Pencarian

Golok Maut 7

Golok Maut Karya Batara Bagian 7


"Hm, begitukah?"
"Ya, kau ingin tanya apalagi?"
"Tidak, terima kasih," dan Golok Maut yang semburat melihat tawa kakek itu lalu
harus tahu diri karena dia sendiri juga tak suka banyak bercerita. Si kakek
mengebutkan ujung bajunya dan lenyap berkelebat ke
depan, menarik dan sudah membawa muridnya itu. Dan
ketika Siang In mendengus dan sekejap memberi kerling marah maka guru dan murid
itu telah lenyap meninggalkan pemuda ini. Golok Maut termangu tapi tidak
mengejar. Aneh, pandangannya kosong mengawasi kepergian guru
dan murid itu. Namun ketika mereka lenyap di bawah
gunung dan Golok Maut mengebutkan baju tiba-tiba diapun berkelebat dan lenyap
pula meninggalkan makam gurunya.
ooooo0de0wi0ooooo Di kota Li-poh, di pusat keramaian.
Hari itu kota ini menyambut hari jadinya. Dua
barongsai, merah dan biru siap berlaga di atas tanah.
Mereka terdiri dari beberapa orang yang akan memainkan permainan ini, barongsai
atau singa-singaan dengan
masing-masing dikepalai atau dipimpin seorang yang
bermain di bagian kepala. Pemimpin atau kepala inilah yang akan mengemudikan
permainan, dua pembantunya di
belakang akan mengikutinya dengan tarian lenggak-
lenggok. Mereka tentu saja orang-orang yang memiliki
kepandaian silat karena tanpa ilmu silat sukarlah bagi orang biasa untuk
memainkan permainan ini. Sang pemimpin
atau kepala haruslah seorang yang paling pandai, dia akan berputar dan
menggerak-gerakkan barongsai ini, menari dan menaik-turunkan bagian kepala di
mana bagian ekor atau tubuh dimainkan oleh dua pembantunya, juga orang-orang
yang pandai silat namun tak selihai sang pemimpin. Dan karena dua barongsai itu
berhadapan dan jelas akan berlaga maka permainan dua ekor barongsai biasanya
jauh lebih menarik daripada hanya seekor saja. Maklumlah, mereka pasti akan
bertanding dan berlaga. Siapa yang menang
dialah muncul sebagai juara. Hari jadi kota itu ternyata disambut dengan
keramaian permainan ini, tentu saja
mengundang banyak orang dan sekeliling tempat itu sudah penuh oleh penonton.
Bukan hanya sekedar mencari
hiburan melainkan juga ingin mengadu keberuntungan.
Jelasnya, mereka adalah penjudi-penjudi yang sudah siap dengan uang mereka,
bukan hanya penduduk Li-poh saja
melainkan juga pendatang dari luar kota. Kiranya jenis hiburan ini juga
ditunggangi kaum botoh atau petaruh
untuk mencari keuntungan dalam bentuk adu nasib, tentu saja ramai dan kaum
petaruh sudah menjagoi siapa kira-kira yang akan menang, barongsai biru ataukah
merah. Dan ketika keramaian itu memuncak dengan dipukulnya gong di atas tempat
yang tinggi, yang nantinya akan dipakai berlaga oleh dua barongsai itu maka
seorang pemuda tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah ramainya kerumunan.
"Hei, jangan main dorong, anak muda. Perlahan sedikit!"
"Maaf," pemuda itu tersenyum, tadi menyenggol seorang petaruh, laki-laki tinggi
besar yang mukanya hitam dan kasar.
"Aku tak sengaja, twako. Maaf."
"Maaf hidungmu!" laki-laki itu membentak. "Sekali lagi main dorong kupatahkan
tanganmu nanti!" Pemuda itu mengerutkan kening. Kata-kata kasar untuk
suatu perbuatan yang tak sengaja dirasa sungguh
menyakitkan. Tapi tersenyum dan menghela napas tiba-tiba dia menjauh, mendapat
pelototan namun dia menyingkir,
bukan karena takut melainkan semata tak mau mencari
keributan. Dua barongsai itu sudah mulai bergerak dan masing-masing mendapat
tepukan dari penontonnya. Yang menjagoi merah menyuruh barongsai itu cepat
menyerang, mendahului lawannya namun sang pemimpin rupanya
berhati-hati. Barongsai biru juga mendapat tepukan riuh agar menyerang, canang
dan kempyeng dipukul ramai. Dua barongsai itu mulai bergerak-gerak dan menari,
mereka maju mundur dengan langkah yang ringan, kaki pemainnya gesit dan cekatan.
Sang pemimpin maupun anak buahnya
dapat bekerja kompak, mereka mengikuti irama tambur
atau kempyeng, berputaran dan saling mengelilingi lawan dengan kepala barongsai
diangkat tinggi-tinggi. Di balik mata barongsai itu masing-masing saling
mengintai, mereka siap menerkam dan menjatuhkan yang lain. Dan ketika
penonton mulai bersorak dan barongsai biru menyergap ke depan tiba-tiba
barongsai merah diserang dan dipukul.
"Ha-ha, bagus, Biru. Ayo terkam dan robohkan
lawanmu!" "Tidak, jangan kuatir, Merah. Tahan dan balas
lawanmu!" Dua sorakan silih berganti terdengar. Yang menjagoi
biru, kelompok di sebelah kiri tiba-tiba berteriak riuh, mereka melihat
barongsai merah terpeleset dan jatuh. Tentu saja
membuat lawan bertambah semangatnya dan
menyerang, pemimpinnya meloncat dan kepala barongsai
diturunkan ke bawah, maksudnya mau menindih dan
merobohkan lawan. Tapi ketika barongsai merah berseru keras dan pemimpinnya
menendang tiba-tiba lawan jatuh dan ganti pendukung merah bersorak-sorai.
"Ha-ha, bagus, Merah, Sekarang terkam dan balas
lawanmu!" Pemegang barongsai merah sudah melakukan itu, Tanpa
diperintah penontonnya pasti dia akan balas menyerang, lawan diseruduk tapi
barongsai biru ternyata gesit, mampu mengelak lincah dan jadilah sekarang dua
barongsai itu serang-menyerang, Mereka masih menari-nari namun kaki atau tangan
di balik pakaian barong itu bekerja. Sikut atau lutut acap-kali menyengat yang
lain, hebatnya tak ada yang mengaduh karena masing-masing rupanya sama-sama
memiliki tubuh yang kuat, Baik barongsai biru maupun
merah mulai bergerak cepat, penonton atau pendukung
mereka berteriak-teriak seru. Si muka hitam, yang ternyata pendukung biru tiba-
tiba meloncat ke depan, mengeluarkan sebongkah uang dan melambai-lambaikan itu
di depan hidung barongsai biru. Dia berteriak bahwa uang itu akan diberikannya pada si
biru bila dapat mengalahkan
lawannya, uang yang tidak kurang dari lima ratus tail! Tapi ketika seorang laki-
laki pendek juga meloncat dan
melambai-lambaikan dua pundi-pundi uang yang jumlahnya seribu tail maka barongsai merah mendapat
janji, "Tidak, kau kalahkan lawanmu, Merah. Thang-wangwe (hartawan Thang) masih akan
memberimu lagi beberapa hadiah istimewa!" "Keparat, minggir!" si muka hitam marah, berseru membentak si pendek itu. "Kau
tak boleh meniru-nirukan sikapku, Pendek. Cari cara lain mendorong semangat
barongsaimu!" "Ha-ha, setiap orang bebas menirukan siapapun, Hek-twako. Aku hanya
mengimbangimu agar jagoanku tak
kalah semangat!" "Keparat, kalau begitu kau anjing... dess!" dan si pendek yang ditendang
mencelat dan terlempar dari tempat itu akhirnya membuat kelompok si pendek
marah, turun ke bawah namun si hitam tiba-tiba ditarik kawan-kawannya.
Dua barongsai itu sudah bertanding dengan sengit.
Mereka menjadi panas oleh tendangan si hitam tadi.
Barongsai biru seolah mendapat semangat dan sudah
menyerang lawannya. Mereka bergerak dan sudah mulai
pukul-memukul, tambur atau canang dibunyikan hingar-
bingar dan penonton bersorak-sorak. Baik pendukung biru maupun merah sama-sama
berteriak, mereka menjagoi
masing-masing pihak. Dan ketika dua barongsai itu mulai bertempur tapi masing-
masing bertahan maka barongsai
biru tiba-tiba meloncat ke atas titian, tempat yang sudah disediakan untuk
mereka, tinggi sekali. "Hayo, berkelahi di atas, Merah. Susul dan kejar lawanmu. Jangan takut!"
"Ha-ha, pecundangi lawanmu, Biru. Jangan biarkan lawanmu menyusul!" pendukung
biru, termasuk si muka hitam berteriak. Biru sudah mendahului lawannya dan
barongsai pnerah berjungkir balik, maksudnya mengejar dan menyusul si biru di
atas titian. Titian itu dari bambu dan tingginya tak kurang dari lima meter,
dapat berjungkir balik dan melayang ke sana adalah hebat, apalagi dengan beban
begitu berat. Palcaian barong itu dan kepalanya tak kurang dari seratus kati,
belum ditambah lagi oleh kekompakan yang harus dijaga pemain barong itu. Bagian tubuh dan ekor harus
dapat mengikuti kepalanya kalau
diajak meloncat, di tempat yang sebegitu tinggi lagi. Tapi ketika mereka
berjungkir balik dan hampir hinggap di atas titian tiba-tiba pemain barong biru
menggerakkan kaki dari atas menendsng mereka.
"Des-cret!" Tak ada yang melihat kejadian itu. Pemimpin barongsai merah tiba-tiba berteriak,
tangannya luka berdarah ketika
pemimpin barongsai biru menendang tangannya. Tadi
sebuah pisau tiba-tiba mencuat dari bawah sepatu lawan, tepat mengenai tangannya
dan terlukalah pemimpin barongsai merah itu. Dan ketika dia terpaksa berjungkir balik turun sementara
tambur atau kempyeng dipukul kuat-kuat maka rintihan atau teriakan mengaduh dari
pemimpin barongsai merah ini tak terdengar, dua pembantunya di belakang juga
terluka dan menjerit. Mereka disambut
sebuah pisau kecil yang mencuat dari balik telapak sepatu, lawan berbuat curang
dan tentu saja mereka harus
berjungkir balik turun. Dan ketika mereka marah dan si pemimpin berseru keras
untuk mencoba lagi ternyata
mereka lagi-lagi gagal karena disambut tendangan dari atas, dipaksa turun dan
enam tujuh kali barongsai merah tak bisa naik. Akibatnya lawan di sana menari-
nari gembira dan kelompok atau pendukung biru berteriak gembira. Mereka melihat
kesukaran yang dialami barongsai merah dan tentu saja kedudukan barongsai merah
dirugikan. Orang di bawah akan melihat hal ini sebagai kekalahan barongsai merah, barongsai biru
sudah mendapat tepukan gegap-gempita atas kemenangannya itu. Merah selalu dibuat
terjungkal turun sebelum mencapai titian, jadi biru
dianggap unggul dan menang. Tapi ketika bentakan
terdengar dari barongsai merah dan sekali lagi pemain barongsai merah meloncat
tinggi berjungkir balik tiba-tiba mereka juga mencabut pisau dan sambil
berjungkir balik mereka menyambut pisau lawan yang disembunyikan di
bawah sepatu. "Cring-crangg!"
Orang-orang kaget. Mereka melihat kejadian itu,
barongsai merah yang mencabut pisau. Dan ketika pisau bertemu dengan pisau dan
orang di bawah menganggap
barongsai merah yang berbuat curang maka barongsai
merah mendapat teriakan dan makian dari bawah, dianggap mengeluarkan senjata
tajam lebih dulu dan tentu saja
penonton berteriak marah. Pendukung biru terutama
memaki-maki barongsai merah, mereka dianggap pengecut dan curang. Tapi ketika
barongsai merah berhasil mengejutkan lawan dan tiba di titian maka mereka
menyerang dan mengamuk dengan pisau di tangan, titian yang sempit menjadi bahan
ujian bagi kedua belah pihak.
Barongsai biru terkejut dan tentu saja melawan. Dan ketika peragaan menjadi
perkelahian sungguh-sungguh dan kedua barongsai sudah bertanding dengan sengit
maka orang di bawah mengumpat caci dan mengutuk, tak dihiraukan
barongsai mereka karena merekalah yang dicurangi dulu.
Orang di bawah tak tahu-menahu dan enak saja
mengeluarkan makian, hal yang membuat barongsai merah beringas. Dan ketika
pertandingan menjadi sengit karena pisau mulai berkelebatan menyambar-nyambar
maka barongsai biru terdesak dan pemimpinnya terkena sebuah guratan panjang.
"Bret!" Darah mulai menetes. Barongsai merah mendesak dan
terus menyerang, akhirnya lawan mundur-mundur dan
berada di sudut titian. Dan ketika merah terus mendesak biru sementara biru
tampaknya kebingungan tiba-tiba pisau kembali menyambar dan muka atau kepala
pakaian barong terkena tusukan dalam.
"Brett!" Dua sosok bayangan tiba-tiba berkelebat. Mereka
berjungkir balik dan melayang di tempat titian, langsung di belakang barongsai
merah dan melakukan bentakan. Dan
karena mereka datang dari belakang dan suara mereka juga tak terdengar karena
tambur atau kempyeng tetap dipukul
semakin gencar maka barongsai merah mencelat dan roboh terbanting ke bawah.
"Bluk!" Suara itu seperti jatuhnya sebuah semangka berat. Tiga orang di balik pakaian
barongsai merah mengeluh, roboh dan tidak bergerak lagi, rupanya pingsan. Dan
ketika semuanya itu membuat terkejut dan penonton ribut maka berkelebat tiga oang laki-
laki yang tanpa banyak cakap sudah merenggut dan melepas pakaian barong merah,
mengenakannya pada tubuh atau pakaian sendiri.
"Cun Khing, kau jahanam keparat!" tiga laki-laki itu sudah berjungkir balik,
menjadi pemain barongsai merah dan mereka menggantikan temannya yang roboh.
Beberapa laki-laki lain sudah berlompatan dan menolong pemain
barongsai pertama, yang tidak bergerak dan rupanya
pingsan itu. Dan ketika pemain barongsai kedua sudah
membentak dan berjungkir balik ke atas titian maka mereka menyerang dan melepas
pukulan-pukulan kuat ke barongsai biru, yang coba menghalangi dua temannya
dengan barong di depan. Tapi ketika tiga orang itu berseru keras dan kaki mereka
mencuat dari bawah tiba-tiba tiga pemain barongsai biru terlempar dan terbanting
di atas tanah, berteriak.
"Blukk!" Suara ini lebih keras daripada yang pertama. Tiga
pemain barongsai biru menjerit dan tidak bergerak-gerak lagi, kepala mereka
terbentur tanah keras dan pemimpinnya tiba-tiba tewas, dua yang lain luka parah
dan gegerlah tempat itu. Tapi ketika di atas sana pemain barongsai merah sudah
menerjang dan membentak dua laki-laki yang tadi merobohkan temannya tiba-tiba
dua orang itu memaki-maki dan tambur serta kempyeng juga berhenti ditabuh.
"Hei..! Teruskan suara itu. Tambur dan kempyeng harap tetap dipukul!"
