Malam Tanpa Akhir 2
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie Bagian 2
"Tidak, tentu saja tidak. Hanya untuk satu musim panas, itu saja."
"Kuharap kau tidak terlalu cemas," kata Ellie.
"Apa yang terjadi dengan Minnie Thompson?"
"Mereka harus menyuap suaminya seharga dua ratus ribu pound, kurasa," kata
Ellie. "Dia tidak mau menerima kurang dari itu. Minnie memang tergila-gila pada
cowok, dan agak bodoh," kata Ellie lagi.
"Kau betul-betul membuatku kagum, Ellie," kataku. "Aku bukan hanya mendapat
seorang istri, tapi juga mendapatkan sesuatu yang bisa kutukar dengan uang tunai
kapan saja." "Betul," kata Ellie. "Panggil saja seorang pengacara yang berkuasa, dan katakan
padanya kau mau bicara soal harga. Dia pasti akan mengurus surat perceraian dan
jumlah tuntutan yang harus dibayar," kata Ellie, melanjutkan pendidikan bagiku.
"Ibu tiriku sudah menikah empat kali," katanya lagi, "dan dia memperoleh banyak
sekali uang dari keempat pernikahannya itu." Ia berkata lagi, "Oh, Mike, jangan
terlalu kaget begitu."
Lucunya aku memang kaget. Aku merasa muak dengan korupsi tingkat tinggi
masyarakat modern seperti itu. Ada kesan gadis-kecil pada diri Ellie, sikapnya
begitu polos dan menyentuh hati, jadi aku kaget mengetahui bahwa ia sesungguhnya
tahu banyak tentang hubungan-hubungan seperti itu, dan bahwa ia menganggap semua
itu biasa saja. Tapi dalam hati aku tahu bahwa pendapatku tentang Ellie pada
dasarnya benar. Aku tahu betul bagaimana Ellie sesungguhnya. Keluguannya, kasih
sayangnya, sikap manisnya yang alami. Tapi itu tidak berarti ia tidak tahu apa-
apa. Apa yang ia ketahui dan Ia anggap biasa hanyalah seiris kecil dari pola
hidup manusia. Ia tidak tahu banyak tentang duniaku, dunia yang penuh dengan
gonti-ganti pekerjaan, tentang taruhan dan pacuan, kelompok pengedar obat bins,
dan petualangan-petualangan hidup lain yang berbahaya, kaum sharp-aleck flashy
type yang sangat kukenal karena aku telah hidup di antara mereka sejak kecil. Ia
tidak tahu bagaimana rasanya dibesarkan secara layak dan terhormat, tapi selalu
kekurangan uang, oleh seorang ibu yang bekerja keras membanting tulang supaya
bisa hidup terhormat, yang bercita-cita bahwa anak laki-lakinya harus berhasil
dalam hidup. Setiap sen diperhitungkan dan ditabung, dan kepedihan hatinya kala
anak laki-lakinya yang hanya man hidup enak itu menyia-nyiakan semuanya atau
mempertaruhkan segala yang dimilikinya untuk mendapat informasi dalam pacuan
kuda. Ellie suka mendengarkan tentang hidupku, sama seperti aku suka mendengarkan
tentang hidupnya. Kami berdua merasa asyik bisa menjelajahi dunia yang asing
bagi diri kami masing-masing.
Kalau memikirkan semua itu kemball, aku merasa kala itu hidupku betul-betul
bahagia, hari-hari awal kehidupanku bersama Ellie. Waktu itu aku menganggapnya
biasa saja, begitu pula Ellie. Kami menikah di kantor catatan sipil di Plymouth.
Guteman bukan nama yang istimewa. Tak seorang pun - para wartawan atau
sejenisnya - tahu bahwa pewaris Guteman ada di Inggris. Kadang-kadang ada
pemberitaan kabur di koran-koran, yang menyebutkan bahwa Ellie ada di Itali atau
di kapal pesiar seseorang. Kami menikah di kantor catatan sipil itu, - hanya
dengan seorang pegawai kantor dan juru tik setengah baya: sebagai saksi. Ia
mengkhotbahi kami dengan serius tentang tanggung jawab pernikahan, dan
menyelamati kami. Kemudian kami keluar, bebas dan menikah. Mr. dan Mrs. Michael Rogers! Kami
menginap selama seminggu di sebuah hotel di tepi pantai, kemudian pergi ke luar
negeri. Kami bepergian ke mana pun kami suka selama tiga minggu, tanpa
memikirkan biayanya. Kami pergi ke Yunani, lalu ke Prancis dan Venice, kemudian melanjutkan ke Lido,
ke Riviera Prancis, dan ke Dolomite. Setengah dari tempat-tempat itu sudah tidak
kuingat lagi namanya sekarang.
Kami naik pesawat atau menyewa kapal atau mobil-mobil besar dan mewah. Dan
selama kami menikmati semuanya itu, Greta - begitu yang kuketahui dari Ellie -
tetap menjaga situasi rumah dan melakukan tugasnya.
Greta bepergian sendiri, mengirim surat-surat dan mengeposkan berbagai kartu pos
dan surat yang telah ditinggalkan Ellie padanya.
"Tak lama lagi kita mesti bikin perhitungan dengan mereka, kata Ellie. "Mereka
akan menyerang kita seperti sekawanan burung pemangsa. Jadi, lebih baik kita
menikmati segalanya sekarang, mumpung masih ada waktu."
"Bagaimana dengan Greta?" kataku. "Bukankah mereka akan marah besar padanya
kalau tahu nanti?" "Oh, tentu saja," sahut Ellie, "tapi Greta tidak akan keberatan. Dia orang yang
tabah." "Apa itu tidak menyulitkan dia kalau dia hendak mencari pekerjaan lagi?"
"Untuk apa dia mencari pekerjaan lagi?" kata Ellie. "Dia akan tinggal bersama
kita." "Tidak!" kataku.
"Apa maksudmu tidak, Mike?"
"Bukankah kita tidak mau siapa pun tinggal dengan kita," kataku.
"Greta tidak akan merecoki kita," kata Ellie, "dan dia pasti akan sangat berguna
nanti. Sungguh, aku tidak tahu mesti bagaimana tanpa dirinya. Maksudku, dialah
yang mengatur segalanya bagiku."
Aku mengerutkan dahi. "Kurasa aku tidak akan menyukainya. Lagi pula, kita ingin
punya rumah sendiri - rumah idaman kita. Bukankah kita ingin tinggal sendirian
di dalamnya, Ellie?"
"Ya," kata Ellie, "aku mengerti maksudmu. Tapi masalahnya..." Ia ragu-ragu.
"Maksudku, Greta pasti sulit mencari tempat tinggal lain.
Lagi pula, dia sudah bersamaku dan melakukan segalanya untukku selama bertahun-
tahun. Coba liliat bagaimana dia telah menolongku, hingga aku bisa menikah dan
bepergian seperti ini."
"Aku tidak mau dia merecoki hubungan kita terus!"
"Tapi dia bukan orang seperti itu, Mike. Kau bahkan belum pernah berjumpa
dengannya." "Memang belum, tapi... tapi itu tidak ada hubungannya dengan...
dengan apakah aku menyukainya atau tidak. Aku hanya ingin kita berdua saja,
Ellie." "Mike sayang," kata Ellie dengan lembut.
Kami membiarkan masalah tersebut sampai di situ, untuk sementara.
Selama perjalanan melancong kami, kami telah bertemu Santonix.
Tepatnya di Yunani. Ia tinggal di sebuah pondok nelayan kecil di dekat laut. Aku
kaget sekali melihat kondisinya, jauh lebih parah daripada setahun yang lalu. Ia
menyambut Ellie dan aku dengan hangat sekali.
"Kalian berhasil juga akhirnya," katanya.
"Ya," sahut Ellie, "dan sekarang kami akan membangun rumah kami."
"Aku sudah punya gambar denahnya untuk kalian di sini, rancangannya," Santonix
berkata padaku. "Dia sudah bercerita padamu, bukan, bagaimana dia datang
mengunjungiku dan menarikku, kemudian memberikan... perintahnya," katanya lagi,
memilih kata yang tepat dengan serius.
"Oh! Bukan perintah," bantah Ellie. "Aku hanya memohon."
"Kau tahu kami sudah membeli properti itu?" tanyaku.
"Ellie mengirimiku telegram dan mengatakannya padaku. Dia juga mengirimiku,
selusin foto." "Tapi kau tetap harus datang dan melihatnya langsung," kata Ellie.
"Mungkin saja kau tidak menyukai tempat itu."
"Aku sangat menyukainya."
"Mana mungkin kau tahu kalau belum melihatnya sendiri."
"Tapi aku sudah melihatnya, anakku. Aku terbang ke sana lima hari yang lalu. Aku
bertemu dengan salah seorang pengacaramu yang berwajah kaku di sana - yang orang
Inggris itu." "Mr. Crawford?"
"Itu dia. Malah pekerjaan awalnya sudah dimulai di sana: membersihkan lahan,
membuang puing-puing rumah tua itu, mendirikan fondasi - saluran-saluran. Kalau
kau pulang ke Inggris nanti, aku akan ada di sana untuk menemuimu." Santonix
mengeluarkan rancangannya dan kami duduk mengobrol,
memandangi bakal rumah kami. Ia juga sudah membuat sketsa cat air kasar dari
rumah itu, dan struktur arsitektur serta denahnya.
"Kau menyukainya, Mike?"
Aku menarik napas panjang.
"Ya," kataku, "ini dia. Betul-betul seperti yang kubayangkan."
"Kau dulu suka sekali membicarakannya, Mike. Kalau kupikir-pikir, tanah itu
sudah menyihirmu. Kau jatuh cinta pada sebuah rumah yang mungkin takkan pernah
kaumiliki, takkan pernah kaulihat, bahkan mungkin takkan pernah dibangun."
"Tapi sekarang kami akan membangunnya," kata Ellie. "Rumah kami akan dibangun..
bukan?" "Kalau Tuhan atau setan merestuinya." sahut Santonix. "Dibangun atau tidak,
bukan tergantung padaku."
"Kau tidak lebih... baikan?" tanyaku ragu.
"Camkan ini di kepalamu yang bebal. Aku tidak akan pernah sembuh. Tidak ada kata
itu dalam kamus hidupku sekarang ini."
"Omong kosong," kataku. "Zaman sekarang banyak penyembuhan baru ditemukan.
Dokter memang suka sok tahu. Mereka seenaknya bilang umur seseorang tidak bakal
panjang lagi, tapi orang itu cuma tertawa, tidak mengindahkan omongan si dokter,
dan dia hidup lima puluh tahun lagi."
"Aku mengagumi optimismemu, Mike, tapi penyakitku tidak seperti itu. Mereka
menyuruhku ke rumah sakit untuk cuci darah, supaya aku bisa merasakan hidup
normal sedikit lagi, supaya aku punya waktu sedikit lebih lama. Begitu
seterusnya, dan setiap kali aku bertambah lemah."
"Kau sangat tabah," kata Ellie.
"Oh, tidak, aku tidak tabah. Kalau suatu hal sudah pasti, kita tidak perlu
tabah. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencari penghiburan."
"Membangun rumah?"
"Bukan, bukan itu. Aku. sudah kehilangan tenagaku, dan karenanya membangun rumah
jadi semakin suli?" bukan semakin gampang. Tenagaku terus terkuras. Tapi ada
penghiburan lain. Kadang-kadang dalam cara yang sangat aneh malah."
"Aku tidak mengerti," kataku.
"Tidak, kau tidak akan mengerti, Mike. Aku tidak tahu apakah Ellie bisa mengerti
atau tidak. Bisa jadi dia mengerti." Santonix melanjutkan, lebih kepada dirinya
sendiri ketimbang pada kami. "Ada dua hal yang selalu berjalan bersama-sama,
berdampingan. Kelemahan dan kekuatan. Kelemahan dari semangat yang memudar, dan kekuatan dari
pikiran yang frustrasi. Sekarang ini, tidak jadi masalah apa pun yang kulakukan!
Toh aku akan mati nantinya. Jadi, aku bisa melakukan apa saja yang kuinginkan.
Tak ada yang bisa menghalangi; tak ada yang menahan. Aku bisa menyusuri jalanan-
jalanan Athena dan menembaki siapa saja di sana yang wajahnya tidak kusukai.
Coba pikirkan itu." "Tapi polisi bisa menangkapmu," kataku.
"Tentu saja mereka bisa menangkapku. Tapi apa yang bisa mereka lakukan" Paling-
paling menembak mati diriku. Nah, tak lama lagi hidupku toh akan direnggut oleh,
kekuatan yang jauh lebih besar dani sekadar hukum suatu negara. Apa lagi yang
bisa mereka lakukan" Mengirirnku ke penjara selama dua puluh tahun" Tiga puluh
tahun" Agak ironis, bukan" Aku tak punya waktu untuk menjalani hukuman penjara
selama dua puluh atau tiga puluh tahun. Enam bulan - satu tahun - delapan belas
bulan paling lama. Tak seorang pun bisa membantuku. Jadi, dalam rentang waktu
yang masih tersisa ini, aku adalah raja. Aku bisa melakukan apa saja yang
kusukai. Kadang-kadang kupikir ini hebat sekali. Hanya... hanya saja tidak banyak
godaannya, karena tak ada satu pun hal eksotis atau.
melanggar hukum yang ingin kulakukan."
Setelah kami meninggalkan Santonix kembali ke Athena, Ellie berkata padaku.
"Santonix itu aneh. Kadang-kadang aku takut padanya."
"Takut pada Rudolf Santonix - mengapa?"
"Sebab dia tidak seperti orang-orang lainnya, dan ada apa ya" -
ada sikap tega dan sombong dalam dirinya. Kupikir dia tadi berusaha mengatakan
pada kita, bahwa karena tahu dirinya akan segera mati, dia jadi makin sombong,
misalkan," kata Ellie sambil menatapku dengan penuh semangat, matanya berbinar
penuh emosi, "misalkan dia membangun sebuah istana yang sangat indah bagi kita,
rumah kita yang cantik di atas tebing bertepi pohon-pohon pinus, misalkan kita
akan tinggal di dalamnya. Lalu Santonix menyambut kita di ambang pintu,
mempersilakan kita masuk, dan... "
"Ya, Ellie?" "Kemudian, misalkan dia membuntuti kita, menutup pintu pelan-pelan di belakang
kita, dan mengorbankan kita di sana. Menggorok leher kita atau sejenisnya."
"Kau membuatku takut Ellie. Bagaimana kau bisa punya pikiran seperti itu!"
"Masalahnya, Mike, kau dan aku tidak hidup di dunia nyata. Kita memimpikan hal-
hal fantastis yang mungkin tak pernah terjadi."
"Jangan menghubungkan pemikiran tentang pengorbanan seperti itu dengan Gipsy's
Acre." "Kurasa ini gara-gara namanya, juga kutukan yang ada di sana."
"Tidak ada kutukan apa-apa," teriakku. "Semuanya omong kosong. Lupakan saja."
Waktu itu kami berada di Yunani.
10 Kurasa kejadian berikut terjadi sehari sesudahnya. Kami sedang berada di Athena.
Tiba-tiba, di atas anak tangga menuju Acropolis, Ellie bertemu dengan orang-
orang yang dikenalnya. Mereka
penumpang kapal pesiar Hellenic yang saat itu sedang berlabuh.
Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahunan memisahkan diri darl
kelompoknya dan buru-buru menaiki anak tangga, mengejar Ellie sambil berteriak,
"Astaga, sungguh tak kusangka. Kau Ellie Guteman, bukan" Nah, apa yang
kaulakukan di sini" Apa kau ikut kapal pesiar juga?"
"Tidak," kata Ellie, "aku kebetulan sedang tinggal di sini."
"Oh, senang sekali bisa bertemu denganmu. Bagaimana kabar Cora" Apa dia juga di
sini?" "Tidak, Cora ada di Salzburg, kurasa."
"Nah, nah." Wanita itu memandangiku, dan Ellie berkata pelan,
"Mari kuperkenalkan - Mr. Rogers, Mrs. Bennington."
"Apa kabar" Sudah berapa lama kau di sini?"
"Aku pergi besok," kata Ellie.
"Oh, astaga! Aku bisa kehilangan kelompokku kalau tidak cepat-cepat menyusul.
padahal aku tidak mau ketinggalan satu kata pun dari cerita tentang Acropolis
ini. Kau tahu, mereka suka terburu-buru.
Akibatnya aku capek sekali kalau malam. Ada kemungkinan kita bisa minum sama-
sama?" "Tidak hari ini," kata Ellie, "kami akan pergi bertamasya."
"Mrs. Bennington buru-buru menggabungkan diri dengan
kelompoknya. Ellie, yang tadi menaiki anak tangga Acropolis bersama-sama
denganku, membalikkan badan dan turun.
"Kalau sudah begini, terpaksa aku buka kartu sekarang. Ya, tidak?" katanya
padaku. "Buka kartu bagaimana?"
Ellie tidak menyahut selama beberapa saat, kemudian berkata sambil mengeluh,
"Aku harus menulis surat malam ini."
"Menulis pada siapa?"
"Oh, pada Cora dan Paman Frank, kurasa, juga Paman Andrew."
"Siapa Paman Andrew" Aku belum pernah mendengar namanya."
"Andrew Lippincott. Bukan pamanku yang sesungguhnya. Dia wali utamaku, atau
penjaga, atau pengawas, terserah padamu. Dia seorang pengacara - pengacara
terkenal." "Apa yang akan kaukatakan?"
"Aku akan mengatakan pada mereka bahwa aku sudah menikah.
Aku tak bisa dengan tiba-tiba mengatakan pada Nora Bennington,
'Mari kukenalkan pada suamiku.' Bisa-bisa dia menjerit kaget dan berteriak, 'Aku
tidak tahu kau sudah menikah. Coba ceritakan padaku, Sayang,' dan seterusnya,
dan seterusnya, dan seterusnya.
Sepantasnyalah kalau ibu tiriku, Paman Frank, dan Paman Andrew yang harus tahu
pertama kali." Ellie mengeluh lagi. "Oh, sudahlah, kita toh sudah menikinati
saat-saat yang sangat menyenangkan sampai saat ini."
"Apa yang akan mereka katakan atau lakukan?" tanyaku.
"Kurasa mereka akan ribut," kata Ellie dengan gayanya yang tenang. "Tidak
masalah, sebab nanti mereka pasti sadar juga. Kurasa kita harus bertemu dengan
mereka. Kita bisa pergi ke New York. Apa kau keberatan?" Ia memandangku dengan
tatapan bertanya-tanya. "Ya," kataku, "aku keberatan."
"Kalau begitu, mereka yang akan datang ke London, mungkin, atau beberapa dari
mereka. Aku tidak tahu apakah kau lebih suka begitu."
"Aku tidak menyukai semuanya. Aku hanya ingin bersamamu dan melihat rumah kita
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibangun bata demi bata begitu Santonix sampai di sana."
"Bisa saja," kata Ellie. "Yagi pula, pertemuan keluarga itu tidak akan makan
waktu lama. Mungkin satu pertengkaran hebat sudah cukup. Selesaikan semuanya
dengan satu pukulan. Jadi, pilihannya sekarang apakah kita yang terbang ke sana
atau mereka yang terbang kemari."
"Jadi katamu ibu tirimu ada di Salzburg."
"Oh, aku asal omong saja. Kedengarannya aneh kalau aku tidak tahu di mana dia
berada. Ya," kata Ellie sambil menarik napas panjang, "kita harus pulang ke
rumah dan menjumpai mereka semua. Mike, kuharap kau tidak terlalu keberatan."
"Keberatan apa - keluargamu?"
"Ya. Kamu tidak keberatan kalau mereka bersikap kasar terhadapmu?"
"Kurasa itu harga yang harus kutebus karena menikah
denganmu," kataku. "Aku akan menanggungnya."
"Bagaimana dengan ibumu?" tanya Ellie dengan serius.
"Demi Tuhan, Ellie, kau tidak akan mengatur pertemuan antara ibu tirimu yang
memakai gaun renda serta mantel bulunya dengan ibuku yang tinggal di jalan
kecil, bukan" Menurutmu apa yang bisa mereka bicarakan?"
"Kalau Cora ibu kandungku, mungkin banyak yang bisa mereka bicarakan," kata
Ellie. "Kuharap kau tidak terlalu peka terhadap perbehan latar belakang ini,
Mike!" "Aku!" kataku tercengang. "Apa istilah Amerikamu itu - aku datang dari jalur
yang salah, bukan?" "Kau tidak berniat menuliskannya di papan dan mengenakannya di lehermu, bukan?"
"Aku tidak tahu baju apa yang pantas untuk dipakai," kataku dengan pahit. "Aku
tidak tahu cara yang benar untuk berkomunikasi, dan aku sesungguhnya tidak tahu
apa-apa tentang lukisan, seni, atau musik. Aku baru belajar tentang siapa yang
mesti diberi tip dan berapa banyak."
"Iitu justru jadi lebih menggairahkan bagimu, Mike" Menurutku begitu."
"Pokoknya kau tidak boleh menyeret ibuku dalam pesta
keluargamu," kataku.
"Aku bukannya mengusulkan untuk menyeret siapa pun dalam apa pun, Mike, tapi
kupikir aku wajib mengunjungi ibumu kalau sudah kembali ke Inggris nanti."
"Tidak boleh," kataku dengan keras.
Ellie memandangku dengan agak kaget.
"Mengapa tidak boleh, Mike" Maksudku, lepas dari segala-galanya, bukankah justru
tidak sopan kalau aku tidak mengunjunginya" Apa kau sudah memberitahu ibumu
bahwa kau sudah menikah?"
"Belum." "Mengapa tidak?"
Aku tidak menyahut. "Bukankah cara yang paling gampang adalah mengatakan pada ibumu kau sudah
menikah, kemudian mengajakku mengunjunginya kalau kita sudah kemball ke
Inggris?" "Tidak," kataku lagi. Kali ini tidak terlalu keras, tapi masih tetap tegas.
"Kau tidak ingin aku berjumpa dengan ibumu," kata Ellie perlahan.
Tentu saja tidak. Kurasa hal itu sudah cukup jelas, tapi aku tak bisa
menjelaskannya. Akii tidak tahu bagaimana harus
menjelaskannya. 'Itu bukan hal yang tepat untuk dilakukan," kataku perlahan. "Kau harus
mengerti. Aku yakin akan timbul masalah kalau kau mengunjungi ibuku."
"Menurutmu ibumu tidak akan menyukaiku?"
"Semua orang sudah pasti akan menyukaimu, tapi kalau kau ke sana... oh, aku
tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Ibuku mungkin akan kecewa dan
bingung. Bagaimanapun, aku menikah di luar kelasku. Itu istilah kuno. Ibuku
tidak akan menyukainya."
Ellie menggelengkan kepalanya perlahan.
"Apa masih ada orang yang berpikiran seperti itu di zaman sekarang ini?"
"Tentu saja ada. Dan orang-orang seperti itu juga ada di negaramu."
"Ya," kata Ellie, "boleh dibilang itu benar, tapi... kalau seseorang berhasil
meraih sukses di sana..."
"Maksudmu kalau seorang laki-laki berhasil mengumpulkan banyak uang."
"Yah, bukan hanya uang."
"Ya," kataku, "hanya uang yang penting. Kalau seorang laki-laki berhasil
mendapatkan banyak uang, dia akan dikagumi dan dipandang orang. Tak seorang pun
akan peduli dari mana dia berasal."
"Yah, di mana-mana memang seperti itu," kata Ellie.
"Sudahlah, Ellie," kataku. "Jangan pergi mengunjungi ibuku."
"Aku masih tetap menganggap itu tak sopan."
"Tidak, sama sekali tidak. Tak bisakah kau percaya padaku bahwa mulah yang tahu
apa yang terbaik untuk ibuku sendiri" Ibu pasti kecewa sekali. Percayalah
padaku." "Tapi kau harus mengatakan pada ibumu bahwa kau sudah menikah."
"Baiklah," kataku. "Akan kukatakan."
Saat itu terpikir olehku bahwa cara paling mudah untuk melakukannya adalah
dengan menulis surat pada ibuku dari luar negeri. Malam itu, ketika Ellie sedang
menulis surat untuk Paman Andrew, Paman Frank, dan ibu tirinya Cora van
Stuyvesan?" aku juga menulis suratku sendiri. Pendek saja.
"Ibu," tulisku. "aku mestinya mengatakan hal ini sebelumnya, tapi aku merasa
canggung. Aku sudah menikah tiga minggu yang lalu.
Kejadiannya agak tiba-tiba. Istriku gadis yang sangat cantik dan
sangat manis. Dia anak orang kaya, dan kadang-kadang hal ini membuat segalanya
jadi tidak enak. Kami akan membangun rumah kami sendiri di suatu tempat di
Inggris. Sekarang ini kami sedang bepergian mengelilingi Eropa. Semoga Ibu baik-
baik saja. Salam, Mike."
Hasil dari surat-surat yang kami tulis malam itu agak berbeda-beda. Ibuku
sengaja membiarkan seminggu lewat sebelum akhirnya mengirimiku sepucuk surat
yang betul-betul khas dirinya.
"Mike, aku senang menerima suratmu. Kuharap kau bahagia.
Salam sayang, Ibu." Seperti sudah diramalkan Ellie, ada jauh lebih banyak keributan di pihaknya.
Kami seolah telah mengusik sarang semut. Kami dikejar-kejar para wartawan yang
menginginkan berita tentang pernikahan kami yang romantis. Ada artikel di koran-
koran tentang ahli waris Guteman dan peristiwa kawin larinya yang romantis.
Selain itu banyak surat dari bank-bank dan pengacara-pengacara. Akhirnya, kami
mengatur pertemuan resmi. Kami menemui Santonix di Gipsy's Acre, untuk melihat
rancangannya dan membicarakannya. Setelah yakin semuanya berjalan lancar, kami
pergi ke London, menginap di Claridge, dan bersiap-siap menghadapi pertarungan.
Yang pertama-tama datang adalah Sir. Andrew P. Lippincott. Ia laki-laki separuh
baya, kaku, dengan penampilan sangat rapi.
Tubuhnya jangkung dan kurus, dengan sikap halus dan sopan. Ia berasal dari
Boston, tapi dari suaranya aku sama sekali tak menyangka bahwa ia orang Amerika.
Ia mengatur pertemuan ini dengan menelepon kami di hotel jam 12 tepat. Ellie
merasa gugup, aku bisa merasakannya, meskipun ia menyembunyikan hal itu dengan
sangat baik. Mr. Lippincott memberikan ciuman pada Ellie dan mengulurkan tangan padaku sambil
tersenyum ramah. "Nah, Ellie sayang, kau kelihatan sangat sehat. Boleh dibilang ceria sekali."
"Apa kabar, Paman Andrew" Bagaimana Paman datang kemari"
Dengan pesawat terbang?"
"Tidak, aku naik kapal Queen Mary. Perjalanan yang sangat menyenangkan. Dan ini
suamimu?" "Ini Mike, ya."
Aku berusaha tampil yakin, atau merasa sudah tampil yakin. "Apa kabar, Sir?"
kataku. Kemudian kutawari dia minum, tapi ia menolaknya dengan sopan. Ia duduk
di sebuah kursi bersandaran tegak dan berlengan keemasan, sambil memandang Ellie
dan diriku dengan tetap tersenyum.
"Nah," katanya, "kalian sudah mengagetkan kami. Semuanya sangat romantis, ya?"
"Maafkan aku," kata Ellie, "Aku betul-betul menyesal."
"Masa?" kata Mr. Lippincott dengan nada datar.
"Kupikir itu cara terbaik," kata Ellie,
"Aku tidak sepenuhnya setuju dengan pendapatmu itu, Ellie."
"Paman Andrew," kata Ellie, Paman tahu betul kalau aku melakukannya dengan cara
lain, akan ada keributan yang sangat besar."
"Mengapa harus ada keributan yang sangat besar?"
"Paman tahu bagaimana mereka," kata Ellie. Paman juga begitu,"
lanjutnya lagi dengan nada menuduh. Ia meneruskan, "Aku menerima dua pucuk surat
dari Cora. Satu kemarin, dan satunya lagi tadi pagi."
"Kau harus memahami perasaannya, Sayang. Wajar saja bukan, dalam keadaan seperti
itu?" "Siapa yang kunikahi, dan bagaimana, serta di mana, adalah urusanku sendiri."
"Kau boleh saja berpikiran seperti itu, tapi kau akan tahu bahwa kaum wanita
dalam setiap keluarga jarang yang berpendapat serupa."
"Padahal aku justru bermaksud untuk tidak merepotkan siapa-siapa."
"Kau bisa bilang begitu."
"Tapi itu benar, bukan?"
"Kau telah membohongi kami semua, dengan bantuan orang yang-mestinya tahu untuk
tidak melakukan hal-hal seperti itu."
Wajah Ellie memerah. "Maksud Paman, Greta" Dia hanya melakukan apa yang
kuperintahkan padanya. Apa mereka semua memarahinya?"
"Tentu saja. Kalian berdua pasti sudah menduganya, bukan"
Ingat, Greta dipercaya untuk menjagamu."
"Aku sudah cukup umur. Aku bisa melakukan apa saja yang kusukai."
"Aku berbicara tentang saat ketika kau belum cukup umur. Kau mulai berbohong
sejak sebelumnya, bukan?"
"Anda tidak boleh menyalahkan Ellie, Sir." kataku. "Terus terang, aku mulanya
tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan karena semua sanak keluarga Ellie ada di
luar negeri, aku mengalami kesulitan untuk menemui mereka."
"Aku tahu Greta telah mengeposkan beberapa surat dan
memberikan informasi pada Mrs. van Stuyvesant dan juga padaku, seperti yang
disuruh oleh Ellie di sini, dan boleh dikatakan dia sangat pintar melakukan
pekerjaannya," kata Mr. Lippincott. "Kau sudah bertemu dengan Greta Andersen,
Michael" Boleh kupanggil kau Michael" Kau toh sudah menjadi suami Ellie."
"Tentu saja," kataku, "panggil saja Mike. Tidak, aku belum pernah bertemu Miss
Andersen...." "Masa" Sungguh mengherankan." Ia menatapku, lama dan serius.
