Pencarian

Misteri Tujuh Lonceng 1

Misteri Tujuh Lonceng The Seven Dials Mystery Karya Agatha Christie Bagian 1


THE SEVEN DIALS MYSTERY by Agatha Christie MISTERI TUJUH LONCENG Alih bahasa: Mareta Penerbit: PT Gramedia Cetakan keenam: September 2002
Bab 1 BANGUN PAGI JIMMY THESIGER, si anak muda yang ramah itu menuruni tangga besar Chimneys - dua
anak tangga sekali langkah. Begitu cepat dia turun sehingga hampir menabrak
Tredwell, kepala pelayan yang sedang membawa kopi panas. Untunglah Tredwell
sigap, sehingga dia bisa menghindar dengan cepat.
"Maaf," kata Jimmy. "Apa saya yang terakhir turun?"
"Tidak, Tuan. Tuan Wade masih belum turun."
"Bagus," kata Jimmy sambil masuk ruang makan.
Ruangan itu kosong. Hanya ada nyonya rumah di situ yang memandang Jimmy
sedemikian, sehingga dia merasa tidak enak. Ah, peduli amat. Kenapa wanita itu
memandangnya seperti itu" Apa aku harus turun tepat pukul sembilan tiga puluh"
Itu sih bukan aturan orang yang tinggal di rumah seperti ini. Ini kan rumah
peristirahatan di luar kota. Memang sekarang sudah pukul sebelas lebih
seperempat. Sudah agak di luar batas barangkali. Tapi -
"Maaf saya agak terlambat, Lady Coote."
"Ah, tak apa-apa," jawabnya dengan suara seperti orang melamun.
Padahal Lady Coote selalu khawatir kalau ada orang yang terlambat sarapan. Dalam
sepuluh tahun pertama perkawinannya, Sir Oswald Coote (tadinya cuma Tuan Oswald
Coote) selalu ribut dan marah bila jam makan paginya bergeser sedikit lebih
lambat dari pukul delapan. Dan Lady Coote telah diajar untuk disiplin mengenal
waktu dan menganggapnya sebagai dosa besar bila dia tidak melakukannya. Sekarang
kebiasaan itu sulit diubah. Dan dia sendiri memang seorang wanita yang rajin.
Karena itu dia tidak mengerti dan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi
kemudian dengan orang-orang muda santai - seperti ini. Sir Oswald selalu berkata
kepada para reporter dalam wawancara-wawancara, bahwa "kesuksesan saya adalah
karena kebiasaan saya bangun pagi, hidup hemat, dan kebiasaan berbuat praktis."
Lady Coote adalah seorang wanita bertubuh besar dengan kesan sendu. Matanya
hitam, besar dan sedih. Suaranya dalam. Dia akan menjadi model yang tepat bagi
seorang pelukis yang ingin melukiskan "Rachel berduka atas anaknya". Dia juga
akan menjadi pemain yang pas untuk peranan istri yang dipersalahkan dalam sebuah
drama. Dia kelihatan seperti seorang yang memendam kepedihan. Padahal Lady Coote tidak
punya persoalan apa-apa dalam hidupnya kecuali kekayaan suaminya yang meroket
begitu cepat. Ketika masih gadis, dia adalah seorang gadis periang yang jatuh
cinta pada Oswald Coote, anak muda penuh semangat yang bekerja di toko sepeda,
di sebelah toko besi ayahnya. Mereka adalah pasangan yang berbahagia. Pertama-
tama mereka tinggal di sebuah rumah mungil dengan dua kamar. Lalu dalam sebuah
rumah yang lebih besar. Makin lama rumah yang mereka tempati semakin besar.
Rumah-rumah itu selalu dalam jarak yang cukup dekat dengan "tempat kerja".
Tetapi dengan keadaan yang tambah lama tambah baik, Sir Oswald tidak lagi
tergantung pada "tempat kerja"-nya. Dia senang menyewa rumah-rumah kuno yang
sebesar istana. Chimneys adalah sebuah rumah kuno yang bersejarah. Sir Oswald
menyewanya dari Marquis of Caterham untuk waktu dua tahun dan dia merasa senang
karena ambisinya telah tercapai.
Tapi Lady Coote tidak terlalu senang dengan hal itu. Dia merasa kesepian. Dahulu
ia bebas dan merasa senang bisa berbicara santai dengan pembantunya. Ketika
jumlah pembantunya menjadi berlipat tiga, dia masih merasakan senangnya bicara
santai dengan mereka, karena hal itu merupakan selingan bagi kehidupan rutinnya.
Tetapi sekarang, dengan sepasukan pembantu, kepala pelayan yang bersikap seperti
orang penting, beberapa pelayan yang siap meladeni di meja makan, segerombolan
pembantu wanita, juru masak yang bertemperamen tinggi, Lady Coote merasa sangat
kesepian dan terpencil. Dia menarik napas panjang dan keluar melalui pintu ke arah teras yang terbuka.
Jimmy menjadi lega sekarang dan cepat-cepat mengambil kacang-kacangan dan daging
babi sebanyak-banyaknya. Lady Coote berdiri sejenak di teras. Kemudian dia memberanikan diri bicara pada
MacDonald, tukang kebun senior yang sedang memandangi kebun kekuasaannya.
MacDonald selalu bersikap sok kuasa di depan tukang-tukang kebun lainnya. Dia
tahu daerah kekuasaannya. Dia memang berkuasa - dan tahu menggunakan kekuasaannya.
Lady Coote mendekatinya dengan gugup.
"Selamat pagi, MacDonald."
"Selamat pagi, Nyonya."
Dia bicara dengan gaya tukang kebun senior - bergumam tapi penuh wibawa - seperti
seorang raja pada upacara pemakaman.
"Saya ingin tanya - apa bisa kami disediakan anggur untuk makan malam nanti?"
"Anggur itu belum waktunya dipetik," kata MacDonald.
Dia bicara dengan suara ramah tapi tegas.
"Oh!" kata Lady Coote.
Dia berusaha menambah keberaniannya.
"Oh! Kemarin saya ke ujung belakang sana, dan mencoba satu. Rasanya sudah enak."
MacDonald memandangnya dan wajah Lady Coote berubah merah. Dia diperlakukan
sedemikian rupa sehingga merasa seperti telah berbuat sesuatu yang tak bisa
dimaafkan. Almarhum Marchioness of Caterham pasti tidak pernah melakukan hal
seperti itu. Pergi ke kebun anggur, memetik buahnya, dan langsung mencicipinya!
"Seandainya Nyonya memerintahkan, kami akan memotong satu ikat dan
menyediakannya di meja," katanya tajam.
"Oh, terima kasih. Saya akan memintanya lain kali," jawab Lady Coote.
"Tapi sekarang ini anggur itu belum waktunya dipetik."
"Baiklah kalau begitu. Biarkan saja," gumam Lady Coote.
MacDonald diam saja. Sekali lagi, Lady Coote memberanikan diri.
"Saya ingin bicara tentang sepetak tanah di belakang kebun mawar. Apa kira-kira
bisa dipakai untuk lapangan bowling" Sir Oswald sangat senang main bowling."
"Kenapa tidak?" pikir Lady Coote. Dia pernah mendengar bahwa Sir Prancis Drake
dan kawan-kawannya senang bermain bowling. Tentunya ini bukan permintaan picisan
dan tak akan bisa ditolak MacDonald. Tapi Lady Coote lupa bahwa kebiasaan
seorang tukang kebun senior adalah menolak dan tidak melayani setiap usul atau
permintaan yang disodorkan.
"Ah, saya rasa tidak bisa," kata MacDonald santai. Nada suaranya sengaja
meremehkan, dan tujuannya yang sesungguhnya adalah mempermainkan Lady Coote.
"Kalau tanah itu dibersihkan dan - e - rumputnya - m - dipotong, misalnya," kata Lady
Coote penuh harap. "Ah," kata MacDonald pelan. "Bisa. Bisa saja. Tapi itu berarti memindahkan
William dari batas."
"Oh!" kata Lady Coote bingung. Sebenarnya dia tidak terlalu mengerti apa artinya
istilah batas itu. Istilah itu baginya tidak punya arti apa-apa. Kata itu hanya
mengingatkannya pada sebuah nyanyian Skotlandia. Tapi bagi MacDonald hal itu
kelihatan seperti sesuatu yang tidak bisa diterima.
"Dan akan sayang sekali," kata MacDonald.
"Oh, tentu saja" kata Lady Coote. Dia sendiri tidak mengerti mengapa jadi
menyetujui pendapat MacDonald.
MacDonald memandangnya dengan kasihan.
"Tapi - tentu saja kalau Nyonya memerintahkan - "
Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tapi kata-katanya cukup menciutkan nyali. Lady
Coote cepat-cepat meralat pendapatnya.
"Oh, tak usahlah kalau begitu. Saya mengerti apa yang kaumaksud, MacDonald. Biar
saja William terus di batas sana."
"Saya pikir sebaiknya begitu, Nyonya."
"Ya. Begitu saja," kata Lady Coote.
MacDonald menyentuh ujung topinya dan pergi.
Lady Coote menarik napas panjang sambil memandangi punggung orang itu. Jimmy
Thesiger yang telah kenyang makan kacang-kacangan dan daging babi keluar dan
berdiri di sebelahnya. Dia pun menarik napas panjang untuk alasan yang berbeda.
"Cuaca bagus," kata Jimmy.
"Ah, ya. Saya tidak memperhatikan," kata Lady Coote seperti orang melamun.
"Mana yang lain" Sedang di danau?"
"Barangkali." Lady Coote membalikkan badan dan masuk ke dalam dengan cepat. Tredwell baru saja
memeriksa poci kopi. "Ah. Apa Tuan - Tuan - " kata Lady Coote.
"Tuan Wade, Nyonya?"
"Ya, Tuan Wade. Apa sudah turun?"
"Belum, Nyonya."
"Padahal sudah siang."
"Ya, Nyonya." "Ah, tentunya dia akan turun juga, kan?"
"Tentunya begitu, Nyonya. Kemarin Tuan Wade turun jam sebelas tiga puluh."
Lady Coote melirik jam. Sudah pukul dua belas kurang dua puluh menit. Lady Coote
merasa kasihan pada Tredwell.
"Kau tentu sibuk sekali, Tredwell. Harus membersihkan meja dan sekaligus
menyiapkannya untuk makan siang jam satu."
"Saya sudah biasa dengan kebiasaan tuan-tuan muda, Nyonya."
Belas kasihan itu ditolaknya dengan penuh wibawa.
Wajah Lady Coote merah untuk kedua kalinya pagi itu. Tapi untunglah ada
interupsi yang menyenangkan. Pintu terbuka, dan seorang pemuda berkaca mata dan
berwajah serius melongokkan kepala.
"Oh, Anda di sini, Lady Coote. Sir Oswald minta agar Anda menemuinya."
"Saya akan segera ke sana, Tuan Bateman."
Lady Coote bergegas keluar.
Rupert Bateman, sekretaris pribadi Sir Oswald, keluar ke teras mendekati Jimmy
Thesiger. "Pagi, Pongo," sapa Jimmy. "Rasanya aku harus menemui gadis-gadis manis itu. Kau
mau ikut?" Bateman menggelengkan kepala dan cepat-cepat berjalan sepanjang teras dan masuk
ke perpustakaan. Jimmy menyeringai melihatnya. Dia dan Bateman dulu adalah kawan
sekolah. Bateman memang seorang murid serius yang berkaca mata. Kawan-kawannya
memanggilnya Pongo tanpa alasan apa pun.
Dan Jimmy berpendapat bahwa Pongo yang ditemuinya sekarang adalah Pongo tolol
seperti yang dikenalnya di sekolah dulu. Barangkali ungkapan "Hidup adalah
kenyataan dan kesungguhan" memang tepat untuknya.
Jimmy menguap dan berjalan perlahan ke arah danau. Gadis-gadis itu memang di
sana. Tiga orang gadis - gadis-gadis biasa, yang dua berkepala hitam dan yang satu
pirang. Yang suka ketawa kalau tidak salah bernama Helen - lalu Nancy. Dan yang
satunya dipanggil Socks. Mereka ditemani Bill Eversleigh dan Ronny Devereux - dua
orang pemuda yang bekerja di Departemen Luar Negeri.
"Halo," kata Nancy (atau Helen barangkali). "Si Jimmy datang. Mana si itu - siapa
namanya?" "Si Gerry Wade, maksudmu?" tanya Bill Eversleigh. "Apa dia belum bangun" Kita
tak bisa tinggal diam kalau begini caranya."
"Kalau dia seenaknya saja, dia tak akan bisa sarapan. Dia hanya akan bertemu teh
kalau turun nanti," kata Ronny Devereux.
"Bikin malu saja," kata si Socks. "Lady Coote tidak biasa dengan cara seperti
itu. Dia selalu gelisah seperti ayam betina yang mau mengerami telur tapi tidak
bisa." "Kita tarik saja dari tempat tidurnya," kata Bill. "Ayo, Jim."
"Oh, jangan begitu. Yang luwes dong," kata Socks. Dia memang suka dengan kata
luwes. Dan sering kali memakai kata itu.
"Aku tidak luwes," kata Jimmy. "Aku tidak tahu caranya."
"Kita rundingkan saja dulu apa yang harus kita lakukan besok," kata Ronny.
"Barangkali kita bisa membangunkan dia jam tujuh. Kejutkan seisi rumah. Cambang
palsu si Tredwell akan copot dan dia akan memecahkan poci teh. Lady Coote jadi
histeris dan pingsan dalam pelukan Bill - Bill biar jadi tukang angkat. Sir Oswald
akan berkata "Ha" dan langsung mati kaku. Sedang si Pongo akan mencatat emosi
yang terlihat dengan melempar dan menginjak kaca matanya."
"Kalian tak tahu Gerry," kata Jimmy. "Seember air dingin tak akan
membangunkannya. Paling-paling dia cuma menggeliat - lalu tidur lagi."
"Oh, kita harus memakai cara yang lebih luwes dari sekadar air dingin," kata
Socks. "Jadi apa?" kata Ronny. Tak seorang pun punya jawaban.
"Kita harus berpikir," kata Bill. "Siapa yang punya otak?"
"Pongo," jawab Jimmy. "Nah, dia datang. Terburu-buru seperti biasa. Pongo selalu
punya ide. Kasihan dia. Kita tanyai saja dia."
Tuan Bateman dengan sabar mendengarkan kata-kata yang keluar tak beraturan dari
mulut mereka, tapi dengan sikap siap untuk terbang. Dia memberikan solusi tanpa
membuang waktu. "Aku usulkan pakai jam weker saja," katanya. "Aku sendiri selalu menyetel jam
weker karena takut ketiduran. Rasanya keributan waktu membawa masuk teh pagi
saja tidak akan cukup untuk membangunkan seseorang."
Dia pergi dengan cepat. "Jam weker!" kata Ronny sambil menggelengkan kepala. "Satu jam. Kita perlu
selusin untuk membangunkan Gerry Wade."
"Kenapa tidak?" kata Bill bersemangat. "Kita semua pergi ke Market Basing dan
masing-masing membeli sebuah."
Mereka tertawa dan berunding. Bill dan Ronny berdiri untuk mengambil mobil.
Jimmy dikirim untuk mengintip tuang makan. Dia kembali dengan cepat.
"Dia di sana. Sedang mencaplok roti bakar dan selai. Bagaimana caranya supaya
dia tidak ikut?" Akhirnya diputuskan untuk membujuk Lady Coote agar mau menahan dia. Jimmy,
Nancy, dan Helen mendapat tugas ini. Lady Coote jadi bingung dan khawatir.
"Lelucon" Kalian akan hati-hati, kan" Maksud saya jangan sampai memecahkan
perabotan atau peralatan dan jangan memakai air terlalu banyak. Minggu depan
kami sudah harus menyerahkan rumah ini kembali. Dan saya tidak ingin Lord
Caterham mendapat kesan bahwa - "
Bill yang telah kembali dari garasi berusaha meyakinkan dia.
"Jangan khawatir, Lady Coote. Bundle Brent - anak Lord Caterham, adalah teman baik
saya. Tidak apa-apa - percayalah. Tak akan ada kerusakan. Kita akan melakukannya
diam-diam." "Luwes," kata si Socks.
Lady Coote berjalan dengan sedih di teras. Gerald Wade keluar dari ruang makan.
Jimmy Thesiger adalah seorang pemuda berwajah bulat dan berkulit pucat. Tapi
Gerald Wade berwajah lebih tembam dan di sampingnya Jimmy jadi kelihatan lebih
menarik dan cerdas. "Pagi, Lady Coote," sapa Gerald Wade. "Mana teman-teman lainnya?"
"Mereka ke Market Basing," jawab Lady Coote.
"Untuk apa?" "Lelucon," kata Lady Coote dengan suara sedih.
"Masih terlalu pagi untuk membuat lelucon," kata Tuan Wade.
"Ini sudah siang," kata Lady Coote tajam.
"Saya memang terlambat bangun," kata Tuan Wade terus terang. "Memang aneh. Tapi
di mana pun saya menginap, saya selalu jadi orang yang terakhir bangun."
"Luar biasa," kata Lady Coote.
"Saya sendiri tidak mengerti. Tidak mengerti mengapa bisa begitu," kata Tuan
Wade dengan mata menerawang jauh. "Saya tak bisa berpikir."
"Ah, Anda kan baru saja bangun," kata Lady Coote.
"Oh!" kata Tuan Wade terkejut mendengar jawaban yang sederhana itu.
Lady Coote melanjutkan. "Saya sering mendengar dari Sir Oswald bahwa sulit sekali bagi orang muda-muda
untuk melakukan sesuatu tepat pada waktunya."
"Oh, ya," kata Tuan Wade. "Tapi saya harus melakukannya bila sedang berada di
kota. Saya harus ada di kantor Departemen Luar Negeri jam sebelas. Jadi saya
tidak selalu kesiangan setiap hari. Ah, bunga-bunga di batas bawah itu indah
sekali. Saya tak tahu apa namanya. Tapi di rumah ada yang seperti itu. Adik
perempuan saya sangat suka menanam bunga."
Dengan segera Lady Coote hanyut dalam pembicaraan itu.
"Bagaimana tukang kebun Anda?"
"Ah, kami hanya punya satu. Sudah agak tua dan tolol. Tidak terlalu pandai tapi
selalu menurut. Itu yang penting, kan?"
Lady Coote menyetujui pendapat itu dengan hati perih. Mereka kemudian terlibat
dalam pembicaraan tentang tukang kebun.
