Malam Tanpa Akhir 1
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie Bagian 1
Agatha Christie Malam Tanpa Akhir Endless Night Scan, Convert & edit to word : Hendri Kho
Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
MALAM TANPA AKHIR (Endless Night) Agatha Christie UNTUK NORA PRICHARD Dari siapa aku pertama kali
Mendengar tentang Legenda Gipsy's Acre BUKU SATU 1 Akhirku adalah permulaanku... Aku sering mendengar kutipan itu.
Kedengarannya bagus - tapi apa sebenarnya artinya"
Apakah memang ada tempat tertentu di mana orang bisa
menunjuk dan berkata, "Semuanya bermula pada hari itu, pada jam sekian, di
tempat tertentu, dengan kejadian tertentu?"
Mungkinkah ceritaku dimulai ketika aku melihat papan yang tergantung di dinding
George and Dragon, yang mengumumkan pelelangan properti mahal The Towers,
lengkap dengan penjelasan tentang luas tanah, panjang dan lebarnya, serta foto
megah The Towers yang kelihatannya diambil semasa jaya-jayanya properti itu,
sekitar delapan puluh atau seratus tahun yang lalu"
Waktu itu aku cuma sedang berjalan-jalan santai di sepanjang jalan utama
Kingston Bishop, sebuah tempat yang tidak ada arti
pentingnya sama sekali. Aku sekadar menghabiskan waktu saja. Aku memperhatikan
papan pengumuman lelang itu. Mengapa" Takdir yang memberikan pertanda buruk"
Atau justru memberikan pertanda keuntungan besar" Terserah Anda pilih yang mana.
Atau mungkin juga semua ini bermula saat aku bertemu Santonix, ketika aku
mengobrol bersamanya; kalau kupejamkan mataku, bisa kubayangkan pipinya yang
kemerah-merahan, matanya yang terlalu cemerlang, dan gerakan-gerakan tangannya
yang kuat namun luwes, yang lihai menggambar sketsa dan membuat rencana denah
rumah-rumah. Atau sebuah rumah, tepatnya, sebuah rumah yang cantik, yang pasti
sangat menyenangkan untuk dimiliki.
Keinginanku untuk memiliki rumah-rumah yang bagus dan cantik, rumah yang tak
pernah kubayangkan bisa kumiliki tiba-tiba merebak ke permukaan. Itulah angan-
angan menyenangkan yang menjadi topik obrolan kami, rumah yang rencananya akan
dibangun Santonix untukku - kalau saja umurnya panjang...
Sebuah rumah yang dalam mimpiku akan kutinggali bersama gadis yang kucintai,
rumah di mana kami akan hidup bersama dan
"bahagia selama-lamanya", seperti dalam dongeng anak-anak yang konyol Semuanya
angan-angan belaka, mimpi di siang bolong, tapi menimbulkan kerinduan di hatiku
- kerinduan akan sesuatu yang rasanya takkan bisa kumiliki.
Atau kalau ini sebuah kisah cinta - dan memang ini sebenarnya kisah cinta, aku
berani sumpah mengapa tidak mulai dengan saat aku pertama kali melihat Ellie
yang sedang berdiri di antara pepohonan cemara tinggi di Gipsy's Acre"
Gipsy's Acre. Ya, mungkin lebih baik aku memulainya dari sana, pada saat aku
beralih dari papan pengumuman lelang itu dengan agak menggigil, karena segumpal
awan hitam telah menutupi matahari. Iseng-iseng aku bertanya pada seorang
penduduk setempa?" yang saat itu sedang sibuk memotong pagar tanamannya dengan
serampangan. "Bagaimana rupa rumah ini, The Towers?"
Masih kuingat jelas wajah aneh pak tua itu, sementara ia melirik ke arahku dan
berkata, "Bukan itu namanya di sini. Nama apa itu?" Ia mendengus tak setuju. "Sudah
bertahun-tahun tidak ada, orang tinggal di sana dan menyebutnya The Towers." Ia
mendengus lagi. Aku bertanya padanya, apa namanya sekarang, dan sekali lagi matanya beralih dari
diriku di wajah tuanya yang penuh keriput. Ia berbicara tanpa menatapku
langsung, cara khas orang pedesaan.
Mata mereka biasanya tertuju pada sesuatu di balik bahu kita, atau ke suatu
tikungan, seolah-olah mereka melihat sesuatu yang tidak kita liha?" dan ia
berkata, "Di sini orang-orang menyebutnya Gipsy's Acre."
"Mengapa begitu?" tanyaku.
"Ada ceritanya. Aku tidak tahu persis. Ada yang bilang begini, ada yang bilang
begitu." Kemudian ia melanjutkan, "Pokoknya, itu tempat terjadinya kecelakaan-
kecelakaan. "Kecelakaan-kecelakaan mobil?"
"Semua jenis kecelakaan. Sekarang memang lebih sering kecelakaan mobil. Tikungan
di situ tajam sekali."
"Yah," kataku, "kalau memang tikungan di situ tajam sekali, saya rasa
kecelakaan-kecelakaan itu pasti tak bisa dihindari."
"Dewan Desa sudah memasang tanda bahaya, tapi tidak ada gunanya, sama sekali
tidak. Tetap saja terjadi kecelakaan."
"Mengapa Gipsy's' tanyaku.
Sekali lagi matanya beralih dari diriku, dan jawabannya tidak jelas.
"Ada cerita lain lagi. Dulu tanah itu memang tanah orang gipsi, kata orang,
sebelum akhirnya mereka diusir keluar. Orang-orang gipsi kemudian mengutuk tanah
itu." Aku tertawa. "Betul," katanya, "kau boleh tertawa, tapi memang ada tempat-tempat yang
terkutuk. Kalian orang-orang kota yang modern tidak tahu apa-apa tentang itu.
Tapi tempat-tempat itu sungguh ada, dan tempat ini salah satunya. Sudah beberapa
orang terbunuh di penggalian di sana, waktu mereka berusaha mengeluarkan batu-
batuan buat membangun. Gordie tua, contohnya, dia terpeleset jatuh dan lehernya
patah." "Mabuk?" aku menebak.
"Mungkin. Gordie memang suka minum. Tapi banyak orang mabuk yang jatuh - bahkan
sampai luka parah - tapi mereka akhirnya baik-baik saja. Sementara Gordie,
lehernya patah. Di sana," ia menunjuk di belakangnya, ke arah bukit yang penuh
pohon-pohon pinus, "di Gipsy's Acre."
Ya, kurasa begitulah semua ini dimulai. Bukannya waktu itu aku serius menanggapi
omongan pak tua itu. Aku hanya kebetulan teringat padanya. Itu saja. Kupikir -
kalau aku memikirkannya dengan cerma?" aku hanya menyimpan ceritanya di benakku.
Aku tidak inga?" apakah sebelum atau sesudahnya aku bertanya apakah masih ada
orang-orang gipsi yang tinggal di sana. Polisi selalu mengusir mereka, begitu
kata pak tua itu. Aku bertanya,
"Mengapa orang-orang tidak suka dengan kaum gipsi?"
"Mereka itu pencuri semua," sahut si pak tua dengan sebal.
Kemudian ia memandangku sedikit lebih dekat. "Kelihatannya kau ada keturunan
gipsi, ya?" katanya menebak, sambil memelototi diriku.
Kubilang aku tidak tahu. Betul, aku memang agak kelihatan seperti orang gipsi.
Mungkin itu yang membuatku tertarik dengan nama Gipsy's Acre. Mungkin saja aku
masih keturunan orang gipsi, kataku dalam hati, sementara aku berdiri dan
membalas senyuman pak tua itu, merasa geli atas obrolan kami.
Gipsy's Acre. Aku mendaki jalanan yang berkelok-kelok itu, keluar desa dan
mengitari pohon-pohon besar. Akhirnya aku sampai di puncak buki?" bisa melihat
laut dan kapal-kapal. Betul-betul
pemandangan bagus, dan dengan iseng aku berpikir lagi, "Bagaimana ya rasanya
kalau aku bisa menjadi pemilik Gipsy's Acre?". Tiba-tiba saja pikiran itu
muncul. Betul-betul pikiran yang, tidak masuk akal.
Ketika aku berpapasan lagi dengan pak tua pemotong pagar tanaman itu, ia
berkata, "Kalau kau ingin bertemu orang gipsi, temui saja Mrs. Lee. Pak Mayor memberi
Mrs. Lee sebuah pondok untuk ditinggali."
"Siapa Pak Mayor itu?" tanyaku.
Pak tua itu menyahut dengan suara kaget. "Mayor Phillpotttentu saja." Ia
tampaknya kecewa sekali mendengar pertanyaanku! Jadi, kusimpulkan bahwa Mayor
Phillpot adalah Dewa Setempat. Mrs. Lee adalah salah seorang yang bergantung
padanya, kurasa, orang yang diberinya nafkah. Keluarga Phillpot tampaknya sudah
tinggal di sana turun-temurun, dan boleh dikatakan menguasai tempat itu.
Ketika aku melambai pada pak tua itu dan beranjak pergi, ia berkata,
"Mrs. Lee tinggal di pondok terakhir di ujung jalan ini. Mungkin kau bisa
menjumpainya di luar. Dia tidak suka berada di dalam rumah. Orang gipsi memang
begitu." Jadi, begitulah... aku berjalan sambil bersiul-siul dan memikirkan Gipsy's Acre.
Aku hampir melupakan apa yang baru saja kudengar, ketika kulihat seorang wanita
tua jangkung berambut hitam sedang menatapku dari balik pagar tanamannya. Aku
langsung tahu bahwa wanita itu Mrs. Lee. Aku berhenti dan bercakap-cakap
dengannya. "Kudengar Anda bisa menceritakan padaku tentang Gipsy's Acre di sana itu,"
kataku. Ia menatapku dari balik rambut hitaMr.ya yang kusu?" kemudian berkata,
"Jangan main-main dengannya, anak muda. Dengarkan aku.
Lupakan Gipsy's Acre. Kau pemuda yang tampan. Tak ada hal baik yang muncul dari
Gipsy's Acre dan tidak akan pernah."
"Saya lihat Gipsy' Acre akan dijual," kataku.
"Memang betul dan siapapun yang membelinya pasti bodoh sekali."
"Siapa yang mungkin membelinya?"
"Ada kontraktor yang mengincarnya. Lebih dari satu orang.
Harganya pasti murah. Lihat saja nanti."
"Mengapa harus dijual murah?" tanyaku ingin tahu. "Padahal daerahnya bagus."
Mrs. Lee tidak mau menjawab.
"Misalnya ada kontraktor yang membeli dengan murah, apa yang akan dilakukan
kontraktor itu dengan Gipsy's Acre?"
Mrs. Lee tertawa cekikikan sendiri. Suara tawanya terdengar jahat dan tidak
menyenangkan. "Merobohkan rumah tua yang sudah bobrok itu dan
membangunnya, tentu saja. Dua puluh - tiga puluh rumah, mungkin -
dan semuanya terkutuk."
Aku tidak mengacuhkan bagian terakhir kalimatnya.
Aku langsung menyahu?" tak bisa menghentikan diriku sendiri.
"Patut disayangkan. Benar-benar patut disayangkan."
"Ah, kau tidak perlu khawatir. Mereka toh tidak akan
menikmatinya, baik yang membeli maupun yang memasang bata dan semennya. Pasti
akan ada kaki yang terpeleset dari tangga, truk yang terguling sampai muatannya
jatuh semua, potongan baja yang jatuh dari atap rumah dan menimbulkan
kecelakaan... Belum lagi pohon-pohonnya. Mungkin akan roboh tiba-tiba. Ah, lihat
saja nanti! Tak ada hal baik yang muncul dari Gipsy's Acre. Lebih baik tempat
itu dibiarkan saja. Percayalah. Percayalah." Mrs. Lee mengangguk-angguk dengan
cepa?" kemudian menggumam pelan pada dirinya sendiri, "Tak ada keuntungan bagi
siapa pun yang mengusik Gipsy's Acre. Tidak akan pernah."
Aku tertawa. Mrs. Lee berkata dengan tajam.
"Jangan tertawa, anak muda. Menurutku hal-hal seperti itu tidak boleh dianggap
remeh. Tak pernah ada keberuntungan di sana, baik di dalam rumahnya maupun di
atas tanahnya." "Apa yang telah terjadi di dalam rumah?" tanyaku. "Mengapa dibiarkan kosong
begitu lama" Mengapa dibiarkan sampai bobrok begitu?"
"Orang-orang terakhir yang tinggal di sana meninggal, semuanya."
"Bagaimana meninggalnya?", tanyaku ingin tahu.
"Lebih baik tidak diungkit-ungkit lagi. Tapi setelah itu tak ada orang yang mau
datang dan tinggal di sana. Rumah itu dibiarkan berlumut dan ambruk. Sekarang
orang sudah melupakannya, dan memang itu yang terbaik."
"Tapi Anda bisa menceritakannya pada saya," desakku. "Anda tahu segala sesuatu
tentang Gipsy's Acre."
"Aku tidak menceritakan gosip tentang Gipsy's Acre." Kemudian Mrs. Lee
merendahkan suaranya, hingga terdengar seperti rengekan pengemis. "Coba kemari,
pemuda ganteng, akan kubacakan nasibmu.
Ayolah. Letakkan sekeping perak di tanganku, dan akan kubacakan peruntunganmu.
Kau termasuk orang yang akan sukses suatu hari nanti."
"Saya tidak percaya pada membaca peruntungan seperti itu,"
kataku, "dan saya juga tidak punya sekeping perak. Tidak untuk dihamburkan,
pokoknya." Mrs. Lee mendekat dan melanjutkan rengekannya. "Kalau begitu, enam penny juga
boleh. Enam penny. Akan kubacakan untukmu dengan harga enam penny. Apa artinya
enam penny" Tidak ada sama sekali. Tapi aku mau melakukannya, karena kau pemuda
yang ganteng, dengan lidah tajam dan memikat. Bisa jadi kau memang akan
mengembara jauh." Aku mengeluarkan enam penny dari saku, bukan karena aku mempercayai takhayulnya
yang konyol itu, tapi karena untuk alasan
tertentu, aku menyukai tipuan tua itu, meski sesungguhnya aku tahu itu cuma
tipuan belaka. "Berikan tanganmu sekarang. Kedua-duanya."
Mrs. Lee memegang tanganku dengan cakarnya yang keripu?" dan memelototi telapak
tanganku yang terbuka. Ia terdiam selama beberapa saa?" melotot. Kemudian ia
menjatuhkan tanganku dengan tiba-tiba, bahkan hampir menepisnya menjauh. Ia
mundur selangkah dan berkata dengan tajam.
"Kalau kau memang tahu apa yang baik untukmu, kau harus segera pergi dari
Gipsy's Acre dan jangan pernah kemari lagi! Itu nasihat terbagus yang kuberikan
padamu. Jangan pernah kemari lagi."
"Mengapa tidak" Mengapa saya tidak boleh kemari lagi?"
"Sebab kalau kau kembali, kau akan menemukan kesedihan, kehilangan, dan mungkin
bahaya. Ada masalah, masalah yang gelap sekali, sedang menunggumu. Lupakan bahwa
kau pernah melihat tempat ini. Aku sudah memperingatkanmu."
"Yah, dari semua..."
Tapi Mrs. Lee sudah berbalik dan berjalan menuju pondoknya. Ia kemudian masuk ke
dalam dan membanting pintunya. Aku bukan orang yang percaya pada takhayul. Tapi
tentu saja aku percaya pada takdir, siapa yang tidak" Tapi tidak tentang omong
kosong menyangkut sebuah rumah bobrok yang penuh kutukan. Entah mengapa
perasaanku jadi tidak enak, seolah-olah wanita tua jahat itu telah melihat
sesuatu di tanganku. Aku memandang kedua telapak tanganku yang terbuka. Apa sih
yang bisa dilihat seseorang di telapak tangan orang lain" Membaca garis tangan
memang cuma omong kosong - cuma tipuan untuk mendapatkan uang kita saja -
uang yang kita keluarkan karena kekonyolan kita sendiri. Aku mendongak memandang
langit. Matahari sudah terbenam, membuat hari terasa lain sekarang. Agak
temaram, seolah mencekam. Mungkin akan ada badai, pikirku. Angin mulai bertiup,
daun-daun bergemeresik kencang di pepohonan. Aku bersiul untuk meninggikan semangatku
sendiri, dan berjalan menuju desa.
Aku melihat papan pengumuman lelang The Towers itu lagi. Aku bahkan mencatat
tanggalnya. Aku belum pernah menghadiri lelang properti seumur hidup, tapi
kupikir aku akan datang dan menghadiri yang satu ini. Pasti menarik, mengetahui
siapa yang akan membeli The Towers - atau boleh dikata, menarik untuk mengetahui
siapa yang akan jadi pemilik Gipsy's Acre. Ya, kurasa semuanya memang bermula
dari saat itu... Sebuah pikiran fantastis muncul dalam benakku. Aku akan datang
dan pura-pura menjadi orang yang berminat membeli Gipsy's Acre! Aku akan menawar
menantang para kontraktor lokal itu! Mereka akan mundur, kecewa karena tidak
berhasil membeli dengan harga murah. Aku akan membelinya, lalu aku akan
mendatangi Rudolph Santonix dan berkata, "Bangunkan rumah untukku. Aku telah
membeli lokasinya untukmu." Kemudian aku akan mencari seorang gadis, gadis yang
cantik, dan kami akan tinggal di rumah itu bersama-sama, bahagia selama-lamanya.
Aku sering punya mimpi seperti itu. Sudah pasti tidak ada mimpiku yang menjadi
kenyataan, tapi toh tetap menyenangkan. Begitulah pikiranku saat itu.
Menyenangkan! Menyenangkan, demi Tuhan!
Kalau saja aku tahu! 2 Hanya kebetulan saja hari itu aku bisa datang kembali ke Gipsy's Acre. Aku
sedang mengendarai sebuah mobil sewaan, mengantar beberapa orang London yang
datang untuk menghadiri lelang -
bukan lelang rumah, tapi lelang isi sebuah rumah. Rumah itu besar sekali, tepat
di pinggiran kota, dan jelek sekali. Aku mengendarai mobil, mengantar sepasang
suami-istri tua ke sana. Kalau mendengar percakapan mereka, tampaknya mereka
tertarik pada koleksi papier-mache, entah apa papier-mache itu. Aku baru satu
kali mendengar istilah itu, yakni ketika ibuku mengucapkannya berkenaan dengan
baskom untuk mencuci. Kata ibuku, baskom dari papier-mache jauh
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih bagus daripada yang terbuat dari plastik. Jadi, tampaknya aneh ada orang
kaya yang mau jauh-jauh datang hanya untuk membeli koleksi barang-barang itu.
Bagaimanapun, aku menyimpan fakta itu dalam pikiranku dan berniat mencari arti
istilah itu di kamus, atau membaca buku untuk mengetahui apa arti papier-mache
sesungguhnya. Pokoknya itu sesuatu yang menurut orang-orang cukup berharga,
sehingga mereka rela menyewa mobil dan menghadiri suatu lelang desa untuk
menawarnya. Aku memang senang mengetahui banyak hal. Saat itu umurku dua puluh
dua tahun, dan aku sudah punya cukup banyak pengetahuan yang kudapat dari
berbagai cara. Aku tahu cukup banyak tentang mobil, dan bisa menjadi mekanik
yang lumayan, atau sopir yang hati-hati. Pernah aku bekerja menangani kuda-kuda
di Irlandia. Pernah juga aku hampir terjerumus dalam sekumpulan pecandu obat
bius, tapi akhirnya sadar dan berhenti tepat pada waktunya. Pekerjaan menjadi
sopir mobil-mobil bagus di sebuah perusahaan persewaan mobil tidaklah jelek. Aku
bisa mendapat uang tips lumayan. Dan juga tidak terlalu melelahkan. Tapi
pekerjaannya sendiri sebenarnya membosankan.
Pernah aku bekerja menjadi pemanen buah waktu musim panas.
Bayarannya tidak seberapa, tapi aku suka sekali. Aku memang sudah pernah mencoba
banyak hal. Aku pernah menjadi pelayan di hotel bintang tiga, pengawas pantai,
penjual ensiklopedi dan penyedot debu, dan juga beberapa barang lain. Aku pernah
menjadi tukang kebun di sebuah taman botani dan belajar sedikit tentang bunga-
bunga. Aku tidak pernah lama menekuni satu pekerjaan. Untuk apa"
Menurutku hampir semua yang pernah kulakukan menarik. Ada beberapa yang
membutuhkan keda lebih keras daripada lainnya, tapi aku tidak terlalu peduli
dengan hal itu. Aku bukan sungguh-sungguh pemalas. Kurasa aku orang yang
pembosan. Aku ingin pergi ke mana-mana, melihat segala-galanya, melakukan
semuanya. Aku ingin menemukan sesuatu. Ya, itu dia. Aku ingin menemukan sesuatu.
Sejak saat keluar sekolah, aku sudah ingin menemukan sesuatu, tapi aku belum
tahu sesuatu itu apa. Pokoknya sesuatu yang sedang kucari dengan cara yang tidak
jelas dan tidak memuaskan. Sesuatu itu pasti ada di suatu tempat. Cepat atau
lamba?" aku akan mengetahui segala sesuatu mengenainya. Bisa jadi sesuatu itu
adalah seorang gadis... aku suka gadis-gadis, tapi tak se orang pun gadis yang
kukenal itu memiliki arti khusus... Kita memang menyukai mereka, tapi kemudian
kita berpindah pada gadis berikutnya dengan ringan hati. Gadis-gadis itu sama
seperti pekerjaan-pekerjaanku. Menyenangkan untuk beberapa saa?" tapi kemudian
kita jadi bosan dengan mereka dan ingin pindah ke yang berikutnya.
Aku sudah sering berpindah dari satu hal ke hal lain semenjak keluar dari
sekolah. Banyak orang tidak setuju dengan cara hidupku. Mereka berharap hidupku berjalan
dengan baik. Tapi itu karena mereka tidak memahami diriku. Mereka ingin aku
berpacaran dengan seorang gadis yang baik, menabung, menikahi gadis itu, dan
mempunyai pekerjaan tetap yang bagus. Hari demi hari, tahun demi tahun, sebuah
dunia tanpa akhir, amin. Tidak, aku tidak mau! Pasti ada sesuatu yang lebih
bagus daripada itu. Aku tidak mau kenyamanan yang biasa seperti itu, dengan
jaminan kesejahteraan dari pemerintah yang terpincang-pincang! Kalau di dunia
ini orang sudah mampu meletakkan satelit di langi?" mampu merencanakan untuk
terbang ke bintang-bintang, mestinya ada sesuatu yang bisa membangkitkan diri
kita, yang membuat jantung kita berdebar, yang layak dicari di seluruh penjuru
dunia! Aku ingat suatu hari aku sedang menyusuri Bond Street. Waktu itu aku
sedang bekerja menjadi pelayan, dan sedang bertugas. Aku berjalan santai sambil
melihat-lihat sepatu di etalase toko. Semuanya tampak keren. Seperti sering
diiklankan di koran-koran: Sepatu keren untuk laki-laki keren, dan biasanya ada
foto laki-laki keren itu. Padahal menurutku orang itu terlihat konyol! Aku suka
menertawakan iklan- iklan seperti itu.
Aku berjalan dari etalase toko sepatu ke etalase toko berikutnya, yakni toko
lukisan. Hanya ada tiga lukisan di etalasenya, diletakkan
sedemikian rupa dengan sampiran kain beludru berwarna netral di ujung piguranya
yang berwarna emas. Nyeni, kurasa begitu. Aku memang tidak terlalu suka dengan
seni. Aku pernah mampir ke National Gallery, karena ingin tahu saja. Aku cukup
terkagum-kagum karenanya. Banyak lukisan berwarna yang besar-besar, tentang
peperangan atau para orang suci yang kurus-kurug dengan anak panah menusuk
jantung mereka. Lukisan-lukisan wajah para wanita terkenal yang sedang duduk
sambil tersenyum lebar, dalam gaun-gaun sutra, beludru, dan renda. Aku langsung
memutuskan bahwa seni bukanlah bidangku. Tapi lukisan yang sedang kulihat saat
itu terasa berbeda. Ada tiga lukisan di etalase itu. Satu menggambarkan
pemandangan desa yang cantik. Satunya lagi memperlihatkan seorang wanita yang
dilukis dengan cara yang lucu, begitu tidak beraturan, sehingga sulit sekali
melihat bahwa itu gambar seorang wanita. Kurasa itulah yang disebut-sebut art
nouveau. Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Lukisan ketiga adalah yang kusukai.
Sebetulnya lukisan itu biasa-biasa saja. Tapi... bagaimana ya
menggambarkannya" Pokoknya, lukisan itu sederhana. Ada banyak bidang kosong dan
beberapa lingkaran besar saling mengelilingi, kira-kira begitulah. Semuanya
dengan warna berbeda-warna-warna aneh yang tidak kita sangka. Di sana-sininya
ada goresan-goresan kecil berwarna-warni yang sepertinya tidak ada artinya.
Tapi, entah bagaimana, rasanya ada artinya! Aku memang tidak pandai
menggambarkan sesuatu. Yang bisa kukatakan hanyalah lukisan itu membuat kita
tertarik untuk terus memandanginya. Aku hanya berdiri di situ, merasa aneh,
seolah olah ada sesuatu yang sangat luar biasa menimpa diriku. Sepatu-sepatu
keren itu... aku memang kepingin bisa memakainya. Maksudku, aku selalu berusaha
keras menjaga penampilanku. Aku suka berbusana bagus, supaya memberikan kesan
bagus, tapi seumur hidup aku tak pernah dengan serius memikirkan akan membeli
sepasang sepatu di Bond Street. Aku tahu mereka memasang harga setinggi langit
di sana-lima belas pound sepasang, bisa jadi begitu. Buatan tangan, atau apalah
istilahnya, yang menurut mereka bisa membuat sepatu-sepatu itu layak dihargai
mahal. Betul-betul pemborosan uang. Memang sepatu itu keren, tapi
kita tidak boleh menghamburkan uang demi kemewahan seperti itu.
Priinsipku teguh untuk hal-hal seperti itu.
Tapi lukisan ini, berapa ya harganya, aku ingin tahu" Misalnya aku hendak
membeli lukisan itu" Dasar gila, kataku dalam hati, pada diri sendiri. Kau kan
tidak suka lukisan. Memang betul. Tapi aku ingin memiliki lukisan itu. Aku ingin
menjadi pemiliknya. Aku ingin menggantungnya, lalu duduk memandanginya sesuka
hatiku, dan mengetahui bahwa mulah pemilik lukisan itu! Aku! Membeli lukisan.
Rasanya memang gagasan gila. Kupandangi lagi lukisan itu, Keinginanku untuk
membelinya tidak masuk akal, lagi pula aku mungkin tak mampu membelinya. Tapi
kebetulan saat itu aku sedang punya uang. Hasil menang taruhan dalam pacuan
kuda. Lukisan ini mungkin akan menghabiskan seluruh uangku. Dua puluh pound" Dua
puluh lima" Bagaimanapun, tidak ada salahnya bertanya. Mereka toh tidak bakal
menendangku, bukan" Aku masuk ke dalam dengan perasaan agak agresif, tapi juga
defensif Bagian dalam toko itu sangat tenang, dan juga mewah.
Suasananya sunyi, dengan dinding-dinding berwarna netral dan kursi berlapis
beludru, di mana kita bisa duduk-duduk memandangi lukisan-lukisan yang ada.
Seorang laki-laki yang menyerupai model laki-laki keren di iklan-iklan datang
menghampiriku. Ia berbicara dengan suara pelan, sesuai dengan suasana tokonya.
Lucunya, ia tidak tampak angkuh, seperti yang biasanya kita jumpai dl toko-toko
di Bond Street. Ia mendengarkan apa yang kukatakan, kemudian mengambil lukisan
itu dari etalase dan memamerkannya bagiku. Ia berdiri membelakangi sebuah
dinding, dan memegang lukisan itu supaya aku bisa memandanginya dengan leluasa.
Baru saat itu aku menyadari - seperti yang kadang-kadang kita sadari tentang
bagaimana sesuatu terjadi atau berlangsung - bahwa dalam hal lukisan tidak
berlaku peraturan-peraturan yang sama. Seseorang bisa saja datang ke toko
seperti ini dengan pakaian usang dan kurnal, tapi ternyata ia seorang jutawan
yang ingin menambah koleksi lukisannya. Atau ia bisa saja datang dengan
penampilan murah dan gaya, seperti diriku, mungkin, dan entah bagaimana ia tiba-
tiba menginginkan sebuah lukisan, dan kebetulan ia juga punya uang untuk membelinya.
"Sebuah contoh karya seni yang sangat bagus," kata laki-laki yang memegangi
lukisan itu. "Berapa harganya?" tanyaku cepat.
Jawabannya membuat napasku tersentak.
"Dua puluh lima ribu," katanya dengan suaranya yang lembut.
Aku cukup pintar mengendalikan ekspresiku. Aku tidak
menunjukkan reaksi apa-apa. Paling tidak, begitulah menurutku.
Laki-laki itu menyebutkan sebuah nama yang kedengarannya asing.
Nama si pelukis, kukira, dan juga bahwa lukisan itu baru saja muncul di pasaran,
dari sebuah rumah di desa, yang penghuninya tidak menyadari betapa berharganya
lukisan itu. Aku tetap menjaga sikapku dan mendesah. "Mahal sekali, tapi kurasa
harga itu pantas," kataku. Dua puluh lima ribu pound. Sungguh menggelikan!
"Ya," sahut laki-laki itu, dan mendesah juga. "Ya, memang." Ia menurunkan
lukisan itu dengan sangat perlahan, dan membawanya kembali ke etalase. Ia
memandangku dan tersenyum. "Anda mempunyai selera yang bagus," katanya.
Entah bagaimana, aku merasa ia dan aku saling mengerti. Aku mengucapkan terima
kasih kepadanya dan keluar lagi ke Bond Street.
3 Aku tidak tahu banyak tentang menulis - maksudku, menulis dengan cara seorang
penulis sejati. MisaInya, kesan-kesan tentang lukisan yang kulihat itu.