"Kupikir paling tidak dia akan hadir dalam pernikahan kalian."
"Tidak, Greta tidak hadir," kata Ellie. Ia memandangku dengan sebal, membuatku
merasa tak enak hati. Mata Mr. Lippincott masih terus memandangiku dengan serius. Ia membuatku gugup.
Ia tampaknya hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi kemudian mengurungkannya.
"Aku khawatir," katanya lagi setelah beberapa saat, "kalau kalian berdua,
Michael dan Ellie, harus menerima, sejumlah semprotan dan kritik dari keluarga
Ellie." "Kurasa mereka akan menyerangku habis-habisan," kata Ellie.
"Sangat mungkin," kata Mr. Lippincott. "Aku sudah berusaha menghaluskan jalan
kalian," lanjutnya lagi.
"Paman Andrew memihak kami?" tanya Ellie sambil tersenyum.
"Kau tidak boleh menanyakan hal seperti itu pada seorang pengacara yang selalu
hati-hati. Aku sudah belajar bahwa dalam hidup, lebih bijaksana untuk menerima
hal-hal yang sudah fait accompli. Kalian berdua telah saling jatuh cinta dan
menikah. Dan aku tahu Ellie sudah membeli sebuah properti di Inggris Selatan,
dan mulai membangun rumah di atasnya. Jadi, kalian sudah mantap akan tinggal di
negara ini?" "Kami memang ingin membangun rumah kami di sini. Apakah Anda keberatan dengan
keinginan kami itu?" aku berkata dengan nada sedikit ketus. "Ellie sudah menikah
denganku, dan itu berarti dia warga Inggris sekarang. Jadi, mengapa dia tidak
boleh tinggal di Inggris?"
"Sama sekali tak ada alasan. Sesungguhnya sama sekali tak ada alasan mengapa
Fenella tak bisa tinggal di negara mana pun yang diinginkannya, atau memiliki
properti di lebih dari satu negara.
Rumah di Nassau itu milikmu, ingat itu, Ellie."
,"Aku selalu menganggapnya milik Cora. Dia selalu bersikap seolah-olah rumah itu
miliknya." "Tapi hak asli atas properti itu ada padamu. Kau juga punya sebuah rumah di Long
Island, kapan pun kau man mengunjunginya.
Kau pemilik dari sebagian besar properti sumber minyak di Barat."
Suara Mr. Lippincott tetap terdengar tenang dan ramah, tapi aku merasa kata-
katanya itu ditujukan padaku dengan maksud tertentu.
Apakah Ia berniat mencoba menimbulkan jurang antara aku dan Ellie" Aku, tidak
begitu yakin. Rasanya sangat tidak masuk akal, memanas-manasi seorang laki-laki
dengan kenyataan bahwa istrinya kaya-raya dan memiliki properti di seluruh
dunia. Mestinya, kalau menurut pikiranku, ia justru tidak akan membesar-besarkan
hak milik Ellie atas properti-properti itu, juga jumlah uang atau kekayaan yang
dimilikinya. Kalau aku memang pengejar kekayaan, seperti yang jelas-jelas
dianggapnya, semua perkataannya itu justru akan membakar semangatku.
Tapi aku sadar bahwa Mr. Lippincott sulit ditebak. Rasanya kita tak mungkin tahu
tujuan perkataannya - apa yang ada dalam benaknya di balik sikapnya yang tenang
dan ramah itu. Apakah Ia sedang berusaha, dengan caranya sendiri, supaya aku
merasa tak enak hati, supaya aku merasa bakal langsung dicap sebagai pengejar
kekayaan oleh semua orang"
Ia berkata pada Ellie, "Aku membawa beberapa dokumen resmi kemari, dan kau harus membacanya bersamaku,
Ellie. Aku butuh tanda tanganmu pada banyak dokumen ini."
"Ya, tentu saja, Paman Andrew. Tidak masalah."
"Seperti kaubilang, tidak ada masalah. Tak perlu buru-buru juga.
Aku masih punya urusan lain di London, dan akan tinggal di sini selama kira-kira
sepuluh hari." Sepuluh hari, pikirku. Itu lama sekali. Aku agak berharap Mr.
Lippincott tidak tinggal di sini selama sepuluh hari. Ia tampaknya cukup ramah
terhadapku, meski boleh dibilang Ia belum mengambil kesimpulan sepenuhnya atas
diriku, tapi saat itu aku bertanyatanya dalam hati, apakah ia memang musuhku.
Kalau memang ia musuhku, ia jenis orang yang tidak akan menunjukkan perasaannya itu dengan terang-
terangan. "Nah," katanya melanjutkan, "sekarang, setelah kita sudah saling bertemu dan
berkenalan, seperti katamu, untuk kepentingan masa depan, aku ingin berwawancara
sebentar dengan suamimu ini."
Ellie berkata, "Paman bisa mewawancarai kami berdua." Ellie tampak siap siaga.
Aku memegang lengannya. "Nah, nah, jangan tersinggung, Manis, kau toh bukan induk ayam yang harus
melindungi anaknya." Aku mendorongnya dengan lembut menuju pintu yang mengarah
ke kamar tidur. "Paman Andrew mau menilai diriku," kataku. "Dan itu memang sudah
haknya." Aku mendorong Ellie dengan lembut melalui pintu ganda itu.
Kututup pintu itu rapat-rapat, lalu masuk lagi ke ruang sebelah, yang merupakan
ruang duduk yang lapang dan sangat bagus. Aku mengambil kursi dan duduk
berhadap-hadapan dengan Mr.
Lippincott. "Baiklah," kataku. "Langsung saja."
"Terima kasih, Michael," katanya. "Pertama-tama aku ingin meyakinkan dirimu
bahwa aku bukan musuhmu dalam hal apa pun, tidak seperti yang mungkin kaukira."
"Yah," kataku, "aku senang mendengarnya." Pada hal aku sama sekali tidak yakin
tentang hal itu. "Biar kukatakan terus terang," kata Mr. Lippincott, "lebih terus terang daripada
yang bisa kulakukan di hadapan anak manis yang kuwakili dan sangat kusayangi
itu. Kau mungkin belum bisa menghargainya sepenuhnya, Michael, tapi Ellie gadis
yang sangat manis dan pantas disayangi."
"Tak perlu cemas. Aku memang mencintainya."
'Itu sama sekali tidak sama," kata Mr. Lippincott dengan sikapnya yang dingin.
"Kuharap, selain mencintainya, kau juga bisa menghargai betapa dia orang yang
sangat manis, dan dalam beberapa hal juga sangat rapuh."
"Akan kucoba," kataku. "Kurasa aku tak perlu berusaha keras untuk itu, karena
Ellie betul-betul hebat."
"Kalau begitu, aku akan meneruskan dengan apa yang memang hendak kukatakan
padamu. Aku akan membuka semua kartuku di meja dengan jujur. Kau bukanlah pemuda
yang kuharap akan dinikahi Ellie. Seperti yang diinginkan keluarganya, aku pun
ingin dia menikah dengan seseorang dari lingkungannya sendiri, dari golongannya
sendiri..." "Yang berkelas, dengan kata lain," kataku.
"Bukan, bukan hanya itu. Menurutku, latar belakang yang sama adalah dasar yang
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagus bagi sebuah perkawinan. Dan itu tidak ada hubungannya dengan sikap
sombong. Bagaimanapun, Herman Guteman, kakek Ellie, memulai hidupnya sebagai
seorang kuli pelabuhan. Dan berakhir dengan sukses sebagai salah seorang terkaya
di Amerika." "Yah, siapa tahu aku pun bisa seperti itu," kataku. "Bisa jadi aku berakhir
sebagai salah seorang terkaya di Inggris."
"Semuanya mungkin," kata Mr. Lippincott. "Apa kau punya ambisi ke arah itu?"
"Masalahnya bukan hanya uang," kataku. "Aku ingin... aku ingin bisa mencapai
sesuatu, melakukan sesuatu, dan..." aku ragu-ragu dan berhenti.
"Jadi, kau memang berambisi" Itu bagus sekali."
"Aku memulainya dengan tangan kosong. Memulainya tanpa apa-apa. Aku tidak
berarti dan bukan siapa-siapa, dan aku tidak mau menutupi kenyataan itu."
Mr. Lippincott mengangguk setuju.
"Perkataan yang sangat jujur dan bagus sekali. Aku
menghargainya. Nah, Michael, Aku tidak ada hubungan darah dengan Ellie, tapi aku
telah menjadi walinya, aku adalah pengawas yang ditunjuk oleh kakeknya, untuk
mengurus segala urusannya, segala kekayaan dan investasinya. Karena itu, aku
bertanggung jawab atas semua itu. Karena itu, aku ingin tahu segalanya tentang suami yang telah
dipilihnya." "Yah," kataku, "Anda bisa mencari tahu tentang aku, dan menemukan segala yang
ingin Anda ketahui."
"Betul," kata Mr. Lippincott. "Aku bisa saja memakai cara itu.
Sebuah tindakan berjaga-jaga yang bijaksana. Tapi, Michael, aku ingin tahu
segalanya tentang dirimu dari bibirmu sendiri. Aku ingin mendengar ceritamu
sendiri tentang bagaimana kehidupanmu sampai sekarang ini."
Tentu saja aku tidak menyukainya. Aku merasa Mr. Lippincott tahu bahwa aku
memang tidak menyukainya. Tak seorang pun dalam posisiku akan menyukainya. Pada
dasarnya kita cenderung berusaha agar diri kita kelihatan bagus. Aku sudah
menyimpulkan hal itu semenjak di sekolah dulu. Aku membual sedikit, mengatakan
beberapa hal yang bagus, membengkokkan kebenaran sedikit. Aku tidak merasa malu
melakukannya. Kupikir itu sudah wajar. Kupikir itu memang perlu dilakukan kalau
kita ingin maju. Membuat diri kita kelihatan bagus. Orang-orang toh selalu
menilai kita berdasarkan pandangan kita atas diri kita sendiri, dan aku tak
ingin kelihatan murahan seperti tokoh dalam sebuah novel karya Dickens. Mereka
membaca karya itu keras-keras di televisi, dan harus kuakui bahwa karya itu
bagus. Nama tokoh itu Uriah atau sejenisnya, dan ia selalu bersikap sederhana,
menggosok-gosok tangannya, membuat rencana, dan menyusun strategi di balik
sikapnya yang sederhana itu.
Aku tidak mau jadi seperti itu.
Aku selalu siap untuk membual sedikit pada teman-teman yang kujumpai, atau
menyusun cerita hidup yang menarik bagi calon majikan yang menjanjikan.
Bagaimanapun, kita semua punya sisi terbaik dan sisi terburuk dalam diri kita,
dan tak ada gunanya menunjukkan sisi terburuk itu dan menyombongkannya. Tidak,
aku selalu melakukan yang terbaik untuk diriku dalam menggambarkan segala
aktivitasku sampai saat ini. Tapi aku tak ingin melakukan hal seperti itu
terhadap Mr. Lippincott. Ia tadi tidak mengacuhkan gagasan menyewa detektif
swasta untuk menyelidiki diriku, tapi aku
tetap tidak yakin ia tidak akan melakukannya. Jadi, aku menceritakan padanya
keadaanku yang sebenarnya, tanpa embel-embel apa pun, boleh dibilang begitu.
Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga berantakan, ayahku seorang pemabuk,
meskipun ibuku orang yang baik. Ibu bekerja keras membanting tulang agar aku
dapat mempunyai pendidikan.
Aku tidak menyembunyikan kenyataan bahwa aku bagaikan batu yang bergulir,
berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Mr. Lippincott
seorang pendengar yang baik, bahkan memberi semangat kalau Anda tahu maksudku.
Beberapa kali aku tersadar bahwa ia berotak tajam. Ia hanya bertanya sekali-
sekali, atau memberi kornentar, dan kadang-kadang tanpa berpikir lagi aku
langsung mengakui atau menyangkal komentarnya itu.
Ya, aku merasa lebih baik bersikap hati-hati dan waspada. Dan setelah sepuluh
menit aku merasa lega ketika ia bersandar di kursinya dan pemeriksaan itu -
kalau bisa dibilang pemeriksaan, meski tidak terasa seperti itu - selesai.
"Kau punya sikap hidup seorang petualang, Mr. Rogers - Michael.
Bukan hal yang buruk. Coba ceritakan tentang rumah yang sedang kaubangun bersama
Ellie." "Yah," kataku, "letaknya tidak jauh dari kota bernama Market Chadwell."
"Ya," katanya, "'aku tahu di mana letaknya. Terus terang aku sudah pergi ke
tempat itu. Kemarin, tepatnya."
Aku agak kaget. Itu menunjukkan bahwa ia seorang pengacara lihai yang tahu lebih
banyak daripada yang kita duga.
"Properti itu bagus sekali," kataku membela diri, "dan rumah yang sedang kami
bangun akan menjadi rumah yang bagus. Arsiteknya bernama Santonix - Rudolf
Santonix. Aku tidak tahu apakah Anda pernah mendengar namanya, tapi..."
"Oh, ya," kata Mr. Lippincott, "dia sangat terkenal di kalangan arsitek."
"Dia pernah berkarya di Amerika juga, kurasa."
"Ya, seorang arsitek yang menjanjikan dan berbakat. Sayangnya kudengar
kesehatannya tidak bagus."
"Dia pikir dia sedang sekarat," kataku, "tapi aku tidak percaya itu.
Kurasa dia akan sembuh dan sehat kembali. Para dokter memang suka omong
sembarangan. "Kuharap optimisme itu menjadi kenyataan. Kau orang yang optimis."
"Memang, untuk Santonix."
"Mudah-mudahan semua yang kauharapkan menjadi kenyataan.
Menurutku kalian telah membeli properti yang sangat bagus,"
Aku senang mendengar ucapan pak tua itu, yang mengatakan
"kalian". Ia tidak mengungkit kenyataan bahwa Ellie sendirilah yang sebenarnya
melakukan pembelian. "Aku sudah berkonsultasi dengan Mr. Crawford..."
"Crawford?" aku mengerutkan dahi sedikit.
"Mr. Crawford dari Reece and Crawford, sebuah kantor pengacara di Inggris. Mr.
Crawford adalah anggota kantor pengacara yang melakukan transaksi pembelian itu.
Kantornya bonafid, dan kurasa properti itu berhasil mereka beli dengan harga
murah. Terus terang aku agak heran. Aku cukup mengenal harga pasaran tanah
sekarang ini di Inggris, dan aku benar-benar tidak mengerti mengapa. Kupikir Mr.
Crawford sendiri agak kaget karena berhasil membelinya dengan harga begitu
murah. Apa kau tahu sebabnya properti itu ditawarkan dengan sangat murah" Mr.
Crawford tidak memberikan keterangan apa pun mengenainya. Dia malah kelihatan
agak malu ketika aku menanyakan hal itu padanya."
"Oh, itu," kataku, "itu karena properti itu mengandung kutukan." .
"Maafkan aku, Michael. Apa katamu?"
"Kutukan, Sir," kataku menjelaskan. "Kutukan orang gipsi atau sejenisnya. Tempat
itu dikenal dengan sebutan Gipsy's Acre di sana."
"Ah. Ada ceritanya?"
"Ya. Tampaknya agak membingungkan, dan aku tidak tahu berapa banyak yang
merupakan reka-rekaan orang, dan berapa banyak cerita sebenarnya. Ada pembunuhan
atau sejenisnya di sana, bertahun-tahun silam. Seorang laki-laki dan istrinya,
dan seorang laki-laki lain. Ada yang bilang si suami menembak kedua orang
lainnya, kemudian menembak dirinya sendiri. Paling tidak, begitulah hasil
keputusan pengadilan. Tapi kemudian banyak cerita yang berkembang seputar
kejadian itu. Kurasa sebenarnya tak seorang pun tahu apa yang terjadi.
Peristiwanya sudah lama sekali. Tempat itu sudah berpindah tangan kira-kira
empat atau lima kali semenjak kejadian itu, tapi tak seorang pun yang tinggal
lama di sana." "Ah," kata Mr. Lippincott merasa tertarik, "ya, betul-betul cerita khas rakyat
Inggris." Ia memandangku dengan rasa ingin tahu. "Dan kau dan Ellie tidak takut
pada kutukan itu?" Ia mengatakannya dengan ringan, bahkan sambil tersenyum
simpul. "Tentu saja tidak," kataku. "Baik Ellie maupun aku tidak percaya pada omong
kosong seperti itu. Cerita itu justru menguntunkan, karena kami jadi bisa
membeli tanah itu dengan harga murah."
Ketika mengatakan hal itu, tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benakku. Memang
boleh dibilang itu suatu keuntungan, tapi kupikir bagi Ellie - dengan
kekayaannya yang luar biasa dan juga properti-properti lain yang dimilikinya -
bukan masalah apakah ia membeli tanah dengan harga murah ataupun mahal. Kemudian
aku berpikir lagi, tidak, aku salah. Bagaimanapun, kakeknya dulu memulai
kariernya sebagai seorang kuli pelabuhan, dan akhirnya berhasil sukses menjadi
miliuner. Semua orang dari keturunan seperti itu pasti selalu ingin membeli
dengan harga murah dan menjualnya dengan harga mahal.
"Nah, aku bukan orang yang percaya takhayul," kata Mr.
Lippincott, "dan pemandangan yang kulihat dari properti kalian betul-betul
mengagumkan." Ia ragu-ragu. "Aku hanya berharap bahwa kalau kalian sudah pindah
ke rumah kalian dan tinggal di sana, Ellie tak perlu mendengar banyak cerita
seperti itu." "Aku akan berusaha menjaganya dari cerita-cerita itu," kataku.
"Kurasa tak seorang pun akan mengatakan apa-apa padanya."
"Orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan suka sekall mengulangi cerita-
cerita seperti itu," kata Mr. Lippincott. "Dan ingat, Ellie tidak setangguh
dirimu. Michael. Dia bisa dengan mudah dipengaruhi. Hanya dalam hal-hal
tertentu. Dan itu mengingatkanku pada..." ia berhenti tanpa meneruskan apa yang
hendak dikatakannya tadi. Ia mengetuk meja dengan salah satu jarinya. "Ada hal
penting yang ingin kubicarakan denganmu. Kau tadi mengatakan belum bertemu
dengan Greta Andersen."
"Memang belum, seperti, kukatakan tadi."
"Aneh. Aneh sekali."
"Mengapa?" tanyaku ingin tahu.
"Aku yakin sekali kau seharusnya pernah berjumpa dengannya,"
katanya pelan. "Berapa banyak yang kau ketahui tentang dirinya?"
"Aku tahu dia sudah bersama Ellie selama beberapa tahun."
"Dia sudah bersama Ellie semenjak Ellie berumur tujuh belas tahun. Dia memegang
jabatan yang menuntut tanggung jawab penuh dan kepercayaan besar. Dia mula-mula
datang ke Amerika untuk menjadi sekretaris dan pendamping. Semacam pengawas bagi
Ellie kalau Mrs. van Stuyvesant ibu tirinya, sedang bepergian, dan boleh
dibilang ini sering kali dilakukannya." Ia berbicara dengan nada sengit.
"Setahuku, Greta seorang gadis baik-baik dengan referensi yang sangat bagus. Dia
campuran, Swedia-Jerman. Wajar kalau Ellie kemudian jadi sangat tergantung
padanya." "Begitulah yang kuketahui juga," kataku.
"Dalam beberapa hal, Ellie nyaris terlalu tergantung pada Greta.
Kau tidak keberatan aku mengatakannya?"
"Tidak. Mengapa harus keberatan" Sebenarnya, aku... yah, aku punya pendapat yang
sama, kadang-kadang. Greta ini dan Greta itu.
Aku jadi... yah, aku tahu ini bukan urusanku, tapi aku kadang-kadang jadi muak."
"Tapi Ellie sama sekali tak ingin memperkenalkanmu dengan Greta?"
"Yah," kataku, "agak susah menjelaskannya. Ellie mungkin pernah mengusulkannya
dengan halus satu dua kali, tapi, yah, kami terIalu asyik dengan satu sama lain.
Lagi pula, oh, aku sendiri tidak terlalu ingin bertemu dengan Greta. Aku tidak
mau berbagi Ellie dengan siapa pun."
"Begitu. Ya, aku mengerti. Dan Ellie tidak mengusulkan agar Greta hadir di pernikahan kalian?"
"Ellie mengusulkannya," kataku.
"Tapi... tapi kau tak ingin dia datang. Mengapa?",
"Entahlah. Aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa Greta - gadis atau
wanita yang tak pernah kulihat ini - selalu mengatur segala-galanya. Mengatur
kehidupan Ellie. Mengirim kartu pos dan surat dan juga membuat alasan untuk
Ellie. Dia mengatur segala acara dan mengabarkannya pada keluarga Ellie. Aku
merasa Ellie sangat tergantung pada Greta, sehingga dia membiarkan Greta
mengatur hidupnya, sehingga dia melakukan segalanya yang diinginkan Greta.
Aku... oh, maafkan aku, Mr. Lippincott, mestinya aku tidak boleh mengatakan hal-
hal ini. Menurut Ellie, aku hanya cemburu pada Greta. Aku jadi marah dan berkata
aku tak ingin Greta muncul di pernikahan kami, bahwa pernikahan itu milik kami
berdua, urusan kami sendiri dan bukan urusan slapa pun. Jadi, kami pergi ke
kantor catatan sipil, dan pegawai kantor serta juru tik di sana menjadi dua
saksi kami. Aku tahu bahwa aku telah bertindak egois karena melarang Greta
hadir, tapi aku menginginkan Ellie untuk diriku sendiri."
"Aku mengerti. Ya, aku mengerti, dan boleh kukatakan kau telah bertindak
bijaksana, Michael."
'Anda juga tidak menyukai Greta," kataku menebak.
"Kau tidak bisa mengatakan 'juga', Michael, kalau kau bahkan belum pernah
bertemu dengannya." "Memang tidak, tapi yah, maksudku kalau kita sudah mendengar banyak tentang
seseorang, kita bisa membayangkan bagaimana kira-kira orang itu. Oh aku memang
hanya cemburu. Mengapa Anda tidak suka pada Greta?"
"Ini tanpa prasangka apa-apa," kata Mr. Lippincott, "tapi kau suami Ellie,
Michael, dan aku sangat ingin Ellie bahagia. Menurutku pengaruh Greta atas diri
Ellie bukan hal yang baik. Dia terlalu banyak mengatur."
"Menurut Anda, apakah Greta akan berusaha mengacau hubungan kami?" tanyaku.
"Rasanya aku tidak berhak untuk mengatakan hal seperti itu," kata Mr.
Lippincott. Mr. Lippincott duduk sambil memandangku dengan hati-hati dan mengedip-ngedipkan
matanya, seperti kura-kura tua yang sudah keriput.
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Mr.
Lippincott yang mula-mula bicara, memilih kata-katanya dengan cermat.
"Ada usulan agar Greta Andersen tinggal bersama kalian?"
"Aku akan menentangnya," kataku.
"Ah. Jadi itu pendapatmu" Usulan itu belum diputuskan."
"Ellie memang pernah berkata begitu. Tapi kami masih pengantin baru, Mr.
Lippincott. Kami ingin... menikmati rumah kami sendirian saja. Tentu saja Greta
boleh datang dan menginap kadang-kadang.
Itu wajar saja." "Seperti kaubilang, itu wajar saja. Tapi kau sadar, mungkin, bahwa Greta akan
mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan baru. Maksudku, ini tidak ada
hubungannya dengan perasaan Ellie tentang dia, melainkan perasaan orang-orang
yang mempekerjakannya dan merasa telah dikhianati olehnya."
"Maksud Anda, Anda atau Mrs. van apa itu tidak akan
merekomendasikannya untuk pekerjaan sejenis lainnya?"
"Kemungkinan besar tidak, kecuali kalau memang diperlukan untuk keperluan hukum
semata." "Jadi, Anda pikir Greta, lebih suka datang ke Inggris dan tinggal dengan Ellie."
"Aku tidak mau membuatmu berprasangka terhadap Greta.
Bagaimanapun, semua ini hanya bayanganku saja. Aku tidak suka dengan beberapa
hal yang telah dilakukan Greta dan cara dia melakukannya. Kupikir Ellie dengan
hatinya yang dermawan itu akan sangat sedih kalau tahu bahwa peluang Greta untuk
mendapatkan pekerjaan baru kecil sekali. Dia mungkin berkeras agar Greta tinggal
bersama kalian." "Kurasa Ellie tidak akan berkeras," kataku perlahan. Tapi suaraku kedengaran
cemas, dan kurasa Mr. Lippincott menyadarinya. "Tapi apakah kami - Ellie,
maksudku - apakah Ellie tidak bisa mempensiunkan saja Greta?"
"Kami tidak mungkin melakukannya dengan terang-terangan seperti itu," kata Mr.
Lippincott. "Ada aturan tentang umur dalam hal mempensiunkan seseorang. Greta
masih muda, dan boleh kubilang sangat rupawan. Cantik jelita, tepatnya,"
lanjutnya lagi dengan suara bemada tidak setuju dan mengkritlk. "Dia sangat
menarik bagi kaum pria."
"Yah, mungkin dia akan menikah," kataku. "Kalau dia memang seperti kata Anda,
mengapa dia tidak menikah sampai sekarang?"
"Kurasa ada beberapa laki-laki yang tertarik padanya, tapi Greta tidak berminat.
Kupikir gagasan itu sangat masuk akal, dan bisa dilaksanakan dengan cara
sedemikian rupa agar tidak melukai perasaan siapa pun. Dan rasanya juga cukup
wajar kalau Ellie, yang sudah mewarisi sebagian besar kekayaannya dan menikah
berkat bantuan Greta, memberikan sejumlah uang padanya sebagai tanda terima
kasih." Mr. Lippincott mengucapkan dua kata terakhir itu dengan nada sekecut
jeruk limau. "Nah, semuanya beres kalau begitu," kataku dengan riang.
"Sekali lagi aku melihat bahwa kau orang yang optimis. Mari kita berharap Greta
mau menerima apa yang akan ditawarkan padanya."
"Mengapa tidak mau" Dia pasti gila kalau menolaknya.'.'
"Entahlah," kata Mr. Lippincott. "Menurutku, pasti sangat luar biasa kalau Greta
sampai menolaknya, tapi tentu saja mereka akan tetap berhubungan sebagai teman."
"Anda pikir - bagaimana sebenarnya menurut Anda?"
"Aku ingin pengaruhnya atas diri Ellie diakhiri sama sekali," kata Mr.
Lippincott. Ia berdiri. "Kuharap kau mau membantuku melakukan segala yang bisa
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kulakukan untuk mencapai hal itu?"
'Anda bisa mempercayaiku," kataku. 'Aku tidak mau Greta merecoki hubungan kami
sepanjang waktu." "Kau mungkin akan berubah pikiran setelah bertemu dengannya,"
kata Mr. Lippincott. "Kurasa tidak," kataku. "Aku tidak suka wanita yang suka memerintah, biarpun
mereka sangat efisien atau bahkan cantik jelita."
"Terima kasih, Michael, karena telah mendengarkan dengan begitu saban Kuharap
kau man makan malam bersamaku, kau dan Ellie.
Mungkin malam Selasa besok" Cora van Stuyvesant dan Frank Barton akan berada di
London waktu itu." 'Dan aku harus bertemu mereka, kurasa?"
"Oh, ya, itu tak bisa dihindari." Mr. Lippincott tersenyum padaku, dan kali ini
senyumnya tampak lebih tulus ketimbang sebelumnya.
"Tenang saja," katanya. "Cora, kurasa, akan bersikap sangat kasar terhadapmu.
Frank tidak akan mengacuhkanmu. Reuben belum akan muncul."
Aku tidak tahu siapa Reuben - seorang kerabat lain, kurasa.
Aku berjalan menuju pintu penghubung dan membukanya. "Nah, Ellie," kataku,
"pemeriksaannya sudah selesai."
Ellie masuk kembali ke ruangan itu dan memandangi aku dan Lippincott bergantian,
kemudian ia berjalan ke arah Lippincott dan memberikan ciuman.
"Paman Andrew," katanya. "Bisa kulihat bahwa Paman telah bersikap baik pada
Michael." "Nah, sayangku, kalau aku tidak bersikap baik pada suamimu, besok-besok kau
tidak akan mau memakai jasaku lagi, bukan" Tapi aku tetap berhak memberikan
nasihat dari waktu ke waktu. Kau masih sangat muda, kau tahu, kalian berdua."
"Baiklah," kata Ellie, "kami akan mendengarkannya dengan sabar."
"Sekarang, sayangku, aku ingin bercakap-cakap denganmu sebentar, kalau boleh."
"Giliranku keluar," kataku,' dan aku berjalan menuju kamar tidur di sebelah.
Aku menutup pintu ganda itu dengan keras, tapi kemudian membuka bagian dalamnya
lagi setelah masuk. Aku memang tidak diajar untuk bersikap terhormat seperti
Ellie, jadi aku merasa agak cemas kalau-kalau Mr. Lippincott bermuka dua. Tapi
sesungguhnya aku tak perlu merasa cemas. Mr. Lippincott hanya memberikan
sepatah-dua patah nasihat pada Ellie. Ia berkata Ellie harus sadar bahwa aku
mungkin akan mengalami kesulitan sebagai seorang laki-laki miskin yang menikah
dengan seorang wanita kaya raya, dan kemudian ia melanjutkan tentang usulnya
agar Ellie memberikan sejumlah uang yang layak bagi Greta. Ellie segera
menyetujuinya, dan berkata bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan hal itu pada Mr.
Lippincott. Mr. Lippincott juga mengusulkan pada Ellie agar memberikan uang
tambahan bagi Cora van Stuyvesant.
"Sama sekali tak ada alasan apa pun bagimu untuk
melakukannya," kata Mr. Lippincott. "Jumlah tunjangan yang diperolehnya dari
perceraian dengan beberapa suaminya sudah lebih dari cukup. Selain itu, dia juga
memperoleh pendapatan dari dana
warisan yang diberikan kakekmu, meskipun jumlahnya tidak terlalu besar."
