Pencarian

Hotel Majestic 3

Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie Bagian 3


ini pun akan begitu pula keadaannya. Semua orang berkata bahwa dia pasti sudah
meninggal, tapi saya tetap berkata pada diri saya sendiri bahwa dia pasti tak
apa-apa. Lalu... semalam..."
Suaranya menghilang. "Anda tetap berharap sampai saat itu?"
"Entahlah. Saya rasa, saya lebih dari sekadar menolak untuk mempercayai anggapan
itu. Dan hal itu mengerikan sekali, karena saya tak bisa menceritakannya pada
siapa-siapa." "Ya, itu bisa saya bayangkan. Apakah Anda tak pernah merasa terdorong untuk
menceritakannya pada Madame Rice, umpamanya?"
"Kadang-kadang saya ingin sekali."
"Apakah tak terpikir oleh Anda bahwa dia mungkin... menebaknya?"
"Saya rasa tidak." Nick mempertimbangkan pikiran itu dengan berhati-hati. "Dia
tak pernah berkata apa-apa. Kadang-kadang memang dia menyindirkan sesuatu.
Dengan menyatakan, umpamanya, betapa eratnya persahabatan antara Michael dan
saya, dan sebagainya."
"Setelah paman M. Seton meninggal, apakah Anda masih tetap tak pernah
mempertimbangkan untuk menceritakannya padanya" Anda tahu bahwa dia baru kira-
kira seminggu yang lalu meninggal, bukan?"
"Saya tahu. Dia telah menjalani pembedahan atau semacamnya. Saya pikir, saya
bisa saja menceritakannya pada orang-orang pada waktu itu. Tapi tak enak berbuat
begitu, bukan" Maksud saya, rasanya akan kelihatan sombong sekali
menceritakannya pada saat itu, yaitu pada saat surat-surat kabar sedang memuat
tentang Michael. Lalu para wartawan pasti akan berdatangan dan mewawancarai
saya. Semuanya jadi akan kelihatan murahan. Dan Michael pasti tak suka keadaan
begitu." "Saya sependapat dengan Anda, Mademoiselle. Anda tentu tak bisa
memberitahukannya pada orang banyak, pada saat itu. Maksud saya, Anda hanya bisa
menceritakannya secara pribadi pada seorang sahabat."
"Saya memang pernah menyindirkan hal itu pada satu orang," kata Nick. "Saya
pikir itu memang pada tempatnya. Tapi saya tak tahu bagaimana dia - pria itu -
menanggapinya." Poirot mengangguk. "Apakah hubungan Anda dengan sepupu Anda, M. Vyse, baik-baik saja?" tanyanya
tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan.
"Charles" Mengapa Anda berpikir tentang dia?"
"Saya hanya ingin tahu. Itu saja."
"Charles bermaksud baik," kata Nick. "Dia memang sangat membosankan. Begitu-
begitu saja. Saya rasa dia tak suka pada cara hidup saya."
"Ah! Mademoiselle. Yang saya dengar adalah bahwa dia mempersembahkan seluruh
cintanya pada Anda!"
"Tak menyukai cara hidup seseorang tak berarti dia tak menaruh hati pada orang
itu. Menurut Charles, cara hidup saya tercela, dan dia tak suka acara minum-
minum saya, kesukaan saya untuk berkumpul-kumpul, teman-teman saya, dan
percakapan-percakapan saya. Tapi dia tetap merasakan daya tarik saya. Saya rasa
dia selalu berharap akan bisa mengubah diri saya."
Ia berhenti sebentar, lalu berkata dengan mengerjapkan matanya sedikit,
"Siapa yang telah Anda pompa untuk mendapatkan informasi itu?"
"Jangan membuka rahasia saya, Mademoiselle. Saya hanya bercakap-cakap sedikit
dengan Madame Croft, wanita Australia itu."
"Dia memang wanita tua yang menyenangkan, asal kita punya waktu saja untuknya.
Dia sentimental sekali. Bicaranya selalu mengenai cinta, rumah tangga, anak-
anak, dan semacam itu."
"Saya sendiri juga kolot dan sentimental, Mademoiselle."
"Begitukah" Menurut saya, di antara Anda berdua, Kapten Hastings-lah yang
sentimental." Wajahku terasa merah karena marah.
"Lihat, dia marah sekali," kata Poirot dengan senang, sambil memperhatikan
sikapku yang salah tingkah. "Tapi Anda benar, Mademoiselle. Anda benar sekali."
"Sama sekali tidak," bentakku dengan marah.
"Hastings memiliki sifat yang baik sekali. Kadang-kadang itu merupakan
penghalang besar bagi saya."
"Jangan omong kosong, Poirot."
"Pertama-tama, dia enggan melihat kejahatan di mana pun juga, dan bila
dilihatnya ada kejahatan, perasaan marahnya begitu besar hingga dia tak dapat
menyembunyikannya. Tidak, mon ami, aku takkan memberimu kesempatan untuk
membantahku. Kata-kataku memang benar."
"Anda berdua baik sekali pada saya," kata Nick dengan halus.
"L?, l?, Mademoiselle. Tak apa-apa. Banyak sekali yang harus kita lakukan.
Pertama-tama, Anda harus tetap tinggal di sini. Anda harus mematuhi perintah-
perintah dan petunjuk-petunjuk kami. Anda harus melakukan apa yang saya katakan.
Pada tingkat ini, saya tak mau dihalang-halangi."
Nick mendesah dengan lesu.
"Saya akan melakukan apa saja yang Anda inginkan. Saya tak peduli apa yang harus
saya lakukan." "Untuk masa sekarang, Anda tak usah bertemu dengan teman-teman Anda."
"Saya tak peduli. Saya tak ingin bertemu dengan siapa-siapa."
"Anda harus pasif. Kami yang aktif. Nah, Mademoiselle, saya akan meninggalkan
Anda. Saya takkan mengganggu Anda lagi dalam kesedihan Anda ini."
Poirot berjalan ke arah pintu. Sesampainya di sana, ia berhenti sebentar sambil
memegang gagang pintu, dan berkata,
"Ngomong-ngomong, Anda pernah bercerita bahwa Anda telah membuat surat wasiat.
Di mana surat wasiat itu sekarang?"
"Oh! Entah, ya, pasti ada di suatu tempat."
"Di End House?"
"Ya." "Dalam lemari besi" Atau terkunci dalam meja kerja Anda?"
"Saya benar-benar tak tahu. Pokoknya ada di suatu tempat." Ia mengerutkan
dahinya. "Saya ini orangnya tidak rapi. Surat-surat dan dokumen-dokumen seperti
itu pasti ada di meja tulis di kamar baca. Di situlah tersimpan surat-surat
tagihan. Mungkin surat wasiat itu menjadi satu dengan surat-surat itu. Atau
mungkin juga di kamar tidur saya."
"Anda mengizinkan saya mencarinya?"
"Kalau Anda mau, boleh saja. Cari saja apa-apa yang Anda inginkan."
"Mercy, Mademoiselle. Izin Anda akan saya manfaatkan sebaik-baiknya."
12 ELLEN POIROT tidak berkata sepatah pun sebelum kami keluar dari rumah perawatan itu,
ke udara terbuka. Lalu ia mencengkeram lenganku.
"Mengertikah kau, Hastings" Mengertikah kau" Ah! Sacr? tonnerre! Aku benar! Aku
memang benar! Selama ini aku sudah tahu bahwa ada sesuatu yang kurang. Ada suatu
bagian dari teka-teki ini yang tak ada. Dan tanpa bagian yang hilang itu,
segala-galanya jadi tak berarti."
Sikap kemenangannya yang luar biasa itu membuatku sama sekali tak mengerti. Aku
tak tahu bahwa sesuatu yang istimewa telah terjadi.
"Selama ini, bagian itu memang ada. Tapi aku tak bisa melihatnya. Hal itu memang
tak mungkin. Soalnya aku memang tahu bahwa ada sesuatu - tapi aku tak tahu, apa
sesuatu itu. Ah! Sulit sekali."
"Apakah maksudmu hal itu berhubungan langsung dengan kejahatan itu?"
"Ma foi, tidakkah kaulihat?"
"Terus terang, tidak."
"Mungkinkah" Padahal itu memberikan pada kita apa yang selama ini kita cari,
yaitu motifnya - motif tersembunyi itu!"
"Mungkin aku bodoh sekali, tapi aku tak bisa melihatnya. Apakah maksudmu...
semacam rasa cemburu?"
"Rasa cemburu" Bukan, bukan, sahabatku. Motif yang biasa, motif yang lazim.
Uang, sahabatku, uang!"
Aku terbelalak. Ia berkata lagi dengan lebih tenang,
"Dengarkan, mon ami. Baru sekitar seminggu yang lalu Sir Matthew Seton
meninggal. Sir Matthew Seton itu seorang jutawan - salah seorang yang terkaya di
Inggris." "Ya, tapi..." "Attendez. Satu per satu. Dia punya kemenakan yang sangat disayanginya, dan kita
boleh yakin, dia pasti mewariskan hartanya pada kemenakannya itu."
"Tapi..." "Mais oui, memang ada warisan yang diberikan sebagai sumbangan untuk membiayai
hobinya. Tapi sebagian besar akan menjadi milik Michael Seton. Hari Selasa yang
lalu, dilaporkan bahwa Michael Seton hilang, dan pada hari Rabu, mulailah
serangan-serangan atas diri Mademoiselle. Mungkin, Hastings, Michael Seton telah
membuat surat wasiat sebelum dia memulai penerbangannya itu. Dan dalam surat
wasiatnya, dia mewariskan semua kekayaannya pada tunangannya."
"Itu hanya pengandaian saja."
"Itu memang hanya pengandaian - ya. Tapi itu pasti benar. Kalau tidak begitu,
segala sesuatu yang telah terjadi tak ada artinya. Bukan hanya warisan tak
berarti yang dipertaruhkan, melainkan kekayaan yang besar sekali jumlahnya."
Aku diam saja beberapa menit lamanya. Kubalik-balik persoalan itu dalam
pikiranku. Sepanjang penglihatanku, Poirot telah menarik kesimpulan dengan cara
yang nekat. Tapi sebaliknya, keyakinannya bahwa ia benar juga telah
mempengaruhiku. Namun kurasa masih banyak soal yang harus dibuktikan.
"Tapi, bukankah tak ada seorang pun yang tahu tentang pertunangan itu?"
bantahku. "Bah, ada seseorang yang tahu. Untuk hal-hal begitu, pasti ada saja yang tahu.
Dan kalaupun mereka tak tahu, mereka menebak-nebak. Madame Rice sudah curiga,
Mademoiselle telah mengakui hal itu. Mungkin ada hal-hal yang memungkinkan
kecurigaan Madame Rice berubah menjadi kepastian."
"Bagaimana?" "Yah, satu di antaranya tentu dengan adanya surat-surat dari Michael Seton pada
Mademoiselle Nick. Mereka sudah agak lama bertunangan. Madame Rice sering
mengatakan bahwa Nick itu sangat teledor. Barang-barangnya ditinggalkannya
begitu saja seenaknya di mana-mana. Aku tak yakin apakah dia pernah mengunci
barang-barangnya selama hidupnya. O, ya, pasti ada hal-hal yang membuatnya
yakin." "Dan mungkinkah Frederica Rice tahu tentang surat wasiat yang telah dibuat
sahabatnya?" "Pasti! Ya, kemungkinan-kemungkinannya menyempit sekarang. Kau tentu ingat
daftarku, bukan" Daftar nama orang-orang dari A sampai J. Kini sudah menyempit,
tinggal dua orang. Kukesampingkan kedua pembantu rumah tangga itu. Komandan
Challenger juga kukesampingkan, meskipun dia memerlukan satu setengah jam untuk
datang kemari dari Plymouth, padahal jaraknya hanya empat puluh kilometer.
Kukesampingkan M. Lazarus yang telah menawar lima puluh pound untuk sebuah
lukisan yang hanya bernilai dua puluh pound. Kukesampingkan pula orang-orang
Australia itu, karena mereka begitu lulus dan begitu menyenangkan. Aku masih
mempertahankan dua orang."
"Salah seorang di antaranya Frederica Rice?" tanyaku lambat-lambat.
Terbayang wajah wanita itu, rambutnya yang berwarna keemasan, dan wajahnya yang
putih dan rapuh. "Ya. Kecurigaanku terarah padanya dengan jelas sekali, cerobohnya Mademoiselle,
menulis surat wasiat, pasti cukup jelas bahwa Madame Rice ditunjuk sebagai
pewaris sisa kekayaannya. Kecuali End House, semua kekayaan lain diberikan pada
Madame Rice. Sekiranya bukan Mademoiselle Maggie, melainkan Mademoiselle Nick
yang tertembak semalam, Madame Rice akan menjadi wanita kaya hari ini."
"Sulit rasanya aku percaya."
"Maksudmu, kau sulit percaya bahwa seorang wanita cantik bisa menjadi pembunuh"
Kita memang sering mengalami kesulitan kecil dengan para anggota juri dalam
pengadilan mengenai hal itu. Tapi mungkin kau benar. Masih ada seorang tersangka
lain." "Siapa?" "Charles Vyse."
"Tapi dia hanya mewarisi rumah."
"Ya, tapi mungkin dia tak tahu itu. Apakah dia yang membuat surat wasiat itu
untuk Mademoiselle" Kurasa bukan. Bila dia yang membuatkannya, tentu dia yang
menyimpan surat itu, dan tidak 'tergeletak begitu saja di suatu tempat', atau
entah apa ungkapan yang digunakan oleh Mademoiselle. Jadi, Hastings, mungkin
sekali dia tak tahu apa-apa mengenai surat wasiat itu. Mungkin dia mengira
Mademoiselle tak pernah membuat surat wasiat, dan bahwa dalam hal itu, sebagai
anggota keluarga terdekat, dialah yang akan menjadi ahli waris tunggal."
"Nah," kataku, "kelihatannya itu merupakan kemungkinan yang paling besar."
"Itulah pikiranmu yang romantis itu, Hastings. Pengacara jahat! Yang biasanya
menjadi tokoh dalam cerita fiksi. Kalau dia bukan hanya seorang pengacara jahat,
tapi juga punya wajah yang kaku tak berperasaan, kecurigaanmu hampir tepat.
Memang benar bahwa dalam beberapa hal, dia lebih cocok menjadi tersangka
daripada Madame. Lebih besar kemungkinannya dia tahu tentang pistol itu, dan
lebih mungkin pula menggunakannya."
"Dan menggulingkan batu besar itu ke bawah."