Sebetulnya lukisan itu tidak ada hubungannya dengan apa pun. Maksudku, setelah
melihat lukisan itu, tidak ada apa pun yang muncul sebagai kelanjutannya,
peristiwa itu tidak menyambung ke kisah lain, tapi entah bagaimana aku merasa
lukisan itu penting, dan bahwa lukisan itu mempunyai tempat di suatu tempat.
Melihat lukisan itu adalah salah satu peristiwa yang punya arti bagiku. Persis
seperti Gipsy's Acre mempunyai arti bagi diriku. Seperti Santonix mempunyai arti
bagi diriku. Sesungguhnya aku belum bercerita banyak tentang dirinya. Ia seorang arsitek.
Tentu saja, Anda pasti sudah menebaknya. Aku jarang berurusan dengan arsitek,
meski aku tahu sedikit tentang bangun-membangun. Aku bertemu Santonix dalam
pengembaraanku. Waktu itu aku bekerja sebagai sopir, menyopiri orang-orang berduit.
Kadang-kadang aku menyetir ke luar negeri, dua kali ke Jerman - aku bisa
berbahasa Jerman sedikit - dan sekali-dua kali ke Prancis - aku juga bisa
berbahasa Prancis sedikit - dan sekali ke Portugis. Para penumpangku biasanya
orang-orang tua yang punya uang banyak, tapi kesehatannya buruk.
Mengendarai mobil bagi orang-orang seperti itu, kita jadi sadar bahwa ternyata
uang tidak terlalu penting artinya. Apa artinya uang kalau kita punya gejala
serangan jantung, berbotol-botol pil kecil-kecil yang harus diminum sepanjang
waktu, dan temperamen panas yang gampang meledak gara-gara makanan dan pelayanan
hotel yang tidak layak. Kebanyakan orang kaya yang kukenal hidupnya cukup
sengsara. Mereka juga selalu cemas. Gara-gara pajak dan investasi. Aku sering
mendengar mereka mengobrolkan hal itu di antara mereka, atau dengan teman-teman
mereka. Cemas! Itu yang membunuh setengah mereka. Dan kehidupan seks mereka juga
tidak menyenangkan. Biasanya mereka menikah dengan wanita seksi berambut pirang,
berkaki panjang dan langsing, yang menipu mereka dengan mempunyai cowok
simpanan, atau mereka menikah dengan wanita yang terus-menerus mengomel,
pokoknya menyebaikan, yang selalu mengatakan di mana mereka mau turun. Tidak.
Aku lebih suka menjadi diri ku sendiri. Michael Rogers, yang bisa menikmati
hidup dengan mengembara dan berkencan dengan gadis-gadis cantik sesuka hatinya!
Tentu saja hidupku agak pas-pasan, tapi aku bisa mengatasinya.
Hidup harus dinikmati, dan aku sudah puas bisa menikmatinya. Tidak
heran, sebab aku masih muda. Kalau masa muda sudah berlalu, hidup mungkin tidak
senikmat itu. Tapi di balik semua itu, dalam hatiku selalu ada sesuatu itu -
mendambakan seseorang atau sesuatu... Bagaimanapun,
melanjutkan ceritaku tadi, ada seorang laki-laki tua yang sering kusopiri sampai
ke Riviera. Ia mempunyai sebuah rumah yang sedang dibangun di sana. Ia datang
untuk melihat sendiri, sampai di mana kemajuan pembangunannya. Santonix adalah
arsiteknya. Aku tidak terlalu tahu apa kebangsaan Santonix sesungguhnya. Mula-mula kupikir
ia orang Inggris, meskipun namanya terdengar aneh dan asing di telingaku. Tapi
kurasa ia bukan orang Inggris, mungkin orang Skandinavia atau sejenisnya. Ia
bukan orang yang sehat. Aku bisa langsung mengetahuinya. Ia masih muda, sangat
pucat dan kurus, dengan wajah aneh - agak miring. Kedua sisinya tidak sama.
Ia bisa galak dalam menghadapi para langganannya. Padahal kita pikir merekalah
yang mestinya memberikan perintah dan bersikap galak. Tapi ini tidak begitu.
Santonix-lah yang memegang kendali, dan ia selalu yakin pada dirinya sendiri,
meskipun para langganannya tidak.
Aku inga?" laki-laki tua yang menjadi penumpangku marah besar begitu melihat
kemajuan pembangunan rumahnya. Sesekali aku mendengar teniakan-teriakan, waktu
aku sedang berdiri berjaga-jaga, siap membantu sebagai sopir maupun orang
suruhan. Bukan rahasia lagi kalau Mr. Constantine bisa mendapat serangan jantung
atau stroke. "Kau tidak melakukan perintahku," katanya setengah berteriak.
"Kau menghabiskan banyak uang. Terlalu banyak uang. Bukan begini perjanjiannya.
Ini bakal membuatku keluar uang lebih banyak dari yang kuperkirakan."
"Anda betul sekali," sahut Santonix. "Tapi uang memang untuk dikeluarkan."
"Uangku tidak boleh dihamburkan! Tidak boleh. Kau harus tetap pada batas yang
sudah dianggarkan. Kau mengerti?"
"Kalau begitu, Anda tidak akan mendapatkan rumah seperti yang Anda idamkan,"
kata Santonix. "Aku tahu apa yang Anda inginkan.
Rumah yang kubangun ini akan menjadi rumah yang Anda inginkan.
Aku sangat yakin tentang itu, dan Anda juga begitu. Jangan repot-repot
menasihatiku tentang masalah-masalah ekonomi. Anda menginginkan sebuah rumah
berkualitas, dan Anda akan
mendapatkannya. Anda akan menyombongkannya pada teman-teman Anda nanti, dan
mereka pasti iri. Aku tidak membangun rumah bagi sembarang orang, sudah kubilang
itu. Bagiku membangun lebih penting daripada uangnya. Rumah ini tidak akan
seperti rumah-rumah orang pada umuMr.ya!"
"Rumah ini bakal kacau. Kacau."
"0h, tidak, tidak mungkin. Masalahnya Anda tidak tahu apa yang Anda inginkan.
Atau paling tidak, begitulah anggapan orang-orang.
Tapi sesungguhnya Anda tahu apa yang Anda inginkan, hanya Anda tidak mampu
mengeluarkannya dari dalam pikiran Anda. Anda tidak bisa melihatnya dengan
jelas. Tapi aku bisa. Itu salah satu hal yang selalu bisa kuketahui-apa yang
dikejar dan diinginkan orang. Anda punya cita rasa tinggi. Karena itu, aku akan
memberikan kualitas yang bagus."
Santonix memang suka berkata begitu. Aku biasanya berdiri di dekat mereka,
mendengarkan. Entah bagaimana, aku sendiri bisa merasakan bahwa rumah yang
sedang dibangun di antara pohon-pohon pinus itu akan menjadi rumah yang lain
dari yang lain. Separuh dari rumah itu tidak menghadap ke arah laut seperti rumah-rumah pada
umuMr.ya, melainkan menghadap ke arah pulau, sehingga bisa terlihat lengkungan
gunung-gunung dan sekilas langit di antara bukit-bukit. Pokoknya bentuk rumah
itu aneh dan tidak umum, tapi sangat menarik.
Santonix kadang-kadang suka mengobrol denganku kalau aku sudah bebas tugas. Ia
berkata, "Aku hanya membangun rumah untuk orang-orang yang kusukai."
"Orang-orang kaya, maksud Anda?"
"Mereka memang harus kaya, kalau tidak mereka takkan mampu membiayai pembangunan
rumah-rumah itu. Tapi yang penting bagiku bukanlah uang yang, bakal kuperoleh.
Para langgananku harus kaya, sebab aku ingin membangun rumah yang butuh uang
banyak. Kau tahu, rumah saja tidak cukup. Harus ada setting-nya. Itu sama
pentingnya. Sama seperti batu mirah delima atau zamrud.
Permata yang indah hanyalah permata yang indah. Tapi tak bisa membawamu ke mana-
mana lagi. Tak ada artinya sama sekali, tanpa setting yang tepat. Dan setting
itu harus mempunyai batu permata yang indah supaya berharga. Nah, aku mengambil
setting itu dari lansekap yang ada. Dia ada karena memang sudah dari sananya.
Lansekap itu tidak ada artinya sampai rumahku berdiri megah di sana, seperti
batu permata yang sudah dipasang." Santonix memandangku dan tertawa. "Kau tidak
mengerti?" "Kurasa tidak," sahutku perlahan, "tapi - rasanyaaku bisa memahaminya..."
"Aku mungkin saja begitu." Ia memandangku dengan ingin tahu.
Kami datang lagi ke Riviera setelah itu. Waktu itu rumah tersebut sudah hampir
selesai. Aku tidak akan menggambarkannya, karena aku tak bisa melakukannya
dengan tepat. Pokoknya rumah itu - yah-istimewa - dan juga indah. Aku tahu itu.
Sebuah rumah yang bisa dibanggakan, bangga untuk dipamerkan, bangga untuk
dipandangi sendiri, bangga untuk ditinggali bersama orang yang tepa?" mungkin.
Dan tiba-tiba suatu hari Santonix berkata padaku,
"Aku bisa membangunkan sebuah rumah untukmu. Aku tahu model rumah seperti apa
yang kauinginkan."
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menggelengkan kepala.
"Aku sendiri bahkan tidak mengetahuinya," kataku dengan jujur.
"Mungkin tidak. Tapi aku tahu." Kemudian ia melanjutkan,
"Sayang sekali kau tidak punya uang."
"Dan tidak akan pernah," kataku.
"Kau tidak bisa bilang begitu," kata Santonix.
"Lahir miskin, tidak berarti kau akan miskin seterusnya. Uang itu unik, hanya
pergi ke tempat-tempat yang diinginkannya."
"Aku tidak pandai mencari uang," kataku.
"Kau tidak cukup berambisi. Ambisi dalam dirimu belum tergugah, tapi ambisi itu
ada, kau tahu itu." "Oh, baiklah," kataku, "suatu hari kalau ambisiku sudah tergugah dan aku
berhasil punya banyak uang, aku akan datang pada Anda dan berkata, 'Bangunkan
sebuah rumah untukku.'"
Santonix menarik napas panjang dan berkata, "Aku tak bisa menunggu... Tidak, aku
tak sanggup menunggu saat itu. Aku hanya punya waktu sedikit. Satu rumah - dua
rumah lagi. Tak lebih dari itu.
Tak ada orang yang mau mati muda- tapi nasib menentukan lain...
Kurasa itu tidak penting."
"Kalau begitu, aku harus segera menggugah ambisiku."
"Tidak," kata Santonix. "Kau sehat dan menikmati hidup. Jangan ubah cara
hidupmu." Aku menyahu?" "Aku memang tak bisa mengubahnya, meski aku sudah mencoba."
Saat itu memang begitulah pendapatku. Aku suka dengan cara hidupku. Aku memang
menikmati hidup dan sehat walaflat. Aku telah menyopiri banyak orang kaya yang
telah bekerja keras, yang mempunyai bisul, penyempitan pembuluh darah, atau
penyakit-penyakit lain akibat bekerja terlalu keras. Aku tidak mau bekerja
keras. Aku bisa menangani berbagai pekerjaan, tapi hanya sebatas itu saja. Dan
aku tidak punya ambisi, atau tepatnya aku tidak merasa mempunyai ambisi.
Santonix punya ambisi, kurasa. Aku tahu bahwa merancang rumah dan membangunnya,
menggambar denahnya dan hal lainnya yang tak bisa kupahami, semua itu telah
menguras habis dirinya. Pada dasarnya ia memang bukan orang yang kuat. Kadang-
kadang aku punya pikiran aneh bahwa ia sendirilah yang membuat ajalnya datang
lebih cepat gara-gara pekerjaan yang dilakoninya demi ambisinya. Aku tidak mau
bekerja. Gampang saja. Aku tidak percaya dengan pekerjaan, dan tidak
menyukainya. Menurutku pekerjaan adalah ciptaan manusia yang sangat buruk bagi diri manusia itu
sendiri. Aku sering memikirkan Santonix. Ia menggugah rasa ingin tahuku, melebihi siapa
pun yang kukenal. Menurutku, salah satu hal teraneh dalam hidup adalah hal-hal
yang bisa kita ingat. Atau tepatnya, hal-hal yang kita pilih untuk diingat.
Sesuatu yang harus kita pilih.
Santonix dan rumahnya adalah salah satu dari hal-hal itu, begitu juga dengan
lukisan di Bond Street dan mengunjungi rumah bobrok, The Towers, serta mendengar
cerita tentang Gipsy's Acre - semua itu adalah hal-hal yang kupilih untuk
diingat! Kadang-kadang gadis-gadis yang kutemui, dan perjalanan-perjalanan ke
tempat-tempat asing dalam pekerjaanku sebagai sopir. Para langgananku semuanya
sama membosankan. Mereka selalu tinggal di hotel-hotel yang sama dan makan
makanan membosankan yang sama.
Aku masih punya perasaan aneh dalam diriku yang menunggu datangnya sesuatu,
menunggu sesuatu untuk ditawarkan padaku, atau untuk terjadi pada diriku. Aku
tidak tahu bagaimana cara mengutarakannya dengan tepat. Kurasa sebetulnya aku
sedang mencari seorang gadis, gadis yang cocok - dan maksudku bukanlah gadis
manis yang cocok untuk diajak hidup bersama, seperti yang diharapkan ibuku atau
Paman Joshua atau beberapa temanku. Waktu itu aku tidak tahu apa-apa tentang
cinta. Yang kuketahui hanyalah seks. Rasanya hanya itu yang diketahui okh orang-
orang segenerasi denganku. Kurasa itu karena kita terlalu sering
membicarakannya, mendengarnya, dan juga terIalu serius menanggapinya. Kita tidak
tahu - semua temanku dan juga diriku, bagaimana rasanya kalau hal itu terjadi.
Cinta, maksudku. Kita semua masih muda dan liar. Kita menaksir gadis-gadis yang
kita jumpai dan mengagumi lekuk tubuh dan kaki mereka, serta lirikan mata yang
mereka lemparkan, sementara dalam hati berpikir, "Dia mau atau tidak" Apa aku
hanya membuang waktu?" Dan semakin banyak gadis yang kita kenal, semakin bisa
kita menyombongkan diri, dan orang-orang akan menganggap diri kita heba?" begitu
pula anggapan kita sendiri.
Aku sama. sekali tidak tahu bahwa itu bukanlah segala-galanya.
Kurasa cinta pasti datang bagi setiap orang, cepat atau lamba?" dan
dengan tiba-tiba. Kita tidak bakal sempat berpikir seperti yang selalu kita
bayangkan, "Mungkin ini gadis yang cocok buatku.... Ini dia gadis yang akan jadi
milikku." Paling tidak, aku tidak merasa begitu. Aku tidak tahu waktu itu bahwa
cinta datangnya begitu tiba-tiba, sehingga aku bisa berkata, "Itu gadisku. Aku
miliknya. Aku miliknya seutuhnya dan selamanya." Tidak. Aku tak pernah bermimpi
bahwa cinta akan seperti itu. Bukankah salah seorang pelawak pernah berkata -
guyonannya yang jitu - "Aku pernah jatuh cinta, dulu, dan kalau aku merasa cinta
itu akan datang, lagi, aku akan segera melarikan diri." Begitulah kenyataannya
dengan diriku. Kalau saja aku tahu, kalau saja aku tahu apa yang akan terjadi,
aku akan melarikan diri juga! Kalau saja aku lebih bijaksana.
4 Aku tidak melupakan rencanaku menghadiri pelelangan.
Masih ada waktu tiga minggu. Aku mendapat kesempatan dua kali lagi untuk pergi
keluar Inggris, sekali ke Prancis dan sekali ke Jerman. Ketika di Hamburg, aku
mendapat kesulitan. Salah satunya karena aku sangat tidak menyukai suami-istri
yang menjadi langgananku. Mereka mewakili segala sesuatu yang paling tidak
kusukai. Mereka kasar, tak peduli dengan orang lain, dan tak sedap dipandang.
Kurasa mereka juga membangkitkan perasaan tertentu dalam diriku - perasaan tak
mampu menghadapi hidup yang penuh basa-basi ini lebih lama lagi. Tapi aku tak
mau bersikap ceroboh. Aku merasa tak bisa menghadapi mereka lebih lama lagi,
tapi tentu saja itu tidak kukatakan terus terang pada mereka. Tidak baik merusak
hubungan dengan perusahaan tempat kita bekerja. Jadi, aku menelepon suami-istri
itu di hotel mereka dan mengatakan bahwa aku jatuh sakit.
Kemudian aku menelepon London dan mengatakan hal yang sama. Kubilang mungkin aku
harus dikarantina, dan sebaiknya mereka mengirim sopir lain untuk
menggantikanku. Tak seorang pun akan menyalahkan aku karenanya. Mereka juga
tidak cukup peduli dengan diriku, jadi mereka tidak akan bertanya-tanya lebih jauh Paling-paling
mereka pikir aku kena demam tinggi, sehingga tak sanggup mengabari mereka lagi.
Setelah semua berlalu, aku akan muncul kembali di London dengan cerita tentang
sakitku yang sangat parah! Tapi kupikir aku tidak akan melakukannya. Aku sudah
bosan sekali dengan pekerjaan menyopir.
"Pemberontakan" itu adalah suatu titik balik penting dalam hidupku. Karena
pemberontakan itu, dan hal-hal lainnya, aku bisa muncul di ruang pelelangan pada
tanggal yang telah ditetapkan.
Di papan pengumuman penjualan dulu itu terpampang tulisan
"Kecuali sudah terjual oleh perjanjian pribadi". Tapi papan itu masih ada di
sana, berarti belum ada perjanjian pribadi untuk membeli.
Saking bersemangatnya, aku nyaris tidak tahu apa yang kulakukan.
Seperti pernah kukatakan, aku belum pernah menghadiri pelelangan properti untuk
umum. Dalam pikiranku, pastilah pelelangan itu menarik sekali, tapi nyatanya
tidak begitu. Sama sekali tidak. Pelelangan adalah satu-satunya pertunjukan
paling membosankan yang pernah kuhadiri, yang berlangsung dalam suasana agak
temaram dan hanya dihadiri oleh enam atau tujuh orang. Si pelelang berbeda
sekali dengan para pelelang yang pernah kulihat sedang menjual perabotan atau
barang-barang lain sejenisnya
- mereka biasanya laki-laki dengan suara menggoda, bersemanga?"
dan selalu melontarkan lelucon. Tapi yang ini suaranya datar saja ketika
menjelaskan nilai properti itu, dan menggambarkan luas serta beberapa hal
lainnya. Kemudian dengan setengah hati ia membuka penawaran. Seseorang menawar
sebesar 5.000 pound. Si pelelang melontarkan senyum bosan, seperti kalau kita
mendengarkan lelucon yang tidak lucu. Ia memberikan beberapa komentar,
dilanjutkan dengan beberapa penawaran lagi. Para penawar itu kebanyakan orang-
orang desa. Ada seseorang yang kelihatannya petani, seorang yang kurasa
kontraktor, dua pengacara, kupikir, dan seorang laki-laki yang kelihatannya
orang asing. dari London, berpakaian bagus dan bertampang profesional. Aku tidak
tahu apakah ia juga ikut menawar; mungkin saja ia melakukannya. Tapi kalau
memang begitu, ia melakukannya dengan diam-diam, dan hanya dengan
gerakan tangan. Pokoknya, pelelangan itu berakhir juga. Si pelelang mengumumkan
dengan suara melankolis bahwa harga yang diminta tidak tercapai dan menutup
pelelangan. "Betul-betul acara yang membosankan," kataku pada salah seorang laki-laki
bertampang desa yang berjalan keluar di sampingku.
"Hampir sama dengan biasanya," katanya. "Sering menghadiri pelelangan seperti
ini?" "Tidak," sahutku, "ini yang pertama."
"Karena ingin tahu, ya" Saya tidak melihat Anda melakukan penawaran."
"Memang tidak," kataku. "Saya hanya ingin melihat bagaimana pelelangan itu
berlangsung." "Yah, sama seperti biasanya. Mereka ingin melihat siapa yang tertarik, itu
saja." Aku memandangnya dengan bertanya-tanya.
"Menurut saya, hanya tiga orang yang tertarik," kata temanku itu.
"Whetherby dari Helminster. Dia kontraktor. Kemudian Dakham dan Coombe, yang
menawar untuk mewakili suatu perusahaan di Liverpool, begitu yang saya dengar,
dan seorang asing dari London, yang menurut saya seorang pengacara. Mungkin
masih ada orang-orang lainnya. tapi mereka bertiga tampaknya yang paling utama.
Pasti properti itu laku dengan harga murah. Begitulah yang dikatakan orang."
"Karena reputasi tempat itu?" tanyaku.
"Oh, Anda juga sudah dengar tentang Gipsy's Acre, ya" Itu hanya omongan orang-
orang setempat. "Dewan kota mestinya sudah mengubah jalan di sana itu bertahun-tahun lalu -
betul-betul tikungan mematikan."
"Tapi tempat itu benar-benar punya reputasi buruk?"
"Menurut saya, itu cuma omong kosong. Seperti kata saya tadi, bisnis
sesungguhnya akan terjadi sekarang, di balik layar. Mereka akan pergi dan
membuat penawaran. Menurut saya, orang-orang dari Liverpool itu yang akan
mendapatkannya. Saya rasa Whetherby tidak akan mau menawar lebih tinggi lagi.
Dia suka membeli yang murah-murah. Sekarang ini banyak properti yang dijual
untuk dikembangkan. Bagaimanapun, tidak banyak orang yang mampu membeli tempat
seperti itu, belum lagi harus merobohkan rumahnya dan membangun yang baru, ya
kan?" "Memang rasanya tidak banyak sekarang ini," kataku.
"Terlalu susah. Belum lagi masalah pajak dan hal-hal lainnya.
Selain itu, tidak mudah mendapat tenaga pembantu di pedesaan.
Tidak, orang lebih suka membayar ribuan pound untuk membeli apartemen di tingkat
enam belas sebuah gedung modern di kota sekarang ini. Rumah besar yang
merepotkan di pedesaan betul-betul jatuh harga di pasaran."
"Tapi Anda bisa membangun rumah yang modern," debatku. "Jadi menghemat tenaga
pembantu." "Memang, tapi itu pasti mahal sekali, dan kebanyakan orang tidak suka hidup
sepi." "Tapi ada orang yang suka begitu," kataku.
Ia tertawa dan kami berpisah. Aku menyusuri jalanan dengan dahi berkeru?" sambil
bertanya-tanya. Kakiku berjalan tanpa aku sendiri menyadari, ke mana aku pergi di sepanjang
jalan di antara pepohonan, terus naik, melalui tikungan yang menuju suatu tempat
di antara pepohonan dan padang belantara.
Begitulah ceritanya bagaimana aku sampai di tempat aku melihat Ellie untuk
pertama kali. Seperti kubilang semula, Ellie sedang berdiri di dekat sebuah
pohon cemara yang tinggi. Sosoknya - kalau bisa kugambarkan demikian - bagaikan
sosok seseorang yang semula tidak ada di situ, namun tiba-tiba saja menjelma,
seolah-olah dari antara pepohonan. Ia mengenakan sejenis mantel berwarna hijau
tua, rambutnya cokelat lembut seperti warna daun-daun musim gugur. Sosoknya
bagai terselubung misteri. Aku melihatnya dan terenyak. Ia sedang memandangiku
juga, bibirnya terbuka sediki?"
tampaknya ia agak terkejut. Kurasa aku juga kelihatan terkejut. Aku ingin
mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Akhirnya aku berkata, "Maaf. Aku... aku tidak bermaksud mengagetkan. Aku tidak tahu ada orang lain di
sini." Ia menjawab, suaranya sangat lembut dan pelan, seperti suara anak perempuan
kecil, meski tidak pas begitu. Ia berkata,
"Tidak apa-apa. Maksudku, aku juga tidak mengira ada orang lain di sinl." Ia
memandang sekelilingnya sejenak dan berkata, "Ini... ini tempat yang sepi.
Dan ia menggigil sedikit.
Memang sore itu angin bertiup agak dingin. Tapi mungkin bukan angin itu
penyebabnya. Entahlah. Aku mendekat selangkah-dua langkah.
"Tempat ini juga agak menyeramkan, bukan?" kataku. "Maksudku, karena rumahnya
sudah bobrok." "The Towers," katanya dengan serius. "Begitu kan namanya dulu, hanya saja...
maksudku, kelihatannya tidak ada Tower-nya. Tidak ada menaranya."
"Kurasa itu cuma nama," kataku. Orang-orang suka menamai rumah mereka dengan
nama-nama seperti The Towers, supaya kedengarannya lebih megah dari
kenyataannya." Ia tertawa kecil. "Kurasa begitulah," katanya lagi. Ini - mungkin kau tahu, aku
tidak yakin - ini tempat yang mereka jual hari ini atau ditawarkan lewat
pelelangan?" "Ya," kataku. "Aku baru saja datang dari pelelangan itu."
"Oh." Ia tampak terkejut. - "Apa kau... merasa tertarik?"
"Aku tak mungkin membeli sebuah rumah bobrok dengan tanah hutan yang cuma
beberapa ratus ekar saja," kataku. "Aku bukan dari golongan itu."
"Apakah sudah laku?" tanyanya.
"Tidak, harganya tidak mencapai yang telah ditetapkan."
"Oh, begitu." Ia terdengar lega.
"Kau sendiri tidak ingin membelinya, bukan?" tanyaku.
"Oh, tidak," katanya, "tentu saja tidak." Suaranya terdengar gugup.
Aku ragu-ragu, dan tiba-tiba saja aku berkata tanpa pikir panjang.
"Aku hanya pura-pura," kataku. "Tentu saja aku tak bisa membelinya, sebab aku
tak punya uang, tapi aku sebenarnya tertarik. Aku ingin membelinya. Aku mau
membelinya. Silakan tertawa kalau mau, tapi begitulah kenyataannya."
"Tapi bukankah tempatnya sudah terlalu kuno juga...
"Oh, ya," kataku. "Maksudku, aku tidak suka melihat kondisinya sekarang ini. Aku
ingin merobohkan rumah itu dan membuang semuanya. Rumah itu sudah jelek, dan
dulu rumah itu pasti menyedihkan. Tapi tempat ini tidak menyedihkan atau jelek.
Tempat ini justru cantik. Lihatlah kemari. Sedikit ke arah sini, melalui
pepohonan. Lihatlah pemandangan yang mengarah ke bukit-bukit dan padang
belantara. Bisakah kau melihatnya" bersihkan pemandangan di sini, lalu kita
sampai di jalan ini..."
Aku menggandeng tangannya dan membimbingnya ke titik kedua di kompas. Mungkin ia
tidak memperhatikan, bahwa kami berdua sudah saling bersikap akrab sekarang.
Lagi pula, caraku menggandengnya biasa saja. Aku hanya ingin menunjukkan padanya
apa yang kulihat. "Di sini," kataku, "di sini kau bisa melihat pemandangannya menurun sampai ke
laut dan batu-batu yang bermunculan di sana.
Sebenarnya ada sebuah kota di antara kita dan lau?" tapi kita tak
bisa melihatnya karena terhalang bukit-bukit yang menggunung agak jauh di bawah
sana. Kemudian pemandangan ketiga adalah lembah hijau samar-samar. Kalau kita
menebang beberapa pohon, Ialu membuat pemandangan-pemandangan luas serta
membersihkan tempat ini di sekeliling rumah, bisakah kau melihat betapa kau akan
memiliki sebuah rumah yang cantik di sini" Rumahnya tidak boleh dibangun di
tempat rumah yang lama. Tapi harus sekitar lima puluh atau seratus langkah - di
sebelah kanan, di sini. Di sini tempat yang bagus untuk membangun rumahnya,
sebuah rumah yang cantik.
Rumah yang dibangun oleh seorang arsitek jenius."
"Apa kau kenal arsitek yang jenius?" Ia kedengarannya tak percaya.
"Aku kenal satu," kataku.
Kemudian aku mulai bercerita tentang Santonix. Kami duduk berdampingan di sebuah
batang pohon yang tumbang, dan aku bercerita. Ya, aku bercerita pada gadis hutan
yang ramping itu, yang baru kali ini kujumpai, dan aku mencurahkan segala
perasaanku ke dalam ceritaku. Kuceritakan juga padanya tentang impianku.
"Tapi semua itu tidak akan terjadi," kataku. "Aku tahu itu. Tak mungkin terjadi.
Tapi coba bayangkan. Bayangkan kalau semuanya terjadi seperti yang kuimpikan. Di
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana kita tebang pohon-pohonnya, dan di sebelah sana kita bersihkan lahannya.
Kita tanami dengan berbagai jenis tanaman, rhododendron dan bunga azalea.
Temanku Santonix pasti mau datang. Dia pasti akan terbatuk-batuk parah.
Kurasa dia sedang sekarat gara-gara TBC atau sejenisnya, tapi dia pasti bisa
melakukannya. Dia bisa melakukannya, sebelum meninggal. Dia bisa membangunkan
rumah yang sangat indah. Kau tidak tahu bagaimana rupa rumah-rumah yang
dibangunnya. Dia membangun semuanya itu untuk orang-orang yang sangat kaya, dan
mereka haruslah orang-orang yang menginginkan hal yang benar.
Maksudku bukan hal yang benar secara umum. Tapi menginginkan suatu mimpi yang
menjadi kenyataan. Sesuatu yang indah!"
"Aku ingin memiliki rumah seperti itu," kata Ellie. "Kau membuatku melihatnya,
merasakannya.... Ya, ini akan menjadi tempat yang indah
untuk ditinggali. Segalanya yang diimpikan bisa menjadi kenyataan.
Kita bisa tinggal di sini dengan bebas, tidak terkungkung, tidak terikat pada
orang-orang yang selalu mendesakmu melakukan sesuatu yang tidak kauinginkan. Oh,
aku bosan sekali dengan hidupku dan orang-orang di sekelilingku. Pokoknya
segalanya!" Begitulah permulaannya, Ellie dan aku. Aku dengan mimpiku, ia dengan
pemberontakannya atas hidupnya. Kami berhenti bercakap-cakap dan saling
memandang. "Siapa namamu?" tanyanya.
"Mike Rogers," kataku. "Michael Rogers," aku membetulkan.
"Siapa namamu?"