"Tapi menurut Paman aku sebaiknya memberikan lebih banyak uang padanya?"
"Sebenarnya tak ada kewajiban hukum atau moral untuk
melakukannya. Tapi kupikir kalau kau melakukannya, dia tidak akan terlalu
merepotkanmu, atau terialu cerewet padamu. Aku akan membuatnya dalam bentuk
kenaikan pendapatan, yang bisa kauubah kapan Saja. Kalau kau mendapati dia
menyebarkan gosip jahat tentang Michael, atau dirimu, atau kehidupan kalian, dan
dia tahu kau punya hak untuk mengurangi penghasilannya, setidaknya lidahnya,
akan lebih waspada sebelum melontarkan kata-kata beracun yang sudah menjadi
keahliannya." "Sejak dulu Cora membenciku," kata Ellie. "Aku tahu itu." Ia melanjutkan dengan
agak malu-malu, "Kau menyukai Mike, bukan, Paman Andrew?"
"Kupikir dia pemuda yang sangat menarik," kata Mr. Lippincott.
"Dan aku bisa mengerti mengapa kau menikah dengannya."
Kurasa itu pujian terbaik yang bisa kuperoleh. Aku bukan tipe yang disukainya,
dan aku tahu itu. Aku menutup pintu dengan perlahan, dan sebentar kemudian Ellie
muncul untuk menjemputku.
Kami berdua sedang berpamitan pada Lippincott, ketika terdengar ketukan di pintu
dan seorang pesuruh hotel muncul membawa telegram. Ellie menerimanya dan
membukanya. Ia menjerit kecil kegirangan.
"Ini dari Greta," katanya. "Dia akan tiba di London malam ini, dan akan menemui
kita besok. Bagus sekali." Ia memandang kami berdua. "Bukankah demikian?"
tanyanya. Ia melihat dua wajah kecut dan mendengar dua suara sopan berkata, yang satu,
"Ya, Sayang," dan satunya lagi, "Tentu saja."
11 Aku pergi keluar untuk berbelanja keesokan paginya, dan kembali ke hotel agak
lambat dari yang kurencanakan. Kudapati Ellie berada di ruang duduk, di
hadapannya duduk seorang wanita muda yang jangkung dan berambut pirang. Greta.
Mereka berdua sedang asyik mengobrol.
Sejak dulu aku tidak pandai menggambarkan seseorang, tapi aku akan berusaha
sebisanya untuk menggambarkan Greta.
Bagaimanapun, tak seorang pun akan menyangkal bahwa Greta, seperti pernah
dikatakan Ellie, adalah wanita yang sangat cantik dan, seperti dikatakan Mr.
Lippincott dengan berat hati, sangat rupawan.
Kedua hal itu tidak sama persis. Kalau kita mengatakan seorang wanita rupawan,
itu tidak berarti kita sendiri mengaguminya. Dan menurutku Mr. Lippincott tidak
mengagumi Greta sama sekali.
Bagaimanapun, kalau Greta berjalan melintasi ruangan, masuk ke dalam hotel atau
restoran, semua kepala laki-laki di sana akan berpaling memandangnya. Ia tipe
wanita Nordic, dengan rambut keemasan seperti warna jagung. Ia menyanggul
rambutnya tinggi-tinggi, seperti model yang populer saat itu, bukan
membiarkannya tergerai di kanan-kiri wajahnya seperti gaya Chelsea. Ia tampak
seperti asal-usulnya - Swedia atau Jerman utara. Kalau ia mengenakan sepasang
sayap, ia bisa menghadiri pesta kostum sebagai Valkyrie. Matanya berwarna biru
cerah, dan lekuk-lekuk tubuhnya mengagumkan sekali. Pokoknya harus diakui bahwa
Greta betul-betul menarik!
Aku mendekat ke tempat mereka duduk dan menggabungkan diri, menyapa mereka
dengan sikap yang kuharap tampak ramah dan wajar, meski aku merasa agak kikuk.
Sejak dulu aku memang tidak pintar berakting. Ellie segera berkata,
"Akhirnya, Mike, ini Greta."
Aku berkata bahwa aku sudah menebaknya. Wajahku terasa agak kaku dan tidak
kelihatan gembira. Aku berkata,
"Senang sekali bisa bertemu denganmu akhirnya, Greta."
Ellie berkata, "Seperti sangat kauketahui, kalau bukan karena Greta, kita tak mungkin bisa
menikah." "Yah, tapi kita pasti bisa menemukan cara lain," kataku.
"Tidak, sebab keluargaku pasti akan langsung menyerang kita dengan membabi buta.
Mereka pasti akan memutuskan hubungan kita. Coba ceritakan, Greta, bagaimana
sikap mereka setelah tahu aku menikah?" tanya Ellie. "Kau belum menceritakannya
sama sekali padaku di surat."
"Aku memang tidak mau," kata Greta, "maksudku menuliskan-hal-hal seperti itu
pada sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu."
"Tapi apa mereka marah besar padamu?"
"Tentu saja! Menurutmu sendiri bagaimana" Tapi aku sudah siap menghadapinya,
percayalah." "Apa yang telah mereka katakan atau lakukan?"
"Segalanya yang bisa mereka lakukan," kata Greta dengan riang.
"Tentu saja, dimulai dengan memecatku."
"Ya, kurasa itu tak bisa dihindari. Tapi... tapi apa yang telah kaulakukan"
Bagaimanapun, mereka tak bisa menolak memberimu referensi."
"Bisa saja. Lagi pula, dari sudut pandang mereka, jabatanku adalah suatu posisi
dengan kepercayaan tinggi, dan aku telah menghancurkannya." Ia melanjutkan, "Dan
aku juga senang melakukannya."
"Lalu, apa yang kaulakukan sekarang?"
"Oh, aku sudah punya pekerjaan baru."
"Di New York?" "Tidak. Di sini, di London. Menjadi sekretaris."
"Tapi apakah kau baik-baik saja?"
"Ellie sayang," kata Greta, "bagaimana aku bisa tidak baik-baik saja setelah
menerima cekmu yang dermawan itu, yang kaukirimkan untuk mengantisipasi apa yang
akan terjadi setelah balonku mengangkasa?"
Bahasa Inggris Greta bagus sekali, nyaris tanpa aksen, meski ia suka menggunakan
istilah-istilah percakapan yang kadang-kadang tidak tepat.
"Aku sudah jalan-jalan ke luar negeri, mendapat pekerjaan dan tempat tinggal di
London, dan membeli banyak barang juga."
"Mike dan aku juga sudah membeli banyak barang," kata Ellie, sambil tersenyum
mengingat-ingat hal itu. Memang benar. Kami telah memuaskan diri dengan berbelanja di banyak negara
Eropa. Sungguh menyenangkan punya banyak uang untuk dibelanjakan, tanpa beban
atau hambatan. Bahan gorden dan kursi di Italia untuk rumah kami. Kami juga
membeli lukisan-lukisan di Italia dan Paris, dan membayar mahal sekali. Sebuah
dunia baru serasa telah terbuka untukku, sebuah dunia yang tak pernah kuimpikan
sebelumnya telah membentang di hadapanku.
"Kalian berdua tampak sangat bahagia," kata Greta.
"Kau belum melihat rumah kami," kata Ellie. "Rumah kami akan jadi rumah yang
sangat indah. Persis seperti yang kami cita-citakan, bukankah begitu, Mike?"
"Aku sudah melihatnya," kata Greta. "Hari pertama aku sampai di Inggris, aku
menyewa mobil dan pergi ke sana."
"Bagaimana?" tanya Ellie.
Aku juga bertanya, "Bagaimana?"
"Menurutku...," kata Greta sambil menimbang-nimbang. Ia menelengkan kepalanya
dari kiri ke kanan. Ellie tampak tegang, betul-betul terkejut. Tapi aku tak bisa dibohongi. Aku
segera melihat bahwa Greta sedang mempermainkan
kami. Terlintas dalam pikiranku bahwa caranya mempermainkan kami tidak lucu sama
sekali, tapi pikiran itu tak sempat tertanam lama-lama. Greta tertawa terbahak-
bahak, suara tawanya melengking merdu, membuat orang-orang di sekeliling kami
menoleh dan memandang kami.
"Kalian harus melihat tampang kalian tadi," katanya, "terutama kau, Ellie. Aku
tidak tahan tadi untuk tidak menggoda kalian sedikit.
Rumah kalian betul-betul indah. Orang itu memang jenius."
"Ya," kataku, "dia memang luar biasa. Tunggu sampai kau bertemu dengannya."
"Aku sudah bertemu dengannya," kata Greta. "Dia kebetulan ada di sana wakta aku
datang. Ya, dia memang orang yang luar biasa.
Agak menakutkan, bukan?"
"Menakutkan?" kataku kaget. "Dalam hal apa?"
"Oh, entahlah. Dia seolah-olah bisa melihat menembus diri kita -
melihat apa yang ada di balik kita. Rasanya sangat tidak nyaman."
Kemudian ia melanjutkan, 'Dia tampak agak sakit."
"Dia memang sakit. Sakit parah," kataku.
"Sayang sekali. Apa sih penyakitnya" TBC atau sejenisnya?"
"Tidak," kataku, "kurasa bukan TBC. Pokokrtya ada hubungannya dengan... oh,
darah." "Oh, begitu. Dokter zaman sekarang bisa menyembuhkan apa saja, bukan, kecuali
kalau kita keburu mati di tangan mereka. Jangan bicara soal itu lagi. Mari kita
bicara tentang rumah kalian. Kapan selesainya?"
"Kurasa tak lama lagi, kalau melihat tahap perkembangannya sekarang. Tak kukira
membangun rumah bisa begitu cepat," kataku.
"Oh, kata Greta sambil lalu, "itu kan hanya masalah uang. Mereka bekerja dua
puluh empat jam sehari dan mendapat bonus - begitulah pokoknya. Kau tidak
menyadari, Ellie, betapa senangnya bisa memiliki uang sebanyak itu sendirian."
Tapi aku menyadarinya. Aku sudah belajar, belajar banyak pada minggu-minggu
terakhir ini. Setelah pernikahanku, aku melangkah ke sebuah dunia yang betul-
betul berbeda, dan ternyata dunia itu bukanlah dunia yang sering kubayangkan
dulu, ketika aku masih berada di luarnya. Sejauh ini, dalam hidupku, menang
taruhan ganda adalah peruntungan terbesar yang pernah kudapatkan. Segepok uang
yang kuterima dan langsung kuhabiskan lagi dalam taruhan besar lainnya.
Kampungan, tentu. saja. Ciri kelasku. Tapi dunia Ellie berbeda. Kemewahannya
bukan seperti yang dulu kubayangkan-kemewahan yang makin mewah dan makin mewah.
Kemewahan dunia Ellie bukan berarti kamar mandinya lebih besar, rumahnya lebih
megah, lampunya lebih terang dan banyak, makanannya lebih mewah, dan mobilnya
lebih cepat. Masalahnya bukan menghabiskan uang hanya demi keinginan
menghabiskan uang dan memamerkannya pada orang-orang. Sebabnya, konsep
kemewahannya justru sederhana - jenis kesederhanaan yang muncul kalau kita sudah
tidak lagi berminat menghamburkan uang hanya karena ingin menghamburkan uang.
Kita tak ingin mempunyai tiga kapal pesiar atau empat mobil, kita juga tak bisa
makan lebih dari tiga kali sehari, dan kalau kita membeli lukisan yang sangat
mahal, mungkin kita hanya ingin satu lukisan saja untuk dipajang. Pokoknya
sesederhana itu. Hanya saja, apa pun yang kita miliki pastilah yang terbaik
dalam golongannya, bukan semata-mata karena jenis itu yang terbaik, tapi karena
kita mampu membeli apa pun kalau kita menyukai atau menginginkan sesuatu. Kita
tak perlu berkata, "Saya rasa saya tak mampu membelinya." Jadi, entah bagaimana
kadang-kadang hal seperti itu justru memunculkan suatu kesederhanaan yang tidak
kumengerti. Waktu itu kami sedang mempertimbangkan untuk membeli sebuah lukisan
impresionis Prancis, karya Cezanne, kurasa begitulah namanya. Aku harus
mempelajari nama itu dengan hati-hati. Aku selalu keliru dengan tzigane, yang
kurasa berarti orkestra kaum gipsi. Setelah itu, ketika kami sedang berjalan-
jalan di sepanjang jalanan kota Venice, Ellie tiba-tiba berhenti untuk melihat-
lihat karya para seniman jalanan. Secara keseluruhan, hasil lukisan mereka untuk
para turis itu jelek sekali. Sederet lukisan wajah
menyengir dengan gigi berkilauan dan rambut pirang jatuh ke pundak.
Kemudian Ellie membeli sebuah lukisan yang sangat kecil, yang menggambarkan
sekilas pemandangan melalui sebuah kanal. Laki-laki yang melukisnya memandangi
kami, dan akhirnya Ellie membeli lukisannya seharga 6 pound dalam uang Inggris.
Lucunya aku tahu betul bahwa keinginan Ellie untuk memiliki lukisan seharga 6
pound itu sama besarnya dengan ketika ia membeli lukisan Cezanne itu.
tadi. Hal yang sama terjadi pada suatu hari di Paris. Tiba-tiba Ellie berkata padaku,
"Mari kita beli sebatang roti Prancis yang betul-betul segar, kita makan dengan
mentega dan keju serta daun selada - pasti asyik rasanya."
Kami melakukannya, dan kurasa Ellie jauh lebih menikmatinya ketimbang makan
malam yang kami santap malam sebelumnya, yang harganya sekitar 20 pound dalam
uang Inggris. Mulanya aku tidak mengerti, tapi kemudian aku mulai memahami.
Anehnya, sekarang aku mulai bisa mengerti bahwa menikah dengan Ellie tidak
berarti hanya bersenang-senang dan bermain-main. Aku harus mengerjakan PR juga,
aku harus belaJar bagaimana masuk ke restoran, memesan makanan yang pantas dan
memberikan tip yang benar, dan kapan aku harus memberikan tip lebih dari
biasanya. Aku harus menghafalkan minuman apa yang cocok dengan makanan apa. Aku
harus mempelajari semua itu dengan cara mengamati.
Aku tak bisa bertanya pada Ellie, sebab ia tak mungkin mengerti.
Ia pernah berkata, "Tapi, Mike sayang, kau bisa memesan apa pun yang kausukai.
Siapa peduli kalau si pelayan menganggap kau seharusnya memesan jenis anggur
tertentu untuk makanan tertentu?" Hal itu memang tidak penting bagi Ellie,
karena ia sudah biasa menghadapinya, tapi bagiku penting karena aku tak bisa
melakukan apa saja yang kusukai. Aku kurang luwes. Dalam berpakaian pun
demikian. Tapi Ellie lebih bisa membantu dalam hal
ini, karena ia lebih memahami. Ia hanya membimbingku ke tempat yang cocok dan
menyuruhku membuat repot semua orang.
Tentu saja penampilanku dan caraku membawa diri belum sepenuhnya sempurna. Tapi
itu tidak penting. Pokoknya aku sudah bisa mengira-ngira, dan itu sudah cukup,
supaya aku bisa bercakap-cakap dengan pantas bersama si tua Lippincott, dan
sebentar lagi, menurut dugaanku, dengan ibu tiri Ellie dan paman-pamannya kalau
mereka datang, walau sesungguhnya hal itu sama sekali tidak penting di masa yang
akan datang. Kalau rumah kami sudah selesai dan kami sudah pindah ke dalamnya,
kami akan jauh dari siapa-siapa. Rumah itu akan menjadi istana kami. Aku
memandang Greta yang duduk di seberangku. Aku ingin tahu pendapatnya yang
sesungguhnya tentang rumah kami. Pokoknya, rumah itu rumah impianku. Aku sangat
puas dengannya. Aku ingin bisa menyetir mobil ke sana, melalui jalanan pribadi
dengan pepohonan di kiri-kanannya.
Jalanan itu menuju sebuah ceruk kecil yang akan menjadi pantai pribadi kami, dan
tak seorang pun bisa datang ke sana melalui jalan lain. Rasanya pasti seribu
kali lebih menyenangkan berenang di laut di sana. Seribu kali lebih menyenangkan
daripada berada di pantai yang dipenuhi ratusan tubuh yang berjemur. Aku tidak
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menginginkan hal-hal mewah yang tidak masuk akal. Aku ingin - kata-kata itu
lagi, kata-kataku sendiri - aku ingin, aku ingin... bisa kurasakan perasaan itu
menjalari diriku. Aku menginginkan seorang wanita yang menyenangkan dan sebuah
rumah yang menyenangkan, yang berbeda dari rumah orang-orang lain. Aku ingin
rumahku yang indah itu dipenuhi barang-barang yang menyenangkan - barang-barang
milikku sendiri. Segalanya akan menjadi milikku.
"Dia sedang memikirkan rumah kami," kata Ellie.
Rasanya Ellie sudah dua kali mengusulkan padaku bahwa kami lebih baik pergi ke
ruang makan sekarang. Aku memandangnya dengan sayang.
Malam itu, ketika kami sedang bersiap-siap keluar untuk makan malam, Ellie
berkata dengan agak ragu-ragu,
"Mike, kau... kau menyukai Greta, bukan?"
"Tentu saja," kataku.
"Aku tidak tahan kalau kau sampai tidak menyukainya."
"Tapi aku suka padanya," bantahku. "Kenapa kau mengira aku tidak menyukainya?"
"Aku tidak begitu yakin. Mungkin karena kau nyaris tidak memandangnya, bahkan
saat sedang berbicara dengannya."
"Yah, kurasa itu karena... yah, karena aku merasa gugup."
"Gugup terhadap Greta?"
"Ya, dia membuatku agak terperangah."
Kukatakan pada Ellie bahwa menurutku Greta tampak seperti Valkyrie.
"Tidak segagah Valkyric sesungguhnya," kata Ellie sambil tertawa.
Kami berdua tertawa dan aku berkata, "Kau bisa bilang begitu karena kau sudah
mengenalnya bertahun-tahun. Tapi dia agak... yah, maksudku dia sangat efisien
dan prakus, juga anggun." Kata-kata yang kuucapkan dengan susah payah itu
rasanya tidak tepat semuanya. Lalu aku berkata dengan tiba-tiba, "Aku merasa...
aku merasa tersisih olehnya."
"Oh, Mike!" Ellie betul-betul merasa tak enak hati. "Aku tahu aku dan Greta tadi
mengobrol panjang-lebar. Kami asyik dengan lelucon atau cerita lama dan
sejenisnya. Kurasa... ya, kurasa itu pasti membuatmu sedikit tidak enak. Tapi
kalian pasti akan cepat berteman. Dia menyukaimu. Dia sangat menyukaimu. Dia
berkata begitu padaku."
"Dengar, Ellie, dia pasti akan mengatakan begitu padamu."
"Oh, tidak. Greta orang yang sangat terus terang. Kau sudah mendengarnya
sendiri. Hal-hal yang dikatakannya pada kita tadi siang."
Memang benar, Greta tidak memilah kata-katanya selama makan siang tadi. Ia
berkata, lebih kepadaku, daripada ke, Ellie.
"Pasti kadang-kadang kau menganggap aneh, caraku mendukung Ellie, padahal aku
belum pernah bertemu denganmu. Tapi aku sudah muak sekali - sangat muak dengan
kehidupan yang mereka rancang bagi Ellie. Semuanya terkungkung rapat dalam
lingkup kekayaan mereka, ide-ide mereka yang kuno. Dia tak pernah punya
kesempatan untuk menikmati hidupnya sendiri, pergi ke mana-mana sendirian, dan
melakukan apa saja yang diinginkannya. Dia ingin memberontak, tapi tidak tahu
caranya. Karena itu... ya, memang, aku mendesaknya untuk berontak. Kuusulkan
agar dia melihat-lihat tanah di Inggris. Kukatakan kalau dia sudah berumur dua
puluh satu tahun, dia bisa membeli properti sendid dan mengucapkan selamat
tinggal pada mereka yang di New York itu."
"Greta selalu punya ide hebat," kata Ellie. "Dia memikirkan hal-hal yang mungkin
takkan pernah terpikir sendiri olehku."
Apa kata-kata yang waktu itu diucapkan Mr. Lippincott padaku"
Pengaruhnya besar sekali pada diri Ellie. Aku jadi bertanya-tanya, benarkah itu"
Anehnya, aku tidak berpendapat demikian. Aku merasa ada suatu kekuatan dalam
diri Ellie, suatu kekuatan yang tidak disadari oleh Greta sekalipun, meski ia
sudah sangat mengenal Ellie.
Aku yakin Ellie akan selalu menerima ide yang cocok dengan idenya sendiri. Greta
memang telah mengusulkan agar Ellie berontak, tapi Ellie sendiri memang ingin
berontak, hanya saja ia tidak tahu caranya. Sekarang, setelah lebih mengenaInya,
aku merasa bahwa Ellie adalah jenis orang sangat sederhana yang mempunyai
kekuatan tersembunyi. Menurutku Ellie mampu memiliki pendirian sendiri, kalau ia
memang menginginkannya. Masalahnyanya, ia tidak sering menginginkan hal itu.
Betapa sulitnya memahami seseorang. Bahkan Ellie. Bahkan Greta. Bahkan mungkin
ibuku sendiri... caranya memandangku dengan mata penuh ketakutan.
Aku ingin tabu tentang Mr. Lippincott. Maka, sementara kami asyik mengupas buah
pir yang besar, aku berkata,
"Mr. Lippincott tampaknya menerima pernikahan kami dengan sangat baik. Aku
sampai heran." "Mr. Lippincott itu seekor serigala tua," kata Greta.
"Kau selalu bilang begitu, Greta," kata Ellie, "tapi kupikir dia cukup
menyenangkan. Memang sangat tegas dan kaku, begitulah."
"Yah, tidak masalah, kalau kau memang menyukainya," kata Greta.
"Aku sendiri tidak akan mempercayainya sesenti pun."
"Tidak mempercayainya!" kata Ellie.
Greta menggelengkan kepala. "Aku tahu. Dia adalah tonggak kehormatan dan
kepercayaan. Dia punya segalanya yang diperlukan untuk menjadi seorang wali dan
pengacara yang pantas."
Ellie tertawa dan berkata, "Apa menurutmu dia telah
menyelewengkan kekayaanku" Jangan konyol, Greta. Ada banyak auditor dan bank.
Mereka memeriksa semuanya."
"Oh, kurasa dia tidak apa-apa," kata Greta. "Tapi justru orang-orang seperti
itulah yang suka melakukan penyelewengan. Orang-orang yang kita percayai. Dan
kemudian orang-orang akan berkata,
'Tak kusangka pelakunya adalah Mr. A atau Mr. B. Orang yang sama sekali tak
diduga.' Ya, begitulah yang akan dikatakan orang-orang.
'Yang sama sekali tak diduga.'"
Ellie berkata dengan serius bahwa menurut pendapatnya, Paman Frank-nyalah yang
lebih pantas dicurigai melakukan sesuatu yang tidak jujur. Tapi ia tidak
kelihatan khawatir atau kaget dengan gagasan itu.
"Oh, ya, dia memang kelihatan seperti bandit," kata Greta. "Itu sudah memberi
kesan jelek baginya. Sikapnya terlalu manis dan ramah. Tapi dengan posisinya
itu, dia tidak bakal pernah bisa menjadi bandit besar."
"Apakah dia adik laki-laki ibumu atau ayahmu?" tanyaku. Aku selalu bingung kalau
menyangkut sanak keluarga Ellie.
'Dia suami saudara perempuan ayahku," kata Ellie. "Bibiku meninggalkannya dan
menikah dengan orang lain, dan sudah meninggal sekitar enam atau tujuh tahun
yang lalu. Paman Frank boleh dikatakan masih tetap menjalin hubungan dengan keluarga kami."
"Ada tiga orang yang seperti itu," kata Greta dengan ramah, memberiku petunjuk.
"Tiga ekor lintah yang selalu berkeliaran.
Semua paman kandung Ellie sudah meninggal. Satu di Korea, dan satunya lagi dalam
kecelakaan mobil. Jadi yang dimilikinya sekarang adalah ibu tiri yang payah,
Paman Frank yang suka bertandang ke rumah, dan sepupunya Reuben. Ellie
memanggilnya Paman, tapi dia sebenarnya hanya sepupu, dan Andrew Lippincott
serta Stanford Lloyd."
"Siapa itu Stanford Lloyd?" tanyaku bingung.
"Oh, seorang wali lainnya, bukankah begitu. Ellie" Pokoknya dia mengurusi
investasi dan sejenisnya. Dan itu tidak sulit, sebab kalau kau sudah punya uang
sebanyak Ellie, uang itu akan menghasilkan lebih banyak uang lagi sepanjang
waktu, tanpa dia perlu melakukan apa-apa. Itulah kelompok utama di sekitar
Ellie," lanjut Greta, "dan aku yakin kau akan segera bertemu mereka. Mereka akan
terbang kemari untuk melihatmu."
Aku mengeluh dan memandang Ellie. Ellie berkata dengan sangat pelan dan manis,
"Jangan khawatir, Mike, mereka toh akan pergi lagi."
12 Mereka memang datang. Tapi tak seorang pun tinggal lama. Tidak saat itu - dalam
kunjungan pertama. Mereka datang untuk melihatku.
Aku merasa sulit memahami mereka, tentu saja karena mereka semua orang Amerika.
Mereka berasal dari golongan yang tidak terlalu kukenal. Beberapa dari mereka
cukup menyenangkan. Paman Frank, misaInya. Aku setuju dengan pendapat Greta
tentang dirinya. Aku tidak akan mempercayainya sedikit pun. Aku sudah pernah bertemu tipe seperti
dia di Inggris. Ia berperawakan besar, dengan
kantong mata agak tebal, yang membuatnya tampak tidak tulus, dan kurasa itu
tidak terlalu jauh dari yang sebenarnya. Ia suka wanita, menurutku, bahkan lebih
dari sekadar suka. Ia meminjam uang sekali dua kali dariku, tidak banyak,
sekadar untuk biaya hidupnya satu-dua hari. Kupikir ia sebenarnya tidak
membutuhkan uang itu; ia hanya ingin mengetesku, untuk melihat apakah aku bisa
meminjamkan uang dengan mudah. Aku agak cemas, karena tidak yakin bagaimana cara
terbaik untuk menghadapinya. Apakah lebih baik menolaknya terus terang dan
mengatakan padanya bahwa aku orang yang pelit, atau lebih baik aku bersikap
murah hati dan gampang, yang sama sekali bukan sikapku sebenarnya" Ah, peduli
amat dengan, Paman Frank," pikirku.
Cora, ibu tiri Ellie, adalah yang, paling menarik perhatianku. Ia berusia
sekitar empat puluhan, sangat anggun, dengan rambut dicat dan sikap agak dibuat-
buat. Ia sangat manis terhadap Ellie.
"Kau jangan terlalu menganggap serius surat-surat yang kutulis padamu, Ellie,"
katanya. "Pernikahan kalian memang sangat mengejutkan. Begitu sembunyi-sembunyi.
Tapi tentu saja aku tahu Greta-lah yang membujukmu melakukannya."
"Kau tidak boleh menyalahkan Greta," kata Ellie. "Aku tidak bermaksud membuatmu
kecewa. Aku hanya ingin... yah, supaya tidak banyak ribut-ribut..."
"Ya, tentu saja, Ellie sayang, kau benar juga. Semua orang itu kaget sekali -
Stanford Lloyd dan Andrew Lippincott. Mungkin mereka merasa semua orang akan
menyalahkan mereka karena tidak menjagamu baik-baik. Dan tentu saja mereka sama
sekali tidak tahu, seperti apa Mike. Mereka tidak tahu kalau ternyata Mike
sangat menarik. Aku sendiri tak menyangka." Ia tersenyum padaku, senyum sangat
manis dan juga paling palsu yang pernah kulihat! Aku berkata dalam hati, kalau
pernah ada wanita membenci seorang laki-laki, maka Cora-lah orangnya. Tapi sikap
manisnya terhadap Ellie cukup bisa dimengerti. Andrew Lippincott telah kembali
ke Amerika dan tak diragukan lagi telah memperingatkan Cora untuk menjaga
sikapnya. Ellie sedang menjual beberapa propertinya di. Amerika, karena ia
sendiri telah memutuskdn uniuk tinggal di Inggris, tapi ia akan memberikan
tunjangan besar untuk Cora, jadi Cora bisa tinggal di mana pun yang disukainya.
Tak seorang pun menyebut-nyebut tentang suami Cora. Kurasa ia sudah hengkang ke
suatu tempat di belahan bumi lain bersama seseorang. Kemungkinan besar sebentar
lagi akan terjadi perceraian. Takkan ada tunjangan perceraian yang besar dari
yang satu ini. Pemikahan Cora yang terakhir adalah dengan laki-laki yang jauh
lebih muda, dan lebih karena daya tarik fisik daripada uang.
Cora menginginkan tunjangan itu. Ia punya selera yang sangat mewah. Andrew
Lippincott sudah mempenngatkan dengan cukup jelas bahwa tunjangan itu bisa
dihentikan kapan saja oleh Ellie, atau jika Cora tiba-tiba lupa diri dan
mengkritik suami baru Ellie dengan keras.
Sepupu Reuben, atau Paman Reuben, tidak ikut datang. Ia hanya menulis sepucuk
surat yang ramah untuk Ellie dan berharap Ellie bahagia, tapi ia ragu Ellie akan
senang tinggal di Inggris. "Kalau kau tidak menyukainya, Ellie, segeralah pulang
ke Amerika. Jangan pikir kau tidak akan diterima di sini, karena kami pasti
menerimamu, terutama Paman Reubenmu ini."
"Kedengarannya pamanmu yang ini cukup menyenangkan,"
kataku pada Ellie. "Ya," kata Ellie sambil merenung. Kedengarannya ia tidak terlalu yakin.
"Adakah di antara mereka yang kausayangi, Ellie?" tanyaku. "Atau aku mestinya
tidak bertanya begitu?"
