengking tangisan seorang anak manusia yang baru
lahir. Samolo menengadah sambil mendesahkan pujian kebesaran Allah Sang Maha
Pencipta. Matanya berkaca-kaca.
Setelah detik-detik penuh ketegangan itu berlalu, wajah pucat-sayu si ibu-muda
yang banyak menderita ini, akhirnya dihias juga oleh segores senyum kebanggaan,
ketika Nyi Londe menyodorkan sang bayi yang
terbungkus kain itu kepadanya.
"Lihatlah, jagoan cilik kita ini, suaranya saja sudah bisa menyaingi bahkan
lebih nyaring dari semua ayam-ayam jantan yang paling perkasa di seluruh daerah
Kedawung ini. Hmm, kau lihat, Neng. Wajahnya mirip benar dengan bapaknya" kata
Nyi Londe, bangga dan bahagia seakan-akan menimang cucu kandungnya
sendiri. Ratna tersenyum. Semua derita seakan menjadi tak berarti pada saat-saat
seperti itu. "Kalau saja kak Giran berada di sisiku saat ini..." cuma itulah yang menjadi
pemikiran di hatinya, suatu perasaan yang berbaur antara kesedihan dan
kebanggaan. *** SEMINGGU kemudian, komplotan manusia tamak
mulai lagi merencanakan suatu tindakan keji.
"Sekarang ini Samolo sedang disuruh mengirim
gerobak padi ke Mauk. Kalau kali ini lu gagal lagi, pokoknya kepala lu sebagai
gantinya!" tegas Samirun berkata kepada Mandor Sarkawi.
"Jangan khawatir, Sir. Kali ini pasti beres dah. Masak iya sih, rejeki saya
nyeplos melulu" Yang benar saja."
jawab si Mandor yang banyak lagak ini.
Mirta serta ibunya yang juga berada di situ jadi sengit.
"Jangan banyak cing-cong lu, gendut! Pokoknya, gagal-modar!" Ancam Mirta sambil
menimang-nimang pistol Samirun. Wajah Sarkawi jadi pias, melirik pistol itu lalu
melangkah ke luar. Dengan mengendap-endap bagaikan pancalongok, Sarkawi mengintai ke dalam kamar
emper Ratna. Dilihatnya ibu muda itu sedang menyusui bayinya.
"Busyet! Sudah punya anak malah tambah botoh.
Pantes si Mirta, bocah cecurut itu begitu tergila-gila..."
gumam Sarkawi di dalam hati sambil menelan air liur.
Didorongnya pintu emper tersebut langsung masuk.
Ratna kaget dan buru-buru merapikan bajunya.
"Bang Sarkawi..."! Ada apa?" tanya Ratna gugup.
"Astaga! Botoh banget bocahnya, Neng. Siapa sih bapaknya?" kata Sarkawi dengan
senyum serta tatapan mata kurang ajar.
"Apa maksudmu" Sudah tentu Den Giran-lah ayahnya.
Kenapa"!" Ratna tersinggung.
Sekonyong-konyong Sarkawi merebut bayi itu dari gendongan Ratna.
"Sarkawi! Anakku!" jerit Ratna berusaha merebut kembali anaknya itu.
"Kalau ini memang anak Den Giran, neneknya mau
melihat, masak kagak boleh." kata Sarkawi sambil mendekap bayi itu, melompat
keluar. "Anakku! Anakku! Jangan kau bawa anakku,
Sarkawi!" Ratna mengejar ke luar.
"Sarkawi, tinggalkan anakku." jerit Ratna histeris sambil terus mengejar Sarkawi
yang kabur mendekap bayi itu ke luar gedung. Ratna semakin nekat dan terus
mengejar sambil menjerit-jerit. Sementara itu bayinya pun terdengar menangis di
dalam dekapan Sarkawi yang berlari semakin kencang menuju jalan desa yang sudah
sunyi dan gelap itu. Ratna terus mengejarnya. Sarkawi menuju rumah Samirun
langsung masuk. Ratna memburu tapi terlambat, pintu itu sudah tertutup rapat-rapat. Ia memekik dan
melolong sambil menggedor daun pintu dengan kalapnya.
"Buka! Kembalikan anakku! Anakku...!" jerit Ratna sambil menangis histeris,
karena ia tahu akan kebusukan komplotan mertuanya itu.
"Bagus kerja lu, Wi. Biar dia ngegoser di luar jangan lu buka pintu itu!" kata
Samirun dengan senyum iblisnya.
Sarkawi meletakkan bayi yang menangis kencang itu di atas meja, di hadapan
Subaidah dan Mirta yang tak punya perasaan iba sedikitpun terhadap anak itu.
Sementara suara gedoran pintu serta tangisan Ratna di luar, menambah gaduhnya
suasana di rumah tersebut.
Namun hati orang-orang berjiwa iblis ini sedikitpun tak tersentuh, wajah mereka
tetap dingin. Sarkawi menghapus peluh dengan kain pengikat
kepalanya. "Saya jadi ingat waktu disuruh Den Kasir nyolong anak babinya babah Tiong-Cit
tempo hari. Perut saya hampir ambrol di serobot biang nya. Nah, yang ini juga
persis, kalau enggak lihai saya pasti sudah ko'it diterjang sama dia.
Busyet, galaknya enggak ketulungan, kayak kesetanan, Den." Desahnya sambil
mengipas-ngipas. "Mana upahnya, Den?" sambungnya.
"Apa" Upah"!" tanya Samirun, mengambil pistol dari tangan Mirta.
"Nih upah! Ayo lu celangap lagi, gua upahin biji melinjo, baru nyahu, lu!" kata
Samirun ketus dengan menekan ujung pistolnya ke batang hidung Sarkawi.
"Sialan! Kerjaan belum beres sudah minta upah. Mau mampus, lu?"
Mata Sarkawi jadi juling menatap laras pistol yang sangat ditakutinya itu. Ia
meringis. "Ah, Den Kasir... segitu aja pakai marah. Saya kan cuman bercanda... simpan ah
si bongkok nya" katanya sambil melangkah mundur dan berusaha tertawa.
Tangisan bayi dan suara gedoran pintu serta jeritan Ratna yang meminta anaknya
itu, membuat Sarkawi semakin uring-uringan. Ditendangnya pintu itu berkali-kali
sambil memaki. "Hei, berisik! Jangan gegoakan melulu, lu! Diam! Eh, Bandel!"
Dasar wataknya pandai menjilat, ia berlagak mau jadi jagoan tak kepalang
tanggung. "Perempuan itu bandel banget dah. Bagaimana, Den.
Saya beresin saja nih?" tanyanya kepada Samirun.
Tapi Kasir ini mendorong tubuhnya.
"Minggir lu! Nanti rusak pintu gua digedor-gedor."
katanya ketus. Kemudian ia berkata kepada Ratna yang masih meratap di luar.
"Hei, Ratna. Kalau kau ingin anakmu ini kembali dan selamat, itu gampang, asal
kau bersedia meluluskan sebuah syarat."
"Syarat apa?" tanya Ratna dalam isak tangisnya.
"Serahkan kotak itu kepadaku! Anakmu ini pasti
kuserahkan kepadamu hidup-hidup! Bila tidak, huh!"
Samirun menjelaskan syaratnya.
Tidak pernah ada seorang ibu pun yang benar-benar mencintai anaknya, rela
mengorbankan buah hatinya hanya demi harta dunia. Begitu pun Ratna. Tanpa
berpikir panjang lagi ia segera menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh
Samirun tersebut. "Baik, berjanjilah, kau harus menyerahkan anakku!"
isak Ratna minta kepastian dari luar pintu.
"Cepat! Aku beri waktu sepuluh menit. Terlambat, jangan kau sesalkan aku terlalu
kejam!" jawab Samirun dengan suara dingin.
Ratna lari pontang-panting menembus kegelapan
malam menuju gedung besar. Setibanya di dalam kamar empernya, ia segera
membongkar tempat penyimpanan kotak pusaka tersebut, dengan lengan-lengan
gemetar serta perasaan panik luar biasa. Ia seakan-akan tengah berlomba dengan
Malaikat El-Maut yang segera akan merenggut nyawa bayinya. Nyi Londe hanya
tertegun tanpa daya. Kedua wanita itu bagaikan makhluk-makhluk lemah yang tak
berdaya menghadapi segala kekejaman dunia ini. Ratna hampir tak membuang waktu
sedetikpun, segera meraih peti berharga itu dan dibawa lari ke rumah kasir
Samirun. Setibanya di depan rumah Samirun, dengan napas
masih memburu, Ratna langsung berteriak.
"Ini peti warisannya, cepat buka pintu, aku mau mengambil anakku!"
"Bagus! Coba kau bawa masuk petinya!" jawab
Samirun, membuka daun pintu itu sedikit.
Ratna menyodorkan peti itu melalui celah pintu yang segera disambar oleh
Samirun. Ratna mendorong pintu, tapi pintu itu telah ditutup lagi oleh sang
kasir yang licik. Ratna menjerit sambil berusaha mendorong pintu itu dengan sekuat tenaganya, dan
memaksakan tubuhnya masuk ke dalam. Dorong-mendorong terjadi. Samirun dengan
dibantu oleh Sarkawi mendorong pintu itu kuat-kuat, membuat tubuh Ratna terjepit
dan tak bisa bernapas. Ibu muda itu tak kuat lagi menorong pintu, sebab selain
kesehatan fisiknya belum pulih benar akibat melahirkan, juga akibat kerja tanpa
istirahat sepanjang hari. Akhirnya ia jatuh terkulai di depan pintu. Samirun
mengunci pintu itu rapat-rapat. Mereka memeriksa peti pusaka yag sangat
didambakannya itu dengan seksama.
"Periksa, siapa tahu peti ini palsu..." perintah Subaidah.
"Palsu" Perempuan setolol dia mana mungkin berpikir sejauh itu!" sela Samirun,
berusaha membuka peti warisan. Diperiksanya semua surat-surat berharga yang
berada di dalam kotak berukir indah itu. Serenceng kunci-kunci brankas
penyimpanan uang emas ringgitan berkantong-kantong banyaknya yang pernah dilihat
Subaidah ada disimpan suaminya.
Yang paling membuatnya bernafsu, adalah berkotak-kotak emas permata yang pernah
dilihatnya tersimpan di salah sebuah peti besi di ruangan khusus gedung itu.
Kini kunci-kunci dari seluruh harta warisan tersebut berhasil dikuasainya.
Wajah Subaidah masih tetap dingin, ia mendekat ke arah si bayi yang masih tetap
menangis. "Bapak bayi ini telah luput dari tangan kita. Pada suatu hari dia pasti akan
kembali." katanya dingin.
"Kalau seluruh harta sudah di tangan kita, apalagi yang kita takuti di dunia
ini" Semuanya bisa diatur." kata Samirun dengan sombongnya.
"Lihatlah, tua bangka itu tidak memasukkan namamu atau Mirta barang secuil pun
ke dalam testamen ini."
suara Samirun gemas, setelah meneliti surat warisan yang disegel dengan lak,
yang tersimpan rapi di amplop khusus.
"Aku sudah menduganya. Jika aku sudah pasti
mendapat warisan, buat apa aku ribut-ribut." jawab Subaidah tenang.
"Kelak bayi ini pun pasti akan jadi duri yang tumbuh di daging kita. Maka dia
juga harus disingkirkan!" Dingin dan tajam kata-katanya itu.
Ratna yang lapat-lapat mendengar kata-kata Subaidah itu langsung jatuh pingsan.
"Kalau begitu, tua bangka itu sudah tahu tentang hubungan kita?" bisik Samirun
di sisi Subaidah. "Mungkin saja. Tapi cuma disimpan di dalam hatinya."
kata Subaidah sambil senyum sinis bercampur rasa jengah.
"Dan dia pun tahu, Mirta sesungguhnya bukan
anaknya"!" "Testamen itu sudah menjawabnya." kata Subaidah tertunduk.
Samirun tercenung sejenak. Ada perasaan tidak enak menyelinap di dasar hatinya.
Bagaimanapun ia merasa "malu-hati" terhadap, majikannya almarhum.
Subaidah melirik memperhatikan sikap Samirun.
"Alaaah... buat apa dipikirkan, orangnya pun sudah jadi tanah di liang kubur."
nyeletuk Subaidah, juga seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri.
