Kasus Kasus Perdana Poirot 2
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie Bagian 2
terdengar deru motor dan teriakan. Saya menoleh. Sebuah mobil abu-abu yang
rendah dan panjang melintas dengan kecepatan tinggi, menuruni jalan mobil menuju
pondok sebelah selatan. Pengemudi mobil itulah yang berteriak. Tapi, bukan itu
yang membuat saya terperanjat ketakutan, melainkan karena melihat rambut ikal
Johnnie yang berwarna jerami. Johnnie ada di dalam mobil, di sebelah pengemudi.
"Inspektur McNeil menyumpah-nyumpah. 'Anak itu ada di sini semenit yang lalu,'
teriaknya. Pandangan matanya menyapu kami. Kami semua ada di situ: saya sendiri,
Tredwell, Nona Collins. 'Kapan Anda terakhir kali melihat anak itu, Tuan
Waverly"' "Saya mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Ketika polisi di luar
memanggil kami, saya dan Inspektur berlari ke luar, melupakan Johnnie sama
sekali. "Lalu terdengarlah suara yang mengagetkan kami. Dentang jam gereja dari desa.
Sambil berseru Inspektur mengeluarkan arlojinya. Pukul 12.00 tepat! Serentak
kami berlari masuk ke ruang dewan; jam di sana menunjukkan angka 12.10. Pasti
seseorang sengaja mengacaukan jam itu karena setahu saya jam itu belum pernah
tidak tepat sampai saat itu."
Tuan Waverly berhenti sejenak. Poirot tersenyum kepada dirinya sendiri lalu
meluruskan alas kaki kecil yang terdorong kaki ayah yang cemas itu.
"Masalah kecil yang menyenangkan, tidak jelas dan menarik," Poirot bergumam.
"Dengan senang hati saya akan menyelidikinya. Sungguh, penculikan itu
direncanakan ? merveille."
Nyonya Waverly memandang Poirot dengan tatapan memelas. "Tapi, anak saya,"
ratapnya. Tergesa-gesa Poirot mengubah wajahnya dan memperlihatkan pandangan simpati yang
tulus lagi. "Putra Nyonya selamat. Dia tidak berada dalam bahaya. Yakinlah bahwa
orang-orang licik itu akan menjaganya sebaik mungkin. Bukankah bagi mereka anak
itu serupa kalkun - bukan angsa - yang menghasilkan telur emas?"
"M. Poirot, saya yakin hanya ada satu hal yang harus dilakukan - memenuhi tuntutan
penculik. Mula-mula saya tidak setuju - tapi sekarang! Perasaan seorang ibu - "
"Kita sudah menyela cerita Monsieur," sergah Poirot buru-buru.
"Saya kira Anda sudah mengetahui kisah selanjutnya dari berbagai surat kabar,"
ujar Tuan Waverly. "Tentu saja Inspektur McNeil segera menelepon ke pusat.
Gambaran tentang mobil dan orang itu disebarluaskan. Mula-mula kelihatannya
semua akan beres. Sebuah mobil yang sesuai dengan gambaran itu, dengan seorang
laki-laki dan anak kecil di dalamnya melintasi beberapa desa. Rupanya akan
menuju London Di suatu tempat mereka berhenti dan terlihat bahwa anak itu
menangis serta jelas-jelas takut kepada teman semobilnya. Inspektur McNeil
memberitahu bahwa mobil itu sudah dihentikan dan penumpangnya ditahan. Saya
sangat lega mendengarnya. Anda tahu selanjutnya. Anak laki-laki itu bukan
Johnnie dan pria itu adalah seorang yang gemar mengemudi yang sangat menyukai
anak-anak. Ia mengajak seorang anak kecil yang sedang bermain-main di jalan di
Edenswell, desa yang terletak kira-kira lima belas mil dari tempat tinggal kami,
dan dengan ramah memberi anak itu tumpangan. Gara-gara kesalahan besar polisi
yang terlalu yakin, semua jejak hilang. Andaikata polisi tidak terus-menerus
membuntuti mobil yang salah, mungkin sekarang Johnnie sudah ditemukan."
"Tenanglah, Monsieur. Polisi merupakan kesatuan yang berani dan pandai.
Kesalahan yang mereka perbuat wajar sekali. Lagi pula, penculikan itu
direncanakan dengan luar biasa cerdiknya. Akan halnya laki-laki yang ditangkap
di halaman itu, saya mengerti bahwa dia akan terus menerus menyangkal untuk
membela diri. Dia mengatakan bahwa surat dan bungkusan itu diberikan kepadanya
untuk disampaikan ke Waverly Court. Orang yang menyerahkan barang memberinya
upah sepuluh shilling dan menjanjikan sepuluh shilling tambahan kalau benda itu
disampaikan tepat pukul 11.50. Untuk melakukannya dia harus mendekati rumah
melalui halaman dan mengetuk pintu samping."
"Saya sama sekali tidak percaya," kata Nyonya Waverly berapi-api. "Kisah itu
cuma isapan jempol."
"En verit?, peristiwa ini jarang terjadi," ujar Poirot merenung. "Sebegitu jauh
polisi belum mengutak-atik. Saya tahu pemuda itu melemparkan tuduhan?"
Poirot menoleh seraya menanyai Tuan Waverly, yang wajahnya menjadi agak merah
lagi. "Pemuda itu kurang ajar dengan berpura-pura mengenali Tredwell sebagai orang
yang memberinya bungkusan. 'Hanya saja orang itu sekarang sudah mencukur
kumisnya,' katanya. Tredwell yang dilahirkan di sini!"
Poirot tersenyum simpul melihat kedongkolan hati laki-laki itu. "Bukankah Anda
sendiri mencurigai salah seorang penghuni rumah menjadi kaki tangan komplotan
penculik?" "Memang, tapi bukan Tredwell."
"Bagaimana dengan Anda, Madame?" Poirot bertanya tiba-tiba seraya menoleh kepada
Nyonya Waverly. "Tidak mungkin Tredwell memberi pemuda gembel itu surat dan bungkusan - kalau
memang ada yang melakukannya, saya tidak percaya. Barang itu diserahkan
kepadanya pada pukul 10.00, begitu pengakuannya. Padahal pada waktu itu Tredwell
bersama suami saya berada di ruang merokok."
"Anda dapat melihat wajah orang di dalam mobil itu, Monsieur" Apakah ia mirip
Tredwell?" "Terlalu jauh bagi saya untuk melihat wajahnya."
"Tahukah Anda kalau-kalau Tredwell mempunyai saudara laki-laki?"
"Dia punya beberapa saudara laki-laki, tapi semua sudah meninggal. Yang terakhir
terbunuh dalam perang."
"Saya belum jelas tentang keadaan halaman Waverly Court. Mobil itu mengarah ke
pos pintu selatan. Ada jalan masuk lainnya?"
"Ada, yang kami namakan pos pintu timur. Pos itu dapat dilihat dari sisi rumah
yang satunya." "Anehnya, tidak seorang pun mendengar mobil itu memasuki halaman."
"Ada jalan langsung melintasi halaman dan menuju kapel kecil. Banyak sekali
mobil yang melewati jalan itu. Pasti laki-laki itu menghentikan mobilnya di
tempat yang menguntungkan dan mengemudikannya ke rumah bersamaan dengan tanda
bahaya berbunyi, sehingga perhatian terpusat ke hal lain."
"Kalau tidak dia sudah bersembunyi di dalam rumah," kata Poirot sambil merenung.
"Ada tempat yang dapat dipakai untuk bersembunyi?"
"Well, kami memang tidak memeriksa rumah secara menyeluruh sebelumnya.
Kelihatannya tidak perlu. Saya kira dia mungkin bersembunyi dulu. Tetapi, siapa
yang memperbolehkannya masuk?"
"Kita akan membicarakan masalah ini kemudian. Satu per satu - mari kita mengikuti
metode. Tidak ada tempat persembunyian di dalam rumah" Waverly Court adalah
bangunan kuno dan kadang-kadang ada tempat yang dinamakan 'lubang perlindungan'
atau priests' holes. "Ya Tuhan! Memang ada satu lubang yang dibuka dari salah satu lantai papan di
aula." "Dekat ruang dewan?"
"Persis di depan pintu."
"Voil?." "Tapi tidak ada yang tahu mengenai lubang itu kecuali saya dan istri saya."
"Tredwell?" "Mungkin dia pernah mendengarnya."
"Nona Collins?"
"Saya belum pernah memberitahunya."
Patriot merenung sebentar.
"Well, Monsieur, langkah berikutnya adalah saya harus pergi ke Waverly Court.
Kalau saya datang ke sana siang ini, apakah Anda keberatan?"
"Oh, secepat mungkin, Monsieur Poirot!" seru Nyonya Waverly. "Bacalah surat ini
sekali lagi." Nyonya Waverly meletakkan surat penculik yang diterima keluarga Waverly pagi itu
yang menyebabkan mereka datang kepada Poirot. Isinya penjelasan yang cerdik dan
terang-terangan tentang cara menyerahkan uang dan diakhiri dengan ancaman bahwa
pengkhianatan dalam bentuk apa pun akan dibayar dengan nyawa anak itu. Jelas
bahwa rasa cinta akan uang berperang melawan kasih seorang ibu, dan yang
terakhir inilah yang menang.
Poirot menahan wanita itu di belakang suaminya sebentar.
"Madame, jika Anda tidak keberatan, katakanlah yang sebenarnya. Apakah Anda juga
mempercayai kepala pelayan, Tredwell, seperti suami Anda?"
"Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk menentang dia, Monsieur Poirot. Saya
tidak melihat alasan mengapa dia dapat terlibat dalam penculikan ini, tapi - hmm,
saya tidak pernah menyukai dia - tidak pernah!"
"Satu lagi, Madame. Dapatkah Anda memberikan alamat pengasuh Johnnie?"
"Netherall Road 149, Hammersmith. Anda tidak membayangkan - "
"Saya tidak pernah membayangkan. Hanya saja saya menggunakan otak saya. Dan
kadang-kadang saja, muncul sedikit ide."
Ketika pintu ditutup, Poirot menghampiriku.
"Jadi Madame tidak pernah menyukai kepala pelayan itu. Menarik bukan, eh,
Hastings?" Aku menolak untuk berkomentar. Sudah berulang kali Poirot memperdayaku sehingga
aku sekarang bosan. Selalu saja ada kejutan.
Setelah selesai berdandan, kami berangkat ke Netherall Road. Beruntung kami
menjumpai Jessica Withers di rumahnya. Ia perempuan yang berwajah menyenangkan,
berumur tiga puluh lima tahun, cakap, dan baik. Aku tidak akan percaya kalau dia
terlibat dalam penculikan Johnnie. Jessica sangat menyesalkan karena dirinya
diberhentikan, tapi mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia mau menikah
dengan seorang pelukis sekaligus dekorator yang kebetulan bertempat tinggal di
daerah itu. Ketika itu dia keluar untuk menemui tunangannya. Kelihatannya
tindakannya ini wajar saja. Yang tidak sungguh-sungguh kumengerti adalah Poirot.
Bagiku, semua pertanyaan yang diajukannya tidak sesuai sama sekali. Hanya
berkisar pada kehidupan rutin Jessica di Waverly Court. Terus terang aku bosan,
dan gembira ketika Poirot mengajakku meninggalkan tempat itu.
"Menculik itu gampang, Kawan," katanya seraya memanggil taksi di Hammersmith
Road dan meminta pengemudi menuju Waterloo. "Anak itu dapat diculik dengan
gampangnya kapan saja selama tiga hari terakhir ia berada di rumah."
"Aku tidak melihat informasi ini menguntungkan kita," kataku dingin.
"Sebaliknya, keterangan ini sangat membantu kita. Sangat membantu! Hastings,
kalau engkau mengenakan jepit dasi, sebaiknyalah jepit itu berada tepat di
tengah-tengah dasimu. Sekarang ini jepit itu terlalu ke kanan satu inci."
Waverly Court adalah bangunan kuno yang menyenangkan dan baru saja diperbaiki
dengan selera yang tinggi. Tuan Waverly menunjukkan ruang dewan, teras, dan
berbagai tempat lainnya yang berkaitan dengan penculikan anaknya kepada kami.
Akhirnya, atas permintaan Poirot, tuan rumah menekan per di dinding, lalu
sebilah papan meluncur ke samping, dan sebuah jalan pendek membawa kami ke
lubang perlindungan. "Anda lihat," kata Tuan Waverly, "tidak ada apa-apa di sini."
Ruangan kecil itu cukup bersih, bahkan tidak nampak tanda-tanda adanya jejak
kaki di lantai. Kuhampiri Poirot yang tengah membungkuk, mengawasi jejak di
sudut dengan penuh perhatian.
"Apa pendapatmu tentang jejak ini, Sobat?"
Terlihat jejak empat kaki yang saling berdekatan.
"Jejak anjing," seruku.
"Anjing yang kecil sekali, Hastings. Anjing Pom. Lebih kecil dari Pom."
"Anjing griffon?" aku mengemukakan pendapatku dengan ragu-ragu.
"Malahan lebih kecil daripada griffon. Jenis yang tidak ada di tempat karantina
anjing." Kupandang Poirot. Wajahnya memancarkan rasa gembira dan puas.
"Aku benar," gumamnya. "Aku yakin aku benar. Ayo, Hastings!"
Pada waktu kami keluar untuk masuk ke ruang besar dan papan di belakang kami
menutup, seorang wanita yang masih muda keluar dari pintu yang terletak lebih
rendah di jalan pendek itu. Tuan Waverly memperkenalkannya kepada kami.
"Nona Collins."
Nona Collins berumur kira-kira tiga puluh tahun, gerak-geriknya cepat dan penuh
kewaspadaan. Rambutnya berwarna terang, agak suram, dan ia mengenakan kacamata
yang menggantung di hidung.
Atas permintaan Poirot kami masuk ke ruang duduk untuk pagi hari yang kecil dan
menanyai Nona Collins dengan saksama mengenai para pelayan, khususnya Tredwell.
Ia mengaku tidak menyukai Tredwell.
"Dia angkuh," Nona Collins menjelaskan alasannya.
Selanjutnya Poirot menanyakan makanan yang disantap Nyonya Waverly pada malam
tanggal 28 itu. Nona Collins menyatakan bahwa ia makan makanan yang sama di
ruang duduknya di lantai atas dan tidak menderita sakit apa pun. Ketika wanita
itu akan berlalu, aku mengingatkan Poirot.
"Anjing," bisikku.
"Ah, ya. Tentang anjing!" Poirot tersenyum lebar. "Apakah kebetulan ada anjing
di sini, Mademoiselle?"
"Ada dua anjing pencari jejak di kandangnya di luar."
"Bukan. Maksud saya anjing kecil, anjing untuk mainan."
"Tidak ada." Poirot menyilakannya pergi. Kemudian, sambil membunyikan bel Poirot berkata
kepadaku, "Mademoiselle Collins itu bohong. Mungkin aku harus berbuat begitu
juga seandainya aku dalam posisinya. Sekarang waktu untuk si kepala pelayan."
Tredwell adalah orang yang memiliki rasa penuh percaya diri. Dia menceritakan
kisahnya dengan mantap. Pada dasarnya ceritanya sama dengan cerita Tuan Waverly.
Ia mengaku mengetahui rahasia lubang persembunyian.
Ketika Tredwell yang selalu berbicara dengan sikap memerintah dan angkuhnya
berlalu, pandanganku bertemu dengan pandangan aneh Poirot.
"Apa pendapatmu tentang semua ini, Hastings?"
"Apa pendapatmu sendiri?" aku mengelak.
"Bukan main berhati-hatinya engkau sekarang. Otak tidak akan pernah berfungsi
kalau tidak kaurangsang untuk berpikir. Ah, aku tidak akan menggodamu! Ayo, kita
menarik kesimpulan bersama-sama. Apa saja yang menarik perhatianmu, terutama
yang kelihatan tidak wajar?"
"Satu hal yang menarik perhatianku. Mengapa penculik Johnnie keluar melalui pos
pintu selatan dan bukannya yang timur, sehingga tidak ada orang yang akan
melihatnya?" "Pendapat yang bagus sekali, Hastings. Luar biasa. Aku akan menambahnya. Mengapa
keluarga Waverly diperingatkan sebelumnya" Mengapa penculik tidak menculik anak
itu saja dan menyanderanya untuk mendapatkan uang tebusan?"
"Karena mereka mengharapkan uang itu tanpa harus bertindak."
"Tentunya hampir tidak mungkin tuntutan uang akan dipenuhi hanya karena ancaman
belaka." "Mereka juga ingin memusatkan perhatian pada pukul 12.00. Jadi, pada waktu
gelandangan itu ditangkap, yang lain dapat muncul dari tempat persembunyiannya
dan keluar bersama Johnnie tanpa dilihat."
"Itu pun tidak mengubah kenyataan bahwa komplotan penculik mempersulit sesuatu
yang sebenarnya gampang sekali. Kalau saja mereka tidak menentukan waktu, kan
gampang sekali bagi mereka daripada menunggu saat yang tepat lalu melarikan anak
itu dengan mobil pada waktu ia keluar bersama pengasuhnya."
"Ya... ya," dengan ragu-ragu aku mengakui.
"Sebenarnya ada unsur kesengajaan untuk membuat lelucon! Ayolah, kita pandang
masalah ini dari sisi lain. Semua peristiwa terjadi untuk menunjukkan ada kaki
tangan penculik di rumah itu. Pertama, peracunan Nyonya Waverly. Kedua,
penyematan surat di bantal. Ketiga, jam yang dicepatkan sepuluh menit secara
misterius - semua terjadi di dalam rumah. Dan kenyataan yang mungkin tidak
kaulihat. Tidak ada debu di dalam lubang perlindungan. Tempat itu sudah disapu!"
"Sekarang ada empat orang di dalam rumah. Pengasuh Johnnie dapat kita kecualikan
karena tidak mungkin dia menyapu lubang perlindungan, biarpun mungkin saja dia
melakukan tiga hal lainnya. Empat orang itu Tuan Waverly dan istrinya, Tredwell
si kepala pelayan, dan Nona Collins. Pertama, kita bicarakan Nona Collins. Tidak
banyak kecurigaan pada dirinya, walaupun sedikit saja yang kita ketahui tentang
dia. Jelas dia cerdas dan baru setahun di sini."
"Dia berbohong tentang anjing itu," aku mengingatkan.
"Ah, ya, anjing itu," kata Poirot seraya melemparkan senyuman yang ganjil.
"Biarlah kita lewatkan saja dan melanjutkan dengan Tredwell. Beberapa keterangan
tentang dirinya mencurigakan. Satu hal, gelandangan itu mengatakan Tredwell-lah
orang yang memberinya bungkusan di desa."
"Tapi Tredwell dapat memberikan alibi berkenaan dengan tuduhan ini."
"Bahkan, dia bisa juga meracuni Nyonya Waverly, menyematkan surat ke bantal,
mempercepat jam, dan menyapu lubang perlindungan. Di pihak lain, dia dilahirkan
dan dibesarkan sebagai pelayan keluarga Waverly. Kelihatannya sama sekali tidak
mungkin dia berkomplot dengan penculik. Tredwell tidak masuk hitungan."
"Well, lalu?" "Kita harus meneruskan secara logis - walaupun kelihatannya tidak mungkin. Secara
singkat kita pertimbangkan Nyonya Waverly. Tapi, wanita ini kaya dan uang adalah
miliknya. Uangnyalah yang digunakan untuk memugar tanah milik keluarga yang
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah suram ini. Dia tidak mempunyai alasan untuk menculik putranya dan
membayarkan uangnya kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, posisi suaminya berbeda.
Istrinya kaya, dan ini tidak berarti sama dengan menjadi kaya dengan sendirinya -
sebenarnya aku berpikiran bahwa Nyonya Waverly tidak terlalu suka kehilangan
uang, kecuali dengan dalih yang sangat beralasan. Namun Tuan Waverly, engkau
dapat segera mengetahui, adalah seorang bon viveur. Dia suka hidup enak."
"Tidak mungkin," kataku meradang.
"Bukan tidak mungkin sama sekali. Siapa yang menyuruh para pelayan pergi" Tuan
Waverly. Dia dapat menulis surat-surat kaleng itu, meracuni istrinya,
mempercepat jam, dan memberikan alibi yang luar biasa untuk pelayannya yang
setia, Tredwell. Tredwell tidak pernah menyukai Nyonya Waverly. Dia mengabdi
kepada tuannya dan bersedia mematuhi perintah-perintah tuannya secara mutlak.
Tiga pihak terlibat. Waverly, Tredwell, dan beberapa teman Waverly. Inilah
kesalahan polisi. Mereka tidak menyelidiki lebih jauh pengemudi mobil abu-abu
dengan anak di dalamnya itu. Pengemudi inilah orang ketiga. Diambilnya seorang
anak di desa tetangga, anak laki-laki berambut pirang dan ikal. Dia masuk
melalui pintu timur dan keluar melalui pintu selatan pada waktu yang tepat,
melambaikan tangannya, dan berteriak. Wajah maupun nomor mobilnya tidak dapat
dilihat. Jadi, jelas wajah anak itu juga tidak terlihat. Lalu, dia memberikan
jejak palsu menuju London. Sementara itu Tredwell telah merampungkan tugasnya
dalam mengatur penyerahan bungkusan dan surat untuk disampaikan oleh pemuda yang
berpenampilan kasar. Tuannya dapat memberikan alibi seandainya pemuda itu
mengenali Tredwell - lepas dari kumis palsu yang dikenakan si kepala pelayan.
Segera setelah terjadi keributan di luar dan Inspektur menerobos ke luar, Tuan
Waverly cepat-cepat menyembunyikan anaknya di lubang perlindungan lalu mengikuti
Inspektur. Setelah Inspektur pergi dan Nona Collins tidak kelihatan, tidaklah
sulit untuk membawa Johnnie ke tempat yang aman dengan mobilnya sendiri."
"Lalu, bagaimana dengan anjing itu?" tanyaku. "Dan kebohongan Nona Collins?"
"Itu lelucon kecilku. Aku menanyainya kalau-kalau ada anjing mainan di rumah itu
dan dia menjawab tidak ada - tapi, jelas ada beberapa - di ruang anak-anak! Engkau
tahu, Tuan Waverly meletakkan beberapa mainan di lubang perlindungan supaya
Johnnie tetap tenang dan asyik bermain."
"M. Poirot" - Tuan Waverly memasuki ruangan tempat kami berbicara - "sudahkah Anda
menemukan sesuatu" Adakah Anda temukan petunjuk ke mana putra saya dibawa?"
Poirot menyerahkan selembar kertas. "Ini alamatnya."
"Tapi, kertas ini kosong."
"Karena saya menunggu Anda menuliskan alamat itu untuk saya."
"Apa?"" wajah Tuan Waverly berubah menjadi merah-padam.
"Saya tahu semuanya, Monsieur. Saya beri Anda waktu dua puluh empat jam untuk
mengembalikan anak itu. Kepandaian Anda sebanding dengan tugas untuk
mengembalikan anak itu. Kalau tidak, istri Anda akan diberitahu urutan
peristiwanya dengan tepat."
Tuan Waverly menenggelamkan tubuhnya ke kursi dan menutupi wajahnya dengan kedua
tangannya. "Johnnie bersama pengasuh saya yang lama, sepuluh mil dari sini. Dia
bahagia dan dirawat dengan baik."
"Saya tidak meragukannya. Kalau saya tidak mempercayai Anda sebagai ayah yang
sebenarnya baik, saya tidak akan memberi Anda kesempatan."
"Skandal ini - "
"Tepat. Nama Anda sudah lama dikenal dan terhormat. Jangan mempertaruhkannya
lagi. Selamat malam, Tuan Waverly. Ah, omong-omong, saya punya satu nasihat.
Bersihkanlah selalu sudut-sudut ruangan!"
V PETUNJUK GANDA "YANG paling penting - tidak ada pemberitaan pers," kata Marcus Hardman mungkin
untuk keempat belas kalinya.
Kata pemberitaan pers diucapkan dengan gaya seorang leitmotif di sepanjang
bicaranya. Hardman bertubuh kecil, agak gemuk, kedua tangannya terawat baik, dan
suara tenornya terdengar sayu. Dengan caranya seperti ini, dia menjadi agak
terkenal dan profesinya adalah kehidupan yang gaya. Laki-laki itu kaya, tetapi
tidak terlalu kaya, dan membelanjakan uangnya dengan berani demi mengejar
kesenangan sosial. Mengoleksi benda-benda antik adalah kegemarannya. Dia memang
berjiwa kolektor. Lencana kuno, kipas kuno, permata antik - tidak ada barang
sederhana atau modern yang dimiliki Marcus Hardman.
Aku dan Poirot datang untuk memenuhi panggilan penting dan menjumpai laki-laki
itu sedang menderita karena ketidakpastian. Dalam keadaan seperti itu, memanggil
polisi merupakan perbuatan yang menjijikkan baginya. Di pihak lain, tidak
memanggil polisi berarti diam-diam dia menyetujui hilangnya beberapa permata
dari koleksinya. Poirot dianggapnya sebagai jalan tengah.
"Batu delima saya, Monsieur Poirot, dan kalung jamrud - kata orang dulu milik
Catherine de' Medici. Oh, kalung jamrud itu!"
"Bagaimana kalau Anda ceritakan hilangnya permata-permata itu?" Poirot
menyarankan dengan lembut.
"Akan saya coba. Kemarin siang saya mengadakan jamuan kecil minum teh - tidak
terlalu resmi sifatnya. Kurang lebih enam orang yang saya undang. Selama musim
ini sudah dua kali saya mengundang mereka. Meskipun mungkin ini tidak perlu saya
beritahukan, jamuan-jamuan itu sukses sekali. Musik yang menyenangkan - Nacora si
pianis, dan Katherine Bird, penyanyi Australia bersuara rendah - di studio besar.
Awal siang itu saya menunjukkan koleksi permata abad pertengahan saya kepada
para tamu. Permata-permata itu saya simpan dalam lemari besi kecil di dinding
sebelah sana. Bagian dalam lemari itu diatur seperti lemari dinding dengan latar
belakang beludru berwarna untuk memamerkan isinya. Setelah itu kami melihat-
lihat kipas - dalam kotak di dinding itu. Lalu kami kembali ke studio untuk
mendengarkan musik. Baru setelah semua tamu pulang, saya mendapatkan lemari besi
itu dibongkar! Pasti saya tidak menutupnya dengan benar dan seseorang
memanfaatkan kesempatan untuk menguras isinya. Batu-batu delima itu, Monsieur
Poirot, kalung jamrud itu - koleksi itu - koleksi seumur hidup! Apa pun akan saya
berikan untuk mengembalikan permata-permata itu! Tetapi, tidak boleh ada
pemberitaan pers! Anda memahami sepenuhnya bukan, Monsieur Poirot" Tamu-tamu
saya sendiri. Kawan-kawan pribadi saya! Kejadian ini akan menimbulkan skandal
yang mengerikan!" "Siapa orang terakhir yang meninggalkan ruangan ini ketika Anda menuju studio?"
"Johnston. Mungkin Anda mengenalnya. Milyuner Afrika Selatan. Dia baru saja
menyewa rumah milik Abbotbury di Park Lane. Dia berlambat-lambat sebentar di
belakang, saya ingat ini. Tapi, pasti, tidak mungkin dia yang mengambilnya!"
"Selama siang itu, adakah tamu Anda yang kembali ke ruang ini dengan suatu
alasan?" "Saya siap menjawab pertanyaan ini, Monsieur Poirot. Tiga orang yang kembali ke
sini. Countess Vera Rossakoff, Bernard Parker, dan Lady Runcorn."
"Mari kita bicarakan mereka."
"Countess Vera Rossakoff adalah wanita berkebangsaan Rusia yang amat mempesona,
termasuk orang rezim lama. Dia baru saja datang ke Inggris. Sebenarnya Countess
Rossakoff sudah berpamitan, oleh karena itu agak kaget juga saya menjumpainya di
ruang ini dan memandang kotak kipas saya dengan tatapan terpesona. Anda
mengerti, Monsieur Poirot, semakin saya memikirkannya, semakin mencurigakan
rasanya. Tidakkah Anda sependapat?"
"Sangat mencurigakan; tapi biarkan kami mendengar tentang yang lain."
"Well, Parker datang hanya untuk mengambil kotak-kotak miniatur yang ingin saya
perlihatkan kepada Lady Runcorn."
"Dan Lady Runcorn sendiri?"
"Saya yakin Anda tahu. Lady Runcorn berumur setengah baya, pribadinya sangat
mantap, dan mengabdikan sebagian besar waktunya untuk berbagai kegiatan sosial.
Dia kembali semata-mata untuk mengambil tas tangannya."
"Nah, Monsieur, ada empat orang yang patut dicurigai. Putri Rusia itu, grande
dame Inggris itu, milyuner Afrika Selatan, dan Bernard Parker. Omong-omong,
siapa Bernard Parker ini?"
Kelihatannya pertanyaan ini membuat Hardman malu.
"Dia - er - dia masih muda. Well, sebenarnya dia pemuda yang saya kenal."
"Saya sudah menyimpulkan sejauh itu," kata Poirot dengan wajah muram. "Apa
pekerjaan Parker ini?"
"Dia pemuda modern yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersenang-
senang - tidak mungkin ia benar-benar terlibat dalam kejadian ini, kalau boleh
saya mengemukakan pendapat pribadi saya."
"Bagaimana dia dapat berkawan dengan Anda" Boleh saya tahu?"
"Eh, sekali atau lebih dia - melakukan pekerjaan kecil untuk saya."
"Teruskan, Monsieur," ujar Poirot.
Hardman menatap Poirot dengan pandangan mengiba. Jelas dia tidak ingin
meneruskan ceritanya. Akan tetapi, karena Poirot mempertahankan keheningan yang
tidak dapat ditawar, laki-laki itu akhirnya menyerah.
"Anda tahu, Monsieur Poirot - orang-orang tahu benar bahwa saya tertarik akan
permata-permata antik. Kadang-kadang ada pusaka keluarga yang akan dijual - yang
tidak akan pernah dijual ke pasar terbuka atau ke agen. Namun, menjual kepada
saya pribadi lain sama sekali. Parker mengatur rincian penjualan seperti ini.
Dia menghubungi kedua belah pihak. Dengan demikian, tidak akan ada rasa malu -
sekecil apa pun. Diperlihatkannya kepada saya segala macam benda yang termasuk
permata antik. Misalnya, sekarang Countess Rossakoff membawa beberapa permata
keluarga dari Rusia dan ingin menjualnya. Nah, Bernard Parker harus mengatur
transaksi ini." "Saya mengerti," ujar Poirot hati-hati. "Dan Anda mempercayainya seratus
persen?" "Saya tidak mempunyai alasan untuk tidak bersikap demikian."
"Tuan Hardman, dari keempat orang ini, siapa yang Anda curigai?"
"Oh, Monsieur Poirot, bukan main sulitnya pertanyaan ini! Mereka kawan-kawan
saya, seperti tadi saya katakan. Tidak seorang pun yang saya curigai - atau
semuanya, terserah pernyataan mana yang Anda sukai."
"Saya tidak setuju. Anda mencurigai salah seorang. Bukan Countess Rossakoff,
bukan pula Bernard Parker. Orang itu Lady Runcorn atau Johnston?"