"Fenella." Ia ragu-ragu, kemudian berkata, "Fenella Goodman,"
sambil memandangku agak cemas.
Kami tidak bercakap-cakap lagi setelah itu, tapi kami tetap saling memandangi.
Kami berdua ingin bisa bertemu lagi - tapi saat itu kami tidak tahu bagaimana
harus mengaturnya. 5 Nah, begitulah awal hubunganku dengan Ellie. Tidak terlalu lancar, sebab kami
berdua menyimpan rahasia pribadi. Sesuatu yang ingin kami rahasiakan dari pihak
lainnya, jadi kami tak bisa saling bercerita terlalu banyak tentang diri
sendiri. Kami selalu waspada, seolah-olah ada penghalang. Kami tak bisa berkata
terang-terangan, "Kapan kita bisa bertemu kembali" Di mana aku bisa menemuimu"
Di mana kau tinggal?" Sebab, kalau kita bertanya begitu pada seseorang, ia akan
mengharapkan kita menjawabnya juga.
Fenella tampak cemas ketika menyebutkan namanya. Saking cemasnya ia, sampai-
sampai kupikir itu pasti bukan nama aslinya.
Aku nyaris mengira nama itu cuma diada-ada saja olehnya! Tapi tentu saja aku
tahu bahwa itu tak mungkin. Aku telah
memberitahukan namaku yang sebenarnya padanya.
Kami tidak tahu bagaimana sebaiknya saling berpamitan hari itu.
Sungguh kikuk rasanya. Udara mulai dingin, dan kami ingin meninggalkan The
Towers - tapi kemudian apa" Dengan agak kikuk, aku berkata agak ragu-ragu,
"Apa kau tinggal di sekitar sini?"
Ia berkata bahwa ia tinggal di Market Chadwell, sebuah kota pasar yang tidak
terlalu jauh. Aku tahu di kota itu ada sebuah hotel bintang tiga yang besar.
Kuduga ia menginap di sana. Ia berkata, dengan agak ragu-ragu juga,
"Apa kau tinggal di sini?"
"Tidak," kataku, "aku tidak tinggal di sini. Aku hanya berkunjung sehari ke
sini." Kemudian kami saling berdiam diri lagi. Ia menggigil sedikit. Angin dingin
sepoi-sepoi mulai bertlup.
"Lebih baik kita jalan," kataku, "supaya tubuh kita tetap hangat.
Kau... naik mobil atau datang kemari dengan bus atau kereta api?"'
Ia berkata bahwa ia meninggalkan mobilnya di desa.
"Tapi aku akan baik-baik saja," katanya.
Ia tampak agak gugup. Kupikir mungkin ia ingin bisa segera lepas dariku, tapi
tidak tahu caranya. Aku berkata,
"Bagaimana kalau kita berjalan sampai di desa saja?"
Ia melirik penuh syukur ke arahku. Kami melangkah perlahan-lahan di jalanan yang
berkelok-kelok, di mana telah terjadi banyak kecelakaan mobil. Begitu kami
sampai di tikungan, tiba-tiba muncul seseorang dari bawah lindungan dedaunan
pohon-pohon cemara. Begitu tiba-tiba kemunculannya, hingga Ellie berteriak kage?" "Oh!"
Ternyata orang itu wanita tua yang kutemui waktu itu di pondok kebunnya sendiri
- Mrs. Lee. Ia tampak sangat liar hari itu, dengan rambut hitaMr.ya yang kusut
tertiup angin dan mantel merah tua menutupi pundaknya; dari tempat berdirinya,
ia kelihatan jauh lebih jangkung.
'Dan apa yang sedang kalian lakukan di sini, anak-anak?"
tanyanya. "Apa yang membawa kalian ke Gipsy's Acre?"
"Oh," kata Ellie, "kami tidak melakukan pelanggaran, bukan?"
"Bisa saja. Ini dulu daerah kaum gipsi. Daerah kaum gipsi, dan mereka mengusir
kami semuanya. Kalian tidak ada gunanya di sini, dan tak ada gunanya kalian
berkeliaran di Gipsy's Acre."
Ellie sama sekali tidak membantah; ia memang bukan tipe seperti itu. Dengan
lembut dan sopan ia berkata,
"Maafkan kami, kalau kami memang tidak boleh kemari. Saya pikir tempat ini akan
dijual hari ini." "Dan siapa pun yang membelinya pasti tertimpa sial!" kata wanita tua itu.
"Dengarkan aku, Cantik, sebab kau memang cukup cantik, nasib sial akan menimpa
siapa pun yang membelinya. Tanah ini sudah terkutuk, bertahun-tahun lamanya. Kau
jangan datang kemari. Jangan berurusan dengan Gipsy's Acre. Kematian akan menimpamu, juga bahaya.
Pulanglah ke seberang lau?" dan jangan kembali ke Gipsy's Acre. Kuperingatkan
kau." Dengan agak sebal Ellie berkata,
"Kami tidak merusak apa-apa."
"Ayolah, Mrs. Lee," kataku, "jangan menakut-nakuti nona ini."
Aku berbalik dan menjelaskan pada Ellie.
"Mrs. Lee tinggal di desa. Dia memiliki pondok di sana. Dia bisa membaca
peruntungan dan meramal nasib. Bukankah begitu, Mrs.
Lee?" kataku padanya dengan nada bergurau.
"Aku memang berbaka?"" sahut Mrs. Lee singka?" sambil menegakkan tubuh gipsinya
lurus-lurus. "Aku memang berbakat.
Sudah ada dalam darahku. Kami semua memilikinya. Aku akan membaca peruntunganmu,
Nona. Letakkan sekeping perak di tanganku, dan aku akan membaca peruntunganmu."
"Rasanya aku tidak mau peruntunganku dibaca."
"Tapi itu tindakan bijaksana. Bisa mengetahui sesuatu tentang masa depan. Bisa
mengetahui apa yang harus dihindari, apa yang bakal menimpa dirimu kalau kau
tidak hati-hati. Ayolah, toh ada banyak uang di sakumu. Banyak uang. Aku tahu
hal-hal yang patut kauketahui."
Kebanyakan wanita senang peruntungannya diramal. Aku tahu itu.
Aku memperhatikannya pada gadis-gadis yang kukenal. Biasanya aku yang selalu
harus merogoh kantong supaya mereka bisa masuk ke tenda tukang ramal, kalau aku
mengajak mereka ke pasar malam.
Ellie membuka dompetnya dan meletakkan dua keping uang di tangan wanita tua itu.
"Ah, nona cantik, ini baru betul. Dengarkan apa yang akan dikatakan Ibu Lee tua
ini." Ellie melepaskan sarung tangannya dan meletakkan tangannya yang kecil dan lembut
di tangan wanita tua itu. Mrs. Lee menunduk dan menggumam sendiri. "Apa yang
kulihat sekarang" Apa yang kulihat?"
Tiba-tiba ia menjatuhkan tangan Ellie dengan cepat.
"Aku akan segera pergi dari sini, kalau aku jadi kau. Pergi dan jangan kembali!
Itu yang kukatakan padamu sebelumnya, dan itu betul. Aku melihatnya lagi di
telapak tanganmu. Lupakan Gipsy's Acre, lupakan kau pernah melihatnya. Dan bukan
hanya rumah bobrok di atas sana, tapi tanahnya sendiri memang sudah terkutuk."
"Anda ini betul-betul tergila-gila pada kutukan itu," kataku dengan kasar. "Lagi
pula, nona ini tidak ada urusannya dengan tanah di sini.
Dia kemari hanya untuk berjalan-jalan hari ini; dia tak punya urusan apa-apa
dengan penduduk di sekitar sini."
Wanita tua itu tidak mengindahkan diriku. Ia berkata dengan serius,
"Kukatakan padamu, Cantik. Kuperingatkan kau. Kau bisa hidup bahagia - tapi kau
harus menghindari bahaya. Jangan datang ke tempat yang ada bahaya atau ada
kutukannya. Pergilah ke tempat kau dicintai, diperhatikan, dan dijaga. Kau harus
menjaga agar dirimu tetap aman. Ingat itu. Kalau tidak... kalau tidak..." ia menggigil sedikit
- "aku tak suka melihatnya. Aku tak suka melihat apa yang ada di tanganmu."
Tiba-tiba, dengan gerakan cepa?" ia mendorong kembali dua keping uang itu ke
dalam tangan Ellie, sambil menggumamkan sesuatu yang nyaris tidak kedengaran.
Kedengarannya seperti, "Betul-betul jahat. Apa yang akan terjadi, betul-betul jahat."
Kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh dengan cepat.
"Astaga - betul-betul wanita yang menakutkan," kata Ellie.
"Jangan perhatikan dia," kataku sebal. "Kurasa dia sudah setengah gila. Dia
hanya ingin menakut-nakutimu. Kurasa orang-orang gipsi itu masih menyimpan
perasaan untuk tanah ini."
"Apa di sini memang pernah terjadi kecelakaan" Atau peristiwa buruk?"
"Sudah pasti, Coba lihat tikungan ini, dan jalannya yang sempit.
Dewan Kota harusnya mengambil tindakan untuk memperbaikinya.
Tentu saja di sini sering terjadi kecelakaan. Tidak ada cukup tanda-tanda
peringatan." "Hanya kecelakaan atau juga hal-hal lainnya?"
"Begini," kataku, "orang-orang suka mengumpulkan cerita tentang kecelakaan.
Memang banyak yang bisa dikoleksi. Begitulah biasanya suatu daerah menjadi
terkenal dengan legendanya."
"Itukah salah satu alasan mereka berkata tanah ini akan dijual dengan harga
murah?" "Yah, mungkin saja, kurasa. Secara lokal memang begitu. Tapi kurasa tidak akan
ada orang lokal yang membelinya. Kurasa tanah ini akan dibeli untuk dibangun
perumahan. Kau masih menggigil,"
kataku. "Jangan menggigil. Ayo kita berjalan cepat." Aku melanjutkan, "Apa kau
ingin aku meninggalkanmu sebelum kau sampai di kota?"
"Tidak. Tentu saja tidak. Mengapa harus begitu?"
Aku berkata dengan putus asa,
"Begini," kataku, "aku akan pergi ke Market Chadwell besok.
Kurasa... kurasa... aku tidak tahu apakah kau masih akan ada di sana
... maksudku, apakah masih ada kesempatan untuk... bertemu denganmu?" Aku
menggeser-goserkan kakiku dan membuang muka.
Kurasa wajahku pasti merah. Tapi kalau aku tidak mengatakan apa-apa sekarang,
baga-imana aku bisa melanjutkannya"
"Oh, ya," katanya, "aku baru akan kembali ke London besok malam."
"Kalau begitu, mungkin... maukah kau... maksudku, ini agak keterlaluan..."
"Tidak, sama sekali tidak."
"Yah, mungkin kau mau datang minum teh di kafe... Blue Dog, kurasa begitulah
namanya. Tempatnya sangat nyaman", kataku.
"Maksudku... tempatnya..." aku tak bisa mengucapkan kata yang tepa?" jadi
kusebutkan kata yang kadang-kadang diucapkan ibuku -
"tempatnya sangat terhorma?"" kataku cemas.
Kemudian Ellie tertawa. Mungkin ucapanku kedengaran agak aneh zaman sekarang
ini. "Pasti akan menyenangkan sekali," katanya. "Ya. Aku akan datang. Sekitar jam
setengah lima, bagaimana?"
"Aku akan menunggumu," kataku. "Aku... aku senang." Aku tidak mengatakan, apa
yang membuatku senang itu.
Akhirnya kami sampai di tikungan terakhir jalanan itu, di mana mulai ada rumah-
rumah "Sampai di sini, kalau begitu," kataku, "dan sampai besok.
Jangan... jangan pikirkan ucapan wanita tua itu. Dia hanya suka menakut-nakuti
orang. Dia toh tidak tinggal di sana," kataku lagi.
"Menurutmu, apakah tempat itu menakutkan?" tanya Ellie.
"Gipsy's Acre" Tidak, menurutku tidak," kataku. Mungkin aku mengatakannya agak
terlalu tegas, tapi memang menurutku tempat
itu tidak menakutkan. Aku malah menganggapnya tempat yang indah, tempat yang
cocok bagi sebuah rumah indah....
Nah, begitulah cerita pertemuan pertamaku dengan Ellie. Aku pergi ke Market
Chadwell keesokan harinya, dan menunggu kedatangan Ellie di Blue Dog. Kami minum
teh bersama-sama dan mengobrol. Kami masih tidak bercerita banyak tentang diri
masing-masing, atau tentang kehidupan kami, maksudku. Kebanyakan kami
mengobrolkan hal-hal yang kami pikirkan atau rasakan; kemudian Ellie melirik jam
tangannya, dan berkata bahwa ia harus segera pergi, karena keretanya, akan
berangkat ke London jam setengah enam.
"Kupikir kau membawa mobil kemari," kataku.
Ia tampak agak malu dan berkata, tidak, tidak, itu bukan mobilnya kemarin. Tapi
ia tidak berkata mobil siapa. Bayangan kekikukan lagi-lagi menyelimuti kami
berdua. Aku mengangkat tangan untuk memanggil pelayan dan membayar bon, kemudian
aku berkata terus terang pada Ellie,
"Apakah aku... apakah aku bisa bertemu denganmu lagi?"
Ia tidak memandangku; ia malah menunduk memandang meja. Ia berkata,
"Aku akan berada di London selama dua minggu."
Aku berkata, "Di mana" Bagaimana?"
Kami menetapkan tanggal untuk bertemu di Regent's Park dalam tiga hari. Hari itu
betul-betul cerah. Kami mampir untuk makan di sebuah restoran terbuka, dan
berjalan-jalan di kebun Queen Mary. Di sana kami duduk berdua di kursi panjang
dan mengobrol. Dari saat itulah kami mulai bercerita tentang diri masing-masing.
Aku bercerita tentang pendidikanku yang lumayan, walaupun karierku tidak
cemerlang. Aku bercerita padanya tentang pekerjaan-pekerjaanku, tidak semuanya,
dan bagaimana aku tak pernah menetap dan selalu ingin berpindah-pindah mencoba:
segala sesuatu. Anehnya, ia betul-betul terpesona mendengar ceritaku itu.
"Begitu berbeda," katanya, "berbeda dan hebat."
"Berbeda dari apa?"
"Dari aku." "Kau gadis yang kaya?" kataku menggoda. "Gadis kaya yang malang."
"Ya," katanya, "aku gadis kaya yang malang."
Kemudian ia bercerita sepotong-sepotong tentang latar belakang kekayaannya,
tentang kenyamanan yang kaku, tentang kejenuhan, tentang tidak bisa memilih
teman sendiri, tentang ketidakmampuan melakukan apa yang diinginkannya - kadang-
kadang melihat orang-orang yang tampaknya bersenang-senang, sementara ia tak
bisa begitu. Ibunya sudah meninggal waktu ia masih bayi, dan ayahnya telah
menikah lagi. Tak lama setelah itu, ayahnya meninggal juga, katanya. Menurutku
ia tidak dekat dengan ibu tirinya. Hampir seumur hidupnya ia tinggal di Amerika,
tapi juga sering bepergian ke luar negeri.
Mendengar ceritanya, aku merasa kagum, karena masih ada gadis di zaman ini yang
hidup dalam pingitan dan terkekang. Memang betul, ia sering pergi ke pesta-pesta
dan hiburan-hiburan, tapi rasanya seperti di zaman lima puluh tahun yang lampau,
menurutku, dari caranya bercerita. Rasanya tak ada keakraban atau kesenangan
sama sekali! Hidupnya, betul-betul berbeda dari hidupku, seperti kapur dan keju.
Bagaimanapun, aku kagum juga mendengar ceritanya, meski kedengarannya konyol.
"Jadi, kau tidak pernah sungguh-sungguh punya teman sendiri kalau begitu?"
kataku tak percaya. Magaimana dengan teman laki-laki?"
"Mereka biasanya sudah dipilihkan untukku," katanya dengan agak pahit. "Dan
semuanya membosankan."
"Seperti di penjara," kataku.
'Memang begitulah rasanya."
"Dan kau benar-benar tidak punya teman sendiri?"
"Aku punya sekarang. Greta."
"Siapa Greta itu?" kataku.
"Mula-mula dia datang sebagai gadis au pair - tidak, tidak persis begitu. Dulu
ada seorang gadis Prancis yang tinggal bersama kami selama setahun, supaya aku
bisa belajar bahasa Prancis, kemudian Greta datang dari Jerman, supaya aku bisa
belaJar bahasa Jerman. Greta berbeda. Segalanya jadi beda begitu Greta datang."
"Kau sangat sayang padanya?" tanyaku.
"Dia membantuku," kata Ellie. "Dan berada di pihakku. Dia yang mengatur supaya
aku bisa melakukan berbagai hal dan pergi ke mana-mana. Dia tidak keberatan
berbohong untukku. Aku tak mungkin bisa datang ke Gipsy's Acre kalau tidak
dibantu Greta. Dia menemaniku dan menjagaku di London, sementara ibu tiriku
pergi ke Paris. Aku menulis dua atau tiga pucuk sura?" dan kalau aku pergi ke
tempat lain, Greta mengeposkan surat-surat itu setiap tiga atau empat hari,
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehingga semuanya mempunyai cap pos London."
"Tapi mengapa kau ingin pergi ke Gipsy's Acre?" tanyaku. "Untuk apa?"
Ia tidak langsung menjawab.
"Greta dan aku mengaturnya," katanya. Dia memang
menyenangkan," katanya lagi. Dia bisa memikirkan macam-macam.
Idenya banyak." "Bagaimana tampang si Greta ini?" tanyaku.
"Oh, dia cantik," sahutnya. "Jangkung dan pirang. Dia cakap sekali."
"Kurasa aku tidak menyukainya," kataku.
Ellie tertawa. "Oh, kau akan menyukainya. Aku yakin itu. Dia juga sangat pintar."
"Aku tidak suka gadis pintar," kataku. "Aku juga tidak suka gadis jangkung dan
pirang. Aku suka gadis mungil dengan rambut seperti daun-daun musim gugur."
"Kurasa kau cemburu pada Greta," kata Ellie.
"Mungkin saja. Kau sangat menyayanginya, bukan?"
"Ya, sangat. Dia membuat banyak perbedaan dalam hidupku."
"Dan dialah yang mengusulkan padamu untuk datang ke sana.
Mengapa" Aku ingin tahu. Tidak banyak yang bisa dilihat atau dilakukan di tempat
seperti itu. Menurutku itu agak misterius."
"Itu rahasia kami," kata Ellie, tampak malu.
"Rahasiamu dan Greta" Coba ceritakan."
Ia menggelengkan kepala. "Aku harus punya rahasia sendiri,"
katanya. "Apa Greta-mu itu tahu kau sedang bersamaku sekarang?"
Dia tahu aku akan menemui seseorang. Itu saja. Dia tak suka bertanya macam-
macam. Dia tahu aku bahagia."
Setelah itu, seminggu lamanya aku tidak bertemu Ellie. Ibu tirinya sudah pulang
dari Paris, juga seseorang yang dipanggilnya Paman Frank. Ia menjelaskan dengan
enteng bahwa ia akan menyelenggarakan pesta ulang tahun, dan mereka akan
merayakannya besar-besaran di London.
"Aku tak mungkin menyelinap pergi," katanya. "Tak mungkin minggu depan. Tapi
setelah itu... setelah itu pasti berbeda."
"Mengapa pasti berbeda setelah itu?"
"Aku bisa melakukan apa yang kusukai setelah itu." Dengan bantuan Greta, seperti
biasa?" kataku. Biasanya Ellie akan tertawa mendengar caraku berbicara tentang Greta. Ia akan
berkata, "Kau ini konyol sekali, bisa cemburu terhadap Greta. Suatu hari kau
harus bertemu dengannya. Kau pasti menyukainya."
"Aku tidak suka gadis yang suka memerintah," kataku keras kepala.
"Mengapa kaupikir dia suka memerintah?"
"Dari caramu bercerita tentang dia. Dia selalu saja sibuk mengatur sesuatu."
Dia memang sangat efisien," kata Ellie. Dan dia mengatur segalanya dengan sangat
baik. Itu sebabnya ibu tiriku mempercayakan banyak hal padanya."
Aku, bertanya padanya, bagaimana rupa Paman Frank-nya.
Ia berkata, "Aku tidak terlalu kenal dia. Dia suami saudara perempuan ayahku.
Jadi, bukan saudara langsung. Dari dulu dia suka berkelana, dan pernah mendapat
kesulitan sekali dua kali. Pokoknya dia sering digosipkan."
"Bukan anggota keluarga favorit?" tanyaku. "Jenis yang buruk?"
"Oh, tidak sungguh-sungguh buruk kurasa, tapi dia memang pernah mendapat
kesulitan. Masalah keuangan. Dan para pengacara serta keluarga harus membayar
untuk mengeluarkannya dari masalah-masalah itu."
"Itu dia," kataku. "Dia kambing hitam dalam keluarga. Kurasa aku lebih cocok
dengannya ketimbang dengan Greta yang hebat."
"Paman Frank bisa bersikap, sangat menyenangkan kalau mau,"
kata Ellie. "Dia bisa menjadi teman yang akrab."
"Tapi kau tidak terlalu menyukainya?" tanyaku dengan tajam.
"Kurasa aku menyukainya.... Hanya saja kadang-kadang, oh, aku tak bisa
menjelaskannya. Aku hanya merasa tak bisa menebak apa-apa yang sedang dipikirkan
atau direncanakannya."
"Jadi, dia seorang perencana, ya?"
"Aku tidak tahu bagaimana dia sebenarnya," kata Ellie lagi.
Ia tak pernah terus terang mengusulkan agar aku berkenalan dengan keluarganya.
Kadang-kadang aku bertanya-tanya, apakah
aku harus menyinggung masalah tersebut. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya
tentang itu. Akhirnya aku langsung bertanya.
Megini, Ellie," kataku, "menurutmu apakah aku tidak sebaiknya...
berjumpa dengan keluargamu, atau kau lebih suka kalau aku tidak berjumpa dengan
mereka?" "Aku tidak mau kau bedumpa dengan mereka," katanya cepat.
"Aku tahu aku bukan siapa-siapa...," kataku.
"Bukan begitu maksudku, sama sekali bukan! Maksudku, mereka pasti ribut. Aku
tidak suka keributan."
"Aku kadang merasa kita seperti main kucing-kucingan. Bukankah itu justru
membuatku kelihatan buruk?"
"Aku sudah cukup umur untuk memilih teman-temanku sendiri,"
kata Ellie. "Aku hampir dua puluh satu tahun. Kalau aku sudah dua puluh satu
nanti, aku bisa memilih teman-temanku sendiri, dan tak seorang pun bisa
melarangku. Tapi sekarang ini, yah, seperti kubilang tadi, mereka pasti akan
ribut sekali, dan mereka akan berusaha menjauhkan aku darimu. Belum lagi... oh,
biar saja kita tetap berhubungan seperti ini."
"Kalau kau tidak keberatan, aku juga tidak keberatan," kataku.
"Aku hanya tidak suka... yah, terlalu kucing-kucingan begini."
"Ini bukan kucing-kucingan. Ini supaya kita bisa saling berteman, mengobrolkan
segalanya, juga supaya bisa-" tiba-tiba ia tersenyum-
"bisa membayang-bayangkan. Kau tidak tahu betapa
menyenangkannya itu."
Ya, begitulah - membayang-bayangkan! Kami memang semakin sering menghabiskan
waktu dengan membayang-bayangkan ini-itu.
Kadang-kadang aku yang melakukannya. Tapi lebih sering lagi Ellie yang berkata,
"Mari kita misalkan kita telah membeli Gipsy's Acre dan sedang membangun rumah
di sana." Aku telah banyak bercerita padanya tentang Santonix dan rumah-rumah yang pernah
dibangunnya. Aku mencoba menggambarkan model rumah-rumah itu dan cara Santonix
merancang semuanya. Kurasa aku tidak terlalu bagus menggambarkannya, karena aku memang tidak pintar
menggambarkan sesuatu. Ellie, tidak diragukan lagi, punya gambaran sendiri
tentang rumah itu-rumah kami. Oh, kami memang tak pernah mengatakan "rumah
kami", tapi kami tahu begitulah maksudnya....
Jadi, untuk seminggu lamanya aku tak bisa bertemu Ellie. Aku telah menghabiskan
semua tabunganku (yang jumlahnya tidak banyak) untuk membelikannya sebentuk
cincin mungil dengan permata Irlandia berwarna hijau. Kuberikan cincin itu
padanya sebagai hadiah ulang tahun. Ia menyukainya, dan kelihatan sangat
bahagia. "Clncin yang indah," katanya.
Ellie memang tidak memakai banyak perhiasan, dan kalau harus memakainya, tak
diragukan lagi ia pasti memakai berlian dan zamrud asli, dan permata-permata
lain sejenis itu, tapi ia menyukai cincin hijau Irlandia pemberianku.
"Ini akan menjadi hadiah ulang tahun yang paling kusukai,"
katanya. Kemudian aku mendapat sepucuk surat yang ditulis terburu-buru oleh Ellie. Ia
harus pergi ke Prancis Selatan bersama keluarganya, segera setelah hari ulang
tahunnya. "Tapi jangan cemas," tulisnya, "kami akan kembali dalam dua-tiga minggu, dalam perjalanan ke
Amerika kali ini. Pokoknya kita pasti bertemu lagi. Aku punya sesuatu yang
istimewa, yang ingin kubicarakan denganmu."
Aku merasa cemas dan tidak tenang, karena tak bisa bertemu Ellie, dan karena aku
tahu ia telah pergi ke Prancis. Aku juga punya sedikit kabar tentang Gipsy's
Acre. Tampaknya ada pihak swasta yang telah membelinya, tapi tidak banyak
informasi tentang siapa pihak swasta itu. Sebuah kantor pengacara di London
tampaknya sudah ditunjuk menjadi pembelinya. Aku mencoba mendapat keterangan
lebih banyak, tapi tidak berhasil. Kantor pengacara itu betul-betul tertutup.
Tentu saja aku tidak berbicara dengan
pimpinannya. Aku hanya mendekati salah seorang staf mereka, dan mendapatkan
sedikit informasi samar-samar. Gipsy's Acre telah dibeli oleh seorang klien kaya
raya yang bermaksud menyimpannya sebagai investasi yang bagus, begitu tanah di
daerah itu sudah lebih berkembang.
Memang sulit sekali mencari tahu tentang sesuatu kalau kita harus berurusan
dengan kantor pengacara yang eksklusif. Segalanya betul-betul rahasia, seolah-
olah mereka agen negara atau sejenisnya!
Setiap orang selalu bersikap atas nama orang lain yang tak bisa disebutkan
namanya atau dibicarakan!
Aku jadi betul-betul tidak tenang. Aku memutuskan berhenti memikirkan Gipsy's
Acre dan pergi mengunjungi ibuku.
Sudah lama aku tidak berjumpa ibuku.
6 Ibuku masih tinggal di jalan yang sama selama dua puluh tahun terakhir ini -
jalan yang penuh dengan rumah-rumah terhormat yang membosankan dan tidak
menarlk. Anak tangga depan menuju pintu rumah telah dicat putih bersih dan
tampak persis seperti biasanya.
Nomor rumahnya 46. Aku menekan bel depan. lbuku membukakan pintu dan berdiri
menatapku. Ia tampak seperti biasanya juga. Tinggi dan persegi, dengan rambut
kelabu dibelah tengah, bibir seperti jebakan tikus, dan mata yang selalu menatap
curiga. Ia juga tampak keras seperti paku. Tapi, kalau menyangkut diriku, selalu
ada titik lunak di hatinya. Ia memang tak pernah memperlihatkannya, tapi aku
selalu berhasil menemukannya. Ia tak pernah berhenti berharap agar, aku mau
berubah, tapi harapannya itu sia-sia belaka dan takkan pernah jadi kenyataan.
Hubungan kami jadi datar karenanya.
"Oh," katanya, "ternyata kau yang datang."
"Ya," kataku, "memang aku."
Ibu mundur sediki?" supaya aku bisa masuk. Aku melangkah melewati ruang duduk,
dan terus menuju dapur. Ibu mengikutiku dan berdiri memandangi diriku.
"Sudah lama sekali," katanya. "Apa saja yang kaulakukan?"
Aku hanya angkat bahu. "Macam-macam," sahutku.
"Ah," kata ibuku, "seperti biasa, ya?"
"Seperti biasa," kataku mengiyakan.
Berapa banyak pekerjaan yang kaupunyai sejak terakhir kali aku melihatmu?"
Aku berpikir sebentar. "Lima," kataku.
"Kapan kau mau dewasa?"
"Aku sudah betul-betul dewasa," kataku "Aku sudah memilih jalan hidupku sendiri.
Bagaimana kabar Ibu?" lanjutku.
"Juga seperti biasa," sahut ibuku.
"Baik-baik saja?"
"Aku tak punya waktu untuk jatuh saki?"" kata ibuku. Kemudian ia menambahkan
dengan tiba-tiba, "Untuk apa kau datang kemari?"
"Apa aku harus punya tujuan tertentu kalau datang kemari?"
Biasanya begitu." "Aku heran, kenapa Ibu tidak setuju kalau aku suka melanglang dunia," kataku.
"Menyetir mobil mewah ke seluruh Eropa! Itukah idemu tentang melanglang dunia?"
"Tentu saja." "Kau tidak bakal dapat sukses besar dari pekerjaan itu. Apalagi kalau kau suka
sakit mendadak, meninggalkan klienmu di kota tak beradab."
"Bagaimana Ibu bisa tahu?"
"Perusahaan tempatmu bekerja menelepon. Mereka ingin tahu, apakah aku tahu
alamatmu." "Untuk apa mereka meneleponku?"
"Kurasa mereka ingin mempekerjakaMr.u kembali," kata ibuku.
"Aku tidak mengerti buat apa."
"Sebab aku pengemudi yang baik, dan para klien menyukaiku.
Lagi pula, aku toh tidak bisa apa-apa kalau saki?" bukan?"
"Entahlah," kata ibuku.
Jelas menurut ibuku aku mestinya bisa mempertahankan
pekerjaanku biarpun sakit.
"Kenapa kau tidak melapor kembali pada mereka waktu kau tiba di Inggris?"
