Pencarian

Golok Kelembutan 1

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 1


Golok Kelembutan "Wen Rou Yi Dao"
penyadur : Tjan ID Cerita ini merupakan bagian dari seri Pendekar sejati, dalam
cerita ini mengisahkan bagaimana pengalaman Ong Siau-sik
(pedang tanpa perasaan), Pek Jau-hui dan Un-ji berkelana
dalam dunia persilatan. BAB I MANUSIA DI TENGAH PUING
1. Manusia Yang tak mirip Manusia
Diantara sekian banyak orang yang datang ke kota Kay-
hong untuk mengadu keberuntungan, Ong Siau-sik adalah
satu diantaranya. Dia masih muda, ganteng, bercita-cita
tinggi, berbakat hebat, datang dari jauh dan bersaku licin
bagaikan baru keluar dari binatu.
Tapi dia merasa angin yang berhembus semilir begitu
lembut, kabut hujan yang remang-remang tidak
menghalanginya menikmati keindahan alam, baginya tak
ada persoalan yang bisa menghalangi cita-citanya untuk
berkelana dalam dunia persilatan.
Ong Siau-sik sedikit berbeda bila dibandingkan orang kebanyakan, dia membawa
sebilah pedang. Tentu saja pedang itu dibalut rapat dengan kain tebal, dia bukan opas, juga
tidak bekerja sebagai pengawal barang ekspedisi, malah bajunya dekil dan mirip
gelandangan, jika senjata tajamnya tidak dibalut dengan kain tebal, tak perlu
disangkal lagi tentu banyak kesulitan dan kerepotan yang akan dihadapinya.
Pedang yang dibalut dalam bungkusan kain tebal itu hanya memiliki satu ciri
khas, yakni gagang pedangnya berbentuk melengkung.
Tentu saja pedang itu pedang asli, begitu juga dengan gagang pedangnya, gagang
pedang yang berbentuk bulan sabit.
"Meniup seruling di loteng Hong-hok-lau,
Bunga bwe berguguran di kota Kang-shia pada bulan kelima"
Seandainya Ong Siau-sik tidak beranjak ditepi telaga utara karena kagum oleh
nama besar Hong-hok-lau, tergiur keindahan alam dan kemegahan bangunan itu, tak
nanti dia akan bertemu dengan Pek Jau-hui.
Semisal ia tak bertemu Pek Jau-hui, belum tentu akan terjadi banyak peristiwa
dikemudian hari, sekalipun bakal terjadi sesuatu, belum tentu sama akibatnya.
Memang begitulah kehidupan manusia, hanya kerena tanpa sengaja melihat sesuatu
atau karena mendengar sesuatu, perubahan besar yang mungkin terjadi sering
diluar gaan siapapun. Di tengah alur ombak sungai, di tengah asap dan kabut yang melayang tipis di
atas permukaan air, baik di atas ba-ngunan loteng maupun di bawah loteng, banyak
tertera tulisan dan syair hasil gubahan orang kenamaan.
Sementara di luar bangunan, di sepanjang jalan banyak berkumpul pedagang kaki
lima yang berteriak menjajakan ba-rang dagangannya, bau amis ikan dan udang yang
dijajakan sepanjang sungai menambah joroknya suasana di seputar situ.
Apa pun keadaan di sana, baik pedagang kaki lima mau-pun pemilik toko sepanjang
jalan utama, semuanya tahu kalau para pelancong bukan melulu datang untuk
menikmati kein-dahan alam, banyak di antara mereka yang memanfaatkan kesempatan
itu untuk cuci mata sepanjang jalan.
Bukankah banyak gadis penjaja yang menawarkan tubuhnya dari balik perahu"
Ong Siau-sik sudah berkunjung ke banyak tempat, namun dengan ketajaman mata para
pedagang, mereka tahu dengan pakaian yang dikenakannya begitu sederhana, jelas
tak banyak uang yang dimiliki, karenanya tak ada yang menawarkan barang dagangan
kepadanya. Ong Siau-sik sangat terusik dengan perlakuan semacam ini, baru saja dia akan
naik perahu untuk menyeberang, tiba-tiba terdengar suara gembreng yang
dibunyikan bertalu-talu, begitu keras hingga menarik perhatian pemuda itu.
Di sudut jalan utama terdapat sebuah lapangan beralas batu yang cukup lebar,
tempat itu memang disediakan untuk orang jual jamu, jual silat dan akrobat
lainnya, sudah banyak orang yang berkerumun di situ, tampaknya keramaian segera
akan dimulai. Ong Siau-sik tertarik dengan keramaian itu, tanpa terasa dia pun ikut melongok
ke sana. Padahal dia hanya melongok sekejap, melongok tanpa maksud tertentu, tapi justru
karena dia melongok maka segala sesuatunya pun terjadilah, tak bisa dicegah
lagi. Ketika melongok ke arah lapangan tadi, sempat satu ingat-an melintas dalam
benaknya, siapa tahu ada gadis cantik penjual silat yang sedang mengadakan pibu
untuk mencari jodoh. Tapi ia segera tahu kalau dugaannya keliru.
Ia menyaksikan sebuah kejadian yang amat mengejutkan, satu pemandangan yang
membuatnya terbelalak. Manusia" Makhluk itu nyaris tak mirip manusia.
Orang berkerumun mengelilingi sebuah lapangan beralas batu hijau, di balik
lingkaran kerumunan tampak beberapa orang lelaki kekar sedang menabuh tambur dan
gembreng, dua orang perempuan bertubuh kasar dengan mengenakan topeng menuntun
dua ekor kuda kecil, tangannya menggenggam golok kecil dan pedang kecil.
Selain itu terlihat pula seekor monyet besar yang dirantai pada sepotong kayu,
matanya yang melotot malas sedang mengawasi monyet kecil di tengah lapangan.
Kalau hanya beberapa hal itu saja, Ong Siau-sik tak nanti dibikin kaget.
Yang membuat Ong Siau-sik kaget justru hadirnya bebe-rapa 'manusia'.
Ya, di tengah lapangan masih terlihat beberapa 'manusia'.
Kalau dibilang mereka adalah manusia, sebenarnya hal ini merupakan satu kejadian
yang sadis dan kelewat kejam.
Di antara beberapa 'manusia' itu ada yang tak punya tangan dan kaki, ada pula
yang sudah kehilangan sebelah tangan dan sebelah kaki, ketika membuka mulutnya,
hanya suara parau tak jelas yang terdengar, membuat iba dan kecut perasaan siapa
pun yang melihatnya. Di samping itu, masih ada lagi beberapa 'manusia' yang bentuknya lebih aneh, ada
seorang di antaranya seluruh tubuh-nya terpendam dalam sebuah vas bunga yang
panjangnya tiga kaki, hingga hanya terlihat wajahnya yang cengengesan saja,
rambut orang itu sudah beruban, namun anehnya justru memi-liki wajah imut macam
bocah kecil. Ada lagi 'seorang', separuh badan bagian atas berwajah manusia sementara separuh
badan bagian bawah lebih mirip seekor monyet, seluruh badannya tumbuh bulu,
hanya sayang gerak-geriknya tidak selincah monyet sungguhan.
Ada pula dua 'manusia' yang punggungnya saling me-nempel satu sama lainnya,
biarpun mereka terdiri dari dua orang namun hanya memiliki sebuah punggung,
sepasang kem-bar dempet yang aneh.
Ada juga seseorang yang tubuhnya sempurna, tak beda dengan manusia biasa, tapi
raut mukanya justru sudah hancur berantakan, panca-indranya berdesakan menjadi
satu, hidung-nya patah dengan bibir merekah, gigi taringnya mencuat keluar
sehingga nampak menyeramkan.
Di sisi arena bertumpukan pula beberapa buah peti besar yang ditutup dengan kain
hitam, tidak jelas apa isi peti-peti itu.
Ong Siau-sik hanya melihat sekejap lalu tak ingin meman-dangnya lebih jauh, dia
merasa Thian sangat tidak adil dalam menciptakan manusia, mengapa ada yang
berwajah rupawan tapi ada pula yang nampak begitu jelek, aneh dan menyeramkan
semenjak dilahirkan. Ia tak tega untuk memandang lebih jauh, maka diambilnya sebuah kepingan perak
dan kemudian dilemparkan ke tengah arena.
Sekalipun dia hanya melihat sekejap, namun kesan yang tertinggal di hatinya
sangat mendalam, kesan jelek yang tak mudah terhapus dari ingatan.
Sudah beberapa langkah ia menjauh dari arena, namun perasaannya tetap tak
senang, tak leluasa. Mengapa ada orang yang lahir begitu sehat dan sempurna,
mengapa ada pula yang dilahirkan dalam keadaan cacad"
Pada saat itulah mendadak ia merasa ada seseorang sedang menarik ujung bajunya.
Ong Siau-sik berpaling, ternyata orang itu adalah seorang cebol yang tingginya
cuma tiga kaki, bentuk kepalanya besar sekali, sorot matanya tak bersinar, empat
anggota tubuhnya kusut lagi kurus kecil, mirip lengan bocah kecil. Waktu itu dia
membawa sebuah nampan sambil menuding ke arah tengah arena pertunjukan.
Ong Siau-sik tahu dia minta sedekah, padahal waktu itu sisa uang yang
dimilikinya tinggal tak seberapa, sisa uang hasil penjualan kuda tunggangannya
sepuluh hari berselang. Sewaktu kuda kesayangannya dijual, perasaannya teramat masgul, dia tak mengira
kuda abu-abu yang telah menemaninya menempuh perjalanan ribuan li, akhirnya
gagal mengantar dia tiba di kotaraja.
Menjual kuda bagi seorang busu apa bedanya dengan seorang Enghiong menggantung
pedangnya di atas dinding"
Apa pun jalan pikirannya, dia rela mendermakan sisa uang miliknya itu untuk
orang-orang cacad yang mengibakan hati ini.
Melihat si cebol itu masih juga menuding ke arah nam-pannya, Ong Siau-sik pun
manggut-manggut seraya berkata, "Kasihan, kau telah bertemu dengan orang rudin
macam aku, semoga saja ada orang berbaik hati yang rela memeliharamu, sehingga
kau tak usah menderita lagi mengembara di tengah udara dingin."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, Ong Siau-sik mengu-tarakannya dengan perasaan
tulus dan bersungguh hati.
Dengan cepat ia mendengar suara tertawa dingin, suara itu muncul persis dari
sisi tubuhnya. Ong Siau-sik segera berpaling, namun mereka yang berada di sampingnya sedang
menonton pertunjukan manusia kecil di tengah arena, tak seorang pun sedang
menoleh ke arahnya. Di antara sekian banyak orang, dia hanya menyaksikan seseorang sedang berdiri
sambil mendongakkan kepalanya ke atas.
Orang itu mengenakan pakaian yang indah dan perlente, masih muda dan tampan,
ketika berdiri di tengah kerumunan orang banyak, persis seperti seekor bangau
yang berdiri di tengah kerumunan ayam.
Karena sedang mendongakkan kepala memandang angka-sa, maka raut mukanya tidak
terlihat dengan jelas. Ong Siau-sik sendiri pun tidak jelas apakah orang ini yang barusan tertawa
dingin. Ketika selesai mendengar perkataan tadi, wajah si cebol segera menunjukkan mimik
terharu bercampur terima kasih, kembali jari tangannya menuding kian kemari
sambil mengu-capkan kata 'uu, aa' yang tidak jelas, tapi garis besarnya dia merasa berterima kasih atas
kebaikan hati pemuda itu.
Ong Siau-sik meletakkan beberapa keping hancuran uang perak ke nampannya,
mendadak ia seakan menyaksikan sesuatu, satu ingatan segera melintas dalam
benaknya. Waktu itu si cebol sudah berpindah tempat untuk menarik ujung baju orang lain
dan minta sedekah kepadanya.
Ong Siau-sik seperti menemukan sesuatu yang mencuriga-kan, seakan ada
hubungannya dengan masalah 'lidah', tapi un-tuk sesaat dia tak bisa menerangkan
persoalan apakah itu, tak tahan kembali ia menengok ke tengah arena.
Sementara itu suara genderang dan gembreng dibunyikan makin ramai, dua ekor
monyet besar dengan menirukan lagak manusia bertarung sambil mengayunkan golok,
para penonton mulai bersorak sambil bertepuk tangan, pertarungan antar monyet
pun makin seru dan menarik.
Kini ingatan yang melintas dalam benak Ong Siau-sik semakin nyata, karena dia
telah menyaksikan sesuatu, yaitu golok dan lidah!
Dia pun menghubungkan kedua hal itu menjadi satu, besar kemungkinan si cebol
bukan bisu sejak dilahirkan, dia bisu karena lidahnya telah dipotong seseorang.
Bahkan ia dapat menyimpulkan dengan lebih jelas, yakni lidah si cebol dipotong
dengan sebilah golok yang amat tajam, ia bisa menganalisa segala sesuatunya
hingga paling detil, sebab dialah Ong Siau-sik!
Ong Siau-sik, satu satu ahli waris Thian-gi Kisu.
Betapa sakit hatinya ketika pemuda ini mengetahui kalau bisunya si cebol bukan
bisu sejak dilahirkan, tapi bisu lantaran lidahnya dipotong orang.
Dulu ia pernah merasakan juga perasaan aneh semacam ini, ketika melihat orang di
pasar memotong ikan, tatkala mata pisau mengiris tubuh ikan, dia seolah
merasakan tubuh sendiri ikut tersayat, dia merasa seakan sayatan pisau si tukang
ikan bukan sedang membelah perut ikan itu, tapi sedang menyayat perasaannya.
Manusia berhati lemah semacam ini seharusnya tidak cocok berlatih silat,
terlebih tidak cocok menjadi satu-satunya ahli waris Thian-gi Kisu, tokoh
persilatan yang luar biasa.
Untuk menjadi seorang tokoh silat yang sesungguhnya, seseorang harus memiliki
perasaan setenang air. Pandangan se-luas jagad.
Tapi sayang Ong Siau-sik tidak memilikinya, Ong Siau-sik adalah seorang yang
kelewat perasa, kelewat sensitip perasa-annya.
Biarpun begitu, hanya dalam sepuluh tahun berikutnya, Ong Siau-sik telah
berhasil melatih ilmu pedang tanpa perasaan hingga mencapai tingkat kemahiran
yang luar biasa, bukan saja ia dapat sehati dengan gerak pedangnya, bahkan mampu
me-ngalahkan pedang keji di tangan gurunya, Thian-gi Kisu.