Sementara itu rombongan yang menuju Market Basing segera menyerbu toko besar.
Permintaan yang begitu banyak akan jam weker justru membuat pemilik toko
bingung. "Wah, seandainya saja Bundle ada di sini," gumam Bill. "Kaukenal dia, kan Jim"


Misteri Tujuh Lonceng The Seven Dials Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh, kau pasti akan menyukainya. Menyenangkan - dan gadis itu cerdas. Kaukenal dia,
Ronny?" Ronny menggelengkan kepalanya.
"Tidak kenal Bundle" Kau ada di mana, sih" Diet ya" Tapi justru dialah makanan
diet." "Yang luwes sedikitlah, Bill," kata Socks. "Jangan ngomong tentang pacarmu saji.
Kita selesaikan urusan ini dengan segera."
Tuan Murgatroyd, si pemilik toko, berkomentar,
"Kalau boleh, saya ingin Anda ambil yang bukan 7/11. Itu jam bagus dan saya tak
akan menurunkan harganya. Sebaiknya Anda ambil yang 10/6. Lebih mahal sedikit,
tapi kualitasnya jauh berbeda. Saya tak ingin mendengar Anda berkomentar negatif
setelah ini." Tapi orang-orang muda itu segera menjawab dengan polos.
"Kami tidak memerlukan jam berkualitas tinggi," kata Nancy.
"Hanya diperlukan untuk satu hari. Itu saja," sambung Helen.
"Kami tak butuh jam yang luwes," kata Socks. "Yang kami butuhkan yang bunyinya
nyaring." "Kami perlu - " kata Bill tanpa bisa menyelesaikan kalimatnya karena apa yang ada
dalam pikirannya sudah dikeluarkan Jimmy. Lima menit berikutnya toko itu penuh
dering jam yang sedang dicoba.
Akhirnya mereka memilih enam buah yang bunyinya nyaring.
"Ah, aku akan beli satu lagi untuk Pongo," kata Ronny. "Ini adalah ide dia. Dan
dia tidak boleh kita tinggalkan begitu saja. Dia harus diwakili oleh sebuah
jam." "Betul," kata Bill. "Dan saya akan beli sebuah untuk Lady Coote. Lebih banyak
lebih ramai lagi. Dia kan juga ikut membantu kita. Barangkali dia sedang
menghibur Gerry sekarang."
Memang pada waktu itu Lady Coote sedang bicara tentang MacDonald dan merasa
senang karena ada yang menampung luapan perasaannya.
Jam-jam itu dibungkus dan dibayar. Tuan Murgatroyd memandang mobil-mobil itu
berlalu dengan wajah heran. Memang pemuda-pemuda kelas atas itu penuh semangat.
Sangat enerjetik - tapi sulit dimengerti. Dengan tarikan napas lega dia melayani
istri pendeta yang memerlukan poci teh baru.
Bab 2 JAM WEKER "SEKARANG di mana kita letakkan Jam-jam ini?"
Makan malam telah selesai. Lady Coote telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Sir Oswald tiba-tiba saja menawari mereka untuk main bridge - sebetulnya menawari
tidaklah tepat. Sebagai salah satu tokoh industri terkemuka, Sir Oswald cukup
mengatakan kehendaknya secara sambil lalu, dan siapa pun akan langsung
memenuhinya. Rupert Bateman dan Sir Oswald menjadi patner, melawan Lady Coote dan Gerald
Wade. Keduanya merupakan pasangan yang sangat baik. Sir Oswald adalah pemain
bridge yang baik, sama baiknya dengan caranya menangani perusahaannya. Dia juga
ingin pasangannya bermain bersungguh-sungguh. Dan Bateman adalah pemain yang
sangat efisien dan sama baiknya dengan cara kerjanya sebagai sekretaris.
Keduanya bekerja sama dengan baik dan saling menjaga rahasia dengan ketat.
Mereka hanya bicara secara singkat-singkat. "Dua tanpa truf," "Dobel," "Tiga
sekop." Lady Coote dan Gerald Wade sangat serasi. Dan pemuda itu tidak pernah
lupa memuji patnernya setiap kali. "Ah, Anda luar biasa," katanya dengan suara
kagum. Lady Coote sangat gembira dengan pasangannya, lebih-lebih karena kartu-
kartu mereka kartu yang bagus.
Orang-orang lain kelihatannya sibuk berdansa di ruang dansa. Tapi, tidak. Mereka
ternyata bergerombol di depan pintu kamar Gerald Wade dengan tangan menggenggam
jam sambil tertawa terkikik-kikik. Bunyi detik jam-jam itu terdengar nyaring.
"Di bawah tempat tidur, berderet," kata Jimmy menjawab pertanyaan Bill.
"Dan bagaimana kita menyetel waktunya" Bersama-sama atau bergantian?"
Mereka berdiskusi ramai. Sebagian mengatakan bahwa jagoan tidur seperti Gerry
Wade memerlukan dering delapan jam weker sekaligus untuk bangun. Dan sebagian
lagi mengatakan dering yang terus-menerus lebih cocok.
Akhirnya pendapat kedua yang menang. Jam-jam tersebut disetel berturut-turut
mulai pukul 6.30 pagi. "Mudah-mudahan ini akan menjadi pelajaran baginya," kata Bill dengan khidmat.
"Amin, amin," kata Socks.
Mereka sedang mulai mendiskusikan tempat menyembunyikan jam-jam itu ketika
seseorang berbisik. "Sst. Ada yang naik ke atas," kata Jimmy.
Mereka kebingungan. "Nggak apa-apa. Cuma si Pongo," kata Jimmy.
Sambil berpura-pura bego, Tuan Bateman masuk ke dalam kamarnya mengambil sebuah
sapu tangan. Dia hanya berhenti sebentar memandang mereka, lalu memberikan
sebuah komentar sederhana.
"Dia akan mendengar jam-jam itu berdetik kalau naik ke tempat tidur."
Gerombolan itu saling berpandangan.
"Apa kubilang?" kata Jimmy. "Si Pongo selalu punya otak!"
Seseorang menjawab. "Benar," kata Ronny Devereux dengan kepala dimiringkan. "Delapan buah jam yang
berdetik bersama akan terdengar keras. Walaupun si Gerry tolol seperti keledai,
dia pasti akan curiga."
"Apa, apa iya," kata Jimmy Thesiger.
"Iya apa?" "Apa iya bahwa dia setolol keledai?"
Ronny memandangnya. "Kita semua kenal Gerald."
"Benarkah?" kata Jimmy. "Kadang-kadang aku berpikir si Gerry itu cuma pura-pura
saja - biar kelihatan tolol."
Mereka semua memandang dia. Wajah Ronny kelihatan serius.
"Jimmy," katanya, "kau cerdas."
"Pongo kedua," kata Bill memberi semangat.
"Ah, hanya terpikir sekilas saja," kata Jimmy.
"Oli! Jangan sok bersikap luwes," seru Socks. "Apa yang akan kita lakukan dengan
jam-jam ini?" "Kebetulan Pongo kemari lagi. Kita tanyai saja dia," usul Jimmy.
Pongo yang dimintai pendapat akhirnya berkata,
"Tunggu sampai dia tidur dulu. Lalu masuk kamarnya pelan-pelan dan letakkan jam-
jam itu di lantai." "Si Pongo betul," kata Jimmy. "Kita simpan dulu jam-jam ini dan turun ke bawah
supaya tidak ada yang curiga."
Permainan bridge masih berlangsung - dengan sedikit perubahan. Sir Oswald sekarang
berpasangan dengan istrinya sambil menunjukkan kesalahan-kesalahan yang
dibuatnya. Si istri menerima kritikan suaminya dengan santai tetapi tetap
bermain dengan serius. Berkali-kali dia berkata,
"O, begitu. Terima kasih atas nasihatmu."
Dan dia terus-menerus membuat kesalahan yang sama.
Sekali-sekali Gerald Wade berkata pada Pongo.
"Bagus. Bagus, Kawan."
Bill Eversleigh membuat kalkulasi dengan Ronny Devereux.
"Seandainya dia tidur jam dua belas, jam berapa kita letakkan jamnya?"
Dia menguap. "Aneh. Aku biasa tidur jam tiga. Tapi malam ini, karena merasa akan bertugas aku
harus tidur dulu sekarang."
Yang lain sependapat. "Maria," kata Sir Oswald sedikit marah, "sudah kukatakan berkali-kali agar kau
tidak ragu-ragu. Itu sama dengan membuka informasi pada setiap orang."
Sebenarnya Lady Coote bisa menjawab suaminya dengan alasan kuat, tapi dia tidak
berbuat demikian. Dia hanya tersenyum manis sambil mencondongkan dadanya yang
montok ke atas meja dan memandang tajam pada tangan Gerald Wade yang duduk di
sebelah kanannya. Kegelisahannya berhenti ketika mendapat queen. Dia memainkan knave dan mengambil
trick. Kemudian meletakkan kartunya.
"Empat trick dan rubber," katanya. "Saya sangat beruntung punya empat trick."
"Untung," gumam Gerald Wade sambil menarik kursi dan berjalan ke gerombolan
kawan-kawannya di dekat perapian. "Dia bilang untung. Padahal wanita itu perlu
diawasi." Lady Coote membereskan meja.
"Aku tahu bahwa aku bukan pemain yang baik. Tapi aku beruntung," katanya
merendah tapi ada nada puas terkandung di dalamnya.
"Kau tak akan pernah bisa main bridge dengan baik, Maria," kata Sir Oswald.
"Benar, Sayang," kata Lady Coote. "Aku pun menyadarinya. Kau selalu berkata
demikian. Dan aku selalu berusaha keras."
"Ya. Saya tahu dia memang berusaha," kata Gerald Wade dengan suara rendah.
"Semua juga tahu. Dia akan melongokkan kepalanya dari atas bahumu kalau dia tak
bisa mengintip dengan cara lain."
"Ya - aku tahu bahwa kau sudah berusaha. Tapi rasanya kau belum punya feeling,"
kata Sir Oswald. "Benar, Sayang. Karena itulah kau selalu mengingatkan aku," kata Lady Coote.
"Tapi kau berutang sepuluh shilling, Oswald."
"Apa benar?" kata Sir Oswald heran.
"Ya. Seribu tujuh ratus delapan pound sepuluh shilling. Kau baru memberiku
delapan pound." "Ya, ampun," kata Sir Oswald. "Begitu banyak?"
Lady Coote memandangnya dengan senyum sedih dan mengambil uang sepuluh shilling
itu. Dia amat menyayangi suaminya, tapi dia takkan membiarkan suaminya berbuat
serong dan tak mau membayar utang sepuluh shilling itu.
Sir Oswald berdiri dan mendekati sebuah meja penuh botol wiski dan soda. Sudah
pukul dua belas tiga puluh, ketika mereka saling mengucapkan selamat tidur.
Ronny Devereux yang menempati kamar di sebelah kamar Gerald Wade ditugasi
melaporkan perkembangan. Pukul dua kurang seperempat dia merangkak mengetuk
pintu-pintu kamar. Gerombolan pemuda berpiyama dan gadis berbaju tidur akhirnya
berkumpul sambil berbisik-bisik dan tertawa cekikikan.
"Lampunya padam dua puluh menit yang lalu," bisik Ronny dengan suara serak.
"Lama sekali menunggunya. Aku baru saja mengintip dan dia kelihatannya sudah
tidur. Kita mulai sekarang?"
Sekali lagi jam-jam tersebut dikumpulkan. Tapi ada kesulitan lain yang timbul.
"Kita tidak bisa masuk bersama-sama sekaligus. Dan kalau masuk satu-satu - terlalu
lama. Harus ada satu orang yang masuk dan lainnya di luar."
Mereka ribut lagi memilih siapa yang pantas melakukan tugas itu.
Ketiga gadis tidak bisa diterima karena mereka pasti akan cekikikan. Bill
Eversleigh juga tidak karena badannya terlalu besar, langkahnya berat, dan dia
pada dasarnya kikuk. Jimmy Thesiger dan Ronny Devereux adalah dua calon pilihan.
Tapi pada akhirnya banyak yang memilih Rupert Bateman.
"Memang Pongo yang cocok," kata Jimmy. "Jalannya saja seperti kucing. Dan kalau
tiba-tiba Gerry bangun, Pongo bisa mengarang cerita. Cerita yang cukup masuk
akal dan tidak mencurigakan Gerry."
"Cerita yang luwes," kata Socks sambil termenung.
"Tepat," kata Jimmy.
Pongo melakukan tugasnya dengan rapi dan efisien. Dia membuka pintu kamar dengan
sangat hati-hati dan masuk ke dalam gelap sambil membawa dua buah jam yang
paling besar. Semenit kemudian dia muncul dan disodori dua buah jam lagi sampai
habis. Akhirnya dia keluar. Semua menahan napas dan memasang telinga. Dengkur
Gerald Wade masih bisa terdengar, walaupun terbenam dalam detak-detik delapan
jam weker dari Toko Murgatroyd.
Bab 3 LELUCON YANG GAGAL "JAM dua belas," kata Socks kesal.
Lelucon yang mereka lakukan rupanya tidak berjalan mulus. Tapi jam-jam yang
mereka pasang telah menunaikan tugas masing-masing dengan baik. Jam-jam itu
berbunyi ramai sekali, sehingga Ronny Devereux terbangun dan dengan pikiran
kacau membayangkan bahwa hari kiamat telah tiba. Kalau akibatnya begitu hebat
terdengar di kamar sebelah, tak dapat dia bayangkan bagaimana serunya kejadian
di kamar Gerry sendiri! Ronny cepat-cepat bangun, keluar ke lorong dan
menempelkan telinganya di celah pintu kamar sebelah.
Dia mengira akan mendengar suara makian, tapi dia tidak mendengar apa-apa sama
sekali. Dia tidak mendengar apa yang diharapkan. Hanya detak-detik jam-jam itu
saja yang tetap terdengar - nyaring, angkuh, dan menjengkelkan. Tiba-tiba dia
mendengar dering jam lagi. Suaranya memekakkan telinga, dan pasti akan membuat
marah orang yang tuli sekalipun.
Jam-jam itu telah berfungsi dengan baik, tak perlu diragukan lagi. Dan janji
Tuan Murgatroyd pun bukan isapan jempol. Tapi rupanya mereka menemukan tandingan
yang lebih meyakinkan pada diri Gerry Wade.
Kelompok anak-anak muda itu kelihatan putus asa.
"Si Gerry ini bukan manusia barangkali," gumam Jimmy Thesiger.
"Barangkali dia mengira mendengar suara telepon dari jauh, lalu menggeliat dan
tidur lagi," kata Helen (atau mungkin Nancy).
"Kelihatannya aneh," kata Rupert Bateman serius. "Dia harus pergi ke dokter."
"Barangkali ada gangguan di telinganya," kata Bill.
"Barangkali juga tidak begitu," kata Socks. "Dia diam saja - membalas kita. Pasti
dia terbangun mendengar suara jam seperti itu. Tapi dia pura-pura tidak
mendengar. Balas dendam pada kita."
Setiap orang memandang Socks dengan kagum.
"Ya, mungkin juga begitu," kata Bill.
"Dia memang luwes," lanjut Socks. "Lihat saja. Dia pasti turun lebih lambat lagi
hari ini. Sengaja." Dan karena jarum jam menunjuk angka dua belas lewat beberapa menit, maka mereka
menganggap bahwa teori Socks benar. Hanya Ronny Devereux yang kelihatan gelisah.
"Kalian lupa bahwa aku mengintip di pintu ketika bunyi pertama selesai
berdering. Apa pun yang akan dilakukan Gerry, dering pertama pasti mengejutkan
dia. Di mana kauletakkan jam yang berbunyi paling dulu, Pongo?"
"Di meja kecil dekat kupingnya," kata Tuan Bateman.
"Kau benar, Pongo," kata Ronny. "Sekarang, coba katakan," katanya sambil
berpaling pada Bill, "seandainya ada sebuah jam dengan dering begitu keras
membangunkanmu pada jam enam tiga puluh, bagaimana pendapatmu?"
"Ya, rasanya aku akan memaki - " Bill tidak melanjutkan kalimatnya.
"Ya - aku sendiri pasti juga begitu. Itu lumrah. Tapi itu tidak terjadi. Jadi
Pongo memang benar - pasti ada kelainan dengan telinga Gerry."
"Sekarang sudah jam dua belas lebih dua puluh," kata salah seorang gadis.
"Wah ini sih keterlaluan," kata Jimmy pelan. "Bikin lelucon ya boleh-boleh saja.
Tapi apa tidak keterlaluan untuk keluarga Coote?"
Bill memandang tajam. "Apa maksudmu?"
"Ya - " kata Jimmy. "Si Gerry tidak seperti biasanya."
Sulit rasanya untuk mengatakan apa yang ada dalam benaknya. Dia tidak ingin
banyak bicara. Tapi ia melihat Ronny memandangnya dengan tajam. Tiba-tiba Ronny
menjadi tegang. Pada saat itu Tredwell masuk dan memandang berkeliling dengan ragu-ragu.
"Saya kira Tuan Bateman ada di sini," katanya menerangkan. Nadanya minta maaf.
"Baru saja keluar lewat pintu itu," kata Ronny. "Ada yang bisa dibantu?"
Tredwell memandang Ronny, lalu menatap Jimmy Thesiger. Seolah-olah mendapat
isyarat, keduanya keluar ruangan bersama Tredwell. Tredwell menutup pintu ruang
makan dengan hati-hati. "Nah, ada apa?" tanya Ronny.
"Tuan Wade tidak turun-turun dari kamarnya. Lalu saya memberanikan diri menyuruh
Williams ke kamarnya."
"Lalu?" "Williams baru saja turun tergopoh-gopoh, Tuan," Tredwell berhenti cukup lama
untuk bersiap. "Kelihatannya tuan muda itu sudah - meninggal."
Jimmy dan Ronny memandang Tredwell.
"Tak mungkin," akhirnya Ronny berkata. "Tak mungkin - Gerry - " wajahnya menjadi
cemas. "Aku - aku lihat dulu dia. Si Williams tolol itu pasti keliru."
Tredwell hanya mengembangkan kedua lengannya. Dengan perasaan aneh Jimmy tahu
bahwa apa yang dikatakan Tredwell memang benar.
"Tidak, Tuan. Williams tidak keliru. Saya telah memanggil Dr. Cartwright.
Sementara ini saya telah mengunci pintu kamarnya dan siap untuk memberi tahu
Tuan Oswald tentang hal ini. Saya akan mencari Tuan Bateman."
