Pencarian

Si Teratai Merah 3

Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


dan arak. Tiba-tiba pemuda itu berdiri dari tempat duduknya dan
menghampiri Lian Hwa. Ia menjura dengan hormat
sekali lalu berkata, ?"?"?"Saudara, kebetulan sekali
pesananmu sama benar dengan pesananku. Saudara,
tukang-tukang masak di kota ini semuanya malas dan
lambat, pesanan dilayani lama sekali. Tapi kalau kita
satukan pesanan kita, maka kurasa akan lebih cepat.
Mie dan daging bisa dimasak sekaligus. Karena itu jika
saudara tidak keberatan, siauwte yang kurang ajar
mengundang saudara untuk duduk di tempatku.?"?"?"
Kata-kata ini diucapkan dengan sopan dan sikap yang
halus sambil tersenyum-senyum.
Tapi Lian Hwa hampir saja bangun berdiri dan
menamparnya. Hm, inilah macamnya lelaki kurang
ajar seperti yang diceritakan suhengnya, demikian ia
pikir. Sembarangan saja menegur seorang gadis
bahkan mengajak makan bersama. Tapi tiba-tiba ia
ingat pakaiannya dan marahnya berkurang. Apa
salahnya, ia kan laki-laki juga pada saat ini. Maka
iapun segera berdiri dan menjura.
?"?"?"Kau baik sekali. Tapi, kurasa kurang sopan kalau
yang tua menjamu yang muda, lebih baik siauwte
yang mengundangmu untuk duduk di sini, makan
sama-sama sambil mengobrol. Bagaimana
pendapatmu"?"?"?" kata Lian Hwa.
?"?"?"Ha, ha, kau baik sekali, saudara! Tapi kau agak
keterlaluan, masa aku kau anggap tua"?"?"?" Ia meraba-
raba mukanya. Benar-benar sudah amat tuakah aku"?"?"?"
Sambil berkata demikian ia menarik muka yang lucu.
Lian Hwa hampir tak dapat menahan suara
ketawanya, tapi ia tahan-tahan karena kalau tertawa
keras mungkin suara wanitanya akan ketahuan
orang. Ia memandang pemuda itu dengan gembira.
Wajah pemuda itu sama sekali tak dapat disebut tua,
karena kulit mukanya lemas dan putih bersih,
sepasang matanya bersinar bagaikan bintang pagi
dijaga oleh sepasang alis yang hitam memanjang dan
berbentuk golok. Sungguh wajah yang tampan dan
tubuhnya sedang, agak tinggi.
?"?"?"Bukan maksudku mengatakan bahwa kau sudah tua
sekali kawan, tapi bahwa kau lebih tua daripada aku
adalah satu hal nyata yang tak dapat dibantah!?"?"?" kata
Lian Hwa. ?"?"?"Betulkah" Ah, belum tentu! Berapa usiamu, saudara" Aku baru duapuluh tahun.
Dan aku baru enambelas! jawab Lian Hwa cepat-
cepat. Kalau begitu memang betul aku lebih tua. Hai! Apa-
apaan ini kita belum juga saling kenal tapi sudah
saling mengetahui umur masing-masing! Eh, saudara
muda, apakah kau merasa juga apa yang
kurasakan" Lian Hwa menjadi gugup, dan dengan wajah merah
ia menggeleng kepala. Aku merasa seakan-akan kita sudah saling kenal
lama sekali. Seakan-akan kau ini bukan wajah baru,
tapi kawanku yang baik. Apa kau tidak merasa
begitu" Kali ini Lian Hwa mengangguk.
Nah, kalau begitu, perkenalkan saudara muda, ini
sahabat lamamu bernama Lo Cin Han dari Kwan-tung.
Dan kau bernama siapa kawan"
Lian Hwa merasa lucu sekali dengan perkenalan yang
ganjil ini, tapi dalam memperkenalkan diri ia berkata
gugup, Aku bernama Han& .. Lian dari& & Kie-ciu, Ciat-kang!
Kalau begitu, aku akan menyebutmu adik Lian dan
kau boleh panggil aku....
Twako (kakak tertua). Mengapa twako" Habis, aku tidak mempunyai kakak maupun saudara
lain, jadi baiklah kau kuanggap kakakku yang tertua.
Eh, eh, kalau begitu kita menjadi saudara" tanya Cin
Han. Terserah& & kalau& & kau mau!
Baiklah adik Lian. Aku suka kejujuranmu.
Sementara itu hidangan datang dan mereka makan
bersama dengan gembira. Ternyata mereka merasa
saling cocok dan dalam pertemuan pertama ini timbul
satu rasa simpati besar di antara mereka.
Adik Lian, bolehkah aku bertanya, ke mana adik
hendak pergi" Apakah hendak ikut ujian"
Lian Hwa menggelengkan kepala. Aku yang begini
bodoh mana mungkin melakukan sesuatu ujian"
Bisaku hanya menulis beberapa coretan huruf saja,
itupun masih banyak kelirunya. Dan engkau sendiri,
twako, tentunya sudah pernah lulus ujian bukan"
Lulus ujian sih belum, tapi aku pernah belajar ilmu
surat bertahun-tahun. Hanya memang kepalaku yang
kurang isi, masa sampai kini masih bodoh juga.
Apakah kau hendak pulang ke Kie-ciu"
Lian Hwa mengangguk. Kalau begitu kebetulan sekali, akupun hendak ke
sana. Kita bisa pergi bersama-sama, kata Cin Han
girang sekali. Tidak& & hampir saja Lian Hwa berkata tidak
mungkin tapi masih ditahannya.
Tidak& & apa, adik Lian"
Maksudku& & tidak baik kalau mengganggumu,
twako. Jalan bersama mungkin kau akan terganggu
olehku. Mengganggu" Apanya yang terganggu" Kau aneh
sekali. Tidak, aku bahkan akan merasa gembira selalu
karena dekat seorang kawan yang cocok.
Mendengar pernyataan ini mau tak mau wajah Lian
Hwa memerah. Pada saat itu masuklah beberapa orang muda ke
dalam restoran itu. Mereka berpakaian indah dan
mewah. Seorang yang berjalan di depan rupa-
rupanya menjadi kepalanya, karena sikapnya
sombong sekali. Mereka adalah empat orang muda
pengawal di kota itu. Di pinggang masing-masing
tergantung golok dan di dada terpancang tanda
pangkat. Seorang pelayan segera menyambut mereka dan
membahasakan mereka siauw-ya (tuan muda).
Mereka lalu memesan masakan-masakan istimewa
dan mahal, lalu mengobrol ke barat ke timur. Suara
mereka makin riuh dan keras ketika menceritakan
tentang pengalaman-pengalaman mereka menangkap
penjahat dan menyiksa pesakitan. Seakan-akan
mereka adalah jagoan-jagoan besar.
Lo Cin Han mengeluarkan suara ejekan di hidung.
Gentong nasi sombong. Lagaknya seperti thai-
ciangkun (panglima besar) saja.
Kau kenapa, twako" tanya Lian Hwa.
Cin Han tersenyum, Aku paling tidak suka melihat
orang membawa-bawa golok atau senjata tajam
lainnya. Lebih-lebih kalau yang membawanya
berlagak sombong seperti mereka ini.
Mengapa tidak suka, twako" Apakah kau takut
golok" Takut sih tidak. Aku tak pernah mengganggu orang,
kenapa mesti takut golok" Hanya aku tidak suka saja,
pendeknya yang bersifat kasar-kasar seperti golongan
kaum persilatan itu aku sama sekali tidak suka. Apa
lagi kalau mereka menamakan diri sebagai anggauta
golongan liok-lim atau kang-ouw. Ah, mereka itu rata-
rata kasar kejam dan biasanya hanya mencari
permusuhan belaka. Aku benar-benar tidak suka.
Lian Hwa heran melihat pemuda itu tampak merah
mukanya dan seakan-akan sangat benci. Maka iapun
menjawab perlahan, Aku sendiripun tidak suka akan
kekerasan, twako. Nah, apa kataku" Kita kaum sasterawan tak perlu
dekat-dekat dengan para ahli pembunuh seperti itu.
Lebih baik bicara tentang sastera daripada tentang
silat. Bukankah kau juga berpikir begitu, adik Lian"
Gadis itu terpaksa mengangguk. Ia heran mengapa ia
menurut dan setuju saja kata-kata pemuda itu.
Padahal, bicara sejujurnya, ia jauh lebih suka ilmu
silat daripada ilmu surat, biarpun ia suka sekali akan
syair-syair. Pemuda ini seorang mahasiswa yang
bertubuh lemah dan menganggapnya termasuk
golongannya, maka dia setuju agar tak
mengecewakannya. ?"04.12. Terjebak Nikouw Cabul . . . . .
Twako, kau begitu benci kepada ahli silat,
barangkali& & kalau seandainya akupun seorang ahli
silat, tentu kau takkan suka kenal padaku, bukan"
tanya Lian Hwa dengan hati kecewa.
Cin Han memandang dengan tajam lalu menjawab
tersenyum, Sebaliknya, adik Lian, bukankah kaupun
takkan mau dekat aku jika seandainya aku seperti
orang-orang dengan golok di pinggang itu"
Terpaksa Lian Hwa tak dapat berbuat lain daripada
mengangguk. Adikku, kita jangan membicarakan hal ini lagi, kita
toh bukan golongan orang-orang kasar.
Pada saat itu kepala pengawal-pengawal itu yang
berbaju merah dan sejak tadi memandang Cin Han
dengan tajam, tiba-tiba berdiri dan menghampiri
pemuda itu. Tindakannya terhuyung-huyung, mukanya
merah tanda bahwa ia setengah mabok. Dengan
menyeringai ia berkata, Orang muda, kenapa kau
sejak tadi menengok-nengok memandang ke arah
kami saja" Cin Han memandangnya dengan tajam lalu berkata
tenang, Apakah ada larangan atau aturan yang
melarang orang di sini menggunakan matanya"
Kepala pengawal itu tertawa bekakakan lalu
menggunakan tangannya menepuk meja, hingga arak
dalam mangkok Lian Hwa muncrat membasahi
pakaian gadis itu. Larangan" Ada sobat, dan akulah yang melarang kau
menggunakan matamu melihat kami!
Eh, eh, tuan. Jangan kau tidak mengenal aturan! Apa
kaukira aku takut kaugertak" Biarpun kau pegawal
negeri, tapi aku tidak berbuat sesuatu yang salah.
Ha, ha! Belum apa-apa sudah begini ketakutan, kau
tikus kecil! Hati-hatilah dengan mata dan mulutmu,
nanti kutampar mulut dan matamu. Lihat, dengan
kertas dan alat tulismu kau akan dapat berbuat apa!
Lian Hwa sangat marah, tapi ia masih menahan sabar.
Ia kagum melihat Cin Han walaupun orang lemah tapi
bernyali besar. Tentu saja aku tak dapat melawan kau orang kasar,
balas Cin Han dengan masih tenang. Tapi ingat, aku
pandai menulis dan aku dapat mengarang dengan
baik surat pengaduan tentang perbuatanmu itu
kepada pembesar lebih tinggi.
Orang itu nampak ragu-ragu, tapi kemudian berkata,
Baik, baik coba kita lihat saja. Nah, rasakan
tamparanku! tapi sebelum ia mengayun tangannya,
tiba-tiba tiga orang kawannya berdiri dan memberi
hormat kepada seorang berpakaian mewah, orang
setengah tua yang masuk restoran itu diikuti oleh
beberapa orang pengiring.
Toa-loya datang! terdengar kata-kata mereka.
Kepala pengawal yang hendak menampar muka Cin
Han itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan menyambut
orang itu dengan muka berseri-seri sikap menjilat,
mempersilakan orang itu mengambil tempat.
Kesempatan digunakan oleh Lian Hwa untuk menarik
tangan kawannya meninggalkan tempat itu setelah
membayar uang makanan. Ia tidak suka
memperlihatkan kepandaiannya membela kawan itu,
karena kuatir Cin Han akan mengetahui bahwa iapun
tergolong orang kasar sehingga kemudian tidak sudi
bergaul pula dengannya, Cin Han mengomel panjang pendek dan memaki
orang-orang kasar itu, tapi Lian Hwa menghiburnya.
Karena merasa suka kepada kawan baru ini, Cin Han
lalu mengambil keputusan untuk pindah ke hotel
dimana Lian Hwa bermalam. Tapi dengan alasan
bahwa ia tidak biasa tidur berdua, terpaksa Cin Han
mengambil lain kamar yang berdekatan dengan Lian
Hwa. Setengah malam mereka berdua mengobrol
dengan gembira, bahkan Cin Han dalam
kegembiraannya memamerkan kepandaiannya
menulis dan bersyair yang membuat Lian Hwa sangat
kagum. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka
berangkat menuju ke Kie-ciu, dan atas usul Cin Han
yang memiliki seekor kuda, Lian Hwa membeli pula
seekor kuda bulu putih, lalu mereka berangkat
dengan menunggang kuda. Sehari mereka berkuda, hanya berhenti sebentar di
waktu tengah hari untuk makan roti kering yang
mereka bawa. Pada waktu hari telah hampir gelap,
mereka masih berada di dalam sebuah hutan.
Kampung Liok-wan-chun berada di depan kira-kira
sepuluh lie lagi, marilah kita percepat kuda kita, kata
Cin Han. Tapi tiba-tiba udara yang sejak tadi telah gelap
dengan mendung kini makin gelap lagi dan angin
meniup keras disusul oleh turunnya air hujan. Mereka
bingung sekali, tapi tiba-tiba Lian Hwa melihat sebuah
kelenteng tua di pinggir jalan yang mereka lalui.


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Twako, mari kita meneduh di sana, katanya.
Lebih baik kita jalan terus, adik Lian, sebentar lagi
sampai. Tidak twako. Kalau kehujanan, aku takut masuk
angin! Padahal ia kuatir kalau-kalau kawannya itu yang
jatuh sakit karena ia tahu bahwa seorang pelajar
yang tak kenal ilmu silat tentu bertubuh lemah.
Berbareng ia itu merasa heran lagi melihat diri sendiri.
Mengapa ia begitu memperhatikan Cin Han"
Baiklah kalau begitu, kata Cin Han.
Mereka segera melarikan kuda mereka ke arah
kelenteng tua itu. Pintu kelenteng tertutup dan
mereka mengetuknya perlahan. Ketika pintu terbuka,
ternyata yang menyambut mereka adalah seorang
nikouw (pendeta perempuan) yang memelihara
rambut dan berbaju putih bersih. Nikouw itu masih
muda, takkan lebih dari duapuluh tahun usianya dan
wajahnya sangat manis. Ia sangat ramah sekali
menyambut tamunya. Cin Han mengangkat tangan dan menjura memberi
hormat, Maafkan, jika kami mengganggu. Karena
kehujanan di jalan, maka perkenankanlah kiranya
kami meneduh sebentar. Oh, silakan masuk, jiwi siangkong, suara nikouw itu
sangat merdu dengan irama dibuat-buat.
Lian Hwa merasa aneh dan bercuriga melihat lagak
nikouw itu. Setelah masuk sebentar, nikouw itu datang kembali
dengan seorang nikouw lain yang umurnya kira-kira 22 tahun dan juga mempunyai wajah
cantik menarik. Dengan lagak yang tak pantas
dilakukan oleh orang-orang suci, kedua nikouw itu
berkali-kali menjual senyum dan kerlingan mata
sambil menuangkan arak hangat kepada kedua tamu
mereka. Cin Han merasa likat-likat dan malu-malu melihat
sikap mereka. Untuk menghilangkan suasana tak
enak itu ia bertanya tentang keadaan kelenteng itu.
Nikouw yang tertua berkata dengan suara manis,
Kelenteng ini adalah kelenteng Liok-ling-thong dan
telah lama tidak terurus. Kami berdua kakak beradik
Bwee Hiang dan Bwe Nio baru tiga bulan mendiami
kelenteng ini, menerangkan Bwee Hiang.
Jiwi siangkong hendaknya bermalam di sini saja
karena hari sudah malam dan gelap, serta hujan juga
masih belum reda, kata Bwee Nio sambil mengerling
ke arah Lian Hwa. Kami tidak berani mengganggu jiwi, kata Cin Han.
Tidak mengganggu, sama sekali tidak, sahut Bwee
Hiang sambil sekali lagi menuang penuh arak hangat
ke dalam cangkir pemuda itu dan Bwee Nio juga
menurut contoh encinya menuangkan arak ke dalam
cawan Lian Hwa yang telah kosong.
