Pencarian

Si Teratai Merah 1

Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com
ceritasilat Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo ini diambil dari http://indoz one.net/ yang di update oleh alysa....
thank to alysa... 01.01. Tuan Muda Tak Bermalu
Malam gelap gulita. Udara pekat dan seluruh
kampung Ban-hok-cung terbungkus kehitaman malam
dan hanya diterangi sedikit cahaya lampu-lampu lilin
yang keluar menembus celah-celah dinding rumah-
rumah kampung dan beberapa buah bintang yang
kebetulan tak tertutup Mega.
Kentungan penjaga kampung berbunyi duabelas kali
ketika di antara genteng rumah berkelebat bayangan
tiga orang yang bergerak dengan gesit sekali. Tiga
sosok bayangan itu berloncat-loncatan melalui
beberapa petak rumah dan akhirnya mereka
meloncat ke atas rumah Han Siucai yang telah sunyi
karena semua penghuninya telah tidur lelap.
Setelah meneliti keadaan di sekitar rumah yang sunyi
senyap itu, seorang di antara mereka menggunakan
goloknya membongkar jendela. Dengan sekali bacok
jendela terbuka dan berbareng dengan gerakan itu,
terdengar jeritan seorang anak-anak menggema
keluar dari dalam kamar itu. Mereka tak
memperdulikannya dan langsung meloncat
menerobos jendela. Han Siucai dan isterinya terkejut mendengar jeritan
anak mereka, dan sebelum mereka tahu benar apa
yang telah terjadi, tiba-tiba saja tampak tiga orang
bersenjata golok telah berdiri di depan pembaringan!
Nyonya Han akan berteriak, tapi dengan sebat
seorang dari para tamu-tamu malam itu mengulurkan
tangan dan menotok urat gagu nyonya cantik itu
sehingga menjadi lemas tak berdaya. Nyonya muda
itu sedikitpun tak dapat melawan ketika penjahat
yang menotoknya secepat kilat memondongnya dan
membawanya meloncat keluar jendela.
Timbul keberanian Han Siucai. Ia memaki, "Bangsat
rendah! Kembalikan isteriku!" Tapi belum juga habis
makian itu keluar dari mulutnya, dua buah golok
menyambar dan ia roboh mandi darah, dan tewas di
saat itu juga setelah mengeluh, ""?""Lian"?"?"
Seorang nenek tua, ibu Han Siucai, dengan tergopoh-
gopoh memasuki kamar itu karena mendengar suara
gaduh, tapi ia datang hanya untuk menemul ajalnya
di ujung golok yang menancap di dadanya! Darah
berhamburan keluar dari kedua mayat itu memenuhi
kamar, merah kehitam-hitaman! Ngeri, sungguh ngeri!
"Eh, suko, mana anaknya?" bertanya seorang
daripada kedua penjahat itu.
"Entah, itu tempat tidurnya!" Mereka menghampiri
dengan wajah beringas. Seorang menyingkap
kelambu, seorang pula mengangkat golok siap
membacok. Tapi ternyata pembaringan kecil itu
kosong. Ke manakah larinya anak kecil yang mereka
cari" Ternyata ketika mendengar jendela dibacok orang,
Han Lian Hwa, puteri Han Siucai satu-satunya yang
tidur di kamar itu pula, menjerit ketakutan turun dari
pembaringan dan segera lari keluar sehingga ia tidak
melihat ibunya di bawa lari orang dan ayah serta
neneknya dibunuh secara mengerikan.
"Mari kita cari dia, tak mungkin ia pergi jauh. Barusan
ia masih menjerit di kamar ini." Berkata penjahat
yang memimpin serbuan itu.
"Baik, suko, kita harus ketemukan dan bunuh anak
itu, kalau tidak, pasti Bong-kongcu akan marah
kepada kita." Mereka mencari-cari di dalam rumah dan seorang
pelayan yang membantu rumah tangga Han Siucai
mereka bunuh pula. Tapi anak itu tak tampak bayang-
bayangannya! Mereka segera mengejar keluar.
Akhirnya setelah mencari ubek-ubekan, mereka
melihat anak itu berlari-lari menjauhi rumahnya, jatuh
tersaruk-saruk dan menangis perlahan. Mereka segera
mengejarnya. Pemimpin penjahat yang larinya lebih
cepat daripada sutenya, dengan cepat sekali dapat
mengejar anak kecil itu, dan tanpa berkata apa-apa,
ia langsung mengangkat golok dan mengayunkan itu
ke arah batang leher Han Lian Hwa!
"Traaang!" terdengar goloknya beradu dengan barang
keras sehingga berpijarlah bunga api! Thai-pa-cu Kong
Liat si Macan Tutul Besar terkejut dan memandang
goloknya yang sedikit gempil ujungnya.
"Setan! Siapa berani main gila!" teriaknya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang ganjil diikuti
keluarnya seorang hwesio yang bertongkat toya
besar. "Siancai, siancai"?"" sungguh kejam benar hatimu.
Orang tuanya kau bunuh, begitu pun emaknya, kini
engkau masih hendak membunuhnya?"
"Eh, jangan ngoco belo! Siapa yang membunuh?"
menyangkal Kong Liat dengan kaget dan kuatir
karena perbuatannya ketahuan orang.
"Ha-ha"?"" ternyata kamu pengecut. Berani berbuat
tak berani bertanggung jawab. Kalau tak terlambat
kedatanganku, tak mungkin engkau bisa
menghamburkan darah begitu banyaknya,"
menjawab pendeta itu. Sementara itu Siauw-pa-cu Ban Kim Ji dengan tak
sabar dan kuatir mencela,
"Suko, untuk apa ribut-ribut" Bereskan saja si gundul
ini, aku yang membereskan anak itu!"
Dengan kata-kata itu ia segera bergerak ke arah Han
Lian Hwa sedangkan Thai-pa-cu memutar goloknya,
lalu dengan gerakan Hui-eng-bok-tho atau Elang
Terbang Menyambar Kelinci ia menyerang ke arah
leher hwesio itu. "Hm, Siauw-jin (orang rendah) yang tak kenal
perikemanusiaan!" Hwesio itu mendamprat sambil
meloncat ke arah Han Lian Hwa, dengan cepat
sehingga serangan Thai-pa-cu tak berhasil.
Siauw-pa-cu yang mengayun goloknya untuk
membunuh anak itu kalah cepat. Sebelum goloknya
dapat mencelakakan anak itu, si hwesio dengan sebat
telah menangkis dengan toyanya lalu menyambar
Han Lian Hwa dengan tangan kiri.
Kedua macan tutul (gelaran mereka) menjadi gusar
sekali dan dengan berbareng mereka menyerang.
Kong Liat menyerang dari kiri dengan tipu Liong-ting-
ti-cu (Ambil Mutiara di Atas Kepala Naga), goloknya
mengeluarkan desiran angin ketika menyambar ke
arah leher si hwesio, sedangkan adik seperguruannya
menyerang dengan tipu Thai-kong-tiauw-hi (Kiang Thai
Kong Pancing Ikan), goloknya menyerang dari kanan
ke arah pinggang musuhnya.
Tapi, biarpun dikeroyok dari kanan kiri padahal sedang
memondong seorang anak kecil, hwesio itu tidak
gentar. Ia menggunakan sebelah tangan kanannya
memutar toyanya dengan gerak tipu Kiap-san-ciu-hai
(Mengempit Gunung Melintasi Lautan). Dengan
menggerakkan kepalanya sedikit ke bawah ia
menghindarkan serangan Kong Liat dan putaran
toyanya dapat membikin terpental golok Ban Kim Ji.
Baru bergebrak beberapa jurus saja ternyata kedua
penjahat itu bukan tandingan hwesio itu. Tiap kali
golok mereka beradu dengan sambaran toya, mereka
merasakan telapak tangan mereka pedas dan perih
sehingga hampir saja golok mereka terlep as dari
cekalan. "Mundur!" Kong Liat memberi isarat kepada kawannya
dan mereka segera meloncat ke luar kalangan
pertempuran, namun hwesio kosen itu tidak mau
berhenti sampai di situ saja. Untung toyanya
menyambar gesit dan dengan suara "pletak!" kaki kiri
Ban Kim Ji terkena sapuan toya.
Ban Kim Ji berteriak ngeri dan rebah di tanah tak
berdaya. Kakinya sebelah kiri ternyata patah
tulangnya. "Seharusnya manusia macam engkau ini patut
dibunuh, tapi pinceng tidak mau melanggar pantangan
membunuh. Nah, semoga pelajaran ini dapat
mengubah kelakuanmu yang buruk," gerutunya
kepada korbannya itu. Kemudian ia lalu mengenjot
tubuhnya menyusul Kong Liat yang lari ketakutan
ketika mendengar teriakan kawannya yang terluka.
Siapakah Han Siucai yang terbunuh itu" Dan mengapa
dibunuh" Beberapa tahun yang lalu, pada waktu Han Bun Lim
masih bertunangan dengan Lo Kim Eng, ia menanam
bibit permusuhan dengan Bong-kongcu. Han Bun Lim
hanya hidup berdua dengan ibunya dan pertunangan
dengan nona Lo Kim Eng terjadi sejak mereka masih
kecil. Lo Kim Eng adalah puteri dari Lo Sim Tat,
seorang pedagang kecil di kampung Lun-kee-cun
beberapa puluh lie jauhnya dari kampung Han Bun
Lim. Bibit permusuhan itu sebenarnya ditimbulkan dari
pihak Bong-kongcu yang terkenal mata keranjang.
Pada suatu hari Bong-kongcu melihat kecantikan Lo
Kim Eng dan timbul cintanya kepada gadis cantik itu.
Berdasarkan kekuasaan ayahnya, hartawan Bong
yang terkenal mempunyai hubungan pengaruh besar
dengan para pembesar di kampung maupun di kota,
Bong-kongcu tidak memperdulikan kenyataan bahwa
gadis itu telah mempunyai tunangan. Ia mengajukan
lamaran dengan perantaraan seorang comblang.
Tentu saja lamaran itu ditolak oleh pihak keluarga Lo
yang menimbulkan perasaan marah di pihak Bong-
kongcu. Tapi pemuda hidung belang itu tidak berdaya
untuk mencelakakan dan mengganggu Han Bun Lim,
karena pemuda ini mempunyai seorang paman di
kota yang berpangkat Tihu dan terkenal sebagai
seorang yang adil dan jujur. Maka dendam hatinya
ditahan-tahannya dan ia hanya dapat melihat dengan
hati iri dan penasaran ketika Han Bun Lim setelah
lulus ujian dan mendapat sebutan Han Siucai kawin
dengan tunangannya itu. Beberapa tahun kemudian, karena sudah terlampau
tua, paman Han Siucai mengundurkan diri dari
pekerjaannya, pulang ke kampung dan meninggal
dunia beberapa tahun yang lalu. Sementara itu Han
Siucai telah mendapat seorang anak perempuan yang
diberi nama Han Lian Hwa. Ia hidup berempat dengan
isteri, ibu dan anaknya, karena orang tua Lo Kim Eng
telah meninggal dunia pula ketika penyakit menular
yang hebat mengamuk di kampung mereka.
Pengaruh hartawan Bong makin besar ketika
puteranya yang sulung diberi pangkat, yang
didapatnya karena pengaruh sogokan uang kepada
pembesar atasan. Bong-kongcu sebagai putera bungsu
dan dimanja, makin menjadi binal. Ia masih merasa
penasaran dan sakit hati kepada Han Siucai dan
isterinya. Selain terkenal akan kerakusannya terhadap
paras elok, Bong-kongcu suka pula mengumpulkan
guru-guru silat yang terdiri dari buaya-buaya darat,
belajar silat dari mereka dan sekalian memelihara
mereka sebagai tukang pukulnya.
Pada suatu sore di kampung Ban Hok Cun itu gempar
dengan munculnya seorang pengemis yang minta
sedekah dengan cara paksa. Di tiap pintu ia minta
uang, dan takkan pergi dari tengah ambang pintu
sebelum diberi uang. Dan ia minta uang dengan
ditetapkan jumlahnya! Tidak mau kurang dari lima chi!
Ada beberapa orang yang memberi dua chi, tapi
pengemis itu meremas uang itu sehingga dua keping
tembaga itu menjadi hancur! Tentu saja hal itu
menimbulkan ribut dan takut.
Bong-kongcu yang mendengar akan hal ini segera
mengumpulkan tukang pukulnya dan mencari
pengacau itu. Ia ingin memperlihatkan kekuasaannya
dan ia merasa penasaran bahwa di kampungnya ada
orang yang berani main gila, seakan-akan tidak takut
kepadanya! Bong-kongcu dan tukangpukul-tukangpukulnya
melihat pengemis itu tengah berdiri di depan pintu
sebuah kedai arak. Pakaiannya compang- camping,
kaki kiri bersepatu baru kaki kanannya telanjang,
tubuhnya kurus tinggi, tapi kedua matanya bersinar
tajam. Melihat keadaan orang yang sama sekali tidak
menakutkan itu, Bong-kongcu lalu maju menghampiri
dan membentak, "He, anjing kurus! Engkau berani mengacau desa
kami" Hayo pergi dari sini, kalau kau ingin tulang-
tulangmu yang kurus itu selamat!"
Si pengemis menengok kepada Bong-kon gcu dan
memandang pemuda dan anak buahnya dengan
mata mengejek. "Hm, hm, banyak lalat hijau di kampung ini. Pantas
saja karena ada sarang madunya!" Ia lalu membuang
muka dan tidak memperdulikan mereka lagi.
"Kurang ajar!" teriak Bong-kongcu dan memerintah
anak buahnya, "Hajar anjing tua ini!"
Enam orang tukang pukul maju mendekati pengemis
itu dengan wajah menyeringai. Mereka memandang
rendah kepadanya dan menyangka bahwa mereka
akan mudah melakukan perintah itu. Pang Houw
jagoan yang terkenal paling galak dan paling berani di


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

antara semua tukang pukul Bong-kongcu, mengayun
kepalan tangannya yang sebesar buah kelapa
menghantam telinga pengemis itu. Pang Houw
dijuluki orang Ouw-goe si Kerbau Hitam, tenaga
tangannya ratusan kati dan ia telah melatih kedua
tangannya memukul pasir beberapa tahun lamanya,
maka bukan main hebatnya tenaga pukulannya.
Semua orang mengira bahwa pasti kepala pengemis
itu akan pecah-pecah atau sedikitnya matang biru
terkena pukulan si Kerbau Hitam kali ini. Tapi ternyata
dugaan mereka meleset. Dengan tenang pengemis itu
menanti sampai kepalan tangan Pang Houw sudah
datang dekat, lalu dengan sebat ia miringkan kepala
mengelak, kemudian menangkap tangan itu dengan
tangan kiri dan dipencet perlahan.
Alangkah herannya semua orang melihat si Kerbau
Besi berkaok-kaok seperti kerbau disembelih ketika
lengannya yang besar berbulu itu dipencet perlahan
saja oleh tangan pengemis yang kurus kecil. Si
pengemis hanya tertawa ha-ha hi-hi.
"Heh, heh, heh, orang macam ini mau menjadi
jagoan" Kongcu salah pilih orang dan
menghamburkan emas dengan percuma!" demikian
katanya sambil memandang Bong-kongcu.
"Hayo keroyok!" terdengar teriakan-teriakan para
tukang pukul kawan si Kerbau Besi.
Tapi tiba-tiba Bong-kongcu berseru, "Tahan!" dan
semua anak buahnya mengurungkan niat mereka
mengeroyok si pengemis. Bong-kongcu mendapat pikiran baik sekali. Ia melihat
bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan dan
jauh lebih lihai jika dibandingkan dengan para tukang
pukulnya. Ia dapat menaksir bahwa gentong-gentong
nasi yang tiada guna itu takkan sanggup
mengalahkan si pengemis yang lihai, maka ia
menggunakan siasat yang menguntungkan. Dengan
muka manis ia maju selangkah ke arah pengemis itu
dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Maafkan aku yang muda tidak mengenal kelihaian
lo-suhu." Pengemis itu memandang Bong-kongcu, atau lebih
tepat mengamat-amati pakaian pemuda yang sangat
mewah dan mahal itu. Kemudian ia tertawa bergelak-
gelak. "Ah, aku pengemis hina dina tak pantas mendapat
hormatmu, kongcu," iapun membalas dengan hormat.
"Aku harap lo-suhu suka memberi ampun kepada
para kawan-kawanku ini atas kekurangajaran
mereka." "Tidak apa, tidak apa. Kalau tidak berkelahi tentu
tidak akan kenal," jawab pengemis itu.