"Anda memojokkan saya, Monsieur Poirot. Betul-betul memojokkan saya. Saya sangat
berharap tidak akan terjadi skandal. Lady Runcorn berasal dari salah satu
keluarga tertua di Inggris, tapi sayang sekali bibinya, Lady Caroline, menderita
gangguan jiwa yang parah. Tentu saja semua kawannya memahami keadaan ini dan
pelayannya mengembalikan sendok teh atau apa saja secepat mungkin. Anda mengerti
kesulitan saya!" "Jadi, Lady Runcorn mempunyai bibi yang menderita kleptomania. Menarik sekali.
Boleh saya memeriksa lemari besi itu?"
Hardman mengiyakan. Poirot mendorong pintu lemari besi ke belakang dan memeriksa
bagian dalamnya. Rak berlapis beludru itu menganga di hadapan kami.
"Bahkan pintu ini tidak dapat ditutup rapat," gumam Poirot seraya mengayunkan
pintu itu ke kanan dan kiri. "Saya heran, mengapa" Ah, apa ini" Sarung tangan.
Tersangkut di engsel. Sarung tangan pria."
Diangsurkannya benda itu kepada tuan rumah.
"Bukan sarung tangan saya," komentar Hardman.
"Aha! Ada lagi!" Dengan cekatan Poirot membungkuk dan memungut benda kecil dari
dasar lemari besi. Sebuah kotak sigaret yang pipih dan terbuat dari moir? hitam.
"Kotak sigaret saya!" seru Hardman.
"Milik Anda" Tentunya bukan, Monsieur. Ini bukan inisial nama Anda."
Poirot menunjuk pada pahatan dua huruf yang ditatah dalam platina.
Hardman mengambil benda itu.
"Anda benar," katanya. "Kotak ini mirip sekali dengan kepunyaan saya, tapi
inisialnya berbeda. "B" dan "P". Ya Tuhan - Parker!"
"Kelihatannya begitu," Poirot menimpali. "Pemuda yang agak ceroboh - terutama bila
sarung tangan ini juga kepunyaannya. Dengan demikian ada petunjuk ganda,
bukankah begitu?" "Bernard Parker!" gumam Hardman. "Betapa leganya! Well, Monsieur Poirot, saya
serahkan kepada Anda usaha untuk mengembalikan permata itu. Serahkanlah perkara
ini ke tangan polisi jika Anda memandangnya tepat - yaitu kalau Anda benar-benar
yakin bahwa dia bersalah."
*** "Engkau mengerti, Sobat," kata Poirot kepadaku ketika kami meninggalkan rumah
itu. "Hardman ini mempunyai peraturan tersendiri untuk orang-orang bangsawan dan
peraturan lainnya untuk orang biasa. Aku, aku belum jadi bangsawan, maka aku
berada di pihak orang biasa. Aku menaruh simpati kepada pemuda ini. Seluruh
peristiwa ini cukup menimbulkan rasa ingin tahu, bukankah begitu" Hardman
mencurigai Lady Runcorn; aku mencurigai Countess dan Johnston; dan Parker yang
tidak jelas asal-usulnya inilah yang kita cari."
"Mengapa engkau mencurigai kedua orang itu?"
"Parbleu! Gampang sekali menjadi pengungsi Rusia atau milyuner Afrika Selatan.
Setiap wanita dapat mengaku sebagai putri Rusia; siapa saja dapat membeli rumah
di Park Lane dan mengaku sebagai milyuner Afrika Selatan. Siapa yang akan
mempersoalkan mereka" Tapi, kita sekarang melewati Bury Street. Pemuda ceroboh
itu tinggal di sini. Ayo kita, seperti usulmu, bertindak cepat selagi kesempatan
memungkinkan." Bernard Parker ada di rumah. Kami menjumpainya tengah bersandar di bantalan
kursi, mengenakan kimono warna ungu dan oranye menyolok. Aku sangat tidak
menyukai pemuda ini, yang wajahnya putih dan feminin dan bicaranya dibuat pelat.
"Selamat pagi, Monsieur," sapa Poirot dingin. "Saya datang atas permintaan Tuan
Hardman. Kemarin, dalam jamuan minum teh seseorang mencuri permata-permatanya.
Izinkan saya menanyai Anda, Monsieur. Apakah ini sarung tangan Anda?"
Proses mental Parker kelihatannya agak lambat. Ditatapnya sarung tangan itu,
seakan-akan dia tengah mengumpulkan seluruh kecerdikannya.
"Di mana Anda menemukannya," akhirnya dia bertanya.
"Apakah ini sarung tangan Anda, Monsieur?"
Nampaknya Parker telah mengambil keputusan.
"Bukan," sahutnya.
"Dan kotak sigaret ini, apakah ini kepunyaan Anda?"
"Tentu saja bukan. Saya selalu membawa kotak yang terbuat dari perak."
"Baiklah, Monsieur, akan saya serahkan perkara ini ke tangan polisi."
"Oh, saya tidak akan melakukannya seandainya saya adalah Anda," teriak Parker
penuh perhatian. "Polisi-polisi itu sangat tidak simpatik. Tunggu sebentar. Saya
akan menemui Hardman. Oh, - tunggu sebentar."
Tetapi Poirot tidak menghiraukannya.
"Kita sudah memberikan bahan pemikiran kepadanya, bukankah begitu?" Poirot
tertawa kecil. "Besok kita lihat apa yang terjadi."
Akan tetapi, siang itu kami diingatkan akan kasus Hardman. Tanpa suara apa pun
sebelumnya, pintu terbuka, dan desiran angin dalam sosok manusia mengusik
ketenangan kami. Seseorang terbungkus mantel bulu (saat itu udara begitu dingin
seperti biasanya udara bulan Juni di Inggris) dan topi yang penuh dengan hiasan
bulu burung yang indah. Countess Vera Rossakoff adalah pribadi yang agak
membingungkan. "Anda Monsieur Poirot" Apa yang sudah Anda lakukan" Anda menuduh pemuda malang
itu! Perbuatan keji! Skandal. Saya kenal dia. Orang yang seperti anak ayam,
domba - tidak akan dia mencuri. Dia sudah melakukan semuanya untuk saya. Haruskah
saya berdiri di sampingnya dan menontonnya dibantai?"
"Madame, apakah ini kotak sigaretnya?" Poirot mengangsurkan kotak moir? hitam
itu. Sejenak Countess Rossakoff berdiam diri sambil memeriksa kotak itu.
"Betul, ini kepunyaannya. Saya tahu pasti. Ada apa dengan kotak ini" Anda
menemukannya di ruang itu" Kami semua ada di sana pada waktu itu. Dia
menjatuhkannya saya kira. Ah, Anda polisi - Anda lebih brengsek dari Pengawal
Merah - " "Dan apakah ini sarung tangannya?"
"Bagaimana saya tahu" Sarung tangan yang satu mirip dengan yang lain. Jangan
menghalangi saya - dia harus dibebaskan. Nama baiknya harus dipulihkan. Kalian
akan melakukannya. Saya akan menjual permata-permata saya dan membayar kalian."
"Madame - " "Jadi, tawaran ini disetujui" Tidak, tidak. Jangan membantah. Pemuda yang
malang! Dia datang kepada saya dengan berurai air mata. 'Saya akan menyelamatkan
Anda,' begitu saya katakan kepadanya. 'Akan saya temui orang-orang itu - raksasa
itu, monster itu! Serahkan perkara ini kepada Vera.' Sekarang sudah selesai.
Saya permisi." Seperti pada waktu datangnya wanita itu berlalu, meninggalkan bau parfum eksotis
yang kuat. "Bukan main wanita itu!" seruku. "Dan bukan main indahnya mantel bulunya."
"Ah, ya. Bulu-bulu itu asli. Dapatkah putri palsu mempunyai bulu sejati" Gurauan
saja, Hastings.... Dia benar-benar orang Rusia, kukira. Well, well, jadi Master
Bernard menangis-nangis di hadapannya."
"Kotak sigaret ini kepunyaan Parker. Aku jadi ingin tahu apakah sarung tangan
ini miliknya juga." Sambil tersenyum Poirot mengeluarkan sarung tangan kedua dari sakunya dan
meletakkan benda itu di dekat sarung tangan yang pertama. Tidak diragukan lagi
kedua sarung tangan itu sepasang.
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di mana engkau menemukan pasangannya ini, Poirot?"
"Sarung ini dilemparkan dengan tangkai kayu di meja aula di Bury Street. Benar-
benar ceroboh Monsieur Parker ini. Kawan, kita harus mengadakan penyelidikan
yang tuntas. Aku akan pergi ke Park Lane untuk memastikan."
Tentu saja aku menemani sahabatku ini. Johnston tidak ada di tempat, tetapi kami
bertemu dengan sekretaris pribadinya. Ternyata Johnston baru saja tiba dari
Afrika Selatan dan belum pernah berkunjung ke Inggris sebelumnya.
"Majikan Anda tertarik akan batu-batu berharga, bukankah demikian?" Poirot
mencoba menebak. "Tambang emas lebih tepatnya," sahut sekretaris itu sambil tertawa.
Poirot keluar dengan wajah serius. Betapa terkejutnya aku ketika malam itu
kudapati Poirot tengah mempelajari tata bahasa Rusia dengan sungguh-sungguh.
"Masya Allah, Poirot!" seruku. "Engkau mempelajari bahasa Rusia untuk mengobrol
dengan Countess Rossakoff dalam bahasa ibunya?"
"Dia tentu tidak akan mendengarkan bahasa Inggrisku, Sobat."
"Tapi, Poirot, semua orang Rusia yang terhormat pasti dapat berbahasa Prancis."
"Engkau sumber informasi, Hastings! Aku tidak usah bingung lagi dengan seluk-
beluk aksara Rusia."
Dilemparkannya buku itu dengan gerak yang dramatis. Aku sungguh-sungguh tidak
puas. Matanya melemparkan kedipan yang amat kukenal. Itulah tanda yang tidak
dapat ditawar lagi bahwa Hercule Poirot merasa puas.
"Mungkin," kataku penuh pengertian, "engkau meragukan keberadaannya sebagai
seorang Rusia. Engkau akan mengujinya?"
"Ah, tidak, tidak, dia benar-benar orang Rusia."
"Lalu - " "Kalau engkau sungguh-sungguh ingin menjadi terkenal karena perkara ini,
Hastings, kuanjurkan buku First Steps in Russians ini sebagai alat bantu yang
amat berharga." Poirot lalu tertawa tanpa mengatakan apa-apa lagi. Aku memungut buku itu dan
membacanya dengan penuh rasa ingin tahu. Tapi, kata-kata Poirot tidak dapat
kumengerti. Pada hari berikutnya kami tidak menerima berita apapun, tetapi tampaknya tidak
mencemaskan sahabatku yang bertubuh kecil ini. Sewaktu sarapan Poirot
menyampaikan keinginannya untuk menemui Hardman pagi-pagi itu juga. Kami menemui
kupu-kupu masyarakat ini di rumahnya. Kelihatannya ia agak lebih tenang
dibanding hari sebelumnya.
"Monsieur Poirot, ada kabar apa?" tanyanya penuh semangat.
Poirot menyerahkan sehelai kertas.
"Inilah orang yang mengambil permata-permata itu, Monsieur. Haruskah saya
menyerahkannya ke tangan polisi" Atau, Anda lebih suka saya mengembalikan
permata itu tanpa membawa-bawa polisi dalam persoalan ini?"
Hardman menatap kertas di tangannya. Akhirnya dia dapat bersuara juga.
"Mengejutkan sekali. Sebaiknya saya memilih tidak membuat skandal. Saya beri
Anda carte blanche, Monsieur Poirot. Saya percaya Anda akan bersikap hati-hati."
Langkah kami berikutnya adalah memanggil taksi yang diperintahkan Poirot untuk
menuju Carlton. Di sana Poirot menanyakan Countess Vera Rossakoff. Beberapa
menit kemudian kami diantar ke kamar mewah bangsawan Rusia itu. Countess keluar
menemui kami dengan kedua tangan terulur, berdandan dalam pakaian rumah dengan
disain Barbar yang mempesona.
"Monsieur Poirot!" serunya. "Anda sudah berhasil" Nama baik pemuda malang itu
sudah Anda pulihkan?"
"Madame la Comtesse, sahabat Anda Parker benar-benar tidak akan ditahan."
"Ah, Anda laki-laki bertubuh kecil yang pintar! Hebat! Dan luar biasa cepat
pula." "Di pihak lain saya berjanji kepada Hardman untuk mengembalikan permata-permata
itu kepadanya hari ini."
"Jadi?" "Karena itu, Madame, saya akan sangat berterima kasih apabila Anda bersedia
meletakkan permata-permata itu di tangan saya tanpa membuang waktu lagi. Maaf,
saya memburu-buru Anda; saya ditunggu taksi - kalau tidak berarti kami perlu
menemui Scotland Yard; dan kami, orang Belgia, Madame, menganut pola hidup
hemat." Countess sudah menyalakan sigaret. Dia duduk tak bergerak selama beberapa detik,
mengembuskan lingkaran-lingkaran asap dan menatap pasti ke arah Poirot. Lalu
tawanya meledak dan ia berdiri. Countess Rossakoff berjalan menuju lemari
pakaian, membuka satu laci, dan mengeluarkan tas tangan sutra berwarna hitam.
Dilemparkannya tas tangan itu dengan perlahan kepada Poirot. Ketika berbicara,
nada suaranya benar-benar ringan dan tidak berubah.
"Sebaliknya kami, orang-orang Rusia, boros," katanya. "Sayangnya, untuk itu kami
harus punya uang. Anda tidak perlu melihat isi tas tangan itu. Semua ada di
dalamnya." Poirot berdiri. "Selamat, Madame. Untuk kemampuan berpikir Anda yang cepat dalam menangkap arti
dan sikap Anda yang tidak menunda-nunda."
"Ah! Anda membiarkan taksi itu menunggu, jadi apa lagi yang dapat saya perbuat?"
"Anda terlalu baik, Madame. Anda akan lama tinggal di London?"
"Saya kira tidak - karena Anda."
"Maafkan saya kalau begitu."
"Kita akan bertemu di tempat lain - mungkin."
"Saya harap demikian."
"Dan - saya tidak!" seru Countess sambil tertawa. "Saya sangat memuji Anda - sedikit
sekali laki-laki di dunia ini yang saya segani. Selamat tinggal, Monsieur
Poirot." "Selamat tinggal, Madame la Comtesse. Ah, maaf, saya lupa! Izinkan saya
mengembalikan kotak sigaret Anda."
Sambil membungkuk Poirot menyerahkan kotak kecil moir? hitam yang dia temukan
dalam lemari besi permata itu. Countess menerima benda itu tanpa perubahan ekspresi wajah - hanya alisnya yang terangkat dan ia bergumam, "Saya mengerti!"
*** "Bukan main wanita itu!" seru Poirot penuh semangat pada waktu kami menuruni
anak tangga. "Mon Dieu, quelle femme! Tidak membantah sedikit pun - juga tidak
memprotes atau berpura-pura. Hanya sebuah kerlingan singkat; dan dia dapat
mengira-ngira posisinya dengan tepat. Hastings, wanita yang dapat menerima
kekalahan seperti itu - dengan tersenyum ringan - akan melangkah jauh! Dia bahagia
karena bersaraf baja; dia - " Poirot jatuh tergelincir.
"Kalau engkau dapat mengurangi panjang ayun langkahmu dan melihat arah, engkau
tidak akan tergelincir," saranku. "Kapan engkau pertama kali mencurigai
Countess?" "Sobat, sarung tangan dan kotak sigaret itulah penyebabnya - petunjuk ganda,
bagaimana kalau kita sebut begitu" - itulah yang membuatku khawatir. Mungkin
sekali Bernard Parker menjatuhkan salah satu benda itu - tapi hampir tidak mungkin
kedua-duanya. Itu berarti terlalu ceroboh! Demikian juga kalau orang lain
meletakkan kedua barang itu di sana untuk memberatkan Parker, toh satu saja
sudah cukup - kotak sigaret atau sarung tangan - sekali lagi tidak keduanya. Oleh
karena itu aku dipaksa untuk menyimpulkan salah satu benda itu bukan kepunyaan
Parker. Mula-mula kukira kotak sigaret itu miliknya dan sarung tanganlah yang
bukan. Tapi, begitu mengetahui bahwa sarung tangan itu kepunyaannya, aku
menyadari yang benar adalah sebaliknya. Lalu, milik siapa kotak sigaret itu"
Jelas, kotak itu tidak mungkin kepunyaan Lady Runcorn. Inisialnya tidak cocok.
Johnston" Hanya kalau dia memakai nama samaran. Waktu aku mewawancarai
sekretarisnya, segera kelihatan bahwa segala sesuatunya jelas dan jujur. Tidak
ada sikap tutup mulut tentang masa lalunya. Kemudian Countess. Dia diharapkan
sudah membawa serta permata-permata keluarganya dari Rusia. Dia cuma perlu
mengambil batu-batu itu dari tempatnya - dan sangat diragukan apabila batu-batu
itu dapat dikenali lagi sebagai milik Hardman. Apa yang lebih gampang daripada
memungut salah satu sarung tangan Parker dari aula dan memasukkannya ke lemari
besi" Tapi, bien s?r, dia tentunya tidak merencanakan untuk menjatuhkan kotak
sigaretnya sendiri."
"Kalau kotak sigaret itu kepunyaannya, mengapa inisialnya B.P." Seharusnya
inisial Countess adalah V.R."
Poirot tersenyum lembut. "Persis, Sobat. Tapi, dalam aksara Rusia B adalah V dan P sama dengan R."
"Well, tentu saja engkau tidak dapat mengharapku menebak begitu. Aku kan tidak
paham bahasa Rusia."
"Aku juga tidak, Hastings. Itulah sebabnya kubeli buku kecil itu - dan kuanjurkan
engkau untuk memperhatikannya."
Poirot menghela napas. "Wanita yang luar biasa. Sobat, aku merasa - sangat yakin - akan bertemu lagi
dengannya. Hanya saja di mana, ya?"
VI RAJA KLAVER "KEBENARAN," kataku seraya meletakkan Daily Newsmonger ke samping, "lebih sukar
dimengerti daripada fiksi!"
Kata-kata ini mungkin tidak untuk pertama kalinya diperdengarkan. Dan
kelihatannya ucapanku membuat sahabatku marah. Sambil memiringkan kepalanya yang
bulat telur itu, dengan hati-hati jari-jari Poirot menjentikkan debu-debu
khayalan dari celana panjangnya yang disetrika rapi dan cermat, lalu ia
menimpali, "Bukan main dalamnya arti kata-kata itu! Benar-benar pemikir yang
hebat sahabatku Hastings ini!"
Tanpa memperlihatkan rasa jengkel akan cemoohnya yang tidak diminta ini, aku
menepuk-nepuk surat kabar yang tadi kusingkirkan itu.
"Engkau sudah membaca koran pagi ini?"
"Sudah. Selesai membaca, aku melipatnya lagi secara simetris. Tidak
melemparkannya ke lantai seperti yang engkau lakukan, sikapmu yang menyedihkan -
tanpa aturan dan metode."
(Itulah sisi terburuk Poirot Baginya aturan dan metode adalah dewa. Seakan-akan
kedua hal itulah yang menyebabkan keberhasilannya.)
"Kalau begitu engkau membaca laporan pembunuhan Henry Reedburn, si impresario
itu" Itulah yang mendorongku mengucapkan kata-kata tadi. Kebenaran tidak cuma
lebih sukar dimengerti daripada fiksi - juga lebih dramatis. Bayangkan, keluarga
kelas menengah Inggris yang mapan, keluarga Oglander. Ayah, ibu, putra, dan
putri; ciri khas ribuan keluarga di negeri ini. Yang laki-laki pergi ke kota
setiap harinya, wanitanya mengurus rumah tangga. Kehidupan mereka benar-benar
tenteram dan monoton. Semalam mereka duduk-duduk di ruang duduk mereka yang rapi
di pinggiran kota di Daisymead, Streatham, sambil bermain bridge. Tiba-tiba
tanpa suara apa pun sebelumnya, pintu merangkap jendela yang menghadap taman
terbuka dan seorang perempuan terhuyung-huyung masuk. Ada noda berwarna merah
tua di pakaian satin abu-abu perempuan itu. Dia mengucapkan sepatah kata,
'Pembunuhan!', sebelum jatuh tidak sadarkan diri Dari foto-foto perempuan itu,
mereka mengenalinya sebagai Valerie Saintclair, penari termasyhur yang baru-baru
ini mengguncangkan London!"
"Itu kepandaianmu bercerita atau laporan Daily Newsmonger?" tanya Poirot.
"Daily Newsmonger kan dicetak buru-buru dan puas dengan fakta-fakta belaka.
Tapi, kemungkinan-kemungkinan dramatis kejadian itu langsung menarik
perhatianku." Poirot mengangguk serius. "Di mana saja ada hakikat manusia, di situ terjadi
drama. Tetapi - tidak selalu hanya di tempat yang engkau duga. Ingatlah ini.
Bagaimanapun juga, aku juga tertarik karena besar kemungkinannya aku harus
berhubungan dengan kasus ini."
"Sungguh?" "Ya. Seorang laki-laki meneleponku pagi tadi dan mengadakan perjanjian denganku
atas nama Pangeran Paul dari Maurania."
"Tapi, apa hubungannya dengan kasus ini?"
"Engkau tidak membaca koran-koran gosip, harian yang memuat cerita-cerita jenaka
dan ungkapan-ungkapan 'ada yang mendengar....' atau 'ada yang ingin tahu
apakah....'. Lihatlah ini."
Kuikuti jari-jarinya yang pendek dan gemuk itu bergerak di sepanjang paragraf
- 'apakah pangeran asing dan penari kenamaan itu benar-benar terikat dalam tali
pernikahan! Dan apakah si penari menyukai cincin berlian barunya!'
"Nah, untuk meringkas ceritamu yang begitu dramatis tadi, Mademoiselle
Saintclair pingsan di atas karpet ruang duduk di Daisymead. Engkau ingat?"
Aku mengangkat bahu. "Akibat kata-kata yang pertama kali digumamkan oleh
Mademoiselle ketika dia terhuyung-huyung masuk, dua laki-laki keluarga Oglander
segera bertindak. Yang seorang menjemput dokter untuk menolong wanita yang
jelas-jelas terguncang batinnya itu, dan yang lain menuju kantor polisi - yang
setelah menceritakan peristiwa itu, menemani polisi ke Mon D?sir, vila Tuan
Reedburn yang luar biasa indahnya, tidak jauh dari Daisymead. Di sana mereka
mendapatkan orang besar itu, yang reputasinya buruk, terbaring di perpustakaan
dengan bagian belakang kepalanya menganga seperti kulit telur yang pecah!"
"Aku telah memotong ceritamu," kata Poirot ramah. "Kuminta engkau
memaafkanku.... Ah, ini dia M. le Prince!"
Tamu kami yang terkemuka ini disebut dengan gelar Count Feodor. Ia seorang
pemuda berwajah aneh, bertubuh tinggi, penuh semangat, dengan dagu yang tidak
kokoh, mulut seperti Mauranberg yang terkenal itu, dan bola mata yang gelap
berapi-api seperti mata seorang fanatik.
"M. Poirot?" Sahabatku membungkukkan badan.
"Monsieur, saya dalam kesulitan besar. Lebih besar dari yang dapat saya
ungkapkan." Poirot melambaikan tangannya. "Saya memahami kecemasan Anda. Mademoiselle
Saintclair adalah sahabat Anda yang sangat tersayang, bukankah begitu?"
Pangeran menjawab singkat, "Saya berharap dapat memperistri dia."
Poirot duduk tegak-tegak di kursinya. Kedua matanya terbuka lebar.
Pangeran melanjutkan bicaranya. "Saya bukanlah orang pertama dalam keluarga yang
menikah dengan orang biasa dan anak-anak saya akan kehilangan hak-hak istimewa
sebagai anak pangeran. Saudara laki-laki saya, Alexander, juga menentang kaisar.
Sekarang kita hidup dalam dunia yang lebih luas, bebas dari prasangka kelas-
kelas sosial. Selain itu, sebenarnya Mademoiselle Saintclair sungguh-sungguh
sederajat dengan saya. Anda sudah mendengar tentang riwayatnya?"
"Banyak cerita romantis tentang dia - bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan
penari-penari terkenal. Saya dengar dia putri wanita Irlandia yang bekerja di
bagian kebersihan di kantor; juga kisah yang menjadikan ibunya seorang bangsawan
agung Rusia." "Cerita pertama tentu saja omong kosong," kata pangeran itu. "Tetapi, cerita
kedua benar. Walaupun menjaga kerahasiaan asal-usulnya, Valerie membiarkan saya
menduga sejauh itu. Lagi pula, secara tak sadar dia membuktikannya dalam
berbagai cara. Saya percaya pada asal-usul, M Poirot."
"Saya juga demikian," Poirot menimpali dengan sungguh-sungguh. "Saya melihat
beberapa keanehan sehubungan dengan persoalan ini - moi qui vous parle....
Langsung pada masalah, M. Ie Prince. Apa yang Anda inginkan dari saya" Apa yang
Anda khawatirkan" Saya diperkenankan berbicara bebas atau tidak" Adakah sesuatu
yang menghubungkan Mademoiselle Saintclair dengan perbuatan kriminal ini"
Tentunya dia mengenal Reedburn?"
"Ya, almarhum mengaku mencintai Valerie."
"Dan si wanita?"
"Dia tidak mengatakan apa-apa kepada almarhum."
Poirot memandang pangeran itu tajam-tajam. "Adakah alasan bagi Mademoiselle
Saintclair untuk takut kepada almarhum?"
Pangeran terlihat ragu-ragu. "Ada insiden. Anda tahu Zara, si ahli tenung?"
"Tidak." "Dia hebat. Sekali waktu Anda perlu berkonsultasi dengannya. Minggu lalu saya
dan Valerie pergi ke sana. Zara membacakan kartu-kartu kepada kami. Kepada
Valerie dia berbicara tentang kesulitan - tentang awan yang menumpuk; kemudian
dibukanya kartu terakhir - kartu penutup, begitu namanya. Raja klaver. Lalu Zara
berkata kepada Valerie, 'Berhati-hatilah. Ada laki-laki yang menguasai Anda.
Anda takut kepadanya - Anda dalam bahaya besar, bahaya melalui orang itu. Anda
mengerti orang yang saya maksud"' Bibir Valerie pucat-pasi. Dia mengangguk dan
berkata, 'Ya, ya, saya tahu.' Tak lama kemudian kami meninggalkan tempat itu.
Kata-kata terakhir Zara kepada Valerie adalah, 'Hati-hati terhadap raja klaver.
Bahaya mengancam Anda!' Saya tanyai Valerie, tetapi dia tidak mau mengatakan
apa-apa - malah ia meyakinkan saya bahwa semuanya baik-baik saja. Sekarang,
setelah peristiwa semalam, saya semakin yakin bahwa dalam kartu raja klaver itu
Valerie melihat Reedburn dan dialah orang yang ditakuti Valerie."
Mendadak pangeran itu berhenti. "Sekarang Anda mengerti pergolakan batin saya
ketika saya membuka surat kabar pagi tadi. Andaikan saja Valerie, dalam luapan
emosi yang tiba-tiba - Oh, tidak mungkin!"
Poirot berdiri dan menekan lembut bahu pangeran muda itu. "Jangan biarkan diri
Anda menderita. Serahkanlah perkara ini ke tangan saya."
"Anda akan ke Streatham" Saya kira Valerie masih berada di sana, di Daisymead -
dalam keadaan tidak berdaya karena batinnya guncang."
"Saya akan segera ke sana."
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya sudah mengatur semuanya - melalui kedutaan. Anda diizinkan untuk masuk ke
mana saja." "Kalau begitu kami akan berangkat - Hastings, maukah kau menemaniku" Selamat
tinggal, M. le Prince."
*** Mon Desir adalah vila yang luar biasa indahnya, benar-benar modern dan nyaman.
Ada jalan pendek yang menghubungkan jalan raya dengan bangunan itu dan kebun
yang indah, yang membentang di belakang rumah seluas beberapa hektar.
Begitu kami menyebut nama Pangeran Paul, kepala pelayan yang membukakan pintu
segera membawa kami ke tempat tragedi itu terjadi. Perpustakaan itu benar-benar
luar biasa, memanjang dari depan hingga belakang bangunan, dengan jendela di
setiap ujung, yang satu menghadap jalan di depan dan yang lain menghadap taman.
Di ceruk jendela taman itulah tubuh korban terbaring. Jenazah belum lama
disingkirkan dan polisi sudah menyimpulkan hasil pemeriksaan mereka.
"Menjengkelkan," gerutuku kepada Poirot. "Siapa tahu ada petunjuk yang telah
mereka obrak-abrik?"
Poirot tersenyum. "Eh - eh! Berapa kali aku harus memberitahumu bahwa petunjuk-
petunjuk itu berasal dari dalam" Yaitu dari dalam sel-sel kecil otak kita, di
situlah terletak jawaban setiap misteri."
Poirot menoleh kepada kepala pelayan. "Saya kira ruangan ini belum disentuh,
kecuali untuk keperluan memindahkan jenazah. Benar begitu?"
"Benar, Tuan. Keadaan ruangan ini persis sama dengan ketika polisi datang
semalam." "Tirai-tirai ini - saya lihat ditarik tepat melintasi ceruk dinding. Demikian pula
di jendela satunya. Semalam, apakah tirai-tirai ditutup?"
"Benar, Sir. Saya yang menutupnya setiap malam."
"Kalau begitu, tentunya Reedburn menariknya kembali?"
"Saya kira demikian, Sir."
"Tahukah Anda kalau semalam majikan Anda menantikan tamu?"
"Tuan tidak mengatakan demikian. Tetapi, Tuan berpesan agar dia tidak diganggu
seusai makan malam. Anda tahu, ada pintu keluar dari perpustakaan menuju teras
di samping rumah. Tuan dapat menerima tamu lewat pintu itu."
"Apakah majikan Anda biasa melakukannya?"
Kepala pelayan itu batuk dengan diam-diam. "Saya kira begitu."
Poirot melangkah ke pintu yang dibicarakan itu. Tidak terkunci. Ia berjalan
menuju teras, yang berhubungan dengan jalan kereta di sebelah kanan; sebelah
kiri teras itu menuju dinding bata.
"Kebun buah, Sir. Ada pintu masuknya, tetapi selalu dikunci pada pukul enam
sore." Poirot mengangguk dan masuk ke perpustakaan kembali. Kepala pelayan itu
mengikuti. "Anda tidak mendengar apa-apa semalam?"
"Well, Sir, kami mendengar suara-suara di perpustakaan, beberapa saat sebelum
pukul 21.00. Tapi, kejadian ini tidaklah aneh, terutama karena itu suara wanita.
Akan tetapi, begitu kami semua berada di ruang pelayan, tepat di sisi sebelah
sana, tentu saja kami tidak mendengar apa-apa. Kemudian, kira-kira pukul 23.00
polisi datang." "Berapa suara yang Anda dengar?"
"Saya tidak dapat memastikannya, Sir. Yang saya tangkap hanya suara si wanita."
