Pencarian

Harta Karun Di Galiung 1

Lima Sekawan Harta Karun Di Galiung Kencana Bagian 1


HARTA KARUN DI GALIUNG KENCANA
Lima Sekawan "Hore! Kita berhasil menemukan batang-batang emas itu!"
Ketika George dan saudara-saudaranya sedang berkemah di Pulau Kirrin, mereka
menemukan sesuatu yang mengejutkan - tiga peti emas batangan dalam sebuah kapal
yang karam di dekat pulau itu. Emas-emas itu hasil rampokan di suatu bank, dan
sekarang orang-orang yang dicurigai telah melakukan perampokan itu - Bates,
Farley. dan Sanderson - telah bebas, karena tak ada bukti.
LIMA SEKAWAN tetap mencurigai Bates, Farley, dan Sanderson, dan yakin bahwa
mereka kini sedang berusaha mengambil batangan-batangan emas itu. Komisaris Bond
menganggap LIMA SEKAWAN terlalu mengada-ada, karena Bates, Farley, dan Sanderson
selalu dapat melepaskan diri dari kecurigaan polisi.
LIMA SEKAWAN bertekad untuk membuktikan kecurigaan mereka, di samping ingin
memenangkan hadiah sebesar 25.000 pound - seperti yang dijanjikan oleh Bank
Sentral bagi penemu emas-emas yang dirampok itu - untuk suatu tujuan yang mulia.
Penerbit PT Gramedia JI. Palmerah Selatan 22 Lt. IV
Jakarta 10270 Scan by tagdgn www.tag-dgn.blogspot.com Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - Assalam Cepu
LES CINQ ET LE GALlON D'OR
by Claude Voilier Copyright ? Librairie Hachette, 1974
All rights reserved LIMA SEKAWAN: HARTA KARUN Dl GALIUNG KENCANA
dialibbahasakan dari edisi bahasa lnggris THE FAMOUS FIVE AND THE GOLDEN GALLEON
oleh Agus Setiadi GM.85O61 Hak cipta terjemahan Indonesia
PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, Jakarta. April 1985
Anggota IKAPI Dilarang mengutip, menerjemahkan, memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ml tanpa izin tertulis dari Penerbit
DAFTAR ISI Bab 1. Ke Pulau Kirrin Bab 2. Badai! Bab 3. Galiung Kencana Bab 4. Kejadian yang Mengejutkan
Bab 5. Di Manakah Emas Berbatang-batang itu"
Bab 6. Polisi Bertindak Lagi
Bab 7. Ke Pondok Pete Bab 8. Menggali Lubang Bab 9. Berburu Harta Karun
Bab 10. Dalam Menara Lonceng
Bab 11. Pembalasan yang Setimpal
Bab I KE PULAU KIRRIN "Ayo, Dick - lepaskan tali penambat perahu kita! Tolong dorong ke air, Ju! He,
Anne - sudah kauperiksakah alat-alat perkemahan kita" Awas, jangan sampai ada
yang lupa! Dan kau, Timmy - janganlah berputar-putar terus, mengejar ekormu.
Masih ada di tempat yang biasa!"
"Baik, Boss!" kata Dick sambil menabik dengan sigap.
"Siap, Kapten!" kata Julian. Ia bersikap tegak.
"Baiklah, George," kata Anne, lalu untuk ketiga kalinya menghitung-hitung barang
yang ada di sekelilingnya.
"Guk!" gonggong Timmy. Anjing itu berhenti lari berputar-putar.
George merengut, karena kesal ditertawakan ketiga saudara sepupunya. Tapi Ia
sendiri sebenarnya juga ingin tertawa - menertawakan dirinya sendiri! Gadis
remaja itu memang lekas sekali tersinggung. Tapi di pihak lain, perasaan
humornya juga besar. Saat itu ia merasa berbahagia. Dalam liburan musim panas itu Ia akan bepergian
bersama ketiga sepupunya, seperti yang biasa mereka lakukan setiap tahun. Walau
mereka itu berempat, namun menamakan diri Lima Sekawan. Timmy-lah kawan kelima,
anjing George yang setia. Timmy selalu mendampingi tuannya. Berlima mereka sudah
sering mengalami kejadian yang misterius dan membingungkan. Mereka memang sangat
gemar terlibat dalam petualangan. Dan kini mereka berharap akan mengalami
kejadian yang mengasyikkan lagi, selama liburan yang baru saja dimulai saat itu.
Sekarang mereka sedang sibuk membayangkan kesenangan di Pulau Kirrin nanti.
Mereka hendak pergi berkemah ke sana. Itu saja pun akan sudah merupakan
petualangan! Hidup seperti Robinson Crusoe, yang terdampar di pulau sunyi!
Paman Quentin dan Bibi Fanny, orang tua George, tinggal di Pondok Kirrin yang
terletak di tepi laut, dekat desa Kirrin. Pekarangan rumah itu terletak di atas
tebing yang menaungi pantai pasir. Dan perahu George tertambat di pantai itu.
"Kita sudah siap untuk berangkat, Kapten!" kata Julian dengan sikap bersungguh-
sungguh. "Ya, jangan sampai George terpaksa menunggu." kata Dick, yang sementara itu
sudah melepaskan tali penambat perahu.
"Kurasa benar-benar tak ada yang ketinggalan, George," kata Anne dengan gaya
serius, sambil mengantungi kertas catatan yang sudah untuk kesekian kalinya
dicocokkan dengan barang-barang yang ada di sekitarnya.
Kini George tidak tahan lagi. Ia tertawa.
"Ya deh, aku tahu kalian menganggap aku ini anak konyol," katanya. "Biarlah, aku
tidak marah karenanya! Pokoknya kita sekarang akan pergi berkemah di Pulau
Kirrin. Asyik, ya" Aku rasanya benar-benar menjadi pemimpin ekspedisi ke daerah
yang tak dikenal!" Dengan rambut ikalnya yang dipotong pendek, celana pendek yang menampakkan
tungkai coklat terbakar sinar matahari, George nampak lebih mirip anak laki-
laki. Dick yang sebaya dengannya - yaitu sebelas tahun - mirip sekali dengan
sepupunya itu. Keduanya berambut coklat gelap dan bermata cemerlang. Keduanya
sangat lincah, dan sering melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang lagi.
Julian sudah tiga belas tahun umurnya. Ia yang paling tua di antara mereka
berempat. Ia juga yang paling tenang, di samping Anne, yang berumur sepuluh
tahun. Kedua remaja itu sama-sama berambut pirang. Dan biasanya mereka berdualah
yang suka menenangkan Dick dan George, jika kedua remaja bandel itu sudah mulai
lagi dengan keisengan mereka.
Sedang Timmy, anggota kelima dari Lima Sekawan, bukanlah anjing yang biasa-biasa
saja! Ia memang bukan anjing ras murni, tapi cerdiknya tidak kepalang. Dan
penciumannya sangat tajam, kalau disuruh melacak jejak. Timmy sangat sayang pada
George. Ia selalu ingin ikut, ke mana pun tuannya itu pergi. George tahu bahwa
Timmy selalu bisa diandalkan.
"Kalau begitu marilah kita berangkat, sekarang ini juga!"
George sangat bersemangat, seolah-olah saat itu Ia nakhoda kapal perompak yang
hendak menyerang kapal lain.
"He, he, tunggu dulu!" seru Julian. "Kita masih harus memuat barang-barang kita
dulu ke perahu!" Muka George memerah. Ia memang biasa selalu mau memimpin kalau keempat remaja
itu sedang berkumpul, dan karenanya kadang-kadang terlalu bergegas, sehingga
harus disabarkan oleh Julian.
Pulau Kirrin yang akan mereka datangi itu milik George. Orang tuanya yang
menghadiahkan padanya. Pulau itu tidak begitu besar. Sebenarnya hanya sebidang
tanah yang terpotong dari daratan, ribuan tahun yang lalu. Tapi bagi anak-anak,
pulau itu sangat mengasyikkan. Wujudnya sangat menarik dan miste,rius. Segalanya
yang diharapkan dari sebuah pulau, ada di situ: sebuah teluk kecil yang
terlindung dari angin yang menghembus sehingga cocok dijadikan tempat berlabuh,
lalu pantal berpasir, batu-batu karang, mata air yang mengucurkan air sejernih
kaca, padang rumput, pepohonan tinggi - dan bahkan sisa-sisa sebuah puri yang
dinding-dindingnya masih tegak menjulang.
Sambil mendayung, George membayangkan kebahagiaannya, memiliki sebuah pulau. Di
Pulau Kirrin, rasanya seperti jauh dari dunia luar!
"Awas, George! Jangan melamunl" tukas Dick dengan tiba-tiba, lalu mengomel,
"Susah, anak perempuan ini - mendayung saja sambil tidur. Entah ke mana kita
dibawanya nanti!" George menatap sepupunya itu sambil melotot. Ia paling tidak suka kalau
diingatkan bahwa ia anak perempuan. Atau jika ada yang menyapanya dengan nama
lengkapnya. Georgina! Dulu Ia ingin sekali dilahirkan sebagai anak laki-laki.
Berlainan dengan Anne, Ia membenci pekerjaan seperti menjahit, memasak, dan
melakukan pekerjaan rumah. Ia m?nggemari permainan yang liar. Bahkan Dick yang
bandel pun, kadang-kadang ngeri melihat tingkah lakunya yang suka nekat.
"Ya deh." gerutunya. Dengan cekatan digerakkannya dayung, sehingga arah perahu
lurus kembali. Tidak lama kemudian perahu itu sudah memasuki teluk kecil yang terlindung
letaknya di Pulau Kirrin. Sambil bersorak-sorai anak-anak berloncatan masuk ke
air yang dangkal, lalu menarik penahu lebih jauh ke pantai. Perahu itu
ditambatkan pada sebuah gelang dari besi yang disemenkan pada sebuah batu besar.
Anne ikut turun. Sedang Timmy sudah asyik berguling-guling di pasir. Anjing itu
menggonggong-gonggong dengan gembira.
"Yuk, cepat-cepat saja kita bongkar bawaan kita dan kita taruh di atas" kata
Julian menyarankan. "Setelah itu perahu bisa kutarik ke atas pantai. Cuaca
kelihatannya bagus saat ini - tapi siapa tahu bagaimana keadaannya nanti! Kalau
perahu kita tinggalkan di sini, nanti kalau ada badai bisa pecah karena
terbanting-banting kena batu!"
Cuaca saat itu memang sangat indah. Hari masih pagi, tapi matahari sudah
bersinar terang di atas langit tanpa awan.
