Pencarian

Naga Bhumi Mataram 10

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 10


bersandar di dadanya dengan keadaan terluka. Saat ini ia sangat
mencemaskan keadaan Ayahnya. Kecemasan itu jelas
membayang di matanya. Membayang bersama dengan peristiwa
yang belum lama terjadi. 561 *** "Pangeran, serombongan prajurit datang memasuki Tembelang.
Prajurit Watugaluh. Lengkap dengan senjata seperti maju ke
medan perang. Mereka mengiring Penguasa kota itu." Seorang
Senopati datang kepada Janaloka memberi laporan. Laporan
yang telah diterima Senopati itu dari prajurit yang berjaga di luar
Kota Tembelang. Janaloka pun mengatakan kepada Senopati itu
suatu persiapan. Persiapan yang seharusnya dilakukan untuk
mematahkan segala kemungkinan. Senopati itu pun pergi
melakukan apa yang diminta Pangeran Janaloka. Anak muda itu
kemudian pergi menghadap Ayahnya dan mengatakan apa yang
sedang berlangsung. "Mengapa mereka datang ke Tembelang. Datang dengan segala
kelengkapan untuk memasuki perang?" Lirih Samaragrawira
bertanya. Didampingi anak laki-lakinya, Bra Samaragrawira
bersiap menyambut rombangan Penguasa Watugaluh di alunalun. Selain Janaloka, Penguasa
Tembelang itu pun disertai
dengan orang terdekatnya, tiga di antaranya adalah Bhadrika,
Bayanaka dan Aradhana, tiga Bawana Manyura Sapta (Tujuh
Merak Dunia) yang masih tersisa.
Tidak lama kemudian, di kejauhan terlihat ratusan prajurit di atas
kuda, diiringi dengan barisan panjang prajurit yang berjalan.
Berjalan dengan menyandang aneka senjata: tombak, pedang,
gada dan panah. Pada bagian terdepan, lima orang bertengger di
atas kuda. Salah satunya di atas kuda yang dihiasi dengan ruparupa karawistha (perhiasan)
berlapis emas. Jelas, penunggang
kuda itu adalah Penguasa Watugaluh, Pangeran Sikara. Berjalan
pelan sebagian rombongan itu memasuki tanah lapang alun-alun
di depan istana. Pada ujung lain dari alun-alun itu telah berdiri
562 enam orang menyongsong Penguasa Watugaluh bersama
prajurit-prajuritnya. Diikuti oleh sekitar enam puluh pasukan berkuda dan empat
orang pengiring utamanya, Pangeran Sikara itu menghela pelan
12 kudanya berjalan terus mendekati Bra Samaragrawira, Penguasa
Tembelang. Terus berjalan dan berhenti pada jarak satu
setengah tumbak dengan Penguasa Tembelang. Tetap duduk di
atas kuda. Suatu sikap yang "tidak semestinya". Sikap itu
merendahkan orang yang menyongsongnya. Merendahkan Bra
Samaragrawira, Penguasa Tembelang.
"Bra Samaragrawira, lama tidak bertemu." Pangeran yang lebih
muda itu menyebut begitu saja gelar Penguasa Tembelang, tanpa
sebutan yang menyatakan ikatan kekerabatan: Paman Bra
Samaragrawira. Suatu yang "tidak pantas" dilakukan oleh
Pangeran Sikara. "Aku datang ke Tembelang dengan dua ribu prajurit. Dua ribu
prajurit Watugaluh." Ia hanya memakai kata "aku". Kata "aku" di
depan kalimatnya. Pangeran Sikara sudah berlaku di luar
tatanan. Ia berlaku "kurang sopan".
"Atas nama rakyat Watugaluh, aku datang meminta
pertanggungjawaban atas peristiwa di lereng Gunung Welirang.
Peristiwa yang telah membunuh Kakang Sarkara, Penguasa
Watugaluh sebelum diriku, dan sejumlah prajurit dengan
Senopatinya. Keris ini adalah bukti bahwa di balik peristiwa itu
ada bayang-bayang kekuatan Tembelang.". Pangeran Sikara
kembali menyatakan sesuatu yang tidak semestinya. Yang
keempat kalinya. Apa yang tidak semestinya itu kini telah
berkembang jauh. Berkembang menjadi "kekurangajaran".
Mendapat perlakuan dari Pangeran Sikara, mulai dari "tidak
563 semestinya", lalu "tidak pantas", kemudian "tidak sopan", dan kini
"kurang ajar", Bra Samaragrawira menjadi sangat murka. Sangat
murka bukan karena Pangeran itu merendahkan dirinya,
melainkan merendahkan tahta Tembelang. Tahta yang
dikuasakan kepadanya. "Turun kau!" Sebuah bentakan. Keadaan menjadi tanpa kendali.
Semakin tidak terkendali seiring dengan turunnya Pangeran itu
dari kudanya. Bertolak pinggang dengan satu tangan kiri, dan
mengangkat tinggi-tinggi tangan kanan yang menggenggam keris
masih tersarung. Keris yang bukan miliknya.
"Keris ini adalah keris Kakang Sarkara. Keris yang disandangnya
pada saat berburu bersamaku. Aku mendapatkan keris ini dari
seorang pedagang. Pedagang itu telah membeli keris ini dari
sebuah barak prajurit Tembelang. Prujurit yang telah membunuh
Kakang Sarkara dan mengambil keris ini darinya. Apakah itu
bukan sebuah bukti" Bukti bahwa Tembelang ada di balik
pembuhuhan Kakang Sarkara, Penguasa Watugaluh. Kakang
Sarkara, Kakangku. Kakang satu-satunya!" Meledak-ledak
Pangeran itu mengatakan semua itu. Bra Samaragrawira pun
menjadi semakin murka karena dituduh sekenanya.
"Lalu, kau mau apa!" Bentak Bra Samaragrawira dalam puncak
kemurkaan. "Kena." Batin seorang yang telah menyelinap di balik sebuah
13 pohon tidak jauh dari alun-alun itu. Ia sepenuhnya bisa
memastikan apa yang akan segera terjadi. Atas dasar kepastian
itu, ia pun perlahan mundur dan menghilang. Begitulah, dari balik
pohon itu baru saja terlihat seorang dalam wujud kuwad?an
banija berkelebat cepat menghilang.
"Mau apa" Tentu, aku datang minta penebusan. Penebusan atas
564 Kakangku. Penebusan dari dirimu, Bra Samaragrawira".
Sungguh-sungguh sudah di luar batas-batas keadaban.
Keadaban yang seharusnya melekat pada seorang Pangeran dan
Penguasa. Seorang Junjungan bagi rakyat Watugaluh.
Serta merta Ketua Samaragrawira meloncat menyerang
Pangeran Sikara. Akan tetapi, Ketua Samaragrawira yang
sekarang bukan Ketua Samaragrawira yang dahulu. Sebelum
Racun Maha Dewa mengidapi dirinya. Lagipula, seorang Ketua
Samaragrawira sekarang tidak boleh sembarang bergebrak.
Bergebrak menggunakan sumber-sumber kekuatan yang
sebagian telah dirusak oleh Racun Maha Dewa. Sebab, hal itu
justru akan menyebarkan kembali racun itu ke seluruh tubuhnya.
Tentu saja, Pangeran Sikara telah siap. Siap sepenuhnya. Begitu
melihat sebuah sosok datang menyerang dirinya, ia pun
menyongsong serangan itu. DEESSS. Tubuh Ketua
Samaragrawira terpental dua tumbak dan tergolek di atas tanah.
Janaloka bergerak dan berjongkok untuk menyandarkan Ketua
Samaragrawira di dadanya. Matanya membayangkan
kecemasan. *** Kecemasan di mata Janaloka saat ini pun masih tegas
membayang. Keadaan yang sama juga telah menimpa
Maheswari yang baru saja datang. Pada gadis itu kecemasan
telah bercampur derai air mata dan suara tangis keras. Tangis
anak untuk Ayah yang tergolek tidak berdaya.
"Siapakah anak muda dengan wujud mengidikkan" Mengapa
Guru tidak mengatakan keberadaannya di Tembelang?"
Keraguan telah menggantikan sepenuhnya kekasaran bringas
565 serta kekurangajaran sikap Pangeran Sikara. Akan tetapi,
kehadiran empat orang di belakangnya menguatkan kembali
sikap itu. Hanya saja, pada sikap itu telah terselip kekhawatiran.
Khawatir terhadap orang muda dengan wujud yang mengerikan.
Mengerikan terutama pada dua mata itu. Merah menyala. Seperti
orang kerasukan. Memang, Arga telah menjadi kerasukan. Kerasukan oleh murka
yang sangat mendalam. Setelah mengamati Ketua
Samaragrawira sesaat, ia telah mengambil suatu keputusan.
Memberi sebuah pesan. Pesan kepada siapa pun yang ingin
membuat kegemparan atas Tembelang. Sesaat anak muda itu
mendongakkan kepala dan memandang lima orang yang berdiri
14 satu tumbak. Ia pun melompat berpilin menyerang Pangeran
Sikara. "Chandrakapala Ascarya. Aku, Chandrakapala Ascarya, tidak
akan membiarkan siapapun mengusik Bhumi Mataram, termasuk
Tembelang." Suara itu menggema keras mengiringi lompatan
anak muda itu. "Inilah saat yang tepat bagi kemunculan
Chandrakapala. Chandrakapala sebagai kelompok berciri, dan
yang akan membersihkan nama itu dari keterkaitannya dengan
kegemparan-kegemparan di Bhumi Mataram". Anak muda itu
membuat keputusan bagi perkumpulan yang akan diusungnya.
Pangeran Sikara mendengar jelas kata-kata anak muda itu,
namun tidak sempat memikirkannya. Karena, serangan anak
muda itu sesaat lagi akan tiba menerjang.
Empat orang di sisi Pangeran Sikara pun bergerak serentak
menghadang serangan berpilin anak muda itu. Empat orang itu
memberi ruang kepada Pangeran Sikara untuk bergerak mundur
dan hingga di atas kudanya. Seketika itu juga, ia telah memberi
566 isyarat pada pasukan berkuda bergerak membantu empat orang
yang tengah bertempur dengan anak muda itu.
Sungguh sigap dan cekatan empat orang itu memberikan
perlindungan pada junjungan. Empat orang itu cepat
menyongsong, menjadi pelapis bagi Pangeran Sikara. Itulah
pengorbanan. Korban" Ya, mereka seketika itu juga telah
menjadi korban. Korban dari anak muda yang telah berubah
dalam kemurkaan. DESSS. DESSS. DESSS. DESSS.
Empat kali terdengar suara. Suara pukulan yang mendarat telak
di tubuh anak muda itu. Ia telah memberikan diri terkena empat
pukulan. KRRAAK. KRRAAK. KRRAAK. KRRAAK.
Empat kali terdengar suara susulan. Suara tulang dada empat
orang yang telah menjadi hancur. Mereka tidak kuat menahan
kekuatan Naga Semesta. Tewas seketika. Empat tubuh itu
melayang melanting sejauh dua tumbak, dan dua di antaranya
menghantam prajurit berkuda yang seperti gelombang pasang
menyerang anak muda itu. Anak muda itu telah menyelesaikan gerakan berpilin, dan hinggap
di atas tanah. Ia tidak mengejar Pangeran Sikara yang telah
mundur menjauh di atas kudanya. Anak muda itu berdiri dengan
sebuah sikap. Sikap Naga Semesta Meraung. Sejauh ini, ia
belum bergerak masih diam pada tempatnya, sementara pasukan
berkuda itu telah datang mendekat.
"Anak itu bergerak mengeliat-liat pada tempatnya". Sepasang
mata dari tempat tersembunyi mengamati dengan seksama apa
yang telah dilakukan anak muda itu. Mulai dari tiba di tempat itu,
bergerak cepat berjongkok tepat di tengah dua kelompok orang di
567 15 tengah lapang, menyapu empat orang, dan kini mengeliat-liat di
tempatnya menyongsong puluhan pasukan berkuda. "Mau apa
anak itu" Tapi, sama sekali tidak terlihat jejak Abhinaya pada
anak itu" Ia telah memindahkan tombak pendek itu dari tangan kiri
ke tangan kanannya. Dalam keadaan mengeliat-liat, sebuah suara mengguntur. Suara
Naga. Naga Meraung. Sangat menyeramkan dan membuat orang
di sana bergidik. Bersamaan dengan suara meraung yang
mengguntur itu, gelombang tenaga datang mengamuk ke luar
sebagai kekuatan Naga Semesta Meraung. Gelombang tenaga
itu serta merta memporakporandakan barisan berkuda. Pasukan
berkuda itu seperti beras ditampi mencelat tidak beraturan: kuda
berikut penunggangnya. "Bukan! Anak itu bukan jejak Abhiyana. Ia seperti Naga. Aku akan
menemuinya untuk bicara." Orang itu pun pergi dengan
menjinjing tombak pendek dengan tangan kanan.
Satu, dua, tiga, empat, .... delapan. Hanya delapan prajurit masih
tetap di atas kuda. Delapan prajurit yang tersisa. Delapan dari
puluhan., yang segera menghentikan kuda dan menjauh dari
anak muda itu. Mereka utuh selamat, kuda berikut
penunggangnya. Di depannya terpapar sejumlah bangkai kuda
dan tubuh prajurit tak lagi bernyawa, serta tergolek banyak kuda
juga penunggangnya yang tidak lagi berdaya. Terluka.
"Hei, siapa pun kau! Kau yang berwujud Kulaja (bangsawan) tapi
berlaku layaknya Taskara (Penyamun). Sampaikan pesanku,
pesan dari Chandrakapala Ascarya, aku akan menghancurkan
kekuatan sebesar apa pun yang menginginkan kekalutan atas
Bhumi Mataram. Chandrakapala Ascarya tidak akan membiarkan
itu. Sekali lagi, Chandrakapala Ascarya adalah lawan terdepan
568 baginya. Cepat enyah dari Tembelang". Siapapun gentar,
gemetar dan tergetar mendengar apa yang disuarakan oleh anak
muda itu, yang telah memperlihatkan sepak terjangnya.
Gentar. Memang, Pengeran Sikara menjadi gentar ciut. Hanya
dalam hitungan bilangan saja. Empat pelindungnya telah terkapar
tak bernyawa, begitu juga dengan enam puluh prajurit berkuda
pilihan telah luluh lantak, sebagian bernasib sama dengan empat
pelindung itu. Diam di atas tanah.
Gemetar. Seluruh prajurit, baik yang berkuda maupun berjalan
kaki dengan aneka senjata tersandang, telah menjadi gemetar.
Tidak bergerak di tempatnya. Dua kaki terasa kaku terpaku. Tak
ayal lagi untuk bergerak maju, bahkan untuk bergerak mundur
saja mereka tidak sanggup melakukannya dengan segera. "Ayo
mundur." Prajurit-prajurit sesaat masih di tempatnya tidak
bergerak. Padahal, perintah itu datang langsung dari Penguasa
Watugaluh, Pangeran Sikara.
Tergetar. Dua orang dari Perguruan Rembulan Emas, Empat
orang dari Padepokan Chandrakapala, Dua belas orang dari
Perguruan Bukit Suci, Ketua Samaragrawira, Ki Gilingwesi,
16 Janaloka, Maheswari, Tiga Murid Utama dan murid lain dari
Perguruan Merak Mas, serta seluruh prajurit Tembelang. Mereka
semua telah tergetar. Tergetar hatinya. Wujud getaran itu
mengemuka dalam aneka rupa di hati masing-masing. Yang tahu
hanya diri mereka sendiri. "Sungguh. Sungguh seperti Ayahnya.
