Pencarian

Si Teratai Merah 2

Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


akan siap sedia menghadapi pembalasanmu. Kau
boleh belajar seratus tahun lagi!"
Ucapan ini sungguh sombong dan Hwat Khong
memandang sumoinya dengan marah. Melihat
pandangan suhengnya (kakak sepergurua n) Lian Hwa
terkejut dan menutup mulutnya dengan heran.
"Pauw Hiap toheng jangan hiraukan sumoi, ia masih
kanak-kanak," kata Hwat Khong.
Tapi kata-kata ini bahkan menusuk perasaan tosu itu
karena mengingatkannya betapa namanya yang telah
terkenal di kalangan kang-ouw itu kini tiba-tiba jatuh
rendah sekali dan disapu lenyap oleh seorang gadis
kecil tak terkenal! Kalau yang menjatuhkannya itu
seorang kang-ouw ternama, ia takkan penasaran, tapi
gadis ini baru saja muncul dan lagaknya masih seperti
kanak- kanak. Namun ia dijadikan seperti tikus
dengan kucing. Maka mendengar ucapan Hwat Khong tadi, ia makin
marah lalu dengan mengeluarkan suara mendengus ia
memutar tubuhnya dan berjalan pergi dengan
tindakan lebar. Lian Hwa hampir tak dapat menahan
gelak tawanya karena geli hati tapi ia h anya
mengerling ke arah suhengnya dengan senyum
dikulum! Hwat Khong Hwesio lalu memandang kepada Oei-coa
Ong Mo Lin si Ular Kuning dan berkata, "Nah, Tuan Bu
dan Tuan Ong berdua sekarang pandanglah muka
pinceng dan habiskan permusuhan ini."
Si Ular Kuning menjura, "Terima kasih atas
pertolongan suhu dan siocia (nona). Tentu saja
siauwte (saya) akan habiskan pertikaian ini asal saja
saudara Bu Kiat mau mengembalikan barang-barang
tanggungan piauw kami. Lo-suhu kiranya maklum
bahwa nama baik piauw-tiam (kantor ekspedisi)
merupakan mangkok nasi bagi kami sekalian
piauwsu." Ia melirik ke arah Bu Kiat dan kawan-
kawannya yang berdiri dengan lemas karena tiada
harapan melawan lagi setelah kini di situ ada Hwat
Khong Hwesio dan sumoinya yang kosen.
Hwat Khong dengan suara halus membuj uk Bu Kiat
untuk mengembalikan barang-barang itu hingga
terpaksa si Tawon Hitam menjawab,
"Mengingat kepada lo-suhu, apa boleh buat barang itu
saya kembalikan kepada saudara Ong." Ia lalu
memberi tanda dengan suitan dan dari dalam rimba
keluar beberapa orang mendorong gerobak terisi lima
peti besar barang-barang berharga yang diperebutkan
itu. Setelah menghaturkan terima kasih, kawanan
piauwsu meninggalkan tempat itu dengan gembira.
Hwat Khong dan Lian Hwa juga pergi ke jurusan lain,
diawasi oleh Bu Kiat dan kawan-kawannya dengan
hati mendongkol. "Suheng, saya membawa surat suhu almarhum
untukmu," kata Lian Hwa yang merasa tak enak hati
melihat suhengnya diam saja seakan-akan tak
perdulikan padanya. "Almarhum" Jadi supek sudah"?"?"" Hwat Khong tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena kaget dan
terharu. Lian Hwa mengangguk dan tak terasa dari kedua
matanya mengalir air mata. Hwat Khong Hwesio
segera mengajaknya berhenti dan duduk di bawah
sebuah pohon besar. Ia membuka surat supeknya
(paman guru) lalu membaca dengan sikap hormat.
Kemudian ia memandang sumoinya yang masih
termenung sedih, lalu menghela napas.
"Sumoi tenangkan hatimu! Semua orang kalau sudah
tiba masanya tentu mati. Hal kematian supek tak
perlu disedihkan benar, karena supek telah dipanggil
pulang oleh Thian Yang Maha Kuasa. Lebih baik
sekarang kita bicarakan masa depan. Sumoi kini telah
turun gunung dan""... dan...... ke manakah tujuanmu
sekarang?" Lian Hwa memandang suhengnya dengan sedih.
Wajah hwesio tua yang jernih dan sopan itu
menimbulkan kepercayaan dan ia sejak tadi sudah
merasa seakan-akan berhadapan dengan keluarga
sendiri. Kini mendapat pertanyaan demikian, ia
menjadi sedih dan bingung. Ia hanya dapat
menggeleng-geleng kepalanya yang cantik itu dan air
matanya kembali mengalir ke atas kedua pipinya.
"Aku tidak tahu, suheng"?"" aku tidak tahu"?"?" hanya
inilah jawabannya dengan suara pilu.
"Jangan bersedih, sumoi," Hwat Khong menghibur
sambil menepuk-nepuk tangannya. "Baik kukatakan
terus terang. Suhumu minta supaya aku
membimbingmu memasuki dunia yang agaknya
masih asing bagimu."
Lian Hwa segera menjura di depan suhengnya.
"Terima kasih, suheng. Memang suhu telah pesan
supaya aku menurut segala petunjukmu. Mulai
sekarang, Suhenglah menjadi pengganti suhuku."
Melihat gadis itu menjura berulang-ulang sambil
berlinang air mata, mau tak mau Hwat Khong Hwesio
merasa terharu juga. Bagaimanapun, dia sendirilah
yang pertama-tama menolong Lian Hwa.
"Sumoi, aku suka mendidikmu asal saja kau mau
berjanji." "Janji apa, suheng" Biar harus masuk ke lautan api,
pasti akan kujalani asal saja suheng mau memberi petunjuk-petunjuk padaku dan mau pula"?""
membawaku ke tempat"?"" orang tuaku."
Sampai di sini kembali air matanya mengucur.
Hwat Khong mengangguk maklum. "Aku mengerti,
sumoi. Engkau sebagai seorang anak yang u-hauw
(berbakti) tentu ingin sekali tahu keadaan orang
tuamu. Tapi karena tempat itu jauh dan kau belum
ada pengalaman merantau dan bertemu dengan
orang-orang kang-ouw, maka kini belum waktunya
bagimu untuk pergi. Janji itu demikian, sumoi. Terus
terang kuakui bahwa dalam hal ilmu silat, aku
ketinggalan jauh olehmu. Hal ini segera kuketahui
ketika kau bertempur dengan Pauw Hiap Tojin tadi.
Maka dalam hal ilmu silat, jangan harap untuk minta
petunjukku lagi. Hanya dalam tatacara kesopanan
dan perilaku yang sesuai dengan dunia ramai, kiranya
dapat engkau meniruku. Tapi setelah mulai sekarang
engkau ikut aku di dalam segala hal engkau harus
menurut kata-kataku. Tidak boleh kau membawa
kehendak sendiri. Sanggupkah kau sumoi?"
Lian Hwa segera memberi hormat mengangguk-
angguk. "Sanggup suheng. Aku sanggup."
"Nah, marilah kita pulang ke kelentengku lebih dulu."
Hwat Khong Hwesio bangun berdiri dan mereka
berdua lalu menggunakan ilmu lari cepat menuju ke
Bukit Bok-lun-san di mana terdapat kelenteng Ban
Hok Thong yang didiami oleh Hwat Khong Hwesio.
Setibanya di kelenteng tersebut, Hwat Khong lalu
menceritakan riwayat Han Bun Lim, ayah Lian Hwa
yang terbunuh mati oleh Bong Him Kian dan
bagaimana ibunya juga telah membunuh diri ketika
ditawan Bong-kongcu yang jahanam itu, serta
bagaimana Lian Hwa ditolong oleh Hwat Khong dan
perjumpaan mereka dengan Siau-kiam Koai-jin Ong
Lun, gurunya Lian Hwa. Mendengar nasib kedua orang tuanya, Lian Hwa
menangis sedih, kemudian dengan gemas dan marah-
marah ia tiba-tiba mencabut pedangnya hingga
mengeluarkan sinar gemerlapan.
"He sumoi, kau mau apa?" tanya Hwat Khong, heran.
Lian Hwa tidak menjawab, hanya sepasang matanya
saja mengeluarkan sinar berkeredep seakan-akan
berapi, kemudian tanpa menjawab sesuatu, tubuhnya
melesat ke arah luar kelenteng.
"Sumoi, tunggu!" Hwat Khong meloncat keluar pula
mengejar. Tapi Lian Hwa tak perdulikan teriakannya dan lari
terus. Hwat Khong terpaksa harus menggunakan
seluruh kepandaiannya lari cepat untuk dapat
mengejar sumoi yang gesit dan cepat gerakannya itu.
Namun ia masih saja tertinggal hingga ia menjadi
sangat gugup. "Sumoi, ingat janjimu!" kembali ia berteriak.
Lian Hwa menengok sebentar, mukanya merah dan
penuh air mata yang membasahi kedua pipinya,
kemudian ia lari lagi. "Sumoi! Ke mana engkau pergi" Kau belum tahu di
mana tempat tinggal musuhmu itu!" memang tadi
Hwat Khong belum menceritakan tentang kampung
tempat tinggal orang tuanya dan Bong-kongcu,
musuhnya. Mendengar ini, Lian Hwa berhenti dan duduk
mendeprok di atas tanah sambil menangis tersedu-
sedu. Hwat Khong Hwesio dengan napas agak sengal-
sengal sampai ke tempat itu dan berdiri di depan Lian
Hwa dengan wajah bengis tapi dengan hati penuh
rasa iba. "Sumoi ternyata engkau belum dapat mengendalikan
gelora hatimu. Adatmu ini sungguh tidak
menguntungkan sama sekali. Bukankah kau tadi
sudah berjanji akan menurut kata-kataku" Lupakah
kau akan pesan suhumu sendiri?" Suara in i sangat
tegas dan bengis. Han Lian Hwa mengangkat kepala memandang
suhengnya kemudian tiba-tiba ia menubruk kaki
suhengnya sambil menangis sedih. Mulutnya berkata
lemah, "Suheng"?"" ampunkan aku"?"?" Lalu ia roboh
pingsan! Hwat Kong Hwesio menjadi bingung. Tanpa sungkan,
seperti seorang ayah kepada anaknya, ia mendukung
sumoinya dan berlari ke kelenteng. Ternyata tubuh
Lian Hwa sangat panas, napasnya memburu.
Seminggu lamanya Lian Hwa jatuh sakit. Badannya
panas dan ia selalu mengigau memaki-maki Bong-
kongcu dan mengancam hendak mencincang
badannya sampai hancur, lalu ia menangis tersedu-
sedu sambil menyebut-nyebut ibu dan ayahnya!
Ternyata gadis sejak kecilnya selalu gembira bahagia
tak kenal artinya susah itu kali ini menerima pukulan
batin yang terlampau berat hingga perasaannya
sangat tertekan membuat tubuhnya menjadi sakit.
Selama itu Hwat Khong Hwesio selalu menghiburnya
dengan sabar dan segala keperluan sumoinya itu
dicukupinya dengan hati-hati dengan bantuan
beberapa orang hwesio kecil pengurus kelentengnya.
Setelah Lian Hwa sembuh, Hwat Khong
menasihatinya dengan suara tenang, "Sumoi,
dengarlah kataku baik-baik. Tentang hal membalas
dendam itu memang sudah menjadi kewajibanmu.
Tapi segala tindakan itu harus diatur sebaik-baiknya.
Jangan hanya menurutkan hati yang penuh napsu,
karena tindakan yang berdasarkan napsu itu hanya
akan menggelapkan pikiranmu hingga segala
perbuatanmu takkan berhasil baik.
"Sekarang engkau belajarlah sabar dan sebagaimana
yang dikehendaki suhumu, engkau harus tinggal dulu
di sini beberapa lama untuk belajar mengerti tentang
cara-cara kesopanan dan lain-lain yang perlu diketahui
oleh wanita seperti engkau. Kemudian setelah
kuanggap sudah tiba saatnya, maka tentu engkau
akan kuberi tahu tempat musuh-musuhmu itu dan
kau kuperkenankan pergi mencari dan membalaskan
sakit hati orang tuamu."
Lian Hwa terpaksa menurutkan kata-kata suhengnya,
sungguhpun sukar sekali baginya untuk bersabar.
Demikianlah, sejak hari itu Lian Hwa tinggal di
sebelah kamar di dalam kelenteng itu dan
mendengarkan petunjuk-petunjuk suhengnya yang
luas pengalamannya tentang keadaan di kalangan
kang-ouw dan aturan-aturan yang bersangkutan
dengan penghidupan dunia ramai. Tak lupa Hwat
Khong mengajar sumoinya tentang sikap seorang
gadis yang sopan dan mengenal aturan. Maka
mengertilah kini Lian Hwa bahwa sikapnya baru-baru
ini sebenarnya tidak patut.
Karena menurut ajaran suhengnya, tak pantaslah
seorang gadis seperti dia tertawa keras di depan
umum. Lebih tidak pantas pula duduk semeja dengan
seorang laki-laki yang belum dikenalnya seperti telah
ia lakukan ketika berjumpa dengan Peng Bouw si
Kuda Hitam dulu. Ia merasa malu mengenang itu semua, tapi di dalam
hatinya ada juga rasa penasaran. Mengapa kalau laki-
laki boleh saja bersikap sembarangan, tapi kalau
wanita harus demikian banyak aturan-aturan" Sayang
aku bukan laki-laki, demikian pikirnya.
Ketika ia menanyakan kepada suhengnya tentang
pengalamannya dengan Peng Bouw, maka secara
terus terang Hwat Khong yang maklum bahwa
sumoinya itu benar-benar masih "hijau" lalu
menerangkan bahwa laki-laki bernama Peng Bouw itu
adalah seorang yang kurang ajar. Bahwa maksudnya
mengajak Lian Hwa makan bersama-sama bukanlah
keluar dari hati jujur dan suci, tapi mengandung
kekurangajaran. "Sumoi hati-hatilah terhadap laki-laki yang kurang
ajar seperti itu. Hati-hati terhadap segala macam laki-
laki yang mudah saja menegur seorang wanita yang


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak dikenalnya, kecuali kalau teguran itu memang
beralasan. Banyak orang laki-laki kurang ajar macam
itu yang akan kau temui dalam perjalananmu kelak."
Merah wajah Lian Hwa setelah dapat menangkap
maksud suhengnya, sungguhpun ia masih bodoh
namun perasaan gadisnya membisiki nuraninya,
membuat ia mengerti apakah arti kekurangajaran
laki-laki. Dengan tak disengaja mulutnya berkata,
"Ah, kalau begitu semua laki-laki tak dapat dipecaya
dan kurang ajar"?"?"
Suhengnya menatap tajam, membuat ia insyaf telah
kelepasan bicara, tak ingat bahwa suhengnya pun
seorang laki-laki! Muka Lian Hwa makin merah dan
buru-buru ia berkata, "Maaf, suheng. Bukan maksudku semua laki-laki, ada
kecualinya seperti suheng, suhu dan orang-orang
seperti para hwesio di kelenteng ini." Kata-katanya ini
membuat Hwat Khong Hwesio tertawa bergelak-
gelak. Pada saat itu, tiba-tiba seorang hwesio pelayan
datang menghadap Hwat Khong dan melaporkan
bahwa di luar ada seorang tamu. Hwat Khong segera
keluar dan ternyata tamu itu adalah Lin Piauw, kepala
penjaga keamanan di kampung Pian-bong-kee-chung
yang terletak kurang lebih hanya sepuluh lie dari
kelenteng Ban-hok-tong dan termasuk sebuah
kampung terbesar di kaki bukit Bok-lun-sa n itu. Lin
Piauw adalah seorang bekas guru silat yang dijuluki
orang "Kepalan Baja" karena ia terkenal dengan
tenaganya yang besar dan kepalan tangannya
dengan mudah dapat menembus tembok.
Hwat Khong Hwesio menyambut kedatangan Lin
Piauw dengan hormat dan ramah karena ia telah
mengenal dan tahu bahwa Lin Piauw adalah seorang
gagah yang jujur. Bahkan ia pernah memberi
petunjuk tentang ilmu pukulan kepadanya, sehingga
boleh juga disebut bahwa Lin Piauw adalah
"setengah" muridnya. Lin Piauw juga sangat
mengindahkan kepada kepala hwesio kelenteng Ban
Hok Thong itu. Maka begitu berjumpa, segera ia
menjura dengan sangat hormatnya dan berkata,
"Lo-suhu, bagaimanakah keadaan di sini" Siauwte
harap saja lo-suhu dalam selamat dan tenang."