"Ayolah!" kata George. "Tenda-tendanya sudah kaubawa, Ju" Dick, kau yang membawa
pasak-pasaknya, sedang aku akan mengangkut kasur-kasur angin. He, Anne! Jika
peralatan untuk memasak itu terlalu berat. biar saja dulu di situ - nanti saja
kita ambil!" "Kita memang harus kembali lagi, untuk mengangkut tungku dan perbekalan" kata
Julian. "Sudahlah, George - jangan terlalu sibuk. Kita kan tidak perlu bergegas-
gegas!" Anak-anak melalui jalan setapak yang menuju ke bukit rendah tempat mereka akan
berkemah. Jalan itu lumayan terjalnya. Tapi anak-anak sudah biasa mendaki.
Karenanya mereka berjalan dengan langkah pasti. Timmy berlari mendului. Tentu
saja ia lebih cepat, karena berkaki empat! Dan, seperti dikatakan oleh Anne,
Timmy kan tidak membawa apa-apa.
George berjalan sambil menandak-nandak. Tidak henti-hentinya ia mengoceh. Ia
tidak dapat menahan rasa senangnya, berkemah lagi di Pulau Kirrin. Di situ ia
bisa berteriak dan bernyanyi sepuas hati, tanpa perlu khawatir akan mengganggu
pekerjaan ayahnya. Paman Quentin menghendaki ketenangan, bila sedang sibuk
dengan penelitiannya yang penting. Sedang Paman tidak pernah tidak sibuk
meneliti, karena ia memang ilmuwan yang tekun dan termasyhur.
"Pulauku ini memang tempat yang paling cocok bagi kita bila ingin bebas," kata
George. "Di sini tidak ada orang dewasa yang suka marah-marah, jika kita agak
ribut!" Keempat remaja itu sampai di padang rumput tempat mereka akan berkemah. Letaknya
di depan puri tua yang sudah tinggal reruntuhannya saja. Mereka meletakkan
bawaan mereka, lalu memasang dua buah tenda berukuran lumayan. Satu untuk Julian
dan Dick, dan satu lagi untuk Anne dan George. Kemudian dipasang pula tenda
ketiga yang kecil dan persegi empat bentuknya. Tenda itu untuk tempat menaruh
tungku serta perbekalan. Makanan dimasukkan ke dalam kotak yang tertutup rapat,
sehingga tidak bisa dimasuki serangga.
Pemasangan tenda-tenda itu tidak memakan waktu lama. Setelah itu Julian turun
kembali ke teluk untuk menarik perahu ke atas pasir, menjauhi batu-batu. George
dan Dick mengambil air ke sumber, sementara Anne menyiapkan makan siang. Dengan
segera gadis cilik yang memang gemar memasak itu sudah sibuk bekerja. Anak-anak
yang lain pergi berjalan-jalan sebentar.
"Memeriksa tanah milikku," kata George dengan bangga.
Kelihatannya tidak ada perubahan sama sekali sejak terakhir kali mereka ke situ,
tahun yang lalu. Di sana-sini nampak ranting-ranting patah berserakan, tanda
bahwa tempat itu pernah dilanda angin ribut selama musim dingin yang lewat. Tapi
reruntuhan puri tua masih tetap seperti biasa. Tidak ada bagian-bagiannya yang
runtuh. "Yuk, sudah waktunya makan sekarang!" kata Dick, ketika mereka berjalan kembali
ke perkemahan. "Aduh, perutku lapar sekali rasanya!"
"Guk!" gonggong Timmy sambil mengibaskan ekor, untuk mengatakan bahwa ia juga
sudah lapar. "Perutku juga sudah minta diisi," kata Julian.
George tidak mengatakan apa-apa. Ia berjalan agak lebih lambat dari kedua
sepupunya. Pandangannya lepas, menatap ke arah tepi langit. George sangat
mencintai laut - karena baginya, laut merupakan petualangan!
"Aku ingin tahu," gumamnya pelan, "ya, aku ingin tahu, akan kita alamikah
misteri yang ada hubungannya dengan laut kali ini"
"Ah, jangan suka berangan-angan, George," kata Dick mengganggu sepupunya. "Kau
pasti berharap akan ada misteri mengasyikkan dibawa ombak laut untukmu, ya"
Sungguh - kau memang pintar mengkhayal !"
George tidak menanggapi cemoohan Dick. Ia berkeras sambil terus menatap ke arah
laut, "Kau boleh saja menertawakan aku, Dick - karena aku kadang-kadang memang
suka macam-macam. Tapi walau begitu, menurut perasaanku ada petualangan menunggu
kita. Di sini, di tempat ini!"
Bab 2 BADAI! SUDAH lima hari mereka berkemah di Pulau Kirrin. Cuaca tetap cerah selama itu.
George bersenang-senang di tempat itu, bersama ketiga sepupunya serta Timmy.
Begitu bangun pagi-pagi mereka langsung sarapan, dengan telur, daging goreng,
serta roti panggang. Setelah itu mereka mandi dan berenang-renang di teluk, atau
mencari kulit kerang di pantai, bermain-main di pasir atau dalam air.
Mereka mengobrol sambil makan, tertawa-tawa, dan bercanda ria. Saat sore mereka
main perahu, atau mandi-mandi lagi di teluk, atau menjemur badan di pantai.
Malam hari mereka menyalakan api unggun. Dick dan George main harmonika,
sementara Anne bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Kadang-kadang Julian ikut
mengiringi dengan gitarnya. Selalu ada saja kisahnya yang menarik, jika anak-
anak ingin mendengar cerita.
Tapi bukan itu saja kesibukan mereka yang mengasyikkan di Pulau Kirrin! Mereka
juga main sembunyi-sembunyian, main kartu, main tebak-tebakan, main adu
ketangkasan. Pokoknya, selalu ada saja kesibukan mereka di sana! Dan jika bekal
yang dibawa sudah tinggal sedikit, mereka kembali sebentar dengan perahu ke
Pondok Kirrin untuk menambahnya lagi. Atau mereka pergi berjalan kaki ke desa
Kirrin, atau tidak naik sepeda baru hadiah Paman Quentin, atau berperahu lewat
laut. Mereka gemar berkeliaran di desa saat hari pasar, melihat-lihat orang berjualan
di lapangan tempat pasar. Lima Sekawan benar-benar menikmati liburan mereka.
Tapi pada hari keenam terjadi perubahan.
"Wah!" seru Julian pagi itu, ketika Ia muncul dari dalam tenda tempatnya tidur
bersama Dick. "Coba lihat langit itu! Kurasa cuaca akan berubah!"
George baru saja kembali dan mencuci muka di mata air. Ia ikut mendongak.
"Ya, memang," katanya. "Lihat saja awan gelap yang bergulung-gulung datang dari
arah barat. Dan matahari yang baru terbit, berwarna merah - seperti udang
rebus!" "Awan merah saat pagi, kawanan domba pada lari," kata Dick mengarang pepatah.
"Ya, betul" sambut George, "dan angin pun mulai bertambah kencang. Aku takkan
heran kalau sore ini ada badai yang asyik."
"Bagiku, badai tidak pernah asyik," keluh Anne ketakutan. "Menurutku, sebaiknya
kita cepat-cepat saja kembali, George. Ingat, Paman dan Bibi menyuruh kita
berjanji akan segera pulang, jika cuaca mulai memburuk."
"Ah, itu kan mereka katakan karena kebiasaan saja," kata George. Ia masih ingin
tinggal agak lama lagi di pulaunya. "Lagi pula, cuaca sekarang kan masih cerah.
Matahari masih bersinar. Nanti sajalah kita bicara tentang pulang, jika hujan
sudah turun dan hawa mulai terasa dingin di sini. Jarak ke daratan kan tidak
terlalu jauh. Ya kan, Tim?" sambungnya, sambil memandang anjingnya yang setia.
"Guk!" gonggong Timmy, sambil mengibaskan ekor.
Dalam hati, George memilih lebih baik tetap berada di pulaunya apabila ada
badai, daripada terkurung di Pondok Kirrin - di rumah mereka takkan bisa
melakukan permainan yang agak ribut, karena pasti ayahnya akan merasa terganggu.
George sangat sayang dan mengagumi ayahnya - tapi kadang-kadang ia juga merasa
sebal, berayahkan ilmuwan yang selalu sibuk dengan penelitiannya yang penting-


Lima Sekawan Harta Karun Di Galiung Kencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penting! "Pendapat George benar," kate Dick dengan riang. Kita bersenang-senang saja dulu
di sini, mumpung cuaca masih bagus. Ayo, siapa berani berlomba berenang sambil
menyelam" Yang menang mendapat semua kulit kerang yang kita kumpulkan!"
George langsung menyambut tantangan itu. Julian ikut tertarik, sehingga mau
tidak mau Anne pun terpaksa ikut.
Demikianlah awal petualangan mereka. Karena jika saat itu mereka memutuskan
untuk pulang hari itu juga, mereka takkan mengalami peristiwa yang dibawa badai!
Menjelang tengah hari, ketika anak-anak sudah puas bermain-main di air, barulah
mereka menyadari bahwa matahari sementara itu sudah menghilang di balik gumpalan
awan gelap. Hampir dengan seketika hujan mulai turun, seakan-akan tercurah dari
langit. Anak-anak lari secepat-cepatnya ke perkemahan.
"Cepat!" teriak George, untuk mengalahkan deru hujan. "Kita harus membongkar
tenda-tenda! Kita pindahkan semuanya ke dalam puri. Di situ kita setidak-
tidaknya bisa terlindung, dalam ruangan yang masih utuh langit-langitnya!"
"Ini kesalahanku!" gumam Julian menyesali diri, sambil menarik pasak-pasak tenda
yang tertancap ke tanah. "Seharusnya aku tidak berkeras mengatakan bahwa kita
harus pulang dengan segera. Kini sudah terlambat."
"Betul" kata Dick. Ia menuding ke arah pesisir daratan. "Lihat saja - daratan
sudah tidak kelihatan lagi."
Hujan turun semakin deras. Angin menderu-deru, sehingga tenda kecil tempat
perbekalan nyaris terbawa terbang. Anne bergegas memasukkan bekal ke dalam
sebuah kantung besar, sementara ketiga saudaranya sibuk melipat kain tenda yang
sudah basah kuyup. "Untung kita memakai pakaian renang," kata Julian dengan suara terputus-putus,
karena sulit bernapas di tengah hujan yang begitu lebat. "Rasanya seperti mandi
di pancuran. Anjing pun takkan kusuruh keluar, di tengah cuaca yang sedang
begini. Ya kan, Timmy" - Timmy?"
Tapi Timmy sudah lebih dulu lari berlindung ke puri. Ia paling tidak suka pada
hujan, apalagi jika diiringi bunyi petir dan guruh yang bertalu-talu. Ia
menggonggong-gonggong, memanggil George. Akhirnya anak-anak selesai dengan
pekerjaan mereka, lalu bergegas lari untuk berlindung di balik tembok puri yang
tebal. "Ih, dinginnya angin yang bertiup!" kata Dick. "Beku rasanya tubuhku! Kenapa
tidak kita nyalakan saja api di sini?"