Tredwell menghilang. Ronny berdiri kaku seperti patung.
"Gerry," katanya sedih.
Jimmy menggandeng lengan kawannya dan menuntunnya ke sudut teras yang
tersembunyi. Dia menyuruh Ronny duduk.
"Jangan panik, Kawan," katanya menghibur. "Kau tak perlu bersedih benar."
Jimmy memandang kawannya dengan penuh rasa ingin tahu. Dia tidak tahu bahwa


Misteri Tujuh Lonceng The Seven Dials Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ronny begitu dekat dengan Gerry Wade.
"Kasihan Gerry," katanya merenung. "Dia kelihatan begitu sehat."
Ronny mengangguk. "Lelucon itu sungguh tidak lucu," sambung Jimmy. "Aneh ya, kenapa sering terjadi
lelucon bercampur dengan tragedi?"
Dia asal bicara saja. Maksudnya memberi waktu pada Ronny untuk mengatasi
kekagetannya. Ronny masih tetap gelisah.
"Mudah-mudahan dokter segera datang. Aku ingin tahu - "
"Tahu apa?" "Sebab kematiannya."
Jimmy memonyongkan mulutnya.
"Jantung?" serunya asal tebak.
Ronny tertawa masam. "Ronny," kata Jimmy.
"Apa?" Dengan sulit Jimmy berusaha melanjutkan kalimatnya.
"Kau tidak berpikir bahwa - maksudku - tidak mungkin, kan kalau ada orang menghantam
kepala Gerry" Aku tidak mengerti kenapa Tredwell mengunci pintu kamarnya."
Jimmy mengharap jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, tapi Ronny hanya
memandang kosong ke depan.
Jimmy menggelengkan kepala dan diam. Tak ada hal yang bisa dilakukannya kecuali
diam menunggu. Jadi dia menunggu saja.
Tredwell muncul di depan mereka.
"Dokter ingin bertemu dengan Anda berdua, Tuan-tuan. Di ruang perpustakaan."
Ronny meloncat bangkit. Jimmy mengikutinya.
Dr. Cartwright adalah seorang muda kurus yang enerjetik, dan berwajah pintar.
Dia menyambut mereka dengan anggukan. Pongo yang kelihatan tambah serius
memperkenalkan dia dengan keduanya.
"Saya dengar Anda adalah kawan dekat Tuan Wade," kata dokter itu kepada Ronny.
"Sahabatnya yang paling karib."
"Hm. Kejadian ini gamblang. Tapi menyedihkan. Dia memang kelihatan sehat. Apa
Anda tahu bahwa dia suka makan obat tidur supaya bisa tidur?"
"Supaya bisa tidur?" Ronny memandang kosong. "Dia selalu tidur seperti kerbau."
"Anda tak pernah dengar dia mengeluh karena tak bisa tidur?"
"Tidak." "Ah. Faktanya sederhana saja. Akan ada pemeriksaan untuk kasus ini."
"Apa yang menyebabkan dia meninggal?"
"Tak diragukan lagi: karena overdosis. Chloral. Obat itu ada di dekat tempat
tidurnya. Juga sebuah botol dan gelas. Menyedihkan."
Adalah Jimmy yang menanyakan pertanyaan yang tertahan di bibir kawannya itu.
"Apa ini sungguh-sungguh?"
Dokter itu memandangnya tajam.
"Kenapa Anda bertanya begitu" Ada alasan yang kuat?"
Jimmy memandang Ronny. Seandainya Ronny mengetahui sesuatu, inilah saat yang
tepat untuk mengatakannya. Tapi anehnya, Ronny hanya menggelengkan kepala.
"Tidak ada," katanya tegas.
"Dan bunuh diri?"
"Tentu saja tidak."
Ronny sangat serius dengan jawabannya. Dokter itu tidak terlalu yakin.
"Apa ada kesulitan yang kalian tahu" Uang" Wanita?"
Ronny menggelengkan kepalanya lagi.
"Nah, sekarang sanak keluarganya. Mereka harus diberi tahu."
"Dia punya seorang adik perempuan - adik tiri. Tinggal di Deane Priory. Kira-kira
dua puluh mil dari sini. Kalau Gerry tidak di kota dia biasa tinggal dengan
adiknya." "Hm. Kalau begitu dia harus diberi tahu," kata dokter itu.
"Saya yang akan pergi kalau begitu," kata Ronny. "Ini pekerjaan yang tidak
menyenangkan, tapi harus ada yang melakukannya." Dia memandang Jimmy. "Kau kenal
dia, kan?" "Ya, kenal juga. Pernah dansa dua atau tiga kali."
"Kalau begitu kita pergi naik mobilmu. Kau tak keberatan, kan" Aku takkan tega
memberi tahunya sendiri."
"Baiklah," kata Jimmy mantap. "Tadinya aku pun hendak menawarkan diri. Tunggu
ya, aku hidupkan dulu bis tua itu."
Dia senang bisa melakukan sesuatu. Sikap Ronny membuatnya bingung. Apa yang dia
ketahui atau curigai" Dan kenapa dia tidak mengatakannya kepada dokter kalau dia
curiga akan sesuatu"
Kini keduanya melaju di dalam mobil Jimmy tanpa peduli akan batas kecepatan dan
bahaya lain. "Jimmy," kata Ronny mulai bicara, "sekarang hanya kau teman baikku."
"Ya, mengapa?" kata Jimmy.
Dia berkata dengan suara serak.
"Aku ingin menceritakan sesuatu - yang kau perlu tahu."
"Tentang Gerry Wade?"
"Ya, tentang dia."
Jimmy menunggu. "Apa sih yang ingin kaukatakan?" akhirnya dia bertanya.
"Aku sedang berpikir apa aku perlu mengatakannya," jawab Ronny.
"Mengapa?" "Aku terikat pada janji."
"Ah. Kalau begitu sebaiknya tidak usah."
Mereka diam. "Tapi aku rasanya kok - Jimmy, aku tahu kau lebih cerdas dariku."
"Barangkali benar," kata Jimmy bergurau.
"Tidak! Ah, aku tidak bisa," kata Ronny tiba-tiba.
"Baiklah," kata Jimmy. "Terserah kamu."
Setelah diam cukup lama, Ronny berkata,
"Bagaimana sih dia kelihatannya?"
"Siapa?" "Gadis itu. Adik Gerry."
Jimmy diam sesaat. Lalu berkata dengan suara yang lain.
"Biasa saja. Tapi bisa juga dikatakan menarik."
"Gerry sangat sayang padanya. Dia sering bicara tentang adiknya itu."
"Dia juga sangat sayang pada Gerry. Pasti dia akan sangat terpukul."
"Ya. Nggak enak benar rasanya."
Mereka tidak bicara sampai mobil mereka parkir di depan Deane Priory.
Pelayan mengatakan bahwa Nona Loraine sedang ada di taman. Tapi kalau mereka
ingin bertemu dengan Nyonya Coker -
Jimmy menjawab bahwa mereka tidak ingin bertemu Nyonya Coker.
"Siapa sih Nyonya Coker?" kata Ronny sambil berjalan di taman yang agak tidak
terurus. "Nyonya tua yang tinggal dengan Loraine."
Mereka berjalan di jalan setapak. Di ujung jalan itu ada seorang gadis dengan
dua anjing spanil hitam. Gadis itu kecil, berkulit pucat, dan mengenakan baju
yang sudah tua. Bukan gadis yang dibayangkan oleh Ronny. Sama sekali bukan
selera Jimmy, Sambil memegang kalung leher salah satu anjing, dia berjalan menemui mereka.
"Halo," katanya. "Jangan perhatikan Elizabeth. Dia baru saja beranak dan selalu
curiga pada orang asing."
Gadis itu sangat ramah dan mudah akrab. Pipinya berubah kemerahan ketika
mendongak dan warna matanya terlihat sangat biru.
Tiba-tiba mata itu membuka semakin lebar - dan menjadi curiga. Apa dia telah
merasa" Jimmy cepat berbicara. "Ini Ronny Devereux, Nona Wade. Anda pasti telah mendengar tentang dia dari
Gerry." "Oh, ya," katanya sambil tersenyum hangat pada Ronny. "Kalian menginap di
Chimneys, ya" Kenapa tidak datang dengan Gerry sekalian?"
"Kami - mm - tidak bisa," kata Ronny pendek.
Wajah gadis itu menunjukkan kekhawatiran.
"Nona Wade," kata Jimmy, "sebenarnya - kami membawa berita buruk."
Gadis itu terkesiap. "Gerry?" "Ya - Gerry. Dia - "
Gadis itu menghentakkan kedua kakinya.
"Oh! Katakan - katakan - " Tiba-tiba dia berpaling pada Ronny. "Kau-lah yang
bercerita." Jimmy merasa sedikit cemburu dan baru di saat itulah dia sadar akan sesuatu yang
selama ini tidak diperhatikannya. Dia kini tahu mengapa Helen, Nancy, dan Socks
adalah sekadar teman baginya. Tak lebih dari itu.
Dia hanya mendengar setengah-setengah apa yang diucapkan Ronny dengan kaku,
"Ya, Nona Wade, akan saya katakan pada Anda. Gerry telah meninggal."
Ternyata gadis itu amat tabah. Dia tersentak dan lemas, tapi dua menit kemudian
dia sudah bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan menyelidik. Bagaimana" Kapan"
Ronny menjawab pertanyaan-pertanyaan itu selembut mungkin.
"Obat tidur" Gerry?"
Suaranya jelas tidak percaya. Jimmy hanya melirik. Tetapi lirikan itu seperti
peringatan. Dia takut kalau Loraine berkata terlalu banyak.
Setelah itu Jimmy menjelaskan perlunya pemeriksaan. Loraine gemetar. Dia menolak
ketika diajak ke Chimneys bersama mereka dan mengatakan akan ke sana sendiri
nanti dengan mobil kecilnya.
"Saya ingin - ingin sendirian dulu sebentar," katanya.
"Ya, saya mengerti," kata Ronny.
"Baiklah kalau begitu," kata Jimmy.
Mereka memandangnya dengan perasaan tidak enak.
"Terima kasih atas kedatangan kalian."
Keduanya pun pergi. Kini ada semacam ketegangan di antara mereka.
"Gadis itu tabah sekali," kata Ronny.
Jimmy mengiyakan. "Gerry adalah kawanku," kata Ronny. "Aku akan menjaga adiknya."
"Ah, ya, tentu saja."
Mereka tidak berkata apa-apa lagi.
Sesampainya di Chimneys Jimmy diberondong dengan tangis Lady Coote.
"Kasihan dia," katanya berulang-ulang. "Kasihan dia."
Jimmy memberikan jawaban dan mencoba menghibur sebisa-bisanya.
Kemudian Lady Coote bercerita panjang-lebar tentang teman-temannya yang telah
meninggal. Jimmy mendengarkan dengan simpatik dan akhirnya bisa melepaskan diri
tanpa bersikap kasar. Dia berlari ke atas. Ronny baru saja keluar dari kamar Gerald Wade. Dia
kelihatan terkejut ketika melihat Jimmy.
"Aku baru saja melihat dia," katanya. "Kau mau melihatnya?"
"Aku rasa tidak," kata Jimmy. Dia adalah seorang pemuda yang sehat dan tidak
senang diingatkan pada kematian.
"Sebagai teman rasanya kita harus melihatnya."
"Oh, begitu, ya?" kata Jimmy. Wajahnya yang sebal itu membuat Ronny Devereux
terheran-heran. "Ya. Sebagai penghormatan."
Jimmy menarik napas, tapi akhirnya menyerah.
"Baiklah." Dia masuk sambil menggertakkan gigi.
Dia melihat bunga-bunga putih menghias penutup mayat dan kamar itu telah
dirapikan. Jimmy memandang wajah pucat dan mati itu dengan gugup. Apakah ini Gerry Wade
yang tembam berwajah merah itu" Dia merinding.
Ketika dia berbalik hendak meninggalkan kamar, dengan heran dia melihat jam-jam
weker itu diletakkan berderet di atas perapian. Saking kagetnya langkahnya
sampai terhenti. Dia keluar dengan cepat. Ronny menunggunya di luar.
"Kelihatan sangat tenang dan damai. Benar-benar malang nasibnya," gumam Jimmy.
Lalu dia berkata, "Ronny, siapa yang meletakkan jam-jam berderet seperti itu?"
"Mana aku tahu" Salah seorang pelayan barangkali."
"Lucunya," kata Jimmy, "hanya ada tujuh jam, bukan delapan. Salah satu hilang.
Kau memperhatikan tidak?"
Ronny mengatakan sesuatu yang tak jelas. "Tujuh, bukan delapan," kata Jimmy
sambil mengernyitkan dahi. "Mengapa, ya?"
Bab 4 SURAT "SEMAUNYA sendiri," kata Lord Caterham.
Dia bicara sendiri dengan suara pelan dan halus, kelihatan senang dengan istilah
yang baru diucapkannya. "Ya - benar. Semaunya sendiri. Orang-orang yang berhasil karena usaha sendiri,
menurut saya jadi suka bersikap semau gue. Barangkali karena itu mereka bisa
bergelimang uang." Dia memandang istananya yang baru saja diserahkan kembali kepadanya hari itu.
Anak perempuannya, Lady Eileen Brent, yang lebih populer dengan nama "Bundle" di
antara teman-temannya, hanya tertawa melihat ayahnya.
"Ayah memang tak akan bergelimang uang," katanya, "walaupun penghasilan dari si
tua Coote itu lumayan juga. Bagaimana sih rupanya" Cukup meyakinkan?"
"Orangnya besar," kata Lord Caterham, sedikit bergidik, "mukanya persegi
kemerahan, berambut abu-abu. Berwibawa. Pribadi yang punya kharisma besar.
Pendeknya orang yang tak bisa dibantah."
"Membosankan?" tanya Bundle penuh simpati.
"Sangat membosankan. Penuh aturan-aturan, seperti tepat waktu, kontrol diri, dan
lain-lain. Mana yang lebih jelek, industrialis sok kuasa atau politikus fanatik"
Aku sih lebih suka orang yang santai dan menyenangkan meskipun mungkin tidak
efisien." "Orang yang santai dan menyenangkan tak akan bisa membayar uang sewa museum Ayah
ini," kata Bundle mengingatkan.
Lord Caterham kelihatan sedih.
"Sebaiknya kau jangan bicara soal itu, Bundle. Kita kan baru saja melupakannya."
"Ah, Ayah kok sensitif amat. Setiap orang kan pasti mati pada suatu saat," kata
Bundle. "Tapi jangan di rumah ini," kata Lord Caterham.
"Kenapa tidak" Kan sudah banyak orang meninggal di rumah ini. Kakeknya kakek,
neneknya nenek, dan lain-lain."
"Itu kan lain. Tentu saja keluarga Brent meninggal di sini. Jangan dihitung.
Tapi orang luar kan tak perlu meninggal di rumah ini. Aku sebal harus menghadapi
pemeriksaan. Rasanya ini akan jadi kebiasaan. Ini sudah yang kedua kali. Ingat
tidak peristiwa 4 tahun yang lalu" Itu semua kesalahan George Lomax."
"Dan sekarang Ayah menyalahkan si tua Coote itu" Dia pun pasti tidak senang
dengan kejadian ini."
"Semaunya sendiri," kata Lord Caterham tanpa peduli. "Orang yang begitu
seharusnya tidak usah diundang. Dan kau boleh saja berkata apa yang kaumaui,
Bundle, tapi aku tetap tidak suka dengan pemeriksaan itu. Aku tak mau campur
tangan." "Ini kan tidak sama dengan peristiwa 4 tahun yang lalu, Yah," kata Bundle
menghibur. "Ini kan bukan pembunuhan."
"Mungkin saja - lihat saja tingkah inspektur polisi itu. Dulu dia tidak mendapat
kesempatan menyelesaikan perkara itu. Dan dia pikir setiap kematian yang terjadi
di sini pasti ada hubungannya dengan persoalan politik. Kau kan tidak tahu apa
yang diributkan dia. Aku sudah mendengarnya dari Tredwell. Dia cari-cari sidik
jari. Dan tentu saja yang ditemukan adalah sidik jari orang mati itu. Aku tak
tahu apakah itu bunuh diri atau kecelakaan. Pokoknya jelas salah satu dari itu."
"Aku pernah bertemu dengan Gerry Wade sekali," kata Bundle. "Dia kawan Bill.
Ayah pasti suka seandainya Ayah kenal dia. Orang yang paling santai dan
menyenangkan." "Aku tidak suka orang yang datang dan mati di rumahku dengan tujuan membuatku
marah," kata Lord Caterham.
"Rasanya tak ada orang yang sengaja membunuh dia. Aneh sekali kalau ada," kata
Bundle. "Orang lain bisa saja berpikir begitu. Tapi si tolol Inspektur Raglan itu tak
akan berpikir demikian," kata Lord Caterham.
"Barangkali mencari sidik jari membuat pekerjaannya kelihatan penting," kata
Bundle menghibur. "Setidaknya kejadian ini dimasukkan dalam daftar 'Kematian tak
disengaja', bukan?" Lord Caterham menarik napas.
"Mereka tidak peduli dengan perasaan adik perempuannya."
"Apa dia punya adik" Aku tidak pernah dengar."
"Adik tiri kalau tidak salah. Jauh lebih muda. Bapaknya kawin lagi dengan ibunya
- si tua Wade itu memang selalu begitu. Tak ada wanita yang lebih menarik kecuali


Misteri Tujuh Lonceng The Seven Dials Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang telah menjadi milik orang lain."
"Aku senang ada kebiasaan buruk yang tidak Ayah lakukan," kata Bundle.
"Aku selalu hidup terhormat dan takut pada Tuhan," kata Lord Caterham. "Heran.
Aku kan tidak pernah menyusahkan orang lain. Tapi kok ada-ada saja yang
menggangguku. Kalau saja - "
Dia berhenti ketika Bundle berjalan menuju jendela.
"MacDonald," panggil Bundle dengan suara nyaring dan berkuasa.
Laki-laki sombong itu mendekat. Sesuatu yang dimaksudkannya sebagai senyum
selamat datang tak jadi menghiasi wajahnya, karena tampangnya yang murung -
seperti umumnya tampang tukang kebun.
"Ya, Nona," katanya.
"Apa kabar?" kata Bundle.
"Biasa saja," kata MacDonald.
"Aku ingin bicara tentang lapangan bowling itu. Rumputnya sudah tinggi. Suruh
seseorang membersihkan."
MacDonald menggelengkan kepala ragu-ragu.