Kakang Mahidhara Darya. Mulia... Mulia." Tidak kuat Ketua
Samaragrawira menahan wujud getaran hatinya. Ia pun tidak
sadarkan diri. Maheswari berteriak seketika.
*** 569 Di bilik itu, Ketua Samaragrawira telah dibaringkan. Arga sudah


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerahkan Samana Yatna. Mengerahkan tenaga itu untuk
beberapa lama. Lebih dari dua belas penderesan nira lamanya.
Wajah anak muda itu terlihat kelam. Sekelam usahanya untuk
memulihkan Ketua Samaragrawira. Sejauh ini, seluruh denyut
kehidupan Ketua Samaragrawira redup lemah. Racun Maha
Dewa telah terbetot keluar. Terutama oleh kemarahan orang tua
itu, kemarahan yang telah mengguncang dan meledakkan tenaga
pengendali racun itu. Ditambah lagi dengan pengerahan tenaga,
yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang tua itu, telah
dipaksakannya. Dipaksakan saat menyerang Penguasa
Watugaluh. Pengerahan tenaga itu dilakukan lewat sumbersumber tenaga yang sebagian telah
dihancurkan racun itu. Racun
yang tidak bisa dialihkan itu kembali bekerja. Berkerja lebih kuat
oleh pantulan tenaga serangan yang telah membentur kekuatan
Penguasa Watugaluh. Racun Maha Dewa itu sekarang telah
membongkar seluruh sumber-sumber yang tersisa.
Pada akhirnya Arga menghentikan usahanya. Menurut
perkiraannya Ketua Samaragrawira hanya dapat bertahan empat
lima hari. Empat lima hari. Selebihnya adalah keberuntungan bagi
dirinya. Kemudian anak muda itu terdiam beberapa lama.
"Aaaahhh". Anak muda itu mendesah dalam. Mendesah tidak
hanya memikirkan Ketua Samaragrawira, tapi juga memikirkan
apa yang telah dilakukannya. Dilakukan dalam kemurkaan.
Kemurkaan yang telah ditimpakan kepada sejumlah prajuritprajurit Watugaluh.
"Kakang, cepat panggil aku apabila Paman Wira telah menjadi
sadar. Aku ingin berada sendiri di bukit biasa aku bersama
dengan branjangan kecil. Aku ingin memikirkan apa yang telah
570 aku lakukan" Janaloka yang mengangguk terdiam. Terdiam
melepas sahabat dan saudaranya pergi. "Memikirkan apa yang
telah aku lakukan", katanya.
*** Di tempat berbeda, cukup jauh di luar kota Tembelang. Seorang
terus berdiri dan berjalan mondar-mandir di hadapan sejumlah
Senopati yang bersimpuh bersila di dalam sebuah kemah prajurit.
Kemah tersendiri. Lain dari yang lain. Orang itu adalah Pangeran
Sikara. Ia beberapa kali mengumbar ungkapan-ungkapan kasar.
17 Sangat gusar. Gusar namun tidak berdaya. Ada sesuatu yang
tidak habis dimengertinya.
"Aku, Penguasa Watugaluh, Pangeran Sikara, membawa dua ribu
prajurit lengkap bersenjata, dan harus menarik pulang prajurit itu.
Pulang dengan kepala menunduk. Pulang menunduk bersama
dua ribu prajurit yang sama, hanya karena seorang pemuda.
Pemuda yang menyebut diri Chandrakapala Ascarya. Dan, atas
nama sebutan itu, ia menantang seluruh kekuatan yang
menopang diriku. Bedebah! Bedebah! Tantangan itu telah
membuat aku gentar. Oh, Hyang Buddha! Karma apa yang
sekarang sedang melingkari diriku." Ketidakberdayaan dirinya
telah diatasnamakan pada karma. Sesuatu yang berada di luar
sana, tidak di dalam dirinya.
Sesungguhnya, saat ini ia ingin datang kepada orang tua
bermuka pucat. Sebagian ingin mengatakan kekesalan, sebagian
lain meminta bantuan. Meminta satu, dua atau kalau bisa semua
Wilmuka itu ada bersama dirinya. Bersama Wilmuka, ia ingin
melumat hancur anak muda itu. Tanpa kehadirian Wilmuka, tidak
571 mungkin bagi dirinya membangkitkan keberanian yang telah
dicabut oleh anak muda itu. Bahkan, membangkitkan keberanian
bagi dirinya sendiri. Tapi, ia tidak tahu di mana kini Guru itu
berada. Guru yang biasa datang kepada dirinya, atau meminta
dirinya datang kepadanya. Guru itu selalu memegang kendali
untuk setiap pertemuan dengannya.
"Aku memang sudah menjadi hancur. Hancur tertepuk seperti
lalat di tangan pemuda itu". Tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut
sambil memukul-mukul dada.
Bersamaan dengan itu di kemah itu, telah muncul empat orang
tua. Empat orang yang sangat diharapkan kehadirannya oleah
Pangeran Sikara. "Guru............" Kini ia sudah tidak lagi berlutut, melainkan
menyembah orang tua bermuka pucat.
"Sudahlah, aku telah menyaksikan apa yang terjadi. Memang
salahku tidak memberikan peringatan kepadamu. Peringatan
mengenai anak muda itu. Tapi, kalau itu aku lakukan, toh kau
tidak akan mendengarkannya. Kau tidak percaya jika tidak
mengalami sendiri". Orang tua bermuka pucat itu mengakui
kesalahannya, tapi ia membenarkan sepenuhnya apa yang
dikatakan orang itu: Tidak percaya jika tidak mengalami sendiri.
"Adhi Duhkata Gandra, Adhi Utpala Waliwis, Nimas Nyai
Taragnyana telah setuju berada bersama dirimu. Hanya saja,
jaga kelakuan dan perlakuanmu pada mereka. Aku pun setuju
pada mereka, untuk menyerahkan sepenuhnya tindakan mereka
terhadap dirimu, termasuk tindakan yang tidak kau sukai terhadap
dirimu, apabila mereka tidak berkenan atas kelakuan dan
perlakuanmu." Pangeran Sikara mengerti kata-kata itu
merupakan suatu ancaman, akan tetapi ia tetap senang tiga
572 18 Wilmuka ada bersamanya. Tiga Wilmuka yang akan
mengembalikan sebagian besar keberanian prajurit-prajurit yang
telah dicabut lepas oleh anak muda itu. Terlebih mengembalikan
keberanian bagi dirinya. "Oh, Hyang Buddha! Terima kasih
Engkau telah memutus karmaku". Ia mengatakan hal itu dalam
hati dan kembali menyembah orang bermuka pucat itu. Orang
bermuka pucat, yang sedang menerawang ke depan, memikirkan
seorang yang beberapa lalu bersamanya, sekarang telah
menghilang pergi, entah di mana orang itu kini berada. Ki Wajra
Sasmaka Kunta. *** Ki Wajra Sasmaka Kunta bergerak cepat mengikuti seseorang
yang juga telah bergerak sangat cepat. Orang itu baru saja keluar
dari sebuah bilik dan segera keluar dari Perguruan Merak Mas
menaiki sebuah bukit. Saat itu hari telah gelap. Di sebuah tempat
dengan tanah lapang terhampar menghadap, orang itu berhenti
dan duduk pada sebuah pohon. Orang itu adalah anak muda
yang telah membuat kegemparan di alun-alun depan istana
Tembelang. Orang yang pergi keluar memikirkan apa yang telah
dilakukannya. Arga. "Kumohon agar Ki Sanak menampakkan diri. Kita bisa berbicara
secara terbuka." Arga mengajukan undangan kepada orang yang
mengikutinya. Seketika itu juga berkelebat orang menampilkan
diri. Pada tangan kanan tersandang sebuah tombak pendek.
Orang tua itu bergerak mendekat kepada Arga.
Arga tidak terkejut dengan kehadiran orang tua bertombak
pendek.Ia pun mengambil tempat setengah tumbak di depan
Arga. Duduk sebagaimana anak muda itu sekarang, yang sedang
573 sibuk mengumpulkan ranting-ranting lalu membuat api unggun.
Mereka duduk bersama dengan penerangan api unggun itu.
Beberapa saat dua orang itu hanya diam, tidak bicara. Tidak tahu
harus mulai dari mana. "Dua puluh tahun silam, ada tiga orang saudara yang dikenal
dengan ciri tombak pendek. Tiga orang itu dijuluki Tribawana
Kunta (Tombak Tiga Dunia). Aku tertua di antara mereka dan
telah diberi kepercayaan untuk menduduki Ketua Perguruan
Tombak Petir. Setiap tahun kami naik ke Gunung Prabu. Di
gunung itu kami berkunjung pada Atiyanta Alap-alap (Elang
Perkasa). Sepasang pendekar yang tidak pernah keluar dari
kawasan Gunung Prabu. Sekalipun mereka masih muda, namun
menjadi teman bertarung yang sebanding." Orang tua itu
membuka pembicaraan dengan kisah dua puluh tahun silam.
"Tidak seperti sebelumnya, pada pertemuan tahun kelima aku
naik ke gunung itu. Namun, aku tidak bertemu dengan sepasang
pendekar itu. Yang aku temui adalah sebuah prasasti baru atas
nama mereka berdua. Prasasti yang menyatakan perpisahan
dengan sahabat-sahabat mereka." Mata orang tua itu berkilat
19 menyesali kepergian sepasang sahabat.
"Segera aku pun kembali ke Perguruan Tombak Petir. Tidak ada
seorang pun yang aku jumpai pada perguruan itu. Semua telah
terbujur kaku. Termasuk dua saudaraku. Mereka terbujur kaku
dengan luka Racun Maha Dewa milik Abhinaya. Begitu salah
seorang adikku mengguratkan dengan mata tombak dua nama
itu: Racun Maha Dewa dan Abhinaya." Guratan kulit berkeriput di
wajah orang tidak dapat menyembunyikan kesedihan. Kesedihan
telah kehilangan dua saudara dan seluruh anggota perguruan.
"Sejak saat itu aku terus mencari Abhinaya untuk meminta
574 penebusan. Abhinaya dengan ciri Racun Maha Dewa. Sudah dua
puluh tahun aku mencari orang itu. Hingga aku bertemu dengan
seseorang yang mengatakan mengenal Abhinaya. Mengenal
pemilik Racun Maha Dewa itu sebagai saudara. Orang itu berjanji
mendatangkan Abhinaya kepadaku." Orang tua itu menampilkan
wajah mengeras. "Maaf anak muda. Aku telah mengempur dirimu. Mengempur
dengan puncak ilmuku." Sebuah desahan keluar lirih dari orang
tua itu. Desahan tanpa penyesalan. "Boleh aku tahu apa
hubunganmu dengan Abhinaya?" Pertanyaan itu melontar begitu
saja. Anak muda itu terdiam. Sulit untuk menjelaskan.
Menjelaskan sesuatu yang janggal.
"Apakah mungkin seorang yang sama menampilkan diri dalam
wujud dua orang. Dua orang dengan sifat yang berbeda?" Alihalih menjawab, anak muda itu
melontarkan sebuah pertanyaan.
Pertanyaan yang tampak membingungkan orang itu. Pertanyaan
itu sebenarnya adalah pertanyaan yang selalu diajukan kepada
dirinya sendiri. "Kau membingungkan aku anak muda." Orang tua itu
menanggapi pertanyaan Arga.
"Aku pun telah dibingungkan oleh pertanyaan itu. Akan tetapi,
untuk memastikannya, bolehkah aku bertanya mengenai orang
tua bermuka pucat yang telah bersama Ki Sanak beberapa waktu
lalu, dan adakah ciri yang dapat dikenali pada orang itu?" Orang
tua itu bertambah bingung tidak mengerti ke mana jalan pikiran
anak muda itu. Namun, tetap ia memenuhi permintaan anak
muda itu dan menjawab pertanyaannya.
"Orang itu adalah Abhipraya. Seorang Pangeran, anak raja....."
Orang tua itu terdiam, berpikir untuk mengingat ciri yang dapat
575 dikenali pada orang itu. Ciri pada orang itu, seperti yang
ditanyakan anak muda. "Dalam peristiwa di Gunung Ungaran, di mana aku terlibat di
dalamnya, aku menyaksikan bagaimana ia mengenakan sebuah
mahkota dan sebilah keris. Dua benda yang membuat penjaga di
Gunung itu bersimpuh menyembah. Tapi, ia telah turun tangan
atas penjaga-penjaga itu. Turun tangan dengan ilmu yang
20 menggidikkan. Satu dari tiga Acalapati Krastala Bithi (Pukulan
Sakti Tertinggi). Yakni, Manila Widyutmala Tebah (Pukulan Mata
Petir Intan Biru)." Anak muda itu tampak merenung. Merenung
memikirkan nama terakhir yang diucapkan itu. Nama itu telah
diingatnya terus. Bentuk tertinggi dari kekuatan Racun Maha
Dewa. "Ah, sebuah titik terang." Terlihat wajah anak muda itu
menjadi cerah. "Bagaimana anak muda, apakah ada sesuatu yang berarti dari
keteranganku?" Anak muda itu tersenyum. "Bukan hanya berarti.
Tapi, sangat berarti." Ia pun bangkit berdiri. "Maukah Ki Sanak
pergi bersamaku" Pergi ke Perguruan Merak Mas." Wajah orang
tua itu kaget dan ragu. "Mungkinkah anak muda itu akan
menjebakku" Buat apa ia melakukan itu" Dengan kekuatan yang
ada, mudah bagi anak muda itu meringkus aku" Tentu ada yang
ingin diperlihatkannya". Ia mengangguk setuju, menepis segala
keraguan. Keraguan bahwa anak muda itu akan menjebak
dirinya. Pagi itu Maheswari ditemani oleh tiga gadis lainnya masih di bilik
Ketua Samaragrawira. Kehadiran tiga gadis itu lebih untuk
menghibur Maheswari, yang sepanjang malam terus menangis di
samping Ayahnya yang hingga kini masih berbaring tidak
576 sadarkan diri. Lelah karena menangis dan sangat bersedih, pada
akhirnya Maheswari tertidur. Tertidur dengan tubuh terbungkuk di
sisi Ayahnya. Seorang dari tiga gadis itu pelan-pelan
membimbingnya untuk tidur pada permadani yang dibabarkan di
bilik yang sama. Tiga gadis itu bergantian menunggu di bilik itu.
Baru menjelang siang, Ketua Samaragrawira membuka mata.
Mata itu sangat lemah kuyu. Tidak memancarkan cahaya. Ia haus
meminta minum. Puteri Rajni saat itu mendapat giliran berjaga. Ia
tidak membangunkan Maheswari. Gadis itu mengambilkan sendiri
secawan air, menyorongkan lembut cawan itu ke bibir Ketua
Samaragrawira. "Nduk, tolong panggilkan bagiku Engg?r Arga." Katanya lirih.