"Terima kasih, Lin lauwte, Lohu (aku orang tua) baik-
baik saja. Dan bagaimana dengan pekerjaanmu"
Beres dan lancar bukan"
03.07. Jebakan Bagi Penjahat Pemetik Bunga
Tapi Lin Piauw hanya tersenyum masam. Hwat Khong
Hwesio heran melihat perubahan wajah Lin Piauw
yang tak sari-sarinya itu. Ia maklum pasti ada sesuatu
yang tidak beres maka setelah seorang pelayan
mengeluarkan hidangan teh, ia pesan agar mereka
berdua jangan diganggu. "Lin lauwte, kita bukan orang yang baru saling
mengenal. Maka melihat wajahmu, pasti ada sesuatu
yang hendak dibicarakan! Harap lauwte (anda)
katakan terus terang."
Lin Piauw mengucap terima kasih, dan menghela
napas lega. Kemudian menceritakan keadaannya
yang membuat hatinya bingung seperti di bawah ini.
Kampung Pian-bong-kee-chung adalah sebuah
kampung yang cukup besar dan ramai. Banyak toko-
toko, kedai arak dan rumah obat terdapat di
sepanjang jalan kampung itu. Bahkan di situ terdapat
pula empat buah rumah penginapan yang lumayan
besarnya, karena di kampung itu tak jarang
dikunjungi pedagang dan orang pelancongan.
Kepala kampung di situ adalah seorang she Liu, orang
baik dan ia mengatur kampungnya dengan adil
sehingga ia disukai oleh rakyat di kampung itu. Liu
chungcu (Kepala Kampung) mempunyai seorang anak
perempuan yang cantik dan baru berusia enambelas
tahun bernama Liu Siu Hiang. Gadis ini selain pandai
ilmu silat pun pandai pula mengerjakan segala
macam pekerjaan tangan yang indah-indah. Hasil-
hasil sulamannya terkenal di kampung itu.
Tapi beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja awan
gelap menyelimuti kampung Pian-bong-kee-chung
yang aman tenteram itu. Tiba-tiba malapetaka
menimpa dan yang pertama-tama menjadi korban
adalah kepala kampung Liu sendiri!
Malam peristiwa itu terjadi gelap sekali, langit hanya
diterangi beberapa buah bintang yang suram. Ketika
kentungan peronda berbunyi dua kali menandakan
bahwa malam itu telah lewat tengah malam, tiba-tiba
para penduduk yang tinggal di dekat gedung Liu
chungcu terkejut mendengar suara jeritan wanita
yang keras dan menyeramkan.
Liu chungcu sendiri dan beberapa orang penjaga
bangun dan segera berkumpul, lalu memburu ke arah
suara tadi. Alangkah terkejutnya ketika mereka
menghampiri kamar Liu siocia, mereka lihat pintu
kamar itu terbentang lebar. Dari situlah terdengar
suara jeritan tadi. Liu chungcu dengan hati berdebar-
debar segera memasuki kamar puterinya.
Tiba-tiba para penjaga yang berada di luar kamar
mendengar majikan mereka berteriak sedih. Mereka
mengintai dan apakah yang terlihat" Ternyata Liu
siocia, gadis remaja yang cantik jelita itu telah roboh
di atas lantai di depan ranjangnya dengan mandi
darah. Sebilah pisau belati tertancap di dadanya dan
keadaan pakaiannya tidak karuan!
Lin Piauw sebagai kepala penjaga segera memasuki
kamar itu dan ia yang telah berpengalaman begitu
melihat sekilas saja keadaan gadis itu, tahulah sudah
bahwa ini adalah perbuatan seorang penjahat
pemetik bunga! Ia maklum penjahat itu tentu belum
lari jauh, maka ia segera mengayun tubuhnya
meloncat ke atas genteng dan pergi mencari-cari
sambil berloncat-loncatan di atas wuwungan rumah
orang. Ketika sampai di tembok kampung sebelah selatan,
tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan yang
menggendong sesuatu di pundaknya terbang
mendatangi ke arahnya. Lin Piauw si Kepalan Baja
cepat bersembunyi sambil mengintai.
Tiba-tiba dari jurusan yang berlawanan datang pula
sesosok bayangan orang yang gerakannya gesit
sekali. Orang itu memegang sebilah pedang. Dua
bayangan orang itu bertemu di atas sebuah
wuwungan rumah yang tak jauh dari situ, maka Lin
Piauw segera mendekati dengan diam-diam sambil
memasang mata dan telinganya.
Ternyata olehnya bahwa bayangan tu adalah seorang
wanita muda dan seorang laki-laki. Si wanita
membawa sebuah kantung di pundak dan laki-laki itu
memegang sebilah pedang. Mereka berdua
mengenakan pakaian serba hitam, khusus pakaian
jalan malam. "Moi-moi (adik), bagaimana hasilmu?" tanya laki-laki
itu. Kawannya mengangkat kantung yang digantungkan
di pundaknya ke atas. "Semua emas," katanya
tertawa merdu. "Dan kau bagaimana" Berhasilkah di
gedung kepala kampung itu?"
Laki-laki itu menggelengkan kepala. "Sayang, sebelum
aku dapat mengambil sesuatu yang berharga,
anaknya bangun dan berteriak, terpaksa kubereskan!"
"Anak gadis, bukan" Ah, lagi-lagi kau menyakiti
hatiku, koko (kanda)."
Karena sudah jelas bahwa inilah orang yang dicari, Lin
Piauw segera melompat keluar dan membentak.
"Bangsat cabul! Lekas menyerah kalau tak ingin
mampus!" Kedua orang itu terkejut dan perempuan itu mencabut
pedangnya. "Biarkan saja, moi-moi jangan ikut-ikut. Biar aku
sendiri membereskan anjing ini," kata yang laki-laki.
Lin Piauw tak banyak bicara lagi, segera menyerang
dengan goloknya. Penjahat cabul itu menangkis
dengan pedangnya dan tak lama kemudian mereka
berdua bertempur di atas genteng dengan hebat. Lin
Piauw segera mengetahui bahwa bangsat itu ilmu
silatnya lihai juga, maka segera ia mengeluarkan
ajaran dan petunjuk-petunjuk Hwat Kong Hwesio.
Goloknya menyambar-nyambar bagaikan kitiran angin
dalam gerakan Hong-sauw-pai-yap (Angin Menyapu
Daun Rontok). Segera penjahat itu keteteran dan
hanya dapat menangkis saja.
Pada satu saat golok Lin Piauw menyambar ke arah
leher, lawannya menangkis dengan pedang tapi golok
yang tertangkis itu terus terayun ke bawah mengarah
kaki lawan dengan gerakan gesit sekali. Lawannya
tak sempat menangkis, hanya berkelit melompat ke
atas untuk menghindari, kaki kirinya mengirim
tendangan yang dapat ditangkis pula oleh lawannya
dengan tangan kiri, tapi bangsat itu menjadi sangat gugup dan terdesak. Saat yang baik ini digunakan
oleh Lin Piauw untuk menyerang makin hebat.
Pada saat itu sudah hampir mendapat kemenangan,
tiba-tiba dari belakang menyambar angin dingin
dibarengi bentakan halus, "Pergilah kau!"
Lin Piauw terkejut bukan main karena biarpun dengan
cepat ia berkelit, namun pedang yang menyerangnya
dari belakang itu masih menyerempet pundaknya dan
merobek bajunya. Segera ia berloncat ke sisi dan siap
menghadapi musuh baru yang ternyata adalah
perempuan muda itu. Hebat sekali gerakan lawan baru ini, gerakan
pedangnya cepat dan lincah. Sedangkan menghadapi
lawan yang tadi saja kepandaianya tidak jauh
selisihnya, apa pula kini dikeroyok dua, maka baru
bertempur beberapa jurus saja Lin Piauw tak kuat
menahan pula. Terpaksa ia menggunakan saat baik
untuk meloncat keluar kalangan dan kabur! Kedua
penjahat itu tak mengejarnya, hanya terdengar suara
ketawa mengejek dari si penjahat wanita yang
membuat Lin Piauw merasa gemas dan marah sekali.
Semenjak hari itu, maka berturut-turut beberapa
rumah hartawan di kampung itu didatangi penjahat
yang menggondol tidak sedikit jumlahnya uang dan
emas. Dan seorang gadis she Him terbunuh pula oleh
penjahat cabul pemetik bunga itu.
Lin Piauw merasa sangat bingung dan kuatir. Ia
sebagai kepala penjaga yang bertanggung jawab
akan keamanan kampungnya tentu saja mendapat
teguran keras dari kepala kampung.
Akhirnya ia mendengar bahwa di kelenteng Ban-hok-
thong kedatangan seorang gadis cantik yang tinggal
di situ. Menurut keterangan seorang daripada
beberapa mata-matanya yang sengaja disebar, gadis
itu agaknya pandai silat karena datangnya membawa
pedang. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan
Lin Piauw, tapi karena mengingat Hwat Khong
Hwesio, ia tidak berani bertindak serampangan.
Maka setelah menceritakan hal yang menyusahkan
hatinya itu ia bertanya kepada Hwat Khong.
"Maaf, lo-suhu. Bukan maksud siauwte untuk berlaku
kurang hormat. Tapi siauwte mendengar bahwa di
kelenteng lo-suhu kedatangan tamu seo rang wanita.
Bolehkah kiranya siauwte mengetahui siapakah
gerangan tamu itu?" Hwat Khong tertawa geli. "Ha, ha, Lin lauwte agaknya
mencurigai kelentengku?"
Lin Piauw buru-buru berdiri menjura dalam. "Sekali-
kali tidak, lo-suhu. Mana berani siauwte, berlaku
kurang ajar" Hanya tak lain, untuk urusan ini siauwte
sungguh-sungguh mengharapkan budi kebaikan dan
pertolongan lo-suhu karena siauwte mera sa tenaga
sendiri tidak cakap dan lemah. Mohon kasihanlah
kepadaku lo-suhu dan juga atas nama semua
penduduk kampung Pian-bong-kee-chung siauwte
mohon bantuan!" Hwat Khong Hwesio segera membalas hormat.
"Jangan see-ji (sungkan) dan jangan gelisah, Lin
lauwte. Duduklah dan tunggu sebentar, pinceng akan
perkenalkan tamu yang kaucurigai itu kepadamu."
Ia segera masuk ke dalam meninggalkan Lin Piauw
yang menanti dengan hati tidak sedap. Sebentar
kemudian Hwat Khong kembali, diikuti oleh Lian Hwa.
Lin Piauw segera berdiri memberi hormat dan satu
lirikan tajam ke arah gadis itu membuat ia yakin
bahwa Lian Hwa bukanlah wanita yang telah
melukainya pada malam itu.
"Nah, Lin lauwte, ini adalah tamu yang
kaumaksudkan itu. Ia tak lain adalah Han sumoi!"
Lin Piauw terkejut dan heran mendengar Hwat Khong
Hwesio memperkenalkan gadis itu sebagai adik
seperguruannya! Segera ia memberi hormat kepada
Lian Hwa sambil berkata. "Han lihiap, mohon dimaafkan jika aku berlaku
sembrono." Han Lian Hwa membalas hormat sepantasnya. Ia
tidak kikuk pula tentang cara kesopanan setelah
mendapat didikan suhengnya. Sambil tersenyum ia
berkata, "Jangan sungkan, saudara Lin, silakan dud uk."
Kemudian Hwat Khong menjelaskan dengan singkat
tentang kedatangan Lin Piauw yang minta tolong
bantuan tenaga untuk menangkap kedua pengacau
kampung Pian-bong-kee-chung. Lian Hwa lalu


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyatakan kesanggupannya pula untuk membantu
usaha suhengnya menolong kampung itu.
Dengan serta merta Lin Piauw menghaturkan terima
kasihnya, kemudian ia bermohon diri dengan hati
lega. Tapi dalam hatinya tak bisa heran memikirkan
bagaimana Hwat Khong yang lihai ilmu silatnya itu
mempunyai sumoi seorang gadis kecil seperti itu! Ia
tak percaya gadis itu dapat mempunyai ilmu silat
yang tinggi. Setelah Lin Piauw pergi, Lian Hwa yang sejak tadi
telah tak sabar pula menahan hatinya, kini segera
mengajukan pertanyaan kepada suhengnya.
"Suheng, apakah artinya penjahat pemetik bunga
seperti yang diceritakan oleh tuan Lin Piauw tadi?"
Agak bingung juga Hwat Khong Hwesio mendengar
pertanyaan ini! Bagaimana ia harus menerangkan" Ia
maklum bahwa sumoinya itu adalah seorang gadis
yang jujur dan polos, maka terpaksa ia menjawab
juga pertanyaan yang keluar dari hati yang jujur dan
betul-betul belum mengerti itu.
"Sumoi, kau masih ingat Peng Bouw, laki-laki kurang
ajar dulu itu" Nah, penjahat cabul ini juga seorang
laki-laki kurang ajar, bahkan jauh lebih jahat daripada
Peng Bouw, tidak segan-segan membunuh wanita
yang tidak sudi dijadikan kurbannya! Maka sudah
menjadi kewajiban kita untuk membantu menangkap
penjahat dan kawannya perempuan si pencuri itu.
Hanya sekarang bagaimana kita harus bertindak" Kita
tidak tahu sarang mereka dan juga tidak kenal wajah
mereka." Han Lian Hwa sungguhpun kurang pengalaman,
namun ia mempunyai kecerdikan otak yang luar
biasa, kalau tidak demikian halnya tidak mungkin ia
bisa mempelajari segala ilmu silat yang tinggi dari
Ong Lun sedemikian mahirnya. Maka segera ia
tersenyum dan mengemukakan siasatnya kepada
Hwat Kong. Suhengnya mendengar siasat ini mula-mula mengerutkan alis, tapi kemudian mengangguk-
angguk menyatakan setuju.
Pada keesokan harinya, di rumah penginapan Kim Ma
Li-koan yang berada di tengah-tengah kampung Pian-
bong-kee-chung dan merupakan penginapan yang
terbesar dan paling mewah di kampung itu, datang
seorang nona cantik dengan pakaian indah. Ia
memilih kamar terbesar, dan karena sikapnya yang
royal, maka para pelayan sangat hormat padanya.
Pula, tentu saja mereka sangat senang melayani
seorang nona elok seperti tamu itu.
Tamu itu bukan lain ialah, Han Lian Hwa yang mulai
menjalankan siasatnya "memancing harimau keluar
dari guanya". Ia sengaja bermalam di hotel itu, dan
pada siang harinya ia berjalan-jalan melihat-lihat
telaga kecil di pinggir kampung yang menjadi pusat
pelancong. Belum lama ia berjalan, matanya yang tajam melihat
seorang pemuda yang sangat memperhatikan dirinya.
Ketika ia masuk ke dalam sebuah rumah makan kecil
di dekat telaga itu, pemuda itupun masuk pula dan
duduk tak jauh dari mejanya. Mata pemuda itu terus
menerus mengincar padanya.
Lian Hwa sangat jemu melihat lagak orang itu, tapi ia
bersabar diri. Diam-diam ia perhatikan pemuda yang
mencurigakan itu. Pemuda itu kira-kira berusia
duapuluh lima tahun, wajahnya cakap matanya
bersinar. Pakaiannya mewah, baju berwarna merah
dan celana biru. Dari gerak-geriknya, maklumlah Lian
Hwa bahwa pemuda itu seorang yang mengerti ilmu
silat. Setelah puas berputar-putar, Lian Hwa kembali ke
hotelnya, dan ia tahu bahwa pemuda itu diam-diam
mengikutinya. Kini hati gadis itu setengah yakin
bahwa inilah mungkin harimau yang dipancingnya
keluar itu, maka diam-diam ia berhati-hati.
Malam hari itu kebetulan terang bulan. Kamar Lian
Hwa siang-siang sudah gelap, menandakan bahwa
gadis itu sudah masuk tidur.
Kira-kira menjelang tengah malam sesosok bayangan
orang berkelebat di atas genteng rumah penginapan
Kim Ma Li-koan. Tindakan kakinya ringan dan gesit,
menandakan tingginya ilmu meringankan diri orang
itu. Tapi ia tidak menduga sama sekali bahwa jauh di
belakangnya terdapat bayangan lain yang
mengintainya bayangan seorang hwesio gundul yang
berlari dan berloncatan dengan gesit sekali.
Tamu malam itu menghampiri kamar Han Lian Hwa
dan dengan gerak tipu Kwie-liong-seng-thian (Naga
Setan Naik ke Langit) ia melayang turun dari atas
genteng. Dengan hati-hati ia menghampiri jendela dan
menggunakan pedangnya mencokel daun jendela
terbuka. Kemudian ia meloncat masuk.
Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat,
kamar itu telah kosong dan dengan cepat ia meloncat
keluar lagi. Tapi ternyata di luar jendela telah menanti
Han Lian Hwa yang telah bersiap-siap di luar kamar
dan melihat jelas ketika penjahat itu mencokel
jendelanya. Ia sengaja mendiamkan saja karena ingin
menunggu penjahat itu dan ingin melihat bagaimana
cara kerjanya. Penjahat cabul itu melihat ada seorang di luar jendela
tanpa banyak cakap lalu meloncat ke atas genteng
hendak kabur. Tapi, sungguh heran, ketika kakinya
menginjak wuwungan, ternyata gadis yang tadi
berdiri tersenyum-senyum di bawah ternyata telah
berada pula di situ, masih berdiri tersenyum
mengejek. "Jangan harap lari sebelum tinggalkan kepalamu!"
kata gadis itu. Si penjahat menjadi jengkel, lebih-lebih ketika melihat
bahwa gadis itu justeru orang yang siang tadi ia incar
dan hendak dijadikan korbannya.
"Jangan kurang ajar! Hayo pergi jangan menghalangi
jalanku kalau tak ingin mampus!" bentaknya.
Han Lian Hwa tersenyum. "Engkau tadi mencariku,
bukan" Nah, aku sudah berada di sini, kebetulan
sekali, karena aku membutuhkan engkau!"
"Apa katamu" Apa maksudmu?" penjahat itu heran.
"Aku butuh"?"" kepalamu! Perlu kepalamu untuk
membalaskan sakit hati penduduk kampung ini."
"Kurang ajar!" teriakan ini dibarengi dengan sinar
pedangnya menyerang dengan sebuah tusukan
berbahaya ke arah dada Lian Hwa.
"Hei hati-hati dengan pedangmu, kan-cat (bangsat)!"
nona itu berkelit lincah sambil mengejek. Setelah
terpisah dari suhengnya, maka timbullah pula
kejenakaan dan kenakalannya. Tiba-tiba Hwat Khong
yang sejak tadi mengintai, menjadi tak sabar lagi dan
loncat menghampiri. "Sumoi, jangan banyak buang waktu. Tangkap dia!"
"Baik, suheng," jawab Lian Hwa.
Tapi pada saat itu sebuah bayangan lain yang
membawa pedang, terbang mendatangi. "Jangan
khawatir, koko! Bikin mampus perempuan itu, biar
aku bereskan keledai gundul ini."
Segera bayangan yang baru datang ini menyerang
Hwat Khong dengan pedangnya. Serangan berbahaya
itu ditangkis oleh kebutan lengan baju Hwat Khong.
Terjadilah pertempuran hebat. Dua penjahat
bersenjata pedang melawan Lian Hwa dan
suhengnya yang berkelahi dengan tangan kosong.
Memang Hwat Khong melarang sumoinya
menggunakan senjata, karena ia ingin menangkap
mereka hidup-hidup. Pula ia yakin bahwa ia dan
sumoinya tak perlu menggunakan senjata melawan
kedua penjahat itu. Tak disangkanya bahwa
perempuan jahat yang dilawannya itu cukup lihai
hingga agaknya tak mudah baginya untuk
mengalahkan dengan cepat, apa pula menangkapnya
hidup-hidup. Di lain pihak Lian Hwa sengaja mempermainkan
penjahat cabul itu. Ia bergerak-gerak bagaikan kupu-
kupu lincah di antara sambaran pedang sambil
memaki dan mengejek. Penjahat cabul itu makin lama makin marah dan
penasaran. Ia yang bersenjata pedang dapat
dipermainkan dengan begitu mudah oleh seorang
gadis muda yang bertangan kosong. Hampir ia tak
dapat percaya dan merasa seakan-akan bermimpi. Ia
menjadi penasaran dan menyerang makin hebat.
Pedangnya menusuk ke arah leher dengan tipu Hui-
eng-bok-thio (Elang Terbang Menyambar Kelinci), tapi
dengan mudah lagi-lagi Lian Hwa berkelit sambil
mengejek. "Kurang cepat, bangsat kecil!" lalu dengan lincahnya
meloncat ke sebelah kanan orang itu.
Si penjahat segera memutar pedangnya ke kanan
menyabet dengan gerak tipu Ular Belang Memukulkan
Ekornya. Tapi yang diserang hanya meloncat sedikit
dan tahu-tahu gadis itu telah berada di belakangnya.
Dipermainkan secara begitu, si penjahat menjadi
pening dan keringatnya mengucur deras, napasnya
mulai sengal-sengal. Ia menjadi penasaran dan nekat. "Malam ini aku si
burung hantu Eng Kan akan mengadu nyawa dengan
kau anjing betina!" Pedangnya lalu dipakai menyerang
dengan nekat. Lian Hwa tertawa dan menjawab.
"Malam ini aku Ang Lian Lihiap akan mengirim kau
pulang ke neraka!" Ia menggunakan nama julukan itu
ketika ia dengar dari suhengnya bahwa di luaran ia
disebut orang Ang Lian Lihiap.
Setelah berkata demikian, maka Lian Hwa mulai
mengirim serangannya yang me-matikan. Ketika
pedang lawannya mengarah pinggang, ia berkelit ke
samping, tapi Eng Kan melanjutkan serangannya
dengan berjongkok dan menyabet ke arah kaki.
Lian Hwa meloncat ke atas dan sebelum kakinya
kembali ke bawah ia menggerakkan sedemikian rupa,
merupakan tendangan maut. Kaki kirinya menotol
dada penjahat itu yang segera menjerit lalu jatuh.
Pedangnya terlepas dan dari mulutnya tersembur
darah merah. Kemudian tubuhnya yang sudah tak
berdaya itu bergulingan ke bawah akhirnya jatuh dari
atas genteng. Sementara itu Hwat Khong sudah mendesak
musuhnya hingga perempuan jahat itu kini repot
menghindari serangan-serangan hwesio kosen itu.
Ketika mendengar jeritan Eng Kan, ia makin bingung
dan ketika Hwat Khong mengirim serangan kepretan
tangannya, pergelangan tangannya yang memegang
pedang kena terpukul hingga pedangnya terpental
dan jatuh ke atas genteng mengeluarkan suara
berkerontangan. Lin Piauw yang baru saja sampai ke situ berteriak,
"Bagus, tangkap padanya, lo-suhu!"
Tapi perempuan itu dengan cepat meloncat ke bawah
dan kabur dengan cepatnya.
"Kejar! Tangkap!" teriak Lin Piauw yang segera
mengejarnya. ?"03.08. Su-moi ataukah Murid Pendeta Tua"
Lian Hwa berkata, Biarkan aku merobohkannya,
saudara Lin! Tangannya menyambar pedang penjahat
perempuan yang jatuh tadi dan siap untuk dilontarkan
ke arah tubuh lawan yang masih tampak.
Tapi suhengnya membentak, Jangan! maka Lian
Hwa membatalkan niatnya. Lin Piauw kembali dengan percuma. Tak dapat aku
mengejarnya ia menghilang dengan cepat& & sayang
sekali! Lo-suhu mengapa lo-suhu tidak mengejarnya"
ia menegur agak kecewa. Lin lauwte, tak perlu penjahat itu dikejar-kejar, dan
lebih tak perlu pula ia dibunuh karena dosanya tak
sangat besar. Ia hanya pencuri biasa. Yang sangat
berdosa telah membunuh jiwa orang hanya penjahat
yang terbunuh oleh sumoi itu. Kemudian ia berkata
kepada sumoinya, Mari kita pulang, sumoi!
Di tengah perjalanan pulang ke kelenteng Hwat
Khong Hwesio menegur sumoinya, Sebetulnya tak
perlu membunuhnya, sumoi.
Tapi suheng, ia seorang jahat sekali. Kalau tidak
dibasmi mungkin membahayakan keselamatan
umum. Suhengnya hanya menghela napas. Hm, biarlah
karena sudah terlanjur, pula mungkin ia memang
sudah pantas membalas jiwa para kurbannya. Hanya
lain kali sabarlah sedikit, jangan terlampau ganas.
Lian Hwa hanya tunduk dan mereka melanjutkan
perjalanan mereka. "%Y"% Pada suatu hari, dua orang laki-laki yang berpakaian
sebagai orang-orang dari kalangan persilatan dan
menunggang kuda datang ke kelenteng Ban-hok-
thong. Mereka langsung menemui Hwat Khong
Hwesio yang pada saat itu tengah bercerita kepada
Han Lian Hwa tentang orang-orang ternama di
kalangan kang-ouw. Begitu melihat Hwat Khong, mereka segera berlutut
dan menyebut, Suhu (guru).
Hwat Khong mengangkat bangun mereka dan
berkata, Bangun dan duduklah.
Kedua orang itu bangun dan ketika pandangan mata
mereka bertemu dengan Lian Hwa, mereka


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang guru mereka dengan mata mengandung
pertanyaan, tapi mulut mereka diam saja tidak berani
bertanya. Ini adalah aku punya sumoi, maka kalian masih
terhitung sutit (murid keponakan) dari sumoi ini!
Mendengar ini, kedua orang itu membuka mata lebar-
lebar dengan penuh keheranan, tapi karena
keterangan guru mereka itu, terpaksa menjura
kepada Lian Hwa. Karena untuk berlutut mereka
sungguh merasa tidak pantas, melihat bibi guru ,
mereka itu tak lebih baru berusia enambelas tahun!
Lian Hwa cepat-cepat balas menjura dan berkata
sambil tersenyum, Jiwi (kalian) janganlah
menggunakan terlampau banyak peradatan, karena
kita toh orang sendiri. Juga tak perlu kiranya
memanggil aku dengan sebutan bibi guru segala,
karena kalian jauh lebih tua dariku. Tentu hal ini akan
sangat terasa janggal dan memalukan bagi jiwi.
Hwat Khong pun tertawa, Sumoi, ini adalah muridku
pertama bernama Can Lun, dan ini murid kedua
bernama Bwee Liong. Mereka membuka piauw-tiam
(kantor ekspedisi) di Kwi-ciu.
Ah baru kutahu bahwa suheng juga mempunyai
murid-murid. Masih ada lagikah muridmu, suheng"
Masih ada seorang lagi murid perempuan bernama
Siu Loan ialah puteri seorang cong-tok (Pembesar) di
Kwi-ciu juga. Kemudian ia memperkenalkan Lian
Hwa kepada muridnya. Sukou (bibi guru) kalian ini
adalah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa! Tapi nama ini
sama sekali mereka belum pernah mendengarnya.
Kalau begitu aku akan memanggilmu saudara Can
dan saudara Bwee saja dan jiwipun tak perlu
menyebut bibi, sebut saja siauw-moi (adik) atau apa
saja. Rasanya tak pantas kalau saya menyebut siauw-moi,
baiklah kusebut lihiap saja, kata Bwee Liong.
Nah, cukuplah segala macam sebutan ini, mencela
Hwat Khong. Tidak biasa kalian datang pada waktu
begini. Ada keperluan apakah sebenarnya kedatangan
kalian ini" Teecu (murid) berdua datang, pertama untuk
mengunjungi suhu karena sudah lama tidak
menghadap, dan kedua teecu membawa surat
undangan untuk suhu dari Ciauw Bun Liok lo-enghiong
(pendekar tua) yang hendak merayakan ulang
tahunnya yang ke limapuluh. Can Lun berkata sambil
menyerahkan sepucuk surat undangan.
Hwat Khong menerima surat itu dan mem baca, lalu
berkata sambil tertawa gembira. Bagus, bagus.
Ciauw Bun Liok si Garuda Kuku Emas (Kim-jiauw-eng)
itu masih ingat kepada lohu yang tak ternama, Can
Lun, engkau dan sute (adik seperguruan)mu Bwee
Liong boleh mewakili aku pergi mengunjunginya dan
antarkan suratku menghaturkan selamat.
Tiba-tiba Han Lian Hwa berkata memohon, Suheng,
bolehkah aku saja mengantarkan surat itu"
Hwat Kong berpaling memandang sumoinya, lalu
tertawa, Hem, baik juga kalau kita pergi bersama
agar kau dapat bertemu muka dengan para jagoan di
kalangan kang-ouw. Can Lun, biarlah kauantar saja
sumbanganku dan katakan bahwa aku akan datang
pada waktunya bersama seorang sumoiku.
Kedua murid itu berdiam di kelenteng gurunya selama
tiga hari dan kemudian mereka kembali dengan
membawa sepucuk surat pernyataan sela mat berikut
sumbangan berupa sebuah kotak kecil kuno terbuat
dari kayu hitam berukiran liong (naga) yang indah dan
terisi sebuah kartu merah bertulisan nama Hwat Kong
dan sumoinya. Setengah bulan kemudian, Hwat Khong Hwesio
mengajak sumoinya berangkat menuju ke kota
Siang-kiu di Propinsi Holam, tempat kediaman Kim-
jiauw-eng Ciauw Bun Liok si Garuda Kuku Emas.
Karena perjalanan itu jauh dan melalui hutan-hutan,
sedangkan pada masa itu keadaannya di sepanjang
jalan tidak aman, maka Hwat Kong Hwesio
membawa senjatanya berupa sebatang tongkat besi
yang berat, Han Lian Hwa juga membawa pedangnya
Siang-liong-kiam yang digantungkan di pinggang.
Mereka berdua sengaja berjalan kaki karena Hwat Khong memang ingin menunjukkan tempat-tempat
yang mereka lalui untuk menambah pengalaman
sumoinya. Lian Hwa bukan main senangnya
melakukan perjalanan kali ini karena dengan
dikawani suhengnya ia bisa mendapat penerangan-
penerangan jelas tentang segala yang dilihatnya.
Mereka berjalan selama lima hari melalui beberapa
buah kota yang menarik hati Lian Hwa. Gadis ini
mengagumi bangunan rumah-rumah yang besar dan
indah di sepanjang jalan. Tentu saja di sepanjang
jalan pasangan ini tak luput dari perhatian orang.
Hwat Khong bertubuh tinggi besar berwajah angker
dan agung dengan sinar matanya yang terang. Lian
Hwa merupakan seorang gadis yang cantik jelita,
berpakaian ringkas warna merah muda dan di atas
rambutnya yang hitam gombyok itu terhias sebuah
bunga teratai emas tertabur ukiran naga dengan
ronce-ronce merah membuat ia tampak gagah sekali.
Tiap orang bertemu dengan mereka pasti
menganggap bahwa nona itu tentu murid si hwesio!
Pada hari ke enam mereka tiba di kota Siang-siu.
Hwat Khong pernah datang ke kota itu, maka ia tidak
asing lagi dengan jalan di kota itu. Ia memilih hotel
?"?"?"Lian An?"?"?" sebagai tempat bermalam dan menyewa
dua kamar. Keesokan harinya pagi-pagi Hwat Khong dan
sumoinya berangkat menuju ke rumah Ciauw Bun
Liok yang terletak di jalan sebelah barat.
Kim-jiauw-eng Ciauw Bun Liok si Garuda Kuku Emas
adalah seorang gagah yang disegani orang, karena
selain berkepandaian tinggi juga terkenal seorang
jujur yang menjunjung tinggi persahabatan di
kalangan rimba persilatan.
Ia terkenal dengan ilmu silatnya Kim-jiauw-kun (Ilmu
Silat Garuda Emas) dan juga Kim-jiauw-kiam-hoat
(Ilmu Pedang Garuda Emas), ilmu silat keturunan
keluarga Ciauw yang ditakuti lawan dan dikagumi
kawan. Terutama ilmu pedangnya yang dimainkan
dengan siang-kiam (pedang sepasang) sangat
terkenal kelihaiannya. Karena memang sejak beberapa keturunan keluarga
Ciauw adalah pedagang besar dan menjadi keluarga
yang kaya, maka tak heran kalau rumah keluarga
Ciauw merupakan gedung besar dan luas yang
sangat mentereng. Di halaman belakang gedung itu
terdapat taman bunga yang luas dan di tengah-
tengahnya dibangun sebuah ruangan tempat bermain
silat di mana terdapat delapanbelas macam senjata
tajam bermacam-macam ukuran.
Di situlah Ciauw Bun Liok menurunkan ilmu silatnya
kepada kedua puteranya yang bernama Lin Eng dan
Lin Houw, masing-masing berusia duapuluh tiga dan
duapuluh enam tahun. Selain ilmu keturunan Kim-
jiauw-kiam-hoat dan Kim-jiauw-kun, Ciauw Bun Liok
pun pandai menggunakan delapanbelas macam
senjata kaum persilatan. Pada hari itu, taman bunga gedung keluarga Ciauw
penuh dengan tamu-tamu yang duduk mengelilingi
meja, kurang lebih ada seratus orang tamu berkumpul
di situ. Mereka sengaja datang dari berbagai tempat
untuk ikut memberi hormat dan merayakan hari ulang
tahun ke limapuluh dari Ciauw-lo-enghiong.
