Pasangan Detektif 4
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie Bagian 4
tentang lawakan ibu mertua, saudara kembar, dan botol bir. Aku menelegram ke
Australia dan mendapat jawaban yang kuinginkan. Una punya saudara kembar. Vera.
Dia tiba di Inggris hari Senin lalu. Karena itu dia bisa membuat taruhan seperti
itu. Dia pikir Montgomery Jones akan kelabakan. Saudaranya pergi ke Torquay dan
dia sendiri tinggal di London."
"Apakah dia akan sedih kalau kalah?" tanya Tommy.
"Tidak," kata Tuppence. "Aku rasa tidak. Aku telah memberitahu kamu sebelumnya.
Dia akan menghormati Montgomery Jones. Aku selalu berpendapat bahwa rasa hormat
pada kemampuan suami merupakan dasar kehidupan berumah tangga."
"Aku gembira bisa memberimu inspirasi itu."
"Ini bukan jawaban yang memuaskan," kata Tuppence. "Karena caranya tidak sehebat
yang dilakukan Inspektur French."
"Omong kosong," kata Tommy. "Aku rasa caraku menunjukkan foto-foto itu kepada
pelayan restoran sama seperti yang dilakukan Inspektur French."
"Kelihatannya dia tidak terlalu banyak memberi tip seperti yang kita lakukan,"
kata Tuppence. "Tak apa," kata Tommy. "Kita bisa memasukkannya dalam biaya yang akan kita
ajukan pada Tuan Jones. Dia pasti akan gembira sekali dan tak peduli berapa
besar pun biaya yang harus dibayar."
"Harusnya begitu," kata Tuppence. "Bukankah Blunts Brilliant Detectives sudah
berhasil" Oh, Tom, aku rasa kita memang benar-benar brilian. Kadang-kadang aku
kuatir, tahu?" "Kasus berikutnya adalah kasus Roger Sheringham, dan kau jadi Roger Sheringham,
Tuppence." "Aku harus banyak omong kalau begitu," kata Tuppence.
"Kau sudah melakukannya dengan luwes," kata Tommy.
"Sekarang kita pergi saja ke gedung pertunjukan, di mana banyak lawakan tentang
ibu mertua, botol bir, dan saudara kembar."
20. Putri Pak Pendeta "AKU ingin kita bertemu dengan putri seorang pendeta," kata Tuppence.
"Kenapa?" tanya Tommy.
"Kau barangkali sudah lupa. Aku kan putri seorang pendeta. Aku ingat bagaimana
rasanya. Dari situlah timbul dorongan untuk mencari kebenaran - pikiran yang tidak
egois, yang memikirkan orang lain, yang..."
"Kelihatannya kau sudah bersiap-siap menjadi Roger Sheringham," kata Tommy.
"Kalau aku boleh berkomentar, kau memang sudah banyak bicara seperti dia. Cuma
tidak sebagus dia." "Justru sebaliknya," kata Tuppence. "Cara bicaramu memang lain. Karena ada
keluwesan yang khas wanita dalam percakapan, suatu je ne sais quoi yang tidak
dimiliki oleh laki-laki. Dan lagi, aku punya kekuatan yang tak diketahui oleh
prototipeku - ah, apakah yang kumaksud prototipe" Kata-kata memang tak pernah
pasti. Mereka bisa terdengar bagus tapi mempunyai arti sebaliknya dari yang kita
maksud." "Lanjutkan," kata Tommy berbaik hati.
"Aku hanya - hanya berhenti untuk mengambil napas. Dengan menyentuh kekuatan itu -
hari ini aku ingin membantu putri seorang pendeta. Kau akan lihat, Tom, bahwa
orang pertama yang minta bantuan Blunts Brilliant Detectives adalah putri
seorang pendeta." "Aku taruhan, pasti bukan," kata Tommy.
"Oke. Setuju," kata Tuppence. "Sssst! Kembali ke mesin tik. Oh! Dia datang!"
Kantor Tuan Blunt tiba-tiba saja sibuk dengan ketukan mesin tik. Albert mengetuk
pintu dan memberitahu, "Nona Monica Deane."
Seorang gadis langsing berambut coklat dan berpakaian kumal masuk dengan ragu-
ragu. Tommy datang mendekat.
"Selamat pagi, Nona Deane. Silakan duduk. Apa yang bisa kami lakukan untuk Anda"
Sebentar, saya kenalkan dulu Anda dengan sekretaris pribadi saya, Nona
Sheringham." "Senang berkenalan dengan Anda, Nona Deane," kata Tuppence. "Ayah Anda bekerja
untuk gereja?" "Oh, ya. Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Oh! Kami punya cara," kata Tuppence. "Jangan kuatir kalau saya cerewet. Tuan
Blunt senang mendengar saya bicara. Katanya itu memberi inspirasi padanya."
Gadis itu memandang Tuppence. Tubuhnya langsing, tidak terlalu cantik, tapi
cukup manis. Rambutnya coklat lembut, matanya amat biru dan indah, walaupun saat
itu kelihatan kuatir. "Anda bersedia bercerita pada kami, Nona Deane?" kata Tommy.
Gadis itu berpaling kepadanya dengan rasa terima kasih.
"Ceritanya panjang dan tidak karuan," kata gadis itu. "Nama saya Monica Deane.
Ayah saya pendeta di Little Hampsley, Suffolk. Dia meninggal tiga tahun yang
lalu, meninggalkan Ibu dan saya dalam keadaan kekurangan. Lalu saya keluar,
bekerja sebagai guru privat. Tapi Ibu sakit dan menjadi invalid. Saya terpaksa
pulang untuk menjagainya. Kami benar-benar miskin. Tapi pada suatu hari kami
menerima surat seorang pengacara yang mengatakan bahwa saya menerima warisan
dari bibi ayah saya - jadi nenek saya juga - yang meninggal. Saya sering mendengar
cerita tentang Nenek, yang sering bertengkar dengan Ayah sewaktu masih hidup,
dan saya pun tahu bahwa dia amat kaya, jadi saya merasa bahwa kesulitan kami
akan selesai. Tapi rupanya keadaan tidak sebaik yang kami harapkan. Saya
menerima warisan rumah yang dia tinggali. Tapi setelah membayar pajak warisan
itu, ternyata tak ada lagi uang tersisa. Saya berpikir barangkali Nenek
kehilangan uang pada waktu perang, atau dia hidup dengan uang tabungannya.
Walaupun begitu kami masih memiliki rumah itu, dan bisa kami jual dengan harga
yang cukup tinggi. Anehnya, saya menolak penawaran seseorang yang ingin membeli
rumah itu. Kami mengontrak rumah kecil tetapi mahal. Jadi saya pikir lebih baik
kami tinggal di rumah Nenek supaya Ibu juga enak. Lalu kami bisa menyewakan
beberapa kamar untuk biaya hidup.
"Saya berpegang teguh pada rencana ini dan tidak mempedulikan seorang calon
pembeli yang mengajukan harga yang amat menggiurkan. Kami pindah dan saya
mengiklankan kamar-kamar yang akan kami sewakan. Sesaat semua berjalan lancar.
Beberapa orang berminat pada tawaran kami. Bekas pembantu Nenek yang sudah tua
tetap tinggal bersama kami dan dia membantu saya membereskan rumah. Kemudian
terjadilah hal yang tidak kami sangka."
"Kejadian apa?"
"Kejadian yang amat aneh. Segalanya seperti kena sihir. Gambar-gambar jatuh,
peralatan dapur terbang dan pecah. Pada suatu pagi, kami bangun dan menemukan
semua perabot berpindah tempat. Mula-mula kami mengira ada orang yang main-main.
Tapi kami terpaksa menyingkirkan perkiraan tersebut. Kadang-kadang, ketika kami
sedang makan malam, terdengar suara ribut di atas. Kami naik ke atas. Tak
seorang pun ada di sana, tapi ada sebuah perabot terbanting keras."
"Poltergeist," seru Tuppence penuh perhatian.
"Ya, itu yang dikatakan Dr. O'Neil - walaupun saya tidak tahu apa artinya."
"Itu seperti makhluk halus yang suka main-main," jelas Tuppence yang sebenarnya
juga tak terlalu tahu tentang hal itu, bahkan kata poltergeist pun dia tak yakin
benar. "Ya - pendeknya akibatnya buruk. Tamu-tamu kami menjadi ketakutan, dan mereka
pindah secepat mungkin. Tamu-tamu baru datang, tapi cepat-cepat pergi pula. Saya
putus asa - dan pendapatan kami yang tak seberapa pun berkurang - usaha itu gagal."
"Kasihan," kata Tuppence dengan penuh simpati. "Pasti mengesalkan. Apa Anda
ingin agar Tuan Blunt membereskan urusan setan itu?"
"Begini. Tiga hari yang lalu ada seorang tamu datang. Namanya Dr. O'Neill. Dia
mengatakan bahwa dia adalah anggota Kelompok Riset Fisik, dan dia mendengar
tentang hal-hal aneh di rumah kami. Dia begitu tertarik sehingga bersedia
membeli rumah kami untuk mengadakan serentetan eksperimen."
"Lalu?" "Tentu saja pertama-tama saya menjadi amat gembira. Kelihatannya hal itu memberi
jalan keluar pada kesulitan kami. Tapi..."
"Ya?" "Barangkali Anda menganggap saya suka mengada-ada. Barangkali juga memang
demikian. Tapi - oh! Saya yakin bahwa saya tidak keliru. Dia adalah lelaki yang
sama!" "Lelaki yang mana?"
"Lelaki yang ingin membeli rumah itu sebelumnya. Oh! Saya yakin saya tidak
keliru." "Tapi kenapa?" "Anda tidak mengerti" Kedua laki-laki itu beda, beda namanya dan segalanya.
Laki-laki pertama adalah seorang muda dalam usia tiga puluhan, berkulit
kehitaman. Dr. O'Neill berumur lima puluhan dengan jenggot abu-abu, berkacamata
dan agak bongkok. Tapi ketika bicara, saya melihat sebuah gigi emas di satu sisi
mulutnya. Gigi itu kelihatan kalau dia tertawa. Laki-laki muda itu juga punya
gigi emas di posisi yang sama. Lalu saya memperhatikan telinganya. Saya teringat
telinga lelaki muda itu karena bentuknya yang aneh. Hampir tidak ada cuping
telinganya. Dan telinga Dr. O'Neill pun sama. Ini tak mungkin suatu kebetulan, kan"
Saya berpikir dan berpikir, dan akhirnya saya tulis surat akan memberitahu
seminggu kemudian. Saya pernah membaca iklan Tuan Blunt beberapa waktu yang lalu
- di koran yang kami pakai untuk alas laci dapur kami. Saya gunting iklan itu dan
pergi ke kota." "Anda benar," kata Tuppence sambil menganggukkan kepala kuat-kuat. "Ini perlu
dicek." "Kasus yang amat menarik, Nona Deane," kata Tommy. "Kami dengan senang hati akan
membantu Anda. Bukan begitu, Nona Sheringham?"
"Benar," kata Tuppence. "Akan kami selidiki sampai ke akar-akarnya."
"Kalau tak salah, isi rumah itu adalah Anda, ibu Anda, dan pembantu itu. Bisa
Anda berikan informasi tentang pembantu Anda, Nona Deane?"
"Namanya Crockett. Dia ikut Nenek delapan atau sepuluh tahun yang lalu. Dia
sudah tua. Sikapnya tidak terlalu menyenangkan, tapi dia adalah pembantu yang
baik. Dia memang agak sombong karena saudara perempuannya menikah dengan
kalangan atas. Dia punya kemenakan laki-laki yang selalu dia ceritakan sebagai
terpelajar." "Hm," kata Tommy yang tidak tahu mau berkata apa.
Tuppence rupanya telah memperhatikan Monica baik-baik. Dia kemudian bicara
dengan tegas. "Saya rasa sebaiknya Nona Deane makan siang dulu bersama saya. Sekarang sudah
jam satu. Saya bisa mendapat keterangan yang lebih rinci nanti."
"Tentu, Nona Sheringham," kata Tommy. "Rencana yang bagus."
"Begini," kata Tuppence ketika mereka sudah duduk di tempat yang cukup nyaman di
restoran yang tak jauh dari kantor, "saya ingin tahu, apa Anda punya alasan
tertentu untuk penyelidikan kasus ini?"
Muka Monica menjadi merah.
"Mm - begini..."
"Terus terang saja," kata Tuppence mendorong.
"Mm - ada dua orang pria yang - yang - ingin menikahi saya."
"Cerita yang biasa, kan" Yang satu kaya, lainnya miskin, dan Anda suka yang
miskin?" "Saya tak mengerti bagaimana Anda bisa tahu hal ini," gumam gadis itu.
"Itu adalah hukum alam," jelas Tuppence. "Terjadi pada setiap orang. Juga pada
saya." "Kalaupun saya jual rumah itu, uangnya tak akan cukup untuk menghidupi kami.
Gerald sangat baik, tapi dia sangat miskin - walaupun dia insinyur yang cerdas.
Kalau dia punya sedikit modal, perusahaan bersedia menjadi partnernya. Yang
lain, Tuan Partridge, adalah seorang pria yang baik hati - dan kaya. Kalau saya
menikah dengan dia, kami tak akan kesulitan. Tapi - tapi..."
"Saya mengerti," kata Tuppence simpatik. "Tidak akan sama. Kita bisa membujuk
diri sendiri dengan selalu mengatakan, betapa baik dan berartinya dia, sambil
terus menambah kebaikan-kebaikan lainnya - tapi semua itu terasa hambar."
Monica mengangguk. "Saya rasa kami sebaiknya datang ke sana," kata Tuppence, "dan mempelajari semua
di tempat. Di mana alamatnya?"
"Red House, Stourton, Marsh."
Tuppence mencatat alamat itu di bukunya.
"Saya belum tanya - tentang biaya pada Anda," kata Monica dengan agak malu.
"Biaya kami hanya berdasarkan hasil," kata Tuppence menenangkan. "Kalau rahasia
Red House memberi suatu keuntungan, yang kelihatannya memang begitu kalau
diingat keinginan yang menggebu untuk memiliki rumah itu, kami hanya
mengharapkan persentase kecil. Kalau tidak - tak apa-apa!"
"Terima kasih banyak," kata gadis itu dengan rasa terima kasih.
"Jangan kuatir," kata Tuppence. "Semuanya akan beres. Sekarang sebaiknya kita
makan dan bicara tentang hal-hal yang menarik."
21. Red House "NAH, kita sudah ada di Lubang Kodok atau apa pun namanya desa ini," kata Tommy
sambil melihat ke luar dari jendela Crown and Anchor.
"Coba kita kaji kasus ini," kata Tuppence.
"Boleh, boleh," jawab Tommy. "Aku dulu ya yang komentar. Aku curiga pada ibunya
yang invalid itu!" "Kenapa?" "Ingatlah kata poltergeist itu. Pasti ulah seseorang yang ingin agar gadis itu
menjual rumahnya, pasti ada orang yang melempar barang-barang itu. Gadis itu
cerita bahwa keributan terjadi pada waktu makan malam. Berarti semua ada di
ruang makan kecuali ibunya. Dia pasti di kamarnya, di atas."
"Kalau dia seorang invalid, dia tak akan bisa melempar perabot."
"Kalau begitu dia bukan invalid betulan. Pura-pura saja."
"Kenapa?" "Ya - karena aku mau mempraktekkan cara di mana kita perlu mencurigai orang yang
sama sekali tidak kita curigai."
"Kau selalu main-main," kata Tuppence serius. "Pasti ada sesuatu yang membuat
orang itu ngotot mau membeli rumah itu. Dan kalau kau tidak tertarik menyelidiki
kasus ini, aku yang akan menyelidikinya. Gadis itu baik."
Tommy mengangguk dengan serius.
"Aku setuju," katanya. "Tapi rasanya nggak enak kalau nggak ngeledek kamu. Tentu
saja ada yang aneh dengan rumah itu. Dan apa pun penyebabnya, pasti merupakan
sesuatu yang sulit didapat. Kalau tidak, pencurian saja sudah cukup. Tapi untuk
bersedia membeli rumah itu, berarti dia harus membongkar lantai atau menjebol
tembok, atau barangkali ada tambang batubara di halaman belakang!"
"Aku tidak suka tambang batubara. Harta karun terpendam rasanya lebih romantis."
"Hm, kalau begitu aku perlu berkunjung ke manajer bank setempat. Aku akan cerita
bahwa aku menginap di tempat ini sampai Natal, dan barangkali berniat membeli
Red House. Aku akan pura-pura membuka rekening."
"Untuk apa...?"
"Tunggu saja." Tommy kembali setengah jam kemudian. Matanya bersinar.
"Ada kemajuan, Tuppence. Interview-nya berkisar pada soal tadi. Secara sambil
lalu aku tanya apakah dia menerima banyak pembayaran dengan emas. Kan bank-bank
desa kecil sekarang banyak yang begitu. Karena banyak petani-petani kecil yang
menyimpan emas waktu perang. Dari situ kita berpindah bicara tentang kebiasaan-
kebiasaan aneh wanita tua. Aku mengarang cerita tentang seorang bibi yang pada
waktu pecah perang, langsung masuk toko-toko dengan sebuah mobil dan kembali
pulang membawa enam belas ham. Dia langsung cerita tentang seorang kliennya yang
menarik seluruh uangnya dalam bentuk emas, juga surat-surat berharga miliknya
untuk disimpan sendiri. Aku bilang itu perbuatan tolol, dan dia secara sambil
lalu mengatakan bahwa orang itu adalah pemilik Red House yang dulu. Nah, kau
lihat" Wanita itu menarik semua uangnya dan menyembunyikannya di suatu tempat.
Kau ingat, Monica Deane bilang bahwa mereka heran dengan peninggalan uang yang
begitu sedikit" Ya, dia menyimpan hartanya itu di rumahnya dan ada yang tahu
tentang hal itu. Dan aku bisa menebak orangnya."
"Siapa?" "Bagaimana dengan Crockett yang setia" Dia pasti tahu tentang kebiasaan-
kebiasaan majikannya."
"Dan Dr. O'Neill yang bergigi emas?"
"Tentu saja keponakannya yang terpelajar itu! Tapi di mana kira-kira dia
menyimpan uangnya" Kau tahu lebih baik tentang wanita-wanita tua daripadaku,
Tuppence. Di mana biasanya mereka menyembunyikan barang mereka?"
"Di bawah kasur, dibungkus stocking dan baju dalam."
Tommy mengangguk. "Aku rasa kau benar. Tapi dia tidak melakukan itu karena barang-barang itu pasti
ketemu kalau ada orang yang membongkar-bongkar. Ini membuatku kuatir. Wanita tua
seperti dia pasti tidak bisa menggali lubang di tanah atau di lantai. Yang jelas
harta itu ada di Red House. Crockett belum menemukannya. Tapi kalau dia sudah
bisa membeli rumah itu, dia dan keponakannya yang terpelajar itu pasti akan
membongkar dan mengaduk-aduk rumah itu sampai ketemu. Kita harus bisa mendahului
mereka. Ayo, kita ke sana saja."
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Monica Deane menyambut mereka. Dia memperkenalkan mereka pada ibunya dan
Crockett - sebagai calon pembeli rumah, dan mereka pun dibawa berkeliling. Tommy
tidak menjelaskan pada Monica tentang kesimpulannya, tapi dia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang menyelidik. Tentang baju-baju dan barang-barang
pribadi milik almarhumah. Beberapa diberikan pada Crockett, dan sebagian
diberikan pada keluarga-keluarga miskin. Semua telah dilihat dan diperiksa.
"Apa dia meninggalkan surat-surat?"
"Mejanya penuh. Juga sebuah laci di kamarnya. Tapi kelihatannya tidak ada yang
penting." "Apa sudah dibuang?"
"Belum. Ibu tidak suka membuang kertas-kertas tua. Ada beberapa resep kuno yang
masih dia simpan dan ingin dia coba nanti."
"Bagus," kata Tommy. Dia kemudian menunjuk seorang tukang kebun tua yang sedang
bekerja. "Apa tukang kebun itu juga bekerja di sini waktu Nenek Anda masih ada?"
"Ya. Dia biasa datang tiga hari seminggu. Dia tinggal di desa Kasihan.
Sebetulnya sudah terlalu tua untuk bisa bekerja dengan baik. Sekarang dia kemari
seminggu sekali untuk merapikan tanaman. Kami tidak kuat membayar."
Tommy mengedipkan mata pada Tuppence, memberi isyarat agar dia menemani Monica.
Dia sendiri kemudian mendekati tukang kebun itu. Dia menyapanya dengan ramah,
lalu bertanya apakah dia sudah bekerja di situ waktu pemilik rumah masih ada,
dan bertanya sambil lalu,
"Kau pernah mengubur sebuah kotak untuknya, kan?"
"Ah tidak, tak pernah. Untuk apa?"
Tommy menggelengkan kepala. Dia berharap akan mendapat suatu petunjuk dari
kertas-kertas tua yang ditinggalkan wanita itu. Kalau tidak - jalan keluarnya
pasti sulit. Rumah itu sendiri memang rumah kuno. Tapi tidak cukup kuno untuk
menyembunyikan sebuah ruangan rahasia.
Sebelum pergi, Monica membawakan sebuah kotak besar dari kardus yang diikat
dengan tali. "Saya sudah mengumpulkan kertas-kertas dan dokumen Nenek," katanya berbisik.
"Semua ada di sini. Anda bisa membawa dan memeriksanya nanti - tapi saya yakin
Anda tak akan menemukan apa-apa yang bisa memberi petunjuk pada kejadian-
kejadian misterius di rumah ini..."
Kata-katanya terpotong oleh suara barang yang berdebam jatuh di atas. Tommy
cepat-cepat lari ke atas. Sebuah jambangan dan tempat air pecah berantakan. Tak
seorang pun ada di situ. "Setan itu main-main lagi," katanya sambil meringis.
Dia turun lagi sambil berpikir.
"Apakah saya bisa bicara dengan Crockett sebentar, Nona Deane?"
"Tentu. Biar saya suruh dia datang pada Anda."
Monica pergi ke dapur. Dia kembali dengan pembantu tua yang membukakan pintu
untuk mereka pagi tadi. "Kami bermaksud membeli rumah ini," kata Tommy ramah, "dan istri saya ingin tahu
apakah kau juga mau tetap tinggal di rumah ini bersama kami?"
Wajah Crockett tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.
"Terima kasih, Tuan," katanya. "Akan saya pikir dulu."
Tommy berpaling kepada Monica.
"Saya sudah cocok dengan rumah ini, Nona Deane. Saya mengerti bahwa ada pihak
lain yang juga berminat. Dan saya juga tahu penawaran yang diberikan. Karena itu
saya ingin menambahkan seratus pound lagi untuk tawaran saya. Saya rasa harga
itu cukup pantas untuk rumah ini."
Monica menggumamkan sesuatu yang tidak memastikan, dan suami istri Beresford pun
pergi. "Aku tidak keliru," kata Tommy ketika mereka berjalan keluar. "Crockett memang
terlibat. Kaulihat napasnya terengah-engah" Itu karena dia lari lewat tangga
belakang setelah melemparkan jambangan. Aku rasa dia diam-diam pernah membukakan
pintu untuk keponakannya itu dan melakukan tipuan-tipuan yang menakut-nakuti
itu, sementara dia sendiri ada di antara penghuni rumah lainnya. Dan aku berani
bertaruh bahwa Dr. O'Neill akan menaikkan tawarannya sebelum matahari
tenggelam." Memang benar. Setelah makan malam mereka menerima sebuah nota dari Monica.
"Saya baru dapat kabar dari Dr. O'Neill. Dia menaikkan tawaran 150 pound."
"Si keponakan itu pasti kaya," kata Tommy sambil merenung. "Dan harga yang
ditawarkannya itu pasti tidak main-main."
"Oh! Kalau saja kita bisa menemukannya!"
"Kalau begitu, kita harus kerja cepat."
Mereka mulai membongkar onggokan kertas-kertas lama yang sama sekali tidak
ditata itu. Setiap beberapa menit mereka saling mengecek hasil operasi.
"Kau dapat apa, Tuppence?"
"Dua kuitansi, tiga surat tidak penting, resep untuk menyimpan kentang baru, dan
satu lagi untuk membuat cake keju. Kau dapat apa?"
"Satu kuitansi. Sajak musim semi. Dua guntingan koran tentang: Mengapa Wanita
Membeli Mutiara - Suatu Investasi Bagus dan Lelaki dengan Empat Istri - Cerita Luar
Biasa dan sebuah resep untuk Jugged Hare."
"Ini menyedihkan," kata Tuppence. Lalu mereka saling mengecek lagi. Akhirnya
kotak itu pun kosong. Mereka saling berpandangan.
"Aku menyisihkan ini," kata Tommy, sambil menunjukkan setengah lembar kertas.
"Karena kelihatan aneh. Tapi rasanya tak ada hubungannya dengan apa yang kita
cari." "Coba lihat. Oh, ini kan salah satu pantun lucu itu. Apa namanya" Anagram - ya."
Dia membacanya. "Yang pertama di atas bara
Dan ke dalamnya kau masukkan aku
Yang kedua sebenarnya pertama
Yang ketiga tak suka embusan salju."
"Hm," kata Tommy kritis. "Aku tak suka sajaknya."
"Aku tak melihat hal yang aneh pada anagram ini," kata Tuppence. "Setiap orang
punya koleksi seperti ini lima puluh tahun yang lalu. Mereka menyimpannya untuk
dibaca-baca di depan perapian di musim dingin."
"Bukan sajaknya yang kumaksud. Tapi kata-kata yang tertulis di bawahnya itu yang
aneh." "Lukas XI. 9," kata Tuppence. "Sebuah ayat."
"Ya. Bukankah aneh" Apakah seorang wanita tua yang saleh akan menulis sebuah
ayat di bawah anagram seperti itu?"
"Ya, aneh," kata Tuppence sambil berpikir.
"Sebagai putri seorang pendeta, tentunya kau menyimpan sebuah Alkitab."
"Benar. He, kau tidak mengira, kan" Sebentar."
Tuppence berjalan ke arah kopornya dan menarik sebuah buku merah kecil. Dia
kembali ke meja. Dia membuka halaman-halaman Alkitab dengan cepat. "Ini dia
Lukas, pasal XI, ayat 9. Oh Tommy, lihat."
Tommy membungkuk dan melihat bagian yang ditunjuk jari Tuppence yang kecil.
"Carilah, maka kamu akan mendapat."
"Itu dia," seru Tuppence. "Kita sudah dapat! Kita harus memecahkan cryptogram
itu, dan harta itu menjadi milik kita - eh, milik Monica."
"Baik. Kita kerjakan dulu cryptogram itu. Yang pertama di atas bara. Apa itu
artinya" Lalu - Yang kedua sebenarnya pertama! Ah, ini aneh-aneh saja!"
"Sebenarnya sangat sederhana," kata Tuppence dengan manis. "Perlu ketrampilan
saja. Coba lihat sebentar."