Dalam keadaan begini, gurunya, Thian-gi Kisu, hanya bisa menghela napas sambil
berkata, "Ai, tak kusangka bocah yang dulunya begitu tak tegaan, begitu perasa,
begitu tak berguna hingga membunuh seekor kelinci saja tak berani, bahkan setiap
kali bertemu anjing kecil atau kucing kecil yang telantar di jalan pun selalu
dibawa pulang, tiap kali berkelahi dengan orang, lebih rela dirinya yang terluka
ketimbang melukai orang lain, sekarang jadi begitu tangguh dan telengas,
berhasil menguasai ilmu pedang yang tangguh, berhasil menggembleng diri menjadi
jago tak terkalahkan."
Maka dengan membawa pedang tanpa perasaannya, Ong Siau-sik berangkat ke kota
Kay-hong, pergi mengadu untung.
Belum lagi pengalaman lain dijumpai, kini dia bertemu lebih dulu dengan seorang
cebol yang dipotong lidahnya.
Ong Siau-sik tahu kalau lidah milik si cebol dipotong dengan golok, selain itu
dia juga menjumpai peristiwa lain yang membuat amarahnya langsung memuncak.
Ternyata sebagian besar orang cacad itu kehilangan ang-gota badannya karena
sengaja dipotong dengan senjata tajam.
Orang yang cacad sejak lahir tak akan meninggalkan bekas luka seperti ini,
jangan-jangan mereka adalah korban peperang-an" Atau terluka oleh ulah perampok"
Kalau memang demikian kejadiannya, kenapa mereka bisa tumbuh abnormal" Ong Siau-
sik mulai sangsi dan coba memutar otak.
Akhirnya dengan perasaan ingin tahu dia berjongkok, berjongkok sambil memeriksa
manusia aneh yang kehilangan kedua kaki dan sebuah
tangannya. Sambil mendesiskan suara parau yang aneh, orang itu balik mengawasi Ong Siau-
sik, dia pun seakan merasa heran dengan ulah anak muda itu, mungkin juga ia
sedang mengeluh, kenapa semua siksaan hidup yang ada di dunia ini ditimpakan
pada dia seorang. Tapi begitu diperiksa, sekujur badan Ong Siau-sik segera gemetar keras, ternyata
manusia yang mengibakan hati ini bukan saja kehilangan sepasang kaki dan
tangannya karena dipotong orang dengan golok, bahkan lidahnya juga digunting
orang hingga putus. "Siapa yang begitu kejam" Siapa yang begitu tega mela-kukan perbuatan keji ini?"
Mendadak seorang lelaki kekar menerobos maju sambil mendorong tubuh Ong Siau-
sik, hardiknya sambil melotot besar, "He, kalau mau sedekah cepat sedekah, kalau
enggan memberi duit cepat menyingkir!"
"Siapa yang memotong tangan orang ini?" tegur Ong Siau-sik tiba-tiba.
Lelaki itu sepertinya terperanjat, dengan mata melotot dia mengawasi Ong Siau-
sik, tapi begitu tahu orang itu hanya seorang sastrawan yang lemah, hatinya
menjadi tenang kembali, dengan tak memandang sebelah mata, kembali hardiknya,
"Mau apa kau menanyakan persoalan ini?"
"Bukankah kakinya dipotong orang dengan golok?"
Sebetulnya lelaki kekar itu hendak mengumbar amarahnya, tapi karena tak ingin
mengganggu para penonton yang me-ngelilingi arena, terpaksa ujarnya lagi sambil
menahan amarah, "Apa urusannya dengan kau!"
Dengan kasar ia mendorong bahu Ong Siau-sik, pemuda itu tidak melawan, sambil
mundur setengah langkah, kembali ujarnya, "Bukankah lidahnya sengaja dipotong
dengan golok?" Dengan penuh amarah lelaki kasar itu menyerbu ke depan, namun ketika dilihatnya
ada beberapa orang penonton mulai berpaling dan memandang ke arah mereka,
terpaksa sambil tertawa dibuat-buat ia menepuk bahu Ong Siau-sik sambil berseru,
"Hati-hati kalau berdiri, hati-hati sedikit!"
Kemudian sambil merendahkan suaranya, kembali dia mengancam, "Aku peringatkan,
di sini tak ada urusannya dengan kau, lebih baik jangan mencari masalah!"
Sambil berkata ia menggandeng tangan si manusia cacad itu balik ke tengah arena,
sepanjang perjalanan tiada hentinya ia berpaling dan melotot
ke arah Ong Siau-sik dengan pandangan buas.


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ong Siau-sik segera melihat rasa takut dan ngeri muncul menghiasi wajah si
manusia cacad itu. Baru saja anak muda itu ingin melakukan suatu tindakan, mendadak terdengar
seseorang berbisik, "Kalau urusan kecil tak bisa ditahan, masalah besar akan semakin kacau, rahasia
di balik semua ini semakin susah ditelusuri, buat apa kau mesti berang?"
Suara itu begitu jelas, seakan-akan dibisikkan seseorang persis di sisi
telinganya. Dengan cepat Ong Siau-sik berpaling, namun di antara sekian puluh orang, hampir
semuanya sedang memperhatikan tengah arena, hanya seorang lelaki yang semula
berdiri men-dongakkan kepalanya, kini menyusup masuk di antara keru-munan orang
untuk menjauh. Satu ingatan melintas dalam benak Ong Siau-sik, baru saja dia akan menerobos
kerumunan orang banyak untuk mengejar orang itu, mendadak dari arah depan
kembali muncul seseorang yang langsung menerjangnya.
Karena seorang menerobos keluar sementara yang lain menerobos masuk, kontan saja
kerumunan orang banyak yang merasa tertumbuk tubuhnya menjadi marah, kata-kata
umpatan segera memenuhi arena.
Orang itu menerjang sambil mengangkat siku kirinya untuk melindungi bagian dada,
tapi lantaran menerobos kelewat cepat, tanpa sengaja kakinya menginjak kaki
seorang perempuan yang sedang menonton keramaian, tak tahan perempuan itupun
mengumpat, "Dasar orang dungu yang tak punya mata!"
Orang itu nampak berkerut kening seakan-akan mengum-bar amarah, namun akhirnya
niat itu diurungkan. Ong Siau-sik hanya sempat melihat sekejap wajah orang itu, namun hanya sekejap
saja sudah cukup membuatnya ter-pesona.
Selama hidup belum pernah ia melihat seorang pria se-tampan ini.
Alis matanya yang tipis bagai mata golok nampak begitu indah sewaktu bekernyit,
kulit wajahnya yang putih bagaikan pualam kelihatan amat licin dan halus ketika
tertimpa sinar matahari, ditambah perawakan tubuhnya yang tinggi semampai
membuat orang itu sangat menawan.
Kembali orang itu berkerut kening, dengan perasaan tak sabar ia menerjang
kerumunan orang banyak sambil berputar mengelilingi arena, agaknya dia sedang
mencari seseorang. Ong Siau-sik memperhatikan terus gerak-geriknya, ia perhatikan juga sebuah
bungkusan panjang yang terselip di pinggangnya.
Sekilas pandang saja dia sudah tahu apa isi bungkusan panjang itu, sebilah
golok! oooOOooo 2. Manusia dalam almari Hanya dalam waktu sekejap orang itu sudah lenyap di tengah kerumunan orang
banyak. Sewaktu Ong Siau-sik menoleh lagi ke tengah arena, ia saksikan beberapa orang
lelaki kekar dan perempuan kasar itu sedang memberesi peralatan senjata dan
barang-barangnya un-tuk meninggalkan arena dengan tergesa-gesa, para penonton
yang semula mengerubung di seputar arena pun sudah mulai bubar.
Tiba-tiba Ong Siau-sik teringat kembali dengan kata bisik-an tadi, "Kalau urusan
kecil tak bisa ditahan, urusan besar jadi terbengkalai". Apa maksud bisikan itu"
Setelah berpikir sejenak, dia berkeputusan akan menguntit rombongan akrobatik
itu lebih dulu, dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Rombongan itu berjalan menelusuri jalan besar kemudian memasuki lorong kecil,
sepanjang jalan sering berpapasan de-ngan orang banyak, tapi mereka berjalan
amat santai, menelu-suri jalan sembari bicara kasar, malah seringkali mereka
meng-hadiahkan cambukan atau tendangan ke tubuh orang cebol dan manusia cacad
itu. Cara mereka menempuh perjalanan tidak mirip manusia yang melakukan perjalanan
bersama, tapi lebih mirip seorang peternak yang sedang menggiring binatang
peliharaannya, mirip juga seorang majikan yang sedang menggiring budak belian,
mereka membentak, mencambuk untuk memamerkan kewiba-waannya.
Ong Siau-sik teramat murka menyaksikan kejadian ini, hampir saja dia mengumbar
kemarahannya, ketika secara tiba-tiba ia saksikan munculnya seseorang yang
jangkung dan kurus kering dari kejauhan sana.
Orang jangkung itu mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu, wajahnya putih
memucat seakan sudah lama tidak bertemu sinar matahari.
Di punggungnya kelihatan sebuah bungkusan besar, tua, kuno dan berat tergantung
di situ. Tak selang berapa lama kemudian orang itu sudah berjalan semakin mendekat.
Suasana pun sesaat menjadi hening, rombongan penjual akrobatik mulai berdiam
diri sambil mengawasi gerak-gerik orang itu.
Makin lama orang itu berjalan semakin dekat.
Ong Siau-sik dapat merasakan betapa tegangnya kawanan penjual akrobat itu hingga
susah bernapas, malah ada di antara mereka mulai gemetar kakinya, nyaris
melarikan diri meninggal-kan tempat itu.
Di tengah sorotan sang surya yang lembut, hembusan angin musim gugur terasa
dingin, di antara guguran daun ke-ring yang beterbangan di udara, lamat-lamat
terdengar suara alunan seruling yang menggema terputus-putus.
Siapa yang meniup seruling di tengah udara seperti ini"
Dalam pada itu orang tadi sudah berjalan lewat, berpa-pasan dengan rombongan
penjual akrobatik, jangan kan berhen-ti, melirik atau berpaling sekejap pun
ternyata tidak. Kini rombongan itu baru bisa menghembuskan napas lega, beberapa orang di
antaranya malah sempat berpaling untuk melirik orang itu sekejap, memandang
dengan sorot mata ke-takutan.
Sekarang orang itu sudah berjalan mendekati Ong Siau-sik.
Anak muda ini bisa merasakan hawa dingin yang meman-car dari wajah orang itu
begitu menggidikkan hati, dingin beku bagai bongkahan salju yang sudah terkubur
ribuan tahun, tapi hawa dingin yang terpancar dari bungkusan yang berada di
punggungnya terasa jauh lebih menyayat hati.
Orang itu berjalan terus ke depan, sewaktu hampir ber-papasan dengan Ong Siau-
sik, tiba-tiba ia mendongakkan ke-pala, dengan sinar mata
setajam kilat, ia melotot ke arah anak muda itu sekejap.
Ong Siau-sik merasa hatinya tercekat.
Orang itu sudah berjalan lewat, berjalan terus ke depan menjauhi tempat itu.
Tapi Ong Siau-sik kembali menemukan suatu kejadian yang sangat aneh.
Ia lihat dari ujung jalan, paling tidak dari lima enam arah yang berbeda,
bermunculan belasan orang, ada yang berlagak seperti sedang pesiar, ada yang
berlagak sebagai penjaja ma-kanan kecil, ada yang menjadi tukang ramal, ada pula
kongcu yang membawa sangkar burung, di antara orang-orang itu ada yang tua ada
pula yang muda, dandanan serta pakaian mereka berbeda, gerak-gerik juga berbeda,
namun Ong Siau-sik dapat mengenali kungfu yang dimiliki orang-orang itu sangat
tangguh, sedang tujuan kedatangan mereka pun hanya satu, menguntit manusia
jangkung itu! Lalu siapakah lelaki ceking yang bertubuh jangkung itu" Mengapa kemunculannya
menarik perhatian begitu banyak orang"
Rasa ingin tahu Ong Siau-sik makin terusik, dia ingin tahu apa yang sebenarnya
telah terjadi. Sementara itu rombongan pemain akrobatik tadi sudah memasuki sebuah rumah
penginapan, segera Ong Siau-sik pun mengingat-ingat nama penginapan itu.
Ketika berpaling lagi, ia lihat lelaki kurus jangkung itu sudah berjalan
memasuki sebuah lorong kecil yang sepi, sedang belasan orang dengan dandanan
yang berbeda itu turut me-masuki lorong itu.
Ong Siau-sik segera mengambil keputusan dengan masuk ke rumah penginapan lebih
dulu, melihat rombongan akrobatik itu sudah memasuki kamarnya masing-masing, dia
pun men-catat kamar mana saja yang mereka gunakan.
Baru saja akan berbalik meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia lihat lelaki kekar
yang sempat menegur kasar kepadanya tadi sedang naik ke loteng sambil
mengawasinya dengan pandangan gusar.
Ong Siau-sik tak ingin mencari gara-gara dalam suasana begini, sambil melempar
senyuman dia beranjak keluar dari penginapan dan langsung menyusul ke arah
lorong tadi dengan kecepatan tinggi.
Dia tahu, rombongan akrobatik itu tak mungkin kabur dalam waktu singkat, justru
lelaki jangkung itu yang mesti diperhatikan lebih dulu, tapi siapa pula lelaki
jangkung itu" Apa yang bakal terjadi dengan orang-orang itu"
Segera Ong Siau-sik menyusul ke lorong sepi itu.
Hembusan angin musim gugur terasa menyayat wajah, lamat-lamat hawa membunuh
menyelimuti jagad. Tiba di ujung tikungan jalan, Ong Siau-sik seketika dibuat terbelalak dengan
pemandangan yang terbentang di hadapan-nya.
Di ujung lorong tumbuh sebuah pohon besar, dahan dan ranting yang tumbuh
merentang ke empat penjuru kini dalam keadaan gundul karena sebagian besar
daunnya sudah ber-guguran ke tanah.
Di belakang pohon gundul itu, yang terlihat hanya darah dan kematian.
Belasan orang penguntit itu kini sudah roboh terkapar di atas tanah, terkapar
tumpang tindih, tak seeorang pun dalam keadaan hidup.
Lelaki jangkung kurus kering tadi tidak nampak di antara tumpukan mayat.
Ketika Ong Siau-sik mengejar masuk ke dalam penginapan kemudian berlari keluar
ke lorong itu, selisih waktu sebenarnya teramat singkat, tapi kenyataannya
belasan orang penguntit itu sudah mati semua dalam keadaan mengenaskan, jangan
lagi ada yang hidup, yang menghembuskan napas pun tak ada.
Siapa yang telah turun tangan secepat itu"
Apakah di antara mereka terikat dendam kesumat sedalam samudra"
Menghadapi situasi seperti ini, hanya dua pilihan yang dihadapi Ong Siau-sik,
kabur atau meneruskan penyelidikan.