Suara itu kembali nienghentak. Empat orang laki-laki
sudah maju menggantikan penabuh pertama, mereka
bahkan menendang dan membuat para penabuh itu
terlempar mencelat, suasana menjadi hiruk-pikuk namun anehnya penonton tiba-tiba
bersorak-sorai. Mereka menjadi panas melihat pertandingan di atas. Sebagian
besar orang tiba-tiba menjadi gembira dan berteriak-teriak, seolah histeris. Dan
ketika pemain barongsai biru mendesak dan menyerang dua laki-laki di atas maka
dua laki-laki ini tampak marah, mengelak dan menangkis namun sayang
mereka menghadapi tiga orang lawan, dua lawan tiga
rupanya terlalu berat dan sebuah tendangan akhirnya
membuat satu di antara dua orang itu terlempar, jatuh dari titian namun orang
ini dapat berjungkir balik, selamat meloncat turun. Dan ketika temannya yang di
atas mendapat desakan dan apa boleh buat mengakui kehebatan tiga orang lawannya maka
laki-laki ini pun mengeluh ketika tubuhnya mencelat terlempar, jatuh dari titian


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tinggi itu. "Dess!" ... Semua orang terkejut. Mereka menyangka laki-laki ini
bakal terbanting tewas, seperti pemimpin barongsai yang pertama. Tapi ketika dia
dapat berjungkir balik dan selamat turun di tanah maka orang pun bertepuk tangan
memuji namun tiga orang di atas mengejar, berjungkir balik
meloncat turun dan mereka itu terus menyerang laki-laki ini. Yang jatuh duluan
juga diterjang dan bertandinglah mereka di atas tanah, rupanya perkelahian di
atas masih tak memuaskan pihak barongsai merah dan cepat serta bertubi-tubi dua
laki-laki itu terdesak. Mereka lagi-lagi menerima sebuah pukulan dan dua buah
tendangan, terlempar dan mencelat namun mereka masih dapat bertahan. Tiga laki-laki lawannya menjadi
gemas dan marah. Namun ketika
mereka merangsek dan terus mendesak serta mau
membunuh dua laki-laki itu tiba-tiba berkelebat empat bayangan
laki-laki bermuka merah yang langsung menyerang laki-laki di balik pakaian barongsai itu, rupanya teman atau sahabat
dua laki-laki pertama, mengeluarkan senjata dan golok atau pedang tiba-tiba
menyambar menyilaukan mata. Dan ketika semua orang tersentak
karena kali ini pertandingan menjadi begitu brutal karena tiga orang laki-laki
itu sudah dikeroyok lima orang
lawannya maka mendadak berhamburan banyak laki-laki
lain yang berteriak membantu tiga laki-laki itu, disusul bentakan dan teriakan
laki-laki lainnya lagi yang menyerang dan memaki belasan laki-laki ini, jadi
seolah2 gerombolan bertemu
gerombolan. Tentu saja ramai!
Dan ketika keadaan , menjadi kacau dan peperangan kecil terjadi di situ maka pasukan
keamanan tiba-tiba muncul disertai teriakan seorang komandannya.
"Berhenti! Semua berhenti..!"
Perang kecil itu tak berhenti. Rupanya orang-orang
sudah sama-sama kalap dan akhirnya diketahui bahwa yang berkelahi itu adalah
kelompok atau pendukung masing-masing barongsai. Pengikut kedua barong itu marah
karena pemain barong roboh semua, mereka berteriak-teriak dan jadilah satu sama
lain menyerang dan memaki. Pengikut atau
pendukung barong merah menyerang dan menghantam pengikut atau pendukung barong biru. Dan
karena sekarang sudah bersifat massal dan pertempuran atau perkelahian ini
berobah menjadi pertempuran atau perkelahian kelompok maka pemimpin pasukan
tiba-tiba membentak dan maju menerjang dengan kudanya.
"Serbu, tangkap pengacau-pengacau liar ini..!"
Kalutlah semua orang. Kalau pasukan yang berjumlah
puluhan itu bergerak dan menyerang dengan kudanya tentu saja semua pihak
terkejut. Mereka cepat menyibak dan aneh sekali masing-masing kelompok sudah
menyingkir ke barisannya, tak ada yang memimpin. Dan ketika
perkelahian otomatis berhenti dan komandan berkumis
tebal itu menghentikan gerakan kudanya maka dia
membentak agar tiga laki-laki pertama dan dua laki-laki yang membela barongsai
biru maju ke depan. "Kalian berdua mengacau. Sebutkan siapa yang salah dan mulai lebih dulu!"
"Dia!" otomatis tiga laki-laki pertama menudingkan telunjuk ke dua laki-laki
lawan mereka, "Mereka ini yang berbuat curang, Lu-ciangkun (panglima Lu), Mereka
menyerang dan membokong tiga orang sute (adik
seperguruan) kami!" "Tidak!" dua laki-laki itu berteriak, tentu saja menyanggah, "Pihak barongsai merah yang memulai dulu, Lu-ciangkun. Dapat
ditanyakan semua orang bahwa
mereka memulai menyerang dan mencabut pisau!"
"Benarkah?" "Benar!" pendukung barongsai biru tiba-tiba berteriak.
"Cun Khing-ko bicara sebenarnya, Lu-ciangkun. Barongsai merah mencabut pisau dan
memulai keonaran dulu!"
"Tidak benar!" tiga laki-laki pertama bersikap marah, menolak tegas. "Adik kami
dilukai lebih dulu, ciangkun.
Pemain barongsai biru menyembunyikan pisau di bawah
sepatu mereka. Mereka itulah yang lebih dulu membuat
onar!" "Hm, siapa menjadi saksi?"
Tak ada yang menjawab, diam.
"Siapa yang berani menguatkan kata-kata orang she Kwik ini?"
Tak ada yang menjawab, semua diam. Dan ketika Lu-
ciangkun atau komandan berkumis tebal itu menjadi marah dan melotot memandang
tiga laki-laki itu, yang tak
mendapat pendukung karena sebagian
besar orang memang tidak tahu akan kecurangan pemain barongsai
biru mendadak seorang pemuda tampan meloncat maju dan mengangkat tangannya ke
atas. "Aku menjadi saksi. Aku berani disumpah
bahwa pemain barongsai biru memang berbuat curang dengan
menyembunyikan pisau di bawah sepatu mereka!"
"Siapa kau?" semua orang terkejut.
"Aku penonton di sini, ciangkun. Tapi aku membenarkan kata-kata Kwik-twako itu bahwa barongsai
merah memang diserang lebih dulu oleh pemain barongsai biru!"
"Bohong!" Cun Khing, dua laki-laki pertama membentak. "Pemuda ini tak dapat dipercaya mulutnya, ciangkun. Dia tentu telah
disuap pemain barongsai merah!"
"Hm, ada bukti," pemuda itu berani menjawab, menuding
pemain barongsai merah yang masih menggeletak di situ. "Tangan mereka terluka memanjang, orang she Cun. Dan semua
bisa melihat bahwa itu perbuatan pemain barongsai biru!"
"Belum tentu!" Cun Khing yang mendelik berseru marah.
"Luka itu bisa jadi akibat perkelahian mereka, anak muda.
Dan kau mencari-cari alasan yang tidak kuat. Jangan-
jangan kau benar-benar telah makan suap.. wut!" laki-laki itu membentak, tahu-
tahu menyerang pemuda ini namun
Kwik Beng, suheng dari barongsai merah tiba-tiba bergerak
pula ke depan. Laki-laki ini merasa mendapat bantuan dan tentu saja dia tak
membiarkan pemuda tampan yang
tampaknya lemah itu diserang, sudah menangkis dan
menarik pemuda ini. Dan ketika mereka sama terpental dan Cun Khing memaki maki
orang she Kwik ini memuji
pemuda itu, menyembunyikannya di belakang punggung.
"Anak muda, kau berani. Terima kasih. Tapi hati-hati jangan terlampau dekat
dengan mereka!" dan gagah melindungi pemuda itu menghadapi Lu-ciangkun Kwik
Beng berkata, "Nah, lihat, Lu-ciangkun. Ada saksi di sini yang memperkuat
omonganku. Dia bukan sanak-kadang
atau saudaraku, tapi orang muda ini telah menjadi saksi!"
"Hm, siapa kau?" panglima Lu tertegun, melihat keberanian pemuda itu dan diam-
diam kagum. Pemuda ini memang
tampan namun kelihatannya lemah, keberaniannya memang besar namun dia tak gampang
percaya. Sebagai komandan menjaga keamanan di kota Li-poh dia harus berhati-
hati. Pemuda itu belum tentu benar juga. Dan ketika Cun Khing di sana mengumpat
dan beberapa temanhya sudah saling mengisyaratkan mata,
maka pemuda ini tersenyum berkata,
"Aku Beng Tan, she Ju. Datang ke sini kebetulan saja dan murni sebagai penonton,
bukan petaruh atau botoh.
Kalau kau tidak percaya sebaiknya lihat dan buktikan saja apakah
sepatu pemain barongsai biru itu tidak menyembunyikan pisau!" dan mengejutkan semua orang dengan gerakannya yang ringan
dan cekatan tahu-tahu pemuda ini telah menarik sepatu dari pemimpin barongsai biru yang tewas,
membetot dan memperlihatkan itu pada Lu-ciangkun. Dan ketika semua. orang
melihat bahwa benar saja di bawah sepatu itu terselip atau terpasang secararahasia sebuah
pisau kecil maka Lu-ciang-kun
terkejut sementara semua orang juga menjadi gempar.
"Nah, lihat. Ini buktinya, ciangkun. Aku tak mungkin bohong karena bukan aku
yang menyembunyikan pisau ini di bawah sepatunya!"
-ooodwooo- Jilid : XI ORANG pun ribut. Setelah kecurangan itu diketahui dan semua mata melihat bahwa
di bawah sepatu itu benar saja terdapat sebuah pisau kecil maka pendukung
barongsai merah menjadi marah. Mereka berteriak dan menuntut
perbuatan barongsai biru. Kwik Beng, laki-laki itu gembira.
Lawannya di sana terkejut dan berobah mukanya. Tapi
ketika semua orang menjadi ribut dan pihak barongsai biru tentu saja tersudut
tiba-tiba laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam itu menerjang dan menyerang
pemuda tampan ini. "Kau pengacau!" Bentakan ini mengejutkan yang lain.
Kwik Beng, yang melindungi pemuda itu tentu saja marah.
Dia membentak dan mau menangkis serangan ini. Tapi
ketika pemuda itu tertawa dan mendorongnya perlahan
tiba-tiba pukulan itu dikelit dan si muka hitam mendapat sebuah ungkitan kecil
dan... terjerembab mencium tanah.
"Hei, hati-hati, Hek-twako. Jangan marah di sini... bluk!"
laki-laki itu terpekik, berteriak dan tentu saja marah dan malu. Tubrukannya
dikelit dan tadi sebuah kaki mengungkit pantatnya, cepat sekali, tak diketahui orang lain dan tahu-tahu ia
terjerembab. Dan ketika laki-laki itu mengumpat caci dan marah bangun berdiri
maka dia menubruk dan menyerang lagi, dikelit dan entah bagaimana tiba-tiba ia pun
terjungkal. Pemuda itu tak nampak
membalas kecuali tangan atau kakinya sering menyentuh tubuh si muka hitam,
seperti orang takut jatuh tapi justeru si
muka hitam yang tersungkur. Dan ketika kejadian ini
berulang enam tujuh kali dan orangpun gempar maka laki-laki itu akhirnya
mencabut golok dan menyerang pemuda ini, membabi-buta.
"Hei..!" orang she Kwik pun terkejut. "Jangan main curang, hitam. Simpan golokmu
dan pergilah!" laki-laki ini melompat, tak tahan lagi melihat berkelebatnya
golok yang menyambar-nyambar. Dia khawatir pemuda itu terbacok
dan luka, pendukung barongsai merah sudah berteriak-
teriak dan siap menyerang kembali, hal yang akan dihadapi pula oleh pendukung
atau pihak barongsai biru, karena Hek-twako adalah pendukung mereka. Namun
ketika laki-laki she Kwik meloncat dan hendak menubruk si muka
hitam tiba-tiba pemuda tampan itu menggerakkan jarinya dan entah bagaimana tahu-
tahu tubuh laki-laki tinggi besar ini terbanting dan golok di tangannya mencelat
patah. "Sudah... sudah... aku minta ampun. Kembalilah dan buang golokmu!" dan ketika
benar saja si Hek-twako itu mencelat ke arah barongsai biru dan goloknya dibuang
ke kanan maka Kwik Beng pun tertegun tdk jadi menyerang, tepat mendengar
bentakan Lu-ciangkun. "Pemuda ini dan si muka hitam ku-tangkap. Kalian minggir!"
Keributan baru tiba-tiba terjadi. Lu-ciangkun yang
hendak menangkap si muka hitam tiba-tiba dihadang
kelompok barongsai biru, begitu pula ketika ia melompat hendak menangkap si
pemuda tampan, hal yang membuat
komandan ini mendelik. Dan ketika dia membentak dan
marah menyuruh pasukannya maka orang pun geger ketika pihak
barongsai biru ataupun merah melakukan perlawanan! "Hei, kalian pemberontak-pemberontak hina. Awas, kalian menghadapi pasukan
pemerintah!" Seruan ini tak ditanggapi. Barongsai biru melindungi
kawannya sementara barongsai merah melindungi pemuda
tampan itu. Kwik Beng terutama meminta teman-temannya melindungi pemuda itu,
setiap pasukan yang mendekat
tentu didorong dan hiruk-pikuklah suasana. Tapi ketika Lu-ciangkun naik darah
dan kudanya dikeprak siap menerjang siapa saja mendadak bayangan pemuda itu
berkelebat dan tahu-tahu menangkap Cun Khing, pemimpin atau kepala
barongsai biru. "Lu-ciangkun, tahan. Lihat siapa yang kutangkap!"
Orang-orang terkejut. Tiba-tiba mereka tertegun melihat Cun Khing meronta-ronta
di pegangan pemuda itu, membentak dan mau melawan tapi tiba-tiba pemuda itu
menggerakkan jarinya, menotok pundak. Dan ketika Cun
Khing mengeluh dan roboh tidak berdaya maka gemparlah semua orang karena pemuda
itu kiranya seorang pemuda
yang lihai, yang tadi hanya berpura-pura lemah saja.
"Ciangkun, lihat. Biang


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keladi keributan sudah kutangkap!" Lu-ciangkun tertegun. Tadi dia melihat bayangan
pemuda itu yang bergerak luar biasa cepat, menerobos di sela-sela semua
keributan itu dan tahu-tahu Cun Khing, pemimpin dari barongsai biru tertangkap.
Dan ketika laki-laki itu menggantung tak berdaya di pegangan pemuda ini
sementara perkelahian atau kegaduhan berhenti maka
semua orang dibuat terbelalak dan kaget memandang ke
situ. "Lihat, orang she Cun inipun menyembunyikan pisau kecilnya di bawah sepatu.
Semua anggauta barongsai biru juga begitu!" pemuda ini mengangkat naik kaki si
tangkapan, menunjukkan pisau yang tiba-tiba dicabut. Dan ketika orang menjadi
gempar lagi karena benar saja laki-laki itu menyembunyikan pisaunya maka
anggauta barongsai biru tiba-tiba ribut dan membuang pisau di bawah sepatu mereka!
"Nah, lihat. Siapa salah siapa benar kelihatan sekarang, Lu-ciangkun. Justeru
orang-orang ini yang harus kau
tangkap bukannya aku!"
Namun aneh, komandan itu tiba-tiba membentak. Dan
ketika dia mengeprak kudanya dan maju mendekat tiba-tiba komandan ini berseru,
"Anak muda, kau mengacau.