"Tentu saja kau boleh menanyakan apa pun." Tapi ia tidak menjawab selama
beberapa detik. Kemudian ia berkata dengan nada tegas, "Tidak, kurasa tak ada
yang kusayangi. Memang aneh, tapi mungkin itu karena mereka bukan benar-benar
kerabatku. Pertalian di antara kami lebih karena keadaan, bukan karena
keturunan. Tak satu pun dari mereka punya hubungan darah denganku. Aku sayang
ayahku, dari apa yang bisa kuingat tentang dirinya. Kurasa ayahku agak lemah,
dan kakekku kecewa padanya, karena ayah tidak suka
berkecimpung dalam dunia bisnis. Ayah suka pergi ke Florida dan memancing, atau
melakukan hal-hal lain yang sejenis. Kemudian ia menikah dengan Cora, dan aku
tidak begitu suka padanya - Cora pun begitu terhadapku. Ibuku sendiri, tentu
saja aku tak ingat. Aku suka Paman Henry dan Paman Joe. Mereka menyenangkan -
dalam beberapa hal jauh lebih menyenangkan daripada ayahku. Ayahku pendiam dan
agak sedih. Tapi kedua pamanku menikmati hidup.
Paman Joe agak liar, karena dia punya banyak uang. Dialah yang meninggal karena
kecelakaan mobil, dan pamanku satunya lagi tewas di medan perang. Kakekku waktu
itu sudah sakit-sakitan, dan merasa sangat terpukul karena ketiga anak laki-
lakinya meninggal semua. Dia tidak suka pada Cora, juga pada kerabat-kerabat
jauhnya. Paman Reuben, misalnya. Katanya kita tak bisa menebak apa yang sedang
direncanakan Reuben. Itu sebabnya Kakek mengatur agar uangnya tertanam dalam
sebuah perwalian. Kebanyakan dari uang itu mengalir untuk museum-museum dan
rumah-rumah sakit. Ia mewariskan cukup banyak untuk Cora dan suami anak
perempuannya, Paman Frank."
"Tapi sebagian besar untukmu?"
"Ya. Dan kurasa itu membuatnya agak cemas. Dia berusaha sebaik-baiknya agar uang
itu selalu terjaga untukku."
"Oleh Paman Andrew dan Mr. Stanford Lloyd. Seorang pengacara dan seorang
bankir." "Ya. Kurasa Kakek menganggapku tak mampu menjaga
kekayaanku sendiri. Anehnya, dia mengizinkan aku memperoleh uang itu saat aku
berumur dua puluh satu tahun. Dia tidak menyuruhku menunggu sampai berumur dua
puluh lima tahun, seperti yang banyak dilakukan orang. Kurasa itu karena aku
anak perempuan." "Memang aneh," kataku. "Padahal seharusnya justru dia menunggu sampai kau lebih
dewasa, karena karena kau perempuan, iya kan?"
Ellie menggelengkan kepala. "Tidak," katanya, "mungkin menurut kakekku anak
laki-laki selalu lebih liar, sembrono, dan mudah terpikat oleh gadis-gadis
pirang yang hanya mau memanfaatkan mereka.
Maka lebih baik mereka diberi waktu untuk memuaskan diri berhura-hura. Tapi dia
pernah berkata padaku, 'Anak perempuan, kalau pada dasarnya dia berpikiran
sehat, umur dua puluh satu pun tetap akan berpikiran sehat. Tidak ada gunanya
menunggu sampai dia berumur dua puluh lima. Kalau dia memang tolol, umur sekian
pun dia akan tetap tolol.' Kakek juga berkata," - Ellie, memandangku dan
tersenyum -"bahwa dia tidak menganggapku bodoh. Dia bilang, 'Kau mungkin tidak
tahu banyak tentang hidup, tapi kau punya akal sehat, Ellie. Terutama tentang
orang lain. Kupikir kau akan selalu punya akal sehat.."
"Kurasa kakekmu tidak akan menyukaiku," kataku serius, Ellie memang selalu
berterus terang. Ia tidak berusaha meyakinkan diriku. dengan mengatakan
sebaliknya. Ia berbicara apa adanya.
"Tidak," katanya, "mungkin dia malah akan sedikit takut. Dia mesti belajar
mengenalmu dulu." "Ellie yang malang," kataku tiba-tiba.
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Aku pernah berkata begitu padamu, dulu, apa kau ingat?"
"YaKau menyebutku gadis kecil kaya yang malang. Benar juga ucapanmu itu."
"Yang kumaksud kali ini tidak sama," kataku. "Aku tidak bermaksud mengatakan kau
malang karena dilahirkan sebagai gadis kaya. Yang kumaksud adalah..." aku ragu-
ragu. "Terlalu banyak orang di sekelilingmu," kataku. "Semuanya mengitari
dirimu. Terlalu banyak orang yang menginginkan berbagai hal darimu, tapi
sebenarnya mereka tak peduli padamu. Betul, bukan?"
"Menurutku Paman Andrew sungguh-sungguh peduli padaku,"
kata Ellie agak ragu. "Dia selalu baik padaku, simpatik. Tapi yang lainnya... Ya,
kau benar. Mereka hanya ingin sesuatu."
"Mereka datang karena ingin ini-itu, bukan" Ingin pinjam uang, ingin minta
pertolongan, ingin dibantu dari kesulitan Atau sejenisnya.
Mereka mengejarmu, mengharapkanmu, membayangimu!"
"Kurasa itu wajar," kata Ellie dengan tenang, tapi aku sudah selesai dengan
mereka semua sekarang. Aku akan tinggal di Inggris.
Aku tidak akan sering bertemu mereka."
Tentu saja Ellie salah, tapi ia belum menyadarinya saat itu.
Stanford Lloyd datang sendirian setelah itu. Ia membawa sejumlah besar dokumen
dan kertas-kertas kerja untuk ditandatangani Ellie. Ia berbicara dengan Ellie
tentang investasi, saham, dan properti yang dimilikinya, serta penarikan dana
perwalian. Aku betul-betul buta tentang hal-hal itu. Aku tak bisa menolong atau
menasihati Ellie. Aku tak bisa mencegah seandainya Stanford Lloyd menipu Ellie.
Kuharap ia tidak melakukannya, tapi bagaimana aku bisa yakin"
Ada sesuatu pada diri Stanford Lloyd yang rasanya sulit dipercaya.
Ia seorang bankir, dan ia memang tampak seperti bankir. Wajahnya lumayan tampan,
meski Ia sudah tidak. muda lagi. Ia sangat sopan padaku dan menganggapku sampah,
meski ia berusaha untuk tidak menunjukkannya.
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, kataku ketika akhirnya ia pergi, "itu yang terakhir dari gerombolan si
Berat." "Kau tidak menyukai mereka semua, bukan?"
"Menurutku, ibu tirimu, Cora, adalah perempuan jahat bermuka dua. Maaf, Ellie,
mungkin seharusnya aku tidak boleh berkata begitu."
"Mengapa tidak, kalau itu pendapatmu" Kurasa pendapatmu tidak terlalu salah." .
"Kau pasti kesepian, Ellie," kataku.
"Ya, aku kesepian. Aku punya kenalan gadis-gadis lain yang sebaya. Aku memang
bersekolah di sekolah terkenal, tapi aku tak pernah benar-benar bebas. Kalau aku
berteman dengan seseorang, entah bagaimana mereka pasti berhasil memisahkan
kami, dan menyodorkan gadis lain untuk berkenalan denganku. Kau mengerti"
Segala sesuatunya diatur. Mungkin kalau aku menyukai seseorang dan aku protes...
tapi aku belum pernah sampai pada tahap itu. Tak ada orang yang benar-benar
kusukai. Sampai Greta datang, dan kemudian segalanya berubah. Untuk pertama
kalinya ada seseorang yang betul-betul sayang padaku. Rasanya indah sekali."
Wajah Ellie melembut. "Kuharap," kataku sambil berbalik ke arah jendela.
"Apa yang Ikauharapkan?"
"Oh, entahlah... Kuharap kau tidak... tidak terlalu bergantung pada Greta. Tidak
baik bergantung pada siapa pun."
"Kau tidak menyukainya, Mike," kata Ellie.
"Aku menyukainya," bantahku cepat. "Sungguh. Tapi kau harus sadar, Ellie, dia
itu... yah, boleh dibilang dia asing buatku. Terus terang saja, aku... aku agak
cemburu padanya. Cemburu karena kau dan dia - yah, aku tidak mengerti sebelumnya
- betapa dekatnya kalian berdua."
"Jangan cemburu begitu. Greta satu-satunya orang yang baik padaku, yang
menyayangiku - sampai aku bertemu denganmu. "
"Tapi kau sudah bertemu denganku," kataku, "dan kau sudah menikah denganku."
Kemudian aku berkata lagi, apa yang sudah kukatakan sebelumnya, "Dan kita akan
hidup bahagia selama-lamanya."
13 Meski tak banyak berarti, akan kucoba menggambarkan orang-orang yang muncul
dalam kehidupan kami, atau tepatnya: orang-orang yang muncul dalam kehidupanku,
karena, tentu saja, orang-orang itu sudah menjadi bagian dalam kehidupan Ellie
sejak dulu. Salahnya, kami mengira orang-orang itu akan meninggalkan
kehidupan Ellie, tapi ternyata hal itu tidak terjadi. Orang-orang itu sama
sekali tidak berniat keluar dari kehidupan Ellie. Tapi pada saat itu kami belum
mengetahuinya. Selanjutnya kami menerima selembar telegram dari Santonix, memberitahukan bahwa
rumah kami telah selesai dibangun.
Sebelumnya ia telah meminta kami untuk tidak datang-datang selama seminggu, tapi
sekarang ia mengirim telegram yang berbunyi:
"Datanglah besok."
Dengan mengendarai mobil, kami pergi ke sana dan tiba saat matahari hampir
tenggelam. Santonix mendengar suara mobil kami, dan keluar untuk menyambut kami
di depan pintu. Ketika melihat rumah kami yang sudah selesai dibangun, ada
sesuatu dalam diriku yang terasa melonjak dan sepertinya akan meledak! Rumah itu
adalah rumahku - akhirnya aku berhasil mendapatkannya! Aku menggenggam tangan
Ellie erat-erat. "Apa kalian menyukainya?" tanya Santonix.
"Benar-benar top," kataku. Kedengarannya konyol, tapi aku tahu bahwa Santonix
mengerti apa yang kumaksud.
"Ya," kata Santonix lagi, "rumah ini hasil karyaku yang terbaik...
Biayanya cukup besar, tapi benar-benar sepadan dengan hasilnya.
Aku telah melebihi anggaran yang tadinya kuperkirakan. Ayolah, Mike," katanya,
"gendonglah Ellie melewati pintu utama. Itulah yang harus kaulakukan waktu masuk
rumah untuk pertaina kalinya bersama pengantin wanitamu!"
Wajahku memerah, dan kemudian aku menggendong Ellie - tubuh Ellie cukup ringan.
Aku membopongnya melewati pintu utama, seperti disarankan Santonix. Saat
melakukannya, aku terhuyung sedikit dan kulihat Salitonix mengerutkan dahi.
"Hati-hati," kata Santonix, "baik-baiklah padanya, Mike, dan jaga dia. Jangan
biarkan bahaya mengancamnya. Dia tak bisa menjaga dirinya sendiri. Dia pikir dia
bisa, tapi dia tak bisa."
"Mengapa ada bahaya yang akan mengancamku?" kata Ellie.
"Sebab dunia ini jahat," dan banyak orang jahat tinggal di sini,"
kata Santonix, "juga banyak orang jahat di sekelilingmu, Manis. Aku tahu itu.
Aku sudah melihat satu-dua orang di antaranya. Aku melihat mereka di sekitar
sini. Mereka datang untuk mengorek-ngorek keterangan, seperti tikus. Maafkan
kata-kataku, tapi mesti ada yang mengatakan ini padamu."
"Mereka tidak akan mengganggu kami," kata Ellie, "Mereka semua sudah kembali ke
Amerika." "Mungkin," kata Santonix, "tapi Amerika cuma beberapa jam dengan pesawat dari
sini." Santonix meletakkan tangannya di bahu Ellie. Kedua tangan itu sangat kurus dan
pucat. Ia benar-benar kelihatan sakit berat.
"Aku sendiri akan menjagamu, anakku, kalau aku bisa," katanya,
"tapi aku tak bisa. Aku takkan bisa hidup lebih lama lagi. Kau harus bisa
menjaga dirimu sendiri."
"Hentikan peringatan-peringatanmu itu, Santonix," kataku, "dan bawalah kami
berkeliling. Tunjukkan pada kami setiap sudut rumah ini."
Kami pun berkeliling di dalam rumah itu. Beberapa kamar yang ada di sana masih
kosong, tapi sebagian besar barang-barang yang kami beli, lukisan-lukisan dan
perabotan-perabotan, serta tirai-tirai sudah ada di sana.
"Kita belum punya nama untuk rumah ini," kata Ellie tiba-tiba.
"Kita tak bisa menamainya The Towers. Nama itu konyol. Apa nama lain untuk rumah
ini yang pernah kaukatakan dulu?" tanya Ellie padaku. `Gipsy's Acre', bukan?"
"Kita tidak akan menggunakan nama itu," kataku tegas. "Aku tidak suka."
"Orang-orang sekitar sini akan selalu menyebut rumah ini dengan nama itu," kata
Santonix. "Mereka orang-orang bodoh yang percaya takhayul," kataku.
Setelah itu kami duduk-duduk di teras, menikmati pemandangan matahari terbenam
sambil memikirkan nama baru untuk rumah kami.
Rasanya seperti sedang mengadakan permainan. Kami memulainya dengan cukup
serius, tapi kemudian kami mulai melontarkan nama-nama konyol yang tiba-tiba
muncul dalam benak masing-masing, seperti "Akhir Perjalanan", "Puri Bahagia",
dan nama-nama yang berbau seperti tempat tempat pemondokan, misalnya "Rumah Tepi
Pantai", "Pondok Nyaman", dan "Pondok Cemara". Tiba-tiba saja hari berubah gelap
dan hawa terasa dingin, jadi kami pun masuk ke dalam rumah. Kami hanya menutup
jendela, tapi tidak menurunkan tirai-tirainya. Kami telah membawa makanan untuk
dimakanmalam itu. Untuk hari-hari berikutnya, beberapa pelayan yang dibayar
mahal akan datang untuk mengurus rumah ini.
"Mereka mungkin tidak akan suka tinggal di sini, dan mengatakan rumah ini
terIalu sepl, lalu mereka akan pergi," kata Ellie.
"Lalu kau akan memberi mereka gaji dua kali lebih besar, agar mereka mau tetap
tinggal di sini," kata Santonix.
"Kaupikir semua orang bisa dibeli!" kata Ellie.
Tapi ia mengucapkan kalimat itu sambil tertawa.
Kami telah membawa pate en croate, sebongkah roti dan udang besar. Kami duduk
mengelilingi meja sambil tertawa-tawa, makan, dari bercakap-cakap. Bahkan
Santonix pun kelihatan lebih sehat dan ceria. Kedua matanya menyorotkan
kegembiraan. Lalu terjadilah peristiwa itu, begitu tiba-tiba. Sebuah batu dilemparkan melalui
jendela dan iatuh di atas meja. Batu itu juga memecahkan sebuah gelas anggur,
dan sepotong pecahan gelas ltu mengenal pipi Ellie. Untuk sesaat kami cuma bisa
duduk diam, tapi kemudian aku melompat bangki?" bergegas menghampiri pintu,
membukanya, dan pergi ke teras. Tidak tampak seorang pun di sekitar rumah kami.
Aku masuk kembali ke dalam rumah.
Aku mengambil selembar tisue dan membungkuk di sisi Ellie, mengelap, tetesan
darah, yang mengalir di pipinya.
"Kau terluka... Tapi tidak parah, Sayang. Hanya luka kecil karena pecahan gelas."
Pandangan mataku bertemu dengan Suntonix.
"Mengapa ada orang yang melakukannya?" tanya Ellie. Ia tampak bingung.
"Para berandalan," kataku, "Mungkin mereka tahu kita berada di sini. Harus
kukatakan bahwa kita masih beruntung karena yang mereka lemparkan cuma batu.
Mungkin saja mereka punya senapan angin atau barang-barang sejenis itu."
"Tapi mengapa mereka melakukannya terhadap kita" Mengapa?"
"Aku tidak tahu," jawabku. "Mungkin cuma iseng."
Ellie tiba-tiba bangkit berdiri. Ia berkata,
"Aku takut. Aku ketakutan."
"Kita akan menyelidikinya besok," kataku. "Kita tidak banyak mengenal orang-
orang di sekitar sini."
"Apa karena kita kaya dan mereka miskin?" kata Ellie. Pertanyaan itu tidak
ditujukan padaku, tapi pada Santonix, seakan-akan Santonix tahu jawaban yang
lebih baik daripadaku. "Tidak," kata Santonix perlahan, "Kurasa bukan karena itu,,,"
Ellie berkata, "Mereka melakukan itu karena mereka membenci kami...
Membenci Mike dan aku. Mengapa" Karena kami tampak bahagia?"
Sekali lagi Santonix menggelengkan kepalanya.
"Tidak," kata Ellie, seakan-akan ia setuju dengan pendapat Santonix, "Tidak,
bukan itu sebabnya. Ada alasan lain. Ada sesuatu yang tidak kita ketahui,
Gipsy's Acre. Setiap orang yang tinggal di sini akan dibenci. Akan dibunuh.
Mungkin pada akhirnya mereka akan berhasil mengusir kita..."
Aku menuangkan segelas anggur dan memberikannya pada Ellie.
"Jangan, Ellie," kataku dengan nada memohon.
"Jangan berkata begitu. Minumlah ini. Kejadian tadi memang tidak menyenangkan,
tapi itu cuma ulah orang-orang iseng."
"Aku ingin tahu," kata Ellie, "Aku ingin tahu..."
Ia menatapku lekat-lekat. "Apakah ada orang yang sedang mencoba mengusir kita,
Mike" Mengusir kita dari rumah yang kita dirikan, rumah yang kita cintai."
"Aku tak akan membiarkan mereka mengusir kita," kataku.
Kemudian aku menambahkan, "Aku akan menjagamu. Tak seorang pun boleh melukaimu."
Ellie menatap Santonix lagi.
"Kau pasti tahu," katanya. "Kau berada di sini sewaktu rumah ini dibangun. Tak
adakah seseorang yang pernah berkata sesuatu padamu" Orang yang datang dan
melempar batu-batu - mengganggu pekerjaan pembangunan rumah ini?"
"Orang sering membayangkan hal-hal yang bukan-bukan," kata Santonix.
"Kalau begitu, apakah pernah terjadi kecelakaan?"
Selalu ada kecelakaan yang terjadi saat membangun rumah. Tapi tidak ada yang
serius atau tragis. Seorang pekerja jatuh dari tangga, lalu seorang pekerja lain
kejatuhan bata di kakinya, dan yang seorang lagi terkena infeksi gara-gara ibu
jarinya tertusuk serat kayu."
"Tidak ada kejadian lain di luar itu" Tak ada kejadian lain yang sepertinya
sudah direncanakan?"
"Tidak," kata Santonix, "tidak ada. Aku berani bersumpah, tidak ada kejadian
lain!"' Ellie ganti memandangku. "Kau ingat wanita gipsi itu, Mike. Betapa aneh sikapnya. Dia memperingatkan aku
untuk tidak datang ke tempat ini."
"Wanita itu agak gila,"
"Kita telah membangun rumah di tanah yang telah dikutuk oleh para gipsi," kata
Ellie. "Kita telah melanggar peringatan yang diberikannya." Kemudian Ellie
mengentakkan kakinya. "Aku tak akan membiarkan mereka mengusirku. Aku tak akan
membiarkan apa pun mengusirku dari rumah ini."
"Tak ada orang yang bisa mengusir kita," kataku. "Kita akan hidup bahagia di
sini." Kami mengucapkan kata-kata itu seakan-akan hendak menantang nasib.
14 Begitulah kehidupan kami dimulai di Gipsy's Acre. Kami tidak berhasil
mendapatkan nama lain untuk rumah kami itu. Kejadian pada malam pertama kami
berada di sana membuat nama Gipsy's Acre semakin melekat di benak kami.
"Kita akan menamai rumah ini Gipsy's Acre," kata Ellie, "Untuk menunjukkan bahwa
kita tidak takut. Seperti mau menantang, bukan" Ini tanah kita, masa bodoh
dengan peringatan-peringatan para gipsi." Keesokan harinya, Ellie sudah kembali
ceria. Dengan segera kami menyibukkan diri menata rumah, berkenalan dengan
tetangga-tetangga, serta menelusuri daerah sekitar kami. Ellie dan aku pergi
mengunjungi pondok tempat si wanita gipsi tinggal.
Kupikir, akan baik bagi Ellie kalau ia bisa melihat wanita gipsi itu sedang
mencangkul di kebunnya. Ellie baru satu kali bertemu dengan wanita itu, dan pada
saat itu wanita itu melontarkan kata-kata peringatan pada kami. Aku berharap
Ellie bisa melihat bahwa wanita gipsi itu hanyalah wanita tua biasa - yang
sedang menggali kentang di kebunnya - tapi ternyata kami tidak melihat wanita
itu. Pondok tempat tinggalnya tertutup rapat. Aku bertanya pada tetangganya,
kalau-kalau wanita gipsi itu telah meninggal, tapi si tetangga yang kami tanyai
itu menggelengkan kepala.
"Dia pasti sedang pergi," katanya. "Kadang-kadang dia bepergian.
Dia benar-benar orang gipsi. ltu sebabnya dia tidak kerasan tinggal di rumah.
Dia lebih suka berkelana dan kembali lagi kemari." Lalu orang itu mengetuk-
ngetuk dahinya. "Wanita itu agak tidak waras."
Kemudian orang itu berkata sambil mencoba menutupi rasa ingin tahunya, "Kalian
datang dari rumah baru di atas sana, bukan" Rumah di atas bukit yang baru
selesai dibangun?" "Benar," kataku, "kami baru saja pindah kemarin malam."
"Itu kelihatannya menyenangkan," kata orang itu. 'Kami semua bertanya-tanya
waktu rumah itu sedang dibangun. Sungguh berbeda bukan, melihat rumah seperti
itu di tempat yang sebelumnya dipenuhi pohon-pohon menyeramkan?" Kemudian ia
berkata pada Ellie dengan agak malu-malu, "Kami dengar Anda orang Amerika,
bukan?" "Ya," jawab Ellie, "saya orang Amerika - tapi sekarang saya sudah menikah dengan
pria Inggris, jadi sekarang saya wanita Inggris."
"Dan kalian datang kemari untuk tinggal di sini?"
Kami mengiyakan. "Yah, semoga kalian menyukainya." Orang itu kedengaran agak ragu.
"Mengapa kami mungkin tidak menyukainya?"
"Oh, yah, kalian tahu bahwa keadaan di atas sana agak sepi.
Banyak orang tidak suka tinggal di tempat sepi seperti itu, dan dikelilingi
banyak pohon." "Gipsy's Acre," kata Ellie.
"Ah, kalian tahu tentang nama itu" Tapi rumah yang tadinya berdiri di sana
disebut The Towers. Aku tidak tahu mengapa disebut begitu. Seingatku, rumah itu
sama sekali tidak memiliki menara."
"Menurut saya, The Towers adalah nama yang konyol," kata Ellie.
"Kurasa kami akan tetap menamai rumah itu Gipsy's Acre."
"Kalau begitu, kita harus memberitahu pegawai kantor pos,"
kataku, "Kalau tidak, bisa-bisa kita tidak akan pernah menerima surat."
"Ya, kurasa kita harus memberitahukannya."
"Tapi kalau dipikir-pikir," kataku lagi, "apakah itu penting, Ellie"
Tidakkah lebill baik kalau kita tidak pernah menerima surat?"
"Itu bisa menimbulkan banyak masalah," kata Ellie.
"Bagaimana dengan tagihan-tagihan kita?"
"Bagus, kan, kalau begitu?" kataku.
"Tidak," kata, Ellie. "Para tukang tagih akan mendatangi kita. Lagi pula, aku
tidak ingin kehilangan surat-suratku. Aku ingin mendengar kabar dari Greta."
"Lupakan saja Greta," kataku. "Mari kita teruskan perjalanan kita."
Maka kami pun melanjutkan perjalanan menelusuri desa Kingston Bishop. Desa itu
indah, dan para penjaga tokonya ramah-ramah. Tak ada hal-hal yang berbau
kejahatan di desa ini. Para pelayan yang kami pekerjakan sebenarnya tidak begitu
senang tinggal di desa sepi ini, tapi kami telah mengatur agar mereka bisa
diantar dengan mobil sewaan untuk pergi ke kota terdekat atau ke Market Chadwell
di hari libur mereka. Para pelayan itu tidak terlalu suka dengan lokasi rumah
kami, tapi rasa tak suka itu bukan gara-gara takhayul. Aku berkata pada Ellie
bahwa tak mungkin mereka menganggap rumah kami berhantu, sebab rumah itu baru
saja dibangun. "Tidak," Ellie mengiyakan perkataanku, "penyebabnya bukan rumah itu. Tak ada
yang salah dengan rumah itu. Yang membuat orang merasa tidak betah adalah jalan
di dekat rumah kita, yang menikung melalui pepohonan dan hutan kecil tempat
wanita gipsi tua itu dulu berdiri dan membuatku terkejut."
"Yah, tahun depan mungkin kita bisa menebang pohon-pohon itu dan menanaminya
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tanaman yang lebih menarik," kataku.
Kami terus membuat rencana-rencana.
Greta datang dan melewatkan akhir minggu bersama kami. Ia tampak sangat antusias
dengan rumah kami, dan memuji-muji perabotan serta lukisan-lukisan yang kami
taruh di sana. Ia juga sangat tahu diri. Setelah akhir minggu berlalu, ia
berkata bahwa ia tak ingin mengganggu bulan madu kami lebih lama lagi; selain
itu, ia harus kembali untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Ellie senang sekali memamerkan rumah kami pada Greta. Bisa kulihat bahwa ia
benar-benar meny-ukai Greta. Aku sendiri mencoba bersikap sopan, tapi aku merasa
sangat lega ketika Greta kembali ke London. Keberadaan Greta di rumah kami
membuatku tegang. Setelah dua minggu tinggal di rumah itu, kami sudah diterima dengan baik oleh
orang-orang desa, dan telah bertemu dengan sang
"Dewa" lokal. Beliau datang mengunjungi kami pada suatu sore.
Waktu itu aku dan Ellie sedang berdebat mengenai tempat terbaik untuk menanam
bunga. Pelayan laki-laki kami, yang selalu bersikap sopan dan memasang tampang
tanpa ekspresi, keluar dari rumah, menghampiri kami dan memberitahukan bahwa
Mayor Phillpot sedang menunggu kami di ruang tamu. Pada waktu itulah aku
berbisik pada Ellie, "Sang Dewa!" Ellie bertanya padaku, apa yang kumaksud.
"Yah, orang-orang desa ini memperlakukannya seperti dewa,"
kataku. Kami masuk ke rumah dan menemui Mayor Phillpot. Mayor itu berusia enam puluhan,
dengan tampang biasa-biasa saja dan agak membosankan. Ia mengenakan pakaian gaya
pedesaan yang agak kumal, rambutnya yang kelabu agak botak di bagian tengah
kepalanya, dan kumisnya lebat. Ia meminta maaf karena istrinya tak dapat ikut
mengunjungi kami. Ia berkata bahwa istrinya tak bisa ke mana-mana, karena
kesehatannya kurang baik. Setelah itu, ia duduk dan bercakap-cakap dengan kami.
Obrolannya tidak terlalu istimewa atau menarik. Tapi ia memiliki keampuan untuk
membuat orang merasa senang bercakap-cakap dengannya. Ia mengangkat berbagai
topik secara sambil lalu. Ia tidak mengaJukan pertanyaan-pertanyaan secara
langsung, tapi dengan segera ia bisa tahu hal-hal apa saja
yang kami sukai. Denganku ia membicarakan pacuan kuda, dan dengan Ellie ia
berbicara tentang kebun atau tanaman-tanaman apa saja yang cocok ditanam di
daerah ini. Ia sudah pernah pergi ke Amerika sekali-dua kali. Ia tahu bahwa
Ellie tidak suka pacuan kuda, tapi senang berkuda. Ia berkata pada Ellie bahwa
kalau kami memelihara kuda, maka Ellie bisa berkuda melalui jalan kecil di
antara hutan pinus, kemudian kudanya bisa dipacu melalui belantara luas di balik
hutan itu. Setelah itu, pokok pembicaraan beralih ke rumah kami dan cerita-
cerita mengenai Gipsy's Acre.
"Kalian tahu mengenai nama itu," kata Mayor Phillpot, "juga semua takhayul
mengenainya... kurasa."
"Banyak sekali peringatan dari para gipsi," kataku.
"Bahkan terlalu banyak. Terutama dari Mrs. Lee."
"Astaga," kata Phillpot. "Kasihan Esther tua itu, apa dia telah mengganggu
kalian?" "Dia agak tidak waras, bukan?" tanyaku.
"Memang. Aku merasa agak bertanggung jawab mengenai dirinya.
Akulah yang menempatkannya dipondok itu," kata Phillpot,
"walaupun dia tidak terlalu berterima kasih untuk itu. Aku suka padanya, meski
kadang-kadang sikapnya bisa sangat
menjengkelkan." "Karena ramalan-ramalannya?"
"Tidak, bukan itu. Apa dia telah meramal peruntungan kalian?"
"Aku tidak tahu apakah kami bisa menyebutnya peruntungan,"
kata Ellie. "Kata-kata yang diucapkannya waktu itu lebih merupakan peringatan
pada kami, agar tidak datang kemari."
"Kedengarannya agak aneh." Alis Mayor Phillpot yang lebat terangkat. "Biasanya
ramalannya selalu berbau hal-hal yang manis-manis. Orang asing yang tampan,
lonceng pernikahan, enam anak dan setumpuk keberuntungan atau banyak uang di
tangan." Phillpot menirukan suara wanita gipsi itu. "Dulu, orang-orang gipsi
Rahasia Taman Kematian 1 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi 13
"Tidak, tentu saja tidak. Hanya untuk satu musim panas, itu saja."
