Pencarian

Rahasia Taman Kematian 1

Raja Naga 04 Rahasia Taman Kematian Bagian 1


RAHASIA TAMAN KEMATIAN Hak cipta dan copy right pada pe-
nerbit dibawah lindungan undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU SUARA lolongan serigala menghempas di tengah malam buta. Lolongannya mendi-
riremangkan bulu roma. Begitu angker, mengerikan, dan membuat orang yang men-
dengarnya langsung menutup telinga. Malam menggigit dalam. Keheningan melanda
sesaat, tetapi segera diusik lagi oleh lolongan serigala yang entah berada di
ma-na. Di atas sana, gerombolan awan hitam pekat tak bergeming dari tempatnya. Terus
menghalangi sinar bulan yang berusaha me-nembus pekatnya awan-awan hitam itu.
Satu sosok tubuh tinggi besar yang berdiri tegak di sebuah tempat yang agak
tersembunyi di balik ranggasan semak itu, tetap berdiri tanpa terpengaruh apa
pun. Dia sama sekali tak menghiraukan keadaan yang mengerikan. Melipat kedua
tangannya di depan dada dengan sepasang mata yang memerah terus diarahkan pada
samping kanannya.
Cukup lama dia berdiri tanpa melakukan tindakan apa-apa sebelum akhirnya
terdengar geramannya gusar.
"Terkutuk! Ke mana manusia itu, hingga saat ini belum datang juga"!" maki lelaki
yang diperkirakan berusia sekitar tiga puluh delapan tahun gusar. Tangan
kanannya mengusap dagunya yang kelimis.
Mulutnya berkemak-kemik, kendati tak ada lagi suara yang terdengar tetapi jelas
kalau lelaki berkepala lonjong ini nampak sedang gusar.
Lolongan serigala kembali mengusik, ditingkahi dengan suara burung gagak yang
tidak sedap yang makin membuat suasana laksana didatangi oleh puluhan setan ku-
buran. Berada di tempat yang sepi seperti itu seorang diri, bila orang yang
berada di sana tidak memiliki nyali besar atau memiliki satu kepentingan, tak
akan mungkin ada yang mau singgah di sana.
Lelaki berkepala lonjong ini kemba-li mengeluarkan geraman. Lebih keras dari
sebelumnya. "Keparat betul! Sudah hampir sepe-minuman teh aku menunggu di sini! Tetapi orang
pincang itu belum juga muncul! Sialan betul! Rupanya dia hendak mempermainkan
ku! Setan laknat! Akan kuhajar dia sampai mampus bila ternyata memang punya
niatan keparat seperti itu!"
Baru saja lelaki yang mengenakan
pakaian merah dan berompi hitam ini menutup mulut, mendadak saja didengarnya
suara gerakan dari samping kanan. Serta merta matanya dibuka lebih lebar, lalu
agak dipicingkan.
"Terkutuk! Akhirnya dia datang ju-ga!!"
Lalu dengan rahang menggembung, le-
laki ini memutar sedikit tubuhnya untuk menyambut kedatangan orang yang
ditunggunya. Orang yang ditunggunya itu tak jauh berbeda dengan usianya. Bertubuh agak
sedikit bongkok. Mengenakan pakaian putih penuh tambalan berwarna-warni.
Wajahnya tirus dengan cambang panjang. Tak memiliki kumis, tetapi jenggotnya
menjulai. Begitu berada sejarak sepuluh langkah di hadapan lelaki yang tengah gusar itu,
si pendatang sudah buka suara, "Demit Merah! Maafkan aku yang datang terlambat!
Bukan maksudku membiarkan kau menunggu di sini! Tetapi aku baru saja lakukan hal
yang sangat penting!"
Lelaki yang dipanggil dengan sebutan Demit Merah itu perdengarkan geraman.
"Pengemis Pincang! Jangan berdalih bila sudah terlambat! Jangan coba lunak-kan
hatiku bila takut mampus! Kau telah menyalahi janji! Apakah aku salah bila
menghukum mu"!"
Lelaki berpakaian putih penuh tambalan warna-warni itu melangkah. Saat melangkah
nampak tubuhnya agak turun naik ke kiri. Rupanya kaki sebelah kirinya kecil
sebelah! Orang ini menghentikan langkahnya lagi dan berkata, "Bila kau tahu apa yang
kulakukan, mungkin kau tak akan bersikap seperti itu!"
"Biar bagaimanapun juga, kau telah membuang waktuku! Bila kau tak punya alasan
yang masuk akal, jangan salahkan aku untuk mencabut nyawamu!"
"Mencabut nyawaku bukanlah urusan sulit bila kau memang menginginkannya!
Tetapi... bagaimana dengan rencana ki-ta"!" balas Pengemis Pincang. Kendati
sepasang matanya membuka lebar, tetapi suaranya agak parau. Diam-diam dia
menyambung dalam hati, "Manusia satu ini memang panasan. Dia selalu mengukur
segala sesu-atunya melalui kacamatanya sendiri. Aku harus berhati-hati. Bila
tidak, bisa-bisa rencanaku untuk mendapatkan apa yang kuinginkan di Taman
Kematian akan gagal.
Biarlah dia terus bersikap kasar dan aku selalu bersikap ketakutan. Padahal...
membunuhnya semudah membalikkan telapak tangan!"
"Aku tak peduli dengan rencana itu sebelum kau katakan alasan membuatku menunggu
seperti ini"!" bentak orang berma-ta merah keras.
Pengemis Pincang mengangguk-
anggukkan kepala. Wajahnya dibuat agak tegang. Dan dia senang melihat lelaki di
hadapannya itu begitu yakin akan kemampuan dirinya.
"Aku telah menghubungi Peramal Sakti!"
Mata Demit Merah memicing.
"Apa maksudmu dengan menghubungi Peramal Sakti"!" desisnya setengah tak percaya.
Pengemis Pincang mengangkat kepa-
lanya. Dipandanginya sesaat Demit Merah.
Untuk beberapa lama dia tak keluarkan suara. Setelah mendengar suara rahang
dikertakkan oleh orang yang berdiri di hadapannya, barulah dia berkata, "Kau
telah tahu tentang Taman Kematian! Menurut kabar yang kudengar, di tempat itu
terdapat harta karun yang melimpah ruah! Tidak sembarang orang yang mengetahui
tentang tersimpannya harta karun itu di Taman Kematian! Saat ini, hanya kau dan
aku sa-ja!"
"Bodoh! Apakah kau tidak memikirkan tentang Ki Dundung Kali"! Tujuh hari lalu
kau datang kepadaku menceritakan tentang Taman Kematian! Dan ketika kutanyakan
da-ri siapa kau tahu tentang taman berikut harta karun yang dipendamnya, kau
mengatakan dari guru mu sendiri! Ki Dundung Kali!"
Pengemis Pincang mendengus pelan.
"Kau tak perlu merisaukan tentang Ki Dundung Kali! Kakek tua itu sudah tak punya
kemampuan apa-apa!"
"Apa maksudmu dengan tak punya kemampuan apa-apa"!"
"Setan terkutuk! Manusia ini bukan hanya membuatku memutuskan untuk membu-
nuhnya saat ini juga, tetapi dia terlalu banyak ingin tahu urusan! maki Pengemis
Pincang dalam hati. Tatapannya tajam menusuk. Namun di kejap lain dia membuat
lagi parasnya menjadi ketakutan.
Kemudian dia berkata, "Demit Merah!
Urusan Ki Dundung Kali adalah urusanku!
Yang terpenting sekarang, kau tetap akan ikut denganku menuju ke Taman Kematian,
atau hanya jadi orang yang selalu banyak tanya"!"
"Setaaann!" maki Demit Merah. Tangan kanannya mendadak dikibaskan ke arah
Pengemis Pincang. Sinar merah menggebrak cepat!
Pengemis Pincang menjerengkan ma-
tanya. Dia hampir saja memutar tangan kanannya untuk menahan serangan tiba-tiba
itu. Tetapi begitu diingatnya kalau dia harus berlagak bodoh, maka dia hanya
menggeser tubuhnya!
Lalu dengan gerakan tak sengaja,
dia menyerimpungkan kakinya sendiri hingga terhuyung. Bahkan dia keluarkan jeri-
tan tertahan saat jatuh di atas tanah!
Blaaarrr!! Sinar merah yang dilepaskan tiba-tiba oleh Demit Merah itu melesat di atas
tubuhnya dan menghantam ranggasan semak yang seketika rengkah.
"Jangan bicara sembarangan kalau masih ingin hidup!" maki Demit Merah gu-
sar. Pengemis Pincang buru-buru berdiri.
Kali ini tegak karena dia berdiri dengan kaki kanannya, sementara kaki kirinya
yang kecil sebelah menjuntai-juntai.
"Maaf... maaf... aku tak bermaksud bicara lancang!" serunya kemudian sambil
menyembah-nyembah.
"Manusia satu ini tergolong orang bodoh! Dia mau memberitahukan sebuah rahasia
kepadaku! Dan aku akan menjadi orang bodoh pula bila tak mau menjalankan apa
yang dikatakannya! Harta karun di Taman Kematian" Luar biasa! Aku akan menjadi
orang terkaya di jagat ini!"
Habis membatin demikian, Demit Merah berseru angkuh, "Apa yang dikatakan Peramal
Sakti"!"
Pengemis Pincang buru-buru menja-
wab, sikapnya tetap dibuat takut-takut,
"Aku coba memastikan tentang harta karun yang terdapat di Taman Kematian
padanya! Sudah tentu kukatakan kalau aku diperintahkan oleh guruku untuk menanyakan soal
itu padanya! Bila tidak kulakukan seperti itu, mana sudi Peramal Sakti menjawab
pertanyaanku!"
"Apa jawabannya"!"
"Dari dia aku lebih pasti tentang keberadaan harta karun pada Taman Kematian!"
Seringaian lebar segera terpampang
di bibir Demit Merah.
"Bagus! Kita berangkat sekarang!"
Pengemis Pincang tersenyum.
"Kau telah dibutakan oleh kesombon-gan dan keangkuhan mu hingga tak
mempergunakan otakmu! Kau akan menemukan sesuatu yang tak pernah kau bayangkan
di Taman Kematian! Aku menjumpai Peramal Sakti bukanlah untuk menanyakan tentang
ramalan-nya mengenai Taman Kematian! Karena aku tahu dia mengetahui tentang
Taman Kematian. Seperti yang pernah diceritakan guruku sendiri. Kalau dia
menguburkan benda itu di dalam Taman Kematian bersama-sama Peramal Sakti,"
desisnya dalam hati.