Serahkan juga dirimu dan mari ikut ke markas!"
Si pemuda terkejut. Dia tak menyangka reaksi balik dari komandan ini, yang jelas
sekarang mulai kelihatan membela barongsai biru. Tapi ketika
Lu-ciangkun menggerakkan tangan dan hendak merampas tawanannya
tiba-tiba pemuda ini tertawa dan melempar laki-laki itu pada pemimpin barongsai
merah, Kwik Beng. "Kwik-twako, terimalah. Rupanya Lu-ciangkun tak suka kepadaku dan ngotot ingin
menangkap... wut!" laki-laki itu dilempar ke Kwik Beng, tentu saja diterima dan
si pemuda sudah mengelak sambaran Lu-ciangkun. Kelitan yang
begitu mudah serta gampang yang ditunjukkan pemuda ini rupanya membuat tubrukan
atau sambaran jari Lu-ciangkun luput, mengenai angin kosong. Dan ketika
komandan itu marah dan tentu saja membentak gusar maka dia sudah memajukan
kudanya dan menyerang pemuda ini
lagi, dua tiga kali namun semuanya itu luput. Si pemuda mengelak dan selalu
menghindari serangannya, tak ada
satupun yang kena dan ributlah semua orang. Pendukung barongsai merah bersorak
dan mengejek komandan itu,
yang membuat si komandan naik pitam dan gusar bukan
kepalang. Dan ketika dia menyuruh beberapa pembantunya
maju membantu namun pihak barongsai merah tiba-tiba
menyerbu maka komandan ini terkejut ketika pasukannya diserang.
"Hei, tangkap pemuda ini. Tangkap!"
Kiranya komandan itu lebih mementingkan pemuda ini
daripada barongsai merah. Dia terkejut dan kaget tak dapat menangkap pemuda itu,
yang hanya berlompatan dan
selalu menghindar. Tapi karena para pembantunya dicegat dan diserang pendukung
barongsai merah maka komandan
itu memaki-maki dan tiba-tiba pihak barongsai biru
menyerang. Mereka membantu pasukan dan sudah
menerjang pihak barongsai merah, apalagi Cun King masih ditangkap pemimpin
barongsai merah, Kwik Beng. Tapi
ketika semuanya bergerak dan serang-menyerang tak dapat dicegah lagi mendadak
pemuda tampan itu membentak dan berkelebatan menampar Lu-ciangkun.
"Hentikan semua ini, tahan!"
Lu-ciangkun berteriak. Tiba-tiba dia terlempar dari atas kudanya dan terbanting,
jatuh terguling-guling dan nyaris terinjak-injak. Beng Tan atau pemuda tampan
itu sudah lenyap entah ke mana, tubuhnya berkelebatan dari satu tempat ke tempat
lain, menyambar-nyambar bagai seekor burung
besar. Dan ketika terdengar jerit atau pekik
kesakitan di sana-sini tiba-tiba terpelantinglah sekian banyak orang itu oleh
kibasan atau dorongan Beng Tan, yang hanya mempergunakan ujung lengan bajunya.
"Berhenti, kalian semua berhenti!"
Orang-orang itu terlempar. Sama seperti Lu-ciangkun
yang jatuh dari atas kudanya maka orang-orang itupun
terpelanting ke kiri kanan. Baik pendukung barongsai biru maupun merah terlempar
tak keruan, pasukan berkuda juga tersibak dan rata-rata menjerit kaget. Dan
ketika semuanya berhenti dan otomatis tidak serang menyerang lagi maka Beng Tan sudah berdiri di
tengah-tengah dengan tegak dan gagah.
"Siapa yang masih serang-menyerang lagi akan
kupatahkan lengannya. Sekarang dengarkan dan lihat kata-kataku!" pemuda ini
menghadapi Lu-ciangkun, dikepung dan dikelilingi pasukan berkuda namun pemuda
itu tidak takut, bahkan matanya tiba-tiba berkilat dan gentarlah semua orang
menyaksikan kepandaian pemuda itu, yang
ternyata amat tinggi! Dan ketika Lu-ciangkun juga
tergetar dan jerih maka dicabutlah sesuatu dari saku dalam pemuda itu.
"Lu-ciangkun, kau mengenal ini" Kau tahu apa artinya ini?"
"Ooh!" komandan itu tersentak, melihat sebuah cincin di tangan pemuda itu,
cincin gemerlap seperti bintang. "Kau...
kau utusan istana, kongcu" Kau kiranya.."
"Benar, tak usah diteruskan. Sekarang kau mengerti siapa aku, ciangkun. Kuminta
agar kau menghukum orang-orang dari barongsai biru ini karena mereka curang.
Bebaskan rombongan barongsai merah dan biarkan mereka pulang!"
Orang tiba-tiba terkejut. Lu-ciangkun tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan berteriak agar pasukannya turun dari kuda masing-
masing, berseru bahwa utusan Li-ongya (sri baginda Li) tiba. Dan ketika pasukan
meloncat dari kudanya masing-masing dan terkejut menjatuhkan diri berlutut maka
gemparlah semua orang karena pemuda yang disangka lemah itu ternyata utusan
kaisar! "Nah, tangkap dan adili orang-orang dari barongsai biru ini, ciangkun. Mereka
pengacau dan jelas orang-orang curang. Siapa melawan harap serahkan aku!"
Lu-ciangkun menggigil. Tiba-tiba sikapnya menjadi lain dan berulang-ulang dia
memohon ampun, tak mengetahui
datangnya seorang utusan dan tentu saja Kwik Beng,
pemimpin barongsai merah tertegun. Laki-laki ini juga tak menduga bahwa pemuda
itu adalah utusan Li-ongya,
junjungan atau penguasa mereka. Dan ketika semua
menjatuhkan diri berlutut dan serempak seinua orang tak berani mengangkat
mukanya maka Beng Tan tersenyum
mengangguk-angguk, memandang si muka hitam.
"Kau," katanya, "ke sini dan lakukan hukuman ringan.
Tampar dan maki dirimu sebanyak sepuluh kali!"
Hek-twako, si muka hitam gemetar. Dia tadi terlempar
dan terbanting oleh kelihaian pemuda ini, tak tahunya utusan atau orang dekat
kaisar. Diam-diam mau menyelinap pergi tapi si pemuda melihat, menggapai dan kini menyuruhnya dekat.
Dan ketika laki-laki ini menggigil dan belum apa-apa sudah meratap minta ampun
maka dia disambar dan telinganya dijewer.
"Aku sudah mengampunimu. Kalau tidak tentu kau
sudah kubunuh. Heh, lakukan perintahku, Hitam, tampar dan maki dirimu sebanyak
lima kali!" "Baik... baik..!" dan si hitam yang lalu menampari dan memaki dirinya sendiri
lalu didengar secara geli oleh orang-orang itu, tak berani tertawa karena si
pemuda ada di situ. Beng Tan tampak berwibawa memandang orang-orang ini,
aneh, sikapnya menjadi lain daripada waktu pertama dia datang. Dan ketika si
hitam selesai menampari mukanya dan memaki sebanyak sepuluh kali maka pemuda itu
menghadapi Lu-ciangkun, sang komandan yang tadi
tampak melindungi orang-orang barongsai biru.
"Kau," tanyanya. "Kenapa melindungi dan membela orang-orang barongsai biru
ini, ciangkun" Kenapa memusuhi pihak barongsai merah?"
"Dia kena suap ribuan tail, kongcu. Lu-ciangkun
memihak karena makan sogokan!" Kwik Beng, pemimpin barongsai merah
berseru, mendahului. Tentu saja
mengejutkan Lu-ciangkun dan komandan itu cepat-cepat
menggeleng, menyangkal. Dan ketika Beng Tan tampak
tertegun dan mengangguk-angguk maka komandan ini
pucat, menyanggah, "Tidak, dia... dia bohong, kongcu. Aku tidak makan suap!"
"Tapi kau membela barongsai biru. Mula-mula tampak bersikap adil tapi akhirnya
berat sebelah!" "Tidak... ampun, kongcu. Dia bohong!" namun ketika Cun Khing diminta dan laki-
laki ini dipencet punggungnya maka Beng Tan mendesis,
"Orang she Cun, coba kau jelaskan benarkah tuduhan itu atau tidak. Jangan coba
berbohong karena aku dapat
menyakitimu yang lebih lagi!"
"Tidak... tidak! Orang she Kwik itu bohong!"
"Kau dapat memberi bukti?"
"Aku dapat membuktikannya, kongcu. Lihat saja
buntalan di atas pelana Lu-ciangkun itu!" tiba-tiba Kwik Beng kembali berseru,
mendahului dan mengejutkan Lu-ciangkun dan tentu saja pemuda itu menoleh,
melihat sebuah buntalan di pelana Lu-ciangkun, yang tadi tak
menjadi perhatiannya, Dan ketika Lu-ciangkun gemetar
dan Cun Khing juga terkejut menggigil tubuhnya maka
pemuda itu sudah berkelebat dan menyambar buntalan di atas pelana kuda ini.
"Cring!" Suara itu cukup. Kiranya ribuan tail perak memang
tersimpan di buntalan ini, Beng Tan sudah membukanya
dan tentu saja alisnya berkerut, mukapun merah dan
mengeluhlah komandan Lu itu. Dan ketika dia ditanya dari mana
uang sebanyak itu dan bagaimana dalam menjalankan tugasnya komandan ini membawa-bawa uang
segala maka dia mengaku dan lemaslah hatinya, jatuh
mendeprok dan Cun Khing pun pucat. Sekarang laki-laki ini tak dapat berkutik
karena yang bersangkutan sendiri sudah mengaku, tak mungkin lagi dia berbohong.
Dan ketika pemuda itu memandangnya dan sinar matanya
tajam menyambar maka Beng Tan membentak dan marah
menarik Lu-ciangkun. "Heh, beginikah perbuatanmu sebagai aparat negara, Lu-ciangkun" Kau kena sogok
dan makan suap?" "Ampun... ampun... aku tak akan mengulanginya,
kongcu. Aku salah..!"
"Hm, mengaku salah tidaklah cukup, ciangkun. Aku harus melapor pada atasanmu
agar kau dihukum. Dan kau..!" pemuda itu menunjuk Cun Khing. "Kau akan kuserahkan pada So-goanswe
(jenderal So), orang she Cun.
Lu-ciangkun tak dapat kupercaya memberikan hukuman
setimpal untukmu. Kau dan orang-orangmu tak boleh lagi tinggal di Li-poh!" dan
ketika laki-laki itu pucat dan mengangguk-angguk
maka hari itu pemuda ini memerintahkan pasukan menangkap Lu-ciangkun, aneh
dan lucu karena anak buah tiba-tiba menangkap
pemimpinnya! Tapi karena pemuda itu jelas orang yang
lebih tinggi tingkatnya dan kepandaiannyapun juga luar biasa ,maka Lu-ciangkun
yang sial lalu ditangkap dan
diserahkan kepada atasannya, jenderal So atau So-goanswe dan pemimpin barongsai
biru itupun juga dihukum. Cun
Khing dan anak buahnya jelas bersalah, melakukan
kecurangan. Dan, ketika hari itu Li-poh digegerkan oleh pemuda ini maka nama Ju
Beng Tan dikenal orang sebagai utusan atau paling tidak orang dekat dengan
kaisar, ditakuti dan tentu saja Li-poh gempar. Kota yang tidak seberapa besar
itu ternyata didatangi utusan kaisar, Lu-ciangkun sebagai komandan malah kena
hukum! Dan ketika hari itu juga pemuda ini membereskan orang-orang itu dan
pendukung barongsai biru otomatis ngacir maka Kwik
Beng, pemimpin barongsai merah berulang-ulang mengucapkan terima kasihnya pada Beng Tan.
"Terima kasih. Tanpa kau barangkali kami tinggal nama, kongcu. Terima kasih dan
mari mampir di rumahku!"
"Hm, tak usah," Beng Tan tersenyum. "Aku datang memang sengaja melihat-li-hat,
Kwik-twako, membersihkan daerah dari kejahatan orang-orang macam barongsai biru
itu!" "Dan kongcu hebat sekali. Maaf kalau tadi aku
merendahkanmu, kongcu. Aku tak tahu bahwa kau
demikian lihai!" "Sudahlah, aku sudah bertemu So-goanswe, twako.
Sekarang aku harus pergi dan meninjau daerah lain!"
Kwik Beng hendak mencegah. Tapi belum dia membuka
mulutnya tiba-tiba pemuda itu berkelebat dan lenyap, begitu luar biasa dan laki-
laki ini tertegun. Untuk kesekian kalinya dia dibuat bengong. Tapi begitu si
pemuda lenyap dan orang-orang di belakangnya kagum maka mereka mendecak dan memuji,
"Hebat, Ju-kongcu itu luar biasa sekali. Aih, kalau tak ada dia tentu keramaian
ini sudah banjir darah!"
"Benar," yang lain menimpali. "Pemuda itu hebat sekali, A-siok, dan tampan!"
"Hm, kalau saja aku punya gadis cantik!" yang lain menyambung, bersinar-sinar.
"Tentu kubujuk dia untuk bertandang, Akan, Sayang aku sebatangkara dan sudah
tua!" Begitulah, nama pemuda itu dikagumi banyak orang dan
disebut-sebut. Sebagai pemuda lihai yang berkepandaian tinggi tentu saja banyak
orang tertarik padanya, apalagi setelah dikenal sebagai utusan kaisar, entah
khusus atau tidak. Dan ketika hari itu semua orang memuji pemuda ini sementara
Cun Khing dan teman-temannya menggigit jari maka Beng Tan sendiri sudah lenyap
meninggalkan Li-poh. oooood0e0w0iooooo "Berhenti dulu, sobat. Terangkan apakah benar kau datang dari Li-poh!"
Beng Tan berhenti. Dia sedang memasuki hutan ketika
terdengar bentakan atau seruan nyaring itu, seruan atau bentakan seorang wanita
cantik. Dan ketika pemuda ini berhenti dan menoleh ke belakang maka sesosok


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayangan ramping berkelebat datang dan sudah berdiri di depannya, seorang wanita
cantik yang membawa payung.
"Kau siapa?" Beng Tan heran, tergetar. "Kenapa menghentikan aku?"
"Hi-hik, aku Eng Hwa, Li Eng Hwa. Menghentikan
perjalananmu karena tertarik mendengar cerita tentangmu.
Apakah kau yang dari Li-poh?"
"Hm, benar," Beng Tan mengangguk, semakin heran lagL "Ada apakah, nona" Kukira
kita tak saling kenal-mengenal!"
"Hi-hik, salah. Sekarang kita sudah kenal-mengenal, kongcu. Dan untuk lebih
mengenal lagi coba kau terima seranganku ... siutt!" gadis atau wanita itu tiba-
tiba berkelebat ke depan, mengayun tangan kirinya dan
menyambarlah serangkum angin dingin ke muka Beng Tan.
Beng Tan jadi terkejut dan tentu saja mengelak. Tapi ketika dia berkelit dan
lawan mengejar tiba-tiba tangan satunya bergerak dan sebuah tamparan mengenai
pundak pemuda ini. "Plak!" Beng Tan terkejut. Dia cepat mengerahkan sinkangnya
dan lawan terpekik, tamparan itu mental dan telapak Eng Hwa melepuh! Dan ketika
wanita itu terkejut dan tentu saja marah tiba-tiba wanita ini telah menggerakkan
tubuhnya dan bertubi-tubi menyerang pemuda itu, payung dikempit di
bawah ketiak dan Beng Tan terbelalak. Wanita itu
berkelebatan mengelilingi tubuhnya dan lenyap dengan
serangan-serangan yang cepat. Pemuda ini jadi penasaran dan gemas juga. Dan
ketika sebuah pukulan akhirnya
diterima tangan kirinya dan Beng Tan mengerahkan
sinkang menyedot maka lawan menjerit ketika telapaknya tertempel!