Dengan senang hati Tommy menyerahkannya. Tuppence menyandarkan tubuhnya di kursi
santai dan mulai berpikir, memutar otak, dan mengerutkan alis.
"Sebenarnya sangat sederhana," gumam Tommy ketika setengah jam telah lewat.
"Jangan berisik! Kita bukan generasi yang cocok untuk hal-hal seperti ini. Aku
punya rencana untuk kembali ke kota besok dan mengunjungi seorang tua yang
barangkali bisa membacanya semudah orang mengejapkan mata."
"Kita coba lagi saja."
"Tak banyak yang bisa ditaruh di atas bara," kata Tuppence sambil merenung. "Ada
air - untuk mematikannya, atau kayu atau ketel."
"Harus satu suku kata. Bagaimana dengan wood - kayu?"
"Tapi kau tidak bisa memasukkan apa-apa ke dalam kayu."
"Tak ada kata-kata yang terdiri dari satu suku kata yang cocok, kecuali water -
air. Tapi pasti ada benda-benda satu suku kata yang bisa dimasukkan ke dalam
api. Benda semacam ketel."
"Penggorengan?" kata Tuppence. "Pan" Pot" Kata apa yang berawalan pan atau pot
yang bisa dimasak?" "Pottery - tembikar," kata Tommy. "Dibakar dalam api. Cukup dekat, kan?"
"Yang lain nggak cocok. Pancake" Tidak. Oh!"
Percakapan mereka disela seorang pelayan yang memberi tahu bahwa makan malam
akan siap beberapa menit lagi.
"Nyonya Lumley ingin tahu apakah Anda mau fried potatoes atau boiled potatoes
dengan kulitnya" Dia punya dua persediaan."
"Yang direbus dengan kulitnya," kata Tuppence cepat. "Saya suka potatoes..." Dia
diam dengan mulut terbuka.
"Ada apa, Tuppence" Kau melihat hantu?"
"Tommy!" serunya. "Kau tidak tahu" Ya, itu! Maksudku kata yang kita cari itu.
Potatoes! Yang pertama di atas bara - itu adalah pot. Dan ke dalamnya kaumasukkan
aku. Yang kedua sebenarnya pertama. Itu huruf A - pertama dalam alfabet. Yang
ketiga tak suka embusan salju - tentu saja ujung jari kaki yang kedinginan - toes!"
"Kau benar, Tuppence. Pandai kau. Tapi rasanya kita membuang-buang waktu untuk
hal yang tak ada gunanya. Potatoes - kentang - tak ada hubungannya dengan harta yang
hilang itu. Tunggu - tunggu. Apa yang kamu baca tadi waktu kita membongkar kardus
itu" Resep kentang baru" Barangkali ada sesuatu di dalamnya."
Dia membalik-balik tumpukan resep.
"Ini dia. MENYIMPAN KENTANG BARU. Masukkan kentang baru dalam kaleng dan tanam
di kebun. Walaupun di tengah musim dingin akan terasa seperti kentang yang baru
dicabut!" "Sudah dapat!" seru Tuppence. "Itu dia. Harta itu ada di kebun, dimasukkan dalam
kaleng." "Tapi aku sudah tanya tukang kebun itu. Katanya dia tak pernah menanam apa-apa."
"Ya, aku tahu. Tapi itu karena orang biasanya tidak menjawab apa yang
ditanyakan, tapi apa yang mereka pikir ditanyakan. Dia tahu bahwa dia tidak
pernah menanam sesuatu yang tidak biasa. Kita akan temui dia besok dan tanya di
mana dia menanam kentang itu."
Keesokan paginya adalah hari sebelum Natal.
Dengan bertanya ke sana kemari, mereka akhirnya menemukan pondok tukang kebun.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Tuppence mengajukan pertanyaan.
"Rasanya saya ingin dapat kentang baru untuk Natalan," katanya. "Enak kan,
dimakan dengan kalkun" Apa orang sini pernah menanam kentang dalam kaleng" Saya
dengar cara itu membuat kentang jadi tetap segar."
"Ah, ya," kata lelaki tua itu. "Bu Deane tua, pemilik Red House, selalu menanam
tiga kaleng kentang tiap musim panas dan sering lupa menggalinya lagi!"
"Biasanya di rumpun dekat rumah, kan?"
"Tidak, dekat tembok dekat pohon cemara."
Setelah mendapat informasi yang mereka perlukan, mereka pun meninggalkan tip
untuk lelaki tua itu, lalu pergi.
"Sekarang giliran Monica," kata Tommy.
"Tommy! Kau ini tak bisa bersikap dramatis. Biar aku yang membereskan. Aku punya
rencana bagus. Kaupikir kau bisa minta, atau pinjam, atau mencuri sekop?"
Akhirnya mereka mendapat sebuah sekop. Dan tengah malam itu dua bayangan manusia
masuk halaman Red House dengan diam-diam. Tempat yang ditunjukkan tukang kebun
itu mudah ditemukan. Tommy pun mulai bekerja. Akhirnya sekop itu membentur suatu
metal, dan beberapa detik kemudian dia mendongkel sebuah kaleng biskuit yang
besar. Kaleng itu ditutup plester berkeliling. Dengan bantuan pisau Tommy,
Tuppence membuka kaleng itu. Dia menarik napas panjang. Kaleng itu penuh
kentang. Dia mengeluarkan kentang itu sampai kalengnya kosong. Tak ada isi
lainnya. "Teruskan galianmu, Tommy."
Sesaat kemudian barulah kaleng kedua mereka temukan. Dan sekali lagi Tuppence
membuka kalengnya. "Bagaimana?" tanya Tommy ingin tahu.
"Kentang lagi!"
"Sialan!" kata Tommy sambil menggali lagi.
"Yang ketiga pasti untung!" kata Tuppence menghibur.
"Aku rasa semua ini tipuan saja," kata Tommy geram sambil melanjutkan menggali.
Akhirnya kaleng yang ketiga pun ditemukan.
"Kentang la..." kata Tuppence dan tiba-tiba berhenti. "Oh, Tom! Ini yang kita
cari. Kentang di bagian atas. Lihat!"
Dia menunjukkan sebuah tas kuno besar terbuat dari beludru.
"Cepat kembali," teriak Tommy. "Sudah tambah dingin. Bawa tas itu. Aku harus
mengembalikan galian tanah ini. Dan awas - kau akan kena kutuk, Tuppence, kalau
tas itu sudah kaubuka sebelum aku datang!"
"Aku akan main sportif. Huh - kaku rasanya." Tuppence kembali dengan cepat.
Dia tak perlu menunggu Tommy terlalu lama di penginapan. Tommy datang dengan
keringat bercucuran setelah menggali dan lari cepat.
"Sekarang," kata Tommy. "Agen penyelidik privat sudah berhasil! Buka tas itu,
Nyonya Beresford." Di dalam tas itu ada sebuah paket terbungkus dengan sutera minyak dan sebuah tas
kulit kijang. Mereka membuka tas kulit itu. Tas itu penuh dengan uang emas.
Tommy menghitungnya. "Dua ratus pound. Aku rasa hanya itulah yang bisa dia dapat. Buka paket itu."
Tuppence memotongnya. Paket itu penuh dengan uang kertas. Tommy dan Tuppence
menghitungnya dengan hati-hati. Uang itu berjumlah dua puluh ribu pound!
"Wah!" kata Tommy. "Untung ya Monica, karena kita kaya dan jujur. Apa itu yang
dibungkus kertas tisu?"
Tuppence membuka bungkusan kecil dan mengeluarkan seuntai mutiara yang amat
indah. "Aku tak tahu banyak tentang benda ini," kata Tommy perlahan. "Tapi aku yakin
bahwa mutiara itu berharga sekurang-kurangnya lima ribu pound. Lihat ukurannya.
Sekarang aku mengerti kenapa dia menyimpan guntingan koran tentang nilai
investasi mutiara itu. Dia tahu betul tentang kekayaannya dan menyimpannya dalam
bentuk surat-surat berharga dan permata."
"Oh, Tommy! Luar biasa, ya" Si Monica itu. Ah, aku gembira dan ikut bahagia.
Sekarang dia bisa menikah dengan pacarnya yang baik itu, dan hidup bahagia
seperti aku." "Kau baik sekali. Jadi kau bahagia rupanya bersuami aku?"
"Yaaa, begitulah," jawab Tuppence. "Sebetulnya aku tak bermaksud berkata begitu,
tapi lidahku keseleo. Maklum. Sedang merasa senang. Mana malam Natal, lagi...."
"Kalau kau benar-benar sayang padaku," kata Tommy, "maukah kau menjawab satu
pertanyaan?" "Aku tidak suka jebakan-jebakan seperti ini. Tapi bolehlah."
"Bagaimana kau tahu bahwa Monica anak pendeta?"
"Oh, itu sih tipuan," kata Tuppence gembira. "Aku membuka suratnya - surat tentang
janji bertemu denganmu. Aku ingat nama Deane - dulu adalah pembantu Ayah. Dan dia
punya seorang anak bernama Monica - empat atau lima tahun lebih muda dariku. Jadi
mudah membuat kesimpulan."
"Kau memang tak punya malu," kata Tommy. "Hei, ini jam dua belas tepat. Selamat
Natal, Tuppence." "Selamat Natal, Tommy. Ini juga merupakan Natal yang membahagiakan buat Monica -
itu karena KITA. Aku gembira. Kasihan. Gadis itu begitu bingung. Tahu enggak,
Tom. Aku merasa terharu dan merinding kalau memikirkan hal itu."
"Tuppence sayang," kata Tommy.
"Tommy sayang," kata Tuppence. "Kita kok jadi sentimentil begini, sih?"
"Natal kan cuma sekali setahun," kata Tommy. "Itu yang dikatakan nenek moyang
kita. Dan aku rasa memang betul."
22. Sepatu Tuan Duta Besar
"SAHABATKU, sahabatku," kata Tuppence sambil melambai-lambaikan kue muffin
bermentega tebal. Tommy memandangnya sejenak, lalu dia menyeringai lebar sambil tersenyum.
"Kita harus hati-hati."
"Benar," kata Tuppence. "Aku adalah Dr. Fortune yang terkenal itu dan kau
Inspektur Bell." "Kenapa kau mau jadi Reginald Fortune?"
"Nggak apa-apa. Cuma ingin yang banyak menteganya - sesuatu yang mengasyikkan
saja." "Itu memang sisi yang enak - atau menyenangkan," kata Tommy. "Tapi ada yang
sebaliknya. Kau harus meneliti wajah-wajah yang rusak dan mayat-mayat yang
menyeramkan." Tuppence menjawab dengan melempar sepucuk surat. Alis mata Tommy berdiri.
"Randolph Wilmott, Duta Besar Amerika. Apa ya yang dia perlukan?"
"Kita akan tahu besok pada jam sebelas."
Tepat pada waktu yang disebutkan, Tuan Randolph Wilmott, Duta Besar Amerika
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk Inggris, dipersilakan masuk ke ruang kerja Tuan Blunt. Dia membersihkan
tenggorokannya dan mulai bicara dengan penuh wibawa.
"Saya datang kepada Anda, Tuan Blunt - Anda adalah Tuan Blunt, bukan?"
"Ya, betul," kata Tommy. "Saya Theodore Blunt, pimpinan perusahaan ini."
"Saya memang lebih suka bicara langsung dengan para pimpinan," kata Tuan
Wilmott. "Biasanya lebih memuaskan. Begini, Tuan Blunt, urusan ini membuat saya
pusing. Saya merasa tak perlu merepotkan Scotland Yard - mungkin ini kekeliruan
yang sepele saja, tapi kelihatannya sulit untuk mengerti kenapa bisa terjadi.
Tidak ada tindak pidana di dalamnya, tapi bagaimanapun juga, saya ingin tahu
betul persoalannya. Saya bisa marah kalau tidak mengerti ujung pangkal suatu
persoalan." "Tentu, saya mengerti," kata Tommy.
Tuan Wilmott melanjutkan ceritanya, pelan dan terinci. Akhirnya Tommy bisa
menyela. "Hm, jadi begini," katanya. "Anda datang naik kapal Nomadic seminggu yang lalu.
Ternyata tas Anda dan tas Tuan Ralph Westerham yang berinisial sama dengan Anda,
tertukar. Anda membawa tas Tuan Westerham, dan dia membawa tas Anda. Tuan
Westerham dengan cepat mengetahui bahwa tasnya tertukar, dan dia pun mengirimkan
tas Anda ke Kedutaan Amerika, dan mengambil tasnya sendiri. Benar begitu?"
"Tepat sekali, kedua tas itu tentunya serupa. Apalagi kami punya inisial yang
sama - R.W. Tertukarnya tas itu sangat mudah dimengerti. Saya sendiri tidak tahu
hal itu sampai pelayan pribadi saya memberitahu - dan bahwa Tuan Westerham - dia
seorang senator, dan merupakan pribadi yang saya kagumi - telah mengembalikan tas
saya dan mengambil tasnya."
"Kalau begitu tak ada..."
"Tunggu dulu. Itu hanya awal cerita. Kemarin, saya kebetulan bertemu dengan
Senator Westerham, dan saya pun menyebut-nyebut kejadian itu sambil bercanda.
Tapi saya jadi heran karena dia kelihatannya tidak mengerti apa yang saya
katakan. Ketika saya ceritakan, dia jadi heran. Dia tidak keliru mengambil tas
saya, bahkan mengatakan bahwa dia tidak mempunyai tas seperti itu."
"Aneh sekali!" "Tuan Blunt, hal itu memang aneh. Kelihatannya tak ada alasan apa-apa di
dalamnya. Kalau toh ada orang yang mau mencuri tas saya, dia bisa mengambilnya
begitu saja tanpa perlu menukar-nukar tas itu! Dan tas itu pun tidak dicuri,
karena segera dikembalikan pada saya. Sebaliknya, kalau tas itu memang salah
ambil, kenapa pakai membawa-bawa nama Senator Westerham" Ini urusan gila - tapi
saya benar-benar ingin tahu duduk persoalannya. Saya harap kasus ini tidak
terlalu sepele bagi Anda untuk Anda selidiki?"
"Sama sekali tidak. Kasus ini merupakan sebuah soal kecil yang menantang.
Walaupun, seperti kata Anda, mungkin sederhana saja penjelasannya. Pertama-tama
tentunya adalah alasan penukarannya - kalau toh ini kasus salah ambil. Anda
katakan tadi tak ada yang hilang waktu tas itu dikembalikan?"
"Pelayan saya bilang tidak. Dia pasti tahu kalau ada yang hilang."
"Kalau saya boleh tahu, apa yang ada dalam tas itu?"
"Sepatu." "Sepatu," ulang Tommy seperti kehilangan harapan.
"Ya," kata Tuan Wilmott. "Sepatu. Aneh, kan?"
"Maafkan saya atas pertanyaan saya," kata Tommy. "Anda tidak membawa kertas-
kertas rahasia atau semacamnya yang tersimpan di lapisan sepatu atau tumit
sepatu?" Pak Duta Besar kelihatan geli mendengar pertanyaan itu.
"Diplomasi rahasia belum sejauh itu, saya rasa."
"Hanya dalam fiksi," kata Tommy sambil tersenyum dan bersikap meminta maaf.
"Tapi, bagaimanapun juga kita harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu.
Siapa yang datang mengambil tas itu - maksud saya tas yang keliru Anda bawa?"
"Saya kira salah seorang pelayan Westerham. Orang biasa saja. Pelayan saya tidak
melihat kejanggalan apa pun."
"Apakah tas itu sudah dibuka pelayan Anda?"
"Saya tak tahu. Rasanya belum. Barangkali Anda ingin menanyai pelayan saya" Dia
akan bisa menjawab pertanyaan Anda dengan lebih baik."
"Saya rasa itu rencana yang bagus, Tuan Wilmott."
Duta besar itu menuliskan sesuatu di kartu dan memberikannya kepada Tommy.
"Saya rasa Anda lebih suka datang ke Kedutaan dan menginterview dia di sana,
bukan" Kalau tidak, saya akan suruh dia - namanya Richards - ke sini."
"Tidak, terima kasih, Tuan Wilmott. Saya yang akan ke Kedutaan."
Duta Besar itu berdiri sambil melirik jam tangannya.
"Wah, cepat amat. Saya ada janji. Terima kasih, Tuan Blunt. Saya serahkan
persoalan ini kepada Anda."
Dia cepat-cepat pergi. Tommy memandang Tuppence yang selama ini berperan sebagai
Nona Robinson yang efisien.
"Apa pendapatmu, Tuppence?" tanyanya. "Kau melihat alasan yang mendasari
terjadinya kasus itu?"
"Sama sekali tidak," kata Tuppence dengan riang.
"Baiklah. Itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang benar-benar misterius di
baliknya." "Kaupikir begitu?"
"Itu merupakan hipotesa yang bisa diterima secara umum. Ingat Sherlock Holmes
dan seberapa dalam mentega itu masuk ke dalam peterseli - maksudku, yang
sebaliknya. Aku benar-benar ingin tahu kasus itu. Barangkali Watson akan
menggalinya dari buku catatan. Kalau begitu aku bisa mati bahagia. Tapi kita
harus kerja." "Betul," kata Tuppence. "Aku rasa Yang Mulia Wilmott bukan orang yang cepat
tanggap." "Detektif wanita itu tahu karakter orang dengan baik," kata Tommy bercanda.
"Atau, seharusnya kukatakan detektif pria" Memang sulit jika seorang wanita
ingin jadi detektif pria."
"Oh! Sahabatku, sahabatku!"
"Tambah sedikit aksi, Tuppence, dan kurangi pengulangan-pengulangan."
"Ungkapan klasik tak mungkin terlalu diulang-ulang," kata Tuppence berwibawa.
"Silakan ambil kue muffin," kata Tommy dengan manis.
"Tidak pada jam sebelas pagi. Terima kasih. Huh - kasus tolol. Sepatu - kenapa
sepatu?" "Hm, kenapa tidak?" kata Tommy.
"Nggak cocok. Sepatu." Dia menggelengkan kepala. "Nggak cocok. Siapa perlu
sepatu orang lain" Gila."
"Barangkali mereka keliru mengambil tas?" kata Tommy.
"Bisa jadi. Tapi kalau mereka menginginkan surat-surat, briefcase lebih cocok.
Satu-satunya yang bisa dihubungkan dengan duta besar ialah surat-surat."
"Sepatu ada hubungannya dengan jejak kaki," kata Tommy sambil merenung. "Apa
mereka perlu mengikuti jejak Wilmott?"
Tuppence berpikir sejenak, menghentikan permainannya sebagai Dr. Fortune, lalu
menggelengkan kepala. "Kelihatannya tidak mungkin," katanya. "Aku rasa kita harus melepaskan
kemungkinan itu dan kembali pada kenyataan bahwa sepatu-sepatu itu tak ada
hubungannya dengan kasus ini."
"Oke," kata Tommy sambil menarik napas. "Langkah berikut ialah menginterview si
Richards. Barangkali dia bisa memberi petunjuk-petunjuk untuk mengungkap misteri
ini." Setelah memberikan kartu Pak Duta Besar, Tommy diperbolehkan masuk ke Kedutaan.
Tak lama kemudian dia berhadapan dengan seorang pemuda berwajah pucat yang
sikapnya amat hormat dan suaranya amat sopan.
"Saya Richards, Tuan. Pelayan pribadi Tuan Wilmott. Tuan ingin menemui saya?"
"Ya, Richards. Tuan Wilmott datang ke tempat saya pagi tadi dan menyarankan agar
saya datang kemari untuk menanyakan beberapa hal. Ini tentang tas yang
tertukar." "Ya, saya mengerti bahwa Tuan Wilmott merasa tidak senang dengan kejadian ini.
Tapi saya tidak mengerti kenapa, karena tak ada kerugian yang diakibatkannya.
Saya pun tahu dari orang yang mengambil tas itu bahwa tas yang kami bawa adalah
tas Senator Westerham. Tapi saya mungkin keliru dalam hal ini."
"Bagaimana rupa orang itu?"
"Setengah baya. Rambut abu-abu. Terhormat - kelihatan seperti berpendidikan. Dia
mengaku pelayan pribadi Tuan Westerham. Dia meninggalkan tas Tuan Wilmott dan
membawa pergi tas yang satunya."
"Apa sudah dibongkar?"
"Yang mana, Tuan?"
"Yang kaubawa dari kapal. Tapi saya juga ingin tahu tentang yang lain - yang
kepunyaan Tuan Wilmott. Apa kira-kira sudah dibongkar tas itu?"
"Saya rasa belum, Tuan. Saya rasa Tuan itu - siapa pun dia - membuka tas Tuan
Wilmott - lalu tahu bahwa itu bukan tasnya, dan menutupnya kembali."
"Tak ada yang hilang" Benda kecil sekalipun?"
"Saya rasa tidak, Tuan. Saya yakin tidak."
"Sekarang tas yang satunya. Kau sudah mulai membongkarnya?"
"Begini, Tuan. Saya waktu itu sedang membuka tas itu. Pada saat itu pula pelayan
Tuan Westerham datang. Saya baru membuka talinya."
"Kau sama sekali tidak membukanya?"
"Kami melihat sedikit saja. Untuk meyakinkan bahwa kali itu tasnya benar. Orang
itu berkata bahwa tidak salah. Dia menalikannya lagi lalu membawanya pergi."
"Barang-barang apa saja yang ada di dalam" Sepatu juga?"
"Bukan, Tuan. Kebanyakan peralatan kosmetika dan perlengkapan mandi, kalau nggak
salah. Saya melihat sekaleng garam mandi."
Tommy tidak melanjutkan pertanyaan tentang hal itu.
"Kau tak pernah melihat seseorang yang mencurigakan di kabin tuanmu?"
"Oh, tidak, Tuan."
"Sama sekali tak ada hal-hal yang mencurigakan atau kelihatan aneh?"
He, apa tadi yang kukatakan" Mencurigakan dan aneh" pikir Tommy.
Tapi orang yang di hadapannya menjadi ragu-ragu.
"Sekarang saya ingat..."
"Ya?" kata Tommy bernafsu. "Apa?"
"Rasanya kok tidak ada hubungannya. Tapi, ada seorang gadis."
"Ya" Seorang gadis" Apa yang dia lakukan?"
"Dia hampir pingsan, Tuan. Gadis itu amat menyenangkan. Namanya Eileen O'Hara.
Gadis yang menarik, tidak begitu tinggi, berambut hitam. Wajahnya agak asing
kelihatannya." "Lalu?" kata Tommy dengan lebih bernafsu.
"Dia hampir pingsan - di luar kabin Tuan Wilmott. Dia menyuruh saya memanggil
dokter. Saya membantunya duduk di sofa lalu keluar mencari dokter. Cukup lama
juga. Ketika sudah ketemu dokter itu saya cepat-cepat mengajak ke kabin. Tapi
gadis itu sudah tidak apa-apa lagi."
"Oh!" kata Tommy.
"Anda pikir..."
"Sulit menjelaskannya," kata Tommy tanpa memberikan komentarnya. "Apa Nona
O'Hara ini pergi sendirian?"
"Ya, saya rasa begitu."
"Kau tak pernah ketemu dia lagi setelah itu?"
"Tidak, Tuan." "Baiklah," kata Tommy setelah berpikir sejenak. "Aku rasa cukup. Terima kasih,
Richards." "Sama-sama, Tuan."
Tommy menceritakan apa yang dikatakan Richards pada Tuppence setelah kembali ke
kantor. "Apa pendapatmu, Tuppence?"
"Oh, Sahabatku! Kami, para dokter, biasanya merasa skeptis dengan pingsan yang
mendadak! Terlalu enak. Juga Eileen maupun O'Hara. Terlalu berbau Irlandia,
bukan?" "Tapi ini merupakan jejak yang perlu dilacak. Kau tahu apa yang akan aku
lakukan" Pasang iklan cari gadis itu."
"Apa?" "Ya. Informasi tentang Nona Eileen O'Hara, yang pernah berlayar dengan kapal anu
tanggal anu. Dia pasti akan datang sendiri kalau memang ada, atau orang lain
memberi informasi tentang dia. Ini satu-satunya harapan dari sebuah petunjuk."
"Ingat, dia juga pasti curiga."
"Ya," kata Tommy. "Kita harus berani ambil risiko."
"Aku masih belum punya bayangan," kata Tuppence sambil mengernyitkan kening.
"Kalau sebuah komplotan penjahat menahan tas seorang duta besar selama satu-dua
jam, lalu mengembalikannya lagi, keuntungan apa yang mereka dapat" Kecuali ada
kertas-kertas berharga yang ingin mereka copy. Padahal Tuan Wilmott bilang tidak
ada." Tommy memandangnya sambil berpikir.
"Bagus, Tuppence. Apa yang kaukatakan," katanya, "memberiku inspirasi."
Dua hari kemudian Tuppence keluar makan siang. Tommy yang ditinggal sendirian di
ruang kerja Tuan Theodore Blunt membawa beberapa bacaan yang seru untuk mengasah
otaknya. Pintu ruangan itu terbuka dan Albert pun muncul.
"Seorang gadis ingin bertemu, Tuan. Nona Cicely March. Katanya dia datang untuk
menjawab iklan." "Suruh dia masuk segera," seru Tommy sambil menyembunyikan novelnya di laci.
Semenit kemudian Albert membawa masuk gadis itu. Tommy baru saja selesai
memperhatikan bahwa gadis itu berambut pirang dan amat cantik ketika terjadi
sesuatu yang mengejutkan.
Pintu dari tempat Albert muncul dibuka orang dengan kasar. Di tengah-tengah
berdiri seorang lelaki besar berkulit gelap - kelihatan seperti orang Spanyol.
Orang itu mengenakan dasi berwarna merah menyala. Mukanya kelihatan marah dan
tangannya menggenggam pistol.
"Hah - jadi ini kantor Tuan Blunt yang usil itu," katanya dengan bahasa Inggris
yang sempurna. Suaranya terdengar mengancam dan mengerikan. "Angkat tangan - atau
kutembak." Dia tidak kedengaran main-main. Tangan Tommy pelan-pelan naik. Dan gadis yang
menempel di dinding tembok itu menahan napas ketakutan.
"Gadis ini akan ikut aku," katanya. "Ya - kau akan ikut aku, Manis. Kau memang
belum pernah melihatku, tapi tak apa-apa. Rencanaku tak boleh kacau hanya karena
ulahmu. Rasanya aku ingat - kau salah seorang penumpang kapal Nomadic. Kau pasti
telah mengintip sesuatu yang bukan urusanmu. Tapi aku tak akan membiarkanmu
membeberkan rahasia apa pun pada Tuan Blunt ini. Pandai juga Tuan Blunt dengan
iklan menariknya itu. Sayang, aku cukup jeli untuk mengawasi kolom-kolom iklan.
Itu sebabnya aku ada di sini."
"Ceritamu sangat menarik," kata Tommy. "Coba lanjutkan."
"Aku tak perlu bujuk gombalmu, Tuan Blunt. Hentikan saja penyelidikanmu. Kami
tak akan mengganggumu. Kalau tidak - hanya Tuhan yang bisa menolongmu. Kematian
tidak terlalu lama menunggu orang-orang yang merusak rencana kami."