Lalu dengan sedikit mempergunakan ilmu peringan tubuhnya, Pengemis Pincang
mendahului Demit Merah yang segera menyusul. Di benaknya tergambar rencana yang
sudah disusunnya agak lama, rencana yang sama sekali tak diketahui Demit Merah.
Terutama, apa yang dikehendakinya di Taman Kematian.
* * * Perjalanan yang keduanya lakukan
sungguh bukanlah perjalanan biasa. Karena keduanya harus melewati ladang,
pematang sawah, ranggasan semak, jalan setapak, bahkan perbukitan dan gunung-
gunung. Demit Merah menggeram dalam hati
karena sejak berlari Pengemis Pincang belum juga berhenti sekali pun. Padahal
saat ini bukan lagi malam atau pagi tetapi sudah menjelang senja! Astaga!
Keduanya sudah melewati waktu satu hari!
"Setan betul si Pincang itu! Apa yang diinginkannya sebenarnya"! Kalau Taman
Kematian berada di tempat yang sangat jauh begini, mengapa dia harus mengadakan
pertemuan denganku di tempat semalam"!"
Kalau Demit Merah merutuk demikian dengan napas yang sudah terputus-putus,
lelaki pincang berwajah tirus itu masih terus berlari dengan enaknya. Tak
terlihat tanda-tanda kelelahan pada dirinya.
Memang keringat sesekali mengalir, dan napas yang agak terengah. Tetapi
kelelahan tak kelihatan sedikit juga.
"Hemm... aku memang sengaja mengadakan pertemuan di tempat semalam, padahal
jarak Taman Kematian dengan tempat semalam itu sangat jauh! Ingin kulihat se-
berapa tangguhnya Demit Merah! Dan aku tahu akan keserakahannya! Harta karun
yang ada di Taman Kematian akan kuberikan padanya! Dan aku hanya akan meminta
'benda' butut itu! Aku yakin, dia mau memberikannya! Urusan ini nampaknya begitu
mudah!" Sambil berlari Pengemis Pincang melirik ke belakang. Dia tertawa dalam ha-
ti. "Bagus! Dia masih cukup tangguh!
Menurut Ki Dundung Kali, orang yang bisa masuk ke Taman Kematian hanyalah Dadu
Ganggang! Kakek yang berdiam di Gua Tapak Sepuluh! Dan... Demit Merah adalah
muridnya! Aku yakin, dia telah menguasai ilmu
'Tapak Sepuluh' milik Dadu Ganggang! Dengan ilmu itulah dia akan kusuruh untuk
masuk ke Taman Kematian!"
Terdengar geraman keras Demit Me-
rah, "Manusia pincang! Hendak kau bawa ke mana aku sebenarnya, hah"!"
"Kita akan menuju ke Taman Kematian!" seru Pengemis Pincang sambil memperlambat
larinya. Begitu Demit Merah mendekat, tiba-tiba saja Pengemis Pincang terhuyung.
Demit Merah segera menyambar ba-
junya dan seketika berhenti.
"Kalau kau tak mampu berlari, jangan berlagak menjadi jago!" makinya sambil
melepaskan tangannya yang mencengke-ram baju Pengemis Pincang.
Lelaki pincang itu terjatuh. Napasnya terengah-engah. Wajahnya sedikit pucat.
Dia memandang Demit Merah yang juga terengah-engah dengan sikap takut-takut.
"Untuk saat ini aku mengalah saja.
Biarlah dia melakukan apa pun juga. Asal-kan dia tetap bisa kuperalat untuk
mendapatkan apa yang kuinginkan di Taman Kema-
tian," senyumnya dalam hati.
Di pihak lain orang berkepala lonjong yang berdiri dl hadapannya menggeram.
Dadanya serasa ingin pecah. Setelah mengusap keringatnya dia mendesis dingin,
"Jarak dari tempat semalam ke Taman Kematian rupanya sangat jauh! Mengapa kau
menyuruhku untuk menjumpai mu di tempat semalam, hah"!"
Pengemis Pincang menjawab dengan
suara dibuat terengah, "Demit Merah...
apakah kau lupa kalau apa yang akan kita lakukan ini sangat rahasia" Di rimba
persilatan ini banyak mata dan telinga yang tak pada tempatnya! Berita apa pun
akan segera menyebar! Itulah sebabnya aku me-mintamu untuk datang di tempat
semalam! Dengan tujuan agar pertemuan kita tidak ada yang menciumnya! Kalaupun ada, orang
itu akan sulit menemukan Taman Kematian!"
Jawaban yang diberikan Pengemis
Pincang membuat kepala Demit Merah mengangguk-angguk. Kendati dapat menerima apa
yang dikatakan Pengemis Pincang, orang tinggi besar itu membentak juga,
"Katakan padaku! Masih jauhkah Taman Kematian berada"!"
"Kita masih harus menempuh waktu sepananakan nasi!"
"Setan! Kau mempermainkan ku rupanya"!" bentak Demit Merah. Tangan kanannya
terangkat siap memukul, tetapi
tertahan karena Pengemis Pincang buru-buru berkata,
"Tak akan mungkin aku berani mempermainkan mu! ilmu yang kumiliki tak se-berapa!
Kau pernah kuceritakan bukan, kalau aku menyesali karena tak menuntut il-mu
dengan tekun seperti yang diajarkan Ki Dundung Kali?"
Mendengar jawaban itu, dada Demit Merah membuncah. Dia mengangkat kepalanya
dengan sikap angkuh. Tangan kanannya di-turunkan lagi.
"Aku sebenarnya tak mempercayai ka-ta-katamu! Sedikit pun tidak sama sekali!"
"Kau maksudkan... kau tidak mempercayai ada harta karun di Taman Kematian"!"
"Kali ini aku percaya karena kau telah menghubungi Peramal Sakti!"
"Lantas apa yang membuatmu meragu-kan kata-kataku?"
Demit Merah tatap tajam-tajam Pengemis Pincang. "Tentang harta karun itu!"
"Aku tak mengerti!"
"Bila harta karun itu kudapatkan...
apa yang kau inginkan"!"
Pengemis Pincang sesaat terdiam sebelum mendadak tertawa.
"Astaga! Kupikir apa" Kalau kau sudah mendapatkannya... ya sudah tentu kaulah
yang berhak memilikinya"!"
Pandangan Demit Merah menyipit. Bibirnya menyunggingkan sinis. "Semudah itukah?"
"Itu kulakukan karena aku ingin menjadi sahabatmu!"
"Hemm... tak ada orang yang tak menginginkan harta! Apalagi harus bersusah payah
mengelabui gurunya sendiri dan seorang tokoh berjuluk Peramal Sakti!
Pengemis Pincang... jangan memutar omongan...."
"Keparat! Ternyata dia tidak sebo-doh dugaanku! Aku harus memeras akal agar dia
dapat percaya," desis Pengemis Pincang dalam hati. Lalu sambil memamerkan
senyuman, dia berkata, "Demit Merah...
sudah lama kudengar tentang kehebatanmu yang merajai daerah utara! Juga kudengar
nama besar gurumu Dadu Ganggang! Siapa pun orangnya yang berani berlaku lancang
di hadapanmu, sudah tentu dia hanya mencari penyakit! Aku tak mau menjadi orang
seperti itu! Kau kuajak bergabung untuk mendapatkan harta karun di Taman


Raja Naga 04 Rahasia Taman Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kematian, karena aku ingin menjadi sahabat mu!"
"Jadi... kau tak berkeinginan sedikit juga untuk mendapatkan bagian"!"
Pengemis Pincang menggelengkan kepala tegas.
"Demi Setan! Aku bersumpah! Tak kuinginkan sama sekali harta karun itu!
Sekecil apa pun juga!"
Seringaian lebar segera terpampang di bibir Demit Merah.
"Bagus! Kau mengerti gelagat rupanya! Tunjukkan padaku di mana Taman Kematian
berada"!"
"Kalau begitu... kita segera bergerak kembali!" sahut Pengemis Pincang. Begitu
melihat kepala Demit Merah mengangguk, dia memaki dalam hati, "Benar-benar setan
manusia satu ini! Rasanya aku sudah tak sabar untuk membunuhnya! Tetapi...
sebelum kudapatkan 'benda' itu, aku tak akan melakukannya! Ilmu yang dimilikinya
harus ku manfaatkan sepenuhnya untuk mendapatkan apa yang kucari!"
Saat lain Pengemis Pincang sudah
bergerak mendahului Demit Merah.
Lewat sepenanakan nasi dari malam yang datang kembali, masing-masing orang sudah
berada di jalan setapak yang tumpang tindih. Pengemis Pincang kali ini
melangkah. Di saat dia berlari tadi sama sekali tak terlihat kalau kaki kirinya
kecil sebelah, justru di saat berjalan tubuhnya agak sedikit turun naik. Di
belakangnya, Demit Merah hanya mengikuti dengan seringaian lebar yang tak putus
di bibirnya. Udara malam tetap dingin menusuk.
Lolongan serigala tetap terdengar. Burung gagak yang berkepakan terbang disertai
suara yang tak enak didengar, menambah keangkeran suasana di jalan setapak itu.
Namun masing-masing orang tak ada yang menghiraukan keadaan.
Kalau pikiran Demit Merah dipenuhi dengan harta karun yang luar biasa jumlahnya,
Pengemis Pincang justru memikirkan bagaimana cara dia membujuk lelaki tinggi
besar itu nanti setelah tiba di Taman Kematian.
Tanpa setahu masing-masing orang, sepasang mata angker yang berada di atas
sebuah pohon yang kemudian dilintasi keduanya, memperhatikan tak berkedip.
Saking angkernya tatapan itu, bila ada orang yang melihat sudah tentu akan
berpikir dua kali untuk melakukan tindakan lancang terhadap si pemilik mata.
Pemilik mata angker ini melompat
turun tatkala kedua orang itu sudah menjauh. Tak ada suara yang terdengar sama
sekali saat kaki kanan kirinya menginjak tanah secara bersamaan.
Pemilik mata angker ini terus mengarahkan tatapannya pada jalan yang ditempuh
keduanya. "Hemm... sebelum malam datang aku sudah berada di sini. Tetapi tak seorang pun
yang melewati tempat ini. Lantas muncul kedua orang itu yang kendati melangkah
pelan tetapi jelas terlihat ketegangan yang terpancar dari mata masing-
masing," desis si pemilik mata angker yang ternyata seorang pemuda gagah. Di
saat rembulan berhasil membebaskan diri dari gumpalan awan hitam yang
menghalangi sinarnya, terlihat sosok si pemuda yang betul-betul mengejutkan.
