Pencarian

Si Teratai Merah 6

Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


Pada saat itu Lian Hwa menggunakan serangan dengan tipu Naga Dewa Sambar Harimau, pedangnya
berkelebat menyerang dada Cin Han, ketika Cin Han berkelit dan membalas mengulur tangan kanan untuk
mengetok lengan Lian Hwa supaya pedangnya terlepas, tiba-tiba Lian Hwa menggunakan jari tangan kiri
menotok pundaknya. Hampir saja pundaknya tertotok, maka buru-buru ia meloncat ke belakang berjumpalitan
tiga kali udara dan turun di tempat yang tiga tombak jauhnya dari gadis itu sambil tersenyum,
Aduh!! Kau hebat sekali. Lian-moi! Aku menyerah kalah!
Lian Hwa memasukkan pedang di sarung pedangnya, menggunakan ujung lengan baju menyusut keringat dari
jidat dan berpaling kepada kawan-kawannya sambil tersenyum pula, Nah, lihatlah! Tidakkah kepandaian
Hwee-thian Kim-hong berada jauh di atas kepandaianku"
Lihai& & lihai& & kata Hwat Khong yang masih terheran-heran.
Hebat sekali. Aku tua bangka menjadi gatal tangan karena gembira. Hayo, sicu, layani aku sebentar, akupun
ingin sekali merasakan sendiri kelihaianmu! kata Kong Sin Ek sambil berdiri dan menghampiri Cin Han.
Cin Han tahu bahwa Kong Sin Ek si Dewa Arak ini mempunyai tenaga lweekang yang sempurna, maka untuk
membuat orang tua ini tunduk, ia harus mengeluarkan tenaga dalamnya juga. Ia segera menjura dan berkata
halus. Kong lo-enghiong sungguh membuat siauwte malu dengan pujian ini. Tapi siauwte tahu bahwa perkenalan
akan menjadi makin erat setelah mengukur tenaga kawan, maka siauwte tentu tidak berani menolak
permintaan lo-enghiong. Hanya hati-hatilah, jangan berlaku kejam terhadap siauwte!
Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak. Terhadap aku jangan sungkan-sungkan lagi, sicu, aku bukan orang luar.
Hayo keluarkan pedangmu biar aku mencobanya.
Orang she Kong ini melepaskan jubah luarnya dan sekali menyentakkan lengannya maka jubah itu meluncur
merupakan sebatang toya keras! Inilah keistimewaan Kong Sin Ek yang dengan sebuah baju luar telah
menjagoi berpuluh tahun lamanya!
Cin Han tahu bahwa jika ia menggunakan pedang, maka menghadapi senjata istimewa yang bisa menjadi
keras dan dapat juga menjadi lemas itu ia hanya dapat melawan dengan serangan-serangan berbahaya yang
dapat melukai lawan, maka ia tidak mau menggunakan pedang. Sedangkan kalau bertangan kosong, biarpun
belum tentu ia dapat dikalahkan, namun hal itu merupakan penghinaan terhadap orang tua gagah itu. Setelah
berpikir sejenak, ia memungut baju luarnya yang tadinya dilemparkan ke sudut dan memegang baju itu pada
ujungnya. Biarlah siauwte mencontoh perbuatan lo-enghiong dan mencoba-coba belajar atau memetik satu dua macam
tipu pukulan lo-enghiong yang sudah terkenal kelihaiannya.
Kong Sin Ek memandangnya dengan kagum karena ia dapat menerka bahwa pemuda itu tentu seorang ahli
lweekeh juga, kalau tidak, tidak mungkin ia berani menggunakan baju itu sebagai senjata. Tetapi diam-diam ia
merasa lebih unggul, karena baju luarnya terbuat daripada kain yang tebal dan kuat dan memang khusus
dibuat untuk senjata, sedangkan baju luar pemuda itu terbuat daripada sutera tipis dan lemas! Tetapi ia sebagai
seorang jujur tidak dapat tinggal diam, lalu berkata,
Kau lihai, sicu, tapi apakah bajumu itu tidak terlalu tipis"
Biarlah, lo-enghiong, bukankah kita hanya main-main saja"
Setelah saling menjura tanda hormat, Kong Sin Ek berseru, Awas! dan senjatanya yang luar biasa itu
menyambar merupakan toya, menyabet ke arah pinggang Cin Han.
Pemuda ini mengebutkan bajunya yang juga menjadi keras untuk menangkis senjata lawan, tapi karena baju
itu kalah keras, maka terpental. Tapi segera Cin Han merobah tenaganya sehingga baju itu menjadi lemas
terus diputarkan mengait baju Kong Sin Ek, dibarengi tubuhnya meloncat ke atas melewati senjata lawan,
terus menggunakan tenaga membetot!
Gerakan yang cepat dan tidak tersangka ini hampir saja berhasil dan Kong Sin Ek mengeluarkan seruan kaget.
Belum pernah ia bertemu tandingan seperti ini. Tetapi ia sudah berpengalaman sehingga dapat berlaku tenang.
Ia segera mengatur tenaganya sehingga bajunya pun menjadi lemas dan baju Cin Han yang mengait dengan
sendirinya lalu terlepas. Demikianlah, mereka saling serang dengan hebat, baju mereka sebentar menjadi toya,
sebentar menjadi cambuk dan gerakan mereka mengeluarkan suara angin.
Namun, Kong Sin Ek biarpun sudah mengeluarkan semua kepandaiannya, belum juga ia dapat mendesak Cin
Han. Ia merasa penasaran dan heran sekali.
Kemudian Cin Han menggunakan kedua tangan memegang tengah-tengah bajunya dan kedua ujung baju ia
mainkan sedemikian rupa sehingga merupakan permainan siang-kiam atau sepasang pedang yang hebat.
Tentu saja Kong Sin Ek dapat pula bermain seperti ini, tapi karena gerakan-gerakan Cin Han sangat aneh dan
tipu-tipunya tidak terduga perubahannya, sebentar saja ia terdesak mundur.
Cin Han mengalah dan mengendurkan serangannya, tapi Kong Sin Ek sudah merasa puas. Ia meloncat mundur
dan berkata, Ahh, memang kau pantas disebut Hwee-thian, Kim-hong, sicu. Gerakan-gerakanmu seperti
burung Hong menyambar-nyambar saja. Aku sungguh kagum dan takluk.
Cin Han buru-buru menjura, Terima kasih, lo-enghiong. Kau orang tua sudah berlaku murah kepada yang muda
dan sudah mengalah. Nyo Tiang Pek adalah murid Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie yang tersohor kegagahannya. Maka diam-diam ia
terkejut juga melihat kelihaian Cin Han dan berbareng merasa malu sendiri mengapa tadi mereka memandang
rendah pemuda itu. Ia merasa gembira mendapat seorang kawan baru yang kosen ini, tapi sebagaimana
halnya seorang ahli silat, hatinya belum puas kalau ia belum mencoba sendiri. Maka ia meloncat ke depan Cin
Han dan memegang lengan pemuda itu dengan tersenyum girang.
Ah, saudara Lo. Bukan main kau ini. Sikapmu lemah lembut seperti seorang kutu buku tulen, tapi tidak
tahunya ilmu silatmu hebat sekali. Maaf, saudara Lo, tadi aku sendiri tidak memandang sebelah mata
kepadamu. Kebodohan ini kuakui, harap kau maafkan.
Melihat kejujuran ini, Cin Han pun merasa girang sekali dan membalas dengan ucapan kata-kata merendah.
Bukan aku tidak percaya kepadamu, saudara Cin Han, kata Nyo Tiang Pek, tapi kau sungguh membuat aku
kagum. Selama bertahun-tahun aku berkelana, menjelajah empat penjuru, belum pernah aku menemukan
orang semuda kau dengan kepandaian setinggi ini. Aku tadinya merasa kagum sekali melihat Ang Lian Lihiap
yang kuanggap masih terlampau muda untuk memiliki kepandaian setinggi yang dimilikinya, tapi kau ternyata
lebih lihai, jauh melampaui dugaanku semula.
Ah, kau terlalu memuji, Nyo-taihiap.
Jangan menyebut aku taihiap, sebut saja twako, karena Lian-moi juga menyebutku demikian. Sudah
sepatutnya karena aku lebih tua darimu. Saudaraku yang baik, kau ini murid siapakah"
Suhuku yang pertama adalan Gwat Liang Tojin.
O, ya"" Dia adalah kawan baik guruku, kata Nyo Tiang Pek gembira.
Juga suhuku itu suheng dari Ong Lun lo-enghiong almarhum, kata Cin Han.
Lian Hwa memandang heran tetapi gadis itu diam saja.
Guruku kedua adalah Beng San Siansu.
Apa" Dewa pedang itu masih hidup" tanya Pek Siong Tosu heran.
Entahlah. Aku sendiri belum pernah bertemu muka dengan beliau, jawab Cin Han terus terang. Aku berguru
kepadanya dengan perantaraan kitab.
Ah, pantas kau lihai sekali, saudara Lo. Menurut kata guruku Kam Hong Tie, Beng San Siansu tidak terlawan
ilmu pedangnya dan guruku sendiri menganggapnya jago golongan tua yang lebih tinggi tingkat
kepandaiannya. Mari, saudara, puaskan hatiku yang ingin sekali melihat ilmu pedang ciptaan Beng San Siansu.
Cin Han tidak sungkan-sungkan lagi, ia mencabut Kong-hwa-kiam dan menjura kepada mereka.
Biar kita berdua main-main sebentar! seru Nyo Tiang Pek gembira dan ia mencabut pedang Ceng-lun-kiam
dari pinggangnya. Kong Sin Ek dan Pek Siong Tojin juga merasa gembira sekali karena mereka tahu akan kelihaian ilmu pedang
Nyo Tiang Pek. Mereka tahu, bahwa mereka akan menyaksikan dua macam ilmu pedang yang lihai dan jarang
terlihat. Kedua jago muda itu segera bersilat saling menyerang. Nyo Tiang Pek adalah murid Kam Hong Tie yang berilmu
tinggi. Tentu saja kiam-hoatnya pun hebat dan tenaga dalamnya terlatih sempurna. Pula ia banyak pengalaman
bertempur. Tapi Cin Han pun bukanlah seorang ahli pedang biasa. Ia seorang pemuda yang telah digembleng oleh tangan
ahli, bahkan telah mewarisi Ilmu Pedang Naga Terbang, sehingga ilmu pedangnya boleh dikata pada masa itu
jarang mendapat lawan. Pedang Ceng-lun-kiam di tangan Nyo Tiang Pek dapat diumpamakan seekor burung
garuda menyambar-nyambar, mengeluarkan angin dingin dan gerakannya cepat sekali.
Tapi pedang Kong-hwa-kiam di tangan Cin Han tidak kalah hebatnya, lembut dan indah bagaikan burung Hong
terbang tapi cepat kuat dan ganas bagaikan naga sakti mengamuk! Telah puluhan jurus mereka bersilat dan
menurut pandangan orang-orang yang melihat mereka mengukur tenaga, ilmu pedang mereka sama kuatnya
dan sama bagusnya, karena pedang Nyo Tiang Pek merupakan gulungan sinar hijau dan pedang Cin Han
merupakan gulungan sinar putih.
Tetapi bagi Cin Han dan Tiang Pek sendiri, mereka diam-diam tahu sampai di mana keunggulan lawan. Cin Han
maklum bahwa ia masih kalah sedikit dalam hal tenaga dan keuletan, tetapi Nyo Tiang Pek maklum bahwa
ilmu pedangnya masih kalah jauh dari pemuda ini, dan jika Cin Han tidak berlaku mengalah, pasti ia mudah
saja digulingkan! Cin Han sendiri mengerti akan kelemahan-kelemahan ilmu pedang lawannya, tapi mengingat bahwa Nyo Tiang
Pek adalah pendekar ternama dan pendiri atau pelopor gerakan perjuangan meruntuhkan pemerintah
penjajah, mana ia tega untuk menjatuhkannya. Maka gerakan pedangnya lebih banyak bersifat menjaga diri
daripada menyerang. Tiba-tiba terdengar Nyo Tiang Pek tertawa dan ia meloncat mundur.
Sudah, sudah! Aku menyerah, saudara Lo! Benar kata suhu dulu bahwa Hwie-liong-kiam-sut ciptaan Beng San
Siansu adalah nomor satu tingkatnya di dunia ini.
Ah, kau merendah, Nyo-twako. Tenaga dan keuletanku masih kalah jauh, jawab Cin Han merendah.
Nyo Tiang Pek makin suka melihat pemuda yang lihai ini ternyata pandai membawa diri dan tidak sombong
karena kepandaiannya. Bagaimana, twako, kini kau mau memberikan tugas itu padanya atau tidak" tanya Lian Hwa dengan wajah
berseri. Nyo Tiang Pek tersenyum. Melihat kepandaiannya, sekarang ini selain dia tidak ada orang lain yang pantas
melakukan tugas berat ini.
Mereka lalu berunding dan Kong Sin Ek yang sudah agak kenal akan keadaan Bukit Hong-lai-san, memberi
keterangan-keterangan dan nasihat-nasihat kepada Cin Han.
"%Y"% Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Han berangkat menuju ke sarang Pek-lian-kauw di bukit Hong-lai-
san. Pada malam hari kedua sampailah ia di kaki bukit itu.
Bukit Hong-lai-san adalah sebuah bukit kecil yang tertutup penuh oleh pohon siong tua dan di sana-sini tampak
pohon liu yang melambai-lambaikan ranting karena tiupan angin. Pohon-pohon siong tua yang besar-besar
pada malam hari itu tampak bagaikan raksasa-raksasa hitam berdiri megah di bawah sinar bulan purnama.
Cin Han memperkuat tali pengikat kaki dan pinggangnya. Ia membuka baju luarnya dan meloncat ke atas
sebatang pohon besar untuk menyimpan bajunya itu.
Ketika ia mau meloncat turun, tiba-tiba ia melihat sinar api di tempat jauh. Api itu bergerak-gerak dan ia dapat
menduga bahwa itu tentu sebuah obor yang dipegang orang. Ia meloncat turun dan lari ke arah api yang
dilihatnya dari atas pohon itu.
Ketika Cin Han melalui tempat yang agak gelap karena bayangan pohon tiba-tiba kakinya terlibat oleh sesuatu.
Ia cepat meloncat ke samping, tetapi terlambat. Tali yang dipasang orang di jalan dan yang menyangkut
kakinya itu telah tertarik dan bunyi hiruk-pikuk di balik pohon mengejutkan hatinya.
Dengan gesit Cin Han meloncat ke atas pohon. Tetapi pada saat itu juga datang anak panah berhamburan
menyerang tempat ia berdiri tadi. Dan tak lama kemudian, datanglah dua orang berlari-lari dengan obor di
tangan. Dua orang itu bertubuh tegap. Tangan kiri memegang obor dan tangan kanan memegang golok. Yang
seorang adalah hwesio. Eh, Lo-sam, tidak ada bekas apa-apa di sini! Mengapa tali jerat tertarik" tanya hwesio itu kepada kawannya.
Yang ditanya mengangkat pundak. Sudah dua kali terjadi seperti ini. Kalau binatang yang melanggarnya, pasti
bangkainya telah menggeletak di sini terkena anak panah. Tetapi di sini tiada bekas apa-apa! Hm, barangkali
setan yang penasaran datang mengganggu bukit ini.
Jangan mengacau, kawan. Bukankah para Lo-suhu sudah memesan agar mulai sekarang kita harus menjaga
bukit ini dengan hati-hati! Para pemberontak sudah berkumpul dan kabarnya nanti lain bulan malam ke
limabelas mereka akan menyerbu ke sini! Siapa tahu malam ini mereka mengirimkan orang berkepandaian
tinggi datang menyelidik!
Orang yang disebut Lo-sam menengok ke sana ke mari dengan wajah takut, tetapi ia memberanikan hatinya
dengan mengangkat obor tinggi-tinggi dan mengayun-ayunkan goloknya.
Siapa orangnya berani memasuki tempat ini" Biar setan sekalipun, ia takkan dapat keluar dengan selamat.
