Pencarian

Malam Tanpa Akhir 4

Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie Bagian 4


menginginkan tempat ini?"
"Mungkin ada kandungan mineral tertentu," kataku, "yang tidak diketahui orang
lain." "Hmm, aku ragu akan hal itu."
"Atau ada harta kekayaan yang dipendam di sini. Oh, aku tahu itu kedengarannya
tidak masuk akal. Atau... yah, mungkin uang hasil perampokan beberapa bank."
Phillpot masih menggelengkan kepala. Tapi ia mulai tampak ragu sekarang.
"Cara lain," kataku, "adalah menelusuri lebih jauh, seperti yang kaulakukan
tadi. Siapa orang di belakang Mrs. Lee yang telah membayarnya. Mungkin orang itu
musuh Ellie yang tidak kita ketahui."
"Tapi kau tak punya bayangan siapa yang mungkin melakukan hal itu?"
"Tidak. Ellie tidak kenal siapa pun di desa ini sebelumnya. Aku yakin itu. Dia
sama sekali tidak memiliki hubungan dengan tempat ini." Aku bangkit berdiri.
"Terima kasih mau mendengarkanku,"
kataku. "Kalau saja aku bisa membantu lebih banyak."
Aku pergi ke pintu sambil meraba-raba sebuah benda yang kusimpan di kantong
celanaku. Kemudian aku mengambil keputusan, memutar langkahku, dan berjalan
kembali ke dalam ruangan.
"Ada yang ingin kuperlihatkan padamu," kataku.
"Sebenarnya aku akan memperlihatkan benda ini pada Sersan Keene. Aku ingin tahu,
apa yang dapat dikerjakannya."
Aku merogoh ke dalam kantong celanaku dan mengeluarkan sebuah batu bulat yang
dibungkus selembar kertas kumal. Di kertas itu ada sebaris kalimat. "Benda ini
dilemparkan melalui jendela kami pagi ini," kataku. "Aku mendengar suara kaca
pecah saat aku sedang menuruni tangga. Waktu pertama kali kami tinggal di sini, juga ada yang melempar
batu melalui jendela. Aku tidak tahu apakah pelakunya orang yang sama atau
tidak." Aku buka kertas pembungkus batu itu dan mengulurkannya pada Phillpot. Kertas itu
tampak kumal dan pinggirnya tercabik-cabik. Pada keritas itu ada tulisan tinta
yang warnanya sudah agak pudar. Phillpot mengenakan kacamatanya dan membungkuk
memandangi kertas itu. Tulisan di kertas itu hanya sebuah kalimat pendek yang berbunyi, Yang membunuh
istrimu seorang wanita. Alis Phillpot terangkat. "Aneh sekali," katanya. "Apakah tulisan pada pesan pertama yang kauterima dulu
juga dibuat dengan huruf cetak?"
"Aku tak ingat lagi. Pesan itu cuma mengatakan agar kami pergi dari sini. Aku
bahkan sudah tak ingat bagaimana tepatnya kata-katanya. Lagi pula, waktu itu
kelihatannya yang melakukan adalah para berandalan. Tapi yang ini kelihatannya
berbeda." "Apa menurutmu pesan itu dilemparkan oleh seseorang yang tahu sesuatu?"
"Mungkin itu sekadar surat kaleng jahat. Banyak kejadian seperti itu di desa
ini." Phillpot mengembalikan kertas itu padaku.
"Tapi kurasa nalurimu tepat," katanya. "Kau harus membawanya ke Sersan Keene.
Dia pasti lebih tahu mengenai hal-hal seperti ini daripada diriku."
Aku menemui Sersan Keene di kantor polisi, dan tampaknya ia sangat tertarik.
"Ada hal-hal aneh sedang terjadi di sini," katanya.
"Menurut Anda, apa maksud pesan itu?" tanyaku.
"Sulit dikatakan. Mungkin ini disengaja, untuk menuduh seseorang."
"Mungkin hanya untuk menuduh Mrs. Lee?"
"Tidak, kurasa tidak demikian. Mungkin pesan ini dari seseorang yang melihat
atau mendengar sesuatu. Mungkin ada orang yang mendengar suara atau jeritan,
atau melihat seekor kuda berlari lewat di depannya, kemudian melihat seorang
wanita di sekitar situ, persis sesudahnya. Tapi kedengarannya wanita yang
dimaksud dalam surat ini bukan si wanita gipsi, sebab semua orang di sini
sepertinya menganggap wanita gipsi itu terlibat dalam kasus ini. Jadi pesan ini
rasanya mengarah pada seorang wanita lain."
"Bagaimana dengan wanita gipsi itu?" tanyaku. "Apa sudah ada kabar mengenai
dirinya, atau dia sudah ditemukan?"
Sersan Keene menggelengkan kepalanya perlahan.
"Kami tahu beberapa tempat yang biasa didatanginya jika dia meninggalkan desa
ini. Anglia Timur. Dia punya beberapa teman dalam kelompok gipsi yang tinggal di
sana. Tapi mereka bilang dia tidak ada di sana. Wajar saja. Mereka pasti akan
tutup mulut. Banyak orang dapat mengenali wanita gipsi itu di daerah tersebut,
tapi tak seorang pun melihatnya. Tapi kurasa dia tidak akan pergi lebih jauh
dari Anglia Timur." Cara Keene mengucapkan kata-kata itu sepertinya agak aneh.
"Aku tidak begitu mengerti," kataku.
"Coba pikirkan, wanita tua itu ketakutan. Dia punya banyak alasan untuk merasa
takut. Dia telah mengancam istri Anda, menakut-nakutinya, dan misalnya sekarang
dia telah menyebabkan kecelakaan itu terjadi, hingga istri Anda meninggal.
Polisi akan mengejar-ngejar dirinya. Dia tahu itu, jadi dia bersembunyi. Dia
akan berusaha berada sejauh mungkin dari kita. Dia takkan mau memperlihatkan
diri, juga akan takut menggunakan alat transportasi umum."
"Tapi Anda bisa menemukannya" Wanita itu memiliki penampilan yang mudah
dikenali." "Ah ya, kami pasti bisa menemukannya. Hal-hal seperti ini butuh waktu. Itu kalau
dia memang penyebab kecelakaan itu."
"Tapi, menurut Anda tadi, mungkin bukan wanita gipsi itu yang menyebabkan
kecelakaan tersebut."
"Yah, Anda tahu apa yang kupikirkan. Apa memang ada seseorang yang telah
membayar wanita gipsi itu untuk mengatakan hal-hal tertentu?"
"Kalau begitu, alasan wanita gipsi itu untuk bersembunyi semakin kuat," kataku.
"Tapi ada orang lain yang juga punya alasan kuat untuk merasa khawatir. Anda
juga harus memikirkan hal itu, Mr. Rogers."
"Maksud Anda, orang yang telah membayarnya?" kataku perlahan.
"Ya." "Mungkin... orang itu seorang wanita."
"Dan mungkin ada orang lain yang merasa curiga. Lalu orang itu mulai mengirimi
surat kaleng. Si wanita pelaku kejahatan mungkin akan ketakutan juga. Dia
mungkin tidak bermaksud menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Meskipun dia telah
membayar wanita gipsi itu untuk menakut-nakuti istri Anda agar pergi dari tempat
ini, dia mungkin tidak bermaksud membunuh Mrs. Rogers."
"Tidak," kataku. Kematian itu tidak direncanakan. Yang dilakukannya cuma mencoba
menakut-nakuti kami. Menakut-nakuti istriku dan aku supaya pergi dari sini."
"Dan sekarang, siapa yang akan merasa ketakutan" Wanita yang menyebabkan
kecelakaan itu terjadi. Sedangkan nama Mrs. Esther Lee akan bersih kembali,
bukan" Dia bisa berkata bahwa semua itu bukan salahnya. Dia mungkin akan mengaku
bahwa dia dibayar untuk menakut-nakuti istri Anda. Lalu dia akan menyebutkan
sebuah nama. Dia akan memberitahu kita, siapa sebenarnya yang telah membayarnya.
Dan orang itu pasti tidak suka kalau hal itu terjadi, bukan, Mr. Rogers?"
"Maksud Anda, si wanita misterius yang kita curigai tanpa tahu pasti apakah
wanita itu memang ada atau tidak?"
"Dia bisa laki-laki atau perempuan - pokoknya orang yang telah membayar Mrs.
Lee. Yah, orang itu pasti ingin segera menutup mulut Mrs. Lee, bukan?"
"Menurut Anda, apakah Mrs. Lee sudah dibunuh?"
"Itu mungkin saja, bukan?" kata Keene. Setelah itu, tiba-tiba ia mengatakan
sesuatu yang seakan-akan menyimpang dari topik pembicaraan kami. "Kalian
memiliki semacam pondok peristirahatan yang berada di tengah hutan di tanah
kalian, bukan?" "Ya," kataku, "memangnya kenapa" Istriku dan aku telah memperbaiki pondok itu.
Kadang-kadang kami pergi ke sana, tapi tidak terlalu sering. Yang pasti, kami
tidak pernah mengunjungi pondok itu lagi akhir-akhir ini. Mengapa?"
"Yah, Anda tahu bahwa kami sedang menyelidiki kasus ini. Kami pergi ke pondok
itu, dan pintunya tidak terkuncl."
"Tidak," kataku, "kami memang tidak pernah repot-repot mengunci pintu pondok
itu. Tidak ada barang berharga di sana, cuma beberapa Perabotan saja."
"Kami pikir mungkin Mrs. Lee telah menggunakan pondok itu, tapi kami tidak
berhasil menemukan bukti apa pun mengenai dirinya di sana. Kami malah menemukan
benda ini. Aku akan menunjukkannya pada Anda." Keene membuka laci mejanya dan
mengeluarkan sebuah pemantik api kecil yang indah, terbuat dari emas. Pemantik
itu adalah jenis yang biasa dipakai wanita, dan di atasnya terdapat ukiran
inisial nama yang dihiasi batu permata. Sebuah huruf C. "Alat pemantik ini bukan
milik istri Anda, bukan?"
"Tidak, karena inisiaInya huruf C. Itu bukan milik Ellie," kataku.
"Dia tidak punya barang seperti itu. Dan itu juga bukan milik Miss Andersen,
karena nama depannya adalah Greta."
"Barang ini pasti tertinggal sewaktu pemiliknya berada di pondok itu.
Kelihatannya barang ini barang mahal."
"C" kataku, mengulangi inisial itu sambil berpikir.
"Aku tidak kenal siapa pun yang pernah tinggal bersama kami yang punya inisial
C, selain Cora," kataku. "Cora adalah ibu tiri istriku.
Mrs. van Stuyvesan?" tapi aku tak bisa membayangkan dia mendaki sampai ke pondok
itu melalui jalan setapak yang dipenuhi tanaman liar. Lagi pula, dia sudah lama
tidak tinggal bersama kami. Mungkin sudah sekitar sebulan. Rasanya aku juga
tidak pernah melihatnya menggunakan pemantik seperti itu. Tapi mungkin aku tidak
memperhatikannya," kataku. "Miss Andersen mungkin lebih tahu."
"Yah, kalau begitu bawalah benda ini dan tunjukkan padanya."
"Baiklah. Tapi kalau misalnya pemantik itu memang milik Cora, sungguh aneh kami
tak pernah melihatnya sewaktu kami berada di pondok itu, terakhir kali. Di
pondok itu tidak terdapat banyak barang.
Kita pasti akan melihat barang seperti ini jika tergeletak di lantai -
apakah barang itu tergeletak di lantai?"
"Ya, persis di bawah dipan. Tentu saja siapa pun bisa menggunakan pondok itu.
Tempat itu memang tempat yang tepat bagi sepasang kekasih untuk bertemu kapan
saja. Maksudku, para muda-mudi desa ini. Tapi tak mungkin mereka memiliki barang
mahal seperti pemantik api itu."
"Bagaimana dengan Claudia Hardcastle?" kataku, "Tapi aku juga ragu apakah dia
memiliki barang semewah ini. Dan apa yang dilakukannya di pondok itu?"
"Dia berteman baik dengan istri Anda, bukan?"
"Ya," kataku. "Kurasa dia teman dekat Ellie di sini. Dan dia pasti tahu kami
tidak keberatan dia menggunakan pondok kami kapan saja."
"Ah," kata Sersan Keene.
Aku menatap sersan itu dengan pandangan tajam.
"Anda tidak berpikir bahwa Claudia Hardeastle adalah... musuh Ellie, bukan" Itu
sungguh tidak masuk akal."
"Aku setuju bahwa tidak ada alasan mengapa dia memusuhi Ellie, tapi wanita kan
sulit ditebak." 'Kurasa..." Kata-kataku terhenti tiba-tiba, karena apa yang akan kukatakan
kedengarannya agak janggal.
"Ya, Mr. Rogers?"
"Kudengar Claudia Hardcastle pernah menikah dengan orang Amerika - seorang
Amerika bernama Lloyd. Kebetulan... nama pengurus dana istriku di Amerika adalah
Stanford Lloyd. Tapi banyak sekali orang bemama Lloyd, lagi pula pasti cuma
kebetulan saja jika mantan suami Claudia Hardcastle adalah Stanford Lloyd. Dan
apa hubungannya hal itu dengan semua ini?"
"Kelihatannya tidak ada. Tapi..." Keene menghentikan ucapannya.
"Anehnya, aku merasa melihat Stanford Lloyd di sekitar sini pada hari...
kecelakaan itu terjadi. Dia sedang makan siang di restoran George di
Bartington...." "Dia tidak sedang dalam perjalanan mengunjungi kalian?"
Aku menggelengkan kepala.
"Dia sedang bersama seseorang yang kelihatannya mirip dengan Miss Hardcastle.