Kalau parasnya sedemikian tampan, tetapi kedua lengannya sebatas siku dipenuhi
sisik kecoklatan! Pemuda ini mengenakan rompi berwarna agak ungu. Rambutnya
gondrong acak-acakan. Sosoknya benar-benar membikin orang tegang, terutama sorot
matanya. Pemuda yang bukan lain Boma Paksi adanya alias Raja Naga ini kembali mendesis,
"Melihat gerakan yang dilakukan keduanya, masing-masing orang jelas memiliki
tenaga dalam cukup tinggi. Ah, aku ja-di penasaran ingin mengetahui apa yang
keduanya lakukan di malam seperti ini."
Memutuskan demikian, pemuda dari
Lembah Naga ini segera mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya untuk menyusul kedua
orang yang dilihatnya tadi.
DUA BEGITU melihat kedua orang yang di-ikutinya sudah menghentikan langkah dan
berdiri di hadapan sepetak tanah yang tak begitu luas, Raja Naga langsung
melompat ke balik ranggasan semak, tetap tanpa me-
nimbulkan suara apa pun.
"Aneh! Mengapa keduanya berhenti melangkah" Hemm... sempat kulihat kalau wajah
orang yang kakinya pincang itu sempat tegang. Sementara orang berompi hitam
justru tersenyum lebar. Ada apa ini sebenarnya?"
"Taman Kematian... sudah tiga kali aku mendatangi tempat ini dan mencoba
mengambil apa yang dipendamnya, tetapi selalu
gagal. Pada kedatanganku yang
keempat ini, aku tak boleh gagal," desis Pengemis Pincang dalam hati sambil
memandang sepetak tanah yang dipenuhi rerumpu-tan dan bunga-bunga warna merah.
Demit Merah membuka mulut, "Pengemis Pincang! Kau berhenti di hadapan tempat
yang dipenuhi bunga ini! Apakah tempat ini yang kau maksudkan sebagai Taman
Kematian"!"
Pengemis Pincang mengangkat kepala dan mengangguk.
Demit Merah mendengus.
"Tempat seindah ini kau namakan Taman Kematian"!" ejeknya keras.
"Guruku yang mengatakannya."
"Hhhh! Bukan hanya kau yang bodoh rupanya, tetapi juga Ki Dundung Kali!"
Kalau seorang murid akan tersing-
gung gurunya dimaki seperti itu, Pengemis Pincang cuma menganggukkan kepala.
"Di sinilah harta karun itu terpen-
dam." Demit Merah tak segera menyahut.
Sementara itu di balik ranggasan semak, murid Dewa Naga mengerutkan keningnya.
"Taman Kematian" Aneh! Baru kali ini aku mendengar tentang Taman Kematian"
Orang tinggi besar itu pun merasa tak percaya dengan tempat yang seindah itu
dinamakan Taman Kematian. Dan harta karun" Oh! Rupanya kedua orang ini hendak
memburu harta karun yang terdapat di Taman Kematian!"
Demit Merah menggeram dalam hati,
"Keparat betul! Dia benar-benar begitu tenang dan penuh keyakinan! Tempat
seindah inikah yang dinamakan Taman Kematian"
Kupikir taman itu merupakan sebuah tempat yang mengerikan! Huh! Menilik
keterangan-nya, aku mulai yakin kalau memang inilah Taman Kematian! Peduli
setan! Kalau dia membohongiku, akan kuhajar sampai tung-gang langgang!"
Habis membatin demikian, Demit Merah mendesis kasar, "Tunjukkan di mana letak
harta karun itu"! Aku akan mengam-bilnya sekarang juga!!"
Pengemis Pincang mengarahkan lagi pandangan-nya pada taman yang dipenuhi bunga-
bunga. Lalu katanya tanpa menoleh pada Demit Merah, "Kau lihat tangkai mawar
merah berkuntum tiga itu"!"
Demit Merah memperhatikan sesaat.
"Setiap tangkai mawar yang tumbuh di taman itu berkuntum satu. Tetapi mengapa
tangkai itu berkuntum tiga?" desisnya dalam hati. Lalu katanya, "Mengapa dengan
tangkai mawar berkuntum tiga itu?"
"Tepat di bagian yang ditumbuhi tangkai mawar berkuntum tiga itulah harta karun
yang kau inginkan akan kau dapatkan! Menurut Ki Dundung Kali maupun Peramal
Sakti, tempat pada tanah yang tumbuh tiga kuntum mawar satu tangkai itu,
tersimpan harta karun yang tak ter-nilai harganya! Tapi..."
"Tapi apa, hah"!" maki Demit Merah yang urung melangkah.
"Menurut Ki Dundung Kali maupun si Peramal Sakti, kita tak akan bisa tiba di
tempat itu!" "Gila! Apa lagi ini, hah"!"
Pengemis Pincang melirik, lalu berkata, "Di bagian tempat itu terdapat sebuah
tenaga gaib yang sangat luar biasa!
Tak akan mudah orang untuk bisa tiba di tempat itu! Kau tahu kemampuan ilmuku,
bukan" Aku tak akan mungkin sanggup untuk menghadang tenaga gaib itu! Dan tak
seorang pun yang bisa mencapainya!"
"Terkutuk! Dengan kata lain kau menganggap aku tak mampu mendapatkannya"!"
"Jangan gusar! Sesusah apa pun, pasti ada orang yang bisa mendapatkannya!
Terutama..."
"Kau selalu bicara dipotong-
potong!" sengat Demit Merah gusar.
Pengemis Pincang tak menjawab. Dia membatin dalam hati, "Aku sudah tiga kali
mencobanya. Tetapi jangankan untuk mencabut tangkai mawar berkuntum tiga itu,
mendekati saja aku sudah terhajar lintang pukang! Guruku dan Peramal Sakti yang
telah tanam tenaga gaib dengan kemampuan mereka di sana! Untuk berjaga-jaga bila
suatu saat orang mengetahui tentang rahasia Taman Kematian."
Kemudian katanya pada Demit Merah,
"Orang yang memiliki langkah ringan dalam sepuluh langkah maka dialah orang yang
bisa mencabut tangkai mawar berkuntum ti-ga itu."
Demit Merah mengerutkan keningnya.
"Langkah ringan dalam sepuluh langkah" Apakah yang kau maksudkan dengan sekali
langkah berarti sudah berada pada langkah ke sepuluh?"
"Kau betul!"
"Dan gerakan itu tak akan bisa diikuti oleh mata karena begitu cepatnya?"
"Ya!"
"Aku memiliki ilmu 'Tapak Sepuluh'!
Ilmu yang bila kupergunakan akan dapat melangkah sedemikian cepat!"
Seolah baru mengetahui hal itu,
Pengemis Pincang mengangkat kepala dengan mata membelalak.
"Oh! Kau... kau... dapat memecahkan rahasia itu, Demit Merah!"
Wajah Demit Merah menyiratkan ke-
banggaan yang tidak di tutupinya. Dadanya dibusungkan.
"Masih banyak yang belum kau ketahui tentang kehebatanku!" desisnya bangga.
Pengemis Pincang yang sesungguhnya sudah mengetahui tentang ilmu 'Tapak Sepuluh'
yang dimiliki oleh Demit Merah, mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap
kagum. Lalu keluar pujiannya yang semakin membuat hidung Demit Merah kembang-
kempis, "Hebat! Hebat sekali! Berarti aku tak salah mengajak mu ke Taman Kematian, Demit
Merah!" Senyuman bangga itu masih terpam-
pang. Matanya memancarkan sinar meremeh-kan. Secara tiba-tiba senyuman itu
lenyap dan berganti dengan suara merandek dingin, "Ingat! Kau sudah mengatakan
kalau seluruh harta karun yang terdapat pada Taman Kematian akan menjadi
milikku! Berani kau punya pikiran untuk meminta bagian, Taman Kematian ini akan
jadi kubu-ranmu!!"
Pengemis Pincang buru-buru menja-
wab, "Tidak... aku tidak menginginkannya sama sekali. Aku hanya ingin menjadi
sahabatmu. Itu saja...."
"Bagus! Dari mana aku bisa memu-lainya"!"
Pengemis Pincang yang sudah tiga
kali mencoba untuk mencabut tangkai mawar berkuntum tiga itu tetapi selalu
gagal, sudah tentu sangat paham dari mana langkah harus dimulai, Berhari-hari
dia memikirkan cara untuk bisa mencabut tiga kuntum mawar itu. Bahkan dicobanya
dengan ilmu peringan tubuhnya dan bergerak cepat. Tetapi selalu gagal. Karena
sebelum dia tiba di tempat tumbuhnya tangkai mawar berkuntum tiga, satu tenaga
dahsyat sudah menghantamnya.
Pada percobaannya yang terakhir,
Pengemis Pincang berhasil menemukan cara yang menurutnya sangat tepat.
Sayangnya, dia tak bisa lakukan percobaannya itu.
Dipikirkannya untuk mencari orang yang dapat melakukannya hingga dia mendengar
kabar tentang Dadu Ganggang yang memiliki ilmu 'Tapak Sepuluh'.
Meminta bantuan Dadu Ganggang sudah tentu adalah tindakan percuma. Tetapi dia
tak habis akal. Dengan bujuk rayu akhirnya Pengemis Pincang berhasil
mempengaruhi Demit Merah yang merupakan murid Dadu Ganggang satu-satunya.
Dipandanginya Demit Merah sesaat.
"Kau bisa memulai dari tempatmu melangkah. Aku tak bermaksud menggurui mu,
tetapi aku memiliki keterangan yang ba-
gus. Kau harus mempergunakan ilmu 'Tapak Sepuluh' yang kau miliki. Lantas segera
mencabut tangkai mawar berkuntum tiga itu sekaligus, lalu menghindar
secepat- cepatnya!"
"Huh! Untuk urusan sepele seperti ini kau masih banyak omong!" dengus Demit
Merah. Dengan kepala terangkat angkuh dia memandang lagi pada tangkai mawar
merah berkuntum tiga yang tumbuh di tengah-tengah Taman Kematian.
Di balik ranggasan semak, Raja Naga mengerutkan kening. Dari sela-sela semak itu
dia memandangi keduanya bergantian.
"Aku menangkap satu siasat licik.
Orang yang kakinya kecil sebelah dan dipanggil dengan sebutan Pengemis Pincang
itu, nampaknya sedang bermain sandiwara.
Dari gelagatnya jelas sekali terlihat kalau dia mencoba memanfaatkan orang
tinggi besar yang memiliki ilmu 'Tapak Sepuluh'
itu. Aku yakin, bila orang berjuluk Demit Merah itu mau mempergunakan sedikit
otak-nya, tentunya dengan mudah dia sudah menangkap gelagat tak baik dari
Pengemis Pincang. Hemmm .. tentunya karena selalu dipuji yang membuatnya menjadi
besar kepala dan bayangan harta karun itulah yang bikin dia tak sadari keadaan.