"Kuharap kau tidak terlalu cemas," kata Ellie.
"Apa yang terjadi dengan Minnie Thompson?"
"Mereka harus menyuap suaminya seharga dua ratus ribu pound, kurasa," kata
Ellie. "Dia tidak mau menerima kurang dari itu. Minnie memang tergila-gila pada
cowok, dan agak bodoh," kata Ellie lagi.
"Kau betul-betul membuatku kagum, Ellie," kataku. "Aku bukan hanya mendapat
seorang istri, tapi juga mendapatkan sesuatu yang bisa kutukar dengan uang tunai
kapan saja." "Betul," kata Ellie. "Panggil saja seorang pengacara yang berkuasa, dan katakan
padanya kau mau bicara soal harga. Dia pasti akan mengurus surat perceraian dan
jumlah tuntutan yang harus dibayar," kata Ellie, melanjutkan pendidikan bagiku.
"Ibu tiriku sudah menikah empat kali," katanya lagi, "dan dia memperoleh banyak
sekali uang dari keempat pernikahannya itu." Ia berkata lagi, "Oh, Mike, jangan
terlalu kaget begitu."
Lucunya aku memang kaget. Aku merasa muak dengan korupsi tingkat tinggi
masyarakat modern seperti itu. Ada kesan gadis-kecil pada diri Ellie, sikapnya
begitu polos dan menyentuh hati, jadi aku kaget mengetahui bahwa ia sesungguhnya
tahu banyak tentang hubungan-hubungan seperti itu, dan bahwa ia menganggap semua
itu biasa saja. Tapi dalam hati aku tahu bahwa pendapatku tentang Ellie pada
dasarnya benar. Aku tahu betul bagaimana Ellie sesungguhnya. Keluguannya, kasih
sayangnya, sikap manisnya yang alami. Tapi itu tidak berarti ia tidak tahu apa-
apa. Apa yang ia ketahui dan Ia anggap biasa hanyalah seiris kecil dari pola
hidup manusia. Ia tidak tahu banyak tentang duniaku, dunia yang penuh dengan
gonti-ganti pekerjaan, tentang taruhan dan pacuan, kelompok pengedar obat bins,
dan petualangan-petualangan hidup lain yang berbahaya, kaum sharp-aleck flashy
type yang sangat kukenal karena aku telah hidup di antara mereka sejak kecil. Ia
tidak tahu bagaimana rasanya dibesarkan secara layak dan terhormat, tapi selalu
kekurangan uang, oleh seorang ibu yang bekerja keras membanting tulang supaya
bisa hidup terhormat, yang bercita-cita bahwa anak laki-lakinya harus berhasil
dalam hidup. Setiap sen diperhitungkan dan ditabung, dan kepedihan hatinya kala
anak laki-lakinya yang hanya man hidup enak itu menyia-nyiakan semuanya atau
mempertaruhkan segala yang dimilikinya untuk mendapat informasi dalam pacuan
kuda. Ellie suka mendengarkan tentang hidupku, sama seperti aku suka mendengarkan
tentang hidupnya. Kami berdua merasa asyik bisa menjelajahi dunia yang asing
bagi diri kami masing-masing.
Kalau memikirkan semua itu kemball, aku merasa kala itu hidupku betul-betul
bahagia, hari-hari awal kehidupanku bersama Ellie. Waktu itu aku menganggapnya
biasa saja, begitu pula Ellie. Kami menikah di kantor catatan sipil di Plymouth.
Guteman bukan nama yang istimewa. Tak seorang pun - para wartawan atau
sejenisnya - tahu bahwa pewaris Guteman ada di Inggris. Kadang-kadang ada
pemberitaan kabur di koran-koran, yang menyebutkan bahwa Ellie ada di Itali atau
di kapal pesiar seseorang. Kami menikah di kantor catatan sipil itu, - hanya
dengan seorang pegawai kantor dan juru tik setengah baya: sebagai saksi. Ia
mengkhotbahi kami dengan serius tentang tanggung jawab pernikahan, dan
menyelamati kami. Kemudian kami keluar, bebas dan menikah. Mr. dan Mrs. Michael Rogers! Kami
menginap selama seminggu di sebuah hotel di tepi pantai, kemudian pergi ke luar
negeri. Kami bepergian ke mana pun kami suka selama tiga minggu, tanpa
memikirkan biayanya. Kami pergi ke Yunani, lalu ke Prancis dan Venice, kemudian melanjutkan ke Lido,
ke Riviera Prancis, dan ke Dolomite. Setengah dari tempat-tempat itu sudah tidak
kuingat lagi namanya sekarang.
Kami naik pesawat atau menyewa kapal atau mobil-mobil besar dan mewah. Dan
selama kami menikmati semuanya itu, Greta - begitu yang kuketahui dari Ellie -
tetap menjaga situasi rumah dan melakukan tugasnya.
Greta bepergian sendiri, mengirim surat-surat dan mengeposkan berbagai kartu pos
dan surat yang telah ditinggalkan Ellie padanya.
"Tak lama lagi kita mesti bikin perhitungan dengan mereka, kata Ellie. "Mereka
akan menyerang kita seperti sekawanan burung pemangsa. Jadi, lebih baik kita
menikmati segalanya sekarang, mumpung masih ada waktu."
"Bagaimana dengan Greta?" kataku. "Bukankah mereka akan marah besar padanya
kalau tahu nanti?" "Oh, tentu saja," sahut Ellie, "tapi Greta tidak akan keberatan. Dia orang yang
tabah." "Apa itu tidak menyulitkan dia kalau dia hendak mencari pekerjaan lagi?"
"Untuk apa dia mencari pekerjaan lagi?" kata Ellie. "Dia akan tinggal bersama
kita." "Tidak!" kataku.
"Apa maksudmu tidak, Mike?"
"Bukankah kita tidak mau siapa pun tinggal dengan kita," kataku.
"Greta tidak akan merecoki kita," kata Ellie, "dan dia pasti akan sangat berguna
nanti. Sungguh, aku tidak tahu mesti bagaimana tanpa dirinya. Maksudku, dialah
yang mengatur segalanya bagiku."
Aku mengerutkan dahi. "Kurasa aku tidak akan menyukainya. Lagi pula, kita ingin
punya rumah sendiri - rumah idaman kita. Bukankah kita ingin tinggal sendirian
di dalamnya, Ellie?"
"Ya," kata Ellie, "aku mengerti maksudmu. Tapi masalahnya..." Ia ragu-ragu.
"Maksudku, Greta pasti sulit mencari tempat tinggal lain.
Lagi pula, dia sudah bersamaku dan melakukan segalanya untukku selama bertahun-
tahun. Coba liliat bagaimana dia telah menolongku, hingga aku bisa menikah dan
bepergian seperti ini."
"Aku tidak mau dia merecoki hubungan kita terus!"
"Tapi dia bukan orang seperti itu, Mike. Kau bahkan belum pernah berjumpa
dengannya." "Memang belum, tapi... tapi itu tidak ada hubungannya dengan...
dengan apakah aku menyukainya atau tidak. Aku hanya ingin kita berdua saja,
Ellie." "Mike sayang," kata Ellie dengan lembut.
Kami membiarkan masalah tersebut sampai di situ, untuk sementara.
Selama perjalanan melancong kami, kami telah bertemu Santonix.
Tepatnya di Yunani. Ia tinggal di sebuah pondok nelayan kecil di dekat laut. Aku
kaget sekali melihat kondisinya, jauh lebih parah daripada setahun yang lalu. Ia
menyambut Ellie dan aku dengan hangat sekali.
"Kalian berhasil juga akhirnya," katanya.
"Ya," sahut Ellie, "dan sekarang kami akan membangun rumah kami."
"Aku sudah punya gambar denahnya untuk kalian di sini, rancangannya," Santonix
berkata padaku. "Dia sudah bercerita padamu, bukan, bagaimana dia datang
mengunjungiku dan menarikku, kemudian memberikan... perintahnya," katanya lagi,
memilih kata yang tepat dengan serius.
"Oh! Bukan perintah," bantah Ellie. "Aku hanya memohon."
"Kau tahu kami sudah membeli properti itu?" tanyaku.
"Ellie mengirimiku telegram dan mengatakannya padaku. Dia juga mengirimiku,
selusin foto." "Tapi kau tetap harus datang dan melihatnya langsung," kata Ellie.
"Mungkin saja kau tidak menyukai tempat itu."
"Aku sangat menyukainya."
"Mana mungkin kau tahu kalau belum melihatnya sendiri."
"Tapi aku sudah melihatnya, anakku. Aku terbang ke sana lima hari yang lalu. Aku
bertemu dengan salah seorang pengacaramu yang berwajah kaku di sana - yang orang
Inggris itu." "Mr. Crawford?"
"Itu dia. Malah pekerjaan awalnya sudah dimulai di sana: membersihkan lahan,
membuang puing-puing rumah tua itu, mendirikan fondasi - saluran-saluran. Kalau
kau pulang ke Inggris nanti, aku akan ada di sana untuk menemuimu." Santonix
mengeluarkan rancangannya dan kami duduk mengobrol,
memandangi bakal rumah kami. Ia juga sudah membuat sketsa cat air kasar dari
rumah itu, dan struktur arsitektur serta denahnya.
"Kau menyukainya, Mike?"
Aku menarik napas panjang.
"Ya," kataku, "ini dia. Betul-betul seperti yang kubayangkan."
"Kau dulu suka sekali membicarakannya, Mike. Kalau kupikir-pikir, tanah itu
sudah menyihirmu. Kau jatuh cinta pada sebuah rumah yang mungkin takkan pernah
kaumiliki, takkan pernah kaulihat, bahkan mungkin takkan pernah dibangun."
"Tapi sekarang kami akan membangunnya," kata Ellie. "Rumah kami akan dibangun..
bukan?" "Kalau Tuhan atau setan merestuinya." sahut Santonix. "Dibangun atau tidak,
bukan tergantung padaku."
"Kau tidak lebih... baikan?" tanyaku ragu.
"Camkan ini di kepalamu yang bebal. Aku tidak akan pernah sembuh. Tidak ada kata
itu dalam kamus hidupku sekarang ini."
"Omong kosong," kataku. "Zaman sekarang banyak penyembuhan baru ditemukan.
Dokter memang suka sok tahu. Mereka seenaknya bilang umur seseorang tidak bakal
panjang lagi, tapi orang itu cuma tertawa, tidak mengindahkan omongan si dokter,
dan dia hidup lima puluh tahun lagi."
"Aku mengagumi optimismemu, Mike, tapi penyakitku tidak seperti itu. Mereka
menyuruhku ke rumah sakit untuk cuci darah, supaya aku bisa merasakan hidup
normal sedikit lagi, supaya aku punya waktu sedikit lebih lama. Begitu
seterusnya, dan setiap kali aku bertambah lemah."
"Kau sangat tabah," kata Ellie.
"Oh, tidak, aku tidak tabah. Kalau suatu hal sudah pasti, kita tidak perlu
tabah. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencari penghiburan."
"Membangun rumah?"
"Bukan, bukan itu. Aku. sudah kehilangan tenagaku, dan karenanya membangun rumah
jadi semakin suli?" bukan semakin gampang. Tenagaku terus terkuras. Tapi ada
penghiburan lain. Kadang-kadang dalam cara yang sangat aneh malah."
"Aku tidak mengerti," kataku.
"Tidak, kau tidak akan mengerti, Mike. Aku tidak tahu apakah Ellie bisa mengerti
atau tidak. Bisa jadi dia mengerti." Santonix melanjutkan, lebih kepada dirinya
sendiri ketimbang pada kami. "Ada dua hal yang selalu berjalan bersama-sama,
berdampingan. Kelemahan dan kekuatan. Kelemahan dari semangat yang memudar, dan kekuatan dari
pikiran yang frustrasi. Sekarang ini, tidak jadi masalah apa pun yang kulakukan!
Toh aku akan mati nantinya. Jadi, aku bisa melakukan apa saja yang kuinginkan.
Tak ada yang bisa menghalangi; tak ada yang menahan. Aku bisa menyusuri jalanan-
jalanan Athena dan menembaki siapa saja di sana yang wajahnya tidak kusukai.
Coba pikirkan itu." "Tapi polisi bisa menangkapmu," kataku.
"Tentu saja mereka bisa menangkapku. Tapi apa yang bisa mereka lakukan" Paling-
paling menembak mati diriku. Nah, tak lama lagi hidupku toh akan direnggut oleh,
kekuatan yang jauh lebih besar dani sekadar hukum suatu negara. Apa lagi yang
bisa mereka lakukan" Mengirirnku ke penjara selama dua puluh tahun" Tiga puluh
tahun" Agak ironis, bukan" Aku tak punya waktu untuk menjalani hukuman penjara
selama dua puluh atau tiga puluh tahun. Enam bulan - satu tahun - delapan belas
bulan paling lama. Tak seorang pun bisa membantuku. Jadi, dalam rentang waktu
yang masih tersisa ini, aku adalah raja. Aku bisa melakukan apa saja yang
kusukai. Kadang-kadang kupikir ini hebat sekali. Hanya... hanya saja tidak banyak
godaannya, karena tak ada satu pun hal eksotis atau.
melanggar hukum yang ingin kulakukan."
Setelah kami meninggalkan Santonix kembali ke Athena, Ellie berkata padaku.
"Santonix itu aneh. Kadang-kadang aku takut padanya."
"Takut pada Rudolf Santonix - mengapa?"
"Sebab dia tidak seperti orang-orang lainnya, dan ada apa ya" -
ada sikap tega dan sombong dalam dirinya. Kupikir dia tadi berusaha mengatakan
pada kita, bahwa karena tahu dirinya akan segera mati, dia jadi makin sombong,
misalkan," kata Ellie sambil menatapku dengan penuh semangat, matanya berbinar
penuh emosi, "misalkan dia membangun sebuah istana yang sangat indah bagi kita,
rumah kita yang cantik di atas tebing bertepi pohon-pohon pinus, misalkan kita
akan tinggal di dalamnya. Lalu Santonix menyambut kita di ambang pintu,
mempersilakan kita masuk, dan... "
"Ya, Ellie?" "Kemudian, misalkan dia membuntuti kita, menutup pintu pelan-pelan di belakang
kita, dan mengorbankan kita di sana. Menggorok leher kita atau sejenisnya."
"Kau membuatku takut Ellie. Bagaimana kau bisa punya pikiran seperti itu!"
"Masalahnya, Mike, kau dan aku tidak hidup di dunia nyata. Kita memimpikan hal-
hal fantastis yang mungkin tak pernah terjadi."
"Jangan menghubungkan pemikiran tentang pengorbanan seperti itu dengan Gipsy's
Acre." "Kurasa ini gara-gara namanya, juga kutukan yang ada di sana."
"Tidak ada kutukan apa-apa," teriakku. "Semuanya omong kosong. Lupakan saja."
Waktu itu kami berada di Yunani.
10 Kurasa kejadian berikut terjadi sehari sesudahnya. Kami sedang berada di Athena.
Tiba-tiba, di atas anak tangga menuju Acropolis, Ellie bertemu dengan orang-
orang yang dikenalnya. Mereka
penumpang kapal pesiar Hellenic yang saat itu sedang berlabuh.
Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahunan memisahkan diri darl
kelompoknya dan buru-buru menaiki anak tangga, mengejar Ellie sambil berteriak,
"Astaga, sungguh tak kusangka. Kau Ellie Guteman, bukan" Nah, apa yang
kaulakukan di sini" Apa kau ikut kapal pesiar juga?"
"Tidak," kata Ellie, "aku kebetulan sedang tinggal di sini."
"Oh, senang sekali bisa bertemu denganmu. Bagaimana kabar Cora" Apa dia juga di
sini?" "Tidak, Cora ada di Salzburg, kurasa."
"Nah, nah." Wanita itu memandangiku, dan Ellie berkata pelan,
"Mari kuperkenalkan - Mr. Rogers, Mrs. Bennington."
"Apa kabar" Sudah berapa lama kau di sini?"
"Aku pergi besok," kata Ellie.
"Oh, astaga! Aku bisa kehilangan kelompokku kalau tidak cepat-cepat menyusul.
padahal aku tidak mau ketinggalan satu kata pun dari cerita tentang Acropolis
ini. Kau tahu, mereka suka terburu-buru.
Akibatnya aku capek sekali kalau malam. Ada kemungkinan kita bisa minum sama-
sama?" "Tidak hari ini," kata Ellie, "kami akan pergi bertamasya."
"Mrs. Bennington buru-buru menggabungkan diri dengan
kelompoknya. Ellie, yang tadi menaiki anak tangga Acropolis bersama-sama
denganku, membalikkan badan dan turun.
"Kalau sudah begini, terpaksa aku buka kartu sekarang. Ya, tidak?" katanya
padaku. "Buka kartu bagaimana?"
Ellie tidak menyahut selama beberapa saat, kemudian berkata sambil mengeluh,
"Aku harus menulis surat malam ini."
"Menulis pada siapa?"
"Oh, pada Cora dan Paman Frank, kurasa, juga Paman Andrew."
"Siapa Paman Andrew" Aku belum pernah mendengar namanya."
"Andrew Lippincott. Bukan pamanku yang sesungguhnya. Dia wali utamaku, atau
penjaga, atau pengawas, terserah padamu. Dia seorang pengacara - pengacara
terkenal." "Apa yang akan kaukatakan?"
"Aku akan mengatakan pada mereka bahwa aku sudah menikah.
Aku tak bisa dengan tiba-tiba mengatakan pada Nora Bennington,
'Mari kukenalkan pada suamiku.' Bisa-bisa dia menjerit kaget dan berteriak, 'Aku
tidak tahu kau sudah menikah. Coba ceritakan padaku, Sayang,' dan seterusnya,
dan seterusnya, dan seterusnya.
Sepantasnyalah kalau ibu tiriku, Paman Frank, dan Paman Andrew yang harus tahu
pertama kali." Ellie mengeluh lagi. "Oh, sudahlah, kita toh sudah menikinati
saat-saat yang sangat menyenangkan sampai saat ini."
"Apa yang akan mereka katakan atau lakukan?" tanyaku.
"Kurasa mereka akan ribut," kata Ellie dengan gayanya yang tenang. "Tidak
masalah, sebab nanti mereka pasti sadar juga. Kurasa kita harus bertemu dengan
mereka. Kita bisa pergi ke New York. Apa kau keberatan?" Ia memandangku dengan
tatapan bertanya-tanya. "Ya," kataku, "aku keberatan."
"Kalau begitu, mereka yang akan datang ke London, mungkin, atau beberapa dari
mereka. Aku tidak tahu apakah kau lebih suka begitu."
"Aku tidak menyukai semuanya. Aku hanya ingin bersamamu dan melihat rumah kita
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibangun bata demi bata begitu Santonix sampai di sana."
"Bisa saja," kata Ellie. "Yagi pula, pertemuan keluarga itu tidak akan makan
waktu lama. Mungkin satu pertengkaran hebat sudah cukup. Selesaikan semuanya
dengan satu pukulan. Jadi, pilihannya sekarang apakah kita yang terbang ke sana
atau mereka yang terbang kemari."
"Jadi katamu ibu tirimu ada di Salzburg."
"Oh, aku asal omong saja. Kedengarannya aneh kalau aku tidak tahu di mana dia
berada. Ya," kata Ellie sambil menarik napas panjang, "kita harus pulang ke
rumah dan menjumpai mereka semua. Mike, kuharap kau tidak terlalu keberatan."
"Keberatan apa - keluargamu?"
"Ya. Kamu tidak keberatan kalau mereka bersikap kasar terhadapmu?"
"Kurasa itu harga yang harus kutebus karena menikah
denganmu," kataku. "Aku akan menanggungnya."
"Bagaimana dengan ibumu?" tanya Ellie dengan serius.
"Demi Tuhan, Ellie, kau tidak akan mengatur pertemuan antara ibu tirimu yang
memakai gaun renda serta mantel bulunya dengan ibuku yang tinggal di jalan
kecil, bukan" Menurutmu apa yang bisa mereka bicarakan?"
"Kalau Cora ibu kandungku, mungkin banyak yang bisa mereka bicarakan," kata
Ellie. "Kuharap kau tidak terlalu peka terhadap perbehan latar belakang ini,
Mike!" "Aku!" kataku tercengang. "Apa istilah Amerikamu itu - aku datang dari jalur
yang salah, bukan?" "Kau tidak berniat menuliskannya di papan dan mengenakannya di lehermu, bukan?"
"Aku tidak tahu baju apa yang pantas untuk dipakai," kataku dengan pahit. "Aku
tidak tahu cara yang benar untuk berkomunikasi, dan aku sesungguhnya tidak tahu
apa-apa tentang lukisan, seni, atau musik. Aku baru belajar tentang siapa yang
mesti diberi tip dan berapa banyak."
"Iitu justru jadi lebih menggairahkan bagimu, Mike" Menurutku begitu."
"Pokoknya kau tidak boleh menyeret ibuku dalam pesta
keluargamu," kataku.
"Aku bukannya mengusulkan untuk menyeret siapa pun dalam apa pun, Mike, tapi
kupikir aku wajib mengunjungi ibumu kalau sudah kembali ke Inggris nanti."
"Tidak boleh," kataku dengan keras.
Ellie memandangku dengan agak kaget.
"Mengapa tidak boleh, Mike" Maksudku, lepas dari segala-galanya, bukankah justru
tidak sopan kalau aku tidak mengunjunginya" Apa kau sudah memberitahu ibumu
bahwa kau sudah menikah?"
"Belum." "Mengapa tidak?"
Aku tidak menyahut. "Bukankah cara yang paling gampang adalah mengatakan pada ibumu kau sudah
menikah, kemudian mengajakku mengunjunginya kalau kita sudah kemball ke
Inggris?" "Tidak," kataku lagi. Kali ini tidak terlalu keras, tapi masih tetap tegas.
"Kau tidak ingin aku berjumpa dengan ibumu," kata Ellie perlahan.
Tentu saja tidak. Kurasa hal itu sudah cukup jelas, tapi aku tak bisa
menjelaskannya. Akii tidak tahu bagaimana harus
menjelaskannya. 'Itu bukan hal yang tepat untuk dilakukan," kataku perlahan. "Kau harus
mengerti. Aku yakin akan timbul masalah kalau kau mengunjungi ibuku."
"Menurutmu ibumu tidak akan menyukaiku?"
"Semua orang sudah pasti akan menyukaimu, tapi kalau kau ke sana... oh, aku
tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Ibuku mungkin akan kecewa dan
bingung. Bagaimanapun, aku menikah di luar kelasku. Itu istilah kuno. Ibuku
tidak akan menyukainya."
Ellie menggelengkan kepalanya perlahan.
"Apa masih ada orang yang berpikiran seperti itu di zaman sekarang ini?"
"Tentu saja ada. Dan orang-orang seperti itu juga ada di negaramu."
"Ya," kata Ellie, "boleh dibilang itu benar, tapi... kalau seseorang berhasil
meraih sukses di sana..."
"Maksudmu kalau seorang laki-laki berhasil mengumpulkan banyak uang."
"Yah, bukan hanya uang."
"Ya," kataku, "hanya uang yang penting. Kalau seorang laki-laki berhasil
mendapatkan banyak uang, dia akan dikagumi dan dipandang orang. Tak seorang pun
akan peduli dari mana dia berasal."
"Yah, di mana-mana memang seperti itu," kata Ellie.
"Sudahlah, Ellie," kataku. "Jangan pergi mengunjungi ibuku."
"Aku masih tetap menganggap itu tak sopan."
"Tidak, sama sekali tidak. Tak bisakah kau percaya padaku bahwa mulah yang tahu
apa yang terbaik untuk ibuku sendiri" Ibu pasti kecewa sekali. Percayalah
padaku." "Tapi kau harus mengatakan pada ibumu bahwa kau sudah menikah."
"Baiklah," kataku. "Akan kukatakan."
Saat itu terpikir olehku bahwa cara paling mudah untuk melakukannya adalah
dengan menulis surat pada ibuku dari luar negeri. Malam itu, ketika Ellie sedang
menulis surat untuk Paman Andrew, Paman Frank, dan ibu tirinya Cora van
Stuyvesan?" aku juga menulis suratku sendiri. Pendek saja.
"Ibu," tulisku. "aku mestinya mengatakan hal ini sebelumnya, tapi aku merasa
canggung. Aku sudah menikah tiga minggu yang lalu.
Kejadiannya agak tiba-tiba. Istriku gadis yang sangat cantik dan
sangat manis. Dia anak orang kaya, dan kadang-kadang hal ini membuat segalanya
jadi tidak enak. Kami akan membangun rumah kami sendiri di suatu tempat di
Inggris. Sekarang ini kami sedang bepergian mengelilingi Eropa. Semoga Ibu baik-
baik saja. Salam, Mike."
Hasil dari surat-surat yang kami tulis malam itu agak berbeda-beda. Ibuku
sengaja membiarkan seminggu lewat sebelum akhirnya mengirimiku sepucuk surat
yang betul-betul khas dirinya.
"Mike, aku senang menerima suratmu. Kuharap kau bahagia.
Salam sayang, Ibu." Seperti sudah diramalkan Ellie, ada jauh lebih banyak keributan di pihaknya.
Kami seolah telah mengusik sarang semut. Kami dikejar-kejar para wartawan yang
menginginkan berita tentang pernikahan kami yang romantis. Ada artikel di koran-
koran tentang ahli waris Guteman dan peristiwa kawin larinya yang romantis.
Selain itu banyak surat dari bank-bank dan pengacara-pengacara. Akhirnya, kami
mengatur pertemuan resmi. Kami menemui Santonix di Gipsy's Acre, untuk melihat
rancangannya dan membicarakannya. Setelah yakin semuanya berjalan lancar, kami
pergi ke London, menginap di Claridge, dan bersiap-siap menghadapi pertarungan.
Yang pertama-tama datang adalah Sir. Andrew P. Lippincott. Ia laki-laki separuh
baya, kaku, dengan penampilan sangat rapi.
Tubuhnya jangkung dan kurus, dengan sikap halus dan sopan. Ia berasal dari
Boston, tapi dari suaranya aku sama sekali tak menyangka bahwa ia orang Amerika.
Ia mengatur pertemuan ini dengan menelepon kami di hotel jam 12 tepat. Ellie
merasa gugup, aku bisa merasakannya, meskipun ia menyembunyikan hal itu dengan
sangat baik. Mr. Lippincott memberikan ciuman pada Ellie dan mengulurkan tangan padaku sambil
tersenyum ramah. "Nah, Ellie sayang, kau kelihatan sangat sehat. Boleh dibilang ceria sekali."
"Apa kabar, Paman Andrew" Bagaimana Paman datang kemari"
Dengan pesawat terbang?"
"Tidak, aku naik kapal Queen Mary. Perjalanan yang sangat menyenangkan. Dan ini
suamimu?" "Ini Mike, ya."
Aku berusaha tampil yakin, atau merasa sudah tampil yakin. "Apa kabar, Sir?"
kataku. Kemudian kutawari dia minum, tapi ia menolaknya dengan sopan. Ia duduk
di sebuah kursi bersandaran tegak dan berlengan keemasan, sambil memandang Ellie
dan diriku dengan tetap tersenyum.
"Nah," katanya, "kalian sudah mengagetkan kami. Semuanya sangat romantis, ya?"
"Maafkan aku," kata Ellie, "Aku betul-betul menyesal."
"Masa?" kata Mr. Lippincott dengan nada datar.
"Kupikir itu cara terbaik," kata Ellie,
"Aku tidak sepenuhnya setuju dengan pendapatmu itu, Ellie."
"Paman Andrew," kata Ellie, Paman tahu betul kalau aku melakukannya dengan cara
lain, akan ada keributan yang sangat besar."
"Mengapa harus ada keributan yang sangat besar?"
"Paman tahu bagaimana mereka," kata Ellie. Paman juga begitu,"
lanjutnya lagi dengan nada menuduh. Ia meneruskan, "Aku menerima dua pucuk surat
dari Cora. Satu kemarin, dan satunya lagi tadi pagi."
"Kau harus memahami perasaannya, Sayang. Wajar saja bukan, dalam keadaan seperti
itu?" "Siapa yang kunikahi, dan bagaimana, serta di mana, adalah urusanku sendiri."
"Kau boleh saja berpikiran seperti itu, tapi kau akan tahu bahwa kaum wanita
dalam setiap keluarga jarang yang berpendapat serupa."
"Padahal aku justru bermaksud untuk tidak merepotkan siapa-siapa."
"Kau bisa bilang begitu."
"Tapi itu benar, bukan?"
"Kau telah membohongi kami semua, dengan bantuan orang yang-mestinya tahu untuk
tidak melakukan hal-hal seperti itu."
Wajah Ellie memerah. "Maksud Paman, Greta" Dia hanya melakukan apa yang
kuperintahkan padanya. Apa mereka semua memarahinya?"
"Tentu saja. Kalian berdua pasti sudah menduganya, bukan"
Ingat, Greta dipercaya untuk menjagamu."
"Aku sudah cukup umur. Aku bisa melakukan apa saja yang kusukai."
"Aku berbicara tentang saat ketika kau belum cukup umur. Kau mulai berbohong
sejak sebelumnya, bukan?"
"Anda tidak boleh menyalahkan Ellie, Sir." kataku. "Terus terang, aku mulanya
tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan karena semua sanak keluarga Ellie ada di
luar negeri, aku mengalami kesulitan untuk menemui mereka."
"Aku tahu Greta telah mengeposkan beberapa surat dan
memberikan informasi pada Mrs. van Stuyvesant dan juga padaku, seperti yang
disuruh oleh Ellie di sini, dan boleh dikatakan dia sangat pintar melakukan
pekerjaannya," kata Mr. Lippincott. "Kau sudah bertemu dengan Greta Andersen,
Michael" Boleh kupanggil kau Michael" Kau toh sudah menjadi suami Ellie."
"Tentu saja," kataku, "panggil saja Mike. Tidak, aku belum pernah bertemu Miss
Andersen...." "Masa" Sungguh mengherankan." Ia menatapku, lama dan serius.