"Bolehkah kiranya aku mengetahui nama lo-suhu
yang mulia?" "Orang panggil aku Pek-bin-houw Cong Cit."
Bong-kongcu merasa girang karena ia telah
mendengar nama Cong Cit si Harimau Muka Putih ini.
Di kalangan Liok-lim ada seorang perampok tunggal
yang bekerja seorang diri bernama Cong Cit akan
tetapi kini telah mengundurkan diri dari pekerjaan
merampok. Kembali ia memberi hormat. "Sudah lama aku
mendengar nama lo-suhu yang terkenal gagah.
Sungguh beruntung hari ini dapat bertemu muka dan
berkenalan. Pertemuan ini harus dirayakan dengan
minum arak dan makan besar."
"Makan besar" Arak" Ha-ha! Kongcu tahu benar
kesukaanku." Si pengemis tertawa bergelak-gelak
sambil menjulurkan lidah menjilat-jilat bibir. Sambil
menggandeng tangan pengemis yang kurus itu Bong-
kongcu berjalan menuju ke arah kedai arak yang
terbesar di kampung itu, diiringi oleh semua anak
buahnya. Demikianlah, dengan omongan manis dan siasat yang
halus Bong-kongcu berhasil menahan si Harimau Muka
Putih untuk tinggal di gedungnya dan menjadi
pelindungnya. Pek-bin-houw Cong Cit memang
seorang yang sudah rusak moralnya, sungguhpun
kepandaiannya sangat tinggi, namun ia masih sangat
tamak akan harta kekayaan dan kesenangan dunia.
Maka di dalam gedungnya kongcu yang banyak
uangnya itu merasa mendapat tempat istirahat atau
sarang yang sangat menyenangkan.
Dengan adanya Cong Cit, pengaruh Bong-kongcu
semakin memuncak, ia ditakuti semua penduduk
kampung dan desa di sekitar tempat itu melebihi
orang menakuti setan. Dan karena mempunyai
seorang pelindung yang kosen ini, Bong-kongcu
merencanakan gerakan pembalasan kepada Han Bun
Lim. Pada malam hari yang gelap gulita sebagaimana telah
diceritakan di permulaan cerita ini, Bong-kongcu
menyuruh tiga orang tukang pukulnya, ialah murid-
murid dari Cong Cit untuk menculik nyonya Han dan
membasmi semua keluarga Han Siucai. Pekerjaan
terkutuk itu berhasil baik. Nyonya Han dapat terculik
dan seisi rumah dibunuh. Baiknya puteri satu-satunya dari Han Siucai ialah Han
Lian Hwa, terlepas dari bahaya maut berkat
pertolongan seorang pendekar, yaitu Hwesio bergelar
Hwat Khong Hwesio dari kelenteng Ban Hok Thong
yang sedang berjalan memungut derma ke kampung-
kampung guna perbaikan kelentengnya.
Sebagai mana telah diceritakan, Hwat Khong Hwesio
mengikuti jejak Kong Liat si Macan Tutul Besar sambil
menggendong Han Lian Hwa. Ia sengaja
memperlambat jalannya karena maksudnya hendak
mengikuti Kong Liat sampai ke sarangnya.
"Celaka, Kongcu!" demikianlah keluhan Kong Liat
setelah ia meloncat turun di ruangan belakang. Tanpa
membuang waktu lagi ia menceritakan bahwa
mereka telah berhasil tapi mereka telah dihalang-
halangi oleh seorang hwesio yang lihai.
Ketika Kong Liat datang, Bong-kongcu tengah minum
arak dengan Cong Cit, sedangkan Kwee Seng murid
kepala yang menculik nyonya Han nampak berdiri
menjaga wanita muda itu yang terikat di atas sebuah
kursi dengan mulut tersumbat kain,
hanya kedua matanya saja mengalirkan air mata. Baru saja ia
tersadar dari pingsannya.
Mendengar cerita Kong Liat, Bong-kongcu menjadi
marah besar dan demikianpun Cong Cit.
"Engkau, orang bodoh!" Ia memaki muridnya. "Kalian
berdua menghadapi seorang hwesio saja tak mampu
mengalahkan. Pantaskah engkau disebut murid-
muridku?" Perhatian Bong-kongcu beralih kepada nyonya Han
atau Lo Kim Eng yang telah sadar dari pingsannya. Ia
segera menghampiri nyonya muda itu dan
melepaskan sumbatan di mulutnya.
"Manisku, akhirnya engkau jatuh juga ke dalam
tanganku," katanya dengan sikap menjemukan.
Nyonya Han yang semenjak tadi mendengar cerita
Kong Liat dan tahu bahwa suami dan mertuanya telah
meninggal dunia, tak tertahan pula menangis tersedu-
sedu. "Kau"?"" kau manusia berhati binatang"?""! Apakah
kesalahan kami sehingga kau berbuat demikian
jahat........?" "Salahnya sendiri, kenapa engkau dulu tidak terima
saja pinanganku dan kawin dengan siucai rudin itu"
Kini suami dan anakmu telah meninggalkanmu.
Suamimu mati dan anakmu entah ke mana, maka
lebih baik engkau hidup beruntung dengan aku di
sini"?"?" "Anakku"?"" Lian Hwa"?"" di mana anakku"?"?""
"Ha, ha, ha! Jangan cari anakmu, tiada guna!"
mengejek Bong Him Kian si kongcu mata keranjang
dengan menyeringai. "Kongcu"?"" tolonglah anakku"?"" tolonglah ia yang tak
berdosa." "Hem, kalau aku mendatangkan anakmu, engkau
mau menjadi kekasihku di sini," tanya kongcu yang
tak kenal malu itu. "Tolonglah anakku, biar aku menjadi pelayan, biar
menjadi apa saja, asal anakku selamat"?""
tolonglah"?"?" keluh ratap ibu yang sengsara itu.
Tiba-tiba Pek-bin-houw Cong Cit yang sejak tadi
melihat tingkah kongcunya dengan senyum gembira,
meloncat ke sudut ruangan menyambar tombak yang
berada di situ dan dengan teriakan, "Bangsat, jangan
lari!" ia melayang keluar dari jendela diikuti oleh Kwee
Seng muridnya yang mempunyai julukan Siauw-houw
si Macan Kecil. Ternyata telinga Cong Cit yang terlatih dapat
menangkap suara tindakan kaki yang bagi lain orang
tak terdengar karena ringannya kaki Hwat Khong
Hwesio yang mengintai dari atas genteng. Hwat Kong
Hwesio terkejut akan kelihaian si kurus itu, namun ia
telah siap. Sejak tadi ia telah mengikat Han Lian Hwa
di punggungnya dan kini ia menanti datangnya musuh
dengan toya di tangan. Cong Cit meloncat di hadapannya dan memalangkan
tombak. "He, bangsat gundul tak tahu malu! Berani betul
engkau malam-malam datang mengacau!" makinya.
"Ha, ha! Bisa saja engkau membolakbalikkan urusan.
Siapa yang mengacau" Siapa yang telah membunuh
orang" Siapa yang menculik bini orang?" jawab Hwat
Khong menggerak-gerakkan toyanya.
"Perduli apa engkau dengan urusan orang lain!
Apakah engkau tiada pekerjaan di kelentengmu
sehingga berkeliaran ke sini" Murid-murid ku yang
masih hijau mungkin tak dapat melawanmu, tapi aku
Pek-bin-houw Cong Cit akan menghajar kepala
gundulmu!" Kaget juga Hwat Khong mendengar nama musuhnya.
Ia maklum akan kelihaian Harimau Muka Putih itu
yang dulu sangat terkenal akan permainan
tombaknya sehingga ia digelari orang Sian-cio atau
Tombak Dewa. Namun ia dapat menenangkan
hatinya dan segera menerjang dengan toyanya.
Cong Cit menangkis dengan tombaknya dan ketika
toya beradu dengan tombak, tampak api berpijar dan
keduanya terpental mundur setindak. Ternyata bahwa
tenaga mereka berimbang. ?"01.02. Rebutan Mendidik Anak Yatim-piatu
Tahan dulu! Siapakah engkau hwesio yang usilan ini"
teriak Cong Cit penasaran.
Pinceng tak pernah sembunyikan nama. Namaku
Hwat Khong Hwesio. Sudahlah jangan banyak cakap.
Lepaskan nyonya itu atau kaurasakan kerasnya
toyaku! Jangan sombong, kepala keledai! memaki Kwee
Seng yang segera menyerang dengan goloknya, tapi
dengan hanya sekali tangkis, golok Kwee Seng
terpental dan hampir saja terlepas dari pegangannya!
Hm, mundur kau, biarkan aku bikin mampus kepala
gundul ini, membentak gurunya.
Mereka berdua telah memasang kuda-kuda dan siap
untuk bertanding mati-matian. Tiba-tiba pada saat itu
terdengar jeritan ngeri dari ruangan di bawah mereka.
Jeritan ini membikin mereka berdua menahan
gerakan mereka dan menujukan perhatian ke bawah.
Dari bawah meloncat beberapa orang murid Cong Cit
dan Kong Liat melaporkan kepada suhunya, Celaka,
si domba betina (dimaksudkan nyonya Han)
membenturkan kepalanya di tembok dan binasa!
Sungguh kejam! berseru Hwat Khong Hwesio sambil
mulai menyerang dan sesaat kemudian Hwat Khong
dan Cong Cit bertempur dengan hebat.
Tapi hwesio itu kurang leluasa gerakannya karena
Han Lian Hwa yang terikat di punggungny a bergerak-
gerak sambil menangis. Lagi pula Hwat Khong Hwesio
yang di masa mudanya telah terlampau banyak
membunuh penjahat-penjahat telah bertobat dan
bersumpah tidak mau membunuh lagi. Tentu saja
sukar baginya untuk melayani Cong Cit yang lihai
tanpa melancarkan serangan-serangan yang
mematikan, hanya menjaga diri saja. Kalau musuhnya
tidak selihai Cong Cit masih mudah bagi Hwat Khong
untuk mempermainkannya dan memberi pukulan-
pukulan yang tidak mematikan dan bersifat
menghukum saja. Tapi Harimau Muka Putih itu tidak
memberi kesempatan kepadanya untuk main-main.
Tombaknya berkelebat dan ujungnya terputar-putar
hingga menjadi beberapa puluh tampaknya
mengurung Hwat Khong dengan tipu Giok-tai-wie-
yauw (Angkin Kumala Melibat Pinggang). Hwat Khong
memutar toyanya bagaikan seekor naga yang
menembus awan dengan tipu Hing-sau-chian-kun
(Menyerampang Bersih Ribuan Perajurit) dan ketika
Cong Cit mengeluarkan Sian-chio-hoatnya yang
terkenal lihai, Hwat Khong merasa sibuk juga.
Serangan-serangan yang dilontarkan oleh si kurus itu
demikian tak terduga datangnya, tubuhnya berloncat-
loncatan ke kanan ke kiri, ke depan ke belakang,
sehingga Han Lian Hwa yang menangis di
punggungnyapun sampai terancam bahaya ujung
tombak. Terpaksa ia gunakan tipu permainan toya


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terkenal dari cabang Siauw-lim, yaitu Hok-houw-
kun-hwat (Ilmu Toya Penakluk Harimau). Gerakan
toyanya merupakan lingkaran hitam yang melindungi
tubuhnya dan berbareng melumpuhkan serangan
Cong Cit untuk sementara, tapi si kurus yang lihai
merubah gerakannya dan mengeluarkan tipu-tipu
Sian-chio yang paling berbahaya sehingga kadang-
kadang ujung tombaknya dapat menembus benteng
hitam itu dan mengancam lawannya.
Hwat Khong berpikir bahwa keadaan itu tak
menguntungkan baginya. Ia akui bahwa kepandaian
Cong Cit masih lebih tinggi dari padanya, apa pula ia
sekarang harus melindungi anak kecil yang digendong
di punggungnya. Lagi pula untuk apa ia harus
melawan terus" Ibu anak ini sudah mati, membunuh
diri dengan membenturkan kepala ke tembok, apa
lagi yang harus dibela" Lebih baik lari dengan anak
itu, demikian pikirnya sambil menangkis serangan-
serangan lawannya. Ia mencari kesempatan baik. Ketika ujung tombak
menusuk ke arah lehernya dari jurusan kanan, ia
tidak menangkis tapi setelah mata tombak datang
dekat hingga terasa anginnya, tiba-tiba saja ia
merendah hampir berjongkok dan menyapu kaki
lawannya dengan gerak tipu Ouw-liong-chut-thong
(Naga Hitam Keluar Gua). Cong Cit terkejut melihat gerakan lawan sehebat itu
dan tak tersangka-sangka pula, segera ia mengenjot
kakinya mencelat mundur untuk menghindarkan diri
dari sapuan musuh. Kesempatan itu dipergunakan
oleh Hwat Khong untuk memutar tubuh dan meloncat
pergi melarikan diri. Hwesio gundul hendak lari ke mana" Cong Cit
mengejar dengan marah, namun Hwat Khong sudah
lari jauh dan karena malam masih gelap, sebentar
saja Cong Cit telah kehilangan jejak musuhnya.
Terpaksa ia kembali dengan kecewa dan marah.
Sesampainya di gedung Bong-kongcu, ia melihat
kongcu itu bersedih karena Lo Kim Eng nekat
menghabiskan nyawanya sendiri dengan jalan
membenturkan kepala di tembok. Tak disangka
nyonya muda itu demikian nekat. Ia menyesal urusan
menjadi demikian, ketika didengarnya bahwa puteri
Han Siucai dapat lolos hingga dapat diduga bahwa
anak itu dikemudian hari pasti akan mendatangkan
malapetaka. Namun Cong Cit dapat menghiburnya dengan berkata
bahwa kalau hanya dibawah asuhan Hwat Khong
Hwesio saja, tak mungkin anak itu menjadi orang
yang perlu ditakuti, karena kepandaian hwesio itu
masih jauh di bawah kepandaiannya. Semenjak itu,
Bong-kongcu belajar silat dengan giat di bawah
asuhan Cong Cit untuk menjaga diri, dan ia masih
saja mengumpulkan orang-orang pandai untuk
melindungi dirinya. Adapun peristiwa keluarga Han yang terbunuh mati
itu dengan mudah saja dapat dibereskan oleh
pembesar setempat yang mendapat suapan dari
Bong-kongcu. Pembesar membuat laporan bahwa Han
Kongcu didatangi perampok dari luar kampung yang
datang membalas dendam. Laporan macam itu dibuat
dan beres! "%Y"% Marilah kita ikuti perjalanan Hwat Kong Hwesio yang
menggendong Han Lian Hwa menuju ke
kelentengnya. Anak kecil berusia lima tahun itu kini
telah berhenti menangis. Ketika fajar telah menyingsing, Hwat Kong tiba di
bukit Kim-ma-san. Ia memotong jalan menuju ke
kelentengnya yang terletak di atas Gunung Bok-lun-
san, ia tidak mau melalui jalan biasa karena kuatir
kalau-kalau dikejar oleh Cong Cit dan kawan-
kawannya. Maka ia mengambil jalan memutar,
melalui gunung-gunung dan hutan-hutan. Sebenarnya
ia belum pernah melalui jalan itu, tapi karena ia tahu
arahnya dan kenal pula gunung-gunung itu dari jauh,
ia tidak sampai tersesat.
Bukit Kim-ma-san mempunyai pemandangan yang
indah, tapi juga sangat berbahaya, karena di situ
terdapat hutan-hutan yang liar dan jurang-jurang
dalam yang tertutup alang-alang sehingga tak tampak
dari luar dan mudah menjebloskan orang yang kurang
hati-hati. Hwat Kong beristirahat dan duduk di atas batu hitam.
Ia menurunkan Lian Hwa yang tertidur dal am
gendongannya. Anak itu tersadar dan segera berbisik,
?"?"?"Lapar?"?"?"?"?"?" lapar?"?"?"?"?"?"?"?"?"
Hwat Khong tertawa, ?"?"?"Anak baik, jangan kuatir.
Tunggu sebentar, kucarikan makanan.?"?"?" Kemudian ia
memandang ke sana ke mari mencari-cari sesuatu
yang dapat dimakan. Karena didekat situ tiada
terdapat buah-buahan, maka ia masuk sedikit ke
dalam hutan. Tiba-tiba terdengar seruan Lian Hwa, ?"?"?"Pergi?"?"?"?"?"?" engkau
pergi?"?"?"?"?"?"!?"?"?"