Ia putuskan untuk melanjutkan penyelidikan!
Dengan gerakan yang teramat cepat, dia periksa belasan sosok mayat itu satu per
satu, kemudian menarik tiga kesim-pulan:
Pertama, tidak dijumpai luka lain di tubuh belasan sosok mayat itu kecuali
sebuah lubang. Lubang darah persis pada jantungnya, siapa yang tertusuk nyaris
tak mungkin bisa hidup. Kedua, ketika menemui ajalnya, belasan orang itu tak sempat berteriak minta
tolong. Di luar lorong adalah jalan raya besar, banyak orang berlalu lalang di
situ, asal ada yang ber-teriak minta tolong, dapat dipastikan banyak orang akan
mem-buru ke situ, tapi kenyataan belasan orang itu tewas tanpa sempat bersuara,
hal ini semakin membuktikan kalau menjelang ajalnya mereka tak mempunyai
kesempatan untuk minta tolong.
Ketiga, pada ikat pinggang belasan orang itu sebagian be-sar membawa lencana
perintah (leng-pay), surat tugas maupun surat perintah, hal ini membuktikan
orang-orang itu kalau bu-kan opas kenamaan, pastilah petugas kepolisian atau
petugas pengadilan yang sedang melacak suatu kasus, atau bahkan bisa jadi
kawanan jago dari istana.
Tapi kenyataan sekarang belasan jago tangguh itu telah tewas secara mengenaskan
di situ. Ong Siau-sik tak sempat memeriksa lebih teliti lagi, karena tiba-tiba ia
mendengar suara jeritan seorang wanita.
Rupanya ada seorang wanita bersama kekasihnya melewati lorong itu, sebetulnya
mereka berencana akan berpacaran di tempat yang sepi itu, siapa sangka di sana
mereka melihat mayat yang berserakan.
Bukan cuma mayat yang berserakan, di situ malah ada seorang hidup yang sedang
memeriksa tumpukan mayat itu.
Menanti jeritan kedua muda-mudi itu menarik perhatian orang banyak serta
kehadiran dua orang opas, dalam lorong itu hanya tertinggal mayat-mayat yang
bergelimpangan. Menyaksikan mayat-mayat korban pembunuhan, dengan muka hijau karena marah,
kawanan opas segera menegur, "Ma-na pembunuhnya" Bukankah kalian melihat sang
pembunuh masih di sini?"
"Benar!" sahut sang pria, "sebenarnya dia masih ada di sini, tapi kemudian ...
entah kemana perginya."
"Aku melihat dia ...." sambung sang gadis.
"Dia kabur kemana?" tukas sang opas.
"Tadi dia melompat ke atas pagar rumah itu, kemudian melompat sekali lagi
dan ...." Kedua opas itu segera berdiri terbelalak dengan mata melotot, sudah dua puluh
tahun mereka bekerja sebagai opas di Lak-san-bun, tapi belum pernah mendengar
cerita sehebat itu: Melompati pagar pekarangan setinggi dua tombak" Melompat
dalam sekali lompatan. Dalam pada itu si lelaki kurus jangkung berbaju abu-abu itu kelihatan berdiri
pula di antara kerumunan orang banyak, cuma saja hawa dingin yang menyelimuti
wajahnya nampak jauh lebih tebal dan berat.
oooOOooo Ong Siau-sik melompat ke atas atap rumah dengan gerakan seringan daun kering, ia
menggelantung di atas wuwungan rumah dengan mengaitkan sepasang kakinya di atas
emperan, tubuhnya kelihatan bergoyang ketika tertiup angin, ringan dan lembut
seperti selembar daun. Saat itu ia sudah mendekam di atas atap rumah pengi-napan dimana rombongan
akrobatik itu menginap. Dengan membasahi ujung jarinya ia mencoba melubangi kertas yang menutupi daun
jendela, kemudian mengintip ke dalam.
Dalam ruangan tampak tujuh delapan orang lelaki kasar dan tiga empat orang
perempuan kekar sedang berduduk santai, mereka bukan lain adalah rombongan
penjual akrobatik itu. Rombongan manusia cacad yang dipotong lidah dan ang-gota badannya, lelaki kekar
yang melarang dia mencari berita, manusia yang berbisik memberi peringatan
kepadanya, lelaki tampan yang menerobos di tengah kerumunan orang banyak, lalu
lelaki jangkung yang membuat rombongan akrobatik itu ketakutan dan terakhir
mayat yang bergelimpangan dalam lo-rong.
Sebenarnya apa yang terjadi" Ong Siau-sik memutuskan untuk menyelidiki peristiwa
ini, dia akan mulai mencari jejak rombongan orang-orang ini.
Sama sekali tak ada pertanda apa pun yang didapat.
Beberapa orang lelaki dan wanita kasar itu hanya duduk berkumpul dalam kamar,
wajah mereka nampak tegang dan serius, tak seorang pun yang membuka suara maupun
berbicara. Beberapa orang lelaki di antaranya kadang kala nampak berdiri sambil menghela
napas panjang, mereka hanya meng-gosokkan kepalannya tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Malam semakin kelam, angin barat laut berhembus makin kencang.
Tentu saja Ong Siau-sik tak ingin menderita dalam cuaca yang begini dingin,
pikirnya, "Kelihatannya tak ada berita yang bisa kucari dari mereka."
Baru saja dia bersiap meninggalkan tempat itu, tiba-tiba satu ingatan melintas.
Perlahan-lahan dia mencongkel selembar genteng, lalu menekan dengan tangannya,
sebelum genteng itu terjatuh ke dalam ruangan, dengan kecepatan bagaikan elang
menyambar kelinci dia sudah melayang turun ke bawah, lalu bersembunyi di sisi
pintu. "Braak!", diiringi suara nyaring, genteng itu terjatuh ke lantai dan hancur
berantakan. Kawanan lelaki kekar yang ada dalam ruangan segera membentak nyaring, ada yang
langsung menerobos keluar lewat jendela, ada pula yang membuka pintu sambil
mencaci maki. Ketika itu Ong Siau-sik sudah bersembunyi di sisi pintu, menggunakan kesempatan
di saat beberapa orang itu berlari keluar secara bergerombol, dia menyelinap
masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan diri dalam
sebuah almari kayu. Begitu menyelinap masuk, cepat dia merapatkan kembali pintu almari itu, tapi
mendadak ia merasa bulu kuduknya berdiri.
Ia mendengar ada suara napas seseorang, suara napas manusia yang berasal dari
sisinya. Dengus napas itu sangat lirih dan teratur, napas orang awam tak mungkin selembut
dan sehalus ini, kecuali seseorang yang sedang terlelap tidur sangat nyenyak,
apalagi kalau ada orang menyelinap secara tiba-tiba, dengus napasnya sudah pasti
sangat kalut dan agak terengah, tapi dengus napas itu sangat tenang dan lembut.
Ini menunjukkan ada seseorang telah bersembunyi dalam almari itu sejak tadi!
Tapi siapakah dia" Tanpa sadar Ong Siau-sik bersiap menghadapi segala ke-mungkinan.
Sementara itu di luar almari sudah terjadi kegaduhan, disusul suara tanya jawab
antara orang di luar kamar dengan rombongan akrobatik itu.
"Ada apa" Apa yang terjadi?"
"Tidak ada apa-apa, rasanya ada orang membuat gara-gara!"
"Ada orang membuat gara-gara?"
"Benar, ada orang sengaja melempar genting dari atas atap, untung kami cepat
menyingkir, kalau tidak, pasti ada yang terluka."


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Melempar genting" Bukankah genting tersusun rapi di atas atap" Mana mungkin
bisa jatuh sendiri?"
"Darimana aku tahu, justru karena itu maka aku ingin mencari tahu sebabnya."
"Kami sudah tiga belas tahun membuka usaha, belum pernah satu kali pun terjadi
peristiwa seperti ini," kata pemilik losmen cepat, ia tahu kawanan manusia yang
membawa golok itu adalah orang yang paling susah dihadapi.
"Apa maksud perkataanmu itu" Kau anggap kami sedang mencari gara-gara" Katakan,
kenapa kami mesti cari gara-gara?"
"Bukan ... bukan begitu maksud kami ... mungkin atap itu sudah kendor karena
lama tak dibetulkan hingga jatuh sendiri, baiklah, maaf, maaf ... kami segera
akan memperbaikinya ...."
Lociangkwe si pemilik losmen sadar bahwa manusia bengis macam begitu paling
susah dilayani, maka dia mencari selamat dengan cepat minta maaf.
Dengan uring-uringan ketujuh delapan orang lelaki kekar itupun balik kembali ke
kamarnya. Menanti kawanan lelaki kekar itu sudah balik, para wanita kasar yang semula
berjaga di tepi pintu dan jendela baru merapatkan kembali pintu dan jendela,
mereka lalu berkumpul di depan meja.
"Maknya sialan ...." umpat lelaki beralis tebal itu sambil meletakkan goloknya
di meja, "coba kalau bukan lagi ada urusan, akan kubacok habis orang itu ...."
Sambil menahan napas, Ong Siau-sik tetap bersembunyi di dalam almari.
'Manusia' yang sudah bersembunyi dalam almari sejak tadi pun tidak melakukan
reaksi apa pun. Mendadak terdengar seseorang berkata dengan suara serius dan nyaring, "Sim-jit,
kau jangan mencari gara-gara, malam ini para jago dari kantor pusat perkumpulan
Lak-hun-poan-tong (enam setengah bagian) segera akan berdatangan, kau boleh saja
mencari onar dan tak ingin hidup, tapi rekan yang lain masih ingin mati secara
utuh. Hmmm, lihat saja ulahmu tengah hari tadi, nyaris berkelahi dengan beberapa
orang, aku lihat tabiatmu makin tak terkendali, lebih baik ingat baik-baik,
jangan mencari gara-gara buat kita semua!"
Ong Siau-sik coba mengintip lewat celah almari, ia lihat orang yang sedang
berbicara itu adalah seorang lelaki tua yang bermata tajam dengan senjata
penggaris baja tersoreng di ping-gangnya, di samping lelaki tua itu berdiri
seorang wanita berwajah garang dan bermata licik.
Ketika kedua orang itu berdiri di sana, ternyata kawanan manusia yang lain tak
ada yang berani mengambil tempat duduk.
Lelaki beralis tebal itu menundukkan kepala, meski kepal-annya yang segede
mangkuk dikepal kencang, namun ia sama sekali tak berani membantah terhadap
teguran kakek itu. Lewat sesaat kemudian seorang lelaki berkepala kecil bermata tikus baru
menimbrung, katanya, "Lo-jit, selama ini memang kau yang salah, coba lihat ulahmu membuat Li Ya jadi
sewot setengah mati, memangnya kau sudah kebanyakan meng-hirup hawa kentut!"
Lelaki beralis tebal itu tetap membungkam, tak sepatah kata pun berani
membantah, tapi tinjunya dikepal makin ken-cang, nampak otot-otot hijau menonjol
keluar. Terdengar kakek she Li itu berkata lagi setelah menyapu wajah semua yang hadir
dengan sorot matanya yang tajam, "Ka-lian anggap berhargakah kita mengusik
rumput mengejutkan ular hanya gara-gara urusan orang yang tak penting" Li Ya,
su-dah kau kirim orang untuk mengawasi ketiga buah kamar itu?"
"Baru saja aku mengajak beberapa orang melakukan peron-daan di sekitar sana,"
sahut lelaki berkepala kecil bermata tikus itu dengan hormat, "setiap kamar
dijaga dua orang saudara kita, hingga detik ini tidak ada kejadian apa pun."
"Hmm! Paling bagus memang begitu," dengus kakek Li ketus.
Menggunakan peluang itu, Li Ya, si lelaki bermata tikus itu berkata lagi,
"Dalam wilayah tiga sungai besar enam propinsi, siapa yang telah makan nyali
beruang hingga berani mengusik Liong-tau (ketua) perkumpulan akrobatik Li Tan,
Li Ya" Apalagi kali ini Li-ji-nio pun ikut terjun sendiri ke dunia Kangouw,
manusia busuk mana yang ingin cari apes?"
Mendengar pembicaraan itu, Ong Siau-sik seketika teringat kembali
beberapa tokoh termashur dalam dunia persilatan saat itu.
Banyak perkumpulan dan partai termashur yang berdiri dalam dunia persilatan, di
antara sekian banyak organisasi, ada di antaranya merupakan organisasi sempalan
yang disebut Pay-kau. Hampir semua yang bergabung dalam Pay-kau memiliki sedikit kemampuan yang dapat
diandalkan, mereka pandai mengikuti arus, pandai pula memotong arus.
Di antara sekian banyak organisasi sempalan, di antaranya terdapat organisasi
yang didirikan oleh para tabib, para peramal, pedagang maupun petani. Dari tujuh
puluh dua organisasi sempalan ini masing-masing dipimpin oleh seorang Liong-tau
yang berkuasa mengatur jalannya perkumpulan itu.
Li Tan adalah salah satu Liong-tau organisasi sempalan itu, dia memimpin
organisasi kaum akrobatik, bersama adik perem-puannya, Li Ciau-hong, memiliki
kungfu yang hebat, berhati keji dan telengas, mereka sangat termashur namanya di
seputar wilayah Ouw-pak. Entah karena urusan apa saat ini berkumpul di situ"
Sementara orang yang disebut Sim-jit tadi adalah Ko-san-hou, si Macan gunung Sim
Heng, sedang orang yang disebut Li Ya adalah seorang begal yang selama ini
beroperasi di seputar wilayah Hong-hok-lau, orang memanggilnya Hau-cian-hu (ma-
nusia berwajah macan berhati rase).
Ong Siau-sik memiliki daya ingat yang sangat baik, setiap kali tiba di suatu
daerah, dia selalu mencatat dan mengingat baik-baik nama serta kelebihan yang
dimiliki setiap tokoh yang dijumpai.
Entah mengapa, dia selalu berpendapat suatu hari nanti semua bahan catatannya
itu akan sangat berguna baginya.
Mungkinkah ada hari seperti yang dia duga" Ong Siau-sik tidak tahu.
Dia hanya tahu satu hal, hampir semua partai dan perkum-pulan yang ada di kolong
langit, sebagian besar berada dalam kendali dan perintah organisasi Lak-hun-
poan-tong ini. Hampir semua jago dan tokoh hebat tunduk serta takluk pada organisasi Lak-hun-
poan-tong ini. Selama ini mereka selalu menyerahkan tiga setengah ba-gian yang dimiliki kepada
organisasi Lak-hun-poan-tong, na-mun bila menjumpai suatu masalah atau
kesulitan, maka orga-nisasi Lak-hunpoan-tong akan mengerahkan enam puluh lima
persen kekuatannya untuk mendukung dan membantu mereka.
