Pencarian

Kasus Terakhir Miss Marple 2

Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie Bagian 2


"Oh ya" Apa?"
"Murgatroyd sudah kuurus. Dia punya anak laki-laki di Amerika. Nah, kuatur
supaya dia pergi ke sana menyertai anaknya itu. Aku yang akan membayar biaya
perjalanannya." "Oh, Harry, bagus sekali. Kurasa dengan begitu aku akan bisa menyukai
Kingsdean." "Jadi suka" Padahal ini adalah tempat terindah di seluruh dunia!"
- Louise agak bergidik. Tak semudah itu ia menghilangkan rasa takutnya yang
bagaikan takhayul itu. Kaum wanita St. Mary Mead sebenarnya akan senang sekali kalau bisa memberikan
informasi tentang masa lalu Harry pada Louise, namun Harry Laxton sudah lebih
dulu mengambil tindakan. Pada suatu hari Miss Harmon dan Clarice Vane
93 berada di toko Mr. Edge. Yang seorang membeli kapur barus, dan yang seorang lagi
membeli sebungkus obat antihairia. Tiba-tiba Harry Laxton dan istrinya masuk.
Setelah menyapa kedua wanita itu, Harry berbalik ke meja pelayanan dan baru akan
menanyakan sikat gigi, tapi kata-katanya terhenti dan ia berseru dengan gembira,
"Wah, wah, ini kejutan! Pasti Belia, ya?"
Mrs. Edge, yang bergegas keluar dari belakang untuk membantu kesibukan di toko,
membalas sapaannya dengan tersenyum ceria, memperlihatkan giginya yang besar-
besar dan putih. Dulu ia seorang gadis berambut hitam yang cantik, dan sampai
sekarang pun masih cantik, meskipun dia sudah ngak gemuk dan garis-garis
wajahnya mulai kasar. Tapi mata cokelatnya yang besar tampak penuh kehangatan
waktu ia menjawab, "Memang Belia, Mr. Harry, senang bertemu Anda setelah sekian
lama." Harry menoleh pada istrinya. "Belia ini bekas pacarku, Louise," katanya. "Aku
tergila-gila padanya waktu itu, bukan begitu, Belia?"
"Ah, kau," kata Mrs. Edge.
Louise tertawa. Katanya, "Suami saya senang sekali bertemu dengan teman-teman
lamanya lagi." "Oh," kata Mrs. Edge, "kami tak lupa padamu, Harry. Rasanya seperti dongeng
saja, kau menikah dan membangun kembali Kingsdean House yang sudah bobrok itu."
"Kau kelihatan sehat dan makin cantik saja,"
94 kata Harry. Mrs. Edge tertawa dan berkata bahwa ia tak kurang suatu apa, lalu
menanyakan bagaimana dengan sikat gigi itu.
Clarice melihat wajah Miss Harmon yang terkejut, dan berpikir, Hebat, Harry. Kau
telah menggagalkan rencana mereka.
Dokter Haydock tiba-tiba berkata pada keponakannya, "Aku mendengar omong kosong
tentang si tua Mrs. Murgatroyd yang suka berkeliaran di Kingsdean, dan
mengacung-acungkan tinjunya sambil mengutuk penghuni baru itu."
"Itu bukan omong kosong. Itu memang benar. Itu sangat menyusahkan Louise."
"Katakan padanya supaya dia jangan kuatir. Waktu suami-istri Murgatroyd itu
masih menjadi penjaga rumah di sana, tak henti-hentinya mereka menggerutu
tentang rumah itu. Mereka tetap tinggal di situ karena Murgatroyd itu peminum
dan tak bisa mendapatkan pekerjaan lain."
"Akan saya katakan," kata Clarice ragu, "tapi saya rasa dia tidak akan percaya.
Soalnya perempuan tua itu berteriak-teriak dengan marah sekali."
"Aku tak mengerti. Waktu Harry masih kecil, mereka sayang sekali padanya."
"Yah...," kata Clarice, "sebentar lagi mereka tidak akari diganggu lagi. Harry
telah membiayai perjalanannya ke Amerika."
Tiga hari kemudian, Louise terlempar dari kuda dan tewas.
Dua orang laki-laki yang sedang berada di mobil
95 tukang roti menyaksikan kecelakaan itu Mereka melihat Lousie berkuda keluar dari
pintu pagar, kudanya melihat perempuan tua itu melompat dan berdiri di jalan
sambil mengayun-ayunkan tangan dan berteriak. Mereka melihat kuda itu terkejut,
mengelak, lalu melesat membabi buta, hingga Louise terlempar melewati kepalanya.
Salah seorang di antaranya berdiri memandangi wanita yang pingsan itu, tanpa
tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan yang seorang lagi berlari cepat ke
rumah untuk meminta bantuan.
Harry Laxton datang berlari-lari dengan wajah pucat. Mereka melepaskan pintu
mobil tukang roti itu untuk mengangkat Louise ke rumah. Louise meninggal tanpa
sempat siuman dan sebelum dokter tiba.
(Demikianlah akhir naskah Dokter Haydock)
Waktu Dokter Haydock tiba keesokan paginya, ia gembira melihat wajah Miss Marple
sudah bersemu dadu dan sikapnya sudah jauh lebih-ceria.
"Nah," katanya, "bagaimana keputusannya?"
"Apa masalahnya, Dokter Haydock?" balas Miss Marple.
"Ah, apakah masih harus saya katakan?"
"Apakah mengenai kelakuan aneh istri penjaga rumah itu?" kata Miss Marple.
"Mengapa dia berkelakuan begitu aneh" Orang memang keberatan kalau diusir dari
rumahnya. Tapi itu bukan rumah mereka. Dan dia bahkan dulu suka mengeluh dan
menggerutu, waktu masih tinggal di situ. Ya, kelihatannya memang ada yang tidak
beres. Apa yang terjadi atas dirinya, ya?"
"Dia sudah lari - ke Liverpool. Kecelakaan itu membuatnya ketakutan. Kurasa dia
sekarang sedang menunggu kapal."
"Semuanya itu sangat menguntungkan bagi seseorang," kata Miss Marple. "Ya, saya
rasa masalah kelakuan penjaga rumah itu bisa diselesaikan dengan mudah.
Penyuapan, kan?" "Itukah penyelesaian Anda?"
"Yah, bila apa yang dilakukannya itu tidak wajar, berarti dia main sandiwara,
dan itu berarti ada orang yang membayarnya untuk berbuat begitu."
"Dan Anda tahu siapa orang itu?"
"Ya, saya rasa begitulah. Lagi-lagi soal uang. Dan saya selalu melihat bahwa
laki-laki cenderung mengagumi tipe yang sama."
"Saya jadi tak mengerti."
"Ah, semuanya berkaitan. Harry Laxton mengagumi Bella Edge, wanita berambut
hitam yang bersemangat. Demikian pula keponakan Anda, Clarice. Sedangkan
istrinya yang malang, lain sekali tipenya berambut pirang dan sangat bergantung?pada orang lain sama sekali bukan tipe yang disukainya. Jadi, Harry menikahinya
?pasti karena uangnya. Dan membunuhnya karena uangnya pula!"
"Anda menggunakan kata 'membunuh'?"
"Yah, kedengarannya Harry memang tipe seperti itu. Mudah menarik perhatian
wanita dan suka sekali menuruti hasratnya yang jahat. Saya rasa
97 96 dia ingin tetap memiliki uang istrinya dan menikahi keponakan Anda. Dia memang
kelihatan berbicara dengan Mrs. Edge, tapi saya rasa dia sudah tidak tertarik
lagi padanya. Namun kelihatannya wanita malang itu menduga laki-laki itu masih
tertarik padanya, dan dia segera bertekuk lutut."
"Menurut Anda, bagaimana sebenarnya dia mem-. bunuh istrinya?"
Miss Marple menatap ke depan dengan mata birunya yang menerawang selama beberapa
menit. "Waktunya sudah direncanakan dengan baik, hingga mobil tukang roti itu ada di
situ. Mereka memang melihat perempuan tua itu, dan mereka tentu mengaitkan
ketakutan kuda itu dengannya. Tapi saya pikir itu disebabkan oleh sebuah senapan
angin atau ketapel. Ya, tepat pada saat kuda itu melewati pintu gerbang. Tentu
saja si kuda berlari melesat, dan Mrs. Laxton terlempar."
Ia berhenti dan mengerutkan alisnya.
"Wanita itu memang mungkin tewas karena jatuh. Tapi suaminya tidak yakin. Dia
jenis orang yang selalu menyiapkan rencananya dengan cermat dan tak mau
bergantung pada kesempatan. Apalagi Mrs. Edge bisa saja menjual sesuatu padanya
tanpa diketahui suaminya. Kalau bukan begitu, untuk apa Harry bermanis-manis
dengannya" Ya, saya rasa dia telah menyiapkan suatu obat keras, yang bisa
diberikan pada wanita itu sebelum Anda tiba. Soalnya, bila seorang wanita
terlempar dari kudanya dan menderita cedera berat, lalu meninggal tanpa pernah
siuman, yah... biasanya dokter tidak
98 akan curiga, kan" Dia akan menduga bahwa itu disebabkan oleh shock atau yang
lain." Dokter Haydock mengangguk.
"Mengapa Anda curiga?"
"Itu bukan karena saya pintar," kata Dokter Haydock. "Itu merupakan kenyataan
biasa yang sudah kita kenal. Seorang pembunuh yang begitu senang dengan
kecerdikannya jadi tidak berhati-hati. Saya baru saja mengucapkan kata-kata
hiburan pada suami yang kehilangan itu, dan memang juga merasa kasihan padanya.
Lalu dia mengempaskan dirinya ke sofa untuk bersandiwara, dan sebuah alat suntik
jatuh dari sakunya. "Dia cepat-cepat memungutnya dan kelihatan ketakutan sekali, hingga saya jadi
berpikir. Harry Laxton bukan pemakai obat-obat terlarang; kesehatannya prima.
Jadi, untuk apa dia memiliki alat suntik" Waktu melakukan otopsi, secara khusus
saya teliti kalau-kalau ada kandungan sebangsa racun pembunuh yang bernama
strophanthin. Sisanya mudah saja. Laxton juga memiliki strophanthin, dan waktu
Belia ditanyai oleh polisi, dia mengakui bahwa dialah yang menjualnya pada
Harry. Dan akhirnya si tua Mrs. Murgantroyd mengakui pula bahwa Harry Laxton-lah
yang mengatur supaya dia bersandiwara dengan ancaman kutukan itu."
"Lalu bisakah keponakan Anda melupakan peristiwa itu?"
"Bisa. Dia memang tertarik pada laki-laki itu, tapi belum sampai terlalu jauh."
99 Sang dokter mengambil naskahnya.
"Nilai tertinggi untuk Anda, Miss Marple, dan nilai tertinggi pula untuk resep
saya yang tepat. Anda boleh dikatakan sudah pulih kembali."
100 Kasus Pelayan yang Sempurna t$
"Maafkan saya, Madam, bolehkah saya berbicara dengan Anda sebentar?"
Permintaan itu bisa dianggap tidak masuk akal, karena Edna, pelayan kecil Miss
Marple-lah yang berbicara dengan majikannya pada saat itu.
Tapi, karena tahu bahwa tentu ada sesuatu yang sangat penting, maka Miss Marple
langsung berkata, "Tentu, Edna, masuklah dan tutup pintunya. Ada apa?"
Setelah dengan patuh menutup pintu, Edna masuk ke kamar sambil melipit-lipit
sudut celemeknya dan menelan beberapa kali.
"Ya, Edna?" tanya Miss Marple membesarkan hati.
"Maaf, Ma'am, ini mengenai sepupu saya, Gladdie."
"Astaga," kata Miss Marple. Pikirannya langsung membayangkan yang
terburuk bahwa Gladys mungkin hamil. "Dia mengalami... kesulitan?"?Edna cepat-cepat menenangkannya "Oh, tidak, Ma'am, bukan begitu. Gladdie bukan
gadis yang 101 begitu. Tapi dia sedang susah. Soalnya dia kehilangan pekerjaannya."
"Wah, kasihan sekali. Dia bekerja di Old Hall, kan, untuk Miss Skinner atau Miss
Skinner Bersaudara?"
"Benar, Ma'am. Dan Gladdie sedih sekali susah sekali."
?"Bukankah dia memang sudah sering berpindah-pindah tempat bekerja?"
"Memang, ,dia memang suka berpindah-pindah tempat bekerja. Agaknya dia tak
pernah merasa tenang di suatu tempat. Tapi selama ini selalu dia yang minta
berhenti!" "Dan kali ini keadaannya terbalik?" tanya Miss Marple datar.
"Benar, Ma'am, dan Gladdie susah sekali."
Miss Marple melihat dengan agak terkejut. Ingatannya mengenai Gladys> yang
sekali-sekali datang untuk minum teh di dapur pada hari liburnya, adalah bahwa
gadis itu tinggi besar, suka cekikikan, dan bertemperamen tinggi.
Edna berkata lagi, "Soalnya, Ma'am, cara kejadiannya itu cara pandangan Miss
?Skinner." "Bagaimana cara Miss Skinner memandang"' tanya Miss Marple dengan sabar.
Kini Edna sudah bisa menyampaikan beritanya dengan lancar.
"Wah, Gladdie terkejut sekali, soalnya Miss Emily kehilangan salah satu brosnya.
Dia ribut sekali. Tentu saja tak ada seorang pun yang suka keadaan seperti itu.
Itu tentu menyusahkan sekali,
102 bukan, Ma'am" Gladdie membantu mencarinya ke mana-mana. Lalu Miss Lavinia
mengatakan dia akan melaporkannya pada polisi, tapi barang itu ditemukan,
terselip di bagian belakang sebuah laci meja rias. Gladdie senang sekali.
"Keesokan harinya sebuah piring pecah, dan Miss Lavinia marah sekali, lalu
menyuruh Gladdie berhenti mulai bulan berikutnya. Gladdie merasa itu tak mungkin
disebabkan oleh piring yang pecah itu. Itu hanya dijadikan alasan. Gara-garanya
pasti bros itu. Mereka tentu mengira Gladdie yang telah mengambilnya dan
mengembalikannya setelah mereka menyebut-nyebut polisi. Padahal Gladdie tak
mungkin melakukan hal semacam itu, tidak akan pernah. Dia ingin membantah nal
itu, karena itu merupakan hal penting bagi seorang gadis, bukan, Ma'am?"
Miss Marple mengangguk. Meskipun kurang menyukai Gladys yang banyak ulah dan
selalu merasa dirinya hebat, Miss Marple yakin bahwa gadis itu pada dasarnya
jujur, dan ia mengerti benar mengapa gadis itu jadi begitu susah.
Dengan murung Edna berkata, "Saya rasa tak ada yang bisa Anda lakukan, bukan"
Tapi seperti biasa, Gladdie itu suka memaksa."
"Katakan padanya supaya jangan bodoh," kata Miss Marple dengan tegas. "Kalau dia
memang tidak mengambil bros itu aku percaya dia memang tidak mengambilnya maka? ?dia tak perlu susah."
"Akan saya sampaikan," kata Edna murung.
"Aku... eh...," kata Miss Marple, "kebetulan
103 akan pergi ke arah itu petang ini. Aku akan berbicara dengan Miss Skinner
bersaudara itu." "Oh, terima kasih, Ma'am," kata Edna.
Old Hall adalah sebuah rumah besar bergaya Victoria, yang dikelilingi oleh hutan
dan areal taman. Karena rumah itu terbukti tak laku disewakan dan dijual, maka
seorang spekulator bangunan membagi rumah itu menjadi empat buah flat dengan
sistem air panas sentral; tanah di sekelilingnya boleh digunakan bersama oleh
para penyewa. Eksperimen itu terbukti memuaskan. Seorang wanita tua yang kaya
dan nyentrik menempati satu flat. ^Wanita tua itu suka sekali burung, dan setiap
kali mengumpulkan hewan-hewan bersayap itu untuk diberi makan. Seorang pensiunan
hakim India menyewa flat kedua. Sepasang suami-istri muda yang baru menikah,
menempati flat ketiga, dan flat keempat baru disewa dua bulan yang lalu oleh dua
orang wanita lajang bernama Skinner. Hubungan penyewa keempat flat itu tidak
akrab, karena masing-masing tak punya persamaan. Kata orang, pemilik bangunan
itu senang akan keadaan tersebut. Yang ditakutinya adalah kalau terjalin
persahabatan yang disusul oleh perpecahan, dan kemifSian pengaduan terhadapnya.