Tommy tidak menjawab. Pandangannya menembus ke belakang bahu si pengacau,
seolah-olah dia melihat hantu.
Sebenarnya dia melihat sesuatu yang lebih menakutkan daripada sesosok hantu.
Sampai saat itu dia belum pernah memperhitungkan Albert sebagai salah seorang
pemain. Dia mengira bahwa Albert sudah dikerjai orang asing itu lebih dulu. Dia
membayangkannya sudah terkapar di atas karpet di ruang luar.
Dan sekarang ternyata Albert lolos dari perhatian orang itu. Albert tidak
meminta bantuan polisi Inggris, tetapi dia memilih untuk menghadapi situasi itu
sendiri, dan Albert berdiri dengan tangan menggenggam tali.
Tommy berteriak melarang, tapi terlambat. Dengan penuh semangat Albert
melemparkan tali itu ke kepala si pengacau dan menariknya ke belakang dengan
kuat. Hal yang tak terduga pun terjadi. Pistol yang digenggam pengacau itu meletus dan
pelurunya terbang menyerempet kuping Tommy, dan bersarang di dinding di
belakangnya. "Beres, Tuan!" seru Albert penuh kemenangan. "Bagus juga laso saya. Saya selalu
berlatih di waktu senggang. Tuan bisa membantu saya" Orang ini sangat kuat."
Tommy cepat-cepat mendekat untuk membantu. Dia berpikir dan memutuskan, tidak
akan memberi kesempatan pada Albert untuk berlatih laso lagi.
"Tolol, kau," katanya. "Kenapa tidak memanggil polisi saja" Gara-gara
permainanmu, aku hampir kena peluru. Untunglah cuma nyerempet!"
"Cukup tepat waktunya untuk melaso dia," kata Albert dengan gembira. "Hebat juga
ya, orang-orang itu bisa main laso di padang rumput."
"Ya, tapi kita tidak di padang rumput," kata Tommy. "Kita kebetulan ada di
tengah masyarakat yang berbudaya tinggi. Dan Anda, Tuan," katanya berpaling pada
musuh yang tak berdaya, "apa yang sebaiknya kami lakukan untuk Anda?"
Laki-laki itu menjawab dengan rentetan kata-kata asing yang kedengaran seperti
kata-kata makian. "Sstt. Saya tak mengerti apa yang Anda katakan. Tapi rasanya kata-kata itu bukan
kata-kata bagus yang bisa diucapkan di depan wanita terhormat. Anda bisa
memaafkan dia, bukan, Nona..." Wah, maaf, gara-gara ada permainan kecil ini saya
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lupa menanyakan nama Anda."
"March," kata gadis itu. Wajahnya masih pucat dan tangannya gemetar. Tapi dia
sekarang melangkah mendekati Tommy dan melihat sosok tertelungkup di bawah. "Apa
yang akan Anda lakukan padanya?"
"Saya bisa menjemput polisi sekarang," kata Albert.
Ketika mendongak, Tommy menangkap isyarat kecil dari gerakan kepala gadis itu,
dan dia pun mengerti. "Baik. Kita lepaskan dia kali ini. Tapi dengan senang hati saya akan membantu
menendang dia turun ke bawah - supaya tahu bagaimana menghadapi seorang wanita."
Dia melepaskan tali laso itu, dan mendorongnya ke luar dengan cepat.
Serentetan jeritan terdengar, diikuti dengan suara berdebam. Tommy kembali
berkeringat, tapi tersenyum.
Gadis itu memandangnya dengan mata bertanya-tanya.
"Anda - menghajarnya?"
"Saya harap begitu. Tapi orang-orang asing itu sudah biasa berteriak dulu
sebelum kesakitan. Jadi saya tidak tahu pasti. Kita kembali masuk ruangan saja
dulu. Dan melanjutkan percakapan. Bagaimana" Saya rasa kita tak akan diganggu
lagi." "Saya akan siap dengan laso saya, Tuan. Untuk jaga-jaga," kata Albert.
"Simpan saja lasomu," kata Tommy tegas.
Dia mengikuti gadis itu memasuki ruangannya dan duduk di kursi menghadapi
tamunya. "Saya tak tahu harus mulai dari mana," kata gadis itu. "Seperti Anda dengar dari
dia, saya memang pernah naik kapal Nomadic. Dan gadis yang Anda iklankan, Nona
O'Hara, juga salah satu penumpang kapal."
"Tepat," kata Tommy. "Kami juga tahu bahwa dia adalah penumpang Nomadic. Tapi
saya rasa ada sesuatu yang Anda ketahui di kapal itu yang membuat orang asing
itu begitu nekat masuk ke tempat ini."
"Akan saya ceritakan semuanya," kata gadis itu. "Duta Besar Amerika ada di kapal
itu. Pada suatu kali, ketika saya melewati kabinnya, saya melihat wanita itu ada
di dalam. Dia melakukan sesuatu yang aneh, sehingga saya berhenti melihat.
Wanita itu memegang sebuah sepatu lelaki...."
"Sepatu?" seru Tommy terkejut, tapi senang. "Maaf, Nona March, teruskan."
"Dengan sebuah gunting dia membuka pelapis sepatu itu. Lalu dia seperti
memasukkan sesuatu ke dalamnya. Pada saat itu dokter kapal dan seorang lelaki
datang. Dengan cepat wanita itu tidur di sofa dan merintih kesakitan. Saya tetap
diam dan mendengarkan. Rupanya wanita itu berpura-pura pingsan. Saya bilang
berpura-pura, karena ketika saya melihatnya pertama kali, dia kelihatan tidak
apa-apa." Tommy mengangguk. "Lalu?" "Saya tidak suka menceritakan bagian berikutnya. Saya curiga. Barangkali saya
membaca buku-buku konyol. Saya curiga jangan-jangan wanita itu meletakkan bom
atau jarum beracun atau benda semacamnya itu di dalam sepatu Tuan Wilmott. Saya
tahu bahwa pikiran saya aneh. Tapi saya memang berpikir begitu. Lalu ketika saya
melewati kabin itu lagi - waktu itu kosong - saya masuk dan mencari sepatu itu. Dari
pelapisnya saya dapatkan selembar kertas. Tapi pada saat itu juga saya mendengar
langkah seseorang. Saya cepat-cepat keluar. Kertas itu masih di tangan saya.
Setelah saya masuk dalam kabin saya, baru saya baca kertas itu. Ternyata hanya
tulisan beberapa ayat Alkitab."
"Ayat-ayat Alkitab?" tanya Tommy dengan rasa ingin tahu.
"Itulah yang saya tahu waktu itu. Saya tak mengerti. Tapi saya berpikir, jangan-
jangan itu ulah seorang maniak religi. Pokoknya saya merasa tidak ada gunanya
mengembalikan kertas itu ke tempatnya. Saya simpan kertas itu tapi saya tidak
berpikir apa-apa lagi tentang hal itu. Tapi kemarin, ketika saya membuat kertas
itu menjadi perahu kertas untuk kemenakan saya dan memasukkannya di air, saya
melihat sesuatu yang aneh pada waktu kertasnya basah. Saya cepat-cepat mengambil
perahu itu dan meluruskannya lagi. Air itu telah memunculkan berita yang
tersembunyi. Gambarnya seperti sebuah pelacakan - kelihatan seperti mulut
pelabuhan. Tak lama kemudian saya membaca iklan Anda."
Tommy meloncat dari kursinya.
"Ini penting sekali. Saya mengerti sekarang. Gambar itu mungkin gambar suatu
rencana pertahanan yang penting dari sebuah pelabuhan. Dan gambar itu dicuri
wanita tadi. Dia kuatir diikuti seseorang. Karena tak berani menyimpan di dalam
tasnya sendiri, dia menitipkannya dalam sepatu itu. Ketika dia membuka sepatu
itu, kertas itu sudah lenyap. Apakah Anda membawa kertas itu, Nona March?"
Gadis itu menggelengkan kepala.
"Ada di tempat usaha saya - sebuah salon kecantikan di Bond Street. Saya seorang
agen Cyclamen dari New York. Karena itu saya pergi ke sana. Saya pikir kertas
itu tentunya penting. Karena itu saya menguncinya dalam lemari besi. Apa
Scotland Yard perlu tahu soal ini?"
"Ya, tentu saja."
"Kalau begitu kita ambil kertas itu untuk dibawa ke Scotland Yard?"
"Saya sibuk sekali saat ini," kata Tommy dengan gaya profesional dan melirik
jamnya. "Uskup dari London meminta saya agar menyelesaikan sebuah kasus.
Persoalan yang amat mencurigakan, mengenai jubah gereja dan pembantu gereja."
"Kalau begitu saya pergi sendiri saja," kata Nona March sambil berdiri.
Tommy mengangkat tangan tidak setuju.
"Saya baru akan berkata, uskup bisa menunggu. Saya akan meninggalkan pesan pada
Albert. Saya yakin Anda dalam bahaya sebelum kertas itu berada di tangan
Scotland Yard." "Anda pikir begitu?" kata gadis itu ragu-ragu.
"Bukan saya pikir, tapi saya yakin. Sebentar." Dia menuliskan sesuatu di buku
catatan di depannya, merobek dan melipatnya.
Diambilnya topi dan tongkatnya. Dia siap menemani gadis itu. Sambil keluar dia
berikan lipatan kertas itu pada Albert.
"Saya harus keluar untuk kasus yang mendesak. Beritahukan kepada Yang Mulia
kalau beliau datang. Ini ada catatan tentang kasus itu untuk Nona Robinson."
"Baik, Tuan," kata Albert menanggapi permainan itu. "Bagaimana dengan mutiara
Duchess...?" Tommy melambaikan tangan dengan jengkel.
"Itu juga harus menunggu."
Dia cepat-cepat keluar bersama Nona March. Di tangga turun mereka bertemu
Tuppence. Tommy hanya berkata, "Terlambat lagi, Nona Robinson. Saya keluar untuk
menangani kasus penting."
Tuppence berdiri tegak di tangga dan memperhatikan mereka. Dengan alis mata
terangkat dia meneruskan masuk ruangannya.
Ketika mereka sampai di luar, sebuah taksi menjemput mereka. Tommy tidak jadi
memanggilnya. "Anda biasa jalan, Nona March?" tanyanya serius.
"Ya, kenapa" Apa tak sebaiknya kita naik taksi" Akan lebih cepat, kan?"
"Barangkali Anda tidak memperhatikan. Taksi itu menolak dipanggil orang lain.
Dia menunggu kita. Musuh Anda rupanya sudah bersiap. Kalau Anda sanggup, kita
akan jalan ke Bond Street. Di jalan ramai mereka tak akan berani melakukan
sesuatu yang membahayakan."
"Baik," kata gadis itu agak ragu-ragu.
Mereka berjalan ke arah barat. Seperti dikatakan Tommy, jalan itu memang ramai.
Mereka tak bisa berjalan cepat. Tommy sangat waspada.
Kadang-kadang dia menarik gadis itu ke samping dengan cepat, walaupun dia tidak
melihat sesuatu yang mencurigakan.
Sambil memandang gadis itu, Tommy tiba-tiba saja sadar akan apa yang dilihatnya.
"Wah, maaf. Anda benar-benar kelihatan semrawut. Barangkali karena kejutan tadi.
Kita masuk ke tempat ini saja dulu dan minum kopi pahit. Saya rasa Anda tak
ingin minum brandy."
Gadis itu menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.
"Kopi kalau begitu," kata Tommy. "Pasti tidak ada racunnya."
Mereka istirahat sebentar minum kopi. Setelah itu melanjutkan perjalanan dengan
cepat. "Kita sudah mengelabui mereka, saya rasa," kata Tommy sambil melirik ke belakang
lewat bahunya. Cyclamen Ltd. adalah sebuah usaha kecil di Bond Street. Etalasenya dihiasi
gorden sutera berwarna merah muda, satu atau dua botol krim wajah dan sebuah
sabun. Cicely March masuk, dan Tommy mengikuti. Toko itu amat kecil. Di sisi kiri ada
sebuah counter kaca dengan perlengkapan mandi. Di belakang counter itu berdiri
seorang wanita setengah baya berambut abu-abu dan berkulit halus. Dia
menganggukkan kepala ketika Cicely March masuk sebelum melanjutkan bicara dengan
seorang tamu yang sedang dia layani.
Tamu itu seorang wanita kecil berkulit gelap. Punggungnya menghadap mereka dan
wajahnya tak kelihatan. Dia bicara dalam bahasa Inggris, pelan-pelan dan sulit.
Di sisi kanan ada sebuah sofa dan dua buah kursi, dan sebuah meja dengan
beberapa majalah di atasnya. Di situ duduk dua orang laki-laki - kelihatannya
suami-suami yang sudah bosan menunggu istri mereka.
Cicely March berjalan ke ujung dan melewati sebuah pintu yang dibukanya lebar-
lebar untuk Tommy. Pada saat itu tamu wanita itu berseru. "Ah! Saya kira dia
amico saya," dan berlari mengikuti mereka. Dengan cepat dia menyelipkan kakinya
ke pintu untuk menahan agar tidak menutup. Pada saat itu pula kedua laki-laki
yang duduk itu berdiri. Yang seorang mengikuti si tamu wanita ke pintu dan
seorang lainnya membekap mulut wanita pelayan toko itu agar tidak berteriak.
Kejadian di balik pintu itu berlangsung amat cepat. Ketika Tommy masuk, selembar
kain dilempar ke atas kepalanya. Hidungnya segera mencium bau tajam yang
memusingkan. Tapi dengan cepat kain itu pun terangkat dan terdengar teriakan
seorang wanita. Tommy mengejapkan mata dan terbatuk ketika melihat pemandangan di depannya. Di
sisi kanan dia melihat orang asing yang menyerbu kantornya tadi. Laki-laki yang
duduk di depan dan kelihatan bosan menunggu tadi sedang sibuk memasang borgol di
tangan si pengacau. Persis di depannya, Cicely March berusaha melepaskan diri
dari cengkeraman tamu salon yang ada di depan tadi. Ketika tamu itu menolehkan
kepalanya, cadar yang dipakainya pun jatuh, dan terlihatlah wajah Tuppence.
"Bagus, Tuppence," kata Tommy sambil melangkah ke depan. "Sini kubantu. Saya tak
akan melawan kalau saya jadi Anda. Nona O'Hara - atau Anda lebih suka dipanggil
Nona March?" "Ini Inspektur Grace, Tommy," kata Tuppence. "Aku langsung mengontak Scotland
Yard begitu selesai membaca catatanmu. Inspektur Grace dan seorang polisi
menemuiku di luar sini."
"Beruntung bisa menangkap dia," kata Pak Inspektur sambil menunjuk pada orang
asing itu. "Dia buronan kelas berat. Tapi kami tak punya alasan untuk mencurigai
tempat ini - kami kira ini salon kecantikan betulan."
"Kita memang harus hati-hati," kata Tommy menjelaskan dengan pelan. "Kenapa
orang memerlukan tas seorang duta besar untuk waktu dua jam saja" Saya
menanyakan yang sebaliknya. Misalnya tas yang lain itu yang penting. Seseorang
ingin agar tas itu ada di tangan Pak Duta Besar selama kira-kira satu jam. Ini
lebih cocok! Barang-barang diplomat kan tidak diperiksa petugas pabean. Pasti
penyelundupan. Tapi penyelundupan apa" Bukan sesuatu yang besar. Seketika itu
saya berpikir tentang obat terlarang. Kemudian komedi itu pun dipentaskan di
kantor saya. Mereka melihat iklan saya dan ingin melenyapkan saya. Tidak
berhasil. Kebetulan saya melihat ekspresi kecewa pada mata wanita cantik ini
ketika Albert berhasil melaso si pengacau. Itu tidak cocok dengan peranan yang
sedang dia mainkan. Serangan orang asing ini dimaksudkan untuk membuat saya
percaya pada ceritanya. Saya mencoba sebaik-baiknya untuk bisa memainkan peranan
tolol - menelan ceritanya yang tak masuk akal, dan membiarkannya memancing saya ke
tempat ini. Tentu saja saya tak lupa memberi instruksi yang diperlukan untuk
menghadapi situasi. Dengan berbagai dalih saya mengulur waktu kedatangan agar
kalian siap." Cicely March memandangnya dengan mata benci.
"Kau gila. Apa yang ingin kautemukan di sini?"
"Saya ingat Richards cerita melihat garam mandi. Bagaimana kalau kita mulai
dengan garam mandi, Inspektur?"
"Ide yang bagus."
Dia mengambil salah satu kaleng merah muda dan menuang isinya di atas meja.
Gadis itu tertawa. "Kristal asli, ya?" kata Tommy. "Tak ada yang lebih berbahaya dari soda karbon?"
"Coba lemari besinya," kata Tuppence.
Ada sebuah lemari dinding kecil di sudut. Kuncinya tergantung. Tommy membukanya
dan berseru puas. Bagian belakang lemari itu terbuka ke sebuah lubang besar di
dinding. Pada lubang itu terdapat berkaleng-kaleng garam mandi, berderet-deret
banyak sekali. Dia mengambil satu kaleng dan membuka tutupnya. Bagian atas
menunjukkan kristal merah muda, tapi di bawahnya terdapat bubuk putih.
Inspektur itu berseru gembira.
"Ah, sudah Anda temukan! Satu dari sepuluh kaleng penuh dengan kokain. Kami tahu
bahwa ada suatu area distribusi di sini, yang gampang menuju ke West End. Tapi
kami belum bisa menemukannya. Ini benar-benar penemuan luar biasa."
"Ya - suatu kemenangan untuk Blunts Brilliant Detectives," kata Tommy pada
Tuppence ketika mereka keluar dari tempat itu bersama-sama. "Aku bahagia jadi
seorang suami. Karena pelajaranmu, aku bisa mengenali peroxide. Kita harus
membuat surat resmi untuk Pak Duta Besar, memberitahu dia bahwa kasus ini telah
kita selesaikan dengan baik. Bagaimana kalau kita minum teh sekarang" Dan makan
kue muffin dengan mentega sebanyak-banyaknya?"
23. Laki-laki Nomor 16 TOMMY dan Tuppence sedang bicara dengan bos mereka di ruang kerjanya. Sambutan
dan pujiannya hangat dan tulus.
"Kalian berdua telah berhasil dengan baik sekali. Karena jasa kalian kami bisa
menangkap lima orang buron yang amat penting. Dari mereka kami mendapat
informasi yang sangat berharga. Sementara itu, dari sebuah sumber kami tahu
bahwa markas besar di Moskow menjadi panik karena agen mereka tidak memberi
laporan. Saya rasa mereka mulai curiga. Mereka mulai mencium bahwa ada yang
tidak beres dengan pusat distribusi informasi mereka - yaitu kantor Tuan Theodore
Blunt - Agen Detektif Internasional."
"Kalau begitu mereka pasti akan menyelidikinya, Pak," kata Tommy.
"Ya, saya pun berpikir begitu. Saya agak kuatir dengan - Nyonya Tommy."
"Saya bisa menjaganya dengan baik," kata Tommy, bersamaan dengan Tuppence yang
berkata, "Saya bisa menjaga diri dengan baik."
"Hm," kata Tuan Carter. "Penuh percaya diri merupakan ciri kalian. Saya tak tahu
imunitas kalian merupakan kecerdasan manusia super atau suatu nasib baik. Tapi
nasib baik bisa berubah. Tapi saya tak akan mempersoalkan hal itu. Sepanjang
pengetahuan saya, tak ada gunanya, bukan, kalau saya menyembunyikan sesuatu dari
Nyonya Tommy untuk satu atau dua minggu ini?"
Tuppence menggelengkan kepala dengan tegas.
"Kalau begitu saya harus memberi informasi yang saya peroleh. Kami mendapat
berita bahwa seorang agen khusus telah dikirim dari Moskow kemari. Kami tidak
tahu nama yang dipakainya dan kapan dia datang. Tapi kami tahu sesuatu tentang
dia. Dia adalah orang yang pernah mengacau kita pada waktu perang. Orang yang
muncul di tempat-tempat yang tidak kita inginkan. Dia orang Rusia, dan pandai
berbahasa asing, termasuk bahasa kita. Dia juga pandai menyamar. Dan dia cerdas.
Dialah yang membuat kode 16 itu.
"Kapan dan bagaimana dia akan muncul, saya tak tahu. Tapi saya yakin bahwa dia
akan muncul. Kami tahu ini - dia tidak mengenal Tuan Theodore Blunt secara
pribadi. Saya rasa dia akan muncul, berpura-pura minta bantuan kalian untuk
sebuah kasus dan dia akan menyelipkan kode rahasianya. Yang pertama-tama adalah
ucapan nomor enam belas - dan dijawab dengan kalimat yang menyebut nomor yang
sama. Yang kedua ialah suatu pertanyaan, apakah kalian pernah menyeberangi Selat
Inggris. Jawabannya: Saya ada di Berlin tanggal 13 bulan lalu. Itu saja yang
kita tahu. Saya harap kalian menjawab dengan tepat, sehingga dia percaya. Tahan
dulu keinginan untuk meniru tokoh-tokoh fiksi itu kalau bisa. Walaupun
kelihatannya dia bisa dikelabui, kalian harus waspada. Kawan kita ini benar-
benar lihai. Dia bisa bermain dobel atau lebih baik dari kalian. Bagaimanapun,
saya ingin menangkapnya melalui kalian. Mulai hari ini dan seterusnya saya
membuat penjagaan ketat. Sebuah dictaphone tadi malam telah dipasang di ruang
kerja kalian, sehingga salah satu bawahanku bisa mendengar segala yang dikatakan
dari bawah. Dengan demikian mereka bisa segera menghubungiku kalau ada sesuatu,
dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kalian dan
menangkap orang yang kucari itu."
Setelah mendengar beberapa instruksi lagi dan membicarakan taktik-taktik umum,
keduanya pun keluar dan dengan cepat menuju ke kantor mereka.
"Sudah siang," kata Tommy sambil melihat jamnya. "Hampir jam sebelas. Kita cukup
lama juga bicara dengan Bos. Mudah-mudahan kita tak kehilangan kasus paling
panas ini." "Secara umum kita tidak terlalu jelek," kata Tuppence. "Aku menghitung-hitung
apa yang sudah kita kerjakan kemarin. Kita telah menyelesaikan empat kasus
pembunuhan yang membingungkan, menggulung komplotan pemalsu uang, dan komplotan
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penyelundup..." "Sebetulnya dua komplotan," sela Tommy. "Wah, hebat juga ya. Aku suka itu.
Komplotan - kedengarannya profesional."
Tuppence melanjutkan sambil menghitung dengan jari-jarinya.
"Satu pencurian permata, dua kesempatan lepas dari kematian, satu kasus
hilangnya seorang wanita karena ingin langsing, satu gadis yang baik, satu alibi
yang dipecahkan dengan sukses, dan ya... satu kasus di mana kita sendiri berbuat
konyol. Secara keseluruhan - cukup bagus! Aku rasa kita sangat cerdik."
"Kau memang selalu berpikir begitu," kata Tommy. "Padahal aku merasa bahwa satu
atau dua kali sebenarnya kita ini hanya bernasib baik."
"Nonsense," kata Tuppence. "Semua karena sel abu-abu kecil."
"Hm - aku pernah bernasib baik," kata Tommy. "Waktu Albert muncul dengan lasonya!
Eh, kau kok jadi menghitung-hitung, seolah-olah ini semua mau selesai?"
"Memang," kata Tuppence. Dia merendahkan suaranya dan berkata dengan impresif.
"Ini adalah kasus kita yang terakhir. Setelah mereka berhasil menangkap mata-
mata super itu, detektif-detektif besar ini akan pensiun, menanam sayur mayur
dan beternak lebah. Selalu begitu."
"Sudah bosan, ya?"
"Yaa - aku rasa begitu. Di samping itu, kita sudah menikmati sukses yang begitu
besar, jangan-jangan nasib baik berubah."
"Siapa yang omong tentang nasib baik sekarang?" kata Tommy memojokkan.
Pada saat itu mereka berbelok memasuki pintu blok gedung yang ditempati Agen
Detektif Internasional. Tuppence tidak menjawab.
Albert sedang bertugas di ruang depan mengisi waktu luangnya dengan memainkan
keseimbangan penggaris di atas hidungnya.
Dengan wajah kurang senang, Tuan Blunt berjalan melewatinya dan masuk ke dalam
ruangannya. Dia membuka mantel dan topinya lalu membuka lemari yang berisi buku-
buku detektif klasik. "Pilihannya semakin sempit," gumamnya. "Siapa yang akan kujadikan model hari
ini?" Terdengar suara Tuppence yang bernada lain. Tommy segera menoleh kepadanya.
"Tommy," katanya. "Tanggal berapa sekarang?"
"Sebentar - tanggal sebelas - kenapa?"
"Lihat tanggalan itu."
Di dinding tergantung sebuah tanggalan harian, di mana orang harus menyobek
tanggalnya setiap hari. Di situ tertulis Minggu, tanggal 16. Padahal hari itu
hari Senin. "He, itu aneh. Pasti Albert menarik terlalu banyak. Anak itu memang sembrono."
Ketika dipanggil dan ditanyai, Albert menjadi heran. Dia bersumpah hanya merobek
satu lembar - yaitu lembar kemarin. Pernyataannya memang dapat dibenarkan, karena
lembar yang dirobeknya dilempar ke perapian sedangkan lembar-lembar lainnya
tergeletak rapi di tempat sampah.
"Kriminal yang rapi dan sangat lihai," kata Tommy. "Siapa yang kemari tadi pagi,
Albert" Ada klien?"
"Hanya satu, Tuan."
"Siapa dia?" "Seorang wanita. Seorang perawat. Sangat bingung dan ingin sekali bertemu dengan
Tuan. Dia bilang mau menunggu sampai Tuan datang. Saya menyuruh duduk di ruang
Pegawai, karena di situ lebih hangat."
"Dan dari situ dia dapat masuk ke sini tanpa kauketahui, bukan" Kapan dia
pergi?" "Kira-kira setengah jam yang lalu, Tuan. Katanya mau datang lagi siang ini.
Orangnya baik dan keibuan."
"Baik dan keibuan - oh! Keluar, kau, Albert!"
Albert keluar dengan hati sakit.
"Permulaan yang aneh," kata Tommy. "Kelihatannya tak ada maksudnya. Membuat kita
supaya waspada. Apa ada bom disembunyikan di perapian" Atau hal semacam itu?"
Dia memeriksa sekitarnya lalu duduk sambil bicara pada Tuppence.
"Mon ami," katanya, "kita dihadapkan pada suatu soal yang amat berat. Kau masih
ingat lelaki nomor empat, bukan" Yang aku hancurkan seperti kulit telur - dengan
bantuan bahan peledak yang hebat, bien entendu. Tapi dia tidak benar-benar mati -
oh! Tidak. Mereka tidak benar-benar mati - para kriminal super itu! Inilah dia -
tapi dia lebih hebat lagi. Dia merupakan kelipatan empat - dengan kata lain dialah
si Nomor 16. Kau mengerti, mon ami?"