"Ah!" "Maaf, Sir. Dr. Ryan masih ada di dalam. Mungkin Anda ingin menjumpainya?"
Kami menerima baik saran itu. Dalam beberapa menit saja dokter itu, yang berumur
setengah baya dan berwajah riang, bergabung dengan kami dan memberikan semua
keterangan yang diperlukan Poirot. Reedburn terbaring di dekat jendela,
kepalanya terletak di dekat tempat duduk pualam di bawah jendela. Ada dua luka
di tubuhnya; satu di antara kedua mata dan yang lain - yang mematikan - di kepala
bagian belakang. "Dia tergeletak dalam posisi terlentang?"
"Ya, ada bekasnya." Dr. Ryan menunjuk noda kecil berwarna gelap di lantai.
"Tidak mungkinkah pukulan di kepala bagian belakang itu disebabkan oleh benturan
dengan lantai?" "Mustahil. Apa pun senjata yang digunakan, benda itu menembus tengkorak
sedikit." Poirot nampak berpikir di hadapan Dokter Ryan. Di sudut siku setiap jendela
terletak kursi pualam berukir, yang sandarannya dipermodern dalam bentuk kepala
singa. Sepercik sinar nampak di mata Poirot. "Andaikan saja dia jatuh terlentang
membentur kepala singa yang menonjol ini lalu jatuh ke lantai. Tidakkah
kemungkinan ini menimbulkan luka seperti yang Anda jelaskan tadi?"
"Memang. Tapi, posisi tergeletaknya menjadikan teori itu tidak mungkin. Selain
itu, pasti ada noda darah di atas kursi."
"Kalau noda darah itu sudah dicuci?"
Dokter Ryan mengangkat bahu. "Nampaknya tidak mungkin. Membuat kecelakaan
kelihatan sebagai pembunuhan tidaklah menguntungkan siapa pun juga."
"Benar sekali," Poirot mengiyakan tanpa membantah. "Mungkinkah kedua serangan
itu dilakukan oleh seorang wanita" Bagaimana pendapat Anda?"
"Oh, sangat tidak mungkin saya kira. Anda berpikir tentang Mademoiselle
Saintclair?" "Saya tidak memikirkan seseorang secara khusus sampai saya benar-benar yakin,"
Poirot menjawab lembut. Poirot mengalihkan perhatian pada jendela yang merangkap sebagai pintu yang
didapati dalam keadaan terbuka. Dokter Ryan melanjutkan keterangannya.
"Melalui jendela inilah Mademoiselle Saintclair melarikan diri. Anda dapat
langsung melihat sekilas Daisymead di antara pepohonan. Tentu saja banyak rumah
di depannya. Tapi, nyatanya Daisymead adalah satu-satunya rumah yang kelihatan
dari sini, biarpun letaknya agak jauh."
"Terima kasih untuk kebaikan Anda, Dokter," kata Poirot. "Ayolah, Hastings, kita
ikuti jejak Mademoiselle."
*** Poirot menuruni jalan yang melintasi kebun, keluar melalui pintu gerbang besi,
melewati sebidang tanah berpohon, dan masuk melalui pintu gerbang kebun
Daisymead, rumah sederhana di atas tanah seluas kira-kira setengah hektar. Ada
jejak langkah orang berlari ke arah pintu yang merangkap jendela. Poirot
mengangguk-anggukkan kepala sambil mengikuti jejak-jejak itu.
"Itulah jalan yang dilalui Mademoiselle Saintclair. Kita yang tidak tergesa-gesa
untuk mencari pertolongan lebih baik mengambil jalan putar, menuju pintu depan."
Seorang pelayan wanita menerima dan membawa kami ke ruang duduk. Kemudian, dia
masuk mencari Nyonya Oglander. Jelas ruangan ini belum disentuh sejak tadi
malam. Abu masih berada di perapian. Meja bridge masih terletak di tengah-
tengah, serta terlihat ada sebuah patung yang tangan-tangannya terlempar ke
bawah. Tempat itu agak sesak dengan barang-barang yang tidak berharga. Sejumlah
potret keluarga yang luar biasa jeleknya menghiasi dinding.
Poirot menatap foto-foto itu dengan sikap lebih toleran daripada aku.
Ditegakkannya beberapa potret yang tergantung miring. "La famille. Ikatan
keluarga yang kuat, bukankah begitu, Hastings. Perasaan, lebih penting dari
keindahan." Aku setuju. Bola mataku terpaku pada keluarga yang terdiri atas seorang laki-
laki berewok, seorang wanita dengan rambut depan menjulang tinggi, seorang anak
laki-laki pendiam yang mengenakan setelan tebal, dan dua anak perempuan yang
rambutnya diikat dengan banyak pita. Aku menyimpulkan foto ini adalah wajah
keluarga Oglander pada masa lalu dan mempelajarinya dengan penuh minat.
Pintu terbuka dan seorang wanita muda masuk. Rambutnya yang gelap ditata rapi.
Dia mengenakan mantel olahraga berwarna abu-abu kemerahan dan rok bawah dari
bahan wol. Ditatapnya kami dengan penuh selidik. Poirot melangkah maju. "Nona Oglander"
Maafkan kami karena mengganggu Anda - terutama setelah peristiwa yang Anda alami
ini. Kejadian semalam pasti amat mengganggu."
"Kejadian itu agak membingungkan kami," perempuan muda itu mengaku dengan hati-
hati. Aku mulai berpikir bahwa drama ini tidak berarti apa-apa bagi Nona
Oglander, bahwa daya imajinasinya yang lemah mengalahkan tragedi apa pun juga.
Keyakinanku diperkuat karena ia berkata, "Maaf, ruangan ini masih kacau Bodoh
benar para pelayan; mereka terbenam dalam peristiwa semalam."
"Semalam Anda duduk di sini, n'est-ce pas?"
"Betul Kami tengah bermain bridge sesudah makan malam ketika - "
"Maaf, berapa lama kalian sudah bermain waktu itu?"
"Well - " Nona Oglander berpikir-pikir. "Saya sungguh-sungguh tidak dapat
memastikannya. Saya kira waktu itu sekitar pukul 22.00. Kami sudah menjalani
beberapa ronde." "Anda sendiri duduk - di mana?"
"Menghadap jendela. Saya berpasangan dengan Ibu dan sudah menjalankan satu
kartu, bukan kartu truf. Mendadak, tanpa tanda-tanda apa pun, jendela terbuka
dan Nona Saintclair terhuyung-huyung masuk."
"Anda mengenalinya?"
"Samar-samar saya ingat, wajahnya tidak asing lagi."
"Dia masih di sini, kan?"
"Ya. Tapi dia tidak mau bertemu siapa pun. Ia masih sangat terguncang."
"Saya kira Nona Saintclair akan bersedia menemui kami. Maukah Anda memberitahu
dia bahwa kami datang atas permintaan Pangeran Paul dari Maurania?"
Kulihat nama pangeran itu agak mengguncangkan ketenangan Nona Oglander. Namun,
dia memenuhi permintaan Poirot tanpa berkata-kata lagi, dan segera kembali untuk
memberitahu bahwa Mademoiselle Saintclair akan menerima kami di kamarnya.
Kami ikuti Nona Oglander menaiki tangga, menuju kamar tidur berukuran sedang
yang terang. Di dipan di dekat jendela terbaring seorang wanita yang menoleh
pada waktu kami masuk. Perbedaan mencolok kedua perempuan itu segera menarik
perhatianku; semakin mencolok karena wajah dan warna kulit keduanya sebenarnya
sama - tapi, mereka amat berbeda! Semua pandangan atau gerak Valerie Saintclair
menampakkan keguncangan batinnya. Kelihatannya ia tengah melamun. Gaun rumah
berwarna merah tua dari bahan flanel menutupi kakinya - benar-benar gaun rumah.
Akan tetapi, pesona pribadinya memberikan sentuhan eksotik pada pakaian yang
dikenakannya, sehingga nampak seperti jubah Timur dengan warna berkilauan.
Bola matanya yang gelap terpaku pada Poirot.
"Anda datang atas permintaan Paul?" suaranya serasi dengan penampilannya - penuh
dan tidak bersemangat. "Benar, Mademoiselle. Saya berada di sini untuk membantu dia - dan Anda."
"Apa yang ingin Anda ketahui?"
"Segala sesuatu yang terjadi semalam. Segala sesuatu!"
Valerie melemparkan senyuman yang agak letih.
"Anda kira saya akan berbohong" Saya tidak bodoh. Saya tahu tidak ada tempat
untuk bersembunyi. Laki-laki yang sudah mati itu mengetahui rahasia saya.
Diancamnya saya. Demi Paul, saya berusaha keras untuk mengadakan persetujuan
dengannya. Saya tidak dapat mengambil risiko kehilangan Paul. Sekarang dia sudah
mati dan saya selamat. Tetapi, saya tidak membunuh dia karena hal itu."
Poirot menggeleng seraya tersenyum. "Itu tidak perlu Anda katakan kepada saya,
Mademoiselle. Ceritakanlah apa yang terjadi semalam."
"Saya tawarkan sejumlah uang kepadanya. Kelihatannya dia bersedia
membicarakannya. Dia menetapkan waktu tadi malam, pukul 21.00. Saya harus pergi
ke Mon Desir. Tempat itu tidak asing buat saya karena saya pernah ke sana. Saya
dipesannya untuk masuk ke perpustakaan lewat pintu samping supaya para pelayan
tidak melihat kedatangan saya."
"Maaf, Mademoiselle. Apakah Anda tidak takut seorang diri ke sana?"
Bayanganku sajakah atau benar-benar ada sela sejenak sebelum Nona Saintclair
menjawab" "Mungkin saya memang takut. Tapi, Anda tahu, tidak ada yang dapat menemani saya.
Dan saya dalam keadaan putus asa. Reedburn mempersilakan saya masuk ke
perpustakaan. Oh, laki-laki itu! Saya senang dia sudah mati! Dia mempermainkan
saya, seperti kucing mempermainkan tikus. Diejeknya saya, padahal saya begitu
memohon kepadanya. Saya tawarkan semua permata yang saya punyai. Sia-sia saja.
Kemudian, dia menyebut syarat-syarat yang ditetapkannya sendiri. Mungkin Anda
dapat menebak syarat-syarat itu. Tentu saja saya menolak. Saya mengutarakan
pendapat saya tentang dirinya. Saya maki-maki dia. Dia tetap saja tersenyum
tenang. Lalu, pada waktu saya berhenti mencercanya, terdengar suara - dari balik
tirai jendela.... Dia mendengar juga. Dia menuju tirai dan dibukanya lebar-
lebar. Seorang laki-laki bersembunyi di sana - wajahnya menakutkan, seperti
gelandangan. Orang itu memukul Reedburn - sekali lagi, dan Reedburn jatuh.
Gelandangan itu mencengkeram saya dengan tangannya yang ternoda darah. Saya
berhasil melepaskan diri, menyelinap lewat jendela, dan lari menyelamatkan diri.
Lalu, saya melihat sinar dari dalam rumah ini dan lari kemari. Tirai tergulung
ke atas. Saya lihat beberapa orang tengah bermain bridge. Hampir saja saya jatuh
ketika masuk ruangan itu. Saya hanya dapat menggumamkan 'Pembunuhan'. Lalu
semuanya gelap - " "Terima kasih, Mademoiselle. Kejadian itu pasti mengguncangkan Anda. Dapatkah
Anda menggambarkan gelandangan itu" Anda ingat pakaian yang dikenakannya waktu
itu?" "Tidak. Kejadiannya begitu cepat. Tetapi, saya pasti mengenali orang itu kalau
bertemu. Wajahnya sudah tertanam di benak saya."
"Satu pertanyaan lagi saja, Mademoiselle. Tirai jendela yang lain, jendela yang
menghadap jalan, tertutup atau terbuka?"
Untuk pertama kalinya kebingungan merayapi wajah penari itu. Kelihatannya ia
berusaha untuk mengingat-ingat.
"Bagaimana, Mademoiselle?"
"Saya kira, hampir pasti - ya, saya yakin! Tirai itu tidak tertutup."
"Ini mencurigakan karena tirai yang lain tertutup. Tidak mengapa. Tidak terlalu
penting. Anda akan lama tinggal di sini, Mademoiselle?"
"Menurut dokter saya sudah cukup sehat untuk pulang besok." Nona Saintclair
menatap sekeliling kamar. Nona Oglander sudah keluar. "Keluarga ini, mereka baik
sekali - tetapi mereka lain dari dunia saya. Saya membuat mereka terguncang. Dan
bagi saya - well, saya tidak suka orang-orang borjuis."
Samar-samar nada kepahitan mendasari ucapannya.
Poirot mengangguk. "Saya mengerti. Semoga pertanyaan-pertanyaan ini tidak
terlalu melelahkan Anda."
"Sama sekali tidak, Monsieur. Saya cuma sangat mengharapkan Paul mengetahui
semua ini secepatnya."
"Kalau begitu, selamat siang, Mademoiselle."
Pada waktu akan meninggalkan kamar, Poirot berhenti sejenak dan memungut
sepasang selop yang terbuat dari kulit. "Selop Anda, Mademoiselle?"
"Benar, Monsieur. Baru saja dibersihkan dan diantarkan kemari."
"Ah!" kata Poirot selagi kami menuruni anak tangga. "Kelihatannya para pelayan
tidak terlalu bergairah untuk mencuci sepatu, meskipun mereka mau saja bila
disuruh. Nah, Sobat, rupanya ada satu atau dua hal yang menarik, tapi aku
khawatir - khawatir sekali - kita harus menganggap kasus ini selesai. Semua
nampaknya cukup jelas."
"Dan si pembunuh?"
"Hercule Poirot tidak mengejar gelandangan," jawabnya dengan kata-kata yang
muluk. *** Nona Oglander menemui kami di gang. "Kalau Anda mau menunggu sebentar di ruang
duduk, Mama ingin bicara dengan Anda berdua."
Ruang duduk itu belum juga disentuh. Dengan malas-malasan Poirot mengumpulkan
dan mengocok kartu-kartu bridge yang ada dengan tangannya yang kecil dan terawat
baik. "Kau tahu apa yang kupikirkan, Sobat?"
"Tidak," sahutku penuh semangat.
"Kukira Nona Oglander keliru waktu mengatakan ia sudah menjalankan satu kartu
tapi bukan kartu truf. Seharusnya ia sudah menjalankan tiga kartu sekop."
"Poirot! Engkau terlalu!"
"Mon Dieu, aku toh tidak harus selalu berbicara tentang darah dan masalah."
Tiba-tiba Poirot menegang. "Hastings - Hastings. Lihat! Kartu raja klaver itu
tidak ada!" "Zara!" teriakku.
"Eh?" Rupanya Poirot tidak memahami peringatanku. Dengan cekatan ditumpuknya
kartu-kartu itu dan dimasukkannya ke dalam kotaknya. Wajahnya serius sekali.
"Hastings," akhirnya ia bersuara, "aku, Hercule Poirot, hampir saja membuat
kesalahan besar - kesalahan yang besar sekali."
Kutatap dia dengan pandangan terpana, tanpa tahu apa maksudnya.
"Kita harus mulai lagi, Hastings. Ya, kita harus mulai lagi. Tapi, kali ini kita
tidak boleh membuat kesalahan."
Kata-kata Poirot terputus karena seorang wanita setengah baya yang cantik
memasuki ruangan. Di tangannya terdapat beberapa buku mengenai rumah tangga.
"Anda kawan - eh - Nona Saintclair?"
"Saya datang atas permintaan kawannya, Madame."
"Oh, saya mengerti. Saya kira mungkin - "
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak Poirot menunjuk ke jendela.
"Tirai jendela itu tidak ditutup semalam?"
"Tidak - saya kira karena itulah Nona Saintclair melihat cahaya dalam rumah ini
dengan jelas." "Semalam bulan bersinar terang. Saya jadi bertanya-tanya apakah Anda tidak
melihat Nona Saintclair dari tempat duduk Anda yang menghadap jendela?"
"Kami asyik bermain kartu. Kejadian seperti semalam belum pernah kami alami."
"Saya tahu, Madame. Dan saya akan membuat Anda tenang. Besok Nona Saintclair
akan meninggalkan tempat ini."
"Oh!" Wajah cantik itu berubah cerah.
"Dan, selamat pagi, Madame."
Seorang pelayan tengah membersihkan tangga ketika kami melewati pintu depan.
Poirot menyapanya. "Anda membersihkan sepatu wanita di lantai atas?"
Yang ditanya menggeleng. "Tidak, Sir. Setahu saya sepatu itu tidak dibersihkan."
"Lalu, siapa yang membersihkan," tanyaku sewaktu kami sampai di jalan.
"Tidak seorang pun. Sepatu itu memang tidak perlu dibersihkan."
"Aku tahu kalau cuma berjalan di jalan atau jalan setapak pada malam yang terang
memang tidak akan mengotorkan sepatu. Tapi, sepatu itu pasti kotor kalau dipakai
melewati rumput-rumput di kebun yang tinggi."
"Betul," Poirot menimpali sambil tersenyum ingin tahu. "Aku setuju. Sepatu itu
pasti kotor." "Tapi - " "Sabar sebentar, Hastings. Kita kembali ke Mon D?sir."
*** Kepala pelayan terperanjat melihat kami lagi, namun ia tidak menolak keinginan
kami untuk kembali ke perpustakaan.
"Hai! Bukan jendela yang itu, Poirot!" Aku berseru melihat Poirot melangkah ke
jendela yang menghadap jalan.
"Kukira tidak, Sobat. Kemarilah." Poirot menunjuk kepala singa dari pualam. Di
atasnya ada noda yang sudah samar-samar warnanya. Dialihkannya jarinya ke noda
serupa di lantai. "Seseorang menghantam di antara kedua mata Reedburn dengan tangan tergenggam.
Reedburn jatuh ke belakang, menimpa pualam ini dan merosot ke lantai. Setelah
itu, ia diseret ke jendela satunya dan dibaringkan di sana, tapi tidak dalam
posisi seperti yang dijelaskan Dokter Ryan."
"Mengapa" Hal itu toh tidak perlu."
"Justru sebaliknya, tindakan ini penting sekali. Di sinilah kunci bagi identitas
pembunuh - biarpun sebenarnya ia tidak berniat membunuh Reedburn. Jadi, lebih baik
tidak menyebutnya pembunuh. Orang itu pasti kuat sekali."
"Karena menyeret mayat Reedburn?"
"Sama sekali tidak. Perkara ini menarik. Walaupun begitu hampir saja aku menjadi
orang tolol." "Engkau mau mengatakan bahwa kasus ini sudah selesai dan engkau sudah mengetahui
semuanya?" "Ya." Satu ingatan mengentakku. "Tidak!" seruku. "Satu hal yang tidak kauketahui."
"Apa itu?" "Di mana kartu raja klaver yang hilang itu?"
"Eh" Pertanyaan yang menggelikan, Sobat. Menggelikan."
"Kenapa?" "Karena kartu itu ada di sakuku." Dikeluarkannya kartu itu dan dilambaikannya.
"Ooo...." kataku kecewa. "Di mana kautemukan itu" Di sini?"
"Tidak ada yang luar biasa. Kartu itu cuma tidak dikeluarkan bersama kartu-kartu
lainnya. Ada di dalam kotaknya."
"Hmm! Tapi, kartu itu memberimu ilham, kan?"
"Betul, Sobat. Aku berterima kasih kepada Yang Kuasa."
"Dan kepada Madame Zara!"
"Ah, ya, kepada perempuan itu juga."
"Lalu, apa yang kita perbuat sekarang?"
"Kembali ke kota. Tapi, aku harus berbicara dulu kepada seorang wanita di
Daisymead." Pelayan wanita yang bertubuh kecil itu lagi yang membuka pintu.
"Mereka sedang makan siang, Sir. Kalau Nona Saintclair yang ingin Anda temui, ia
tengah beristirahat."
"Bisa saya bertemu Nyonya Oglander sebentar" Tolong beritahu dia."
Kami dipersilakan menunggu di ruang duduk. Sekilas aku melihat keluarga Oglander
di kamar makan pada waktu kami lewat. Sekarang, dua orang laki-laki yang
kelihatannya kuat dan pendiam melengkapi keluarga itu. Seorang berkumis, yang
satunya selain berkumis berjenggot pula.
Dalam beberapa menit Nyonya Oglander muncul dan memandang Poirot dengan mata
bertanya-tanya. Poirot membungkuk.
"Madame, di negara kami orang sangat bersimpati dan menghormati para ibu. Mere
de famille, ibu adalah segalanya."
Nampaknya Nyonya Oglander terkejut mendengar kata-kata ini.
"Karena itulah saya datang - untuk menenteramkan hati seorang ibu. Pembunuh
Reedburn tidak akan diketahui. Jangan khawatir. Saya, Hercule Poirot, yang
mengatakannya, Saya benar, bukan" Atau, seorang istri yang harus saya
tenangkan?" Hening sejenak. Nyonya Oglander menyelidiki Poirot dengan pandangannya.
Akhirnya, ia berkata lirih, "Saya tidak mengerti bagaimana Anda bisa tahu - tapi,
Anda memang benar." Poirot mengangguk dengan wajah muram. "Ini saja, Madame. Jangan gelisah. Polisi-
polisi Inggris tidak memiliki mata Hercule Poirot." Diketuknya potret keluarga
itu dengan kukunya. "Dulu Anda punya anak perempuan yang lain. Dia sudah meninggal, Madame?"
Lagi-lagi hening sebentar, ketika pandangan nyonya rumah menyelidiki Poirot.
Lalu Nyonya Oglander menjawab, "Ya, sudah meninggal."
"Ah!" komentar Poirot cepat. "Well, kami harus kembali ke kota. Boleh saya
mengembalikan kartu raja klaver ini" Di sinilah kekhilafan Anda. Anda mengerti,
bermain bridge selama lebih kurang satu jam, hanya dengan 51 kartu - bagi orang
yang tahu permainan ini pasti tidak akan percaya sedikit pun! Selamat siang."
"Sekarang, Sobatku, engkau mengerti semuanya," kata Poirot dalam perjalanan kami
menuju stasiun. "Aku tidak mengerti apa-apa! Siapa yang membunuh Reedburn?"
"John Oglander muda. Tadinya aku tidak begitu yakin siapa pembunuhnya, si ayah
atau anak. Tapi, aku memusatkan perhatian pada si anak karena ia lebih muda dan
kuat. Pelakunya pasti salah seorang dari mereka karena jendela itu."
"Mengapa begitu?"
"Ada empat jalan keluar dari perpustakaan - dua pintu dan dua jendela. Jelas satu
saja cukup. Sedangkan tiga di antaranya menuju ke depan, baik langsung ataupun
tak langsung. Tragedi itu pasti terjadi di jendela belakang supaya seakan-akan
Valerie Saintclair datang ke Daisymead secara kebetulan. Tentu saja Nona
Saintclair benar-benar pingsan dan John Oglander memondongnya pulang. Itu
sebabnya kukatakan ia kuat sekali."
"Kalau begitu, apakah mereka pergi bersama-sama?"
"Betul. Engkau ingat keragu-raguan Nona Saintclair ketika kutanyai apakah dia
tidak takut pergi sendiri" John Oglander menemaninya - tapi kukira ini tidak
mengubah kekerasan hati Reedburn. Mereka bertengkar. Mungkin kata-kata
menyakitkan yang dilontarkan kepada Nona Saintclair itu membuat John Oglander
menghantam Reedburn. Selanjutnya engkau tahu."
"Mengapa bridge yang dipilih?"
"Bridge memerlukan empat pemain. Sederhana tapi sangat meyakinkan. Siapa yang
akan mengira bahwa hanya ada tiga orang di ruangan itu sepanjang malam?"
Aku masih bingung. "Satu yang tidak kumengerti. Apa hubungan keluarga Oglander dengan si penari,
Valerie Saintclair?"
"Ah, aku heran engkau tidak tahu. Padahal engkau melihat foto keluarga di
dinding itu cukup lama - lebih lama dariku. Putri Nyonya Oglander yang lain
mungkin sudah mati bagi keluarganya, tapi dunia mengenalnya sebagai Valerie
Saintclair!" "Apa?" "Apa engkau tidak melihat kemiripan mereka sewaktu melihat dua perempuan
bersaudara itu bersama-sama?"
"Tidak," aku mengakui. "Aku cuma melihat betapa berbedanya mereka."
"Itu karena pikiranmu hanya dipengaruhi penampilan luar, Hastings. Wajah mereka
hampir sama. Begitu juga warna kulit. Yang menarik adalah Valerie malu akan
keluarganya dan keluarganya juga malu akan Valerie. Biarpun begitu, dalam bahaya
Valerie minta tolong saudara laki-lakinya. Dan sewaktu ada masalah, mereka
bersatu secara mengagumkan. Kekuatan keluarga memang menakjubkan. Seluruh
anggota keluarga itu dapat berakting. Di sanalah Valerie mendapatkan bakat seni
dramanya. Aku, seperti Pangeran Paul, percaya akan sifat-sifat turunan. Mereka
mengelabuiku! Tanpa adanya kekhilafan yang menguntungkanku dan pertanyaan yang
berhasil kupakai untuk menyudutkan Nyonya Oglander serta keterangan putrinya
mengenai posisi duduk mereka yang bertentangan, keluarga Oglander akan
mengalahkan Hercule Poirot."
"Apa yang akan kaukatakan kepada Pangeran?"
"Valerie Saintclair tidak mungkin melakukan pembunuhan itu dan aku rasa
gelandangan itu tidak akan pernah diketemukan. Selain itu, aku akan menyatakan
pujianku kepada Zara. Kebetulan yang menimbulkan rasa ingin tahu! Bagaimana
kalau kasus kecil ini kujuluki Petualangan Kartu Raja Klaver, Sobat?"
VII WARISAN DINASTI LEMESURIER
BERSAMA Poirot, aku sudah menyelidiki berbagai perkara yang aneh. Tapi, kukira
semuanya itu belum apa-apa dibandingkan dengan serangkaian kejadian aneh yang
selama bertahun-tahun menarik perhatian kami, dan mencapai puncaknya ketika
masalah itu disodorkan untuk ditangani oleh Poirot. Perhatian kami pada sejarah
dinasti Lemesurier muncul pertama kali pada masa perang.
Aku dan Poirot belum lama berkumpul lagi, mengulang saat-saat perkenalan kami di
Belgia. Waktu itu Poirot sudah menangani beberapa perkara kecil dari Departemen
Angkatan Bersenjata - yang hasilnya sangat memuaskan - dan kami sedang makan malam
di Carlton bersama seorang perwira tinggi yang berulang kali memuji Poirot.
Perwira tinggi itu terpaksa buru-buru pergi karena ada janji dengan orang lain.
Dengan santai kami mereguk habis kopi kami, sebelum mengikuti jejak perwira
tinggi kawan kami itu. Pada waktu kami meninggalkan ruangan, sebuah suara yang kukenal memanggilku. Aku
menoleh dan kulihat Kapten Vincent Lemesurier, pemuda yang kukenal di Prancis.
Ia bersama seorang laki-laki yang lebih tua. Kemiripan keduanya menunjukkan
bahwa mereka bersaudara. Memang begitulah adanya; karena laki-laki yang
bersamanya itu diperkenalkan kepada kami sebagai Hugo Lemesurier, paman kawan
kami yang masih muda ini.
Aku tidak begitu mengenal Kapten Lemesurier, tapi dia pemuda yang menyenangkan
dan agak melankolis. Orang-orang mengatakan Kapten Lemesurier adalah keturunan
sebuah keluarga yang eksklusif, keluarga yang mempunyai tanah di Northumberland
semenjak sebelum masa Reformasi. Karena udak tergesa-gesa, atas undangan pemuda
itu, kami duduk bersama mereka dan membicarakan berbagai hal yang cukup
menyenangkan. Hugo Lemesurier berumur kira-kira 40 tahun. Bahunya yang bungkuk
menandakan kesarjanaannya. Rupanya waktu itu dia terlibat dalam beberapa proyek
penelitian kimia pemerintah.
Percakapan kami terputus dengan kedatangan seorang pemuda bertubuh tinggi dan
berkulit gelap yang jelas-jelas sedang kebingungan.
"Syukurlah! Akhirnya kutemukan juga kalian!" serunya.
"Ada apa, Roger?"
"Boss-mu, Vincent. Jatuh. Dari kuda." Kata-kata berikutnya tidak jelas karena ia
pindah ke samping. Beberapa menit kemudian kedua kawan kami ini buru-buru meninggalkan kami. Ayah
Vincent Lemesurier mengalami kecelakaan parah ketika ia mencoba menunggang
seekor kuda. Diperkirakan ia tidak akan bertahan hidup sampai besok. Mendengar
berita ini, Vincent pucat-pasi dan kelihatannya hampir tidak dapat berkata apa-
apa. Aku agak terkejut - karena dari perbincangan kami di Paris dulu, aku
menyimpulkan hubungan Vincent dengan ayahnya tidaklah harmonis. Karena itulah
perasaan kasih seorang anak yang diperlihatkannya membuatku sedikit heran.
Roger Lemesurier, pemuda berkulit gelap yang diperkenalkan kepada kami sebagai
sepupu, tetap tinggal. Bertiga kami keluar.
"Peristiwa ini agak mencurigakan," Roger membuka pembicaraan. "Mungkin menarik
bagi Anda, M. Poirot. Saya sudah mendengar tentang Anda - dari Higginson
(Higginson adalah perwira tinggi kawan kami tadi). Katanya, psikologi Anda
hebat." "Saya memang mempelajari psikologi," kata Poirot hati-hati.
"Anda lihat wajah sepupu saya tadi" Dia benar-benar terpukul, kan" Anda tahu
alasannya" Kutukan keluarga yang kuno! Anda mau mendengar kisahnya?"
"Anda baik sekali mau menceritakannya kepada kami."
Roger Lemesurier melihat arlojinya.
"Cukup banyak waktu. Akan saya temui mereka nanti di King's Cross. Nah, M.
Poirot, dinasti Lemesurier sudah lama ada. Pada abad pertengahan, seorang
Lemesurier mencurigai istrinya. Dia memergoki istrinya dalam keadaan yang
mencurigakan. Si istri bersumpah bahwa ia tidak bersalah, tapi Baron Hugo tidak
peduli. Mereka mempunyai seorang anak laki-laki dan Baron Hugo bersikeras bahwa
anak itu bukanlah darah dagingnya, sehingga tidak akan menerima warisan. Saya
lupa apa yang dilakukan Baron Hugo - semacam hukuman abad pertengahan seperti
mengurung ibu dan anak itu hidup-hidup; pokoknya Baron membunuh mereka berdua
Ibu itu meninggal sambil meneriakkan kesucian hatinya dan mengutuk keluarga
Lemesurier untuk selama-lamanya. Tak satu pun putra pertama keluarga Lemesurier
akan menerima warisan - begitulah bunyi kutukan itu. Waktu berlalu dan kesucian
wanita itu ternyata benar. Saya percaya Hugo menebus kesalahannya dengan berdoa
di biara hingga akhir hayatnya. Tapi, yang mencurigakan, sampai sekarang tidak
ada putra pertama yang mendapat warisan. Warisan jatuh ke tangan saudara laki-
lakinya, keponakan laki-laki, atau putra kedua - tidak pernah ke tangan putra
sulung. Ayah Vincent adalah putra kedua dari lima laki-laki bersaudara. Yang
sulung meninggal sewaktu masih bayi. Tentu saja selama ini Vincent yakin bahwa
dirinyalah yang akan terkena kutukan berikutnya. Anehnya, kedua adik laki-
lakinya sudah mati terbunuh, sedangkan dia sendiri masih terhindar."
