Mata Rantai Yang Hilang 4
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie Bagian 4
berhenti. "Itulah sebabnya," katanya lagi, tiba-tiba dengan bersemangat, "saya
sudah bertekad tidak lagi bodoh dan kekanak-kanakan. Anda mau menolong saya,
bukan?" "Sudah kukatakan, akan kulakukan apa saja di dunia ini untuk menolongmu."
Hester memberinya senyum kecil yang manis.
"Ceritakanlah," kata Calgary lagi, "apa sebenarnya yang telah terjadi?"
"Tepat seperti apa yang saya perkirakan akan terjadi," kata Hester. "Kami semua
saling memandang dan bertanya-tanya sendiri, dan kami tak tahu. Ayah melihat
pada Gwenda dan berpikir mungkin dia pelakunya. Gwenda melihat pada Ayah dan
merasa tak yakin. Saya rasa mereka tak jadi menikah sekarang. Peristiwa itu
telah merusak segala-galanya. Dan Tina menduga bahwa Micky terlibat dalam urusan
ini. Saya tak mengerti, soalnya Micky tak ada di rumah malam itu. Sedangkan
Kirsten menyangka saya yang melakukannya, dan dia mencoba melindungi saya. Lalu
Mary - kakak sulung saya yang belum pernah Anda jumpai - menduga Kirsten yang
melakukannya." "Dan menurutmu, siapa yang melakukannya, Hester?"
"Saya?" Hester terkejut.
"Ya, kau," kata Calgary. "Kurasa kau tahu, dan itu penting untuk kuketahui."
Hester mengembangkan kedua belah telapak tangannya. "Saya tak tahu," desahnya.
"Saya tak tahu. Saya - sebenarnya tak baik saya berkata begitu - tapi saya takut
sekali pada semua orang. Rasanya di balik setiap wajah ada wajah lain. Seraut
wajah yang tidak saya kenal. Saya tak yakin apakah Ayah itu benar Ayah. Dan
Kirsten terus-menerus berkata supaya saya tidak mempercayai siapa pun juga,
bahkan dirinya sendiri pun tidak. Dan saya melihat pada Mary, dan merasa saya
tak tahu apa-apa tentang dia. Dan Gwenda... selama ini saya menyukai Gwenda.
Selama ini saya senang Ayah akan menikah dengannya. Tapi sekarang saya merasa
tak yakin lagi tentang Gwenda. Saya melihatnya se bagai seseorang yang lain,
yang bengis dan... dan penuh rasa dendam. Saya jadi tak tahu bagaimana orang-
orang sebenarnya. Saya jadi sedih sekali."
"Ya," kata Calgary, "aku bisa membayangkannya."
"Begitu banyak kesedihan," kata Hester, "hingga mau tak mau saya merasa mungkin
itu pengaruh kesedihan si pembunuh juga. Dan mungkin itu yang terburuk. Apakah
menurut Anda itu mungkin?"
"Ya, kurasa itu mungkin," kata Calgary, "tapi aku ragu, soalnya aku juga tidak
ahli dalam hal itu. Aku sangsi apakah seorang pembunuh pernah sedih."
"Mengapa tidak" Saya rasa sangat mengerikan kalau kita tahu bahwa kita telah
membunuh seseorang,"
"Ya," kata Calgary, "itu memang sesuatu yang mengerikan. Dan karenanya kupikir
seorang pembunuh pasti tergolong pada salah satu dari dua macam manusia. Mungkin
baginya membunuh seseorang bukanlah sesuatu yang mengerikan. Dia termasuk
golongan manusia yang berkata pada dirinya sendiri, 'Yah, memang sayang sekali
aku harus melakukannya, tapi itu perlu sekali untuk kepentinganku sendiri.
Pokoknya itu bukan salahku. Yah, aku terpaksa melakukannya.' Atau..."
"Ya?" tanya Hester, "pembunuh macam manakah yang satu lagi?"
"Ingat, aku mereka-reka saja. Tapi kurasa bila seseorang tergolong pada pembunuh
macam yang satu lagi, dia tidak akan bisa hidup dengan kesedihan gara-gara
perbuatannya itu. Maka, kalau dia tidak mengakui perbuatannya, akan terjadilah
apa yang telah terjadi di sini: dia menimpakan kesalahan pada orang lain dengan
berkata, 'Aku tidak akan pernah melakukan perbuatan semacam itu kalau tidak ada
sesuatu yang telah terjadi. Aku sebenarnya bukan seorang pembunuh, karena aku
tidak berniat melakukannya. Tiba-tiba saja hal itu terjadi, jadi itu
sebenarnya... sebenarnya nasib, bukan perbuatanku.' Mengerti sedikitkah kau pada
apa yang kucoba jelaskan?"
"Ya," kata Hester, "dan saya rasa itu menarik sekali." Ia setengah menutup
matanya. "Saya juga sedang mencoba berpikir."
"Ya, Hester," kata Calgary, "berpikirlah. Berpikirlah sekeras-kerasnya, karena
kalaupun aku bisa membantumu, aku harus melihat persoalan-persoalannya melalui
pikiranmu." "Micky membenci Ibu," kata Hester lambat-lambat. "Sudah sejak dulu... saya tak
tahu mengapa. Tina saya rasa sayang pada Ibu. Gwenda tidak menyukainya. Kirsten
selalu setia pada Ibu, meskipun dia tidak selalu berpendapat bahwa Ibu benar
dalam segala hal. Ayah..." Ia berhenti lama.
"Ya?" Calgary mendorongnya terus.
"Ayah sudah sangat berubah," kata Hester. "Setelah Ibu meninggal, dia jadi lain
sekali. Dia tidak lagi... bagaimana menyebutnya, ya" Menjauh. Dia sudah lebih
manusiawi, lebih hidup. Tapi sekarang dia kembali ke suatu tempat gelap yang tak
dapat kita dekati. Saya tak tahu bagaimana perasaannya sebenarnya terhadap Ibu
dulu. Saya rasa dia mencintai Ibu waktu menikahinya. Mereka tak pernah
bertengkar, tapi saya tak tahu bagaimana perasaannya terhadap Ibu. Aduh,"
tangannya diulurkannya lagi, "kita tak tahu bagaimana sebenarnya perasaan kita,
bukan" Maksud saya, apa yang terjadi di balik wajah orang-orang, di balik kata-
kata manisnya sehari-hari" Mungkin mereka terkoyak-koyak rasa benci, atau cinta,
atau putus asa, dan tak ada orang lain yang tahu! Mengerikan sekali... Oh, Dr.
Calgary, menakutkan sekali!"
Calgary menggenggam kedua tangan Hester.
"Kau bukan anak kecil lagi," katanya. "Hanya anak kecil yang ketakutan. Kau
sudah dewasa, Hester. Kau seorang wanita." Dilepaskannya tangan gadis itu, lalu
berkata dengan nada tegas, "Adakah suatu tempat di London ini, di mana kau bisa
menginap?" Hester kelihatan bingung.
"Saya rasa ada. Entah, ya. Ibu biasanya bermalam di Hotel Curtis."
"Oh, itu hotel yang cukup bagus dan tenang. Kalau aku jadi kau, aku akan pergi
ke sana dan menyewa kamar."
"Akan saya lakukan apa saja yang Anda suruh," kata Hester.
"Bagus," kata Calgary. "Jam berapa sekarang?" Ia mendongak melihat jam. "Wah,
sudah hampir jam tujuh. Bagaimana kalau sekarang kau pergi dan memesan kamar"
Nanti kira-kira jam delapan kurang seperempat, aku datang dan membawamu pergi
makan malam. Bagaimana?"
"Menyenangkan sekali," kata Hester. "Bersungguh-sungguhkah Anda?"
"Ya," kata Calgary, "aku bersungguh-sungguh."
"Tapi setelah itu" Apa yang akan terjadi lagi" Saya kan tak bisa tinggal di
Hotel Curtis selama-lamanya?"
"Cakrawalamu agaknya selalu tak terbatas, ya?"
"Anda menertawakan saya?" tanya Hester ragu-ragu.
"Sedikit," kata Calgary, lalu ia pun tersenyum.
"Memang," katanya dengan yakin, "saya rasa saya mulai lagi bersikap berlebihan."
"Kurasa itu merupakan kebiasaanmu, ya?" kata Calgary.
"Itulah sebabnya saya kira saya bisa main drama," kata Hester. "Tapi ternyata
tidak bisa. Sama sekali tidak bisa. Ah, saya hanya artis picisan."
"Kurasa kau bisa memainkan drama apa saja dari kehidupan biasa," kata Calgary.
"Nah, sekarang kau kucarikan taksi, anak manis, dan kau pergi ke Hotel Curtis.
Cuci mukamu dan sisir rambutmu," lanjutnya. "Apakah kau membawa barang-barang?"
"Ada. Barang-barang keperluan untuk bermalam."
"Bagus." Ia tersenyum pada Hester. "Jangan khawatir, Hester," katanya lagi.
"Kita akan memikirkan sesuatu."
BAB XIX "AKU ingin berbicara denganmu, Kirsty," kata Philip.
"Ya, silakan, Philip."
Kirsten Lindstrom menghentikan pekerjaannya. Ia baru saja membawa masuk pakaian
yang sudah dicuci dan memasukkannya ke lemari pakaian.
"Aku ingin berbicara tentang urusan ini semua," kata Philip. "Kau mau, kan?"
"Sudah terlalu banyak yang dibicarakan," kata Kirsten. "Itulah pendapatku."
"Tapi ada juga baiknya, kan," kata Philip, "untuk bersama-sama mengambil
kesimpulan. Kau kan tahu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Semuanya tak beres di mana-mana," sahut Kirsten.
"Apakah menurutmu, Leo dan Gwenda tetap akan menikah?"
"Mengapa tidak?"
"Ada beberapa alasan," kata Philip. "Pertama-tama, mungkin karena Leo Argyle
cerdas, dia menyadari bahwa bila dia dan Gwenda menikah, polisi akan mendapatkan
bukti yang mereka perlukan. Suatu motif yang baik sekali untuk membunuh
istrinya. Atau, kalau tidak, karena Leo curiga Gwenda-lah pembunuhnya. Dan
karena dia pria yang sensitif, dia tak mau menikahi wanita yang sudah membunuh
istri pertamanya. Bagaimana pendapatmu mengenai hal itu?"
"Tak ada," kata Kirsten. "Apa yang bisa kukatakan?"
"Wah, kau menjalankan siasat tutup mulut kelihatannya, ya, Kirsty?"
"Aku tak mengerti apa maksudmu."
"Siapa yang kaulindungi, Kirsty?"
"Aku tidak melindungi siapa-siapa. Kupikir orang harus mengurangi bicara, dan
kupikir sebaiknya orang-orang tidak tinggal di rumah ini berlama-lama. Itu tak
baik. Kurasa kau sebaiknya pulang bersama istrimu ke rumah kalian sendiri."
"Oh, begitu pendapatmu, ya" Mengapa?"
"Kau bertanya terus," kata Kirsten. "Kau mencoba menyelidiki, ya" Padahal
istrimu tak suka kau melakukannya. Dia lebih bijak daripada kau. Bisa-bisa kau
menemukan sesuatu yang tak ingin kautemukan, atau yang tak ingin ditemukan Mary.
Sebaiknya kau pulang, Philip. Sebaiknya kau pulang secepatnya."
"Aku tak ingin pulang," kata Philip. Bicaranya seperti anak kecil yang
membangkang. "Begitulah kata anak-anak," kata Kirsten. "Mereka katakan saya tak mau melakukan
ini atau berbuat itu, tapi orang-orang yang lebih tahu membujuk mereka melakukan
apa yang tak mau mereka lakukan."
"Jadi, ini caramu membujuk, ya?" kata Philip. "Memberikan perintah-perintah."
"Tidak, aku tidak memberikan perintah-perintah. Aku hanya menasihatimu." Ia
mendesah. "Aku juga akan menasihati mereka semua. Micky harus kembali ke
pekerjaannya, seperti Tina yang sudah kembali ke perpustakaannya. Aku senang
Hester sudah pergi. Dia memang seharusnya berada di tempat yang dia tidak akan
selalu diingatkan akan semua kejadian ini."
"Ya," kata Philip. "Aku sependapat denganmu dalam hal itu. Kau benar mengenai
Hester. Tapi bagaimana dengan kau sendiri, Kirsty" Apakah kau tidak harus pergi
pula?" "Ya," kata Kirsten sambil mendesah. "Aku pun harus pergi."
"Mengapa tidak?"
"Kau tidak akan mengerti. Sudah terlambat bagiku untuk pergi."
Philip memandanginya sambil merenung. Lalu katanya,
"Ada begitu banyak variasi, bukan" Variasi mengenai satu soal yang sama. Leo
mengira Gwenda yang melakukannya. Gwenda mengira Leo yang melakukannya. Tina
mengetahui sesuatu yang membuatnya mencurigai seseorang yang melakukannya. Micky
tahu siapa yang melakukannya." Ia berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Tapi
sebenarnya, Kirsty, semua itu hanya variasi mengenai pokok persoalan seperti
yang kukatakan tadi. Kita tahu betul siapa yang melakukannya, bukan, Kirsty"
Kita berdua tahu, bukan?"
Kirsten melihat padanya sekilas dengan pandangan ketakutan.
"Begitulah pendapatku," kata Philip dengan gembira.
"Apa maksudmu?" kata Kirsten. "Apa yang ingin kaukatakan?"
"Aku sebenarnya tak tahu siapa yang melakukannya," kata Philip. "Tapi kau tahu.
Kau tidak hanya merasa tahu siapa yang melakukannya, tapi kau benar-benar tahu.
Aku benar, kan?" Kirsten berjalan dengan tegas ke arah pintu. Dibukanya pintu itu, lalu ia
berbalik dan berkata, "Sebenarnya tak sopan mengatakannya, tapi aku akan mengatakannya. Kau bodoh,
Philip. Apa yang sedang kaulakukan itu berbahaya. Kau sudah tahu satu macam
bahaya. Kau pernah menjadi penerbang. Kau pernah menghadapi maut di langit sana.
Tak bisakah kau menyadari bahwa bila kau sampai mendekati kebenarannya, kau akan
berada dalam bahaya yang sama besarnya dengan dalam perang?"
"Dan bagaimana dengan kau, Kirsty" Kalau kau tahu kejadian yang sebenarnya,
tidakkah kau berada dalam bahaya pula?"
"Aku bisa menjaga diriku," kata Kirsten dengan keras. "Aku bisa berjaga-jaga.
Tapi kau, Philip, kau berada di kursi roda, dan kau tak berdaya. Ingat itu!
Apalagi," sambungnya, "aku tak suka mengumbar pandangan-pandanganku. Aku suka
mendiamkan keadaan sebagaimana adanya, karena aku benar-benar berpendirian bahwa
itu yang terbaik untuk semua orang. Bila semua orang mau pergi dan mengurus
urusannya sendiri-sendiri, tidak akan ada lagi kesulitan. Bila ditanya, aku
memberikan jawaban resmi. Aku akan tetap mengatakan bahwa itu perbuatan Jacko."
"Jacko?" Philip tercengang.
"Mengapa tidak" Jacko itu licik. Jacko bisa membuat rencana dan berupaya supaya
dia tidak menanggung akibatnya. Waktu masih anak-anak pun dia sudah sering
berbuat begitu. Apalagi mencari-cari alibi palsu. Bukankah itu dilakukan orang
setiap hari?" "Tak mungkin dia mengarang-ngarang yang satu ini. Dr. Calgary..."
"Uh, Dr. Calgary... Dr. Calgary," kata Kirsten tak sabaran. "Hanya karena dia
terkenal, hanya karena namanya sudah tersohor, orang lalu berkata 'Dr. Calgary',
seolah-olah dia itu Tuhan! Padahal coba dengar kata-kataku ini. Kalau orang
menderita gegar otak seperti yang pernah menimpa dirinya itu, segala-galanya
bisa berlainan dari yang diingatnya. Mungkin harinya jadi lain, waktunya lain,
dan tempatnya pun lain?"
Philip memandanginya dengan kepala agak miring.
"Jadi begitu keteranganmu," katanya. "Dan kau berpegang pada keterangan itu. Itu
suatu usaha yang bisa dipercaya. Tapi kau sendiri tidak mempercayainya, bukan,
Kirsty?" "Aku sudah memberimu peringatan," kata Kirsten. "Aku tak bisa berbuat lebih
banyak." Ia berbalik, tapi kemudian dijengukkannya lagi kepalanya di pintu, dan berkata
dengan suara tegas seperti biasanya,
"Katakan pada Mary, pakaian bersih kalian sudah kuletakkan dalam laci kedua di
situ." Philip tersenyum kecil mendengar penutupan itu, lalu senyum itu lenyap....
Ia makin bergairah. Ia merasa sudah amat dekat. Pengalamannya dengan Kirsten
sangat memuaskan, tapi ia tak yakin apakah masih bisa mengorek lebih banyak dari
wanita itu. Sikap Kirsten yang mencemaskan dirinya membuatnya jengkel.
Keadaannya yang lumpuh tidak berarti bahwa ia sama sekali tak berdaya seperti
kata Kirsten. Ia juga bisa berjaga-jaga, apalagi bukankah ia diawasi terus-
menerus" Mary hampir tak pernah meninggalkan sisinya.
Ditariknya secarik kertas, lalu ia mulai menulis. Catatan-catatan singkat, nama-
nama, tanda-tanda tanya. Suatu titik lemah yang harus diselidiki....
Tiba-tiba ia mengangguk, lalu menulis: Tina.
Ia memikirkannya. Lalu ditariknya secarik kertas lagi.
Waktu Mary masuk, ia hampir-hampir tidak mengangkat kepalanya.
"Sedang apa kau, Philip?"
"Menulis surat."
"Kepada Hester?"
"Hester" Bukan. Aku bahkan tak tahu di mana dia menginap. Kirsty baru menerima
kartu pos dari dia, dengan hanya bertulisan London di atasnya."
Ia tertawa pada Mary. "Kurasa kau cemburu, ya, Polly?"
Mary membalas pandangannya dengan mata birunya dan dingin.
"Mungkin." Philip jadi merasa tak enak.
"Kepada siapa kau menulis surat?" Mary mendekatinya selangkah.
"Kepada Jaksa Penuntut Umum," kata Philip dengan ceria, meskipun di dalam hati
ia merasa marah. Tak bisakah orang menulis surat tanpa ditanyai"
Lalu dilihatnya wajah Mary, dan marahnya hilang.
"Aku hanya bercanda, Polly. Aku menulis surat pada Tina."
"Pada Tina" Mengapa?"
"Tina sasaran seranganku yang berikut. Akan ke mana kau, Polly?"
"Ke kamar mandi," kata Mary, sambil berjalan keluar kamar.
Philip tertawa. Ke kamar mandi, seperti pada malam pembunuhan itu. Ia tertawa
lagi waktu teringat percakapan mereka tentang hal itu.
II "Ayolah, Nak," kata Inspektur Huish mendorong. "Coba ceritakan."
Cyril Green menarik napas panjang. Tapi sebelum ia sempat berbicara, ibunya
sudah memotong, "Begini, Mr. Huish. Saya tidak terlalu memperhatikan waktu itu. Anda tentu
maklum bagaimana anak-anak ini. Yang mereka bicarakan dan pikirkan selalu
tentang pesawat-pesawat dan benda-benda antariksa. Waktu itu dia pulang dan
berkata, 'Mum, saya melihat sputnik sedang terbang.' Sebelum itu katanya dia
melihat piring terbang. Selalu ada saja. Orang-orang Rusia itulah yang membuat
anak-anak ini mengkhayalkan macam-macam."
Inspektur Huish mendesah dan berpikir bahwa akan jauh lebih mudah bila ibu-ibu
tidak bersikeras menyertai putra-putra mereka dan berbicara untuk anak-anak itu.
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayolah, Cyril," katanya, "kau pulang dan menceritakan pada mummy-mu - betul, kan"
- bahwa kau melihat sputnik Rusia - atau semacamnya?"
"Waktu itu saya belum tahu," kata Cyril. "Waktu itu saya masih kecil. Waktu itu
dua tahun yang lalu. Sekarang, sih, saya sudah tahu."
"Waktu itu mobil-mobil kecil masih baru," sela ibunya lagi. "Di tempat ini,
waktu itu belum ada. Jadi wajarlah waktu dia melihatnya - apalagi warnanya merah -
dia tak tahu bahwa itu mobil biasa. Dan waktu keesokan harinya kami dengar bahwa
Mrs. Argyle terbunuh, Cyril langsung berkata pada saya, 'Mum, pasti itu
perbuatan orang-orang Rusia itu. Pasti mereka turun dengan sputnik mereka,
mereka masuk, lalu membunuhnya.' Kata saya, 'Jangan bicara yang tidak-tidak
begitu.' Lalu kami dengar putranya sendiri telah ditangkap atas tuduhan
melakukan perbuatan itu."
Dengan sabar Inspektur Huish menujukan perhatiannya pada Cyril lagi.
"Waktu itu malam hari, bukan" Ingatkah kau, jam berapa waktu itu?"
"Saya baru habis minum teh," kata Cyril. Ia bernapas keras, dalam usahanya untuk
mengingat. "Dan Mummy sedang pergi ke Yayasan. Jadi saya keluar lagi dengan
teman-teman, lalu kami bersenang-senang dan berkeliling ke arah jalan baru itu."
"Untuk apa kalian ke sana" Aku jadi ingin tahu," sela ibunya.
Agen Polisi Good, yang mencatat wawancara tentang kesaksian yang bagus itu,
berhenti. Ia tahu benar apa yang telah dilakukan Cyril dan kawan-kawannya di
jalan baru itu. Beberapa ibu rumah tangga telah melaporkan dengan marah tentang
hilangnya bunga-bunga krisan di sana. Dan ia tahu pula bahwa ada beberapa orang
desa yang jahat, diam-diam telah mendorong anak-anak itu untuk mencarikan mereka
bunga-bunga yang akan mereka jual sendiri di pasar. Tapi Agen Polisi Good tahu
bahwa sekarang bukan saatnya mengorek kembali perkara-perkara kenakalan anak-
anak di masa lalu. Dengan suara berat dia berkata,
"Anak-anak tetap anak-anak, Mrs. Green. Mereka memang suka bersuka ria kian-
kemari." "Ya," kata Cyril, "hanya bermain-main saja. Dan di situlah saya melihatnya.
'Wah,' kata saya, 'apa itu"' Sekarang tentu saya sudah tahu. Saya bukan anak
kecil yang bodoh lagi. Itu sebuah mobil kecil. Warnanya merah cerah."
"Dan waktunya?" tanya Inspektur Huish dengan sabar.
"Yah, seperti kata saya, waktu itu sekitar jam tujuh, karena kemudian saya
mendengar jam berbunyi. Lalu kata saya, 'Wah, Mummy hampir pulang. Dia pasti
marah besar kalau aku tidak ada di rumah.' Jadi saya pulang. Saya ceritakan
padanya bahwa saya melihat satelit Rusia itu mendarat. Mum berkata bahwa semua
itu bohong, padahal tidak. Hanya sekarang saya tahu apa itu sebenarnya. Waktu
itu saya masih kecil."
Inspektur Huish berkata bahwa ia mengerti. Setelah mengajukan beberapa
pertanyaan lagi, Mrs. Green dan anaknya diperbolehkan pulang. Agen Polisi Good
tinggal bersamanya. Anggota kepolisian yang masih junior itu memperlihatkan
sikap senang karena mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan kecerdasannya,
dan ia berharap hal itu akan ada pengaruhnya dalam kenaikan pangkatnya.
"Waktu anak itu mengatakan bahwa orang-orang Rusia yang telah membunuh Mrs.
Argyle, saya jadi sadar," kata Agen Polisi Good. "Saya pikir, 'Nah, ini ada
gunanya.'" "Itu memang ada gunanya," kata Inspektur. "Miss Tina Argyle memiliki sebuah
mobil kecil berwarna merah. Kelihatannya aku harus mengajukan beberapa
pertanyaan lagi padanya."
III "Anda ada di sana malam itu, bukan, Miss Argyle?"
Tina memandangi inspektur itu. Tangannya terletak di pangkuannya dengan tenang.
Matanya yang gelap dan tak berkedip tidak membayangkan apa-apa.
"Sudah lama sekali," katanya. "Saya tak ingat lagi."
"Ada yang melihat mobil Anda di sana," kata Huish.
"Begitukah?" "Ayolah, Miss Argyle. Waktu kami meminta keterangan mengenai gerak-gerik Anda
malam itu, Anda katakan bahwa Anda pulang dan tidak keluar lagi malam itu. Anda memasak
makanan dan mendengarkan gramofon. Nah, itu tidak benar. Jam tujuh kurang
sedikit, mobil Anda terlihat di jalan tak jauh dari Sunny Point. Apa yang Anda
lakukan di sana?" Tina tak menjawab. Huish menunggu beberapa lama, lalu berkata lagi,
"Apakah Anda masuk ke rumah, Miss Argyle?"
"Tidak," kata Tina.
"Tapi Anda ada di sana?"
"Anda yang mengatakan bahwa saya di sana."
"Ini bukan persoalan bahwa saya yang mengatakannya. Kami punya bukti bahwa Anda
ada di sana." Tina mendesah. "Ya," katanya. "Saya memang pergi ke sana naik mobil saya, malam itu."
"Tapi Anda katakan bahwa Anda tidak masuk ke dalam rumah?"
"Tidak, saya tidak masuk ke dalam rumah."
"Apa yang Anda lakukan?"
"Saya kembali lagi ke Redmyn. Lalu seperti yang saya katakan pada Anda, saya
memasak makan malam dan mendengarkan gramofon."
"Untuk apa Anda pergi ke sana, kalau Anda tidak masuk ke rumah?"
"Saya berubah pikiran," kata Tina.
"Apa yang membuat Anda berubah pikiran, Miss Argyle?"
"Waktu sampai di sana, saya lalu tak ingin masuk."
"Apakah karena Anda melihat atau mendengar sesuatu?"
Tina tak menjawab. "Dengarkan, Miss Argyle. Malam itu adalah malam ibu Anda terbunuh. Dia terbunuh
antara jam tujuh dan setengah delapan. Anda berada di sana, mobil Anda ada di
sana, jam tujuh kurang sedikit. Kami tak tahu berapa lama mobil itu berada di
sana. Mungkin saja agak lama. Mungkin Anda masuk ke rumah. Saya rasa Anda
memiliki kunci pintu depan?"
"Ya," kata Tina, "saya memiliki kunci."
"Mungkin Anda masuk ke rumah. Mungkin Anda masuk ke ruang duduk ibu Anda dan
menemukannya sudah meninggal. Atau mungkin..."
Tina mengangkat tangannya.
"Atau mungkin saya yang membunuhnya" Itukah yang ingin Anda katakan, Inspektur
Huish?" "Itu satu kemungkinan," kata Huish, "tapi saya rasa, Miss Argyle, lebih besar
kemungkinannya seseorang lain yang membunuhnya. Kalau begitu, saya rasa Anda
tahu - atau menaruh kecurigaan besar - siapa pembunuhnya."
"Saya tidak masuk ke dalam rumah," kata Tina.
"Jadi Anda melihat sesuatu atau mendengar sesuatu. Anda melihat seseorang masuk
ke rumah, atau seseorang meninggalkan rumah. Mungkin seseorang yang tidak kita
ketahui berada di sana. Apakah dia saudara Anda, Michael, Miss Argyle?"
"Saya tidak melihat siapa-siapa," kata Tina.
"Tapi Anda mendengar sesuatu," kata Huish dengan tajam. "Apa yang Anda dengar,
Miss Argyle?" "Sudah saya katakan, saya segera berubah pikiran," kata Tina.
"Maafkan saya, Miss Argyle, tapi saya tak percaya. Untuk apa Anda pergi dari
Redmyn untuk mengunjungi keluarga Anda, lalu kembali lagi tanpa menemui mereka"
Pasti ada sesuatu yang membuat Anda berubah pikiran. Sesuatu yang Anda lihat
atau Anda dengar." Huish membungkukkan tubuhnya. "Saya rasa, Anda tahu siapa
yang membunuh ibu Anda, Miss Argyle."
Tina menggelengkan kepalanya lambat-lambat.
"Anda tahu sesuatu," kata Huish. "Tapi Anda bertekad tidak mengatakannya. Tapi
pikirkan, Miss Argyle, pikirkan baik-baik. Adakah Anda sadari bahwa Anda
menyiksa seluruh keluarga Anda dengan bersikap demikian" Maukah Anda, semuanya
tetap dicurigai" Karena itulah yang akan terjadi selama kita belum menemukan
keadaan yang sebenarnya. Siapa pun yang telah membunuh ibu Anda, tak pantas Anda
lindungi. Karena memang itulah yang sedang Anda lakukan sekarang, bukan" Anda
melindungi seseorang!"
Lagi-lagi mata gelap yang polos itu menatapnya.
"Saya tak tahu apa-apa," kata Tina. "Saya tak mendengar apa-apa dan tak melihat
apa-apa. Saya hanya berubah pikiran."
BAB XX CALGARY dan Huish berpandangan. Yang terlihat oleh Calgary adalah seorang pria
yang tampak sangat sedih dan murung. Ia kelihatan begitu sedih, hingga Calgary
menyangka karier Inspektur Huish merupakan suatu rangkaian panjang kegagalan. Ia
terkejut ketika kemudian mendengar bahwa Inspektur Huish sangat berhasil dalam
profesinya. Sedangkan yang terlihat oleh Huish adalah seorang pria langsing yang rambutnya
terlalu cepat beruban, bahu yang agak bungkuk, seraut wajah sensitif, dan senyum
yang amat menarik. "Saya rasa Anda tak tahu siapa saya," kata Calgary membuka pembicaraan.
"Oh, kami sudah tahu semua tentang Anda, Dr. Calgary," kata Huish. "Anda boleh
dinamakan si pengacau yang telah merusak perkara Argyle." Suatu senyum yang tak
diduga mengangkat sudut-sudut mulutnya yang sedih.
"Kalau begitu, Anda menganggap saya tidak baik," kata Calgary.
"Itu semua biasa," kata Inspektur Huish. "Perkara ini kelihatannya sudah jelas,
dan tak ada seorang pun yang bisa dipersalahkan kalau dia beranggapan begitu.
Tapi itu biasa," katanya lagi. "Itu suatu cobaan bagi kami, begitu kata ibu
saya. Kami tidak marah, Dr. Calgary. Soalnya kita sama-sama ingin menegakkan
keadilan, bukan?" "Begitulah pendirian saya selalu, dan akan tetap begitu," kata Calgary. "Tak
seorang pun yang tidak akan mengecap keadilan," gumamnya.
"Itu kutipan dari Magna Carta," kata Inspektur Huish.
"Ya," kata Calgary, "kata-kata itu dikutip Miss Tina Argyle."
Alis Inspektur Huish naik.
"Anda membuat saya terkejut. Menurut saya, justru wanita muda itulah yang tidak
terlalu aktif membantu kami dalam usaha menegakkan keadilan itu."
"Mengapa Anda berkata begitu?" tanya Calgary.