"Itu ide yang bagus!" kata George. "Untung saja ada persediaan kayu bakar yang
kering di sini!" Anak-anak mengeringkan tubuh mereka, lalu mengenakan baju hangat yang mereka
bawa. Tidak lama kemudian mereka sudah duduk-duduk di dekat api unggun, makan
sosis dan buncis saus tomat hasil masakan Anne. Mereka memandang ke luar,
mengagumi badai yang sedang mengamuk.
Jarang mereka mengalami amukan badai sedahsyat itu. Dari balik gerbang pun yang
menghadap ke tebing curam, mereka dapat sekaligus memperhatikan laut dan langit.
Pemandangan dari situ benar-benar memukau. Bunyi guruh bergulung-gulung di atas
langit kelam. Laut juga nampak gelap, dan berbahaya. Ombak yang besar-besar
datang dan terhempas ke tebing, seakan-akan hendak menelan pulau, puri, dan
anak-anak yang berlindung di dalamnya.
"Aduh, seram," kata Anne dengan suara bergetar. Ia merasa tidak enak. "Laut
seperti bergolak, dan kilat sambar-menyambar!"
"Kalau takut, pejamkan mata!" tukas George. "Kau kan tahu, di sini kita aman,
Anne!" "Dalam keadaan begini kita sudah pasti tidak bisa pulang dengan perahu, karena
dengan segera tentu akan terbalik," kata Julian dengan suara suram. "Untung saja
aku tidak lupa menarik perahu kita cukup tinggi ke atas pantai. Aku tadi pagi
masih sempat menutupinya dengan terpal. Moga-moga saja tidak terbanting-banting
ditiup angin." "Tempat itu kan selalu teduh" kata George. "Jadi perahu pasti akan tetap utuh."
"Tapi Bibi Fanny dan Paman Quentin tentunya cemas memikirkan keadaan kita," kata
Anne. Ia sendiri juga terdengar cemas.
"Ah, kurasa mereka takkan cemas," kata George membantah. "Mereka tahu kita cukup
berakal dan pergi berlindung ke dalam puri ini! Sudahlah, jangan merengek
terus!" Sementara itu amukan badai semakin menjadi-jadi. Saat tengah malam pun masih
terdengar suara angin kencang mendesing di sekeliling puri. Bunyi ombak laut
menakutkan, seperti suara binatang buas yang sedang marah. Anak-anak berbaring
di kain terpal yang dihamparkan di lantai ruangan yang masih utuh itu. Mereka
tidak kedinginan, karena tubuh mereka terselubung dalam kantung tidur. Semua
merasa lega karena di sekeliling mereka ada dinding tebal yang melindungi -
serta langit-langit yang tidak mungkin kemasukan air. Oleh Paman Quentin, pada
sebelah atasnya sudah dibuatkan atap yang kokoh.
Tiba-tiba mereka dikagetkan bunyi yang sangat keras. Ombak laut masih saja terus
menghantam sisi tebing. Tapi bunyi keras itu bukan disebabkan oleh ombak.
Bunyinya sangat keras - seakan-akan bangunan puri itu sendiri yang runtuh! Anak-
anak keluar dari kantung tidur masing-masing. Timmy menggonggong-gonggong. Bunyi
keras masih terdengar , tapi kini beruntun-runtun. Seperti ada sesuatu yang
berat terbentur-bentur. "Bunyi apa itu?" bisik Anne ketakutan. Mukanya pucat-pasi. Ia merapatkan diri
pada Julian, seakan mencari perlindungan pada abangnya itu. "Bunyinya seolah-
olah puri ini runtuh!"
"Ah, mana mungkin," kata Julian menenangkan. "Kita aman di sini. Lihat saja -
tembok di sekitar kita kan masih tetap utuh."
"Bunyi itu datang dari luar!" kata George. Ia pergi ke ambang gerbang yang
berbatasan dengan bagian atas tebing, disusul oleh Dick. Kedua remaja bandel itu
melangkah ke luar, tanpa mempedulikan hujan lebat. Mereka memicingkan mata,
berusaha menajamkan penglihatan. Tidak lama kemudian mereka melihat bahwa
sebagian dari permukaan tebing di bawah mereka pecah kena hantaman ombak dan
berjatuhan ke laut. Itulah bunyi-bunyi ribut yang mereka dengar tadi. Angin
bertiup begitu keras, sehingga tanah di bawah kaki George terasa bergetar.
"Gempa bumi!" teriaknya. "Wah - ini benar-benar dahsyat!"
Getaran yang terasa itu bukan disebabkan oleh gempa bumi. Tapi rasanya memang
begitu - karena amukan laut yang menyebabkan dinding tebing berguguran dihantam
ombak! "Untung ayahmu sudah menyuruh agar tembok-tembok puri diberi penopang, agar
lebih kokoh," kata Dick. "Reruntuhan itu jauh lebih kekar sekarang, dibandingkan
dengan tebing batu ini. Aduh - coba lihat ombak itu! Bukan main!"
Pemandangan yang nampak memang luar biasa dan mengecutkan hati. Ombak
menggunung, bergulung-gulung, menghempas susul-menyusul menghantam tebing. Tiba-
tiba datang ombak yang sangat besar! Air yang memercik menjulang tinggi sekali.
Setelah itu keadaan mulai reda. Ombak mulai berkurang tingginya. Angin meneduh.
Badai sudah berlalu! Tapi anak-anak yang sementara itu sudah menyusup kembali ke dalam kantung tidur
masing-masing, tidak bisa cepat tidur. Begitu pula Timmy. Semua berbaring,
sambil mendengarkan bunyi badai yang kian menjauh. Ketika mereka akhirnya
terlelap, hari sudah menjelang fajar.
Badai hanya tinggal kenangan saja, ketika mereka bangun lagi. Anne yang paling
dulu keluar. Anak-anak menyusul dengan segera, ketika terdengar gadis cilik itu
berseru dengan suara gembira.
"Langit sudah biru cerah kembali, seperti habis dicuci! Dan matahari pun sudah
bersinar terang!" "Yuk, kita pulang sebentar untuk menenangkan orang tuamu, George," kata Julian
mengusulkan. "Sekaligus kita juga mengambil tambahan perbekalan, lalu - "
"Lalu kembali berkemah di sini," kata George menyambung. "Baiklah! Tapi
sebelumnya kita berkeliling pulau sebentar, untuk melihat kerusakan yang
diakibatkan badai tadi malam"
Pemeriksaan itu tidak berlangsung lama. Anak-anak melihat dua batang pohon
roboh, tercabut sampai ke akar-akarnya, serta sejumlah lagi dengan dahan dan
ranting berpatahan. Tapi dilihat secara keseluruhan, kerusakan yang terjadi tak
separah perkiraan anak-anak. Hanya tebing curam saja yang paling banyak
mengalami kerusakan. Sambil berdiri di tubir tebing, George menjulurkan kepala untuk dapat lebih
jelas melihat ke arah batu-batu di bawah.
"Hati-hati!" kata Julian. "Jangan terlalu dekat ke tepi, George! Itu berbahaya,
apalagi setelah kejadian batu-batu berguguran tadi malam."
"He, Ju - aku rasanya seperti melihat sesuatu di bawah! Itu - di sana!"
"Di mana?" tanya Dick ingin tahu. Ia ikut maju sampai ke tubir tebing, lalu
menjulurkan kepala ke bawah.
Kerikil berjatuhan dari bawah kakinya. Dengan cepat Julian menyambar adiknya,
lalu menarik George mundur dari tepi atas tebing.
"Sudah!" katanya tegas. "Aku tidak ingin melihat kalian berdua remuk terbanting
ke batu di bawah sana!"
"Aduh, Ju." kata George. "Sungguh, aku tadi benar-benar melihat sesuatu di bawah
- sesuatu yang luar biasa!"
"Apa?" "Suatu bentuk yang panjang dan gelap, di dasar laut! Benda itu tidak bergerak,
dan letaknya dekat sekali ke batu besar - itu, di mana airnya dalam dan tenang!
Kau tahu, kan?" "Apa maksudmu?" sela Dick dengan nada tak percaya. "Air di situ kan sangat dalam
- mana mungkin kau bisa melihat sampai ke dasarnya!"
"Itulah sebabnya aku tadi mengatakan luar biasa!" kata George. "Aku sendiri juga
heran. Bayangan gelap dan panjang itu kelihatannya seperti badan kapal. Bangkai
kapal karam!" Bab 3 GALIUNG KENCANA "Kau ini, George - itu kan hanya ada dalam khayalanmu saja" kata Julian sambil
tersenyum. "Tidak, Ju!" bantah George. "Aku yakin sekali melihatnya tadi! Aku melihat
kerangka kapal! Atau mungkin juga bangkai ikan paus."
"Ikan paus, kalau mati kan mengambang," kata Julian.
"Yah - kalau begitu, kapal!"
"Bagaimana kau bisa melihatnya?" desak Dick. "Air di situ kan sangat dalam!"
George merenungkan pertanyaan itu sejenak.
"Air di situ memang dalam," katanya kemudian. "Tapi itu kan sebelum badai tadi
malam! Aku mengenal keadaan laut di sekeliling pulauku ini - tapi setelah batu-
batu berjatuhan dari dinding tebing, bisa saja wujud dasar laut kini berubah.
Kan bisa saja endapan dan batu-batu banyak yang terseret dan bertumpuk-turnpuk
di sela-sela batu di situ...."
Keempat remaja itu saling berpandangan dengan mata bersinar-sinar.
"Mungkin saja kau memang tidak salah lihat, George," kata Julian. "Bisa saja
laut yang bergolak menyebabkan bangkai kapal itu terenggut lepas dari dasar
tempatnya terbenam selama ini."
"Kita bisa saja menyelidiki, apakah kau benar-benar tidak salah lihat," kata
Dick menambahkan. George merengut. "Jika tidak mau percaya, periksalah!" tukasnya. Tapi kemudian ia tersenyum. "Va,
itu gagasan yang baik! Yuk, kita naik perahu ke batu besar itu. Dari tempat itu,
kita akan bisa melihat dengan lebih jelas!"
Sementara itu Dick dan Julian sudah pergi ke jalan setapak yang menurun dengan
terjal ke arah teluk kecil. Dengan cepat George menyusul. Anne bergegas-gegas
mengejar. Rambutnya yang pirang melambai-lambai dipermainkan angin yang meniup
lembut. Timmy meloncat-loncat mengelilingi tuannya, sambil menggonggong-
gonggong. Ia selalu senang, jika mendapat kesempatan untuk berlari-lari.