Siapa yang mengganggu" Bwee Nio menyambung
kata-kata encinya sambil tertawa cekikikan dengan
genit sekali. Kami ada dua kamar, kamar enciku dan
kamarku, siangkong boleh tidur di kamar enciku dan
siauw-siangkong ini tidur di kamarku, berkata
demikian ini sambil memegang pundak Lian Hwa.
Lian Hwa hampir saja berdiri memakinya, tapi Cin
Han keburu berkedip mata.
Cin Han tertawa, Habis, jiwi hendak tidur di mana"
Bwee Hiang tertawa genit. Tempat tidur kami lebar,
masih ada tempat bagi kami berdua.
Di mana" tanya Lian Hwa yang merasa tak enak
juga mengganggu tempat orang.
Di pembaringan itu juga. Apa salahnya kami
menemani jiwi" Tidak tahan pula hati Lian Hwa. Ia berdiri dengan
marah dan hendak memaki, tapi tiba-tiba ia merasa
kepalanya pening sekali, semua barang yang terdapat
di situ berputar-putar di depan matanya dan iapun
melihat dengan samar-samar Cin Han berdiri dan
roboh. Kemudian ia roboh pula tak ingat orang.
Ketika Lian Hwa sadar dari pingsannya dan membuka
mata, ia mendapatkan dirinya berada di dalam
sebuah kamar yang berbau harum. Kamar itu mewah
sekali, jauh berbeda dengan keadaan di luar
kelenteng yang kotor. Ia sedang rebah di atas sebuah
pembaringan yang empuk dengan kain, sprei warna
merah muda. Bantalnya berkembang.
Bwee Nio duduk pula di ranjang itu sambil tersenyum-
senyum manis. Lian Hwa merasa marah sekali dan memaki,
Perempuan rendah! lalu hendak bangun berdiri tapi
ternyata kedua kaki dan tangannya telah diikat
dengan kuatnya. Pengikatnya terbuat daripada
semacam kain yang lemas dan dapat mulur hingga
percuma saja ia gerakkan kaki tangannya biarpun ia
telah mengeluarkan tenaga dalamnya. Ia betul-betul
tak berdaya. Siangkong jangan mencoba berontak. Saya tahu
siangkong pandai silat karena dalam buntalan
siangkong terdapat sebatang pedang pusaka! Kalau
kawanmu itu betul-betul anak sekolah yang lemah,
maka saya beruntung sekali mendapat siangkong.
Saya sangat mencinta seorang laki-laki yang selain
tampan juga gagah perkasa. Maka janganlah
membuang waktu selagi masih muda. Ia
mendekatkan mukanya yang berbau harum ke arah
muka Lian Hwa dan tertawa genit.
Lian Hwa mengerahkan tenaganya kembali untuk
memberontak, tapi sia-sia saja, kain pengikat itu
terlampau ulet dan kuat, maka ia menjadi putus asa
dan menahan napas karena marah dan jengkel.
Hampir saja ia menangis. Ia hanya memejamkan
mata. Tiba-tiba nikouw cabul itu menoleh ke arah jendela di
mana berkelebat bayangan orang. Nikouw itu meniup
padam pelita di dalam kamar, menyambar pedang
Lian Hwa yang digantungkan di dinding, lalu meloncat
keluar. Lian Hwa membuka matanya tapi keadaan dalam
kamar itu gelap gulita hingga ia tak dapat melihat
apa-apa, kecuali jendela yang terbuka dan suram-
suram cahaya bulan memasuki kamarnya. Ia
mendengar suara orang berkelahi di atas genteng.
Telinganya yang terlatih dapat menangkap suara kaki
dua orang yang sedang bertempur di atas genteng itu,
dan diam-diam ia memuji mereka itu yang
mempunyai kepandaian meringankan tubuh yang
tinggi, karena sungguhpun mereka sedang berkelahi,
namun tindakan kaki mereka itu ringan sekali hingga
kalau ia tidak memasang telinga baik-baik tentu ia
takkan mendengar sesuatu.
Tak lama kemudian dari atas genteng terdengar suara
wanita menjerit, lalu keadaan menjadi sunyi. Tiba-tiba
sosok bayangan secepat kilat meloncat memasuki
jendela kamarnya. Lian Hwa tak berdaya hanya dapat menyerahkan
nasib kepada Tuhan. Terasa olehnya bagaimana
sepasang tangan meraba-raba kakinya hingga ia
merasa geli sekali. Sekejab kemudian tali pengikat
kakinya putus dan demikianpun tali pengikat
tangannya. Sebelum ia bisa berbuat sesuatu,
bayangan yang menolongnya itu melompat secepat
burung terbang keluar jendela.
Ketika ia memperhatikan, ternyata pedangnya telah
berada di atas meja di kamar itu kembali. Ia menjadi
girang berbareng gemas kepada dua nikouw cabul itu,
dan timbul pula kekuatirannya akan keselamatan Cin
Han. Ia memungut pedangnya lalu meloncat keluar
dari jendela. Tak lama ia menemukan kamar di mana
Cin Han dikeram. Ia menghampiri jendela dan
membacoknya, membuka dengan pedang nya.
Ia melihat Cin Han telah duduk di pembaringan sambil
memegangi kepalanya. Agaknya pemuda itu masih
pening, nampak pula bekas-bekas tali ikatan terlepas
di pembaringan itu. Cin Han mendengar dan melihat ia masuk, tapi ketika
melihatnya dengan terang barulah pemuda itu tersenyum.
Eh, hiante (adik), dari mana kau peroleh pedang itu"
tanyanya heran dan kuatir melihat Lian Hwa
memegang pedang. Mana perempuan cabul itu" tanya Lian Hwa marah.
Akan kupenggal lehernya! Kemudian ia ingat bahwa ia hendak
menyembunyikan kepandaian silatnya dari mata
pemuda itu, maka segera disambungnya cepat-cepat,
Lo twako, sungguh celaka, kita telah tertipu oleh dua
nikouw cabul tadi. Aku bangun-bangun sudah terikat.
Baiknya ada orang yang menolongku. Kulihat pedang
ini di atas meja, maka segera kuambil untuk mencari
perempuan tadi. Hem, biarpun aku tak pandai
menggunakan pedang, tapi kalau bertemu padanya
pasti akan kubacok putus batang lehernya!
Cin Han menggeleng-gelengkan kepalanya, Aya,
sungguh lihai sekali penolong itu. Akupun telah
ditolongnya, tapi ia segera pergi kembali.
Siapakah orang itu, twako bagaimana roman
mukanya" Aku tidak tahu jelas, adik Lian, ia berlaku sangat
cepat. Kemudian Cin Han bangun berdiri. Eh, eh, kau
berani juga memegang pedang setajam itu!
Lian Hwa agak bingung dan gugup. Kalau terpaksa,
apa boleh buat, twako. Kita kan laki-laki, bagaimana
juga, malu kalau harus menyerah begitu saja kepada
kedua perempuan cabul itu. Mari kita cari mereka!
Mereka berdua keluar mencari-cari dan alangkah
kaget mereka, ketika melihat dua orang nikouw itu
telah mati dipukul orang. Bwee Hiang mati di luar
kamar Cin Han dan Bwee Nio jatuh dari atas genteng
karena kepalanya pecah. Lian Hwa pura-pura ketakutan. Aya, ada
pembunuhan di sini, twako. Mari kita lari
meninggalkan tempat terkutuk ini.
Cin Han menyatakan setuju dan mereka segera
berangkat menunggang kuda meninggalkan tempat
itu. Ketika melihat Lian Hwa memasukkan pedang
Sian-liong-kiam di dalam buntalan, Cin Han bertanya,
Untuk apa pedang itu kausimpan"
Twako, kita telah ditolong orang. Mungkin pedang ini
pedangnya, atau mungkin juga pedang nikouw itu.
Tapi kulihat pedang ini bukan pedang sembarangan.
Maka akan kubawa, karena aku mempunyai seorang
kenalan yang suka mengumpulkan pedang-pedang
baik. Pedang ini hendak kuberikan padanya.
Mereka berjalan di malam gelap, tapi baiknya Cin Han
telah beberapa kali melalui tempat itu hingga ia kenal
jalan. Di sepanjang jalan mereka saling menceritakan
pengalamannya. Twako, apakah kau tadi& & diganggu oleh Bwee
Hiang perempuan celaka itu" Pertanyaan ini
diucapkan tanpa berani memandang wajah pemuda
itu. Hm, tidak, mana aku sudi diganggu olehnya" Selagi
aku tak berdaya, baiknya penolongku datang dan
mengejar perempuan itu keluar kamar. Kemudian ia
kembali lagi untuk melepaskan ikatanku.
Mereka bermalam di Liok-wan-chun, sebuah kampung
kecil tak jauh dari situ dan keesokan harinya mereka
melanjutkan perjalanan ke kampung Ban-hok-chun.
Ketika tiba di kampung Ban-hok-chun, Lian Hwa
merasakan dadanya berdebar-debar dan sangat
terharu. Mengingat bahwa dahulu ia dilahirkan di
kampung ini dan bahwa orang tuanya tewas di dalam
kampung ini juga, tak tertahan pula Lian Hwa
merasakan matanya pedas dan mengalirkan air mata.
Kau kenapa, adik Lian" tanya Cin Han.
Lian Hwa segera kucek-kucek kedua matanya dan
menjawab, Tidak apa-apa, twako, rupanya ada debu
masuk ke mataku hingga terasa pedih dan
mengeluarkan air mata. Lian Hwa mencari sebuah rumah penginapan, tapi Cin
Han tidak bermalam di situ. Ia berkata, Adik Lian,
sampai di sini kita terpaksa harus berpisah. Aku ada
urusan penting dan besok pagi harus sudah berada di
kota Tiong-bie-kwan. Lian Hwa merasa kecewa. Twako, apakah tidak bisa
besok saja kau berangkat dan malam ini bermalam di
sini" ia memohon. Cin Han menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin
hiante, karena kalau aku berangkat besok, tidak
mungkin aku bisa sampai di sana dalam sehari,
sedangkan besok malam aku harus sudah berada di
sana menghadiri pesta. Pula, sekarang masih siang
dan aku bisa melanjutkan perjalanan sedikitnya
empatpuluh lie. Nah, sampai berjumpa kembali, adik
Lian yang baik. Aku yakin kita akan dapat bertemu
kembali! Lian Hwa memandangnya sejenak dan menghela
napas sambil berkata, Selamat berpisah dan selamat
jalan, twako. Mudah-mudahan kita akan segera
berjumpa lagi. Cin Han menjura dan ketika Lian Hwa balas menjura
Cin Han memegang lengan tangan sahabat itu erat-
erat. Sampai berjumpa! katanya lalu naik kudanya
yang terus dilarikan kencang diikuti oleh pandangan
mata Lian Hwa. "%Y"%

Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian gadis itu masuk ke dalam rumah
penginapan, mendapat kamar dan duduk di dalam
kamar termenung. Ia heran mengapa kini seakan-
akan merasa kehilangan sesuatu setelah Cin Han
pergi. Ia suka sekali kepada pemuda yang sopan
santun dan halus gerak-geriknya itu. Alangkah
bedanya dengan kebanyakan pemuda, terutama laki-
laki yang bisa silat. Ia merasa malu sendiri mengingat
kelemahan hatinya. Mengapa ia suka sekali kepada
seorang pemuda yang baru saja dikenalnya.
Ah, kalau aku tadi ikut dengan dia, alangkah
senangnya, demikian ia berpikir. Tiba-tiba ia terkejut
dan marah kepada diri sendiri. Ikut Cin Han" Ah,
sudah gilakah ia" Sedangkan di depan matanya
menanti sebuah kewajiban besar yang harus
dilaksanakan, mengapa ia memikirkan untuk ikut
seorang pemuda" Memalukan benar! Tiba -tiba
semangatnya bangkit kembali dan ia meninggalkan
hotel itu untuk memulai penyelidikannya.
Karena kampung itu hanya sebuah kampung kecil
saja, maka siapakah yang tidak kenal rumah keluarga
Bong-wangwe (Hartawan Bong)" Bong Him Kian yang
dulu disebut Bong Toaya atau Bong Wan-gwe. Ia telah
kawin dengan seorang gadis keturunan bangsawan
dan mempunyai dua orang putera yang kini telah
berusia belasan tahun. Pengaruhnya makin besar saja
dan kekayaannya makin menumpuk pula. Bahkan kini
jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya
kabarnya banyak yang lihai.
Hwat Khong Hwesio, suheng Lian Hwa sengaja tidak
mau memberi tahu sumoinya tentang nama-nama
jagoan kaki tangan Bong-kongcu yang dulu
membunuh ayahnya karena hwesio tua itu berpikiran
luas. Ia tidak menghendaki bahwa kelak Lian Hwa
menanam bibit permusuhan dengan para jagoan di
kalangan kang-ouw maupun liok-lim, karena menurut
pendapatnya, yang bersalah paling besar adalah Bong
Him Kian seorang. Para kaki tangannya hanyalah
menjalankan perintahnya, maka sudah sepatutnya
kalau si orang she Bong itu saja yang dibinasakan
untuk membalas sakit hati.
Walaupun Lian Hwa tidak mendapat keterangan dari
suhengnya tentang nama-nama para jagoan yang
membunuh ayahnya karena suhengnya mengatakan
tidak tahu nama-namanya, namun dalam hatinya ia
telah mengambil keputusan untuk membasmi semua
kaki tangan musuhnya. Maka setelah di dalam penyelidikannya selama dua
hari itu ia mendengar bahwa Bong Wan-gwe
mempunyai lima orang pengawal jempolan, hatinya
makin menjadi panas. Hm, kalau aku belum bisa
membasmi bajingan she Bong sekeluarga dan semua
begundalnya itu, aku tidak mau sudah, pikirnya.
Setelah mencari-cari dan bertanya-tanya, ia dapat
juga menemukan kuburan kedua orang tuanya.
Kedua kuburan itu sangat sederhana dan tidak
terawat, maka ketika Lian Hwa datang ke situ pada
saat kuburan itu kosong tiada seorangpun
pengunjung, ia menangis sedih sambil memeluki
kedua gundukan tanah itu dan bersumpah akan
membawa kepala orang she Bong itu untuk
bersembahyang di depan kuburan orang tuanya.
Kalau menurut dorongan hatinya, ingin sekali Lian
Hwa pada siang itu juga pergi mendatangi rumah
keluarga Bong. Tapi ia ingat akan pesan suhengnya
dan pula ia tidak suka menimbulkan kekacauan di
dalam kampung itu dan menakutkan semua
penduduk. Pada malam hari itu menjelang tengah malam, ketika
semua penghuni gedung Bong Wan-gwe telah pulas,
Lian Hwa berloncat-loncatan di atas genteng gedung
itu. Seorang bujang tiba-tiba keluar dari sebuah kamar
membawa baki terisi poci teh.
Bagaikan burung layang-layang Lian Hwa turun
menyambar dan sebelum bujang itu dapat berteriak,
Lian Hwa telah menempelkan ujung peda ngnya di
leher orang. ?"?"?"Jangan ribut kalau tak mau pedangku ini membuat
kepalamu terpisah dari tubuh. Hayo bilang, di mana
kamar Bong Wan-gwe" Awas jangan bohong!?"?"?"
Dengan gemetar dan ketakutan setengah mati orang
itu berdiri menggigil. Baki yang dipegangnya terlepas
dari tangan, tapi dengan cepat dan tangkas Lian Hwa
menyambarnya hingga baki dan pocinya tidak jatuh
membuat ribut. Bujang itu lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara
dari mulutnya, tenggorokannya seakan-akan.
terkancing karena takutnya. Maka dengan jari
telunjuknya menuding ke arah sebuah kamar besar.
?"?"?"Di situ kamar Bong Wang-we"?"?"?" tanya Lian Hwa.
Orang itu hanya mengangguk berkali-kali. Lian Hwa
lalu mengulurkan, jari tangannya dan menotok jalan
darah orang itu yang segera roboh tak berdaya dan
tak bersuara. Untuk beberapa lama ia akan tinggal
lumpuh dan gagu. Dengan gerakan ringan Lian Hwa meloncat ke arah
jendela kamar yang dimaksudkan dan mengintai dari
celah-celah pintu jendela. Di dalam kamar itu Bong
Wan-gwe ternyata belum tidur. Ia tengah
mengeluarkan beberapa buku catatan dan mulai
menggunakan mouw-pitnya (pensil bulu) menulis dan
mencatat-catat, orang tua yang berusia kurang lebih
empatpuluh tahun dan yang wajahnya tepat seperti
apa yang digambarkan oleh suhengnya dulu.