"Aih!" wanita itu terpekik. "Hebat, kongcu. Tapi lepaskanlah... dess!"
Beng Tan menerima sebuah tendangan, tidak bersungguh-sungguh dan sudah melepaskan telapak lawan.
Eng Hwa atau wanita cantik itu tampak pucat
memandangnya. Dan ketika Beng Tan tersenyum namun
lawan membentak lagi tiba-tiba wanita itu mencabut
payungnya dan berkelebatan lagi menusuk dan menotok.
"Hei... hei!" Beng Tan jadi berlompatan ke sana-sini.
"Tahan, nona. Tahan dulu. Aku ingin bicara!"
"Nanti saja!" wanita itu melengking. "Hadapi semua serangan-seranganku, kongcu.
Dan robohkan aku baru kita bicara!"
"Eh!" Beng Tan jadi heran. "Kenapa begini" Kenapa harus bertempur?"
"Tak perlu banyak cakap. Kau robohkan aku atau aku yang akan merobohkan-mu!" dan
si cantik yang kembali menggerakkan payungnya dengan gesit dan lin-cah tiba-tiba
hampir menusuk mata Beng Tan ketika mengelak ke kiri, untung cepat ditampar dan
payungpun mental. Beng Tan
mengerahkan sinkangnya dan lagi-lagi untuk kesekian kali lawan terpekik,
tangannya linu dan payung itupun tertolak balik, hampir mengenai muka sendiri.
Namun ketika dia mendesak dan pukulan demi pukulan silih berganti
mendesak pemuda ini ternyata Beng Tan mampu bertahan, bahkan demikian baiknya
karena tak lama kemudian angin pukulan pemuda itu sudah mampu mendorong payung,
sebelum senjata itu mendekat! Dan ketika si wanita terkejut dan marah
mempercepat gerakannya tiba-tiba Beng Tan
berseru bahwa dia akan menyudahi perkelahian ini, yang dinilainya tak beralasan.
"Cukup, sekarang kita berhenti!"
Wanita cantik itu mengeluh. Beng Tan menyambar dan
mencengkeram payungnya, kena dan tiba-tiba dibetot. Dan ketika dia tertarik ke
depan dan kaget serta mau bertahan mendadak jari pemuda itu bergerak dan sebuah
totokan mengenai pundaknya. "Tuk!" Robohlah wanita ini. Eng Hwa mendesis namun kagum
memandang pemuda itu, matanya bersinar-sinar dan
tertawa Aneh! Dan ketika Beng Tan heran dan menganggap wanita ini gila tiba-tiba
berkelebat lagi sesosok bayangan dan seorang laki-laki muda tiba-tiba
menyerangnya. "Sobat, kau hebat. Tapi coba dulu seranganku dan lihatlah.. wutt!" sebuah ikat
pinggang menyambar ganas, meledak di sisi telinga pemuda ini ketika Beng Tan
membungkuk, maksudnya mau membebaskan totokan tapi
tentu saja tidak jadi, mengelak dan melempar tubuh ke kiri.
Dan ketika di situ berdiri seorang laki-laki muda yang tampan namun matanya
mengeluarkan minyak maka Beng
Tan sudah diserang dan dihujani sambaran ikat-pinggang ini.
"Ha-ha, kenalkan. Aku Bhok Li, sobat. Jaga ikat-
pinggangku dan berhati-hatilah ... tar!" sebuah ledakan akhirnya mengenai juga
pundak Beng Tan, lihai menyambar namun pemuda ini mengerahkan sinkangnya.
Senjata lawan terpental dan lawan terkejut, berseru keras dan menyerang lagi.
Dan ketika ikat-pinggang kembali
meledak-ledak namun Beng Tan dapat mengelak atau
menangkis akhirnya lawan terbelalak karena tak satupun serangannya dapat
merobohkan pemuda itu. "Hebat!" serunya. "Kau hebat, anak muda. Tapi coba terima pukulan-pukulanku
ini!" laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya, mengiringi ledakan ikat-
pinggang namun Beng Tan menolak semua pukulannya itu. Dengan tangan
kirinya pula pemuda ini menghalau pukulan lawan, yang berhawa panas dan
menyambar-nyambar mengiringi
serangan ikat-pinggang. Dan ketika sebuah pukulan
akhirnya bertemu tamparan pemuda ini maka Beng Tan
membentak dan lawanpun terpelanting.
"Cukup!" Beng Tan berseru. "Hentikan main-main ini, sobat. Dan katakan apa
artinya ini!" "Ha-ha, belum puas!" lawan meloncat bangun, menerjang lagi. "Robohkan aku, anak muda. Atau aku yang akan merobohkanmu dan
baru kita bicara!" Terpaksa, karena Bhok Li atau laki-laki muda itu tak
mau menghentikan serangannya dan baru berhenti kalau
sudah dirobohkan maka Beng Tan membentak dan
menggerakkan kedua tangannya, jari menampar dan ikat-
pinggang pun mencelat, lawan terpekik namun tangan
kirinya menyambar, melepas sebuah pukulan amis. Namun ketika Beng Tan menangkis
dan pukulan itu diterima akhirnya lawan terbanting dan roboh terguling-guling.
"Dess!" Berakhirlah pertandingan ini. Beng Tan telah menyambar dan merampas ikat-pinggang, lawan telah
bergulingan melompat bangun, kaget di sana. Leber
bajunya sobek dan sebuah titik hitam tampak di lehernya itu, totokan yang tidak
diteruskan Beng Tan karena lawan dapat roboh tak bernyawa, hal yang membuat
laki-laki itu terkejut, tahu bahwa Beng Tan bermurah hati. Maka ketika dia sadar
dan pucat tertawa menyeringai maka Bhok Li, laki-laki ini menjura.
"Bagus, terima kasih, sobat yang lihai. Sekarang aku dan temanku benar-benar
menyerah kalah!" "Hm, siapa kau?"
"Aku Bhok Li, Bhok-kongcu!"
"Ah, Hi-ngok (Si Hidung Belang)?"
"Ha-ha, orang yang tak senang padaku menjulukiku begitu, sobat yang lihai. Tapi
sebenarnya aku bukan pemuda hidung belang!"
"Hm!" dengus atau suara dari hidung itu tiba-tiba tidak ramah. "Ada apa kau
menggangguku di sini, Bhok-kongcu"
Dan apakah dia temanmu?"
"Benar, dia Mao-siao Mo-li Li Eng Hwa, sobat lihai.
Dan maksud kami mengganggumu adalah ingin mencoba
ilmu kepandaianmu apakah pantas berhadapan dengan
Golok Maut!" Beng Tan mengerutkan kening. Mendengar bahwa dua
orang ini ternyata adalah si Hidung Belang Bhok-kongcu dan itu adalah Mao-siao
Mo-li si wanita cabul tiba-tiba dia tidak bersahabat lagi. Dua orang ini adalah
orang-orang yang dikenalnya sebagai orang-orang sesat, tidak bernama harum. Tapi
mendengar disebutnya nama Golok Maut dan
lawan rupanya ada maksud dengan itu maka pemuda ini
bergerak dan totokan Eng Hwa alias Mao-siao Mo-li
dibebaskan. "Aku tak mengerti," katanya. "Apa hubungannya Golok Maut dengan aku" Apa maksud
kalian?" "Ha-ha, maksudnya minta tolong, sobat yang lihai.
Golok Maut telah merobohkan kami dan menghina banyak
orang!" "Benar," Eng Hwa, si Siluman Kucing menimpali, terkekeh dengan kerlingnya yang
tajam menyambar, penuh daya pikat. "Golok Maut sombong sekali dengan
menantang semua orang pandai, kongcu. Dan kami serta
kawan-kawan terus terang saja ingin mencari bantuan dan meminta tolong yang
dapat mengalahkan Golok Maut itu!"
"Hm, aku pribadi memang juga hendak mencari Golok Maut, tapi bukan dalam
bantuannya kepada kalian, orang-orang sesat!"
"Ah, kami bukan orang-orang sesat, kongcu. Orang yang tak senang kepada kami
saja yang menamakan kami begitu!" "Tapi nama kalian kudengar tidak sedap, Dan tadi itu, bukankah Ang-tok-kang
(Pukulan Racun Merah)?" Beng Tan memandang Bhok-kongcu. "Ilmu silat kalian jelas
ilmu silat kotor, Bhok-kongcu. Aku tak suka dan sebaiknya
kalian tak usah meminta tolong aku!"
"Sombong!" Bhok-kongcu tiba-tiba marah. "Meskipun kau lihai tapi belum tentu
dapat mengalahkan kami berdua, anak muda. Coba kau hadapi kami dan lihat apakah
ilmu silat kami berdua tak dapat dipakai merobohkanmu!" dan Bhok Li yng sudah
membentak dan mengajak temannya
menyerang tiba-tiba mengambil ikat-pinggang barunya dan menerjang ke depan,
marah karena Beng Tan dinilai
menghina. Pemuda itu memang dapat merobohkan mereka,
satu persatu, belum tentu kalau dikeroyok berbareng. Dan karena Mao-siao Mo-li
Li Eng Hwa juga marah dan
mengerutkan kening mendengar kata-kata Beng Tan tiba-
tiba wanita cantik inipun mengangguk, berseru keras
menyambar payungnya dan bergeraklah dua orang itu
mengeroyok Beng Tan. Pemuda ini hendak diuji apakah
dapat mengalahkan lawannya berbareng, seperti yang dulu dilakukan Golok Maut.
Dan ketika Beng Tan mengelak
sana-sini dan pemuda ini berseru marah maka Beng Tan tak senang membentak
lawannya, "Orang she Bhok, sebaiknya jangan disamakan aku
dengan Golok Maut. Kalian pergilah, atau aku terpaksa menghajar!"
"Ha-ha, cobalah, anak muda sombong. Kalau kau dapat menghajar dan mengalahkan
kami berdua seperti dulu Golok Maut juga mengalahkan kami maka pantas kiranya
hajaran itu. Hayo, hajar dan robohkan kami!"
Beng Tan gemas. "Kalian masih juga mau menyamakan aku dengan Golok Maut" Kalau
aku merobohkan kalian bukan karena ingin diadu, Bhok-kongcu, melainkan semata menghajar kalian yang
tidak punya adat... plak-dess!" dan pukulan atau tamparan Beng Tan yang mulai
bekerja menghalau payung atau ikat-pinggang akhirnya membuat
Mao-siao Mo-li maupun temannya berseru kaget, terpental dan hampir mengenai muka
sendiri dan tentu saja mereka terkejut. Lawan hanya bertangan kosong sementara
mereka bersenjata. Dan ketika Bhok-kongcu berseru nyaring
mempercepat gerakannya tiba-tiba Mao-siao Mo-li juga
membentak dan mengerahkan ginkangnya, berkelebatan
cepat mengelilingi pemuda itu dan menyambarlah dari
mana-mana hujan serangan atau pukulan. Bhok-kongcu
menggerakkan tangan kirinya melakukan pukulan-pukulan Ang-tok-kang, pukulan yang
berbau amis dan tadi sudah dicium oleh Beng Tan, yang tentu saja mengerutkan
alisnya dan semakin tidak senang. Dan ketika payung di tangan Mao-siao Mo-li
juga menyambar-nyambar dalam tusukan
atau totokan maka Beng Tan berkelebat lenyap mengeluarkan kepandaiannya, mengejutkan lawan.
"Kalian manusia-manusia tak tahu diri!"
Bhok-kongcu dan Mao-siao Mo-li terkejut. Lawan tiba-
tiba menghilang, begitu cepat, begitu luar biasa. Dan ketika mereka terbelalak
dan tertegun tak tahu lawan di mana mendadak sebuah tamparan mendarat di masing-
masing pelipis dua orang itu. "Robohlah, orang-orang sesat, dan pergilah... plak-plakk!"
Mao-siao Mo-li dan Bhok-kongcu menjerit. Mereka
terpelanting dan jatuh terguling-guling, kelengar. Bumi rasanya berada di atas
dan kepala mereka pening.
Tamparan itu begitu kuat hingga payung maupun ikat-
pinggang terlepas dari tangan mereka. Dan ketika dua
orang itu mengaduh dan tak dapat bangun maka Beng Tan berkelebat lenyap dan
berseru dari jauh, "Nah, sekarang aku sudah merobohkan kalian, Bhok-kongcu. Lain kali kalau tetap
mengganggu tentu kalian kubunuh!"
"Aduh, keparat. Jahanam bedebah...!" Bhok-kongcu hampir tak dapat bangun. "Dia
lihai, Mao-siao Mo-li, namun sayang tak dapat membantu kita!"
"Benar," Mao-siao Mo-li, yang juga merintih di sana mengeluh. "Dia lihai, o-rang
she Bhok. Dan barangkali kita harus memaksanya bersama teman-teman kita yang
lain!" "Tapi dia akan membunuh kita!" Bhok-kongcu ngeri.
"Apakah kau tidak dengar ancamannya tadi?"
"Ah, pemuda macam begitu tak gampang membunuh,
Bhok Li. Dia berhati lemah dan tanggung tak akan
membunuh kita!" "Keparat, tapi sekarang aku tak dapat bangun! Apakah kau dapat bangun, Siluman
Kucing" Heh, kau tidak mau
membantu aku?" "Membantu hidungmu! Berdiri saja susah, orang she Bhok. Lebih baik kau jangan
cuap-cuap dan biarkan aku menghilangkan pusingku!"
Ternyata Siluman Kucing ini juga pening. Dihajar dan
dirobohkan pemuda lihai itu dia tak dapat bangun, sama seperti temannya. Dan
ketika di sana Bhok Li tertawa
menyeringai dan girang bahwa dia tidak sendirian maka
Beng Tan, yang sudah meninggalkan dua orang ini jauh di luar hutan melenggang
dengan santai setelah sedikit


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendongkol menghadapi gangguan Bhok-kongcu dan
Siluman Kucing itu. Pemuda ini tersenyum mengejek. Diam-diam dia geli
bahwa dua orang sesat itu telah menerima hajarannya,
mereka tak mungkin berani lagi mengganggunya kalau
tidak ada sesuatu yang lain. Tapi ketika dia tersenyum-senyum dan geli
membayangkan dua orang itu tiba-tiba
muncul dua penunggang keledai yang menghadang
jalannya. "Heh, kau yang baru merobohkan Hi-ngok Bhok-kongcu, anak muda" Kau yang
mengalahkan Siluman Kucing?"
Beng Tan terkejut, seketika berhenti. "Kalian siapakah"
Tampaknya bukan orang sini!" Beng Tan mengerutkan kening, melihat bahwa dua
laki-laki di atas keledai itu adalah orang-orang berkulit hitam yang hidungnya
mancung, seperti bangsa Hindia dan tentu saja dia heran, berhenti dan bertanya.
Dan ketika dua orang itu tertawa dan
menjepit perut keledainya tiba-tiba binatang itu
terlonjak dan meloncat ke depan, hampir menubruk Beng Tan.
"Hei!" Beng Tan marah. "Hati-hati, kakek ceroboh.
Keledai mu hampir menubruk aku!"