Sikapnya seakan-akan tahu bahwa ada petualangan asyik menunggu mereka!
Harapan George dan Julian tidak meleset. Perahu mereka yang ditarik jauh ke atas
pantai dan ditutupi dengan kain terpal, sedikit pun tidak mengalami kerusakan
karena angin dan ombak yang mengamuk malam sebelumnya. Anak-anak menarik perahu
itu ke bawah, lalu mendorongnya masuk ke air. Setelah itu mereka buru-buru naik,
diikuti oleh Timmy. George dan Dick yang mendayung.
Perahu didayung mengitari pulau. Keempat remaja itu mulai gelisah, saat perahu
menghampiri batu besar yang datar. Dengan segera mereka sudah sampai di kaki
tebing yang menjulang tinggi. Nampak dengan jelas bagian-bagian mana saja yang
runtuh dihantam ombak malam sebelumnya. Batu besar yang dituju letaknya agak ke
tengah, tapi dengan segera perahu sudah mencapai tempat itu. George dan Dick
berhenti mendayung. Mereka menjulurkan badan dan sisi perahu, berusaha memandang
ke dasar laut di bawah mereka.
Tapi sayang, saat itu permukaan air sedang tidak tenang. Ombak kecil yang
berkecipak menyebabkan mereka tidak bisa melihat dengan jelas.
"Sialan!" umpat George dengan kesal. "Dari atas malah lebih jelas nampak!"
"Aku sudah menduga kemungkinan itu," kata Julian. "Karenanya aku berbekal kasur
angin kita - yang berjendela plastik."
"Hebat, Ju!" seru George. "Cepat, kita tiup!" Tidak lama kemudian kasur angin
itu sudah ditiup lalu diapungkan ke air, tidak jauh dari batu besar. Kasur itu
ditambatkan dengan tali ke perahu, sebagai tindakan pengamanan. George berbaring
menelungkup di atasnya, sambil mengintip ke bawah lewat jendela plastik.
"Bangkai kapal! Ya - ternyata memang ada kapal di bawah sana!" serunya dengan
gembira. Kegembiraannya memang beralasan. Di bawah nampak tubuh sebuah kapal. Dengan
begitu terbukti bahwa ia tidak mengkhayal saja.
Ketiga saudara sepupunya juga ingin melihat. Mereka bergantian berbaring di atas
kasur angin, lalu memandang ke bawah lewat jendela plastik. Penglihatan George
ternyata memang tidak keliru. Semua bisa melihat bentuk sebuah kapal yang
terbaring miring di bawah air.
"Aneh!" kata Julian. "Kalian lihat tidak bentuk kapal itu?"
"Aku belum pernah melihat kapal seperti itu," kata George. "Kecuali dalam sebuah
film yang pernah kutonton!"
"Aku tahu," kata Dick. "Kelihatannya seperti perahu layar modern, yang dibuat
berbentuk seperti kapal Spanyol kuno - ah, itu - sejenis karavel..."
"Ya, ya, aku tahu," kate Anne menyela. Ia teringat, pernah melihat gambar kapal
jenis itu dalam ensiklopedia bergembar yang ada di rumah. "Kapal-kapal seperti
itu yang dulu dipakai pelaut bangsa Spanyol untuk mengangkut emas. Namanya -
nanti dulu - ya, aku ingat lagi sekarang - galiung!"
"Bukan main," gumam Julian. "Jika tidak kita semua melihatnya, aku pasti merasa
bahwa aku yang kali ini mengkhayal, dan bukan George!"
George menyisir rambut dengan jari-jemarinya. Matanya berkilat-kilat. Ia benar-
benar bersemangat. Dalam hati Ia berkata bahwa perasaannya ternyata tepat. Lima
Sekawan akan mengalami petualangan baru! Dan petualangan itu ada di situ - walau
letaknya agak jauh di bawah air.
"He!" serunya. "Tahu tidak, apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?"
"Tentu saja dengan segera memeriksa bangkai kapal itu!" kata Dick.
"Betul. Kau dan Anne memiliki masker untuk menyelam, sedang aku dan Julian
mempunyai perlengkapan selam yang lengkap, termasuk botol-botol oksigen untuk
bisa bernapas dalam air. Ini kesempatan terbaik untuk memakainya. Untung
peralatan itu kita tinggal dalam perahu!"
Sambil berbicara, George mengeluarkan peralatan selam yang ditaruh di haluan
perahunya. Dengan cepat dikenakannya sepatu renang, serta ban-ban pemanggul
botol oksigen. Anne membantunya mengencangkan ban-ban itu, supaya botol oksigen
yang menempel di punggungnya tidak bisa tergeser. Julian juga menyiapkan diri,
dibantu oleh Dick. Setelah itu Dick dan Anne memasang masker mereka. Tapi dengan cepat dicegah oleh
George dan Julian. "Jangan!" kate George. "Kita tidak boleh serernpak turun semua. Dan jika
dipikir-pikir, letak bangkai kapal itu terlalu dalam - takkan mungkin bisa
dicapai, jika hanya mengenakan masker saja."
"Ya, pendapatku juga begitu," kata Julian. "Dan aku tidak mau Anne ikut turun.
Dick, kau nanti bisa turun dengan alat selamku, kalau aku sudah naik lagi."
Anne tidak menampakkan kekecewaannya, itu pun kalau ia memang merasa kecewa.
Gadis cilik itu berwatak manis dan penurut. Ia hanya mendesah saja.
George sudah tidak sabar lagi. Ia yang paling dulu masuk ke air, disusul oleh
Julian. Sebelumnya mereka sudah menyepakatkan bahwa mereka akan berenang
mengitari bangkai kapal itu, untuk melihatnya saja dari luar.
Dick, Anne, dan Timmy berusaha mengikuti gerak-gerik kedua remaja itu dari atas
perahu. George dan Julian berenang dengan gerakan tenang ke bawah, menuju
bangkai kapal. Dengan segera mereka sudah tiba di tempat itu. Kapal itu ternyata
tidak begitu mengagumkan, setelah didekati. Tapi walau begitu masih tetap nampak
aneh. George dan Julian memperhatikan dengan perasaan heran.
"Tidak ada kesangsian lagi," kata George dalam hati, "Ini memang perahu layar
bermotor yang modern"
Pikiran Julian serupa dengan George.
"Kapal ini mestinya belum lama karam. Bagian-bagiannya yang dari logam memang
tidak mengkilat lagi, sedang lambungnya ditempeli kerang dan rumput laut. Tapi


Lima Sekawan Harta Karun Di Galiung Kencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karatnya belum banyak, dan kerang serta ruinput laut yang melapisi tambung juga
belum tebal. Aneh!" Yang paling mengherankan kedua remaja yang sedang melihat-lihat bangkai kapal
itu ialah karena walau berbagai perlengkapannya serba modern, tapi ada beberapa
bagiannya yang mengingatkan mereka pada bentuk galiung Spanyol Kuno. Misalnya
bangunan atas bagian depannya tinggi sekali, dengan hiasan ramai. Sedang tepi
atas lambung berpagar yang dihiasi ukir-ukiran indah. Sama-sekali tidak cocok,
untuk perahu layar pesiar yang modern. Kapal karam itu benar-benar ganjil
nampaknya, sehingga membingungkan George dan Julian.
Mereka berenang menghampiri sebuah pelat kuningan yang terpasang pada lambung
kapal itu. George menyingkirkan rumput laut yang menutupi. Julian datang
mnghampiri, lalu ikut membaca tulisan yang tertera pada pelat itu. Perahu layar
pesiar aneh itu ternyata bernama aneh: GALIUNG KENCANA!
George memalingkan muka, memandang Julian, lalu mengarahkan telunjuknya ke atas.
Dengan tenang keduanya menggerakkan sepatu renang mereka, naik ke permukaan.
Mereka menghampiri perahu.
"Nah?" seru Dick dengan nada kurang sabar, begitu Julian dan George muncul di
permukaan. "Yah - " kata George, sambil membuka masker yang menutupi muka, "kapal itu aneh!
Kami belum tahu apa isinya. Tapi sebelah luarnya - "
"Ada apa dengan sebelah luarnya?" desak Dick, karena dilihatnya George agak
ragu. Julian yang memberi keterangan. Diceritakannya apa yang baru saja dilihatnya
bersama George di dasar laut. Kapal "Galiung Kencana" dikatakan aneh, karena
dibangun dengan dua gaya yang sangat berbeda. Anak-anak ingin sekali tahu,
kenapa kelihatannya begitu aneh.
"Sekarang kita harus memeriksa bagian dalamnya!" kata George, sambil memasang
maskernya kembali. "Aku turun lagi. Kau ikut, Dick?"
Dick meminjam perlengkapan selam abangnya, seperti sudah di sepakatkan tadi.
Perasaan Julian sebenarnya tidak begitu enak mengenainya. Sewaktu turun sebentar
untuk memeriksa tadi, Ia sempat melihat bahwa bangkai kapal itu tergeletak di
atas sebuah beting, di tubir jurang yang kelihatannya sangat dalam. Ia agak
cemas, jangan-jangan kapal itu nanti bergerak, lalu terjungkir ke dalam jurang
itu. "Sebaiknya kiilian berdua jangan masuk dulu" katanya. "Sekarang ini kalian
melihat-lihat di geladak saja - setelah itu aku turun lagi untuk memeriksa lebih
jauh!" "Ya deh," kata Dick dan George, walau dengan segan. Setelah itu George mencebur
lagi ke dalam air, disusul oleh Dick. Kali ini George turun tepat di atas
geladak kapal karam yang miring itu. Dick menyusulnya ke situ. Sambil
berpegangan pada sandaran pagar kapal, keduanya maju dengan hati-hati. Lantai
geladak licin dan berlendir. Dick dan George mengernyitkan muka dengan jijik.
Ikan-ikan kecil yang nampak berkawan-kawan di depan mereka, dengan cepat menjauh
ketika didekati. George dan Dick sampai ke sebuah lubang tingkap yang terbuka, menampakkan
ruangan gelap di belakangnya. George berenang menuju lubang itu. Rupanya ia
sudah melupakan janjinya pada Julian. Dick sebenarnya hendak mencegah. Tapi ia
tidak mungkin bisa berteriak dalam air. Karenanya dengan cepat ia berenang
mengejar. Maksudnya hendak memberi isyarat agar berhati-hati.
Baru saja tangan Dick hendak menyentuh bahu sepupunya itu, ketika bangkai kapal
itu tahu-tahu bergerak dan mulai meluncur ke tempat yang dalam.