"Kupikir paling tidak dia akan hadir dalam pernikahan kalian."
"Tidak, Greta tidak hadir," kata Ellie. Ia memandangku dengan sebal, membuatku
merasa tak enak hati. Mata Mr. Lippincott masih terus memandangiku dengan serius. Ia membuatku gugup.
Ia tampaknya hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi kemudian mengurungkannya.
"Aku khawatir," katanya lagi setelah beberapa saat, "kalau kalian berdua,
Michael dan Ellie, harus menerima, sejumlah semprotan dan kritik dari keluarga
Ellie." "Kurasa mereka akan menyerangku habis-habisan," kata Ellie.
"Sangat mungkin," kata Mr. Lippincott. "Aku sudah berusaha menghaluskan jalan
kalian," lanjutnya lagi.
"Paman Andrew memihak kami?" tanya Ellie sambil tersenyum.
"Kau tidak boleh menanyakan hal seperti itu pada seorang pengacara yang selalu
hati-hati. Aku sudah belajar bahwa dalam hidup, lebih bijaksana untuk menerima
hal-hal yang sudah fait accompli. Kalian berdua telah saling jatuh cinta dan
menikah. Dan aku tahu Ellie sudah membeli sebuah properti di Inggris Selatan,
dan mulai membangun rumah di atasnya. Jadi, kalian sudah mantap akan tinggal di
negara ini?" "Kami memang ingin membangun rumah kami di sini. Apakah Anda keberatan dengan
keinginan kami itu?" aku berkata dengan nada sedikit ketus. "Ellie sudah menikah
denganku, dan itu berarti dia warga Inggris sekarang. Jadi, mengapa dia tidak
boleh tinggal di Inggris?"
"Sama sekali tak ada alasan. Sesungguhnya sama sekali tak ada alasan mengapa
Fenella tak bisa tinggal di negara mana pun yang diinginkannya, atau memiliki
properti di lebih dari satu negara.
Rumah di Nassau itu milikmu, ingat itu, Ellie."
,"Aku selalu menganggapnya milik Cora. Dia selalu bersikap seolah-olah rumah itu
miliknya." "Tapi hak asli atas properti itu ada padamu. Kau juga punya sebuah rumah di Long
Island, kapan pun kau man mengunjunginya.
Kau pemilik dari sebagian besar properti sumber minyak di Barat."
Suara Mr. Lippincott tetap terdengar tenang dan ramah, tapi aku merasa kata-
katanya itu ditujukan padaku dengan maksud tertentu.
Apakah Ia berniat mencoba menimbulkan jurang antara aku dan Ellie" Aku, tidak
begitu yakin. Rasanya sangat tidak masuk akal, memanas-manasi seorang laki-laki
dengan kenyataan bahwa istrinya kaya-raya dan memiliki properti di seluruh
dunia. Mestinya, kalau menurut pikiranku, ia justru tidak akan membesar-besarkan
hak milik Ellie atas properti-properti itu, juga jumlah uang atau kekayaan yang
dimilikinya. Kalau aku memang pengejar kekayaan, seperti yang jelas-jelas
dianggapnya, semua perkataannya itu justru akan membakar semangatku.
Tapi aku sadar bahwa Mr. Lippincott sulit ditebak. Rasanya kita tak mungkin tahu
tujuan perkataannya - apa yang ada dalam benaknya di balik sikapnya yang tenang
dan ramah itu. Apakah Ia sedang berusaha, dengan caranya sendiri, supaya aku
merasa tak enak hati, supaya aku merasa bakal langsung dicap sebagai pengejar
kekayaan oleh semua orang"
Ia berkata pada Ellie, "Aku membawa beberapa dokumen resmi kemari, dan kau harus membacanya bersamaku,
Ellie. Aku butuh tanda tanganmu pada banyak dokumen ini."
"Ya, tentu saja, Paman Andrew. Tidak masalah."
"Seperti kaubilang, tidak ada masalah. Tak perlu buru-buru juga.
Aku masih punya urusan lain di London, dan akan tinggal di sini selama kira-kira
sepuluh hari." Sepuluh hari, pikirku. Itu lama sekali. Aku agak berharap Mr.
Lippincott tidak tinggal di sini selama sepuluh hari. Ia tampaknya cukup ramah
terhadapku, meski boleh dibilang Ia belum mengambil kesimpulan sepenuhnya atas
diriku, tapi saat itu aku bertanyatanya dalam hati, apakah ia memang musuhku.
Kalau memang ia musuhku, ia jenis orang yang tidak akan menunjukkan perasaannya itu dengan terang-
terangan. "Nah," katanya melanjutkan, "sekarang, setelah kita sudah saling bertemu dan
berkenalan, seperti katamu, untuk kepentingan masa depan, aku ingin berwawancara
sebentar dengan suamimu ini."
Ellie berkata, "Paman bisa mewawancarai kami berdua." Ellie tampak siap siaga.
Aku memegang lengannya. "Nah, nah, jangan tersinggung, Manis, kau toh bukan induk ayam yang harus
melindungi anaknya." Aku mendorongnya dengan lembut menuju pintu yang mengarah
ke kamar tidur. "Paman Andrew mau menilai diriku," kataku. "Dan itu memang sudah
haknya." Aku mendorong Ellie dengan lembut melalui pintu ganda itu.
Kututup pintu itu rapat-rapat, lalu masuk lagi ke ruang sebelah, yang merupakan
ruang duduk yang lapang dan sangat bagus. Aku mengambil kursi dan duduk
berhadap-hadapan dengan Mr.
Lippincott. "Baiklah," kataku. "Langsung saja."
"Terima kasih, Michael," katanya. "Pertama-tama aku ingin meyakinkan dirimu
bahwa aku bukan musuhmu dalam hal apa pun, tidak seperti yang mungkin kaukira."
"Yah," kataku, "aku senang mendengarnya." Pada hal aku sama sekali tidak yakin
tentang hal itu. "Biar kukatakan terus terang," kata Mr. Lippincott, "lebih terus terang daripada
yang bisa kulakukan di hadapan anak manis yang kuwakili dan sangat kusayangi
itu. Kau mungkin belum bisa menghargainya sepenuhnya, Michael, tapi Ellie gadis
yang sangat manis dan pantas disayangi."
"Tak perlu cemas. Aku memang mencintainya."
'Itu sama sekali tidak sama," kata Mr. Lippincott dengan sikapnya yang dingin.
"Kuharap, selain mencintainya, kau juga bisa menghargai betapa dia orang yang
sangat manis, dan dalam beberapa hal juga sangat rapuh."
"Akan kucoba," kataku. "Kurasa aku tak perlu berusaha keras untuk itu, karena
Ellie betul-betul hebat."
"Kalau begitu, aku akan meneruskan dengan apa yang memang hendak kukatakan
padamu. Aku akan membuka semua kartuku di meja dengan jujur. Kau bukanlah pemuda
yang kuharap akan dinikahi Ellie. Seperti yang diinginkan keluarganya, aku pun
ingin dia menikah dengan seseorang dari lingkungannya sendiri, dari golongannya
sendiri..." "Yang berkelas, dengan kata lain," kataku.
"Bukan, bukan hanya itu. Menurutku, latar belakang yang sama adalah dasar yang
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagus bagi sebuah perkawinan. Dan itu tidak ada hubungannya dengan sikap
sombong. Bagaimanapun, Herman Guteman, kakek Ellie, memulai hidupnya sebagai
seorang kuli pelabuhan. Dan berakhir dengan sukses sebagai salah seorang terkaya
di Amerika." "Yah, siapa tahu aku pun bisa seperti itu," kataku. "Bisa jadi aku berakhir
sebagai salah seorang terkaya di Inggris."
"Semuanya mungkin," kata Mr. Lippincott. "Apa kau punya ambisi ke arah itu?"
"Masalahnya bukan hanya uang," kataku. "Aku ingin... aku ingin bisa mencapai
sesuatu, melakukan sesuatu, dan..." aku ragu-ragu dan berhenti.
"Jadi, kau memang berambisi" Itu bagus sekali."
"Aku memulainya dengan tangan kosong. Memulainya tanpa apa-apa. Aku tidak
berarti dan bukan siapa-siapa, dan aku tidak mau menutupi kenyataan itu."
Mr. Lippincott mengangguk setuju.
"Perkataan yang sangat jujur dan bagus sekali. Aku
menghargainya. Nah, Michael, Aku tidak ada hubungan darah dengan Ellie, tapi aku
telah menjadi walinya, aku adalah pengawas yang ditunjuk oleh kakeknya, untuk
mengurus segala urusannya, segala kekayaan dan investasinya. Karena itu, aku
bertanggung jawab atas semua itu. Karena itu, aku ingin tahu segalanya tentang suami yang telah
dipilihnya." "Yah," kataku, "Anda bisa mencari tahu tentang aku, dan menemukan segala yang
ingin Anda ketahui."
"Betul," kata Mr. Lippincott. "Aku bisa saja memakai cara itu.
Sebuah tindakan berjaga-jaga yang bijaksana. Tapi, Michael, aku ingin tahu
segalanya tentang dirimu dari bibirmu sendiri. Aku ingin mendengar ceritamu
sendiri tentang bagaimana kehidupanmu sampai sekarang ini."
Tentu saja aku tidak menyukainya. Aku merasa Mr. Lippincott tahu bahwa aku
memang tidak menyukainya. Tak seorang pun dalam posisiku akan menyukainya. Pada
dasarnya kita cenderung berusaha agar diri kita kelihatan bagus. Aku sudah
menyimpulkan hal itu semenjak di sekolah dulu. Aku membual sedikit, mengatakan
beberapa hal yang bagus, membengkokkan kebenaran sedikit. Aku tidak merasa malu
melakukannya. Kupikir itu sudah wajar. Kupikir itu memang perlu dilakukan kalau
kita ingin maju. Membuat diri kita kelihatan bagus. Orang-orang toh selalu
menilai kita berdasarkan pandangan kita atas diri kita sendiri, dan aku tak
ingin kelihatan murahan seperti tokoh dalam sebuah novel karya Dickens. Mereka
membaca karya itu keras-keras di televisi, dan harus kuakui bahwa karya itu
bagus. Nama tokoh itu Uriah atau sejenisnya, dan ia selalu bersikap sederhana,
menggosok-gosok tangannya, membuat rencana, dan menyusun strategi di balik
sikapnya yang sederhana itu.
Aku tidak mau jadi seperti itu.
Aku selalu siap untuk membual sedikit pada teman-teman yang kujumpai, atau
menyusun cerita hidup yang menarik bagi calon majikan yang menjanjikan.
Bagaimanapun, kita semua punya sisi terbaik dan sisi terburuk dalam diri kita,
dan tak ada gunanya menunjukkan sisi terburuk itu dan menyombongkannya. Tidak,
aku selalu melakukan yang terbaik untuk diriku dalam menggambarkan segala
aktivitasku sampai saat ini. Tapi aku tak ingin melakukan hal seperti itu
terhadap Mr. Lippincott. Ia tadi tidak mengacuhkan gagasan menyewa detektif
swasta untuk menyelidiki diriku, tapi aku
tetap tidak yakin ia tidak akan melakukannya. Jadi, aku menceritakan padanya
keadaanku yang sebenarnya, tanpa embel-embel apa pun, boleh dibilang begitu.
Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga berantakan, ayahku seorang pemabuk,
meskipun ibuku orang yang baik. Ibu bekerja keras membanting tulang agar aku
dapat mempunyai pendidikan.
Aku tidak menyembunyikan kenyataan bahwa aku bagaikan batu yang bergulir,
berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Mr. Lippincott
seorang pendengar yang baik, bahkan memberi semangat kalau Anda tahu maksudku.
Beberapa kali aku tersadar bahwa ia berotak tajam. Ia hanya bertanya sekali-
sekali, atau memberi kornentar, dan kadang-kadang tanpa berpikir lagi aku
langsung mengakui atau menyangkal komentarnya itu.
Ya, aku merasa lebih baik bersikap hati-hati dan waspada. Dan setelah sepuluh
menit aku merasa lega ketika ia bersandar di kursinya dan pemeriksaan itu -
kalau bisa dibilang pemeriksaan, meski tidak terasa seperti itu - selesai.
"Kau punya sikap hidup seorang petualang, Mr. Rogers - Michael.
Bukan hal yang buruk. Coba ceritakan tentang rumah yang sedang kaubangun bersama
Ellie." "Yah," kataku, "letaknya tidak jauh dari kota bernama Market Chadwell."
"Ya," katanya, "'aku tahu di mana letaknya. Terus terang aku sudah pergi ke
tempat itu. Kemarin, tepatnya."
Aku agak kaget. Itu menunjukkan bahwa ia seorang pengacara lihai yang tahu lebih
banyak daripada yang kita duga.
"Properti itu bagus sekali," kataku membela diri, "dan rumah yang sedang kami
bangun akan menjadi rumah yang bagus. Arsiteknya bernama Santonix - Rudolf
Santonix. Aku tidak tahu apakah Anda pernah mendengar namanya, tapi..."
"Oh, ya," kata Mr. Lippincott, "dia sangat terkenal di kalangan arsitek."
"Dia pernah berkarya di Amerika juga, kurasa."
"Ya, seorang arsitek yang menjanjikan dan berbakat. Sayangnya kudengar
kesehatannya tidak bagus."
"Dia pikir dia sedang sekarat," kataku, "tapi aku tidak percaya itu.
Kurasa dia akan sembuh dan sehat kembali. Para dokter memang suka omong
sembarangan. "Kuharap optimisme itu menjadi kenyataan. Kau orang yang optimis."
"Memang, untuk Santonix."
"Mudah-mudahan semua yang kauharapkan menjadi kenyataan.
Menurutku kalian telah membeli properti yang sangat bagus,"
Aku senang mendengar ucapan pak tua itu, yang mengatakan
"kalian". Ia tidak mengungkit kenyataan bahwa Ellie sendirilah yang sebenarnya
melakukan pembelian. "Aku sudah berkonsultasi dengan Mr. Crawford..."
"Crawford?" aku mengerutkan dahi sedikit.
"Mr. Crawford dari Reece and Crawford, sebuah kantor pengacara di Inggris. Mr.
Crawford adalah anggota kantor pengacara yang melakukan transaksi pembelian itu.
Kantornya bonafid, dan kurasa properti itu berhasil mereka beli dengan harga
murah. Terus terang aku agak heran. Aku cukup mengenal harga pasaran tanah
sekarang ini di Inggris, dan aku benar-benar tidak mengerti mengapa. Kupikir Mr.
Crawford sendiri agak kaget karena berhasil membelinya dengan harga begitu
murah. Apa kau tahu sebabnya properti itu ditawarkan dengan sangat murah" Mr.
Crawford tidak memberikan keterangan apa pun mengenainya. Dia malah kelihatan
agak malu ketika aku menanyakan hal itu padanya."
"Oh, itu," kataku, "itu karena properti itu mengandung kutukan." .
"Maafkan aku, Michael. Apa katamu?"
"Kutukan, Sir," kataku menjelaskan. "Kutukan orang gipsi atau sejenisnya. Tempat
itu dikenal dengan sebutan Gipsy's Acre di sana."
"Ah. Ada ceritanya?"
"Ya. Tampaknya agak membingungkan, dan aku tidak tahu berapa banyak yang
merupakan reka-rekaan orang, dan berapa banyak cerita sebenarnya. Ada pembunuhan
atau sejenisnya di sana, bertahun-tahun silam. Seorang laki-laki dan istrinya,
dan seorang laki-laki lain. Ada yang bilang si suami menembak kedua orang
lainnya, kemudian menembak dirinya sendiri. Paling tidak, begitulah hasil
keputusan pengadilan. Tapi kemudian banyak cerita yang berkembang seputar
kejadian itu. Kurasa sebenarnya tak seorang pun tahu apa yang terjadi.
Peristiwanya sudah lama sekali. Tempat itu sudah berpindah tangan kira-kira
empat atau lima kali semenjak kejadian itu, tapi tak seorang pun yang tinggal
lama di sana." "Ah," kata Mr. Lippincott merasa tertarik, "ya, betul-betul cerita khas rakyat
Inggris." Ia memandangku dengan rasa ingin tahu. "Dan kau dan Ellie tidak takut
pada kutukan itu?" Ia mengatakannya dengan ringan, bahkan sambil tersenyum
simpul. "Tentu saja tidak," kataku. "Baik Ellie maupun aku tidak percaya pada omong
kosong seperti itu. Cerita itu justru menguntunkan, karena kami jadi bisa
membeli tanah itu dengan harga murah."
Ketika mengatakan hal itu, tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benakku. Memang
boleh dibilang itu suatu keuntungan, tapi kupikir bagi Ellie - dengan
kekayaannya yang luar biasa dan juga properti-properti lain yang dimilikinya -
bukan masalah apakah ia membeli tanah dengan harga murah ataupun mahal. Kemudian
aku berpikir lagi, tidak, aku salah. Bagaimanapun, kakeknya dulu memulai
kariernya sebagai seorang kuli pelabuhan, dan akhirnya berhasil sukses menjadi
miliuner. Semua orang dari keturunan seperti itu pasti selalu ingin membeli
dengan harga murah dan menjualnya dengan harga mahal.
"Nah, aku bukan orang yang percaya takhayul," kata Mr.
Lippincott, "dan pemandangan yang kulihat dari properti kalian betul-betul
mengagumkan." Ia ragu-ragu. "Aku hanya berharap bahwa kalau kalian sudah pindah
ke rumah kalian dan tinggal di sana, Ellie tak perlu mendengar banyak cerita
seperti itu." "Aku akan berusaha menjaganya dari cerita-cerita itu," kataku.
"Kurasa tak seorang pun akan mengatakan apa-apa padanya."
"Orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan suka sekall mengulangi cerita-
cerita seperti itu," kata Mr. Lippincott. "Dan ingat, Ellie tidak setangguh
dirimu. Michael. Dia bisa dengan mudah dipengaruhi. Hanya dalam hal-hal
tertentu. Dan itu mengingatkanku pada..." ia berhenti tanpa meneruskan apa yang
hendak dikatakannya tadi. Ia mengetuk meja dengan salah satu jarinya. "Ada hal
penting yang ingin kubicarakan denganmu. Kau tadi mengatakan belum bertemu
dengan Greta Andersen."
"Memang belum, seperti, kukatakan tadi."
"Aneh. Aneh sekali."
"Mengapa?" tanyaku ingin tahu.
"Aku yakin sekali kau seharusnya pernah berjumpa dengannya,"
katanya pelan. "Berapa banyak yang kau ketahui tentang dirinya?"
"Aku tahu dia sudah bersama Ellie selama beberapa tahun."
"Dia sudah bersama Ellie semenjak Ellie berumur tujuh belas tahun. Dia memegang
jabatan yang menuntut tanggung jawab penuh dan kepercayaan besar. Dia mula-mula
datang ke Amerika untuk menjadi sekretaris dan pendamping. Semacam pengawas bagi
Ellie kalau Mrs. van Stuyvesant ibu tirinya, sedang bepergian, dan boleh
dibilang ini sering kali dilakukannya." Ia berbicara dengan nada sengit.
"Setahuku, Greta seorang gadis baik-baik dengan referensi yang sangat bagus. Dia
campuran, Swedia-Jerman. Wajar kalau Ellie kemudian jadi sangat tergantung
padanya." "Begitulah yang kuketahui juga," kataku.
"Dalam beberapa hal, Ellie nyaris terlalu tergantung pada Greta.
Kau tidak keberatan aku mengatakannya?"
"Tidak. Mengapa harus keberatan" Sebenarnya, aku... yah, aku punya pendapat yang
sama, kadang-kadang. Greta ini dan Greta itu.
Aku jadi... yah, aku tahu ini bukan urusanku, tapi aku kadang-kadang jadi muak."
"Tapi Ellie sama sekali tak ingin memperkenalkanmu dengan Greta?"
"Yah," kataku, "agak susah menjelaskannya. Ellie mungkin pernah mengusulkannya
dengan halus satu dua kali, tapi, yah, kami terIalu asyik dengan satu sama lain.
Lagi pula, oh, aku sendiri tidak terlalu ingin bertemu dengan Greta. Aku tidak
mau berbagi Ellie dengan siapa pun."
"Begitu. Ya, aku mengerti. Dan Ellie tidak mengusulkan agar Greta hadir di pernikahan kalian?"
"Ellie mengusulkannya," kataku.
"Tapi... tapi kau tak ingin dia datang. Mengapa?",
"Entahlah. Aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa Greta - gadis atau
wanita yang tak pernah kulihat ini - selalu mengatur segala-galanya. Mengatur
kehidupan Ellie. Mengirim kartu pos dan surat dan juga membuat alasan untuk
Ellie. Dia mengatur segala acara dan mengabarkannya pada keluarga Ellie. Aku
merasa Ellie sangat tergantung pada Greta, sehingga dia membiarkan Greta
mengatur hidupnya, sehingga dia melakukan segalanya yang diinginkan Greta.
Aku... oh, maafkan aku, Mr. Lippincott, mestinya aku tidak boleh mengatakan hal-
hal ini. Menurut Ellie, aku hanya cemburu pada Greta. Aku jadi marah dan berkata
aku tak ingin Greta muncul di pernikahan kami, bahwa pernikahan itu milik kami
berdua, urusan kami sendiri dan bukan urusan slapa pun. Jadi, kami pergi ke
kantor catatan sipil, dan pegawai kantor serta juru tik di sana menjadi dua
saksi kami. Aku tahu bahwa aku telah bertindak egois karena melarang Greta
hadir, tapi aku menginginkan Ellie untuk diriku sendiri."
"Aku mengerti. Ya, aku mengerti, dan boleh kukatakan kau telah bertindak
bijaksana, Michael."
'Anda juga tidak menyukai Greta," kataku menebak.
"Kau tidak bisa mengatakan 'juga', Michael, kalau kau bahkan belum pernah
bertemu dengannya." "Memang tidak, tapi yah, maksudku kalau kita sudah mendengar banyak tentang
seseorang, kita bisa membayangkan bagaimana kira-kira orang itu. Oh aku memang
hanya cemburu. Mengapa Anda tidak suka pada Greta?"
"Ini tanpa prasangka apa-apa," kata Mr. Lippincott, "tapi kau suami Ellie,
Michael, dan aku sangat ingin Ellie bahagia. Menurutku pengaruh Greta atas diri
Ellie bukan hal yang baik. Dia terlalu banyak mengatur."
"Menurut Anda, apakah Greta akan berusaha mengacau hubungan kami?" tanyaku.
"Rasanya aku tidak berhak untuk mengatakan hal seperti itu," kata Mr.
Lippincott. Mr. Lippincott duduk sambil memandangku dengan hati-hati dan mengedip-ngedipkan
matanya, seperti kura-kura tua yang sudah keriput.
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Mr.
Lippincott yang mula-mula bicara, memilih kata-katanya dengan cermat.
"Ada usulan agar Greta Andersen tinggal bersama kalian?"
"Aku akan menentangnya," kataku.
"Ah. Jadi itu pendapatmu" Usulan itu belum diputuskan."
"Ellie memang pernah berkata begitu. Tapi kami masih pengantin baru, Mr.
Lippincott. Kami ingin... menikmati rumah kami sendirian saja. Tentu saja Greta
boleh datang dan menginap kadang-kadang.
Itu wajar saja." "Seperti kaubilang, itu wajar saja. Tapi kau sadar, mungkin, bahwa Greta akan
mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan baru. Maksudku, ini tidak ada
hubungannya dengan perasaan Ellie tentang dia, melainkan perasaan orang-orang
yang mempekerjakannya dan merasa telah dikhianati olehnya."
"Maksud Anda, Anda atau Mrs. van apa itu tidak akan
merekomendasikannya untuk pekerjaan sejenis lainnya?"
"Kemungkinan besar tidak, kecuali kalau memang diperlukan untuk keperluan hukum
semata." "Jadi, Anda pikir Greta, lebih suka datang ke Inggris dan tinggal dengan Ellie."
"Aku tidak mau membuatmu berprasangka terhadap Greta.
Bagaimanapun, semua ini hanya bayanganku saja. Aku tidak suka dengan beberapa
hal yang telah dilakukan Greta dan cara dia melakukannya. Kupikir Ellie dengan
hatinya yang dermawan itu akan sangat sedih kalau tahu bahwa peluang Greta untuk
mendapatkan pekerjaan baru kecil sekali. Dia mungkin berkeras agar Greta tinggal
bersama kalian." "Kurasa Ellie tidak akan berkeras," kataku perlahan. Tapi suaraku kedengaran
cemas, dan kurasa Mr. Lippincott menyadarinya. "Tapi apakah kami - Ellie,
maksudku - apakah Ellie tidak bisa mempensiunkan saja Greta?"
"Kami tidak mungkin melakukannya dengan terang-terangan seperti itu," kata Mr.
Lippincott. "Ada aturan tentang umur dalam hal mempensiunkan seseorang. Greta
masih muda, dan boleh kubilang sangat rupawan. Cantik jelita, tepatnya,"
lanjutnya lagi dengan suara bemada tidak setuju dan mengkritlk. "Dia sangat
menarik bagi kaum pria."
"Yah, mungkin dia akan menikah," kataku. "Kalau dia memang seperti kata Anda,
mengapa dia tidak menikah sampai sekarang?"
"Kurasa ada beberapa laki-laki yang tertarik padanya, tapi Greta tidak berminat.
Kupikir gagasan itu sangat masuk akal, dan bisa dilaksanakan dengan cara
sedemikian rupa agar tidak melukai perasaan siapa pun. Dan rasanya juga cukup
wajar kalau Ellie, yang sudah mewarisi sebagian besar kekayaannya dan menikah
berkat bantuan Greta, memberikan sejumlah uang padanya sebagai tanda terima
kasih." Mr. Lippincott mengucapkan dua kata terakhir itu dengan nada sekecut
jeruk limau. "Nah, semuanya beres kalau begitu," kataku dengan riang.
"Sekali lagi aku melihat bahwa kau orang yang optimis. Mari kita berharap Greta
mau menerima apa yang akan ditawarkan padanya."
"Mengapa tidak mau" Dia pasti gila kalau menolaknya.'.'
"Entahlah," kata Mr. Lippincott. "Menurutku, pasti sangat luar biasa kalau Greta
sampai menolaknya, tapi tentu saja mereka akan tetap berhubungan sebagai teman."
"Anda pikir - bagaimana sebenarnya menurut Anda?"
"Aku ingin pengaruhnya atas diri Ellie diakhiri sama sekali," kata Mr.
Lippincott. Ia berdiri. "Kuharap kau mau membantuku melakukan segala yang bisa
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kulakukan untuk mencapai hal itu?"
'Anda bisa mempercayaiku," kataku. 'Aku tidak mau Greta merecoki hubungan kami
sepanjang waktu." "Kau mungkin akan berubah pikiran setelah bertemu dengannya,"
kata Mr. Lippincott. "Kurasa tidak," kataku. "Aku tidak suka wanita yang suka memerintah, biarpun
mereka sangat efisien atau bahkan cantik jelita."
"Terima kasih, Michael, karena telah mendengarkan dengan begitu saban Kuharap
kau man makan malam bersamaku, kau dan Ellie.
Mungkin malam Selasa besok" Cora van Stuyvesant dan Frank Barton akan berada di
London waktu itu." 'Dan aku harus bertemu mereka, kurasa?"
"Oh, ya, itu tak bisa dihindari." Mr. Lippincott tersenyum padaku, dan kali ini
senyumnya tampak lebih tulus ketimbang sebelumnya.
"Tenang saja," katanya. "Cora, kurasa, akan bersikap sangat kasar terhadapmu.
Frank tidak akan mengacuhkanmu. Reuben belum akan muncul."
Aku tidak tahu siapa Reuben - seorang kerabat lain, kurasa.
Aku berjalan menuju pintu penghubung dan membukanya. "Nah, Ellie," kataku,
"pemeriksaannya sudah selesai."
Ellie masuk kembali ke ruangan itu dan memandangi aku dan Lippincott bergantian,
kemudian ia berjalan ke arah Lippincott dan memberikan ciuman.
"Paman Andrew," katanya. "Bisa kulihat bahwa Paman telah bersikap baik pada
Michael." "Nah, sayangku, kalau aku tidak bersikap baik pada suamimu, besok-besok kau
tidak akan mau memakai jasaku lagi, bukan" Tapi aku tetap berhak memberikan
nasihat dari waktu ke waktu. Kau masih sangat muda, kau tahu, kalian berdua."
"Baiklah," kata Ellie, "kami akan mendengarkannya dengan sabar."
"Sekarang, sayangku, aku ingin bercakap-cakap denganmu sebentar, kalau boleh."
"Giliranku keluar," kataku,' dan aku berjalan menuju kamar tidur di sebelah.
Aku menutup pintu ganda itu dengan keras, tapi kemudian membuka bagian dalamnya
lagi setelah masuk. Aku memang tidak diajar untuk bersikap terhormat seperti
Ellie, jadi aku merasa agak cemas kalau-kalau Mr. Lippincott bermuka dua. Tapi
sesungguhnya aku tak perlu merasa cemas. Mr. Lippincott hanya memberikan
sepatah-dua patah nasihat pada Ellie. Ia berkata Ellie harus sadar bahwa aku
mungkin akan mengalami kesulitan sebagai seorang laki-laki miskin yang menikah
dengan seorang wanita kaya raya, dan kemudian ia melanjutkan tentang usulnya
agar Ellie memberikan sejumlah uang yang layak bagi Greta. Ellie segera
menyetujuinya, dan berkata bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan hal itu pada Mr.
Lippincott. Mr. Lippincott juga mengusulkan pada Ellie agar memberikan uang
tambahan bagi Cora van Stuyvesant.
"Sama sekali tak ada alasan apa pun bagimu untuk
melakukannya," kata Mr. Lippincott. "Jumlah tunjangan yang diperolehnya dari
perceraian dengan beberapa suaminya sudah lebih dari cukup. Selain itu, dia juga
memperoleh pendapatan dari dana
warisan yang diberikan kakekmu, meskipun jumlahnya tidak terlalu besar."