Miss Marple kenal pada semua penyewa itu, meskipun tidak kenal baik benar. Yang
lebih tua dari Miss Skinner Bersaudara, Miss Lavinia, boleh dikatakan yang lebih
rajin di antara mereka berdua. Miss Emily, yang lebih muda, menghabiskan se-104
bagian besar waktunya di tempat tidur, menderita keluhan-keluhan yang, menurut
pendapat orang-orang St. Mary Mead, sebagian besar hanya bayangannya saja. Hanya
Miss Lavinia yang sungguh-sungguh percaya akan penderitaan adiknya, dan ia sabar
menanggungnya. Dengan rela ia mau disuruh-suruh pergi ke mana saja di desa,
untuk membeli barang-barang yang "tiba-tiba diinginkan" oleh adiknya.
Menurut penduduk St. Mary Mead, sekiranya Miss Emily memang menderita
setengahnya saja dari apa yang dikatakannya, ia pasti sudah lama meminta Dokter
Haydock datang. Tapi bila hal itu dianjurkan padanya, Miss Emily langsung
memejamkan matanya dan bergumam bahwa sakitnya tidak sesederhana itu, dan para
spesialis di London pun merasa bingung. Dikatakannya pula bahwa ada seorang
dokter baru yang hebat, yang telah menanganinya dengan cara baru yang
revolusioner, -dan ia berharap kesehatannya akan membaik dengan pengobatan itu.
Tak seorang pun dokter umum biasa yang bisa mengerti penyakitnya.
"Dan kupikir," kata Miss Hartnell yang banyak bicara, "dia cukup cerdik untuk
tidak memeriksakan dirinya pada Dokter Haydock. Karena Dokter Haydock yang baik
dan suka berterus terang itu pasti akan berkata bahwa dia tidak apa-apa, lalu
dia akan disuruh bangun dan tidak meributkannya! Itu baru baik baginya!"
Namun karena tak pernah mendapatkan penanganan semacam itu, Miss Emily tetap
saja ber - 105 baring di sofa-sofa, dikelilingi oleh botol-botol pil yang aneh. Ia menolak
hampir semua makanan yang dimasakkan untuknya dan meminta yang lain, yang
biasanya sulit dan tak mudah didapatkan.
Yang membukakan pintu untuk Miss Marple adalah "Gladdie" yang kelihatan sangat
tertekan. Tak per-i nah Miss Marple mengira bahwa ia bisa kelihatan begitu. Di
ruang duduk (suatu bagian dari bekas ruang tamu utama yang telah dibagi menjadi
ruang makan, ruang tamu utama, kamar mandi, dan lemari pelayan), Miss Lavinia
bangkit menyambut Miss Marple.
Lavinia Skinner adalah seorang wanita bertubuh tinggi, kurus, dan bertulang. Ia
berumur lima puluh tahun. Suaranya serak dan sikapnya tegas.
"Senang bertemu dengan Anda," katanya. "Emily sedang berbaring. Hari ini dia
merasa tidak sehat. Kasihan dia. Sebenarnya saya ingin dia bangun dan bertemu
dengan Anda, supaya dia agak ceria. Tapi kadang-kadang dia tak ingin bertemu


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan siapa-siapa. Kasihan dia, dia sabar sekali."
Miss Marple menanggapi dengan sopan. Pelayan merupakan bahan percakapan utama di
St. Mary Mead, maka tidaklah sulit untuk mengarahkan percakapan ke topik itu.
Kata Miss Marple, ia mendengar bahwa gadis manis bernama Gladys Holmes itu akan
berhenti. Miss Lavinia mengangguk. "Hari Rabu minggu yang akan datang. Dia sering
memecahkan barang-barang. Saya tak suka." ?Miss Marple mendesah dan berkata bahwa sekarang ini kita harus banyak
menyesuaikan diri dengan keadaan. Sulit sekali untuk mendapatkan pelayan-pelayan
yang mau bekerja di desa. Apakah Miss Skinner merasa sudah tepat memecat Gladys"
"Saya tahu, memang sulit mendapatkan pelayan," kata Miss Lavinia. "Keluarga
Devereux tak punya pelayan, tapi saya tidak heran mereka selalu bertengkar,
?lalu membunyikan musik jazz, sepanjang malam, setiap saat ingin makan. Wanita
muda itu tak tahu apa-apa tentang rumah tangga. Saya merasa kasihan pada
suaminya! Lalu suami-istri Larkin baru saja kehilangan pelayan mereka. Tentu
saja, soalnya pensiunan hakim India itu pemarah sekali, dan selalu minta apa
yang disebutnya chota hazri pada jam enam pagi, sedangkan Mrs. Larkin selalu
ribut. Jadi, saya tidak heran. Pelayan Mrs. Carmichael yang bernama Janet itu
sudah lama sekali, padahal menurut saya dia sama sekali tidak baik. Dia berani
pada wanita tua itu."
"Kalau begitu, apakah menurut Anda pemecatan atas Gladys tak bisa
dipertimbangkan lagi" Dia gadis yang baik sekali. Saya kenal semua keluarganya;
dia jujilr dan terpercaya sekali."
Miss Lavinia menggeleng. "Saya punya alasan," katanya dengan sikap penting.
"Saya dengar Anda kehilangan bros," gumam Miss Marple.
"Wah, siapa yang berbicara" Saya rasa gadis itu. Terus terang saja, saya boleh
dikatakan yakin 107 106 bahwa dialah yang mengambilnya. Lalu dia ketakutan, dan mengembalikannya tapi ?kita tentu tak bisa berkata terus terang kalau kita tak yakin." la lalu
mengalihkan pokok pembicaraan. "Mari kita melihat Emily, Miss Marple. Saya yakin
itu baik sekali untuknya."
Miss Marple mengikuti dengan enggan ke sebuah kamar. Miss Lavinia mengetuk
pintu, disuruh masuk, dan mengantar tamunya masuk ke kamar terbaik di flat itu.
Hampir semua cahaya yang masuk ke kamar itu dihalangi dengan kerai yang tertutup
separuh. Miss Emily sedang terbaring di tempat tidur. Agaknya ia suka akan
keadaan setengah gelap itu, dan penderitaannya sendiri yang tak menentu itu.
Cahaya samar yang masuk membuat ia tampak sebagai makhluk kurus yang tak
berpendirian. Rambutnya yang lebat dan sudah beruban mengelilingi wajahnya
dengan kusut dan mengeriting, hingga tampak seperti sarang burung yang pasti
tidak disukai oleh burung yang punya harga diri. Dalam ruangan itu ada bau
cologne, biskuit yang sudah basi, dan kapur barus.
Dengan mata setengah tertutup serta suara halus dan lemah, Emily Skinner
menjelaskan bahwa ini adalah "salah satu hari sakitnya".
"Yang terburuk dari sakit adalah," kata Miss Emily dengan nada murung, "bahwa
kita tahu kita merupakan beban bagi semua orang di sekeliling kita.
"Lavinia baik sekali pada saya. Lavvie sayang,
108 aku sebenarnya tak suka menyusahkan, tapi kalau botol air panasku bisa diisi
seperti yang kusukai... kalau terlalu penuh rasanya terlalu berat mem-bebaniku;
sebaliknya kalau tidak diisi secukupnya, dia langsung dingin!"
"Ah, kasihan kau. Sini, berikan padaku. Akan kukurangi isinya."
"Kalau kau mau melakukannya, sebaiknya diganti saja airnya. Kurasa... tak ada
biskuit baru di rumah, ya" Tidak, tidak, tak apa-apa. Tak perlu. Minum teh encer
saja dengan seiris jeruk lemon. Tak ada lemon" Ya sudah, tapi aku tak bisa minum
teh tanpa jeruk lemon. Kurasa susunya agak basi tadi pagi. Aku jadi tak ingin
minum teh dengan susu. Biarlah aku tidak minum teh. Tapi aku jadi merasa lemah
sekali. Kata orang, kerang adalah makanan bergizi. Bisakah aku minta beberapa"
Tidak, tak usah, sudah terlalu sore untuk mencarinya. Aku bisa puasa sampai
besok." Lavinia keluar dari kamar sambil bergumam kurang jelas, bahwa ia harus bersepeda
ke desa lagi. Miss Emily tersenyum pada tamunya dan berkata dengan lemah bahwa ia tak suka
menyusahkan siapa pun. Malam itu Miss Marple mengatakan pada Edna bahwa ia merasa misinya tidak
berhasil Ia agak resah, karena gunjingan mengenai ketidakjujuran Gladys sudah mulai
beredar di desa. Di kantor pos, Miss Wetherby berkata padanya, "Jane, mereka telah memberi gadis
itu surat 109 pengantar yang mengatakan bahwa dia rajin dan bersahaja serta tahu sopan santun,
tapi tidak disebutkan mengenai kejujurannya. Kurasa itu sudah jelas sekali!
Kudengar ada kejadian mengenai sebuah bros. Kurasa ada juga benarnya di situ.
Kita kan tahu bahwa zaman sekarang ini kita tidak memecat pelayan kalau tak ada
kesalahan berat. Mereka akan sulit sekali mendapatkan yang lain. Gadis-gadis tak
mau bekerja di Old Hall itu. Bila mereka libur, di rumah mereka jadi gugup.
Lihat saja, kakak-beradik Skinner itu tidak akan menemukan pelayan lagi. Kalau
sudah begitu, barangkali adik yang pura-pura sakit itu terpaksdan bekerja!" Seisi desa kecewa besar waktu diberitahukan bahwa Miss Skinner Bersaudara telah
menemukan seorang pelayan baru, lewat agen. Pelayan baru itu merupakan pelayan
teladan yang sempurna, dalam segala hal.
"Dia membawa surat keterangan yang bagus sekali dari bekas majikannya, di mana
dia bekerja selama tiga tahun. Dia lebih suka bekerja di desa, dan bahkan
meminta gaji yang lebih rendah daripada Gladys. Kami benar-benar beruntung."
"Wah, bagus sekali," kata Miss Marple yang bertemu dengan Miss Lavinia di tempat
penjualan ikan. "Rasanya terlalu bagus untuk merupakan kenyataan."
Kemudian penduduk St. Mary Mead berharap bahwa pelayan teladan itu akan berpikir
pada saat terakhir dan menolak untuk datang.
110 Tapi harapan buruk itu tidak menjadi kenyataan, dan desa bisa melihat pelayan
teladan yang bernama Mary Higgins itu memasuki desa naik taksi Reed, menuju Old
Hall. Harus diakui bahwa penampilannya pun bagus. Seorang wanita yang tampak
terhormat sekali, dan berpakaian rapi.
Waktu Miss Marple kemudian berkunjung ke Old" Hall, dalam kesempatan
mengumpulkan para pemilik kios dalam pesta paroki, Mary Higgins yang membuka
pintu. Ia benar-benar tampak sebagai seorang pelayan yang sangat luar biasa.
Diperkirakan umurnya empat puluh tahun, rambutnya hitam dan rapi, pipinya
bersemu dadu, bertubuh sintal, berbalut pakaian hitam yang rapi, lengkap dengan
celemeknya dan topi pelayan. "Benar-benar tipe pelayan zaman dahulu," kata Miss
Marple kemudian. Pelayan itu juga sopan dan pelan jika berbicara, begitu berbeda
dari suara Gladys yang nyaring dengan logat yang sengau.
Miss Lavinia kelihatan jauh lebih tenang daripada sebelumnya, meskipun ia
menyesal tak bisa membuka kios, "gara-gara kesibukannya dengan adiknya. Namun ia
menawarkan untuk memberikan bantuan keuangan dalam jumlah besar, dan berjanji
akan membuatkan lap-lap pena dan kaus kaki bayi.
Miss Marple menyatakan keadaannya yang tampak lebih baik.
"Saya rasa ini benar-benar berkat Mary. Saya bersyukur sekali telah memutuskan
untuk memecat gadis yang sebelumnya itu. Mary benar-benar tak
111 ternilai baiknya. Masakannya enak dan layanannya baik sekali. Dia menjaga
kebersihan flat kecil kami ini hingga tanpa cacat kasur dibalik tiap hari. Dan ?dia baik sekali terhadap Emily!"
Miss Marple cepat-cepat menanyakan keadaan Emily.
"Ah, kasihan dia. Akhir-akhir ini keadaannya sangat buruk. Dia tentu tak bisa
berbuat lain, tapi kadang-kadang hal itu mempersulit keadaan. Dia umpamanya
menginginkan makanan tertentu, dan bila dibawakan, dikatakannya bahwa sekarang
dia tak bisa makan, lalu setengah jam kemudian dia memintanya lagi, padahal
makanannya sudah dingin dan harus dimasak lagi. Itu tentu menambah banyak
pekerjaan, tapi untunglah kelihatannya Mary sama sekali tidak keberatan. Dia
biasa melayani orang-orang cacat, katanya, dan dia mengerti. Itu menyenangkan
sekali." "Wah," kata Miss Marple. "Anda beruntung sekali."
"Ya, saya benar-benar merasa bahwa Mary telah didatangkan pada kami sebagai
jawaban atas doa kami."
"Kedengarannya dia terlalu baik," kata Miss Marple. "Sebaiknya... yah, sebaiknya
Anda agak lebih berhati-hati."
Lavinia Skinner tak mengerti maksud pernyataan itu. Katanya, "Oh! Percayalah,
saya melakukan apa saja supaya dia merasa senang. Entah apa yang harus saya
lakukan kalau dia pergi."
"Saya rasa dia tidak akan pergi sebelum dia
112 merasa siap untuk pergi," kata Miss Marple sambil memandangi nyonya rumahnya
lekat-lekat. Kata Miss Lavinia, "Bila kita tidak punya kesulitan rumah tangga, beban pikiran
kita pun sangat berkurang, bukan" Bagaimana dengan si Eina kecil di rumah Anda
itu?" "Dia baik-baik saja. Tak banyak kemajuan. Tidak seperti Mary Anda. Tapi saya
tahu banyak tentang Edna, karena dia gadis desa."
Waktu ia keluar ke ruang depan, didengarnya suara si sakit meninggi dengan
kesal. "Kompres ini sudah kering sekali, padahal Dokter Allerton menekankan
harus terus-menerus dibasahi. Sudahlah, biarkan saja. Aku minta teh dan telur
rebus ingat, direbus hanya-tiga menit setengah, dan suruh Miss Lavinia ?kemari."
Mary yang cekatan keluar dari kamar tidur dan berkata pada Lavinia, "Miss Emily
meminta Anda masuk, Ma'am." Ia lalu membukakan pintu untuk Miss Marple,
membantunya mengenakan mantelnya, dan memberikan payungnya dengan cara yang tak
bercela. ~* Miss Marple mengambil payung itu, tapi payung itu jatuh. Ia mencoba
mengambilnya, tapi tasnya ikut jatuh dan terbuka. Dengan sopan Mary
mengembalikan beberapa isi tas in* sehelai saputangan, buku catatan perjanjian,
?sebuah dompet kulit model lama, dua shilling, tiga penny, dan sebuah permen
bergaris-garis. Miss Marple menerima permen itu kembali dengan sikap bingung.
113 "Astaga, itu tentu ulah anak kecil Mrs. Clement. Saya ingat dia sedang
mengisapnya, lalu diambilnya tas saya untuk dipermainkannya. Pasti dimasukkannya
permen itu. Lengket sekali, ya?"
"Bagaimana kalau saya ambil, Ma'am?"
"Oh ya, terima kasih."
Mary membungkuk akan mengambil benda terakhir, sebuah cermin kecil. Setelah
benda itu dimasukkan, Miss Marple berseru, "Wah, untung sekali tidak pecah."
Setelah itu ia pulang, sedangkan Mary berdiri dengan sopan di dekat pintu sambil
memegang sebuah permen basah bergaris-garis dengan wajah polos.
Selama sepuluh hari berikutnya, St. Mary Mead harus tahan mendengarkan kehebatan
pelayan Miss Lavinia dan Miss Emily.
Pada hari kesebelas, desa bangun dengan ketegangan yang luar biasa.
Mary, pelayan teladan itu, menghilang! Tempat tidurnya tidak ditiduri, dan pintu
depan kedapatan terbuka sedikit. Agaknya ia menyelinap keluar pada malam hari.
Dan bukan hanya Mary yang menghilang! Dua buah bros, lima buah cincin milik Miss
Lavinia; tiga buah cincin, sebuah leontin, sebuah gelang, dan empat buah bros
milik Miss Emily juga ikut hilang!
Itu merupakan awal dari babak kekacauan besar. Mrs. Devereux muda juga
kehilangan berliannya 114 yang disimpan di laci yang tidak dikunci, dan beberapa helai pakaian dari bulu
hewan yang mahal, yang diterimanya sebagai hadiah pernikahan. Hakim dan istrinya
juga kehilangan beberapa perhiasan dan sejumlah uang. Mrs. Carmichael-Iah yang
paling banyak kehilangan. Ia tidak hanya menyimpan perhiasan banyak sekali, tapi
juga menyimpan uang dalam jumlah besar di flat itu. Semuanya hilang. Malam itu
adalah malam libur Janet, dan majikannya punya kebiasaan berjalan-jalan di kebun
saat senja, sambil memanggil burung-burung dan menaburkan remah-remah. Agaknya
Mary, si pelayan yang sempurna itu, telah membuat kunci-kunci palsu yang cocok
dengan semua kamar di flat itu!