"Sejarah keluarga yang menarik," komentar Poirot serius. "Sekarang ayahnya
menyongsong maut dan dia, sebagai putra sulung, tetap tidak apa-apa."
"Tepat. Kutukan itu sudah usang. Tidak mempan lagi di zaman modern."
Poirot menggeleng, seakan-akan mencela nada olok-olok itu. Roger Lemesurier
melihat arlojinya dan mengatakan ia harus pergi sekarang juga.
Kisah itu berlanjut keesokan harinya, ketika kami mendengar tentang kematian
tragis Vincent Lemesurier. Ia mengadakan perjalanan ke utara dengan kereta api
pos Skotlandia. Malam itu pasti ia membuka pintu kamar tidur kereta lalu
melompat ke luar. Rasa terpukul atas kecelakaan ayahnya, yang berkembang menjadi
perasaan kacau sementara ini diperkirakan menjadi penyebabnya. Segi takhayul
keluarga Lemesurier yang mencurigakan itu disebut-sebut, dalam hubungannya
dengan ahli waris yang baru, yaitu saudara laki-laki ayah Vincent - Ronald
Lemesurier - yang putra tunggalnya gugur di Somme.
Kukira, pertemuan kami terjadi secara kebetulan dengan almarhum Kapten Vincent
Lemesurier membuat kami tertarik dengan segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan keluarga Lemesurier. Dua tahun kemudian kami mencatat kematian Ronald
Lemesurier, yang pada waktu menjadi pewaris pusaka keluarga telah cacat seumur
hidup. Adiknya, John, mewarisi haknya. John ini seorang yang sehat, segar, dan
mempunyai seorang putra di Eton.
Jelas nasib buruk melingkupi keluarga Lemesurier. Pada liburan sekolah
berikutnya anak laki-laki John bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri. John
sendiri mati mendadak setelah disengat lebah, sehingga tanah milik keluarga
Lemesurier jatuh ke tangan si bungsu dari lima laki-laki bersaudara - Hugo, yang
bertemu dengan kami di Carlton pada malam naas itu.
Selama ini kami hanya mengomentari serangkaian musibah aneh yang menimpa
keluarga Lemesurier, karena tidak ada kepentingan pribadi kami dengan persoalan
ini. Tapi, kini tiba saatnya kami harus menangani kasus ini.
*** Suatu pagi, kami diberi tahu akan kedatangan "Nyonya. Lemesurier". Orangnya
tinggi, aktif, berumur sekitar tiga puluh tahun. Sikapnya menunjukkan ketegasan
dan akal sehatnya yang kuat. Sedikit aksen transatlantik mewarnai bicaranya.
"M. Poirot" Saya senang bertemu Anda. Beberapa tahun yang lalu suami saya, Hugo
Lemesurier, bertemu Anda. Mungkin Anda sudah lupa."
"Saya ingat sekali, Madame. Pertemuan itu terjadi di Carlton."
"Anda hebat, M. Poirot. Saya khawatir sekali."
"Tentang apa, Madame."
"Putra pertama saya - putra saya ada dua, Ronald delapan tahun dan Gerald enam
tahun."
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Teruskan, Madame. Mengapa Anda khawatir akan si kecil Ronald?"
"M. Poirot, enam bulan terakhir ini Ronald sudah tiga kali lolos dari maut.
Suatu kali dia hampir tenggelam - waktu kami di Cornwall musim panas ini; kali
lainnya dia jatuh dari jendela ruang anak-anak; dan kali lainnya lagi dia
keracunan zat lemas."
Rupanya wajah Poirot terlalu jelas mencerminkan apa yang ada di benaknya karena
Nyonya Lemesurier buru-buru melanjutkan perkataannya. "Ya, saya tahu Anda
menganggap ini ketololan wanita saja, membesar-besarkan persoalan kecil."
"Sama sekali tidak, Madame. Ibu mana pun bisa dimaafkan kalau gelisah akan
kejadian-kejadian seperti itu. Tapi, saya mungkin tidak bisa menolong Anda. Saya
bukan le bon Dieu yang dapat mengendalikan gelombang laut. Dan jendela ruang
anak-anak, sebaiknya dipasangi teralis besi; kemudian tentang makanan - apa yang
dapat menandingi perawatan seorang ibu?"
"Tapi, mengapa semua ini menimpa Ronald, bukan Gerald?"
"Kesempatan, Madame - le hasard!"
"Anda berpendapat begitu?"
"Bagaimana pendapat Anda, Madame - Anda dan suami Anda?"
Mendung melintas di wajah Nyonya Lemesurier.
"Tidak ada gunanya mengadu kepada Hugo - dia tidak akan percaya. Mungkin Anda
sudah mendengar kutukan keluarga Lemesurier - tidak seorang putra sulung pun yang
akan mendapat warisan. Hugo percaya pada kutukan ini. Ia terbenam dalam sejarah
keluarga dan percaya sekali pada takhayul. Setiap kali saya ceritakan
kekhawatiran saya, dia cuma berkomentar bahwa itu kutukan dan kami tidak dapat
melepaskan diri dari kutukan itu. Namun, saya berasal dari Amerika Serikat, M.
Poirot. Di sana orang tidak terlalu percaya pada kutukan. Kami menganggap
kutukan sebagai milik keluarga-keluarga elit kuno - dan sikap ini memberikan
semacam cachet. Apakah Anda tidak tahu" Pada waktu bertemu Hugo, saya cuma
seorang aktris komedi musikal - dan saat itu saya menganggap kutukan keluarga
Lemesurier terlalu manis untuk dirumuskan dengan kata-kata, yang cocok
dibicarakan pada senja musim dingin Sambil mengelilingi perapian. Tapi, kalau
kutukan itu menimpa anak sendiri - saya sangat sayang kepada anak-anak saya, M.
Poirot. Akan saya lakukan apa saja untuk mereka."
"Jadi Anda tidak percaya pada legenda keluarga itu?"
"Bisakah legenda melihat melalui batang tanaman merambat?"
"Apa maksud Anda, Madame?" Poirot berseru dengan penuh keheranan.
"Saya katakan, dapatkah legenda - atau hantu, kalau Anda lebih senang menyebutnya
demikian - melihat melalui batang tanaman merambat" Saya tidak membicarakan
kecelakaan di Cornwall. Setiap anak laki-laki mungkin saja berenang terlalu jauh
ke tengah dan mendapat kesulitan - biarpun Ronald sudah bisa berenang sejak umur
empat tahun. Tanaman merambat ini soal lain. Kedua anak saya memang nakal
sekali. Mereka mengetahui bahwa mereka dapat naik dan turun melalui tanaman itu.
Dan keduanya naik dan turun berulang kali. Suatu hari - waktu itu Gerald sedang
pergi - Ronald memanjat berkali-kali. Tanaman menjalar itu akhirnya tidak kuat dan
Ronald jatuh. Untung ia tidak cedera. Saya keluar untuk memeriksa tanaman itu.
Ternyata tanaman itu dipotong, M. Poirot - sengaja dipotong."
"Yang Anda ceritakan ini serius sekali, Madame. Anda mengatakan waktu itu
adiknya tidak di rumah?"
"Benar." "Pada waktu keracunan zat lemas itu, apakah adiknya tidak di rumah juga?"
"Keduanya ada."
"Mencurigakan," gumam Poirot. "Madame, siapa saja yang tinggal di rumah Anda?"
"Nona Saunders, guru pribadi anak-anak dan John Gardiner, sekretaris suami saya
- " Sejenak Nyonya Lemesurier berhenti, seakan-akan ia agak malu.
"Siapa lagi, Madame?"
"Mayor Roger Lemesurier, yang juga Anda temui malam itu, lama tinggal bersama
kami." "Ah, ya, dia saudara sepupu, kan?"
"Sepupu jauh. Dia tidak termasuk anggota keluarga kami. Meskipun begitu, kini
dia menjadi famili terdekat suami saya. Pemuda itu cepat sekali akrab dan kami
semua menyukainya. Anak-anak senang sekali kepadanya."
"Apakah dia yang mengajar anak-anak memanjat tanaman menjalar itu?"
"Mungkin saja. Cukup sering Roger mendorong anak-anak berbuat usil."
"Madame, maafkan perkataan saya tadi. Ternyata ada bahaya dan saya yakin saya
dapat membantu. Saya minta Anda mengundang kami berdua tinggal bersama Anda.
Keberatankah suami Anda?"
"Oh, tidak. Tapi dia yakin usaha ini akan sia-sia. Sikapnya yang cuma duduk-
duduk dan mengharapkan Ronald mati membuat saya marah sekali."
"Tenanglah, Madame. Mari kita atur rencana kita secara metodik."
*** Rencana kami susun sebagaimana mestinya. Keesokan harinya kami terbang ke utara.
Poirot tenggelam dalam lamunan. Dia tersentak dari lamunannya lalu berkata
cepat-cepat, "Bukankah Vincent Lemesurier jatuh dari kereta api seperti ini?"
Ditekankannya ucapan kata "jatuh".
"Engkau tidak curiga ada permainan kotor, kan?"
"Pernahkah engkau berpikir, Hastings, kematian beberapa anggota keluarga
Lemesurier itu diatur" Misalnya, kematian Vincent. Lalu anak laki-laki di Eton
itu - kecelakaan akibat senapan selalu membingungkan. Andaikan Ronald jatuh dari
jendela kamar anak-anak dan terempas sampai mati - kan tidak mencurigakan" Mengapa
cuma seorang anak saja, Hastings" Siapa yang mendapat keuntungan dari kematian
anak pertama" Adiknya anak ketujuh! Tidak masuk akal!"
"Mereka bermaksud melenyapkan yang lain setelah itu," aku mengemukakan gagasan,
walaupun hanya secara samar-samar menyebut siapa "mereka" itu.
Poirot menggeleng, seakan-akan tidak puas.
"Keracunan zat lemas," gumamnya. "Atropine menimbulkan gejala yang sama. Betul,
kehadiran kita diperlukan."
Nyonya Lemesurier menyambut kami dengan antusias. Dibawanya kami ke ruang kerja
suaminya dan ditinggalkannya kami di sana. Hugo banyak berubah dibandingkan
terakhir kali aku melihatnya. Sekarang bahunya jauh lebih bungkuk dan wajahnya
pucat secara aneh. Ia mendengarkan saja ketika Poirot menjelaskan maksud
kedatangan kami ke rumahnya.
"Persis seperti pemikiran Sadie yang praktis!" akhirnya ia bersuara. "Tapi,
tentu saja, M. Poirot - terima kasih atas kehadiran kalian; tapi - yang sudah
tertulis tidak dapat dihapus. Jalan orang berdosa itu berat. Kami, keluarga
Lemesurier tahu - tak seorang pun dari kami dapat menyelamatkan diri dari kutukan
itu." Poirot menyebut tanaman menjalar yang digergaji, namun Hugo nampaknya tidak
terlalu terkesan. "Jelas kecerobohan tukang kebun - memang, memang, itu bisa menjadi sarana, tapi
tujuannya jelas. Saya beritahu Anda, M. Poirot, waktunya tidak dapat ditunda
lama-lama." Poirot memandangnya dengan penuh perhatian.
"Mengapa Anda berkata begitu?"
"Karena saya sendiri terkutuk. Tahun lalu saya ke dokter. Penyakit yang saya
idap tidak dapat diobati - akhir hidup saya tidak lama lagi. Tapi, sebelum saya
meninggal, Ronald akan diambil lebih dulu. Gerald yang akan mendapatkan
warisan." "Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?"
"Tidak akan terjadi apa pun pada Gerald. Dia tidak kena kutukan."
"Umpama itu terjadi?" Poirot bersikeras.
"Sepupu saya, Roger, adalah ahli waris berikutnya."
Pembicaraan kami disela. Seorang laki-laki dengan postur tubuh yang bagus serta
rambut ikal berwarna merah masuk membawa berkas-berkas.
"Biarkan saja dulu berkas-berkas itu, Gardiner," kata Hugo Lemesurier. Lalu ia
menambahkan, "Sekretaris saya, John Gardiner."
Sekretaris itu membungkukkan badan, berbasa-basi sebentar, lalu keluar. Biarpun
ganteng, ada sesuatu yang menjijikkan dalam dirinya. Beberapa saat kemudian
kukatakan perasaanku ini kepada Poirot, ketika kami berjalan-jalan mengelilingi
bangunan kuno yang indah itu. Aku agak terkejut karena Poirot sependapat.
"Ya, ya, Hastings, engkau benar. Aku tidak menyukainya. Orangnya terlalu tampan.
Dia lebih cocok untuk pekerjaan ringan yang dibayar mahal. Ah, itu dia anak-
anak." Nyonya Lemesurier menghampiri kami, kedua anaknya berada di sampingnya. Anak-
anak itu tampan, yang kecil berkulit gelap seperti ibunya, sedangkan kakaknya
berambut ikal kemerah-merahan. Mereka berjabat tangan dengan kami dengan sikap
yang cukup mengesankan. Segera saja mereka menunjukkan rasa sayang yang tulus
kepada Poirot. Kemudian kami diperkenalkan kepada Nona Saunders, seorang wanita
yang biasa-biasa saja. *** Beberapa hari kami melewati saat-saat yang menyenangkan, tanpa kesulitan - tetap
waspada, namun tanpa hasil. Anak-anak itu menjalani kehidupan normal yang
bahagia dan kelihatannya semua beres. Pada hari keempat kehadiran kami, Mayor
Roger Lemesurier datang untuk menginap. Dia tidak banyak berubah, masih riang
gembira dan sopan seperti dulu dan menganggap enteng semua masalah. Jelas sekali
dia amat disukai oleh kedua bocah itu. Keduanya menyambut kedatangannya dengan
seruan kegembiraan dan segera menyeretnya ke kebun untuk bermain Indian liar.
Kulihat Poirot mengikuti mereka dengan diam-diam!
*** Hari berikutnya kami semua diundang minum teh oleh Lady Claygate, tetangga
sebelah keluarga Lemesurier. Nyonya rumah menyarankan agar kami datang juga,
tapi ia kelihatan sedikit lega ketika Poirot menolak dan mengatakan lebih suka
tinggal di rumah. Begitu mereka berangkat, Poirot bekerja. Gerak-geriknya mengingatkanku pada
anjing terier yang cerdas. Aku percaya tidak ada sudut rumah itu yang luput dari
penyelidikannya. Walaupun begitu, semua ini dilakukannya secara diam-diam dan
metodik sehingga gerak-geriknya sama sekali tidak menarik perhatian. Akhirnya,
Poirot tetap tidak puas. Kemudian kami minum teh bersama Nona Saunders, yang
juga tidak ikut ke jamuan minum teh.
"Anak-anak pasti menikmati jamuan minum teh itu," katanya lirih. "Saya harap
mereka bersikap manis dan tidak merusakkan tempat persemaian bunga atau bermain-
main di dekat lebah - "
Poirot berhenti mereguk minumannya. Wajahnya seperti orang melihat hantu.
"Lebah?" tanyanya dalam suara yang menggeledek.
"Betul, M. Poirot. Lebah. Tiga sarangnya. Lady Claygate bangga sekali dengan
lebah-lebahnya - " "Lebah?" seru Poirot lagi. Kemudian ia meninggalkan meja dan mondar-mandir di
teras sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Aku tidak dapat menebak
mengapa laki-laki bertubuh kecil ini begitu gelisah hanya karena mendengar kata
"lebah". Waktu itulah kami mendengar suara mobil. Poirot berdiri di pintu masuk ketika
rombongan itu turun. "Ronald disengat lebah!" teriak Gerald penuh semangat.
"Tidak apa-apa," kata Nyonya Lemesurier. "Lukanya juga belum membengkak. Kami
bubuhkan amonia di lukanya."
"Boleh saya melihatnya, sayang?" pinta Poirot. "Mana yang luka?"
"Di sini, di leher bagian samping," Ronald menjawab dengan gaya orang penting.
"Tapi, sengatan itu tidak melukai. Ayah mengatakan, 'Jangan bergerak - ada lebah
di badanmu.' Saya tidak bergerak dan Ayah mengambilnya. Binatang itu sudah
menyengat saya dulu, walaupun tidak melukai. Cuma seperti ditusuk peniti. Saya
juga tidak menangis karena sudah besar. Lagi pula, tahun depan saya masuk
sekolah." Poirot memeriksa leher Ronald, dan berlalu. Digamitnya lenganku, lalu ia
berbisik. "Malam nanti, Sobat. Malam nanti akan ada peristiwa kecil! Jangan katakan ini -
kepada siapa pun." Poirot tidak mau berbicara lebih jauh. Kulewati petang itu dengan penuh rasa
ingin tahu. Sore-sore ia masuk ke kamar dan aku mengikutinya. Sewaktu menaiki
tangga, ia memegang lenganku dan menyampaikan perintah-perintahnya.
"Jangan ganti pakaian dulu. Matikan lampu dan susullah aku di sini."
Aku menurut. Kudapatkan dia tengah menungguku. Dengan gerak isyarat Poirot
memintaku diam. Kami merangkak tanpa bersuara sepanjang sayap kamar anak-anak.
Ronald menempati kamarnya sendiri yang kecil. Kami masuk lalu mengambil posisi
di sudut yang paling gelap. Napas Ronald terdengar berat. Ia tidak terganggu
oleh kehadiran kami. "Dia tidur nyenyak sekali, kan?" bisikku.
Poirot mengangguk. "Dibius," bisiknya.
"Mengapa?" tanyaku heran.
"Supaya dia tidak berteriak kalau - "
"Kalau apa?" aku menuntut jawaban melihat Poirot menghentikan perkataannya.
"Kalau nanti disuntik, Sobat! Diam. Kita jangan bicara lagi - kuharap sesuatu
terjadi beberapa saat lagi."
*** Kali ini Poirot keliru. Hampir sepuluh menit berlalu, barulah pintu dibuka
pelan-pelan dan seseorang masuk. Kudengar dengus napas memburu dan langkah-
langkah menuju tempat tidur. Tiba-tiba terdengar bunyi "klik". Sinar lentera
elektris kecil menyoroti anak itu - pemegangnya masih tidak terlihat dalam bayang
kegelapan. Sosok itu meletakkan lentera. Dengan tangan kanannya ia mengeluarkan
alat suntik; tangan kirinya menyentuh leher Ronald -
Berbarengan aku dan Poirot melompat. Lentera kecil itu terguling di lantai dan
kami bergumul dalam kegelapan. Kekuatannya benar-benar luar biasa. Akhirnya kami
berhasil mengalahkannya juga.
"Lampu, Hastings. Aku harus melihat wajahnya - biarpun aku yakin wajahnya kukenal
baik." "Begitu juga aku," pikirku sambil meraba-raba, mencari lentera itu. Sejenak aku
sempat mencurigai sekretaris Hugo, terpengaruh rasa tidak senangku kepadanya.
Tapi sekarang aku yakin bahwa pria yang ingin mendapatkan keuntungan dari
kematian dua sepupunya yang masih kecil adalah orang tidak waras yang sedang
kami ikuti jejaknya. Kakiku menendang lentera. Kupungut benda itu dan kunyalakan. Benda itu bersinar
penuh pada wajah - Hugo Lemesurier, ayah si bocah!
"Tidak mungkin!" bisikku parau. "Tidak mungkin!"
*** Lemesurier tidak sadarkan diri. Kami memondongnya ke kamarnya lalu
membaringkannya di tempat tidurnya. Poirot membungkuk. Dengan hati-hati
dilepaskannya sesuatu dari tangan kanan Hugo. Diperlihatkannya benda itu
kepadaku. Jarum suntik. Aku merasa ngeri.
"Apa isinya" Racun?"
"Asam semut, kukira."
"Asam semut?" "Ya. Mungkin didapat dengan cara menyaring semut. Dia ahli kimia, engkau ingat"
Kematian akan dihubungkan dengan sengatan lebah."
"Ya, Tuhan," aku berkomat-kamit. "Anaknya sendiri! Dan engkau sudah menduganya?"
Poirot mengangguk sedih. "Ya. Tentu saja dia gila. Kukira sejarah keluarga itu sudah membuatnya tidak
waras. Keinginannya yang kuat untuk mewarisi tanah keluarga mendorongnya
melakukan serangkaian perbuatan kriminal. Mungkin saja pikiran ini muncul
pertama kali dalam benaknya ketika ia melakukan perjalanan ke utara bersama
Vincent. Dia tidak dapat menerima kalau kutukan itu nantinya tidak terbukti.
Anak Ronald sudah tiada dan Ronald sendiri tengah menyongsong maut - orang-orang
yang bernasib jelek. Diaturnya kematian dengan senapan - yang tidak kucurigai
sampai sekarang - direncanakannya kematian saudaranya, John, dengan cara yang sama
dengan menyuntikkan asam semut ke dalam urat leher. Dengan demikian ambisinya
menjadi kenyataan dan dia menjadi tuan dari berhektar-hektar tanah keluarga.
Tapi, sorak kemenangannya tidak berumur panjang karena didapatinya dirinya
mengidap penyakit yang tidak dapat diobati. Dan timbullah gagasan gila - putra
sulung Lemesurier tidak akan menjadi ahli waris. Aku kira kecelakaan sewaktu
mandi di laut itu disengajanya - dia mendorong Ronald berenang terlalu ke tengah.
Gagal. Lalu dia memotong tanaman menjalar. Setelah itu meracuni makanan si kecil
Ronald." "Kejam!" bisikku sambil menggigil ngeri. "Dan direncanakan dengan begitu rapi!"
"Betul, Sobat. Tidak ada yang lebih mengherankan dari gagasan orang gila! Atau,
sikap eksentrik orang waras yang luar biasa! Kukira akhir-akhir ini dia
bertindak kelewat batas. Ada penyebab kegilaannya."
"Aku ingat aku mencurigai Roger - pemuda yang baik itu."
"Itu wajar, Sobat. Kita tahu, ia juga bersama Vincent dalam perjalanan malam
itu. Kita tahu pula, dialah ahli waris setelah Hugo serta kedua anaknya. Tapi,
kenyataan tidak mendukung dugaan kita. Tanaman menjalar itu dipotong pada waktu
hanya Ronald yang berada di rumah - padahal Roger pasti menghendaki kematian kedua
anak itu. Begitu pula, hanya makanan Ronald yang diracuni. Dan ketika itu, aku
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu hanya ayah Ronald yang mengatakan anaknya disengat lebah. Aku pernah
melihat orang lain mati karena sengatan lebah - itulah sebabnya aku jadi mengerti
semua ini." *** Beberapa bulan kemudian Hugo Lemesurier meninggal di rumah sakit jiwa swasta,
tempat ia tinggal setelah peristiwa malam itu. Tahun berikutnya, jandanya
menikah kembali dengan John Gardiner, sekretaris yang berambut merah itu. Ronald
mewarisi tanah ayahnya yang luas dan terus mengembangkannya.
"Well, well," kataku kepada Poirot. "Hilang lagi satu pandangan yang
menyesatkan. Engkau berhasil mengalahkan kutukan keluarga Lemesurier dengan
gemilang." "Aku jadi bertanya-tanya sendiri," ujar Poirot serius. "Sungguh, aku jadi
bertanya-tanya sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Sobat, kujawab pertanyaanmu dengan satu kata kunci - 'merah'!"
"Darah?" aku sangsi, sehingga suaraku hanya terdengar sebagai bisikan.
"Imajinasimu selalu saja bernada sensasional, Hastings! Yang kumaksudkan adalah
sesuatu yang tidak begitu mengerikan - warna rambut si kecil Ronald Lemesurier!"
VIII TAMBANG YANG HILANG SAMBIL menghela napas, kuletakkan buku tabunganku.
"Aneh," kataku, "saldo rekeningku di bank tak pernah bertambah sedikit pun."
"Itu membuatmu gelisah" Astaga, Hastings! Kalau aku yang mengalaminya, aku tidak
akan bisa tidur sepanjang malam."
"Neraca keuanganmu cukup seimbang, ya," komentarku pedas.
"Empat ratus empat puluh empat pound, empat puluh empat penny," lapor Poirot
dengan nada puas terhadap dirinya sendiri. "Angka yang rapi, bukan?"
"Pasti itu kebijaksanaan manajer bankmu. Dia tentunya tahu akan kesenanganmu
pada detil-detil yang simetris. Bagaimana kalau kita menanamkan, katakanlah,
tiga ratus dolar untuk ladang minyak Procupine" Iklan berbagai surat kabar hari
ini mengatakan mereka akan membayar keuntungan saham seratus persen tahun
depan." "Tidak kalau aku," sahut Poirot sambil menggeleng. "Aku tidak suka segala
sesuatu yang sensasional. Buatku tabungan sama dengan penanaman dengan cermat -
les rentes - simpanan untuk hari tua - apa istilahmu" - konversi."
"Engkau pernah melakukan investasi yang spekulatif?"
"Tidak, Sobatku," jawabnya enggan. "Tidak akan pernah. Satu-satunya saham yang
kupunyai, itu pun tanpa risiko apa pun, besarnya empat belas ribu pound di Burma
Mines Ltd." Poirot menghentikan perkataannya sebentar, dengan nada menunggu aku meminta ia
melanjutkan kisahnya. "Ya?" aku mendesak.
"Dan saham itu kudapat tanpa membayar sepeser pun - saham itu imbalan kerja
otakku. Mau mendengar kisahnya" Ya?"
"Tentu saja mau."
"Tambang itu terletak di pedalaman Birma, kira-kira dua ratus mil dari Rangoon
ke arah pedalaman. Ditemukan abad kelima belas oleh orang-orang Cina dan digali
sampai masa pemberontakan orang-orang Islam. Akhirnya, tambang itu ditinggalkan
tahun 1868. Orang-orang Cina mengambil bijih perak timah yang banyak terdapat di
bagian atas badan bijih itu, lalu meleburnya untuk mengambil peraknya, sehingga
meninggalkan ampas bijih yang mengandung timah. Kemudian tambang ini ditemukan
oleh pekerja-pekerja Birma. Tapi, galian-galian itu sudah dipenuhi air dan batu-
batu urukan. Akibatnya, usaha untuk menemukan sumber bijih itu sia-sia belaka.
Banyak regu yang dikirim oleh sindikat-sindikat dan mereka sudah menggali secara
luas, tapi timah yang menggiurkan ini belum ada yang mendapatkannya. Kemudian,
salah seorang wakil sindikat mencium jejak keluarga Cina yang diperkirakan masih
menyimpan catatan situasi tambang. Waktu itu yang menjadi kepala keluarga adalah
Wu Ling." "Cerita roman komersial yang menarik sekali," komentarku.
"Ya, kan" Hastings, kisah roman dapat tercipta tanpa gadis-gadis pirang yang
cantik jelita - maaf aku salah; rambut merahlah yang selalu membuatmu begitu
bergairah. Engkau ingat - "
"Teruslah bercerita," sergahku buru-buru.
"Nah, Sobat, mereka mendekati Wu Ling. Dia saudagar yang patut dihargai dan
sangat dihormati di propinsi tempat tinggalnya. Segera dia mengaku mempunyai
dokumen-dokumen yang ditanyakan itu dan siap mengadakan transaksi penjualan
surat berharga itu. Tapi Wu Ling hanya mau berurusan dengan para pimpinan
perusahaan. Akhirnya diputuskan Wu Ling harus ke Inggris untuk menemui direksi
sebuah perusahaan penting.
"Wu Ling berangkat dengan kapal uap Assunta, yang berlabuh di dermaga
Southampton pada pagi bulan November yang dingin dan berkabut. Salah seorang
direktur, Tuan Pearson, menjemputnya. Pada waktu Pearson tiba, Wu Ling sudah
tiba sebelumnya dan berangkat ke London sendiri naik kereta khusus. Pearson
kembali dengan agak mendongkol karena ia tidak tahu sama sekali di mana orang
Cina itu menginap. Siangnya kantor perusahaan dihubungi Wu Ling, yang menginap
di Hotel Russel Square. Setelah pelayaran itu ia sedikit tidak enak badan, tapi
pasti dapat menghadiri pertemuan dewan yang diadakan keesokan harinya.
"Pertemuan akan dimulai pukul 11.00. Pukul 11.30 Wu Ling belum muncul juga.
Karena itu, sekretaris dewan menghubungi Hotel Russell Square dan diberitahu
bahwa Wu Ling keluar bersama seorang kawannya pada pukul 10.30. Kelihatannya
orang Cina itu pergi untuk menghadiri rapat. Pagi berlalu tanpa kehadiran Wu
Ling. Mungkin saja dia tersesat karena ia buta mengenai kota London. Namun,
hingga larut malam ia tidak kembali ke hotel. Sekarang, karena khawatir sekali,
Pearson menyerahkan persoalan ini ke tangan polisi. Hari berikutnya masih belum
ada jejak orang yang hilang ini. Menjelang malam hari berikutnya, sesosok mayat
ditemukan terapung di Sungai Thames, dan dikenali sebagai mayat Wu Ling yang
malang itu. Baik di jenazah korban maupun di kamar hotel, tidak diketemukan
berkas-berkas yang berkaitan dengan tambang timah itu.
"Ketika itulah aku dilibatkan dalam perkara itu. Pearson menghubungiku.
Sementara ia masih sangat terguncang dengan kematian Wu Ling, ia ingin sekali
mendapatkan dokumen-dokumen yang menjadi tujuan kunjungan almarhum ke Inggris.
Keinginan utama polisi, tentu saja, adalah melacak jejak pembunuh - dokumen
menjadi pertimbangan kedua. Pearson menginginkan aku bekerja sama dengan polisi
sambil bertindak untuk kepentingan perusahaan.
"Tanpa banyak bertanya aku setuju. Ada dua bidang yang harus kuselidiki. Aku
dapat memeriksa karyawan perusahaan yang mengetahui kedatangan orang Cina ini
dan penumpang kapal yang mungkin mengetahui misi Wu Ling. Aku mulai dengan yang
terakhir, sebagai ruang lingkup penyelidikan yang lebih sempit. Aku bertemu
dengan Inspektur Miller yang bertugas menangani pembunuhan ini - orangnya lain
sama sekali dengan kawan kita Japp; angkuh, sikapnya tidak terpuji, dan tak
tertahankan. Bersama-sama kami mewawancarai awak kapal. Hanya sedikit yang dapat
mereka sampaikan. Selama berlayar, korban lebih banyak menyendiri dan hanya
akrab dengan dua penumpang - yang satu seorang Eropa yang berandalan, namanya
Dyer, dan kelihatannya punya reputasi yang kurang baik; yang lain karyawan bank
yang masih muda, Charles Lester, yang sedang dalam perjalanan kembali dari Hong
Kong. Kami beruntung mendapatkan potret kedua orang ini. Waktu itu keyakinan
bahwa andaikan salah seorang terlibat, pasti Dyer orangnya. Didapat informasi
dia menjadi anggota kelompok penjahat Cina, sehingga dia paling pantas
Bidadari Dari Sungai Es 7 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Kaki Tiga Menjangan 6
terdengar deru motor dan teriakan. Saya menoleh. Sebuah mobil abu-abu yang
rendah dan panjang melintas dengan kecepatan tinggi, menuruni jalan mobil menuju
pondok sebelah selatan. Pengemudi mobil itulah yang berteriak. Tapi, bukan itu
yang membuat saya terperanjat ketakutan, melainkan karena melihat rambut ikal
Johnnie yang berwarna jerami. Johnnie ada di dalam mobil, di sebelah pengemudi.