Pula, kawan-kawan kita menjaga gunung ini dari delapan penjuru. Tidak mungkin orang dapat masuk tanpa
terlihat. Hwesio itu hendak menjawab, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika tahu-tahu di dalam sinar obor tampak
seorang pemuda berdiri di depan mereka! Entah dari mana datangnya dan sejak kapan sudah berada di situ!
Sebelum ia dapat memperpanjang rasa kagetnya, jari tangan kiri Cin Han sudah menotok iganya, membuat ia
jatuh dengan lemas dan tak bergerak lagi!
Lo-sam yang pandai juga bersilat, segera mengayunkan goloknya membacok, tetapi entah bagaimana, sekali
bergerak saja pemuda itu telah merampas goloknya. Ia hanya merasa pergelangan tangannya sakit sekali dan
karena takutnya ia membuka mulut hendak berteriak.
Tapi plok! tangan Cin Han menampar tulang rahangnya dan mulut yang sudah terbuka itu tidak dapat
tertutup pula, hanya a-a-u-u! seperti orang gagu! Cin Han memegang lengan Lo-sam sambil mengancam.
Kalau ingin hidup, berilah keterangan sejelasnya kepadaku! Kemudian ia menepuk pipi Lo-sam yang segera
dapat menggerakkan mulutnya kembali, berdiri dengan tubuh menggigil ketakutan.
Jangan mencoba berteriak! Katakan padaku siapa yang berada di bukit ini dan mereka kini sedang berbuat
apa. Lo-sam tahu bahwa pemuda ini tentu orang asing yang belum pernah datang ke situ, maka ia ingin
menggunakan nama besar Pek-lian-kauw untuk menakut-nakuti.
Ampun, hohan, saya hanya seorang penjaga dan peronda biasa. Bukit ini adalah milik perkumpulan Pek-lian-
kauw yang besar. Pada saat ini para locianpwe sedang berpesta. Katanya orang-orang gagah dari selatan
datang, juga para jagoan dari Kwie-coa-pai hadir. Harap hohan jangan mengganggu tempat ini, tinggalkan saja,
karena kauw-cu kami bersahabat dengan orang-orang gagah di semua kalangan kang-ouw.
Jangan banyak ngobrol! Cin Han membe ntak. Jawab pertanyaanku dengan singkat. Di mana di simpannya
pedang kerajaan Beng-tiauw"
Bagaimana saya bisa tahu, hohan" Saya hanya orang rendah, tak tahu apa-apa. Mungkin di gudang
pusaka& & Nah, sekarang antar aku ke gudang pusaka itu.
Ampun, hohan. Ketahuilah bukit ini penjaganya berlapis sembilan. Saya dan suhu ini adalah penjaga pertama
bagian timur. Naik ke atas, satu lie dari sini terdapat penjaga lapis kedua, demikian selanjutnya tiap satu lie
ada penjaga sampai sembilan lapis! Maka tidak mungkin saya dapat mengantar hohan naik, karena saya tidak
diperkenankan melewati penjaga lapis kedua yang tingkatnya lebih tinggi dari saya.
Tidak bohongkah kau"
Siauwte yang hina tidak berani membohong, hohan.
Cin Han menggerakkan tangannya dan Lo-sam kena ditotok jalan darahnya. Seperti kawannya yang masih
rebah di tanah, iapun jatuh tak berdaya. Biarpun pikiran dan perasaannya masih terang, tapi tidak kuasa
menggerakkan tubuh atau mengeluarkan suara.
Ingat, jika kalian tidak ditolong, dalam waktu dua belas jam kalian tentu akan mati. Tunggulah, aku pasti
membebaskanmu jika keteranganmu tadi benar.
Setelah berkata demikian, Cin Han lari ke atas dengan cepat dan hati-hati. Benar saja seperti keterangan Lo-
sam tadi, kira-kira satu lie jauhnya ia maju, tampak orang-orang berjaga dengan obor di tangan. Tapi dengan
mudah saja Cin Han dapat melewati mereka ini dengan jalan meloncat dari pohon ke pohon. Demikianpun
pada tempat penjaga ketiga sampai kelima, ia dapat lewat dengan menggunakan ilmu lari cepat dan
ringankan tubuh. Tapi pada penjagaan keenam, ia mulai menghadapi kesulitan. Penjaga di bagian keenam ini adalah orang-
orang anggauta Pek-lian-kauw sendiri yang terhitung golongan ahli silat. Di baju mereka terlukis gambar teratai
putih dan kesemuanya memegang pedang. Di tiap penjuru terdapat tiga orang penjaga.
Cin Han berlaku amat hati-hati. Ia bersembunyi di atas sebatang pohon besar dan dari situ mengintai ke
bawah. Tiga orang penjaga berjalan hilir mudik sambil bercakap"cakap.
Melihat sikap dan gerakan mereka, Cin Han tahu bahwa ia tidak dapat menggunakan kecepatannya seperti
tadi untuk menerobos, karena banyak kemungkinan penjaga-penjaga itu akan melihatnya, pula setelah tiba di
situ ternyata pohon-pohon mulai berkurang.
Kemudian ia mendapat akal. Tanpa mengeluarkan suara ia melompat ke bawah di bagian yang gelap dan agak
jauh dari situ lalu memilih batu-batu kecil sebagai pengganti senjata rahasia. Kemudian ia naik lagi ke atas
pohon tadi. Ia mengayun tangannya dan seorang di antara yang tiga itu tiba-tiba berteriak dan jatuh tidak berdaya.
Lehernya telah terpukul batu yang tepat menghantam jalan darah Koan-goan-hiat. Kedua kawannya meloncat
ke samping dan ketika dua buah batu kecil menyambar ke arah mereka, mereka dapat mengelak dengan
menggulingkan diri di atas tanah.
Cin Han mematahkan dahan pohon dan melempar itu jauh ke bawah. Kedua orang penjaga itu mendengar
suara dahan jatuh segera memburu ke bawah pula. Kesempatan ini digunakan oleh Cin Han untuk menerobos
naik melalui tempat penjaga yang kini telah kosong.
Tapi ia segera menghadapi penjagaan lapis ketujuh. Penjagaan mulai dari sini keras sekali. Tembok yang
tingginya tidak kurang dari empat tombak mengelilingi puncak bukit. Dan di atas tembok tampak penjaga-
penjaga dengan senjata di tangan berjalan hilir mudik.
Cin Han tidak melihat jalan masuk lain kecuali melompat naik ke tembok itu. Maka ia melompat ke atas
dengan cepat. Baru saja kakinya menginjak tembok, lima buah senjata rahasia terbang menyambar kepala,
leher, dada, pusar dan lututnya. Ia mengelak ke kiri sambil menggunakan sebelah kakinya menendang piauw
yang paling bawah sehingga piauw itu terpental kembali ke arah penyerangnya. Tetapi penyerangnya dapat
mengelak dengan mudah. Hai! Manusia dari mana berani lancang memasuki tempat penjagaanku" Penjaga itu membentak sambil
menyerang dengan sebuah tombak yang ada kaitannya.
Cin Han tidak menjawab, hanya berkelit ke samping dan sekali kakinya terayun tombak itu terlepas dari
pegangan penjaga itu. Pada saat itu, tiga orang penjaga yang lain lari-lari mendatangi dengan golok dan
pedang terangkat tinggi-tinggi.
Cin Han tidak mau membuang-buang waktu maka dicabutnya Kong-hwa-kiam dan sekali putar saja, semua
senjata pengepungnya terpotong. Tentu saja musuh-musuhnya terkejut sekali. Cin Han meloncat ke sebelah
dalam dan empat orang penjaga itu tidak berani mengejar karena sudah tidak bersenjata lagi, pula mereka
harus mentaati perintah atasan.
Penjaga di bukit Hong-lai-san diatur berlapis-lapis sampai sembilan lapis. Makin ke atas, penjagaan makin keras
dan para penjaganya pun makin lihai. Mereka ini bertugas menghalang-halangi musuh yang menerjang masuk.
Jika musuh dapat melewati sebuah penjagaan, ini berarti musuh itu kepandaiannya lebih tinggi daripada para
penjaga di bagian itu, maka akan sia-sia belaka jika mereka ini terus mengejar dan meninggalkan pos masing-
masing. Mereka harus mendiamkan saja agar musuh itu dilawan oleh penjaga-penjaga berikutnya yang lebih
kuat. Sedangkan mereka harus bersiap untuk mencegat musuh itu kalau keluar nanti. Juga aturan ini diadakan
untuk mencegah musuh menggunakan tipu memancing harimau meninggalkan goa . Dengan demikian, tiap
pos penjagaan selalu tidak pernah ditinggalkan.
?"10.28. Nyawa Sejoli Di Ujung Tanduk
Inilah sebabnya maka penjaga tembok ketujuh tidak mengejar ketika Cin Han terus naik ke atas bukit. Di depannya menjulang tembok penjagaan kedelapan. Temboknya sama tinggi dengan penjagaan
ketujuh, tapi di atas tembok kedelapan ini dipasang ujung-ujung tombak yang runcing. Sedangkan penjaga-penjaga yang bertubuh kuat berdiri di belakang barisan ujung tombak itu.
Cin Han merasa heran melihat penjaga-penjaga di atas tembok tampak sibuk seakan-akan telah terjadi sesuatu yang mengacaukan. Tanpa ragu-ragu lagi Cin Han mencabut pedangnya yang tadi diselipkan
kembali ke pungggung dan mengayun tubuhnya melayang ke atas tembok. Kedua kakinya dengan ringan mentotol ujung tombak di atas tembok itu dan dengan gerakan Naga Sakti Balikkan Diri, ia
berjumpalitan meminjam tenaga totolan kaki di ujung tombak tadi.
Untung ia menggunakan tipu gerakan yang cepat ini karena pada saat ia berjumpalitan, dari bawah ujung tombak yang ia injak tadi banyak anak panah menyambar ke atas. Kalau ia tadi berayal sedikit saja,
agaknya akan sukar untuk mengelak anak panah yang menyerang dari bawah tubuh ini.
Segera lima orang penjaga datang menyerbu. Tapi dengan lincah Cin Han mengeluarkan ilmu pedangnya sehingga baru beberapa jurus saja ia berhasil merobohkan mereka dengan tendangan Soan-hong-twi


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibarengi pukulan-pukulan Bi-ciong-kun, yakni kepalan menyesatkan, semacam ilmu pukulan yang penuh gaya palsu dan yang tidak terduga perubahan-perubahannya.
Cin Han meloncat turun dari tembok kedelapan. Ia berlaku hati-hati sekali dan ketika tubuhnya turun ke tanah ia hanya menggunakan kaki kiri saja agar kaki kanan dapat siap menolong diri jika ada bahaya
perangkap musuh mengancam. Betul saja, baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba kakinya kena injak batu yang menjadi penggerak anak-anak panah beracun yang terpasang di pohon di kanan kirinya.
Cin Han mendengar suara angin senjata yang beterbangan menyambar itu segera meloncat jauh ke depan, tapi hampir saja ia terjeblos ke dalam lubang jebakan yang ditutup oleh tanah dan rumput tipis.
Baiknya ia memiliki ginkang yang tinggi sehingga secepat kilat ia dapat mengayunkan tubuhnya ke belakang. Ketika ia memandang ke dalam lubang jebakan itu, ia bergidik dengan perasaan ngeri melihat tiga
ujung pedang yang runcing terpasang dalamnya, siap menanti jatuhnya tubuh orang untuk disate.
Kini Cin Han menghadapi tembok kesembilan. Berbeda dengan tembok-tembok penjagaan yang lain, tembok ini tingginya hanya dua tombak. Tapi tembok itu tebalnya tiga kaki dan di atas tembok duduk
hwesio-hwesio yang kelihatannya sedang bersamadhi. Tiap lima tombak duduk seorang hwesio dan di dekat masing-masing terletak sebuah pedang.
Tiba-tiba dari jurusan kiri tampak seorang berlari-lari di atas tembok. Ketika orang itu datang dekat, Cin Han mengenal bahwa ia bukan lain adalah Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan. Agaknya luka di pahanya
karena tusukan pedang Ang Lian Lihiap dulu itu telah sembuh kembali dan rupa-rupanya orang she Thio itu tugasnya memeriksa barisan penjaga di tembok di depan.
Cin Han tidak berani sembarangan menerjang, karena ia dapat menduga bahwa barisan penjaga tembok terakhir ini pasti kuat sekali dan di belakang tembok itulah terletak sarang Pek-lian-kauw di mana
terdapat ahli-ahli silat tinggi.
Ketika ia bersiap-siap dan mencari jalan untuk menyerbu, tiba-tiba dari bawah tembok tak jauh dari tempatnya itu terdapat bayangan orang berkelebat dan tiba-tiba bayangan itu melemparkan tubuh seorang ke
atas tembok. Seorang hwesio penjaga yang duduk tak jauh dari situ mengayunkan tangannya. Terdengar orang yang dilempar ke atas itu berteriak ngeri karena sebatang piauw yang dilepas hwesio tadi dengan tepat
menembus keningnya. Hwesio yang melepas piauw itu terkejut melihat bahwa orang yang diserang itu bukan lain ialah seorang penjaga dari tembok penjagaan di bawah.
Sebelum ia hilang kagetnya, bayangan yang melemparkan orang tadi tahu-tahu telah berada di belakangnya dan mengayunkan pedangnya yang tajam berkilau. Hwesio itupun bukan orang lemah. Dengan cepat
ia menjatuhkan diri ke belakang dan menggelundung di atas tembok sehingga terhindar dari sabetan pedang.
Sementara itu, Thio Lok yang belum pergi jauh, segera lari mendatangi dengan beberapa orang hwesio penjaga yang lain, lalu langsung mengeroyok bayangan yang gerakan-gerakannya luar biasa gesit dan
cepat itu. Ang Lian siluman perempuan! Kau datang mencari mati" bentak Thio Lok dengan marah dan memutar pedangnya menyerang.
Cin Han yang berada di bawah tembok mendengar ini merasa kaget sekali. Tak disangkanya bayangan gesit dan lincah itu adalah Ang Lian Lihiap. Entah mengapa hatinya mendadak berdebar girang. Segera ia
meloncat ke atas tembok. Belum juga kakinya menginjak tembok, jari tangannya telah berhasil menotok seorang hwesio sehingga roboh tidak berkutik.
Keadaan pengeroyok menjadi kacau. Thio Lok melihat datangnya Hwee-thian Kim-hong segera bersuit memberi tanda.
Lian-moi, tahan mereka ini, aku hendak mencari& & !
Lian Hwa mengangguk dengan tersenyum manis karena ia maklum bahwa Cin Han tentu hendak mencari pedang pusaka kerajaan itu. Maka ia putar Sian-liong-kiam lebih cepat sehingga sebentar saja dua
orang hwesio pengeroyoknya terjungkal jatuh ke bawah tembok!
Cin Han meloncat turun ke bawah. Cepat bagaikan kilat Cin Han meloncat ke atasnya dan sekali tangannya bergerak maka pedang hwesio itu dapat terpukul jatuh dan si hwesio sendiri kena ia totok
pundaknya! Kemudian ia mengempit hwesio itu dan membawa lari ke tempat gelap.
Hayo bawalah aku ke tempat simpanan pedang kerajaan! Demikian ia mengancam hwesio itu.
Karena tak berdaya, hwesio itu segera membawanya ke bangunan sebelah belakang. Bangunan itu ternyata besar sekali.
Di dalam kamar itulah disimpannya, tapi ada penjaga yang lain, aku tak berani masuk!
Cin Han menotok lagi jalan darah hwesio itu hingga ia terguling dengan tubuh lemas tak berdaya, lalu dengan tak menyia-nyiakan waktu lagi Cin Han membuka pintu kamar yang dimaksudkan. Namun karena
ia memang selalu curiga, ia berlaku hati-hati sekali. Dengan sekali mendorong, daun pintu itu terbuka, tapi secepat kilat ia meloncat mundur.