Gerakan yang tiba-tiba itu menyebabkan Dick berbenturan dengan George. Keduanya
berpegangan erat-erat ke dinding kapal. Dengan cepat George menyadari apa yang
harus dilakukan dalam keadaan gawat seperti saat itu. Disambarnya pergelangan
tangan Dick, dan ditariknya sepupunya itu keluar lagi lewat lubang tingkap yang
tadi, Begitu sampai diluar, dengan gerakan cepat mereka berenang ke permukaan,
menjauhi bangkai kapal. Mereka merasa nyaris saja ditimpa kecelakaan mengerikan.
Mereka berenang selekas mungkin ke atas, menghindar dari arus air berputar-
putar, yang mungkin akan menarik kapal karam itu ke tempat yang lebih dalam.
"Ju! Anne!" seru George dengan gugup. Ia membuka masker yang menutupi muka,
begitu sudah berada lagi di atas perahu. "Kita sial - takkan bisa melanjutkan
pemeriksaan di Galiung Kencana! Kita tidak bisa lagi mengetahui rahasia yang ada
di dalamnya, karena kapal itu terseret arus ke dalam jurang!"
Dick tidak segugup saudara sepupunya. Ia menjenguk ke bawah, memandang dasar
laut yang nampak di bawah lunas perahu mereka.
"Kau sudah dihanyutkan khayalanmu lagi, George,' katanya setelah beberapa saat
memandang ke bawah. "Kapal itu memang tergeser sedikit, tapi tidak sampai
terjungkir ke dalam jurang. Itu, masih nampak - dan kelihatannya takkan tergeser
lagi dari tempatnya yang sekarang."
"Kelihatannya, katamu" Tapi itu kan belum pasti," kata Julian. Ia merasa cemas.
"Aku tadi sebetulnya tidak boleh mengizinkan kalian berdua turun. Coba kemarikan
perlengkapan selamku, Dick! Aku hendak turun lagi - untuk memeriksa dengan
teliti." "Aku ikut!" kata George. Kelesuannya langsung lenyap, begitu ia melihat bahwa
bangkai kapal masih ada di tempat semula, walau tergeser sedikit letaknya.
"Hati-hati!" keluh Anne. Ia merasa seram, membayangkan apa yang hendak dilakukan
Julian dan George. "Guk! Guk!" gonggong Timmy, seperti memprotes. Anjing cerdik itu tidak suka
melihat tuannya menghilang ke dalam air. Ia tidak bisa ikut - dan karenanya juga
tidak bisa melindungi, jika nanti ada apa-apa.
Kedua penyelam itu turun ke dasar laut dengan berhati-hati. Julian berkeras
bahwa kali ini ia yang lebih dulu turun. George menurut, walau biasanya Ia
selalu ingin mendului. Soalnya, Ia tahu, ayahnya mengandalkan Julian - sebagai
yang paling tua di antara mereka berempat - untuk menjaga keselamatan anak-anak
yang lain. Julian sudah sampai di dekat bangkai kapal. Ia merasa senang dan sekaligus lega,
ketika melihat bahwa badan kapal itu memang agak tergeser letaknya, bukan ke
tempat yang lebih dalam, tapi ke arah yang berlawanan. Dan kini lunasnya
terjepit di antara batu-batu besar, sehingga kedudukannya hampir tegak lurus.
Dengan begitu mereka akan bisa memeriksanya dengan lebih mudah nanti.
Julian memberi isyaratpada George. Ia mengangkat jempolnya dengan gerakan
gembira. Tapi George tidak perlu diberi tahu lagi. Perasaannya sangat bergairah!
Kini Ia akan bisa memasuki kapal itu, untuk memeriksa ruangan-ruangannya yang
nampak begitu gelap dan misterius.
Dengan perasaan yang kini sudah tenang, Julian memperhatikan keadaan di geladak
dengan penuh minat. Sementara itu George sudah menyusup masuk. Mulanya tidak
banyak yang bisa dilihatnya. Tapi berkat cahaya samar yang sampai di dasar laut,
kemudian dilihatnya suatu gang yang panjang, di kaki sebuah tangga. Dengan
segera dituruninya tangga itu.
George membawa senter yang dapat dipakai di bawah air, untuk berjaga-jaga.
Senter itu dinyalakannya , karena gang panjang itu ternyata sangat gelap,
sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa di situ.
Mata George terbelalak, begitu sinar senter menerangi gang. Galiurg Kencana
ternyata merupakan kapal pesiar modern yang bagus dan mewah. George mengagumi
ruang duduk yang anggun, lalu kabin-kabin yang nyaman, dapur - tapi ada sebuah
pintu yang ternyata tidak bisa dibuka. Apakah isi ruangan yang ada di
belakangnya" George mendorong-dorong daun pintu, tapi sedikit pun tidak bisa digerakkannya.
"Pasti dikunci, bukan cuma macet," katanya dalam hati. "Ini perlu kulaporkan
pada Julian." George berpaling. Maksudnya hendak naik lagi ke geladak, untuk memberi tahu
Julian. Tapi ketika melewati pintu ruang duduk, dilihatnya Juian ada di situ.
Julian sedang melihat-lihat setumpuk piringan hitam. George memberi isyarat,
meminta agar Julian ikut dengannya.
Sesampai di depan pintu yang tidak bisa dibuka, keduanya mula-mula berusaha
memutar-mutar pegangannya sambil mendorong-dorong. Percuma - pintu tetap tidak
bisa dibuka. Akhirnya Julian mengambil pisau yang terselip di ikat pinggangnya.
Ujung pisau itu dimasukkannya ke lubang kunci, lalu diputar-putarnya ke kiri dan
ke kanan. Ia sendiri kaget, ketika tahu-tahu pintu terbuka!
Dengan cepat George mendorong sepupunya ke dalam, karena Ia juga ingin masuk.
Kedua remaja itu ternyata memasuki sebuah kabin, yang ukurannya lebih besar dari
kabin-kabin lainnya. Mungkin itu kabin nakhoda! Di satu sudut nampak tiga peti
kayu yang ditaruh bertumpuk-tumpuk. Julian menghampiri peti-peti itu. Tutupnya
dipaku. Tapi papannya nampak sudah agak lapuk, kena air laut. Julian mencongkel-
congkel dengan pisaunya. Siapa tahu, bisa terbuka - Sekali lagi ia terkejut,
karena tahu-tahu papan penutup peti pecah.
Mata Julian - dan juga George - terbelalak, ketika melihat isi peti itu.
Mereka melihat emas berbatang-batang, nampak kuning mengkilat. walau mestinya
agak lama juga terendam dalam air laut!
Bab 4 KEJADIAN YANG MENGEJUTKAN
GEORGE dan Julian berpandang-pandangan dengan penuh arti, setelah keduanya pulih
dari rasa terkejut. Dari manakah emas sebanyak itu" Siapakah pemiliknya" Banyak
sekali pertanyaan, dan satu pun tidak bisa mereka jawab!
George membungkuk, lalu memungut salah satu batang emas. Aneh rasanya, memegang
sesuatu yang mestinya sangat mahal harganya. Dengan batangan emas di tangan, ia
berpaling pada Julian. Ia memberi isyarat, mengajaknya naik lagi ke permukaan.
George hendak merembukkan temuan mereka itu dengan Dick dan Anne. Julian
menjawab dengan anggukan.
Kedua remaja itu keluar dari kabin tempat harta, kembali ke dalam gang yang
panjang. George masih menggenggam batangan emas. Ia berada di depan Julian.
Ketika sedang menuju ke tangga untuk naik ke geladak, tahu-tahu suatu bayangan
panjang melintas di depannya. George melihat bahwa bayangan panjang itu seekor
ikan. "Aduh - jangan-jangan itu belut laut, atau sebangsanya," kata George dalam hati.
Ia bergidik. Seram rasanya membayangkan belut yang licin menggeliat-geliat itu
menyentuh tubuhnya. Karenanya ia bermaksud hendak mengusirnya. Ia menyalakan
senter, lalu mengarahkan sorotannya pada makhluk di depannya itu. Tapi binatang
laut itu bukannya takut, melainkan malah bergerak lurus menuju ke tempat George!
Rupanya merasa terganggu oleh cahaya terang yang memancar dengan tiba-tiba ke
arahnya. George terkejut setengah mati, ketika melihat bahwa binatang itu sama
sekali bukan belut laut - melainkan seekor hiu!
Hiu itu tidak besar, dan bukan dan jenis pemangsa manusia. Walau begitu, hiu
tetap hiu - dan hiu yang ini kelihatannya marah!
Ikan yang silau kena sinar senter itu berenang lurus menuju sumber cahaya yang
menyilaukan matanya, seakan-akan hendak memusnahkannya. Nyaris saja George
tertabrak, walau anak itu sempat mengelak.
Julian juga melihat ikan itu, dan dengan segera Ia menyadari bahwa keselamatan
mereka terancam. Ia mengenali jenis hiu itu, dan tubuhnya yang berbintik-bintik.
Hiu jenis itu biasanya penakut dan selalu menjauh apabila berpapasan dengan
penyelam. Tapi yang ini rupanya merupakan kekecualian. Ikan galak itu berbalik
lalu bergerak ke arah George lagi dengan mulut ternganga. Nampak deretan gigi
tajam, siap untuk menyambar.
Untung saja George tidak kehilangan akal. Dilepaskannya senter yang dipegang.
Senter itu langsung padam. Tapi ?a kini tidak bisa melihat lagi. Jadi Ia tidak
tahu, dari arah-arah mana hiu tadi datang menyerang. Saat itu George merasa
pergelangan kakinya ditarik oleh Julian, sehingga ia terjerembab. Tepat sekali
waktunya - karena saat itu juga terasa gerakan dalam air, ketika hiu tadi
melesat lewat di atas kepala. Rupanya karena terdorong kelajuannya sendiri. Tapi
bagaimana jika Ia berbalik lagi"
George dan Julian bergerak ke tangga yang menuju ke geladak. Tapi sebelum mereka
sampai di situ, ikan tadi sudah datang menghampiri kembali. Gawat!
Tapi sekali ini George sudah menemukan akal, bagaimana ia bisa mengejutkan ikan
itu. Ia menggerak-gerakkan lengan dan sepatu renangnya. Julian menirukan gerakan
itu, karena Ia dengan segera memahami niat George. Bunyi dan gerakan yang
terjadi dengan tiba-tiba itu mengagetkan ikan hiu. Ikan itu mengelak agak ke
samping, dan setelah beberapa saat - yang bagi kedua remaja itu terasa seperti
seumur hidup! - melesat di atas kepala mereka lalu menghilang.
