Pencarian

Golok Maut 17

Golok Maut Karya Batara Bagian 17


ajaib, wajah Beng Tan mendadak
dilihatnya begitu mencorong dan gagah serta bersinar-sinar, begitu bersinar-
sinar dan gagah hingga ia bengong. Beng Tan tiba-tiba dilihatnya jauh lebih
gagah dan tampan daripada sebelumnya. Pemuda itu mengeluarkan cahaya
yang membuat wajahnya seperti dewa. Ah, mendecak gadis ini, Kagum! Tapi ketika
dia terbelalak dan bengong
memandang kekasihnya maka Beng Tan, yang juga berdiri dan memandang kekasihnya
itu tiba-tiba dibuat bengong dan kagum karena wajah Swi Cupun bersinar-sinar dan
cemerlang seperti bulan purnama. Wajah itu menjadi
gemilang dan hidup dan Beng Tan melihat kecantikan luar biasa yang belum pernah
dilihat sebelumnya. Kekasihnya itu tiba-tiba menjadi cantik jelita dan Beng Tan
bengong, takjub. Wajah gemilang itu serasa seorang dewi saja dan bukan manusia.
Ah, Beng Tan melongo dan terbuka
mulutnya. Wajah sang kekasih yang mendadak begitu
cantik jelita dan gemilang membuat dia mendelong. Wajah itu seolah Swi Cu dalam
ujudnya yang baru, Swi Cu yang cantik jelita dan anggun, bak dewi kahyangan!
Tapi ketika dua muda-mudi itu sama-sama takjub dan masing-masing
bengong memandang pasangannya, yang tiba-tiba begitu
cantik dan gagah perkasa melebihi yang sudah-sudah maka tawa Bu-beng Sian-su
menyadarkan dan mengejutkan
keduanya bahwa di situ masih ada orang ketiga.
"Beng Tan, kalian bengong saja saling pandang" Kalian tidak segera memberi tahu
maksud kedatanganmu?"
"Ah-ah!" Beng Tan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, kembali menghormat.
"Teecu datang memang membawa sesuatu keperluan, Sian-su. Maaf bahwa teecu tidak
memberi tahu dulu!" "Hm, bangkitlah. Tak usah berlutut!" tangan itu bergerak, menyentuh pundak. "Aku
tahu kedatanganmu, Beng Tan, tapi tidak tahu siapa gadis ini. Apakah dia
temanmu?" "Beb.... benar..." Beng Tan tergagap. "Dia... dia Swi Cu, Sian-su. Kekasih
teecu, calon isteri teecu!"
"Hm, baiklah, calon isterimu kiranya," kakek itu tersenyum, menghadapi Swi Cu
"Benarkah, nona" Kau calon isteri Beng Tan?"
"Beb..... benar....!" Swi Cu ikut tergagap, tiba-tiba merah padam.
"Aku... aku Swi Cu, Sian-su.... datang menghaturkan hormat!"
"Sudahlah," kakek itu juga menarik berdiri. "Kau berdua tak perlu takut-takut,
nona. Beng Tan tentu telah memberi tahu padamu bahwa aku adalah kakek yang
sederhana saja. Marilah, duduk dan ceritakan maksud kalian datang ke
mari." Swi Cu terkejut. Sang kakek mengibaskan lengan dan
tiba-tiba segumpal mega, atau asap putih, menderu di
bawah mereka. Dan ketika dia terkejut dan sang kakek
tertawa tahu-tahu dia dan Beng Tan sudah jatuh terduduk dan sudah berada di atas
gumpalan mega ini, yang ternyata empuk dan dingin, seperti bantal!
"Tanah itu kotor, dan bumi juga kotor. Sebaiknya kita ke tempat yang enak dan
bicara di tempat yang bersih!"
Swi Cu membelalakkan mata. Sang kakek mengibaskan
lengannya sekali lagi dan muncullah bantalan mega itu, tepat di bawah sang
kakek. Dan ketika Bu-beng Sian-su duduk dan melipat kakinya, bersila, maka kakek
itu berseru bahwa mereka tidak di atas bumi iagi. Swi Cu berteriak karena tiba-
tiba bantal mega yang diduduki bergerak,
melayang dan sudah mengikuti si kakek terbang ke angkasa.
Dan ketika Beng Tan di sana juga terkejut dan
mengeluarkan seruan tertahan maka dua muda-mudi itu
sudah mengikuti Bu-beng Sian-su ke langit, terbang,
mungkin ke tempat para dewa!
"Heii...!" gadis ini pucat. "Aku... aku takut, Beng Tan.
Kita meluncur dan terbang ke langit!"
"Tenanglah," suara Bu-beng Sian-su terdengar lembut di depan. "Kalian tak apa-
apa, nona. Bantal itu akan melekat penuh di kakimu, tak akan lepas. Aku ingin
mengajak kalian ke tempat yang tenang dan jauh dari keramaian
manusia. Duduk sajaiah di situ, tak usah melihat ke
bawah!" Swi Cu ngeri. Segera dia menutup mulut rapat-rapat dan tak memandang ke bawah
lagi. Memang benar, dia menjadi ketakutan dan ngeri ketika tadi melihat ke
bawah. Bantal ajaib itu membawanya terbang ke langit dan Lembah
Malaikat tampak di sana, jauh di bumi, kecil dan akhirnya
tak dapat dilihat secara jelas lagi karena dia sudah terbang bersama kakek dewa
itu. Beng Tan ada di sampingnya dan untunglah kekasihnya itu tak berada jauh.
Bantal merapat dan tiba-tiba keduanya sudah bersatu. Terbang dan berada di
angkasa bebas seperti dongeng begini barulah kali itu dialami Swi Cu. Gadis ini
terisak dan gembira namun juga tegang. Bayangkan, bagaimana kalau dia jatuh!
Tapi ketika Beng Tan berbisik bahwa dia tak usah takut, Sian-su akan melindungi
dan menjaga mereka maka menangislah gadis
ini penuh bahagia. "Oh, aku... ah... baru sekali ini mengalami hal seperti ini, Tan-ko. Gurumu
benar-benar luar biasa dan bukan manusia lagi. Ah, dia memang dewa, kakek dewa.
Tapi ke mana kita akan dibawa" Ke tempat para malaikatkah?"
"Aku tak tahu," Beng Tan menggeleng "Yang jelas tentu ke tempat yang baik, Cu-
moi. Sudahlah kau duduk saja dan peluk aku rapat-rapat. Pejamkan matamu kalau
takut!" Hal itu sudah dilakukan Swi Cu. Gadis ini memang takut tapi juga
gembira. Takut-takut gembira, begitulah barangkali. Dan ketika dia mendekap tubuh Beng Tan dan bantal mega itu, terus
melayang dan mengikuti Sian-su, mirip selempang Aladin maka tibalah mereka di
suatu tempat yang sukar disebut namanya. Tempat itu seperti taman di tengah surga,
pohon warna-warni ada di situ dan Beng Tan takjub melihat ini. Daun yang ada di
situ bukan hanya berwarna hijau melainkan berwarna-warni. Biru,
hitam dan putih. Bahkan, ada yang jambon dan perpaduan dl antara tujuh warna
sinar pelangi. Beng Tan takjub dan bingung, untuk menentukan warna apakah yang
dilihatnya itu. Pokoknya, bukan warna yang ada di bumi. Semuanya lebih indah dan
jauh lebih mempesona daripada di bumi.
Warna itu tak dapat dilukiskan atau digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya,
indah dan mentakjubkan. Titik! Dan
ketika Beng Tan bengong dan takjub memandang semua itu maka Swi Cu, yang juga
sudah membuka mata dan melepaskan diri dari kekasihnya berseru kagum tak dapat menahan mulut.
"Luar biasa... mentakjubkan! Ah, seperti Taman
Firdaus...!" "Benar," Beng Tan tiba-tiba teringat kitab suci. "Taman ini seperti Taman
Firdaus, Cu-moi. Dan pohon-pohon itu, ah... mereka dapat bergerak... menari!"
Swi Cu membelalakkan matanya., Tiba-tiba pohon yang
ada di situ mendadak semuanya bergoyang, bergerak dan sudah berpindah-pindah
tempat. Mereka seolah bermain
satu sama lain, atau mungkin menari-nari, karena pohon yang daunnya putih dan
hitam berlenggak dan berlenggok.
Dahan dan ranting mereka saling bergerak maju mundur.
Itulah pemandangan yang seumur hidup belum pernah
mereka saksikan. Seperti dongeng! Tapi ketika mereka
terbelalak dan takjub serta bengong tak habis-habisnya maka Bu-beng Sian-su
tertawa dan menyadarkan mereka.
"Beng Tan, mari sini. Inilah tempat yang enak, bebas dari pengaruh hawa nafsu
manusia." Beng Tan terkejut. Segera dia sadar dan turun dari bantal meganya itu, lupa
tidak menginjak tanah tapi bengong
karena kakinya menapak di sesuatu yang lembut, seperti awan atau beludru tebal,
lunak. Entahlah, tak tahu dia apa namanya itu tapi pemuda ini sudah menghampiri
Sian-su. Kakek itu sudah bersila dan wajahnya yang bersinar tampak semakin bersinar saja,
tidak menyilaukan namun tetap saja Swi Cu dan Beng Tan tak dapat menembus kabut
atau halimun di wajah sang kakek. Dan ketika Beng Tan duduk dan Swi Cu menyusul,
heran dan terkagum-kagum maka
kakek itu bertanya apa yang hendak dibicarakan pemuda itu.