Kalau begitu... biar aku berada di sini dulu...."
Demit Merah menarik napas dalam-
dalam. Matanya memandang tak berkedip pa-
da tiga kuntum mawar itu. Secara tiba-tiba tanah yang dipijaknya membubung
setinggi lutut. Kemudian tubuhnya bergetar.
Kedua tangannya mengepal kuat-kuat.
Melihat keadaan itu ,Pengemis Pincang mundur dua tindak ke belakang.
"Kalau sejak tadi tanah yang dipijaknya tak mengalami apa-apa, sekarang terjadi
perubahan. Hemm... tentunya dia sudah mengeluarkan ilmu 'Tapak Sepuluh'.
Bagus! Dan kalau saja dia bisa menghindari tenaga gaib yang keluar dari dalam
tanah, mungkin semua yang kuinginkan akan tercapai. Kalau begitu... aku harus
bersiap pula untuk membantunya...." katanya dalam hati.
Wuuutttt!! Terdengar angin berkesiuran kencang disusul dengan tanah yang membubung tinggi.
Lelaki berompi hitam itu sudah melesat ke depan. Tubuhnya seperti melayang.
Langkahnya tak menginjak tanah, tetapi kedua kakinya bergerak-gerak seperti
orang berlari di saat melompat. Kecepatan tubuh Demit Merah laksana bayangan
belaka! Pengemis Pincang menahan napas dan memperhatikan tak berkedip.
Raja Naga mendesis kagum dalam ha-ti. Demit Merah terus melayang. Bersamaan
dengan itu dirasakannya satu tenaga melesat ke arahnya. Tetapi dengan ilmu yang
dimilikinya yang dapat membuatnya bergerak laksana angin dia berhasil
menghindari tenaga dahsyat yang siap menghantamnya tadi. Bersamaan suara letupan
keras yang menghantam sebuah pohon yang langsung me-ranggas gugur dedaunannya,
Demit Merah sudah tiba di dekat tangkai mawar berkuntum tiga.
Dan.... tap! Tangan kanannya telah meraup tangkai bunga mawar berkuntum tiga itu, lalu
ditariknya. Bersamaan dengan tangkai mawar berkuntum tiga itu ditarik, seketika terdengar
suara bergemuruh dari dalam tanah.
Begitu kencang seolah perut bumi hendak muntah secara bersamaan.
Menyusul... Jlegaaaarrr!! Laksana sumber air deras yang am-
brol ke udara. gelombang angin menderu lintang pukang. Menerjang apa saja yang
ada di sana. Tempat yang semula tenang itu benar-benar diamuk badai dahsyat.
Kendati Demit Merah hanya menganggap kecil omongan Pengemis Pincang, tetapi dia
sudah melompat dengan mempergunakan ilmu 'Tapak Sepuluh' begitu berhasil
mencabut tangkai mawar berkuntum tiga.
Saat kedua kakinya tegak kembali di atas tanah, dia terperangah melihat
gelombang angin yang muncul dari dalam tanah di ma-
na dia mencabut tangkai mawar berkuntum tiga tadi.
"Gila! Untung aku masih punya otak untuk langsung menghindar begitu tangkai
mawar ini berhasil kucabut!"
Gelombang angin yang seketika membuat tempat itu diamuk badai, terus menghantam!
apa saja yang ada di sekitarnya.
Pepohonan tumbang terseret, ranggasan semak pecah rengkah dan tanah membubung
tinggi. Kiamat kecil telah datang!
Pengemis Pincang sudah merunduk
dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Raja Naga merebahkan tubuh di atas tanah dan
menamengi diri dengan tenaga dalam. Pemuda dari Lembah Naga itu sebenarnya bisa
menahan gelombang angin yang mengarah padanya, tetapi bila dilakukannya itu
berarti keberadaannya di sana akan diketahui oleh Pengemis Pincang dan Demit
Merah. Makanya dia memutuskan untuk merebahkan tubuh saja!
Di pihak lain, Demit Merah mengangkat dan mendorong kedua tangannya tatkala
gelombang angin memutar menderu ke arahnya. Bersamaan dia mendorong kedua
tangannya, dia segera melompat ke belakang.
Blaaaarrr!! Hamparan angin yang melesat dari


Raja Naga 04 Rahasia Taman Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tangannya tadi pecah terhantam gelombang angin memutar yang agak berbelok
sedikit. Dan melibas ranggasan semak yang
berpentalan ke berbagai penjuru.
"Orang pincang keparat!! Bagaimana cara menghentikan badai itu, hah"!" serunya
keras. Masih merunduk Pengemis Pincang
berseru, "Aku tidak tahu!"
"Jahanam sial!" geram Demit Merah seraya mengertakkan rahangnya.
Didengarnya lagi seruan Pengemis
Pincang, "Menurut Ki Dundung Kali, badai itu akan berhenti dengan sendirinya!"
"Ya! Setelah menghantam dan melibas kita sampai mampus!"
Di balik ranggasan semak yang sudah tak menghalangi lagi tubuhnya karena sudah
pecah berhamburan, Raja Naga mendon-gak dengan tangan kanan menghalangi kedua
matanya. "Kalau tak segera kuhentikan, badai yang keluar ganas itu akan membikin hancur
tempat ini! Mungkin pula akan melibas ku! Selagi bubungan tanah itu menghalangi
pandangan, sebaiknya kuhentikan saja semua ini!" desisnya sambil menajamkan
pandangannya. Dengan gerakan sangat cepat pemuda yang kedua tangan hingga sikunya bersisik
kecoklatan ini berdiri. Tubuhnya terlihat agak samar-samar karena tanah yang
membubung. Mendadak saja dia menghentakkan ka-ki kanannya. Anak muda dari Lembah
Naga ini sudah mengeluarkan ilmu 'Barisan Naga
Penghancur Karang'!
Seketika tanah itu bergerak sangat cepat, suara bergemuruh semakin menjadi-jadi,
dipadu dengan ganasnya badai yang terus keluar dari dalam tanah!
Menyusul.... blaaaarrr! Blaaarrr!
Blaaaarr!! Terdengar ledakan dahsyat beberapa kali yang semakin membuat tempat itu ber-
goncang hebat. Demit Merah yang sedang mengerahkan tenaga dalam, terpental ke
belakang. Sosok Pengemis Pincang terhem-pas di atas tanah.
Raja Naga mengulangi lagi tindakannya. Bersamaan dengan ledakan dahsyat yang
kembali terdengar, dia langsung melompat ke atas sebuah pohon yang agak jauh
dari tempatnya!
Letupan terdengar beberapa kali,
menyusul api dahsyat yang sesaat menggembrus.
Brussss!! Bersamaan api yang menggembrus dan menghamburkan asap hitam terjadi, badai yang
muncul dari dalam tanah perlahan-lahan mengecil dan lenyap. Tinggal kepulan asap
yang membubung tinggi.
Secara bersamaan pula terdengar ko-kokan ayam jantan di kejauhan.
* * * TIGA PENGEMIS Pincang yang telah berdiri tegak, memandangi kepulan asap itu dengan
seksama. Seperti mengingat sesuatu, samar-samar kening lelaki pincang ini
berkerut. "Ada sesuatu yang terjadi... ada sesuatu yang membuat badai dari dalam tanah itu
terhenti...." desisnya.
Perlahan-lahan lelaki berkaki kecil sebelah ini mengedarkan pandangannya.
Yang terpampang di de-pan matanya hanyalah tempat yang telah porak poranda.
Pepohonan tumbang tumpang tindih. Tanah terbongkar di sana-sini.
Matanya menyipit dengan kening berkerut.
"Kendati tak kulihat adanya orang, tetapi aku yakin, aku masih sempat melihat
tanah bergerak cepat dengan suara keras. Hemm... jelas bergeraknya tanah itu tak
mungkin terjadi tanpa ada yang menye-babkannya...."
"Badai telah usai! Tangkai mawar berkuntum tiga telah tercabut! Mana harta karun
itu"!"
Bentakan keras Demit Merah membuat Pengemis Pincang tak lagi meneruskan apa yang
jadi pikirannya. Dipandanginya orang tinggi besar itu sesaat.
Lalu dengan langkah pincang dia ma-
ju tiga langkah seraya berkata, "Kau telah lalui ujian pertama untuk mendapatkan
harta karun itu!"
Setan! Lantas kau maksudkan akan
ada ujian kedua"!" geram Demit Merah keras.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang bukanlah sesuatu yang menyulitkan," sahut
Pengemis Pincang sambil melangkah lagi, ke arah Taman Kematian yang telah porak
poranda. Diikuti pandangan curiga dari Demit Merah, lelaki pincang itu menghentikan
langkahnya tepat pada tanah di mana tadi Demit Merah mencabut tangkai mawar
berkuntum tiga. Lalu dengan tangan kanannya Pengemis Pincang mulai menggali.
Melihat hal itu Demit Merah menggeram.
"Terkutuk! Dia rupanya hendak me-langkahi ku!" makinya gusar. Kemudian
bentaknya, "Orang pincang celaka! Apa yang kau lakukan, hah"!"
Pengemis Pincang menghentikan pe-
kerjaan menggalinya. Mengangkat wajahnya pada Demit Merah.
"Kau telah melakukan tugasmu! Kali ini biarlah aku yang melakukan tugasku!"
"Apa maksudmu"!"
"Tanganmu akan menjadi kotor bila kau menggali tanah ini! Biarlah aku yang
melakukannya!"
Demit Merah tak buka suara. Matanya memperhatikan penuh curiga.
"Hemm... dari semula aku menyangsi-kan apa yang dikatakannya. Tetapi dia sangat
meyakinkan, hingga aku dapat mem-percayainya. Membunuhnya semudah membalikkan
telapak tangan. Berarti bila dia nekat mendustai ku, akan kubunuh saat ini
juga." Karena tak ada sahutan atau tindakan apa-apa dari Demit Merah, Pengemis Pincang
meneruskan pekerjaannya. Sesungguhnya, dengan ilmu yang dimilikinya, Pengemis
Pincang akan dengan mudah dan singkat saja menggali tanah itu. Tetapi karena dia
berkeinginan tetap berlaku bodoh makanya dia menggali tanpa mempergunakan
ilmunya. Pekerjaan menggali itu baru selesai tatkala matahari mulai sepenggalah.
"Kau sudah melihat harta karun itu?" seru Demit Merah.
"Kau bisa melihatnya sendiri sekarang.
Dengan langkah lebar dan hati dipenuhi sedikit ketegangan, Demit Merah melangkah
mendekat. Dia melongok pada lubang sedalam setengah badannya. Dari dalam lubang
itu terlihat sinar indah ber-kilau -kilau. Seketika mata Demit Merah membelalak
lebar. Mulutnya menganga tanpa mengeluarkan suara. Untuk sesaat lelaki
tinggi besar ini terdiam terpana menyaksikan apa yang ada di dalam lubang itu.