Hwat Khong menenggok dan alangkah kagetnya
ketika dilihatnya seekor ular sebesar paha
menggeleser mendekati anak itu. Tanpa membuang
waktu lagi Hwat Khong membidik dan melemparkan
toyanya ke arah kepala ular. Ini adalah jalan satu-
satunya untuk menolong Lian Hwa karena untuk
menghampiri sudah tidak keburu. Toyanya bersiutan
meluncur bagaikan anak panah terlepas dari
busurnya. Ketika ujung toya itu telah berada, kira-kira dua dim
lagi dari kepala ular, tiba-tiba sebuah sinar putih kecil
menyambar ujung toya dan sinar itu demikian
kuatnya sehingga jurusan luncuran toya berubah ke
samping dan menancap di atas tanah sampai hampir
setengahnya. Hwat Kong terkejut ketika melihat
bahwa sinar yang menyambar toyanya itu tak lain
hanyalah sebuah batu koral putih yang kecil. Dapat
dimaklumi betapa lihainya penyambit batu itu
sehingga batu yang demikian kecilnya dapat
membentur toyanya yang berat dan yang dilepas
dengan sepenuh tenaga itu hingga mencong arahnya.
?"?"?"Eh, sungguh ganjil dunia ini, sampai seorang
pendetapun berhati telengas dan kejam, hendak
membunuh sesama hidup yang tidak berdosa.?"?"?"
Demikian terdengar gerutu seorang yang keluar dari
gerombolan pohon kecil. Hwat Khong menengok dan melihat seorang laki-laki
yang tak menyerupai orang biasa, bahkan boleh
dikata setengah binatang. Wajahnya penuh bulu,
yaitu kumis dan jenggotnya panjang tak teratur
mencuat ke sana ke mari memenuhi muka,
rambutnya panjang dibiarkan saja tergantung di
belakang dan di atas kedua pundak bahkan sebagian
rambutnya yang berwarna dua itu menutupi jidat dan
muka. Ia tak berbaju dan hanya memakai celana kulit
harimau dan kakinya bertelanjang pula.
Sungguhpun mahluk itu tampak mengerikan, namun
sepasang matanya yang bersinar-sinar
membayangkan keagungan dan kesucian. Tampaknya
ia sudah tua benar karena biarpun rambut dan
cambangnya belum putih semua namun kulit muka
dan tubuhnya telah berkerut-kerut penuh keriput
tanda usia tua. ?"?"?"Omitohud!?"?"?" Hwat Khong berseru sambil merangkap
kedua tangannya memberi hormat. ?"?"?"Sahabat yang
aneh, mengapa engkau katakan pinceng telengas dan
kejam" Bukankah ular itu hendak mencelakakan anak
ini"?"?"?"
?"?"?"Hm, sebaliknya jangan bertindak sebelum
mengetahui benar-benar duduknya hal,?"?"?" membantah
orang itu. ?"?"?"Mengapa engkau begitu yakin bahwa ular
itu hendak mencelakakan anak ini"?"?"?"
?"?"?"Ular adalah seekor binatang, biasanya binatang
itu?"?"?"?"?"?"?"?"?" tiba-tiba Hwat Khong menghentikan kata-
katanya karena ia melihat betapa binatang ular itu
kini telah mendekati Lian Hwa dan mengulurkan
lidahnya menjilat-jilat, sedangkan anak itupun sama
sekali tidak takut, bahkan menggunakan tangannya
yang kecil mengusap-usap tubuh ular yang
berkembang indah. ?"?"?"Ha, ha! Memang aku yang salah,?"?"?" demikian
gerutunya, kemudian ia berkata kepada orang itu,
?"?"?"Sahabat, maafkan pinceng yang tak dapat
membedakan siapa baik siapa jahat sehingga hampir
saja membunuh binatang yang tak berdosa.?"?"?"
?"?"?"Kelancanganmu harus dihukum!?"?"?" berkata orang itu
dengan suara tetap. ?"?"?"Dihukum"?"?"?" Hwat Khong terheran-heran.
Orang ganjil itu mengangguk-angguk, matanya
bersinar. Hwat Khong tidak tahu bahwa orang itu
sedang bergembira karena telah bertahun-tahun tak
berjumpa dengan sesama orang dan bahwa orang
tua itu suka bergurau. ?"?"?"Ya, hukumannya dua macam. Yang kedua akan
kukatakan nanti, sekarang hukuman pertama: Engkau
harus mengaku terus terang dan menceritakan
dengan sebenar-benarnya mengapa engkau datang
ke sini membawa anak kecil dan siapa anak itu.
Ayoh, ceritakan semua sejujurnya.?"?"?"
Hwat Khong tertawa bergelak-gelak. ?"?"?"Engkau aneh
dan lucu, sahabat. Pinceng bukan orang jahat, juga
tak berniat jahat. Sudah tentu akan kuceritakan
segala pengalamanku dengan anak itu.?"?"?"
Ia lalu bercerita dari awal sampai akhir tentang hal
menolong Lian Hwa dan bagaimana keluarga anak itu
sampai terbunuh habis oleh musuh-musuhnya. Orang
itu mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa
mengganggu cerita Hwat Khong.
?"?"?"Mengapa tak kau basmi sekalian orang-orang jahat
itu"?"?"?" tegurnya.
?"?"?"Omitohud, pinceng tidak mau melanggar pantangan
membunuh dengan begitu saja. Pula, pihak mereka
sangat kuat, bahkan si Cong Cit itu kepandaiannya
lebih tinggi dari padaku. Maksudku kini hanya untuk
mendidik anak ini agar di kemudian hari ia dapat
membalaskan orang tuanya.
Hm, hm, beralasan juga kata-katamu. Nah, sekarang
hukuman kedua, yaitu engkau harus tinggalkan anak
ini padaku! Ah, hal ini tak mungkin! Mengapa tak mungkin" Anak ini bukan anakmu!
Tapi pinceng bertanggung jawab penuh atas anak ini,
karena pinceng yang membawanya. Pula pinceng
bermaksud mendidiknya menjadi orang pandai.
Apa kaukira aku tidak mampu mendidik lebih baik
daripadamu" Bukan demikian, tapi& & tapi keadaanmu ini& & dan
pinceng belum tahu engkau ini sebenarnya siapa"
Hm, lagi-lagi engkau tak mempercayai orang seperti
engkau tak mempercayai ular tadi. Ketahuilah, hai
hwesio bodoh, engkau ingin mendidik anak ini dengan
ilmu kepandaianmu yang rendah itu apakah gunanya"
Sedangkan engkau sendiri tak mampu mengalahkan
musuh-musuhnya, apa pula muridmu! Apakah kau
ingin melihat ia mati terbunuh pula kelak oleh musuh-
musuhnya" Hwat Khong memandangnya dengan ragu-ragu dan
orang itu mengerti bahwa hwesio itu masih belum
percaya benar, maka dengan menjepit toya Hwat
Khong yang tertancap di atas tanah menggunakan
dua jarinya lalu mencabutnya dengan mudah, ia
angsurkan toya itu kepada Hwat Khong.
Nah, cobalah, dapatkah engkau membetot terlepas
toyamu ini dari jepitan jariku, ia menantang.
Hwat Khong melihat toya itu hanya terjepit telunjuk
dan jari tengah dari tangan kanan orang itu. Ia
teringat kepada gurunya, Hun Beng Siansu, yang dulu
pernah pula mencobanya dengan cara demikian.
Apakah orang ini sekuat gurunya" Tak mungkin,
pikirnya. Dengan berkata maaf Hwat Khong
memegang ujung toyanya dengan kedua tangan lalu
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
mencabutnya. Tapi alangkah herannya melihat toya itu tak
bergeming seakan-akan telah berakar di jepitan jari
orang itu. Tiba-tiba orang itu bersiul aneh dan Hwat
Khong merasa ditarik tenaga raksasa, ia terbetot maju
dengan tak tertahankan pula sampai tiga langkah
menurutkan orang itu yang melangkah ke belakang!
Buru-buru Hwat Khong melepaskan toyanya dan
memberi hormat. Maafkan pinceng yang tak
bermata. Sungguh tak melihat orang pandai. Maaf,
maaf. Bolehkah pinceng mengetahui nama suhu yang
mulia" Ha, ha, Hwat Khong, engkaupun sudah memperoleh
kemajuan. Cukup bagi pemantang membunuh seperti
engkau. Aku ialah Sian-kiam Koai-jin Ong Lun.
Sian-kiam Koai-jin" berkata Hwat Kong dengan
terperanjat dan heran, tapi segera ia berlutut,
Maafkan murid berlaku kurang ajar. Sama sekali
tidak nyana akan berjumpa dengan Supek di sini,
tapi& & Ya, aku mengerti kebingunganmu. Gurumu dulu
pernah menceritakan tentang engkau. Tadipun
lemparan toyamu ke arah ular itu telah membuka


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mataku bahwa engkau tentu murid Hun Beng. Engkau
bingung mengapa aku masih hidup" Orang itu
menghela napas. Memang Thian sewaktu-waktu
suka bermain-main dengan manusia yang tak
berdaya. Aku yang ingin mati tidak mati-mati
sedangkan Hun Beng, gurumu yang masih ingin hidup
sudah mati duluan. Apa boleh buat, aku hanya
menanti panggilan Thian yang Maha kuasa.
Murid kini menyerahkan anak itu kepada supek,
terserah bagaimana keputusan supek, berkata Hwat
Khong dengan hormat. Begini maksudku, biarlah kudidik anak ini untuk
beberapa tahun sebelum aku mati, agar tak percuma
aku mempelajari kepandaian selama ini. Kulihat anak
ini bertulang baik, sayang ia perempuan. Nanti ia akan
kuserahkan kepadamu untuk dididik selanjutnya ke
arah jalan kebenaran. Baiklah, supek, murid hanya menurut.
Nah, sudahlah, Hwat Khong. Aku mau pergi dengan
anak itu. Tanpa menoleh lagi, Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si
Manusia Aneh Pedang Dewa itu menghampiri Lian
Hwa, menggendongnya dengan hati-hati dan dengan
sekali lambaian lengan bayangannya melesat di
antara pepohonan dan lenyap dari pandangan Hwat
Khong. Hwesio itu menghela napas panjang. Tak sekali-kali ia
menyangka bahwa manusia aneh itu masih hidup,
karena dulu pernah ia mendengar bahwa supeknya
itu telah mati dikeroyok pemimpin agama Pek-lian-
kauw. Ia pernah mendengar dari gurunya sebelum
mati dulu bahwa supeknya itu kepandaiannya masih
lebih tinggi daripada gurunya sendiri dan bahwa di
masa mudanya Sian-kiam Koai-jin adalah seorang
hiap-kek yang ternama, sayangnya ia agak terlampau
kejam terhadap musuh-musuhnya dan suka sekali
bergurau. Ilmu silat pedangnya luar biasa dan karena
adatnya yang aneh maka ia diberi julukan Manusia
Aneh Pedang Dewa. Entah bagaimana nasib Lian Hwa, anak itu, pikir
Hwat Khong. Terang sekali bahwa anak itu pasti
akan mendapat didikan ilmu silat yang hebat, tapi
sayang sekali kalau keadaan supek setengah liar itu
akan mempengaruhi jiwa Lian Hwa& &
Dengan pikiran penuh akan hal anak itu, Hwat Khong
melanjutkan perjalanan kembali ke bukit Bok-lun-san
untuk mengurus kelentengnya Ban-hok-tong.
Sian-kiam Koai-jin Ong Lun membawa Lian Hwa ke
dalam terowongan yang ia bikin selama dua tahun
lebih di atas Gunung Kim-ma-san. Terowongan itu
panjangnya lebih dari dua lie dan menembus ke
puncak bukit di mana terdapat dataran tanah yang
subur dan indah pemandangannya. Tempat itu
dikelilingi jurang-jurang dalam dan orang tak mungkin
dapat turun atau naik ke tempat itu selain melalui
terowongan rahasia itu. Tapi hanya si Manusia Aneh
saja yang mengetahui jalannya.
Kurang lebih sepuluh tahun lamanya Lian Hwa hidup
berdua dengan gurunya dan menerima pelajaran ilmu
silat yang tinggi. Ong Lun menurunkan seluruh
kepandaiannya kepada murid satu-satunya itu, dan ia
sangat menyayang muridnya itu demikian pula I.ian
Hwa sangat kasih kepada gurunya.
Ia tidak hanya mewarisi kepandaian gurunya, bahkan
adatnya yang kukoai (aneh) dan selalu gembira
itupun diwarisinya pula. Maka di atas gunung yang
tidak ada lain orang itu, kini ditinggali oleh dua orang
yang aneh. Ong Lun suka sekali bernyanyi-nyanyi,
walaupun suaranya parau seperti gembreng pecah,
namun ia pandai bersyair. Kebiasaan inipun diturut
oleh Lian Hwa yang memiliki suara merdu. Gadis
inipun pan"zdai pula bersyair jenaka.
Pada suatu pagi si Manusia Aneh yang kebal terhadap
segala apa dan kosen itu terpaksa tunduk juga
terhadap kekuasaan alam. Ia jatuh sakit usia tua.
Usianya telah seratus tahun lebih dan begitu lama ia
bisa pertahankan kesehatannya berkat
kepandaiannya yang tingggi. Tapi akhirnya ia jatuh
juga. Ia memanggil muridnya untuk datang dekat.
Lian Hwa menjadi bingung melihat gurunya berbaring
saja tak dapat bangun itu.
?"?"ian Hwa, muridku. Kini tulangku yang tua ini
terpaksa menyerah terhadap kekuasaan usia.?"?"
?"?"uhu, engkau mengapa" Sakitkah"?"?"
Gurunya mengangguk. ?"?"h, kenapa suhu kalah oleh penyakit " Bukankah
suhu sering bernyanyi, ?"?"ku bebas seperti burung di udara.
Aku merdeka seperti ikan di samudra.
Aku manusia aneh beruntung bahagia.
Aku tak mengenal susah tak tahu duka.
Apa itu penyakit" Pergilah, jangan dekat!
Aku tak mengenal kamu!?"?"
?"?"ah, kenapa suhu sekarang sakit" Usirlah penyakit
itu, suhu!?"?" Kata-kata muridnya yang bersemangat dan jenaka ini
membuat Ong Lun sekali lagi tertawa terbahak-
bahak. Tapi kemudian ia berkata dengan sungguh-
sungguh, ?"?"ian, muridku. Engkau tahu, besi yang begitu kuat
masih bisa karatan. Apa pula aku yang hanya terbuat
dari pada darah dan daging. Tentu kalah oleh usia tua.
Aku sering ceritakan padamu tentang kekuasaan
Thian yang maha kuasa. Nah, sekarang tibalah
saatnya aku harus memenuhi panggilan Thian........?"?"
Lian Hwa terkejut dan membuka lebar-lebar kedua
matanya yang jernih. ?"?"uhu?"r?""! Apakah maksudmu" Apakah suhu akan
meninggalkan aku" Apakah suhu akan pergi ma?"r?""
mati?"r?"?"?"?"
Ketika melihat gurunya hanya mengangguk sambil
bersenyum, Lian Hwa segera menubruk tubuh
gurunya, menangis tersedu-sedu. Ia sebenarnya
jarang sekali menangis, tapi kali ini entah apa yang
menggerakkan perasaannya sehingga ia tak kuat
menahan membanjirnya air matanya.
?"?"uhu, jangan mati! Jangan tinggalkan aku seorang
diri?"r?"?"?""
Ong Lun mengelus-elus rambut Lian Hwa. ?"?"h, eh,
engkau mengapa Lian" Tidak patut muridku bersikap
selemah ini. Diamlah jangan menangis. Manusia biar
bagaimana gagah dan kosenpun, tak dapat berdaya
terhadap kematian usia tua. Nah, dengarkanlah Lian.
Biarpun aku akan mati, tapi aku telah puas
melihatmu. Engkau murid yang baik. Dulu beberapa
kali engkau bertanya tentang ibumu. Sebenarnya
engkau pernah mempunyai ibu dan ayah seperti juga
semua binatang yang berada di gunung ini. Dan aku
bukanlah ayahmu, nak.?"?"
Lian Hwa menubruk dan memeluk gurunya lagi
sambil menangis sedih. ?"?"enangkan hatimu. Nanti bila aku sudah pergi,
bakarlah pondok ini dan engkau pergilah ke bukit
Bok-lu-san dan carilah di sana sebuah kelenteng
bernama Ban-hok-tong. Di situ ada seorang suhengmu
bernama Hwat Kong Hwesio. Berikan suratku ini
kepadanya. Selanjutnya engkau harus menurut segala
petunjuk dan nasihatnya. Ia seorang baik, Lian dan
anggaplah ia sebagai penggantiku untukmu.