"Ha-ha!" kakek di sebelah kiri, yang bersinar-sinar memandang pemuda itu tiba-
tiba mengangkat lengannya,
mendorong. "Kami tanya kau belum menjawab, anak
muda. Apakah betul kau yang merobohkan Bhok-kongcu
dan Siluman Kucing.. wherrr!" angin pukulan dahsyat menyambar, tahu-tahu
mengangkat naik tubuh pemuda itu dan Beng Tan berseru keras. Ia sudah terangkat
tanpa tahu bahwa dirinya diserang, kakek itu licik. Tapi ketika Beng
Tan membentak dan mengerahkan ilmunya tiba-tiba tubuh pemuda ini menjadi berat
dan pemuda itu kembali turun ke tanah, meluncur ringan namun sudah menancap
kuat, kakinya tak bergeming dan kakek itu berseru tertahan. Dia telah menyerang pemuda
ini tetapi gagal, Beng Tan telah mengerahkan Jing-kin-kangnya (Tenaga Seribu
Kati) dan tubuh pemuda itu anjlog ke bawah, tak lagi bergeming. Dan ketika kakek
satunya juga berseru perlahan dan terbelalak memandang Beng Tan maka pemuda ini
tahu bahwa dia berhadapan dengan dua kakek lihai dari Thian-tok (India).
"Kakek siluman, kenapa kau menyerang aku?" Beng Tan tentu saja marah, tak lagi
menghormat dua orang itu karena kakek-kakek ini dinilainya keterlaluan. Dia
diserang tanpa diberi tahu. Kalau dia tidak memiliki Jing-kin-kang dan terangkat
ke atas tentu dia sudah terbanting dan mendapat malu.
"Ha-ha!" kakek di sebelah kiri, yang tadi menyerang tertawa, aneh suaranya,
serak namun menggetarkan. "Kau hebat, anak muda. Tapi kau benar. Kami akan
menyerangmu kalau kau tidak menjawab pertanyaan
kami!" "Pertanyaan apa?"
"Itu tadi, apakah benar kau yang merobohkan Bhok-kongcu dan Siluman Kucing!"
"Benar," Beng Tan mendongkol. "Mereka menggangguku, kakek buruk. Dan aku akan merobohkan
siapa saja yang berani menggangguku pula!" dengan perkataan ini Beng Tan hendak
memberi tahu dua orang kakek itu, bahwa dia mungkin juga akan merobohkan dua kakek
itu kalau mereka kurang ajar, coba-coba mengganggunya, hal yang tentu saja dimengerti dua orang itu dan kakek di sebelah
kiri maupun kanan tertawa
bergelak. Suara mereka tinggi menggetarkan dan diam-diam Beng Tan kaget, harus
mengerahkan sinkangnya kalau isi dada tak ingin rontok! Dan ketika dua kakek itu
berhenti tertawa dan mereka menghentak kedua kaki tiba-tiba kakek di sebelah
kanan kini maju mengitari.
"Ha-ha, kau gagah, tetapi sombong! Eh, terus terang kami ingin mengganggumu,
anak muda. Tapi sebutkan dulu siapa namamu dan dari perguruan mana!"
"Aku Beng Tan, bukan dari perguruan mana-mana.
Sekarang sebutkan siapa kalian dan mau apa menghadang di sini!"
"Kami tertarik melihat kepandaianmu, terus terang ingin mengajakmu bertanding!"
"Apa?" "Benar, kami ingin main-main denganmu, anak muda.
Kami selalu tertarik melihat orang lihai!"
"Seperti Golok Maut!" kakek di sebelah kiri menyahut, cepat dan mengejutkan.
"Kami penasaran tak menemukan Golok Maut, bocah. Maka kebetulan kau dapat
sebagai penggantinya karena kami lihat kaupun cukup lihai!"
"Gila!" Beng Tan membentak. "Aku tak mau berkelahi tanpa alasan yang cukup,
kakek siluman. Kalian sebaiknya pergi atau aku yang pergi!" Beng Tan
menggerakkan kakinya, berkelebat di sisi kakek sebelah kanan namun kakek itu
tiba-tiba tertawa. Beng Tan yang berkelebat tahu-tahu sudah disambut pukulan
telapak tangannya, lebar menyambar dan Beng Tan terkejut. Telapak itu tahu-tahu sudah menghadang di
mukanya dan tentu saja dia
menangkis. Dan ketika dua pukulan mereka bertemu dan
Beng Tan terpental mundur maka si kakek juga bergoyanggoyang di atas keledainya,
nyaris jatuh! "Ha-ha! Lihai, anak muda. Kau cukup lihai. Ayo maju lagi, jangan terburu-buru
menyingkir!" "Kalian gila!" Beng Tan menjadi marah. "Sebutkan nama kalian, kakek busuk. Dan
baru setelah itu kupikir untuk merobohkan kalian!"
"Ha-ha, aku Mindra..."
"Dan aku Sudra!"
Beng Tan tertegun. Tiba-tiba dia teringat nama dua
kakek sakti dari Thian-tok, dua orang terkenal yang
mendapat sebutan Nehikha (Tidak Aturan), dua kakek yang sepak terjangnya memang
seenak perut sendiri, tidak
memperdulikan tata-aturan atau tata-krama. Dua orang ini berasal dari sebelah
barat Nepal dan berdiam di satu dari sekian banyak puncak-puncak bersalju dari
Himalaya, dikabarkan hebat dan ilmu kepandaiannya tinggi, tadi
sudah dia rasakan meskipun sedikit, belum semua. Maka mengerutkan kening
teringat nama ini tiba-tiba Beng Tan bertanya,
"Kalian yang mendapat julukan Nehikha dari Thiantok?"
"Aha, kau kenal?" kakek itu bahkan gembira. "Benar, kami orangnya, anak muda.
Dan sebutkan sekarang siapa namamu!"
"Aku Beng Tan!" Beng Tan terkejut. "Kiranya benar kalian dan tidak aneh kalau
kini kalian menggangguku.
Hm, kalian memang berjuluk Tidak Aturan, kakek buruk.
Kalau begitu aku tidak heran dan boleh kita main-main sebentar. Turunlah,
rupanya kita harus bertanding!"
"Ha-ha, siapa yang kau pilih?"
"Lebih baik kalian maju berbareng, agar cepat selesai!"
"Apa?" jawaban Beng Tan disambut mata yang melotot.
"Kau minta kami maju berbareng" Heh, biar aku dulu yang coba-coba denganmu,
bocah sombong. Dan kau menarilah
di situ... tar!" sebatang cambuk tiba-tiba menjeletar, meledak menuju mata Beng
Tan dan pemuda ini terkejut.
Cambuk itu cambuk baja yang tiba-tiba meluncur lurus, cepat dan berbahaya namun
tentu saja dia mengelak. Dan ketika cambuk lewat di sisi kepalanya namun
membalik bagai seekor ular maka Beng Tan mengebutkan ujung
lengan bajunya dan sekaligus menampar. "Plak!"
Cambuk itu melenceng. Lihai dan cepat sekali Beng Tan telah
menghalau serangan, lawan terpekik dan membelalakkan matanya. Dan ketika Beng Tan mengejek
dan lawan melengking tiba-tiba tubuh kakek itu, Sudra, sudah melayang turun dari
keledainya dan berkelebatan cepat mengelilingi dirinya, cambuk menyambar dan
meledak-ledak dan diseranglah Beng Tan dari segala
penjuru. Pemuda itu terpaksa berkelit dan mengerahkan ginkangnya, berkelebatan
dan mengimbangi kecepatan
lawan. Tapi ketika si kakek melengking menambah
kecepatannya maka apa boleh buat Beng Tan harus
menangkis, menghalau dan menolak semua serangan lawan dan terkejutlah kakek itu
ketika cambuknya terpental. Beng Tan mampu menolak setiap serangannya dengan
kepretan jari tangan, atau kadang-kadang tamparan miring di mana senjatanya selalu
membalik. Dan ketika kakek itu
menggeram dan memaki namun kagum melihat kelihaian
pemuda ini maka temannya, Mindra, berseru mengeluarkan pujian dan bertepuk
tangan berulang-ulang "Bagus, aih, hebat sekali, anak muda. Bagus dan hebat sekali!"
Temannya naik pitam. Pujian Mindra kepada Beng Tan
memang tak dibuat-buat. Sudra menjadi mendongkol dan
marah sekali. Dan ketika pemuda itu selalu menolak balik setiap serangannya maka
kakek ini tiba-tiba menggerakkan tangan kiri dan meluncurlah pukulan bersinar
biru yang tidak diduga Beng Tan.
"Dar!" Beng Tan terbanting. Untuk pertama kali dia dibuat
terkejut dan kaget oleh pukulan itu, lawan tertawa dan dia bergulingan, dikejar,
menerima lagi pukulan bersinar biru itu dan Beng Tan terkesiap. Tentu saja
menggulingkan tubuh semakin cepat namun cambuk menjeletar. Dan
karena senjata panjang itu mampu menjangkau jarak yang jauh dan Beng Tan
terguling ketika terkena sengatan senjata ini maka lawan tertawa-tawa dan Beng
Tan terdesak, untuk pertama kalinya berkeringat!
"Ha-ha, roboh kau, anak muda. Roboh!"
Beng Tan mengeluh. Selama ini dia belum membalas
dan hanya bertangan kosong, lawan mendesak dan kini
dibantu pukulan bersinar biru itu, yang bukan lain Hwi-seng-ciang (Pukulan
Bintang Api), ilmu yang memang
dipunyai dua orang Thian-tok ini di samping kepandaian mereka memainkan senjata.
Maka begitu dia terdesak dan harus mundur-mundur maka Sudra mengejeknya dengan
kata-kata memerahkan telinga.
"Ha-ha, kau belum setanding bila dibanding Golok Maut, anak muda. Aku mengira
kau betul-betul hhai!"
"Tutup mulutmu, jangan
sombong!" Beng Tan membentak. "Aku belum mengeluarkan senjataku, Sudra, tak usah kau besar mulut
karena aku belum roboh!"
"Ha-ha, kalau begitu keluarkan senjatamu, cobalah...
plak-dess!" dan Beng Tan yang harus menerima sebuah pukulan lagi tiba-tiba
terlempar dan terbanting bergulingan,
tadi lengah sekejap dan lawan mempergunakan kesempatan itu, melepas sebuah
pukulan dan Beng Tan terlempar.
Pemuda ini mengeluh dan lawan mengejar, berkelebat dan ujung cambuk meledak
menuju ulu hati, satu serangan yang berbahaya. Dan ketika itu masih ditambahi
dengan dorongan tangan kiri yang melepas pukulan Bintang Api maka Beng Tan berseru
keras mencabut sesuatu, langsung menangkis dan menggerakkan tangan kirinya.
"Cring-dess!" Cambuk itu patah. Sebatang pedang pendek tiba-tiba
sudah berada di tangan pemuda ini, pedang yang
mengeluarkan cahaya berkeredep seperti matahari, sinarnya menyilaukan dan Sudra
terpekik. Dan ketika pukulannya diterima tangan kiri Beng Tan yang mengeluarkan
cahaya putih tiba-tiba sinar biru dari Hwi-seng-ciang lenyap dan punah.
"Pek-lui-ciang (Tangan Kilat)!" Sudra berseru, kaget terguling-guling dan kakek
ini mencelos bagai disambar petir. Tadi Hwi-seng-ciangnya terbakar dan padam
bertemu pukulan pemuda itu, yang berhawa lebih panas dan dia
kalah kuat, langsung terbanting dan bergulingan. Dan
ketika kakek itu meloncat bangun sementara cambuk
bajanya putus dibabat pedang pendek maka Sudra
terbelalak sementara Mindra bengong di sana, tak berkedip memandang pedang yang
berkeredepan itu, mencorong dan mengeluarkan cahaya seperti matahari.
"Pek-jit-kiam (Pedang Matahari)!" Mindra kini mengeluarkan seruan, ganti terkejut memandang pemuda
itu dan matanya lekat memandang pedang di tangan Beng Tan. Pedang itu pendek
namun ampuhnya bukan main,
mampu membuat putus cambuk baja temannya dan tiba-
tiba kakek ini berjungkir balik, melayang turun dari
keledainya. Dan ketika Sudra masih ngeri dan terkejut oleh
Pek-lui-ciang maka Mindra, temannya, berkedip-kedip
memandang Pek-jit-kiam, Pedang Matahari.
"Eh, kau siapa, anak muda" Dari mana kau dapatkan Pek-jit-kiam ini" Bukankah itu
sebuah dari tujuh senjata pusaka dari dinasti Cou?"
"Hm, aku Beng Tan, orang tua, sudah kubilang dan kusebut namaku tadi!"
"Bukan, bukan itu! Maksudku kau siapakah apakah dari keluarga raja!"
"Tidak, aku orang biasa. Aku bukan turunan bangsawan dan rupanya tak perlu kau
berpanjang lebar menanyakan perihal pribadiku.."
"Kalau begitu serahkan Pek-jit-kiam!" kakek itu tiba-tiba membentak, meluncur
maju. "Serahkan pedang itu
kepadaku, anak muda. Atau kau mampus kubunuh.. wirr!"
tangan si kakek bergerak ke depan, mau merampas pedang tapi Beng Tan tentu saja
mengelak. Dan ketika si kakek menggereng dan mencabut nenggalanya, senjata
seperti tombak yang bermata dua tiba-tiba Mindra sudah
menyuruh temannya mengeroyok.
"Sudra, bantu aku. Rampas pedang itu!
Sudra terkejut. Tadi dia sedang bengong oleh pukulan
Pek-lui-ciang, kini dibuat semakin bengong lagi oleh Pedang Matahari di tangan
lawan. Bukan main, pikirnya, pemuda ini ternyata bukan pemuda sembarangan karena
juga memiliki senjata pusaka, yang ampuhnya tak kalah dengan Golok Maut! Dan ketika
temannya berteriak dan mengajak dia mengeroyok maka Sudra ragu-ragu tapi
akhirnya mengangguk, memandang cambuk buntungnya dan tiba-
tiba dia berseru keras. Meskipun buntung namun
cambuknya itu masih cukup panjang, bisa dipakai sebagai
senjata. Maka begitu Mindra membentak dan dia diminta maju mengeroyok tiba-tiba
kakek ini sudah bergerak dan berseru menerjang, tidak menunggu lagi dan Beng Tan
dibuat terkejut. Nenggala di tangan Mindra tak kalah
berbahaya dengan cambuk di tangan Sudra, kakek ini juga hebat. Tapi ketika Sudra
maju mengeroyok dan dua kakek itu bergerak di kiri kanan tiba-tiba Beng Tan
membentak dan pedang di tangannya berputar dua kali.
"Cring-crangg!"
Nenggala dan cambuk lagi-lagi buntung! Mindra berseru kaget sementara Sudra
berteriak tertahan. Sebenarnya


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka tadi sudah menarik senjata namun kalah cepat,
Pedang Matahari sudah membabat senjata mereka dan
bergujinganlah mereka ketika pedang itu mengejar, terpaksa membanting tubuh
menjauh dan tentu saja mereka pucat.
Pedang mendesing dan rambut mereka terbabat, tidak
banyak namun cukup membuat nyali menciut, gentar!
Namun karena dua orang kakek lihai ini adalah orang-
orang yang suka berkelahi dan dulu Golok Maut dipaksa melayani mereka habis-
habisan maka mereka sudah
meloncat bangun dan menyerang lagi, tidak takut dan Beng Tan mau tak mau merasa
kagum juga. Dua orang ini
adalah kakek-kakek yang doyan berkelahi, dia sudah
mendengar tentang itu. Tapi karena tak mau dirinya
diganggu dan apa boleh buat dia harus mengeluarkan
kepandaiannya maka bergeraklah Beng Tan dengan pedang menyambar-nyambar, kian
lama kian cepat dan dia selalu mendahului dua orang itu. Mindra dan Sudra
terkejut karena Pedang Matahari tiba-tiba sudah mengelilingi
mereka, berseliweran naik turun dan sibuklah dua orang itu mengelak sana-sini.