"Astaga!" desisnya tertahan.
Di balik rimbunnya dededaunan, Raja Naga memperhatikan dengan seksama. Dia juga
melihat sedikit kilatan cahaya indah dari dalam lubang yang digali Pengemis
Pincang. "Hemm... seruan Demit Merah jelas kalau dia melihat harta yang dicarinya.
Berarti orang pincang itu tidak berbo-hong. Hanya saja aku menangkap satu ke-
janggalan. Sepertinya orang pincang itu memang tak menginginkan harta yang
terdapat pada lubang itu. Lantas apa yang diinginkannya" Dan mengapa dia
berpura-pura bodoh" Dia menggali dengan mempergunakan tangannya dan membutuhkan
waktu yang cukup lama, tetapi tak sebutir keringat pun membasahi wajahnya. Ini
menandakan kalau dia memang bukan orang sembarangan. Ah, bila saja Demit Merah
lebih memperhatikan...."
Raja Naga melihat Demit Merah berlutut dan memasukkan kedua tangannya ke dalam
lubang lebar. Saat ditarik keluar tawa Demit Merah menggelegar.
"Ha ha ha... dengan kekayaan ini, aku dapat mewujudkan seluruh rencanaku!!"
serunya seraya mengangkat tinggi-tinggi bungkusan kain hitam usang. Dari balik
kain hitam itulah terlihat samar-samar
kilauan cahaya di dalamnya.
Dengan sesekali terdengar tawanya, Demit Merah meletakkan benda yang ter-bungkus
kain hitam usang itu pada telapak tangan kirinya. Lalu berhati-hati dia mulai
membuka. Kilauan cahaya batu berlian segera membayang pada wajahnya. Butiran berlian
indah menumpuk pada bungkusan itu!
"Menakjubkan! Sungguh menakjubkan!!" serunya berulang-ulang.
Pengemis Pincang tersenyum.
"Demit Merah... apakah aku membo-hongimu?"
Demit Merah hanya tertawa keras.
Kepuasan membayangi wajahnya. Dan secara tiba-tiba dia memutuskan tawanya.
Dengusannya seketika terdengar. Tatapannya mengeras, tajam pada Pengemis
Pincang. "Mengapa kau menatapku seperti itu, hah"!"
Pengemis Pincang hanya tersenyum.
"Orang pincang celaka! Kau sudah mengatakan kalau harta karun ini untukku!
Mengapa kau memandangku seperti itu, hah"!"
Pengemis Pincang buru-buru menganggukkan kepalanya.
"Aku hanya senang melihat kau puas seperti itu...."
"Bagus! Urusan sudah selesai! Menyingkir dari si ni!" bentak Demit Merah
sambil membungkus kembali berlian indah yang banyak jumlahnya.
Pengemis Pincang berkata, "Puluhan batu berlian itu akan menjadi harta ke-
kayaanmu tujuh turunan! Benda-benda yang banyak diinginkan orang! Demit Merah...
sebaiknya kau membungkus berlian-berlian itu dengan kain yang lebih bagus dan
baik. Rasanya tak pantas kalau dibungkus dengan kain hitam yang usang seperti
itu...." Demit Merah sesaat memperhatikan
kain hitam yang membungkus berlian-berlian itu.
Kemudian dengusannya, "Aku tak memiliki kain lain sebagai ganti! Biar kain hitam
usang ini yang membungkusnya!"
"Kau tak menghargai sebuah keinda-han tiada tara. Sudah tentu kain usang itu tak
pantas dijadikan sebagai pembungkus...." kata Pengemis Pincang tenang.
Lalu memasukkan tangan kanannya ke balik pakaiannya. Saat ditarik keluar, ditan-
gannya telah terpegang sebuah kain warna jingga terbuat dari sutera. "Kain
inilah yang pantas membungkus berlian-berlian itu...."
Demit Merah memandang tajam Pengemis Pincang. Yang dipandang menganggukkan
kepala seraya mengangsurkan kain sutera berwarna jingga itu.
Tiba-tiba Demit Merah terbahak-
bahak. "Kau memang pandai! Kau dapat me-nyenangkan orang!" serunya keras sambil
menyambar kain sutera itu. Lalu ditua-ngnya berlian-berlian itu ke dalam kain
sutera. Kain hitam usang pembungkusnya tadi di lontarkan asal saja dan jatuh ke
tempat yang cukup jauh. Setelah itu dima-sukkannya berlian-berlian yang telah
ter-bungkus kain sutera itu ke balik pakaiannya.
Kemudian katanya, "Urusan ini sudah selesai! Aku tak punya urusan lagi!
Kecuali... kalau kau hendak merebut berlian-berlian ini dari tanganku!"
Pengemis Pincang buru-buru menggeleng.
"Tidak, aku tak pernah punya niatan seperti itu! Kau bebas pergi ke mana saja
dengan membawa berlian-berlian itu! Karena urusan memang sudah selesai!"
"Bagus! Kau tahu gelagat rupanya!"
"Tapi... kau mau menganggapku sebagai seorang sahabat, bukan?" suara Pengemis
Pincang penuh harap.
Demit Merah terbahak-bahak keras.
Masih terbahak dia sudah melangkah meninggalkan tempat itu. Tawa kerasnya
semakin lama semakin menghilang dan lenyap sama sekali.
Pengemis Pincang masih berdiri di tempatnya.
Raja Naga yang menyaksikan semua
itu dari balik rimbunnya dedaunan mengerutkan keningnya.
"Aneh! Aku melihat semua ini sebagai sebuah keanehan! Apa yang sesungguhnya
diinginkan oleh lelaki pincang itu"
Dia sama sekali tak menghendaki berlian-berlian yang kini dibawa Demit Merah!
Dan tak ada tanda-tanda dia menginginkannya atau mencoba merebutnya di sebuah
tempat! Bahkan dia telah mempersiapkan sebuah kain sutera sebagai pengganti kain hitam
usang yang sebelumnya membungkus berlian-berlian itu. Sebenarnya apa yang di...
hei! Apa yang dia lakukan"!"
Di bawah, Pengemis Pincang mendadak saja tertawa keras. Wajahnya yang bila
berhadapan dengan Demit Merah selalu tegang dan ketakutan, kali ini tak
kelihatan ketakutannya sama sekali. Kedua bahunya yang kurus sampai berguncang.
"Aku berhasil! Aku berhasil menge-labuinya!" serunya berulang-ulang.
Ditempatnya Raja Naga membatin la-gi, "Dia berhasil mengelabui orang itu"
Astaga! Aku jadi makin penasaran! Apa yang sebenarnya diingininya"!"
Pengemis Pincang tiba-tiba memutus tawanya. Dia berbalik dan melangkah bergegas
ke arah kanan, di mana kain hitam usang yang tadi sebagai pembungkus berlian
tergeletak. Raja Naga melihat lelaki pincang itu memungut kain hitam usang tadi.
"Inilah yang kucari! Benda inilah yang selalu dibicarakan oleh guruku, Ki
Dundung Kali, tetapi tak pernah mau memberitahukan padaku bagaimana cara mengam-
bilnya! Hahaha... benda inilah yang kuinginkan! Kain Pusaka Setan!"
Raja Naga tersentak dengan kepala terangkat. Sepasang matanya yang selalu
menyiratkan keangkeran memandang tak berkedip pada Pengemis Pincang yang sedang
terbahak-bahak.
"Pantas kalau dia tak menginginkan berlian-berlian itu... pantas pula dia telah
menyiapkan sebuah kain pengganti kain hitam usang itu. Karena... kain itulah
yang diinginkannya.... Luar biasa!
Sungguh dia memiliki kecerdikan yang tinggi! Dan kalau tidak ada apa-apanya, tak
mungkin dia mau bersusah payah melakukan sandiwara di hadapan Demit Merah...."
Di bawah, Pengemis Pincang masih
tertawa keras sambil memandangi kain hitam usang yang berada di tangan kanannya.
"Kain Pusaka Setan! Benda ini yang kuinginkan! Dengan benda ini aku dapat
melakukan apa saja!! Ha ha ha....!"
Masih tertawa Pengemis Pincang membebatkan kain hitam usang itu pada telapak
tangan kanannya. Lalu diputus tawanya
sendiri. Dipandanginya sekelilingnya dengan tatapan tak berkedip.
"Menurut cerita Ki Dundung Kali...
benda ini tak ada tandingannya di muka bumi! Hemm... aku harus mencobanya!!"
Habis mendesis demikian, mendadak saja Pengemis Pincang terdiam. Dari sikapnya
jelas kalau dia sedang memusatkan pikiran pada satu masalah. Dan seperti melihat
lawan yang sudah siap menyerang-nya, di gerakkan tangan kanannya itu dengan cara
menyentak ke depan.
Breeerrrrrr!!! Serta merta menghampar gelombang
angin laksana badai yang segera menghantam tanah. Letupan dahsyat terdengar
beberapa kali bersamaan tanah yang muncrat dahsyat! Kedahsyatan yang terjadi
tidak hanya sampai di sana. Karena mendadak sa-ja hamparan gelombang angin tadi
berbalik arah, menyentak naik ke udara dan meluncur kembali ke bawah disertai
letupan berulang-ulang.
Dan.... Buummm!!
Begitu gelombang angin yang meluncur tadi menghantam tanah, letupan mengerikan
terjadi seiring tanah yang membuyar ke udara. Cukup lama tanah-tanah itu
menghalangi pandangan sebelum kemudian sirap kembali. Dan terlihat kemudian
bagaimana sebuah lubang besar yang mengeluarkan asap telah terbentuk sejarak
sepu- luh langkah dari hadapan Pengemis Pincang.
Kontan tawa Pengemis Pincang meledak.
Raja Naga yang menyaksikan kejadian itu dan sempat merasakan pohon di mana dia
bersembunyi bergetar, melengak kaget.
Mulutnya membuka lebar.
"Astaga!" desisnya. "Kain hitam usang itu ternyata memang bukan benda
sembarangan"!"
"Tak sia-sia aku berlaku bodoh di hadapan Demit Merah! Tak sia-sia ku dustai
Peramal Sakti! Dan tak sia-sia aku meracuni guruku untuk menjelaskan semuanya!"
Sepasang mata angker Raja Naga bersinar lebih angker ketika mendengar seruan
itu. Gelegak amarah mendadak saja merajai tubuhnya.
"Orang seperti dialah yang membuat segala urusan jadi berantakan. Orang be-rotak
licik yang menghancurkan siapa pun juga dengan mempergunakan akalnya ini lebih
berbahaya daripada melakukannya dengan jalan kekerasan. Karena tak nampak di
mata," desisnya dalam hati.