Organisasi Lak-hun-poan-tong ini dipimpin oleh seorang Congtongcu yang bernama
Lui Sun, sementara orang gagah di kolong langit menyebutnya sebagai Lotoa.
Mungkin satu-satunya kekuatan lain yang bisa menandingi kemampuan perkumpulan
Lak-hunpoan-tong hanyalah per-kumpulan Kim-hong-si-yu-lau (loteng angin emas
hujan ge-rimis). Sedangkan jagoan yang bisa menandingi kehebatan serta ketenaran Lui Sun di kota
Kay-hong pun hanya ketua atau Locu dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau ini, Ang-
siu-to (golok baju merah) So Bong-seng seorang.
Begitulah situasi dalam dunia persilatan waktu itu, ka-wanan jago yang tidak
bergabung dalam partai besar hampir semuanya bergabung dalam perkumpulan Lak-
hun-poan-tong atau perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, karena perkumpulan angin emas
hujan gerimis didukung oleh pemerintah kerajaan, sedangkan perkumpulan Lak-hun-
poan-tong ditopang para jago dari golongan rimba hijau.
Itulah sebabnya beredar satu pepatah yang berbunyi: Enam bagian adalah Lui,
empat puluh laksa milik So. Artinya paling tidak ada empat puluh laksa orang
yang bergabung dengan So Bong-seng, tapi bila diperbandingkan secara benar, maka
ter-bukti ada enam puluh persen kekuatan persilatan berada dalam kendali Lui
Sun. Dalam pada itu wanita bertubuh kekar yang berdiri di samping Li Tan telah
tertawa terkekeh-kekeh sambil berkata, "Li Ya, tak heran kau bisa hidup makmur
di wilayah seputar sini, mulutmu benar-benar pandai merayu hingga membuat muak
hati orang, kelihatannya di kemudian hari aku mesti mengang-kat dirimu menjadi
Liong-tau Lotoa dari organisasi kaum akrobatik wilayah sini."
"Ji-nio tak usah menggoda aku," Li Ya turut terkekeh, "Liong-tau Lotoa bukan
jatahku, sebab jabatan itu butuh ke-mampuan yang tangguh, aku hanya memiliki
selembar bibir, jadi kalau ingin jadi Lotoa, mending aku banyak berdoa dulu pada
Thian." Li Tan mengernyitkan dahi rapat-rapat, dengan kerutan wajah yang makin
mengencang dan tak sekilas senyuman pun yang menghiasi bibirnya ia bertanya,
"Siapa saja dari organisasi Lak-hunpoan-tong yang akan hadir di sini" Kenapa
sampai sekarang belum nampak batang hidung mereka?"
"Menurut apa yang kuketahui, paling tidak ada tiga orang jago yang datang
kemari, malah langsung dipimpin sendiri oleh Tongcu kedua belas, Tio Thiat-
leng!" sahut Li Ya dengan nada hati-hati.
"Hah" Dia pun ikut datang?" hampir berbareng Li Tan dua bersaudara berseru
tertahan. Li Ya manggut-manggut. "Benar, aku rasa dari pusat akan menyerahkan sebuah tugas besar kepada kita,"
sahutnya dengan mata berbinar.
"Aku justru sedikit rada kuatir," Li Ciau-hong menggeleng.
"Apa yang kau kuatirkan?"
"Dulu kita tak lebih hanya penjual silat yang mengembara dalam sungai telaga,
kalau tak cocok dengan suatu masalah, kita bisa main tebas memenggal kepala
lawan, kalau ketemu musuh tangguh paling kabur sembari mencari sedikit
keuntungan. Tapi hari ini kita mesti menangkap bocah-bocah yang tak tahu urus-
an, harus memotong anggota badan mereka, menyambung anggota badan orang yang
satu dengan tubuh orang lain, memaksa mereka untuk bersetubuh dengan hewan,
akhirnya mereka jadi manusia cebol, manusia aneh, makhluk setengah manusia sete-
ngah hewan, pekerjaan macam ini kelewat keji, kelewat kejam dan sama sekali di
luar peri kemanusiaan. Kita toh bukannya tak sanggup bermain senjata, bukan
manusia tempe yang tak mam-pu merampok atau membegal, bertarung melawan puluhan
orang juga masih sanggup, tapi kalau harus terus menerus menyiksa bocah-bocah
yang tak berdosa, ai ... aku Li Ciau-hong betul-betul tak tega. Kakak, jelek-
jelek kita masih punya sedikit nama dalam dunia persilatan, kenapa harus
melakukan jual beli semacam ini" Kalau sampai terjungkal di tangan orang, bukan-
kah nama kita bakal ikut hancur dan rusak" Jika kantor pusat memerintahkan kita
untuk melakukan pekerjaan semacam ini lagi, aku dengan tegas akan
menolak!" Berubah hebat paras semua orang setelah mendengar perkataan itu, dengan wajah
serius Li Tan segera menghardik, "Adikku, kau sudah gila" Mengapa mengucapkan
perkataan seperti itu?"
Dibentak kasar di hadapan orang banyak, kontan Li Ciau-hong bertambah sewot,
dengan suara yang makin nyaring, teri-aknya, "Memangnya aku salah bicara"
Sekarang putra tunggal Bun Sin-hu pun sudah kita culik, bila sampai pecah
peristiwa besar, memangnya kita semua bisa cuci tangan dari masalah ini" Sampai
waktunya, dengan cara apa kakak akan menjelaskan kepada orang luar?"
Paras muka Li Tan berubah jadi hijau memucat, saking gusarnya seluruh badan
gemetar keras. Tapi orang yang paling kaget dan terkesiap di antara yang hadir tak lain adalah
Ong Siau-sik yang bersembunyi dalam almari.
Ternyata manusia cacad yang patut dikasihani itu tak lain adalah hasil perbuatan
kelompok manusia ini! Kenapa mereka begitu tega melakukan perbuatan sekeji ini"
Mungkinkah semuanya ini atas perintah organisasi Lak-hun-poan-tong"
Mengapa perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini melakukan perbuatan keji yang sangat
terkutuk ini" oooOOooo 3. Orang ketiga Li Tan menarik napas panjang, berusaha menahan hawa amarahnya yang meledak,
kemudian ujarnya, "Adikku, dari tiga puluh enam cabang darat dan tujuh puluh dua
cabang air, kalau bukan tunduk di bawah perintah So-kongcu, tentu tunduk kepada
Lui-tongcu, kita berdua meski bisa menancapkan kaki di wilayah seputar telaga
Se-ouw, tapi terhitung jagoan macam apa di mata orang banyak" Saudara Li,
saudara sekalian yang hadir, mohon maaf yang sebesar-besarnya atas perkataan
adikku tadi, tolong masukkan perkataan tadi melalui telinga kiri dan kelu-arkan
lewat telinga kanan, jangan sebar luaskan di depan umum. Untuk itu aku orang she
Li pasti akan membalas budi kebaikan sahabat sekalian di kemudian hari."
"Lotoa tak usah kuatir," sahut Sim-jit cepat, "kami semua malah tidak mendengar
terlalu jelas apa yang telah dikatakan Cici kedua tadi."
"Benar, benar," sahut rekan lainnya, "kami memang tak mendengar jelas apa yang
Cici katakan tadi." Setelah memutar biji matanya, Li Ya ikut bicara, katanya, "Perkataan semacam ini
memang tidak sepantasnya diutarakan secara terbuka."
Rupanya ia telah melihat sorot mata semua yang hadir telah tertuju ke wajahnya,
sadar bahwa dirinya merupakan satu-satunya 'orang luar' di tempat itu, maka
untuk menghindari kecurigaan orang, dia mesti menunjukkan keseriusannya menja-ga
rahasia. Dia pun tahu kawanan manusia yang hadir dalam ruangan saat ini merupakan jago
kawakan dunia persilatan, mereka terhitung manusia yang bisa membunuh tanpa
berkedip, bila sampai menunjukkan niat untuk berkhianat, niscaya jiwanya segera
akan terancam. Maka setelah menarik napas panjang, kembali ujarnya dengan wajah serius, "Untuk
membuktikan ketulusan hatiku, baiklah, biar aku bersumpah di hadapan Thian, jika
aku Li Ya sampai membocorkan ucapan Ji-nio sepatah kata saja, biarlah aku orang
she Li mati secara mengenaskan di pinggir jalan bagaikan tikus selokan yang mati
digebuk orang ...." Tampaknya dia masih ingin mengucapkan sumpah yang lebih berat lagi, tapi Li
Ciau-hong sudah tak sanggup menahan diri, selanya, "Kau tak usah meneruskan
sumpahmu, kau me-mang si tikus jalanan, setiap orang akan menggebukmu sampai
mampus." "Ah, Ji-nio suka bergurau," sahut Li Ya tersipu-sipu, na-mun dalam hati ia
merasa lega sekali. Setelah menghela napas panjang, kembali Li Ciau-hong bertanya, "Kakak, benarkah
kita akan berbuat jahat terus?"
Li Tan tak sanggup mengendalikan emosinya lagi, sambil menggebrak meja bentaknya
gusar, "Tutup mulutmu, kau tidak kuatir pihak pusat akan menurunkan perintah
pembunuhan" Kau boleh saja bosan hidup, tapi jangan sampai menyusahkan saudara
kita yang lain!" Baru saja Li Ciau-hong ingin membantah lagi, tiba-tiba dari luar ruangan
berkumandang dua kali suara lolongan anjing yang amat keras.
Berubah hebat paras muka kawanan jago yang ada dalam ruangan, tapi setelah
diamati sejenak, dengan wajah berseri Li Ya berseru, "Ah, jangan panik, orang
sendiri." Li Tan berkerut kening, hawa pembunuhan memancar keluar dari sorot matanya.
"Aku rasa dia datang dengan membawa teman," katanya.
"Benar," sahut Li Ya sambil tertawa paksa, "kali ini yang menjadi komandan
adalah Ku-toacongkoan dari pesanggrahan Yan-mo-cay, ia datang bersama Ting-tauke
dari grup akrobatik."
Sementara itu terdengar suara dua kali tepukan tangan dari bawah loteng.
"Apa" Mereka juga ikut hadir?" seru Li Ciau-hong.
"Aku telah menyebar mata-mata di luar sana, tebakanku tak bakal keliru."
Mendadak terdengar lima kali suara ketukan pintu disusul dengan terbukanya pintu
ruangan. Ketika Li Ya membukakan pintu, masuklah dua orang diikuti dua orang di sebelah
kiri dan kanan, mereka menempel terus di belakang kedua orang itu secara ketat,
seakan takut ada orang yang akan mencopet duit mereka.
Empat orang yang mengintil di belakang, dua di antaranya berdandan pelajar, tapi
sorot matanya bukan kelembutan, na-mun penuh dengan hawa pembunuhan.
Kedua orang ini melindungi seorang lelaki setengah umur yang mengenakan baju
halus, lelaki itu berkumis tipis dengan wajah cerah, persis seperti seorang
saudagar. Di sisinya mengikut seorang pemuda berwajah bulat telur dengan kulit badan yang
putih bersih, di belakang pemuda ini mengikut pula dua orang lelaki yang
menempel terus bagaikan bayangan setan, di sisi ikat pinggangnya tergantung
sebuah kantung kulit ikan, siapa pun yang melihatnya segera akan tahu kalau
mereka berdua adalah jago menggunakan senjata rahasia.
Begitu bertemu dua bersaudara Li, kedua orang itu segera menjura seraya menyapa,
"Li-lotoa, Ji-moaycu, baik-baikkah selama ini?"
Dua bersaudara Li lekas menyahut dengan beberapa kata sungkan. Menanti Li Ya
mempersilakan tamunya duduk, Li Tan baru berkata, "Kelihatannya hari ini kantor
pusat akan menga-dakan pertarungan akbar, kalau tidak, masa sampai merepotkan
ketua pesanggrahan Yan-mo-cay, Ku Han-lim serta Toa-tauke dari kelompok
akrobatik, Ting Siu-hok"
"Mana, mana ..." sahut Ku Han-lim yang berdandan seperti saudagar itu sembari
menjura, "aku tak lebih hanya pemeran pembantu, justru saudara Li, Ji-moaycu dan
Ting-lote yang me-rupakan orang paling top dalam perkumpulan kita."


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dalam persoalan malam ini, ada baiknya kita bersikap lebih hati-hati," sela
Ting Siu-hok Tauke dari kelompok akro-batik tanpa basa-basi, "baru saja aku
mendapat laporan, katanya Si Say-sin dari perkumpulan
Kim-hong-si-yu-lau juga telah muncul di wilayah seputar sini."
"Ah, ternyata memang dia!" seru Li Tan bersaudara serentak.
"Jadi kalian pun telah bersua dengan mereka?"
"Benar," kata Li Ciau-hong, "tadi ketika kami sedang bebenah untuk balik kemari,
di tengah jalan kami telah bertemu dengan seseorang, orang itu mirip sekali
dengan manusia tangguh yang kau maksudkan!"
Senyuman yang semula masih menghias bibir Ku Han-lim, kini lenyap seketika,
gumamnya, "Si Say-sin ... Si Say-sin ... jika pihak perkumpulan Kim-hong-si-yu-
lau sampai menurunkan malaikat sakti dari langit barat, urusan jadi sedikit
berabe, tidak gampang buat kita untuk turun tangan."
"Ehmm, jika Si Say-sin benar-benar sudah datang, berarti kasus pembunuhan
terhadap kedua belas orang opas di lorong belakang rumah keluarga Han siang tadi
kemungkinan besar adalah perbuatannya," kata Ting Siu-hok murung, biar agak
masgul namun nada suaranya masih terdengar lembut dan jelas.
"Dua belas lembar nyawa roboh berserakan hanya dalam sekali tebasan, kungfu
semacam itu memang menakutkan, se-olah dia sedang merontokkan dedaunan saja."
"Hmmm, tapi kita semua bukan bangsa dedaunan," de-ngus Li Tan.
"Sekalipun bukan dedaunan, rasanya juga tak selisih jauh," sambung Ting Siu-hong
hambar. "Apa maksud perkataanmu itu?" teriak Li Tan sewot.
"Kalau cuma untuk menghadapi kita beberapa orang, rasanya tak perlu merepotkan
malaikat sakti dari langit barat!"
"Lalu kedatangannya untuk menghadapi siapa?" tanya Li Ciau-hong.
"Aku tidak tahu, aku hanya tahu perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang bertarung
ketat melawan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, karena itu ada seseorang yang
menyusul kemari, khusus untuk menghadapi Si Say-sin."
"Tio Thiat-leng, Tongcu kedua belas maksudmu?" tanya Li Tan kaget.
Ting Siu-hok menggeleng. "Bukan, bukan dia, tapi Tongcu kesembilan, Ho Tong!"