"Terus terang," kata Huish, "karena dia tak mau memberikan informasi. Saya yakin
akan hal itu." "Mengapa?" "Yah, begitulah urusan keluarga," kata Huish. "Para anggota keluarga tentu
kompak. Tapi untuk apa Anda ingin menemui saya?" lanjutnya.
"Saya ingin mendapatkan informasi," kata Calgary.
"Mengenai perkara Argyle itu?"
"Saya menyadari bahwa saya pasti dianggap ingin mencampuri persoalan yang bukan
urusan saya." "Yah, itu boleh dikatakan urusan Anda juga, bukan?"
"Oh, Anda menghargainya. Ya, saya merasa bertanggung jawab. Bertanggung jawab
karena telah menimbulkan kesulitan."
"Ah, ada pepatah Prancis yang mengatakan, kita tak bisa membuat kue yang enak
tanpa memecahkan telur," kata Huish.
"Ada beberapa hal yang ingin saya ketahui," kata Calgary.
"Seperti?" "Saya menginginkan informasi lebih banyak lagi mengenai Jacko Argyle."
"Mengenai Jacko Argyle. Wah, tidak saya duga Anda mengucapkan nama itu begitu."
"Setahu saya, dia sudah banyak melakukan kejahatan," kata Calgary. "Yang ingin
saya ketahui adalah beberapa hal yang lebih terperinci dari perbuatan-perbuatan
kejahatan itu." "Oh, itu mudah sekali," kata Huish. "Dua kali dia menjalani hukuman percobaan.
Pada suatu peristiwa lain, dia menggelapkan dana. Dia dibebaskan karena bisa
mengganti uang itu pada waktunya."
"Calon penjahat muda rupanya?" kata Calgary.
"Benar sekali," kata Huish. "Tapi bukan pembunuh, seperti yang telah Anda
buktikan pada kami. Tapi yang lain-lain memang benar. Tapi ingat, tak pernah
dalam ukuran besar. Dia hanya penjahat kecil-kecilan. Mencuri uang kas, atau
memeras uang dari kaum wanita."
"Dan caranya apik dan aman pula," kata Inspektur Huish. "Kaum wanita mudah
terpikat olehnya. Biasanya yang didatanginya wanita-wanita setengah umur atau
yang sudah agak tua. Anda akan heran betapa mudahnya wanita macam itu dikelabui.
Anak muda itu pandai sekali memikat. Mereka dibuatnya percaya bahwa dia benar-
benar mencintai mereka. Tak satu pun yang tak dipercayai wanita, bila itu memang
menjadi keinginannya."
"Lalu?" tanya Calgary.
Huish mengangkat bahu. "Yah, cepat atau lambat mereka kecewa. Tapi mereka tentu tidak menuntut. Mereka
tak mau dunia sampai tahu bahwa mereka telah dibodohi. Ya, caranya memang aman."
"Pernahkah dia mengadakan pemerasan dalam arti sebenarnya?" tanya Calgary.
"Setahu kami tak pernah," kata Huish. "Tapi ingat, saya rasa itu bukan hal yang
tak mungkin dilakukannya. Maksud saya, yang dilakukannya bukan pemerasan terang-
terangan. Mungkin sekadar ancaman kecil. Surat-surat, umpamanya. Surat-surat
rahasia. Hal-hal yang tak boleh diketahui suami-suami mereka. Dengan cara itu,
dia bisa membungkam seorang wanita."
"Saya mengerti," kata Calgary.
"Hanya itukah yang ingin Anda ketahui?" tanya Huish.
"Ada seorang anggota keluarga Argyle yang belum pernah saya temui," kata
Calgary. "Putri sulung mereka."
"Oh, Mrs. Durrant."
"Saya pergi ke rumah mereka, tapi tertutup. Kata orang-orang di situ, dia dan
suaminya sedang tidak di tempat."
"Mereka berada di Sunny Point."
"Masih di sana?"
"Ya. Mr. Durrant masih ingin tinggal," tambah Huish. "Saya dengar, dia sedang
mencoba-coba menyelidiki."
"Dia lumpuh, bukan?"
"Ya, gara-gara polio. Menyedihkan sekali. Dia banyak waktu, dan dia iseng.
Kasihan dia. Sebab itulah dia begitu bersemangat menanggapi urusan pembunuhan
ini. Pikirnya, dia juga bisa menemukan sesuatu."
"Benarkah begitu?" tanya Calgary.
Huish mengangkat bahu. "Saya rasa mungkin saja," katanya. "Saya rasa, dia bahkan punya kesempatan yang
lebih besar daripada kita. Dia mengenal keluarga itu, dan dia memiliki naluri
serta kecerdasan tinggi."
"Apakah menurut Anda dia akan berhasil?"
"Mungkin," kata Huish, "tapi kalaupun berhasil, dia tidak akan menceritakannya
pada kami. Mereka akan merahasiakannya di antara keluarga mereka sendiri saja."
"Apakah Anda sendiri tahu siapa yang sebenarnya bersalah, Inspektur?"
"Anda tak boleh menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Dr. Calgary."
"Apakah itu berarti bahwa Anda tahu?"
"Kita bisa menduga bahwa kita tahu sesuatu," kata Huish lambat-lambat, "tapi
kalau kita tak punya bukti, tak banyak yang bisa kita lakukan, bukan?"
"Dan Anda tak mungkin bisa mendapatkan bukti yang Anda perlukan?"
"Oh, kami sabar sekali," kata Huish. "Kami akan mencoba terus."
"Apa yang akan terjadi atas diri mereka semua bila Anda tak berhasil?" kata
Calgary sambil membungkukkan tubuhnya. "Adakah Anda pikirkan itu?"
Huish memandanginya. "Itu yang Anda susahkan, bukan, Sir?"
"Mereka harus tahu," kata Calgary. "Apa pun juga yang akan terjadi, mereka harus
tahu." "Tidakkah Anda menduga bahwa mereka tahu?"
Calgary menggeleng. "Tidak," katanya lambat-lambat, "itulah yang menyedihkan."
II "Wah," kata Maureen Clegg, "Anda lagi."
"Maafkan saya harus mengganggu Anda lagi," kata Calgary.
"Oh, Anda sama sekali tidak mengganggu saya. Mari masuk. Saya hari ini libur."
Calgary sudah tahu hal itu; itulah sebabnya dia berada di situ.
"Joe sebentar lagi pulang," kata Maureen. "Saya tidak membaca berita apa-apa
lagi dalam surat-surat kabar. Maksud saya, sejak dia mendapatkan pengampunan
itu. Hanya sedikit mengenai pertanyaan yang diajukan di Parlemen, dan dipastikan
bahwa dia jelas tidak melakukannya. Tapi tak ada berita mengenai apa yang sedang
dilakukan polisi dan siapa yang sebenarnya telah melakukannya. Apakah mereka tak
bisa menemukannya?" "Apakah Anda sendiri tak punya bayangan?"
"Wah, tak ada," kata Maureen. "Tapi saya tidak akan terkejut bila dikatakan
bahwa pembunuhnya anak laki-lakinya yang seorang lagi. Soalnya dia aneh dan
pemurung sekali. Joe kadang-kadang melihatnya membawa orang-orang berkeliling.
Dia bekerja pada perusahaan Bence Group. Dia cukup tampan, tapi saya rasa dia
pemurung sekali. Joe mendengar desas-desus bahwa dia akan pergi ke Persia atau
tempat lain. Saya rasa itu tak baik, ya?"
"Saya tak mengerti mengapa itu tak baik, Mrs. Clegg."
"Yah, itu salah satu tempat di mana polisi tak bisa menangkap orang, bukan?"
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurut Anda dia melarikan diri?"
"Mungkin dia merasa harus berbuat begitu."
"Saya rasa biasanya memang begitu kata orang," kata Arthur Calgary.
"Banyak sekali desas-desus yang beredar," kata Maureen. "Kata orang, si suami
punya hubungan dengan sekretarisnya. Tapi sekiranya suaminya pelakunya, saya
rasa lebih mungkin kalau ia menggunakan racun untuk membunuh istrinya. Itu yang
biasa dilakukan orang, bukan?"
"Yah, Anda lebih sering menonton film daripada saya, Mrs. Clegg."
"Saya tidak begitu memperhatikan layar," kata Maureen. "Tahukah Anda, bila kita
bekerja di situ, kita jadi bosan sekali dengan film-film. Oh, halo, ini Joe."
Joe Clegg juga kelihatan terkejut melihat Calgary, dan mungkin juga tidak begitu
senang. Mereka bercakap-cakap sebentar, lalu Calgary menyatakan maksud
kunjungannya. "Apakah Anda mau menuliskan sebuah nama dan alamatnya?" katanya. Ia
menuliskannya dengan cermat dalam buku catatannya.
III Calgary memperkirakan ia berumur lima puluhan. Seorang wanita gemuk yang serba
canggung, yang pasti tak pernah cantik. Tapi matanya bagus, berwarna cokelat dan
ramah. "Aduh, Dr. Calgary." Ia kelihatan bingung dan kacau. "Wah, saya benar-benar tak
tahu..." Calgary membungkukkan tubuhnya. Ia berusaha menghilangkan rasa enggan pada
wanita itu, dan menenangkannya, serta berusaha supaya ia merasakan simpatinya.
"Itu sudah lama sekali," kata wanita itu. "Saya benar-benar tak ingin diingatkan
akan... akan beberapa hal."
"Saya mengerti betul itu," kata Calgary, "dan persoalan ini sama sekali tidak
akan diberitahukan pada umum. Saya memastikan hal itu."
"Tapi Anda katakan bahwa Anda akan menulis buku tentang hal itu?"
"Hanya sebuah buku untuk melukiskan suatu tipe watak," kata Calgary. "Soalnya
hal itu menarik kalau ditinjau dari ilmu kedokteran atau kejiwaan. Tidak akan
ada nama-nama. Hanya Mr. A. atau Mrs. B., begitu saja."
"Anda pernah pergi ke Kutub Selatan, bukan?" tanyanya tiba-tiba.
Calgary terkejut karena perubahan bahan pembicaraan yang mendadak itu.
"Ya," jawabnya, "ya, saya ikut Ekspedisi Hayes Bentley."
Wajah wanita itu memerah. Ia jadi kelihatan lebih muda. Sesaat lamanya Calgary
jadi bisa melihat bagaimana ia waktu masih gadis.
"Saya suka membaca tentang hal itu. Soalnya saya selalu tertarik oleh apa saja
yang berhubungan dengan kutub-kutub. Bukankah orang Norwegia bernama Amundsen
itu yang pertama kali datang ke sana" Saya rasa kutub-kutub jauh lebih menarik
daripada Mount Everest atau satelit mana pun juga, atau pergi ke bulan atau
semacamnya." Calgary menangkap kesempatan itu dan mulai bercakap-cakap tentang ekspedisi
tersebut. Aneh, bahwa minat romantis wanita itu terletak pada penjelajahan
kutub. Akhirnya ia berkata sambil mendesah,
"Menyenangkan sekali mendengar semuanya itu dari seseorang yang benar-benar
pernah berada di sana." Lalu katanya lagi, "Anda ingin tahu tentang... tentang
Jackie, ya?" "Ya." "Anda tidak akan memakai nama saya, bukan?"
"Pasti tidak. Sudah saya katakan itu pada Anda tadi. Anda tentu tahu bagaimana
hal-hal itu dilakukan. Kami hanya menulis Mrs. M. atau Lady Y."
"Ya, ya, saya pernah membaca buku semacam itu, dan seperti kata Anda, saya rasa
akan bersifat pat... pato..."
"Patologis," kata Calgary.
"Ya. Jackie itu memang benar-benar suatu kasus patologis. Soalnya dia bisa
bersikap manis sekali," katanya. "Hebat sekali dia. Kalau dia berbicara, kita
akan percaya pada setiap perkataannya."
"Mungkin dia memang bersungguh-sungguh dengan kata-katanya itu."
"Saya sering berkata padanya, 'Aku pantas menjadi ibumu,' dan dia berkata bahwa
dia tak suka pada gadis-gadis. Katanya gadis-gadis itu belum matang. Katanya
lagi, wanita-wanita yang berpengalaman dan matanglah yang menarik baginya."
"Apakah dia benar-benar mencintai Anda?" tanya Calgary.
"Katanya begitu. Kelihatannya juga begitu...." Bibirnya bergetar. "Padahal saya
rasa selama itu uang sayalah yang diinginkannya."
"Mungkin tidak juga," kata Calgary, mengulur-ulur kebenaran sejauh mungkin.
"Mungkin juga dia benar-benar tertarik. Hanya... karena terpaksa dia jadi punya
niat jahat." Wajah setengah baya yang menimbulkan iba itu menjadi agak cerah.
"Ya," katanya, "senang kalau bisa dinilai begitu. Yah, begitulah jadinya. Kami
membuat rencana-rencana untuk pergi bersama-sama ke Prancis atau Italia, bila
rencana liciknya itu berhasil. Tapi rencana itu memerlukan modal sedikit,
katanya." Siasat yang biasa, pikir Calgary, dan ia ingin tahu berapa banyak wanita yang
terjerat Jacko. "Entah apa yang terjadi atas diri saya waktu itu," katanya. "Saya mau melakukan
apa saja untuknya - apa saja."
"Tentu saja Anda mau," kata Calgary.
"Saya yakin," kata wanita itu dengan getir, "saya bukanlah satu-satunya."
Calgary bangkit. "Anda baik sekali mau menceritakan semuanya itu pada saya," katanya.
"Dia sekarang sudah meninggal. Tapi saya tidak akan melupakannya. Wajah
monyetnya itu! Caranya supaya kelihatan sedih, lalu tertawa. Oh, dia pandai
sekali. Dia tidak terlalu jahat, saya yakin, dia tidak terlalu jahat."
Ia memandangi Calgary dengan merenung.
Tapi Calgary tak bisa memberikan jawaban.
BAB XXI TAK ada satu pun pertanda yang memperlihatkan pada Philip Durrant bahwa hari itu
akan lain dari hari-hari biasa.
Ia tak punya bayangan bahwa hari itu akan menentukan masa depannya untuk selama-
lamanya. Ia bangun dalam keadaan sehat dan semangat yang baik. Matahari musim gugur yang
pucat bersinar masuk melalui jendela. Kirsten menyampaikan sebuah pesan telepon
yang meningkatkan semangatnya.
"Tina akan datang minum teh," katanya pada Mary yang masuk mengantarkan
sarapannya. "Begitukah" Oh, ya, tentu, petang ini dia libur, ya?"
Suara Mary terdengar tak bersemangat.
"Ada apa, Polly?"
"Tak ada apa-apa."
Mary memecahkan bagian atas telur Philip. Philip langsung merasa jengkel.
"Aku masih bisa menggunakan tanganku, Polly."
"Oh, kupikir supaya kau tidak bersusah payah."
"Kaukira berapa sih umurku" Enam tahun?"
Mary kelihatan agak terkejut, lalu tiba-tiba ia berkata,
"Hester pulang hari ini."
"Oh, ya?" Ia berbicara dengan agak linglung, karena pikirannya dipenuhi rencana-
rencananya untuk menghadapi Tina. Lalu terlihat olehnya wajah istrinya.
"Demi Tuhan, Polly, apakah kaupikir aku menyimpan perasaan yang salah terhadap
gadis itu?" Mary memalingkan kepalanya ke samping.
"Kau selalu berkata bahwa dia cantik sekali."
"Itu memang benar. Kalau kita menyukai susunan tulang belulang yang bagus dan
sifat keindahan." Lalu ditambahkannya dengan nada datar, "Tapi aku kan tak punya
potongan penggoda wanita?"
"Mungkin kau ingin."
"Jangan bodoh, Polly. Aku tak pernah tahu bahwa kau punya kecenderungan
cemburu." "Kau tak tahu apa-apa tentang diriku." Philip akan membantah hal itu, tapi ia
diam saja. Tiba-tiba ia menyadari dengan perasaan terkejut bahwa mungkin ia
memang tidak terlalu banyak tahu tentang Mary.
Mary berkata lagi, "Aku ingin memiliki dirimu sendiri - seluruhnya untukku. Aku ingin tak ada orang
lain di dunia ini, kecuali kau dan aku."
"Kita akan kehabisan bahan percakapan, Polly."
Bicaranya ringan, tapi ia merasa tak nyaman. Kecerahan pagi itu tiba-tiba
menjadi agak suram. Kata Mary, "Marilah kita pulang, Philip. Ayolah."
"Secepatnya, Polly, tapi sekarang belum. Akan terjadi beberapa hal. Seperti
kukatakan, Tina akan datang petang ini." Dengan harapan mengalihkan pikiran Mary
ke saluran yang baru, Philip berkata lagi, "Aku mengharapkan banyak dari Tina."
"Dalam hal apa?"
"Tina tahu sesuatu."
"Maksudmu... tentang pembunuhan itu?"
"Ya." "Tapi bagaimana dia bisa tahu" Bukankah dia tidak berada di sini malam itu?"
"Sekarang aku jadi ingin tahu. Kurasa kau tahu bahwa dia ada di sini. Aneh, ya,
hal-hal kecil yang kelihatan remeh ternyata bisa membantu. Mrs. Narracott,
pembantu harian itu - yang jangkung itu - dia menceritakan sesuatu padaku."
"Apa yang diceritakannya padamu?"
"Memang hanya gunjingan desa. Ada seorang anak, Ernie atau siapa namanya - bukan,
Cyril. Dia pergi ke kantor polisi bersama ibunya, dan menceritakan tentang
sesuatu yang dilihatnya pada malam hari Mrs. Argyle yang malang terbunuh."
"Apa yang dilihatnya?"
"Yah, Mrs. Narracott kurang jelas mengenai hal itu. Dia belum mendengarnya dari
Mrs. entah-siapa-itu. Tapi kita kan bisa menebaknya, Polly. Cyril tidak berada
di dalam rumah, jadi pasti sesuatu di luar rumah yang dilihatnya. Jadi kita bisa
menebak dua kemungkinan. Dia melihat Micky atau Tina. Dugaanku, Tina datang
kemari malam itu." "Mengapa itu tidak dikatakannya?"
"Itu tak perlu. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa Tina mengetahui sesuatu
yang tak dikatakannya. Katakanlah dia keluar dengan mobil malam itu. Mungkin dia
masuk ke rumah dan menemukan ibumu sudah meninggal."
"Dan pergi lagi tanpa mengatakan sesuatu" Omong kosong."
"Mungkin karena ada alasan-alasannya. Mungkin dia melihat atau mendengar sesuatu
yang membuatnya menduga atau menjadi tahu siapa yang telah melakukannya."
"Tapi dia tak pernah suka pada Jacko. Pasti dia tak ingin melindunginya."
"Jadi mungkin bukan Jacko yang dicurigainya. Tapi kemudian setelah Jacko
ditangkap, dikiranya apa yang dicurigainya itu sama sekali salah. Karena dia
telah menyatakan bahwa dia tidak berada di sini, dia harus tetap bertahan pada
pernyataannya itu. Tapi sekarang tentu lain jadinya."
Dengan tak sabar, Mary berkata,
"Kau hanya berkhayal, Philip. Kau mengkhayalkan macam-macam yang tak mungkin
terjadi." "Hal-hal itu mungkin sekali benar. Aku akan mencoba supaya Tina mau menceritakan
apa yang diketahuinya."
"Aku tak percaya dia tahu sesuatu. Apa kau yakin dia tahu siapa yang
melakukannya?" "Aku tak mau berkata sejauh itu. Kurasa dia melihat atau mendengar sesuatu. Aku
akan mencari tahu, apa sesuatu itu."
"Tina tidak akan mengatakannya kalau dia tak mau."
"Memang tidak. Dan dia pandai sekali merahasiakan sesuatu. Apalagi wajahnya
polos sekali. Tak pernah membayangkan apa-apa. Tapi dia tidak begitu pandai
berbohong - sama sekali tak sepandai kau berbohong, umpamanya. Jadi metodeku
hanyalah dengan menebak-nebak saja. Dan dugaanku akan kusampaikan dalam bentuk
pertanyaan. Pertanyaan yang harus dijawab dengan ya atau tidak saja. Tahukah kau
apa yang akan terjadi kemudian" Salah satu dari tiga hal. Mungkin dia akan
mengatakan 'ya' - maka akan bereslah persoalannya. Atau dia akan berkata 'tidak' -
dan karena dia tak pandai berbohong, aku akan tahu apakah kata tidaknya itu
benar atau tidak. Atau dia akan menolak menjawab dan menunjukkan wajah polos.
Nah, Polly, itu bisa berarti 'ya'. Kau harus mengakui bahwa ada kemungkinan
teknikku itu benar."
"Aduh, tinggalkanlah semuanya itu, Philip! Tinggalkanlah! Semua itu akan mereda
sendiri dan dilupakan."
"Tidak. Hal ini harus diselesaikan. Kalau tidak, bisa-bisa Hester menjatuhkan
dirinya dari jendela, dan Kirsty mengalami kekacauan saraf. Sedangkan Leo sudah
membeku seperti sebalok es. Dan Gwenda yang malang, dia akan menerima tawaran
pekerjaan di Rhodesia."
"Apa urusan kita tentang apa yang terjadi atas diri mereka?"
"Biarkan saja mereka semua, asal jangan kita. Begitu, kan, maksudmu?"
Wajah Philip tampak keras dan marah. Mary terkejut melihatnya. Ia tak pernah
melihat wajah suaminya begitu.
Tapi dipandanginya suaminya dengan menantang.
"Untuk apa kau peduli pada orang lain?" katanya.
"Kau memang tak pernah peduli, bukan?"
"Aku tak mengerti maksudmu."
Philip mendesah dengan putus asa. Disingkirkannya nampan sarapannya.
"Bawa pergi ini. Aku tak mau lagi."
"Tapi, Philip..."
Philip membuat gerakan yang menunjukkan rasa tak sabarnya. Mary mengangkat
nampan itu, lalu membawanya keluar kamar. Philip mendorong kursi rodanya ke
dekat meja tulis. Ia melihat ke luar terus sambil memegang pena. Ia merasa
semangatnya tertekan. Padahal baru saja tadi ia merasa bersemangat. Kini ia
resah dan gelisah. Tapi kemudian semangatnya pulih kembali. Dua halaman kertas ditulisinya dalam
waktu singkat. Lalu ia bersandar dan memikirkannya.
Itu bagus. Itu mungkin. Tapi ia tak begitu puas. Apakah ia berada di jalan yang
benar" Ia tak yakin. Motif. Ia kekurangan motif. Ada suatu faktor di suatu
bagian yang tak terisi olehnya.
Ia mendesah dengan tak sabaran. Ia merasa tak sabar menunggu Tina. Alangkah
baiknya kalau urusan ini bisa diselesaikan. Hanya di antara mereka saja. Hanya
itulah yang perlu. Begitu mereka tahu, mereka semua pun akan bebas. Bebas dari
suasana menyesakkan ini, dari rasa curiga dan rasa putus asa. Maka mereka semua
pun akan mengerjakan pekerjaan masing-masing, kecuali yang seorang itu. Dan ia
dan Mary pun akan pulang.
Pikirannya berhenti. Semangatnya mengendur. Ia menghadapi masalahnya sendiri! Ia
tak ingin pulang.... Terbayang olehnya kerapian sempurna rumah itu, tirai-tirai
yang tak bernoda, dan barang-barang kuningan yang mengilap. Sebuah kurungan yang
bersih, cerah, dan sangat terurus! Dan ia sendiri berada di dalam kurungan itu,
terikat di kursi rodanya, terlilit dalam perawatan penuh cinta kasih dari
istrinya. Istrinya... Bila teringat akan istrinya, ia serasa melihat dua pribadi. Seorang
gadis yang dinikahinya, berambut pirang, bermata biru, lembut, dan selalu
menutup diri. Itulah gadis yang dicintainya, gadis yang diolok-oloknya saat ia
menatap tak mengerti, dengan alis berkerut. Itulah Polly-nya. Tapi ada pula Mary
yang lain, seorang Mary yang keras bagaikan baja, yang mencintainya dengan
berapi-api, tapi tak bisa memberikan kasih sayang yang lembut, seorang Mary yang
tak pernah memperhatikan orang lain kecuali dirinya sendiri. Bahkan ia sendiri -
suaminya - diperhatikan, hanya karena ia miliknya.
Ia jadi teringat akan sebaris sajak Prancis yang berbunyi,
Venus toute enti?re ? sa proie attach?.... (Dewi cinta itu benar-benar merupakan
keterikatan) Dan Mary yang itu tidak disukainya. Di balik mata Mary yang biru dan dingin,
terdapat seorang asing - seorang asing yang tak dikenalnya.
Lalu ia menertawakan dirinya sendiri. Ia telah menjadi gugup dan penaik darah
seperti semua orang dalam rumah ini. Ia ingat, ibu mertuanya berbicara dengannya
mengenai istrinya itu. Mengenai seorang gadis kecil manis berambut pirang di New
York. Mengenai saat anak itu merangkulkan lengannya ke leher Mrs. Argyle dan
berseru, "Saya ingin tinggal bersama Anda. Saya tak akan pernah mau berpisah
dari Anda!" Itulah cinta kasih, bukan" Tapi alangkah berbedanya dari Mary. Bisakah orang
berubah dengan begitu hebat, dalam pertumbuhannya dari anak sampai menjadi
dewasa" Selama ini, alangkah sulitnya, bahkan hampir, tak mungkin Mary
menyatakan cinta kasihnya dengan sikap demonstratif.
Tapi bagaimana dengan kesempatan di New York itu" Pikirannya tiba-tiba terhenti.
Apakah memang cintanya begitu sederhana" Itu bukan cinta kasih - itu suatu
perhitungan. Suatu usaha untuk mencapai apa yang diinginkannya. Suatu
pertunjukan kasih sayang yang sengaja diperlihatkan. Apa saja yang sanggup
dilakukan Mary untuk mendapatkan apa yang diinginkannya"
Ia bisa melakukan hampir segalanya, pikirnya. Dan ia terkejut sendiri oleh
pikirannya itu.
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan marah dilemparkannya penanya, lalu didorongnya kursi rodanya keluar dari
ruang duduk, ke ruang tidur di sebelahnya. Didorongnya terus kursinya sampai ke
meja rias. Diambilnya sikat rambut, lalu disisirnya rambutnya yang terjuntai ke
dahi, ke belakang. Wajahnya tampak aneh.
Siapa aku ini, pikirnya, dan akan ke manakah aku" Selama ini pikiran-pikiran
semacam itu tak pernah terlintas. Didorongnya keretanya mendekati jendela, dan
ia melihat ke luar. Di bawah, salah seorang pembantu harian sedang berdiri di
luar jendela dapur, berbicara dengan seseorang di dalam. Didengarnya suara
mereka yang berlogat daerah setempat.
Matanya melebar, ia seolah-olah dalam keadaan tak sadar.
Suatu bunyi di kamar sebelah membangunkannya dari lamunannya. Didorongnya
keretanya ke pintu penghubung.
Gwenda sedang berdiri di dekat meja tulisnya. Wanita itu menoleh padanya, dan
Philip terkejut melihat betapa cekung dan pucat wajahnya yang ditimpa sinar
matahari. "Halo, Gwenda."
"Halo, Philip. Kata Leo, mungkin kau ingin membaca Illustrated London News ini."
"Oh, terima kasih."
"Kamar ini bagus," kata Gwenda sambil melihat berkeliling. "Kurasa aku belum
pernah masuk ke sini."
"Seperti kamar utama di hotel, ya?" kata Philip. "Terpisah dari orang-orang
lain. Tepat sekali untuk orang-orang cacat dan pasangan-pasangan yang sedang
berbulan madu." Terlambat ia menyadari bahwa sebenarnya ia tak boleh mengucapkan kedua patah
kata terakhir itu. Wajah Gwenda tampak bergetar.
"Aku harus melanjutkan pekerjaanku," katanya dengan kurang jelas.
"Kau memang sekretaris yang sempurna."
"Sekarang sudah tidak lagi. Aku sering membuat kesalahan."
"Kita semua membuat kesalahan." Lalu dengan sengaja ditambahkannya, "Kapan kau
dan Leo menikah?" "Mungkin tidak jadi."
"Itu salah besar," kata Philip.
"Menurut Leo, itu akan memancing komentar yang tak baik - dari polisi!"
Suaranya terdengar getir.
"Persetan itu semua, Gwenda. Kita harus berani mengambil risiko."
"Aku mau saja mengambil risiko," kata Gwenda. "Aku tak pernah takut mengambil
risiko. Aku mau berjudi demi kebahagiaan. Tapi Leo..."
"Ya, mengapa Leo?"
"Leo...," kata Gwenda, "mungkin dia akan tetap hidup seperti sekarang sampai
akhir hayatnya, maksudku sebagai suami Rachel Argyle."
Philip terkejut melihat amarah dan kegetiran yang terpancar dari mata gadis itu.
"Perempuan itu seperti masih tetap hidup saja," kata Gwenda. "Dia masih ada di
sini, di dalam rumah ini, selama-lamanya."
BAB XXII TINA memarkir mobilnya di rumput, di dekat tembok pemakaman. Dengan berhati-hati
dibuangnya kertas pembungkus bunga yang dibawanya, lalu ia memasuki gerbang
pemakaman, dan terus berjalan di jalan setapak utama. Ia tak suka pemakaman yang
baru ini. Alangkah baiknya bila Mrs. Argyle dulu dimakamkan di pemakaman tua
yang mengelilingi gereja. Di sana terasa ada kedamaian dunia tua. Ada pohon
cemara dan bebatuan hijau berlumut. Di pemakaman baru ini, yang diatur begitu
rapi, dengan jalan-jalan utama dan jalan-jalan simpangnya yang sangat rapi,
semuanya begitu mulus, seperti hasil produksi masai yang mengisi toko swalayan.
Makam Mrs. Argyle terpelihara dengan baik. Makam itu dikelilingi batu pualam
bercelah yang diisi pecahan-pecahan granit. Di bagian belakangnya berdiri tegak
sebuah salib dari granit pula.
Sambil memegang karangan bunganya, Tina membungkuk membaca tulisan yang terukir
di situ; Mengenang yang tercinta Rachel Louise Argyle. Di bawahnya tercantum
tulisan: Putra-putrinya akan bangkit dan memohon berkat baginya.
Ia mendengar langkah-langkah orang di belakangnya, dan ia menoleh dengan
terkejut. "Micky!" "Aku melihat mobilmu, lalu kuikuti kau. Tapi... aku memang ingin datang kemari."
"Kau ingin datang kemari" Mengapa?"
"Entahlah. Mungkin hanya akan mengucapkan selamat tinggal."
"Mengucapkan selamat tinggal - pada dia?"
Micky mengangguk. "Ya. Aku sudah menerima tawaran kerja dari perusahaan minyak yang kuceritakan
padamu itu. Aku akan berangkat tiga minggu lagi."
"Dan kau datang kemari untuk minta diri pada Ibu dulu?"
"Ya. Mungkin juga untuk mengucapkan terima kasih dan menyatakan permintaan
maafku." "Minta maaf untuk apa, Micky?"
"Aku bukan akan meminta maaf karena aku telah membunuhnya, kalau itu yang
kaumaksud. Masihkah kau menduga bahwa aku yang membunuhnya, Tina?"
"Aku tak yakin."