George dan Julian harus melewati jalan yang sama, jika hendak meninggalkan
bangkai kapal itu. "Mudah-mudahan saja hiu itu tidak menunggu kita di atas!" kata Julian dalam
hati. George lebih luas pengetahuannya tentang laut serta segala jenis penghuninya. Ia
tahu, ikan yang ketakutan pasti cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang
dianggapnya berbahaya, dan jarang berbalik untuk menantang bahaya itu. Karenanya
ia sama sekali tidak merasa takut, ketika ia menggerakkan sepatu renangnya untuk
naik ke geladak lagi. Beberapa menit kemudian kedua remaja itu sudah kembali ke perahu dengan selamat,
menggabungkan diri lagi dengan Anne dan Dick.
"Mukamu pucat, George!" seru Anne dengan cemas. "Kau kedinginan, ya?"
"Tidak, bukan kedinginan, cuma capek," kata George. "Menyelam tiga kali
berturut-turut - " "Dan mengalami kejadian menegangkan!" sambung Julian. "Kami menemukan harta
segudang, dan nyaris disambar hiu!"
Dick tertawa, karena menyangka Julian main-main. Ia pun menyambung,
"Ya, dan ketika kalian berdua sedang di bawah, aku dan Anne menemukan seekor
hiu, dan hampir saja memakan harta!"
"Jangan main-main," desah George, dengan suara lesu. Ia memang benar-benar
capek! "Apa kata Julian tadi memang benar-benar terjadi. Aku tadi sebenarnya
membawa sebatang emas untuk kutunjukkan pada kalian, ketika hiu itu datang
menyerang. Terpaksa kulepaskan emas itu ketika harus membela diri - lalu
senterku pun lenyap dalam kekacauan yang kemudian terjadi!" Ia menoleh ke arah
Julian, sambil nyengir. "Terima kasih, Ju! Coba kau tidak ada tadi, kurasa aku
saat ini sudah menjadi mangsa hiu!"
Dick berhenti tertawa, sementara Anne terpekik karena kaget bercampur ngeri.
Timmy pun ikut bersikap, seakan-akan ingin mendengarkan cerita tuannya.
"Kita harus pulang dengan segera ke Pondok Kirrin, untuk melaporkan pengalaman
kalian pada Paman Quentin!" seru Anne, ketika George selesai bercerita. "Paman
pasti tahu apa yang harus dilakukan!"
"Ya," kata Julian, "Paman pasti tahu pada siapa hal itu harus dilaporkan, supaya
kita bisa mengetahui siapa pemilik emas berpeti-peti itu!"
Sementara itu George sudah tidak capek lagi. Ia agak jengkel terhadap dirinya,
karena tadi terpaksa melepaskan batang emas dari genggaman. Tapi ia berharap,
semoga itu tidak berarti petualangan mereka sudah berakhir.
"Coba hiu jahat tadi itu tidak ada, aku kini akan bisa membawa bukti pulang,"
katanya dalam hati, sementara perahu mereka meluncur ke arah daratan.
Begitu sampai di pantai, dengan cepat perahu ditambatkan ke tempat yang biasa,
lalu keempat remaja itu lari secepat-cepatnya menuju Pondok Kirrin. Bibi Fanny
menarik napas lega, ketika mereka muncul di ambang pintu.
"Halo, Anak-anak! Lega hatiku, melihat kalian sudah pulang. Aku sudah cemas saja
membayangkan keadaan kalian, ketika badai mengamuk tadi malam! Nah, sekarang
lekaslah ke dapur, dan buatlah sendiri minuman coklat panas untuk kalian. Aku
juga baru saja membuat kue bolu. Masih hangat, karena baru saja kukeluarkan dari
oven." George sangat menyukai minuman coklat susu panas, begitu pula kue bolu. Tapi
sekali itu Ia beranggapan bahwa urusan mereka harus didulukan.
"Mana Ayah?" tanyanya. "Ada sesuatu yang perlu dengan segera kami ceritakan
padanya - dan juga pada Ibu!"
"Ayahmu sangat sibuk hari ini, George! Sejak tadi ia mendekam terus di dalam
kamar kenjanya - dan katanya hari ini Ia tidak mau diganggu. Sedang aku sekarang
harus cepat-cepat pergi berbelanja ke desa. Cerita kalian tentunya masih bisa
menunggu sampai nanti petang, kan?"
Dengan perasaan kecewa keempat remaja itu hanya bisa memandang saja, sementara
Bibi Fanny berangkat untuk pergi berbelanja di desa. Tidak ada kemungkinan lain
bagi mereka saat itu, kecuali menunggu dengan sabar! Tapi kekecewaan mereka agak
terobati oleh nikmatnya makan kue bolu berisi selai buah frambus.
Paman Quentin ternyata sangat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ia agak lambat
keluar saat makan malam itu. Dan begitu ia muncul dari kamar kerjanya, dengan
segera anak-anak menceritakan pengalaman aneh mereka padanya dan pada Bibi
Fanny. Paman Quentin nampaknya sangat tertarik.
"Wah, sungguh-sungguh menarik!" katanya bersemangat. "Galiung Kencana, kata
kalian" Aku rasanya pernah mendengar nama itu - tapi di mana,ya" Nanti dulu -
kuingat-ingat sebentar! - Ah, sekarang aku ingat lagi! Itu nama kapal pesiar
yang pernah menjadi berita ramai, sekitar dua tahun yang lewat!"
"Ya, sekarang aku juga ingat lagi" kata Bibi Fanny. "Kapal pesiar itu sangat
aneh, sengaja dibangun begitu untuk seorang hartawan Amerika, yang lebih aneh
lagi orangnya! Namanya Mr. Wilson - dan ia menginginkan kapal layar untuk
berpesiar dengan segala perlengkapan paling modern, tapi dengan penampilan
semirip mungkin dengan galiung Spanyol Kuno!" Bibi Fanny tertawa, lalu


Lima Sekawan Harta Karun Di Galiung Kencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menambahkan, "Aku ingat, pernah melihat kapal itu dalam berita televisi.
Kelihatannya aneh sekali - kapal kuno yang modern!"
"Apakah Mr. Wilson itu pedagang emas batangan, Bibi Fanny?" tanya Anne.
Bibi Fanny tertawa lagi. "Perdagangan emas batangan" Aduh, bukan! Perdagangan emas dalam wujud batangan
dilakukan oleh Bank Sentral, dan bukan oleh orang-orang swasta. Dan jika ada
pikiran kalian bahwa mungkin saja Mr. Wilson menyelundupkan emas batangan dengan
kapal pesiarnya itu, boleh kalian lupakan saja kemungkinan itu - ia tidak perlu
melakukannya, karena sudah kaya raya!"
"Kalau begitu, dari mana emas batangan beberapa peti itu?" tanya Julian.
"Tunggu! Tunggu dulu!" kata pamannya dengan tiba-tiba. Paman Quentin mengerutkan
kening, berpikir-pikir. "Kalau aku tidak salah ingat, perahu layar bermotor itu
dicuri orang ketika sedang berlabuh di dekat Kirrin! Mr. Wilson selalu datang
berlibur ke daerah sekitar sini - itu sudah sejak dulu dilakukannya, setiap
tahun. Dan saat kapalnya dicuri, ia sedang ke darat bersama tamu-tamunya."
Dick kaget mendengar keterangan itu.
"Astaga! Siapa mau mencuri kapal pesiar aneh seperti itu?" serunya. "Maksudku,
kan akan langsung ketahuan!"
"Memang," jawab pamannya. "Tapi kalian perlu tahu, kapal itu sangat laju! Dan
para penjahat yang mencurinya, hendak melarikan diri dari negara kita ini dengan
secepat-cepatnya!" "Apa sebabnya?" tanya George.
"Karena mereka habis merampok bank!" kata Paman Quentin menjelaskan. "Rupanya
emas batangan hasil rampokan itu mereka masukkan ke kapal itu. Galiung Kencana!
Nama yang cocok, pada hari itu!"
"Dan peristiwa selanjutnya dapat kutebak!" kata George. "Kapal pesiar itu
kemudian tenggelam - mungkin karena para penjahat tidak tahu cara
menjalankannya. Kapal itu tenggelam, bersama emas batangan berpeti-peti yang
merupakan muatannya saat itu!"
"Memang hampir seperti itulah kejadiannya, walau tidak persis," kata ayahnya.
"Kapal itu dilanda badai, seperti yang kalian alami kemarin. Para penjahat
berhasil menyelamatkan diri dengan sekoci. Kemudian mereka ditemukan terapung-
apung di tengah laut, lalu diselamatkan untuk kemudian dijatuhi hukuman dan
dipenjarakan. Jumlah mereka tiga orang. Nama nereka masing-masing - nanti dulu,
kuingat-ingat sebentar - ya, aku tahu lagi sekarang: Bates, Farley, dan
Sanderson. Mereka tetap tidak mau mengaku bahwa merekalah yang merampok batang-
batang emas itu. Mereka hanya mengakui pencurian kapal pesiar, yang mereka
katakan hanya dipinjam saja, karena 'iseng'! Dan memang hanya itu saja perbuatan
mereka yang bisa dibuktikan. Karenanya mereka hanya dijatuhi hukuman ringan. Dan
jika masa hukuman sudah dijalani, mereka akan dibebaskan kembali."
"Mereka sudah bebas lagi sekarang" kata Bibi Fanny menyela. "Aku membaca
beritanya dalam surat kabar, beberapa hari yang lalu!"
"Tapi kenapa selama ini tidak ada yang berusaha mengangkat kapal itu dan
menyelamatkan harta yang ada di dalamnya?" kata George.
"Ada juga yang ingin mencoba," kata Paman Quentin. "Tapi para penjahat hanya
memberikan keterangan yang samar-samar tentang di mana kapal pesiar itu karam!
Berdasarkan penemuan kalian, ternyata Galiung Kencana karam di dekat pesisir.
Padahal karamnya disangka di tengah laut, jauh dari sini!"
George berdiri dengan cepat.
"Rupanya para penjahat sengaja tidak mau memberi keterangan jelas mengenainya!"
seru gadis bandel itu. "Alasannya jelas! Pertama, jika mereka mengatakan di mana
karamnya, maka rahasia perampokan mereka akan terbongkar. Dan alasan kedua,
mungkin mereka berniat akan kembali dan mengambil emas itu, begitu mereka sudah
dibebaskan dari penjara!"
"Ya, itu memang masuk akal," kata Paman Quentin. "Jadi kita perlu selekas
mungkin memberi tahu pihak berwajib. Sekarang ini juga aku akan menelepon kantor
polisi. Mereka tentu tahu, tindakan apa yang harus diambil!"
Saat itu sudah agak larut. Jadi petugas polisi yang menerima telepon rupanya
agak mengantuk. Tapi kantuknya langsung lenyap, begitu Paman Quentin
menyampaikan beritanya. Setelah berbicara sebentar, Paman mengembalikan gagang
telepon ke tempatnya. Ia tersenyum. "Mereka akan bertindak dengan segera!"
katanya. "Tapi kurasa baru besok pagi polisi bisa melakukan sesuatu. Sekarang
sudah larut. Sudah waktunya kalian masuk ke tempat tidur! Dan selamat, atas
penemuan kalian yang hebat!"