"Itu berarti menyuruh William meninggalkan tugasnya di bagian lain."
"Aku tak peduli. Suruh dia cepat mulai kerja. Dan lagi - "
"Ya, Nona?" "Ambil anggur dari kebun belakang. Aku tahu bahwa sekarang belum waktunya
memetik anggur itu karena kau selalu berkata begitu. Tapi aku ingin kau
memetikkannya. Mengerti?"
Bundle masuk ke perpustakaan lagi.
"Maaf, Yah," katanya. "Mumpung lihat MacDonald. Ayah tadi bicara apa?"
"Sudahlah. Tidak penting, kok," kata Lord Caterham, "Kau bicara apa dengan
MacDonald?" "Cuma menyadarkan bahwa dia bukan Tuhan. Sulit. Pasti MacDonald juga tidak acuh
pada Tuan Coote. Kalau istrinya seperti apa?"
Lord Caterham berpikir. "Seperti Nyonya Siddons," jawabnya. "Senang dengan teater amatir kelihatannya.
Tapi dia pasti sedih dengan urusan jam itu."
"Urusan jam yang mana?"
"Tredwell yang cerita. Kelihatannya mereka bikin lelucon. Mereka membeli jam
weker banyak sekali dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur si Gerry.
Kemudian dia meninggal. Tentunya lelucon itu jadi tidak lucu."
Bundle mengangguk. "Ada lagi yang diceritakan Tredwell tentang jam itu," lanjut Lord Caterham.
Sikapnya sekarang sudah berubah tenang. "Kelihatannya ada yang mengumpulkan jam-
jam itu dan membariskannya di atas perapian setelah pemuda itu meninggal."
"Memangnya kenapa?" tanya Bundle.
"Memang tidak aneh," kata Lord Caterham. "Tapi yang lucu tidak seorang pun
mengaku melakukannya. Para pelayan bersumpah tidak pernah menyentuh jam-jam itu.
Hal itu bahkan merupakan suatu misteri. Dan pemeriksa menanyakan hal itu dalam
pemeriksaan. Dan kau sendiri tahu kan, sulit menerangkan sesuatu pada orang-
orang semacam itu." "Benar-benar konyol," kata Bundle.
"Memang," kata Lord Caterham, "agak sulit juga melupakan persoalan itu. Aku
sendiri tidak mengerti cerita Tredwell. O ya, Bundle, si Gerry itu ternyata
meninggal di kamarmu."
Bundle menyeringai. "Kenapa sih orang meninggal di kamarku?" katanya gemas.
"Itulah yang baru aku katakan," kata Lord Caterham penuh kemenangan. "Semaunya
sendiri. Rasanya semua orang sekarang ini semaunya sendiri-sendiri. Tidak mau
memikirkan orang lain."
"Bukannya aku keberatan," kata Bundle. "Aku ini tak peduli."
"Kalau aku terus terang, ya," kata ayahnya. "Pasti aku tak bisa tidur kalau itu
kamarku. Mimpi yang tidak-tidak. Tangan yang menyeramkan dan rantai yang
berdenting-denting."
"Ali, Nenek Louisa kan meninggal di tempat tidur Ayah. Ayah kok tidak melihat
hantunya gentayangan."
"Aku melihatnya kadang-kadang," katanya sedikit bergidik. "Terutama setelah
makan udang." "Ah, untunglah aku tidak percaya takhyul," kata Bundle.
Walaupun demikian, malam itu Bundle tak bisa lepas dari pikiran tersebut. Sambil
duduk di depan perapian kamarnya, dia membayangkan Gerry Wade yang muda, penuh
vitalitas dan hidup. Sulit untuk percaya bahwa orang seperti itu membunuh
dirinya sendiri. Tidak, pemecahan masalah ini harus benar. Dia meminum obat
tidur dan keliru dosis. Itu memang mungkin. Gerry bukan orang bodoh.
Matanya memandang perapian dan kepalanya memikirkan cerita tentang jam-jam itu.
Pelayannya juga bercerita tentang jam dan menambahkan satu hal yang belum atau
tidak diceritakan Tredwell pada ayahnya. Dan hal itu menimbulkan rasa ingin tahu
Bundle. Tujuh buah jam dijajarkan dengan rapi di atas perapian. Yang satunya ditemukan
di halaman luar. Kelihatannya jam itu dilempar keluar dari jendela.
Bundle berpikir keras. Seperti hal yang tak ada gunanya untuk dilakukan.
Barangkali salah seorang pelayan wanita merapikan jam-jam itu. Karena takut
ditanya-tanya dia tidak mengaku. Tapi tentunya tak seorang pelayan pun melempar
jam ke luar jendela. Apakah mungkin Gerry Wade yang melemparnya ketika terkejut mendengar deringnya"
Ah, tak mungkin. Dia mendengar bahwa Gerry meninggal pagi sekali. Beberapa saat
sebelum itu kondisinya pasti sudah koma.
Bundle mengerutkan keningnya. Urusan jam ini memang mencurigakan. Dia harus
bicara dengan Bill Eversleigh. Dia tahu bahwa Bill ada di sini waktu itu.
Bagi Bundle, berpikir sama artinya dengan bertindak. Dia berdiri dan pergi ke
meja tulisnya. Meja itu bisa dibuka dan ditutup. Bundle duduk dan mengeluarkan
selembar kertas lalu mulai menulis.
Bill, - Dia berhenti lalu menarik bagian bawah mejanya. Ternyata macet. Memang sering
begitu. Bundle menariknya lagi tapi tak berhasil. Dia ingat meja itu pernah
macet karena tersumbat amplop. Bundle mengambil pisau surat dan mengutik-ngutik
celahnya. Nampak ujung selembar kertas putih. Bundle menariknya. Ternyata
selembar kertas kusut, dan merupakan lembar pertama sebuah surat.
Yang pertama-tama menarik perhatian Bundle adalah tanggal surat itu. 21
September. "21 September. Itu kan hari - " gumam Bundle perlahan.
Dia diam. Ya, dia yakin. Tanggal 22 September Gerry Wade ditemukan meninggal
dunia. Kalau begitu surat itu ditulis pada malam hari sebelum dia meninggal.
Bundle meluruskan kertas itu dan membacanya. Surat itu belum selesai ditulis.
"Loraine kekasihku, Aku akan datang hari Rabu. Aku merasa sehat dan gembira. Tapi aku akan bahagia
sekali bila bertemu denganmu. Tolong lupakan cerita tentang Tujuh Lonceng itu.
Kelihatannya cerita itu seperti lelucon. Tapi bukan. Seharusnya kau tidak perlu
ikut terlibat dalam soal itu. jadi lupakan saja.
Ada lagi yang ingin kukatakan. Tapi mataku begitu mengantuk. Rasanya sulit
dibuka. Oh, tentang Lurcher. Aku rasa - "
Surat itu berhenti sampai di situ.
Bundle duduk mengerutkan kening. Tujuh Lonceng, Di mana" Nama sebuah daerah
kumuh di London. Kata Tujuh Lonceng itu mengingatkannya pada hal lain - tapi saat
itu dia tidak tahu apa. Perhatiannya tercurah pada dua kalimat. "Aku merasa
sehat..." dan "Tapi mataku begitu mengantuk. Rasanya sulit dibuka."
Sama sekali tidak cocok. Tidak cocok. Karena pada malam itulah Gerry Wade
meminum chloral begitu banyak sehingga tak dapat bangun lagi. Dan seandainya
yang ditulis dalam surat itu benar, mengapa dia minum chloral"
Bundle menggelengkan kepala. Dia memandang berkeliling dan bulu kuduknya
berdiri. Seandainya Gerry Wade memandangnya sekarang ini. Di kamar ini. Di
tempat dia meninggal... Dia duduk diam. Sepi, tak ada suara, kecuali detik suara jam weker emas
miliknya. Bunyi detiknya terdengar keras sekali.
Bundle memandang perapian. Sebuah bayangan muncul di benaknya. Gerry yang
terbaring di tempat tidur, dan tujuh jam weker berdetik di atas perapian -
berdetik keras, mengancam... berdetik... tik... tik...
Bab 5 LAKI-LAKI DI JALAN "AYAH," kata Bundle sambil membuka pintu kamar Lord Caterham. "Aku akan ke kota.
Sepi sekali di sini."
"Kita baru datang kemarin," gerutu ayahnya.
"Ya, memang. Tapi rasanya sudah seratus tahun. Membosankan benar tempat ini."
"Aku tak setuju," kata Lord Caterham. "Di sini tenang - tenang dan menyenangkan.
Aku senang kembali ke rumah ini, dan dilayani Tredwell lagi. Dia benar-benar
mengerti kesukaanku dan membuatku tenang. Ada orang datang kemari tadi pagi dan
tanya apakah mereka bisa mengadakan pertemuan untuk pandu putri di sini.
Untunglah ada Tredwell. Kalau tidak pasti aku susah menolaknya. Tredwell
menjawab begitu bagus sehingga yang mendengar pasti tak akan sakit hati."
"Menyenangkan saja tidak cukup bagiku. Aku perlu sesuatu yang mendebarkan," kata
Bundle. Lord Caterham bergidik. "Apa kita tak cukup punya hal yang mendebarkan empat tahun yang lalu?" tanyanya.
"Aku rasanya ingin lagi," kata Bundle. "Bukannya aku berharap akan menemukannya
di kota. Pokoknya aku tidak mau melelahkan rahangku dengan menguap terus-
terusan." "Menurut pengalamanku," kata Lord Caterham, "orang yang pergi mencari kesulitan
biasanya benar-benar menemui kesulitan." Dia menguap. "Rasanya aku juga ingin
pergi ke kota." "Ayo sekalian kalau begitu. Tapi cepat karena aku terburu-buru."
Lord Caterham yang akan berdiri dari kursinya, duduk lagi.
"Kau terburu-buru?" tanyanya curiga.
"Ya. Sangat terburu-buru," kata Bundle.
"Tidak jadi saja kalau begitu," kata Lord Caterham. "Aku tak ingin ikut naik
mobil Hispano-mu itu kalau kau terburu-buru. Tidak baik untuk orang yang sudah
tua. Aku di sini saja."
"Baiklah," kata Bundle sambil keluar.
Tredwell muncul di pintu menggantikan dia.
"Ada Pak Pendeta ingin bertemu Tuan. Ingin membicarakan status Boy's Brigade."
Lord Caterham menarik napas.
"Saya dengar waktu sarapan tadi, Tuan berkata akan jalan-jalan ke desa dan
bicara dengan Pak Pendeta tentang hal itu."
"Kau memberi tahu dia?" tanya Lord Caterham.
"Ya, Tuan. Dia sudah pergi - kalau boleh saya katakan - dengan kesal. Apakah yang
saya lakukan keliru?"
"Tentu saja tidak. Kau tak pernah keliru."
Tredwell tersenyum dan keluar.
Bundle membunyikan klaksonnya keras-keras di depan pintu gerbang. Seorang anak
keluar berlari dari pondok untuk membuka pintu. Ibunya mengikuti dari belakang.
"Cepat, Katie. Pasti nona muda sedang terburu-buru seperti biasa."
Bundle memang selalu terburu-buru terutama kalau mengendarai mobil. Dia memang
pengemudi yang baik sekaligus pemberani; kalau tidak, pasti sudah mengalami
kecelakaan berkali-kali. Hari itu udara bulan Oktober terasa hangat. Langit biru dan matahari bersinar
cerah sekali. Angin segar menepis pipi Bundle dan membuatnya bersemangat.
Pagi tadi dia mengirim surat Gerry Wade yang belum selesai itu ke Loraine Wade
di Deane Priory dengan sedikit keterangan. Apa yang dibacanya masih gelap
baginya dan dia berharap bisa mendapat penjelasan tentang hal itu. Dia bermaksud
menemui Bill Eversleigh dan mencari keterangan lebih banyak, tentang liburan
yang berakhir tragis itu. Sementara itu, pagi begitu cerah dan dia merasa sangat
bersemangat. Bundle menginjakkan kakinya ke pedal gas dan mobil itu memberi jawaban yang
mengasyikkan. Dia lewati mil demi mil, lalu lintas masih sepi. Akhirnya Bundle
sampai ke jalan yang lurus dan kosong tanpa mobil.
Tiba-tiba seorang laki-laki menggelinding dari pagar ke jalan tepat di depan
mobil. Bundle tak punya kesempatan untuk menghentikan mobilnya. Dia membanting
setir ke kanan. Mobil itu hampir masuk selokan. Nyaris. Sebuah manuver yang
berbahaya, tetapi dia berhasil. Bundle merasa yakin bahwa dia menghindari orang
itu. Dia melihat ke belakang. Perutnya terasa mual. Mobilnya tidak menabrak orang
itu, tapi tentunya menyerempet dia. Laki-laki itu tergeletak dengan muka
telungkup. Diam tak bergerak.
Bundle keluar dan mendekatinya. Dia tak pernah melindas sesuatu yang lebih
berharga dari seekor ayam liar. Tak terlintas dalam kepalanya adanya kemungkinan
bahwa laki-laki itu meninggal bukan karena dia. Laki-laki itu kelihatan mabuk.
Mabuk atau tidak, Bundle telah membunuhnya. Lagi-lagi dia merasa mual.
Jantungnya berdetak begitu keras seolah-olah ada di dekat telinganya.
Dia berjongkok lalu ditelentangkannya orang itu. Orang itu tidak mengeluh atau
mengerang. Masih muda. Wajahnya menarik. Bajunya bagus dan di atas mulutnya ada
kumis tipis. Dia tidak melihat luka-luka di badannya. Tapi dia tahu, bahwa orang itu sudah
meninggal atau sedang sekarat. Kelopak matanya terbuka sedikit. Mata coklat yang
menderita itu berusaha bertahan. Mulutnya berbisik. Bundle mendekatkan
kepalanya. "Ya," katanya. "Apa?"
Ada yang ingin dikatakannya. Yang sangat ingin dikatakannya. Dan Bundle tak bisa
berbuat apa-apa, tak bisa membantunya.
Akhirnya dengan susah payah kata-kata itu keluar juga.
"Tujuh Lonceng... katakan..."
"Ya," kata Bundle lagi. Pria itu berusaha menyebutkan nama - berusaha sekuat
tenaga. "Pada siapa?"
"Katakan... Jimmy Thesiger...." Akhirnya dia bisa mengeluarkan nama itu. Tiba-
tiba kepalanya terkulai dan badannya lemas.
Bundle terduduk. Badannya gemetar. Tak pernah ia bayangkan akan mengalami hal
yang begitu mengerikan. Orang itu mati. Dialah yang menyebabkannya.
Dia berusaha menabahkan hati dan menenangkan diri. Apa yang harus dilakukannya"
Dokter - itu reaksinya yang pertama. Barangkali - dan itu mungkin - laki-laki itu
hanya pingsan. Bukan mati. Tapi instingnya tidak mengatakan demikian. Dia
memaksakan diri untuk menerima kenyataan itu. Bagaimanapun dia harus memasukkan
orang itu ke mobil dan membawanya ke dokter terdekat. Jalanan itu sangat sunyi
dan daerah itu memang terpencil. Dia tak dapat mengharapkan pertolongan orang
lain. Walaupun tubuhnya langsing, Bundle adalah gadis yang kuat. Dia mendekatkan
mobilnya ke tubuh yang tergeletak itu dan dengan sekuat tenaga mengangkat dan
menyeret tubuh itu ke dalam mobil. Dengan susah payah akhirnya dia berhasil
menyelesaikan "pekerjaan" yang mengerikan itu.
Kemudian dia meloncat ke belakang kemudi dan melaju ke sebuah kota kecil.
Setelah bertanya-tanya mencari dokter akhirnya dia menghentikan mobil itu di
alamat yang dituju. Dokter Cassell adalah seorang laki-laki setengah baya yang baik hati. Dia
terkejut melihat seorang gadis yang hampir pingsan.
Bundle bicara dengan cepat.
"Saya - saya baru saja membunuh orang. Saya menabrak dia. Dia ada di mobil. Di
luar. Saya - saya rasa saya mengemudi terlalu kencang. Saya selalu mengemudikan
mobil kencang-kencang."
Dokter itu hanya memandangnya sekilas lalu mengambil sesuatu dari rak dan
menuangnya ke dalam gelas. Dia memberikan gelas itu pada Bundle.
"Minumlah. Kau baru saja kena shock," katanya.
Bundle menurut dan wajahnya yang pucat pelan-pelan menjadi merah. Dokter itu
menganggukkan kepala. "Bagus. Sekarang duduklah tenang-tenang di sini. Saya akan keluar memeriksa
orang itu. Sesudah itu kita bicara."
Dokter itu keluar. Bundle memandang jam di atas perapian. Lima menit, sepuluh
menit, seperempat jam, dua puluh menit. Apa dia tidak kembali lagi"
Kemudian pintu terbuka dan Dr. Cassell muncul. Wajahnya berubah muram dan
kelihatan lebih hati-hati. Bundle bisa melihatnya dengan cepat. Ada sesuatu yang
lain. Sesuatu yang dicoba ditekannya.
"Baiklah, Nona muda," katanya. "Sekarang kita bicara. Kau tadi mengatakan
menabrak orang itu. Bagaimana ceritanya?"
Bundle mencoba menjelaskan sebaik-baiknya. Dokter itu mendengarkan dengan
sungguh-sungguh. "Kalau begitu mobilmu tidak menabrak dia?"
"Tidak. Saya rasa mobil saya bahkan tidak menyentuhnya."
"Kau tadi mengatakan dia jatuh menggelinding?"
"Ya, saya kira dia mabuk."


Misteri Tujuh Lonceng The Seven Dials Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan dia menggelinding dari pagar?"
"Kalau tak salah ada pintu gerbang di sana. Tentunya dia melewati pintu itu."
Dokter itu mengangguk. Lalu menyandarkan diri ke kursi, dan mengangkat kaca
matanya. "Saya percaya bahwa kau memang tukang ngebut, dan ada kemungkinan suatu ketika
menabrak orang. Tapi tidak kali ini."
"Lho - " "Mobilmu memang tidak menyentuh tubuh orang itu. Dia mati tertembak."
Bab 6 TUJUH LONCENG LAGI BUNDLE memandangnya bengong. Dan dunia yang terjungkir-balik selama tiga
perempat jam, akhirnya terasa tegak dan normal kembali. Bundle tidak segera
bicara. Tapi ketika akhirnya dia bicara, maka yang terdengar adalah suara Bundle
yang asli, tenang, efisien, dan logis.
