Pencarian

Pembunuhan Roger Ackroyd 1

Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie Bagian 1


THE MURDER OF ROGER ACKROYD
by Agatha Christie PEMBUNUHAN ATAS ROGER ACKROYD
alihbahasa: Maria Regina Penerbit: PT Gramedia Cetakan ketiga: November 1990
Bab 1 DOKTER SHEPPARD SEWAKTU MAKAN PAGI
NYONYA Ferrars meninggal pada hari Kamis malam tanggal 16 - 17 September. Aku
dipanggil pada hari Jum'at pukul delapan pagi. Tak ada lagi yang dapat
kulakukan. Ia sudah meninggal beberapa jam yang lalu.
Ketika aku kembali di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat
beberapa menit. Kubuka pintu muka dengan kunciku, dan sengaja mengulur waktu
beberapa menit di ruang masuk dengan cara menggantung topi dan jasku, yang
kubawa sebagai tindakan pencegahan menghadapi dinginnya hawa udara pagi pada
musim gugur. Terus terang saja, aku sangat terkejut dan khawatir. Aku tidak mau
berpura-pura, mengetahui apa yang akan terjadi dalam minggu-minggu mendatang.
Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Tetapi perasaanku mengatakan bahwa masa
mendatang akan penuh dengan pergolakan.
Dari kamar makan pada sebelah kiriku, terdengar bunyi cangkir teh yang beradu
dan batuk kering kakakku Caroline.
"Kaukah itu, James?" ia bertanya.
Pertanyaan yang tidak perlu, karena siapa lagi orangnya kalau bukan aku"
Sebenarnya, kakakku Caroline inilah yang menyebabkan aku mengulur waktu beberapa
menit. Menurut Tuan Kipling, motto suatu keluarga musang adalah: "Pergilah dan
carilah keterangan." Dan bilamana pada suatu waktu Caroline sedang bergembira,
aku akan menyarankan supaya ia menjadi musang yang sedang menjadi-jadi
tingkahnya. Orang dapat menghilangkan bagian pertama dari motto tersebut, karena
Caroline dapat memperoleh keterangan apa saja sebanyak-banyaknya dengan tetap
tinggal di rumah dengan tenang. Aku tidak tahu bagaimana cara ia melakukannya.
Aku rasa korps intelijennya terdiri atas pembantu-pembantu dan pedagang-
pedagang. Bilamana ia pergi, maksudnya bukanlah untuk mencari keterangan, tetapi
untuk menyebarkannya. Di dalam bidang itu pun ia seorang yang ahli yang
mengagumkan. Kebiasaannya yang terakhir inilah yang menyebabkanku menjadi
bimbang. Apa pun yang kuceritakan pada Caroline sekarang mengenai Nyonya
Ferrars, akan menjadi berita yang hangat di seluruh kampung dalam waktu satu
setengah jam. Sebagai seorang dokter tentu saja aku menghendaki agar hal ini
tetap dirahasiakan. Karena itu sudah menjadi kebiasaanku untuk selalu sedapat
mungkin menyembunyikan keterangan terhadap kakakku. Walaupun pada akhirnya ia
akan mengetahuinya juga, tetapi hatiku puas karena aku tak dapat disalahkan.
Suami Nyonya Ferrars meninggal kurang lebih satu tahun yang lalu, dan Caroline
selalu menegaskan tanpa suatu alasan pun untuk menyokong pernyataannya, bahwa
Tuan Ferrars meninggal karena diracun isterinya.
Ia selalu mencemoohkan jawabanku bahwa Tuan Ferrars meninggal karena peradangan
lambung yang akut, yang bertambah buruk akibat kebiasaannya meminum minuman
keras yang melampaui batas. Aku setuju bahwa gejala-gejala peradangan lambung
dan keracunan karena arsenicum adalah hampir sama. Tetapi Caroline mendasarkan
tuduhannya atas alasan-alasan yang lain sama sekali.
"Orang hanya perlu memandangnya," aku pernah mendengar ia berkata, Nyonya
Ferrars adalah seorang wanita yang menarik, walaupun ia tidak begitu muda lagi.
Pakaiannya, walaupun sederhana, selalu serasi potongannya. Tetapi walaupun
demikian banyak sekali wanita membeli pakaian mereka di Paris, tetapi mereka
tidak menjadikan hal ini suatu alasan untuk meracuni suami mereka.
Ketika aku sedang bimbang memikirkan semua ini, suara Caroline terdengar lagi,
lebih tajam dari semula. "Apa yang kaulakukan di sana, James" Mengapa kau belum juga masuk dan mulai
makan sarapanmu?" "Aku segera datang, Sayang," dengan cepat aku berseru. "Aku baru saja
menggantungkan jasku."
"Dalam waktu yang selama itu kau dapat menggantungkan selusin jas."
Ia benar sekali. Memang waktu sekian lamanya cukup untuk menggantung selusin
jas. Aku masuk ke ruang makan, lalu sebagaimana biasanya mencium pipi Caroline, dan
mulai makan telur dan babi asin. Babi asinnya sudah mulai dingin.
"Kau mendapat panggilan pagi sekali hari ini," Caroline menyatakan.
"Ya," aku membenarkan. "King's Paddock. Nyonya Ferrars."
"Aku tahu," kakakku menjawab.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Annie yang menceritakannya padaku."
Annie adalah si pembantu yang pekerjaannya membersihkan ruang tamu. Seorang
gadis yang baik, tetapi mulutnya tidak bisa diam.
Suasana hening sebentar. Aku meneruskan memakan telur dan babi asinku. Hidung
kakakku yang panjang dan lurus, sebagaimana biasa bergetar sedikit ujungnya
bilamana tertarik perhatiannya atau bilamana ia bergembira mengenai sesuatu.
"Bagaimana?" tuntutnya.
"Suatu perkara yang buruk. Tidak ada lagi yang dapat kulakukan. Rupanya ia sudah
meninggal sewaktu tidur."
"Aku tahu," jawab kakakku lagi.
Sekali ini aku benar-benar merasa jengkel.
"Tidak mungkin kau tahu," bentakku. "Aku sendiri tidak mengetahuinya, sebelum
aku sampai di sana. Dan aku tidak mengatakannya pada satu orang pun. Kalau
Annie, gadis itu tahu, pastilah ia seorang ahli nujum."
"Bukan Annie yang mengatakannya padaku, tetapi si tukang susu. Ia mendengarnya
dari koki keluarga Ferrars."
Seperti yang sudah kukatakan tadi, Caroline tidak perlu pergi untuk mencari
keterangan. Ia tetap di rumah dan keterangan-keterangan itu datang sendiri.
Kakakku meneruskan, "Apa yang menyebabkan kematiannya" Serangan jantungkah?"
"Apakah si tukang susu tidak mengatakannya padamu?" sindirku. Sindiran sama
sekali tidak mempan pada Caroline. Ia selalu menganggapnya serius dan
menjawabnya secara serius pula.
"Ia tidak tahu," kakakku menerangkan.
Pada akhirnya, cepat atau lambat Caroline pun akan mengetahuinya. Jadi tak ada
salahnya, bila aku yang memberitahukannya.
"Ia meninggal karena minum veronal terlalu banyak. Pada akhir-akhir ini ia
meminumnya karena susah tidur. Pasti ia minum terlalu banyak."
"Nonsen," tukas Caroline cepat. "Dia sengaja minum banyak-banyak. Jangan mencoba
mengelabuiku." Sungguh aneh, sikap seseorang yang mempunyai keyakinan, tetapi tidak mau
mengutarakannya pada orang lain. Lalu bilamana ada orang lain yang mengutarakan
pendapat yang sama, ia akan membantah sebisa-bisanya. Demikian pula aku langsung
membantahnya dengan berapi-api.
"Mulai lagi," bantahku. "Langsung menuduh orang tanpa alasan sama sekali.
Mengapa Nyonya Ferrars berkeinginan untuk bunuh diri" Ia seorang janda yang
masih cukup muda, kaya, sehat dan tak ada yang harus dilakukannya kecuali
menikmati hidup ini. Pikiranmu tak masuk di akal."
"Sama sekali tidak. Bahkan kau sendiri pasti telah melihat betapa ia telah
berubah belakangan ini. Dan hal ini sudah berlangsung sejak enam bulan terakhir.
Rupanya seperti orang kemasukan setan, suka ngawur. Dan kau barusan saja
mengakui bahwa ia susah tidur."
"Dan bagaimanakah diagnosamu?" tanyaku dengan nada dingin. "Suatu kisah cinta
yang mengecewakan, aku rasa?"
Kakakku menggelengkan kepalanya.
"Karena sangat menyesal," jawab kakakku dengan semangat.
"Menyesal?" "Betul. Kau tidak pernah mau mempercayai kalau aku mengatakan bahwa ia telah
meracuni suaminya. Sekarang aku bahkan lebih yakin lagi mengenai hal ini."
"Aku rasa, pikiranmu kurang logis," aku mengemukakan keberatanku. "Seorang
wanita yang telah melakukan suatu kejahatan seperti pembunuhan, akan cukup kejam
untuk menikmati hasilnya. Ia tidak akan mempunyai kelemahan perasaan, seperti
misalnya penyesalan."
Caroline menggelengkan kepalanya. "Mungkin, memang ada wanita-wanita seperti itu
- tetapi Nyonya Ferrars tidak termasuk dalam golongan itu. Ia gelisah sekali.
Suatu dorongan hati yang kuat, telah memaksanya untuk membunuh suaminya. Ia
adalah orang yang tak tahan menanggung penderitaan apa pun. Dan tak dapat
disangkal lagi bahwa isteri seorang laki-laki seperti Ferrars mengalami banyak
sekali penderitaan - "
Aku mengangguk. "Dan sejak itu ia selalu dibayangi oleh perbuatannya. Aku tidak dapat
menghilangkan rasa ibaku padanya."
Menurut pendapatku, Caroline tidak pernah merasa kasihan terhadap Nyonya Ferrars
sejak Nyonya itu masih hidup. Sekarang setelah ia pergi ke tempat di mana
(barangkali) gaun-gaun dari Paris tak dapat dipakai lagi, barulah Caroline
bersedia memperlunak perasaannya dan merasa kasihan dengan penuh pengertian.
Aku mengatakan kepadanya dengan tegas bahwa seluruh perkiraannya itu adalah
omong kosong. Aku bertindak semakin tegas karena sebenarnya aku menyetujui
sebagian dari apa yang telah dikatakannya. Tetapi cara ia menarik kesimpulan
benar hanya dengan jalan menebak-nebak, menurut pandanganku adalah salah sama
sekali. Aku tidak akan menganjurkan cara semacam itu. Lalu kakakku itu akan
pergi keliling kampung mengemukakan pendapatnya, dan setiap orang akan menyangka
bahwa ia memperoleh keterangan medis itu melalui aku. Hidup ini penuh dengan
percobaan. "Omong kosong," bantah Caroline, menjawab kecaman-kecamanku. "Kau akan
melihatnya sendiri, aku berani bertaruh, Nyonya Ferrars telah meninggalkan
surat, di mana ia mengakui segala-galanya."
"Ia tidak meninggalkan surat apa pun," bantahku dengan tajam. Aku tak dapat
menduga bagaimana kakakku akan menanggapi keteranganku ini.
"Oh," seru Caroline. "Jadi, kau telah menanyakannya, bukankah begitu" Kurasa,
James, dalam hati kecilmu, kau pun sependapat denganku. Kau, tua bangka pengecoh
yang baik sekali." "Orang selalu harus memikirkan kemungkinan bunuh diri dalam hal-hal seperti
ini," jawabku dengan gagah.
"Apakah akan diadakan pemeriksaan?"
"Mungkin saja, semua itu tergantung dari keadaan. Bilamana aku dapat menyatakan
bahwa aku sungguh yakin, obat yang tertelan terlalu banyak itu adalah karena
suatu kecelakaan, maka mungkin sekali pemeriksaan tidak akan diisukan."
"Dan apakah kau sungguh yakin?" tanya kakakku dengan licin.
Aku tidak menjawab, tetapi berdiri meninggalkan meja.
Bab 2 SIAPA SAJA YANG PENTING DI KING'S ABBOT
SEBELUM aku menceritakan lebih lanjut apa yang kukatakan pada Caroline dan apa
yang dikatakan Caroline padaku, sebaiknya aku gambarkan terlebih dahulu letak
geografis desa kami. Desa kami, yang bernama King's Abbot, kurasa banyak
persamaannya dengan desa-desa lain. Kota besar kami adalah Cranchester, jaraknya
sembilan mil dari desa kami. Kami mempunyai stasiun kereta api yang besar,
sebuah kantor pos kecil dan dua "Toko Serba Ada" yang bersaingan. Orang laki-
laki yang masih kuat mempunyai kecenderungan untuk meninggalkan desa kami
sewaktu mereka masih muda, tetapi kami kaya akan perawan-perawan tua dan
perwira-perwira pensiunan. Sedangkan hobi dan rekreasi kami hanyalah
"bergunjing". Di King's Abbot hanya terdapat dua rumah yang agak menonjol. Yang pertama adalah
King's Paddock, yang diwariskan almarhum Tuan Ferrars kepada isterinya. Yang
satu lagi adalah Fernly Park, milik Roger Ackroyd. Ackroyd selalu menarik
perhatianku, karena ia sungguh-sungguh menyerupai seorang tuan tanah,
dibandingkan dengan lain-lain tuan tanah yang sesungguhnya. Ia mengingatkan
orang akan seorang olahragawan bermuka merah, yang selalu muncul lebih dahulu
dalam babak pertama suatu komidi musik, dengan kehijauan desa sebagai latar
belakangnya. Biasanya mereka menyanyikan lagu mengenai berpergian ke London.
Jaman sekarang kami mempunyai pertunjukan tari-tarian, nyanyi-nyanyian dan
sebagainya. Sedangkan opera mengenai tuan tanah sudah tidak dimainkan lagi
sekarang. Tentu saja Ackroyd bukan seorang tuan tanah yang sesungguhnya. Ia seorang
industriawan yang sukses luar biasa dalam bidang (aku rasa) pembuatan roda-roda
kereta. Ia seorang laki-laki yang berumur hampir lima puluh tahun, bermuka
bundar dan sikap yang ramah serta riang. Ia berteman baik sekali dengan pendeta
setempat, dan memberikan sumbangan-sumbangan besar kepada gereja (walaupun
desas-desus mengatakan bahwa ia sangat pelit untuk dirinya sendiri). Di samping
itu ia juga menganjurkan dilaksanakannya pertandingan-pertandingan cricket,
perkumpulan-perkumpulan anak muda, dan yayasan-yayasan yang cacat. Ia sebenarnya
merupakan hidup matinya desa kami yang tenang di King's Abbot.
Ketika Roger Ackroyd berumur dua puluh satu tahun, ia mencintai dan mengawini
seorang wanita cantik yang umurnya lima atau enam tahun lebih tua daripadanya.