Tubuh Ratna terbaring tak sadarkan diri di muka pintu. Nampak kepala Mirta
nongol dari pintu dan matanya tiba-tiba jadi nanar memandang tubuh yang
tergeletak seenaknya itu. Ia melangkah mendekat dan berlutut di sisi tubuh
Ratna. Tampak mata pemuda ini makir liar menjalari setiap lekuk tubuh yang
sangat diimpikannya setiap detik. Napasnya makin memburu menyesakkan dada.
Lengannya gemetar mulai mengerayangi tubuh molek itu.
"Ratna, kau akan kujadikan milikku untuk selama-lamanya." desis Mirta.
Pada detik itu tiba-tiba Ratna tersadar dari
pingsannya. Matanya terbelalak kaget memandang wajah Mirta yang begitu dekat di
hadapannya itu. Ratna meronta seketika dan mendorong tubuh pemuda sinting ini,
ia beringsut menjauh dengan bulu kuduk merinding.
"Apa yang kau lakukan, Mirta?" pekik Ratna.
Mirta mendekat lagi, matanya begitu liar membuat Ratna tersentak mundur lalu
lari ke pekarangan. Mirta mengejar.
"Kau... kau sudah gila, Mirta. Jangan sentuh aku!
Ingatlah aku adalah istri kakakmu." jerit Ratna ketakutan.
"Giran si keparat itu sudah jadi bangke, Ratna. Itulah upahnya tukang serobot.
Heh heh heh...!" Lalu pemuda.
ini lompat menerkam. Ratna menghindar dan "si tukang serobot" ini terpaksa
"mencium" pohon hingga hidungnya mengucurkan darah. Ratna makin ketakutan, ia
lari ke luar sambil menagis tersenggak-senggak.
Mirta mendengus sambil menekap hidungnya yang
berdarah itu. Mandor Sarkawi yang sejak tadi menonton adegan tersebut tak kuasa
menahan tawanya. Mata Mirta jadi melotot, serta-merta meninju pelipis si mandor
yang sedang tertawa terbahak-bahak itu hingga terjengkang ke batang pohon.
"Sialan! Ngeledek lu, ya"! Gua mampusin lu. " bentak Mirta dengan suara sengau.
Sarkawi mengusap pipinya sambil tersandar di pohon.
Mulutnya komat-kamit entah apa yang diucapkannya.
Dunia ini terasa makin gelap bagi Ratna. Ia sudah tak kuat lagi untuk hidup
terus. Ia lari tersuruk-suruk dalam kepekatan malam dan telah nekat untuk
mengakhiri nyawanya dengan sebuah gunting yang dilihatnya
tergeletak di atas meja di kamar empernya itu. UntungIah Nyi Londe cepat
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencegahnya. "Ya Allah! Apa-apaan Neng"! Aduh, kuatkanlah
hatimu, Neng! Ingat...!" Seru Nyi Londe sambil merebut gunting yang hampir
ditusukkan Ratna ke lehernya itu.
Kedua perempuan ini saling bertangisan. Ratna menangis dengan pedihnya di
pelukan pengasuh itu yang terus membesarkan hatinya.
"Tawakal-lah kepada Yang Maha Kuasa, Neng! Tuhan tidak buta, Neng. Tidak buta!"
bujuknya sambil ikut terisak-isak.
"Kalau saja sekarang Samolo berada di sini, pasti tidak akan terjadi sampai
begini!" katanya lagi sambil menghela napas.
Sejak kotak wasiat jatuh ke tangan Subaidah dan Samirun, Mirta anak mereka yang
terlalu dimanja, kini hidupnya setiap hari cuma berfoya-foya bergelimang di
dalam kemaksiatan. Pelesir dengan para pelacur dan berjudi. Mandor Sarkawi yang
punya kegemaran sama makin setia mendampingi sang "p angeran" sinting itu.
Lebih-lebih kasir Samirun yang jadi kaya mendadak dan mengikrarkan dirinya
sebagai Tuan Tanah baru di wilayah Kedawung. Galaknya melebihi macan kebelet.
Penduduk menjadi resah dan makin sengsara diperasnya.
Untuk menjaga posisinya Samirun senantiasa berlaku royal bahkan pandai menjilat
para amtenar Belanda yang berkuasa di wilayah Jawa Barat. Pada hari pertama saja
sebagai Tuan Tanah baru, ia sudah mengantar upeti yang cukup lumayan kepada Tuan
Residen sampai pada para Pamong Desa. Maka sebentar saja ia sudah memperoleh
pengaruh di desa kecil itu. Kadang-kadang Samirun dan Subaidah terlibat
pertengkaran yang cukup sengit, karena nyonya Tuan Tanah ini mendengar
selentingan dari Sarkawi bahwa sang "suami" mempunyai beberapa
"simpanan" di kampung. Sarkawi yang mendapat tugas khusus dari sang Nyonya,
untuk memata-matai sepak terjang "Don Yoan" kampungan ini di luaran, sering
memberi laporan kepada nyonya majikannya hanya
semata-mata demi mendapatkan upah. Lebih-lebih jika ia dalam keadaan pailit
akibat kalah taruhan mengadu ayam atau judi sintir. Persoalan lainnya ia sangat
sakit hati atas kepelitan Samirun yang tidak pernah mau lagi memberi persen
kepadanya, tapi eks kasir itu selalu bermurah hati kepada para tukang pukul dan
beberapa orang tertentu. Bahkan kini Samirun telah menggaji beberapa belas
tukang pukul dan centeng yang rata-rata berkelakuan brutal. Dengan tumpleknya
para begundal baru itu membuat mandor Sarkawi benar-benar merasa tersisih dan
iri hati. Itulah sebabnya ia selalu mengarang ceritera, tentang kebrengsekan
Samirun di luaran. Samirun memang paling senang ngibing doger.
Persenanannya pun tak kepalang tanggung. Ada seorang primadona doger yang
dibelikan seperangkat pakaian yang mahal-mahal serta perhiasan yang berkilauan.
Hal itu sampai di telinga Subaidah. Perang pun terjadi di rumah Samirun.
*** Gedung besar itu tetap sunyi, kadang-kadang saja
Subaidah pulang untuk ber "week end" di tempat tsb.
Samirun telah mendandani rumahnya sendiri hingga tak kalah mewah dan lengkapnya
dengan Gedung Tuan Tanah, ayah Giran itu. Bukan Samirun tidak ingin menguasai juga gedung megah
itu, tapi ia merasa khawatir bila kelak Samolo atau Giran muncul secara tiba-
tiba. Pada suatu malam Samolo tiba-tiba muncul di kamar emper Nyi Londe dan Ratna.
Sinar mata centeng ini menjadi sayu ketika memandang tubuh Ratna yang kurus dan
pucat tengah terbaring di balai-balai itu. Nyi Londe pun tampak kuyu
menyedihkan. "Kenapa kau Neng" Sakit" Oh ya, ke manakah si
bayi?" tanya Samolo dengan hati serta perasaan tidak enak.
Ratna tidak sanggup menjawab, hanya air matanya saja yang tercurah ke atas
bantal. Nyi Londe memandang Samolo seakan-akan menyesali kepergiannya yang
begitu lama. "Samolo, kenapa kau baru kembali?" tanya Nyi Londe.
"Ke mana saja kau selama ini?"
Samolo melepaskan buntalannya yang tergemblok di punggungnya. Ia duduk dan
menuang air dari kendi, lalu diminumnya.
"Ketika aku membawa segerobak padi ke Mauk, di
tengah jalan tiba-tiba aku disergap Opas Kompani dituduh mencuri padi. Tanpa mau
mendengar penjelasanku mereka langsung saja menjebloskan aku ke dalam bui." Cerita Samolo
dengan suara berat. "Dua minggu lamanya aku disekap di balik terali besi.
Dari ceritera bisik-bisik para opas itu aku baru tahu, bahwa sesungguhnya
penangkapan atas diriku itu
memang telah diatur oleh Samirun. Kemudian aku pun tahu ternyata pintu sel
penjara itu sengaja tidak dikunci untuk memancingku kabur dan mereka punya
alasan untuk menembakku."
"Lalu bagaimana kau bisa keluar?" tanya Nyi Londe ingin tahu.
"Berdiam di dalam sel atau kabur sama saja, mereka memang sengaja ingin
membunuhku dengan cara apa saja. Dipancing untuk kabur, ya aku kabur."
"Opas-opas itu tidak menembakmu?" Suara Nyi Londe terdengar berdebar.
"Tidak sempat. Karena aku lebih dahulu melabrak mereka." kata Samolo tenang.
"Tapi para hamba wet itu pasti mencarimu..." ujar Nyi Londe khawatir.
"Dari dulu pun aku memang orang buronan. Berkat perlindungan dan wibawa Den
Besar, mereka tidak dapat berbuat, apa-apa."
"Tapi kini keadaan, sudah lain, Samolo." tukas Nyi Londe penuh emosi.
"Sejak aku melangkah masuk ke mulut desa ini aku sudah dapat menduganya. Telah
terjadi sesuatu di sini. Tiga sosok mayat secara berturut-turut kulihat
tergantung di pohon. Hal ini belum pernah terjadi, aku tahu benar penduduk desa
ini bukanlah orang-orang yang mudah putus asa." kata Samolo geram.
Bergidik bulu kuduk Nyi Londe dan Ratna mendengar ceritera Samolo itu. Lalu Nyi
Londe pun menceritakan peristiwa diculiknya bayi Ratna oleh komplotan Samirun
untuk memperoleh kotak warisan.
"Si bayi harus cepat ditolong. Semoga dia masih selamat." kata Samolo tegas.
"Tolonglah anak saya, Bang...! Tolonglah...!" ratap Ratna memohon dengan
setengah menangis. "Pasti, Neng." tegas Samolo seraya bangkit.
"Berdo'alah kepada Yang Maha Kuasa, semoga orang-orang sesat itu diberi
kesadaran!" Katanya tenang namun mengandung rasa geram dan sesal yang dalam.
"Mereka lebih berbahaya dari segala ular berbisa.
Maka lebih aman kalau kalian mengungsi dahulu ke rumah ayahmu!" Nyi Londe dan
Ratna setuju dengan usul tersebut.
Malam itu juga Samolo mengantar Ratna dan Nyi
Londe ke rumah Ki Kewot. Lengan tua kakek tersebut jadi gemetar memapah tubuh
putrinya yang menangis tersedu-sedu di haribaannya.
"Kuatkan hatimu, Nak. Tuhan selalu melindungi
hamba-Nya yang tidak bersalah." hibur Ki Kewot dengan mata berkaca-kaca.
Hati orang tua ini rasa teriris-iris. Meskipun hidup dalam serba sederhana, di
gubuk yang reyot itu, Ratna tidak pernah menderita seperti sekarang ini. Ia
selalu melimpahkan kasih sayang yang tak terbatas kepada putri tunggalnya. Ia
tak pernah membiarkan putrinya menangis barang sejenak, apalagi bekerja keras,
kedinginan atau kelaparan atau derita lainnya. Seekor nyamuk saja yang hinggap
dan mengganggu tidur Ratna sudah cukup membuat Ki Kewot jadi geram dan kalap.
Kini betapa tidak akan terenyuh hati orang tua ini melihat keadaan serta
penderiataan putrinya, bahkan cucunya yang masih tak mengenal dosa itu pun ikut
jadi korban kerakusan orang-orang tak beriman itu.
Malam itu bulan dan bintang lenyap, tak tampak
cahayanya setitik pun. Langit gelap-gulita bagaikan selembar kain hitam raksasa
yang menelungkupi seluruh desa Kedawung. Angin berhembus membawa hujan
rintik-rintik disertai bunyi guruh yang lapat-lapat terdengar di kejauhan. Tepat
pada saat itu tampak sesosok bayangan melesat ke atas wuwungan rumah Samirun.
Dengan gerakan seperti seekor kucing, sosok bayangan itu melompat turun dari
lubang genting yang dibongkarnya tanpa suara. Ia tepat berada di kamar Samirun yang sedang tertidur
pulas. Di antara cahaya lampu yang remang-remang itu terlihat sosok bayangan
tinggi besar yang ternyata Samolo. Dengan hati-hati ia melangkah ke sebuah
lemari. Dengan sekali sentuh terbukalah lemari tersebut.