Tapi aku mungkin salah. Kurasa Anda sudah tahu bahwa rumah kami dibangun oleh
saudara laki-laki Miss Hardcastle."
"Apakah Miss Hardcastle merasa tertarik dengan rumah kalian?"
"Tidak," kataku, "kurasa dia tidak tertarik dengan selera arsitektur kakaknya."
Setelah itu aku bangkit berdiri. "Yah, aku tidak akan mengambil waktu Anda lebih
lama lagi. Coba temukan saja gipsi itu."
"Kami tidak akan berhenti mencari. Petugas penyidik juga menginginkannya."
Aku mengucapkan selamat tinggal dan keluar dari kantor polisi.
Seperti yang biasa terjadi, anehnya, sering kali kita tiba-tiba bertemu dengan
orang yang baru saja kita bicarakan. Aku bertemu Claudia Hardcastle yang baru
saja keluar dari kantor pos saat aku lewat di depannya. Langkah kami sama-sama
terhenti. Ia berkata dengan
agak canggung, seperti sikap kebanyakan orang jika tiba-tiba saja bertemu
seseorang yang baru saja ditinggal mati keluarganya. "Aku benar-benar turut
berduka cita, Mike, atas kematian Ellie. Aku tak akan mengatakan apa-apa lagi.
Sungguh kejam kalau orang mengungkit-ungkit peristiwa itu di depanmu. Aku cuma
ingin... ingin mengatakan itu saja."
"Akku tahu," kataku. "Kau sungguh baik terhadap Ellie. Kau membuatnya betah
tinggal di sini. Aku sungguh berterima kasih padamu."
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu, dan mungkin lebih baik kulakukan
sekarang, sebelum kau pergi ke Amerika. Kudengar kau akan segera berangkat."
"Secepat mungkin. Aku harus mengurus banyak hal di sana."
"Ini cuma... kalau kau berpikir untuk menjual rumahmu, kupikir mungkin hal itu
yang akan kaulakukan sebelum kau pergi, dan kalau memang demikian... kalau
memang demikian, aku ingin mendapat kesempatan pertama untuk menawarnya."
Aku menatap Claudia. Aku benar-benar terkejut. Aku sama sekali tidak menduganya.
"Maksudmu kau ingin membelinya" Kupikir kau tidak suka dengan gaya
arsitekturnya?" "Kakakku, Rudolf, mengatakan padaku bahwa rumah kalian adalah karya terbaiknya.
Kurasa dia telah berkata jujur. Kau mungkin menginginkan harga yang sangat mahal
atas rumah itu, tapi aku bisa membayarnya. Ya, aku ingin memiliki rumah itu."
Tak pelak lagi aku merasa keinginan Claudia itu sungguh aneh. Ia tak pernah
menunjukkan rasa tertarik sedikit pun dengan rumah kami ketika ia datang ke
sana. Aku jadi mengira-ngira, seperti pernah kulakukan sekali-dua kali,
bagaimana sebenarnya hubungan Claudia dan kakak tirinya itu. Apakah ia benar-
benar menyayangi kakaknya"
Kadang-kadang aku merasa ia malah tidak menyukai Santonix, bahkan membencinya.
Yang pasti, nada suaranya jika membicarakan Santonix kedengaran sangat aneh.
Tapi apa pun perasaan Claudia
sebenarnya, Santonix memiliki arti tertentu baginya. Arti yang penting. Aku
menggelengkan kepalaku perlahan.
"Aku bisa mengerti kalau kau mengira aku akan menjual rumahku dan meninggalkan
tempat ini karena kematian Ellie," kataku. "Tapi sama sekali tidak demikian.
Kami pernah hidup bersama di sini, dan kami merasa bahagia. Dan tempat ini
adalah tempat terbaik bagiku untuk mengenang Ellie. Aku tak akan pernah menjual
Gipsy's Acre; sama sekali tidak! Kau boleh yakin itu."
Tatapan kami bertemu, seakan-akan ada pertarungan di antara kami. Kemudian
Claudia membuang muka. Aku memberanikan diriku dan berbicara lagi.
"Sebenarnya hal ini bukan urusanku, tapi kau pernah menikah dulu. Apakah nama
suamimu itu Stanford Lloyd?"
Claudia memandangku sesaat tanpa berbicara. Kemudian ia berkata dengan- tiba-
tiba, "Ya," dan ia pun langsung pergi.
21 Bingung-cuma itu yang bisa kuingat ketika kembali ke rumah. Para wartawan
mengajukan berbagai pertanyaan, ingin mewawancaraiku.
Lalu banyak sekali surat dan telegram yang kuterima. Untung ada Greta yang
mengurus semuanya itu. Hal pertama yang membuatku terkejut adalah: ternyata kerabat-kerabat Ellie
banyak yang tidak berada di Amerika seperti yang kami kira sebelumnya. Sangat
mengejutkan bahwa ternyata kebanyakan dari mereka sedang berada di Inggris. Aku
bisa memahami kalau hanya Cora van Stuyvesant yang kebetulan sedang berada di
Inggris, karena wanita itu memang tidak pernah betah tinggal lama di satu
tempat, selalu saja mondar-mandir ke Eropa, Italia, Paris, London, kembali lagi
ke Amerika, ke Palm Beach, ke petemakan di daerah
Barat; pokoknya ke sana, kemari, ke berbagai tempat. Pada hari kematian Ellie,
sebenarnya Cora hanya berada lima puluh mil dari tempat kami berada. Ia masih
berusaha mencari rumah di Inggris. Ia pergi ke London selama dua-tiga hari,
mendatangi agen-agen rumah yang baru, dan langsung minta dibawa melihat-lihat
sekitar enam rumah di daerah pedesaan Inggris pada hari itu.
Stanford Lloyd ternyata juga naik pesawat yang sama dengan Cora untuk pergi
menghadiri rapat di London. Mereka mengetahui kematian Ellie bukan dari telegram


Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kami kirim ke Amerika Serikat, tapi melalui surat kabar.
Pertengkaran pun terjadi mengenai di mana Ellie harus dimakamkan. Aku merasa
sangat wajar kalau Ellie dimakamkan di sini, di tempat ia meninggal, di mana ia
dan aku pernah hidup bersama.
Tapi keluarga Ellie menolak keras usul itu. Mereka ingin membawa jenazah Ellie
ke Amerika dan menguburkannya bersama anggota-anggota keluarganya yang telah
meninggal. Di tempat kakek dan ayahnya, ibunya serta saudara-saudaranya yang
lain telah di kebumikan. Setelah kupikir-pikir, hal itu juga wajar sebenarnya.
Andrew Lippincott datang mengunjungiku untuk membicarakan hal itu. Ia mencoba
menjelaskan permasalahan tersebut dengan cara yang dianggapnya masuk akal.
"Ellie tak pernah meninggalkan pesan di mana dia ingin dikuburkan," kata
Lippincott padaku. "Tentu saja tidak. Buat apa?" kataku dengan hati panas. "Dia baru dua puluh
satu, tahun, kan" Orang tidak berpikir akan meninggal di usia dua puluh satu.
Jadi, tentu saja tidak akan berpikir di mana ingin dikuburkan. Kalau toh kami
sempat memikirkannya, kami tentunya beranggapan bahwa kami akan dikuburkan di
tempat yang sama, meski seandainya kami tidak meninggal pada saat yang
bersamaan. Tapi siapa yang memikirkan kematian saat usia masih muda?"
"Benar sekali," kata Mr. Lippincott. Kemudian ia berkata, "Kurasa kau juga harus
pergi ke Amerika. Banyak sekali masalah bisnis yang harus kauselesaikan."
"Bisnis macam apa" Apa hubunganku dengan hal itu?"
"Hubungannya sangat erat," kata Lippincott. "Apa kau tidak sadar bahwa kau
adalah ahli waris utama dari kekayaan Ellie?"
"Maksud Anda, karena aku orang terdekat Ellie?"
"Bukan. Kau ditunjuk sebagai pewaris oleh Ellie dalam surat wasiatnya."
"Aku tidak tahu Ellie membuat surat wasiat."
"Oh ya," kata Mr. Lippincott. "Ellie sangat berjiwa bisnis. Sudah sepantasnya.
Dia hidup di tengah hal-hal seperti itu. Dia membuat surat wasiat saat dia sudah
cukup umur, dan segera sesudah dia menikah. Surat itu disimpan di kantor
pengacaranya di London, dengan perintah untuk mengirimkan satu salinan padaku."
Lippincott terdiam sejenak, kemudian berkata, "Jika kau datang ke Amerika,
seperti yang kusarankan, kurasa kau juga harus mempercayakan urusanmu di tangan
seorang pengacara andal di sana."
"Mengapa?" "Karena untuk hal-hal yang berhubungan dengan uang yang teramat banyak, sejumlah
besar tanah, saham, dan kendali di berbagai industri, kau memerlukan nasihat-
nasihat yang bersifat teknis."
"Aku tidak punya pengalaman dalam urusan seperti itu," kataku.
"Aku benar-benar tidak berpengalaman."
"Aku mengerti," kata Mr. Lippincott.
"Tidak bisakah aku mempercayakan semuanya itu di tangan Anda?"
"Bisa saja." "Nah, kalau begitu, mengapa tidak?"
"Aku merasa lebih baik kau diwakili pihak lain. Aku sudah mewakili beberapa
anggota keluarga Ellie, dan mungkin akan terjadi konflik kepentingan kalau aku
juga mewakilimu. Kalau kau mau mengikuti saranku, akan kupastikan kekayaanmu
dilindungi dengan aman oleh pengacara lain yang andal."
"Terima kasih," kataku. "Anda baik sekali."
"Kalau aku boleh sedikit berterus terang..." Lippincott kelihatannya agak tidak
enak mengutarakan maksudnya.
"Ya?" kataku. "Kusarankan kau berhati-hati dengan apa pun yang
kautandatangani. Semua dokumen bisnis. Sebelum menandatangani sesuatu, bacalah
isinya dengan cermat dan hati-hati."
"Apakah kira-kira aku bisa memahami isi dokumen-dokumen yang Anda bicarakan itu
jika aku membacanya?"
"Kalau isi dokumen tersebut tidak jelas bagimu, sebaiknya kau memberikannya
kepada penasihat hukummu."
"Apakah Anda mencoba memperingatkanku terhadap seseorang atau orang-orang
tertentu?" kataku, rasa ingin tahuku tiba-tiba bangkit.
"Tidak etis bagiku untuk menjawab pertanyaan itu," kata Mr.
Lippincott. "Aku cuma bisa memberitahumu sejauh itu saja. Jika menyangkut uang
dalam jumlah besar, lebih baik kita tidak mempercayai siapa pun."
Jadi, Lippincott berusaha memperingatkanku terhadap seseorang atau orang-orang
tertentu, tapi ia tidak man menyebutkan nama siapa pun. Aku bisa memahami hal
itu. Apakah orang itu Cora" Atau ia punya kecurigaan-kecurigaan yang sudah
berawal sejak dulu terhadap Stanford Lloyd, bankir perlente yang baru-baru ini
berada di sini untuk urusan bisnis. Atau mungkin Paman Frank yang mungkin akan
mendatangiku dengan dokumen palsu. Tiba-tiba saja aku membayangkan diriku
sebagai orang lugu yang sedang berenang di
dalam danau yang penuh dengan buaya-buaya ganas, dan semua buaya itu pura-pura
memamerkan senyum bersahabat.
"Dunia ini," kata Lippincott?" "adalah tempat yang sangat jahat."
Tiba-tiba aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada Lippincott, meski
mungkin pertanyaanku itu tolol.
"Apakah kematian Ellie memberikan keuntungan bagi seseorang?"
tanyaku. Lippincott memandangku dengan tajam.
"Pertanyaan aneh. Mengapa kau menanyakan itu?"
"Entahlah," kataku. "Pertanyaan itu tiba-tiba saja timbul dalam benakku."
"Kematian Ellie menguntungkanmu."
"Tentu saja," kataku. "Aku tahu itu. Tapi yang kumaksud... apakah ada orang lain
yang mendapatkan keuntungan?"
Mr. Lippincott terdiam beberapa saat.
Lalu katanya, "Jika yang kaumaksud adalah: Apakah kematian Fenella akan
menguntungkan beberapa orang dalam hal pembagian warisan, maka hal itu benar,
tapi hanya dalam batas kecil saja. Dia meninggalkan warisan bagi beberapa
pembantu dan bekas pengasuhnya, serta satu-dua yayasan. Dia juga meninggalkan
warisan untuk Miss Andersen, tapi tidak dalam jumlah besar, karena mungkin
seperti sudah kauketahui, dia telah membayar Miss Andersen dalam jumlah cukup
besar." Aku mengangguk. Ellie memang pernah menceritakan hal itu padaku.
"Kau suaminya. Dia tidak punya kerabat dekat lainnya. Tapi kurasa pertanyaanmu
bukan terarah ke sana."
"Aku sendiri tidak tahu persis apa yang kumaksud," kataku. "Tapi, entah
bagaimana, Anda telah berhasil, Mr. Lippincott. Anda telah
berhasil membuatku merasa curiga. Walaupun aku tidak tahu pasti siapa atau apa
yang kucurigai. Hanya... yah, kecurigaan belaka. Aku tidak begitu mengerti soal
keuangan," tambahku.
"Tidak, jelas tidak. Aku ingin menegaskan bahwa aku tidak tahu apa pun, dan
tidak punya kecurigaan yang pasti. Sudah wajar jika pada saat kematian
seseorang, segala urusannya mesti dibereskan.
Ini bisa terlaksana dengan cepat, tapi mungkin juga membutuhkan waktu bertahun-
tahun." "Maksud Anda mungkin ada beberapa orang yang akan memaksa saya menandatangam
surat yang menyatakan bahwa saya tidak akan menuntut warisan yang ditinggalkan
Ellie," kataku. "Jika keadaan keuangan Fenella ternyata tidak sehat seperti seharusnya...
mungkin kematiannya yang prematur ini bisa membawa keuntungan bagi seseorang.