Namanya Paton dan ia adalah janda dengan seorang anak. Perkawinan ini merupakan
suatu kegagalan dan tidak berlangsung lama. Terus terang saja, Nyonya Ackroyd
adalah seorang pemabuk. Ia meninggal empat tahun sesudah perkawinannya, karena
terlalu banyak minum minuman keras.
Pada tahun-tahun berikutnya, Ackroyd tidak menunjukkan keinginan untuk kawin
lagi, dan bertualang untuk kedua kalinya. Anak isterinya dari perkawinan pertama
baru berusia tujuh tahun ketika ibunya meninggal. Sekarang anak itu berumur dua
puluh lima tahun. Ackroyd selalu mendidiknya dan menganggapnya sebagai anaknya
sendiri. Tetapi anak laki-laki ini bertingkah laku agak berandalan dan selalu
membuat ayah tirinya susah dan khawatir. Tetapi kendatipun demikian kami semua
di King's Abbot sangat menyukai Ralph Paton. Mungkin setidak-tidaknya hal ini
disebabkan karena rupanya yang cakap.
Seperti telah kukatakan tadi, kami di desa ini sudah siap untuk bergunjing.
Sejak semula semua orang sudah memperhatikan bahwa hubungan antara Tuan Ackroyd
dan Nyonya Ferrars akrab sekali. Setelah Tuan Ferrars meninggal, hubungan mereka
yang intim itu bertambah menyolok. Mereka selalu kelihatan bersama-sama. Dan
semua orang sudah menduga bahwa pada akhir masa berkabung, Nyonya Ferrars akan
menjadi Nyonya Ackroyd. Dan semua orang pun merasakan bahwa hal itu pantas
sekali. Isteri Roger Ackroyd meninggal karena terlalu banyak minum minuman
keras. Dan Ashley Ferrars adalah seorang pemabuk sejak bertahun-tahun sebelum
kematiannya. Jadi pantas sekali bilamana kedua orang ini yang menjadi korban
dari ekses-ekses yang disebabkan oleh alkohol, mencoba menghibur satu sama lain.
Apalagi mengingat semua penderitaan yang telah mereka alami dari suami dan
isteri mereka. Keluarga Ferrars datang menetap di sini baru kira-kira satu tahun lebih sedikit.
Tetapi Ackroyd sudah bertahun-tahun dikelilingi oleh gunjingan-gunjingan. Sejak
Ralph Paton menanjak dewasa, serentetan pengatur rumah tangga telah memerintah
di tempat tinggal Ackroyd. Dan tiap-tiap pengatur rumah tangga selalu diamat-
amati dengan sangat curiga oleh Caroline dan pengikut-pengikutnya. Dan tidaklah
berlebihan kalau dikatakan bahwa selama lima belas tahun seluruh penduduk desa
sudah memperkirakan dengan penuh keyakinan, bahwa Ackroyd akan mengawini salah
seorang dari pengatur rumah tangganya. Yang terakhir dari antara mereka adalah
seorang wanita yang mengagumkan, bernama Nona Russell. Dia telah memerintah di
sana, tanpa ada yang menentangnya, selama lima tahun. Yaitu dua kali lebih lama
dari para pendahulunya. Dan semua orang berpendapat bahwa tanpa kehadiran Nyonya
Ferrars, Ackroyd hampir-hampir tidak mungkin lolos dari perkawinan dengan Nona
Russell. Alasan lain adalah, kedatangan seorang ipar perempuan yang sudah janda,
dengan puterinya dari Kanada. Nyonya Cecil Ackroyd, janda adik laki-laki Ackroyd
yang tidak becus, datang dan menetap di Fernly Park. Dan menurut Caroline, ia
telah berhasil mengembalikan Nona Russell pada kedudukannya yang semula.
Aku tidak tahu dengan pasti apa yang dimaksudkannya dengan 'kedudukan yang
semula' itu - kedengarannya dingin dan kurang enak - tapi aku tahu bahwa sejak
itu Nona Russell selalu kelihatan dengan bibir terkatup rapat, dan menurut
penglihatanku, dengan senyum yang masam. Ia menyatakan rasa ibanya terhadap
"Nyonya Ackroyd yang malang - yang harus tergantung dari kedermawanan kakak
suaminya. Roti yang diberikan karena kemurahan hati seseorang rasanya pahit
sekali, bukan" Saya akan merasa sedih sekali bilamana saya tidak bekerja untuk
mengongkosi hidup saya."
Aku tidak tahu apa yang dipikir oleh Nyonya Cecil Ackroyd mengenai perkara
Ferrars ketika persoalan ini timbul. Sudah jelas akan lebih menguntungkan bagi
dirinya bila Ackroyd tetap tidak menikah. Nyonya Ackroyd selalu ramah sekali
terhadap Nyonya Ferrars - bahkan dapat dikatakan terlalu berlebih-lebihan,
bilamana mereka berjumpa. Caroline mengatakan bahwa hal itu tidak membuktikan
apa-apa. Demikianlah pekerjaan kami di King's Abbot sejak beberapa tahun terakhir. Kami
telah membicarakan Ackroyd dan urusan-urusannya dilihat dari segala segi. Dan
Nyonya Ferrars telah mendapatkan tempat yang cocok dalam pola ini.
Dan sekarang kaleidoskop disusun kembali. Bilamana mula-mula kita membicarakan


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemungkinan adanya hadiah-hadiah perkawinan, maka sekarang ini kami disentakkan
ke tengah-tengah suatu tragedi.
Sambil memikirkan hal-hal ini dan bermacam-macam persoalan lain, aku berkeliling
seperti mesin, mengunjungi pasien-pasienku. Untung saja pada saat itu aku tidak
mempunyai pasien yang gawat keadaannya, sehingga pikiranku kembali lagi pada
misteri kematian Nyonya Ferrars. Apakah ia bunuh diri" Dan jika ia memang
berbuat demikian, bukankah ia akan meninggalkan surat untuk memberitahukan apa
yang hendak dilakukannya" Dan menurut pengalamanku, para wanita, sekali mereka
memutuskan untuk bunuh diri, biasanya mereka berkeinginan untuk mengungkapkan
keadaan batinnya yang menuntun mereka waktu mengambil tindakan yang fatal itu.
Mereka mendambakan perhatian.
Kapan aku melihatnya terakhir kali" Lebih dari seminggu yang lalu. Tingkah
lakunya pada saat itu biasa saja, mengingat - yah - mengingat segala-galanya.
Lalu tiba-tiba aku ingat bahwa baru saja kemarin aku melihatnya, walaupun aku
tidak berbicara dengannya. Ia berjalan-jalan dengan Ralph Paton. Aku amat heran
sebab aku tidak mengetahui sama sekali bahwa Ralph Paton sedang berada di King's
Abbot. Aku benar-benar mengira bahwa ia telah bertengkar untuk yang terakhir
kali dengan ayah tirinya. Setelah itu kami tidak pernah melihatnya di sini
selama hampir enam bulan. Mereka berjalan bersebelahan dengan kedua kepala
mereka didekatkan. Dan Nyonya Ferrars ketika itu sedang berbicara serius sekali.
Menurut perasaanku, pada saat itulah untuk pertama kalinya aku mendapatkan
firasat mengenai kejadian-kejadian di masa yang akan datang. Bukan firasat yang
nyata - tetapi suatu pertanda yang samar-samar mengenai hal-hal yang akan
terjadi. Pembicaraan yang serius antara Nyonya Ferrars dan Ralph Paton kemarin,
kurang menyenangkanku. Aku masih memikirkan persoalan ini, ketika tiba-tiba aku berhadapan dengan Roger
Ackroyd. "Sheppard!" serunya. "Orang yang kebetulan sedang kucari. Ini kejadian yang
buruk sekali." "Kau sudah mendengarnya?"
Ia mengangguk. Aku melihat betapa ia menderita menerima pukulan ini. Pipinya
yang merah dan gemuk, tampak mengendur. Sikapnya yang biasanya gembira dan
kesehatannya yang baik, sekarang tidak nampak sama sekali. Keadaannya sekarang
buruk sekali. "Keadaan lebih buruk daripada yang kausangka," keluhnya perlahan. "Dengarkan,
Sheppard, aku mau berbicara denganmu. Dapatkah kau ikut aku pulang sekarang?"
"Rasanya tidak bisa. Aku masih harus mengunjungi tiga pasien, dan aku sudah
harus kembali sekitar pukul dua belas untuk melihat pasien-pasienku yang baru
menjalani operasi." "Kalau begitu, sore ini saja - tidak, lebih baik kau makan malam bersama kami.
Pukul 7.30. Apakah waktunya cocok bagimu?"
"Baik, aku bisa mengaturnya. Apakah ada yang kurang beres" Ada sesuatu dengan
Ralph?" Aku tidak tahu mengapa aku menanyakan itu - kecuali mungkin, karena sebelumnya
segala kesulitan ada hubungannya dengan Ralph.
Ackroyd memandangku dengan pandangan yang kosong, seakan-akan kurang mengerti.
Aku mulai menyadari, bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang kurang beres. Aku
tidak pernah melihat Ackroyd demikian bingung sebelumnya.
"Ralph?" jawabnya samar-samar. "Oh! tidak, bukan Ralph. Ralph sekarang sedang di
London - sialan! Itu Nona Gannett datang. Aku tidak mau membicarakan perkara
yang mengerikan ini dengannya. Sampai ketemu nanti malam Sheppard. Pukul tujuh
tiga puluh." Aku mengangguk, dan ia pergi dengan cepat, membiarkan aku bertanya-tanya. Ralph
di London" Tetapi aku yakin sekali ia berada di King's Abbot kemarin sore.
Mungkin ia sudah kembali ke kota kemarin malam atau pagi ini. Tetapi sikap
Ackroyd memperlihatkan kesan yang lain sama sekali. Ia berbicara seakan-akan
Ralph tidak pernah datang di sini sejak berbulan-bulan.
Aku tidak mempunyai waktu untuk memikirkan persoalan ini lebih lanjut. Nona
Gannett sudah mendekatiku, haus akan keterangan. Nona Gannett mempunyai sifat-
sifat yang sama seperti kakakku Caroline. Tetapi ia tidak bisa menarik
kesimpulan yang tepat seperti kecerdikan Caroline yang mengagumkan. Nona Gennett
tiba dengan kehabisan napas dan penuh dengan pertanyaan.
Apakah kejadian dengan Nyonya Ferrars itu tidak menyedihkan" Banyak orang
mengatakan bahwa ia sudah bertahun-tahun menjadi pecandu narkotik. Betapa
jahatnya orang-orang membicarakan hal ini. Dan susahnya ialah, biasanya desas-
desus ini mengandung sedikit kebenaran. Mana ada asap kalau tidak ada api!
Mereka juga mengatakan bahwa Tuan Ackroyd akhirnya mengetahui hal ini lalu
memutuskan pertunangan mereka - karena mereka memang telah bertunangan. Dia,
Nona Gannett mempunyai buktinya. Tetapi tentu saja aku sebagai seorang dokter
mengetahui semuanya - dokter selalu tahu - tetapi apakah mereka tidak pernah
menceritakannya" Nona Gannett mengajukan semua pertanyaan ini sambil memperhatikan dengan tajam
bagaimana reaksiku atas kesan-kesannya. Tetapi syukurlah, pergaulan yang lama
dengan Caroline telah mengajarku untuk mempertahankan suatu sikap yang tenang
dan selalu siap dengan jawaban-jawaban pendek yang tidak menyatakan apa-apa.
Pada pertemuan ini aku memberi selamat kepada Nona Gannett karena tidak ikut-
ikutan bergunjing dengan yang lain-lain. Suatu balasan yang baik sekali menurut
pendapatku. Aku meninggalkannya dalam keadaan yang sulit dan sebelum ia dapat
menguasai dirinya lagi, aku sudah pergi.
Sambil berpikir-pikir, aku pulang dan menemukan beberapa orang pasien
menantikanku di ruang bedah.
Kukira aku sudah selesai menolong pasienku yang terakhir, dan aku sedang
mempertimbangkan untuk berjalan-jalan beberapa menit di halaman sebelum makan
siang, ketika aku menyadari bahwa seorang pasien lagi sedang menantikanku.
Perempuan itu bangkit berdiri dan mendatangiku ketika aku masih agak terheran-
heran. Aku tak tahu mengapa aku harus heran, kecuali kesan yang kudapat dari Nona
Russell seakan-akan ia terbuat dari besi cor yang tidak bisa sakit.
Pengatur rumah tangga Ackroyd adalah seorang wanita yang tinggi, cantik tetapi
dengan penampilan yang membuat orang takut. Sinar matanya galak, dan bibirnya
terkatup rapat. Dan menurut perasaanku, bila aku menjadi pembantu rumah tangga
atau pembantu tukang masak di sana, maka aku akan lari terbirit-birit bilamana
aku mendengar dia mendatangi.
"Selamat pagi, Dr. Sheppard," Nona Russell menyapa. "Saya akan berterima kasih
sekali kalau Anda mau memeriksa lutut saya."
Aku memeriksa lututnya, dan terus terang saja aku tidak menemukan penyakit apa-
apa. Keterangan Nona Russell mengenai rasa sakit sedikit di lututnya tidak
meyakinkan sama sekali. Dan bilamana keterangan ini datangnya dari wanita yang
kurang dapat dipercaya, aku akan mengatakan bahwa semua itu hanya isapan jempol
saja. Terpikir sesaat olehku, bahwa mungkin Nona Russell mengada-ada saja
mengenai lututnya, dengan maksud untuk mendapatkan keterangan mengenai kematian
Nyonya Ferrars. Tetapi aku segera menyadari bahwa setidak-tidaknya di situlah
aku telah salah menilainya. Ia hanya sebentar saja menyinggung tragedi itu,
tidak lebih. Tetapi ia kelihatannya seakan-akan tak mau pergi dan ingin
bercakap-cakap. "Nah, terima kasih banyak atas sebotol obat gosok ini, Dokter," akhirnya ia
berkata. "Walaupun saya tahu bahwa obat ini tidak akan menolong sedikit pun."
Aku pun berpendapat demikian, tetapi jabatanku menyebabkan aku memprotesnya,
lagipula obat itu tidak akan merugikannya.
"Aku tidak percaya akan khasiat obat-obatan ini," bantah Nona Russell sambil
memandang botol-botolku dengan pandangan menghina. "Obat-obatan hanya membawa
banyak penderitaan. Lihat saja pecandu-pecandu cocaine."
"Ya, itu sih tergantung - "
"Hal ini sangat umum di masyarakat tingkat atas."
Aku yakin, Nona Russell mengetahui lebih banyak mengenai masyarakat tingkat
atas, daripada aku. Aku tidak berusaha untuk membantahnya.
"Coba ceritakanlah, Dokter," Nona Russell berkata. "Andaikata seseorang betul-
betul menjadi pecandu narkotik, apakah ia bisa diobati?"