Pedangku Sian-liong-kiam itu boleh kaubawa?"r?"?"?""
suaranya lemah. Lian Hwa hanya dapat mengangguk-angguk sambil
terisak-isak. Tiba-tiba Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh
itu bangun duduk dan berkata dengan suara
memerintah, ?"?"ian Hwa, engkau tentu masih ingat ceritaku tentang
Gak Keng Hiap" Nah, jika engkau bertemu dengan
orang itu, jangan lupa, balaskan penasaranku dan
bunuhlah dia! Sudahlah, Lian jangan engkau sedih.
?"01.03. Anak Burung Keluar Sarang
Tapi, suhu& & mengapa suhu akan meninggalkan aku
begini saja" Aku tak kuat menahan kesedihan hatiku,
suhu. Hatiku menjadi bingung& &
Ong Lun merebahkan dirinya kembali. Engkau ingin
aku sembuh" Baiklah, Lian. Sekarang pergilah engkau
mencari bunga Biauw di puncak kiri sana setangkai
saja. Bunga itu jika dimasak dapat kiranya mengobati
penyakitku. Baik, suhu. Han Lian Hwa segera berbangkit dan
dengan gesit tubuhnya melesat keluar. Ia
mempergunakan seluruh kepandaiannya berlari cepat
dan meringankan tubuh, melayang-layang dan
meloncati jurang-jurang di hadapannya untuk menuju
ke puncak bukit sebelah kiri di mana ia tahu banyak
terdapat pohon bunga Biauw. Tapi alangkah sedihnya
ketika sampai di situ ia melihat bahwa semua pohon
Biauw itu tiada satupun berkembang, ia ingat bahwa
waktu itu belum musimnya Biauw berkembang.
Tentu saja ia tak melihat setangkaipun bunga. Hatinya
berdebar kuatir. Kalau tidak ada bunga Biauw maka
bagaimana nasib gurunya" Ia masih penasaran dan
mencari ubek-ubekan di seluruh permukaan puncak
bukit dengan harapan kalau-kalau masih ada sisa
bunga Biauw di situ. Tapi hasilnya nihil dan dengan
lesu ia pulang ke pondok suhunya kembali.
Ia memasuki pondok dengan kepala tunduk dan
gelisah. Bagaimana ia harus memberi tahu suhunya"
Suhu& & katanya dengan masih tunduk, tak berani
memandang gurunya. Suhunya tak menyahut. Suhu& & ia memanggil lagi, tapi kembali gurunya
tidak menjawab. Han Lian Hwa mengangkat kepala memandang
gurunya. Ia melihat gurunya terbujur seperti orang
tidur. Suhu& & tegurnya agak keras dan menghampiri lalu
menjamah tangan gurunya. Mendadak ia mengerti
ketika tangannya merasakan kedinginan yang kaku
pada lengan gurunya. Suhu& & ! kali ini panggilannya merupakan pekik
mengharukan dan ia menangis tersedu-sedu tiada
hentinya. Hampir setengah hari lamanya ia berada
dalam keadaan demikian, berlutut sambil terisak
memanggil gurunya. Akhirnya ia dapat menenangkan hati. Di ambilnya
surat pesanan gurunya dan digantungnya pedang
Sian-liong-kiam di pinggangnya, kemudian setelah
berlutut memberi hormat sekali lagi, ia menghunus
Sian-liong-kiam, dipukulkannya ujung pedang itu pada
batu karang di sudut pondok. Api besar memuncrat
menyambar daun kering yang ditaruhnya di dekat
batu itu sehingga tak lama kemudian berkobarlah api
membakar pondok. Han Lian Hwa meloncat keluar pondok. Setelah
memandang sekali lagi ke tempat yang dicinta itu, ia
segera memulai perjalanannya turun gunung melalui
jalan terowongan gurunya. Hatinya yang biasanya
bergembira itu diliputi awan kesedihan dan kesepian.
"%Y"% Ketika masih berada di puncak Kim-ma-san, Ong Lun
beberapa kali turun gunung mencarikan segala
keperluan muridnya, pakaian, sepatu dan lain-lain.
Maka sungguhpun Han Lian Hwa belum pernah turun
gunung, ia berpakaian seperti orang lain, hanya
pakaiannya serba ringkas dan sederhana.
Perhiasan satu-satunya ialah sebuah bunga Teratai
terbuat daripada emas tertabur mutiara yang
menghias di rambutnya yang hitam lebat, serta
pedangnya yang bergagang emas berukiran Liong itu.
Di dalam sebuah kantung kuning yang tergantung di
pinggangnya, ia membawa beberapa puluh potong
emas pemberian gurunya, karena gurunya pernah
bercerita bahwa di dunia ramai orang harus
menggunakan emas-emas itu untuk menukar dengan
makanan dan pakaian atau segala macam keperluan!
Karena belum mengenal jalan, Han Lian Hwa tersesat.
Dua hari berikutnya baru ia melihat sebuah kampung.
Timbul kegembiraannya ketika ia melihat orang-orang.
Ia memandang rumah-rumah kampung dengan penuh
rasa heran dan kagum. Ia seakan-akan merupakan
burung yang baru saja belajar terbang dan pertama
kali keluar dari sarangnya.
Ketika ia melalui sebuah kedai arak bau sedap
menyerang hidungnya dan membuat perutnya terasa
lapar. Sungguhpun ia selalu tinggal di atas gunung dan
terasing, tapi ia tidak asing terhadap arak, karena
gurunya membuat arak sendiri dari buah-buahan di
atas gunung. Semenjak turun gunung, ia hanya
makan buah-buahan di sepanjang hutan. Perutnya
kini terasa lapar sekali.
Dengan hati-hati ia memasuki kedai itu. Warung itu
penuh orang dan meja penuh dikelilingi tamu. Tidak
ada meja yang kosong. Selagi ia berdiri bingung, tiba-
tiba seorang tinggi besar bermuka hitam yang duduk
minum arak seorang diri berbangkit dan
menghampirinya. Siocia mencari tempat duduk" Marilah ke sini,
tempatku masih kosong, kita minum berdua.
Han Lian Hwa yang selama ini hidup dengan gurunya


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua saja, tidak mengerti akan adat sopan santun
dan ia asing pula akan kekurangajaran laki-laki
terhadap wanita. Tawaran itu diterimanya dengan
senyum girang. Terima kasih tuan! jawabnya dan ia ikut duduk.
He, pelayan! Tambah lagi arak dan daging! teriak si
muka hitam dengan gembira karena ia merasa hari
itu sangat mujur. Jarang sekali terdapat kemujuran
seperti itu, seorang siocia yang demikian cantiknya
suka duduk bersamanya semeja. Alangkah
bahagianya! Ia mengangkat dada dengan
sombongnya sambil mengerling kepada orang-orang
di situ yang semuanya melihat Lian Hwa dengan
kagum dan heran. Kagum karena jelitanya dan heran
karena ia begitu menurut dan menerima ajakan Si
muka hitam. Tanpa ditanya Si muka hitam memperkenalkan diri.
Aku bernama Peng Bouw, orang-orang menjuluki
aku Ouw-bin-ma si Kuda Muka Hitam.
Lian Hwa tertawa geli. Suara ketawanya bebas keras
dan nyaring sehingga semua orang menengok dan
makin heran memandangnya.
Eh, nona, mengapa tertawa" tanya Si muka hitam.
Tapi Han Lian Hwa tidak menjawab dan tiba-tiba saja
suara ketawanya berhenti ketika ia melihat bahwa
semua mata ditujukan kepadanya.
Mengapa semua orang memandangku" tanyanya
perlahan. Karena nona tertawa terlampau keras!
Lian Hwa menjadi bingung dan tidak mengerti.
Sementara itu pelayan datang menambah arak,
daging dan mi. Si muka hitam menawarkan, tanpa
seji (sungkan) lagi Lian Hwa mengerjakan mi dan
daging ke dalam perutnya. Arak itu baginya
terlampau ringan sehingga ia menceguknya seperti
orang minum air saja sampai si muka hitam
melihatnya dengan mata lebar dan mulut ternganga.
Setelah makan kenyang, Lian Hwa menghela napas
lega. Dan si muka hitam yang terpaksa melayani
nona itu minum banyak arak, mulai menjadi sinting
dan bicaranya makin berani. Tetapi Lian Hwa tidak
mengerti maksud kata-katanya yang kurang ajar itu.
Kenapa engkau tadi tertawa, nona" tanya Peng
Bouw. Tertawa" Tadi" Lian Hwa mengingat-ingat dan tiba-
tiba saja ia tertawa lagi dengan nyaringnya sehingga
lagi-lagi para tamu di situ menengok memandangnya.
Aku tertawa karena namamu! Si Kuda Muka Hitam!
Sungguh lucu! Peng Bouw merasa tersindir. Lucu" Ap akah yang
lucu" Han Lian Hwa menjawab dengan kata-kata,
Namamu Si Kuda Muka Hitam.
Memang mukamu lebih hitam daripada arang!
Tapi mengapa namamu kuda"
Mukamu tidak seperti kuda,
Hidungmu terlalu kecil, Lehermu terlalu pendek, Bagiku engkau tak pantas disebut kuda,
Lebih tepat disebut& & .
Ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Seperti apa" Coba teruskan& & teriak orang-orang
yang mendengarkan dengan tertarik dan gembira.
Han Lian Hwa memandang muka Peng Bouw dengan
teliti dan si muka hitam juga mendesak,
Coba katakan, aku pantas disebut apa" katanya
sambil membusungkan dada.
Engkau lebih menyerupai& & lutung!
Terdengar suara riuh rendah orang tertawa.
Ouw-bin-ma Peng Bouw timbul marahnya, tapi ia
lebih marah kepada orang banyak yang
mentertawainya. Diam kamu semua! Siapa berani
mentertawai aku" Hayo bilang, siapa berani"
Segera suara tertawa itu berhenti, tiba-tiba bagaikan
jengkerik, terinjak. Peng Bouw berdiri dan menendang sebuah meja di
kanannya sehingga mangkok dan sumpit jatuh
berhamburan menimbulkan suara gaduh. Hayo, siapa
berani kepadaku" Seorang pelayan menghampirinya.
Tidak ada yang berani, maafkanlah mereka itu, Peng
Toaya! ia menghibur, tapi dengan sekali sampok,
pelayan itu jatuh tunggang langgang mengaduh-aduh.
Hayoh, siapa berani" Peng Bouw menantang makin
kalap. Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang nyaring dari
Han Lian Hwa. Suara ketawanya demikian
sewajarnya dan menggembirakan sehingga semua
orang tak dapat menahan pula gelaknya dan kembali
riuh rendah suara ketawa di kedai itu.
Sungguh lucu! Alangkah lucunya, engkau ini lutung
yang lucu tapi jahat. Mengapa engkau memukul
orang" Lian Hwa menghampiri Peng Bouw yang kini
marah sekali kepadanya karena dimaki lutung
beberapa kali. Eh, nona, jangan engkau lanjutkan kurang ajarmu.
Lama kelamaan tuanmu akan hilang sabar dari
mencinta berbalik menjadi benci. Sayang
kecantikanmu, kalau sampai kena tampar olehku!
Engkau" Mau menampar mukaku" Boleh, boleh. Ini
tamparlah! Han Lian Hwa memberikan mukanya
yang halus itu ke arah Peng Bouw.
Si muka hitam terheran-heran dan semua orang
berkuatir melihat Lian Hwa.
Melihat keraguan Peng Bouw, Lian Hwa mengejek,
Hayo tamparlah lutung hitam jahat. Apa engkau
tidak berani" Tak tertahankan lagi kemarahan Peng Pouw. Tangan
kanannya menampar, tangan kirinya terulur hendak
memeluk gadis cantik yang menghinanya itu. Semua
orang terkejut, mereka tahu akan kekuatan Peng
Bouw yang hebat. Kalau gadis itu kena tampar........
Tapi mereka kecele! Dengan sedikit miringkan kepala,
tangan Peng Bouw menampar angin dan tangan
kirinya yang terulurpun dapat dikelit dengan
mudahnya oleh gadis itu. Sebelum Peng Bouw dapat
pernahkan kedua kakinya, jari tangan kiri Lian Hwa
telah bergerak menotok iganya bagian hou-cing-hiat.
Totokan itu cepat sekali dibarengi suara ketawanya
yang nyaring. Sungguhpun kulit Peng Bouw bagi
orang lain sekeras batu, namun mana dapat menahan
totokan jari tangan Lian Hwa yang biarpun
tampaknya kecil mungil tapi telah terlatih hebat.
Seketika itu juga tubuh Peng Bouw yang tinggi besar
itu seakan-akan berubah menjadi patung batu!
Tampaknya lucu sekali, karena kedua tangannya
terjulur ke depan, yang sebelah memukul dan sebelah
mencengkeram. Tubuhnya kaku tak bergerak, hanya
kedua biji matanya saja yang melotot ke kanan kiri
dengan bingung! Sekali lagi Lian Hwa tertawa, lakunya seperti anak
kecil. Ia mengambil mangkok bakmi besar dari atas
meja dan memasang itu di atas kepala Peng Bouw
seperti sebuah topi. Dan untuk dapat mencapai kepala
Peng Bouw, ia harus berdiri di atas kursi!
Semua orang terheran-heran melihat betapa gadis
yang paling tinggi berusia limabelas tahun itu dapat
mempermainkan si Kuda Muka Hitam yang terkenal
jagoan. Dan ketika melihat kelakuan gadis yang lucu
itu mau tidak mau mereka tertawa riuh!
Tiba-tiba suara ketawa riuh rendah itu terhenti dan
orang-orang yang berdiri di dekat pintu menjauhkan
diri. Han Lian Hwa menengok dan melihat serombongan
orang laki-laki memasuki restoran, dikepalai oleh
seorang setengah tua bertubuh kekar dan
bercambang bauk menakutkan. Orang ini
memandang ke arah Lian Hwa sekilas, lalu
mengerling ke arah Peng Bouw yang masih berdiri kaku.
Hm, permainan anak kecil, gerutunya dan dengan
sekali tepuk punggung Peng Bouw, si Kuda Muka
Hitam itu berjengit dan dapat bergerak kembali. Tapi
ia tidak berani banyak bertingkah hanya terus saja
menghampiri orang itu sambil berkata minta dibela.
Suhu, setan perempuan kecil ini telah menghinaku.
Tolong balaskan suhu. Mundur kau yang tak berguna, masakan dengan
kanak-kanak seperti itu kau sampai dapat
dipermainkan" Kemudian ia maju menghampiri Han
Lian Hwa yang memandang semua itu dengan tenang
dan senyum di bibir. Nona, engkau sungguh lihai. Berilah kesempatan
padaku untuk merasai kelihaianmu, katanya menjura
dibuat-buat sambil mulutnya yang tebal menyeringai
penuh ejekan. Sebelum orang itu berkata-kata kepadanya, Lian Hwa
telah mendengar dari seorang tamu yang duduk
dengan kawannya tak jauh dari tempatnya bahwa
orang ini adalah guru Peng Bouw yang bernama Ma
In Liang si Pagoda Besi yang lihai sekali ilmu toyanya.
Gadis itu balas menjura dan menjawab, Siapa yang
menjual kelihaian di sini" Adalah muridmu si lutung itu
yang kurang ajar dan sembarangan memukul orang.
Si Pagoda Besi salah mengartikan jawaban gadis itu
yang disangkanya takut kepadanya dan kini membela
diri menyalahkan muridnya. Maka hatinya jadi besar
dan kesombongannya timbul.
Nona, engkau cantik dan lihai, pantas betul menjadi
muridku. Kalau engkau suka menjadi muridku untuk
sedikitnya sebulan, mau aku habiskan perkara ini
sampai di sini saja karena engkau akan terhitung
orang sendiri! Tapi kalau kau tidak mau, terpaksa kau
harus layani aku beberapa jurus.
Lian Hwa masih bersenyum, tapi kedua pipinya yang
berwarna merah muda itu kini menjadi merah gelap.