Segera gadis itu bergegas mencari anak muda itu. Anak muda itu
berada di Prawiratama Warabrata Sanggar (Sanggar Latihan
Perwira Utama). Ia mendampingi Janaloka dan Ki Gilingwesi
membahas kemungkinan datangnya serangan. Mereka pun
membahas bagaimana menyusun barisan untuk menangkal
serangan-serangan itu. Tidak tahu persis kekuatan lawan menjadi
kesulitan mereka saat ini dalam mengantisipasi apa yang
dilakukan oleh lawan. Nah, pada saat itulah Puteri Rajni datang
dan mengatakan Ketua Samaragrawira telah siuman. Orang tua
itu ingin segera bertemu dengan Arga. Anak muda itu pun segera
bangkit dan bergegas ke bilik itu. Tapi, tidak hanya anak muda itu
yang datang ke bilik tempat Ketua Samaragrawira berbaring.
Janaloka dan Ki Gilingwesi juga telah beranjak pergi menuju ke
bilik itu. Terhitung yang sedang berbaring, pada bilik itu telah berkumpul
21 delapan orang. Bilik itu memang cukup luas, tetapi terasa sesak
menampung sejumlah orang itu manakala di sana ada seorang
577 yang telah berbaring tidak berdaya. Arga segera memeriksa
keadaan Ketua Samaragrawira. Tidak ada perubahan. Tetap
seperti semula: kondisi Ketua Perguruan Merak Mas itu memang
sangat parah. Akan tetapi, Arga telah berusaha menguatkan
keadaan Ketua Samaragrawira, agar dapat mengatakan pesanpesan penting kepada orang yang
diinginkannya. "Engg?r Arga sudahlah. Sebaiknya Engg?r mengambil sebuah
Asana (tempat duduk) dan duduklah di sisi Paman. Ada yang
ingin Paman sampaikan berdua dengan Engg?r." Orang tua yang
berbaring itu pun memandang satu per satu yang hadir di sana.
Lewat pandangan itu, mereka mengerti apa yang diinginkan


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketua Samaragrawira. Satu per satu meninggalkan tempat itu.
Maheswari enggan meninggal bilik.
"Nduk, setelah selesai dengan Engg?r Arga, kita akan bicara
bertiga." Gadis itu pun memenuhi permintaan itu dengan berat
hati. *** "Begitulah, Nakmas Arga. Jati diri Nakmas. Jati diri yang telah
terikat dengan sumpah Paman pada dua puluh tahun silam." Kata
Ketua Samaragrawira lirih lemah dalam pelukan Arga. Orang tua
itu baru saja mengatakan sumpah dua puluh tahun silam.
Sumpah menyangkut jati diri anak muda itu. Anak muda yang
telah diserahkan kepadanya dan diasuh hingga usia dua belas
tahun. "Paman sudah selesai mengatakan apa yang harus dikatakan.
Sekarang, mohon panggilkan Maheswari. Kita akan bicara
bertiga." Pelan dan lembut Arga membaringkan kembali Ketua
578 Samaragrawira pada pembaringan. Ia pun segera menghilang
dan kembali bersama dengan Maheswari.
"Mari sini, duduk mendekat". Ketua Samaragrawiran meminta dua
anak muda itu duduk. Duduk bersisihan di atas pembaringan.
Menatap orang tua itu pilu dan haru.
"Orang yang melepaskan sumpah seharusnya terikat pada
sumpah itu. Apalagi seorang satria. Satria itu rela mati daripada
melanggar atau membatalkan sumpahnya. Akan tetapi, juga telah
menjadi hukum yang telah lama berlaku, bahwa sumpah itu dapat
dibatalkan. Bahkan, sumpah seorang satria. Sumpah itu dapat
dibatalkan lewat sebuah penebusan. Penebusan yang sepadan
dengan sumpah itu." Ketua Samaragrawira dengan tatapan mata
layu kuyu memandang dua wajah anak muda itu.
"Penebusan melalui sesuatu yang berharga. Yang sangat
berharga yang ada pada orang yang terikat oleh sumpah itu. Hal
ini juga berlaku bagi Paman. Beberapa saat tadi, Paman telah
melakukan pembatalan atas sumpah Paman. Untuk itu, Paman
22 harus memberikan penebusan. Penebusan melalui sesuatu yang
sangat berharga. Milik Paman yang sangat berharga. Nakmas
Arga, apa yang paling berharga sepanjang hidup Paman adalah
puteriku, Maheswari." Anak muda itu bergetar mendengar nama
terakhir yang telah disebut oleh Ketua Samaragrawira. Bergetar
ketika nama itu dikaitkan dengan penebusan.
"Nakmas, Maheswari pantas untuk diserahkan sebagai
penebusan atas pembatalan sumpah Paman. Seharusnya,
penebusan itu diberikan kepada orang yang dengannya Paman
bersumpah. Akan tetapi, orang itu tidak ada lagi. Karena orang itu
sudah tidak ada lagi, maka pantas jika penebusan itu dialihkan
pada penerusnya." Gadis itu menjadi bingung. "Apa! Ayah telah
579 menempatkan diriku sebagai penebusan. Penebusan atas
pembatalan sumpah. Dengan itu, Ayah akan memberikan diriku
kepada penerus dari orang yang dengannya Ayah telah
bersumpah. Mana bisa!" Gadis itu memberontak dalam hati
memberontak. Lain dengan gadis itu, anak muda itu terdiam.
Membayang jelas peristiwa di bukit antara dirinya dengan
Maheswari. Tetapi itu hanya sesaat. Pikiran Arga terpaku kembali
pada pengungkapan jati diri yang beberapa saat lalu dikisahkan
oleh Ketua Samaragrawira. Dikisahkan dalam keadaan sebagian
tubuh telah menjadi membiru.
*** Dalam keadaan sebagian tubuh telah menjadi membiru,
beberapa saat lalu, Ketua Samaragriwa telah mengungkapkan jati
dirinya. Asal usulnya. Ayah ibunya. Jati diri yang telah terpendam
dua puluh tahun. "Nakmas Arga." Begitu Ketua Samaragrawira memulai kisah
pengungkapan jati dirinya. Ketua Samaragrawira mulai dengan
sebuah kalimat pendek. Kalimat menyebut nama anak muda itu.
Tetapi ada yang tidak biasa pada penyebutan nama itu. Suatu
perubahan, baik perubahan pada nada perkataan maupun
penyebutan nama anak muda itu. Biasanya orang tua itu
memanggil Arga dengan "Engg?r" tapi kini "Nakmas". Sebutan
dari orang memiliki status atau gelar. Status yang terhormat.
Demikian seterusnya orang tua itu mengungkapkan kisah jati diri
anak muda itu. Arga Triwikrama.
"Paman akan mulai dari pangkalnya. Setengah abad silam, ada
seorang yang di masa mudanya bernama Mpu Manuku. Orang itu
580 sangat menojol di jamannya. Menonjol tidak hanya karena
kesaktiannya, tetapi juga kepandaiannya. Ia menguasai beragam
keahlian. Teknik-teknik membuat bangunan, khususnya candi,
sangat dikuasainya. Begitu juga dengan ilmu perbintangan. Ia
mendapatkan semua ini dari ahlinya, yakni Raka i Garung, salah
seorang Penguasa dari Wangsa Sanjaya. Konon, Raka i Garung
itu merupakan orang yang telah membuat pranata mangsa
23 (sistem penanggalan Jawa Kuno) yang sampai sekarang masih
digunakan. Tidak hanya itu, karena keahliannya nama Raka i
Garung telah menembus ke luar Yawadw?pa. Namanya terdengar
hingga ke Suarnadw?pa. Raja di Suarnadw?pa disebut-sebut
pernah meminta Raka i Garung membuat candi baginya. Namun,
permintaan itu tidak diturutinya. Demikian, Mpu Manuku
menyadap beraneka keahlian dari Raka i Garung. Dan, orang itu
seluruhnya telah mengalirkan keahliannya pada Mpu Manuku.
Sesuatu yang wajar, seorang guru yang juga merangkap seorah
ayah, mewariskan apa yang dimiliki kepada murid sekaligus
anaknya. Memang, Mpu Manuku tidak lain adalah anak dari Raka
i Garung. Anak dari seorang Penguasa dari Wangsa Sanjaya."
Ketua Samaragrawira menghentikan uraiannya. Arga mencatat di
benaknya apa yang dituturkan
"Oleh Raka i Garung, Mpu Manuku diberi kuasa atas sebuah
wilayah. Sebuah wilayah Patapan (pertapaan). Di bawah
penataan dan penguasaan seorang Mpu Manuku yang muda,
cerdas dan pintar, serta pilih tanding, wilayah Patapan itu
berkembang. Ia pun mendapat gelar Raka i Patapan. Selain
mendapat pengakuan sebagai Raka i Patapan, Mpu Manuku pun
mendapat gelar dari para brahmana (pemuka agama Hindu)
sebagai Jatiningrat. Pangeran Jatiningat." Paman Wira kembali
581 berhenti melihat kening Arga berkerut-kerut tampak sedang
mencatat sesuatu. "Sudah sepantasnya, orang seperti Mpu Manuku atau yang
disebut para brahmana dengan nama Pangeran Jatiningrat,
memiliki ambisi yang besar. Ambisi menjadi Adwaya Lokeswara
(Raja Dunia Tunggal). Ambisi yang sangat wajar dengan apa
yang dimilikinya. Didorong oleh ambisi itu, Mpu Manuku terus
mengembangkan kekuasaannya. Dari sebuah wilayah yang
semula hanya berupa pertapaan telah diubah menjadi wilayah
yang sangat besar. Ia membangun dan membesarkan sebuah
daerah bernama Mamrati dengan kotanya bernama Mamratipura.
Kota di mana penguasa Bhumi Mataram sekarang ini
memerintah." Kali ini Paman Wira yang justru menerawang jauh.
Ia memikirkan kota itu. Kota asalnya.
"Menjadi Raja Dunia Tunggal adalah cita-cita dari Mpu Manuku.
Dengan sepenuh tenaga dan pikirannya, ia berupaya
mewujudkan cita-cita itu. Cita-cita itu dialaskan pada suatu
pandangan untuk menghentikan persaingan penguasa di tanah
Yawadw?pa. Persaingan dua wangsa, Wangsa Sanjaya dan
Wangsa Syailendra. Ia pun menyusun berbagai rencana.
Langkah demi langkah dengan seksama. Rencana itu terpusat
pada bagaimana mendekatkan wangsanya, melalui dirinya,
dengan penguasa Wangsa Syailendra. Ia harus mendapatkan
kepercayaan dan menyakinkan dari keluarga Syailendra,
khususnya Raja Samaratungga yang waktu itu berkuasa. Cara
yang ditempuh adalah dengan menanamkan suatu hal besar atau
24 jasa bagi wangsa itu." Sekalipun terbaring lemah, tampak jelas
kekaguman pada wajah Ketua Samaragrawira. Kekaguman atas
orang yang sedang diceritakan.
582 "Mpu Manuku, yang menganut Hindu Siwa, tidak menempuh jalan
berpaling keyakinan untuk menjadi pemeluk Buddha,
sebagaimana dianut oleh penguasa Wangsa Syailendra. Ia tidak
menjual keyakinan untuk mendapatkan kepercayaan dari Wangsa
Syailendra. Ia tidak melakukan apa yang akan menistakan
wangsa, agar dapat dirangkul oleh Raja Samaratungga masuk ke
dalam pelukan raja itu. Sekali lagi, Mpu Manuku tidak menjadikan
dirinya sebagai pengkhianat leluhur. Penghianat yang tak
termaafkan demi mencapai tujuan. Yakni, penggabungan dua
wangsa utama di atas tanah Yawadw?pa. Yang ia lakukan adalah
jalan memuliakan agama yang dianut keluarga Syailendra, tanpa
merusak agama yang dianut wangsanya. Sungguh-sungguh
Jatiningrat. Benar-benar darah biru sejati dari Wangsa Sanjaya."
Kembali Ketua Samaragrawira dalam keadaan yang lemah
mengungkapkan kekaguman kembali.
"Ia membesarkan dan memuliakan agama yang dianut keluarga
Syailendra lewat keahlian. Keahlian dalam seni membangun
candi. Dari buah pemikirannya, lahirlah Bhumi Sambhara*)
dengan Sambharabudhura**) sebagai bangunannya. Bangunan
pemujaan terbesar bagi agama Buddha. Melalui bangunan ini
pula nama besar Samaratungga berkumandang di segenap
penjuru dunia. Dengan kata lain, Mpu Manuku telah memberi dua
keuntungan bagi Samaratungga. Ketenaran sebagai Raja yang
membangun Bhumisambhara dalam bidang arsitektural sekaligus
Raja yang melakukan pemujaan terbesar kepada Buddha. Dua
jasa yang sangat tak ternilai besarnya." Arga menyodorkan
secawan air dan membantu orang tua itu minum sejenak.
"Gunadharma... Kebaikan yang bermanfaat. Gunadharma
...dharma yang dimanfaatkan. Sebuah nama yang dipilih sendiri
583 oleh Mpu Manuku untuk dirinya saat menggagas bentuk
bangunan pemujaan terbesar itu. Dengan nama Gunadharma,
Mpu Manuku menyamarkan diri. Dengan nama itu, ia bermaksud
untuk menyatakan bahwa dharma yang telah dibuatnya tidak
disalahtafsirkan. Disalahartikan sebagai perbuatan yang dianggap
cela menghina. Nama itu untuk menyatakan kepastian akan
dharma yang dilakukan. Dharma itu semata-mata ditujukan
kepada sang penguasa hidup dan tidak ada keberpihakan atas
nama agama. Itu hanyalah sebuah dharma. Semoga dharma itu
berguna. Gunadharma. Dengan nama samaran itu, Mpu Manuku
menghilangkan kegalauan hati. Kegalauan seorang anak
keturunan Sanjaya yang memberi kebesaran kepada wangsa
yang selama ini menjadi pesaing. Tetapi itulah yang telah
ditempuh." Dalam keadaan lemah Ketua Samaragrawira tetap
25 menutur itu dengan penuh semangat. Sifat Ketua Samaragrawira
yang selalu menumbuhkan kekaguman Arga atas Ketua Merak
Mas sekaligus Pejabat Utama Kota Tembelang: Semangat!
"Dengan membangun Bhumisambhara, Mpu Manuku
memberikan kemuliaan bagi Wangsa Syailendra. Kemuliaan yang
tiada bandingnya. Jasa itu tentu saja sangat membuat gembira
raja Samaratungga. Ia tidak hanya memberikan suatu
kepercayaan kepada Mpu Manuku, lebih dari itu ia memberikan
Puteri Utama, Sang Pewaris Tahta, Pramodyawardani, sebagai
isteri bagi Mpu Manuku. Dengan itu, Mpu Manuku meraih apa
yang menjadi ambisinya menyatukan dua wangsa untuk berdiri
bersatu memerintah tanah Yawadw?pa. Ambisi sejak masa muda.
Bersama dengan isterinya kemudian Mpu Manuku memerintah
Bhumi Mataram menggantikan Samaratungga. Mpu Manuku,
yang juga disebut oleh para brahmana sebagai Pangeran
584 Jatiningrat, duduk ditahta dengan gelar Raka i Pikatan." Demikian
ketua Samaragrawira mengakhiri sebagian penuturannya.
Penuturan yang hingga saat ini dicatat Arga masih tidak terkait
dengan jati dirinya. "Nakmas Arga, Paman sudah menyelesaikan suatu
latarbelakang. Latarbelakang itu sangat penting bagi dirimu.