Dugaannya sangat tepat, ia mendapatkan kotak wasiat itu berada di dalam lemari
itu. Dengan kotak terkempit di lengan, Samolo lompat kembali ke atas wuwungan.
Sekeping pecahan genting jatuh meluruk menimpa kepala Samirun yang segera
tersadar dengan tiba-tiba. Ia masih sempat melihat ujung kaki "pencuri" itu
lenyap di lobang plafon kamarnya. Ia lompat ke lemari dan langsung berteriak
sambil meraih pistolnya dari bawah bantal.
"Maling! Tangkap pencuri...!" Teriaknya sambil
melompat ke luar kamar. Di halaman belakang ia melihat sesosok bayangan berkelebat di atas wuwungan. Ia
menembak secara beruntun ke arah bayangan tadi. Tapi sosok bayangan itu telah
lenyap melompat ke sisi depan gedung. Samirun jadi kalap.
"Pencuri! Pencuri!" Teriaknya kalap sambil berlari ke luar. Sesaat kemudian
tampak belasan centeng muncul berserabutan dengan obor serta senjata-senjata
terhunus di tangan. Semuanya bergerak ke arah luar gedung untuk mengejar si
pencuri yang amat tangkas tadi. Namun yang didapati mereka di luar gedung itu
cuma deru angin dan suara lolongan anjing Samirun yang menyalak tanpa henti.
Samirun membanting kakinya dengan penuh
luapan amarah. Dimakinya para centeng itu habis-habisan. Sesaat kemudian Samirun
tersentak karena mengingat sesuatu.
"Si bayi!" teriaknya, lalu langsung berlari masuk ke dalam rumahnya lagi diikuti
oleh derap belasan pasang kaki para centengnya.
Mereka langsung pula menerobos masuk ke dalam
sebuah kamar. Tampak seorang pengasuh sedang berdiri menggigil ketakutan di sisi
ranjang bayi yang sudah kosong.
"Bangsat! Tidak salah lagi ini pasti perbuatan Samolo."
Teriak Samirun sambil membalikkan ranjang bayi dengan marahnya.
"Sosok bayangan itu jelas mirip si keparat sialan itu."
sambungnya. Lalu matanya mendelik ke arah para
centengnya yang jadi tertunduk mengkerat.
"Bakul-bakul nasi! Aku gaji kalian bukan untuk tidur ngorok, tahu"!" Semprot
Samirun belum hilang kalapnya.
Sementara itu Samolo telah menyerahkan si bayi ke dalam pelukaan ibunya. Ratna
mendekap bayinya yang dikiranya sudah tidak ada lagi di dunia ini, dengan
ledakan tangis. Kotak wasiat itu pun diberikan kepada Ki Kewot untuk
disimpannya. "Terima kasih, Samolo!" Cuma itu yang keluar dari mulut Ki Kewot, karena
suaranya terasa menyangkut di kerongkongannya.
"Bersyukurlah kepada Tuhan, Ki!" jawab Samolo
sambil meminum air kendi.
"Aku pikir sebaiknya kita segera meninggalkan rumah ini. Samirun pasti tidak
tinggal diam!" sambung Samolo.
Perhitungan Samolo memang tepat. Karena menjelang fajar, gubuk kecil itu telah
dikepung oleh orang-orang Samirun dan beberapa opas dengan senjata-senjata
terhunus. Samirun berteriak memerintahkan Samolo menyerahkan diri atau gubuk itu
akan dibakar ludes. Detik itu orang-orang di dalam justru sedang siap-siap untuk pergi mengungsi.
Demi keamanan dan keselamatan yang lain, Samolo terpaksa pasrah diborgol dan diseret pergi.
"Kalau dia berani kabur lagi, bikin tubuhnya jadi santapan buaya-buaya
Cisadane." perintah Samirun kepada orang-orangnya.
Seperginya gerombolan yang menggiring Samolo,
Samirun bersama tiga orang centengnya, termasuk mandor Sarkawi menerobos masuk
ke dalam gubuk Ki Kewot. "Geledah seluruh sudut gubuk reyot ini!" perintah Samirun kepada tiga orang
upahannya sambil bertolak pinggang dengan sombongnya. Tiga begundal itu segera
mengobrak-abrik seluruh isi pondok untuk mencari kotak wasiat.
Melihat ulah orang-orang ini, Ki Kewot tak dapat menahan diri lagi.
"Setan neraka jahanam. Keluar kalian!" tudingnya kepada Samirun yang tersenyum
iblis. "Hei, tua bangka pikun! Mana mungkin aku keluar dari kandang babi ini, sebelum
kotak itu berada di tanganku. Mengerti kau"!" kata Samirun, balas menuding Ki
Kewot dengan tongkatnya. "Kotak apa"! Kalian memang sengaja cuma mau
mengacau." bentak Ki Kewot.
"Kau sembunyikan di mana kotak itu"!" bentak
Samirun setelah melihat orang-orangnya tak berhasil menemukan kotak wasiat itu.
"Ayo katakan! Sebelum peluruku ini mengoyak dada keriputmu." katanya sambil
mengokang pistolnya ke arah dada Ki Kewot.
Sungguh di luar dugaan, kakek ini malah maju sambil membuka bajunya dan
membusungkan dadanya. "Silahkan! Ayo pilihlah yang paling empuk, kasir keparat!" katanya mantap dan
nekat. Meletuslah pistol Samirun diiringi jeritan Ratna dan Nyi Londe.
"Ayah!" jerit Ratna sambil menubruk tubuh ayahnya yang limbung dengan darah
tersembur dari dadanya. Sarkawi menarik lengan Ratna yang meronta dan
menjerit seperti gila. Samirun memerintahkan Sarkawi menyeret Ratna keluar,
sementara pistolnya sekali lagi
"memakan" tubuh Ki Kewot yang langsung tersungkur ke lantai gubuk. Nyi Londe
berusaha menolong kakek ini, tapi ia jatuh tersungkur juga digetok gagang pistol
Samirun pada keningnya. Ratna terus diseret Sarkawi ke luar gubuk, yang meronta
dan menjerit dengan kalap.
Gagal menemukan kotak wasiat itu, Samirun jadi
buas. Setibanya di luar ia menyambar obor dan menyulut atap gubuk kemudian
melemparnya ke atas atap. Dalam sekejap saja api pun berkobar. Ratna makin panik
dan meronta dengan kalap di dalam dekapan tiga begundal itu.
"Anakku...! Anakku...!" jerit Ratna seperti gila.
Tapi Samirun dan tiga begundalnya terus menyeretnya pergi. Suaranya semakin jauh
kemudian tertindih oleh gemuruh api yang makin besar melahap seluruh gubuk itu.
Nyi Londe berusaha bangkit namun kepalanya terasa berat dan pening. Dengan
terbatuk-batuk ia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk merangkak ke kamar karena dari sana
terdengar suara tangisan si bayi. Sementara api dengan cepat menjilat dan
melahap rumah bilik itu. Sang pengasuh merangkak menembus asap yang menyesakkan
napas. "Cepat tolong cucuku, Nyi...! Cepat...!" Dengus Ki Kewot dengan napas satu-satu,
sambil mencoba bergerak dan beringsut ke arah kamar di mana cucunya berada.
Darah mengalir semakin deras dari luka di dada dan perutnya, berceceran
membasahi lantai. Api semakin besar dan ganas melahap seluruh isi gubuk.
Balok-balok berapi pun berjatuhan dari atas, nyaris menimpa Nyi Londe yang terus
berkutet merangkak menembus asap, menggapai-gapai mencari pintu kamar tidur si
bayi. "Cepat selamatkan cucuku, Nyi. Cucuku...!" Terdengar suara Ki Kewot megap-megap
di tengah gulungan asap yang makin tebal. Nyi Londe berhasil mencapai kamar dan
langsung meraih tubuh bayi yang menangis
kepanasan. Darah tampak mengalir dari kening Nyi Londe tapi tak dihiraukan. Ia
mendekap tubuh si bayi erat-erat sambil berdo'a karena api telah mengurung semua
jalan keluar. "Oh Tuhan, lindungilah makhluk-Mu yang tak berdosa ini...!" Ratap Nyi Londe
dalam do'anya. Sementara itu, Samolo sedang digiring oleh para begundal dan opas menuju Tangsi.
Dari atas tanggul yang dilaluinya, terlihat olehnya cahaya api dari arah gubuk
Ki Kewot. Hati centeng ini jadi tercekat, ia tahu itu pasti perbuatan Samirun
dan begundal-begundalnya. Ia benar-benar merasa khawatir akan keselamatan Ratna
dan bayinya juga Nyi Londe dan Ki Kewot yang berada di dalam gubuk.
Sekonyong-konyong Samolo menggentak rantai
borgolnya hingga putus. Berbareng dengan itu, dua begundal yang berjalan di
depannya terjungkal ke dalam sungai dengan kepala remuk dibabat lengan Samolo.
Dua opas yang berjalan mengiringinya itu terkejut namun sebelum kedua hamba wet
ini siap mengayun kelewangnya, Samolo telah lebih dahulu menyapunya dengan
sebuah tendangan berantai yang sangat dahsyat, hingga kedua opas itu terpental
saling susul ke bawah tanggul. Sisanya menjadi ciut lalu kabur terbirit-birit
dari atas tanggul. Samolo pun memang tidak ada waktu lagi untuk
berurusan dengan mereka, karena ia dengan kecepatan penuh berlari ke arah gubuk
yang sedang terbakar itu.
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Api sedang mengamuk dengan dahsyatnya ketika
Samolo tiba di muka gubuk yang hampir musnah ditelan lidah-lidah api yang
mengganas. Tak terasa peluh dingin Samolo membasahi tubuhnya yang panas
terpanggang. Ia berteriak memanggil nama Ki Kewot dan Nyi Londe, tapi suaranya
sirna ditelan gemuruh api. Juga Ratna yang dipanggilnya tak ada jawaban. Maka
dengan nekat ia lompat menerjang gumpalan asap dan api itu dan
menerobos masuk. Samar-samar dilihatnya Ki Kewot sedang merangkak-rangkak menuju
kamar. "Ki Kewot, mana Ratna dan bayinya" Juga Nyi Londe"!"
Teriak Samolo sambil menghindar dari balok berapi yang berjatuhan. Ia melompati
lidah-lidah api yang bergejolak itu langsung menyambar tubuh kakek yang terluka
parah ini lalu dibawa lompat ke luar.
"Jangan hiraukan aku, Samolo. Tolonglah cucuku dan Nyi Londe...!" kata Ki Kewot
megap-megap di kempitan Samolo. Samolo meletakkan tubuh tua yang bersimbah darah
itu di pekarangan. "Kotak itu berada di bilik kamar itu...!" ujar Ki Kewot dengan napas makin
memburu. Samolo tanpa membuang waktu sedikit pun sudah
melompat masuk lagi melalui jendela yang dijebol jerujinya dengan sekali babatan
telapak tangannya. "Nyi Londe, tetaplah di situ!" serunya kepada Nyi Londe yang terpaku di sudut
bilik sambil mendekap si bayi.
Samolo membungkus tubuh si Bayi dengan selimut yang dibasahkan lebih dahulu.
"Kau keluar dulu melalui jendela itu, Nyi! Aku mau mencari kotak. Cepat!"
Nyi Londe agak ragu karena merasa khawatir dengan keselamatan bayi itu, namun ia
keluar juga melalui jendela yang sudah dijebol oleh Samolo.
Setibanya di luar Nyi Londe dan Ki Kewot menunggu munculnya Samolo dengan
jantung berdebar-debar. Ketegangan serta rasa khawatir seolah telah
melumpuhkan seluruh sendi tulang dan syaraf mereka.
Bagian samping gubuk itu tiba-tiba runtuh. Nyi Londe dan Ki Kewot tampak makin
pucat menggigil. "Samolo...! Samolo cepat keluar...!" Teriak Nyi Londe tak sabar.
"Cucuku... Oh, bagaimana dengan cucuku..."!" ratap Ki Kewot tersendat-sendat.
Tiba-tiba tampaklah Samolo di tengah gejolak api. Kini tiang-tiang bangunan itu
mulai berderak bergoyang.