"Barangkali. Meskipun, sebagaimana telah kukatakan padamu, hukum daya pengungkit
juga besar pengaruhnya. Apalagi adanya kenyataan bahwa itu pekerjaan seorang
wanita. Pikiran mengenai perusakan mesin mobil memberikan kemungkinan pekerjaan
laki-laki, meskipun zaman sekarang wanita juga banyak yang memiliki keahlian
montir yang baik. Sebaliknya ada beberapa jurang dalam teori terhadap M. Vyse
itu." "Seperti...?" "Kemungkinan dia mengetahui pertunangan itu lebih kecil daripada Madame. Lalu
ada satu hal lagi. Tindakannya terlalu tergesa-gesa."
"Apa maksudmu?"
"Yah, sampai semalam, belum ada kepastian bahwa Seton meninggal. Rasanya sangat
tak sesuai bagi orang yang berpikiran sehat untuk bertindak gegabah, tanpa
kepastian." "Ya," kataku. "Seorang wanita memang mungkin menarik kesimpulan terlalu cepat."
"Tepat. Suara wanita adalah juga suara Tuhan. Begitu bunyi peribahasa."
"Sungguh mengagumkan bagaimana Nick bisa luput. Rasanya agak tak masuk akal."
Tiba-tiba aku teringat akan nada bicara Frederica waktu ia berkata, "Hidup Nick
seolah-olah dilindungi oleh jimat."
Aku agak bergidik. "Ya," kata Poirot merenung. "Dan aku tak bisa menganggap diriku berjasa dalam
hal itu. Memalukan sekali!"
"Nasib," gumamku.
"Ah, mon ami, aku tak mau membebani Tuhan yang Mahabaik dengan perbuatan salah
manusia. Bukankah begitu bunyi doa syukurmu pada hari Minggu" Tanpa kausadari,
kau akan mengatakan bahwa le bon Dieu-lah* yang telah membunuh Miss Nick."
(*Tuhan yang baik) "Ah, Poirot, mengapa kau berkata begitu?"
"Sungguh, sahabatku! Aku tak mau duduk diam dan berkata, 'Le bon Dieu telah
mengatur segala-galanya, dan aku tak mau campur tangan.' Karena aku yakin bahwa
le bon Dieu telah menciptakan Hercule Poirot dengan tujuan khusus, yaitu untuk
campur tangan. Itu sudah merupakan profesiku."
Kami sedang mendaki jalan setapak yang berliku-liku, perlahan-lahan, ke arah
batu karang. Pada saat itulah kami tiba di sebuah pintu pagar kecil. Kami
berjalan melewatinya, lalu masuk ke pekarangan yang mengelilingi End House.
"Uf," kata Poirot. "Curam sekali pendakian itu. Aku panas sekali. Kumisku jadi
lemas. Ya, seperti kukatakan tadi, aku berada di pihak orang yang tak bersalah.
Aku bekerja di pihak Mademoiselle Nick, karena dia yang diserang. Aku bekerja
demi Mademoiselle Maggie, karena dia sudah terbunuh."
"Dan kau bekerja melawan Frederica Rice dan Charles Vyse."
"Tidak, tidak, Hastings. Aku berpandangan bebas. Aku hanya berkata bahwa pada
saat ini, satu di antara mereka berdua punya indikasi. Itu saja!"
Kami tiba di pekarangan berumput di sekeliling rumah itu. Seorang pria sedang
bekerja dengan sebuah mesin pemotong rumput. Wajahnya panjang dan memberikan
kesan bodoh, dan matanya tak bersemangat. Di sampingnya ada seorang anak laki-
laki berumur kira-kira sepuluh tahun. Anak itu jelek, tapi kelihatan cerdas.
Tiba-tiba terpikir olehku bahwa kami tidak mendengar suara mesin pemotong rumput
itu bekerja tadi, dan aku mendapatkan kesan bahwa tukang kebun itu tidak
kelihatan letih karena telah bekerja keras. Mungkin dia tadi sedang
beristirahat, lalu cepat-cepat mulai bekerja waktu mendengar suara kami
mendekat. "Selamat pagi," kata Poirot.
"Selamat pagi, Sir."
"Saya rasa Anda tukang kebun di sini, ya" Anda suami wanita yang bekerja di
rumah itu?" "Dia bapak saya," celetuk anak laki-laki itu.


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, Sir," kata laki-laki itu, "Kalau tak salah, Anda orang asing yang
detektif itu" Apakah ada berita mengenai majikan saya, Sir?"
"Saat ini saya baru saja kembali dari menjenguknya. Semalam dia bisa tidur
nyenyak." "Kami sering didatangi polisi," kata anak laki-laki itu. "Wanita itu terbunuh di
sana. Di dekat tangga itu. Saya pernah melihat seekor babi disembelih. Ya, kan,
Ayah?" "Ah!" kata ayahnya tanpa semangat.
"Ayah biasa menyembelih babi waktu bekerja di peternakan. Ya, kan" Saya biasa
melihat babi disembelih. Saya suka melihatnya."
"Anak-anak memang suka melihat babi disembelih," kata laki-laki itu, seolah akan
memberitahukan pada kami kenyataan alam yang tak bisa diubah.
"Wanita itu ditembak dengan pistol," lanjut anak laki-laki itu. "Bukan lehernya
disembelih. Bukan." Kami melanjutkan perjalanan ke arah rumah, dan aku merasa bersyukur bisa pergi
dari anak kecil yang menyukai kekejaman itu.
Poirot masuk ke ruang tamu utama. Jendela-jendelanya terbuka, dan ia menekan bel
untuk memanggil. Ellen, yang mengenakan pakaian hitam yang rapi, datang
mendengar bel itu. Ia tidak kelihatan terkejut melihat kami.
Poirot menjelaskan bahwa kami berada di rumah itu atas izin Miss Buckley, untuk
memeriksa rumah. "Silakan, Sir."
"Apakah polisi sudah selesai memeriksa?"
"Kata mereka, mereka sudah melihat semua yang ingin diperiksa, Sir. Sejak pagi-
pagi benar tadi, mereka sudah berkeliling di kebun. Saya tak tahu apakah mereka
telah menemukan sesuatu."
Ia sudah akan meninggalkan ruangan itu, tapi Poirot menghentikan langkahnya
dengan bertanya, "Apakah Anda terkejut sekali semalam, waktu mendengar Miss Buckley telah
ditembak orang?" "Ya, Sir, terkejut sekali. Miss Maggie itu seorang wanita muda yang baik, Sir.
Tak bisa saya membayangkan ada orang yang begitu jahat dan ingin menyakitinya."
"Sekiranya dia orang lain, apakah Anda tidak akan begitu terkejut?"
"Saya tak mengerti maksud Anda, Sir."
"Waktu saya masuk ke lorong rumah semalam," kataku, "Anda langsung bertanya
apakah ada seseorang yang cedera. Apakah Anda memang sudah tahu bahwa hal
semacam itu akan terjadi?"
Ia diam, melipat-lipat sudut celemeknya, kemudian menggeleng sambil bergumam,
"Kaum pria takkan mengerti."
"Ya, ya," kata Poirot. "Saya bisa mengerti. Betapapun hebatnya yang akan Anda
katakan, saya bisa mengerti."
Wanita itu memandanginya dengan sikap kurang percaya, lalu akhirnya ia
memuluskan untuk mempercayai Poirot.
"Begini, Sir," katanya. "Rumah ini rumah yang tak baik."
Aku terkejut dan melecehkan kata-kata itu. Tapi Poirot kelihatannya menganggap
pernyataan itu sama sekali tak aneh.
"Maksud Anda karena rumah ini rumah tua?"
"Ya, Sir, ini bukan rumah yang baik."
"Anda belum lama di sini?"
"Sudah enam tahun, Sir. Saya di sini sejak saya masih gadis. Saya bekerja di
dapur sebagai pembantu juru masak. Waktu itu masih ada Sir Nicholas tua, tapi
keadaannya sama saja."
Poirot memandanginya dengan penuh minat.
"Di dalam rumah tua kadang-kadang memang ada suasana jahat," katanya.
"Itu benar, Sir," kata Ellen dengan bersemangat. "Ada kejahatan. Pikiran-pikiran
jahat dan perbuatan-perbuatan jahat pula. Seperti pembusukan pada kayu, Sir.
Kita tak mampu menghapuskannya. Saya sudah lama tahu bahwa sesuatu yang tak
beres akan terjadi dalam rumah ini, pada suatu hari."
"Ya, ternyata perasaan Anda benar."
"Ya, Sir." Nada suaranya mengandung rasa puas, seperti orang yang mendapati bahwa ramalan-
ramalan suramnya ternyata benar.
"Tapi Anda tak mengira bahwa Miss Maggie yang akan mengalaminya?"
"Tidak, memang tidak, Sir. Tak seorang pun membencinya. Saya yakin itu."
Aku merasa kata-katanya mengandung suatu petunjuk. Kukira Poirot akan
mengikutinya terus, tapi aku heran, karena ia lalu beralih ke pokok pembicaraan
lain. "Apakah Anda tak mendengar waktu tembakan-tembakan itu dilepas?"
"Itu tak bisa dibedakan, gara-gara pesta kembang api. Waktu itu ribut sekali."
"Apakah Anda tidak keluar untuk nonton pesta itu?"
"Tidak, saya belum selesai membereskan bekas makan malam."
"Apakah pelayan sewaan itu tidak membantu Anda?"
"Tidak, Sir, dia keluar ke kebun untuk nonton kembang api itu."
"Tapi Anda tidak pergi."
"Tidak, Sir." "Mengapa tidak?"
"Saya ingin menyelesaikan pekerjaan saya."
"Apakah Anda tak suka kembang api?"
"Oh, suka, Sir. Bukan itu soalnya. Begini, Sir, pesta kembang api itu
dilangsungkan dua malam, dan saya dan William besok malam bebas. Dan kami
merencanakan untuk pergi ke kota dan menontonnya dari sana."
"Saya mengerti. Apakah Anda mendengar Miss Maggie menanyakan mantelnya dan
mengatakan tak bisa menemukannya?"
"Saya mendengar Miss Nick berlari ke lantai atas, Sir, lalu Miss Buckley berseru
dari ruang depan, mengatakan bahwa dia akan memakai syal itu saja."
"Maaf...," sela Poirot. "Anda tidak berusaha mencarikan mantel itu, atau
mengambilnya dari mobil, tempat mantel itu tertinggal?"
"Saya harus mengerjakan tugas saya, Sir."
"Benar juga, dan kedua wanita muda itu pasti tidak pula meminta bantuan Anda,
karena mereka kira Anda keluar untuk melihat kembang api itu?"
"Mungkin, Sir."
"Apakah pada tahun-tahun yang lalu Anda pergi untuk menontonnya?"
Pipi Ellen yang pucat tiba-tiba menjadi merah.
"Saya tak mengerti maksud Anda, Sir. Kami selalu diizinkan untuk keluar ke
kebun. Kalau tahun ini saya lebih suka meneruskan pekerjaan saya dan langsung
tidur, yah, saya rasa itu urusan saya."
"Mais oui, mais oui. Saya tak bermaksud menyinggung perasaan Anda. Anda memang
berhak melakukan hal yang lebih Anda sukai. Memang menyenangkan kalau kita
melakukan sesuatu yang lain daripada biasanya."
Ia diam sebentar, lalu menambahkan, "Nah, sekarang ada satu hal kecil. Saya
pikir Anda bisa membantu saya. Kata Anda tadi, ini rumah tua. Jadi, apakah ada
kamar-kamar rahasia dalam rumah ini?"
"Yah, memang ada semacam kayu pelapis yang bisa digeser dalam kamar ini. Saya
ingat, waktu saya masih gadis, kepada saya pernah diperlihatkan itu. Tapi
sekarang saya tak ingat lagi yang mana. Atau mungkin juga di dalam kamar
perpustakaan. Saya sama sekali tak tahu lagi."
"Apakah tempat itu cukup besar untuk orang bersembunyi?"
"Oh, sama sekali tidak, Sir! Hanya sebesar satu rak lemari, semacam lekuk di
dalam dinding saja. Kira-kira tiga puluh lima sentimeter persegi saja luasnya,
Sir, tak lebih.' "Oh! Sama sekali bukan itu maksud saya."
Wajah wanita itu memerah lagi.
"Kalau Anda pikir saya bersembunyi di suam tempat, itu tak benar! Saya mendengar
Miss Nick menuruni tangga lagi, lalu keluar. Lalu saya mendengar dia menjerit,
jadi saya keluar ke lorong rumah, untuk melihat ada apa. Dan, demi Tuhan, itu
benar, Sir. Demi Tuhan!"
13 SURAT-SURAT SETELAH berhasil menyingkirkan Ellen, Poirot berpaling ke arahku dengan wajah
serius. "Aku jadi ingin tahu, apakah dia memang mendengar tembakan-tembakan itu" Kurasa
dia mendengarnya. Dia membuka pintu dapur, mendengar Nick berlari menuruni
tangga, lalu keluar, dan dia sendiri masuk ke lorong rumah untuk mencari tahu
apa yang telah terjadi. Itu wajar. Tapi mengapa dia tidak keluar dan nonton
kembang api malam itu" Itulah yang ingin sekali kuketahui, Hastings."
"Mengapa kau menanyakan suatu tempat persembunyian rahasia?"
"Itu hanya pikiranku saja. Sekarang ternyata kita tak boleh menghapuskan J."
"J?" "Ya. Orang terakhir dalam daftarku. Orang luar yang membawa masalah. Seandainya,
dengan suatu alasan yang ada hubungannya dengan Ellen, J datang ke rumah ini
semalam. Dia - kurasa dia seorang laki-laki - bersembunyi di sebuah ruang rahasia di
dalam kamar ini. Seorang gadis lewat, dikiranya gadis itu Nick. Laki-laki itu
mengikutinya ke luar, lalu menembaknya. Tidak, itu tak masuk akal! Soalnya kita
tahu bahwa tempat persembunyian itu tak ada. Keputusan Ellen untuk tinggal di
dapur saja semalam hanya merupakan tindakan yang tak diperhitungkan. Mari kita
mencari surat wasiat Mademoiselle Nick."
Di ruang tamu utama itu tak ada surat-surat. Kami pindah ke ruang perpustakaan,
sebuah kamar yang agak gelap, yang menghadap ke jalan masuk. Di situ terdapat
sebuah meja tulis besar yang kuno, dari kayu kenari.
Kami memerlukan waktu agak lama untuk mencari. Segala-galanya campur aduk.
Surat-surat tagihan dan surat-surat tanda terima bercampur. Ada surat-surat
undangan, ada surat-surat yang mendesak pembayaran rekening, ada pula surat-
surat dari teman-temannya.
"Mari kita susun surat-surat ini dengan rapi," kata Poirot dengan geram.