"Ho-kiutongcu?" dua bersaudara Li menjerit serentak.
'Benar, malah aku dengar selain dia datang pula dua orang yang lain, Tio Thiat-
leng dan ...." "Siapa orang kedua?"
Belum sempat pertanyaan itu dijawab, dari luar ruangan kembali terdengar suara
gonggongan anjing, kali ini suara gonggongannya jauh lebih keras dan nyaring.
Paras muka semua orang yang hadir dalam ruangan segera berubah makin serius,
seakan-akan sedang menghadapi datang-nya serangan musuh tangguh.
"Rasanya orang-orang pusat yang datang," bisik Li Tan sambil bangkit berdiri
untuk membukakan pintu. "Tunggu, belum tentu mereka," cegah Ting Siu-hok.
Sejak awal, Li Tan sudah merasa tak senang dengan orang ini, tapi dia enggan
mengumbar amarahnya karena orang-orang Lak-hun-poan-tong segera akan tiba,
karena itu dia hanya melotot sekejap ke arahnya dengan perasaan mendongkol.
"Aku pun mempunyai mata-mata di sekitar sini" kata Ting Siu-hok kembali.
Dari kejauhan terdengar suara katak berkumandang, begitu mendengar suara itu,
Ting Siu-hok baru berkata dengan perasa-an lega, "Ah, ternyata memang orang kita
yang datang." Ia bangkit berdiri siap membukakan pintu, sikapnya bah-kan sangat menghormat,
jauh melebihi sikap Li Tan tadi.
Mendadak Ku Han-lim merentangkan tangannya mengha-langi.
Dua orang pelajar yang berada di belakangnya segera menyelinap ke depan jendela,
membuka daun jendela itu kemu-dian menyalakan korek api dan diayunkan beberapa
kali, tak lama kemudian dari balik kegelapan di kejauhan sana melintas juga
cahaya api balasan. "Ehmm, memang benar orang kita yang datang," kata Ku Han-lim sambil mengangguk.
"Hmmm!" Li Tan mendengus dingin, "tampaknya me-mang Ku-toacongkoan dan Ting-
tauke punya banyak mata-mata di sini."
"Ah, mana, mana ... oleh karena orang yang akan datang malam ini adalah utusan
dari kantor pusat, mau tak mau kita mesti bertindak lebih hati-hati."
Li Tan menarik napas panjang berusaha menenangkan hatinya, kemudian tanyanya,
"Tadi kau menyebut ada tiga orang yang akan datang, siapa orang ketiga itu?"
"Kemungkinan besar adalah ...." belum selesai Ting Siu-hok menjawab, dari bawah
loteng kembali terdengar suara tepukan tangan, suara tepukan itu muncul sangat
mendadak sehingga bukan saja membuat semua orang keheranan, bahkan Ong Siau-sik
yang sedang bersembunyi dalam almari pun dibuat tercengang.
Sebetulnya tujuan kedatangannya ke sana adalah untuk mencari tahu masalah
manusia-manusia cacad itu, di luar du-gaan, bukan saja ia telah mendengar satu
kejadian besar yang bakal terjadi dalam dunia persilatan, bahkan manusia
tersohor macam Tio Thiat-leng dan Ho Tong pun sebentar lagi akan muncul di depan
mata. Dalam pada itu dari luar pintu kembali terdengar lima kali suara ketukan pintu,
ketukan itu sebentar perlahan sebentar cepat dan sangat tidak beraturan.
Li Tan bersaudara, Ku Han-lim maupun Ting Siu-hok sekalian serentak melompat
bangun sambil berdiri di depan pintu, sedang pintu kamar dibuka oleh Li Ya.
Pintu telah terbuka lebar, namun tak nampak seorang pun.
"Aneh, kenapa tak ada orang ...." gumam Li Ya keheranan.
Ong Siau-sik mencoba mengintip keluar lewat celah almari, ia lihat di antara
goyangan cahaya lilin tahu-tahu di dalam kamar telah bertambah dengan tiga sosok
manusia, mereka melayang masuk lewat jendela dengan gerakan yang amat enteng,
cepat dan sama sekali tidak menimbulkan suara.
Tiga orang manusia. Orang pertama adalah seorang kakek berkepala botak, alis matanya keperak-perakan
dengan jenggot berwarna putih, sepa-sang tangannya disembunyikan di balik
pakaian, seolah sedang memegang benda mestika yang tak ingin diperlihatkan
kepada orang lain. Orang kedua adalah seorang lelaki sedingin dan sebeku baja, ia mempunyai wajah
persegi empat dengan perawakan kotak, bahkan tangannya pun berbentuk segi empat,
ia mirip sekali dengan sebuah kotak. Sebuah kotak baja!
Orang ketiga, begitu masuk ke dalam ruangan, sorot matanya dengan lagak sengaja
tak sengaja melirik sekejap ke arah tempat persembunyian Ong Siau-sik, kebetulan
anak muda itupun sedang menatap ke arahnya sehingga sorot mata mereka saling
beradu. Ong Siau-sik segera merasakan hatinya bergetar keras, bukankah orang ini adalah
lelaki yang dijumpainya siang tadi" Lelaki yang berdiri di lapangan sambil
mendongakkan kepala memandang langit"
Saat ini tentu saja ia tidak memandang ke arah langit.
Yang dia awasi kini adalah cahaya lilin.
Cahaya lilin berkilat di balik sorot matanya, membuat sorot mata orang itu
bertambah terang, bertambah cemerlang.
Begitu badannya berdiri dalam ruangan, seluruh cahaya lilin seakan hanya khusus
menerangi tubuhnya, namun seakan juga cahaya itu tak mampu menerangi pakaiannya.
Siapakah orang ini" Dalam pada itu seluruh jago yang ada dalam ruangan telah mengetahui kemunculan
ketiga orang itu, serentak mereka maju sambil menyapa.
"Tio-tongcu!" "Ho-tongcu!" Tak seorang pun yang menyapa orang ketiga, karena memang tak ada yang tahu
siapakah orang itu. Orang itupun berdiri santai, tidak menyapa juga tidak menggubris, seakan dalam
ruangan hanya ada dia seorang.
Perlahan-lahan Tio Thiat-leng mengambil tempat duduk, kemudian dengan suara yang
parau basah ujarnya, "Hari ini kantor pusat sengaja mengumpulkan kalian di
tempat ini, karena ada tiga persoalan yang hendak disampaikan, kalian ditugaskan
untuk menyelesaikan tiga persoalan."
"Silakan Tongcu memberi perintah," sahut Li Tan sekalian dengan hormat.
"Li Tan," ujar Tio Thiat-leng, "bukankah kusuruh kau me-nangkap semua orang yang
namanya tercantum dalam daftar dan mengubah bentuk tubuh mereka" Apakah telah
kau laku-kan?" "Dalam daftar tercatat empat puluh dua orang, sembilan belas orang di antaranya
sudah berhasil diculik, ada yang telah dikebiri, ada yang telah dipotong, secara
garis besar kami telah melaksanakan sesuai dengan perintah Tongcu dan mengubah
mereka jadi manusia cebol atau makhluk jelek lainnya, jangan kan orang tua
mereka tak bakal mengenal lagi, bahkan mereka sendiri pun kujamin tak akan kenal
dengan diri sendiri."
"Bagus sekali, apakah putra tunggal Bun Sin-hu juga telah berhasil ditangkap?"
"Telah kami tangkap," Li Tan segera mengangguk.
"Kalau begitu kirim utusan dan katakan kepada orang she Bun itu, jika dia masih
saja condong membantu pihak perkum-pulan Kim-hong-si-yu-lau, maka kami akan
menjadikan putra-nya sebagai anggota topeng monyet untuk mencari duit dalam
rombongan akrobatikmu dan menjadi tontonan orang banyak!"
"Cari duit tidak penting, aku hanya tahu melaksanakan perintah dari Tongcu,"
lekas Li Tan menimpali. Tio Thiat-leng tertawa dingin.
"Hmm, mencari duit pun merupakan urusan penting, bukankah untuk menambah ragam
permainan dalam tontonan-mu, kau pun sering mencelupkan tubuh orang ke dalam air
panas agar melepuh, bukankah kalian pun sering mengikat tangan dan kaki mereka
jadi satu, atau sengaja mematahkan tulang pinggang mereka agar tak bisa berdiri,
lalu menjuluki mereka sebagai si bocah plastik, si manusia bola, tujuannya hanya
mencari simpati orang, agar penonton melemparkan lebih banyak uang sedekah" Aku
sudah kelewat banyak menyaksikan permainan busuk macam begitu! Tapi, tahukah
kau, kenapa aku menyuruh kau yang melaksanakan tugas ini?"
"Silakan Tongcu menjelaskan."
"Tadi adalah persoalan pertama yang ingin kutanyakan kepadamu, dan sekarang aku
beritahukan persoalan pertama yakni soal hukuman peringatan!"
Dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah setiap orang yang hadir dengan
pandangan cepat, kemudian melanjut-kan, "Dulu, orang tua bocah-bocah itu
kebanyakan adalah ang-gota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi sekarang,
lantaran perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau mendapat dukungan dari pe-merintah,
mereka beramai-ramai menyeberang dan mendukung pihak lawan, itulah sebabnya
sebelum kami turun tangan meng-habisi orang-orang itu, kami ingin mereka
menyaksikan dulu bagaimana anggota keluarganya yang paling disayang telah
berubah jadi manusia tak mirip manusia, setan tak mirip setan, agar setelah kita
kembalikan mereka di kemudian hari, orang-orang itu biar merasakan penyesalan
yang bukan kepalang."
"Apalagi manusia yang bernama Bun Sin-hu itu, hmm, hanya lantaran sedikit top
posisinya di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, dia berani menangkap orang-orang
kita. Hmmm, sekarang putra tunggalnya berhasil kita bekuk, akan kulihat apakah
dia masih berani berulah terhadap kita."
Bicara sampai di sini, kembali dia menyapu sekejap wajah orang-orang itu,
kemudian menambahkan, "Aku ingin tahu, apakah masih ada yang berani berkhianat!"
Tak ada yang menjawab, tak ada yang memberi tanggapan, suasana dalam ruangan itu
sangat hening. "Ting-tauke! Pengurus Ku!" kembali Tio Thiat-leng ber-seru.
"Siap!" sahut Ting Siu-hok dan Ku Han-lim berbareng.
"Aku perintahkan kepada kalian untuk mengumpulkan orang-orang berbakat, apakah
dalam hal ini sudah ada berita-nya?"
"Aku telah menaruh perhatian khusus," sahut Ku Han-lim cepat, "memang ada
beberapa orang yang berkemampuan hebat dan bercita-cita tinggi, hal ini memang
akan kulaporkan kepada Tio-tongcu."
"Dari kalangan akrobatik juga terdapat beberapa orang pesilat yang berbakat,"
Ting Siu-hok segera menimpali, "malah ada dua orang di antaranya merupakan bekas
Piausu yang pindah haluan, aku telah menahan mereka dalam rombongan-ku."
"Bagus, saat ini pihak perkumpulan memang sedang membuka pintu untuk menerima
orang-orang berbakat. Jika kita tidak segera menarik orang berbakat, jika pihak
perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sampai keburu menguasai pihak ekspedisi dan
sekolah tinggi, maka kita tak akan kebagian orang pintar lagi, makanya kalian
mesti berusaha sedapat mungkin merekrut orang. Tahu" Nah, inilah persoalan kedua
yang hendak ku-sampaikan kepada kalian."
"Bila dapat berbakti untuk perkumpulan, mesti mati pun kami tak akan menyesal,"
seru Ku Han-lim segera. "Benar, merupakan satu kehormatan dan kebanggaan bagi kami karena dapat
menyumbangkan sedikit tenaga demi per-kumpulan," sambung Ting Siu-hok.
"Hmm, kami toh tidak menyuruh kalian pergi mampus, apa urusannya dengan
kehormatan atau kebanggaan" Asal tugas dapat kalian selesaikan dengan baik,
pangkat dan posisi dijamin pasti akan naik, sebaliknya jika gagal melaksanakan
tugas, hukuman yang setimpal akan menanti kalian semua. Hal ini merupakan
peraturan perkumpulan dan berlaku terhadap siapa pun."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali Tio Thiat-leng melanjutkan, "Tahukah
kalian, ada seorang yang bernama Si Say-sin telah tiba di sini?"
"Selama beberapa hari terakhir ini, banyak laporan yang telah kuperoleh, kami
tahu memang ada manusia seperti itu yang telah tiba di wilayah Ouw-pak," sahut
Ku Han-lim. "Belakangan, kami malah sempat berpapasan dengannya," sambung Li Tan segera,
"apakah perlu mengirim orang untuk meringkusnya?"
"Aku malah tahu dia tinggal di dalam kuil Ho-song-an dekat jalan Mo-jong-ka,"
kata Ting Siu-hok, "tapi selama ini tidak banyak melakukan tindakan, kami masih menunggu perintah
Tongcu." Tiba-tiba Tio Thit-leng tertawa tergelak.
Ho Tong ikut tertawa. Mereka berdua saling berpandangan dan tertawa terbahak-bahak.
Sambil tertawa tergelak, Tio Thiat-leng menepuk bahu se-orang pemuda yang ada di
belakangnya sembari berseru, "Lote, menurut kau menggelikan tidak?"
"Menggelikan, sangat menggelikan!" sahut pemuda itu sambil tersenyum, senyuman
yang mengandung keangkuhan dan sinis, kemudian kepada para jago lainnya ia
berkata lagi, "Tahukah kalian, Si Say-sin adalah orang berkedudukan cukup tinggi
di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, orang kesayangan So Bong-seng, So-kongcu.
Memangnya kalian bisa berbuat apa terhadapnya"
Justru kedatangan Ho-tongcu kali ini adalah khu-sus untuk menghadapi manusia she
Si itu, nah, persoalan inilah merupakan persoalan ketiga yang ingin disampaikan
kedua orang Tongcu kepada kalian."
Li Tan, Li Ciau-hong, Ting Siu-hok, Ku Han-lim, Li Ya maupun Sim-jit sekalian
hanya bisa tertawa paksa, sementara air muka mereka nampak agak tersipu.
Ho Tong ikut tertawa tergelak, mendadak serunya sekata demi sekata, "Hei orang
yang bersembunyi, sudah cukup belum menguping" Ayo, cepat menggelinding keluar
dari tempat per-sembunyianmu!"
Semua orang merasa terkesiap bercampur heran, mereka tak mengira Ho Tong telah
menemukan seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka.
Ong Siau-sik turut terperanjat, apakah Ho Tong telah me-ngetahui jejaknya"
Baru saja ia bersiap menampakkan diri dari tempat persem-bunyian, tiba-tiba
terlihat Ho Tong mencabut keluar sepasang tangannya dari balik baju, ia mencabut
keluar tangannya seolah sedang mencabut sepasang senjata andalan.