Sungguhpun ia masih bodoh dan seperti kanak-kanak,
namun ia dapat menangkap sindiran-sindiran yang
terkandung dalam ucapan Ma In Liang. Mana ada
orang harus menjadi murid hanya untuk sebulan" Tapi
biarpun demikian ia sama sekali tidak dapat
menangkap maksud sindiran orang she Ma itu yang
lebih kurang ajar, kekurangajaran seorang hidung
belang dan bandot tua. Maka ia berkata dengan suara
manis. Lo-enghiong (orang tua gagah), sungguh aku harus
berterima kasih bahwa kau orang tua hendak
menerimaku menjadi murid. Tapi sudah sepatutnya
guru harus berkepandaian lebih tinggi daripada
muridnya, bukan" Nah, silakan lo-enghiong
mengeluarkan sedikit kepunsuanmu agar kulihat, jika
ternyata memang benar kepandaianmu jauh lebih
tinggi dari padaku, dengan suka hati aku akan tunduk
menjadi muridmu! Kata-kata ini biarpun sifatnya halus, namun di
dalamnya mengandung tantangan, dan semua orang
yang kini makin banyak berkumpul di situ makin
heran melihat keberanian dan kelincahan kata-kata
gadis cilik itu. Ha, ha! Engkau pintar, nona. Memang benar engkau
harus membuktikan dulu kebisaanku. Nah, marilah
kita keluar dan tontonlah pertunjukanku! Ia bertindak
keluar dengan langkah lebar, dan dadanya terangkat
sombong. Han Lian Hwa mengikutinya sambil bersenyum-
senyum dan di belakangnya mengikuti pula
serombongan orang dengan hati tertarik.
Pekarangan depan kedai arak itu cukup lebar. Tanpa
membuang waktu lagi si Pagoda Besi Ma In Liang
menjemput toyanya dari tangan muridnya. Karena
kesombongannya ia tidak memberi hormat kepada
para penonton lebih dulu sebagaimana kebiasaan
seorang ahli silat hendak mendemonstrasikan
kepandaiannya dan dengan teriakan,
Lihatlah toya! ia segera bersilat dengan perlahan.
Ujung toyanya ketika ia pukulkan menggetar-getar
menjadi beberapa puluh agaknya, ini menyatakan
betapa besar tenaganya. Semua penonton kagum dan mereka dengan
sendirinya mundur selangkah ketika si Pagoda Besi
bersilat dalam ilmu toya Jeng-liong-hian-jiauw atau
Ribuan Naga Mengulur Kuku, satu cabang dari Siauw-
lim-si yang telah dirobah. Toyanya berputar-putar
menjadi laksana kitiran atau ribuan naga yang
menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara
mengaung-ngaung. Tiba-tiba si Pagoda Besi berseru
keras dan tahu-tahu toyanya telah dilontarkan ke
udara setinggi hampir tiga tombak dan se belum toya
itu meluncur kembali ke bawah mengenai tanah ia
telah menyambutnya dengan tangan dan
menancapkan di atas tanah sampai masuk sepertiga
lebih. Ma In Liang menepuk-nepuk debu dari telapak
tangannya sambil memandang sekeliling dengan
congkaknya, kemudian ia menghadapi Han Lian Hwa
sambil berkata, Bagaimana, nona manis" Apakah kau puas dengan
ilmu toyaku" Lian Hwa tiba-tiba tertawa nyaring membuat
penonton merasa heran dan tidak mengerti. Mereka
yang seakan-akan tidak berani bernapas keras-keras


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kehebatan si Pagoda Besi tak habis mengerti
mengapa gadis tanggung itu berani tertawa seakan-
akan tidak mengindahkan sama sekali.
Memang cukup menakutkan, berkata gadis itu. Tapi
lontaranmu kurang tinggi dan tancapanmu kurang
dalam! Sebelum Ma In Liang dan para penonton mengerti apa
yang dimaksudkannya, Han Lian Hwa telah
menghampiri toya yang tertancap di atas tanah itu
dan mengulurkan tangan kirinya yang berjari mungil.
Dengan dua jari ia memegang ujung toya lalu
mencabutnya dengan mudah sekali, kemudian ia
melontarkan toya itu ke atas!
Orang-orang bengong melihat toya itu meluncur ke
atas bagaikan anak panah setinggi tak kurang dari
lima tombak, turunnya disambut dengan dua jari pula
dan terus ditancapkan ke atas tanah sampai masuk
lebih separohnya. Tentu saja hal ini merupakan keajaiban bagi para
penonton, yang segera bersorak dan bertepuk tangan
dengan ramainya. Ma In Liang si Pagoda Besi ter'kejut dan heran, ia
hampir tak percaya kepada mata sendiri. Bagaimana
gadis halus lembut itu dapat mempunyai tenaga
demikian besarnya" Ia sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa gadis itu telah memiliki kekuatan
dalam yang luar biasa, dan mana bisa tenaganya
yang hanya mengandalkan gwakang (tenaga luar/
kasar) dapat menandingi kekuatan seorang ahli
lweekeh" Namun ternyata si Pagoda Besi tak
mengenal keadaan. Ia menjadi malu berbareng gusar,
lebih-lebih ketika mendengar Lian Hwa berkata
dengan tersenyum. ?"?"?"Lo-enghiong memang lihai. Suhuku dulu mempunyai
seekor kera putih yang kekuatannya barang kali
seimbang denganmu. Sungguh membuat aku kagum!?"?"?"
Kata-kata ejekan ini memerahkan telinga Ma In Liang
yang tanpa banyak cakap lagi segera membetot
keluar toyanya dengan sekuat tenaga, lalu dengan
teriakan, ?"?"?"Bocah hina, rasakan toyaku!?"?"?" Ia menyerang ke arah
dada Lian Hwa dengan tusukan hebat, Lian Hwa
kenal tipu ini ialah Hek-houw-to-sim atau Macan
Hitam Menyambar Hati, tapi ia berdiri saja dengan
tenangnya sehingga semua penonton menahan napas
bahkan ada beberapa orang meramkan mata karena
tak tahan melihat dada gadis cantik itu akan
tertembus toya besi. Ketika ujung toya telah berada kira-kira satu dim saja
dari baju Lian Hwa, gadis itu miringkan tubuh dan
membuka lengan kirinya sehingga toya menyeplos di
bawah lengannya. Secepat kilat ia turunkan lengan
mengempit ujung toya. Ma In Liang membetot kembali toyanya dengan
sepenuh tenaga, tapi ternyata toyanya seakan-akan
telah berakar di dalam kempitan gadis itu. Selagi ia
kebingungan Lian Hwa melangkah maju dan tangan
kirinya menyambar iganya dengan totokan
berbahaya. Ia kenal totokan ini dan tahu bahwa jalan
darah cing-co-hiat sedang diarah oleh musuh, maka ia
menjadi terkejut dan segera melepaskan toyanya dan
menangkis tangan gadis itu. Tapi sungguh tak terduga
gadis itu ilmu silatnya sangat aneh dan gerakannya
gesit membingungkan. Lian Hwa tadi hanya berpura-pura saja, dan pada saat
lawannya menangkis dan memusatkan perhatiannya
kepada serangan tangannya, ia tarik kembali tangan
kirinya dan kaki kanannya melayang, ujungnya
menotol sambungan lutut si Pagoda Besi. Lucu
tampaknya tetapi nyata bagaimana tubuh tinggi besar
itu sama sekali tidak dapat menahan ujung kaki kecil
mungil itu. Dengan menggeram kesakitan si Pagoda
Besi terpaksa bertekuk lutut dan jatuh di hadapan
Lian Hwa. Kembali terdengar suara ketawa nyaring dan merdu.
?"?"?"Ah lo-enghiong, sungguh aku tak berani menerima
pemberian hormatmu. Engkau mengapa berlutut
padaku" Jangan bikin orang bingung lo-enghiong, kini
aku sungguh tidak mengerti bagaimana maksudmu,
mau mengambil murid padaku atau mengangkat
guru" 02.04. Jadi Chung-cu Karena Ada Rakyat
Semua orang tertawa puas. Nah, Pagoda Besi kini
bertemu batunya, pikir mereka. Memang penduduk
kampung itu benci kepada Ma In Liang yang selalu
membantu murid-muridnya yang jahat, lebih-lebih si
Peng Bouw yang terkenal suka bertindak sewenang-
wenang. Ma In Liang merayap bangun. Masih untung baginya
tendangan Lian Hwa tidak diarahkan di sambungan
lututnya benar, kalau demikian halnya tentu
sambungan itu akan terlepas dan ia menjadi cacad.
Sekarang ia hanya merasakan tulang keringnya linu
dan sakit-sakit. Saking malunya, ia menjadi nekad. Ia lebih suka mati
daripada menanggung rasa malu, karena seorang
jagoan yang telah membuat nama di kalangan kang-
ouw kini dijatuhkan oleh seorang gadis kecil tak
ternama secara demikian mudah dan memalukan!
Dengan sekali menggereng matanya menjadi merah,
cambang bauknya seakan-akan berdiri, ia memungut
toyanya dan menyerang pula dengan nekat.
Lian Hwa hanya tertawa nyaring dan berkelit dengan
lincahnya. Sengaja ia tidak mau menyerang, tapi
hendak mempermainkan orang nekat itu. Ia meloncat
ke sana ke mari sehingga Ma In Liang merasa
seakan-akan gadis itu menjadi beberapa orang yang
mengepungnya dari depan, belakang kanan dan kiri.
Peng Bouw melihat suhunya dipermainkan orang
seperti itu menjadi marah dan berteriak, "He kawan-
kawan, mau tunggu kapan lagi?" Ia mencabut
goloknya dan segera diikutinya oleh tujuh orang
kawan-kawannya, semuanya murid si Pagoda Besi
yang bekerja menjadi tukang-tukang pukul chungcu
(kepala kampung) di kampung itu.
Melihat keroyokan itu, semua penonton mundur
ketakutan dan hanya yang berhati tabah saja masih
berani menonton dari tempat yang agak jauh. Timbul
kemarahan dalam hati Han Lian Hwa melihat tingkah
para orang kasar yang mengeroyoknya, namun ia
masih tetap bersenyum dan bahkan kini tertawa
bergelak dengan nyaring. "Ha, manusia tak tahu malu!" bentaknya sambil
berkelit dari sambaran golok Peng Bouw. "Sembilan
orang laki-laki tinggi besar mengeroyok seorang anak
perempuan kecil. Tak takutkah ditertawakan orang?"
"Jangan pentang bacot!" menjawab si Pagoda Besi
menutup malunya dan pura-pura tidak melihat murid-
muridnya yang datang membantunya.
"Baiklah, kalian cari penyakit sendiri!" berseru Lian
Hwa dan seketika itu juga sembilan orang tukang
pukul itu menjadi bingung karena tiba-tiba saja gadis
yang mereka keroyok melesat dan tak tampak di
depan mereka. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dari belakang
dan seorang daripada mereka menjerit rubuh. Mereka
segera memutar tubuh dan melihat betapa gadis itu
berloncat ke sana ke mari, menyambar-nyambar
seperti seekor burung. Sekali tangan atau kakinya
bergerak, pasti seorang musuhnya jatuh terguling. Kini
tinggal Peng Bouw dan Ma In Liang saja yang masih
melawannya. Pada suatu saat Peng Bouw menyabetkan goloknya
ke arah leher dengan tipu Oei-liong-coan-sin atau
Naga Kuning Memutar Tubuh, goloknya terputar dari
kanan ke kiri mengarah leher Lian Hwa. Di saat itu
juga toya besi Ma In Liang datang menyambar
kakinya. Karena gerakan Ma In Liang jauh lebih sebat
dari muridnya, maka toya itu datang lebih dulu. Lian
Hwa meloncat ke atas dan sebelum golok Peng Bouw
mendekati tubuhnya, di udara kakinya bergerak ke
arah pergelangan tangan si Kuda Muka Hitam. Karena
marah dan gemas kepada si Muka Hitam itu ia
mengerahkan tenaganya ke kaki, maka mana Peng
Bouw dapat menahan tendangan yang lihai itu" Ia
berteriak keras, goloknya terpental jauh dan tangan
kanannya menjadi teklok. Ternyata tulang
pergelangannya patah. Ia mengaduh-aduh sambil
mundur. Kini tinggal si guru yang melawan nona i tu. Keringat
panas dingin telah mengucur. Matanya berkunang-
kunang. Tapi ia tak dapat lari dan menjadi nekat.
Toyanya menyambar pula, kini mengarah pinggang
Lian Hwa. Kembali gadis itu meloncat tinggi, tapi toya
si Pagoda Besi mengejarnya dan menghantam
kakinya. Gadis itu sungguh sudah tinggi sekali kepandaiannya.
Ia gesit, ringan dan berani. Di udara ia melihat
datangnya ujung toya dengan sengaja ia
memapakinya dengan tapak kakinya. Begitu kakinya
menotol ujung toya, tubuhnya mumbul lagi ke atas
dan ia berpoksai (berjumpalitan) di atas, sehingga kini
kepalanya di bawah kakinya di atas melayang turun.
Tangan kanannya bergerak ke arah pundak lawannya
dengan cepat dan kuat. Terdengar bunyi "krek" dan si Pagoda Besi menjerit
kesakitan, toyanya terlepas dari pegangan dan ia
roboh pingsan. Sambungan tulang pundaknya putus
dan remuk. Lian Hwa sengaja memberi hajaran hebat
dan semenjak itu si orang she Ma Menjadi seorang
yang tak berguna dan cacad seumur hidup, tak
mungkin lagi ia menggunakan kepandaian silatnya
untuk menindas orang lain yang lebih lemah.
Melihat sembilan tukang-tukang pukul itu
menggeletak malang melintang mengaduh-aduh tak
berdaya dan gadis itu berdiri tersenyum-s enyum
sambil mengebut-ngebut pakaiannya yang terkena
debu, orang-orang tadi tidak berani datang mendekati
lagi sambil memandang penuh kekaguman dan
keheranan. Tapi berbareng mereka kuatir akan nasib
gadis itu. Seorang tua menghampiri Lian Hwa dan
berkata, "Li-enghiong sungguh hebat. Tapi aku kuatir akan
keselamatanmu. Ketahuilah, nona, orang-orang ini
adalah begundal-begundal chungcu di sini dan jika ia
tahu akan hal ini, sebentar lagi pasti datang
membawa opas-opasnya untuk me-nangkapmu. Dan
nona tak mungkin melawan pembesar negeri. Maka
sebelum terlambat larilah nona!"
Han Lian Hwa berterima kasih atas nasihat itu. Ia
tersenyum manis dan memberi hormat. "Terimakasih, lopek (paman) aku tidak mau bersikap pengecut,
berani berbuat tak berani bertanggung jawab. Dan
aku tidak sudi menjadi orang buronan. Tolong
tunjukkan padaku, di mana gedung kepala kampung
di sini?" Orang-orang tak mengerti apa kehendak nona itu,
namun mereka segera menunjukkan tempat tinggal
Lie chungcu (kepala kampung Lie) yang letaknya tak
jauh dari tempat itu. Dengan tindakan tetap dan
ringan Han Lian Hwa menuju ke gedung kepala
kampung. Sebagaimana kebanyakan pembesar-pembesar dan
pegawai-pegawai negeri besar kecil di masa itu, tiap-
tiap kepala kampung merupakan seorang raja kecil di
dalam kampungnya. Lie chungcu pun tidak terkecuali.
Ia mengumpulkan harta dengan memeras rakyatnya
dan untuk dapat menguasai rakyat kampungnya, di
samping opas-opas yang membelanya, ia
mengumpulkan pula Ma In Liang dan murid-muridnya
untuk dijadikan tukang-tukang pukul agar orang-
orang kampung dapat ditaklukkan benar-benar.
Pada hari itu, kepala kampung Lie karena sedang
menganggur tengah mengobrol dengan bininya di
sebuah taman di belakang rumahnya yang
dipeliharanya baik-baik. Pada waktu itu musim semi
telah lama lewat sehingga kebun bunganya penuh
kembang-kembang beraneka warna. Kepala kampung
Lie adalah seorang yang pernah bersekolah dan suka
akan membuat syair. Ketika itu ia sedang bergembira,
sambil memandang kembang-kembang yang cantik
dan, minum arak wangi yang disajikan oleh isterinya
yang muda dan cantik, ia mencoret-coret di atas kipas
bininya itu. "Lihatlah, syairku kali ini di atas kipasmu bagus
benar," katanya dan kemudian ia membacakan syair
itu dengan suara bangga, "Musim Cun (semi) datang dan pergi pula,
Meninggalkan keindahan di taman bunga kita
Hidupku bahagia bagaikan bunga-bunga,
Panjang usia isteri jelita,
Banyak turunan, banyak harta!
Hidup sekali sebaik ini, masih mau mencari apa lagi?"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu menyambung
syair itu, "Tapi itu semua tiada gunanya.
Tanpa perbuatan baik, engkau akan masuk neraka!"
Kepala kampung Lie terkejut dan marah, ia segera
menengok, begitupun bininya. Dengan heran mereka
melihat seorang gadis berpakaian sederhana warna


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah dadu sedang berjalan menghampiri mereka.