"Teecu.... teecu hendak meminta jawaban tentang syair.
Juga sekalian memberi tahu bahwa Golok Maut tewas!"
"Aku tahu," kakek itu tersenyum, menghela napas.
"Kematian Golok Maut sudah kuketahui dulu-dulu, Beng Tan. Dia telah menentukan
garis nasibnya sendiri. Hm, akibat dendam!"
"Dan teecu akan bertanya tentang syair....."
"Nanti dulu!" Swi Cu tiba-tiba memotong. "Aku hendak bertanya tempat apakah ini
namanya, Sian-su. Bagaimana begini mempesona dan mentakjubkan. Semua nya serba
lain dengan di bumi!"
"Hm, ini adalah It-thian (Langit Pertama)."
"It-thian?" "Ya, perpindahan pertama kalinya dari alam kasar ke alam halus, nona. Sebelum
menaiki jenjang-jenjang berikutnya." "Ih, tempat orang mati?"
"Bukan orang mati saja, melainkan segala yang ada di bumi, tanaman dan binatang.
Sudahlah, kau tak akan mengerti dan sebaiknya kita ikuti pertanyaan Beng Tan ini."
Swi Cu ngeri. Tiba-tiba dia mengkirik dan memandangi
pohon-pohon yang menari-nari itu. Jangan-jangan itu
adalah pohon yang mati di bumi dan kini "hidup" di tempat ini. Atau, mungkin roh
orang yang "nyasar" ke pohon itu.
Hii, merinding dia! Dan ketika dia mencekal lengan Beng Tan erat-erat dan tanpa
terasa menjadi takut dan ngeri maka Bu-beng Sian-su tersenyum memandang pemuda
itu, yang juga pucat dan berkeringat!
"Kau takut?" "Tidak, tapi... tapi... ah, berada di suatu tempat yang asing untuk pertama
kalinya memang terasa menyeramkan, Sian-su. Tapi ada kau di sini. Aku tak
takut!" "Hm, perasaan itu adalah wajar. Tapi mereka semua adalah sahabat. Lihatlah, tak
ada satupun di antara mereka yang mengganggu. Lihat mereka tersenyum padamu!"
Beng Tan melongo. Pohon-pohon yang tadi bergerak dan
menari-nari mendadak menghadap ke arahnya semua.
Mereka menunduk dan.... tersenyum padanya. Ah, tidak.
Mereka tak mempunyai mulut. Tapi, ah... dapat tersenyum!
Bagaimana ini" Beng Tan bingung karena tak dapat
menerangkan. Hal itu memang ganjil dan sukar dilukiskan kata-kata. Tapi, senyum
itu... ah, dia dapat merasakannya jelas. Senyum itu seperti gunung yang segar
menyambut manusia, atau ombak yang lembut di pesisir yang halus.
Senyum itu memang lain dengan senyum manusia tapi
getaran hangat itu dirasanya. Itulah senyum Cinta Kasih!
Beng Tan tak tahu ini tapi getaran cinta kasih itu dirasanya, ditangkapnya, Dan
ketika Bu-beng Sian-su tertawa dan
memberi tahu bahwa pohon dan semua yang ada di situ
sedang menyambut Beng Tan dengan gembira, sebagaimana layaknya seorang tamu memasuki rumah
orang lain maka kakek itu mengajak lagi ke pembicaraan semula.
"Kau akan tahu kelak, akan mengerti bagaimana cara mereka bercakap-cakap atau
berkomunikasi. Marilah, lanjutkan pembicaraanmu, Beng Tan. Kita memiliki batas waktu di sini."
Beng Tan sadar. Akhirnya dia merasakan juga
kebutuhan akan pembicaraan pokok itu, tentang syair. Dan ketika dia bersinar-
sinar dan mengeluarkan lipatan surat
yang selalu disimpannya rapi maka pemuda ini mulai
dengan sikapnya yang serius, sudah dapat mengatasi
perasaannya yang berdebar-debar bahwa dia berada di
Langit Pertama, tempat perpindahan dari alam kasar ke alam halus!
"Teecu hendak menanyakan tentang isi syair ini, juga bertanya bagaimana Golok
Maut juga mempunyai atau membawa syair yang sama!"
"Hm, syair yang manakah itu, Beng Tan" Dapatkah kau membacanya?"
"Inilah..." Beng Tan memperlihatkan, juga sekaligus meminta sebuah syair lain
yang disimpan Swi Cu, karena kekasihnya itu membaca dan menyimpan syair yang
dimiliki Si Golok Maut. "Teecu tak dapat menemukan inti jawaban syair ini, Sian-su. Dan teecu gagal
memenuhi permintaanmu!"
"Hm, bacalah. Atau, biar kekasihmu saja yang membaca, tentu lebih merdu dan
nyaring!" Swi Cu semburat. Beng Tan memandangnya tersenyum
dan tak jadi meminta syair yang dibawanya. Pemuda itu menyerahkannya kepadanya
dan Swi Cu terpaksa membaca. Dan ketika lipatan surat sudah dibuka dan Swi Cu membacanya, sudah
dapat menekan perasaannya yang
berdebar-debar dan kagum tapi juga gentar seperti yang tadi dirasa Beng Tan maka
gadis ini sudah mengeluarkan
suaranya yang merdu dan nyaring, lantang tapi sedap
didengar teiinga: "Bukan benang sembarang benang halus menawan di kiri kanan kalau dijaga
menimbulkan senang kalau rusak menimbulkan dendam inilah benang yang minta
perhatian!" "Hm, itu kiranya," Bu-beng Sian-su tersenyum mengangguk-angguk, tertawa. "Benar sekali pertanyaan yang kaubawa, Beng Tan.
Sesuai dengan apa yang ada.
Baiklah, akan kujawab!" dan ketika kakek itu bersinar dan tajam memandang Beng
Tan, yang harus menunduk dan
tak kuat menghadapi sorot cahaya yang tiba-tiba menembus di balik kabut maka
kakek itu bertanya apa yang dilihat pemuda ini.
"Teecu tak melihat apa-apa, tak tahu apa-apa!"
"Hm, jangan terburu menjawab," kakek itu tersenyum menegur, menghadapi Swi Cu.
"Kau sendiri juga tak tahu, nona" Seperti Beng Tan?"
"Aku... aku juga tak tahu, tak mengerti!"
"Kalian akan mengerti kalau sudah tahu, dan kalian akan tahu kalau sudah
mempelajari. Baiklah, syair ini sederhana saja. Seluruh kekuatan yg bertumpu
pada Si Golok Maut!"
"Maksud Sian-su?" Beng Tan tertegua "Apakah hendak membicarakan yang sudah
mati?" "Ah, tidak. Bukan begitu," kakek ini tertawa. "Yang sudah mati tak perlu
dibicarakan, Beng Tan. Tapi apa yang pernah terjadi perlu disimak dan direnungi
hikmah nya!" "Teecu masih tak mengerti," Beng Tan bicara, bingung.
"Dan aku juga...." Swi Cu menyambung, sama-sama bingung.
"Baiklah, perhatikan ini, anak-anak. Jawaban syair sebenamya hanya satu kata-
kata saja. Tapi karena

Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjelaskan begitu saja tak akan mengesankan maka
baiklah kalian kubawa berputar-putar sedikit."
Beng Tan dan Swi Cu terbelalak. Mereka tak mengerti
maksud kakek itu dan Swi Cu tiba-tiba bangkit berdiri. Kata
berputar-putar dikiranya hendak berjalan-jalan, kakek itu terkejut tapi tertawa
menyuruhnya duduk lagi. Bukan begitu yang dimaksud kakek ini. Dan ketika Bu-beng
Sian-su mengebutkan lengan dan menarik napas dalam maka yang
meluncur adalah pertanyaan-pertanyaan juga, sebagai
sendal pancing! "Kalian tahu apa yang dimaksud benang di situ" Kalian tak melihat hubungannya
dengan Si Golok Maut?"
"Tidak." "Baiklah, kalau begitu kutanya Beng Tan," kakek ini menghadapi Beng Tan, yang
tiba-tiba berdebar dan gelisah.
"Dulu sudah kuberi tahu bahwa inti syair berada pada kisah ini, Beng Tan. Kisah
Si Golok Maut. Sekarang kau
ceritakanlah apa yang kauketahui tentang pemuda itu."
"Sin Hauw pemuda yang ganas dan kejam, telengas!"
"Bukan, bukan itu. Menjawab ekornya tak akan
menemukan pokok persoalannya. Kutanya kau kenapa Sin
Hauw telengas dan kejam!"
"Dia... dia...." Beng Tan tiba-tiba terkejut, gagap. "Aku...
aku tak tahu kenapa dia kejam, Sian-su. Tapi yang jelas akibat dendam!"
"Bagus, dan kau, nona?" Bu-beng Sian-su tiba-tiba menoleh pada Swi Cu,
mengejutkan sang gadis. "Kau juga melihat begitu" Kau membenarkan kata-kata Beng
Tan ini?" "Ya!" Swi Cu mengangguk, tergetar tapi dapat mengikuti pertanyaan orang. "Golok
Maut memang kejam karena dendam, Sian-su. Dan suciku juga sudah menceritakan
tentang itu!" "Sucimu?" "Dia sumoi dari Hek-yan-pangcu Wi Hong," Beng Tan tiba-tiba menjelaskan. "Dan Wi
Hong adalah kekasih Golok Maut, Sian-su. Swi Cu mengetahui itu dari sucinya!"