"Mengerti sekali," kata Tuppence. "Kau adalah Hercule Poirot yang hebat itu."
"Tepat. Tak ada kumis. Tapi banyak sel abu-abu."
"Aku punya firasat," kata Tuppence, "bahwa petualangan khusus ini akan dinamai
Kemenangan Hastings."
"Tidak," kata Tommy. "Belum pernah terjadi. Sekali dia seorang kawan yang bodoh,
dia tetap bodoh. Ada etiketnya untuk hal-hal seperti ini. Oh ya, mon ami, apa
kau tak bisa membelah rambutmu di tengah dan bukan di samping seperti itu"
Efeknya tidak simetris dan menyedihkan."
Bel berbunyi keras di meja Tommy. Dia mengembalikan sinyal dan Albert datang
membawa sebuah kartu. "Pangeran Vladiroffsky," kata Tommy membaca dengan suara rendah. Dia memandang
Tuppence. "Bawa dia masuk, Albert."
Laki-laki yang muncul bertinggi badan sedang, kelihatan luwes, berjenggot, dan
berumur kira-kira tiga puluh lima tahun.
"Tuan Blunt?" tanyanya. Bahasa Inggrisnya sempurna. "Anda mendapat rekomendasi
yang amat tinggi. Apakah Anda bisa menangani kasus saya?"
"Barangkali Anda bisa memberikan detilnya?"
"Tentu. Mengenai anak perempuan teman saya - gadis berumur enam belas tahun. Kami
tak menghendaki skandal. Anda pasti mengerti."
"Tuan," kata Tommy. "Usaha kami telah sukses selama enam belas tahun karena kami
memperhatikan apa yang Anda kehendaki itu."
Tommy merasa melihat ada kilauan pada mata laki-laki itu, tapi secepat itu pula
kilasan itu hilang. "Anda punya kantor-kantor cabang" Kalau tak salah di seberang Selat Inggris."
"Oh! Ya. Saya berada di Berlin tanggal 13 bulan lalu," kata Tommy menegaskan
kalimatnya. "Kalau demikian," kata orang asing itu, "tidak perlu lagi membuat fiksi-fiksi
kecil itu. Kalian tahu siapa aku. Setidaknya kalian sudah siap dengan
kedatanganku." Dia mengangguk memandang kalender di dinding.
"Begitulah," kata Tommy.
"Kawan - aku datang kemari untuk memeriksa beberapa hal. Apa yang telah terjadi?"
"Pengkhianatan," kata Tuppence yang tidak tahan berdiam diri.
Si Rusia mengangkat alisnya dan memandang kepadanya.
"Ah - ha. Ternyata itu" Dugaanku benar rupanya. Apa si Sergius?"
"Kelihatannya begitu," kata Tuppence dengan tenang.
"Tak membuatku heran. Tapi kalian sendiri - tak ada yang curiga?"
"Rasanya tidak. Kami mengelola suatu bisnis yang cukup bonafid," kata Tommy.
Si Rusia mengangguk. "Bagus. Kalau begitu sebaiknya aku tak usah kemari lagi. Saat ini aku tinggal di
Blitz. Aku akan pergi dengan Marise - ini Marise, kan?"
Tuppence mengangguk. "Siapa namanya di sini?"
"Oh! Nona Robinson."
"Baik, Nona Robinson. Kau ikut aku ke Blitz untuk makan siang denganku di sana.
Kita semua akan bertemu di markas besar jam tiga. Jelas?" Dia memandang Tommy.
"Sangat jelas," jawab Tommy sambil berpikir di mana gerangan markas besar itu.
Dia merasa bahwa markas besar itulah yang ingin diketahui Tuan Carter.
Tuppence berdiri dan memakai baju hangatnya yang berwarna hitam berkerah kulit
macan. Kemudian dengan tenang dia mengatakan siap mengawani Sang Pangeran.
Mereka keluar bersama, dan Tommy pun ditinggal sendiri dengan perasaan tidak
keruan. Bagaimana kalau ada yang tidak beres dengan dictaphone itu" Bagaimana
kalau perawat itu menemukan dictaphone itu dan merusaknya"
Dia mengangkat telepon dan memutar sebuah nomor. Setelah menunggu sesaat dia pun
mendengar suara yang amat dikenalnya.
"Beres. Kita ke Blitz sekarang juga."
Lima menit kemudian Tommy dan Tuan Carter bertemu di Palm Court, Hotel Blitz.
Tuan Carter kelihatan serius dan menghibur.
"Kau melakukannya dengan baik. Sang Pangeran dan Nona Robinson sedang makan
siang di restoran. Dua anak buahku siap sebagai pelayan di situ. Aku tak tahu
apakah dia curiga atau tidak. Aku rasa tidak. Tapi kita akan menangkapnya. Ada
dua orang ditempatkan untuk menjaga kamarnya, dan beberapa orang lagi di luar,
siap untuk mengikuti dia. Jangan kuatirkan istrimu. Dia akan selalu dijaga. Aku
tak ingin ambil risiko."
Sesekali seorang petugas rahasia melaporkan perkembangan yang terjadi. Yang
pertama adalah seorang pelayan yang mencatat pesanan makanan mereka. Berikutnya
seorang lelaki berwajah kosong dengan dandanan modis.
"Mereka keluar," kata Tuan Carter. "Kita duduk di belakang pilar saja - kalau-
kalau mereka duduk di sini. Tapi aku rasa dia akan membawa istrimu ke kamarnya.
Ah! Ya, aku rasa benar."
Dari tempat duduknya Tommy melihat Tuppence dan si Rusia menyeberang ruangan dan
masuk lift. Beberapa menit berlalu. Tommy mulai gelisah.
"Bagaimana - eh, maksud saya, mereka berduaan saja di kamar."
"Salah satu orang-orangku ada di dalam - di belakang sofa. Jangan kuatir."
Seorang pelayan datang kepada Tuan Carter.
"Dapat isyarat dia datang, Pak - tapi mereka belum muncul. Bagaimana?"
"Apa?" Tuan Carter berputar. "Aku lihat mereka masuk lift..." dia memandang
jamnya, "...empat setengah menit yang lalu. Dan mereka belum muncul..."
Dia cepat-cepat berjalan ke lift yang kebetulan turun pada saat itu.
"Kau tadi membawa naik seorang tuan berjenggot putih dengan seorang wanita ke
lantai dua beberapa menit yang lalu."
"Bukan lantai dua. Tuan itu minta lantai tiga."
"Oh!" Bos meloncat masuk dan memberi isyarat pada Tommy agar mengikutinya. "Bawa
kami ke lantai tiga."
"Aku tak mengerti," gumamnya dengan suara rendah. "Tapi tenang saja. Setiap
jalan keluar dari hotel ini sudah dijaga. Bahkan di setiap lantai. Aku tak mau
ambil risiko." Pintu lift terbuka di lantai tiga. Mereka meloncat keluar dan berjalan cepat di
koridor. Di tengah jalan seorang lelaki berpakaian pelayan menyambut mereka.
"Beres, Pak. Mereka di kamar 318."
Carter melepas napas lega.
"Bagus. Tak ada jalan keluar lagi?"
"Kamar itu sebuah suite. Tapi hanya ada dua pintu ini yang menuju koridor. Kalau
mereka keluar dari kamar itu mereka harus melewati kita untuk sampai ke tangga
lift." "Baik kalau begitu. Telepon ke bawah dan tanya siapa yang menempati kamar itu."
Pelayan itu kembali dua menit kemudian.
"Nyonya Cortlandt Van Snyder dari Detroit."
Tuan Carter berpikir keras.
"Aku tak mengerti. Nyonya Van Snyder itu merupakan korban atau..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Dengar suara-suara dari dalam?" katanya tiba-tiba.
"Sama sekali tidak. Tapi pintunya rapat. Kita pasti tak bisa mendengar banyak."
Tiba-tiba Tuan Carter berkata tegas.
"Aku tak suka urusan ini. Kita masuk. Kau punya kunci serep?"
"Tentu, Pak." "Panggil Evans dan Clydesly."
Dengan bantuan dua orang tersebut mereka maju ke pintu. Pintu itu terbuka pelan
ketika kuncinya dibuka. Mereka menghadapi ruang kosong. Di sebelah kanan ada pintu kamar mandi yang
terbuka. Di depan mereka adalah ruang duduk. Di sebelah kiri ada sebuah pintu
yang tertutup dan dari balik pintu terdengar suara lirih - seperti keluhan orang
berpenyakit asma. Tuan Carter membuka pintu itu dan masuk.
Ruangan itu ternyata ruang tidur yang diisi dengan sebuah tempat tidur besar,
tertutup dengan penutup berwarna merah muda dan keemasan. Di atasnya tergeletak
seorang wanita setengah baya berpakaian modis dengan tangan dan kaki terikat.
Mulutnya tersumbat dan matanya seolah-olah keluar karena marah dan kesakitan.
Setelah mendengar perintah singkat Tuan Carter, kedua laki-laki lain pun
memeriksa dan menjaga ruangan lain. Hanya Tommy dan bosnya yang masuk ke ruang
tidur. Pada waktu dia membungkuk dan mencoba melepaskan ikatan wanita itu, mata
Carter memeriksa ruangan itu dengan heran. Kecuali sebuah peti barang buatan
Amerika yang amat besar, ruangan itu kosong. Tak ada tanda-tanda Tuppence atau
si Rusia di situ. Dalam menit berikutnya pelayan datang tergesa-gesa dan melaporkan bahwa kamar-
kamar yang lain juga kosong. Tommy melihat ke jendela, tetapi kembali tanpa
hasil. Di situ tak ada balkon.
"Ini betul-betul kamar yang mereka masuki?" tanya Carter tegas.
"Tentu. Kecuali..." Laki-laki itu menuding ke arah wanita di atas tempat tidur.
Dengan bantuan sebuah pisau lipat Carter membuka syal yang dipakai menyumbat
mulut wanita itu. Jelas bahwa apa pun penderitaan yang dialami Nyonya Snyder,
kemampuannya berbicara masih ada.
Ketika marah dan caci-makinya telah reda, Tuan Carter bicara perlahan.
"Anda bersedia menceritakan apa yang telah terjadi - dari awal?"
"Saya akan menuntut hotel ini. Benar-benar keterlaluan. Saya sedang mencari
botol 'Killa-grippe' saya ketika tiba-tiba seorang lelaki meloncat dari belakang
dan memecahkan sebuah botol gelas kecil tepat di depan hidung saya. Sebelum saya
sempat menarik napas, saya sudah tidak sadar. Ketika sadar, saya sudah terbaring
di situ dengan tangan dan kaki terikat. Wah, saya belum lihat permata saya. Saya
rasa sudah dia bawa."
"Saya rasa permata Anda aman," kata Tuan Carter. Dia berputar dan mengambil
sesuatu dari lantai. "Anda tadi berdiri di tempat saya ketika dia meloncat
masuk?" "Ya," kata Nyonya Van Snyder.
Yang diambil Tuan Carter ternyata pecahan gelas. Dia menciumnya dan
memberikannya kepada Tommy.
"Ethyl Chloride," gumamnya. "Pembius yang kuat. Tapi cepat hilang efeknya.
Tentunya dia masih ada di ruang ini ketika Anda sadar, Nyonya Van Snyder?"
"Saya kan cerita itu pada Anda tadi" Oh! Menjengkelkan sekali melihat dia keluar
begitu saja tanpa bisa berbuat apa-apa."
"Keluar?" kata Tuan Carter tajam. "Lewat mana?"
"Lewat pintu itu." Dia menunjuk pintu di depannya. "Dia dan seorang gadis. Tapi
gadis itu seperti lumpuh. Barangkali dibius juga."
Carter memandang bertanya pada bawahannya.
"Pintu ke kamar sebelah, Pak. Tapi pintunya dobel. Masing-masing digerendel."
Tuan Carter memeriksa pintu itu dengan teliti. Kemudian dia berdiri tegak dan
kembali ke tempat tidur. "Nyonya Van Snyder," katanya tenang. "Apa Anda masih akan tetap mengatakan bahwa
laki-laki itu keluar lewat pintu ini?"
"Lho, ya - tentu saja. Kenapa tidak?"
"Karena pintu itu digerendel dari sini," kata Carter dengan suara kering. Dia
mengguncangkan handel pintu itu sambil bicara.
Wajah Nyonya Snyder kelihatan heran dan bingung.
"Kecuali ada seseorang yang menggerendel pintu ini di belakangnya, dia tak akan
bisa keluar," kata Tuan Carter.
Dia berpaling pada Evans yang baru masuk.
"Pasti - mereka tak ada di kamar ini" Ada pintu penghubung lain?"
"Tidak, Pak. Saya yakin."
Carter melihat ke sana kemari. Dia membuka lemari gantung yang besar, melihat di
bawah kolong tempat tidur, ke atas ke cerobong asap dan di balik semua gorden.
Akhirnya, tanpa mempedulikan teriakan Nyonya Snyder, dia membuka peti baju besar
itu dan membalik-balik isinya.
Tiba-tiba Tommy, yang dari tadi memeriksa gerendel pintu, berteriak,
"Pak, coba lihat ini!"
Gerendel itu memang kelihatan terkunci, tetapi tidak saling mengait. Dan itu
tidak kelihatan jelas. "Pintunya tak mau dibuka karena terkunci dari sisi yang lain," jelas Tommy.
Pada menit berikutnya mereka keluar lagi ke koridor dan pelayan pun membuka
pintu di kamar samping. Kamar itu kosong, dan pintunya terkunci. Kuncinya tidak
ada. Ketika sampai di pintu penghubung, mereka melihat hal yang sama. Gerendel
itu kelihatan terkunci tapi kuncinya tidak saling mengait. Tapi mereka tidak
menemukan Tuppence maupun si Rusia di situ. Padahal tidak ada pintu penghubung
lainnya. Satu-satunya pintu adalah yang menghadap ke koridor.
"Tapi saya tidak melihat mereka keluar," kata si pelayan. "Saya pasti melihat
bila mereka keluar. Saya berani bersumpah."
"Sialan," seru Tommy kesal. "Mereka kan tak bisa menghilang begitu saja di
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
udara!" Carter sekarang tenang kembali. Otaknya yang encer bekerja.
"Telepon ke bawah, tanyakan siapa yang terakhir menempati kamar ini dan kapan
mereka pergi." Evans yang bersama-sama mereka bergerak ke telepon mematuhi instruksi bos-nya.
Akhirnya dia meletakkan gagang telepon dan mengangkat kepalanya.
"Seorang pemuda Prancis yang cacat, M. Paul de Varez. Dia dan perawatnya. Mereka
pergi pagi tadi." Sebuah seruan terdengar dari petugas rahasia lainnya, si pelayan. Wajahnya
pucat. "Pemuda cacat - perawat rumah sakit," katanya dengan gemetar. "Saya - mereka
melewati saya di gang. Tapi - saya tak pernah mengira - saya pernah melihat mereka
beberapa kali sebelumnya."
"Kau yakin mereka orang yang sama"!" seru Tuan Carter. "Apa kau yakin"
Kauperhatikan mereka?"
Laki-laki itu menggelengkan kepala.
"Melihat pun tidak. Saya menunggu - siap dengan yang lain, yaitu lelaki berjenggot
dan seorang wanita."
"Tentu saja," kata Tuan Carter mengeluh. "Mereka sudah menyiapkan itu."
Tiba-tiba Tommy berseru dan membungkuk. Dia menarik sesuatu dari bawah sofa.
Ternyata sebuah bundelan berwarna hitam. Tommy membuka gulungan itu, dan
beberapa benda pun berjatuhan. Pembungkus luar adalah mantel hitam yang dipakai
Tuppence hari itu. Di dalamnya ada rok, topi, dan sebuah jenggot palsu.
"Sudah jelas," kata Tommy dengan sedih. "Mereka menyandera Tuppence. Setan Rusia
itu telah lolos. Perawat dan pemuda cacat itu ternyata palsu. Mereka tinggal di
hotel ini satu atau dua hari, sehingga orang-orang di sekitar terbiasa dengan
kehadiran mereka. Laki-laki itu pasti tahu pada waktu makan siang tadi bahwa dia
terperangkap. Lalu dia melakukan rencana itu. Barangkali dia sudah
memperhitungkan bahwa kamar sebelah itu kosong, karena pada saat itu dia
menggerendel pintu. Pokoknya dia berhasil membungkam wanita di sebelah dan
membawa Tuppence masuk, mendandani dia sebagai seorang pemuda, dan mengganti
pakaian dan rupanya sendiri sebagai perawat, lalu keluar dengan gagah. Baju-baju
itu pasti sudah disiapkan lebih dahulu. Tapi yang membingungkan saya - bagaimana
mungkin Tuppence menurut begitu saja?"
"Aku bisa mengerti," kata Tuan Carter sambil membungkuk dan mengambil sebuah
metal dari karpet. "Ini bagian dari jarum suntik. Tuppence pasti dibius."
"Ya, Tuhan!" seru Tommy. "Dan dia lolos!"
"Kita belum pasti akan itu. Setiap jalan keluar dijaga," kata Tuan Carter dengan
cepat. "Untuk seorang lelaki dan wanita. Tapi bukan untuk seorang pemuda cacat dan
perawatnya. Mereka pasti telah meninggalkan hotel ini sekarang."
Memang benar. Setelah dicek, perawat dan pemuda cacat itu ternyata telah
meninggalkan hotel dengan sebuah taksi, lima menit sebelumnya.
"Beresford," kata Tuan Carter. "Jangan putus asa. Aku tak akan melewatkan tempat
sekecil apa pun untuk mencari istrimu. Aku akan kembali ke kantor dan memberi
instruksi agar semua bergerak. Kita akan menemukan mereka."
"Benar, Pak" Setan Rusia itu licin. Lihat saja apa yang telah dia lakukan. Tapi
saya yakin Bapak akan berusaha keras. Mudah-mudahan - tidak terlambat. Kita sudah
dikerjai." Tommy meninggalkan hotel dan berjalan seperti orang buta yang tak tahu ke mana
mesti berjalan. Dia merasa lumpuh. Mencari ke mana" Apa yang harus dilakukan"
Dia masuk ke Green Park dan menjatuhkan diri di sebuah bangku. Dia tidak melihat
ketika ada seseorang duduk di ujung yang lain, dan sangat terkejut ketika
mendengar sebuah suara yang dikenalnya.
"Maaf, Tuan, kalau saya boleh mengganggu..."
Tommy mendongak. "Halo, Albert," kata Tommy tak bersemangat.
"Saya tahu apa yang terjadi, Tuan, tapi tidak putus asa seperti itu."
"Tidak putus a..." Tommy tertawa kecil. "Gampang diucapkan, ya?"
"Coba pikir, Tuan. Blunts Brilliant Detectives! Tak pernah terkalahkan. Maaf.
Tadi pagi saya kebetulan mendengar apa yang Tuan katakan dengan Nyonya. Tuan
Poirot dengan sel abu-abunya. Nah, kenapa Tuan tidak memakai sel abu-abu Tuan?"
"Menggunakan sel abu-abu di dalam buku fiksi itu lebih mudah daripada kenyataan
yang sebenarnya, Albert."
"Tapi," kata Albert keras kepala, "saya tak yakin ada seseorang yang bisa
mengalahkan Nyonya semudah itu. Tuan tahu kan, bagaimana Nyonya. Dia seperti
tulang-tulangan dari karet yang biasa diberikan pada anjing. Dijamin mutunya dan
tak gampang patah." "Albert," kata Tommy, "terima kasih atas hiburanmu."
"Kalau begitu Tuan bisa menggunakan sel abu-abu Tuan, kan?"
"Kau memang keras kepala. Permainan kami memang berhasil, sampai saat itu. Kita
coba saja lagi. Kita kumpulkan dulu fakta-faktanya dan kita atur dengan metode
yang rapi. Pada jam dua lebih sepuluh tepat, buron kita masuk lift. Lima menit
kemudian kita bicara pada penjaga lift. Setelah itu kita pergi ke lantai tiga.
Kira-kira jam dua lewat sembilan belas menit kita masuk ke kamar Nyonya Van
Snyder. Sekarang, fakta apa yang menonjol?"
Mereka diam. Tak ada fakta apa pun yang menonjol dan menarik perhatian mereka.
"Tak ada peti di dalam kamar?" tanya Albert dengan mata bersinar.
"Mon ami," kata Tommy. "Kau tak mengerti wanita Amerika yang baru pergi ke
Paris. Ada sembilan belas peti di kamar itu."
"Maksud saya, peti itu merupakan tempat yang cukup baik untuk menyembunyikan
sesosok mayat yang ingin kita singkirkan - bukan, bukannya pasti Nyonya sudah
meninggal." "Kita sudah memeriksa dua peti yang cukup besar untuk menyembunyikan mayat.
Fakta apa lagi?" "Tuan sudah melewatkan satu fakta - ketika Nyonya dan penjahat yang menyamar
sebagai perawat itu keluar lewat koridor."
"Pasti terjadi sebelum kami keluar dari lift," kata Tommy. "Hampir saja mereka
berhadapan langsung dengan kami. Cepat sekali gerakannya. Aku..."
Dia diam. "Ada apa, Tuan?"
"Diam, mon ami. Aku punya suatu ide kecil - yang hebat dan mengagumkan - yang selalu
datang pada Hercule Poirot. Tapi kalau begitu - kalau begitu - oh, Tuhan. Mudah-mudahan tidak terlambat."
Tommy meloncat dan lari keluar taman. Albert menempel di belakangnya dan
bertanya dengan napas tersengal, "Ada apa, Tuan" Saya tidak mengerti."
"Nggak apa-apa," kata Tommy. "Kau tidak harus tahu. Si Hastings tak pernah tahu.
Kalau sel abu-abumu tidak lebih buruk dari punyaku, kaupikir permainan apa yang
sedang kulakukan" Omonganku kacau - tapi memang begitulah. Kau anak yang baik,
Albert. Kau tahu betapa berharganya Tuppence - harganya selusin kali hargamu dan
hargaku." Sambil terengah-engah Tommy memasuki gerbang Hotel Blitz. Dia melihat Evans dan
menariknya sambil menyemburkan beberapa patah kata. Keduanya dan Albert masuk
dalam lift. "Lantai tiga," kata Tommy.
Mereka berhenti di depan pintu nomor 318. Evans punya kunci serep, dan dia
memasukkannya ke lubangnya. Tanpa permisi mereka memasuki kamar Nyonya Van
Snyder. Wanita itu masih tiduran di tempat tidur, tapi sekarang dengan pakaian
tidur yang lebih pantas. Dia memandang mereka dengan heran.
"Maaf, saya tidak mengetuk," kata Tommy dengan manis. "Tapi saya memerlukan
istri saya. Bisakah Anda bangun dari tempat tidur itu?"
"Anda sudah gila barangkali," teriak Nyonya Van Snyder.
Tommy memandangnya dengan tajam. Kepalanya miring.
"Sangat artistik," katanya. "Tapi tidak jalan. Kami telah mencari di bawah
tempat tidur. Tapi tidak di dalam tempat tidur. Saya ingat pernah memakai tempat
itu untuk bersembunyi ketika masih kecil. Melintang di tempat tidur. Dan peti
baju itu pun siap untuk tempat membawa dia kemudian. Tapi kami datang terlalu
cepat sekarang. Kau telah membius Tuppence dan menyembunyikannya di dalam tempat
tidur, dan membiarkan diri disumbat dan diikat teman komplotmu yang di kamar
sebelah. Kami memang menelan ceritamu sesaat pada waktu itu. Tapi kalau hal itu
kami pikirkan lagi - dengan logika yang benar - sangat tidak mungkin untuk membius
seorang wanita, menggantinya dengan pakaian seorang pemuda, membungkam dan
mengikat seorang wanita lain, dan mendandani wajah seseorang - semua dalam waktu
lima menit. Benar-benar sesuatu yang tak masuk akal. Perawat dan pemuda itu
merupakan sebuah umpan. Dan kami diharapkan mengikuti umpan itu. Sedangkan
Nyonya Van Snyder adalah seorang korban yang perlu dikasihani. Tolong bangunkan
dia dari tempat tidur, Evans. Kau punya pistol" Bagus."
Dengan jeritan memprotes, Nyonya Van Snyder diangkat dari tempatnya. Tommy
membuka penutup tempat tidur dan kasur.
Di situ terlihat Tuppence terbaring dengan mata tertutup dan muka kaku. Sesaat
Tommy merasa sesak. Tapi kemudian dia melihat gerakan naik-turun di dadanya. Dia
dibius, bukan mati. Tommy berbalik ke Albert dan Evans.
"Dan sekarang, Tuan-tuan," katanya dengan dramatis. "Pukulan terakhir!"
Dengan gerakan cepat yang tak terduga, tangannya melesat menarik rambut Nyonya
Van Snyder yang amat rapi. Rambut itu terlepas dari genggamannya.
"Seperti sudah kuperkirakan," kata Tommy. "Nomor 16!"
Setengah jam kemudian Tuppence membuka mata dan melihat seorang dokter dan
suaminya membungkuk di atasnya.
Kejadian seperempat jam kemudian sebaiknya kita tutup dengan tirai kesopanan.
Tapi setelah itu Pak Dokter pun pergi dengan lega karena semuanya baik.
"Kawanku, Hastings," kata Tommy dengan gembira. "Aku bahagia karena kau tetap
hidup." "Kita sudah menangkap Nomor 16?"
"Sekali lagi aku sudah meremukkannya seperti memecahkan kulit telur - dengan kata
lain, Carter sudah menangkapnya. Sel abu-abu kecil! Pokoknya gaji Albert akan
kunaikkan." "Coba ceritakan."
Tommy memberinya cerita yang penuh semangat dengan menghilangkan bagian-bagian
tertentu. "Apa kau tidak kuatir akan nasibku?" tanya Tuppence ragu-ragu.
"Tidak. Kita kan harus tetap tenang dalam situasi apa pun."
"Pembohong!" seru Tuppence. "Lihat - rupamu sendiri yang menunjukkannya."
"Hm, ya, barangkali aku agak kuatir, Sayang. Kita akan menyudahi permainan ini,
kan?" "Tentu saja." Tommy menarik napas lega.
"Aku rasa kau sebaiknya bersikap tahu diri. Setelah kejutan ini..."
"Bukan karena kejutan ini. Aku tak peduli dengan kejutan."
"Dasar tulang-tulangan dari karet - tak bisa patah," gumam Tommy.
"Aku punya rencana bagus," kata Tuppence. "Sesuatu yang sangat mendebarkan. Yang
tak pernah kulakukan sebelumnya."
Tommy memandangnya dengan sangat kuatir. "Jangan, Tuppence."
"Kau tak bisa melarang," kata Tuppence. "Ini hukum alam."
"Kau omong tentang apa?"
"Aku ngomong tentang," kata Tuppence, "bayi kita. Istri-istri zaman sekarang
tidak berbisik. Mereka berteriak. BAYI KITA! Tommy, bukankah semua begitu
indah?" Scan & DJVU: BBSC Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Kisah Tiga Kerajaan 25 Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Wasiat Dewa 1
tentang lawakan ibu mertua, saudara kembar, dan botol bir. Aku menelegram ke
Australia dan mendapat jawaban yang kuinginkan. Una punya saudara kembar. Vera.