Ternyata dia memiliki sepasang tangan yang sangat aneh, sepasang tangan berwarna
emas. Sambil menggebrak meja ia hisap permukaan meja itu kuat-kuat, kemudian sambil
membalik tangan, dia lemparkan meja itu ke atas atap rumah.
Semua perubahan itu terjadi secepat sambaran petir, selain Ong Siau-sik yang
sempat melihat jelas sepasang tangan aneh-nya itu, para jago yang lain hanya
menyaksikan meja itu tahu-tahu sudah melayang ke atas atap bangunan rumah
bagaikan burung rajawali, sementara lilin yang ada di meja jatuh ke permukaan
tanah, jatuh berjajar secara rapi di lantai tanpa ada sebatang pun yang padam
apalagi patah. "Braak", diiringi suara gemuruh yang keras, meja itu men-jebol atap rumah dan
menembus keluar. Menyusul kemudian tertampak sekilas cahaya golok melin-tas.
Cahaya golok itu berkilau bagaikan untaian berlian yang dikenakan seorang gadis
cantik, cahaya golok yang amat menyilaukan.
Di antara kilatan cahaya tajam dan desingan angin, meja kayu itu hancur
berantakan dan menyebar ke empat penjuru, di antara hancuran serbuk kayu, tampak
sesosok bayangan manu-sia melayang turun dengan entengnya.
Baru pertama kali ini Ong Siau-sik menyaksikan kilauan cahaya golok seperti ini,
cahaya golok yang menghancurkan sebuah meja hingga remuk berkeping.
Terdengar Ho Tong membentak keras, kembali sepasang tangannya menggebrak
permukaan tanah. Kali ini yang mencelat ke udara adalah enam batang lilin yang semula berada di
lantai, enam lilin dengan kecepatan ba-gaikan burung walet meluncur ke muka dan
menghantam tubuh orang itu.


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali lagi cahaya golok berkelebat, dimana sinar golok menyambar, cahaya lilin
seketika padam dan lenyap tak berbekas.
Hanya sebatang lilin tetap utuh, sebatang lilin tetap me-mancarkan cahayanya.
Lilin itu berada dalam telapak tangan orang itu, seperti seekor capung kecil
yang hinggap di daun teratai.
Cahaya golok memantulkan sinar lilin dan menyinari wajahnya yang lembut, cahaya
golok menyinari pula biji mata-nya yang bening dan indah.
Ia melayang turun bagaikan bidadari, indah, lembut dan menawan hati.
Inilah kali pertama Ong Siau-sik berjumpa dengan Un Ji (Kelembutan).
Ketika ia memandang wajah Un Ji, di kolong langit hanya ada sebatang cahaya
lilin yang menerangi wajahnya.
Sebatang cahaya lilin yang berasal dari lilin di telapak ta-ngannya.
Anehnya. Dalam suasana seperti ini, di kala Ong Siau-sik belum sempat melihat
raut wajah orang itu dengan jelas, tiba-tiba ia teringat akan
seseorang. Orang itu tak lain adalah pelajar berbaju sutera yang berdiri di tengah
kerumunan orang banyak sambil menengadah memandang angkasa.
Dia tahu orang itupun sedang bersembunyi di balik kege-lapan, tentunya dia pun
sedang mengawasi cahaya golok itu, mengawasi orang yang melayang turun sambil
membawa se-batang lilin. oooOOooo 4. Siapakah dia sebenarnya"
Pendatang itu memegang golok di tangan kanannya dan membawa lilin di tangan yang
lain, sinar lilin persis menyinari raut mukanya, dia bukan lain adalah pemuda
yang nyaris ber-tumbukan dengan Ong Siau-sik tengah hari tadi di tengah
lapangan. Wajah orang itu nampak lebih indah dan menarik, sorotan cahaya lilin membuat
penampilannya lebih menawan hati.
Kini seluruh penerangan dalam ruangan telah padam, yang tersisa hanya pancaran
sinar lilin yang berasal dari tangannya.
Sementara pihak musuh berkumpul jadi satu di balik kege-lapan bagaikan sebuah
gentong, sorot matanya justru tetap bersinar terang dan berkilauan, hanya
kegembiraan yang meng-hiasi wajahnya, sama sekali tak tersirat perasaan takut
barang sedikitpun. "Ooh, rupanya hanya seorang nona cilik, ilmu golok yang hebat!" hardik Ho Tong
nyaring. Orang itu nampak amat senang ketika mendengar ada orang memuji kehebatan ilmu
goloknya, tapi alis matanya kontan bekenyit begitu mendengar ia disebut "nona
cilik". Dengan suara nyaring tegurnya, "Darimana kau tahu kalau aku adalah seorang nona
cilik?" Begitu perkataan itu diutarakan, semua jago yang semula masih tercengang oleh
kehebatan ilmu goloknya, kini tak kuasa menahan rasa gelinya, semua orang
tertawa terbahak-bahak. Sambil menuding ke ujung hidung sendiri, Ho Tong ber-tanya seraya tertawa,
"Menurut pendapatmu aku ini lelaki atau wanita?"
"Tentu saja lelaki," sahut pemuda itu mendongkol, "me-mangnya manusia macam kau
bisa seorang wanita?"
"Nah itu dia," sahut Ho Tong sambil menirukan nada bicaranya, "kalau kau bukan
perempuan, memangnya manusia macam kau bisa seorang lelaki."
Bicara sampai di situ ia segera menggerakkan tangannya membuat gerakan gundukan
di depan dada sendiri. Gadis itu amat jengkel, sambil mendepakkan kakinya ber-ulang kali ia maju
selangkah sambil menenteng goloknya, kembali serunya, "Kalian manusia busuk dari
perkumpulan Lak-hun-poan-tong memang pintarnya melakukan perbuatan jahat!
Membuat cacad anak-anak, menculik dan menipu bocah, hmmm! Akan kutangkap kalian
semua untuk diserahkan ke kantor polisi!"
"Kau ingin menangkap aku?" Ho tong mundur selangkah sambil menuding ujung hidung
sendiri. "Bukan cuma kau, tapi akan kutangkap semuanya!"
Kembali gelak tertawa bergema memecah keheningan, se-mua orang tertawa geli
karena ucapan itu. Sambil tertawa Ho Tong mengamati ujung golok lawan de-ngan matanya yang setengah
terpicing, sementara dalam hati kecilnya ia tahu jelas bahwa bocah ini sama
sekali belum ber-pengalaman dalam dunia persilatan meski ilmu goloknya cukup
hebat. "Kenapa tidak kubuat dia marah dulu, kemudian baru turun tangan?" demikian ia
berpikir. Mengimbangi pernyataan rekannya tadi, Ku Han-lim ikut bertanya sambil tertawa,
"Buat apa kau menangkap kami se-mua?"
Sementara Ting Siu-hok sambil menjulurkan sepasang tangannya berseru pula, "Kau
ingin menangkap aku bukan" Ayo, tangkaplah! Kalau bisa mati di bawah tangan
bunga botan, jadi setan pun pasti setan romantis ... nona mau memberi hadiah,
sudah sepantasnya kuterima pemberian itu. Silakan, silakan, silakan!"
Kembali semua orang tertawa tergelak, kali ini gelak ter-tawa mereka malah
disisipi perasaan cabul dan jahat.
Hanya Li Tan seorang yang tidak tertawa, ia sadar bahwa semua perbuatan dan
ulahnya yang memalukan telah diketahui lawan, kendatipun dia berbuat begitu
karena perintah perkum-pulan Lak-hun-poan-tong, namun bila berita itu sampai
tersebar luas, dia bersama kelompoknya yang tetap harus menanggung rasa malu dan
nama busuk. Oleh karena itu diam-diam ia mengambil keputusan, apa pun jadinya, dia tak akan
mengijinkan gadis itu berlalu dari situ dalam keadaan hidup.
Mendadak gadis itu mendengus dingin, paras mukanya berubah sedingin salju,
menyusul kemudian tampak cahaya lilin bergetar keras.
"Hati-hati ...!" bentak Ho Tong keras.
Lekas Ting Siu-hok mundur ke samping, "Blaam, blaam!", diiringi suara keras,
kedua orang yang berdiri di belakangnya sudah terpental mundur dari posisi
semula. Menanti ia berhasil berdiri tegak, tampaklah dua buah robekan besar muncul di
jubah bagian pinggangnya.
Pucat pias selebar muka Ting Siu-hok, setelah memper-hatikan sekejap robekan di
atas jubah sendiri, dia mengawasi pula gadis itu sekejap, sadar akan kehebatan
orang, dia tak berani lagi mendekati lawannya.
Bukan hanya dia seorang yang kaget, hampir semua jago yang hadir dalam ruangan
ikut terpana dibuatnya, mereka tidak menyangka kalau si nona memiliki ilmu golok
secepat ini, hanya tampak cahaya lilin bergetar, tahu-tahu tubuh Ting Siu-hok
nyaris terbabat kutung jadi dua bagian, masih untung orang she Ting ini memiliki
ilmu meringankan tubuh yang hebat, kalau tidak, entah apa jadinya.
Ho Tong mendengus dingin, wajahnya berubah amat serius, baru saja dia hendak
turun tangan, tiba-tiba terdengar Tio Thiat-leng menegur, "Apa hubunganmu dengan
So Bong-seng?" Kali ini giliran gadis itu yang melengak, dia balik berseru, "Darimana kau tahu
kalau aku dan Toasuheng ...."
Sadar kalau telah salah bicara, lekas ia tutup mulut.
Tio Thiat-leng manggut-manggut berulang kali, selanya, "Tak heran kalau kau pun
pandai menggunakan ilmu golok bintang Seng-seng-to-hoat dari bukit Siau-han-
san!" "Haah, kalau begitu kau adalah si gadis sakti yang bela-kangan ini menggetarkan
sungai telaga, Siau-han-san-yan (si burung walet dari bukit Siau-han-san) Un Ji,
Un-lihiap?" seru Ho Tong pula.
"Jika kau memang anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, jangan harap malam ini
kau bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat!" ujar Tio Thiat-leng
kemudian, suara-nya keras dan tegas bagaikan emas yang membentur cadas, sorot
matanya setajam sembilu. "Kau salah menduga," dengan lembut gadis itu mendo-ngakkan kepala, "aku bukan
anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, kedatanganku ke kotaraja kali ini adalah
untuk men-cari tahu suatu masalah, ingin menanyakan satu hal kepada Toa-suheng,
kenapa sih urusan jadi makin serius dan gontok-gontokan semakin parah. Cuma ...
jangan kalian anggap lantaran menghadapi jumlah banyak lantas aku takut, justru
aku datang untuk mencari tahu siapa biang keladi perbuatan keji ini, jadi kalian
pun jangan harap bisa kabur dari sini dengan selamat!"
"Kami memang tak bermaksud kabur!" jengek Ho Tong sambil menyeringai seram.
Kawanan jago lainnya ikut tertawa tergelak, meski begitu, setiap orang diam-diam
meningkatkan kewaspadaannya, mere-ka kuatir Un Ji melancarkan serangan lagi
sehingga mereka yang teledor jadi korban.
"Kami justru merasa senang karena Un-lihiap mau meng-antar diri," kata Ku Han-
lim pula sambil tertawa, "jangan kan kabur, kami malah akan menyambut
kedatanganmu dengan senang hati!"
"Ya. Jika Siau-moay dari So-kongcu tertawan, dapat dipas-tikan kejadian ini
merupakan sebuah pahala besar yang jarang dijumpai dalam perkumpulan Lak-hun-
poan-tong," Ho Tong menambahkan.
Begitu ucapan ini diutarakan, serentak para jago merangsek ke depan untuk
melakukan pengepungan, dalam waktu singkat situasi berubah jadi tegang,
tampaknya setiap saat pertarungan bakal meletus.
Li Tan dan Li Ciau-hong tak mau ketinggalan, dengan penuh napsu mereka merangsek
ke muka dan siap melancarkan serangan.
Di antara kawanan jago itu, Ting Siu-hok adalah jago yang paling bernapsu
membekuk gadis itu, pertama karena dia ingin membalas sakit hati karena rasa
malu yang dideritanya tadi, kedua karena dia memang seorang lelaki pemogoran
yang suka pipi licin. Belum sempat Li Tan, Li Ciau-hong dan Ting Siu-hok ber-gerak maju, Ku Han-lim
yang berada di samping arena sudah turun tangan lebih dahulu.
Bagi Ku Han-lim, hanya ada satu alasan mengapa harus segera turun tangan:
Mencari pahala! Dari perkataan Ho tong tadi, ia sadar kalau inilah ke-sempatan emas baginya
untuk mencari pahala, maka tidak menunggu orang lain turun tangan, ia sudah
merangsek lebih dulu ke depan, sepasang tangan dengan kesepuluh jari tangan-nya
segera melancarkan tujuh totokan maut ke tubuh lawan, dia berniat menghabisi
lawannya dalam satu gebrakan.
Kepandaian silat yang dimiliki Li Tan bersaudara serta Ting Siu-hok tidak
selisih banyak dengannya, tentu saja mereka bertiga tak ingin ketinggalan dari
rekannya, maka hampir pada saat bersamaan keempat orang jago tangguh itu
menerkam ke arah Un Ji. Walau sekilas pandang serangan itu dilancarkan berba-rengan, namun kenyataan
ancaman datang secara berurutan, karena Ku Han-lim yang menyerang duluan, maka
dia juga yang pertama kali menghadapi ancaman cahaya golok.
Baru saja tubuhnya bergerak, cahaya golok telah meng-ancam tiba, dengan perasaan
kaget, cepat dia mundur ke bela-kang dan cahaya golok pun ikut lenyap.
Li Tan menjadi orang kedua yang melancarkan serangan, kungfunya memang setingkat
lebih tinggi dari kepandaian Li Ciau-hong, karenanya kendatipun mereka menyerang
secara berbarengan, namun ancamannya sedikit lebih cepat mengan-cam sasaran.
Dengan demikian dia pun menjadi orang kedua yang menerima ancaman cahaya golok
itu. Serangan golok muncul sangat cepat, selain cepat juga amat ringan dan lembut,
selembut hembusan angin semilir, sehalus cahaya rembulan di angkasa.
Serangan yang datang dengan kekuatan dahsyat, bukan ha-langan bagi Li Tan untuk
menghadapinya, tapi menjumpai ancaman golok yang begitu halus, begitu lembut dan
enteng, dia jadi kelabakan dan tak tahu bagaimana mesti menghadapinya.
Dalam keadaan begini, mau tak mau dia harus mundur.
Karena dia mundur, cahaya golok itu mengancam tubuh Li Ciau-hong.