Aku tidak akan menyebutkan nama siapa pun, tapi orang itu mungkin dapat menutupi
jejaknya dengan mudah jika yang harus dia hadapi adalah orang yang tidak
berpengalaman, seperti dirimu. Aku cuma bisa memberitahukan itu, tapi aku tidak
mau membicarakan hal ini lebih jauh lagi, karena hal itu tidak etis bagiku."
Misa pemakaman Ellie diadakan secara sederhana di sebuah gereja kecil di desa.
Kalau saja aku bisa menghindar, pasti aku tidak akan menghadiri misa itu. Aku
benci orang-orang yang menatapku dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu saat
aku berdiri di luar gereja. Greta-lah yang membantuku mengatasi semuanya. Baru
sekarang aku menyadari bahwa Greta memiliki karakter yang sangat kuat dan dapat
diandalkan. Ia mengatur semuanya, memesan bunga, dan lain-lain. Sekarang aku
lebih mengerti, mengapa Ellie dulu begitu tergantung pada Greta. Tak banyak
orang seperti Greta di dunia ini.
Orang-orang yang hadir di gereja kebanyakan para tetangga kami
- ada beberapa yang bahkan hampir tak kukenal. Tapi ada seseorang yang
sepertinya pernah kulihat, hanya saja aku tak ingat di mana pernah melihat orang
itu. Ketika aku pulang ke rumah, Carson memberitahukan bahwa ada seorang laki-
laki sedang menungguku di ruang tamu.
"Aku tak ingin bertemu siapa pun hari ini. Suruh orang itu pulang.
Seharusnya kau tidak membiarkannya masuk tadi."
"Maafkan saya, Sir. Tapi kata laki-laki itu dia kerabat mendiang Nyonya."
"Kerabat?" Tiba-tiba aku teringat orang yang kulihat di gereja tadi.
Carson memberikan sehelai kartu nama padaku.
Aku tidak mengenali nama yang tercetak di kartu itu. Mr. William R. Pardoe. Aku
membalik kartu itu dan menggelengkan kepala.
Kemudian kuberikan kartu itu pada Greta.
"Apa kau tahu laki-laki ini?" tanyaku. "Sepertinya aku mengenal wajahnya, tapi
aku tak ingat di mana pernah melihat orang itu.
Mungkin dia salah seorang teman Ellie."
Greta mengambil kartu itu dari tanganku dan menatapnya.
Kemudian ia berkata, "Tentu saja." "Siapa dia?" "Paman Reuben. Kau ingat" Dia sepupu Ellie. Ellie pasti pernah bercerita tentang
pamannya itu padamu, bukan?"
Aku baru sadar mengapa wajah orang itu sepertinya kukenal. Ellie meletakkan
beberapa foto kerabatnya di ruang duduknya. Itu sebabnya aku mengenali wajah
orang itu. Aku sudah pernah melihat fotonya.
"Aku akan menemuinya," kataku.
Aku keluar dan pergi ke ruang tamu. Mr. Pardoe bangkit dan berkata,
"Michael Rogers" Kau mungkin belum pernah mendengar namaku, tapi istrimu adalah
sepupuku. Dia selalu memanggilku Paman Reuben, tapi kita belum pernah bertemu.
Ini pertama kalinya aku berkunjung kemari sejak pernikahan kalian.,"
"Tentu saja aku tahu siapa Anda," kataku.
Aku tak begitu yakin bagaimana menggambarkan Reuben Pardoe.
Ia seorang laki-laki berbadan kekar dengan wajah lebar, tampangnya agak
linglung, seakan-akan sedang-memikirkan sesuatu. Tapi setelah berbicara
dengannya selama beberapa saat, kita akan merasa bahwa sebenarnya ia jauh lebih
cerdas daripada yang kita sangka.
"Tak perlu kukatakan padamu betapa kaget dan sedihnya aku ketika mendengar
tentang kematian Ellie," katanya.
"Tolong jangan bicarakan hal itu lagi!" kataku. "Aku sedang tak ingin
membicarakannya." "Tidak apa-apa, aku mengerti."
Reuben Pardoe memiliki sikap yang simpatik, tapi ada sesuatu pada dirinya yang
membuatku merasa agak tidak enak. Greta masuk dan aku berkata.
"Anda sudah kenal dengan Miss Andersen?"
"Tentu saja," katanya. "Apa kabar, Greta?"
"Baik-baik saja," jawab Greta. "Sudah berapa lama Anda berada di Inggris?"
"Sudah sekitar satu-dua minggu. Aku sedang berkeliling."
Tiba-tiba saja sesuatu terlintas dalam benakku, dan aku pun berkata, "Aku
melihat Anda beberapa hari yang Ialu."
"Benarkah" Di mana?"
"Di tempat lelang yang disebut Bartington Manor."
"Aku ingat sekarang," katanya. "Ya, ya, kurasa aku ingat wajahmu. Kau datang ke
sana bersama seorang laki-laki berusia enam puluh tahunan, berkumis cokelat."
"Ya," kataku. "Itu Mayor Phillpot."
"Kau kelihatannya sangat bersemangat waktu itu," katanya lagi.
"Tepatnya, kalian berdua."
"Memang," kataku, dan kemudian aku mengulangi kata itu dengan perasaan heran
yang aneh, yang selalu timbul dalam diriku,
"Memang." "Tentu saja pada saat itu kau tidak tahu apa yang telah terjadi.
Hari itu hari saat kecelakaan itu terjadi, bukan?"
"Ya, kami sedang menunggu Ellie untuk makan siang bersama."
"Tragis," kata Paman Rcuben. "Benar-benar tragis..."
"Aku sama sekali tidak tahu," kataku, "bahwa Anda sedang berada di Inggris.
Kurasa Ellie juga tidak tahu?" Aku berhenti, menunggu apa yang akan dikatakan
Paman Reuben padaku. "Tidak," katanya, "aku tidak menulis surat untuk memberitahu.
Bahkan sebenarnya aku tidak tahu berapa lama aku akan berada di Inggris, tapi
aku berhasil menyelesaikan urusanku lebih cepat, dan kupikir mungkin setelah
menghadiri pelelangan Itu aku akan punya waktu untuk mampir kemari menemui
kalian." "Anda datang dari Amerika untuk urusan bisnis?" tanyaku.
"Yah, ada urusan bisnis dan lainnya juga. Cora ingin minta saranku mengenai
satu-dua hal. Salah satunya mengenai rumah yang akan dibelinya."
Setelah itu Paman Reuben memberitahuku di mana Cora tinggal selama di Inggris.
Lalu aku berkata, "Kami tidak tahu tentang hal itu."
"Sebenarnya dia berada tidak jauh dari sini pada hari itu," kata Paman Reuben.
"Di dekat sini" Apa dia tinggal di hotel?"
"Tidak, dia tinggal di rumah salah seorang temannya."
"Aku tidak tahu Cora memiliki teman di daerah ini."
"Seorang wanita bernama... nah, siapa ya, nama wanita itu"
Hard... Hardcastle."
"Claudia Hardcastle?" Aku terkejut mendengarnya.
"Ya. Dia teman baik Cora. Cora mengenalnya waktu wanita itu masih tinggal di
Amerika. Apa kalian tidak tahu?"
"Aku hanya tahu sedikit," kataku. "Sangat sedikit mengenai kerabat Ellie."
Aku memandang Greta. "Apa kau tahu bahwa Cora mengenal Claudia Hardcastle?"
"Rasanya aku tak pernah mendengar Cora berbicara mengenai Claudia," kata Greta.
"Jadi, itu sebabnya Claudia tidak muncul hari itu."
"Tentu saja," kataku, "dia kan pergi bersamamu untuk berbelanja di London.
Semestinya kau bertemu dengannya di stasiun Market Chadwell."
"Ya, tapi dia tidak muncul. Dia menelepon kemari beberapa saat setelah aku
berangkat. Katanya ada kenalannya dari Amerika yang mendadak datang, jadi dia
tidak bisa pergi." "Sepertinya tamu Amerika Claudia itu adalah Cora," kataku.
"Tentu saja," kata Reuben Pardoe. Ia menggelengkan kepala.
"Semua ini kelihatannya sungguh membingungkan," katanya.
"Kudengar proses penyidikan telah dilakukan."
"Ya," kataku. Paman Reuben lalu menghabiskan isi cangkirnya dan bangkit berdiri.
"Aku tidak akan tinggal lebih lama lagi dan merepotkan kalian,"
katanya. "Jika ada sesuatu yang bisa kubantu, aku tinggal di Hotel Majestic di
Market Chadwell." Aku berkata bahwa sepertinya tidak ada apa-apa yang bisa dilakukannya, kemudian
aku mengucapkan terima kasih. Ketika ia sudah pergi, Greta berkata,
"Aku ingin tahu, apa yang diinginkannya" Mengapa dia datang kemari?" Dan
kemudian dengan nada tajam Greta menambahkan,
"Kuharap mereka semua segera kembali ke tempat asal mereka masing-masing."
"Aku jadi ingin tahu, apakah orang yang kulihat di George itu benar-benar
Stanford Lloyd - aku hanya sempat melihatnya sekilas."
"Katamu dia sedang bersama seseorang yang mirip Claudia, jadi mungkin memang
orang itu Stanford Lloyd. Mungkin dia datang kemari untuk menemui Claudia, dan
Reuben datang kemari untuk menemui Cora - sungguh membingungkan!"
"Aku tidak suka dengan hal ini - mereka semua berkeliaran di sekitar sini pada
hari itu." Greta berkata bahwa sering kali hal seperti itu terjadi. Seperti biasa, ia
selalu bersikap, optimis dan berpikiran logis mengenai semuanya.,
22 Tidak ada lagi yang perlu kuselesaikan di Gipsy's Acre. Aku meminta Greta
menjaga rumah, sementara aku berlayar ke New York untuk menyelesaikan semua
urusan di sana, dan menghadiri upacara pemakaman yang kuperkirakan akan
berlangsung besar-besaran untuk mengenang Ellie.
"Kau akan masuk ke sarang harimau," Greta memperingatkanku.
"Jaga dirimu. Jangan biarkan mereka mengulitimu hidup-hidup."
Greta benar mengenai hal itu. Tempat tujuanku itu benar-benar bagaikan sarang


Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harimau bagiku. Aku bisa merasakannya begitu sampai di sana. Aku tidak tahu apa-
apa mengenai sarang harimau -
maksudku bukan sarang harimau sesungguhnya. Aku benar-benar merasa kehabisan
napas. Aku bukan seorang pemburu, malah akulah yang sedang diburu. Banyak sekali
yang mengintaiku di balik semak-semak, dengan senjata siap diacungkan ke arahku.
Kadang-kadang rasanya aku terlalu memikirkan yang bukan-bukan. Tapi kadang-kadang,
kecurigaanku memang terbukti. Aku ingat saat aku pergi menemui pengacara yang
disarankan oleh Mr. Lippincott, seorang laki-laki yang sangat sopan dan
memperlakukanku seperti dokter sedang memeriksa pasiennya. Sebelum mengunjungi
pengacara itu, aku telah disarankan agar melepaskan kepemilikan atas beberapa
tambang yang tidak jelas surat-suratnya.
Pengacara itu bertanya padaku, siapa orang yang telah memberiku saran seperti
itu, dan kukatakan bahwa orang itu Stanford Lloyd.
"Yah, kita harus memeriksanya," katanya. "Orang seperti Mr. Lloyd pasti lebih
tahu tentang hal itu."
Setelah itu pengacara itu berkata,
"Tidak ada yang salah dengan surat-surat tambang itu, dan yang pasti tak ada
gunanya menjual tanah itu cepat-cepat seperti yang disarankan Mr. Lloyd pada
Anda. Malah lebih baik jika Anda mempertahankan tanah-tanah itu."
Aku merasa kecurigaanku memang tepat, semua orang memang sedang mengincarku.
Mereka semua tahu bahwa aku cuma orang awam dalam dunia finansial.
Pemakaman Ellie berlangsung mulus, dan seperti sudah
kuperkirakan, upacaranya dilakukan besar-besaran. Begitu banyak bunga dipasang
di tempat pemakaman; tempat itu sendiri kelihatannya seperti sebuah taman luas
yang dihiasi deretan batu nisan dari marmer. Aku yakin Ellie tak suka dimakamkan
dengan cara demikian. Tapi kurasa kerabat Ellie juga punya hak untuk menentukan
hal itu. Empat hari setelah kedatanganku di New York, aku mendapat berita dari Kingston
Bishop. Jasad Mrs. Lee telah ditemukan di sebuah tambang yang sudah lama terbengkalai di
sisi bukit. Wanita du sudah beberapa hari meninggal. Di daerah tambang itu
memang sudah sering terjadi kecelakaan, dan orang-orang berkata bahwa tempat itu
seharusnya dipagari - tapi hal itu tak juga dilakukan. Mrs. Lee akhirnya dinyatakan
meninggal karena kecelakaan, dan selanjutnya Dewan Pengurus setempat didesak
untuk memasang pagar untuk
mengamankan daerah tersebut. Di pondok tempat tinggal Mrs. Lee ditemukan uang
sejumlah tiga ratus pound, yang disembunyikan di bawah papan lantai, semuanya,
dalam bentuk uang kertas pecahan satu pound.
Mayor Phillpot menambahkan dalam berita yang dikirimkannya padaku, "Aku yakin
kau juga akan terkejut mendengar Claudia Hardcastle terlempar dari kudanya dan
meninggal saat pergi berburu kemarin."
Claudia... meninggal" Aku tak percaya! Berita itu benar-benar mengejutkan. Dua
orang sekaligus dalam waktu dua minggu meninggal gara-gara kecelakaan sewaktu
berkuda. Kelihatannya seperti sebuah kebetulan yang tak mungkin terjadi.