Sekarang Paman akan menyatakan apa yang menjadi sumpah
paman. Jati diri Nakmas Arga". Tubuh anak muda itu telah
menjadi gemetar. Gemetar atas apa yang akan disampaikan oleh
Ketua Samaragrawiras. Asal usulnya.
"Empat puluh tahun silam, di usiaku yang kedua belas, aku
diantar oleh Ayah dan Kakek Guruku pergi ke Gunung Prabu.
Ayahku yang meminta kepada Gurunya untuk mengasah diriku
tumbuh menjadi orang yang sungguh-sungguh pilih tanding. Atas
usul Kakek Guru, aku dititipkan berguru pada Kakak Tertuanya di
Gunung Prabu. Aku menetap tinggal di gunung itu selama
sepuluh tahun. Di sana aku besar bersama dengan seorang anak
sebaya denganku. Anak yang lebih dahulu menetap di gunung
itu. Kami besar sebagai saudara. Aku sangat menyayangi dan
menghormatinya. Menghormati lebih daripada rajaku sendiri. Ia
adalah Kakang Mahidhara Darya. Orang yang tumbuh besar di
gunung. Di Gunung Prabu." Gunung Prabu" Nama gunung itu
pertama kali didengar lewat cerita orang tua bertombak pendek.
"Masa-masa di Gunung Prabu menyadap ilmu bersama dengan
Kakang Mahidhara Darya adalah saat-saat yang sangat indah
tidak mungkin dapat aku lupakan." Sebuah senyum menghias
wajah yang pucat. "Sayang, aku hanya menikmati kebersamaan itu hanya sepuluh
tahun, dan harus berpisah. Aku pernah meminta kepada Kakang
585 Mahidhara Darya untuk bersamaku tinggal dan menetap di
Perguruan Merak Mas. Dengan halus permintaan itu ditolaknya.
26 Ia mengatakan gunung ini yang sepantasnya menjadi tempat
tinggal. Tempat tinggal baginya seumur hidup. Demikian aku pun
meninggalkan Gunung Prabu kembali ke Perguruan Merak Mas.
Sepuluh tahun tidak bertemu, tiba-tiba Kakang Mahidhara Darya
memintaku datang ke Gunung Prabu. Sesuatu yang tidak pernah
dilakukannya. Dan aku pun memenuhi permintaannya. Pergi
berkunjung ke gunung itu." Setelah berkata demikian orang tua itu
menutup kedua matanya. Takut mata itu terlihat oleh orang lain,
karena tidak mampu menahan beban berat yang sekarang
dirasakan di dalam dadanya.
"Nakmas Arga, apa yang kemudian terjadi adalah awal dari suatu
tragedi yang sebelumnya telah Paman katakan." Tampak Ketua
Samaragrawira kembali memejam mata. Ia menahan sesuatu di
dalam dadanya. Ketika kedua mata itu terbuka, terlihat telah
berkaca-kaca. "Ketua Perguruan Merak Mas yang perkasa terlihat
tak kuasa menahan kesedihannya", batin Arga. Setelah
mengendalikan perasaannya, orang tua itu melanjutkan kembali
ceritanya dengan suatu sengau berat terganjal oleh


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesedihannya. "Setibanya di Gunung Prabu, tentu aku sangat gembira bertemu
dengan Kakang Mahidhara Darya dan seorang wanita yang telah
menjadi pendampingnya. Aku masih ingat ketika itu Kakang
Mahidhara Darya meminta maaf tidak mengundang diriku saat
melangsungkan pernikahan tiga tahun silam dengan wanita itu.
Wanita yang diperkenalkannya bernama Anindya. Di mataku,
Kakang Mahidhara Darya dan Mbokayu Anindya merupakan
pasangan yang serasi. Pasangan yang kudengar disebut-sebut
586 sebagai Prabu Dipa Atiyanta Alap-alap (Elang Perkasa dari
Gunung Prabu)." Orang tua bertombak pendek juga telah
menyebut nama Atiyanta Alap-alap (Elang Perkasa). "Siapa
mereka apa hubungan dengan diriku". Spontan pertanyaan itu
mengemuka dalam diri Arga.
"Di hari pertama kunjunganku, aku langsung diajak oleh Kakang
Mahidhara Darya dan Mbokayu Anindya ke puncak lereng
gunung itu. Berkunjung ke pusara Kakak Tertua Kakek Guruku,
yang telah membimbing diriku bersama-sama dengan Kakang
Mahidhara Darya selama sepuluh tahun. Kami pun melakukan
upacara bakti kepada orang tua yang disemayamkan di sana.
Selain bakti pada pusara itu, Kakang Mahidhara Darya dan
Mbokayu Anindya memberi bakti kepada sebuah pusara, yang
dikatakannya merupakan pusara ibundanya. Di depan kedua
pusara itu, Kakang Mahidhara Darya didampingi oleh Mbokayu
Anindya mengungkapkan sesuatu. Sesuatu yang kemudian
berujung pada sumpah yang diikatkan pada diriku. Diikatkan
seumur hidup untuk tidak akan pernah diungkapkan kepada siapa
pun, termasuk kepada anak keturunan." Terlihat wajah orang tua
itu menjadi tertunduk berat untuk diangkatnya. "Apa yang
diungkapkan oleh Kakang Mahidhara Darya adalah jati dirinya.
27 Jati diri yang telah disimpannya rapat-rapat." Sambung Ketua
Samaragrawira, kemudian menggeser sedikit badannya yang
terasa sangat kaku. Kaku menahan ketegangan yang terpendam
rapat dalam hati. "Nakmas Arga, aku akan menceritakan apa yang diungkapkan
oleh Kakang Mahidhara Darya." Membuat jeda sebentar dan
meneruskan ceritanya. "Sebagai seorang penguasa Mpu Manuku, adalah sesorang yang
587 sangat menarik. Menarik siapa saja. Terhomat, pintar, pilih
tanding dan lebih-lebih tampan. Ia memiliki segalanya yang
dibutuhkan oleh seorang laki-laki. Sewaktu berkuasa di wilayah
Patapan, Mpu Manuku atau yang disebut juga dengan Pangeran
Jatiningrat, sebagaimana laki-laki yang sudah mapan apalagi
berkuasa, memiliki seorang isteri. Isteri yang sangat dikasihinya
sekaligus sangat mengasihinya. Dengan segala pengertian dan
kerelaannya, sang isteri itu merestui Mpu Manuku mengejar citacitanya. Cita-cita yang sangat mulia.
Mulia tidak hanya bagi Wangsa Sanjaya tetapi juga bagi Bhumi Mataram seluruhnya.
Cita-cita penyatuan dua wangsa untuk menghentikan persaingan.
Persaingan yang telah membawa banyak akibat. Sang isteri yang
rela untuk tidak bersanding di atas tahta dengan suami yang
adalah seorang raja. Isteri yang rela melepaskan kedudukannya
sebagai permaisuri raja." Ketua Samaragrawira menghela nafas.
"Untuk melepaskan semua itu, wanita yang sangat mengasihi
Mpu Manuku meminta untuk tidak mengikuti sang suami dalam
mengejar cita-cita. Ia justru memi
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
nta kepada suaminya kembali ke
tanah asalnya. Sebuah pertapaan, di mana Mpu Manuku pernah
tinggal saat di masa muda. Setelah terus menurus membujuk
agar sang isteri mengikutinya, pada akhirnya dengan berat hati
Mpu Manuku melepaskan sang isteri pergi seperti yang
dimintanya." Sampai di sini kembali Ketua Samaragrawira
menghentikan kisahnya. "Sang isteri meninggalkan suaminya dengan tubuh berbadan dua.
Ia pergi bersama-sama dengan anak yang masih di dalam
kandungannya. Pergi dengan seorang anak yang tidak diketahui
oleh suaminya, Mpu Manuku. Suami yang kelak menjadi raja di
Bhumi Mataram." Kegetiran terdengar dari suara lirih Ketua
588 Samaragrawira. "Tidak berapa lama sang isteri itu melahirkan seorang anak lakilaki. Anaknya dengan Mpu Manuku.
Sang isteri yang begitu mencintai suami dengan cita-citanya yang mulia itu, tidak
menginginkan sang ayah dari anak itu mengetahui
keberadaannya. Menurut penilaian sang isteri itu, keberadaan
anak laki-laki itu bisa menjadi ganjalan bagi cita-cita suaminya. Ia
takut keluarga dari Wangsa Sanjaya, kelak bersikeras mendapuk
dan mendaulat anak laki-laki itu sebagai Putra Mahkota manakala
Mpu Manuku menduduki tahta. Tentu saja, hal ini akan membuat
keguncangan yang luar biasa. Keguncangan di Bhumi Mataram.
Suatu perebutan tahta. Mendapuk anak laki-lakinya, yang adalah
anak tertua dari Mpu Manuku, sebagai pewaris tahta pasti akan
ditentang oleh keluarga Syailendra. Bayang-bayang perang jelas
nyata karena hal itu. Demikian sang isteri dengan pertimbangan
yang telah diutarakan kepada Pimpinan Petapaan, yang adalah
Ayahnya sekaligus Guru dari Mpu Manuku, dilepas pergi
mengungsi. Mengungsi ke suatu tempat terpencil di kaki sebuah
gunung, yang terletak sebelah barat Mamrati. Di gunung itulah
anak itu dibesarkan dan diasuh oleh kakek wanita itu. Sang
pengasuh itu tidak lain adalah Saudara Tua satu perguruan
dengan Kakek Guruku, Eyang Dharanindra, peletak perguruan
Merak Mas." Orang tua itu kini terlihat memandang lekat anak
muda di depannya. "Anak dari wanita dan Mpu Manuku itu tidak lain adalah Kakang
Mahidhara Darya sendiri." Demikian Paman Wira menghentikan
cerita yang dituturkan oleh orang yang disebutnya Kakang
Mahidhara Darya. Alih-alih meneruskan pengungkapan orang itu,
Ketua Samaragrawira mengungkapkan penilaiannya terhadap
589 orang yang disebutnya dengan Kakang Mahidhara Darya.
"Kakang Mahidhara Darya adalah orang yang sangat kuat,
mengayomi dan lebih dari itu sangat besar hati. Ia mewarisi
1 kehebatan ayahnya, Mpu Manuku, dan kelembutan serta
kebesaran hati ibunya, wanita yang merelakan suaminya
menemuh cita-cita mulianya. Sejak kecil, ibunda Kakang
Mahidhara Darya, yakni Bibi Malinidayinta, telah mendidik dan
menanamkan sifat-sifat itu kepada Kakang. Sifat-sifat itu telah
membentuk dirinya. Selama aku hidup bersamanya, Kakang
Mahidhara Darya tidak pernah menampilkan diri sebagai seorang
yang memiliki hak istimewa. Bahkan, hak yang sangat istimewa.
Hak anak seorang raja. Begitulah Kakang Mahidhara Darya, tidak
pernah menampilkan diri lebih utama dari siapapun." Ketua
Samaragrawira kembali menatap lekat anak muda itu. Anak muda
yang sangat serupa dalam sikap, seperti Ayahnya.
"Demikianlah di depan dua pusara itu, kakang Mahidhara Darya
mengatakan bahwa sekalipun ia putra seorang raja, bahkan raja
yang sangat berkuasa, ia tidak menginginkan haknya. Hak yang
menurut penilaiannya akan membuat keguncangan bagi Bhumi
Mataram. Untuk itu, ia telah jauh-jauh hari bersumpah untuk
melepaskan hak itu selamanya. Sebagai bentuk sumpahnya,
kakang Mahidhara Darya mengikrarkan suatu brata untuk tidak
akan pernah meninggalkan Gunung Prabu." Setelah
menyampaikan apa yang terjadi di depan dua pusara di Gunung
Prabu, kembali Ketua Samaragrawira memberikan suatu
penilaian. "Sumpah yang sangat luar biasa. Sumpah melepaskan sesuatu
yang sangat besar. Kekuasaan atas Bhumi Mataram. Rupanya
atas dasar sumpah itu, Kakang Mahidhara Darya juga telah
590 menolak secara halus ajakan yang pernah aku ajukan untuk
bersama-sama tinggal di perguruan Merak Mas." Kekecewaan
dua puluh tahun silam itu masih membayang.
"Nakmas Arga, apa yang kemudian terjadi adalah suatu tragedi.
Tragedi Kakang Mahidhara Darya dua puluh tahun silam. Tragedi
itu terjadi manakala Mpu Manuku yang telah bergelar Raka i
Pikatan menobatkan putra bungsunya. Satu-satunya anak lakilaki dari Pramodyawardani, yakni
Raka i Kayuwangi, sebagai raja
Bhumi Mataram menggantikan dirinya. Tragedi karena sebuah
tahta." Suara lemah itu memuat pedih dan perih mendalam.
Sedikit guncangan pada dirinya itu, diatasi dengan sebuah tarikan
nafas panjang. "Saat Kakang Mahidhara Darya mengungkapkan siapa dirinya
kepadaku. Itu diungkapkannya kira-kira tiga purnama menjelang
hari penobatan Raka i Kayuwangi, menggantikan Raka i Pikatan.
Kakang Mahidhara Darya saat itu mengatakan bahwa tujuh
purnama berselang telah hadir di gunung ini para tetua Wangsa
Sanjaya. Menurut Kakang Mahidhara Darya, sebenarnya mereka
sudah bertahun-tahun mengetahui diriku. Kakang Mahidhara
Darya sendiri tidak tahu dari siapa mereka telah mengetahui jati
diri dan keberadaannya. Yang ia tahu adalah mereka datang ke
Gunung Prabu untuk membawanya ke Mamrati menghadap
2 ayahnya, Raka i Pikatan, dan mendesaknya untuk meminta
haknya atas tahta Bhumi Mataram. Lebih jauh dari itu, mereka
telah memberi suatu penegasan kepada Kakang Mahidhara
Darya, bila kakang tidak melakukannya, maka mereka akan
melakukan pengingkaran atas tahta Raka i Kayuwangi." Arga pun
terkejut, itu adalah suatu pemberontakan.
"Sebab, mereka menilai Raka i Kayuwangi bukan anak laki-laki
591 Raka i Pikatan yang tertua. Mereka juga menilai terlalu berlebihan
dan tidak masuk akal untuk mengalaskan pemberian tahta
kepada Raka i Kayuwangi atas dasar jasa bahwa ia telah
mengalahkan Balaputradewa. Padahal, Raka i Kayuwangi masih
kanak-kanak sewaktu Balaputradewa tersingkir. Singkatnya, para
tetua wangsa Sanjaya itu menginginkan dan mendesak agar
Kakang Mahidhara Darya tampil berkuasa. Kakang Mahidhara
Darya adalah Wangsa Sanjaya dalam darah yang murni. Anak
Pikitan dari darah Sanjaya." Demikian kata Ketua Merak Mas.
"Kemudian Kakang Mahidhara Darya, yang telah meminta aku
datang ke Gunung Prabu, meminta diriku untuk mengikat suatu
sumpah. Sumpah di hadapan dirinya dan Mbokayu Anindya serta
dua pusara dari orang-orang yang sangat kami hormati. Aku
diminta untuk mengangkat suatu sumpah di hadapan orang-orang
yang sangat aku hormati." Apa yang terjadi dua puluh tahun silam
kembali melintas jelas pada ingatan Ketua Samaragrawira.