Harus diakui bahwa di desa timbul rasa senang yang tak baik. Soalnya Miss
Lavinia telah sering sekali membanggakan tentang Mary-nya yang luar biasa.
"Ternyata dia hanya pencuri biasa!"
Kemudian menyusul kenyataan-kenyataan lain yang menarik. Bukan hanya Mary yang
hilang tanpa bekas; agen yang telah menyerahkannya dan telah menjamin surat
keterangannya jadi ketakutan-sebab mereka mendapati bahwa Mary Higgins yang
telah melamar pekerjaan pada mereka dan yang surat keterangan kelakuan baiknya
telah mereka terima, ternyata tidak ada. Nama itu adalah nama seorang pelayan
baik-baik yang tinggal dengan adik perempuan seorang dekan yang juga baik-baik.
Tapi Mary Higgins yang sebenar-115
nya itu tinggal dengan damai di suatu tempat di Cornwall.
"Semuanya permainan yang pintar sekali," Inspektur Slack harus mengakuinya. "Dan
menurut saya, perempuan itu bekerja sama dengan sebuah geng. Ada perkara serupa
terjadi di Northumberland, setahun yang lalu. Barang-barangnya tak pernah
ditemukan, dan dia sendiri tak pernah tertangkap. Tapi kami akan berhasil di
Much Benham!" Inspektur Slack memang orang yang percaya diri.
Namun minggu demi minggu berlalu, dan Mary Higgins tetap tak ditemukan.
Inspektur Slack menggandakan usahanya, namun sia-sia, padahal kasus itu sangat
mempengaruhi reputasinya.
Miss Lavinia menangis terus. Miss Emily sedih sekali, dan merasa ketakutan akan
keadaan kesehatannya, hingga akhirnya dimintanya juga Dokter Haydock datang.
Seisi desa ingin sekali tahu hasil pemeriksaan dokter terhadap penyakit yang
dikeluhkan Miss Emily itu, tapi mereka tentu tak bisa bertanya. Tapi jawaban
atas keadaan itu mereka peroleh dari Mr. Meek, asisten apoteker yang sedang
berjalan-jalan dengan Clara, pelayan Mrs. PricS-Ridley. Lalu diketahuilah bahwa
Dokter Haydock telah memberikan resep campuran asafoetida dan valerian, yang
menurut Mr. Meek merupakan obat persediaan untuk para prajurit yang berpura-pura
sakit! Tak lama setelah itu terdengar bahwa Miss
116 Emily, yang merasa tak puas akan pengobatan yang didapatkannya, menyatakan bahwa
mengingat keadaan kesehatannya, ia merasa sebaiknya tinggal dekat dengan
spesialis di London yang mengerti keadaannya. Katanya itu demi Lavinia.
Flat mereka pun lalu disewakan pada orang lain.
Beberapa hari kemudian, Miss Marple datang ke kantor polisi di Much Benham
dengan wajah bersemu dadu dan terengah-engah. Ia minta bertemu dengan Inspektur
Slack. Inspektur Slack tak suka pada Miss Marple. Tapi ia tahu bahwa Kepala Polisi,
Kolonel Melchett, tidak demikian. Oleh karenanya diterimanya juga wanita itu
dengan agak menggerutu. "Selamat petang, Miss, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Wah," kata Miss Marple, "saya rasa Anda Sedang terburu-buru, ya?"
"Memang sedang banyak pekerjaan," kata Inspektur Slack, "tapi saya bisa memberi
Anda waktu beberapa menit."
"Aduh," kata Miss Marple. "Mudah-mudahan saya bisa mengatakannya dengan benar.
Sulit sekali kalau harus menjelaskan, bukan" Ah tidak, mungkin bagi Anda tidak.
Tapi saya, yang tak pernah mendapatkan pendidikan modern hanya dibimbing oleh ?seorang guru privat yang mengajarkan tentang raja-raja Inggris, tanggal-tanggal,
dan pengetahuan umum seperti misalnya siapa Dokter Brewer, tiga
117 macam penyakit gandum penyakit karena kutu, penyakit daun... lalu apa yang
?ketiga, ya" Apakah penyakit dengan bintik hitam?"
"Apakah Anda ingin membicarakan tentang penyakit gandum?" tanya Inspektur Slack.
"Oh, tidak, tidak." Miss Marple sama sekali tak ingin berbicara tentang penyakit
gandum. "Itu hanya suatu contoh. Juga mengenai bagaimana cara pembuatan jarum,
dan sebagainya. Memang luas sekali, tapi kita lalu tak bisa berpikir tepat ke
tujuan. Padahal itulah yang ingin saya bicarakan. Yaitu mengenai pelayan Miss
Skinner, Gladys." "Mary Higgins," kata Inspektur Slack.
"Ya, itu pelayan yang kedua. Tapi yang saya maksud adalah Gladys Holmes seorang
?gadis yang kurang sopan dan sangat puas diri, tapi dia benar-benar jujur. Dan
itu penting untuk diakui."
"Setahu saya, selama ini tak ada tuduhan terhadapnya," kata Inspektur.
"Saya tahu bahwa tak ada tuduhan, tapi justru itulah yang paling merugikan.
Karena dengan demikian, orang tetap berprasangka. Wah, lagi-lagi saya salah
menjelaskannya. Maksud saya sebenarnya, Mary Higgins itu perlu sekali
ditemukan."

Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu," kata Inspektur Slack. "Apakah Anda punya pendapat mengenai hal itu?"
"Yah, sebenarnya ada," kata Miss Marple. "Bolehkah saya bertanya" Apakah sidik
jari tak ada artinya bagi Anda?"
"Yah," kata Inspektur Slack, "di situlah kecerdikannya. Semuanya dia lakukan
dengan memakai 118 sarung tangan karet. Apalagi dia cermat sekali semua bekas di kamar tidurnya ?dan di tempat mencuci piring dihapusnya. Kami tak bisa menemukan satu pun sidik
jarinya di rumah itu!"
"Kalau ada sidik jari, apakah itu akan membantu?"
"Mungkin, Ma'am. Mungkin sidik jari itu dikenal di Scotland Yard, karena saya
rasa ini bukan kejahatannya yang pertama!"
Miss Marple mengangguk dengan berbinar. Dibukanya tasnya, lalu dikeluarkannya
sebuah kotak karton kecil. Di dalamnya terdapat sebuah cermin kecil yang
terbungkus kain kasa. "Ini dari tas saya," kata Miss Marple. "Di situ terdapat sidik jari pelayan itu.
Saya rasa sidik jari itu cukup jelas, soalnya dia telah menyentuh sesuatu yang
sangat lengket sebelumnya."
Inspektur Slack terbelalak. "Anda mengambil sidik jarinya dengan sengaja?"
"Tentu." "Jadi, Anda udah mencurigainya?"
"Yah, soalnya, saya pikir dia itu terlalu sempurna. Sudah saya katakan pada Miss
Lavinia. Tapi dia sama sekali tak mau menerima peringatan saya! Soalnya lagi,
Inspektur, saya tak percaya ada tokoh teladan. Kebanyakan kita punya cacat, dan
pada pelayan rumah tangga cepat kelihatan!"
"Yah," kata Inspektur Slack, setelah menemukan kembali kepercayaan dirinya,
"saya sangat berterima kasih pada Anda. Ini akan kami kirimkan ke Scotland Yard,
dan kita lihat apa pendapat mereka."
119 Ia berhenti berbicara. Miss Marple memiringkan kepala dan melihat padanya dengan
pandangan penuh arti. "Tidakkah Anda mempertimbangkan untuk mencari lebih dekat, Inspektur?"
"Apa maksud Anda, Miss Marple?"
"Sulit sekali menjelaskannya, tapi bila kita menemukan sesuatu yang aneh, kita
tentu bisa melihatnya. Meskipun hal-hal yang aneh itu sering-sering hal-hal
kecil. Saya juga merasa Anda sudah tahu; maksud saya tentang Gladys dan bros
itu. Dia gadis yang jujur; bukan dia yang mengambil bros itu. Lalu mengapa Miss
Skinner mengira dia yang mengambilnya" Miss Skinner itu bukan orang bodoh; sama
sekali tidak! Lalu mengapa dia ingin sekali memecat seorang pelayan sebaik itu,
padahal sulit mendapatkan pelayan" Aneh, kan" Jadi, saya lalu berpikir. Saya
jadi bertanya-tanya. Lalu saya temukan sesuatu yang aneh lagi! Miss Emily adalah
orang yang selalu menganggap dirinya sakit, tapi dia tidak langsung meminta
dokter datang. Orang-orang begitu biasanya suka sekali pada dokter, tapi Miss
Emily tidak!" "Bagaimana pendapat Anda, Miss Marple?"
"Yah, saya beranggapan bahwa Miss Lavinia dan Miss Emily adalah orang-orang yang
aneh. Miss Emily menghabiskan seluruh waktunya di kamar yang gelap. Dan bila
rambutnya itu bukan rambut palsu, saya berani bertaruh, sangat mungkin seorang
wanita kurus, pucat, dan berambut ubanan dan suka meratap, berubah menjadi
seorang wanita 120 sintal berambut hitam dan berpipi merah jambu. Dan tak seorang pun pernah
melihat Miss Emily dan Mary Higgins bersama pada suatu waktu.
"Cukup banyak-waktu untuk mendapatkan tiruan kunci-kunci, banyak sekali waktu
untuk mengetahui segala-galanya tentang penyewa-penyewa yang lain, kemudian
memecat pelayan yang gadis lokal itu. Pada suatu malam, Miss Emily berjalan
menyeberangi desa, dan pagi harinya tiba di stasiun sebagai Mary Higgins.
Kemudian, pada saat yang tepat, Mary Higgins menghilang, dan orang pun ribut
mencarinya. Akan saya katakan di mana Anda bisa menemukannya, Inspektur. Di sofa
Miss Skinner! Ambil sidik jarinya kalau Anda tak percaya pada saya, tapi Anda
akan melihat bahwa saya benar! Skinner bersaudara itu adalah pencuri-pencuri
yang pandai, dan mereka pasti ada hubungannya dengan pos-pos, pelindung-
pelindung tertentu, atau entah apa Anda menyebutnya, yang pandai pula. Tapi kali
ini mereka tidak akan lolos! Saya tidak terima kalau kejujuran seorang gadis
desa kita diragukan seperti itu! Gladys Holmes itu anak yang jujur, dan semua
orang harus mengakuinya! Selamat petang!"
Miss Marple sudah berjalan keluar sebelum Inspektur Slack sadar.
"Wah?" gumamnya. "Aku ingin tahu apakah dia benar?"
Ia segera tahu bahwa Miss Marple lagi-lagi benar.
Kolonel Melchett mengucapkan selamat atas ke -
121 jelian Inspektur Slack, dan Miss Marple menyuruh Gladys datang minum teh dengan
Edna dan berbicara serius dengannya, supaya ia menetap di satu tempat saja bila
ia menemukan satu tempat bekerja yang baik.
122 Miss Marple Bercerita Raymond, dan kau, Joan, kurasa aku tak pernah menceritakan pada kalian tentang
suatu perkara kecil yang aneh, beberapa tahun yang lalu. Aku sama sekali tak
ingin membanggakan diri. Aku tahu bahwa dibanding dengan kalian, anak-anak muda,
aku sama sekali tidak pandai Raymond mengarang buku?-buku yang sangat modern, semuanya tentang laki-laki dan wanita-wanita muda yang
tidak menyenangkan, sedangkan Joan melukis gambar-gambar yang luar biasa, yaitu
orang-orang berpostur empat persegi dan pada tubuhnya ada bentol-bentol yang
aneh. Pandai sekali kalian, Sayang. Tapi seperti yang selalu dikatakan Raymond
(dengan cara yang halus sekali, karena dia adalah keponakan yang sangat baik),
aku ini kolot sekali. Aku mengagumi Mr. Alma-Tadema dan Mr. Frederic Leighton,
dan kurasa bagi kalian mereka kolot sekali. Ah, apa yang akan kukatakan tadi,
ya" Oh ya, bahwa aku tak ingin dianggap membanggakan diri. Tapi, mau tak mau,
aku juga senang sedikit, karena dengan menggunakan akal sehatku,
123 kurasa aku benar-benar telah menyelesaikan suatu masalah yang tak terselesaikan
oleh orang-orang yang lebih pintar daripada aku. Meskipun sebenarnya kupikir itu
semua sudah jelas sejak awalnya.
Nah, akan kuceritakan kisah kecilku, dan bila kalian pikir aku cenderung
membanggakan diri, sebaiknya kalian ingat bahwa setidaknya aku telah membantu
seseorang, sesama manusia yang dalam keadaan sangat susah.
Pertama kali aku tahu tentang urusan itu adalah pada suatu malam, kira-kira jam
sembilan, waktu Gwen (kalian ingat Gwen" Pelayan kecilku yang berambut ?merah) nah, Gwen masuk dan mengatakan bahwa Mr. Petherick dan seorang pria lain
?datang. Gwen telah mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu utama. Aku sedang
duduk di ruang makan, karena di awal musim semi ini kurasa boros kalau
menyalakan dua perapian. Kusuruh Gwen menyiapkan brendi buah ceri dan gelas-gelasnya, sementara aku
bergegas pergi ke ruang tamu utama. Aku tidak yakin kalian kenal Mr. Petherick.
Dia meninggal dua tahun yang lalu, tapi sudah bertahun-tahun dia menjadi
temanku, dan dia jugalah yang menangani semua urusanku yang berhubungan dengan
hukum. Dia seorang pekerja keras dan seorang ahli hukum yang pandai sekali.
Sekarang putranya yang menangani urusan-urusanku; dia anak muda yang sangat baik
dan sangat modern, tapi entah mengapa aku tidak terlalu yakin padanya seperti
pada Mr. Petherick. 124 Kujelaskan pada Mr. Petherick tentang perapian, dan dia langsung berkata bahwa
dia dan temannya mau masuk ke ruang makan. Lalu dia memperkenalkan
temannya namanya Mr. Rhodes. Dia masih agak muda, umurnya empat puluh tahun
?lebih sedikit. Aku langsung melihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Sikapnya
aneh sekali. Orang bisa menyebutnya kasar, kalau orang tidak tahu bahwa laki-
laki malang itu sedang tegang.
Setelah kami duduk di ruang makan dan Gwen sudah menghidangkan brendi, Mr.
Petherick menjelaskan alasan kedatangannya.
"Miss Marple," katanya, "maafkan teman lama Anda ini. Saya datang untuk minta
petunjuk." Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya, dan dia melanjutkan,
"Bila seseorang sakit, dia memerlukan dua macam pandangan, yaitu petunjuk dari
spesialis dan dari dokter pribadi. Biasanya orang menilai petunjuk dari
spesialis lebih tinggi, tapi saya kurang sependapat. Spesialis hanya
berpengalaman dalam bidangnya sendiri; dokter keluarga mungkin kurang
pengetahuannya, tapi pengalamannya lebih luas."
Aku mengerti sekali apa maksudnya, karena belum lama ini keponakanku yang masih
muda terburu-buru melarikan anaknya ke seorang spesialis penyakit kulit yang
sangat terkenal, tanpa meminta petunjuk dokternya sendiri yang dianggapnya
kolot. Spesialis itu memberikan resep obat yang mahal sekali. Padahal kemudian
ternyata yang diderita anak itu adalah semacam campak yang tidak biasa.
125 Hal itu kuceritakan aku takut kalau aku menyimpang lagi untuk memperlihatkan ? ?bahwa aku membenarkan pendapat Mr. Petherick, padahal aku tetap belum mengerti
apa maksudnya. "Kalau Mr. Rhodes sakit...," kataku, lalu berhenti, karena laki-laki malang itu
tertawa keras sekali. Katanya, "Mudah-mudahan saya mati gara-gara patah leher saja beberapa bulan
lagi." Setelah itu ia menceritakan semuanya. Belum lama ini telah terjadi pembunuhan di
Bamchester, sebuah kota kira-kira dua puluh mil dari sini. Kuakui bahwa aku
tidak terlalu memperhatikannya waktu itu, karena waktu itu kami sedang
meributkan tentang perawat desa kami, dan peristiwa-peristiwa di luar, seperti
gempa bumi di India dan pembunuhan di Bamchester, meskipun sebenarnya tentu jauh
lebih penting, tidak begitu mendapat perhatian seperti peristiwa-peristiwa kecil
dalam masyarakat kami ini. Begitulah keadaan dkdesa. Tapi aku memang ingat bahwa
ada seorang wanita ditikam di sebuah hotel, meskipun aku tak ingat namanya. Tapi
kini ternyata wanita itu adalah istri Mr. Rhodes, dan seolah-olah berita itu
belum cukup buruk, Mr. Rhodes sendiri yang dituduh telah membunuhnya.