"Sebab aku mau memancing ikan yang lain," kataku.
Ibuku mengangkat alisnya. "Ide baru lagi di kepalamu" Ide gila-gilaan lagi"
Kerja apa lagi kau setelah itu?"
"Jadi petugas pompa bensin. Jadi montir di bengkel. Staf temporer, dan tukang
cuci di restoran dan kelab malam."
"Turun derajat tepatnya," kata ibuku dengan sebal.
"Sama sekali tidak," kataku. "Ini semua bagian dari rencana.
Rencanaku!" lbuku menarik napas panjang. "Kau mau minum apa, teh atau kopi" Ibu punya dua-
duanya." Aku memilih kopi. Aku sudah melepaskan kebiasaan minum teh.
Kami duduk berhadap-hadapan dengan cangkir-cangkir kopi di depan kami. Ibu
mengeluarkan kue buatannya dari kaleng dan mengiris sepotong untuk kami masing-
masing. "Kau lain," kata ibuku tiba-tiba.
"Lain bagaimana?"
"Entahlah, tapi kau memang lain. Apa yang terjadi?"
"Tidak ada apa-apa. Mengapa harus ada yang terjadi?"
"Kau bersemanga?"" kata ibuku.
"Aku mau merampok bank," kataku.
Ibuku tidak berminat bergurau. Ia hanya berkata,
"Tidak, aku tidak takut kau akan merampok bank."
"Mengapa tidak" Rasanya itu cara gampang untuk cepat kaya sekarang ini."
"Merampok bank butuh kerja keras," kata ibuku.
"Dan banyak perencanaan. Harus memeras otak lebih banyak daripada yang kausukai.
Juga tidak aman." "Ibu pikir Ibu tahu segalanya tentang aku," kataku.
"Tidak, aku tidak tahu. Aku tidak sungguh-sungguh tahu segalanya tentang dirimu,
sebab kau dan aku berbeda sekali seperti bumi dan langit. Tapi aku tahu kalau
kau sedang merencanakan sesuatu. Dan kau memang sedang merencanakan sesuatu
sekarang. Apa itu, Micky" Apakah cewek?"
"Mengapa Ibu menebak itu cewek?"
"Aku selalu tahu ini bakal terjadi suatu hari."
"Apa maksud Ibu dengan 'suatu hari'" Aku punya banyak cewek."
"Bukan itu yang kumaksud. Cewek-cewekmu yang banyak itu hanya untuk senang-
senang. Kau suka berhubungan dengan cewek mana pun, tapi tak pernah serius
sampai sekarang ini."
"Tapi Ibu pikir aku serius sekarang?"
"Apakah memang cewek, Micky?"
Aku tidak memandang mata ibuku. Aku membuang muka dan berkata, "Boleh dibilang
begitu." "Cewek macam apa dia?"
"Yang cocok untukku," kataku.
"Apa kau akan mengajaknya menemui Ibu?"
"Tidak," kataku.
"Begitu, ya?" "Bukan apa-apa. Aku tidak mau melukai perasaan Ibu, tapi..."
"Kau tidak melukai perasaanku. Kau tidak mau aku melihat cewekmu, karena kau
takut aku bilang 'Jangan'. Begitukah?"
"Aku toh tidak akan peduli kalaupun Ibu bilang jangan."
"Mungkin tidak, tapi itu akan menggoyahkanmu. Menggoyahkan hatimu, sebab kau
memperhatikan apa yang kukatakan dan pikirkan.
Banyak hal yang telah kutebak tentang dirimu - mungkin tebakan itu betul dan kau
mengetahuinya. Aku satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menggoyahkan
keyakinanmu pada diri sendiri. Apakah cewek yang sudah mengikatmu ini cewek
nakaI?" "Cewek nakaI?" kataku dan tertawa. "Kalau saja Ibu melihatnya!
Ibu membuatku tertawa."
"Apa yang kaukehendaki dari aku" Kau pasti butuh sesuatu. Kau selalu begitu."
"Aku butuh uang," kataku.
?"Kau tidak akan mendapatkannya dariku. Untuk apa kau butuh uang - supaya bisa
membelikan barang-barang untuk cewek itu?"
"Tidak," kataku, "aku ingin membeli setelan jas kualitas utama, supaya bisa
menikah."
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau akan menikahinya?"
"Kalau dia mau menerimaku."
Mendengar itu, Ibu betul-betul kaget.
"Kalau saja kau mau bercerita padaku!" katanya. "Kau sudah salah pilih, aku tahu
itu. Aku selalu khawatir dari dulu, kalau kau salah pilih cewek."
"Salah pilih! Astaga!" teriakku. Aku merasa marah.
Aku keluar dari rumah dan membanting pintu.
7 Ketika aku sampai di rumah, ada telegram menungguku -
datangnya dari Antibes. Temui aku besok jam setengah lima tempat biasa.
Sikap Ellie lain dari biasanya. Aku segera melihatnya. Kami berjumpa seperti
biasa di Regen?"s Park. Mula-mula kami merasa agak asing dan kikuk satu sama
lain. Ada yang hendak kukatakan padanya, tapi aku agak bingung bagaimana
menyampaikannya. Kurasa tiap laki-laki pasti demikian, kalau sudah saatnya melamar seorang gadis.
Ada lagi sikap Ellie yang juga aneh. Mungkin ia sedang memikirkan cara yang
paling baik dan sopan untuk menolakku. Tapi entah mengapa aku merasa bukan itu
yang membuatnya bingung. Seluruh keyakinanku pada hidup ini didasarkan pada
kenyataan bahwa Ellie mencintaiku. Tapi ada suatu kebebasan baru pada dirinya,
sebuah keyakinan diri yang baru, yang tak mungkin disebabkan hanya karena ia
sudah setahun lebih tua sekarang. Satu ulang tahun tak mungkin bisa membuat
perbedaan seperti itu pada seorang gadis. Ia dan keluarganya telah berlibur di
Prancis Selatan, dan ia bercerita sedikit padaku tentang liburannya itu.
Kemudian dengan agak malu-malu ia berkata,
"Aku... aku melihat sebuah rumah di sana, yang pernah kauceritakan dulu. Rumah
yang dibangun oleh teman arsitekmu."
"Apa" Santonix?"
"Ya. Kami pergi ke sana untuk makan siang suatu hari."
"Bagaimana bisa" Apa ibu tirimu kenal dengan laki-laki yang tinggal di sana?"
"Dimitri Constantine" Yah - tidak tepat begitu, tapi dia pernah bertemu dengan
Dimitri dan... yah... sebenarnya Greta yang mengatur supaya kami bisa pergi ke
sana." "Greta lagi," kataku, memblarkan rasa kesal menandai suaraku, seperti biasanya.
"Sudah kubilang padamu," kata Ellie, "Greta pintar mengatur sesuatu."
"Oh, baiklah. Jadi, dia berhasil mengatur supaya kau dan ibu tirimu..."
"Dan Paman Frank," kata Ellie.
"Jadi, pesta keluarga, ya," kataku, "dan Greta juga iku?" kurasa." ,
"Oh, tidak, Greta tidak iku?" karena-" Ellie ragu-ragu - "Cora, ibu tiriku,
tidak menganggap Greta seperti itu."
"Dia bukan anggota keluarga, dia cuma saudara jauh yang miskin, bukan?" kataku.
"Cuma seorang gadis au pair, kenyataannya. Greta pasti benci diperlakukan
seperti itu kadang-kadang."
"Greta bukan gadis au pair; dia temanku yang baik."
"Seorang pengawas," kataku. "Pembimbing, penjaga. Ada banyak kata untuk
menyebutnya." "Oh, diamlah," kata Ellie, "aku ingin mengatakan sesuatu padamu.
Aku tahu sekarang, apa yang kaumaksud tentang temanmu Santonix.
Rumah itu betul-betul indah. Betul-betul berbeda. Bisa kubayangkan kalau
Santonix membangun rumah untuk kita, rumah itu pasti akan sangat menyenangkan."
Ellie menyebutkan rumah "kita" nyaris tanpa sadar. Kita, katanya.
Ia telah pergi ke Riveria dan menyuruh Greta mengatur segalanya agar dapat
melihat rumah yang pernah kuceritakan padanya, karena ia ingin bisa melihat
sendiri dengan lebih jelas, rumah yang dalam dunia mimpi kami berdua, akan
dibangun Rudolf Santonix bagi kami.
"Aku senang kau merasa demikian tentang rumah itu," kataku.
"Ia berkata, "Apa saja yang kaukerjakan selama ini?"
"Hanya pekerjaan membosankan," sahutku. "Aku juga pergi ke pacuan kuda. Aku
bertaruh pada kuda yang tidak diunggulkan. Tiga puluh banding satu. Aku
mempertaruhkan semua uang yang kumiliki, dan aku menang besar. Siapa bilang
nasibku tidak mujur?"
"Aku senang kau menang," kata Ellie, tapi ia mengatakannya tanpa semangat,
karena mempertaruhkan segalanya pada pacuan kuda dan ternyata menang, tidak
berarti apa-apa di dunia Ellie. Tidak seperti dalam duniaku.
"Dan aku juga mengunjungi ibuku," kataku lagi.
"Kau jarang bercerita tentang ibumu."
"Untuk apa?" kataku.
"Apa kau tidak sayang pada ibumu?"
Aku merenung sejenak. "Aku tidak tahu," kataku. "Kadang-kadang kupikir tidak.
Bagaimanapun, kalau sudah dewasa, kita jadi jauh dari orangtua. Ibu-ibu dan
ayah-ayah." "Kurasa kau menyayangi ibumu," kata Ellie. "Kalau tidak, kau tidak akan ragu
saat bercerita tentang ibumu."
"Boleh dibilang aku takut pada ibu," kataku, Dia sangat kenal diriku. Maksudku,
dia mengenal sisi burukku."
"Memang harus ada orang yang begitu," kata Ellie.
"Apa maksudmu?"
"Seorang penulis besar pernah berkata bahwa tak seorang pun bisa menjadi
pahlawan bagi pelayan pribadinya. Mungkin setiap orang harus punya seorang
pelayan pribadi. Kalau tidak pasti susah, bagaimana kita selalu hidup dan
berusaha tampil baik di mata setiap orang."
"Wah, boleh juga pendapatmu itu, Ellie," kataku. Kuraih tangannya. "Apa kau
mengenalku dengan baik?" tanyaku.
"Kurasa begitu," kata Ellie. Ia mengatakannya dengan sangat tenang dan
sederhana. "Aku tidak banyak bercerita tentang diriku."
"Maksudmu kau tidak pernah bercerita tentang dirimu sama sekali; kau selalu
tertutup. Itu beda. Tapi aku cukup tahu bagaimana dirimu, dirimu sendiri."
"Aku tidak tahu itu," kataku. Aku melanjutkan,
"Kedengarannya agak konyol, mengatakan aku cinta padamu.
Tampaknya sudah terlambat untuk itu, bukan" Maksudku, kau sudah tahu itu dari
dulu, nyaris dari awal pertemuan kita, bukan?"
"Ya," kata Ellie, "dan kau juga tahu itu tentang diriku, bukan?"
"Masalahnya," kataku, "apa yang harus kita lakukan sekarang"
Tidak akan mudah, Ellie. Kau tahu persis keadaanku sebenarnya, apa yang telah
kukerjakan, dan jenis kehidupan yang kujalani. Aku mengunjungi ibuku di
rumahnya, di sebuah jalan kecil yang terhormat dan suram. Dunia kita tidak sama,
Ellie. Aku tidak tahu apakah kita bisa mempertemukan dua dunia itu."
"Kau bisa mengajakku mengunjungi ibumu."
"Ya, memang," kataku, "tapi aku lebih suka tidak. Mungkin itu kedengarannya
sangat kurang ajar bagimu, atau jahat, tapi kita harus menjalani hidup yang aneh
bersama-sama, kau dan aku. Bukan hidup yang biasa kaujalani, juga bukan hidup
yang biasa kujalani. Tapi suatu hidup baru, gabungan antara kemiskinan dan ketidakacuhanku, dengan
uang, budaya, serta pengetahuan sosialmu. Teman-temanku akan menganggapmu
sombong, sementara teman-temanmu akan menganggapku tidak pantas. Jadi, apa yang harus
kita lakukan sekarang?"
"Akan kukatakan padamu," kata Ellie, "apa tepatnya yang harus kita lakukan. Kita
akan tinggal di Gipsy's Acre, di sebuah rumah-rumah idaman yang akan dibangun
temanmu Santonix bagi kita.
Itulah yang akan kita lakukan." Ia melanjutkan, "Mula-mula kita harus menikah
dulu. Itu yang kaumaksud, bukan?"
"Ya," kataku, "memang itu maksudku. Kalau kau yakin itu sesuai bagimu."
"Gampang saja," kata Ellie, "kita bisa menikah minggu depan. Kau tahu aku sudah
cukup umur. Aku bisa berbuat sesukaku sekarang.
Beda dengan dulu. Kurasa kau benar tentang urusan keluarga. Aku tidak akan
bilang apa-apa pada keluargaku, dan kau juga tidak akan bilang apa-apa pada
ibumu, sampai kita sudah menikah. Setelah itu biar mereka ribut sendiri, itu
tidak akan mempengaruhi kita."
"Bagus," kataku, "bagus sekali, Ellie. Tapi ada satu hal. Aku tak suka
mengatakannya padamu. Kita tak bisa tinggal di Gipsy's Acre, Ellie. Kita tak
bisa membangun rumah di sana, sebab tempat itu sudah terjual."
"Aku tahu sudah terjual," kata Ellie. Ia tertawa.
"Kau tidak mengerti, Mike. Akulah yang membelinya."
8 Aku duduk di rerumputan di samping sungai kecil, di antara bunga-bunga air dan
jalan-jalan setapak kecil berbatu-batu di sekeliling kami. Banyak orang duduk di
sekeliling kami, tapi kami tidak memperhatikan mereka, juga tidak menyadari
keberadaan mereka, sebab kami sama seperti yang lainnya - sepasang muda-mudi
yang asyik mengobrol tentang masa depan. Aku menatap Ellie lekat-lekat. Aku
betul-betul tak bisa berbicara.
"Mike," katanya. "Ada sesuatu, sesuatu yang harus kukatakan padamu. Sesuatu
tentang diriku, maksudku."
"Kau tak perlu mengatakannya," kataku. "Tak perlu mengatakan apa-apa."
"Tapi aku harus. Aku harus mengatakannya padamu sejak awal, tapi aku tak ingin
sebab... sebab kupikir kau pasti akan menjauh. Ini bisa menjelaskan tentang
Gipsy's Acre." "Kau membelinya?" kataku. "Tapi bagaimana kau bisa
membelinya?" "Melalui pengacara-pengacaraku," katanya, "cara yang biasa. Itu betul-betul
investasi yang bagus. Harga tanahnya akan naik. Para pengacaraku sangat senang
mengenainya." Tiba-tiba terasa aneh mendengar Ellie, yang biasanya lembut dan pemalu,
berbicara dengan penuh keyakinan dan pengetahuan tentang dunia membeli dan
menjual. "Kau membelinya untuk kita?"
"Ya. Aku menemui pengacaraku sendiri, bukan pengacara keluarga. Kukatakan
padanya apa yang ingin kulakukan. Kuminta dia memeriksa, dan aku mengatur
segalanya. Ada dua orang lain yang juga ingin membeli Gipsy's Acre, tapi mereka
tidak betul-betul menginginkannya, dan mereka tidak mau membayar mahal. Tapi
yang penting segalanya harus diatur sedemikian rupa, sehingga siap
kutandatangani begitu aku cukup umur. Sekarang semuanya sudah ditandatangani dan
selesai." "Tapi kau pasti telah membayar panjar atau sejenisnya. Apa kau punya cukup uang
untuk itu?" "Tidak," kata Ellie, "tidak. Aku tidak punya kuasa atas uang sebanyak itu
sebelumnya, tapi tentu saja ada orang-orang yang bisa meminjamkan uang pada
kita. Dan kalau kau pergi ke sebuah kantor pengacara yang baru, mereka pasti
ingin kau terus menyewa kantor mereka untuk mengurus urusan-urusan bisnismu,
begitu kau sudah mendapatkan uang yang memang menjadi hakmu, jadi mereka mau
mengambil risiko bahwa bisa saja kau tiba-tiba mati sebelum ulang tahunmu tiba."
"Kau kedengaran seperti pengusaha," kataku, "kau membuatku tercengang!"
"Jangan pedulikan bisnis," kata Ellie. "Aku harus kembali pada apa yang hendak
kukatakan padamu. Sebetulnya aku sudah
mengatakannya padamu, tapi kurasa kau tidak menyadarinya."
"Aku tidak ingin tahu," kataku. Suaraku meninggi, dan aku nyaris berteriak.
"Jangan bilang apa-apa padaku. Aku tidak mau tahu apa-apa tentang sepak
terjangmu, atau siapa pacarmu dulu, atau apa yang pernah terjadi pada dirimu."
"Bukan itu," kata Ellie. "Aku tak mengira kau mencemaskan hal-hal seperti itu.
Tidak, bukan itu. Tidak ada rahasia seks. Aku tidak punya pacar lain selain
dirimu. Masalahnya begini... aku... aku ini kaya."
"Aku tahu itu," kataku, "kau,sudah bilang padaku."
"Ya," kata Ellie sambil tersenyum kecil, "dan kau memanggilku,
'gadis kecil kaya yang malang'. Tapi sebenarnya aku lebih dari itu.
Kakekku kaya sekali. Minyak. Sebagian besar minyak. Dan hal-hal lainnya. Para
bekas istri yang harus ditunjangnya sudah meninggal semua, jadi tinggal ayah dan
diriku, sebab dua anak laki-laki lainnya tewas terbunuh. Satu di Korea, satunya
lagi dalam kecelakaan mobil.
Jadi semuanya diwariskan pada kami dalam bentuk simpanan yang sangat besar, dan
ketika ayahku tiba-tiba meninggal, semuanya menjadi milikku. Ayahku telah
menyiapkan tunjangan untuk ibu tiriku, jadi dia tidak bakal mendapat apa-apa
lagi. Semuanya milikku. Aku...
sebetulnya aku salah satu wanita terkaya di Amenika, Mike."
"Astaga," kataku. "Aku tidak tahu... Ya, kau betul, aku tidak tahu kau ternyata
sekaya itu." "Tadinya aku tak ingin kau tahu. Aku tak ingin mengatakannya padamu. Itu
sebabnya aku takut menyebutkan namaku - Fenella Goodman. Kami mengejanya G-u-t-
e-m-a-n, dan kupikir kau mungkin mengenal nama Guteman, jadi aku mengulurnya
supaya kedengaran seperti Goodman."
"Ya," kataku, "aku memang pernah mendengar nama Guteman samar-samar. Tapi
rasanya aku tak mungkin mengenalinya waktu itu.
Banyak orang punya nama seperti itu."
"Itu sebabnya aku selalu dijaga, ketat sepanjang waktu dan dikurung," kata
Ellie. "Ada detektif-detektif yang bertugas menjagaku, dan semua pemuda harus
diperiksa sebelum diizinkan bicara denganku. Kalau aku berteman dengan
seseorang, mereka harus yakin dulu bahwa temanku itu pantas. Kau tidak tahu betapa merananya hidup
di penjara seperti itu! Tapi sekarang semuanya sudah berlalu, dan kalau kau
tidak keberatan..." "Tentu saja aku tidak keberatan," kataku. "Kita pasti bisa bersenang-senang.
Yang jelas," kataku, "aku tidak keberatan kau kaya!"
Kami berdua tertawa. Ellie berkata, "Kau bisa bersikap wajar dalam banyak hal.
Itu yang kusukai dari dirimu."
"Lagi pula," kataku, "kurasa kau juga harus membayar pajak tinggi, bukan" Itu
salah satu keuntungan jadi orang seperti diriku.
Semua uang yang kuhasilkan masuk ke kantongku sendiri, dan tak seorang pun bisa
mengambilnya dariku."
"Kita akan punya rumah," kata Ellie, "rumah kita sendiri di Gipsy's Acre." Tiba-
tiba ia merendak sejenak.
"Kau tidak kedinginan, bukan, Savang?" kataku. Aku mendongak menatap matahari.
"Tidak," sahutnya.
Hari itu udara betul-betul panas. Kami pasti akan. gosong karenanya. Rasanya
seperti di Prancis Selatan
"Tidak," kata Ellie, "hanya... hanya saja wanita itu, wanita gipsi yang muncul
hari itu." Oh, jangan pedulikan dia," kataku. "Dia toh orang gila."
"Menurutmu, apa dia serius menganggap tanah itu terkutuk?"
"Kurasa orang gipsi memang seperti itu. Kau tahu kan - selalu ingin membuat lagu
dan berdansa tentang kutukan atau sejenisnya."
"Apa kau tahu banyak tentang orang gipsi?"
"Sama sekali tidak," kataku terus terang. "Kalau kau tidak suka dengan Gipsy's
Acre, Ellie, kita beli rumah di tempat lain. Di puncak gunung di Wales, di tepi
pantai di Spanyol, atau di lereng bukit di Italia. Santonix bisa membangun rumah
untuk kita di sana."
"Tidak," kata Ellie, "aku ingin punya rumah di Gipsy's Acre, sebab di situlah
aku pertama kali melihatmu muncul di jalan, tiba-tiba saja membelok di tikungan,
dan kemudian kau melihatku dan berhenti menatapku. Aku tak pernah melupakannya."
"Aku juga tidak," kataku.
"Jadi, rumah kita harus di sana. Dan temanmu Santonix akan membangunnya."
"Kuharap dia masih hidup," kataku dengan perasaan agak cemas.
"Kesehatannya payah sekali."
"Oh, ya," kata Ellie, "dia masih hidup. Aku sudah pergi menemuinya.".
"Kau menemui Santonix?"
"Ya. Waktu aku berada di Prancis Selatan. Dia tinggal di sebuah sanatorium di
sana." "Ellie, setiap menit kau jadi semakin mengagumkan. Begitu banyak yang kaulakukan
dan tangani." "Kurasa dia lumayan menyenangkan," kata Ellie, "tapi agak menakutkan."
"Apa dia membuatmu takut?"
"Ya, dia membuatku sangat takut untuk suatu alasan tertentu."
"Apa kau menceritakan padanya tentang kita?"
"Ya. Ya, aku menceritakan semuanya tentang kita, juga tentang Gipsy's Acre dan
rumahnya. Dia bilang padaku bahwa kita harus mengambil risiko kalau hendak
memakai jasanya, sebab dia betul-betul sakit parah. Menurut pendapatnya, dia
masih cukup kuat untuk pergi melihat Gipsy's Acre, merancang denah,
membayangkannya, kemudian menggambarnya. Katanya dia tidak keberatan sama sekali
kalau harus meninggal sebelum rumah itu selesai, tapi kukatakan padanya bahwa
dia tak boleh meninggal. sebelum rumah itu selesai, sebab aku ingin dia bisa
melihat kita tinggal di dalamnya."
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu apa katanya?"
"Dia bertanya padaku, apakah aku menyadari keputusanku menikah denganmu, dan
kujawab tentu saja aku sadar."
"Lalu?" "Dia bilang dia ingin tahu apakah kau sadar apa yang kaulakukan."
"Tentu saja aku sadar," kataku.
"Dia bilang, 'Kau akan selalu tahu arah yang hendak kuambil, Miss Guteman.'
Katanya 'Kau selalu pergi ke tempat yang memang ingin kautuju, dan karena jalan
itu adalah jalan yang sudah kaupilih.'
"'Tapi Mike,' katanya lagi, 'mungkin akan mengambil jalan yang salah. Dia belum
cukup dewasa untuk tahu ke mana dia akan pergi.'
"Lalu kubilang," kata Ellie, "Mike akan aman-aman saja bersamaku."
Ellie memang punya keyakinan diri yang sangat besar. Tapi aku jengkel mendengar
ucapan Santonix. Ia seperti ibuku saja. Ibu tampaknya jauh lebih mengenal diriku
daripada aku sendiri. "Aku tahu ke mana aku akan pergi," kataku. "Aku pergi ke arah yang memang ingin
kutuju, dan kita akan pergi bersama-sama."
"Mereka sudah mulai merobohkan puing-puing The Towers sekarang ini," kata Ellie.
Ia mulai membicarakan hal-hal praktis sekarang.
"Mereka harus mengedakan pembangunannya dengan cepat, begitu gambarnya selesai.
Kita harus bergegas. Begitu kata Santonix.
Apa kita bisa menikah Selasa depan?" tanya Ellie. "Itu hari yang bagus dalam
seminggu." "Tanpa dihadiri orang-orang," kataku.
"Kecuali Greta," kata Ellie.
"Peduli amat dengan Greta," kataku. "Dia tidak boleh datang ke pernikahan kita.
Hanya kau dan aku, tidak boleh ada orang lain. Kita bisa mencari saksi yang
dibutuhkan di jalan."
Kalau kuingat-ingat kembali, rasanya hari itu memang hari paling membahagiakan
dalam hidupku.... BUKU DUA 9 Jadi begitulah, Ellie dan aku menikah. Kedengarannya remeh, hanya menyebutnya
demikian, tapi memang begitulah yang terjadi.
Kami memutuskan untuk menikah, dan kami menikah.
Pernikahan kami adalah bagian dari keseluruhan ceritanya - bukan akhir dari
suatu novel atau dongeng romantis. "Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia
selama-lamanya." Kita toh tak bisa menggembar-gemborkan hidup bahagia selama-
lamanya itu. Pokoknya kami menikah, dan kami berdua bahagia. Untuk beberapa lama, tak ada
orang yang tahu dan menyulitkan kami, namun kami telah memutuskan bagaimana
harus menghadapi semuanya.
Segalanya betul-betul sederhana. Ellie berhasil merahasiakan gerak-geriknya
sampai sekarang, demi kebebasan yang begitu didambakannya. Greta si serba bisa
itu telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan, dan setalu berjaga-jaga di
belakang Ellie. Tapi aku segera menyadari bahwa sesungguhnya tak seorang pun benar-benar peduli
tentang Ellie dan segala sepak-terjangnya. Ibu tirinya sibuk sendiri dengan
kehidupan pribadi dan hubungan-hubungan cintanya. Kalau Ellie tak ingin
menemaninya ke tempat tertentu, maka Ellie tak perlu melakukannya. Ia dulu punya
banyak pengasuh andal dan pelayan-pelayan perempuan; ia juga berpendidikan
tinggi, dan kalau ia ingin pergi ke Eropa, mengapa tidak" Kalau ia memilih
merayakan ulang tahunnya yang kedua puluh
satu di London, sekali lagi mengapa tidak" Sekarang ia telah mewarisi kekayaan
yang luar biasa besar, dan itu berarti ia memegang kendali keluarga dalam hal
pengeluaran uang. Kalau ia menginginkan sebuah villa di Riviera, atau sebuah
istana di Costa Brava, atau sebuah yacht atau barang-barang mewah lainnya, ia
cukup menyebutkan kenyataan itu, dan salah seorang ajudannya akan mengatur
segalanya dan menyerahkannya pada Ellie.
Kurasa Greta dianggap oleh keluarga Ellie sebagai budak yang mengagumkan.
Cekatan, bisa mengatur segalanya dengan efisiensi sempurna, patuh, dan pandai
meyakinkan sang ibu tiri, paman, dan beberapa saudara sepupu yang tampaknya
selalu muncul. Ellie punya paling tidak tiga pengacara yang bisa dipanggilnya
sewaktu-waktu, begitulah yang kudengar dari ueapannya sesekali. Ia dikelilingi
oleh jaringan finansial yang sangat luas, yang terdiri atas para bankir,
pengacara, dan pengurus dana perwalian. Dunianya ini hanya bisa kuintip sekilas
kadang-kadang, sebagian besar dari percakapan atau obrolan Ellie yang tercetus
tanpa sengaja. Ellie pasti tidak terpikir bahwa aku tidak memahami hal-hal
seperti itu. Ia dibesarkan dalam lingkungan seperti itu, dan otomatis menganggap
semua orang tahu lingkungan tersebut, bagaimana cara kerjanya, dan sebagainya.
Kenyataannya, saling mengetahui sekilas-sekilas tentang keanehan-keanehan dalam
dunia masing-masing justru merupakan hal yang paling kami nikmati dalam awal-
awal pernikahan kami. Kasarnya begini - dan aku memang mengatakannya dengan kasar pada diriku sendiri,
sebab hanya itulah satusatunya cara untuk membiasakan, diri dengan kehidupanku
yang baru-si miskin tidak tahu persis, seperti apa kehidupan si kaya, dan si
kaya tidak tahu persis bagaimana kehidupan si miskin, dan sangat menarik bagi
mereka untuk saling mencari tahu tentang hal itu. Pernah aku berkata dengan tak
sabar, "Begini, Ellie, apa kau yakin bakal ada keributan besar gara-gara pernikahan
kita?" Ellie langsung menyahu?" tanpa ragu-ragu sedikit pun.
"Oh, ya," katanya, "pasti akan ribut sekali." kemudian ia melanjutkan, "Kuharap
kau tidak terlalu keberatan."
"Aku takkan keberatan - untuk apa" - tapi kau. Apa mereka akan menyalahkanmu?"
"Kurasa begitu," kata Ellie, "tapi kita tak perlu mendengarkan mereka. Yang
penting mereka tak bisa berbuat apa-apa terhadap kita."
"Tapi mereka akan mencobanya?"
"Oh, ya," kata Ellie. "Mereka akan mencobanya." Kemudian ia melanjutkan dengan
serius, "Mereka mungkin akan mencoba menyuapmu."
"Menyuapku?" "Jangan terlalu kaget begitu," kata Ellie, dan ia tersenyum.
Senyuman gadis kecil yang bahagia. "Tidak persis begitu." Kemudian ia
melanjutkan, "Mereka menyuap suami pertama Minnie Thompson."
"Minnie Thompson" Yang dijuluki ratu minyak oleh orang-orang?"
"Ya, betul. Dia minggat dan menikah dengan seorang pengawas pantai."
"Begini, Ellie," kataku tak enak. "Aku dulu pernah menjadi pengawas pantai di
Littlehampton." "O ya" Pasti asyik rasanya! Pekerjaan permanen?"