Tamu-tamu itu seperti orang perantauan, ada yang
seperti pendeta, pelajar dan banyak pula yang
lagaknya seperti seorang pendekar silat. Ada juga
beberapa orang wanita yang menggantung
pedangnya di pinggang atau di belakang pungung.
Tapi rata-rata mereka adalah ahli-ahli silat terkemuka.
Di antara mereka yang kebanyakan adalah orang
kang-ouw biasa dan berkepandaian cukupan saja,
terdapat juga Liok-chiu-sin-houw Bin Goan si Harimau
Sakti Tangan Enam, Hak-san-taihiap Ong Kwie si
Pendekar dari Hak-san dan Kong Sin Ek yang dijuluki
orang si Dewa Arak atau Ciu-sian. Mereka bertiga ini
telah menjagoi di kalangan kang-ouw dan jarang
menemukan tandingan. Juga di situ hadir pula wakil-
wakil dari cabang Siauw-lim-si ialah Beng Sun Hosiang
dan Tiat Lui In dari cabang Go-bi, pula terdapat ketua
Hoa-san-pai yakni Pek Siong Tosu dan dua orang
muridnya. Para ahli yang telah berusia lebih dari setengah abad
itu mendapat tempat kehormatan.
Kemudian datang Hwat Khong Hwesio dan Han Lian
Hwa. Ciauw Bun Liok sendiri keluar menyambut Hwat
Khong yang menjadi kawan baiknya di waktu muda.
Ketika mereka berjumpa dan saling memberi hormat
dengan gembira, Ciauw Bun Liok hanya mengangguk
untuk membalas penghormatan Lian Hwa.
?"?"?"Selamat bertemu, sahabatku yang baik, mana
sumoimu yang kaukatakan akan ikut datang itu"?"?"?"
tanya Ciauw Bun Liok sambil memegang lengan Hwat
Khong. Hwat Khong tersenyum menjawab, ?"?"?"Ha, Ciauw-
taihiap, jangan kau orang tua mentertawakan
pinceng. Sumoiku ialah nona ini yang bernama Han
Lian Hwa.?"?"?"
Bukan main herannya Ciauw Bun Liok mendengar ini,
karena tadi ia sangka bahwa nona muda yang elok
itu adalah murid kawannya. Segera ia menjura
dengan hormat, ?"?"?"Maafkan, maafkan, lohu sudah
terlalu tua hingga tidak melihat Gunung Thai-san di
depan mata. Silakan masuk, Lihiap.?"?"?"
Han Lian Hwa membalas hormatnya dan berkata
manis, ?"?"?"Jangan sungkan-sungkan siok-hu (paman).?"?"?"
Ciauw Bun Liok lalu membimbing tangan Hwat Khong
dan ditempatkan di bagian tempat terhormat dan
menjadi satu dengan enam orang tua tersebut di atas.
Di antara para tamu banyak yang sudah mengenal
nama dan pribadi Hwat Khong hwesio, maka mereka
merasa sudah sepatutnya hwesio kosen itu diberi
tempat terhormat. Tapi gadis muda yang lemah
lembut itu mengapa juga diberi tempat terhormat"
Gadis itu paling hebat juga murid Hwat Khong. Maka
banyak diantara kaum muda yang merasa iri hati dan
menganggap Ciauw Lo-enghiong telah berlaku
menjilat dan kurang adil.
Setelah semua tamu lengkap jumlahnya kecuali
beberapa orang yang tak dapat datang, Ciauw Bun
Liok berdiri di tengah-tengah ruangan itu sambil mengangkat tangan memberi hormat ke sekeliling,
kemudian membuat sambutan singkat.
Para cianpwe (sebutan menghormat kepada
golongan tua) yang terhormat dan sekalian enghiong
dan saudara yang terhormat. Saya menghaturkan
beribu terima kasih atas kunjungan yang menyatakan
kecintaan hati saudara sekalian kepada saya yang
rendah. Semoga Thian (Tuhan) saja yang akan
membalas kebaikan hati ini. Dan maafkanlah kiranya
jika perjamuan ini kurang lengkap.
Kemudian pesta dimulai dengan ramai dan gembira.
Sementara itu Hwat Khong dengan perlahan
memperkenalkan para cabang atas yang hadir di situ
kepada Lian Hwa. Tiba-tiba, di tengah-tengah pesta, seorang yang duduk
di bagian para muda berdiri mengajukan usul, yakni
untuk menghormat tuan rumah dan untuk menambah
pengetahuan yang muda, dimohon dengan hormat
agar para cianpwe dan ahli yang duduk di tempat
terhormat suka memberi sedikit pertunjukan ilmu
silat. Usul ini disambut oleh semua hadirin dengan
tepuk tangan yang riang gembira. Sudah tentu para
jago tua itu merendahkan diri dan mengajukan
keberatan, tapi karena permintaan itu disokong oleh
seratus mulut, maka terpaksa Ciauw Bun Liok berdiri
dan berkata kepada para jago tua.
Cuwi, saya mohon dengan hormat sudilah kiranya
cuwi berbaik hati dan meluluskan permohonan
mereka itu, hitung-hitung membantu saya yang tidak
mempunyai apa-apa untuk menggembirakan hati
para hadirin yang mulia. Ciu-sian Kong Sin Ek si Dewa Arak tertawa, Ha,
Ciauw-heng pandai memancing orang. Baiklah, aku
terima permintaan ini tapi harus ada syaratnya, yaitu
engkau sendiri harus membuka pertunjukan ini,
bagaimana" Ciauw Bun Liok mengangkat alis dan pundak. Ini
namanya terjeblos lobang sendiri, katanya tertawa,
Tapi apa boleh buat, untuk menghormat tamu aku
harus capekkan tulangku yang tua ini.
Lalu dengan suara keras ia memberi tahu kepada
semua tamu bahwa pertunjukan akan dibuka dan ia
sendiri yang pertama kali akan memulai. Lain-lain
jago tua terpaksa meluluskan juga. Karena ruang
berlatih silat yang merupakan panggung segi empat
lebar itu berada di tengah-tengah taman bunga, maka
tak perlu diadakan persiapan lagi.
Ketika Ciauw Bun Liok hendak mulai bersilat, tiba-tiba
dari luar mendatangi serombongan tamu baru. Yang
jalan terdepan adalah seorang berusia kurang lebih
empatpuluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan
tindakan kakinya tetap, kelihatannya angkuh sekali.
Begitu masuk, ia berkata keras, Ya, pantas saja


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciauw Lo-enghiong melupakan kami, kiranya sedang
sibuk sekali. Semua orang menengok dan Ciauw Bun Liok
memandang agak tidak senang tapi terpaksa ia
meloncat turun dari panggung dan menyambut
mereka, Maafkan saya orang tua yang menyambut
agak terlambat. Silakan. Ia lalu membawa mereka berempat ke ruangan itu,
tapi karena tempat yang disediakan olehnya untuk
para locianpwe golongan tua sudah penuh, terpaksa
mereka berempat diberi tempat yang sama dengan
tamu-tamu lainnya. Banyak tamu terperanjat ketika melihat mereka,
karena mengenal bahwa keempat orang itu adalah
San-ciu Si-houw atau Empat Harimau dari San-ciu
bernama Bu Houw, Tiat Houw, Cin Houw, dan Ban
Houw. Mereka ini sangat terkenal dan belakangan ini
nama mereka menjulang tinggi karena ke empat
orang ini mempunyai kepandaian yang istimewa dan
lihai. Bahkan dikabarkan orang bahwa mereka ini
beberapa kali telah melabrak jago-jago dari cabang
Go-bi, hingga Tiat Hui In yang kini berada pula di situ
diam-diam mengerutkan kening.
Ketika mendengar bahwa para locianpwe hendak
memperlihatkan kepandaian mereka, Bu Houw
harimau tertua segera tertawa bergelak-gelak dan
ketiga saudaranya bertepuk tangan.
Bagus, bagus. Alangkah baiknya, kami paling senang
melihat orang bersilat, kata mereka dengan lagak
menjemukan tapi tak seorangpun berani
memperlihatkan perasaan tak senangnya.
Setelah menuang arak dan menawarkan hidangan
untuk tamu-tamu baru itu Ciauw Bun Liok kembali ke
atas panggung dan setelah mengangguk dan menjura
ke sekeliling ia mulai bersilat pedang. Ternyata
gerakannya sangat gesit dan siang-kiam (pedang
pasangan) yang ia mainkan bergerak-gerak
merupakan gulungan dua sinar putih melindungi
tubuhnya. Sehabis bersilat semua orang memuji dan San-ciu Si-
houw empat kakak beradik itu bertepuk-tepuk dan
berseru, Bagus. Bagus. Lagak mereka seperti anak
kecil, terang bahwa mereka sengaja berlagak
demikian untuk menarik perhatian.
Han Lian Hwa yang duduk di dekat suhengnya
merasa sangat gemas melihat mereka, terutama
melihat Ban Houw si Harimau Bungsu itu sejak tadi
dengan secara menyolok dan terang-terangan selalu
memandang padanya bahkan mengajak tertawa.
Kemudian Sin Ek si Dewa Arak mempertunjukkan
keahliannya yang lihai juga. Setelah meneguk habis
seguci kecil arak, ia berloncat ke atas panggung dan
melepaskan jubahnya. Lalu dengan kain jubah itu ia
bersilat. Tapi sungguhpun hanya kain, di dalam tangan
si Dewa Arak itu merupakan senjata yang tak boleh
dipandang ringan. Di waktu menggunakan tenaga
kasar, jubah itu menyambar kaku merupakan toya
(pentungan) besi dan di waktu ia menggunakan
tenaga lemas, jubah itu seakan-akan ular yang dapat
melibat senjata tajam. Tentu saja permainannya ini mendapat sambutan
hebat karena mereka maklum akan kelih aiannya
orang tua yang brewokan ini. Bahkan Hwat Khong
Hwesio mau tak mau memuji dan menyatakan
kagumnya. Berturut-turut Bin Goan si Harimau Sakti Tangan Enam
memperlihatkan keahliannya bersilat Ta-houw-ciang,
Ong Kwie si Pendekar dari Hak-san mempertunjukkan permainan silat dengan joan-pian (ruyung lemas)
yang membuat ia terkenal duapuluh tahun lebih di
kalangan kang-ouw, kemudian ketua Hoa-san-pai Pek
Siong Tosu bersilat tangan kosong dikeroyok dua
orang muridnya yang bersenjata pedang.
Beng Sun Hosiang wakil Siauw-lim-si terpaksa pula
bersilat tangan kosong. Gerakannya kuat pukulan
kedua lengannya mendatangkan angin, menandakan
tenaga yang besar. Kemudian Ciauw Bun Liok menghampiri Hwat Khong
dan sambil tertawa berkata, ?"?"?"Nah, kaupun tak
terluput harus membantuku, sahabat baik. Perlihatkan
Tiat-mo-pang (Toya Ular Besi) ilmumu yang lihai itu!?"?"?"
?"?"?"Ah, engkau bikin pinceng malu saja. Ciauw-taihiap,
baiklah pinceng main-main sebentar, tapi
perkenankanlah pinceng bersilat dengan sumoiku ini
agar lebih menarik kelihatannya.?"?"?"
Hwat Khong sengaja berbuat ini agar nanti Lian Hwa
tak usah bersilat seorang diri lagi, karena iapun
maklum bahwa di antara sekian banyak tamu ada
yang memperlihatkan pandangan kurang ajar pada
sumoinya, sehingga jika sekarang sudah bersilat
dengan ia, maka sumoi itu tak perlu lagi
mempertontonkan dirinya. Ciauw-lo-enghiong meluluskan dengan gembira,
hanya para lo-cianpwe yang duduk dekat mereka
menjadi heran mendengar hwesio itu menyebut
sumoi kepada Lian Hwa. Kini mereka memandang
gadis itu dengan penuh perhatian.
Hwat Khong mempersilakan sumoinya mencabut
pedang. Ketika pedang Sian-liong-kiam dicabut, para
jngo tua diam-diam mengangguk kagum melihat
cahaya kehijau-hijauan yang keluar dari mata pedang
itu. Hwat Khong sendiri lalu menyeret tongkatnya dan
mereka mulai bersilat. Ternyata permainan itu berat sebelah, karena yang
tampak menyerang hanya Hwat Khong saja,
sedangkan Lian Hwa hanya berkelit ke sana ke mari
menghindari sambaran tongkat suhengnya. Gadis itu
tahu bahwa tongkat suhengnya tentu akan tertabas
buntung jika beradu dengan mata pedangnya, maka
dalam menangkis serangan ia selalu menggunakan
muka pedangnya, bukan bagian tajamnya. Tapi ia
selalu berlaku lambat untuk memberi muka kepada
suhengnya yang sudah ternama itu. Dengan demikian,
maka di mata sebagian besar para tamu Lian Hwa
agaknya terdesak sekali. Setelah mereka berhenti main silat, semua orang
memuji kepandaiannya Hwat Khong yang memang
lihai ilmu toyanya. Pada Lian Hwa, semua orang tak
pandang sebelah mata, karena sebagian besar dari
mereka menganggap bahwa gadis itu hanya murid
Hwat Khong. Kini tiba giliran Tiat Lui In dari cabang Go-bi yang
diminta mempertunjukkan kepandaiannya. Orang tua
berbaju putih itu dengan merendah terpaksa meloncat
ke atas panggung. Tapi sebelum ia bersilat, tiba-tiba
sebuah bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Tiat
Houw yang berpakaian hitam berada pula di atas
panggung dan menjura di hadapan Tiat Lui In.
03.09. Sumoinya Hebat Apalagi Suhengnya!
Di antara keempat saudara Houw itu, Tiat Houw
terkenal paling kejam dan berangasan. Sejak tadi
ketika melihat seorang wakil Go-bi berada di situ, ia
telah menahan-nahan ketidaksenangan hatinya.
melihat Tiat Lui In mendapat ketika untuk
memperlihatkan kemahirannya, ia tak dapat menahan
sabar lagi dan segera meloncat ke atas pangung.
"Locianpwe maafkan saya yang muda. Melihat bahwa
permainan silat pasangan lebih ramai dan menarik
dari pada kalau bersilat sendirian, maka ijinkanlah
saja menemani locianpwe untuk main-main," katanya
dengan suara dibikin-bikin merendah dan sopan, tapi
mengandung tantangan pedas.
Ciauw Bun Liok merasa sangat tidak senang melihat
gangguan ini, maka ia segera menghampiri mereka.
Pada saat itu Tiat Lui In dengan sabar tersenyum
menjawab. "Congsu (orang gagah), mana lohu berani main-main
dengan orang muda yang masih kuat?"
"Jangan begitu locianpwe, sebenarnya aku Tiat Houw
telah sering bertemu dan mengukur kepandaian
dengan beberapa orang yang mengaku murid Go-bi,
tapi mereka semua itu hanya orang-orang tak berarti.
Aku rasa mereka itu hanya Gobi-gobian dan palsu
belaka, maka kini setelah di sini terdapat seorang ahli
yang asli dari Go-bi, bagaimana aku dapat menyia-
nyiakan kesempatan untuk membuktikan kelihaian
cabangnya?" "Tiat Houw-hiante, saya harap kau suka mengalah
dan membiarkan Tiat Lui In lo-enghiong, bersilat
seorang diri. Nanti sesudah dia, barulah engkau
memperlihatkan pula kepandaianmu untuk kita lihat,"
membujuk Ciauw Bun Liok. "Jangan bikin aku kecewa karena melepaskan
kesempatan baik ini, Ciauw lo-enghiong. Dan apa
salahnya main-main berdua, jika Tiat locianpwe tidak
menolak permintaanku?" jawab Tiat Houw tak
senang. "Biarkanlah, Ciauw Bun Liok. Biar aku yang tua
melayani orang muda ini kalau ia mendesak."
Tapi Ciauw Bun Liok melihat gelagat tidak baik dan
maklum akan adanya kebencian diantara keempat
Harimau dan partai Go-bi, tetap pada pendiriannya
melarang kedua orang itu bertanding, biarpun hanya
secara "main-main". Tiat Lui In merasa tidak baik
memaksa dan terpaksa mundur sambil berkata
kepada Tiat Houw. "Maaf, bukannya aku si orang tua kurang sopan tidak
mau melayani yang muda, tapi sebagai tamu aku
harus tunduk kepada tuan rumah." Ia menjura dan
kembali ke tempat duduknya.