Lian Hwa merasa dadanya seakan-akan hendak
pecah dan panas seperti terbakar. Dengan sekali
dorong, jendela itu terbuka dan daunnya roboh
karena dipecahkan tenaga dorongan Lian Hwa.
Bong Wan-gwe terperanjat mendengar suara ribut itu
dan ketika ia berpaling memandang jendela
kamarnya, alangkah kaget dan takutnya melihat
seorang wanita muda cantik jelita meloncat masuk
sambil membawa sebatang pedang yang berkilauan
karena tajamnya. Bong Wan-gwe hendak berteriak, tapi dengan sekali
loncatan Lian Hwa melompati meja yang
menghadang di antara mereka.
?"?"?"Apakah kau Bong Him Kian"?"?"?" tanyanya ketus.
?"05.13. Pembalasan Dendam Orang Tua
Bong Wan-gwe mengangguk, Ya, akulah orang she
Bong itu. Hatinya agak tenang melihat bahwa tamu
malamnya itu hanya seorang gadis tanggung. Ia tidak
jadi berteriak, bahkan dengan cepatnya menyambar
sebatang pedang yang tergantung di dinding.
Kau berani sekali masuk ke sini mau apa"
bentaknya. Mata Lian Hwa yang jernih itu tiba-tiba bersinar penuh
kemarahan. Ingatkah kau kepada Han Bun Lim dan nyonyanya
yang kau bunuh sepuluh tahun yang Ialu"
Han& & Han Bun Lim& & " jawab Bong Wan-gwe
gugup. Ya, dan masih ingatkah kau kepada anak yang
masih kecil dan hendak kau bunuh pula itu" Akulah
anak itu, anjing keparat. Dan sekarang hadapilah
kematianmu untuk menebus dosamu yang
bertumpuk-tumpuk! Dengan kata-kata ini ia meloncat maju menusuk.
Bong Him Kian yang telah belajar silat lama juga
segera berkelit hingga pedang Lian Hwa menusuk
tempat kosong. Tapi gadis yang sedang marah hebat
itu memutar pergelangan lengannya hingga
pedangnya kini terus membabat ke arah pinggang
lawan. Bong Him Kian menjadi gugup dan silau karena
gerakan Lian Hwa yang cepat itu dan sinar Sian-liong-
kiam yang berkilau-kilauan. Tapi ia percaya kepada
pedangnya yang terkenal tajam, maka ia membacok
ke arah pedang gadis itu untuk memotong atau
setidak-tidaknya terpental karena ia memang
bertenaga besar. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa seakan-
akan membacok air saja ketika pedang mereka
beradu dan ketika ia lihat, ternyata pedangnya hanya
tinggal sepotong. Bukan pedang lawan tapi
pedangnya sendiri yang terpotong oleh pedang
musuhnya. Mau tak mau Bong Wan-gwe menjadi
keder ketakutan, maka segera ia berteriak, Tolong!
Pembunuh, tolong!! Pengecut! teriak Lian Hwa sambil menusukkan Sian-
liong-kiam ke arah ulu hati musuh besarnya. Cep!
Ujung pedangnya menembus dada orang dan
sebelum tubuh Bong Him Kian roboh setelah pedang
dicabut, Lian Hwa telah mengayun pedangnya pula
hingga kepala musuh yang dibencinya itu terpental
dari leher. Sebelum kepala jatuh ke tanah, tangan kiri
Lian Hwa telah terulur menjambak rambut kepala itu.
Kemudian ia mengambil mauw-pit musuhnya yang
berada di atas meja, mencelupkan ke dalam darah
musuhnya yang memenuhi lantai dan masih
mengucur dari dada dan leher, lalu menulis di atas
tembok yang putih. Pada saat itu terdengar bunyi ribut-ribut di luar kamar,
karena teriakan Bong Wan-gwe tadi telah menarik
perhatian para jagoannya yang tidur di kamar
belakang. Mereka berlima membawa senjata masing-
masing menyerbu ke situ. Alangkah kaget mereka ketika melihat bahwa
majikan mereka telah menggeletak di lantai dengan
tak berkepala pula, sedangkan di dekat tembok
berdiri seorang wanita muda dengan pedang di
tangan kiri dan kepala majikan mereka digantung
pada rambut dengan tangan kiri pula, sedangkan
tangan kanan asyik menulis di atas tembok dengan
tulisan darah! Beramai-ramai mereka menerjang masuk, tapi karena
kamar itu sempit penuh barang-barang, yang maju
lebih dulu adalah Cun Tin si muka iblis yang
bersenjatakan ruyung besi. Si muka iblis
menggunakan ruyungnya yang berat menghantam
kepala Lian Hwa yang sedang berdiri
membelakanginya dan asyik menulis, sea kan-akan
tidak tahu bahwa di luar telah berdiri jagoan-jagoan
Bong Wan-gwe dan bahkan seorang di antara mereka
kini tengah mencoba untuk memukul pecah
kepalanya! Tapi Lian Hwa bukanlah murid si Manusia Aneh Ong
Lun jika ia dapat dipecahkan kepalanya dengan
begitu saja! Tanpa menengok sedikitpun dan dengan
tangan kanan masih menulis terus, ketika senjata
ruyung itu menyambar ke arah kepalanya , ia hanya
menggeser sedikit kakinya dan tangan kirinya yang
memegang pedang dan kepala berlumuran darah itu
bergerak ke belakang. Trang! Ruyung itu tersampok pedang dan si muka
iblis memandang dengan mulut ternganga karena
ruyungnya telah putus ujungnya. Sebelum ia dapat
kembalikan semangatnya yang seakan-akan terbang
karena kagetnya, Lian Hwa yang sementara itu telah
selesai menulis segera membalikkan tubuh dan
pedangnya telah pindah ke tangan kanan.
Cun Tin hendak lari keluar, tapi sinar pedang
mengejarnya dan sebelum ia sampai ke pintu kamar,
punggungnya telah tertusuk pedang. Ia mengeluarkan
jeritan ngeri lalu roboh berkelojotan.
Lian Hwa memutar pedangnya dan meloncat keluar
kamar. Ketika ia menurunkan kakinya di pekarangan
luar, ia berdiri menanti musuh-musuhnya yang datang
berlari-larian mengeroyok.
Hati dan perasaan Lian Hwa pada saat itu diliputi rasa
marah dan terharu. Marah karena ingat bahwa
jagoan-jagoan ini dulu telah membunuh ayahnya, dan
terharu karena akhirnya ia berhasil juga
membalaskan sakit hati orang tuanya dan kepala
musuh besarnya kini telah berada di tangannya.
Segera ia memainkan Sian-liong-kiam-hoat (Silat
Pedang Naga Dewa ) yang hebat dan dalam
beberapa jurus saja keempat lawannya semua telah
roboh di atas tanah terbenam dalam darah mereka
sendiri. Pada saat itu Lian Hwa seakan-akan kemasukan iblis.
Hatinya penuh dendam dan hawa nafsu, dengan
mata beringas ia menengok ke kanan kiri mencari-
cari. Maksudnya hendak membunuh selur uh isi rumah
itu. Tiba-tiba pintu sebuah kamar terbuka dan seorang
anak laki-laki kira-kira berusia sebelas tahun lari
keluar, di belakangnya terdengar suara wanita
memanggil ketakutan, ?"?"?"Lian Keng! Lian Keng!
Kembalilah kau!?"?"?"
Lian Hwa mengangkat pedangnya mengejar anak itu.
Setelah dekat ia mengayunkan pedangnya. Tiba-tiba
pedang itu ditahannya dan hatinya menjadi lemas,
hawa marahnya buyar seakan-akan awan tertiup
angin. Sayup-sayup sampai terdengar olehnya gema
suara Cin Han yang berkata dengan suara halus
ketika mereka masih bersama-sama beberapa hari
yang lalu, ?"?"?"Adik Lian, aku tidak suka kepada kebanyakan orang
dari kaum persilatan, karena cara hidup mereka itu


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejam sekali. Betapa banyak jiwa dikorbankan
karena dendam dan sakit hati di antara golongan
mereka. Tindakan yang gila dilakukan oleh mereka
kalau sudah berdaya membalas sakit hati. Balas-
membalas tiada habisnya. Bahkan di dalam kebiasaan
mereka, wanita dan kanak-kanak juga dibinasakan
hanya untuk mengumbar hawa marah dan perasaan
dendam. Alangkah kejamnya. Aku tidak suka, tidak
suka?"?"?"?"?"?"?"?"?"
Mengingat suara ini, lenyaplah kegusaran Lian Hwa. Ia
telah membunuh orang yang paling berdosa, ialah
Bong Him Kian dan telah membinasakan kelima kaki
tangannya pula, maka boleh dikata sakit hati orang
tuanya telah terbalas penuh. Apa gunanya membunuh
semua keluarga Bong yang tidak tahu-menahu
tentang sakit hati itu dan sama sekali tidak berdosa.
Dengan pikiran inilah maka Lian Hwa segera loncat
memasuki kamar Bong Wan-gwe tadi, 1alu
menggunakan sehelai kertas buku catatan Bong Him
Kian untuk menghapus namanya di bawah syair yang
ditulisnya tadi dan ditinggalkan sebuah huruf ?"?"?"Han?"?"?"
saja. Syair itu berbunyi demikian :
Ayah, ibu, seisi rumah terbunuh semua,
Hingga aku menderita, sebatang kara,
Sakit hati dikandung sebelas tahun lamanya,
Semua ini gara-gara Bong Him Kian si iblis durhaka,
Malam ini aku keturunan terakhir dan satu-satunya,
Membalas sakit hati orang tua,
Teratai bersih di dalam telaga,
Kini menjadi merah oleh darah musuh orang tuanya,
Aku puas dapat berbakti kepada orang tua,
Roh ayah ibu puas, terbalaslah sakit hati mereka,
Bong Him Kian puas, karena telah dapat menebus
dosa! ?"?"?"Han?"?"?"
Lian Hwa lalu meloncat ke atas genteng membawa
kepala musuhnya dan langsung menuju ke kuburan
ayah ibunya. Ia meletakkan kepala itu di depan
kuburan orang tuanya, lalu berlutut sambil menangis
sedih. ?"?"?"Ayah ibu, janganlah penasaran lagi. Kepala bangsat
Bong Him Kian telah anak bawa ke sini. Lihatlah?"?"?"?"?"?"
dan kelima kawannya juga telah anak bunuh
mampus?"?"?"?"?"?" Jangan penasaran, ayah...... ibu?"?"?"?"?"?" anak
tak sanggup membunuh seluruh keluarga?"?"?"?"?"?"!?"?"?"
Ia menangis tersedu-sedu dan sebagai jawaban kata-
katanya dan ratapannya itu, terdengar suara daun-
daun tertiup angin berkeresekan dan suara kutu
malam berlagu sedih. Sampai hampir pagi Lian Hwa berlutut di situ,
kemudian ia meninggalkan kampung itu menunggang
kudanya. Ia tidak berganti pakaian laki-laki karena ia
pikir setelah kini tugasnya terpenuhi, maka tak perlu
ia berlaku hati-hati. Ia akan mengembara meluaskah pengalaman. Ia
tidak mempunyai tujuan hendak pergi ke mana,
karena iapun sudah tidak mempunyai handai taulan
lagi, tak bersanak tak berkawan.
Kembali ia ingat kepada Cin Han, karena hanya
pemuda itu seoranglah kawannya yang baik. Ia
menghela napas dan membalapkan kudanya.
Pikirannya penuh dengan peristiwa yang terjadi
malam tadi. Ia sengaja tidak mau berterang memberi
tahukan namanya di dalam syair itu karena ia
membenarkan pendapat Cin Han bahwa tiada
gunanya balas membalas terus-terusan. Ia tidak
berdosa kepada keluarga Bong Him Kian karena ia
membunuhnya untuk membalas sakit hati orang tua.
Kini sakit hati itu himpas sudah dan tidak perlu ia
memusuhi keluarga Bong itu. Namun bagaimana juga,
ia masih memasukkan nama julukannya di dalam
syair itu, ialah Teratai Merah.
Berhari-hari ia mengembara tak tentu arah tujuan.
Kalau berhenti di sebuah kota yang dianggapnya
indah, ia tinggal beberapa hari, lalu melanjutkan pula
perjalanannya. Uangnya masih ada, karena
suhengnya dulu memberi bekal cukup. Tapi soal uang
ia tidak khawatir, karena kalau sampai kehabisan, ia
dapat ?"?"?"pinjam?"?"?" dari simpanan seorang hartawan. Ini
sesuai dengan pesan suhengnya.
?"?"?"Sumoi, kalau engkau sudah terpaksasekali
kehabisan bekal boleh kau ambil secukupnya dari
simpanan seorang hartawan. Tapi awas jangan
mengorbankan jiwa orang dalam hal itu. Pula,
sebelumnya harus diselidiki lebih dulu keadaan
hartawan itu. Kalau ia orang baik dan dermawan,
jangan diganggu. Ingat ini, sumoi, untuk menjaga
nama gurumu dan nama kita.
"%Y"% Pada suatu hari sampailah Lian Hwa di kota Ang-see-
mui. Ia bermalam di hotel terbesar di kota itu. Dan di
kota itulah secara sangat kebetulan ia mendapatkan
nama Gan Keng Hiap dan alamatnya!
Pembaca barangkali belum lupa bahwa ketika Sian-
kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa
akan menutup mata untuk selamanya, ia telah
berpesan kepada murid tunggalnya untuk
membalaskan penasarannya terhadap seorang
bernama Gan Keng Hiap. Selama ini Lian Hwa belum pernah melupakan pesan
gurunya tapi karena ia tidak tahu ke mana harus
mencari musuh gurunya itu, ia tidak berdaya. Pula,
ketika itu ia sibuk mengurus dendam keluarganya
sendiri. Ketika ia diharuskan menuliskan nama di buku hotel,
secara iseng-iseng ia membuka-buka halaman buku
tamu itu dan dengan tak segaja matanya bertemu
dengan nama seorang tamu yang membuat hatinya
berdebar-debar. Nama itu ialah Gan Keng Hiap dengan
alamat kota Tiong-bie-kwan!
Hatinya berdebar berbareng girang. Ia masih ingat
bahwa Lo Cin Han juga pergi ke Tiong-bie-kwan
ketika berpisah dengan dia. Mungkin mereka dapat
saling berjumpa di kota itu, karena siapa tahu bahwa
pemuda itu masih di sana"
Tanpa membuang waktu lagi, Lian Hwa segera
mencari keterangan di mana letak kota Tiong-bie-
kwan. Ternyata jarak antara Ang-see-mui dan Tiong-
biekwan hanya dua hari perjalanan berkuda. Hari itu
juga Lian Hwa berangkat menuju ke Tiong-bie-kwan
sambil membalapkan kudanya.
Hari telah hampir gelap ketika pada keesokan harinya
ia sampai di kota itu. Ternyata kota Tiong-bie-kwan
cukup ramai, lebih besar dan ramai jika dibandingkan
dengan Ang-see-mui. Lian Hwa sebenarnya tidak mengetahui permusuhan
apakah yang ada antara gurunya dan Gan Keng Hiap,
karena di waktu hidupnya Ong Lun hanya pernah
menyatakan bahwa hidupnya telah dibikin sakit dan
penasaran oleh Gan Keng Hiap dan bahwa ia sendiri
tak berdaya menuntut balas, maka kini minta
muridnya mewakilinya untuk membalaskan sakit hati
itu. Di dalam hatinya Lian Hwa ada juga keragu-raguan
karena ia kini menghadapi satu tindakan yang tidak
diketahui ujung pangkalnya dan asal mulanya,
padahal suhengnya berkali-kali berpesan bahwa
sesuatu tindakan harus dilakukan dengan teliti dan
tidak boleh sembrono. Maka, jika ia kini pergi mencari
dan tanpa minta keterangan lalu membunuh orang
she Gan itu, bukankah itupun merupakan suatu
tindakan yang sembrono sekali" Ah, tidak bisa, bantah
suara hatinya. Ini adalah tugas yang diberikan oleh
suhu, sedangkan aku sebagai murid tunggalnya harus
melaksanakannya untuk membalas budinya yang
begitu besar! Dari keterangan penduduk di kota itu dengan mudah
ia bisa menemukan rumah Gan Keng Hiap. Rumah itu
besar juga, tapi sudah kuno dan tidak terawat. Ketika
Lian Hwa berjalan lewat di depan rumah itu pada
sore hari itu, pintu rumahnya tertutup saja dan
keadaan dari dalam rumah sepi tak terdengar sesuatu
seakan-akan rumah itu tiada penghuninya.