Betul saja, dari belakang pintu itu sudah bersedia orang-orangan besi yang maju menubruk ke arah pintu yang terbuka. Karena menubruk tempat kosong, kedua orang-orangan itu berdiri kembali ke tempat
semula. Cin Han perlahan memasuki pintu. Tiba-tiba ketika kakinya menginjak ambang pintu, terdengar bunyi ser! ser!! dan dari empat penjuru menyemprot keluar pisau-pisau beracun bagaikan hujan ke arah pintu! Cin
Han segera menggunakan gerakan Wanita Cantik Membuka Payung, pedangnya terputar merupakan payung atau tameng melindungi tubuhnya hingga semua pisau beracun kena terpukul runtuh nenerbitkan
suara hiruk-pikuk. Setelah senjata rahasia habis, tiba-tiba dari atas pintu jatuh segumpal besi yang beratnya ratusan kati hendak menimpa kepalanya! Karena datangnya besi itu cepat sekali dan sudah terlambat untuk dikelit,
maka Cin Han mengerahkan tenaganya di telapak tangan lalu menggunakan telapak tangan itu mendorong besi yang jatuh menimpa. Besi itu terdorong dan terpental ke depan, jatuh menimpa orang-orangan
besi hingga hancur berantakan dan dari dalam tubuh besi meloncat keluar per-per yang menggerakkan tubuh itu
Cin Han melihat ke dalam kamar. Ternyata di situ memang terdapat banyak barang-baran g pusaka dan kumpulan barang-barang antik. Banyak p edang dan golok yang berusia ribuan tahun tergantung di dinding
sebelah dalam. Dan di atas sekali, tergantung pedang kerajaan Beng-tiauw yang dicarinya!
Ia mengenal pedang ini dari sarungnya yang berukir burung Hong dan Naga Emas! Untuk berjaga diri, Cin Han menggerakkan kaki menendang orang-orangan besi yang satunya lagi hingga orang-orangan itu
terlempar jatuh ke tengah kamar. Betul saja, ketika orang-orangan itu menimpa lantai di tengah-tengah kamar terbuka dan orang-orangan itu terjeblos masuk, lalu terdengar suara air di bawah!
Cin Han ngeri mendengar ini tapi ia girang karena ia kini tahu sampai di mana batas lubang jebakan itu. Sementara itu, lantai yang terbuka itu kini telah tertutup kembali. Cin Han meloncat ke dalam kamar
melewati batas lantai yang dapat terbuka lalu menurunkan kakinya dengan ringan karena ia masih curiga.
Ternyata lantai yang diinjaknya tidak apa- apa maka ia segera mengulurkan tangannya mengamb il pedang pusaka kerajaan. Setelah mencabut pedang it u untuk melihat bahwa pedang itu memang tidak palsu ,
ia meloncat lagi keluar melewati lantai berbahaya tadi.
Ketika tiba di atas tembok penjagaan kesembilan, Cin Han merasa terkejut sekali melihat betapa Ang Lian Lihiap berada dalam keadaan berbahaya sekali! Gadis itu kini bertempur melawan seoang tua kurus
kering yang ternyata lihai sekali gerakan pedangnya, hingga Ang Lian Lihiap hanya mengandalkan keringanan dan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan maut dari pedang lawan
itu! Cin Han marah sekali dan meloncat ke atas tembok. Pada saat itu lawan Lian Hwa sedang menyerang dengan gerak tipu Raja Maut Menyambar Nyawa. Pedangnya dari bawah dengan gerakan memutar
menusuk ke atas, ke arah dada gadis itu dan dibarengi tangan kirinya dengan gerakan Eng-jiauw-kang atau Kuku Garuda Mencengkeram ke arah leher Ang Lian Lihiap!
Serangan ini adalah serangan maut, karena baik tangan kiri maupun tangan kanan adalah penyebar maut yang sukar dihindarkan lagi! Cin Han melihat keadaan ini segera berkelebat cepat. Ia melihat bahwa
dengan pedangnya, gadis itu menggerakkan tangannya dengan tipu Naga Laut Naik ke Darat dan ia tahu bahwa Lian Hwa akan berhasil menangkis pedang lawannya, tapi gadis itu tak mungkin dapat mengelit
pukulan kuku garuda yang lihai dan berbahaya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, ia meloncat mendekat dan menggunakan tangan kanan menangkis cengkeraman orang itu. Setelah dapat menangkis pedang lawan
dan melihat Cin Han maju, Lian Hwa meloncat mundur.
Orang kurus kering itu melihat ada orang luar berani menangkis tangannya, lalu mengerahkan tenaga hendak mematahkan lengan tangan orang lancang itu dengan ilmu lweekangnya, maka terbenturlah kedua
lengan dan mengeluarkan suara keras. Cin Han terhuyung mundur tiga tindak, tapi orang tua itupun terpaksa melangkah mundur dua langkah!
Ketika melirik ke arah lengan tangannya, Cin Han melihat lengannya merah, tapi iapun melihat lengan lawannya itu matang biru! Maka ia menghela napas lega karena kalau hendak dikatakan kalah tenaga,
maka kekalahan itu hanya sedikit selisihnya!
Eh, siapakah kau orang muda berani campur tangan urusan orang lain" tanya orang tua kurus kering itu.
Cin Han tidak menjawab, tapi melemparkan pedang pusaka kerajaan kepada Lian Hwa, Pegang dulu ini Lian& &
Ang Lian Lihiap menangkap pedang yang dilemparkan itu dan walaupun Cin Han membungkus pedang itu dengan sehelai kain yang didapatkan di dalam kamar tadi gadis itu tahu bahwa itulah pedang yang
dicari, maka diam-diam ia merasa girang dan kagum.
Melihat pertanyaannya tak diperdulikan orang, si kurus kering menjadi marah sekali. Ia perhatikan lebih jelas dan tiba-tiba ia melihat lukisan burung Hong di dada Cin Han.
Ho-ho! Jadi inikah Hwee-thian Kim-hong anak kemarin sore yang jumawa itu" Rupanya suhumu tidak mengajarkan adat padamu, anak muda" Kau berani melawan aku yang sedang memberi ajaran sedikit
kepada murid keponakanku sendiri"
Cin Han heran mendengar ini. Lian Hwa murid keponakan kakek ini" Ia berpaling memandang gadis itu yang berdiri menentang lawan dengan mata menyala.
Siapa sudi menjadi murid keponakanmu" Hm, kalau suhu masih hidup, pasti ia akan mengetok kepala sutenya yang tersesat dan menjadi pengkhianat bangsa macam kau ini!
Ha, ha, ha! Memang, guru kencing berdiri, murid kencing berlari! Ong Lun jahat dan galak, tapi muridnya lebih jahat dan galak lagi!
Kini Cin Han dapat menduga siapa lawan yang tangguh ini.
Bukankah lo-enghiong ini Khai Sin Tosu"
He, anak muda, kalau kau sudah kenal namaku, kenapa tidak lekas-lekas melempar pedang minta maaf"
Perkara minta maaf itu mudah saja. Yang penting harus dilihat dulu siapa yang salah. Totiang sebagai seorang pendeta mengapa berada dalam sarang Pek-lian-kauw dan membela perkumpulan ini"
Kedua mata Khai Sin Tosu mengeluarkan cahaya kemarahan.
Ada sangkut-paut apa denganmu" Aku pemeluk Agama Pek-lian-kauw, habis kau mau apa"
Cin Han memperhatikan pakaian tosu itu dan diam-diam menghela napas. Ia melihat pakaian pendeta itu sangat mewah dan terbuat daripada kain halus, rambutnya yang panjang dijepit dengan hiasan rambut
emas pula. Di dadanya, terlukis gambar teratai putih. Jelas baginya bahwa tosu tua ini telah terpengaruh oleh harta kemewahan.
Tosu tersesat! Cin Han berkata marah. Benar seperti kata Ang Lian Lihiap tadi, kalau Ong Lun susiok masih hidup, tentu kepalamu akan diketok sampai retak-retak.
Bangsat kecil! Kau siapa" Kenapa kau sebut Ong Lun sebagai susiokmu"
Gwat Liang Tojin adalah suhuku dan karena Ong Lun susiok telah meninggal biarlah aku yang muda mewakilinya memberi sedikit hukuman kepadamu!
Anak setan! Khai Sin memaki dan kedua tangannya terayun dengan tiba-tiba. Empat butir batu koral putih berkelebat, dua ke arah Cin Han, dan yang dua lagi ke arah Lian Hwa.
Tapi kedua orang muda itu cepat berkelit. Tanpa sia-siakan waktu lagi Cin Han memutar pedangnya menyerang. Khai Sin Tosu menggerakkan pedangnya menangkis dan sesaat kemudian mereka saling serang
dalam pertempuran mati-matian.
Tenaga mereka berimbang, tapi Khai Sin Tosu yang sudah banyak pengalaman ternyata jauh lebih ulet dan tenang. Namun, setelah bertempur limapuluh jurus lebih, sekali lagi Hwie-liong-kiam-sut membuktikan
bahwa ilmu pedang ini memang sangat tinggi dan jarang ditemukan tandingannya.
Perlahan-lahan Khai Sin merasa bingung dan pening menghadapi ilmu pedang yang demikian aneh gerak-geriknya dan banyak sekali perubahan-perubahannya yang tak terduga. Kalau ia tidak tenang dan
waspada, pasti sudah tadi-tadi ia celaka.
Lian Hwa makin kagum melihat permainan pedang Cin Han yang mulai mendesak Khai Sin Tosu. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini sukar ditemukan seorang pemuda seperti Cin Han. Tinggi ilmu silatnya,
pandai ilmu sastera, berwajah tampan, sikapnya lemah-lembut, herhati jujur dan tidak sombon g.
Diam-diam ia membanding-bandingkan Cin Han dengan Nyo Tiang Pek. Ketika ia bertemu dan kenal dengan Tiang Pek, ia mengagumi pemuda ini sebagai seorang pendekar dan pahlawan bangsa yang
berkepandaian lebih tinggi darinya.
Nyo Tiang Pek pun suka sekali kepadanya karena menurut keterangannya, Han Lian Hwa mengingatkan ia akan adik perempuannya yang telah meninggal dunia karena penyakit panas. Demikianlah maka Nyo
Tiang Pek mengangkat Lian Hwa sebagai adik dan hubungan mereka seperti kakak dan adik saja.
Ketika Khai Sin telah terdesak dan hanya dapat menangkis saja, tiba-tiba dari bawah tembok terasa angin berdesir dan tahu-tahu seorang sai-kong pendeta pendek gemuk dan seorang wanita cantik berdiri di
kanan kiri mereka yang bertempur. Si imam membentak perlahan.
Tahan pedang! Suara yang nyaring ini dibarengi dengan kebutan pertapaannya terayun dan menyabet pedang Cin Han yang sedang menyerang dan mendesak Khai Sin yang mundur menangkis.
Cin Han merasa betapa sebuah tenaga besar sekali menolak pedangnya sehingga telapak tangannya tergetar. Ia meloncat ke samping dan memandang orang yang menangkis pedangnya itu.
Sai-kong itu bermuka bundar bagaikan bulan purnama. Mukanya yang gemuk bulat membuat kepalanya seperti sebuah balon karet. Kulit mukanya halus lemas seperti muka kanak-kanak. Tubuhnya yang
pendek gemuk sesuai benar dengan potongan muka yang bulat itu.
Tangan kanannya Memegang hud-tim (kebutan pertapa) dan tangan kiri memegang seuntai tasbeh yang terbuat daripada butiran-butiran mutiara. Di dadanya terlukis teratai putih dari benang perak hingga
mengeluarkan cahaya berkilauan. Rambut di kepalanya diikatkan ke atas dan diikat dengan sebuah penjepit rambut dari emas terhias batu permata. Biarpun kulit mukanya licin seperti kanak-kanak tapi melihat
rambutnya yang putih itu ia tentu sudah berusia lebih dari enam atau tujuhpuluh tahun.
Wanita itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya cantik dan tubuhnya tinggi langsing dengan potongan yang menggiurkan. Terutama sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar
menggairahkan penuh kecabulan, sedangkan bibirnya yang mungil membayangkan senyum genit memikat. Pakaiannya pun sangat mewah, bajunya dari sutera merah dan celananya berwarna biru.
Pada saat itu ia mengerling ke wajah Cin Han sambil melepaskan pandangan penuh rasa kagum. Sekali pandang saja lalu timbul rasa benci dalam hati Lian Hwa karena pandangan mata dan sikap perempuan
itu mengingatkan ia akan dua orang nikouw atau pendeta wanita cabul yang pernah mengganggu dia dan Cin Han beberapa tahun yang lalu.
Sai-kong itu bukan lain ialah Bong Cu Sianjin sendiri, ketua Pek-lian-kauw, seorang bekas pertapa yang lihai dan mahir ilmu silat dan ilmu hitam. Sedangkan wanita itu adalah Kim Eng yang disebut orang si Dewi
Cabul, seorang penjahat wanita yang ter kenal kejam dan pandai ilmu silat.
Kim Eng mempunyai kepandaian yang sangat berbahaya, yakni melepas jarum lima racun yang disebut Ngo-tok-ciam! Jarum ini sangat halus dan kecil dan dilepaskan menuju urat-urat dan jalan darah, maka
lawannya yang bagaimana pandaipun jika terkena jarum beracun ini jangan mengharap dapat hidup lebih lama lagi.
Perempuan cantik ini telah bersatu dengan Pek-lian-kauw dan menjadi kawan baik Bong Cu Sianjin yang biarpun sudah tua namun masih suka bermain cinta. Yang menarik hati Kim Eng maka ia suka berada di
situ ialah karena Pek-lian-kauw mempunyai banyak anggauta terdiri dari pemuda-pemuda tampan dan kuat.
Dan tak seorangpun, baik ketua Pek-lian-kauw sendiri maupun pemimpin yang lain-lain, berani melarang Kim Eng berlaku sekehendak hatinya. Selain daripada hal tersebut, Kim Eng juga mendekati Bong Cu
Sianjin untuk dapat memetik beberapa ilmu siluman guna memperlengkap kepandaiannya.
Cin Han yang sudah merasakan kehebatan tenaga kebutan pendeta itu, meloncat mundur sambil menyiapkan diri dengan waspada dan hati-hati.
Eh, eh sungguh satu kehormatan besar bagi kami yang telah didatangi oleh dua orang gagah muda belia, Hwee-thian Kim-hong dan Ang Lian Lihiap yang namanya telah menggemparkan empat penjuru dunia!
kata Bong Cu Sianjin dengan suaranya yang nyaring dan halus dan matanya yang bening itu bergerak-gerak memandangi wajah dan tubuh Lian Hwa.
Menerima sambaran kerling mata yang tajam dan mempunyai tenaga yang berpengaruh seakan-akan dapat menembus pakaiannya, hingga ia merasa seperti berdiri telanjang dibawah pandangan mata pendeta
itu, Lian Hwa merasa malu dan marah hingga seluruh mukanya menjadi merah padam.
Kalian sungguh berani seperti anak harimau baru keluar dari sarang! Berani dan muda, muda dan tampan dan cantik! Kenapa berani mengganggu sahabat Khai Sin Tosu" Daripada kita berselisih paham,
bukankah lebih baik kalian masuk sebagai sahabat-sahabat dan minum arak wangi bersama kami"
Bangsat tua jangan banyak cakap! teriak Lian Hwa yang merasa jemu serta benci sekali melihat tingkah sai-kong itu.
Tapi Bong Cu Sianjin hanya tertawa perlahan.
Galak benar! Bunga yang berduri harum baunya! Kalian mempunyai kepandaian apakah maka berani bertingkah"
Cin Han yang sudah menahan sabar sejak tadi, tak memperdulikan bahaya lagi segera menyerang dengan pedangnya, juga Lian Hwa loncat menubruk. Sian-liong-kiamnya berkilauan. Tapi dengan tenang Bong
Cu Sianjin mengelebatkan kebutannya yang sekaligus dapat menyampok kedua pedang itu hingga terpental!
Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dengan penuh semangat dan mengertak gigi maju menyerang. Walaupun ilmu kepandaian dan tenaga Bong Cu Sianjin sudah mendekati puncak kesempurnaan karena
sesungguhnya tenaganya bukanlah tenaga biasa, tapi terbantu oleh Ilmu hitam, namun menghadapi Lian Hwa dan Cin Han yang boleh diumpamakan sebagai dua ekor naga sakti mengamuk, ia tak dapat segera
memperoleh kemenangan. Kalau tadi ia hanya menggunakan kebutannya, kini tangan kirinya yang memegang tasbeh ikut menbantu. Ternyata tasbeh ini lebih lihai daripada kebutannya! Senjata aneh digunakan
sebagai ruyung atau cambuk lemas yang mengeluarkan cahaya berkeredepan menyilaukan mata lawan. Berkali-kali pedang kedua orang itu beradu dengan tasbeh hingga mengeluarkan bunga api, sedangkan
Lian Hwa dan Cin Han merasa tangan mereka pedas dan panas!
Cin Han mengumpulkan semangat dan bersilat lebih cepat sambil mengeluarkan tipu-tipu terlihai dari Hwie-liong-kiam-sut, sedangkan Lian Hwa mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya dengan
mengandalkan ginkangnya yang tinggi dan ilmu pedang Sian-liong-kiam-hoat yang ganas gerakan-gerakannya.
Bagus! Sai-kong itu memuji dan ia terpaksa tak berani bermain-main seperti tadi. Baru kali ini selama turun dari gunung pertapaannya ia bertemu tandingan sedemikian tangguhnya!
?"10.29. Pertukaran Dua Pedang Sakti
Si Dewi Cabul Kim Eng merasa gatal tangan melihat kekasih atau gurunya itu terdesak oleh pengeroyokan
Lian Hwa dan Cin Han, maka ia segera mencabut keluar pedang dengan tangan kanan dan tangan kirinya
mencabut saputangan yang harum baunya. Kemudian sambil tertawa genit ia menyerang Cin Han.
Serangan itu ternyata hebat juga hingga terpaksa Cin Han melayaninya dengan hati-hati dan tinggal sai-kong
yang kini hanya menghadapi Lian Hwa sendiri. Ketua Pek-lian-kauw itu tertawa terbahak-bahak.
Nona, menyerahlah. Lebih baik tinggal di sini dan hidup mewah.
Lian Hwa menggigit bibir dan memaki.
Pendeta siluman! Jangan banyak tingkah!
Lalu ia perhebat gerakannya. Tiba-tiba Lian Hwa melihat bahwa pedang lambang kerajaan Beng-tiauw yang
tadi ditaruh di atas tembok karena hendak membantu Cin Han, kini hendak diambil oleh Thio Lok. ia
menggunakan ginkangnya melayang ke arah Thio Lok dan sekali tangannya terulur, pedang kerajaan itu sudah
terampas kembali. Berbareng dengan itu, pedangnya berkelebat ke leher Thio Lok.
Tapi Bong Cu Sianjin sudah berada di situ pula dan kebutannya bergerak melilit Sian-liong-kiam terus ditarik
sehingga pedang itu terlepas dari pegangan Ang Lian Lihiap tanpa dapat ditahan pula!
Ha-ha-ha! Sai-kong itu memberikan pedang Lian Hwa kepada Thio Lok, lalu menggerakkan tangan hendak
menangkap Lian Hwa! Pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat dan tahu-tahu tubuh Lian Hwa
sudah dipondong pergi terlepas dari bahaya pelukan Bong Cu Sianjin, dan bayangan itu sambil memondong
Lian Hwa, tangannya terulur merampas pedang Sian-liong-kiam dari pegangan Thio Lok!
Gerakannya ini sungguh sangat cepat bagaikan kilat menyambar hingga sebelum dapat dilihat jelas orangnya,
bayangan itu telah berhasil menyelamatkan Lian Hwa dan merampas kembali pedang gadis itu! Ketika Lian
Hwa memandang, ternyata yang menolongnya bukan lain adalah Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan,
gurunya sendiri! Bong Cu, jangan kau berani mengganggu muridku! Wanita tua itu membentak.
Cu Ling, kau"" Kau masih hidup" Sai-kong itu memandang heran. Dia ini muridmukah"
Sementara itu, Cin Han dengan mudah mendesak keras pada Kim Eng, tetapi tiba-tiba perempuan cabul itu
mengebutkan saputangan di tangan kirinya! Cin Han mencium bau wangi yang keras sekali dan yang langsung
memasuki hidung terus ke kepalanya dan membuat penglihatannya menjadi gelap. Tubuhnya terhuyung-
huyung, tapi pada saat itu ia merasa ada orang menariknya dari situ dan ternyata orang itu adalah gurunya
seadiri Gwat Liang Tojin yang sudah berada di situ pula.
Makanlah ini, Han! kata Gwat Liang Tojin.
Cin Han menerima pil itu dan memasukkan ke mulutnya. Seketika itu juga lenyaplah pengaruh jahat yang
wangi memabokkan itu. Bong Cu! Tidak malukah menghina orang-orang muda"
Bong Cu Sianjin memandang mereka berdua dengan tajam lalu tertawa besar, Ha-ha! Jadi Gwat Liang Tojin
juga datang" Bagus, bagus" Kau dan Song Cu Ling agaknya menyangka bahwa aku takut padamu" Ha-ha!
Jangan mimpi, sobat. Bong Cu sekarang bukanlah Bong Cu duapuluh tahun yang lalu!
Bong Cu! Kau telah menjadi seorang kauw-cu, kepala agama yang memiliki nama besar di kalangan kang-
ouw. Apakah kau sudah begitu hina untuk merendahkan namamu dengan mencelakai dua orang muda yang
belum berpengalaman di sarang perkumpulanmu sendiri" Pula, kau harus ingat bahwa kau sudah mengundang
para hohan untuk datang ke sini pada malam kelimabelas musim Chun nanti.
Bong Cu Sianjin mengeluarkan suara jengekan, Bukan aku yang mengundang, tapi biarlah, karena sudah
terlanjur, jangan orang kira aku takut. Tapi mengapa Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong datang
mengacau dan mencuri pedang kerajaan"
Gwat Liang Tojin menghela napas. Ia maklum bahwa ia sendiri dan Song Cu Ling takkan dapat mengalahkan
Bong Cu Sianjin yang lihai, pula di situ banyak berkumpul orang-orang lihai seperti Khai Sin Tosu dan yang lain-
lain. Maka ia mengalah dan berkata,
Kalau kau mau persalahkan yang muda-muda ini, biarlah aku yang mintakan maaf. Cin Han, kembalikan
pedang itu. Dengan penasaran dan heran melihat gurunya begitu mengalah terhadap ketua Pek-lian-kauw itu, Cin Han
minta pedang lambang kerajaan Beng-tiauw dari tangan Lian Hwa dan memberikan pedang itu kepada Bong
Cu Sianjin. Ha-ha-ha! Biarlah aku pandang muka Gwat Liang dan Cu Ling dan biarlah kalian hidup sampai malam
kelimabelas bulan depan! Kalau kalian tak ikut datang, kuanggap kalian penakut.
Bong-kauwcu, bersiaplah untuk nyambut kami pada bulan purnama yang akan datang. Nah, selamat tinggal!
Gwat Liang Tojin memberi isyarat kepada Song Cu Ling, Cin Han dan Lian Hwa, dan mereka berempat lalu
turun gunung. Mudah saja mereka melalui tempat-tempat penjagaan di mana Cin Han membebaskan para
penjaga yang tadi ia bikin tidak berdaya, dan mengambil baju luarnya yang tergantung di pohon.
Tanpa banyak cakap, Gwat Liang Tojin mengajak mereka menuju ke sebuah kampung di mana terdapat bio
tua yang kosong. Setelah diperkenalkan kepada kedua orang tua itu, Cin Han memberi hormat kepada Song Cu Ling sedangkan
Lian Hwa memberi hormat kepada Gwat Liang Tojin.
Mereka berempat tidak tidur, tapi dengan gembira masing-masing menceritakan pengalamannya. Ternyata
dengan diam-diam Lian Hwa mendahului Cin Han menuju ke sarang Pek-lian-kauw. Ia mengandalkan
kegesitan dan kepandaiannya melalui semua penjaga dengan maksud hendak membuat jasa dan mencuri
pedang kerajaan, mendahului Cin Han. Juga dengan jalan itu ia hendak membantu Cin Han karena ia maklum
bahwa di sarang Pek-lian-kauw itu banyak orang-orang lihai.
Tidak tahunya ia menemui batu, sehingga biarpun ia dapat bekerja sama dengan Cin Han, tetap saja mereka
hampir-hampir mengalami bencana. Baiknya gurunya dan guru Cin Han datang tepat pada saat berbahaya itu
dan dapat menolong mereka.
Kemudian Song Cu Ling dan Gwat Liang Tojin menuturkan perjalanan mereka sehingga mereka bisa sampai di
sarang Pek-lian-kauw. "%Y"% Karena insyaf bahwa kedua cucunya, yaitu Kong Liang dan Mei Ling, perlu mendapat didikan ilmu kesusasteraan, Song Cu Ling mencari seorang guru sekolah yang pandai. Kemudian ia mendengar nama Gan
Keng Hiap sebagai seorang sasterawan yang selain pandai pun berjiwa patriot. Ia senang sekali mendengar hal
ini karena iapun sangsi untuk mempercayakan pendidikan kedua cucu itu dalam tangan seorang sasterawan
penjilat pemerintah Boan.
Ia segera mengajak Kong Liang dan Mei Ling, anak kembar itu, menemui Gan Keng Hiap. Sasterawan tua yang
baik hati ini menerima permintaan Song Cu Ling dengan girang karena sebentar saja ia merasa sayang kepada
kedua anak yang mungil dan kelihatan cerdik itu.
Untuk membalas budi Gan Keng Hiap, si Dewi Tanpa Bayangan mengangkat Giok Lie yang disangkanya puteri
Gan Keng Hiap, sebagai murid. Giok Lie yang merasa kagum melihat kepandaian Ang Lian Lihiap dan sedikit
banyak mempunyai rasa iri hati, menerima pengangkatan ini dengan rasa bahagia.
Demikianlah, dengan rajin Kong Liang dan Mei Ling belajar ilmu surat kepada Gan Keng Hiap, sedangkan Giok
Lie puteri pangeran itu dengan tekunnya mempelajari ilmu silat dari Song Cu Ling. Ia makin giat belajar ketika
mendengar dari gurunya bahwa Ang Lian Lihiap juga murid Song Cu Ling atau ia punya suci.
Pada suatu hari, karena terkenang kepada Cin Han, dengan disengaja Giok Lie menyebut-nyebut tentang
kepandaian Ang Lian Lihiap dan tentang percekcokannya dengan Cin Han. Song Cu Ling mendengar ini menjadi
tertarik dan mendesaknya untuk menceritakan riwayat itu.
Giok Lie yang berhati jujur dan yang kini menganggap Song Cu Ling sebagai orang tua sendiri, segera
menceritakan semua riwayatnya, bagaimana ia ditolong Cin Han dan bagaimana Cin Han bertempur dengan
Ang Lian Lihiap. Sayang sekali Lian Hwa suci itu agak keras hatinya. Kasihan koko Cin Han yang disangka pengkhianat oleh
gadis pujaan hatinya yang dicintanya sepenuh hati. Tapi aku yakin suci juga menderita batinnya karena
sesungguhnya ia juga cinta kepada koko Cin Han.
Demikian gadis itu mengakhiri ceritanya dengan menghela napas. Kata-kata terakhir yang diucapkan itu
menyedihkan hatinya. Ketika mendengar bahwa Cin Han adalah pendekar muda Hwee-thian Kim-hong yang pernah ia dengar
namanya dan keponakan Gan Keng Hiap sendiri, Song Cu Ling segera menemui Gan Keng Hiap. Dari
sasterawan ini ia diberi tahu bahwa Cin Han adalah murid Gwat Liang Tojin di Kong-hwa-san yang telah
dikenal baik oleh Song Cu Ling di waktu mudanya.
Song Cu Ling mengaku bahwa Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa adalah muridnya yang tersayang dan karena
gadis itu yatim piatu, bahkan gurunya yang pertama Ong Lun sudah meninggal dunia pula, maka boleh dibilang
ia adalah walinya. Maka ia bertanya kepada Gan Keng Hiap suami-isteri, bagaimana kalau Cin Han dijodohkan
saja dengan Han Lian Hwa.
Gan Keng Hiap suami-isteri pernah diceritakan oleh Giok Lie tentang hubungan hati yang ada antara Lian Hwa
dan Cin Han, pula mereka pernah bertemu dengan Ang Lian Lihiap, dan mereka memang merasa kagum
kepada gadis yang cantik, pandai dan berbakti itu.
Bagi kami sebagai paman dan bibi Cin Han, kami merasa beruntung jika nona Lian Hwa sudi menjadi
isterinya. Tapi harap toanio maklum bahwa dalam hal ini kami tidak berkuasa penuh. Masih ada dua orang
yang harus ditanya pendapat mereka dulu, ialah Gwat Liang Tojin dan Cin Han sendiri, karena semenjak


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditinggal orang tuanya, Cin Han dirawat dan dididik oleh Gwat Liang Tojin.
Song Cu Ling mengangguk-angguk. Memang seharusnya demikian. Biarlah aku pergi dulu beberapa hari untuk
membereskan hal ini dan menemui Gwat Liang Tojin. Kasihan kedua anak itu yang dipisahkan oleh kesalah
pahaman. Pula, kurasa mereka itu sudah cukup dewasa untuk berumah tangga.
Maka naiklah Song Cu Ling ke Kong-hwa-san menemui Gwat Liang Tojin. Kebetulan sekali pada waktu tiba di
situ, Gwat Liang Tojin sedang menerima seorang tamu yang bukan lain adalah Nyo Tiang Pek.
Pemuda yang rajin ini sedang mengajukan permohonan kepada Gwat Liang Tojin untuk membantunya di
dalam serbuan ke Pek-lian-kauw nanti! Maka, melihat kedatangan jago wanita tua itu, Nyo Tia ng Pek yang
pandai bergaul dan pandai berbicara itu sekalian mohon bantuannya! Karena baik Gwat Liang Tojin maupun
Song Cu Ling adalah pendekar-pendekar yang berhati budiman dan mencinta negara, mereka meluluskan
permintaan Tiang Pek. Ketika mendengar dari Nyo Tiang Pek bahwa Cin Han pergi seorang diri ke sarang Pek-lian-kauw dan bahwa
Lian Hwa juga pergi tanpa pamit dan mungkin menyusul pemuda itu ke sarang Pek-lian-kauw, kedua guru itu
merasa khawatir sekali dan mereka lalu menyusul!
Di tengah perjalanan Song Cu Ling mengutarakan usulnya untuk menjodohkan pemuda itu dan Lian Hwa.
Gwat Liang Tojin sudah banyak mendengar nama Ang Lian Lihiap sebagai pendekar wanita yang gagah dan
berbudi. Tapi karena belum pernah bertemu muka, ia menunda keputusannya, sampai nanti setelah ia melihat
sendiri gadis itu. Demikianlah maka kedua pendekar tua ini bisa sampai di sarang Pek-lian-kauw pada waktu yang tepat dan
berhasil menolong kedua murid mereka. Tentu saja dalam menceritakan pengalaman mereka, kedua guru itu
tidak menyebut-nyebut tentang maksud mereka menjodohkan kedua murid itu.
Han Lian Hwa mendengarkan cerita gurunya sambil memeluk dan memegang-megang tangan Song Cu Ling
dengan sikap kekanak-kanakan dan manja. Bagaimana dengan adik Kong Liang dan Mei Ling, subo" Teecu
sudah kangen sekali, katanya dengan wa jah berseri-seri.
Cin Han diam-diam girang mendengar bahwa Giok Lie telah menjadi murid wanita gagah itu. Mulai sekarang
gadis yatim piatu itu dapat menjaga diri sendiri.