Tiat Houw menjadi kurang senang kepada Ciauw Bun
Liok. "Ciauw lo-enghiong, akupun terpaksa membatalkan
niatku mohon pengajaran dari Tiat lo-enghiong. Maka
kini harap kau orang tua sudi meluluskan
permintaanku ini, yaitu harap kau suka memberi
pelajaran sejurus dua jurus kepadaku. Tadi aku sudah
menyaksikan kelihaian ilmu silatmu. Bagaimana,
Ciauw lo-enghiong, suka kau bermurah hati dan
mengajarku?" Sungguh orang tak tahu diri, pikir Ciauw Bun Liok, tapi
terpaksa ia tersenyum juga dan menjawab, "Kalau
congsu tidak merasa rendah bermain-main denganku,
marilah kulayani!" Tadi ia menyebut hiante yang lebih ramah dari pada
sebutan congsu, untuk menyatakan kemendongkolan
hatinya. Tapi Tiat Hauw tidak merasa akan pergantian
sebutan dan perobahan sikap tuan rumah atau
memang sengaja ia berlaku nekat terdorong
kesombongannya. Mereka berdua siap untuk menguji kepandaian
masing-masing, tapi pada saat itu Ciauw toa-kongcu
putera pertama dari keluarga Ciauw meloncat di
antara mereka sambil membentak. "Orang tak tahu
adat, mengapa kau hendak mengacau tempat kami?"
Dan pada ayahnya ia berkata, "Ayah, hari ini adalah
hari baikmu, jangan ayah capekan hati melayani
orang-orang kurang ajar. Biarlah anak mencobanya."
Tanpa banyak cakap pula ia menjotos ke arah Tiat
Houw dengan tipu Pai-san-to-hai (Menolak Gunung
Menguruk Laut) sebuah pukulan yang sangat
berbahaya. "Bagus," teriak Tiat Houw dengan suara menyindir
sambil mengelak pukulan lawan menggunakan
lengannya menyampok tangan kiri lawan. Ciauw-
kongcu merasa dorongan sampokan itu keras sekali
hingga ia terhuyung ke belakang. Tahulah ia bahwa
tenaga lawan hebat sekali. Tapi ia tidak takut bahkan
maju pula menyerang dengan hebat.
Baru beberapa jurus saja terlihatlah sudah bahwa Tiat
Houw jauh lebih kuat. Ketika lawannya memukul ke
arah pinggangnya dari samping, ia memutar tubuh
secepat kilat menangkap tangan lawannya dan
menarik ke belakang. Tubuh Ciauw-kongcu
mendoyong ke depan dan pada saat itu kaki Tiat
Houw melayang, tepat mengenai dada lawannya.
Dengan hati cemas dan marah, Ciauw Bun Liok
melihat betapa anaknya roboh sambil muntahkan
darah terus pingsan. Beberapa orang pelayan buru-
buru menghampiri Ciauw-kongcu dan mengangkatnya
ke dalam rumah. Ciauw Bun Liok tak dapat menahan pula marahnya.
Ia meloncat ke atas panggung menghadapi Tiat
Houw. "Orang kurang ajar. Sungguh kau sombong sekali. Tak
kusangka kedatanganmu, di sini sengaja membuat
kacau. Engkau bukan hanya main-main
memperlihatkan ilmu silat, bahkan telah berani
melukai puteraku secara keji. Nah, jangan sesalkan
kalau aku menghajar adat padamu!"
Orang tua itu siap untuk menyerang tapi pada saat itu
seorang perempuan dengan gerakan indah melayang
ke atas gelanggang. Ia adalah Han Lian Hwa yang
mendapat perkenan suhengnya untuk mewakili tuan
rumah. Lian Hwa menjura kepada Ciauw Bun Liok dan
berkata, "Maafkan aku, Ciauw-siokhu. Engkau adalah
golongan cianpwee orang tua yang pantas dihormati.
Kurasa tidak pantas kalau siok-hu melayani orang
muda seperti Tiat Houw enghiong ini. Biarkanlah aku
yang muda mewakilimu."


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciauw Bun Liok berdiri bingung dan bimbang, tapi
ketika ia melirik ke arah Hwat Khong, hwesio ini
mengangguk-angguk dan berkedip mata. Terpaksa ia
mundur dengan hati khawatir.
"Nah, Harimau Besi (Tiat Houw) engkau mau main-
main cara bagaimana" Tangan kosong atau
bersenjata?" dengan langsung Lian Hwa menantang.
Tiat Houw agak bingung juga melihat tiba-tiba Ciauw
Bun Liok diganti oleh nona cantik ini. Sebelum ia
menjawab, tiba-tiba dari belakangnya meloncat
seorang yang ternyata bukan lain adalah Ban Houw,
harimau termuda. Sejak tadi Ban Houw kagum melihat kecantikan Lian
Hwa yang seakan-akan bunga teratai merah muda
baru mekar, dan ia sudah melihat pula bahwa
kepandaian silat gadis itu tak berapa tinggi, ternyata
dari gerakannya ketika bersilat melawan Hwat Khong
Hwesio tadi. Maka kini melihat gadis itu masuk ke
gelanggang menggantikan tuan rumah, ia menjadi
gembira dan meloncat pula menyusul kakaknya.
"Ji-ko (kakak kedua)! Biarkan aku main-main dengan
perempuan ini!" Tiat Houw tersenyum dan meloncat
turun. Kata-kata yang diucapkan Ban Houw itu
sungguh kurang ajar, maka para jago tua yang
berada di situ mendengar dengan wajah merah.
Bahkan Hwat Khong Hwesio yang biasanya sangat
sabar, mengertak gigi karena marah.
"Eh, eh! Ini harimau kecil berani unjuk gigi! Engkau
mau main-main dengan aku" Boleh, boleh, nonamu
sudah siap," Lian Hwa mengejek.
Dengan senyum aksi dibuat-buat Ban Houw mulai
dengan serangannya. Tangan kanannya menyambar
ke pundak Lian Hwa untuk dicengkeram. Ketika gadis
itu berkelit, tangan kirinya menyelonong ke depan
menyambar pinggang gadis itu.
Lian Hwa mengeluarkan suara mengejek dan
meloncat ke samping sambil mengirim tendangan
hebat! Gerakan berkelit sambil menyerang ini sangat
sukar dilakukan dan sukar pula diduga hingga Ban
Houw terkejut bukan main. Untungnya ia masih dapat
memutar tangan kanannya ke bawah untuk
menangkap kaki Lian Hwa yang menendang.
Tak tahunya, tendangan itu biarpun datangnya begitu
cepat, tiba-tiba saja bisa ditarik pulang dan sebelum
tahu bagaimana terjadinya, Ban Houw merasa tiba-
tiba telinga kirinya panas dan matanya berkunang-
kunang! Terdengar suara ketawa di sana sini karena baru dua
jurus saja gadis itu telah dapat menggunakan
tangannya menempiling kepala lawan yang
mengenakan telinganya. Tamparan di telinga itu
menerbitkan suara "plok" yang keras hingga
nampaknya lucu. Ban Houw menjadi marah. Ia tadinya tidak
menyerang sungguh-sungguh karena tidak mau
melukai nona cantik itu, tapi kini tamparan yang
memanaskan telinga dan hati itu membuat ia mata
gelap. Dengan geraman buas ia menubruk dengan
tipu Siok-lui-ting (Petir Menyambar di Atas Kepala),
tapi Lian Hwa sambil tertawa kecil melompat ke
belakang dengan gerakan Kim-lee-coan-po (Ikan
Gabus Menerjang Ombak). Dua kali Ban Houw menubruk, tapi dua kali pula gadis
itu melompat dengan gerakan indah. Dalam
murkanya Ban Houw lalu mengeluarkan ilmu silatnya
Pat-kwa-kun dan menyerang dengan maksud
membunuh. Tapi ternyata gadis itu mengenal ilmu
silatnya dengan baik. Beberapa kali Ban Houw kena
ditendang, ditampar dan diejek. Setelah berlangsung
hampir tiga puluh jurus, tiba-tiba Lian Hwa
membentak. "Pergilah kau!" dan sebelum ia mengerti musuh
menggunakan gerakan bagaimana, tahu-tahu Ban
Houw terlempar ke udara dan jatuh di luar kalangan.
Untung tubuhnya kuat dan lemparan itu memang
bukan dimaksud untuk membanting keras, hingga ia
tidak mendapat luka berat.
Ketika tadi Lian Hwa berkelit ke sana ke mari, jago
tua diam-diam memuji kelincahan gadis itu dan
mereka mengenal tipu-tipu silat yang digunakan gadis
itu. Tapi gerakan melempar Ban Houw kel uar
panggung tadi sungguh membuat mereka heran. Tak
seorangpun di antara mereka pernah melihat gerakan
itu. Gerakan itu seperti gerakan Cio-po-thian-keng (Batu
Meledak Langit Gempur) sebuah tipu gerakan ilmu
silat cabang Kun-lun-pai tapi agak berbeda dan jauh
lebih sukar dilakukan karena ketika melempar, gadis
itu mengangkat kaki kirinya ke atas. Apakah itu
kebetulan saja" Ban Houw yang kena dilempar merasa penasaran dan
malu, tapi ia tidak kapok. Ia meloncat kembali ke
panggung setelah mengambil sebatang pedang dari
kakaknya. Lian Hwa berdiri bertolak pinggang memandang
lawannya dengan senyum manis, "Eh, eh, bocah ini
masih berani kembali ke sini" Lho, kau bawa-bawa
pedang buat apa" Buat menakut-nakuti aku" Hati-hati,
jangan main pedang nanti tanganmu sendiri terluka!"
Ejekan ini sungguh hebat. Ban Houw memandang
dengan mata mendelik, lalu tanpa ingat keadaan ia
memaki, "Perempuan busuk, kalau engkau ada
kepandaian ambillah senjatamu!"
"Hem, anak tak tahu diri. Sudah dihajar masih belum
kapok. Kaukira kepandaianmu itu sudah cukup untuk
dipakai melagak" Haya! Seperti katak dalam
tempurung saja. Untuk menghadapi pedangmu yang
hanya pantas dipakai dalam dapur itu tak perlu
nonamu ambil senjata. Hayo, seranglah!!"
"Perempuan sombong. Jangan jadi setan penasaran
kalau kepalamu menggelinding di lantai ini!" Lalu ia
menyerang dengan ganas. Lian Hwa miringkan
tubuhnya dan pedang menyambar di sisi tubuhnya
berbunyi "sing" karena kerasnya sabetan.
Ban Houw yang melihat serangannya dikelit demikian
mudah menjadi penasaran dan makin marah.
Dikirimnya serangan bertubi-tubi dan pedangnya
bergerak bagaikan gulungan asap berpancaran ke
sana sini. Tapi Lian Hwa dengan enak saja
mengandalkan ginkangnya yang luar biasa, bergerak
menyusup sana sini di antara sambaran mata pedang.
Baru sekarang para tamu tahu akan kelihaian gadis
yang mereka tadinya tak pandang sebelah mata itu.
Bahkan Ciauw lo-enghiong yang duduk di dekat Hwat
Khong tanpa terasa memegang lengan tangan
kawannya itu dan meremas-remasnya. Untung Hwat
Khong bukan orang sembarangan, kalau tidak pasti
lengan itu akan menjadi matang biru. Mulut orang tua
itu ternganga dan akhirnya ia menghela napas
berulang-ulang sambil menyebut,
"Ya Tuhan! Pantas saja ia menjadi sumoimu, tak
tahunya ia demikian lihai." Hwat Khong merasa girang
mendengar pujian itu dan tersenyum lebar.
Keadaan sangat tegang karena kini tubuh Lian Hwa
tak tampak lagi, hanya ikat pinggangnya yang
berwarna merah berkibar-kibar di antara sinar
pedang. Lian Hwa merasa sudah cukup mempermainkan
lawannya yang kini mulai berkeringat dan lelah.
Ketika Ban Houw menyerang dengan nekat, yakni
dengan tipu Angin Selatan Menghembus, sebuah tipu
yang hanya dilakukan oleh orang nekat yaitu pedang
di tangan kanan menusuk dada dan tangan kiri
berbareng mencengkeram ke arah kepala lawan, Lian
Hwa berayal menantikan datangnya, ia berjongkok
menghindarkan pedang dan tangan kiri yang
mencengkeram, lalu secepat kilat ia tangkap
pergelangan lengan yang memegang pedang dan
mendorong pedang itu ke arah tangan kiri
penyerangnya. Terdengar teriakan ngeri dan Ban Houw melepaskan
pedangnya lalu terhuyung-huyung sambil memegang
tangan kirinya yang berdarah. Ternyata dua buah jari
tangannya telah terpotong oleh pedang sendiri.
"Nah, nah, nah! Apa kataku tadi" Kau main-main
dengan pedang, sekarang tanganmu sendiri
terpotong!" Lian Hwa mengejek.
"Bangsat perempuan sungguh kejam! Lihat pedang!"
Seruan ini dibarengi berkelebatnya sebilah pedang
yang menyambar ke arah leher Lian Hwa yang masih
berdiri tertawa-tawa. Dengan gerakan manis Lian
Hwa menghindarkan diri dari sabetan sambil meloncat
mundur. "Ah, kiranya macan tua menuntut balas. Bu Houw
enghiong, apakah pandanganmu juga sepicik adikmu
yang kecil itu" Kau seorang kang-ouw ternama dan
tersohor gagah. Apakah kau tak dapat melihat
kesalahan adikmu sendiri bahkan mau menambah
kesalahan itu" Ingat, kawan, waktu ini kita semua
hanya menjadi tamu dan untuk menghormat tuan
rumah yang terkenal sebagai seorang budiman dan
gagah, tidak seharusnya adikmu membikin ribut!
Barusan aku sengaja mewakili tuan rumah
menghukum adikmu, seharusnya kau sebagai
kakaknya berterima kasih padaku!"
"Perempuan sombong, jangan banyak mulut! Sebelum
aku balaskan kekalahan adikku, katakanlah dulu
siapa kau yang ganas ini."
"Aku orang biasa saja tidak gagah seperti kalian San-
ciu Si-houw Empat Harimau dari San-ciu yang terkenal
suka berkelahi dan jarang dikalahkan orang! Aku
adalah sumoi dari Hwat Khong suheng namaku Han
Lian Hwa atau boleh juga kau ingat agar jangan lupa
bahwa aku disebut orang Ang Lian Lihiap!"
"Hm, baru saja keluar kandang sudah menjadi
sombong. Baiklah, Ang Lian Lihiap, adikku yang bodoh
memang kalah olehmu, tapi jangan kau mencari
siasat untuk melepaskan diri dariku. Ambillah
senjatamu dan lawanlah aku."
Ang Lian Lihiap menggeleng-geleng kepala. "Kalau
hanya kau sendiri, aku tidak mau melayani."
"Apa maksudmu?" tanya Bu Houw penasaran.
"Kau mau gunakan siasat maju berganti-ganti agar
aku menjadi lelah bukan" Aku tidak mau! Kalau
memang kau penasaran dan tetap hendak bertempur
dengan aku, majulah kamu bertiga. Atau kalau
adikmu yang kecil tadi masih kuat, boleh juga
berempat. Agar aku dapat membereskan sekaligus.
Kalau satu demi satu ogah!"
"Sumoi!" bentak Hwat Khong dengan marah.
Ia tidak senang melihat sumoinya timbul pula
kenakalannya hingga terdengarnya seperti sangat
sombong. Selain itu khawatir karena sumoinya telah
menantang keempat harimau itu maju berbareng!
Sedangkan ia maklum bahwa mereka itu sangat lihai.
Ia sendiri, kalau satu lawan satu mungkin bisa
menang, tapi kalau satu lawan tiga atau empat"
Lian Hwa menengok ke arah suhengnya dan menjura,
"Suheng kali ini maafkanlah sumoimu, karena mereka
ini menang harus dihajar!" Kemudian ia menghadap
keempat penjuru sambil menjura kepada semua
tamu, "Cuwi enghiong yang berkumpul di sini tentu
telah melihat bahwa yang membikin kacau
perjamuan ini adalah keempat harimau San-ciu ini.
Maka kini aku yang muda mewakili Ciauw lo-
enghiong untuk memberi hajaran kepada mereka,
bagaimanakah pikiran cuwi" Aku akan menurut
keputusan orang banyak. Haruskah aku turun dari
panggung ini ataukah cuwi sekalian setuju?"
Hampir setengahnya para tamu itu menjawab riuh,
"Setuju!" Dengan lagak lucu Lian Hwa mengangkat pundak
tanda bo-hwat (tidak berdaya) dan menjura kepada
suhengnya sambil tersenyum. Kemudian gadis itu
menjura kepada Ciauw Bun Liok,
"Ciauw-siokhu, maafkan aku berlaku kurang ajar dan
merampas hakmu menghajar anak-anak nakal ini."