"Hm, bagus kalau begitu. Kita sejalan!" kakek ini berseri-seri, tiba-tiba
gembira. "Dan kudesak kalian lagi kenapa Golok Maut dendam, Beng Tan. Apa
sebabnya dia menjadi dendam!"
"Dia marah kepada Coa-ongya!"
"Dan juga Ci-ongya!" Swi Cu menyambung, mulai tertarik, mendengarkan dan entah
kenapa tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan yang dilancarkan kakek itu menggugah minatnya untuk mengetahui. Swi Cu berbicara cepat dan Bu-beng Sian-su
pun tersenyum. Dan ketika
kakek itu tertawa dan bertanya kenapa Golok Maut marah, maka Swi Cu dan Beng Tan
hampir serentak menjawab bahwa karena Golok Maut itu ditlpu dan dihina Coa-ongya.
"Ha-ha, bagus. Sebutkan lagi. Ulangi!"
"Golok Maut marah karena ditipu dan dihina Coa-
ongya!" "Juga Ci-ongya!"
"Dan kalian tahu bagaimana rasanya orang ditipu?"
Beng Tan tertegun. "Marah, gusar..."
"Dan cukup itu saja?"
"Eh," Beng Tan melengak. "Kukira itu saja, Sian-su, tak ada lain...."
"Hm, kau mengukur baju orang dengan bajumu sendiri."
"Maksud Sian-su?"
"Kau hendak membandingkan perasaanmu dengan
perasaan Si Golok Maut itu, Beng Tan. Kau berkata hanya
itu saja karena memang itulah yang kau rasakan dari
perbuatan kaisar!" "Eh!" Beng Tan terkejut. "Aku tak mengetahui maksud kata-katamu, Sian-su. Kenapa
kaisar dibawa-bawa!"
"Hm, bukankah kaisar juga menipumu" Bukankah orang yang berkedok hitam itu juga
menipumu" Tak usah mengelak. Aku tahu semua apa yang terjadi, Beng Tan.
Dan aku tahu betapa kau marah-marah dan gusar kepada
kaisar karena secara diam-diam mengijinkan Coa-ongya
menyerbu Lembah Iblis, padahal sebelumnya kaisar berjanji padamu untuk
menyerahkan Si Golok Maut itu kepadamu
seorang!" Beng Tan kaget. Pemuda ini tiba-tiba mencelat bangun
dan pucat memandang kakek itu. Bu-beng Sian-su ternyata mengetahui rahasia itu.
Rahasia kemarahannya kepada
kaisar dan terlebih kepada si Kedok Hitam. Ah, dia lupa bahwa kakek ini memang
kakek maha sakti yang seolah
mengetahui segalanya. Bu-beng Sian-su adalah manusia
dewa yang bakal mengetahui apa saja, semut di lubang
bumi sekalipun! Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan matanya lebar-lebar maka kakek itu berkata agar Beng Tan duduk
kembali, menggapaikan lengannya.
"Duduklah, dan tak usah bengong. Aku tahu bahwa
kaupun tahu siapa si Kedok Hitam itu, menyembunyikannya dari semua orang. Tapi karena belum ada sesuatu yang direnggut
darimu dan apa yang kaualami hanyalah secuil dari apa yang dialami Sin Hauw maka
kemarahanmu hanya berhenti di situ saja, Beng Tan. Tidak sampai menjadi dendam
yang sedalam lautan!"
Beng Tan pucat, menggigil. "Sian-su, kau.... kau tahu semuanya itu" Kau melihat
apa yang terjadi?" "Hm, aku tahu semuanya itu, Beng Tan Tapi jangan tanya kenapa aku tidak menolong
Si Golok Maut itu!" Beng Tan tertegun. Seolah tahu apa yang hendak
ditanyakan tiba-tiba kakek dewa itu telah mendahuluinya memotong. Dengan jitu
dan tepat kakek ini telah menutup mulut Beng Tan untuk tidak bertanya kenapa
kakek itu tidak menolong Golok Maut, pemuda yang jelas diancam
bahaya itu, yang sampai menimbulkan kematiannya. Dan
ketika Beng Tan tertegun dan tak mampu bertanya apa-apa, mulut serasa terkunci
maka Swi Cu yang terkejut
mendengar bahwa Beng Tan mengetahui siapa adanya si
Kedok Hitam tiba-tiba meloncat bangun.
"Tan-ko, kau tahu itu" Kau tahu siapa si Kedok Hitam itu?"
"Ini... ini..." Beng Tan terhuyung, menutupi mukanya.
"Aku tak dapat menceritakannya, Cu-moi. Waktu itu ada Wi Hong....!"
"Ah, kalau begitu kaupun menipu. Kau berkata pada suciku bahwa kau tidak
mengetahui siapa si Kedok Hitam itu!"
"Jangan salah faham!" Beng Tan kaget, melihat kekasihnya
tiba-tiba marah-marah. "Aku tak memberitahunya karena sucimu sedang hamil, Cu-moi.
Kalau dia tahu siapa itu jangan-jangan dia bakal
keguguran!" dan cepat memberi tahu bahwa dia tak bermaksud
melindungi laki-laki kejam itu karena kebohongannya semata ditujukan buat menyelamatkan Wi
Hong maka Swi Cu menggigil namun pandangan tidak
senang tetap saja terpancar di matanya, hal yang membuat Beng Tan tidak enak!
"Aku tidak bermaksud berbohong, tidak bermaksud
menipu. Kalau kau tidak percaya silahkan tanya Sian-su yang dapat membaca
pikiran orang ini!" Swi Cu menoleh. Tawa dan senyum lembut kakek itu
tiba-tiba menghilangkan kemarahannya bagai api tersentuh air. Kakek itu
mengangguk dan berkata bahwa apa yang
dikata Beng Tan benar. Kekasihnya itu tak bermaksud
berbohong selain tujuan menyelamatkan Wi Hong belaka, karena wanita itu sedang
mengandung dan berkali-kali
menerima pukulan batin. Dan ketika kakek itu berkata agar mereka duduk kembali,
tenang dan mendinginkan pikiran maka Bu-beng Sian-su menghela napas menunjuk
Beng Tan. "Kau kelak harus menebus kesalahanmu Ini. Jangan biarkan wanita itu dan
kekasihmu ini tertipu selamanya!"
"Baik, aku berjanji, Sian-su. Dan ampunkan teecu!" Beng Tan menjatuhkan diri
berlutut, membenturkan Jidat tiga kali dan ditepuklah pemuda ini agar bangun
lagi. Swi Cu bertanya siapa gerangan si Kedok Hitam itu, penasaran.
Tapi ketika Bu-beng Sian-su berkata bahwa Swi Cu dapat menanyanya belakangan
maka gadis ini menahan perasaan dongkolnya.
"Kalau Beng Tan tak memberitahumu maka kelak
akulah yang akan menerangkan padamu. Jangan khawatir, orang setua aku tak
mungkin ingkar janji!"
Swi Cu tersipu. Kalau Bu-beng Sian-su sudah berkata
seperti itu tentu saja ia tak berani mendesak. Penasarannya di-pendam dan Beng
Tan pun sudah diajak lagi untuk
kembali ke persoalan semula. Kakek itu belum bicara habis dan Swi Cu
mendengarkan. Dan ketika kakek itu bertanya apa saja yang diketahui Beng Tan
maka pemuda ini ngeri menerangkan.
"Teecu.... teecu takut. Biarlah Sian-su saja yang menceritakan karena Sian-su
tentu lebih tahu daripada teecu!"
"Hm, jangan begitu. Betapapun kau harus menjawab, Beng Tan, jangan semua
persoalan diserahkan kepadaku.
Baiklah, coba kekasihmu saja yang bercerita!"
"Aku... aku ngeri. Aku tak mengerti ....!" Swi Cu pucat.
"Eh, kenapa begitu?" kakek ini tersenyum. "Kau sendiri bilang bahwa sedikit atau
banyak kau mengetahui riwayat Golok Maut, nona. Dan kau juga ingin tahu rahasia
syair ini. Seharusnya kau masuk dan melibatkan diri dalam
percakapan. Nah, jangan takut atau ngeri dan bersikaplah tenang saja kenapa
Golok Maut demikian dendam!"
"Karena... karena Coa-ongya dan adik-nya menipu!"
"Bagus, tentang apa?"
"Banyak sekali, Sian-su. Tapi.... tapi agaknya Beng Tan lebih tahu!"