"Bagaimana mungkin dia tertembak?" katanya.
"Aku tak tahu bagaimana," kata dokter itu datar. "Tapi dia kena tembak. Ada
peluru di dalam tubuhnya. Dan dia terluka di dalam. Karena itu kau tidak
melihatnya." Bundle mengangguk. "Persoalannya adalah siapa yang menembak dia. Kau melihat seseorang?" Dokter itu
melanjutkan. Bundle menggelengkan kepala.
"Aneh," kata Dokter Cassell. "Kalau ini merupakan kecelakaan, orang yang
menembak itu pasti akan berlari menolong - kecuali bila dia tidak tahu bahwa yang
telah dilakukannya mencelakakan orang lain."
"Tak ada orang di sana. Maksud saya di jalan itu," kata Bundle.
"Kalau begitu anak muda itu pasti berlari-lari - lalu kena peluru nyasar ketika
dia melewati gerbang. Dia menggelinding jatuh. Ada terdengar tembakan?"
Bundle menggelengkan kepala.
"Tapi barangkali saya tidak mendengarnya. Mesin mobil itu sangat keras
suaranya." "Ya. Dia tidak mengatakan apa-apa sebelum meninggal?"
"Dia menggumamkan beberapa kata."
"Tak memberi penjelasan tentang tragedi ini?"
"Tidak. Dia menginginkan sesuatu - saya tak tahu apa itu - dia ingin agar saya
memberi tahu kawannya. Oh! Ya, dia menyebut Tujuh Lonceng."
"Hm. Bukan daerah yang pantas untuk orang seperti dia. Barangkali pembunuhnya
datang dari sana. Sudahlah, kita tak perlu bingung tentang hal itu sekarang. Kau
bisa menyerahkan urusan ini padaku dan aku akan memberi tahu polisi. Tentu saja
kau perlu meninggalkan nama dan alamat karena polisi pasti akan menanyaimu.
Barangkali sebaiknya kita ke sana bersama-sama."
Mereka naik mobil Bundle. Inspektur polisi itu bicaranya pelan. Dia agak
terkejut mendengar nama dan alamat Bundle dan menulisnya dengan hati-hati.
"Anak-anak! Paling anak-anak yang sedang berlatih menembak burung. Ceroboh
memang. Tidak pernah mempertimbangkan peluru bisa nyasar ke orang."
Dokter Cassell menganggap bahwa yang dikatakan polisi tidak masuk akal, tapi dia
sadar bahwa urusan itu telah menjadi wewenang yang berwajib dan tidak mau
bertarik urat dengannya. "Nama korban?" tanya sersan sambil membasahi pensilnya.
"Dia menyimpan kartu. Namanya Ronald Devereux dengan alamat Albany."
Bundle mengernyitkan dahi. Rasa-rasanya pernah dengar nama itu. Dia merasa yakin
pernah mendengar nama itu.
Di tengah perjalanan kembali ke Chimneys barulah dia ingat. Ya! Ronny Devereux.
Teman Bill di Departemen Luar Negeri. Dia dan Bill dan ya - Gerald Wade.
Hampir saja Bundle menabrak pagar tanaman. Pertama-tama Gerald Wade - lalu Ronny
Devereux. Kematian Gerry Wade mungkin wajar - akibat kecerobohan. Tapi Ronny -
kematiannya menimbulkan rasa curiga.
Kemudian Bundle ingat satu hal lagi. Tujuh Lonceng! Ketika Ronny berusaha
mempertahankan nyawanya, dia mengatakan kata-kata itu. Dan Bundle merasa tidak
aneh mendengarnya. Sekarang dia mengerti. Gerald Wade pernah menuliskan kata-
kata yang sama dalam suratnya kepada adiknya. Dan hal itu mempunyai hubungan
dengan Suatu hal lagi yang tak bisa diingatnya.
Dengan pikiran memenuhi kepala, Bundle mengurangi kecepatan mobilnya tanpa
suara. Tak seorang pun mendengar kedatangannya. Dia memasukkan mobil ke garasi
dan pergi mencari ayahnya.
Lord Caterham sedang asyik membaca katalog yang mengiklankan penjualan buku-buku
langka. Dia heran ketika melihat Bundle.
"He - bagaimana mungkin kau bisa ke London dan balik lagi secepat ini?" serunya.
"Aku belum sampai ke sana," kata Bundle. "Aku menabrak orang."
"Apa?" "Sebenarnya tidak. Dia tertembak."
"Bagaimana bisa begitu?"
"Rasanya memang tak mungkin. Tapi memang itu yang terjadi."
"Tapi mengapa engkau menembak dia?"
"Aku tak menembaknya."
"Kau tak boleh menembak orang," kata Lord Caterham dengan nada mengecam.
"Jangan. Memang ada orang-orang yang pantas ditembak - tapi bagaimanapun juga itu
akan membawa kesulitan."
"Aku kan tidak menembak orang."
"Kalau begitu siapa?"
"Tak tahu," jawab Bundle.
"Jangan ngawur," kata Lord Caterham. "Tak mungkin orang tertembak dan tertabrak
tanpa ada yang melakukannya."
"Dia tidak tertabrak," protes Bundle.
"Aku kira kau tadi mengatakan begitu."
"Aku mengatakan kelihatannya."
"Barangkali banmu meletus," kata Lord Caterham. "Bisa kedengaran seperti suara
tembakan. Buku-buku detektif kan mengatakan begitu."
"Ayah ini memang keterlaluan. Punya otak kelinci pun tidak."
"He, kan kamu yang datang dan cerita tentang orang tertabrak dan tertembak dan
apa lagi. Apa kauharap aku bisa langsung mengerti cerita seperti itu?"
Bundle menarik napas panjang.
"Sebentar," kata Bundle. "Aku akan ceritakan semuanya dalam kata-kata bersuku
kata satu." "Nah, mengerti?" katanya setelah selesai.
"Tentu saja. Aku juga mengerti mengapa kau sedikit bingung. Sebelum kau
berangkat tadi telah kukatakan bahwa orang yang ingin cari perkara biasanya
menemukannya. Untunglah aku tidak jadi ikut," kata Lord Caterham sedikit
bergidik. Dia mengambil katalognya lagi.
"Ayah, di mana sih Tujuh Lonceng?"
"Di daerah East End, kalau tidak salah. Aku sering melihat bis ke arah sana.
Atau aku keliru dengan Tujuh Loteng" Aku sendiri belum pernah ke sana.
Untunglah. Kelihatannya bukan tempat yang menyenangkan. He - rasanya belum lama
ini aku dengar juga nama itu."
"Ayah tahu Jimmy Thesiger?"
Lord Caterham sekarang asyik lagi dengan katalognya. Dia telah berusaha untuk
mengerti tentang Tujuh Lonceng. Tapi kali ini dia tidak peduli sama sekali.
"Thesiger," gumamnya. "Thesiger. Salah seorang Thesiger dari Yorkshire?"
"Itu yang aku tanya, Yah. Tolong dong, Yah. Ini penting."
Lord Caterham berusaha nampak bersungguh-sungguh, meskipun sebenarnya dia sama
sekali tidak peduli. "Memang ada Thesiger Yorkshire dan ada juga Thesiger Devonshire. Bibi Selina kan
menikah dengan seorang Thesiger."
"Itu bukan urusanku," seru Bundle.
Lord Caterham tertawa. "Bagi nenekmu itu juga nggak ada urusan, apakah aku ingat dia atau tidak."
"Ayah ada-ada saja," kata Bundle sambil berdiri. "Aku akan bicara dengan Bill."
"Ya - ya. Bicaralah," kata Lord Caterham dengan linglung sambil membaca katalog.
Bundle bangkit dengan kesal.
"Kalau saja aku ingat isi surat itu," gumamnya. "Aku tidak membacanya dengan
teliti. Apa, ya" Lelucon. Tujuh Lonceng bukan lelucon."
Lord Caterham tiba-tiba mendongakkan kepala.
"Tujuh Lonceng?" katanya. "Aku ingat sekarang."
"Ingat apa?" "Aku tahu mengapa nama itu rasanya pernah kudengar. George Lomax tadi kemari.
Dan Tredwell membiarkannya masuk. Dia akan ke London. Kelihatannya dia akan
mengadakan jamuan politik di Abbey minggu depan dan dia mendapat surat
peringatan." "Apa maksud Ayah dengan surat peringatan?"
"Sebenarnya aku juga tidak tahu. Dia tidak menjelaskannya. Kalau tidak salah
surat itu berbunyi "Hati-hati" atau "Bahaya". Pokoknya begitu. Tapi surat itu
dikirim dari Tujuh Lonceng. Aku ingat sekali dia mengatakannya begitu. Dia ke
kota untuk menjelaskan hal itu pada Scotland Yard. Kau kan tahu George?"
Bundle mengangguk. Tentu saja dia kenal Yang Mulia Menteri Kabinet George Lomax
dari Departemen Luar Negeri, yang banyak disingkiri orang karena kebiasaannya
berpidato dalam acara-acara tidak resmi. Dengan mata melotot seperti ikan
maskoki, dia dikenal oleh beberapa orang dengan nama Codders.
"Apa Codders tertarik dengan kematian Gerald Wade?"
"Aku tak pernah dengar. Mungkin juga."
Bundle diam saja. Dia berusaha mengingat bunyi surat yang dikirim ke Loraine
Wade sambil membayangkan gadis macam apa si Loraine ini. Gadis macam apa yang
begitu dicintai si Gerald Wade ini" Bertambah lama dia memikirkan hal tersebut,
bertambah aneh rasanya bunyi surat yang dikirim Gerald Wade kepada adiknya.
Tidak seperti surat seorang kakak kepada adiknya.
"Apakah Loraine Wade itu adik tiri Gerry?" tanyanya tiba-tiba.
"Yah, menurut aku malah bukan adiknya sama sekali."
"Tapi namanya kan Wade?"
"Sebenarnya bukan juga. Dia bukan anak si Wade tua itu. Laki-laki itu lari
dengan istri keduanya, bekas istri seorang penjahat. Barangkali pengadilan
memberi hak pada penjahat-penjahat itu untuk memelihara anaknya, tapi tentu saja
tidak mungkin. Sementara itu si Wade tua tambah lama tambah sayang pada anak
tirinya dan memberikan namanya kepadanya."
"Ah. Pantas kalau begitu," kata Bundle.
"Apanya?" "Ada yang membingungkan dalam surat itu."
"Anak itu cantik kata orang," sahut Lord Caterham.
Bundle menaiki anak tangga dengan pikiran berat. Dia membuat rencana. Pertama
dia akan menemui Jimmy Thesiger. Di sini Bill akan sangat membantu. Ronny
Devereux dulu teman Bill. Kalau Jimmy Thesiger adalah teman Ronny, mungkin Bill
tahu dia pula. Lalu gadis itu. Loraine Wade. Barangkali dia bisa membantu
memberi petunjuk tentang misteri Tujuh Lonceng. Kelihatannya Gerry Wade pernah
mengatakan sesuatu padanya. Dan keinginannya agar gadis itu melupakan apa yang
pernah dikatakannya justru menimbulkan rasa curiga.
Bab 7 BUNDLE BERTAMU MENCARI Bill memang tidak mudah. Bundle pergi ke London esok paginya - tanpa
halangan apa pun di jalan. Dia menelepon Bill. Dan Bill menyambut dengan sigap
serta mengajaknya berkencan makan siang, minum teh, makan malam, dan dansa.
Semuanya ditolak Bundle. "Satu atau dua hari lagi aku akan datang dan kita bisa kencan, Bill. Tapi saat
ini aku sedang ada bisnis."
"Ah, membosankan sekali," kata Bill.
"Bukan itu - bukan bisnis macam itu," kata Bundle. "Tidak membosankan, Bill,
kaukenal Jimmy Thesiger?"
"Tentu. Kau juga kenal, kan?"
"Tidak," kata Bundle.
"Ya, pasti. Kau harus kenal dia. Setiap orang kenal Jimmy."
"Maaf. Tapi aku bukan setiap orang," kata Bundle.
"Oh! Kau pasti kenal dia. Si muka merah jambu. Kelihatan tolol. Tapi otaknya
sama besar dengan otakku."
"Aku rasa tidak. Dia pasti akan keberatan kepala kalau berjalan."
"Apa ini sindiran?"
"Kira-kira. Apa pekerjaan Jimmy Thesiger?"
"Maksudmu apa?"
"Rupanya kerja di Departemen Luar Negeri membuatmu tidak mengerti bahasamu
sendiri, ya?" "Oh! Tahu aku. Maksudmu apa dia punya pekerjaan" Tidak, dia cuma gentayangan.
Kenapa dia harus bekerja?"
"Uangnya lebih besar dari otaknya, ya?"
"Oh, aku tak mengatakannya begitu. Aku kan baru mengatakan bahwa dia lebih
cerdik daripada yang kaukira."
Bundle diam. Dia merasa bertambah ragu. Anak muda itu tidak terlalu bisa
diharapkan kelihatannya. Tapi namanya disebut-sebut orang yang meninggal itu.
Tiba-tiba suara Bill berdering seolah menyambung apa yang dipikirkannya.
"Ronny selalu memuji kebolehannya. Kau tahu Ronny Devereux, kan. Thesiger itu
teman baiknya." "Ronny - " Bundle diam, bingung. Rupanya Bill tak tahu apa-apa tentang kematian Ronny.
Bundle sadar sekarang akan adanya sesuatu yang janggal. Koran pagi rupanya tidak
memuat berita itu. Padahal berita seperti itu merupakan bumbu yang disukai.
Hanya ada satu penjelasan untuk hal ini. Polisi pasti membekukan berita tersebut
dengan alasan yang hanya diketahui oleh mereka.
Suara Bill terdengar lagi.
"Aku belum bertemu Ronny lagi - sejak akhir minggu di tempatmu itu. Ingat tidak,
waktu si malang Gerry Wade meninggal?"
Dia diam sejenak lalu melanjutkan.
"Kecerobohan. Benar-benar bodoh. Kau pasti telah mendengar ceritanya, kan" He,
Bundle. Kau masih ada di situ?"
"Tentu saja." "Ah, kau diam saja dari tadi. Aku kira sudah tak ada."
"Tidak, aku sedang mikir."
Apa dia akan cerita tentang kematian Ronny" Ah, tak perlu. Hal seperti itu tak
seharusnya dibicarakan lewat telepon. Tapi dia harus segera bertemu dengan Bill.
Sementara itu - "Bill?" "Halo?" "Barangkali aku terima undanganmu makan malam besok."
"Bagus. Dan kita dansa setelah itu. Banyak yang ingin kukatakan padamu. Aku
sebetulnya dalam kesulitan - "
"Ceritakan padaku besok," kata Bundle memotongnya cepat. "Sekarang - kau bisa beri
tahu alamat Jimmy Thesiger?"
"Jimmy Thesiger?"
"Ya." "Dia tinggal di Jermyn Street - he, benar tidak, ya?"
"Keluarkan otakmu yang cemerlang, Bill."
"Ya. Jermyn Street. Sebentar, aku beri tahu nomornya."
Diam sejenak. "Kau masih di sana?"
"Aku selalu di sini."
"Siapa tahu. Telepon kan sering brengsek. Nomor 103. Sudah?"
"103. Ya. Terima kasih, Bill."
"OK. He - mau kauapakan alamat itu" Katamu kau tidak kenal."
"Memang tidak. Tapi 30 menit lagi aku akan kenal dia."
"Kau akan menemui dia di kamarnya?"
"Betul, Sherlock."
"Ah - tapi dia pasti belum bangun."
"Belum bangun?"
"Betul. Dia kan tak perlu bangun pagi-pagi" Kau kan tak bisa membayangkan
bagaimana aku berusaha sampai di sini jam sebelas tiap pagi. Dan omelan Codders
kalau aku terlambat benar-benar menjengkelkan. Kau pasti tak bisa membayangkan
hidupku yang seperti anjing ini - "
"Ceritakan besok malam," potong Bundle dengan cepat.
Dia menutup telepon dan memikirkan situasi. Dia melirik jamnya. Pukul dua belas
kurang dua puluh lima. Tak peduli akan peringatan Bill tentang kebiasaan
kawannya itu, dia yakin bahwa Jimmy pasti telah bangun dan siap menerima tamu.
Dia naik taksi dan dimintanya mengantar ke Jermyn Street nomor 103.
Pintu dibukakan oleh seorang lelaki tua - contoh yang paling cocok untuk pelayan
masa itu. Wajahnya tanpa ekspresi dan sopan.
"Silakan, Nona."


Misteri Tujuh Lonceng The Seven Dials Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia diantarkan naik, ke sebuah ruang duduk yang sangat menyenangkan. Ruangan itu
diisi kursi kulit besar. Di salah satu kursi besar itu terbenam seorang gadis
yang lebih muda dari Bundle. Seorang gadis mungil berkulit pucat dan berbaju
hitam. "Maaf, siapa nama Anda, Nona?" kata pelayan kepada Bundle.
"Saya tak perlu memberitahukan nama," jawab Bundle. "Saya ingin bertemu Tuan
Thesiger untuk satu urusan penting."
Laki-laki tua itu membungkuk dan mengundurkan diri, lalu menutup pintu pelan-
pelan. Ruangan itu sunyi. "Pagi yang cerah," kata gadis itu sedikit malu.
"Benar-benar cerah," kata Bundle setuju.
Diam lagi. "Saya kemari dari luar kota tadi pagi. Saya pikir udara akan berkabut lagi. Tapi
nyatanya tidak," kata Bundle.
"Ya, memang tak berkabut. Saya juga dari luar kota."
Bundle memperhatikan gadis itu baik-baik dengan sudut matanya. Dia merasa agak
terganggu dengan kehadiran gadis itu. Bundle memang termasuk orang yang suka
menyelesaikan segalanya dengan tuntas. Dan dia merasa bahwa tamu itu perlu
disingkirkan sebelum dia bisa menyelesaikan urusannya. Apa yang akan
dikatakannya bukan hal yang dapat dibeberkan di depan orang asing.
Ketika dia memperhatikan gadis itu, sebuah pikiran muncul di kepalanya. Apa
benar dia" Ya, gadis itu sedang berkabung. Bajunya hitam. Bundle yakin
perkiraannya pasti benar. Dia menarik napas panjang.
"Maaf. Apakah kau Loraine Wade?"
Mata Loraine terbuka lebar.
"Ya. Bagaimana kau bisa tahu" Kita belum pernah bertemu, kan?"
Bundle menggelengkan kepala.