Entah dari mana datangnya gadis itu, dan entah
dengan cara bagaimana ia dapat memasuki taman
yang berpagar tinggi dan terjaga opas itu!
"He, siapa kau?" tegur Lie chungcu.
Han Lian Hwa menjawab tajam. "Seorang rakyat
yang tidak suka ketidakadilan terjadi di kampungmu!"
"Apa maksudmu, anak kurang ajar?" bentak kepala
kampung Lie. "Chungcu, engkau kebetulan sekali menjadi kepala
kampung ini. Tapi ternyata engkau telah berlaku
sewenang-wenang menindas rakyat, memelihara
bajingan-bajingan untuk menggencet orang-orang
kampung, sedangkan engkau sendiri hidup mewah
bersenang-senang. Di mana perikemanusiaanmu"
Ketahuilah, orang-orangmu kini telah kuhajar semua,
menggeletak tak berdaya di depan kedai arak. Jangan
bergerak!" bentaknya ketika melihat kepala kampung
Lie membuka mulut hendak memanggil opas-
opasnya. Lian Hwa dengan sekali loncat telah berada di depan
kepala kampung itu sambil mengayun kedua kepalan
tangannya. Ia pentang jari-jari tangan kiri dan dengan
sekali totok saja meja di depan kepala kampung Lie
tampak berlobang lima bagaikan kertas dicoblos
dengan jarum saja! Kepala kampung itu terkejut,
tubuhnya menggigil, isterinya segera berlutut.
"Nah, lihat. Kalau engkau banyak bertingkah,
kepalamu akan kujadikan bulan-bulan jariku. Coba
hendak kulihat, apakah kepalamu lebih keras
daripada kayu meja ini," katanya mengancam.
"Ampun, lihiap," kata Lie chungcu dengan suara
merintih cemas. "Apakah kehendak Lihiap datang ke
sini" Kalau nona menghendaki uang, akan segera
kusediakan!" "Ngaco! Siapa menghendaki uangmu yang berlumuran
darah dan keringat rakyat kampung" Aku tak lain
hanya menghendaki jiwa anjingmu!"
"Ampun, nona, ampun"?"?" dan isterinya ikut
memohon ampun. "Baik, kali ini kuampunkan. Tapi engkau harus
menurut petunjukku. Kesembilan begundalmu yang
kini malang melintang tak berdaya di pekarangan
kedai arak itu harus kau tuntut semua dengan alasan
menyiksa rakyat kampung. Awas, mereka harus
dimasukkan penjara dan perkaranya diajukan kepada
tihu yang berwajib. Dan engkau harus merobah
kelakuanmu. Jangan memeras rakyatmu, harus
kauingat bahwa engkau bisa menjadi kepala
kampung karena di kampung ini ada rakyatnya. Kalau
mereka itu tidak ada, engkau akan menjadi apa"
Taman inipun harus dijadikan taman umum agar tiap
penduduk dapat menikmati. Jangan mau hidup sendiri
saja, mengerti!" Kepala kampung Lie mengangguk-anggukkan
kepalanya seperti burung makan gabah sambil
mulutnya berkata, "Baik""... baik, li-enghiong""..."
"Nah, sekarang juga aku pergi. Tapi aku tak pergi
jauh dan jika semua itu tidak kau laksana kan"?"?"
secepat kilat tangannya mencabut pedang, sinar
pedang berkilau-kilau dan terdengar bunyi "sing!"
pedang berkelebat dan tahu-tahu kopiah kepala
kampung itu terlepas sepotong berikut rambut di
dalamnya. "Nah, kalau engkau tidak taat, aku akan datang lagi,
tapi babatan pedangku akan kuarahkan lebih ke
bawah, tepat di batang lehermu!"
Kemudian gadis yang memakai teratai merah di
rambutnya itu berkelebat dan lenyap dari depan
mereka! Kepala kampung Lie dengan gugup dan
bingung segera berteriak-teriak memanggil opasnya.
Mereka ini datang berserabutan seperti semut bau
gula. "He, apa kerja kalian" Goblok, bodoh! Lekas, lekas
tangkapi orang-orang gila itu!"
"Orang gila yang mana, loya?" bertanya kepala opas.
"Bodoh! Itu Ma In Liang dan murid-muridnya. Tangkap
mereka masukkan dalam tahanan."
"Tapi...... tapi"?"?"
"Tapi apa! Hayo lekas, mereka itu berani menghina
dan menyiksa rakyatku! Tangkap mereka. Dan malam
ini adakan pesta di taman ini, undang semua saudara
kampung untuk menyaksikan. Lekas!"
"Baik, baik!" Opas-opas itu bersebaran rib ut untuk
melaksanakan perintah yang aneh dan tidak seperti
biasanya itu. Sementara itu Han Lian Hwa kembali ke kedai arak
dan menghibur para penduduk kampung bahwa kali
ini kepala kampung Lie pasti akan merobah sikapnya
terhadap mereka! Kemudian ia menanyakan di mana
letak bukit Bok-lun-san, karena ia bermaksud hendak
mencari suhengnya, yaitu Hwat Khong Hwesio di
kelenteng Ban-hok-thong. Seorang pedagang keliling
memberitahukan bahwa bukit itu terpisah ratusan lie
jauhnya dari situ. "Kalau Lihiap berjalan kaki, paling sedikit setengah
bulan baru akan sampai ke sana. Kalau berkuda tentu
lebih cepat, barang kali empat hari," orang itu
menerangkan. Han Lian Hwa berpikir bahwa dengan menggunakan
ilmu berlari cepat, ia pasti akan dapat sampai di sana
lebih lekas lagi. Tapi ia tak perlu tergesa-gesa, karena
ia masih ingin melihat-lihat dunia yang baru saja
dimasukinya itu. Ketika orang-orang menanyakan namanya, ia hanya
tersenyum dan menjura, kemudian sekali berkelebat
lenyap dari pandangan mata. Semua orang
mengulurkan lidah keheranan dan karena gadis kosen
itu memakai bunga tertabur mutiara berwarna merah
di rambutnya maka semua orang kampung itu
menyebutnya "Ang Lian Lihiap" atau Pendekar Wanita
si Teratai Merah. Pada suatu senja, Han Lian Hwa memasuki desa Liok-
kee-cung yang terkenal ramai. Kampung ini agak lebih
besar dari kampung-kampung yang berdekatan,
karena di situ banyak menghasilkan ikan yang
didapat dari Sungai Cin-leng-kiang, sebuah cabang
dari Sungai Huang-ho yang terkenal. Di situ banyak
toko-toko dan warung-warung arak, banyak pula
toko-toko obat dengan mereknya yang besar-besar.
Han Lian Hwa berhenti di depan sebuah hotel "Bin
Lok" dan segera disambut oleh seorang pelayan tua
yang ramah tamah. "Silakan masuk, siocia. Apakah siocia membutuhkan
penginapan?" Han Lian Hwa tersenyum mengangguk
membenarkan. "Kebetulan sekali, nona. Masih ada sebuah kamar
yang kosong di belakang. Kamar-kamar lain semua
penuh, karena datang rombongan piauw-su
(pengantar barang berharga) dari piauw-kiok
(semacam ekspedisi) Ular Kuning."
Dengan diantar oleh pelayan itu Han Lian Hwa
memasuki ruangan hotel. Di tengah-tengah ruangan
yang lebar dilihatnya beberapa orang laki-laki
berpakaian tukang-tukang piauw duduk mengitari
meja bundar. Di atas meja tertancap sebuah bendera
kecil bergambarkan ular kuning. Mereka adalah para
piauwsu dari Oei-coa Piauw-kiok (Ekspedisi Ular
Kuning). Di kepala meja duduk seorang tua tinggi
kurus berambut putih. Mereka rata-rata nampak susah
dan penasaran. Ketika Lian Hwa lewat, mereka menunda
pembicaraan mereka dan mengerling ke arah gadis
itu dengan tajam dan curiga. Lian Hwa tidak
memperdulikannya tapi langsung mengikuti pelayan
menuju ke kamarnya di ruang belakang.
Setelah mendapatkan kamarnya dan pelayan itu
hendak pergi, ia menahannya, "Eh, tunggu dulu!
Apakah orang-orang tadi para piauwsu dari Oei-coa
Piauw-kiok?" tanyanya sembarangan.
"Ya, nona. Itu yang tua adalah Oei-coa Ong Mo Lin si
Ular Kuning sendiri."
"Mereka agaknya susah, kenapakah?"
Pelayan itu memandang gadis kita dengan tajam dan
mengerling sarung pedang Sian-kong-kiam yang
tergantung di pinggangnya, lalu berkata, "Hm, nona
lihai juga dengan sekilas dapat tahu bahwa mereka
sedang susah." "Ah, jangan menduga yang tidak-tidak. Aku hanya
mengira-ngira saja."
"Begini, nona. Seminggu yang lalu empat orang
piauwsu dari Oei-coa Piauw-kiok lewat sini
mengantar barang-barang berharga puluhan ribu tail.
Tapi mereka sial, karena di Gunung Kong-lun-san tak
jauh dari sini mereka berjumpa dengan perampok
dan barang-barangnya dirampas. Keempat piauwsu
terluka dalam pertempuran. Maka kini piauw-
thouwnya (Kepala Piauw) sendiri yaitu Oei-coa Ong
Mo Lin datang bersama murid-muridnya untuk
merampas barang itu kembali."
Han Lian Hwa mengangguk-angguk dan berkata
perlahan, "Tidak tahu ada urusan besar itu." Ia lalu
memasuki kamar dan menutup pintunya.
Pada malam harinya ketika ia keluar hendak
menyuruh pelayan membeli makanan. Ia lihat para
piauwsu itu masih saja berunding di sekitar meja
bundar. Tiba-tiba ia mendengar si Ular Kuning
menggebrak meja sambil berseru, "Bangsat benar si
Ouw-hong-cu (si Tawon Hitam) itu!"
Lian Hwa mengerling dan melihat betapa cangkir-
cangkir dan lilin di atas meja itu mencelat satu kaki
lebih dari atas meja dan keempat kaki meja amblas
kira-kira satu dim. Ternyata dalam murkanya kepala
piauw itu telah menggunakan tenaganya yang hebat
juga. Keesokan harinya, rombongan piauwsu yang terdiri
dari tujuh orang itu berangkat. Dengan diam-diam
Han Lian Hwa mengikuti mereka setelah membayar
uang sewa penginapannya. Rombongan itu menuju
ke sebuah bukit yang penuh hutan. Tiba-tiba
terdengar ngaung anak panah disusul dengan
menyambarnya sebatang anak panah yang
menancap di batang pohon depan mereka.
Ong Mo Lin si Ular Kuning memandang sekeliling lalu
berteriak, "He, bangsat Ouw-hong-cu! Jangan berlaku
pengecut dan seperti anak kecil. Keluarlah mengadu
kepandaian!" Tantangan itu disambut oleh suara tertawa bergelak-gelak dan dari belakang gerombolan pohon meloncat
keluar tiga orang. Yang dua bertubuh tinggi besar tapi
yang seorang lagi kecil pendek. Si kecil pendek itu
adalah Ouw-hong-cu sendiri. Pakaiannya serba hitam
dan di pinggangnya tergantung ruyung hitam.
Sungguhpun bentuk badannya kecil namun suaranya
besar nyaring ketika ia tertawa dan berkata,
"Aha, Oei-coa Ong Mo Lin si Ular Kuning sendiri
datang ke sini. Kebetulan. Sudah lama aku mendengar
namamu yang besar dan sekarang ada kesempatan
bagiku untuk membuktikan kebenaran berita itu."
"Hm, hm, Ouw-hong-cu! Engkau sungguh tidak
memandang mata padaku. Begitukah lakunya
seorang gagah dari liok-lim" Kalau engkau hendak
menjajal, bilang saja terus terang. Jangan kau
rendahkan diri dengan mengganggu piauwsuku."
"Siapa yang mau bersusah payah menjajalmu" Ini
adalah daerahku dan semua yang lewat di sini harus
membayar padaku. Soal barang-barangmu sudah
kuambil, kalau kau ada kepandaian ambillah kembali!"
"Bagus, orang she Bu. Marilah kita coba-coba
mengadu tenaga, jangan banyak cakap seperti
perempuan!" Ouw-hong-cu Bu Kiat kembali tertawa besar. "Aha,
engkau gagah sekali. Barangkali engkau bertujuh
hendak melawan kami bertiga" Keroyokan atau satu
satu?" "Aku bukan seorang pengecut. Tak perlu keroyokan
untuk melawan orang seperti engkau ini," jawab si
Ular Kuning dengan marah dan mencabut keluar
senjatanya yang istimewa, ialah Oei-coa-to, atau
Golok Ular Kuning yang beratnya seratus kati.
Tapi pada saat itu seorang muridnya yang paling
pandai, ialah Khong Sin yang sering mewakili gurunya
mengajar lain-lain murid. Khong Sin terke nal pandai
memainkan siang-kiam (sepasang pedang), maju
menahan suhunya dan berkata, "Suhu, biarkan teecu
(murid) menghajar orang tidak tahu adat ini."
Di lain pihak, seorang kawan si Tawon Hitam yang
bernama Poan Sit meloncat maju.
"Mana kau ada harga buat bertanding dengan Bu-
toako (Kakak Bu)?" bentaknya sambil mencabut golok.
"Aku tuanmu Poan Sit cukup untuk menyambut
kedua pedangmu. Hayo maju!"
Khong Sin tidak seeji-seeji (sungkan-sungkan lagi)
sepasang pedangnya menyerang dengan tipu Ouw-
liong-poan-cu atau Naga Hitam Melilit Tiang. Kedua
pedangnya berputar cepat dan menyambar ke arah
leher dan perut musuh. Si orang she Poan berseru, "Bagus!" lalu
menggerakkan goloknya sekaligus menangkis kedua
pedang itu. Karena tenaganya lebih besar, maka


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua pedang Khong Sin terpental. Ia segera balas
menyerang dengan sengit menggunakan tipu Pek-
wan-hian-ko atau Lutung Putih Persembahkan Buah.
Goloknya menyambar dada lawan tapi dapat
ditangkis oleh pedang Khong Sin. Poan Sit maju
selangkah mengayun kaki menendang perut lawan
yang dapat dikelit dengan baik oleh lawannya.
Mereka serang menyerang dengan hebat, saling
menggunakan tipu yang mematikan. Setelah serang-
menyerang limapuluh jurus lebih ternyata Khong Sin
kalah ulet dan kalah tenaga. Kedua pedangnya
terkurung dan sebentar-sebentar terpental. Gurunya
mulai kuatir, dan ketika Ong Mo Lin hendak menyuruh
muridnya itu mundur, golok lawan telah menyambar
dengan tepat mengenai pundak Khong Sin yang
segera roboh mandi darah. Untungnya ia masih dapat
berkelit sehingga pundaknya hanya terpapas kulitnya
saja oleh ujung golok. Kawan-kawan nya segera
menolongnya. "Ha, ha. Tak berapa hebat kepandaianmu," Poan Sit
mengejek. Dari pihak piauwsu hanya ada dua orang lagi yang
kepandaiannya melebihi Khong Sin, ialah si Ular
Kuning sendiri dan puteranya yang bernama Ong Bu
yang kepandaiannya memainkan toya cukup lihai.
Sebelum ayahnya maju, Ong Bu sudah meloncat ke
depan dan tanpa berkata-kata lagi segera menyerang
Poan Sit dengan tipu loncat In-liong-san-hian atau
Naga Awan Perlihatkan Diri. Poan Sit mengangkat
goloknya menangkis dan balas menyerang.
Setelah bergebrak sepuluh jurus lebih, Ong Bu
merobah caranya bersilat. Toyanya menyambar-
nyambar dengan hebatnya. Ini adalah kepandaiannya
simpanan yang pernah dipelajarinya dari seorang tosu
(imam) perantau. Segera Poan Sit terdesak hebat dan
buru-buru meloncat mundur dari kalangan
pertempuran. ?"02.05. Tosu Siluman Kura-kura
He, pengecut! Belum juga terluka sudah mundur.
Kawan Poan Sit yang bergelar Pek-houw si Macan
Putih menggantikan kawannya menghadapi Ong Bu,
tapi Ong Mo Lin segera memerintah puteranya
mundur. Ia sendiri maju sambil melintangkan golok
menyambut Pek-houw yang bersenjatakan pian baja
(senjata rantai). Ilmu goloknya si Ular Kuning sungguh
hebat. Bergebrak belum duapuluh jurus sa ja Macan
Putih telah kewalahan, senjatanya hanya dapat
menangkis saja dan pada jurus keduapuluh empat,
terdengar suara Ong Mo Lin.