Lalu di lihatnya Pengemis Pincang yang berdiri tegak dengan kaki kanan,
sementara kaki kirinya menjulai. Kain Pusaka Setan masih terbebat pada telapak
tangan kanannya.
Tawa kepuasan Pengemis Pincang terhenti sudah. Mulutnya merapat dingin. Matanya
menyipit. Menyusul desisannya yang bernada dingin.
"Dengan benda sakti ini, aku dapat menuntut balas perbuatan perempuan celaka
yang menolak cintaku! Yang menyakiti hatiku! Dan yang telah menghinaku!" Orang
ini melangkah ke depan. Matanya diedar-kan. Dewi Bintang... tak lama lagi kau


Raja Naga 04 Rahasia Taman Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mampus di tanganku!!"
Raja Naga membatin, "Hemmm... Dewi Bintang. Aku tak tahu siapa adanya perempuan
itu. Tetapi yang pasti, Pengemis Pincang berkeinginan membunuhnya. Ah, apakah
ini suatu pengkhianatan cinta seperti yang dilakukan Nenek Konde Satu terhadap
Bandung Sulang" Hingga saat ini aku tak tahu kabar Nenek Konde Satu. Bisa jadi
kalau dia telah tewas dibunuh oleh Hantu Menara Berkabut." (Untuk mengetahui
tentang Nenek Konde Satu, Bandung Sulang dan Hantu Menara Berkabut, silakan
baca: "Tapak Dewa Naga" sampai Misteri Menara Berkabut").
Tiba-tiba saja gemuruh angin lin-
tang pukang menerjang ganas ke arah lima buah pohon yang berdiri
sejarak lima belas langkah dari
tempat Pengemis Pincang berdiri. Rupanya lelaki pincang itu sudah mendorong lagi
tangan kanannya!
Letupan dahsyat beberapa kali terdengar mengerikan! Pepohonan itu berpentalan
dan pecah di udara dan menimbulkan suara cukup keras!
Pengemis Pincang terdiam dengan da-da naik turun. Parasnya kini dibiasi se-juta
dendam yang ingin segera ditun-taskan.
"Dewi Bintang.... kau akan mampus!
Kau akan menyesali tindakanmu kepadaku!!"
serunya berulang-ulang.
Di tempatnya Raja Naga berkata dalam hati, "Aku tak ada urusan apa-apa dalam hal
ini. Tetapi maksud busuk Pengemis Pincang itu harus kuhentikan. Sudah dapat
kupastikan kalau urusan ini akan jadi runyam...."
Memutuskan demikian, Raja Naga menarik napas dalam-dalam. Mata angkernya terus
memandang pada Pengemis Pincang.
Dan baru saja dia hendak mengempos tubuh untuk turun, mendadak saja dilihatnya
sa-tu bayangan kuning melesat dari arah depan Pengemis Pincang!
Lelaki pincang itu sempat menangkap bayangan yang mengarah padanya. Dia sesaat
melengak kaget. Menyusul teriakannya terdengar keras,
"Terkutuk! Kembali kau!!"
Sosoknya sudah melesat menyusul
bayangan kuning yang telah menyambar Kain Pusaka Setan yang terbelit di
tangannya tadi. Melihat hal itu jelas kalau si Bayangan Kuning bukan orang sembarangan.
Kain yang terbelit di tangan itu tak mudah dilepaskan begitu saja, tetapi si
Bayangan Kuning berhasil merebutnya!
Raja Naga terperangah. Dia kembali pada maksud semula untuk turun. Tetapi kali
ini dengan tujuan untuk melihat siapa adanya si Bayangan Kuning.
Tatkala mendengar deru angin dah-
syat yang mengarah pada Pengemis Pincang, murid Dewa Naga ini mengurungkan niat.
"Manusia setaaannn!!!" makian Pengemis Pincang terdengar keras bersamaan dia
membuang tubuh ke samping kanan.
Blaaaammmm!! Tanah di mana tadi dia berdiri,
kontan rengkah ke udara dan tatkala sirap telah terbentuk sebuah lubang yang
cukup besar serta mengeluarkan asap!
Si Bayangan Kuning yang tadi melesat itu dan tiba-tiba berbalik seraya ke-
pretkan kain hitam usang itu, sudah lenyap dari pandangan.
Hanya tawanya yang menggema berkepanjangan.
"Setan alas!" geram Pengemis Pincang yang sudah berdiri tegak. "Manusia
berpakaian kuning! Kau telah membuka urusan denganku! Berarti kau harus
mampus!!" Kejap berikutnya, lelaki pincang
ini sudah berkelebat ke arah perginya si
Bayangan Kuning.
Tiga kejapan mata berikutnya, Raja Naga melompat turun dan segera menyusul.
Anak muda dari Lembah Naga ini memperkirakan urusan akan bertambah kacau.
Pengemis Pincang telah mendapatkan Kain Pusaka Setan dengan susah payah. Niatan
untuk membunuh Dewi Bintang telah terpampang.
Tetapi ada orang lain yang kemudian mendapatkannya dengan cara merebutnya.
"Luar biasa! Cara orang berpakaian kuning itu berkelebat dan merebut Kain Pusaka
Setan dari tangan Pengemis Pincang sungguh luar biasa! Dan serangannya
barusan... hemm... jelas kalau manusia berpakaian kuning itu bukan orang
sembarangan!" desis Boma Paksi dalam hati. "Dan aku jelas melihat... kalau si
Bayangan Kuning adalah seorang gadis berambut kuncir kuda!"
Sambil terus membatin, murid Dewa Naga terus berlari menyusul.
* ** EMPAT MALAM kembali membentang kelam.
Udara dingin berhembus, kian menusuk tulang, dan seperti membawa kabar yang
mengerikan ke tempat yang agak landai dan
dipenuhi pepohonan itu. Lolongan serigala terdengar di kejauhan, lambat dan
panjang, menggema dingin dan mengerikan.
Di tengah-tengah tempat yang boleh dikatakan seperti sebuah lembah, terdapat
sebuah gubuk yang sudah condong ke kanan.
Gubuk yang kelihatan tak lama lagi akan ambruk. Bila saja malam ini angin
berhembus lebih kencang, tak mustahil gubuk itu akan terbongkar pecah.
Di dalam gubuk reyot itu seorang
kakek berjenggot putih yang panjang hingga perut, duduk di atas sebuah dipan
usang. Tangan kanan si kakek terus menerus mengusap-usap jenggot putihnya.
Sepasang matanya redup, bersinar agak sedikit terang. Si kakek yang rambut
putihnya dikuncir ekor kuda ini nampak sedang memikirkan sesuatu. Jelas dari
keningnya yang sesekali dikerutkan.
Lamat-lamat terdengar helaan napasnya bersamaan wajahnya yang agak murung.
"Ah... entah apa yang terjadi sebenarnya, perasaanku semakin tidak enak sa-ja!
Dan sungguh aneh, mengapa aku meramalkan kalau telah terjadi sesuatu di Taman
Kematian?" desisnya pelan, terus mengusap-usap jenggot putihnya yang menjadi
kebiasaannya. Dia terdiam sejenak sebelum meneruskan ucapannya seraya
menggeleng-gelengkan kepala, "Kedatangan Karna Dirga atau yang berjuluk Pengemis
Pincang, sam- pai saat ini masih menjadi pikiranku. Ta-pi... mengapa?"
Kakek berpakaian putih panjang ini kembali terdiam, memikirkan jawaban atas
pertanyaannya sendiri. Otaknya sesekali berkerut lagi. Tangan kanannya masih
terus mengusap-usap jenggot putih panjangnya.
"Benarkah memang dia yang menyuruhnya datang padaku untuk menanyakan kepastian
tentang Kain Pusaka Setan yang terdapat di Taman Kematian" Semula aku memang tak
percaya dengan ucapan Pengemis Pincang kalau dia disuruh Ki Dundung Kali untuk
menjumpai ku menanyakan kejelasan tentang benda setan itu. Tetapi... ah, apakah
aku telah lakukan kesalahan" Kesalahan yang harus kutebus dengan sebuah
perjalanan panjang mengerikan?"
Si kakek yang berjuluk Peramal Sak-ti ini kembali terdiam. Perasaan tidak enak
menyiksa batinnya. Angin dingin masuk melalui pintu yang terbuka lebar, karena
memang tak ada daun pintu di sana.
Kembali terdengar helaan napasnya panjang-panjang.
"Mungkin aku telah melakukan kesalahan. Karena entah mengapa aku meramalkan
kalau akan terjadi sebuah urusan besar yang diakibatkan oleh Kain Pusaka Setan.
Hanya aku dan Ki Dundung Kali yang dapat mengambil benda sakti itu dengan
mudah. Karena kami sama-sama tahu bagaimana cara menanggulangi tenaga dahsyat
yang akan keluar dari dalam tanah setelah tangkai mawar berkuntum tiga tercabut.
Karena memang aku dan Ki Dundung Kali-lah yang menanam tenaga gaib itu di sana.
Dan telah memberikan tenaga dalam pada tangkai mawar berkuntum tiga hingga tak
pernah layu selama seratus tahun."
Kakek berjenggot putih panjang ini menarik napas pendek. Lalu melanjutkan,
"Ki Dundung Kali tak mungkin melakukan tindakan itu. Kami telah bersumpah untuk
tidak mengutak-atik Taman Kematian, tempat kami menguburkan barang celaka itu.
Tetapi Pengemis Pincang" Ah, begitu bo-dohnya aku yang tak meramalkan kejadian
ini sebelumnya. Aku memang meramalkan akan kedatangan seorang tamu, dan ternyata
si Pengemis Pincang yang mengatakan kalau dia disuruh gurunya untuk... ah...
aku telah melakukan kesalahan... kesalahan besar...."
Memutus sendiri ucapannya, Peramal Sakti menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ketimbang ini jadi pikiranku sementara ramalanku jelas-jelas mengisya-ratkan
akan terjadi kejadian buruk, sebaiknya aku datangi saja si Dundung Kali.
Mudah-mudahan dia bisa memberikan kejela-sannya. Dan kuharapkan pula kalau
ramalan ku kali ini meleset..."
Memutuskan demikian, si kakek berjenggot putih panjang segera berdiri. La-lu
turun dari dipan yang di dudukinya dan melangkah ringan keluar. Udara malam me-
nyergapnya. Tetapi tak terlihat dia menggigil. Bahkan, pakaian panjang yang
dikenakannya tak bergerak sedikit pun dihembus angin! Demikian pula rambut dan
jenggot panjangnya!