"Inspektur McNeil menyumpah-nyumpah. 'Anak itu ada di sini semenit yang lalu,'
teriaknya. Pandangan matanya menyapu kami. Kami semua ada di situ: saya sendiri,
Tredwell, Nona Collins. 'Kapan Anda terakhir kali melihat anak itu, Tuan
Waverly"' "Saya mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Ketika polisi di luar
memanggil kami, saya dan Inspektur berlari ke luar, melupakan Johnnie sama
sekali. "Lalu terdengarlah suara yang mengagetkan kami. Dentang jam gereja dari desa.
Sambil berseru Inspektur mengeluarkan arlojinya. Pukul 12.00 tepat! Serentak
kami berlari masuk ke ruang dewan; jam di sana menunjukkan angka 12.10. Pasti
seseorang sengaja mengacaukan jam itu karena setahu saya jam itu belum pernah
tidak tepat sampai saat itu."
Tuan Waverly berhenti sejenak. Poirot tersenyum kepada dirinya sendiri lalu
meluruskan alas kaki kecil yang terdorong kaki ayah yang cemas itu.
"Masalah kecil yang menyenangkan, tidak jelas dan menarik," Poirot bergumam.
"Dengan senang hati saya akan menyelidikinya. Sungguh, penculikan itu
direncanakan ? merveille."
Nyonya Waverly memandang Poirot dengan tatapan memelas. "Tapi, anak saya,"
ratapnya. Tergesa-gesa Poirot mengubah wajahnya dan memperlihatkan pandangan simpati yang
tulus lagi. "Putra Nyonya selamat. Dia tidak berada dalam bahaya. Yakinlah bahwa
orang-orang licik itu akan menjaganya sebaik mungkin. Bukankah bagi mereka anak
itu serupa kalkun - bukan angsa - yang menghasilkan telur emas?"
"M. Poirot, saya yakin hanya ada satu hal yang harus dilakukan - memenuhi tuntutan
penculik. Mula-mula saya tidak setuju - tapi sekarang! Perasaan seorang ibu - "
"Kita sudah menyela cerita Monsieur," sergah Poirot buru-buru.
"Saya kira Anda sudah mengetahui kisah selanjutnya dari berbagai surat kabar,"
ujar Tuan Waverly. "Tentu saja Inspektur McNeil segera menelepon ke pusat.
Gambaran tentang mobil dan orang itu disebarluaskan. Mula-mula kelihatannya
semua akan beres. Sebuah mobil yang sesuai dengan gambaran itu, dengan seorang
laki-laki dan anak kecil di dalamnya melintasi beberapa desa. Rupanya akan
menuju London Di suatu tempat mereka berhenti dan terlihat bahwa anak itu
menangis serta jelas-jelas takut kepada teman semobilnya. Inspektur McNeil
memberitahu bahwa mobil itu sudah dihentikan dan penumpangnya ditahan. Saya
sangat lega mendengarnya. Anda tahu selanjutnya. Anak laki-laki itu bukan
Johnnie dan pria itu adalah seorang yang gemar mengemudi yang sangat menyukai
anak-anak. Ia mengajak seorang anak kecil yang sedang bermain-main di jalan di
Edenswell, desa yang terletak kira-kira lima belas mil dari tempat tinggal kami,
dan dengan ramah memberi anak itu tumpangan. Gara-gara kesalahan besar polisi
yang terlalu yakin, semua jejak hilang. Andaikata polisi tidak terus-menerus
membuntuti mobil yang salah, mungkin sekarang Johnnie sudah ditemukan."
"Tenanglah, Monsieur. Polisi merupakan kesatuan yang berani dan pandai.
Kesalahan yang mereka perbuat wajar sekali. Lagi pula, penculikan itu
direncanakan dengan luar biasa cerdiknya. Akan halnya laki-laki yang ditangkap
di halaman itu, saya mengerti bahwa dia akan terus menerus menyangkal untuk
membela diri. Dia mengatakan bahwa surat dan bungkusan itu diberikan kepadanya
untuk disampaikan ke Waverly Court. Orang yang menyerahkan barang memberinya
upah sepuluh shilling dan menjanjikan sepuluh shilling tambahan kalau benda itu
disampaikan tepat pukul 11.50. Untuk melakukannya dia harus mendekati rumah
melalui halaman dan mengetuk pintu samping."
"Saya sama sekali tidak percaya," kata Nyonya Waverly berapi-api. "Kisah itu
cuma isapan jempol."
"En verit?, peristiwa ini jarang terjadi," ujar Poirot merenung. "Sebegitu jauh
polisi belum mengutak-atik. Saya tahu pemuda itu melemparkan tuduhan?"
Poirot menoleh seraya menanyai Tuan Waverly, yang wajahnya menjadi agak merah
lagi. "Pemuda itu kurang ajar dengan berpura-pura mengenali Tredwell sebagai orang
yang memberinya bungkusan. 'Hanya saja orang itu sekarang sudah mencukur
kumisnya,' katanya. Tredwell yang dilahirkan di sini!"
Poirot tersenyum simpul melihat kedongkolan hati laki-laki itu. "Bukankah Anda
sendiri mencurigai salah seorang penghuni rumah menjadi kaki tangan komplotan
penculik?" "Memang, tapi bukan Tredwell."
"Bagaimana dengan Anda, Madame?" Poirot bertanya tiba-tiba seraya menoleh kepada
Nyonya Waverly. "Tidak mungkin Tredwell memberi pemuda gembel itu surat dan bungkusan - kalau
memang ada yang melakukannya, saya tidak percaya. Barang itu diserahkan
kepadanya pada pukul 10.00, begitu pengakuannya. Padahal pada waktu itu Tredwell
bersama suami saya berada di ruang merokok."
"Anda dapat melihat wajah orang di dalam mobil itu, Monsieur" Apakah ia mirip
Tredwell?" "Terlalu jauh bagi saya untuk melihat wajahnya."
"Tahukah Anda kalau-kalau Tredwell mempunyai saudara laki-laki?"
"Dia punya beberapa saudara laki-laki, tapi semua sudah meninggal. Yang terakhir
terbunuh dalam perang."
"Saya belum jelas tentang keadaan halaman Waverly Court. Mobil itu mengarah ke
pos pintu selatan. Ada jalan masuk lainnya?"
"Ada, yang kami namakan pos pintu timur. Pos itu dapat dilihat dari sisi rumah
yang satunya." "Anehnya, tidak seorang pun mendengar mobil itu memasuki halaman."
"Ada jalan langsung melintasi halaman dan menuju kapel kecil. Banyak sekali
mobil yang melewati jalan itu. Pasti laki-laki itu menghentikan mobilnya di
tempat yang menguntungkan dan mengemudikannya ke rumah bersamaan dengan tanda
bahaya berbunyi, sehingga perhatian terpusat ke hal lain."
"Kalau tidak dia sudah bersembunyi di dalam rumah," kata Poirot sambil merenung.
"Ada tempat yang dapat dipakai untuk bersembunyi?"
"Well, kami memang tidak memeriksa rumah secara menyeluruh sebelumnya.
Kelihatannya tidak perlu. Saya kira dia mungkin bersembunyi dulu. Tetapi, siapa
yang memperbolehkannya masuk?"
"Kita akan membicarakan masalah ini kemudian. Satu per satu - mari kita mengikuti
metode. Tidak ada tempat persembunyian di dalam rumah" Waverly Court adalah
bangunan kuno dan kadang-kadang ada tempat yang dinamakan 'lubang perlindungan'
atau priests' holes. "Ya Tuhan! Memang ada satu lubang yang dibuka dari salah satu lantai papan di
aula." "Dekat ruang dewan?"
"Persis di depan pintu."
"Voil?." "Tapi tidak ada yang tahu mengenai lubang itu kecuali saya dan istri saya."
"Tredwell?" "Mungkin dia pernah mendengarnya."
"Nona Collins?"
"Saya belum pernah memberitahunya."
Patriot merenung sebentar.
"Well, Monsieur, langkah berikutnya adalah saya harus pergi ke Waverly Court.
Kalau saya datang ke sana siang ini, apakah Anda keberatan?"
"Oh, secepat mungkin, Monsieur Poirot!" seru Nyonya Waverly. "Bacalah surat ini
sekali lagi." Nyonya Waverly meletakkan surat penculik yang diterima keluarga Waverly pagi itu
yang menyebabkan mereka datang kepada Poirot. Isinya penjelasan yang cerdik dan
terang-terangan tentang cara menyerahkan uang dan diakhiri dengan ancaman bahwa
pengkhianatan dalam bentuk apa pun akan dibayar dengan nyawa anak itu. Jelas
bahwa rasa cinta akan uang berperang melawan kasih seorang ibu, dan yang
terakhir inilah yang menang.
Poirot menahan wanita itu di belakang suaminya sebentar.
"Madame, jika Anda tidak keberatan, katakanlah yang sebenarnya. Apakah Anda juga
mempercayai kepala pelayan, Tredwell, seperti suami Anda?"
"Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk menentang dia, Monsieur Poirot. Saya
tidak melihat alasan mengapa dia dapat terlibat dalam penculikan ini, tapi - hmm,
saya tidak pernah menyukai dia - tidak pernah!"
"Satu lagi, Madame. Dapatkah Anda memberikan alamat pengasuh Johnnie?"
"Netherall Road 149, Hammersmith. Anda tidak membayangkan - "
"Saya tidak pernah membayangkan. Hanya saja saya menggunakan otak saya. Dan
kadang-kadang saja, muncul sedikit ide."
Ketika pintu ditutup, Poirot menghampiriku.
"Jadi Madame tidak pernah menyukai kepala pelayan itu. Menarik bukan, eh,
Hastings?" Aku menolak untuk berkomentar. Sudah berulang kali Poirot memperdayaku sehingga
aku sekarang bosan. Selalu saja ada kejutan.
Setelah selesai berdandan, kami berangkat ke Netherall Road. Beruntung kami
menjumpai Jessica Withers di rumahnya. Ia perempuan yang berwajah menyenangkan,
berumur tiga puluh lima tahun, cakap, dan baik. Aku tidak akan percaya kalau dia
terlibat dalam penculikan Johnnie. Jessica sangat menyesalkan karena dirinya
diberhentikan, tapi mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia mau menikah
dengan seorang pelukis sekaligus dekorator yang kebetulan bertempat tinggal di
daerah itu. Ketika itu dia keluar untuk menemui tunangannya. Kelihatannya
tindakannya ini wajar saja. Yang tidak sungguh-sungguh kumengerti adalah Poirot.
Bagiku, semua pertanyaan yang diajukannya tidak sesuai sama sekali. Hanya
berkisar pada kehidupan rutin Jessica di Waverly Court. Terus terang aku bosan,
dan gembira ketika Poirot mengajakku meninggalkan tempat itu.
"Menculik itu gampang, Kawan," katanya seraya memanggil taksi di Hammersmith
Road dan meminta pengemudi menuju Waterloo. "Anak itu dapat diculik dengan
gampangnya kapan saja selama tiga hari terakhir ia berada di rumah."
"Aku tidak melihat informasi ini menguntungkan kita," kataku dingin.
"Sebaliknya, keterangan ini sangat membantu kita. Sangat membantu! Hastings,
kalau engkau mengenakan jepit dasi, sebaiknyalah jepit itu berada tepat di
tengah-tengah dasimu. Sekarang ini jepit itu terlalu ke kanan satu inci."
Waverly Court adalah bangunan kuno yang menyenangkan dan baru saja diperbaiki
dengan selera yang tinggi. Tuan Waverly menunjukkan ruang dewan, teras, dan
berbagai tempat lainnya yang berkaitan dengan penculikan anaknya kepada kami.
Akhirnya, atas permintaan Poirot, tuan rumah menekan per di dinding, lalu
sebilah papan meluncur ke samping, dan sebuah jalan pendek membawa kami ke
lubang perlindungan. "Anda lihat," kata Tuan Waverly, "tidak ada apa-apa di sini."
Ruangan kecil itu cukup bersih, bahkan tidak nampak tanda-tanda adanya jejak
kaki di lantai. Kuhampiri Poirot yang tengah membungkuk, mengawasi jejak di
sudut dengan penuh perhatian.
"Apa pendapatmu tentang jejak ini, Sobat?"
Terlihat jejak empat kaki yang saling berdekatan.
"Jejak anjing," seruku.
"Anjing yang kecil sekali, Hastings. Anjing Pom. Lebih kecil dari Pom."
"Anjing griffon?" aku mengemukakan pendapatku dengan ragu-ragu.
"Malahan lebih kecil daripada griffon. Jenis yang tidak ada di tempat karantina
anjing." Kupandang Poirot. Wajahnya memancarkan rasa gembira dan puas.
"Aku benar," gumamnya. "Aku yakin aku benar. Ayo, Hastings!"
Pada waktu kami keluar untuk masuk ke ruang besar dan papan di belakang kami
menutup, seorang wanita yang masih muda keluar dari pintu yang terletak lebih
rendah di jalan pendek itu. Tuan Waverly memperkenalkannya kepada kami.
"Nona Collins."
Nona Collins berumur kira-kira tiga puluh tahun, gerak-geriknya cepat dan penuh
kewaspadaan. Rambutnya berwarna terang, agak suram, dan ia mengenakan kacamata
yang menggantung di hidung.
Atas permintaan Poirot kami masuk ke ruang duduk untuk pagi hari yang kecil dan
menanyai Nona Collins dengan saksama mengenai para pelayan, khususnya Tredwell.
Ia mengaku tidak menyukai Tredwell.
"Dia angkuh," Nona Collins menjelaskan alasannya.
Selanjutnya Poirot menanyakan makanan yang disantap Nyonya Waverly pada malam
tanggal 28 itu. Nona Collins menyatakan bahwa ia makan makanan yang sama di
ruang duduknya di lantai atas dan tidak menderita sakit apa pun. Ketika wanita
itu akan berlalu, aku mengingatkan Poirot.
"Anjing," bisikku.
"Ah, ya. Tentang anjing!" Poirot tersenyum lebar. "Apakah kebetulan ada anjing
di sini, Mademoiselle?"
"Ada dua anjing pencari jejak di kandangnya di luar."
"Bukan. Maksud saya anjing kecil, anjing untuk mainan."
"Tidak ada." Poirot menyilakannya pergi. Kemudian, sambil membunyikan bel Poirot berkata
kepadaku, "Mademoiselle Collins itu bohong. Mungkin aku harus berbuat begitu
juga seandainya aku dalam posisinya. Sekarang waktu untuk si kepala pelayan."
Tredwell adalah orang yang memiliki rasa penuh percaya diri. Dia menceritakan
kisahnya dengan mantap. Pada dasarnya ceritanya sama dengan cerita Tuan Waverly.
Ia mengaku mengetahui rahasia lubang persembunyian.
Ketika Tredwell yang selalu berbicara dengan sikap memerintah dan angkuhnya
berlalu, pandanganku bertemu dengan pandangan aneh Poirot.
"Apa pendapatmu tentang semua ini, Hastings?"
"Apa pendapatmu sendiri?" aku mengelak.
"Bukan main berhati-hatinya engkau sekarang. Otak tidak akan pernah berfungsi
kalau tidak kaurangsang untuk berpikir. Ah, aku tidak akan menggodamu! Ayo, kita
menarik kesimpulan bersama-sama. Apa saja yang menarik perhatianmu, terutama
yang kelihatan tidak wajar?"
"Satu hal yang menarik perhatianku. Mengapa penculik Johnnie keluar melalui pos
pintu selatan dan bukannya yang timur, sehingga tidak ada orang yang akan
melihatnya?" "Pendapat yang bagus sekali, Hastings. Luar biasa. Aku akan menambahnya. Mengapa
keluarga Waverly diperingatkan sebelumnya" Mengapa penculik tidak menculik anak
itu saja dan menyanderanya untuk mendapatkan uang tebusan?"
"Karena mereka mengharapkan uang itu tanpa harus bertindak."
"Tentunya hampir tidak mungkin tuntutan uang akan dipenuhi hanya karena ancaman
belaka." "Mereka juga ingin memusatkan perhatian pada pukul 12.00. Jadi, pada waktu
gelandangan itu ditangkap, yang lain dapat muncul dari tempat persembunyiannya
dan keluar bersama Johnnie tanpa dilihat."
"Itu pun tidak mengubah kenyataan bahwa komplotan penculik mempersulit sesuatu
yang sebenarnya gampang sekali. Kalau saja mereka tidak menentukan waktu, kan
gampang sekali bagi mereka daripada menunggu saat yang tepat lalu melarikan anak
itu dengan mobil pada waktu ia keluar bersama pengasuhnya."
"Ya... ya," dengan ragu-ragu aku mengakui.
"Sebenarnya ada unsur kesengajaan untuk membuat lelucon! Ayolah, kita pandang
masalah ini dari sisi lain. Semua peristiwa terjadi untuk menunjukkan ada kaki
tangan penculik di rumah itu. Pertama, peracunan Nyonya Waverly. Kedua,
penyematan surat di bantal. Ketiga, jam yang dicepatkan sepuluh menit secara
misterius - semua terjadi di dalam rumah. Dan kenyataan yang mungkin tidak
kaulihat. Tidak ada debu di dalam lubang perlindungan. Tempat itu sudah disapu!"
"Sekarang ada empat orang di dalam rumah. Pengasuh Johnnie dapat kita kecualikan
karena tidak mungkin dia menyapu lubang perlindungan, biarpun mungkin saja dia
melakukan tiga hal lainnya. Empat orang itu Tuan Waverly dan istrinya, Tredwell
si kepala pelayan, dan Nona Collins. Pertama, kita bicarakan Nona Collins. Tidak
banyak kecurigaan pada dirinya, walaupun sedikit saja yang kita ketahui tentang
dia. Jelas dia cerdas dan baru setahun di sini."
"Dia berbohong tentang anjing itu," aku mengingatkan.
"Ah, ya, anjing itu," kata Poirot seraya melemparkan senyuman yang ganjil.
"Biarlah kita lewatkan saja dan melanjutkan dengan Tredwell. Beberapa keterangan
tentang dirinya mencurigakan. Satu hal, gelandangan itu mengatakan Tredwell-lah
orang yang memberinya bungkusan di desa."
"Tapi Tredwell dapat memberikan alibi berkenaan dengan tuduhan ini."
"Bahkan, dia bisa juga meracuni Nyonya Waverly, menyematkan surat ke bantal,
mempercepat jam, dan menyapu lubang perlindungan. Di pihak lain, dia dilahirkan
dan dibesarkan sebagai pelayan keluarga Waverly. Kelihatannya sama sekali tidak
mungkin dia berkomplot dengan penculik. Tredwell tidak masuk hitungan."
"Well, lalu?" "Kita harus meneruskan secara logis - walaupun kelihatannya tidak mungkin. Secara
singkat kita pertimbangkan Nyonya Waverly. Tapi, wanita ini kaya dan uang adalah
miliknya. Uangnyalah yang digunakan untuk memugar tanah milik keluarga yang
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah suram ini. Dia tidak mempunyai alasan untuk menculik putranya dan
membayarkan uangnya kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, posisi suaminya berbeda.
Istrinya kaya, dan ini tidak berarti sama dengan menjadi kaya dengan sendirinya -
sebenarnya aku berpikiran bahwa Nyonya Waverly tidak terlalu suka kehilangan
uang, kecuali dengan dalih yang sangat beralasan. Namun Tuan Waverly, engkau
dapat segera mengetahui, adalah seorang bon viveur. Dia suka hidup enak."
"Tidak mungkin," kataku meradang.
"Bukan tidak mungkin sama sekali. Siapa yang menyuruh para pelayan pergi" Tuan
Waverly. Dia dapat menulis surat-surat kaleng itu, meracuni istrinya,
mempercepat jam, dan memberikan alibi yang luar biasa untuk pelayannya yang
setia, Tredwell. Tredwell tidak pernah menyukai Nyonya Waverly. Dia mengabdi
kepada tuannya dan bersedia mematuhi perintah-perintah tuannya secara mutlak.
Tiga pihak terlibat. Waverly, Tredwell, dan beberapa teman Waverly. Inilah
kesalahan polisi. Mereka tidak menyelidiki lebih jauh pengemudi mobil abu-abu
dengan anak di dalamnya itu. Pengemudi inilah orang ketiga. Diambilnya seorang
anak di desa tetangga, anak laki-laki berambut pirang dan ikal. Dia masuk
melalui pintu timur dan keluar melalui pintu selatan pada waktu yang tepat,
melambaikan tangannya, dan berteriak. Wajah maupun nomor mobilnya tidak dapat
dilihat. Jadi, jelas wajah anak itu juga tidak terlihat. Lalu, dia memberikan
jejak palsu menuju London. Sementara itu Tredwell telah merampungkan tugasnya
dalam mengatur penyerahan bungkusan dan surat untuk disampaikan oleh pemuda yang
berpenampilan kasar. Tuannya dapat memberikan alibi seandainya pemuda itu
mengenali Tredwell - lepas dari kumis palsu yang dikenakan si kepala pelayan.
Segera setelah terjadi keributan di luar dan Inspektur menerobos ke luar, Tuan
Waverly cepat-cepat menyembunyikan anaknya di lubang perlindungan lalu mengikuti
Inspektur. Setelah Inspektur pergi dan Nona Collins tidak kelihatan, tidaklah
sulit untuk membawa Johnnie ke tempat yang aman dengan mobilnya sendiri."
"Lalu, bagaimana dengan anjing itu?" tanyaku. "Dan kebohongan Nona Collins?"
"Itu lelucon kecilku. Aku menanyainya kalau-kalau ada anjing mainan di rumah itu
dan dia menjawab tidak ada - tapi, jelas ada beberapa - di ruang anak-anak! Engkau
tahu, Tuan Waverly meletakkan beberapa mainan di lubang perlindungan supaya
Johnnie tetap tenang dan asyik bermain."
"M. Poirot" - Tuan Waverly memasuki ruangan tempat kami berbicara - "sudahkah Anda
menemukan sesuatu" Adakah Anda temukan petunjuk ke mana putra saya dibawa?"
Poirot menyerahkan selembar kertas. "Ini alamatnya."
"Tapi, kertas ini kosong."
"Karena saya menunggu Anda menuliskan alamat itu untuk saya."
"Apa?"" wajah Tuan Waverly berubah menjadi merah-padam.
"Saya tahu semuanya, Monsieur. Saya beri Anda waktu dua puluh empat jam untuk
mengembalikan anak itu. Kepandaian Anda sebanding dengan tugas untuk
mengembalikan anak itu. Kalau tidak, istri Anda akan diberitahu urutan
peristiwanya dengan tepat."
Tuan Waverly menenggelamkan tubuhnya ke kursi dan menutupi wajahnya dengan kedua
tangannya. "Johnnie bersama pengasuh saya yang lama, sepuluh mil dari sini. Dia
bahagia dan dirawat dengan baik."
"Saya tidak meragukannya. Kalau saya tidak mempercayai Anda sebagai ayah yang
sebenarnya baik, saya tidak akan memberi Anda kesempatan."
"Skandal ini - "
"Tepat. Nama Anda sudah lama dikenal dan terhormat. Jangan mempertaruhkannya
lagi. Selamat malam, Tuan Waverly. Ah, omong-omong, saya punya satu nasihat.
Bersihkanlah selalu sudut-sudut ruangan!"
V PETUNJUK GANDA "YANG paling penting - tidak ada pemberitaan pers," kata Marcus Hardman mungkin
untuk keempat belas kalinya.
Kata pemberitaan pers diucapkan dengan gaya seorang leitmotif di sepanjang
bicaranya. Hardman bertubuh kecil, agak gemuk, kedua tangannya terawat baik, dan
suara tenornya terdengar sayu. Dengan caranya seperti ini, dia menjadi agak
terkenal dan profesinya adalah kehidupan yang gaya. Laki-laki itu kaya, tetapi
tidak terlalu kaya, dan membelanjakan uangnya dengan berani demi mengejar
kesenangan sosial. Mengoleksi benda-benda antik adalah kegemarannya. Dia memang
berjiwa kolektor. Lencana kuno, kipas kuno, permata antik - tidak ada barang
sederhana atau modern yang dimiliki Marcus Hardman.
Aku dan Poirot datang untuk memenuhi panggilan penting dan menjumpai laki-laki
itu sedang menderita karena ketidakpastian. Dalam keadaan seperti itu, memanggil
polisi merupakan perbuatan yang menjijikkan baginya. Di pihak lain, tidak
memanggil polisi berarti diam-diam dia menyetujui hilangnya beberapa permata
dari koleksinya. Poirot dianggapnya sebagai jalan tengah.
"Batu delima saya, Monsieur Poirot, dan kalung jamrud - kata orang dulu milik
Catherine de' Medici. Oh, kalung jamrud itu!"
"Bagaimana kalau Anda ceritakan hilangnya permata-permata itu?" Poirot
menyarankan dengan lembut.
"Akan saya coba. Kemarin siang saya mengadakan jamuan kecil minum teh - tidak
terlalu resmi sifatnya. Kurang lebih enam orang yang saya undang. Selama musim
ini sudah dua kali saya mengundang mereka. Meskipun mungkin ini tidak perlu saya
beritahukan, jamuan-jamuan itu sukses sekali. Musik yang menyenangkan - Nacora si
pianis, dan Katherine Bird, penyanyi Australia bersuara rendah - di studio besar.
Awal siang itu saya menunjukkan koleksi permata abad pertengahan saya kepada
para tamu. Permata-permata itu saya simpan dalam lemari besi kecil di dinding
sebelah sana. Bagian dalam lemari itu diatur seperti lemari dinding dengan latar
belakang beludru berwarna untuk memamerkan isinya. Setelah itu kami melihat-
lihat kipas - dalam kotak di dinding itu. Lalu kami kembali ke studio untuk
mendengarkan musik. Baru setelah semua tamu pulang, saya mendapatkan lemari besi
itu dibongkar! Pasti saya tidak menutupnya dengan benar dan seseorang
memanfaatkan kesempatan untuk menguras isinya. Batu-batu delima itu, Monsieur
Poirot, kalung jamrud itu - koleksi itu - koleksi seumur hidup! Apa pun akan saya
berikan untuk mengembalikan permata-permata itu! Tetapi, tidak boleh ada
pemberitaan pers! Anda memahami sepenuhnya bukan, Monsieur Poirot" Tamu-tamu
saya sendiri. Kawan-kawan pribadi saya! Kejadian ini akan menimbulkan skandal
yang mengerikan!" "Siapa orang terakhir yang meninggalkan ruangan ini ketika Anda menuju studio?"
"Johnston. Mungkin Anda mengenalnya. Milyuner Afrika Selatan. Dia baru saja
menyewa rumah milik Abbotbury di Park Lane. Dia berlambat-lambat sebentar di
belakang, saya ingat ini. Tapi, pasti, tidak mungkin dia yang mengambilnya!"
"Selama siang itu, adakah tamu Anda yang kembali ke ruang ini dengan suatu
alasan?" "Saya siap menjawab pertanyaan ini, Monsieur Poirot. Tiga orang yang kembali ke
sini. Countess Vera Rossakoff, Bernard Parker, dan Lady Runcorn."
"Mari kita bicarakan mereka."
"Countess Vera Rossakoff adalah wanita berkebangsaan Rusia yang amat mempesona,
termasuk orang rezim lama. Dia baru saja datang ke Inggris. Sebenarnya Countess
Rossakoff sudah berpamitan, oleh karena itu agak kaget juga saya menjumpainya di
ruang ini dan memandang kotak kipas saya dengan tatapan terpesona. Anda
mengerti, Monsieur Poirot, semakin saya memikirkannya, semakin mencurigakan
rasanya. Tidakkah Anda sependapat?"
"Sangat mencurigakan; tapi biarkan kami mendengar tentang yang lain."
"Well, Parker datang hanya untuk mengambil kotak-kotak miniatur yang ingin saya
perlihatkan kepada Lady Runcorn."
"Dan Lady Runcorn sendiri?"
"Saya yakin Anda tahu. Lady Runcorn berumur setengah baya, pribadinya sangat
mantap, dan mengabdikan sebagian besar waktunya untuk berbagai kegiatan sosial.
Dia kembali semata-mata untuk mengambil tas tangannya."
"Nah, Monsieur, ada empat orang yang patut dicurigai. Putri Rusia itu, grande
dame Inggris itu, milyuner Afrika Selatan, dan Bernard Parker. Omong-omong,
siapa Bernard Parker ini?"
Kelihatannya pertanyaan ini membuat Hardman malu.
"Dia - er - dia masih muda. Well, sebenarnya dia pemuda yang saya kenal."
"Saya sudah menyimpulkan sejauh itu," kata Poirot dengan wajah muram. "Apa
pekerjaan Parker ini?"
"Dia pemuda modern yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersenang-
senang - tidak mungkin ia benar-benar terlibat dalam kejadian ini, kalau boleh
saya mengemukakan pendapat pribadi saya."
"Bagaimana dia dapat berkawan dengan Anda" Boleh saya tahu?"
"Eh, sekali atau lebih dia - melakukan pekerjaan kecil untuk saya."
"Teruskan, Monsieur," ujar Poirot.
Hardman menatap Poirot dengan pandangan mengiba. Jelas dia tidak ingin
meneruskan ceritanya. Akan tetapi, karena Poirot mempertahankan keheningan yang
tidak dapat ditawar, laki-laki itu akhirnya menyerah.
"Anda tahu, Monsieur Poirot - orang-orang tahu benar bahwa saya tertarik akan
permata-permata antik. Kadang-kadang ada pusaka keluarga yang akan dijual - yang
tidak akan pernah dijual ke pasar terbuka atau ke agen. Namun, menjual kepada
saya pribadi lain sama sekali. Parker mengatur rincian penjualan seperti ini.
Dia menghubungi kedua belah pihak. Dengan demikian, tidak akan ada rasa malu -
sekecil apa pun. Diperlihatkannya kepada saya segala macam benda yang termasuk
permata antik. Misalnya, sekarang Countess Rossakoff membawa beberapa permata
keluarga dari Rusia dan ingin menjualnya. Nah, Bernard Parker harus mengatur
transaksi ini." "Saya mengerti," ujar Poirot hati-hati. "Dan Anda mempercayainya seratus
persen?" "Saya tidak mempunyai alasan untuk tidak bersikap demikian."
"Tuan Hardman, dari keempat orang ini, siapa yang Anda curigai?"
"Oh, Monsieur Poirot, bukan main sulitnya pertanyaan ini! Mereka kawan-kawan
saya, seperti tadi saya katakan. Tidak seorang pun yang saya curigai - atau
semuanya, terserah pernyataan mana yang Anda sukai."
"Saya tidak setuju. Anda mencurigai salah seorang. Bukan Countess Rossakoff,
bukan pula Bernard Parker. Orang itu Lady Runcorn atau Johnston?"