"Sampai sekarang pun kau belum yakin" Kalau begitu, tak ada gunanya kukatakan
padamu bahwa aku tidak membunuhnya."
"Jadi, mengapa kau menyesal?"
"Dia telah berbuat banyak untukku," kata Micky lambat-lambat. "Dan aku sama
sekali tak pernah menunjukkan rasa terima kasihku. Aku membenci semua perbuatan
yang dilakukannya. Aku tak pernah mengucapkan sepatah pun kata manis padanya,
atau suatu pandangan dengan rasa cinta. Sekarang aku menyadari bahwa aku harus
melakukan hal-hal itu. Itu saja."
"Kapan kau mulai tidak lagi membencinya" Setelah dia meninggal?"
"Ya. Ya, kurasa begitu."
"Sebenarnya bukan dia yang kaubenci, bukan?"
"Memang - bukan. Kau benar dalam hal itu. Yang kubenci ibu kandungku. Karena aku
cinta padanya. Karena aku cinta padanya, tapi dia sama sekali tak peduli
padaku." "Dan sekarang kau tidak marah lagi mengenai hal itu?"
"Tidak. Kurasa dia tak bisa berbuat lain. Bagaimanapun juga, kita lahir apa
adanya. Dia makhluk yang selalu cerah dan ceria. Terlalu suka pada laki-laki dan
minuman keras, dan dia baik pada anaknya hanya bila hal itu sedang
diinginkannya. Dia tak mau anaknya disakiti siapa pun juga. Pokoknya, dia tak
sayang padaku! Selama bertahun-tahun ini aku tak mau hidup dengan pikiran itu.
Sekarang aku sudah menerima keadaan itu." Ia mengulurkan tangannya. "Beri aku
setangkai bungamu, Tina." Setelah menerimanya dari Tina, ia membungkuk dan
meletakkannya di makam, di bawah tulisan. "Ini untukmu, Ibu," katanya. "Selama
ini aku anak yang jahat, dan kurasa Ibu juga bukan ibu yang bijak bagiku. Tapi
maksud Ibu baik." Ia lalu melihat pada Tina. "Cukup baikkah kata-kataku itu?"
"Kurasa cukup," kata Tina.
Tina membungkuk dan meletakkan karangan bunganya di makam itu.
"Seringkah kau datang kemari dan membawa bunga?"
"Sekali setahun aku kemari," kata Tina.
"Si kecil Tina," kata Micky.
Mereka berbalik dan bersama-sama berjalan di jalan setapak pemakaman itu.
"Aku tidak membunuhnya, Tina," kata Micky. "Aku bersumpah. Aku ingin kau percaya
padaku." "Aku berada di sana malam itu," kata Tina.
Micky memutar tubuhnya dengan mendadak.
"Kau berada di sana" Maksudmu di Sunny Point?"
"Waktu itu aku punya rencana untuk pindah kerja. Aku ingin membicarakannya
dengan Ayah dan Ibu."
"Ya?" kata Micky. "Lanjutkan."
Karena Tina tidak berbicara lagi, Micky mencengkam lengannya dan
mengguncangkannya. "Lanjutkan, Tina," katanya. "Kau harus menceritakannya
padaku." "Sampai sekarang aku belum menceritakannya pada siapa pun juga."
"Teruskan," kata Micky lagi.
"Aku bermobil ke sana. Mobil tidak kubawa sampai ke gerbang. Kau kan tahu, di
luar tembok ada suatu tempat di mana kita bisa dengan mudah memutar mobil?"
Micky mengangguk. "Di situ aku keluar dari mobil dan berjalan ke rumah. Aku merasa bimbang. Kau
kan tahu bagaimana sulitnya berbicara dengan Ibu, dalam beberapa hal. Maksudku,
dia selalu punya gagasan sendiri. Aku berniat mengemukakan persoalanku sejelas-
jelasnya. Jadi begitulah. Aku berjalan ke rumah, lalu kembali lagi ke mobil,
lalu balik lagi ke rumah, sambil berpikir-pikir."
"Jam berapa waktu itu?" tanya Micky.
"Aku tak tahu," sahut Tina. "Aku tak ingat. Aku... aku tidak terlalu
memperhatikan waktu."
"Aku percaya itu, Sayang," kata Micky. "Kau memang selalu bersikap tenang-tenang
saja." "Aku berada di bawah pohon-pohon," kata Tina, "dan aku berjalan perlahan-lahan."
"Maklum kucing kecil," kata Micky dengan nada kasih sayang.
"Lalu kudengar mereka."
"Mendengar apa?"
"Dua orang berbisik."
"Ya?" Tubuh Micky menegang. "Apa kata mereka?"
"Kata mereka... salah seorang di antara mereka berkata, 'Antara jam tujuh dan
setengah delapan. Waktu itulah. Ingat, ya" Jangan salah. Antara jam tujuh dan
setengah delapan.' Orang yang satu lagi berbisik, 'Percayalah padaku,' lalu
suara yang pertama berkata lagi, 'Dan sesudah itu, Sayang, semuanya akan
menyenangkan sekali.'"
Keadaan sepi, lalu Micky berkata,
"Lalu... mengapa kaurahasiakan hal itu?"
"Karena aku tak tahu," kata Tina. "Aku tak tahu siapa mereka."
"Masa! Apakah mereka laki-laki dan perempuan?"
"Entahlah," kata Tina. "Tak tahukah kau, bila orang berbisik, kita tidak
mendengar suara. Yang kita dengar hanya... yah, hanya bisikan. Tentu aku mengira
mereka laki-laki dan perempuan, karena..."
"Karena kata-kata yang mereka ucapkan?"
"Ya. Tapi aku tak tahu siapa mereka."
"Kaupikir," kata Micky, "mereka mungkin Ayah dan Gwenda?"
"Mungkin begitu, ya?" kata Tina. "Mungkin itu berarti Gwenda harus meninggalkan
rumah dan kembali antara jam-jam itu. Atau mungkin juga Gwenda menyuruh Ayah
turun antara jam tujuh dan setengah delapan."
"Sekiranya mereka Ayah dan Gwenda, kau tak mau menyerahkan mereka pada polisi.
Begitukah?" "Kalau aku tahu betul," kata Tina. "Tapi aku tak tahu betul. Bisa juga orang
lain. Mungkin juga Hester dengan seseorang. Bahkan mungkin Mary, tapi bukan
Philip. Pasti bukan Philip."
"Waktu kaukatakan Hester dengan seseorang, siapa seseorang itu?"
"Aku tak punya bayangan."
"Kau tidak melihatnya" Maksudku laki-laki itu?"
"Tidak," kata Tina. "Aku tidak melihatnya."
"Tina, kurasa kau berbohong. Tapi dia seorang laki-laki, bukan?"
"Aku cepat-cepat berbalik," kata Tina, "kembali ke mobil. Lalu seseorang lewat,
di seberang jalan. Dia berjalan cepat sekali. Dia hanya merupakan bayangan dalam
gelap. Lalu kalau tak salah, kurasa aku mendengar mobil yang dihidupkan
mesinnya, di ujung jalan."
"Dan kaukira itu aku," kata Micky.
"Aku tak tahu," kata Tina. "Memang mungkin kau. Dia kira-kira sama besar dan
tingginya dengan kau."
Mereka tiba di mobil kecil Tina.
"Mari, Tina," kata Micky, "masuklah. Aku ikut. Kita pergi ke Sunny Point."
"Tapi, Micky..."
"Tak ada gunanya aku mengatakan bahwa itu bukan aku, kan" Jadi apa lagi yang
harus kukatakan" Ayo kita ke Sunny Point."
"Apa yang akan kaulakukan, Micky?"
"Mengapa kaupikir aku akan melakukan sesuatu" Bukankah kau memang akan pergi ke
Sunny Point?" "Ya," kata Tina, "ya, aku menerima surat dari Philip." Tina menghidupkan mesin
mobilnya. Micky yang duduk di sebelahnya sangat kaku dan tegang.
"Menerima surat dari Philip" Apa katanya?"
"Aku disuruhnya datang. Dia ingin bertemu denganku. Dia tahu bahwa hari ini aku
hanya bekerja setengah hari."
"Oh. Apakah dikatakannya untuk apa dia ingin bertemu denganmu?"
"Katanya dia ingin bertanya padaku, dan dia berharap aku bisa memberikan
jawabannya. Katanya aku tak perlu menceritakan apa-apa padanya - dia yang akan
mengatakannya padaku. Aku hanya mengatakan ya atau tidak. Katanya, apa pun yang
akan kukatakan padanya, akan dirahasiakannya."
"Jadi dia punya rencana rupanya?" kata Micky. "Itu menarik."
Jarak ke Sunny Point dekat sekali. Waktu mereka tiba di sana, Micky berkata,
"Masuklah, Tina. Aku akan berjalan-jalan di pekarangan. Aku ingin berpikir.
Pergilah. Berbicaralah dengan Philip."
Tina berkata, "Kau kan tidak... tidak akan..."
Micky tertawa kecil. "Bunuh diri" Aduh, Tina, kau kan kenal siapa aku."
"Kadang-kadang, kurasa kita tak mengenal siapa-siapa," kata Tina.
Ia berbalik membelakangi Micky, lalu berjalan lambat-lambat ke arah rumah, Micky
memandanginya dari belakang, kepalanya agak menjulur ke depan dan tangannya ada
di saku. Dahinya berkerut dalam. Lalu ia berbalik ke sudut rumah, sambil
mendongak memandangi rumah itu dengan merenung. Semua kenangan masa kecilnya
kembali terbayang. Tampak olehnya pohon magnolia yang sudah tua. Ia sering
memanjat pohon itu dan masuk ke rumah lewat jendela. Ada sebidang kecil tanah
yang dianggapnya kebunnya sendiri. Padahal ia tidak terlalu suka akan kebun. Ia
suka sekali merusak mainannya yang bermesin. Setan kecil perusak, pikirnya
tentang dirinya sendiri dengan rasa geli.
Yah, orang memang tidak banyak berubah.
Di dalam rumah, Tina bertemu dengan Mary di ruang depan. Mary tampak terkejut
waktu melihatnya. "Tina! Kau datang dari Redmyn?"
"Ya," kata Tina. "Tak tahukah kau bahwa aku akan datang?"
"Aku lupa," kata Mary. "Padahal Philip mengatakannya."
Ia berbalik. "Aku akan ke dapur," katanya, "akan melihat apakah Ovaltine sudah ada. Philip
suka meminumnya sebelum tidur malam. Kirsten sedang membawakannya kopi. Philip
lebih suka kopi daripada teh. Katanya perutnya tidak cocok minum teh."
"Mengapa kau memperlakukannya seperti orang cacat, Mary?" kata Tina. "Dia
sebenarnya tidak cacat."
Mata Mary memancarkan rasa marah.
"Bila kau sudah bersuami, Tina," katanya, "kau akan tahu bagaimana para suami
suka diperlakukan." Dengan halus Tina berkata,
"Maaf." "Alangkah senangnya kalau kami bisa keluar dari rumah ini," kata Mary. "Sama
sekali tak baik bagi Philip berada di sini. Dan Hester akan kembali hari ini,"
sambungnya. "Hester?" Tina terkejut. "Mengapa?"
"Bagaimana aku tahu" Semalam dia menelepon dan mengatakan hal itu. Aku tak tahu
dia naik kereta api apa. Kurasa naik kereta api ekspres, seperti biasa. Harus
ada seseorang yang pergi ke Drymouth untuk menjemputnya."
Mary menghilang di lorong yang menuju dapur. Tina bimbang sebentar, lalu naik
tangga. Setiba di bagian teratas tangga, pintu pertama di sebelah kanan terbuka,
dan Hester berdiri di pintu itu. Ia terkejut melihat Tina.
"Hester! Kudengar kau akan datang, tapi tak kusangka kau sudah tiba."
"Dr. Calgary mengantarku kemari," kata Hester. "Aku langsung masuk ke kamarku.
Kurasa tak seorang pun tahu, aku sudah tiba."
"Apakah Dr. Calgary ada di sini sekarang?"
"Tidak. Dia hanya menurunkan aku di sini, lalu terus ke Drymouth. Dia ingin
menemui seseorang di sana."
"Mary tak tahu kau sudah datang."
"Mary tak pernah tahu apa-apa," kata Hester. "Dia dan Philip memisahkan diri
dari segala sesuatu yang terjadi. Kurasa Ayah dan Gwenda ada di ruang
perpustakaan, ya" Agaknya semuanya sudah berjalan seperti biasa."
"Mengapa tidak?"
"Entah, ya, aku pun tak tahu," kata Hester dengan tak jelas. "Aku hanya mengira
semuanya akan menjadi lain."
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia melewati Tina, lalu menuruni tangga. Tina berjalan terus, melewati ruang
perpustakaan, terus di sepanjang lorong rumah, ke arah ruangan besar di ujung,
yang ditempati suami-istri Durrant. Kirsten Lindstrom yang sedang berdiri di
luar pintu kamar Philip sambil membawa nampan, menoleh dengan tajam.
"Aduh, Tina, kau mengejutkan aku," katanya, "Aku baru saja akan membawakan
Philip kopi dan biskuit." Ia mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, Tina
mengikutinya. Setelah mengetuk, Kirsten membuka pintu dan masuk. Ia berada sedikit di depan
Tina, tubuhnya yang tinggi dan berlekuk-lekuk menghalangi pandangan Tina, tapi
Tina mendengar jeritan tertahan Kirsten. Kedua belah lengan Kirsten terangkat
dan nampan jatuh ke lantai.
Cangkir dan piring-piring terlempar ke pelindung tungku perapian.
"Oh, tidak," pekik Kirsten, "oh, tidak!"
"Philip?" tanya Tina.
Ia melewati Kirsten dan pergi mendekat. Kursi roda Philip terdapat di dekat meja
kerja. Menurut perkiraan Tina, ia sedang menulis. Di dekat tangan kanannya
terletak sebuah bolpoin, tapi kepalanya tertelungkup ke depan, tergolek aneh.
Dan di bagian bawah tulang tengkoraknya dilihatnya sesuatu yang tampak seperti
sebuah permen besar berwarna merah cerah, yang menodai kerah kemejanya yang
putih. "Dia terbunuh," kata Kirsten. "Dia terbunuh - ditikam. Itu di bagian bawah
otaknya. Satu tikaman mematikan."
Dengan suara meninggi ditambahkannya,
"Sudah kuperingatkan padanya. Sudah kulakukan segala upayaku. Tapi dia seperti
anak kecil saja, senang bermain-main dengan alat-alat berbahaya, tanpa melihat
ke mana dia berjalan."
Seperti mimpi buruk saja, pikir Tina. Ia berdiri diam-diam di dekat siku Philip,
memandanginya. Kirsten mengangkat tangan Philip yang tak bertenaga dan meraba,
mencari nadi yang sudah tak berdetak lagi. Apa yang ingin ditanyakan Philip
padanya" Apa pun yang diinginkannya, ia tidak akan menanyakannya lagi sekarang.
Tanpa berpikir dengan bersungguh-sungguh, otak Tina menangkap dan mencatat
beberapa hal kecil di situ. Philip sedang menulis, itu benar. Penanya ada di
situ, tapi tak ada kertas di depannya. Tak ada yang ditulis. Orang yang
membunuhnya telah mengambil apa yang ditulisnya. Dengan tenang dan tanpa
disadarinya benar, ia berkata,
"Kita harus memberitahukannya pada yang lain."
"Ya, ya, kita harus turun memberitahukannya. Kita harus memberitahu ayahmu."
Kedua wanita itu berjalan berdampingan ke arah pintu. Kirsten merangkulkan
lengannya ke tubuh Tina. Tina melihat ke nampan yang jatuh serta cangkir dan
piring-piring yang pecah.
"Tak usah pedulikan itu," kata Kirsten, "itu semua bisa dibereskan nanti."
Tina agak terhuyung, dan Kirsten segera menahannya.
"Hati-hati. Nanti kau jatuh."
Mereka berjalan di sepanjang lorong rumah. Pintu ruang perpustakaan terbuka, Leo
dan Gwenda keluar. Dengan suara rendah namun jelas, Tina berkata,
"Philip dibunuh. Dia ditikam."
Rasanya seperti mimpi, pikir Tina. Seruan ayahnya yang terperanjat, dan Gwenda
yang berlari melewatinya, pergi ke tempat Philip - mendatangi Philip yang sudah
meninggal. Kirsten meninggalkannya dan bergegas menuruni tangga.
"Aku harus memberitahu Mary. Berita ini harus disampaikan dengan hati-hati.
Kasihan Mary. Ini pasti akan membuatnya shock."
Tina mengikutinya, berjalan lambat-lambat. Ia merasa lain daripada biasanya,
pusing dan serasa dalam mimpi, jantungnya terasa pedih. Akan ke manakah dia" Ia
tak tahu. Serasa tak ada apa-apa. Ia tiba di pintu depan yang terbuka dan
melaluinya. Pada saat itulah dilihatnya Micky datang dari sudut rumah. Otomatis,
ke arah sanalah kakinya membawanya. Ia berjalan lurus ke arah Micky.
"Micky," katanya. "Oh, Micky!"
Micky mengembangkan lengannya. Tina langsung menjatuhkan diri ke dalam
pelukannya. "Tenanglah," kata Micky. "Kau sudah bersamaku."
Tina roboh dengan lunglai dalam pelukannya. Ia jatuh ke tanah, tepat pada saat
Hester berlari keluar dari rumah.
"Dia pingsan," kata Micky tanpa bisa berbuat apa-apa. "Padahal aku tak pernah
melihat Tina pingsan."
"Itu pasti karena shock," kata Hester.
"Shock - apa maksudmu?"
"Philip terbunuh," kata Hester. "Apa kau tidak tahu?"
"Bagaimana aku bisa tahu" Kapan" Bagaimana?"
"Baru saja." Micky menatapnya. Diangkatnya Tina, lalu digendongnya. Dengan diikuti Hester,
dibawanya Tina ke kamar duduk Mrs. Argyle, lalu dibaringkannya di sofa.
"Telepon Dr. Craig," katanya.
"Itu mobilnya," kata Hester sambil melihat ke luar jendela. "Ayah sudah
meneleponnya, memberitahukan tentang Philip. Aku..." Ia menoleh ke belakang.
"Aku tak mau bertemu dengannya."
Ia berlari keluar dari kamar itu dan menaiki tangga.
Dr. Craig keluar dari mobilnya dan masuk melalui pintu depan yang terbuka.
Kirsten keluar dari dapur untuk menyambutnya.
"Selamat sore, Miss Lindstrom. Benarkah berita yang saya dengar ini" Mr. Argyle
memberitahu saya bahwa Philip Durrant dibunuh. Dibunuh?"
"Benar sekali," kata Kirsten.
"Sudahkah Mr. Argyle menelepon polisi?"
"Saya tak tahu."
"Apakah tak ada kemungkinan bahwa dia hanya luka?" tanya Don. Ia berbalik untuk
mengambil tas alat-alat kedokterannya dari mobilnya.
"Tidak," sahut Kirsten. Suaranya terdengar datar dan letih. "Dia sudah
meninggal. Saya yakin itu. Dia ditikam - di sini."
Ia menunjuk ke bagian belakang kepalanya sendiri.
Micky keluar ke ruang depan itu.
"Halo, Don, sebaiknya kauperiksa Tina dulu," katanya. "Dia pingsan."
"Tina" Oh, ya, yang... yang di Redmyn itu, bukan" Di mana dia?"
"Di dalam situ."
"Biar kulihat dulu dia, sebelum aku naik ke lantai atas." Sambil berjalan
memasuki kamar, ia berbicara pada Kirsten lewat pundaknya. "Jaga supaya dia
hangat terus," katanya, "beri dia teh atau kopi panas, begitu dia siuman. Anda
tahu bagaimana biasanya."
Kirsten mengangguk, "Kirsty!" Mary Durrant datang dengan berjalan lambat-lambat dari dapur. Kirsty
menghampirinya, Micky memandanginya tanpa daya.
"Itu tidak benar," Mary berbicara nyaring dengan suara parau. "Itu tidak benar!
Itu bohong, itu karanganmu saja. Dia tak apa-apa waktu aku meninggalkannya tadi.
Dia baik-baik saja. Dia sedang menulis. Sudah kukatakan supaya dia tidak
menulis. Mengapa dia tetap saja melakukannya" Mengapa dia keras kepala" Mengapa
dia tak mau meninggalkan rumah ini, meskipun sudah kubujuk?"
Dengan menghibur dan membujuknya, Kirsten berusaha menenangkannya.
Dr. Craig keluar dari ruang duduk dengan langkah-langkah panjang.
"Siapa yang mengatakan bahwa gadis itu pingsan?" tanyanya.
Micky menatapnya. "Tapi dia memang pingsan."
"Di mana dia pingsan?"
"Dia sedang bersamaku. Dia keluar dari rumah dan berjalan menemuiku. Lalu dia
jatuh." "Dia jatuh, ya" Ya, tentu dia jatuh," kata Dr. Craig dengan keras. Ia berjalan
cepat-cepat ke arah pesawat telepon. "Aku harus minta didatangkan ambulans,"
katanya, "sekarang juga."
"Ambulans?" Kirsten dan Micky menatapnya keheranan. Mary agaknya tidak
mendengarnya. "Ya." Donald memutar nomor dengan sikap geram. "Gadis itu bukannya pingsan,"
katanya. "Dia ditikam. Kalian dengar itu" Ditikam di punggungnya. Kita harus
membawanya ke rumah sakit secepatnya."
BAB XXIII DI KAMAR hotelnya, Arthur Calgary mempelajari berulang kali catatan-catatan yang
sudah dibuatnya. Sekali-sekali ia mengangguk.
Ya... ia sudah berada di jalur yang benar sekarang. Mula-mula ia telah membuat
kesalahan dengan memusatkan perhatiannya pada Mrs. Argyle. Dalam sembilan di
antara sepuluh perkara, itu memang merupakan prosedur yang benar. Tapi ini
agaknya merupakan perkara yang kesepuluh itu.
Selama ini ia memang merasakan adanya faktor yang tak diketahuinya. Begitu bisa
mengenali dan memisahkan faktor itu, ia pasti bisa memecahkan perkara ini. Dalam
mencarinya, ia terlalu memusatkan perhatiannya pada wanita yang menjadi korban
itu. Tapi sekarang disadarinya bahwa wanita yang sudah meninggal itu rupanya tak
penting. Setiap korban boleh dikatakan memang begitu.
Kini ia mengalihkan titik pandangnya ke saat semuanya itu berawal.
Bukan hanya pada Jacko, seorang pemuda yang telah dijatuhi hukuman dengan tak
adil atas kejahatan yang tidak dilakukannya - melainkan Jacko, manusianya yang
sejati. Apakah Jacko merupakan "alat yang ditunjuk untuk merusak" seperti apa
yang disebut dalam ajaran calvinis" Bukankah ia sudah diberi semua kesempatan
dalam hidupnya" Setidaknya, menurut Dr. MacMaster, ia orang yang terlahir untuk
berbuat salah. Tidak akan ada lingkungan yang bisa membantu atau
menyelamatkannya. Benarkah itu" Leo Argyle berbicara tentang pemuda itu dengan
pengertian dan rasa iba. Bagaimana ia mengungkapkannya waktu itu, ya" "Salah
satu ciptaan alam yang salah". Hasil penyelidikan modern menyatakan bahwa ia
cacat mental, bukan penjahat. Apa kata Hester" Dengan terus terang dikatakannya
bahwa Jacko selalu mengerikan!
Suatu pernyataan polos yang kekanak-kanakan. Lalu apa kata Kirsten Lindstrom" Ia
jahat! Ya, Kirsten menggunakan istilah keras itu. Jahat! Tina berkata, "Saya tak
pernah suka dan tak pernah percaya padanya." Jadi secara umum mereka sependapat,
bukan" Hanya jandanya yang punya pandangan khusus. Maureen Clegg mengenang Jacko
benar-benar dari sudut pandangnya sendiri. Ia merasa telah dirugikan Jacko. Ia
merasa telah terpikat daya tarik Jacko, dan ia tidak menyukai hal itu. Sekarang,
setelah menikah dengan baik-baik, ia hanya membeo pendapat suaminya. Ia telah
memberikan laporannya yang jujur mengenai beberapa perbuatan Jacko yang tak
terpuji, dan cara-cara yang dipakai Jacko untuk mendapatkan uang. Uang...
Di otak Arthur Calgary yang terlalu letih, perkataan itu seolah-olah menari-nari
di dinding dengan huruf besar-besar. Uang! Uang! Uang! Seperti motif dalam
sebuah opera, pikirnya. Uang Mrs. Argyle! Uang yang disimpan dalam trust! Uang
yang disimpan dalam bentuk tunjangan tahunan! Kekayaan yang tersisa diwariskan
pada suaminya! Uang yang ditarik dari bank pagi itu! Uang yang disimpan di dalam
laci meja kerja! Hester bergegas pergi dengan mobilnya tanpa uang di dompetnya,
dan hanya menerima dua pound dari Kirsten Lindstrom. Lalu uang yang ditemukan
pada Jacko, uang yang katanya diberikan oleh ibunya.
Seluruhnya membentuk suatu pola - suatu pola yang terjalin dari hal-hal kecil
mengenai uang. Dan dalam pola tersebut, faktor yang tak diketahui itu menjadi jelas.
Ia melihat ke arlojinya. Ia telah berjanji akan menelepon Hester pada waktu
tertentu. Ditariknya pesawat telepon, lalu dimintanya suatu nomor.
Sebentar kemudian didengarnya suara Hester, lantang dan kekanak-kanakan.
"Hester, baik-baik sajakah kau?"
"Oh, ya, aku sendiri baik-baik saja."
Beberapa lama kemudian barulah Calgary dapat menangkap maksud perkataan yang
diberinya tekanan itu. Lalu ia berkata dengan tajam,
"Apa yang terjadi?"
"Philip dibunuh."
"Philip! Philip Durrant?"
Terdengar nada tak percaya dalam suara Calgary.
"Ya. Dan Tina juga - tapi dia tidak meninggal. Dia di rumah sakit."
"Ceritakan," perintahnya.
Hester menceritakan semuanya. Calgary bertanya dan bertanya lagi dengan teliti,
sampai memperoleh semua penjelasan.
Lalu katanya dengan tegas,
"Tenanglah, Hester, aku akan datang. Aku akan berada di sana" - ia melihat ke
arlojinya - "dalam waktu satu jam. Aku harus menemui Inspektur Huish dulu."
II "Apa sebenarnya yang ingin Anda ketahui, Dr. Calgary?" tanya Inspektur Huish.
Tapi sebelum Calgary sempat menjawab, pesawat telepon di meja kerja Huish
berdering, dan Inspektur mengangkat gagangnya. "Ya. Ya, saya sendiri. Sebentar."
Ditariknya selembar kertas, diambilnya sebuah pena, dan ia bersiap-siap menulis.
"Ya. Mulailah. Ya." Ia menulis. "Apa" Bagaimana ejaan kata yang terakhir itu"
Oh, ya. Ya. Kelihatannya belum jelas, ya" Benar. Tak ada lagi" Ya. Terima
kasih." Gagang telepon diletakkannya kembali. "Itu dari rumah sakit," katanya.
"Tentang Tina?" tanya Calgary.
Inspektur mengangguk. "Dia sadar selama beberapa menit."
"Apakah dia mengatakan sesuatu?" tanya Calgary.
"Sebenarnya saya tak tahu mengapa saya harus mengatakannya pada Anda, Dr.
Calgary." "Saya minta Anda menceritakannya pada saya," kata Calgary, "karena saya rasa,
saya bisa membantu Anda dalam urusan ini."
Huish memandanginya sambil berpikir.
"Anda sangat peduli dalam urusan ini, ya, Dr. Calgary?" katanya.
"Ya, benar. Soalnya, saya merasa bertanggung jawab sehubungan dengan dibukanya
kembali perkara ini. Saya bahkan ikut bertanggung jawab dalam dua tragedi baru
ini. Apakah gadis itu masih bisa hidup?"
"Kata mereka bisa," kata Huish. "Mata pisau itu tak sampai ke jantung. Tapi
keadaannya masih tak menentu." Ia menggeleng. "Itulah kesulitannya selalu,"
katanya. "Orang-orang selalu tak percaya bahwa seorang pembunuh itu berbahaya.
Kedengarannya aneh, tapi itu kenyataan. Mereka semua tahu bahwa ada seorang
pembunuh di antara mereka. Seharusnya mereka ceritakan apa yang mereka ketahui.
Satu-satunya yang aman bila ada seorang pembunuh di tempat itu adalah segera
menceritakan pada polisi apa yang mereka ketahui. Nah, itu tidak mereka lakukan.
Mereka merahasiakannya terhadap saya. Philip Durrant itu orang baik - orang yang
cerdas. Tapi perkara ini dianggapnya sebagai suatu permainan. Dia mengorek-
ngorek ke sana kemari dan memasang perangkap untuk orang-orang. Dan dia
berhasil, atau dikiranya dirinya berhasil. Lalu ada orang lain yang tahu bahwa
dia mengetahui sesuatu. Hasilnya, saya menerima telepon yang mengatakan bahwa
dia meninggal, ditikam di tengkuknya. Itulah akibatnya kalau mau mencampuri soal
pembunuhan dan tidak menyadari bahaya-bahayanya." Ia berhenti, lalu menelan
ludah. "Bagaimana dengan gadis itu?" tanya Calgary.
"Gadis itu tahu sesuatu," kata Huish. "Sesuatu yang tak mau diceritakannya.
Pendapat saya adalah," katanya, "dia mencintai pria itu."
"Anda berbicara tentang... Micky?"
Huish mengangguk. "Ya. Dan saya rasa Micky juga mencintainya. Tapi mencintai
seseorang tak cukup bila dia ketakutan setengah mati. Apa pun yang diketahui
gadis itu mungkin lebih fatal daripada yang disadarinya. Sebab itu, setelah
gadis itu menemukan Durrant meninggal, dan dia berlari keluar ke dalam pelukan
pemuda itu, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menikamnya."
"Itu hanya dugaan Anda saja, bukan, Inspektur Huish?"
"Bukan sekadar dugaan, Dr. Calgary. Pisau itu ada di dalam sakunya."
"Pisau yang dipakai untuk membunuh itu?"
"Ya. Ada darah di pisau itu. Kita akan mengetesnya, tapi itu pasti darah gadis
itu. Darahnya dan darah Philip Durrant!"
"Tapi itu tak mungkin!"
"Siapa bilang itu tak mungkin?"
"Hester. Dia tadi menelepon saya, dan dia sudah menceritakan semuanya tentang
itu." "Dia yang menceritakannya, ya" Ya, kenyataannya sederhana sekali. Mary Durrant
turun ke dapur. Ditinggalkannya suaminya dalam keadaan hidup, jam empat kurang
sepuluh. Waktu itu yang ada di dalam rumah adalah Leo Argyle dan Gwenda Vaughan
di ruang perpustakaan, Hester Argyle di kamar tidurnya di lantai dua, dan
Kirsten Lindstrom di dapur. Jam empat lewat sedikit, Micky dan Tina datang.