Setelah melihat dengan mata kepala sendiri betapa cantik dan menarik gadis itu dan tadi telah disaksikannya
sendiri kiam-hoat Lian Hwa yang lihai hingga memang gadis itu tepat dan pantas sekali menjadi isteri
muridnya, Gwat Liang Tojin diam-diam memberi isyarat kepada Song Cu Ling dengan sebuah anggukan kepala
dan tersenyum tanda setuju!
Song Cu Ling mengerti isyarat ini, maka ditariknya tangan Lian Hwa keluar dari bio itu. Lian Hwa merasa heran,
tapi sambil tertawa ia menurut saja. Setelah sampai di luar kelenteng, Song Cu Ling menarik muridnya duduk di atas lantai batu Lian Hwa, berapakah usiamu sekarang"
Sembilanbelas tahun. Mengapa subo bertanya demikian"
Song Cu Ling tertawa, Tidak apa-apa, muridku. Hanya saja, aku dulu pada usia tujuhbelas tahun sudah
dikawinkan. Ang Lian Lihiap terkejut sekali, ia menggigit bibirnya dan menunduk, tidak berani berkata apa-apa.
Gurunya memegang lengannya yang halus. Lian, ada orang yang menyampaikan peimintaan kepadaku
dengan maksud melamar kau.
Lian Hwa memandang muka gurunya. Kulit mukanya merah. Coba katakan siapa dia yang kurang ajar itu"
Biar kupukul mulutnya yang lancang.
Sstt! Yang melamar adalah Gwat Liang Tojin dan Gan Keng Hiap, untuk Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han.
Tiba-tiba muka Lian Hwa yang sudah memerah itu menjadi makin merah sampai ke telinga-telinganya, kini
bukan merah karena marah.
Dia& & " Dia& & "
Song Cu Ling memandang muridnya dengan wajah berseri-seri dan senyum menggoda. Ia merasa beruntung
dan girang bahwa ternyata benar seperti dugaannya, nama pemuda itu merupakan panah asmara yang
menembus jantung hati Lian Hwa.
Untuk sejenak Lian Hwa menatap wajah gurunya, kemudian tiba-tiba memeluk gurunya sambil
menyembunyikan mukanya ke dada wanita itu. Song Cu Ling merasa betapa air mata yang hangat
membasahi bajunya dan menembus ke kulitnya.
Ternyata Lian Hwa telah menangis, menangis tersedu-sedu dan tubuhnya bergoyang-goyang karena isak
tangisnya. Song Cu Ling merasa sangat terharu dan sambil memeluk muridnya, iapun ikut menangis pula!
Sementara itu, di dalam kelenteng itupun terjadilah hal sama. Setelah guru dan murid wanita itu keluar, Gwat
Liang Tojin memberitahukan muridnya bahwa ia dan Song Cu Ling, juga Gan Keng Hiap, telah bermufakat
untuk menjodohkan ia dengan Lian Hwa.
Ketika Cin Han mendengar berita yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini tak tahu harus berkata apa dan
bersikap bagaimana. Wajahnya memerah dan dadanya berdebar-debar. Sampai lama ia tidak dapat menjawab
gurunya. Setelah tiga kali Gwat Liang Tojin bertanya, Bagaimana pikiranmu, Han"
Ia hanya dapat mengangguk-angguk saja!
Gwat Liang Tojin tersenyum lalu berkata, Nah, kesinikan po-kiammu itu.
Cin Han meloloskan sarung pedangnya dan memberikan itu kepada gurunya dengan hormat. Gwat Liang Tojin
membawa pedang itu keluar di mana ia melihat Lian Hwa masih terisak-isak di dada gurunya!
Diam-diam pertapa itu menghela napas dan berbisik, Ahh perempuan pandainya menangis saja!
Tapi ia merasa heran dan khawatir juga melihat kedua orang itu bertangis-tangisan. Baru hatinya menjadi lega
kembali ketika Song Cu Ling berpaling kepadanya dan mengangguk kepadanya sebagai tanda bahwa urusan
telah beres! Lian Hwa melihat Gwat Liang Tojin menjadi makin malu dan tidak berani memandang. Maka ketika gurunya
minta Sian-liong-kiamnya ia meloloskan pedang itu dengan kedua tangan gemetar!
Nah, kedua po-kiam telah ditukar sebagai lambang tertukarnya dua hati, kata Song Cu Ling seperti berdoa.
Semoga kedua po-kiam menjadi saksi dan berkah bagi pertunangan ini, kata Gwat Liang Tojin yang betul-
betul berdoa. Setelah menerima pedang Cin Han dari Gwat Liang Tojin sebagai tukaran pedang Lian Hwa, Song Cu Ling
memberikan pedang Kong-hwa-kiam itu kepada Lian Hwa. Tapi Lian Hwa menunduk saja sambil ujung
matanya mengerling ke arah Gwat Liang Tojin tanpa memandang mukanya. Ia malu kalau harus menerima
pedang Cin Han dihadapan orang tua itu.
Gwat Liang Tojin yang berpengalaman tertawa bergelak lalu kembali memasuki bio.
Setelah Gwat Liang Tojin pergi, Lian Hwa menerima pedang itu dari tangan gurunya dan memandang ukiran
burung Hong di sarung pedang dengan mesra.
Song Cu Ling tertawa gembira.
Lian Hwa, kudoakan semoga kau kelak hidup berbahagia sampai di hari tua dengan suamimu& & dan tiba-tiba
pendekar wanita tua ini memalingkan mukanya karena ia merasa air matanya hendak menetes keluar ketika
ia teringat akan nasib sendiri yang ditinggal mati oleh suami di waktu muda.
Subo, ijinkan teecu kembali lebih dulu ke Lam-hu-teng. Dan tanpa menanti jawaban, Lian Hwa bertindak
pergi. Anak pemalu! Baiklah, kita akan berjumpa lagi lain bulan malam kelimabelas! jawab gurunya dengan mulut
tertawa tetapi mata menangis.
Kemudian Song Cu Ling memasuki bio dan ia minta diri dari Gwat Liang Tojin untuk pulang ke rumah Gan Keng
Hiap yang ditinggalkannya seminggu lebih dan berjanji hendak datang berkumpul lain bulan malam
kelimabelas. Si Dewi Tanpa Bayangan yang sudah cukup berpengalaman itu dapat menangkap sinar mata Cin
Han yang mencari-cari, maka ia berkata dengan senyum.
Lian Hwa telah kembali ke Lam-hu-teng dan minta aku sampaikan maaf karena tidak sempat berpamit.
Cin Han merasa tergoda, maka ia buru-buru mohon agar nyonya tua itu menyampaikan hormatnya kepada
paman dan bibinya. Setelah Song Cu Ling pergi, Gwat Liang Tojin berkata, Nah, muridku, sekarang kitapun harus berpisah. Aku
melihat kedudukan Pek-lian-kauw kuat sekali. Baru Bong Cu saja sudah sukar dilawan. Apalagi kalau ia
berhasil membujuk sucinya turun gunung.
Siapakah sucinya, suhu"
Sucinya adalah Sin-kun Mo-li Lan Bwee Niang-niang si Iblis Perempuan Kepalan Dewa. Iblis perempuan ini lihai
sekali dan ilmu-ilmu yang dahsyat dari Bong Cu didapatkan dari sucinya ini.
Cin Han diam-diam merasa ngeri juga mendengar lawan-lawan berat ini.
Maka tidak ada jalan lain bagi kita selain minta bantuan dari orang-orang berilmu tinggi. Tiang Pek sicu sudah
kuberi nasihat untuk mendatangi Kun-lun-san. Aku sendiri hendak mencari Beng San supek. Aku pergi sekarang,
muridku, bertemu lagi bulan depan.
Guru dan murid itu berpisah, Cin Han berpikir lebih baik ia kembali ke Lam-hu-teng untuk berkumpul dengan
Nyo Tiang Pek. Apalagi kalau ia pikir bahwa tunangannya pun berada di sana. Ia merogoh ke dalam saku
bajunya sebelah dalam dan mengeluarkan sebuah teratai merah. Barang ini adalah perhiasan Ang Lian Lihiap
yang dulu dilempar oleh gadis itu ketika kalah bertempur olehnya.
Sejak teratai merah itu berada di tangannya, tak pernah ia lepaskan dari saku bajunya. Ia memandang teratai merah itu dan memegang-megang pedang Sian-liong-kiam yang kini tergantung di pinggangnya. Hatinya
senang dan gembira sekali. Inikah kebahagiaan"
"%Y"% Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa yang malam itu juga meninggalkan gurunya dan pergi menuju ke Lam-hu-teng,
di sepanjang jalan merasa hatinya senang luar biasa. Bulan yang mengintai di balik awan tampak lebih
bercahaya dan seakan-akan tersenyum manis kepadanya. Segala apa yang terlihat di sekitarnya tampak indah
menyenangkan. Berkali-kali ia mengambil pedang Kong-hwa-kiam dan menempelkan sarung pedang indah berlukiskan burung
Hong itu ke dadanya. Kemudian karena dorongan hatinya, ia mencabut pedang Cin Han itu dari sarungnya dan
bersilat pedang di bawah sinar bulan purnama. Pedang Kong-hwa-kiam berkilat-kilat dan merupakan
segulungan sinar putih membungkus dirinya ketika ia memainkan Sian-liong-kiam-hwatnya yang hebat.
Ketika ia tiba di kelenteng di luar kota Lam-hu-teng, kebetulan sekali Nyo Tiang Pek dan Kong Sin Ek telah
berada di situ, baru saja datang kembali dari perjalanan mereka mencari bantuan. Girang sekali hati si Garuda
Kuku Emas melihat gadis itu.
Eh, Lian-moi pergi ke mana saja" Kami sampai pusing dan khawatir sekali memikirkanmu, tegurnya.
Lian Hwa lalu menceritakan pengalamannya di sarang Pek-lian-kauw dan menceritakan pula betapa Gwat
Liang Tojin dan Song Cu Ling menolong dia dan Cin Han dari bencana. Entah bagaimana tiap kali menyebut
nama tunangannya, hatinya berdebar dan pipinya memerah! Nyo Tiang Pek mengerutkan jidat dengan hati
cemas mendengar tentang kelihaian pihak lawan, tapi ia girang mendengar bahwa kedua orang tua itu hendak
mencari bantuan. Tiba-tiba Kong Sin Ek yang selalu bermata tajam dapat melihat pedang Cin Han tergantung di pinggang Lian
Hwa. Eh, eh! Lihiap sudah berganti pedang" Kalau tidak salah, ini adalah pedang Hwee-thian Kim-hong" Mengapa
Lihiap yang membawa dan Sian-liong-kiammu di mana"
Nyo Tiang Pek pun merasa heran dan mengajukan pertanyaan.
Lian Hwa merasa begitu malu sehingga ia ingin bumi yang diinjaknya terbelah agar ia dapat meloncat ke
dalam dan bersembunyi! Ia hanya tersenyum-senyum malu dan menundukkan kepala.
Nyo Tiang Pek yang masih muda tidak segera dapat mengerti, tapi Kong Sin Ek tiba-tiba menepuk-nepuk
tangannya dan tertawa senang. Ah& & hal ini harus dirayakan dengan arak! Dan si Dewa Arak ini lalu
menenggak guci araknya. Kemudian sambil tertawa dan keringkan mulut dengan lengan bajunya, ia menjura
kepada Lian Hwa, Lihiap, kiong-hi, kiong-hi& &
Lian Hwa terpaksa balas memberi hormat kepada orang tua itu dan mukanya makin memerah.
Nyo Tiang Pek dengan heran dan girang maju memegang pundak Lian Hwa. Adikku& & betulkah ini" Betulkah
kau saling mengikat janji dengan Cin Han dan bertukar po-kiam"
Lian Hwa, terpaksa dengan tunduk dan wajah kemerah-merahan menceritakan tentang pertunangannya
dengan Cin Han yang diselenggarakan oleh kedua guru itu.
Lian-moi, selamat& & selamat! Cin Han memang pantas menjadi calon suamimu. Aku girang sekali, adikku!
?"10.30. Dua Keping Hati Berbicara . . . . .
Merasa dirinya digoda, Lian Hwa cemberut dan memandang wajah Nyo Tiang Pek dengan marah.
Sudahlah jangan marah, Lian-moi! Mari kita rundingkan urusan yang menjadi kewajiban kita. Aku telah pergi
ke Kun-lun-san, tapi ketua Kun-lun-pai hanya menyanggupi untuk menjadi pendamai saja dan, akan menyuruh
Lui Siok Totiang mewakilinya. Kurasa, karena keadaan lawan demikian lihai, lebih baik kita pergi mencari
bantuan lain agar kedudukan kita kuat.
Kau benar, Nyo-taihiap. Aku hendak pergi ke utara mencari beberapa orang kawan, kata Ciu-hiap Kong Sin
Ek. Ya, dan akupun hendak mencari suhu yang kabarnya berada di Lun-an. Dan kau, adikku, kalau kau belum
banyak berkenalan dengan orang-orang kang-ouw, lebih baik kau menjadi penyelidik saja.
Penyelidik" Aku tidak mengerti maksudmu, twako.
Begini, kalau orang hendak pergi ke sarang Pek-lian-kauw, ia tentu akan melalui kampung Gu-lok-chung. Nah,
kautinggallah di sana, lihat saja siapa yang naik ke Bukit Hong-lai-san untuk membantu Pek-lian-kauw, agar
kita lebih waspada. Baik, twako. Tapi kau harus menyamar menjadi laki-laki agar jangan menimbulkan kecurigaan orang.
Setelah menyiapkan pakaian dan lain-lain keperluan penyamaran, Lian Hwa merobah diri menjadi seorang
kongcu yang tampan sekali, lalu berang kat ke Gu-lok-chung.
Kemudian Nyo Tiang Pek dan Kong Sin Ek berangkat untuk mencari bantuan. Mereka sejurusan dan berangkat
bersama-sama. Baru saja mereka keluar dari kota Lam-hu-teng, mereka bertemu dengan Cin Han yang hendak
ke kota itu. Nyo Tiang Pek segera memeluk pemuda itu. Lauwte, kiong-hi! katanya sambil memandang pedang Sian-liong-
kiam yang kini tergantung di pinggang Cin Han.
Eh, eh& & mengapa kau berkata begitu, twako" tanya Cin Han yang berlagak bodoh.
Ahh, berpura-pura lagi! kata Tiang Pek, dan Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak sambil mengucapkan selamat
pula. Akhirnya Cin Han tidak dapat menyangkal pula dan menerima pemberian selamat mereka dengan gembira.
Rasa cemburu terhadap Nyo Tiang Pek yang tadinya menggoda hatinya, kini lenyap sama sekali, bahkan tiba-
tiba ia teringat sesuatu. Alangkah baiknya kalau orang she Nyo yang muda dan gagah perkasa ini dijodohkan
dengan Coa Giok Lie yang cantik jelita!
Ia ingat bahwa Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan itu tinggi sekali ilmu ginkangnya hingga Ang Lian Lihiap
sendiri setelah menjadi muridnya sekarang memiliki ginkang yang luar biasa. Kini Giok Lie menjadi murid Song
Cu Ling, tentu gadis inipun akan memiliki ilmu kepandaian silat yang lihai, biarpun gadis itu tadinya tidak
mengerti ilmu silat. Sedangkan dalam hal ilmu kesusasteraan, juga ilmu pekerjaan tangan, gadis itu boleh
dikatakan seorang ahli. Maka sambil tersenyum ia mulai menjalankan peranannya sebagai perantara, Nyo-twako, aku baru saja
bertemu dengan piauw-moiku. Ah, anak nakal dan bandel betul piauw-moiku itu. Karena memiliki kepandaian
tinggi ia menjadi jumawa sekali dan ketika paman ingin mengawinkan piauw-moiku berkata bahwa ia hanya
mau diperisteri oleh seorang hohan yang dapat mengalahkannya!
Eh, lauwte, siapakah piauw-moimu itu dan apa maksudmu menceritakan semua ini kepadaku"
Piauw-moiku adalah sumoi dari& & dari& & Ang Lian Lihiap, ia sukar sekali menyebut nama Lian Hwa, dan
maksudku menceritakan kepadamu, twako, tidak lain aku akan senang sekali bila kau menjadi piauw-moi-hu
ku! Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak. Betul, betul! Nyo-taihiap perlu dipasangi kendali, sudah tiba waktunya!