Bab 5 DI MANAKAH EMAS BERBATANG-BATANG ITU"
MALAM itu George tidak bisa tidur enak. Ia bermimpi, tentang harta karun,
perampok bank, dan - tentang hiu! Pagi-pagi benar Ia sudah bangun. Dengan segera
ketiga sepupunya dibangunkan.
"Ayo bangun! Cepat, kita harus bersiap-siap. Kita pasti diperlukan polisi, untuk
menunjukkan tempat kapal karam itu!"
Tapi polisi baru muncul menjelang pukul tiga siang, bersama dua manusia katak,
dan dipimpin seorang inspektur. Inspektur itu mencatat keterangan yang diberikan
oleh George dan Julian. Setelah itu dimintanya anak-anak agar mengantar ke
tempat kapal karam itu. Ju dan Dick mendorong perahu George ke air. Perahu itu
kemudian dihela oleh kapal motor penjaga pantai, yang datang membantu polisi.
George dan ketiga sepupunya sangat bangga!
George sebenarnya ingin ikut menyelam ke bawah, menemani kedua manusia katak. Ia
tidak perlu takut lagi pada hiu yang kemarin, karena binatang itu tentunya sudah
cepat-cepat lari mendengar bunyi mesin kapal motor yang datang. Tapi Inspektur
Bond tidak mengizinkannya. Julian mendayung perahu menghampiri batu besar, dan
dari tempat itu anak-anak memperhatikan kesibukan polisi. Mereka agak kecewa!
Mereka melihat kedua manusia katak masuk ke air, lalu menghilang ke bawah
permukaan air. Setelah beberapa saat - tapi sangat lama, menurut perasaan George
- kedua orang itu muncul lagi.
"Mereka hendak mengambil kotak-kotak yang dibawa polisi, untuk rnengangkat
batang-batang emas itu ke atas," kata George dengan sikap yakin.
Tapi sangkaannya meleset. Inspektur Bond, yang berada di kapal motor, memandang
ke arah Lima Sekawan. "Kalian bermimpi rupanya kemarin, Anak-anak!" serunya dengan suara lantang. "Di
bawah sama sekali tidak ada emas! Kalian kan tidak mengada-ada" Kalau betul
begitu, lebih baik mengaku saja!"
Sesaat anak-anak tidak dapat menjawab, karena sangat terkejut.
"Maksud Anda, kedua petugas itu tidak menemukan Galiung Kencana?" balas George
bertanya setelah itu. "0 ya! Kalau kapal itu, kami memang menemukannya di tempat yang kalian sebutkan.
Tapi sama sekali tidak ada batang-batang emas di dalamnya, walau kedua manusia
katak kami melihat beberapa potong papan mengambang di dalam air. Bisa saja itu
berasal dari peti-peti yang kalian katakan!"
Anak-anak berpandang-pandangan dengan perasaan kecut. Kemudian semua naik ke
Pulau Kirrin, untuk membicarakannya. George dan Julian bersumpah-sumpah, bahwa
nereka tidak hanya mengada-ada tentang emas berbatang-batang itu. Sedang kedua
manusia katak berkeras mengatakan pada atasan mereka, bahwa mereka tidak
menemukan apa-apa dalam kapal pesiar yang karam itu. Bahkan batang emas yang
terlepas dari tangan George dalam gang pun tidak mereka jumpai! Kesimpulannya
sangat jelas. Para perampok bank yang sudah keluar dari penjara, ternyata sudah
mendului polisi, mengambil harta hasil rampokan mereka!
Tidak lama kemudian rombongan polisi pergi dengan kapal motor penjaga pantai.
George dan ketiga sepupunya ditinggal dalam keadaan kecewa.
"Kata Pak Inspektur tadi, mereka akan mengadakan penyelidikan di darat," kata
Julian sambil mendesah. "Tapi apalah hasilnya"! Para perampok saat ini pasti
sudah jauh!" "Belum tentu," bantah George. "Batang-batang emas itu kemarin masih ada di dalam
kapal - jadi mestinya belum lama berselang diambil dari situ. Sedang emas tiga
peti itu kan bukan barang enteng! Tidak mungkin mereka bisa cepat-cepat pergi!"
"Bisa saja, jika para penjahat mempunyai kendaraan untuk mengangkut," kata Dick
mengetengahkan dugaannya.
"Inspektur Bond tadi dengan segera mengirim berita radio ke darat, memerintahkan
orang-orangnya untuk mengadakan pencegatan di semua jalan besar di daerah
sekitar sini," kata Anne mengingatkan dengan suaranya yang pelan.
"Tapi mungkin saja itu sudah terlambat," kata Julian. "Yah, tidak ada lagi yang
bisa kita lakukan, jadi sebaiknya kita lupakan saja urusan ini! Matahari
bersinar cerah - jadi kenapa tidak kita manfaatkan saja kehadiran kita di Pulau
Kirrin ini?" Setelah menikmati bekal piknik yang disiapkan oleh Bibi Fanny untuk mereka, Dick
menyetel radio transistornya. Kebetulan saat itu sedang ada warta berita.
Penyiar sedang membacakan berita tentang lenyapnya batang-batang emas dan kapal
Galiung Kencana. "Polisi yang melakukan pencegatan di mana-mana tidak menemukan kendaraan
mencurigakan yang hendak lewat," kata penyiar membacakan berita.
"Kemungkinannya para penjahat sudah sempat lewat sebelum pencegatan dimulai.
Tetapi kemungkinan itu sangat kecil, karena berdasarkan penyelidikan yang
dilakukan oleh polisi, baik tadi malam maupun hari ini tidak nampak ada
kendaraan asing bergerak di daerah sekitar Kirrin."
George berdiri dengan cepat.
"Nah - apa kataku tadi" Dugaanku ternyata tepat! Para penjahat berhasil
mengambil kembali batang-batang emas itu, tapi mereka belum sempat melarikannya
keluar dari daerah sini. Mereka rupanya mengira tidak perlu tergesa-gesa
rnelakukannya. Mereka tidak tahu bahwa kita menemukan kapal karam berisi harta
rampokan itu, lalu melaporkannya pada polisi. Kemungkinannya mereka ada di
dekat-dekat sini dengan harta rampokan itu - dan saat ini mengumpat-umpat
menyesali diri, kenapa tidak lekas-lekas lari dari sini!"
"Jadi kau sungguh-sungguh berpendapat bahwa para perampok itu ada di dekat-dekat
sini?" tanya Julian.
George menyilangkan lengan, sambil bersandar ke sebuah batu besar. "Tentang itu,
aku yakin!" katanya mantap. "Bates, Fanley, dan Sanderson mestinya bersembunyi
di salah satu tempat, dekat Kirrin. Dan kini mereka menunggu sampai polisi sudah
tidak lagi begitu ketat menjaga jalan-jalan keluar dari daerah sini. Mereka
menunggu sampai keadaan sudah cukup aman bagi mereka untuk melarikan diri dengan
emas rampokan mereka. Tapi kita takkan berdiam diri! Ini tugas untuk Lima
Sekawan! Kita harus mencari ketiga perampok bank itu sampai ketemu, agar polisi
bisa menangkap mereka!"
Julian, Dick, dan Anne langsung setuju, begitu pula Timmy. Tapi sampai beberapa
hari kemudian, baik polisi maupun Lima Sekawan sedikit pun tak berhasil
menemukan jejak para penjahat itu! Anak-anak mondar-mandir di daerah sekitar
Kirrin dengan sepeda baru mereka. Mereka bersikap waspada, kalau-kalau melihat
sesuatu yang nampak agak aneh. Tapi mereka tidak menemukan apa-ana! Setiap sore
mereka kembali dalam keadaan capek dan dengan perasaan kecewa, karena lagi-lagi
mereka gagal menemukan sesuatu. Mereka kembali dengan perahu ke Pulau Kirrin,
untuk bermalam di sana. *** Pada suatu malam, anak-anak duduk mengelilingi api unggun, setelah makan malam.
Hawa saat itu tidak dingin. Anne mendongak, memandang langit gelap.
"Bintang-bintang di atas sana itu, kelihatannya seperti intan permata yang
bertebaran pada kain beledu hitam" katanya sambil mendesah. "Betul, kan?"
"Guk!" gonggong Timmy. Ia bukan menjawab Anne, karena perhatiannya saat itu
terarah pada seekor landak besar, yang rupanya sedang berjalan-jalan menikmati
kesegaran hawa malam. Dick meniup harmonikanya dengan lembut, diiringi oleh Julian pada gitarnya.
Hanya George saja yang kelihatannya tidak bisa menikmati ketenangan malam itu.
Ia merasa sebal. "Baru kali ini kita begitu lama berusaha menyelidiki suatu
misteri, tanpa hasil sedikit pun!" tukasnya dengan tiba-tiba. "Tapi aku pantang
menyerah! Besok kita lanjutkan lagi, mencari ke mana-mana di sekitar daerah
sini. Kita buka mata lebar-lebar, jangan sampai ada sesuatu yang dilewati! Kita
harus bertanya pada orang-orang - karena siapa tahu, mungkin saja ada yang
melihat sejumlah orang asing sekitar saat yang tepat. Dan kita juga harus
memeriksa setiap tempat yang kelihatannya mungkin dijadikan tempat
menyembunyikan emas itu. Soalnya, mungkin saja para penjahat menyembunyikan emas
itu di salah satu tempat, dengan maksud akan mengambilnya lagi jika keadaan di
daerah sini dinilai sudah cukup aman bagi mereka!"
Lama juga George beserta ketiga saudara sepupunya membicarakan soal itu, sebelum
mereka masuk ke tenda masing-masing untuk tidur. Timmy merebahkan diri di
samping tuannya, seperti biasa setiap malam. Tidak lama kemudian semuanya sudah
tidur pulas Tengah malam mestinya sudah lewat, ketika tiba-tiba George terbangun karena
dengusan Timmy. Dengan segera ia sudah waspada. Ia meletakkan tangan di atas
kepala Timmy, menyuruh anjing itu diam.
"Ssst," desisnya, lalu memasang telinga. Ia mendengar suara dua orang bercakap-
cakap. Suara laki-laki! "Ah - itu pasti Dick dan Julian" pikir George pada mulanya. Tapi sangkaannya
meleset. Bukan kedua saudara sepupunya yang bercakap-cakap itu. Dengan sangat
berhati-hati George menyusup keluar dan tenda, diikuti oleh Timmy.