Dia tiba di Inggris hari Senin lalu. Karena itu dia bisa membuat taruhan seperti
itu. Dia pikir Montgomery Jones akan kelabakan. Saudaranya pergi ke Torquay dan
dia sendiri tinggal di London."
"Apakah dia akan sedih kalau kalah?" tanya Tommy.
"Tidak," kata Tuppence. "Aku rasa tidak. Aku telah memberitahu kamu sebelumnya.
Dia akan menghormati Montgomery Jones. Aku selalu berpendapat bahwa rasa hormat
pada kemampuan suami merupakan dasar kehidupan berumah tangga."
"Aku gembira bisa memberimu inspirasi itu."
"Ini bukan jawaban yang memuaskan," kata Tuppence. "Karena caranya tidak sehebat
yang dilakukan Inspektur French."
"Omong kosong," kata Tommy. "Aku rasa caraku menunjukkan foto-foto itu kepada
pelayan restoran sama seperti yang dilakukan Inspektur French."
"Kelihatannya dia tidak terlalu banyak memberi tip seperti yang kita lakukan,"
kata Tuppence. "Tak apa," kata Tommy. "Kita bisa memasukkannya dalam biaya yang akan kita
ajukan pada Tuan Jones. Dia pasti akan gembira sekali dan tak peduli berapa
besar pun biaya yang harus dibayar."
"Harusnya begitu," kata Tuppence. "Bukankah Blunts Brilliant Detectives sudah
berhasil" Oh, Tom, aku rasa kita memang benar-benar brilian. Kadang-kadang aku
kuatir, tahu?" "Kasus berikutnya adalah kasus Roger Sheringham, dan kau jadi Roger Sheringham,
Tuppence." "Aku harus banyak omong kalau begitu," kata Tuppence.
"Kau sudah melakukannya dengan luwes," kata Tommy.
"Sekarang kita pergi saja ke gedung pertunjukan, di mana banyak lawakan tentang
ibu mertua, botol bir, dan saudara kembar."
20. Putri Pak Pendeta "AKU ingin kita bertemu dengan putri seorang pendeta," kata Tuppence.
"Kenapa?" tanya Tommy.
"Kau barangkali sudah lupa. Aku kan putri seorang pendeta. Aku ingat bagaimana
rasanya. Dari situlah timbul dorongan untuk mencari kebenaran - pikiran yang tidak
egois, yang memikirkan orang lain, yang..."
"Kelihatannya kau sudah bersiap-siap menjadi Roger Sheringham," kata Tommy.
"Kalau aku boleh berkomentar, kau memang sudah banyak bicara seperti dia. Cuma
tidak sebagus dia." "Justru sebaliknya," kata Tuppence. "Cara bicaramu memang lain. Karena ada
keluwesan yang khas wanita dalam percakapan, suatu je ne sais quoi yang tidak
dimiliki oleh laki-laki. Dan lagi, aku punya kekuatan yang tak diketahui oleh
prototipeku - ah, apakah yang kumaksud prototipe" Kata-kata memang tak pernah
pasti. Mereka bisa terdengar bagus tapi mempunyai arti sebaliknya dari yang kita
maksud." "Lanjutkan," kata Tommy berbaik hati.
"Aku hanya - hanya berhenti untuk mengambil napas. Dengan menyentuh kekuatan itu -
hari ini aku ingin membantu putri seorang pendeta. Kau akan lihat, Tom, bahwa
orang pertama yang minta bantuan Blunts Brilliant Detectives adalah putri
seorang pendeta." "Aku taruhan, pasti bukan," kata Tommy.
"Oke. Setuju," kata Tuppence. "Sssst! Kembali ke mesin tik. Oh! Dia datang!"
Kantor Tuan Blunt tiba-tiba saja sibuk dengan ketukan mesin tik. Albert mengetuk
pintu dan memberitahu, "Nona Monica Deane."
Seorang gadis langsing berambut coklat dan berpakaian kumal masuk dengan ragu-
ragu. Tommy datang mendekat.
"Selamat pagi, Nona Deane. Silakan duduk. Apa yang bisa kami lakukan untuk Anda"
Sebentar, saya kenalkan dulu Anda dengan sekretaris pribadi saya, Nona
Sheringham." "Senang berkenalan dengan Anda, Nona Deane," kata Tuppence. "Ayah Anda bekerja
untuk gereja?" "Oh, ya. Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Oh! Kami punya cara," kata Tuppence. "Jangan kuatir kalau saya cerewet. Tuan
Blunt senang mendengar saya bicara. Katanya itu memberi inspirasi padanya."
Gadis itu memandang Tuppence. Tubuhnya langsing, tidak terlalu cantik, tapi
cukup manis. Rambutnya coklat lembut, matanya amat biru dan indah, walaupun saat
itu kelihatan kuatir. "Anda bersedia bercerita pada kami, Nona Deane?" kata Tommy.
Gadis itu berpaling kepadanya dengan rasa terima kasih.
"Ceritanya panjang dan tidak karuan," kata gadis itu. "Nama saya Monica Deane.
Ayah saya pendeta di Little Hampsley, Suffolk. Dia meninggal tiga tahun yang
lalu, meninggalkan Ibu dan saya dalam keadaan kekurangan. Lalu saya keluar,
bekerja sebagai guru privat. Tapi Ibu sakit dan menjadi invalid. Saya terpaksa
pulang untuk menjagainya. Kami benar-benar miskin. Tapi pada suatu hari kami
menerima surat seorang pengacara yang mengatakan bahwa saya menerima warisan
dari bibi ayah saya - jadi nenek saya juga - yang meninggal. Saya sering mendengar
cerita tentang Nenek, yang sering bertengkar dengan Ayah sewaktu masih hidup,
dan saya pun tahu bahwa dia amat kaya, jadi saya merasa bahwa kesulitan kami
akan selesai. Tapi rupanya keadaan tidak sebaik yang kami harapkan. Saya
menerima warisan rumah yang dia tinggali. Tapi setelah membayar pajak warisan
itu, ternyata tak ada lagi uang tersisa. Saya berpikir barangkali Nenek
kehilangan uang pada waktu perang, atau dia hidup dengan uang tabungannya.
Walaupun begitu kami masih memiliki rumah itu, dan bisa kami jual dengan harga
yang cukup tinggi. Anehnya, saya menolak penawaran seseorang yang ingin membeli
rumah itu. Kami mengontrak rumah kecil tetapi mahal. Jadi saya pikir lebih baik
kami tinggal di rumah Nenek supaya Ibu juga enak. Lalu kami bisa menyewakan
beberapa kamar untuk biaya hidup.
"Saya berpegang teguh pada rencana ini dan tidak mempedulikan seorang calon
pembeli yang mengajukan harga yang amat menggiurkan. Kami pindah dan saya
mengiklankan kamar-kamar yang akan kami sewakan. Sesaat semua berjalan lancar.
Beberapa orang berminat pada tawaran kami. Bekas pembantu Nenek yang sudah tua
tetap tinggal bersama kami dan dia membantu saya membereskan rumah. Kemudian
terjadilah hal yang tidak kami sangka."
"Kejadian apa?"
"Kejadian yang amat aneh. Segalanya seperti kena sihir. Gambar-gambar jatuh,
peralatan dapur terbang dan pecah. Pada suatu pagi, kami bangun dan menemukan
semua perabot berpindah tempat. Mula-mula kami mengira ada orang yang main-main.
Tapi kami terpaksa menyingkirkan perkiraan tersebut. Kadang-kadang, ketika kami
sedang makan malam, terdengar suara ribut di atas. Kami naik ke atas. Tak
seorang pun ada di sana, tapi ada sebuah perabot terbanting keras."
"Poltergeist," seru Tuppence penuh perhatian.
"Ya, itu yang dikatakan Dr. O'Neil - walaupun saya tidak tahu apa artinya."
"Itu seperti makhluk halus yang suka main-main," jelas Tuppence yang sebenarnya
juga tak terlalu tahu tentang hal itu, bahkan kata poltergeist pun dia tak yakin
benar. "Ya - pendeknya akibatnya buruk. Tamu-tamu kami menjadi ketakutan, dan mereka
pindah secepat mungkin. Tamu-tamu baru datang, tapi cepat-cepat pergi pula. Saya
putus asa - dan pendapatan kami yang tak seberapa pun berkurang - usaha itu gagal."
"Kasihan," kata Tuppence dengan penuh simpati. "Pasti mengesalkan. Apa Anda
ingin agar Tuan Blunt membereskan urusan setan itu?"
"Begini. Tiga hari yang lalu ada seorang tamu datang. Namanya Dr. O'Neill. Dia
mengatakan bahwa dia adalah anggota Kelompok Riset Fisik, dan dia mendengar
tentang hal-hal aneh di rumah kami. Dia begitu tertarik sehingga bersedia
membeli rumah kami untuk mengadakan serentetan eksperimen."
"Lalu?" "Tentu saja pertama-tama saya menjadi amat gembira. Kelihatannya hal itu memberi
jalan keluar pada kesulitan kami. Tapi..."
"Ya?" "Barangkali Anda menganggap saya suka mengada-ada. Barangkali juga memang
demikian. Tapi - oh! Saya yakin bahwa saya tidak keliru. Dia adalah lelaki yang
sama!" "Lelaki yang mana?"
"Lelaki yang ingin membeli rumah itu sebelumnya. Oh! Saya yakin saya tidak
keliru." "Tapi kenapa?" "Anda tidak mengerti" Kedua laki-laki itu beda, beda namanya dan segalanya.
Laki-laki pertama adalah seorang muda dalam usia tiga puluhan, berkulit
kehitaman. Dr. O'Neill berumur lima puluhan dengan jenggot abu-abu, berkacamata
dan agak bongkok. Tapi ketika bicara, saya melihat sebuah gigi emas di satu sisi
mulutnya. Gigi itu kelihatan kalau dia tertawa. Laki-laki muda itu juga punya
gigi emas di posisi yang sama. Lalu saya memperhatikan telinganya. Saya teringat
telinga lelaki muda itu karena bentuknya yang aneh. Hampir tidak ada cuping
telinganya. Dan telinga Dr. O'Neill pun sama. Ini tak mungkin suatu kebetulan, kan"
Saya berpikir dan berpikir, dan akhirnya saya tulis surat akan memberitahu
seminggu kemudian. Saya pernah membaca iklan Tuan Blunt beberapa waktu yang lalu
- di koran yang kami pakai untuk alas laci dapur kami. Saya gunting iklan itu dan
pergi ke kota." "Anda benar," kata Tuppence sambil menganggukkan kepala kuat-kuat. "Ini perlu
dicek." "Kasus yang amat menarik, Nona Deane," kata Tommy. "Kami dengan senang hati akan
membantu Anda. Bukan begitu, Nona Sheringham?"
"Benar," kata Tuppence. "Akan kami selidiki sampai ke akar-akarnya."
"Kalau tak salah, isi rumah itu adalah Anda, ibu Anda, dan pembantu itu. Bisa
Anda berikan informasi tentang pembantu Anda, Nona Deane?"
"Namanya Crockett. Dia ikut Nenek delapan atau sepuluh tahun yang lalu. Dia
sudah tua. Sikapnya tidak terlalu menyenangkan, tapi dia adalah pembantu yang
baik. Dia memang agak sombong karena saudara perempuannya menikah dengan
kalangan atas. Dia punya kemenakan laki-laki yang selalu dia ceritakan sebagai
terpelajar." "Hm," kata Tommy yang tidak tahu mau berkata apa.
Tuppence rupanya telah memperhatikan Monica baik-baik. Dia kemudian bicara
dengan tegas. "Saya rasa sebaiknya Nona Deane makan siang dulu bersama saya. Sekarang sudah
jam satu. Saya bisa mendapat keterangan yang lebih rinci nanti."
"Tentu, Nona Sheringham," kata Tommy. "Rencana yang bagus."
"Begini," kata Tuppence ketika mereka sudah duduk di tempat yang cukup nyaman di
restoran yang tak jauh dari kantor, "saya ingin tahu, apa Anda punya alasan
tertentu untuk penyelidikan kasus ini?"
Muka Monica menjadi merah.
"Mm - begini..."
"Terus terang saja," kata Tuppence mendorong.
"Mm - ada dua orang pria yang - yang - ingin menikahi saya."
"Cerita yang biasa, kan" Yang satu kaya, lainnya miskin, dan Anda suka yang
miskin?" "Saya tak mengerti bagaimana Anda bisa tahu hal ini," gumam gadis itu.
"Itu adalah hukum alam," jelas Tuppence. "Terjadi pada setiap orang. Juga pada
saya." "Kalaupun saya jual rumah itu, uangnya tak akan cukup untuk menghidupi kami.
Gerald sangat baik, tapi dia sangat miskin - walaupun dia insinyur yang cerdas.
Kalau dia punya sedikit modal, perusahaan bersedia menjadi partnernya. Yang
lain, Tuan Partridge, adalah seorang pria yang baik hati - dan kaya. Kalau saya
menikah dengan dia, kami tak akan kesulitan. Tapi - tapi..."
"Saya mengerti," kata Tuppence simpatik. "Tidak akan sama. Kita bisa membujuk
diri sendiri dengan selalu mengatakan, betapa baik dan berartinya dia, sambil
terus menambah kebaikan-kebaikan lainnya - tapi semua itu terasa hambar."
Monica mengangguk. "Saya rasa kami sebaiknya datang ke sana," kata Tuppence, "dan mempelajari semua
di tempat. Di mana alamatnya?"
"Red House, Stourton, Marsh."
Tuppence mencatat alamat itu di bukunya.
"Saya belum tanya - tentang biaya pada Anda," kata Monica dengan agak malu.
"Biaya kami hanya berdasarkan hasil," kata Tuppence menenangkan. "Kalau rahasia
Red House memberi suatu keuntungan, yang kelihatannya memang begitu kalau
diingat keinginan yang menggebu untuk memiliki rumah itu, kami hanya
mengharapkan persentase kecil. Kalau tidak - tak apa-apa!"
"Terima kasih banyak," kata gadis itu dengan rasa terima kasih.
"Jangan kuatir," kata Tuppence. "Semuanya akan beres. Sekarang sebaiknya kita
makan dan bicara tentang hal-hal yang menarik."
21. Red House "NAH, kita sudah ada di Lubang Kodok atau apa pun namanya desa ini," kata Tommy
sambil melihat ke luar dari jendela Crown and Anchor.
"Coba kita kaji kasus ini," kata Tuppence.
"Boleh, boleh," jawab Tommy. "Aku dulu ya yang komentar. Aku curiga pada ibunya
yang invalid itu!" "Kenapa?" "Ingatlah kata poltergeist itu. Pasti ulah seseorang yang ingin agar gadis itu
menjual rumahnya, pasti ada orang yang melempar barang-barang itu. Gadis itu
cerita bahwa keributan terjadi pada waktu makan malam. Berarti semua ada di
ruang makan kecuali ibunya. Dia pasti di kamarnya, di atas."
"Kalau dia seorang invalid, dia tak akan bisa melempar perabot."
"Kalau begitu dia bukan invalid betulan. Pura-pura saja."
"Kenapa?" "Ya - karena aku mau mempraktekkan cara di mana kita perlu mencurigai orang yang
sama sekali tidak kita curigai."
"Kau selalu main-main," kata Tuppence serius. "Pasti ada sesuatu yang membuat
orang itu ngotot mau membeli rumah itu. Dan kalau kau tidak tertarik menyelidiki
kasus ini, aku yang akan menyelidikinya. Gadis itu baik."
Tommy mengangguk dengan serius.
"Aku setuju," katanya. "Tapi rasanya nggak enak kalau nggak ngeledek kamu. Tentu
saja ada yang aneh dengan rumah itu. Dan apa pun penyebabnya, pasti merupakan
sesuatu yang sulit didapat. Kalau tidak, pencurian saja sudah cukup. Tapi untuk
bersedia membeli rumah itu, berarti dia harus membongkar lantai atau menjebol
tembok, atau barangkali ada tambang batubara di halaman belakang!"
"Aku tidak suka tambang batubara. Harta karun terpendam rasanya lebih romantis."
"Hm, kalau begitu aku perlu berkunjung ke manajer bank setempat. Aku akan cerita
bahwa aku menginap di tempat ini sampai Natal, dan barangkali berniat membeli
Red House. Aku akan pura-pura membuka rekening."
"Untuk apa...?"
"Tunggu saja." Tommy kembali setengah jam kemudian. Matanya bersinar.
"Ada kemajuan, Tuppence. Interview-nya berkisar pada soal tadi. Secara sambil
lalu aku tanya apakah dia menerima banyak pembayaran dengan emas. Kan bank-bank
desa kecil sekarang banyak yang begitu. Karena banyak petani-petani kecil yang
menyimpan emas waktu perang. Dari situ kita berpindah bicara tentang kebiasaan-
kebiasaan aneh wanita tua. Aku mengarang cerita tentang seorang bibi yang pada
waktu pecah perang, langsung masuk toko-toko dengan sebuah mobil dan kembali
pulang membawa enam belas ham. Dia langsung cerita tentang seorang kliennya yang
menarik seluruh uangnya dalam bentuk emas, juga surat-surat berharga miliknya
untuk disimpan sendiri. Aku bilang itu perbuatan tolol, dan dia secara sambil
lalu mengatakan bahwa orang itu adalah pemilik Red House yang dulu. Nah, kau
lihat" Wanita itu menarik semua uangnya dan menyembunyikannya di suatu tempat.
Kau ingat, Monica Deane bilang bahwa mereka heran dengan peninggalan uang yang
begitu sedikit" Ya, dia menyimpan hartanya itu di rumahnya dan ada yang tahu
tentang hal itu. Dan aku bisa menebak orangnya."
"Siapa?" "Bagaimana dengan Crockett yang setia" Dia pasti tahu tentang kebiasaan-
kebiasaan majikannya."
"Dan Dr. O'Neill yang bergigi emas?"
"Tentu saja keponakannya yang terpelajar itu! Tapi di mana kira-kira dia
menyimpan uangnya" Kau tahu lebih baik tentang wanita-wanita tua daripadaku,
Tuppence. Di mana biasanya mereka menyembunyikan barang mereka?"
"Di bawah kasur, dibungkus stocking dan baju dalam."
Tommy mengangguk. "Aku rasa kau benar. Tapi dia tidak melakukan itu karena barang-barang itu pasti
ketemu kalau ada orang yang membongkar-bongkar. Ini membuatku kuatir. Wanita tua
seperti dia pasti tidak bisa menggali lubang di tanah atau di lantai. Yang jelas
harta itu ada di Red House. Crockett belum menemukannya. Tapi kalau dia sudah
bisa membeli rumah itu, dia dan keponakannya yang terpelajar itu pasti akan
membongkar dan mengaduk-aduk rumah itu sampai ketemu. Kita harus bisa mendahului
mereka. Ayo, kita ke sana saja."
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Monica Deane menyambut mereka. Dia memperkenalkan mereka pada ibunya dan
Crockett - sebagai calon pembeli rumah, dan mereka pun dibawa berkeliling. Tommy
tidak menjelaskan pada Monica tentang kesimpulannya, tapi dia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang menyelidik. Tentang baju-baju dan barang-barang
pribadi milik almarhumah. Beberapa diberikan pada Crockett, dan sebagian
diberikan pada keluarga-keluarga miskin. Semua telah dilihat dan diperiksa.
"Apa dia meninggalkan surat-surat?"
"Mejanya penuh. Juga sebuah laci di kamarnya. Tapi kelihatannya tidak ada yang
penting." "Apa sudah dibuang?"
"Belum. Ibu tidak suka membuang kertas-kertas tua. Ada beberapa resep kuno yang
masih dia simpan dan ingin dia coba nanti."
"Bagus," kata Tommy. Dia kemudian menunjuk seorang tukang kebun tua yang sedang
bekerja. "Apa tukang kebun itu juga bekerja di sini waktu Nenek Anda masih ada?"
"Ya. Dia biasa datang tiga hari seminggu. Dia tinggal di desa Kasihan.
Sebetulnya sudah terlalu tua untuk bisa bekerja dengan baik. Sekarang dia kemari
seminggu sekali untuk merapikan tanaman. Kami tidak kuat membayar."
Tommy mengedipkan mata pada Tuppence, memberi isyarat agar dia menemani Monica.
Dia sendiri kemudian mendekati tukang kebun itu. Dia menyapanya dengan ramah,
lalu bertanya apakah dia sudah bekerja di situ waktu pemilik rumah masih ada,
dan bertanya sambil lalu,
"Kau pernah mengubur sebuah kotak untuknya, kan?"
"Ah tidak, tak pernah. Untuk apa?"
Tommy menggelengkan kepala. Dia berharap akan mendapat suatu petunjuk dari
kertas-kertas tua yang ditinggalkan wanita itu. Kalau tidak - jalan keluarnya
pasti sulit. Rumah itu sendiri memang rumah kuno. Tapi tidak cukup kuno untuk
menyembunyikan sebuah ruangan rahasia.
Sebelum pergi, Monica membawakan sebuah kotak besar dari kardus yang diikat
dengan tali. "Saya sudah mengumpulkan kertas-kertas dan dokumen Nenek," katanya berbisik.
"Semua ada di sini. Anda bisa membawa dan memeriksanya nanti - tapi saya yakin
Anda tak akan menemukan apa-apa yang bisa memberi petunjuk pada kejadian-
kejadian misterius di rumah ini..."
Kata-katanya terpotong oleh suara barang yang berdebam jatuh di atas. Tommy
cepat-cepat lari ke atas. Sebuah jambangan dan tempat air pecah berantakan. Tak
seorang pun ada di situ. "Setan itu main-main lagi," katanya sambil meringis.
Dia turun lagi sambil berpikir.
"Apakah saya bisa bicara dengan Crockett sebentar, Nona Deane?"
"Tentu. Biar saya suruh dia datang pada Anda."
Monica pergi ke dapur. Dia kembali dengan pembantu tua yang membukakan pintu
untuk mereka pagi tadi. "Kami bermaksud membeli rumah ini," kata Tommy ramah, "dan istri saya ingin tahu
apakah kau juga mau tetap tinggal di rumah ini bersama kami?"
Wajah Crockett tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.
"Terima kasih, Tuan," katanya. "Akan saya pikir dulu."
Tommy berpaling kepada Monica.
"Saya sudah cocok dengan rumah ini, Nona Deane. Saya mengerti bahwa ada pihak
lain yang juga berminat. Dan saya juga tahu penawaran yang diberikan. Karena itu
saya ingin menambahkan seratus pound lagi untuk tawaran saya. Saya rasa harga
itu cukup pantas untuk rumah ini."
Monica menggumamkan sesuatu yang tidak memastikan, dan suami istri Beresford pun
pergi. "Aku tidak keliru," kata Tommy ketika mereka berjalan keluar. "Crockett memang
terlibat. Kaulihat napasnya terengah-engah" Itu karena dia lari lewat tangga
belakang setelah melemparkan jambangan. Aku rasa dia diam-diam pernah membukakan
pintu untuk keponakannya itu dan melakukan tipuan-tipuan yang menakut-nakuti
itu, sementara dia sendiri ada di antara penghuni rumah lainnya. Dan aku berani
bertaruh bahwa Dr. O'Neill akan menaikkan tawarannya sebelum matahari
tenggelam." Memang benar. Setelah makan malam mereka menerima sebuah nota dari Monica.
"Saya baru dapat kabar dari Dr. O'Neill. Dia menaikkan tawaran 150 pound."
"Si keponakan itu pasti kaya," kata Tommy sambil merenung. "Dan harga yang
ditawarkannya itu pasti tidak main-main."
"Oh! Kalau saja kita bisa menemukannya!"
"Kalau begitu, kita harus kerja cepat."
Mereka mulai membongkar onggokan kertas-kertas lama yang sama sekali tidak
ditata itu. Setiap beberapa menit mereka saling mengecek hasil operasi.
"Kau dapat apa, Tuppence?"
"Dua kuitansi, tiga surat tidak penting, resep untuk menyimpan kentang baru, dan
satu lagi untuk membuat cake keju. Kau dapat apa?"
"Satu kuitansi. Sajak musim semi. Dua guntingan koran tentang: Mengapa Wanita
Membeli Mutiara - Suatu Investasi Bagus dan Lelaki dengan Empat Istri - Cerita Luar
Biasa dan sebuah resep untuk Jugged Hare."
"Ini menyedihkan," kata Tuppence. Lalu mereka saling mengecek lagi. Akhirnya
kotak itu pun kosong. Mereka saling berpandangan.
"Aku menyisihkan ini," kata Tommy, sambil menunjukkan setengah lembar kertas.
"Karena kelihatan aneh. Tapi rasanya tak ada hubungannya dengan apa yang kita
cari." "Coba lihat. Oh, ini kan salah satu pantun lucu itu. Apa namanya" Anagram - ya."
Dia membacanya. "Yang pertama di atas bara
Dan ke dalamnya kau masukkan aku
Yang kedua sebenarnya pertama
Yang ketiga tak suka embusan salju."
"Hm," kata Tommy kritis. "Aku tak suka sajaknya."
"Aku tak melihat hal yang aneh pada anagram ini," kata Tuppence. "Setiap orang
punya koleksi seperti ini lima puluh tahun yang lalu. Mereka menyimpannya untuk
dibaca-baca di depan perapian di musim dingin."
"Bukan sajaknya yang kumaksud. Tapi kata-kata yang tertulis di bawahnya itu yang
aneh." "Lukas XI. 9," kata Tuppence. "Sebuah ayat."
"Ya. Bukankah aneh" Apakah seorang wanita tua yang saleh akan menulis sebuah
ayat di bawah anagram seperti itu?"
"Ya, aneh," kata Tuppence sambil berpikir.
"Sebagai putri seorang pendeta, tentunya kau menyimpan sebuah Alkitab."
"Benar. He, kau tidak mengira, kan" Sebentar."
Tuppence berjalan ke arah kopornya dan menarik sebuah buku merah kecil. Dia
kembali ke meja. Dia membuka halaman-halaman Alkitab dengan cepat. "Ini dia
Lukas, pasal XI, ayat 9. Oh Tommy, lihat."
Tommy membungkuk dan melihat bagian yang ditunjuk jari Tuppence yang kecil.
"Carilah, maka kamu akan mendapat."
"Itu dia," seru Tuppence. "Kita sudah dapat! Kita harus memecahkan cryptogram
itu, dan harta itu menjadi milik kita - eh, milik Monica."
"Baik. Kita kerjakan dulu cryptogram itu. Yang pertama di atas bara. Apa itu
artinya" Lalu - Yang kedua sebenarnya pertama! Ah, ini aneh-aneh saja!"
"Sebenarnya sangat sederhana," kata Tuppence dengan manis. "Perlu ketrampilan
saja. Coba lihat sebentar."
Dengan senang hati Tommy menyerahkannya. Tuppence menyandarkan tubuhnya di kursi
santai dan mulai berpikir, memutar otak, dan mengerutkan alis.