"Tapi menurut Paman aku sebaiknya memberikan lebih banyak uang padanya?"
"Sebenarnya tak ada kewajiban hukum atau moral untuk
melakukannya. Tapi kupikir kalau kau melakukannya, dia tidak akan terlalu
merepotkanmu, atau terialu cerewet padamu. Aku akan membuatnya dalam bentuk
kenaikan pendapatan, yang bisa kauubah kapan Saja. Kalau kau mendapati dia
menyebarkan gosip jahat tentang Michael, atau dirimu, atau kehidupan kalian, dan
dia tahu kau punya hak untuk mengurangi penghasilannya, setidaknya lidahnya,
akan lebih waspada sebelum melontarkan kata-kata beracun yang sudah menjadi
keahliannya." "Sejak dulu Cora membenciku," kata Ellie. "Aku tahu itu." Ia melanjutkan dengan
agak malu-malu, "Kau menyukai Mike, bukan, Paman Andrew?"
"Kupikir dia pemuda yang sangat menarik," kata Mr. Lippincott.
"Dan aku bisa mengerti mengapa kau menikah dengannya."
Kurasa itu pujian terbaik yang bisa kuperoleh. Aku bukan tipe yang disukainya,
dan aku tahu itu. Aku menutup pintu dengan perlahan, dan sebentar kemudian Ellie
muncul untuk menjemputku.
Kami berdua sedang berpamitan pada Lippincott, ketika terdengar ketukan di pintu
dan seorang pesuruh hotel muncul membawa telegram. Ellie menerimanya dan
membukanya. Ia menjerit kecil kegirangan.
"Ini dari Greta," katanya. "Dia akan tiba di London malam ini, dan akan menemui
kita besok. Bagus sekali." Ia memandang kami berdua. "Bukankah demikian?"
tanyanya. Ia melihat dua wajah kecut dan mendengar dua suara sopan berkata, yang satu,
"Ya, Sayang," dan satunya lagi, "Tentu saja."
11 Aku pergi keluar untuk berbelanja keesokan paginya, dan kembali ke hotel agak
lambat dari yang kurencanakan. Kudapati Ellie berada di ruang duduk, di
hadapannya duduk seorang wanita muda yang jangkung dan berambut pirang. Greta.
Mereka berdua sedang asyik mengobrol.
Sejak dulu aku tidak pandai menggambarkan seseorang, tapi aku akan berusaha
sebisanya untuk menggambarkan Greta.
Bagaimanapun, tak seorang pun akan menyangkal bahwa Greta, seperti pernah
dikatakan Ellie, adalah wanita yang sangat cantik dan, seperti dikatakan Mr.
Lippincott dengan berat hati, sangat rupawan.
Kedua hal itu tidak sama persis. Kalau kita mengatakan seorang wanita rupawan,
itu tidak berarti kita sendiri mengaguminya. Dan menurutku Mr. Lippincott tidak
mengagumi Greta sama sekali.
Bagaimanapun, kalau Greta berjalan melintasi ruangan, masuk ke dalam hotel atau
restoran, semua kepala laki-laki di sana akan berpaling memandangnya. Ia tipe
wanita Nordic, dengan rambut keemasan seperti warna jagung. Ia menyanggul
rambutnya tinggi-tinggi, seperti model yang populer saat itu, bukan
membiarkannya tergerai di kanan-kiri wajahnya seperti gaya Chelsea. Ia tampak
seperti asal-usulnya - Swedia atau Jerman utara. Kalau ia mengenakan sepasang
sayap, ia bisa menghadiri pesta kostum sebagai Valkyrie. Matanya berwarna biru
cerah, dan lekuk-lekuk tubuhnya mengagumkan sekali. Pokoknya harus diakui bahwa
Greta betul-betul menarik!
Aku mendekat ke tempat mereka duduk dan menggabungkan diri, menyapa mereka
dengan sikap yang kuharap tampak ramah dan wajar, meski aku merasa agak kikuk.
Sejak dulu aku memang tidak pintar berakting. Ellie segera berkata,
"Akhirnya, Mike, ini Greta."
Aku berkata bahwa aku sudah menebaknya. Wajahku terasa agak kaku dan tidak
kelihatan gembira. Aku berkata,
"Senang sekali bisa bertemu denganmu akhirnya, Greta."
Ellie berkata, "Seperti sangat kauketahui, kalau bukan karena Greta, kita tak mungkin bisa
menikah." "Yah, tapi kita pasti bisa menemukan cara lain," kataku.
"Tidak, sebab keluargaku pasti akan langsung menyerang kita dengan membabi buta.
Mereka pasti akan memutuskan hubungan kita. Coba ceritakan, Greta, bagaimana
sikap mereka setelah tahu aku menikah?" tanya Ellie. "Kau belum menceritakannya
sama sekali padaku di surat."
"Aku memang tidak mau," kata Greta, "maksudku menuliskan-hal-hal seperti itu
pada sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu."
"Tapi apa mereka marah besar padamu?"
"Tentu saja! Menurutmu sendiri bagaimana" Tapi aku sudah siap menghadapinya,
percayalah." "Apa yang telah mereka katakan atau lakukan?"
"Segalanya yang bisa mereka lakukan," kata Greta dengan riang.
"Tentu saja, dimulai dengan memecatku."
"Ya, kurasa itu tak bisa dihindari. Tapi... tapi apa yang telah kaulakukan"
Bagaimanapun, mereka tak bisa menolak memberimu referensi."
"Bisa saja. Lagi pula, dari sudut pandang mereka, jabatanku adalah suatu posisi
dengan kepercayaan tinggi, dan aku telah menghancurkannya." Ia melanjutkan, "Dan
aku juga senang melakukannya."
"Lalu, apa yang kaulakukan sekarang?"
"Oh, aku sudah punya pekerjaan baru."
"Di New York?" "Tidak. Di sini, di London. Menjadi sekretaris."
"Tapi apakah kau baik-baik saja?"
"Ellie sayang," kata Greta, "bagaimana aku bisa tidak baik-baik saja setelah
menerima cekmu yang dermawan itu, yang kaukirimkan untuk mengantisipasi apa yang
akan terjadi setelah balonku mengangkasa?"
Bahasa Inggris Greta bagus sekali, nyaris tanpa aksen, meski ia suka menggunakan
istilah-istilah percakapan yang kadang-kadang tidak tepat.
"Aku sudah jalan-jalan ke luar negeri, mendapat pekerjaan dan tempat tinggal di
London, dan membeli banyak barang juga."
"Mike dan aku juga sudah membeli banyak barang," kata Ellie, sambil tersenyum
mengingat-ingat hal itu. Memang benar. Kami telah memuaskan diri dengan berbelanja di banyak negara
Eropa. Sungguh menyenangkan punya banyak uang untuk dibelanjakan, tanpa beban
atau hambatan. Bahan gorden dan kursi di Italia untuk rumah kami. Kami juga
membeli lukisan-lukisan di Italia dan Paris, dan membayar mahal sekali. Sebuah
dunia baru serasa telah terbuka untukku, sebuah dunia yang tak pernah kuimpikan
sebelumnya telah membentang di hadapanku.
"Kalian berdua tampak sangat bahagia," kata Greta.
"Kau belum melihat rumah kami," kata Ellie. "Rumah kami akan jadi rumah yang
sangat indah. Persis seperti yang kami cita-citakan, bukankah begitu, Mike?"
"Aku sudah melihatnya," kata Greta. "Hari pertama aku sampai di Inggris, aku
menyewa mobil dan pergi ke sana."
"Bagaimana?" tanya Ellie.
Aku juga bertanya, "Bagaimana?"
"Menurutku...," kata Greta sambil menimbang-nimbang. Ia menelengkan kepalanya
dari kiri ke kanan. Ellie tampak tegang, betul-betul terkejut. Tapi aku tak bisa dibohongi. Aku
segera melihat bahwa Greta sedang mempermainkan
kami. Terlintas dalam pikiranku bahwa caranya mempermainkan kami tidak lucu sama
sekali, tapi pikiran itu tak sempat tertanam lama-lama. Greta tertawa terbahak-
bahak, suara tawanya melengking merdu, membuat orang-orang di sekeliling kami
menoleh dan memandang kami.
"Kalian harus melihat tampang kalian tadi," katanya, "terutama kau, Ellie. Aku
tidak tahan tadi untuk tidak menggoda kalian sedikit.
Rumah kalian betul-betul indah. Orang itu memang jenius."
"Ya," kataku, "dia memang luar biasa. Tunggu sampai kau bertemu dengannya."
"Aku sudah bertemu dengannya," kata Greta. "Dia kebetulan ada di sana wakta aku
datang. Ya, dia memang orang yang luar biasa.
Agak menakutkan, bukan?"
"Menakutkan?" kataku kaget. "Dalam hal apa?"
"Oh, entahlah. Dia seolah-olah bisa melihat menembus diri kita -
melihat apa yang ada di balik kita. Rasanya sangat tidak nyaman."
Kemudian ia melanjutkan, 'Dia tampak agak sakit."
"Dia memang sakit. Sakit parah," kataku.
"Sayang sekali. Apa sih penyakitnya" TBC atau sejenisnya?"
"Tidak," kataku, "kurasa bukan TBC. Pokokrtya ada hubungannya dengan... oh,
darah." "Oh, begitu. Dokter zaman sekarang bisa menyembuhkan apa saja, bukan, kecuali
kalau kita keburu mati di tangan mereka. Jangan bicara soal itu lagi. Mari kita
bicara tentang rumah kalian. Kapan selesainya?"
"Kurasa tak lama lagi, kalau melihat tahap perkembangannya sekarang. Tak kukira
membangun rumah bisa begitu cepat," kataku.
"Oh, kata Greta sambil lalu, "itu kan hanya masalah uang. Mereka bekerja dua
puluh empat jam sehari dan mendapat bonus - begitulah pokoknya. Kau tidak
menyadari, Ellie, betapa senangnya bisa memiliki uang sebanyak itu sendirian."
Tapi aku menyadarinya. Aku sudah belajar, belajar banyak pada minggu-minggu
terakhir ini. Setelah pernikahanku, aku melangkah ke sebuah dunia yang betul-
betul berbeda, dan ternyata dunia itu bukanlah dunia yang sering kubayangkan
dulu, ketika aku masih berada di luarnya. Sejauh ini, dalam hidupku, menang
taruhan ganda adalah peruntungan terbesar yang pernah kudapatkan. Segepok uang
yang kuterima dan langsung kuhabiskan lagi dalam taruhan besar lainnya.
Kampungan, tentu. saja. Ciri kelasku. Tapi dunia Ellie berbeda. Kemewahannya
bukan seperti yang dulu kubayangkan-kemewahan yang makin mewah dan makin mewah.
Kemewahan dunia Ellie bukan berarti kamar mandinya lebih besar, rumahnya lebih
megah, lampunya lebih terang dan banyak, makanannya lebih mewah, dan mobilnya
lebih cepat. Masalahnya bukan menghabiskan uang hanya demi keinginan
menghabiskan uang dan memamerkannya pada orang-orang. Sebabnya, konsep
kemewahannya justru sederhana - jenis kesederhanaan yang muncul kalau kita sudah
tidak lagi berminat menghamburkan uang hanya karena ingin menghamburkan uang.
Kita tak ingin mempunyai tiga kapal pesiar atau empat mobil, kita juga tak bisa
makan lebih dari tiga kali sehari, dan kalau kita membeli lukisan yang sangat
mahal, mungkin kita hanya ingin satu lukisan saja untuk dipajang. Pokoknya
sesederhana itu. Hanya saja, apa pun yang kita miliki pastilah yang terbaik
dalam golongannya, bukan semata-mata karena jenis itu yang terbaik, tapi karena
kita mampu membeli apa pun kalau kita menyukai atau menginginkan sesuatu. Kita
tak perlu berkata, "Saya rasa saya tak mampu membelinya." Jadi, entah bagaimana
kadang-kadang hal seperti itu justru memunculkan suatu kesederhanaan yang tidak
kumengerti. Waktu itu kami sedang mempertimbangkan untuk membeli sebuah lukisan
impresionis Prancis, karya Cezanne, kurasa begitulah namanya. Aku harus
mempelajari nama itu dengan hati-hati. Aku selalu keliru dengan tzigane, yang
kurasa berarti orkestra kaum gipsi. Setelah itu, ketika kami sedang berjalan-
jalan di sepanjang jalanan kota Venice, Ellie tiba-tiba berhenti untuk melihat-
lihat karya para seniman jalanan. Secara keseluruhan, hasil lukisan mereka untuk
para turis itu jelek sekali. Sederet lukisan wajah
menyengir dengan gigi berkilauan dan rambut pirang jatuh ke pundak.
Kemudian Ellie membeli sebuah lukisan yang sangat kecil, yang menggambarkan
sekilas pemandangan melalui sebuah kanal. Laki-laki yang melukisnya memandangi
kami, dan akhirnya Ellie membeli lukisannya seharga 6 pound dalam uang Inggris.
Lucunya aku tahu betul bahwa keinginan Ellie untuk memiliki lukisan seharga 6
pound itu sama besarnya dengan ketika ia membeli lukisan Cezanne itu.
tadi. Hal yang sama terjadi pada suatu hari di Paris. Tiba-tiba Ellie berkata padaku,
"Mari kita beli sebatang roti Prancis yang betul-betul segar, kita makan dengan
mentega dan keju serta daun selada - pasti asyik rasanya."
Kami melakukannya, dan kurasa Ellie jauh lebih menikmatinya ketimbang makan
malam yang kami santap malam sebelumnya, yang harganya sekitar 20 pound dalam
uang Inggris. Mulanya aku tidak mengerti, tapi kemudian aku mulai memahami.
Anehnya, sekarang aku mulai bisa mengerti bahwa menikah dengan Ellie tidak
berarti hanya bersenang-senang dan bermain-main. Aku harus mengerjakan PR juga,
aku harus belaJar bagaimana masuk ke restoran, memesan makanan yang pantas dan
memberikan tip yang benar, dan kapan aku harus memberikan tip lebih dari
biasanya. Aku harus menghafalkan minuman apa yang cocok dengan makanan apa. Aku
harus mempelajari semua itu dengan cara mengamati.
Aku tak bisa bertanya pada Ellie, sebab ia tak mungkin mengerti.
Ia pernah berkata, "Tapi, Mike sayang, kau bisa memesan apa pun yang kausukai.
Siapa peduli kalau si pelayan menganggap kau seharusnya memesan jenis anggur
tertentu untuk makanan tertentu?" Hal itu memang tidak penting bagi Ellie,
karena ia sudah biasa menghadapinya, tapi bagiku penting karena aku tak bisa
melakukan apa saja yang kusukai. Aku kurang luwes. Dalam berpakaian pun
demikian. Tapi Ellie lebih bisa membantu dalam hal
ini, karena ia lebih memahami. Ia hanya membimbingku ke tempat yang cocok dan
menyuruhku membuat repot semua orang.
Tentu saja penampilanku dan caraku membawa diri belum sepenuhnya sempurna. Tapi
itu tidak penting. Pokoknya aku sudah bisa mengira-ngira, dan itu sudah cukup,
supaya aku bisa bercakap-cakap dengan pantas bersama si tua Lippincott, dan
sebentar lagi, menurut dugaanku, dengan ibu tiri Ellie dan paman-pamannya kalau
mereka datang, walau sesungguhnya hal itu sama sekali tidak penting di masa yang
akan datang. Kalau rumah kami sudah selesai dan kami sudah pindah ke dalamnya,
kami akan jauh dari siapa-siapa. Rumah itu akan menjadi istana kami. Aku
memandang Greta yang duduk di seberangku. Aku ingin tahu pendapatnya yang
sesungguhnya tentang rumah kami. Pokoknya, rumah itu rumah impianku. Aku sangat
puas dengannya. Aku ingin bisa menyetir mobil ke sana, melalui jalanan pribadi
dengan pepohonan di kiri-kanannya.
Jalanan itu menuju sebuah ceruk kecil yang akan menjadi pantai pribadi kami, dan
tak seorang pun bisa datang ke sana melalui jalan lain. Rasanya pasti seribu
kali lebih menyenangkan berenang di laut di sana. Seribu kali lebih menyenangkan
daripada berada di pantai yang dipenuhi ratusan tubuh yang berjemur. Aku tidak
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menginginkan hal-hal mewah yang tidak masuk akal. Aku ingin - kata-kata itu
lagi, kata-kataku sendiri - aku ingin, aku ingin... bisa kurasakan perasaan itu
menjalari diriku. Aku menginginkan seorang wanita yang menyenangkan dan sebuah
rumah yang menyenangkan, yang berbeda dari rumah orang-orang lain. Aku ingin
rumahku yang indah itu dipenuhi barang-barang yang menyenangkan - barang-barang
milikku sendiri. Segalanya akan menjadi milikku.
"Dia sedang memikirkan rumah kami," kata Ellie.
Rasanya Ellie sudah dua kali mengusulkan padaku bahwa kami lebih baik pergi ke
ruang makan sekarang. Aku memandangnya dengan sayang.
Malam itu, ketika kami sedang bersiap-siap keluar untuk makan malam, Ellie
berkata dengan agak ragu-ragu,
"Mike, kau... kau menyukai Greta, bukan?"
"Tentu saja," kataku.
"Aku tidak tahan kalau kau sampai tidak menyukainya."
"Tapi aku suka padanya," bantahku. "Kenapa kau mengira aku tidak menyukainya?"
"Aku tidak begitu yakin. Mungkin karena kau nyaris tidak memandangnya, bahkan
saat sedang berbicara dengannya."
"Yah, kurasa itu karena... yah, karena aku merasa gugup."
"Gugup terhadap Greta?"
"Ya, dia membuatku agak terperangah."
Kukatakan pada Ellie bahwa menurutku Greta tampak seperti Valkyrie.
"Tidak segagah Valkyric sesungguhnya," kata Ellie sambil tertawa.
Kami berdua tertawa dan aku berkata, "Kau bisa bilang begitu karena kau sudah
mengenalnya bertahun-tahun. Tapi dia agak... yah, maksudku dia sangat efisien
dan prakus, juga anggun." Kata-kata yang kuucapkan dengan susah payah itu
rasanya tidak tepat semuanya. Lalu aku berkata dengan tiba-tiba, "Aku merasa...
aku merasa tersisih olehnya."
"Oh, Mike!" Ellie betul-betul merasa tak enak hati. "Aku tahu aku dan Greta tadi
mengobrol panjang-lebar. Kami asyik dengan lelucon atau cerita lama dan
sejenisnya. Kurasa... ya, kurasa itu pasti membuatmu sedikit tidak enak. Tapi
kalian pasti akan cepat berteman. Dia menyukaimu. Dia sangat menyukaimu. Dia
berkata begitu padaku."
"Dengar, Ellie, dia pasti akan mengatakan begitu padamu."
"Oh, tidak. Greta orang yang sangat terus terang. Kau sudah mendengarnya
sendiri. Hal-hal yang dikatakannya pada kita tadi siang."
Memang benar, Greta tidak memilah kata-katanya selama makan siang tadi. Ia
berkata, lebih kepadaku, daripada ke, Ellie.
"Pasti kadang-kadang kau menganggap aneh, caraku mendukung Ellie, padahal aku
belum pernah bertemu denganmu. Tapi aku sudah muak sekali - sangat muak dengan
kehidupan yang mereka rancang bagi Ellie. Semuanya terkungkung rapat dalam
lingkup kekayaan mereka, ide-ide mereka yang kuno. Dia tak pernah punya
kesempatan untuk menikmati hidupnya sendiri, pergi ke mana-mana sendirian, dan
melakukan apa saja yang diinginkannya. Dia ingin memberontak, tapi tidak tahu
caranya. Karena itu... ya, memang, aku mendesaknya untuk berontak. Kuusulkan
agar dia melihat-lihat tanah di Inggris. Kukatakan kalau dia sudah berumur dua
puluh satu tahun, dia bisa membeli properti sendid dan mengucapkan selamat
tinggal pada mereka yang di New York itu."
"Greta selalu punya ide hebat," kata Ellie. "Dia memikirkan hal-hal yang mungkin
takkan pernah terpikir sendiri olehku."
Apa kata-kata yang waktu itu diucapkan Mr. Lippincott padaku"
Pengaruhnya besar sekali pada diri Ellie. Aku jadi bertanya-tanya, benarkah itu"
Anehnya, aku tidak berpendapat demikian. Aku merasa ada suatu kekuatan dalam
diri Ellie, suatu kekuatan yang tidak disadari oleh Greta sekalipun, meski ia
sudah sangat mengenal Ellie.
Aku yakin Ellie akan selalu menerima ide yang cocok dengan idenya sendiri. Greta
memang telah mengusulkan agar Ellie berontak, tapi Ellie sendiri memang ingin
berontak, hanya saja ia tidak tahu caranya. Sekarang, setelah lebih mengenaInya,
aku merasa bahwa Ellie adalah jenis orang sangat sederhana yang mempunyai
kekuatan tersembunyi. Menurutku Ellie mampu memiliki pendirian sendiri, kalau ia
memang menginginkannya. Masalahnyanya, ia tidak sering menginginkan hal itu.
Betapa sulitnya memahami seseorang. Bahkan Ellie. Bahkan Greta. Bahkan mungkin
ibuku sendiri... caranya memandangku dengan mata penuh ketakutan.
Aku ingin tabu tentang Mr. Lippincott. Maka, sementara kami asyik mengupas buah
pir yang besar, aku berkata,
"Mr. Lippincott tampaknya menerima pernikahan kami dengan sangat baik. Aku
sampai heran." "Mr. Lippincott itu seekor serigala tua," kata Greta.
"Kau selalu bilang begitu, Greta," kata Ellie, "tapi kupikir dia cukup
menyenangkan. Memang sangat tegas dan kaku, begitulah."
"Yah, tidak masalah, kalau kau memang menyukainya," kata Greta.
"Aku sendiri tidak akan mempercayainya sesenti pun."
"Tidak mempercayainya!" kata Ellie.
Greta menggelengkan kepala. "Aku tahu. Dia adalah tonggak kehormatan dan
kepercayaan. Dia punya segalanya yang diperlukan untuk menjadi seorang wali dan
pengacara yang pantas."
Ellie tertawa dan berkata, "Apa menurutmu dia telah
menyelewengkan kekayaanku" Jangan konyol, Greta. Ada banyak auditor dan bank.
Mereka memeriksa semuanya."
"Oh, kurasa dia tidak apa-apa," kata Greta. "Tapi justru orang-orang seperti
itulah yang suka melakukan penyelewengan. Orang-orang yang kita percayai. Dan
kemudian orang-orang akan berkata,
'Tak kusangka pelakunya adalah Mr. A atau Mr. B. Orang yang sama sekali tak
diduga.' Ya, begitulah yang akan dikatakan orang-orang.
'Yang sama sekali tak diduga.'"
Ellie berkata dengan serius bahwa menurut pendapatnya, Paman Frank-nyalah yang
lebih pantas dicurigai melakukan sesuatu yang tidak jujur. Tapi ia tidak
kelihatan khawatir atau kaget dengan gagasan itu.
"Oh, ya, dia memang kelihatan seperti bandit," kata Greta. "Itu sudah memberi
kesan jelek baginya. Sikapnya terlalu manis dan ramah. Tapi dengan posisinya
itu, dia tidak bakal pernah bisa menjadi bandit besar."
"Apakah dia adik laki-laki ibumu atau ayahmu?" tanyaku. Aku selalu bingung kalau
menyangkut sanak keluarga Ellie.
'Dia suami saudara perempuan ayahku," kata Ellie. "Bibiku meninggalkannya dan
menikah dengan orang lain, dan sudah meninggal sekitar enam atau tujuh tahun
yang lalu. Paman Frank boleh dikatakan masih tetap menjalin hubungan dengan keluarga kami."
"Ada tiga orang yang seperti itu," kata Greta dengan ramah, memberiku petunjuk.
"Tiga ekor lintah yang selalu berkeliaran.
Semua paman kandung Ellie sudah meninggal. Satu di Korea, dan satunya lagi dalam
kecelakaan mobil. Jadi yang dimilikinya sekarang adalah ibu tiri yang payah,
Paman Frank yang suka bertandang ke rumah, dan sepupunya Reuben. Ellie
memanggilnya Paman, tapi dia sebenarnya hanya sepupu, dan Andrew Lippincott
serta Stanford Lloyd."
"Siapa itu Stanford Lloyd?" tanyaku bingung.
"Oh, seorang wali lainnya, bukankah begitu. Ellie" Pokoknya dia mengurusi
investasi dan sejenisnya. Dan itu tidak sulit, sebab kalau kau sudah punya uang
sebanyak Ellie, uang itu akan menghasilkan lebih banyak uang lagi sepanjang
waktu, tanpa dia perlu melakukan apa-apa. Itulah kelompok utama di sekitar
Ellie," lanjut Greta, "dan aku yakin kau akan segera bertemu mereka. Mereka akan
terbang kemari untuk melihatmu."
Aku mengeluh dan memandang Ellie. Ellie berkata dengan sangat pelan dan manis,
"Jangan khawatir, Mike, mereka toh akan pergi lagi."
12 Mereka memang datang. Tapi tak seorang pun tinggal lama. Tidak saat itu - dalam
kunjungan pertama. Mereka datang untuk melihatku.
Aku merasa sulit memahami mereka, tentu saja karena mereka semua orang Amerika.
Mereka berasal dari golongan yang tidak terlalu kukenal. Beberapa dari mereka
cukup menyenangkan. Paman Frank, misaInya. Aku setuju dengan pendapat Greta
tentang dirinya. Aku tidak akan mempercayainya sedikit pun. Aku sudah pernah bertemu tipe seperti
dia di Inggris. Ia berperawakan besar, dengan
kantong mata agak tebal, yang membuatnya tampak tidak tulus, dan kurasa itu
tidak terlalu jauh dari yang sebenarnya. Ia suka wanita, menurutku, bahkan lebih
dari sekadar suka. Ia meminjam uang sekali dua kali dariku, tidak banyak,
sekadar untuk biaya hidupnya satu-dua hari. Kupikir ia sebenarnya tidak
membutuhkan uang itu; ia hanya ingin mengetesku, untuk melihat apakah aku bisa
meminjamkan uang dengan mudah. Aku agak cemas, karena tidak yakin bagaimana cara
terbaik untuk menghadapinya. Apakah lebih baik menolaknya terus terang dan
mengatakan padanya bahwa aku orang yang pelit, atau lebih baik aku bersikap
murah hati dan gampang, yang sama sekali bukan sikapku sebenarnya" Ah, peduli
amat dengan, Paman Frank," pikirku.
Cora, ibu tiri Ellie, adalah yang, paling menarik perhatianku. Ia berusia
sekitar empat puluhan, sangat anggun, dengan rambut dicat dan sikap agak dibuat-
buat. Ia sangat manis terhadap Ellie.
"Kau jangan terlalu menganggap serius surat-surat yang kutulis padamu, Ellie,"
katanya. "Pernikahan kalian memang sangat mengejutkan. Begitu sembunyi-sembunyi.
Tapi tentu saja aku tahu Greta-lah yang membujukmu melakukannya."
"Kau tidak boleh menyalahkan Greta," kata Ellie. "Aku tidak bermaksud membuatmu
kecewa. Aku hanya ingin... yah, supaya tidak banyak ribut-ribut..."
"Ya, tentu saja, Ellie sayang, kau benar juga. Semua orang itu kaget sekali -
Stanford Lloyd dan Andrew Lippincott. Mungkin mereka merasa semua orang akan
menyalahkan mereka karena tidak menjagamu baik-baik. Dan tentu saja mereka sama
sekali tidak tahu, seperti apa Mike. Mereka tidak tahu kalau ternyata Mike
sangat menarik. Aku sendiri tak menyangka." Ia tersenyum padaku, senyum sangat
manis dan juga paling palsu yang pernah kulihat! Aku berkata dalam hati, kalau
pernah ada wanita membenci seorang laki-laki, maka Cora-lah orangnya. Tapi sikap
manisnya terhadap Ellie cukup bisa dimengerti. Andrew Lippincott telah kembali
ke Amerika dan tak diragukan lagi telah memperingatkan Cora untuk menjaga
sikapnya. Ellie sedang menjual beberapa propertinya di. Amerika, karena ia
sendiri telah memutuskdn uniuk tinggal di Inggris, tapi ia akan memberikan
tunjangan besar untuk Cora, jadi Cora bisa tinggal di mana pun yang disukainya.
Tak seorang pun menyebut-nyebut tentang suami Cora. Kurasa ia sudah hengkang ke
suatu tempat di belahan bumi lain bersama seseorang. Kemungkinan besar sebentar
lagi akan terjadi perceraian. Takkan ada tunjangan perceraian yang besar dari
yang satu ini. Pemikahan Cora yang terakhir adalah dengan laki-laki yang jauh
lebih muda, dan lebih karena daya tarik fisik daripada uang.
Cora menginginkan tunjangan itu. Ia punya selera yang sangat mewah. Andrew
Lippincott sudah mempenngatkan dengan cukup jelas bahwa tunjangan itu bisa
dihentikan kapan saja oleh Ellie, atau jika Cora tiba-tiba lupa diri dan
mengkritik suami baru Ellie dengan keras.
Sepupu Reuben, atau Paman Reuben, tidak ikut datang. Ia hanya menulis sepucuk
surat yang ramah untuk Ellie dan berharap Ellie bahagia, tapi ia ragu Ellie akan
senang tinggal di Inggris. "Kalau kau tidak menyukainya, Ellie, segeralah pulang
ke Amerika. Jangan pikir kau tidak akan diterima di sini, karena kami pasti
menerimamu, terutama Paman Reubenmu ini."
"Kedengarannya pamanmu yang ini cukup menyenangkan,"
kataku pada Ellie. "Ya," kata Ellie sambil merenung. Kedengarannya ia tidak terlalu yakin.
"Adakah di antara mereka yang kausayangi, Ellie?" tanyaku. "Atau aku mestinya
tidak bertanya begitu?"