"Anda memojokkan saya, Monsieur Poirot. Betul-betul memojokkan saya. Saya sangat
berharap tidak akan terjadi skandal. Lady Runcorn berasal dari salah satu
keluarga tertua di Inggris, tapi sayang sekali bibinya, Lady Caroline, menderita
gangguan jiwa yang parah. Tentu saja semua kawannya memahami keadaan ini dan
pelayannya mengembalikan sendok teh atau apa saja secepat mungkin. Anda mengerti
kesulitan saya!" "Jadi, Lady Runcorn mempunyai bibi yang menderita kleptomania. Menarik sekali.
Boleh saya memeriksa lemari besi itu?"
Hardman mengiyakan. Poirot mendorong pintu lemari besi ke belakang dan memeriksa
bagian dalamnya. Rak berlapis beludru itu menganga di hadapan kami.
"Bahkan pintu ini tidak dapat ditutup rapat," gumam Poirot seraya mengayunkan
pintu itu ke kanan dan kiri. "Saya heran, mengapa" Ah, apa ini" Sarung tangan.
Tersangkut di engsel. Sarung tangan pria."
Diangsurkannya benda itu kepada tuan rumah.
"Bukan sarung tangan saya," komentar Hardman.
"Aha! Ada lagi!" Dengan cekatan Poirot membungkuk dan memungut benda kecil dari
dasar lemari besi. Sebuah kotak sigaret yang pipih dan terbuat dari moir? hitam.
"Kotak sigaret saya!" seru Hardman.
"Milik Anda" Tentunya bukan, Monsieur. Ini bukan inisial nama Anda."
Poirot menunjuk pada pahatan dua huruf yang ditatah dalam platina.
Hardman mengambil benda itu.
"Anda benar," katanya. "Kotak ini mirip sekali dengan kepunyaan saya, tapi
inisialnya berbeda. "B" dan "P". Ya Tuhan - Parker!"
"Kelihatannya begitu," Poirot menimpali. "Pemuda yang agak ceroboh - terutama bila
sarung tangan ini juga kepunyaannya. Dengan demikian ada petunjuk ganda,
bukankah begitu?" "Bernard Parker!" gumam Hardman. "Betapa leganya! Well, Monsieur Poirot, saya
serahkan kepada Anda usaha untuk mengembalikan permata itu. Serahkanlah perkara
ini ke tangan polisi jika Anda memandangnya tepat - yaitu kalau Anda benar-benar
yakin bahwa dia bersalah."
*** "Engkau mengerti, Sobat," kata Poirot kepadaku ketika kami meninggalkan rumah
itu. "Hardman ini mempunyai peraturan tersendiri untuk orang-orang bangsawan dan
peraturan lainnya untuk orang biasa. Aku, aku belum jadi bangsawan, maka aku
berada di pihak orang biasa. Aku menaruh simpati kepada pemuda ini. Seluruh
peristiwa ini cukup menimbulkan rasa ingin tahu, bukankah begitu" Hardman
mencurigai Lady Runcorn; aku mencurigai Countess dan Johnston; dan Parker yang
tidak jelas asal-usulnya inilah yang kita cari."
"Mengapa engkau mencurigai kedua orang itu?"
"Parbleu! Gampang sekali menjadi pengungsi Rusia atau milyuner Afrika Selatan.
Setiap wanita dapat mengaku sebagai putri Rusia; siapa saja dapat membeli rumah
di Park Lane dan mengaku sebagai milyuner Afrika Selatan. Siapa yang akan
mempersoalkan mereka" Tapi, kita sekarang melewati Bury Street. Pemuda ceroboh
itu tinggal di sini. Ayo kita, seperti usulmu, bertindak cepat selagi kesempatan
memungkinkan." Bernard Parker ada di rumah. Kami menjumpainya tengah bersandar di bantalan
kursi, mengenakan kimono warna ungu dan oranye menyolok. Aku sangat tidak
menyukai pemuda ini, yang wajahnya putih dan feminin dan bicaranya dibuat pelat.
"Selamat pagi, Monsieur," sapa Poirot dingin. "Saya datang atas permintaan Tuan
Hardman. Kemarin, dalam jamuan minum teh seseorang mencuri permata-permatanya.
Izinkan saya menanyai Anda, Monsieur. Apakah ini sarung tangan Anda?"
Proses mental Parker kelihatannya agak lambat. Ditatapnya sarung tangan itu,
seakan-akan dia tengah mengumpulkan seluruh kecerdikannya.
"Di mana Anda menemukannya," akhirnya dia bertanya.
"Apakah ini sarung tangan Anda, Monsieur?"
Nampaknya Parker telah mengambil keputusan.
"Bukan," sahutnya.
"Dan kotak sigaret ini, apakah ini kepunyaan Anda?"
"Tentu saja bukan. Saya selalu membawa kotak yang terbuat dari perak."
"Baiklah, Monsieur, akan saya serahkan perkara ini ke tangan polisi."
"Oh, saya tidak akan melakukannya seandainya saya adalah Anda," teriak Parker
penuh perhatian. "Polisi-polisi itu sangat tidak simpatik. Tunggu sebentar. Saya
akan menemui Hardman. Oh, - tunggu sebentar."
Tetapi Poirot tidak menghiraukannya.
"Kita sudah memberikan bahan pemikiran kepadanya, bukankah begitu?" Poirot
tertawa kecil. "Besok kita lihat apa yang terjadi."
Akan tetapi, siang itu kami diingatkan akan kasus Hardman. Tanpa suara apa pun
sebelumnya, pintu terbuka, dan desiran angin dalam sosok manusia mengusik
ketenangan kami. Seseorang terbungkus mantel bulu (saat itu udara begitu dingin
seperti biasanya udara bulan Juni di Inggris) dan topi yang penuh dengan hiasan
bulu burung yang indah. Countess Vera Rossakoff adalah pribadi yang agak
membingungkan. "Anda Monsieur Poirot" Apa yang sudah Anda lakukan" Anda menuduh pemuda malang
itu! Perbuatan keji! Skandal. Saya kenal dia. Orang yang seperti anak ayam,
domba - tidak akan dia mencuri. Dia sudah melakukan semuanya untuk saya. Haruskah
saya berdiri di sampingnya dan menontonnya dibantai?"
"Madame, apakah ini kotak sigaretnya?" Poirot mengangsurkan kotak moir? hitam
itu. Sejenak Countess Rossakoff berdiam diri sambil memeriksa kotak itu.
"Betul, ini kepunyaannya. Saya tahu pasti. Ada apa dengan kotak ini" Anda
menemukannya di ruang itu" Kami semua ada di sana pada waktu itu. Dia
menjatuhkannya saya kira. Ah, Anda polisi - Anda lebih brengsek dari Pengawal
Merah - " "Dan apakah ini sarung tangannya?"
"Bagaimana saya tahu" Sarung tangan yang satu mirip dengan yang lain. Jangan
menghalangi saya - dia harus dibebaskan. Nama baiknya harus dipulihkan. Kalian
akan melakukannya. Saya akan menjual permata-permata saya dan membayar kalian."
"Madame - " "Jadi, tawaran ini disetujui" Tidak, tidak. Jangan membantah. Pemuda yang
malang! Dia datang kepada saya dengan berurai air mata. 'Saya akan menyelamatkan
Anda,' begitu saya katakan kepadanya. 'Akan saya temui orang-orang itu - raksasa
itu, monster itu! Serahkan perkara ini kepada Vera.' Sekarang sudah selesai.
Saya permisi." Seperti pada waktu datangnya wanita itu berlalu, meninggalkan bau parfum eksotis
yang kuat. "Bukan main wanita itu!" seruku. "Dan bukan main indahnya mantel bulunya."
"Ah, ya. Bulu-bulu itu asli. Dapatkah putri palsu mempunyai bulu sejati" Gurauan
saja, Hastings.... Dia benar-benar orang Rusia, kukira. Well, well, jadi Master
Bernard menangis-nangis di hadapannya."
"Kotak sigaret ini kepunyaan Parker. Aku jadi ingin tahu apakah sarung tangan
ini miliknya juga." Sambil tersenyum Poirot mengeluarkan sarung tangan kedua dari sakunya dan
meletakkan benda itu di dekat sarung tangan yang pertama. Tidak diragukan lagi
kedua sarung tangan itu sepasang.
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di mana engkau menemukan pasangannya ini, Poirot?"
"Sarung ini dilemparkan dengan tangkai kayu di meja aula di Bury Street. Benar-
benar ceroboh Monsieur Parker ini. Kawan, kita harus mengadakan penyelidikan
yang tuntas. Aku akan pergi ke Park Lane untuk memastikan."
Tentu saja aku menemani sahabatku ini. Johnston tidak ada di tempat, tetapi kami
bertemu dengan sekretaris pribadinya. Ternyata Johnston baru saja tiba dari
Afrika Selatan dan belum pernah berkunjung ke Inggris sebelumnya.
"Majikan Anda tertarik akan batu-batu berharga, bukankah demikian?" Poirot
mencoba menebak. "Tambang emas lebih tepatnya," sahut sekretaris itu sambil tertawa.
Poirot keluar dengan wajah serius. Betapa terkejutnya aku ketika malam itu
kudapati Poirot tengah mempelajari tata bahasa Rusia dengan sungguh-sungguh.
"Masya Allah, Poirot!" seruku. "Engkau mempelajari bahasa Rusia untuk mengobrol
dengan Countess Rossakoff dalam bahasa ibunya?"
"Dia tentu tidak akan mendengarkan bahasa Inggrisku, Sobat."
"Tapi, Poirot, semua orang Rusia yang terhormat pasti dapat berbahasa Prancis."
"Engkau sumber informasi, Hastings! Aku tidak usah bingung lagi dengan seluk-
beluk aksara Rusia."
Dilemparkannya buku itu dengan gerak yang dramatis. Aku sungguh-sungguh tidak
puas. Matanya melemparkan kedipan yang amat kukenal. Itulah tanda yang tidak
dapat ditawar lagi bahwa Hercule Poirot merasa puas.
"Mungkin," kataku penuh pengertian, "engkau meragukan keberadaannya sebagai
seorang Rusia. Engkau akan mengujinya?"
"Ah, tidak, tidak, dia benar-benar orang Rusia."
"Lalu - " "Kalau engkau sungguh-sungguh ingin menjadi terkenal karena perkara ini,
Hastings, kuanjurkan buku First Steps in Russians ini sebagai alat bantu yang
amat berharga." Poirot lalu tertawa tanpa mengatakan apa-apa lagi. Aku memungut buku itu dan
membacanya dengan penuh rasa ingin tahu. Tapi, kata-kata Poirot tidak dapat
kumengerti. Pada hari berikutnya kami tidak menerima berita apapun, tetapi tampaknya tidak
mencemaskan sahabatku yang bertubuh kecil ini. Sewaktu sarapan Poirot
menyampaikan keinginannya untuk menemui Hardman pagi-pagi itu juga. Kami menemui
kupu-kupu masyarakat ini di rumahnya. Kelihatannya ia agak lebih tenang
dibanding hari sebelumnya.
"Monsieur Poirot, ada kabar apa?" tanyanya penuh semangat.
Poirot menyerahkan sehelai kertas.
"Inilah orang yang mengambil permata-permata itu, Monsieur. Haruskah saya
menyerahkannya ke tangan polisi" Atau, Anda lebih suka saya mengembalikan
permata itu tanpa membawa-bawa polisi dalam persoalan ini?"
Hardman menatap kertas di tangannya. Akhirnya dia dapat bersuara juga.
"Mengejutkan sekali. Sebaiknya saya memilih tidak membuat skandal. Saya beri
Anda carte blanche, Monsieur Poirot. Saya percaya Anda akan bersikap hati-hati."
Langkah kami berikutnya adalah memanggil taksi yang diperintahkan Poirot untuk
menuju Carlton. Di sana Poirot menanyakan Countess Vera Rossakoff. Beberapa
menit kemudian kami diantar ke kamar mewah bangsawan Rusia itu. Countess keluar
menemui kami dengan kedua tangan terulur, berdandan dalam pakaian rumah dengan
disain Barbar yang mempesona.
"Monsieur Poirot!" serunya. "Anda sudah berhasil" Nama baik pemuda malang itu
sudah Anda pulihkan?"
"Madame la Comtesse, sahabat Anda Parker benar-benar tidak akan ditahan."
"Ah, Anda laki-laki bertubuh kecil yang pintar! Hebat! Dan luar biasa cepat
pula." "Di pihak lain saya berjanji kepada Hardman untuk mengembalikan permata-permata
itu kepadanya hari ini."
"Jadi?" "Karena itu, Madame, saya akan sangat berterima kasih apabila Anda bersedia
meletakkan permata-permata itu di tangan saya tanpa membuang waktu lagi. Maaf,
saya memburu-buru Anda; saya ditunggu taksi - kalau tidak berarti kami perlu
menemui Scotland Yard; dan kami, orang Belgia, Madame, menganut pola hidup
hemat." Countess sudah menyalakan sigaret. Dia duduk tak bergerak selama beberapa detik,
mengembuskan lingkaran-lingkaran asap dan menatap pasti ke arah Poirot. Lalu
tawanya meledak dan ia berdiri. Countess Rossakoff berjalan menuju lemari
pakaian, membuka satu laci, dan mengeluarkan tas tangan sutra berwarna hitam.
Dilemparkannya tas tangan itu dengan perlahan kepada Poirot. Ketika berbicara,
nada suaranya benar-benar ringan dan tidak berubah.
"Sebaliknya kami, orang-orang Rusia, boros," katanya. "Sayangnya, untuk itu kami
harus punya uang. Anda tidak perlu melihat isi tas tangan itu. Semua ada di
dalamnya." Poirot berdiri. "Selamat, Madame. Untuk kemampuan berpikir Anda yang cepat dalam menangkap arti
dan sikap Anda yang tidak menunda-nunda."
"Ah! Anda membiarkan taksi itu menunggu, jadi apa lagi yang dapat saya perbuat?"
"Anda terlalu baik, Madame. Anda akan lama tinggal di London?"
"Saya kira tidak - karena Anda."
"Maafkan saya kalau begitu."
"Kita akan bertemu di tempat lain - mungkin."
"Saya harap demikian."
"Dan - saya tidak!" seru Countess sambil tertawa. "Saya sangat memuji Anda - sedikit
sekali laki-laki di dunia ini yang saya segani. Selamat tinggal, Monsieur
Poirot." "Selamat tinggal, Madame la Comtesse. Ah, maaf, saya lupa! Izinkan saya
mengembalikan kotak sigaret Anda."
Sambil membungkuk Poirot menyerahkan kotak kecil moir? hitam yang dia temukan
dalam lemari besi permata itu. Countess menerima benda itu tanpa perubahan ekspresi wajah - hanya alisnya yang terangkat dan ia bergumam, "Saya mengerti!"
*** "Bukan main wanita itu!" seru Poirot penuh semangat pada waktu kami menuruni
anak tangga. "Mon Dieu, quelle femme! Tidak membantah sedikit pun - juga tidak
memprotes atau berpura-pura. Hanya sebuah kerlingan singkat; dan dia dapat
mengira-ngira posisinya dengan tepat. Hastings, wanita yang dapat menerima
kekalahan seperti itu - dengan tersenyum ringan - akan melangkah jauh! Dia bahagia
karena bersaraf baja; dia - " Poirot jatuh tergelincir.
"Kalau engkau dapat mengurangi panjang ayun langkahmu dan melihat arah, engkau
tidak akan tergelincir," saranku. "Kapan engkau pertama kali mencurigai
Countess?" "Sobat, sarung tangan dan kotak sigaret itulah penyebabnya - petunjuk ganda,
bagaimana kalau kita sebut begitu" - itulah yang membuatku khawatir. Mungkin
sekali Bernard Parker menjatuhkan salah satu benda itu - tapi hampir tidak mungkin
kedua-duanya. Itu berarti terlalu ceroboh! Demikian juga kalau orang lain
meletakkan kedua barang itu di sana untuk memberatkan Parker, toh satu saja
sudah cukup - kotak sigaret atau sarung tangan - sekali lagi tidak keduanya. Oleh
karena itu aku dipaksa untuk menyimpulkan salah satu benda itu bukan kepunyaan
Parker. Mula-mula kukira kotak sigaret itu miliknya dan sarung tanganlah yang
bukan. Tapi, begitu mengetahui bahwa sarung tangan itu kepunyaannya, aku
menyadari yang benar adalah sebaliknya. Lalu, milik siapa kotak sigaret itu"
Jelas, kotak itu tidak mungkin kepunyaan Lady Runcorn. Inisialnya tidak cocok.
Johnston" Hanya kalau dia memakai nama samaran. Waktu aku mewawancarai
sekretarisnya, segera kelihatan bahwa segala sesuatunya jelas dan jujur. Tidak
ada sikap tutup mulut tentang masa lalunya. Kemudian Countess. Dia diharapkan
sudah membawa serta permata-permata keluarganya dari Rusia. Dia cuma perlu
mengambil batu-batu itu dari tempatnya - dan sangat diragukan apabila batu-batu
itu dapat dikenali lagi sebagai milik Hardman. Apa yang lebih gampang daripada
memungut salah satu sarung tangan Parker dari aula dan memasukkannya ke lemari
besi" Tapi, bien s?r, dia tentunya tidak merencanakan untuk menjatuhkan kotak
sigaretnya sendiri."
"Kalau kotak sigaret itu kepunyaannya, mengapa inisialnya B.P." Seharusnya
inisial Countess adalah V.R."
Poirot tersenyum lembut. "Persis, Sobat. Tapi, dalam aksara Rusia B adalah V dan P sama dengan R."
"Well, tentu saja engkau tidak dapat mengharapku menebak begitu. Aku kan tidak
paham bahasa Rusia."
"Aku juga tidak, Hastings. Itulah sebabnya kubeli buku kecil itu - dan kuanjurkan
engkau untuk memperhatikannya."
Poirot menghela napas. "Wanita yang luar biasa. Sobat, aku merasa - sangat yakin - akan bertemu lagi
dengannya. Hanya saja di mana, ya?"
VI RAJA KLAVER "KEBENARAN," kataku seraya meletakkan Daily Newsmonger ke samping, "lebih sukar
dimengerti daripada fiksi!"
Kata-kata ini mungkin tidak untuk pertama kalinya diperdengarkan. Dan
kelihatannya ucapanku membuat sahabatku marah. Sambil memiringkan kepalanya yang
bulat telur itu, dengan hati-hati jari-jari Poirot menjentikkan debu-debu
khayalan dari celana panjangnya yang disetrika rapi dan cermat, lalu ia
menimpali, "Bukan main dalamnya arti kata-kata itu! Benar-benar pemikir yang
hebat sahabatku Hastings ini!"
Tanpa memperlihatkan rasa jengkel akan cemoohnya yang tidak diminta ini, aku
menepuk-nepuk surat kabar yang tadi kusingkirkan itu.
"Engkau sudah membaca koran pagi ini?"
"Sudah. Selesai membaca, aku melipatnya lagi secara simetris. Tidak
melemparkannya ke lantai seperti yang engkau lakukan, sikapmu yang menyedihkan -
tanpa aturan dan metode."
(Itulah sisi terburuk Poirot Baginya aturan dan metode adalah dewa. Seakan-akan
kedua hal itulah yang menyebabkan keberhasilannya.)
"Kalau begitu engkau membaca laporan pembunuhan Henry Reedburn, si impresario
itu" Itulah yang mendorongku mengucapkan kata-kata tadi. Kebenaran tidak cuma
lebih sukar dimengerti daripada fiksi - juga lebih dramatis. Bayangkan, keluarga
kelas menengah Inggris yang mapan, keluarga Oglander. Ayah, ibu, putra, dan
putri; ciri khas ribuan keluarga di negeri ini. Yang laki-laki pergi ke kota
setiap harinya, wanitanya mengurus rumah tangga. Kehidupan mereka benar-benar
tenteram dan monoton. Semalam mereka duduk-duduk di ruang duduk mereka yang rapi
di pinggiran kota di Daisymead, Streatham, sambil bermain bridge. Tiba-tiba
tanpa suara apa pun sebelumnya, pintu merangkap jendela yang menghadap taman
terbuka dan seorang perempuan terhuyung-huyung masuk. Ada noda berwarna merah
tua di pakaian satin abu-abu perempuan itu. Dia mengucapkan sepatah kata,
'Pembunuhan!', sebelum jatuh tidak sadarkan diri Dari foto-foto perempuan itu,
mereka mengenalinya sebagai Valerie Saintclair, penari termasyhur yang baru-baru
ini mengguncangkan London!"
"Itu kepandaianmu bercerita atau laporan Daily Newsmonger?" tanya Poirot.
"Daily Newsmonger kan dicetak buru-buru dan puas dengan fakta-fakta belaka.
Tapi, kemungkinan-kemungkinan dramatis kejadian itu langsung menarik
perhatianku." Poirot mengangguk serius. "Di mana saja ada hakikat manusia, di situ terjadi
drama. Tetapi - tidak selalu hanya di tempat yang engkau duga. Ingatlah ini.
Bagaimanapun juga, aku juga tertarik karena besar kemungkinannya aku harus
berhubungan dengan kasus ini."
"Sungguh?" "Ya. Seorang laki-laki meneleponku pagi tadi dan mengadakan perjanjian denganku
atas nama Pangeran Paul dari Maurania."
"Tapi, apa hubungannya dengan kasus ini?"
"Engkau tidak membaca koran-koran gosip, harian yang memuat cerita-cerita jenaka
dan ungkapan-ungkapan 'ada yang mendengar....' atau 'ada yang ingin tahu
apakah....'. Lihatlah ini."
Kuikuti jari-jarinya yang pendek dan gemuk itu bergerak di sepanjang paragraf
- 'apakah pangeran asing dan penari kenamaan itu benar-benar terikat dalam tali
pernikahan! Dan apakah si penari menyukai cincin berlian barunya!'
"Nah, untuk meringkas ceritamu yang begitu dramatis tadi, Mademoiselle
Saintclair pingsan di atas karpet ruang duduk di Daisymead. Engkau ingat?"
Aku mengangkat bahu. "Akibat kata-kata yang pertama kali digumamkan oleh
Mademoiselle ketika dia terhuyung-huyung masuk, dua laki-laki keluarga Oglander
segera bertindak. Yang seorang menjemput dokter untuk menolong wanita yang
jelas-jelas terguncang batinnya itu, dan yang lain menuju kantor polisi - yang
setelah menceritakan peristiwa itu, menemani polisi ke Mon D?sir, vila Tuan
Reedburn yang luar biasa indahnya, tidak jauh dari Daisymead. Di sana mereka
mendapatkan orang besar itu, yang reputasinya buruk, terbaring di perpustakaan
dengan bagian belakang kepalanya menganga seperti kulit telur yang pecah!"
"Aku telah memotong ceritamu," kata Poirot ramah. "Kuminta engkau
memaafkanku.... Ah, ini dia M. le Prince!"
Tamu kami yang terkemuka ini disebut dengan gelar Count Feodor. Ia seorang
pemuda berwajah aneh, bertubuh tinggi, penuh semangat, dengan dagu yang tidak
kokoh, mulut seperti Mauranberg yang terkenal itu, dan bola mata yang gelap
berapi-api seperti mata seorang fanatik.
"M. Poirot?" Sahabatku membungkukkan badan.
"Monsieur, saya dalam kesulitan besar. Lebih besar dari yang dapat saya
ungkapkan." Poirot melambaikan tangannya. "Saya memahami kecemasan Anda. Mademoiselle
Saintclair adalah sahabat Anda yang sangat tersayang, bukankah begitu?"
Pangeran menjawab singkat, "Saya berharap dapat memperistri dia."
Poirot duduk tegak-tegak di kursinya. Kedua matanya terbuka lebar.
Pangeran melanjutkan bicaranya. "Saya bukanlah orang pertama dalam keluarga yang
menikah dengan orang biasa dan anak-anak saya akan kehilangan hak-hak istimewa
sebagai anak pangeran. Saudara laki-laki saya, Alexander, juga menentang kaisar.
Sekarang kita hidup dalam dunia yang lebih luas, bebas dari prasangka kelas-
kelas sosial. Selain itu, sebenarnya Mademoiselle Saintclair sungguh-sungguh
sederajat dengan saya. Anda sudah mendengar tentang riwayatnya?"
"Banyak cerita romantis tentang dia - bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan
penari-penari terkenal. Saya dengar dia putri wanita Irlandia yang bekerja di
bagian kebersihan di kantor; juga kisah yang menjadikan ibunya seorang bangsawan
agung Rusia." "Cerita pertama tentu saja omong kosong," kata pangeran itu. "Tetapi, cerita
kedua benar. Walaupun menjaga kerahasiaan asal-usulnya, Valerie membiarkan saya
menduga sejauh itu. Lagi pula, secara tak sadar dia membuktikannya dalam
berbagai cara. Saya percaya pada asal-usul, M Poirot."
"Saya juga demikian," Poirot menimpali dengan sungguh-sungguh. "Saya melihat
beberapa keanehan sehubungan dengan persoalan ini - moi qui vous parle....
Langsung pada masalah, M. Ie Prince. Apa yang Anda inginkan dari saya" Apa yang
Anda khawatirkan" Saya diperkenankan berbicara bebas atau tidak" Adakah sesuatu
yang menghubungkan Mademoiselle Saintclair dengan perbuatan kriminal ini"
Tentunya dia mengenal Reedburn?"
"Ya, almarhum mengaku mencintai Valerie."
"Dan si wanita?"
"Dia tidak mengatakan apa-apa kepada almarhum."
Poirot memandang pangeran itu tajam-tajam. "Adakah alasan bagi Mademoiselle
Saintclair untuk takut kepada almarhum?"
Pangeran terlihat ragu-ragu. "Ada insiden. Anda tahu Zara, si ahli tenung?"
"Tidak." "Dia hebat. Sekali waktu Anda perlu berkonsultasi dengannya. Minggu lalu saya
dan Valerie pergi ke sana. Zara membacakan kartu-kartu kepada kami. Kepada
Valerie dia berbicara tentang kesulitan - tentang awan yang menumpuk; kemudian
dibukanya kartu terakhir - kartu penutup, begitu namanya. Raja klaver. Lalu Zara
berkata kepada Valerie, 'Berhati-hatilah. Ada laki-laki yang menguasai Anda.
Anda takut kepadanya - Anda dalam bahaya besar, bahaya melalui orang itu. Anda
mengerti orang yang saya maksud"' Bibir Valerie pucat-pasi. Dia mengangguk dan
berkata, 'Ya, ya, saya tahu.' Tak lama kemudian kami meninggalkan tempat itu.
Kata-kata terakhir Zara kepada Valerie adalah, 'Hati-hati terhadap raja klaver.
Bahaya mengancam Anda!' Saya tanyai Valerie, tetapi dia tidak mau mengatakan
apa-apa - malah ia meyakinkan saya bahwa semuanya baik-baik saja. Sekarang,
setelah peristiwa semalam, saya semakin yakin bahwa dalam kartu raja klaver itu
Valerie melihat Reedburn dan dialah orang yang ditakuti Valerie."
Mendadak pangeran itu berhenti. "Sekarang Anda mengerti pergolakan batin saya
ketika saya membuka surat kabar pagi tadi. Andaikan saja Valerie, dalam luapan
emosi yang tiba-tiba - Oh, tidak mungkin!"
Poirot berdiri dan menekan lembut bahu pangeran muda itu. "Jangan biarkan diri
Anda menderita. Serahkanlah perkara ini ke tangan saya."
"Anda akan ke Streatham" Saya kira Valerie masih berada di sana, di Daisymead -
dalam keadaan tidak berdaya karena batinnya guncang."
"Saya akan segera ke sana."
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya sudah mengatur semuanya - melalui kedutaan. Anda diizinkan untuk masuk ke
mana saja." "Kalau begitu kami akan berangkat - Hastings, maukah kau menemaniku" Selamat
tinggal, M. le Prince."
*** Mon Desir adalah vila yang luar biasa indahnya, benar-benar modern dan nyaman.
Ada jalan pendek yang menghubungkan jalan raya dengan bangunan itu dan kebun
yang indah, yang membentang di belakang rumah seluas beberapa hektar.
Begitu kami menyebut nama Pangeran Paul, kepala pelayan yang membukakan pintu
segera membawa kami ke tempat tragedi itu terjadi. Perpustakaan itu benar-benar
luar biasa, memanjang dari depan hingga belakang bangunan, dengan jendela di
setiap ujung, yang satu menghadap jalan di depan dan yang lain menghadap taman.
Di ceruk jendela taman itulah tubuh korban terbaring. Jenazah belum lama
disingkirkan dan polisi sudah menyimpulkan hasil pemeriksaan mereka.
"Menjengkelkan," gerutuku kepada Poirot. "Siapa tahu ada petunjuk yang telah
mereka obrak-abrik?"
Poirot tersenyum. "Eh - eh! Berapa kali aku harus memberitahumu bahwa petunjuk-
petunjuk itu berasal dari dalam" Yaitu dari dalam sel-sel kecil otak kita, di
situlah terletak jawaban setiap misteri."
Poirot menoleh kepada kepala pelayan. "Saya kira ruangan ini belum disentuh,
kecuali untuk keperluan memindahkan jenazah. Benar begitu?"
"Benar, Tuan. Keadaan ruangan ini persis sama dengan ketika polisi datang
semalam." "Tirai-tirai ini - saya lihat ditarik tepat melintasi ceruk dinding. Demikian pula
di jendela satunya. Semalam, apakah tirai-tirai ditutup?"
"Benar, Sir. Saya yang menutupnya setiap malam."
"Kalau begitu, tentunya Reedburn menariknya kembali?"
"Saya kira demikian, Sir."
"Tahukah Anda kalau semalam majikan Anda menantikan tamu?"
"Tuan tidak mengatakan demikian. Tetapi, Tuan berpesan agar dia tidak diganggu
seusai makan malam. Anda tahu, ada pintu keluar dari perpustakaan menuju teras
di samping rumah. Tuan dapat menerima tamu lewat pintu itu."
"Apakah majikan Anda biasa melakukannya?"
Kepala pelayan itu batuk dengan diam-diam. "Saya kira begitu."
Poirot melangkah ke pintu yang dibicarakan itu. Tidak terkunci. Ia berjalan
menuju teras, yang berhubungan dengan jalan kereta di sebelah kanan; sebelah
kiri teras itu menuju dinding bata.
"Kebun buah, Sir. Ada pintu masuknya, tetapi selalu dikunci pada pukul enam
sore." Poirot mengangguk dan masuk ke perpustakaan kembali. Kepala pelayan itu
mengikuti. "Anda tidak mendengar apa-apa semalam?"
"Well, Sir, kami mendengar suara-suara di perpustakaan, beberapa saat sebelum
pukul 21.00. Tapi, kejadian ini tidaklah aneh, terutama karena itu suara wanita.
Akan tetapi, begitu kami semua berada di ruang pelayan, tepat di sisi sebelah
sana, tentu saja kami tidak mendengar apa-apa. Kemudian, kira-kira pukul 23.00
polisi datang." "Berapa suara yang Anda dengar?"
"Saya tidak dapat memastikannya, Sir. Yang saya tangkap hanya suara si wanita."