Si kakek memperhatikan dulu seki-
tarnya sebelum kemudian melangkah meninggalkan gubuk yang tak ditutupnya, karena
memang tak memiliki daun pintu. Langkahnya nampak perlahan dan begitu tenang,
tetapi hanya dalam waktu tiga kejapan ma-ta saja, sosoknya sudah lenyap sama
sekali! * * * Jarak yang ditempuh Peramal Sakti untuk menjumpai Ki Dundung Kali seharusnya
ditempuh dalam waktu satu hari satu malam perjalanan berkuda. Dan kalau berjalan
kaki bisa ditempuh hingga satu hari dua malam. Tetapi menjelang pagi dia sudah
tiba di tempat yang dituju.
Tempat itu merupakan sebuah tempat yang dipenuhi ranggasan semak belukar.
Keheningan yang terjaga di tempat itu cukup mendebarkan. Tak jauh dari sana ter-
dapat sebuah sungai yang alirannya cukup deras. Suaranya bergemuruh kencang,
terutama pada telinga si kakek yang sangat peka.
"Aneh! Mengapa sepi sekali?" desis si kakek sambil mengusap-usap jenggot putih
panjangnya. "Tak terdengar suara gerakan apa pun atau desahan napas kecuali
burung-burung yang beterbangan. Apakah ada sesuatu yang telah terjadi" Atau...
si Dundung Kali sudah berangkat menuju Taman Kematian" Kalau memang demikian,
berarti dugaanku salah. Bisa jadi Karna Durga memang diperintah olehnya untuk
menjumpai ku."
Si kakek kembali terdiam, hanya memandangi ranggasan semak belukar setinggi dada
yang terpampang di depannya sambil mengusap-usap jenggot putihnya. Kemudian
seraya melangkah digerakkan tangannya sedikit. Tiba-tiba saja ranggasan semak
itu menguak dan membentuk sebuah jalan.
Terlihat di balik ranggasan semak itu sebuah gubuk yang tak begitu besar tetapi
masih kokoh. Dengan enaknya Peramal Sakti melangkah ke sana. Begitu dia berada
di balik ranggasan semak, semak yang tadi menguak memberinya jalan itu sudah
menutup kembali.
"Dundung Kali! Aku datang untuk me-nyambangi mu! Bila kau berada di dalam,
jangan sampai aku masuk ke dalam gubukmu
yang bau apak!" serunya. Lalu sambungnya,
"Sama seperti bau apak yang menguar di gubukku sendiri!"
Tak ada sahutan apa-apa dari dalam gubuk.
Si kakek menghentikan langkahnya.
"Memmm... jangan-jangan gubuk itu kosong. Dundung Kali rupanya sudah berangkat
menuju ke Taman Kematian. Hanya saja aku tak habis mengerti, mengapa dia meminta
aku menjelaskan tentang Taman Kematian, seperti yang dikatakan muridnya, si
Pengemis Pincang?"
Kembali Peramal Sakti merapatkan
mulutnya. Di usap-usap lagi jenggot putih panjangnya.
"Aneh! Ramalanku mengatakan sesuatu telah terjadi di Taman Kematian. Kain Pusaka
Setan telah di dapatkan oleh seseorang. Tidak! Bukan oleh Dundung Kali maupun
muridnya! Tetapi orang lain yang tak kuketahui siapa..."
Habis berpikir begitu, Peramal Sak-ti melangkah mendekati gubuk itu seraya
berseru, "Dundung Kali! Apakah kau berada di dalam"!"
Hanya suara angin dan burung-burung yang terdengar. Untuk kesekian kali Peramal
Sakti menghentikan langkahnya. Dia terdiam sejenak. Lalu terlihat wajahnya agak
tegang Bergegas dia melangkah ke dalam.
"Dundung Kali!" desisnya terkejut.
Dilihatnya satu sosok tubuh sedang berbaring di atas lantai dengan kedua tangan
membujur di sisi kanan kiri pinggang. Wajah tua yang dilihatnya meringis.
Mulutnya susah payah membuka, tetapi tak ada suara yang keluar.
"Siapa yang lakukan ini?" tanya Peramal Sakti sambil berlutut. Diperiksanya
tubuh tua yang mengenakan pakaian merah penuh tambalan itu. Terlihat kemudian
keningnya berkerut. "Aneh! Aku tak merasakan sesuatu yang membuatnya terbujur
tanpa daya! Bahkan aku tak melihat adanya luka di sekujur tubuhnya. Berarti...."
"Kau telah diracuni seseorang," katanya kemudian. Lalu mengambil sesuatu dari
tabung kecil yang berada di balik pakaiannya. Diangkatnya kepala Ki Dundung
Kali. Tiga buah pil hitam yang kini dipegangnya dimasukkan ke mulut Ki Dundung
Kali yang sesaat tersedak, lalu terbatuk dan terdiam menahan sakit.
"Tahan! Jangan kau alirkan dulu tenaga dalam mu...." kata Peramal Sakti.
Sikapnya benar-benar tenang. Keterkeju-tannya hanya sekali saja tatkala melihat
sahabatnya terbujur tanpa daya. Kemudian diletakkan telapak tangan kanannya
sejengkal di atas dada kakek berpakaian merah. Satu tenaga keluar, masuk ke dada
Ki Dundung Kali yang semakin meringis mena-
han sakit. Tetapi tetap tak mengeluarkan suara. "Jangan kau tahan tenaga dalamku
dengan tenaga dalammu ..."
Mulut Ki Dundung Kali membuka. Dia berusaha keras untuk mengeluarkan suara.
Dia berhasil melakukannya, tetapi sangat pelan, "Tenaga dalamku... keluar...
keluar dengan sendirinya...."
"Hemm... dalam soal tenaga dalam aku memang mengakui keunggulan nya. Dan jelas
kalau orang yang meracuninya ini punya keberanian tinggi. Rasanya tak mungkin
orang lain yang melakukannya. Berarti... dia adalah muridnya sendiri. Ah, pantas
ramalanku mengatakan kalau sesuatu telah terjadi di Taman Kematian...."
Tarik menarik dan tolak menolak antara tenaga dalam yang dialirkan Peramal Sakti
dengan tenaga dalam yang keluar sendirinya milik Ki Dundung Kali, semakin kuat.
Lama kelamaan Peramal Sakti nampak bergetar hebat. Keringat sudah mengalir di
sekujur tubuhnya.
Susah payah dan menahan sakit Ki
Dundung Kali bersuara, "Sobat... jangan kau lakukan lagi... Karena aku merasakan
tenaga dalamku akan menolak kuat tenaga dalammu.... Yang akan... menyebabkan mu
terluka dalam...."
"Tak usah kau menghiraukan soal itu! Biar bagaimanapun juga aku harus
mengeluarkan racun celaka yang mengalir
di tubuhmu menjadi uap!"
"Bukan bermaksud mengecilkan kemam-puanmu... tetapi kau... kau akan mencela-
kakan dirimu sendiri..."
Peramal Sakti tak peduli. Dia tetap tenang melakukan apa yang menurutnya baik
dilakukan. "Sobat... tenaga dalamku sudah tak kuasa ku bendung. Dia.... akan terlontar
keluar... Hentikan... hentikan tindakanmu...." suara Ki Dundung Kali makin susah
payah dan bertambah serak.
Peramal Sakti tak menjawab. Dia terus mengerahkan tenaga dalamnya. Telapak
tangan kanannya yang berada sejengkal di atas dada Ki Dundung Kali makin
bergetar hebat. Keringat terus membanjiri tubuhnya. Dan dia mulai merasakan
telapak tangannya terangkat naik karena dorongan kuat yang keluar menyentak dari
dada Ki Dundung Kali.
Sebelum tenaga dalam yang keluar
dengan sendirinya itu menyentaknya lebih kuat, mendadak Peramal Sakti melakukan
totokan melalui tangan kirinya pada dada Ki Dundung Kali.
Tuk! Tuk! Tubuh Ki Dundung Kali melonjak sesaat. Suaranya seperti orang tercekik.
Tindakan yang dilakukan Peramal
Sakti memang tepat. Karena begitu tubuh Ki Dundung Kali tertotok kaku, tenaga
da- lam yang keluar sendiri itu sudah terhenti sama sekali.
Tinggal Peramal Sakti yang terus
melakukan pengobatannya. Lamat-lamat keluar uap hitam dari dada Ki Dundung Kali
yang menempel pada telapak tangan kanannya. Semakin lama telapak tangan Peramal
Sakti semakin menghitam. Itu berarti racun yang mengalir di
tubuh Ki Dundung Kali yang telah
menjadi uap hitam telah berkurang dan semakin lama akan berangsur lenyap sama
sekali. Peramal Sakti tersentak ke belakang begitu selesai melakukan pengobatan aneh-
nya. Lalu diusap telapak tangan kanannya dengan tangan kiri seraya mulutnya
berkemak-kemik. Kemudian disentaknya lalu di-tiupnya. Uap hitam yang menempel
itu telah lenyap.
Peramal Sakti segera melepaskan totokan yang di lakukannya.


Raja Naga 04 Rahasia Taman Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana keadaanmu, Sobat?"
Ki Dundung Kali memejamkan matanya beberapa saat. Ketika dibukanya kembali,
wajahnya sudah sedikit cerah dan berke-ringat.
Terima kasih atas bantuanmu," katanya seraya duduk berselonjor. "Bila sa-ja kau
datang terlambat... sebelum matahari tepat di atas kepala, mungkin kau hanya
menjumpai mayatku di sini...."
"Ke mana muridmu itu?" tanya Peramal Sakti kemudian. "Ramalanku mengatakan kalau
telah terjadi sesuatu di Taman Kematian. Kain Pusaka Setan yang kita kubur empat
puluh tahun lalu di sana, telah terbongkar dan kini berada di tangan seseorang."
Ki Dundung Kali terdiam menahan napas. Seraya menghembuskan napas digeleng-
gelengkan kepalanya.
"Semua di luar dugaanku... sama sekali di luar dugaanku. Bukan maksudku untuk
membocorkan rahasia yang berpuluh tahun kita pendam. Tetapi muridku itu sungguh
licik hingga dia bisa mengorek semua keterangan...."
"Bahkan... dia telah datang kepadaku untuk meminta kejelasan."
Tatapan Ki Dundung Kali membuka.
Celaka! Tentunya dia..."
"Dia mengatakan kaulah yang menyuruhnya untuk menjumpai ku. Dan karena ke-
bodohan ku, aku telah membuka semuanya.
Mungkin sama seperti yang kau lakukan.
Karena menurut dugaanku, kau telah mengatakan tentang rahasia itu padanya...."
Ki Dundung Kali menggeleng-
gelengkan kepala. Wajahnya nampak gusar.