Semuanya itu diceritakan oleh Mr. Petherick dengan sangat jelas. Dikatakannya
pula bahwa meskipun juri dari kantor pemeriksaan mayat telah memutuskan bahwa
pembunuhan itu dilakukan oleh orang atau orang-orang yang tak dikenal, Mr.
126 Rhodes berkeyakinan bahwa dia akan ditahan dalam beberapa hari lagi. Oleh
karenanya dia mendatangi Mr. Petherick dan menyerahkan perkara itu padanya.
Selanjutnya dikatakannya bahwa petang itu mereka telah mendatangi Sir Malcolm
Olde untuk minta petunjuk, dan bahwa bila sampai ada sidang perkara itu, Sir
Malcolm-lah yang akan ditunjuk untuk membela Mr. Rhodes.
Kata Mr. Petherick, Sir Malcolm itu masih muda, metodenya modem sekali, dan dia
mempunyai cara pembelaan yang khusus. Tapi Mr. Petherick tidak terlalu yakin
akan cara itu. "Soalnya, Miss Marple," katanya, "cacatnya adalah bahwa dia memiliki pandangan
seorang spesialis. Bila menyerahkan suatu perkara pada Sir Malcolm, maka dia
akan melihatnya hanya dari satu sisi, yaitu pembelaan yang paling masuk akal.
Padahal cara yang terbaik sekalipun mungkin sama sekali mengabaikan hal yang
terpenting. Apa pun juga yang telah terjadi."
Lalu dia juga mengatakan sesuatu yang sangat baik dan membesarkan hati tentang
ketajaman pikiranku, penilaianku, dan pengetahuanku tentang sifat manusia. Lalu
dia minta izin untuk menceritakan jalannya perkara itu, dengan harapan agar aku
bisa memberikan pandangan.
Kulihat Mr. Rhodes sangat meragukan kemampuanku, dan dia kelihatan kesal telah
dibawa kemari. Tapi Mr. Petherick tak peduli dan mulai menceritakan apa yang
terjadi pada malam tanggal 8 Maret yang lalu itu.
127 Mr. dan Mrs. Rhodes sedang bermalam di Hotel Crown di Bamchester. Dengan hati-
hati Mr. Petherick menyatakan bahwa Mrs. Rhodes agak suka menganggap dirinya
sakit. Setelah makan malam, dia langsung pergi tidur. Dia dan suaminya menempati
dua kamar yang dihubungkan oleh sebuah pintu. Mr. Rhodes, yang sedang menulis
buku mengenai bebatuan prasejarah, mulai bekerja di kamar sebelahnya. Jam
sebelas dia membenahi kertas-kertasnya dan bersiap-siap tidur. Sebelum itu, dia
menjenguk ke kamar istrinya, akan melihat kalau-kalau ada yang diinginkannya.
Dilihatnya bahwa lampunya masih menyala, dan istrinya terbaring di tempat tidur
dan tertikam di jantungnya. Sudah sejam dia meninggal mungkin lebih. ?Diberikannya pula petunjuk-petunjuk yang berikut. Ada sebuah pintu di kamar Mrs.
Rhodes untuk menuju lorong hotel. Pintu tersebut terkunci dan diselot. Menurut
Mr. Rhodes tak ada orang melewati kamar tempatnya duduk, kecuali ^eorang pelayan
kamar yang membawakan botol-botol air panas. Senjata yang ditemukan pada luka
adalah sebuah belati kecil yang terletak di meja rias Mrs. Rhodes. Dia biasa
menggunakannya untuk memotong kertas atau membuka amplop. Tak ada sidik jari
pada pisau itu. Kesimpulan dari keadaan itu adalah: tak ada orang yang memasuki kamar korban,
kecuali Mr. Rhodes dan pelayan kamar itu. 1 Kutanyakan soal pelayan kamar itu.
"Itulah yang pertama-tama kami selidiki," kata
128 Mr. Petherick. "Mary Hill adalah wanita setempat. Sudah sepuluh tahun dia
bekerja sebagai pelayan kamar di Hotel Crown. Sama sekali tak ada alasan dia
melakukan pembunuhan terhadap seorang tamu. Lagi pula, gadis itu bodoh luar
biasa, boleh dikatakan tidak waras. Keterangan yang diberikannya tak pernah
berubah. Dia memang mengantar air panas untuk Mrs. Rhodes, dan waktu itu Mrs.
Rhodes sudah mengantuk sudah hampir tertidur. Terus terang, saya tak percaya,
?dan saya yakin tidak akan ada anggota juri yang percaya bahwa dia yang melakukan
kejahatan itu." Selanjutnya Mr. Petherick menambahkan beberapa hal yang lebih terperinci. Di
puncak tangga di Hotel Crown itu ada sebuah ruang tunggu mini, tempat orang
kadang-kadang duduk minum kopi. Dari situ ada sebuah lorong yang membelok ke
kanan, dan pintu terakhir di situ adalah pintu kamar yang dihuni Mr. Rhodes.
Kemudian lorong itu membelok dengan tajam ke kanan lagi, dan pintu pertama di
sudut itu adalah pintu kamar Mrs. Rhodes. Kedua pintu itu bisa dilihat oleh
saksi-saksi. Pintu pertama, yaitu pintu kamar Mr. Rhodes yang akan saya sebut
?A terlihat oleh empat orang, dua orang pedagang keliling dan sepasang suami-
?istri yang sudah tua, yang sedang minum kopi. Menurut mereka tak ada orang yang
masuk atau keluar dari pintu A, kecuali Mr. Rhodes dan pelayan kamar itu.
Mengenai pintu yang satu lagi di lorong B, di situ ada seorang tukang listrik
yang sedang bekerja, dan dia pun bersumpah bahwa
129 tak ada orang yang masuk atau keluar dari pintu B, kecuali pelayan kamar.
Sungguh sebuah perkara yang aneh dan menarik. Sepintas lalu kelihatannya memang
Mr. Rhodes-lah yang telah membunuh istrinya. Tapi kulihat Mr. Petherick yakin
sekali bahwa kliennya tak bersalah, dan Mr. Petherick itu adalah orang yang
tajam sekali pandangannya.
Pada pemeriksaan pendahuluan, Mr. Rhodes telah menyampaikan suatu cerita yang
meragukan dan kacau, tentang seorang wanita yang menulis surat-surat ancaman
pada istrinya. Kudengar ceritanya itu amat sangat meragukan. Atas permintaan Mr.
Petherick, Mr. Rhodes menjelaskan.
'Terus terang," katanya, "saya tak pernah percaya tentang surat-surat itu. Saya
kira Amy hanya mengada-ada saja."
Kudengar Mrs. Rhodes adalah seorang pembohong yang romantis, yang menjalani
hidup dengan membesar-besarkan segala sesuatu yang terjadi atas diri mereka.
Jumlah petualangan yang terjadi atas dirinya dalam setahun, menurut ceritanya
sendiri, tak terkirakan banyaknya. Bila dia tergelincir oleh kulit pisang,
dikatakannya bahwa dia telah lolos dari ancaman maut. Bila sebuah tudung lampu
terbakar, dikatakannya bahwa dia telah diselamatkan dari sebuah gedung terbakar
yang mengancam hidupnya. Suaminya jadi terbiasa harus menyatakan bahwa kisah-
kisah istrinya itu tidak benar. Kisahnya mengenai seorang wanita yang anaknya
cedera karena kecelakaan mobil, yang telah bersumpah
130 akan membalaskan dendamnya pada Mrs. Rhodes... yah, sama. sekali tidak dipedulikan
oleh Mr. Rhodes. Kecelakaan itu terjadi sebelum dia menikahi istrinya, dan
meskipun istrinya membacakan surat-surat yang ditulis dengan bahasa yang kacau
itu, Mr. Rhodes curiga bahwa itu adalah karangannya sendiri. Soalnya dia memang
pernah melakukannya sekali dua kali. Dia seorang wanita yang punya kecenderungan
histeris, yang tak sudah-sudahnya bermimpi tentang kejadian-kejadian mencekam.
Nah, semuanya itu kuanggap biasa saja. Di desa ini pun ada seorang wanita yang
seperti itu. Bahayanya pada orang-orang yang begitu adalah bila suatu kejadian
luar biasa benar-benar menimpa diri mereka, tidak akan ada orang yang percaya
bahwa hal itu memang benar. Kurasa demikian pulalah halnya dalam perkara ini.
Kudengar polisi percaya bahwa Mr. Rhodes hanya mengarang-ngarang ceritanya
sendiri untuk mengelak dari tuduhan.
Kutanyakan apakah ada wanita-wanita yang tinggal sendiri di hotel itu. Agaknya
ada dua orang. Yang seorang bernama Mrs. Granby, seorang janda Indo India, dan
yang seorang lagi bernama Miss Carruthers, seorang perawan tua yang bila
berbicara tidak melafalkan huruf g. Mr. Petherick menambahkan bahwa meskipun
sudah menyelidiki dengan sangat teliti, mereka gagal menemukan orang yang telah
melihat salah seorang dari mereka di dekat tempat kejadian kejahatan, dan tak


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada satu pun 131 yang bisa menghubungkan mereka dengan kejadian itu. Kuminta dia menggambarkan
mereka berdua. Dikatakannya bahwa Mrs. Granby berambut kemerahan dan tidak rapi,
berwajah pucat, dan berumur kira-kira lima puluh tahun. Pakaiannya agak
mencolok, kebanyakan terbuat dari sutra lokal, dan sebagainya. Miss Carruthers
berumur kira-kira empat puluh tahun, mengenakan kacamata tanpa gagang, rambutnya
dipotong pendek sekali, seperti laki-laki, dan mengenakan pakaian yang kelaki-
lakian. "Wah," kataku, "sulit sekali jadinya."
Mr. Petherick melihat padaku dengan pandangan bertanya, tapi waktu itu aku belum
mau berkata apa-apa -lagi, hanya kutanyakan apa kata Sir Malcolm Olde.
Sir Malcolm yakin akan bisa mengajukan kesaksian medis yang berbeda-beda, dan
akan mengemukakan suatu cara untuk mengatasi kesulitan sehubungan dengan sidik
jari. Aku bertanya pada Mr. Rhodes apa pendapatnya, dan dia berkata bahwa semua
dokter dungu, tapi dia^endiri tidak yakin istrinya telah bunuh diri. "Dia bukan
wanita macam itu," katanya singkat, dan aku percaya padanya. Orang-orang
histeris biasanya tak mau bunuh diri. "Aku berpikir sebentar, lalu bertanya apakah pintu dari kamar Mrs. Rhodes
berhubungan langsung dengan lorong hotel. Mr. Rhodes berkata tidak, ada sebuah
ruang kecil tempat kamar mandi dan W.C. Pintu dari ruang tidur ke arah ruang
kecil itulah yang terkunci dan diselot dari dalam.
132 "Kalau begitu," kataku, "semuanya mudah sekali."
Dan ternyata memang itu sesuatu yang amat sangat mudah. Tapi agaknya tak seorang
pun beranggapan begitu. Baik Mr. Petherick maupun Mr. Rhodes memandangiku, hingga aku merasa serba
salah. "Mungkin Miss Marple tidak memperhatikan kesulitan-kesulitannya," kata Mr.
Rhodes. "Saya memperhatikannya," kataku. "Ada empat kemungkinannya. Mrs. Rhodes dibunuh
oleh suaminya, atau oleh pelayan kamar, atau dia bunuh diri, atau dia dibunuh
oleh orang luar yang tak terlihat oleh seorang pun saat dia masuk atau keluar."
"Itu tak mungkin," sela Mr. Rhodes. "Tak seorang pun bisa masuk atau keluar
lewat kamar saya tanpa saya lihat. Bahkan kalaupun ada seseorang masuk lewat
pintu kamar istri saya tanpa dilihat oleh pekerja listrik itu, bagaimana dia
bisa keluar lagi dengan pintu terkunci dan terselot di dalam?"
Mr. Petherick melihat padaku dan berkata, "Bagaimana, Miss Marple?" dengan cara
yang membesarkan hati. "Saya ingin bertanya, Mr. Rhodes," kataku, "bagaimana rupa pelayan kamar itu?"
Katanya dia kurang yakin; kalau tak salah, pelayan itu agak tinggi. Dia tak
ingat apakah rambutnya pirang atau hitam. Aku berpaling pada Mr. Petherick dan
mengajukan pertanyaan yang sama.
Katanya gadis itu tingginya sedang, rambutnya
133 agak pirang, matanya biru, dan wajahnya agak merah.
Kata Mr. Rhodes, "Anda pemerhati yang lebih baik daripada saya, Mr. Petherick."
Aku ingin membantah. Lalu kutanyakan pada Mr. Rhodes, apakah dia bisa melukiskan
dengan kata-kata, pelayan di rumahku. Baik dia maupun Mr. Petherick tak bisa
melakukannya. "Tidakkah Anda menyadari apa artinya itu?" kataku. "Anda berdua datang kemari
dipenuhi urusan Anda berdua saja, sedangkan orang yang membukakan pintu untuk
Anda hanya seorang pelayan. Demikian pula halnya dengan Mr. Rhodes di hotel. Dia
melihat pakaian seragam dan celemek gadis itu. Dia sedang asyik dengan
pekerjaannya. Tapi Mr. Petherick telah mewawancarai wanita yang sama dalam
keadaan lain. Dia telah melihatnya sebagai manusia biasa.
"Itulah yang diharapkan perempuan pembunuh itu."
Karena mereka belum juga mengerti^ aku harus menjelaskannya.
"Saya rasa," kataku, "beginilah kejadiannya. Pelayan kamar masuk lewat pintu A
ke kamar Mrs. Rhodes, melewati kamar Mr. Rhodes dengan membawa botol air panas,
lalu keluar lewat kamar kecil ke lorong B. X begitu saya sebut perempuan ?pembunuh itu masuk lewat pintu B ke dalam kamar kecil itu. Dia bersembunyi di
?suatu bagian kamar kecil itu, menunggu sampai pelayan kamar itu lewat. Lalu dia
masuk ke kamar Mrs. Rhodes,
134 mengambil pisau belati itu dari meja rias (pasti dia sudah meneliti kamar itu
?sebelumnya), mendekati tempat tidur, menikam wanita yang sedang tidur itu, dan
menyeka gagang pisau belati itu, lalu dia mengunci dan menyelot pintu yang
dilaluinya waktu dia masuk tadi, kemudian dia keluar lewat kamar tempat Mr.
Rhodes sedang bekerja."
Mr. Rhodes berseru, "Kalau begitu, pasti saya melihatnya. Dan tukang listrik itu
tentu melihatnya masuk."
"Tidak," kataku. "Di situlah kesalahan Anda. Anda pasti tidak memperhatikannya
kalau dia mengenakan seragam pelayan kamar juga." Kubiarkan dia menyerap
informasi itu, lalu aku berkata lagi, "Anda sedang asyik bekerja. Dari ekor mata
Anda, Anda melihat seorang pelayan kamar masuk ke kamar istri Anda, lalu kembali
dan keluar. Pakaiannya memang sama, tapi orangnya tidak sama. Itulah pula yang
dilihat oleh orang-orang yang sedang minum kopi seorang pelayan kamar masuk dan?seorang pelayan kamar keluar. Demikian pula dengan si tukang listrik. Seandainya
pelayan kamar itu cantik, seorang pria pasti melihat wajahnya itu sudah
?merupakan sifat manusia tapi kalau dia hanya seorang perempuan setengah baya
?yang biasa-biasa saja, maka... yah, hanya baju pelayan kamarlah yang Anda lihat,
bukan orangnya." "Siapa dia?" seru Mr. Rhodes.
"Yah," kataku, "itu agak sulit. Dia pasti Mrs. Granby atau Miss Carruthers.
Agaknya Mrs. Granby biasa memakai rambut palsu, jadi dia bisa
135 memakai rambutnya sendiri sebagai pelayan kamar. Sebaliknya, Miss Carruthers
yang rambutnya dipotong pendek sekali seperti laki-laki, bisa dengan mudah
memakai rambut palsu untuk memainkan sandiwaranya. Saya yakin Anda akan
menemukan pelakunya dengan mudah di antara mereka. Saya sendiri cenderung
mengatakan Miss Carruthers-lah orangnya."
Dan, anak-anaku sayang, itulah akhir ceritaku. Carruthers adalah nama palsu,
tapi memang dialah orangfiya. Dalam keluarganya banyak yang tidak waras. Mrs.
Rhodes adalah seorang pengemudi yang ceroboh dan berbahaya. Dialah yang menabrak
gadis kecil perempuan itu, dan perempuan itu menjadi gila karenanya. Dengan
pandai disembunyikannya kegilaannya; dia hanya menulis surat yang benar-benar
gila-gilaan kepada calon korbannya. Sudah beberapa lama dia mengikuti jejak Mrs.