Bujukan Gambar Lukisan 17 Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana Pembunuh Berdarah Dingin 1
Agatha Christie Malam Tanpa Akhir Endless Night Scan, Convert & edit to word : Hendri Kho
Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
MALAM TANPA AKHIR (Endless Night) Agatha Christie UNTUK NORA PRICHARD Dari siapa aku pertama kali
Mendengar tentang Legenda Gipsy's Acre BUKU SATU 1 Akhirku adalah permulaanku... Aku sering mendengar kutipan itu.
Kedengarannya bagus - tapi apa sebenarnya artinya"
Apakah memang ada tempat tertentu di mana orang bisa
menunjuk dan berkata, "Semuanya bermula pada hari itu, pada jam sekian, di
tempat tertentu, dengan kejadian tertentu?"
Mungkinkah ceritaku dimulai ketika aku melihat papan yang tergantung di dinding
George and Dragon, yang mengumumkan pelelangan properti mahal The Towers,
lengkap dengan penjelasan tentang luas tanah, panjang dan lebarnya, serta foto
megah The Towers yang kelihatannya diambil semasa jaya-jayanya properti itu,
sekitar delapan puluh atau seratus tahun yang lalu"
Waktu itu aku cuma sedang berjalan-jalan santai di sepanjang jalan utama
Kingston Bishop, sebuah tempat yang tidak ada arti
pentingnya sama sekali. Aku sekadar menghabiskan waktu saja. Aku memperhatikan
papan pengumuman lelang itu. Mengapa" Takdir yang memberikan pertanda buruk"
Atau justru memberikan pertanda keuntungan besar" Terserah Anda pilih yang mana.
Atau mungkin juga semua ini bermula saat aku bertemu Santonix, ketika aku
mengobrol bersamanya; kalau kupejamkan mataku, bisa kubayangkan pipinya yang
kemerah-merahan, matanya yang terlalu cemerlang, dan gerakan-gerakan tangannya
yang kuat namun luwes, yang lihai menggambar sketsa dan membuat rencana denah
rumah-rumah. Atau sebuah rumah, tepatnya, sebuah rumah yang cantik, yang pasti
sangat menyenangkan untuk dimiliki.
Keinginanku untuk memiliki rumah-rumah yang bagus dan cantik, rumah yang tak
pernah kubayangkan bisa kumiliki tiba-tiba merebak ke permukaan. Itulah angan-
angan menyenangkan yang menjadi topik obrolan kami, rumah yang rencananya akan
dibangun Santonix untukku - kalau saja umurnya panjang...
Sebuah rumah yang dalam mimpiku akan kutinggali bersama gadis yang kucintai,
rumah di mana kami akan hidup bersama dan
"bahagia selama-lamanya", seperti dalam dongeng anak-anak yang konyol Semuanya
angan-angan belaka, mimpi di siang bolong, tapi menimbulkan kerinduan di hatiku
- kerinduan akan sesuatu yang rasanya takkan bisa kumiliki.
Atau kalau ini sebuah kisah cinta - dan memang ini sebenarnya kisah cinta, aku
berani sumpah mengapa tidak mulai dengan saat aku pertama kali melihat Ellie
yang sedang berdiri di antara pepohonan cemara tinggi di Gipsy's Acre"
Gipsy's Acre. Ya, mungkin lebih baik aku memulainya dari sana, pada saat aku
beralih dari papan pengumuman lelang itu dengan agak menggigil, karena segumpal
awan hitam telah menutupi matahari. Iseng-iseng aku bertanya pada seorang
penduduk setempa?" yang saat itu sedang sibuk memotong pagar tanamannya dengan
serampangan. "Bagaimana rupa rumah ini, The Towers?"
Masih kuingat jelas wajah aneh pak tua itu, sementara ia melirik ke arahku dan
berkata, "Bukan itu namanya di sini. Nama apa itu?" Ia mendengus tak setuju. "Sudah
bertahun-tahun tidak ada, orang tinggal di sana dan menyebutnya The Towers." Ia
mendengus lagi. Aku bertanya padanya, apa namanya sekarang, dan sekali lagi matanya beralih dari
diriku di wajah tuanya yang penuh keriput. Ia berbicara tanpa menatapku
langsung, cara khas orang pedesaan.
Mata mereka biasanya tertuju pada sesuatu di balik bahu kita, atau ke suatu
tikungan, seolah-olah mereka melihat sesuatu yang tidak kita liha?" dan ia
berkata, "Di sini orang-orang menyebutnya Gipsy's Acre."
"Mengapa begitu?" tanyaku.
"Ada ceritanya. Aku tidak tahu persis. Ada yang bilang begini, ada yang bilang
begitu." Kemudian ia melanjutkan, "Pokoknya, itu tempat terjadinya kecelakaan-
kecelakaan. "Kecelakaan-kecelakaan mobil?"
"Semua jenis kecelakaan. Sekarang memang lebih sering kecelakaan mobil. Tikungan
di situ tajam sekali."
"Yah," kataku, "kalau memang tikungan di situ tajam sekali, saya rasa
kecelakaan-kecelakaan itu pasti tak bisa dihindari."
"Dewan Desa sudah memasang tanda bahaya, tapi tidak ada gunanya, sama sekali
tidak. Tetap saja terjadi kecelakaan."
"Mengapa Gipsy's' tanyaku.
Sekali lagi matanya beralih dari diriku, dan jawabannya tidak jelas.
"Ada cerita lain lagi. Dulu tanah itu memang tanah orang gipsi, kata orang,
sebelum akhirnya mereka diusir keluar. Orang-orang gipsi kemudian mengutuk tanah
itu." Aku tertawa. "Betul," katanya, "kau boleh tertawa, tapi memang ada tempat-tempat yang
terkutuk. Kalian orang-orang kota yang modern tidak tahu apa-apa tentang itu.
Tapi tempat-tempat itu sungguh ada, dan tempat ini salah satunya. Sudah beberapa
orang terbunuh di penggalian di sana, waktu mereka berusaha mengeluarkan batu-
batuan buat membangun. Gordie tua, contohnya, dia terpeleset jatuh dan lehernya
patah." "Mabuk?" aku menebak.
"Mungkin. Gordie memang suka minum. Tapi banyak orang mabuk yang jatuh - bahkan
sampai luka parah - tapi mereka akhirnya baik-baik saja. Sementara Gordie,
lehernya patah. Di sana," ia menunjuk di belakangnya, ke arah bukit yang penuh
pohon-pohon pinus, "di Gipsy's Acre."
Ya, kurasa begitulah semua ini dimulai. Bukannya waktu itu aku serius menanggapi
omongan pak tua itu. Aku hanya kebetulan teringat padanya. Itu saja. Kupikir -
kalau aku memikirkannya dengan cerma?" aku hanya menyimpan ceritanya di benakku.
Aku tidak inga?" apakah sebelum atau sesudahnya aku bertanya apakah masih ada
orang-orang gipsi yang tinggal di sana. Polisi selalu mengusir mereka, begitu
kata pak tua itu. Aku bertanya,
"Mengapa orang-orang tidak suka dengan kaum gipsi?"
"Mereka itu pencuri semua," sahut si pak tua dengan sebal.
Kemudian ia memandangku sedikit lebih dekat. "Kelihatannya kau ada keturunan
gipsi, ya?" katanya menebak, sambil memelototi diriku.
Kubilang aku tidak tahu. Betul, aku memang agak kelihatan seperti orang gipsi.
Mungkin itu yang membuatku tertarik dengan nama Gipsy's Acre. Mungkin saja aku
masih keturunan orang gipsi, kataku dalam hati, sementara aku berdiri dan
membalas senyuman pak tua itu, merasa geli atas obrolan kami.
Gipsy's Acre. Aku mendaki jalanan yang berkelok-kelok itu, keluar desa dan
mengitari pohon-pohon besar. Akhirnya aku sampai di puncak buki?" bisa melihat
laut dan kapal-kapal. Betul-betul
pemandangan bagus, dan dengan iseng aku berpikir lagi, "Bagaimana ya rasanya
kalau aku bisa menjadi pemilik Gipsy's Acre?". Tiba-tiba saja pikiran itu
muncul. Betul-betul pikiran yang, tidak masuk akal.
Ketika aku berpapasan lagi dengan pak tua pemotong pagar tanaman itu, ia
berkata, "Kalau kau ingin bertemu orang gipsi, temui saja Mrs. Lee. Pak Mayor memberi
Mrs. Lee sebuah pondok untuk ditinggali."
"Siapa Pak Mayor itu?" tanyaku.
Pak tua itu menyahut dengan suara kaget. "Mayor Phillpotttentu saja." Ia
tampaknya kecewa sekali mendengar pertanyaanku! Jadi, kusimpulkan bahwa Mayor
Phillpot adalah Dewa Setempat. Mrs. Lee adalah salah seorang yang bergantung
padanya, kurasa, orang yang diberinya nafkah. Keluarga Phillpot tampaknya sudah
tinggal di sana turun-temurun, dan boleh dikatakan menguasai tempat itu.
Ketika aku melambai pada pak tua itu dan beranjak pergi, ia berkata,
"Mrs. Lee tinggal di pondok terakhir di ujung jalan ini. Mungkin kau bisa
menjumpainya di luar. Dia tidak suka berada di dalam rumah. Orang gipsi memang
begitu." Jadi, begitulah... aku berjalan sambil bersiul-siul dan memikirkan Gipsy's Acre.
Aku hampir melupakan apa yang baru saja kudengar, ketika kulihat seorang wanita
tua jangkung berambut hitam sedang menatapku dari balik pagar tanamannya. Aku
langsung tahu bahwa wanita itu Mrs. Lee. Aku berhenti dan bercakap-cakap
dengannya. "Kudengar Anda bisa menceritakan padaku tentang Gipsy's Acre di sana itu,"
kataku. Ia menatapku dari balik rambut hitaMr.ya yang kusu?" kemudian berkata,
"Jangan main-main dengannya, anak muda. Dengarkan aku.
Lupakan Gipsy's Acre. Kau pemuda yang tampan. Tak ada hal baik yang muncul dari
Gipsy's Acre dan tidak akan pernah."
"Saya lihat Gipsy' Acre akan dijual," kataku.
"Memang betul dan siapapun yang membelinya pasti bodoh sekali."
"Siapa yang mungkin membelinya?"
"Ada kontraktor yang mengincarnya. Lebih dari satu orang.
Harganya pasti murah. Lihat saja nanti."
"Mengapa harus dijual murah?" tanyaku ingin tahu. "Padahal daerahnya bagus."
Mrs. Lee tidak mau menjawab.
"Misalnya ada kontraktor yang membeli dengan murah, apa yang akan dilakukan
kontraktor itu dengan Gipsy's Acre?"
Mrs. Lee tertawa cekikikan sendiri. Suara tawanya terdengar jahat dan tidak
menyenangkan. "Merobohkan rumah tua yang sudah bobrok itu dan
membangunnya, tentu saja. Dua puluh - tiga puluh rumah, mungkin -
dan semuanya terkutuk."
Aku tidak mengacuhkan bagian terakhir kalimatnya.
Aku langsung menyahu?" tak bisa menghentikan diriku sendiri.
"Patut disayangkan. Benar-benar patut disayangkan."
"Ah, kau tidak perlu khawatir. Mereka toh tidak akan
menikmatinya, baik yang membeli maupun yang memasang bata dan semennya. Pasti
akan ada kaki yang terpeleset dari tangga, truk yang terguling sampai muatannya
jatuh semua, potongan baja yang jatuh dari atap rumah dan menimbulkan
kecelakaan... Belum lagi pohon-pohonnya. Mungkin akan roboh tiba-tiba. Ah, lihat
saja nanti! Tak ada hal baik yang muncul dari Gipsy's Acre. Lebih baik tempat
itu dibiarkan saja. Percayalah. Percayalah." Mrs. Lee mengangguk-angguk dengan
cepa?" kemudian menggumam pelan pada dirinya sendiri, "Tak ada keuntungan bagi
siapa pun yang mengusik Gipsy's Acre. Tidak akan pernah."
Aku tertawa. Mrs. Lee berkata dengan tajam.
"Jangan tertawa, anak muda. Menurutku hal-hal seperti itu tidak boleh dianggap
remeh. Tak pernah ada keberuntungan di sana, baik di dalam rumahnya maupun di
atas tanahnya." "Apa yang telah terjadi di dalam rumah?" tanyaku. "Mengapa dibiarkan kosong
begitu lama" Mengapa dibiarkan sampai bobrok begitu?"
"Orang-orang terakhir yang tinggal di sana meninggal, semuanya."
"Bagaimana meninggalnya?", tanyaku ingin tahu.
"Lebih baik tidak diungkit-ungkit lagi. Tapi setelah itu tak ada orang yang mau
datang dan tinggal di sana. Rumah itu dibiarkan berlumut dan ambruk. Sekarang
orang sudah melupakannya, dan memang itu yang terbaik."
"Tapi Anda bisa menceritakannya pada saya," desakku. "Anda tahu segala sesuatu
tentang Gipsy's Acre."
"Aku tidak menceritakan gosip tentang Gipsy's Acre." Kemudian Mrs. Lee
merendahkan suaranya, hingga terdengar seperti rengekan pengemis. "Coba kemari,
pemuda ganteng, akan kubacakan nasibmu.
Ayolah. Letakkan sekeping perak di tanganku, dan akan kubacakan peruntunganmu.
Kau termasuk orang yang akan sukses suatu hari nanti."
"Saya tidak percaya pada membaca peruntungan seperti itu,"
kataku, "dan saya juga tidak punya sekeping perak. Tidak untuk dihamburkan,
pokoknya." Mrs. Lee mendekat dan melanjutkan rengekannya. "Kalau begitu, enam penny juga
boleh. Enam penny. Akan kubacakan untukmu dengan harga enam penny. Apa artinya
enam penny" Tidak ada sama sekali. Tapi aku mau melakukannya, karena kau pemuda
yang ganteng, dengan lidah tajam dan memikat. Bisa jadi kau memang akan
mengembara jauh." Aku mengeluarkan enam penny dari saku, bukan karena aku mempercayai takhayulnya
yang konyol itu, tapi karena untuk alasan
tertentu, aku menyukai tipuan tua itu, meski sesungguhnya aku tahu itu cuma
tipuan belaka. "Berikan tanganmu sekarang. Kedua-duanya."
Mrs. Lee memegang tanganku dengan cakarnya yang keripu?" dan memelototi telapak
tanganku yang terbuka. Ia terdiam selama beberapa saa?" melotot. Kemudian ia
menjatuhkan tanganku dengan tiba-tiba, bahkan hampir menepisnya menjauh. Ia
mundur selangkah dan berkata dengan tajam.
"Kalau kau memang tahu apa yang baik untukmu, kau harus segera pergi dari
Gipsy's Acre dan jangan pernah kemari lagi! Itu nasihat terbagus yang kuberikan
padamu. Jangan pernah kemari lagi."
"Mengapa tidak" Mengapa saya tidak boleh kemari lagi?"
"Sebab kalau kau kembali, kau akan menemukan kesedihan, kehilangan, dan mungkin
bahaya. Ada masalah, masalah yang gelap sekali, sedang menunggumu. Lupakan bahwa
kau pernah melihat tempat ini. Aku sudah memperingatkanmu."
"Yah, dari semua..."
Tapi Mrs. Lee sudah berbalik dan berjalan menuju pondoknya. Ia kemudian masuk ke
dalam dan membanting pintunya. Aku bukan orang yang percaya pada takhayul. Tapi
tentu saja aku percaya pada takdir, siapa yang tidak" Tapi tidak tentang omong
kosong menyangkut sebuah rumah bobrok yang penuh kutukan. Entah mengapa
perasaanku jadi tidak enak, seolah-olah wanita tua jahat itu telah melihat
sesuatu di tanganku. Aku memandang kedua telapak tanganku yang terbuka. Apa sih
yang bisa dilihat seseorang di telapak tangan orang lain" Membaca garis tangan
memang cuma omong kosong - cuma tipuan untuk mendapatkan uang kita saja -
uang yang kita keluarkan karena kekonyolan kita sendiri. Aku mendongak memandang
langit. Matahari sudah terbenam, membuat hari terasa lain sekarang. Agak
temaram, seolah mencekam. Mungkin akan ada badai, pikirku. Angin mulai bertiup,
daun-daun bergemeresik kencang di pepohonan. Aku bersiul untuk meninggikan semangatku
sendiri, dan berjalan menuju desa.
Aku melihat papan pengumuman lelang The Towers itu lagi. Aku bahkan mencatat
tanggalnya. Aku belum pernah menghadiri lelang properti seumur hidup, tapi
kupikir aku akan datang dan menghadiri yang satu ini. Pasti menarik, mengetahui
siapa yang akan membeli The Towers - atau boleh dikata, menarik untuk mengetahui
siapa yang akan jadi pemilik Gipsy's Acre. Ya, kurasa semuanya memang bermula
dari saat itu... Sebuah pikiran fantastis muncul dalam benakku. Aku akan datang
dan pura-pura menjadi orang yang berminat membeli Gipsy's Acre! Aku akan menawar
menantang para kontraktor lokal itu! Mereka akan mundur, kecewa karena tidak
berhasil membeli dengan harga murah. Aku akan membelinya, lalu aku akan
mendatangi Rudolph Santonix dan berkata, "Bangunkan rumah untukku. Aku telah
membeli lokasinya untukmu." Kemudian aku akan mencari seorang gadis, gadis yang
cantik, dan kami akan tinggal di rumah itu bersama-sama, bahagia selama-lamanya.
Aku sering punya mimpi seperti itu. Sudah pasti tidak ada mimpiku yang menjadi
kenyataan, tapi toh tetap menyenangkan. Begitulah pikiranku saat itu.
Menyenangkan! Menyenangkan, demi Tuhan!
Kalau saja aku tahu! 2 Hanya kebetulan saja hari itu aku bisa datang kembali ke Gipsy's Acre. Aku
sedang mengendarai sebuah mobil sewaan, mengantar beberapa orang London yang
datang untuk menghadiri lelang -
bukan lelang rumah, tapi lelang isi sebuah rumah. Rumah itu besar sekali, tepat
di pinggiran kota, dan jelek sekali. Aku mengendarai mobil, mengantar sepasang
suami-istri tua ke sana. Kalau mendengar percakapan mereka, tampaknya mereka
tertarik pada koleksi papier-mache, entah apa papier-mache itu. Aku baru satu
kali mendengar istilah itu, yakni ketika ibuku mengucapkannya berkenaan dengan
baskom untuk mencuci. Kata ibuku, baskom dari papier-mache jauh
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih bagus daripada yang terbuat dari plastik. Jadi, tampaknya aneh ada orang
kaya yang mau jauh-jauh datang hanya untuk membeli koleksi barang-barang itu.
Bagaimanapun, aku menyimpan fakta itu dalam pikiranku dan berniat mencari arti
istilah itu di kamus, atau membaca buku untuk mengetahui apa arti papier-mache
sesungguhnya. Pokoknya itu sesuatu yang menurut orang-orang cukup berharga,
sehingga mereka rela menyewa mobil dan menghadiri suatu lelang desa untuk
menawarnya. Aku memang senang mengetahui banyak hal. Saat itu umurku dua puluh
dua tahun, dan aku sudah punya cukup banyak pengetahuan yang kudapat dari
berbagai cara. Aku tahu cukup banyak tentang mobil, dan bisa menjadi mekanik
yang lumayan, atau sopir yang hati-hati. Pernah aku bekerja menangani kuda-kuda
di Irlandia. Pernah juga aku hampir terjerumus dalam sekumpulan pecandu obat
bius, tapi akhirnya sadar dan berhenti tepat pada waktunya. Pekerjaan menjadi
sopir mobil-mobil bagus di sebuah perusahaan persewaan mobil tidaklah jelek. Aku
bisa mendapat uang tips lumayan. Dan juga tidak terlalu melelahkan. Tapi
pekerjaannya sendiri sebenarnya membosankan.
Pernah aku bekerja menjadi pemanen buah waktu musim panas.
Bayarannya tidak seberapa, tapi aku suka sekali. Aku memang sudah pernah mencoba
banyak hal. Aku pernah menjadi pelayan di hotel bintang tiga, pengawas pantai,
penjual ensiklopedi dan penyedot debu, dan juga beberapa barang lain. Aku pernah
menjadi tukang kebun di sebuah taman botani dan belajar sedikit tentang bunga-
bunga. Aku tidak pernah lama menekuni satu pekerjaan. Untuk apa"
Menurutku hampir semua yang pernah kulakukan menarik. Ada beberapa yang
membutuhkan keda lebih keras daripada lainnya, tapi aku tidak terlalu peduli
dengan hal itu. Aku bukan sungguh-sungguh pemalas. Kurasa aku orang yang
pembosan. Aku ingin pergi ke mana-mana, melihat segala-galanya, melakukan
semuanya. Aku ingin menemukan sesuatu. Ya, itu dia. Aku ingin menemukan sesuatu.
Sejak saat keluar sekolah, aku sudah ingin menemukan sesuatu, tapi aku belum
tahu sesuatu itu apa. Pokoknya sesuatu yang sedang kucari dengan cara yang tidak
jelas dan tidak memuaskan. Sesuatu itu pasti ada di suatu tempat. Cepat atau
lamba?" aku akan mengetahui segala sesuatu mengenainya. Bisa jadi sesuatu itu
adalah seorang gadis... aku suka gadis-gadis, tapi tak se orang pun gadis yang
kukenal itu memiliki arti khusus... Kita memang menyukai mereka, tapi kemudian
kita berpindah pada gadis berikutnya dengan ringan hati. Gadis-gadis itu sama
seperti pekerjaan-pekerjaanku. Menyenangkan untuk beberapa saa?" tapi kemudian
kita jadi bosan dengan mereka dan ingin pindah ke yang berikutnya.
Aku sudah sering berpindah dari satu hal ke hal lain semenjak keluar dari
sekolah. Banyak orang tidak setuju dengan cara hidupku. Mereka berharap hidupku berjalan
dengan baik. Tapi itu karena mereka tidak memahami diriku. Mereka ingin aku
berpacaran dengan seorang gadis yang baik, menabung, menikahi gadis itu, dan
mempunyai pekerjaan tetap yang bagus. Hari demi hari, tahun demi tahun, sebuah
dunia tanpa akhir, amin. Tidak, aku tidak mau! Pasti ada sesuatu yang lebih
bagus daripada itu. Aku tidak mau kenyamanan yang biasa seperti itu, dengan
jaminan kesejahteraan dari pemerintah yang terpincang-pincang! Kalau di dunia
ini orang sudah mampu meletakkan satelit di langi?" mampu merencanakan untuk
terbang ke bintang-bintang, mestinya ada sesuatu yang bisa membangkitkan diri
kita, yang membuat jantung kita berdebar, yang layak dicari di seluruh penjuru
dunia! Aku ingat suatu hari aku sedang menyusuri Bond Street. Waktu itu aku
sedang bekerja menjadi pelayan, dan sedang bertugas. Aku berjalan santai sambil
melihat-lihat sepatu di etalase toko. Semuanya tampak keren. Seperti sering
diiklankan di koran-koran: Sepatu keren untuk laki-laki keren, dan biasanya ada
foto laki-laki keren itu. Padahal menurutku orang itu terlihat konyol! Aku suka
menertawakan iklan- iklan seperti itu.
Aku berjalan dari etalase toko sepatu ke etalase toko berikutnya, yakni toko
lukisan. Hanya ada tiga lukisan di etalasenya, diletakkan
sedemikian rupa dengan sampiran kain beludru berwarna netral di ujung piguranya
yang berwarna emas. Nyeni, kurasa begitu. Aku memang tidak terlalu suka dengan
seni. Aku pernah mampir ke National Gallery, karena ingin tahu saja. Aku cukup
terkagum-kagum karenanya. Banyak lukisan berwarna yang besar-besar, tentang
peperangan atau para orang suci yang kurus-kurug dengan anak panah menusuk
jantung mereka. Lukisan-lukisan wajah para wanita terkenal yang sedang duduk
sambil tersenyum lebar, dalam gaun-gaun sutra, beludru, dan renda. Aku langsung
memutuskan bahwa seni bukanlah bidangku. Tapi lukisan yang sedang kulihat saat
itu terasa berbeda. Ada tiga lukisan di etalase itu. Satu menggambarkan
pemandangan desa yang cantik. Satunya lagi memperlihatkan seorang wanita yang
dilukis dengan cara yang lucu, begitu tidak beraturan, sehingga sulit sekali
melihat bahwa itu gambar seorang wanita. Kurasa itulah yang disebut-sebut art
nouveau. Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Lukisan ketiga adalah yang kusukai.
Sebetulnya lukisan itu biasa-biasa saja. Tapi... bagaimana ya
menggambarkannya" Pokoknya, lukisan itu sederhana. Ada banyak bidang kosong dan
beberapa lingkaran besar saling mengelilingi, kira-kira begitulah. Semuanya
dengan warna berbeda-warna-warna aneh yang tidak kita sangka. Di sana-sininya
ada goresan-goresan kecil berwarna-warni yang sepertinya tidak ada artinya.
Tapi, entah bagaimana, rasanya ada artinya! Aku memang tidak pandai
menggambarkan sesuatu. Yang bisa kukatakan hanyalah lukisan itu membuat kita
tertarik untuk terus memandanginya. Aku hanya berdiri di situ, merasa aneh,
seolah olah ada sesuatu yang sangat luar biasa menimpa diriku. Sepatu-sepatu
keren itu... aku memang kepingin bisa memakainya. Maksudku, aku selalu berusaha
keras menjaga penampilanku. Aku suka berbusana bagus, supaya memberikan kesan
bagus, tapi seumur hidup aku tak pernah dengan serius memikirkan akan membeli
sepasang sepatu di Bond Street. Aku tahu mereka memasang harga setinggi langit
di sana-lima belas pound sepasang, bisa jadi begitu. Buatan tangan, atau apalah
istilahnya, yang menurut mereka bisa membuat sepatu-sepatu itu layak dihargai
mahal. Betul-betul pemborosan uang. Memang sepatu itu keren, tapi
kita tidak boleh menghamburkan uang demi kemewahan seperti itu.
Priinsipku teguh untuk hal-hal seperti itu.
Tapi lukisan ini, berapa ya harganya, aku ingin tahu" Misalnya aku hendak
membeli lukisan itu" Dasar gila, kataku dalam hati, pada diri sendiri. Kau kan
tidak suka lukisan. Memang betul. Tapi aku ingin memiliki lukisan itu. Aku ingin
menjadi pemiliknya. Aku ingin menggantungnya, lalu duduk memandanginya sesuka
hatiku, dan mengetahui bahwa mulah pemilik lukisan itu! Aku! Membeli lukisan.
Rasanya memang gagasan gila. Kupandangi lagi lukisan itu, Keinginanku untuk
membelinya tidak masuk akal, lagi pula aku mungkin tak mampu membelinya. Tapi
kebetulan saat itu aku sedang punya uang. Hasil menang taruhan dalam pacuan
kuda. Lukisan ini mungkin akan menghabiskan seluruh uangku. Dua puluh pound" Dua
puluh lima" Bagaimanapun, tidak ada salahnya bertanya. Mereka toh tidak bakal
menendangku, bukan" Aku masuk ke dalam dengan perasaan agak agresif, tapi juga
defensif Bagian dalam toko itu sangat tenang, dan juga mewah.
Suasananya sunyi, dengan dinding-dinding berwarna netral dan kursi berlapis
beludru, di mana kita bisa duduk-duduk memandangi lukisan-lukisan yang ada.
Seorang laki-laki yang menyerupai model laki-laki keren di iklan-iklan datang
menghampiriku. Ia berbicara dengan suara pelan, sesuai dengan suasana tokonya.
Lucunya, ia tidak tampak angkuh, seperti yang biasanya kita jumpai dl toko-toko
di Bond Street. Ia mendengarkan apa yang kukatakan, kemudian mengambil lukisan
itu dari etalase dan memamerkannya bagiku. Ia berdiri membelakangi sebuah
dinding, dan memegang lukisan itu supaya aku bisa memandanginya dengan leluasa.
Baru saat itu aku menyadari - seperti yang kadang-kadang kita sadari tentang
bagaimana sesuatu terjadi atau berlangsung - bahwa dalam hal lukisan tidak
berlaku peraturan-peraturan yang sama. Seseorang bisa saja datang ke toko
seperti ini dengan pakaian usang dan kurnal, tapi ternyata ia seorang jutawan
yang ingin menambah koleksi lukisannya. Atau ia bisa saja datang dengan
penampilan murah dan gaya, seperti diriku, mungkin, dan entah bagaimana ia tiba-
tiba menginginkan sebuah lukisan, dan kebetulan ia juga punya uang untuk membelinya.
"Sebuah contoh karya seni yang sangat bagus," kata laki-laki yang memegangi
lukisan itu. "Berapa harganya?" tanyaku cepat.
Jawabannya membuat napasku tersentak.
"Dua puluh lima ribu," katanya dengan suaranya yang lembut.
Aku cukup pintar mengendalikan ekspresiku. Aku tidak
menunjukkan reaksi apa-apa. Paling tidak, begitulah menurutku.
Laki-laki itu menyebutkan sebuah nama yang kedengarannya asing.
Nama si pelukis, kukira, dan juga bahwa lukisan itu baru saja muncul di pasaran,
dari sebuah rumah di desa, yang penghuninya tidak menyadari betapa berharganya
lukisan itu. Aku tetap menjaga sikapku dan mendesah. "Mahal sekali, tapi kurasa
harga itu pantas," kataku. Dua puluh lima ribu pound. Sungguh menggelikan!
"Ya," sahut laki-laki itu, dan mendesah juga. "Ya, memang." Ia menurunkan
lukisan itu dengan sangat perlahan, dan membawanya kembali ke etalase. Ia
memandangku dan tersenyum. "Anda mempunyai selera yang bagus," katanya.
Entah bagaimana, aku merasa ia dan aku saling mengerti. Aku mengucapkan terima
kasih kepadanya dan keluar lagi ke Bond Street.
3 Aku tidak tahu banyak tentang menulis - maksudku, menulis dengan cara seorang
penulis sejati. MisaInya, kesan-kesan tentang lukisan yang kulihat itu.