"Sumpah itu menyangkut tiga hal. Pertama, tidak mengatakan
apa pun tentang yang terjadi pada saat itu. Apa yang terjadi di
depan dua pusara di Gunung Prabu. Kedua, bersedia menerima
dan membesarkan seorang bayi mungil laki-laki. Terakhir, tidak
mengungkapkan jati diri Kakang Mahidhara Darya juga jati diri
bayi laki-laki itu kepada siapapun, termasuk kepada bayi laki-laki
itu saat ia tumbuh dewasa. Membiarkan bayi laki-laki itu tetap
terputus dengan asalnya. Terus terang, aku sangat terkejut
mendengar keinginannya. Suatu keinginan yang sangat tidak
biasa. Untuk itu, aku menyatakan penolakanku atas
permintaannya. Mendengar penolakanku, suami isteri yang
sangat aku hormati itu menjatuhkan diri berlutut di hadapanku.
Mereka memohon dan mengatakan bahwa sebentar lagi ajal
592 akan menjemput mereka. Aku sangat terperanjat mendengar
perkataan mereka itu. Saat itu akal sehatku tidak bisa menerima
mengapa mereka berbuat demikian: memintaku bersumpah dan
hendak mengakhiri hayatnya. Sesuatu yang sulit diterima."
Paman Wira terlihat menarik nafas dalam, sangat dalam, dan
pelan menghembuskannya. "Pada akhirnya aku menyanggupi tiga sumpah itu setelah Kakang
Mahidhara Darya mengatakan alasannya. Alasan yang membuat
aku sangat terharu. Alasan yang berisikan sebuah pengorbanan
yang tak terukur. Pengorbanan yang akan meluluhkan hati
3 siapapun untuk meluluskan tiga hal yang dimintanya.
Sebenarnya, dengan alasan itu, jangankan tiga hal seribu hal
lainnya pun akan aku luluskan. Oh Kakang....." Kalimat itu diakhiri
dengan suatu desahan. Entah desahan itu ingin melampiaskan
perasaan apa. "Kakang Mahidhara Darya mengatakan bahwa ia melakukan itu
semua untuk mengakhiri apa yang diinginkan Tetua Wangsa
Sanjaya yang telah datang kepadanya. Keinginan itu hanya akan
berakhir apabila keturunan Mpu Manuku dari darah Sanjaya
terputus." Semakin lemah dan lelah keadaan Ketua
Samaragrawira saat itu. Saat-saat cerita panjangnya mendekati
akhir. "Kakang Mahidhara Darya telah mengambil suatu sikap bulat,
yakni: memutus keturunan Mpu Manuku dari darah Sanjaya itu.
Memutus keturunan Mpu Manuku dari darah Sanjaya yang
mengalir dalam dirinya. Ini semua dilakukan oleh Kakang
Mahidhara Darya untuk menghindari tuntutan terhadap tahta atas
nama dirinya. Tuntutan yang apabila dipenuhinya dapat memicu
pertentangan antara dua wangsa. Pertentangan yang berujung
593 pada perang di Bhumi Mataran. Sebaliknya, apabila Kakang
Mahidhara Darya menolak menuntut haknya atas tahta, maka
akan timbul suatu pengingkaran atas tahta Raka i Kayuwangi.
Suatu pembangkangan yang juga akan memicu perang. Dua
sikap yang berbeda namun berujung pada hal yang sama:
perang. Selanjutnya, Kakang Mahidhara Darya, mengatakan
bahwa putusnya keturunan Mpu Manuku itu tidak hanya berhenti
pada ajal dirinya melainkan juga hilangnya jati diri dari bayi lakilaki yang satu purnama lalu telah
dilahirkan oleh isterinya. Atas
dirinya dan isterinya, Kakang Mahidhara Darya dan Mbokayu
Anindya, telah menelan bersama Sudu-sudu Upas****), racun
yang sangat mematikan. Dengan racun yang telah mendekam
dalam dirinya, dua tiga hari ke depan mungkin ajalnya akan tiba.
Lalu, atas bayi laki-laki itu, Kakang Mahidhara Darya meminta
aku untuk membawa dan merawatnya serta menyimpan rapatrapat jati dirinya seumur hidup. Bayi
itu telah tumbuh menjadi dewasa dan kini berada di hadapanku. Bayi itu adalah dirimu,
Nakmas Arga. " Orang tua itu mengakhiri penuturannya.
Penuturan itu dikisahkan beberapa waktu lalu, tanpa kehadiran
Maheswari. Sebelum Ketua Samaragrawira menjelaskan soal
penebusan atas pembatalan sumpah. Penebusan pembatalan
sumpah yang juga dikatakan dalam keadaan sebagian tubuh
telah menjadi membiru.

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Dalam keadaan sebagian tubuh telah menjadi membiru, Ketua
Samaragrawira meminta Masheswari sebelah tangan gadis itu.
Tangan kanan. Gadis itu masih menampakkan wajah tidak
senang. Tidak senang karena ia akan diserahkan sebagai
594 4 penebusan. Penebusan terhadap pembatalan sumpah Ayahnya.
"Nduk, orang yang dengannya aku telah mengikat sumpah tidak
lain adalah Ayah Nakmas Arga. Karena Ayah Nakmas sudah
tidak ada lagi, maka sepantasnya aku mengalihkan penebusan itu
kepada penerusnya: Nakmas Arga sendiri." Mata gadis itu telah
menjadi kosong. Tidak percaya apa yang didengarnya. Kosong
karena tidak percaya. Hanya sebentar, pada mata yang kosong
itu bersemi aneka bunga. Bunga penuh warna.
"Nakmas Arga, terimalah Maheswari sebagai penebusan
terhadap pembatalan sumpah Paman. Mulai saat ini, Maheswari
ada dalam penguasaan Nakmas Arga. Penguasaan sepenuhpenuhnya." Ketua Samaragrawira pun
menyatukan dua tangan anak muda itu. Dua tangan yang sudah digenggamnya. Dua anak
muda itu sesaat saling menatap, kemudian menunduk diam.
"Nakmas Arga, tolong ambilkan sesuatu yang tersimpan di bawah
Balakuswa Aswana (Tempat Pakaian)." Anak muda itu kembali
dengan membawa sebuah Janges Gendhaga (Kotak Hitam
Mengkilap). Lalu, Ketua Samaragrawira meminta anak muda itu
membuka kotak itu.Sepasang pedang pendek coklat semu hitam.
Pedang tanpa sarung. "Pedang itu milik Ayah Ibu Nakmas. M?gantara Candrasa
(Pedang Megantara). Simpanlah." Orang itu menyerahkan satusatunya peninggalan orang tua anak
muda itu. Menyerahkan Pedang Megantara dalam keadaan sebagian tubuh telah menjadi
membiru, *** 595 Maheswari terus bersimpuh menangis di depan tubuh Ketua
Samaragrawira yang telah membujur diam. Tiga tabib istana,
termasuk Arga sendiri, memastikan Ketua Samaragrawira sudah
tiada. Lima hari setelah peristiwa Penguasa Watugaluh datang ke
Tembelang. Sepanjang malam hingga pagi menjelang,
Maheswari duduk di pembaringan itu. Ia terus menangis
sekalipun tiga gadis dan seorang wanita tua telah menghiburnya.
Wanita tua itu adalah isteri Ki Gilingwesi.
Empat orang itu semalaman menghibur Maheswari. Menghibur
dengan air mata yang juga berlinang di dua pipi masing-masing.
Sebenarnya empat orang itu tidak sedang memberikan
penghiburan, melainkan jatuh ke dalam duka itu sendiri. Bersama
dengan Maheswari, mereka sering menangis bersama. Tanpa
jeda. Kehilangan Ketua Samaragrawira bagi wanita sungguh
dialami sebagai kehilangan saudara sendiri. Seorang kakak.
Sementara, bagi tiga gadis itu pada kejadian itu mereka sungguh
telah kehilangan seorang ayah. Sejak empat gadis itu
mengikatkan diri sebagai saudara. Saudara dalam ikatan
Wangkawa Kangkam Banjeng Catur (Empat Barisan Pedang
Bianglala). 5 Janaloka jauh lebih tabah dan siap atas kepergian Ayahnya.
Bersama-sama dengan Ki Gilingwesi, Ki Antargata, Ki
Cutajanma, Ki Gardagarjita, Ki Gardapati dan Arga serta
sejumlah Pejabat Istana Tembelang, Janaloka membicarakan
upacara penghormatan terakhir bagi Bra Samaragrawira.
Penghormatan pada seorang Penguasa di Bhumi Mataram.
Penguasa Tembelang. "Aku setuju dengan pertimbangan Paman Gilingwesi. Perabuan
atas diri Ayahanda dilaksanakan dua pekan mendatang. Situasi
596 Tembelang yang tidak menentu ini sebaiknya menjadi hal utama
yang didahulukan. Kita akan semayamkan sasawa (jenasah)
Ayah di pesanggerahan, hingga upacara perabuan nanti."
Janaloka meminta kepada Pejabat Istana Tembelang
mengerjakan apa yang semestinya dilakukan untuk
penyemayaman sasawa seorang Penguasa. "Aku akan datang
menghibur Maheswari dan memintanya untuk melepaskan Ayah
dengan iklas. Melepaskan Ayah memasuki alam Batara Yama."
Ini dikatakan Janaloka agar pelaksanaan penyemayaman itu
dapat dilakukan dengan semestinya.
Selain itu, Janaloka juga telah mengatakan kepada Pejabat
Istana lain untuk mempersiapkan bagi dirinya sebuah Astana
Wara-wara (Pengumuman dari Kerajaan). Ia akan mengumumkan
kepada rakyat di Tembelang mengenai Pantaka Samaragriwa
(Samaragrawira Wafat). Kepada Penguasa Wwatan dan
Penguasa yang lain di Bhumi Mataram, Janaloka pun
menyatakan akan menulis sendiri Pantaka Samaragriwa untuk
segera dikirim lewat utusan dan danten (burung merpati).
Tentang utusan, ia akan menetapkan dan memilih sendiri siapa
yang akan membawa kabar itu.
*** Menjelang siang, di alun-alun istana, sebuah Astana Wara-wara
telah dilangsungkan. Astana Wara-wara mengenai Pantaka
Samaragriwa (Samaragrawira Wafat). Kabar itu serta merta
mengegerkan dan menebarkan duka mendalam atas seluruh
Tembelang. Tembelang tenggelam dalam duka. Berduka karena
ditinggalkan seorang Junjungan. Junjungan yang mereka
597 muliakan. "Orang itu telah tiada. Ini tentu kabar yang harus diteruskan
kepada Guru." Seorang dalam wujud kuwad?an banija juga
berada di tengah-tengah khalayak yang sebagian di antara
mereka telah mengurai air mata dan tangis pilu. "Tapi, kabar
tentang Pantaka Samaragrawira tidak boleh segera sampai
kepada Penguasa Wwatan dan Penguasa yang lain di Bhumi
Mataram. Kabar itu sementara harus diredam. Diredam untuk
memutus kabar tentang apa yang terjadi di Tembelang. Ini akan
menutup kemungkinan datangnya kekuatan lain membantu
6 Tembelang." Orang dalam wujud kuwad?an banija itu telah
menetapkan sasaran. Pembawa pesan Pantaka Samaragrawira:
Utusan dan Danten (burung merpati). Ia tahu persis apa yang
dilakukan saat seorang penguasa wafat. Sebab, ia adalah
seorang penguasa. Penguasa Watugaluh selama lima tahun.
*** Siang itu, Arga mendampingi Janaloka menyatakan Astana Warawara tentang Pantaka
Samaragrawira kepada seluruh warga
Tembelang. Mereka berdua tampil di depan warga Tembelang.
Hal ini dilakukan karena dua anak muda itu telah dinyatakan oleh
Ketua Samaragrawira masing-masing sebagai Penguasa
Tembelang dan Ketua Perguruan Merak Mas. Hal itu dinyatakan
pada sebuah upacara sederhana dua hari menjelang Ketua
Samaragrawira wafat. Pada upacara itu, Janaloka telah
dinobatkan sebagai Penguasa Tembelang, sementara Arga
ditunjuk sebagai Ketua Perguruan Merak Mas.
Setelah mendampingi Janaloka menyatakan Astana Wara-wara,
Arga pergi ke atas bukit. Ia sangat sedih, menangis
598 membabarkan duka. Duka yang sangat dalam. Kehilangan orang
yang telah membesarkannya. Pengganti sekaligus Sahabat Ayah
Ibunya, Paman Samaragrawira. Di bukit itu, ia menangis sambil
menimang-nimang dua batang pedang. M?gantara Candrasa
(Pedang Megantara). Pedang mendiang orang tuanya. Pedang
itu telah diberikan Paman Samaragrawira lima hari silam. Bagi
anak muda itu, sepasang Pedang Megantara mewakili orang
yang sangat dicintai. Mendiang Ayah Ibu, pemilik Pedang
Megantara. Paman Samaragrawira, pemberi Pedang Megantara.
Lama anak muda itu menangis di sana. Menangis duduk di
bawah pohan besar sembari memandang Pedang Megantara.
Telah hadir juga di sana dua branjangan. Dua branjangan itu
terus berkicau menemani anak muda itu. Seakan-akan ingin
memberi penghiburan baginya.
Tangis itu baru dihentikan setelah ada orang datang. Datang dan
duduk pada sebuah batu. Orang itu duduk diam. Hanya diam.
Penuh rasa belasungkawa. "Maaf, Paman. Aku tidak kuasa menahan kesedihanku."
Pandangan mata orang itu cukup menyatakan simpati pada anak
muda itu. Saat berbicara, anak muda itu tidak memalingkan muka
pada orang yang telah datang. Anak muda itu terpaku pada
sepasang pedang. Sepasang pedang yang sangat dikenalnya.
Dua puluh tahun silam. Pedang Megantara. Sepasang pedang itu
telah muncul kembali tiga hari berselang.
*** Tiga hari berselang. Dua hari sejak Ketua Samaragrawira kembali
terluka. Terluka jauh lebih parah. Terlihat seseorang telah
menyusup ke Perguruan Merak Mas. Orang itu menyusup masuk
599 7 dengan tujuan sebuah bilik. Bilik itu pernah dikunjungi dua hari
lalu. Di malam itu, ia ingin bertemu dengan penghuni bilik itu.
Bertemu untuk mengatakan dan membicarakan sebuah rencana.
Rencana yang diketahuinya. Dari celah-celah bilik itu, ia melihat
anak muda, yang ingin ditemui, tidak sendirian. Ia duduk bersila
bersama dengan tiga orang tua, satu telah dikenalnya. Tanpa
ragu orang itu mengetuk pintu bilik itu.
"Silahkan Paman". Ia tahu orang-orang di dalam bilik itu telah
mengetahui kehadirannya. Kehadiran jauh sebelum ia mendekat
dan mengintip dari celah-celah bilik itu.
"Selamat malam Engg?r." Tiga orang tua di bilik itu tampak
terkejut. Terkejut oleh kehadiran seseorang yang selama ini
dinilai sebagai sosok menakutkan.
Anak muda itu berdiri datang menyambut. Menyambut dengan
dua bilah pedang pendek coklat semu hitam menggantung di
pinggang. Pedang tanpa sarung. Pedang itu sangat dikenalinya.
Sepasang pedang milik sahabat dari Gunung Prabu. Atiyanta
Alap-alap (Elang Perkasa). Pedang Megantara. Sesaat ia ragu.