"Sebenarnya sangat sederhana," gumam Tommy ketika setengah jam telah lewat.
"Jangan berisik! Kita bukan generasi yang cocok untuk hal-hal seperti ini. Aku
punya rencana untuk kembali ke kota besok dan mengunjungi seorang tua yang
barangkali bisa membacanya semudah orang mengejapkan mata."
"Kita coba lagi saja."
"Tak banyak yang bisa ditaruh di atas bara," kata Tuppence sambil merenung. "Ada
air - untuk mematikannya, atau kayu atau ketel."
"Harus satu suku kata. Bagaimana dengan wood - kayu?"
"Tapi kau tidak bisa memasukkan apa-apa ke dalam kayu."
"Tak ada kata-kata yang terdiri dari satu suku kata yang cocok, kecuali water -
air. Tapi pasti ada benda-benda satu suku kata yang bisa dimasukkan ke dalam
api. Benda semacam ketel."
"Penggorengan?" kata Tuppence. "Pan" Pot" Kata apa yang berawalan pan atau pot
yang bisa dimasak?" "Pottery - tembikar," kata Tommy. "Dibakar dalam api. Cukup dekat, kan?"
"Yang lain nggak cocok. Pancake" Tidak. Oh!"
Percakapan mereka disela seorang pelayan yang memberi tahu bahwa makan malam
akan siap beberapa menit lagi.
"Nyonya Lumley ingin tahu apakah Anda mau fried potatoes atau boiled potatoes
dengan kulitnya" Dia punya dua persediaan."
"Yang direbus dengan kulitnya," kata Tuppence cepat. "Saya suka potatoes..." Dia
diam dengan mulut terbuka.
"Ada apa, Tuppence" Kau melihat hantu?"
"Tommy!" serunya. "Kau tidak tahu" Ya, itu! Maksudku kata yang kita cari itu.
Potatoes! Yang pertama di atas bara - itu adalah pot. Dan ke dalamnya kaumasukkan
aku. Yang kedua sebenarnya pertama. Itu huruf A - pertama dalam alfabet. Yang
ketiga tak suka embusan salju - tentu saja ujung jari kaki yang kedinginan - toes!"
"Kau benar, Tuppence. Pandai kau. Tapi rasanya kita membuang-buang waktu untuk
hal yang tak ada gunanya. Potatoes - kentang - tak ada hubungannya dengan harta yang
hilang itu. Tunggu - tunggu. Apa yang kamu baca tadi waktu kita membongkar kardus
itu" Resep kentang baru" Barangkali ada sesuatu di dalamnya."
Dia membalik-balik tumpukan resep.
"Ini dia. MENYIMPAN KENTANG BARU. Masukkan kentang baru dalam kaleng dan tanam
di kebun. Walaupun di tengah musim dingin akan terasa seperti kentang yang baru
dicabut!" "Sudah dapat!" seru Tuppence. "Itu dia. Harta itu ada di kebun, dimasukkan dalam
kaleng." "Tapi aku sudah tanya tukang kebun itu. Katanya dia tak pernah menanam apa-apa."
"Ya, aku tahu. Tapi itu karena orang biasanya tidak menjawab apa yang
ditanyakan, tapi apa yang mereka pikir ditanyakan. Dia tahu bahwa dia tidak
pernah menanam sesuatu yang tidak biasa. Kita akan temui dia besok dan tanya di
mana dia menanam kentang itu."
Keesokan paginya adalah hari sebelum Natal.
Dengan bertanya ke sana kemari, mereka akhirnya menemukan pondok tukang kebun.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Tuppence mengajukan pertanyaan.
"Rasanya saya ingin dapat kentang baru untuk Natalan," katanya. "Enak kan,
dimakan dengan kalkun" Apa orang sini pernah menanam kentang dalam kaleng" Saya
dengar cara itu membuat kentang jadi tetap segar."
"Ah, ya," kata lelaki tua itu. "Bu Deane tua, pemilik Red House, selalu menanam
tiga kaleng kentang tiap musim panas dan sering lupa menggalinya lagi!"
"Biasanya di rumpun dekat rumah, kan?"
"Tidak, dekat tembok dekat pohon cemara."
Setelah mendapat informasi yang mereka perlukan, mereka pun meninggalkan tip
untuk lelaki tua itu, lalu pergi.
"Sekarang giliran Monica," kata Tommy.
"Tommy! Kau ini tak bisa bersikap dramatis. Biar aku yang membereskan. Aku punya
rencana bagus. Kaupikir kau bisa minta, atau pinjam, atau mencuri sekop?"
Akhirnya mereka mendapat sebuah sekop. Dan tengah malam itu dua bayangan manusia
masuk halaman Red House dengan diam-diam. Tempat yang ditunjukkan tukang kebun
itu mudah ditemukan. Tommy pun mulai bekerja. Akhirnya sekop itu membentur suatu
metal, dan beberapa detik kemudian dia mendongkel sebuah kaleng biskuit yang
besar. Kaleng itu ditutup plester berkeliling. Dengan bantuan pisau Tommy,
Tuppence membuka kaleng itu. Dia menarik napas panjang. Kaleng itu penuh
kentang. Dia mengeluarkan kentang itu sampai kalengnya kosong. Tak ada isi
lainnya. "Teruskan galianmu, Tommy."
Sesaat kemudian barulah kaleng kedua mereka temukan. Dan sekali lagi Tuppence
membuka kalengnya. "Bagaimana?" tanya Tommy ingin tahu.
"Kentang lagi!"
"Sialan!" kata Tommy sambil menggali lagi.
"Yang ketiga pasti untung!" kata Tuppence menghibur.
"Aku rasa semua ini tipuan saja," kata Tommy geram sambil melanjutkan menggali.
Akhirnya kaleng yang ketiga pun ditemukan.
"Kentang la..." kata Tuppence dan tiba-tiba berhenti. "Oh, Tom! Ini yang kita
cari. Kentang di bagian atas. Lihat!"
Dia menunjukkan sebuah tas kuno besar terbuat dari beludru.
"Cepat kembali," teriak Tommy. "Sudah tambah dingin. Bawa tas itu. Aku harus
mengembalikan galian tanah ini. Dan awas - kau akan kena kutuk, Tuppence, kalau
tas itu sudah kaubuka sebelum aku datang!"
"Aku akan main sportif. Huh - kaku rasanya." Tuppence kembali dengan cepat.
Dia tak perlu menunggu Tommy terlalu lama di penginapan. Tommy datang dengan
keringat bercucuran setelah menggali dan lari cepat.
"Sekarang," kata Tommy. "Agen penyelidik privat sudah berhasil! Buka tas itu,
Nyonya Beresford." Di dalam tas itu ada sebuah paket terbungkus dengan sutera minyak dan sebuah tas
kulit kijang. Mereka membuka tas kulit itu. Tas itu penuh dengan uang emas.
Tommy menghitungnya. "Dua ratus pound. Aku rasa hanya itulah yang bisa dia dapat. Buka paket itu."
Tuppence memotongnya. Paket itu penuh dengan uang kertas. Tommy dan Tuppence
menghitungnya dengan hati-hati. Uang itu berjumlah dua puluh ribu pound!
"Wah!" kata Tommy. "Untung ya Monica, karena kita kaya dan jujur. Apa itu yang
dibungkus kertas tisu?"
Tuppence membuka bungkusan kecil dan mengeluarkan seuntai mutiara yang amat
indah. "Aku tak tahu banyak tentang benda ini," kata Tommy perlahan. "Tapi aku yakin
bahwa mutiara itu berharga sekurang-kurangnya lima ribu pound. Lihat ukurannya.
Sekarang aku mengerti kenapa dia menyimpan guntingan koran tentang nilai
investasi mutiara itu. Dia tahu betul tentang kekayaannya dan menyimpannya dalam
bentuk surat-surat berharga dan permata."
"Oh, Tommy! Luar biasa, ya" Si Monica itu. Ah, aku gembira dan ikut bahagia.
Sekarang dia bisa menikah dengan pacarnya yang baik itu, dan hidup bahagia
seperti aku." "Kau baik sekali. Jadi kau bahagia rupanya bersuami aku?"
"Yaaa, begitulah," jawab Tuppence. "Sebetulnya aku tak bermaksud berkata begitu,
tapi lidahku keseleo. Maklum. Sedang merasa senang. Mana malam Natal, lagi...."
"Kalau kau benar-benar sayang padaku," kata Tommy, "maukah kau menjawab satu
pertanyaan?" "Aku tidak suka jebakan-jebakan seperti ini. Tapi bolehlah."
"Bagaimana kau tahu bahwa Monica anak pendeta?"
"Oh, itu sih tipuan," kata Tuppence gembira. "Aku membuka suratnya - surat tentang
janji bertemu denganmu. Aku ingat nama Deane - dulu adalah pembantu Ayah. Dan dia
punya seorang anak bernama Monica - empat atau lima tahun lebih muda dariku. Jadi
mudah membuat kesimpulan."
"Kau memang tak punya malu," kata Tommy. "Hei, ini jam dua belas tepat. Selamat
Natal, Tuppence." "Selamat Natal, Tommy. Ini juga merupakan Natal yang membahagiakan buat Monica -
itu karena KITA. Aku gembira. Kasihan. Gadis itu begitu bingung. Tahu enggak,
Tom. Aku merasa terharu dan merinding kalau memikirkan hal itu."
"Tuppence sayang," kata Tommy.
"Tommy sayang," kata Tuppence. "Kita kok jadi sentimentil begini, sih?"
"Natal kan cuma sekali setahun," kata Tommy. "Itu yang dikatakan nenek moyang
kita. Dan aku rasa memang betul."
22. Sepatu Tuan Duta Besar
"SAHABATKU, sahabatku," kata Tuppence sambil melambai-lambaikan kue muffin
bermentega tebal. Tommy memandangnya sejenak, lalu dia menyeringai lebar sambil tersenyum.
"Kita harus hati-hati."
"Benar," kata Tuppence. "Aku adalah Dr. Fortune yang terkenal itu dan kau
Inspektur Bell." "Kenapa kau mau jadi Reginald Fortune?"
"Nggak apa-apa. Cuma ingin yang banyak menteganya - sesuatu yang mengasyikkan
saja." "Itu memang sisi yang enak - atau menyenangkan," kata Tommy. "Tapi ada yang
sebaliknya. Kau harus meneliti wajah-wajah yang rusak dan mayat-mayat yang
menyeramkan." Tuppence menjawab dengan melempar sepucuk surat. Alis mata Tommy berdiri.
"Randolph Wilmott, Duta Besar Amerika. Apa ya yang dia perlukan?"
"Kita akan tahu besok pada jam sebelas."
Tepat pada waktu yang disebutkan, Tuan Randolph Wilmott, Duta Besar Amerika
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk Inggris, dipersilakan masuk ke ruang kerja Tuan Blunt. Dia membersihkan
tenggorokannya dan mulai bicara dengan penuh wibawa.
"Saya datang kepada Anda, Tuan Blunt - Anda adalah Tuan Blunt, bukan?"
"Ya, betul," kata Tommy. "Saya Theodore Blunt, pimpinan perusahaan ini."
"Saya memang lebih suka bicara langsung dengan para pimpinan," kata Tuan
Wilmott. "Biasanya lebih memuaskan. Begini, Tuan Blunt, urusan ini membuat saya
pusing. Saya merasa tak perlu merepotkan Scotland Yard - mungkin ini kekeliruan
yang sepele saja, tapi kelihatannya sulit untuk mengerti kenapa bisa terjadi.
Tidak ada tindak pidana di dalamnya, tapi bagaimanapun juga, saya ingin tahu
betul persoalannya. Saya bisa marah kalau tidak mengerti ujung pangkal suatu
persoalan." "Tentu, saya mengerti," kata Tommy.
Tuan Wilmott melanjutkan ceritanya, pelan dan terinci. Akhirnya Tommy bisa
menyela. "Hm, jadi begini," katanya. "Anda datang naik kapal Nomadic seminggu yang lalu.
Ternyata tas Anda dan tas Tuan Ralph Westerham yang berinisial sama dengan Anda,
tertukar. Anda membawa tas Tuan Westerham, dan dia membawa tas Anda. Tuan
Westerham dengan cepat mengetahui bahwa tasnya tertukar, dan dia pun mengirimkan
tas Anda ke Kedutaan Amerika, dan mengambil tasnya sendiri. Benar begitu?"
"Tepat sekali, kedua tas itu tentunya serupa. Apalagi kami punya inisial yang
sama - R.W. Tertukarnya tas itu sangat mudah dimengerti. Saya sendiri tidak tahu
hal itu sampai pelayan pribadi saya memberitahu - dan bahwa Tuan Westerham - dia
seorang senator, dan merupakan pribadi yang saya kagumi - telah mengembalikan tas
saya dan mengambil tasnya."
"Kalau begitu tak ada..."
"Tunggu dulu. Itu hanya awal cerita. Kemarin, saya kebetulan bertemu dengan
Senator Westerham, dan saya pun menyebut-nyebut kejadian itu sambil bercanda.
Tapi saya jadi heran karena dia kelihatannya tidak mengerti apa yang saya
katakan. Ketika saya ceritakan, dia jadi heran. Dia tidak keliru mengambil tas
saya, bahkan mengatakan bahwa dia tidak mempunyai tas seperti itu."
"Aneh sekali!" "Tuan Blunt, hal itu memang aneh. Kelihatannya tak ada alasan apa-apa di
dalamnya. Kalau toh ada orang yang mau mencuri tas saya, dia bisa mengambilnya
begitu saja tanpa perlu menukar-nukar tas itu! Dan tas itu pun tidak dicuri,
karena segera dikembalikan pada saya. Sebaliknya, kalau tas itu memang salah
ambil, kenapa pakai membawa-bawa nama Senator Westerham" Ini urusan gila - tapi
saya benar-benar ingin tahu duduk persoalannya. Saya harap kasus ini tidak
terlalu sepele bagi Anda untuk Anda selidiki?"
"Sama sekali tidak. Kasus ini merupakan sebuah soal kecil yang menantang.
Walaupun, seperti kata Anda, mungkin sederhana saja penjelasannya. Pertama-tama
tentunya adalah alasan penukarannya - kalau toh ini kasus salah ambil. Anda
katakan tadi tak ada yang hilang waktu tas itu dikembalikan?"
"Pelayan saya bilang tidak. Dia pasti tahu kalau ada yang hilang."
"Kalau saya boleh tahu, apa yang ada dalam tas itu?"
"Sepatu." "Sepatu," ulang Tommy seperti kehilangan harapan.
"Ya," kata Tuan Wilmott. "Sepatu. Aneh, kan?"
"Maafkan saya atas pertanyaan saya," kata Tommy. "Anda tidak membawa kertas-
kertas rahasia atau semacamnya yang tersimpan di lapisan sepatu atau tumit
sepatu?" Pak Duta Besar kelihatan geli mendengar pertanyaan itu.
"Diplomasi rahasia belum sejauh itu, saya rasa."
"Hanya dalam fiksi," kata Tommy sambil tersenyum dan bersikap meminta maaf.
"Tapi, bagaimanapun juga kita harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu.
Siapa yang datang mengambil tas itu - maksud saya tas yang keliru Anda bawa?"
"Saya kira salah seorang pelayan Westerham. Orang biasa saja. Pelayan saya tidak
melihat kejanggalan apa pun."
"Apakah tas itu sudah dibuka pelayan Anda?"
"Saya tak tahu. Rasanya belum. Barangkali Anda ingin menanyai pelayan saya" Dia
akan bisa menjawab pertanyaan Anda dengan lebih baik."
"Saya rasa itu rencana yang bagus, Tuan Wilmott."
Duta besar itu menuliskan sesuatu di kartu dan memberikannya kepada Tommy.
"Saya rasa Anda lebih suka datang ke Kedutaan dan menginterview dia di sana,
bukan" Kalau tidak, saya akan suruh dia - namanya Richards - ke sini."
"Tidak, terima kasih, Tuan Wilmott. Saya yang akan ke Kedutaan."
Duta Besar itu berdiri sambil melirik jam tangannya.
"Wah, cepat amat. Saya ada janji. Terima kasih, Tuan Blunt. Saya serahkan
persoalan ini kepada Anda."
Dia cepat-cepat pergi. Tommy memandang Tuppence yang selama ini berperan sebagai
Nona Robinson yang efisien.
"Apa pendapatmu, Tuppence?" tanyanya. "Kau melihat alasan yang mendasari
terjadinya kasus itu?"
"Sama sekali tidak," kata Tuppence dengan riang.
"Baiklah. Itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang benar-benar misterius di
baliknya." "Kaupikir begitu?"
"Itu merupakan hipotesa yang bisa diterima secara umum. Ingat Sherlock Holmes
dan seberapa dalam mentega itu masuk ke dalam peterseli - maksudku, yang
sebaliknya. Aku benar-benar ingin tahu kasus itu. Barangkali Watson akan
menggalinya dari buku catatan. Kalau begitu aku bisa mati bahagia. Tapi kita
harus kerja." "Betul," kata Tuppence. "Aku rasa Yang Mulia Wilmott bukan orang yang cepat
tanggap." "Detektif wanita itu tahu karakter orang dengan baik," kata Tommy bercanda.
"Atau, seharusnya kukatakan detektif pria" Memang sulit jika seorang wanita
ingin jadi detektif pria."
"Oh! Sahabatku, sahabatku!"
"Tambah sedikit aksi, Tuppence, dan kurangi pengulangan-pengulangan."
"Ungkapan klasik tak mungkin terlalu diulang-ulang," kata Tuppence berwibawa.
"Silakan ambil kue muffin," kata Tommy dengan manis.
"Tidak pada jam sebelas pagi. Terima kasih. Huh - kasus tolol. Sepatu - kenapa
sepatu?" "Hm, kenapa tidak?" kata Tommy.
"Nggak cocok. Sepatu." Dia menggelengkan kepala. "Nggak cocok. Siapa perlu
sepatu orang lain" Gila."
"Barangkali mereka keliru mengambil tas?" kata Tommy.
"Bisa jadi. Tapi kalau mereka menginginkan surat-surat, briefcase lebih cocok.
Satu-satunya yang bisa dihubungkan dengan duta besar ialah surat-surat."
"Sepatu ada hubungannya dengan jejak kaki," kata Tommy sambil merenung. "Apa
mereka perlu mengikuti jejak Wilmott?"
Tuppence berpikir sejenak, menghentikan permainannya sebagai Dr. Fortune, lalu
menggelengkan kepala. "Kelihatannya tidak mungkin," katanya. "Aku rasa kita harus melepaskan
kemungkinan itu dan kembali pada kenyataan bahwa sepatu-sepatu itu tak ada
hubungannya dengan kasus ini."
"Oke," kata Tommy sambil menarik napas. "Langkah berikut ialah menginterview si
Richards. Barangkali dia bisa memberi petunjuk-petunjuk untuk mengungkap misteri
ini." Setelah memberikan kartu Pak Duta Besar, Tommy diperbolehkan masuk ke Kedutaan.
Tak lama kemudian dia berhadapan dengan seorang pemuda berwajah pucat yang
sikapnya amat hormat dan suaranya amat sopan.
"Saya Richards, Tuan. Pelayan pribadi Tuan Wilmott. Tuan ingin menemui saya?"
"Ya, Richards. Tuan Wilmott datang ke tempat saya pagi tadi dan menyarankan agar
saya datang kemari untuk menanyakan beberapa hal. Ini tentang tas yang
tertukar." "Ya, saya mengerti bahwa Tuan Wilmott merasa tidak senang dengan kejadian ini.
Tapi saya tidak mengerti kenapa, karena tak ada kerugian yang diakibatkannya.
Saya pun tahu dari orang yang mengambil tas itu bahwa tas yang kami bawa adalah
tas Senator Westerham. Tapi saya mungkin keliru dalam hal ini."
"Bagaimana rupa orang itu?"
"Setengah baya. Rambut abu-abu. Terhormat - kelihatan seperti berpendidikan. Dia
mengaku pelayan pribadi Tuan Westerham. Dia meninggalkan tas Tuan Wilmott dan
membawa pergi tas yang satunya."
"Apa sudah dibongkar?"
"Yang mana, Tuan?"
"Yang kaubawa dari kapal. Tapi saya juga ingin tahu tentang yang lain - yang
kepunyaan Tuan Wilmott. Apa kira-kira sudah dibongkar tas itu?"
"Saya rasa belum, Tuan. Saya rasa Tuan itu - siapa pun dia - membuka tas Tuan
Wilmott - lalu tahu bahwa itu bukan tasnya, dan menutupnya kembali."
"Tak ada yang hilang" Benda kecil sekalipun?"
"Saya rasa tidak, Tuan. Saya yakin tidak."
"Sekarang tas yang satunya. Kau sudah mulai membongkarnya?"
"Begini, Tuan. Saya waktu itu sedang membuka tas itu. Pada saat itu pula pelayan
Tuan Westerham datang. Saya baru membuka talinya."
"Kau sama sekali tidak membukanya?"
"Kami melihat sedikit saja. Untuk meyakinkan bahwa kali itu tasnya benar. Orang
itu berkata bahwa tidak salah. Dia menalikannya lagi lalu membawanya pergi."
"Barang-barang apa saja yang ada di dalam" Sepatu juga?"
"Bukan, Tuan. Kebanyakan peralatan kosmetika dan perlengkapan mandi, kalau nggak
salah. Saya melihat sekaleng garam mandi."
Tommy tidak melanjutkan pertanyaan tentang hal itu.
"Kau tak pernah melihat seseorang yang mencurigakan di kabin tuanmu?"
"Oh, tidak, Tuan."
"Sama sekali tak ada hal-hal yang mencurigakan atau kelihatan aneh?"
He, apa tadi yang kukatakan" Mencurigakan dan aneh" pikir Tommy.
Tapi orang yang di hadapannya menjadi ragu-ragu.
"Sekarang saya ingat..."
"Ya?" kata Tommy bernafsu. "Apa?"
"Rasanya kok tidak ada hubungannya. Tapi, ada seorang gadis."
"Ya" Seorang gadis" Apa yang dia lakukan?"
"Dia hampir pingsan, Tuan. Gadis itu amat menyenangkan. Namanya Eileen O'Hara.
Gadis yang menarik, tidak begitu tinggi, berambut hitam. Wajahnya agak asing
kelihatannya." "Lalu?" kata Tommy dengan lebih bernafsu.
"Dia hampir pingsan - di luar kabin Tuan Wilmott. Dia menyuruh saya memanggil
dokter. Saya membantunya duduk di sofa lalu keluar mencari dokter. Cukup lama
juga. Ketika sudah ketemu dokter itu saya cepat-cepat mengajak ke kabin. Tapi
gadis itu sudah tidak apa-apa lagi."
"Oh!" kata Tommy.
"Anda pikir..."
"Sulit menjelaskannya," kata Tommy tanpa memberikan komentarnya. "Apa Nona
O'Hara ini pergi sendirian?"
"Ya, saya rasa begitu."
"Kau tak pernah ketemu dia lagi setelah itu?"
"Tidak, Tuan." "Baiklah," kata Tommy setelah berpikir sejenak. "Aku rasa cukup. Terima kasih,
Richards." "Sama-sama, Tuan."
Tommy menceritakan apa yang dikatakan Richards pada Tuppence setelah kembali ke
kantor. "Apa pendapatmu, Tuppence?"
"Oh, Sahabatku! Kami, para dokter, biasanya merasa skeptis dengan pingsan yang
mendadak! Terlalu enak. Juga Eileen maupun O'Hara. Terlalu berbau Irlandia,
bukan?" "Tapi ini merupakan jejak yang perlu dilacak. Kau tahu apa yang akan aku
lakukan" Pasang iklan cari gadis itu."
"Apa?" "Ya. Informasi tentang Nona Eileen O'Hara, yang pernah berlayar dengan kapal anu
tanggal anu. Dia pasti akan datang sendiri kalau memang ada, atau orang lain
memberi informasi tentang dia. Ini satu-satunya harapan dari sebuah petunjuk."
"Ingat, dia juga pasti curiga."
"Ya," kata Tommy. "Kita harus berani ambil risiko."
"Aku masih belum punya bayangan," kata Tuppence sambil mengernyitkan kening.
"Kalau sebuah komplotan penjahat menahan tas seorang duta besar selama satu-dua
jam, lalu mengembalikannya lagi, keuntungan apa yang mereka dapat" Kecuali ada
kertas-kertas berharga yang ingin mereka copy. Padahal Tuan Wilmott bilang tidak
ada." Tommy memandangnya sambil berpikir.
"Bagus, Tuppence. Apa yang kaukatakan," katanya, "memberiku inspirasi."
Dua hari kemudian Tuppence keluar makan siang. Tommy yang ditinggal sendirian di
ruang kerja Tuan Theodore Blunt membawa beberapa bacaan yang seru untuk mengasah
otaknya. Pintu ruangan itu terbuka dan Albert pun muncul.
"Seorang gadis ingin bertemu, Tuan. Nona Cicely March. Katanya dia datang untuk
menjawab iklan." "Suruh dia masuk segera," seru Tommy sambil menyembunyikan novelnya di laci.
Semenit kemudian Albert membawa masuk gadis itu. Tommy baru saja selesai
memperhatikan bahwa gadis itu berambut pirang dan amat cantik ketika terjadi
sesuatu yang mengejutkan.
Pintu dari tempat Albert muncul dibuka orang dengan kasar. Di tengah-tengah
berdiri seorang lelaki besar berkulit gelap - kelihatan seperti orang Spanyol.
Orang itu mengenakan dasi berwarna merah menyala. Mukanya kelihatan marah dan
tangannya menggenggam pistol.
"Hah - jadi ini kantor Tuan Blunt yang usil itu," katanya dengan bahasa Inggris
yang sempurna. Suaranya terdengar mengancam dan mengerikan. "Angkat tangan - atau
kutembak." Dia tidak kedengaran main-main. Tangan Tommy pelan-pelan naik. Dan gadis yang
menempel di dinding tembok itu menahan napas ketakutan.
"Gadis ini akan ikut aku," katanya. "Ya - kau akan ikut aku, Manis. Kau memang
belum pernah melihatku, tapi tak apa-apa. Rencanaku tak boleh kacau hanya karena
ulahmu. Rasanya aku ingat - kau salah seorang penumpang kapal Nomadic. Kau pasti
telah mengintip sesuatu yang bukan urusanmu. Tapi aku tak akan membiarkanmu
membeberkan rahasia apa pun pada Tuan Blunt ini. Pandai juga Tuan Blunt dengan
iklan menariknya itu. Sayang, aku cukup jeli untuk mengawasi kolom-kolom iklan.
Itu sebabnya aku ada di sini."
"Ceritamu sangat menarik," kata Tommy. "Coba lanjutkan."
"Aku tak perlu bujuk gombalmu, Tuan Blunt. Hentikan saja penyelidikanmu. Kami
tak akan mengganggumu. Kalau tidak - hanya Tuhan yang bisa menolongmu. Kematian
tidak terlalu lama menunggu orang-orang yang merusak rencana kami."