Aku tak ingin bertele-tele menceritakan pengalamanku di New York. Aku menjadi
orang asing dalam lingkungan yang serba asing.
Aku merasa harus selalu berhati-hati denggan apa yang kuucapkan dan kulakukan.
Ellie yang kukenal, Ellie yang pernah menjadi milikku, sudah tiada. Sekarang
bagiku Ellie cuma seorang gadis Amerika, pewaris kekayaan yang amat besar, yang
selalu dikelilingi teman-teman dan kerabat-kerabat jauhnya, salah satu keturunan
dari keluarga yang telah tinggal di sana selama lima generasi. Ia muncul dalam
hidupku seperti sebuah komet yang melintas.
Sekarang Ellie telah kembali ke tempat asalnya, dikuburkan bersama keluarga dan
sanak saudaranya, di tanah airnya. Aku merasa ia sudah berada di tempat yang
tepat. Aku pasti merasa tak enak jika ia dikuburkan di sebuah pemakaman kecil di
pinggir hutan pinus yang terletak persis di pinggir desa tempat kami tinggal.
Tidak, aku pasti merasa tidak enak.
"Pulanglah ke tempat asalmu, Ellie," kataku pada diriku sendiri.
Tiba-tiba saja, seperti yang kadang-kadang terjadi, dalam benakku muncul lagu
yang biasa dinyanyikan Ellie sambil bermain gitar. Aku teringat jemari Ellie
yang memetik senar-senar gitar.
Setiap Pagi dan Setiap Malam
Ada yang lahir Untuk Kebahagiaan.
Dan aku berpikir, "Lirik lagu itu cocok, untukmu. Kau memang dilahirkan untuk
Kebahagiaan. Kau telah menikmati Kebahagiaan selama berada di Gipsy's Acre.
Hanya saja kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Sekarang semuanya sudah
berlalu. Kau kembali ke tempat di mana mungkin tidak begitu banyak kebahagiaan,
di mana kau mungkin merasa tidak bahagia. Tapi tempat itu adalah rumahmu. Kau
sudah berada di tengah sanak keluargamu."
Tiba-tiba terpikir olehku, di mana aku akan di makamkan jika aku meninggal
nanti. Di Gipsy's Acre" Mungkin. Ibuku akan datang dan melihatku terbujur di
makamku kalau ia masih hidup pada saat itu.
Tapi aku tak bisa membayangkan ibuku meninggal. Lebih mudah bagiku membayangkan
kematianku sendiri. Ya, ibuku akan datang melihatku dikuburkan. Mungkin garis-
garis keras di wajahnya akan melunak. Kucoba menghapus pikiranku mengenai ibuku.
Aku tak mau berpikir tentang ibuku. Aku tak ingin berada di dekatnya maupun
pergi menjenguknya. Hal terakhir itu tidak sepenuhnya benar. Masalahnya bukan pergi menjenguknya,
tapi kalau aku menemui ibuku, ia seakan bisa membaca pikiranku. Mata ibuku
selalu menatapku dengan pandangan penuh kekhawatiran, seperti kabut kelam yang
menyelimuti. Aku berpikir, "Para ibu itu seperti setan! Mengapa mereka selalu
merecoki anak-anaknya" Mengapa mereka selalu merasa tahu segalanya tentang anak-
anaknya" Mereka sama sekali tidak tahu apa-apa.
Mereka tidak tahu apa-apa. Seharusnys dia bangga terhadapku, dan merasa bahagia
untukku, bahagia atas kehidupan yang telah kucapai.
Seharusnya dia..." Dengan gemas kutepiskan pikiran tentang ibuku sekali lagi.
Berapa lama waktu yang telah kuhabiskan di Amerika" Aku bahkan tak ingat lagi.
Serasa seabad lamanya aku harus selalu berjalan
dengan hati-hati, orang-orang memandangku dengan senyum palsu, sementara mata
mereka menyorotkan sinar permusuhan. Aku berkata pada diriku, sendiri setiap
hari, "Aku harus bisa melewati semuanya ini. Aku harus bisa melewati ini -
setelah itu." Dua kata itu selalu kuucapkan - dalam hati maksudku. Aku
mengucapkannya beberapa kali setiap hari. Setelah itu - dua kata yang
melambangkan masa depan. Aku mengucapkannya seperti dulu aku mengucapkan dua
kata yang lain. Aku ingin...
Semua orang berusaha keras bersikap baik padaku, karena aku kaya raya! Dengan
surat wasiat Ellie, aku menjadi orang yang sangat kaya. Aku merasa aneh. Aku
memiliki investasi-investasi yang tidak kumengerti, saham, surat berharga,
tanah. Dan aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan semua
investasi itu. Sehari sebelum kembali ke Inggris, aku berbicara panjang-lebar dengan Mr.
Lippincott. Aku selalu menganggap dia sebagai Mr.
Lippincott. Bagiku ia takkan pernah menjadi Paman Andrew.
Kukatakan padanya bahwa aku bermaksud untuk mencabut
penunjukan Stanford Lloyd sebagai pihak pengelola investasi-investasiku.
"Begitu!" Alis Mr. Lippincott yang tebal terangkat. Ia memandangku dengan
tajarn, tapi raut wajahnya tidak
menampakkan perasaan apa pun. Aku jadi mengira-ngira, apa maksud sebenarnya dari
kata "Begitu" yang diucapkannya.
"Apakah menurut Anda tindakan itu tepat?" tanyaku dengan penuh ingin tahu.
"Kurasa kau pasti punya alasan-alasan tertentu?"
"Tidak," jawabku, "aku tidak punya alasan apa pun. Cuma berdasarkan perasaan
saja. Kurasa aku bisa menceritakan semuanya pada Anda?"
"Tentu saja." "Baiklah," kataku. "Perasaanku mengatakan dia penipu!"
"Ah." Mr. Lippincott tampak tertarik mendengarnya. "Ya, harus kukatakan bahwa
nalurimu itu mungkin benar."
Maka tahulah aku bahwa aku benar. Stanford Lloyd telah bertindak tidak jujur
dengan surat-surat berharga dan investasi Ellie.
Aku lalu menandatangani surat kuasa dan memberikannya pada Andrew Lippincott.
"Anda bersedia menerimanya?" tanyaku.
"Dalam masalah keuangan," kata Mr. Lippincott, "kau dapat mempercayaiku
sepenuhnya. Aku akan melakukan yang terbaik untukmu dalam hal ini. Kurasa kau
tak akan punya alasan untuk mengeluh jika aku yang mengetola seluruh aset-aset
itu." Aku jadi ingin tahu, apa sebenarnya yang dimaksud Lippincott dengan ucapannya
itu. Ia punya maksud tertentu. Kurasa sebenarnya ia tak suka padaku, ia tak
pernah menyukaiku, tapi dalam masalah keuangan, ia akan melakukan yang terbaik
untukku, karena aku mantan suami Ellie. Aku menandatangani semua dokumen yang
diperlukan. Lippincott bertanya dengan apa aku akan kembali ke Inggris. Dengan
pesawat terbang" Aku berkata bukan, aku tidak, menggunakan pesawat, aku akan
kembali dengan kapal laut. "Aku ingin punya sedikit waktu untuk diriku sendiri,"
kataku. "Kurasa perjalanan melalui laut cocok bagiku."
"Dan di mana kau akan tinggal selanjutnya?"
"Di Gipsy's Acre," kataku.
"Ah. Kau merencanakan untuk tetap tinggal di sana."
"Ya," kataku. "Kupikir mungkin kau akan menjual rumah itu."
"Tidak," kataku dengan suara agak keras. "Aku tidak mau berpisah dengan Gipsy's
Acre. Rumah itu rumah idamanku, yang sudah kuimpikan sejak aku masih seorang
pemuda bodoh." "Apakah ada orang yang mengurus rumah itu sementara kau berada di Amerika?"
Kukatakan bahwa aku telah meminta Greta Andersen mengurus Gipsy's Acre selama
aku pergi. "Ah," kata Mr. Lippincott?" "Ya. Greta."
Dari nada suaranya ketika mengucapkan "Greta", kelihatannya Lippincott punya
maksud tertentu, tapi aku tidak mau
menanyakannya. Ia memang tak pernah suka pada Greta, dan tak ada yang dapat
kulakukan untuk mengubah pendapatnya. Untuk sesaat kami berdua sama-sama
terdiam, dan suasana jadi agak canggung. Kemudian aku berubah pikiran. Aku
merasa harus mengatakan sesuatu.
"Greta telah berbuat banyak untuk Ellie," kataku. "Dia merawat Ellie waktu Ellie
sakit, dia datang dan tinggal bersama kami dan melayani Ellie. Aku... aku sangat
bersyukur dengan adanya Greta.
Aku ingin Anda memahami hal itu. Anda tidak tahu seperti apa Greta sebenarnya.
Anda tidak tahu bagaimana dia telah membantu dan mengurus semuanya setelah
kematian Ellie. Entah bagaimana jadinya aku tanpa dirinya."
"Aku mengerti, aku mengerti," kata Mr. Lippincott. Tapi nada suaranya kedengaran
mencemooh. "Jadi, Anda bisa mengerti bahwa aku berutang banyak pada gadis itu."
"Dia memang gadis yang sangat kompeten," kata Mr. Lippincott.
Aku bangkit herdiri dan mengucapkan selamat tinggal serta berterima kasih
padanya. "Kau tak perlu berterima kasih padaku," kata Mr. Lippincott dengan nada kaku.
Ia lalu menambalikan, "Aku menulis sepucuk surat singkat untukmu. Aku telah
mengirimkannya melalui pos ke Gipsy's Acre. Jika kau pulang dengan kapal laut,
mungkin surat itu sudah sampai saat kau tiba di sana." Kemudian ia berkata,
"Selamat jalan."
Aku bertanya pada Mr. Lippincott dengan agak ragu, apakah ia mengenal istri
Stanford Lloyd seorang wanita bernama Claudia Hardcastle.
"Ah, maksudmu istri pertamanya. Tidak, aku tak pernah berjumpa dengannya.
Kudengar pernikahan mereka tidak berlangsung lama.
Setelah bercerai, Lloyd menikah lagi. Pernikahannya yang kedua juga berakhir
dengan perceraian." Jadi, begitu ceritanya. Ketika aku kemball ke hotel, sepucuk telegram telah menunggu.
Dalam telegram itu aku diminta segera datang ke sebuah rumah sakit di
California. Menurut telegram itu, seorang temanku, Rudolf Santonix, meminta
bertemu denganku. Hidupnya tinggal sebentar, dan ia ingin berjumpa denganku
sebelum meninggal. Maka aku mengubah jadwal tiketku dan terbang ke San Franciseo.
Santonix belum meninggal, tapi sudah sekarat. Dokter-dokter di sana tidak yakin
ia bisa sadar kembali sebelum meninggal, tapi Santonix telah meminta berjumpa
denganku untuk urusan yang sangat penting. Aku duduk di kamar rumah sakit tempat
Santonix terbaring, memperhatikan tubuh laki-laki yang pernah kukenal itu. Sejak
dulu ia selalu kelihatan tidak sehat dan rapuh. Saat ini ia sangat pucat dan
kaku. Aku duduk di sampingnya sambil berpikir, "Kalau saja dia mau bicara
denganku. Kuharap dia bisa mengatakan sesuatu. Apa saja, sebelum dia meninggal."
Aku merasa begitu sendirian. Aku tidak lagi dikelilingi musuh-musuhku; sekarang
aku sedang bersama seorang teman. Satusatunya temanku. Ia satu-satunya orang
yang tahu semuanya tentang diriku, kecuali ibuku, tapi aku tak mau memikirkan
ibuku. Sekali-dua kali aku berbicara pada suster jaga dan bertanya padanya, adakah yang
bisa mereka lakukan, tapi suster itu cuma menggelengkan kepala dan berkata
dengan nada tak pasti, "Dia mungkin akan sadar kembali, tapi mungkin juga tidak."
Aku tetap duduk di sana. Akhirnya Santonix bergerak dan menghela napas. Suster
yang menjaganya mendudukkannya dengan
sangat hati-hati. Santonix memandangku, tapi aku tak tahu pasti apakah ia
mengenaliku atau tidak. Matanya terarah padaku, tapi ia seakan-akan sedang
menatap sesuatu di belakangku. Sekonyong-konyong sorot matanya berubah.
Kupikir, 'Dia mengenaliku, dia mengenaliku.' Santonix mengucapkan sesuatu dengan
suara sangat pelan, dan aku harus membungkuk di atas tempat tidurnya supaya bisa
menangkap ucapannya. Tapi kalimat yang diucapkannya sepertinya tidak mengandung
arti apa pun. Kemudian tubuh Santonix tiba-tiba kejang, dan ia mendongakkan
kepalanya sambil berteriak,
"Kau benar-benar bodoh... mengapa kau tidak memilih jalan yang lain?"
Kemudian ia tak sadarkan diri dan meninggal.
Aku tidak tahu apa yang dimaksud oleh Santonix. Aku bahkan tidak yakin apakah ia
sendiri tahu apa yang diucapkannya.
Jadi, itulah terakhir kali aku melihat Santonix.
Aku ingin tahu, bisakah ia mendengarku jika aku mengatakan sesuatu padanya"
Ingin kukatakan padanya sekali lagi bahwa rumah yang ia bangun untukku adalah
hal terbaik yang pernah kumiliki di dunia ini. Hal yang paling berarti bagiku.
Sungguh aneh, sebuah rumah bisa sedemikian berarti. Kurasa rumah itu seperti
semacam simbol. Sesuatu yang kita inginkan. Sangat kita inginkan, tapi kita
tidak benar-benar tahu apakah sesuatu itu. Tapi Santonix tahu apa yang
kuinginkan, dan ia mewujudkannya untukku. Dan kini aku memilikinya. Aku akan
segera pulang ke Gipsy's Acre.