Micky pergi ke kebun dan Tina naik ke lantai atas, tak lama setelah Kirsten,
yang sedang naik membawakan kopi dan biskuit untuk Philip. Tina sempat berhenti
untuk bercakap-cakap dengan Hester, lalu terus menyusul Miss Lindstrom, dan
mereka berdua menemukan Philip sudah meninggal."
"Padahal selama itu Micky berada di kebun. Bukankah itu suatu alibi yang kuat?"
"Ada yang tidak Anda ketahui, Dr. Calgary. Yaitu bahwa ada sebatang pohon
magnolia besar yang tumbuh di samping rumah. Waktu masih kanak-kanak, mereka
suka memanjatnya. Khususnya Micky. Itu merupakan salah satu jalannya untuk
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluar-masuk rumah. Mungkin dia memanjat pohon itu, masuk ke kamar Durrant,
menikamnya, lalu keluar lagi. Oh, pekerjaan itu memang memerlukan perhitungan
waktu yang cermat sekali. Tapi kadang-kadang kita terkejut melihat berapa
besarnya arti kenekatan. Dan anak muda itu dalam keadaan terdesak. Pokoknya dia
harus mencegah Tina bertemu dengan Durrant. Demi keselamatannya, dia harus
membunuh kedua orang itu."
Calgary berpikir beberapa lama.
"Tadi Anda katakan, Inspektur, bahwa Tina sudah siuman. Tak bisakah dia
mengatakan dengan pasti siapa yang menikamnya?"
"Dia masih kacau," kata Huish lambat-lambat. "Bahkan saya tak yakin apakah dia
sudah benar-benar sadar."
Ia tersenyum letih. "Baiklah, Dr. Calgary, akan saya katakan apa tepatnya yang telah diucapkannya.
Pertama-tama dia menyebutkan suatu nama. Micky."
"Kalau begitu, dia menuduh Micky," kata Calgary.
"Kelihatannya begitu," kata Huish sambil mengangguk. "Yang diucapkannya
selanjutnya tak ada hubungannya. Terdengar agak mengada-ada."
"Apa katanya?" Huish menunduk, melihat ke catatan di depannya.
"'Micky.' Dia berhenti sebentar, lalu berkata lagi, 'Cangkir itu kosong,' lalu
berhenti lagi, lalu, 'Merpati di puncak tiang.'" Inspektur melihat pada Calgary.
Ia menggeleng, lalu dengan rasa ingin tahu, ia berkata, "Merpati di puncak
tiang.... Rasanya aneh sekali mengucapkan kata-kata itu.
"Setahu kita, tak ada tiang dan merpati di situ," kata Huish. "Tapi itu pasti
ada artinya bagi gadis itu, ada sesuatu dalam pikirannya. Tapi tak mungkin
berhubungan dengan pembunuhan itu. Kita tak tahu, sedang mengambang di alam
kerajaan mana pikirannya."
Calgary diam beberapa lama. Ia memikirkan beberapa hal. Lalu katanya, "Sudah
Anda tangkapkah Micky?"
"Kami sudah menahannya. Dia akan dimintai keterangan dalam waktu 24 jam."
Huish melihat pada Calgary dengan pandangan bertanya,
"Saya rasa anak muda itu bukan orang yang Anda anggap merupakan jawaban dalam
persoalan ini, ya?" "Bukan," kata Calgary. "Bukan. Bukan Micky yang merupakan jawabannya. Sampai
saat ini, saya belum tahu." Ia bangkit. "Saya masih tetap merasa bahwa saya
benar," katanya. "Tapi saya juga menyadari bahwa saya tak punya cukup bukti
untuk meyakinkan Anda. Saya harus pergi ke sana lagi. Saya harus menemui mereka
semua." "Yah," kata Huish, "jaga diri Anda, Dr. Calgary. Omong-omong, apa gagasan Anda?"
"Apakah akan ada artinya bagi Anda," kata Calgary, "bila saya katakan bahwa
menurut keyakinan saya, ini suatu kejahatan berdasarkan nafsu?"
Huish mengangkat alisnya.
"Ada banyak nafsu, Dr. Calgary," katanya. "Kebencian, kekikiran, keserakahan,
rasa takut, semuanya itu nafsu."
"Waktu saya katakan kejahatan berdasarkan nafsu," kata Calgary, "maksud saya
benar-benar dalam arti sebenarnya."
"Bila yang Anda maksud Gwenda Vaughan dan Leo Argyle," kata Huish, "itu pula
yang ada dalam pikiran kami. Tapi agaknya tidak cocok."
"Persoalannya lebih rumit daripada itu," kata Arthur Calgary.
BAB XXIV HARI telah gelap waktu Arthur Calgary tiba di Sunny Point, sama benar dengan
malam hari waktu ia pertama kali datang ke situ. Viper's Point, pikirnya, waktu
ia menekan bel. Peristiwa-peristiwa serasa terulang kembali. Hester juga yang membukakannya
pintu. Di wajahnya terpancar tantangan yang sama, terasa pula suasana tragedi
menyedihkan yang sama. Di belakang Hester dilihatnya pula, seperti dulu, sosok
Kirsten Lindstrom yang selalu waspada dan penuh curiga. Serasa sejarah berulang
kembali. Lalu polanya berubah. Kecurigaan dan keputusasaan lenyap dari wajah Hester.
Wajah itu kini tersenyum, manis sekali.
"Kau," katanya. "Oh, aku senang sekali kau datang!"
Calgary menggenggam kedua tangan Hester.
"Aku ingin bertemu dengan ayahmu, Hester. Apakah dia ada di lantai atas, di
ruang perpustakaan?"
"Ya. Ya, dia ada di sana dengan Gwenda."
Kirsten Lindstrom menghampiri mereka.
"Mengapa Anda datang lagi?" katanya dengan nada menuding. "Lihat saja kesulitan
yang telah Anda timbulkan! Lihat apa yang telah terjadi atas diri kami semua.
Hidup Hester hancur, hidup Mr. Argyle hancur, dan sekarang dua kematian. Dua!
Philip Durrant dan si kecil Tina. Dan itu gara-gara Anda. Semua gara-gara Anda!"
"Tina belum meninggal," kata Calgary, "dan ada sesuatu yang harus saya lakukan
di sini, sesuatu yang tak bisa saya biarkan tidak selesai."
"Apa yang harus Anda lakukan itu?" Kirsten tetap berdiri menghalang-halangi
jalannya ke tangga. "Saya harus menyelesaikan apa yang telah saya mulai," kata Calgary.
Dengan halus diletakkannya tangannya ke bahu Kirsten, lalu didorongnya wanita
itu ke samping sedikit. Ia menaiki tangga, dan Hester mengikutinya. Ia menoleh,
lalu berkata lewat bahunya,
"Mari ikut juga, Miss Lindstrom. Saya ingin kalian semua ada di situ."
Di ruang perpustakaan, Leo Argyle sedang duduk di kursi di dekat meja tulisnya.
Gwenda Vaughan sedang berlutut di depan perapian, menatap bara api. Mereka
mendongak dengan terkejut.
"Maafkan saya masuk begitu saja," kata Calgary, "tapi seperti sudah saya katakan
pada mereka berdua ini, saya datang untuk menyelesaikan apa yang sudah saya
mulai." Ia melihat ke sekelilingnya. "Apakah Mrs. Durrant masih ada di rumah
ini" Saya ingin dia kemari juga."
"Saya rasa dia sedang berbaring," kata Leo. "Dia... ini merupakan pukulan hebat
sekali baginya." "Meskipun demikian, saya minta dia kemari juga." Ia menoleh pada Kirsten.
"Tolong jemput dia."
"Mungkin dia tak mau datang," kata Kirsten cemberut.
"Katakan padanya bahwa ada beberapa hal mengenai kematian suaminya yang mungkin
ingin didengarnya," kata Calgary.
"Pergilah, Kirsty," kata Hester. "Jangan begitu curiga dan terlalu melindungi
kami semua. Aku tak tahu apa yang akan dikatakan Dr. Calgary, tapi kita semua
seharusnya berada di sini."
"Baiklah," kata Kirsten.
Ia keluar dari ruangan itu.
"Duduklah," kata Leo. Ia menunjuk ke sebuah kursi di sisi lain perapian, dan
Calgary duduk di situ. "Harap Anda maafkan saya," kata Leo, "kalau sekarang saya katakan bahwa
sebenarnya saya senang sekali sekiranya Anda tak pernah datang, Dr. Calgary."
"Itu tidak adil," kata Hester dengan keras. "Sangat tidak adil Ayah berkata
begitu." "Saya tahu bagaimana perasaan Anda," kata Calgary. "Saya rasa bila saya berada
di tempat Anda, saya akan merasa begitu pula. Mungkin saya bahkan sempat
sependapat dengan Anda. Tapi setelah saya pikir, saya masih belum tahu apa lagi
yang harus saya lakukan."
Kirsten masuk kembali. "Mary akan datang," katanya.
Mereka menunggu tanpa berbicara, dan sebentar kemudian Mary Durrant memasuki
ruangan itu. Calgary memandanginya dengan penuh perhatian, karena itulah untuk
pertama kalinya ia melihat Mary. Wanita itu kelihatan tenang dan bisa menguasai
diri, pakaiannya rapi dan rambutnya tersisir rapi pula. Tapi wajahnya seperti
kedok, karena tidak memancarkan perasaan apa pun. Dan ia memberikan kesan
seperti wanita yang berjalan dalam mimpi.
Leo memperkenalkan mereka. Mary menunduk sedikit.
"Terima kasih atas kedatangan Anda, Mrs. Durrant," kata Calgary. "Saya rasa Anda
harus mendengar apa yang akan saya katakan."
"Silakan," kata Mary. "Tapi apa pun yang Anda atau orang lain katakan, tidak
akan bisa mengembalikan Philip."
Ia agak menjauh dari mereka, lalu duduk di kursi di dekat jendela. Calgary
melihat ke sekelilingnya.
"Pertama-tama saya akan mengatakan ini. Waktu saya datang kemari untuk pertama
kali, waktu saya datang untuk mengatakan pada Anda bahwa saya bisa membersihkan
nama Jacko, penerimaan Anda semua atas berita saya, mengherankan saya. Sekarang
saya mengerti. Tapi hal yang memberikan kesan terbesar pada diri saya adalah apa
yang diucapkan anak ini...," ia menoleh pada Hester, "pada waktu saya akan
pulang. Katanya, bukan keadilan yang penting, melainkan apa yang akan terjadi
atas diri orang-orang yang tak bersalah. Ada bagian dalam terjemahan terbaru
dari Kitab Ayub, yang menyatakan hal itu: Bencana atas diri orang yang tak
bersalah. Sebagai akibat dari berita saya itulah Anda sekalian jadi menderita.
Padahal yang tak bersalah tak pantas menderita, dan tak boleh menderita. Dan
untuk mengakhiri penderitaan orang-orang yang tak bersalah itulah saya sekarang
berada di sini, untuk menyampaikan apa yang harus saya katakan."
Ia diam beberapa lama, tapi tak seorang pun berbicara. Lalu Arthur Calgary
berbicara lagi dengan suara seorang pakar yang tenang,
"Waktu pertama kali datang kemari, saya mengira telah membawa berita gembira.
Ternyata itu tidak benar. Anda sekalian sudah menerima Jacko sebagai orang yang
bersalah. Kalau boleh saya katakan, Anda sekalian puas dengan keadaan itu. Itu
merupakan penyelesaian terbaik dalam pembunuhan Mrs. Argyle."
"Apakah ucapan Anda itu tidak terlalu keras?" kata Leo.
"Tidak," kata Calgary, "itu benar. Anda semua puas dengan menganggap Jacko
sebagai pelaku kejahatannya, karena tak ada kemungkinan orang luar yang
melakukan kejahatan itu, dan karena dalam hal Jacko Anda bisa menemukan alasan-
alasan yang diperlukan. Dia memang tidak beruntung, seorang cacat mental yang
tak bisa bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Seorang anak pembawa
masalah yang tak bisa dikendalikan! Pokoknya, semua istilah yang kini bisa kita
pakai untuk menghapus kesalahannya. Anda katakan, Mr. Argyle, bahwa Anda tidak
menyalahkannya. Anda katakan bahwa ibunya, yang menjadi korban, juga tidak akan
menyalahkan dia. Hanya ada satu orang yang menyalahkannya." Ia menoleh pada
Kirsten Lindstrom. "Anda yang menyalahkannya. Dengan jelas dan terus terang Anda
katakan bahwa dia jahat. Itulah istilah yang Anda pakai, 'Jacko itu jahat,' kata
Anda." "Mungkin," kata Kirsten Lindstrom. "Mungkin - ya, mungkin saya berkata begitu.
Karena itu benar." "Ya, itu benar. Dia memang jahat. Sekiranya dia tidak jahat, semuanya ini tidak
akan terjadi. Tapi Anda tahu betul," kata Calgary, "bahwa bukti yang saya
berikan membebaskannya dari kejahatan yang sebenarnya."
Kata Kirsten, "Kita tidak selalu bisa percaya akan bukti. Anda telah mengalami gegar otak.
Saya tahu betul apa akibat gegar otak pada orang. Orang jadi tak bisa mengingat
hal-hal dengan jelas, hanya samar-samar."
"Jadi, Anda masih tetap berpendirian begitu?" kata Calgary. "Anda pikir Jacko
benar-benar telah melakukan kejahatan itu, dan dia telah berhasil mengarang-
ngarang alibi" Begitu?"
"Saya tak tahu perinciannya. Ya, semacam itulah. Saya tetap mengatakan bahwa dia
yang melakukannya. Semua penderitaan yang berlangsung di sini, yang disusul
dengan kematian-kematian - ya, kematian-kematian mengerikan ini - semua itu
perbuatan dia. Semua perbuatan Jacko!"
Hester berseru, "Tapi, Kirsten, bukankah kau begitu sayang pada Jacko?"
"Mungkin," kata Kirsten, "ya, mungkin. Tapi aku tetap mengatakan bahwa dia
jahat." "Dalam hal itu, Anda benar," kata Calgary. "Tapi dalam hal yang lain. Anda
salah. Gegar otak atau tidak, ingatan saya tetap jelas. Pada malam kematian Mrs.
Argyle itu saya telah memberikan tumpangan pada Jacko, pada jam yang sudah saya
nyatakan. Tak ada kemungkinan - saya tekankan dengan keras - tak ada kemungkinan
Jacko membunuh ibu angkatnya malam itu. Alibinya kuat."
Leo bergerak dengan gelisah. Calgary berkata terus,
"Anda pikir, saya mengulang-ulangi hal yang sama terus. Itu tidak benar. Ada
beberapa bagian yang harus dipikirkan. Salah satu di antaranya pernyataan
Inspektur Huish, bahwa Jacko sangat yakin waktu dia mengemukakan alibinya itu.
Semua itu sudah disiapkannya dengan rapi sekali, waktunya, tempatnya, seolah-
olah dia tahu bahwa dia akan membutuhkannya kelak. Itu bertalian dengan
percakapan saya mengenai dirinya dengan Dr. MacMaster yang punya pengalaman
sangat luas di bidang kenakalan anak-anak. Katanya dia tidak begitu terkejut
kalau Jacko punya benih-benih pembunuhan dalam hatinya. Tapi dia terkejut bahwa
Jacko benar-benar telah melakukannya. Katanya pembunuhan yang bisa diterima
akalnya adalah kalau Jacko merencanakannya dan menyuruh orang lain melakukannya.
Maka saya pun bertanya sendiri, apakah Jacko tahu bahwa malam itu akan dilakukan
kejahatan" Tahukah dia bahwa dia akan membutuhkan alibi, dan lalu sengaja
berusaha mendapatkan alibi itu" Kalau begitu, orang lain yang membunuh Mrs.
Argyle, tapi Jacko tahu tentang rencana pembunuhan itu. Dan bahkan bisa
dikatakan dialah yang mengatur kejahatan itu."
Calgary menujukan kata-katanya pada Kirsten Lindstrom,
"Anda hanya merasakannya, bukan" Anda merasa begitu, atau Anda ingin
berkeyakinan begitu" Anda merasa Jacko-lah yang membunuhnya, bukan Anda. Anda
merasa bahwa Anda melakukannya atas perintah Jacko dan di bawah pengaruhnya.
Oleh karenanya. Anda ingin agar semua kesalahan ditimpakan pada dirinya!"
"Saya?" kata Kirsten Lindstrom. "Saya" Bicara apa Anda ini?"
"Saya berkata," kata Calgary, "bahwa hanya ada satu orang dalam rumah ini yang
cocok berperan sebagai komplotan Jacko. Dan orang itu adalah Anda, Miss
Lindstrom. Jacko terkenal dengan perangai jahatnya, yaitu kemampuannya untuk
menimbulkan nafsu berahi pada wanita-wanita setengah baya. Kemampuan itu
dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Dia punya bakat untuk menjadikan dirinya
dipercayai." Calgary membungkukkan tubuhnya. "Dia menjalin cinta dengan Anda,
bukan?" katanya dengan halus. "Anda dibuatnya percaya bahwa dia mencintai Anda,
bahwa dia ingin mengawini Anda, bahwa setelah peristiwa ini berlalu dan dia bisa
menguasai uang ibunya, kalian berdua akan menikah dan pergi ke suatu tempat.
Begitu, bukan?" Kirsten menatapnya. Ia tidak berbicara. Ia seperti lumpuh.
"Perbuatan itu dilakukan dengan kejam, tanpa belas kasihan, dan direncanakan,"
kata Arthur Calgary. "Dia datang kemari malam itu dalam keadaan amat membutuhkan
uang. Dia dibayang-bayangi kemungkinan ditangkap dan dipenjarakan. Mrs. Argyle tak mau memberinya uang. Setelah ditolak ibunya, dia mendatangi
Anda." Kata Kirsten Lindstrom, "Apakah Anda pikir, saya mau mengambil uang Mrs. Argyle
untuk diberikan padanya, dan bukan memberikan uang saya sendiri?"
"Tidak," kata Calgary, "Anda pasti memberikan uang Anda sendiri, kalau Anda
memilikinya. Tapi saya rasa Anda sudah tak punya uang lagi. Anda punya
penghasilan cukup besar dari penghasilan tahunan yang telah diatur Mrs. Argyle
untuk Anda, tapi uang itu sudah habis untuk Jacko. Malam itu dia putus asa, dan
waktu Mrs. Argyle naik ke ruang perpustakaan mendatangi suaminya, Anda keluar
rumah. Dia sudah menunggu Anda, dan dikatakannya pada Anda apa yang harus Anda
lakukan. Pertama-tama Anda harus memberikan uang itu padanya, lalu sebelum
pencurian itu ketahuan, Mrs. Argyle harus dibunuh. Karena Mrs. Argyle tidak akan
mendiamkan pencurian itu. Katanya mudah saja membunuhnya. Anda tinggal menarik
keluar laci-laci mejanya supaya kelihatannya seperti ada pencurian, dan Anda
harus memukul bagian belakang kepalanya. Itu tidak sakit, katanya. Mrs. Argyle
tidak akan merasakan apa-apa. Dia sendiri akan mengatur suatu alibi. Jadi Anda
harus cermat melakukannya dalam batas-batas waktu tertentu, yaitu antara jam
tujuh dan setengah delapan."
"Itu tidak benar," kata Kirsten. Ia mulai gemetar. "Anda gila berkata begitu."
Tapi dalam suaranya tidak terdengar kemarahan besar. Aneh rasanya mendengar
suaranya yang datar dan letih itu.
"Meskipun apa yang Anda katakan itu benar," katanya lagi, "Anda pikir saya mau
membiarkan dia dituduh membunuh?"
"Oh, ya," kata Calgary. "Soalnya dia sudah berkata pada Anda bahwa dia akan
punya alibi. Mungkin menurut perkiraan Anda dia paling-paling ditangkap dan akan
diharuskan membuktikan bahwa dia tak bersalah. Itu semua bagian dari rencana
itu." "Tapi waktu dia tak bisa membuktikan dirinya tak bersalah," kata Kirsten,
"mengapa saya lalu tidak menyelamatkannya?"
"Mungkin," kata Calgary, "mungkin Anda mau - sekiranya tidak terjadi satu
kenyataan. Yaitu pagi hari setelah pembunuhan itu, istri Jacko muncul di sini.
Anda tak tahu dia sudah menikah. Setelah wanita itu mengulangi pernyataan
tersebut dua-tiga kali, barulah Anda mau mempercayainya. Pada saat itu dunia
Anda serasa hancur. Anda baru bisa melihat Jacko sebagaimana dia sebenarnya - tak
kenal belas kasihan, penuh rencana licik, tanpa rasa cinta sedikit pun terhadap
Anda. Barulah Anda sadari apa yang disuruhnya untuk Anda kerjakan."
Tiba-tiba Kirsten berbicara. Kata-katanya berhamburan tak beraturan.
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya mencintainya... saya mencintainya dengan sepenuh hati. Sungguh tolol saya.
Orang setengah umur yang tolol dan mudah percaya. Dia yang membuat saya percaya.
Katanya dia tak pernah suka pada gadis-gadis. Katanya... saya tak dapat
mengulangi semua yang dikatakannya. Saya mencintainya. Sungguh, saya
mencintainya. Lalu anak perempuan bodoh itu datang, anak kecil yang rendah itu.
Barulah saya menyadari semua kebohongannya, semua kejahatannya.... Ya, kejahatan
dia, bukan kejahatan saya."
"Waktu saya datang malam itu," kata Calgary, "Anda ketakutan, bukan" Anda takut
menghadapi apa yang akan terjadi. Anda takut untuk yang lain-lain juga. Hester
yang Anda sayangi. Leo yang juga Anda sayangi. Mungkin Anda menyadari apa
pengaruh kejadian ini atas diri mereka. Tapi sebenarnya Anda ketakutan sendiri.
Dan lihatlah apa akibat dari rasa takut... Ada dua lagi kematian yang merupakan
perbuatan Anda." "Anda katakan saya yang membunuh Tina dan Philip?"
"Memang Anda yang membunuh mereka, bukan?" kata Calgary. "Tina sudah siuman."
Pundak Kirsten terbungkuk membayangkan rasa putus asa.
"Jadi dia mengatakan pada Anda bahwa saya yang menikamnya" Saya pikir dia bahkan
tak tahu. Saya memang sudah gila. Waktu itu saya sudah gila, gila karena
ketakutan. Keadaan sudah makin mendesak... makin mendesak."
"Ingin tahukah Anda apa yang dikatakan Tina begitu dia siuman?" kata Calgary.
"Katanya, 'Cangkirnya kosong.' Saya tahu apa artinya. Anda pura-pura
mengantarkan secangkir kopi untuk Philip Durrant. Padahal Anda sudah menikamnya,
dan Anda sedang keluar dari kamar itu waktu Anda dengar Tina datang. Maka Anda
berbalik dan berpura-pura baru akan membawa nampan itu masuk. Kemudian, meskipun
dia terkejut sekali hingga hampir pingsan melihat kematian itu, dia sempat
melihat bahwa cangkir yang jatuh ke lantai itu kosong dan sama sekali tak ada
bekas kopinya," Hester berseru, "Tapi tak mungkin Kirsten yang menikamnya! Tina masih bisa berjalan, turun, dan
keluar mendapatkan Micky, Dia tak apa-apa,"
"Anak manis," kata Calgary, "ada orang yang setelah ditikam masih bisa berjalan
di sepanjang jalan, tanpa menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya! Dalam
keadaan shock yang dialami Tina waktu itu, dia boleh dikatakan bahkan tidak
merasakan apa-apa. Mungkin hanya seperti tusukan jarum saja, nyeri sedikit." Ia
menoleh pada Kirsten lagi. "Lalu kemudian," katanya, "diam-diam Anda masukkan
pisau itu ke dalam saku Micky. Itulah perbuatan yang paling rendah dari
semuanya." Kirsten mengulurkan lengannya dengan sikap memohon.
"Saya tak bisa berbuat lain - saya tak berdaya. Keadaan sudah mendesak. Semua
orang akan tahu. Philip sudah hampir tahu, dan Tina... saya rasa Tina pasti
sudah mendengar Jacko berbicara dengan saya di luar dapur malam itu. Mereka
semua sudah hampir tahu. Saya ingin selamat. Saya ingin, tapi kita tak pernah
bisa selamat!" Tangannya terkulai. "Saya tak ingin membunuh Tina. Mengenai
Philip..." Mary Durrant bangkit. Ia berjalan menyeberangi ruangan, perlahan-lahan, tapi
dengan tujuan pasti. "Kau yang membunuh Philip rupanya," katanya. "Kau yang membunuh Philip."
Tiba-tiba ia melompat bagaikan seekor singa betina, menyerang perempuan itu.
Gwenda, yang cepat tanggap, melompat bangkit dari duduknya dan menangkapnya.
Calgary membantunya dan mereka berdua menahannya,
"Kau - kau!" teriak Mary Durrant.
Kirsten Lindstrom memandanginya.
"Apa urusan suamimu itu?" katanya. "Mengapa dia harus berkeliaran ke sana kemari
dan tak sudah-sudahnya bertanya-tanya" Dia tak pernah terancam. Baginya ini
bukan masalah hidup dan mati. Itu hanya... hiburan saja baginya." Ia berbalik,
lalu berjalan perlahan-lahan ke pintu. Ia keluar tanpa menoleh lagi pada mereka.
"Hentikan dia," seru Hester. "Aduh, kita harus menghentikannya."
Leo Argyle berkata, "Biarkan dia pergi, Hester."
"Tapi dia akan bunuh diri."
"Aku tak yakin," kata Calgary.
"Selama ini dia teman kita yang setia," kata Leo. "Setia, penuh pengabdian -
ternyata begini!" "Apakah dia... akan menyerahkan dirinya?" tanya Gwenda.
"Jauh lebih mungkin dia pergi ke stasiun terdekat, lalu naik kereta api dan
pergi ke London," kata Calgary. "Tapi dia pasti tidak akan bisa lari begitu
saja. Dia pasti bisa ditemukan."
"Kirsten kita yang baik," kata Leo lagi. Suaranya bergetar. "Begitu setia,
begitu baik terhadap kita semua."
Gwenda memegang lengannya, lalu mengguncangnya.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Leo" Ingat apa yang telah dilakukannya atas
diri kita semua - bagaimana dia telah membuat kita menderita!"
"Aku tahu," kata Leo, "tapi dia sendiri pun tersiksa. Kurasa penderitaannyalah
yang terasa oleh kita di rumah ini."
"Kita pasti akan menderita terus gara-gara dia," kata Gwenda, "kalau saja tak
ada Dr. Calgary." Ia berpaling pada Calgary dengan air muka bersyukur.
"Jadi akhirnya saya telah melakukan sesuatu yang membantu," kata Calgary,
"meskipun agak terlambat."
"Terlambat," kata Mary dengan getir. "Terlambat! Oh, mengapa kita tak tahu"
Mengapa kita tak mengira?" Ia berpaling pada Hester dengan sikap menuduh.
"Kukira kau. Selama ini aku mengira kau."
"Dia tidak mengira begitu," kata Hester. Ia menoleh pada Calgary.
Dengan suara halus Mary Durrant berkata,
"Alangkah baiknya kalau aku juga mati."
"Anakku sayang," kata Leo, "ingin sekali aku bisa menolongmu."
"Tak seorang pun bisa menolongku," kata Mary. "Semua ini salah Philip sendiri,
ingin tinggal di sini lebih lama, ingin mencampuri urusan ini. Sampai dia
terbunuh." Ia melihat ke sekelilingnya, pada mereka. "Tak ada di antara kalian
yang mengerti." Lalu ia keluar dari ruangan itu.
Calgary dan Hester menyusulnya. Waktu mereka melewati pintu, Calgary menoleh ke
belakang, dan melihat Leo merangkulkan lengannya ke bahu Gwenda.
"Dia memberiku peringatan," kata Hester. Matanya lebar dan ketakutan. "Sejak
awal dia sudah mengatakan padaku untuk tidak mempercayainya. Supaya aku takut
padanya, seperti juga aku takut pada semua orang yang lain."
"Lupakan itu, anak manis," kata Calgary. "Itulah yang harus kaulakukan sekarang.
Melupakan. Kalian semua sudah bebas sekarang. Yang tak bersalah kini tidak lagi
dibayang-bayangi oleh yang bersalah."
"Bagaimana dengan Tina" Akan sembuhkah dia" Dia tidak akan meninggal, kan?"
"Kurasa dia tidak akan meninggal," kata Calgary. "Dia mencintai Micky, bukan?"
"Kurasa begitu," kata Hester dengan nada agak heran dalam suaranya. "Itu tak
pernah terpikirkan olehku. Soalnya, bukankah selama ini mereka kakak-beradik,
meskipun mereka sebenarnya bukan kakak-adik."
"Omong-omong, Hester, tahukah kau apa maksud Tina waktu dia berkata, 'Merpati di
puncak tiang'?" "Merpati di puncak tiang?" Hester mengernyitkan dahinya. "Tunggu. Rasanya aku
pernah mendengarnya. Merpati di puncak tiang, waktu kita berlayar laju. Dan
berkabung, berkabung, dan berkabung. Begitukah?"
"Mungkin," kata Calgary.
"Itu sebuah lagu," kata Hester. "Semacam lagu nina bobok. Dulu Kirsten suka
menyanyikannya untuk kami. Aku hanya ingat sepotong-sepotong. Kekasihku berdiri
di sisi kananku, dan ada sesuatu lagi. Oh, gadis terkasih, aku tak berada di
sini, aku tak punya tempat, tak punya bagian. Tak ada lagi tempat tinggal di
laut maupun di darat. Kecuali dalam hatimu."
"Aku mengerti," kata Calgary, "Ya, aku tahu."
"Mungkin mereka akan menikah," kata Hester, "setelah Tina sembuh, lalu dia bisa
ikut Micky ke Kuwait. Tina selalu ingin berada di tempat hangat. Di Teluk Parsi
udaranya panas, bukan?"
"Kurasa bahkan terlalu panas," kata Calgary.
"Tak ada yang terlalu panas bagi Tina," kata Hester meyakinkan.
"Dan kau pun akan berbahagia sekarang, anak manis," kata Calgary sambil
menggenggam tangan Hester. Ia mencoba tersenyum. "Kau akan menikah dengan dokter
mudamu itu, dan kalian akan hidup tenang. Kau tidak akan diganggu lagi oleh
angan-angan mengerikan dan rasa putus asa."
"Menikah dengan Don?" kata Hester dengan nada terkejut. "Aku sama sekali tidak
akan menikah dengan Don."
"Tapi kau kan mencintainya?"
"Tidak, kurasa sebenarnya tidak... kukira dulu begitu. Tapi dia tidak
mempercayai aku. Dia tak yakin bahwa aku tak bersalah. Sebenarnya dia harus
yakin." Ia menatap Calgary. "Kau yang yakin! Kurasa aku ingin menikah denganmu."
"Tapi, Hester, aku jauh lebih tua daripadamu. Masa..."
"Artinya... kalau kau menginginkan diriku," kata Hester yang tiba-tiba menjadi
ragu-ragu. "Oh, tentu aku menginginkan kau!" kata Arthur Calgary.