Poirot bukan hanya pandai mengatakannya, tapi pandai pula mengerjakannya.
Setengah jam kemudian, ia bersandar dengan air muka puas. Semuanya sudah
disortir, diberi etiket, dan dicatat dengan rapi di dalam arsip.
"Bagus. Sekurang-kurangnya satu hal sudah lebih baik. Kita harus memeriksa
segala-galanya demikian telitinya, hingga tak ada kemungkinan kita kehilangan
apa pun juga." "Memang. Meskipun tidak banyak pula yang kita temukan."
"Kecuali ini, barangkali." Dilemparkannya sepucuk surat ke arahku. Surat itu
bertulisan tangan, dengan huruf-huruf besar yang hampir tak terbaca.
Sayangku, Pestanya luar biasa sekali. Aku merasa seperti orang keji hari ini. Kau bijak,
karena kau tak mau menyentuh "barang" itu. Jangan pernah mencobanya, sayangku.
Sulit sekali menghentikannya. Aku sudah menulis surat pada teman priaku itu,
supaya cepat-cepat mengirimi aku lagi. Hidup serasa dalam neraka.
Kekasihmu, Freddie. "Tertanggal bulan Februari yang lalu," kata Poirot sambil merenung. "Dia minum
obat-obat terlarang. Aku sudah menduga hal itu, begitu aku melihatnya."
"Begitukah" Aku tak pernah curiga akan hal semacam itu."
"Hal itu jelas sekali. Kelihatan dari matanya. Kemudian perubahan-perubahan
suasana hatinya yang luar biasa. Kadang-kadang dia tegang sekali, gugup. Kadang-
kadang dia tak bergairah, kaku."
"Pemakaian obat-obat terlarang itu mempengaruhi kehidupan moral, ya?"
"Pasti. Tapi kurasa Mrs. Rice bukan seorang pemadat hebat. Dia baru pada tahap
awal, bukan tahap akhir."
"Bagaimana dengan Nick?"
"Tak ada tanda-tanda itu pada dirinya. Mungkin sekali-sekali dia menghadiri
pesta para pemadat untuk bersenang-senang, tapi dia bukan pemakai obat-obat
terlarang." "Aku senang mendengarnya."
Aku tiba-tiba teringat apa yang dikatakan Nick mengenai Frederica, yaitu bahwa
ia kadang-kadang linglung. Poirot mengangguk, lalu menjentik surat yang sedang
dipegangnya. "Pasti itulah yang dimaksudnya di sini. Yah. pokoknya kita telah mendapatkan
jawabannya. Sekarang mari kita pergi ke kamar Mademoiselle."
Di dalam kamar Nick ada pula sebuah meja tulis. Tapi boleh dikatakan sedikit
yang tersimpan di situ. Di situ pun, tak ada tanda-tanda surat wasiat. Kami
menemukan surat tanda milik mobilnya, dan sebuah panggilan keras sebulan yang
lalu. Kecuali itu, tak ada lagi yang penting.
Poirot mendesah dengan putus asa.
"Gadis-gadis zaman sekarang ini... mereka kurang dididik disiplin dengan baik.
Aturan-aturan dan tata cara tak diajarkan dalam pendidikan mereka. Mademoiselle
Nick itu memang menarik, tapi kepalanya kosong. Ya, kepalanya benar-benar
kosong." Kini ia sedang memeriksa isi sebuah lemari yang berlaci-laci.
"Aduh, Poirot," kataku dengan rasa risi, "itu kan pakaian dalam?"
Poirot menghentikan kegiatannya. Ia tampak heran.
"Lalu mengapa, sahabatku?"
"Apakah menurutmu, tidak... maksudku... kita kan tak bisa..."
Poirot tertawa terkekeh. "Benar-benar Hastings yang malang. Kau ini kolot sekali. Mademoiselle Nick pun
pasti akan berkata begitu sekiranya dia berada di sini. Bahkan mungkin sekali
dia akan menganggapnya punya pikiran kotor! Zaman sekarang, gadis-gadis tak malu
dilihat pakaian dalamnya. Baik kutang maupun celana dalam, bukan lagi merupakan
rahasia memalukan. Di pantai, setiap hari pakaian semacam itu dipamerkan pada
kita dalam jarak beberapa meter saja. Lalu apa salahnya?"
"Kurasa tak ada gunanya itu kaulakukan."
"Dengarlah, sahabatku. Mademoiselle Nick tak pernah mengunci barang-barangnya.
Bila dia ingin menyembunyikan sesuatu, di mana barang itu akan diletakkannya"
Biasanya di bawah kaus kaki atau di bawah rok dalam, bukan" Nah, ini apa?"
Ia mengeluarkan seikat surat yang diikat pita merah muda yang sudah luntur.
"Surat-surat cinta dari M. Michael Seton, kalau aku tak kelim."
Dengan tenang sekali dilepaskannya simpul pita itu, lalu ia mulai membuka surat-
surat itu. "Poirot!" pekikku dengan rasa malu. "Kau tak boleh berbuat begitu! Itu melanggar
etika." "Aku tidak sedang main-main, mon ami." Suaranya tiba-tiba terdengar keras dan
tegas. "Aku sedang melacak jejak seorang pembunuh."
"Ya, tapi itu surat-surat pribadi...."
"Mungkin takkan memberikan petunjuk apa-apa, tapi sebaliknya bisa pula ada. Aku
harus memanfaatkan semua kesempatan, mon ami. Mari, sebaiknya kau ikut juga
membacanya denganku. Dua pasang mata lebih baik daripada sepasang saja.
Besarkanlah hatimu, dan yakinlah bahwa Ellen yang setia itu sudah hafal semua
isi surat ini." Aku tak menyukai gagasan itu. Namun aku juga menyadari bahwa dalam kedudukan
Poirot, ia tak bisa terlalu teguh berpegang pada tata krama. Maka aku pun
membesarkan hati dengan dalih bahwa kata-kata Nick yang terakhir adalah, "Cari
sajalah apa-apa yang Anda inginkan."
Surat-surat itu ditulis pada tanggal-tanggal yang berlainan, dimulai dengan
musim dingin yang lalu. Pada hari Tahun Baru.
Sayangku, Tahun sudah berganti lagi, dan aku sedang membuat rencana-rencana yang baik. Aku
merasa bahagia sekali karena ternyata kau benar-benar mencintaiku. Kau telah
mengubah segala-galanya dalam hidupku. Kurasa kita sudah tahu itu, sejak saat
pertama kita bertemu. Selamat Tahun Baru, gadisku yang cantik.
Kekasihmu selalu, Michael. 8 Februari. Kekasihku tersayang, Ingin benar aku bisa lebih sering bertemu denganmu. Keadaan begini sama sekali
tak menyenangkan, bukan" Aku benci sekali sembunyi-sembunyi begini, tapi sudah
kujelaskan bagaimana keadaannya. Aku tahu kau sangat benci akan kebohongan-
kebohongan dan cara sembunyi-sembunyi. Aku pun begitu. Tapi terus terang, kalau
tidak begitu, semua rencana kita akan gagal. Paman Matthew sama sekali tak suka
pernikahan pada usia muda, yang menurut pendapatnya bisa menggagalkan karier
seorang laki-laki. Padahal kau, bidadariku, kau takkan menggagalkan karierku.
Senangkanlah hatimu, Sayang. Segalanya akan beres.
Kekasihmu, Michael. 2 Maret. Aku tahu, aku tak boleh menulis surat padamu dua hari berturut-turut. Tapi aku
tak bisa berbuat lain. Waktu aku bangun kemarin, aku teringat padamu. Aku
terbang di atas Scarborough. Diberkatilah kiranya Scarborough, tempat paling
indah di seluruh dunia. Sayangku, kau pasti tak bisa membayangkan betapa
cintanya aku padamu. Kasihmu,

Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Michael. 18 April. Sayangku, Semuanya sudah pasti. Pasti. Bila aku berhasil (dan aku pasti berhasil), aku
akan minta ketegasan Paman Matthew, dan bila dia tak setuju... yah, aku tak
peduli. Kau baik sekali, mau memperhatikan keterangan-keteranganku yang panjang-
lebar mengenai Albatross. Ingin sekali aku mengajakmu terbang dalam pesawatku
itu. Nantilah. Demi Tuhan, jangan khawatir memikirkan aku. Penerbangan tidak
begitu berbahaya seperti dugaan orang. Aku tak mungkin tewas setelah tahu bahwa
kau mencintaiku. Segalanya akan berjalan dengan baik, kekasihku. Percayalah pada
kekasihmu. Michael. 20 April. Kau adalah bidadariku. Setiap perkataan yang kauucapkan benar adanya. Suratmu
akan kusimpan selalu. Rasanya aku tak pantas mendapatkanmu. Kau lain sekali dari
semua orang. Aku memujamu.
Kekasihmu, Michael. Yang terakhir tak bertanggal.
Kekasihku, Nah, besok aku akan berangkat. Aku rasanya ingin cepat-cepat berangkat. Aku
berdebar-debar, tapi yakin sekali akan keberhasilanku. Si Albatross sudah
disiapkan dengan baik. Dia tak akan mencelakakan aku.
Senangkanlah hatimu, sayangku, dan jangan khawatir. Bahayanya memang ada, tapi
bukankah segala sesuatu dalam hidup ini ada bahayanya" Ngomong-ngomong,
seseorang mengatakan padaku supaya aku membuat surat wasiat (bijak sekali orang
itu, dan dia bermaksud baik). Jadi kubuatlah surat wasiat, hanya pada setengah
halaman kertas, dan sudah kukirimkan pada Mr. Whitfield. Aku tak sempat pergi
sendiri ke sana. Ada orang yang pernah bercerita padaku bahwa ada orang yang
membuat surat wasiat yang hanya terdiri atas tiga patah kata, bunyinya. Semuanya
untuk Ibu. Dan itu dinyatakan sah dan benar. Surat wasiatku hampir sama dengan
itu. Aku ingat bahwa namamu yang sebenarnya adalah Magdala - pandai sekali aku,
ya" Dua orang telah kujadikan saksi. Jangan terlalu diperhatikan bicaraku yang
bersungguh-sungguh mengenai surat wasiat itu (aku hanya bercanda). Aku takkan
mengalami kecelakaan. Aku akan selamat. Aku akan mengirim telegram padamu dari
India, Australia, dan seterusnya. Ingat, senangkan hatimu. Semuanya akan beres.
Kau mengerti, bukan"
Selamat malam, Tuhan memberkatimu,
Michael. Poirot melipat surat-surat itu, lalu mengumpulkannya lagi.
"Mengertikah kau sekarang, Hastings" Aku harus membaca surat-surat itu untuk
meyakinkan diriku. Tepat seperti kataku."
"Tapi pasti ada cara lain untuk mencari tahu, bukan?"
"Tidak, mon cher, justru aku tak bisa. Harus dengan cara ini. Sekarang kita
punya bukti yang amat berharga."
"Berharga bagaimana?"
"Sekarang kita tahu bahwa kenyataan tentang Michael yang telah membuat surat
wasiat untuk Mademoiselle Nick, benar-benar terbukti dalam bentuk tulisan. Siapa
pun yang telah membaca surat-surat itu, akan tahu pula kenyataan itu. Dan karena
surat-surat itu disimpan sembarangan, siapa pun bisa membacanya."
"Maksudmu Ellen?"
"Ellen. Kurasa itu hampir pasti. Sebelum kita keluar nanti, kita akan mengadakan
eksperimen terhadapnya."
"Tapi surat wasiat yang kita cari belum diketemukan."
"Memang belum. Aneh sekali. Tapi besar kemungkinan surat itu tergeletak saja di
atas lemari buku, atau dalam sebuah pot porselen. Kita harus mencoba menimbulkan
ingatan Mademoiselle mengenai hal itu. Kelihatannya tak ada lagi yang bisa
ditemukan di sini." Waktu kami turun, Ellen sedang membersihkan debu di lorong rumah.
Poirot mengucapkan selamat pagi dengan ceria sekali padanya, waktu kami
melewatinya. Tiba di pintu depan, Poirot berbalik, lalu berkata, "Saya rasa Anda
pasti tahu bahwa Miss Buckley bertunangan dengan Michael Seton si penerbang itu,
ya?" Ellen terbelalak. "Apa" Penerbang yang banyak diberitakan dalam surat-surat kabar itu?"
"Benar." "Wah, bukan main. Siapa menyangka! Bertunangan dengan Miss Nick."
"Rasa terkejutnya kelihatannya sungguh-sungguh dan meyakinkan," kataku setelah
kami tiba di luar. "Ya. Kelihatannya sungguh-sungguh."
"Mungkin memang begitu," kataku.
"Padahal surat-surat itu tergeletak begitu saja di bawah pakaian dalam itu.
Tidak, mon ami." "Bisa saja," pikirku sendiri. "Bukan semua orang Hercule Poirot. Tidak semua
orang mau mengorek-ngorek hal yang tak ada hubungannya dengan diri kita
sendiri." Tapi aku tidak berkata apa-apa.
"Si Ellen itu merupakan suatu teka-teki," kata Poirot. "Aku tak senang. Ada
sesuatu yang tak kumengerti di sini."
14 MISTERI SURAT WASIAT YANG HILANG
KAMI langsung kembali ke rumah perawatan.
Nick kelihatan agak terkejut melihat kami.
"Begitulah, Mademoiselle," kata Poirot, menjawab pandangan Nick. "Saya ini
memang seperti boneka per dalam peti saja. Saya muncul kembali dengan mendadak.
Pertama-tama akan saya katakan bahwa surat-surat Anda sudah saya bereskan.
Sekarang semuanya sudah tersusun rapi."
"Yah, sebenarnya sudah lama hal itu harus saya lakukan," kata Nick, yang mau tak
mau tersenyum juga. "Rupanya Anda orang yang rapi, M. Poirot."
"Tanyakan saja pada sahabat saya, Hastings ini."
Gadis itu menoleh dengan pandangan bertanya padaku.
Kuceritakan sampai pada hal sekecil-kecilnya mengenai keanehan-keanehan kecil
pada Poirot - seperti roti panggang yang harus dibuat dari roti segi empat,
telurnya harus digoreng sama besar dengan roti itu, rasa tak sukanya main golf,
karena dianggapnya tak enak dan tak menyenangkan. Satu-satunya hasil pukulannya
pada permainan golf adalah ke dalam kotak tempat bola golf! Kuakhiri kisahku
dengan menceritakan tentang perkara terkenal yang berhasil diselesaikannya,
gara-gara kebiasaannya mengubah-ubah letak barang-barang hiasan di atas alas
perapian. Poirot hanya duduk sambil tersenyum-senyum.