Pada detik terakhir itu, Samolo melesat keluar melalui jendela, dan tepat pada
detik itu pula ambruklah seluruh bangunan tersebut dan menjelma jadi tumpukan
api unggun raksasa. Samolo berguling dengan sang bayi dalam pelukannya dan kotak
wasiat tergemblok di punggungnya dalam buntalan kain sarung. Tampak
beberapa bagian baju centeng perkasa ini hangus terbakar.
Nyi Londe segera menggendong si bayi yang terus menangis itu, Samolo berlutut di
sisi tubuh Ki Kewot untuk memberi pertolongan selanjutnya. Tapi kakek ini
menggeleng-geleng kepala dengan lemah.
"Jagalah Ratna dan cucuku... Samolo...!" pesannya.
"Tenanglah, Ki. Aku pasti akan selalu melindungi mereka." janji Samolo dengan
suara haru. Kepala Ki Kewot tergolek ke sisi, wafatlah orang tua yang telah banyak menderita
itu. Samolo tertunduk dengan hati pilu. Setelah Nyi Londe menceriterakan
diculiknya Ratna oleh Samirun, Samolo segera mengubur jenazah Ki Kewot di dekat
puing gubuknya. Samolo dan Nyi Londe lama termenung, semua peristiwa itu seakan-
akan sebuah mimpi buruk yang sangat mengerikan bagi mereka.
*** TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 9 NYI LONDE membawa si bayi dan Samolo ke sebuah
rumah bilik yang terletak terpencil di tepi sungai setelah berjalan menembus
hutan jati yang cukup lebat. Rumah bilik itu tampak masih cukup kuat biarpun
sudah banyak yang bocor dan bolong di sana-sini, namun masih bisa untuk mereka
berteduh. Di sini mereka merasa lebih aman karena agaknya tempat itu jarang
dilalui orang. "Rumah ini sudah lama kosong sejak ayahku
meninggal dunia!" kata Nyi Londe sambil menidurkan si bayi.
"Mudah-mudahan nasib Girin tidak akan seburuk
aku." sambungnya dengan suara pelan penuh haru.
"Girin..."!" Tanya Samolo heran mendengar nama itu.
"Agaknya untuk selalu mengingat nama Den Giran, Ratna memberi nama Girin kepada
putranya ini!" Nyi Londe menjelaskan dengan tersenyum.
Samolo termenung memandang keluar jendela.
"Entah bagaimana dengan nasib Neng Ratna sekarang.
Dia pasti dibawa ke rumah Samirun. Nanti malam akan kucoba ke sana."
"Hati-hatilah, mereka makhluk-makhluk busuk yang banyak akalnya!" kata Nyi Londe
khawatir. "Aku tahu mereka akan menggunakan Neng Ratna
untuk ditukar dengan kotak warisan!"
Malamnya Samolo berangkat ke rumah Samirun,
karena ia yakin Ratna pasti disekap di rumah itu. Dengan gerakan ringan ia
menyelinap ke dalam pekarangan dan segera bersembunyi di balik pilar.
"Sunyi. Aku yakin Neng Ratna berada di sarang setan ini." pikirnya dengan penuh
waspada. Keadaan di rumah itu terasa sunyi mencekam. Samolo pun telah siap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Sekonyong-konyong sambaran angin mendesing ke
arahnya. Samolo berkelit tepat ketika sebatang tombak menancap di pilar hanya
beberapa inci dari kepalanya.
Berbarengan dengan itu, berlompatanlah belasan orang bersenjata dari berbagai
sudut, mengepung Samolo. Samolo sadar bahwa ia telah masuk perangkap.
Namun sedikitpun ia tidak gentar. Dengan sikap tenang namun waspada ia tegak di
tengah pekarangan. Sementara orang-orang bersenjata itu semakin rapat mengurungnya.
"Ha ha ha ha...! Sekarang kau tak mungkin bisa lolos lagi, anjing!" terdengar
suara gelak tawa Samirun dari tengah kerumunan para begundalnya. "Sebaiknya kau
menyerah saja. Nyawa Ratna dan kau sendiri sudah berada di telapak tanganku.
Serahkan kotak itu, kalian pasti selamat!" serunya lagi.
"Carilah sendiri di tumpukan puing gubuk yang sudah jadi arang itu!" ejek
Samolo. Mata Samolo tajam mencari Samirun di antara para pengepungnya itu. Dia berpikir,
jika ingin membunuh ular haruslah kepalanya lebih dulu. Ia sudah mengambil
keputusan untuk menghabisi si biang kerok itu. Maka ketika matanya menangkap
sesosok tubuh jangkung berdiri di belakang para centeng itu, Samolo tiba-tiba
melejit seperti pantulan bola lalu lompat melesat ke arah Samirun. Gerakannya
begitu cepat dan sukar diduga, membuat para centeng sewaan jadi tersentak dan
bergerak serentak untuk menghalangi terjangan Samolo.
Samirun terkejut tak alang-kepalang ketika sosok tubuh tinggi besar itu tiba-
tiba saja sudah berada dekat di hadapannya, menerjang bagaikan seekor burung
rajawali yang sangat tangkas. Samirun dengan gugup lompat mundur sambil menembak
dengan pistolnya. Dua letusan terdengar disusul oleh jeritan mengaduh dua orang
centengnya sendiri yang segera rubuh bergelimpangan ke tanah terkena peluru
nyasar. Detik itu Samolo sudah lompat lagi setelah berguling menghindar dari
desingan peluru. Sasarannya selalu terarah kepada Samirun, membuat kasir ini
jadi kelabakan dan menembak
membabi-buta karena paniknya. Setiap butir peluru yang dimuntahkan dari moncong
pistolnya itu selalu saja merenggut satu atau dua nyawa orang-orang sendiri.
Keadaan menjadi kacau-balau. Para centeng lari
serabutan atau tiarap karena takut terkena peluru nyasar. Hal ini tentu saja
tidak pernah direncanakan oleh Samirun. Keadaan kembali sunyi mencekam. Masing-
masing berdiam diri di tempatnya. Gelap di sekitarnya, membuat mata Samirun jadi
jalang dengan pistol siap tembak di tangannya yang makin gemetar. Ia tersandar
di pilar dengan napas tersengal-sengal, karena penyakit asmanya yang kronis itu
tiba-tiba kambuh. Mendadak sesosok tubuh melayang ke arahnya, Samirun dengan
gugup menembak. Tubuh itu ambruk tepat di bawah kakinya dan ternyata korban
pelurunya itu adalah orangnya sendiri yang sudah jadi mayat. Rupanya Samolo yang
melemparkan tubuh itu kepada si kasir yang sedang panik ini.
Kini Samolo berdiri tegak di hadapan Samirun yang segera menembak dengan
pistolnya. Namun yang terdengar hanya bunyi berjetrek karena telah kehabisan peluru. Samolo sudah
memperhitungkan semua itu.
Samirun jadi panik dan melempar pistol kosong itu ke arah Samolo tapi melenceng
menghantam kepala seorang centeng yang sedang tiarap hingga langsung "tidur
pulas" di tanah. "Kepung dia! Bunuh cepat!" teriak Samirun kepada para tukang pukulnya dengan
gugup. Kini belasan centeng kembali mengepung Samolo. Tiga orang serentak menerjang
dengan tombak dan golok. Samolo berkelit dari sambaran senjata-senjata itu sekaligus membalas hingga
mereka terjungkal dan menggelepar di atas bumi. Kembali serangan meluruk ke arah
Samolo yang ditangkisnya dengan sebatang tombak yang direbutnya tadi. Kali ini
pertarungan menjadi seru, senjata-senjata berkelebatan mengurung dan
menyambar-nyambar ke arah Samolo bagaikan badai.
Setiap tombak Samolo meluncur dan menikam selalu dibarengi oleh pekikan menyayat
seorang pengeroyok. Samolo sambil bertempur terus mundur masuk ke
dalam rumah. Para centeng yang agaknya dijanjikan upah yang
sangat besar oleh Samirun, mereka terus mengejarnya dan perkelahian berlangsung
semakin dahsyat. Dengan mengandalkan kehebatan ilmu tangan kosongnya, Samolo
berkelahi bagaikan seekor banteng yang tak kenal takut.
Babatan maupun pukulan telapak tangannya selalu melumatkan apa saja yang
terkena. Satu demi satu para tukang pukul itu rubuh bergelimpangan dengan kepala
atau dada remuk. Seluruh perabotan rumah Samirun menjadi berantakan seperti
diamuk topan yang amat dahsyat. Anehnya tak seorang pun dari tukang pukul itu
yang gentar, malah makin merangsak dengan bernafsu.
Samolo pun sadar bahwa orang-orang sewaan ini hampir semuanya terdiri muka-muka
baru dan rata-rata berkepandaian ilmu silat cukup lumayan. Maka tidaklah heran sifat pantang mundur
itu dipegang teguh oleh mereka. Suatu sikap yang rata-rata dimiliki para
pendekar silat. Begitu pun sikap Samolo, ia rela hancur dan pantang mundur setapak pun demi
kehormatan nama besar perguruannya. Meskipun dikeroyok oleh belasan jago-jago silat yang rata-rata
cukup tangguh, Samolo sama sekali tidak bergeming, senjata-senjata lawan yang
bertubi-tubi menyambarnya tak sepotong pun yan bisa menggores tubuhnya. Paling-
paling bajunya saja yang koyak tertikam atau terbabat senjata-senjata tajam itu.
Semuanya sudah sama-sama nekat seperti kesetanan. Arena pertarungan itu sekejap
saja sudah menjadi porak-poranda. Dinding-dinding pun jebol hingga ke atap dan
para-para. Lama-lama semuanya merasa letih namun tak seorang pun mau menyerah.
Mayat-mayat mulai bertumpang-tindih di lantai rumah Samirun. Suatu pemandangan
yang mengerikan. Mata Samolo terus mencari Samirun, tapi kasir licik sudah tidak terlihat lagi di
situ. Tahulah Samolo bahwa rumah itu telah dijadikan alat perangkap baginya,
karena tenyata seluruh kamar sudah kosong dan tak terlihat Ratna berada di situ.
Samolo benar-benar menjadi geram.
Ia tahu pasti ke mana larinya Samirun. Maka dengan mengerahkan seluruh
kemampuannya digempurlah sisa pengeroyoknya yang tinggal tiga orang lagi, yang
tampaknya paling tangguh dari seluruh para pengeroyok.
Samolo tiba-tiba jadi sadar siapakah tiga orang ini.
Melalui jurus-jurus silat mereka itu, Samolo tahu bahwa tiga pemuda ini pasti
ada hubungannya dengan Mat Gerong, pentolan kepala Garong yang telah dibikin
buntung kakinya. "Kalian apanya Mat Gerong"!" tanya Samolo sambil bertempur.
"Kau harus membayar hutang kaki guruku yang kau bikin buntung itu, Samolo!"
jawab seorang. "Pulang tanpa membawa sepasang kakimu itu berarti mati bagi kami bertiga." kata
yang seorang lagi. "Kenapa kalian begitu bodoh" Potong saja sepasang kaki mayat itu dan katakan
kepada guru kalian bahwa dua kaki itu adalah milikku. Setelah itu kalian
menyingkir jauh-jauh dari dia untuk selama-lamanya."
kata Samolo memandang tajam ke tiga pemuda yang agaknya bersaudara karena rupa
mereka tampak sangat mirip satu dengan yang lainnya.
Ketiga pemuda murid Mat Gerong saling pandang
sejenak lalu sama-sama lompat mundur.
"Suatu pikiran yang baik. Demi ibuku yang sudah tua dan kini sedang terbaring
sakit, kami terima usulmu itu."
kata yang lebih tua. "Bagus! Kalian masih sangat muda. Berbakti kepada orang tua pahalanya sangat
besar." kata Samolo tersenyum. Dan tanpa menunggu lagi untuk melihat tiga pemuda itu melaksanakan usulnya tadi,
Samolo segera lompat keluar rumah yang telah porak poranda dan lenyap di
kepekatan malam. Tanpa membuang waktu sedetik pun Samolo terus berlari langsung
ke gedung Tuan Tanah. Ia melangkah masuk ke pekarangan yang sunyi dan gelap itu.
"Hei, Samirun, keluar kau! Sudah cukup kau bikin kotor gedung Den Besar ini.