Sebenarnya setelah berjumpa dengan Cin Han,
semangat Lian Hwa dalam hal bunuh-membunuh
sudah turun banyak bahkan hampir lenyap. Ia sudah
menetapkan dalam hati tidak akan sembarangan
mencari perselisihan dan sembarangan membunuh
kalau tidak terpaksa sekali dan kalau tidak untuk
kebaikan. Ia kini insaf mengapa suhengnya bersumpah tidak
membunuh lagi, satu keputusan yang dulu ia anggap
sebagai tanda kelemahan hati. Maka kali ini Lian Hwa
ingin bekerja cepat. Setelah bertemu, ia akan
membunuh Gan Keng Hiap itu seperti pesan gurunya,
kemudian ia akan pergi dari situ. Lain orang ia takkan
mengganggunya. Malam hari itu dengan pakaian ringkas warna hijau
dan ikat pinggang kuning, bunga teratai emas
menghias rambutnya dan pedang Sian-liong-kiam
tergantung di pinggang, Lian Hwa meloncat ke atas
genteng dan berlari-larian meloncati wuwungan
rumah orang menuju ke rumah musuh gurunya.
Ketika ia sampai di atas rumah Gan Keng Hiap, ia
melihat di sekeliling rumah itu sunyi, tapi dari sebuah
kamar masih tampak menyorot keluar api pelita. Ia
segera meloncat ke arah kamar itu dan menggeser
genteng mengintip ke dalam.
Di dalam kamar itu ia melihat seorang tua berusia
lebih kurang enampuluh tahun dengan jenggot
panjang warna putih sedang duduk di kursi dan
memegang alat tulis. Di depannya terbentang kertas
putih lebar yang sedang ia tulis.
Ternyata ia sedang membuat lian (syair berpasangan)
dengan tulisan yang sangat indahnya. Melihat tulisan itu Lian Hwa merasa sangat kagum. Wajah orang tua
itu putih dan halus, pakaiannya menunjukkan bahwa
ia seorang sasterawan tua dengan lengan baju yang
lebar dan panjang. Di dekatnya terdapat sebatang
tongkat bercagak yang disandarkan di pinggir meja.
Melihat tongkat itu Lian Hwa merasa terkejut dan
sangsi pula untuk melakukan tugasnya. Tongkat itu
menandakan bahwa orang tua di bawah itu adalah
seorang penderita cacat yang hanya dapat berjalan
dengan bantuan tongkatnya!
Pada saat itu si orang tua yang rupa-rupanya sedang
membuat lian untuk seorang sahabat menuliskan
namanya dibawah lian. Membaca nama yang
berbunyi ?"?"?"Gan Keng Hiap?"?"?" itu, Lian Hwa tidak ragu-
ragu lagi bahwa orang tua itulah musuh gurunya,
sungguhpun di dalam hati ia merasa aneh mengapa
gurunya yang gagah perkasa itu mempunyai seorang
musuh yang demikian lemah tampaknya dan seorang
sasterawan yang cacat pula" Tapi ia tak mau
perdulikan semua itu, ia mengertak gigi dan
membuka genteng untuk menerobos ke dalam
melalui genteng. Tetapi pada saat itu terdengar bentakan perlahan dari
belakangnya, ?"?"?"He perlahan dulu, kawan! Bukan laku
seorang gagah mengintai-intai rumah orang. Apakah
kehendakmu"?"?"?"
Lian Hwa meloncat berdiri dan membalikkan
tubuhnya. Di bawah sinar bintang yang hanya suram
saja, ia melihat seorang laki-laki muda berdiri di
depannya sambil bertolak pinggang, dan
memandangnya dengan marah.
?"?"?"Eh, eh, engkau seorang wanita" Maaf, li-enghiong,
tapi apakah, keperluan li-enghiong datang ke sini di
malam buta sehingga kami mendapat kehormatan
kunjunganmu" Kalau ada perlu silakan turun dan
masuk.?"?"?"
Melihat dirinya kepergok orang, Lian Hwa menjadi
marah dan malu. Marah karena sikap orang yang
lemah-lembut seakan-akan mau mengejeknya dan
memandang ia seperti anak kecil yang nakal, dan
malu karena ia yang sedang mengintai tidak tahu
bahwa di belakangnya ada lain orang yang melihat
perbuatannya. Maka ia segera mengunus pedangnya dan
membentak, ?"?"?"jangan banyak mulut! Setelah
kauketahui kedatanganku, maka tak perlu pula aku
sembunyi-sembunyi. Kedatanganku hendak
membunuh Gan Keng Hiap!?"?"?"
Terkejut orang itu mendengar pengakuannya. Iapun
marah dan mencabut keluar pedangnya dari
punggungnya. ?"?"?"Gampang saja kau bicara! Apakah
hanya kau seorang yang mempunyai pedang"?"?"?"
Lian Hwa menggerakkan pedangnya, tapi tiba-tiba
orang itu berteriak. ?"?"?"Tunggu dulu!?"?"?" dan ia meloncat ke tempat yang agak
terang dan tidak tertutup bayangan pohon dan
wuwungan. Walaupun heran, Lian Hwa mengejarnya.
Mereka saling memandang dan......
?"?"?"Twako......!?"?"?" panggilan ini keluar dari bibir Lian Hwa
dengan suara penuh kesayangan. Benarkah Cin Han
yang berdiri di depannya memegang pedang ini"
Sebaliknya Cin Han memandangnya dengan mulut
ternganga dan mata terbelalak. Matanya berputar-
putar dari atas ke bawah meneliti seluruh badan gadis
itu, lalu berhenti di rambut Lian Hwa, menatap bunga
teratai emas,

Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?"?"?"Jadi kau?"?"?"?"?"?" kau?"?"?"?"?"?" Ang Lian Lihiap"?"?"?"
Ang Lian Lihiap mengangguk, ?"?"?"Dan kau, twako?"?"?"?"?"?" ah,
mengerti aku, dulu yang menolongku di kelenteng itu
adalah kau sendiri. Sungguh sandiwara yang bagus!?"?"?"
Cin Han menghela napas. ?"?"?"Sudahlah, jangan
bicarakan itu pula. Kini yang terpenting ialah
pertanyaanku ini, yaitu mengapa kau datang ke sini"
Untuk bertemu dengan Gan Keng Hiap dan
membunuhnya" Kenapakah kau hendak membunuh
Gan Keng Hiap" Ada permusuhan apa antara kau dan
dia"?"?"?"
?"?"?"Kau jangan ikut-ikut, twako ini urusanku sendiri.?"?"?"
?"?"?"Tidak bisa begitu, lihiap. Ketahuilah bahwa Gan Keng
Hiap yang hendak kaubunuh itu adalah pamanku dan
juga guruku mengajar ilmu surat. Apakah aku harus
diam saja melihat ia hendak dibunuh orang"?"?"?" Ia tak
berani menyebut ?"?"?"adik?"?"?" lagi.
Lian Hwa menjadi marah. ?"?"?"Hm, bagus orang she Lo!
Aku tadinya hanya akan membunuh Gan Keng Hiap
saja, tapi bukan salahku kalau aku melawan siapa
saja yang hendak menghalangi niatku. Ketahuilah
olehmu, Gan Keng Hiap itu adalah musuh guruku dan
aku datang untuk membalaskan sakit hatinya!?"?"?"
Kembali Cin Han terkejut. ?"?"?"Kalau begitu, kau adalah
murid dari Sian-liong Koai-jin Ong Lun" Dengarlah
lihiap, urusan di antara gurumu dan Gan-siokhu
(paman Gan) adalah?"?"?"?"?"?"?"?"?"
?"?"?"Aku tidak perduli!?"?"?" potong Lian Hwa. ?"?"?"Aku harus
mentaati pesan suhuku dan kau jangan menghalangi!?"?"?"
Setelah berkata begitu Lian Hwa menggerakkan
tubuhnya hendak meloncat turun.
Cepat tubuh Cin Han berkelebat pula menghadang di
depannya. ?"?"?"Perlahan dulu, lihiap. Kau tidak boleh bertindak
sewenang-wenang. Aku tidak membiarkan kau
membunuh orang seperti membunuh seekor ayam
saja!?"?"?"
?"?"?"Orang she Lo, kau keterlaluan!?"?"?" katanya dengan
gemas, karena hatinya sangat menyesal mengapa
pemuda yang dibuat kenangan ini ternyata membela
musuhnya. Ia lalu menyerang dengan tusukan
pedangnya. ?"?"?"Hm, hm, dua orang sasterawan mengadu pedang,
sungguh lucu,?"?"?" kata Cin Han sambil menangkis
serangan itu dengan pedangnya juga.
?"?"?"Trang!?"?"?" dua mata pedang saling gempur dan kedua-
duanya loncat mundur untuk memeriksa pedang
masing-masing karena merasa tenaga hebat
membuat tangan mereka gemetar. Tapi kedua
pedang itu ternyata tidak apa-apa. Tahulah mereka
bahwa pedang lawan adalah pedang mustika yang
kuat dan tajam. ?"05.14. Pertarungan Dua Sasterawan Muda
Lian Hwa menyerang kembali dengan menggunakan
ilmu pedang Sian-liong-kiam-hoat yang lihai, mula-
mula ia menyerang dengan tipu Sian-liong-chut-tong
(Naga Sakti Keluar dari Gua). Ia tidak menyerang
secara sungguh-sungguh, karena sedikitpun tidak ada
maksudnya hendak melukai pemuda itu, hanya akan
memperlihatkan kelihaiannya saja untuk
menundukkan anak sekolahan ini!
Tidak sangka sama sekali bahwa Cin Han dapat
menangkis dan balas menyerang dengan sama
lihainya! Pedang pemuda itu berkelebat cepat dan
sinar pedangnya bergulung-gulung menyilaukan!
Kaget sekali hati Lian Hwa. Ia sama sekali tak pernah
mimpi bahwa Cin Han ternyata adalah seorang ahli
pedang yang tinggi ilmu pedangnya. Maka ia lalu
mengerahkan semua kepandaiannya dan
mengeluarkan tipu-tipu silat Sian-liong-kiam-hoat yang
paling berbahaya. Tapi semua itu sia-sia. Gerakan-gerakan ilmu pedang
Cin Han, yang aneh, sedikit mirip ilmu dari cabang
Kun-lun dan ada juga miripnya dengan ilmu pedang
Go-bi itu, menjaga tubuhnya dengan sangat rapatnya,
bahkan dapat balas menyerang dengan tak kalah
hebatnya! Mereka berdua lenyap dalam gulungan
sinar pedang bagaikan dua naga sakti tengah
bertempur mati-matian mendatangkan debu dan
awan berhamburan! Lian Hwa merasa gemas sekali. Belum pernah selama
ia keluar dari perguruan ia berjumpa seorang yang
begini mahir kiam-hoatnya. Duaratus jurus lebih telah
berlalu dan hebat sekali jalannya pertandingan itu,
tapi belum juga nampak siapa yang lebih unggul di
antara mereka. Lihiap, adik& & Lian& & sudahlah, apa perlunya kita
bertempur terus" Bukankah kita bersahabat" kata Cin
Han sambil menangkis dan menahan pedang Lian
Hwa. Jangan banyak cakap! Ini hari kalau bukan kau, tentu
aku yang mati di ujung pedang! bentak Lian Hwa
yang sudah menjadi gemas, suaranya parau karena ia
menahan-nahan tangisnya! Ah, kau keterlaluan, lihiap.
Setelah berkata begini, Cin Han memperhebat
gerakan pedangnya. Ia mengeluarkan seluruh
kepandaiannya dan pada suatu ketika ia mendapat
kesempatan karena Lian Hwa yang merasa hatinya
jengkel dan menyesal membuat gerakan agak
lambat. Tangan kiri Cin Han meluncur seperti seekor
ular menotok pergelangan tangan Lian Hwa yang
memegang pedang, sehingga Sian-liong-kiam jatuh
berkerontangan di atas genteng! Lian Hwa menjadi
sedih dan malu, ia terduduk di atas genteng dan
mendekap mukanya dengan kedua tangan sambil
menangis tersedu-sedu. Cin Han memungut pedang gadis itu dan
menghampirinya sambil menyerahkan pedang,
Maafkan aku lihiap, telah kesalahan tangan. Inilah
pedangmu. Lian Hwa mengangkat muka dan sepasang matanya
yang merah dan berlinang air mata memandangnya
dengan benci. Kemudian ia merebut pedang itu dan
mengayun pedangnya ke arah leher sendiri!
Moi-moi (adik)!! Cin Han berteriak khawatir dan
untungnya pedang itu dapat dirampasnya, tapi telah
melukai pundak Lian Hwa. Gadis itu terhuyung-
huyung dan kalau tidak dengan cepat Cin Han
memeluknya pasti ia akan jatuh ke bawah genteng.
Ia jatuh pingsan dalam pelukan Cin Han.
Pemuda itu kaget dan bingung. Ia mengira Lian Hwa
terluka parah di pundaknya, padahal gadis itu pingsan
karena hatinya sakit, sedih, menyesal dan malu.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Cin Han memondong
tubuh Lian Hwa dan membawanya meloncat turun.
Ketika sadar dari pingsannya, Lin Hwa dapatkan
dirinya tengah berbaring di atas sebuah tempat tidur
dan di dekatnya duduk dua orang. Yang seorang
adalah Gan Keng Hiap, seorang tua sasterawan yang
hendak dibunuhnya tadi, dan seorang pula adalah
seorang wanita tua yang masih tampak bekas
kecantikannya yang luar biasa.
Melihat gadis itu sudah sadar dan segera bangun
duduk, Gan Keng Hiap tersenyum, Tenanglah nona!
Tapi Lian Hwa masih penasaran, ia melihat ke kanan
kiri tapi tidak melihat Cin Han, maka dengan suara
keras ia berkata, Sesudah aku ditangkap, maka
jangan banyak bicara lagi, bunuhlah aku! Kemudian
ia menangis lagi. Nyonya tua itu menghampiri dan mengelus-elus
rambutnya. Kau murid dari Ong Lun taihiap"
tanyanya dengan suara halus.
Lian Hwa mengangkat mukanya dan memandang
muka nyonya yang manis budi dan berwajah
menunjukkan keagungan itu, kemudian ia menoleh
ke arah Gan Keng Hiap. Juga orang tua ini berwajah
simpatik dan terang bukan orang jahat. Tapi mengapa
gurunya bermusuh dengan mereka"
Nona, kalau kau masih saja penasaran dan hendak
membunuh aku orang tua tak berguna ini, nah, inilah
pedangmu. Tikamlah aku, jangan khawatir, aku
seorang lemah tak mengerti ilmu silat, tak mungkin
aku dapat melawan, kata Gan Keng Hiap sambil
memberikan Sian-liong-kiam yang tadi terletak di atas
meja. Tapi Lian Hwa tidak mau menerima pedang itu
dan menundukkan kepalanya.
Nona, dari keponakanku aku dengar bahwa kau
adalah Ang Lian Lihiap yang datang hendak
membalaskan sakit hati suhumu ialah Ong Lun
taihiap. Mungkin kau belum diceritakan oleh gurumu
sebab-sebab mengapa ia sakit hati kepadaku. Semua
ini adalah karena dia! ia menunjuk ke arah nyonya
itu yang kini mengalirkan air mata dengan sedih.
Lian Hwa heran dan memandang nyonya itu dengan bingung.
Mungkin kau tidak akan percaya kalau aku sendiri
yang menceritakan riwayat ini padamu, maka biarlah
dia yang bercerita, katanya pula.
Nyonya tua itu menghela napas dan menghapus air
matanya. Dengarlah, nak. Memang benar bahwa
Ong Lun taihiap sakit hati karena aku. Duduknya hal
begini. Ia lalu bercerita dan Lian Hwa mendengarkan
dengan penuh perhatian. Dulu ketika aku masih gadis, pernah aku diculik oleh
seorang kepala rampok dan di tengah jalan aku
ditolong oleh Ong Lun taihiap. Ia ketika itu merupakan
seorang pemuda yang gagah perkasa dan namanya
dihormati oleh semua orang. Karena perbuatannya
yang gagah dan sikapnya yang sopan santun itu, aku
merasa berterima kasih dan mengaguminya sepenuh
hatiku. Tapi nasib rupanya hendak mempermainkan kami.