Tapi, ia sangat yakin itu pedang milik sepasang Elang Perkasa
dari Gunung Prabu. Orang itu pun duduk bersila menyatu dengan yang lain. Tapi, dua
mata orang itu tidak pernah lepas dari sepasang pedang yang
menggantung di pinggang. Anak muda itu sadar, dan teringat
akan cerita orang itu. Cerita yang dikatakan orang itu di atas bukit
pada malam setelah mereka bentrok di siang hari. Siang hari
bentrok, malam bertemu dan bicara, lalu mengikatkan
kepercayaan satu sama lain.
"Oh, ini Pedang Megantara milik sepasang Elang Perkasa dari
Gunung Prabu, mendiang dua orang tuaku. Dua orang yang ingin
600 Paman temui dua puluh tahun silam." Anak muda itu
mengangsurkan sepasang pedangnya. Tapi, orang tua itu tidak
lagi mengarahkan mata kepada pedang, melainkan wajah anak
muda itu. "Mata itu memang milik Anindya, dan bibirnya adalah
bibir Mahidhara Darya. Dua sahabat, Sepasang Elang Perkasa
dari Gunung Prabu." Membayang kembali wajah sepasang Elang
Perkasa dalam ingatannya. Dua puluh tahun silam.
"Paman....." Suara anak muda itu telah mengembalikan dirinya
pada keadaan saat ini. Keadaan duduk bersila di sebuah bilik
dengan sepasang pedang telah disorongkan ke hadapannya.
Penuh sikap hormat. "Engg?r...." Ia tidak mengambil pedang itu, tapi memeluk erat
anak muda yang telah mengasurkan pedang. Orang itu menangis
haru, namun bahagia. Tiga orang tua di ruang itu terlihat tertegun,
tidak mengerti. Lama orang itu memeluk. Seakan tidak ingin
melepaskan. Sesaat ia melepaskan pelukan itu memandang
wajah anak muda itu, namun memeluk kembali. Kerinduannya
belum terpuaskan. Dengan pelukan kali ini ia ingin menguapkan
hingga kering kerinduan itu. Tanpa sisa.
8 Pada akhirnya, orang itu dapat mengendalikan dirinya. Terlihat ia
menjadi canggung. Canggung atas apa yang telah
diperlihatkannya. Ia canggung terhadap tiga orang lain di bilik itu.
Segera anak muda itu mencairkan kecanggungan itu.
"Paman, ini Paman Antargata, Paman Gardagarjita dan Paman
Gardapati." Anak muda itu memperkenalkan tiga orang yang telah
bersamanya kepada orang itu. Ia tidak memperkenalkan orang
itu, kerena tiga orang tua yang bersamanya telah mengenal orang
itu. Yang terasa canggung telah menghilang sirna, berganti
dengan kehangatan dan keasyikan.
601 Orang itu telah menjadi asyik, merasakan kembali persahabatan
penuh kehangatan seperti dua puluh tahun silam. Apa yang
terlepas dan terbang selama dua puluh tahun kini kembali.
Seperti telah ditarik pulang. Begitu asyik dan penuh kegembiraan,
orang itu telah melupakan rencana yang ingin ia bicarakan. Ia
tidak ingin keasyikan dan kegembiraan yang baru saja ditariknya
pulang, terganggu dan terusik oleh apa pun. Termasuk terganggu
dan terusik oleh rencana itu. Ia memutuskan membicarakan
rencana itu di lain waktu.
Tanpa disadari sepasang pedang itu terus berada dalam
genggaman orang itu. Ia masih begitu rindu dengan pemilik
pedang itu pada dua puluh tahun silam. Lama pedang itu telah
menghilang. Malam ini muncul dan berada dalam genggaman.
Pedang Megantara. *** Pedang Megantara. Pada sepasang pedang itu, dua mata anak
muda masih terus terpaku. Terpaku dalam kesedihan mendalam.
Ia membiarkan anak muda itu melepaskan kedukaan.
Membiarkan dalam waktu yang cukup lama. Ia melihat anak
muda itu telah beringsut, menempatkan diri untuk berhadaphadapan.
"Maaf Paman." Hanya itu yang dikatakan anak muda.
"Engg?r, Paman ingin menyampaikan sebuah rencana. Rencana
yang Paman ketahui. Dengan itu kita bisa menyusun suatu
rencana. Rencana atas rencana." Orang itu pun mengutarakan
sebuah rencana yang diketahuinya. Sebuah Rencana yang telah
digulirkan di atas bukit dekat padepokan. Rencana itu
602 menyangkut pengerahan kekuatan ke Tembelang. "Engg?r,
pengerahan kekuatan dalam jumlah yang besar: enam ribu
prajurit ditambah orang-orang rimba pesilatan. Belum ditentukan
kapan tepatnya itu dilakukan. Tapi, prajurit-prajurit itu telah
bersiap siaga di Pegunungan Kendeng. Sekalipun belum
dipastikan kapan, namun pengerahan itu segera akan dilakukan.
Dalam waktu yang dekat." Anak muda itu menjadi sangat kaget
atas rencana itu: pengerahan enam ribu pasukan ke Tembelang
dalam waktu dekat.

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kedatangan Penguasa Watugaluh ke Tembelang lima hari
9 berselang juga merupakan bagian dari rencana itu. Maaf Engg?r,
Paman tidak kuasa mencegahnya. Berawal dari peristiwa itu,
Engg?r kehilangan seorang yang sangat Engg?r cintai. Sekali
lagi, maafkan Paman." Penyesalan terbayang pada wajah orang
itu. Dalam penyesalan, orang itu terdiam.
"Engg?r, rencana pengerahan kekuatan atas Tembelang
merupakan rencana yang sangat matang. Akan berdampak luas,
dan menimbulkan kemungkinan banyak jatuh korban. Rencana
itu harus dilawan dengan rencana. Itu yang tadi Paman katakan
sebagai rencana atas rencana." Kemudian orang itu mengatakan
bagaimana ia akan menjalankan dan mewujudkan rencana atas
rencana itu. Rencana untuk meredam jatuhnya banyak korban.
"Paman, itu bisa membahayakan diri Paman." Anak muda itu
mencoba mencegah. "Tidak usah khawatir Engg?r, sejauh ini mereka masih mengenal
Paman sebagai bagian dari mereka. Tidak mengetahui apa yang
telah Paman ikatkan dengan Engg?r. Lagi pula, Paman akan
selalu waspada dan berusaha menjaga diri. Sekali lagi, Engg?r
tidak usah mengkhawatirkan Paman." Orang itu meyakinkan anak
603 muda. Suatu pengorbanan telah diberikan oleh orang itu.
Pengorbanan itu dilakukan berdasarkan sesuatu yang telah
diikatkan oleh dirinya dengan orang itu. Ikatan sebagaimana telah
terjadi antara orang itu dengan Ayah Ibunya dua puluh tahun
silam. Langit telah merona jingga. Dua branjangan telah pergi. Kembali
ke sarang mereka. Dua orang itu pun berpisah pergi. Yang muda
kembali ke Perguruan Merak Mas. Yang lain pergi untuk
menjalankan suatu peran. Ia pergi kembali ke sisi orang yang
telah menariknya keluar. Orang tua bermuka pucat.
*** Sasawa (jenasah) Ketua Samaragrawira telah ditempatkan di
pesanggerahan. Ditempatkan untuk disemayamkan hingga
upacara perabuan dua pekan mendatang. Sebagai seorang
penguasa, Ketua Samaragrawira disemayamkan dalam wujud
kebesarannya. Ia mengenakan seluruh tanda dan lambang
kejayaan sebagai Penguasa. Penguasa Tembelang. Biarpun
wajah itu telah membiru, namun kegagahan dan kewibawaan
seorang Samaragrawira tidak pudar. Ia tetap seorang Penguasa,
Panglima dan Satria. Tiga gelar itu tetap melekat sekalipun
Samaragrawira telah wafat. Pantaka Samaragrawira.
*** "Samaragrawira telah wafat. Itu kabar yang aku dengar dua hari
lalu. Dan, pada sore ini aku telah memanggil berkumpul untuk
secepatnya menyusun dan menggalang kekuatan. Kesempatan
604 ini harus dimanfaatkan menguasai Tembelang. Kesempatan di
mana seluruh Tembelang berkabung dan tidak memiliki semangat
10 untuk bertempur karena Penguasa sekaligus Panglima mereka
telah tiada. adalah kesempatan yang sangat berharga. Berharga
untuk menaklukkan Tembelang Pantaka Samaragriwa." Orang
bermuka pucat itu memang telah mengumpulkan orangorangnya. Empat Wilmuka. Seorang
Pendeta dan Pejabat Poh Pitu, dan Pangeran Sikara serta Senopati-Senopati Utama.
"Terima kasih Adhi Wajra Sasmaka Kunta berkenan kembali. Aku
selalu khawatir dan telah meminta orang mencari jejak
keberadaan Adhi Wajra Sasmaka Kunta. Khawatir sesuatu telah
terjadi setelah bentrok dengan anak muda yang merupakan jejak
Abhinaya." Wajah pucat keriput itu memandang orang tua
bertombak pendek yang kini juga telah hadir dalam pertemuan
itu. Orang tua bertombak pendek memang tidak bersama mereka
selama beberapa hari. Beberapa hari sejak orang tua itu bentrok
dengan Arga dan pergi begitu saja. Entah ke mana!
"Baik. Seperti rencana semula, pengerahan kekuatan ke
Tembelang akan segera kita laksanakan. Lebih cepat dari
rencana. Ini disesuaikan dengan keadaan yang sekarang sedang
melanda Tembelang, seperti anak ayam sedang kehilangan
induknya." Orang tua bermuka pucat itu pun segera mengatakan
bagaimana kekuatan-kekuatan akan disebarkan, siapa yang
memimpin, berapa jumlah prajurit yang dibawa dan apa yang
menjadi sasaran. Semua itu berujung pada penaklukkan
Tembelang. "Tembelang, satu-satunya kekuatan Bhumi Mataram di timur
Yawadw?pa yang segera kugenggam. Aku genggam setelah
ditinggal oleh Suddha Manyura (Merak Putih), Samaragrawira."
605 Lirih suara orang tua bermuka pucat terdengar, dan ia agaknya
sedang membayangkan di benak bagaimana empat kekuatan
yang disebarnya dari empat arah mata angin akan menyisir dan
menyapu kekuatan Tembelang.
"Salah! Merak tua yang perkasa itu pergi tidak meninggalkan
Tembelang sebagai sarang kosong. Sebab, ia telah menyerahkan
sarang itu pada Elang-Elang Muda. Elang-Elang Muda yang jauh
lebih perkasa." Seseorang di dalam kemah itu membatin.
Seseorang yang dengan sepasang mata itu telah menerobos
kemah-kemah, menerawang jauh masuk ke dalam peristiwa yang
telah disaksikannya. Peristiwa dua hari sebelum Samaragrawira
menutup mata. *** Dua hari sebelum Samaragrawira menutup mata. Atau, tiga hari
setelah Penguasa Watugaluh meminta pertanggungjawaban.
Ketua Samaragrawira bersikeras meminta dirinya dibawa ke
Prawiratama Warabrata Sanggar (Sanggar Latihan Perwira
Utama). Di sana, Ketua Samaragrawira meminta didudukkan di
atas singasana dan sebuah mahkota disandangkan pada kepala
serta sebilah keris di pangkuan. Sekalipun sangat lemah, ia
memaksakan diri. Memaksakan diri duduk di tahta. Dengan
11 kebesarannya: singgasana, mahkota dan keris.
Ketua Samaragrawira duduk bersandar di singgasana dengan
Maheswari memegang bahu yang bersandar pada singgasana
itu. Di sisi kiri bersipuh Janaloka dan di kanan Arga Triwikrama. Di
ruangan itu telah berkumpul Ki Gilingwesi, Tiga Murid Utama
Merak Mas, Senopati-Senopati Utama Tembelang, Ki Antargata
606 dan Puteri Rajni, Ki Gardapati, Ki Gardagarjita, Labdajaya dan
Kanistha, serta Ki Cutajanma, Acintya dan sepuluh Murid Bukit
Suci. "Aku, Bra Samaragrawira, dengan segala kewenangan yang telah
diserahkan kepada diriku, hari ini akan menyatakan suatu
Was?sa Prasapa (Amanat Kekuasaan). Amanat kekuasaan baik
atas Tembelang maupun Merak Mas". Suara Ketua
Samaragrawira bergetar. Bergetar karena suara itu
diperdengarkan dalam keadaannya yang sangat lemah.
"Atas Tembelang, aku, Bra Samaragrawira, menyerahkan amanat
kepada Pangeran Janaloka. Mari Pangeran, datang ke
hadapanku." Gemetar dua tangan Bra Samaragrawira bergerak
ke atas dan mencopot pelan benda di atas kepala. Lalu, ia
dengan dibantu oleh anak gadisnya membungkuk untuk
mengenakan benda itu kepada anak muda yang berlutut di
depannya. Segera di kepala Pangeran Janaloka terpasang
sebuah Mahkota. Mahkota atas Tahta Tembelang. Tidak ada riuh
rendah, sorak sorai atau puja-pujian atas pengalihan Tahta
Tembelang dari Bra Samaragrawira kepada Puteranya, Pangeran
Janaloka. Hening senyap yang justru mengiring peristiwa yang
teramat singkat itu. "Mohon doa restu Ayah." Pangeran Janaloka sekali lagi bersujud
dengan mahkota di kepala. Ia pun segera beringsut ke tempat
semula. Hening masih mendekap ruangan itu. Ketua
Samaragrawira memandang sesaat Ki Gilingwesi.
"Sebagai pewaris Perguruan Merak Mas, aku, Suddha Manyura
(Merak Putih), Samaragrawira, memilih dan menetapkan Nakmas
Arga Triwikrama, sebagai Ketua Perguruan Merak Mas, Ketua
Merak Mas generasi keempat." Senyum menghias Ki Gilingwesi
607 dan Maheswari. Sinar cerah pun membayang di mata Tiga Murid
Utama Merak Mas. Di luar mereka, orang-orang di ruangan itu
cukup terkejut dengan amanat itu. Termasuk Arga sendiri.
"Nakmas Arga, mari Nakmas datang ke hadapan Paman." Tidak
mungkin menolak keinginan orang yang telah membesarkannya.
Orang yang telah sangat menderita karena terikat oleh sumpah
menyangkut keberadaan jati dirinya. Mengikat selama dua puluh
tahun. "Terima kasih, Nakmas. Hari ini Perguruan Merak Mas ada dalam
kewenangan seorang Chandrakapala Ascarya." Ketua
Samaragrawira pun mengasurkan keris di pangkuan kepada anak
12 muda yang disebutnya Chandrakapala Ascarya. Nama itu
digunakan Ketua Samaragrawira, nama yang disebut oleh anak
muda itu di alun-alun, untuk mengingatkan siapa pun atas sepak
terjang seorang Chandrakapala Ascarya berdiri di depan
membela Bhumi Mataram. Membela dengan gagah perkasa
segala kekuatan yang mengancam Bhumi Mataram.
Sebenarnyalah, bahwa keberadaan Perguruan Merak Mas
dialaskan pada tujuan untuk membela dan mengamankan Bhumi
Mataram. Tujuan yang sudah ditegaskan oleh seorang
Chandrakapala Ascarya di tengah alun-alun istana Tembelang. Di
tengah ribuan prajurit yang telah diarahkan kepada Tahta
Tembelang. Tahta Bhumi Mataram itu sendiri.