Jangan dikotori lagi oleh darahmu yang busuk itu. Keluar, keparat!" teriak
Samolo seperti guntur. Tak ada jawaban dari gedung induk yang terkunci rapat itu.
"Baik, aku akan masuk menyeret kau!"
Samolo melangkah masuk untuk menjebol pintu
utama yang terpaksa harus dilakukannya, karena ia tahu tidak ada jalan lain
untuk masuk ke ruangan utama.
Pintu yang menuju ke belakang itu pun pasti sudah dikunci oleh Samirun. Samolo
sendiri sejak dulu belum pernah berani masuk melalui pintu utama itu. Biasanya
ia selalu masuk melalui pintu samping. Hal ini ia terpaksa harus melanggar
kebiasaannya itu. Namun sebelum ia lakukan, pintu itu terkuak dan terlihat
Samirun muncul sambil mengancam Ratna dengan pisau pada lehernya.
"Bawa ke sini kotak warisan itu, atau dia akan mati!"
ancam Samirun dengan beringas.
Wajah Ratna tampak pucat tapi ia tetap tabah dan tenang. Samolo melangkah maju.
Samirun segera menekan pisau itu pada leher Ratna. Tampak mandor Sarkawi mengintai di balik
pintu. "Den Giran akan segera pulang, kau dan komplotanmu itu akan digulung oleh hukum
karena telah merampas semua hak milik majikanmu." Samolo balas mengancam.
"Huh, dengan harta sebanyak itu di tanganku, hukum pun berada di pihakku." kata
Samirun sinis. "Setan sudah menutup matamu, Samirun. Hukum
dunia kau dapat hindari tapi tidak hukum akhirat!"
"Tutup mulutmu! Kotak itu atau perempuan ini
binasa!" bentak Samirun makin kalap.
"Baik! Tapi selembar saja rambut Neng Ratna kau ganggu, hanya Tuhan saja yang
bisa menolongmu juga para begundalmu itu, Samirun!" ancam Samolo sambil beranjak
pergi. Samolo melesat seperti angin ke luar pintu gerbang, berlari ke arah jalan lalu
lenyap di kegelapan malam.
Samirun menyeret kembali Ratna ke dalam gedung lalu diikatnya di atas kursi.
Sementara ia dan Sarkawi duduk di dekatnya untuk menunggu Samolo.
Tapi ternyata Samolo tidak pulang mengambil kotak wasiat itu, ia memutar ke
belakang gedung dan memanjat dinding lalu melompat masuk ke halaman belakang. Ia
mengintai melalui jendela, tampak olehnya Subaidah dan Mirta sedang sibuk
mengurus isi sebuah peti, di pindahkan ke dalam koper-koper. Rupanya mereka
sudah siap-siap angkat kaki dari gedung itu.
Agaknya cuma peti besi itulah yang sempat dibukanya karena kunci-kunci lainnya
yang berada di dalam kotak wasiat keburu dicuri oleh Samolo. Namun harta yang
dikurasnya itu sudah cukup membuat mereka kaya-raya selama tujuh turunan. Namun
karena jiwa mereka memang terlalu tamak, masih juga menuntut seluruh harta warisan yang ada di
gedung Tuan Tanah berikut segenap kekayaan yang ada. Dengan memiliki surat-surat
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sah atas pemilikan harta peninggalan tersebut, mereka akan merasa lega.
Sesungguhnya Samirun pun cukup bertindak hati-hati serta penuh perhitungan. Agar
tidak menimbulkan perkara dan sanksi hukum, maka ia tidak segera membunuh Ratna
dan anaknya yang tercantum sebagai ahli waris dari harta peninggalan Tuan Tanah
itu. Kecuali jika seluruh surat-surat berharga itu sudah berada di tangannya,
semuanya bisa diatur dengan mudah, demikian pertimbangan si kasir yang cerdik
ini. Bahkan dengan menyandera Ratna, ia masih berharap untuk memperoleh seluruh isi
kotak wasiat yang ia yakin masih disimpan oleh Samolo di suatu tempat.
Ia tahu benar centeng itu pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk
menyelamatkan harta benda majikannya.
Sikap kesetiaan yang luar biasa dari si centeng terhadap majikannya sangat
menggagumkan hatinya juga
sekaligus membencinya. Tapi kali ini perkiraan Samirun terhadap Samolo meleset, karena ternyata centeng
ini tidak pulang mengambiI kotak wasiat yang akan ditukar dengan nyawa Ratna. Ia
lupa Samolo bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi kalau diancam. Maka
Samirun tidak sadar kalau pihaknya sendiri yang terancam sekarang ini.
Karena macan dari Gunung Krakatau ini sudah siap menerkam Subaidah dan Mirta
yang sedang berada di dalam kamar penyimpanan peti-peti harta itu.
Dengan beberapa kali gempuran tangan Samolo,
jebollah jeruji-jeruji besi jendela kamar itu. Ia lompat masuk disambut jeritan
Subaidah dan Mirta yang terkejut setengah mati. Kedua ibu dan anak ini segera
lari ke sudut kamar dengan tubuh menggigil tak menghiraukan lagi isi koper-koper
mereka yang berceceran di lantai.
Samirun dan Sarkawi yang berada di ruangan depan terkejut mendengar jeritan
Subaidah dan Mirta. "Tunggu di sini, Wi!" perintah Samirun kepada
Sarkawi, maksudnya untuk menjaga Ratna yang terikat di kursi. Ia sendiri masuk
ke dalam untuk melihat apa yang terjadi dengan Subaidah dan Mirta.
Dilihatnya Subaidah dan Mirta sedang berdiri
ketakutan di sudut ruangan, sinar matanya
menunjukkan kepadanya akan adanya bahaya di ruangan itu. Samirun mundur sambil
meraih sebatang tancapan lilin bercabang tiga yang sangat runcing dari atas
meja. Sekonyong-konyong sebuah lengan dengan kuat
mencengkeram leher bajunya dari belakang. Samirun berbalik langsung menikamkan
tancapan lilin itu, namun senjata darurat itu tiba-tiba pindah tangan dan tiba-
tiba pula terhunjam ke dadanya sendiri.
Dengan jeritan yang sangat menyayat tubuh Samirun tergetar terhuyung-huyung,
darah segar pun tersembur dari dadanya itu ketika tancapan lilin tersebut
dicabut. Ia mendekap dadanya, menatap Samolo yang masih
menggenggam tancapan lilin itu dengan sorot mata jalang seekor serigala.
Tubuhnya semakin limbung lalu ambruk ke lantai menggapai dan meraup emas permata
yang berserakan itu dengan lengan gemetar berlumur darah.
Namun hanya sekejap karena sejenak kemudian ia
menggeliat lalu tersungkur lagi dengan mata tetap terbelalak mengerikan.
Subaidah terpekik histeris merangkul Mirta yang menggigil seperti demam.
Samirun tewas penuh penasaran. Konon menurut
ceritera penduduk setempat, hantunya acap kali terlihat bergentayangan di gedung
itu sampai bertahun-tahun kemudian.
Samolo melangkah mendekat ke arah Subaidah dan
Mirta yang masih menggigil dengan wajah seperti tidak dialiri darah lagi.
"Ular betina berkepala dua! Penyebab dari segala bencana terkutuk. Inilah hari
terakhir bagimu." ancam Samolo dengan suara dalam. Lengannya menuding
dengan ujung tancapan lilin yang masih meneteskan darah Samirun.
"A... a... ampun Bang Sssamolo...! Ampuni saya dan Mirta...! Saya mengaku
salah...!" Ratap Subaidah gemetar sambil semakin ketat memeluk putranya. Mirta
menggumam tapi tak jelas apa yang diucapkannya. Mata pemuda itu merah dan nampak
liar. Tapi ujung tancapan lilin yang sangat runcing dan masih berteteskan darah itu
terus terarah kepada nyonya Tuan Tanah tak bermoral yang meratap mengiba-iba
dengan air mata bercucuran. Lenyaplah segala
keangkuhan serta kecongkakannya sebagai sang Nyonya Besar yang terlalu berambisi
ingin meraih bintang. Tapi kini semua impiannya telah pudar menjadi debu.
"Ampun, Bang... Kasihanilah saya dan Mirta...!
Ambillah semua harta itu tapi jangan bunuh kami...!
Ampuun... Bang...!" Subaidah terus menatap ngeri melihat ujung tancapan lilin
berdarah itu. "Minta ampunlah kepada arwah Den Besar bila kalian jumpa di akhirat nanti.
Kalian sudah terlalu menghina serta menyiksanya, padahal kalian telah
dilimpahkan harta benda serta kasih sayangnya. Mau apa lagi"!"
bentak Samolo dengan suara dalam menahan haru dan kepedihan hatinya.
Subaidah menangis terisak-isak, entah menyesal atau entah karena takut mati.
Sekonyong-konyong Mirta menjerit kalap dan langsung menerjang Samolo seperti
celeng liar. Samolo menyambar rambut pemuda itu, namun ketika ia hendak menikamnya dengan
tancapan lilin tersebut, terlintaslah bayangan Den Besarnya sedang membelai dan
memangku Mirta kecil. Suatu kenangan yang begitu melekat di benaknya.
Sesungguhnya Den Besarnya sangat mengasihi anak itu meskipun mungkin majikannya
itu akhirnya tahu bahwa anak itu sebetulnya bukan darah dagingnya sendiri,
karena sampai pada menjelang ajalnya, sikap Den Besar terhadap Mirta tak pernah
berubah. Betapa pedih hati Samolo bila mengingat nasib Den Besarnya yang begitu
tragis. Namun itu bukan kesalahan Mirta, ia cuma hasil dari penyelewengan dan
ketidakkesetiaan orang-orang tak berbudi, kedua ayah-ibunya, ialah Samirun dan
Subaidah, biang keladi dari kehancuran keluarga serta kharisma Tuan Tanah yang
sangat bijaksana itu. Samolo jadi tercenung sementara Mirta masih meronta di
cengkeramannya. Melihat anak kesayangannya itu terancam nyawanya, Subaidah jadi nekat, ia segera
menyerang Samolo dengan kekalapannya sambil menjerit histeris. Samolo melepas
cengkeramannya pada Mirta dan menyambut terjangan Subaidah yang kalap itu dengan
hempasan lengannya, membuat tubuh Nyonya Besar ini terlontar ke arah sebuah
cermin dinding berbingkai antik. Wajah Subaidah tepat menghantam cermin hingga
cermin tersebut hancur berkeping-keping. Dengan pekikan yang amat menyayat
Subaidah tersentak membalikkan tubuhnya, tampak wajah serta matanya berlumur
darah tercacah serpihan kaca. Lengannya menggigil berusaha mencabuti pecahan
kaca yang menancap di wajah dan matanya. Ia merintih kesakitan.
"Mirta...! Mirtaaa... Tolong ibu, Nak...!" rintihnya.
Tapi Mirta mundur ngeri memandang keadaan ibunya.
Lengannya mendekap matanya dengan napas tersengal-sengal, ia melangkah mundur
lalu berbalik lari keluar ruangan. Samolo yang ikut tertegun tiba-tiba jadi
geram lalu melempar tancapan lilin itu yang telak menghantam kepala pemuda itu
hingga jatuh tersungkur. Namun setelah menggelepar sejenak ia cepat bangkit dan
terhuyung-huyung lari ke luar sambil berteriak-teriak seperti orang gila.
Subaidah jatuh tersandar ke dinding, merintih terus dengan tubuh gemetar.
Seluruh wajah dan baju kebaya rendanya yang berwarna putih itu penuh tersimbah
darah. Samolo tak mau melihat lebih lama lagi penderitaan nyonya majikannya yang telah
menerima hukuman akibat perbuatannya.
Samolo berbalik hendak beranjak dari situ. Tepat pada saat ia berbalik itulah
sebuah tikaman ujung tancapan lilin menghantam dan menancap tepat di kedua
matanya. Samolo terpekik sambil menepis tancapan lilin yang sudah terlanjur melukai kedua
matanya, seraya menghantam si pembokong pengecut itu. Sebuah teriakan mengiriskan terdengar
disusul oleh robohnya tubuh gemuk itu ke lantai.
"Sarkawi!" dengus Samolo sambil tangannya mendekap matanya yang mengucurkan
darah. Rasa sakit terasa menyayat-nyayat seluruh sendi syaraf dan tulang
sumsumnya. Dengan terhuyung-huyung ia melangkah keluar, meninggalkan ceceran
darah yang menetes terus dari kedua matanya.