Belakangan ternyata bahwa ia cinta padaku, dan rasa
simpati dan kekagumanku terhadapnya itu diterima
dengan salah sangka. Ia mengira bahwa akupun cinta
padanya. Melihat sikapnya yang bersungguh-sungguh
itu, aku tidak tega untuk menyangkal bahwa aku
sebenarnya tidak ada perasaan cinta kepadanya
seperti cintanya padaku itu, karena aku sudah
bertunangan pada waktu itu, ialah dengan Gan Keng
Hiap yang itu waktu masih menjadi siucai
(mahasiswa). Setelah mengantarkan pulang dengan selamat,
seringkali Ong Lun taihiap berkunjung dengan diam-
diam dan mengadakan pertemuan dengan aku. Tapi
kami adalah orang yang menjunjung tinggi nama
kami maka tidak terjadi apa-apa antara dia dan aku.
Kemudian telah diputuskan hari kawinku dengan Gan
Keng Hiap, maka aku sebagai seorang anak u-hauw
(berbakti) dan memandang tinggi pribudi, menurut
saja karena akupun mendengar bahwa Gan Keng
Hiap adalah seorang pemuda baik-baik terpelajar, dan
berbudi. Terpaksa pada malam itu ketika Ong Lun taihiap
datang mengunjungiku, aku tetapkan hatiku untuk
memberi tahu tentangg perkawinanku yang sebentar
lagi akan dilangsungkan itu. Celakanya sebelum aku
membuka mulut, Ong Lun taihiap dengan terus terang
menyatakan cintanya padaku! Maka dapat
kaubayangkan betapa sakit dan sedih hatinya ketika
mendengar bahwa aku tak dapat menerima cintanya
itu karena aku sudah bertunangan dan bahkan
hendak kawin! Ong Lun taihiap jatuh pingsan!
Demikian besar cintanya padaku, bahkan setelah
sadar dari pingsannya ia hendak bunuh diri di situ.
Tapi aku menubruknya dan membujuk serta
meughiburnya. Akhirnya ia minta aku pergi minggat
bersama. Tentu saja ajakan tidak baik ini kutolak. Ia
menjadi marah dan mengancam hendak membunuh
Gan Keng Hiap. Aku menjawab bahwa jika dia
membunuh calon suamiku, akupun hendak bunuh diri.
Maka pergilah dia dengan hati sakit dan sedih.
Semenjak itu kami tidak mendengar akan halnya
lagi. Agaknya ia telah insaf dan melupakan urusan itu,
siapa nyana bahwa sampai saat ini, setelah kami
semua menjadi tua, dia masih saja, menaruh dendam
dan menyuruh kau datang untuk membunuh suamiku.
Maka katakanlah padanya nona, jika ia hendak
membalas sakit hati, suruhlah dia datang ke sini. Kami
berdua suami isteri rela mati di bawah tangannya!
kata-kata terakhir ini diucapkan dengan air mata
bercucuran. Lian Hwa menjadi terharu dan menangis pula.
Suhu& & suhu sudah mati& &
Apa" Ah...... Ong Lun, Ong Lun, sampai matipun kau
masih saja mendendam& & Nyonya Gan menangis
makin sedih dan suaminya hanya menghela napas.
Nah, lihiap. Sekarang kau sudah mendengar semua,
maka kalau masih mau membunuh padaku, silakan!
ia menantang dengan suara tenang.
Lian Hwa menjadi malu. Kalau begini halnya,
memang suhu yang terburu nafsu dan terlalu kow-
kati (egoistis). Maafkan aku lopek, dan selamat
tinggal. Aku kelak akan mohon ampun di depan
arwah suhu bahwa muridnya tak dapat mentaati
perintahnya. Ia lalu mengambil pedangnya dan
setelah menjura kepada kedua suami isteri itu ia
bertindak keluar dari kamar.
Tak disangkanya bahwa di ruangan depan, Cin Han
sedang duduk seorang diri dengan muka sedih. Ketika


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat ia keluar, pemuda itu berdiri memandangnya.
Tapi Lian Hwa membuang muka dan pura-pura tidak
melihatnya terus berjalan keluar.
Nanti dulu, lihiap, dengarlah dulu bicaraku.
Kau mau apa" tanya Lian Hwa ketus, tapi ia
berhenti juga sambil menghadapinya tanpa
memandang muka orang. Cin Han mengangkat kedua tangannya memberi
hormat. Tadi aku telah berlaku salah terhadap Ang
Lian Lihiap, wanita gagah perkasa dan budiman.
Dengan jalan ini terimalah hormatku dan aku mohon
maaf. Kata-kata ini diterima salah oleh Lian Hwa dan
dianggapnya menyindir. Apa itu Ang Lian Lihiap" Kini tidak ada lagi Ang Lian
Lihiap! Ia telah dikalahkan olehmu. Apa kau masih
belum puas mengalahkannya dan kini hendak
memperolok-oloknya lagi" Nah, lihat. Ang Lian Lihiap
sudah hancur, aku tak sudi memakai nama itu lagi!
Sambil berkata begitu ia mencabut teratai emas
bermata merah yang indah itu dari rambutnya dan
membanting itu ke atas tanah. Perhiasan itu
terbanting berloncat-loncatan beberapa kali dan
menggelinding ke dekat kaki Cin Han.
Cin Han hanya dapat memandang dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga, tapi Lian Hwa tidak
memperdulikan lagi. Sambil memegang gagang
pedangnya yang tergantung di pinggang, ia
membalikkan tubuh dan berjalan dengan lenggang
lemas dan lemah keluar rumah itu. Cin Han
mengejarnya, tapi melihat pemuda itu mengejar, Lian
Hwa meloncat ke depan dan lari dengan pesatnya.
Ang Lian Lihiap& & ! Ang Lian Lihiap& & ! suara Cin Han
mengejarnya, tapi dengan menggigit bibir Lian Hwa
lari makin keras. Ketika sayup-sayup sampai
panggilan Cin Han berobah menjadi Moi-moi& & ! Moi-
moi& & ! tak terasa pula air matanya jatuh bercucuran,
tapi ia masih memaksa kakinya untuk lari makin
cepat. "%Y"% Untuk mengenal pemuda tampan dan gagah perkasa
ini, yang telah membuat Ang Lian Lihiap lari menangis,
mari kita tinjau sejenak riwayat Cin Han yang
menarik. Sungai Yang-ce yang terkenal di daratan Tiongkok
bermata air di Pegunungan Kun-lun, terletak di
Propinsi Cing-hai. Desa Liong-thou-men berada di
perbatasan Propinsi Cing-hai dan Si-kang. Desa ini
walaupun berada di tanah pegunungan dan jauh dari
kota, namun cukup ramai karena Sungai Yang-ce
mengalir didekatnya, sehingga memudahkan
penduduk kampung mengadakan perhubungan
dengan kota-kota jauh dengan jalan air.
Di desa Liong-thou-men tinggal kurang lebih seratus
keluarga yang meliputi limaratus jiwa lebih. Kepala
desa di situ terkenal adil dan mencinta rakyat hingga
desa kecil itu selalu aman dan rukun. Semua orang
menyebut kepala desa Lo-chungcu, nama lengkapnya
Lo Sun Bi. Lo Sun Bi dan isterinya yang telah berusia
empatpuluh lebih hanya mempunyai seorang anak
yang diberi nama Lo Cin Han, maka tak heran bila
kedua suami isteri itu sangat mencinta anak tunggal
mereka. Ketika Cin Han masih berada dalam kandungan,
ibunya pernah bermimpi melihat seekor burung hong
terbang di angkasa, hilir-mudik beberapa kali sambil
menggerak-gerakkan kepala ke bawah. Maka setelah
lahir, di samping nama aselinya, Cin Han disebut oleh
ibunya Kim Hong atau Burung Hong Emas, ialah nama
sebutan atau alias. Juga oleh ibunya, seorang wanita terpelajar dari
Tiongkok Timur, semenjak lahirnya, Cia Han sering
dibuatkan pakaian yang disulam gambar burung hong
emas. Mungkin karena melihat gambar burung indah
itu di pakaiannya, anak itu selalu minta pakaian yang
bersulamkan gambar burung Hong.
Penduduk desa Liong-thou-men hidup bahagia,
biarpun keadaan mereka tak dapat disebut mewah
dan penghidupan mereka hanya sederhana. Agaknya
kerukunan desa yang membuat mereka merasa hidup
berbahagia. Pernah terjadi, beberapa gerombolan
perampok mengganggu desa itu, tapi berkat
ketangkasan Lo-chungcu dan berkat kerja sama yang
sangat baik di antara semua penduduk, semua
perampok dapat diusir dan dihancurkan. Tapi benar,
sebagaimana kata orang-orang tua dahulu kala,
kebahagiaan dunia tidak kekal. Demikian pula
dirasakan oleh penduduk desa Liong-thou-men.
Ketika musim chun yang indah telah lewat, tiba-tiba
pada suatu sore penduduk desa itu dikejutkan oleh
datangnya angin yang datang bertiup membawa
suara gemuruh hebat dan banyak pohon besar
ditumbangkan olehnya. Juga sebagian besar rumah
penduduk desa yang rusak dan tumbang pula
menimpa penghuninya, maka tak sedikit penduduk
desa menderita luka-luka karenanya.
Dan semenjak datang angin jahat itu, malapetaka
datang pula, mungkin terbawa angin yang datang dari
utara itu. Malapetaka ini merupakan sebuah penyakit
menular yang mengerikan. Orang yang terserang
penyakit ini, pagi sakit sore mati, dan sore sakit pagi
mati. Orang-orang bingung dan segala macam usaha
desa dikerahkan, seperti bersembahyang di kelenteng
dan pinggir sungai, namun hasilnya sia-sia.
Dalam dua hari saja semenjak angin jahat itu datang,
lebih dari duapuluh orang tewas akibat penyakit itu.
Hujan air mata membanjiri desa dan keluh-kesah
serta ratap tangis mereka yang ditinggalkan mati riuh
menggema di angkasa merupakan jerit penasaran
dan permintaan tolong. Dalam keadaan hebat itu semua penduduk desa
teringat akan seorang pertapa yang tinggal dalam
sebuah gua di puncak bukit Kong-hwa-san, bukit yang
kelihatan dari desa itu karena hanya terpisah paling
banyak duapuluh lie. Sungguhpun pertapa tua itu tak
pernah mau bicara dan bergaul dengan orang, namun
pernah orang aneh itu menyembuhkan A-hok
penebang kayu ketika dia ini terjatuh dari atas pohon.
Pada hari pertama penyakit itu mengambil korban, Lo-
chungcu sendiri dengan beberapa orang tua mendaki
bukit Kong-hwa-san untuk memohon pertolongan
pertapa itu. Tapi alangkah kecewa mereka ketika ternyata bahwa
gua itu kosong. Dan pada hari kedua, Lo-chungcu dan
isterinya menjadi korban pula semenjak siang mereka
tak dapat turun dari pembaringan.
Tubuh mereka panas, mulut mereka bicara tak keruan
seakan-akan kemasukan roh jahat. Cin Han menangis
sedih melihat keadaan ayah ibunya, tapi apakah yang
dapat dilakukan oleh seorang anak umur enam
tahun" Tak seorangpun di antara penduduk desa itu berani
memasuki kamar Lo Sun Bi, karena menurut
kepercayaan mereka, penyakit itu merupakan roh-roh
jahat yang memasuki tubuh orang-orang yang dipilih
menjadi korban dan siapa berani datang dekat, tentu
akan terpilih. Kepercayaan mereka ini bukannya tak berdasar
karena memang telah beberapa kali terbukti bahwa
siapa yang mendekati seorang yang sedang sakit
maka dia tentu akan menjadi korban berikutnya.
Maka, tidak heran bahwa orang-orang itu, betapapun
besar cinta dan hormat mereka kepada kepala desa
yang sedang sakit itu, hanya berani datang dan duduk
di luar kamar saja. Semua keperluan si sakit dilayani oleh Cin Han!
Bahkan, beberapa orang sudah berani meramalkan
bahwa jika Lo-chungcu dan isterinya mati, tentu Cin
Han menjadi korban berikutnya!
Biarpun baru menderita sakit setengah hari lamanya,
keadaan dua suami isteri itu payah. Pada malam
harinya, napas mereka tinggal kempas-kempis dan
mata mereka sudah tak dapat dibuka untuk
memandang anak mereka yang duduk di situ
menangis sedih, sebentar lari ke pembaringan ayah,
sebentar lari ke pembaringan ibu, dan tiada hentinya
mulut kecil itu memanggil-manggil,
?"?"?"Ayah?"?"?"?"?"?" ibu?"?"?"?"?"?" ayah?"?"?"?"?"?" ibu?"?"?"?"?"?" bangunlah?"?"?"?"?"?"?"?"?" Dan
sepasang mata kecil yang biasanya bersinar riang
gembira itu, kini redup-redup memandang ayah
ibunya bergantian dengan kelopak mata merah dan
kering karena sudah habis air matanya ditangiskan
sejak siang tadi. Kemudian anak itu mengambil keputusan nekat. Ia
tahu pula bahwa kemarin ayahnya pergi ke bukit
Kong-hwa-san mencari pertapa yang pandai
mengobati orang, dan ia tahu pula di mana letak
Kong-hwa-san karena memang bukit itu tak asing
bagi penduduk di situ dan pada siang hari dapat
terlihat jelas. Maka setelah sekali lagi memanggil-
manggil ayah ibunya, ia berkata perlahan,
?"?"?"Ayah..... ibu?"?"?".. Aku pergi cari obat?"?"?"..?"?"?" Dan ia lari
keluar. Di luar rumah semua orang telah pulang karena pada
malam hari mereka tidak berani berada di situ,
walaupun hanya di luar kamar! Melihat keadaan
sunyi, Cin Han terus lari keluar. Untung baginya, pada
malam hari itu bulan bersinar terang hingga remang-
remang terilhat olehnya Bukit Kong-hwa-san
menjulang didepannya bagaikan hantu besar berdiri
bertolak pinggang. Ia berlari terus......
Dapat dibayangkan betapa sengsara dan sukarnya
bagi seorang anak berusia enam tahun untuk
mendaki bukit yang belum pernah didatangi. Tapi
ternyata anak itu memiliki semangat yang tak
kunjung padam dalam membela orang tuanya. Ia tak
perdulikan hawa dingin yang menyusup tulang, batu-
batu tajam yang menembus sepatunya dan tangkai-
tangkai pohon rendah melambai merobek bajunya.
Setelah berjalan terhuyung-huyung beberapa jam
lamanya, ia sampai di lereng bukit dan berhenti di
atas sebuah batu lebar dengan terengah-engah. Ia
berhenti karena terpaksa oleh kakinya yang mogok.
Cin Han mulai bingung karena baru insaflah ia bahwa
sebenarnya ia tidak tahu sebenarnya di mana letak
gua itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa bukit itu
demikian besar dan luas. Disangkanya imut saja dan
mudah mencari gua di situ, karena dari desanya
memang kelihatan kecil. Ia berdiri bingung, kepalanya mulai pusing dan kedua
kakinya gemetar. Ia mencoba untuk menggerakkan
kakinya, tapi hampir saja ia jatuh terguling, karena
sesungguhnya kaki itu seakan-akan lumpuh saking
lelahnya. Di depannya terbentang jurang dalam sekali
dan di bawah sekali air Sungai Yang-ce berlenggang-
lenggok seperti ular putih.
Kebetulan bulan sedang terbebas dari gangguan
awan, maka pemandangan sungguh mentakjubkan
dan indah sekali. Melihat ke bawah, Cin Han menjadi
makin pusing. tiba-tiba ia membelalakkan kedua
matanya. Lalu menggunakan kedua tangan
menggosok-gosoknya. Tak salahkah ia" Ah, benar!
Memang ayah dan ibunya yang berada di sebuah
perahu di bawah itu. Ayah dan ibunya sedang
mendayung perahu di sungai bawah itu. Lihat, mereka
melambai-lambaikan tangan padanya.
?"?"?"Ayah?"?"?"?"?"?"! Ibu?"?"?"?"?"?"! Aku ikut?"?"?"...!!?"?"?" dan Cin Han lari ke
depan, jurang itu kelihatan dangkal dan sungai itu
dekat. Tapi, pada saat kaki kirinya telah terjeblos ke dalam
jurang, lengannya terpegang oleh sebuah tangan
yang kuat. Cin Han sudah menggerakkan tubuh
meloncat ke depan, maka kini tubuhnya tergantung di
atas jurang. Ia memberontak dan menggerak-
gerakkan kaki tangannya seperti seekor kelinci
terpegang kedua telinganya. Mulutnya menjerit-jerit,
?"?"?"Lepaskan aku?"?"?"?"?"?"! lepaskan,?"?"?"..! Aku mau ikut ayah
dan ibu, lepaskan......!?"?"?"