"Aku mengirim surat padamu kemarin. Namaku Bundle Brent."
"Kau baik sekali mengirimkan surat Gerry," kata Loraine. "Aku telah menulis
ucapan terima kasih. Aku tak menyangka bertemu denganmu di sini."
"Aku ceritakan mengapa aku di sini," kata Bundle. "Kau kenal Ronny Devereux?"
Loraine mengangguk. "Dia datang pada hari Gerry - kau tahu itu, kan. Dan dia mengunjungiku dua atau
tiga kali setelah itu. Dia salah seorang teman baik Gerry."
"Aku tahu. Tapi dia sudah - meninggal."
Mulut Loraine ternganga heran.
"Meninggal! Tapi dia selalu kelihatan sehat."
Bundle bercerita tentang pengalamannya kemarin sesingkat mungkin. Wajah Loraine
pucat ketakutan. "Kalau begitu memang benar."
"Apa yang benar?"
"Apa yang kupikir - belakangan ini. Gerry tidak meninggal karena sakit atau apa.
Kematiannya tidak wajar. Dia dibunuh."
"Kaupikir begitu?"
"Ya. Gerry tak pernah minum obat tidur." Dia memperdengarkan tawa yang
dipaksakan. "Gerry tak perlu obat semacam itu. Aku selalu menganggap itu aneh.
Dan dia pun punya dugaan sama - aku tahu pasti."
"Siapa?" "Ronny. Dan sekarang giliran dia. Dibunuh orang." Gadis itu diam, lalu berkata
lagi, "Itulah sebabnya aku kemari. Waktu aku menerima surat yang kaukirim itu -
aku langsung menghubungi Ronny. Tapi dia tak ada. Jadi aku temui saja Jimmy. Dia
juga teman baik Gerry. Barangkali dia bisa menyarankan apa yang harus
kuperbuat." "Maksudmu - " Bundle diam. "Tentang - Tujuh Lonceng?"
Loraine mengangguk. "Ya - " dia mulai cerita.
Tapi pada saat itu Jimmy Thesiger memasuki ruangan.
Bab 8 TAMU JIMMY SEBAIKNYA kita kembali ke situasi 20 menit sebelumnya. Ke saat Jimmy bangun dari
mimpinya dan mendengar suara yang rasanya dikenalnya tapi mengucapkan kata-kata
yang terdengar asing di telinganya.
Otaknya yang terlalu banyak tidur mencoba memusatkan perhatian pada apa yang
didengar, tapi tidak bisa. Dia menguap dan menggulingkan badannya lagi.
"Seorang tamu wanita sedang menunggu Tuan."
Suara itu berulang lagi. Akhirnya Jimmy membuka dan mengejap-ngejapkan matanya.
"Eh, Stevens" Apa katamu?"
"Seorang tamu wanita sedang menunggu Tuan."
"Oh!" Jimmy benar-benar terbangun kini. "Ada apa?"
"Saya tak tahu, Tuan."
"Ya - ya. Tentu saja."
Stevens mengambil nampan di samping meja.
"Akan saya ambilkan teh hangat, Tuan. Yang ini sudah dingin."
"Apa aku harus bangun dan menemui - e - wanita itu?"
Stevens tidak menjawab. Dia hanya menegakkan punggungnya lurus-lurus dan Jimmy
membaca isyarat itu. "Baik, baik. Aku temui dia. Siapa namanya" Dia beri tahu?"
"Tidak, Tuan." "Mm - kalau begitu barangkali dia Bibi Jemima" Kalau memang dia yang datang, aku
harus bangun." "Tidak mungkin tamu itu bibi seseorang. Kecuali bibi seorang bayi dari keluarga
besar." "Aha. Muda dan cantik. Apa dia - " Bagaimana pendapatmu?"
"Tamu itu pasti comme il faut, kalau saya boleh pakai istilah itu, Tuan."
"Tentu saja boleh. Ucapan Prancismu lebih baik daripada aku. Bahkan jauh lebih
bagus dariku," puji Jimmy murah hati.
"Terima kasih, Tuan. Saya memang ikut kursus koresponden bahasa Prancis."
"Benarkah" Kau memang luar biasa, Stevens."
Stevens tersenyum bangga dan meninggalkan ruangan. Jimmy berbaring sambil
mencoba mengingat nama gadis-gadis muda dan cantik yang comme il faut yang kira-
kira mau datang ke tempatnya.
Stevens masuk lagi dengan teh baru dan Jimmy mereguknya dengan nikmat.
"Kau tidak lupa memberi dia koran pagi, kan?"
"Tidak, Tuan. Saya sodorkan Morning Post dan Punch."
Bunyi bel membawa Stevens keluar. Beberapa menit kemudian dia kembali.
"Seorang tamu lagi, Tuan."
"Apa?" Jimmy memegangi kepalanya dengan kedua tangan.
"Seseorang tamu wanita lain, tidak mau memberikan nama, tapi memberi tahu bahwa
urusannya penting." Jimmy melotot. "Ini aneh, Stevens. Aneh. He, jam berapa aku pulang kemarin malam?"
"Jam lima, Tuan."
"Dan bagaimana aku - bagaimana keadaanku?"
"Riang gembira - menyanyi lagu Rule Britannia."
"Aneh," kata Jimmy. "Rule Britannia" Nggak terbayang dalam keadaan mabuk
menyanyikan Rule Britannia. Kok ada semangat juang seperti itu, ya" Ah, aku
semalam memang merayakan sesuatu di Mustard and Cress." Dia berhenti. "Apa - "
"Apa mungkin dalam kondisi seperti itu tanpa sadar aku memasang iklan memerlukan
perawat atau apa, begitu?"
Stevens terbatuk. "Dua gadis bertamu. Aneh. Aku akan mengulang pengalamanku di Mustard and Cress
lagi kalau begitu." Sambil berbicara Jimmy berganti baju dengan cepat. Sepuluh menit kemudian dia
siap menemui tamu yang tak dikenalnya. Ketika dia membuka pintu, yang pertama
terlihat adalah seorang gadis berkulit gelap, langsing, dan sama sekali tak
dikenalnya. Gadis itu berdiri dekat perapian. Kemudian matanya beralih pada yang
duduk di kursi besar. Jantungnya berhenti berdegup. Loraine!
Dialah yang berdiri lebih dahulu dan bicara sedikit gugup.
"Kau pasti heran melihatku di sini. Tapi aku harus menemuimu. Akan kujelaskan
nanti. Ini Lady Eileen Brent."
"Orang menyebutku Bundle. Barangkali kau pernah dengar dari Bill Eversleigh."
"Oh ya, benar," kata Jimmy berusaha menyesuaikan diri dengan situasi. "Silakan -
silakan duduk. Kita minum dulu."
Tapi keduanya menolak. "Sebenarnya aku baru saja bangun," kata Jimmy.
"Bill tadi juga mengatakan begitu. Aku memberi tahu dia akan menemuimu dan dia
bilang pasti kau belum bangun."
"Tapi sekarang sudah," kata Jimmy.
"Ini tentang Gerry. Dan sekarang tentang Ronny - "
"Apa maksudmu 'dan sekarang tentang Ronny'?"
"Dia tertembak kemarin."
"Apa?" seru Jimmy.
Bundle bercerita untuk kedua kalinya. Jimmy mendengarkan seperti orang dalam
mimpi. "Ronny - ditembak," gumamnya. "Apa sih yang sebenarnya terjadi?"
Dia duduk di ujung kursi. Lalu setelah berpikir sesaat dia bicara dengan suara
tenang. "Ada satu hal yang harus kuceritakan."
"Ya," kata Bundle antusias.
"Ini pada hari Gerry meninggal. Di jalan ketika kami ingin memberitakan kematian
itu padamu," - dia mengangguk pada Loraine - "di mobil Ronny mengatakan sesuatu
padaku. Dia baru mulai bercerita. Dia ingin menceritakan sesuatu padaku. Tapi
akhirnya dia tak mengatakan apa-apa karena terikat pada sebuah janji."
"Terikat pada sebuah janji," kata Loraine sambil merenung.
"Itu yang dikatakannya. Tentu saja aku tidak memaksa dia. Tapi dia kelihatan
aneh. Sangat aneh. Aku mendapat kesan bahwa dia mencurigai sesuatu. Aku kira dia
akan memberi tahu dokter itu. Tapi ternyata tidak. Aku pikir pasti perkiraanku
salah." "Tapi kaupikir Ronny masih curiga?" tanya Bundle.
Jimmy mengangguk. "Itu yang aku perkirakan. Tak seorang pun dari kami pernah melihatnya sejak itu.
Aku rasa dia berusaha sendiri mencari tahu tentang sebab kematian Gerry dan
barangkali dia menemukannya. Karena itulah penjahat-penjahat itu menembaknya.
Dan kemudian dia berusaha mengirim kata-kata itu padaku. Ternyata yang keluar
hanya dua kata." "Tujuh Lonceng," gumam Bundle sambil merinding.
"Tujuh Lonceng," kata Jimmy sedih. "Setidaknya itulah petunjuk kita."
Bundle berpaling pada Loraine.
"Kau tadi akan mengatakan - "
"Oh! Ya. Pertama tentang surat." Dia bicara pada Jimmy. "Gerry meninggalkan
surat. Lady Eileen - "
"Bundle." "Bundle menemukannya." Dia menjelaskan dengan singkat apa yang terjadi.
Jimmy mendengar penuh perhatian. Baru saat itulah dia mendengar tentang surat
itu. Loraine mengeluarkannya dari tasnya dan memberikannya pada Jimmy. Dia
membaca lalu memandang Loraine.
"Kaulah yang bisa membantu. Apa yang Gerry inginkan agar kau melupakannya?"
Alis mata Loraine mengkerut.
"Sulit mengingatnya kembali. Tanpa sengaja aku membuka surat-surat untuk Gerry.
Surat itu ditulis dengan kertas murahan dan tulisannya jelek sekali. Di atas
surat itu ada alamatnya, yaitu Tujuh Lonceng. Karena sadar bahwa surat itu bukan
untukku, aku kembalikan lagi tanpa membaca isinya."
"Benar?" tanya Jimmy lembut.
Loraine tertawa. "Aku mengerti apa yang kaupikirkan. Dan wanita memang selalu ingin tahu. Tapi
surat itu sama sekali tak menarik. Seperti daftar nama dan tanggal."
"Nama dan tanggal," kata Jimmy sambil berpikir.
"Gerry tidak terlalu acuh dengan itu kelihatannya," kata Loraine. "Dia cuma
tertawa. Lalu katanya, pasti aneh bila di Inggris ada semacam Mafia - tapi
komplotan rahasia seperti itu tidak terlalu menarik bagi orang Inggris. Dia
bilang bahwa 'penjahat kita' belum punya imajinasi yang hebat."
Jimmy memonyongkan bibirnya dan bersiul.
"Kelihatannya Tujuh Lonceng adalah markas sebuah komplotan rahasia tertentu.
Seperti dikatakan dalam suratnya kepadamu, hal itu seperti suatu lelucon. Tapi
kenyataannya tidaklah demikian. Dan ada satu hal lagi. Dia ingin agar kau
melupakan apa yang dia katakan. Hanya ada satu alasan baginya untuk mengatakan
hal itu. Kalau komplotan itu curiga kau mengetahui sesuatu tentang kegiatan
mereka, maka kau pun dalam bahaya. Gerald sadar akan hal ini. Dan dia sangat
khawatir." Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan,
"Aku khawatir kita semua terlibat bahaya bila kita ikut campur persoalan ini."
"Bila apa?" seru Bundle agak marah.
"Maksudku kalian berdua. Kalau aku sih lain. Aku kawan Ronny." Dia memandang
Bundle. "Dan kau memang telah ambil bagian sedikit. Meneruskan pesannya padaku.
Ya, sebaiknya kalian tidak perlu ikut campur lagi dalam urusan ini."
Bundle memandang Loraine penuh tanda tanya. Dia sendiri telah mengambil
keputusan. Tapi dia tidak menunjukkan hal itu. Dia tak ingin Loraine Wade
terpaksa ikut arus. Tapi wajah mungil Loraine menjadi marah.
"Jangan bilang begitu. Apa kaukira aku puas dan diam saja kalau aku tahu mereka
membunuh Gerry - Gerry yang begitu kusayangi - kakak yang begitu baik - satu-satunya
milikku di dunia ini!"
Jimmy terbatuk-batuk dengan rasa serba salah. Loraine memang luar biasa.
"Sudahlah. Jangan mengatakan bahwa kau tak punya siapa-siapa lagi. Kau punya
banyak teman - yang dengan senang hati akan membantumu. Mengerti maksudku?" kata
Jimmy kikuk. Rupanya Loraine mengerti. Wajahnya berubah merah dan dengan suara gugup dia
berkata, "Sudah. Aku akan ikut campur terus dalam urusan ini. Dan tak seorang pun bisa
menahanku." "Dan aku pun begitu," kata Bundle.
Mereka berdua memandang Jimmy.
"Ya," katanya perlahan. "Ya, memang benar."
Kedua gadis itu memandangnya penuh tanda tanya.
"Aku cuma pikir-pikir," kata Jimmy, "bagaimana kita akan memulainya."
Bab 9 RENCANA KATA-KATA Jimmy memulai suatu diskusi yang lebih praktis sifatnya.
"Sebetulnya kita tidak punya terlalu banyak informasi," kata Jimmy. "Hanya Tujuh
Lonceng. Aku sendiri juga tidak tahu di mana tempat itu. Dan rasanya sulit untuk
menelusuri setiap rumah di daerah itu."
"Aku rasa bisa," kata Bundle.
"Memang - pada akhirnya mungkin ketemu juga - walaupun aku tidak yakin. Daerah itu
amat padat penduduknya. Pokoknya tidak akan luwes."
Kata itu mengingatkannya pada Socks dan dia tersenyum.
"Kemudian daerah di mana Ronny ditembak. Kita bisa menyelidiki daerah itu. Tapi
polisi pasti telah melakukannya - dan jauh lebih baik daripada kita."
"Hm. Aku suka dengan gayamu yang sangat egois dan optimis itu," kata Bundle
dengan sinis. "Jangan masukkan hati," kata Loraine dengan lembut. "Teruskan."
"Kuharap kau bersabar," kata Jimmy pada Bundle. "Semua cara yang baik punya
pendekatan seperti ini. Membatasi penyelidikan yang tidak perlu. Sekarang
alternatif ketiga - kematian Gerald. Kita sekarang tahu bahwa kematiannya itu
karena pembunuhan - ah ya, kalian berdua yakin dengan hal itu, kan?"
"Ya," kata Loraine.
"Ya," kata Bundle.
"Bagus. Aku juga. Kelihatannya kita bisa mulai dari sini. Kalau Gerry tidak
sengaja menelan chloral itu, pasti ada seseorang yang memasukkannya ke dalam air
minumnya, sehingga kalau dia bangun akan diminumnya racun itu. Sehingga yang
tinggal hanyalah sebuah gelas kosong. Kalian setuju?"
"Ya - a," kata Bundle pelan. "Tapi - "
"Tunggu. Dan orang itu pasti ada dalam rumah waktu itu. Tidak mungkin orang luar
yang melakukannya." "Betul," kata Bundle setuju.
"Baik. Ruang lingkupnya semakin sempit. Aku rasa semua pelayan di rumah kaukenal
baik." "Ya," jawab Bundle. "Mereka tetap tinggal di rumah waktu rumah itu disewakan.
Pelayan-pelayan utama tetap tinggal - tentu saja ada juga pergantian - tapi tidak


Misteri Tujuh Lonceng The Seven Dials Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak." "Tepat - itulah yang ingin kukemukakan. Kau - " katanya sambil memandang Bundle,
"harus menyelidiki soal itu. Selidiki kapan pelayan baru masuk - dan terutama
pelayan makanan." "Memang ada pelayan makanan yang baru. Namanya John."
"Kalau begitu selidiki dia. Juga pelayan baru lainnya."
"Kalau begitu," kata Bundle pelan, "berarti kita menetapkan bahwa pelakunya
adalah salah seorang pelayan. Tidak ada kemungkinan seorang tamu yang
melakukannya?" "Rasanya kok tidak mungkin."
"Siapa saja sih yang ada waktu itu?"
"Ada tiga gadis - Nancy dan Helen dan Socks - "
"Socks Daventry" Aku kenal dia."
"Mungkin saja. Gadis yang selalu bilang luwes."
"Pasti si Socks. Luwes adalah kata favoritnya."
"Lalu Gerry Wade, aku, dan Bill Eversleigh, dan Ronny. Dan, tentu saja Sir
Oswald dan Lady Coote. Oh ya, Pongo."
"Siapa Pongo?" "Namanya Bateman - sekretaris Pak Coote. Tenang tapi selalu hati-hati. Teman
sekolahku dulu." "Kelihatannya tak ada yang pantas dicurigai," kata Loraine.
"Ya," kata Bundle. "Kita harus menyelidiki para pelayan. Oh, ya. Bagaimana
dengan jam yang dilempar dari jendela itu" Tidak ada hubungannya dengan soal
ini?" "Jam dilempar dari jendela," kata Jimmy menerawang. Dia baru mendengarnya kali
itu. "Aku rasa tak ada hubungannya," kata Bundle. "Tapi hal itu aneh. Rasanya tak
masuk akal." "Aku ingat," kata Jimmy pelan. "Aku masuk untuk - untuk melihat Gerry waktu itu.
Dan kulihat jam-jam itu berderet di perapian. Tapi hanya ada tujuh, bukan
delapan." Dia bergidik, lalu minta maaf.
"Maaf. Jam-jam itu membuatku bergidik. Kadang-kadang aku bermimpi melihat jam-
jam itu. Aku tak akan tahan masuk kamar gelap itu dan melihat jam-jam itu
berjajar." "Kau tak akan bisa melihat jam-jam itu bila gelap," kata Bundle praktis.
"Kecuali bila jarumnya bercahaya - Oh!" Bundle berteriak terkejut. "Itu kan
menunjukkan Tujuh Lonceng!?"
Kedua orang lainnya memandangnya dengan ragu-ragu, tapi Bundle tetap berkeras.
"Pasti. Tak mungkin suatu kebetulan."
Mereka diam. "Mungkin kau benar," kata Jimmy Thesiger. "Ini - ini benar-benar aneh."
Bundle memberondong dengan pertanyaan.
"Siapa yang mengajak membeli jam?"
"Kita semua." "Siapa yang punya ide?"
"Kita semua." "Tak mungkin. Pasti ada salah satu yang memulai."