Orang tidak dapat menjawab pertanyaan yang demikian itu secara sambil lalu. Aku
memberinya kuliah pendek mengenai soal itu, dan ia mendengarkan dengan penuh
perhatian. Aku tetap mencurigainya mencari keterangan mengenai Nyonya Ferrars.
"Misalnya veronal - " aku melanjutkan.
Tetapi aneh sekali, ia tampaknya tidak tertarik pada veronal. Bahkan ia
mengalihkan pokok pembicaraan dan menanyakan apakah benar ada beberapa macam
racun yang sangat jarang terdapat sehingga susah ditemukan.
"Ah!" aku berseru. "Anda telah membaca cerita-cerita detektif."
Ia membenarkan telah membacanya.
"Intisari dari sebuah cerita detektif," aku menerangkan, "adalah mendapatkan
racun yang jarang sekali ditemukan - kalau bisa dari Amerika Selatan, yang belum
pernah didengar - sesuatu yang dipakai oleh suatu suku yang masih biadab, untuk
digosokkan pada anak panah mereka. Kematian biasanya terjadi segera, dan ilmu
pengetahuan Barat tidak kuasa menemukan sebabnya. Itukah yang Anda maksudkan?"
"Betul. Apakah benar-benar ada racun seperti itu?"
Aku menggelengkan kepala dengan menyesal.
"Saya rasa tidak ada. Tetapi ada racun yang bernama curare."
Kuceritakan mengenai curare dengan panjang lebar, tetapi sekali lagi tampaknya
ia kehilangan perhatiannya. Ia bertanya apakah aku memilikinya di lemari tempat
aku menyimpan racun. Tatkala kukatakan bahwa aku tidak mempunyainya, kukira
penghargaannya terhadapku merosot.
Ia mengatakan bahwa ia harus segera kembali, dan aku mengantarnya keluar dari
pintu kamar bedah, tepat pada waktu gong untuk makan siang berbunyi.
Aku tak pernah mengira bahwa Nona Russell senang membaca cerita-cerita detektif.
Aku senang sekali membayangkan dirinya keluar dari ruang pengatur rumah tangga
untuk memarahi pembantu yang lalai, lalu kembali lagi dan benaknya membaca The
Mystery of the Seventh Death, atau yang semacam itu.
Bab 3 LAKI-LAKI YANG BERTANAM BUAH LABU
KETIKA makan siang, kuberitahukan Caroline bahwa aku akan makan malam di Fernly.
Ia tidak mengemukakan keberatan apa-apa - bahkan sebaliknya.
"Bagus sekali," serunya. "Kau akan mendengar segala sesuatu mengenai kejadian
itu. Omong-omong ada kesulitan apa dengan Ralph?"
"Ralph?" jawabku dengan heran "tidak ada kesulitan apa-apa."
"Kalau begitu, mengapa ia menginap di Three Boars, dan bukan di Fernly Park?"
Aku tidak meragukan semenit pun kebenaran keterangan Caroline bahwa Ralph Paton
menginap di losmen di desa kami. Sudah cukup bagiku bahwa Caroline-lah yang
mengatakannya. "Ackroyd mengatakan padaku bahwa Ralph sedang berada di London," bantahku. Rasa
heran membuatku melanggar peraturanku yang berharga untuk tidak pernah
memberikan informasi. "Oh!" seru Caroline. Kulihat hidungnya bergetar memikirkan keterangan ini.
"Ia tiba di Three Boars kemarin pagi," Caroline memberitahukan. "Dan pada saat
ini ia masih di sana. Kemarin malam ia pergi bersama seorang gadis."
Hal ini sama sekali tidak mengherankanku. Menurut pendapatku Ralph hampir tiap
malam pergi bersama seorang gadis. Tetapi yang mengherankanku adalah bahwa ia
mencari hiburan di King's Abbot, dan bukan di kota metropolis yang selalu ramai.
"Salah satu dari pelayan bar-kah?" tanyaku.
"Tidak. Itulah anehnya. Ralph pergi menemuinya. Aku tidak tahu siapa gadis itu."
(Pahit sekali bagi Caroline mengakui hal ini).
"Tetapi aku bisa menebak," kakakku yang tak kenal lelah meneruskan.
Aku menunggu dengan sabar.
"Saudara sepupunya."
"Flora Ackroyd?" seruku dengan heran.
Flora Ackroyd tentu saja tidak mempunyai tali persaudaraan sedikit pun dengan
Ralph Paton. Tetapi Ralph sudah sejak lama sekali dianggap sebagai anak kandung
Ackroyd, sehingga orang menyebut mereka itu saudara sepupu.
"Flora Ackroyd," kakakku menegaskan.
"Tetapi mengapa Ralph tidak pergi ke Fernly kalau ia ingin berjumpa dengan
Flora?" "Mereka bertunangan secara rahasia," jawab Caroline dengan gembira sekali. "Si
tua Ackroyd tidak menyetujuinya. Jadi mereka harus bertemu dengan jalan
demikian." Aku melihat banyak sekali kekurangan dalam teori Caroline, tetapi kutahan diriku
untuk menunjukkan hal ini padanya. Suatu ucapan yang tidak bermaksud apa-apa
mengenai tetangga kami yang baru, sudah cukup untuk mengalihkan pembicaraan.
Rumah di sebelah kami, The Larches, belakangan ini ditempati oleh seorang asing.
Yang membuat Caroline jengkel adalah karena ia tidak bisa mendapatkan keterangan
mengenai orang itu, kecuali bahwa ia seorang asing. Telah terbukti bahwa korps
intelijennya tidak sanggup memberikan bantuan yang diharapkannya. Agaknya, orang
itu juga seperti orang-orang lain, membeli susu, sayur-mayur dan daging, dan
kadang-kadang ia juga menyuruh orang mengecat rumahnya. Tetapi tampaknya tak
seorang pun yang melever barang-barang ini berhasil mendapatkan keterangan apa
pun. Namanya rupanya, adalah Poirot - nama yang memberikan kesan aneh yang tidak
realistis. Satu hal yang kami ketahui mengenai dirinya adalah bahwa ia tertarik
untuk bertanam buah labu.
Tetapi ini bukan keterangan yang dicari Caroline. Ia ingin tahu dari mana asal
orang itu, apa pekerjaannya, apakah ia sudah menikah, siapa isterinya, bagaimana
rupanya, apakah ia mempunyai anak, siapa nama kecil ibunya - dan seterusnya. Aku
rasa orang yang membuat pertanyaan-pertanyaan pada paspor, mempunyai banyak
persamaan dengan Caroline.
"Caroline sayang," kataku. "Tidak perlu diragukan lagi apa pekerjaan orang itu
dulu. Ia seorang penata rambut yang sudah pensiun. Perhatikan, saja kumisnya."
Caroline berbeda pendapat. Menurut pendapatnya seorang penata rambut akan
mempunyai rambut yang berombak-ombak - tidak lurus. Rambut mereka semua
berombak. Aku menyebutkan beberapa penata rambut yang kukenal pribadi yang semuanya
berambut lurus, tetapi Caroline tidak mau diyakinkan.
"Aku sama sekali tidak memahaminya," keluhnya dengan suara sedih. "Kemarin aku
meminjam beberapa alat untuk berkebun. Ia sopan sekali. Tetapi aku tidak bisa
memperoleh keterangan apa-apa. Akhirnya aku bertanya dengan langsung, apakah ia
seorang Perancis. Ia mengatakan tidak - dan entah bagaimana aku tidak mau
bertanya lebih lanjut."
Aku mulai merasa lebih tertarik lagi akan tetanggaku yang misterius ini. Orang
yang sanggup membuat Caroline menutup mulutnya lalu menyuruhnya pergi dengan
tangan kosong, seperti Ratu Sheba, adalah seorang yang berwibawa sekali.
"Aku kira," kata Caroline, "ia mempunyai sebuah alat penghisap debu yang baru - "
Dari sinar matanya yang bercahaya, kulihat bahwa ia sedang memikirkan alasan
baru untuk mencari keterangan lebih lanjut dengan jalan meminjam alat penghisap
debu itu. Aku memperoleh kesempatan untuk lolos ke halaman. Aku senang berkebun.
Aku sedang sibuk membasmi rumput ketika tiba-tiba terdengar teriakan peringatan
di dekatku. Sebuah benda yang berat berdesing di samping telingaku dan jatuh
dekat kakiku dengan menimbulkan suara berdebam yang kurang enak didengar. Benda
itu adalah sebuah labu! Dengan marah aku mengangkat kepala. Di sebelah kiriku, di sebelah pagar tembok,
muncul wajah seseorang. Sebuah kepala yang berbentuk telur, yang sebagian
tertutup oleh rambut hitam yang mencurigakan, dua kumis tebal luar biasa dan
sepasang mata yang waspada. Orang itu adalah tetangga kami yang misterius, Tuan
Poirot. Segera ia menyatakan penyesalannya dengan bertubi-tubi.
"Saya mohon beribu-ribu ampun, Tuan. Saya tidak dapat membela diri. Sejak
beberapa bulan saya menanam buah labu. Lalu pagi ini, tiba-tiba saya marah
sekali pada buah-buah labu ini. Saya suruh mereka berbaris - aduh! Bukan hanya
dalam pikiran saja, tetapi secara betul-betulan. Saya raih yang paling besar,
dan saya melemparkannya melewati tembok. Tuan, saya malu sekali. Saya bersujud
di hadapan Anda." Mendengar permintaan maafnya yang berlimpah-limpah, kegusaranku mau tidak mau
mulai mereda. Lagipula labu sialan itu tidak mengenai aku.
Tetapi aku sungguh berharap, melemparkan sayuran lewat tembok bukanlah hobi
teman kami yang baru ini. Kebiasaan semacam itu rasanya akan menghalangi kami
untuk menyukainya sebagai seorang tetangga.
Laki-laki aneh yang bertubuh kecil itu seolah-olah dapat membaca pikiranku.
"Ah! tidak," serunya. "Jangan Anda gelisah. Melempar sayuran melewati tembok,
bukanlah kebiasaan saya. Tetapi saya rasa Anda dapat membayangkan, Tuan,
bahwasanya seorang mungkin saja bekerja untuk mencapai maksudnya, bahkan
bersusah payah dan bekerja keras untuk mendapatkan semacam kesenangan dan
kesibukan. Lalu akhirnya ia menyadari bahwa ia mendambakan masa lalu yang penuh
kesibukan, dan pekerjaannya yang lama, yang disangkanya dapat ditinggalkannya
dengan segala senang hati."
"Ya," jawabku dengan lambat. "Saya rasa itu bukan suatu kejadian yang aneh. Saya
sendiri mungkin salah satu contohnya. Setahun yang lalu saya menerima warisan -
cukup banyak untuk memungkinkan saya merealisir suatu impian. Saya selalu ingin


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bepergian, melihat dunia luar. Nah, itu setahun yang lalu, dan sebagaimana tadi
sudah saya katakan - saya masih tetap di sini."
Tetanggaku yang kecil itu mengangguk.
"Itulah ikatan-ikatan dari suatu kebiasaan. Kita bekerja untuk mencapai sesuatu,
dan setelah kita memperolehnya, kita sadari bahwa yang kita cari itu adalah
pekerjaan kita sehari-hari. Dan camkan, Tuan, pekerjaan saya dahulu merupakan
pekerjaan yang sangat mengasyikkan. Pekerjaan yang paling menarik hati di dalam
dunia ini." "Oh ya?" jawabku memberi semangat. Pada saat ini diriku penuh dengan semangat
Caroline. "Penyelidikan mengenai sifat manusia, Tuan!"
"Begitu," kataku dengan ramah.
Jelas sekali bahwa ia seorang penata rambut yang sudah mengundurkan diri. Siapa
yang mengetahui rahasia-rahasia tabiat manusia lebih baik dari seorang penata
rambut" "Dan saya juga mempunyai seorang teman - teman yang selama bertahun-tahun tidak
pernah meninggalkan saya. Kadang-kadang tingkah lakunya gila-gilaan dan membuat
orang takut. Tetapi saya sangat menyayanginya. Bayangkan saja, saya bahkan rindu
akan ketololannya. Sikapnya yang naif, pandangannya yang jujur dan kegembiraan
saya bilamana dapat membuatnya senang dan terheran-heran akan hadiah-hadiah
istimewa yang saya berikan padanya - Saya mendambakan semua ini lebih daripada
yang dapat saya ceritakan pada Anda."
"Ia sudah meninggal?" tanyaku penuh simpati.
"Tidak. Ia sekarang tinggal - di bagian lain dari dunia ini. Keadaannya sekarang
makmur sekali. Ia sekarang berada di Argentina."
"Di Argentina," seruku dengan iri hati. Aku selalu ingin sekali pergi ke Amerika
Selatan. Aku menarik napas, lalu mengangkat kepala dan melihat Tuan Poirot
memandangku dengan penuh simpati. Tampaknya ia seorang yang dapat memahami orang
lain. "Anda akan pergi ke sana?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang.
"Saya sebetulnya dapat pergi," jawabku. "Setahun yang lalu. Tetapi saya tolol -
bahkan lebih dari tolol - saya serakah. Saya mengambil risiko kehilangan
intinya, karena mengejar bayangannya."
"Saya mengerti," jawab Tuan Poirot. "Anda berspekulasi?"
Aku mengangguk sedih, tetapi kendatipun demikian, diam-diam aku merasa terhibur.
Laki-laki kecil dan aneh ini menunjukkan sikap yang demikian bersungguh-sungguh.
"Anda tidak berspekulasi dengan Porcupine Oilfields, bukan?" tiba-tiba ia
bertanya. Aku menatapnya dengan heran.
"Memang sebetulnya saya memikirkannya, tetapi akhirnya saya memilih untuk
menyokong sebuah tambang emas di Australia Barat."
Tetanggaku memperhatikanku dengan pandangan aneh yang tidak dapat kuartikan.
"Ini namanya takdir," akhirnya ia berkata.
"Yang Anda sebut takdir itu apa?" tanyaku dengan kesal.
"Kenyataan bahwa saya tinggal di sebelah seorang yang memikirkan dengan serius
Porcupine Oilfields dan West Australian Gold Mines. Coba katakan, apakah Anda
juga menggemari rambut yang berwarna coklat kemerah-merahan?"
Aku menatapnya dengan mulut menganga. Ia tertawa terbahak-bahak.
"Tidak, tidak, saya tidak gila. Tenangkanlah pikiran Anda. Pertanyaan yang saya
ajukan tadi bodoh sekali. Karena teman yang saya sebutkan tadi adalah seorang
anak muda. Seorang laki-laki yang berpendapat bahwa semua wanita itu baik dan
hampir semuanya cantik. Tetapi Anda adalah orang yang setengah umur, seorang
dokter. Seorang yang mengetahui hampir semua ketololan dan kesombongan dalam
hidup kami. Nah, kita sekarang bertetangga. Saya harap Anda mau menerima dan
memberikan kepada kakak perempuan Anda yang luar biasa itu, buah labu saya yang
terbaik." Ia membungkuk dan dengan gerakan yang dibuat-buat memungut sebuah labu yang
paling besar di antara jenis labu itu, yang kuterima dengan cara yang sama
seperti pada waktu diberikan.