Rhodes, dan rencananya diaturnya dengan cermat. Keesokan harinya, pagi-pagi
benar, dikirimkannya rambut palsu dan pakaian pelayan kamar itu lewat pos. Waktu
disodorkan pada kebenaran itu, dia tidak kuat dan langsung*rnengakui-nya.
Perempuan malang itu kini berada di penjara Broadmoor, dalam keadaan benar-benar
gila. Tapi kejahatannya benar-benar direncanakannya dengan apik.
Setelah itu Mr. Petherick mendatangiku lagi dan mengantarkan sepucuk surat yang
bagus sekali isinya dari Mr. Rhodes aku jadi malu. Lalu teman lamaku itu
?berkata, "Satu hal saja. Mengapa Anda
136 mengira bahwa lebih besar kemungkinannya Miss Carruthers daripada Mrs. Granby"
Anda kan tak pernah melihat keduanya?"
"Yah," kataku. "Kata Anda, bila dia berbicara huruf g-nya tidak terdengar. Nah,
itu banyak dilakukan oleh orang-orang yang berburu dalam buku-buku, tapi saya
tak pernah menemukan banyak orang yang seperti itu dalam kenyatan, apalagi orang
yang berumur di bawah enam puluh tahun. Kata Anda, perempuan itu berumur empat
puluh. Saya pikir hanya orang-orang yang sedang main sandiwara saja yang berbuat
begitu, dan berlebihan pula melakukannya."
Aku tak mau mengatakan komentar Mr. Petherick tentang pandanganku itu. Pokoknya
dia sangat memujiku, dan mau tak mau aku merasa agak bangga juga pada diriku.
Dan luar biasanya, keadaan-keadaan bisa berbalik menjadi baik sekali di dunia
ini. Mr. Rhodes telah menikah lagi, dengan seorang gadis yang manis dan bijak,
dan* mereka mendapat bayi yang lucu sekali, dan percayakah kalian" mereka
? ?telah memintaku menjadi ibu baptis. Baik sekali mereka, ya"
Ah, kuharap kalian tidak menganggapku terlalu berkepanjangan memuji diri....
137 Boneka sang Penjahit Boneka itu tergeletak di kursi besar berlapis beludru. Tak banyak cahaya dalam
kamar itu; langit di London gelap. Dalam ketemaraman hijau ke-abuan yang lembut
itu, warna pelapis kursi yang hijau melebur menjadi satu dengan gorden dan alas
lantai. Boneka itu pun melebur. Ia terbaring memanjang dan lunglai, mengenakan
pakaian dari beludru berwarna hijau, bertopi beludru, dengan wajah dicat. Ia
adalah boneka mainan yang digandrungi wanita-wanita kaya, boneka yang biasa
diletakkan di sebelah pesawat telepon, atau di antara bantal-bantal kursi di
sofa. Ia tergeletak di situ, senantiasa lunglai, namun anehnya ia seolah-olah
hidup. Ia seperti merupakan produk abad kedua puluh yang sudah merosot.
Sybil Fox, yang bergegas masuk dengan membawa beberapa pola, melihat ke boneka
itu dengan perasaan heran dan bingung. Ia ingin bertanya, tapi apa yang ingin
ditanyakannya tidak muncul ke dalam pikirannya. Ia lalu berpikir, "Apa yang
terjadi dengan pola bahan beludru biru itu" Di
138 mana aku menaruhnya." Kku yakuv aku me\e\akkannya di sini tadi." Ia keluar ke
tangga dan berseru ke arah ruang kerja di atas.
"Elspeth, Elspeth, apakah pola biru itu ada padamu" Mrs. Fellows-Brown akan
datang beberapa menit lagi."
Ia masuk lagi sambil menyalakan lampu. Ia menoleh ke arah boneka itu lagi. "Ah,
di mana sih... oh, itu dia." Diambilnya pola itu, yang tadi terjatuh dari
tangannya. Terdengar suara berderak di luar, waktu lift berhenti. Beberapa menit
kemudian, Mrs. Fellows-Brown masuk dengan terengah-engah, diiringi oleh anjing
Peking-nya, tak ubahnya kereta api yang masuk dengan ribut di stasiun.
"Akan hujan lebat," katanya, "pasti hujan lebati" Ditanggalkannya sarung
tangannya, lalu dilemparkannya bersama mantel bulu hewannya. Alicia Coombe pun
masuk. Akhir-akhir ini ia tidak selalu masuk, hanya bila ada pelanggan istimewa
dan Mrs. Fellows-Brown adalah pelanggan semacam itu.
Elspeth, mandor penjahit, turun membawa gaunnya dan Sybil memasangkannya pada
Mrs. Fellows-Brown lewat kepalanya.
"Nah," katanya, "saya rasa sudah bagus. Ya, benar-benar bagus."
Mrs. Fellows-Brown berdiri miring dan melihat ke cermin.
"Terus terang," katanya, "pakaian jahitan Anda bisa menyembunyikan bokong saya."
139 "Anda jauh lebih "kurus daripada tiga bulan, yang lalu," kata Sybil
meyakinkannya. . "Sebenarnya tidak," kata Mrs. Fellows-Brown, "tapi dengan gaun
ini saya kelihatan begitu. Garis potongan yang Anda buat jadi mengecilkan bokong
saya. Saya kelihatan seolah-olah tak punya bokong maksud saya, besarnya jadi ?biasa-biasa saja, seperti yang dimiliki orang umumnya." Ia mendesah dan dengan
ragu melicinkan bagian yang mengganggu dari tubuhnya itu. "Saya selalu merasa
agak terganggu," katanya. "Selama bertahun-tahun saya memang bisa
menyembunyikannya dengan menonjolkan tubuh saya ke depan. Tapi sekarang saya tak
bisa lagi melakukannya, karena selain bokong, sekarang perut saya pun gendut.
Maksud saya, kita kan tak bisa mengempiskan keduanya?"
"Coba saja'Anda lihat pelanggan kami yang lain!" kata Alicia Coombe.
Mrs. Fellows-Brown berjalan hilir-mudik untuk mencoba.
"Perut gendut lebih jelek daripada bokong," katanya. "Karena lebih kelihatan.
Atau mungkin kita mengira begitu, karena, maksud saya, bila kita berbicara
dengan orang-orang, kita berhadapan dengan mereka, dan pada saat itu orang tak
bisa melihat bokong kita, tapi mereka bisa melihat perut kita. Pokoknya, saya
jadi terbiasa mengempiskan perut saya dan membiarkan saja bokong saya apa
adanya." Diulurkannya lehernya lebih jauh sambil melihat ke sekelilingnya, lalu
tiba-tiba ia berkata, "Ihh, boneka Anda itu! Saya ngeri
140 melihatnya. Sudah berapa lama benda itu ada di sini?"
Sybil melihat dengan tak yakin pada Alicia Coombe yang kelihatan tak mengerti,
tapi agak tertekan. "Saya tak tahu pasti... saya rasa sudah beberapa lama. Saya tak pernah bisa ingat.
Mengerikan sekali sekarang ini saya benar-benar tak bisa mengingat apa-apa. ?Sybil, sudah berapa lama kita memilikinya?"
"Entah," kata Sybil singkat.
"Yah," kata Mrs. Fellows-Brown, "saya ngeri melihatnya. Menakutkan! Soalnya, dia
seolah-olah memperhatikan kita semua, dan mungkin dia menertawakan kita di
belakang. Kalau saya jadi Anda, akan saya buang benda itu." Ia agak bergidik.
Lalu ia kembali pada soal-soal pembuatan pakaian, sampai hal yang sekecil-
kecilnya. Apakah ia sebaiknya memendekkan lengannya satu inci atau tidak" Lalu
bagaimana dengan panjang gaunnya" Setelah semua hal penting itu diselesaikan
dengan memuaskan, Mrs. Fellows-Brown mengenakan pakaiannya lagi dan bersiap-siap
untuk pulang. Waktu melewati boneka itu, ia berpaling lagi.
"Sungguh," katanya, "saya tak suku boneka itu. Dia tampak terlalu nyaman di
sini. Itu tidak sehat."
"Apa sih maksudnya?" tanya Sybil setelah Mrs. Fellows-Brown pergi menuruni
tangga. Sebelum Alicia Coombe sempat menjawab, Mrs. Fellows-Brown muncul kembali,
melongokkan kepalanya di pintu.
"Ya Tuhan, saya betul-betul lupa pada si Fou-Ling. Di mana kau, Sayang" Astaga!"
Ia terbelalak dan kedua wanita yang lain terbelalak pula. Anjing Peking itu
sedang duduk di dekat kursi berlapis beludru hijau, mendongak dan menatap boneka
lunglai yang terbaring di atasnya. Pada wajahnya yang kecil dan bermata menonjol
itu tidak tampak ekspresi apa pun, tak ada rasa senang maupun benci. Ia hanya
melihat saja. "Mari, sayang mami," kata Mrs. Fellows-Brown.
Namun si sayang mami sama sekali tidak menaruh perhatian.
"Makin hari dia makin bandel," "'kata Mrs. Fellows-Brown. "Ayolah, Fou-Ling. Ada
kue. Ada lauk hati yang enak."
Fou-Ling memalingkan kepala kira-kira satu inci ke arah majikannya, lalu dengan
sikap melecehkan memandangi boneka itu lagi.
"Dia pasti terkesan oleh boneka itu," kata Mrs. Fellows-Brown. "Saya rasa selama
ini dia belum pernah melihatnya. Saya juga tidak. Apakah dia sudah ada di sini
waktu saya kemari terakhir kali?"
Kedua wanita yang lain" berpandangan. Sybil tampak mengernyitkan alisnya,
sedangkan Alicia Coombe berkata sambil mengerutkan dahi, "Sudah saya katakan,
saya sama sekali tak bisa mengingat apa-apa sekarang ini. Sudah berapa lama kita
memilikinya, Sybil?"
"Dari mana dia?" tanya Mrs. Fellows-Brown. "Apakah Anda membelinya?"
"Oh, tidak." Entah mengapa, Alicia Coombe
142 terkejut sekali mendengar pertanyaan itu. "Oh, tidak. Kalau tak salah, saya rasa
ada orang yang memberikannya pada saya." Ia menggeleng. "Gila rasanya!" serunya.
"Sungguh gila rasanya, kalau semua yang baru saja terjadi sudah kita lupakan."
"Ayo, jangan bodoh, Fou-Ling," kata Mrs. Fellows-Brown tajam. "Ayo. Aku terpaksa
mengangkatmu." Diangkatnya anjing itu. Fou-Ling memprotes dengan melolong sedih. Mereka keluar
dari ruangan. Fou-Ling menoleh lewat pundaknya yang berbulu panjang. Ia masih
tetap menatap boneka di kursi itu dengan penuh perhatian.
"Boneka itu," kata Mrs. Groves, "membuat saya takut sekali."
Mrs. Groves adalah wanita yang bertugas membersihkan rumah. Ia baru saja selesai
membersihkan lantai ke arah belakang. Kini ia bangkit dan perlahan-lahan
menjalankan pembersih debu sekeliling ruangan.
"Lucunya," kata Mrs. Groves, "baru kemarin saya benar-benar memperhatikannya.
Lalu langsung saja saya merasakannya-^.
"Kau tak menyukainya?" tanya Sybil.
"Terus terang, Mrs. Fox, saya ngeri melihatnya," kata wanita itu. "Dia tidak
wajar. Mengertikah Anda maksud saya" Kakinya yang panjang dan berjuntai itu,
caranya terbaring, dan matanya yang licik itu. Menurut saya kelihatannya tidak
sehat." "Dulu-dulu kau tak pernah berkata apa-apa tentang dia," kata Sybil.
143 "Sudah saya katakan, tak pernah terlihat oleh saya baru tadi pagi. Memang saya ?tahu bahwa benda itu sudah beberapa lama ada di sini, tapi ." Ia berhenti dan
"di wajahnya tampak pandangan tak mengerti. "Dia seperti mimpi di malam hari,"
katanya, lalu setelah mengumpulkan beberapa peralatan kebersihan, ia
meninggalkan ruang pas itu dan menyeberangi tangga ke kamar di sisi lain.
Sybil memandangi boneka yang tampak santai itu. Di wajahnya tampak pandangan
bingung. Alicia Coombe masuk dan Sybil menoleh cepat ke arahnya.
"Miss Coombe, sudah berapa lama Anda memiliki makhluk ini?"
"Apa, boneka itu" Sayang, kau kan tahu bahwa aku tak bisa mengingat apa-apa.
Kemarin ah, gila sekali! aku akan pergi menghadiri, ceramah, tapi setengah
? ?jalan aku tiba-tiba lupa harus pergi ke mana Aku berusaha keras mengingatnya.
Akhirnya kukatakan pada diriku, pasti aku harus ke toko Fortnums. Aku tahu bahwa
aku memerlukan sesuatu yang harus kubeli di toko Fortnums. Nah, mungkin kau tak
percaya", sampai aku pulang dan sedang minum teh, barulah aku ingat ceramah itu.
Yah, aku sudah tahu bahwa orang jadi pikun kalau sudah berumur, tapi pada diriku


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu terjadi terlalu awal. Sekarang saja aku lupa di mana tasku, juga kacamataku.
Di mana aku meletakkan kacamata itu" Tadi baru saja aku memakainya aku membaca
?sesuatu di harian The Times."
"Kacamatanya ada di alas penutup perapian.
144 Ini," kata Sybil sambil menyerahkannya "Bagaimana Anda mendapatkan boneka itu"
Siapa yang memberikannya pada Anda?"
"Aku lupa juga," kata Alicia Coombe. "Kurasa seseorang telah memberikannya
padaku, atau mengirimkannya padaku.... Tapi dia cocok sekali di ruangan ini, ya?"
"Saya rasa bahkan terlalu cocok," kata Sybil. "Lucunya, saya tak ingat kapan
saya pertama kali melihatnya di sini."
"Nah, jangan sampai kau jadi sama pelupanya dengan aku," tegur Alicia Coombe.
"Soalnya kau masih sangat muda."
"Tapi sungguh, Miss Coombe, saya tak ingat. Maksud saya, kemarin saya
melihatnya, lalu saya pikir ada sesuatu ya, Mrs. Groves memang benar ada ? ?sesuatu yang mengerikan pada benda itu. Lalu saya pikir saya memang pernah
berpikir begitu, lalu saya mencoba mengingat, kapan pertama kali saya berpikiran
begitu, dan... yah, saya tak ingat apa-apa! Rasanya seolah-olah saya belum pernah
melihatnya tapi rasanya tidak begitu. Rasanya dia sudah lama di sini, tapi baru
?terlihat oleh saya."
"Mungkin pada suatu hari dia masuk lewat jendela, terbang naik gagang sapu,"
kata Alicia Coombe. "Pokoknya, sekarang dia berada di sini." Ia melihat ke
sekelilingnya. "Kita sekarang sulit membayangkan ruangan ini tanpa dia, bukan?"
"Memang," kata Sybil dengan agak merinding, "tapi rasanya lebih baik kalau saya
bisa..." "Bisa apa?"
145 "Membayangkan ruangan ini tanpa dia."
"Perlukah kita semua jadi kacau gara-gara boneka ini?" tanya Alicia Coombe tak
sabaran. "Apa sih salahnya benda malang itu" Dia kelihatan seperti kubis yang
sudah rusak saja, tapi mungkin," tambahnya, lagi, "karena aku tidak memakai
kacamata." Dipasangnya kacamatanya, lalu ia melihat dengan tajam ke boneka itu.
"Ya," katanya, "aku mengerti maksudmu. Dia memang agak mengerikan... kelihatan
sedih, tapi... yah, licik dan juga agak keras kepala."
"Lucu," kata Sybil, "Mrs. Fellows-Brown sangat benci padanya."
"Dia terlalu ceplas-ceplos," kata Alicia Coombe.
"Tapi aneh," kata Sybil bertahan, "mengapa boneka ini sampai bisa memberikan
kesan begitu terhadapnya."
"Yah, memang ada orang yang bisa tiba-tiba saja merasa tak suka."
"Mungkin," kata Sybil sambil tertawa kecil, "boneka itu memang baru kemarin ada
di sini. Mungkin dia terbang dan masuk lewat jendela, seperti yang Anda katakan,
dan menempatkan dirinya di sini."
"Tidak," kata Alicia Coombe, "aku yakin dia sudah beberapa lama berada di sini.
Mungkin baru kemarin dia tampak."
"Begitulah saya rasa," kata Sybil, "bahwa sudah beberapa lama dia berada di
sini, tapi selama itu, seingat saya baru kemarinlah saya melihatnya."