"Perempuan rendah! Kau sungguh sombong! Awas
jangan menyesal nanti, kau sendiri yang minta kami
bertiga maju berbareng!" bentak Bu Houw dengan
marah. "Siapa menyesal" Jangan khawatir, kalian anak-anak
jangankan mau mengalahkan aku, sedangkan kalau
bunga teratai di rambutku ini sampai terlepas saja,
aku mengaku kalah!" Panas hati mendengar hinaan ini Tiat Houw dan Cin
Houw segera meloncat ke atas panggung sambil
mencabut pedang sedangkan Ban Houw yang
terpotong jarinya hanya dapat melihat dengan
mendongkol. Ia hanya yakin bahwa ketiga kakaknya
pasti akan dapat membalas sakit hatinya.
Melihat ketiga jagoan dari San-ciu itu dengan pedang
terhunus berdiri di depan dan kanan kiri gadis kecil itu,
mau tak mau Hwat Kong merasa dadanya berdebar-debar demikianpun semua orang. Tapi Lian Hwa tetap
berdiri tenang bahkan tersenyum-senyum.
"Perempuan rendah, lekas keluarkan senjatamu,"
teriak Tiat Houw. "Ah, senjata kalian terlampau lemah dan empuk
untuk melawan pedangku, tapi apa boleh buat,
karena kalian yang minta, terpaksa aku


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakannya." Sambil berkata demikian Lian
Hwa mencabut Sian-liong-kiamnya yang
mengeluarkan sinar hijau. "Majulah berbareng!"
tantangnya. Betul saja, tiga harimau itu maju menerjang
berbareng, seorang dari depan dua orang dari kanan
kiri. Tiba-tiba mata mereka silau ketika Lian Hwa
menggerakkan pedangnya ke kanan kiri dan "trang,
trang, tring!!" Bukan main riuh keadaan di situ dan ketiga harimau
itupun kaget setengah mati ketika melihat pedang
mereka ternyata semuanya terpapas buntung tinggal
gagangnya saja. "Ha, apa kataku tadi" Salahmu sendiri telah minta aku
menggunakan pedangku," kata Lian Hwa dengan
tenang lalu menyimpan kembali senjatanya di dalam
sarungnya. "Hebat! Lihai sekali!" demikian seruan terdengar dari
kanan kiri. Lian Hwa tak perdulikan itu semua, lalu meloncat ke
arah rak senjata dan mengambil tiga batang pedang
dan sebuah sarung pedang dari kulit kerb au. "Maaf,
Ciauw lo-enghiong, saya pinjam senjata-senjatamu ini
sebentar." Ia lalu melemparkan ketiga pedang itu ke
arah lawan-lawannya yang segera disambut oleh
mereka. Hati ketiga harimau itu sudah menjadi gentar melihat
kehebatan pedang gadis itu, tapi kini mereka
mendapat pedang baru dan dengan heran melihat
gadis itu kini hanya memegang sebatang sarung
pedang dari kulit. "Nah, sekarang majulah kalian! Aku cukup
menggunakan sarung ini saja agar pedang-pedangmu
takkan buntung lagi! Hati-hati, pedang itu milik tuan
rumah, jangan sampai rusak!"
Hebat sekali hinaan ini hingga saking marah dan
malunya Bu Houw bertiga menjadi merah mukanya
dan Tiat Houw hampir saja menangis. Tapi mereka
masih ada harapan karena mustahil kalau mereka
bertiga tidak mampu membikin malu atau
mencelakakan gadis setan ini.
Bu Houw berseru keras dan menyerang dengan tipu-
tipu dari gerakan pedang Tian-hong-kiam-hoat (Ilmu
Pedang Kilat dan Angin) sedangkan Tiat Houw dan Cin
Houw dari kanan kiri menyerang dengan gerakan
ilmu pedang Siang-houw-chut-tong (Sepasang
Harimau Keluar Goa). Pedang mereka bertiga
menyerang dengan hebat, seorang menusuk dada
dari depan, dari kiri membacok leher dan dari kanan
menyapu pinggang Lian Hwa.
Terdengar suara ketawa gadis itu dan tiba-tiba saja
tubuhnya berkelebat cepat sehingga sukar dilihat
karena ia menggunakan ilmu meringankan tubuh Too-
tiam-leng-po-pou yang sudah dipelajari sampai
sempurna. Tubuhnya ringan dan gesit, gerakannya
cepat dan tak terduga oleh musuh, hingga ketiga
musuhnya menjadi kacau penyerangan mereka.
Sarung pedang kulit kerbau itu sungguhpun hanya
sebuah benda yang tidak berapa keras, tapi di tangan
Lian Hwa merupakan senjata yang bukan tidak
berbahaya. Tiap kali kulit itu membentur pedang
musuh, musuh merasakan sebuah tenaga besar yang
membuat telapak tangan mereka yang memegang
pedang merasa kesemutan. Para jago tua, terhitung juga wakil-wakil dari Siauw-
lim-si, cabang Go-bi, dan yang lain, juga Hwat Khong
Hwesio, kini benar-benar kagum. Mereka tidak sangka
sama sekali bahwa nona semuda itu dapat memiliki
kepandaian yang luar biasa ini. Dengan sekaligus
pandangan mereka terhadap Hwat Khong jadi naik
tinggi sekali. Baru sumoinya saja begini hebat apa
pula suhengnya. Demikian pikir mereka.
?"04.10. Ngo-hek-mo Iblis Hitam
Sedikitpun mereka tak menyangka bahwa pada saat
itu pun sang suheng sendiri terheran-heran melihat
kelihaian sumoinya. Hanya Ciauw Bun Liok seorang
yang mengerti bahwa gadis itu memiliki ilmu
kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada
kepandaian Hwat Khong, karena ia tahu betul sampai
di mana batas kepandaian kawannya itu. Maka iapun
sangat heran dan tidak mengerti siapakah sebenarnya
guru Ang Lian Lihiap itu.
Lebih-lebih para tamu muda, mereka menonton
dengan mulut ternganga dan mata terpentang lebar.
Mereka tak dapat melihat gadis itu dengan jelas lagi,
sudah tentu hati mereka sangat kagum.
Biarpun Lian Hwa telah mendapat pimpinan seorang
guru yang luar biasa dan kini memiliki kepandaian
yang hampir mencapai puncak kesempurnaan, namun
tidak mudah saja baginya untuk menjatuhkan tiga
jago dari San-ciu itu dengan cepat, apa pula hanya
dengan bersenjatakan sarung pedang dari kulit. Kalau
sekiranya ia mempergunakan Siang-liong-kiam, sudah
pasti pertempuran itu takkan berjalan lama.
Ketiga harimau dari San-ciu itu benar-benar kosen,
lebih-lebih Bu Houw dengan permainannya ilmu silat
Pedang Angin. Pedangnya mengeluarkan suara angin
menderu-deru, sungguh agak sukar bagi Lian Hwa
memecahkannya dan mencari ketika merobohkan
lawannya. Tiba-tiba ia ingat ketika masih tinggal dengan gurunya
di atas bukit Kim-ma-san, pada suatu hari dia
berjalan-jalan di hutan dan melihat seekor tikus hutan
diserang oleh dua ekor anjing hutan. Keadaan tikus itu
sangat berbahaya karena lari ke sana ia dicegat
anjing pertama, dan lari ke sini dicegat anjing kedua.
Kemudian tikus itu diam tidak lari lagi dan berada di
tengah-tengah. Ketika kedua anjing itu menubruknya,
ia berkelit dan tak ampun lagi dua ekor anjing itu
saling bertubrukan. Hal ini terjadi berulang kali hingga
lama kelamaan kedua anjing itu saling menggigit
dalam tubrukan mereka, lalu akhirnya mereka berdua
berkelahi dan tikus lari pergi dengan aman. Hal ini ia
ceritakan pada gurunya yang lalu berpikir keras
menciptakan gerakan tipu silat untuk melawan
pengeroyokan musuh-musuh yang tangguh.
Ingat hal itu Lian Hwa menjadi girang, segera ia
menggunakan kelincahannya berloncat ke sana ke
sini dan selalu berusaha untuk berada di tengah-
tengah kurungan ketiga lawannya itu. Usahanya
berhasil baik karena musuhnya, lebih-lebih Tiat Houw
dan Cin Houw yang masih bersilat dengan ilmu silat
Siang-houw-chut-tong menjadi sangat repot dan kaku.
Beberapa kali dua saudara ini saling beradu pedang
sendiri karena orang yang diserang di antara mereka
tahu-tahu melesat pergi hingga pedang mereka
seakan-akan menyerang kawan sendiri.
Lian Hwa tidak menyia-nyiakan waktu baik ini. Selagi
musuh masih kacau ia mendesak Cin Houw dengan
sarung kulitnya dan pada saat kedua saudara itu
sekali lagi hampir saling menusuk, ia melejit ke
samping menangkis bacokan Bu Houw dan dengan
gerakan Kim-liong-hian-jiauw (Naga Emas Mengulur
Kuku) ia menotok iga kiri Cin Houw bagian jalan
darah Thian-bu-hiat. Cin Houw tak keburu berkelit dan tubuhnya menjadi
lemas kehilangan tenaga. Pedangnya terlempar dan ia
sendiri bagaikan sehelai baju yang terlepas dari
sampiran jatuh lemas tak berdaya.
Tiat Houw terkejut sekali dan membarengi menusuk
dari arah kiri ke jurusan pinggang Lian Hwa dengan
cepat sekali. Hwat Khong Hwesio berbisik ?"?"?"celaka?"?"?" karena
serangan itu betul-betul berbahaya, lebih-lebih
cemasnya ketika si sumoi tidak menjatuhkan diri ke
belakang, satu-satunya jalan untuk menghindarkan
itu, tapi sumoinya itu bahkan miringkan badan
menghadapi serangan itu dengan dada terbuka.
Semua jago tua menahan napas, mereka pikir kali ini
Ang Lian Lihiap pasti celaka. Ciauw Bun Liok diam-
diam menyiapkan sebuah piauw untuk menolong jika
perlu. Tapi murid Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa
biarpun masih muda dan belum berpengalaman,
namun ia sangat cerdik. Ia sengaja pentang dadanya
agar lawannya mendapat hati dan kurang waspada.
Ketika ujung pedang sudah tinggal satu dim lagi dari
dadanya, ia merendah ke kanan hingga pedang itu
masuk menyusup di bawah lengannya. Gerakan ini
demikian cepat hingga para tamu menyangka pedang
itu telah menembus dada gadis cantik itu.
Banyak orang berteriak dan Ciauw-lo-enghiong
mengayun tangannya hingga sebuah piauw (senjata
rahasia) menyambar ke arah Tiat Houw. Tapi Lian
Hwa segera mengayun sarung kulit dari tangannya
dan menghantam jatuh piauw yang akan menancap
di punggung Tiat Houw itu.
Dalam keadaan berbahaya itu ia masih ingat untuk
melindungi nama baik tuan rumah yang menyerang
dengan menggelap. Lalu ia mengeraskan
kempitannya dan pedang dalam kempitan lengan
kirinya itu tak mungkin dicabut pula oleh Tiat Houw.
Berbareng itu kakinya melayang. Terdengar suara
?"?"?"Buk?"?"?" dan tubuh Tiat Houw terpental dua tombak
lebih, lalu jatuh bergedebugan ke bawah panggung!
Semua penonton bersorak memuji dengan hati lega.
Kembali para jago tua menggeleng-geleng kepala.
Gerakan dan tipu silat macam ini belum pernah lihat
seumur hidup. Kejadian ini sangat cepat sekali hingga Bu Houw
sendiri tak tahu bagaimana adiknya itu dirobohkan
musuh. Ia lalu menyerang pula dengan nekat dan
mati-matian. Kini Lian Hwa hanya menghadapi Bu Houw seorang
dengan tangan kosong, karena sarung pedangnya
telah dipakai menimpuk piauw dari Ciauw Bun Liok
tadi. Ia tidak mau membuang banyak waktu lagi.
Tubuhnya melesat cepat dan tahu-tahu ia telah
berada di belakang Bu Houw. Sebelum Bu Houw
dapat membalikkan badan, Lian Hwa menggerakkan
telunjuknya dan dengan totokan It-ci-san (totokan
satu jari) ia menotok ke arah jalan darah houw-cing-
hiat . Serangan ini tak mungkin dikelit oleh Bu Houw dan
sesaat kemudian saudara tertua dari San-ciu Si-houw
ini berdiri kaku dengan pedang masih di tangan. Ia
berdiri bagaikan sebuah patung kayu.
Ciauw Bun Liok yang merasa malu atas perbuatannya
menyambit dengan piauw tadi, untuk menutup rasa
malunya lalu menitahkan orang-orangnya mengambil
obat dan mengobati jari Ban Houw dan luka Tiat
Houw yang terbanting ke bawah tadi.
Kini ia menghampiri Ang Lian Lihiap sambil menjura
menghaturkan terima kasih sambil memohon gadis
pendekar itu memulihkan keadaan Cin Houw dan Bu
Houw yang tertotok. Sambil tertawa ringan Lian Hwa
menotok jalan darah in-thai-hiat kedua lawan itu dan
sekejap kemudian kedua orang itu, merintih-rintih,
tapi jalan darah mereka normal kembali.
Tanpa pamit, keempat saudara itu ngeloyor pergi
setelah Bu Houw berkata bahwa pada suatu hari
mereka tentu mencari Ang Lian Lihiap untuk
membalas budi . Setelah keempat pengacau itu pergi, pesta diteruskan
dengan gembira. Ciauw lo-enghiong dan kedua
puteranya Lin Eng dan Lin Houw sekali lagi
mengucapkan terima kasih kepada Ang Lian Lihiap
sambil memuji-muji tiada habis-habisnya. Juga para
locianpwe ikut pula menyatakan kekaguman mereka.
Ketika ditanya siapa gurunya, Hwat Khong Hwesio
menerangkan bahwa sumoinya itu adalah murid
tunggal dari Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia
Aneh Pedang Dewa. Barulah para jago tua itu
mengangguk-anggukkan kepala, karena mereka
pernah mendengar tentang seorang hiap-kek (orang
gagah) yang menjagoi di kalangan kang-ouw dan
membuat nama besar, ialah Sian-kiam Koai-jin Ong
Lun itu, tapi yang beberapa puluh tahun kemudian
lenyap tanpa meninggalkan jejak. Maka berkuranglah
keheranan mereka, karena pantas sekali murid
tunggal manusia aneh itu demikian lihai. Hanya
mereka kagum sekali bahwa gadis yang baru berusia
tidak lebih enambelas tahun itu telah dapat mewarisi
ilmu silat yang luar biasa itu.
Karena kuatir sumoinya akan menjadi sombong
dengan segala puji-pujian itu, Hwat Khong segera
memohon maaf kepada tuan rumah berpamit pergi
dengan Lian Hwa. Mereka kembali ke hotel Liang An
dan keesokan harinya mereka kembali ke bukit Bok
Lun-san. "%Y"% Sebulan kemudian, setelah menganggap bahwa kini
sudah sampai temponya untuk sang sumoi
melakukan perjalanan membalaskan sakit hati orang
tuanya, Hwat Khong memberi tahu kepada sumoinya
bahwa kampung orang tuanya ialah kampung Ban-
hok-cun di Kie-ciu. Ia mengijinkan Lian Hwa pergi ke
tempat itu, memesan gadis itu supaya berhati-hati
dan jangan melupakan segala petunjuk-petunjuk dan
nasihat-nasihatnya yang telah diberikan selama gadis


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu diam di kelentengnya tiga bulan lebih.
Atas nasihat suhengnya, Han Lian Hwa mengenakan
pakaian laki-laki berwarna putih dengan ikat pinggang
warna merah darah dan sepatu serta kaus kaki
warna kuning. Topinya juga berwarna merah, tapi
merah muda. Dengan dandanan begitu ia merupakan
seorang siucai (mahasiswa) yang berwajah sangat
cakap. Ia membawa pauw-hok (ransel) warna coklat
yang berisikan pakaian dan uang serta pedangnya
Sian-liong-kiam juga disembunyikan di dalam
buntalannya itu. Setelah berpamit kepada suhengnya yang
memesannya dengan teliti agar ia menjaga diri baik-
baik dan berhati-hati di sepanjang perjalanan, Ang
Lian Lihiap memulai perjalanannya merantau dengan
tujuan membalas sakit hati orang tuanya.