"Sungguh," laki-laki kecil itu berkata gembira, "pagi ini tidak terbuang dengan
sia-sia. Saya berkenalan dengan orang yang dalam beberapa hal menyerupai teman
saya yang jauh itu. Tetapi, omong-omong, saya ingin menanyakan sesuatu pada
Anda. Tentunya Anda mengenal semua orang di desa kecil ini. Siapakah orang muda
yang berambut dan bermata hitam dan berwajah tampan itu" Ia berjalan dengan
kepala menengadah dan dengan bibir yang selalu tersenyum."
Mendengar gambaran yang diberikannya, aku langsung mengetahui siapa yang
dimaksudkannya. "Orang itu tentunya Kapten Ralph Paton," jawabku lambat.
"Belum pernahkah saya melihatnya di sekitar sini sebelumnya?"
"Belum, sudah sejak beberapa lama ia tidak tinggal di sini. Tetapi ia putera -
putera angkat Tuan Ackroyd dari Fernly Park."
Tetanggaku memperlihatkan tanda-tanda tidak sabar.
"Tentu saja, seharusnya saya bisa menduganya. Tuan Ackroyd berulang kali
membicarakannya." "Anda mengenal Tuan Ackroyd?" tanyaku dengan agak heran.
"Tuan Ackroyd mengenal saya di London - ketika saya bekerja di sana. Saya telah
meminta padanya untuk tidak mengatakan apa-apa mengenai pekerjaan saya, di
sini." "Saya mengerti," jawabku agak geli karena sikapnya yang congkak menyolok mata,
dalam pandanganku. Tetapi laki-laki yang bertubuh kecil itu terus berbicara dengan kata-kata yang
melangit dan senyum yang congkak.
"Bagi saya lebih senang kalau tidak dikenal orang. Saya tidak menginginkan
kemasyhuran. Bahkan saya tidak mau bersusah-susah memperbaiki salah menulis dan
mengucapkan nama saya di desa ini."
"Tentu saja," jawabku. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan.
"Kapten Ralph Paton," Tuan Poirot merenung. "Jadi ia telah bertunangan dengan
keponakan Tuan Ackroyd, Nona Flora yang mempesonakan itu."
"Siapa yang memberitahukan Anda?" tanyaku dengan terheran-heran.
"Tuan Ackroyd sendiri. Kira-kira seminggu yang lalu. Ia sangat gembira akan hal
ini - ia sudah lama mengharapkan hal ini terjadi. Demikianlah yang saya dengar
daripadanya. Bahkan saya kira ia agak memaksa anak muda itu. Dan tindakan ini
kurang bijaksana. Seorang anak muda harus kawin untuk menyenangkan dirinya
sendiri - tidak untuk menyenangkan seorang ayah tiri, karena mengharapkan
sesuatu." Pikiranku bingung. Aku tidak dapat membayangkan Ackroyd menaruh kepercayaan
kepada seorang penata rambut, dan membicarakan dengannya perkawinan antara
keponakannya dan putera tirinya. Ackroyd dengan baik hati memberikan
perlindungan pada mereka yang lebih rendah tingkatnya, tetapi ia mempunyai
kesadaran yang tinggi akan harga dirinya. Aku mulai merasakan bahwa Poirot sama
sekali bukanlah seorang penata rambut.
Untuk menyembunyikan kebingunganku, kuajukan pertanyaan pertama yang timbul
dalam pikiranku. "Apa yang menyebabkan Anda merasa tertarik akan Ralph Paton" Wajahnya yang
tampan?" "Tidak, bukan hanya itu saja - walaupun untuk seorang Inggris, wajahnya tampan
luar biasa - yang oleh pengarang-pengarang wanita Anda, disebut sebagai Dewa
Yunani. Tidak, ada sesuatu pada dirinya yang tidak dapat saya mengerti."
Poirot mengucapkan kalimat terakhir dengan nada merenung yang meninggalkan kesan
pada diriku yang tidak dapat kulukiskan. Seakan-akan ia menilai anak muda itu
dengan pertolongan pengetahuan khusus dalam dirinya, yang tidak kumiliki. Kesan
itulah yang tinggal pada diriku, karena pada saat itu suara kakakku memanggilku
dari dalam rumah. Ketika aku masuk, Caroline masih memakai topinya. Rupanya ia baru saja kembali
dari kampung. Ia langsung mulai berbicara.
"Aku bertemu Tuan Ackroyd."
"Lalu," jawabku.
"Aku menghentikannya, tentu saja, tetapi tampaknya ia sedang tergesa-gesa sekali
dan ingin cepat-cepat pergi."
Aku sama sekali tidak meragukan bahwa itulah masalahnya. Perasaannya terhadap
Caroline akan sama saja seperti yang dirasakannya terhadap Nona Gannett tadi
pagi - bahkan mungkin lebih dari itu. Caroline lebih sukar untuk dikesampingkan
begitu saja. "Aku langsung menanyakannya mengenai Ralph. Ia sungguh-sungguh heran. Ia sama
sekali tidak tahu kalau anak laki-laki itu berada di sini. Bahkan ia berkata,
menurut pendapatnya aku telah salah lihat! Aku, salah lihat!"
"Menggelikan," jawabku. "Seharusnya ia mengenalmu lebih baik."
"Lalu ia melanjutkan ceritanya dan mengatakan bahwa Ralph dan Flora telah
bertunangan." "Aku juga mengetahuinya," aku memotong dengan sedikit bangga.
"Siapa yang memberitahumu?"
"Tetangga baru kita."
Caroline tampak ragu untuk satu dua detik, seakan-akan sebuah bola roulette yang
menggelinding tidak menentu di antara dua nomor, lalu memutuskan untuk menolak
umpanku. "Kuberitahukan Tuan Ackroyd, bahwa Ralph menginap di penginapan the Three
Boars." "Caroline," keluhku, "apakah kau tak pernah memikirkan bahwa kebiasaanmu
mengulangi segala sesuatu yang kauketahui itu tanpa memandang bulu, dapat
merugikan orang lain?"
"Omong kosong," bentak kakakku. "Orang harus mengetahui apa yang sedang terjadi.
Aku berpendapat bahwa sudah menjadi kewajibanku untuk memberitahu mereka. Tuan
Ackroyd sangat berterima kasih kepadaku."
"Lalu," aku menganjurkan, karena jelas sudah masih banyak yang hendak
dikatakannya. "Aku kira ia. langsung pergi ke penginapan Three Boars, dan bilamana memang itu
yang dilakukannya, maka ia tidak akan menemukan Ralph di sana."
"Tidak?" "Tidak. Karena ketika aku kembali melalui hutan - "
"Kembali melalui hutan?" selaku.
Wajah Caroline menjadi merah karena malu.
"Ketika itu udara demikian bagusnya," serunya. "Kupikir, aku akan mengambil
jalan memutar sedikit. Hutan dengan warna-warni musim rontok demikian indahnya
pada saat ini." Caroline sama sekali tidak mempedulikan keindahan hutan pada waktu apa pun
sepanjang tahun. Biasanya ia memandang hutan sebagai suatu tempat yang membuat
kaki basah dan di mana setiap saat sesuatu bisa jatuh di atas kepala. Yang
membawanya pergi ke hutan kami, tidak lain daripada naluri musangnya yang tajam
sekali. Hutan itu adalah tempat satu-satunya yang bersebelahan dengan King's
Abbot, di mana seorang laki-laki dapat berbicara dengan seorang wanita muda
tanpa dilihat oleh seluruh penduduk desa. Tempat itu juga berbatasan dengan
Fernly Park. "Lalu," kataku, "lanjutkanlah."
"Seperti yang kukatakan tadi, aku sedang dalam perjalanan kembali melalui hutan
ketika tiba-tiba aku mendengar suara-suara orang berbicara."
Caroline berhenti sebentar.
"Terus?" "Yang satu adalah suara Ralph Paton - aku langsung mengenalinya. Yang satu lagi
suara seorang gadis. Aku tidak bermaksud untuk mendengarkan, tentu saja - "
"Tentu saja tidak," sindirku - tetapi sindiranku sama sekali tidak mempan
terhadap Caroline. "Tetapi aku tidak sempat mengelakkan dan mendengar pembicaraan mereka. Si gadis
mengatakan sesuatu - aku tidak mendengarnya dengan jelas, dan Ralph menjawabnya.
Kedengarannya ia gusar sekali. 'Sayang,' katanya. 'Apakah kau tidak menyadari
bahwa laki-laki tua itu pasti tidak akan memberi aku sesen pun" Beberapa tahun
terakhir ini ia merasa jemu dan jengkel terhadapku. Dan membuatnya bertambah
jengkel sedikit lagi akan sama sekali merusak keadaan. Dan kita memerlukan uang
itu, Sayang. Aku akan menjadi orang yang kaya sekali, kalau si tua meninggal. Ia
seorang yang licik, tetapi ia bergelimang di dalam uang. Aku tidak mau ia
mengubah surat warisannya. Kauserahkan saja hal ini padaku dan jangan khawatir.'
Itulah kata-katanya, tepat seperti yang diucapkannya. Aku mengingatnya dengan
baik sekali. Tetapi sayang tepat pada saat itu aku menginjak sepotong dahan
kering atau entah barang apa. Lalu mereka merendahkan suara mereka lalu pergi.
Tentu saja aku tidak dapat berlari mengikuti mereka, jadi aku tidak dapat
melihat siapa gadis itu."
"Dan hal ini tentu saja sangat menjengkelkan," ejekku. "Tetapi aku rasa kau
langsung menuju ke Three Boars, merasa pusing, lalu masuk ke bar untuk minum
segelas brendi. Dengan demikian kau dapat melihat apakah kedua gadis yang
melayani bar sedang bertugas?"
"Gadis itu bukan pelayan bar," bantah Caroline tanpa ragu-ragu. "Sebetulnya aku
hampir yakin kalau gadis itu adalah Flora Ackroyd, hanya saja - "
"Hanya, rasanya tidak masuk akal." aku menyetujui.
"Tetapi kalau bukan Flora, siapakah gadis itu?"
Dengan cepat kakakku meneliti satu per satu gadis-gadis yang tinggal di sekitar
sini, dengan mengemukakan bermacam-macam alasan mengapa yang satu cocok dan yang
lain tidak. Tatkala ia berhenti untuk menarik napas, aku menggumam sesuatu mengenai pasien
yang harus kukunjungi, lalu segera keluar.
Aku bermaksud menuju ke Three Boars. Mungkin Ralph sudah kembali sekarang.
Aku mengenal Ralph dengan baik sekali - bahkan mungkin lebih baik daripada orang
lain di King's Abbot. Aku mengenal ibunya, sebelum Ralph lahir. Karena itu aku
dapat mengerti keadaan jiwanya, yang bagi orang lain agak membingungkan. Dalam
beberapa hal ia adalah korban dari keturunannya. Ia tidak mewarisi kebiasaan
yang fatal dari ibunya dan menjadi seorang pemabuk. Tetapi kendatipun demikian
ada sifat yang lemah dalam dirinya. Seperti telah dinyatakan tadi oleh temanku
yang baru, Ralph berwajah tampan luar biasa. Tinggi badannya hampir seratus
delapan puluh senti, proporsi tubuhnya sempurna, dan gerak-geriknya luwes
seperti seorang atlit. Seperti juga ibunya, warna kulitnya agak gelap. Dan
wajahnya yang tampan yang terbakar oleh sinar matahari, selalu siap untuk
tersenyum. Ralph Paton termasuk salah seorang yang mempunyai pembawaan mudah
menarik hati orang lain, tanpa berusaha sedikit pun. Ia terlalu lemah bagi diri
sendiri dan boros sekali. Ia tidak mempunyai rasa hormat untuk apa pun di dunia
ini. Tetapi walaupun demikian ia seorang yang mempunyai daya tarik, dan semua
temannya sangat menyayanginya.
Dapatkah aku berbuat sesuatu dengan anak muda itu" Aku rasa, dapat.
Ketika mencari keterangan di Three Boars, aku diberitahukan bahwa Kapten Paton
baru saja kembali. Aku pergi ke kamarnya dan masuk tanpa memberitahu terlebih
dahulu. Mengingat apa yang telah kudengar dan kulihat, untuk sejenak aku agak bimbang
akan sambutan yang akan kuterima. Tetapi ternyata seharusnya aku tidak usah
khawatir. "Hai, Sheppard! Senang sekali melihatmu."
Ia maju menemuiku dengan tangan terulur dan senyum gembira menyemarak di
wajahnya. "Orang satu-satunya yang dengan senang hati kujumpai di tempat celaka ini."
Dengan heran kuangkat alisku.
"Apa yang telah terjadi dengan tempat ini?"
Ia tertawa dengan kesal. "Ceritanya panjang. Keadaanku tidak begitu memuaskan, Dokter. Tetapi apakah kau
mau minum?" "Terima kasih," jawabku, "boleh juga."
Ralph menekan bel, lalu kembali dan. menjatuhkan dirinya di atas kursi.
"Terus terang saja," keluhnya dengan muram, "aku sedang dalam kesulitan besar.
Sesungguhnya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya."
"Ada apa?" tanyaku dengan penuh simpati.
"Ayah tiriku yang terkutuk itulah."
"Apa yang telah dilakukannya?"
"Bukan persoalan mengenai apa yang telah dilakukannya, tetapi apa yang akan
dilakukannya." Ketika bunyi belnya dijawab, Ralph lalu memesan minuman. Sesudah si pelayan
pergi lagi, ia duduk kembali di kursinya dengan muka berkerut.
"Apakah benar-benar serius?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Sekali ini aku betul-betul menghadapi kesulitan keuangan," keluhnya.
Dari nada suaranya yang menunjukkan keadaannya yang gawat, kuketahui bahwa ia
tidak berdusta. Ralph tidak mudah putus asa.
"Bahkan sebenarnya," ia melanjutkan, "aku sudah tidak sanggup lagi.... aku
sungguh-sungguh tidak sanggup."
"Kalau aku bisa menolong - " aku mengajukan diri dengan malu-malu.


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi dengan tegas ia menggelengkan kepalanya.
"Anda baik sekali, Dokter. Tetapi aku tidak dapat melibatkanmu dalam persoalan
ini. Aku harus membereskannya sendiri."
Ia berdiam diri sesaat, lalu mengulangi dengan nada berubah sedikit,
"Ya - aku harus membereskannya sendiri...."
Bab 4 MAKAN MALAM DI FERNLY JAM baru menunjukkan setengah delapan kurang beberapa menit, ketika aku
membunyikan bel pintu muka di Fernly Park. Dengan kecepatan yang mengagumkan,
pintu dibuka oleh Parker, si kepala pelayan.