"Begini. Kami berunding tentang apa yang bisa membangunkan Gerry. Lalu Pongo
bilang - sebuah jam weker. Kemudian ada yang nyeletuk satu tidak cukup. Dan ada
lagi yang mengatakan - aku rasa Bill Eversleigh - kenapa tidak selusin saja.
Akhirnya kami beli seorang satu dan sebuah ekstra untuk Pongo dan Lady Coote.
Tak ada yang direncanakan. Semua terjadi begitu saja."
Bundle diam tapi tidak terlalu yakin.
Jimmy akhirnya membuat ringkasan.
"Baiklah. Kita percaya akan beberapa fakta. Ada sebuah komplotan rahasia yang
mirip Mafia. Gerry Wade tahu akan hal itu. Mula-mula dia menganggapnya sebagai
lelucon aneh. Tapi kemudian ada suatu kejadian yang membuatnya percaya. Dia
menceritakan hal itu pada Ronny. Dan ketika akhirnya Gerry kena giliran, Ronny
menjadi curiga. Aku rasa Ronny tahu cukup banyak dan mencoba menyingkap hal itu
sendiri. Yang menyulitkan kita adalah kita harus memulai dari luar - tanpa tahu
apa-apa sedikit pun."
"Barangkali ini justru menguntungkan," kata Loraine tenang. "Mereka tak akan
mencurigai kita dan karena itu tak akan menyingkirkan kita."
"Aku tak terlalu yakin akan hal itu," kata Jimmy dengan nada khawatir. "Gerry
sendiri kan ingin agar kau tidak terserempet urusan ini. Apa tidak sebaiknya kau
- " "Tidak," jawab Loraine mantap. "Tak perlu membicarakan hal itu lagi. Buang-buang
waktu saja." Ketika mendengar kata "waktu" Jimmy memandang jam dan berseru heran. Dia berdiri
dan membuka pintu. "Stevens." "Ya, Tuan?" "Apa bisa menyediakan makan siang dengan cepat?"
"Saya sudah siap, Tuan. Istri saya telah membuat persiapan."
"Dia memang luar biasa," kata Jimmy ketika kembali menemui tamunya. "Otaknya
dipakai. Dia juga ambil kursus surat-menyurat. Kadang-kadang aku bertanya apa
gunanya untukku." "Jangan tolol," kata Loraine.
Stevens membuka pintu dan masuk membawa makanan yang tersusun rapi. Dadar telur
diikuti burung puyuh dan kue keju panggang isi ayam.
"Kenapa sih lelaki kelihatan bahagia kalau mereka masih bujangan?" kata Loraine
sedih. "Kenapa mereka dilayani lebih baik oleh orang lain daripada kita?"
"Ah, siapa bilang?" kata Jimmy. "Tidak mungkin. Aku sering berpikir - "
Dia bergumam lalu diam. Wajah Loraine menjadi merah.
Tiba-tiba Bundle mengatakan sesuatu yang membuat yang lainnya terkejut.
"Bodoh," katanya. "Tolol. Aku, maksudku. Ada yang kulupakan."
"Apa?" "Kau tahu Codders" George Lomax?"
"Aku pernah dengar tentang dia, dari Bill dan Ronny."
"Nah, dia akan bikin pesta minggu depan - dan dia mendapat surat peringatan dari
Tujuh Lonceng." "Apa?" kata Jimmy sambil membungkuk ke depan penuh rasa ingin tahu. "Apa benar?"
"Ya. Dia mengatakannya pada Ayah. Sekarang, apa pendapatmu tentang hal ini?"
Jimmy menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dia berpikir dengan cepat dan hati-hati.
Akhirnya dia bicara. Singkat dan langsung.
"Akan terjadi sesuatu dalam pesta itu," katanya.
"Aku juga berpendapat sama," kata Bundle.
"Semua cocok," kata Jimmy. Setengah melamun.
Dia berpaling pada Loraine.
"Berapa umurmu ketika perang?" tanyanya tiba-tiba.
"Sembilan - bukan - delapan."
"Dan aku rasa Gerry dua puluh tahun. Pada umumnya pemuda umur dua puluh ikut
perang. Gerry tidak."
"Benar," kata Loraine setelah berpikir satu-dua menit. "Dia bukan tentara. Aku
tak tahu mengapa." "Aku tahu," kata Jimmy. "Setidak-tidaknya aku bisa menebak. Dia tak ada di
Inggris tahun 1915 sampai 1918. Aku bersusah payah mencari tahu tentang hal ini.
Dan kelihatannya tak seorang pun tahu di mana dia. Aku rasa dia ada di Jerman."
Pipi Loraine menjadi merah. Dia memandang Jimmy dengan kagum.
"Kau pandai sekali."
"Dia berbahasa Jerman dengan baik sekali, kan?"
"Oh, ya, seperti orang Jerman."
"Aku yakin bahwa aku benar. Baiklah. Gerry Wade bekerja di Departemen Luar
Negeri. Dia kelihatan seperti orang tolol yang menyenangkan - maaf dengan istilah
ini - tapi kalian tentu tahu apa yang kumaksudkan - seperti Bill Eversleigh dan
Ronny Devereux. Hanya luarnya saja kelihatan begitu, tapi dalam kenyataannya
sebaliknya. Aku rasa Gerry memang orang yang tepat untuk tugas-tugas rahasia
seperti itu. Dinas rahasia kita adalah yang terbaik di dunia. Kukira kedudukan
Gerry di sana cukup tinggi. Dan aku rasa aku benar ketika mengatakan di Chimneys
waktu itu, bahwa Gerry Wade pasti tidak setolol penampilannya."
"Dan seandainya kau benar?" tanya Bundle dengan praktis.
"Maka urusan ini menjadi lebih serius. Persoalan Tujuh Lonceng ini bukan sekadar
perkara kriminal - tapi sesuatu yang bersifat internasional. Satu hal sudah pasti.
Harus ada seseorang di pesta Lomax ini."
Bundle nyengir sedikit. "Aku kenal George - tapi dia tidak menyukaiku. Dia pasti tak suka mengundangku ke
pestanya - apalagi pesta penting. Bagaimanapun, barangkali aku - "
Dia tidak melanjutkan kalimatnya, diam dan merenung.
"Apa kira-kira aku bisa ikut lewat Bill?" tanya Jimmy. "Dia pasti ada di sana
sebagai tangan kanan Codders. Dan dia bisa mengajakku."
"Aku rasa bisa," kata Bundle. "Kau harus memberi tahu Bill agar dia mau membujuk
Codders dengan alasan yang benar. Bill tidak selalu bisa memikirkan hal seperti
itu sendiri." "Apa alasan yang tepat?" tanya Jimmy.
"Oh! Mudah saja. Dia bisa berkata bahwa kau adalah seorang pemuda kaya yang
berminat pada politik, ingin duduk di parlemen. George pasti tertarik. Kau kan
tahu tentang politikus kita: selalu mencari orang muda dan kaya. Semakin kaya
semakin mudah diatur."
"Anggap saja aku sekaya Rothschild."
"Kalau begitu beres. Aku besok akan makan malam dengan Bill - dan bisa kutanyakan
siapa-siapa yang akan datang. Pasti akan berguna."
"Sayang kau tak bisa ikut," kata Jimmy. "Tapi barangkali lebih baik begitu."
"Barangkali aku akan datang juga. Codders memang sangat benci padaku, tapi
mungkin masih ada jalan lain," jawab Bundle.
Bundle merenung. "Bagaimana dengan aku?" tanya Loraine dengan suara kecil.
"Kau tidak bisa ikut," kata Jimmy dengan cepat. "Dan lagi, kita perlu seseorang
di luar untuk - er - "
"Untuk apa?" kata Loraine.
Jimmy tidak ingin melanjutkan percakapan itu. Dia berpaling pada Bundle.
"Apa menurutmu," kata Jimmy, "sebaiknya Loraine tak usah ikut kali ini?"
"Ya, lebih baik begitu."
"Lain kali saja, Loraine," kata Jimmy dengan manis.
"Dan seandainya tidak ada lain kali?" kata Loraine.
"Aku rasa ada. Aku yakin ada."
"Oh, kalau begitu aku pulang dan - menunggu?"
"Ya, betul," kata Jimmy lega. "Aku tahu kau bisa mengerti."
"Aku rasa baik begitu," Bundle menjelaskan. "Karena kalau kita bertiga
memaksakan ke sana semua, pasti menimbulkan kecurigaan. Dan aku rasa agak sulit
mencari alasan untukmu. Kau mengerti, kan?"
"Oh, ya," kata Loraine.
"Kalau begitu beres. Kau tak perlu berbuat apa-apa," kata Jimmy.
"Aku akan diam saja," kata Loraine dengan rendah hati.
Bundle memandangnya dengan rasa curiga yang tiba-tiba saja timbul. Kepatuhan
Loraine yang tiba-tiba itu terasa tidak wajar. Loraine balas memandangnya.
Matanya biru dan tenang. Mata itu memandang Bundle tanpa berkedip. Bundle tidak
terlalu puas. Dia merasa bahwa kerendahan hati Loraine Wade sangat mencurigakan.
Bab 10 BUNDLE KE SCOTLAND YARD DALAM pertemuan pertama itu bisa dikatakan bahwa ketiga orang itu tidak membuka
diri sepenuhnya. Ada hal-hal yang disembunyikan.
Misalnya, perlu ditanyakan apakah Loraine Wade punya motif yang jujur ketika
menemui Jimmy Thesiger. Juga Jimmy, yang mempunyai pikiran dan rencana sendiri sehubungan dengan pesta
yang akan diadakan George Lomax. Dia tidak menjelaskannya pada Bundle.
Sedangkan Bundle sendiri punya rencana yang segera dilakukannya tanpa mengatakan
apa-apa pada dua orang lainnya.
Begitu meninggalkan tempat Jimmy, dia langsung pergi ke Scotland Yard menemui
Inspektur Battle. Inspektur Battle adalah seorang lelaki bertubuh besar. Kasus-kasus yang
ditanganinya kebanyakan kasus-kasus politik yang sensitif. Karena sebuah kasus
yang demikian dia pernah datang ke Chimneys empat tahun yang lalu, dan Bundle
mengharapkan dia masih ingat akan hal itu.
Setelah menunggu beberapa saat, dia dibawa melewati beberapa lorong dan masuk ke
kamar kerja Inspektur Battle. Dia adalah seorang lelaki tegap dengan wajah tanpa
ekspresi. Dia tidak kelihatan terlalu cerdas. Penampilannya lebih mirip seorang
komisaris polisi biasa dan bukan seorang detektif.
Dia sedang berdiri di jendela, memandangi beberapa ekor burung gereja ketika
Bundle masuk. "Selamat sore, Lady Eileen," katanya. "Silakan duduk."
"Terima kasih," kata Bundle. "Saya khawatir Anda tidak ingat saya lagi."
"Saya selalu ingat. Pekerjaan saya menuntut kemampuan itu."
"Oh!" kata Bundle, sedikit kaget.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Inspektur Battle.
Bundle langsung membicarakan persoalannya.
"Saya dengar Scotland Yard punya data tentang perkumpulan rahasia dan semacamnya
di London." "Kami berusaha untuk selalu punya data up to date," kata Inspektur Battle dengan
hati-hati. "Saya rasa tidak banyak yang berbahaya, bukan?"
"Ada satu petunjuk untuk menentukannya. Semakin banyak mereka bicara, semakin
sedikit yang mereka lakukan. Memang begitu," kata Inspektur Battle.
"Dan saya juga dengar bahwa Scotland Yard tidak mengambil tindakan apa-apa?"
Battle mengangguk. "Benar. Orang-orang yang menganggap dirinya anggota Brother of Liberty yang
bertemu dua kali seminggu di ruang bawah tanah dan bicara tentang darah yang
membanjir - tetapi tidak mengganggu kita - tidak apa-apa, kan" Dan seandainya suatu
saat ada kesulitan, kita selalu tahu ke mana kita harus mencari."
"Tapi kadang-kadang komplotan seperti itu kan - bisa berbahaya" Lebih dari yang
kita duga?" tanya Bundle pelan-pelan.
"Kelihatannya tidak," kata Battle.
"Tapi mungkin terjadi," kata Bundle ngotot.
"Oh, ya. Mungkin saja" kata Inspektur.
Mereka diam sejenak. Kemudian Bundle berkata,
"Inspektur Battle, apa saya bisa mendapatkan daftar komplotan rahasia yang
bermarkas di Tujuh Lonceng?"
Inspektur Battle selalu membanggakan diri karena tidak pernah menunjukkan emosi.
Tapi setelah bicara, Bundle melihat bahwa Inspektur Battle terkejut walaupun
dengan cepat dia dapat menguasai diri dan memperlihatkan wajahnya yang tanpa
ekspresi. "Terus terang saja, Lady Eileen, tidak ada apa-apa lagi di Tujuh Lonceng
sekarang ini." "Tidak ada?" "Tidak. Banyak gedung-gedung yang diruntuhkan dan dibangun kembali. Dulu daerah
itu memang daerah kumuh, kotor, tapi sekarang sebaliknya - sudah jadi pemukiman
elit. Bukan tempat yang romantis untuk komplotan-komplotan rahasia seperti itu."
"Oh!" kata Bundle, datar.
"Sebenarnya apa sih yang menyebabkan Anda begitu ingin tahu tentang tempat itu?"
"Apa saya harus cerita pada Anda?"
"Itu akan membantu, bukan" Kita jadi tahu di mana kita berdiri."
Bundle ragu-ragu sejenak.
"Ada orang ditembak kemarin," katanya pelan. "Saya kira saya yang menabrak dia - "
"Tuan Ronald Devereux?"
"Tentu saja Anda tahu tentang kejadian itu. Kenapa tidak ada beritanya di
koran?" "Apa Anda betul-betul ingin tahu hal itu, Lady Eileen?"
"Ya." "Ah, kami hanya ingin membekukan selama dua puluh empat jam saja. Cuma itu.
Besok akan ada di koran."
"Oh!" Bundle bingung dan mencoba mengartikan kata-kata Inspektur Battle.
Apa yang tersembunyi di balik wajah tanpa ekspresi itu" Apa dia menganggap bahwa
penembakan atas Ronald Devereux sebagai tindakan kriminal biasa" Atau
sebaliknya" "Dia menyebut Tujuh Lonceng sebelum meninggal," kata Bundle perlahan.
"Terima kasih," kata Battle. "Akan saya catat."
Dia menulis sesuatu dalam buku catatannya.
Bundle mencoba taktik lain.
"Saya rasa Tuan Lomax menemui Anda kemarin untuk melaporkan surat ancaman yang
diterimanya."

Misteri Tujuh Lonceng The Seven Dials Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar." "Dan surat itu ditulis dari Tujuh Lonceng?"
"Kalau tak salah memang ada tulisan Tujuh Lonceng di atasnya."
Bundle merasa seakan-akan mengetuk pintu yang terkunci rapat.
"Kalau saya boleh menasihati Anda, Lady Eileen - "
"Saya tahu apa yang akan Anda katakan."
"Saya sebaiknya pulang dan melupakan persoalan ini."
"Menyerahkan semuanya pada Anda?"
"Ya - kami kan orang-orang profesional," kata Inspektur Battle.
"Sedangkan saya cuma seorang amatir" Ya, tapi Anda lupa akan satu hal - saya
mungkin tidak punya pengetahuan dan keahlian seperti Anda - tapi saya punya satu
keuntungan. Saya bisa melakukan sesuatu tanpa dikenali."
Kelihatannya inspektur itu agak terkejut mendengar perkataan Bundle.
"Tentu saja kalau Anda bersedia memberikan daftar komplotan rahasia - "
"Oh! Saya tidak mengatakan demikian. Anda akan mendapatkan daftarnya. Lengkap."
Dia pergi ke pintu, melongokkan kepalanya ke luar dan mengatakan sesuatu, lalu
kembali ke kursinya. Bundle merasa penasaran. Sikap Inspektur yang mengiyakan
permintaannya dengan mudah membuatnya curiga. Dia sekarang memandang Bundle
dengan wajah tenang. "Anda ingat tentang kematian Tuan Gerald Wade?" tanya Bundle tiba-tiba.
"Di rumah Anda, bukan" Karena kebanyakan minum obat tidur."
"Adiknya bilang dia tidak pernah minum obat tidur supaya bisa tidur."
"Ah! Anda pasti heran kalau tahu bahwa banyak hal yang tidak diketahui adiknya."
Bundle merasa penasaran lagi. Dia duduk diam sampai seorang lelaki masuk membawa
selembar kertas yang langsung diserahkannya pada Inspektur.
"Ini dia," kata Inspektur ketika orang itu telah keluar. "The Blood Brothers of
St. Sebastian. The Wolf Hounds. The Comrades of Peace. The Comrades Club. The
Friends o f Oppression. The Children of Moscow. The Red Standard Bearers. The
Herrings. The Comrades of the Fallen - dan lain-lain."
Dia memberikan kertas itu sambil mengedipkan mata.
"Anda memberikannya pada saya karena Anda tahu bahwa ini tidak ada gunanya untuk
saya. Apa Anda benar-benar ingin agar saya menyerahkan hal ini pada Anda?"
"Saya kira itu lebih baik," kata Battle. "Kalau Anda mencari tempat-tempat ini -
yah - itu namanya memberi pekerjaan pada kami."
"Maksud Anda, melindungi saya?"
"Melindungi Anda, Lady Eileen."
Bundle berdiri. Dia berdiri dengan bingung. Sampai saat itu Inspektur Battle
selalu menang. Lalu dia teringat sebuah insiden kecil, dan berusaha menyerang
lagi untuk yang terakhir kali.
"Saya tadi mengatakan bahwa seorang amatir bisa melakukan sesuatu yang tidak
bisa dilakukan seorang profesional. Anda tidak menolak pendapat saya. Itu karena
Anda adalah seorang yang jujur, Inspektur Battle. Anda tahu bahwa saya benar."
"Teruskan," kata Battle cepat.
"Di Chimneys Anda membiarkan saya membantu. Apa Anda menolak bantuan saya
sekarang?" Battle kelihatannya memikirkan sesuatu. Bundle merasa mendapat angin dan
mendesak. "Anda tahu dengan baik siapa saya. Saya suka mencampuri urusan orang. Saya
tukang ribut. Saya tak ingin mengganggu pekerjaan yang sedang Anda lakukan. Tapi
seandainya ada sedikit kesempatan untuk seorang amatir, saya akan senang
melakukannya." Mereka diam lagi, lalu Inspektur Battle berkata dengan tenang.