Eh, ada-ada saja, apa maksudmu, Kong lo-enghiong" tanya Tiang Pek tertawa.
Kuda kalau tidak dipasangi kendali pada hidungnya, akan tetap binal dan liar. Maka kaupun perlu dipasangi
kendali, dan agaknya baik sekali kalau yang memasang kendali itu adik Lo Cin Han taihiap sendiri, apa pula
kalau itu sumoi dari Ang Lian Lihiap. Biarpun belum bertemu dengan orangnya, aku berani memastikan ia
bukan orang sembarangan dan pasti tidak mengecewakan!
Baru tahulah kini Nyo Tiang Pek akan maksud-maksud mereka itu. Ia hanya tertawa dan menggeleng-geleng
kepala. Tapi diam-diam dalam hatinya timbul juga keinginan tahu yang besar. Ingin ia melihat adik misan Cin
Han itu. Ingin ia mencoba kepandaian gadis jumawa itu. Ingin ia menaklukkannya !
Tapi sedikitpun tiada terdapat keinginan kawin, biar dengan siapa juga. Hatinya belum pernah tercuri oleh
wanita. Tadinya ia sangka bahwa ia cinta kepada Lian Hwa, tapi kemudian ternyata bahwa perasaannya
terhadap gadis itu hanya cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya sendiri, tak mungkin ia mencintanya
sebagai seorang kekasih. Kini adiknya itu mendapat jodoh seorang pemuda yang gagah perkasa seperti Cin Han, tentu saja ia sangat
girang. Lauwte, kaupergilah ke Gu-lok-chung, selidiki baik-baik siapa yang naik ke Hong-lai-san membantu Pek-lian-
kauw. Ada seorang kawan kita sudah menjaga di situ, tapi kukhawatir ia akan menemui celaka jika terlihat
oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Aku dan lo-enghiong hendak pergi mencari bantuan.
Karena pikirannya penuh dengan Lian Hwa, maka Cin Han tidak memperhatikan kata-kata Tiang Pek dan tidak
bertanya ke mana perginya Ang Lian Lihiap, tapi ia tidak kuasa membuka mulut karena malu. Terpaksa ia pergi
menuju ke Gu-lok-chung untuk melaksanakan tugasnya.
"%Y"% Di kampung itu ia menyewa kamar dalam rumah penginapan Chian-lok, satu-satunya rumah penginapan yang
ada di kampung itu. Kamarnya berada di ujung belakang. Maka mulailah ia memasang mata dan
memperhatikan para tamu. Ia dapat melihat nama-nama para tamu di buku daftar, dengan pura-pura mencari
teman. Ada dua nama yang mencurigakan hatinya. Seorang bernama Ma Kie Liang dan seorang lain bernama Siauw
Han. Ia curiga karena Ma Kie Liang datang dari Kang-lam dan Siauw Han dari daerah selatan. Mengapa dua
orang yang bertempat tinggal sejauh itu datang ke sini"
Malam itu Cin Han meloncat ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar Ma Kie Liang, tapi kamar itu
kosong. Pada waktu itu kentongan peronda kampung berbunyi duabelas kali. Cin Han heran melihat keadaan
begitu sunyi karena tadi jelas terdengar olehnya suara kaki menginjak genteng.
Suara itulah yang membuat ia meloncat ke luar dari kamarnya. Ia lalu meloncat ke atas kamar Siauw Han, tapi
baru saja menginjak genteng bagian itu, dari jendela Siauw Han meloncat keluar seorang berpakaian hitam
yang disusul oleh seorang berbaju putih.
Pengejar berbaju putih itu berlari sambil membentak, Bangsat rendah jangan lari!
Cin Han kaget mendengar suara ini, tapi berbareng ia merasa girang sekali, karena ia mengenal suara ini bukan
lain adalah suara Ang Lian Lihiap! Hampir saja ia memanggil, tapi tiba-tiba ia ingat akan hubungannya dengan
gadis itu dan rasa malu mencegah mulutnya yang sudah terbuka hendak memanggil namanya.
Ia melihat orang yang dikejar oleh Lian Hwa itu gerakannya cukup gesit dan larinya cepat, tapi Lian Hwa
mengejar dengan secepat tenaga pula hingga sebentar saja kedua orang itu telah lenyap dari pandangan. Cin
Han merasa khawatir akan keselamatan Lian Hwa, karena ternyata mereka yang berkejar-kejaran itu menuju
ke Bukit Hong-lai-san, sarang Pek-lian-kauw! Maka iapun segera meloncat dan lari cepat mengejar pula.
Ketika ia mengejar sampai di kaki bukit, ternyata Lian Hwa telah dapat mengejar lawannya dan mereka
sedang bertempur dengan hebat. Melihat Lian Hwa dapat mengurung dan mendesak lawannya dengan sinar
pedangnya, hati Cin Han agak lega.
Tapi tiba-tiba ia melihat seorang hwesio berdiri di bawah pohon menonton pertempuran itu dan melihat lawan
Lian Hwa terdesak, hwesio itu memungut sebuah batu kecil lalu menyambit ke arah Lian Hwa. Tapi baru
sampai di tengah jalan, batu itu tertumbuk oleh lain batu hingga menerbitkan suara dan kedua batu jatuh ke
tanah. Hwesio itu cepat berpaling dan memandang kepada Cin Han dengan marah.
Bangsat kecil, majulah! ia menantang dan memalangkan tongkat besinya di depan dada.
Cin Han mencabut pedangnya dan meloncat ke depan hwesio itu lalu menyerang. Tangkisan tongkat
menunjukkan bahwa lawannya bertenaga besar juga, tapi Cin Han terus mendesak dengan hebat.
Tiba-tiba ia mendengar Lian Hwa berteriak, Aya!! dan gadis itu roboh pingsan.
Cin Han menahan napas dan meloncat ke arah lawan Lian Hwa, tapi hwesio itu menghalanginya. Lawan Lian
Hwa mengebut-ngebutkan saputangan yang tadi dipakai untuk membuat Lian Hwa pingsan, lalu tetawa
bergelak-gelak. Sute, tahan bangsat kecil itu dulu, aku hendak bawa bunga ini ke atas gunung untuk dihadiahkan kepada
twa-suheng. Cin Han terkejut sekali, karena ia maklum bahwa penjahat itu adalah anggauta Pek-lian-kauw dan sudah tahu
bahwa Lian Hwa yang berpakaian sebagai laki-laki itu adalah wanita yang menyamar. Ia tahu pula maksud
jahat orang itu, maka dengan kertak gigi pusatkan perhatiannya kepada pedangnya lalu percepat gerakannya.
Beberapa kali pedangnya berkelebat dan tiba-tiba lawannya menjerit keras karena tongkatnya terpotong


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berikut lengan kirinya. Melihat lawannya tak berdaya lagi, Cin Han segera mengejar penjahat yang
memondong tubuh Lian Hwa dan sedang lari ke bukit itu.
Ternyata penjahat itu dapat lari cepat, tapi karena Cin Han sedang marah dan gemas, pula karena penjahat itu
harus memondong tubuh Lian Hwa, sebentar saja Cin Han dapat mengejarnya dan hanya berada beberapa
tombak di belakangnya. Sementara itu mereka telah mendekati tempat penjagaan pertama dari Pek-lian-kauw.
Cin Han maklum bahwa jika penjahat itu sudah melewati tempat penjagaan akan sukar baginya untuk
menolong Lian Hwa karena ia harus menghadapi lawan-lawan baru. Maka karena terburu-buru, ia merogoh
sakunya, mengeluarkan bunga teratai merah itu dan mengayunkan lengannya. Bunga teratai itu meluncur
cepat ke arah betis lawan dan dengan keras sekali menusuk betis penjahat yang memondong Lian Hwa
hingga orang itu berteriak kesakitan dan jatuh tersungkur.
Sementara itu, Cin Han sudah memburu ke depannya dan sekali tendang ia membikin orang itu terlempar
beberapa kaki jauhnya dan tak bergerak, pingsan. Lian Hwa yang tadi dipondong dan ikut jatuh tersungkur
tampak tak bergerak bagaikan mati.
Cin Han lupa akan perasaan malu. Ia menubruk gadis itu dan menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil
menangis. Lian moi& & Lian Hwa& & .
Tapi Lian Hwa tetap rebah tak bergerak dengan kedua mata tertutup. Dari tempat penjagaan turun dua orang
membawa golok. Melihat kedua kawan yang terluka dan rebah merintih-rintih itu, kedua penjahat itu lalu lari
ke arah Cin Han dengan golok terangkat.
Cin Han yang merasa bingung dan marah segera berdiri dan sekali berkelebat, tubuhnya telah ber ada di depan
kedua penjaga itu. Mana kedua penjaga kasar itu dapat melawan Cin Han. Biarpun hanya bertangan kosong,
Cin Han sekali gebrak saja dapat menendang seorang sehingga remuk tulang kakinya dan yang seorang pula
ia ketok hingga putus sambungan tulang pundaknya.
Setelah merobohkan lawannya, Cin Han memondong tubuh Lian Hwa dan lari turun gunung. Tiap tiga langkah,
ia memanggil nama Lian Hwa.
Tiba-tiba Lian Hwa bergerak perlahan-laha n. Segera Cin Han membaringkan tubuh Lian Hwa di at as rumput dan
ia pergi mengambil air anak sungai yang mengalir di dekat situ. Dengan sehelai saputangan ia membasahi
muka Lian Hwa. Kini wajah Lian Hwa yang tadi tampak pucat sudah mulai merah lagi. Tiba-tiba Cin Han teringat sesuatu, dan ia
berlari meninggalkan Lian Hwa menuju, ke tempat pertempuran tadi. Empat orang penjaga yang baru saja
turun dari bukit dan sedang menolong kawan-kawan mereka, melihat kedatangan Cin Han segera ramai-ramai
mengepung tapi Cin Han kembali mengamuk hingga dalam beberapa jurus saja, empat penjaga yang tadinya
datang dengan maksud menolong orang-orang luka itu kini mereka sendiri rebah merintih-rintih dengan tulang
putus dan kepala bengkak!
Setelah merobohkan semua lawannya, Cin Han mengambil perhiasan teratai merah yang masih menancap di
betis penjahat yang menjatuhkan Lian Hwa tadi, karena sebenarnya hanya untuk itulah ia datang kembali. Lalu
sebelum meninggalkan tempat itu, lebih dulu ia berkata kepada lawan-lawannya yang menggeletak malang
melintang di atas tanah. Hai kalian penjahat-penjahat Pek-lian-kauw! Karena mengingat hari ini belum sampai saatnya pertempuran
yang telah dijanjikan maka aku mengampuni jiwamu sekalian. Biarlah ini menjadi pelajaran bagimu agar
kalian jangan terlalu sewenang-wenang dan bersimerajalela melakukan segala kejahatan, seakan-akan dunia
ini tiada orang yang akan berani melawan dan menumpasmu! Kemudian secepat terbang ia kembali ke
tempat di mana Lian Hwa berbaring.
Ia bingung sekali melihat Lian Hwa masih diam tak bergerak! Diraba-rabanya kening gadis itu dan dipegangnya
pergelangannya. Tapi keningnya tidak terasa panas dan pergelangan tangannya berdetik biasa.
Cin Han merasa heran dan makin bingung. Gadis ini terang sekali telah menahan napas menghadapi
pertempuran yang hebat dan mencium bau racun yang memabukkan dari saputangan penjahat itu. Bagaimana
kalau sampai Lian Hwa mati karena ini" Cin Han makin bingung, belum pernah selama hidupnya ia merasa
bingung seperti ini. Hampir ia menangis dan memanggil-manggil nama tunangannya.
Sebenarnya Lian Hwa telah semenjak tadi sadar dari pingsannya. Gadis ini timbul kenakalannya karena
gembira. Ia sengaja diam saja untuk menggoda Cin Han dan melihat sikap pemuda itu.
Kini melihat kesedihan dan kebingungan Cin Han, ia merasa kasihan. Tiba-tiba Cin Han yang masih memegang
lengan gadis itu merasa bahwa lengannya terpegang pula oleh tangan yang halus dan ia mendengar suara
yang halus merdu berkata, Koko...... jangan bingung, aku tidak apa-apa& &
Cin Han memandang ke bawah dan heran melihat wajah Lian Hwa tersenyum malu-malu sambil
memandangnya dengan mata setengah terkatup. Untuk sesaat Cin Han mempererat pegangan tangannya
pada lengan Lian Hwa, tapi ia ingat bahwa ia sejak tadi memegangi lengan orang, maka cepat-cepat ia
menarik kembali tangannya dan wajahnya terasa panas bagaikan terbakar karena malunya! Lian Hwa bangun
duduk dan menundukkan kepala.
Lian& & kau& & terkena racun penjahat itu.
Baiknya kau cepat datang menolong, koko.
Ketika tadi melihat kau mengejarnya, aku sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda baju putih itu adalah
engkau. Bukankah dahulu pernah kau berjumpa dengan aku dalam pakaian seperti ini"
Dulu lain lagi, kau dulu menjadi seorang pemuda sasterawan, sedangkan sekarang. menjadi pemuda
pendekar! Mereka mulai merasa biasa dan lenyap rasa malu dan sungkan. Hanya sewaktu-waktu bila tanpa sengaja
mata mereka saling memandang, maka menjalarlah warna merah di wajah masing-masing dan selalu Lian
Hwa menundukkan muka lebih dulu, tapi diam-diam ujung matanya mengerling!
Lama juga mereka duduk di atas rumput dan mereka agaknya lupa akan maksud mereka di situ, akan
keadaan sunyi di sekeliling, dan lupa akan segala-galanya! Sinar bulan mulai suram karena terhalang oleh
mega putih. Lian-moi, ini perhiasanmu. Semenjak dulu kusimpan saja, padahal aku tak berhak& &
Mengapa tidak berhak, koko" Memang dulu kutinggalkan dengan maksud& &
Dengan maksud& & ""
Supaya kau menyimpan, yaitu, kau menyimpan untukku, supaya& &
Supaya& & apa& & "
Supaya kau takkan melupakan aku.
Dada Cin Han berdebar keras, jantungnya seakan-akan menari-nari dan berloncat-loncatan dalam rongga
dadanya. Jadi kalau begitu, Lian Hwa semenjak perjumpaan pertama itu telah ada hati padanya"
Rasa terharu menghapus semua rasa malu-malu. Ia memegang lengan Lian Hwa dan berkata perlahan. Dan
semenjak itu, Lian-moi& & semenjak kau pergi itu, teratai merah inilah yang menjadi penawar rindu hatiku.
Aah, kau bohong, koko! Dan dengan tersenyum Lian Hwa bangun berdiri, tapi Cin Han menarik lengannya
hingga ia terduduk kembali. Tenaga tarikan itu membuat ia terduduk dekat sekali dan kare na mesranya
pegangan tangan Cin Han, ia menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.
Lian, bilanglah, bagaimana pendapatmu tentang& & pedangku itu" Sukakah kau kepada& & pedang itu"
Dan, koko, bagaimana dengan engkau" Sukakah kau kepada...... teratai merah dan pedangku pula"
Cin Han mengangguk-angguk. Di dunia ini tak ada yang lebih kusuka daripada itu.
Lama mereka berdiam diri tak bergerak hingga mereka dapat mendengar bunyi detik jantung masing-masing.
Kemudian Lian Hwa berkata dalam bisikan,
Koko, tahukah kau bahwa telah dua kali aku merasa...... cemburu padamu hingga aku jadi membencimu"
Cin Han dapat menduga bahwa yang dimaksudkan tentu Giok Lie, tapi ingin mendengar kekasihnya membuat
pengakuan sendiri, maka ia menggelengkan kepala.
Pertama aku merasa cemburu padamu ketika kita ditawan oleh dua nikouw di kelenteng dulu itu. Kedua
kalinya, yakni ketika ketika kau menolong anak pangeran she Coa itu.