Karena telah mendapat petunjuk yang jelas dari
suhengnya, ia langsung menuju ke Kie-ciu. Perjalanan
ini ia lakukan dengan mengambil jalan besar, tidak
seperti suhengnya ketika membawa ia lari dari
kampungnya dulu, hingga ia tidak melalui bukit Kim-
ma-san, tapi melalui kota-kota besar dan kampung-
kampung yang ramai. Pada suatu hari ia sampai ke sebuah kampung yang
terletak di kaki gunung. Kampung itu tampak sunyi
dan penduduknya rata-rata berwajah sedih, dan
keadaan mereka sangat melarat. Ang Lian Lihiap
masuk di kampung itu pada waktu sore, maka ia
mengambil keputusan untuk bermalam di situ.
Seorang pelayan dari rumah penginapan Thian-lok
menyambutnya dan Lian Hwa melihat pelayan itupun
berwajah seperti orang ketakutan dan bingung.
Kongcu (tuan muda) lekaslah masuk, jangan lama-
lama berdiri di luar! katanya sambil mempersilakan
tamunya masuk. Lian Hwa merasa heran tapi ia bertindak masuk juga.
Sikapmu ini sungguh aneh, apakah yang terjadi di
sini" tanyanya. Pelayan itu hanya menggeleng-geleng kepala
ketakutan dan pada saat itu pemilik rumah
penginapan yang mendengar pertanyaan Lian Hwa
segera menghampiri. Kongcu, marilah kita ke dalam kalau kau ingin tahu.
Agaknya Kongcu orang asing di sini. Pemilik rumah
penginapan yang bernama A Sam itu segera
bertindak ke ruang dalam, diikuti oleh Lian Hwa.
Kongcu, engkau orang baru agaknya engkau
keluarga kaya, katanya sambil menunjuk bunga
teratai emas yang menghias dada Lian Hwa.
Ah, kau salah sangka, tuan, barang ini tidak berharga
mahal, dan adalah milikku satu-satunya, jawab Lian
Hwa sembarangan. Tapi cukup untuk menarik perhatian Iblis
Gelandangan! Apa katamu" tanya gadis itu heran.
Dengar kongcu, aku si tua A Sam bukan pembohong,
juga bukan orang penakut, tapi apa yang akan
kubicarakan ini sedikitpun tidak bohong. Telah lebih
dari tiga bulan kampung ini mendapat gangguan iblis
gelandangan yang keluar dari bukit Hek-mo-san (Bukit
Iblis Hitam). Beberapa hari sekali pada malam hari ia
pasti datang dan mengumpulkan uang yang disediakan oleh penduduk di depan pintu rumah
mereka. Sungguh aneh. Mengapa kalian mengumpulkan uang
dan menyediakan itu di depan pintu rumah di waktu
malam" Karena permintaannya, kongcu. Dan siapa saja yang
berani membandel, pasti celaka! Sudah ada beberapa
keluarga yang terbunuh karena tidak ada uang untuk
disediakan. Maka sekarang mereka yang tidak punya
uang sudah pada pergi mengungsi dan yang masih
bisa menyediakan uang hanya menanti bangkrutnya
saja. Tiap keluarga harus menyediakan uang perak
sebanyak dua tail untuk satu jiwa. Seperti rumah
tanggaku ini yang mempunyai sepuluh jiwa, berikut
pelayan, tiap ia datang harus menyediakan duapuluh
tail perak! Coba kongcu pikir, apa ini tidak bikin aku
gulung tikar" Apa sudah ada yang pernah lihat iblis itu" tanya Lian
Hwa dengan hati kebat-kebit, karena selama
hidupnya belum pernah ia mendengar cerita aneh dan
serem seperti itu. Sudah, siangkong (tuan muda), menyambung
pelayan yang sejak tadi hanya menggoyang kepala
dan mendengarkan. Iblis itu tinggi besar dengan
muka hitam, matanya besar dan mulutnya lebar
bersenjata tombak cagak yang hebat! Tiba-tiba ia
mendekap mulutnya seakan-akan takut iblis nanti
mendengar ia membicarakannya.
Maka kongcu harus hati-hati. Iblis itu awas benar,
tiap ada tamu membawa barang berharga, ia selalu
menuntut agar barang-barang itu disediakan di luar
pintu, kalau tidak maka tamu itu akan mati tercekik.
Dan diminum darahnya, menyambung pelayan itu.
Ya, dan diminum darahnya sampai habis, si tuan
rumah membenarkan. Aah, aku tidak percaya. Mana ada urusan seaneh itu
di dunia ini" kata Lian Hwa, hingga tuan rumah dan
pelayannya itu menjadi kuatir dan takut, karena
mereka tahu bahwa iblis itu paling benci kepada
orang yang tidak takut dan tidak percaya padanya.
Cepat-cepat si tuan rumah mengajak Lian Hwa
memilih kamar, meninggalkan pemuda itu dalam
kamarnya, hatinya merasa tak enak sekali.
Ketika malam tiba, tuan rumah dan seisi rumah
penginapan itu makin gelisah. Betul saja, kira-kira jam
sepuluh malam, tiba-tiba terdengar bunyi tertawa
seram di atas genteng rumah penginapan itu dan
sebuah suara tanpa rupa terdengar, A Sam! Buntalan
dan teratai merah kepunyaan tamu mudamu itu harus
disediakan di depan pintu. Lekas!
Lian Hwa yang berada dalam kamarnya terkejut juga.
Suara itu demikian keras hingga kalau kiranya suara
itu dikeluarkan dari mulut seorang manusia, tentu ia
itu memiliki khikang yang kuat sekali. Tapi hanya
sebentar ia kaget, ketabahannya timbul kembali,
kemudian ia menyambar pedangnya dan meloncat
keluar dari jendela terus melayang ke atas genteng.
Di atas wuwungan rumah penginapan itu berdiri
seorang laki-laki tinggi besar. Mungkin inilah iblis itu.
Tapi tiba-tiba Lian Hwa merasa geli melihat bahwa
iblis itu tak lain hanya seorang manusia biasa yang
berkedok hitam menakutkan. Segera ia meloncat di
hadapan orang itu. Hm, hm, tak tahu malu. Menakut-nakuti penduduk
untuk menipu barang mereka. Kaukah iblis itu" Kau
mau minta barang-barangku" Perlahan dulu, bangsat!
Orang itu kaget, ia tak menyangka ada orang yang
berani keluar bahkan menghampirinya.
Kau mau mampus barangkali! bentaknya lalu
menubruk. Lian Hwa mengelak cepat dan balas menyerang.
Segera ia ketahui bahwa iblis itu memiliki kepandaian
yang boleh juga. Tapi dengan mudah ia dapat
mendesaknya. Ingin ia menjatuhkan iblis itu untuk
melenyapkan gangguan penduduk kampung itu maka
ia menyerang dengan hebat. Ia mengeluarkan ilmu
silatnya Pek-coa-jiu-hoat (Ilmu Pukulan Ular Putih)
untuk menyerang. Bagaimana penjahat itu bisa
tahan" Baru empat jurus saja ia sudah repot sekali.
Tiba-tiba terdengar suara di belakang Lian Hwa, Sam-
ko jangan takut, aku datang membantumu!
Iblis yang baru datang itu menggunakan tombak
cagak dan menyerang Lian Hwa dengan tipu Naga
Mabok Menyembur Mustika. Tombaknya bergerak
cepat menusuk punggung. Tapi dengan gesit sekali
Lian Hwa meloncat tiga kaki ke kiri dan menengok.
Ternyata iblis kedua inipun berkedok hitam
menakutkan. Lawannya pertama tadi tak sempat mengeluarkan
senjata karena desakan Lian Hwa yang hebat. Kini
setelah datang pembantu, ia mencabut goloknya yang
terselip di pungung, lalu dengan marah memainkan
goloknya dengan ganas sekali.
Lian Hwa berkelit ke sana ke mari, tapi walaupun
dengan mudah ia dapat menghindarkan semua
serangan senjata tajam itu sukar juga baginya untuk
balas menyerang. Terutama senjata tombak cagak
iblis yang baru datang itu betul-betul lihai.
Karena memang sudah merasa marah dan ingin
membasmi iblis-iblis ini, terpaksa Ang Lian Lihiap
mencabut pedang Sian-liong-kiamnya. Pada saat itu
ujung tombak bercagak kembali menyambar
mengeluarkan angin dingin.
Lian Hwa membentak, Pergilah! pedangnya
disabetkan ke bawah dan trang! ujung tombak
bercagak itu patah. Si pemegang tombak kaget sekali dan meloncat pergi
sejauh tiga tombak dan berbareng dengan itu golok
penjahat pertama menyabet leher Lian Hwa. Gadis itu
berkelit ke kiri dan ujung pedangnya bagaikan mulut
naga meluncur dari bawah lengan dengan memutar
pergelangan tangan. Cap! pedang itu menembus dada orang dari sebelah
kanan. Tanpa dapat menjerit lagi iblis itu roboh di
atas genteng dan menggelinding ke bawah, jatuh di
atas tanah dengan suara berdebuk keras.
Penjahat yang bersenjata tombak melihat itu
mengangkat kaki lebar-lebar dan lari. Lian Hwa
hendak mengejar, tapi karena malam gelap dan ia
tidak mengenal jalan di situ, terpaksa membatalkan
maksudnya dan meloncat turun.
Mendengar suasana ribut-ribut dan pertempuran di
atas genteng itu, semua orang pergi bersembunyi tak
berani bernapas keras-keras. Setelah Lian Hwa
menghampiri mereka dan memberi penjelasan,
barulah mereka keluar sambil memasang obor. Mayat
adalah seorang laki-laki yang bermuka kejam.
Nah, saudara-saudara sekalian, kata Lian Hwa,
Ternyata iblis-iblis yang yang mengganggu kampung
ini untuk berbulan-bulan itu ternyata tak lain hanyalah
manusia biasa juga. Manusia jahat dan kukira banyak
pula kawan-kawannya. Sayang sekali seorang
kawannya yang bersenjata tombak tadi telah dapat
melarikan diri. Pada saat itu A Sam si pemilik penginapan berkaok-
kaok, Cung Ji! Cung Ji& & ! Eh, ke mana perginya
orang itu" Ternyata ia mencari-cari pelayannya yang
berwajah sedih dan penakut itu. Setelah dicari-cari
tidak juga ketemu. Lian Hwa segera berkata. Paman A Sam, tak perlu lagi Cung Ji dicari. Ia adalah
penjahat yang bersenjatakan tombak dan telah kuusir
pergi. A Sam terkejut dan semua orang heran. Pantas saja
iblis-iblis itu tahu saja apa yang terjadi di kampung.
Tak tahunya si Cung Ji adalah seorang di antara
mereka atau mata-mata iblis itu.
Mereka beramai-ramai menghaturkan terima kasih
kepada pemuda penolong mereka itu dan
menanyakan namanya. Tapi Lian Hwa menjawab,
Siauwte hanya kebetulan saja lewat di sini, tak perlu
perbuatan tak berarti ini diingat-ingat lagi. Aku tak
mau bekerja setengah matang, kalau tidak kubasmi
semua iblis itu tentu mereka akan datang
mengganggu lagi setelah di sini tidak ada yang
menjaga. Biarlah besok pagi kucari sarang mereka.
Semua orang pergi tidur dengan agak tenteram
malam itu. Pada keesokan harinya, setelah memaksa bayar
sewa kamar yang hendak ditolak oleh A Sam, Lian
Hwa menggendong pauw-hoknya dan pergi menuju
ke Bukit Iblis Hitam yang tak jauh dari kampung itu
letaknya. Setelah ia sampai di sebuah hutan, di
batang pohon Siong besar di pintu hutan itu terdapat
huruf-huruf yang diukir di batang pohon dan berbunyi
bigini. Yang lewat di sini harus membayar uang tanda
hormat sebanyak sepuluh tail perak
Tertanda Ngo Hek Mo. Lian Hwa tertawa keras hingga suaranya bergema di
dalam hutan itu. Ia mengeluarkan pedangnya dari
bungkusan dan menggunakan senjata itu untuk
menggurat-gurat pohon itu. Sebentar kemudian di
atas tulisan tersebut terdapat tulisan yang berupa
syair. Mengandalkan kedok dan tombak cagak Ngo-hek-mo
(Lima Iblis Hitam) menjual lagak,
Jangankan hanya Ngo-hek-mo,
Biar Cap-ang-mo (Sepuluh Iblis Merah) sekalipun,
Bertemu dengan Teratai Merah takkan mendapat
ampun. Kemudian ia mengikatkan pedangnya di pinggang dan
berjalan terus memasuki hutan dengan tenang. Tiba-
tiba ada angin menderu dari samping. Ia mengulur
tangan kirinya dan sebuah anak panah terjepit di
antara kedua jarinya. Ha, ha! Tidak hanya jahat tapi iblis-iblis inipun licik
dan pengecut sekali, ia berkata keras menyindir.


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah, Cung Ji pelayan rendah, kau sudah tukar
tombakmu" Lian Hwa mengejek. Mengapa lima
ekor iblis hanya tinggal empat saja"
Bangsat cilik, berhenti kamu! suara bentakan itu
disusul dengan meloncatnya empat orang dari
belakang gerombolan dan mencegatnya. Seorang di
antaranya Lian Hwa kenal sebagai Cung Ji si pelayan
yang kini memegang sebuah tombak baru. Mereka
berempat ini sekarang tidak bertopeng lagi, rata-rata
bertubuh tinggi besar dan jahat.
Seorang diantara empat perampok itu maju dan
menjura, Orang gagah dari manakah yang tanpa
sebab mengganggu kami" Apakah tidak kenal aturan
di kalangan rimba hijau"
Ang Lian Lihiap tertawa menghina lalu menjawab
dengan bersyair : Lima Iblis Hitam bicara tentang aturan,
Membikin aku tertawa tak tertahan,
Tindas yang lemah, peras orang kampung,
Adalah pekerjaan kamu iblis gunung!
Melihat kejahatan-kejahatanmu semua,
Apakah aku Teratai Merah harus diam saja"
Hai iblis-iblis hitam, Rabalah mukamu dan tanya diri!
Ke mana perginya seorang kawanmu malam tadi"
Ia telah terpanggang di neraka,
Dan kalian akan mengikutinya segera.
Perempuan busuk jangan jual lagak! teriak mereka
dengan sangat murka, lalu berbareng mereka
mengurung Lian Hwa. Sebatang tombak cagak dan
tiga buah golok berkelebatan menyilaukan mata
bergerak-gerak mengurung Lian Hwa.
Lian Hwa maklum bahwa empat musuhnya ini
memiliki kepandaian tinggi maka ia segera mencabut
pedangnya, sambil memutar Sian-liong-kiamnya itu ia
tertawa mengejek. Awas, pokiamnya! Cung Ji memperingatkan
saudara-saudaranya. ?"04.11. Takluk Kepada Sian-liong-kiam
Mereka berempat, berlaku sangat hati-hati dan tidak
membiarkan senjata mereka beradu dengan pedang
Lian Hwa. Namun gerakan Lian Hwa gesit sekali. Ia
gunakan ilmu silat pedang Ngo-sian Kiam-hoat (Ilmu
Pedang Lima Dewa) yang mengandalkan gerakan
lincah dan ginkang yang sempurna, maka biarpun
sudah sangat hati-hati, tiba-tiba sebatang golok
terbabat putus! Kesempatan ini digunakan oleh Lian Hwa untuk
menyambarkan kakinya yang tepat mengenai perut
lawan. Karena Ang Lian Lihiap menggunakan tenaga
lweekang yang tinggi, maka lawan yang tertendang
itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan
mata mendelik, berkelojotan lalu mampus! Tiga orang
kawannya menjadi keder juga melihat kehebatan
lawan mereka, tapi mereka menyerang makin hebat.
Pada suatu saat, dua batang golok menyambar
berbareng, satu dari, depan dan satu dari kiri, kedua-
duanya menuju ke dadanya dan pada saat itu juga
tombak cagak Cung Ji menusuk ke arah lehernya!
Lian Hwa menundukkan kepala menghindari tusukan
tombak, melangkah mundur melepaskan diri dari
sabetan golok dari depan dan ketika golok dari kiri
hampir mengenai pundaknya, ia angkat kaki
menendang ke arah golok itu.
?"?"?"Trang!?"?"?" dan golok itu tertendang lepas dari pegangan.
Sebelum pemiliknya dapat menghindarkan diri, Lian
Hwa meloncat maju, Pedang Naga Dewanya
meluncur dan penjahat itu mengangkat kedua tangan
ke atas, tubuhnya terjengkang ke belakang dan
kepalanya terpisah dari tubuh! Darah mulai
menyembur membasahi rumput di sekitar tempat
pertempuran itu. Makin kecil hati pengeroyoknya yang tinggal dua
orang lagi itu. Tapi Lian Hwa tidak memberi waktu. Ia
merangsek hebat dan pedangnya menyambar
laksana naga menyambar-nyambar. Sesaat kemudian
untuk kedua kalinya tombak cagak patah jadi dua
dan ujung pedang terus menusuk dada pemegang
golok! Cung Ji melihat gelagat jelek segera meloncat jauh
sambil berteriak, ?"?"?"Kalau kau memang gagah
tunggulah sebentar jangan lari, aku akan panggil
suhuku (guru).?"?"?"