Tommy tidak menjawab. Pandangannya menembus ke belakang bahu si pengacau,
seolah-olah dia melihat hantu.
Sebenarnya dia melihat sesuatu yang lebih menakutkan daripada sesosok hantu.
Sampai saat itu dia belum pernah memperhitungkan Albert sebagai salah seorang
pemain. Dia mengira bahwa Albert sudah dikerjai orang asing itu lebih dulu. Dia
membayangkannya sudah terkapar di atas karpet di ruang luar.
Dan sekarang ternyata Albert lolos dari perhatian orang itu. Albert tidak
meminta bantuan polisi Inggris, tetapi dia memilih untuk menghadapi situasi itu
sendiri, dan Albert berdiri dengan tangan menggenggam tali.
Tommy berteriak melarang, tapi terlambat. Dengan penuh semangat Albert
melemparkan tali itu ke kepala si pengacau dan menariknya ke belakang dengan
kuat. Hal yang tak terduga pun terjadi. Pistol yang digenggam pengacau itu meletus dan
pelurunya terbang menyerempet kuping Tommy, dan bersarang di dinding di
belakangnya. "Beres, Tuan!" seru Albert penuh kemenangan. "Bagus juga laso saya. Saya selalu
berlatih di waktu senggang. Tuan bisa membantu saya" Orang ini sangat kuat."
Tommy cepat-cepat mendekat untuk membantu. Dia berpikir dan memutuskan, tidak
akan memberi kesempatan pada Albert untuk berlatih laso lagi.
"Tolol, kau," katanya. "Kenapa tidak memanggil polisi saja" Gara-gara
permainanmu, aku hampir kena peluru. Untunglah cuma nyerempet!"
"Cukup tepat waktunya untuk melaso dia," kata Albert dengan gembira. "Hebat juga
ya, orang-orang itu bisa main laso di padang rumput."
"Ya, tapi kita tidak di padang rumput," kata Tommy. "Kita kebetulan ada di
tengah masyarakat yang berbudaya tinggi. Dan Anda, Tuan," katanya berpaling pada
musuh yang tak berdaya, "apa yang sebaiknya kami lakukan untuk Anda?"
Laki-laki itu menjawab dengan rentetan kata-kata asing yang kedengaran seperti
kata-kata makian. "Sstt. Saya tak mengerti apa yang Anda katakan. Tapi rasanya kata-kata itu bukan
kata-kata bagus yang bisa diucapkan di depan wanita terhormat. Anda bisa
memaafkan dia, bukan, Nona..." Wah, maaf, gara-gara ada permainan kecil ini saya
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lupa menanyakan nama Anda."
"March," kata gadis itu. Wajahnya masih pucat dan tangannya gemetar. Tapi dia
sekarang melangkah mendekati Tommy dan melihat sosok tertelungkup di bawah. "Apa
yang akan Anda lakukan padanya?"
"Saya bisa menjemput polisi sekarang," kata Albert.
Ketika mendongak, Tommy menangkap isyarat kecil dari gerakan kepala gadis itu,
dan dia pun mengerti. "Baik. Kita lepaskan dia kali ini. Tapi dengan senang hati saya akan membantu
menendang dia turun ke bawah - supaya tahu bagaimana menghadapi seorang wanita."
Dia melepaskan tali laso itu, dan mendorongnya ke luar dengan cepat.
Serentetan jeritan terdengar, diikuti dengan suara berdebam. Tommy kembali
berkeringat, tapi tersenyum.
Gadis itu memandangnya dengan mata bertanya-tanya.
"Anda - menghajarnya?"
"Saya harap begitu. Tapi orang-orang asing itu sudah biasa berteriak dulu
sebelum kesakitan. Jadi saya tidak tahu pasti. Kita kembali masuk ruangan saja
dulu. Dan melanjutkan percakapan. Bagaimana" Saya rasa kita tak akan diganggu
lagi." "Saya akan siap dengan laso saya, Tuan. Untuk jaga-jaga," kata Albert.
"Simpan saja lasomu," kata Tommy tegas.
Dia mengikuti gadis itu memasuki ruangannya dan duduk di kursi menghadapi
tamunya. "Saya tak tahu harus mulai dari mana," kata gadis itu. "Seperti Anda dengar dari
dia, saya memang pernah naik kapal Nomadic. Dan gadis yang Anda iklankan, Nona
O'Hara, juga salah satu penumpang kapal."
"Tepat," kata Tommy. "Kami juga tahu bahwa dia adalah penumpang Nomadic. Tapi
saya rasa ada sesuatu yang Anda ketahui di kapal itu yang membuat orang asing
itu begitu nekat masuk ke tempat ini."
"Akan saya ceritakan semuanya," kata gadis itu. "Duta Besar Amerika ada di kapal
itu. Pada suatu kali, ketika saya melewati kabinnya, saya melihat wanita itu ada
di dalam. Dia melakukan sesuatu yang aneh, sehingga saya berhenti melihat.
Wanita itu memegang sebuah sepatu lelaki...."
"Sepatu?" seru Tommy terkejut, tapi senang. "Maaf, Nona March, teruskan."
"Dengan sebuah gunting dia membuka pelapis sepatu itu. Lalu dia seperti
memasukkan sesuatu ke dalamnya. Pada saat itu dokter kapal dan seorang lelaki
datang. Dengan cepat wanita itu tidur di sofa dan merintih kesakitan. Saya tetap
diam dan mendengarkan. Rupanya wanita itu berpura-pura pingsan. Saya bilang
berpura-pura, karena ketika saya melihatnya pertama kali, dia kelihatan tidak
apa-apa." Tommy mengangguk. "Lalu?" "Saya tidak suka menceritakan bagian berikutnya. Saya curiga. Barangkali saya
membaca buku-buku konyol. Saya curiga jangan-jangan wanita itu meletakkan bom
atau jarum beracun atau benda semacamnya itu di dalam sepatu Tuan Wilmott. Saya
tahu bahwa pikiran saya aneh. Tapi saya memang berpikir begitu. Lalu ketika saya
melewati kabin itu lagi - waktu itu kosong - saya masuk dan mencari sepatu itu. Dari
pelapisnya saya dapatkan selembar kertas. Tapi pada saat itu juga saya mendengar
langkah seseorang. Saya cepat-cepat keluar. Kertas itu masih di tangan saya.
Setelah saya masuk dalam kabin saya, baru saya baca kertas itu. Ternyata hanya
tulisan beberapa ayat Alkitab."
"Ayat-ayat Alkitab?" tanya Tommy dengan rasa ingin tahu.
"Itulah yang saya tahu waktu itu. Saya tak mengerti. Tapi saya berpikir, jangan-
jangan itu ulah seorang maniak religi. Pokoknya saya merasa tidak ada gunanya
mengembalikan kertas itu ke tempatnya. Saya simpan kertas itu tapi saya tidak
berpikir apa-apa lagi tentang hal itu. Tapi kemarin, ketika saya membuat kertas
itu menjadi perahu kertas untuk kemenakan saya dan memasukkannya di air, saya
melihat sesuatu yang aneh pada waktu kertasnya basah. Saya cepat-cepat mengambil
perahu itu dan meluruskannya lagi. Air itu telah memunculkan berita yang
tersembunyi. Gambarnya seperti sebuah pelacakan - kelihatan seperti mulut
pelabuhan. Tak lama kemudian saya membaca iklan Anda."
Tommy meloncat dari kursinya.
"Ini penting sekali. Saya mengerti sekarang. Gambar itu mungkin gambar suatu
rencana pertahanan yang penting dari sebuah pelabuhan. Dan gambar itu dicuri
wanita tadi. Dia kuatir diikuti seseorang. Karena tak berani menyimpan di dalam
tasnya sendiri, dia menitipkannya dalam sepatu itu. Ketika dia membuka sepatu
itu, kertas itu sudah lenyap. Apakah Anda membawa kertas itu, Nona March?"
Gadis itu menggelengkan kepala.
"Ada di tempat usaha saya - sebuah salon kecantikan di Bond Street. Saya seorang
agen Cyclamen dari New York. Karena itu saya pergi ke sana. Saya pikir kertas
itu tentunya penting. Karena itu saya menguncinya dalam lemari besi. Apa
Scotland Yard perlu tahu soal ini?"
"Ya, tentu saja."
"Kalau begitu kita ambil kertas itu untuk dibawa ke Scotland Yard?"
"Saya sibuk sekali saat ini," kata Tommy dengan gaya profesional dan melirik
jamnya. "Uskup dari London meminta saya agar menyelesaikan sebuah kasus.
Persoalan yang amat mencurigakan, mengenai jubah gereja dan pembantu gereja."
"Kalau begitu saya pergi sendiri saja," kata Nona March sambil berdiri.
Tommy mengangkat tangan tidak setuju.
"Saya baru akan berkata, uskup bisa menunggu. Saya akan meninggalkan pesan pada
Albert. Saya yakin Anda dalam bahaya sebelum kertas itu berada di tangan
Scotland Yard." "Anda pikir begitu?" kata gadis itu ragu-ragu.
"Bukan saya pikir, tapi saya yakin. Sebentar." Dia menuliskan sesuatu di buku
catatan di depannya, merobek dan melipatnya.
Diambilnya topi dan tongkatnya. Dia siap menemani gadis itu. Sambil keluar dia
berikan lipatan kertas itu pada Albert.
"Saya harus keluar untuk kasus yang mendesak. Beritahukan kepada Yang Mulia
kalau beliau datang. Ini ada catatan tentang kasus itu untuk Nona Robinson."
"Baik, Tuan," kata Albert menanggapi permainan itu. "Bagaimana dengan mutiara
Duchess...?" Tommy melambaikan tangan dengan jengkel.
"Itu juga harus menunggu."
Dia cepat-cepat keluar bersama Nona March. Di tangga turun mereka bertemu
Tuppence. Tommy hanya berkata, "Terlambat lagi, Nona Robinson. Saya keluar untuk
menangani kasus penting."
Tuppence berdiri tegak di tangga dan memperhatikan mereka. Dengan alis mata
terangkat dia meneruskan masuk ruangannya.
Ketika mereka sampai di luar, sebuah taksi menjemput mereka. Tommy tidak jadi
memanggilnya. "Anda biasa jalan, Nona March?" tanyanya serius.
"Ya, kenapa" Apa tak sebaiknya kita naik taksi" Akan lebih cepat, kan?"
"Barangkali Anda tidak memperhatikan. Taksi itu menolak dipanggil orang lain.
Dia menunggu kita. Musuh Anda rupanya sudah bersiap. Kalau Anda sanggup, kita
akan jalan ke Bond Street. Di jalan ramai mereka tak akan berani melakukan
sesuatu yang membahayakan."
"Baik," kata gadis itu agak ragu-ragu.
Mereka berjalan ke arah barat. Seperti dikatakan Tommy, jalan itu memang ramai.
Mereka tak bisa berjalan cepat. Tommy sangat waspada.
Kadang-kadang dia menarik gadis itu ke samping dengan cepat, walaupun dia tidak
melihat sesuatu yang mencurigakan.
Sambil memandang gadis itu, Tommy tiba-tiba saja sadar akan apa yang dilihatnya.
"Wah, maaf. Anda benar-benar kelihatan semrawut. Barangkali karena kejutan tadi.
Kita masuk ke tempat ini saja dulu dan minum kopi pahit. Saya rasa Anda tak
ingin minum brandy."
Gadis itu menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.
"Kopi kalau begitu," kata Tommy. "Pasti tidak ada racunnya."
Mereka istirahat sebentar minum kopi. Setelah itu melanjutkan perjalanan dengan
cepat. "Kita sudah mengelabui mereka, saya rasa," kata Tommy sambil melirik ke belakang
lewat bahunya. Cyclamen Ltd. adalah sebuah usaha kecil di Bond Street. Etalasenya dihiasi
gorden sutera berwarna merah muda, satu atau dua botol krim wajah dan sebuah
sabun. Cicely March masuk, dan Tommy mengikuti. Toko itu amat kecil. Di sisi kiri ada
sebuah counter kaca dengan perlengkapan mandi. Di belakang counter itu berdiri
seorang wanita setengah baya berambut abu-abu dan berkulit halus. Dia
menganggukkan kepala ketika Cicely March masuk sebelum melanjutkan bicara dengan
seorang tamu yang sedang dia layani.
Tamu itu seorang wanita kecil berkulit gelap. Punggungnya menghadap mereka dan
wajahnya tak kelihatan. Dia bicara dalam bahasa Inggris, pelan-pelan dan sulit.
Di sisi kanan ada sebuah sofa dan dua buah kursi, dan sebuah meja dengan
beberapa majalah di atasnya. Di situ duduk dua orang laki-laki - kelihatannya
suami-suami yang sudah bosan menunggu istri mereka.
Cicely March berjalan ke ujung dan melewati sebuah pintu yang dibukanya lebar-
lebar untuk Tommy. Pada saat itu tamu wanita itu berseru. "Ah! Saya kira dia
amico saya," dan berlari mengikuti mereka. Dengan cepat dia menyelipkan kakinya
ke pintu untuk menahan agar tidak menutup. Pada saat itu pula kedua laki-laki
yang duduk itu berdiri. Yang seorang mengikuti si tamu wanita ke pintu dan
seorang lainnya membekap mulut wanita pelayan toko itu agar tidak berteriak.
Kejadian di balik pintu itu berlangsung amat cepat. Ketika Tommy masuk, selembar
kain dilempar ke atas kepalanya. Hidungnya segera mencium bau tajam yang
memusingkan. Tapi dengan cepat kain itu pun terangkat dan terdengar teriakan
seorang wanita. Tommy mengejapkan mata dan terbatuk ketika melihat pemandangan di depannya. Di
sisi kanan dia melihat orang asing yang menyerbu kantornya tadi. Laki-laki yang
duduk di depan dan kelihatan bosan menunggu tadi sedang sibuk memasang borgol di
tangan si pengacau. Persis di depannya, Cicely March berusaha melepaskan diri
dari cengkeraman tamu salon yang ada di depan tadi. Ketika tamu itu menolehkan
kepalanya, cadar yang dipakainya pun jatuh, dan terlihatlah wajah Tuppence.
"Bagus, Tuppence," kata Tommy sambil melangkah ke depan. "Sini kubantu. Saya tak
akan melawan kalau saya jadi Anda. Nona O'Hara - atau Anda lebih suka dipanggil
Nona March?" "Ini Inspektur Grace, Tommy," kata Tuppence. "Aku langsung mengontak Scotland
Yard begitu selesai membaca catatanmu. Inspektur Grace dan seorang polisi
menemuiku di luar sini."
"Beruntung bisa menangkap dia," kata Pak Inspektur sambil menunjuk pada orang
asing itu. "Dia buronan kelas berat. Tapi kami tak punya alasan untuk mencurigai
tempat ini - kami kira ini salon kecantikan betulan."
"Kita memang harus hati-hati," kata Tommy menjelaskan dengan pelan. "Kenapa
orang memerlukan tas seorang duta besar untuk waktu dua jam saja" Saya
menanyakan yang sebaliknya. Misalnya tas yang lain itu yang penting. Seseorang
ingin agar tas itu ada di tangan Pak Duta Besar selama kira-kira satu jam. Ini
lebih cocok! Barang-barang diplomat kan tidak diperiksa petugas pabean. Pasti
penyelundupan. Tapi penyelundupan apa" Bukan sesuatu yang besar. Seketika itu
saya berpikir tentang obat terlarang. Kemudian komedi itu pun dipentaskan di
kantor saya. Mereka melihat iklan saya dan ingin melenyapkan saya. Tidak
berhasil. Kebetulan saya melihat ekspresi kecewa pada mata wanita cantik ini
ketika Albert berhasil melaso si pengacau. Itu tidak cocok dengan peranan yang
sedang dia mainkan. Serangan orang asing ini dimaksudkan untuk membuat saya
percaya pada ceritanya. Saya mencoba sebaik-baiknya untuk bisa memainkan peranan
tolol - menelan ceritanya yang tak masuk akal, dan membiarkannya memancing saya ke
tempat ini. Tentu saja saya tak lupa memberi instruksi yang diperlukan untuk
menghadapi situasi. Dengan berbagai dalih saya mengulur waktu kedatangan agar
kalian siap." Cicely March memandangnya dengan mata benci.
"Kau gila. Apa yang ingin kautemukan di sini?"
"Saya ingat Richards cerita melihat garam mandi. Bagaimana kalau kita mulai
dengan garam mandi, Inspektur?"
"Ide yang bagus."
Dia mengambil salah satu kaleng merah muda dan menuang isinya di atas meja.
Gadis itu tertawa. "Kristal asli, ya?" kata Tommy. "Tak ada yang lebih berbahaya dari soda karbon?"
"Coba lemari besinya," kata Tuppence.
Ada sebuah lemari dinding kecil di sudut. Kuncinya tergantung. Tommy membukanya
dan berseru puas. Bagian belakang lemari itu terbuka ke sebuah lubang besar di
dinding. Pada lubang itu terdapat berkaleng-kaleng garam mandi, berderet-deret
banyak sekali. Dia mengambil satu kaleng dan membuka tutupnya. Bagian atas
menunjukkan kristal merah muda, tapi di bawahnya terdapat bubuk putih.
Inspektur itu berseru gembira.
"Ah, sudah Anda temukan! Satu dari sepuluh kaleng penuh dengan kokain. Kami tahu
bahwa ada suatu area distribusi di sini, yang gampang menuju ke West End. Tapi
kami belum bisa menemukannya. Ini benar-benar penemuan luar biasa."
"Ya - suatu kemenangan untuk Blunts Brilliant Detectives," kata Tommy pada
Tuppence ketika mereka keluar dari tempat itu bersama-sama. "Aku bahagia jadi
seorang suami. Karena pelajaranmu, aku bisa mengenali peroxide. Kita harus
membuat surat resmi untuk Pak Duta Besar, memberitahu dia bahwa kasus ini telah
kita selesaikan dengan baik. Bagaimana kalau kita minum teh sekarang" Dan makan
kue muffin dengan mentega sebanyak-banyaknya?"
23. Laki-laki Nomor 16 TOMMY dan Tuppence sedang bicara dengan bos mereka di ruang kerjanya. Sambutan
dan pujiannya hangat dan tulus.
"Kalian berdua telah berhasil dengan baik sekali. Karena jasa kalian kami bisa
menangkap lima orang buron yang amat penting. Dari mereka kami mendapat
informasi yang sangat berharga. Sementara itu, dari sebuah sumber kami tahu
bahwa markas besar di Moskow menjadi panik karena agen mereka tidak memberi
laporan. Saya rasa mereka mulai curiga. Mereka mulai mencium bahwa ada yang
tidak beres dengan pusat distribusi informasi mereka - yaitu kantor Tuan Theodore
Blunt - Agen Detektif Internasional."
"Kalau begitu mereka pasti akan menyelidikinya, Pak," kata Tommy.
"Ya, saya pun berpikir begitu. Saya agak kuatir dengan - Nyonya Tommy."
"Saya bisa menjaganya dengan baik," kata Tommy, bersamaan dengan Tuppence yang
berkata, "Saya bisa menjaga diri dengan baik."
"Hm," kata Tuan Carter. "Penuh percaya diri merupakan ciri kalian. Saya tak tahu
imunitas kalian merupakan kecerdasan manusia super atau suatu nasib baik. Tapi
nasib baik bisa berubah. Tapi saya tak akan mempersoalkan hal itu. Sepanjang
pengetahuan saya, tak ada gunanya, bukan, kalau saya menyembunyikan sesuatu dari
Nyonya Tommy untuk satu atau dua minggu ini?"
Tuppence menggelengkan kepala dengan tegas.
"Kalau begitu saya harus memberi informasi yang saya peroleh. Kami mendapat
berita bahwa seorang agen khusus telah dikirim dari Moskow kemari. Kami tidak
tahu nama yang dipakainya dan kapan dia datang. Tapi kami tahu sesuatu tentang
dia. Dia adalah orang yang pernah mengacau kita pada waktu perang. Orang yang
muncul di tempat-tempat yang tidak kita inginkan. Dia orang Rusia, dan pandai
berbahasa asing, termasuk bahasa kita. Dia juga pandai menyamar. Dan dia cerdas.
Dialah yang membuat kode 16 itu.
"Kapan dan bagaimana dia akan muncul, saya tak tahu. Tapi saya yakin bahwa dia
akan muncul. Kami tahu ini - dia tidak mengenal Tuan Theodore Blunt secara
pribadi. Saya rasa dia akan muncul, berpura-pura minta bantuan kalian untuk
sebuah kasus dan dia akan menyelipkan kode rahasianya. Yang pertama-tama adalah
ucapan nomor enam belas - dan dijawab dengan kalimat yang menyebut nomor yang
sama. Yang kedua ialah suatu pertanyaan, apakah kalian pernah menyeberangi Selat
Inggris. Jawabannya: Saya ada di Berlin tanggal 13 bulan lalu. Itu saja yang
kita tahu. Saya harap kalian menjawab dengan tepat, sehingga dia percaya. Tahan
dulu keinginan untuk meniru tokoh-tokoh fiksi itu kalau bisa. Walaupun
kelihatannya dia bisa dikelabui, kalian harus waspada. Kawan kita ini benar-
benar lihai. Dia bisa bermain dobel atau lebih baik dari kalian. Bagaimanapun,
saya ingin menangkapnya melalui kalian. Mulai hari ini dan seterusnya saya
membuat penjagaan ketat. Sebuah dictaphone tadi malam telah dipasang di ruang
kerja kalian, sehingga salah satu bawahanku bisa mendengar segala yang dikatakan
dari bawah. Dengan demikian mereka bisa segera menghubungiku kalau ada sesuatu,
dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kalian dan
menangkap orang yang kucari itu."
Setelah mendengar beberapa instruksi lagi dan membicarakan taktik-taktik umum,
keduanya pun keluar dan dengan cepat menuju ke kantor mereka.
"Sudah siang," kata Tommy sambil melihat jamnya. "Hampir jam sebelas. Kita cukup
lama juga bicara dengan Bos. Mudah-mudahan kita tak kehilangan kasus paling
panas ini." "Secara umum kita tidak terlalu jelek," kata Tuppence. "Aku menghitung-hitung
apa yang sudah kita kerjakan kemarin. Kita telah menyelesaikan empat kasus
pembunuhan yang membingungkan, menggulung komplotan pemalsu uang, dan komplotan
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penyelundup..." "Sebetulnya dua komplotan," sela Tommy. "Wah, hebat juga ya. Aku suka itu.
Komplotan - kedengarannya profesional."
Tuppence melanjutkan sambil menghitung dengan jari-jarinya.
"Satu pencurian permata, dua kesempatan lepas dari kematian, satu kasus
hilangnya seorang wanita karena ingin langsing, satu gadis yang baik, satu alibi
yang dipecahkan dengan sukses, dan ya... satu kasus di mana kita sendiri berbuat
konyol. Secara keseluruhan - cukup bagus! Aku rasa kita sangat cerdik."
"Kau memang selalu berpikir begitu," kata Tommy. "Padahal aku merasa bahwa satu
atau dua kali sebenarnya kita ini hanya bernasib baik."
"Nonsense," kata Tuppence. "Semua karena sel abu-abu kecil."
"Hm - aku pernah bernasib baik," kata Tommy. "Waktu Albert muncul dengan lasonya!
Eh, kau kok jadi menghitung-hitung, seolah-olah ini semua mau selesai?"
"Memang," kata Tuppence. Dia merendahkan suaranya dan berkata dengan impresif.
"Ini adalah kasus kita yang terakhir. Setelah mereka berhasil menangkap mata-
mata super itu, detektif-detektif besar ini akan pensiun, menanam sayur mayur
dan beternak lebah. Selalu begitu."
"Sudah bosan, ya?"
"Yaa - aku rasa begitu. Di samping itu, kita sudah menikmati sukses yang begitu
besar, jangan-jangan nasib baik berubah."
"Siapa yang omong tentang nasib baik sekarang?" kata Tommy memojokkan.
Pada saat itu mereka berbelok memasuki pintu blok gedung yang ditempati Agen
Detektif Internasional. Tuppence tidak menjawab.
Albert sedang bertugas di ruang depan mengisi waktu luangnya dengan memainkan
keseimbangan penggaris di atas hidungnya.
Dengan wajah kurang senang, Tuan Blunt berjalan melewatinya dan masuk ke dalam
ruangannya. Dia membuka mantel dan topinya lalu membuka lemari yang berisi buku-
buku detektif klasik. "Pilihannya semakin sempit," gumamnya. "Siapa yang akan kujadikan model hari
ini?" Terdengar suara Tuppence yang bernada lain. Tommy segera menoleh kepadanya.
"Tommy," katanya. "Tanggal berapa sekarang?"
"Sebentar - tanggal sebelas - kenapa?"
"Lihat tanggalan itu."
Di dinding tergantung sebuah tanggalan harian, di mana orang harus menyobek
tanggalnya setiap hari. Di situ tertulis Minggu, tanggal 16. Padahal hari itu
hari Senin. "He, itu aneh. Pasti Albert menarik terlalu banyak. Anak itu memang sembrono."
Ketika dipanggil dan ditanyai, Albert menjadi heran. Dia bersumpah hanya merobek
satu lembar - yaitu lembar kemarin. Pernyataannya memang dapat dibenarkan, karena
lembar yang dirobeknya dilempar ke perapian sedangkan lembar-lembar lainnya
tergeletak rapi di tempat sampah.
"Kriminal yang rapi dan sangat lihai," kata Tommy. "Siapa yang kemari tadi pagi,
Albert" Ada klien?"
"Hanya satu, Tuan."
"Siapa dia?" "Seorang wanita. Seorang perawat. Sangat bingung dan ingin sekali bertemu dengan
Tuan. Dia bilang mau menunggu sampai Tuan datang. Saya menyuruh duduk di ruang
Pegawai, karena di situ lebih hangat."
"Dan dari situ dia dapat masuk ke sini tanpa kauketahui, bukan" Kapan dia
pergi?" "Kira-kira setengah jam yang lalu, Tuan. Katanya mau datang lagi siang ini.
Orangnya baik dan keibuan."
"Baik dan keibuan - oh! Keluar, kau, Albert!"
Albert keluar dengan hati sakit.
"Permulaan yang aneh," kata Tommy. "Kelihatannya tak ada maksudnya. Membuat kita
supaya waspada. Apa ada bom disembunyikan di perapian" Atau hal semacam itu?"
Dia memeriksa sekitarnya lalu duduk sambil bicara pada Tuppence.
"Mon ami," katanya, "kita dihadapkan pada suatu soal yang amat berat. Kau masih
ingat lelaki nomor empat, bukan" Yang aku hancurkan seperti kulit telur - dengan
bantuan bahan peledak yang hebat, bien entendu. Tapi dia tidak benar-benar mati -
oh! Tidak. Mereka tidak benar-benar mati - para kriminal super itu! Inilah dia -
tapi dia lebih hebat lagi. Dia merupakan kelipatan empat - dengan kata lain dialah
si Nomor 16. Kau mengerti, mon ami?"