Pergi kau! dan kakinya cepat menendang lawannya.
Musuhnya terpental dua tombak dan jatuh pingsan.
Bu Kiat si Tawon Hitam menjadi marah dan berteriak
keras sambil mencabut ruyungnya yang berwarna
hitam. Tanpa banyak cakap ia menyerang dengan tipu
Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar ke Atas Kepala.
Serangan cepat dan bertenaga sehingga menerbitkan
angin dan bersuara mengaung. Ong Mo Lin tak kalah
gesit, goloknya terputar-putar sehingga golok dan
ruyung saling terjang merupakan dua naga putih dan
hitam saling serang. Ilmu silat Ong Mo Lin yang disebut Oei-coa-to-hoat
atau ilmu golok dari partai Go-bie. Ilmu ini lihai sekali,
gerakannya sukar diduga, bagaikan seekor ular yang
melenggok-lenggok ke kiri ke kanan sehingga sukar
dijaga dari arah mana golok itu akan menyerang.
Sungguhpun ruyung si Tawon Hitam pun sangat lihai
dan ruyung itu sudah menjagoi selama sepuluh tahun
lebih di daerahnya, namun ternyata melawan si Ular
Kuning ia masih kalah setingkat.
Pada suatu ketika golok Ong Mo Lin menyambar. Bu
Kiat menangkis dengan ruyungnya. Mereka keduanya
menggunakan seluruh tenaga sehingga kedua senjata
itu seakan-akan menempel. Tak seorangpun di antara
mereka berani mencabut sembarangan saja karena
yang melepaskan senjata dari tempelan itu lebih dulu
berarti sudah kehilangan satu ketika, dan musuhnya
dapat menyerang lebih dulu. Hal ini berbahaya dan
diketahui baik oleh kedua pihak.
Tiba-tiba dari samping kiri menyambar dua sinar putih
dibarengi bentakan Lepas! dan dua sinar itu
menyambar ke arah ruyung dan golok.
Kedua jago yang tengah mengadu kekuatan itu
merasa tangan masing-masing kesemutan dan
senjata mereka terdorong oleh tenaga luar biasa
sehingga hampir saja terlepas dari pegangan masing-
masing. Kedua-duanya segera meloncat mundur
dengan heran. Ternyata dua sinar putih itu adalah dua buah pelor
perak yang dilepas oleh seorang tosu (pendeta) tua.
Sungguhpun ia berpakaian secara pendeta, namun
pakaiannya mentereng dan di dadanya terhias bunga
Bwee perak bertaburan batu kemala berkilau-kilauan.
Melihat bunga Bwee itu semua orang dengan kaget
mengenal bahwa yang datang itu adalah Gin-bwee-
hwa Pauw Hiap Tojin, seorang tosu yang terkenal
jahat dan tamak akan harta benda dan paras cantik.
Jubah pendetanya hanya untuk kedok belaka.
Sebenarnya ia dahulu adalah seorang kepala
perampok terkenal di San-kang dan setelah Tiongkok
dikuasai pemerintah bangsa Boan, ia menjadi penjilat
dan pelindung pembesar-pembesar pemeras rakyat.
Pengaruhnya besar sekali dan orang di kalangan
kang-ouw maklum semua akan kepandaiannya yang
luar biasa, terutama ilmunya Hun-kin-coh-kut atau
Ilmu Pukulan Putuskan Otot dan Tulang, sehingga
selain julukannya Gin-bwee-hwa iapun dijuluki orang
It-ci-sin-kang atau si Jari Lihai.
He, jiwi enghiong mengapa bertempur mati-matian"
Kalau ada urusan lebih baik diurus secara damai, aku
si orang usil suka sekali menjadi perantara untuk
mendamaikan urusan kalian! katanya setelah
meloncat ke tengah-tengah mereka.
Perkataan totiang (bapak pendeta) benar sekali,
berkata Ong Mo Lin sambil menjura, Sebenarnya
siauwte (aku yang rendah) pun tidak suka mencari
musuh. Tapi apa boleh buat, rupa-rupanya Bu Kiat
tidak mengindahkan persahabatan, karena barang-
barang yang dikawal oleh piauwku telah
diganggunya. Kalau saja barang itu dikembalikan,
sekarang juga aku bersedia meminta maaf dan
mengundang semua orang minum arak tanda
hormatku. Coba totiang pikir, membantah Bu Kiat si Tawon
Hitam. Pekerjaanku telah diketahui umum, yakni
memungut barang-barang di jalan (merampok) dan
barang-barang itu berada di wilayahku, maka sudah
sepantasnya kupungut. Tapi Ong Mo Lin tidak mau
mengakui kelemahan orang-orangnya dan bahkan
datang sendiri menantangku. Tentu saja aku tidak
bisa tidak harus menyambut kehormatan itu.
Si Jari Lihai mengangguk-anggukan kepala yang
penuh uban tapi yang teratur rapi itu. Kedua matanya
yang tajam melirik-lirik ke arah kedua orang itu,
kemudian ia berkata kepada Ong Mo Lin.
Hem, hem! Tuan Ong seharusnya mengalah dan
mengakui kedaulatan saudara Bu di wilayahnya
sendiri. Atau sebelum melalui jalan ini seharusnya
datang minta permisi dan mengantar sekedar tanda
persahabatan. Itu sudah menjadi aturan kaum rimba
hijau. Sekarang barang-barang itu sudah pindah
tangan, perlu apa diributkan lagi"
Sebelum Ong Mo Lin yang merasa penasaran akan
keputusan berat sebelah itu membantah, ia
melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada si
orang she Bu, Dan saudara Bu, sungguh engkau awas, dan lihai
sekali, tidak melewatkan daging gemuk dengan
percuma. Tapi karena kini aku si orang usil telah
mengetahui duduknya perkara dan menjadi pemutus
yang adil, engkau harus mengalah dan membagi
daging itu setengahnya kepadaku!
Walaupun merasa penasaran, namun Bu Kiat merasa
agak puas juga dengan keputusan si tosu yang
terang-terangan membela dia. Ia masih beruntung
mendapat bagian setengahnya dan ia maklum bahwa
terhadap si tosu yang lihai itu ia tak boleh main-main,
lebih baik bersahabat dari pada bermusuh. Maka
segera ia menjura dan berkata sambil tersenyum.
Engkau adil sekali. Tentu aku setuju seratus prosen
atas usulmu itu. Nah, bagaimana tuan Ong, apakah
engkau juga setuju dan suka menghabiskan perkara
ini sampai di sini saja dan pulang dengan damai"
Ong Mo Lin merasa dadanya panas seperti terbakar.
Ia marah sekali dan gemas mendengar keputusan
yang bo-ceng-li itu. Masa barang antaran yang
menjadi tanggungannya itu kini dengan enaknya
akan dibagi-bagi orang lain! Dengan suara nekat ia
berkata, Tak mungkin! Barang-barang itu bukan punyaku dan
aku bersumpah untuk menjaga nama piauw-tiam ku.
Jika Jiwi tidak mau mengembalikan, lebih baik aku
yang tak berguna ini mati di sini daripada pulang tidak
membawa barang-barang itu! Ia memandang tosu itu
dengan mata menyala. Ha, ha, ha! Ini berarti engkau menantang padaku,
Ong piauwsu! Karena daging ini setengahnya menjadi
bagianku, maka urusan inipun menjadi tanggung
jawabku pula. Ketahuilah bagianku itu bukan untuk
kumakan sendiri, tapi untuk dana pendirian beberapa
kelenteng di Propinsi San-kang, jadi relakanlah
hatimu, karena harta itu tak terbuang percuma tapi
untuk menolong ribuan orang agar dapat naik ke
sorga! Tosu siluman! Bagus benar perbuatanmu! memaki
Ong Bu putera Ong Mo Lin yang segera maju
menerjang dengan toyanya.
Ha, ha! Anak kecil ini mau main-main juga" si tosu
tertawa mengejek dan sabetan toya ke arah
kepalanya itu ditangkisnya dengan kepretan ujung
bajunya. Ong Bu hampir saja melepaskan toyanya karena toya
itu terbetot oleh sebuah tenaga yang besar. Namun ia
sudah nekad dan kembali menggunakan toyanya
menyodok dada tosu itu dengan sepenuh tenaga
dalam tipu Naga Hitam Menyambar Mustika. Serangan
yang hebat ini tidak dikelit oleh si tosu, bahkan ia
memasang dadanya yang kurus.
Buk! terdengar suara ujung toya mengenai dada si
tosu dengan tepat, tapi bukannya si tosu yang jatuh,
bahkan toya Ong Bu terpental lalu terlepas dari
pegangannya karena tangannya terasa linu dan sakit.
Ternyata si tosu yang lihai itu menggunakan tenaga
dalamnya untuk menangkis dan membentur balik
tenaganya sendiri. Sebelum Ong Bu dapat berkelit, jari-jari tangan kiri si
tosu berkelebat ke arah pundaknya. Krak! dan Ong
Bu jatuh tersungkur memuntahkan darah! Tulang
pundaknya terlepas dari sambungan terkena ilmu
pukulan Hun-kin-coh-kut yang lihai!
Ha, ha! Aku orang tua yang beribadat masih berlaku
murah dan tidak mengambil nyawamu. Itu hanya
sekedar peringatan belaka! katanya sombong.
Tosu iblis, lihat golok! Ong Mo Lin menerjang maju
membela anaknya, goloknya bergerak dengan tipu
Tiang-hong-keng-thian atau Bianglala Melintang Langit,
tapi dengan mudahnya si jari lihai mengebut golok itu
dengan ujung baju, lalu balas menyerang ke arah iga
lawannya dengan gerakan Hong-tan-tian-cie atau
Burung Hong Pentang Sebelah Sayap. Tapi Ong Mo Lin
bukan anak kemarin, ia sudah cukup berpengalaman.
Walaupun ia tahu bahwa si tosu jahat itu bukan
musuhnya dan kepandaiannya jauh lebih tinggi
darinya, namun ia sudah berlaku sangat hati-hati
sekali. Pukulan si imam ia kelit dengan gesit dan kembali ia
mengirim serangan dengan dahsyat! Si tosu juga
maklum bahwa Ong Mo Lin tak boleh diperbuat
sesukanya atau main-main, maka ia bersilat dengan
lebih cepat, meloncat ke sana ke mari di antara
bayangan golok mencari sasaran.
Baru bertempur sepuluh jurus lebih Ong Mo Lin sudah
menjadi kewalahan dan beberapa kali hampir saja
tulang-tulangnya menjadi bulan-bulan pukulan Sia-
kut-hoat atau Ilmu Melepas Tulang dari siluman ini.
Gin-bwee-hwa Pauw Hiap Tojin bertempur sambil
mengejek dan mempermainkan musuhnya, pada saat
itu ia telah siap untuk menurunkan tangan besi guna
menghajar Ong Mo Lin, tapi tiba-tiba terdengar seruan
perlahan, Siancai! Suara itu tahu-tahu sudah terdengar dekat sekali dan
sebuah tongkat besi dengan gerakan mengeluarkan
angin hebat menyelonong di antara kedua orang yang
sedang bertempur itu. Ong Mo Lin yang sudah hampir
tak berdaya segera meloncat ke belakang. Si tosu
dengan muka merah karena marah memandang
orang yang mengganggu perkelahiannya.
Ternyata yang datang dan memisah dengan
menggunakan tongkat besi itu adalah seorang hwesio
(pendeta) gundul yang sudah tua dan bermata tajam.
Alisnya sudah putih sehingga ia nampak alim dan


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agung sekali. Maaf, maaf, demikian hwesio itu menj ura
merangkapkan kedua tangan. Harap jiwi suka
memaafkan pinto, yang telah mengganggu jiwi (tuan
berdua) yang sedang bermain-main sehingga pinceng
(saya) mengurangi kegembiraan jiwi. Tapi karena
pinceng lihat bahwa kedua senjata jiwi tiada
bermata, maka pinceng kuatir main-main ini bisa
membahayakan. Pauw Hiap Tojin sungguhpun sangat penasaran dan
ingin memaki, tapi melihat yang mengganggu adalah
seorang hwesio dan ia sendiripun termasuk golongan
pertapa, maka dengan senyum paksa ia balas
menjura dan berkata. Lo-suhu sangat baik hati. Mohon tanya nama julukan
lo-suhu yang besar. Pinceng dipanggil orang Hwat Khong, seorang
penunggu kelenteng yang tak ternama. Kemudian
hwesio itu berpaling kepada Ong Mo Lin.
Sahabat baik, mengapa engkau sampai bertempur
dengan seorang suci seperti totiang ini"
Orang suci" Bah, ia seorang perampok! Suhu jangan
kena dikelabuhi, teecu adalah seorang piauwsu yang
kena dirampok oleh perampok she Bu itu, jari
tangannya menunjuk ke arah Bu Kiat. Kemudian ia
dan teecu bertempur, tapi mendadak datang tosu ini membelanya bahkan akan membagi-bagi barangku.
Coba Lo-suhu pikir, adilkah itu"
Ha, ha! Engkau seperti seorang kanak-kanak yang
merengek-rengek minta air susu, orang she Ong!
menyindir tosu itu, kemudian ia menghadapi Hwat
Khong. Aku percaya penuh bahwa toyu sebagai orang
beribadat takkan mencampuri urusan orang lain,
katanya. Omitohud! Tidak sekali-kali pinceng mau
mencampuri, dan demikian juga lo-suhu sebagai
orang budiman tentu mengenal pula keadilan, maka
melihat keadaan sekarang ini, pinceng harap toyu
suka memandang muka pinceng dan mengembalikan
barang-barang tuan Ong, kata Hwat Khong dengan
suara manis. Hwesio gundul. Jangan mengimpi! Apa kaukira aku
takut padamu" Pendeknya aku takkan
mengembalikan barang-barang itu, habis kau mau
apa" Inilah tantangan hebat yang sangat menghina, tapi
Hwat Khong sudah cukup kuat batinnya sehingga ia
hanya tersenyum. Kalau begitu, terpaksa pinceng campur tangan.
Majulah! si tosu berteriak dan ketika ia melihat
hwesio itu tetap berdiri tak bergerak sambil
tersenyum-senyum bahkan menancapkan tongkat
besinya di atas tanah, ia menjadi marah dan segera
menerjang dengan hebat. Serangannya sangat lihai
karena begitu menyerang ia sudah menggunakan
ilmunya Hun-kin-coh-kut dan bergerak dengan tipu
Iblis Murka Menyambar Nyawa. Tipu ini kejam dan
telengas sekali, kedua tangan bergerak berbareng,
yang kanan menotok iga, yang kiri mencengkeram
anggauta rahasia lawan. Karena datangnya serangan cepat dan penuh tenaga,
Hwat Khong tak berani berlaku ayal, ia berkelit ke kiri
menolak tangan kanan musuhnya, tapi serangan
cengkeraman tangan kiri yang hendak ditangkis itu
tiba-tiba berubah. Pauw Hiap Tojin yang lihai dengan
cepat-cepat merobah serangan sebelum gerakannya
habis. Tangan kiri yang tadinya akan mencengkeram
kini berobah menjadi kepalan dan langsung
menghantam perut lawan dengan kerasnya.
Tidak ada, jalan lain bagi Hwat Kong Hwesio selain
menggunakan seluruh tenaga tangan kanannya untuk
menubruk kepalan itu. Dua kepalan tangan beradu
dengan mengeluarkan suara duk, dan kedua-duanya
terhuyung-huyung ke belakang, tapi Hwat Khong
merasa kepalan tangannya perih. Ia tahu bahwa
tenaga lawannya tak di bawah tenaganya sendiri,
maka ia berlaku sangat hati-hati, berdiri menanti
datangnya serangan lawan.
Hwesio keparat, bersedialah untuk mampus, teriak
si tosu lihai sambil maju perlahan-lahan, sikapnya
menyeramkan. Tapi tiba-tiba entah dari pohon mana, dari atas
melayang turun tubuh seorang gadis kecil dengan
gerakan ringan dan gesit sekali bagaikan seekor
burung. Gadis itu langsung menghampiri Hwat Khong
dan berdiri membelakangi si tosu. Ia menjura
memberi hormat kepada Hwat Khong dengan
berkata, Hwat Khong Suheng, terimalah hormatnya sumoimu!
Hwat Khong Hwesio kemekmek dan untuk sesaat
menjadi bingung, tapi si gadis cilik tak memberi
kesempatan padanya untuk menyatakan
keheranannya, lalu melanjutkan kata-katanya.