"Dia pandai melebih-lebihkan," katanya setelah aku selesai bercerita. "Tapi
secara keseluruhan, itu memang benar. Bayangkan saja sendiri, Mademoiselle, saya
tak pernah berhenti mendesak Hastings untuk membelah rambutnya di tengah, dan
tidak di pinggir. Coba lihat belahan rambut di pinggir itu, bukankah memberikan
kesan berat sebelah dan tidak simetris padanya?"
"Kalau begitu, Anda juga menyalahkan saya, M. Poirot," kata Nick. "Saya membelah
rambut saya di pinggir. Dan Anda pasti membenarkan Freddie, karena dia membelah
rambutnya di tengah."
"Dia memang mengagumi sahabat Anda itu semalam," kataku dengan nada menggoda.
"Sekarang saya tahu alasannya."
"Cukup," kata Poirot. "Saya kemari dengan maksud serius, Mademoiselle. Saya tak
bisa menemukan surat wasiat Anda itu."
"Oh!" Nick mengernyitkan alisnya. "Tapi apakah itu begitu penting" Saya kan
belum mati, dan surat wasiat baru penting artinya bila seseorang sudah
meninggal, bukan?" "Itu benar. Meskipun demikian, saya tetap menaruh minat pada surat wasiat Anda
itu. Ingat-ingatlah Mademoiselle. Cobalah mengingat-ingat di mana Anda telah
menaruhnya - di mana Anda melihatnya terakhir kali."
"Saya rasa saya tidak menaruhnya di suatu tempat khusus," kata Nick. "Saya
memang tak pernah menaruh apa-apa di tempat-tempat tertentu. Mungkin hanya saya
selipkan saja ke dalam sebuah laci."
"Apakah tak mungkin Anda menyimpannya di dalam kayu pelapis rahasia itu?"
"Apa rahasia?" "Pelayan Anda, Ellen, berkata bahwa di ruang tamu utama atau di ruang
perpustakaan ada kayu pelapis rahasia."
"Omong kosong," kata Nick. "Saya tak pernah mendengar hal semacam itu. Ellen
yang berkata begitu?"
"Mais oui. Katanya dia sudah bekerja sebagai pelayan di End House sejak dia
masih gadis remaja. Jum masak Anda yang memperlihatkannya padanya."
"Baru sekarang saya mendengar tentang hal itu. Saya rasa Kakek pasti tahu
tentang tempat itu, tapi beliau tak pernah menceritakannya pada saya. M. Poirot,
apakah Anda yakin bahwa Ellen tidak hanya mengada-ada?"
"Tidak, Mademoiselle, saya sama sekali tak yakin! Saya pikir ada sesuatu yang...
aneh pada diri Ellen, pelayan Anda itu."
"Ah! Saya tak bisa menyebutnya aneh. Si William itu yang kurang beres otaknya,
dan anak mereka nakalnya luar biasa. Tapi Ellen baik. Dia selalu sopan santun."
"Apakah Anda memberinya izin untuk menonton kembang api semalam, Mademoiselle?"
"Tentu. Mereka selalu nonton. Setelah itu, baru mereka membereskan bekas makan
malam." "Tapi dia tidak keluar."
"Ah, dia nonton."
"Bagaimana Anda tahu, Mademoiselle?"
"Wah... yah... saya tak tahu betul. Pokoknya saya menyuruhnya pergi, dan dia
mengucapkan terima kasih. Oleh karenanya, saya simpulkan saja bahwa dia pergi."
"Tapi nyatanya dia tinggal di dalam rumah."
"Tapi... itu aneh sekali!"
"Apakah menurut Anda itu aneh?"
"Ya. Saya tahu betul bahwa selama ini dia tak pernah berbuat begitu. Adakah
dikatakannya mengapa dia berbuat begitu?"
"Dia tidak mengatakan alasan sebenarnya - saya yakin itu."
Nick menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Apakah itu... penting?"
Poirot mengangkat kedua belah tangannya.
"Itulah yang tak bisa saya katakan, Mademoiselle. Memang aneh sekali. Tapi
biarlah kita lupakan saja."
"Mengenai kayu pelapis rahasia itu juga," kata Nick sambil merenung. "Saya pikir
itu aneh juga... dan tak meyakinkan. Apakah dia memperlihatkan pada Anda di mana
letaknya?" "Saya tak percaya bahwa itu ada."
"Katanya dia tak ingat lagi."
"Kelihatannya memang begitu."
"Mungkin dia sudah mulai linglung. Kasihan dia."
"Padahal dia bisa menceritakan dengan panjang-lebar tentang sejarah-sejarah
tertentu! Dikatakannya pula bahwa End House adalah sebuah rumah yang tak baik
untuk didiami." Nick tampak agak bergidik.
"Mungkin dia benar dalam hal itu," katanya lambat-lambat. "Kadang-kadang saya
sendiri juga merasa begitu. Ada suatu perasaan aneh di dalam rumah itu...."
Matanya menjadi besar dan gelap, dengan pandangan seseorang yang terkutuk.
Poirot cepat-cepat mengalihkan pikirannya pada pokok-pokok pembicaraan lain.
"Kita telah menyimpang dari pokok pembicaraan kita, Mademoiselle. Mengenai surat
wasiat itu. Surat wasiat dan testamen terakhir dari Magdala Buckley."
"Begitulah yang saya tuliskan," kata Nick dengan bangga. "Ya, saya ingat, saya
telah mencantumkan kata-kata itu. Dan saya cantumkan juga supaya dibayar semua
utang dan biaya warisan. Saya ingat kata-kata itu dari sebuah buku yang pernah
saya baca." "Jadi Anda tidak menggunakan formulir surat wasiat yang lazim?"
"Tidak. Tak ada waktu lagi untuk itu. Waktu itu saya sudah berangkat ke rumah
sakit, apalagi kata Mr. Croft formulir surat wasiat itu berbahaya sekali. Lebih
baik membuat surat wasiat yang sederhana, pada kertas biasa, dan tidak mencoba
untuk terlalu resmi."
"M. Croft" Apakah dia ada di situ pada waktu itu?"
"Ya. Dialah yang bertanya apakah saya tidak membuat surat wasiat. Saya sendiri
tak ingat untuk berbuat begitu. Katanya, bila seseorang meninggal tanpa...
tanpa..." "Tanpa meninggalkan surat wasiat...," kataku membantunya.
"Ya, itu dia. Katanya bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat.
Pemerintah akan mengambil sebagian besar hartanya. Sayang sekali tentunya."
"Banyak sekali bantuan M. Croft yang sangat baik itu!"
"Oh, memang!" kata Nick dengan hangat. "Ellen dan suaminya disuruhnya menjadi
saksi. Oh, ya! Alangkah tololnya saya!"
Kami melihat padanya dengan perasaan ingin tahu.
"Bodoh sekali saya, telah membiarkan Anda bersusah payah mencarinya di End
House. Padahal Charles yang menyimpannya! Sepupu saya, Charles Vyse."
"Oh, begitu penjelasannya rupanya."
"Kata Mr. Croft, seorang pengacaralah orang yang paling tepat menyimpannya."
"Benar sekali, M. Croft yang baik itu."
"Pria kadang-kadang ada juga gunanya," kata Nick. "Diserahkan pada seorang
pengacara atau di bank - begitu katanya. Dan saya katakan, yang terbaik adalah
Charles, Jadi kami masukkan surat itu ke dalam amplop, dan langsung kami
kirimkan." Ia merebahkan dirinya ke bantal, sambil mendesah.
"Maafkan saya karena telah begitu bodoh. Tapi sekarang sudah beres. Charles yang
menyimpan surat wasiat itu, dan kalau Anda benar-benar ingin melihatnya, dia
pasti mau memperlihatkannya pada Anda."
"Tanpa surat pernyataan dari Anda, saya takkan memintanya," kata Poirot sambil
tersenyum. "Ah, bodoh sekali."
"Tidak, Mademoiselle, Hanya berjaga-jaga saja."
"Yah, sebenarnya saya rasa tak perlu." Diambilnya sehelai kertas dari suatu
tumpukan yang terletak di samping tempat tidurnya. "Apa yang harus saya
tuliskan" Biarkan anjing mencari kelinci, begitu?"
"Comment?"* (*Apa")
Aku geli melihat wajah Poirot yang terkejut.
Lalu didiktekannya beberapa patah kata, dan Nick menulis dengan patuh.
"Terima kasih, Mademoiselle," kata Poirot sambil menerimanya.
"Maaf. saya telah sangat menyusahkan Anda. Tapi saya benar-benar lupa. Biasa
bukan, kalau orang segera melupakan sesuatu?"
"Kalau pikiran kita diatur dan ditata, kita takkan lupa."
"Kelihatannya saya harus mengikuti semacam kursus," kata Nick. "Anda membuat
saya merasa minder."
"Itu tak mungkin. Au revoir, Mademoiselle." Lalu ia melihat ke seputar kamar
itu. "Bunga-bunga Anda cantik."
"Iya, ya" Bunga anyelir itu dari Freddie, bunga mawar dari George, sedangkan
bunga lili dari Jim Lazarus. Dan lihat ini..."
Dibukanya bungkusan dari sebuah keranjang besar yang terletak di sisinya, dan
tampaklah buah anggur. Wajah Poirot berubah. Dia melangkah maju dengan tegas.
"Anda kan belum memakannya?"
"Belum." "Jangan dimakan. Anda tak boleh makan apa pun, Mademoiselle, apa pun yang datang
dari luar. Mengerti?"
"Wah!" Ia memandangi Poirot dengan terbelalak, wajahnya memucat perlahan-lahan.
"Saya mengerti. Menurut Anda... menurut Anda semua ini belum berakhir" Menurut
Anda mereka masih mencoba?" bisiknya.
Poirot mengambil tangan Nick.
"Jangan pikirkan itu. Anda selamat di sini. Tapi ingat, apa pun yang datang dari
luar jangan dimakan."
Wajah Nick yang putih dan ketakutan masih terbayang olehku, waktu kami berjalan
keluar, meninggalkan kamar itu.
Poirot melihat ke arlojinya.
"Wah, kita harus buru-buru kalau ingin bertemu dengan M. Vyse di kantornya,
sebelum dia pergi makan siang."
Begitu kami tiba, kami langsung dipersilakan masuk ke dalam kantor Charles Vyse.
Pengacara muda itu bangkit untuk menyambut kami. Ia tetap bersikap resmi dan
tidak emosional, seperti semula.
"Selamat pagi, M. Poirot. Apa yang bisa saya bantu?"
Tanpa basa-basi, Poirot menyerahkan surat pernyataan yang ditulis Nick tadi.
Charles Vyse menerimanya, lalu membacanya. Setelah itu ia memandang kami dengan


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

heran sekali, melalui kertas itu.
"Maaf, saya sama sekali tak mengerti."
"Apakah surat Mademoiselle Buckley itu belum jelas?"
"Dalam surat ini," kata Charles, sambil menjentik kertas itu dengan jarinya,
"dia meminta saya menyerahkan pada Anda surat wasiat yang telah dibuatnya dan
dipercayakan pada saya untuk disimpan, pada bulan Februari yang lalu."
"Benar, Monsieur."
"Tapi, tuan yang baik, tak ada surat wasiat yang dipercayakan pada saya."
"Comment?" "Sejauh pengetahuan saya, saudara sepupu saya itu tak pernah membuat surat
wasiat. Saya tak pernah membuatkannya."
"Katanya dia membuat surat wasiat itu sendiri, di sehelai kertas tulis biasa.
Dan surat itu dikirimkannya pada Anda melalui pos."
Pengacara itu menggeleng.
"Dalam hal itu saya hanya bisa berkata bahwa saya tak pernah menerimanya."
"Benarkah begitu, M. Vyse?"
"Saya tak pernah menerima surat wasiat itu, M. Poirot."
Keadaan sepi sejenak. Lalu Poirot bangkit.
"Dalam hal itu, M. Vyse, tak ada lagi yang harus saya katakan. Pasti ada
kekeliruan." "Pasti ada kekeliruan."
Ia juga bangkit. "Selamat siang, M. Vyse."
"Selamat siang, M. Poirot."
"Yah, begitulah," kataku setelah kami tiba di jalan lagi.
"Ya." "Apa kaupikir dia berbohong?"
"Sulit mengatakannya. M. Vyse itu punya wajah tanpa perasaan, dan air mukanya
seperti orang yang baru saja menelan kartu. Yang jelas, dia takkan mau bergeser
dari kedudukannya. Dia akan tetap bertahan bahwa dia tak pernah menerima surat
wasiat itu." "Nick pasti memiliki tanda terima tertulis atas surat wasiat itu."
"Ah, si kecil itu, dia takkan memusingkan kepalanya meminta surat tanda terima.
Surat itu dikirimkannya, setelah itu, hilanglah urusan itu dari kepalanya.
Voila. Apalagi pada hari itu juga dia harus pergi ke rumah sakit untuk diangkat
usus buntunya. Besar kemungkinan, perasaannya terganggu oleh hal itu."
"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?"
"Parbleau, kita pergi menemui M. Croft. Kita lihat apa yang bisa diingatnya
mengenai urusan itu. Agaknya pengaruhnya besar dalam hal itu."
"Yang jelas juga, dia tidak mendapat keuntungan apa-apa dari urusan itu," kataku
sambil merenung. "Tidak. Aku sama sekali tak tahu apa manfaatnya bagi dirinya sendiri. Mungkin
dia memang suka bersibuk-sibuk - orang yang suka mengatur urusan-urusan
tetangganya." Kurasa sikap hidup begitu memang khas Mr. Croft. Ia orang yang baik hati, merasa
tahu segala-galanya, dan menimbulkan banyak kejengkelan di dunia kita ini.
Kami mendapatinya sedang sibuk di dapur, mengaduk-aduk sesuatu di panci yang
berasap-asap. Lengan kemejanya digulungnya. Pondok kecil itu dipenuhi aroma yang
sedap sekali. Ditinggalkannya masakannya, karena ia lebih suka bercakap-cakap tentang
pembunuhan itu. "Sebentar," katanya. "Silakan naik ke lantai atas. Si Mama pasti ingin
dilibatkan dalam hal ini. Dia takkan pernah memaafkan kita, kalau kita bercakap-
cakap di bawah sini. Cooee - Milly. Ada dua orang teman sedang naik mendatangimu."
Mrs. Croft menyambut kami dengan hangat, dan ingin sekali mendengar berita
tentang Nick. Aku merasa jauh lebih suka pada wanita itu daripada suaminya.