Mereka jadi takut mengadu senjata karena jelas kalah, persis seperti Golok Maut
dulu! Dan ketika mereka mengumpat caci dan tentu saja harus
mengelak atau menjauhi gerakan pedang maka akibatnya
mereka tak dapat membalas, mati kutu.
"Keparat, pergunakan Hwi-seng-ciang, Sudra. Kita gabung dan serang pemuda itu
dari bawah!" Mindra, yang bersenjata nenggala berteriak gusar. Dia mempergunakan
bahasanya sendiri hingga Beng Tan tidak mengerti, tak tahu apa yang
dipercakapkan. Tapi ketika lawan bergulingan di bawah dan dari bawah mereka
melakukan pukulan-pukulan Hwi-seng-ciang maka pemuda ini terkejut dan
terbelalak. "Des-dess!" Beng Tan sibuk. Dikeroyok dan harus menghadapi
lawan yang melakukan serangan dari bawah cukup
merepotkan juga. Dia menggerakkan tangan kiri dan
meluncurlah tamparan Pek-lui-ciang. Tapi karena lawan berjumlah dua orang dan
mereka dapat bergerak berbareng maka pukulannya kurang mengena karena harus
dibagi, dielak Sudra sementara Mindra mendesaknya dengan Hwi-
seng-ciang. Beng Tan tergetar namun tidak roboh. Dan
ketika apa boleh buat pedangnya harus membantu
dan dua orang itu berteriak maka Beng Tan dapat memperbaiki dirinya lagi dan desakan
dua orang itu gagal. "Keparat, kau benar-benar lihai, anak muda. Tapi kami pantang menyerah!"
Beng Tan mendongkol. Kalau dua orang ini terus
menyerang dan nekat tak tahu diri maka dia harus memberi pelajaran dan
merobohkannya, meskipun di antara mereka tak ada permusuhan serius. Maka ketika
lawan melengking dan kembali bergulingan mendadak Beng Tan membanting
tubuh ke bawah dan... menyambut mereka dengan cara
bergulingan pula. "Heii...!" "Hayaa...!" Dua orang itu terpekik. Dengan cara bergulingan
disambut dengan bergulingan pula maka maksud atau
serangan dua kakek ini patah. Beng Tan melayaninya pula di bawah dan mereka
beradu muka, tak ada waktu
mengelak ketika Jit-seng-kiam maupun Pek-lui-ciang
menyambar. Mereka terpaksa menangkis dan putuslah
senjata nenggala ketika bertemu Jit-seng-kiam, Pedang Matahari yang ampuh itu.
Dan ketika Sudra di sana juga menjerit karena cambuknya putus maka pedang di
tangan Beng Tan berkelebat dua kali mengenai pundak dua orang lawannya itu.
"Bret-cret!" Mindra dan temannya mengeluh. Mereka melompat
bangun dengan pucat, pundak mereka berdarah. Beng Tan telah melukai mereka
dengan goresan memanjang, tentu
saja mereka menggigil, terhuyung. Dan ketika pemuda itu berdiri tegak dan Jit-
seng-kiam telah menghilang di
belakang punggung pemuda ini maka Beng Tan berkata,
"Cukup, kalian harus tahu diri, Mindra. Aku telah melukai pundak kalian bukannya
leher. Kalau aku telengas tentu kalian tinggal nama!"
"Ooh!" Mindra terhuyung memaki. "Kau mengandalkan pedang ampuhmu, bocah. Kau
seperti Golok Maut. Licik!"
"Hm, yang licik adalah kau, Mindra. Kau menyerang orang yang bertangan kosong
dengan senjata!" Dua kakek itu memaki-maki. Baik Mindra maupun
Sudra rupanya tak puas, masih penasaran. Tapi ketika Beng Tan membentak mereka
dan akan mencabut Jit-seng-kiamnya lagi tiba-tiba dua orang kakek itu berkelebat
dan berjungkir balik di atas keledainya, melarikan diri.
"Baiklah, kau menang, bocah. Tapi lain kali kami akan datang dengan membawa
senjata yang lebih baik!"
Beng Tan tersenyum. Kalau dua kakek itu masih tak
tahu diri tentu dia akan bersikap lebih keras, bukan lagi melukai pundak namun
barangkali harus membuntungi
tangan atau kaki mereka, hal yang sebenarnya tak tega dilakukan kalau tidak
terpaksa. Maka begitu lawan ngacir pergi dan Beng Tan lega maka pemuda inipun
tersenyum dan melanjutkan langkahnya, mencari Golok Maut dan
semakin tertarik mendengar nama ini. Sebenarnya dia
memiliki tugas rahasia, tugas yang orang lain tidak
mengetahui. Maka begitu dia menggerakkan kakinya dan
tersenyum memandang larinya dua kakek lihai itu Beng
Tanpun sudah meninggalkan hutan dan keluar dari tempat itu.
oooood0e0w0ioooooo Hek-yan-pang (Perkumpulan Walet Hitam). Perkumpulan ini adalah perkumpulan yang anggautanya
terdiri dari para wanita, tak ada laki-laki di situ dan tabu bagi perkumpulan
ini kalau markasnya dimasuki lelaki.
Dan karena perkumpulan ini berdiri di atas sebuah pulau kecil di sebuah telaga
yang besar maka tak ada orang yang dapat memasuki perkumpulan itu tanpa
diketahui penjaga, murid-murid Hek-yan-pang yang rata-rata cantik dan muda.
Hek-yan-cu (Si Walet Hitam) adalah ketua atau
pemimpin Hek-yan-pang, masih muda dan cantik namun
ilmu kepandaiannya tinggi. Tak ada yang berani coba-coba mengganggu perkumpulan
itu kalau tak ingin menerima pil pahit. Dan karena perkumpulan ini berdiri di
atas sebuah pulau kecil di mana tak sembarang orang dapat masuk
maka agaklah aneh kalau hari itu serombongan tamu
memasuki wilayah perkumpulan ini, sebagian besar lelaki!
"Stop, dilarang masuk!" begitu tujuh orang murid wanita Hek-yan-pang melon-cat
menghadang, ketika melihat
rombongan ini. Dan ketika mereka bertolak pinggang dan rombongan laki-laki itu
tertegun karena semua murid-murid Hek-yan-pang ini mengenakan saputangan hitam,
sebagai penutup wajahnya, maka pemimpin rombongan, seorang
laki-laki berpakaian biru menjura.
"Maaf, kami dari kota raja, nona, utusan. Ingin bertemu Hek-yan-cu dan to-long
beritahukan bahwa kami adalah
utusan Ci-ongya!" "Hm, Ci-ongya siapa" Wilayah Hek-yan-pang tak boleh dimasuki laki-laki, sobat.
Tabu bagi kami laki-laki menginjak wilayah ini. Kalian rupanya tak tahu, boleh dimaafkan. Sekarang
pergilah dan orang yang kalian cari kebetulan tak ada!"
"Kami membawa perintah penting!"
"Tak perduli. Hek-yan-pang tak dapat didatangi atau ditemui sesuka hati, sobat.
Pangcu (ketua) tak ada di rumah karena kebetulan sedang pergi!"
Laki-laki itu mengerutkan kening. Dia adalah pemimpin rombongan dan rupanya baru
kali ini tahu bahwa Hek-yan-pang adalah perkumpulan yang anggautanya terdiri
dari wanita semua, karena penyambutnya itu adalah wanita-wanita, tentu gadis-
gadis muda karena suaranya bening dan nyaring, juga merdu, tentu cantik.
Seharusnya luwes dan ramah. Maka penasaran dan bersinar-sinar memandang
tajam laki-laki itu berkata, sekali lagi,
"Maaf, kami membawa urusan yang betul-betul penting, nona. Kalau begitu apakah
kami dapat menemui wakilnya?" "Hm, kalaupun ada tapi kalian tak dapat menemuinya, orang nekat. Hek-yan-pang
tak boleh didatangi laki-laki dan pantang bertemu laki-laki!"
"Tapi kalian telah menemui kami!"
"Itu lain. Kalian pendatang jauh, belum tahu aturan!"
"Hm," laki-laki ini, yang tiba-tiba menoleh ke belakang memandang seorang
pemuda. "Bagaimana, siauw-ya"
Apakah kita mendesak atau pulang?"
"Kita sudah di sini, tentu tak akan pulang dengan tangan hampa!"
"Nah," laki-laki itu, yang membalik lagi sudah menghadapi penyambutnya. "Ci-
kongcu tak menghendaki kami pergi, nona. Perkenalkan bahwa dia adalah putera Ci-
ongya, Ci Kiang..." "Paman!" pemuda itu berseru. "Kenapa menyebut namaku di sini" Bekuk atau tangkap
dia, paman. Dan kita ke pulau sambil meminta maaf!"
"Srat!" tujuh pedang tiba-tiba dicabut, hampir serentak.
"Kalian mau membuat onar" Berani hendak menangkap tuan rumah di wilayahnya
sendiri" Keparat, serang mereka, Hoa-ji, usir dan lempar orang-orang ini!" dan
gadis atau murid penyambut yang rupanya gusar mendengar kata-kata si pemuda
mendadak sudah melengking dan berkelebat
dengan pedangnya, membacok dan menusuk dan yang
diserang adalah pemuda itu. Gadis atau murid Hek-yan-
pang ini rupanya tak tergetar oleh ketampanan si pemuda, pedangnya bergerak
sementara enam temannya yang lain
juga membentak marah. Mereka tersinggung dan gusar oleh kata-kata pemuda itu.
Tapi ketika pedang berkelebatan dan semua menyerang
rombongan itu tiba-tiba laki-laki berpakaian biru sudah melindungi pemuda ini
sementara teman-temannya yang
lain menangkis. "Tahan... cring-crang!"
Pedang terpental balik. Tadi dengan kebutannya laki-laki berpakaian biru ini
telah menolak pedang lawannya, yang lain-lain juga menangkis dan mereka ada yang
terhuyung. Dan ketika laki-laki berpakaian biru itu gugup mengangkat lengannya maka dia
berkata, "Nona, tahan. Minta dengan hormat agar kita tidak bermusuhan, jangan menyerang!"
"Tapi temanmu mengeluarkan kata-kata menghina,
mana bisa kutahan?" "Maaf, perlahan dulu, nona. Kami adalah para busu yang mengawal keselamatan Ci-
kongcu (tuan muda Ci). Kalau kami tak diperkenankan datang ke pulau biarlah
surat ini saja kau bawa, serahkan pada Hek-yan-pangcu (ketua Hek-yan-pang)!"
"Siapa mereka?" sebuah suara halus tiba-tiba menyambar datang, tanpa diketahui
orangnya. "Ada apa ribut-ribut, Kim Nio?"
"Ah," Kim Nio, gadis atau murid kepala Hek-yan-pang itu gembira, menoleh ke
pulau, menjatuhkan diri berlutut.
"Mereka katanya utusan Ci-ongya, pangcu. Datang ingin menemuimu tapi kutolak!"
"Hm, tanya apa keperluan mereka!"
"Kami ingin minta perlindungan!" laki-laki berpakaian biru itu tiba-tiba
berseru, mendahului. "Ongya ingin
menitipkan puteranya, pangcu. Dari keganasan Golok
Maut!" Suara tak jelas terdengar dari kejauhan. Laki-laki
berpakaian biru itu tampak gembira sementara tujuh
anggauta Hek-yan-pang terkejut. Mereka terkejut mendengar disebutnya nama Golok Maut ini. Tapi ketika mereka menanti dan
terdengar suara jengekan di sana tiba-tiba pangcu atau ketua Hek-yan-pang yang
tidak kelihatan orangnya itu berkata, perlahan namun mampu menyeberangi pulau, "Kim Nio, bawa surat itu ke mari.
Biar kubaca dulu!" "Nanti dulu!" laki-laki berpakaian biru berseru mencegah. "Kalau kau ada di sana ijinkan kami
menemuimu, pangcu. Ada pesan lisan dari Ci-ongya!"
"Hm, laki-laki tak boleh masuk!" suara itu tiba-tiba dingin. "Kau serahkan surat
itu atau kalian semua pulang, Cam-busu. Aku sudah mengenalmu dan tak usah
bertatap muka!" lalu, sementara Cam-busu atau laki-laki berpakaian biru itu terkejut
karena dikenal lawan maka serangkum angin tiba-tiba menyambar dari depan dan...
surat di tangan Cam-busu melayang ke dalam pulau!
"Heii..!" Cam-busu terpekik. "Nanti dulu, pangcu.
Tunggu!" namun sebuah dengus dan pukulan jarak jauh tiba-tiba menyambar busu
itu, jatuh terjengkang dan semua orang kaget. Jauh di tengah pulau sana ternyata
ketua Hek-yan-pang mampu melepas pukulan, bukan main, hal yang
seakan sukar dipercaya tapi Cam-busu sudah membuktikannya. Dan ketika busu itu bergulingan
meloncat bangun sementara tujuh murid Hek-yan-pang
tertawa mengejek maka busu itu dan teman-temannya
tertegun, melihat surat itu sudah terbang ke tengah pulau dan lenyap. Surat itu
seakan dibawa setan! Dan ketika semua orang terkejut dan tentu saja terbelalak
lebar maka suara atau jengek itu terdengar kembali, rupanya selesai membaca surat yang
dibawa busu ini. "Cam-busu, aku menolak perintah Ci-ongya. Katakan padanya bahwa perkumpulan Hek-
yan-pang bukan orang-orang yang mudah dibeli dengan uang!"
"Ah," busu ini terkejut. "Kami memohon dengan sangat, pangcu. Ci-ongya telah
mendengar kelihaianmu dan berani membayar berapa saja untuk perlindunganmu
terhadap Ci-kongcu!"
"Di sini tak ada jual beli. Jasa orang-orang Hek-yan-pang tak dijual!"
"Tapi Ci-kongcu telah kami bawa ke sini!"
"Apa perdulimu" Kau kira aku tunduk pada perintah Ci-ongya ini" Hm, kembalilah,
Cam-busu. Katakan pada Ci-
ongya bahwa Hek-yan-pang bisa hidup tanpa uang!"
"Ooh!" dan Cam-busu yang tampak kecewa dan pucat tiba-tiba berseru sekali lagi,
menggigil, "Pangcu, kami telah jauh-jauh mempercayakan hal ini padamu. Aku nanti
kena marah. Tolonglah dan biarkan Ci-kongcu di sini!"
"Hm, memangnya siapa kau berani membujuk aku"
Pergilah, jangan cerewet lagi, orang she Cam, atau kau minta kulempar dan baru
tahu diri... bress!" Cam-busu tiba-tiba benar saja terlempar, terkena angin
pukulan dari tengah pulau dan berteriaklah busu itu oleh sambaran angin ini.


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ketika dia terguling-guling dan lagi-lagi meloncat bangun mendadak laki-laki
ini menghadap Ci-kongcu, pemuda tampan itu. "Kongcu, aku gagal. Harap kau maafkan aku dan kita pulang!"