"Ah, sudahlah," kata Alicia dengan tegas, "henti -
146 kanlah itu. Kau jadi membuatku merasa aneh dah merinding. Kau kan tidak akan
membesar-besar-kannya, hingga dia seolah-olah merupakan mahkluk ajaib?"
Diambilnya boneka itu, diguncang-guncang, diperbaiki letak pundaknya, lalu
didudukkannya di kursi lain. Boneka itu langsung lunglai lagi.
"Sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupannya," kata Alicia Coombe sambil
menatap boneka itu. "Tapi, lucunya, dia kelihatan hidup, ya?"
"Hii, saya takut sekali," kata Mrs. Groves saat berkeliling di ruang pamer,
membersihkannya. "Demikian takutnya, hingga saya boleh dikatakan tak mau masuk
ke ruang pas lagi." "Apa yang membuatmu takut?" tanya Miss Coombe yang sedang duduk di meja tulis,
di sudut. Ia sedang sibuk menghitung. "Wanita ini," katanya lagi, bukan pada
Mrs. Groves, melainkan pada dirinya sendiri, "mengira dia akan bisa menjahitkan
dua pakaian pesta, tiga pakaian untuk koktail, dan satu setelan setiap tahun,
tanpa membayar barang sesen pun padaku! Dasar!"
"Boneka itu," kata Mrs. Groves.
"Apa" Boneka kita lagi?"
"Ya, duduk di meja tulis itu, seperti manusja. Iih, saya takut sekali!"
"Bicara apa kau?"
Alicia Coombe bangkit, berjalan menyeberangi ruangan, lalu masuk ke kamar di
seberangnya ruang pas. Di salah satu sudutnya ada sebuah meja tulis bergaya ?Sheraton, dan di situlah boneka itu
147 duduk, di kursi yang ada di dekat meja itu, dengan lengan lunglainya yang
panjang di atas meja. "Pasti ada seseorang yang ingin bercanda," kata Alicia Coombe. "Bayangkan,
mendudukkannya seperti itu. Tapi dia benar-benar kelihatan wajar."
Pada saat itu, Sybil Fox turun dengan membawa sehelai gaun yang akan dicoba pagi
itu. "Mari sini, Sybil. Lihat, boneka kita sedang duduk di meja tulis pribadiku dan
menulis surat." Kedua wanita itu melihat.
"Sungguh," kata Alicia Coombe, "sangat tak masuk akal! Aku ingin tahu siapa yang
mendudukkannya di situ. Kaukah?"
"Tidak." kata Sybil. "Pasti salah seorang gadis di lantai atas."
"Lelucon konyol," kata Alicia Coombe. Diambilnya boneka itu, lalu dilemparkannya
kembali ke sofa. Sybil meletakkan gaun itu di kursi dengan hati-hati, lalu ia keluar dan naik ke
ruang kerja di lantai atas.
"Kalian tentu tahu boneka "itu " katanya, "boneka beludru yang ada di kamar Miss
Coombe di lantai bawah di kamar pas itu?"
?Mandor dan ketiga gadis itu mengangkat wajah.
"Ya, tentu kami tahu."
"Siapa yang mendudukkannya di meja tulis tadi pagi untuk berolok-olok?"
Ketiga gadis itu menatapnya, lalu Elspeth, mandor mereka, berkata,
"Mendudukkannya di meja tulis" Saya sih tidak."
148 "Saya juga tidak," kata salah seorang gadis itu. "Kaukah, Marlene?" Marlene
menggeleng. 'Itukah caramu bercanda, Elspeth?"
"Sama sekali tidak," kata Elspeth, seorang wanita serius yang mulutnya kelihatan
seolah-olah selalu berisi jarum pentul. "Pekerjaan saya banyak. Mana sempat saya
bermain-main dengan boneka dan mendudukkannya di meja tulis?"
"Dengarlah," kata Sybil, dan ia merasa heran sendiri karena suaranya agak
bergetar. "Itu... lelucon itu tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu siapa yang
melakukannya." Ketiga gadis itu menjadi gempar.
"Sudah kami katakan, Mrs. Fox. Tak seorang pun di antara kami yang melakukannya,
begitu kan, Marlene?"
"Aku tidak melakukannya," kata Marlene, "dan kalau Nellie dan Margaret tidak
melakukannya, maka tak ada di antara kita yang melakukannya."
"Anda sudah tahu apa kata saya," kata Elspeth. "Tapi, ada apa sih, Mrs. Fox?"
"Mungkin Mrs. Groves, ya?" kata Marlene.
Sybil menggeleng. "Tak mungkin Mrs. Groves. Soalnya dia sendiri ketakutan."
"Saya akan tumn dan melihatnya sendiri," kata Elspeth.
"Sekarang dia sudah tidak di situ lagi," kata Sybil. "Miss Coombe telah
mengambilnya dan melemparkannya kembali ke sofa." Ia diam sebentar. "Yah,
maksudku, pasti ada seseorang yang mendudukkannya di kursi di meja tulis itu,
sebagai 149 olok-olok. Itu dugaanku. Dan aku... aku tak mengerti mengapa orang itu tak mau
mengatakannya." "Sudah dua kali saya katakan, Mrs. Fox," kata Margaret. "Saya tak mengerti,
mengapa Anda terus-menerus menuduh kami berbohong. Tak seorang pun di antara
kami mau berbuat sebodoh itu."
"Maafkan aku," kata Sybil. "Jangan marah. Tapi... tapi siapa lagi yang mungkin
melakukannya?" "Mungkin dia bangkit, lalu berjalan sendiri ke situ," kata Marlene, lalu
terkikik. Sybil tak senang mendengar kata-kata itu.
"Ah, itu hanya omong kosong saja," katanya, lalu turun lagi.
Alicia Coombe sedang bersenandung dengan riang. Ia melihat ke sekeliling kamar.
"Aku kehilangan kacamataku lagi," katanya, "tapi tak apa-apa. Saat ini aku tidak
ingin melihat apa-apa. Sulitnya, bila orang sebuta aku kehilangan kacamata, dia
tidak akan bisa menemukannya, karena dia tak bisa melihat apa-apa, kecuali kalau
dia punya sepasang yang lain."
"Biar saya carikan," kata Sybil. "Tadi Anda memakainya "
"Aku pergi ke kamar sebelah waktu kau naik. Kurasa aku membawanya kemari lagi."
Ia menyeberang ke kamar sebelah.
"Menyusahkan sekali," kata Alicia Coombe. "Aku ingin mengerjakan pembukuan ini
terus. Sekarang mana bisa tanpa kacamataku?"
"Biar saya naik dan mengambilkan kacamata Anda yang sepasang lagi di kamar
tidur," kata Sybil. 150 "Sekarang ini aku tak punya lagi," kata Alicia Coombe.
"Mengapa" Apa yang terjadi?"
"Kurasa ketinggalan waktu aku pergi makan siang. Sudah kutelepon tempatku makan
siang itu, dan sudah kutelepon pula dua toko tempatku berbelanja kemarin."
"Astaga," kata Sybil, "saya rasa Anda harus memiliki tiga pasang."
"Kalau aku memiliki tiga pasang kacamata," kata Alicia Coombe, "maka seumur
hidupku aku harus mencari kacamata itu bergantian. Kurasa yang terbaik adalah
memiliki satu saja. Jadi, kita harus mencarinya sampai ketemu."
"Yah, pasti kacamata itu ada," kata Sybil. "Anda kan tidak keluar dari dua kamar
ini" Yang pasti tak ada di ruang ini, maka pasti Anda meletakkannya di ruang
pas." Ia pergi, lalu mencari dengan lebih teliti. Akhirnya, sebagai usaha terakhir,
diangkatnya boneka itu dari sofa.
"Saya menemukannya," serunya.
"Oh, di mana, Sybil?"
"Di bawah boneka kita. Saya rasa ikut terlempar waktu Anda melemparkan boneka
itu kembali ke sofa."
"Tidak. Sungguh tidak."
"Oh," kata Sybil dengan perasaan kacau. "Kalau begitu, boneka itu yang
mengambilnya dan menyembunyikannya dari Anda!"
Sambil memandangi boneka itu dengan serius,
151 Alicia berkata, "Aku tidak akan meremehkan dia. Dia kelihatan cerdas, ya,
Sybil?" "Saya rasa, saya tak suka wajahnya itu," kata Sybil. "Kelihatannya dia tahu
sesuatu yang tidak kita ketahui."
"Tidakkah menurutmu dia kelihatan sedih dan manis?" kata Alicia dengan nada
membujuk, namun tanpa keyakinan.
"Saya rasa dia sama sekali tidak manis," kata Sybil.
"Yah... mungkin kau benar. Ah, sudahlah, sebaiknya kita meneruskan pekerjaan.
Sepuluh menit lagi Lady Lee akan tiba. Aku hanya ingin menyelesaikan faktur ini
supaya bisa dibawa ke kantor pos."
"Mrs. Fox. Mrs. Fox?"
"Ya, Margaret?" kata Sybil. "Ada apa?"
Sybil sedang sibuk menggunting sepotong bahan satin yang ditebarkan di meja.
"Oh, Mrs. Fox, lagi-lagi boneka itu. Saya membawa turun gaun cokelat seperti
yang Anda perintahkan, dan saya lihat boneka itu duduk di meja tulis lagi. Bukan
saya yang mendudukkannya bukan salah seorang di antara kami. Sungguh, Mrs. ?Fox, kami tidak akan mau melakukan perbuatan semacam itu."
Gunting Sybil tergeser sedikit.
"Tuh," katanya dengan marah, "lihat, apa yang terjadi gara-gara kau. Mudah-
mudahan tidak apa-apa. Lalu mengapa dengan boneka itu?"
"Dia duduk di meja tulis lagi."
152 Sybil turun dan masuk ke ruang pas. Boneka itu duduk di meja tulis, sama benar
?seperti sebelumnya. "Kau bandel sekali, ya?" kata Sybil pada boneka itu.
Diangkatnya boneka itu dengan kasar, lalu diletakkannya kembali di sofa.
"Di sini tempatmu," katanya. "Tinggal di sini." Lalu ia pergi ke kamar sebelah
"Miss Coombe." "Ya, Sybil?"
"Memang ada orang yang mempermainkan kita. Boneka itu duduk di meja tulis lagi."
"Menurutmu siapa?"
"Pasti salah seorang dari yang bertiga di lantai atas itu," kata Sybil. "Saya
rasa mereka pikir itu lucu. Mereka memang sudah bersumpah bahwa bukan mereka
yang melakukannya." "Menurutmu siapa" Margaret?"
"Bukan, saya rasa bukan Margaret. Dia kelihatan ketakutan waktu dia masuk dan
mengatakannya pada saya. Saya rasa Marlene, si tukang cekikikan itu."
"Pokoknya itu perbuatan dungu."
"Memang bahkan gila," kata Sybil. "Bagaimanapun," katanya lagi dengan
?geram, ."saya akan menghentikan perbuatan itu."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Lihat saja," kata Sybil.
Malam itu, sebelum pulang, Sybil mengunci ruang pas dari luar.
153 "Kamar ini saya kunci," katanya, "dan kuncinya saya bawa."
"Oh, begitu," kata Alicia Coombe dengan agak geli. "Rupanya kau mulai menduga
aku yang melakukannya, ya" Kaupikir demikian pikunnya aku, hingga aku masuk ke
situ dengan niat akan menulis di meja itu. Tapi yang kulakukan adalah mengangkat
boneka itu dan mendudukkannya di situ supaya dia yang menulis untukku. Begitukah
pikiranmu" Lalu aku sama sekali lupa" Begitu?"
"Yah, itu mungkin saja," kata Sybil. "Pokoknya saya ingin yakin bahwa tidak akan
ada lelucon yang tak sehat malam ini."
Keesokan paginya, dengan bibir terkatup rapat, yang pertama dilakukan Sybil
begitu tiba adalah membuka pintu ruang pas yang terkunci, dan berjalan masuk.
Mrs. Groves sudah menunggu di tangga dengan lap debu, lap pel, dan wajah sedih.
"Sekarang kita lihat!" kata Sybil.
Lalu ia mundur dengan tercekat.
Boneka itu duduk di meja tulis.
"Astaga!" kata Mrs. Groves. "Mengerikan! Sungguh. Wah, Mrs. Fox, Anda pucat
sekali, seolah-olah Anda baru melihat hantu. Anda perlu minum sedikit. Apakah
Miss Coombe punya minuman keras di lantai atas?"
"Aku tak apa-apa," kata Sybil.
Ia berjalan ke arah boneka itu, diangkatnya dengan hati-hati, lalu ia
menyeberangi ruangan dengan boneka itu.
154 "Ada orang yang mempermainkan Anda lagi," kata Mrs. Groves.
"Kali ini aku tidak tahu bagaimana orang itu bisa mempermainkan diriku," kata
Sybil lambat-lambat. "Pintu itu kukunci semalam. Kau tahu sendiri bahwa tak
seorang pun bisa masuk."
"Mungkin ada orang yang memiliki kunci lain," kata Mrs. Groves, membantu
memberikan pandangannya. "Kurasa tidak," kata Sybil. "Selama ini kami tak pernah merasa perlu mengunci
kamar ini. Kunci pintu ini kunci kuno, hanya ada satu."
"Mungkin kunci yang lain cocok kunci pintu di seberang itu."?Mereka lalu mencobakan semua kunci di toko itu, tapi tak sebuah pun yang cocok
ke pintu ruang pas itu. "Sungguh aneh, Miss Coombe," kata Sybil kemudian, saat mereka makan siang
bersama. Alicia Coombe kelihatan agak senang.
"Ah," katanya. "Kurasa itu hanya luar biasa. Kurasa sebaiknya kita menulis surat
kepada orang-orang di bagian riset psikis tentang hal ini. Mungkin mereka nanti
mengirim seseorang untuk menyelidiki seorang paranormal atau siapa akan
? ?melihat kalau kalau ada sesuatu yang aneh dengan kamar itu."
"Kelihatannya Anda sama sekali tak peduli," kata Sybil.
"Yah, boleh dikatakan aku menyukai keadaan ini," kata Alicia Coombe. "Maksudku,
bagi orang 155 seumurku, menyenangkan juga bila ada sesuatu yang terjadi! Tapi... tidak," katanya
lagi sambil merenung. "Kurasa aku tak suka. Maksudku, boneka itu telah menjadi
besar kepala, bukan?"
Malam itu Sybil dan Alicia Coombe sekali lagi mengunci pintu itu dari luar.
"Saya tetap berpendapat ada seseorang yang membuat lelucon yang tidak sehat.
Saya tak mengerti mengapa...," kata Sybil.


Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kaupikir dia akan duduk di meja tulis lagi besok pagi?" tanya Alicia.
"Ya, saya rasa begitu," sahut Sybil.
Tapi mereka keliru. Boneka itu tidak duduk di meja tulis, melainkan di ambang
jendela, melihat ke jalan di luar. Dan lagi-lagi sikap duduknya tampak wajar.
"Semuanya ini bodoh dan mengerikan, ya?" kata Alicia Coombe ketika mereka minum
teh petang itu. Atas persetujuan bersama, mereka tidak minum di ruang pas
sebagaimana biasa, melainkan di kamar Alicia Coombe sendiri di seberangnya.
"Bodoh dalam hal apa?"
"Yah, tak ada yang bisa kita jadikan pegangan. Hanya sebuah boneka yang selalu
berpindah tempat." Dari hari ke hari, hal itu merupakan bahan peninjauan. Kini bukan hanya malam
hari boneka itu berpindah tempat. Setiap saat bila mereka masuk ke ruang pas,
setelah mereka meninggalkannya beberapa menit saja, mereka menemukan boneka itu
berada di tempat lain. Kadang-kadang mereka
156 meninggalkannya di sofa dan menemukannya di kursi. Kemudian ia berada di kursi
yang lain. Kadang-kadang ia berada di kursi di dekat jendela, kadang-kadang di
meja tulis lagi. "Dia berpindah-pindah sesuka hatinya," kata Alicia Coombe. "Dan kurasa, Sybil,
kurasa dia suka!" Kedua wanita itu berdiri sambil menunduk memandangi sosok yang terbaring tak
bergerak, dengan baju beludru lembut dan wajah dari sutra bergambar itu.
"Dia sebenarnya hanya terdiri atas beberapa potong beludru, sutra, dan sedikit
cat," kata Alicia Coombe. Suaranya terdengar tegang. 'Tahukah kau, kurasa kita
bisa... kita bisa saja membuangnya."
"Apa maksud Anda membuangnya?" tanya Sybil. Suaranya terdengar shock.
"Yah," kata Alicia Coombe, "kita bisa melemparnya ke dalam api, kalau sedang ada
api. Maksudku, membakarnya, seperti nenek sihir.... Atau kita juga bisa saja
memasukkannya ke tempat sampah."