"Kasihan gadis cantik itu," katanya. "Berada di rumah perawatan, kata Anda" Dia
tentu telah mengalami shock hebat, jadi saya tak heran. Ini perkara yang
mengerikan sekali, Mr. Poirot - benar-benar mengerikan. Seorang gadis yang tak
tahu apa-apa, tertembak mati. Rasanya tak sampai hati saya memikirkannya - sungguh
tak sampai hati. Padahal kita berada di suatu bagian dunia yang mengenal hukum.
Kita berada di tengah-tengah negeri tua ini. Peristiwa itu membuat saya tak bisa
tidur." "Aku pun jadi gugup, dan tak mau meninggalkanmu seorang diri, Sayang," kata
suaminya, yang telah mengenakan jasnya dan menyertai kami. "Aku tak mau
meninggalkanmu seorang diri di sini sepanjang malam kemarin. Aku ngeri."
"Kau tak boleh meninggalkan aku lagi," kata Mrs. Croft. "Apalagi setelah hari
gelap. Dan rasanya aku ingin pergi dari tempat ini secepat mungkin. Perasaanku
takkan seperti dulu lagi. Tak dapat kubayangkan Nicky Buckley yang malang itu
masih bisa tidur di rumah itu."
Agak sulit juga mencapai tujuan kunjungan kami itu. Baik Mr. maupun Mrs. Croft
banyak sekali bicaranya, dan mereka ingin sekali tahu tentang segala-galanya.
Apakah keluarga gadis yang malang itu akan datang" Kapan pemakamannya" Apakah
akan ada pemeriksaan pendahuluan" Bagaimana pendapat polisi" Apakah mereka sudah
mendapatkan petunjuk" Benarkah ada seorang pria yang ditangkap di Plymouth"
Kemudian, setelah kami menjawab semua pertanyaan itu, mereka mendesak agar kami
makan siang bersama mereka. Poirot berhasil membebaskan kami dari undangan itu,
dengan menyatakan bahwa kami harus buru-buru kembali untuk memenuhi janji makan
siang dengan kepala polisi setempat. Padahal pernyataan itu bohong.
Akhirnya mereka diam sebentar, dan Poirot memanfaatkan saat yang telah dinanti-
nantikannya itu untuk mengajukan pertanyaannya.
"Ya, memang benar," kata Mr. Croft. Tali kerai ditariknya turun-naik dua kali,
sambil dipandanginya dengan mengernyit. "Saya ingat betul semuanya itu. Itu
terjadi waktu kami baru saja datang kemari. Saya ingat. Usus buntu - begitu kata
dokter." "Padahal mungkin sama sekali bukan usus buntu," sela Mrs. Croft. "Para dokter
itu... mereka suka sekali memotong orang bila ada kesempatan. Padahal sebenarnya
orang itu tidak perlu dibedah. Mungkin dia hanya mengalami gangguan pencernaan
saja, atau sesuatu yang lain, lalu mereka membuat foto perutnya, dan berkata
sebaiknya usus buntunya dikeluarkan saja. Dan gadis malang itu pun harus pergi
ke rumah sakit." "Lalu saya bertanya apakah dia sudah membuat surat wasiat," kata Mr. Croft.
"Sekadar bercanda saja."
"Lalu?" "Lalu dia menulisnya pada saat itu juga. Dikatakannya bahwa dia akan membeli
formulir surat wasiat di kantor pos, tapi saya nasihatkan supaya dia tidak
melakukannya. Soalnya seseorang pernah berkata pada saya bahwa formulir-formulir
itu kadang-kadang hanya menyebabkan kesulitan saja. Bukankah saudara sepupunya
seorang pengacara" Dia bisa membuatkan yang sempurna, kelak bila semuanya sudah
beres, dan saya yakin semuanya pasti akan beres. Itu hanya untuk berjaga-jaga
saja." "Siapa yang menjadi saksi?"
"Oh! Ellen, pelayan itu, dan suaminya."
"Dan setelah itu" Diapakan surat wasiat itu?"
"Kami mengirimnya pada Vyse melalui pos. Vyse, pengacara itu."
"Yakinkah Anda bahwa surat itu sudah diposkan?"
"M. Poirot yang baik, saya sendiri yang memasukkannya. Saya masukkan ke kotak
pos di dekat pintu pagar itu."
"Bagaimana kalau M. Vyse berkata bahwa dia tak pernah menerimanya?"
Croft terbelalak. "Maksud Anda surat itu hilang di kantor pos" Ah, itu tak mungkin."
"Pokoknya Anda yakin benar bahwa Anda telah memasukkannya ke kotak pos"
"Yakin sekali," kata Mr. Croft dengan bersemangat. "Saya bersedia disumpah
mengenai hal itu, kapan saja."
"Ah, sudahlah," kata Poirot. "Untungnya hal itu tak penting artinya.
Kelihatannya sementara ini Mademoiselle masih belum akan mati."
Lalu kami cepat-cepat pergi.
"Et voila!" kata Poirot saat kami berjalan ke hotel, dan berada dalam jarak tak
bisa didengar lagi. "Siapa yang berbohong" M. Croft" Atau M. Charles Vyse" Harus
kuakui, aku tidak melihat alasan mengapa M. Croft harus berbohong. Menahan surat
wasiat itu takkan ada untungnya baginya, terutama karena dialah yang telah
mendorong untuk membuat surat wasiat itu. Pernyataannya agaknya cukup jelas, dan
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Mademoiselle Nick pada kita. Meskipun
demikian..." "Ya?" "Meskipun demikian, aku senang M. Croft sedang sibuk memasak waktu kita datang.
Dia telah meninggalkan bekas yang jelas sekali dari ibu jari dan jari
telunjuknya yang berminyak, pada sudut sehelai surat kabar yang menutupi meja
dapurnya. Aku telah berhasil merobek bagian itu tanpa dilihatnya. Akan kita
kirimkan itu pada teman baik kita, Inspektur Japp, di Scotland Yard. Mungkin dia
bisa memberikan keterangan tentang itu."
"Begitukah?" "Tahukah kau, Hastings, mau tak mau aku merasa bahwa sahabat kita M. Croft yang
baik hati itu agak terlalu baik, dan aku jadi meragukan kejujurannya.
"Nah, sekarang," tambahnya, "le d?jeuner.* (*makan siang) Serasa akan pingsan
aku karena kelaparan."
15 KELAKUAN FREDERICA YANG ANEH
KEBOHONGAN Poirot mengenai kepala polisi setempat kemudian ternyata menjadi
kenyataan. Kolonel Weston mengunjungi kami, segera setelah kami makan siang.
Ia seorang pria bertubuh tinggi, berperawakan militer, dan cukup tampan. Ia
menaruh hormat akan keberhasilan-keberhasilan Poirot yang agaknya sudah banyak
didengarnya. "Beruntung sekali kami, Anda kebetulan ada di sini, M. Poirot," katanya berulang
kali. Satu hai yang tak diinginkannya, yaitu ia akan terpaksa meminta bantuan Scotland
Yard. Ia ingin sekali menyelesaikan misteri itu dan menangkap penjahatnya tanpa
bantuan badan itu. Karena itulah ia senang sekali Poirot berada di daerah itu.
Dan sepanjang penglihatanku, Poirot pun langsung mempercayai kolonel itu.
"Aneh sekali perkara ini," kata kolonel itu. "Tak pernah saya mendengar yang
seperti ini. Yah, gadis itu memang aman di rumah perawatan itu. Tapi kita tentu
tak bisa menahannya di situ selama-lamanya!"
"Itu kesulitannya, Kolonel. Hanya ada satu jalan untuk mengatasinya."
"Apa itu?" "Kita harus menangkap orang yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan
ini." "Kalaupun apa yang Anda duga itu benar, hal itu tetap tidak begitu mudah."
"Ah! Saya tahu benar itu."
"Bukti! Mencari bukti itulah yang paling sulit."
Kolonel itu mengernyitkan dahinya sambil merenung.
"Perkara-perkara seperti ini, yang tak bisa diselesaikan dengan pekerjaan rutin,
selalu sulit. Kalau saja kita bisa menemukan pistolnya."
"Besar kemungkinannya pistol itu ada di dasar laut. Itu kalau si pembunuh memang
berakal sehat." "Oh!" kata Kolonel Weston. "Tapi sering kali mereka tidak berakal sehat. Anda
akan heran, betapa banyaknya kebodohan yang dilakukan orang. Saya tidak
berbicara tentang pembunuhan, soalnya tak banyak pembunuhan di daerah-daerah
ini. Saya senang bisa berkata begitu. Maksud saya tadi, dalam perkara biasa di
pengadilan polisi. Anda akan terkejut melihat betapa bodohnya orang-orang."
"Bagaimanapun juga, mental mereka lain."
"Ya, mungkin. Bila orangnya adalah Vyse, yah... akan banyaklah kesulitan kita.
Dia orang yang cermat, dan seorang pengacara yang sehat. Dia takkan menyerah.
Sedangkan wanita itu... nah, di sim harapan kita akan lebih besar. Besar
kemungkinannya dia akan mencoba lagi. Soalnya wanita tak sabaran."
Ia bangkit. "Pemeriksaan pendahuluan akan diadakan besok. Petugas pemeriksa mayat akan
bekerja sama dengan kita. Dia hanya akan berbicara sesedikit mungkin. Saat ini
kita harus merahasiakan segala-galanya."
Ia sudah berbalik ke arah pintu, tapi tiba-tiba kembali.
"Astaga! Saya lupa sesuatu yang pasti akan sangat menarik minat Anda. Untuk
meminta pendapat Anda mengenai hal itulah saya sebenarnya datang ini."
Ia duduk lagi. Dikeluarkannya dari sakunya secarik sobekan kertas bertulisan,
lalu diserahkannya pada Poirot.
"Polisi anak buah saya menemukan ini waktu mereka menggeledah pekarangan rumah.
Tak jauh dari tempat Anda semua sedang nonton kembang api. Itulah satu-satunya
yang berarti, yang telah mereka temukan."
Poirot melicinkan kertas itu. Tulisannya besar-besar dan tak beraturan.
- memerlukan uang segera. Kalau tidak... apa yang terjadi atas dirimu.
Kuperingatkan kau. Wajah Poirot mengernyit. Ia membacanya berulang kali.
"Ini menarik sekali," katanya. "Bolehkah saya menyimpannya?"
"Tentu. Di situ tak ada sidik jari. Saya akan senang kalau itu bisa Anda jadikan
petunjuk." Kolonel Weston bangkit lagi.
"Saya benar-benar harus pergi. Seperti saya katakan tadi, pemeriksaan
pendahuluannya besok. Ngomong-ngomong, Anda tidak akan dipanggil menjadi saksi -
hanya Kapten Hastings. Saya tak mau orang-orang surat kabar menyangka Anda
terlibat dalam perkara ini."
"Saya mengerti. Bagaimana dengan keluarga gadis malang yang telah menjadi korban
itu?" "Hari ini ibu dan ayahnya akan datang dari Yorkshire. Mereka akan tiba kira-kira
jam setengah enam. Kasihan sekali mereka. Saya benar-benar iba. Mereka akan
membawa pulang jenazah itu keesokan harinya."
Ia menggeleng. "Ini perkara yang rumit. Saya tak suka, M. Poirot."
"Tak ada yang menyukainya, Kolonel. Sebagaimana kata Anda, perkara ini memang
rumit." Setelah kolonel itu pergi, Poirot mengamati sobekan kertas itu sekali lagi.
"Apakah itu merupakan petunjuk penting?" tanyaku.
Ia mengangkat bahunya. "Bagaimana kita bisa tahu" Yang jelas, ini menunjukkan adanya unsur pemerasan.
Ada seorang di antara kelompok kita semalam itu yang diperas untuk memberi uang
dengan cara yang amat tidak menyenangkan. Tapi mungkin pula dia seseorang yang
tidak kita kenal." Ia melihat tulisan itu melalui sebuah kaca pembesar yang kecil.
"Kau mengenali tulisan ini, Hastings?"
"Aku hanya teringat akan sesuatu - oh, ya! Aku ingat akan surat dari Mrs. Rice
itu!" "Ya," kata Poirot lambat-lambat. "Memang ada persamaannya. Jelas ada
persamaannya. Aneh. Tapi kurasa ini bukan tulisan Madame Rice. Masuk!" serunya,
waktu terdengar pintu diketuk orang.
Yang datang adalah Komandan Challenger.
"Saya hanya mampir sebentar," jelasnya. "Saya ingin tahu apakah Anda mengalami
kemajuan." "Parbleau," kata Poirot. "Pada saat ini, saya bahkan merasa makin mundur.
Rasanya lamban sekali saya bekerja."
"Itu berita buruk. Tapi saya tidak begitu percaya, M. Poirot. Saya sudah
mendengar banyak tentang Anda, dan betapa hebatnya Anda. Kata orang, Anda tak
pernah gagal." "Itu tak benar," kata Poirot. "Saya mengalami kegagalan hebat di Belgia, pada
tahun 1893. Kau ingat itu, Hastings" Sudah kuceritakan itu padamu. Perkara
sekotak coklat itu."
"Aku ingat," kataku.
Aku tersenyum, sebab waktu Poirot menceritakan itu padaku, ia memintaku
mengatakan "kotak coklat", setiap kali kupikir ia menyombong! Waktu itu ia
tersinggung sekali, karena satu seperempat menit kemudian, aku sudah menggunakan
kata-kata ajaib itu. "Ah," kata Challenger, "itu sudah lama sekali. Rasanya sudah tak berlaku lagi.
Anda akan menangani perkara ini sampai tuntas, bukan?"
"Untuk itu saya bersumpah. Demi kata-kata Hercule Poirot, saya akan menangani
perkara ini, dan tidak akan pergi sebelum menyelesaikannya sampai tuntas."
"Bagus. Apakah Anda punya gagasan tertentu?"
"Saya mencurigai dua orang."
"Saya rasa saya tak boleh bertanya siapa mereka itu, ya?"
"Saya tidak akan mengatakannya pada Anda! Sebab mungkin saja saya kelim."
"Saya rasa alibi saya cukup kuat, bukan?" kata Challenger. Matanya agak
mengerjap. Poirot tersenyum ramah pada pria yang berwajah coklat karena sengatan matahari,
yang duduk di hadapannya itu. "Anda berangkat dari Devonport jam setengah
sembilan, bukan" Anda tiba di sini jam sepuluh lewat lima menit - dua puluh menit


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah kejahatan itu terjadi. Padahal jarak antara Devonport kemari hanya empat
puluh lima kilometer lebih sedikit, dan Anda sering menempuh jarak itu dalam
waktu satu jam, karena jalannya bagus. Jadi alibi Anda sama sekali tidak kuat!"