"Saya mengerti bahwa Anda jujur, Lady Eileen. Tapi saya ingin mengatakan hal ini
pada Anda. Apa yang Anda inginkan sangat berbahaya. Dan bila saya mengatakan
berbahaya, saya memaksudkan yang sesungguhnya."
"Saya bisa meraba. Dan saya bukan orang tolol," jawab Bundle.
"Benar," kata Inspektur. "Apa yang akan saya lakukan untuk Anda adalah ini. Saya
akan memberi Anda sedikit petunjuk. Dan saya melakukan hal ini karena saya
berprinsip 'Keselamatan Yang Utama'. Saya berpendapat bahwa orang-orang yang
terlalu berhati-hati menghindarkan diri agar tidak tertabrak bis sebaiknya
ditabrak bis saja. Supaya tidak ada persoalan lagi."
Ucapan Inspektur Battle yang biasanya tanpa emosi itu, kali ini membuat Bundle
tak bisa bernapas. "Petunjuk apa yang akan Anda berikan pada saya?" tanyanya.
"Anda kenal Tuan Eversleigh, kan" Saya rasa dia bisa memberi keterangan yang
Anda perlukan tentang Tujuh Lonceng."
"Bill tahu tentang itu" Bill?"
"Saya tidak mengatakannya demikian. Tapi sebagai seorang wanita muda dan cerdas
Anda bisa memperoleh apa yang Anda inginkan dari dia."
"Dan sekarang," lanjut Inspektur Battle tegas, "saya tidak akan bicara apa-apa
lagi." Bab 11 MAKAN MALAM DENGAN BILL BUNDLE menunggu-nunggu janji makan malamnya dengan penuh harap.
Bill menyapanya dengan hangat.
"Bill memang baik," pikir Bundle. "Seperti seekor anjing besar yang mengibas-
ngibaskan ekornya kalau dia senang."
Dan anjing besar itu pun memberikan komentar dan informasi.
"Kau kelihatan sangat segar, Bundle. Aku senang sekali bertemu denganmu. Aku
sudah pesan tiram - kau suka tiram, kan" Bagaimana kabarmu" Ke mana saja selama
ini" Dan apa saja yang kaulakukan" Bersenang-senang?"
"Menyebalkan," kata Bundle. "Kolonel-kolonel tua penyakitan merangkak-rangkak
cari panas matahari, dan perawan-perawan tua yang bekerja di perpustakaan dan
gereja." "Enakan di Inggris, ya. Aku tidak suka ke negara-negara lain kecuali Swiss.
Swiss sih bagus. Aku ingin ke sana Natal ini. Mau ikut?"
"Aku pikir-pikir dulu," jawab Bundle. "Apa saja yang kaulakukan belakangan ini?"
Pertanyaan santai ini diucapkan Bundle hanya untuk memulai percakapan saja.
Tetapi rupanya Bill telah menunggunya.
"Itulah yang ingin kuceritakan padamu, Bundle. Kau cerdas. Aku membutuhkan
nasihatmu. Kau tahu pertunjukan musik, Matamu Yang Merayu?"
"Ya." "Nah, aku ingin cerita tentang hasil karya paling jelek yang pernah kulihat.
Wah, benar-benar luar biasa - ada seorang gadis Yankee yang hebat."
Bundle menjadi sebal. Sekali Bill bicara tentang gadis-gadisnya, dia tak akan
berhenti. "Gadis itu - namanya Babe St. Maur - "
"Namanya kok aneh," kata Bundle sinis.
Bill menjawab dengan santai.
"Dia dapat nama itu dari Who's Who. Dia membuka buku itu lalu menunjukkan jari
ke halaman buku tanpa melihat sebelumnya. Gila, ya" Nama sebenarnya ialah
Goldschmidt atau Abrameier - pokoknya susah di lidah."
"Memang," gumam Bundle.
"Si Babe St. Maur ini cerdas. Dia juga berotot. Dia adalah salah seorang dari
delapan gadis yang bermain menjadi jembatan hidup - "
"Bill," kata Bundle tidak sabar. "Aku ke tempat Jimmy Thesiger kemarin pagi."
"Oh. Si Jimmy," kata Bill. "Nah, aku tadi bilang kalau Babe ini cerdas. Memang
kita harus begitu zaman sekarang. Yang penting menang gaya. Itu kata dia.
Hebatnya dia bisa berakting. Padahal dalam pertunjukan itu dia tidak dapat
kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya. Hanya muncul dalam gerombolan gadis-
gadis cantik. Aku tanya kenapa tidak main saja dalam pertunjukan-pertunjukan
bermutu seperti pertunjukan Nyonya Tanqueray - tapi dia cuma tertawa - "
"Apa kau sudah bertemu Jimmy?"
"Ya, tadi pagi. Sampai di mana ceritaku tadi" Oh, ya gadis-gadis teman Babe.
Memang tidak secantik dia. Mereka iri padanya - "
Bundle terpaksa menyabarkan diri mendengar cerita Bill yang bertele-tele tentang
Babe St. Maur dan bagaimana gadis itu tiba-tiba menghilang. Ketika akhirnya Bill
berhenti sebentar mengambil napas, Bundle berkata,
"Kau benar, Bill. Sangat memalukan. Pasti karena iri hati saja - "
"Memang dunia pentas suka brengsek."
"Ya. Apa Jimmy bicara tentang keinginannya pergi ke Abbey minggu depan?"
Untuk pertama kalinya Bill memberi perhatian pada apa yang dikatakan Bundle.
"Dia ingin agar aku menyelundupkan dia di pesta Codders dengan alasan macam-
macam. Yang tertarik pada Partai Konservatif-lah. Macam-macam deh. Dan kau
sendiri kan tahu bahwa itu berbahaya."
"Omong kosong. Seandainya Codders tahu pun kau tak akan apa-apa. Katakan saja
kau sendiri terbujuk. Gampang, kan."
"Sama sekali tidak," jawab Bill. "Bukan begitu. Akan terlalu berbahaya untuk
Jimmy. Sebelum dia tahu ada di mana, dia akan dipaksa menciumi cewek-cewek dan
berpidato. Kau barangkali tidak membayangkan bahwa si Codders itu sangat teliti
dan enerjetik." "Ya - kita memang harus tanggung risiko itu. Dan Jimmy bisa mengurus dirinya
sendiri." "Kau belum tahu Codders, sih," ulang Bill.
"Siapa saja yang akan datang ke pesta itu, Bill" Ada tamu spesial?"
"Ah, rombongan biasa. Nyonya Macatta."
"Anggota Parlemen?"
"Ya. Biasa. Yang suka omong soal Kesejahteraan Sosial, Susu Murni, dan
Selamatkan Anak-anak. Bayangkan saja Jimmy dikuliahi soal itu."
"Lupakan Jimmy. Teruskan ceritamu."
"Ada seorang Hongaria. Namanya Putri apa, begitu. Susah mengucapkannya. Dia sih
baik." Bill menelan ludah dan wajahnya kelihatan malu. Bundle memperhatikan Bill yang
mengunyah rotinya dengan gugup.
"Muda dan cantik?" tanya Bundle pelan-pelan.
"Lumayan," jawab Bill.
"Aku tidak tahu kalau George juga suka wanita-wanita cantik," kata Bundle.
"Oh, dia tidak apa-apa, tak ada urusan. Wanita itu punya usaha makanan bayi di
Budapest - dan tentunya Nyonya Macatta akan cocok kalau berbicara dengan dia."
"Siapa lagi?" "Sir Stanley Digby - "
"Menteri Perhubungan Udara?"
"Ya. Dan sekretarisnya, Terence O'Rourke. Pemuda itu cukup menarik. Bisa
mengemudikan pesawat. Lalu ada seorang lelaki Jerman tengik bernama Herr
Eberhard. Aku tak tahu siapa dia sesungguhnya. Tapi kita semua sebal padanya.
Aku pernah dua kali disuruh menemani dia makan siang. Wah, pokoknya aku kapok.
Dia memang lain dari yang lain. Tidak seperti orang-orang kedutaan yang biasanya
sopan. Masa kuah sup dihirup dari piring dan mengiris kacang-kacangan dengan
pisaunya. Tidak hanya itu. Si tolol itu juga suka menggigit-gigit kuku jari
tangannya." "Ah, menjijikkan."
"Benar. Kalau tidak salah dia menemukan sesuatu. Tapi tak jelas apa. O ya, ada
Sir Oswald Coote." "Dan Lady Coote."
"Aku rasa dia juga datang."
Bundle duduk diam sejenak berpikir. Daftar tamu-tamu itu memberi banyak
kemungkinan. Tapi dia tidak bisa berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan itu
sekarang. Dia harus melanjutkan langkah berikutnya.
"Bill," katanya, "kau tahu sesuatu tentang Tujuh Lonceng?"
Tiba-tiba saja Bill kelihatan sangat malu. Dia mengejapkan matanya dan
menghindari pandangan Bundle.
"Aku tak tahu apa yang kaumaksud," katanya.
"Jangan bohong," jawab Bundle. "Aku diberi tahu bahwa kau tahu semua
persoalannya." "Tentang apa?" Ini cuma pura-pura. Bundle mengganti taktiknya.
"Aku tak mengerti kenapa kau suka merahasiakan soal itu," katanya.
"Aku tidak merahasiakan apa-apa. Tak ada orang pergi ke sana lagi sekarang ini,
kecuali orang konyol."
Perkataan itu membuat Bundle bingung.
"Baru ke luar negeri sebentar saja sudah ketinggalan zaman," katanya mengeluh.
"Ah, kau tak ketinggalan. Setiap orang ke sana supaya bisa bilang bahwa mereka
pernah ke sana. Sangat membosankan. Dan, ya ampun, ikan goreng ternyata benar-
benar bisa membosankan."
"Orang-orang itu pergi ke mana, sih?"
"Tentu saja ke Klub Tujuh Lonceng," kata Bill dengan heran. "Itu kan yang
kautanyakan?" "Aku tidak tahu namanya begitu," jawab Bundle.
"Dulu adalah daerah kumuh di dekat Tottenham Court Road. Tapi sekarang sudah
dibongkar dan dibangun lagi. Tapi Klub Tujuh Lonceng dibiarkan saja seperti
dulu. Tempat ikan goreng dan keripik. Biasa saja. Tapi tempat itu menyenangkan
karena cukup dekat dengan gedung pertunjukan. Orang dengan gampang pergi ke situ
setelah nonton." "Apa itu night club" Tempat dansa seperti biasa?" tanya Bundle.
"Betul. Campuran dari macam-macam orang. Artis dan wanita-wanita aneh banyak
muncul di situ. Komentar orang macam-macam. Tapi itu rupanya daya tariknya."
"Bagus. Kalau begitu kita ke sana sekarang."
"Oh, sebaiknya tidak," kata Bill. Dia kelihatan sangat malu. "Sudah tak banyak
orang ke sana sekarang."
"Tak apa-apa. Kita pergi saja."
"Kau pasti tidak suka, Bundle. Aku yakin sekali."
"Kau akan mengantarku ke Tujuh Lonceng dan tidak ke mana-mana, Bill. Kenapa sih
kau begitu enggan?" "Aku" Enggan?"
"Jelas kelihatan. Ada rahasia, ya?"
"Rahasia apa?" "Jangan mengulang-ulang apa yang kukatakan. Kau sedang mengulur waktu, kan?"
"Tidak," jawab Bill marah. "Itu kan hanya - "
"Nah. Aku tahu pasti ada apa-apa. Kau mencoba menyembunyikannya."
"Aku tidak menyembunyikan apa-apa. Itu kan hanya - "
"Apa?" "Wah, panjang ceritanya. Aku - aku mengajak Babe St. Maur ke sana pada suatu malam
- " "Oh! Babe St. Maur lagi."
"Kenapa tidak?"
"Aku tidak tahu kalau persoalannya tentang dia - " kata Bundle menahan mulutnya
agar tidak menguap. "Ya. Aku ajak Babe ke sana. Dia ingin makan udang besar. Dan aku mendapat udang
itu - " Cerita itu dilanjutkan. Ketika Bill selesai menceritakan perkelahiannya dengan
seorang laki-laki - gara-gara memperebutkan udang - Bundle membelokkan pembicaraan.
"Ah. Jadi kau berkelahi?"
"Ya. Tapi udang itu punyaku. Aku telah membeli dan membayarnya. Dan aku berhak - "
"Tentu - tentu. Kau punya hak," kata Bundle cepat. "Tapi itu semua pasti sudah
dilupakan orang. Dan lagi aku tak peduli dengan udang. Jadi - kita berangkat
saja." "Jangan-jangan nanti kita digerebeg polisi. Ada sebuah ruangan di atas. Orang-
orang suka main." "Ayahku akan datang dan menolongku keluar. Beres. Ayo, Bill."
Bill masih kelihatan enggan, tapi Bundle terus mendesak. Akhirnya mereka ngebut
naik sebuah taksi. Tempat itu seperti yang dibayangkan Bundle. Tempat itu adalah sebuah rumah
tinggi di jalan yang sempit. Dia mengingat-ingat alamatnya. Hunstanton Street,
nomor 14. Seorang laki-laki yang wajahnya seperti sudah dikenalnya membukakan pintu.
Kelihatannya dia agak terkejut ketika melihat Bundle, tapi dia menyambut Bill
dengan hormat. Laki-laki itu bertubuh tinggi, berambut pirang, berwajah
kepucatan dan matanya selalu bergerak-gerak. Bundle merasa pernah melihatnya.
Bill telah pulih keseimbangannya sekarang dan dia sedang menikmati apa yang
dilakukannya. Mereka berdansa di ruang bawah tanah - ruang yang banyak asapnya.
Asap itu begitu banyak sehingga orang seolah-olah terperangkap dalam kabut biru.
Bau ikan goreng ada di mana-mana.
Di dinding terdapat sketsa kasar dari arang. Ada juga di antaranya yang
kelihatan bagus. Dan pengunjungnya benar-benar campuran. Ada orang-orang asing,
orang Yahudi, dan wanita-wanita dari profesi tertua di dunia.
Bill membawa Bundle ke atas. Di situ lelaki berwajah pucat itu sedang berjaga,
memperhatikan dengan matanya yang tajam setiap orang yang masuk ruang judi.
Tiba-tiba Bundle ingat. "Ah, ya. Bodoh betul aku. Ini kan Alfred yang dulu pernah menjadi pelayan di
Chimneys. Apa kabar, Alfred?"


Misteri Tujuh Lonceng The Seven Dials Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik. Terima kasih, Nona."
"Kapan kau meninggalkan Chimneys" Lama sebelum kami kembali?"
"Kira-kira sebulan yang lalu, Nona. Ada kesempatan lebih baik. Jadi tidak saya
sia-siakan." "Mereka pasti membayarmu jauh lebih baik di sini," kata Bundle.
"Lumayan, Nona."
Bundle masuk. Kelihatannya di ruang inilah kehidupan klub itu lebih nyata.
Tumpukan uang sangat tinggi. Dan orang-orang yang mengelilingi meja memang
penjudi kelas berat. Bermata burung hantu, berbaju kumal, dan berdarah panas.
Dia dan Bill tinggal di ruangan itu selama setengah jam. Lalu Bill menjadi
gelisah. "Kita keluar saja dari sini, Bundle. Dansa saja, yuk."
Bundle setuju. Tak ada yang pantas dilihat di situ. Mereka turun lagi. Mereka
berdansa setengah jam lagi, makan ikan dan keripik, lalu Bundle berkata bahwa
dia siap pulang. "Tapi ini kan masih sore," kata Bill.
"Sudah malam, Bill. Dan lagi besok aku sibuk sekali."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Tergantung. Tapi aku ingin mengatakan padamu bahwa aku tak akan membiarkan
rumput tumbuh di bawah kakiku."
"Aku percaya dengan apa yang kaukatakan," kata Bill.
Bab 12 PEMERIKSAAN DI CHIMNEYS BUNDLE sama sekali tidak mewarisi temperamen ayahnya - yang selalu acuh tak acuh,
ramah, tapi agak lamban. Seperti kata Bill Eversleigh, Bundle takkan membiarkan
rumput tumbuh di bawah kakinya.
Pagi harinya Bundle bangun dengan semangat baru. Dia punya tiga rencana yang
akan dilakukannya hari itu, dan dia sadar bahwa dia akan terbentur waktu dan
jarak. Untunglah dia tidak mempunyai kelemahan yang dimiliki Gerry Wade, Ronny
Devereux, dan Jimmy Thesiger - yaitu sulit bangun pagi. Jam delapan tiga puluh
Bundle telah selesai makan pagi dan siap berangkat ke Chimneys dengan mobil
Hispanonya. Ayahnya kelihatan gembira melihat dia.
"Aku tak tahu kapan kau datang. Tapi untunglah sekarang kau sudah di sini. Aku
tak perlu telepon lagi. Kolonel Melrose kemarin kemari dan bicara tentang
pemeriksaan." Kolonel Melrose adalah kepala polisi di distrik itu dan teman lama Lord
Caterham. "Maksud Ayah pemeriksaan kasus Ronny Devereux" Kapan?"
"Besok. Jam dua belas. Dia akan memanggilmu. Karena kau yang menemukan mayat
itu, kau perlu jadi saksi. Tapi dia bilang kau tak perlu khawatir."
"Kenapa aku harus khawatir?"
"Ya - kau kan tahu. Si Melrose itu agak kuno," kata Lord Caterham dengan nada
menyesal. "Jam dua belas," kata Bundle. "Baik. Aku akan ada di sini - kalau masih hidup."
"Apa kau punya alasan mengantisipasi kau akan mati?"
"Siapa tahu," kata Bundle. "Ini kan salah satu kemungkinan dalam ketegangan
kehidupan moderen seperti kata koran."
"Eh, aku jadi ingat si George Lomax mengundangku ke Abbey minggu depan. Tentu
saja kutolak." "Benar," kata Bundle. "Kami tak ingin Ayah terlibat dalam persoalan aneh-aneh."
"Apa akan ada persoalan aneh?" tanya Lord Caterham tiba-tiba tertarik.
"Ah, Ayah kan tahu bahwa dia menerima surat peringatan dan sebagainya," kata
Bundle, "Barangkali George akan dibunuh," kata Lord Caterham penuh harap, "Apa
pendapatmu, Bundle. Barangkali sebaiknya aku pergi saja?"
"Sudahlah. Tinggal di rumah saja," kata Bundle. "Aku mau bicara dengan Nyonya
Lembah Merpati 2 Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Kisah Pedang Bersatu Padu 7
^