"Tentu saja kau boleh menanyakan apa pun." Tapi ia tidak menjawab selama
beberapa detik. Kemudian ia berkata dengan nada tegas, "Tidak, kurasa tak ada
yang kusayangi. Memang aneh, tapi mungkin itu karena mereka bukan benar-benar
kerabatku. Pertalian di antara kami lebih karena keadaan, bukan karena
keturunan. Tak satu pun dari mereka punya hubungan darah denganku. Aku sayang
ayahku, dari apa yang bisa kuingat tentang dirinya. Kurasa ayahku agak lemah,
dan kakekku kecewa padanya, karena ayah tidak suka
berkecimpung dalam dunia bisnis. Ayah suka pergi ke Florida dan memancing, atau
melakukan hal-hal lain yang sejenis. Kemudian ia menikah dengan Cora, dan aku
tidak begitu suka padanya - Cora pun begitu terhadapku. Ibuku sendiri, tentu
saja aku tak ingat. Aku suka Paman Henry dan Paman Joe. Mereka menyenangkan -
dalam beberapa hal jauh lebih menyenangkan daripada ayahku. Ayahku pendiam dan
agak sedih. Tapi kedua pamanku menikmati hidup.
Paman Joe agak liar, karena dia punya banyak uang. Dialah yang meninggal karena
kecelakaan mobil, dan pamanku satunya lagi tewas di medan perang. Kakekku waktu
itu sudah sakit-sakitan, dan merasa sangat terpukul karena ketiga anak laki-
lakinya meninggal semua. Dia tidak suka pada Cora, juga pada kerabat-kerabat
jauhnya. Paman Reuben, misalnya. Katanya kita tak bisa menebak apa yang sedang
direncanakan Reuben. Itu sebabnya Kakek mengatur agar uangnya tertanam dalam
sebuah perwalian. Kebanyakan dari uang itu mengalir untuk museum-museum dan
rumah-rumah sakit. Ia mewariskan cukup banyak untuk Cora dan suami anak
perempuannya, Paman Frank."
"Tapi sebagian besar untukmu?"
"Ya. Dan kurasa itu membuatnya agak cemas. Dia berusaha sebaik-baiknya agar uang
itu selalu terjaga untukku."
"Oleh Paman Andrew dan Mr. Stanford Lloyd. Seorang pengacara dan seorang
bankir." "Ya. Kurasa Kakek menganggapku tak mampu menjaga
kekayaanku sendiri. Anehnya, dia mengizinkan aku memperoleh uang itu saat aku
berumur dua puluh satu tahun. Dia tidak menyuruhku menunggu sampai berumur dua
puluh lima tahun, seperti yang banyak dilakukan orang. Kurasa itu karena aku
anak perempuan." "Memang aneh," kataku. "Padahal seharusnya justru dia menunggu sampai kau lebih
dewasa, karena karena kau perempuan, iya kan?"
Ellie menggelengkan kepala. "Tidak," katanya, "mungkin menurut kakekku anak
laki-laki selalu lebih liar, sembrono, dan mudah terpikat oleh gadis-gadis
pirang yang hanya mau memanfaatkan mereka.
Maka lebih baik mereka diberi waktu untuk memuaskan diri berhura-hura. Tapi dia
pernah berkata padaku, 'Anak perempuan, kalau pada dasarnya dia berpikiran
sehat, umur dua puluh satu pun tetap akan berpikiran sehat. Tidak ada gunanya
menunggu sampai dia berumur dua puluh lima. Kalau dia memang tolol, umur sekian
pun dia akan tetap tolol.' Kakek juga berkata," - Ellie, memandangku dan
tersenyum -"bahwa dia tidak menganggapku bodoh. Dia bilang, 'Kau mungkin tidak
tahu banyak tentang hidup, tapi kau punya akal sehat, Ellie. Terutama tentang
orang lain. Kupikir kau akan selalu punya akal sehat.."
"Kurasa kakekmu tidak akan menyukaiku," kataku serius, Ellie memang selalu
berterus terang. Ia tidak berusaha meyakinkan diriku. dengan mengatakan
sebaliknya. Ia berbicara apa adanya.
"Tidak," katanya, "mungkin dia malah akan sedikit takut. Dia mesti belajar
mengenalmu dulu." "Ellie yang malang," kataku tiba-tiba.
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Aku pernah berkata begitu padamu, dulu, apa kau ingat?"
"YaKau menyebutku gadis kecil kaya yang malang. Benar juga ucapanmu itu."
"Yang kumaksud kali ini tidak sama," kataku. "Aku tidak bermaksud mengatakan kau
malang karena dilahirkan sebagai gadis kaya. Yang kumaksud adalah..." aku ragu-
ragu. "Terlalu banyak orang di sekelilingmu," kataku. "Semuanya mengitari
dirimu. Terlalu banyak orang yang menginginkan berbagai hal darimu, tapi
sebenarnya mereka tak peduli padamu. Betul, bukan?"
"Menurutku Paman Andrew sungguh-sungguh peduli padaku,"
kata Ellie agak ragu. "Dia selalu baik padaku, simpatik. Tapi yang lainnya... Ya,
kau benar. Mereka hanya ingin sesuatu."
"Mereka datang karena ingin ini-itu, bukan" Ingin pinjam uang, ingin minta
pertolongan, ingin dibantu dari kesulitan Atau sejenisnya.
Mereka mengejarmu, mengharapkanmu, membayangimu!"
"Kurasa itu wajar," kata Ellie dengan tenang, tapi aku sudah selesai dengan
mereka semua sekarang. Aku akan tinggal di Inggris.
Aku tidak akan sering bertemu mereka."
Tentu saja Ellie salah, tapi ia belum menyadarinya saat itu.
Stanford Lloyd datang sendirian setelah itu. Ia membawa sejumlah besar dokumen
dan kertas-kertas kerja untuk ditandatangani Ellie. Ia berbicara dengan Ellie
tentang investasi, saham, dan properti yang dimilikinya, serta penarikan dana
perwalian. Aku betul-betul buta tentang hal-hal itu. Aku tak bisa menolong atau
menasihati Ellie. Aku tak bisa mencegah seandainya Stanford Lloyd menipu Ellie.
Kuharap ia tidak melakukannya, tapi bagaimana aku bisa yakin"
Ada sesuatu pada diri Stanford Lloyd yang rasanya sulit dipercaya.
Ia seorang bankir, dan ia memang tampak seperti bankir. Wajahnya lumayan tampan,
meski Ia sudah tidak. muda lagi. Ia sangat sopan padaku dan menganggapku sampah,
meski ia berusaha untuk tidak menunjukkannya.
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, kataku ketika akhirnya ia pergi, "itu yang terakhir dari gerombolan si
Berat." "Kau tidak menyukai mereka semua, bukan?"
"Menurutku, ibu tirimu, Cora, adalah perempuan jahat bermuka dua. Maaf, Ellie,
mungkin seharusnya aku tidak boleh berkata begitu."
"Mengapa tidak, kalau itu pendapatmu" Kurasa pendapatmu tidak terlalu salah." .
"Kau pasti kesepian, Ellie," kataku.
"Ya, aku kesepian. Aku punya kenalan gadis-gadis lain yang sebaya. Aku memang
bersekolah di sekolah terkenal, tapi aku tak pernah benar-benar bebas. Kalau aku
berteman dengan seseorang, entah bagaimana mereka pasti berhasil memisahkan
kami, dan menyodorkan gadis lain untuk berkenalan denganku. Kau mengerti"
Segala sesuatunya diatur. Mungkin kalau aku menyukai seseorang dan aku protes...
tapi aku belum pernah sampai pada tahap itu. Tak ada orang yang benar-benar
kusukai. Sampai Greta datang, dan kemudian segalanya berubah. Untuk pertama
kalinya ada seseorang yang betul-betul sayang padaku. Rasanya indah sekali."
Wajah Ellie melembut. "Kuharap," kataku sambil berbalik ke arah jendela.
"Apa yang Ikauharapkan?"
"Oh, entahlah... Kuharap kau tidak... tidak terlalu bergantung pada Greta. Tidak
baik bergantung pada siapa pun."
"Kau tidak menyukainya, Mike," kata Ellie.
"Aku menyukainya," bantahku cepat. "Sungguh. Tapi kau harus sadar, Ellie, dia
itu... yah, boleh dibilang dia asing buatku. Terus terang saja, aku... aku agak
cemburu padanya. Cemburu karena kau dan dia - yah, aku tidak mengerti sebelumnya
- betapa dekatnya kalian berdua."
"Jangan cemburu begitu. Greta satu-satunya orang yang baik padaku, yang
menyayangiku - sampai aku bertemu denganmu. "
"Tapi kau sudah bertemu denganku," kataku, "dan kau sudah menikah denganku."
Kemudian aku berkata lagi, apa yang sudah kukatakan sebelumnya, "Dan kita akan
hidup bahagia selama-lamanya."
13 Meski tak banyak berarti, akan kucoba menggambarkan orang-orang yang muncul
dalam kehidupan kami, atau tepatnya: orang-orang yang muncul dalam kehidupanku,
karena, tentu saja, orang-orang itu sudah menjadi bagian dalam kehidupan Ellie
sejak dulu. Salahnya, kami mengira orang-orang itu akan meninggalkan
kehidupan Ellie, tapi ternyata hal itu tidak terjadi. Orang-orang itu sama
sekali tidak berniat keluar dari kehidupan Ellie. Tapi pada saat itu kami belum
mengetahuinya. Selanjutnya kami menerima selembar telegram dari Santonix, memberitahukan bahwa
rumah kami telah selesai dibangun.
Sebelumnya ia telah meminta kami untuk tidak datang-datang selama seminggu, tapi
sekarang ia mengirim telegram yang berbunyi:
"Datanglah besok."
Dengan mengendarai mobil, kami pergi ke sana dan tiba saat matahari hampir
tenggelam. Santonix mendengar suara mobil kami, dan keluar untuk menyambut kami
di depan pintu. Ketika melihat rumah kami yang sudah selesai dibangun, ada
sesuatu dalam diriku yang terasa melonjak dan sepertinya akan meledak! Rumah itu
adalah rumahku - akhirnya aku berhasil mendapatkannya! Aku menggenggam tangan
Ellie erat-erat. "Apa kalian menyukainya?" tanya Santonix.
"Benar-benar top," kataku. Kedengarannya konyol, tapi aku tahu bahwa Santonix
mengerti apa yang kumaksud.
"Ya," kata Santonix lagi, "rumah ini hasil karyaku yang terbaik...
Biayanya cukup besar, tapi benar-benar sepadan dengan hasilnya.
Aku telah melebihi anggaran yang tadinya kuperkirakan. Ayolah, Mike," katanya,
"gendonglah Ellie melewati pintu utama. Itulah yang harus kaulakukan waktu masuk
rumah untuk pertaina kalinya bersama pengantin wanitamu!"
Wajahku memerah, dan kemudian aku menggendong Ellie - tubuh Ellie cukup ringan.
Aku membopongnya melewati pintu utama, seperti disarankan Santonix. Saat
melakukannya, aku terhuyung sedikit dan kulihat Salitonix mengerutkan dahi.
"Hati-hati," kata Santonix, "baik-baiklah padanya, Mike, dan jaga dia. Jangan
biarkan bahaya mengancamnya. Dia tak bisa menjaga dirinya sendiri. Dia pikir dia
bisa, tapi dia tak bisa."
"Mengapa ada bahaya yang akan mengancamku?" kata Ellie.
"Sebab dunia ini jahat," dan banyak orang jahat tinggal di sini,"
kata Santonix, "juga banyak orang jahat di sekelilingmu, Manis. Aku tahu itu.
Aku sudah melihat satu-dua orang di antaranya. Aku melihat mereka di sekitar
sini. Mereka datang untuk mengorek-ngorek keterangan, seperti tikus. Maafkan
kata-kataku, tapi mesti ada yang mengatakan ini padamu."
"Mereka tidak akan mengganggu kami," kata Ellie, "Mereka semua sudah kembali ke
Amerika." "Mungkin," kata Santonix, "tapi Amerika cuma beberapa jam dengan pesawat dari
sini." Santonix meletakkan tangannya di bahu Ellie. Kedua tangan itu sangat kurus dan
pucat. Ia benar-benar kelihatan sakit berat.
"Aku sendiri akan menjagamu, anakku, kalau aku bisa," katanya,
"tapi aku tak bisa. Aku takkan bisa hidup lebih lama lagi. Kau harus bisa
menjaga dirimu sendiri."
"Hentikan peringatan-peringatanmu itu, Santonix," kataku, "dan bawalah kami
berkeliling. Tunjukkan pada kami setiap sudut rumah ini."
Kami pun berkeliling di dalam rumah itu. Beberapa kamar yang ada di sana masih
kosong, tapi sebagian besar barang-barang yang kami beli, lukisan-lukisan dan
perabotan-perabotan, serta tirai-tirai sudah ada di sana.
"Kita belum punya nama untuk rumah ini," kata Ellie tiba-tiba.
"Kita tak bisa menamainya The Towers. Nama itu konyol. Apa nama lain untuk rumah
ini yang pernah kaukatakan dulu?" tanya Ellie padaku. `Gipsy's Acre', bukan?"
"Kita tidak akan menggunakan nama itu," kataku tegas. "Aku tidak suka."
"Orang-orang sekitar sini akan selalu menyebut rumah ini dengan nama itu," kata
Santonix. "Mereka orang-orang bodoh yang percaya takhayul," kataku.
Setelah itu kami duduk-duduk di teras, menikmati pemandangan matahari terbenam
sambil memikirkan nama baru untuk rumah kami.
Rasanya seperti sedang mengadakan permainan. Kami memulainya dengan cukup
serius, tapi kemudian kami mulai melontarkan nama-nama konyol yang tiba-tiba
muncul dalam benak masing-masing, seperti "Akhir Perjalanan", "Puri Bahagia",
dan nama-nama yang berbau seperti tempat tempat pemondokan, misalnya "Rumah Tepi
Pantai", "Pondok Nyaman", dan "Pondok Cemara". Tiba-tiba saja hari berubah gelap
dan hawa terasa dingin, jadi kami pun masuk ke dalam rumah. Kami hanya menutup
jendela, tapi tidak menurunkan tirai-tirainya. Kami telah membawa makanan untuk
dimakanmalam itu. Untuk hari-hari berikutnya, beberapa pelayan yang dibayar
mahal akan datang untuk mengurus rumah ini.
"Mereka mungkin tidak akan suka tinggal di sini, dan mengatakan rumah ini
terIalu sepl, lalu mereka akan pergi," kata Ellie.
"Lalu kau akan memberi mereka gaji dua kali lebih besar, agar mereka mau tetap
tinggal di sini," kata Santonix.
"Kaupikir semua orang bisa dibeli!" kata Ellie.
Tapi ia mengucapkan kalimat itu sambil tertawa.
Kami telah membawa pate en croate, sebongkah roti dan udang besar. Kami duduk
mengelilingi meja sambil tertawa-tawa, makan, dari bercakap-cakap. Bahkan
Santonix pun kelihatan lebih sehat dan ceria. Kedua matanya menyorotkan
kegembiraan. Lalu terjadilah peristiwa itu, begitu tiba-tiba. Sebuah batu dilemparkan melalui
jendela dan iatuh di atas meja. Batu itu juga memecahkan sebuah gelas anggur,
dan sepotong pecahan gelas ltu mengenal pipi Ellie. Untuk sesaat kami cuma bisa
duduk diam, tapi kemudian aku melompat bangki?" bergegas menghampiri pintu,
membukanya, dan pergi ke teras. Tidak tampak seorang pun di sekitar rumah kami.
Aku masuk kembali ke dalam rumah.
Aku mengambil selembar tisue dan membungkuk di sisi Ellie, mengelap, tetesan
darah, yang mengalir di pipinya.
"Kau terluka... Tapi tidak parah, Sayang. Hanya luka kecil karena pecahan gelas."
Pandangan mataku bertemu dengan Suntonix.
"Mengapa ada orang yang melakukannya?" tanya Ellie. Ia tampak bingung.
"Para berandalan," kataku, "Mungkin mereka tahu kita berada di sini. Harus
kukatakan bahwa kita masih beruntung karena yang mereka lemparkan cuma batu.
Mungkin saja mereka punya senapan angin atau barang-barang sejenis itu."
"Tapi mengapa mereka melakukannya terhadap kita" Mengapa?"
"Aku tidak tahu," jawabku. "Mungkin cuma iseng."
Ellie tiba-tiba bangkit berdiri. Ia berkata,
"Aku takut. Aku ketakutan."
"Kita akan menyelidikinya besok," kataku. "Kita tidak banyak mengenal orang-
orang di sekitar sini."
"Apa karena kita kaya dan mereka miskin?" kata Ellie. Pertanyaan itu tidak
ditujukan padaku, tapi pada Santonix, seakan-akan Santonix tahu jawaban yang
lebih baik daripadaku. "Tidak," kata Santonix perlahan, "Kurasa bukan karena itu,,,"
Ellie berkata, "Mereka melakukan itu karena mereka membenci kami...
Membenci Mike dan aku. Mengapa" Karena kami tampak bahagia?"
Sekali lagi Santonix menggelengkan kepalanya.
"Tidak," kata Ellie, seakan-akan ia setuju dengan pendapat Santonix, "Tidak,
bukan itu sebabnya. Ada alasan lain. Ada sesuatu yang tidak kita ketahui,
Gipsy's Acre. Setiap orang yang tinggal di sini akan dibenci. Akan dibunuh.
Mungkin pada akhirnya mereka akan berhasil mengusir kita..."
Aku menuangkan segelas anggur dan memberikannya pada Ellie.
"Jangan, Ellie," kataku dengan nada memohon.
"Jangan berkata begitu. Minumlah ini. Kejadian tadi memang tidak menyenangkan,
tapi itu cuma ulah orang-orang iseng."
"Aku ingin tahu," kata Ellie, "Aku ingin tahu..."
Ia menatapku lekat-lekat. "Apakah ada orang yang sedang mencoba mengusir kita,
Mike" Mengusir kita dari rumah yang kita dirikan, rumah yang kita cintai."
"Aku tak akan membiarkan mereka mengusir kita," kataku.
Kemudian aku menambahkan, "Aku akan menjagamu. Tak seorang pun boleh melukaimu."
Ellie menatap Santonix lagi.
"Kau pasti tahu," katanya. "Kau berada di sini sewaktu rumah ini dibangun. Tak
adakah seseorang yang pernah berkata sesuatu padamu" Orang yang datang dan
melempar batu-batu - mengganggu pekerjaan pembangunan rumah ini?"
"Orang sering membayangkan hal-hal yang bukan-bukan," kata Santonix.
"Kalau begitu, apakah pernah terjadi kecelakaan?"
Selalu ada kecelakaan yang terjadi saat membangun rumah. Tapi tidak ada yang
serius atau tragis. Seorang pekerja jatuh dari tangga, lalu seorang pekerja lain
kejatuhan bata di kakinya, dan yang seorang lagi terkena infeksi gara-gara ibu
jarinya tertusuk serat kayu."
"Tidak ada kejadian lain di luar itu" Tak ada kejadian lain yang sepertinya
sudah direncanakan?"
"Tidak," kata Santonix, "tidak ada. Aku berani bersumpah, tidak ada kejadian
lain!"' Ellie ganti memandangku. "Kau ingat wanita gipsi itu, Mike. Betapa aneh sikapnya. Dia memperingatkan aku
untuk tidak datang ke tempat ini."
"Wanita itu agak gila,"
"Kita telah membangun rumah di tanah yang telah dikutuk oleh para gipsi," kata
Ellie. "Kita telah melanggar peringatan yang diberikannya." Kemudian Ellie
mengentakkan kakinya. "Aku tak akan membiarkan mereka mengusirku. Aku tak akan
membiarkan apa pun mengusirku dari rumah ini."
"Tak ada orang yang bisa mengusir kita," kataku. "Kita akan hidup bahagia di
sini." Kami mengucapkan kata-kata itu seakan-akan hendak menantang nasib.
14 Begitulah kehidupan kami dimulai di Gipsy's Acre. Kami tidak berhasil
mendapatkan nama lain untuk rumah kami itu. Kejadian pada malam pertama kami
berada di sana membuat nama Gipsy's Acre semakin melekat di benak kami.
"Kita akan menamai rumah ini Gipsy's Acre," kata Ellie, "Untuk menunjukkan bahwa
kita tidak takut. Seperti mau menantang, bukan" Ini tanah kita, masa bodoh
dengan peringatan-peringatan para gipsi." Keesokan harinya, Ellie sudah kembali
ceria. Dengan segera kami menyibukkan diri menata rumah, berkenalan dengan
tetangga-tetangga, serta menelusuri daerah sekitar kami. Ellie dan aku pergi
mengunjungi pondok tempat si wanita gipsi tinggal.
Kupikir, akan baik bagi Ellie kalau ia bisa melihat wanita gipsi itu sedang
mencangkul di kebunnya. Ellie baru satu kali bertemu dengan wanita itu, dan pada
saat itu wanita itu melontarkan kata-kata peringatan pada kami. Aku berharap
Ellie bisa melihat bahwa wanita gipsi itu hanyalah wanita tua biasa - yang
sedang menggali kentang di kebunnya - tapi ternyata kami tidak melihat wanita
itu. Pondok tempat tinggalnya tertutup rapat. Aku bertanya pada tetangganya,
kalau-kalau wanita gipsi itu telah meninggal, tapi si tetangga yang kami tanyai
itu menggelengkan kepala.
"Dia pasti sedang pergi," katanya. "Kadang-kadang dia bepergian.
Dia benar-benar orang gipsi. ltu sebabnya dia tidak kerasan tinggal di rumah.
Dia lebih suka berkelana dan kembali lagi kemari." Lalu orang itu mengetuk-
ngetuk dahinya. "Wanita itu agak tidak waras."
Kemudian orang itu berkata sambil mencoba menutupi rasa ingin tahunya, "Kalian
datang dari rumah baru di atas sana, bukan" Rumah di atas bukit yang baru
selesai dibangun?" "Benar," kataku, "kami baru saja pindah kemarin malam."
"Itu kelihatannya menyenangkan," kata orang itu. 'Kami semua bertanya-tanya
waktu rumah itu sedang dibangun. Sungguh berbeda bukan, melihat rumah seperti
itu di tempat yang sebelumnya dipenuhi pohon-pohon menyeramkan?" Kemudian ia
berkata pada Ellie dengan agak malu-malu, "Kami dengar Anda orang Amerika,
bukan?" "Ya," jawab Ellie, "saya orang Amerika - tapi sekarang saya sudah menikah dengan
pria Inggris, jadi sekarang saya wanita Inggris."
"Dan kalian datang kemari untuk tinggal di sini?"
Kami mengiyakan. "Yah, semoga kalian menyukainya." Orang itu kedengaran agak ragu.
"Mengapa kami mungkin tidak menyukainya?"
"Oh, yah, kalian tahu bahwa keadaan di atas sana agak sepi.
Banyak orang tidak suka tinggal di tempat sepi seperti itu, dan dikelilingi
banyak pohon." "Gipsy's Acre," kata Ellie.
"Ah, kalian tahu tentang nama itu" Tapi rumah yang tadinya berdiri di sana
disebut The Towers. Aku tidak tahu mengapa disebut begitu. Seingatku, rumah itu
sama sekali tidak memiliki menara."
"Menurut saya, The Towers adalah nama yang konyol," kata Ellie.
"Kurasa kami akan tetap menamai rumah itu Gipsy's Acre."
"Kalau begitu, kita harus memberitahu pegawai kantor pos,"
kataku, "Kalau tidak, bisa-bisa kita tidak akan pernah menerima surat."
"Ya, kurasa kita harus memberitahukannya."
"Tapi kalau dipikir-pikir," kataku lagi, "apakah itu penting, Ellie"
Tidakkah lebill baik kalau kita tidak pernah menerima surat?"
"Itu bisa menimbulkan banyak masalah," kata Ellie.
"Bagaimana dengan tagihan-tagihan kita?"
"Bagus, kan, kalau begitu?" kataku.
"Tidak," kata, Ellie. "Para tukang tagih akan mendatangi kita. Lagi pula, aku
tidak ingin kehilangan surat-suratku. Aku ingin mendengar kabar dari Greta."
"Lupakan saja Greta," kataku. "Mari kita teruskan perjalanan kita."
Maka kami pun melanjutkan perjalanan menelusuri desa Kingston Bishop. Desa itu
indah, dan para penjaga tokonya ramah-ramah. Tak ada hal-hal yang berbau
kejahatan di desa ini. Para pelayan yang kami pekerjakan sebenarnya tidak begitu
senang tinggal di desa sepi ini, tapi kami telah mengatur agar mereka bisa
diantar dengan mobil sewaan untuk pergi ke kota terdekat atau ke Market Chadwell
di hari libur mereka. Para pelayan itu tidak terlalu suka dengan lokasi rumah
kami, tapi rasa tak suka itu bukan gara-gara takhayul. Aku berkata pada Ellie
bahwa tak mungkin mereka menganggap rumah kami berhantu, sebab rumah itu baru
saja dibangun. "Tidak," Ellie mengiyakan perkataanku, "penyebabnya bukan rumah itu. Tak ada
yang salah dengan rumah itu. Yang membuat orang merasa tidak betah adalah jalan
di dekat rumah kita, yang menikung melalui pepohonan dan hutan kecil tempat
wanita gipsi tua itu dulu berdiri dan membuatku terkejut."
"Yah, tahun depan mungkin kita bisa menebang pohon-pohon itu dan menanaminya
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tanaman yang lebih menarik," kataku.
Kami terus membuat rencana-rencana.
Greta datang dan melewatkan akhir minggu bersama kami. Ia tampak sangat antusias
dengan rumah kami, dan memuji-muji perabotan serta lukisan-lukisan yang kami
taruh di sana. Ia juga sangat tahu diri. Setelah akhir minggu berlalu, ia
berkata bahwa ia tak ingin mengganggu bulan madu kami lebih lama lagi; selain
itu, ia harus kembali untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Ellie senang sekali memamerkan rumah kami pada Greta. Bisa kulihat bahwa ia
benar-benar meny-ukai Greta. Aku sendiri mencoba bersikap sopan, tapi aku merasa
sangat lega ketika Greta kembali ke London. Keberadaan Greta di rumah kami
membuatku tegang. Setelah dua minggu tinggal di rumah itu, kami sudah diterima dengan baik oleh
orang-orang desa, dan telah bertemu dengan sang
"Dewa" lokal. Beliau datang mengunjungi kami pada suatu sore.
Waktu itu aku dan Ellie sedang berdebat mengenai tempat terbaik untuk menanam
bunga. Pelayan laki-laki kami, yang selalu bersikap sopan dan memasang tampang
tanpa ekspresi, keluar dari rumah, menghampiri kami dan memberitahukan bahwa
Mayor Phillpot sedang menunggu kami di ruang tamu. Pada waktu itulah aku
berbisik pada Ellie, "Sang Dewa!" Ellie bertanya padaku, apa yang kumaksud.
"Yah, orang-orang desa ini memperlakukannya seperti dewa,"
kataku. Kami masuk ke rumah dan menemui Mayor Phillpot. Mayor itu berusia enam puluhan,
dengan tampang biasa-biasa saja dan agak membosankan. Ia mengenakan pakaian gaya
pedesaan yang agak kumal, rambutnya yang kelabu agak botak di bagian tengah
kepalanya, dan kumisnya lebat. Ia meminta maaf karena istrinya tak dapat ikut
mengunjungi kami. Ia berkata bahwa istrinya tak bisa ke mana-mana, karena
kesehatannya kurang baik. Setelah itu, ia duduk dan bercakap-cakap dengan kami.
Obrolannya tidak terlalu istimewa atau menarik. Tapi ia memiliki keampuan untuk
membuat orang merasa senang bercakap-cakap dengannya. Ia mengangkat berbagai
topik secara sambil lalu. Ia tidak mengaJukan pertanyaan-pertanyaan secara
langsung, tapi dengan segera ia bisa tahu hal-hal apa saja
yang kami sukai. Denganku ia membicarakan pacuan kuda, dan dengan Ellie ia
berbicara tentang kebun atau tanaman-tanaman apa saja yang cocok ditanam di
daerah ini. Ia sudah pernah pergi ke Amerika sekali-dua kali. Ia tahu bahwa
Ellie tidak suka pacuan kuda, tapi senang berkuda. Ia berkata pada Ellie bahwa
kalau kami memelihara kuda, maka Ellie bisa berkuda melalui jalan kecil di
antara hutan pinus, kemudian kudanya bisa dipacu melalui belantara luas di balik
hutan itu. Setelah itu, pokok pembicaraan beralih ke rumah kami dan cerita-
cerita mengenai Gipsy's Acre.
"Kalian tahu mengenai nama itu," kata Mayor Phillpot, "juga semua takhayul
mengenainya... kurasa."
"Banyak sekali peringatan dari para gipsi," kataku.
"Bahkan terlalu banyak. Terutama dari Mrs. Lee."
"Astaga," kata Phillpot. "Kasihan Esther tua itu, apa dia telah mengganggu
kalian?" "Dia agak tidak waras, bukan?" tanyaku.
"Memang. Aku merasa agak bertanggung jawab mengenai dirinya.
Akulah yang menempatkannya dipondok itu," kata Phillpot,
"walaupun dia tidak terlalu berterima kasih untuk itu. Aku suka padanya, meski
kadang-kadang sikapnya bisa sangat
menjengkelkan." "Karena ramalan-ramalannya?"
"Tidak, bukan itu. Apa dia telah meramal peruntungan kalian?"
"Aku tidak tahu apakah kami bisa menyebutnya peruntungan,"
kata Ellie. "Kata-kata yang diucapkannya waktu itu lebih merupakan peringatan
pada kami, agar tidak datang kemari."
"Kedengarannya agak aneh." Alis Mayor Phillpot yang lebat terangkat. "Biasanya
ramalannya selalu berbau hal-hal yang manis-manis. Orang asing yang tampan,
lonceng pernikahan, enam anak dan setumpuk keberuntungan atau banyak uang di
tangan." Phillpot menirukan suara wanita gipsi itu. "Dulu, orang-orang gipsi
Rahasia Taman Kematian 1 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi 13