"Ah!" "Maaf, Sir. Dr. Ryan masih ada di dalam. Mungkin Anda ingin menjumpainya?"
Kami menerima baik saran itu. Dalam beberapa menit saja dokter itu, yang berumur
setengah baya dan berwajah riang, bergabung dengan kami dan memberikan semua
keterangan yang diperlukan Poirot. Reedburn terbaring di dekat jendela,
kepalanya terletak di dekat tempat duduk pualam di bawah jendela. Ada dua luka
di tubuhnya; satu di antara kedua mata dan yang lain - yang mematikan - di kepala
bagian belakang. "Dia tergeletak dalam posisi terlentang?"
"Ya, ada bekasnya." Dr. Ryan menunjuk noda kecil berwarna gelap di lantai.
"Tidak mungkinkah pukulan di kepala bagian belakang itu disebabkan oleh benturan
dengan lantai?" "Mustahil. Apa pun senjata yang digunakan, benda itu menembus tengkorak
sedikit." Poirot nampak berpikir di hadapan Dokter Ryan. Di sudut siku setiap jendela
terletak kursi pualam berukir, yang sandarannya dipermodern dalam bentuk kepala
singa. Sepercik sinar nampak di mata Poirot. "Andaikan saja dia jatuh terlentang
membentur kepala singa yang menonjol ini lalu jatuh ke lantai. Tidakkah
kemungkinan ini menimbulkan luka seperti yang Anda jelaskan tadi?"
"Memang. Tapi, posisi tergeletaknya menjadikan teori itu tidak mungkin. Selain
itu, pasti ada noda darah di atas kursi."
"Kalau noda darah itu sudah dicuci?"
Dokter Ryan mengangkat bahu. "Nampaknya tidak mungkin. Membuat kecelakaan
kelihatan sebagai pembunuhan tidaklah menguntungkan siapa pun juga."
"Benar sekali," Poirot mengiyakan tanpa membantah. "Mungkinkah kedua serangan
itu dilakukan oleh seorang wanita" Bagaimana pendapat Anda?"
"Oh, sangat tidak mungkin saya kira. Anda berpikir tentang Mademoiselle
Saintclair?" "Saya tidak memikirkan seseorang secara khusus sampai saya benar-benar yakin,"
Poirot menjawab lembut. Poirot mengalihkan perhatian pada jendela yang merangkap sebagai pintu yang
didapati dalam keadaan terbuka. Dokter Ryan melanjutkan keterangannya.
"Melalui jendela inilah Mademoiselle Saintclair melarikan diri. Anda dapat
langsung melihat sekilas Daisymead di antara pepohonan. Tentu saja banyak rumah
di depannya. Tapi, nyatanya Daisymead adalah satu-satunya rumah yang kelihatan
dari sini, biarpun letaknya agak jauh."
"Terima kasih untuk kebaikan Anda, Dokter," kata Poirot. "Ayolah, Hastings, kita
ikuti jejak Mademoiselle."
*** Poirot menuruni jalan yang melintasi kebun, keluar melalui pintu gerbang besi,
melewati sebidang tanah berpohon, dan masuk melalui pintu gerbang kebun
Daisymead, rumah sederhana di atas tanah seluas kira-kira setengah hektar. Ada
jejak langkah orang berlari ke arah pintu yang merangkap jendela. Poirot
mengangguk-anggukkan kepala sambil mengikuti jejak-jejak itu.
"Itulah jalan yang dilalui Mademoiselle Saintclair. Kita yang tidak tergesa-gesa
untuk mencari pertolongan lebih baik mengambil jalan putar, menuju pintu depan."
Seorang pelayan wanita menerima dan membawa kami ke ruang duduk. Kemudian, dia
masuk mencari Nyonya Oglander. Jelas ruangan ini belum disentuh sejak tadi
malam. Abu masih berada di perapian. Meja bridge masih terletak di tengah-
tengah, serta terlihat ada sebuah patung yang tangan-tangannya terlempar ke
bawah. Tempat itu agak sesak dengan barang-barang yang tidak berharga. Sejumlah
potret keluarga yang luar biasa jeleknya menghiasi dinding.
Poirot menatap foto-foto itu dengan sikap lebih toleran daripada aku.
Ditegakkannya beberapa potret yang tergantung miring. "La famille. Ikatan
keluarga yang kuat, bukankah begitu, Hastings. Perasaan, lebih penting dari
keindahan." Aku setuju. Bola mataku terpaku pada keluarga yang terdiri atas seorang laki-
laki berewok, seorang wanita dengan rambut depan menjulang tinggi, seorang anak
laki-laki pendiam yang mengenakan setelan tebal, dan dua anak perempuan yang
rambutnya diikat dengan banyak pita. Aku menyimpulkan foto ini adalah wajah
keluarga Oglander pada masa lalu dan mempelajarinya dengan penuh minat.
Pintu terbuka dan seorang wanita muda masuk. Rambutnya yang gelap ditata rapi.
Dia mengenakan mantel olahraga berwarna abu-abu kemerahan dan rok bawah dari
bahan wol. Ditatapnya kami dengan penuh selidik. Poirot melangkah maju. "Nona Oglander"
Maafkan kami karena mengganggu Anda - terutama setelah peristiwa yang Anda alami
ini. Kejadian semalam pasti amat mengganggu."
"Kejadian itu agak membingungkan kami," perempuan muda itu mengaku dengan hati-
hati. Aku mulai berpikir bahwa drama ini tidak berarti apa-apa bagi Nona
Oglander, bahwa daya imajinasinya yang lemah mengalahkan tragedi apa pun juga.
Keyakinanku diperkuat karena ia berkata, "Maaf, ruangan ini masih kacau Bodoh
benar para pelayan; mereka terbenam dalam peristiwa semalam."
"Semalam Anda duduk di sini, n'est-ce pas?"
"Betul Kami tengah bermain bridge sesudah makan malam ketika - "
"Maaf, berapa lama kalian sudah bermain waktu itu?"
"Well - " Nona Oglander berpikir-pikir. "Saya sungguh-sungguh tidak dapat
memastikannya. Saya kira waktu itu sekitar pukul 22.00. Kami sudah menjalani
beberapa ronde." "Anda sendiri duduk - di mana?"
"Menghadap jendela. Saya berpasangan dengan Ibu dan sudah menjalankan satu
kartu, bukan kartu truf. Mendadak, tanpa tanda-tanda apa pun, jendela terbuka
dan Nona Saintclair terhuyung-huyung masuk."
"Anda mengenalinya?"
"Samar-samar saya ingat, wajahnya tidak asing lagi."
"Dia masih di sini, kan?"
"Ya. Tapi dia tidak mau bertemu siapa pun. Ia masih sangat terguncang."
"Saya kira Nona Saintclair akan bersedia menemui kami. Maukah Anda memberitahu
dia bahwa kami datang atas permintaan Pangeran Paul dari Maurania?"
Kulihat nama pangeran itu agak mengguncangkan ketenangan Nona Oglander. Namun,
dia memenuhi permintaan Poirot tanpa berkata-kata lagi, dan segera kembali untuk
memberitahu bahwa Mademoiselle Saintclair akan menerima kami di kamarnya.
Kami ikuti Nona Oglander menaiki tangga, menuju kamar tidur berukuran sedang
yang terang. Di dipan di dekat jendela terbaring seorang wanita yang menoleh
pada waktu kami masuk. Perbedaan mencolok kedua perempuan itu segera menarik
perhatianku; semakin mencolok karena wajah dan warna kulit keduanya sebenarnya
sama - tapi, mereka amat berbeda! Semua pandangan atau gerak Valerie Saintclair
menampakkan keguncangan batinnya. Kelihatannya ia tengah melamun. Gaun rumah
berwarna merah tua dari bahan flanel menutupi kakinya - benar-benar gaun rumah.
Akan tetapi, pesona pribadinya memberikan sentuhan eksotik pada pakaian yang
dikenakannya, sehingga nampak seperti jubah Timur dengan warna berkilauan.
Bola matanya yang gelap terpaku pada Poirot.
"Anda datang atas permintaan Paul?" suaranya serasi dengan penampilannya - penuh
dan tidak bersemangat. "Benar, Mademoiselle. Saya berada di sini untuk membantu dia - dan Anda."
"Apa yang ingin Anda ketahui?"
"Segala sesuatu yang terjadi semalam. Segala sesuatu!"
Valerie melemparkan senyuman yang agak letih.
"Anda kira saya akan berbohong" Saya tidak bodoh. Saya tahu tidak ada tempat
untuk bersembunyi. Laki-laki yang sudah mati itu mengetahui rahasia saya.
Diancamnya saya. Demi Paul, saya berusaha keras untuk mengadakan persetujuan
dengannya. Saya tidak dapat mengambil risiko kehilangan Paul. Sekarang dia sudah
mati dan saya selamat. Tetapi, saya tidak membunuh dia karena hal itu."
Poirot menggeleng seraya tersenyum. "Itu tidak perlu Anda katakan kepada saya,
Mademoiselle. Ceritakanlah apa yang terjadi semalam."
"Saya tawarkan sejumlah uang kepadanya. Kelihatannya dia bersedia
membicarakannya. Dia menetapkan waktu tadi malam, pukul 21.00. Saya harus pergi
ke Mon Desir. Tempat itu tidak asing buat saya karena saya pernah ke sana. Saya
dipesannya untuk masuk ke perpustakaan lewat pintu samping supaya para pelayan
tidak melihat kedatangan saya."
"Maaf, Mademoiselle. Apakah Anda tidak takut seorang diri ke sana?"
Bayanganku sajakah atau benar-benar ada sela sejenak sebelum Nona Saintclair
menjawab" "Mungkin saya memang takut. Tapi, Anda tahu, tidak ada yang dapat menemani saya.
Dan saya dalam keadaan putus asa. Reedburn mempersilakan saya masuk ke
perpustakaan. Oh, laki-laki itu! Saya senang dia sudah mati! Dia mempermainkan
saya, seperti kucing mempermainkan tikus. Diejeknya saya, padahal saya begitu
memohon kepadanya. Saya tawarkan semua permata yang saya punyai. Sia-sia saja.
Kemudian, dia menyebut syarat-syarat yang ditetapkannya sendiri. Mungkin Anda
dapat menebak syarat-syarat itu. Tentu saja saya menolak. Saya mengutarakan
pendapat saya tentang dirinya. Saya maki-maki dia. Dia tetap saja tersenyum
tenang. Lalu, pada waktu saya berhenti mencercanya, terdengar suara - dari balik
tirai jendela.... Dia mendengar juga. Dia menuju tirai dan dibukanya lebar-
lebar. Seorang laki-laki bersembunyi di sana - wajahnya menakutkan, seperti
gelandangan. Orang itu memukul Reedburn - sekali lagi, dan Reedburn jatuh.
Gelandangan itu mencengkeram saya dengan tangannya yang ternoda darah. Saya
berhasil melepaskan diri, menyelinap lewat jendela, dan lari menyelamatkan diri.
Lalu, saya melihat sinar dari dalam rumah ini dan lari kemari. Tirai tergulung
ke atas. Saya lihat beberapa orang tengah bermain bridge. Hampir saja saya jatuh
ketika masuk ruangan itu. Saya hanya dapat menggumamkan 'Pembunuhan'. Lalu
semuanya gelap - " "Terima kasih, Mademoiselle. Kejadian itu pasti mengguncangkan Anda. Dapatkah
Anda menggambarkan gelandangan itu" Anda ingat pakaian yang dikenakannya waktu
itu?" "Tidak. Kejadiannya begitu cepat. Tetapi, saya pasti mengenali orang itu kalau
bertemu. Wajahnya sudah tertanam di benak saya."
"Satu pertanyaan lagi saja, Mademoiselle. Tirai jendela yang lain, jendela yang
menghadap jalan, tertutup atau terbuka?"
Untuk pertama kalinya kebingungan merayapi wajah penari itu. Kelihatannya ia
berusaha untuk mengingat-ingat.
"Bagaimana, Mademoiselle?"
"Saya kira, hampir pasti - ya, saya yakin! Tirai itu tidak tertutup."
"Ini mencurigakan karena tirai yang lain tertutup. Tidak mengapa. Tidak terlalu
penting. Anda akan lama tinggal di sini, Mademoiselle?"
"Menurut dokter saya sudah cukup sehat untuk pulang besok." Nona Saintclair
menatap sekeliling kamar. Nona Oglander sudah keluar. "Keluarga ini, mereka baik
sekali - tetapi mereka lain dari dunia saya. Saya membuat mereka terguncang. Dan
bagi saya - well, saya tidak suka orang-orang borjuis."
Samar-samar nada kepahitan mendasari ucapannya.
Poirot mengangguk. "Saya mengerti. Semoga pertanyaan-pertanyaan ini tidak
terlalu melelahkan Anda."
"Sama sekali tidak, Monsieur. Saya cuma sangat mengharapkan Paul mengetahui
semua ini secepatnya."
"Kalau begitu, selamat siang, Mademoiselle."
Pada waktu akan meninggalkan kamar, Poirot berhenti sejenak dan memungut
sepasang selop yang terbuat dari kulit. "Selop Anda, Mademoiselle?"
"Benar, Monsieur. Baru saja dibersihkan dan diantarkan kemari."
"Ah!" kata Poirot selagi kami menuruni anak tangga. "Kelihatannya para pelayan
tidak terlalu bergairah untuk mencuci sepatu, meskipun mereka mau saja bila
disuruh. Nah, Sobat, rupanya ada satu atau dua hal yang menarik, tapi aku
khawatir - khawatir sekali - kita harus menganggap kasus ini selesai. Semua
nampaknya cukup jelas."
"Dan si pembunuh?"
"Hercule Poirot tidak mengejar gelandangan," jawabnya dengan kata-kata yang
muluk. *** Nona Oglander menemui kami di gang. "Kalau Anda mau menunggu sebentar di ruang
duduk, Mama ingin bicara dengan Anda berdua."
Ruang duduk itu belum juga disentuh. Dengan malas-malasan Poirot mengumpulkan
dan mengocok kartu-kartu bridge yang ada dengan tangannya yang kecil dan terawat
baik. "Kau tahu apa yang kupikirkan, Sobat?"
"Tidak," sahutku penuh semangat.
"Kukira Nona Oglander keliru waktu mengatakan ia sudah menjalankan satu kartu
tapi bukan kartu truf. Seharusnya ia sudah menjalankan tiga kartu sekop."
"Poirot! Engkau terlalu!"
"Mon Dieu, aku toh tidak harus selalu berbicara tentang darah dan masalah."
Tiba-tiba Poirot menegang. "Hastings - Hastings. Lihat! Kartu raja klaver itu
tidak ada!" "Zara!" teriakku.
"Eh?" Rupanya Poirot tidak memahami peringatanku. Dengan cekatan ditumpuknya
kartu-kartu itu dan dimasukkannya ke dalam kotaknya. Wajahnya serius sekali.
"Hastings," akhirnya ia bersuara, "aku, Hercule Poirot, hampir saja membuat
kesalahan besar - kesalahan yang besar sekali."
Kutatap dia dengan pandangan terpana, tanpa tahu apa maksudnya.
"Kita harus mulai lagi, Hastings. Ya, kita harus mulai lagi. Tapi, kali ini kita
tidak boleh membuat kesalahan."
Kata-kata Poirot terputus karena seorang wanita setengah baya yang cantik
memasuki ruangan. Di tangannya terdapat beberapa buku mengenai rumah tangga.
"Anda kawan - eh - Nona Saintclair?"
"Saya datang atas permintaan kawannya, Madame."
"Oh, saya mengerti. Saya kira mungkin - "
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak Poirot menunjuk ke jendela.
"Tirai jendela itu tidak ditutup semalam?"
"Tidak - saya kira karena itulah Nona Saintclair melihat cahaya dalam rumah ini
dengan jelas." "Semalam bulan bersinar terang. Saya jadi bertanya-tanya apakah Anda tidak
melihat Nona Saintclair dari tempat duduk Anda yang menghadap jendela?"
"Kami asyik bermain kartu. Kejadian seperti semalam belum pernah kami alami."
"Saya tahu, Madame. Dan saya akan membuat Anda tenang. Besok Nona Saintclair
akan meninggalkan tempat ini."
"Oh!" Wajah cantik itu berubah cerah.
"Dan, selamat pagi, Madame."
Seorang pelayan tengah membersihkan tangga ketika kami melewati pintu depan.
Poirot menyapanya. "Anda membersihkan sepatu wanita di lantai atas?"
Yang ditanya menggeleng. "Tidak, Sir. Setahu saya sepatu itu tidak dibersihkan."
"Lalu, siapa yang membersihkan," tanyaku sewaktu kami sampai di jalan.
"Tidak seorang pun. Sepatu itu memang tidak perlu dibersihkan."
"Aku tahu kalau cuma berjalan di jalan atau jalan setapak pada malam yang terang
memang tidak akan mengotorkan sepatu. Tapi, sepatu itu pasti kotor kalau dipakai
melewati rumput-rumput di kebun yang tinggi."
"Betul," Poirot menimpali sambil tersenyum ingin tahu. "Aku setuju. Sepatu itu
pasti kotor." "Tapi - " "Sabar sebentar, Hastings. Kita kembali ke Mon D?sir."
*** Kepala pelayan terperanjat melihat kami lagi, namun ia tidak menolak keinginan
kami untuk kembali ke perpustakaan.
"Hai! Bukan jendela yang itu, Poirot!" Aku berseru melihat Poirot melangkah ke
jendela yang menghadap jalan.
"Kukira tidak, Sobat. Kemarilah." Poirot menunjuk kepala singa dari pualam. Di
atasnya ada noda yang sudah samar-samar warnanya. Dialihkannya jarinya ke noda
serupa di lantai. "Seseorang menghantam di antara kedua mata Reedburn dengan tangan tergenggam.
Reedburn jatuh ke belakang, menimpa pualam ini dan merosot ke lantai. Setelah
itu, ia diseret ke jendela satunya dan dibaringkan di sana, tapi tidak dalam
posisi seperti yang dijelaskan Dokter Ryan."
"Mengapa" Hal itu toh tidak perlu."
"Justru sebaliknya, tindakan ini penting sekali. Di sinilah kunci bagi identitas
pembunuh - biarpun sebenarnya ia tidak berniat membunuh Reedburn. Jadi, lebih baik
tidak menyebutnya pembunuh. Orang itu pasti kuat sekali."
"Karena menyeret mayat Reedburn?"
"Sama sekali tidak. Perkara ini menarik. Walaupun begitu hampir saja aku menjadi
orang tolol." "Engkau mau mengatakan bahwa kasus ini sudah selesai dan engkau sudah mengetahui
semuanya?" "Ya." Satu ingatan mengentakku. "Tidak!" seruku. "Satu hal yang tidak kauketahui."
"Apa itu?" "Di mana kartu raja klaver yang hilang itu?"
"Eh" Pertanyaan yang menggelikan, Sobat. Menggelikan."
"Kenapa?" "Karena kartu itu ada di sakuku." Dikeluarkannya kartu itu dan dilambaikannya.
"Ooo...." kataku kecewa. "Di mana kautemukan itu" Di sini?"
"Tidak ada yang luar biasa. Kartu itu cuma tidak dikeluarkan bersama kartu-kartu
lainnya. Ada di dalam kotaknya."
"Hmm! Tapi, kartu itu memberimu ilham, kan?"
"Betul, Sobat. Aku berterima kasih kepada Yang Kuasa."
"Dan kepada Madame Zara!"
"Ah, ya, kepada perempuan itu juga."
"Lalu, apa yang kita perbuat sekarang?"
"Kembali ke kota. Tapi, aku harus berbicara dulu kepada seorang wanita di
Daisymead." Pelayan wanita yang bertubuh kecil itu lagi yang membuka pintu.
"Mereka sedang makan siang, Sir. Kalau Nona Saintclair yang ingin Anda temui, ia
tengah beristirahat."
"Bisa saya bertemu Nyonya Oglander sebentar" Tolong beritahu dia."
Kami dipersilakan menunggu di ruang duduk. Sekilas aku melihat keluarga Oglander
di kamar makan pada waktu kami lewat. Sekarang, dua orang laki-laki yang
kelihatannya kuat dan pendiam melengkapi keluarga itu. Seorang berkumis, yang
satunya selain berkumis berjenggot pula.
Dalam beberapa menit Nyonya Oglander muncul dan memandang Poirot dengan mata
bertanya-tanya. Poirot membungkuk.
"Madame, di negara kami orang sangat bersimpati dan menghormati para ibu. Mere
de famille, ibu adalah segalanya."
Nampaknya Nyonya Oglander terkejut mendengar kata-kata ini.
"Karena itulah saya datang - untuk menenteramkan hati seorang ibu. Pembunuh
Reedburn tidak akan diketahui. Jangan khawatir. Saya, Hercule Poirot, yang
mengatakannya, Saya benar, bukan" Atau, seorang istri yang harus saya
tenangkan?" Hening sejenak. Nyonya Oglander menyelidiki Poirot dengan pandangannya.
Akhirnya, ia berkata lirih, "Saya tidak mengerti bagaimana Anda bisa tahu - tapi,
Anda memang benar." Poirot mengangguk dengan wajah muram. "Ini saja, Madame. Jangan gelisah. Polisi-
polisi Inggris tidak memiliki mata Hercule Poirot." Diketuknya potret keluarga
itu dengan kukunya. "Dulu Anda punya anak perempuan yang lain. Dia sudah meninggal, Madame?"
Lagi-lagi hening sebentar, ketika pandangan nyonya rumah menyelidiki Poirot.
Lalu Nyonya Oglander menjawab, "Ya, sudah meninggal."
"Ah!" komentar Poirot cepat. "Well, kami harus kembali ke kota. Boleh saya
mengembalikan kartu raja klaver ini" Di sinilah kekhilafan Anda. Anda mengerti,
bermain bridge selama lebih kurang satu jam, hanya dengan 51 kartu - bagi orang
yang tahu permainan ini pasti tidak akan percaya sedikit pun! Selamat siang."
"Sekarang, Sobatku, engkau mengerti semuanya," kata Poirot dalam perjalanan kami
menuju stasiun. "Aku tidak mengerti apa-apa! Siapa yang membunuh Reedburn?"
"John Oglander muda. Tadinya aku tidak begitu yakin siapa pembunuhnya, si ayah
atau anak. Tapi, aku memusatkan perhatian pada si anak karena ia lebih muda dan
kuat. Pelakunya pasti salah seorang dari mereka karena jendela itu."
"Mengapa begitu?"
"Ada empat jalan keluar dari perpustakaan - dua pintu dan dua jendela. Jelas satu
saja cukup. Sedangkan tiga di antaranya menuju ke depan, baik langsung ataupun
tak langsung. Tragedi itu pasti terjadi di jendela belakang supaya seakan-akan
Valerie Saintclair datang ke Daisymead secara kebetulan. Tentu saja Nona
Saintclair benar-benar pingsan dan John Oglander memondongnya pulang. Itu
sebabnya kukatakan ia kuat sekali."
"Kalau begitu, apakah mereka pergi bersama-sama?"
"Betul. Engkau ingat keragu-raguan Nona Saintclair ketika kutanyai apakah dia
tidak takut pergi sendiri" John Oglander menemaninya - tapi kukira ini tidak
mengubah kekerasan hati Reedburn. Mereka bertengkar. Mungkin kata-kata
menyakitkan yang dilontarkan kepada Nona Saintclair itu membuat John Oglander
menghantam Reedburn. Selanjutnya engkau tahu."
"Mengapa bridge yang dipilih?"
"Bridge memerlukan empat pemain. Sederhana tapi sangat meyakinkan. Siapa yang
akan mengira bahwa hanya ada tiga orang di ruangan itu sepanjang malam?"
Aku masih bingung. "Satu yang tidak kumengerti. Apa hubungan keluarga Oglander dengan si penari,
Valerie Saintclair?"
"Ah, aku heran engkau tidak tahu. Padahal engkau melihat foto keluarga di
dinding itu cukup lama - lebih lama dariku. Putri Nyonya Oglander yang lain
mungkin sudah mati bagi keluarganya, tapi dunia mengenalnya sebagai Valerie
Saintclair!" "Apa?" "Apa engkau tidak melihat kemiripan mereka sewaktu melihat dua perempuan
bersaudara itu bersama-sama?"
"Tidak," aku mengakui. "Aku cuma melihat betapa berbedanya mereka."
"Itu karena pikiranmu hanya dipengaruhi penampilan luar, Hastings. Wajah mereka
hampir sama. Begitu juga warna kulit. Yang menarik adalah Valerie malu akan
keluarganya dan keluarganya juga malu akan Valerie. Biarpun begitu, dalam bahaya
Valerie minta tolong saudara laki-lakinya. Dan sewaktu ada masalah, mereka
bersatu secara mengagumkan. Kekuatan keluarga memang menakjubkan. Seluruh
anggota keluarga itu dapat berakting. Di sanalah Valerie mendapatkan bakat seni
dramanya. Aku, seperti Pangeran Paul, percaya akan sifat-sifat turunan. Mereka
mengelabuiku! Tanpa adanya kekhilafan yang menguntungkanku dan pertanyaan yang
berhasil kupakai untuk menyudutkan Nyonya Oglander serta keterangan putrinya
mengenai posisi duduk mereka yang bertentangan, keluarga Oglander akan
mengalahkan Hercule Poirot."
"Apa yang akan kaukatakan kepada Pangeran?"
"Valerie Saintclair tidak mungkin melakukan pembunuhan itu dan aku rasa
gelandangan itu tidak akan pernah diketemukan. Selain itu, aku akan menyatakan
pujianku kepada Zara. Kebetulan yang menimbulkan rasa ingin tahu! Bagaimana
kalau kasus kecil ini kujuluki Petualangan Kartu Raja Klaver, Sobat?"
VII WARISAN DINASTI LEMESURIER
BERSAMA Poirot, aku sudah menyelidiki berbagai perkara yang aneh. Tapi, kukira
semuanya itu belum apa-apa dibandingkan dengan serangkaian kejadian aneh yang
selama bertahun-tahun menarik perhatian kami, dan mencapai puncaknya ketika
masalah itu disodorkan untuk ditangani oleh Poirot. Perhatian kami pada sejarah
dinasti Lemesurier muncul pertama kali pada masa perang.
Aku dan Poirot belum lama berkumpul lagi, mengulang saat-saat perkenalan kami di
Belgia. Waktu itu Poirot sudah menangani beberapa perkara kecil dari Departemen
Angkatan Bersenjata - yang hasilnya sangat memuaskan - dan kami sedang makan malam
di Carlton bersama seorang perwira tinggi yang berulang kali memuji Poirot.
Perwira tinggi itu terpaksa buru-buru pergi karena ada janji dengan orang lain.
Dengan santai kami mereguk habis kopi kami, sebelum mengikuti jejak perwira
tinggi kawan kami itu. Pada waktu kami meninggalkan ruangan, sebuah suara yang kukenal memanggilku. Aku
menoleh dan kulihat Kapten Vincent Lemesurier, pemuda yang kukenal di Prancis.
Ia bersama seorang laki-laki yang lebih tua. Kemiripan keduanya menunjukkan
bahwa mereka bersaudara. Memang begitulah adanya; karena laki-laki yang
bersamanya itu diperkenalkan kepada kami sebagai Hugo Lemesurier, paman kawan
kami yang masih muda ini.
Aku tidak begitu mengenal Kapten Lemesurier, tapi dia pemuda yang menyenangkan
dan agak melankolis. Orang-orang mengatakan Kapten Lemesurier adalah keturunan
sebuah keluarga yang eksklusif, keluarga yang mempunyai tanah di Northumberland
semenjak sebelum masa Reformasi. Karena udak tergesa-gesa, atas undangan pemuda
itu, kami duduk bersama mereka dan membicarakan berbagai hal yang cukup
menyenangkan. Hugo Lemesurier berumur kira-kira 40 tahun. Bahunya yang bungkuk
menandakan kesarjanaannya. Rupanya waktu itu dia terlibat dalam beberapa proyek
penelitian kimia pemerintah.
Percakapan kami terputus dengan kedatangan seorang pemuda bertubuh tinggi dan
berkulit gelap yang jelas-jelas sedang kebingungan.
"Syukurlah! Akhirnya kutemukan juga kalian!" serunya.
"Ada apa, Roger?"
"Boss-mu, Vincent. Jatuh. Dari kuda." Kata-kata berikutnya tidak jelas karena ia
pindah ke samping. Beberapa menit kemudian kedua kawan kami ini buru-buru meninggalkan kami. Ayah
Vincent Lemesurier mengalami kecelakaan parah ketika ia mencoba menunggang
seekor kuda. Diperkirakan ia tidak akan bertahan hidup sampai besok. Mendengar
berita ini, Vincent pucat-pasi dan kelihatannya hampir tidak dapat berkata apa-
apa. Aku agak terkejut - karena dari perbincangan kami di Paris dulu, aku
menyimpulkan hubungan Vincent dengan ayahnya tidaklah harmonis. Karena itulah
perasaan kasih seorang anak yang diperlihatkannya membuatku sedikit heran.
Roger Lemesurier, pemuda berkulit gelap yang diperkenalkan kepada kami sebagai
sepupu, tetap tinggal. Bertiga kami keluar.
"Peristiwa ini agak mencurigakan," Roger membuka pembicaraan. "Mungkin menarik
bagi Anda, M. Poirot. Saya sudah mendengar tentang Anda - dari Higginson
(Higginson adalah perwira tinggi kawan kami tadi). Katanya, psikologi Anda
hebat." "Saya memang mempelajari psikologi," kata Poirot hati-hati.
"Anda lihat wajah sepupu saya tadi" Dia benar-benar terpukul, kan" Anda tahu
alasannya" Kutukan keluarga yang kuno! Anda mau mendengar kisahnya?"
"Anda baik sekali mau menceritakannya kepada kami."
Roger Lemesurier melihat arlojinya.
"Cukup banyak waktu. Akan saya temui mereka nanti di King's Cross. Nah, M.
Poirot, dinasti Lemesurier sudah lama ada. Pada abad pertengahan, seorang
Lemesurier mencurigai istrinya. Dia memergoki istrinya dalam keadaan yang
mencurigakan. Si istri bersumpah bahwa ia tidak bersalah, tapi Baron Hugo tidak
peduli. Mereka mempunyai seorang anak laki-laki dan Baron Hugo bersikeras bahwa
anak itu bukanlah darah dagingnya, sehingga tidak akan menerima warisan. Saya
lupa apa yang dilakukan Baron Hugo - semacam hukuman abad pertengahan seperti
mengurung ibu dan anak itu hidup-hidup; pokoknya Baron membunuh mereka berdua
Ibu itu meninggal sambil meneriakkan kesucian hatinya dan mengutuk keluarga
Lemesurier untuk selama-lamanya. Tak satu pun putra pertama keluarga Lemesurier
akan menerima warisan - begitulah bunyi kutukan itu. Waktu berlalu dan kesucian
wanita itu ternyata benar. Saya percaya Hugo menebus kesalahannya dengan berdoa
di biara hingga akhir hayatnya. Tapi, yang mencurigakan, sampai sekarang tidak
ada putra pertama yang mendapat warisan. Warisan jatuh ke tangan saudara laki-
lakinya, keponakan laki-laki, atau putra kedua - tidak pernah ke tangan putra
sulung. Ayah Vincent adalah putra kedua dari lima laki-laki bersaudara. Yang
sulung meninggal sewaktu masih bayi. Tentu saja selama ini Vincent yakin bahwa
dirinyalah yang akan terkena kutukan berikutnya. Anehnya, kedua adik laki-
lakinya sudah mati terbunuh, sedangkan dia sendiri masih terhindar."