"Wah..." "Anda tentu mengerti, saya harus menyelidiki segala-galanya. Sebagaimana saya
katakan, alibi Anda tidak kuat. Tapi masih ada beberapa hal kecuali alibi. Kalau
tak salah, Anda ingin menikahi Mademoiselle Nick, bukan?"
Wajah pelaut itu memerah.
"Sudah lama saya ingin menikah dengannya," katanya serak.
"Tepat. Tapi Mademoiselle Nick bertunangan dengan pria lain. Mungkin itu bisa
menjadi alasan untuk membunuh pria itu. Tapi itu tak perlu lagi dilakukan. Dia
sudah tewas sebagai seorang pahlawan."
"Jadi rupanya benar bahwa Nick bertunangan dengan Michael Seton itu" Desas-desus
itu tersebar di seluruh kota, pagi ini."
"Ya, menarik sekali betapa cepatnya berita tersebar. Apakah semula Anda tak
menduga?" "Saya tahu bahwa Nick bertunangan dengan seseorang. Dia mengatakan hal itu pada
saya dua hari yang lalu. Tapi dia tidak memberikan petunjuk siapa orangnya."
"Orang itu adalah Michael Seton. Entre nous,* (*berbicara di antara kita) kalau
tak salah, pria itu telah mewariskan sejumlah besar kekayaan padanya. Jadi,
ditinjau dari segi kepentingan Anda, sekarang ini jelas tak tepat waktunya untuk
membunuh Mademoiselle. Saat ini dia memang masih menangisi kekasihnya, tapi
kesedihan bisa saja hilang. Apalagi dia masih muda. Dan saya rasa, Monsieur, dia
juga suka sekali pada Anda."
Challenger diam beberapa saat.
"Seandainya...," gumamnya.
Terdengar pintu diketuk orang.
Ternyata Frederica Rice. "Aku mencarimu sejak tadi," katanya pada Challenger. "Kata mereka, kau di sini.
Aku ingin tahu apakah arloji tanganku sudah kauambil."
"Oh, sudah. Tadi pagi aku mengambilnya."
Dikeluarkannya arloji itu dari sakunya, lalu diberikannya pada Frederica. Arloji
itu agak aneh bentuknya - bulat seperti bola dunia, terpasang pada tali kulit
sederhana yang berwarna hitam berkilat. Aku ingat bahwa aku pernah melihat
arloji yang sama benar bentuknya, pada pergelangan tangan Nick Buckley.
"Mudah-mudahan sekarang jalannya tidak ngawur lagi."
"Memang menjengkelkan sekali. Selalu ada saja yang tak beres."
"Soalnya barang itu hanya untuk memperindah, Madame, bukan sebagai alat," kata
Poirot. "Kalau saja kita bisa menikmati keduanya," kata Frederica sambil memandangi kami
bergantian. "Apakah Anda sedang ada pembicaraan penting?"
"Ah, tidak, Madame. Kami hanya bergunjing saja - bukan soal kejahatan. Baru saja
kami mengatakan betapa cepatnya berita tersebar. Maksud saya, sekarang semua
orang sudah tahu bahwa Mademoiselle Nick telah bertunangan dengan penerbang
pemberani yang tewas itu."
"Jadi Nick memang bertunangan dengan Michael Seton rupanya!" seru Frederica.
"Anda heran, Madame?"
"Agak heran. Entah mengapa. Saya memang menduga bahwa pria itu sangat terkesan
oleh Nick, pada musim gugur yang lalu. Mereka sering bepergian berdua Lalu,
setelah Natal, hubungan mereka kelihatannya dingin. Sepanjang penglihatan saya,
mereka bahkan hampir tak pernah bertemu lagi."
"Mereka menyimpan rahasia itu baik-baik."
"Saya rasa itu gara-gara Sir Matthew, paman Seton itu. Kalau tak salah, dia
kurang waras." "Anda tidak merasa curiga, Madame" Padahal Mademoiselle Nick sahabat dekat
Anda." "Nick baru bisa dekat dengan orang bila dia mau," gumam Frederica. "Tapi
sekarang saya baru mengerti mengapa dia begitu gugup akhir-akhir ini. Oh, ya!
Seharusnya saya bisa menduga dari sesuatu yang dikatakannya beberapa hari yang
lalu." "Sahabat Anda yang kecil itu menarik sekali, Madame."
"Jim Lazarus juga pernah berpendapat begitu," kata Challenger sambil tertawa
nyaring, tanpa tenggang rasa.
"Oh! Jim." Frederica Rice mengangkat bahu, tapi kelihatannya ia jengkel.
Ia menoleh pada Poirot. "M. Poirot, apakah menurut Anda...?"
Tiba-tiba ia berhenti. Tubuhnya yang tinggi terhuyung, dan wajahnya menjadi
lebih pucat. Matanya memandang lekat-lekat ke tengah-tengah meja.
"Anda tak sehat, Madame."
Aku mendorong sebuah kursi, dan membantunya duduk di situ. Ia menggeleng, lalu
bergumam, "Saya tak apa-apa." Kemudian ia membungkukkan tubuhnya, dan menopang
wajahnya dengan kedua belah tangan. Kami memandanginya dengan perasaan serba
salah. Beberapa lama kemudian, ia duduk tegak.
"Memalukan sekali!" katanya. "George yang baik, jangan cemas begitu. Mari kita
bicara tentang pembunuhan-pembunuhan. Itu mendebarkan sekali. Saya ingin tahu,
apakah M. Poirot sudah mencium jejak."
"Masih terlalu dini untuk mengatakannya, Madame," kata Poirot apa adanya.
"Tapi Anda pasti sudah punya gagasan, bukan?"
"Mungkin. Tapi saya masih memerlukan banyak sekali bukti."
"Oh!" Suaranya terdengar kurang yakin.
Tiba-tiba ia bangkit. "Kepala saya pusing. Saya rasa sebaiknya saya pulang dan berbaring. Mungkin
besok saya diizinkan menengok Nick."
Ia segera meninggalkan ruangan itu. Challenger mengerutkan dahinya.
"Kita sama sekali tak bisa yakin apa rencana wanita itu. Mungkin Nick sayang
padanya, tapi saya tak percaya dia sayang pada Nick. Tapi... yah, kita tak
pernah tahu pasti tentang wanita. Mereka selalu saja saling menyebut 'sayang',
'kekasih', padahal kata-kata 'sialan kau', akan merupakan pernyataan isi hati
yang lebih tepat. Apakah Anda akan pergi, M. Poirot?" tanyanya, melihat Poirot
bangkit dan menepiskan sebutir debu dari topinya.
"Ya, saya akan pergi ke kota."
"Saya tak ada kegiatan apa-apa. Bolehkah saya ikut Anda?"
"Tentu saja. Itu akan menyenangkan."
Kami meninggalkan ruangan itu. Tapi kemudian Poirot meminta maaf dan masuk
kembali. "Tongkat saya," katanya menjelaskan, waktu ia menyertai kami kembali.
Challenger kelihatan agak bergidik, karena tongkat yang bertepi emas berpahat
itu memang kelihatan mencolok sekali.
Pertama-tama Poirot menuju ke sebuah toko bunga.
"Saya akan mengirim bunga pada Mademoiselle Nick," jelasnya.
Ternyata sulit memenuhi seleranya.
Akhirnya dipilihnya sebuah keranjang dengan hiasan berwarna keemasan, yang harus
diisi dengan bunga-bunga anyelir berwarna jingga. Seluruhnya harus diikat dengan
pita biru lebar. Wanita pemilik toko itu memberinya sehelai kartu. Poirot menulis pada kartu itu
dengan huruf-huruf berbunga. Disertai Salam dari Hercule Poirot.
"Saya juga mengiriminya bunga tadi pagi," kata Challenger. "Saya akan
mengiriminya buah-buahan juga."
"Inutile!"* kata Poirot. (*Tak ada gunanya!)
"Apa?" "Kata saya, itu tak perlu. Karena makanan dilarang."
"Mengapa dilarang?"
"Saya yang melarang. Saya yang membuat peraturan itu. Hal itu sudah ditekankan
pada Mademoiselle Nick. Dan dia mengerti."
"Ya Tuhan," kata Challenger.
Ia kelihatan terkejut sekali, dan ia menatap Poirot dengan rasa ingin tahu.
"Jadi, begitu rupanya," katanya. "Anda masih saja... takut."
16 WAWANCARA DENGAN MR. WHITFIELD
PEMERIKSAAN pendahuluannya merupakan peristiwa yang tak menarik - hanya merupakan
tanya-jawab yang membosankan.
Ada kesaksian mengenai pengenalan, lalu aku memberikan kesaksian mengenai
penemuan mayat. Menyusul kesaksian medis.
Pemeriksaan pendahuluan itu ditunda selama seminggu.
Peristiwa pembunuhan di St. Loo itu mendadak menjadi berita penting dalam surat-
surat kabar harian, melebihi berita berjudul: SETON MASIH DINYATAKAN HILANG.
NASIB PENERBANG YANG HILANG ITU BELUM DIKETAHUI.
Kini, setelah Seton meninggal dan orang telah memberikan penghormatan yang layak
untuk mengenangnya, timbul sensasi baru. Misteri St. Loo merupakan suatu hikmah
bagi surat-surat kabar yang sangat sulit mendapatkan berita pada bulan Agustus
ini. Seusai pemeriksaan pendahuluan, dan setelah berhasil menghindari para wartawan,
aku menemui Poirot. Kami berbincang-bincang dengan Pendeta Giles Buckley dan
istrinya. Ayah dan ibu Magdala merupakan pasangan yang serasi. Mereka sama sekali tidak
bersikap duniawi, dan mereka wajar sekali.
Mrs. Buckley adalah seorang wanita berwatak. Ia bertubuh tinggi, dan warna
rambutnya pirang. Jelas kelihatan bahwa ia berasal dari daerah utara. Suaminya
bertubuh kecil, rambutnya beruban, dan ia pemalu sekali.
Kasihan mereka berdua. Mereka sangat terkejut dan terpukul oleh musibah yang
menimpa mereka, dan telah merenggut seorang putri tersayang dari mereka. Mereka
menyebutnya, "Maggie kami".
"Sampai sekarang pun masih sulit rasanya saya mempercayai berita itu," kata Mr.
Buckley. "Dia anak yang manis sekali, M. Poirot. Sangat pendiam dan tidak egois.
Dia selalu memikirkan orang-orang lain. Rasanya tak ada orang yang ingin
menyakitinya." "Saya hampir tak mengerti telegram itu," kata Mrs. Buckley. "Betapa tidak, baru
pagi hari kemarin kami melepasnya berangkat."
"Kami menghadapi kematian di tengah-tengah kehidupan," gumam suaminya.
"Kolonel Weston baik sekali," kata Mrs. Buckley. "Dia memastikan pada kami bahwa
segala-galanya telah dilakukan untuk menemukan orang yang melakukan perbuatan
itu. Pasti dia orang gila. Tak mungkin ada penjelasan lain."
"Madame, tak dapat saya katakan betapa besar rasa prihatin saya dalam kehilangan
Anda ini, dan saya sangat mengagumi ketabahan Anda!"
"Dengan menangis, saya takkan mendapatkan Maggie kembali," kata Mrs. Buckley
dengan sedih. "Istri saya memang luar biasa," kata pendeta itu. "Keyakinan dan ketabahannya
lebih besar daripada saya. Tapi semua ini sangat... sangat membingungkan, M.
Poirot." "Saya tahu, saya tahu, Monsieur."
"Anda seorang detektif yang hebat, bukan, M. Poirot?" kata Mrs. Buckley.
"Begitulah kata orang, Madame."
"Oh, saya tahu. Bahkan di desa kami yang terpencil pun kami mendengar tentang
Anda. Anda akan menemukan kebenaran, bukan, M. Poirot?"
"Saya takkan tinggal diam sampai saya menemukannya, Madame."
"Rahasia itu akan terbuka bagi Anda, M. Poirot," kata pendeta itu dengan suara
gemetar. "Kejahatan takkan dibiarkan tanpa dihukum."
"Kejahatan memang tak pernah dibiarkan tanpa dihukum, Monsieur. Tapi hukum itu
sendiri kadang-kadang merupakan rahasia."
"Apa maksud Anda, M. Poirot?"
Poirot hanya menggeleng. "Kasihan si kecil Nick," kata Mrs. Buckley. "Saya paling kasihan padanya. Saya
menerima surat yang sangat sedih bunyinya dari gadis itu. Katanya, dia merasa
dialah yang mengajak Maggie kemari, menuju kematiannya."
"Itu pikiran yang tak sehat," kata Mr. Buckley.
"Ya, tapi saya tahu bagaimana perasaannya. Kalau saja saya diizinkan menemuinya.
Rasanya aneh sekali tidak mengizinkan keluarganya sendiri mengunjunginya."
"Para dokter dan juru rawat ketat sekali," kata Poirot mengelak. "Mereka membuat
peraturan, dan tak ada satu hal pun yang bisa mengubahnya. Mereka pasti
khawatir, takut kalau-kalau emosinya meledak melihat Anda."
"Mungkin," kata Mrs. Buckley ragu-ragu. "Tapi saya kurang suka akan rumah-rumah
perawatan. Keadaan Nick akan jauh lebih baik bila mereka membiarkannya kembali
pada saya - langsung dari tempat ini."
"Mungkin saja, tapi saya rasa mereka takkan membiarkannya. Sudah lamakah Anda
tak bertemu dengan Mademoiselle Buckley?"
"Sejak musim gugur yang lalu, saya tak bertemu dengannya. Waktu itu dia berada
di Scarborough. Maggie pergi menyusulnya ke sana dan menginap semalam dengannya.
Lalu Nick ikut Maggie pulang, dan bermalam di rumah kami. Dia seorang gadis yang
cantik, tapi saya kurang suka pada sahabat-sahabatnya. Dan cara hidup yang
dijalaninya... yah, memang bukan salahnya. Kasihan anak itu. Dia tak pernah
mendapatkan pendidikan yang pantas."
"Dan End House itu... rumah yang aneh," kata Poirot merenung.
"Saya tak suka rumah itu," kata Mrs. Buckley. "Tak pernah menyukainya. Rasanya
ada sesuatu yang tak beres mengenai rumah itu. Saya juga sama sekali tak suka
pada Sir Nicholas. Dia membuat saya bergidik."
"Saya rasa dia bukan orang yang baik," kata suaminya. "Tapi dia memiliki daya
tarik yang aneh." "Saya tak pernah merasakannya," kata Mrs. Buckley. "Kita merasa ada yang jahat
di rumah itu. Mestinya tidak kita biarkan Maggie kita pergi ke sana."
"Ah, omong kosong," kata Mr. Buckley sambil menggeleng.