Sebetulnya lukisan itu tidak ada hubungannya dengan apa pun. Maksudku, setelah
melihat lukisan itu, tidak ada apa pun yang muncul sebagai kelanjutannya,
peristiwa itu tidak menyambung ke kisah lain, tapi entah bagaimana aku merasa
lukisan itu penting, dan bahwa lukisan itu mempunyai tempat di suatu tempat.
Melihat lukisan itu adalah salah satu peristiwa yang punya arti bagiku. Persis
seperti Gipsy's Acre mempunyai arti bagi diriku. Seperti Santonix mempunyai arti
bagi diriku. Sesungguhnya aku belum bercerita banyak tentang dirinya. Ia seorang arsitek.
Tentu saja, Anda pasti sudah menebaknya. Aku jarang berurusan dengan arsitek,
meski aku tahu sedikit tentang bangun-membangun. Aku bertemu Santonix dalam
pengembaraanku. Waktu itu aku bekerja sebagai sopir, menyopiri orang-orang berduit.
Kadang-kadang aku menyetir ke luar negeri, dua kali ke Jerman - aku bisa
berbahasa Jerman sedikit - dan sekali-dua kali ke Prancis - aku juga bisa
berbahasa Prancis sedikit - dan sekali ke Portugis. Para penumpangku biasanya
orang-orang tua yang punya uang banyak, tapi kesehatannya buruk.
Mengendarai mobil bagi orang-orang seperti itu, kita jadi sadar bahwa ternyata
uang tidak terlalu penting artinya. Apa artinya uang kalau kita punya gejala
serangan jantung, berbotol-botol pil kecil-kecil yang harus diminum sepanjang
waktu, dan temperamen panas yang gampang meledak gara-gara makanan dan pelayanan
hotel yang tidak layak. Kebanyakan orang kaya yang kukenal hidupnya cukup
sengsara. Mereka juga selalu cemas. Gara-gara pajak dan investasi. Aku sering
mendengar mereka mengobrolkan hal itu di antara mereka, atau dengan teman-teman
mereka. Cemas! Itu yang membunuh setengah mereka. Dan kehidupan seks mereka juga
tidak menyenangkan. Biasanya mereka menikah dengan wanita seksi berambut pirang,
berkaki panjang dan langsing, yang menipu mereka dengan mempunyai cowok
simpanan, atau mereka menikah dengan wanita yang terus-menerus mengomel,
pokoknya menyebaikan, yang selalu mengatakan di mana mereka mau turun. Tidak.
Aku lebih suka menjadi diri ku sendiri. Michael Rogers, yang bisa menikmati
hidup dengan mengembara dan berkencan dengan gadis-gadis cantik sesuka hatinya!
Tentu saja hidupku agak pas-pasan, tapi aku bisa mengatasinya.
Hidup harus dinikmati, dan aku sudah puas bisa menikmatinya. Tidak
heran, sebab aku masih muda. Kalau masa muda sudah berlalu, hidup mungkin tidak
senikmat itu. Tapi di balik semua itu, dalam hatiku selalu ada sesuatu itu -
mendambakan seseorang atau sesuatu... Bagaimanapun,
melanjutkan ceritaku tadi, ada seorang laki-laki tua yang sering kusopiri sampai
ke Riviera. Ia mempunyai sebuah rumah yang sedang dibangun di sana. Ia datang
untuk melihat sendiri, sampai di mana kemajuan pembangunannya. Santonix adalah
arsiteknya. Aku tidak terlalu tahu apa kebangsaan Santonix sesungguhnya. Mula-mula kupikir
ia orang Inggris, meskipun namanya terdengar aneh dan asing di telingaku. Tapi
kurasa ia bukan orang Inggris, mungkin orang Skandinavia atau sejenisnya. Ia
bukan orang yang sehat. Aku bisa langsung mengetahuinya. Ia masih muda, sangat
pucat dan kurus, dengan wajah aneh - agak miring. Kedua sisinya tidak sama.
Ia bisa galak dalam menghadapi para langganannya. Padahal kita pikir merekalah
yang mestinya memberikan perintah dan bersikap galak. Tapi ini tidak begitu.
Santonix-lah yang memegang kendali, dan ia selalu yakin pada dirinya sendiri,
meskipun para langganannya tidak.
Aku inga?" laki-laki tua yang menjadi penumpangku marah besar begitu melihat
kemajuan pembangunan rumahnya. Sesekali aku mendengar teniakan-teriakan, waktu
aku sedang berdiri berjaga-jaga, siap membantu sebagai sopir maupun orang
suruhan. Bukan rahasia lagi kalau Mr. Constantine bisa mendapat serangan jantung
atau stroke. "Kau tidak melakukan perintahku," katanya setengah berteriak.
"Kau menghabiskan banyak uang. Terlalu banyak uang. Bukan begini perjanjiannya.
Ini bakal membuatku keluar uang lebih banyak dari yang kuperkirakan."
"Anda betul sekali," sahut Santonix. "Tapi uang memang untuk dikeluarkan."
"Uangku tidak boleh dihamburkan! Tidak boleh. Kau harus tetap pada batas yang
sudah dianggarkan. Kau mengerti?"
"Kalau begitu, Anda tidak akan mendapatkan rumah seperti yang Anda idamkan,"
kata Santonix. "Aku tahu apa yang Anda inginkan.
Rumah yang kubangun ini akan menjadi rumah yang Anda inginkan.
Aku sangat yakin tentang itu, dan Anda juga begitu. Jangan repot-repot
menasihatiku tentang masalah-masalah ekonomi. Anda menginginkan sebuah rumah
berkualitas, dan Anda akan
mendapatkannya. Anda akan menyombongkannya pada teman-teman Anda nanti, dan
mereka pasti iri. Aku tidak membangun rumah bagi sembarang orang, sudah kubilang
itu. Bagiku membangun lebih penting daripada uangnya. Rumah ini tidak akan
seperti rumah-rumah orang pada umuMr.ya!"
"Rumah ini bakal kacau. Kacau."
"0h, tidak, tidak mungkin. Masalahnya Anda tidak tahu apa yang Anda inginkan.
Atau paling tidak, begitulah anggapan orang-orang.
Tapi sesungguhnya Anda tahu apa yang Anda inginkan, hanya Anda tidak mampu
mengeluarkannya dari dalam pikiran Anda. Anda tidak bisa melihatnya dengan
jelas. Tapi aku bisa. Itu salah satu hal yang selalu bisa kuketahui-apa yang
dikejar dan diinginkan orang. Anda punya cita rasa tinggi. Karena itu, aku akan
memberikan kualitas yang bagus."
Santonix memang suka berkata begitu. Aku biasanya berdiri di dekat mereka,
mendengarkan. Entah bagaimana, aku sendiri bisa merasakan bahwa rumah yang
sedang dibangun di antara pohon-pohon pinus itu akan menjadi rumah yang lain
dari yang lain. Separuh dari rumah itu tidak menghadap ke arah laut seperti rumah-rumah pada
umuMr.ya, melainkan menghadap ke arah pulau, sehingga bisa terlihat lengkungan
gunung-gunung dan sekilas langit di antara bukit-bukit. Pokoknya bentuk rumah
itu aneh dan tidak umum, tapi sangat menarik.
Santonix kadang-kadang suka mengobrol denganku kalau aku sudah bebas tugas. Ia
berkata, "Aku hanya membangun rumah untuk orang-orang yang kusukai."
"Orang-orang kaya, maksud Anda?"
"Mereka memang harus kaya, kalau tidak mereka takkan mampu membiayai pembangunan
rumah-rumah itu. Tapi yang penting bagiku bukanlah uang yang, bakal kuperoleh.
Para langgananku harus kaya, sebab aku ingin membangun rumah yang butuh uang
banyak. Kau tahu, rumah saja tidak cukup. Harus ada setting-nya. Itu sama
pentingnya. Sama seperti batu mirah delima atau zamrud.
Permata yang indah hanyalah permata yang indah. Tapi tak bisa membawamu ke mana-
mana lagi. Tak ada artinya sama sekali, tanpa setting yang tepat. Dan setting
itu harus mempunyai batu permata yang indah supaya berharga. Nah, aku mengambil
setting itu dari lansekap yang ada. Dia ada karena memang sudah dari sananya.
Lansekap itu tidak ada artinya sampai rumahku berdiri megah di sana, seperti
batu permata yang sudah dipasang." Santonix memandangku dan tertawa. "Kau tidak
mengerti?" "Kurasa tidak," sahutku perlahan, "tapi - rasanyaaku bisa memahaminya..."
"Aku mungkin saja begitu." Ia memandangku dengan ingin tahu.
Kami datang lagi ke Riviera setelah itu. Waktu itu rumah tersebut sudah hampir
selesai. Aku tidak akan menggambarkannya, karena aku tak bisa melakukannya
dengan tepat. Pokoknya rumah itu - yah-istimewa - dan juga indah. Aku tahu itu.
Sebuah rumah yang bisa dibanggakan, bangga untuk dipamerkan, bangga untuk
dipandangi sendiri, bangga untuk ditinggali bersama orang yang tepa?" mungkin.
Dan tiba-tiba suatu hari Santonix berkata padaku,
"Aku bisa membangunkan sebuah rumah untukmu. Aku tahu model rumah seperti apa
yang kauinginkan."
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menggelengkan kepala.
"Aku sendiri bahkan tidak mengetahuinya," kataku dengan jujur.
"Mungkin tidak. Tapi aku tahu." Kemudian ia melanjutkan,
"Sayang sekali kau tidak punya uang."
"Dan tidak akan pernah," kataku.
"Kau tidak bisa bilang begitu," kata Santonix.
"Lahir miskin, tidak berarti kau akan miskin seterusnya. Uang itu unik, hanya
pergi ke tempat-tempat yang diinginkannya."
"Aku tidak pandai mencari uang," kataku.
"Kau tidak cukup berambisi. Ambisi dalam dirimu belum tergugah, tapi ambisi itu
ada, kau tahu itu." "Oh, baiklah," kataku, "suatu hari kalau ambisiku sudah tergugah dan aku
berhasil punya banyak uang, aku akan datang pada Anda dan berkata, 'Bangunkan
sebuah rumah untukku.'"
Santonix menarik napas panjang dan berkata, "Aku tak bisa menunggu... Tidak, aku
tak sanggup menunggu saat itu. Aku hanya punya waktu sedikit. Satu rumah - dua
rumah lagi. Tak lebih dari itu.
Tak ada orang yang mau mati muda- tapi nasib menentukan lain...
Kurasa itu tidak penting."
"Kalau begitu, aku harus segera menggugah ambisiku."
"Tidak," kata Santonix. "Kau sehat dan menikmati hidup. Jangan ubah cara
hidupmu." Aku menyahu?" "Aku memang tak bisa mengubahnya, meski aku sudah mencoba."
Saat itu memang begitulah pendapatku. Aku suka dengan cara hidupku. Aku memang
menikmati hidup dan sehat walaflat. Aku telah menyopiri banyak orang kaya yang
telah bekerja keras, yang mempunyai bisul, penyempitan pembuluh darah, atau
penyakit-penyakit lain akibat bekerja terlalu keras. Aku tidak mau bekerja
keras. Aku bisa menangani berbagai pekerjaan, tapi hanya sebatas itu saja. Dan
aku tidak punya ambisi, atau tepatnya aku tidak merasa mempunyai ambisi.
Santonix punya ambisi, kurasa. Aku tahu bahwa merancang rumah dan membangunnya,
menggambar denahnya dan hal lainnya yang tak bisa kupahami, semua itu telah
menguras habis dirinya. Pada dasarnya ia memang bukan orang yang kuat. Kadang-
kadang aku punya pikiran aneh bahwa ia sendirilah yang membuat ajalnya datang
lebih cepat gara-gara pekerjaan yang dilakoninya demi ambisinya. Aku tidak mau
bekerja. Gampang saja. Aku tidak percaya dengan pekerjaan, dan tidak
menyukainya. Menurutku pekerjaan adalah ciptaan manusia yang sangat buruk bagi diri manusia itu
sendiri. Aku sering memikirkan Santonix. Ia menggugah rasa ingin tahuku, melebihi siapa
pun yang kukenal. Menurutku, salah satu hal teraneh dalam hidup adalah hal-hal
yang bisa kita ingat. Atau tepatnya, hal-hal yang kita pilih untuk diingat.
Sesuatu yang harus kita pilih.
Santonix dan rumahnya adalah salah satu dari hal-hal itu, begitu juga dengan
lukisan di Bond Street dan mengunjungi rumah bobrok, The Towers, serta mendengar
cerita tentang Gipsy's Acre - semua itu adalah hal-hal yang kupilih untuk
diingat! Kadang-kadang gadis-gadis yang kutemui, dan perjalanan-perjalanan ke
tempat-tempat asing dalam pekerjaanku sebagai sopir. Para langgananku semuanya
sama membosankan. Mereka selalu tinggal di hotel-hotel yang sama dan makan
makanan membosankan yang sama.
Aku masih punya perasaan aneh dalam diriku yang menunggu datangnya sesuatu,
menunggu sesuatu untuk ditawarkan padaku, atau untuk terjadi pada diriku. Aku
tidak tahu bagaimana cara mengutarakannya dengan tepat. Kurasa sebetulnya aku
sedang mencari seorang gadis, gadis yang cocok - dan maksudku bukanlah gadis
manis yang cocok untuk diajak hidup bersama, seperti yang diharapkan ibuku atau
Paman Joshua atau beberapa temanku. Waktu itu aku tidak tahu apa-apa tentang
cinta. Yang kuketahui hanyalah seks. Rasanya hanya itu yang diketahui okh orang-
orang segenerasi denganku. Kurasa itu karena kita terlalu sering
membicarakannya, mendengarnya, dan juga terIalu serius menanggapinya. Kita tidak
tahu - semua temanku dan juga diriku, bagaimana rasanya kalau hal itu terjadi.
Cinta, maksudku. Kita semua masih muda dan liar. Kita menaksir gadis-gadis yang
kita jumpai dan mengagumi lekuk tubuh dan kaki mereka, serta lirikan mata yang
mereka lemparkan, sementara dalam hati berpikir, "Dia mau atau tidak" Apa aku
hanya membuang waktu?" Dan semakin banyak gadis yang kita kenal, semakin bisa
kita menyombongkan diri, dan orang-orang akan menganggap diri kita heba?" begitu
pula anggapan kita sendiri.
Aku sama. sekali tidak tahu bahwa itu bukanlah segala-galanya.
Kurasa cinta pasti datang bagi setiap orang, cepat atau lamba?" dan
dengan tiba-tiba. Kita tidak bakal sempat berpikir seperti yang selalu kita
bayangkan, "Mungkin ini gadis yang cocok buatku.... Ini dia gadis yang akan jadi
milikku." Paling tidak, aku tidak merasa begitu. Aku tidak tahu waktu itu bahwa
cinta datangnya begitu tiba-tiba, sehingga aku bisa berkata, "Itu gadisku. Aku
miliknya. Aku miliknya seutuhnya dan selamanya." Tidak. Aku tak pernah bermimpi
bahwa cinta akan seperti itu. Bukankah salah seorang pelawak pernah berkata -
guyonannya yang jitu - "Aku pernah jatuh cinta, dulu, dan kalau aku merasa cinta
itu akan datang, lagi, aku akan segera melarikan diri." Begitulah kenyataannya
dengan diriku. Kalau saja aku tahu, kalau saja aku tahu apa yang akan terjadi,
aku akan melarikan diri juga! Kalau saja aku lebih bijaksana.
4 Aku tidak melupakan rencanaku menghadiri pelelangan.
Masih ada waktu tiga minggu. Aku mendapat kesempatan dua kali lagi untuk pergi
keluar Inggris, sekali ke Prancis dan sekali ke Jerman. Ketika di Hamburg, aku
mendapat kesulitan. Salah satunya karena aku sangat tidak menyukai suami-istri
yang menjadi langgananku. Mereka mewakili segala sesuatu yang paling tidak
kusukai. Mereka kasar, tak peduli dengan orang lain, dan tak sedap dipandang.
Kurasa mereka juga membangkitkan perasaan tertentu dalam diriku - perasaan tak
mampu menghadapi hidup yang penuh basa-basi ini lebih lama lagi. Tapi aku tak
mau bersikap ceroboh. Aku merasa tak bisa menghadapi mereka lebih lama lagi,
tapi tentu saja itu tidak kukatakan terus terang pada mereka. Tidak baik merusak
hubungan dengan perusahaan tempat kita bekerja. Jadi, aku menelepon suami-istri
itu di hotel mereka dan mengatakan bahwa aku jatuh sakit.
Kemudian aku menelepon London dan mengatakan hal yang sama. Kubilang mungkin aku
harus dikarantina, dan sebaiknya mereka mengirim sopir lain untuk
menggantikanku. Tak seorang pun akan menyalahkan aku karenanya. Mereka juga
tidak cukup peduli dengan diriku, jadi mereka tidak akan bertanya-tanya lebih jauh Paling-paling
mereka pikir aku kena demam tinggi, sehingga tak sanggup mengabari mereka lagi.
Setelah semua berlalu, aku akan muncul kembali di London dengan cerita tentang
sakitku yang sangat parah! Tapi kupikir aku tidak akan melakukannya. Aku sudah
bosan sekali dengan pekerjaan menyopir.
"Pemberontakan" itu adalah suatu titik balik penting dalam hidupku. Karena
pemberontakan itu, dan hal-hal lainnya, aku bisa muncul di ruang pelelangan pada
tanggal yang telah ditetapkan.
Di papan pengumuman penjualan dulu itu terpampang tulisan
"Kecuali sudah terjual oleh perjanjian pribadi". Tapi papan itu masih ada di
sana, berarti belum ada perjanjian pribadi untuk membeli.
Saking bersemangatnya, aku nyaris tidak tahu apa yang kulakukan.
Seperti pernah kukatakan, aku belum pernah menghadiri pelelangan properti untuk
umum. Dalam pikiranku, pastilah pelelangan itu menarik sekali, tapi nyatanya
tidak begitu. Sama sekali tidak. Pelelangan adalah satu-satunya pertunjukan
paling membosankan yang pernah kuhadiri, yang berlangsung dalam suasana agak
temaram dan hanya dihadiri oleh enam atau tujuh orang. Si pelelang berbeda
sekali dengan para pelelang yang pernah kulihat sedang menjual perabotan atau
barang-barang lain sejenisnya
- mereka biasanya laki-laki dengan suara menggoda, bersemanga?"
dan selalu melontarkan lelucon. Tapi yang ini suaranya datar saja ketika
menjelaskan nilai properti itu, dan menggambarkan luas serta beberapa hal
lainnya. Kemudian dengan setengah hati ia membuka penawaran. Seseorang menawar
sebesar 5.000 pound. Si pelelang melontarkan senyum bosan, seperti kalau kita
mendengarkan lelucon yang tidak lucu. Ia memberikan beberapa komentar,
dilanjutkan dengan beberapa penawaran lagi. Para penawar itu kebanyakan orang-
orang desa. Ada seseorang yang kelihatannya petani, seorang yang kurasa
kontraktor, dua pengacara, kupikir, dan seorang laki-laki yang kelihatannya
orang asing. dari London, berpakaian bagus dan bertampang profesional. Aku tidak
tahu apakah ia juga ikut menawar; mungkin saja ia melakukannya. Tapi kalau
memang begitu, ia melakukannya dengan diam-diam, dan hanya dengan
gerakan tangan. Pokoknya, pelelangan itu berakhir juga. Si pelelang mengumumkan
dengan suara melankolis bahwa harga yang diminta tidak tercapai dan menutup
pelelangan. "Betul-betul acara yang membosankan," kataku pada salah seorang laki-laki
bertampang desa yang berjalan keluar di sampingku.
"Hampir sama dengan biasanya," katanya. "Sering menghadiri pelelangan seperti
ini?" "Tidak," sahutku, "ini yang pertama."
"Karena ingin tahu, ya" Saya tidak melihat Anda melakukan penawaran."
"Memang tidak," kataku. "Saya hanya ingin melihat bagaimana pelelangan itu
berlangsung." "Yah, sama seperti biasanya. Mereka ingin melihat siapa yang tertarik, itu
saja." Aku memandangnya dengan bertanya-tanya.
"Menurut saya, hanya tiga orang yang tertarik," kata temanku itu.
"Whetherby dari Helminster. Dia kontraktor. Kemudian Dakham dan Coombe, yang
menawar untuk mewakili suatu perusahaan di Liverpool, begitu yang saya dengar,
dan seorang asing dari London, yang menurut saya seorang pengacara. Mungkin
masih ada orang-orang lainnya. tapi mereka bertiga tampaknya yang paling utama.
Pasti properti itu laku dengan harga murah. Begitulah yang dikatakan orang."
"Karena reputasi tempat itu?" tanyaku.
"Oh, Anda juga sudah dengar tentang Gipsy's Acre, ya" Itu hanya omongan orang-
orang setempat. "Dewan kota mestinya sudah mengubah jalan di sana itu bertahun-tahun lalu -
betul-betul tikungan mematikan."
"Tapi tempat itu benar-benar punya reputasi buruk?"
"Menurut saya, itu cuma omong kosong. Seperti kata saya tadi, bisnis
sesungguhnya akan terjadi sekarang, di balik layar. Mereka akan pergi dan
membuat penawaran. Menurut saya, orang-orang dari Liverpool itu yang akan
mendapatkannya. Saya rasa Whetherby tidak akan mau menawar lebih tinggi lagi.
Dia suka membeli yang murah-murah. Sekarang ini banyak properti yang dijual
untuk dikembangkan. Bagaimanapun, tidak banyak orang yang mampu membeli tempat
seperti itu, belum lagi harus merobohkan rumahnya dan membangun yang baru, ya
kan?" "Memang rasanya tidak banyak sekarang ini," kataku.
"Terlalu susah. Belum lagi masalah pajak dan hal-hal lainnya.
Selain itu, tidak mudah mendapat tenaga pembantu di pedesaan.
Tidak, orang lebih suka membayar ribuan pound untuk membeli apartemen di tingkat
enam belas sebuah gedung modern di kota sekarang ini. Rumah besar yang
merepotkan di pedesaan betul-betul jatuh harga di pasaran."
"Tapi Anda bisa membangun rumah yang modern," debatku. "Jadi menghemat tenaga
pembantu." "Memang, tapi itu pasti mahal sekali, dan kebanyakan orang tidak suka hidup
sepi." "Tapi ada orang yang suka begitu," kataku.
Ia tertawa dan kami berpisah. Aku menyusuri jalanan dengan dahi berkeru?" sambil
bertanya-tanya. Kakiku berjalan tanpa aku sendiri menyadari, ke mana aku pergi di sepanjang
jalan di antara pepohonan, terus naik, melalui tikungan yang menuju suatu tempat
di antara pepohonan dan padang belantara.
Begitulah ceritanya bagaimana aku sampai di tempat aku melihat Ellie untuk
pertama kali. Seperti kubilang semula, Ellie sedang berdiri di dekat sebuah
pohon cemara yang tinggi. Sosoknya - kalau bisa kugambarkan demikian - bagaikan
sosok seseorang yang semula tidak ada di situ, namun tiba-tiba saja menjelma,
seolah-olah dari antara pepohonan. Ia mengenakan sejenis mantel berwarna hijau
tua, rambutnya cokelat lembut seperti warna daun-daun musim gugur. Sosoknya
bagai terselubung misteri. Aku melihatnya dan terenyak. Ia sedang memandangiku
juga, bibirnya terbuka sediki?"
tampaknya ia agak terkejut. Kurasa aku juga kelihatan terkejut. Aku ingin
mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Akhirnya aku berkata, "Maaf. Aku... aku tidak bermaksud mengagetkan. Aku tidak tahu ada orang lain di
sini." Ia menjawab, suaranya sangat lembut dan pelan, seperti suara anak perempuan
kecil, meski tidak pas begitu. Ia berkata,
"Tidak apa-apa. Maksudku, aku juga tidak mengira ada orang lain di sinl." Ia
memandang sekelilingnya sejenak dan berkata, "Ini... ini tempat yang sepi.
Dan ia menggigil sedikit.
Memang sore itu angin bertiup agak dingin. Tapi mungkin bukan angin itu
penyebabnya. Entahlah. Aku mendekat selangkah-dua langkah.
"Tempat ini juga agak menyeramkan, bukan?" kataku. "Maksudku, karena rumahnya
sudah bobrok." "The Towers," katanya dengan serius. "Begitu kan namanya dulu, hanya saja...
maksudku, kelihatannya tidak ada Tower-nya. Tidak ada menaranya."
"Kurasa itu cuma nama," kataku. Orang-orang suka menamai rumah mereka dengan
nama-nama seperti The Towers, supaya kedengarannya lebih megah dari
kenyataannya." Ia tertawa kecil. "Kurasa begitulah," katanya lagi. Ini - mungkin kau tahu, aku
tidak yakin - ini tempat yang mereka jual hari ini atau ditawarkan lewat
pelelangan?" "Ya," kataku. "Aku baru saja datang dari pelelangan itu."
"Oh." Ia tampak terkejut. - "Apa kau... merasa tertarik?"
"Aku tak mungkin membeli sebuah rumah bobrok dengan tanah hutan yang cuma
beberapa ratus ekar saja," kataku. "Aku bukan dari golongan itu."
"Apakah sudah laku?" tanyanya.
"Tidak, harganya tidak mencapai yang telah ditetapkan."
"Oh, begitu." Ia terdengar lega.
"Kau sendiri tidak ingin membelinya, bukan?" tanyaku.
"Oh, tidak," katanya, "tentu saja tidak." Suaranya terdengar gugup.
Aku ragu-ragu, dan tiba-tiba saja aku berkata tanpa pikir panjang.
"Aku hanya pura-pura," kataku. "Tentu saja aku tak bisa membelinya, sebab aku
tak punya uang, tapi aku sebenarnya tertarik. Aku ingin membelinya. Aku mau
membelinya. Silakan tertawa kalau mau, tapi begitulah kenyataannya."
"Tapi bukankah tempatnya sudah terlalu kuno juga...
"Oh, ya," kataku. "Maksudku, aku tidak suka melihat kondisinya sekarang ini. Aku
ingin merobohkan rumah itu dan membuang semuanya. Rumah itu sudah jelek, dan
dulu rumah itu pasti menyedihkan. Tapi tempat ini tidak menyedihkan atau jelek.
Tempat ini justru cantik. Lihatlah kemari. Sedikit ke arah sini, melalui
pepohonan. Lihatlah pemandangan yang mengarah ke bukit-bukit dan padang
belantara. Bisakah kau melihatnya" bersihkan pemandangan di sini, lalu kita
sampai di jalan ini..."
Aku menggandeng tangannya dan membimbingnya ke titik kedua di kompas. Mungkin ia
tidak memperhatikan, bahwa kami berdua sudah saling bersikap akrab sekarang.
Lagi pula, caraku menggandengnya biasa saja. Aku hanya ingin menunjukkan padanya
apa yang kulihat. "Di sini," kataku, "di sini kau bisa melihat pemandangannya menurun sampai ke
laut dan batu-batu yang bermunculan di sana.
Sebenarnya ada sebuah kota di antara kita dan lau?" tapi kita tak
bisa melihatnya karena terhalang bukit-bukit yang menggunung agak jauh di bawah
sana. Kemudian pemandangan ketiga adalah lembah hijau samar-samar. Kalau kita
menebang beberapa pohon, Ialu membuat pemandangan-pemandangan luas serta
membersihkan tempat ini di sekeliling rumah, bisakah kau melihat betapa kau akan
memiliki sebuah rumah yang cantik di sini" Rumahnya tidak boleh dibangun di
tempat rumah yang lama. Tapi harus sekitar lima puluh atau seratus langkah - di
sebelah kanan, di sini. Di sini tempat yang bagus untuk membangun rumahnya,
sebuah rumah yang cantik.
Rumah yang dibangun oleh seorang arsitek jenius."
"Apa kau kenal arsitek yang jenius?" Ia kedengarannya tak percaya.
"Aku kenal satu," kataku.
Kemudian aku mulai bercerita tentang Santonix. Kami duduk berdampingan di sebuah
batang pohon yang tumbang, dan aku bercerita. Ya, aku bercerita pada gadis hutan
yang ramping itu, yang baru kali ini kujumpai, dan aku mencurahkan segala
perasaanku ke dalam ceritaku. Kuceritakan juga padanya tentang impianku.
"Tapi semua itu tidak akan terjadi," kataku. "Aku tahu itu. Tak mungkin terjadi.
Tapi coba bayangkan. Bayangkan kalau semuanya terjadi seperti yang kuimpikan. Di
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana kita tebang pohon-pohonnya, dan di sebelah sana kita bersihkan lahannya.
Kita tanami dengan berbagai jenis tanaman, rhododendron dan bunga azalea.
Temanku Santonix pasti mau datang. Dia pasti akan terbatuk-batuk parah.
Kurasa dia sedang sekarat gara-gara TBC atau sejenisnya, tapi dia pasti bisa
melakukannya. Dia bisa melakukannya, sebelum meninggal. Dia bisa membangunkan
rumah yang sangat indah. Kau tidak tahu bagaimana rupa rumah-rumah yang
dibangunnya. Dia membangun semuanya itu untuk orang-orang yang sangat kaya, dan
mereka haruslah orang-orang yang menginginkan hal yang benar.
Maksudku bukan hal yang benar secara umum. Tapi menginginkan suatu mimpi yang
menjadi kenyataan. Sesuatu yang indah!"
"Aku ingin memiliki rumah seperti itu," kata Ellie. "Kau membuatku melihatnya,
merasakannya.... Ya, ini akan menjadi tempat yang indah
untuk ditinggali. Segalanya yang diimpikan bisa menjadi kenyataan.
Kita bisa tinggal di sini dengan bebas, tidak terkungkung, tidak terikat pada
orang-orang yang selalu mendesakmu melakukan sesuatu yang tidak kauinginkan. Oh,
aku bosan sekali dengan hidupku dan orang-orang di sekelilingku. Pokoknya
segalanya!" Begitulah permulaannya, Ellie dan aku. Aku dengan mimpiku, ia dengan
pemberontakannya atas hidupnya. Kami berhenti bercakap-cakap dan saling
memandang. "Siapa namamu?" tanyanya.
"Mike Rogers," kataku. "Michael Rogers," aku membetulkan.
"Siapa namamu?"