Silakan mundur, suheng, biarlah siauw-moi
menghadapi tosu bedebah ini.
Hwat Khong memang segan berkelahi, pertama-tama
ia tak suka bermusuhan, kedua ia memang sudah
bersumpah takkan membunuh manusia, maka
bagaimana ia akan dapat melawan tosu yang lihai itu
tanpa melancarkan serangan-serangan lihai karena
takut menewaskan musuh" Ia melihat gerakan gadis
itu cukup gesit, maka biarlah untuk sementara gadis
itu mewakilinya, kalau kiranya terdesak nanti, tentu ia
takkan tinggal diam. Pauw Hiap Tojin yang tadinya sudah siap sedia
menyerang Hwat Khong, melihat datangnya si nona,
hatinya seakan-akan berhenti memukul. Kedua
matanya terbelalak menatap wajah gadis itu dan
mulutnya tak dapat berkata-kata. Ia kagum sekali
melihat kecantikan nona itu. Baginya seakan-akan
gadis itu adalah seorang dewi yang baru turun dari
kahyangan. Ketika mendengar suara nona itu, barulah
ia tersadar dan berdiri tersenyum-senyum, sama
sekali tidak marah mendengar ia dikatakan tosu
bedebah. Eh, eh, sungguh dunia ini aneh. Tak kunyana sama
sekali Hwat Khong suhu yang sudah begitu tua
mempunyai sumoi begini muda dan begini manis. Hm,
engkau beruntung sekali, Hwat Khong suhu.
Ia tadinya terkejut juga melihat gerakan gadis itu
yang ringan dan gesit, tapi setelah mendengar bahwa
gadis itu tak lain hanya sumoi (adik seperguruan
perempuan) dari Hwat Khong, maka timbul
keberaniannya. Sedangkan Hwat Khong sendiri,
suheng (kakak seperguruan) gadis itu, masih tak
mampu menandingi kelihaiannya, apapula sumoinya
yang masih kecil dan halus kulitnya ini.
Tosu siluman, aku tahu engkau adalah penjelmaan
siluman kura-kura karena mukamu hampir
menyerupai kura-kura, jangan banyak cakap! Aku
lihat suhengku tak pantas bertempur dengan kau,
karena engkau terlampau rendah untuk bertempur
dengannya! Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk
menjatuhkanmu! Ha, ha, ha! Tidak hanya cantik, tapi juga pandai
bicara! Engkau hendak mencoba-coba kelihaianku "
Baik, baik, mari sini! Tapi ada taruhannya!
Gadis itu bukan lain ialah Han Lian Hwa sebagaimana
pembaca tentu telah dapat menduganya, timbul pula
watak nakalnya dan melihat lagak si tosu ia sudah
mengarang syair pula: Tosu siluman kura-kura! Kau keluar dari lobang pecomberan,
Membawa bau busuk tiada terkira!
Membawa lagak imam suci dan bijaksana.
Tapi sekali kura-kura tetap kura-kura
menghadapi nonamu engkau banyak tingkah.
Tunggu kepalanku nanti bikin kepalamu pecah!
Kata-kata ini diucapkan dengan lagu suara yang
merdu dan lucu, sehingga para piauwsu mau tak mau
tersenyum geli, hanya Hwat Khong Hwesio yang
merasa heran dan tak puas akan tingkah laku gadis
yang nakal ini. Ha, ha! Engkau pandai sekali, nona manis. Sekarang
mari kita tetapkan taruhannya. Jika engkau dapat
melawan aku lebih dari duapuluh jurus saja, aku
menerima kalah. Tapi kalau belum duapuluh jurus,
engkau sudah kalah, maka kau harus berikan lian-
hwa merah di atas kepalamu itu padaku dan selama
tiga hari engkau harus menjadi pelayanku! Jangan
kuatir, pekerjaanmu takkan berat, bahkan
menyenangkan sekali! Tosu tersesat! membentak Hwat Khong melihat
kekurangajaran si tosu. Tetapi Lian Hwa segera mencegah suhengnya dan
berkata, Suheng, biarkan sumoimu kali menghadapi kura-kura
busuk ini. Eh, kura-kura siluman, baik kuterima
taruhanmu itu, tapi jika engkau yang kalah
bagaimana" Ha, ha, ha! Aku kalah" Ah, kalau aku sampai kalah,
biarlah kau tetapkan sendiri taruhanmu.
Han Lian Hwa memandang sekeliling mencari bahan
kenakalannya. Tiba-tiba ia melihat ke arah kuda para
piauwsu dan berkata tersenyum manis.
Karena kura-kura suka makan kotoran, maka jika
kau yang kalah, engkau harus makan tahi kuda itu.
Bagaimana" Pauw Hiap Tojin belum pernah dihina orang
sedemikian hebat, kalau yang menghinanya bukan
gadis secantik itu, pasti ia takkan dapat menahan
murkanya lagi. Tapi ia hanya tersenyum kecut dan
berkata. Baik, baik. Nah, perlihatkanlah ajaran-ajaran
gurumu! Ia memasang bhesi (kuda-kuda) dan
membuka jurus Naga Bumi Mengancam, menekuk
lutut kanannya ke bawah pantatnya yang menempel
di belakang tumit kaki kirinya dilonjorkan lempeng ke
sebelah kiri, matanya memandang ke arah nona itu
dengan gaya yang aksi sekali dan pandangan mata
yang kurang ajar sambil mulutnya yang kempot
tersenyum-seyum. Seranglah, nona manis! katanya
jenaka. Semua orang yang berada di situ adalah ahli-ahli silat
belaka dan maklum akan kelihaian sikap gerakan ini,
suatu sikap yang sukar sekali untuk diserang, apa lagi
mengingat akan kelihaian sepuluh jari tangan si tosu.
Tapi Han Lian Hwa seakan-akan tidak mengerti akan
berbahayanya kuda-kuda si tosu dan maju
menghampiri dengan sembarangan.
Tiba-tiba ia menyerang sembarangan pula dengan
pukulan tangan kanan dalam tipu Go-yang-pok-sit
(Kambing Kelaparan Tubruk Makanan). Tipu ini adalah
tipu biasa saja yaitu ia menyerang ke arah depan
dengan tangan terbuka. Semua orang kecewa melihat serangan yang sama
sekali tidak berbahaya ini dan bahkan Hwat Khong
Hwesio yang melihat kelemahan gadis itu mulai
hilang kepercayaannya dan menyesal mengapa ia
membiarkan gadis itu menghadapi bahaya besar.
Si tosu pun memandang rendah sekali. Ia tertawa
bergelak menanti datangnya serangan. Ketika tangan
gadis itu sudah datang dekat ke arah kepalanya, tiba-
tiba ia meloncat berdiri dan kini ke dua kakinya
berada dalam sikap Ciang-cip-pou, terus ia ulur tangan
kirinya menyambut tangan Lian Hwa yang
menyerang untuk menangkapnya sedangkan tangan
kanannya terulur maju ke arah dada Lian Hwa!
Gerakan ini selain kurang ajar pun berbahaya sekali.
Semua orang kuatir. Tapi tak terduga sama sekali,
gadis itu menarik kembali tangan kanannya sambil
tertawa nyaring tangan kirinya menyelonong ke arah
leher lawan sambil miringkan tubuh menghindari
cengkeraman ke arah dadanya. Si tosu terkejut,
karena tak ia sangka gerakan gadis itu demikian
cepatnya. Ia segera memutar tubuh memiringkan
kepala, tapi tiba-tiba Lian Hwa sudah merobah pula
gerakannya sambil meloncat ke samping dan
mulutnya berkata nyaring,
Jurus ke satu! tiba-tiba kaki kirinya menendang
dengan tiba-tiba tepat mengenai pantat si tosu. Bluk!
dan Pauw Hiap Tojin terhuyung-huyung mundur
beberapa langkah! Para piauwsu yang menonton perkelahian ini tertawa
gembira. Tak mereka sangka sedikit juga gadis itu
demikian lihai dan cepat gerakannya, sedangkan ilmu
pukulannya pun aneh. Atau barangkali hasil
tendangan itu hanya kebetulan saja" Buktinya si tosu
tidak terluka, hanya terhuyung ke belakang. Mereka
memandang dengan hati masih agak cemas.
02.06. Bekal Hidup Dalam Pergaulan
Pauw Hiap Tojin mengatur kedua kakinya lagi dan
matanya mulai menjadi merah. Ia segera menubruk
maju menggunakan ilmunya yang masyhur yaitu
Hun-kin-coh-kut atau Ilmu Bikin Putus Otot dan
Tulang. Jari-jarinya terbuka dengan ilmu Kim-na-hoat
atau Ilmu Menangkap, karena ia masih tidak tega
melukai si gadis dan hanya ingin menangkapnya.
Setelah dekat ia menggunakan tipu Gio k-houw-pok-
yang atau Harimau Kumala Tubruk Kambing. Melihat


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang menyerang kedua pundaknya, Lian Hwa
menekuk kedua kakinya ke bawah lalu melejit
melalui bawah lengan orang, kemudian sambil
berlompat tangan kirinya menyambar dan "plok"
belakang kepala tosu itu kena tabokan dan ia berkata
mengejek, "Jurus kedua!"
Si tosu hanya merasakan kepalanya agak pusing
yang menambahkan kemarahannya. Se benarnya, di
luar tahunya orang, kalau Lian Hwa mau,
tendangannya tadipun sudah cukup untuk
merobohkan musuhnya, apalagi tabokan yang kedua
ini. Tapi ia sengaja menggunakan sedikit tenaga saja,
karena wataknya yang jenaka membuat ia ingin
mempermainkan si tosu jahanam itu.
Demikianlah, dengan menggunakan ginkangnya yang
luar biasa ia melayani si tosu dengan menggunakan
Bian-si-lui-yap-mo-sin-ciang yaitu ilmu silat dengan
kepalan lemas dan dengan ilmu lompat ke sana ke
mari Yan-cu-sip-pan-sian atau Burung Walet Terbang
Jumpalitan, ia berhasil dalam setiap jurus menabok
muka, menyentil telinga, mendorong, menendang,
bahkan ketika mereka telah bertempur sembilanbelas
jurus dan ia berhasil mempermainkan musuh sampai
sembilanbelas kali, ia melakukan pukulan terakhir.
Ketika Pauw Hiap Tojin yang sudah menjadi murka
melakukan serangan dengan tipu dari Pat-kwa-mui
yang lihai dan mematikan, yaitu dengan kedua
tangan mencengkeram ke arah kepala Lian Hwa dan
disusul tendangan ke perut. Lian Hwa menggunakan
sebelah tangan kiri menahan kedua tangan tosu itu.
Ketika dua lengan yang berbulu itu beradu dengan
lengan gadis yang halus, tenaga dalam si tosu
membalik membuat sekujur badannya kesemutan!
Sebelum kakinya menyambar perut Lian Hwa. Gadis
itu menggunakan ujung kaki kirinya menotol lutut
musuhnya sehingga kaki yang menendang itu turun
kembali tak berdaya dan lemas, kemudian secepat
kilat sehingga orang-orang tak dapat melihat betapa
ia bergerak, jari tangan kanannya telah menotok
dengan totokan Su-sat-ciu ke arah jalan darah hou-
cing-hiat! Si tosu terkejut hendak berkelit, tapi ia kal ah cepat
cepat, totokan tepat mengenai urat hou-cing-hiat dan
di situ ia berdiri kaku bagaikan patung dengan kedua
tangan menempel pada tangan kiri Lian Hwa!
Terdengar suara tertawa dan sorakan semua piauwsu
di situ. "Nah, nonamu ternyata sanggup melawan sampai
duapuluh jurus dan kau telah kalah! Sekarang engkau
harus membayar hutangmu dalam taruhan tadi!"
Lian Hwa memungut sebuah golok yang menggeletak
di bawah. Hwat Khong Hwesio kaget dan hendak
melarang gadis itu yang dikiranya akan membunuh
Pauw Hiap Tojin. Tapi Lian Hwa tidak menghampiri si
tosu, bahkan pergi menuju ke kumpulan kuda.
Dengan golok yang dipungutnya itu ia menyendok
tahi kuda dan dari tempat itu juga ia mengayun
goloknya. Tahi kuda di ujung golok meluncur terbang
ke arah si tosu dan tepat mengenai mukanya. Tak
sedikit tahi kuda yang masih basah dan hangat itu
memasuki mulut dan hidungnya.
Kembali semua orang bersorak ramai. Tapi Hwat
Khong Hwesio makin tak senang. Ia menganggap
gadis itu keterlaluan dan perbuatannya tak pantas.
Maka segera ia menghampiri gadis yang masih berdiri
tertawa-tawa dengan suara nyaring.
"Eh, nona, kau tadi berkata bahwa aku ini suhengmu.
Tapi sepanjang ingatanku, aku belum pernah
mempunyai sumoi. Apalagi sekecil nona ini, coba
terangkan padaku." Lian Hwa heran mendengar suara hwesio itu agak
kurang senang. "Hwat Khong suheng, lupakah suheng ketika sepuluh
tahun yang lampau suheng menolong seorang anak
perempuan?" Hwat Khong ternganga. "Jadi"?"" engkau ini"?"" anak
itu, si Lian Hwa?" Han Lian Hwa mengangguk sambil tersenyum.
"Oh, oh"?"" sudah kusangka"?"?" hwesio tua itu berkata
terharu. "Apa, suheng?" tanya gadis itu.
Hwat Khong sebenarnya akan berkata, "sudah
kusangka bahwa tabiat supek yang aneh itu akan
menular padanya" tapi ia hanya melanjutkan, "Sudah
kusangka engkau akan mewarisi kepandaian tinggi
dan aneh. Aku girang sekali sumoi." Namun ia masih
merasa canggung untuk menyebut sumoi (adik
seperguruan) kepada gadis kecil ini.
Hati Hwat Khong girang melihat gadis yatim piatu itu
kini telah memiliki kepandaian yang begitu lihai, tapi
sebaliknya ia kuatir melihat kenakalannya. Ia masih
saja merasa kurang senang, maka tanpa berkata
sesuatu lagi ia menghampiri Pauw Hian Tojin yang
masih berdiri bagaikan patung. Ia mengulurkan lengan
kanan dan menggunakan jarinya menepuk punggung
tosu itu untuk memunahkan totokan Lian Hwa tapi
sungguh heran, usahanya tak berhasil.
Hwat Khong Hwesio merasa aneh dan malu karena di
situ banyak para piauwsu dan orang-orang kalangan
rimba hijau (perampok) tengah melihat perbuatannya.
Dengan penasaran ia mencoba lagi dan kali ini
berhasil. Tapi hal ini bahkan membikin Hwat Khong
makin merasa heran, karena jelas terlihat olehnya
bahwa yang menyembuhkan Pauw Hiap Tojin
bukanlah tepukan tangannya, tapi adalah sebutir batu
kecil yang berkelebat dan mengenai iga tosu itu.
Ia maklum bahwa Lian Hwa telah dengan diam-diam
membantunya memunahkan totokannya sendiri yang
aneh itu. Hwat Khong merasa kagum dan berbareng
bersyukur bahwa gadis itu ternyata mempunyai
cukup liang-sim (kebajikan) dan menjaga suhengnya
dari malu. Pauw Hiap Tojin dengan wajah merah karena malu
membersihkan tahi kuda dari mukanya, lalu menjura
kepada Hwat Khong Hwesio.
"Sungguh pinto (saya) tidak melihat Gunung Thai-san
di depan mata dan tak kenal kebodohan sendiri.
Mohon keterangan nama sumoimu yang gagah itu."
"Hem, Pauw Hiap Toheng (saudara), perlu apa
memperdalam permusuhan" To?heng adal ah seorang
pertapa, mengapa mencemarkan nama kaummu
sendiri dengan ikut mencampuri urusan harta dunia?"
tegur Hwat Khong Hwesio. Jawaban ini membuat Pauw Hiap Tojin menjadi
marah. "Apakah kalian takut akan pembalasanku?"
tanyanya dengan suara menyindir.
Tiba-tiba Lian Hwa menghampiri mereka dan dengan
senyum manis berkata, "Eh, tosu palsu! Siapa yang
takut pembalasanmu" Engkau manusia jahat yang
mencari celaka sendiri. Setelah kamu mendapat
pelajaran bukannya menjadi insyaf akan keburukan
sendiri bahkan mau tanam permusuhan. Boleh, boleh!
Dengarlah, aku bernama Han Lian Hwa dan aku selalu
Kutukan Makam Mummy 3 The Thrill Of Chase Karya Lynda Chance Pudarnya Pesona Cleopatra 1
^