Lucu sekali, Swi Cu tiba-tiba melempar persoalan! Gadis ini ngeri dan gentar
berhadapan dengan kakek dewa itu. Bu beng Sian-su dirasanya akan menggiring dan
dia tak tahu ke mana dia akan digiring. Entahlah, Swi Cu jadi takut dan gentar
untuk bercakap-cakap dengan kakek ini. Dia lebih baik menjadi pendengar daripada
pembicara! Dan ketika kakek itu tertawa dan mengebutkan bajunya maka kakek ini
menarik napas dalam. "Baiklah, kalau begitu kalian anggukkan kepala kalau aku mulai bercerita. Kita
mulai dari bawah..." dan tajam bersinar-sinar memandang dua orang itu kakek ini
mulai membuka tabir. "Pertama, tentu kalian tahu bahwa Sin Hauw atau Si Golok
Maut itu adalah putera dari mendiang Sin Lun yang dianggap membantu pemberontak
oleh penguasa sekarang, Li Ko Yung. Dan karena Sin Lun
adalah seorang laki-laki gagah yang amat setia maka Li Ko Yung atau pembantu-
pembantunya mulai membujuk laki-laki itu untuk berpihak pada mereka. Tapi
sayang, usaha mereka gagal!"
"Dan Sin Lun akhirnya dibunuh!"
"Ya, benar, Beng Tan. Dan
kau tahu siapa pembunuhnya, bukan?"
"Jenderal Kwi.."
"Bagus, dan kau tahu siapa jenderal Kwi ini!"
"Adik dari ibu Sin Hauw..."
"Nah, apalagi?"
"Jenderal ini pembantu Coa-ongya, Sian-su, kebetulan di pihak Li Ko Yung
sementara ayah Sin Hauw di pihak
pemberontak!" "Hm, istilah pemberontak sebenarnya kurang enak, lebih tepat disebut sebagai
berdiri di pihak musuh saja. Baiklah, lalu apalagi yang kau ketahui?"
"Sin Hauw marah-marah kepada pamannya itu,
bermaksud menuntut balas!"
"Tapi ibunya melarang," tiba-tiba Swi Cu ikut bicara, berani setelah kekasihnya ikut
bertanya jawab. "Dan Kwi-goanswe marah-marah, Sian-su. Sin Hauw akhirnya
ditangkap dan dihukum!"
"Bagus, dan ibu Sin Hauwpun akhirnya tewas, dalam membela anak. Kalian tahu apa
yang terjadi dengan keluarga itu setelah Kwi-goanswe memusuhi Sin Hauw
pula!" "Ini...." Beng Tan bersinar-sinar, teringat kisah Si Golok Maut itu. "Kwi-
goanswe memang kejam, Sian-su. Terhadap seorang anak kecilpun ia tak segan-segan
berlaku keras!" "Ya, dan ada sesuatu yang barangkali tak kalian ketahui, tentang enci atau kakak
perempuan Sin Hauw itu."
"Apa?" "Perbuatan biadab Kwi-goanswe terhadap gadis itu."
"Eh, maaf. Kami lupa nama gadis itu, Sian-su. Dan apa yang dilakukan Kwi-goan
swe terhadap kakak Sin Hauw!"
"Gadis itu bernama Hwa Kin, dan Kwi-goanswe
memperkosanya!" "Apa?" Swi Cu terpekik. "Paman memperkosa keponakan sendiri?" "Hm, itulah yang terjadi, nona. Dan Sin Hauw sendiri baru tahu beberapa saat
sebelum encinya tewas."
"Jahanam! Terkutuk!" Swi Cu tiba-tiba melompat bangun, mengepal tinju dengan
menggigil. "Sungguh biadab sekali jenderal she Kwi itu, Sian-su. Kalau aku ada
di sana tentu waktu itu juga aku akan membunuh Kwi-goanswe
itu!" "Hm, kaupun mulai terbakar, ikut merasakan atau
menghayati kisah ini," kakek itu mengangguk-angguk, menghela napas. "Bagaimana
kalau peristiwa itu menimpa dirimu, Beng Tan" Bagaimana kalau umpamanya encimu
atau kekasihmu ini diperkosa orang" Cukup hanya marah dan gusar saja" Tidak
mendendam?" Beng Tan terkejut. Tiba-tiba dia terpukul dan kaget,
muka seketika menjadi merah dan semburatlah dia akan
kata-katanya sendiri tadi. Dia tak menambahi dengan kata-kata dendam karena
perbuatan kaisar memang masih belum
sehebat itu. Tapi kalau dia membayangkan bahwa Swi Cu atau saudara perempuannya
mau diperkosa orang tiba-tiba pemuda ini terbakar dan mendadak peristiwa di


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar Swi Cu teringat kembali, muncul dengan cepat. Waktu itu Swi Cu juga mau
diperkosa orang dan orang itu mereka sangka Si Golok Maut, padahal bukan. Dan
terkejut serta tergetar oleh todongan kakek dewa ini tiba-tiba Beng Tan mulai
menggigil dan marah, kemarahan yang sudah bercampur
dengan benci dan dendam! "Bagaimana, Beng Tan" Kau mulai dapat merasakan
kebenaran ini?" "Ya-ya... teecu.... teecu terbakar!"
"Bagus, dan kalian duduklah kembali," kakek itu mengulapkan lengan, menyuruh Swi
Cu dan pemuda ini duduk dengan tenang. "Apa yang diketahui Sin Hauw memang tidak seketika, Beng
Tan. Dan waktu itu Sin Hauw juga belum dewasa benar."
"Hm-hm, dan bagaimana selanjutnya, Sian-su?"
"Kalian tahu, anak ini akhirnya ditemukan Hwa-liong Lo-kai dan diambil murid."
"Ya-ya, kami tahu itu. Tapi akhirnya Sin Hauw menjadi murid utama Sin-liong Hap
Bu Kok dan isterinya yang
hebat Cheng-giok Sian-li!"
"Hm, itu benar. Karena Sin-liong Hap Bu Kok maupun isterinya adalah sahabat
kakek pengemis itu, Hwa-liong Lo-kai. Mereka sama-sama pelindung Chu Wen, yang
dianggap memberontak, dan memusuhi Li Ko Yung."
"Ya, teecu teringat bahwa Hwa-liong dan suami isteri itu memang orang-orang
kepercayaan yang setla kepada Chu
Wen." "Dan ayah Sin Hauwpun juga begitu!"
"Benar, kalian tahu baik, nona. Dan sekarang kalian tahu bahwa berturut-turut
Sin Hauw mengalami pukulan-pukulan batin yang tidak enteng!"
"Hm-hm...!" Beng Tan dan kekasihnya mengangguk-angguk. "Kau benar, Sian-su. Tapi
heran bahwa ayah Sin Hauw
demikian gigih dan tegar mempertahankan sikapnya." "Maksudmu?" "Dia tak mau bergabung dengan Kwi-goanswe yang
jelas-jelas masih saudaranya sendiri. Mungkin dia
menganggap bahwa perjuangan Chu Wen adalah benar dan
mulia, patut dibela!"
"Bukan itu," kakek ini tersenyum. "Ada sesuatu yang tak diketahui orang banyak,
Beng Tan. Dan semuanya itu
bersumber pada Coa-ongya, juga kaisar. Mendiang Sin Lun tak mau membantu Li Ko
Yung karena dilihatnya cacad
yang besar dari orang-orang itu!"
"Cacad apa?" "Ini yang sedang hendak kuterangkan. Dan kita maju setapak lagi."
Beng Tan tertegun. Dia melihat kakek itu tersenyum dan senyumnya penuh rahasia.
Ah, dia berdebar dan ingin tahu.
Tapi ketika kakek itu tertawa dan berkata padanya agar bersabar, maka Bu-beng
Sian-su melanjutkan ceritanya lagi, tentang Si Golok Maut itu.
"Kalian tahu bahwa suami isteri Hap Bu Kok dan
Cheng-giok Sian-li menggembleng Sin Hauw di Lembah
Iblis. Di situlah suami isteri itu menemukan Golok
Penghisap Darah dan kelak golok inilah yang diwariskan kepada muridnya..."
"Nanti dulu!" Swi Cu memotong. "Bolehkah kutahu dari mana suami isteri itu
mendapatkan Golok Penghisap
Darah, Sian-su" Dan apakah benar mereka pernah bertemu denganmu?"
"Hm, benar. Mereka memang pernah bertemu denganku.
Tapi tentang dari mana mereka mendapatkan golok itu
sebaiknya tak usah kujelaskan, tak perlu. Kejadian itu telah lewat, dan
merupakan urusan pribadi suami isteri itu
sendiri." Swi Cu kecewa. Ia tak berhasil mengetahui sejarah golok maut itu namun
kekasihnya menjawil. Beng Tan berbisik agar tak usah dia kecewa dan marilah
sama-sama mereka dengarkan kata-kata kakek dewa itu. Beng Tan sendiri
justeru ingin tahu apa gerangan "cacad" yang ada pada Coa-ongya dan kaisar itu,
karena dia telah bersama mereka beberapa waktu. Dan ketika kakek itu tersenyum
dan menganggukkan kepala meneruskan pembicaraan maka Bu-
beng Sian-su menggerakkan lengannya.
"Cacad yang dimiliki dua orang ini terlampau besar, tapi yang menyolok dan
menonjol adalah Coa-ongya itu, juga adiknya Dan karena cacad inilah maka ayah
Sin Hauw tak pernah mau bergabung dengan mereka, meskipun iparnya, jenderal Kwi,
ada di sana!" "Hm, aku penasaran," Beng Tan tak tahan lagi. "Dua kali kau menyebut ini, Sian-
su. Dan aku ingin tahu apa cacad yang kau maksudkan itu!"