*** Scan & DJVU: k80 Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.blogspot.com
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Bunga Ceplok Ungu 2 Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara Bulan Biru Di Mataram 3
berhenti. "Itulah sebabnya," katanya lagi, tiba-tiba dengan bersemangat, "saya
sudah bertekad tidak lagi bodoh dan kekanak-kanakan. Anda mau menolong saya,
bukan?" "Sudah kukatakan, akan kulakukan apa saja di dunia ini untuk menolongmu."
Hester memberinya senyum kecil yang manis.
"Ceritakanlah," kata Calgary lagi, "apa sebenarnya yang telah terjadi?"
"Tepat seperti apa yang saya perkirakan akan terjadi," kata Hester. "Kami semua
saling memandang dan bertanya-tanya sendiri, dan kami tak tahu. Ayah melihat
pada Gwenda dan berpikir mungkin dia pelakunya. Gwenda melihat pada Ayah dan
merasa tak yakin. Saya rasa mereka tak jadi menikah sekarang. Peristiwa itu
telah merusak segala-galanya. Dan Tina menduga bahwa Micky terlibat dalam urusan
ini. Saya tak mengerti, soalnya Micky tak ada di rumah malam itu. Sedangkan
Kirsten menyangka saya yang melakukannya, dan dia mencoba melindungi saya. Lalu
Mary - kakak sulung saya yang belum pernah Anda jumpai - menduga Kirsten yang
melakukannya." "Dan menurutmu, siapa yang melakukannya, Hester?"
"Saya?" Hester terkejut.
"Ya, kau," kata Calgary. "Kurasa kau tahu, dan itu penting untuk kuketahui."
Hester mengembangkan kedua belah telapak tangannya. "Saya tak tahu," desahnya.
"Saya tak tahu. Saya - sebenarnya tak baik saya berkata begitu - tapi saya takut
sekali pada semua orang. Rasanya di balik setiap wajah ada wajah lain. Seraut
wajah yang tidak saya kenal. Saya tak yakin apakah Ayah itu benar Ayah. Dan
Kirsten terus-menerus berkata supaya saya tidak mempercayai siapa pun juga,
bahkan dirinya sendiri pun tidak. Dan saya melihat pada Mary, dan merasa saya
tak tahu apa-apa tentang dia. Dan Gwenda... selama ini saya menyukai Gwenda.
Selama ini saya senang Ayah akan menikah dengannya. Tapi sekarang saya merasa
tak yakin lagi tentang Gwenda. Saya melihatnya se bagai seseorang yang lain,
yang bengis dan... dan penuh rasa dendam. Saya jadi tak tahu bagaimana orang-
orang sebenarnya. Saya jadi sedih sekali."
"Ya," kata Calgary, "aku bisa membayangkannya."
"Begitu banyak kesedihan," kata Hester, "hingga mau tak mau saya merasa mungkin
itu pengaruh kesedihan si pembunuh juga. Dan mungkin itu yang terburuk. Apakah
menurut Anda itu mungkin?"
"Ya, kurasa itu mungkin," kata Calgary, "tapi aku ragu, soalnya aku juga tidak
ahli dalam hal itu. Aku sangsi apakah seorang pembunuh pernah sedih."
"Mengapa tidak" Saya rasa sangat mengerikan kalau kita tahu bahwa kita telah
membunuh seseorang,"
"Ya," kata Calgary, "itu memang sesuatu yang mengerikan. Dan karenanya kupikir
seorang pembunuh pasti tergolong pada salah satu dari dua macam manusia. Mungkin
baginya membunuh seseorang bukanlah sesuatu yang mengerikan. Dia termasuk
golongan manusia yang berkata pada dirinya sendiri, 'Yah, memang sayang sekali
aku harus melakukannya, tapi itu perlu sekali untuk kepentinganku sendiri.
Pokoknya itu bukan salahku. Yah, aku terpaksa melakukannya.' Atau..."
"Ya?" tanya Hester, "pembunuh macam manakah yang satu lagi?"
"Ingat, aku mereka-reka saja. Tapi kurasa bila seseorang tergolong pada pembunuh
macam yang satu lagi, dia tidak akan bisa hidup dengan kesedihan gara-gara
perbuatannya itu. Maka, kalau dia tidak mengakui perbuatannya, akan terjadilah
apa yang telah terjadi di sini: dia menimpakan kesalahan pada orang lain dengan
berkata, 'Aku tidak akan pernah melakukan perbuatan semacam itu kalau tidak ada
sesuatu yang telah terjadi. Aku sebenarnya bukan seorang pembunuh, karena aku
tidak berniat melakukannya. Tiba-tiba saja hal itu terjadi, jadi itu
sebenarnya... sebenarnya nasib, bukan perbuatanku.' Mengerti sedikitkah kau pada
apa yang kucoba jelaskan?"
"Ya," kata Hester, "dan saya rasa itu menarik sekali." Ia setengah menutup
matanya. "Saya juga sedang mencoba berpikir."
"Ya, Hester," kata Calgary, "berpikirlah. Berpikirlah sekeras-kerasnya, karena
kalaupun aku bisa membantumu, aku harus melihat persoalan-persoalannya melalui
pikiranmu." "Micky membenci Ibu," kata Hester lambat-lambat. "Sudah sejak dulu... saya tak
tahu mengapa. Tina saya rasa sayang pada Ibu. Gwenda tidak menyukainya. Kirsten
selalu setia pada Ibu, meskipun dia tidak selalu berpendapat bahwa Ibu benar
dalam segala hal. Ayah..." Ia berhenti lama.
"Ya?" Calgary mendorongnya terus.
"Ayah sudah sangat berubah," kata Hester. "Setelah Ibu meninggal, dia jadi lain
sekali. Dia tidak lagi... bagaimana menyebutnya, ya" Menjauh. Dia sudah lebih
manusiawi, lebih hidup. Tapi sekarang dia kembali ke suatu tempat gelap yang tak
dapat kita dekati. Saya tak tahu bagaimana perasaannya sebenarnya terhadap Ibu
dulu. Saya rasa dia mencintai Ibu waktu menikahinya. Mereka tak pernah
bertengkar, tapi saya tak tahu bagaimana perasaannya terhadap Ibu. Aduh,"
tangannya diulurkannya lagi, "kita tak tahu bagaimana sebenarnya perasaan kita,
bukan" Maksud saya, apa yang terjadi di balik wajah orang-orang, di balik kata-
kata manisnya sehari-hari" Mungkin mereka terkoyak-koyak rasa benci, atau cinta,
atau putus asa, dan tak ada orang lain yang tahu! Mengerikan sekali... Oh, Dr.
Calgary, menakutkan sekali!"
Calgary menggenggam kedua tangan Hester.
"Kau bukan anak kecil lagi," katanya. "Hanya anak kecil yang ketakutan. Kau
sudah dewasa, Hester. Kau seorang wanita." Dilepaskannya tangan gadis itu, lalu
berkata dengan nada tegas, "Adakah suatu tempat di London ini, di mana kau bisa
menginap?" Hester kelihatan bingung.
"Saya rasa ada. Entah, ya. Ibu biasanya bermalam di Hotel Curtis."
"Oh, itu hotel yang cukup bagus dan tenang. Kalau aku jadi kau, aku akan pergi
ke sana dan menyewa kamar."
"Akan saya lakukan apa saja yang Anda suruh," kata Hester.
"Bagus," kata Calgary. "Jam berapa sekarang?" Ia mendongak melihat jam. "Wah,
sudah hampir jam tujuh. Bagaimana kalau sekarang kau pergi dan memesan kamar"
Nanti kira-kira jam delapan kurang seperempat, aku datang dan membawamu pergi
makan malam. Bagaimana?"
"Menyenangkan sekali," kata Hester. "Bersungguh-sungguhkah Anda?"
"Ya," kata Calgary, "aku bersungguh-sungguh."
"Tapi setelah itu" Apa yang akan terjadi lagi" Saya kan tak bisa tinggal di
Hotel Curtis selama-lamanya?"
"Cakrawalamu agaknya selalu tak terbatas, ya?"
"Anda menertawakan saya?" tanya Hester ragu-ragu.
"Sedikit," kata Calgary, lalu ia pun tersenyum.
"Memang," katanya dengan yakin, "saya rasa saya mulai lagi bersikap berlebihan."
"Kurasa itu merupakan kebiasaanmu, ya?" kata Calgary.
"Itulah sebabnya saya kira saya bisa main drama," kata Hester. "Tapi ternyata
tidak bisa. Sama sekali tidak bisa. Ah, saya hanya artis picisan."
"Kurasa kau bisa memainkan drama apa saja dari kehidupan biasa," kata Calgary.
"Nah, sekarang kau kucarikan taksi, anak manis, dan kau pergi ke Hotel Curtis.
Cuci mukamu dan sisir rambutmu," lanjutnya. "Apakah kau membawa barang-barang?"
"Ada. Barang-barang keperluan untuk bermalam."
"Bagus." Ia tersenyum pada Hester. "Jangan khawatir, Hester," katanya lagi.
"Kita akan memikirkan sesuatu."
BAB XIX "AKU ingin berbicara denganmu, Kirsty," kata Philip.
"Ya, silakan, Philip."
Kirsten Lindstrom menghentikan pekerjaannya. Ia baru saja membawa masuk pakaian
yang sudah dicuci dan memasukkannya ke lemari pakaian.
"Aku ingin berbicara tentang urusan ini semua," kata Philip. "Kau mau, kan?"
"Sudah terlalu banyak yang dibicarakan," kata Kirsten. "Itulah pendapatku."
"Tapi ada juga baiknya, kan," kata Philip, "untuk bersama-sama mengambil
kesimpulan. Kau kan tahu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Semuanya tak beres di mana-mana," sahut Kirsten.
"Apakah menurutmu, Leo dan Gwenda tetap akan menikah?"
"Mengapa tidak?"
"Ada beberapa alasan," kata Philip. "Pertama-tama, mungkin karena Leo Argyle
cerdas, dia menyadari bahwa bila dia dan Gwenda menikah, polisi akan mendapatkan
bukti yang mereka perlukan. Suatu motif yang baik sekali untuk membunuh
istrinya. Atau, kalau tidak, karena Leo curiga Gwenda-lah pembunuhnya. Dan
karena dia pria yang sensitif, dia tak mau menikahi wanita yang sudah membunuh
istri pertamanya. Bagaimana pendapatmu mengenai hal itu?"
"Tak ada," kata Kirsten. "Apa yang bisa kukatakan?"
"Wah, kau menjalankan siasat tutup mulut kelihatannya, ya, Kirsty?"
"Aku tak mengerti apa maksudmu."
"Siapa yang kaulindungi, Kirsty?"
"Aku tidak melindungi siapa-siapa. Kupikir orang harus mengurangi bicara, dan
kupikir sebaiknya orang-orang tidak tinggal di rumah ini berlama-lama. Itu tak
baik. Kurasa kau sebaiknya pulang bersama istrimu ke rumah kalian sendiri."
"Oh, begitu pendapatmu, ya" Mengapa?"
"Kau bertanya terus," kata Kirsten. "Kau mencoba menyelidiki, ya" Padahal
istrimu tak suka kau melakukannya. Dia lebih bijak daripada kau. Bisa-bisa kau
menemukan sesuatu yang tak ingin kautemukan, atau yang tak ingin ditemukan Mary.
Sebaiknya kau pulang, Philip. Sebaiknya kau pulang secepatnya."
"Aku tak ingin pulang," kata Philip. Bicaranya seperti anak kecil yang
membangkang. "Begitulah kata anak-anak," kata Kirsten. "Mereka katakan saya tak mau melakukan
ini atau berbuat itu, tapi orang-orang yang lebih tahu membujuk mereka melakukan
apa yang tak mau mereka lakukan."
"Jadi, ini caramu membujuk, ya?" kata Philip. "Memberikan perintah-perintah."
"Tidak, aku tidak memberikan perintah-perintah. Aku hanya menasihatimu." Ia
mendesah. "Aku juga akan menasihati mereka semua. Micky harus kembali ke
pekerjaannya, seperti Tina yang sudah kembali ke perpustakaannya. Aku senang
Hester sudah pergi. Dia memang seharusnya berada di tempat yang dia tidak akan
selalu diingatkan akan semua kejadian ini."
"Ya," kata Philip. "Aku sependapat denganmu dalam hal itu. Kau benar mengenai
Hester. Tapi bagaimana dengan kau sendiri, Kirsty" Apakah kau tidak harus pergi
pula?" "Ya," kata Kirsten sambil mendesah. "Aku pun harus pergi."
"Mengapa tidak?"
"Kau tidak akan mengerti. Sudah terlambat bagiku untuk pergi."
Philip memandanginya sambil merenung. Lalu katanya,
"Ada begitu banyak variasi, bukan" Variasi mengenai satu soal yang sama. Leo
mengira Gwenda yang melakukannya. Gwenda mengira Leo yang melakukannya. Tina
mengetahui sesuatu yang membuatnya mencurigai seseorang yang melakukannya. Micky
tahu siapa yang melakukannya." Ia berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Tapi
sebenarnya, Kirsty, semua itu hanya variasi mengenai pokok persoalan seperti
yang kukatakan tadi. Kita tahu betul siapa yang melakukannya, bukan, Kirsty"
Kita berdua tahu, bukan?"
Kirsten melihat padanya sekilas dengan pandangan ketakutan.
"Begitulah pendapatku," kata Philip dengan gembira.
"Apa maksudmu?" kata Kirsten. "Apa yang ingin kaukatakan?"
"Aku sebenarnya tak tahu siapa yang melakukannya," kata Philip. "Tapi kau tahu.
Kau tidak hanya merasa tahu siapa yang melakukannya, tapi kau benar-benar tahu.
Aku benar, kan?" Kirsten berjalan dengan tegas ke arah pintu. Dibukanya pintu itu, lalu ia
berbalik dan berkata, "Sebenarnya tak sopan mengatakannya, tapi aku akan mengatakannya. Kau bodoh,
Philip. Apa yang sedang kaulakukan itu berbahaya. Kau sudah tahu satu macam
bahaya. Kau pernah menjadi penerbang. Kau pernah menghadapi maut di langit sana.
Tak bisakah kau menyadari bahwa bila kau sampai mendekati kebenarannya, kau akan
berada dalam bahaya yang sama besarnya dengan dalam perang?"
"Dan bagaimana dengan kau, Kirsty" Kalau kau tahu kejadian yang sebenarnya,
tidakkah kau berada dalam bahaya pula?"
"Aku bisa menjaga diriku," kata Kirsten dengan keras. "Aku bisa berjaga-jaga.
Tapi kau, Philip, kau berada di kursi roda, dan kau tak berdaya. Ingat itu!
Apalagi," sambungnya, "aku tak suka mengumbar pandangan-pandanganku. Aku suka
mendiamkan keadaan sebagaimana adanya, karena aku benar-benar berpendirian bahwa
itu yang terbaik untuk semua orang. Bila semua orang mau pergi dan mengurus
urusannya sendiri-sendiri, tidak akan ada lagi kesulitan. Bila ditanya, aku
memberikan jawaban resmi. Aku akan tetap mengatakan bahwa itu perbuatan Jacko."
"Jacko?" Philip tercengang.
"Mengapa tidak" Jacko itu licik. Jacko bisa membuat rencana dan berupaya supaya
dia tidak menanggung akibatnya. Waktu masih anak-anak pun dia sudah sering
berbuat begitu. Apalagi mencari-cari alibi palsu. Bukankah itu dilakukan orang
setiap hari?" "Tak mungkin dia mengarang-ngarang yang satu ini. Dr. Calgary..."
"Uh, Dr. Calgary... Dr. Calgary," kata Kirsten tak sabaran. "Hanya karena dia
terkenal, hanya karena namanya sudah tersohor, orang lalu berkata 'Dr. Calgary',
seolah-olah dia itu Tuhan! Padahal coba dengar kata-kataku ini. Kalau orang
menderita gegar otak seperti yang pernah menimpa dirinya itu, segala-galanya
bisa berlainan dari yang diingatnya. Mungkin harinya jadi lain, waktunya lain,
dan tempatnya pun lain?"
Philip memandanginya dengan kepala agak miring.
"Jadi begitu keteranganmu," katanya. "Dan kau berpegang pada keterangan itu. Itu
suatu usaha yang bisa dipercaya. Tapi kau sendiri tidak mempercayainya, bukan,
Kirsty?" "Aku sudah memberimu peringatan," kata Kirsten. "Aku tak bisa berbuat lebih
banyak." Ia berbalik, tapi kemudian dijengukkannya lagi kepalanya di pintu, dan berkata
dengan suara tegas seperti biasanya,
"Katakan pada Mary, pakaian bersih kalian sudah kuletakkan dalam laci kedua di
situ." Philip tersenyum kecil mendengar penutupan itu, lalu senyum itu lenyap....
Ia makin bergairah. Ia merasa sudah amat dekat. Pengalamannya dengan Kirsten
sangat memuaskan, tapi ia tak yakin apakah masih bisa mengorek lebih banyak dari
wanita itu. Sikap Kirsten yang mencemaskan dirinya membuatnya jengkel.
Keadaannya yang lumpuh tidak berarti bahwa ia sama sekali tak berdaya seperti
kata Kirsten. Ia juga bisa berjaga-jaga, apalagi bukankah ia diawasi terus-
menerus" Mary hampir tak pernah meninggalkan sisinya.
Ditariknya secarik kertas, lalu ia mulai menulis. Catatan-catatan singkat, nama-
nama, tanda-tanda tanya. Suatu titik lemah yang harus diselidiki....
Tiba-tiba ia mengangguk, lalu menulis: Tina.
Ia memikirkannya. Lalu ditariknya secarik kertas lagi.
Waktu Mary masuk, ia hampir-hampir tidak mengangkat kepalanya.
"Sedang apa kau, Philip?"
"Menulis surat."
"Kepada Hester?"
"Hester" Bukan. Aku bahkan tak tahu di mana dia menginap. Kirsty baru menerima
kartu pos dari dia, dengan hanya bertulisan London di atasnya."
Ia tertawa pada Mary. "Kurasa kau cemburu, ya, Polly?"
Mary membalas pandangannya dengan mata birunya dan dingin.
"Mungkin." Philip jadi merasa tak enak.
"Kepada siapa kau menulis surat?" Mary mendekatinya selangkah.
"Kepada Jaksa Penuntut Umum," kata Philip dengan ceria, meskipun di dalam hati
ia merasa marah. Tak bisakah orang menulis surat tanpa ditanyai"
Lalu dilihatnya wajah Mary, dan marahnya hilang.
"Aku hanya bercanda, Polly. Aku menulis surat pada Tina."
"Pada Tina" Mengapa?"
"Tina sasaran seranganku yang berikut. Akan ke mana kau, Polly?"
"Ke kamar mandi," kata Mary, sambil berjalan keluar kamar.
Philip tertawa. Ke kamar mandi, seperti pada malam pembunuhan itu. Ia tertawa
lagi waktu teringat percakapan mereka tentang hal itu.
II "Ayolah, Nak," kata Inspektur Huish mendorong. "Coba ceritakan."
Cyril Green menarik napas panjang. Tapi sebelum ia sempat berbicara, ibunya
sudah memotong, "Begini, Mr. Huish. Saya tidak terlalu memperhatikan waktu itu. Anda tentu
maklum bagaimana anak-anak ini. Yang mereka bicarakan dan pikirkan selalu
tentang pesawat-pesawat dan benda-benda antariksa. Waktu itu dia pulang dan
berkata, 'Mum, saya melihat sputnik sedang terbang.' Sebelum itu katanya dia
melihat piring terbang. Selalu ada saja. Orang-orang Rusia itulah yang membuat
anak-anak ini mengkhayalkan macam-macam."
Inspektur Huish mendesah dan berpikir bahwa akan jauh lebih mudah bila ibu-ibu
tidak bersikeras menyertai putra-putra mereka dan berbicara untuk anak-anak itu.
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayolah, Cyril," katanya, "kau pulang dan menceritakan pada mummy-mu - betul, kan"
- bahwa kau melihat sputnik Rusia - atau semacamnya?"
"Waktu itu saya belum tahu," kata Cyril. "Waktu itu saya masih kecil. Waktu itu
dua tahun yang lalu. Sekarang, sih, saya sudah tahu."
"Waktu itu mobil-mobil kecil masih baru," sela ibunya lagi. "Di tempat ini,
waktu itu belum ada. Jadi wajarlah waktu dia melihatnya - apalagi warnanya merah -
dia tak tahu bahwa itu mobil biasa. Dan waktu keesokan harinya kami dengar bahwa
Mrs. Argyle terbunuh, Cyril langsung berkata pada saya, 'Mum, pasti itu
perbuatan orang-orang Rusia itu. Pasti mereka turun dengan sputnik mereka,
mereka masuk, lalu membunuhnya.' Kata saya, 'Jangan bicara yang tidak-tidak
begitu.' Lalu kami dengar putranya sendiri telah ditangkap atas tuduhan
melakukan perbuatan itu."
Dengan sabar Inspektur Huish menujukan perhatiannya pada Cyril lagi.
"Waktu itu malam hari, bukan" Ingatkah kau, jam berapa waktu itu?"
"Saya baru habis minum teh," kata Cyril. Ia bernapas keras, dalam usahanya untuk
mengingat. "Dan Mummy sedang pergi ke Yayasan. Jadi saya keluar lagi dengan
teman-teman, lalu kami bersenang-senang dan berkeliling ke arah jalan baru itu."
"Untuk apa kalian ke sana" Aku jadi ingin tahu," sela ibunya.
Agen Polisi Good, yang mencatat wawancara tentang kesaksian yang bagus itu,
berhenti. Ia tahu benar apa yang telah dilakukan Cyril dan kawan-kawannya di
jalan baru itu. Beberapa ibu rumah tangga telah melaporkan dengan marah tentang
hilangnya bunga-bunga krisan di sana. Dan ia tahu pula bahwa ada beberapa orang
desa yang jahat, diam-diam telah mendorong anak-anak itu untuk mencarikan mereka
bunga-bunga yang akan mereka jual sendiri di pasar. Tapi Agen Polisi Good tahu
bahwa sekarang bukan saatnya mengorek kembali perkara-perkara kenakalan anak-
anak di masa lalu. Dengan suara berat dia berkata,
"Anak-anak tetap anak-anak, Mrs. Green. Mereka memang suka bersuka ria kian-
kemari." "Ya," kata Cyril, "hanya bermain-main saja. Dan di situlah saya melihatnya.
'Wah,' kata saya, 'apa itu"' Sekarang tentu saya sudah tahu. Saya bukan anak
kecil yang bodoh lagi. Itu sebuah mobil kecil. Warnanya merah cerah."
"Dan waktunya?" tanya Inspektur Huish dengan sabar.
"Yah, seperti kata saya, waktu itu sekitar jam tujuh, karena kemudian saya
mendengar jam berbunyi. Lalu kata saya, 'Wah, Mummy hampir pulang. Dia pasti
marah besar kalau aku tidak ada di rumah.' Jadi saya pulang. Saya ceritakan
padanya bahwa saya melihat satelit Rusia itu mendarat. Mum berkata bahwa semua
itu bohong, padahal tidak. Hanya sekarang saya tahu apa itu sebenarnya. Waktu
itu saya masih kecil."
Inspektur Huish berkata bahwa ia mengerti. Setelah mengajukan beberapa
pertanyaan lagi, Mrs. Green dan anaknya diperbolehkan pulang. Agen Polisi Good
tinggal bersamanya. Anggota kepolisian yang masih junior itu memperlihatkan
sikap senang karena mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan kecerdasannya,
dan ia berharap hal itu akan ada pengaruhnya dalam kenaikan pangkatnya.
"Waktu anak itu mengatakan bahwa orang-orang Rusia yang telah membunuh Mrs.
Argyle, saya jadi sadar," kata Agen Polisi Good. "Saya pikir, 'Nah, ini ada
gunanya.'" "Itu memang ada gunanya," kata Inspektur. "Miss Tina Argyle memiliki sebuah
mobil kecil berwarna merah. Kelihatannya aku harus mengajukan beberapa
pertanyaan lagi padanya."
III "Anda ada di sana malam itu, bukan, Miss Argyle?"
Tina memandangi inspektur itu. Tangannya terletak di pangkuannya dengan tenang.
Matanya yang gelap dan tak berkedip tidak membayangkan apa-apa.
"Sudah lama sekali," katanya. "Saya tak ingat lagi."
"Ada yang melihat mobil Anda di sana," kata Huish.
"Begitukah?" "Ayolah, Miss Argyle. Waktu kami meminta keterangan mengenai gerak-gerik Anda
malam itu, Anda katakan bahwa Anda pulang dan tidak keluar lagi malam itu. Anda memasak
makanan dan mendengarkan gramofon. Nah, itu tidak benar. Jam tujuh kurang
sedikit, mobil Anda terlihat di jalan tak jauh dari Sunny Point. Apa yang Anda
lakukan di sana?" Tina tak menjawab. Huish menunggu beberapa lama, lalu berkata lagi,
"Apakah Anda masuk ke rumah, Miss Argyle?"
"Tidak," kata Tina.
"Tapi Anda ada di sana?"
"Anda yang mengatakan bahwa saya di sana."
"Ini bukan persoalan bahwa saya yang mengatakannya. Kami punya bukti bahwa Anda
ada di sana." Tina mendesah. "Ya," katanya. "Saya memang pergi ke sana naik mobil saya, malam itu."
"Tapi Anda katakan bahwa Anda tidak masuk ke dalam rumah?"
"Tidak, saya tidak masuk ke dalam rumah."
"Apa yang Anda lakukan?"
"Saya kembali lagi ke Redmyn. Lalu seperti yang saya katakan pada Anda, saya
memasak makan malam dan mendengarkan gramofon."
"Untuk apa Anda pergi ke sana, kalau Anda tidak masuk ke rumah?"
"Saya berubah pikiran," kata Tina.
"Apa yang membuat Anda berubah pikiran, Miss Argyle?"
"Waktu sampai di sana, saya lalu tak ingin masuk."
"Apakah karena Anda melihat atau mendengar sesuatu?"
Tina tak menjawab. "Dengarkan, Miss Argyle. Malam itu adalah malam ibu Anda terbunuh. Dia terbunuh
antara jam tujuh dan setengah delapan. Anda berada di sana, mobil Anda ada di
sana, jam tujuh kurang sedikit. Kami tak tahu berapa lama mobil itu berada di
sana. Mungkin saja agak lama. Mungkin Anda masuk ke rumah. Saya rasa Anda
memiliki kunci pintu depan?"
"Ya," kata Tina, "saya memiliki kunci."
"Mungkin Anda masuk ke rumah. Mungkin Anda masuk ke ruang duduk ibu Anda dan
menemukannya sudah meninggal. Atau mungkin..."
Tina mengangkat tangannya.
"Atau mungkin saya yang membunuhnya" Itukah yang ingin Anda katakan, Inspektur
Huish?" "Itu satu kemungkinan," kata Huish, "tapi saya rasa, Miss Argyle, lebih besar
kemungkinannya seseorang lain yang membunuhnya. Kalau begitu, saya rasa Anda
tahu - atau menaruh kecurigaan besar - siapa pembunuhnya."
"Saya tidak masuk ke dalam rumah," kata Tina.
"Jadi Anda melihat sesuatu atau mendengar sesuatu. Anda melihat seseorang masuk
ke rumah, atau seseorang meninggalkan rumah. Mungkin seseorang yang tidak kita
ketahui berada di sana. Apakah dia saudara Anda, Michael, Miss Argyle?"
"Saya tidak melihat siapa-siapa," kata Tina.
"Tapi Anda mendengar sesuatu," kata Huish dengan tajam. "Apa yang Anda dengar,
Miss Argyle?" "Sudah saya katakan, saya segera berubah pikiran," kata Tina.
"Maafkan saya, Miss Argyle, tapi saya tak percaya. Untuk apa Anda pergi dari
Redmyn untuk mengunjungi keluarga Anda, lalu kembali lagi tanpa menemui mereka"
Pasti ada sesuatu yang membuat Anda berubah pikiran. Sesuatu yang Anda lihat
atau Anda dengar." Huish membungkukkan tubuhnya. "Saya rasa, Anda tahu siapa
yang membunuh ibu Anda, Miss Argyle."
Tina menggelengkan kepalanya lambat-lambat.
"Anda tahu sesuatu," kata Huish. "Tapi Anda bertekad tidak mengatakannya. Tapi
pikirkan, Miss Argyle, pikirkan baik-baik. Adakah Anda sadari bahwa Anda
menyiksa seluruh keluarga Anda dengan bersikap demikian" Maukah Anda, semuanya
tetap dicurigai" Karena itulah yang akan terjadi selama kita belum menemukan
keadaan yang sebenarnya. Siapa pun yang telah membunuh ibu Anda, tak pantas Anda
lindungi. Karena memang itulah yang sedang Anda lakukan sekarang, bukan" Anda
melindungi seseorang!"
Lagi-lagi mata gelap yang polos itu menatapnya.
"Saya tak tahu apa-apa," kata Tina. "Saya tak mendengar apa-apa dan tak melihat
apa-apa. Saya hanya berubah pikiran."
BAB XX CALGARY dan Huish berpandangan. Yang terlihat oleh Calgary adalah seorang pria
yang tampak sangat sedih dan murung. Ia kelihatan begitu sedih, hingga Calgary
menyangka karier Inspektur Huish merupakan suatu rangkaian panjang kegagalan. Ia
terkejut ketika kemudian mendengar bahwa Inspektur Huish sangat berhasil dalam
profesinya. Sedangkan yang terlihat oleh Huish adalah seorang pria langsing yang rambutnya
terlalu cepat beruban, bahu yang agak bungkuk, seraut wajah sensitif, dan senyum
yang amat menarik. "Saya rasa Anda tak tahu siapa saya," kata Calgary membuka pembicaraan.
"Oh, kami sudah tahu semua tentang Anda, Dr. Calgary," kata Huish. "Anda boleh
dinamakan si pengacau yang telah merusak perkara Argyle." Suatu senyum yang tak
diduga mengangkat sudut-sudut mulutnya yang sedih.
"Kalau begitu, Anda menganggap saya tidak baik," kata Calgary.
"Itu semua biasa," kata Inspektur Huish. "Perkara ini kelihatannya sudah jelas,
dan tak ada seorang pun yang bisa dipersalahkan kalau dia beranggapan begitu.
Tapi itu biasa," katanya lagi. "Itu suatu cobaan bagi kami, begitu kata ibu
saya. Kami tidak marah, Dr. Calgary. Soalnya kita sama-sama ingin menegakkan
keadilan, bukan?" "Begitulah pendirian saya selalu, dan akan tetap begitu," kata Calgary. "Tak
seorang pun yang tidak akan mengecap keadilan," gumamnya.
"Itu kutipan dari Magna Carta," kata Inspektur Huish.
"Ya," kata Calgary, "kata-kata itu dikutip Miss Tina Argyle."
Alis Inspektur Huish naik.
"Anda membuat saya terkejut. Menurut saya, justru wanita muda itulah yang tidak
terlalu aktif membantu kami dalam usaha menegakkan keadilan itu."
"Mengapa Anda berkata begitu?" tanya Calgary.