Tiba-tiba tubuhnya tersentak ke atas dan tahu-tahu ia
telah berada di dalam pondongan seorang tua
berjenggot panjang. Sepasang mata yang bening dan
tajam memandangnya penuh sinar iba hati. Tapi Cin
Han tetap memberontak dan meronta-ronta. Kakek itu
menggunakan jari tangannya menekan-nekan
belakang leher Cin Han sehingga anak itu merasa
seakan-akan kepalanya disiram air dingin dan
menjadi sadar kembali. ?"?"?"Tenang, anak, kau kenapakah" Apa yang
menyusahkan hatimu"?"?"?"
Cin Han seorang anak cerdik. Sekali pandang saja
tahulah ia bahwa kakek itu seorang yang baik hati.
Dan teringat ia akan cerita orang-orang desa yang
pernah melihat pertapa di atas bukit. Inilah orangnya!
Cepat-cepat ia menggerakkan tubuh minta turun dari
pondongan dan tanpa, memperdulikan tanah basah ia
berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
?"?"?"Totiang yang baik?"?"?"?"?"?" tolonglah ayah ibuku?"?"?"?"?"?"
tolonglah?"?"?"?"?"?"!?"?"?"
Kakek itu seorang tosu, pendeta penganut agama Tao,
tersenyum sabar lalu membangunkan Cin Han.


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?"?"?"Pinto sudah ke sana, orang tuamu sudah beristirahat.
Kau, anak baik, ikutlah pinto saja!?"?"?"
Cin Han mengangkat kepala memandang wajah yang
dikelilingi rambut dan jenggot putih itu. ?"?"?"Totiang,
apakah ayah ibuku sudah sembuh dari sakitnya"?"?"?"
Orang tua itu mengangguk-angguk. ?"?"?"Sudah baik?"?"?"..
sudah baik?"?"?"?"?"?"! Kau mau menjadi. muridku"?"?"?"
Bukan main besar rasa hati Cin Han mendengar akan
keadaan orang tuanya. Pasti pendeta ini yang
mengobati orang tuanya. Maka segera ia
menjatuhkan diri berlutut lagi dan menyebut, ?"?"?"Suhu!?"?"?"
Gwat Liang Tojin tertawa senang. Ia lalu mengangkat
dan memondong tubuh anak itu dan lari bagaikan
terbang ke atas bukit. Cin Han merasakan angin
dingin menyambar-nyambar dan mengiris-iris
mukanya, maka hatinya menjadi ngeri. Ia menyembunyikan mukanya di balik baju orang tua itu.
?"05.15. Peninggalan Luhur Ayah-ibu
Gwat Liang Tojin sebenarnya adalah seorang tokoh
Kun-lun-pai yang di masa mudanya telah membuat
nama besar. Setelah berusia lanjut, ia lebih banyak
mencurahkan perhatiannya tentang ilmu batin dan
mempelajari ilmu Tao yang tiada batasnya. Di
samping bertapa membersihkan batin, ia akan
merangkai ilmu silat dan ilmu pedang yang ia petik
sebagian besar dari cabang Kun-lun, dan sebagian dari
cabang Go-bi yang pernah pula ia pelajari, ia
mengambil sari pelajaran kedua cabang itu dan
menggabungkannya sambil memperbaiki sana-sini.
Di hutan-hutan Gunung Kong-hwa-san terdapat
semacam burung kecil yang sangat gesit dan berani.
Banyak burung-burung besar tidak berani
menyerangnya. Hal ini menarik hati Gwat Lian Tojin. Dengan penuh
perhatian ia pelajari gerakan-gerakan bur ung kecil
warna hijau itu dan gerakan-gerakan yang gesit
lincah itu mengilhaminya untuk mencipta gerakan
ilmu silat. Ternyata gerakan-gerakan ini banyak miripnya
dengan gerakan ilmu silat Kun-lun, maka dengan
ketenangan jiwa serta keheningan pikirannya,
dapatlah ia mempersatukan gerakan-gerakan itu
sehingga terciptalah ilmu silat pedang yang sangat
lihai dan diberinya nama ilmu pedang Kon g-hwa-
kiam-sut. Juga dari gerakan-gerakan burung itu, ia
dapat memperbaiki ginkang atau ilmu meringankan
tubuh yang memang telah tinggi tingkatnya.
Gwat Liang Tojin tidak mempunyai murid selainnya
Cin Han. Tidak heran bahwa ia menurunkan seluruh
kepandaiannya kepada murid tersayang itu. Dan Cin
Han memang seorang berbakat, hingga dalam waktu
kurang lebih sepuluh tahun setelah menerima
gemblengan dari suhunya, ia sudah dapat mewarisi
semua pelajaran Tojin yang berilmu tinggi itu.
Selama sepuluh tahun, Gwat Liang Tojin melarang
muridnya turun gunung bahkan melarang ia pergi ke
desanya yang hanya terpisah dekat dari situ. Cin Han
sangat taat serta belum pernah melanggar larangan
suhunya, maka pendeta itu makin sayang saja
kepadanya. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Gwat Liang Tojin
memanggil Cin Han menghadap.
?"?"?"Muridku, kurasa sekarang sudah tidak ada apa-apa
lagi yang kuajarkan kepadamu. Semua pengetahuan
dan kepandaianku telah kaumiliki. Dan kurasa tidak
perlu pula ada rahasia yang harus kusembunyikan
karena kau kini telah dewasa.?"?"?" Ia berhenti sebentar
dan menghela napas. ?"?"?"Mohon diberi petunjuk-petunjuk, suhu,?"?"?" kata Cin Han
sambil memandang penuh hormat.
?"?"?"Cin Han, tetapkan hatimu dan bersiaplah menerima
pukulan pertama. Sebenarnya, ayah ibumu sudah
lama meninggal dunia.?"?"?"
Cin Han meloncat berdiri, memandang suhunya
dengan mata terbelalak. Kalau ada kilat
menyambarnya pada saat itu, takkan sekaget itu
agaknya. ?"?"?"Ayah?"?"?"?"?"?" ibu?"?"?"?"?"?" sudah mati......" Bila?"?"?"?"?"?""
Bagaimana?"?"?"?"?"?"" Mengapa suhu tidak memberi tahu
padaku sebelumnya?"?"?"?"?"?""?"?"?" Pertanyaannya mengandung
penasaran besar. ?"?"?"Tenang, muridku!?"?"?"
Kata-kata yang berpengaruh ini membuat Cin Han
sadar akan keadaan dirinya. Ia lalu duduk kembali
dan mengatur napasnya, menggunakan tenaga
batinnya untuk menenteramkan pikiran dan menekan
dadanya yang bergelora dan napasnya yang
terengah-engah. Akhirnya dapat juga ia menguasai
dirinya. ?"?"?"Maaf, suhu, tapi sudilah suhu menerangkan
duduknya perkara agar hati teecu yang gelap
mendapat sinar terang?"?"?"?"?"?"!?"?"?"
?"?"?"Begini, muridku. Dahulu ketika kau berjumpa dengan
pinto di dekat jurang itu, pinto baru saja kembali dari
desa Liong-thou-men. Tapi pinto tidak keburu
menolong jiwa orang tuamu. Sakitnya terlampau
berat dan agaknya memang sudah takdir Yang Maha
Kuasa. Pinto hanya dapat membagi-bagi obat kepada
penduduk yang masih hidup untuk menjaga diri dari
serangan penyakit menular itu. Pada waktu kita
berjumpa, kulihat kau masih demikian kecil dan
jiwamu dalam tekanan. Berbahaya kalau kuberi tahu
tentang kematian orang tuamu pada waktu itu. Pula,
apa gunanya" Kau masih kecil dan masih panjang
harapan, sedangkan orang tuamu yang sudah
meninggal tak perlu diganggu lagi. Pinto dengan
bantuan tetangga-tetangga desa sudah mengatur
jenasah ayah ibumu dengan baik.?"?"?"
Cin Han berlutut sambil menangis. Gurunya
mendiamkannya saja, hanya memandang sambil
menghela napas. Ia maklum bahwa pada saat seperti
itu, lebih baik kalau anak muda itu dapat menangis.
Setelah agak reda gelora kesedihan hatinya, Cin Han
berkata, ?"?"?"Suhu, sungguh teecu berhutang budi besar kepada
suhu. Tidak berarti kiranya jika teecu hanya
menghaturkan terima kasih, maka untuk membalas
kebaikan suhu, teecu bersedia untuk melayani suhu
seumur hidup.?"?"?"
Gwat Liang Tojin tersenyum lebar, ?"?"?"Cin Han muridku.
Lupakah kau kepada ajaranku bahwa perbuatan yang
benar-benar sempurna adalah perbuatan yang
dilakukan tanpa mengharap jasa" Pinto melakukan
semua itu bukanlah karena pinto mengharap
pembalasan budi darimu kelak. Tidak, muridku. Pinto
akan merasa bahagia sekali jika kau bisa menjadi
seorang manusia yang benar-benar berguna bagi
orang lain, seorang yang dapat mengerahkan tenaga
serta kepandaianmu untuk membantu orang lain,
menjadi hamba keadilan, menentang yang jahat
membela yang lemah tertindas. Sanggupkah kau"?"?"?"
?"?"?"Teecu akan melakukan semua yang telah teecu
pelajari dan dengar dari suhu. Semua nasihat suhu
akan teecu ingat selama hidup.?"?"?"
?"?"?"Nah, bagus. Cin Han.?"?"?"
Gwat Liang Tojin menghela napas lagi, tapi kini helaan
napas lega dan senang. Ia lalu menyuruh muridnya memasuki gua sebelah kiri untuk mengambil sebuah
peti kayu hitam. Peti itu segera diambil oleh Cin Han
dan diletakkan di hadapan gurunya.
Gwat Liang Tojin menggunakan kunci membuka peti
dan mengeluarkan sebatang pedang bersarung warna
biru, sebungkus surat dan sebungkus kain. Pertama-
tama Gwat Liang Tojin membuka bungkusan kain. Cin
Han melihat bahwa kain itu adalah sehelai kain sutera
putih yang bersulamkan burung Hong merah di bagian
dada, karena setelah dibuka ternyata sutera putih itu
merupakan pakaian dalam. ?"?"?"Cin Han, ini adalah peninggalan ibumu. Beliau
sengaja menyulam ini dan menyimpannya untukmu
setelah dewasa. Kebetulan sekali, bukan" Seakan-
akan ibumu telah tahu bahwa sewaktu-waktu pasti
akan meninggalkan kau.?"?"?"
Cin Han menggigit bibirnya untuk menahan gelora
hatinya yang diguncangkan rasa haru besar.
Gwat Liang Tojin membuka bungkusan kedua, ialah
sesampul surat yang kertasnya sudah kekuning-
kuningan. ?"?"?"Dan ini adalah surat ayahmu,?"?"?" katanya,
?"?"?"surat ini hendaknya kaubawa dan berikan kepada
seorang terpelajar bernama Gan Keng Hiap yang
tinggal di kota Tiong-bie-kwan. Tuan Gan ini adalah
adik angkat ayahmu dan menurut kehendak ayahmu
kau harus berguru dan belajar ilmu surat kepadanya.
Ayahmu dalam penderitaan sakit hebat masih sempat
memikirkan kepentinganmu, sungguh seorang ayah
bijaksana, muridku, maka kau tak boleh tidak harus
mentaati permintaannya ini.?"?"?"
Sekali lagi Cin Han mempertahankan hatinya agar
tidak tergoncang terlalu hebat.
?"?"?"Dan sekarang, aku akan memberi pukulan kedua,
muridku. Yakni, hari ini juga, kau harus turun gunung
dan mulai menjalankan tugasmu, pertama-tama
mengunjungi makam orang tua, lalu mengantarkan
surat kepada tuan Gan dan belajar kesusasteraan
seperti yang dikehendaki ayahmu.?"?"?"
?"?"?"Setelah itu, teecu harus kembali ke sini suhu"?"?"?"
Gurunya tertawa. ?"?"?"Untuk apa" Kau mau jadi tua di
atas gunung ini" Tidak, Cin Han masih banyak waktu
kita akan berjumpa pula, tapi tak perlu kau tinggal
lagi di sini. Boleh datang mengunjungiku sewaktu-
waktu.?"?"?"
Cin Han merasa sedih harus meninggalkan gurunya,
tapi sebagaimana biasanya, ia tak berani membantah.
?"?"?"Dan ini boleh kau bawa, kuhadiahkan padamu.
Pedang ini adalah sebuah pedang pusaka yang
ampuh dan tajam. Sayangnya pedang ini tidak
bernama, mungkin dulu milik seorang gagah yang
ingin menyembunyikan namanya. Ukiran nama
pedang sudah dihapus. Maka pedang ini kuberi nama
Kong-hwa-kiam, sesuai dengan tempat di mana aku
menemukannya, ialah di dalam gua ini. Tunggu, akan
kuberi gambar di atas sarungnya.?"?"?"
Gwat Liang Tojin ternyata pandai menggambar pula.
Dengan mencontoh sulaman kain peninggalan ibu Cin
Han, ia melukis gambar burung hong emas di sarung
pedang. Seekor burung hong emas sedang terbang
menembus awan putih di langit biru.
?"?"?"Nih, Cin Han,?"?"?" kata Gwat Lian Tojin kepada muridnya
setelah ia selesai melukis, ?"?"?"Melihat lukisan ibumu ini,
aku teringat akan sesuatu. Bukankah katamu dulu
bahwa kau diberi nama alias Kim-hong dan ibumu
dulu bermimpikan burung Hong emas terbang ketika
sedang mengandungmu" Ah, ini baik sekali. Mulai
sekarang, kau akan menempuh hidup baru dan
bertemu dengan banyak orang kang-ouw. Maka
sudah sepantasnya kau mempunyai nama julukan.
Pakailah nama pilihan ibumu ini, nak. Yaitu Hwee-
thian Kim-hong. Burung Hong Emas Terbang di
angkasa raya. Bukankah nama ini indah didengar"?"?"?"
Cin Han menghaturkan terima kasih atas pemberian
pedang dan nama julukan. Ia lalu berkemas dan
setelah menerima petunjuk-petunjuk penting dari
suhunya tentang letaknya kota dan tempat yang
harus ditujunya ia turun gunung. Kong-hwa-kiam
tergantung di pinggang, sebungkus pakaian terikat di
punggung, pakaian warna biru muda dan di sebelah
dalam, baju sutera putih bersulam burung Hong
tampak membayang indah. Cin Han memasuki kampung tempat kelahirannya,
tapi tak seorangpun di kampung itu kenal padanya.
Langsung ia menuju ke makam orang tuanya dan
bersembahyang sambil menangis sedih. Ia berduka
sekali mengingat bahwa hidupnya kini sebatang kara
setelah ia terpisah dari gurunya. Tapi ia teringat
nasihat gurunya, ?"?"?"Cin Han, kau seorang laki-laki, harus
berpemandangan luas dan berpikiran panjang serta
berhati tabah. Hidup bukanlah penderitaan asal saja
kau tahu bagaimana harus menempuh dan
menjalaninya. Jangan khawatir hal-hal yang belum
terjadi dan jangan mundur ketakutan menghadapi
gelombang hidup yang bagaimana dahsyatpun.
Berlaku tenang dan sabar. Jauhi perkelahian, jangan
mengandalkan tenaga sendiri lalu menghina dan
memukul orang. Ingat, kepandaian yang kaupelajari
sepuluh tahun lebih di sini bukan untuk modal
permusuhan, tapi untuk alat pembela keadilan.?"?"?"
Mengingat nasihat ini ia menjadi tabah. Ia
meninggalkan makam orang tuanya dan mulai
melakukan perantauan menuju ke kota Tiong-bie-
kwan yang terletak di dataran Tiongkok sebelah timur
laut. Ia mengambil jalan air, karena cara ini yang
paling mudah dan cepat. Air Sungai Yang-ce yang
makin jauh makin melebar itu mengalir dan
membawa perahunya menuju ke daratan timur.
Banyak hal-hal hebat ia alami dalam perjalanan itu.
Beberapa kali ia berkenalan dengan kekejaman bajak
laut yang melakukan operasi di Sungai Yang-ce di
tengah hutan, tapi berkat kepandaiannya yang tinggi
semua perintang dapat dihancurkannya. Maka mulai
terkenallah nama Hwee-thian Kim-hong dan mulai
ditakuti oranglah Kong-hwa-kiam yang tajam.


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebentar saja para bajak sungai di sepanjang Sungai
Yang-ce mengenal nama Hwee-thian Kim-hong dan
beberapa kepala bajak yang kenamaan dan terkenal
kosen merasa penasaran lalu sengaja datang
mencegat untuk mencoba kepandaiannya.