Ci-kongcu, pemuda tampan itu terbelalak. Dia sejak tadi melenggong oleh
kehebatan ketua Hek-yan-pang. Jauh dari tengah pulau sana dapat membuat
pengawalnya jungkir balik. Dan ketika Cam-busu tampak pucat dan menggigil kepadanya
tiba-tiba pemuda ini bangkit berdiri, memandang ke pulau. "Hek-yan-pangcu, kau betul-betul hebat. Aku kagum, tapi ayah rupanya tak perlu
memaksa seorang sombong!"
dan membalik menyambar pengawalnya tiba-tiba pemuda
ini mengajak pergi. "Paman, kita pulang. Kalau Golok Maut datang biarlah kita
hadapi dengan gagah!"
"Hm!" suara di tengah pulau itu terdengar lagi. "Tangkap pemuda itu, Kim Nio.
Dia telah menghinaku. Lempar yang lain dan seret pemuda itu ke mari!"
Kim Nio, murid kepala itu tiba-tiba bergerak. Dia sudah melotot mendengar kata-
kata Ci-kongcu tadi, ketuanya
dimaki sombong! Maka membentak dan bergerak mematuhi perintah tiba-tiba gadis ini berkelebat dan
menyambar pemuda itu, ditangkis Cam-busu dan enam
temannya yang lain tiba-tiba bergerak menyerang yang lain.
Dan ketika rombongan itu marah dan terkejut karena tuan rumah hendak menangkap
junjungan mereka tiba-tiba
berkesiur angin dingin dari tengah pulau dan orang-orang itu terlempar.
"Ci-kongcu, kau ke sinilah!"
Orang-orang terpekik. Mereka melihat pemuda itu
terangkat naik dan terbang ke pulau, sama seperti surat yang dirampas ketua Hek-
yan-pang itu. Dan ketika Ci-kongcu sendiri berteriak dan kaget tersedot ke pulau
tiba-tiba pemuda itu telah lenyap dan seperti diculik siluman!
"Hai'" Cam-busu terperanjat. "Kembalikan Ci-kongcu, Hek-yan-pang. Kalian
merampasnya!" namun ketika
terdengar ketawa dingin dan kesiur angin dari pulau tiba-tiba busu itu
terbanting dan terlempar jauh di sana.
"Pulanglah, sekarang lain urusannya, busu tolol.
Junjunganmu ini berani juga dan gagah. Kalian enyah, dan jangan kembali lagi!"
Cam-busu tertegun. Tiba-tiba dia sadar bahwa tugasnya telah berhasil, meskipun
agak berliku dan terjadi dengan cara yang janggal. Bayangkan, tadi ditolak tiba-
tiba sekarang diterima, meskipun Junjungannya termasuk
diculik atau "dirampas" ketua Hek-yan-pang. Tapi karena hal itu sama saja dan
yang jelas junjungannya sudah
berpindah ke tengah pulau maka laki-laki ini girang berseru dari jauh,
"Pangcu, terima kasih kami ucapkan. Kami akan pulang dan melapor pada Ci-ongya.
Tolong jaga baik-baik junjungan kami itu!"
"Keparat, pergilah, busu tolol. Aku tak mahu mendengar suaramu lagi!"
-ooo0dw0ooo- Jilid : XII CAM-BUSU terlempar. Untuk kesekian kalinya lagi dia
disambar angin pukulan dari pulau, terpekik namun
terguling-guling meloncat bangun. Dan ketika busu itu pucat namun girang maka
busu ini sudah mengajak teman-temannya pergi meninggalkan tempat itu, terhuyung
dan tertatih dan teman-temannya ngeri. Mereka gentar oleh kesaktian ketua Hek-
yan-pang itu, yang tak menampakkan diri namun pukulannya dapat menyambar begitu
jauh, dari tengah pulau. Dan ketika mereka pergi dan Ci-kongcu
sudah di bawah perlindungan Hek-yan-pangcu maka di
sana pemuda tampan yang tadi memaki ketua Hek-yan-
pang itu sudah terbanting di lantai yang keras.
"Brukk!" Pemuda ini terguling-guling. Tubuhnya, yang terlempar dan terbanting ke dalam
pulau tahu-tahu sudah berada di sebuah ruangan yang bersih dan luas, lantainya
keras dan pemuda ini mengeluh kesakitan ketika bokongnya harus
beradu dengan lantai itu, nyaris dia menjerit. Dan ketika pemuda ini meringis
dan memaki-maki tanpa tahu siapa
yang harus dimaki maka sebuah suara dingin menyambutnya di ruangan itu.
"Bocah, sebutkan siapa namamu!"
Pemuda ini tertegun. Di belakangnya, hampir tak
berjarak tahu-tahu berdiri seorang wanita yang suaranya seperti es, dingin dan
menyeramkan. Dari mana dia datang tak diketahui, tahu-tahu muncul dan sudah ada
di situ seperti iblis! Dan ketika pemuda ini tertegun dan tentu saja juga
terkejut maka wanita itu, yang menutupi mukanya
dengan sapu tangan hitam membentaknya kembali, lebih
bengis, "Aku tanya siapa namamu, sebutkan siapa namamu!"
"Aku... aku..." pemuda ini tersentak.
"Aku Ci Fang, nona. Kau siapakah" Apakah pangcu
Hek-yan-pang?" "Hm, aku hu-pangcu (wakil) di sini. Kau panggil aku hu-pangcu dan jangan nona.
Mulutmu ceriwis, bagaimana tahu bahwa aku nyonya atau nona" Memangnya kau tahu
bahwa aku seorang nona?" Pemuda ini tertegun. "Bocah she Ci," suara yang dingin dan ketus itu terdengar lagi. "Kau tinggal di
sini di ruangan belakang.
Mulai hari ini apa yang kau lihat tak boleh lebih dari sekeliling dinding
kamarmu. Makan minum kami antar,
melalui bawah pintu. Kalau kau berani coba-coba melihat wajah di antara para
anggauta Hek-yan-pang maka kau
akan dibunuh. Di sini berlaku hukum pancung!"
Pemuda ini terkejut. "Kenapa begitu" Bukankah kau yang meoghendaki aku di sini"
Tak perlu melihat kalian pun aku tahu dengan siapa aku berhadapan, hu-pangcu.
Kalian merupakan wanita-wanita penakut yang gagah di
luar pengecut di dalam. Aku tak sudi kalau dikurung!"
"Hm, kau berani membantah?"
"Jangankan membantah, melawan pun aku berani..."
"Plak!" dan sebuah tamparan yang menghentikan kata-kata pemuda itu disusul jerit
dan pekik mengaduh akhirnya membuat Ci Fang terlempar dan terbanting di sudut,
pipinya bengap dan bibirnya pecah. Untuk pertama kali pemuda ini dihajar! Dan
ketika pemuda itu terhuyung
bangun berdiri dan tak dapat memaki karena pipinya
bengkak maka hu-pangcu dari Hek-yan-pang yang bengis
dan dingin itu berkata, "Bocah she Ci, di sini bukan istana ayahmu. Kalau kau minta dihajar lagi dan
macam-macam tentu aku tak segan membunuhmu. Nah, angkat buntalanmu, kita ke
belakang!" Ci Fang, putera Ci-ongya ini terbelalak. Dia marah sekali tapi tak dapat berbuat
apa-apa, mau memaki-maki tapi
tentu akan dihajar lagi, salah-salah mungkin dibunuh. Maka ketika lawan menuding
buntalannya dan dengus serta kata-kata itu rupanya tak dapat dibantah lagi maka
pemuda ini tersuruk mengambil buntalannya, terseok mengikuti lawan karena kini
wanita yang amat dingin itu sudah melangkah,
mengajaknya ke belakang, bertemu dengan beberapa
bayangan lain yang semuanya wanita, rata-rata menutupi wajah mereka dengan sapu
tangan, tak tahu cantik ataukah tidak, di dada mereka terdapat semacam lukisan
berkembang yang menunjukkan nama masing-masing,
langkahnya ringan tapi siapapun pasti akan menebak bahwa rata-rata anggauta
Walet Hitam ini cantik-cantik dan muda, merangsang orang untuk mengetahui tapi
Ci Fang tak berani ceriwis. Dia sedang di sarang macan dan tentu saja tak berani macam-
macam. Dan ketika mereka tiba di ujung dan hampir semua anggauta Hek-yan-pang
yang dijumpai selalu mengangguk atau berlutut setengah kaki dengan
wanita bersapu tangan hitam ini maka sebuah ruangan
dituding dan Ci Fang diminta masuk, sebuah ruangan
berdinding baja yang hampir tak ada lubangnya, rapat
melebihi kerangkeng! "Masuklah, ini kamarmu."
Ci Fang tertegun. Baru sekarang ini dia diperlakukan
seperti itu. Bayangkan, dia putera pangeran Ci, seorang bangsawan, tiba-tiba
harus dimasukkan kurungan seperti ayam jago yang kalah bertanding. Kalau saja
ayahnya tidak menasihati agar dia menerima saja semua sikap Hek-yan-pang yang
diminta melindunginya dari ancaman Golok
Maut barangkali dia akan berang dan sudah memaki-maki, tak kuat. Tapi karena dia
menyadari keadaan dan dirinya sebenarnya terlindung di situ maka pemuda ini
menggigit bibir tapi tidak segera masuk.
"Tunggu apa lagi" Minta dipaksa?"
"Hm, bolehkah aku protes" Tidak adakah kamar yang lebih baik dari kurungan
binatang buas ini" Bukankah
selayaknya hanya harimau atau binatang-binatang buas saja yang sepantasnya
menghuni ruangan ini?"
Kau mau masuk atau tidak?" bentak-an itu menciutkan nyali. "Jangan banyak cakap,
bocah. Masuk dan segera kututup pintunya!"
Ci Fang mendongkol. Apa boleh buat dia terpaksa
memasuki ruangan itu, yang anehnya tidak pengap karena ada lubang udara cukup di
sana, di atas, kecil saja tapi cukup menjadikan ruangan tidak panas. Dan ketika
pemuda itu masuk dan hu-pangcu dari Hek-yan-pang ini mengunci dari luar maka Ci
Fang mendengar suara wanita itu yang memanggil penjaga.
"Awasi baik-baik bocah she Ci ini, siapkan makan minumnya!"
Terdengar suara mengiyakan di luar. Tak lama
kemudian masuklah penampan berisi makanan atau minum
an, dari bawah pintu, hal yang membuat pemuda ini
mendongkol. Namun ketika dia menerima dan baru untuk
pertama kalinya dalam hidup merasakan rasanya dikurung dalam kamar tertutup maka
pemuda ini melempar tubuh
dan duduk di sudut. Lalu ketika malam tiba dan ruangan menjadi gelap, tanpa
lampu sedikitpun, maka pemuda itu dengan marah tidur tanpa mem-buka sepatunya,
tak tahu kejadian di luar yang cukup menggetarkan perkumpulan
Hek-yan-pang ini. ooooo0d0w0ooooo Malam itu, malam pertama sejak kedatangan putera Ci-
ongya ini penjagaan di sekitar pulau tampak diperketat.
Hampir setiap sepuluh tombak tampak bayangan murid-
murid Hek-yan-pang, berkelebatan atau memanggil teman-temannya dengan suitan
pendek, isyarat yang memang
sudah dikenal masing-masing murid. Tapi ketika malam
mulai larut dan bulan bergeser semakin ke barat tiba-tiba terdengar suara atau
pekikan kecil di sebelah timur telaga.
"Hei... aduh!" Suara itu disusul keributan kecil. Murid-murid wanita Hek-yan-pang yang otomatis
mendengar pekik atau suara keluhan temannya ini sudah berkelebatan ke asal
suara, melihat empat teman mereka, gadis-gadis berbaju hijau terlempar dan
terpelanting ke sana ke mari. Mereka itulah yang berteriak atau menjerit kecil
tadi, pucat dan kaget serta terheran-heran karena mereka merasa diserang setan.
Tanpa sebab tahu-tahu berkesiur angin dingin, menyambar dan membuat mereka
terpelanting. Dan ketika mereka
melompat bangun sementara teman-teman mereka sudah
berdatangan menanyakan itu maka mereka terbelalak dan bengong terlongong-
longong, tak dapat menjawab.
"Kami tak tahu, hanya kami tiba-tiba disambar angin kuat dan roboh
berpelantingan!" "Hm, kau tak melihat apa-apa, Kiok Bhi?"
"Tidak, kami tak melihat apa-apa, Kim-cici. Tapi rupanya kami disambar setan!"
"Omong kosong, tak ada setan di sini! Kita periksa sekitar, Kiok Bhi, jangan-
jangan ada musuh yang sengaja menyatroni kita!" Kim Nio, gadis yang bertanggung
jawab di situ membentak temannya, marah karena tak mungkin di situ ada setan.
Perkumpulan Hek-yan-pang bebas dari setan, segala mahluk halus atau dedemit
sudah diusir ketua mereka, yang sakti. Dan ketika semua mengangguk dan
berlompatan ke kiri kanan maka seorang di antaranya tiba-tiba berseru kaget
ketika sebuah perahu tampak meluncur ke tengah pulau, perahu yang bergerak
tenang tapi cepat. "Hei, siapa itu"!"
Semua menoleh. Mereka kaget dan tersentak karena
samar-samar di kegelapan malam sesosok bayangan hitam melajukan perahu, cepat
dan sebentar saja sudah ke tengah.
Dan ketika Kim Nio memberi suitan namun bayangan itu
tak membalas, tanda bukan murid Hek-yan-pang maka
wanita ini panik dan marah, terkejut.
"Keparat, kita kebobolan. Kejar!"
Murid-murid Hek-yan-pang berlarian. Mereka menyambar perahu masing-masing dan membentaklah Kim
Nio di perahu paling depan. Wanita ini sudah meneriakkan seruan nyaring di mana
semua murid Hek-yan-pang yang
berjaga tiba-tiba keluar, terbelalak dan tertegun melihat perahu yang meluncur
sendirian itu, kaget tapi segera masing-masing menyambar perahunya, membentak
dan sudah mengejar bayangan itu, yang hanya tampak hitam di kegelapan malam. Dan
ketika belasan perahu meluncur dan tak kurang dari seratus dua puluh murid Hek-
yan-pang mengejar dan membentak perahu di depan maka senjata-
senjata rahasia mulai berhamburan dan menyerang perahu itu.
"Berhenti! Dilarang masuk!"
Namun perahu itu meluncur semakin cepat. Hujan
senjata rahasia berupa jarum atau paku serta bintang
berwarna emas tak satu pun mengenai tubuh penumpang
perahu ini. Murid-murid Hek-yan-pang hanya melihat
gerakan si bayangan yang mengebut tanpa menoleh,
meruntuhkan dan membuat semua senjata rahasia jatuh ke air. Dan ketika perahu
semakin mendekati pulau dan Kim Nio sebagai penanggung jawab menjadi pucat
mukanya maka wanita ini meniup terompet panjang untuk memberi tahu teman-temannya di
pulau. "Awas, , kita kebobolan musuh. Tang-kap dan cegat orang itu!"
Hek-yan-pang menjadi geger. Bahwa mereka tiba-tiba
kemasukan musuh tanpa diketahui penjaga di luar dapatlah dibayangkan bahwa musuh
ini orang pandai. Seharusnya
terjadi dulu ribut-ribut di luar, pencegatan. Tapi karena musuh tahu-tahu
menyelinap begitu saja dan sadarlah Kim Nio bahwa bayangan di depan itulah yang
menyerang Kiok Bhi untuk memancing teman-temannya yang lain agar
terbuka lubang untuk menerobos penjagaan maka wanita
ini merasa terkecoh dan marah bukan main, membentak
dan menyambitkan belasan senjata rahasianya namun


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua itu sudah terlambat, lawan menggerakkan perahunya dan cepat serta
mengejutkan bayangan di depan itu tiba-tiba terbang di atas permukaan air. Ya,
terbang begitu saja seolah perahunya bersayap! Dan ketika dia tertinggal begitu
jauh sementara teman-temannya di dalam pulau berkelebatan keluar ternyata bayangan ini sudah menghilang dan perahunya terapung-apung kosong di
pantai! "Keparat, kita kemasukan maling. Kejar, laporkan pada pangcu!"