Kau maksudkan Giok Lie sumoimu"
Lian Hwa tertawa. Ya, sekarang ia menjadi sumoiku. Aku harus minta maaf padanya.
Dan tahukah kau, bahwa akupun pernah merasa cemburu padamu"
Lian Hwa mengangkat kepalanya dari bahu Cin Han dan memandang pemuda itu dengan heran.
Mega penghalang bulan telah pergi dan bulan memancarkan cahaya penuh ke wajah Lian Hwa hingga tak
habis kagumnya mata Cin Han mengagumi wajah yang cantik, kulit muka yang halus, mata yang bening dan
lebar bagaikan mata burung Hong, dan tiada habisnya hidungnya menikmati harum yang membuatnya
berdebar, yang keluar dari rambutnya yang hitam itu.
Kau cemburu, koko" Siapa yang membuatmu cemburu"
Cin Han berdehem perlahan, ia merasa terlanjur bicara.
Aku cemburu kau dengan& & Nyo-twako!
Iihh! Ada-ada saja kau ini. Nyo-twako telah menjadi kakakku sendiri. Tahukah kau, aku katanya mirip dengan
adik perempuannya yang telah meninggal dunia. Kau kejam sekali menuduhnya.
Karena itu, maka untuk menebus kedosaanku itu, aku hendak mencoba menjodohkan dengan Giok Lie.
Kedua mata Lian Hwa memancarkan cahaya gembira. Bagus! Baik sekali. Aku akan membantumu, koko!
Demikianlah dengan gembira dan bahagia taruna dan remaja itu bercakap-cakap di atas rumput di bawah
bulan yang tinggal separoh. Kemudian mereka berjalan menuju ke kampung Gu-lok-chung sambil
bergandengan tangan. ?"11.31. Undangan Maut Pengkhianat Bangsa
Berhari-hari mereka melakukan penyelidikan dan pengawasan. Mereka kini bekerja dengan hati-hati sekali
sehingga dapat menghindarkan segala bentrokan dengan orang Pek-lian-kauw.
Ternyata dalam beberapa hari itu, hanya ada tiga orang yang naik ke Bukit Hong-lai-san, dua orang hwesio dan
seorang tosu yang, bermuka merah.
"%Y"% Pada hari keduabelas dari bulan yang telah ditetapkan untuk pertandingan itu, berturut-turut datang Nyo Tiang
Pek, Kong Sin Ek, Hwat Khong Hwesio, Pek Siong Tosu, Lui Siok Tojin wakil dari Kun-lun-pai. Pada hari
ketigabelas datanglah berturut-turut Song Cu Ling dan Gwat Liang Tojin. Mereka semua beramai-ramai
berkumpul dalam kelenteng tua yang telah disiapkan oleh Nyo Tiang Pek.
Pada sore harinya datanglah bala bantuan yang diundang oleh Tiang Pek, yakni Biauw In Suthai, seorang
pendeta wanita kawan baik Kam Hong Tie, dan dua orang balabantuan yang didatangkan oleh Kong Sin Ek,
yaitu Sepasang Naga dari Tit-lee bernama Ong Su dan Ong Bu, dua orang hiap-kek yang telah menggemparkan
dunia persilatan dengan permainan tombak mereka.
Song Cu Ling tak berhasil mengundang seorang pun, dan semua orang bernapas lega ketika Gwat Liang Tojin
memberitahukan bahwa ia berhasil menghadap supeknya yaitu Beng San Siansu, dan setelah menceritakan
duduknya segala hal. Supek yang sudah lepas tangan dari urusan dunia itu janji bahwa beliau hendak datang
melihat-lihat dan sedapat mungkin menolong mereka jika menghadapi bencana.
Demikianlah, pada malam kelimabelas, jam sembilan malam, ketika bulan purnama telah naik tinggi, semua
orang tersebut berangkat beramai-ramai mendaki Hong-lai-san menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
Malam itu sungguh terang. Tak sedikitpun awan menjadi penghalang bagi sang ratu malam membanggakan
cahaya bumi. Di Bukit Hong-lai-san sedikit angin pun tiada, seakan-akan sang angin ikut prihatin melihat apa
yang akan dilakukan oleh orang-orang berkepandaian tinggi di puncak bukit itu. Keadaan sunyi sepi, seekor
jangkerikpun tak berani berkerik, agaknya mereka tahu bahwa sebentar lagi akan banjir darah merah
menakutkan sehingga siang-siang mereka telah mengungsi ke lain daerah aman.
Sepuluh orang terkemuka di kalangan kang-ouw, duabelas dengan Cin Han dan Lian Hwa, berjalan dengan
tenang mendaki bukit. Ketika mereka tiba di tempat penjagaan pertama, para penjaga di situ berdiri
merupakan barisan di kanan kiri dengan golok dilintangkan di dada, memberi jalan kepada para tamu dengan
sikap menghormat sekali. Demikianpun di tempat penjagaan kedua, ketiga dan seterusnya.
Mereka tentu mendapat bantuan orang luar biasa hingga bernyali besar dan tidak mengganggu perjalanan
kita ke sarang mereka, Gwat Liang Tojin berbisik kepada Nyo Tiang Pek.
Cin Han mendengar ini merasa betapa seluruh urat tubuhnya menjadi tegang, belum pernah ia menghadapi
pertempuran yang dapat dibayangkan betapa dahsyatnya ini. Sebenarnya, semua orang yang sedang naik ke
bukit itu, kecuali Kong Sin Ek yang masih enak-enak menenggak arak sambil berjalan, diliputi ketegangan.
Ketika mereka sampai di tembok penjagaan kesembilan dan yang terakhir, di depan pintu gerbang tembok ini
yang terbuka lebar, berdiri beberapa orang menyambut mereka. Pihak Pek-lian-kauw yang menyambut ini
adalah Bong Cu Sianjin ketua Pek-lian-kauw, di kanannya berdiri Kim Eng si Dewi Cabul, di sebelah kirinya
berdiri Khai Sin Tosu, Hong Su ketua Kwi-coa-pai yang ternyata belum mampus dan rupa-rupanya telah dapat
disembuhkan luka berat di pundaknya, dua orang hwesio yakni Beng Beng Hwesio dan Beng Leng Hwesio dari
cabang Tiauw-san-pai yang terkena bujukan juga, dan seorang tosu mata satu yaitu Kin Pin Tosu dari Gunung
Liang-kek-san. Tosu ini mata kanannya telah buta, tapi mata tunggalnya yang sebelah kiri bersinar-sinar
bagaikan bintang pagi. Melihat di situ tidak ada Lan Bwee Niang-niang si Iblis Perempuan Kepalan Dewa, Gwat Liang Tojin bernapas
lega. Sebagai orang tertua, ia menjadi pemimpin rombongannya dan sambil menjura kepada para penyambut.
Cuwi yang terhormat, kami telah datang memenuhi undangan cuwi.
Selamat datang, selamat datang! Bong Cu Sianjin berkata sambil tertawa. Silakan masuk ke tempat kami
yang buruk! Gwat Liang Tojin dengan kawan-kawannya memasuki sarang Pek-lian-kauw dengan berani. Di gedung yang
besar dan megah itu ternyata telah dipersiapkan untuk menyambut mereka.
Beratus lilin besar menerangi ruangan mengalahkan cahaya bulan di luar gedung. Sebuah meja panjang dan
lebar dipasang di tengah ruang depan dan lebih dari tigapuluh buah kursi mengitari meja itu.
Silakan duduk saudara-saudara yang mulia! Demikian Bong Cu Sianjin mempersilakan tamu-tamunya dengan
senyum masih menghias mukanya yang seperti boneka.
Tanpa ragu-ragu lagi Gwat Liang Tojin mengambil tempat duduk, diturut oleh semua kawannya. Mereka tak
gentar sedikit juga walaupun mereka melihat betapa puluhan orang yang berpakaian seragam, yakni dengan
gambar bunga teratai putih di dada masing-masing, mengepung gedung itu dengan senjata lengkap.
Pihak tuan rumah yang terdiri dari tujuh orang itupun mengambil tempat duduk di meja itu, menghadapi para
tamu. Pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda datang berlari-larian sambil membawa
tempat arak, dan segala macam masakan yang masih mengebulkan asap dan yang menghamburkan bau
sedap memenuhi ruangan. Bong Cu Sianjin berdiri dan memperkenalkan kawan-kawannya kepada para tamu. Bong Cu Sianjin lalu
mempersilakan tamu-tamunya makan dan minum seadanya.
Nanti dulu, Bong Cu to-yu! Makan dan minum adalah urusan kecil. Mari kita selesaikan urusan besar lebih dulu.
Sebulan yang lalu kau undang kami datang pada malam hari ini. Nah, kami sudah datang, apakah
kehendakmu" Bong Cu Sianjin tertawa keras. Ah, semangatmu benar-benar masih seperti anak muda, Gwat Liang! Kau ingin
tahu maksudku mengundang kalian" Selain ingin menjamu minum arak, juga hendak minta penjelasan
mengapa kalian selalu mengganggu kami, dan kalau perlu kami hendak menagih hutang-hutangmu beberapa
jiwa orang anggauta kami.
Itukah kehendakmu" Bagaimana dengan jiwa beratus rakyat yang menjadi korban para anggotamu" tanya
Gwat Liang dengan suara tenang.
Bong Cu masih tertawa. Ia menuang arak wangi dalam cawannya lalu minum itu dengan sekali tenggak.
Kau orang tua usilan sekali, masih suka ikut campur urusan orang lain. Yang kami basmi rakyat pemberontak,
rakyat yang jahat, untuk membela yang benar.
Hem, Bong Cu, ucapanmu yang kosong ini hanya dapat digunakan untuk membujuk para anggautamu dan
membodohi mereka yang tak berpikiran saja! Semua enghiong tahu belaka bahwa kau dan kawan-kawanmu
tak lain hanya penjilat-penjilat rendah yang menghianati bangsa dan negara sendiri untuk dapat mengeduk
harta benda dan kemuliaan. Kalian bukan lain adalah anjing-anjing kaisar Boan yang telah melupakan asal usul
leluhur dan nenek moyang sendiri.
Tutup mulutmu yang lancang itu! Khai Sin Tosu membentak marah.
Hm, kau juga menjadi kaki tangan Pek-lian-kauw" Kalau saja suhumu masih hidup, atau kalau saja suhengmu
masih hidup, belum tentu kau akan tersesat seperti sekarang ini!
Aah& & adu mulut hanya laku perempuan, mulut diadakan untuk makan minum, bukan untuk diadu! Minum
saja dulu, nanti mau berkelahi boleh saja. Terdengar Kong Sin Ek berkata mencela dan ia sambar guci arak di
atas meja terus diminum habis.
Lui Siok Tojin wakil dari Kun-lun-pai berdiri dari kursinya. Ia menjura kepada semua orang dan berkata:
Pinto datang ini atas undangan Nyo Tiang Pek taihiap yang kami kenal lama sebagai seorang pendekar muda
yang banyak melakukan perbuatan baik. Maka undangan itu diterima oleh ketua kami dan pinto mewakilinya
datang ke sini. Tapi bukan sekali-kali kami dari pihak Kun-lun-pai hendak mencampuri urusan kalian hanya
kami mengingat bahwa kita sekalian adalah orang-orang kang-ouw yang berarti masih segolongan pula, maka
kami harap sudilah kiranya cuwi memandang muka kami dan menghapuskan saja perselisihan paham yang
tak berarti ini. Tak tahukah cuwi bahwa pengaruh asing sedang berusaha keras untuk mengadu dombakan
para enghiong di kalangan kang-ouw"
Nah, itulah kata-kata yang sehat, menyambung Gwat Liang Tojin. Tapi agaknya Lui Siok Toyu sendiri belum
tahu bahwa yang berusaha mengadu domba kita adalah kaisar Boan dan bahwa Pek-lian-kauw justru adalah
kaki tangan kaisar" Bagi kami, tidak ada perlunya kami mencampuri urusan Pek-lian-kauw. Biar Pek-lian-kauw
mempelajari agama dan kepercayaannya sendiri, biar andaikata mereka ini hendak menjilat-jilat kaisar asing.
Tapi, bila mereka sudah mulai berani menganggu rakyat jelata, hal ini tak dapat kami biarkan saja! Asal Pek-
lian-kauw suka berjanji bahwa mulai saat ini tidak akan mengganggu rakyat, dan juga asalkan Bong Cu suka
mengembalikan pedang pusaka kerajaan Beng-tiauw kepada kami karena ia tidak berhak atas pedang itu,
kami akan pergi dari sini dan akan menghabiskan perkara sampai di sini saja.
Lui Siok Tojin memandang kepada Bong Cu Sianjin dengan girang. Nah, pinto rasa permintaan Gwat Liang
Toyu ini cukup pantas dan mudah dilaksanakan. Bukankah Bong Cu Kauwcu takkan keberatan untuk berjanji
agar selanjutnya anggauta Pek-lian-kauw tidak menganggu rakyat jelata" Dan pinto rasa soal pedang pusaka
kerajaan Beng-tiauw, tak patut diributkan dan diserahkan saja kepada Gwat Liang Toyu.
Hm, kau ini pendamai macam apa" Janganlah pura-pura menjadi pendamai tapi bertindak berat sebelah! Kalau
kau mau membantu Gwat Liang, terus terang sajalah, kami tidak takut!
Lui Siok Tojin menjadi marah. Ia mengangkat kursi yang didudukinya tadi dan membenturkan kursi kayu itu
pada kepalanya. Terdengar suara keras dan kursi itu pecah berkeping-keping!
Dasar aku yang bodoh, yang tak tahu diri. Pantas saja Gwat Liang Toyu dan semua hohan datang menyerbu
ke sini, tak tahunya Pek-lian-kauw seperti ini isinya! Tapi ketua kami tidak memperkenankan aku ikut campur,
maka biar aku yang bodoh dan tak tahu diri pergi saja!
Pendeta tua itu segera mengangguk kepada semua orang dan sekali berkelebat tubuhnya sudah mencelat
keluar dan berlari turun gunung.
Ha-ha-ha! Orang macam itu jadi pendamai. Eh, Gwat Liang kalau pihakmu takut, lebih baik tidak usah datang
ke sini. Buat apa dibawa-bawa badut seperti itu" Sebenarnya ia takut berkelahi dan mendapat kepala benjol,
maka ia berlari pergi dengan seribu macam alasan. Ha-ha-ha!
Bong Cu! Tak perlu banyak bercakap angin. Bagaimana, bisakah kau memenuhi dua permintaanku itu" Atau,
akan kita teruskan sajakah permusuhan ini"
Eh, betul-betul kau ini orangnya tua tapi hatinya muda! Segala apa ingin buru-buru saja. Sabarla h, kawan. Kau
mengajukan dua tuntutan. Tapi dengarkan dulu tuntutan kami! Kau sendiri tahu bahwa si jahat Ong Lun adalah
musuh kami, bahwa ia sudah banyak hutang jiwa dan sebelum kami dapat menagihnya, ia telah keburu
mampus. Sekarang muridnya, Ang Lian Lihiap si setan kecil ini, mengikuti jejak gurunya dan memusuhi kami
pula dibantu oleh Hwee-thian Kim-hong. Maka kami minta supaya kamu menyerahkan dua setan itu kepada
kami! Tentang yang lain-lain yang telah bentrok dengan Kwi-coa-pai dan orang-orang kami, biarlah itu kami
anggap sebagai salah paham kecil saja.
Cin Han dan Lian Hwa saling memandang dengan senyum tertahan. Tiba-tiba terdengar Kong Sin Ek tertawa
bergelak-gelak dan melempar guci arak yang telah kosong ke atas meja.
Aya& & ! Memang tuan rumah lihai sekali! Baru saja menghabiskan dua guci arak wangi yang harganya hanya
beberapa tail saja, sekarang sudah minta dibayar Teratai Merah dan Burung Hong!! Di dunia ini mana ada
aturan seperti itu" Ia berdiri dan menggerak-gerak kedua lengannya lalu membuka baju luarnya. Orang-orang di pihak Pek-lian-
kauw yang telah mengenal Dewa Arak ini tahu bahwa baju luar itu adalah senjatanya yang lihai, maka
mereka inipun bersiap sedia dengan tangan meraba-raba gagang senjata!