Perempuan itu sangat kaget, dia ingin menangkis tapi ter-lambat, mau menghindar
juga tak sempat lagi, sebaliknya jika merangsek maju sama artinya dia akan
termakan bacokan itu, dalam paniknya segera dia mundur sejauh tujuh langkah.
Kini cahaya golok itu menyongsong datangnya ancaman dari Ting Siu-hok.
Tadi Ting Siu-hok sudah pernah menjajal keampuhan golok Un Ji, rasa ngeri segera
muncul begitu melihat datangnya ancaman, tentu saja dia tak berani ayal lagi,
melihat ketiga orang yang berada di depannya serentak mundur, tanpa memikirkan
soal gengsi lagi dia ikut bergerak mundur ke belakang.
Kembali Un Ji mengobat-abitkan goloknya ke empat pen-juru, kemudian baru ia
menarik kembali serangannya.
Golok masih berada dalam genggaman gadis itu, bahkan lilin pun masih berada di
tangannya secara utuh. Empat jago tangguh ingin mengerubutnya, siapa sangka hanya dalam empat tebasan
golok, keempat orang itu sudah dipaksa mundur secara mengenaskan.
Berhasil menguasai keadaan, Un Ji kembali berpaling ke arah Ho Tong sambil
tertawa cekikikan, nadanya penuh ejekan.
Ong Siau-sik merasa amat kagum dengan kehebatan gadis itu, semakin diperhatikan
dia merasa semakin kesemsem, baru saja dia berniat memperhatikan lebih seksama,
tiba-tiba sesosok bayangan menutupi celah di hadapannya.
Saat itulah ia mendengar seseorang berbisik lirih, berbisik persis di sisi
telinganya, "Bila aku berteriak 'bagus' nanti, kau segera turun tangan, robohkan
Li Tan bersaudara, sementara yang lain serahkan saja kepadaku."
Ong Siau-sik tertegun. Bayangan punggung yang menutupi pandangan matanya itu ternyata tak lain berasal
dari si pelajar yang dijumpai siang tadi, pemuda yang menggendong tangan sambil
menengadah ke angkasa. Dalam pada itu Tio Thiat-leng yang berada di ruangan telah berkata kepada Ho
Tong dengan suara dalam, "Kiu-ko, kelihatannya kau tak bisa menyembunyikan ilmu
Kim-jiu-eng milikmu lagi."
Kedua orang itu saling mengangguk sambil perlahan-lahan bergerak ke depan,
dengan membentuk satu garis lurus, satu di depan yang lain di belakang, mereka
mulai bergerak mendekati gadis itu.
Un Ji dengan wajah dingin dan serius berdiri sambil melin-tangkan goloknya,
setelah mendengus dingin, jengeknya, "Hmmm, kau anggap nonamu takut menghadapi
kalian?" Tio Thiat-leng maupun Ho Tong tidak menjawab, sekali lagi mereka saling bertukar
pandang sambil tertawa keras.
"Engkoh Kiu," ujar Tio Thiat-leng kemudian dingin, "keli-hatannya kita mesti
menangkap betina ini hidup-hidup, setelah itu biar kuserahkan dia kepadamu,
ajari dia agar lebih jinak."
"Hahaha, jangan kuatir, tapi kita mesti hati-hati, kelihat-annya dia hebat
juga." "Apakah sudah waktunya?" tanya Tio Thiat-leng sambil tertawa dingin.
Ho Tong tak langsung menjawab, ia berpaling ke balik kegelapan dan bertanya,
"Bagaimana menurut pandangan sau-dara Pek?"
Terdengar pemuda pelajar yang berdiri menggendong tangan sambil memandang ke
angkasa itu menyahut dengan santai, "Bukankah Ho-tongcu sudah memegang kendali"
Kenapa mesti bertanya lagi kepadaku?"
Berkilat sepasang mata Ho Tong, tiba-tiba ia mengernyit-kan alis matanya
kemudian berseru, "Serang!" Baru saja Un Ji merasakan jantungnya berdebar keras karena kaget, mendadak
telapak tangannya terasa sakit, sedikit saja terpecah perhatian, secepat
sambaran petir Ho Tong sudah mencengkeram golok dalam genggamannya.
Gadis itu membentak nyaring, golok Seng-seng-to yang tajamnya luar biasa itu
segera diputar setengah lingkaran.
Menghadapi senjata mestika yang amat tajam ini, Ho Tong tak berani gegabah, dari
pukulan, cepat sepasang tangannya diubah jadi jepitan, ia berusaha menangkap
senjata itu. "Bagus!" saat itulah pemuda pelajar itu menghardik ny-aring.
Berbarengan dengan suara bentakan itu, Tio Thiat-leng melepaskan sebuah pukulan
ke punggung Un Ji. Bagaimanapun hebatnya gadis ini, sayang pengalamannya dalam menghadapi
pertarungan masih sangat dangkal, rupanya Ho Tong sengaja mengulur waktu tanpa
melancarkan serangan tadi, tak lain karena sedang menunggu lilin yang ada di
tangan Un Ji habis terbakar, ketika cairan lilin yang meleleh menembus telapak
tangan dan menyebabkan si nona kesakitan itulah dia manfaatkan kesempatan itu
untuk merampas golok lawan.
Sementara Tio Thiat-leng yang banyak pengalaman pun tak tinggal diam, dia
manfaatkan juga kesempatan itu untuk men-cabut nyawanya.
Dalam waktu singkat kepalan Tio Thiat-leng sudah tiba di depan dada Un Ji,
tampaknya gadis itu segera akan terluka parah.
Sementara Un Ji terperanjat, tiba-tiba pukulan itu menyam-bar lewat dari sisi
telinganya, kepalan kiri langsung menghan-tam wajah Ho Tong sedang kepalan kanan
menghajar dadanya. Tak ampun wajah Ho Tong terhajar hingga retak, darah segar segera menyembur
keluar dari mulutnya. Un Ji menjerit ngeri, dia merasa kakinya lemas saking kagetnya, apalagi
menyaksikan tulang wajah orang retak persis di hadapannya.


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sungguh dahsyat tenaga pukulan itu, saking kerasnya deru angin serangan itu
membuat api lilin padam seketika. Menanti lilin itu disulut kembali, tampak
seseorang terjerembab jatuh di luar pintu, orang itu tak lain adalah Ku Han-lim.
Padahal api lilin hanya padam sejenak, namun perubahan yang terjadi dalam
ruangan itu luar biasa besarnya.
Kini lilin sudah berada dalam genggaman pemuda pelajar itu, dia masih tetap
berdiri angkuh dan santai, seolah semua kejadian yang berlangsung di hadapannya
sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
Namun di atas lantai telah bertambah dengan beberapa sosok tubuh, orang-orang
itu hampir semuanya roboh terpakar di lantai.
Ku Han-lim, Ting Siu-hok, Li Tan, Li Ciau-hong, Ho Tong beserta seluruh orang
yang dibawanya, kini sudah terkapar semua di tanah. Kalau ingin dibilang ada
perbedaan di antara mereka, maka perbedaan itu terletak pada dua bersaudara Li.
Li Tan dan Li Ciau-hong hanya tertotok jalan darahnya, sementara kawanan jago
yang lain telah kehilangan nyawa secara mengenaskan dalam kegelapan tadi.
Ho Tong telah tewas, dia tewas terhajar sepasang kepalan baja milik Tio Thiat-
leng. Rupanya di saat Ho Tong sedang memusatkan seluruh per-hatiannya untuk menghadapi
Un Ji tadi, rekan perjuangannya, Tio Thiat-leng justru memanfaatkan kesempatan
itu untuk menghabisi nyawanya.
Di saat Ho Tong roboh terjungkal ke tanah dan api lilin mendadak padam itulah,
pemuda pelajar itu dengan gerakan tubuh yang luar biasa cepatnya menotok jalan
darah Ku Han-lim, Ting Siu-hok serta dua belas orang jago lainnya.
Di antara sekian jago, Ku Han-lim berusaha melarikan diri dengan membuka pintu
kamar, tadi tengkuknya segera tersodok telak hingga roboh terkulai, sementara
Ting Siu-hok berusaha kabur dengan menerobos jendela, tapi punggungnya ikut ter-
sodok telak hingga separoh badannya terkulai lemas di atas daun jendela.
Kelompok yang semula memegang kendali akhirnya roboh terkapar secara
mengenaskan, sebaliknya orang yang sama sekali tak terduga justru kini menguasai
keadaan, bahkan yang lebih mengenaskan adalah pihak yang semula pegang kendali,
kini justru tak sanggup berdiri tegak, malah banyak di antaranya yang harus
kehilangan nyawa. Memang begitulah dunia persilatan, seringkali menang kalah ditentukan hanya
dalam sedetik. Ong Siau-sik yang berada di kegelapan hanya sempat mendengar deru angin yang
menyambar lewat, disusul suara manusia yang roboh ke lantai, menanti cahaya
lilin bersinar kembali, ia lihat pemuda pelajar itu masih berdiri santai seolah
belum pernah melakukan serangan.
Tapi Ong Siau-sik tahu, bukan saja dia telah turun tangan bahkan kepandaian
silatnya sangat tangguh, justru dialah meru-pakan tokoh yang paling hebat di
situ. Begitu ia mendengar pelajar itu berseru "bagus", maka sesuai dengan bisikan yang
diterimanya tadi, Ong Siau-sik langsung menerjang keluar dari tempat
persembunyiannya dan menyerang orang yang berada paling dekat dengan posisinya.
Satu-satunya yang tidak dia lakukan adalah melakukan pembunuhan, karena itu dia
hanya menotok jalan darah dua bersaudara Li hingga tak mampu bergerak.
Kendatipun ia telah merobohkan dua orang lawan, hingga kini dia sendiri pun
tidak tahu secara jelas kenapa Tio Thiat-leng tiba-tiba membunuh Ho Tong" Siapa
pula pemuda pelajar itu" Apa hubungannya dengan si nona Un Ji yang muncul seolah
turun dari langit" Sementara dia masih termenung, Tio Thiat-leng sudah menepuk tangan seakan sedang
membersihkan noda darah dari telapak tangannya, kemudian dengan sorot mata yang
tajam dia menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu.
Setelah yakin situasi telah teratasi, dengan nada puas ia baru berkata kepada
pemuda pelajar itu, "Akhirnya semua telah beres."
"Ya, semua telah beres!" sahut pelajar itu tertawa.
"Siapa dia?" tanya Tio Thiat-leng lagi sambil menunjuk ke arah Ong Siau-sik,
menuding dengan jari tangan yang kaku, persis seperti tangan boneka kayu.
"Hingga sekarang aku pun belum tahu, tapi sebentar kita bakal tahu," sahut
pelajar itu sambil tersenyum.
"Ehm, kelihatannya dia sangat berguna," seru Tio Thiat-leng dengan pandangan
kagum. "Orang yang berguna biasanya paling enggan digunakan orang lain."
"Kalau orang berguna tak bisa digunakan, sama artinya dia tak berguna."
"Kalau belum perlu, janganlah digunakan, bila sudah perlu, gunakanlah!"
"Sungguh menyesal saudara Pek," ujar Tio Thiat-leng kemudian, "selama ini aku
hanya bisa menggunakan orang yang berbakat macam kau untuk keperluan kecil,
benar-benar menyia-nyiakan kemampuanmu."
"Tapi hari ini, aku toh melakukannya demi uang seratus tahil perak," sela
pelajar itu sambil tertawa lebar.
"Jangan kuatir saudara Pek, aku akan menambah lima bagian untukmu," seru Tio
Thiat-leng sambil merogoh sakunya.
Pemuda pelajar itu menerima tiga lembar uang kertas, setelah diperiksa di bawah
cahaya lilin, dia masukkan uang itu kedalam saku sambil serunya, "terima kasih
banyak!" Tiba-tiba terdengar un-ji membentak nyaring, "He, siapa kalian" Mau apa kemari"
Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Gadis ini menjadi sewot karena semua yang hadir seakan tidak memperhatikan Tio
Thiat-leng dan Ong Siau-sik, namun semua bersikap begitu acuh, seakan tidak
menganggap kehadirannya disitu.
Lama-kelamaan dia menjadi jengkel hingga akhirnya mengumbar amarah.
Tio Thiat-leng dan pelajar itu saling bertukar pandang sekejap, kemudian bersama
mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Lain halnya dengan Ong Siau-sik, apa yang barusan ditanyakan Un-ji justru
merupakan persoalan yang ingin dia ketahui.
Siapa mereka" Sebenarnya apa yang telah terjadi"
Siapa pula perempuan ini"
Mau apa dia datang kesitu"
oooOOooo 5. Orang membunuh orang "Di luar sana masih ada sedikit persoalan yang harus di-bereskan, rasanya aku
harus segera pergi dari sini?" terdengar Tio Thiat-leng berkata sambil tertawa
dingin. "Silakan Cap-ji Tongcu!" sahut pelajar itu tertawa.
Ketika melihat Tio Thiat-leng sudah tiba di luar pintu, tiba-tiba pelajar itu
berkata lagi, "Ah keliru, seharusnya kusebut kau sebagai Tio-kiutongcu (Tongcu
kesembilan)!" Sekilas perasaan girang melintas di balik mata Tio Thiat-leng, tapi di luar ia
merendah, "Itu kan susah dibilang, harus dibuktikan apakah aku memang bernasib
jadi Tongcu kesem-bilan."
ooOOoo Kini tinggal Un Ji dan Ong Siau-sik saling berpandangan dengan wajah melongo,
kalau Ong Siau-sik merasa makin me-mandang gadis itu semakin menawan hati,
sebaliknya Un Ji makin memandang wajahnya semakin tak habis mengerti.
Hanya pemuda pelajar itu yang tetap berdiri acuh tak acuh, sambil menggendong
tangan dia tetap mendongak memandang angkasa, seakan kehadiran siapa pun di
tempat itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Sampai lama kemudian Un Ji baru berseru nyaring, "He!"
"Kau sedang memanggil aku?" tanya Ong Siau-sik sambil menuding ujung hidung
sendiri. "Tentu saja aku sedang memanggil kau."
"Kau benar sedang memanggil aku?" sekali lagi Ong Siau-sik menuding ke dada
sendiri. Un Ji amat mendongkol melihat tingkah dungu yang diperlihatkan anak muda itu,
teriaknya dengan wajah sewot, "Siapa kau" Siapa namamu" Mau apa kemari" Kelompok
mana yang sedang kau bantu?"