"Nah," kata Poirot, "saya tak mau mengganggu Anda lama-lama. Saya hanya ingin
menyampaikan rasa dukacita saya pada Anda berdua."
"Anda baik sekali, M. Poirot. Kami sangat berterima kasih atas segala sesuatu
yang Anda lakukan." "Kapan Anda kembali ke Yorkshire?"
"Besok. Suatu perjalanan yang sedih. Selamat berpisah, M. Poirot, dan sekali
lagi terima kasih." "Orang-orang sederhana yang amat menyenangkan," kataku setelah kami pergi.
Poirot mengangguk. "Jadi perih hati kita, bukan, mon ami! Suatu tragedi yang sebenarnya tak perlu
terjadi, tragedi yang tak diketahui apa tujuannya. Anak-anak muda itu... Ah! Aku
marah sekali pada diriku sendiri. Aku, Hercule Poirot, berada di tempat itu, dan
aku tidak mencegah kejahatan itu!"
"Tak seorang pun bisa mencegahnya."
"Kau bicara tanpa berpikir, Hastings. Orang biasa memang tak ada yang bisa
mencegahnya, tapi apa gunanya seorang Hercule Poirot yang memiliki sel-sel
kelabu yang lebih bermutu daripada kepunyaan orang lain, kalau tak berhasil
melakukan apa yang tak bisa dilakukan orang lain?"
"Ya, tentu saja," kataku. "Kalau begitu pertimbanganmu..."
"Memang begitu. Aku malu sekali, aku patah hati, dan benar-benar merasa
terhina." Menurutku, rasa terhina pada Poirot itu aneh, karena lebih mirip rasa bangga
pada orang lain. Tapi demi kebaikan, kutahan diriku untuk mengatakan sesuatu.
"Dan sekarang," katanya, "mari kita pergi. Ke London."
"Ke London?" "Mais oui. Kita masih bisa naik kereta api yang berangkat jam dua. Di sini
keadaan tenang-tenang saja. Mademoiselle aman di rumah perawatan. Tak seorang
pun bisa menyakitinya. Oleh karenanya anjing-anjing pengawalnya bisa pergi
sebentar. Aku memerlukan informasi dari sana."
Begitu kami tiba, yang pertama-tama kami lakukan adalah mendatangi pengacara-
pengacara almarhum Kapten Seton, yaitu Messrs. Whitfield, Pargiter & Whitfield.
Poirot sudah mengatur janji sebelumnya. Jadi, meskipun sudah jam enam lewat,
kami langsung ditemui oleh Mr. Whitfield, kepala perusahaan itu.
Ia seorang pria kota besar sejati, dan ia juga sangat mengesankan. Di hadapannya
terletak sepucuk surat dari Kepala Polisi, dan sepucuk lagi dari seorang perwira
tinggi di Scotland Yard. "Urusan ini semuanya kacau dan tak biasa. M.... eh... Poirot," katanya sambil
menggosok kacamatanya. "Memang. M. Whitfield. Tapi pembunuhan memang selalu kacau, dan dengan senang
hati saya katakan... memang tak biasa."
"Benar. Benar. Tapi agak berlebihan dan agak dicari-cari kalau kita mencari
hubungan antara pembunuhan itu dan wasiat klien saya, bukan?"
"Saya rasa tidak."
"Oh, menurut Anda, tidak. Yah, dalam hal itu harus saya akui bahwa Sir Henry
telah menekankan dengan keras dalam suratnya. Saya akan... eh... senang
melakukan apa yang bisa saya lakukan."
"Apakah Anda bertindak sebagai penasihat hukum bagi almarhum Kapten Seton?"
"Bagi seluruh keluarga Seton, Sir. Kami telah melakukan hal itu - maksud saya,
perusahaan kami telah melakukan hal itu - selama seratus tahun terakhir ini."


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus. Apakah Sir Matthew Seton telah membuat surat wasiat?"
"Kami yang membuatkan untuknya."
"Lalu bagaimana dia meninggalkan kekayaannya?"
"Ada beberapa bentuk warisan. Satu untuk Museum Sejarah Alam, tapi sebagian
besar dari - boleh saya katakan - kekayaannya yang besar sekali jumlahnya,
diwariskannya pada Kapten Michael Seton sendiri. Dia tak punya keluarga dekat
lainnya." "Kekayaan yang sangat besar jumlahnya, kata Anda?"
"Almarhum Sir Matthew adalah orang terkaya nomor dua di Inggris ini," sahut Mr.
Whitfield dengan tenang. "Pandangan-pandangannya agak aneh, bukan?"
Mr. Whitfield memandangi Poirot dengan tajam.
"Seorang jutawan, M. Poirot, boleh saja berbuat yang aneh-aneh. Orang bahkan
mengharapkan demikian."
Poirot menerima koreksi itu dengan rendah hati, lalu mengajukan satu pertanyaan
lagi. "Saya dengar kematiannya mendadak?"
"Sangat mendadak. Soalnya kesehatan Sir Matthew baik sekali. Tapi ternyata ada
barang asing tumbuh di dalam tubuhnya, tanpa diduga siapa pun juga.
Penjalarannya telah mencapai suatu jaringan vital, dan harus dilakukan
pembedahan seketika. Sebagaimana halnya pada peristiwa begini, pembedahan itu
berhasil dengan baik. Tapi Sir Matthew meninggal."
"Dan kekayaannya jatuh ke tangan Kapten Seton."
"Begitulah." "Saya dengar pula, Kapten Seton telah membuat surat wasiat sebelum dia berangkat
dari Inggris?" "Ya, kalau itu bisa Anda sebut surat wasiat," kata Mr. Whitfield, wajahnya
menampakkan rasa tak senang.
"Apakah itu sah?"
"Sah. Keinginan pewarisnya jelas, dan surat itu dibuat di hadapan saksi. O, ya,
surat wasiat itu memang sah."
"Tapi Anda tidak menyukainya?"
"Ah, apalah artinya kami ini, M. Poirot."
Aku sering bertanya-tanya. Gara-gara pernah mengalami sekali, waktu membuat
surat wasiatku sendiri. Aku menginginkan surat wasiat yang sederhana sekali.
Tapi aku terkejut melihat panjang dan banyaknya kata-kata yang digunakan oleh
kantor pengacaraku. "Sebenarnya begini," lanjut Mr. Whitfield. "Pada saat pembuatan surat wasiat
itu, Kapten Seton boleh dikatakan tak punya apa-apa untuk diwariskan. Dia
tergantung pada uang saku yang diterimanya dari pamannya. Jadi saya rasa surat
wasiat yang sederhana pun cukuplah, asal ada."
"Dan pikirannya itu benar," bisikku sendiri.
"Bagaimana bunyi surat wasiat itu?" tanya Poirot.
"Semua yang dimilikinya pada saat dia meninggal, diwariskannya pada calon
istrinya, Miss Magdala Buckley. Seluruhnya. Saya ditunjuknya sebagai pelaksana."
"Jadi Miss Buckley yang mewarisinya?"
"Memang Miss Buckley yang mewarisinya."
"Dan kalau umpamanya Miss Buckley kebetulan meninggal pada hari Senin yang
lalu?" "Karena Kapten Seton meninggal lebih dulu daripada dia, uang itu akan didapat
oleh siapa saja yang disebutnya dalam surat wasiatnya sebagai ahli waris yang
tinggal, atau sekiranya tak ada surat wasiat, pada keluarga terdekatnya.
"Harus pula saya katakan," sambung Mr. Whitfield dengan senang, "bahwa pajak
kematiannya besar sekali. Ya, sangat besar! Ingat, ada tiga kematian berturut-
turut dalam waktu singkat." Ia menggeleng, "Besar sekali!"
"Tapi pasti ada sisanya, bukan?" gumam Poirot dengan lemah.
"M. Poirot, sudah saya katakan bahwa Sir Matthew adalah orang nomor dua terkaya
di Inggris." Poirot bangkit. "Terima kasih banyak, Mr. Whitfield, atas informasi yang telah Anda berikan pada
saya." "Terima kasih kembali. Boleh saya tambahkan, bahwa saya akan menghubungi Miss
Buckley, Saya yakin surat saya sudah dalam perjalanan. Saya akan senang bila
bisa membantunya." "Dia masih muda," kata Poirot, "dan pasti masih banyak membutuhkan nasihat-
nasihat hukum yang baik."
"Saya khawatir. Pasti akan banyak pengejar harta," kata Mr. Whitfield sambil
menggeleng. "Agaknya akan demikianlah halnya," kata Poirot membenarkan. "Selamat siang,
Monsieur." "Selamat jalan, M. Poirot. Saya senang bisa membantu Anda. Nama Anda... eh...
pernah saya dengar."
Kata-kata itu diucapkannya dengan ramah, dengan sikap orang yang memberikan
penilaian yang baik pada seseorang.
"Semuanya tepat seperti yang kaupikir, Poirot," kataku setelah kami tiba di
luar. "Mon ami, tentu saja tepat. Tak mungkin lain. Sekarang kita pergi ke Restoran
Cheshire Cheese, tempat Japp menunggu kita untuk makan malam bersama."
Kami temukan Inspektur Japp dari Scotland Yard menunggu kami di tempat yang
telah dipilihnya sebagai tempat pertemuan. Ia menyambut Poirot dengan kehangatan
yang tulus. "Sudah bertahun-tahun kita tak bertemu, Monsieur Poirot! Kukira kau sudah
menjadi petani sayur di negerimu."
"Sudah kucoba, Japp. Sudah pernah kucoba. Tapi, biarpun menjadi petani sayuran,
kita takkan bisa menghindarkan diri dari pembunuhan."
Ia mendesah. Aku tahu apa yang sedang dikenangnya. Peristiwa aneh di Fernley
Park itu. Aku menyesal sekali, karena aku sedang jauh waktu itu.
"Dan Kapten Hastings juga," kata Japp. "Bagaimana keadaan Anda, Sir?"
"Sehat-sehat saja, terima kasih," sahutku.
"Dan sekarang ada pembunuhan-pembunuhan lagi?" sambung Japp dengan melucu.
"Benar katamu - pembunuhan-pembunuhan," kata Poirot.
"Yah, janganlah hal itu membuatmu sedih, Jago tua," kata Japp. "Meskipun kau tak
bisa melihat dengan tajam lagi... yah... dan pada usiamu sekarang, kau tentu tak
bisa bepergian sebebas dulu lagi, dan tak bisa mengharapkan sukses seperti dulu-
dulu lagi. Kita semua memang jadi tak sekuat dulu dengan berlalunya waktu. Kita
harus memberikan kesempatan pada yang muda-muda."
"Tapi anjing tua jugalah yang tahu banyak rahasia," gumam Poirot. "Dia cerdik.
Dia tak mau meninggalkan bau."
"Oh, kita bicara tentang manusia, bukan anjing."
"Apakah besar bedanya?"
"Yah, itu tergantung dari cara kita meninjau persoalan. Tapi kau memang selalu
cermat. Bukan begitu, Kapten Hastings" Dari dulu kau begitu. Penampilanmu pun
masih banyak yang tak berubah - rambut memang sudah agak menipis di bagian atas,
tapi jamur di wajah itu makin subur saja."
"Ha?" tanya Poirot. "Apa itu?"
"Dia memuji kumismu," kataku menenangkannya.
"Memang lebat, ya?" kata Poirot sambil mengusapnya dengan senang.
Japp tertawa terkekeh. "Yah," katanya beberapa saat kemudian. "Pesanmu sudah kulaksanakan. Sidik jari
yang kaukirimkan itu..."
"Ya, bagaimana?" tanya Poirot bernafsu.
"Tak ada apa-apanya. Siapa pun pria itu, dia tak pernah berhubungan dengan kami.
Sebaliknya, aku telah mengirim telegram ke Melbourne, tapi tak ada orang yang
berciri-ciri begitu atau yang bernama begitu dikenal di sana."
"Ha?" "Jadi, bagaimanapun juga, mungkin memang ada sesuatu yang tak beres. Tapi dia
bukan penjahat terkenal. "Mengenai urusan yang satu lagi," lanjut Japp.
"Ya?" "Perusahaan Lazarus and Son punya nama baik. Mereka cukup jujur dan terhormat
dalam urusan-urusan mereka. Mereka memang cerdik, tapi itu soal lain. Orang
memang harus cerdik dalam berusaha. Tapi mereka baik-baik saja. Tapi mereka juga
dalam keadaan payah - maksudku dalam soal keuangan."
"Oh! Begitu, ya?"
"Ya, kemerosotan dalam bisnis lukisan telah memukul mereka dengan hebat. Juga
dalam bidang perabot antik. Soalnya yang sedang mode sekarang adalah barang-
barang modem dari Benua Eropa. Tahun lalu mereka mendirikan perusahaan-
perusahaan baru, tapi... yah, seperti kukatakan, mereka masih saja mengalami
kesulitan." "Aku sangat berterima kasih padamu."
"Sama-sama. Seperti kau tahu, soal itu bukan bidangku. Tapi aku selalu berusaha
mencari tahu apa yang ingin kauketahui. Kami selalu bisa mendapatkan informasi
dengan mudah." "Sahabatku Japp yang baik, entah bagaimana aku tanpamu."
"Ah! Tak apa-apa. Aku selalu senang bisa membantu teman lama. Dulu aku banyak
melibatkanmu dalam perkara-perkara kami, bukan?"
Rupanya begitulah cara Japp mengakui utang budinya pada Poirot yang telah
memecahkan banyak perkara. Dalam urusan-urusan itu, ia membuat Inspektur Japp
terheran-heran. "Ya, masa itu adalah masa gemilang."
"Sekarang pun aku mau saja mengobrol sekali-sekali denganmu. Cara-cara kerjamu
mungkin kolot, tapi pikiranmu selalu benar, M. Poirot."
"Bagaimana dengan pertanyaanku yang satu lagi, yang mengenai Dr. Mac Allister?"
"Oh! Dia. Dia seorang dokter untuk wanita. Maksudku bukan seorang ahli
kebidanan. Dia sebenarnya seorang dokter saraf yang menyuruh kita tidur di kamar
yang dindingnya berwarna ungu dan langit-langitnya berwarna jingga. Dia
berbicara tentang libido kita, entah apa itu, dan menyuruh kita menyalurkannya.
Menurutku, dia semacam dokter merangkap dukun, tapi banyak wanita yang menjadi
pasiennya. Para wanita itu berbondong-bondong mendatanginya. Dia sering
bepergian ke luar negeri. Kalau tak salah, dia menjalankan semacam praktek medis
di Paris." "Ada apa dengan Dr. Mac Allister?" tanyaku keheranan. Aku tak pernah mendengar
nama itu. "Bagaimana hubungannya dengan perkara ini?"