Ia tertegun. Dilihatnya dua orang laki-laki sedang mendaki jalan setapak yang
terjal, dari arah teluk kecil. Mereka tidak menyalakan senter. Hanya sinar bulan
saja yang menerangi langkah mereka. Terdengar bunyi kerikil berkeresek terinjak
kaki. Seenaknya saja mereka, benani datang tanpa minta izin terlebih dulu!
George langsung bertindak, tanpa berpikir panjang lagi.
"He!" serunya. "Kalian tidak boleh mendarat di sini, tahu"! Pulau ini milik
pribadi!" Dengan pakaian piama, George nampak mirip sekali anak laki-laki, sehingga kedua
laki-laki yang datang menyangka ia memang anak laki-laki.
Seorang di antaranya berseru heran, "Kaudengar apa kata anak laki-laki itu,
Harry" Rupanya ada orang di sini! Coba itu dari semula sudah kuketahui...."
"Ya - ini mengacaukan urusan kita," gumam temannya pelan.
Saat itu Dick, Julian, dan juga Anne keluar dari dalam tenda, karena mendengar
suara ribut-ribut di luar. Orang yang pertama-tama berbicara tadi menuding ke
arah mereka. "Lihatlah! Rupanya cuma beberapa orang anak, yang sedang berkemah! Kalau cuma
mereka saja, kita tidak perlu khawatir!"
Kedua laki-laki tak dikenal itu meneruskan langkah dengan tenang, tanpa sedikit
pun mempedulikan larangan George. Gadis itu sangat marah, melihat sikap mereka
yang menganggap sepi. "Ayo, pergi dengan segera dari sini!" serunya. "Kalau tidak, kusuruh anjingku
menyerang kalian!" Kedua laki-laki itu berpandang-pandangan sebentar, lalu tertawa mengejek. George
melihat bahwa penampilan kedua orang itu sangat kasar.
"Gila tidak - anak kecil seperti dia, berani melarang kita!" kata laki-laki yang
pertama. "Ia minta diberi pelajaran pahit, rupanya!"
Julian merasa bahwa kini sudah tiba waktunya untuk bertindak.
"Pulau ini memang milik sepupuku ini, Georgina," katanya, sambil menuding ke
arati George. "Kalian memang tidak boleh kemari, kalau tidak minta izin dulu
padanya!" Kejadian selanjutnya berlangsung begitu cepat, sehingga anak-anak kemudian hanya
bisa mengingatnya sebagal impian buruk saja!
Laki-laki yang bernama Harry mendorong Julian ke samping dengan punggung
tangannya. Kemudian dicengkeramnya pergelangan tangan George.
"Jadi kau ini anak perempuan, ya" Sekarang dengar baik-baik Gadis cilik! Kalau
ada yang memberi perintah di sini, maka akulah orangnya - mengerti"! Tutup
mulutmu, kalau tidak ingin..."
George tidak perlu lagi berseru minta tolong pada anjingnya. Timmy langsung
menerjang laki-laki yang kelihatannya menyakiti George. Anjing cerdas itu
membenamkan taringnya yang panjang dan runcing ke dalam daging lengan Harry.
Orang itu terpekik kesakitan. Tapi Ia berhasil membebaskan diri dari gigitan
Timmy. Disambarnya kalung leher anjing itu, lalu disangkutkannya ke dahan
sebatang pohon yang ada di dekat situ. Timmy tidak berdaya lagi. Bahkan
menggonggong pun tidak bisa lagi, karena lehernya tercekik kalung lehernya
sendiri. "Penjahat!" teriak George, lalu menerjang ke arah Harry.
Tapi laki-laki yang satu dengan segera meringkusnya. George diikatnya dengan
tali ke pohon tempat Timmy tergantung tanpa daya. Sementara itu orang yang
bernama Harry mencegat ketiga saudara sepupu George yang hendak membantu. Julian
diringkus olehnya, lalu dengan cepat diikat. Temannya menghadapi Dick. Ia seolah-olah tak
merasakan kepalan tangan Anne yang dipukul-pukulkan ke punggungnya. Anne
menangis karena marah. George juga sangat marah. Tapi ia tidak berdaya lagi. Dick dan Julian meronta-
ronta. Tapi percuma saja - lawan mereka terlalu kuat! Kini kedua orang itu
menangkap Anne, lalu menyelubunginya dengan kain terpal sehingga tidak bisa
berkutik lagi. Gadis cilik yang malang itu digeletakkan di tanah, di samping
kedua abangnya.

Lima Sekawan Harta Karun Di Galiung Kencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayo Gene - janganlah kita membuang-buang waktu lagi!" kata Harry pada temannya.
"Kecuali anak-anak ini, tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Jangan sampai Albert
menunggu terlalu lama di perahu. Kita ambil emas itu, lalu pergi dari sini!"
George pasti sudah terlompat mendengar kata-kata itu - jika saat itu Ia tidak
berada dalam keadaan terikat. Emas! Rupanya kedua orang itulah penjahat-penjahat
yang merampok bank - yang melarikan batang-batang emas!
"Dan batang-batang emas itu selama ini disembunyikan di sini - di pulauku ini!"
katanya dalam hati. "Aduh! Mereka ternyata benar-benar nekat!"
Dilihatnya Harry dan Gene masuk ke dalam reruntuhan puri. Rupanya mereka
menyembunyikan emas itu di dalam salah satu ruang bawah tanah di situ. Bayangkan
- padahal Lima Sekawan sudah mencari ke mana-mana selama itu. Hanya di puri saja
mereka belum melakukannya!
Mulut George tidak dibungkam, begitu pula ketiga saudaranya. Tapi tidak ada
gunanya mereka berteriak, karena paling-paling hanya akan menambah kemarahan
kedua penjahat itu saja. George mengarahkan perhatiannya pada Timmy. Anjing
malang itu meronta-ronta, tapi gerakannya sudah semakin melemah.
"Lama-lama Ia pasti akan mati tercekik!" pikir George dengan cemas. "Aduh -
bagaimana ini" Coba aku bisa membebaskan diri dari ikatan ini!"
Ia berusaha menggesek-gesekkan tali pengikat pergelangan tangannya ke batang
kayu. Kulitnya lecet karenanya. Tapi George tidak peduli - ia menggesek-gesek
terus. Ia harus berhasil membebaskan diri.
Dick dan Julian membisu, sementara Anne menangis tanpa suara. Hanya bunyi napas
Timmy yang sesak saja yang terdengar saat itu, diiring deburan ombak laut, serta
suara satwa malam di sekitar situ. Tiba-tiba terdengar George berseru gembira,
dengan suara tertahan! Ia berhasil membebaskan tangannya yang sebelah!
Bab 6 POLISI BERTINDAK LAGI GEORGE melepaskan ikatannya, lalu berdiri dengan hati-hati. Dihampirinya tempat
Timmy tergantung, lalu diturunkannya anjing kesayangannya itu. Timmy rebah ke
tanah. Napasnya memburu. Tiba-tiba terdengar bunyi langkah berat mendekat. Kedua penjahat tadi datang
lagi! "Ssst, Timmy!" desis George memperingatkan, karena melihat anjingnya yang tabah
itu berusaha berdiri. "Jangan bergerak!"
George gemetar, karena mengira kedua laki-laki itu kembali untuk menamatkan
riwayat Timmy. Tapi keduanya ternyata sudah melupakan kehadiran anak-anak itu! Mereka lewat
tanpa menoleh, membawa sebuah peti logam yang nampaknya sangat berat. Mereka
menuruni jalan setapak yang terjal.
"Mereka pasti datang lagi nanti," bisik Dick. "Paling sedikit harus dua kali
bolak-balik lagi, untuk mengangkut emas sebanyak itu!"
Dugaan Dick ternyata tepat. Para penjahat memang datang lagi, tapi kini Harry
digantikan oleh laki-laki lain yang disapa dengan panggilan Albert. Sekali Gene
memanggilnya dengan nama 'Sanderson'. Dengan demikian George serta ketiga
sepupunya tahu bahwa dugaan mereka benar. Ketiga laki-laki itu memang perampok
bank, yang datang untuk mengambil kembali batang-batang emas yang rupanya mereka
sembunyikan untuk sementara di Pulau Kirrin!
Akhirnya semua peti tempat emas sudah diturunkan ke pantai, dan rupanya langsung
dimuat ke atas perahu yang ada di teluk kecil, karena tidak lama kemudian anak-
anak mendengar bunyi dayung merengkuh air. Rupanya ketiga penjahat itu hendak
melarikan did dengan diam-diam. Karena itulah
mereka tidak memakai perahu bermotor.
George mengeluarkan pisau sakunya, lalu membebaskan ketiga sepupunya dan tali-
tali yang mengikat mereka.
"Cepat!" bisiknya. "Kita harus membuntuti mereka!"
"Kita kan cuma memakai piama?" kata Anne agak sangsi. Ia merasa bahwa itu tidak
pantas. "Ah, siapalah yang memperhatikan!" tukas Dick. "Piama kita kelihatannya kan
seperti kostum untuk berlatih olahraga, dan badan kita takkan kedinginan
karenanya. Tapi kita perlu mengenakan sepatu dulu."
Seberapa menit kemudian Dick dan Julian sudah men dorong perahu ke air,
sementara George membalutkan kain yang sudah direndam dalam air ke leher Timmy.
"Nah - sekarang mestinya lehermu tidak terlalu sakit lagi, ya Tim" Awas,
penjahat-penjahat itu - akan kubalas perbuatan mereka nanti!" tukasnya dengan
suara pelan. Penglihatan Anne sangat tajam. Ia masih bisa melihat perahu para penjahat yang
bergerak menjauhi pulau. Ia menuding ke arahnya. Perahu itu menuju ke daratan.
"Ayo - lebih cepat lagi!" desak George pada Julian dan Dick, yang sudah
mendayung dengan sekuat tenaga mereka.
George duduk di buritan. Perahu dikemudikannya ke arah daratan pula, sementara
matanya tidak lepas dan perahu yang ada di depan. Ia memberi semangat pada kedua
sepupunya, dengan suara lirih. "Lebih cepat lagi - tapi jangan sampai
menimbulkan suara! Jangan sampai ketiga laki-laki jahat itu tahu bahwa kita
membuntuti mereka!" Akhirnya perahu penjahat mencecah pantai seberang. Agak lama juga mereka sibuk
membongkar peti-peti logam yang berisi emas berbatang-batang, sehingga Lima
Sekawan sempat mendarat pula tanpa ketahuan. Mereka memilih tempat yang agak
jauh dari tempat para penjahat.
"Nah - sekarang bagaimana?" kata Julian agak bingung. "Kita sudah pasti takkan
mampu mengalahkan mereka, jika kita menyerang! Jadi bagaimana sekarang!"
"Kita dekati mereka," kata George memutuskan. "Mestinya mereka menyembunyikan
Suramnya Bayang Bayang 36 Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana Pertentangan Dua Datuk 1
^