Sejak saat ini, Tembelang dan Perguruan Merak Mas telah
dinyatakan masing-masing berada di bawah penguasaan
Pangeran Janaloka dan Arga. Dua sahabat dan saudara. Di
antara orang-orang yang hadir di sana, sepasang mata penuh
haru namun penuh bangga merekam setiap detil peristiwa.
Sepasang mata itu hadir di ruang, atas kepercayaan yang telah
608 diikatkan oleh anak muda yang sesaat lalu menerima keris dari
Ketua Samaragrawira. Kepercayaan yang diikatkan bersama
beberapa waktu lalu. "Tembelang kini berada di tangan ElangElang Muda. Elang-Elang yang
perkasa." Batin pemilik sepasang
mata itu, lalu penuh rasa syukur dan bangga pelan menutupnya.
*** Sepasang mata itu pun kini telah terbuka. Terbuka di antara
orang-orang yang telah berkumpul di kemah atas rencana
menyerbu Tembelang. Pemilik sepasang mata itu telah
mendengarkan semua rencana untuk menaklukkan Tembelang.
Suatu rencana di dalamnya ia dilibatkan. Bersama dengan
Taragnyana Iswara (Ratu Tenung), ia akan membawa seribu lima
ratus prajurit menyerbu masuk dari arah utara Tembelang.
Kekuatan perang yang cukup besar, apalagi dibawa oleh dua
orang yang sangat luar biasa. Dua Wilmuka yang menakutkan
dari masa silam. Di luar kemah itu memang telah tersebar di kemah-kemah enam
ribu prajurit. Enam ribu prajurit yang telah bergabung. Prajurit itu
adalah prajurit-prajurit yang semula ditempatkan di Pengunungan
Kendeng dan prajurit-prajurit Watugaluh yang telah dibawa oleh
Pangeran Sikara ke Tembelang lebih dari sepekan lalu.
"Sepekan lagi, terhitung hari ini, penyerbuan atas Tembelang
dilaksanakan. Serentak. Dari empat penjuru mata angin. Selama
sepekan ini akan akan meminta orang dalam wujud kuwad?an
banija membayang-bayangi Tembelang, dan selama itu pula
mencegat siapa pun yang keluar atau masuk ke Tembelang.
Mencegat dari segala arah yang mungkin ditempuh oleh orang
609 untuk keluar atau masuk kota itu." Orang tua bermuka pucat itu
13 menegaskan kembali apa yang telah disampaikan beberapa saat
lalu di kemah itu. "Guru, bagaimana dengan anak muda itu" Anak muda dengan
kekuatan yang mengidikkan. Aku khawatir kehadiran anak muda
itu akan menghancurkan semangat prajurit-prajurit Watugaluh
dan sangat mungkin yang lainnya." Pangeran Sikara masih
menyimpan kegentaran terhadap anak muda yang telah
memporak-porandakan pasukan berkuda Watugaluh.
Memporakporandakan seorang diri. Di depan matanya, tanpa ia
dapat berbuat apa-apa. "Aku akan muncul padanya dan memancing dirinya keluar.
Memancing keluar agar anak muda itu tidak berada di Tembelang
untuk beberapa lama. Bila dimungkinkan, anak muda itu tidak
berada untuk selama-lamanya. Tidak berada selama-lamanya di
Tembelang atau di mana pun di Bhumi Mataram. Setelah aku
melenyapkan anak muda itu, aku akan menyusul ke Tembelang
dan kita akan langsung masuk ke Tembelang. Aku akan
mengirimkan pesan atas penyerbuan pada Tembelang, apabila
aku tidak segera muncul di kota itu." Orang bermuka pucat itu
mengatakan suatu rencana atas diri anak muda.
"Tidak ada lagi pertemuan. Semua berjalan atas peran masingmasing. Tidak ada lagi yang harus
ditunda. Ingat, tidak ada
penundaan." Mata orang tua pucat berkilat menakutkan saat
mengatakan peringatan. *** 610 Seorang tampak bergerak ringan, tangkas dan cepat. Ia bergerak
menyelinap ke Perguruan Merak Mas. Bergerak menuju bilik yang
sebelumnya telah dikunjungi dua kali. Ia ingat betul, kunjungan
pertama ke bilik itu merupakan undangan langsung dari
penghuninya sendiri. Pada kunjungan kedua, ia lakukan untuk
mengatakan sebuah rencana, namun urung. Saat kunjungan itu,
ia justru mendapatkan kembali sahabatnya yang telah
menghilang dua puluh tahun silam. Bukan dalam bentuk yang
menghilang itu telah kembali, melainkan menyatakan wujud
dalam sebuah pribadi, darah daging dari sahabat itu sendiri. Ia
mendapati sahabatnya dalam pribadi penerus mereka.
Kini ia berkunjung kembali ke bilik itu. Bilik dari seorang anak
muda. Biarpun dua hari sebelum Samaragrawita menutup mana,
ia telah diangkat menjadi Ketua Merak Mas, namun ia tetap
memilih di situ. Di situ dengan tiga alasan. Pertama, Perguruan
Ketua Merak Mas masih berkabung. Kedua, tidak memberi kesan
kepada kekuatan yang sedang mengancam Tembelang bahwa
Merak Mas telah memiliki Ketua baru. Ketiga, bilik itu sudah
mencukupi. Mencukupi dalam arti yang sebenarnya.
Orang itu sudah tiba di depan bilik itu. Tiba setelah dua hari lalu ia
bergerak membawa seribu lima ratus prajurit dengan
perlengkapan perang ke sebelah utara Tembelang. Ia mengiring
14 prajurit-prajurit itu bersama dengan Nenek Tenung. Prajuritprajurit itu telah bersiap di sana. Lima
hari lagi bergerak masuk ke


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tembelang. Masuk dari sisi utara kota itu.
Di bilik itu, anak muda itu telah menunggu. Memastikan tidak ada
orang yang mengikuti orang itu, anak muda itu membawa orang
yang datang kepadanya ke pesanggerahan. Pesanggerahan itu
telah dijaga ketat oleh puluhan prajurit dan murid-murid Merak
611 Mas. Di ruangan itu telah menunggu sejumlah orang, dengan
empat orang sudah dikenalnya. Ada di antara mereka empat
orang gadis. Semua orang di pesanggerahan itu menyambut
kehadiran dirinya penuh kehangatan. Bersama mereka, dirinya
sungguh-sungguh telah menemukan sesuatu yang telah lama
hilang: persahabatan. "Selamat datang Paman Wajra". Penguasa Tembelang yang
masih muda telah menyambutnya. "Adhi Arga, silahkan
mengambil-alih pembicaraan ini". Penguasa Tembelang itu
kembali berkata. Ia berkata pada orang yang baru datang
bersama Ki Wajra Sasmaka Kunta. Orang tua bertombak pendek
yang telah datang menyusup ke Perguruan Merak Mas.
"Terima kasih, Kakang." Anak muda itu langsung pada persoalan
yang dihadapi. Ia minta kepada Ki Wajra Sasmaka Kunta untuk
menyampaikan apa yang telah didapat.
"Engg?r kekuatan itu telah bergerak menyebar untuk masuk ke
Tembelang dari empat arah mata angin. Bergerak dua hari lalu,
dan kini sangat mungkin telah berada di tempatnya masingmasing. Besarnya prajurit sejumlah
seribu lima ratus orang pada
setiap posisinya. Aku sendiri bersama Nenek Tenung telah
bersiap di utara. Di selatan prajurit itu dipimpin oleh seorang
Pendeta dari negeri seberang. Ia didampingi oleh seorang
Pejabat Utama dari Poh Pitu. Keberadaan orang itu tidak terkait
dengan Penguasa Poh Pitu. Ia bergerak atas namanya sendiri."
Orang tua ini berhenti memberikan kesempatan bagi dirinya
berpikir. "Dari sebelah timur, prajurit dalam jumlah sama akan masuk
dengan dipimpin oleh Pangeran Sikara yang didampingi oleh
Duhkata Gandra (Muka Iblis). Sisanya seribu lima ratus orang
612 dipimpin oleh Utpala Waliwis (Blibis Teratai Biru) seorang diri. Ia
akan bergerak masuk dari barat. Seluruh kekuatan ini akan
bergerak serentak. Serentak pada empat lima hari ke depan.
Tapi, bisa lebih cepat dari itu. Mulai besok sebaiknya Tembelang
bersiap. Berjaga-jaga untuk setiap kemungkinan yang bisa
terjadi." Orang tua ini mengutarakan kemungkinan kapan
serangan prajurit-prajurit itu masuk ke Tembelang.
"Yang justru lebih diwaspadai adalah prajurit-prajurit yang telah
disusupkan. Mereka telah disusupkan sebagai pendeta-pendeta.
Mulai besok siapkan sejumlah kekuatan pada kuil-kuil.
15 Khususnya, kuil terdapat banyak pendeta. Sangat mungkin,
mereka adalah prajurit yang berada dalam penyamaran. Selain
itu, sejumlah prajurit juga telah diselinapkan dalam penyamaran
sebagai ahli dan buruh bangunan, pengrajin tikar dan kebutuhan
rumah tangga lain. Pada sejumlah tempat yang sedang didirikan
bangunan, apalagi melibatkan pekerja dalam jumlah besar,
sebaiknya tempat itu dipagari dengan kekuatan Tembelang.
Begitu juga dengan perkampungan-perkampung pengrajin,
khususnya pengrajian yang baru membuka atau datang ke
Tembelang, pada tempat itu juga harus diletakkan sejumlah
kekuatan." Orang tua bertombak pendek itu dengan sangat
cermat menguraikan rencana atas rencana untuk kekuatan yang
telah disusupkan. "Untuk kekuatan Tembelang yang hendak
diletakkan pada tempat-tempat itu sebaiknya prajurit dalam
penyamaran. Penyamaran dihadapi dengan penyamaran".
"Orang di balik semua ini adalah seorang bernama Pangeran
Abhipraya atau sebenarnya ju......" Perkataan itu terputus oleh
sebuah pertanyaan, yang langsung disambung dengan sebuah
jawaban. Pertanyaan dan jawaban dari anak muda yang sama.
613 "Siapa Paman" Ah, Pangeran Abhipraya. Maaf Paman, atas
kekurangpantasanku yang telah menyela penjelasan Paman."
Orang tua itu menangkap maksud anak muda itu. Anak muda itu
tidak ingin ia secara terbuka mengatakan siapa sebenarnya
Pangeran Abhipraya. "Sangat cermat." Orang itu pun tidak
meneruskan penjelasannya. Berhenti hingga di situ.
Demikian, sebagian rencana atas rencana telah dikatakan. Cepat
orang-orang di dalam pesanggerahan itu membagi tugas.
Diputuskan untuk membagi kekuatan Prajurit Tembelang dan
Perguruan Merak Mas menjadi empat kekuatan. Masing-masing
terdiri dari dua ribu prajurit Tembelang. Kekuatan ini akan
menghadang kekuatan lawan yang masuk dari empat penjuru
mata angin. Pengerahan kekuatan itu ditempatkan di luar batas
kota pada titik-titik tertentu yang sembunyi. Dilakukan pada
malam hari dengan cara diam-diam. Hal ini untuk mengejutkan
prajurit yang datang sekaligus tidak membuat warga Tembelang
menjadi panik dan ketakutan. Warga Tembelang yang sedang
berduka. Selain menempatkan kekuatan penghadang, pada pertemuan itu
juga telah dibagi kekuatan untuk menghadapi Wilmuka atau tokoh
mumpuni lain di pihak lawan.
Ki Gardapati dan empat gadis itu menempatkan penghadangan di
sebelah utara. Kelompok ini akan menghadang Nenek Tenung. Ki
Gardapati membawa dua ribu prajurit Tembelang dan lima puluh
murid Merak Mas. Ki Gardagarjita dan Ki Antargata serta Labdajaya akan
menghadang di selatan. Mereka akan menyongsong prajuritprajurit yang dibawa Pendeta negeri
seberang dan Pejabat Poh Pitu. Bersama Ki Gardagarjita dilengkapi dua ribu prajurit
16 614 Tembelang dan lima puluh murid Perguruan.
Arga dan Janaloka serta tiga Murid Utama Merak Mas
menyongsong prajurit-prajurit Pangeran Sikara dan Muka Iblis di
timur. Kecuali membawa dua ribu prajurit Tembelang, Ki
Gilingwesi membawa seratus murid Merak Mas.
Ki Gilingwesi dan Ki Cutajanma dan sepuluh Murid dari Bukit Suci
mencegat di sebelah barat untuk menghalau Utpala Waliwis
(Blibis Teratai Biru). Untuk melapis kekuatan penghalau di barat,
dua ratus Murid Merak Mas ditempatkan bersama dua ribu prajurit
Tembelang. Demikian kekuatan Tembelang telah terbagi. Terbagi menurut
empat arah mata angin untuk menghalau kekuatan yang telah
digerakkan. Sebagai langkah nyata, pada malam itu juga
Senopati-Senopati Utama Tembelang telah bergerak. Bergerak
diam-diam dan hati-hati menempatkan sejumlah prajurit
Tembelang tahap demi tahap pada kedudukan yang ditetapkan
untuk menghalau kekuatan yang datang. Kedudukan yang akan
mengejutkan lawan. Kedudukan yang ditetapkan berdasarkan
Rancana Tumrap Rancana (Rencana atas Rencana).
Tiga orang telah berdiri, ingin undur diri dari pesanggerahan itu.
Mereka adalah Arga, Ki Wajra Sasmaka Kunta dan Pangeran
Janaloka. Setelah meninggalkan pesanggerahan mereka tidak
segera berpisah pergi. Anak muda itu mengajak orang tua dan
Pangeran muda itu ke biliknya. Mereka bertiga membicarakan
apa yang sebelumnya telah diputus oleh anak muda itu.
"Maaf, Paman Wajra...." Tidak ingin mendengarkan apa yang
memang tidak perlu dikatakan anak muda itu, Ki Wajra Sasmaka
Kunta ganti memutus kalimat anak muda itu.
"Engg?r, Paman mengerti. Biar sekarang Paman akan katakan
615 apa yang tadi telah terputus." Orang tua bertombak pendek itu
mengerti bahwa apa yang akan dikatakannya cukup diketahui
oleh mereka bertiga saja. Paling tidak untuk malam ini. Orang tua
itu pun menyebut sebuah nama sebagai nama lain dari Pangeran
Abhipraya, tokoh di balik banyak kegemparan. Mendengar nama
itu, sontak Pangeran itu kaget. Sebelumnya, ia sering mendengar
nama itu. Mendengar dari anak muda itu atau dari dua gadis dan
juga dari dua orang tua. "Orang itu sangat khawatir akan kehadiran Engg?r Arga. Sebelum
prajurit-prajurit bergerak, ia akan muncul ke hadapan Engg?r dan
memancing Engg?r keluar agar Engg?r tidak berada di
Tembelang untuk beberapa lama. Katanya, bila dimungkinkan
tidak berada untuk selama-lamanya." Wajah orang tua itu terlihat
geram. Sementara, wajah Pangeran menjadi sangat tegang.
Ketegangan itu mengisi hatinya menggantikan rasa terkejut yang
sudah ada sebelumnya. "Orang itu akan membunuhku" Anak
muda itu membatin. "Mengapa ini semua bisa dan harus terjadi?"