"Terus terang," kata Huish, "karena dia tak mau memberikan informasi. Saya yakin
akan hal itu." "Mengapa?" "Yah, begitulah urusan keluarga," kata Huish. "Para anggota keluarga tentu
kompak. Tapi untuk apa Anda ingin menemui saya?" lanjutnya.
"Saya ingin mendapatkan informasi," kata Calgary.
"Mengenai perkara Argyle itu?"
"Saya menyadari bahwa saya pasti dianggap ingin mencampuri persoalan yang bukan
urusan saya." "Yah, itu boleh dikatakan urusan Anda juga, bukan?"
"Oh, Anda menghargainya. Ya, saya merasa bertanggung jawab. Bertanggung jawab
karena telah menimbulkan kesulitan."
"Ah, ada pepatah Prancis yang mengatakan, kita tak bisa membuat kue yang enak
tanpa memecahkan telur," kata Huish.
"Ada beberapa hal yang ingin saya ketahui," kata Calgary.
"Seperti?" "Saya menginginkan informasi lebih banyak lagi mengenai Jacko Argyle."
"Mengenai Jacko Argyle. Wah, tidak saya duga Anda mengucapkan nama itu begitu."
"Setahu saya, dia sudah banyak melakukan kejahatan," kata Calgary. "Yang ingin
saya ketahui adalah beberapa hal yang lebih terperinci dari perbuatan-perbuatan
kejahatan itu." "Oh, itu mudah sekali," kata Huish. "Dua kali dia menjalani hukuman percobaan.
Pada suatu peristiwa lain, dia menggelapkan dana. Dia dibebaskan karena bisa
mengganti uang itu pada waktunya."
"Calon penjahat muda rupanya?" kata Calgary.
"Benar sekali," kata Huish. "Tapi bukan pembunuh, seperti yang telah Anda
buktikan pada kami. Tapi yang lain-lain memang benar. Tapi ingat, tak pernah
dalam ukuran besar. Dia hanya penjahat kecil-kecilan. Mencuri uang kas, atau
memeras uang dari kaum wanita."
"Dan caranya apik dan aman pula," kata Inspektur Huish. "Kaum wanita mudah
terpikat olehnya. Biasanya yang didatanginya wanita-wanita setengah umur atau
yang sudah agak tua. Anda akan heran betapa mudahnya wanita macam itu dikelabui.
Anak muda itu pandai sekali memikat. Mereka dibuatnya percaya bahwa dia benar-
benar mencintai mereka. Tak satu pun yang tak dipercayai wanita, bila itu memang
menjadi keinginannya."
"Lalu?" tanya Calgary.
Huish mengangkat bahu. "Yah, cepat atau lambat mereka kecewa. Tapi mereka tentu tidak menuntut. Mereka
tak mau dunia sampai tahu bahwa mereka telah dibodohi. Ya, caranya memang aman."
"Pernahkah dia mengadakan pemerasan dalam arti sebenarnya?" tanya Calgary.
"Setahu kami tak pernah," kata Huish. "Tapi ingat, saya rasa itu bukan hal yang
tak mungkin dilakukannya. Maksud saya, yang dilakukannya bukan pemerasan terang-
terangan. Mungkin sekadar ancaman kecil. Surat-surat, umpamanya. Surat-surat
rahasia. Hal-hal yang tak boleh diketahui suami-suami mereka. Dengan cara itu,
dia bisa membungkam seorang wanita."
"Saya mengerti," kata Calgary.
"Hanya itukah yang ingin Anda ketahui?" tanya Huish.
"Ada seorang anggota keluarga Argyle yang belum pernah saya temui," kata
Calgary. "Putri sulung mereka."
"Oh, Mrs. Durrant."
"Saya pergi ke rumah mereka, tapi tertutup. Kata orang-orang di situ, dia dan
suaminya sedang tidak di tempat."
"Mereka berada di Sunny Point."
"Masih di sana?"
"Ya. Mr. Durrant masih ingin tinggal," tambah Huish. "Saya dengar, dia sedang
mencoba-coba menyelidiki."
"Dia lumpuh, bukan?"
"Ya, gara-gara polio. Menyedihkan sekali. Dia banyak waktu, dan dia iseng.
Kasihan dia. Sebab itulah dia begitu bersemangat menanggapi urusan pembunuhan
ini. Pikirnya, dia juga bisa menemukan sesuatu."
"Benarkah begitu?" tanya Calgary.
Huish mengangkat bahu. "Saya rasa mungkin saja," katanya. "Saya rasa, dia bahkan punya kesempatan yang
lebih besar daripada kita. Dia mengenal keluarga itu, dan dia memiliki naluri
serta kecerdasan tinggi."
"Apakah menurut Anda dia akan berhasil?"
"Mungkin," kata Huish, "tapi kalaupun berhasil, dia tidak akan menceritakannya
pada kami. Mereka akan merahasiakannya di antara keluarga mereka sendiri saja."
"Apakah Anda sendiri tahu siapa yang sebenarnya bersalah, Inspektur?"
"Anda tak boleh menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Dr. Calgary."
"Apakah itu berarti bahwa Anda tahu?"
"Kita bisa menduga bahwa kita tahu sesuatu," kata Huish lambat-lambat, "tapi
kalau kita tak punya bukti, tak banyak yang bisa kita lakukan, bukan?"
"Dan Anda tak mungkin bisa mendapatkan bukti yang Anda perlukan?"
"Oh, kami sabar sekali," kata Huish. "Kami akan mencoba terus."
"Apa yang akan terjadi atas diri mereka semua bila Anda tak berhasil?" kata
Calgary sambil membungkukkan tubuhnya. "Adakah Anda pikirkan itu?"
Huish memandanginya. "Itu yang Anda susahkan, bukan, Sir?"
"Mereka harus tahu," kata Calgary. "Apa pun juga yang akan terjadi, mereka harus
tahu." "Tidakkah Anda menduga bahwa mereka tahu?"
Calgary menggeleng. "Tidak," katanya lambat-lambat, "itulah yang menyedihkan."
II "Wah," kata Maureen Clegg, "Anda lagi."
"Maafkan saya harus mengganggu Anda lagi," kata Calgary.
"Oh, Anda sama sekali tidak mengganggu saya. Mari masuk. Saya hari ini libur."
Calgary sudah tahu hal itu; itulah sebabnya dia berada di situ.
"Joe sebentar lagi pulang," kata Maureen. "Saya tidak membaca berita apa-apa
lagi dalam surat-surat kabar. Maksud saya, sejak dia mendapatkan pengampunan
itu. Hanya sedikit mengenai pertanyaan yang diajukan di Parlemen, dan dipastikan
bahwa dia jelas tidak melakukannya. Tapi tak ada berita mengenai apa yang sedang
dilakukan polisi dan siapa yang sebenarnya telah melakukannya. Apakah mereka tak
bisa menemukannya?" "Apakah Anda sendiri tak punya bayangan?"
"Wah, tak ada," kata Maureen. "Tapi saya tidak akan terkejut bila dikatakan
bahwa pembunuhnya anak laki-lakinya yang seorang lagi. Soalnya dia aneh dan
pemurung sekali. Joe kadang-kadang melihatnya membawa orang-orang berkeliling.
Dia bekerja pada perusahaan Bence Group. Dia cukup tampan, tapi saya rasa dia
pemurung sekali. Joe mendengar desas-desus bahwa dia akan pergi ke Persia atau
tempat lain. Saya rasa itu tak baik, ya?"
"Saya tak mengerti mengapa itu tak baik, Mrs. Clegg."
"Yah, itu salah satu tempat di mana polisi tak bisa menangkap orang, bukan?"
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurut Anda dia melarikan diri?"
"Mungkin dia merasa harus berbuat begitu."
"Saya rasa biasanya memang begitu kata orang," kata Arthur Calgary.
"Banyak sekali desas-desus yang beredar," kata Maureen. "Kata orang, si suami
punya hubungan dengan sekretarisnya. Tapi sekiranya suaminya pelakunya, saya
rasa lebih mungkin kalau ia menggunakan racun untuk membunuh istrinya. Itu yang
biasa dilakukan orang, bukan?"
"Yah, Anda lebih sering menonton film daripada saya, Mrs. Clegg."
"Saya tidak begitu memperhatikan layar," kata Maureen. "Tahukah Anda, bila kita
bekerja di situ, kita jadi bosan sekali dengan film-film. Oh, halo, ini Joe."
Joe Clegg juga kelihatan terkejut melihat Calgary, dan mungkin juga tidak begitu
senang. Mereka bercakap-cakap sebentar, lalu Calgary menyatakan maksud
kunjungannya. "Apakah Anda mau menuliskan sebuah nama dan alamatnya?" katanya. Ia
menuliskannya dengan cermat dalam buku catatannya.
III Calgary memperkirakan ia berumur lima puluhan. Seorang wanita gemuk yang serba
canggung, yang pasti tak pernah cantik. Tapi matanya bagus, berwarna cokelat dan
ramah. "Aduh, Dr. Calgary." Ia kelihatan bingung dan kacau. "Wah, saya benar-benar tak
tahu..." Calgary membungkukkan tubuhnya. Ia berusaha menghilangkan rasa enggan pada
wanita itu, dan menenangkannya, serta berusaha supaya ia merasakan simpatinya.
"Itu sudah lama sekali," kata wanita itu. "Saya benar-benar tak ingin diingatkan
akan... akan beberapa hal."
"Saya mengerti betul itu," kata Calgary, "dan persoalan ini sama sekali tidak
akan diberitahukan pada umum. Saya memastikan hal itu."
"Tapi Anda katakan bahwa Anda akan menulis buku tentang hal itu?"
"Hanya sebuah buku untuk melukiskan suatu tipe watak," kata Calgary. "Soalnya
hal itu menarik kalau ditinjau dari ilmu kedokteran atau kejiwaan. Tidak akan
ada nama-nama. Hanya Mr. A. atau Mrs. B., begitu saja."
"Anda pernah pergi ke Kutub Selatan, bukan?" tanyanya tiba-tiba.
Calgary terkejut karena perubahan bahan pembicaraan yang mendadak itu.
"Ya," jawabnya, "ya, saya ikut Ekspedisi Hayes Bentley."
Wajah wanita itu memerah. Ia jadi kelihatan lebih muda. Sesaat lamanya Calgary
jadi bisa melihat bagaimana ia waktu masih gadis.
"Saya suka membaca tentang hal itu. Soalnya saya selalu tertarik oleh apa saja
yang berhubungan dengan kutub-kutub. Bukankah orang Norwegia bernama Amundsen
itu yang pertama kali datang ke sana" Saya rasa kutub-kutub jauh lebih menarik
daripada Mount Everest atau satelit mana pun juga, atau pergi ke bulan atau
semacamnya." Calgary menangkap kesempatan itu dan mulai bercakap-cakap tentang ekspedisi
tersebut. Aneh, bahwa minat romantis wanita itu terletak pada penjelajahan
kutub. Akhirnya ia berkata sambil mendesah,
"Menyenangkan sekali mendengar semuanya itu dari seseorang yang benar-benar
pernah berada di sana." Lalu katanya lagi, "Anda ingin tahu tentang... tentang
Jackie, ya?" "Ya." "Anda tidak akan memakai nama saya, bukan?"
"Pasti tidak. Sudah saya katakan itu pada Anda tadi. Anda tentu tahu bagaimana
hal-hal itu dilakukan. Kami hanya menulis Mrs. M. atau Lady Y."
"Ya, ya, saya pernah membaca buku semacam itu, dan seperti kata Anda, saya rasa
akan bersifat pat... pato..."
"Patologis," kata Calgary.
"Ya. Jackie itu memang benar-benar suatu kasus patologis. Soalnya dia bisa
bersikap manis sekali," katanya. "Hebat sekali dia. Kalau dia berbicara, kita
akan percaya pada setiap perkataannya."
"Mungkin dia memang bersungguh-sungguh dengan kata-katanya itu."
"Saya sering berkata padanya, 'Aku pantas menjadi ibumu,' dan dia berkata bahwa
dia tak suka pada gadis-gadis. Katanya gadis-gadis itu belum matang. Katanya
lagi, wanita-wanita yang berpengalaman dan matanglah yang menarik baginya."
"Apakah dia benar-benar mencintai Anda?" tanya Calgary.
"Katanya begitu. Kelihatannya juga begitu...." Bibirnya bergetar. "Padahal saya
rasa selama itu uang sayalah yang diinginkannya."
"Mungkin tidak juga," kata Calgary, mengulur-ulur kebenaran sejauh mungkin.
"Mungkin juga dia benar-benar tertarik. Hanya... karena terpaksa dia jadi punya
niat jahat." Wajah setengah baya yang menimbulkan iba itu menjadi agak cerah.
"Ya," katanya, "senang kalau bisa dinilai begitu. Yah, begitulah jadinya. Kami
membuat rencana-rencana untuk pergi bersama-sama ke Prancis atau Italia, bila
rencana liciknya itu berhasil. Tapi rencana itu memerlukan modal sedikit,
katanya." Siasat yang biasa, pikir Calgary, dan ia ingin tahu berapa banyak wanita yang
terjerat Jacko. "Entah apa yang terjadi atas diri saya waktu itu," katanya. "Saya mau melakukan
apa saja untuknya - apa saja."
"Tentu saja Anda mau," kata Calgary.
"Saya yakin," kata wanita itu dengan getir, "saya bukanlah satu-satunya."
Calgary bangkit. "Anda baik sekali mau menceritakan semuanya itu pada saya," katanya.
"Dia sekarang sudah meninggal. Tapi saya tidak akan melupakannya. Wajah
monyetnya itu! Caranya supaya kelihatan sedih, lalu tertawa. Oh, dia pandai
sekali. Dia tidak terlalu jahat, saya yakin, dia tidak terlalu jahat."
Ia memandangi Calgary dengan merenung.
Tapi Calgary tak bisa memberikan jawaban.
BAB XXI TAK ada satu pun pertanda yang memperlihatkan pada Philip Durrant bahwa hari itu
akan lain dari hari-hari biasa.
Ia tak punya bayangan bahwa hari itu akan menentukan masa depannya untuk selama-
lamanya. Ia bangun dalam keadaan sehat dan semangat yang baik. Matahari musim gugur yang
pucat bersinar masuk melalui jendela. Kirsten menyampaikan sebuah pesan telepon
yang meningkatkan semangatnya.
"Tina akan datang minum teh," katanya pada Mary yang masuk mengantarkan
sarapannya. "Begitukah" Oh, ya, tentu, petang ini dia libur, ya?"
Suara Mary terdengar tak bersemangat.
"Ada apa, Polly?"
"Tak ada apa-apa."
Mary memecahkan bagian atas telur Philip. Philip langsung merasa jengkel.
"Aku masih bisa menggunakan tanganku, Polly."
"Oh, kupikir supaya kau tidak bersusah payah."
"Kaukira berapa sih umurku" Enam tahun?"
Mary kelihatan agak terkejut, lalu tiba-tiba ia berkata,
"Hester pulang hari ini."
"Oh, ya?" Ia berbicara dengan agak linglung, karena pikirannya dipenuhi rencana-
rencananya untuk menghadapi Tina. Lalu terlihat olehnya wajah istrinya.
"Demi Tuhan, Polly, apakah kaupikir aku menyimpan perasaan yang salah terhadap
gadis itu?" Mary memalingkan kepalanya ke samping.
"Kau selalu berkata bahwa dia cantik sekali."
"Itu memang benar. Kalau kita menyukai susunan tulang belulang yang bagus dan
sifat keindahan." Lalu ditambahkannya dengan nada datar, "Tapi aku kan tak punya
potongan penggoda wanita?"
"Mungkin kau ingin."
"Jangan bodoh, Polly. Aku tak pernah tahu bahwa kau punya kecenderungan
cemburu." "Kau tak tahu apa-apa tentang diriku." Philip akan membantah hal itu, tapi ia
diam saja. Tiba-tiba ia menyadari dengan perasaan terkejut bahwa mungkin ia
memang tidak terlalu banyak tahu tentang Mary.
Mary berkata lagi, "Aku ingin memiliki dirimu sendiri - seluruhnya untukku. Aku ingin tak ada orang
lain di dunia ini, kecuali kau dan aku."
"Kita akan kehabisan bahan percakapan, Polly."
Bicaranya ringan, tapi ia merasa tak nyaman. Kecerahan pagi itu tiba-tiba
menjadi agak suram. Kata Mary, "Marilah kita pulang, Philip. Ayolah."
"Secepatnya, Polly, tapi sekarang belum. Akan terjadi beberapa hal. Seperti
kukatakan, Tina akan datang petang ini." Dengan harapan mengalihkan pikiran Mary
ke saluran yang baru, Philip berkata lagi, "Aku mengharapkan banyak dari Tina."
"Dalam hal apa?"
"Tina tahu sesuatu."
"Maksudmu... tentang pembunuhan itu?"
"Ya." "Tapi bagaimana dia bisa tahu" Bukankah dia tidak berada di sini malam itu?"
"Sekarang aku jadi ingin tahu. Kurasa kau tahu bahwa dia ada di sini. Aneh, ya,
hal-hal kecil yang kelihatan remeh ternyata bisa membantu. Mrs. Narracott,
pembantu harian itu - yang jangkung itu - dia menceritakan sesuatu padaku."
"Apa yang diceritakannya padamu?"
"Memang hanya gunjingan desa. Ada seorang anak, Ernie atau siapa namanya - bukan,
Cyril. Dia pergi ke kantor polisi bersama ibunya, dan menceritakan tentang
sesuatu yang dilihatnya pada malam hari Mrs. Argyle yang malang terbunuh."
"Apa yang dilihatnya?"
"Yah, Mrs. Narracott kurang jelas mengenai hal itu. Dia belum mendengarnya dari
Mrs. entah-siapa-itu. Tapi kita kan bisa menebaknya, Polly. Cyril tidak berada
di dalam rumah, jadi pasti sesuatu di luar rumah yang dilihatnya. Jadi kita bisa
menebak dua kemungkinan. Dia melihat Micky atau Tina. Dugaanku, Tina datang
kemari malam itu." "Mengapa itu tidak dikatakannya?"
"Itu tak perlu. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa Tina mengetahui sesuatu
yang tak dikatakannya. Katakanlah dia keluar dengan mobil malam itu. Mungkin dia
masuk ke rumah dan menemukan ibumu sudah meninggal."
"Dan pergi lagi tanpa mengatakan sesuatu" Omong kosong."
"Mungkin karena ada alasan-alasannya. Mungkin dia melihat atau mendengar sesuatu
yang membuatnya menduga atau menjadi tahu siapa yang telah melakukannya."
"Tapi dia tak pernah suka pada Jacko. Pasti dia tak ingin melindunginya."
"Jadi mungkin bukan Jacko yang dicurigainya. Tapi kemudian setelah Jacko
ditangkap, dikiranya apa yang dicurigainya itu sama sekali salah. Karena dia
telah menyatakan bahwa dia tidak berada di sini, dia harus tetap bertahan pada
pernyataannya itu. Tapi sekarang tentu lain jadinya."
Dengan tak sabar, Mary berkata,
"Kau hanya berkhayal, Philip. Kau mengkhayalkan macam-macam yang tak mungkin
terjadi." "Hal-hal itu mungkin sekali benar. Aku akan mencoba supaya Tina mau menceritakan
apa yang diketahuinya."
"Aku tak percaya dia tahu sesuatu. Apa kau yakin dia tahu siapa yang
melakukannya?" "Aku tak mau berkata sejauh itu. Kurasa dia melihat atau mendengar sesuatu. Aku
akan mencari tahu, apa sesuatu itu."
"Tina tidak akan mengatakannya kalau dia tak mau."
"Memang tidak. Dan dia pandai sekali merahasiakan sesuatu. Apalagi wajahnya
polos sekali. Tak pernah membayangkan apa-apa. Tapi dia tidak begitu pandai
berbohong - sama sekali tak sepandai kau berbohong, umpamanya. Jadi metodeku
hanyalah dengan menebak-nebak saja. Dan dugaanku akan kusampaikan dalam bentuk
pertanyaan. Pertanyaan yang harus dijawab dengan ya atau tidak saja. Tahukah kau
apa yang akan terjadi kemudian" Salah satu dari tiga hal. Mungkin dia akan
mengatakan 'ya' - maka akan bereslah persoalannya. Atau dia akan berkata 'tidak' -
dan karena dia tak pandai berbohong, aku akan tahu apakah kata tidaknya itu
benar atau tidak. Atau dia akan menolak menjawab dan menunjukkan wajah polos.
Nah, Polly, itu bisa berarti 'ya'. Kau harus mengakui bahwa ada kemungkinan
teknikku itu benar."
"Aduh, tinggalkanlah semuanya itu, Philip! Tinggalkanlah! Semua itu akan mereda
sendiri dan dilupakan."
"Tidak. Hal ini harus diselesaikan. Kalau tidak, bisa-bisa Hester menjatuhkan
dirinya dari jendela, dan Kirsty mengalami kekacauan saraf. Sedangkan Leo sudah
membeku seperti sebalok es. Dan Gwenda yang malang, dia akan menerima tawaran
pekerjaan di Rhodesia."
"Apa urusan kita tentang apa yang terjadi atas diri mereka?"
"Biarkan saja mereka semua, asal jangan kita. Begitu, kan, maksudmu?"
Wajah Philip tampak keras dan marah. Mary terkejut melihatnya. Ia tak pernah
melihat wajah suaminya begitu.
Tapi dipandanginya suaminya dengan menantang.
"Untuk apa kau peduli pada orang lain?" katanya.
"Kau memang tak pernah peduli, bukan?"
"Aku tak mengerti maksudmu."
Philip mendesah dengan putus asa. Disingkirkannya nampan sarapannya.
"Bawa pergi ini. Aku tak mau lagi."
"Tapi, Philip..."
Philip membuat gerakan yang menunjukkan rasa tak sabarnya. Mary mengangkat
nampan itu, lalu membawanya keluar kamar. Philip mendorong kursi rodanya ke
dekat meja tulis. Ia melihat ke luar terus sambil memegang pena. Ia merasa
semangatnya tertekan. Padahal baru saja tadi ia merasa bersemangat. Kini ia
resah dan gelisah. Tapi kemudian semangatnya pulih kembali. Dua halaman kertas ditulisinya dalam
waktu singkat. Lalu ia bersandar dan memikirkannya.
Itu bagus. Itu mungkin. Tapi ia tak begitu puas. Apakah ia berada di jalan yang
benar" Ia tak yakin. Motif. Ia kekurangan motif. Ada suatu faktor di suatu
bagian yang tak terisi olehnya.
Ia mendesah dengan tak sabaran. Ia merasa tak sabar menunggu Tina. Alangkah
baiknya kalau urusan ini bisa diselesaikan. Hanya di antara mereka saja. Hanya
itulah yang perlu. Begitu mereka tahu, mereka semua pun akan bebas. Bebas dari
suasana menyesakkan ini, dari rasa curiga dan rasa putus asa. Maka mereka semua
pun akan mengerjakan pekerjaan masing-masing, kecuali yang seorang itu. Dan ia
dan Mary pun akan pulang.
Pikirannya berhenti. Semangatnya mengendur. Ia menghadapi masalahnya sendiri! Ia
tak ingin pulang.... Terbayang olehnya kerapian sempurna rumah itu, tirai-tirai
yang tak bernoda, dan barang-barang kuningan yang mengilap. Sebuah kurungan yang
bersih, cerah, dan sangat terurus! Dan ia sendiri berada di dalam kurungan itu,
terikat di kursi rodanya, terlilit dalam perawatan penuh cinta kasih dari
istrinya. Istrinya... Bila teringat akan istrinya, ia serasa melihat dua pribadi. Seorang
gadis yang dinikahinya, berambut pirang, bermata biru, lembut, dan selalu
menutup diri. Itulah gadis yang dicintainya, gadis yang diolok-oloknya saat ia
menatap tak mengerti, dengan alis berkerut. Itulah Polly-nya. Tapi ada pula Mary
yang lain, seorang Mary yang keras bagaikan baja, yang mencintainya dengan
berapi-api, tapi tak bisa memberikan kasih sayang yang lembut, seorang Mary yang
tak pernah memperhatikan orang lain kecuali dirinya sendiri. Bahkan ia sendiri -
suaminya - diperhatikan, hanya karena ia miliknya.
Ia jadi teringat akan sebaris sajak Prancis yang berbunyi,
Venus toute enti?re ? sa proie attach?.... (Dewi cinta itu benar-benar merupakan
keterikatan) Dan Mary yang itu tidak disukainya. Di balik mata Mary yang biru dan dingin,
terdapat seorang asing - seorang asing yang tak dikenalnya.
Lalu ia menertawakan dirinya sendiri. Ia telah menjadi gugup dan penaik darah
seperti semua orang dalam rumah ini. Ia ingat, ibu mertuanya berbicara dengannya
mengenai istrinya itu. Mengenai seorang gadis kecil manis berambut pirang di New
York. Mengenai saat anak itu merangkulkan lengannya ke leher Mrs. Argyle dan
berseru, "Saya ingin tinggal bersama Anda. Saya tak akan pernah mau berpisah
dari Anda!" Itulah cinta kasih, bukan" Tapi alangkah berbedanya dari Mary. Bisakah orang
berubah dengan begitu hebat, dalam pertumbuhannya dari anak sampai menjadi
dewasa" Selama ini, alangkah sulitnya, bahkan hampir, tak mungkin Mary
menyatakan cinta kasihnya dengan sikap demonstratif.
Tapi bagaimana dengan kesempatan di New York itu" Pikirannya tiba-tiba terhenti.
Apakah memang cintanya begitu sederhana" Itu bukan cinta kasih - itu suatu
perhitungan. Suatu usaha untuk mencapai apa yang diinginkannya. Suatu
pertunjukan kasih sayang yang sengaja diperlihatkan. Apa saja yang sanggup
dilakukan Mary untuk mendapatkan apa yang diinginkannya"
Ia bisa melakukan hampir segalanya, pikirnya. Dan ia terkejut sendiri oleh
pikirannya itu.
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan marah dilemparkannya penanya, lalu didorongnya kursi rodanya keluar dari
ruang duduk, ke ruang tidur di sebelahnya. Didorongnya terus kursinya sampai ke
meja rias. Diambilnya sikat rambut, lalu disisirnya rambutnya yang terjuntai ke
dahi, ke belakang. Wajahnya tampak aneh.
Siapa aku ini, pikirnya, dan akan ke manakah aku" Selama ini pikiran-pikiran
semacam itu tak pernah terlintas. Didorongnya keretanya mendekati jendela, dan
ia melihat ke luar. Di bawah, salah seorang pembantu harian sedang berdiri di
luar jendela dapur, berbicara dengan seseorang di dalam. Didengarnya suara
mereka yang berlogat daerah setempat.
Matanya melebar, ia seolah-olah dalam keadaan tak sadar.
Suatu bunyi di kamar sebelah membangunkannya dari lamunannya. Didorongnya
keretanya ke pintu penghubung.
Gwenda sedang berdiri di dekat meja tulisnya. Wanita itu menoleh padanya, dan
Philip terkejut melihat betapa cekung dan pucat wajahnya yang ditimpa sinar
matahari. "Halo, Gwenda."
"Halo, Philip. Kata Leo, mungkin kau ingin membaca Illustrated London News ini."
"Oh, terima kasih."
"Kamar ini bagus," kata Gwenda sambil melihat berkeliling. "Kurasa aku belum
pernah masuk ke sini."
"Seperti kamar utama di hotel, ya?" kata Philip. "Terpisah dari orang-orang
lain. Tepat sekali untuk orang-orang cacat dan pasangan-pasangan yang sedang
berbulan madu." Terlambat ia menyadari bahwa sebenarnya ia tak boleh mengucapkan kedua patah
kata terakhir itu. Wajah Gwenda tampak bergetar.
"Aku harus melanjutkan pekerjaanku," katanya dengan kurang jelas.
"Kau memang sekretaris yang sempurna."
"Sekarang sudah tidak lagi. Aku sering membuat kesalahan."
"Kita semua membuat kesalahan." Lalu dengan sengaja ditambahkannya, "Kapan kau
dan Leo menikah?" "Mungkin tidak jadi."
"Itu salah besar," kata Philip.
"Menurut Leo, itu akan memancing komentar yang tak baik - dari polisi!"
Suaranya terdengar getir.
"Persetan itu semua, Gwenda. Kita harus berani mengambil risiko."
"Aku mau saja mengambil risiko," kata Gwenda. "Aku tak pernah takut mengambil
risiko. Aku mau berjudi demi kebahagiaan. Tapi Leo..."
"Ya, mengapa Leo?"
"Leo...," kata Gwenda, "mungkin dia akan tetap hidup seperti sekarang sampai
akhir hayatnya, maksudku sebagai suami Rachel Argyle."
Philip terkejut melihat amarah dan kegetiran yang terpancar dari mata gadis itu.
"Perempuan itu seperti masih tetap hidup saja," kata Gwenda. "Dia masih ada di
sini, di dalam rumah ini, selama-lamanya."
BAB XXII TINA memarkir mobilnya di rumput, di dekat tembok pemakaman. Dengan berhati-hati
dibuangnya kertas pembungkus bunga yang dibawanya, lalu ia memasuki gerbang
pemakaman, dan terus berjalan di jalan setapak utama. Ia tak suka pemakaman yang
baru ini. Alangkah baiknya bila Mrs. Argyle dulu dimakamkan di pemakaman tua
yang mengelilingi gereja. Di sana terasa ada kedamaian dunia tua. Ada pohon
cemara dan bebatuan hijau berlumut. Di pemakaman baru ini, yang diatur begitu
rapi, dengan jalan-jalan utama dan jalan-jalan simpangnya yang sangat rapi,
semuanya begitu mulus, seperti hasil produksi masai yang mengisi toko swalayan.
Makam Mrs. Argyle terpelihara dengan baik. Makam itu dikelilingi batu pualam
bercelah yang diisi pecahan-pecahan granit. Di bagian belakangnya berdiri tegak
sebuah salib dari granit pula.
Sambil memegang karangan bunganya, Tina membungkuk membaca tulisan yang terukir
di situ; Mengenang yang tercinta Rachel Louise Argyle. Di bawahnya tercantum
tulisan: Putra-putrinya akan bangkit dan memohon berkat baginya.
Ia mendengar langkah-langkah orang di belakangnya, dan ia menoleh dengan
terkejut. "Micky!" "Aku melihat mobilmu, lalu kuikuti kau. Tapi... aku memang ingin datang kemari."
"Kau ingin datang kemari" Mengapa?"
"Entahlah. Mungkin hanya akan mengucapkan selamat tinggal."
"Mengucapkan selamat tinggal - pada dia?"
Micky mengangguk. "Ya. Aku sudah menerima tawaran kerja dari perusahaan minyak yang kuceritakan
padamu itu. Aku akan berangkat tiga minggu lagi."
"Dan kau datang kemari untuk minta diri pada Ibu dulu?"
"Ya. Mungkin juga untuk mengucapkan terima kasih dan menyatakan permintaan
maafku." "Minta maaf untuk apa, Micky?"
"Aku bukan akan meminta maaf karena aku telah membunuhnya, kalau itu yang
kaumaksud. Masihkah kau menduga bahwa aku yang membunuhnya, Tina?"
"Aku tak yakin."