"Sobat... ucapanmu sudah menandakan kalau kau tahu aku tak pernah menyuruhnya
untuk menjumpai mu. Yah... tak kusangka kalau aku memiliki murid murtad seperti
itu...." "Kau tak boleh menyesali keadaan.
Yang pasti, kita harus merebut kembali Kain Pusaka Setan. Tapi menurut
ramalanku... benda sakti itu bukan berada di tangan muridmu."
"Okh!" Ki Dundung Kali melengak.
"Kau..." Peramal Sakti berdiri. Memandang keluar. Lalu berkata tenang,
"Ramalanku mengatakan... muridmu memang telah mendapatkan Kain Pusaka Setan
dengan mempera-lat seseorang yang tak kuketahui siapa.
Tetapi seseorang telah merebut benda sakti itu. Dundung Kali... ingatkah kau
pada peristiwa empat puluh tahun lalu, di mana kita pertama kali merebut Kain
Pusaka Setan dari mendiang manusia terkutuk berjuluk Durjana Kayangan"! Benda
itu telah banyak menimbulkan keonaran! Membuat suasana lintang pukang tak
menentu! Bahkan kau dan aku sama-sama terluka dalam dan harus menderita selama
lima tahun setelah berhasil merebut Kain Pusaka Setan!" Ki Dundung Kali berdiri,
"Sudah tentu aku tak pernah melupakannya. Bahkan Kain Pusaka Setan itu kita
jadikan pembungkus berlian-berlian milik Durjana Kayangan. Peramal Sakti... ke
arah mana yang harus kita tuju?"
"Aku belum meramalkannya. Tetapi entah mengapa... semalam aku meramalkan kalau
seseorang akan datang sebagai pe-
nengah! Seseorang yang memiliki kesaktian tinggi yang akan berhasil merebut Kain
Pusaka Setan dan menguburkannya kembali selama-lamanya...."
"Siapakah orang itu?"
Peramal Sakti menggeleng.
"Aku tidak tahu siapa dia! Tetapi ramalanku mengatakan, dialah yang akan
berhasil menanggulangi semua urusan yang kelak akan jadi kacau balau! Dundung
Kali... kau tahu bukan, kita harus berbu-lan-bulan memikirkan cara yang tepat
untuk menghentikan sepak terjang Durjana Kayangan empat puluh tahun lalu. Dan
rencana itu pun tak membawa keberhasilan yang menggembirakan. Hanya karena
keberanian dan kebulatan tekad kita saja dapat menghentikan tindakan makar
Durjana Kayangan sebagai pemilik Kain Pusaka Setan."
"Lantas... bagaimana dengan ramalan mu
itu?" "Ramalanku mengatakan kalau orang itu akan berhasil melakukannya."
Tak ada yang mengeluarkan suara.
Sinar matahari menerobos masuk ke dalam gubuk.
Ki Dundung Kali berkata, "Sobat...
keadaan ini bermula dari kesalahanku. Aku akan menebusnya...."
Peramal Sakti berbalik. Menatap sahabatnya yang telah sama-sama tua.
"Aku juga telah dikelabui oleh Pen-
gemis Pincang. Aku punya kepentingan yang sama."
"Tak pernah kusangka kalau muridku yang selama ini kukenal baik ternyata punya
maksud busuk. Bahkan dia tega sampai meracuniku."
Peramal Sakti mengusap-usap jenggot putih panjangnya.
"Barangkali... dia memiliki satu urusan yang selama ini dirahasiakannya darimu.
Dia membutuhkan sebuah benda sakti yang dapat dipergunakan untuk membantu apa
yang hendak dilakukannya..."
Ki Dundung Kali terdiam sejenak sebelum berkata, "Barangkali memang begitu
adanya... Sobat... kita berangkat sekarang...."
Ki Dundung Kali sudah mendahului
keluar. Disusul oleh Peramal Sakti. Bersamaan mereka hendak melangkah
meninggalkan tempat itu, terdengar suara bentakan yang luar biasa keras,
"Dundung Kali! Di mana murid kepa-ratmu itu"! Bila dia tidak ada di sini atau
kau melindunginya, maka kau yang harus bertanggung jawab atas kematian
muridku!!"
Belum habis bentakan itu terdengar, satu sosok tubuh telah berdiri sejarak
sepuluh langkah di hadapan masing-masing orang.
Ki Dundung Kali mendesis, "Dadu
Ganggang...."
* ** LIMA KAKEK bongkok yang usianya tak jauh berbeda dengan Ki Dundung Kali dan Peramal
Sakti, melangkah bergegas. Wajahnya gusar. Tatapannya penuh kemarahan. Pakaian
hitam yang dikenakannya berkibar dihembus angin.
Saat dia menghentikan lagi langkahnya, mulutnya sudah berseru tertuju pada Ki
Dundung Kali, "Dundung Kali! Mana murid jahanammu itu"! Suruh dia keluar untuk
menerima kematian! Tapi... bila kau ingin menangani urusan ini, silakan kau
coba-coba berdusta padaku!"
Ki Dundung Kali mengerutkan keningnya.
"Ada urusan apa tahu-tahu Dadu Ganggang muncul dengan membawa amarah dalam"
Mengapa dia mencari muridku?" desisnya dalam hati.
Lalu dengan senyuman di bibir Ki
Dundung Kali berkata, "Lama tak jumpa ta-hu-tahu datang dengan membawa amarah!
Da-du Ganggang... bukankah kita bisa bersikap lebih tenang sebelum membicarakan
urusan?" Kakek berwajah tirus dengan hidung bengkok itu mendengus.
"Urusanku datang ke tempat ini adalah untuk mencabut nyawa murid celakamu itu!"
Meskipun agak jengkel dengan sikap kakek agak bongkok itu, Ki Dundung Kali tetap
bersikap tenang.
"Terus terang, aku belum tahu tentang urusan yang kau bawa! Bukankah sebaiknya
kau jelaskan"!"
"Sepanjang hidupku kita tak pernah buka urusan! Tetapi bila pagi ini kau hendak
buka urusan denganku, tak ada sa-lahnya! Aku menerimanya!"
"Kakek satu ini bila sedang marah memang tak pernah mempertimbangkan akal sehat!
Dia akan melontarkan langsung kemarahannya! Bisa berabe kalau dia langsung
menyerang tanpa menjelaskan urusan...." kata Ki Dundung Kali dalam hati.
"Karena... aku juga tak akan tinggal diam bila dia mendadak menyerang. Dan ini
artinya, urusan akan bertambah runyam."
Sementara itu Peramal Sakti berka-ta, "Dadu Ganggang... kau muncul di sini
dengan membawa amarah tinggi! Apakah ini tindakan yang baik?"
"Peramal Sakti! Aku tak punya silang urusan denganmu! Sebaiknya kau jangan
campuri urusan ini!" bentak Dadu Ganggang gusar. Tongkat yang dipegangnya
tahu-tahu amblas hingga setengah ke dalam tanah.
Peramal Sakti melirik tongkat yang amblas itu sejenak sebelum berkata, "Sejak
dulu kita bertiga saling kenal dan tak punya silang urusan! Sampai hari ini pun
aku akan menjaga keadaan agar tetap terjadi seperti itu! Seperti yang dikatakan
oleh Ki Dundung Kali... apakah tak sebaiknya kau menjelaskan dulu urusan ini?"
Dadu Ganggang memandang gusar pada kakek yang selalu mengusap jenggot putih
panjangnya. Lalu dengan kepala diangkat angkuh, dia buka mulut,
"Kalian tentunya telah tahu, kalau aku memiliki seorang murid yang kujuluki
Demit Merah! Dan sekarang... dia telah mampus dengan dada jebol!"
Baik Ki Dundung Kali maupun Peramal Sakti sama-sama melengak kaget.
"Astaga! Siapakah yang melakukannya?"
"Dundung Kali! Kau masih juga berlaku bodoh di hadapanku dengan bertanya seperti
itu!" Ki Dundung Kali terdiam. Perasaannya menjadi tidak enak tatkala dia memikirkan
sesuatu. Kemudian katanya,
"Sebaiknya kau jelaskan semua ini...."
Dadu Ganggang menggeram. Tetapi mu-
lutnya berbunyi juga,
"Beberapa hari lalu, muridku me-ninggalkanku! Dia mengatakan akan menemui
Pengemis Pincang yang kuketahui adalah muridmu! Aku tak banyak tanya apa yang
akan keduanya lakukan! Dan semalam aku menemukan muridku sudah menjadi mayat di
Bukit Beringin!" Dadu Ganggang terdiam sesaat lalu sambungnya lebih gusar,
"Apakah sekarang kau akan berlaku bodoh karena merasa kesulitan untuk menebak
siapakah yang telah membunuh muridku"! Atau...
kaulah yang sebenarnya melakukannya"!"
Ki Dundung Kali menarik napas pendek.
"Astaga! Tak kusangka kalau mulutnya menilaiku sedemikian keji," katanya sambil
menindih kegeramannya. Kemudian sambungnya, "Aku sama sekali tak tahu persoalan
itu! Bahkan aku tak tahu kalau muridku pergi bersama dengan Demit Merah, yang
entah ke mana tujuan mereka! Tapi...
Dadu Ganggang, mengapa kau menuduh muridku yang melakukannya"!"
"Keparat! Kau mau membela muridmu rupanya"!"
"Ketahuilah... sebelum kau datang tadi, aku sudah tak menganggapnya sebagai
muridku!" "Bualan kosong!"
"Kau belum menjawab pertanyaanku"!"
"Siapa orangnya yang memiliki ilmu
'Menggiring Awan Hitam" selain dirimu, hah"! Sudah tentu muridmu memilikinya ju-
ga! Ilmu itu jelas sekali dapat terlihat, karena mengarah pada jantung dan
menje-bolkan dada! Apa yang dialami muridku bernasib demikian! Dan satu hal yang
tak bisa dipungkiri, kalau muridku pergi bersama murid celakamu!"
Ki Dundung Kali tak buka suara.
Peramal Sakti yang berkata, "Kau dan aku tahu tentang ciri ilmu
'Menggiring Awan Hitam'! Apakah kau sudah menelitinya lebih lanjut"!"
Paras Dadu Ganggang memerah. Tatapannya menusuk tajam.
"Sejak tadi sudah kukatakan, jangan turut campur urusan ini!" bentaknya dingin.
"Tapi bila kau ingin ambil bagian...
aku tak pernah menghalangi!!"
Peramal Sakti tersenyum.
"Kita sedang mencoba menyelesaikan keadaan ini! Perlu kau ketahui... ketika aku
datang, aku menjumpai Dundung Kali dalam keadaan terkapar tanpa daya! Dia telah
diracuni seseorang yang ternyata muridnya!"
Wanita Iblis 1 Dewa Arak 01 Pedang Bintang Kampung Setan 11
^