Pada suatu pagi perahunya sampai di sebuah
kampung bajak yang terkenal dan ditakuti oleh
semua pelancong dan pedagang. Kampung itu disebut
Kwan-lian-chung dan di situ terdapat dua anak sungai
yang memuntahkan air dan menggabung menjadi
satu dengan induk Sungai Yang-ce. Maka ramailah
keadaan di situ karena kedua anak sungai itu terkenal
mengandung ikan banyak sekali. Cin Han selalu
bertukar perahu dari kampung ke kampung.
Bajak sungai yang berbareng menjadi kepala di
kampung itu bernama Lie Thung dan bergelar Iblis
Sungai Yang-ce. Ia adalah seorang yang kasar tapi
jujur dan sombong, dan tidak mau kalah oleh
siapapun juga. Memang kesombongannya beralasan juga karena Lie
Thung adalah murid tunggal dari Koai Bong Hwesio
dan telah mewarisi ilmu silat dan tombak dari cabang
Kui-thong-pai. Juga tenaganya besar sekali hingga
dengan kepalan tangan kanan ia pernah memukul
mampus seekor kerbau yang mengamuk! Selain itu,
iapun pandai renang dan bermain dalam air seperti
seekor ikan. Maka sudah pantaslah kalau ia diberi
julukan Iblis Sungai Yang-ce.
Lie Thung sangat penasaran ketika mendengar betapa
Sungai Yang-ce itu dibikin keruh dan kotor oleh nama
Hwee-thian Kim-hong dengan dijatuhkannya
beberapa kepala bajak di sepanjang sungai itu. Ia
segera menyuruh beberapa anggauta penyelidiknya
pergi ke atas dan mencari tahu hal pemuda pengacau
itu. Alangkah girangnya ketika tak lama kemudian
para penyelidiknya datang melaporkan bahwa
pemuda yang dibenci itu tengah menuju ke Kwan-
lian-cung! Ketika perahu Lo Cin Han memasuki kampung Kwan-
lian-chung, tiba-tiba dari depan tampak mendatangi
lima buah perahu besar yang dipasang melintang. Di
atas perahu paling depan berdiri seorang tinggi besar
berbaju hitam. Cambang-bauknya hitam tebal dan
matanya yang bulat dan besar memanda ng tajam.
Wajah itu keren dan serem sekali, seakan-akan iblis
sungai yang sedang murka.
Lie Thung dengan tombak pusakanya di tangan
melihat sebuah perahu kecil mendatangi dengan
perlahan. Awak perahu yang memegang galah
tampak ketakutan dan mencoba bersembunyi di
kamar perahu. Tapi seorang anak muda berpakaian
biru muda dengan tenang berdiri di kepala perahu
sambil bersedakap. Di pinggangnya tergantung
pedang pendek. Melihat pemuda berwajah cakap dengan tubuh kecil
itu Lie Thung tidak memandang sebelah mata, namun
karena sudah mendengar bahwa yang datang ini
adalah Hwee-thian Kim-hong yang sudah berkali-kali
menjatuhkan banyak pemimpin bajak, maka ia tidak
berani melanggar aturan sungai telaga dan rimba
hijau yang telah berlaku ratusan tahun. Maka ia
segera mengangkat tangan memberi hormat sambil
berkata nyaring. ?"?"?"Enghiong dari manakah yang sedang lewat ini"
Mohon petunjuk dan penjelasan.?"?"?"
Baru kali ini Cin Han mendapat perlakuan yang agak
hormat dari seorang kepala bajak, maka iapun segera
balas memberi hormat dan menjawab, ?"?"?"Siauwte yang
bodoh bernama Lo Cin Han dan mohon maaf jika
perahu kecilku mengganggu kepada tai-ong dan
harap memberi sedikit jalan untuk lewat.?"?"?"
Tiba-tiba Lie Thung tertawa bergelak-gelak. Tak dapat
ia menahan tawanya setelah mendengar tutur sapa
anak muda yang halus itu. Orang macam inikah yang
telah menjatuhkan beberapa orang kawannya" Sukar
untuk dipercaya! ?"?"?"Eh, maaf anak muda. Bukankah aku hendak berlaku
sewenang-wenang, tapi di sini telah berlaku semacam
aturan yang tak boleh dilanggar oleh siapa juga yang
lewat sungai ini.?"?"?"
Cin Han mengerti bahwa sikap hormat kepala bajak
ini hanya di luarnya saja, dan sekarang terlihatlah
maksud aselinya, tapi ia masih dapat menekan
perasaan dan bersabar diri.
?"?"?"Tentu, tai-ong. Lain ladang lain belalang, lain tempat
lain aturan, dan siauwte sebagai tamu yang datang
pasti akan taat kepada semua peraturanmu.
Sebutkanlah itu, dan siauwte akan
mempertimbangkan.?"?"?"
?"?"?"Begini anak muda. Yang boleh lewat di sungai ini
hanya ada tiga golongan yang memenuhi salah satu
syarat-syarat seperti berikut: Pertama, mereka yang
memiliki keterangan atau tanda dari seorang sahabat
baik kami boleh lewat tak terganggu. Kedua, mereka
yang suka memberi sumbangan seribu tail perak
kepada kami dapat lewat pula diiringi terima kasih
kami. Ketiga mereka yang dengan perahunya dapat
menembus halangan lima perahu kami tanpa
terguling dari perahunya dan selain itu dapat melayani
tombakku sampai tigapuluh jurus boleh lewat di sini
diiringi pengawal kami sampai seratus lie. Nah,
sekarang terserah kepadamu untuk memenuhi satu
daripada tiga syarat itu.?"?"?"
Cin Han menengok kepada tukang perahu, seorang
tua yang kini bersembunyi ketakutan di pinggir kamar
perahu, dan tersenyum berkata,
?"?"?"Lo Ciang sudah dengarkah kau"?"?"?" Lalu ia berpaling
menghadapi Lie Thung dan menjura. ?"?"?"Tai-ong,
memang syarat-syaratmu itu cukup adil. Mana
siauwte berani membantahnya" Baik, mari kita
pertimbangkan bersama. Syarat pertama, terang
siauwte tak dapat mengadakannya, karena siauwte
hidup sebatang kara tak berhandai taulan, sahabat
siauwte satu-satunya adalah Lo Ciang tukang perahu
ini, tapi tentu saja ia tidak cukup merupakan jaminan
bukan"?"?"?"
Lie Thung tertawa, demikian juga kawan-kawannya
di kelima perahu bajak. ?"?"?"Menyesal sekali, kami tidak
kenal kepada orang tua ini.
Nah, sekarang syarat kedua. Seandainya siauwte
mempunyai bekal uang sedemikian banyak, tentu
dengan kedua tangan terbuka akan kuberikan kepada
tai-ong sebagai tanda persahabatan. Tapi apa hendak
dikata, jangankan seribu tail, sedangkan seperlimanya
saja siauwte tidak punya. Kalau saja bukan seribu tail,
barang kali siauwte masih sanggup yaitu& & katakan
saja& & kira-kira sepuluh tail& &
Kamu menghina" Lie Thung berseru marah. Kami
bukan pengemis! Cin Han mengangkat pundaknya Menyesal sekali,
tai-ong, bukan maksudku untuk menghina, tapi
soalnya memang siauwte tidak punya perak
sebanyak itu. Sekarang syarat ketiga. Karena kedua
syarat di muka tadi tak mungkin kulakukan, terpaksa
siauwte akan coba-coba mentaati syarat ketiga.
Bagus! Memang sudah kusangka kau pasti akan
menggunakan kekerasan, mengandalkan
kepandaianmu. Tapi jangan kauanggap aku selemah
kawan-kawan yang telah kaukalahkan. Nah, mulailah
dengan syarat pertama. Kau harus dapat menerjang
kelima perahu kami dan dapat menerobos melalui
kami. Ia bersuit keras dan kelima perahunya bergerak
merupakan barian memenuhi permukaan sungai dan
mencegat perahu Cin Han yang kecil. Cin Han
menyuruh tukang perahunya sembunyi dalam kamar
perahu dan ia sendiri dengan tangan kanan
memegang galah dan tangan kiri memegang dayung
segera menggerakkan perahunya maju perlahan.
Tapi perahu-perahu bajak itupun bergerak cepat dan
menghadang di depannya. Kemanapun juga dia
bergerak, selalu tentu ada perahu bajak yang
mencegatnya, hingga ia hanya dapat menggerakkan
perahunya ke kanan kiri tak berdaya melalui
hadangan itu. Ia mencari akal dan menghentikan perahunya.
Kemudian ia menggerakkan perahunya lagi, sekarang
ia menggunakan galah dan dayung, mengerahkan
semua tenaganya sehingga perahunya melaju ke
sebelah kiri. Semua perahu bajakpun bergerak ke kiri
dan mencegatnya, dan tiba-tiba cepat sekali Cin Han
memutar haluan perahunya ke kanan. Maksudnya
hendak menggunakan kecepatan dan kekuatan
tenaganya untuk berlomba dan mendahului perahu-
perahu bajak menerobos kepungan.
Tapi Lie Thung bukan orang bodoh. Ia sudah dapat
menduga maksud lawan, maka ketika mengejar
perahu Cin Han ke kiri tadi, yang ikut hanya tiga buah
perahu, yang dua buah lagi masih menanti dan
mencegat di sebelah kanan, hingga perahu Cin Han
terkurung lagi. Cin Han memutar-mutar galah
bambunya di depan perahu dan dengan demikian
mencoba menghalau rintangan di depan perahu, tapi
usahanya ini bahkan hampir membuat ia celaka.
Lie Thung melihat ia menggunakan galah membuka
jalan, segera memberi tanda dan para bajak sungai
segera memutar-mutar galah mereka dan
menggunakan galah itu mendorong-dorong perahu
Cin Han untuk membuat perahu itu terbalik.
Cin Han terkejut sekali dan terpaksa ia memutar
kembali perahunya. Ia maklum bahwa jika para
bajak itu menujukan serangan-serangan kepada
perahunya, ia tentu akan kalah. Karena sekali
perahunya terbalik, ia takkan berdaya lagi. Untuk
menjaga perahunya dari serangan galah agak sukar,
karena serangan itu dilakukan dari kanan kiri dan
gerakannya di atas perahu tidak leluasa. Ia duduk di
perahunya dan memutar otak. Tiba-tiba ia meloncat
bangun dengan wajah girang. Lalu dengan cepat ia
mendayung perahunya ke pinggir. Perahu-perahu
bajak mengejar dengan bingung karena tak mengerti
maksudnya. Ternyata Cin Han berpikiran cerdik. Ia maklum bahwa
air di pinggir sungai dangkal sekali yang takkan
mengganggu perahunya yang kecil. Tapi perahu-
perahu bajak yang besar dan berat itu tentu sukar
untuk dijalankan di pinggir. Dengan demikian maka
jika ada juga serangan datang, maka serangan itu
hanya datang dari satu jurusan saja yang lebih
mudah untuk dijaganya. Benar sebagaimana perhitungannya, ketika perahunya
sudah sampai di tepi, perahu-perahu bajak tidak bisa
mengejar terus, mereka yang berada di atas perahu
bajak hanya berteriak-teriak dan mengacung-
acungkan senjata dengan marah.
?"06.16. Lolos Dari Hadangan Kepala Bajak
Cin Han tertawa geli dan dengan gembira ia
mendayung perahunya menurut aliran air Sungai Yan-
ce, tak memperdulikan teriakan-teriakan kaum bajak.
Tapi kembali ia terkejut.
Ternyata Lie Thung tak mau menyerah kalah demikian
saja. Kepala bajak yang cerdik ini segera memerintah
perahu-perahunya untuk bergerak mengejar di tengah
sungai. Dan Cin Han tahu akan maksudnya. Tidak
semua pinggir sungai dangkal.
Jalan satu-satunya hanya membalap secepat mungkin
untuk mendahului perahu-perahu itu. Maka
berlombalah mereka. Setelah berlomba beberapa
lama, Cin Han maklum bahwa ia takkan menang.
Ombak yang diterbitkan oleh perahu-perahu di tengah
itu lari ke pinggir dan menghambat kelajuan
perahunya. Ia takkan menang kalau perahu-perahu
bajak itu tidak ditahan majunya.
Memang Cin Han berhati tabah dan juga otaknya
cerdas sekali. Diam-diam ia memesan kepada Lo
Ciang untuk mendayung perahu secepat mungkin
setelah ia beraksi nanti. Lalu ia menggerakkan
perahunya mendekati perahu yang bergerak paling
depan. Setelah perahu terpisah beberapa tombak
jauhnya, Cin Han menggerakkan tubuhnya meloncat
ke atas perahu bajak. Dengan teriakan-teriakan riuh rendah bajak-bajak itu
menyerangnya. Tapi Cin Han hanya berkelit dan
berloncat-loncatan ke sana ke mari di atas perahu
sehingga keadaan di atas perahu menjadi kacau. Dari
perahu itu Cin Han meloncat lagi ke perahu lain
sehingga sebentar saja anak buah kelima perahu itu
memusatkan perhatian mereka kepada Cin Han yang
sedang mengamuk dan mengacau.
Dengan demikian maka Lo Ciang dengan aman dan
senang dapat mendayung perahunya melewati
kepungan tanpa terlihat oleh seorang bajakpun.
Lie Thung melihat Cin Han mengacau, dengan marah
meloncat ke perahu di mana Cin Han berada dan
tombaknya siap di tangannya.
Tapi Cin Han tiba-tiba beseru keras, ?"?"?"Tai-ong, kau
sudah kalah. Lihat itu perahuku sudah dapat keluar
dari kepunganmu!?"?"?"
Lie Thung terkejut dan semua bajak memandang.
Baru sadar mereka bahwa perahu kecil yang dikejar-


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejar itu telah lolos. ?"?"?"Hm, kau cerdik, anak muda. Tapi aku belum kalah
karena kau masih berada di sini, baru kau dapat
disebut memenuhi syarat pertama.?"?"?"
?"?"?"Oh, begitukah"?"?"?" mata Cin Han mengerling ke
sekelilingnya, ternyata ia telah dikepung oleh puluhan
bajak laut bersenjata lengkap. Tiba-tiba ia meloncat
menerjang dan dua orang bajak yang mengangkat
golok menghadangnya dapat dibikin terpelanting.
?"?"?"Maaf dan selamat tinggal, Tai-ong!?"?"?" kata Cin Han
yang menyambar sebuah meja kayu. Dengan sekali
tekan, meja itu pecah berantakan merupakan
beberapa keping papan. Kemudian ia lari ke pinggir
perahu, melemparkan sepotong papan ke air, diikuti
oleh tubuhnya yang melayang ke bawah.
Anak muda itu mempergunakan ilmu ginkangnya
yang terlatih sempurna, ia menggunakan ujung
kakinya menotol papan yang tadi dilemparkan dan
kini terapung di atas air hingga tubuhnya kembali
melayang ke atas. Sebelum tubuhnya turun, ia melemparkan potongan
papan kedua jauh di depan, diikuti tubuhnya
berkelebat cepat, turunnya di atas papan kedua itu,
lalu meloncat naik ke atas.
Demikian, dengan gerakan dan loncatan Capung
Bermain di Air ia berhasil meloncat ke atas perahunya
sendiri dengan selamat. Semua bajak melihat hal ini
dengan mata terbelalak. Setelah Cin Han tiba di
perahunya sendiri, terdengar sorakan kawanan bajak
menyatakan kagumnya. Lo Ciang terheran-heran
melihat penumpangnya sudah kembali ke perahu, tapi
ia tak banyak cakap, hanya terus mendayung sekuat
tenaga. Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang. Cin Han
dan Lo Ciang menengok, ternyata dari perahu-perahu
bajak itu diturunkan sebuah sampan yang didayung
oleh seorang dan sedang mengejar mereka. Ternyata
pengejar itu bukan lain adalah Lie Thung sendiri.
Cin Han kagum juga melihat tenaga kepala bajak itu
yang mendayung perahu kecil dengan cepat hingga
sebentar saja sudah dekat dengan perahunya. Tapi
Cin Han tak mau mengalah, iapun menggunakan
tenaganya mendayung hingga perahunya melaju
cepat. Betapapun juga, perahu bajak itu lebih cepat
karena bentuknya yang runcing dan dayungnya yang
lebih sempurna. Mendadak Lie Thung berseru keras, ?"?"?"Awas panah!?"?"?"