"Bukan lain adalah 'benang' dalam syair ini. Dan Sin-liong Hap Bu Kok sendiri
pernah kuberi tahu tapi tak dapat menangkap ini. Sayang, lain dengan ayah Sin
Hauw yang justeru lebih dulu tahu dan itulah sebabnya dia berpihak pada Chu Wen!"
Beng Tan dan Swi Cu tak mengerti. Mereka bingung
karena Bu-beng Sian-su tiba-tiba menghela napas berulang-ulang, kakek itu
merenung dan rupanya memikiri sepak
terjang manusia. Tapi ketika Beng Tan batuk-batuk dan bertanya bagaimana
selanjutnya maka Bu-beng Sian-su tiba-tiba menodong.
"Beng Tan, kau masih demikian bodoh juga" Kau tak melihat apa yang pernah
dilihat ayah Sin Hauw itu?"
"Teecu... teecu tak melihat!" Beng Tan tiba-tiba gugup, tergagap. "Teecu masih
belum mengerti apa yang kau maksudkan, Sian-su. Teecu rupanya bebal!"
"Hm, kau sudah mendengar kisah Si Golok Maut ini, dan tentunya mulai dapat
mengerti. Kenapa belum menangkap juga" Baiklah, kuulangi lagi, Beng Tan.
Jawablah kenapa Golok Maut demikian kejam dan
telengas!" "Dia... dia dilanda dendam!"
"Dan kenapa dia mendendam!"
"Karena Sin Hauw marah kepada Coa-ongya!"
"Dan kenapa Sin Hauw marah!"
"Karena Coa-ongya menipu dan..."
"Stop!" kakek itu mengebutkan lengan. "Jawaban sudah jelas, Beng Tan. Sampai di
sini seharusnya kau mengerti!"
Beng Tan terkejut. Bagai disentak air dingin saja tiba-tiba secercah kilatan
cahaya menerangi pikirannya. Dia mau menambahi "menghina dan tak menghargai Sin
Hauw" ketika tiba-tiba kakek itu memutus pembicaraannya. Dan yang diputus adalah kata-
kata menipu! Ah, Beng Tan
tergetar dan menggigil. Bu-beng Sian-su tiba-tiba tertawa aneh dan kilatan
cahaya tiba-tiba menerangi batin pemuda itu. Menipu, inilah biang keladinya. Dan
ketika Beng Tan menggigil dan bangkit berdiri, Swi Cu di sampingnya juga
terkejut dan berdiri maka Beng Tan berseru tertahan dengan suara serak,
"Sian-su, kau... kau hendak maksudkan bahwa jawaban syair itu terletak pada
penipuan" Kau hendak memberi tahu aku bahwa inilah inti jawaban syair itu?"
"Baru lima puluh persen, yang lima puluh persen lagi belum kau jawab. Nah, siapa
dapat menjawab kenapa kira-kira ayah Sin Hauw tak mau bergabung dengan
saudaranya, Kwi-goanswe itu!"
"Karena Kwi-goanswe pembantu Li Ko Yung, musuh
Chu Wen!" "Hm, kau, nona?"
Bu-beng Sian-su tersenyum, memandang Swi Cu. Gadis ini hendak bersuara namun
sudah didahului kekasihnya itu. Maka ketika Beng Tan
bicara namun agaknya kurang cocok, karena kini kakek itu ganti memandangnya maka
Swi Cu bersinar-sinar berkata gemetar,
"Karena.... karena Kwi-goanswe adalah orang dekat Coa-ongya!"
"Bagus, bisa lebih dekat lagi" Kau dapat memberi tahu kenapa mendiang ayah Sin
Hauw itu tak suka kepada Coa-ongya"
"Karena Coa-ongya tak dapat dipercaya!" Swi Cu tiba-tiba berteriak, menemukan
jawabannya. "Ayah Sin Hauw tak mau bergabung dengan saudaranya karena pangeran
she Coa itu tak dapat dipercaya, Sian-su, penipu dan barangkali inilah
jawabannya!" "Ha-ha, betul. Cocok sekali! Wah, kau kalah cerdas dengan kekasihmu ini, Beng
Tan. Itulah yang hendak kumaksudkan kepadamu. Coa-ongya tak dapat dipercaya,
omongannya selalu tak ditepati. Dan karena ayah Sin
Hauw rupanya sudah melihat itu dan tak suka maka
berpihaklah dia kepada Chu Wen yang dianggap jauh lebih dapat dipercaya dan
diikuti! Nah, kau mengerti?"
Beng Tan bengong. Pemuda ini melayang-layang dalam
jawaban itu dan tiba-tiba sadarlah dia bahwa sebenarnya yang ingin dimaksudkan
gurunya itu adalah jawaban ini.
Menipu atau sebangsanya adalah indikasi kuat untuk
menunjuk bahwa orang yang seperti itu adalah orang yang tidak dapat dipercaya.
Dan dia sudah membuktikan sendiri.
Pertama dengan kaisar dan kedua dengan....
"Ah," Beng Tan terbengong-bengong. "Jadi ini kiranya yang hendak kau terangkan,
Sian-su" Tapi.... tapi apa hubungannya itu dengan benang yang kau sebut-sebut
dalam syair ini" Benang apa itu?"
"Hm, benang itu adalah benang kepercayaan, tak usah kusebut lagi. Kenapa harus
dijelaskan dan tak dapat kautangkap" Gara-gara benang ini maka Sin Lun atau ayah Sin Hauw itu tak berdiri
di belakang Li Ko Yung, Beng Tan. Karena baik Li Ko Yung terutama sekali Coa-
ongya adalah orang-orang yang tak dapat dipercaya. Barangkali kau tahu bagaimana
nasib seorang teman ayah Sin Hauw
yang menjadi korban dari sepak terjang Coa-ongya itu, yang berhasil dibujuk!"
"Teecu tak tahu..."
"Hm, sekarang kuberi tahu. Sin Lun mempunyai seorang sahabat kental, Yang Jin
namanya. Mereka dua laki-laki hampir ada di mana saja. Di mana ada Sin Lun di
situ pasti ada pula Yang Jin. Tapi sayang, ketika pecah perang antara
Chu Wen dengan Li Ko Yung maka terjadi selisih pendapat di mana dua bersahabat
ini pecah. Kwi-goanswe, adik dari isteri Sin Lun itu membujuk Yang Jin, murid
seorang tokoh Hwee-san. Memberi kedudukan empuk dan langsung saja
mengangkat Yang Jin sebagai jenderal pula, berdampingan dengan diri jenderal she
Kwi itu, tentu saja atas perkenan atau petunjuk Coa-ongya, karena Coa-ongya
adalah tangan kanan pertama Li Ko Yung. Tapi ketika Yang Jin tak dapat memenuhi
tugasnya membujuk bekas teman-temannya
yang lain, yang masih bergabung pada Chu Wen itu maka Coa-ongya merasa bahwa
Yang Jin ini tak banyak bermanfaat. Yang Jin akhirnya diketemukan tewas di
sumur yang dalam, setelah mendapat siksa dan derita!"
"Ah, siapa yang melakukan?"
"Coa-ongya dan pembantu-pembantunya itulah, termasuk Kwi-goanswe. Sudah menjadi garis kebijaksanaan politik Li Ko Yung dan
Coa-ongya ini bahwa semua orang-orang setia di pihak Chu Wen harus dibujuk.
Mereka hendak ditarik semua agar membantu penguasa sekarang, tapi tidak semuanya
berhasil. Tapi karena ada yang berhasil juga dan justeru yang berhasil inilah
yang lalu disuruh meneruskan
kebijaksanaan politik itu untuk ganti meneruskan bujukan pada teman-temannya di pihak lawan maka mereka yang berhasil
ini mendapat tambahan pangkat atau kedudukan tapi yang gagal langsung dibuang,
disingkirkan. Seperti yang terjadi pada diri orang she Yang itu!"
"Ah, kejam!" "Ya, tapi' ada yang lebih kejam lagi. Coa-ongya telah menetapkan bahwa kelak,
bila Chu Wen telah kalah dan
hancur, maka semua bekas pengikut setia raja muda itu yang berpindah haluan
harus dibunuh juga. Jadi orang-orang setia yang berhasil dibujuk membantu Coa-
ongya ini kelak dibasmi juga, karena Coa-ongya menganggap bahwa seorang yang telah
berkhianat satu kali pasti dapat juga berkhianat dua atau tiga kali. Tak dapat
dipercaya!" "Ah, seperti dirinya sendiri!"
"Ya, Coa-ongya mengukur baju orang lain dengan
bajunya sendiri, nona. Karena itu betapa kagum dan
kecewanya dia ketika tak dapat membujuk ayah Sin Hauw itu. Dan ayah Sin Hauw
semakin tegar setelah mengetahui kekejian yang tersembunyi di balik maksud Coa-
ongya itu. Sin Lun menemukan sahabatnya tewas di sumur tapi
sebelum tewas sahabatnya itu menceritakan rencana Coa-ongya!"
"Ah, dua sahabat itu akhirnya bertemu juga, Sian-su?"
"Ya, tapi dalam keadaan yang menyedihkan. Coa-ongya tak menyangka bahwa Yang Jin
ini masih hidup, karena ketika orang itu dibuang dan dilempar ke sumur yang dalam maka secara kebetulan
Sin Lun menemukannya dan di
situlah ayah Sin Hauw ini tahu betapa licik dan culasnya Coa-ongya itu, karena
sahabatnya sempat bercerita!"