Tampak tubuh Sarkawi menggeliat-geliat. Kepalanya pecah terkena gempuran tangan
Samolo yang sekeras godam baja itu. Tapi mandor ini masih berusaha
merangkak ke arah Subaidah yang merintih-rintih terkapar di dinding.
"Mana upah saya, Nya Besar..." Upah... sssa... ya...!"
katanya sambil menggapai menengadahkan tangannya.
Lalu kepalanya tersungkur ke lantai, diam tak berkutik lagi.
Dengan langkah tersuruk-suruk Samolo berjalan ke ruangan utama. Ratna yang duduk
terikat di kursi jadi terkejut melihat kemunculan Samolo dengan keadaan yang
sangat mengerikan itu. "Bang Samolo..."!" jerit Ratna.
"Kenapa mata Abang?" tanyanya dengan iba
bercampur ngeri. "Biarlah, semuanya sudah lunas ditebus oleh kedua mataku ini." kata Samolo
menahan sakit yang sangat hebat pada kedua matanya yang sudah buta itu.
Lengannya yang nampak gemetar itu meraba tambang yang mengikat tubuh Ratna dan
membukanya. Samolo tiba-tiba jatuh berlutut. Ratna segera
menubruk tubuh centeng perkasa itu dan memapahnya.
"Bang Samolo..." keluh Ratna dengan air mata
berlinang-linang. "Mari kita pergi ke rumah Nyi Londe, Girin mungkin sedang menangis menunggumu
untuk menyusu..." ujar Samolo dengan suara tetap mantap.
Dengan penuh haru dan iba serta air mata bercucuran Ratna memapah Samolo, sang
centeng yang sangat setia itu, berjalan meninggalkan gedung yang telah menjadi
saksi atas peristiwa tragis. Hujan turun rintik-rintik dibawa hembusan angin
ketika keduanya berjalan menembus kegelapan malam menuju hutan jati.
* * * TUAN TANAH KEDAWUNG (Ganes TH) 10 DEMIKIANLAH sebuah kisah panjang yang dituturkan oleh Nyi Londe kepada Giran,
putra sulung Tuan Tanah Kedawung yang mendengarkannya dengan penuh
perhatian. "Begitulah kejadian sesungguhnya yang melanda
keluarga besar ayahmu, Giran. Kini terserah kepadamu, mau percaya atau tidak.
Yang pasti tugasku kini sudah selesai." Kata Nyi Londe sambil bangkit dari
tempat duduknya. Pemuda ini terpaku, termenung dalam kebisuan.
"Peti pusaka itu telah selamat jatuh ke tangan
pewarisnya yang berhak. Kukira Ratna dan Samolo pun tidak perlu ucapan terima
kasihmu, andai pun kau mau mempercayai semua kenyataan itu secara jujur. Yang
penting bagi mereka cumalah pengertian darimu. Karena betapa pun mereka telah
banyak menderita, sengsara, bahkan terlalu banyak, Giran!" sambung pengasuh ini
tanpa bermaksud membujuk.
Giran masih tunduk termenung di jendela, sementara Nyi Londe membungkus
pakaiannya dengan buntalannya.
"Sebenarnya penderitaan Samolo belum berakhir
sampai di situ. Ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan
pembantaian masal. Hampir dua tahun perkaranya berlangsung. Berkat pembelaan
gigih seorang pengacara kawakan, juga para korban itu terbukti memang para
buronan dan penjahat yang sedang dikejar-kejar polisi, maka akhirnya Samolo
terbebas dari hukuman seumur hidup atau tiang gantungan." tutur Nyi Londe lebih
lanjut. "Dan untuk apakah Samolo sampai rela
mempertaruhkan nyawanya sendiri" Untuk siapakah semua pengorbanannya itu"
Padahal dia pribadi sama sekali tidak mengharapkan apa pun. Aku tahu pasti itu."
sambung Nyi Londe dengan suara agak tersendat.
Giran masih bungkam, namun sesungguhnya sebuah
perang sedang berkecamuk di rongga dadanya.
"Dapatkah aku mempercayai semua cerita Uwak
Londe" Benarkah ibuku menyuruhku ke Borneo hanya siasat untuk menyingkirkan aku
semata" Semula aku mengira, akulah yang bodoh tidak bertanya lebih jelas tentang
letak kebun karet milik ayahku itu, padahal ternyata pulau Borneo itu begitu
luas dan beribu Onderneming karet ada di sana. Maka sia-sialah aku menemukan
kebun karet ayahku yang katanya berada di pulau itu. Uang bekal habis sampai aku
hidup terlunta seperti gelandangan. Entah berapa puluh suratku yang kukirim ke
sini untuk meminta kiriman uang tanpa satu pun yang terbalas. Mungkin Samirun-
lah yang menyita surat-suratku itu. Akibatnya hidupku makin parah dan terpaksa
jadi kuli kontrak sebagai penyadap karet.
Kehidupan yang benar-benar pahit penuh pergumulan serta pertarungan seperti
hewan liar. Kadang-kadang cuma demi sedikit uang, nyawa manusia akan
dipertaruhkan. Istri-istri mereka begitu mudah luntur kesetiaannya jatuh ke
pelukan para controlir atau kepada laki-laki iseng siapa saja yang mau
membayarnya hanya dengan sekeping uang. Begitu mudahnya manusia
kehilangan martabat serta harga dirinya hanya demi sepotong logam itu. Sejak itu
luntur pula kepercayaanku terhadap yang namanya kesetiaan dan kejujuran.
Manusia tidak lebih hanya segumpal daging yang serakah dan tamak. Yang masih
dipercayai hanyalah kasih ibu dan persaudaraan yang sejati. Hal itu kuperoleh
dari orang tua angkatku, kepala suku Dayak Iban yang baik hati. Atas
pertolongannya aku masih bisa hidup sampai sekarang ini. Atas bantuan saudara-
saudara suku Dayak itulah akhirnya aku bisa berlayar ke Batavia dan pulang ke
rumah lagi. Ternyata peristiwa yang lebih tragis dari kebuasan hidup di
belantara hutan karet itu telah terjadi di sini, di tengah keluargaku sendiri!
Kini jelas sudah, mengapa ayah tidak mencantumkan nama ibu dan Mirta di dalam
surat wasiatnya itu sebagai ahli waris dari harta peninggalannya. Rupanya ayah
sudah mengetahui penyelewengan kedua orang itu. Namun demi menjaga nama baik serta keutuhan
keluarganya, ia rela menelan semua derita pahitnya itu dan dipendamnya rapat-
rapat sampai ajalnya yang sangat menyedihkan itu. Oh, betapa mulia hatimu,
ayah...!" Sebuah bayangan seolah-olah terpeta kembali di hadapan Giran, sebuah
pengalaman hidup yang begitu pahit yang pernah dialaminya di negeri seberang dan
telah menempanya menjadi seorang
berwatak keras dan tegas. Kepalsuan serta kelicikan sesama manusia terlalu
banyak dilihat dan dirasakannya.
Kini ia tak mudah lagi mau mempercayai apa saja tanpa bukti nyata. Sikap itu
pula yang diajarkan oleh bapak angkatnya yang membekalinya dengan ilmu beladiri
cukup lumayan. Hidup ini memang belantara buas, orang harus cerdik dan pandai
bila tidak mau jadi mangsa sesama makhluk yang hidup di atas bumi ini. Demikian
prinsip petuah itu tertanam dalam-dalam di dasar jiwa Giran.
Nyi Londe mulai berkemas dan memakai kerudungnya.
Di luar badai masih mengamuk mesti tidak sedahsyat tadi.
"Uwak mau berangkat sekarang" Hujan masih belum reda, nanti Uwak sakit...!" Kata
Giran pelan. "Apalah artinya hujan sebegitu, kami sudah terlalu terbiasa menghadapi badai
sengsara dan derita dunia ini, Giran." jawab Nyi Londe tajam.
Dengan menjinjing buntalan Nyi Londe menguak pintu.
Tepat pada sat itu kilat menyambar. Pohon di muka pondok itu tumbang mengepulkan
asap. Tapi tanpa gentar sedikitpun perempuan setengah tua ini melangkah terus.
"Kau mau ke mana, Wak...?" Tanya Giran melihat
kekerasan hati pengasuhnya itu.
"Ke mana lagi kalau bukan menyusul Ratna dan
Samolo!" jawab Nyi Londe sambil berjalan terus di bawah deraan hujan lebat.
Sementara Giran berjalan mengikuti di sampingnya sambil mengempit kotak pusaka
itu. "Ke gedung kita?"
"Buat apa ke situ lagi, mereka telah kau usir, bukan?"
jawab Nyi Londe agak sinis.
Giran tertunduk. Mereka berjalan menembus hutan jati yang lebat itu.
Cahaya kilat berkali-kali menerangi hutan itu. Tiba-tiba di antara deru angin
yang menerpa daun jati, terdengarlah suara teriakan seseorang, suaranya mirip
auman seekor anjing liar.
"Dengar, Wak, suara apa itu?" tanya Giran sambil memasang telinganya. "Seperti
salakan seekor anjing hutan, bukan?" tanya Giran lagi.
"Ya, suara seekor anjing hutan yang sangat liar. Mirta!"
"Mirta..."!" tanya Giran kaget, karena diketahuinya
"adiknya" itu sudah tergeletak jadi mayat di tengah hutan jati tersebut. Giran
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terperangah, karena kini tampak olehnya Mirta sedang jalan terhuyung-huyung di
tengah hutan jati itu sambil berteriak dan tertawa terbahak-bahak seperti orang
kemasukan setan. "Hua... ha... ha... ha... Ke sini manisss...! Jangan lari, Ratna... Ratnaaa...
Aku cinta padamu... Hi... hi... hi...!"
teriak Mirta menggapai-gapai entah kepada siapa.
"Mirta, dia tidak mati...?" gumam Giran sambil
mengintai dari balik pohon.
Mirta memang tidak mati, tapi jiwanya sudah tidak waras lagi, akibat pukulan
pada kepalanya serta guncangan-guncangan hebat pada jiwanya. Wajah Mirta yang
berlumuran darah itu tiba-tiba berubah buas. Ia menggeram.
"Hei, Ratna! Apa yang kau lakukan dengan si bedebah Giran di situ" Bocah keparat
itu sudah mati, tahu"!"
teriak Mirta makin kalap.
"Kesini kau Giran! Kutelan hidup-hidup kau, Bangsat!
Kau memang selalu menyaingi aku. Sekarang kau rebut Ratna dariku. Dasar setan
laknat kau, Giraaannn!"
Giran tersentak bagaikan disambar petir. Ia tertunduk dengan lunglai.
Sesaat kemudian Mirta membenturkan kepalanya ke pohon jati, lalu menangis
sesengukan. "Aduuuuh, Ratna... Jangan tinggalkan aku, Ratna...!"
ratapnya tersedu-sedu seperti anak kecil.
Pada saat itu dari kejauhan tampak seorang nenek berambut putih berurai,
berjalan dengan tersuruk-suruk dan meraba-raba dengan tongkatnya, menghampiri
Mirta. "Mirta... Mirta... Di mana kau, Nak..."!" lirih suara nenek ini memanggil-
manggil nama anak kesayangannya.
Tapi pemuda yang dipanggil malah jadi ketakutan ketika melihat ibunya, lalu
menyelinap ke balik pohon dan mengintai dengan mata terbelalak menakutkan.
"Sssssiapa lu...!?" tanyanya dengan mata melotot tak berkedip.
"Mirta... Kenapa kau, Nak" Ini ibu...!" Jawab Subaidah semakin lirih. Ia
melangkah mendekat. Mirta tersentak lalu lari berputar ke balik pohon.
Ditatapnya ibunya tajam-tajam. Ia menjerit dengan tiba-tiba.
"Kau..."! Kau Samolo...! Ampuuun...! Ampuun
Samolo...! Jangan...! Jangan bunuh aku...! Jangaaannn...!
Bukan aku yang menyuruh membunuhmu, Ratna, Girin dan Nyi Londe... Ibuku dan
Samirun-lah yang punya maksud menguasai seluruh harta itu. Sungguh mati, Samolo,
bukan aku...!" ratap Mirta terbata-bata ketakutan.