17 Wajah anak muda itu begitu muram dan terlihat kesedihan
mengganjal dua matanya. "Engg?r, sebaiknya Engg?r mengikuti permainan orang itu.
Keluar dengan orang itu." Orang tua itu mengatakan suatu saran.
Tepatnya, sebuah rencana. Rancana Tumrap Rancana yang lain.
"Ini penting untuk memagari kekuatan orang itu. Kekuatan Mata
Petir Intan Biru. Orang itu bersama dengan kekuatan Mata Petir
Intan Biru sebaiknya tidak muncul di pertempuran. Kekuatan di
tangan orang itu akan menuai banyak korban. Untuk itu,
sebaiknya Engg?r menarik orang itu keluar dari medan perang".
Ki Wajra Sasmaka Kunta mengajukan alasan atas rencana itu.
Anak muda itu menimbang apa yang telah diajukan Ki Wajra.
616 "Benar. Apa yang Paman Wajra katakan sepenuhnya benar.
Apalagi, kehadiran orang itu juga akan mempengaruhi beberapa
orang yang telah mengenal orang itu. Mengenal dalam waktu
yang lama. Mengenal dalam wujudnya yang lain. Wujud yang
berbeda." Anak muda berkata lirih, lalu menganggukkan kepala.
Anak muda itu setuju atas usul Ki Wajra Sasmaka Kunta.
Mengikuti permainan Pangeran Abhipraya, ada kemungkinan
Arga tidak berada pada saat penyerbuan berlangsung. Atas hal
ini disiapkan sedikit perubahan. Kedudukan Arga digantikan oleh
Ki Gilingwesi. Dengan perubahan itu, maka Ki Gilingwesi
disiapkan akan bersama dengan Janaloka serta tiga Murid Utama
Merak Mas menyongsong Pangeran Sikara dan Muka Iblis di
timur. Sementara, Ki Cutajanma dan sepuluh Murid dari Bukit
Suci mencegat di sebelah barat untuk menghalau Utpala Waliwis
(Blibis Teratai Biru). "Kakang, tolong sampaikan perubahan ini kepada Paman
Gilingwesi dan Paman Cutajanma. Aku sendiri yang akan
mengatakan keberadaanku kepada yang lain. Keberadaan saat
mengikuti permainan Pangeran Sepuh itu".
"Engg?r, agaknya Paman telah terlalu lama meninggalkan Nenek
Tenung. Sebelumnya, Paman mengatakan pergi tidak lama untuk
membayangi Tembelang. Terlalu lama pergi, Paman khawatir
Nenek itu menjadi curiga. Curiga sehingga mengubah segala
rencana mereka. Sekarang Paman undur diri. Ingat Engg?r,
orang itu akan muncul satu dua hari ini. Bersiap-siaplah, lahir
batin." Ki Wajra Sasmaka Kunta memberikan peringatan kepada
anak muda. Suatu persiapan lahir batin! Orang tua itu mengerti isi
hati anak muda itu: ada di persimpangan!
Demikian, orang tua bertombak pendek pun pergi. Pergi dengan
617 sebuah janji untuk setiap malam bertemu. Bertemu dengan anak
muda itu di suatu tempat. Tempat di mana setiap pagi hingga
senja sejumlah branjangan bermain. Mereka bertemu di situ
untuk membicarakan setiap perkembangan yang terus
berlangsung. 18 Seperti pada saat datang, orang bertombak pendek bergerak
menyusup hati-hati, begitu pun saat pergi, ia bergerak hat-hati
menyelinap. Menyelinap untuk kembali ke kemah. Kemah prajurit
di sebelah utara di luar Kota Tembelang.
*** Satu hari kemudian. Pada senja hari. Di sebuah bilik, sejumlah
orang telah bergembira. Gembira atas kehadiran seorang tua.
Sudah sangat tua. Ia datang dari sebuah padepokan. Padepokan
yang asri. "Eyang, Kanistha kangen dan rindu sekali". Telah beberapa kali
gadis itu mengungkapkan rasa kangen dan rindu pada orang tua
dari padepokan itu. Sering ia memeluknya saat menyatakan
kangen dan kerinduan itu.
"Eyang bosan sendirian di padepokan. Paman Gardagarjita dan
Labdajaya tidak juga kunjung kembali. Padahal, sudah lewat dua
pekan. Eyang pun lalu memutuskan pergi menyusul ke Merak
Mas." Orang tua itu terdiam, wajahnya membayang kesedihan.
"Ah, Samaragrawira... Suddha Manyura ... Suddha Manyura
(Merak Putih). Aku sangat menyesal tidak dapat menjumpai.
Sungguh, semua itu menjadi cepat, begitu cepat berlalu dan
berakhir. Ah, Suddha Manyura." Sangat mendalam orang tua itu
menyatakan duka. Terlihat tampak mendalam.... Cukup lama
618 orang tua itu terdiam. "Nakmas Arga, ada yang ingin Eyang tunjukkan pada Nakmas.
Sebenarnya, malam ini juga Eyang ingin mengajak Nakmas
melihat itu. Tapi, keadaan Tembelang tidak memungkinkan hal
itu. Sulit. Sangat sulit meninggalkan Tembelang saat ini. Walau
hanya satu dua hari. Ah, biarlah Eyang menundanya". Orang tua
itu memasang wajah kecewa. Dalam kecewa itu, segumpal getah
nangka yang pekat lengket telah dibalurkan pada sebatang dahan
untuk memerangkap seekor branjangan. Branjangan yang telah
mencemaskannya. "Satu dua hari. Kakang.... Hanya satu dua hari. Ayolah, Kakang.
Penuhi permintaan Eyang.... Kumohon." Seekor srigunting justru
telah masuk terjebak oleh getah pada dahan itu. Srigunting itu
telah merajuk pada branjangan. Branjangan yang telah
mengetahui ada perangkap yang dipasang. Perangkap untuk
dirinya. Atas perangkap yang telah dipasang itu, sang branjangan
sengaja akan memberikan dirinya masuk dalam perangkap itu.
"Baik, Eyang. Arga akan ikut Eyang. Tapi tidak malam ini. Paling
telat, besok siang Arga akan berangkat. Harus izin pada
Pangeran Janaloka. Jadi, setidaknya besok malam Arga akan
berada di tempat itu" Gembira dan senang. Orang tua itu telah
menjadi senang dan gembira. Ia pun memeluk Kanistha.
Memeluk untuk berterima kasih pada gadis itu.
"Nakmas Arga, malam ini Eyang berangkat lebih dahulu. Di atas
bukit padepokan Eyang menunggu Nakmas Arga di sana."
Sebuah tempat dinyatakan oleh orang tua itu. Tempat di sebuah
19 bukit. Bukit dekat padepokan. Padepokan yang asri.
619 *** Pagi hari setelah malam sebelumnya orang tua itu pergi. Di bilik
Ki Gardapati, seorang gadis telah menangis keras. Sangat keras.


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menangis sambil memeluk orang tua penghuni bilik. Tiga
pasang mata, termasuk sepasang mata penghuni bilik itu,
membelalak tidak percaya. Tidak percaya dengan apa yang baru
saja diutarakan anak muda itu.
"Paman, apakah mungkin seorang yang sama menampilkan diri
dalam wujud dua orang. Dua orang dengan sifat yang berbeda?"
Begitulah anak muda itu memulai apa yang baru saja
diutarakannya. Membuka dengan sebuah pertanyaan.
Pertanyaan yang sangat membingungkan. Selepas pertanyaan
yang membingungkan itu, penjelasan anak muda itu mengalir.
Mengalir begitu cepat, hingga sampai pada sebuah kesimpulan.
Kesimpulan itu telah membuat Kanistha menangis keras
sekaligus membuat tiga pasang mata terbelalak.
Mereka akan menggempur siapa saja yang telah mengatakan
kesimpulan itu. Tapi, kesimpulan itu keluar dari Chandrakapala
Ascarya sendiri. Sang figur terdepan pada ikatan mereka. Figur
yang telah menyatakan sikap berhadapan dengan segala
kekuatan yang berkeinginan membuat kekacauan di Bhumi
Mataram. Kecauan apa pun dan oleh siapa pun.
Seluruh dan seutuhnya batin empat orang itu bergolak. Bergolak
seperti terhantam dhedhet erawati (gemuruh topan). Mereka
dihadapkan pada dua pilihan: percaya dengan apa yang
dikatakan atau percaya dengan siapa yang mengatakan. Pilihan
yang sangat sulit. Tidak hanya sulit, tapi pilihan itu telah
menghempaskan empat orang itu ke dalam jurang nestapa yang
paling curam dan kejam. Terutama, bagi Kanistha.
620 "Paman, bagaimana pun ini adalah suatu kenyataan atau setidaktidaknya kemungkinan. Kenyataan
atau kemungkinan yang harus
dihadapi. Dihadapi sekejam atau sebengis apapun." Anak muda
itu menatap lembut tiga pasang mata itu. Menatap untuk
memberikan kekuatan. Kekuatan melewati kenyataan atau
kemungkinan itu. "Paman, aku akan segera pergi. Mohon Paman menjaga Bibi
Kanistha untukku." Perlahan anak muda itu bangkit dan untuk
meninggalkan empat orang di bilik itu. "Ia telah meminta Paman
Gardapati menjaga diriku baginya?" Sebuah permintaan yang
sangat berguna. Berguna memberi ruang bagi sesuatu yang lain
untuk mengisi hati gadis itu. Sesuatu yang lain itu segera bergetar
menyebar mengisi sebagian besar hati yang telah terguncang.
Hati itu segera menjadi lebih ringan.
"Kakang, jangan menjatuhkan tangan yang berat bila memang itu
20 kenyataannya." Sesuatu yang bergetar itu telah menguatkan
gadis itu menerima segala kemungkinan, bahkan suatu
kenyataan. "Syukurlah, Bibi telah menerima kemungkinan itu".
Anak muda itu pun pergi. Pergi ke bukit di dekat padepokan.
Padepokan yang asri. Di tempat itu ia akan menjalankan suatu
peran. Peran dari Rancana Tumrap Rancana. Rencana atas
Rencana. * Semalam, tidak lama setelah orang tua dari padepokan
meninggalkan perguruan Merak Mas. Dua orang telah bertemu.
Sesuai dengan janji mereka. Di sebuah bukit tempat sejumlah
branjangan biasa bermain. Dua orang itu membicarakan
sandhung watang (sesuatu yang sangat penting, yang tidak boleh
621 diabaikan). Suatu yang menentukan. Bagian terakhir Rancana
Tumrap Rancana. Rencana atas Rencana. Anehnya, bagian akhir
itu justru akan dilaksanakan mengawali rencana lain yang
mendahului. "Paman senja tadi orang tua itu telah datang dan mengundang
aku ke bukit tempat aku dan dirinya sering bersama di padepokan
itu. Besok siang aku akan berangkat ke tempat itu dan
menemuinya." Orang tua yang dipanggil Paman itu tampak
gemetar. Ia gemetar karena kemarahan. Begitu murka, orang tua
itu telah menanjapkan dengan kuat tombak pendek di tangan
kanan pada sebatang pohon besar di sisi kanan mereka berdiri.
Pohon itu bergoyang keras. Sangat keras menerima tenaga yang
telah dialirkan pada tombak pendek itu. Tenaga itu dialirkan untuk
melepaskan kemurkaannya. Mereka berdua sepakat untuk datang ke tempat itu. Datang untuk
memastikan apakah suatu kemungkinan itu memang merupakan
suatu kenyataan. Kenyataan yang membingungkan. Setidaknya
sampai saat ini. "Engg?r, kita akan pergi. Tapi kita pergi tidak bersama. Paman
mungkin tiba lebih dahulu. Paman akan berangkat pagi hari. Pada
saat yang tepat nanti, Paman akan muncul. Paman berusaha
akan menahan diri. Sekuat tenaga." Orang itu terlihat memegang
tombak pendeknya dengan erat. Sangat erat, saat ia
mengatakan, "Paman berusaha akan menahan diri. Sekuat
tenaga". Tidak lama setelah berkata demikian, orang tua bertombak
pendek itu pun menyelinap cepat pergi. "Akhirnya. Akhirnya aku
akan bertemu dengan Abhinaya...Abhipraya...Entah siapa lagi
orang telah menyebutnya. Menyebut pemilik Racun Maha Dewa.
622 Racun yang telah membunuh dua Saudaraku". Orang tua itu
tersenyum puas. Seperti orang tua bertombak pendek, anak muda itu pun pergi.
Tapi, ia tidak menyelinap melainkan berjalan ringan. Berjalan
21 sambil berpikir bagaimana ia akan menyampaikan siapa
sesungguhnya Pangeran Sepuh Abhinaya. Siapa sebenarnya
Eyang Kawiswara. Memikirkan bagaimana menyampaikan siapa
sebenarnya orang itu kepada orang-orang dari Padepokan
Chandrakapala: Ki Gardapati, Ki Gardagarjita, Kakang Labdajaya,
dan terutama Bibi Kanistha. "Ah, pertanyaan itu. Pertanyaan yang
pernah aku ajukan kepada Paman Wajra Sasmaka Kunta. Aku
akan memulai penjelasanku dengan pertanyan itu. Anak muda itu
cepat berlalu, sebab ia telah menemukan titik terang dalam
sebuah pertanyaan: Apakah mungkin seorang yang sama
menampilkan diri dalam wujud dua orang" Dua orang dengan
sifat yang berbeda" "Ah, Guru telah mengutus salah seorang Wilmuka menemui anak
muda itu. Luar biasa. Anak muda itu pun rupanya menjadi bagian
dari rencana Guru. Pantas anak itu menyimpan sesuatu yang luar
biasa." Orang itu menarik kesimpulan bagi dirinya sendiri. Ia
memang baru saja tiba di tempat persembunyiannya. Ia baru tiba
saat orang tua bertombak pendek akan segera pergi. Pergi
meninggalkan anak muda. Orang tua bertombak pendek pasti
telah menemui dan bicara dengan anak muda itu lalu kemudian
pergi. "Selalu. Guru selalu saja terus mengalirkan kejutan. Termasuk
melibatkan anak muda itu. Tapi bagi Sarkara kejutan itu telah
terbuka. Terbuka telanjang......" Ia memuji betapa hebat dirinya.
Orang itu pun menampakkan diri dari persembunyian. Tampak
623 seorang dalam wujud kuwad?an banija yang dengan lincah
bergerak pergi. Ia bergerak dengan sebuah senyum tersungging.
Senyum kemenangan, bahwa Gurunya tidak dapat
menyembunyikan kejutan apapun darinya. Kejutan. Memang,
sebuah kejutan. Hanya saja Sarkara yang luar biasa itu telah
luput sangka. Luput sangka tentang siapa yang nanti akan
menjadi terkejut. *** Jarak antara Tembelang dengan padepokan itu setidaknya
ditempuh satu setengah hari penuh dengan jalan kaki. Bila
ditempuh dengan berkuda, cukup setengah hari saja padepokan
itu dapat dijangkau. Seekor kuda telah dipacu dengan cepat.
Dipacu oleh seorang anak muda. Di ujung senja, anak muda itu
telah tiba di kaki bukit itu. Ia memilih suatu tempat. Beristirahat
sambil menunggu malam. Sebenarnya, anak muda itu tidak
Pendekar Pemanah Rajawali 3 Dewa Arak 59 Titipan Berdarah Bidadari Dari Sungai Es 5
^