"Ah-ah!" Beng Tan ternganga. "Keji dan kejam sekali Coa-ongya itu, Sian-su. Dan
aku, hm... aku telah membantunya beberapa lama. Mungkin kalau kelak
tenagaku juga dianggap tak penting lagi barangkali aku juga akan dibuang atau
di-singkirkannya!" "Hm, kau tahu itu, dan semuanya terserah dirimu.
Sekarang kalian tahu kisah mendiang Sin Lun ini kenapa dia tak membantu Coa-
ongya. Sin Lun telah menarik garis keputusan tegas bahwa sekali orang itu tak
dapat dipercaya maka selamanya dia tak dapat dipercaya! Dan inilah
'benang' yang kumaksudkan seperti dalam syair itu. Karena kepercayaan, seperti
kalian lihat, adalah seperti seutas benang yang halus dan ringkih. Kepercayaan
itu harus dijaga hati-hati. Atau selamanya orang tak
akan mempercayai kita lagi dan celakalah kita sendiri!
Mengerti?" "Hm-hm..!" Beng Tan mengangguk-angguk. "Aku mengerti, Sian-su.... aku mengerti.
Kiranya inilah yang kaumaksudkan.
Kau hendak mengumpamakan kepercayaan itu seperti seutas benang, bukan benang
sembarang benang melainkan benang yang harus dijaga
baik-baik. Kau benar. Benang kepercayaan yang tak dapat dijaga memang akan
menimbulkan kebencian orang kepada kita, apalagi kalau bobot persoalannya
serius! Hm-hm... aku mulai melihat ini tapi kau agaknya masih belum selesai!"
"Ha-ha, belum selesai apalagi" Kisah Sin Lun sudah kauketahui, Beng Tan. Dan Si
Golok Maut Sin Hauw juga begitu."
"Tidak, nanti dulu!" Beng Tan berseru. "Kenapa Golok Maut tak mengetahui itu
dari ayahnya, Sian-su" Atau
kenapa isteri laki-laki itu tak memberi tahu anaknya?"
"Hm, Sin Lun tewas sebelum memberi tahu isterinya.
Dan lagi isterinya belum tentu percaya karena waktu itu Kwi-goanswe juga selalu
bersikap baik padanya, meskipun dua bersaudara Ipar itu saling membela pihak-
pihak yang berlawanan!"


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan Sin Hauw akhirnya mencari Coa-ongya!"
"Hm, mula-mula bukan begitu. Yang dicari pertama kali adalah pamannya itu, Kwi-
goanswe. Tapi karena Kwi-goanswe berlindung di balik Coa-ongya dan pangeran itu
bersama adiknya lalu memperdayai Sin Hauw maka
pemuda ini terjebak dan seperti kalian tahu akhirnya ilmu silat Golok Mautnya
dipelajari Coa-ongya, lewat Miao In!"
Beng Tan dan Swi Cu mengangguk-angguk. Swi Cu
sendiri telah mendengar itu dari sucinya karena Golok Maut sudah menceritakannya
kepada Wi Hong. Miao in itulah gadis pertama yang dicinta Golok Maut, menjadi kekasih tapi
ternyata gadis itu perangkap yang dipasang Coa-ongya. Miao In adalah orang
kepercayaan Coa-ongya yang ditugaskan untuk mendapatkan catatan
atau ilmu silat Giam to-hoat itu, Silat Golok Maut. Tapi ketika Miao In terbuka
rahasianya dan gadis itu ternyata kekasih Kwi Bun, putera Kwi-goanswe maka
akhirnya gadis itupun terbunuh dan tewas di tangan Coa-ongya ini, setelah diperkosa
beramai-ramai! "Hm-hm..!" Beng Tan lagi-lagi bergidik. "Semula aku tak tahu, Sian-su. Tapi
setelah semuanya ini kudengar maka aku menjadi lebih berhati-hati lagi."
"Dan kau sudah merasakan sesuatu ganjalan dengan kaisar."
"Ya, sri baginda menipuku!"
"Dan kau beruntung belum separah Sin Hauw diperdayai Coa-ongya!"
"Hm, aku tak akan berdekatan lagi, Sian-su. Aku tak akan berhubungan lagi dengan
orang-orang itu. Aku tak akan menginjak istana!"
Kakek ini tersenyum. Beng Tan yang mengepal tinju dan tampak marah dipandangnya
bersinar-sinar. Kakek ini
bangkit berdiri tapi tiba-tiba Swi Cu melompat bangun. Dan ketika gadis itu
berseru apakah kepercayaan tak dapat diobati lagi maka kakek ini mengerutkan
keningnya. "Maksudmu?" "Maaf, apakah kepercayaan yang ternoda begitu tak ada obatnya, Sian-su. Apakah
orang yang sudah tidak dapat dipercaya memang selamanya tetap tidak dapat
dipercaya, seperti keputusan atau pendapat ayah Sin Hauw itu!"
"Hm," kakek ini tersenyum. "Kalau maksudmu bahwa seorang pembohong ingin menjadi
baik dan dapat dipercaya lagi seperti dulu-dulu maka semuanya itu tergantung
orang yang bersangkutan, nona. Tapi dia harus bekerja keras untuk itu. Dan
biasanya jarang ada yang seperti ini.
Kepercayaan, seperti kataku tadi, ibarat seutas benang.
Cobalah kau lihat ini dan pegang." Bu-beng Sian-su tiba-tiba mengeluarkan seutas
benang, lembut dan halus dan
menyerahkannya kepada Swi Cu. Gadis ini heran dan tak mengerti tapi menerimanya
juga. Dan ketika kakek itu
mundur dan meniup perlahan tiba-tiba benang di tangan Swi Cu putus.
"Nah," kakek itu tertawa. "Coba satukan lagi benang itu, nona. Buatlah seutuh
semula dan lihat bisa atau tidak!"
Swi Cu tertegun. Tentu saja dia segera menyambung
benang ini dan mengikatnya. Tapi ketika kakek itu
memintanya dan bertanya apakah benang yang diutuhkan
itu sudah utuh atau belum maka Swi Cu mengangguk,
mengira utuh. "Benang ini sudah kusatukan, kusambung. Dan kukira utuh!"
"Ha-ha!" kakek itu menoleh pada Beng Tan, menunjukkannya. "Benarkah benang ini utuh, Beng Tan"
Benarkah sudah seperti semula lagi?"
Beng Tan terkejut. Dia melihat Bu-beng Sian-su
menunjuk tali simpul di tengah-tengah benang, menjentiknya. Bertanya padanya apakah benang itu sudah benar-benar utuh seperti
semula. Dan ketika dia terkejut
dan sadar bahwa benang itu sudah tidak utuh lagi, hal yang masih tidak
dimengerti dan mengherankan Swi Cu maka
pemuda ini menggeleng, berseru tegas dan lantang, "Tidak!"
Swi Cu terkejut. "Kenapa tidak?" gadis itu penasaran.
"Benang itu tak berkurang sedikit pun, Tan-ko. Aku tak mengurangi atau
menambahnya!" "Tapi ada tali simpulnya di sini," Beng Tan menerangkan, sudah mengerti apa yang
dimaksud gurunya, bersinar-sinar. "Benang ini tidak utuh lagi, Cu-moi. Karena
kalau dia utuh seharusnya sudah seperti semula, tidak ada cacad atau sambungan.
Ah, Sian-su hendak menerangkan
kepada kita bahwa kepercayaan yang terlanjur putus tak dapat dipulihkan lagi
seperti semula, seperti benang ini.
Karena begitu kepercayaan putus maka betapapun
diusahakan seperti semula maka tetap saja ada grenjelannya di situ, cacad.
Seperti benang ini yang sudah tidak dapat disatukan seperti semula karena ada
tali simpul di tengahnya!" "Ah!" Swi Cu terkejut, tiba-tiba mengerti. "Begitukah"
Jadi..." "Benar," Beng Tan mengangguk, penuh semangat, tiba-tiba tertawa bergelak. "Sian-
su hendak memberi tahu padamu bahwa kepercayaan yang putus adalah seperti
benang ini, Cu-moi. Disambung atau disatukan kembali
tetap saja tak bisa, cacad! Kita hendak diperlihatkan akan adanya kenyataan itu
bahwa kepercayaan yang putus tetap saja putus, seperti benang ini. Ha-ha,
mengerti aku sekarang. Kepercayaan memang seperti seutas benang,
sekali putus maka tak dapat disatukan kembali, ha-ha!"
Swi Cu terbengong-bengong. Dia sadar dan terkejut
setelah mengerti itu. Ah, dia kurang tanggap. Tapi begitu mengerti dan tahu apa
yang dimaksudkan kakek ini tiba-
tiba gadis itu mendusin dan menganggap bahwa
perumpamaan itu cocok, tepat. Kepercayaan memang
seperti seutas benang, ringkih dan halus. Dan karena
benang atau kepercayaan yang putus memang tak mungkin diutuhkan kembali karena
sudah ada "grenjelannya" di situ maka gadis ini menarik napas dan takjub
memandang kakek dewa itu. "Ah, aku mengerti... sekarang aku mengerti...!" gadis itu berteriak,
setengah memekik. "Perumpamaan yang ditunjukkan Sian-su memang tepat sekali, Tan-ko. Dan aku sudah melihat itu!"