Pulang. Cuma itu yang bisa kupikirkan, ketika aku naik ke kapal.
Hanya itu, dan rasa lelah yang kurasakan untuk pertama kalinya...
juga kebahagiaan meluap-luap, yang sebelumnya terpendam dalam-dalam. Aku akan
pulang. Aku akan pulang....
Pulanglah sang pelaut, kembali dari samudra
Dan sang pemburu kembali dari perbukitan...
23 Ya, itulah yang kulakukan. Semuanya sudah berakhir sekarang.
Akhir sebuah perlawanan, akhir sebuah perjuangap. Akhir sebuah perjalanan.
Sepertinya masa mudaku yang gelisah sudah lama sekali berlalu.
Hari-hari ketika aku masih selalu mengucapkan, "Aku ingin ini, aku ingin itu".
Tapi sebenarnya masa itu belum terlalu lama berlalu.
Kurang dari setahun yang lalu...
Kukenang kembali masa-masa itu sambil berbaring di tempat tidurku di kapal, dan
berpikir. Pertemuanku dengan Ellie - saat-saat kebersamaan kami di Regent's Park,
pernikahan kami di Kantor Catatan Sipil. Rumah itu -
yang dibangun oleh Santonix - dan sekarang sudah selesai. Milikku, semuanya
milikku. Aku adalah aku - aku - diriku seperti yang selalu kuinginkan. Aku telah
memiliki segala yang kuinginkan, dan aku akan pulang untuk menikmatinya.
Sebelum meninggalkan New York, aku telah menulis sepucuk surat dan
mengirimkannya melalui pos udara, supaya surat itu sudah sampai sebelum aku
tiba. Aku menujukan surat itu pada Phillpot.
Entah mengapa, aku merasa Phillpot pasti bisa mengerti, meski orang-orang lain
mungkin takkan bisa memahaminya.
Lebih mudah menuangkan semuanya dalam bentuk tulisan
daripada mengatakannya secara langsung. Lagi pula, ia harus tahu.
Semua orang akan tahu pada akhirnya. Beberapa orang mungkin tidak akan mengerti,
tapi kurasa Phillpot bisa memahami. Ia sudah melihat sendiri, betapa dekat


Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hubungan Ellie dan Greta, bagaimana Ellie begitu tergantung pada Greta. Kurasa
ia akan bisa memahami jika kemudian aku pun merasa tergantung pada Greta, dan
sungguh tak mungkin bagiku untuk tinggal sendirian di rumah itu, tempat aku
pernah tinggal bersama Ellie, kecuali kalau ada orang lain yang bisa
membantuku. Entah apakah aku telah menjelaskan semuanya dengan baik, tapi aku
telah mencobanya sebisa mungkin.
"Aku ingin kau menjadi orang pertama yang tahu tentang hal ini,"
kataku. "Kau sudah begitu baik terhadap kami, dan kupikir kaulah satu-satunya
orang yang bisa memahami semuanya. Aku tak bisa hidup sendirian di Gipsy's Acre.
Aku telah memikirkan hal itu selama berada di Amerika, dan aku memutuskan begitu
pulang nanti, aku akan meminta Greta menikah denganku. Dia satu-satunya orang
yang bisa kuajak bicara mengenai Ellie. Dia pasti bisa memahamiku.
Mungkin dia tidak akan mau menikah denganku, tapi kurasa dia mau... Dengan begitu,
akan terasa seakan-akan kami bertiga masih bersama-sama."
Aku menulis surat itu tiga kali sebelum bisa mengungkapkan dengan baik apa yang
kuinginkan. Phillpot akan menerima surat itu dua hari sebelum kepulanganku.
Aku pergi ke geladak ketika kapal yang kutumpangi mendekati Inggris. Kupandangi
daratan Inggris yang semakin dekat. Aku berpikir, "Kalau saja Santonix ada
bersamaku." Aku benar-benar mengharapkan hal itu. Kalau saja dia bisa melihat
bagaimana semuanya menjadi kenyataan. Semua yang kurencanakan ... semua yang
telah kupikirkan... semua yang kuinginkan.
Aku telah menaklukkan Amerika, aku telah menaklukkan para penipu dan penjilat
dan seluruh gerombolan orang yang kubenci.
Orang-orang yang menurutku pasti juga membenciku dan
memandang rendah padaku! Aku pulang dengan membawa
kemenangan. Aku pulang ke tempat pohon-pohon pinus tumbuh di depan jalan
melingkar berbahaya yang membawaku melalui tanah orang gipsi ke rumah di puncak
bukit. Rumahku! Aku akan pulang kepada dua hal yang kudambakan. Rumahku-rumah
idamanku, yang sudah kurencanakan, yang kudambakan melebihi apa pun. Rumah itu
dan seorang wanita yang menawan... sejak dulu aku tahu bahwa suatu hari aku akan
bertemu dengan seorang wanita yang menawan.
Aku telah bertemu dengan wanita itu. Aku telah menemukannya, dan ia telah
menemukanku. Kami memang ditakdirkan untuk bersatu.
Seorang wanita yang menawan. Begitu melihatnya, aku langsung tahu bahwa aku
adalah miliknya, selalu dan selama-lamanya. Aku adalah miliknya. Dan sekarang-
pada akhirnya aku akan pergi menemuinya.
Tak seorang pun melihatku tiba di Kingston Bishop. Hari sudah hampir gelap, dan
aku tiba dengan menggunakan kereta. Aku meninggalkan , dan mengambil jalan
memutar ke rumahku. Aku tak ingin bertemu dengan orang-orang desa. Tidak malam
ini.... Matahari sudah tenggelam ketika aku sampai di jalan menuju Gipsy's Acre. Aku
telah memberitahu Greta, pukul berapa aku akan tiba. Ia sudah ada di rumah...
menungguku. Akhirnya! Kami telah cukup lama berpura-pura - aku berpura-pura
membencinya. Kalau kupikir-pikir sekarang, aku jadi ingin tertawa sendiri
mengingat peran yang kumainkan, peran yang telah kumainkan dengan sangat
hatihati sejak awal. Aku berpura-pura membenci Greta, tak senang dengan
kedatangannya ke rumah kami untuk tinggal bersama Ellie.
Ya, aku telah bertindak dengan sangat hati-hati. Semua orang pasti telah
termakan cerita itu. Aku teringat pertengkaran pura-pura yang sengaja kami
lakukan supaya terdengar oleh Ellie.
Greta bisa memahamiku dengan baik sejak pertama kali kami bertemu. Ia juga
memiliki jalan pikiran yang sama dan keinginan yang sama denganku. Kami
menginginkan Dunia! Kami ingin berada di puncak Dunia. Kami ingin meraih setiap
ambisi. Kami ingin memiliki semuanya. Aku teringat bagaimana aku mencurahkan isi
hatiku padanya saat pertama aku bertemu dengannya di Hamburg.
Kuceritaka padanya hal-hal yang kuinginkan. Aku tak perlu menyembunyikan
ketamakanku di depan Greta, karena ia juga memiliki keinginan yang sama. Ia
berkata, "Untuk semua hal yang kauinginkan dalam hidup ini, kau harus punya uang."
"Ya," kataku, "dan aku tidak tahu bagaimana bisa
memperolehnya." "Tidak," kata Greta, "kau tidak akan bisa memperolehnya dengan bekerja. Kau
bukan tipe macam itu."
"Bekerja!" kataku. "Aku pasti harus bekerja bertahun-tahun! Aku tak ingin
menunggu selama itu. Aku tak ingin menunggu sampai aku sudah setengah baya." Aku
berkata, "Kau tahu cerita tentang Schliemann muda yang bekerja keras sampai
akhirnya berhasil mengumpulkan kekayaan dan mewujudkan impiannya untuk pergi ke
Troy, menggali dan menemukan kubur-kubur bangsa Troy. Dia berhasil mendapatkan
keinginannya, tapi harus menunggu sampai dia berumur empat puluh tahun. Aku tak
ingin menunggu sampai aku sudah setengah tua. Tua, tinggal menunggu ajal. Aku
ingin mendapatkannya sekarang, saat aku masih muda dan kuat. Kau juga, bukan?"
"Ya. Dan aku tahu bagaimana kau bisa memperolehnya. Mudah saja. Aku heran
mengapa kau belum memikirkan hal itu. Kau bisa mendapatkan gadis-gadis dengan
mudah, bukan" Aku bisa melihat hal itu. Aku bisa merasakannya."
"Kaupikir aku peduli tentang gadis-gadis - atau pernah benar-benar peduli" Cuma
ada seorang gadis yang kuinginkan," kataku.
"Kau. Dan kau tahu itu. Aku adalah milikmu. Aku tahu itu begitu aku melihatmu.
Aku selalu tahu bahwa suatu hari nanti aku akan bertemu seseorang seperti
dirimu. Dan aku telah menemukanmu. Aku adalah milikmu.",
"Ya," kata Greta. "Kurasa kau memang milikku."
"Kita berdua menginginkan hal yang sama dalam hidup ini,"
kataku. "Sudah kukatakan padamu, semuanya mi mudah," kata Greta.
"Mudah sekali. Kau hanya perlu menikahi seorang gadis kaya, salah satu gadis
terkaya di dunia. Aku bisa membantumu melakukan hal itu."
"Jangan terlalu berkhayal," kataku.
"Itu bukan khayalan. Itu hal yang mudah."
"Tidak," kataku, "Aku tak suka dengan hal itu. Aku tak ingin menjadi suami
seorang wanita kaya. Dia akan membelikanku barang-
barang dan mengurungku dalam sangkar emas, tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku
tidak mau dijadikan budak."
"Kau tak perlu seperti itu. Perkawinanmu tak perlu berlangsung lama. Cukup untuk
beberapa waktu saja. Istri kan bisa meninggal."
Aku menatapnya. "Kau keliliatan terkeju?" katanya.
"Tidak," kataku, "aku tidak terkejut."
"Sudah kuduga. Atau mungkin kau bahkan pernah
melakukannya?" Ia menatapku dengan penuh selidik, tapi aku tidak mau menjawab
pertanyaan itu. Ada beberapa rahasia yang sebaiknya tidak diceritakan pada
siapa-siapa. Sebenarnya rahasiaku bukan rahasia besar, tapi aku tak suka
mengingatnya. Aku tak ingin mengingat-ingat lagi peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi. Peristiwa pertama sungguh konyol. Kekanak-kanakan. Tak ada artinya sama
sekali. Dulu aku pernah menginginkan jam tangan mewah milik seorang anak...
seorang temanku di sekolah. Aku menginginkannya.
Sangat menginginkannya. Jam itu pasti mahal. Anak itu mendapatkannya dari
kakeknya. Ya, aku menginginkan jam itu, tapi kurasa aku takkan pernah
memilikinya. Lalu pada suatu han kami bermain selancar bersama. Lapisan es
tempat kami berselancar ternyata tidak cukup tebal. Tapi kami tidak tahu
sebelumnya. Kejadian itu. terjadi begitu saja. Lapisan es itu pecah. Aku mendekati temanku
itu. Ia masih sempat berpegangan pada lapisan es di pinggir lubang yang menyayat
tangannya. Aku mendekatinya untuk menolongnya, tapi ketika tiba di dekatnya, aku
melihat jam tangan itu. Dalam benakku timbul pikiran, "Kalau saja dia terbenam."
Betapa mudahnya hal itu bisa terjadi....
Kurasa kedengarannya memang kejam. Aku melepas jam anak itu dari pergelangan
tangannya dan mengambilnya, lalu bukannya menolongnya keluar, aku mendorong kepalanya ke dalam air... aku menahan kepalanya di bawah air. Ia tak bisa
banyak melawan, ia berada di bawah es. Orang-orang melihat dan bergegas
menghampiri kami. Mereka pikir aku sedang berusaha menarik temanku keluar.
Akhirnya mereka berhasil mengeluarkan anak itu dengan susah
payah. Mereka mencoba memberikan pernapasan buatan, tapi sudah terlambat. Aku
menyembunyikan hartaku di tempat khusus, di mana biasanya aku menyimpan barang-
barangku. Barang-barang yang tak ingin kuperlihatkan pada ibuku, karena ia akan
bertanya dari mana aku memperoleh barang-barang itu. Tapi suatu hari ibuku
menemukan jam itu ketika sedang merapikan kaus-kaus kakiku. Ia bertanya padaku,
bukankah jam itu milik Pete" Aku berkata tentu saja bukan - jam itu kuperoleh
dengan cara barter dengan salah seorang anak di sekolah.
Aku selalu merasa gugup kalau menghadapi ibuku - aku selalu merasa ia tahu
terlalu banyak mengenai diriku. Aku merasa gugup ketika ia menemukan jam itu.
Kurasa ia curiga. Tentu saja ia tidak tahu. Tak seorang pun tahu. Tapi ia
memandangku sedemikian rupa.
Dengan sorot mata aneh. Semua orang mengira aku telah mencoba menyelamatkan
Pete. Kurasa ibuku tak pernah berpikir demikian.
Kurasa ia tahu apa yang telah kulakukan. Ia tak ingin mengetahui hal itu, tapi
masalahnya, ia tahu terlalu banyak tentang diriku. Kadang-kadang aku merasa
bersalah, tapi perasaan itu cepat hilang.