Malam itu cuaca bagus, sehingga aku memutuskan untuk berjalan kaki. Aku
melangkah ke dalam ruang muka yang besar dan berbentuk persegi, lalu Parker
melepaskan jasku. Pada saat itu sekretaris Ackroyd, seorang anak muda yang ramah
bernama Raymond, lewat melintasi ruang muka menuju ke kamar kerja Ackroyd.
Tangannya penuh dengan kertas-kertas.
"Selamat malam, Dokter. Apakah Anda datang untuk makan malam bersama" Atau
apakah kunjungan Anda ini berhubungan dengan profesi Anda?"
Kalimat terakhir ini diucapkannya karena melihat tas hitamku, yang telah
kuletakkan di atas lemari yang terbuat dari kayu eik.
Kuterangkan padanya, bahwa aku setiap saat mengharapkan panggilan untuk
menangani suatu kelahiran. Karena itu, aku datang dengan mempersiapkan diri
untuk panggilan darurat. Raymond mengangguk dan terus berjalan, dan sambil
menoleh ke belakang ia berkata,
"Masuklah ke ruang tamu. Anda tahu jalannya. Para wanita akan turun sebentar
lagi. Saya akan mengantarkan surat-surat ini kepada Tuan Ackroyd, dan akan saya
katakan padanya bahwa Anda sudah datang."
Tatkala Raymond muncul tadi, Parker lalu mengundurkan diri, sehingga sekarang
aku berada seorang diri di ruang muka. Kubetulkan dasiku, lalu memandang ke
cermin besar yang tergantung di situ. Kemudian aku melangkah menuju pintu di
hadapanku yang kutahu adalah pintu ruang tamu.
Ketika memutar pegangan pintu, kudengar suara dari dalam - yang menurut
perkiraanku adalah bunyi pintu yang ditutup. Secara otomatis boleh dikatakan,
aku memperhatikan hal ini dan pada saat itu aku menganggapnya sebagai sesuatu
yang tidak penting. Kubuka pintu, lalu masuk. Pada saat itu hampir saja aku bertabrakan dengan Nona
Russell yang sedang mau keluar. Kami berdua saling meminta maaf.
Untuk pertama kalinya aku menilai si pengatur rumah tangga. Aku memikirkan
betapa cantiknya ia dahulu - bahkan sebenarnya sekarang pun ia masih tetap
cantik. Rambutnya yang hitam belum beruban. Dan bilamana wajahnya memerah
seperti pada saat ini karena malu, garis-garis keras di mukanya tidak begitu
nyata. Tanpa kusadari, aku bertanya dalam hati, apakah ia baru saja pulang dari
bepergian. Ia bernapas dengan cepat seakan-akan habis berlari-lari.
"Saya rasa, saya terlalu pagi beberapa menit," kataku.
"Oh. Saya rasa tidak. Sekarang sudah pukul setengah delapan, Dokter Sheppard."
Ia berhenti sebentar sebelum berkata, "Saya - tidak tahu kalau Anda diundang
makan malam ini. Tuan Ackroyd tidak mengatakan apa-apa."
Aku mendapat kesan bahwa kedatanganku untuk memenuhi undangan makan malam ini
kurang berkenan di hatinya, tetapi aku tidak dapat memikirkan alasannya.
"Bagaimana dengan lutut Anda?" tanyaku.
"Hampir sama saja seperti dahulu, terima kasih. Saya harus pergi sekarang.
Nyonya Ackroyd sebentar lagi datang. Saya masuk ke sini hanya untuk memeriksa
bunga." Dengan cepat ia keluar dari ruangan. Aku melangkah ke jendela sambil bertanya-
tanya dalam hati mengapa ia demikian berkeinginan menjelaskan kehadirannya di
ruangan ini. Sedang aku memikirkan hal ini, kulihat, tentu saja apa yang
seharusnya sudah kuketahui, jika saja sejak semula aku mau memperhatikannya.
Yaitu bahwa jendela-jendela tersebut adalah jendela besar seperti pintu dan
membuka ke teras. Karena itu bunyi yang kudengar tadi, tidak mungkin disebabkan
oleh jendela yang sedang ditutup.
Sambil membuang-buang waktu dengan maksud mengalihkan perhatian dari pikiran-
pikiran yang kurang menyenangkan, aku menghibur diri sendiri dengan mencoba
menebak-nebak, apakah yang menimbulkan bunyi yang kudengar tadi.
Batu bara di atas api itukah" Tidak, bunyinya tidak seperti itu. Atau laci yang
didorong masukkah" Bukan, bukan itu.
Lalu mataku tertarik pada tempat penyimpanan barang-barang yang terbuat dari
perak, yang biasa kami sebut meja perak. Orang dapat melihat isinya melalui
tutup kaca yang dapat diangkat. Aku melangkah ke meja perak itu dan melihat-
lihat isinya. Di dalamnya ada dua atau tiga benda perak kuno. Juga sebuah sepatu
bayi kepunyaan Raja Charles I, beberapa patung kecil dari batu jade, dan
sejumlah besar alat-alat dari Afrika, serta beberapa tanda mata. Karena ingin
mempelajari salah satu dari patung jade itu lebih baik, aku mengangkat tutupnya.
Tetapi tutup itu terlepas dari antara jari-jari tanganku dan jatuh.
Segera aku mengenali bunyi yang kudengar tadi, bunyi dari tutup meja ini yang
diturunkan dengan perlahan dan hati-hati. Kuulangi gerakan ini satu dua kali
lagi untuk memuaskan diriku. Kemudian kuangkat tutupnya dan memperhatikan isinya
dengan seksama. Aku masih membungkuk di atas meja perak itu tatkala Flora Ackroyd masuk.
Cukup banyak orang yang tidak menyukai Flora Ackroyd, tetapi tidak ada seorang
pun yang tidak mengaguminya. Dan terhadap teman-temannya ia dapat bersikap ramah
sekali. Yang pertama-tama menarik perhatian orang pada dirinya adalah
kepirangannya. Rambutnya yang berwarna emas muda menyemiri rambut orang-orang
Skandinavia. Matanya biru - seperti birunya air teluk di Norwegia, dan kulitnya
putih kemerah-merahan. Bahunya lurus seperti anak laki-laki dan pinggulnya
ramping. Dan amatlah menyegarkan bagi seorang dokter yang letih untuk bertemu
dengan seseorang yang segar bugar.
Ia seorang gadis Inggris yang sederhana dan terus terang - mungkin aku seorang
yang kuno, tetapi menurut pendapatku, sesuatu yang asli tidak mudah dikalahkan.
Flora datang menemaniku di meja perak dan mengemukakan keragu-raguannya bahwa
Raja Charles I pernah memakai sepatu bayi tersebut.
"Lagipula," Nona Flora melanjutkan, "semua keributan mengenai apakah seseorang
pernah memakai atau mempergunakannya, menurut pendapatku omong kosong belaka.
Mereka sekarang tidak lagi mengenakan atau mempergunakannya. Misalnya pena yang
dipergunakan oleh George Eliot untuk menulis buku The Mill on the Floss - hal-
hal semacam itu - yah bagaimanapun juga itu toh hanya sebuah pena. Kalau
seseorang memang benar-benar menyenangi George Eliot, mengapa ia tidak membeli
buku The Mill on the Floss, edisi yang murah dan membacanya."
"Saya rasa Anda tidak pernah membaca bacaan kuno seperti itu, Nona Flora?"
"Anda keliru. Dokter Sheppard. Saya sangat menyukai The Mill on the Floss."
Aku senang juga mendengarnya. Buku-buku yang dibaca dan disenangi wanita-wanita
muda jaman sekarang amat menakutkanku.
"Anda belum memberi saya selamat, Dokter Sheppard," Flora mengingatkan. "Apakah
Anda belum mendengarnya?"
Ia mengulurkan tangan kirinya. Jari manisnya dilingkari oleh sebentuk cincin
mutiara yang indah sekali.
"Saya akan menikah dengan Ralph," ia melanjutkan. "Paman senang sekali, karena
dengan demikian saya akan tetap menjadi anggota keluarga ini."
Aku menggenggam kedua belah tangannya.
"Sayang," jawabku, "saya doakan agar Anda berbahagia sekali."
"Kami sudah kira-kira satu bulan bertunangan," Flora meneruskan dengan suaranya
yang tenang, "tetapi baru diumumkan kemarin. Paman akan memperbaiki Cross-
stones, dan memberikannya pada kami untuk kami tinggali. Dan kami akan pura-pura
mencoba untuk beternak. Kami akan berburu selama musim dingin, pergi ke kota
waktu musim libur, lalu berpesiar dengan perahu. Saya mencintai laut. Dan tentu
saja saya juga akan memberikan perhatian besar kepada urusan-urusan gereja. Dan
saya akan menghadiri semua pertemuan kaum ibu."
Pada saat itu Nyonya Ackroyd masuk, penuh penyesalan karena keterlambatannya.
Menyesal sekali aku harus mengatakan, bahwa aku tidak menyukai Nyonya Ackroyd.
Ia seorang wanita yang kurus kering dan selalu memakai perhiasan yang
berlebihan. Seorang wanita yang sungguh-sungguh tidak menyenangkan. Matanya yang
kecil dan tajam berwarna biru, dan bagaimanapun ramah kata-katanya, sinar
matanya tetap dingin dan penuh perhitungan.
Aku meninggalkan Flora di dekat jendela, dan melangkah ke arahnya. Nyonya
Ackroyd mengulurkan tangannya yang kurus dan penuh cincin kepadaku, dan mulai
berbicara dengan bawelnya.
Apakah aku telah mendengar tentang pertunangan Flora" Mereka begitu cocok satu
sama lain. Kedua anak manis itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Pasangan yang cocok sekali. Yang laki-laki berkulit agak gelap, sedangkan yang
perempuan pirang sekali. "Saya tidak dapat mengatakannya, Dokter Sheppard yang baik, bagaimana lapangnya
hati seorang ibu." Nyonya Ackroyd menarik napas - suatu penghargaan terhadap hati seorang ibu,
sedangkan matanya tetap memperhatikanku dengan baik.
"Saya sedang berpikir-pikir. Anda adalah teman lama dan akrab dari Roger yang
baik itu. Kami tahu betapa ia mempercayai keputusan Anda. Bagi saya amatlah
sukar keadaannya - dalam posisi saya sebagai janda dari Cecil. Tetapi demikian
banyaknya hal-hal yang menjemukan - penyelesaian soal-soal keuangan - dan lain-
lain lagi. Saya percaya sepenuhnya bahwa Roger bermaksud memindahkan sejumlah
uang atas nama Flora. Tetapi sebagaimana Anda ketahui, sikapnya mengenai soal
uang agak aneh. Menurut pandangan saya hal ini adalah sesuatu yang biasa di
antara pemuka-pemuka industri. Saya bertanya-tanya dapatkah Anda kiranya
memancing keterangannya mengenai hal ini" Flora sangat menyukai Anda. Bagi kami,
Anda seakan-akan seorang kawan lama, walaupun kami baru mengenal Anda dengan
baik selama lebih dari dua tahun."
Kefasihannya berbicara terputus ketika pintu kamar tamu sekali lagi dibuka. Aku
senang sekali atas gangguan ini. Aku amat membenci turut campur tangan dalam
urusan orang lain, dan aku sama sekali tidak bermaksud mendengarkan pendapat
Ackroyd, mengenai penetapan soal-soal keuangan atas nama Flora. Tanpa adanya
gangguan itu, terpaksa pada saat berikutnya aku harus memberitahu Nyonya Ackroyd
akan pendapatku ini. "Anda mengenal Mayor Blunt bukan, Dokter?"
"Ya, betul," jawabku.
Banyak orang mengenal Hector Blunt - sekurang-kurangnya pernah mendengar
reputasinya. Aku kira ia telah menembak binatang-binatang buas lebih banyak
daripada orang lain, di tempat-tempat yang rasanya tidak masuk akal. Bilamana
namanya disebut, orang akan langsung bertanya, "Blunt - Anda maksudkan si
pemburu yang terkenal itu?"
Persahabatannya dengan Ackroyd selalu agak mengherankanku. Kedua laki-laki itu
bertabiat lain sama sekali. Hector Blunt mungkin berumur lima tahun lebih muda
dari Ackroyd. Mereka berkenalan ketika kedua-duanya masih muda. Dan walaupun
jalan hidup mereka berbeda, persahabatan mereka tetap bertahan. Kira-kira dua
tahun sekali Blunt menginap di Fernly selama dua minggu. Sebuah kepala binatang
yang besar, yang mengherankan orang karena tanduknya yang banyak memandangmu
dengan pandangan yang dingin begitu kau masuk pintu muka. Barang ini merupakan
suatu peringatan yang permanen dari persahabatan mereka.
Blunt memasuki ruangan dengan langkahnya yang khas, langkah yang hati-hati dan
pelan. Ia adalah seorang laki-laki yang sedang tingginya, bertubuh kekar dan
agak gemuk. Warna kulit mukanya hampir menyerupai warna kayu mahoni, dan tidak
menunjukkan ekspresi apa-apa. Matanya yang kelabu seakan-akan memandang sesuatu
yang sedang terjadi di kejauhan. Ia berbicara sedikit sekali, dan apa yang
dikatakannya terdengar sebagai bentakan, seolah-olah kata-kata itu ditarik ke
luar di luar keinginannya.
Sekarang ia berkata, "Apa kabar, Sheppard?" dengan nada pendek, lalu berdiri di
muka perapian dan melihat melalui kepala kami ke suatu tempat di Timbuctoo,
seakan-akan sesuatu yang menarik sedang terjadi di sana.
"Mayor Blunt," Flora menyarankan, "saya harap Anda mau menerapkan pada saya
mengenai benda-benda dari Afrika ini. Saya yakin Anda mengetahui segala-galanya
mengenai ini." Aku pernah mendengar orang mengatakan bahwa Hector Blunt adalah seorang yang
membenci wanita. Tetapi sekarang aku memperhatikan bahwa ia menemani Flora
dengan sikap yang boleh dikatakan cekatan sekali. Mereka bersama-sama membungkuk
di atas meja perak. Aku sudah takut sekali kalau-kalau Nyonya Ackroyd sekali lagi membicarakan soal
keuangan, maka aku segera mulai membicarakan kacang polong manis yang baru mulai
beredar. Aku tahu bahwa ada semacam kacang-kacangan baru yang manis rasanya,
karena aku telah membacanya di harian Daily Mail tadi pagi. Nyonya Ackroyd tidak
tahu apa-apa tentang soal-soal berkebun, tetapi ia seorang wanita yang selalu
ingin dikatakan mempunyai pengetahuan umum yang luas. Lagipula ia juga membaca
harian Daily Mail. Kami membicarakan soal ini dengan intelijen sekali sampai
Ackroyd dan sekretarisnya datang menemui kami. Segera setelah itu, Parker
memberitahukan bahwa makan malam sudah siap.
Aku duduk di antara Nyonya Ackroyd dan Flora. Blunt duduk di sisi lainnya dari
Nyonya Ackroyd, dan Geoffrey Raymond duduk di sebelahnya.