"Mengerti sekali," kata Tuppence. "Kau adalah Hercule Poirot yang hebat itu."
"Tepat. Tak ada kumis. Tapi banyak sel abu-abu."
"Aku punya firasat," kata Tuppence, "bahwa petualangan khusus ini akan dinamai
Kemenangan Hastings."
"Tidak," kata Tommy. "Belum pernah terjadi. Sekali dia seorang kawan yang bodoh,
dia tetap bodoh. Ada etiketnya untuk hal-hal seperti ini. Oh ya, mon ami, apa
kau tak bisa membelah rambutmu di tengah dan bukan di samping seperti itu"
Efeknya tidak simetris dan menyedihkan."
Bel berbunyi keras di meja Tommy. Dia mengembalikan sinyal dan Albert datang
membawa sebuah kartu. "Pangeran Vladiroffsky," kata Tommy membaca dengan suara rendah. Dia memandang
Tuppence. "Bawa dia masuk, Albert."
Laki-laki yang muncul bertinggi badan sedang, kelihatan luwes, berjenggot, dan
berumur kira-kira tiga puluh lima tahun.
"Tuan Blunt?" tanyanya. Bahasa Inggrisnya sempurna. "Anda mendapat rekomendasi
yang amat tinggi. Apakah Anda bisa menangani kasus saya?"
"Barangkali Anda bisa memberikan detilnya?"
"Tentu. Mengenai anak perempuan teman saya - gadis berumur enam belas tahun. Kami
tak menghendaki skandal. Anda pasti mengerti."
"Tuan," kata Tommy. "Usaha kami telah sukses selama enam belas tahun karena kami
memperhatikan apa yang Anda kehendaki itu."
Tommy merasa melihat ada kilauan pada mata laki-laki itu, tapi secepat itu pula
kilasan itu hilang. "Anda punya kantor-kantor cabang" Kalau tak salah di seberang Selat Inggris."
"Oh! Ya. Saya berada di Berlin tanggal 13 bulan lalu," kata Tommy menegaskan
kalimatnya. "Kalau demikian," kata orang asing itu, "tidak perlu lagi membuat fiksi-fiksi
kecil itu. Kalian tahu siapa aku. Setidaknya kalian sudah siap dengan
kedatanganku." Dia mengangguk memandang kalender di dinding.
"Begitulah," kata Tommy.
"Kawan - aku datang kemari untuk memeriksa beberapa hal. Apa yang telah terjadi?"
"Pengkhianatan," kata Tuppence yang tidak tahan berdiam diri.
Si Rusia mengangkat alisnya dan memandang kepadanya.
"Ah - ha. Ternyata itu" Dugaanku benar rupanya. Apa si Sergius?"
"Kelihatannya begitu," kata Tuppence dengan tenang.
"Tak membuatku heran. Tapi kalian sendiri - tak ada yang curiga?"
"Rasanya tidak. Kami mengelola suatu bisnis yang cukup bonafid," kata Tommy.
Si Rusia mengangguk. "Bagus. Kalau begitu sebaiknya aku tak usah kemari lagi. Saat ini aku tinggal di
Blitz. Aku akan pergi dengan Marise - ini Marise, kan?"
Tuppence mengangguk. "Siapa namanya di sini?"
"Oh! Nona Robinson."
"Baik, Nona Robinson. Kau ikut aku ke Blitz untuk makan siang denganku di sana.
Kita semua akan bertemu di markas besar jam tiga. Jelas?" Dia memandang Tommy.
"Sangat jelas," jawab Tommy sambil berpikir di mana gerangan markas besar itu.
Dia merasa bahwa markas besar itulah yang ingin diketahui Tuan Carter.
Tuppence berdiri dan memakai baju hangatnya yang berwarna hitam berkerah kulit
macan. Kemudian dengan tenang dia mengatakan siap mengawani Sang Pangeran.
Mereka keluar bersama, dan Tommy pun ditinggal sendiri dengan perasaan tidak
keruan. Bagaimana kalau ada yang tidak beres dengan dictaphone itu" Bagaimana
kalau perawat itu menemukan dictaphone itu dan merusaknya"
Dia mengangkat telepon dan memutar sebuah nomor. Setelah menunggu sesaat dia pun
mendengar suara yang amat dikenalnya.
"Beres. Kita ke Blitz sekarang juga."
Lima menit kemudian Tommy dan Tuan Carter bertemu di Palm Court, Hotel Blitz.
Tuan Carter kelihatan serius dan menghibur.
"Kau melakukannya dengan baik. Sang Pangeran dan Nona Robinson sedang makan
siang di restoran. Dua anak buahku siap sebagai pelayan di situ. Aku tak tahu
apakah dia curiga atau tidak. Aku rasa tidak. Tapi kita akan menangkapnya. Ada
dua orang ditempatkan untuk menjaga kamarnya, dan beberapa orang lagi di luar,
siap untuk mengikuti dia. Jangan kuatirkan istrimu. Dia akan selalu dijaga. Aku
tak ingin ambil risiko."
Sesekali seorang petugas rahasia melaporkan perkembangan yang terjadi. Yang
pertama adalah seorang pelayan yang mencatat pesanan makanan mereka. Berikutnya
seorang lelaki berwajah kosong dengan dandanan modis.
"Mereka keluar," kata Tuan Carter. "Kita duduk di belakang pilar saja - kalau-
kalau mereka duduk di sini. Tapi aku rasa dia akan membawa istrimu ke kamarnya.
Ah! Ya, aku rasa benar."
Dari tempat duduknya Tommy melihat Tuppence dan si Rusia menyeberang ruangan dan
masuk lift. Beberapa menit berlalu. Tommy mulai gelisah.
"Bagaimana - eh, maksud saya, mereka berduaan saja di kamar."
"Salah satu orang-orangku ada di dalam - di belakang sofa. Jangan kuatir."
Seorang pelayan datang kepada Tuan Carter.
"Dapat isyarat dia datang, Pak - tapi mereka belum muncul. Bagaimana?"
"Apa?" Tuan Carter berputar. "Aku lihat mereka masuk lift..." dia memandang
jamnya, "...empat setengah menit yang lalu. Dan mereka belum muncul..."
Dia cepat-cepat berjalan ke lift yang kebetulan turun pada saat itu.
"Kau tadi membawa naik seorang tuan berjenggot putih dengan seorang wanita ke
lantai dua beberapa menit yang lalu."
"Bukan lantai dua. Tuan itu minta lantai tiga."
"Oh!" Bos meloncat masuk dan memberi isyarat pada Tommy agar mengikutinya. "Bawa
kami ke lantai tiga."
"Aku tak mengerti," gumamnya dengan suara rendah. "Tapi tenang saja. Setiap
jalan keluar dari hotel ini sudah dijaga. Bahkan di setiap lantai. Aku tak mau
ambil risiko." Pintu lift terbuka di lantai tiga. Mereka meloncat keluar dan berjalan cepat di
koridor. Di tengah jalan seorang lelaki berpakaian pelayan menyambut mereka.
"Beres, Pak. Mereka di kamar 318."
Carter melepas napas lega.
"Bagus. Tak ada jalan keluar lagi?"
"Kamar itu sebuah suite. Tapi hanya ada dua pintu ini yang menuju koridor. Kalau
mereka keluar dari kamar itu mereka harus melewati kita untuk sampai ke tangga
lift." "Baik kalau begitu. Telepon ke bawah dan tanya siapa yang menempati kamar itu."
Pelayan itu kembali dua menit kemudian.
"Nyonya Cortlandt Van Snyder dari Detroit."
Tuan Carter berpikir keras.
"Aku tak mengerti. Nyonya Van Snyder itu merupakan korban atau..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Dengar suara-suara dari dalam?" katanya tiba-tiba.
"Sama sekali tidak. Tapi pintunya rapat. Kita pasti tak bisa mendengar banyak."
Tiba-tiba Tuan Carter berkata tegas.
"Aku tak suka urusan ini. Kita masuk. Kau punya kunci serep?"
"Tentu, Pak." "Panggil Evans dan Clydesly."
Dengan bantuan dua orang tersebut mereka maju ke pintu. Pintu itu terbuka pelan
ketika kuncinya dibuka. Mereka menghadapi ruang kosong. Di sebelah kanan ada pintu kamar mandi yang
terbuka. Di depan mereka adalah ruang duduk. Di sebelah kiri ada sebuah pintu
yang tertutup dan dari balik pintu terdengar suara lirih - seperti keluhan orang
berpenyakit asma. Tuan Carter membuka pintu itu dan masuk.
Ruangan itu ternyata ruang tidur yang diisi dengan sebuah tempat tidur besar,
tertutup dengan penutup berwarna merah muda dan keemasan. Di atasnya tergeletak
seorang wanita setengah baya berpakaian modis dengan tangan dan kaki terikat.
Mulutnya tersumbat dan matanya seolah-olah keluar karena marah dan kesakitan.
Setelah mendengar perintah singkat Tuan Carter, kedua laki-laki lain pun
memeriksa dan menjaga ruangan lain. Hanya Tommy dan bosnya yang masuk ke ruang
tidur. Pada waktu dia membungkuk dan mencoba melepaskan ikatan wanita itu, mata
Carter memeriksa ruangan itu dengan heran. Kecuali sebuah peti barang buatan
Amerika yang amat besar, ruangan itu kosong. Tak ada tanda-tanda Tuppence atau
si Rusia di situ. Dalam menit berikutnya pelayan datang tergesa-gesa dan melaporkan bahwa kamar-
kamar yang lain juga kosong. Tommy melihat ke jendela, tetapi kembali tanpa
hasil. Di situ tak ada balkon.
"Ini betul-betul kamar yang mereka masuki?" tanya Carter tegas.
"Tentu. Kecuali..." Laki-laki itu menuding ke arah wanita di atas tempat tidur.
Dengan bantuan sebuah pisau lipat Carter membuka syal yang dipakai menyumbat
mulut wanita itu. Jelas bahwa apa pun penderitaan yang dialami Nyonya Snyder,
kemampuannya berbicara masih ada.
Ketika marah dan caci-makinya telah reda, Tuan Carter bicara perlahan.
"Anda bersedia menceritakan apa yang telah terjadi - dari awal?"
"Saya akan menuntut hotel ini. Benar-benar keterlaluan. Saya sedang mencari
botol 'Killa-grippe' saya ketika tiba-tiba seorang lelaki meloncat dari belakang
dan memecahkan sebuah botol gelas kecil tepat di depan hidung saya. Sebelum saya
sempat menarik napas, saya sudah tidak sadar. Ketika sadar, saya sudah terbaring
di situ dengan tangan dan kaki terikat. Wah, saya belum lihat permata saya. Saya
rasa sudah dia bawa."
"Saya rasa permata Anda aman," kata Tuan Carter. Dia berputar dan mengambil
sesuatu dari lantai. "Anda tadi berdiri di tempat saya ketika dia meloncat
masuk?" "Ya," kata Nyonya Van Snyder.
Yang diambil Tuan Carter ternyata pecahan gelas. Dia menciumnya dan
memberikannya kepada Tommy.
"Ethyl Chloride," gumamnya. "Pembius yang kuat. Tapi cepat hilang efeknya.
Tentunya dia masih ada di ruang ini ketika Anda sadar, Nyonya Van Snyder?"
"Saya kan cerita itu pada Anda tadi" Oh! Menjengkelkan sekali melihat dia keluar
begitu saja tanpa bisa berbuat apa-apa."
"Keluar?" kata Tuan Carter tajam. "Lewat mana?"
"Lewat pintu itu." Dia menunjuk pintu di depannya. "Dia dan seorang gadis. Tapi
gadis itu seperti lumpuh. Barangkali dibius juga."
Carter memandang bertanya pada bawahannya.
"Pintu ke kamar sebelah, Pak. Tapi pintunya dobel. Masing-masing digerendel."
Tuan Carter memeriksa pintu itu dengan teliti. Kemudian dia berdiri tegak dan
kembali ke tempat tidur. "Nyonya Van Snyder," katanya tenang. "Apa Anda masih akan tetap mengatakan bahwa
laki-laki itu keluar lewat pintu ini?"
"Lho, ya - tentu saja. Kenapa tidak?"
"Karena pintu itu digerendel dari sini," kata Carter dengan suara kering. Dia
mengguncangkan handel pintu itu sambil bicara.
Wajah Nyonya Snyder kelihatan heran dan bingung.
"Kecuali ada seseorang yang menggerendel pintu ini di belakangnya, dia tak akan
bisa keluar," kata Tuan Carter.
Dia berpaling pada Evans yang baru masuk.
"Pasti - mereka tak ada di kamar ini" Ada pintu penghubung lain?"
"Tidak, Pak. Saya yakin."
Carter melihat ke sana kemari. Dia membuka lemari gantung yang besar, melihat di
bawah kolong tempat tidur, ke atas ke cerobong asap dan di balik semua gorden.
Akhirnya, tanpa mempedulikan teriakan Nyonya Snyder, dia membuka peti baju besar
itu dan membalik-balik isinya.
Tiba-tiba Tommy, yang dari tadi memeriksa gerendel pintu, berteriak,
"Pak, coba lihat ini!"
Gerendel itu memang kelihatan terkunci, tetapi tidak saling mengait. Dan itu
tidak kelihatan jelas. "Pintunya tak mau dibuka karena terkunci dari sisi yang lain," jelas Tommy.
Pada menit berikutnya mereka keluar lagi ke koridor dan pelayan pun membuka
pintu di kamar samping. Kamar itu kosong, dan pintunya terkunci. Kuncinya tidak
ada. Ketika sampai di pintu penghubung, mereka melihat hal yang sama. Gerendel
itu kelihatan terkunci tapi kuncinya tidak saling mengait. Tapi mereka tidak
menemukan Tuppence maupun si Rusia di situ. Padahal tidak ada pintu penghubung
lainnya. Satu-satunya pintu adalah yang menghadap ke koridor.
"Tapi saya tidak melihat mereka keluar," kata si pelayan. "Saya pasti melihat
bila mereka keluar. Saya berani bersumpah."
"Sialan," seru Tommy kesal. "Mereka kan tak bisa menghilang begitu saja di
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
udara!" Carter sekarang tenang kembali. Otaknya yang encer bekerja.
"Telepon ke bawah, tanyakan siapa yang terakhir menempati kamar ini dan kapan
mereka pergi." Evans yang bersama-sama mereka bergerak ke telepon mematuhi instruksi bos-nya.
Akhirnya dia meletakkan gagang telepon dan mengangkat kepalanya.
"Seorang pemuda Prancis yang cacat, M. Paul de Varez. Dia dan perawatnya. Mereka
pergi pagi tadi." Sebuah seruan terdengar dari petugas rahasia lainnya, si pelayan. Wajahnya
pucat. "Pemuda cacat - perawat rumah sakit," katanya dengan gemetar. "Saya - mereka
melewati saya di gang. Tapi - saya tak pernah mengira - saya pernah melihat mereka
beberapa kali sebelumnya."
"Kau yakin mereka orang yang sama"!" seru Tuan Carter. "Apa kau yakin"
Kauperhatikan mereka?"
Laki-laki itu menggelengkan kepala.
"Melihat pun tidak. Saya menunggu - siap dengan yang lain, yaitu lelaki berjenggot
dan seorang wanita."
"Tentu saja," kata Tuan Carter mengeluh. "Mereka sudah menyiapkan itu."
Tiba-tiba Tommy berseru dan membungkuk. Dia menarik sesuatu dari bawah sofa.
Ternyata sebuah bundelan berwarna hitam. Tommy membuka gulungan itu, dan
beberapa benda pun berjatuhan. Pembungkus luar adalah mantel hitam yang dipakai
Tuppence hari itu. Di dalamnya ada rok, topi, dan sebuah jenggot palsu.
"Sudah jelas," kata Tommy dengan sedih. "Mereka menyandera Tuppence. Setan Rusia
itu telah lolos. Perawat dan pemuda cacat itu ternyata palsu. Mereka tinggal di
hotel ini satu atau dua hari, sehingga orang-orang di sekitar terbiasa dengan
kehadiran mereka. Laki-laki itu pasti tahu pada waktu makan siang tadi bahwa dia
terperangkap. Lalu dia melakukan rencana itu. Barangkali dia sudah
memperhitungkan bahwa kamar sebelah itu kosong, karena pada saat itu dia
menggerendel pintu. Pokoknya dia berhasil membungkam wanita di sebelah dan
membawa Tuppence masuk, mendandani dia sebagai seorang pemuda, dan mengganti
pakaian dan rupanya sendiri sebagai perawat, lalu keluar dengan gagah. Baju-baju
itu pasti sudah disiapkan lebih dahulu. Tapi yang membingungkan saya - bagaimana
mungkin Tuppence menurut begitu saja?"
"Aku bisa mengerti," kata Tuan Carter sambil membungkuk dan mengambil sebuah
metal dari karpet. "Ini bagian dari jarum suntik. Tuppence pasti dibius."
"Ya, Tuhan!" seru Tommy. "Dan dia lolos!"
"Kita belum pasti akan itu. Setiap jalan keluar dijaga," kata Tuan Carter dengan
cepat. "Untuk seorang lelaki dan wanita. Tapi bukan untuk seorang pemuda cacat dan
perawatnya. Mereka pasti telah meninggalkan hotel ini sekarang."
Memang benar. Setelah dicek, perawat dan pemuda cacat itu ternyata telah
meninggalkan hotel dengan sebuah taksi, lima menit sebelumnya.
"Beresford," kata Tuan Carter. "Jangan putus asa. Aku tak akan melewatkan tempat
sekecil apa pun untuk mencari istrimu. Aku akan kembali ke kantor dan memberi
instruksi agar semua bergerak. Kita akan menemukan mereka."
"Benar, Pak" Setan Rusia itu licin. Lihat saja apa yang telah dia lakukan. Tapi
saya yakin Bapak akan berusaha keras. Mudah-mudahan - tidak terlambat. Kita sudah
dikerjai." Tommy meninggalkan hotel dan berjalan seperti orang buta yang tak tahu ke mana
mesti berjalan. Dia merasa lumpuh. Mencari ke mana" Apa yang harus dilakukan"
Dia masuk ke Green Park dan menjatuhkan diri di sebuah bangku. Dia tidak melihat
ketika ada seseorang duduk di ujung yang lain, dan sangat terkejut ketika
mendengar sebuah suara yang dikenalnya.
"Maaf, Tuan, kalau saya boleh mengganggu..."
Tommy mendongak. "Halo, Albert," kata Tommy tak bersemangat.
"Saya tahu apa yang terjadi, Tuan, tapi tidak putus asa seperti itu."
"Tidak putus a..." Tommy tertawa kecil. "Gampang diucapkan, ya?"
"Coba pikir, Tuan. Blunts Brilliant Detectives! Tak pernah terkalahkan. Maaf.
Tadi pagi saya kebetulan mendengar apa yang Tuan katakan dengan Nyonya. Tuan
Poirot dengan sel abu-abunya. Nah, kenapa Tuan tidak memakai sel abu-abu Tuan?"
"Menggunakan sel abu-abu di dalam buku fiksi itu lebih mudah daripada kenyataan
yang sebenarnya, Albert."
"Tapi," kata Albert keras kepala, "saya tak yakin ada seseorang yang bisa
mengalahkan Nyonya semudah itu. Tuan tahu kan, bagaimana Nyonya. Dia seperti
tulang-tulangan dari karet yang biasa diberikan pada anjing. Dijamin mutunya dan
tak gampang patah." "Albert," kata Tommy, "terima kasih atas hiburanmu."
"Kalau begitu Tuan bisa menggunakan sel abu-abu Tuan, kan?"
"Kau memang keras kepala. Permainan kami memang berhasil, sampai saat itu. Kita
coba saja lagi. Kita kumpulkan dulu fakta-faktanya dan kita atur dengan metode
yang rapi. Pada jam dua lebih sepuluh tepat, buron kita masuk lift. Lima menit
kemudian kita bicara pada penjaga lift. Setelah itu kita pergi ke lantai tiga.
Kira-kira jam dua lewat sembilan belas menit kita masuk ke kamar Nyonya Van
Snyder. Sekarang, fakta apa yang menonjol?"
Mereka diam. Tak ada fakta apa pun yang menonjol dan menarik perhatian mereka.
"Tak ada peti di dalam kamar?" tanya Albert dengan mata bersinar.
"Mon ami," kata Tommy. "Kau tak mengerti wanita Amerika yang baru pergi ke
Paris. Ada sembilan belas peti di kamar itu."
"Maksud saya, peti itu merupakan tempat yang cukup baik untuk menyembunyikan
sesosok mayat yang ingin kita singkirkan - bukan, bukannya pasti Nyonya sudah
meninggal." "Kita sudah memeriksa dua peti yang cukup besar untuk menyembunyikan mayat.
Fakta apa lagi?" "Tuan sudah melewatkan satu fakta - ketika Nyonya dan penjahat yang menyamar
sebagai perawat itu keluar lewat koridor."
"Pasti terjadi sebelum kami keluar dari lift," kata Tommy. "Hampir saja mereka
berhadapan langsung dengan kami. Cepat sekali gerakannya. Aku..."
Dia diam. "Ada apa, Tuan?"
"Diam, mon ami. Aku punya suatu ide kecil - yang hebat dan mengagumkan - yang selalu
datang pada Hercule Poirot. Tapi kalau begitu - kalau begitu - oh, Tuhan. Mudah-mudahan tidak terlambat."
Tommy meloncat dan lari keluar taman. Albert menempel di belakangnya dan
bertanya dengan napas tersengal, "Ada apa, Tuan" Saya tidak mengerti."
"Nggak apa-apa," kata Tommy. "Kau tidak harus tahu. Si Hastings tak pernah tahu.
Kalau sel abu-abumu tidak lebih buruk dari punyaku, kaupikir permainan apa yang
sedang kulakukan" Omonganku kacau - tapi memang begitulah. Kau anak yang baik,
Albert. Kau tahu betapa berharganya Tuppence - harganya selusin kali hargamu dan
hargaku." Sambil terengah-engah Tommy memasuki gerbang Hotel Blitz. Dia melihat Evans dan
menariknya sambil menyemburkan beberapa patah kata. Keduanya dan Albert masuk
dalam lift. "Lantai tiga," kata Tommy.
Mereka berhenti di depan pintu nomor 318. Evans punya kunci serep, dan dia
memasukkannya ke lubangnya. Tanpa permisi mereka memasuki kamar Nyonya Van
Snyder. Wanita itu masih tiduran di tempat tidur, tapi sekarang dengan pakaian
tidur yang lebih pantas. Dia memandang mereka dengan heran.
"Maaf, saya tidak mengetuk," kata Tommy dengan manis. "Tapi saya memerlukan
istri saya. Bisakah Anda bangun dari tempat tidur itu?"
"Anda sudah gila barangkali," teriak Nyonya Van Snyder.
Tommy memandangnya dengan tajam. Kepalanya miring.
"Sangat artistik," katanya. "Tapi tidak jalan. Kami telah mencari di bawah
tempat tidur. Tapi tidak di dalam tempat tidur. Saya ingat pernah memakai tempat
itu untuk bersembunyi ketika masih kecil. Melintang di tempat tidur. Dan peti
baju itu pun siap untuk tempat membawa dia kemudian. Tapi kami datang terlalu
cepat sekarang. Kau telah membius Tuppence dan menyembunyikannya di dalam tempat
tidur, dan membiarkan diri disumbat dan diikat teman komplotmu yang di kamar
sebelah. Kami memang menelan ceritamu sesaat pada waktu itu. Tapi kalau hal itu
kami pikirkan lagi - dengan logika yang benar - sangat tidak mungkin untuk membius
seorang wanita, menggantinya dengan pakaian seorang pemuda, membungkam dan
mengikat seorang wanita lain, dan mendandani wajah seseorang - semua dalam waktu
lima menit. Benar-benar sesuatu yang tak masuk akal. Perawat dan pemuda itu
merupakan sebuah umpan. Dan kami diharapkan mengikuti umpan itu. Sedangkan
Nyonya Van Snyder adalah seorang korban yang perlu dikasihani. Tolong bangunkan
dia dari tempat tidur, Evans. Kau punya pistol" Bagus."
Dengan jeritan memprotes, Nyonya Van Snyder diangkat dari tempatnya. Tommy
membuka penutup tempat tidur dan kasur.
Di situ terlihat Tuppence terbaring dengan mata tertutup dan muka kaku. Sesaat
Tommy merasa sesak. Tapi kemudian dia melihat gerakan naik-turun di dadanya. Dia
dibius, bukan mati. Tommy berbalik ke Albert dan Evans.
"Dan sekarang, Tuan-tuan," katanya dengan dramatis. "Pukulan terakhir!"
Dengan gerakan cepat yang tak terduga, tangannya melesat menarik rambut Nyonya
Van Snyder yang amat rapi. Rambut itu terlepas dari genggamannya.
"Seperti sudah kuperkirakan," kata Tommy. "Nomor 16!"
Setengah jam kemudian Tuppence membuka mata dan melihat seorang dokter dan
suaminya membungkuk di atasnya.
Kejadian seperempat jam kemudian sebaiknya kita tutup dengan tirai kesopanan.
Tapi setelah itu Pak Dokter pun pergi dengan lega karena semuanya baik.
"Kawanku, Hastings," kata Tommy dengan gembira. "Aku bahagia karena kau tetap
hidup." "Kita sudah menangkap Nomor 16?"
"Sekali lagi aku sudah meremukkannya seperti memecahkan kulit telur - dengan kata
lain, Carter sudah menangkapnya. Sel abu-abu kecil! Pokoknya gaji Albert akan
kunaikkan." "Coba ceritakan."
Tommy memberinya cerita yang penuh semangat dengan menghilangkan bagian-bagian
tertentu. "Apa kau tidak kuatir akan nasibku?" tanya Tuppence ragu-ragu.
"Tidak. Kita kan harus tetap tenang dalam situasi apa pun."
"Pembohong!" seru Tuppence. "Lihat - rupamu sendiri yang menunjukkannya."
"Hm, ya, barangkali aku agak kuatir, Sayang. Kita akan menyudahi permainan ini,
kan?" "Tentu saja." Tommy menarik napas lega.
"Aku rasa kau sebaiknya bersikap tahu diri. Setelah kejutan ini..."
"Bukan karena kejutan ini. Aku tak peduli dengan kejutan."
"Dasar tulang-tulangan dari karet - tak bisa patah," gumam Tommy.
"Aku punya rencana bagus," kata Tuppence. "Sesuatu yang sangat mendebarkan. Yang
tak pernah kulakukan sebelumnya."
Tommy memandangnya dengan sangat kuatir. "Jangan, Tuppence."
"Kau tak bisa melarang," kata Tuppence. "Ini hukum alam."
"Kau omong tentang apa?"
"Aku ngomong tentang," kata Tuppence, "bayi kita. Istri-istri zaman sekarang
tidak berbisik. Mereka berteriak. BAYI KITA! Tommy, bukankah semua begitu
indah?" Scan & DJVU: BBSC Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Kisah Tiga Kerajaan 25 Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Wasiat Dewa 1