Cin Han kaget dan berpaling. Ternyata kepala bajak
itu melepaskan anak panah yang berekor panjang
sekali bagaikan ular menyambar. Anak panah itu
tepat menancap di badan perahunya dan Cin Han
merasa betapa perahunya agak tergoncang. Ketika ia
memperhatikan, ternyata anak panah itu diikat
dengan tambang yang kuat, hingga kini perahunya
seakan-akan tertangkap oleh Lie Thung yang
memegang tambang itu dengan, tertawa bergelak-
gelak. ?"?"?"Ha-ha! Kau hendak lari ke mana, anak muda" Kau
baru lulus dalam ujian pertama, yang kedua belum
kaulaksanakan.?"?"?"
Cin Han merasa kagum dan juga gemas. ?"?"?"Tai-ong,
bukan maksudku hendak kabur karena takut padamu.
Sebenarnya aku tidak suka mengadu tenaga dengan kau yang pasti akan memperbesar rasa permusuhan
darimu saja. Sedangkan kita sama sekali tak pernah
bermusuhan. Tapi, karena kau memaksa, apa boleh
buat, mari kita mendarat.
Bagus, itu baru suara laki-laki, kata Lie Thung yang
lalu mengikatkan tambang itu ke perahunya dengan
kuat didayungnya perahu ke pinggir, sehingga perahu
Cin Han terbawa pula. Cin Han membiarkan saja
perahunya ditarik seperti kerbau ditarik hidungnya.
Dengan tindakan lebar Cin Han ikut Lie Thung menuju
ke markasnya, di mana telah menanti berpuluh-puluh
orang bajak yang menyambut mereka dengan sorak
ramai sebagai pujian kepada Lie Thung yang dianggap
telah dapat menangkap Hwee-thian Kim-hong. Di
tengah-tengah halaman yang lebar di mana mereka
berkumpul, telah didirikan sebuah panggung segi
empat yang tingginya kurang lebih satu tombak.
Panggung ini memang khusus didirikan untuk tempat
mengadu silat dan latihan.
Lie Thung meloncat ke atas panggung dengan
gerakan gesit dan ringan. Cin Han kagum melihat
gerakan Katak Meloncat Keluar Empang yang cukup
sempurna itu. Iapun tidak mau kalah dan
mendemonstrasikan kegesitannya meloncat ke atas
panggung dengan gerakan Naga Sakti Menembus
Awan. Nah, Tai-ong, harap jangan membuang waktu lebih
lama, karena perjalananku masih jauh. Dengan cara
bagaimana aku harus memenuhi syarat kedua ini"
Aturan lama takkan kurobah, tidak ditambah tidak
dikurangi, jawab Lie Thung. Asalkan kau dapat
melayani permainan tombakku selama tigapuluh
jurus, maka berarti kau menang.
Cin Han tersenyum dan memandang tombak pusaka
dari lawannya yang sudah siap di tangan. Tombak itu
agak pendek daripada tombak biasa, ujungnya tidak
runcing agak besar membulat dan mata tombak
sampai ke tangkai seluruhnya terbuat daripada logam
hitam kehijau-hijauan dan tampaknya berat.
Aku sudah siap, nah mulailah dengan seranganmu,
Tai-ong. Bukan maksud peraturan itu untuk menghadapi
tombakku dengan tangan kosong. Keluarkan
senjatamu, anak muda. Tak perlu, Tai-ong. Kita bukan hendak mengadu
nyawa, tapi hanya untuk bermain-main saja, bukan"
Asal aku dapat melayanimu tigapuluh jurus, beres,
bukan" Nah, seranglah.
Hm, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata.
Tombakmu boleh tak bermata, tapi aku mempunyai
dua mata yang cukup awas kiraku.
Lie Thung berkata marah, Kau cari mampus sendiri!
Dengan gerakan hebat ia maju menusuk dengan
tombaknya. Ujung tombak itu menyambar dan Cin
Han melihat betapa ujung tombak itu meluncur
dengan gerakan terputar ke arah dadanya.
Jurus pertama! ia berseru dan mengelakkan tusukan
itu dengan cepat. Lie Thung melihat tusukannya dikelit demikian mudah,
meneruskan serangan tombaknya dengan memutar
tangkai tombak dan menggunakan gagangnya
menghantam ke arah kepala lawan dengan gerakan
Raja Monyet Ayun Toya ialah menggerakkan ilmu silat
toya yang lihai. Baiknya Cin Han mengenal gerakan
ini, maka ia tidak mau berlaku gugup, dan berkelit
sedikit sambil berlaku waspada.
Benar seperti dugaannya, pukulan itu hanya gertakan
belaka, karena tiba-tiba tombak terputar lagi dan kini
ujungnya yang tumpul dengan gerakan memutar dari
kiri menyambar ke arah lambungnya. Serangan ini tak
mudah dikelit, maka sambil berseru, Aya! Cin Han
menggunakan tenaga ginkangnya menjejakkan
kakinya ke tanah dan tubuhnya meloncat ke atas
secepat kilat. Namun ujung tombak demikian cepat datangnya
sehingga ia merasakan angin serangan tombak telah
meniup ke arah kakinya! Ia tidak sempat berkelit lagi,
maka dengan berani sekali ia menggunakan ujung
kakinya menotol ke arah leher tombak dan
meminjam tenaga serangan lawan ia m eloncat ke
atas dan berpok-sai (berjumpalitan) di udara.
Kemudian, ketika tubuhnya menyambar turun dengan
kaki di atas kepala di bawah, ia membuka lengannya
lalu membikin gerakan menyerang dengan kedua
lengan ke arah tubuh Lie Thung.
Kepala bajak menjadi terkejut melihat gerakan Cin
Han yang aneh itu dan cepat-cepat ia menangkis
dengan tombaknya. Tapi anak muda itu sebenarnya
hanya menggertak saja agar lawannya tak sempat
menyerang lagi, maka ketika Lie Thung membuat
gerakan menangkis, ia segera meloncat turun agak
jauh dan berkata sambil tertawa.
Sudah berapa juruskah aku dapat melayanimu tadi,
Tai-ong" Lie Thung tak menjawab, hanya berseru marah, Lihat
tombak! Lalu ia maju sambil memainkan Ilmu
Tombak Delapan Dewa yang sangat diandalkan,
karena jarang ada orang yang dapat mela wan ilmu
tombak ini. Apalagi kalau lawannya itu bertangan
kosong. Di dalam ilmu tombak ini terdapat gerakan-
gerakan yang tak tersangka-sangka dan banyak
sekali perobahannya, kedua ujung tombak
menyerang berganti-ganti.
Namun dengan enak saja Cin Han dapat
menghindarkan tiap serangan. Tubuhnya berkelebat
kian ke mari, menyusup di antara ratusan bayangan
ujung tombak bagaikan seekor kupu-kupu bermain-
main di antara kembang-kembang mawar. Para anggauta bajak dengan kagum melihat jalannya
pertempuran, dan tak terasa mengeluarkan lidah
karena kagum ketika mereka melihat betapa anak
muda itu mempermainkan kepala bajak yang mereka
segani. Tubuh pemuda itu tak tampak lagi, hanya
bayangan biru berkelebatan cepat sekali.
Setelah menghitung bahwa serangan dari Lie Thung
kepadanya sudah lebih dari tigapuluh jurus, maka Cin
Han meloncat ke belakang dan berseru, Tahan!!
Lie Thung berdiri memandangnya dengan muka
merah. Apa apa" tanyanya marah.
Tai-ong, syaratmu tadi mengatakan bahwa aku harus
melayanimu selama tigapuluh jurus. Tapi seranganmu
tadi sudah lebih dari empatpuluh jurus, mengapa kau
masih saja menyerang"
Lie Thung tak menjawab hanya membentak, Jangan
banyak mulut! Terima serangan maut ini! Dan ia maju
pula mendesak dengan tombaknya.
Cin Han merasa penasaran sekali. Ternyata kepala
bajak ini berwatak tak mau kalah dan harus diberi
sedikit hajaran. Dengan seruan, Baik kalau begitu! ia
mencabut Kong-hwa-kiam dan balas menyerang.
Sebetulnya ia masih cukup kuat untuk melawan
dengan tangan kosong saja, tapi karena permainan
tombak Lie Thung juga lihai, rasanya akan sukar
baginya untuk menjatuhkannya cepat-cep at.
Melihat permainan pedang lawannya demikian aneh
dan cepat, Lie Thung merasa bingung dan sebentar
saja ia terdesak mundur. Dengan nekat ia
menusukkan tombaknya ke arah dada lawan dengan
tipu Giok-tai-wie-yauw atau Ang-kin Kumala Melibat
Pinggang. Jurus ini hebat sekali, tapi Cin Han dengan
lincahnya meloncat ke samping dan dari samping
membabatkan pedangnya ke arah tangan kanan
lawan dan berbareng mengirim tendangan ke
lambung yang tak terjaga.
Karena serangan balasan ini tak terduga dan cepat
sekali, Lie Thung berseru kaget dan untuk menolong
tangannya terpaksa melepaskan tombaknya dan
untuk menghindarkan diri dari tendangan Cin Han,
terpaksa pula menggunakan gerakan Keledai
Berguling dan tubuhnya dijatuhkan terus bergulingan
menjauhkan diri. Untung baginya Cin Han tidak
mengejarnya, maka ia berdiri degan wajah merah.
Sungguh nama Hwee-thian Kim-hong bukan nama
kosong belaka. Aku mengaku kalah.
Cin Han tergesa-gesa membalas dan memberi
hormat. Tai-ong sudah berlaku murah dan mengalah.
Sekarang siauwte mohon diberi kebebasan dan
melanjutkan perjalanan. Lie Thung mengerutkan alisnya. Perjalanan dari sini
ke timur tidak mudah. Kau tentu akan banyak
mendapat gangguan, maka biarlah beberapa orangku
mengantarmu sampai di tempat tujuan.
Ah, terima kasih atas kebaikanmu, tapi tak usah
merepotkan, karena siauwte memang sengaja
berpesiar menambah pengalaman. Adapun tentang
gangguan, bagaimana nanti saja, kuserahkan nasib
kepada Yang Maha Kuasa. Lie Thung kurang senang mendengar ucapan ini. Ia
menganggap anak muda ini terlampau
menyombongkan diri. Kalau begitu biarlah kaubawa kartu namaku, karena
semua kawan di sepanjang Sungai Yang-ce sudah
kenal padaku dan tentu mereka dengan memandang
mukaku takkan mau mengganggumu lagi.
Namun Cin Han adalah seorang pemuda yang baru
saja turun dari tempat penggemblengan. Tubuhnya
kuat hatinya tabah, pula ia merasa rendah kalau
harus menggunakan nama orang lain untuk
menyelamatkan diri. Maka dengan halus ia menampik
pula. Sungguhpun merasa penasaran, namun Lie
Thung diam saja, hanya berkata, Selamat jalan.
Tapi Lo Ciang yang berada di situ dan mendengar
akan usul baik yang ditolak Cin Han diam-diam
mendekati Lie Thung dan mohon diberi sebuah kartu
nama. Biarpun kongcu ini tidak membutuhkan kartu
nama, tapi aku yang tua dan lemah ini memerlukan
sekali untuk dipakai sebagai jimat pelindung.
Dan Lie Thung dengan tertawa memberinya sehelai.
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan dengan


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu, perahu Lo Ciang yang terpanah itu segera
diganti oleh Lie Thung dengan sebuah perahu kecil
yang masih baru. Tentu saja Lo Ciang girang bukan
kepalang dan berkali-kali menyatakan terima kasih
sambil terheran-heran, Selama hidup baru kali ini
bertemu dengan kaum sungai telaga yang baik hati,
bukannya merampok bahkan memberi hadiah.
Kemudian ternyata bahwa kartu nama Lie Thung
benar-benar merupakan bintang pelindung dan karena
Lo Ciang selalu memperlihatkan kartu itu kepada
setiap pengganggu, Cin Han menjadi terlepas dari
gangguan bajak. Diam-diam ia mengakui kebenaran
Lo Ciang yang sudah minta kartu nama itu. Kalau
tidak ada kartu nama Lie Thung, tentu ia mengalami
banyak pertempuran yang hanya akan
memperlambat perjalanannya.
Demikianlah setelah berganti-ganti perahu dan
berlayar hampir tiga bulan, akhirnya sampai juga ia di
kota Tiong-bie-kwan. Dengan mudah ia dapat mencari
Gan Keng Hiap dan menyerahkan surat peninggalan
ayahnya. Gan Keng Hiap dan isterinya merasa terharu sekali
dan ikut menangis ketika mendengar akan kematian
Lo Sun Bi dan isterinya. Kemudian ia berkata dengan
suara ramah dan halus. Hiante, biarlah yang sudah pulang ke alam asal tak
perlu disedihkan lagi. Kau tinggallah saja di sini, kami
juga tidak punya anak, maka bolehlah kauanggap
aku dan isteriku ini sebagai pengganti orang tuamu.
Dan sebagaimana pesan ayahmu, kau rajin-rajinlah
belajar ilmu surat di sini.
Lo Cin Han merasa terharu sekali. Dalam pertemuan
pertama saja ia sudah merasa suka sekali kepada
orang tua dengan isterinya yang kedua- duanya ramah
tamah dan halus tutur sapanya itu. Tanpa ragu-ragu
lagi ia menjatuhkan diri berlutut dengan terharu.
Gak Keng Hiap adalah seorang sasterawan yang
pandai dan isterinya juga puteri seorang bangsawan
yang pandai akan ilmu surat dan kerajinan tangan.
Mereka merupakan pasangan yang setimpal dan
cocok sekali, hanya sayang sekali mereka tidak
mempunyai keturunan. Nyonya Gan Keng Hiap biarpun sudah berusia kurang
lebih limapuluh tahun, namun wajahnya dan
tubuhnya masih membayangkan bekas seorang
wanita yang sangat cantik dan terpelajar. Cin Han
merasa heran melihat bibinya ini sering termenung
seakan-akan merasa khawatir dan sedih.
"%Y"% Waktu berjalan sangat pesat dan tak terasa pula ia
sudah tinggal di rumah pamannya setahun lebih.
Dengan rajin ia belajar menulis dan membaca, tapi
tak pernah alpa pula ia melatih ilmu silat seorang diri
pada waktu-waktu tertentu.
Pada suatu senja ketika ia sedang berlatih ilmu
silatnya, tiba-tiba terdengar suara orang memuji
dengan girang, Ah, bagus sekali kau tidak melupakan
pelajaran silatmu. Cin Han cepat berpaling dan alangkah gembiranya
setelah ia melihat siapa orangnya yang berbicara itu.
Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata
girang, Suhu! Gwat Liang Tojin membangunkan muridnya dan
memegang pundak muridnya yang tersayang itu
sesaat lamanya. Kemudian ia mengelus-elus jenggotnya yang putih
panjang sambil mengangguk-angguk dan
memandang pakaian Cin Han. Pemuda itu diam-diam
mengerling ke arah pakaiannya dan ia maklum
bahwa pakaian itu menarik perhatian suhunya,
karena sudah lama sejak ia ikut pamannya
mempelajari ilmu surat, ia berpakaian sebagai
seorang pelajar pula. Lenyap sifat-sifat dan kegagahan seorang ahli silat
dari pakaiannya yang menunjukkan keahliannya
sebagai seorang sasterawan.
Bagus, muridku. Bagus, memang inilah yang terbaik.
Makin rapat kau sembunyikan kepandaian silatmu,
makin baik. Ha, ha. Suhu, teecu girang sekali suhu datang. Marilah
kuantar menemui pamanku! Gwat Liang Tojin mengangkat tangan kanannya dan
menggeleng-gelengkan kepala. Tak usah, tak usah,
aku tak mau membikin repot. Sebenarnya,
kedatanganku ini kebetulan saja, Cin Han. Dalam
perantauanku, aku kebetulan lewat tempat ini dan
pula ada sesuatu yang agak penting juga.
Teecu sebenarnya sudah sangat rindu kepada suhu.
Ha, anak baik. Baru juga setahun lebih, kata
pendeta itu sedangkan di dalam hati ia girang sekali
mendengar pernyataan muridnya itu dan diam-diam
iapun mengakui betapa rindunya kepada murid yang
sangat disayangnya itu. Tapi tiba-tiba wajahnya
menunjukkan kesungguh-sungguhan.
Muridku, dalam beberapa hari ini kau harus berhati-
hati. Pamanmu mungkin dalam bahaya.
Cin Han terkejut. Gan siok-hu dalam bahaya" Apa
maksudmu, suhu" Kedatanganku sebetulnya juga ada hubungannya
dengan hal ini, dan baiklah jangan kau menanyakan
sesuatu. Jika bahaya ini sudah lewat, kau tentu akan
Ki Anjeng Laknat 1 Kutang Kunang Karya Abbe Achmad Setan Harpa 5
^