Suasana pada makan malam ini tidak begitu menggembirakan. Ackroyd tampaknya
sedang memikirkan sesuatu. Ia kelihatan sedih, dan hampir-hampir tidak makan
sama sekali. Nyonya Ackroyd, Raymond dan aku menjaga agar percakapan berjalan
lancar. Flora tampaknya terpengaruh oleh kemurungan pamannya, sedangkan Blunt
menjadi pendiam lagi seperti biasa.
Segera setelah makan malam selesai, Ackroyd menggandeng lenganku dan menuntunku
ke kamar kerjanya. "Setelah kita minum kopi, kita tidak akan diganggu lagi," katanya menerangkan.
"Aku sudah memberitahu Raymond supaya kita tidak diganggu."
Dengan diam-diam aku memperhatikannya. Nyata sekali kalau ia sedang dipengaruhi
oleh suatu kejadian yang sangat mengejutkannya. Selama satu dua menit ia
berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Ketika Parker masuk membawa kopi, ia
merosot duduk dalam sebuah kursi tangan di muka perapian.
Kamar kerja Ackroyd sangat menyenangkan. Salah satu dindingnya ditutupi rak-rak
buku. Kursi-kursinya besar dan dilapisi dengan kulit berwarna biru tua. Sebuah
meja tulis besar ditaruh di dekat jendela, dan penuh dengan kertas-kertas yang
disusun dan disimpan dengan rapi. Di atas sebuah meja diletakkan bermacam-macam
majalah dan laporan-laporan olahraga.
"Belakangan ini rasa sakit itu timbul kembali setiap habis makan," kata Ackroyd
dengan tenang sambil menuang kopi. "Sebaiknya kauberikan aku lagi tablet-
tabletmu itu." Aku memperhatikan seolah-olah ia ingin memberikan kesan bahwa pembicaraan kami
adalah mengenai kesehatannya. Aku ikut memainkan perananku.
"Sudah kusangka. Aku ada membawanya bersamaku."
"Bijaksana sekali. Berikanlah padaku sekarang juga."
"Obat itu ada di dalam tasku di ruang muka Aku akan mengambilnya."
Ackroyd mencegahku. "Jangan repot-repot. Parker akan mengambilnya. Tolong ambilkan tasnya Dokter,
Parker?" "Baik, Tuan." Parker mengundurkan diri. Baru saja aku mau mulai berbicara, tatkala Ackroyd
dengan cepat mengangkat tangannya.
"Nanti dulu. Tunggu. Tidakkah kaulihat bahwa aku sedang bingung sekali, sehingga
tidak dapat menguasai diriku sendiri?"
Aku melihatnya jelas sekali. Dan aku merasa amat gelisah. Segala macam firasat
menyerangku. Ackroyd segera berbicara lagi.
"Yakinkanlah jendela itu sudah tertutup betul," perintahnya.
Dengan heran aku berdiri dan memeriksanya. Jendela yang satu ini bukanlah
jendela besar, tetapi jendela biasa yang memakai tali jendela. Gorden beludru
biru menutup jendela tersebut, tetapi terbuka di bagian atasnya.
Parker masuk kembali membawa tasku, sementara aku masih berdiri di muka jendela.
"Segalanya beres," aku memberitahukan sambil masuk kembali di ruangan tersebut.
"Kau telah memalangnya?"
"Sudah, sudah! Ada apa denganmu, Ackroyd?"
Aku mengajukan pertanyaan ini setelah pintu ditutup di belakang Parker.
Ackroyd menunggu sesaat sebelum menjawab.
"Rasanya seakan aku sedang berada di dalam neraka," keluhnya setelah sesaat.
"Tidak, jangan repot-repot dengan obat sialan itu. Aku hanya mengatakannya untuk
didengar oleh Parker. Pembantu selalu ingin tahu semuanya. Ke mari dan duduklah.
Pintu juga sudah dikunci, bukan?"
"Sudah. Tak seorang pun dapat mendengar; jangan bingung."
"Sheppard, tidak satu orang pun tahu apa yang telah kualami dalam dua puluh
empat jam terakhir. Ibarat sebuah rumah yang runtuh di sekeliling si empunya,
demikian jugalah yang telah terjadi dengan diriku. Urusan dengan Ralph merupakan
sesuatu yang benar-benar keterlaluan. Tetapi kita tidak akan membicarakannya
sekarang. Yang menjadi persoalan sekarang ialah yang lain itu - yang lainnya - !


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dan aku harus secepatnya mengambil
keputusan." "Apa persoalannya?"
Ackroyd berdiam diri satu dua menit. Tetapi aneh sekali, tampaknya ia segan
menceritakannya. Ketika akhirnya ia berbicara, pertanyaan yang diajukannya sama
sekali di luar dugaanku. Yaitu mengenai soal yang sama sekali tidak kusangka.
"Sheppard, kau menolong Ashley Ferrars ketika ia terakhir kali sakit, bukan?"
"Betul." Kelihatannya ia lebih susah lagi mencari kata-kata yang tepat untuk
pertanyaan berikutnya. "Tidak pernahkah kau mencurigai - pernahkah kaupikirkan - bahwa - yah, ia telah
diracuni?" Aku berdiam diri sejenak, lalu memutuskan apa yang akan kukatakan. Roger Ackroyd
bukanlah Caroline. "Aku akan menceritakan keadaan yang sebenarnya," jawabku. "Pada saat itu aku
sama sekali tidak curiga, tetapi kemudian, yang membuatku berpikir untuk pertama
kalinya adalah ucapan kakakku yang iseng. Sejak saat itu aku selalu
memikirkannya. Tetapi ingat, aku sama sekali tidak mempunyai alasan untuk
kecurigaanku itu." "Ia memang telah diracuni," sahut Ackroyd.
Ia berbicara dengan suara yang letih.
"Oleh siapa?" tanyaku dengan tajam.
"Oleh isterinya."
"Bagaimana kau mengetahuinya?"
"Ia sendiri yang mengatakannya padaku."
"Kapan?" "Kemarin! Tuhanku! Kemarin! Rasanya seakan-akan sudah sepuluh tahun yang lalu."
Aku menunggu sebentar, kemudian ia melanjutkan lagi.
"Kau mengerti, Sheppard, kuceritakan ini padamu secara rahasia. Ucapanku ini
tidak boleh diteruskan kepada orang lain. Aku membutuhkan nasihatmu - aku tidak
sanggup menanggung beban ini seorang diri. Seperti yang telah kukatakan tadi,
aku tak tahu apa yang harus kulakukan."
"Dapatkah kau menceritakan semuanya kepadaku?" Aku menyarankan. "Aku masih belum
mengerti. Mengapa Nyonya Ferrars mengakui ini padamu?"
"Begini persoalannya. Tiga bulan yang lalu, aku telah minta Nyonya Ferrars untuk
kawin denganku. Ia menolak. Aku minta sekali lagi, dan ia menyetujui. Tetapi ia
menolak pertunangan ini diumumkan sebelum masa berkabungnya selama setahun
lewat. Kemarin aku mendatanginya dan mengingatkan bahwa setahun lebih tiga
minggu telah lewat sejak kematian suaminya. Tidak ada alasan lagi untuk
berkeberatan atas diumumkannya pertunangan tersebut. Aku telah memperhatikan
bahwa tingkah lakunya selama beberapa hari terakhir ini aneh sekali. Dan
sekarang, tiba-tiba, tanpa memperlihatkan tanda sedikit pun sebelumnya, ia tidak
dapat menguasai dirinya dan menangis tersedu-sedu. Ia - ia menceritakan
segalanya padaku. Rasa bencinya terhadap suaminya yang kejam, cintanya yang
semakin besar untukku, dan - cara mengerikan yang telah diambilnya. Racun! Ya
Tuhan! Ini adalah pembunuhan yang kejam."
Kulihat rasa ngeri dan jijik terbayang di wajah Ackroyd. Dan Nyonya Ferrars
pasti telah melihatnya juga. Ackroyd, bukanlah seorang kekasih yang dapat
memaafkan segala-galanya demi cintanya. Pada dasarnya ia seorang warga negara
yang baik. Semua akal sehat dan rasa patuh terhadap hukum yang ada dalam
dirinya, pada saat itu telah mengubah perasaannya terhadap Nyonya Ferrars,
ketika Nyonya itu membuka rahasianya.
"Ya," ia meneruskan dengan suara rendah dan monoton, "ia mengakui segalanya. Dan
rupanya ada juga orang lain yang mengetahuinya - seorang yang memerasnya dan
menuntut uang dalam jumlah yang besar. Tekanan inilah yang telah membuatnya
hampir gila." "Siapa orangnya?"
Sekonyong-konyong di hadapan mataku muncul bayangan Ralph Paton dan Nyonya
Ferrars yang sedang berjalan berdampingan. Kepala mereka berdekatan sekali.
Untuk sesaat aku merasa cemas. Barangkali - oh! Tetapi pasti itu tidak mungkin
terjadi. Aku ingat akan sikapnya yang terbuka ketika ia menyambutku sore tadi.
Mustahil. "Ia tidak mau menyebutkan nama orang itu padaku," jawab Ackroyd dengan lambat.
"Bahkan sebenarnya ia sama sekali tidak menyatakan kalau pemerasnya adalah
seorang laki-laki. Tetapi tentu saja - "
"Tentu saja," aku menyetujui. "Pemerasnya pasti seorang laki-laki. Dan apakah
kau sama sekali tidak mencurigai seseorang?"
Sebagai jawaban Ackroyd mengerang dan memegang kepalanya dengan kedua belah
tangannya. "Rasanya tidak mungkin," keluhnya. "Mungkin aku sudah gila, menyangka seseorang
berbuat hal seperti itu. Tidak, aku tidak mau mengatakannya padamu. Kecurigaan
gila yang timbul dalam pikiranku ini. Tetapi aku akan memberitahukan satu hal
padamu. Sesuatu yang dikatakannya memberi kesan padaku bahwa si pemeras itu
adalah salah satu dari antara anggota rumah tanggaku sendiri - tetapi rasanya
tidak mungkin. Pasti aku salah dengar."
"Apa yang kaukatakan padanya?" tanyaku.
"Apa yang dapat kukatakan" Tentu saja ia melihat betapa terkejutnya aku
mendengar semua ini. Lalu timbul pertanyaan, apa kewajibanku dalam hal ini"
Karena, kau mengerti, ia telah melibatkan diriku menjadi kaki tangannya, sejak
ia memberitahukan kejadian ini padaku. Ia menyadari hal ini lebih cepat daripada
aku. Aku terkejut sekali. Ia minta waktu dua puluh empat jam padaku - dan
memaksaku untuk berjanji tidak akan berbuat apa-apa sebelum dua puluh empat jam
itu lewat. Dan ia tetap tidak mau memberitahukan nama bajingan yang telah
memerasnya itu. Aku rasa ia takut kalau aku langsung menemui orang itu dan
menghantamnya. Dan bagi dirinya, hal ini akan berarti nasi telah menjadi bubur.
Ia juga mengatakan padaku, bahwa aku akan mendapat kabar darinya sebelum dua
puluh empat jam itu lewat. Tuhanku! Aku bersumpah, Sheppard, aku tidak pernah
memikirkan apa yang hendak dilakukannya. Bunuh diri! Dan akulah yang
menyebabkannya." "Tidak, tidak," bantahku. "Jangan terlalu melebih-lebihkan keadaan. Kematiannya
bukanlah tanggung jawabmu."
"Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang harus kulakukan sekarang" Wanita yang
malang itu sudah meninggal. Mengapa kita harus membongkar apa yang telah lewat?"
"Aku sependapat denganmu," jawabku.
"Tetapi ada satu persoalan lagi. Bagaimana aku bisa menangkap bajingan yang
telah menyebabkan kematiannya, seakan-akan ia sendirilah yang telah membunuhnya.
Orang itu mengetahui kejahatan yang telah dilakukan Nyonya Ferrars, dan ia
seperti seekor burung pemakan bangkai, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
Nyonya Ferrars telah menjalankan hukumannya. Lalu apakah orang itu akan
dibebaskan tanpa hukuman?"
"Aku mengerti maksudmu," jawabku dengan lambat. "Kau mau mengejarnya" Sadarkah
kau bahwa hal ini akan menimbulkan banyak sekali publisitas?"
"Ya, aku telah memikirkannya. Aku telah memikirkannya bulak balik."
"Aku sependapat denganmu bahwa bangsat itu harus dihukum, tetapi akibatnya
haruslah diperhitungkan juga."
Ackroyd bangkit dan berjalan mondar-mandir. Tetapi lalu segera duduk kembali di
kursinya. "Begini saja, Sheppard, bagaimana kalau kita biarkan saja dahulu persoalan ini.
Bilamana tidak ada berita darinya, kita biarkan saja keadaan seperti sekarang
ini." "Apa maksudmu dengan kabar dari dia?" tanyaku dengan rasa ingin tahu.
"Aku mempunyai perasaan yang sangat kuat, bahwa ia telah meninggalkan pesan
untukku, entah di mana atau bagaimana - sebelum ia pergi. Aku tidak dapat
memperdebatkan hal ini, tetapi demikianlah perasaanku."
Aku menggelengkan kepalaku.
"Ia tidak meninggalkan surat atau pesan apa pun?" tanyaku dengan ingin tahu.
"Sheppard, aku yakin ia telah melakukannya. Dan perasaanku mengatakan bahwa ia
sengaja memilih untuk mati. Ia ingin segalanya menjadi terang, walaupun hanya
untuk membalas dendam pada orang yang telah membuatnya putus asa. Dan aku
percaya, kalau saja aku dapat bertemu dengannya saat itu, ia akan
memberitahukanku nama orang itu. Dan menyuruhku mengejar orang itu sebisa-
bisaku." Ackroyd memandangku. "Apakah kau tidak percaya akan kesan-kesan yang kaudapat?"
"Oh ya, tentu saja aku mempercayainya dalam batas-batas tertentu. Bilamana,
menggunakan istilahmu. akan datang pesan dari Nyonya Ferrars - "
Aku tidak menyelesaikan kalimatku. Pintu terbuka tanpa menimbulkan suara, dan
Parker masuk membawa nampan dengan beberapa surat di atasnya.
"Kiriman pos sore ini, Tuan," katanya sambil memberikan nampan pada Ackroyd.
Kemudian dikumpulkannya cangkir-cangkir kopi lalu keluar.
Perhatianku yang telah dialihkan sebentar, kembali lagi pada Ackroyd. Dengan
kaku, seakan-akan telah berubah menjadi patung, ia menatap sebuah amplop panjang
berwarna biru. Surat-surat yang lain dijatuhkannya di atas lantai.
"Tulisan tangannya," bisiknya. "Tentu ia keluar dan memasukkannya dalam pos
kemarin malam, sesaat sebelum - sebelum - "
Ackroyd merobek amplop itu dan mengeluarkan sebuah lampiran yang tebal. Lalu ia
memandangku dengan tajam.