"Dr. Mac Allister adalah paman Komandan Challenger," jelas Poirot. "Ingatkah
kau, dia pernah menyebut tentang seorang pamannya yang dokter."
"Teliti sekali kau," kataku. "Apa kaupikir dia yang membedah Sir Matthew?"
"Dia bukan seorang ahli bedah," kata Japp.
"Mon ami," kata Poirot, "aku suka menanyakan segala-galanya. Hercule Poirot
adalah anjing pelacak yang baik. Anjing yang mengikuti dari mana asalnya bau,
dan bila tak ada bau yang harus ditelusuri, dia mendengus-dengus sendiri, selalu
mencari sesuatu yang tidak terlalu baik. Begitu pula yang dilakukan Hercule
Poirot. Dan sering kali... ya, sering kali dia menemukannya!"
"Pekerjaan kita memang bukan suatu profesi yang baik," kata Japp. "Aku tak
enggan mengatakan hal itu. Itu memang merupakan profesi yang tak menyenangkan.
Dan profesimu lebih tak menyenangkan lagi - soalnya profesimu itu tak resmi,
sehingga kau harus jauh lebih banyak melacak sendiri ke tempat-tempat tertentu
dengan cara tak resmi."
"Aku tak pernah menyamar, Japp. Tak pernah aku menyembunyikan diriku."
"Kau memang tak bisa berbuat begitu," kata Japp. "Soalnya kau lain dari orang
lain. Satu kali orang melihatmu, kau tidak akan terlupakan."
Poirot memandang Japp dengan agak kurang percaya.
"Aku hanya bercanda," kata Japp. "Jangan ambil hati. Minum segelas anggur" Yah,
kalau itu yang kauinginkan...."
Malam itu berlalu dengan mulus sekali. Kami asyik mengenang masa-masa lalu - masa
bermacam-macam perkara. Harus kuakui bahwa aku pun suka berbicara tentang masa
lalu. Hari-hari yang menyenangkan. Kini aku merasa tua dan banyak pengalaman.
Kasihan Poirot. Perkara ini kelihatannya telah membuatnya bingung - itu bisa
kulihat. Kemampuannya sudah tidak lagi seperti dulu. Aku punya perasaan bahwa ia
akan gagal, bahwa pembunuh Maggie Buckley tak akan bisa diseret ke meja hijau.
"Besarkan hatimu, sahabatku," kata Poirot sambi! menepuk bahuku. "Kita belum
gagal. Jangan sedih begitu."
"Aku tak apa-apa."
"Begitu pula aku. Dan begitu pula Japp."
"Kita semua baik-baik saja," kata Japp sambil tertawa nyaring.
Dalam suasana menyenangkan itulah kami berpisah.
Esok paginya kami kembali ke St. Loo naik kereta api. Setiba di hotel, Poirot
langsung menelepon rumah perawatan dan minta dihubungkan dengan Nick.
Tiba-tiba kulihat wajahnya berubah. Hampir saja alat penerima telepon itu
terlepas dari tangannya. "Comment" Apa kata Anda" Tolong ulangi."
Ia mendengarkan beberapa lama, lalu berkata, "Ya, ya, saya akan datang segera."
Dengan wajah pucat ia menoleh padaku.
"Mengapa aku pergi, Hastings" Mon Dieu! Mengapa aku pergi?"
"Apa yang terjadi?"
"Mademoiselle Nick sakit keras. Keracunan kokain. Bisa juga mereka rupanya. Mon
Dieu, Mon Dieu, mengapa aku pergi?"
17 SEKOTAK COKLAT SEPANJANG perjalanan ke rumah perawatan, Poirot bergumam dan mengomel sendiri.
Ia terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri.
"Seharusnya aku tahu," geramnya. "Seharusnya aku tahu! Tapi apa lagi yang bisa
kulakukan" Semua langkah pencegahan sudah kuambil. Tak mungkin lagi - tak mungkin.
Tak seorang pun bisa mendatanginya! Siapa yang telah melanggar perintah-
perintahku?" Di rumah perawatan, kami dipersilakan masuk ke sebuah kamar kecil di lantai
bawah. Dan beberapa menit kemudian, Dr. Graham menemui kami. Ia kelihatan letih
sekali, dan pucat. "Dia selamat," katanya. "Keadaannya akan membaik. Kesulitannya adalah mengetahui
berapa banyak dia menelan barang sialan itu."
"Racun apa?" "Kokain." "Apakah dia masih bisa hidup?"
"Ya, ya, dia masih bisa hidup."
"Tapi bagaimana itu sampai terjadi" Bagaimana orang bisa mendatanginya" Siapa
yang telah diizinkan masuk?" Poirot seperti menari-nari karena kacau.
"Tak seorang pun diizinkan masuk."
"Tak mungkin." "Sungguh." "Tapi lalu..." "Itu gara-gara sekotak coklat."
"Ah, sacr?. Padahal sudah saya katakan padanya untuk tidak memakan apa-apa - apa
pun juga - yang datang dari luar."
"Itu saya tak tahu. Lagi pula memang sulit menahan seorang gadis untuk tidak
memakan coklat yang memang sudah ada. Untungnya dia hanya makan sebuah."
"Apakah semua coklat itu berisi kokain?"
"Tidak. Gadis itu makan sebuah. Di lapisan bagian atas masih ada dua buah yang
juga mengandung racun itu. Yang lain tak apa-apa."
"Bagaimana kokain itu dimasukkan?"
"Dengan cara yang kasar sekali. Coklatnya hanya dibelah dua, kokainnya dicampur
dengan isinya, lalu coklatnya disatukan lagi. Karya amatiran. Boleh dikatakan
pekerjaan rumahan." Poirot menggeram. "Ah! Kalau saja aku tahu - kalau saja aku tahu. Bisakah saya bertemu dengan
Mademoiselle?" "Kalau Anda kembali satu jam lagi, saya rasa Anda bisa bertemu dengannya," kata
Dokter. "Tenanglah, Teman. Dia tak akan mati."
Selama satu jam berikutnya kami berjalan-jalan di sepanjang St. Loo. Aku
berusaha mengalihkan pikiran Poirot. Kuyakinkan padanya bahwa semuanya akan
beres, dan bahwa sebenarnya akibatnya tidaklah terlalu buruk.
Tapi ia hanya menggeleng-geleng saja, dan sebentar-sebentar mengulang-ulang.
"Aku takut, Hastings, aku takut...."
Mendengar caranya mengucapkan itu, aku pun jadi takut.
Tiba-tiba ia mencengkeram lenganku.
"Dengarkan, sahabatku. Aku kelim sekali. Sejak awal aku kelim sekali."
"Maksudmu semua ini tak ada hubungannya dengan uang?"
"Bukan, bukan. Mengenai hal itu aku benar. Tapi yang kedua itu - itu terlalu
sederhana - terlalu mudah. Masih ada belitannya. Masih ada sesuatu!"
Kemudian, dalam ledakan kemarahannya, ia berkata,
"Ah! Gadis kecil itu! Bukankah sudah kularang dia" Bukankah sudah kukatakan
jangan sentuh apa pun juga dari luar" Dan dia tidak mematuhiku. Aku, Hercule


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poirot, tidak dipatuhinya. Apakah tak cukup baginya bahwa dia sudah empat kali
luput dari kematian" Apa dia masih ingin menghadapi percobaan kelima" Ah, tak
pantas perbuatannya itu!"
Akhirnya kami berjalan kembali. Setelah menunggu sebentar, kami diantar ke
lantai atas. Nick sedang duduk di tempat tidur. Matanya terbuka lebar. Ia seperti orang
demam, tangannya bergerak-gerak terus dengan kuat.
"Terjadi lagi," gumamnya.
Perasaan Poirot terguncang hebat melihatnya. Ditelannya ludahnya, lalu
digenggamnya tangan gadis itu.
"Ah, Mademoiselle - Mademoiselle."
"Saya tak peduli kalau kali ini mereka berhasil membunuh saya," kata Nick
menantang. "Saya sudah bosan dengan semuanya ini - bosan!"
"Anak kecil yang malang!"
"Tapi ada sesuatu dalam diri saya yang tak mau menyerah pada mereka!"
"Itu baru semangat namanya - le sport - Anda memang harus berjuang, Mademoiselle."
"Jadi rumah perawatan Anda ini ternyata tak aman," kata Nick.
"Kalau saja Anda mematuhi perintah-perintah, Mademoiselle."
Nick kelihatan agak terkejut.
"Tapi saya telah mematuhinya."
"Bukankah sudah saya tekankan pada Anda bahwa Anda tak boleh memakan apa pun
yang datang dari luar?"
"Saya tidak melakukannya."
"Tapi coklat itu..."
"Yah, coklat itu kan tak apa-apa. Soalnya Anda sendiri yang mengirimkannya."
"Apa kata Anda, Mademoiselle?"
"Anda sendiri yang mengirimkannya!"
"Saya" Itu tak benar. Saya tak pernah mengirim apa-apa."
"Ada. Kartu Anda ada di dalam kotaknya."
"Apa?" Nick menggapai ke arah meja di dekat tempat tidurnya. Jum rawat datang untuk
membantunya. "Anda akan mengambil kartu yang ada di dalam kotak itu?"
"Ya, tolong, Suster."
Keadaan hening sejenak. Jum rawat kembali ke kamar dengan membawa kartu itu.
"Ini." Napasku tercekat. Begitu pula Poirot. Karena pada kartu itu kulihat tulisan
berbunga-bunga dengan kata-kata yang sama, yang kusaksikan sendiri Poirot
menuliskannya pada kartu untuk karangan bunganya. Bunyinya, Disertai salam dari
Hercule Poirot. "Sacr? tonnerre!"
"Benar, kan?" kata Nick dengan nada menuduh.
"Bukan saya yang menulis ini!" seru Poirot.
"Apa?" "Tapi," gumam Poirot pula, "tapi ini memang tulisan saya."
"Memang, kartu itu sama benar dengan kartu yang menyertai bunga anyelir jingga
dari Anda. Saya sama sekali tak ragu bahwa coklat itu juga dari Anda."
Poirot menggeleng. "Anda memang tak mungkin bisa meragukannya. Aduh! Setan! Setan cerdik yang
kejam! Pandai sekali orang itu. Pasti dia seorang jenius! Disertai salam dari
Hercule Poirot. Sederhana sekali. Ya, tapi kita harus berpikir! Sedangkan aku -
aku tidak memikirkannya. Tak terpikir olehku langkah itu!"
Nick tampak gelisah. "Jangan merasa kacau, Mademoiselle. Anda tak bersalah - sama sekali tak bersalah.
Sayalah yang harus dipersalahkan. Tolol benar saya ini! Seharusnya saya
mencegahnya mengambil langkah ini. Ya, seharusnya saya mencegah hal itu."
Kepalanya tertunduk. Kelihatannya ia sedih sekali.
"Saya rasa...," kata juru rawat.
Sudah beberapa lamanya juru rawat itu berjalan hilir-mudik saja, dengan air muka
serba salah. "Oh! Ya, ya. Saya akan pergi. Besarkan hati Anda, Mademoiselle. Ini akan
merupakan kesalahan saya yang terakhir. Saya malu sekali, saya sedih, saya
tertipu, diperdaya orang, seolah-olah saya ini anak sekolah yang masih kecil
saja. Tapi ini tidak akan terjadi lagi. Tidak akan. Saya berjanji. Mari,
Hastings." Langkah Poirot berikutnya adalah menanyai penanggung jawab rumah perawatan itu.
Wanita itu tentulah kesal sekali gara-gara kejadian itu.
"Rasanya tak masuk akal, M. Poirot. Sama sekali tak masuk akal hal semacam itu
sampai terjadi di rumah perawatan saya."
Poirot bersikap bijak, dan menyatakan simpatinya. Setelah merasa cukup
menenangkannya, ia mulai bertanya tentang datangnya kiriman mematikan itu.
Penanggung jawab itu mengatakan bahwa sebaiknya Poirot menanyai pesuruh yang
sedang bertugas pada saat kiriman itu tiba.
Pesuruh itu bernama Hodd. Ia kelihatan bodoh, tapi jujur. Usianya kira-kira dua
puluh tahun. Dia kelihatan gugup dan ketakutan. Tapi Poirot menenangkannya.
"Anda tak bisa disalahkan," kata Poirot dengan ramah. "Saya hanya minta agar
Anda menceritakan dengan benar, kapan dan bagaimana kiriman itu tiba."
Pesuruh itu kelihatan bingung.
"Sulit mengatakannya, Sir," katanya lambat-lambat. "Banyak sekali orang yang
datang untuk bertanya, lalu menitipkan barang-barang untuk pasien-pasien."
"Kata juru rawat, kiriman itu tiba kemarin sore," kataku membantunya. "Kira-kira
jam enam." Wajah anak muda itu menjadi cerah.
"Sekarang saya ingat, Sir. Seorang pria yang membawanya."
"Apakah pria itu berwajah tirus dan rambutnya pirang?"
"Rambutnya memang pirang, tapi saya tak tahu apakah wajahnya tirus."
"Mungkinkah Charles Vyse mengantarkannya sendiri?" gumamku pada Poirot.
Aku lupa bahwa anak muda itu tentu tahu nama orang-orang setempat.
"Dia bukan Mr. Vyse," katanya. "Saya kenal beliau. Pria itu lebih besar, tampan.
Dia datang naik mobil besar."
"Lazarus," pekikku.
Poirot melemparkan pandangan memberi peringatan padaku, dan aku menyesali
kelancanganku. "Dia datang naik mobil besar dan meninggalkan kiriman itu. Kiriman itu
dialamatkan pada Miss Buckley?"
"Ya, Sir." "Lalu Anda apakan kiriman itu?"
"Saya tidak menyentuhnya, Sir. Juru rawat yang mengambilnya."
"Benar. Tapi Anda menyentuhnya waktu Anda menerimanya dari tamu itu, bukan?"
"Oh, ya, tentu saja, Sir. Saya menerimanya dari dia, lalu saya letakkan di
meja." "Meja yang mana" Coba tolong tunjukkan."
Pesuruh itu berjalan mendahului kami, masuk ke lorong rumah.
Pintu depan terbuka. Di dekat pintu depan, di dalam lorong itu, ada sebuah meja
panjang yang daun mejanya terbuat dari batu pualam. Di atas meja itu tergeletak
surat-surat dan barang-barang kiriman.
"Semua surat dan barang kiriman harus ditaruh di sini, Sir. Lalu para juru rawat
Nyawa Kedua Dari Langit 1 Gento Guyon 11 Bidadari Biru Pedang Pembunuh Naga 12
^