"Fenella." Ia ragu-ragu, kemudian berkata, "Fenella Goodman,"
sambil memandangku agak cemas.
Kami tidak bercakap-cakap lagi setelah itu, tapi kami tetap saling memandangi.
Kami berdua ingin bisa bertemu lagi - tapi saat itu kami tidak tahu bagaimana
harus mengaturnya. 5 Nah, begitulah awal hubunganku dengan Ellie. Tidak terlalu lancar, sebab kami
berdua menyimpan rahasia pribadi. Sesuatu yang ingin kami rahasiakan dari pihak
lainnya, jadi kami tak bisa saling bercerita terlalu banyak tentang diri
sendiri. Kami selalu waspada, seolah-olah ada penghalang. Kami tak bisa berkata
terang-terangan, "Kapan kita bisa bertemu kembali" Di mana aku bisa menemuimu"
Di mana kau tinggal?" Sebab, kalau kita bertanya begitu pada seseorang, ia akan
mengharapkan kita menjawabnya juga.
Fenella tampak cemas ketika menyebutkan namanya. Saking cemasnya ia, sampai-
sampai kupikir itu pasti bukan nama aslinya.
Aku nyaris mengira nama itu cuma diada-ada saja olehnya! Tapi tentu saja aku
tahu bahwa itu tak mungkin. Aku telah
memberitahukan namaku yang sebenarnya padanya.
Kami tidak tahu bagaimana sebaiknya saling berpamitan hari itu.
Sungguh kikuk rasanya. Udara mulai dingin, dan kami ingin meninggalkan The
Towers - tapi kemudian apa" Dengan agak kikuk, aku berkata agak ragu-ragu,
"Apa kau tinggal di sekitar sini?"
Ia berkata bahwa ia tinggal di Market Chadwell, sebuah kota pasar yang tidak
terlalu jauh. Aku tahu di kota itu ada sebuah hotel bintang tiga yang besar.
Kuduga ia menginap di sana. Ia berkata, dengan agak ragu-ragu juga,
"Apa kau tinggal di sini?"
"Tidak," kataku, "aku tidak tinggal di sini. Aku hanya berkunjung sehari ke
sini." Kemudian kami saling berdiam diri lagi. Ia menggigil sedikit. Angin dingin
sepoi-sepoi mulai bertlup.
"Lebih baik kita jalan," kataku, "supaya tubuh kita tetap hangat.
Kau... naik mobil atau datang kemari dengan bus atau kereta api?"'
Ia berkata bahwa ia meninggalkan mobilnya di desa.
"Tapi aku akan baik-baik saja," katanya.
Ia tampak agak gugup. Kupikir mungkin ia ingin bisa segera lepas dariku, tapi
tidak tahu caranya. Aku berkata,
"Bagaimana kalau kita berjalan sampai di desa saja?"
Ia melirik penuh syukur ke arahku. Kami melangkah perlahan-lahan di jalanan yang
berkelok-kelok, di mana telah terjadi banyak kecelakaan mobil. Begitu kami
sampai di tikungan, tiba-tiba muncul seseorang dari bawah lindungan dedaunan
pohon-pohon cemara. Begitu tiba-tiba kemunculannya, hingga Ellie berteriak kage?" "Oh!"
Ternyata orang itu wanita tua yang kutemui waktu itu di pondok kebunnya sendiri
- Mrs. Lee. Ia tampak sangat liar hari itu, dengan rambut hitaMr.ya yang kusut
tertiup angin dan mantel merah tua menutupi pundaknya; dari tempat berdirinya,
ia kelihatan jauh lebih jangkung.
'Dan apa yang sedang kalian lakukan di sini, anak-anak?"
tanyanya. "Apa yang membawa kalian ke Gipsy's Acre?"
"Oh," kata Ellie, "kami tidak melakukan pelanggaran, bukan?"
"Bisa saja. Ini dulu daerah kaum gipsi. Daerah kaum gipsi, dan mereka mengusir
kami semuanya. Kalian tidak ada gunanya di sini, dan tak ada gunanya kalian
berkeliaran di Gipsy's Acre."
Ellie sama sekali tidak membantah; ia memang bukan tipe seperti itu. Dengan
lembut dan sopan ia berkata,
"Maafkan kami, kalau kami memang tidak boleh kemari. Saya pikir tempat ini akan
dijual hari ini." "Dan siapa pun yang membelinya pasti tertimpa sial!" kata wanita tua itu.
"Dengarkan aku, Cantik, sebab kau memang cukup cantik, nasib sial akan menimpa
siapa pun yang membelinya. Tanah ini sudah terkutuk, bertahun-tahun lamanya. Kau
jangan datang kemari. Jangan berurusan dengan Gipsy's Acre. Kematian akan menimpamu, juga bahaya.
Pulanglah ke seberang lau?" dan jangan kembali ke Gipsy's Acre. Kuperingatkan
kau." Dengan agak sebal Ellie berkata,
"Kami tidak merusak apa-apa."
"Ayolah, Mrs. Lee," kataku, "jangan menakut-nakuti nona ini."
Aku berbalik dan menjelaskan pada Ellie.
"Mrs. Lee tinggal di desa. Dia memiliki pondok di sana. Dia bisa membaca
peruntungan dan meramal nasib. Bukankah begitu, Mrs.
Lee?" kataku padanya dengan nada bergurau.
"Aku memang berbaka?"" sahut Mrs. Lee singka?" sambil menegakkan tubuh gipsinya
lurus-lurus. "Aku memang berbakat.
Sudah ada dalam darahku. Kami semua memilikinya. Aku akan membaca peruntunganmu,
Nona. Letakkan sekeping perak di tanganku, dan aku akan membaca peruntunganmu."
"Rasanya aku tidak mau peruntunganku dibaca."
"Tapi itu tindakan bijaksana. Bisa mengetahui sesuatu tentang masa depan. Bisa
mengetahui apa yang harus dihindari, apa yang bakal menimpa dirimu kalau kau
tidak hati-hati. Ayolah, toh ada banyak uang di sakumu. Banyak uang. Aku tahu
hal-hal yang patut kauketahui."
Kebanyakan wanita senang peruntungannya diramal. Aku tahu itu.
Aku memperhatikannya pada gadis-gadis yang kukenal. Biasanya aku yang selalu
harus merogoh kantong supaya mereka bisa masuk ke tenda tukang ramal, kalau aku
mengajak mereka ke pasar malam.
Ellie membuka dompetnya dan meletakkan dua keping uang di tangan wanita tua itu.
"Ah, nona cantik, ini baru betul. Dengarkan apa yang akan dikatakan Ibu Lee tua
ini." Ellie melepaskan sarung tangannya dan meletakkan tangannya yang kecil dan lembut
di tangan wanita tua itu. Mrs. Lee menunduk dan menggumam sendiri. "Apa yang
kulihat sekarang" Apa yang kulihat?"
Tiba-tiba ia menjatuhkan tangan Ellie dengan cepat.
"Aku akan segera pergi dari sini, kalau aku jadi kau. Pergi dan jangan kembali!
Itu yang kukatakan padamu sebelumnya, dan itu betul. Aku melihatnya lagi di
telapak tanganmu. Lupakan Gipsy's Acre, lupakan kau pernah melihatnya. Dan bukan
hanya rumah bobrok di atas sana, tapi tanahnya sendiri memang sudah terkutuk."
"Anda ini betul-betul tergila-gila pada kutukan itu," kataku dengan kasar. "Lagi
pula, nona ini tidak ada urusannya dengan tanah di sini.
Dia kemari hanya untuk berjalan-jalan hari ini; dia tak punya urusan apa-apa
dengan penduduk di sekitar sini."
Wanita tua itu tidak mengindahkan diriku. Ia berkata dengan serius,
"Kukatakan padamu, Cantik. Kuperingatkan kau. Kau bisa hidup bahagia - tapi kau
harus menghindari bahaya. Jangan datang ke tempat yang ada bahaya atau ada
kutukannya. Pergilah ke tempat kau dicintai, diperhatikan, dan dijaga. Kau harus
menjaga agar dirimu tetap aman. Ingat itu. Kalau tidak... kalau tidak..." ia menggigil sedikit
- "aku tak suka melihatnya. Aku tak suka melihat apa yang ada di tanganmu."
Tiba-tiba, dengan gerakan cepa?" ia mendorong kembali dua keping uang itu ke
dalam tangan Ellie, sambil menggumamkan sesuatu yang nyaris tidak kedengaran.
Kedengarannya seperti, "Betul-betul jahat. Apa yang akan terjadi, betul-betul jahat."
Kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh dengan cepat.
"Astaga - betul-betul wanita yang menakutkan," kata Ellie.
"Jangan perhatikan dia," kataku sebal. "Kurasa dia sudah setengah gila. Dia
hanya ingin menakut-nakutimu. Kurasa orang-orang gipsi itu masih menyimpan
perasaan untuk tanah ini."
"Apa di sini memang pernah terjadi kecelakaan" Atau peristiwa buruk?"
"Sudah pasti, Coba lihat tikungan ini, dan jalannya yang sempit.
Dewan Kota harusnya mengambil tindakan untuk memperbaikinya.
Tentu saja di sini sering terjadi kecelakaan. Tidak ada cukup tanda-tanda
peringatan." "Hanya kecelakaan atau juga hal-hal lainnya?"
"Begini," kataku, "orang-orang suka mengumpulkan cerita tentang kecelakaan.
Memang banyak yang bisa dikoleksi. Begitulah biasanya suatu daerah menjadi
terkenal dengan legendanya."
"Itukah salah satu alasan mereka berkata tanah ini akan dijual dengan harga
murah?" "Yah, mungkin saja, kurasa. Secara lokal memang begitu. Tapi kurasa tidak akan
ada orang lokal yang membelinya. Kurasa tanah ini akan dibeli untuk dibangun
perumahan. Kau masih menggigil,"
kataku. "Jangan menggigil. Ayo kita berjalan cepat." Aku melanjutkan, "Apa kau
ingin aku meninggalkanmu sebelum kau sampai di kota?"
"Tidak. Tentu saja tidak. Mengapa harus begitu?"
Aku berkata dengan putus asa,
"Begini," kataku, "aku akan pergi ke Market Chadwell besok.
Kurasa... kurasa... aku tidak tahu apakah kau masih akan ada di sana
... maksudku, apakah masih ada kesempatan untuk... bertemu denganmu?" Aku
menggeser-goserkan kakiku dan membuang muka.
Kurasa wajahku pasti merah. Tapi kalau aku tidak mengatakan apa-apa sekarang,
baga-imana aku bisa melanjutkannya"
"Oh, ya," katanya, "aku baru akan kembali ke London besok malam."
"Kalau begitu, mungkin... maukah kau... maksudku, ini agak keterlaluan..."
"Tidak, sama sekali tidak."
"Yah, mungkin kau mau datang minum teh di kafe... Blue Dog, kurasa begitulah
namanya. Tempatnya sangat nyaman", kataku.
"Maksudku... tempatnya..." aku tak bisa mengucapkan kata yang tepa?" jadi
kusebutkan kata yang kadang-kadang diucapkan ibuku -
"tempatnya sangat terhorma?"" kataku cemas.
Kemudian Ellie tertawa. Mungkin ucapanku kedengaran agak aneh zaman sekarang
ini. "Pasti akan menyenangkan sekali," katanya. "Ya. Aku akan datang. Sekitar jam
setengah lima, bagaimana?"
"Aku akan menunggumu," kataku. "Aku... aku senang." Aku tidak mengatakan, apa
yang membuatku senang itu.
Akhirnya kami sampai di tikungan terakhir jalanan itu, di mana mulai ada rumah-
rumah "Sampai di sini, kalau begitu," kataku, "dan sampai besok.
Jangan... jangan pikirkan ucapan wanita tua itu. Dia hanya suka menakut-nakuti
orang. Dia toh tidak tinggal di sana," kataku lagi.
"Menurutmu, apakah tempat itu menakutkan?" tanya Ellie.
"Gipsy's Acre" Tidak, menurutku tidak," kataku. Mungkin aku mengatakannya agak
terlalu tegas, tapi memang menurutku tempat
itu tidak menakutkan. Aku malah menganggapnya tempat yang indah, tempat yang
cocok bagi sebuah rumah indah....
Nah, begitulah cerita pertemuan pertamaku dengan Ellie. Aku pergi ke Market
Chadwell keesokan harinya, dan menunggu kedatangan Ellie di Blue Dog. Kami minum
teh bersama-sama dan mengobrol. Kami masih tidak bercerita banyak tentang diri
masing-masing, atau tentang kehidupan kami, maksudku. Kebanyakan kami
mengobrolkan hal-hal yang kami pikirkan atau rasakan; kemudian Ellie melirik jam
tangannya, dan berkata bahwa ia harus segera pergi, karena keretanya, akan
berangkat ke London jam setengah enam.
"Kupikir kau membawa mobil kemari," kataku.
Ia tampak agak malu dan berkata, tidak, tidak, itu bukan mobilnya kemarin. Tapi
ia tidak berkata mobil siapa. Bayangan kekikukan lagi-lagi menyelimuti kami
berdua. Aku mengangkat tangan untuk memanggil pelayan dan membayar bon, kemudian
aku berkata terus terang pada Ellie,
"Apakah aku... apakah aku bisa bertemu denganmu lagi?"
Ia tidak memandangku; ia malah menunduk memandang meja. Ia berkata,
"Aku akan berada di London selama dua minggu."
Aku berkata, "Di mana" Bagaimana?"
Kami menetapkan tanggal untuk bertemu di Regent's Park dalam tiga hari. Hari itu
betul-betul cerah. Kami mampir untuk makan di sebuah restoran terbuka, dan
berjalan-jalan di kebun Queen Mary. Di sana kami duduk berdua di kursi panjang
dan mengobrol. Dari saat itulah kami mulai bercerita tentang diri masing-masing.
Aku bercerita tentang pendidikanku yang lumayan, walaupun karierku tidak
cemerlang. Aku bercerita padanya tentang pekerjaan-pekerjaanku, tidak semuanya,
dan bagaimana aku tak pernah menetap dan selalu ingin berpindah-pindah mencoba:
segala sesuatu. Anehnya, ia betul-betul terpesona mendengar ceritaku itu.
"Begitu berbeda," katanya, "berbeda dan hebat."
"Berbeda dari apa?"
"Dari aku." "Kau gadis yang kaya?" kataku menggoda. "Gadis kaya yang malang."
"Ya," katanya, "aku gadis kaya yang malang."
Kemudian ia bercerita sepotong-sepotong tentang latar belakang kekayaannya,
tentang kenyamanan yang kaku, tentang kejenuhan, tentang tidak bisa memilih
teman sendiri, tentang ketidakmampuan melakukan apa yang diinginkannya - kadang-
kadang melihat orang-orang yang tampaknya bersenang-senang, sementara ia tak
bisa begitu. Ibunya sudah meninggal waktu ia masih bayi, dan ayahnya telah
menikah lagi. Tak lama setelah itu, ayahnya meninggal juga, katanya. Menurutku
ia tidak dekat dengan ibu tirinya. Hampir seumur hidupnya ia tinggal di Amerika,
tapi juga sering bepergian ke luar negeri.
Mendengar ceritanya, aku merasa kagum, karena masih ada gadis di zaman ini yang
hidup dalam pingitan dan terkekang. Memang betul, ia sering pergi ke pesta-pesta
dan hiburan-hiburan, tapi rasanya seperti di zaman lima puluh tahun yang lampau,
menurutku, dari caranya bercerita. Rasanya tak ada keakraban atau kesenangan
sama sekali! Hidupnya, betul-betul berbeda dari hidupku, seperti kapur dan keju.
Bagaimanapun, aku kagum juga mendengar ceritanya, meski kedengarannya konyol.
"Jadi, kau tidak pernah sungguh-sungguh punya teman sendiri kalau begitu?"
kataku tak percaya. Magaimana dengan teman laki-laki?"
"Mereka biasanya sudah dipilihkan untukku," katanya dengan agak pahit. "Dan
semuanya membosankan."
"Seperti di penjara," kataku.
'Memang begitulah rasanya."
"Dan kau benar-benar tidak punya teman sendiri?"
"Aku punya sekarang. Greta."
"Siapa Greta itu?" kataku.
"Mula-mula dia datang sebagai gadis au pair - tidak, tidak persis begitu. Dulu
ada seorang gadis Prancis yang tinggal bersama kami selama setahun, supaya aku
bisa belajar bahasa Prancis, kemudian Greta datang dari Jerman, supaya aku bisa
belaJar bahasa Jerman. Greta berbeda. Segalanya jadi beda begitu Greta datang."
"Kau sangat sayang padanya?" tanyaku.
"Dia membantuku," kata Ellie. "Dan berada di pihakku. Dia yang mengatur supaya
aku bisa melakukan berbagai hal dan pergi ke mana-mana. Dia tidak keberatan
berbohong untukku. Aku tak mungkin bisa datang ke Gipsy's Acre kalau tidak
dibantu Greta. Dia menemaniku dan menjagaku di London, sementara ibu tiriku
pergi ke Paris. Aku menulis dua atau tiga pucuk sura?" dan kalau aku pergi ke
tempat lain, Greta mengeposkan surat-surat itu setiap tiga atau empat hari,
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehingga semuanya mempunyai cap pos London."
"Tapi mengapa kau ingin pergi ke Gipsy's Acre?" tanyaku. "Untuk apa?"
Ia tidak langsung menjawab.
"Greta dan aku mengaturnya," katanya. Dia memang
menyenangkan," katanya lagi. Dia bisa memikirkan macam-macam.
Idenya banyak." "Bagaimana tampang si Greta ini?" tanyaku.
"Oh, dia cantik," sahutnya. "Jangkung dan pirang. Dia cakap sekali."
"Kurasa aku tidak menyukainya," kataku.
Ellie tertawa. "Oh, kau akan menyukainya. Aku yakin itu. Dia juga sangat pintar."
"Aku tidak suka gadis pintar," kataku. "Aku juga tidak suka gadis jangkung dan
pirang. Aku suka gadis mungil dengan rambut seperti daun-daun musim gugur."
"Kurasa kau cemburu pada Greta," kata Ellie.
"Mungkin saja. Kau sangat menyayanginya, bukan?"
"Ya, sangat. Dia membuat banyak perbedaan dalam hidupku."
"Dan dialah yang mengusulkan padamu untuk datang ke sana.
Mengapa" Aku ingin tahu. Tidak banyak yang bisa dilihat atau dilakukan di tempat
seperti itu. Menurutku itu agak misterius."
"Itu rahasia kami," kata Ellie, tampak malu.
"Rahasiamu dan Greta" Coba ceritakan."
Ia menggelengkan kepala. "Aku harus punya rahasia sendiri,"
katanya. "Apa Greta-mu itu tahu kau sedang bersamaku sekarang?"
Dia tahu aku akan menemui seseorang. Itu saja. Dia tak suka bertanya macam-
macam. Dia tahu aku bahagia."
Setelah itu, seminggu lamanya aku tidak bertemu Ellie. Ibu tirinya sudah pulang
dari Paris, juga seseorang yang dipanggilnya Paman Frank. Ia menjelaskan dengan
enteng bahwa ia akan menyelenggarakan pesta ulang tahun, dan mereka akan
merayakannya besar-besaran di London.
"Aku tak mungkin menyelinap pergi," katanya. "Tak mungkin minggu depan. Tapi
setelah itu... setelah itu pasti berbeda."
"Mengapa pasti berbeda setelah itu?"
"Aku bisa melakukan apa yang kusukai setelah itu." Dengan bantuan Greta, seperti
biasa?" kataku. Biasanya Ellie akan tertawa mendengar caraku berbicara tentang Greta. Ia akan
berkata, "Kau ini konyol sekali, bisa cemburu terhadap Greta. Suatu hari kau
harus bertemu dengannya. Kau pasti menyukainya."
"Aku tidak suka gadis yang suka memerintah," kataku keras kepala.
"Mengapa kaupikir dia suka memerintah?"
"Dari caramu bercerita tentang dia. Dia selalu saja sibuk mengatur sesuatu."
Dia memang sangat efisien," kata Ellie. Dan dia mengatur segalanya dengan sangat
baik. Itu sebabnya ibu tiriku mempercayakan banyak hal padanya."
Aku, bertanya padanya, bagaimana rupa Paman Frank-nya.
Ia berkata, "Aku tidak terlalu kenal dia. Dia suami saudara perempuan ayahku.
Jadi, bukan saudara langsung. Dari dulu dia suka berkelana, dan pernah mendapat
kesulitan sekali dua kali. Pokoknya dia sering digosipkan."
"Bukan anggota keluarga favorit?" tanyaku. "Jenis yang buruk?"
"Oh, tidak sungguh-sungguh buruk kurasa, tapi dia memang pernah mendapat
kesulitan. Masalah keuangan. Dan para pengacara serta keluarga harus membayar
untuk mengeluarkannya dari masalah-masalah itu."
"Itu dia," kataku. "Dia kambing hitam dalam keluarga. Kurasa aku lebih cocok
dengannya ketimbang dengan Greta yang hebat."
"Paman Frank bisa bersikap, sangat menyenangkan kalau mau,"
kata Ellie. "Dia bisa menjadi teman yang akrab."
"Tapi kau tidak terlalu menyukainya?" tanyaku dengan tajam.
"Kurasa aku menyukainya.... Hanya saja kadang-kadang, oh, aku tak bisa
menjelaskannya. Aku hanya merasa tak bisa menebak apa-apa yang sedang dipikirkan
atau direncanakannya."
"Jadi, dia seorang perencana, ya?"
"Aku tidak tahu bagaimana dia sebenarnya," kata Ellie lagi.
Ia tak pernah terus terang mengusulkan agar aku berkenalan dengan keluarganya.
Kadang-kadang aku bertanya-tanya, apakah
aku harus menyinggung masalah tersebut. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya
tentang itu. Akhirnya aku langsung bertanya.
Megini, Ellie," kataku, "menurutmu apakah aku tidak sebaiknya...
berjumpa dengan keluargamu, atau kau lebih suka kalau aku tidak berjumpa dengan
mereka?" "Aku tidak mau kau bedumpa dengan mereka," katanya cepat.
"Aku tahu aku bukan siapa-siapa...," kataku.
"Bukan begitu maksudku, sama sekali bukan! Maksudku, mereka pasti ribut. Aku
tidak suka keributan."
"Aku kadang merasa kita seperti main kucing-kucingan. Bukankah itu justru
membuatku kelihatan buruk?"
"Aku sudah cukup umur untuk memilih teman-temanku sendiri,"
kata Ellie. "Aku hampir dua puluh satu tahun. Kalau aku sudah dua puluh satu
nanti, aku bisa memilih teman-temanku sendiri, dan tak seorang pun bisa
melarangku. Tapi sekarang ini, yah, seperti kubilang tadi, mereka pasti akan
ribut sekali, dan mereka akan berusaha menjauhkan aku darimu. Belum lagi... oh,
biar saja kita tetap berhubungan seperti ini."
"Kalau kau tidak keberatan, aku juga tidak keberatan," kataku.
"Aku hanya tidak suka... yah, terlalu kucing-kucingan begini."
"Ini bukan kucing-kucingan. Ini supaya kita bisa saling berteman, mengobrolkan
segalanya, juga supaya bisa-" tiba-tiba ia tersenyum-
"bisa membayang-bayangkan. Kau tidak tahu betapa
menyenangkannya itu."
Ya, begitulah - membayang-bayangkan! Kami memang semakin sering menghabiskan
waktu dengan membayang-bayangkan ini-itu.
Kadang-kadang aku yang melakukannya. Tapi lebih sering lagi Ellie yang berkata,
"Mari kita misalkan kita telah membeli Gipsy's Acre dan sedang membangun rumah
di sana." Aku telah banyak bercerita padanya tentang Santonix dan rumah-rumah yang pernah
dibangunnya. Aku mencoba menggambarkan model rumah-rumah itu dan cara Santonix
merancang semuanya. Kurasa aku tidak terlalu bagus menggambarkannya, karena aku memang tidak pintar
menggambarkan sesuatu. Ellie, tidak diragukan lagi, punya gambaran sendiri
tentang rumah itu-rumah kami. Oh, kami memang tak pernah mengatakan "rumah
kami", tapi kami tahu begitulah maksudnya....
Jadi, untuk seminggu lamanya aku tak bisa bertemu Ellie. Aku telah menghabiskan
semua tabunganku (yang jumlahnya tidak banyak) untuk membelikannya sebentuk
cincin mungil dengan permata Irlandia berwarna hijau. Kuberikan cincin itu
padanya sebagai hadiah ulang tahun. Ia menyukainya, dan kelihatan sangat
bahagia. "Clncin yang indah," katanya.
Ellie memang tidak memakai banyak perhiasan, dan kalau harus memakainya, tak
diragukan lagi ia pasti memakai berlian dan zamrud asli, dan permata-permata
lain sejenis itu, tapi ia menyukai cincin hijau Irlandia pemberianku.
"Ini akan menjadi hadiah ulang tahun yang paling kusukai,"
katanya. Kemudian aku mendapat sepucuk surat yang ditulis terburu-buru oleh Ellie. Ia
harus pergi ke Prancis Selatan bersama keluarganya, segera setelah hari ulang
tahunnya. "Tapi jangan cemas," tulisnya, "kami akan kembali dalam dua-tiga minggu, dalam perjalanan ke
Amerika kali ini. Pokoknya kita pasti bertemu lagi. Aku punya sesuatu yang
istimewa, yang ingin kubicarakan denganmu."
Aku merasa cemas dan tidak tenang, karena tak bisa bertemu Ellie, dan karena aku
tahu ia telah pergi ke Prancis. Aku juga punya sedikit kabar tentang Gipsy's
Acre. Tampaknya ada pihak swasta yang telah membelinya, tapi tidak banyak
informasi tentang siapa pihak swasta itu. Sebuah kantor pengacara di London
tampaknya sudah ditunjuk menjadi pembelinya. Aku mencoba mendapat keterangan
lebih banyak, tapi tidak berhasil. Kantor pengacara itu betul-betul tertutup.
Tentu saja aku tidak berbicara dengan
pimpinannya. Aku hanya mendekati salah seorang staf mereka, dan mendapatkan
sedikit informasi samar-samar. Gipsy's Acre telah dibeli oleh seorang klien kaya
raya yang bermaksud menyimpannya sebagai investasi yang bagus, begitu tanah di
daerah itu sudah lebih berkembang.
Memang sulit sekali mencari tahu tentang sesuatu kalau kita harus berurusan
dengan kantor pengacara yang eksklusif. Segalanya betul-betul rahasia, seolah-
olah mereka agen negara atau sejenisnya!
Setiap orang selalu bersikap atas nama orang lain yang tak bisa disebutkan
namanya atau dibicarakan!
Aku jadi betul-betul tidak tenang. Aku memutuskan berhenti memikirkan Gipsy's
Acre dan pergi mengunjungi ibuku.
Sudah lama aku tidak berjumpa ibuku.
6 Ibuku masih tinggal di jalan yang sama selama dua puluh tahun terakhir ini -
jalan yang penuh dengan rumah-rumah terhormat yang membosankan dan tidak
menarlk. Anak tangga depan menuju pintu rumah telah dicat putih bersih dan
tampak persis seperti biasanya.
Nomor rumahnya 46. Aku menekan bel depan. lbuku membukakan pintu dan berdiri
menatapku. Ia tampak seperti biasanya juga. Tinggi dan persegi, dengan rambut
kelabu dibelah tengah, bibir seperti jebakan tikus, dan mata yang selalu menatap
curiga. Ia juga tampak keras seperti paku. Tapi, kalau menyangkut diriku, selalu
ada titik lunak di hatinya. Ia memang tak pernah memperlihatkannya, tapi aku
selalu berhasil menemukannya. Ia tak pernah berhenti berharap agar, aku mau
berubah, tapi harapannya itu sia-sia belaka dan takkan pernah jadi kenyataan.
Hubungan kami jadi datar karenanya.
"Oh," katanya, "ternyata kau yang datang."
"Ya," kataku, "memang aku."
Ibu mundur sediki?" supaya aku bisa masuk. Aku melangkah melewati ruang duduk,
dan terus menuju dapur. Ibu mengikutiku dan berdiri memandangi diriku.
"Sudah lama sekali," katanya. "Apa saja yang kaulakukan?"
Aku hanya angkat bahu. "Macam-macam," sahutku.
"Ah," kata ibuku, "seperti biasa, ya?"
"Seperti biasa," kataku mengiyakan.
Berapa banyak pekerjaan yang kaupunyai sejak terakhir kali aku melihatmu?"
Aku berpikir sebentar. "Lima," kataku.
"Kapan kau mau dewasa?"
"Aku sudah betul-betul dewasa," kataku "Aku sudah memilih jalan hidupku sendiri.
Bagaimana kabar Ibu?" lanjutku.
"Juga seperti biasa," sahut ibuku.
"Baik-baik saja?"
"Aku tak punya waktu untuk jatuh saki?"" kata ibuku. Kemudian ia menambahkan
dengan tiba-tiba, "Untuk apa kau datang kemari?"
"Apa aku harus punya tujuan tertentu kalau datang kemari?"
Biasanya begitu." "Aku heran, kenapa Ibu tidak setuju kalau aku suka melanglang dunia," kataku.
"Menyetir mobil mewah ke seluruh Eropa! Itukah idemu tentang melanglang dunia?"
"Tentu saja." "Kau tidak bakal dapat sukses besar dari pekerjaan itu. Apalagi kalau kau suka
sakit mendadak, meninggalkan klienmu di kota tak beradab."
"Bagaimana Ibu bisa tahu?"
"Perusahaan tempatmu bekerja menelepon. Mereka ingin tahu, apakah aku tahu
alamatmu." "Untuk apa mereka meneleponku?"
"Kurasa mereka ingin mempekerjakaMr.u kembali," kata ibuku.
"Aku tidak mengerti buat apa."
"Sebab aku pengemudi yang baik, dan para klien menyukaiku.
Lagi pula, aku toh tidak bisa apa-apa kalau saki?" bukan?"
"Entahlah," kata ibuku.
Jelas menurut ibuku aku mestinya bisa mempertahankan
pekerjaanku biarpun sakit.
"Kenapa kau tidak melapor kembali pada mereka waktu kau tiba di Inggris?"
"Sebab aku mau memancing ikan yang lain," kataku.