"Kau yakin kalau kau sudah mengunci jendela itu?" tanyanya.
"Yakin sekali," jawabku dengan heran. "Mengapa?"
"Sepanjang sore ini aku mempunyai perasaan seakan-akan aku sedang diawasi,
dimata-matai. Apa itu - "
Ia berbalik dengan cepat, demikian pula aku. Kami berdua mendapat kesan seakan-
akan pegangan pintu bergerak sedikit. Aku melangkah ke arah pintu dan
membukanya. Tidak ada seorang pun di sana.
"Syaraf," gumam Ackroyd pada dirinya sendiri.
Ia membuka lampiran yang tebal itu dan membacanya dengan keras dengan suara yang
rendah. "Kekasihku, kekasihku Roger yang amat kusayangi, - jiwa diganti dengan jiwa. Aku
menyadari hal ini - aku melihatnya pada wajahmu sore tadi. Maka aku akan
mengambil jalan satu-satunya yang masih terbuka untukku. Kuserahkan padamu untuk
menghukum orang yang telah membuat hidupku selama satu tahun terakhir ini
bagaikan neraka di dunia. Aku tidak bersedia menyebutkan namanya padamu sore
tadi, tetapi aku bermaksud untuk mengatakannya padamu sekarang. Aku tidak
mempunyai anak atau keluarga dekat yang harus dilindungi namanya, maka janganlah
takut akan publisitas. Kalau kau sanggup. Roger, kekasihku yang sangat
kusayangi, maafkanlah kesaksianku yang sedianya akan kulakukan terhadapmu.
Tetapi setelah saatnya tiba, akhirnya aku tidak dapat melaksanakannya...."
Jari-jari tangan Ackroyd yang memegang kertas untuk membalikkannya, tiba-tiba
terhenti. "Maafkan aku, Sheppard, tetapi aku harus membaca surat ini seorang diri,"
katanya dengan suara bergetar. "Surat ini dimaksudkan untuk mataku, hanya untuk
mataku." Dimasukkannya surat itu ke dalam amplop, dan menaruhnya di atas meja.
"Nanti saja, bila aku sendirian."
"Tidak," teriakku menurutkan hati, "bacalah sekarang juga."
Ackroyd memandangku dengan keheran-heranan.
"Maaf," kataku dengan muka merah. "Maksudku bukan supaya kau membacakannya
dengan keras padaku. Tetapi bacalah terus selagi aku masih ada di sini."
Ackroyd menggelengkan kepalanya.
"Tidak, lebih baik aku tunggu."
Tetapi entah mengapa, aku sendiri tidak tahu, aku terus mendesaknya.
"Paling tidak, bacalah nama orang itu," saranku.
Ackroyd adalah orang yang keras kepala. Semakin orang mendesaknya melakukan
sesuatu, semakin kuat keputusannya untuk tidak melakukannya. Semua yang
kukatakan sia-sia belaka.
Surat itu diantar pukul sembilan kurang dua puluh menit. Ketika aku meninggalkan
Ackroyd, jam menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit, dan surat itu
masih belum terbaca. Aku memegang pegangan pintu dengan bimbang. Aku menoleh ke belakang dan
bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang lupa kulakukan. Aku tak tahu apa lagi
yang belum kulakukan. Sambil menggelengkan kepala aku keluar dan menutup pintu
di belakangku. Aku terkejut melihat Parker di sana. Ia tampak malu dan timbul dalam pikiranku
bahwa mungkin ia baru saja mendengarkan pembicaraan kami di dekat pintu.
Sinar matanya licik, dan betapa gemuk dan berminyak wajahnya yang penuh rasa
puas akan dirinya sendiri.
"Tuan Ackroyd tidak mau diganggu sama sekali," ujarku dengan suara dingin. "Ia
menyuruhku mengatakannya padamu."
"Baik sekali, Tuan. Saya kira - saya kira saya mendengar bel berbunyi tadi."
Alasannya nyata-nyata tidak masuk akal, sehingga aku tidak membuang-buang waktu
untuk menjawabnya. Parker berjalan mendahuluiku menuju ruang muka, lalu
menolongku mengenakan jas. Kemudian aku melangkah ke luar, ke dalam malam yang
gelap. Bulan tertutup oleh awan, dan segala-galanya tampak gelap dan sepi
sekali. Lonceng gereja desa berbunyi sembilan kali ketika aku keluar melalui pintu pagar
Fernly Park. Aku membelok ke kiri menuju ke desa, dan hampir saja bertabrakan
dengan seorang laki-laki yang datang dari arah yang berlawanan.
"Tuan, apakah jalan ini menuju ke Fernly Park?" orang asing itu bertanya dengan
suara serak. Aku memandangnya. Ia mengenakan topi yang ditarik ke bawah sehingga menutupi
sebagian dari matanya, dan leher jasnya dinaikkan. Aku hampir-hampir tidak dapat
melihatnya, tetapi rupanya ia masih muda. Suaranya yang terdengar kasar
menunjukkan bahwa ia tidak berpendidikan.
"Ini pagar rumahnya," aku memberitahukan.
"Terima kasih, Tuan." Ia berhenti sebentar dan menambahkan sesuatu yang kurang
perlu, "Saya masih asing di sini."
Orang itu meneruskan perjalanannya dan sedang melalui pintu pagar, ketika aku
berpaling mengawasinya. Satu hal yang aneh adalah, suaranya mengingatkanku akan suara seseorang yang
kukenal, tetapi tidak dapat kuingat.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah tiba kembali di rumah. Caroline ingin sekali
mengetahui mengapa aku pulang begitu cepat, sehingga aku harus mengarang sebuah
cerita mengenai apa yang telah terjadi sore tadi, untuk memuaskan hatinya. Dalam
hati aku merasakan bahwa ia mengetahui kebohonganku.
Pada pukul sepuluh malam, aku bangkit dari kursi sambil menguap. Lalu kuusulkan
supaya kami pergi tidur. Caroline menurut.
Hari ini hari Jum'at, dan setiap Jum'at malam sebagaimana biasa aku mengunci
lonceng-lonceng, sedangkan Caroline memeriksa apakah pembantu-pembantu telah
mengunci pintu dapur dengan baik.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat seperempat ketika kami menaiki tangga
menuju kamar masing-masing. Aku baru saja tiba di atas, ketika telepon berdering
di ruang muka di lantai bawah.
"Nyonya Bates," Caroline langsung menebak.
"Kukira begitu," jawabku kesal.
Aku berlari menuruni tangga dan mengangkat pesawat telepon.
"Apa?" seruku. "Apa" Tentu, saya akan segera datang." Aku berlari ke atas,
kuraih tasku dan kumasukkan beberapa rol perban ke dalamnya.
"Parker yang menelepon," teriakku pada Caroline, "dari Fernly. Mereka baru saja
menemukan Roger Ackroyd. Ia telah dibunuh."
Bab 5 PEMBUNUHAN DENGAN cepat kukeluarkan mobil dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi ke
Fernly. Aku melompat ke luar dan menarik bel dengan tidak sabar. Tidak ada yang
menjawab. Sekali lagi kutarik bel.
Lalu kudengar bunyi rantai dilepaskan, dan dengan wajah tenang dan sama sekali
tidak bingung, Parker berdiri di depan pintu.
Aku menerobos melewatinya dan masuk ke ruang muka.
"Di mana dia?" tanyaku dengan tajam.
"Maaf, Tuan, saya kurang mengerti."
"Majikanmu. Tuan Ackroyd. Jangan hanya berdiri saja di sana dan memandang saya
seperti patung. Kau sudah melaporkannya kepada polisi?"
"Polisi, Tuan" Apakah Anda menyebut polisi?" Parker menatapku seakan-akan
melihat hantu. "Ada apa denganmu, Parker" Bilamana, seperti yang kaukatakan tadi, majikanmu
telah dibunuh - " Parker terdengar menahan napasnya.
"Majikan saya" Dibunuh" Tidak mungkin, Tuan."
Sekarang giliranku untuk menatapnya.
"Bukankah kau telah menelepon aku, belum ada lima menit yang lalu" Dan kau
mengatakan bahwa Tuan Ackroyd ditemukan dalam keadaan terbunuh."
"Saya, Tuan" Oh! Sama sekali tidak, Tuan. Saya tidak akan pernah melakukan hal


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti itu." "Apakah kau hendak mengatakan bahwa semua ini hanya olok-olok saja" Bahwa tidak
ada sesuatu yang terjadi dengan Tuan Ackroyd?"
"Maafkan, Tuan, apakah orang yang menelepon itu menggunakan nama saya?"
"Akan saya ulangi dengan tepat kata-kata yang saya dengar. 'Apakah itu Dokter
Sheppard" Ini Parker, kepala pelayan dari Fernly. Dapatkah Anda datang dengan
segera, Tuan" Tuan Ackroyd telah dibunuh!'"
Parker dan aku saling berpandangan dengan pandangan kosong.
"Lelucon yang jahat sekali, Tuan," akhirnya ia berkata dengan terkejut. "Aneh
sekali, mengatakan sesuatu semacam itu."
"Di mana Tuan Ackroyd?" tanyaku tiba-tiba.
"Saya rasa masih di dalam kamar kerja, Tuan. Para wanita sudah pergi tidur,
sedangkan Mayor Blunt dan Tuan Raymond masih di ruang bilyar."
"Aku kira, sebaiknya aku masuk dan melihatnya sebentar," kuputuskan. "Aku tahu,
ia tidak mau diganggu lagi, tetapi lelucon yang aneh ini membuat perasaanku
tidak enak. Aku hanya mau memastikan bahwa ia sungguh tidak apa-apa."
"Baik sekali, Tuan. Saya sendiri juga merasa kurang enak. Apakah Anda tidak
berkeberatan, Tuan, bila saya menemani Anda sejauh pintu - ?"
"Sama sekali tidak," jawabku. "Mari ikut."
Dengan dibuntuti oleh Parker, aku memasuki pintu di sebelah kananku. Kami
melalui ruang masuk kecil, di mana terdapat sebuah tangga yang sempit yang
menuju ke loteng. Di situ terletak kamar kerja Ackroyd. Kami mengetuk pintu
kamar kerjanya. Tidak ada jawaban. Kuputar pegangan pintu, tetapi pintu ternyata terkunci.
"Ijinkan saya, Tuan," Parker mengajukan diri.
Dengan gesit sekali untuk ukuran seorang laki-laki seperti dia, Parker berlutut
dan menempelkan matanya pada lubang kunci.
"Kuncinya ada di dalam lubang kunci, Tuan," katanya sambil berdiri. "Dikunci
dari dalam. Rupanya Tuan Ackroyd telah mengunci dirinya sendiri dalam kamar,
lalu tertidur." Aku membungkuk dan membuktikan sendiri keterangan Parker.
"Kelihatannya semua beres," kataku, "tetapi bagaimanapun juga, Parker, akan
kubangunkan majikanmu. Aku tidak dapat pulang kalau belum mendengar dari
mulutnya sendiri bahwa ia baik-baik saja."
Sambil berkata demikian kuputar-putar pegangan pintu dan berseru, "Ackroyd,
Ackroyd, bukakan pintu sebentar."
Tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku menoleh ke belakang.
"Aku tidak mau menakutkan seluruh isi rumah," ujarku dengan bimbang.
Parker berjalan ke pintu gang besar yang kami lalui tadi lalu menutupnya.
"Saya rasa mereka tidak akan mendengar sekarang, Tuan. Ruang bilyar terletak di
sisi lain rumah ini, demikian juga dapur dan kamar-kamar wanita."
Aku mengangguk tanda mengerti. Lalu sekali lagi kugedor pintu, dan sambil
membungkuk aku berteriak melalui lubang kunci.
"Ackroyd, Ackroyd! Ini Sheppard. Biarkan aku masuk."
Tetapi suasana tetap sunyi. Tidak ada tanda kehidupan dari dalam ruangan yang
terkunci itu. Parker dan aku saling berpandangan.
"Coba dengar, Parker," perintahku, "aku akan mendobrak pintu ini - atau lebih
tepat lagi, kita berdua akan mendobraknya. Aku yang akan bertanggung jawab."
"Kalau menurut pendapat Anda, itu yang sebaiknya dilakukan, terserah pada Anda,
Tuan," jawab Parker dengan bimbang.
"Menurut pendapatku, itulah yang sebaiknya kita lakukan. Aku sangat khawatir
akan Tuan Ackroyd." Aku melihat sekeliling ruang masuk yang kecil itu, lalu mengangkat sebuah kursi
besar yang terbuat dari kayu eik. Berdua kami mengangkatnya dan maju menyerang.
Satu, dua dan tiga kali kami melemparkannya ke pintu. Pada hantaman yang ketiga
kali pintu terbuka, dan dengan terhuyung-huyung kami masuk ke ruangan Ackroyd.
Ackroyd masih dalam keadaan duduk di kursi tangan di depan perapian. Tidak
ubahnya seperti pada waktu aku meninggalkannya tadi. Kepalanya menunduk miring.
Tepat di bawah leher jasnya terlihat jelas tertancap sepotong logam yang
mengkilat. Parker dan aku maju perlahan-lahan sampai kami berdiri membungkuk di atas tubuh
yang terlentang itu. Kudengar si kepala pelayan menahan napas dengan tajam.
"Ditikam dari belakang," gumamnya. "Mengerikan!"
Dengan sapu tangan dihapusnya keringat yang membasahi dahinya, lalu dengan
takut-takut diulurkannya tangannya ke gagang pisau.
"Jangan kausentuh itu," seruku dengan tajam. "Cepat pergi dan telepon kantor
polisi. Beritahukan mereka apa yang telah terjadi. Lalu ceritakan pada Tuan
Raymond dan Mayor Blunt."
"Baik, Tuan." Parker segera berlalu sambil tetap menghapus dahinya yang berkeringat.
Aku mengerjakan apa yang masih dapat kulakukan, dan berhati-hati supaya tidak
mengubah posisi tubuh, dan untuk tidak menyentuh gagang pisau. Tak ada sesuatu
pun yang boleh disentuh atau dipindahkan. Jelas sekali bahwa Ackroyd sudah
meninggal selama beberapa waktu.
Kemudian kudengar suara Raymond di luar, penuh rasa ngeri dan tidak percaya.
"Apa yang kaukatakan" Oh! tidak mungkin! Di mana dokter itu?"
Dengan tidak sabar Raymond muncul di ambang pintu, lalu berhenti dengan muka
pucat pasi. Tangan seseorang mendorongnya ke samping dan Hector Blunt menerobos
masuk ke dalam ruangan. "Ya Allah," Raymond berseru di belakangnya, "kalau begitu ini bukan omong
kosong." Blunt terus melangkah ke kursi, lalu membungkuk di atas tubuh si korban. Dan
sebagaimana juga Parker, aku khawatir ia akan memegang gagang pisau. Dengan satu
tangan aku menariknya kembali.