Lian Hwa tertawa menyindir, ?"?"?"Jangan kata gurumu,
biar sukongmu (kakek guru) sekalipun akan kujadikan
siluman tak berkepala!?"?"?"
Tapi mana ia sudi menunggu di situ" Juga belum tentu
berandal itu bicara sungguh-sungguh mungkin hanya
mencari alasan untuk kabur. Maka setelah
membersihkan pedangnya di tubuh korbannya, Lian
Hwa berjalan tujuannya ke kampung kelahirannya.
Baru saja berjalan kurang lebih tiga lie, ia mendengar
suara kaki kuda bergemuruh mengejar dari belakang.
Ia tahu bahwa itu pasti berandal dan kawan-
kawannya yang datang mengejarnya, maka ia
membalikkan badan, berdiri tenang sambil tersenyum
dan bersiap sedia. Buntalannya ia turunkan di bawah
sebatang pohon besar dan pedangnya siap tergantung
di pinggang. Yang datang itu ternyata adalah seorang hwesio
(pendeta) berbaju kuning dengan rambut terurai di
atas pundak kiri kanan. Tubuhnya tinggi kurus dan
kedua matanya bersinar. Kakinya telanjang dan ia
berlari di depan dengan cepat, sedangkan di
belakangnya tampak lima ekor kuda yang lari cepat,
tapi tetap tak dapat mendahului hwesio itu.
Si hwesio itu mengempit sebatang toya kuningan
yang berujung runcing. Lian Hwa mengerti bahwa
hwesio itu tentu pandai ilmu totokan dan bahwa toya
runcing tapi tumpul itu adalah senjata untuk menotok
jalan darah lawan. Ketika mereka telah datang dekat, Lian Hwa melihat
bahwa Cung Ji berada pula di situ.
?"?"?"Omitohud! Tak nyana sedikitpun bahwa musuh yang
membunuh mati empat orang muridku hanyalah
seorang anak kecil. Sungguh gagah, sungguh gagah!
Mohon tanya, siapakah nama congsu (orang gagah)"?"?"?"
?"?"?"Aku orang she Han, orang menyebut aku si Teratai
Merah,?"?"?" jawab Lian Hwa tenang.
?"?"?"Hm, Han congsu, pinceng (saya) tidak tahu mengapa
kau memusuhi lima orang murid-muridku, bahkan
telah membunuh empat orang di antara mereka. Tapi
hal itu tak perlu disebut lagi, sekarang pinceng telah
datang maka kau harus berani memikul tanggung
jawabnya.?"?"?"
?"?"?"Terima kasih kalau lo-suhu hendak memberi
pelajaran padaku, tapi apakah lo-suhu hendak maju
berbareng dengan lima siauw-mo (iblis kecil) ini"?"?"?"
tanya Lian Hwa sambil menunjuk lima orang di atas
kuda itu. ?"?"?"Ha, ha, ha! Benar saja seperti kata muridku, kau ini
orang muda sungguh sombong sekali. Seperti seekor
katak dalam sumur. Nah, bersiaplah, Han congsu dan
jangan kuatir. Pinceng takkan mengijinkan dilakukan
keroyokan.?"?"?"
Melihat lagak hwesio itu tidak sejahat murid-
muridnya, Han Lian Hwa pun merobah sikapnya.
?"?"?"Biarlah aku yang muda memberi kehormatan
kepadamu untuk menyerang dulu, Lo-suhu,?"?"?" katanya
sambil memasang bhesi (kuda-kuda).
Melihat ?"?"?"pemuda?"?"?" itu pasang bhesi dengan
mengangkat kaki kanan dan menempelkan ujung
kaki itu di lutut kaki kiri, sedangkan kedua lengannya
terangkat dengan tangan di depan dada seakan-akan
memberi hormat, pendeta itu berteriak, ?"?"?"Bagus!?"?"?" dan
kakinya bergeser maju sambil mengayunkan tangan
kanannya menyampok ke arah pundak Lian Hwa.
Biarpun tangan yang menyampok itu masih jauh,
namun angin sambarannya telah terasa oleh Lian
Hwa, hingga diam-diam ia terkejut dan maklum
bahwa lawannya kali ini benar-benar bukan
sembarangan orang. Ia segera menurunkan kaki
kanan yang terangkat digeserkan ke sebelah
belakang hingga tubuhnya membungkuk menghindari
sampokan. Tapi hwesio itu menyusul dengan
serangannya kedua, ia menggunakan kaki kanan
menyapu dan ketika Lian Hwa meloncat ke atas
untuk menghindarkan serampangan kaki lawannya, ia
menggunakan tipu Hek-houw-to-sim (Macan Hitam
Menyambar Hati) memukul ke arah dada Lian Hwa.
Melihat datangnya serangan bertubi-tubi ini maka Lian
Hwa tidak berani berlaku sembrono lagi. Dengan
mengayunkan tubuhnya ia dapat berkelit ke samping
dan dari situ mengirim serangannya pertama dengan
jotosan tangan kiri. Si hwesio mundurkan kakinya dan baru saja ia
berhasil mengelak pukulan itu, kepalan tangan kanan
Lian Hwa telah datang pula dengan tipu Go-yang-pok-
sit (Kambing Kelaparan Menubruk Makanan). Serangan
ini datangnya dengan tangan terbuka dan telapak
tangan Lian Hwa yang halus menyodok ke arah ulu
hati lawan. Hwesio itupun terkejut melihat gerakan Lian Hwa
yang gesit dan dapat menggunakan serangan yang
susul-menyusul pula. Ia tidak berkelit terhadap
serangan kedua ini, tapi segera mengulurkan lengan
kanannya pula, serta menerima datangnya pukulan
Lian Hwa. Dua telapak tangan, satu kecil halus yang kedua
besar keras beradu. Terdengar suara ?"?"?"plok?"?"?" dan
kedua-duanya merasa adanya tenaga hebat datang
dari lengan lawan. Lian Hwa terhuyung mundur dua
tindak dan hwesio itupun terhuyung mundur hampir
jatuh. Ternyata tenaga dalam Lian Hwa masih
menang sedikit. Hwesio itu merasa penasaran sekali, lalu
menggunakan ilmu silat Bie-ciong-kun (Kepalan
Menyesatkan) menyerang dengan hebat. Lian Hwa
berlaku hati-hati sekali dan merasa bahwa ilmu silat
lawannya itu memang benar-benar hebat, terpaksa ia
keluarkan ilmu simpanannya yang diwariskan oleh
gurunya, ialah ilmu silat Sian-liong-kun (Naga Dewa).
Tubuhnya tiba-tiba melesat ke sana ke mari bagaikan
bayangan seekor naga yang bermain-main di awan.
Tubuh kedua orang itu kini hanya tampak
bayangannya saja, membuat lima orang berkuda
yang menonton jalannya pertandingan menjadi
kagum dan pandangan mereka kabur.
Setelah bertanding lebih seratus jurus, akhirnya
hwesio itu mulai terdesak. Ia lebih banyak menangkis
daripada menyerang, karena ia mulai merasa pusing.
Sungguhpun kepandaiannya tak kalah jauh dengan
?"?"?"pemuda?"?"?" itu, tapi gerakan-gerakan Lian Hwa yang
aneh dan tak tersangka-sangka datangny a ditambah
dengan ginkang atau ilmu ringankan tubuhnya yang
luar biasa, si hwesio lama-lama menjadi lelah juga.
Pada suatu saat Lian Hwa melesat ke samping kanan
lawannya dan kakinya menendang, ketika dapat
dikelit kaki kedua menyusul dengan tendangan yang
lebih hebat. Dengan repot hwesio itu berkelit lagi, tapi
tiba-tiba kepalan kanan Lian Hwa meluncur dan sudah
dekat sekali dengan pundaknya.
Hwesio itu sangat terkejut, untuk berkelit tiada waktu
lagi baginya, maka terpaksa ia mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya ke arah pundak itu dan menanti
datangnya pukulan. ?"?"?"Buk!?"?"?" dan Lian Hwa yang tertolak tenaga dalamnya
itu mundur sampai tiga tindak. Tapi si hwesio jatuh
terpelanting, biarpun dengan segera ia bangun
kembali. ?"?"?"Hebat,?"?"?" katanya sambil tertawa meringis.
Lian Hwa maklum bahwa hwesio itu menderita luka
di dalam tubuh. Ia merasa kasihan, tapi sebelum
dapat berkata sesuatu, hwesio itu sudah menyambar
toyanya dari tangan Cung Ji dan berkata padanya.
?"?"?"Orang muda sungguh harus kupuji kepandaianmu.
Pinceng mengaku kalah dalam ilmu pukulan. Tapi
pinceng ingin sekali mencoba ketajaman pedangmu!?"?"?"
?"?"?"Haruskah kita teruskan, lo-suhu"?"?"?" tanya Lian Hwa, ia
tidak mau mengatakan bahwa hwesio itu telah luka,
khawatir membuat malu. ?"?"?"Ya, jangan membikin pinceng penasaran. Biarlah
pinceng merasakan juga kelihaian Kiam-hoat (ilmu
pedang) Congsu.?"?"?"
Lian Hwa menghela napas. Ia kasihan melihat hwesio
tua itu, teringat ia akan suhengnya, tapi bagaimana
juga hwesio ini telah melakukan kesalahan besar
sekali dengan mempunyai murid-murid perampok itu.
Dengan sebat Lian Hwa menghunus peda ngnya yang
mengeluarkan sinar kehijau-hijauan dan menyilaukan
mata. Tiba-tiba hwesio itu tampak pucat. ?"?"?"Po-kiammu
(pedang pusaka) itu bukankah Sian-liong-kiam"?"?"?"
tanyanya dengan suara gemetar.
Lian Hwa menjadi terkejut dan heran mendengar
bahwa lawannya mengenal pedangnya. Terpaksa ia
mengangguk membenarkan. Hwesio itu melempar senjatanya dan menghela
napas. ?"?"?"Omitohud! Mataku telah lamur, tidak tahu


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membedakan kawan atau lawan. Karena Sian-liong-
kiam berada di tanganmu, pasti congsu masih ada
hubungan dengan Sian-liong Koai-jin Ong Lun, bukan"?"?"?"
Han Lian Hwa makin merasa heran. ?"?"?"Siauwte (saya)
adalah murid tunggal dari Sian-liong Koai-jin Ong Lun.?"?"?"
Tiba-tiba hwesio itu tertawa berkakakan dan menjura
dengan hormatnya. ?"?"?"Maaf, maaf, aku yang tua tak mengenal Gunung
Thai-san! Tidak heran ilmu kepandaian congsu
demikian hebat. Kini pinceng tidak malu mengaku
kalah. Kalau di tangan murid tunggal Ong locianpwe
(orang tua she Ong yang gagah perkasa) bahkan
merupakan suatu kehormatan bagiku.?"?"?"
Lian Hwa menjura. ?"?"?"Lo-suhu siapakah" Bagaimana
kenal dengan suhuku"?"?"?"
?"?"?"Pinceng adalah Tui Hong Hwesio bergelar It-kak-liong
(Naga Tanduk Satu). Dulu pinceng pernah menjagoi di
kalangan sungai telaga (bajak air) dan rimba hijau
(perampok darat), jarang menemukan tandingan. Tapi
akhirnya pinceng sampai dua kali dijatuhkan oleh Ong
locianpwe dengan Sian-liong-kiamnya. Sejak itu
pinceng telah bersumpah tak mau melawan Sian-
liong-kiam lagi. Tidak disangka, ini hari pinceng sekali
lagi dijatuhkan olehmu, untung pinceng keburu
mengenal Sian-liong-kiam sebelum pinceng untuk
ketiga kalinya dijatuhkan oleh pedang pusaka ini!?"?"?"
Han Lian Hwa menyatakan kegembiraannya bertemu
dengan seorang yang pernah kenal gurunya, tapi
dengan secara terus terang ia mencela It-kak-liong
karena murid-muridnya. It-kak-liong menghela napas dan berkata.
?"?"?"Han-enghio ng, memang dalam hal ini pinceng kurang
teliti. Tadinya kelima orang murid-murid itu hidup
sebagai anggauta rimba hijau yang mentaati
peraturan-peraturan kalangan itu. Merampok
pembesar-pembesar penindas rakyat yang lewat,
mengambil harta orang-orang kaya yang pelit, tak
lupa pula untuk membagi pendapatan mereka kepada
penduduk yang miskin. Tapi belakangan ini keadaan
negeri begini macam. Orang-orang hartaw an dan
pembesar negeri makin kuat dan mereka ini
mempunyai pengawal dan penjaga-penjaga diri yang
kosen. Orang-orang gagah di empat penjuru terpaksa
merendahkan diri menjadi kaki tangan mereka
karena keadaan yang sukar.
?"?"?"Mencari makan di luar sungguh payah, hingga kelima
muridku yang mempunyai banyak anak buah
terpaksa minta sumbangan ke kampung. Lain jalan
mereka tidak ada untuk dapat mencari makan guna
diri sendiri dan kawan-kawannya. Pinceng
sebenarnyapun kurang setuju, tapi apa daya
pinceng"?"?"?"
?"?"?"Hal itu salah sekali, lo-suhu. Orang gagah lebih baik
mengorbankan diri sendiri daripada mengorbankan
atau mengganggu rakyat yang memang sudah
melarat. Apa artinya menjadi orang gagah kalau takut
segala tukang pukul, anjing penjilat orang-orang kaya
dan pembesar bangsat, sebaliknya malah an
mengganggu anak negeri yang miskin" Siauwte sama
sekali tidak setuju. Harap lo-suhu insaf akan hal ini
dan memberi jalan kepada mereka agar mereka
dapat menghentikan perbuatan buruk itu dan bekerja
dengan cara halal.?"?"?"
Tui Hong Hwesio berjanji akan menurut nasihat
?"?"?"pemuda?"?"?" itu dan mereka lalu berpisah. Lian Hwa
melanjutkan perjalanannya ke arah kampung Ban-
hok-cun. ?"?"?"Y?"?"?"
Pada keesokan harinya tibalah Lian Hwa di kota Cin-
ciu. Ia mencari kamar di penginapan ?"?"?"Ho Tee?"?"?" yang
besar. Karena pada waktu itu kebetulan jatuh pada
bulan delapan tanggal limabelas, maka penduduk
kota Cin-ciu sedang merayakan hari Tiong Ciu dengan
meriah. Malam hari itu Lian Hwa juga tidak sudi tinggal
meringkuk dalam kamarnya pada saat yang demikian
ramainya. Bulan bundar besar lagi gilang gemilang,
hawa malam sejuk segar dan penduduk kota semua
keluar rumah untuk pergi ke pusat keramaian yang
diadakan di tengah kota, maka Lian Hwa mengikuti
aliran manusia menuju ke tempat yang mereka tuju.
Han Lian Hwa merasa agak heran mengapa orang-
orang kota dapat hidup demikian mewah dan
gembira, sedangkan penduduk kampung banyak yang
miskin menderita. Di tempat keramaian itu terdapat
beberapa restoran-restoran yang mengeluarkan asap
masakan berbau harum. Lian Hwa memasuki sebuah
restoran dan memilih tempat duduk di sudut. Yang
sedang makan di situ hanya beberapa orang saja.
Di meja sebelah kanan Lian Hwa duduk seorang
pemuda sendirian. ?"?"?"Lauw-ko (bung), cepatan sedikit masaknya, perutku
sudah sangat lapar,?"?"?" terdengar pemuda itu berkata
perlahan kepada pelayan. Lian Hwa yang mendengar itu menjadi geli dan
menengok ke arahnya. Kebetulan sekali pemuda
itupun sedang memandangnya, hingga mereka saling
pandang. Entah bagaimana, pada saat itu Lian Hwa
ingat akan pesan suhengnya bahwa seorang gadis
tidak layaknya memandang laki-laki yang belum
dikenalnya, maka pada saat itu ia merasa mukanya
panas karena malu dan segera ia buang muka. Ia
sama sekali lupa bahwa pada saat itu ia bukanlah
seorang gadis, tapi berpakaian sebagai pemuda juga
hingga tiada salahnya untuk memandang lain
pemuda. Untuk menutup rasa malu yang menyerang dirinya,
Lian Hwa memanggil pelayan dan pesan mie, daging
Tiga Kehidupan Tiga Dunia 4 Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Pendekar Mata Keranjang 11
^