"Sampai sekarang pun kau belum yakin" Kalau begitu, tak ada gunanya kukatakan
padamu bahwa aku tidak membunuhnya."
"Jadi, mengapa kau menyesal?"
"Dia telah berbuat banyak untukku," kata Micky lambat-lambat. "Dan aku sama
sekali tak pernah menunjukkan rasa terima kasihku. Aku membenci semua perbuatan
yang dilakukannya. Aku tak pernah mengucapkan sepatah pun kata manis padanya,
atau suatu pandangan dengan rasa cinta. Sekarang aku menyadari bahwa aku harus
melakukan hal-hal itu. Itu saja."
"Kapan kau mulai tidak lagi membencinya" Setelah dia meninggal?"
"Ya. Ya, kurasa begitu."
"Sebenarnya bukan dia yang kaubenci, bukan?"
"Memang - bukan. Kau benar dalam hal itu. Yang kubenci ibu kandungku. Karena aku
cinta padanya. Karena aku cinta padanya, tapi dia sama sekali tak peduli
padaku." "Dan sekarang kau tidak marah lagi mengenai hal itu?"
"Tidak. Kurasa dia tak bisa berbuat lain. Bagaimanapun juga, kita lahir apa
adanya. Dia makhluk yang selalu cerah dan ceria. Terlalu suka pada laki-laki dan
minuman keras, dan dia baik pada anaknya hanya bila hal itu sedang
diinginkannya. Dia tak mau anaknya disakiti siapa pun juga. Pokoknya, dia tak
sayang padaku! Selama bertahun-tahun ini aku tak mau hidup dengan pikiran itu.
Sekarang aku sudah menerima keadaan itu." Ia mengulurkan tangannya. "Beri aku
setangkai bungamu, Tina." Setelah menerimanya dari Tina, ia membungkuk dan
meletakkannya di makam, di bawah tulisan. "Ini untukmu, Ibu," katanya. "Selama
ini aku anak yang jahat, dan kurasa Ibu juga bukan ibu yang bijak bagiku. Tapi
maksud Ibu baik." Ia lalu melihat pada Tina. "Cukup baikkah kata-kataku itu?"
"Kurasa cukup," kata Tina.
Tina membungkuk dan meletakkan karangan bunganya di makam itu.
"Seringkah kau datang kemari dan membawa bunga?"
"Sekali setahun aku kemari," kata Tina.
"Si kecil Tina," kata Micky.
Mereka berbalik dan bersama-sama berjalan di jalan setapak pemakaman itu.
"Aku tidak membunuhnya, Tina," kata Micky. "Aku bersumpah. Aku ingin kau percaya
padaku." "Aku berada di sana malam itu," kata Tina.
Micky memutar tubuhnya dengan mendadak.
"Kau berada di sana" Maksudmu di Sunny Point?"
"Waktu itu aku punya rencana untuk pindah kerja. Aku ingin membicarakannya
dengan Ayah dan Ibu."
"Ya?" kata Micky. "Lanjutkan."
Karena Tina tidak berbicara lagi, Micky mencengkam lengannya dan
mengguncangkannya. "Lanjutkan, Tina," katanya. "Kau harus menceritakannya
padaku." "Sampai sekarang aku belum menceritakannya pada siapa pun juga."
"Teruskan," kata Micky lagi.
"Aku bermobil ke sana. Mobil tidak kubawa sampai ke gerbang. Kau kan tahu, di
luar tembok ada suatu tempat di mana kita bisa dengan mudah memutar mobil?"
Micky mengangguk. "Di situ aku keluar dari mobil dan berjalan ke rumah. Aku merasa bimbang. Kau
kan tahu bagaimana sulitnya berbicara dengan Ibu, dalam beberapa hal. Maksudku,
dia selalu punya gagasan sendiri. Aku berniat mengemukakan persoalanku sejelas-
jelasnya. Jadi begitulah. Aku berjalan ke rumah, lalu kembali lagi ke mobil,
lalu balik lagi ke rumah, sambil berpikir-pikir."
"Jam berapa waktu itu?" tanya Micky.
"Aku tak tahu," sahut Tina. "Aku tak ingat. Aku... aku tidak terlalu
memperhatikan waktu."
"Aku percaya itu, Sayang," kata Micky. "Kau memang selalu bersikap tenang-tenang
saja." "Aku berada di bawah pohon-pohon," kata Tina, "dan aku berjalan perlahan-lahan."
"Maklum kucing kecil," kata Micky dengan nada kasih sayang.
"Lalu kudengar mereka."
"Mendengar apa?"
"Dua orang berbisik."
"Ya?" Tubuh Micky menegang. "Apa kata mereka?"
"Kata mereka... salah seorang di antara mereka berkata, 'Antara jam tujuh dan
setengah delapan. Waktu itulah. Ingat, ya" Jangan salah. Antara jam tujuh dan
setengah delapan.' Orang yang satu lagi berbisik, 'Percayalah padaku,' lalu
suara yang pertama berkata lagi, 'Dan sesudah itu, Sayang, semuanya akan
menyenangkan sekali.'"
Keadaan sepi, lalu Micky berkata,
"Lalu... mengapa kaurahasiakan hal itu?"
"Karena aku tak tahu," kata Tina. "Aku tak tahu siapa mereka."
"Masa! Apakah mereka laki-laki dan perempuan?"
"Entahlah," kata Tina. "Tak tahukah kau, bila orang berbisik, kita tidak
mendengar suara. Yang kita dengar hanya... yah, hanya bisikan. Tentu aku mengira
mereka laki-laki dan perempuan, karena..."
"Karena kata-kata yang mereka ucapkan?"
"Ya. Tapi aku tak tahu siapa mereka."
"Kaupikir," kata Micky, "mereka mungkin Ayah dan Gwenda?"
"Mungkin begitu, ya?" kata Tina. "Mungkin itu berarti Gwenda harus meninggalkan
rumah dan kembali antara jam-jam itu. Atau mungkin juga Gwenda menyuruh Ayah
turun antara jam tujuh dan setengah delapan."
"Sekiranya mereka Ayah dan Gwenda, kau tak mau menyerahkan mereka pada polisi.
Begitukah?" "Kalau aku tahu betul," kata Tina. "Tapi aku tak tahu betul. Bisa juga orang
lain. Mungkin juga Hester dengan seseorang. Bahkan mungkin Mary, tapi bukan
Philip. Pasti bukan Philip."
"Waktu kaukatakan Hester dengan seseorang, siapa seseorang itu?"
"Aku tak punya bayangan."
"Kau tidak melihatnya" Maksudku laki-laki itu?"
"Tidak," kata Tina. "Aku tidak melihatnya."
"Tina, kurasa kau berbohong. Tapi dia seorang laki-laki, bukan?"
"Aku cepat-cepat berbalik," kata Tina, "kembali ke mobil. Lalu seseorang lewat,
di seberang jalan. Dia berjalan cepat sekali. Dia hanya merupakan bayangan dalam
gelap. Lalu kalau tak salah, kurasa aku mendengar mobil yang dihidupkan
mesinnya, di ujung jalan."
"Dan kaukira itu aku," kata Micky.
"Aku tak tahu," kata Tina. "Memang mungkin kau. Dia kira-kira sama besar dan
tingginya dengan kau."
Mereka tiba di mobil kecil Tina.
"Mari, Tina," kata Micky, "masuklah. Aku ikut. Kita pergi ke Sunny Point."
"Tapi, Micky..."
"Tak ada gunanya aku mengatakan bahwa itu bukan aku, kan" Jadi apa lagi yang
harus kukatakan" Ayo kita ke Sunny Point."
"Apa yang akan kaulakukan, Micky?"
"Mengapa kaupikir aku akan melakukan sesuatu" Bukankah kau memang akan pergi ke
Sunny Point?" "Ya," kata Tina, "ya, aku menerima surat dari Philip." Tina menghidupkan mesin
mobilnya. Micky yang duduk di sebelahnya sangat kaku dan tegang.
"Menerima surat dari Philip" Apa katanya?"
"Aku disuruhnya datang. Dia ingin bertemu denganku. Dia tahu bahwa hari ini aku
hanya bekerja setengah hari."
"Oh. Apakah dikatakannya untuk apa dia ingin bertemu denganmu?"
"Katanya dia ingin bertanya padaku, dan dia berharap aku bisa memberikan
jawabannya. Katanya aku tak perlu menceritakan apa-apa padanya - dia yang akan
mengatakannya padaku. Aku hanya mengatakan ya atau tidak. Katanya, apa pun yang
akan kukatakan padanya, akan dirahasiakannya."
"Jadi dia punya rencana rupanya?" kata Micky. "Itu menarik."
Jarak ke Sunny Point dekat sekali. Waktu mereka tiba di sana, Micky berkata,
"Masuklah, Tina. Aku akan berjalan-jalan di pekarangan. Aku ingin berpikir.
Pergilah. Berbicaralah dengan Philip."
Tina berkata, "Kau kan tidak... tidak akan..."
Micky tertawa kecil. "Bunuh diri" Aduh, Tina, kau kan kenal siapa aku."
"Kadang-kadang, kurasa kita tak mengenal siapa-siapa," kata Tina.
Ia berbalik membelakangi Micky, lalu berjalan lambat-lambat ke arah rumah, Micky
memandanginya dari belakang, kepalanya agak menjulur ke depan dan tangannya ada
di saku. Dahinya berkerut dalam. Lalu ia berbalik ke sudut rumah, sambil
mendongak memandangi rumah itu dengan merenung. Semua kenangan masa kecilnya
kembali terbayang. Tampak olehnya pohon magnolia yang sudah tua. Ia sering
memanjat pohon itu dan masuk ke rumah lewat jendela. Ada sebidang kecil tanah
yang dianggapnya kebunnya sendiri. Padahal ia tidak terlalu suka akan kebun. Ia
suka sekali merusak mainannya yang bermesin. Setan kecil perusak, pikirnya
tentang dirinya sendiri dengan rasa geli.
Yah, orang memang tidak banyak berubah.
Di dalam rumah, Tina bertemu dengan Mary di ruang depan. Mary tampak terkejut
waktu melihatnya. "Tina! Kau datang dari Redmyn?"
"Ya," kata Tina. "Tak tahukah kau bahwa aku akan datang?"
"Aku lupa," kata Mary. "Padahal Philip mengatakannya."
Ia berbalik. "Aku akan ke dapur," katanya, "akan melihat apakah Ovaltine sudah ada. Philip
suka meminumnya sebelum tidur malam. Kirsten sedang membawakannya kopi. Philip
lebih suka kopi daripada teh. Katanya perutnya tidak cocok minum teh."
"Mengapa kau memperlakukannya seperti orang cacat, Mary?" kata Tina. "Dia
sebenarnya tidak cacat."
Mata Mary memancarkan rasa marah.
"Bila kau sudah bersuami, Tina," katanya, "kau akan tahu bagaimana para suami
suka diperlakukan." Dengan halus Tina berkata,
"Maaf." "Alangkah senangnya kalau kami bisa keluar dari rumah ini," kata Mary. "Sama
sekali tak baik bagi Philip berada di sini. Dan Hester akan kembali hari ini,"
sambungnya. "Hester?" Tina terkejut. "Mengapa?"
"Bagaimana aku tahu" Semalam dia menelepon dan mengatakan hal itu. Aku tak tahu
dia naik kereta api apa. Kurasa naik kereta api ekspres, seperti biasa. Harus
ada seseorang yang pergi ke Drymouth untuk menjemputnya."
Mary menghilang di lorong yang menuju dapur. Tina bimbang sebentar, lalu naik
tangga. Setiba di bagian teratas tangga, pintu pertama di sebelah kanan terbuka,
dan Hester berdiri di pintu itu. Ia terkejut melihat Tina.
"Hester! Kudengar kau akan datang, tapi tak kusangka kau sudah tiba."
"Dr. Calgary mengantarku kemari," kata Hester. "Aku langsung masuk ke kamarku.
Kurasa tak seorang pun tahu, aku sudah tiba."
"Apakah Dr. Calgary ada di sini sekarang?"
"Tidak. Dia hanya menurunkan aku di sini, lalu terus ke Drymouth. Dia ingin
menemui seseorang di sana."
"Mary tak tahu kau sudah datang."
"Mary tak pernah tahu apa-apa," kata Hester. "Dia dan Philip memisahkan diri
dari segala sesuatu yang terjadi. Kurasa Ayah dan Gwenda ada di ruang
perpustakaan, ya" Agaknya semuanya sudah berjalan seperti biasa."
"Mengapa tidak?"
"Entah, ya, aku pun tak tahu," kata Hester dengan tak jelas. "Aku hanya mengira
semuanya akan menjadi lain."
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia melewati Tina, lalu menuruni tangga. Tina berjalan terus, melewati ruang
perpustakaan, terus di sepanjang lorong rumah, ke arah ruangan besar di ujung,
yang ditempati suami-istri Durrant. Kirsten Lindstrom yang sedang berdiri di
luar pintu kamar Philip sambil membawa nampan, menoleh dengan tajam.
"Aduh, Tina, kau mengejutkan aku," katanya, "Aku baru saja akan membawakan
Philip kopi dan biskuit." Ia mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, Tina
mengikutinya. Setelah mengetuk, Kirsten membuka pintu dan masuk. Ia berada sedikit di depan
Tina, tubuhnya yang tinggi dan berlekuk-lekuk menghalangi pandangan Tina, tapi
Tina mendengar jeritan tertahan Kirsten. Kedua belah lengan Kirsten terangkat
dan nampan jatuh ke lantai.
Cangkir dan piring-piring terlempar ke pelindung tungku perapian.
"Oh, tidak," pekik Kirsten, "oh, tidak!"
"Philip?" tanya Tina.
Ia melewati Kirsten dan pergi mendekat. Kursi roda Philip terdapat di dekat meja
kerja. Menurut perkiraan Tina, ia sedang menulis. Di dekat tangan kanannya
terletak sebuah bolpoin, tapi kepalanya tertelungkup ke depan, tergolek aneh.
Dan di bagian bawah tulang tengkoraknya dilihatnya sesuatu yang tampak seperti
sebuah permen besar berwarna merah cerah, yang menodai kerah kemejanya yang
putih. "Dia terbunuh," kata Kirsten. "Dia terbunuh - ditikam. Itu di bagian bawah
otaknya. Satu tikaman mematikan."
Dengan suara meninggi ditambahkannya,
"Sudah kuperingatkan padanya. Sudah kulakukan segala upayaku. Tapi dia seperti
anak kecil saja, senang bermain-main dengan alat-alat berbahaya, tanpa melihat
ke mana dia berjalan."
Seperti mimpi buruk saja, pikir Tina. Ia berdiri diam-diam di dekat siku Philip,
memandanginya. Kirsten mengangkat tangan Philip yang tak bertenaga dan meraba,
mencari nadi yang sudah tak berdetak lagi. Apa yang ingin ditanyakan Philip
padanya" Apa pun yang diinginkannya, ia tidak akan menanyakannya lagi sekarang.
Tanpa berpikir dengan bersungguh-sungguh, otak Tina menangkap dan mencatat
beberapa hal kecil di situ. Philip sedang menulis, itu benar. Penanya ada di
situ, tapi tak ada kertas di depannya. Tak ada yang ditulis. Orang yang
membunuhnya telah mengambil apa yang ditulisnya. Dengan tenang dan tanpa
disadarinya benar, ia berkata,
"Kita harus memberitahukannya pada yang lain."
"Ya, ya, kita harus turun memberitahukannya. Kita harus memberitahu ayahmu."
Kedua wanita itu berjalan berdampingan ke arah pintu. Kirsten merangkulkan
lengannya ke tubuh Tina. Tina melihat ke nampan yang jatuh serta cangkir dan
piring-piring yang pecah.
"Tak usah pedulikan itu," kata Kirsten, "itu semua bisa dibereskan nanti."
Tina agak terhuyung, dan Kirsten segera menahannya.
"Hati-hati. Nanti kau jatuh."
Mereka berjalan di sepanjang lorong rumah. Pintu ruang perpustakaan terbuka, Leo
dan Gwenda keluar. Dengan suara rendah namun jelas, Tina berkata,
"Philip dibunuh. Dia ditikam."
Rasanya seperti mimpi, pikir Tina. Seruan ayahnya yang terperanjat, dan Gwenda
yang berlari melewatinya, pergi ke tempat Philip - mendatangi Philip yang sudah
meninggal. Kirsten meninggalkannya dan bergegas menuruni tangga.
"Aku harus memberitahu Mary. Berita ini harus disampaikan dengan hati-hati.
Kasihan Mary. Ini pasti akan membuatnya shock."
Tina mengikutinya, berjalan lambat-lambat. Ia merasa lain daripada biasanya,
pusing dan serasa dalam mimpi, jantungnya terasa pedih. Akan ke manakah dia" Ia
tak tahu. Serasa tak ada apa-apa. Ia tiba di pintu depan yang terbuka dan
melaluinya. Pada saat itulah dilihatnya Micky datang dari sudut rumah. Otomatis,
ke arah sanalah kakinya membawanya. Ia berjalan lurus ke arah Micky.
"Micky," katanya. "Oh, Micky!"
Micky mengembangkan lengannya. Tina langsung menjatuhkan diri ke dalam
pelukannya. "Tenanglah," kata Micky. "Kau sudah bersamaku."
Tina roboh dengan lunglai dalam pelukannya. Ia jatuh ke tanah, tepat pada saat
Hester berlari keluar dari rumah.
"Dia pingsan," kata Micky tanpa bisa berbuat apa-apa. "Padahal aku tak pernah
melihat Tina pingsan."
"Itu pasti karena shock," kata Hester.
"Shock - apa maksudmu?"
"Philip terbunuh," kata Hester. "Apa kau tidak tahu?"
"Bagaimana aku bisa tahu" Kapan" Bagaimana?"
"Baru saja." Micky menatapnya. Diangkatnya Tina, lalu digendongnya. Dengan diikuti Hester,
dibawanya Tina ke kamar duduk Mrs. Argyle, lalu dibaringkannya di sofa.
"Telepon Dr. Craig," katanya.
"Itu mobilnya," kata Hester sambil melihat ke luar jendela. "Ayah sudah
meneleponnya, memberitahukan tentang Philip. Aku..." Ia menoleh ke belakang.
"Aku tak mau bertemu dengannya."
Ia berlari keluar dari kamar itu dan menaiki tangga.
Dr. Craig keluar dari mobilnya dan masuk melalui pintu depan yang terbuka.
Kirsten keluar dari dapur untuk menyambutnya.
"Selamat sore, Miss Lindstrom. Benarkah berita yang saya dengar ini" Mr. Argyle
memberitahu saya bahwa Philip Durrant dibunuh. Dibunuh?"
"Benar sekali," kata Kirsten.
"Sudahkah Mr. Argyle menelepon polisi?"
"Saya tak tahu."
"Apakah tak ada kemungkinan bahwa dia hanya luka?" tanya Don. Ia berbalik untuk
mengambil tas alat-alat kedokterannya dari mobilnya.
"Tidak," sahut Kirsten. Suaranya terdengar datar dan letih. "Dia sudah
meninggal. Saya yakin itu. Dia ditikam - di sini."
Ia menunjuk ke bagian belakang kepalanya sendiri.
Micky keluar ke ruang depan itu.
"Halo, Don, sebaiknya kauperiksa Tina dulu," katanya. "Dia pingsan."
"Tina" Oh, ya, yang... yang di Redmyn itu, bukan" Di mana dia?"
"Di dalam situ."
"Biar kulihat dulu dia, sebelum aku naik ke lantai atas." Sambil berjalan
memasuki kamar, ia berbicara pada Kirsten lewat pundaknya. "Jaga supaya dia
hangat terus," katanya, "beri dia teh atau kopi panas, begitu dia siuman. Anda
tahu bagaimana biasanya."
Kirsten mengangguk, "Kirsty!" Mary Durrant datang dengan berjalan lambat-lambat dari dapur. Kirsty
menghampirinya, Micky memandanginya tanpa daya.
"Itu tidak benar," Mary berbicara nyaring dengan suara parau. "Itu tidak benar!
Itu bohong, itu karanganmu saja. Dia tak apa-apa waktu aku meninggalkannya tadi.
Dia baik-baik saja. Dia sedang menulis. Sudah kukatakan supaya dia tidak
menulis. Mengapa dia tetap saja melakukannya" Mengapa dia keras kepala" Mengapa
dia tak mau meninggalkan rumah ini, meskipun sudah kubujuk?"
Dengan menghibur dan membujuknya, Kirsten berusaha menenangkannya.
Dr. Craig keluar dari ruang duduk dengan langkah-langkah panjang.
"Siapa yang mengatakan bahwa gadis itu pingsan?" tanyanya.
Micky menatapnya. "Tapi dia memang pingsan."
"Di mana dia pingsan?"
"Dia sedang bersamaku. Dia keluar dari rumah dan berjalan menemuiku. Lalu dia
jatuh." "Dia jatuh, ya" Ya, tentu dia jatuh," kata Dr. Craig dengan keras. Ia berjalan
cepat-cepat ke arah pesawat telepon. "Aku harus minta didatangkan ambulans,"
katanya, "sekarang juga."
"Ambulans?" Kirsten dan Micky menatapnya keheranan. Mary agaknya tidak
mendengarnya. "Ya." Donald memutar nomor dengan sikap geram. "Gadis itu bukannya pingsan,"
katanya. "Dia ditikam. Kalian dengar itu" Ditikam di punggungnya. Kita harus
membawanya ke rumah sakit secepatnya."
BAB XXIII DI KAMAR hotelnya, Arthur Calgary mempelajari berulang kali catatan-catatan yang
sudah dibuatnya. Sekali-sekali ia mengangguk.
Ya... ia sudah berada di jalur yang benar sekarang. Mula-mula ia telah membuat
kesalahan dengan memusatkan perhatiannya pada Mrs. Argyle. Dalam sembilan di
antara sepuluh perkara, itu memang merupakan prosedur yang benar. Tapi ini
agaknya merupakan perkara yang kesepuluh itu.
Selama ini ia memang merasakan adanya faktor yang tak diketahuinya. Begitu bisa
mengenali dan memisahkan faktor itu, ia pasti bisa memecahkan perkara ini. Dalam
mencarinya, ia terlalu memusatkan perhatiannya pada wanita yang menjadi korban
itu. Tapi sekarang disadarinya bahwa wanita yang sudah meninggal itu rupanya tak
penting. Setiap korban boleh dikatakan memang begitu.
Kini ia mengalihkan titik pandangnya ke saat semuanya itu berawal.
Bukan hanya pada Jacko, seorang pemuda yang telah dijatuhi hukuman dengan tak
adil atas kejahatan yang tidak dilakukannya - melainkan Jacko, manusianya yang
sejati. Apakah Jacko merupakan "alat yang ditunjuk untuk merusak" seperti apa
yang disebut dalam ajaran calvinis" Bukankah ia sudah diberi semua kesempatan
dalam hidupnya" Setidaknya, menurut Dr. MacMaster, ia orang yang terlahir untuk
berbuat salah. Tidak akan ada lingkungan yang bisa membantu atau
menyelamatkannya. Benarkah itu" Leo Argyle berbicara tentang pemuda itu dengan
pengertian dan rasa iba. Bagaimana ia mengungkapkannya waktu itu, ya" "Salah
satu ciptaan alam yang salah". Hasil penyelidikan modern menyatakan bahwa ia
cacat mental, bukan penjahat. Apa kata Hester" Dengan terus terang dikatakannya
bahwa Jacko selalu mengerikan!
Suatu pernyataan polos yang kekanak-kanakan. Lalu apa kata Kirsten Lindstrom" Ia
jahat! Ya, Kirsten menggunakan istilah keras itu. Jahat! Tina berkata, "Saya tak
pernah suka dan tak pernah percaya padanya." Jadi secara umum mereka sependapat,
bukan" Hanya jandanya yang punya pandangan khusus. Maureen Clegg mengenang Jacko
benar-benar dari sudut pandangnya sendiri. Ia merasa telah dirugikan Jacko. Ia
merasa telah terpikat daya tarik Jacko, dan ia tidak menyukai hal itu. Sekarang,
setelah menikah dengan baik-baik, ia hanya membeo pendapat suaminya. Ia telah
memberikan laporannya yang jujur mengenai beberapa perbuatan Jacko yang tak
terpuji, dan cara-cara yang dipakai Jacko untuk mendapatkan uang. Uang...
Di otak Arthur Calgary yang terlalu letih, perkataan itu seolah-olah menari-nari
di dinding dengan huruf besar-besar. Uang! Uang! Uang! Seperti motif dalam
sebuah opera, pikirnya. Uang Mrs. Argyle! Uang yang disimpan dalam trust! Uang
yang disimpan dalam bentuk tunjangan tahunan! Kekayaan yang tersisa diwariskan
pada suaminya! Uang yang ditarik dari bank pagi itu! Uang yang disimpan di dalam
laci meja kerja! Hester bergegas pergi dengan mobilnya tanpa uang di dompetnya,
dan hanya menerima dua pound dari Kirsten Lindstrom. Lalu uang yang ditemukan
pada Jacko, uang yang katanya diberikan oleh ibunya.
Seluruhnya membentuk suatu pola - suatu pola yang terjalin dari hal-hal kecil
mengenai uang. Dan dalam pola tersebut, faktor yang tak diketahui itu menjadi jelas.
Ia melihat ke arlojinya. Ia telah berjanji akan menelepon Hester pada waktu
tertentu. Ditariknya pesawat telepon, lalu dimintanya suatu nomor.
Sebentar kemudian didengarnya suara Hester, lantang dan kekanak-kanakan.
"Hester, baik-baik sajakah kau?"
"Oh, ya, aku sendiri baik-baik saja."
Beberapa lama kemudian barulah Calgary dapat menangkap maksud perkataan yang
diberinya tekanan itu. Lalu ia berkata dengan tajam,
"Apa yang terjadi?"
"Philip dibunuh."
"Philip! Philip Durrant?"
Terdengar nada tak percaya dalam suara Calgary.
"Ya. Dan Tina juga - tapi dia tidak meninggal. Dia di rumah sakit."
"Ceritakan," perintahnya.
Hester menceritakan semuanya. Calgary bertanya dan bertanya lagi dengan teliti,
sampai memperoleh semua penjelasan.
Lalu katanya dengan tegas,
"Tenanglah, Hester, aku akan datang. Aku akan berada di sana" - ia melihat ke
arlojinya - "dalam waktu satu jam. Aku harus menemui Inspektur Huish dulu."
II "Apa sebenarnya yang ingin Anda ketahui, Dr. Calgary?" tanya Inspektur Huish.
Tapi sebelum Calgary sempat menjawab, pesawat telepon di meja kerja Huish
berdering, dan Inspektur mengangkat gagangnya. "Ya. Ya, saya sendiri. Sebentar."
Ditariknya selembar kertas, diambilnya sebuah pena, dan ia bersiap-siap menulis.
"Ya. Mulailah. Ya." Ia menulis. "Apa" Bagaimana ejaan kata yang terakhir itu"
Oh, ya. Ya. Kelihatannya belum jelas, ya" Benar. Tak ada lagi" Ya. Terima
kasih." Gagang telepon diletakkannya kembali. "Itu dari rumah sakit," katanya.
"Tentang Tina?" tanya Calgary.
Inspektur mengangguk. "Dia sadar selama beberapa menit."
"Apakah dia mengatakan sesuatu?" tanya Calgary.
"Sebenarnya saya tak tahu mengapa saya harus mengatakannya pada Anda, Dr.
Calgary." "Saya minta Anda menceritakannya pada saya," kata Calgary, "karena saya rasa,
saya bisa membantu Anda dalam urusan ini."
Huish memandanginya sambil berpikir.
"Anda sangat peduli dalam urusan ini, ya, Dr. Calgary?" katanya.
"Ya, benar. Soalnya, saya merasa bertanggung jawab sehubungan dengan dibukanya
kembali perkara ini. Saya bahkan ikut bertanggung jawab dalam dua tragedi baru
ini. Apakah gadis itu masih bisa hidup?"
"Kata mereka bisa," kata Huish. "Mata pisau itu tak sampai ke jantung. Tapi
keadaannya masih tak menentu." Ia menggeleng. "Itulah kesulitannya selalu,"
katanya. "Orang-orang selalu tak percaya bahwa seorang pembunuh itu berbahaya.
Kedengarannya aneh, tapi itu kenyataan. Mereka semua tahu bahwa ada seorang
pembunuh di antara mereka. Seharusnya mereka ceritakan apa yang mereka ketahui.
Satu-satunya yang aman bila ada seorang pembunuh di tempat itu adalah segera
menceritakan pada polisi apa yang mereka ketahui. Nah, itu tidak mereka lakukan.
Mereka merahasiakannya terhadap saya. Philip Durrant itu orang baik - orang yang
cerdas. Tapi perkara ini dianggapnya sebagai suatu permainan. Dia mengorek-
ngorek ke sana kemari dan memasang perangkap untuk orang-orang. Dan dia
berhasil, atau dikiranya dirinya berhasil. Lalu ada orang lain yang tahu bahwa
dia mengetahui sesuatu. Hasilnya, saya menerima telepon yang mengatakan bahwa
dia meninggal, ditikam di tengkuknya. Itulah akibatnya kalau mau mencampuri soal
pembunuhan dan tidak menyadari bahaya-bahayanya." Ia berhenti, lalu menelan
ludah. "Bagaimana dengan gadis itu?" tanya Calgary.
"Gadis itu tahu sesuatu," kata Huish. "Sesuatu yang tak mau diceritakannya.
Pendapat saya adalah," katanya, "dia mencintai pria itu."
"Anda berbicara tentang... Micky?"
Huish mengangguk. "Ya. Dan saya rasa Micky juga mencintainya. Tapi mencintai
seseorang tak cukup bila dia ketakutan setengah mati. Apa pun yang diketahui
gadis itu mungkin lebih fatal daripada yang disadarinya. Sebab itu, setelah
gadis itu menemukan Durrant meninggal, dan dia berlari keluar ke dalam pelukan
pemuda itu, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menikamnya."
"Itu hanya dugaan Anda saja, bukan, Inspektur Huish?"
"Bukan sekadar dugaan, Dr. Calgary. Pisau itu ada di dalam sakunya."
"Pisau yang dipakai untuk membunuh itu?"
"Ya. Ada darah di pisau itu. Kita akan mengetesnya, tapi itu pasti darah gadis
itu. Darahnya dan darah Philip Durrant!"
"Tapi itu tak mungkin!"
"Siapa bilang itu tak mungkin?"
"Hester. Dia tadi menelepon saya, dan dia sudah menceritakan semuanya tentang
itu." "Dia yang menceritakannya, ya" Ya, kenyataannya sederhana sekali. Mary Durrant
turun ke dapur. Ditinggalkannya suaminya dalam keadaan hidup, jam empat kurang
sepuluh. Waktu itu yang ada di dalam rumah adalah Leo Argyle dan Gwenda Vaughan
di ruang perpustakaan, Hester Argyle di kamar tidurnya di lantai dua, dan
Kirsten Lindstrom di dapur. Jam empat lewat sedikit, Micky dan Tina datang.