"Tidak ada sesuatu pun yang boleh dipindahkan," kuterangkan. "Polisi harus
melihatnya dalam posisi seperti sekarang."
Blunt segera mengerti dan mengangguk. Wajahnya seperti biasa tidak
memperlihatkan perasaan apa pun. Tetapi rasanya aku dapat melihat perasaan
hatinya yang membayang di balik penampilannya yang pendiam. Geoffrey Raymond
mendatangi kami dan mengintip melalui bahu Blunt ke tubuh si korban.
"Kejadian ini mengerikan sekali," katanya dengan suara rendah.
Anak muda itu telah dapat menguasai dirinya lagi, tetapi kulihat tangannya
gemetar ketika ia melepaskan serta menggosok kaca mata yang biasa dipakainya.
"Perampokan, saya rasa," katanya. "Dari mana orang itu masuk" Lewat jendela"
Adakah sesuatu yang dicuri?"
Ia menuju ke meja tulis. "Apakah menurut pendapatmu, kejadian ini adalah suatu perampokan?" tanyaku
dengan lambat. "Apa lagi kalau bukan perampokan" Saya kira tidak ada persoalan bunuh diri dalam
hal ini, bukan?" "Tak seorang pun dapat menikam dirinya sendiri dengan cara demikian," kuputuskan
dengan penuh keyakinan. "Ini benar-benar pembunuhan. Tetapi apa motifnya?"
"Roger sama sekali tidak mempunyai musuh di dunia ini," kata Blunt dengan
tenang. "Tidak salah lagi, ini adalah perampokan. Tetapi apakah yang dicari oleh
pencuri itu" Adakah sesuatu yang telah dibongkar?"
Ia melihat ke sekeliling ruangan. Raymond masih sibuk memeriksa kertas-kertas di
meja tulis. "Kelihatannya tidak ada apa-apa yang hilang. Dan laci-laci tidak memperlihatkan
tanda-tanda telah dibuka dengan paksa," sekretaris itu memperhatikan. "Aneh
sekali." Blunt menggerakkan kepalanya sedikit.
"Di sini ada beberapa buah surat di lantai," ujarnya. Aku melihat ke bawah. Tiga
atau empat buah surat masih tergeletak di lantai, di mana Ackroyd menjatuhkannya
tadi sore. Tetapi amplop biru yang memuat surat Nyonya Ferrars telah hilang. Aku baru mau
membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, ketika bel pintu berbunyi dengan keras.
Terdengar suara-suara bergumam di gang, lalu Parker muncul bersama inspektur
polisi setempat serta seorang petugas polisi lain.
"Selamat malam, Tuan-tuan," inspektur itu menyapa. "Saya menyesal sekali atas
kejadian ini! Tuan Ackroyd seorang laki-laki yang baik dan ramah. Kepala pelayan
mengatakan bahwa beliau telah dibunuh. Mungkinkah kejadian ini merupakan suatu
kecelakaan atau bunuh diri, Dokter?"
"Sama sekali tidak mungkin," jawabku.
"Ah! Kejadian yang buruk sekali."
Inspektur itu datang dan memperhatikan tubuh si korban.
"Apakah ia tidak disentuh sama sekali?" tanyanya dengan suara tajam.
"Saya hanya memastikan bahwa korban sudah mati terbunuh - suatu hal yang mudah
sekali dilakukan - selain itu saya sama sekali tidak mengganggu letak tubuh
korban." "Ah! Dan segala sesuatu menunjukkan si pembunuh telah melarikan diri dengan
selamat - yaitu, untuk sementara waktu. Dan sekarang, ceritakanlah pada saya
segala-galanya. Siapa yang menemukan korban?"
Aku menerangkan kejadian ini dengan hati-hati.
"Suatu panggilan melalui telepon, Anda katakan" Dari si kepala pelayan?"
"Suatu panggilan yang tak pernah saya lakukan," sangkal Parker dengan sungguh-
sungguh. "Saya sama sekali tidak berada di sekitar telepon sepanjang malam.
Orang-orang lain di rumah ini dapat membuktikan bahwa saya tidak melakukannya."
"Aneh sekali. Apakah suara orang itu kedengarannya seperti suara Parker,
Dokter?" "Yah - saya tidak memperhatikannya. Saya hanya menganggap bahwa dialah yang
menelepon saya." "Tentu saja. Jadi, Anda lalu datang ke mari, mendobrak pintu dan menemukan Tuan
Ackroyd yang malang dalam keadaan seperti ini. Menurut pendapat Anda, sudah
berapa lama ia meninggal, Dokter?"
"Sedikit-dikitnya sudah setengah jam - mungkin lebih," aku menentukan.
"Dan Anda mengatakan bahwa pintu dikunci dari dalam" Dan bagaimana dengan
jendelanya?" "Saya sendiri yang menutup dan menguncinya tadi sore atas permintaan Tuan
Ackroyd." Si inspektur melangkah ke jendela dan membuka gordennya.
"Tetapi sekarang jendela itu terbuka," ia mengatakan.
Dan memang benar, jendela dalam keadaan terbuka, dan tali jendela bagian bawah
telah tertarik naik sama sekali.
Inspektur itu mengeluarkan lampu senter kecil dan menyinari lubang jendela
sebelah luar. "Orang itu keluar melalui jendela ini," ia menetapkan, "dan masuknya juga. Lihat
ini." Dengan pertolongan sinar lampu senter yang terang, dapat dilihat dengan nyata
beberapa jejak kaki yang jelas sekali. Tampaknya si pembunuh memakai sepatu
bersol karet. Salah satu jejak kaki, jelas sekali mengarah ke dalam, sedangkan
jejak lainnya menutupinya sedikit, tetapi mengarah ke luar.
"Jelas sekali," inspektur itu mengatakan. "Adakah barang-barang berharga yang
hilang?" Geoffrey Raymond menggelengkan kepalanya.
"Sampai sejauh ini kami belum kehilangan apa pun. Tuan Ackroyd tidak pernah
menyimpan barang berharga dalam ruangan ini."
"Hmm," inspektur itu menggumam. "Seseorang menemukan sebuah jendela yang
terbuka. Ia memanjat masuk, melihat Tuan Ackroyd duduk di situ - mungkin ia
tertidur. Lalu orang itu menikamnya dari belakang, kemudian lari ketakutan.
Tetapi ia telah meninggalkan jejak yang jelas sekali. Kami akan dapat
menangkapnya tanpa banyak kesukaran. Apakah ada orang-orang asing yang
mencurigakan terlihat di sekitar sini?"
"Oh!" Tiba-tiba aku berseru.
"Ada apa, Dokter?"
"Saya bertemu dengan seorang laki-laki sore ini - tepat pada saat saya keluar
dari pintu pagar." "Dapatkah Anda memberi gambaran mengenai orang itu?"
Aku menjelaskan sedapat-dapatnya.
Inspektur itu berpaling kepada kepala pelayan.
"Adakah orang yang sesuai dengan gambaran itu datang ke mari?"
"Tidak ada, Tuan. Tidak seorang pun datang ke rumah ini sepanjang malam."
"Bagaimana dengan pintu belakang?"
"Saya rasa juga tidak ada, Tuan, tetapi saya akan menanyakannya."
Parker bergerak menuju pintu, tetapi si inspektur mengangkat tangannya yang
besar. "Tidak usah, terima kasih. Saya akan menanyakannya sendiri. Tetapi pertama-tama
saya ingin menetapkan waktunya lebih tepat sedikit. Bilamana Tuan Ackroyd
kelihatan dalam keadaan hidup untuk terakhir kali?"
"Mungkin sayalah yang melihatnya terakhir kali," jawabku, "ketika saya pulang
kira-kira pukul sembilan kurang sepuluh menit. Ia mengatakan pada saya bahwa ia
tidak mau diganggu, dan saya meneruskan perintahnya pada Parker."
"Betul, Tuan," Parker mengiakan dengan hormat.
"Tuan Ackroyd jelas masih hidup pada pukul setengah sepuluh," sela Raymond,
"karena saya mendengar suaranya sedang berbicara dalam kamar ini."
"Kepada siapa ia berbicara?"
"Itu, saya kurang tahu. Tentu saja pada saat itu saya mengira kalau Dokter
Sheppard berada bersama Tuan Ackroyd. Saya hendak menanyakan sesuatu mengenai
beberapa berkas yang sedang saya kerjakan. Tetapi ketika saya mendengar suara
mereka, saya lalu ingat ucapannya bahwa ia ingin berbicara dengan Dokter
Sheppard tanpa diganggu. Maka saya pergi lagi. Tetapi sekarang ternyata bahwa
Dokter sudah pulang pada saat itu."
Aku mengangguk. "Saya tiba di rumah pukul sembilan lebih seperempat," aku menerangkan. "Saya
tidak keluar lagi sampai saya menerima panggilan telepon itu."
"Siapakah yang berada bersamanya pada pukul setengah sepuluh?" tanya inspektur
itu dengan sangsi. "Bukankah orang itu Anda, Tuan - eh - "
"Mayor Blunt," aku memperkenalkan.
"Mayor Hector Blunt?" inspektur itu menegaskan, suaranya berubah dan penuh rasa
hormat. Blunt hanya mengangguk mengiakan.
"Saya rasa, kami pernah melihat Anda di sini sebelumnya, Tuan Blunt," inspektur
itu berkata. "Ketika itu saya tidak mengenali Anda. Tetapi Anda tinggal bersama
Tuan Ackroyd dalam bulan Mei tahun yang lalu."
"Juni," Blunt membetulkan.
"Anda benar, waktu itu bulan Juni. Dan sekarang, seperti yang telah saya katakan
tadi, bukankah Anda bersama Tuan Ackroyd pada pukul sembilan lewat tiga puluh
menit, malam ini?" Blunt menggelengkan kepalanya.
"Saya tidak melihatnya lagi setelah makan malam," ia menerangkan tanpa diminta.
Inspektur itu berpaling lagi pada Raymond.
"Apakah Anda sama sekali tidak mendengar apa yang sedang dibicarakan, Tuan?"
"Saya hanya mendengar sebagian kecil saja," kata sekretaris itu, "dan karena
saya mengira Dokter Sheppard sedang berada bersama Tuan Ackroyd, maka apa yang
saya dengar itu rasanya aneh sekali. Sejauh yang saya ingat, kata-kata yang saya
dengar berbunyi begini. Tuan Ackroyd yang sedang berbicara. 'Tekanan-tekanan
pada dompetku demikian seringnya akhir-akhir ini' - itulah yang dikatakannya -
'belakangan ini, sehingga aku khawatir, tidak mungkinlah bagiku untuk
menolongmu....' Saya segera pergi lagi, jadi saya tidak tahu apa lagi yang
dikatakan selanjutnya. Tetapi saya agak heran karena Dokter Sheppard - "
" - Tidak pernah minta pinjaman untuk dirinya sendiri, atau sumbangan untuk orang
lain," aku menyelesaikan.
"Suatu permintaan akan uang," inspektur itu berpikir-pikir. "Mungkin ini
merupakan kunci yang paling penting dalam perkara ini." Ia berpaling kepada si
kepala pelayan. "Kau mengatakan, Parker, bahwa tak ada seorang pun masuk melalui
pintu muka malam ini?"
"Itulah yang saya katakan, Tuan."
"Kalau begitu, hampir dapat dipastikan, kalau Tuan Ackroyd sendirilah yang
menerima orang ini. Tetapi saya tidak mengerti - "
Inspektur itu termenung beberapa menit.
"Satu hal sudah cukup jelas," katanya akhirnya, dan membangunkan diri dari
lamunannya, "Tuan Ackroyd masih hidup dan tak kurang suatu apa pada pukul
setengah sepuluh. Itulah saat terakhir ia diketahui masih hidup."
Parker batuk-batuk kecil, sebagai tanda ingin mengatakan sesuatu, lalu meminta
maaf. Segera inspektur itu berpaling kepadanya.
"Ada apa?" tanyanya dengan tajam.
"Maaf, Tuan, Nona Flora melihatnya setelah itu."
"Nona Flora?" "Benar, Tuan. Kira-kira sekitar pukul sepuluh kurang seperempat. Setelah itu ia
memberitahukan saya bahwa Tuan Ackroyd tidak mau diganggu lagi malam ini."
"Apakah Tuan Ackroyd mengirimkan Nona Flora padamu untuk meneruskan pesannya?"


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya tidak, Tuan. Saya sedang membawa baki dengan soda dan wiski, ketika
Nona Flora keluar dari ruangan itu. Ia menghentikan saya dan mengatakan bahwa
Tuan Ackroyd tidak mau diganggu."
Inspektur itu memperhatikan si kepala pelayan dengan lebih seksama daripada yang
pernah dilakukan terlebih dahulu.
"Bukankah sudah dikatakan padamu sebelumnya, kalau Tuan Ackroyd tidak mau
diganggu?" Parker tergagap. Kedua tangannya gemetar.
"Ya, Tuan. Ya, Tuan. Memang benar, Tuan."
"Tetapi kau tetap bermaksud untuk mengganggunya?"
"Saya lupa, Tuan. Setidak-tidaknya maksud saya adalah, saya selalu mengantarkan
wiski dan soda sekitar jam-jam tersebut, Tuan. Lalu seperti biasa saya
menanyakan apakah ada lagi yang diperlukan, dan saya pikir - yah, sebagaimana
biasa saya bertindak tanpa berpikir."
Saat itu aku menyadari bahwa sikap Parker yang kebingungan amat mencurigakan.
Seluruh tubuhnya gemetar.
"Hm," desah inspektur itu. "Saya harus segera bertemu dengan Nona Flora Ackroyd.
Sementara ini, kita tinggalkan saja ruangan ini seperti keadaannya sekarang.
Saya mungkin kembali lagi setelah mendengarkan apa yang dapat diceritakan oleh
Nona Ackroyd kepada saya. Tetapi saya akan mengambil tindakan pencegahan dengan
jalan mengunci dan memalang jendela ini."
Setelah melakukannya, ia mendahului menuju ke gang, dan kami mengikutinya. Ia
berhenti sejenak sambil memandang ke atas, ke tangga sempit itu lalu menoleh ke
belakang dan berkata kepada petugas polisi yang satu lagi,
"Jones, sebaiknya kau tetap di sini. Jangan biarkan seorang pun masuk dalam
ruangan itu." Parker memotong dengan sopan.
"Maaf, Tuan. Bila Anda mengunci pintu yang menuju ke ruang muka utama, maka tak
seorang pun dapat masuk ke sini. Tangga itu hanya menuju ke kamar tidur Tuan
Ackroyd dan ke kamar mandi. Dahulu memang ada pintu tembusnya, tetapi Tuan
Ackroyd memerintahkan untuk menutupnya. Ia ingin kamarnya benar-benar bersifat
pribadi." Supaya segalanya menjadi jelas mengenai letak dan pembagian ruangan dari Fernly
Pendekar Tanpa Tanding 6 Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara Bulan Jatuh Dilereng Gunung 1
^