Murid-murid tertegun. Mereka sudah mencegat tapi
ternyata terlambat, dapat dibayangkan betapa hebat dan cepatnya si maling ini.
Dan ketika Hek-yan-pang gempar karena musuh dapat masuk mendahului mereka maka
Kim Nio dan kawan-kawannya sudah berpencar dan berkelebatan mencari bayangan ini, sebagian melapor pada pangcu tapi wanita
bersapu tangan hitam tiba-tiba muncul, berkelebat dan sudah tertegun mendengar
laporan anak buahnya. Kiok Bhi menceritakan apa yang terjadi dan
wanita ini mendengus, matanya bersinar dan tiba-tiba ia pun lenyap mencari
pendatang gelap itu. Dan ketika suitan
serta tanda-tanda lain digunakan untuk mencari tamu tak diundang ini maka untuk
pertama kalinya Hek-yan-pang
merasa kebobolan dan dibuat malu!
"Cari ke sekeliling penjuru. Tangkap bedebah itu!"
Seruan ini tak perlu diulang. Hu-pangcu Walet Hitam
yang berseru lantang menyuruh anak buahnya mencari
sudah berkelebat ke belakang. Wanita ini terkesiap dan cepat teringat putera Ci-
ongya, pikirannya bekerja cepat dan jantungnya berdetak. Sebuah nama membuat dia
terkejut. Dan ketika seruan atau bentakan terdengar ramai maka di sebelah utara tiba-tiba
terdengar pekik dan jerit kaget murid-murid Hek-yan-pang, yang menemukan
bayangan itu. "Hei, dia di sini...!"
Bentakan dan suara senjata segera terdengar. Bayangan itu rupanya terlihat dan
sudah diserang murid-murid Walet Hitam, dentang senjata ramai disusul teriakan-
teriakan marah. Tapi ketika teriakan-teriakan itu terganti pekik kaget dan
kesakitan maka murid-murid Hek-yan-pang ini roboh menjerit tak keruan dan
terpelanting mengaduh-aduh,
dipukul senjatanya dan lepas dari tangan dan merekapun sudah didorong jatuh
bangun, tunggang-langgang dan
otomatis teman-teman mereka yang lain datang berkelebatan. Tapi ketika mereka terbelalak dan bertanya di mana bayangan itu
ternyata tamu tak diundang ini sudah menghilang lagi!
"Keparat, dia amat lihai!"
Orang pun geger lagi. Mereka menca-ri-cari dan yang
terlempar sudah menceritakan datangnya bayangan ini,
yang amat lihai dan luar biasa. Dan ketika semua tertegun karena untuk kedua
kalinya mendengar kehebatan
bayangan ini maka murid-murid pun ribut lagi dan mencari, akhirnya terdengar
bentakan dan seruan di sebelah barat,
cepat menuju ke situ namun lagi-lagi yang sudah
menemukan bayangan ini terlempar menjerit-jerit, mereka menuding-nuding ke atas.
Dan ketika semua memandang
dan bayangan itu tampak berjungkir balik di atas gedung maka murid Hek-yan-pang
pun berteriak dan marah. "Dia di atas, kejar..!"
Orang pun berjungkir balik ke atas. Di sini enam murid Hek-yan-pang yang
berkepandaian tinggi sudah melihat
bayangan itu berada di wuwungan, dibentak dan mereka
sudah mendekat. Tapi ketika pedang dan bentakan
menyerang bayangan ini, seorang laki-laki bercaping maka pedang terpental dan
mereka menjerit terpelanting.
"Plak-plak-cring!"
Enam murid utama Hek-yan-pang ini ada yang
terbanting. Murid ini terguling-guling dan langsung jatuh ke tanah, berdebuk
tapi sudah meloncat bangun lagi,
terhuyung, naik dan membentak ke atas lagi namun
bayangan itu sudah lenyap entah ke mana. Dan ketika
mereka terkejut tapi juga memaki maka di sebelah selatan terdengar teriakan dan
seruan kaget. "Dia di sini..!"
Enam murid utama itu terbelalak. Mereka ke sana tapi
teriakan tiba-tiba terdengar di timur, yang di selatan sudah menerit dan
berpelantingan tak keruan, seperti mereka. Dan ketika Hek-yan-pang benar-benar
diobrak-abrik dan merasa dipermainkan bayangan itu, yang mulai dikenal sebagai
laki-laki tinggi tegap yang menyembunyikan mukanya di balik caping maka hu-
pangcu, wanita bersapu tangan hitam itu akhirnya berkelebat dan mencegat si
bayangan ini, ketika teriakan terdengar di timur.
"Golok Maut, hentikan ulahmu... des..,plak!" sang wakil, yang sudah membentak
dan menemukan bayangan itu
langsung melepas pukulan, menghantam dan dua ratus
anak murid akhirnya sudah berkumpul di sini, mengepung.
Dan ketika bayangan itu dipaksa menangkis karena berkelit sudah tak mungkin lagi
maka bayangan ini tergetar
sementara sang hu-pangcu dari Hek-yan-pang terpental
berjungkir balik. "Aihh..!" Seruan itu cukup memberi tahu. Anak murid Hek-yan-
pang yang melihat pemimpinnya terpental di udara tiba-tiba membelalakkan mata,
mereka terkejut dan khawatir. Tapi ketika sang pemimpin selamat melayang turun
dan kaget serta terbelalak memandang Golok Maut, laki-laki itu, akhirnya seruan
dan pekik lirih terdengar dari mulutnya.
"Golok Maut, kau jahanam keparat. Sebutkan niatmu datang ke mari dan kenapa kau
laki-laki berani memasuki markas Hek-yan-pang!"
Golok Maut, laki-laki ini, tak menjawab. Dia
mengangkat sedikit capingnya dan tampaklah sinar mata yang berkilat-kilat
seperti naga, sedetik saja tapi sudah cukup membuat hati semua anak murid Hek-
yan-pang tergetar. Mereka terkejut oleh pandang mata yang amat tajam dan berpengaruh dari
laki-laki ini, yang kiranya Si Golok Maut, tajam dan dingin! Dan ketika hu-
pangcu dari perkumpulan Walet Hitam itu juga tergetar dan surut
selangkah, tanpa terasa, maka wanita bersapu tangan hitam ini membentak lagi,
"Golok Maut, jawab pertanyaanku. Kenapa kau
mengganggu dan memasuki Hek-yan-pang tanpa ijin!"
"Aku mencari putera Ci-ongya," akhirnya jawaban itu terdengar juga, dingin dan
hambar. "Aku datang dengan
cara begini karena kalau meminta ijin pasti tak dikabulkan.
Maaf." Wakil ketua Hek-yan-pang itu tertegun. Dia mendengar
suara yang serak-serak basah dari lawannya ini, suara seorang laki-laki yang
sudah matang. Dan ketika dia
tertegun sementara anak murid Hek-yan-pang berbisik-bisik mendengar suara yang
dingin namun halus itu, halus dan empuk, maka wanita bersapu tangan hitam ini
membentak anggauta-anggautanya, tak senang, seolah jelus atau
cemburu! "Diam kalian, jangan berisik!" lalu menghadapi Si Golok Maut wanita ini
mendengus, "Golok Maut, kau lancang.
Betapapun wilayah Hek-yan-pang tak boleh dimasuki laki-laki. Kau harus dibunuh,
melanggar dan menghina perkumpulan Walet Hitam!"
"Maaf, sebelum aku Hek-yan-pang sudah dimasuki laki-laki, nona. Dan itu adalah
putera Ci-ongya. Hek-yan-pang harus adil, aku datang hanya untuk membawa pemuda
itu, serahkan padaku."
"Keparat, dari mana kau tahu bahwa putera Ci-ongya ada di sini" Bagaimana kau
berani mengeluarkan kata-kata seperti itu" Kau menuduh dan melantur yang tidak-
tidak, Golok Maut, hukumanmu semakin berat!"
"Hm, tak kunyana kalau Hek-yan-pang merupakan
perkumpulan pengecut. Apakah bukti ini tidak cukup,
nona" Barangkali kau perlu melihat!" Golok Maut tiba-tiba melempar sebuah
buntalan, terbuka dan tiba-tiba isinya menggelinding. Dan ketika sebuah kepala
tiba-tiba meluncur dan berhenti di depan wakil ketua Hek-yan-pang ini maka wanita bersapu
tangan hitam itu tersentak.
"Cam-busu!" "Betul," suara Si Golok Maut hambar dan dingin, langsung menjawab sefuan lawan
yang tersentak kaget. "Orang itu adanya, nona. Dan aku terpaksa membawa kepalanya ke mari karena
dialah saksi utama bagiku. Lihat, siapa yang melantur dan bicara yang tidak-
tidak!" Wanita bersapu tangan hitam ini tertegun. Dia pucat
memandang kepala Cam-busu itu, yang masih mendelik
dan rupanya dipenggal Si Golok Maut, yang agaknya tak kalah dingin dengannya.
Dan ketika wanita itu tertegun dan pucat memandang marah tiba-tiba dari tempat
yang jauh terdengar sebuah suara,
"Cu-moi, kenapa banyak bicara saja" Golok Maut telah datang, tangkap dan bawa
dia ke mari!" "Srat!" sebuah pedang berkilau tiba-tiba berkelebat di tangan wanita bersapu
tangan hitam ini. "Kau dengar suara pangcuku, Golok Maut. Menyerahlah atau kau
kubunuh!" "Jangan dibunuh," suara itu terdengar lagi. "Tangkap dia hidup-hidup, Cu-moi.
Bawa dan serahkan padaku ke mari!"
"Baik," dan wanita bersapu tangan hitam ini yang sudah membentak dan minta Golok
Maut menyerah tiba-tiba bergerak dan sudah meluncur ke depan, pedang menusuk
namun tangan kirinya bergerak, cepat dan luar biasa
melakukan totokan di balik bayangan pedang. Jadi, totokan itu merupakan serangan
tersembunyi, betapa lihainya. Tapi ketika Si Golok Maut mengelak dan mengelit
dua kali ternyata dua serangan itu luput, dua-duanya mengenai
angin kosong. "Siut-wut!" Wanita ini terkejut. Pedangnya kehilangan sasaran tapi secepat kilat dia
membalik, membentak dan melakukan
serangan lagi, kali ini juga disertai totokan dan kakinyapun
ikut menendang, bukan main, cepat dan bertubi-tubi. Tapi ketika
Golok Maut berkelebat dan menggerakkan tangannya menangkis tiba-tiba pedang dan totokan maupun tendangan terpental.
"Plak-duk-cring!"
Semua terkejut. Enam murid utama Hek-yan-pang yang
melihat wakil ketuanya terpekik tiba-tiba melihat pemimpinnya itu sudah berkelebatan menyambar-nyambar, marah melakukan serangan-
serangan lagi dan tadi ketika terpental sudah berjungkir balik, melewati atas
kepala lawan dan Golok Maut sudah diserang lagi, cepat dan
bertubi-tubi dan hilanglah kini bayangan pedang yang
sudah berobah ujudnya menjadi sinar putih yang
berkeredepan menyilaukan mata. Dan ketika totokan atau tendangan lagi ganti-
berganti mengelilingi Golok Maut ini maka laki-laki bercaping itu mengelak dan
berlompatan, kian lama kian cepat dan akhirnya dua orang itu lenyap mengerahkan
ginkang., Wakil Hek-yan-pang ini melengking-lengking karena tak satu pun dari serangannya mengenai lawan, selalu
ditangkis dan terpental bertemu tenaga tolak yang kuat. Dan ketika pedang sering
tertangkis sementara Golok Maut belum mengeluarkan senjatanya
maka orang pun menjadi kagum dan mau tak mau memuji
juga, di dalam hati. Karena kalau terang-terangan tentu wakil ketua mereka itu
marah. Golok Maut ternyata hebat dan kemarahan wanita bersapu tangan hitam itu
menjadi-jadi, akhirnya melengking tinggi dan satu gerakan pedang tiba-tiba
berubah arahnya, tadi membacok pundak tapi tiba-tiba sekarang menusuk leher,
cepat dan ganas. Tapi ketika Golok Maut menggerakkan kuku jarinya dan menangkis
tepat maka pedang terpental dan tiba-tiba patah. "Cring!"
Kejadian itu mengejutkan. Wanita bersapu tangan hitam ini terpekik, menjerit
tinggi namun kakinya tiba-tiba
menendang dari samping, berputar setengah lingkaran dan tangan kirinyapun
bergerak melakukan totokan, cepat dan luar biasa namun Golok Maut ternyata
waspada, mendengus dan menggerakkan tangan yang lain. Dan
ketika terdengar suara benturan dan wakil ketua Hek-yan-pang itu terpelanting
maka terdengarlah bentakan dari ketua Hek-yan-pang, yang tadi menyuruh wakilnya
menangkap Golok Maut. "Jit-nio, Liok-hoa, maju kalian berenam. Bantu hu-pangcu!"
Enam murid utama tiba-tiba bergerak. Mereka itu adalah murid-murid terpandai,
mencabut pedang dan sudah
membantu sang wakil ketua, yang terhuyung dan pucat di sana, terbelalak
memandang Golok Maut, antara marah
tapi juga gentar! Dan ketika enam pembantunya maju dan Golok Maut dikeroyok maka
enam batang pedang berkelebatan menusuk atau membacok Si Golok Maut ini.
"Golok Maut, pangcu menghendaki kami menangkapmu. Awas pedang... sing-singg!" Golok Maut sudah diserang, lincah
mengelak dan enam murid utama itu membentak lagi, menyerang. Dan ketika di sana
hu-pangcu dari perkumpulan Walet Hitam itu sudah menyambar
pedang yang baru dan menerjang lagi maka Golok Maut
dikeroyok dan tujuh senjata bertubi-tubi menghujani laki-laki bercaping ini,
cepat dan ganas dan Golok Maut
terdesak. Betapapun bantuan enam murid utama ini tak
boleh dipandang sebelah mata, mereka memiliki gerakan-gerakan cepat dan kini hu-


Golok Maut Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangcu itupun maju menyerang.
Keadaan menjadi lebih ramai dan dua ratus pasang mata menonton jalannya
pertandingan itu. Dan ketika Golok
Maut harus berkelebatan ke sana ke mari mengelak dan
menangkis maka tampaklah bahwa meskipun sedikit tetapi pasti Golok Maut ini
mulai terdesak. "Cring-plak!" Golok Maut terhuyung. Laki-laki bercaping ini harus
membagi tenaga, satu dikeroyok tujuh cukup berat. Dan ketika pedang ditangkis
terpental tapi yang lain sudah menyambar dan menyerang lagi akhirnya satu
bacokan miring mengenai bahu kirinya.
"Bret!" Golok Maut tak apa-apa. Baju pundaknya robek namun
kulit pundak itu sendiri tak apa-apa. Enam murid Hek-yan-pang dan wakilnya agak
jengah ketika segumpal pundak
yang bersih berotot terkuak dari baju yang robek, putih bersih dan tak terasa
Rahasia Dewi Purbosari 2 Pendekar Mata Keranjang 16 Arca Dewi Bumi Anak Rajawali 2
^