Subaidah mendekat, lengannya menggapai-gapai ingin membelai kepala putranya yang
semakin angot ini. Tapi tangannya itu ditepis oleh Mirta yang menelungkup dan
menggigil ketakutan. "Ampun Samolo... Ampun...!" jerit Mirta sambil
menutupi kepala dengan lengannya.
Subaidah masih berusaha meraba tubuh anaknya,
tetapi malah membuat Mirta makin panik meronta dan lari bersembunyi ke balik
pohon lagi. Subaidah pun menangislah.
"Ya, Allah, ya Gusti...! Beginilah kiranya kutukan-Mu terhadap diriku yang penuh
dosa dan noda ini...?"
Ratapnya tersedu-sedu penuh penyesalan.
"Ibu..."!" Teriak Mirta tiba-tiba seperti sadar.
"Oh Mirta... ini ibu! Ibumu Nak...! Ke sinilah, jangan tinggalkan ibu, Mirta...!
Ibu tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain kau...!" Seru Subaidah
mengiba-iba. Mirta menghampiri ibunya, mendekapnya sambil
menangis. "Ibu, kenapa kita jadi begini, Bu..."! Kenapa..."!"
Tanyanya sambil menangis.
Air mata Subaidah semakin deras tertumpah dari
kelopak matanya yang sudah tak berbiji itu.
Mirta menatap wajah ibunya dengan pandangan aneh.
Tiba-tiba ia tersentak mundur dan jatuh terduduk di kaki ibunya, wajahnya
kembali berubah jadi ketakutan.
"Haaaah"! Kau bukan ibuku...! Muka ibuku tidak
sejelek seperti hantu...! Ya kau hantu...! Hantu... Hiiiii!"
Suara Mirta menggigil seperti benar-benar melihat hantu yang amat mengerikan.
"Bukankah kau yang bersama-sama paman Samirun
dan Sarkawi mencekik ayahku sampai mati" Kalian bertiga ramai-ramai membunuh
dia. Sekarang kau juga mau mencekik aku, seperti yang kaulakukan terhadap
ayahku..."!" Jerit Mirta tersendat sambil memegang lehernya sendiri.
"Cukup Mirta! Cukup! Jangan kau siksa lagi ibu
dengan kata-katamu itu!" jerit Subaidah pilu sambil menekap wajahnya.
"Aku memang manusia iblis, Samirun juga setan. Aku diseretnya ke jurang paling
nista dalam hidup ini. Sekarang aku beritahukan kepadamu, kau sesungguhnya bukanlah anak kandung yang
selama ini kau anggap ayah. Dia ayah Giran, bukan ayahmu. Samirun-lah ayah
kandungmu, Mirta!" kata Subaidah sambil menangis terisak-isak.
Giran memejamkan matanya, ia telah mendengar
semuanya. Setiap kata-kata itu seakan-akan lidah petir yang menyambar,
menghanguskan serta mengoyak-ngoyak jantungnya.
Angin masih menderu-deru. Pohon jati meliuk-liuk mengeluarkan suara seperti
rintihan yang sangat melirihkan, selirih rintihan dan ratapan Mirta yang
bergayut di tubuh ibunya.
"Pantas, pantas Ratna tidak mau kepadaku, dia lebih cinta kepada Giran, karena
bocah jahanam itu adalah asli dari Tuan Tanah yang kaya raya, hartanya tak habis
di gegares tujuh turunan. Tapi aku" Aku Cuma anak seorang kasir melarat, si
setan Samirun...!" begitu ratap Mirta sambil bergelayut di tubuh ibunya yang
jadi limbung keberatan. "Coba kalau dulu si Sarkawi berhasil memenggal
kepala bocah sialan itu di kebun kelapa, atau dia mati dihadang Mat Gerong tempo
hari, waktu ibu tipu dia supaya berangkat ke Borneo, sekarang Ratna pasti sudah
jadi milikku. Oh... dasar nasibku yang sial-dangkalan."
Subaidah jatuh terduduk ke akar pohon ditindih oleh Mirta yang semakin angot
gilanya. Pemuda ini mulai bicara tidak karuan lagi. Sekarang ia memandang wajah
ibunya sambil tersenyum-senyum genit. Lengannya meraba-raba tubuh kurus itu
dengan napas berdengus-dengus seperti hewan liar. Membuat Subaidah jadi
kelabakan dicumbu anaknya yang sinting ini.
"Ratna... Ratna. Lu tambah botoh saja sekarang.
Hihihihi...!" rayu Mirta sambil meraba pipi ibunya yang sudah keriput itu.
"Sekarang gua sudah kaya, lu mau apa" Kalung"
Gelang emas atau giwang" Mau berapa gerobak" Gua beliin dan semuanya, asal...
hi... hi... hi..." cumbuan Mirta semakin panas.
"Sadar Nak! Eliiiiiinnnggg...!" jerit Subaidah ripuh.
"Apa lu bilang" Maling!" Lu katain gua maling"! Lu yang maling si Ratna. Biarin
lu nyaru jadi nenek-nenek, gua tahu lu si Giran. Mau mengelabuhi mata gua, lu
ya" Gua mampusin lu!" geram Mirta, lengannya mencengkeram leher ibunya yang jadi
megap-megap. "Mirta! Ini ibu, Mirta... Aakhhk...!" jerit Subaidah tersendat-sendat. Lengannya
berusaha melepaskan cekikan tangan Mirta yang makin kuat mencengkeram lehernya.
"Bangsat! Lu kira gua takut sama lu" Lu betul-betul biang penyakit, Giran. Gara-
gara lu, gua jadi sengsara begini. Mampusss dah, lu...!" geram Mirta sambil
mencekik leher ibunya sekuat-kuatnya.
Subaidah meronta-ronta berusaha membebaskan diri dari cekikan putranya yang
sudah terganggu jiwanya. Tapi usaha Subaidah sia-sia, cekikan Mirta malah semakin kuat, membuatnya tak
bisa bersuara maupun bernapas lagi. Matanya memuncratkan darah, lidahnya pun
terjulur keluar. Tubuhnya kejang dalam sekarat.
Tangan Mirta masih terus mencekik lalu ditekan kepala ibunya hingga hampir
terbenam ke dalam lumpur-daun-jati yang membusuk itu.
Nyi Londe yang menyaksikan adegan yang sangat
mengerikan itu, tanpa terasa menjerit sambil membuang muka ke arah lain. Giran
tersentak lalu berusaha mencegah tindakan Mirta yang sudah tak waras lagi itu.
Tapi ia terlambat, karena tubuh Subaidah sudah terbujur kaku dengan lidah
terjulur ke luar. Giran jadi bergidik dan terpaku di tempatnya.
Sesaat kemudian dengan masih terengah-engah Mirta terdiam, memandangi wajah
ibunya yang diam membiru.
Ia tersentak gemetar. "Mati...!?" Gumamnya sambil melangkah mundur.
Dengan beringas ditatapnya kedua lengannya yang gemetar itu lalu pandangannya
beralih lagi ke wajah ibunya. Wajahnya nampak makin pucat.
"Mati..." Ibu ma...ti..."!" celotehnya berulang-ulang.
Lalu ia tiba-tiba menelungkup memeluk kepalanya sendiri, menangis terisak-isak.
"Ibuku sudah mati...! Hu... hu... hu...!" Mirta terus meratap. Sekonyong-konyong
ia menghempaskan tubuhnya ke batang pohon dan membenturkan kepalanya berkali-kali ke batang pohon
itu dengan kerasnya hingga darah pun muncrat dari kepalanya yang memang sudah
luka itu. Ia menjerit melengking seakan-akan menyesali perbuatannya sendiri.
Giran dan Nyi Londe hanya bisa terpaku memandang kejadian itu dengan perasaan
ngeri. Mirta sudah terdiam tenang, hanya matanya saja yang masih nampak liar. Namun
sesaat kemudian ia senyum-senyum aneh dan terkekeh-kekeh geli sekali seakan-akan
melihat suatu peristiwa yang sangat lucu. Kini tertawanya semakin keras dan
terbahak-bahak seru. "Dia sudah matiiiiiii... Hua ha ha haha... Matiiiiii...!"
Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil menari-nari.
Berputar-putar dari pohon ke pohon. Giran menghampiri dan memanggil namanya,
tapi Mirta sudah tak dapat mengenali siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Ia
masih terus terbahak-bahak sambil menari. Kini suara
tertawanya makin mirip lolongan anjing hutan,
melengking dan panjang. Ia terus menari-nari semakin jauh ke tengah hutan jati.
Hujan masih tumpah dengan derasnya, guntur dan
halilintar berpecahan di angkasa. Sekonyong-konyong secercah cahaya yang sangat
menyilaukan mata menyambar sebatang pohon jati, disusul dengan sebuah dentuman dahsyat, dan
tumbanglah sebuah pohon jati besar.
"Mirta awasss...!" Teriak Giran secara reflek.
Mirta terpaku memandang pohon besar itu rubuh
tepat ke arahnya. Beberapa detik kemudian tubuhnya lenyap tertindih batang pohon
yang tumbang itu. Giran memburu ke tempat itu, ia cuma melihat sebuah lengan
Mirta terjulur di antara ranting dan daun jati.
Dibongkarnya daun-daun itu, terlihat tubuh Mirta tergencet cabang besar dan
sudah tak bernapas lagi. Giran berusaha mengangkat cabang pohon yang
menghimpit tubuh Mirta tapi tak berhasil. Ia menghela napas dan termenung di
sisi pohon tumbang itu. Kemudian melangkah ke arah tubuh ibu tirinya yang terbujur kaku. Nyi Londe pun
sudah berdiri di situ. "Kutukan Tuhan akhirnya datang menghukum
mereka." kata Nyi Londe pelan.
"Aku merasa seakan-akan baru sadar dari sebuah
mimpi yang begitu menakutkan." Desah Giran sambil menghela napas dalam-dalam.
"Ke manakah kira-kira mereka pergi sekarang ini, Wak..."!" tanya Giran.
"Maksudmu Neng Ratna, Girin dan Samolo" Aku pikir mereka pergi ke Cengkareng,
seorang bibi Ratna katanya tinggal di sana." Jawab Nyi Londe. Segores senyum
kecil terlihat di wajahnya.
Setelah menutupi mayat Subaidah dengan dedaunan, Giran merencanakan untuk
mengerahkan penduduk agar mengubur jenazah ibu tiri dan Mirta itu dengan layak.
Setelah itu ia dan Nyi Londe akan menyusul anak-istrinya serta Samolo dan
membawanya pulang ke gedung
warisan ayahnya. Hujan masih turun berderai dan angin pun menderu-deru. Dengan langkah masih
lunglai Giran berjalan mengiringi Nyi Londe ke luar dari hutan jati, sebuah
hutan yang telah membuka tabir rahasia yang selama ini menyelubungi keluarganya.
Matanya kini telah melihat dengan jelas, juga mendengar dengan seksama semua
peristiwa yang terjadi di balik tabir tersebut. Betapa terenyuh hatinya.
Sementara itu di sebuah kandang kerbau, tampak
Ratna dan Girin juga Samolo sedang berteduh dari serangan hujan deras. Samolo
melangkah ke luar kandang tersebut, tangannya menengadah.
"Hujan sudah reda dan sebentar lagi berhenti. Mari kita berangkat sekarang Neng,
agar tidak kemalaman di jalan!" kata Samolo.
Ratna dengan menggendong Girin keluar dari kandang kerbau tersebut, lalu mereka
berjalan menuju Cengkareng, seperti yang telah diduga oleh Nyi Londe.
Memang tidak ada sanak-saudara bagi Ratna kecuali bibinya yang di Cengkareng
itu. Dari jauh Giran melihat mereka.
"Itu mereka, Wak. Di dekat kandang kerbau itu!" kata Giran memberitahu Nyi
Londe. "Mana...?" tanya Nyi Londe menyipitkan matanya
karena ia cuma melihat dua titik kecil saja di kejauhan.
Itupun hanya samar-samar tertutup kabut.
Giran segera berlari untuk menyusul mereka.
"Ratnaaaa! Samolooo...! Tunggu dulu...!" Teriak Giran memanggil-manggil.
Suaranya menggema dan memantul di dinding bukit.