Keadaan menjadi tegang, semua memandang uap yang mengepul dari masakan di atas meja yang belum
terjamah itu! Cuwi lo-suhu sekalian, tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap yang merdu dan nyaring, Bong Cu Sianjin


Si Teratai Merah Ang-lian Li-hiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi minta kami berdua, seakan-akan kami berdua adalah barang-barang yang tidak berjiwa dan mudah
diminta begitu saja! Ia mengerling ke arah Cin Han dan pemuda itu yang mengerti maksudnya mengangguk
perlahan. Kalau memang dia menghendaki kami berdua, biarlah dia mencoba menawan dan mengalahkan kami. Atau,
barangkali Bong Cu Sianjin raja siluman Pek-lian-kauw ini gentar dan tidak berani menandingi Ang Lian Lihiap
dan Hwee-thian Kim-hong, kedua musuhnya itu"
Merah muka Bong Cu Sianjin mendengar ucapan gadis ini, tapi ia dapat menekan perasaannya dan tersenyum
mengejek. Gadis yang cerdik ini pernah bertempur dengannya bersama-sama dengan Cin Han, dan pada
waktu itu memang keadaan mereka berimbang, bahkan ia harus mengakui bahwa sepasang taruna remaja itu
memang merupakan tandingan yang sangat berat.
Sebenarnya tak usah ia merasa jerih terhadap mereka berdua ini, tapi ia harus berlaku hati-hati karena pihak
lawan bukanlah orang-orang yang lemah, terutama Gwat Liang Tojin, Song Cu Ling, Kong Sin Ek dan yang lain-
lain. Bahkan Nyo Tiang Pek yang muda itupun tidak boleh dibuat gegabah karena pemuda itu adalah murid dari
Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie.
Melawan kamu berdua bukanlah pekerjaan berat, katanya kemudian, tapi ini adalah tidak adil. Masa aku
harus memborong sendiri permainan ini" Aku harus memberi kehormatan kepada yang lain-lain dulu.
Hayo jangan banyak mengobrol yang bukan-bukan. Bagaimana penyelesaiannya" Kau mau berdamai, boleh
asal memenuhi permintaan Gwat Liang Toyu, atau kau mau menyelesaikan dengan kepalan dan senjata, hayo,
jangan buang-buang waktu dengan sia-sia. Kong Sin Ek berkata.
Ha-ha! Tamu-tamuku sungguh orang-orang gagah dan bernafsu. Mari, mari, mari kita pergi ke tempat yang
khusus untuk itu. Semua tamu yang tinggal sebelas orang mengikuti pihak tuan rumah yang menuju ke lian-bu-thia, yakni ruang
tempat bermain silat. Ruang ini letaknya di belakang menghadapi sebuah taman yang penuh bunga dan sangat
luas. Juga di ruang silat dan taman bunga itu, selain sinar bulan, ratusan lilin dipasang menerangi seluruh
tempat. Di empat sudut lian-bu-thia terdapat rak tempat senjata yang penuh dengan delapanbelas macam senjata. Di
pinggir ruangan itu tersedia bangku-bangku dan semua orang menduduki bangku-bangku itu yang dipasang
berjajar. Tuan rumah dan kawan-kawannya di sebelah kiri dan para tamu duduk di sebelah kanan.
Nah, Gwat Liang. Rupa-rupanya di antara kita tidak ada persesuaian paham, maka persoalan ini harus
diselesaikan secepat mungkin melalui urat dan kepalan. Baiknya diatur begini. Jika pihakmu kalah, kami hanya
minta kepala Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong. Yang lain-lain, kalau belum mampus dalam
pertandingan, boleh pulang.
Gwat Liang Tojin tersenyum. Kalau pihakmu yang kalah, kami tidak menghendaki kepala orang, hanya minta
pedang pusaka kerajaan dan janjimu untuk membubarkan gerombolan penjahat yang berkedok agama Pek-
lian-kauw ini. Bong Cu Sianjin menepuk tangan dan dari dalam keluarlah delapan orang dengan senjata lengkap. Mereka ini
adalah jagoan-jagoan dari golongan muda yang dipimpin oleh Thio Lok sendiri. Kini di pihak tuan rumah terdiri
dari limabelas orang jagoan, belum dihitung para penjaga yang berjumlah puluhan dan kesemuanya memiliki
kepandaian yang tak dapat dikata rendah.
Setelah menenggak arak dari guci yang selalu tergantung di pinggangnya, Kong Sin Ek berseru keras dan
sambil meloloskan bajunya yang diputar-putar di tangannya, ia meloncat ke tengah-tengah ruang silat sambil
menantang, Biarlah kumulai saja. Hayo orang Pek-lian-kauw siapa yang sudah bosan hidup"
Dari pihak Pek-lian-kauw, seorang jagoan muda bernama Boan Sai menerima tantangannya. Boan Sai
bersenjata golok besar dan segera kedua orang itu mulai bertempur.
Tapi ternyata Boan Sai sekali-kali bukan, lawan Kong Sin Ek yang pun tua tapi gagah perkasa. Baju luarnya
berputar mendatangkan angin menderu-deru dan menjadi keras kaku bagaikan pentungan besi, hingga golok
Boan Sai setelah bertempur beberapa jurus saja kena tersapu dan terpental jauh dan ujung senjata luar biasa
dari Kong Sin Ek menghantam pundak Boan Sai sehingga remuk tulangnya!
Orang-orang Pek-lian-kauw menggotong pergi Boan Sai yang rebah pingsan, dan seorang tinggi besar
brewokan menggantikan Boan Sai menyerang Kong Sin Ek. Si tinggi besar ini bersenjata toya kuningan dan
tenaganya besar, tapi ilmu silatnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Kong Sin Ek, sehingga dalam
limabelas jurus saja kembali senjata Kong Sin Ek yang hebat telah menyapu kaki si tinggi besar itu hingga
terlepas sambungan lututnya. Ia digotong pergi sambil merintih-rintih.
He, Bong Cu! Apakah tidak lebih baik kau sendiri saja yang maju" Jangan majukan orang-orang tak berguna,
kasihan! Kong Sin Ek mengejek sambil memutar-mutar baju luarnya yang ternyata merupakan senjata yang
ampuh sekali itu. Bong Cu mulai marah, tapi dari pihaknya loncat keluar Beng Beng Hwesio yang bersenjata sebuah kebutan dan
pedang. Melihat gerakan Koai-liong-hoan-sin atau Siluman Naga Jumpalitan yang dilakukan dengan gesit itu,
Kong Sin Ek berlaku hati-hati. Ia tadi telah diperkenalkan dan ia telah mendengar bahwa Beng Beng Hwesio
adalah orang kedua dari cabang Tiauw-san-pai yang terkenal dengan ilmu silat Chian-chiu-koan-im atau Dewi
Koan Im Tangan Seribu ciptaan cabang itu.
Beng Beng Hwesio maklum akan kelihaian senjata Kong Sin Ek, maka ia menggunakan kebutannya untuk
menangkis dan berbareng mencoba menyabet dan memutuskan baju luar itu dengan pedangnya. Mereka
berputar-putar dan bertempur lebih dari limapuluh jurus, tapi keadaan mereka berimbang.
Pada suatu saat ketika Kong Sin Ek dengan gerakan Topan Mengamuk Kilat Menyambar mengayun bajunya
menghantam ke arah kepala Beng Beng Hwesio, lawannya ini menggunakan kebutan di tangan kiri membelit
ujung baju. Mereka mengerahkan tenaga tapi kedua senjata itu seakan-akan menjadi satu dan tidak dapat
dipisahkan. Beng Beng Hwesio tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, ia mengayun pedang di tangan kanannya
menusuk leher Kong Sin Ek. Tapi si Dewa Arak tak kurang gesit, ia miringkan kepala dan ketika pedang lewat
dekat kulit lehernya, ia mengulur tangan kiri dan menangkap pergelangan tangan kanan Beng Beng.
Beng Hwesio cepat menggunakan kaki kanan menendang, sedangkan saat itu Kong Sin Ek dengan tiba-tiba
melepaskan baju luar dari pegangannya dan melayangkan pukulan keras dengan tangan kanan itu ke pundak
lawan. Maka ia tidak keburu berkelit dari tendangan Beng Beng Hwesio.
Hampir berbareng jatuhnya tendangan dan pukulan itu. Kong Sin Ek yang tertendang iga kanannya terpental
jauh dan jatuh pingsan, sedangkan Beng Beng Hwesio terkena pukulan Chian-kin-lat atau Pukulan Seribu Kati
dari tangan Kong Sin Ek, jatuh terjengkang dan muntahkan darah segar.
Cin Han dan Nyo Tiang Pek, segera menolong Kong Sin Ek dan menggotongnya ke tempat Gwat Liang Tojin
yang segera memeriksanya. Gwat Liang yang pandai ilmu obat-obatan, menyatakan bahwa tulang iganya
patah dan paru-parunya mendapat getaran hebat, tapi tidak membahayakan jiwanya. Ia menggunakan jari
tangan menotok jalan darah mengurangi rasa sakit, lalu memasukkan dua butir pil ke dalam mulut Kong Sin
Ek. ?"11.32. Jebakan Maut Ketua Pek-lian-kauw
Sementara itu, dari pihak Pek-lian-kauw keluar Beng Leng Hwesio, suheng dari Beng Beng Hwesio yang
dijatuhkan Kong Sin Ek tadi. Berbeda dengan sutenya, Beng Leng Hwesio bersenjata tombak panjang. Dari
pihak Gwat Liang Tojin keluarlah Hwat Kong Hwesio suheng dari Ang Lian Lihiap yang bersenjata tongkat.
Hwat Kong adalah murid tersayang dari Hun Beng Siansu sute dari Ong Lun, maka tentu saja kepandaiannya
pun tidak lemah. Pula karena sejak puluhan tahun ia menjadi seorang pertapaan yang benar-benar
membersihkan batinnya hingga untuk bertahun-tahun ia pantang membunuh, maka tenaga batinnya menjadi
kuat hingga lweekangnya dengan otomatis pun naik tingkatnya.
Namun Beng Leng Hwesio jauh lebih lihai daripada sutenya dan permainan tombaknya adalah yang disebut
Ngo-heng-chio-hwat atau Ilmu Tombak Lima Anasir yang mempunyai perubahan-perubahan luar biasa.
Kedua hwesio ini bertempur sampai ratusan jurus, tapi akhirnya tombak Beng Leng Hwesio dapat dibikin
terpental dan terlepas dari tangannya hingga Beng Leng Hwesio yang tidak diserang terus mengerti bahwa
lawannya tidak mau melukainya. Maka ia menjura sambil berkata malu,
Hwat Khong suhu sungguh murah hati. Pinceng mengaku kalah.
Thio Lok dengan marah meloncat ke tengah menghadapi Hwat Kong Hwesio. Kudengar kabar bahwa kau
adalah murid dari Hun Beng supek, ingin aku membuktikan sendiri. Majulah, kepala gundul!
Hm, murid tersesat! kata Hwat Kong yang masih tersenyum dan tidak menjadi marah karena hinaan itu.
Tapi sebelum ia bergerak, lebih dulu Ang Lian Lihiap melesat dari tempat duduknya dan berdiri menghadapi Thio
Lok. Suheng, mengasolah, biarkan sumoimu bereskan anjing hina ini!
Thio Lok pernah merasai kelihaian Ang Lian Lihiap, maka ia merasa serba salah. Mau mundur, malu kepada
semua orang, hendak melawan merasa tidak kuat. Tapi sebagai laki-laki ia pantang mundur menghadapi lawan
apa pula lawan seorang gadis muda, maka dengan nekat ia memutar pedangnya.
Lian Hwa memang benci sekali melihat Thio Lok, maka sekali pedang Kong-hwa-kiam berkelebat, Thio Lok
telah terdesak mundur. Pedang pemuda itu hanya dapat menangkis saja, sedangkan Lian Hwa, makin besar
semangatnya. Ia menyerang dengan tipu-tipu mematikan dan pada saat Thio Lok agak terdesak sehingga
penjagaannya terbuka, Kong-hwa-kiam menyambar ke arah lambungnya!
Khai Sin Tosu berseru keras dan meloncat dengan pedang di tangan hendak menolong muridnya, tapi tiba-tiba
bayangan seorang pemuda berkelebat dan menghalang di depannya.
Ternyata Cin Han dengan Sian-liong-kiam di tangan telah mencegatnya sambil berkata, Jangan main
keroyokan, satu lawan satu!
Sementara itu pedang Lian Hwa telah berhasil merobohkan Thio Lok.
Melihat muridnya terluka, Khai Sin Tosu marah sekali. Ia menjerit sambil menerjang kepada Cin Han dengan
pedangnya. Serangannya hebat dan berbahaya sekali karena ia mainkan Tat Mo Kiam-hoat dan diseling dengan
Liang Gie Kiam-hoat dari cabang Bu-tong, permainan pedang campuran ini telah ia yakinkan puluhan tahun
sehingga amat lihai. Tapi Cin Han berlaku tenang dan mainkan ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut yang luar biasa dahsyatnya! Ilmu
pedang tunggal ciptaan Beng San Siansu ini memang luar biasa. Tiap tangkisan selalu dibarengi gerakan
membabat atau menusuk, pendeknya tidak ada tangkisan yang sifatnya hanya membela diri.
Tiap tangkisan itu adalah merupakan awal sebuah serangan berbahaya. Gerakan cepat lawan dimatikan
dengan serangan kilat. Tusukan-tusukannya berbahaya dan kuat sekali karena selain menggunakan tenaga
sendiri, juga meminjam tenaga lawan ketika menangkis serangan.
Sudah tentu Khai Sin Tosu merasa bingung dan terdesak. Terpaksa untuk kedua kalinya ia mengakui kehebatan
lawan yang masih muda ini.
Pada jurus keseratus sepuluh, Cin Han mengeluarkan gerakan istimewa yang jarang ia keluarkan, yakni Hwie-
liong-pok-sui atau Naga Terbang Menyambar Air. Ujung pedangnya menukik ke bawah dan bergerak-gerak ke
kiri kanan membingungkan lawan.
Khai Sin tak kuasa menangkis karena gerakan Cin Han ini dibarengi tendangan kaki yang dilayangkan susul
menyusul. Pendeta itu hanya menujukan seluruh perhatiannya kepada kedua kaki Cin Han dan berkelit sambil
menangkis, maka ujung pedang Cin Han sudah melayang dekat sekali. Tiba-tiba terdengar suara Lian Hwa,
Koko, awas belakang! dan berbareng dengan suara itu Cin Han mendengar suara angin berdesir dari
belakangnya. Ia menarik kembali pedangnya yang telah mendekati dada Khai Sin Tosu, lalu menyabetkan pedang itu ke
belakang tubuhnya. Tapi berbareng dengan itu, secepat kilat tangan kirinya meluncur menghantam dada Khai
Sin. Gerakan ini cepat sekali dan tidak terduga, maka terdengar suara bukk! dan Khai Sin berdiri tegak seperti
patung dan menggigit bibirnya. Kemudian ia jatuh terjengkang, rebah terjengkang dengan kaku.
Sementara itu Cin Han membalikkan tubuh dengan cepat untuk menghadapi penyerangnya yang ternyata
bukan lain adalah si Dewi Cabul Kim Eng. Perempuan cantik ini memegang pedang di tangan kanan dan
saputangan hijau di tangan kiri.
Awas saputangannya, koko, kembali Lian Hwa berteriak, tapi Cin Han hanya tersenyum saja. Sedangkan
Gwat Liang Tojin berkata kepada Lian Hwa.
Jangan kau khawatir! Cin Han sudah menyimpan sebutir pil penawar hawa beracun dalam mulutnya. Ini,
kaupun harus menyimpan sebutir dalam mulutmu, karena iblis-iblis itu selalu menggunakan racun.
Alengka Bersimbah Darah 1 Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan Cinta Buta Penulis Muda 1
^