Ibuku mengangkat alisnya. "Ide baru lagi di kepalamu" Ide gila-gilaan lagi"
Kerja apa lagi kau setelah itu?"
"Jadi petugas pompa bensin. Jadi montir di bengkel. Staf temporer, dan tukang
cuci di restoran dan kelab malam."
"Turun derajat tepatnya," kata ibuku dengan sebal.
"Sama sekali tidak," kataku. "Ini semua bagian dari rencana.
Rencanaku!" lbuku menarik napas panjang. "Kau mau minum apa, teh atau kopi" Ibu punya dua-
duanya." Aku memilih kopi. Aku sudah melepaskan kebiasaan minum teh.
Kami duduk berhadap-hadapan dengan cangkir-cangkir kopi di depan kami. Ibu
mengeluarkan kue buatannya dari kaleng dan mengiris sepotong untuk kami masing-
masing. "Kau lain," kata ibuku tiba-tiba.
"Lain bagaimana?"
"Entahlah, tapi kau memang lain. Apa yang terjadi?"
"Tidak ada apa-apa. Mengapa harus ada yang terjadi?"
"Kau bersemanga?"" kata ibuku.
"Aku mau merampok bank," kataku.
Ibuku tidak berminat bergurau. Ia hanya berkata,
"Tidak, aku tidak takut kau akan merampok bank."
"Mengapa tidak" Rasanya itu cara gampang untuk cepat kaya sekarang ini."
"Merampok bank butuh kerja keras," kata ibuku.
"Dan banyak perencanaan. Harus memeras otak lebih banyak daripada yang kausukai.
Juga tidak aman." "Ibu pikir Ibu tahu segalanya tentang aku," kataku.
"Tidak, aku tidak tahu. Aku tidak sungguh-sungguh tahu segalanya tentang dirimu,
sebab kau dan aku berbeda sekali seperti bumi dan langit. Tapi aku tahu kalau
kau sedang merencanakan sesuatu. Dan kau memang sedang merencanakan sesuatu
sekarang. Apa itu, Micky" Apakah cewek?"
"Mengapa Ibu menebak itu cewek?"
"Aku selalu tahu ini bakal terjadi suatu hari."
"Apa maksud Ibu dengan 'suatu hari'" Aku punya banyak cewek."
"Bukan itu yang kumaksud. Cewek-cewekmu yang banyak itu hanya untuk senang-
senang. Kau suka berhubungan dengan cewek mana pun, tapi tak pernah serius
sampai sekarang ini."
"Tapi Ibu pikir aku serius sekarang?"
"Apakah memang cewek, Micky?"
Aku tidak memandang mata ibuku. Aku membuang muka dan berkata, "Boleh dibilang
begitu." "Cewek macam apa dia?"
"Yang cocok untukku," kataku.
"Apa kau akan mengajaknya menemui Ibu?"
"Tidak," kataku.
"Begitu, ya?" "Bukan apa-apa. Aku tidak mau melukai perasaan Ibu, tapi..."
"Kau tidak melukai perasaanku. Kau tidak mau aku melihat cewekmu, karena kau
takut aku bilang 'Jangan'. Begitukah?"
"Aku toh tidak akan peduli kalaupun Ibu bilang jangan."
"Mungkin tidak, tapi itu akan menggoyahkanmu. Menggoyahkan hatimu, sebab kau
memperhatikan apa yang kukatakan dan pikirkan.
Banyak hal yang telah kutebak tentang dirimu - mungkin tebakan itu betul dan kau
mengetahuinya. Aku satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menggoyahkan
keyakinanmu pada diri sendiri. Apakah cewek yang sudah mengikatmu ini cewek
nakaI?" "Cewek nakaI?" kataku dan tertawa. "Kalau saja Ibu melihatnya!
Ibu membuatku tertawa."
"Apa yang kaukehendaki dari aku" Kau pasti butuh sesuatu. Kau selalu begitu."
"Aku butuh uang," kataku.
?"Kau tidak akan mendapatkannya dariku. Untuk apa kau butuh uang - supaya bisa
membelikan barang-barang untuk cewek itu?"
"Tidak," kataku, "aku ingin membeli setelan jas kualitas utama, supaya bisa
menikah."
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau akan menikahinya?"
"Kalau dia mau menerimaku."
Mendengar itu, Ibu betul-betul kaget.
"Kalau saja kau mau bercerita padaku!" katanya. "Kau sudah salah pilih, aku tahu
itu. Aku selalu khawatir dari dulu, kalau kau salah pilih cewek."
"Salah pilih! Astaga!" teriakku. Aku merasa marah.
Aku keluar dari rumah dan membanting pintu.
7 Ketika aku sampai di rumah, ada telegram menungguku -
datangnya dari Antibes. Temui aku besok jam setengah lima tempat biasa.
Sikap Ellie lain dari biasanya. Aku segera melihatnya. Kami berjumpa seperti
biasa di Regen?"s Park. Mula-mula kami merasa agak asing dan kikuk satu sama
lain. Ada yang hendak kukatakan padanya, tapi aku agak bingung bagaimana
menyampaikannya. Kurasa tiap laki-laki pasti demikian, kalau sudah saatnya melamar seorang gadis.
Ada lagi sikap Ellie yang juga aneh. Mungkin ia sedang memikirkan cara yang
paling baik dan sopan untuk menolakku. Tapi entah mengapa aku merasa bukan itu
yang membuatnya bingung. Seluruh keyakinanku pada hidup ini didasarkan pada
kenyataan bahwa Ellie mencintaiku. Tapi ada suatu kebebasan baru pada dirinya,
sebuah keyakinan diri yang baru, yang tak mungkin disebabkan hanya karena ia
sudah setahun lebih tua sekarang. Satu ulang tahun tak mungkin bisa membuat
perbedaan seperti itu pada seorang gadis. Ia dan keluarganya telah berlibur di
Prancis Selatan, dan ia bercerita sedikit padaku tentang liburannya itu.
Kemudian dengan agak malu-malu ia berkata,
"Aku... aku melihat sebuah rumah di sana, yang pernah kauceritakan dulu. Rumah
yang dibangun oleh teman arsitekmu."
"Apa" Santonix?"
"Ya. Kami pergi ke sana untuk makan siang suatu hari."
"Bagaimana bisa" Apa ibu tirimu kenal dengan laki-laki yang tinggal di sana?"
"Dimitri Constantine" Yah - tidak tepat begitu, tapi dia pernah bertemu dengan
Dimitri dan... yah... sebenarnya Greta yang mengatur supaya kami bisa pergi ke
sana." "Greta lagi," kataku, memblarkan rasa kesal menandai suaraku, seperti biasanya.
"Sudah kubilang padamu," kata Ellie, "Greta pintar mengatur sesuatu."
"Oh, baiklah. Jadi, dia berhasil mengatur supaya kau dan ibu tirimu..."
"Dan Paman Frank," kata Ellie.
"Jadi, pesta keluarga, ya," kataku, "dan Greta juga iku?" kurasa." ,
"Oh, tidak, Greta tidak iku?" karena-" Ellie ragu-ragu - "Cora, ibu tiriku,
tidak menganggap Greta seperti itu."
"Dia bukan anggota keluarga, dia cuma saudara jauh yang miskin, bukan?" kataku.
"Cuma seorang gadis au pair, kenyataannya. Greta pasti benci diperlakukan
seperti itu kadang-kadang."
"Greta bukan gadis au pair; dia temanku yang baik."
"Seorang pengawas," kataku. "Pembimbing, penjaga. Ada banyak kata untuk
menyebutnya." "Oh, diamlah," kata Ellie, "aku ingin mengatakan sesuatu padamu.
Aku tahu sekarang, apa yang kaumaksud tentang temanmu Santonix.
Rumah itu betul-betul indah. Betul-betul berbeda. Bisa kubayangkan kalau
Santonix membangun rumah untuk kita, rumah itu pasti akan sangat menyenangkan."
Ellie menyebutkan rumah "kita" nyaris tanpa sadar. Kita, katanya.
Ia telah pergi ke Riveria dan menyuruh Greta mengatur segalanya agar dapat
melihat rumah yang pernah kuceritakan padanya, karena ia ingin bisa melihat
sendiri dengan lebih jelas, rumah yang dalam dunia mimpi kami berdua, akan
dibangun Rudolf Santonix bagi kami.
"Aku senang kau merasa demikian tentang rumah itu," kataku.
"Ia berkata, "Apa saja yang kaukerjakan selama ini?"
"Hanya pekerjaan membosankan," sahutku. "Aku juga pergi ke pacuan kuda. Aku
bertaruh pada kuda yang tidak diunggulkan. Tiga puluh banding satu. Aku
mempertaruhkan semua uang yang kumiliki, dan aku menang besar. Siapa bilang
nasibku tidak mujur?"
"Aku senang kau menang," kata Ellie, tapi ia mengatakannya tanpa semangat,
karena mempertaruhkan segalanya pada pacuan kuda dan ternyata menang, tidak
berarti apa-apa di dunia Ellie. Tidak seperti dalam duniaku.
"Dan aku juga mengunjungi ibuku," kataku lagi.
"Kau jarang bercerita tentang ibumu."
"Untuk apa?" kataku.
"Apa kau tidak sayang pada ibumu?"
Aku merenung sejenak. "Aku tidak tahu," kataku. "Kadang-kadang kupikir tidak.
Bagaimanapun, kalau sudah dewasa, kita jadi jauh dari orangtua. Ibu-ibu dan
ayah-ayah." "Kurasa kau menyayangi ibumu," kata Ellie. "Kalau tidak, kau tidak akan ragu
saat bercerita tentang ibumu."
"Boleh dibilang aku takut pada ibu," kataku, Dia sangat kenal diriku. Maksudku,
dia mengenal sisi burukku."
"Memang harus ada orang yang begitu," kata Ellie.
"Apa maksudmu?"
"Seorang penulis besar pernah berkata bahwa tak seorang pun bisa menjadi
pahlawan bagi pelayan pribadinya. Mungkin setiap orang harus punya seorang
pelayan pribadi. Kalau tidak pasti susah, bagaimana kita selalu hidup dan
berusaha tampil baik di mata setiap orang."
"Wah, boleh juga pendapatmu itu, Ellie," kataku. Kuraih tangannya. "Apa kau
mengenalku dengan baik?" tanyaku.
"Kurasa begitu," kata Ellie. Ia mengatakannya dengan sangat tenang dan
sederhana. "Aku tidak banyak bercerita tentang diriku."
"Maksudmu kau tidak pernah bercerita tentang dirimu sama sekali; kau selalu
tertutup. Itu beda. Tapi aku cukup tahu bagaimana dirimu, dirimu sendiri."
"Aku tidak tahu itu," kataku. Aku melanjutkan,
"Kedengarannya agak konyol, mengatakan aku cinta padamu.
Tampaknya sudah terlambat untuk itu, bukan" Maksudku, kau sudah tahu itu dari
dulu, nyaris dari awal pertemuan kita, bukan?"
"Ya," kata Ellie, "dan kau juga tahu itu tentang diriku, bukan?"
"Masalahnya," kataku, "apa yang harus kita lakukan sekarang"
Tidak akan mudah, Ellie. Kau tahu persis keadaanku sebenarnya, apa yang telah
kukerjakan, dan jenis kehidupan yang kujalani. Aku mengunjungi ibuku di
rumahnya, di sebuah jalan kecil yang terhormat dan suram. Dunia kita tidak sama,
Ellie. Aku tidak tahu apakah kita bisa mempertemukan dua dunia itu."
"Kau bisa mengajakku mengunjungi ibumu."
"Ya, memang," kataku, "tapi aku lebih suka tidak. Mungkin itu kedengarannya
sangat kurang ajar bagimu, atau jahat, tapi kita harus menjalani hidup yang aneh
bersama-sama, kau dan aku. Bukan hidup yang biasa kaujalani, juga bukan hidup
yang biasa kujalani. Tapi suatu hidup baru, gabungan antara kemiskinan dan ketidakacuhanku, dengan
uang, budaya, serta pengetahuan sosialmu. Teman-temanku akan menganggapmu
sombong, sementara teman-temanmu akan menganggapku tidak pantas. Jadi, apa yang harus
kita lakukan sekarang?"
"Akan kukatakan padamu," kata Ellie, "apa tepatnya yang harus kita lakukan. Kita
akan tinggal di Gipsy's Acre, di sebuah rumah-rumah idaman yang akan dibangun
temanmu Santonix bagi kita.
Itulah yang akan kita lakukan." Ia melanjutkan, "Mula-mula kita harus menikah
dulu. Itu yang kaumaksud, bukan?"
"Ya," kataku, "memang itu maksudku. Kalau kau yakin itu sesuai bagimu."
"Gampang saja," kata Ellie, "kita bisa menikah minggu depan. Kau tahu aku sudah
cukup umur. Aku bisa berbuat sesukaku sekarang.
Beda dengan dulu. Kurasa kau benar tentang urusan keluarga. Aku tidak akan
bilang apa-apa pada keluargaku, dan kau juga tidak akan bilang apa-apa pada
ibumu, sampai kita sudah menikah. Setelah itu biar mereka ribut sendiri, itu
tidak akan mempengaruhi kita."
"Bagus," kataku, "bagus sekali, Ellie. Tapi ada satu hal. Aku tak suka
mengatakannya padamu. Kita tak bisa tinggal di Gipsy's Acre, Ellie. Kita tak
bisa membangun rumah di sana, sebab tempat itu sudah terjual."
"Aku tahu sudah terjual," kata Ellie. Ia tertawa.
"Kau tidak mengerti, Mike. Akulah yang membelinya."
8 Aku duduk di rerumputan di samping sungai kecil, di antara bunga-bunga air dan
jalan-jalan setapak kecil berbatu-batu di sekeliling kami. Banyak orang duduk di
sekeliling kami, tapi kami tidak memperhatikan mereka, juga tidak menyadari
keberadaan mereka, sebab kami sama seperti yang lainnya - sepasang muda-mudi
yang asyik mengobrol tentang masa depan. Aku menatap Ellie lekat-lekat. Aku
betul-betul tak bisa berbicara.
"Mike," katanya. "Ada sesuatu, sesuatu yang harus kukatakan padamu. Sesuatu
tentang diriku, maksudku."
"Kau tak perlu mengatakannya," kataku. "Tak perlu mengatakan apa-apa."
"Tapi aku harus. Aku harus mengatakannya padamu sejak awal, tapi aku tak ingin
sebab... sebab kupikir kau pasti akan menjauh. Ini bisa menjelaskan tentang
Gipsy's Acre." "Kau membelinya?" kataku. "Tapi bagaimana kau bisa
membelinya?" "Melalui pengacara-pengacaraku," katanya, "cara yang biasa. Itu betul-betul
investasi yang bagus. Harga tanahnya akan naik. Para pengacaraku sangat senang
mengenainya." Tiba-tiba terasa aneh mendengar Ellie, yang biasanya lembut dan pemalu,
berbicara dengan penuh keyakinan dan pengetahuan tentang dunia membeli dan
menjual. "Kau membelinya untuk kita?"
"Ya. Aku menemui pengacaraku sendiri, bukan pengacara keluarga. Kukatakan
padanya apa yang ingin kulakukan. Kuminta dia memeriksa, dan aku mengatur
segalanya. Ada dua orang lain yang juga ingin membeli Gipsy's Acre, tapi mereka
tidak betul-betul menginginkannya, dan mereka tidak mau membayar mahal. Tapi
yang penting segalanya harus diatur sedemikian rupa, sehingga siap
kutandatangani begitu aku cukup umur. Sekarang semuanya sudah ditandatangani dan
selesai." "Tapi kau pasti telah membayar panjar atau sejenisnya. Apa kau punya cukup uang
untuk itu?" "Tidak," kata Ellie, "tidak. Aku tidak punya kuasa atas uang sebanyak itu
sebelumnya, tapi tentu saja ada orang-orang yang bisa meminjamkan uang pada
kita. Dan kalau kau pergi ke sebuah kantor pengacara yang baru, mereka pasti
ingin kau terus menyewa kantor mereka untuk mengurus urusan-urusan bisnismu,
begitu kau sudah mendapatkan uang yang memang menjadi hakmu, jadi mereka mau
mengambil risiko bahwa bisa saja kau tiba-tiba mati sebelum ulang tahunmu tiba."
"Kau kedengaran seperti pengusaha," kataku, "kau membuatku tercengang!"
"Jangan pedulikan bisnis," kata Ellie. "Aku harus kembali pada apa yang hendak
kukatakan padamu. Sebetulnya aku sudah
mengatakannya padamu, tapi kurasa kau tidak menyadarinya."
"Aku tidak ingin tahu," kataku. Suaraku meninggi, dan aku nyaris berteriak.
"Jangan bilang apa-apa padaku. Aku tidak mau tahu apa-apa tentang sepak
terjangmu, atau siapa pacarmu dulu, atau apa yang pernah terjadi pada dirimu."
"Bukan itu," kata Ellie. "Aku tak mengira kau mencemaskan hal-hal seperti itu.
Tidak, bukan itu. Tidak ada rahasia seks. Aku tidak punya pacar lain selain
dirimu. Masalahnya begini... aku... aku ini kaya."
"Aku tahu itu," kataku, "kau,sudah bilang padaku."
"Ya," kata Ellie sambil tersenyum kecil, "dan kau memanggilku,
'gadis kecil kaya yang malang'. Tapi sebenarnya aku lebih dari itu.
Kakekku kaya sekali. Minyak. Sebagian besar minyak. Dan hal-hal lainnya. Para
bekas istri yang harus ditunjangnya sudah meninggal semua, jadi tinggal ayah dan
diriku, sebab dua anak laki-laki lainnya tewas terbunuh. Satu di Korea, satunya
lagi dalam kecelakaan mobil.
Jadi semuanya diwariskan pada kami dalam bentuk simpanan yang sangat besar, dan
ketika ayahku tiba-tiba meninggal, semuanya menjadi milikku. Ayahku telah
menyiapkan tunjangan untuk ibu tiriku, jadi dia tidak bakal mendapat apa-apa
lagi. Semuanya milikku. Aku...
sebetulnya aku salah satu wanita terkaya di Amenika, Mike."
"Astaga," kataku. "Aku tidak tahu... Ya, kau betul, aku tidak tahu kau ternyata
sekaya itu." "Tadinya aku tak ingin kau tahu. Aku tak ingin mengatakannya padamu. Itu
sebabnya aku takut menyebutkan namaku - Fenella Goodman. Kami mengejanya G-u-t-
e-m-a-n, dan kupikir kau mungkin mengenal nama Guteman, jadi aku mengulurnya
supaya kedengaran seperti Goodman."
"Ya," kataku, "aku memang pernah mendengar nama Guteman samar-samar. Tapi
rasanya aku tak mungkin mengenalinya waktu itu.
Banyak orang punya nama seperti itu."
"Itu sebabnya aku selalu dijaga, ketat sepanjang waktu dan dikurung," kata
Ellie. "Ada detektif-detektif yang bertugas menjagaku, dan semua pemuda harus
diperiksa sebelum diizinkan bicara denganku. Kalau aku berteman dengan
seseorang, mereka harus yakin dulu bahwa temanku itu pantas. Kau tidak tahu betapa merananya hidup
di penjara seperti itu! Tapi sekarang semuanya sudah berlalu, dan kalau kau
tidak keberatan..." "Tentu saja aku tidak keberatan," kataku. "Kita pasti bisa bersenang-senang.
Yang jelas," kataku, "aku tidak keberatan kau kaya!"
Kami berdua tertawa. Ellie berkata, "Kau bisa bersikap wajar dalam banyak hal.
Itu yang kusukai dari dirimu."
"Lagi pula," kataku, "kurasa kau juga harus membayar pajak tinggi, bukan" Itu
salah satu keuntungan jadi orang seperti diriku.
Semua uang yang kuhasilkan masuk ke kantongku sendiri, dan tak seorang pun bisa
mengambilnya dariku."
"Kita akan punya rumah," kata Ellie, "rumah kita sendiri di Gipsy's Acre." Tiba-
tiba ia merendak sejenak.
"Kau tidak kedinginan, bukan, Savang?" kataku. Aku mendongak menatap matahari.
"Tidak," sahutnya.
Hari itu udara betul-betul panas. Kami pasti akan. gosong karenanya. Rasanya
seperti di Prancis Selatan
"Tidak," kata Ellie, "hanya... hanya saja wanita itu, wanita gipsi yang muncul
hari itu." Oh, jangan pedulikan dia," kataku. "Dia toh orang gila."
"Menurutmu, apa dia serius menganggap tanah itu terkutuk?"
"Kurasa orang gipsi memang seperti itu. Kau tahu kan - selalu ingin membuat lagu
dan berdansa tentang kutukan atau sejenisnya."
"Apa kau tahu banyak tentang orang gipsi?"
"Sama sekali tidak," kataku terus terang. "Kalau kau tidak suka dengan Gipsy's
Acre, Ellie, kita beli rumah di tempat lain. Di puncak gunung di Wales, di tepi
pantai di Spanyol, atau di lereng bukit di Italia. Santonix bisa membangun rumah
untuk kita di sana."
"Tidak," kata Ellie, "aku ingin punya rumah di Gipsy's Acre, sebab di situlah
aku pertama kali melihatmu muncul di jalan, tiba-tiba saja membelok di tikungan,
dan kemudian kau melihatku dan berhenti menatapku. Aku tak pernah melupakannya."
"Aku juga tidak," kataku.
"Jadi, rumah kita harus di sana. Dan temanmu Santonix akan membangunnya."
"Kuharap dia masih hidup," kataku dengan perasaan agak cemas.
"Kesehatannya payah sekali."
"Oh, ya," kata Ellie, "dia masih hidup. Aku sudah pergi menemuinya.".
"Kau menemui Santonix?"
"Ya. Waktu aku berada di Prancis Selatan. Dia tinggal di sebuah sanatorium di
sana." "Ellie, setiap menit kau jadi semakin mengagumkan. Begitu banyak yang kaulakukan
dan tangani." "Kurasa dia lumayan menyenangkan," kata Ellie, "tapi agak menakutkan."
"Apa dia membuatmu takut?"
"Ya, dia membuatku sangat takut untuk suatu alasan tertentu."
"Apa kau menceritakan padanya tentang kita?"
"Ya. Ya, aku menceritakan semuanya tentang kita, juga tentang Gipsy's Acre dan
rumahnya. Dia bilang padaku bahwa kita harus mengambil risiko kalau hendak
memakai jasanya, sebab dia betul-betul sakit parah. Menurut pendapatnya, dia
masih cukup kuat untuk pergi melihat Gipsy's Acre, merancang denah,
membayangkannya, kemudian menggambarnya. Katanya dia tidak keberatan sama sekali
kalau harus meninggal sebelum rumah itu selesai, tapi kukatakan padanya bahwa
dia tak boleh meninggal. sebelum rumah itu selesai, sebab aku ingin dia bisa
melihat kita tinggal di dalamnya."
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu apa katanya?"
"Dia bertanya padaku, apakah aku menyadari keputusanku menikah denganmu, dan
kujawab tentu saja aku sadar."
"Lalu?" "Dia bilang dia ingin tahu apakah kau sadar apa yang kaulakukan."
"Tentu saja aku sadar," kataku.
"Dia bilang, 'Kau akan selalu tahu arah yang hendak kuambil, Miss Guteman.'
Katanya 'Kau selalu pergi ke tempat yang memang ingin kautuju, dan karena jalan
itu adalah jalan yang sudah kaupilih.'
"'Tapi Mike,' katanya lagi, 'mungkin akan mengambil jalan yang salah. Dia belum
cukup dewasa untuk tahu ke mana dia akan pergi.'
"Lalu kubilang," kata Ellie, "Mike akan aman-aman saja bersamaku."
Ellie memang punya keyakinan diri yang sangat besar. Tapi aku jengkel mendengar
ucapan Santonix. Ia seperti ibuku saja. Ibu tampaknya jauh lebih mengenal diriku
daripada aku sendiri. "Aku tahu ke mana aku akan pergi," kataku. "Aku pergi ke arah yang memang ingin
kutuju, dan kita akan pergi bersama-sama."
"Mereka sudah mulai merobohkan puing-puing The Towers sekarang ini," kata Ellie.
Ia mulai membicarakan hal-hal praktis sekarang.
"Mereka harus mengedakan pembangunannya dengan cepat, begitu gambarnya selesai.
Kita harus bergegas. Begitu kata Santonix.
Apa kita bisa menikah Selasa depan?" tanya Ellie. "Itu hari yang bagus dalam
seminggu." "Tanpa dihadiri orang-orang," kataku.
"Kecuali Greta," kata Ellie.
"Peduli amat dengan Greta," kataku. "Dia tidak boleh datang ke pernikahan kita.
Hanya kau dan aku, tidak boleh ada orang lain. Kita bisa mencari saksi yang
dibutuhkan di jalan."
Kalau kuingat-ingat kembali, rasanya hari itu memang hari paling membahagiakan
dalam hidupku.... BUKU DUA 9 Jadi begitulah, Ellie dan aku menikah. Kedengarannya remeh, hanya menyebutnya
demikian, tapi memang begitulah yang terjadi.
Kami memutuskan untuk menikah, dan kami menikah.
Pernikahan kami adalah bagian dari keseluruhan ceritanya - bukan akhir dari
suatu novel atau dongeng romantis. "Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia
selama-lamanya." Kita toh tak bisa menggembar-gemborkan hidup bahagia selama-
lamanya itu. Pokoknya kami menikah, dan kami berdua bahagia. Untuk beberapa lama, tak ada
orang yang tahu dan menyulitkan kami, namun kami telah memutuskan bagaimana
harus menghadapi semuanya.
Segalanya betul-betul sederhana. Ellie berhasil merahasiakan gerak-geriknya
sampai sekarang, demi kebebasan yang begitu didambakannya. Greta si serba bisa
itu telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan, dan setalu berjaga-jaga di
belakang Ellie. Tapi aku segera menyadari bahwa sesungguhnya tak seorang pun benar-benar peduli
tentang Ellie dan segala sepak-terjangnya. Ibu tirinya sibuk sendiri dengan
kehidupan pribadi dan hubungan-hubungan cintanya. Kalau Ellie tak ingin
menemaninya ke tempat tertentu, maka Ellie tak perlu melakukannya. Ia dulu punya
banyak pengasuh andal dan pelayan-pelayan perempuan; ia juga berpendidikan
tinggi, dan kalau ia ingin pergi ke Eropa, mengapa tidak" Kalau ia memilih
merayakan ulang tahunnya yang kedua puluh
satu di London, sekali lagi mengapa tidak" Sekarang ia telah mewarisi kekayaan
yang luar biasa besar, dan itu berarti ia memegang kendali keluarga dalam hal
pengeluaran uang. Kalau ia menginginkan sebuah villa di Riviera, atau sebuah
istana di Costa Brava, atau sebuah yacht atau barang-barang mewah lainnya, ia
cukup menyebutkan kenyataan itu, dan salah seorang ajudannya akan mengatur
segalanya dan menyerahkannya pada Ellie.
Kurasa Greta dianggap oleh keluarga Ellie sebagai budak yang mengagumkan.
Cekatan, bisa mengatur segalanya dengan efisiensi sempurna, patuh, dan pandai
meyakinkan sang ibu tiri, paman, dan beberapa saudara sepupu yang tampaknya
selalu muncul. Ellie punya paling tidak tiga pengacara yang bisa dipanggilnya
sewaktu-waktu, begitulah yang kudengar dari ueapannya sesekali. Ia dikelilingi
oleh jaringan finansial yang sangat luas, yang terdiri atas para bankir,
pengacara, dan pengurus dana perwalian. Dunianya ini hanya bisa kuintip sekilas
kadang-kadang, sebagian besar dari percakapan atau obrolan Ellie yang tercetus
tanpa sengaja. Ellie pasti tidak terpikir bahwa aku tidak memahami hal-hal
seperti itu. Ia dibesarkan dalam lingkungan seperti itu, dan otomatis menganggap
semua orang tahu lingkungan tersebut, bagaimana cara kerjanya, dan sebagainya.
Kenyataannya, saling mengetahui sekilas-sekilas tentang keanehan-keanehan dalam
dunia masing-masing justru merupakan hal yang paling kami nikmati dalam awal-
awal pernikahan kami. Kasarnya begini - dan aku memang mengatakannya dengan kasar pada diriku sendiri,
sebab hanya itulah satusatunya cara untuk membiasakan, diri dengan kehidupanku
yang baru-si miskin tidak tahu persis, seperti apa kehidupan si kaya, dan si
kaya tidak tahu persis bagaimana kehidupan si miskin, dan sangat menarik bagi
mereka untuk saling mencari tahu tentang hal itu. Pernah aku berkata dengan tak
sabar, "Begini, Ellie, apa kau yakin bakal ada keributan besar gara-gara pernikahan
kita?" Ellie langsung menyahu?" tanpa ragu-ragu sedikit pun.
"Oh, ya," katanya, "pasti akan ribut sekali." kemudian ia melanjutkan, "Kuharap
kau tidak terlalu keberatan."
"Aku takkan keberatan - untuk apa" - tapi kau. Apa mereka akan menyalahkanmu?"
"Kurasa begitu," kata Ellie, "tapi kita tak perlu mendengarkan mereka. Yang
penting mereka tak bisa berbuat apa-apa terhadap kita."
"Tapi mereka akan mencobanya?"
"Oh, ya," kata Ellie. "Mereka akan mencobanya." Kemudian ia melanjutkan dengan
serius, "Mereka mungkin akan mencoba menyuapmu."
"Menyuapku?" "Jangan terlalu kaget begitu," kata Ellie, dan ia tersenyum.
Senyuman gadis kecil yang bahagia. "Tidak persis begitu." Kemudian ia
melanjutkan, "Mereka menyuap suami pertama Minnie Thompson."
"Minnie Thompson" Yang dijuluki ratu minyak oleh orang-orang?"
"Ya, betul. Dia minggat dan menikah dengan seorang pengawas pantai."
"Begini, Ellie," kataku tak enak. "Aku dulu pernah menjadi pengawas pantai di
Littlehampton." "O ya" Pasti asyik rasanya! Pekerjaan permanen?"
Bujukan Gambar Lukisan 17 Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana Pembunuh Berdarah Dingin 1