"Saya rasa itu tidak akan berhasil," kata Sybil. "Mungkin saja seseorang
mengeluarkannya dari tempat sampah itu, lalu membawanya kembali pada kita."
"Atau kita bisa mengirimkannya ke suatu tempat," kata Alicia Coombe. "Umpamanya
ke salah satu yayasan yang sering menulis surat untuk meminta sesuatu untuk
dijual di bazar atau semacamnya. Kurasa itulah cara yang terbaik."
"Entahlah...," kata Sybil. "Saya takut melakukannya."
157 "Takut?" "Soalnya, saya rasa dia akan kembali," kata Sybil. "Maksudmu, dia akan kembali
kemariT "Ya." "Seperti burung merpati pos?"
"Ya, begitulah maksud saya."
"Kurasa kita ini tidak sinting, kan?" kata Alicia Coombe. "Mungkin aku benar-
benar sudah linglung dan mungkin kau hanya menghiburku saja. Begitukah?"
"Tidak," kata Sybil. "Tapi saya punya perasaan yang menakutkan suatu perasaan ?yang mengerikan, bahwa dia terlalu kuat bagi kita."
"Apa" Kumpulan perca-perca kain itu?"
"Ya, kumpulan perca-perca kain yang menjengkelkan itu. Karena dia ternyata
bandel sekali." "Bandel?" "Dia berbuat sekehendak hatinya saja! Maksud saya, seolah-olah ini kamar dia
sekarang!" "Ya," kata Alicia Coombe sambil melihat* ke sekelilingnya. "Iya, ya" Tapi kalau
dipikir, memang selalu begitu warnanya dan sebagainya... kurasa dia cocok berada
?di sini, tapi kamarnyalah yang cocok dengannya. Boleh kukatakan," kata penjahit
itu lagi dengan suara tegas, "rasanya bodoh juga bila sebuah boneka merampas
segala-galanya seperti ini. Lihat saja, Mrs. Groves tak mau lagi datang untuk
membersihkan rumah."
"Apakah dia mengatakan takut pada boneka itu?"
"Tidak. Dia memberikan banyak alasan." Kemu -
158 dian Alicia berkata lagi dengan agak panik, "Apa yang harus kita lakukan, Sybil"
Aku jadi tertekan. Sudah berminggu-minggu aku tak bisa merancang apa-apa."
"Saya juga tak bisa memusatkan pikiran dengan baik saat menggunting," kata
Sybil. "Saya membuat macam-macam kesalahan yang bodoh. Mungkin," katanya lagi
dengan ragu, "pikiran Anda untuk menulis surat pada bagian riset psikis itu baik
juga-" "Tapi kita akan kelihatan seperti orang-orang dungu," kata Alicia Coombe. "Aku
tidak serius waktu itu. Tidak, kurasa kita jalani saja dulu sampai..."
"Sampai apa?" "Ah, entahlah," kata Alicia, lalu "ia tertawa ragu.
Keesokan harinya, waktu Sybil tiba, didapatinya pintu kamar pas terkunci.
"Miss Coombe, apakah kuncinya ada pada Anda" Andakah yang menguncinya semalam?"
"Ya," kata Alicia Coombe, "aku yang menguncinya dan akan tetap terkunci."
"Apa maksud Anda?"
"Maksudku, aku tak mau menggunakan kamar itu lagi. Biar untuk boneka itu saja.
Kita tidak memerlukan dua buah kamar. Kita bisa mengepas di sini."
"Tapi ini kan ruang duduk pribadi Anda."
"Ah, aku tak mau lagi. Aku sudah punya kamar tidur yang nyaman sekali. Aku bisa
menjadikannya kamar tidur merangkap ruang duduk, bukan?"
159 "Maksud Anda, Anda benar-benar tidak akan pernah masuk ke ruang pas itu lagi?"
tanya Sybil kurang percaya.
"Begitulah" maksudku."
"Tapi bagaimana dengan kebersihannya" Kamar itu akan kotor sekali."
"Biar saja!" kata Alicia Coombe. "Bila tempat itu rusak gara-gara menjadi milik
sebuah boneka, biar saja biar saja dia memilikinya. Dan membersihkannya ?sendiri." Lalu katanya lagi, "Tahukah kau, dia membenci kita."
"Apa maksud Anda?" tanya Sybil. "Boneka itu membenci kita?"
"Ya," kata Alicia. "Tak tahukah kau" Seharusnya kau tahu. Seharusnya kau
melihatnya waktu kau menatapnya."
"Ya," kata Sybil sambil merenung, "memang, saya rasa saya merasakannya bahwa
?dia membenci kita dan ingin kita keluar dari situ "
"Dia itu benda kecil yang penuh kebencian," kata Alicia Coombe. "Pokoknya, dia
harus puas sekarang."
Setelah itu keadaan jadi lebih tenang. Alicia Coombe mengumumkan pada para
karyawannya bahwa untuk sementara ia tidak akan menggunakan ruang pas terlalu
?banyak kamar yang harus dibersihkan, jelasnya.
Tapi keadaan itu tidak begitu menolong, karena pada malam itu juga didengarnya
salah seorang gadis pekerjanya berkata pada temannya, "Sudah benar-benar sinting
Miss Coombe itu sekarang.
160 Aku selalu merasa bahwa dia agak aneh seringnya dia kehilangan barang-
?barangnya, dan sifat pelupanya. Tapi sekarang sudah melampaui batas, bukan" Dia
jadi begitu gara-gara boneka di lantai bawah itu."
"Aduh, kaupikir dia akan jadi benar-benar sinting?" kata gadis temannya bicara
itu. "Hingga dia mungkin menikam kita atau semacamnya?"
Mereka lewat sambil berceloteh, dan Alicia duduk tegak karena berangnya.
"Menjadi sinting, ya!" Lalu ditambahkannya dengan murung, "Kurasa, kalau bukan
karena Sybil, harus kuakui bahwa aku memang sinting. Tapi ini, kecuali aku,
Sybil dan Mrs. Groves juga. Jadi, pasti ada benarnya. Tapi yang tidak kumengerti
adalah, bagaimana hal ini akan berakhir?"
Tiga minggu kemudian, Sybil berkata pada Alicia Coombe, "Sekali-sekali kita
harus masuk ke kamar itu."
"Mengapa?" "Maksud saya, pasti kotor sekali kamar itu. Barang-barang mungkin diserang
ngengat. Kita hanya membersihkan debunya dan menyapunya, lalu kita kunci lagi."
"Aku lebih suka membiarkannya tertutup dan tidak masuk lagi ke situ," kata
Alicia Coombe. "Wah," kata Sybil, "rupanya Anda lebih percaya takhayul daripada saya."
"Kurasa memang," kata Alicia Coombe. "Aku memang jauh lebih mudah mempercayainya
daripada kau. Tapi aku... yah aku merasa keadaan
161 aneh ini mencekam juga. Entahlah. Aku takut, dan tak ingin masuk ke kamar itu
lagi." "Saya mau," kata Sybil, "dan saya akan melakukannya."
"Tahukah kau apa yang terjadi dengan dirimu?" kata Alicia Coombe. "Kau hanya
ingin tahu saja." "Baiklah, saya memang ingin tahu. Saya ingin melihat, apa yang telah dilakukan
boneka itu." "Aku tetap berpikiran lebih baik boneka itu jangan diganggu," kata Alicia.
"Setelah kita tinggalkan ruang itu sekarang, dia puas. Sebaiknya biar saja dia
merasa puas." Ia mendesah keras. "Mengapa kita jadi omong kosong begini?"
"Ya, kita memang sedang omong kosong, tapi kalau Anda ingin saya tidak omong
kosong, berikanlah kuncinya pada saya."
"Baiklah, baiklah."
"Saya rasa Anda takut saya akan mengeluarkannya. Tapi saya rasa dia adalah
makhluk yang bisa melewati pintu dan jendela."
Sybil membuka kunci pintu, lalu masuk.
"Aneh sekali," katanya.
"Apa yang aneh?" kata Alicia Coombe, dengan mengintip lewat pundak Sybil.
"Kamar ini boleh dikatakan ^sama sekali tak berdebu, ya" Karena tertutup selama
ini, kita pikir..." "Ya, memang aneh."
"Itu dia," kata Sybil.
Boneka itu ada di sofa. Ia tidak terbaring dalam keadaan terkulai seperti
biasanya. Ia duduk tegak.
162 dengan sebuah bantal kursi di belakang punggungnya. Sikapnya seperti nyonya
rumah yang sedang menunggu akan menerima tamu.
"Yah," kata Alicia Coombe, "kelihatannya dia betah sekali, ya" Aku sampai merasa
harus meminta maaf padanya karena kita masuk."
"Mari kita keluar," kata Sybil.
Ia berjalan mundur, menutup pintu, dan menguncinya lagi.
Kedua wanita itu berpandangan.
"Alangkah baiknya kalau aku tahu," kata Alicia Coombe, "mengapa kita begitu
takut..." "Ya Tuhan, siapa yang tidak akan ketakutan?"
"Yah, maksudku, apa yang sebenarnya terjadi" Sebenarnya tak apa-apa hanya ?semacam boneka yang bisa berkeliling kamar. Kurasa bukan boneka itu sendiri
persoalannya melainkan setan nakal."
?"Ya, itu masuk akal."
"Ya, tapi aku tak begitu percaya. Kurasa... bonekanya itu."
"Yakinkah Anda bahwa Anda tidak tahu dari mana datangnya boneka itu sebenarnya?"
"Aku sama sekali tak ingat," kata Alicia. "Dan makin kupikirkan, makin yakin aku
bahwa aku tidak membelinya, dan bahwa tak ada orang yang memberikannya padaku.
Kurasa dia... yah, dia datang begitu saja"
"Menurut Anda, apakah dia... akan pergi?"
"Ah," kata Alicia, "aku tak mengerti mengapa dia harus pergi. Dia sudah
mendapatkan apa yang diinginkannya."
163 Tapi rupanya boneka itu tidak mendapatkan semua yang diinginkannya.
Keesokan harinya, waktu Sybil masuk ke ruang pamer, ia tiba-tiba menahan napas,
lalu ia berseru ke arah lantai atas.
"Miss Coombe, Miss Coombe, coba turun."
"Ada apa?" Alicia Coombe yang bangun kesiangan, menuruni tangga dengan terpincang-pincang
karena lutut kanannya rematik.
"Ada apa, Sybil?"
"Lihat, lihatlah apa yang "terjadi sekarang."
Mereka berdiri di ambang pintu ruang pamer. Boneka itu duduk di sofa, bersandar
dengan nyaman pada lengannya.
"Dia keluar," kata Sybil. "Dia sudah keluar dari kamar itu! Dia juga
menginginkan kamar ini."
Alicia Coombe duduk di dekat pintu. "Kurasa dia akan menginginkan seluruh toko
ini," katanya. "Mungkin saja," kata Sybil.
"Hei, makhluk kotor, licik, dan jahat," kata Alicia pada boneka itu. "Mengapa
kau datang dan mengganggu kami" Kami tidak menginginkanmu."
Baik Alicia maupun Sybil melihat seolah-olah boneka itu bergerak sedikit sekali.
Kaki dan tangannya seolah-olah makin santai. Lengannya yang panjang dan lunglai
terletak pada lengan sofa, dan wajahnya yang setengah tersembunyi seolah-olah
mengintip dari bawah ketiaknya. Pandangannya licik dan jahat.
164 "Dasur makhluk menjengkelkan," kata Alicia. "Aku tak tahan! Aku sudah tak tahan
lagi." Tiba-tiba, dengan sangat mengejutkan Sybil, Alicia melesat menyeberangi ruangan
itu. Diangkatnya boneka itu, lalu ia berlari ke jendela, membuka jendela itu,
dan mencampakkan boneka itu ke jalan. Napas Sybil tertahan, lalu ia terpekik
ngeri. "Aduh, Alicia, kau tak boleh berbuat begitu! Aku yakin kau tak boleh
melakukannya!" "Aku harus melakukan sesuatu," kata Alicia Coombe. "Aku sudah tak tahan lagi."
Sybil mendatanginya ke jendela. Di bawah, boneka itu tergeletak di trotoar,
lunglai dengan wajah tertelungkup.
"Anda telah membunuhnya" kata Sybil.
"Jangan bodoh... mana mungkin aku membunuh sesuatu yang hanya terbuat dari
potongan-potongan bahan beludru dan sutra" Itu benda mati."
"Itu hidup, dan mengerikan," kata Sybil.
Alicia menahan napasnya. "Astaga. Anak itu..."
Seorang gadis kecil berpakaian compang-camping berdiri di atas boneka itu di
trotoar. Ia melihat ke kiri-kanan jalan yang tidak begitu ramai pada jam sekian
pagi hari, meskipun beberapa mobil lewat; kemudian, setelah kelihatan puas, anak
itu membungkuk, memungut boneka itu, lalu berlari menyeberangi jalan.
"Berhenti, berhenti!" seru Alicia.
Ia menoleh pada Sybil. 165 "Anak itu tak boleh mengambil boneka itu. Tak boleh! Boneka itu berbahaya dia ?jahat. Kita harus melarangnya."
Bukan mereka yang menghentikan langkah anak itu, melainkan lalu lintas. Pada
saat itu ada tiga buah taksi menuju ke satu arah, dan dua buah truk pedagang
dari arah berlawanan. Anak itu terkurung di tengah-tengah jalan. Sybil cepat-
cepat menuruni tangga, disusul oleh Alicia Coombe. Dengan menghindari sebuah
truk barang dan sebuah mobil pribadi, Sybil yang langsung disusul oleh Alicia
Coombe, tiba di tempat anak itu sebelum ia bisa menembus lalu lintas ke seberang
jalan. "Kau tak boleh mengambil boneka itu," kata Alicia Coombe. "Kembalikan padaku."
Anak itu melihat padanya. Anak itu kurus sekali, berumur kira-kira delapan
tahun, dan agak juling. Wajahnya menantang.
"Mengapa saya harus memberikannya pada Anda?" tanyanya. "Anda kan sudah
melemparkannya dari jendela saya melihat Anda. Kalau sudah Anda lemparkan dari
?jendela, artinya Anda sudah tak menginginkannya lagi, jadi sekarang dia milik
saya." "Akan kubelikan kau boneka baru," kata Alicia gugup. "Mari kita pergi ke toko
mainan yang mana pun yang kausukai. Akan kubelikan kau boneka terbagus yang
?bisa kita dapatkan. Tapi kembalikan padaku yang ini."
"Tidak mau," kata anak itu.
Lengannya memeluk boneka beludru itu dengan sikap melindungi.
166 "Kau harus mengembalikannya," kata Sybil. "Itu bukan milikmu."
Diulurkannya tangannya untuk mengambil boneka itu, tapi pada saat itu si anak
mengentakkan kakinya, berbalik, dan berteriak pada mereka.
"Tidak mau! Tidak mau! Tidak mau! Dia milikku. Aku menyayanginya. Kalian tidak
menyayanginya. Kalian membencinya. Kalau kalian tidak membencinya, tentu kalian
tidak akan melemparkannya dari jendela. Aku menyayanginya, dan itulah yang
diinginkannya. Dia ingin disayangi."
Lalu, bagaikan belut, ia menyelinap melewati kendaraan-kendaraan. Anak itu
berlari ke seberang jalan, masuk ke lorong, dan tidak kelihatan lagi.
"Dia sudah hilang," kata Alicia.
"Katanya boneka itu ingin disayangi," kata Sybil.
"Mungkin," kata Alicia, "mungkin itulah yang selama ini diinginkannya...
disayangi..." Di tengah-tengah lalu lintas kota London, kedua wanita yang ketakutan itu saling
menatap.

Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teka-teki Pantulan Cermin
Aku tak punya penjelasan mengenai cerita ini. Aku tak punya teori mengenai
mengapa dan apa sebabnya. Itu hanya suatu hal yang telah terjadi.
Namun kadang-kadang aku berpikir, apa yang akan terjadi bila pada saat itu aku
menyadari satu hal penting, yang tak pernah kusadari sampai bertahun-tahun
kemudian. Kalau saja aku menyadarinya, yah, kurasa jalan hidup tiga orang pasti
akan sangat berbeda. Pokoknya, pikiran itu sangat menakutkan.
Untuk memulainya, aku harus kembali ke musim panas tahun 1914, tak lama
menjelang perang, saat aku pergi ke Badgeworthy dengan Neil Carslake. Neil boleh
dikatakan adalah sahabat karibku. Aku juga mengenal Alan, adiknya, tapi tidak
begitu akrab. Dengan adik .mereka, Sylvia, aku tak pernah bertemu. Gadis itu dua
tahun lebih muda daripada Alan dan tiga tahun lebih muda daripada Neil. Dua
kali, waktu kami masih sama-sama bersekolah, aku berencana akan pergi berlibur
bersama Neil di Badgeworthy, tapi dua kali pula
168 ada halangannya. Sehingga akhirnya waktu aku berumur dua puluh tiga, barulah
untuk pertama kalinya aku melihat rumah Neil dan Alan.