Peristiwa kedua terjadi sewaktu aku tinggal dalam kamp tentara ketika kami
mengikuti pelatihan militer. Aku bersama seorang pemuda bernama Ed pergi ke
semacam tempat perjudian. Aku sama sekali tidak beruntung dan kehilangan semua
milikku, tapi Ed berhasil menang cukup banyak. Ia menukarkan kepingan-kepingan
uang judi itu, kemudian kami berdua pulang. Kantong Ed penuh dengan lembaran-
lembaran uang. Tiba-tiba sepasang berandalan menghadang kami di pojok jalan dan
menyerang kami. Mereka menggunakan pisau. Aku cuma terluka di tangan, tapi Ed
tertusuk dan terjatuh. Setelah itu kami mendengar suara orang-orang datang
mendekati tempat kami. Para berandalan itu langsung pergi meninggalkan kami. Aku
sadar bahwa jika aku cepat... aku memang bisa beraksi dengan cepat! Daya
refleksku cukup bagus - aku langsung membungkus tanganku dengan sehelai sapu
tangan - kutarik pisau yang digunakan berandalan tadi dari luka Ed, kemudian kutusukkan
lagi pisau itu beberapa kali di tempat-tempat yang lebih tepat. Ed terkejut dan
tewas. Tentu saja aku takut. Aku ketakutan untuk sesaat, tapi kemudian aku tahu bahwa
semuanya akan baik-baik saja. Jadi, aku merasa...
yah, tentu saja aku merasa bangga dengan diriku sendiri, karena bisa berpikir
dan beraksi dengan cepat! Aku berkata dalam hati, "Ed yang malang, dia memang
bodoh." Dengan cepat aku mengambil uang Ed dan memasukkannya ke antongku! Aku
hanya butuh kemampuan untuk bergerak cepat dan menangkap kesempatan yang ada.
Masalahnya, kesempatan baik tidak sering-sering muncul. Kurasa beberapa orang
mungkin akan ketakutan saat menyadari mereka telah membunuh seseorang. Tapi aku
tidak merasa takut. Tidak untuk kali ini.
Tentu saja aku tidak ingin sering-sering melakukan hal itu. Aku melakukannya
hanya jika apa yang kuperoleh benar-benar sesuai dengan risikonya. Aku tidak
tahu dari mana Greta bisa merasakan hal itu dalam diriku. Tapi ia tahu. Yang
kumaksud bukannya ia tahu aku memang pernah membunuh dua orang, tapi kurasa ia
tahu bahwa ide untuk membunuh tidaklah membuatku terkejut atau takut. Aku
berkata, "Apa rencanamu yang fantastis itu, Greta?"
Ia berkata, "Aku kebetulan bisa menolongmu. Aku bisa
menghubungkanmu dengan salah seorang gadis terkaya di Amerika.
Aku kurang lebih pelayannya. Aku tinggal dengannya, dan aku memiliki pengaruh
cukup besar terhadapnya."
"Apa menurutmu dia akan tertarik pada orang seperti diriku?"
tanyaku. Aku sama sekali tak percaya. Mengapa seorang gadis kaya, yang bisa
memilih sendiri laki-laki seksi dan menarik yang disukainya, mau memilihku"
"Kau memiliki daya tarik seks yang kuat..." kata Greta. "Banyak gadis suka padamu,
bukan?" Aku menyeringai dan berkata bahwa tampangku memang tidak terlalu jelek.
"Gadis yang kumaksud ini belum pernah berkencan dengan laki-laki pilihannya
sendiri. Kehidupannya selalu diatur. Pemuda-pemuda
yang boleh ditemuinya cuma dari jenis yang konvensional, anak-anak para pemilik
bank dan konglomerat. Dia memang sudah dipersiapkan untuk menikah dengan sesama
orang kaya. Kerabat-kerabatnya sangat takut kalau dia bertemu dengan orang asing
berwajah tampan yang mungkin cuma mau mengejar uangnya. Tapi tentu saja dia
lebih suka orang-orang seperti itu. Sebab mereka adalah sesuatu yang baru
baginya, sesuatu yang belum pernah ditemuinya. Kau harus bersandiwara di
hadapannya. Kau harus pura-pura jatuh cinta padanya pada pandangan pertama, dan
membuatnya terpana! Itu cukup mudah. Belum pernah ada laki-laki yang bertindak
seromantis itu terhadapnya selama ini. Kau pasti bisa melakukannya."
"Aku bisa mencobanya," kataku agak ragu.
"Kita bisa mengatur semuanya," kata Greta.
"Keluarganya pasti akan turut campur dan menghentikan semuanya."
"Tidak, mereka tidak akan bisa-" kau Greta. "Mereka tidak akan tahu apa-apa
tentang itu. Sampai semuanya sudah terlambat.
Sampai kalian sudah menikah secara diam-diam."
"Jadi, itulah idemu."
Kami lalumembicarakannya. Membuat rencana. Tentu saja bukan rencana terinci.
Greta kembali ke Amerika, tapi tetap berhubungan denganku, sementara aku
mendapatkan berbagai jenis pekerjaan.
Aku bercerita padanya tentang Gipsy's Acre dan betapa aku menginginkan tempat
itu, dan Greta berkata bahwa tempat itu sangat cocok untuk dijadikan awal sebuah
cerita romantis. Kami lalu merencanakan agar aku bertemu pertama kali dengan
Ellie di tempat itu. Greta akan membujuk Ellie untuk membeli sebuah rumah di
Inggris dan menjauh dari keluarganya begitu ia berusia dua puluh satu tahun.
Ya, kami memang mengatur semuanya itu. Greta seorang pemikir hebat. Aku sendiri
tak mungkin bisa membuat rencana sebaik itu, tapi aku tahu bahwa aku bisa
memainkan peranku dengan baik. Aku
selalu senang jika disuruh berakting. Jadi, begitulah ceritanya bagaimana aku
bisa bertemu dengan Ellie.
Sungguh asyik rasanya. Benar-benar asyik, karena tentu saja semua yang kami
lakukan itu berisiko dan berbahaya jika sampai ketahuan. Saat yang paling sulit
adalah ketika aku harus bertemu Greta. Aku harus menjaga sikapku agar sandiwara
kami tidak terbongkar. Aku berusaha keras untuk tidak memandang Greta. Kami
berdua setuju bahwa lebih baik jika aku berpura-pura tak suka dan cemburu pada
Greta. Aku memainkan peranku dengan sangat baik.
Aku teringat hari saat Greta datang untuk tinggal bersama kami.
Kami pura-pura bertengkar, sebuah pertenglearan yang sengaja kami buat agar bisa
terdengar oleh Ellie. Aku tidak tahu apakah pertengkaran kami itu kedengarannya
agak dibuat-buat. Tapi kurasa tidak. Kadang-kadang aku merasa gugup kalau-kalau
Ellie bisa menebaknya, tapi kurasa ia tidak tahu apa-apa. Entahlah. Aku tidak
yakin sepenuhnya. Aku memang tidak benar-benar mengenal Ellie.
Sungguh mudah bercinta dengan Ellie. Ia gadis yang manis. Ya, ia benar-benar
manis. Cuma kadang-kadang aku takut, karena ia suka melakukan sesuatu tanpa
mengatakannya padaku. Dan ia tahu hal-hal yang kupikir takkan pernah
diketahuinya. Tapi ia mencintaiku. Ya, ia mencintaiku. Kadang-kadang... kupikir
aku juga mencintainya. Maksudku bukan seperti perasaanku terhadap Greta. Aku adalah milik Greta. Ia
wanita dengan daya tarik seks yang kuat. Aku diciptakan untuk Greta, tapi aku
harus menahan diri. Ellie sangat berbeda. Aku bahagia sewaktu tinggal
bersamanya. Ya, memang aneh kedengarannya kalau kupikir-pikir sekarang. Aku
sangat menikmati saat-saat kami tinggal bersama.
Aku menuliskan hal ini karena itulah yang sedang kupikirkan malam itu, ketika
aku kembali dari Amerika. Ketika aku berada di puncak dunia dan mendapatkan
semua yang kuinginkan, meskipun aku harus mengambil risiko, menempuh bahaya,
bahkan melakukan pembunuhan-pembunuhan yang cukup bagus, walaupun itu cuma
menurutku sendiri! Ya, apa yang kami lakukan memang cerdik, kalau kupikir-pikir lagi, dan tak
seorang pun akan bisa menebaknya. Sekarang semua risiko dan bahaya sudah
berlalu, dan inilah aku, kembali ke Gipsy's Acre.
Datang seperti saat setelah aku melihat papan yang dipasang di tembok, yang
mengumumkan bahwa tempat itu dijual, dan aku pergi ke sana untuk- melihat
reruntuhan rumah tua yang berdiri di atas Gipsy's Acre. Berjalan kaki dan
berbelok... Kemudian... pada saat itulah aku melihatnya. Saat itu aku benar-benar melihat
Ellie. Persis saat aku baru saja berbelok di pojok jalan, tempat banyak
kecelakaan terjadi. Ellie ada di sana, berdiri di tempat yang sama seperti saat
kami dulu bertemu, di bawah bayang-bayang pohon pinus. Posenya persis seperti
ketika ia terkejut sedikit saat melihatku, dan aku pun terperanjat saat
melihatnya. Di sanalah ia berdiri menatapku. Di tempat yang sama, tempat kami
dulu pernah bertemu untuk pertama kali dan saling bertatapan, dan kemudian aku
menghampirinya dan berbicara dengannya, pura-pura menjadi seorang pemuda yang
tiba-tiba jatuh cinta. Aku memainkan peranku itu dengan sangat baik! Oh, aku


Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang aktor hebat! Tapi aku tak mengira akan melihat Ellie sekarang... maksudku, tak mungkin aku
melihatnya sekarang, bukan" Tapi aku benar-benar melihatnya.... Ia menatapku-
menatapku lekat-lekat. Tapi... ada sesuatu yang membuatku takut... sangat
ketakutan. Mata Ellie menatap lurus, tapi ia seakan-akan tidak melihatku - aku
tahu bahwa tak mungkin ia benar-benar ada di sana. Aku tahu ia sudah meninggal -
tapi aku melihatnya. Ia sudah mati dan tubulrnya sudah dikubur di tempat
pemakaman di Amerika. Tapi tetap
saja aku melihatnya berdiri di bawah pohon pinus, dan ia menatap lurus padaku.
Tidak, bukan menatap diriku. Sorot matanya seakan-akan berharap melihatku, dan
di wajahnya terbayang rasa cinta.
Pancaran cinta yang pernah kulihat dulu, ketika ia sedang memetik senar-senar
gitarnya. Waktu itu ia berkata padaku,
"Apa yang sedang kaupikirkan, Mike?" dan aku berkata, "Mengapa kau bertanya
begitu padaku?" dan ia berkata, "Kau menatapku
seakan-akan kau benar-benar mencintaiku." Lalu aku menjawab asal saja, "Tentu
saja aku mencintaimu."
Aku menghentikan langkahku. Aku berhenti di tengah jalan dengan tubuh gemetar.
Aku berseru, "Ellie." Ia tidak bergerak, ia tetap berdiri di sana, sambil menatap...
menatapku lekat-lekat. Itulah yang membuatku takut, karena aku tahu jika aku
mau, berpikir sejenak, aku pasti akan tahu mengapa Ellie seakan-akan tidak
melihatku, dan aku tidak mau tahu sebabnya.
Tidak, aku tak ingin mengetahuinya. Aku yakin tak ingin mengetahuinya. Ia
menatap lekat-lekat ke tempat aku berdiri - tapi ia tidak melihatku. Setelah itu
aku lari. Aku berlari seperti pengecut menuju rumahku, sampai akhirnya aku
berhasil menenangkan diri dari rasa panik yang melanda. Saat ini saat
kemenanganku. Aku, sudah pulang. Aku sang pemburu yang baru pulang berburu,
pulang ke rumahku, pulang untuk mendapatkan hal-hal yang paling kuinginkan
selama ini, pulang untuk menemui wanita yang kudambakan.
Setelah itu kami akan menikah, dan kami akan tinggal di Gipsy's Acre. Rencana
kami berhasil! Kami menang - menang telak!
Pintu rumah tidak terkunci. Aku masuk, mengentakkan kaki melalui pintu depan,
dan menuju perpustakaan. Di situ aku melihat Greta sedang berdiri di dekat
jendela, menungguku. Ia benar-benar cantik. Ia wanita paling cantik yang pernah
kulihat. Ia tampak seperti seorang pendekar wanita dengan rambut bersinar-sinar.
Penuh daya tarik seks. Selama ini kami sama-sama berusaha menyembunyikan hasrat
kami atas satu sama lain, dan hanya bertemu sesekali di pondok peristirahatan.
Aku langsung menuju pelukan Greta, bagai seorang pelaut yang pulang dari
perantauan. Ya, saat itu adalah saat terindah dalam hidupku.
Aku duduk dan Greta menyerahkan setumpuk surat padaku.
Dengan segera aku mengambil surat yang berprangko Amerika. Surat
itu dari Lippincott. Aku ingin tahu, apa yang hendak dikatakan laki-laki itu,
dan mengapa ia harus mengatakannya melalui surat.
"Yah," kata Greta sambil mendesah puas, "kita sudah berhasil."
"Hari ini hari kemenangan kita," 'kataku.
Kami berdua tertawa keras. Greta telah menyediakan sebotol sampanye di meja, Aku
membuka botol itu, dan kami minum bersama,
"Rumah ini tempat yang sangat indah," kataku sambil memandang sekeliling. "Jauh
lebih indah daripada yang kuingat. Santonix - aku belum bercerita padamu.
Santonix sudah meninggal."
"Oh," kata Greta, "sungguh sayang. Apa dia benar-benar sakit?"
"Tentu saja. Aku pergi menjenguknya ketika dia sedang sekarat."
Greta menggigil sedikit. "Aku tidak bakal mau melihatnya dalam keadaan demikian. Apa dia mengatakan
sesuatu padamu?" "Tidak juga. Dia cuma berkata bahwa aku benar-benar bodoh -
seharusnya aku memilih jalan yang lain."
"Apa maksudnya" Dan mengapa dia berkata demikian?"