"Sejarah keluarga yang menarik," komentar Poirot serius. "Sekarang ayahnya
menyongsong maut dan dia, sebagai putra sulung, tetap tidak apa-apa."
"Tepat. Kutukan itu sudah usang. Tidak mempan lagi di zaman modern."
Poirot menggeleng, seakan-akan mencela nada olok-olok itu. Roger Lemesurier
melihat arlojinya dan mengatakan ia harus pergi sekarang juga.
Kisah itu berlanjut keesokan harinya, ketika kami mendengar tentang kematian
tragis Vincent Lemesurier. Ia mengadakan perjalanan ke utara dengan kereta api
pos Skotlandia. Malam itu pasti ia membuka pintu kamar tidur kereta lalu
melompat ke luar. Rasa terpukul atas kecelakaan ayahnya, yang berkembang menjadi
perasaan kacau sementara ini diperkirakan menjadi penyebabnya. Segi takhayul
keluarga Lemesurier yang mencurigakan itu disebut-sebut, dalam hubungannya
dengan ahli waris yang baru, yaitu saudara laki-laki ayah Vincent - Ronald
Lemesurier - yang putra tunggalnya gugur di Somme.
Kukira, pertemuan kami terjadi secara kebetulan dengan almarhum Kapten Vincent
Lemesurier membuat kami tertarik dengan segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan keluarga Lemesurier. Dua tahun kemudian kami mencatat kematian Ronald
Lemesurier, yang pada waktu menjadi pewaris pusaka keluarga telah cacat seumur
hidup. Adiknya, John, mewarisi haknya. John ini seorang yang sehat, segar, dan
mempunyai seorang putra di Eton.
Jelas nasib buruk melingkupi keluarga Lemesurier. Pada liburan sekolah
berikutnya anak laki-laki John bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri. John
sendiri mati mendadak setelah disengat lebah, sehingga tanah milik keluarga
Lemesurier jatuh ke tangan si bungsu dari lima laki-laki bersaudara - Hugo, yang
bertemu dengan kami di Carlton pada malam naas itu.
Selama ini kami hanya mengomentari serangkaian musibah aneh yang menimpa
keluarga Lemesurier, karena tidak ada kepentingan pribadi kami dengan persoalan
ini. Tapi, kini tiba saatnya kami harus menangani kasus ini.
*** Suatu pagi, kami diberi tahu akan kedatangan "Nyonya. Lemesurier". Orangnya
tinggi, aktif, berumur sekitar tiga puluh tahun. Sikapnya menunjukkan ketegasan
dan akal sehatnya yang kuat. Sedikit aksen transatlantik mewarnai bicaranya.
"M. Poirot" Saya senang bertemu Anda. Beberapa tahun yang lalu suami saya, Hugo
Lemesurier, bertemu Anda. Mungkin Anda sudah lupa."
"Saya ingat sekali, Madame. Pertemuan itu terjadi di Carlton."
"Anda hebat, M. Poirot. Saya khawatir sekali."
"Tentang apa, Madame."
"Putra pertama saya - putra saya ada dua, Ronald delapan tahun dan Gerald enam
tahun."
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Teruskan, Madame. Mengapa Anda khawatir akan si kecil Ronald?"
"M. Poirot, enam bulan terakhir ini Ronald sudah tiga kali lolos dari maut.
Suatu kali dia hampir tenggelam - waktu kami di Cornwall musim panas ini; kali
lainnya dia jatuh dari jendela ruang anak-anak; dan kali lainnya lagi dia
keracunan zat lemas."
Rupanya wajah Poirot terlalu jelas mencerminkan apa yang ada di benaknya karena
Nyonya Lemesurier buru-buru melanjutkan perkataannya. "Ya, saya tahu Anda
menganggap ini ketololan wanita saja, membesar-besarkan persoalan kecil."
"Sama sekali tidak, Madame. Ibu mana pun bisa dimaafkan kalau gelisah akan
kejadian-kejadian seperti itu. Tapi, saya mungkin tidak bisa menolong Anda. Saya
bukan le bon Dieu yang dapat mengendalikan gelombang laut. Dan jendela ruang
anak-anak, sebaiknya dipasangi teralis besi; kemudian tentang makanan - apa yang
dapat menandingi perawatan seorang ibu?"
"Tapi, mengapa semua ini menimpa Ronald, bukan Gerald?"
"Kesempatan, Madame - le hasard!"
"Anda berpendapat begitu?"
"Bagaimana pendapat Anda, Madame - Anda dan suami Anda?"
Mendung melintas di wajah Nyonya Lemesurier.
"Tidak ada gunanya mengadu kepada Hugo - dia tidak akan percaya. Mungkin Anda
sudah mendengar kutukan keluarga Lemesurier - tidak seorang putra sulung pun yang
akan mendapat warisan. Hugo percaya pada kutukan ini. Ia terbenam dalam sejarah
keluarga dan percaya sekali pada takhayul. Setiap kali saya ceritakan
kekhawatiran saya, dia cuma berkomentar bahwa itu kutukan dan kami tidak dapat
melepaskan diri dari kutukan itu. Namun, saya berasal dari Amerika Serikat, M.
Poirot. Di sana orang tidak terlalu percaya pada kutukan. Kami menganggap
kutukan sebagai milik keluarga-keluarga elit kuno - dan sikap ini memberikan
semacam cachet. Apakah Anda tidak tahu" Pada waktu bertemu Hugo, saya cuma
seorang aktris komedi musikal - dan saat itu saya menganggap kutukan keluarga
Lemesurier terlalu manis untuk dirumuskan dengan kata-kata, yang cocok
dibicarakan pada senja musim dingin Sambil mengelilingi perapian. Tapi, kalau
kutukan itu menimpa anak sendiri - saya sangat sayang kepada anak-anak saya, M.
Poirot. Akan saya lakukan apa saja untuk mereka."
"Jadi Anda tidak percaya pada legenda keluarga itu?"
"Bisakah legenda melihat melalui batang tanaman merambat?"
"Apa maksud Anda, Madame?" Poirot berseru dengan penuh keheranan.
"Saya katakan, dapatkah legenda - atau hantu, kalau Anda lebih senang menyebutnya
demikian - melihat melalui batang tanaman merambat" Saya tidak membicarakan
kecelakaan di Cornwall. Setiap anak laki-laki mungkin saja berenang terlalu jauh
ke tengah dan mendapat kesulitan - biarpun Ronald sudah bisa berenang sejak umur
empat tahun. Tanaman merambat ini soal lain. Kedua anak saya memang nakal
sekali. Mereka mengetahui bahwa mereka dapat naik dan turun melalui tanaman itu.
Dan keduanya naik dan turun berulang kali. Suatu hari - waktu itu Gerald sedang
pergi - Ronald memanjat berkali-kali. Tanaman menjalar itu akhirnya tidak kuat dan
Ronald jatuh. Untung ia tidak cedera. Saya keluar untuk memeriksa tanaman itu.
Ternyata tanaman itu dipotong, M. Poirot - sengaja dipotong."
"Yang Anda ceritakan ini serius sekali, Madame. Anda mengatakan waktu itu
adiknya tidak di rumah?"
"Benar." "Pada waktu keracunan zat lemas itu, apakah adiknya tidak di rumah juga?"
"Keduanya ada."
"Mencurigakan," gumam Poirot. "Madame, siapa saja yang tinggal di rumah Anda?"
"Nona Saunders, guru pribadi anak-anak dan John Gardiner, sekretaris suami saya
- " Sejenak Nyonya Lemesurier berhenti, seakan-akan ia agak malu.
"Siapa lagi, Madame?"
"Mayor Roger Lemesurier, yang juga Anda temui malam itu, lama tinggal bersama
kami." "Ah, ya, dia saudara sepupu, kan?"
"Sepupu jauh. Dia tidak termasuk anggota keluarga kami. Meskipun begitu, kini
dia menjadi famili terdekat suami saya. Pemuda itu cepat sekali akrab dan kami
semua menyukainya. Anak-anak senang sekali kepadanya."
"Apakah dia yang mengajar anak-anak memanjat tanaman menjalar itu?"
"Mungkin saja. Cukup sering Roger mendorong anak-anak berbuat usil."
"Madame, maafkan perkataan saya tadi. Ternyata ada bahaya dan saya yakin saya
dapat membantu. Saya minta Anda mengundang kami berdua tinggal bersama Anda.
Keberatankah suami Anda?"
"Oh, tidak. Tapi dia yakin usaha ini akan sia-sia. Sikapnya yang cuma duduk-
duduk dan mengharapkan Ronald mati membuat saya marah sekali."
"Tenanglah, Madame. Mari kita atur rencana kita secara metodik."
*** Rencana kami susun sebagaimana mestinya. Keesokan harinya kami terbang ke utara.
Poirot tenggelam dalam lamunan. Dia tersentak dari lamunannya lalu berkata
cepat-cepat, "Bukankah Vincent Lemesurier jatuh dari kereta api seperti ini?"
Ditekankannya ucapan kata "jatuh".
"Engkau tidak curiga ada permainan kotor, kan?"
"Pernahkah engkau berpikir, Hastings, kematian beberapa anggota keluarga
Lemesurier itu diatur" Misalnya, kematian Vincent. Lalu anak laki-laki di Eton
itu - kecelakaan akibat senapan selalu membingungkan. Andaikan Ronald jatuh dari
jendela kamar anak-anak dan terempas sampai mati - kan tidak mencurigakan" Mengapa
cuma seorang anak saja, Hastings" Siapa yang mendapat keuntungan dari kematian
anak pertama" Adiknya anak ketujuh! Tidak masuk akal!"
"Mereka bermaksud melenyapkan yang lain setelah itu," aku mengemukakan gagasan,
walaupun hanya secara samar-samar menyebut siapa "mereka" itu.
Poirot menggeleng, seakan-akan tidak puas.
"Keracunan zat lemas," gumamnya. "Atropine menimbulkan gejala yang sama. Betul,
kehadiran kita diperlukan."
Nyonya Lemesurier menyambut kami dengan antusias. Dibawanya kami ke ruang kerja
suaminya dan ditinggalkannya kami di sana. Hugo banyak berubah dibandingkan
terakhir kali aku melihatnya. Sekarang bahunya jauh lebih bungkuk dan wajahnya
pucat secara aneh. Ia mendengarkan saja ketika Poirot menjelaskan maksud
kedatangan kami ke rumahnya.
"Persis seperti pemikiran Sadie yang praktis!" akhirnya ia bersuara. "Tapi,
tentu saja, M. Poirot - terima kasih atas kehadiran kalian; tapi - yang sudah
tertulis tidak dapat dihapus. Jalan orang berdosa itu berat. Kami, keluarga
Lemesurier tahu - tak seorang pun dari kami dapat menyelamatkan diri dari kutukan
itu." Poirot menyebut tanaman menjalar yang digergaji, namun Hugo nampaknya tidak
terlalu terkesan. "Jelas kecerobohan tukang kebun - memang, memang, itu bisa menjadi sarana, tapi
tujuannya jelas. Saya beritahu Anda, M. Poirot, waktunya tidak dapat ditunda
lama-lama." Poirot memandangnya dengan penuh perhatian.
"Mengapa Anda berkata begitu?"
"Karena saya sendiri terkutuk. Tahun lalu saya ke dokter. Penyakit yang saya
idap tidak dapat diobati - akhir hidup saya tidak lama lagi. Tapi, sebelum saya
meninggal, Ronald akan diambil lebih dulu. Gerald yang akan mendapatkan
warisan." "Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?"
"Tidak akan terjadi apa pun pada Gerald. Dia tidak kena kutukan."
"Umpama itu terjadi?" Poirot bersikeras.
"Sepupu saya, Roger, adalah ahli waris berikutnya."
Pembicaraan kami disela. Seorang laki-laki dengan postur tubuh yang bagus serta
rambut ikal berwarna merah masuk membawa berkas-berkas.
"Biarkan saja dulu berkas-berkas itu, Gardiner," kata Hugo Lemesurier. Lalu ia
menambahkan, "Sekretaris saya, John Gardiner."
Sekretaris itu membungkukkan badan, berbasa-basi sebentar, lalu keluar. Biarpun
ganteng, ada sesuatu yang menjijikkan dalam dirinya. Beberapa saat kemudian
kukatakan perasaanku ini kepada Poirot, ketika kami berjalan-jalan mengelilingi
bangunan kuno yang indah itu. Aku agak terkejut karena Poirot sependapat.
"Ya, ya, Hastings, engkau benar. Aku tidak menyukainya. Orangnya terlalu tampan.
Dia lebih cocok untuk pekerjaan ringan yang dibayar mahal. Ah, itu dia anak-
anak." Nyonya Lemesurier menghampiri kami, kedua anaknya berada di sampingnya. Anak-
anak itu tampan, yang kecil berkulit gelap seperti ibunya, sedangkan kakaknya
berambut ikal kemerah-merahan. Mereka berjabat tangan dengan kami dengan sikap
yang cukup mengesankan. Segera saja mereka menunjukkan rasa sayang yang tulus
kepada Poirot. Kemudian kami diperkenalkan kepada Nona Saunders, seorang wanita
yang biasa-biasa saja. *** Beberapa hari kami melewati saat-saat yang menyenangkan, tanpa kesulitan - tetap
waspada, namun tanpa hasil. Anak-anak itu menjalani kehidupan normal yang
bahagia dan kelihatannya semua beres. Pada hari keempat kehadiran kami, Mayor
Roger Lemesurier datang untuk menginap. Dia tidak banyak berubah, masih riang
gembira dan sopan seperti dulu dan menganggap enteng semua masalah. Jelas sekali
dia amat disukai oleh kedua bocah itu. Keduanya menyambut kedatangannya dengan
seruan kegembiraan dan segera menyeretnya ke kebun untuk bermain Indian liar.
Kulihat Poirot mengikuti mereka dengan diam-diam!
*** Hari berikutnya kami semua diundang minum teh oleh Lady Claygate, tetangga
sebelah keluarga Lemesurier. Nyonya rumah menyarankan agar kami datang juga,
tapi ia kelihatan sedikit lega ketika Poirot menolak dan mengatakan lebih suka
tinggal di rumah. Begitu mereka berangkat, Poirot bekerja. Gerak-geriknya mengingatkanku pada
anjing terier yang cerdas. Aku percaya tidak ada sudut rumah itu yang luput dari
penyelidikannya. Walaupun begitu, semua ini dilakukannya secara diam-diam dan
metodik sehingga gerak-geriknya sama sekali tidak menarik perhatian. Akhirnya,
Poirot tetap tidak puas. Kemudian kami minum teh bersama Nona Saunders, yang
juga tidak ikut ke jamuan minum teh.
"Anak-anak pasti menikmati jamuan minum teh itu," katanya lirih. "Saya harap
mereka bersikap manis dan tidak merusakkan tempat persemaian bunga atau bermain-
main di dekat lebah - "
Poirot berhenti mereguk minumannya. Wajahnya seperti orang melihat hantu.
"Lebah?" tanyanya dalam suara yang menggeledek.
"Betul, M. Poirot. Lebah. Tiga sarangnya. Lady Claygate bangga sekali dengan
lebah-lebahnya - " "Lebah?" seru Poirot lagi. Kemudian ia meninggalkan meja dan mondar-mandir di
teras sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Aku tidak dapat menebak
mengapa laki-laki bertubuh kecil ini begitu gelisah hanya karena mendengar kata
"lebah". Waktu itulah kami mendengar suara mobil. Poirot berdiri di pintu masuk ketika
rombongan itu turun. "Ronald disengat lebah!" teriak Gerald penuh semangat.
"Tidak apa-apa," kata Nyonya Lemesurier. "Lukanya juga belum membengkak. Kami
bubuhkan amonia di lukanya."
"Boleh saya melihatnya, sayang?" pinta Poirot. "Mana yang luka?"
"Di sini, di leher bagian samping," Ronald menjawab dengan gaya orang penting.
"Tapi, sengatan itu tidak melukai. Ayah mengatakan, 'Jangan bergerak - ada lebah
di badanmu.' Saya tidak bergerak dan Ayah mengambilnya. Binatang itu sudah
menyengat saya dulu, walaupun tidak melukai. Cuma seperti ditusuk peniti. Saya
juga tidak menangis karena sudah besar. Lagi pula, tahun depan saya masuk
sekolah." Poirot memeriksa leher Ronald, dan berlalu. Digamitnya lenganku, lalu ia
berbisik. "Malam nanti, Sobat. Malam nanti akan ada peristiwa kecil! Jangan katakan ini -
kepada siapa pun." Poirot tidak mau berbicara lebih jauh. Kulewati petang itu dengan penuh rasa
ingin tahu. Sore-sore ia masuk ke kamar dan aku mengikutinya. Sewaktu menaiki
tangga, ia memegang lenganku dan menyampaikan perintah-perintahnya.
"Jangan ganti pakaian dulu. Matikan lampu dan susullah aku di sini."
Aku menurut. Kudapatkan dia tengah menungguku. Dengan gerak isyarat Poirot
memintaku diam. Kami merangkak tanpa bersuara sepanjang sayap kamar anak-anak.
Ronald menempati kamarnya sendiri yang kecil. Kami masuk lalu mengambil posisi
di sudut yang paling gelap. Napas Ronald terdengar berat. Ia tidak terganggu
oleh kehadiran kami. "Dia tidur nyenyak sekali, kan?" bisikku.
Poirot mengangguk. "Dibius," bisiknya.
"Mengapa?" tanyaku heran.
"Supaya dia tidak berteriak kalau - "
"Kalau apa?" aku menuntut jawaban melihat Poirot menghentikan perkataannya.
"Kalau nanti disuntik, Sobat! Diam. Kita jangan bicara lagi - kuharap sesuatu
terjadi beberapa saat lagi."
*** Kali ini Poirot keliru. Hampir sepuluh menit berlalu, barulah pintu dibuka
pelan-pelan dan seseorang masuk. Kudengar dengus napas memburu dan langkah-
langkah menuju tempat tidur. Tiba-tiba terdengar bunyi "klik". Sinar lentera
elektris kecil menyoroti anak itu - pemegangnya masih tidak terlihat dalam bayang
kegelapan. Sosok itu meletakkan lentera. Dengan tangan kanannya ia mengeluarkan
alat suntik; tangan kirinya menyentuh leher Ronald -
Berbarengan aku dan Poirot melompat. Lentera kecil itu terguling di lantai dan
kami bergumul dalam kegelapan. Kekuatannya benar-benar luar biasa. Akhirnya kami
berhasil mengalahkannya juga.
"Lampu, Hastings. Aku harus melihat wajahnya - biarpun aku yakin wajahnya kukenal
baik." "Begitu juga aku," pikirku sambil meraba-raba, mencari lentera itu. Sejenak aku
sempat mencurigai sekretaris Hugo, terpengaruh rasa tidak senangku kepadanya.
Tapi sekarang aku yakin bahwa pria yang ingin mendapatkan keuntungan dari
kematian dua sepupunya yang masih kecil adalah orang tidak waras yang sedang
kami ikuti jejaknya. Kakiku menendang lentera. Kupungut benda itu dan kunyalakan. Benda itu bersinar
penuh pada wajah - Hugo Lemesurier, ayah si bocah!
"Tidak mungkin!" bisikku parau. "Tidak mungkin!"
*** Lemesurier tidak sadarkan diri. Kami memondongnya ke kamarnya lalu
membaringkannya di tempat tidurnya. Poirot membungkuk. Dengan hati-hati
dilepaskannya sesuatu dari tangan kanan Hugo. Diperlihatkannya benda itu
kepadaku. Jarum suntik. Aku merasa ngeri.
"Apa isinya" Racun?"
"Asam semut, kukira."
"Asam semut?" "Ya. Mungkin didapat dengan cara menyaring semut. Dia ahli kimia, engkau ingat"
Kematian akan dihubungkan dengan sengatan lebah."
"Ya, Tuhan," aku berkomat-kamit. "Anaknya sendiri! Dan engkau sudah menduganya?"
Poirot mengangguk sedih. "Ya. Tentu saja dia gila. Kukira sejarah keluarga itu sudah membuatnya tidak
waras. Keinginannya yang kuat untuk mewarisi tanah keluarga mendorongnya
melakukan serangkaian perbuatan kriminal. Mungkin saja pikiran ini muncul
pertama kali dalam benaknya ketika ia melakukan perjalanan ke utara bersama
Vincent. Dia tidak dapat menerima kalau kutukan itu nantinya tidak terbukti.
Anak Ronald sudah tiada dan Ronald sendiri tengah menyongsong maut - orang-orang
yang bernasib jelek. Diaturnya kematian dengan senapan - yang tidak kucurigai
sampai sekarang - direncanakannya kematian saudaranya, John, dengan cara yang sama
dengan menyuntikkan asam semut ke dalam urat leher. Dengan demikian ambisinya
menjadi kenyataan dan dia menjadi tuan dari berhektar-hektar tanah keluarga.
Tapi, sorak kemenangannya tidak berumur panjang karena didapatinya dirinya
mengidap penyakit yang tidak dapat diobati. Dan timbullah gagasan gila - putra
sulung Lemesurier tidak akan menjadi ahli waris. Aku kira kecelakaan sewaktu
mandi di laut itu disengajanya - dia mendorong Ronald berenang terlalu ke tengah.
Gagal. Lalu dia memotong tanaman menjalar. Setelah itu meracuni makanan si kecil
Ronald." "Kejam!" bisikku sambil menggigil ngeri. "Dan direncanakan dengan begitu rapi!"
"Betul, Sobat. Tidak ada yang lebih mengherankan dari gagasan orang gila! Atau,
sikap eksentrik orang waras yang luar biasa! Kukira akhir-akhir ini dia
bertindak kelewat batas. Ada penyebab kegilaannya."
"Aku ingat aku mencurigai Roger - pemuda yang baik itu."
"Itu wajar, Sobat. Kita tahu, ia juga bersama Vincent dalam perjalanan malam
itu. Kita tahu pula, dialah ahli waris setelah Hugo serta kedua anaknya. Tapi,
kenyataan tidak mendukung dugaan kita. Tanaman menjalar itu dipotong pada waktu
hanya Ronald yang berada di rumah - padahal Roger pasti menghendaki kematian kedua
anak itu. Begitu pula, hanya makanan Ronald yang diracuni. Dan ketika itu, aku
Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu hanya ayah Ronald yang mengatakan anaknya disengat lebah. Aku pernah
melihat orang lain mati karena sengatan lebah - itulah sebabnya aku jadi mengerti
semua ini." *** Beberapa bulan kemudian Hugo Lemesurier meninggal di rumah sakit jiwa swasta,
tempat ia tinggal setelah peristiwa malam itu. Tahun berikutnya, jandanya
menikah kembali dengan John Gardiner, sekretaris yang berambut merah itu. Ronald
mewarisi tanah ayahnya yang luas dan terus mengembangkannya.
"Well, well," kataku kepada Poirot. "Hilang lagi satu pandangan yang
menyesatkan. Engkau berhasil mengalahkan kutukan keluarga Lemesurier dengan
gemilang." "Aku jadi bertanya-tanya sendiri," ujar Poirot serius. "Sungguh, aku jadi
bertanya-tanya sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Sobat, kujawab pertanyaanmu dengan satu kata kunci - 'merah'!"
"Darah?" aku sangsi, sehingga suaraku hanya terdengar sebagai bisikan.
"Imajinasimu selalu saja bernada sensasional, Hastings! Yang kumaksudkan adalah
sesuatu yang tidak begitu mengerikan - warna rambut si kecil Ronald Lemesurier!"
VIII TAMBANG YANG HILANG SAMBIL menghela napas, kuletakkan buku tabunganku.
"Aneh," kataku, "saldo rekeningku di bank tak pernah bertambah sedikit pun."
"Itu membuatmu gelisah" Astaga, Hastings! Kalau aku yang mengalaminya, aku tidak
akan bisa tidur sepanjang malam."
"Neraca keuanganmu cukup seimbang, ya," komentarku pedas.
"Empat ratus empat puluh empat pound, empat puluh empat penny," lapor Poirot
dengan nada puas terhadap dirinya sendiri. "Angka yang rapi, bukan?"
"Pasti itu kebijaksanaan manajer bankmu. Dia tentunya tahu akan kesenanganmu
pada detil-detil yang simetris. Bagaimana kalau kita menanamkan, katakanlah,
tiga ratus dolar untuk ladang minyak Procupine" Iklan berbagai surat kabar hari
ini mengatakan mereka akan membayar keuntungan saham seratus persen tahun
depan." "Tidak kalau aku," sahut Poirot sambil menggeleng. "Aku tidak suka segala
sesuatu yang sensasional. Buatku tabungan sama dengan penanaman dengan cermat -
les rentes - simpanan untuk hari tua - apa istilahmu" - konversi."
"Engkau pernah melakukan investasi yang spekulatif?"
"Tidak, Sobatku," jawabnya enggan. "Tidak akan pernah. Satu-satunya saham yang
kupunyai, itu pun tanpa risiko apa pun, besarnya empat belas ribu pound di Burma
Mines Ltd." Poirot menghentikan perkataannya sebentar, dengan nada menunggu aku meminta ia
melanjutkan kisahnya. "Ya?" aku mendesak.
"Dan saham itu kudapat tanpa membayar sepeser pun - saham itu imbalan kerja
otakku. Mau mendengar kisahnya" Ya?"
"Tentu saja mau."
"Tambang itu terletak di pedalaman Birma, kira-kira dua ratus mil dari Rangoon
ke arah pedalaman. Ditemukan abad kelima belas oleh orang-orang Cina dan digali
sampai masa pemberontakan orang-orang Islam. Akhirnya, tambang itu ditinggalkan
tahun 1868. Orang-orang Cina mengambil bijih perak timah yang banyak terdapat di
bagian atas badan bijih itu, lalu meleburnya untuk mengambil peraknya, sehingga
meninggalkan ampas bijih yang mengandung timah. Kemudian tambang ini ditemukan
oleh pekerja-pekerja Birma. Tapi, galian-galian itu sudah dipenuhi air dan batu-
batu urukan. Akibatnya, usaha untuk menemukan sumber bijih itu sia-sia belaka.
Banyak regu yang dikirim oleh sindikat-sindikat dan mereka sudah menggali secara
luas, tapi timah yang menggiurkan ini belum ada yang mendapatkannya. Kemudian,
salah seorang wakil sindikat mencium jejak keluarga Cina yang diperkirakan masih
menyimpan catatan situasi tambang. Waktu itu yang menjadi kepala keluarga adalah
Wu Ling." "Cerita roman komersial yang menarik sekali," komentarku.
"Ya, kan" Hastings, kisah roman dapat tercipta tanpa gadis-gadis pirang yang
cantik jelita - maaf aku salah; rambut merahlah yang selalu membuatmu begitu
bergairah. Engkau ingat - "
"Teruslah bercerita," sergahku buru-buru.
"Nah, Sobat, mereka mendekati Wu Ling. Dia saudagar yang patut dihargai dan
sangat dihormati di propinsi tempat tinggalnya. Segera dia mengaku mempunyai
dokumen-dokumen yang ditanyakan itu dan siap mengadakan transaksi penjualan
surat berharga itu. Tapi Wu Ling hanya mau berurusan dengan para pimpinan
perusahaan. Akhirnya diputuskan Wu Ling harus ke Inggris untuk menemui direksi
sebuah perusahaan penting.
"Wu Ling berangkat dengan kapal uap Assunta, yang berlabuh di dermaga
Southampton pada pagi bulan November yang dingin dan berkabut. Salah seorang
direktur, Tuan Pearson, menjemputnya. Pada waktu Pearson tiba, Wu Ling sudah
tiba sebelumnya dan berangkat ke London sendiri naik kereta khusus. Pearson
kembali dengan agak mendongkol karena ia tidak tahu sama sekali di mana orang
Cina itu menginap. Siangnya kantor perusahaan dihubungi Wu Ling, yang menginap
di Hotel Russel Square. Setelah pelayaran itu ia sedikit tidak enak badan, tapi
pasti dapat menghadiri pertemuan dewan yang diadakan keesokan harinya.
"Pertemuan akan dimulai pukul 11.00. Pukul 11.30 Wu Ling belum muncul juga.
Karena itu, sekretaris dewan menghubungi Hotel Russell Square dan diberitahu
bahwa Wu Ling keluar bersama seorang kawannya pada pukul 10.30. Kelihatannya
orang Cina itu pergi untuk menghadiri rapat. Pagi berlalu tanpa kehadiran Wu
Ling. Mungkin saja dia tersesat karena ia buta mengenai kota London. Namun,
hingga larut malam ia tidak kembali ke hotel. Sekarang, karena khawatir sekali,
Pearson menyerahkan persoalan ini ke tangan polisi. Hari berikutnya masih belum
ada jejak orang yang hilang ini. Menjelang malam hari berikutnya, sesosok mayat
ditemukan terapung di Sungai Thames, dan dikenali sebagai mayat Wu Ling yang
malang itu. Baik di jenazah korban maupun di kamar hotel, tidak diketemukan
berkas-berkas yang berkaitan dengan tambang timah itu.
"Ketika itulah aku dilibatkan dalam perkara itu. Pearson menghubungiku.
Sementara ia masih sangat terguncang dengan kematian Wu Ling, ia ingin sekali
mendapatkan dokumen-dokumen yang menjadi tujuan kunjungan almarhum ke Inggris.
Keinginan utama polisi, tentu saja, adalah melacak jejak pembunuh - dokumen
menjadi pertimbangan kedua. Pearson menginginkan aku bekerja sama dengan polisi
sambil bertindak untuk kepentingan perusahaan.
"Tanpa banyak bertanya aku setuju. Ada dua bidang yang harus kuselidiki. Aku
dapat memeriksa karyawan perusahaan yang mengetahui kedatangan orang Cina ini
dan penumpang kapal yang mungkin mengetahui misi Wu Ling. Aku mulai dengan yang
terakhir, sebagai ruang lingkup penyelidikan yang lebih sempit. Aku bertemu
dengan Inspektur Miller yang bertugas menangani pembunuhan ini - orangnya lain
sama sekali dengan kawan kita Japp; angkuh, sikapnya tidak terpuji, dan tak
tertahankan. Bersama-sama kami mewawancarai awak kapal. Hanya sedikit yang dapat
mereka sampaikan. Selama berlayar, korban lebih banyak menyendiri dan hanya
akrab dengan dua penumpang - yang satu seorang Eropa yang berandalan, namanya
Dyer, dan kelihatannya punya reputasi yang kurang baik; yang lain karyawan bank
yang masih muda, Charles Lester, yang sedang dalam perjalanan kembali dari Hong
Kong. Kami beruntung mendapatkan potret kedua orang ini. Waktu itu keyakinan
bahwa andaikan salah seorang terlibat, pasti Dyer orangnya. Didapat informasi
dia menjadi anggota kelompok penjahat Cina, sehingga dia paling pantas
Bidadari Dari Sungai Es 7 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Kaki Tiga Menjangan 6