"Kalau begitu selanjutnya tak ada pembicaraan lagi,"
kakek ini tiba-tiba tertawa. "Pertanyaanmu sudah kujawab, Beng Tan. Dan
selanjutnya kalian tak memerlukan aku lagi.
Terimalah!" Beng Tan terkejut. Sehelai kertas tiba-tiba menyambar ke arahnya tapi cepat
ditangkap dan diterima. Bu-beng Sian-su memberikan sesuatu dan Beng Tan
terkejut. Tapi ketika pemuda itu menangkap dan menerima kertas ini mendadak si
kakek dewa berkelebat dan mendorongkan kedua
lengannya di mana Beng Tan dan kekasihnya berteriak
tertahan. Tubuh mereka terangkat naik dan tiba-tiba
bantalan mega yang tadi diam tak bergerak sekonyong-
konyong kini menyambar, terbang dan menerima tubuh
mereka yang jatuh ke bawah. Dan ketika dua muda-mudi
itu terkejut dan berteriak keras, Swi Cu sudah menyambar dan menangkap lengan
kekasihnya maka bantal mega itu
bergerak dan.... terbang mengikuti Sian-su, kembali ke bumi!
"Anak-anak, cukup perjumpaan kita kali int. Kuantar kalian ke bawah dan
renungkan semua pembicaraan tadi!"
Swi Cu pucat. Dia melihat kakek dewa itu terbang di
depan, menukik dan lenyap ke bawah menembus awan dan
mega-mega tebal. Tapi ketika mereka sendiri juga bergerak dan terbang mengikuti
kakek itu, seperti dongeng, maka Swi Cu menggigil mencengkeram lengan kekasihnya
ini. "Tan-ko, gurumu benar-benar bukan manusia biasa. Ah, beruntung kau menjadi
muridnya!" "Hm, Sian-su sendiri tak mau kusebut begitu, Cu-moi.
Katanya guruku adalah diriku sendiri. Hm, dia memang
manusia luar biasa. Dan Sian-su rupanya memang pantas disebut sebagai manusia
dewa!" "Dan kita meluncur turun, cepat sekali. Ah, aku takut, koka Kita menukik...!"
Bfeng Tan juga terkejut. Menembus awan atau mega-
mega tebal tiba-tiba benda aneh yang mereka tumpangi itu menukik lurus, cepat
sekali. Rasanya mau menghunjam
bumi dan Beng Tan .tersirap serta takut jatuh tapi aneh bin ajaib kaki mereka
terpaku, lengket atau seolah terpantek pada benda yang mirip bantalan mega ini.
Dan ketika Swi Cu di sebelahnya juga pucat dan ketakutan tapi tak jatuh, hal
yang membuat kekasihnya tenang maka Lembah
Malaikat tiba-tiba terlihat lagi dan Bu-beng Sian-su di depan tiba-tiba sudah
mendarat, disusul mereka berdua yang
terbengong-bengong bagai menumpang piring terbang!
"Sudah sampai, dan selamat tinggal!"
Swi Cu sadar. Gadis ini berteriak ketika kakek dewa itu tiba-tiba mengangkat
tangan kanannya, terbang dan naik lagi ke atas bagaikan mahluk angkasa. Bu-beng
Sian-su lenyap dan hilang entah ke mana, yang jelas ke langit. Dan ketika Swi Cu
berteriak dan memanggil kakek itu, yang hanya dijawab senyum maka Beng Tan juga
sadar dan berteriak memanggil gurunya.
"Sian-su...!" Tak ada jawaban. Bu-beng Sian-su telah lenyap dan Beng Tan serta kekasihnya
bengong. Mereka mendelong dan
takjub memandang ke angkasa, terlihat setitik cahaya putih tapi setelah itu
hilang. Dan ketika dua muda-mudi ini mendelong dan terkesima, terbelalak, maka
terdengarlah cecowetan Pek-kauw dan kera atau monyet putih itu
muncul. "Ah, kita sudah di bumi. Mimpi kita habis!"
"Hm," Beng Tan mepgusap keningnya, bingung.
"Mimpikah kita tadi, Cu-moi" Berada di alam sihirkah kita tadi?"
"Kita mimpi, mimpi yang indah! Kita memasuki alam gaib bersama Sian-su!"
"Ya, dan kita mendengar wejangannya. Ah, kata-katanya tak dapat kulupakan, moi-
moi. Aku terkesan dan kagum
benar akan kata-kata guruku itu!"
"Hm, dan aku juga. Bu-beng Sian-su sungguh kakek dewa yang memiliki kesaktian
luar biasa!" dan ketika Swi Cu terkejut karena Pek-kauw melompat dan
bercecowetan di pundaknya, menyatakan selamat datang maka Beng Tan di Sana
termangu-mangu namun wajah pemuda ini
memancarkan cahaya gemerlap.
Beng Tan berhasil mengetahui inti syair itu dan pemuda ini bersinar-sinar.
Segala peristlwa dan kisah yang terjadi berulang kembali, cepat, susul-menyusul
dan teringatlah dia akan Coa-ongya dan lain-lainnya itu, juga kaisar. Hm, dan
sekarang dia tak mempercayai kaisar juga. Kaisar telah menipunya dan kematian
Golok Maut yang langsung atau
tidak juga atas perintah kaisar membuat Beng Tan kecewa.
Kenapa orang sedemikian tinggi kedudukannya tak dapat
memiliki kata-kata yang dapat dipercaya" Kenapa kaisar harus menipu dan menjilat
kata-katanya sendiri" Dan untuk itu semua dia tak sempat lagi bertanding dengan
Si Golok Maut. Dia telah kehilangan lawannya itu karena lawan
telah dibunuh dengan cara yang amat curang, juga licik.
Lima ribu orang yang dikerahkan ke Lembah Iblis jelas menunjukkan kecurangan
itu, padahal semua tahu bahwa
Golok Maut sedang terluka. Ah, ketidak-jujuran memang mudah menimbulkan ketidak-
percayaan. Dan sekali dia
tidak percaya maka seumur hidup dia tetap tak akan
percaya! Beng Tan mengepal tinju. Sekarang ia mengerti kenapa
Golok Maut begitu membenci Coa-ongya. Dan pangeran
itu bersama adiknya juga melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya tak layak
dilakukan orang-orang besar, kaum bangsawan, orang-orang terhormat. Dan mengerti
kenapa kaisar selalu melindungi Coa-ongya, karena mereka sebulu dan sejenis maka
Beng Tan menggeram-geram dan
mengutuk orang-orang itu.
Hm, kepercayaan memang sesuatu yang amat berbahaya. Harus dijaga hati-hati dan jangan sampai retak, apalagi pecah.
Kepercayaan itu ibarat benang yang halus dan ringkih. Demikian ringkihnya hingga
kalau putus tak dapat disambung lagi. Kepercayaan yang putus sudah
menimbulkan cacad di situ, seperti benang dengan tali simpulnya. Dan ketika Beng
Tan mengangguk-angguk dan
juga marah bahwa Coa-ongya merencanakan sesuatu yang
keji dengan kelak melenyapkan semua pengikut-penglkut Chu Wen yang berhasil
dibujuk maka diam-diam dia
memuji juga kesetiaan dan ketegaran mendiang ayah Sin Hauw terhadap
junjungannya. Laki-laki itu gagah dan
mempunyai pendirian yang tegas, berkepribadian. Dan
rupanya tahu bahwa Coa-ongya adalah orang yang tak
dapat dipercaya. Buktinya, begitu sahabatnya berbalik haluan dan membela
pangeran itu, bersama Li Ko Yung
maka sahabatnya dibunuh setelah dianggap tak dapat
dipergunakan lagi. Padahal, janjinya semula adalah muluk-muluk! Ah, orang yang
bermulut manis memang justeru
harus dihadapi dengan hati-hati. Mulut manis belum tentu memberikan madu, salah-
salah racun! Dan membayangkan
bahwa Golok Maut demikian benci dan dendam kepada
Coa-ongya maka Beng Tan tak aneh atau merasa heran
lagi. Sin Hauw atau Si Golok Maut itu juga berkali-kali ditipu Coa-ongya. Mulai dari
bujukannya tentang encinya yang masih hidup sampai kepada kekasihnya yang
ternyata wanita siluman. Sin Hauw berkali-kali harus menekan api kemarahannya kalau Coa-
ongya sudah menyebut-nyebut
encinya itu, yang sebenarnya sudah lama tewas dan
dibunuh. Dan betapa Coa-ongya akhirnya menangkap dan
menyiksa Si Golok Maut, setelah melumpuhkannya dengan obat pelupa ingatan maka
Beng Tan muak dan benci betul kepada Coa-ongya itu. Pangeran itu sungguh keji,
Golok Maut nyaris dibunuh kalau saja gurunya tidak muncul. Bu-beng Sian-su
itulah yang dulu menyelamatkan Sin Hauw.
Dan ketika cerita demi cerita dimengerti Beng Tan dengan cepat dan matang maka
Beng Tan tiba-tiba teringat
pemberian Bu-Beng Sian-su berupa sehelai kertas yang
dilemparkan kepadanya tadi.