"Aku juga tidak tahu apa maksudnya," kataku.
"Kurasa dia mengalami halusinasi dan tidak tahu apa yang dikatakannya."
"Yah, rumah ini adalah monumen peringatan atas dirinya," kata Greta. "Kurasa
kita akan tetap tinggal di sini, bukan?"
Aku menatap Greta. "Tentu saja. Kaupikir aku akan mau tinggal di tempat lain?"
"Kita tak mungkin tinggal di sini terus-menerus," kata Greta. "Yang pasti tidak
sepanjang tahun. Kita tidak mau membenamkan diri terus di desa ini, bukan?"
"Tapi di sinilah aku ingin tinggal - di sinilah aku ditakdirkan untuk tinggal."
"Ya, tentu saja. Tapi, Mike, kita punya uang banyak. Kita bisa pergi ke mana pun
kita suka! Kita bisa pergi melanglang buana -
bersafari di Afrika. Kita akan mendapat banyak petualangan. Kita bisa pergi
mencari barang-barang yang menarik - lukisan-lukisan yang indah. Kita bisa pergi
ke Angkor Wat. Apa kau tak ingin menikmati kehidupan yang penuh petualangan?"
"Ya, ingin juga... tapi kita akan selalu kembali kemari, bukan?"
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh, perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak
beres. Selama ini yang kuinginkan cuma mendapatkan Rumahku dan Greta. Aku tak
pernah menginginkan hal lainnya. Tapi kelihatannya Greta memiliki banyak
keinginan lain. Aku bisa melihatnya sekarang. Sekarang ia baru mulai. Baru mulai
menginginkan ini-itu. Baru mulai menyadari bahwa ia bisa mendapatkan semua yang
diinginkannya. Tiba-tiba aku merasa cemas. Aku mulai gemetar.
"Ada apa denganmu, Mike" Kau gemetar. Apa kau sedang sakit?"
"Tidak, bukan itu," kataku.
"Ada apa, Mike?"
"Aku melihat Ellie," kataku.
"Apa maksudmu, kau melihat Ellie?"
"Saat aku sedang berjalan kemari dan berbelok di pojok jalan, aku melihatnya
berdiri di bawah pohon-pohon pinus, memandang-memandang padaku."
Greta terbelalak. "Jangan mengada-ada. Kau... kau cuma membayangkan yang tidak-tidak."
"Mungkin aku memang membayangkan yang tidak-tidak.
Bagaimanapun, tempat ini telah dikutuk oleh orang gipsi. Ellie
memang ada di situ, dan dia kelihatannya... kelihatannya bahagia.
Seakan-akan dia... dia akan selalu berada di sana selamanya."
"Mike!" Greta mengguncang bahuku. "Mike, jangan berkata begitu. Apa kau tadi
minum-minum sebelum sampai kemari?"
"Tidak, aku menunggu sampai berjumpa denganmu di sini. Aku tahu kau pasti sudah
menyiapkan sebotol sampanye untuk kita."
"Yah, mari kita lupakan saja Ellie, dan mari kita minum untuk merayakan
kemenangan kita." ' "Yang kulihat tadi itu benar-benar Ellie," kataku bersikeras.
"Pasti bukan Ellie! Mungkin yang kaulihat hanya bayangan pohon -
atau yang mirip itu."
"Itu Ellie, dan dia berdiri di sana. Dia mencari... mencariku dan menatapku.
Tapi dia tak dapat melihatku. Greta, dia tak bisa melihatku." Nada suaraku
semakin meninggi. "Dan aku tahu mengapa. Aku tahu mengapa dia tak bisa
melihatku." "Apa maksudmu?"
Aku menjawab dengan suara berbisik,
"Karena yang ada di situ bukan diriku. Aku tidak berada di situ.
Dia tak melihat apa-apa kecuali Malam Tanpa Akhir." Kemudian aku berseru dengan
suara panik, "Ada yang lahir untuk Kebahagiaan, ada yang lahir untuk Malain
Tanpa Akhir. Aku, Greta, orang itu adalah aku."
"Ingatkah kau, Greta," kataku, "Ellie sering duduk di sofa dan memainkan lagu
itu dengan gitarnya, sambil bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Kau pasti
masih ingat." "Setiap malam dan setiap pagi." Aku menyanyikan lagu itu dengan suara perlahan,
"Ada yang lahir untuk kesedihan. Setiap pagi dan setiap malam, ada yang lahir
untuk kebahagiaan." Itu Ellie, Greta. Dia memang dilahirkan untuk kebahagiaan.
"Ada yang lahir untuk kebahagiaan, ada yang lahir untuk malam tanpa akhir.
Ibuku tahu bahwa aku orang yang hidup dalam kegelapan. Aku memang belum sampai
ke sana saat ini. Tapi ibu tahu. Juga Santonix, bahwa aku sedang menuju ke
kehidupan kelam. Semestinya hal itu bisa kucegah terjadi. Ada suatu saat, satu saat penting
ketika Ellie menyanyikan lagu itu, terpikir olehku bahwa sebenarnya aku bisa
berbahagia, bukan" Benar-benar bahagia dengan menikahi Ellie" Aku bisa
seterusnya menjadi suami Ellie."
'"Tidak, kau tidak bisa," kata Greta. "Aku yakin kau bukan tipe orang yang mudah
kehilangan nyali, Mike." Greta mengguncang bahuku sekali lagi. "Sadarlah."
Aku menatap Greta. "Maaf, Greta. Apa katamu tadi?"
"Kurasa kerabat-kerabat Ellie di Amerika telah menyerangmu habis-habisan. Tapi
kau melakukan semuanya dengan benar, bukan"
Maksudku, apakah semua investasi kita aman?"
"Semuanya sudah dikelola," kataku. "Sudah dikelola dengan baik untuk masa depan
kita. Masa depan kita yang cerah."
"Nada bicaramu sangat aneh. Aku ingin tahu apa yang dikatakan Lippincott di
suratnya." Aku mengambil surat itu dan membukanya. Di dalam amplop surat itu tidak terdapat
apa-apa selain selembar guntingan kertas koran.
Kertas koran itu kelihatannya sudah agak lama dan tampak usang.
Aku menatapnya. Di situ terpampang foto sebuah jalan. Aku mengenal jalan itu,
dengan bangunan besar di belakangnya. Sebuah jalan di kota Hamburg, dan orang-
orang tampak berlalu-lalang di sekitar fotografer yang mengambil gambar itu. Ada
dua orang sedang berjalan bergandengan tangan. Greta dan aku. Jadi, Lippincott
tahu. Ia sudah tahu selama ini kalau aku telah mengenal Greta sebelumnya. Pasti ada
orang yang telah mengirimkan guntingan koran itu kepadanya, mungkin tanpa maksud
apa-apa. Cuma untuk iseng saja memperlihatkan foto Miss Greta Andersen yang
sedang berjalan-jalan di Hamburg. Lippincott sudah tahu bahwa aku
mengenal Greta, dan aku teringat ia pernah bertanya padaku, apakah aku sudah
pernah bertemu dengan Greta Andersen sebelumnya atau tidak. Tentu saja aku
menjawab tidak, tapi ia pasti tahu aku berbohong. Mulai saat itu ia pasti merasa
curiga padaku. Tiba-tiba saja aku merasa takut terhadap Lippincott. Tentunya ia tidak mengira
aku telah membunuh Ellie. Tapi ia mencurigai sesuatu, bahkan mungkin ia merasa
curiga dengan kematian Ellie.
"Lihat," kataku pada Greta, "Lippincott tahu kita sudah saling kenal sebelumnya.
Dia sudah tahu dari dulu. Aku memang tak pernah suka dengan si tua licik itu,
dan dia juga membencimu," kataku. "Jika dia tahu kita akan menikah, dia pasti
curiga." Tapi aku yakin Lippincott telah menduga bahwa Greta dan aku akan
menikah; ia pasti sudah menduga bahwa kami telah saling kenal sebelumnya, dan ia
pasti sudah menebak bahwa mungkin kami adalah sepasang kekasih.
"Mike, bisakah kau berhenti bersikap seperti kelinci yang ketakutan" Ya. Kelinci
yang ketakutan. Dulu aku sangat mengagumimu. Aku selalu mengagumimu. Tapi
sekarang kau jadi lembek. Kau ketakutan terhadap semua orang."
"Jangan berkata begitu padaku."
"Yah, itu memang benar."
"Malam tanpa akhir. "
Aku tak bisa memikirkan kata-kata lain selain kata-kata itu. Aku masih bertanya-
tanya- apa sebenarnya maksud kata-kata itu. Malam tanpa akhir. Pasti
melambangkan kegelapan abadi. Mungkin maksudnya aku tak akan terlihat. Aku bisa
melihat orang-orang yang sudah mati, tapi mereka tak dapat melihatku meski aku
masih hidup. Mereka tak dapat melihatku karena aku tidak benar-benar nyata.
Laki-laki yang mencintai Ellie itu sebenarnya tak pernah ada. Ia telah
menghilang dalam malam tanpa akhir. Aku menundukkan kepala, menatap lantai di
bawahku. "Malam tanpa akhir," kataku sekali lagi.
"Hentikan ucapanmu itu," teriak Greta. "Ayo berdiri! Bersikap jantanlah, Mike.
Jangan menyerah pada takhayul itu."
"Aku tak bisa melawannya," kataku. "Aku telah menjual jiwaku pada Gipsy's Acre,
bukan" Tanah yang dikutuk orang gipsi tak pernah aman. Tempat ini tak pernah
aman bagi siapa pun. Tidak aman bagi Ellie, dan juga bagiku. Mungkin tidak aman
buatmu juga." "Apa maksudmu?"
Aku bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Greta. Aku mencintainya. Ya, aku
masih mencintainya dengan hasrat seksual terakhir yang menggebu-gebu. Tapi
cinta, benci, nafsu... bukankah semuanya itu sama saja" Tiga perasaan yang
saling menyatu. Aku takkan pernah bisa membenci Ellie, tapi aku bisa membenci
Greta. Aku senang bisa membencinya. Aku membencinya dengan segenap hatiku dan dengan
keinginan yang menggebu-gebu - aku bahkan tak mampu menunggu sampai mendapat
kesempatan yang baik, aku tak ingin menunggu lagi. Aku berjalan semakin dekat ke
arah Greta. "Perempuan jalang!" kataku. "Perempuan pirang yang cantik dan jahat. Kau juga
tidak aman, Greta. Kau tidak aman dariku. Kau mengerti" Aku mulai menikmatinya -
menikmati membunuh orang.
Aku sangat gembira hari itu, ketika aku tahu Ellie pergi berkuda menyongsong
kematiannya. Aku sangat menikmati pagi itu karena aku telah membunuh, tapi aku
belum pernah membunuh dengan tanganku sendiri, sampai saat ini. Kali ini
berbeda. Aku bukan ingin sekadar tahu bahwa seseorang akan mati gara-gara kapsul
yang ditelannya pada waktu sarapan. Aku bukan ingin sekadar mendorong seorang
wanita tua ke dalam parit. Aku ingin menggunakan kedua tanganku sendiri."
Greta merasa takut sekarang. Dia, yang telah di takdirkan untuk memilikiku,
sejak pertama kali aku bertemu dengannya di Hamburg, sampai aku berpura-pura
sakit dan meninggalkan pekerjaanku untuk tinggal bersamanya. Ya, aku memang
miliknya saat itu, seluruh jiwa dan ragaku. Tapi aku bukan miliknya lagi
sekarang. Aku adalah milik diriku sendiri. Aku telah menemukan kerajaan lain
yang sudah lama kuidam-idamkan.
Greta tampak takut. Aku senang melihatnya ketakutan saat aku melingkarkan kedua
tanganku di lehernya. Ya, bahkan sekarang, saat aku sedang menuliskan semua yang
terjadi pada diriku (terus terang saja, kegiatan menulis ini sangat
menyenangkan) - menulis tentang dirimu sendiri, apa yang telah kaualami,
kaurasakan, dan kaurencanakan, serta bagaimana kau telah berhasil menipu semua
orang... ya, hal itu sungguh menyenangkan, ya, dan aku merasa sangat gembira
ketika aku membunuh Greta....
24 Tak banyak lagi yang bisa, kuceritakan setelah itu. Maksudku, ceritaku sudah
mencapai titik klimaksnya. Kurasa orang sering lupa bahwa setelah mencapai titik
klimaks, tak ada lagi yang lebih tinggi untuk dicapai - bahwa pada akhirnya kita
telah berhasil mendapatkan semuanya. Aku duduk lama sekali. Aku tidak tahu kapan
mereka datang. Aku bahkan tidak tahu apakah mereka datang bersama-sama atau
tidak; mereka pasti baru saja tiba; kalau tidak, mereka pasti akan mencegahku
membunuh Greta. Aku melihat sang Dewa yang paling dulu datang. Maksudku bukan
dewa sungguhan, tapi Mayor Phillpot. Sejak semula aku menyukai laki-laki itu; ia
selalu baik padaku. Dalam beberapa hal, ia memang agak mirip dewa. Maksudku
kalau ada dewa yang menjelma menjadi manusia. Mayor Phillpot memang sangat adil
dan baik hati. Ia selalu memperhatikan orang-orang di sekelilingnya, dan mencoba
memberikan yang terbaik bagi mereka.
Aku tidak tahu seberapa jauh ia mengenalku. Aku teringat pandangan penuh ingin
tahu yang dilemparkannya padaku pagi itu, di ruang lelang, ketika ia berkata
bahwa aku kelihatan terlalu gembira, dan mungkin akan mengalami peristiwa buruk
nantinya. Aku ingin tahu, mengapa ia berpikir bahwa aku akan mengalami peristiwa buruk
hari itu. Kemudian, ketika kami menemukan seonggok tubuh di tanah yang ternyata mayat
Ellie... aku jadi ingin tahu, apakah Mayor Phillpot sudah tahu saat itu, atau
apakah ia curiga aku telah membunuh Ellie.