Micky pergi ke kebun dan Tina naik ke lantai atas, tak lama setelah Kirsten,
yang sedang naik membawakan kopi dan biskuit untuk Philip. Tina sempat berhenti
untuk bercakap-cakap dengan Hester, lalu terus menyusul Miss Lindstrom, dan
mereka berdua menemukan Philip sudah meninggal."
"Padahal selama itu Micky berada di kebun. Bukankah itu suatu alibi yang kuat?"
"Ada yang tidak Anda ketahui, Dr. Calgary. Yaitu bahwa ada sebatang pohon
magnolia besar yang tumbuh di samping rumah. Waktu masih kanak-kanak, mereka
suka memanjatnya. Khususnya Micky. Itu merupakan salah satu jalannya untuk
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluar-masuk rumah. Mungkin dia memanjat pohon itu, masuk ke kamar Durrant,
menikamnya, lalu keluar lagi. Oh, pekerjaan itu memang memerlukan perhitungan
waktu yang cermat sekali. Tapi kadang-kadang kita terkejut melihat berapa
besarnya arti kenekatan. Dan anak muda itu dalam keadaan terdesak. Pokoknya dia
harus mencegah Tina bertemu dengan Durrant. Demi keselamatannya, dia harus
membunuh kedua orang itu."
Calgary berpikir beberapa lama.
"Tadi Anda katakan, Inspektur, bahwa Tina sudah siuman. Tak bisakah dia
mengatakan dengan pasti siapa yang menikamnya?"
"Dia masih kacau," kata Huish lambat-lambat. "Bahkan saya tak yakin apakah dia
sudah benar-benar sadar."
Ia tersenyum letih. "Baiklah, Dr. Calgary, akan saya katakan apa tepatnya yang telah diucapkannya.
Pertama-tama dia menyebutkan suatu nama. Micky."
"Kalau begitu, dia menuduh Micky," kata Calgary.
"Kelihatannya begitu," kata Huish sambil mengangguk. "Yang diucapkannya
selanjutnya tak ada hubungannya. Terdengar agak mengada-ada."
"Apa katanya?" Huish menunduk, melihat ke catatan di depannya.
"'Micky.' Dia berhenti sebentar, lalu berkata lagi, 'Cangkir itu kosong,' lalu
berhenti lagi, lalu, 'Merpati di puncak tiang.'" Inspektur melihat pada Calgary.
Ia menggeleng, lalu dengan rasa ingin tahu, ia berkata, "Merpati di puncak
tiang.... Rasanya aneh sekali mengucapkan kata-kata itu.
"Setahu kita, tak ada tiang dan merpati di situ," kata Huish. "Tapi itu pasti
ada artinya bagi gadis itu, ada sesuatu dalam pikirannya. Tapi tak mungkin
berhubungan dengan pembunuhan itu. Kita tak tahu, sedang mengambang di alam
kerajaan mana pikirannya."
Calgary diam beberapa lama. Ia memikirkan beberapa hal. Lalu katanya, "Sudah
Anda tangkapkah Micky?"
"Kami sudah menahannya. Dia akan dimintai keterangan dalam waktu 24 jam."
Huish melihat pada Calgary dengan pandangan bertanya,
"Saya rasa anak muda itu bukan orang yang Anda anggap merupakan jawaban dalam
persoalan ini, ya?" "Bukan," kata Calgary. "Bukan. Bukan Micky yang merupakan jawabannya. Sampai
saat ini, saya belum tahu." Ia bangkit. "Saya masih tetap merasa bahwa saya
benar," katanya. "Tapi saya juga menyadari bahwa saya tak punya cukup bukti
untuk meyakinkan Anda. Saya harus pergi ke sana lagi. Saya harus menemui mereka
semua." "Yah," kata Huish, "jaga diri Anda, Dr. Calgary. Omong-omong, apa gagasan Anda?"
"Apakah akan ada artinya bagi Anda," kata Calgary, "bila saya katakan bahwa
menurut keyakinan saya, ini suatu kejahatan berdasarkan nafsu?"
Huish mengangkat alisnya.
"Ada banyak nafsu, Dr. Calgary," katanya. "Kebencian, kekikiran, keserakahan,
rasa takut, semuanya itu nafsu."
"Waktu saya katakan kejahatan berdasarkan nafsu," kata Calgary, "maksud saya
benar-benar dalam arti sebenarnya."
"Bila yang Anda maksud Gwenda Vaughan dan Leo Argyle," kata Huish, "itu pula
yang ada dalam pikiran kami. Tapi agaknya tidak cocok."
"Persoalannya lebih rumit daripada itu," kata Arthur Calgary.
BAB XXIV HARI telah gelap waktu Arthur Calgary tiba di Sunny Point, sama benar dengan
malam hari waktu ia pertama kali datang ke situ. Viper's Point, pikirnya, waktu
ia menekan bel. Peristiwa-peristiwa serasa terulang kembali. Hester juga yang membukakannya
pintu. Di wajahnya terpancar tantangan yang sama, terasa pula suasana tragedi
menyedihkan yang sama. Di belakang Hester dilihatnya pula, seperti dulu, sosok
Kirsten Lindstrom yang selalu waspada dan penuh curiga. Serasa sejarah berulang
kembali. Lalu polanya berubah. Kecurigaan dan keputusasaan lenyap dari wajah Hester.
Wajah itu kini tersenyum, manis sekali.
"Kau," katanya. "Oh, aku senang sekali kau datang!"
Calgary menggenggam kedua tangan Hester.
"Aku ingin bertemu dengan ayahmu, Hester. Apakah dia ada di lantai atas, di
ruang perpustakaan?"
"Ya. Ya, dia ada di sana dengan Gwenda."
Kirsten Lindstrom menghampiri mereka.
"Mengapa Anda datang lagi?" katanya dengan nada menuding. "Lihat saja kesulitan
yang telah Anda timbulkan! Lihat apa yang telah terjadi atas diri kami semua.
Hidup Hester hancur, hidup Mr. Argyle hancur, dan sekarang dua kematian. Dua!
Philip Durrant dan si kecil Tina. Dan itu gara-gara Anda. Semua gara-gara Anda!"
"Tina belum meninggal," kata Calgary, "dan ada sesuatu yang harus saya lakukan
di sini, sesuatu yang tak bisa saya biarkan tidak selesai."
"Apa yang harus Anda lakukan itu?" Kirsten tetap berdiri menghalang-halangi
jalannya ke tangga. "Saya harus menyelesaikan apa yang telah saya mulai," kata Calgary.
Dengan halus diletakkannya tangannya ke bahu Kirsten, lalu didorongnya wanita
itu ke samping sedikit. Ia menaiki tangga, dan Hester mengikutinya. Ia menoleh,
lalu berkata lewat bahunya,
"Mari ikut juga, Miss Lindstrom. Saya ingin kalian semua ada di situ."
Di ruang perpustakaan, Leo Argyle sedang duduk di kursi di dekat meja tulisnya.
Gwenda Vaughan sedang berlutut di depan perapian, menatap bara api. Mereka
mendongak dengan terkejut.
"Maafkan saya masuk begitu saja," kata Calgary, "tapi seperti sudah saya katakan
pada mereka berdua ini, saya datang untuk menyelesaikan apa yang sudah saya
mulai." Ia melihat ke sekelilingnya. "Apakah Mrs. Durrant masih ada di rumah
ini" Saya ingin dia kemari juga."
"Saya rasa dia sedang berbaring," kata Leo. "Dia... ini merupakan pukulan hebat
sekali baginya." "Meskipun demikian, saya minta dia kemari juga." Ia menoleh pada Kirsten.
"Tolong jemput dia."
"Mungkin dia tak mau datang," kata Kirsten cemberut.
"Katakan padanya bahwa ada beberapa hal mengenai kematian suaminya yang mungkin
ingin didengarnya," kata Calgary.
"Pergilah, Kirsty," kata Hester. "Jangan begitu curiga dan terlalu melindungi
kami semua. Aku tak tahu apa yang akan dikatakan Dr. Calgary, tapi kita semua
seharusnya berada di sini."
"Baiklah," kata Kirsten.
Ia keluar dari ruangan itu.
"Duduklah," kata Leo. Ia menunjuk ke sebuah kursi di sisi lain perapian, dan
Calgary duduk di situ. "Harap Anda maafkan saya," kata Leo, "kalau sekarang saya katakan bahwa
sebenarnya saya senang sekali sekiranya Anda tak pernah datang, Dr. Calgary."
"Itu tidak adil," kata Hester dengan keras. "Sangat tidak adil Ayah berkata
begitu." "Saya tahu bagaimana perasaan Anda," kata Calgary. "Saya rasa bila saya berada
di tempat Anda, saya akan merasa begitu pula. Mungkin saya bahkan sempat
sependapat dengan Anda. Tapi setelah saya pikir, saya masih belum tahu apa lagi
yang harus saya lakukan."
Kirsten masuk kembali. "Mary akan datang," katanya.
Mereka menunggu tanpa berbicara, dan sebentar kemudian Mary Durrant memasuki
ruangan itu. Calgary memandanginya dengan penuh perhatian, karena itulah untuk
pertama kalinya ia melihat Mary. Wanita itu kelihatan tenang dan bisa menguasai
diri, pakaiannya rapi dan rambutnya tersisir rapi pula. Tapi wajahnya seperti
kedok, karena tidak memancarkan perasaan apa pun. Dan ia memberikan kesan
seperti wanita yang berjalan dalam mimpi.
Leo memperkenalkan mereka. Mary menunduk sedikit.
"Terima kasih atas kedatangan Anda, Mrs. Durrant," kata Calgary. "Saya rasa Anda
harus mendengar apa yang akan saya katakan."
"Silakan," kata Mary. "Tapi apa pun yang Anda atau orang lain katakan, tidak
akan bisa mengembalikan Philip."
Ia agak menjauh dari mereka, lalu duduk di kursi di dekat jendela. Calgary
melihat ke sekelilingnya.
"Pertama-tama saya akan mengatakan ini. Waktu saya datang kemari untuk pertama
kali, waktu saya datang untuk mengatakan pada Anda bahwa saya bisa membersihkan
nama Jacko, penerimaan Anda semua atas berita saya, mengherankan saya. Sekarang
saya mengerti. Tapi hal yang memberikan kesan terbesar pada diri saya adalah apa
yang diucapkan anak ini...," ia menoleh pada Hester, "pada waktu saya akan
pulang. Katanya, bukan keadilan yang penting, melainkan apa yang akan terjadi
atas diri orang-orang yang tak bersalah. Ada bagian dalam terjemahan terbaru
dari Kitab Ayub, yang menyatakan hal itu: Bencana atas diri orang yang tak
bersalah. Sebagai akibat dari berita saya itulah Anda sekalian jadi menderita.
Padahal yang tak bersalah tak pantas menderita, dan tak boleh menderita. Dan
untuk mengakhiri penderitaan orang-orang yang tak bersalah itulah saya sekarang
berada di sini, untuk menyampaikan apa yang harus saya katakan."
Ia diam beberapa lama, tapi tak seorang pun berbicara. Lalu Arthur Calgary
berbicara lagi dengan suara seorang pakar yang tenang,
"Waktu pertama kali datang kemari, saya mengira telah membawa berita gembira.
Ternyata itu tidak benar. Anda sekalian sudah menerima Jacko sebagai orang yang
bersalah. Kalau boleh saya katakan, Anda sekalian puas dengan keadaan itu. Itu
merupakan penyelesaian terbaik dalam pembunuhan Mrs. Argyle."
"Apakah ucapan Anda itu tidak terlalu keras?" kata Leo.
"Tidak," kata Calgary, "itu benar. Anda semua puas dengan menganggap Jacko
sebagai pelaku kejahatannya, karena tak ada kemungkinan orang luar yang
melakukan kejahatan itu, dan karena dalam hal Jacko Anda bisa menemukan alasan-
alasan yang diperlukan. Dia memang tidak beruntung, seorang cacat mental yang
tak bisa bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Seorang anak pembawa
masalah yang tak bisa dikendalikan! Pokoknya, semua istilah yang kini bisa kita
pakai untuk menghapus kesalahannya. Anda katakan, Mr. Argyle, bahwa Anda tidak
menyalahkannya. Anda katakan bahwa ibunya, yang menjadi korban, juga tidak akan
menyalahkan dia. Hanya ada satu orang yang menyalahkannya." Ia menoleh pada
Kirsten Lindstrom. "Anda yang menyalahkannya. Dengan jelas dan terus terang Anda
katakan bahwa dia jahat. Itulah istilah yang Anda pakai, 'Jacko itu jahat,' kata
Anda." "Mungkin," kata Kirsten Lindstrom. "Mungkin - ya, mungkin saya berkata begitu.
Karena itu benar." "Ya, itu benar. Dia memang jahat. Sekiranya dia tidak jahat, semuanya ini tidak
akan terjadi. Tapi Anda tahu betul," kata Calgary, "bahwa bukti yang saya
berikan membebaskannya dari kejahatan yang sebenarnya."
Kata Kirsten, "Kita tidak selalu bisa percaya akan bukti. Anda telah mengalami gegar otak.
Saya tahu betul apa akibat gegar otak pada orang. Orang jadi tak bisa mengingat
hal-hal dengan jelas, hanya samar-samar."
"Jadi, Anda masih tetap berpendirian begitu?" kata Calgary. "Anda pikir Jacko
benar-benar telah melakukan kejahatan itu, dan dia telah berhasil mengarang-
ngarang alibi" Begitu?"
"Saya tak tahu perinciannya. Ya, semacam itulah. Saya tetap mengatakan bahwa dia
yang melakukannya. Semua penderitaan yang berlangsung di sini, yang disusul
dengan kematian-kematian - ya, kematian-kematian mengerikan ini - semua itu
perbuatan dia. Semua perbuatan Jacko!"
Hester berseru, "Tapi, Kirsten, bukankah kau begitu sayang pada Jacko?"
"Mungkin," kata Kirsten, "ya, mungkin. Tapi aku tetap mengatakan bahwa dia
jahat." "Dalam hal itu, Anda benar," kata Calgary. "Tapi dalam hal yang lain. Anda
salah. Gegar otak atau tidak, ingatan saya tetap jelas. Pada malam kematian Mrs.
Argyle itu saya telah memberikan tumpangan pada Jacko, pada jam yang sudah saya
nyatakan. Tak ada kemungkinan - saya tekankan dengan keras - tak ada kemungkinan
Jacko membunuh ibu angkatnya malam itu. Alibinya kuat."
Leo bergerak dengan gelisah. Calgary berkata terus,
"Anda pikir, saya mengulang-ulangi hal yang sama terus. Itu tidak benar. Ada
beberapa bagian yang harus dipikirkan. Salah satu di antaranya pernyataan
Inspektur Huish, bahwa Jacko sangat yakin waktu dia mengemukakan alibinya itu.
Semua itu sudah disiapkannya dengan rapi sekali, waktunya, tempatnya, seolah-
olah dia tahu bahwa dia akan membutuhkannya kelak. Itu bertalian dengan
percakapan saya mengenai dirinya dengan Dr. MacMaster yang punya pengalaman
sangat luas di bidang kenakalan anak-anak. Katanya dia tidak begitu terkejut
kalau Jacko punya benih-benih pembunuhan dalam hatinya. Tapi dia terkejut bahwa
Jacko benar-benar telah melakukannya. Katanya pembunuhan yang bisa diterima
akalnya adalah kalau Jacko merencanakannya dan menyuruh orang lain melakukannya.
Maka saya pun bertanya sendiri, apakah Jacko tahu bahwa malam itu akan dilakukan
kejahatan" Tahukah dia bahwa dia akan membutuhkan alibi, dan lalu sengaja
berusaha mendapatkan alibi itu" Kalau begitu, orang lain yang membunuh Mrs.
Argyle, tapi Jacko tahu tentang rencana pembunuhan itu. Dan bahkan bisa
dikatakan dialah yang mengatur kejahatan itu."
Calgary menujukan kata-katanya pada Kirsten Lindstrom,
"Anda hanya merasakannya, bukan" Anda merasa begitu, atau Anda ingin
berkeyakinan begitu" Anda merasa Jacko-lah yang membunuhnya, bukan Anda. Anda
merasa bahwa Anda melakukannya atas perintah Jacko dan di bawah pengaruhnya.
Oleh karenanya. Anda ingin agar semua kesalahan ditimpakan pada dirinya!"
"Saya?" kata Kirsten Lindstrom. "Saya" Bicara apa Anda ini?"
"Saya berkata," kata Calgary, "bahwa hanya ada satu orang dalam rumah ini yang
cocok berperan sebagai komplotan Jacko. Dan orang itu adalah Anda, Miss
Lindstrom. Jacko terkenal dengan perangai jahatnya, yaitu kemampuannya untuk
menimbulkan nafsu berahi pada wanita-wanita setengah baya. Kemampuan itu
dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Dia punya bakat untuk menjadikan dirinya
dipercayai." Calgary membungkukkan tubuhnya. "Dia menjalin cinta dengan Anda,
bukan?" katanya dengan halus. "Anda dibuatnya percaya bahwa dia mencintai Anda,
bahwa dia ingin mengawini Anda, bahwa setelah peristiwa ini berlalu dan dia bisa
menguasai uang ibunya, kalian berdua akan menikah dan pergi ke suatu tempat.
Begitu, bukan?" Kirsten menatapnya. Ia tidak berbicara. Ia seperti lumpuh.
"Perbuatan itu dilakukan dengan kejam, tanpa belas kasihan, dan direncanakan,"
kata Arthur Calgary. "Dia datang kemari malam itu dalam keadaan amat membutuhkan
uang. Dia dibayang-bayangi kemungkinan ditangkap dan dipenjarakan. Mrs. Argyle tak mau memberinya uang. Setelah ditolak ibunya, dia mendatangi
Anda." Kata Kirsten Lindstrom, "Apakah Anda pikir, saya mau mengambil uang Mrs. Argyle
untuk diberikan padanya, dan bukan memberikan uang saya sendiri?"
"Tidak," kata Calgary, "Anda pasti memberikan uang Anda sendiri, kalau Anda
memilikinya. Tapi saya rasa Anda sudah tak punya uang lagi. Anda punya
penghasilan cukup besar dari penghasilan tahunan yang telah diatur Mrs. Argyle
untuk Anda, tapi uang itu sudah habis untuk Jacko. Malam itu dia putus asa, dan
waktu Mrs. Argyle naik ke ruang perpustakaan mendatangi suaminya, Anda keluar
rumah. Dia sudah menunggu Anda, dan dikatakannya pada Anda apa yang harus Anda
lakukan. Pertama-tama Anda harus memberikan uang itu padanya, lalu sebelum
pencurian itu ketahuan, Mrs. Argyle harus dibunuh. Karena Mrs. Argyle tidak akan
mendiamkan pencurian itu. Katanya mudah saja membunuhnya. Anda tinggal menarik
keluar laci-laci mejanya supaya kelihatannya seperti ada pencurian, dan Anda
harus memukul bagian belakang kepalanya. Itu tidak sakit, katanya. Mrs. Argyle
tidak akan merasakan apa-apa. Dia sendiri akan mengatur suatu alibi. Jadi Anda
harus cermat melakukannya dalam batas-batas waktu tertentu, yaitu antara jam
tujuh dan setengah delapan."
"Itu tidak benar," kata Kirsten. Ia mulai gemetar. "Anda gila berkata begitu."
Tapi dalam suaranya tidak terdengar kemarahan besar. Aneh rasanya mendengar
suaranya yang datar dan letih itu.
"Meskipun apa yang Anda katakan itu benar," katanya lagi, "Anda pikir saya mau
membiarkan dia dituduh membunuh?"
"Oh, ya," kata Calgary. "Soalnya dia sudah berkata pada Anda bahwa dia akan
punya alibi. Mungkin menurut perkiraan Anda dia paling-paling ditangkap dan akan
diharuskan membuktikan bahwa dia tak bersalah. Itu semua bagian dari rencana
itu." "Tapi waktu dia tak bisa membuktikan dirinya tak bersalah," kata Kirsten,
"mengapa saya lalu tidak menyelamatkannya?"
"Mungkin," kata Calgary, "mungkin Anda mau - sekiranya tidak terjadi satu
kenyataan. Yaitu pagi hari setelah pembunuhan itu, istri Jacko muncul di sini.
Anda tak tahu dia sudah menikah. Setelah wanita itu mengulangi pernyataan
tersebut dua-tiga kali, barulah Anda mau mempercayainya. Pada saat itu dunia
Anda serasa hancur. Anda baru bisa melihat Jacko sebagaimana dia sebenarnya - tak
kenal belas kasihan, penuh rencana licik, tanpa rasa cinta sedikit pun terhadap
Anda. Barulah Anda sadari apa yang disuruhnya untuk Anda kerjakan."
Tiba-tiba Kirsten berbicara. Kata-katanya berhamburan tak beraturan.
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya mencintainya... saya mencintainya dengan sepenuh hati. Sungguh tolol saya.
Orang setengah umur yang tolol dan mudah percaya. Dia yang membuat saya percaya.
Katanya dia tak pernah suka pada gadis-gadis. Katanya... saya tak dapat
mengulangi semua yang dikatakannya. Saya mencintainya. Sungguh, saya
mencintainya. Lalu anak perempuan bodoh itu datang, anak kecil yang rendah itu.
Barulah saya menyadari semua kebohongannya, semua kejahatannya.... Ya, kejahatan
dia, bukan kejahatan saya."
"Waktu saya datang malam itu," kata Calgary, "Anda ketakutan, bukan" Anda takut
menghadapi apa yang akan terjadi. Anda takut untuk yang lain-lain juga. Hester
yang Anda sayangi. Leo yang juga Anda sayangi. Mungkin Anda menyadari apa
pengaruh kejadian ini atas diri mereka. Tapi sebenarnya Anda ketakutan sendiri.
Dan lihatlah apa akibat dari rasa takut... Ada dua lagi kematian yang merupakan
perbuatan Anda." "Anda katakan saya yang membunuh Tina dan Philip?"
"Memang Anda yang membunuh mereka, bukan?" kata Calgary. "Tina sudah siuman."
Pundak Kirsten terbungkuk membayangkan rasa putus asa.
"Jadi dia mengatakan pada Anda bahwa saya yang menikamnya" Saya pikir dia bahkan
tak tahu. Saya memang sudah gila. Waktu itu saya sudah gila, gila karena
ketakutan. Keadaan sudah makin mendesak... makin mendesak."
"Ingin tahukah Anda apa yang dikatakan Tina begitu dia siuman?" kata Calgary.
"Katanya, 'Cangkirnya kosong.' Saya tahu apa artinya. Anda pura-pura
mengantarkan secangkir kopi untuk Philip Durrant. Padahal Anda sudah menikamnya,
dan Anda sedang keluar dari kamar itu waktu Anda dengar Tina datang. Maka Anda
berbalik dan berpura-pura baru akan membawa nampan itu masuk. Kemudian, meskipun
dia terkejut sekali hingga hampir pingsan melihat kematian itu, dia sempat
melihat bahwa cangkir yang jatuh ke lantai itu kosong dan sama sekali tak ada
bekas kopinya," Hester berseru, "Tapi tak mungkin Kirsten yang menikamnya! Tina masih bisa berjalan, turun, dan
keluar mendapatkan Micky, Dia tak apa-apa,"
"Anak manis," kata Calgary, "ada orang yang setelah ditikam masih bisa berjalan
di sepanjang jalan, tanpa menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya! Dalam
keadaan shock yang dialami Tina waktu itu, dia boleh dikatakan bahkan tidak
merasakan apa-apa. Mungkin hanya seperti tusukan jarum saja, nyeri sedikit." Ia
menoleh pada Kirsten lagi. "Lalu kemudian," katanya, "diam-diam Anda masukkan
pisau itu ke dalam saku Micky. Itulah perbuatan yang paling rendah dari
semuanya." Kirsten mengulurkan lengannya dengan sikap memohon.
"Saya tak bisa berbuat lain - saya tak berdaya. Keadaan sudah mendesak. Semua
orang akan tahu. Philip sudah hampir tahu, dan Tina... saya rasa Tina pasti
sudah mendengar Jacko berbicara dengan saya di luar dapur malam itu. Mereka
semua sudah hampir tahu. Saya ingin selamat. Saya ingin, tapi kita tak pernah
bisa selamat!" Tangannya terkulai. "Saya tak ingin membunuh Tina. Mengenai
Philip..." Mary Durrant bangkit. Ia berjalan menyeberangi ruangan, perlahan-lahan, tapi
dengan tujuan pasti. "Kau yang membunuh Philip rupanya," katanya. "Kau yang membunuh Philip."
Tiba-tiba ia melompat bagaikan seekor singa betina, menyerang perempuan itu.
Gwenda, yang cepat tanggap, melompat bangkit dari duduknya dan menangkapnya.
Calgary membantunya dan mereka berdua menahannya,
"Kau - kau!" teriak Mary Durrant.
Kirsten Lindstrom memandanginya.
"Apa urusan suamimu itu?" katanya. "Mengapa dia harus berkeliaran ke sana kemari
dan tak sudah-sudahnya bertanya-tanya" Dia tak pernah terancam. Baginya ini
bukan masalah hidup dan mati. Itu hanya... hiburan saja baginya." Ia berbalik,
lalu berjalan perlahan-lahan ke pintu. Ia keluar tanpa menoleh lagi pada mereka.
"Hentikan dia," seru Hester. "Aduh, kita harus menghentikannya."
Leo Argyle berkata, "Biarkan dia pergi, Hester."
"Tapi dia akan bunuh diri."
"Aku tak yakin," kata Calgary.
"Selama ini dia teman kita yang setia," kata Leo. "Setia, penuh pengabdian -
ternyata begini!" "Apakah dia... akan menyerahkan dirinya?" tanya Gwenda.
"Jauh lebih mungkin dia pergi ke stasiun terdekat, lalu naik kereta api dan
pergi ke London," kata Calgary. "Tapi dia pasti tidak akan bisa lari begitu
saja. Dia pasti bisa ditemukan."
"Kirsten kita yang baik," kata Leo lagi. Suaranya bergetar. "Begitu setia,
begitu baik terhadap kita semua."
Gwenda memegang lengannya, lalu mengguncangnya.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Leo" Ingat apa yang telah dilakukannya atas
diri kita semua - bagaimana dia telah membuat kita menderita!"
"Aku tahu," kata Leo, "tapi dia sendiri pun tersiksa. Kurasa penderitaannyalah
yang terasa oleh kita di rumah ini."
"Kita pasti akan menderita terus gara-gara dia," kata Gwenda, "kalau saja tak
ada Dr. Calgary." Ia berpaling pada Calgary dengan air muka bersyukur.
"Jadi akhirnya saya telah melakukan sesuatu yang membantu," kata Calgary,
"meskipun agak terlambat."
"Terlambat," kata Mary dengan getir. "Terlambat! Oh, mengapa kita tak tahu"
Mengapa kita tak mengira?" Ia berpaling pada Hester dengan sikap menuduh.
"Kukira kau. Selama ini aku mengira kau."
"Dia tidak mengira begitu," kata Hester. Ia menoleh pada Calgary.
Dengan suara halus Mary Durrant berkata,
"Alangkah baiknya kalau aku juga mati."
"Anakku sayang," kata Leo, "ingin sekali aku bisa menolongmu."
"Tak seorang pun bisa menolongku," kata Mary. "Semua ini salah Philip sendiri,
ingin tinggal di sini lebih lama, ingin mencampuri urusan ini. Sampai dia
terbunuh." Ia melihat ke sekelilingnya, pada mereka. "Tak ada di antara kalian
yang mengerti." Lalu ia keluar dari ruangan itu.
Calgary dan Hester menyusulnya. Waktu mereka melewati pintu, Calgary menoleh ke
belakang, dan melihat Leo merangkulkan lengannya ke bahu Gwenda.
"Dia memberiku peringatan," kata Hester. Matanya lebar dan ketakutan. "Sejak
awal dia sudah mengatakan padaku untuk tidak mempercayainya. Supaya aku takut
padanya, seperti juga aku takut pada semua orang yang lain."
"Lupakan itu, anak manis," kata Calgary. "Itulah yang harus kaulakukan sekarang.
Melupakan. Kalian semua sudah bebas sekarang. Yang tak bersalah kini tidak lagi
dibayang-bayangi oleh yang bersalah."
"Bagaimana dengan Tina" Akan sembuhkah dia" Dia tidak akan meninggal, kan?"
"Kurasa dia tidak akan meninggal," kata Calgary. "Dia mencintai Micky, bukan?"
"Kurasa begitu," kata Hester dengan nada agak heran dalam suaranya. "Itu tak
pernah terpikirkan olehku. Soalnya, bukankah selama ini mereka kakak-beradik,
meskipun mereka sebenarnya bukan kakak-adik."
"Omong-omong, Hester, tahukah kau apa maksud Tina waktu dia berkata, 'Merpati di
puncak tiang'?" "Merpati di puncak tiang?" Hester mengernyitkan dahinya. "Tunggu. Rasanya aku
pernah mendengarnya. Merpati di puncak tiang, waktu kita berlayar laju. Dan
berkabung, berkabung, dan berkabung. Begitukah?"
"Mungkin," kata Calgary.
"Itu sebuah lagu," kata Hester. "Semacam lagu nina bobok. Dulu Kirsten suka
menyanyikannya untuk kami. Aku hanya ingat sepotong-sepotong. Kekasihku berdiri
di sisi kananku, dan ada sesuatu lagi. Oh, gadis terkasih, aku tak berada di
sini, aku tak punya tempat, tak punya bagian. Tak ada lagi tempat tinggal di
laut maupun di darat. Kecuali dalam hatimu."
"Aku mengerti," kata Calgary, "Ya, aku tahu."
"Mungkin mereka akan menikah," kata Hester, "setelah Tina sembuh, lalu dia bisa
ikut Micky ke Kuwait. Tina selalu ingin berada di tempat hangat. Di Teluk Parsi
udaranya panas, bukan?"
"Kurasa bahkan terlalu panas," kata Calgary.
"Tak ada yang terlalu panas bagi Tina," kata Hester meyakinkan.
"Dan kau pun akan berbahagia sekarang, anak manis," kata Calgary sambil
menggenggam tangan Hester. Ia mencoba tersenyum. "Kau akan menikah dengan dokter
mudamu itu, dan kalian akan hidup tenang. Kau tidak akan diganggu lagi oleh
angan-angan mengerikan dan rasa putus asa."
"Menikah dengan Don?" kata Hester dengan nada terkejut. "Aku sama sekali tidak
akan menikah dengan Don."
"Tapi kau kan mencintainya?"
"Tidak, kurasa sebenarnya tidak... kukira dulu begitu. Tapi dia tidak
mempercayai aku. Dia tak yakin bahwa aku tak bersalah. Sebenarnya dia harus
yakin." Ia menatap Calgary. "Kau yang yakin! Kurasa aku ingin menikah denganmu."
"Tapi, Hester, aku jauh lebih tua daripadamu. Masa..."
"Artinya... kalau kau menginginkan diriku," kata Hester yang tiba-tiba menjadi
ragu-ragu. "Oh, tentu aku menginginkan kau!" kata Arthur Calgary.
*** Scan & DJVU: k80 Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.blogspot.com
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Bunga Ceplok Ungu 2 Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara Bulan Biru Di Mataram 3