"Aku ...." Ong Siau-sik tidak tahu pertanyaan mana yang mesti dijawab duluan,
untuk ketiga kalinya dia menuding ke tubuh sendiri, "Aku ...... aku pun tidak
tahu." Dengan gemas Un Ji mengayunkan goloknya ke udara, sungguh hebat tebasan itu, Ong
Siau-sik yang berada lima kaki di hadapannya pun ikut merasakan betapa tajamnya
angin serangan itu. "He, siapa sih kamu ini?" teriak nona itu marah, "berani amat kau permainkan
nonamu!" Ong Siau-sik tahu, jika ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya, maka hanya
pemuda pelajar itu yang bisa menerangkan, maka dia pun menghampiri orang itu,
memberi hormat dan menyapa,
"Heng-tay, selamat bersua."
"Kau tak usah sungkan," balas pelajar itu tersenyum.
"Boleh tahu siapa nama Heng-tay?"
Belum lagi pemuda pelajar itu menjawab, Un Ji sudah menyela, "Buat apa mesti
ditanya lagi, dia dari marga Pek."
"Oya" Jadi kau tahu aku dari marga Pek?" pemuda itu mengalihkan sorot matanya ke
wajah si nona, "lantas siapa pula namaku?"
"Peduli amat kau bernama Pek apa," sahut Un Ji sembari menyarungkan kembali
goloknya, "pokoknya aku hanya ingin kau menjawab sejujurnya, kenapa kau membantai orang-
orang itu" Apakah mereka satu komplotan denganmu?"
"Bukankah kau sudah tahu kalau aku dari marga Pek" Jadi banyak bertanya pun
percuma," pelajar itu tersenyum.
Lagi-lagi Un Ji naik darah, tampaknya dia akan melolos go-loknya lagi.
Melihat itu segera Ong Siau-sik berseru, "Boleh aku tahu siapa nama Heng-tay?"
"Oh, aku she Pek bernama Jau-hui, boleh tahu siapa nama-mu?"
"Pek Jau-hui" Pek Jau-hui?" pikir Ong Siau-sik di hati kecil-nya, "semenjak
terjun ke dunia persilatan, aku selalu memperhatikan tokoh-tokoh terkenal dunia
persilatan, tapi rasanya be-lum pernah kudengar nama ini, jangan-jangan dia
adalah jagoan muda yang baru tampil" Kalau tidak, kenapa tak pernah kudengar
namanya?" Meski berpikir begitu, di luar segera dia memperkenalkan diri, "Oh, Cayhe dari
marga Ong bernama Siau-sik, Ong dari kata raja, siau dari kata kecil dan sik
dari kata batu." Sebetulnya Pek Jau-hui ingin menjawab "Selamat bertemu kembali", tapi setelah
merasa nama Ong Siau-sik belum pernah didengar sebelumnya, dia menelan kembali
perkataan itu, ujarnya kemudian, "Cepat betul gerak seranganmu, hanya dalam
waktu singkat dua bersaudara Li telah berhasil kau roboh-kan, tampaknya kungfumu
bukan berasal dari perguruan besar di daratan Tionggoan."
"Ah, saudara Pek terlalu memuji, justru kungfumu yang lebih hebat. Tadi aku
memang sengaja tidak membunuh mereka, karena aku beranggapan kejahatan mereka
belum sepantasnya diganjar dengan hukuman mati."
Pek Jau-hui menghela napas panjang, "Ai, jika kita biarkan satu saja di antara
mereka pulang dalam keadaan hidup, bukan cuma kau dan aku, bahkan Tio-kiutongcu
pun akhirnya akan tewas di tangan orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong."
"Tapi ... bukankah di antara orang-orang itu masih ada yang terhitung berhati
baik, tidak berniat melakukan kejahatan, apakah orang semacam inipun harus
dibunuh?" "Bila aku tidak membunuh mereka, merekalah yang akan membunuhku, biar salah
bunuh, kita tak boleh melepaskan mereka begitu saja, apalagi orang-orang itu
sudah kelewat banyak melakukan kejahatan, jadi dibunuh pun tidak keliru."
"Kita manusia, mereka pun manusia, kita semua ingin hidup terus, begitu juga
dengan mereka, bila hanya dikarenakan alasan itu lalu kita membunuhnya, bukankah
di kemudian hari mereka pun bisa menggunakan alasan yang sama untuk membunuh
kita" Entah bagaimana menurut pendapat saudara Pek?"
Pek Jau-hui kontan tertawa dingin.
"Kita hidup dalam dunia yang kejam, siapa lemah dia tertindas siapa kuat dia
pegang kekuasaan, bila suatu ketika kita yang terjatuh ke tangan mereka,
sekalipun kita memiliki alasan yang kuat, alasan yang masuk akal pun, belum
tentu mereka akan membebaskan kita. Aku rasa siapa yang harus dibunuh tetap
mesti dibunuh, siapa yang sudah saatnya mati dia tetap harus mati."
"Tapi bila kau tidak membunuhnya, dia pun tak ada alasan untuk membunuhmu,
bukankah semua pihak dapat hidup secara aman damai?" seru Ong Siau-sik serius.
"Pendapatmu keliru besar," bantah Pek Jau-hui serius, "asal di tempat itu ada
manusia, asal manusia yang satu berkumpul dengan manusia yang lain, tak bisa
dihindari kalau bukan kau yang membunuh aku, akulah yang akan membunuh kau, ada
orang membunuh dengan darah berceceran, ada pula orang membunuh tanpa kelihatan
darah. Ada orang membunuh sambil tertawa, membunuh sebagai satu kesenangan, ada
pula yang membunuh dengan linangan air mata, membunuh karena terpaksa. Ada pula
orang yang tak pernah membunuh sesa-manya, tapi apa yang diperbuat jauh lebih
menyakitkan dari-pada membunuh. Ada pula orang yang hidup karena menunggu
dibunuh orang lain. Dunia yang kau bayangkan selama ini, sebenarnya hanya ada
dalam hatimu sendiri, dunia luar jauh berbeda dengan bayanganmu."
"Kenapa sih kalian meributkan terus soal bunuh membunuh," sela Un Ji tiba-tiba,
"kau anggap kita semua ini manusia atau bukan?"
Sudah sedari tadi nona ini menahan diri, baginya, kesabaran yang ia perlihatkan
saat ini sudah mencapai puncaknya. Mencapai pada taraf dimana ia sendiri pun
memuji atas kemampuan sendiri.
Padahal sejak kecil ia sudah terbiasa hidup manja, dia harus paling menang,
harus paling diperhatikan, pernah gara-gara tidak dibelikan sebuah lentera waktu
diajak ibunya menonton keramaian, ia menangis menjerit-jerit hingga seluruh
orang datang berkerumun. Pernah juga gara-gara seekor burung hua-bi nya terlepas dari sangkar, dia
mengumbar amarah dengan menghancurkan sebelas macam benda antik yang tak
ternilai harganya, merusak enam lembar lukisan kenamaan dan menghancurkan cermin
Persia kesayangan kakeknya.
Kenakalannya semakin memuncak ketika suatu saat dia menggunakan cap kepangkatan
milik ayahnya untuk menimpuk seekor anjing hingga cap itu hancur berantakan.
Ketika mulai belajar silat di gunung Siau-han-san, semua anggota perguruan pun
menaruh hormat kepadanya, gurunya juga amat sayang kepadanya. Kesemuanya ini
membuat Un Ji sudah terbiasa dimanja, manja yang membuatnya sering bertindak
semena-mena. Di luar dugaan, saat ini dua orang lelaki yang berada di hadapannya sama sekali
tak memandang sebelah mata pun kepadanya, bisa dibayangkan betapa mendongkol dan
gusarnya gadis itu. Jeritan Un Ji seketika membuat Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik tertegun, setelah
selang beberapa saat kemudian Pek Jau-hui baru berkata sambil tertawa, "Kau tak
usah marah, kami pun tahu kalau kau adalah seorang pendekar wanita kenamaan,
seorang pendekar sejati yang selalu menegakkan keadilan dan kebenaran, kami
malah tahu kalau kau adalah murid paling kecil, murid paling disayang dari Ang-
siu Sinni, Ciangbunjin partai Siau-han-san, bukankah begitu Un Ji, Un-lihiap?"
"Darimana kau bisa tahu sejelas itu?" tanya Un Ji kehe?ranan.
Pek Jau-hui tidak menjawab, dia hanya tersenyum.
Menggunakan kesempatan ini Ong Siau-sik bertanya pula, "Saudara Pek, aku merasa
sangat bingung dengan keadaan di sini, bersediakah kau memberi penjelasan?"
"Sudah pernahkah kau mendengar tentang perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Pek Jau-
hui balik bertanya. "Dalam perjalanan menuju kemari, aku banyak mendengar tentang hal ini, bukankah
perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah sebuah organisasi yang amat berpengaruh di
kota Kay-hong?" "Kau pernah juga mendengar tentang perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?" kembali Pek
Jau-hui bertanya. Ong Siau-sik manggut-manggut.
"Ya, perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau adalah organisasi nomor wahid yang banyak
disanjung jagoan baik dari golongan putih maupun golongan hitam."
"Nah itulah dia, orang kuno bilang, di dalam satu gunung tak bisa ditempati dua
ekor harimau, kalau kedua belah pihak sama-sama ingin jadi nomor wahid, lalu
siapa yang paling pantas disebut nomor satu" Perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah
dua puluh enam tahun menguasai dunia persilatan, sudah barang tentu mereka tak
akan membiarkan pengaruh dan kekuatan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau bertambah
besar dan kuat. Sebaliknya pihak perkumpulan angin emas hujan gerimis tumbuh
amat pesat, perkembangannya di luar dugaan, tak aneh bukan jika mereka pun
berusaha menggeser posisi perkumpulan Lak-hun-poan-tong agar bisa mereka
gantikan?" Setelah berhenti sejenak, sambil menuding ke arah mayat yang berserakan, Pek
Jau-hui berkata lebih jauh, "Peraturan lama tetap berjalan dimana pun,
akhirnya ...... siapa kuat dia jadi raja, siapa lemah dia harus jadi seorang
bandit." "Berarti Tio-kiutongcu yang barusan berlalu tadi adalah anggota perkumpulan Lak-
hun-poan-tong?" tanya Ong Siau-sik.
"Dia?" Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba ia berpaling keluar kamar


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil teriaknya, "Tio-tongcu, bukankah kau yang lebih pantas menjawab pertanyaan ini?"
Tio Thiat-leng si manusia persegi empat yang semula sudah berlalu, kini muncul
kembali seraya membuka pintu, sahutnya jujur, "Sampai sekarang aku malah belum
tahu siapakah dia sebenarnya."
Kalau dilihat tingkah lakunya yang sopan, polos dan jujur, siapa pun tidak akan
menyangka kalau tadi ia telah melakukan pembunuhan secara keji.
Mendengar pertanyaan itu, Ong Siau-sik segera menjawab, "Aku hanya seorang Bu-
beng-siau-cut, seorang ingusan yang baru terjun ke dalam dunia persilatan!"
Dengan sorot matanya yang tajam Tio Thiat-leng mengawasi wajah bocah muda itu
sekejap, tiba-tiba tanyanya lagi, "Kau ingin kaya raya" Ingin punya kedudukan"
Ingin punya nama besar?"
"Tentu saja ingin, tentu saja mau!" sahut sang pemuda tanpa ragu.
"Kau berbakat, punya kungfu hebat, asal mau mengikuti aku, di kemudian hari kau
pasti akan berhasil."
"Aku toh tidak tahu siapakah dirimu, kenapa harus mengikuti kau?"
"Aku adalah Tongcu kedua belas dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Dengan
posisiku sekarang, belum tentu aku mau menerima orang lain jadi pengikutku walau
mereka merengek-rengek."
"Tapi kenyataannya, mereka yang bekerja untukmu akhirnya tewas juga di
tanganmu." "Hmmm, sebaiknya kau sadar akan situasi yang sedang kau hadapi saat ini,
sebentar aku harus balik ke perkumpulan Lak-hun-poan-tong, memangnya kau anggap
aku akan membiarkan kau tetap hidup lalu menyebar luaskan berita ini di luar?"
"Ooh, jadi kau ingin membunuhku untuk membungkam mulutku?" jengek Ong Siau-sik
sambil tertawa menjengek.
Sejak tadi Un Ji sudah tak kuasa menahan diri, maka begitu mendengar bakal ada
gara-gara yang terjadi, cepat ia maju ke depan, seolah kuatir tak mendapat
bagian, dia maju dengan wajah garang.
"Eei, jangan lupa, aku pun ikut mendengarkan semua pembicaraan kalian,"
teriaknya keras, "jadi ada baiknya aku pun sekalian dibunuh."
Tio Thiat-leng tersenyum, dengan wajah menghormat sahutnya, "Un-lihiap, aku
bilang tak ada pembunuhan lagi di sini, apalagi kau, masa akan kubunuh juga?"
"Kenapa kau tidak membunuhku?" tanya Un Ji melengak.
Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Sudah begitu banyak orang yang kubunuh, masakah
nona Un masih belum tahu kalau aku sebenarnya bekerja untuk Suhengmu?"
"Haaah, jadi kau ... kau adalah jagoan dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau!"
Dengan pandangan geli Pek Jau-hui memandang Un Ji sekejap, lalu ujarnya kepada
Ong Siau-sik, "Kelihatannya bila malam ini kau ingin lolos dari sini dalam keadaan selamat,
paling tidak kau mesti mengunjuk kebolehanmu terlebih dulu."
Dalam pada itu Tio Thiat-leng telah berkata lagi kepada Un Ji dengan suara
lembut, "Sebenarnya bukan cuma dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong ada orang
kita yang menyusup, mungkin ada pula orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang
menyusup ke tubuh perkumpulan kita, ada di antara mereka yang bisa ditemukan,
tapi banyak yang masih tersembunyi. Sudah umum kejadian semacam ini ditemukan
dalam pertarungan antara dua kubu. Masalahnya hanya siapa tangguh dia menang,
siapa lemah dia akan ketahuan. Bukan sesuatu yang luar biasa."
Kemudian sambil berpaling ke arah Ong Siau-sik, tegur?nya, "Sudah kau dengar
dengan jelas?" "Sudah!" "Kini rahasiaku sudah terbongkar, terhadap Pek Jau-hui aku tak perlu kuatir
karena dia adalah sahabatku, aku percaya penuh padanya, sementara Un-lihiap
adalah orang sendiri, tentu saja aku tak boleh membunuhnya, tinggal kau
"Tinggal aku seorang yang tahu kalau kau pun bukan Tio Thiat-leng, bukan
begitu?" tukas Ong Siau-sik tanpa berubah wajah.
Berubah hebat paras muka Tio Thiat-leng begitu selesai mendengar perkataan itu,
dengan melompat dia menerkam ke muka, lalu bentaknya, "Apa kau bilang?"
Begitu keras bentakan itu, bukan saja membuat cahaya lilin bergetar keras bahkan
Setan Cebol Penyebar Maut 3 Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai Samurai Pengembara 5 1
^