Mereka akan mengadakan pesta besar di sana. Adik Neil, Sylvia, bertunangan
dengan seseorang bernama Charles Crawley. Kata Neil, laki-laki itu jauh lebih
tua daripada Sylvia, tapi ia orang yang baik sekali dan lumayan kaya.
Aku ingat, kami tiba kira-kira jam tujuh malam. Semua orang sudah berada di
kamarnya, bersiap-siap untuk perjamuan malam bersama. Neil mengantarku ke
kamarku. Badgeworthy adalah sebuah rumah yang menarik, tua dan luas sekali.
Rumah itu banyak mengalami tambahan selama tiga abad terakhir, hingga banyak
sekali tangga kecil untuk turun atau naik, dan banyak tangga di tempat-tempat
yang tak disangka-sangka. Di rumah itu tidak mudah menemukan jalan kita. Aku
ingat Neil berjanji akan menjemputku kalau ia turun ke ruang makan. Aku merasa
agak malu-malu, karena harus bertemu dengan orang-orang yang belum kukenal. Aku
ingat aku berkata sambil tertawa bahwa di rumahnya itu orang mungkin akan
bertemu dengan hantu di lorong rumah, dan dengan santai Neil berkata bahwa kata
orang rumah itu memang berhantu, tapi tak seorang pun di antara mereka pernah
melihatnya, dan ia tidak tahu dalam bentuk apa hantu itu muncul.
Lalu Neil bergegas pergi, dan aku sibuk mencari pakaian malamku di koper.
Keluarga Carslake bukan orang kaya; mereka tetap mempertahankan
169 rumah tua. mereka, tapi tak ada pelayan yang membukakan koper atau melayani
kita. Aku baru akan memasang dasiku. Aku berdiri di depan cermin. Terlihat olehku
wajahku sendiri dan pundakku, dan di belakangku ada dinding kamar itu sebuah ?dinding kosong yang hanya terbelah di tengah-tengah oleh sebuah pintu. Ketika
aku sedang memasang dasiku, kulihat pintu itu terbuka.
Entah mengapa, aku tidak berbalik kurasa sewajarnya orang berbalik. Pokoknya, ?aku hanya memandangi pintu itu terbuka perlahan-lahan, dan setelah terbuka, aku
melihat ke dalam kamar di sebelah kamarku.
Kamar itu adalah sebuah kamar tidur, lebih besar daripada kamar yang kutempati:
ada dua buah tempat tidur. Dan tiba-tiba aku menahan napas.
Karena di bagian kaki salah satu tempat tidur itu ada seorang gadis, dan di
lehernya ada sepasang tangan laki-laki; laki-laki itu sedang mendorongnya ke
belakang sambil mencekik lehernya, sehingga gadis itu perlahan-lahan tercekik
lemas. Aku tak mungkin salah. Yang kulihat jelas sekali. Di situ sedang terjadi
pembunuhan. Aku bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas, rambumya yang keemasan dan
kemilau, ketakutan hebat di wajahnya yang cantik, yang perlahan-lahan memucat.
Mengenai laki-laki itu, yang terlihat adalah punggungnya, tangannya, dan bekas
luka memanjang di sisi kiri wajahnya, ke arah tengkuk.
170 Untuk menceritakannya dibutuhkan beberapa menit, padahal hanya beberapa saat aku
terbelalak, memandanginya tanpa bisa bersuara. Lalu aku berbalik akan membantu....
" Tapi pada dinding di belakangku, yaitu dinding yang terpantul di cermin tadi,
hanya ada sebuah lemari pakaian dari kayu mahoni bergaya Victoria, Tak ada pintu
yang terbuka tak ada pemandangan kekerasan. Aku berbalik lagi ke cermin. Cermin
?itu hanya memantulkan lemari pakaian itu.
Kugosok-gosok mataku. Lalu aku melompat menyeberangi kamar dan mencoba menggeser
lemari pakaian itu. Pada saat itu Neil masuk lewat pintu lain yang membuka ke
arah lorong rumah. Ia bertanya, apa yang sedang kulakukan.
Mungkin ia menganggap aku kurang waras waktu aku bertanya padanya, apakah ada
pintu di belakang lemari pakaian itu. Ada, katanya, pintu itu untuk masuk ke
kamar di sebelah. Kutanyakan siapa yang menempati kamar di sebelah itu. Katanya
orang-orang bernama Oldham seorang mayor bernama Oldham dan istrinya. Lalu
?kutanyakan apakah Mrs. Oldham berambut sangat pirang, dan waktu Neil menjawab
dengan datar bahwa rambutnya hitam, kusadari bahwa aku mungkin telah memperbodoh
diriku. Kutenangkan diriku, kuberikan penjelasan asal-asalan, lalu kami turun
bersama-sama. Kuyakinkan diriku bahwa aku pasti telah mengalami halusinasi aku
?merasa malu sekali dan bodoh. Lalu... lalu... Neil berkata, "Ini saudara pe-171
rempuanku. Sylvia." Dan yang kulihat adalah gadis cantik yang baru saja kulihat
dicekik sampai mati... dan aku dikenalkan pula pada tunangannya, seorang pria
jangkung berambut hitam yang di sisi kiri wajahnya ada bekas luka.
Yah, begitulah. Aku ingin tahu, apa yang akan Anda lakukan seandainya Anda
berada di tempatku. Inilah gadis yang... yang serupa benar... dan ada pula laki-laki
yang kulihat sedang mencekiknya padahal mereka akan menikah sebulan lagi....
?Apakah aku telah diberi penglihatan akan apa yang bakal terjadi di masa depan,
atau apa" Apakah di masa yang akan datang Sylvia dan suaminya akan tinggal di
tempat ini beberapa lama, dan diberi kamar itu (kamar tamu terbaik), dan apakah
peristiwa yang kusaksikan itu akan benar-benar terjadi"
?Apa yang harus kulakukan" Bisakah aku melakukan sesuatu" Apakah ada
orang Neil atau gadis itu sendiri yang mau mempercayaiku"
? ? ?Selama seminggu di situ, hal itu berulang kali kubolak-balik dalam otakku.
Haruskah aku berbicara atau tidak" Lalu boleh dikatakan segera muncul pula suatu
kerumitan baru. Aku jatuh cinta pada Sylvia Carslake pada pandangan pertama. Aku
menginginkannya lebih dari yang lain di dunia ini. Dan aku merasa tanganku
terikat. Namun, bila tidak kukatakan, Sylvia akan menikah dengan Charles Crawley, dan
Crawley akan membunuhnya....
Maka, sehari sebelum aku pulang, kuceritakan
172 semuanya pada Sylvia. Kukatakan kurasa ia akan mengira aku. sudah tidak waras
atau semacamnya, tapi aku bersumpah bahwa aku benar-benar melihat kejadian itu
sebagaimana yang kuceritakan padanya. Kukatakan pula bahwa jika ia tetap akan
menikah dengan Crawley, aku harus menceritakan pengalamanku yang aneh itu.
Sylvia mendengarkan dengan tenang. Ada sesuatu di matanya yang tidak kumengerti.
Dia sama sekali tidak marah. Setelah aku selesai berbicara, ia mengucapkan
terima kasih banyak. "Aku benar-benar melihatnya. Sungguh," kataku berulang-ulang, seperti orang
dungu. Dan ia berkata, "Aku yakin kau melihatnya, kalau itu yang kaukatakan. Aku
percaya padamu." AJdiirnya aku pulang, tanpa tahu apakah aku telah melakukan sesuatu yang benar,
ataukah aku dungu. Seminggu kemudian, Sylvia memutuskan pertunangannya dengan Charles Crawley.
Setelah itu perang pun pecah, dan tak ada waktu santai untuk memikirkan hal-hal
lain. Sekali atau dua kali, waktu sedang cuti, aku bertemu dengan Sylvia, tapi
aku menghindarinya sedapat mungkin.
Aku masih tetap sangat mencintainya seperti sebelumnya, tapi kurasa itu tidak
akan menguntungkan. Gara-gara akulah ia memutuskan pertunangannya dengan Charles
Crawley, dan aku terus meyakinkan diri bahwa aku harus membuktikan kebenaran
kata-kataku, dengan bersikap tidak menaruh minat.
173 Lalu, pada tahun 1916, Neil tewas, dan akulah yang ditugaskan untuk menceritakan
pada Sylvia tentang saat-saat terakhirnya. Setelah itu kami sama-sama tak bisa
lagi bersikap resmi. Sylvia memuja Neil, sedangkan aku sahabat karib Neil. Dalam
kesedihannya, Sylvia sangat manis. Aku berhasil menahan diri untuk tidak berkata
apa-apa, dan pergi sambil berdoa semoga sebuah peluru mengenai diriku, supaya
bisa mengakhiri persoalan yang rumit itu. Rasanya tak ada gunanya aku hidup
tanpa Sylvia. Tapi tak ada peluru yang nyasar ke arahku. Ada sebuah, tapi hanya melesat
mengenai bagian bawah telinga kananku, sedangkan sebuah lagi memantul dari wadah
rokok di sakuku, tapi aku selamat. Charles Crawley tewas dalam tugas pada awal
tahun 1918. Hal itulah yang membawa perubahan. Aku pu - 'lang pada musim gugur tahun 1918, tak
lama menjelang gencatan senjata. Aku langsung mendatangi Sylvia dan mengatakan
bahwa aku mencintainya. Aku tidak berharap banyak bahwa ia akan langsung bisa
menyayangiku. Betapa terperanjatnya aku waktu ia bertanya,^ mengapa aku tidak
dulu-dulu mengatakannya. Aku jadi gugup waktu menyebutkan Crawley sebagai
alasan, tapi ia berkata, "Tapi tahukah kau mengapa aku memutuskan hubungan
dengannya?" Lalu dikatakannya bahwa ia jatuh cinta padaku seperti aku padanya ?pada pandangan pertama.
Kukatakan kukira ia memutuskan pertunangannya
174 gara-gara pengalaman yang kuceritakan padanya. Dia tertawa mengejek, dan
mengatakan bahwa bila seorang wanita mencintai seorang laki-laki, ia tidak akan
sepengecut itu. Kami membicarakan kembali penglihatanku itu, dan kami sependapat
bahwa itu aneh, tak lebih dari itu.
Yah, tak banyak lagi yang dapat diceritakan setelah itu. Aku menikah dengan
Sylvia dan kami berbahagia sekali. Tapi segera setelah ia benar-benar menjadi
milikku, kusadari bahwa aku bukanlah suami yang baik. Aku mencintai Sylvia
dengan tulus, tapi aku cemburu. Aku cemburu membabi buta, bahkan pada orang yang
hanya tersenyum padanya. Mula-mula Sylvia menertawakan hal itu. Kurasa ia bahkan
merasa senang. Setidaknya itu membuktikan betapa besar cintaku padanya.
Sedangkan aku sendiri, aku benar-benar menyadari bahwa aku bukan saja membodohi
diriku sendiri, melainkan juga membahayakan kedamaian dan kebahagiaan hidup kami
bersama. Kukatakan bahwa aku mengerti, tapi aku tak bisa mengubahnya. Setiap
kali Sylvia menerima surat yang tidak diperlihatkannya padaku, aku ingin tahu
dari siapa surat itu. Bila ia tertawa dan bercakap-cakap dengan seorang laki-
laki, aku jadi uring-uringan dan waswas.
Seperti kukatakan, mula-mula Sylvia menertawakan aku. Itu dianggapnya sebagai
lelucon besar. Lalu ia mulai menganggap bahwa lelucon itu tidak begitu lucu.
Aldiirnya ia sama sekali tidak menganggapnya sebagai lelucon lagi.
175 Dan perlahan-lahan ia mulai menarik diri dariku. Bukan dalam arti fisik, tapi
pikirannya yang bersifat rahasia disembunyikannya dariku. Aku tak tahu lagi apa
yang ada dalam pikirannya. Ia tetap baik, tapi sedihnya, seolah-olah dari jarak
jauh. Sedikit demi sedikit kusadari bahwa ia tak lagi mencintaiku. Cintanya telah
mati, dan akulah yang membunuh cinta itu.
Langkah berikutnya tak terelakkan. Kudapati diriku menunggunya ketakutan ?menunggunya.
Kemudian Derek Wainwright memasuki hidup kami. la memiliki segala-galanya yang
tak ada pada diriku. Ia berotak cerdas dan pandai berbicara. Ia pun tampan,
dan aku terpaksa mengakuinya benar-benar baik. Begitu melihatnya, kukatakan
? ?pada diriku sendiri, ^"Inilah laki-laki yang tepat untuk Sylvia...."
Ia membantahnya dengan keras. Aku tahu ia berjuang... tapi aku tidak membantunya.
Aku tak bisa. Aku terkungkung dalam keenggananku yang murung. Aku menderita. Aku
merasa seperti dalam neraka, dan aku sama sekali tak bisa berbuat apa-apa untuk
menyelamatkan diriku. Aku tidak membantu Sylvia. Aku memperburuk keadaan. Pada
suatu hari kumuntahkan semuanya padanya dengan kata-kata kasar dan tuduhan tak
berdasar. Aku hampir gila gara-gara kecemburuan dan kesedihan. Kata-kata yang
kuucapkan kasar dan tidak benar, dan saat mengatakannya pun aku tahu bahwa itu
kejam dan tidak benar. Namun aku senang mengatakannya.
176 Kuingat betapa wajah Sylvia memerah dan ia meringkuk.
Aku telah menyeretnya ke batas ketahanannya.
Aku ingat ia berkata, "Ini tak bisa berlanjut."
Waktu aku pulang malam itu, rumah kosong kosong. Seperti biasa, ada surat.
?Dalam surat itu dikatakannya bahwa ia meninggalkanku untuk selamanya. Ia akan
?pergi ke Badgeworthy untuk sehari dua. Setelah itu ia akan mendatangi seseorang
yang menyayangi dan membutuhkannya. Aku harus menerima itu sebagai keputusannya.
Kurasa sampai sejauh itu aku tidak benar-benar mempercayai kecurigaanku sendiri.
Pernyataan hitam di atas putih yang membenarkan apa yang paling kutakuti itu
membuatku berang dan gelap mata. Kudatangi ia di Badgeworthy secepat mobilku
bisa melarikanku. Aku ingat, ia baru saja berganti pakaian dengan gaun untuk makan malam, waktu
aku menyerbu masuk. Kulihat wajahnya terperanjat, cantik, ketakutan.?Kataku, "Tidak akan ada orang lain yang boleh memilikimu, kecuali aku. Tak
seorang pun." Lalu kutangkap lehernya, kucengkeram, dan kudorong tubuhnya ke belakang. Tiba-
tiba kulihat pantulan bayangan kami di cermin. Sylvia yang tercekik dan aku yang
mencekiknya, juga bekas luka di pipiku, bekas peluru yang melesat di bawah
telinga kananku. Tidak aku tak sampai membunuhnya. Pantulan
?177 yang mendadak itu melumpuhkan diriku. Kulepaskan cengkeramanku dan kubiarkan ia
lepas ke lantai. Lalu aku menangis sejadi-jadinya dan ia menghiburku. Ya, ia menghiburku.
?Kuceritakan segala-galanya padanya, dan dikatakannya bahwa yang dimaksudnya
dengan "seseorang yang menyayangi dan membutuhkannya" adalah kakaknya, Alan.
Malam itu kami membuka isi hati masing-masing, dan sejak saat itu, kurasa hati
kami tak pernah jauh lagi.
Terhibur rasanya menjalani hidup dengan kesadaran bahwa hanya dengan berkat
Tuhan dan sebuah cermin, aku terhindar dari perbuatan pembunuhan.
Ada satu hal yang mati malam itu setan kecemburuan yang telah menggenggamku
?selama itu. Tapi kadang-kadang aku masih berpikir, seandainya aku tidak membuat kesalahan
awal itu bekas luka pada pipi kiri, padahal sebenarnya pada pipi kanan yang
? ?terbalik di cermin... Apakah aku akan yakin bahwa laki-laki itu adalah Charles
Crawley" Apakah aku akan memberi peringatan pada Sylvia" Apakah Sylvia akan
menikah dengan dia atau denganku"
?Atau apakah masa lalu dan masa depan telah menyatu"
Aku hanya laki-laki biasa, dan aku tak bisa berpura-pura bahwa aku memahami hal-
hal itu, tapi aku memang benar-benar melihatnya, dan gara -
178 gara apa yang kulihat, aku dan Sylvia bersatu sebagaimana yang dikatakan pepatah
kuno sampai maut memisahkan kami. Dan mungkin bahkan lebih lama....
Tamat ?179 Pendekar Cengeng 5 Dewi Ular Misteri Santet Iblis Kitab Mudjidjad 8
^