Beng Tan membuka, melihat, dan... tertegun. Beberapa
huruf-huruf rapi tercetak di situ, ditulis gurunya. Dan ketika pemuda ini
mengangguk-angguk dan membaca lagi maka
itulah inti atau ringkasan dari wejangan gurunya. Apa yang tertulis" Sederet


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata-kata indah, sekaligus peringatan baginya:
KEPERCAYAAN ITU SEPERTI SEUTAS BENANG,
HALUS DAN RINGKIH HATI-HATI. JAGALAH!
Beng Tan mengangguk-angguk. Tanpa diulang lagi dia
sudah mengerti itu. Hm, kepercayaan memang seperti
seutas benang. Dan benang itulah yang kiranya dimaksudkan gurunya di dalam syair, sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi karena
yang belum tahu memang tak akan tahu maka apapun jawabannya memang pasti tak
akan diketahui kalau tidak diterangkan. Cocok!
Pemuda ini bersinar-sinar. Sekarang dia tahu akan inti dari jawaban syair
gurunya. Kepercayaan memang harus
dijaga, dan orang yang dapat dipegang kepercayaannya
biasanya lalah orang-orang jujur. Orang-orang jujur dapat dipercaya, sedangkan
orang yang tak dapat dipercaya ialah orang yang tak jujur! Hm, mau apalagi" Dan
ketika Beng Tan tersenyum dan menyeringai pahit, mengangguk-angguk maka pemuda
itu melihat kekasihnya yang juga duduk
termenung di sana, tak menghiraukan cecowetan Pak-kauw mau-pun binatang-binatang
lain di lembah itu. "Kau ingin tetap tinggal di sini" Tak ingin pulang?"
"Hm, pulang?" Swi Cu terkejut, bangkit berdiri. "Aku terngiang kata-kata Sian-
su, koko. Dan aku kerasan di sini!"
"Tapi kau harus pulang, kembali memimpin anak
buahmu!" Swi Cu mengerutkan kening. Tiba-tiba dia ingat bahwa
dia adalah pemimpin Hek-yan-pang. Sucinya kini telah tak ada di sana dan praktis
dialah yang harus menjalankan tugas. Dan ketika dia mengangguk namun melihat
kertas di tangan kekasihnya tiba-tiba dia teringat dan bertanya apakah itu.
"Ringkasan dari Sian-su, tentang benang kepercayaan."
Swi Cu membaca. Dia kagum dan bersinar-sinar
memandang tulisan kakek dewa itu. Sebenarnya dia tak
tahu kapan kakek itu menulis. Hebat! Tapi mengantongi tak mengembalikan surat
ini kepada Beng Tan tiba-tiba Swi Cu berkelebat mengajak kekasihnya pulang, ke
Hek-yan-pang. "Heii...!" Beng Tan berseru. "Kembalikan itu padaku, Cu-moi. Jangan dikantongi!"
"Hm, siapa punya siapa" Sian-su memberikannya untuk kita berdua, Tan-ko, bukan
untukmu seorang. Dan kau masih berhutang sebuah janji!"
"Janji apa?" Beng Tan mengejar. "Kembalikan dulu surat itu dan biar kusimpan!"
"Untuk apa" Disimpan di mana?"
"Di kamarku, di kamar kita nanti!" namun ketika Swi Cu berhenti dan tiba-tiba
membalik, mengejutkan pemuda ini maka Swi Cu membentak,
"Cih, kau tak tahu matu. Sebelum menerangkan siapa si Kedok Hitam itu jangan
harap kau mempunyai kamar
untuk kita berdua!" dan berkelebat serta lari lagi akhirnya Swi Cu meninggalkan
kekasihnya tak perduli melihat Beng Tan bengong, terkejut dan tiba-tiba bergerak
menyambar lengannya dan Beng Tan segera berkata bahwa hal itu tak akan
disembunyikannya. Dia telah berjanji dan janji tak akan diingkari. Beng Tan
bukanlah Coa-ongya dan pemuda itu tak akan menodai kepercayaan kekasihnya
kepadanya. Dan ketika Swi Cu bertanya siapa orang itu dan Beng Tan harus menjawab saat itu
juga maka gadis ini tersentak dan untuk kedua kali menghentikan larinya, begitu
Beng Tan membuka rahasia.
"Apa" Dia" Jahanam keparat itu?"
"Ya, dia, Cu-moi. Dan sekarang kau tahu. Hm, maafkan aku bahwa saat itu aku
terpaksa melepaskannya lagi."
"Ooh...!" Swi Cu terhuyung. "Kalau begitu.... kalau begitu.... jangan-jangan dia
pula yang berusaha memasuki kamarku, koko. Jangan-jangan jahanam keparat itu
pulalah yang akan memperkosa aku, berkedok sebagai Si Golok
Maut!" "Hm, mungkin juga. Bisa jadi. Tapi, ah..., aku tak ingin bicara ini lagi di saat
sekarang. Aku sudah penat
menghadapi persoalan-persoalan berat yang bertubi-tubi.
Aku juga masih terguncang. Aku ingin menyelesaikan
urusanku dulu denganmu."
Swi Cu mangar-mangar. Kalau saja Beng Tan tak
mengucapkan kata-katanya terakhir tadi barangkali dia akan melompat dan terbang
mencari si Kedok Hitam itu.
Kiranya dia! Tapi karena Beng Tan mencekal tengannya
dan memandangnya lembut dan mesra, rindu dan bergetar ingin menyelesaikan urusan
pribadi, menikah dan bersatu di Hek-yan-pang maka Swi Cu tertahan dan
keberingasan mukanya itu tiba-tiba berkurang.
"Aku tak ingin mengurus apa-apa dulu. Aku ingin
menyelesaikan urusan kita berdua. Kembali dan menikah di Hek-yan-pang! Kau tentu
tak akan menolaknya bukan, moi-moi" Kau tentu dapat menunda semua persoalan-
persoalan itu di belakang hari saja?"
Swi Cu terisak, tiba-tiba menubruk kekasihnya.
"Terserah kau, koko... tapi berjanjilah bahwa si Kedok Hitam itu harus kita
cari! Dia telah menghina dan mau mengganggu aku!"
"Aku tahu, tapi sudahlah, kita lupakan sejenak urusan ini dan mari pulang!" dan
Beng Tan yang mengecup serta
mendorong kekasihnya tiba-tiba berkelebat namun mendadak berhenti lagi. "Ada apa?" "Kita lupa meminta restu, dari Sian-su!"
"Hm, tadi di saku bajuku ada ini. Lihatlah!" Swi Cu tersenyum, tiba-tiba
mengeluarkan sehelai surat dan Beng Tan ganti tertegun. Ternyata dengan caranya
yang luar biasa Bu-beng Sian-su telah memberi tanda mata kepada kekasihnya Di
balik surat itu ada cincin, bertuliskan huruf-huruf dari nama Beng Tan dan Swi
Cu, pas benar di jari manis gadis itu. Dan ketika Beng Tan bengong dan
membaca huruf kecil-kecil bertuliskan "selamat untuk mempelai berdua" maka
pemuda ini berjingkrak dan bersorak.
"Ah, Sian-su telah tahu. Kita mendapat restunya!"
"Ya, dan ini pemberian darinya, koko, mewakilimu. Ah, kakek dewa itu sungguh
luar biasa!" dan ketika Swi Cu dipeluk dan disambar, diciumi, maka Swi Cu
meronta dan terkekeh geli, melepaskan diri.
"Hush, jangan di sini. Nanti ada orang ....!" dan ketika gadis itu terbang dan
disusul Beng Tan, yang tentu saja tak membiarkan kekasihnya maka dua muda-mudi
ini telah bergandengan tangan ke Hek-yan-pang. Bu-beng Sian-su
telah memberi restu mereka di samping nasihat. Kakek itu telah memberikan
wejangannya yang berharga pula. Dan
ketika Swi Cu terkekeh-kekeh dan tertawa bersama Beng Tan, lupa akan yang lain
karena akan menyongsong kebahagiaan sendiri maka dua muda-mudi itu tak tahu akan rintih dan tangis
seseorang. Mereka tak tahu akan adanya sesosok tubuh yang terhuyung-huyung naik
turun bukit, perut didekap karena sosok tubuh itu bukan lain adalah Wi Hong,
yang sedang hamil. Dan ketika Beng Tan serta Swi
Cu akhirnya menikah di Hek-yan-pang, mengatur dan
memimpin anggauta-anggauta yang sudah lama menunggu
maka Wi Hong atau wanita ini menangis tiada
berkesudahan serta berkali-kali menyebut-nyebut nama si Kedok Hitam, penuh benci
dan dendam. Siapakah si Kedok Hitam itu" Berakhir begitu sajakah
ceritanya" Tidak, tentu tidak. Kisah ini baru merupakan langkah awal dari sebuah
cerita yang panjang. Orang-orang yang seharusnya mendapat hukuman belumlah semua
terhukum. Wi Hong dan lain-lain itu tentu muncul kembali, dan anda akan
menemukannya dalam kisah berikut:
NAGA PEMBUNUH! Anda akan bersua lagi dengan wanita ini dan keturunan Sin Hauw, Si Golok Maut.
Tentu saja dalam kisah yang
lebih menyeramkan dan tegang, di mana Bu-beng Sian-su tak lupa pula muncul untuk
menemui anda, Mudah-mudahan ada gunanya dan bermanfaat.
Salam buat pembaca tercinta!
T A M A T Solo, 11-05-1988 Dalam Cengkeraman Biang Iblis 3 Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau Han Bu Kong 3
^