Setelah kematian Greta, seperti sudah kukatakan sebelumnya, aku cuma bisa
terduduk di kursi, menatap gelas sampanyeku. Gelas itu sudah kosong.
Semuanya terasa amat kosong, amat sangat kosong.
Di ruangan itu hanya ada satu lampu yang telah kami nyalakan, Greta dan aku,
tapi lampu itu ada di pojok ruangan dan tidak begitu terang, sementara matahari
sudah lama tenggelam. Aku hanya duduk saja, mengira-ngira apa yang akan terjadi
sesudah ini. Setelah itu, kurasa, orang-orang mulai berdatangan. Mungkin mereka datang
beramai-ramai. Mereka pasti berjalan dengan suara pelan, sebab kalau tidak aku
pasti sudah mengetahuinya.
Jika Santonix ada di sampingku, ia pasti sudah memberitahuku apa yang harus
kulakukan. Tapi Santonix sudah tiada. Selain itu, pandangan hidupnya berbeda


Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pandangan hidupku, jadi ia juga takkan banyak membantu. Tak seorang pun
bisa benar-benar membantuku.
Sesaat kemudian, aku melihat Dokter Shaw. Ia begitu diam, sampai-sampai semula
aku tak sadar bahwa ia telah ada di ruangan itu. Ia duduk dekat sekali denganku,
seakan-akan menunggu sesuatu terjadi. Setelah sesaat kupikir ia menungguku
berbicara. Aku berkata padanya,
"Aku sudah pulang."
Ada satu-dua orang lain di belakang Dokter Shaw. Mereka juga kelihatannya sedang
menunggu sesuatu, menunggu dokter itu melakukan sesuatu.
"Greta sudah mati," kataku. "Aku telah membunuhnya. Kurasa lebih baik kau
membawa mayatnya pergi, bukan?"
Tiba-tiba seberkas cahaya yang sangat terang menyala sekejap.
Cahaya itu pasti datang dari kamera Juru foto polisi yang sedang
memotret mayat Greta. Dr. Shaw memalingkan wajahnya dan berkata dengan nada
tajam, "Jangan dulu." Ia lalu menatapku lagi. Aku membungkukkan badanku ke arah dokter itu dan
berkata, "Aku melihat Ellie tadi."
"Benarkah" Di mana?"
"Di luar, sedang berdiri di bawah pohon pinus. Di tempat aku melihatnya untuk
pertama kali." Aku berhenti sejenak, lalu berkata lagi, 'Dia tak bisa
melihatku... dia tak bisa melihatku karena aku tak ada di sana.' Setelah sesaat
aku berkata, 'Itu membuatku sedih.
Sangat sedih." Dr. Shaw berkata, "Racun itu terdapat dalam kapsul yang diminum Ellie, bukan"
Racun sianida yang kauberikan pada Ellie pagi itu?"
"Kapsul itu adalah obat alerginya," kataku. Dia selalu meminum satu kapsul untuk
mencegah alerginya kalau pergi berkuda. Greta dan aku mengganti isi satu-dua
kapsul itu dengan obat pembasmi serangga yang biasa dipakai di kebun. Kami
melakukannya di rumah peristirahatan di tengah hutan. Sungguh cerdik bukan?"
Kemudian aku tertawa. Aku merasa suara tawaku terdengar aneh.
Kedengarannya seperti suara cekikikan yang aneh. Aku berkata, "Kau memeriksa
semua obat yang diminumnya, bukan, waktu kau datang untuk memeriksa mata
kakinya" Obat tidur, obat alergi, dan semua obat-obatan itu tampaknya tidak
berbahaya, bukan" Sama sekali tidak berbahaya."
"Ya," kata Dr. Shaw. "Obat-obatan itu tidak berbahaya."
"Jadi, apa yang kulakukan itu memang cerdik, bukan?" kataku.
"Kau memang sangat cerdik, tapi tidak cukup cerdik."
"Aku memang belum mengerti, bagaimana kau bisa tahu Ellie meninggal gara-gara
kapsul itu." "Kami mengetahuinya ketika terjadi kematian yang kedua, kematian yang tidak
kaurencanakan." "Claudia Hardcastle?"
"Ya. Dia meninggal dengan cara yang sama seperti Ellie. Dia terjatuh dari
kudanya ketika, sedang berkuda. Claudia seorang gadis yang sehat tapi dia
terjatuh dari kudanya dan meninggal.
Kematiannya juga terjadi tak lama setelah kematian Ellie. Mereka menemukan
mayatnya tak lama setelah dia terjatuh, dan masih tercium bau sianida. Jika
mayat Claudia tergeletak di alam terbuka seperti Ellie selama beberapa jam,
tidak akan ada jejak apa pun yang bisa ditemukan. Tapi aku tidak tahu bagaimana
Claudia bisa mendapatkan kapsul itu. Kecuali jika kau meninggalkannya di rumah
peristirahatan. Kadang-kadang Claudia memang pergi ke tempat itu.
Sidik jarinya ada di sana, dan dia juga pernah ketinggalan pemantik apinya."
"Kami pasti telah ceroboh. Mengisi kapsul-kapsul itu memang agak susah."
Setelah itu aku berkata, "Kau dan kalian semua pasti langsung curiga bahwa kematian Ellie ada hubungannya
denganku, bukan?" Aku memandang ke arah bayang-bayang orang-orang di
sekelilingku. "Mungkin kalian semua."
"Kami memang curiga, tapi aku tak yakin kami bisa mengambil tindakan apa pun."
"Seharusnya kau menanyaiku," kataku.
"Aku bukan polisi," kata Dr. Shaw.
"Lalu apa pekerjaanmu?"
'Aku seorang dokter."
"Aku tidak butuh dokter," kataku.
"Itu masih harus diputuskan nanti."
Aku lalu memandang Phillpot dan berkata,
"Apa yang sedang kaulakukan di sini" Kau datang untuk menghakimiku juga?"
"Aku cuma datang dengan maksud damai," kata Phillpot. "Aku datang sebagai
teman." "Sebagai temanku?" Aku terkejut.
"Sebagai teman Ellie," kata Phillpot.
Aku tidak mengerti. Tak ada satu pun yang kumengerti, tapi mau tak mau aku
merasa diriku penting. Semua orang hadir di sini. Polisi dan dokter Shaw dan
Phillpot yang merupakan orang-orang sibuk.
Semuanya sungguh membingungkan. Aku merasa gamang dan sangat lelah. Aku memang
sering tiba-tiba merasa lelah dan ingin tidur....
Peristiwa demi peristiwa datang dan pergi. Orang-orang datang menemuiku,
berbagai macam orang. Para pengacara dan dokter. Mereka membuatku kesal, dan aku tak mau menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka.
Salah satu dari mereka terus bertanya padaku, kalau-kalau ada sesuatu yang
kuinginkan. Kukatakan bahwa memang ada yang kuinginkan. Aku ingin sebuah pulpen
dan setumpuk kertas. Aku ingin menuliskan semua yang telah terjadi. Aku ingin
menyampaikan pada mereka apa yang kurasakan dan kupikirkan. Semakin lama aku
berpikir tentang diriku, semakin kurasa bahwa orang-orang akan tertarik Karena
aku memang orang yang menarik. Aku benar-benar orang yang menarik, dan aku
melakukan hal-hal yang menarik.
Para dokter itu -setidaknya salah satu dari mereka - merasa ide itu bagus. Aku
berkata, "Kalian selalu memberi kesempatan pada orang-orang untuk membuat pernyataan,
jadi mengapa aku tak boleh menuliskan pernyataanku" Suatu hari nanti mungkin
semua orang bisa membacanya."
Maka mereka membiarkan aku melakukannya. Aku tak bisa menulis panjang-panjang
terus-menerus. Aku merasa sangat lelah.
Ada orang yang menyebut hal itu dengan menggunakan istilah "rasa tanggung jawab
yang semakin menipis", tapi ada juga orang yang tidak setuju. Mereka mengatakan
segala macam hal. Kadang-kadang mereka pikir kita tidak mendengarkan. Setelah
itu aku harus muncul di pengadilan, dan aku ingin mereka mengambilkan setelan
jasku yang terbaik, karena, aku harus tampil bagus di sana. Sepertinya mereka
telah menyuruh para detektif memata-mataiku. Sudah beberapa lama. Detektif-
detektif itu adalah para pelayan baru di Gipsy's Acre. Kurasa mereka telah
disewa oleh Lippincott. Mereka menemukan banyak sekali hal mengenaiku dan Greta.
Lucunya, setelah Greta meninggal, aku tak pernah memikirkannya lagi...
Setelah aku membunuhnya, rasanya ia tidak begitu penting lagi.
Kucoba mengulangi perasaan menang yang meluap-luap itu, yang kurasakan ketika
mencekik Greta. Tapi perasaan itu pun sudah hilang.
Pada suatu hari, dengan tiba-tiba mereka membawa ibuku untuk menemuiku. Ibuku
berdiri memandangiku dari ambang pintu. Raut wajahnya tidak lagi menunjukkan
kekhawatiran, yang ada cuma kesedihan. Tidak banyak yang dapat dikatakannya,
begitu pula denganku. Yang dikatakannya cuma,
"Aku sudah mencoba, Mike. Aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk menjagamu agar
kau tetap selamat. Tapi aku gagal. Aku selalu khawatir akan gagal."
Aku berkata, "Tidak apa-apa, Bu, ini semua bukan kesalahan Ibu.
Aku sudah memilih jalanku, sendiri."
Dan tiba-tiba aku terpikir, "Pasti itu maksud Santonix. Dia juga mengkhawatirkan
diriku. Dia juga tak mampu berbuat apa-apa. Tak seorang pun bisa menolongku -
kecuali mungkin aku sendiri....
entahlah. Aku tak yakin. Tapi kadang-kadang aku teringat... aku teringat waktu
Ellie berkata padaku, "Apa yang sedang kaupikirkan, sambil memandangiku seperti
itu?" dan aku berkata, "Seperti apa?"
Lalu ia menjawab, "Seakan-akan kau benar-benar mencintaiku."
Kurasa aku memang mencintainya. Semestinya aku bisa
mencintainya. Ia begitu manis. Ellie....
Kurasa masalahnya dengan diriku adalah aku terlalu banyak punya keinginan. Aku
selalu ingin mendapatkan segalanya dengan cara mudah dan rakus.
Saat pertama aku pergi ke Gipsy's Acre dan bertemu, Ellie, kemudian kami
menelusuri jalan dan bertemu dengan si wanita gipsi.
Peringatan yang diberikan gipsi itu pada Ellie menimbulkan ide di kepalaku untuk
membayarnya. Aku tahu wanita gipsi itu jenis orang yang mau melakukan apa saja
demi uang. Jadi, aku membayarnya.
Lalu ia mulai melontarkan peringatan-peringatan pada Ellie dan menakut-nakuti
Ellie, membuat Ellie berpikir bahwa ia sedang dalam bahaya. Dengan demikian,
kematian Ellie karena shock juga semakin beralasan. Sekarang aku tahu dan aku
yakin bahwa hari itu, waktu pertama kali bertemu Ellie, wanita gipsi itu benar-
benar merasa khawatir. Ia benar-benar khawatir akan keselamatan Ellie. Ia telah
memperingatkan Ellie, mengingatkannya untuk pergi, untuk tidak berurusan lagi
dengan Gipsy's Acre. Sebenarnya ia bermaksud memperingatkan Ellie agar tidak
berurusan denganku. Waktu itu aku tidak paham akan hal itu, begitu pula dengan
Ellie. Apakah akulah yang ditakutkan oleh Ellie" Kurasa demikian, meski ia sendiri
mungkin tidak menyadarinya. Ia tahu ada sesuatu yang mengancamnya. Ia tahu bahwa
ia sedang dalam bahaya. Santonix dan ibuku juga tahu bahwa aku memiliki sifat
jahat. Mungkin mereka bertiga tahu mengenai hal itu. Ellie tahu, tapi ia tidak
keberatan, ia tak pernah merasa keberatan. Sungguh aneh, benar-benar aneh. Aku
sadar sekarang. Kami sangat bahagia waktu masih tinggal bersama.
Ya, sangat bahagia. Kalau saja aku tahu bahwa saat itu kami bahagia.... Aku
sudah mendapat kesempatan. Semua orang selalu diberi kesempatan. Dan aku... aku
telah menyia-nyiakan kesempatan itu.
Sungguh aneh bukan, bahwa Greta malah tidak berarti sama sekali"
Bahkan rumahku yang indah itu juga tak penting lagi.
Hanya Ellie... dan Ellie takkan pernah menemukanku lagi - Malam Tanpa Akhir...
Inilah akhir ceritaku....
Akhirku adalah permulaanku - begitu yang sering dikatakan orang-orang.
Tapi apa artinya itu"
Dan di mana sebenarnya ceritaku dimulai" Aku harus mencoba dan berpikir...
SAMPUL Penduduk Kingston Bishop berkata siapa pun yang memiliki Gipsy's Acre akan
mengalami nasib malang dan kejadian-kejadian berbahaya... dan akhirnya akan
mengalamikematian. Tapi Mike dan Ellie sedang dilanda cinta. Mereka akan mendirikan rumah mereka di
Gipsy's Acre, dan kebahagiaan mereka akan menghapuskan segala masa lalu yang
jahat itu untuk selama-lamanya.
Kemudian ancaman-ancaman itu mulai datang. Kecelakaan-kecelakaan, juga teror.
Tiba-tiba cita-cita mereka yang indah menjadi mimpi uruk yang penuh dengan
ketakutan, pengkhianatan... dan pembunuhan!
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 14 Joko Sableng Neraka Pulau Biru Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 17
^