Samolo tiba-tiba tersentak menghentikan langkahnya.
Wajahnya jadi tegang dan beringas.
"Huh! Bocah durhaka itu rupanya masih belum puas bila belum menghirup darah
kita." geram Samolo sambil berbalik menghadap dan menyongsong Giran.
"Kak Giran...!" kata Ratna lirih.
"Jangan khawatir, Neng. Jagalah Den-Cilik!" seru Samolo.
Ratna jadi panik mendekap putranya. Hatinya
menangis, sakit rasanya karena sang suami yang sangat dicintai dengan sepenuh
jiwa raganya itu ternyata tak punya perasaan. Demikian anggapannya saat itu.
"Cepat lari ke atas bukit, Neng. Biarlah nyawa tuaku ini dilahapnya kalau dia
masih penasaran." seru Samolo lagi.
Dengan susah payah Ratna mendaki tebing bukit itu, sesaat kemudian ia berpaling
kepada Samolo. "Marilah Bang. Jangan ladeni dia...!" Teriak Ratna dengan suara gemetar.
Tapi Giran sudah semakin dekat.
"Hei, Ratna... tunggu...!" teriak Giran sambil berlari semakin dekat.
Air mata Ratna deras mengalir, didekapnya putranya erat-erat. Ia bukan takut
kepada suaminya, kalo toh ia harus mati. Ia rela mati di tangan suaminya itu.
Yang dikhawatirkan adalah keselamatan putranya yang masih kecil itu.
Giran tiba di hadapan Samolo yang tegak
menghadangnya. Giran melangkah maju mendekat, tapi Samolo sudah demikian nekat
dan menyambutnya dengan sebuah babatan tongkatnya kepada Giran.
"Langkahi dulu mayatku, sebelum kau menjamah
nyawa istri dan anakmu itu, keparat!" bentak Samolo.
Giran terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya
mengucurkan darah tergores ujung tongkat Samolo.
"Bang Samolo..." Suara Giran tersendat dan gemetar.
Samolo tertegun karena Giran tidak berusaha
menangkis serangannya tadi, bahkan kini suaranya terdengar lembut mengiba.
Sebelum hilang rasa heran Samolo, Giran sudah menubruk kaki si centeng yang
setia ini dan tersimpuh sambil menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
"Maafkan saya Bang Samolo...! Saya telah berdosa terhadap Abang dan Ratna...
juga kepada anak saya sendiri..."
Giran tersedu-sedu memeluk kaki Samolo yang jadi tertegun. Tanpa terasa matanya
yang sudah tak dapat lagi melihat dunia ini pun jadi ikut berkaca-kaca.
Butiran-butiran air hangat jatuh menetes ke kepala Giran. Nyi Londe yang sudah
tiba di situ jadi ikut pula menepis air matanya.
Giran masih terisak-isak dengan penuh penyesalan.
"Sudahlah Den. Sebagai manusia kita semua tak
pernah luput dari kesilapan dan dosa...!" Suara Samolo parau bergetar di
kerongkongannya. Lengannya
mengangkat tubuh majikan mudanya yang kini telah sadar dari kesalahpahaman itu.
"Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih, mau
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengampunkan dosa-dosa semua hambanya." Kata
Samolo lirih. Giran tertunduk menghapus air matanya.
"Kalian telah banyak menderita. Entah bagaimana harus kuminta maaf padamu,
Bang... Budi Abang begitu dalam seperti lautan." Suara Giran masih bergetar.
"Jangan Aden bicara begitu, kalo soal budi mungkin aku-lah yang lebih banyak
berhutang kepada mendiang ayahmu, Den!" ujar Samolo sambil menarik napas.
Giran pun meminta maaf kepada Nyi Londe dengan
mencium tangan pengasuhnya itu.
"Aku gembira ternyata kau masih senang mendengar dongengku, Giran." kata Nyi
Londe tersenyum dalam linangan air matanya.
"Neng, Neng Ratna!" tiba-tiba Samolo memanggil
Ratna. "Bawalah Den Girin menjumpai ayahnya!" Tapi tidak terdengar jawaban
Ratna. Senyum Samolo lenyap berganti rasa khawatir yang tergambar di wajahnya.
Begitupun dengan Giran dan Nyi Londe, mereka
memandang ke sekitar tempat itu lalu ke atas tebing.
Namun tidak terlihat bayangan Ratna di manapun.
Rasa cemas segera merayapi hati tiga orang ini. Mereka segera berpencar ke tiga
penjuru untuk mencari Ratna dan Girin. Giran melompat ke atas tebing, memandang
ke sekeliling dan terkesiaplah hatinya karena di balik tebing itu terdapat
jurang yang menganga dalam.
"Ratnaaaaaaa...!" Teriak Giran keras-keras. Suaranya menggema dan berkumandang
ke seluruh penjuru. Tapi tiada jawaban kecuali pantulan gema suaranya sendiri.
Samolo dan Nyi Londe pun memanggil-manggil nama Ratna dan Girin, juga tiada
jawaban, kecuali gemuruh air sungai yang mengalir sangat deras di bawah jurang
terjal itu. Giran dengan putus asa melompat dari tebing,
wajahnya pucat dan muram. Ia menghempaskan
tubuhnya duduk di atas batu, membenamkan kepalanya di antara kedua sikunya.
Samolo dan Nyi Londe sama-sama lemah lunglai, masing-masing duduk di atas batu
pula. Langit mendung kian menggantung di angkasa.
Sekelam hati ketiga insan yang tengah dirundung duka nestapa. Wajah kedua abdi
yang setia ini tenggelam dalam kepedihan yang sangat dalam. Tiada nampak air
mata lagi, karena kali ini yang menangis adalah hati mereka. Wajah Samolo tampak
kosong tak berekspresi, ia tafakur menunjang tubuhnya yang kokoh itu dengan
tongkatnya. Bagaikan sebuah patung arca yang
menunggu kelapukannya dimakan zaman. Mata Nyi
Londe pun tampak hampa tak bersinar lagi. Dunia ini terasa begitu kosong bagi
mereka. Karena mereka sudah merasa pasti bahwa orang yang mereka sangat kasihi
telah tiada lagi di dunia ini, hanyut bunuh diri ke dalam sungai karena kecewa
dan putus asa. Membawa anaknya ikut bersamanya, daripada anak itu akan jadi
korban kekejaman ayah kandungnya sendiri. Ada rasa
penyesalan terhadap sikap tuan mudanya ini, namun mereka tak mau mengutarakannya
karena sudah tak berguna lagi. Mereka hanya menyesali nasib, mengapa harus
mendera seorang wanita yang lembut hati itu sampai begitu kejam. Bukankah ada
orang lain yang lebih jahat dan buruk tetapi bisa hidup senang menikmati hasil
kebusukannya" Oh, betapa tidak adilnya kehidupan ini.
Demikian pikir Samolo dan Nyi Londe hampir bersamaan.
Angin berhembus membawa titik-titik air sisa hujan.
Suasana terasa hening membeku seakan-akan seluruh permukaan bumi sudah tidak
lagi dihuni manusia. Giran terkulai bagaikan sebatang kayu yang layu. Hilanglah
ketegaran jiwanya yang kokoh tak kenal kompromi.
Tadinya ia menganggap dirinya sudah demikian dewasa dan matang, namun
sesungguhnya ia pun tidak berbeda dengan orang-orang picik dan dungu, juga
kekanak-kanakan. Memandang corak dan warna kehidupan ini dari sudut yang begitu
sempit lalu dengan gegabah memvonisnya tanpa kenal ampun. Giran kini mengutuki
dirinya sendiri, ia merasa kerdil dan sangat berdosa, karena telah menghukum
orang-orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang sesungguhnya sangat
mengasihinya. Giran meremas-remas kepalanya penuh penyesalan.
Betapa pedih dan hancur hatinya bila mengingat nasib sang istri yang begitu
setia dan sabar menantinya, meski setiap hari menerima siksa dari sang mertua
yang ternyata berhati iblis. Yang lebih tragis lagi sepulangnya suami yang amat
dirindukannya itu malah telah
mendatangkan bencana yang lebih fatal lagi.
Tak sanggup lagi Giran memikirkan hal itu. Ingin rasanya ia terjun ke dasar
jurang untuk menyusul anak dan istrinya itu. Semua yang dimilikinya kini terasa
sudah tak berarti sama sekali. Kehidupannya benar-benar sudah terasa hampa,
lebih pahit dari kehidupannya ketika harus bergumul di tengah belantara hutan
Kalimantan yang buas itu.
Bahunya terguncang dalam isak penuh penyesalan.
Berkali-kali disebutnya nama Ratna sambil meremas-remas kepalanya sendiri.
Hingga pada suatu saat, di antara linangan air matanya ia melihat sepasang kaki
putih mulus melangkah mendekat dan berhenti di
sisinya. Giran pelan-pelan mengangkat wajahnya, ia seakan-akan tengah bermimpi,
ditatapnya perempuan yang berdiri menggendong putranya itu, laksana
bayangan fatamorgana yang tiba-tiba muncul di
hadapannya. "Ratna..."!" Gemetar bibir Giran menyebut nama itu.
"Kak Giran...!" lembut jawaban itu namun bagaikan awan mendung menjelang hujan.
Dengan perasaan takut kehilangan lagi, Giran segera merangkul tubuh semampai
itu, yang sudah bertahun-tahun dirindukannya. Erat-ketat bagai tiada sesuatu pun
yang dapat memisahkan mereka lagi. Ratna menangis tersedu-sedu terbenam dalam
pelukan suaminya. Girin menangis ketakutan. Suatu pertemuan yang amat
mengharukan. Ketiganya berdekapan dalam sedu-sedan yang sangat melirihkan namun
membahagiakan. Samolo dan Nyi Londe pun ikut menepis air mata karena rasa haru
dan bahagia yang menyesakkan dada mereka. Giran membelai kepala putranya.
"Girin, anakku..." katanya penuh kasih sayang, juga mengandung rasa bersalah.
Girin masih memangis dan memeluk ibunya erat-erat karena takut kepada laki-laki
asing yang pernah menganiaya ibunya serta uwak-nya dengan garang itu.
"Ini ayah, Nak...! Ayahmu..." Bujuk Ratna dengan mata berkaca-kaca. Tapi Girin
masih meronta ketakutan. "Biarkan saja dulu. Kelak kasih sayang jugalah yang akan melunakkan hati dan
jiwanya." ujar Samolo
tersenyum. "Betul, cuma kasih sayanglah yang bisa
mempersatukan manusia." sambung Nyi Londe seperti berfilsafat.
Samolo manggut-manggut menyetujui pendapat
pengasuh yang telah membuktikan sendiri kata-katanya melalui kasih sayang yang
dilimpahkan kepada anak asuhannya yaitu Giran. Tanpa kasih sayangnya itu
barangkali pamor keluarga Tuan Tanah akan hancur sama sekali.
Begitu pun Samolo, demi kasih sayang ia rela
berkorban apa saja termasuk sepasang matanya itu.
Juga Ratna, dia begitu tabah dan setia, tahan segala derita. Semua demi kasih
sayangnya. Maka tak masuk di akal kalau ia menjadi nekat bunuh diri bersama
Girin. Hati kecilnya masih punya keyakinan bahwa Giran pada suatu saat akan sadar dari
kekeliruannya. Maka ia menyelinap turun dari tebing dan bersembunyi di balik
batu. Ia telah mendengar dan melihat perubahan sikap suaminya itu. Dia-lah yang
pertama-tama menangis di balik batu itu, tangis bahagia yang sudah bertahun-
tahun tak pernah lagi menghinggapi hatinya semenjak malam terakhir Giran pergi
meninggalkannya. Kini masa lalu itu bagaikan sebuah mimpi yang amat menakutkan
dan telah berakhir. Mereka telah berkumpul kembali, sama-sama
menghapus air mata. Berganti denga air mata bahagia yang mengalir dari relung
hati serta wajah-wajah yang dihias senyum ceria. Seceria cahaya fajar yang baru
menyingsing di ufuk timur. Awan mendung pun telah buyar sudah. Dengan langkah
mantap mereka saling berpegangan berjalan pulang untuk menyongsong fajar
kehidupan baru. TAMAT Kembalinya Raja Tengkorak 1 Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh Kelana Buana 25